Sei sulla pagina 1di 6209

Website

http://www.bukti-rantau.blogspot.com
HOW TO
E-mail
mailto:buktirantau@gmail.com
CONTACT mailto:buktirantau@yahoo.com

MOBILE PHONE
ME? CDMA by FLEXI 0778 7009282
GSM by HALO 0811 7009282
GSM by XL 08199 7009282

BUKTIRANTAU, ST

Personal Data
Name: BUKTIRANTAU
Date of Birth: 6th Dec 1972
Sex: Male
Status: Married
Weight and Height: 175 cm 82 Kg
Physical: Health and No physical damaged

2005 – Current PEMKO BATAM Batam


Summary of Labor Inspector – BATAM MANPOWER OFFICE
qualifications Main responsible as according Act 13 Year 2003 about Indonesia Labor Jo
Act 3 Year 1951 about Labor Inspector Jo Act 1 Year 1970 about
Occupational Safety and Health Administration (OSHA) and their
implementation in Batam Government Jurisdictions, Riau Islands Province,
Indonesia.

2002 – 2005 PT.TEAC Electronics Indonesia Batam


S5 Engineer – Engineering (Optical Disk Drive)
Asst.Chairman for TEAC ESD Committee

Main responsible to standardize and improvement of basic standard


working method for all production department for reduce workmanship
errors and improved productivity

2000 – 2001 PT.Matsushita Kotobuki Peripherals Batam


ESD Engineer – 4 (Hard Disk Drive)
Main responsible to do control and standardization for Electrostatic Discharge
damage in SFAB and HGA dept in term of daily control monitoring parameters
and improvement projects in short term and medium term.

1999 – 2000 PT.Matsushita Kotobuki Peripherals Batam


Process Engineer – 3 (Hard Disk Drive)
Main responsible to cover process of Plasma Defined Rail (PDR) both
Lithography and Etch Ion Milling.Maintained Process Capability (Cp/Cpk)
greater than one. Others responsibilities were on Failure Analysis. All this
responsibility are on New Product Introduction (NPI) Prototype and delivery
all product succes to ramp up in mass production stage.

1998 - 1999 PT.Matsushita Kotobuki Quantum Batam


Manufacturing Engineer – 2 (Hard Disk Drive)
Main responsibilites were on Planning and Executing all New Product from
Engineering Zero (E-0) stage to Prototype two (P-2) stage. Including all new
machine , material , operator certification and method in every stages of new
product or process in Slider Fabrication (Front end > PDR Clean room >
Back end).

1996 - 1998 PT.Quantum Corporation Batam


Manufacturing Engineer –1 (Hard Disk Drive)
Main responsibilites were on Transfering PDR Technology to Batam Plant
from Shewsburry , USA .PDR started in Batam in Middle of August
1996.PDR technology was advanced technology of give mechanical shape
from Air Bearing Surface (ABS).

1996 - 1996 UOB Life Sun Insurance Bandung


Marketing (Insurance)
Main responsibilities were planning and interviewing customer for Life
insurance products, which fixed with their income.

1995 - 1995 Mark Plus – Professional Service Bandung


Marketing Analysis
Studied on product brand name related to marketing segmentation

1994 - 1995 CV.Baned – General Trading Bandung


Finance
Balance sheet and expenses analysis
Summary of
Education
1991 - 1996 Universitas Islam Bandung Bandung
Industrial Engineering
Graduated with GPA (Grade Point Average) 3.2

1989 - 1991 SMAN - IV Medan


Senior High School (Physics)
Graduated with GPA (Grade Point Average) 48.82

1987 - 1989 SMP YPDP PERTAMINA Rantau, Aceh Timur


Junior High School
Training and Various training competency in Government :
Seminars 1. Purchase Goods and Service in Procurement Government Activities
(L4 Certification from BAPPENAS)

2. Work Environment OSH Specialist from Indonesia Ministry of


Manpower 2009

3. Labor Inspector Training Program from Indonesia Ministry of


Manpower 2006

Thesis presentation for graduated from Industrial Engineering UNISBA


regarding Dynamic Schedule and Shop Floor integration of executing
sudden job order. Location PT.INTI Head Office, Bandung 1996

Production process (Work-Study) in PT.IPTN Aircraft Industry in 1995


on Sheet Metal Forming Division

Management (Work-Study) in PT.RASEPRADANA 102.3 FM Radio


Broadcast Industry. Study on Broadcaster behavior related to dynamic work
schedule

Industrial Engineering Seminars in Industrial engineering laboratory of


Institut Teknologi Bandung (ITB). Dynamic Planning, Schedullling and
executing readiness in challenge of Year 2000.

Industrial Engineering Seminars in Sekolah Tinggi Teknologi TELKOM


(STT TELKOM) regarding Industrial Engineering contribution to Indonesia
national education.

Total Productive Maintenance (TPM) 1997, Singapore


Training by Asia Pacific Research Center & APRC productivity Center Sdn
Bhd

Statistical Process Control (SPC) Elementary 1996, Batam


Training by Quantum Corporation Training Div.

Shop Floor Integrated Manufacturing Systems (SIMS) 1996, Batam


Training by Quantum Corporation Training Div.

Gage Qualification 1997, Batam.


Training by MKQC Training Div

Internal Auditor for ISO 9000, Batam.


Training by QA - ISO, Quality Assurance Department MKQC

Basic Business Philosophy of Matshusita Corporation 2000, Batam


Training by Matshusita Training Center, Singapore

ESD Seminars, sponsored by PRO-PACK Singapore


Batam 2000

ISO 14001 Internal Auditor Training, MKPI, 2002

Job Supervisory, TEAC Internal Training, TEAC 2002

ISO 9001:200 System Training, TEAC Internal Training, TEAC 2002

OHSAS 18001:1999 Systems, TUV Indonesia, Jakarta, 2003

Pb Free/Lead Free SMT & Manual SolderTraining, ALMIT, BATAM, 2004

ESDA (http://www.esda.org) Training , ESDA Singapore , 2004

Integrated ISO 9001 – 14001 – OSHA 18001, NOVO ETS, Singapore 2004

Internal auditor training for ISO 9001:2000 , ISO 14001:1996 and OSHA
18001:1999 , QIS Technology Pte Ltd , Singapore 2004
(http://www.iso-asia.com/IAResult19Aug04.htm)

Members of IA-UNISBA (http://www.unisba.ac.id)


Additional
professional Members of ESD Association (http://www.esda.org) No # 20040440
activities Safety Lecturer NDT Training at Yayasan Pendidikan IKBAL M-YOS
(http://www.ikbalmyos.com)

Safety Lecturer NDT Training at PT.QIS & BLK KARYA BANSA

Speaker in Inhouse Safety Training in Various Company in BATAM

Speaker in Labour Seminar in BATAM

Languages English (active-passive) TOEFL 540 and Indonesia (active-passive)

Community Neighborhood society


activities

Objective ESD (Electro Static Discharge),Process,Quality,Manufacturing and


Failure Analysist

Software MS-office suite XP/Windows 7 (Word,Excel,Acces,Powerpoint) , HTML


editor,Basic UNIX O/S

Hobbies Basket Ball, Swimming

Interests and PC O/S settings/configurations, Network analysis (LAN)


activities
Awards received JAMSOSTEK (Indonesia Labor Insurance) Scholarship program 1992

Others documents will be provided upon request


LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.39, 2003 TENAGA KERJA.
Ketenagakerjaan. Perjanjian Kerja. Hubnungan Kerja. Pengawasan. PHK. Lembaga Pekerja.
Upah. Pemerintah Pusat. Pemrintah Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4279).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c,
d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan persetujuan bersama antara


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data
yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan
tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutu-
hannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari
unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di
luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan
dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELATIHAN KERJA

Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.

Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.

Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan
kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 17
(1) nstansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara
pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.

Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah
menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan
di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan
kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.

Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.

Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.

Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga
kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.

BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan
kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.

Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan
kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi istansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja
asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA

Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.

Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.

Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja.

Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang- kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.

Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat

Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak

Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan
bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan


yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak
untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di


luar hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja

Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah
penuh.

Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengupahan

Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92

(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.


(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membabtiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menjalankan
kewajiban terhadap negarapekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan
karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit dikitnya 75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.

Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Kesejahteraan

Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilak-
sanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan
usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi


menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta
ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas
lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :


a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat
kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten / Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 108
a. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.

Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat
buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan
tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan
diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan
peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.

Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).

Pasal 120

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha.

Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.

Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.

Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan


perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada
dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam
perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu
berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh
yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan
Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,


pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan


hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-
undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja

Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok
kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda
terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari
luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.

Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta
kereta api.

Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan
(lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan
normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar
upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.

Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud
dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua)orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari
upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus)
dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-
turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).

Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh
yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada


lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan,
dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan
pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2),
dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).

Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga


penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan


kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 159 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 159 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 159 ayat (4).

BAB XIII
PEMBINAAN

Pasal 173

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang


berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadu dan terkoordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat


pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 175

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV

PENYIDIKAN

Pasal 182

(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana

Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat
(5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal
139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76,
Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144,
dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban


pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal
87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan
Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang
Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
(3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598a);
(4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
(5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
(6) Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
(7) Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
(8) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
(9) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
(10) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO
KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP. 223 /MEN/2003

TENTANG

JABATAN-JABATAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN

YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN MEMBAYAR KOMPENSASI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 47 ayat (3) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
ditetapkan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan
yang dikecualikan dari kewajiban membayar kompensasi;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun
1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan


Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3687);

3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif


Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4009);

5. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 25 September 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN-JABATAN DI
LEMBAGA PENDIDIKAN YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN
MEMBAYAR KOMPENSASI.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

a. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.

b. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

c. Kompensasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja TKA dengan
membayar sejumlah dana untuk pengembangan keahlian dan keterampilan yang
berupa penerimaan negara bukan pajak.

d. Izin mempekerjakan tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin
tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi
kerja TKA.

e. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib membayar
kompensasi.

(2) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah
satu persyaratan untuk mendapatkan IMTA.

Pasal 3

Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)


dikecualikan bagi :

a. instansi pemerintah;

b. perwakilan negara asing;

c. badan-badan internasional;
d. lembaga sosial;

e. lembaga keagamaan; atau

f. jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

Pasal 4

Jabatan-jabatan tertentu pada lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 huruf f adalah :

a. TKA sebagai kepala sekolah dan guru di lembaga pendidikan yang dikelola kedutaan
negara asing;

b. TKA sebagai dosen dan atau peneliti di perguruan tinggi yang dipekerjakan sebagai
bentuk kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri.

Pasal 5

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-02/MEN/1998 tentang Penyempurnaan Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 6

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP-20/MEN/III/2004 TAHUN 2004
TENTANG
TATA CARA MEMPEROLEH IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) Undang -undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan perlu ditetapkan tata cara memperoleh ijin mempekerjakan tenaga
kerja asing;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan.

Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3201);
3. Undang-und ang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Ta hun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4279);
5. Peraturan pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan Lemba ran Negara Republik
Indonesia Nomor 4009);
6. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tah un 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong
Royong;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No mor KEP-
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga n egara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
2. Tenaga Kerja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut TKI Pendamping adalah
tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai pendamping dan atau calon
pengganti TKA.
3. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pemberi Kerja TKA adalah
Pengusaha, badan hukum atau badan -badan lainnya yang mempekerjakan TKA, dengan
membay ar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah renca na
penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibu at oleh pemberi kerja TKA untuk jangka
waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
5. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.
6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA kepada negara atas
penggunaan Tenaga Kerja Asing.
7. Alih status adalah p erubahan dari pemberi kerja lama ke pemberi kerja baru, perubahan
jabatan TKA dan perubahan lokasi kerja.
8. Direktur adalah Dir ektur Penyedia an d an Penggunaan Tenaga Kerja Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
9. Direktur Jenderal yang selanjutny a disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Ten aga Kerja Dalam Negeri Depa rtemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PERSYARATAN TKA

Pasal 2
(1) TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyarata n sebagai berikut:
a. memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kur angnya 5 (lima) tahun
yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
b. bersedia membuat pernyataan mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Warga
Negara Indonesia Khususnya TKI pendampin g;
c. dapat berkomunikasi dalam bahas a Indonesia.
(2) Dalam hal jabatan yang akan diduduki TKA telah mempunyai standar kompetensi kerja
maka TKA yang akan dipekerjaka n harus memenuhi standar tersebut.
(3) TKI pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus memiliki latar
belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA.

BAB III
PERIJINAN

Pasal 3
(1) IMTA diberika n oleh Direktur.
(2) IMTA perpanjangan diberikan oleh Direktur atau Gubernur.

Pasal 4
(1) Pemberi kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi guna memperoleh visa
untuk bekerja dengan melampirkan:
a. copy surat keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
e. pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tig a) lembar.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi guna memperoleh visa untuk bekerja dan KITAS.

Pasal 5
Untuk memperoleh IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Pemberi Kerja TKA harus
menyampaikan permohon an dengan melampirkan:
a. copy Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) untuk bekerja atas nama TKA yang bersangkutan;
b. copy perjanjian kerja;
c. bukti pembayaran dana kompensasi,penggunaan TKA.

Pasal 6
(1) Dana kompensas i penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) huruf f
ditetapkan sebesar US $ 100 (seratus dollar Amerika) per bulan untuk setiap TKA dan
dibaya rkan di muka.
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu ) bula n wajib membayar dana
kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayara n dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan
oleh pemberi kerja, dan disetorkan pada rekening Dana Pengembangan Keahlian dan
Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 7
(1) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu) jabatan.
(2) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh pemberi kerja
yang lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan bagi TKA yang diangkat
untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di Perusahaan lain berdasarkan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).

Pasal 8
Direktur harus menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja selak dilengkapinya
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.

Pasal 9
(1) Jangka waktu berlakunya IMTA diberikan sama dengan masa berlaku ijin tinggal.
(2) Selama mengurus IMTA Direktur dapat menerbitkan IMTA sementara untuk jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

BAB IV
PERPANJANGAN IMTA

Pasal 10
(1) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.
(2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh:
a. Direk tur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah Provinsi.
b. Gubernur untuk TKA yang lokasi kerjanya wilayah Kabupaten/Kot a dalam 1 (satu)
Provinsi.
(3) Dalam penerbitan p erpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, Gubernur
dan dapat menunjuk pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.

Pasal 11
(1) Pemberi kerja mengajukan permohonan perpanjangan IMTA kepada Direktur atau Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir dengan melampirkan:
a. formulir perpanjangan IMTA yang telah diisi;
b. IMTA yang masih berlaku;
c. bukti pembayaran dana kompensasi;
d. laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan kepada TKI
pendamping;
e. copy surat keputusan RPTKA yang masih berlaku;
f. pas photo berwarna sebanyak 3 (tiga) lembar ukuran 4 x 6 cm.
(2) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu RPTKA dengan ketentuan setiap kali
perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.
(3) IMTA perpanjangan tidak dapat diterbitkan apabila masa berlaku IMTA berakhir.

Pasal 12
(1) Apabila permohonan perpanjangan IMTA telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menerbitkan
IMTA perpanjangan.
(2) IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai rekomendasi
untuk mendapatkan KITAS dan atau visa untuk bekerja.

BAB V
IMTA UNTUK PEKERJAAN MENDESAK

Pasal 13
(1) Pemberi Kerja yang akan mempekerjakan TKA untuk pekerjaan yang bersifat darurat atau
mendesak wajib mengajukan permohonan IMTA kepada Direktur.
(2) Pekerjaan yang bersifat darurat atau mendesak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pekerjaan -pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung dapat
mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih 60
(enam puluh) hari.
(3) Pekerjaan yang bersifat darurat atau m endesak ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
membidangi sektor us aha yang bersangkutan.

Pasal 14
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disampaikan kepada Direktur dengan
melampirkan:
a. rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3);
b. copy paspor TKA yang bersangk utan;
c. pas photo TKA ukuran 4 x 6 6m sebanyak 3 (tiga) lembar;
d. bukti pembayaran dana kompensasi;
e. bukti ijin keimigrasian untuk kunjungan usaha.

Pasa l 15
Direktur harus menerbitkan IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) kali 24 (dua p uluh empat) jam.

BAB VI
IMTA UNTUK PEMEGANG KARTU IJIN TINGGAL TETAP (KITAP)

Pasal 16
(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib
mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan:
a. copy RPTKA yang masih berlaku;
b. copy ijin tinggal tetap yang masih berlaku;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan di pekerjakan;
d. copy ijasah atau pengalaman kerja;
e. bukti pembayaran dana kompensasi pen ggunaan TKA;
f. pas photo berwarn a ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar,
(2) Apabila permohonan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetujui, Direktur
menerbitkan IMTA.

Pasa l 17
Jangka waktu IMTA untuk pemegang Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP) paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak diterbitkan IMTA dan dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.

BAB VII
ALIH STATUS

Pasal 18
(1) Pemberi kerja TKA instansi Pemerintah/Lembaga Pemerintah, atau Badan Internasional
yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi Pemerintah/Lembaga
Pemerintah atau badan Internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi
alih status kepada Direktur.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP.
(3) KITAS/KITAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan sebagai dasar perubahan
IMTA atau penerbitan IMTA baru.

BAB VIII
PERUBAHAN NAMA PEMBERI KERJA

Pasa l 19
(1) Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, Direktur menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP.
(2) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan permohonan dengan
melampirkan:
a. copy RPTKA, yang masih berlaku;
b. copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
c. copy IMTA yang masih berlaku;
d. copy bukti perubahan nama perusa haan yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
(3) Sebelum rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitka n pemberi kerja
terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur.
(4) KITAS/KITAP yang baru digunakan sebagai dasar perubahan IMTA.

BAB IX
PERUBAHAN LOKASI KERJA

Pasal 20
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan
permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur dengan melampirkan copy RPTKA dan
IMTA yang masih berlaku.

BAB X
PELAPORAN

Pasal 21
(1) Pemberi kerja wajib melaporka n penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan
secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur da n Gubernur dengan tembusan
kepada Dirjen.
(2) Direktur dan Gubernur wajib melaporkan semua IMTA yang diterbitkan secara periodik
setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri deng an tembusan kepada Di rjen.

BAB XI
PENCABUTAN IJIN

Pasal 22
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur
berwenang mencabut IMTA.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 23
Bentuk formulir permohonan IMTA dan formulir permohonan perpa njangan IMTA sebagaimana
tercantum dalam lampiran Keputusan ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1990 tentan g Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang, Keputus an Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-416/MEN/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1990 tentang Pemberian Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dan Ketentuan-ketentuan lain yang
bertentangan dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak be rlaku lagi.

Pasa l 25
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPULIK INDONESIA
NOMOR KEP -20/MEN/III/2004
TANGGAL 1 MARET 2004

PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (TKA)

I DATA PERMOHONAN IJIN UNTUK MEMPEKERJAKAN TKA


1. Nama Perusahaan/Instansi :
2. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :
3. Alamat Perusahaan/Instansi :
Nomor Telepon dan Fax :
e-Mail (harus diisi) :
4. Tempat Kedudukan Cabang :
5. Ijin Usaha :
a. Dari :
b. Nomor :
c. Tanggal :
6. Jenis Lapangan Usaha : Sektor Kode Teknis :
7. Jumlah Tenaga Kerja :
a. Indonesia : .... orang
b. Tenaga Asing : .... orang
8. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja : Sudah disahkan
a. Nomor SK Pengesahan :
b. Tahun berlaku s/d :
II. DATA TENAGA KERJA ASING YANG AKAN DIPEKERJAKAN
1. Nama :
2. Alamat di Luar Negeri :
3. Alamat di Indonesia :
4. Kewarganegaraan :
5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :

6. Tempat Lahir : Jenis Kelamin : L / P


Tanggal Lahir
7. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin
8. Pendidikan Tinggi *) :
9. Pengalaman Kerja *) : a.
b.
c.
d.
10. Surat Ijin Masuk/Tinggal yang dimiliki :
a. Visa :
- Jenis :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
b. Kartu Ijin Tinggal Terbatas :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
c. Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD)
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
III. JABATAN YANG AKAN DIISI OLEH TENAGA KERJA ASING
1. Nama Jabatan :
Level Jabatan : Pimpinan Profesional Super Teknisi
Manajer visor Operator

2. Uraian Jabatan (tugas, :


tanggung jawab, dan
wewenang)
3. Persyaratan tertentu untuk :
mengisi jabatan tersebut
a. Pendidikan :
b. Pengalaman Kerja :
4. Lokasi Penempatan di :
a. Propinsi Pertama :
- Kabupaten/Kota :
Pertama
- Kabupaten/Kota :
Kedua
b. Propinsi Pertam a :
- Kabupaten/Kota :
Pertama
- Kabupaten/Kota :
Kedua
c. Seluruh INDONESIA :
IV. KONDISI KERJA
1. Perjanjian kerja berlaku terhitung tanggal :
2. Fasilitas dan gaji yang diberikan :
a. Perumahan : Dapat Tidak Dapat

b. Kendaraan : Dapat Tidak Dapat


c. Gaji per bulan : US$
V. KETERANGAN LAIN YANG DIPANDANG PERLU

Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggung jawab akan
kebenarannya.

.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-

Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA

*) Lampiran copy ijazah terakhir/tanda bukti lain yang sah.


LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPULIK INDONESIA
NOMOR KEP -20/MEN/III/2004
TANGGAL 1 MARET 2004

PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (TKA)

Perpanjangan

I DATA PERMOHONAN IJIN UNTUK MEMPEKERJAKAN TKA


1. Nama Perusahaan/Instansi :
2. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :
3. Alamat Perusahaan/Instansi :
Nomor Telepon dan Fax :
e-Mail (harus diisi) :
4. Tempat Kedudukan Cabang :
5. Ijin Usaha :
a. Dari :
b. Nomor :
c. Tanggal :

6. Jenis Lapangan Usaha : Sektor Kode Teknis :


7. Jumlah Tenaga Kerja :
a. Indonesia : .... orang
b. Tenaga Asing : .... orang
8. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja : Sudah disahkan
a. Nomor SK Pengesahan :
b. Tahun berlaku s/d :
II. DATA TENAGA KERJA ASING YANG AKAN DIPEKERJAKAN
1. Nama :
2. Alamat di Luar Negeri :
3. Alamat di Indonesia :
4. Kewarganegaraan :
5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :
6. Tempat Lahir : Jenis Kelamin : L / P
Tanggal Lahir
7. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin
8. Pendidikan Tinggi *) :
9. Pengalaman Kerja *) : a.
b.
c.
d.
10. Surat Ijin Masuk/Tinggal yang dimiliki :
a. Visa :
- Jenis :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
b. Kartu Ijin Tinggal Terbatas :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
c. Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD)
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
III. JABATAN YANG AKAN DIISI OLEH TENAGA KERJA ASING
1. Nama Jabatan :
Level Jabatan : Pimpinan Profesional Super Teknisi
Manajer visor Operator
2. Uraian Jabatan (tugas, :
tanggung jawab, dan
wewenang)
3. TKI sebagai pendamping TKA :
a. Pendidikan :
b. Pengalaman Kerja :
c. Persyaratan untuk :
menduduki Jabatan
d. Diklat yang akan :
dilaksanakan kepada
TKI
e. Rencana waktu :
penggantian TKA
kepada TKI
IV. KONDISI KERJA
1. Perjanjian kerja berlaku terhitung tanggal :
2. Fasilitas dan gaji yang diberikan :

a. Perumahan : Dapat Tidak Dapat

b. Kendaraan : Dapat Tidak Dapat

c. Gaji per bulan TKA : US$

d. Gaji per bulan TKI :


V. KETERANGAN LAIN YANG DIPANDANG PERLU
Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggung jawab akan
kebenarannya.

.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-

Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA

*) Lampiran copy ijazah terakhir/tanda bukti lain yang sah.


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-07/MEN/IV/2006

TENTANG

PENYEDERHANAAN PROSEDUR MEMPEROLEH


IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk mendukung penciptaan iklim investasi yang


kondusif , perlu penyederhanaan prosedur memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan Peraturan
Menteri:

Mengingat : 1. Undang -undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang


berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk
seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib


Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republk Indonesia Nomor 3201);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1977 tentang


Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang


Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan Lemabran Negara
Republik Indonesia Nomor 4009);

6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi;

7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP-228/MEN/2003 tentang
Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing;

8. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP-20/MEN/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing:

MEMUTUSKAN:

Menetapkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


: TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PENYEDERHANAAN PROSEDUR MEMPEROLEH IJIN
MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA).

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah
warga negara asing pemegang visa dengan maksud belanja di
wilayah Indonesia.

2. Tenaga Keja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut


TKI Pendamping adalah Tenaga Kerja Indonesia yang ditunjuk
dan dipersiapkan sebagai pendamping dan aau calom pengganti
TKA.
3. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut
disebut Pemberi Kerja TKA adalah Pengusaha, badan hukum,
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya


disebut RPTKA adalah rencana pengguna TKA pada jabatan
tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka
waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.

5. Izin Mempekerjakan Tenaga KErja Asing yang selanjutnya


disebut IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.

6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi


kerja TKA kepada negara atas pengguna Tenaga Kerja Asing.

7. Direktur adalah Direktur Pengguna Tenaga Kerja Asing,


Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan

Tenaga Kerja Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan


Transmigrasi.

8. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

PROSEDUR MEMPEROLEH

IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)

Pasal 2

1. Pemberi kerja TKA yang mengurus IMTA, terlebih dahulu


harus mengajukan permohonan kepada Direktur untuk
mendapatkan rekomendasi visa (TA.01) dengan melampirkan:
a. copy surat keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy pasport TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA
yang akan dipekerjakan;
e. copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping.

2 Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana


dimaksud ayat (1), maka Direktur Lalulintas Keimigrasian
(Lantaskim), Direktorat Jenderal Imigrasi dalam waktu
selambat- lambatnya pada hari berikutnya.

3. Rekomendasi visa (TA-01) sebagaimana dimaksud ayat (2)


berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal
diterbitkan.

Pasal 3

1. Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa


untuk dapat bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan
menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan
pemberian visa, maka pemberi kerja mengajukan permohonan
IMTA dengan melampirkan ;
a. copy draft perjanjian kerja;
b. bukti pembayaran dana kompensasi pengguna TKA melalui
Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
c. photo berwarna ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar
d. meterai Rp. 6000,-

2. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


telah dipenuhi, maka Direktur menerbitkan IMTA selambat-
lambatnya 4 (empat) hari kerja.

BAB III

PERPANJANGAN

IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 4

1 Dalam hal pemberi kerja akan memeperpanjang IMTA,


pemberi kerja mengajukan permohonan perpanjangan kepada
Direktur dan/atau Gubernur.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan


selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum jangka
waktu berlakunya IMTA berakhir.

3. Permohonan perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir
perpanjangan IMTA yang dilampiri dengan:
a. IMTA;
b. bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA pada
Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
c. laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan
pelatihan kepada TKI pendamping;
d. copy surat keputusan RPTKA yang masih berlaku;
e. photo berwarna ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar;

4. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (3) telah


lengkap, maka direktur dan /atau Gubernur menerbitkan IMTA
selambat- lambatnya 4 (empat) hari kerja.

5. IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud ayat (4) digunakan


sebagai dasar untuk memperpanjang KITTAS.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 5
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 20/MEN/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 6
Peraturan Menteri ini berlaku 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ERMAN SUPARNO
KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 224 /MEN/2003

TENTANG

KEWAJIBAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN
ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan pasal 76 ayat (3) dan (4)


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan perlu diatur kewajiban pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan 07.00;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan


Menteri;

Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang - undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia untuk
Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama


Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 9 September 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN
ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia;

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik persekutuan atau
badan hukum baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00


sampai dengan 07.00 berkewajiban untuk :

a. memberikan makanan dan minuman bergizi;

b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(2) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh


perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
05.00.

Pasal 3
(1) Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada
waktu istirahat antara jam kerja.

(2) Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang.

Pasal 4

(1) Penyediaan makanan dan minuman, peralatan, dan ruangan makan harus layak
serta memenuhi syarat higiene dan sanitasi.

(2) Penyajian menu makanan dan minuman yang diberikan kepada pekerja/buruh
harus secara bervariasi.

Pasal 5

Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja/buruh perempuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dengan :

a. menyediakan petugas keamanan di tempat kerja;

b. menyediakan kamar mandi/wc yang layak dengan penerangan yang memadai


serta terpisah antara pekerja/buruh perempuan dan laki-laki.

Pasal 6

(1) Pengusaha wajib menyediakan antar jemput dimulai dari tempat penjemputan ke
tempat kerja dan sebaliknya;

(2) Penjemputan dilakukan dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Pasal 7

(1) Pengusaha harus menetapkan tempat penjemputan dan pengantaran pada lokasi
yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh perempuan.

(2) Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi yang layak dan harus terdaftar di
perusahaan.

Pasal 8

Pelaksanaan pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan, dan


keamanan selama di tempat kerja serta penyediaan angkutan antar jemput
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diatur lebih lanjut dalam Perjanjian
Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 115/MEN/VII/2004

TENTANG

PERLINDUNGAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN PEKERJAAN


UNTUK MENGEMBANGKAN BAKAT DAN MINAT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang


Nomor 13 tahun tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan minat;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1970 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2918);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO


Convention Nomor 138 Convention Minimum Age for
Admission to Employment ( Konvensi ILO mengenai Usia
Minimun untuk Diperbolehkan Bekerja) ( Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3835);

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tent ang Pengesahan ILO


Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate
Action for The Elimination of The Worst Form of Child Labour
( Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak); (Lembaran Negara republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3941);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor
109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235);

6. Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

7. Keputusan Presiden Nomor 228 / M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 19 Mei 2004;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Sekretariat Lembaga Kerjasama


Tripartit Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERLINDUNGAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN
PEKERJAAN UNTUK MENGEMBANGKAN BAKAT
DAN MINAT.

Pasal 1

1. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
.
2. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.

3. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.

4. Bakat adalah kemampuan khusus yang dimiliki seorang anak yang dibawa sejak
lahir.

5. Minat adalah ketertarikan seseorang anak pada sesuatu bidang.

Pasal 2

1. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

2. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi kriteria :


a. pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini;
b. pekerjaan tersebut diminati anak;
c. pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak;
d. pekerjaan tersebut menumbuhkan kreatitivitas dan sesuai dengan dunia
anak.

Pasal 3

1. Pelibatan anak dalam pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat harus
memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak.

2. Kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan dengan cara antara lain:
a. anak didengar dan dihormati pendapatnya;
b. anak diperlakukan tanpa menghambat tumbuh kembang fisik, mental,
intelektual dan sosial secara optimal;
c. anak tetap memperoleh pendidikan;
d. anak diperlakukan sama dan tanpa paksaan.

Pasal 4

1. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan


minat tanpa pengawasan langsung orang tua/wali.

2. Pengawasan langsung oleh orang tua/wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan :
a. mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan;
b. mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya;
c. menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan
pekerjaan;

Pasal 5
1. Pengusaha yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun untuk mengembangkan bakat dan minat, wajib.
a. membuat perjanjian kerja secara tertulis denan orang tua/wali yang
mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. mempekerjakan di laur waktu sekolah;
c. memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua
belas ) jam seminggu;
d. melibatkan orang tua/wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan
pengawasan langsung;
e. menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan
penggunaan narkotika, perjudian,minuman keras, prostitusi dan hal- hal
sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik,
mental dan sosial anak;
f. menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan
g. melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.

2 Waktu tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f paling lama 1
(satu) jam.

3. Dalam hal waktu tunggu melebihi 1 (satu) jam, maka kelebihan waktu tersebut
termasuk di dalam waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.

Pasal 6
1 Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat
harus melaporkan dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir.

2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada instansi


yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota pada
lokasi anak dipekerjakan, dengan tembusan kepada Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kertenagakerjaan di Provinsi yang bersangkutan.

3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan paling lambat 14


(empat belas) hari sebelum pengusaha mempekerjakan anak.

Pasal 7

Keputusan Menteri ini mulai sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2004.
MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA

LAMPIRAN :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-115/MEN/VII/2004
TANGGAL: 7 Juli 2004

LAPORAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN ANAK DALAM RANGKA MENGEMBANGKAN
BAKAT DAN MINAT

NAMA DAN ALAMAT :


PERUSAHAAN
Telp : ....................Fax : ...................Email : .........
NAMA DAN ALAMAT PIMPINAN ::
PERUSAHAAN Telp : ....................Fax : ...................Email : .........
JENIS PERUSAHAAN ::
ALAMAT/LOKASI KERJA ANAK ::
ANAK YANG DIPEKERJAKAN ::

TEMP ORANG JML


ANAK TANGGAL JENIS
N L/ AT TUA/WALI JAM
DIPEKERJAK PEKERJA
O NAM ALAM P TGL. NAM ALAMAT/TE KERJ
AN AN
A AT LAHIR A LP A
1
2
3
4
5
dst
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2004

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI ................,


.............., ..............
REPUBLIK INDONESIA (Lokasi Perusahaan, tanggal -
bulan - tahun)

TTD/CAP

JACOB NUWA WEA ( NAMA PIMPINAN


PERUSAHAAN)
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004

TENTANG

PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN PELATIHAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan perusahaan
yang wajib melaksanakan pelatihan kerja bagi pekerja/buruhnya.
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu;

Memperhatikan 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


: Nasional tanggal 1 Juli 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
tanggal 13 Agustus 2004;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN
PELATIHAN KERJA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

1. Perusahaan yang wajib meningkatkan kompetensi pekerja/buruhnya melalui


pelatihan kerja adalah perusahaan yang mempekerjakan 100 (seratus) orang
pekerja/buruh atau lebih.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mencakup sekurang-
kurangnya 5 % (lima perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/.buruh di perusahaan
tersebut setiap tahun.

Pasal 3

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 perusahaan harus


membuat perencanaan program pelatihan kerja tahunan bagi pekerja/buruh yang
sekurang-kurangnya meliputi jenis pelatihan kerja, jangka waktu pelatihan kerja dan
tempat pelatihan kerja.

Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.

Pasal 5

Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan untuk meningkatkan


keterampilan manajerial dan teknikal pekerja/buruh.

Pasal 6

1. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program yang dirancang sesuai


dengan kebutuhan dan teknologi yang digunakan perusahaan dalam rangka
meningkatkan kompetensi pekerja/bur uh.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan di
perusahaan dan atau di lembaga pelatihan.
3. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan dengan
sistim pemagangan.

Pasal 7

1. Perusahaan dan atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan kerja wajib


memberikan surat tamat pelatihan kerja bagi peserta yang dinyatakan lulus.
2. Perusahaan yang melaksanakan pelatihan kerja dengan baik dapat diberikan
penghargaan oleh Menteri.

Pasal 8

Perusahaan melaporkan pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja secara periodik sesuai


dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Nopember 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 220/MEN/X/2004

TENTANG

SYARAT-SYARAT
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 65 ayat (5) Undang-undang


Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai
perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang- undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4 ).

2. Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279);

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M tahun


2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 23 April 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA
PERUSAHAAN LAIN.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi pekerjaan adalah


:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan lain yang
menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan
pemberi pekerjaan.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.

Pasal 2

1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.

Pasal 3

1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan akan menyerahkan sebagian


pelaksanakan pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus
diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum.
2. Ketentuan mengenai berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dikecuali bagi :
a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang
pengadaan barang;
b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa
pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh
kurang dari 10 (sepuluh) orang.
3. Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari
perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan
kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
4. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya
memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan
yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung
jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.

Pasal 4

1. Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan


yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan
berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat
melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan,
maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada
perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum.
2. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-
hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubunga n kerja antara perusahaan
yang bukan berbadan hukum tersebut dengan pekerjaan/buruhnya
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dituangkan
dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi
pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan.

Pasal 5

Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin


terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 6

1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen
maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan ;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang
cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan
memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan
kerja perusahaan pemberi pekerjaan.
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan
tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak
dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan
pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
2. Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian
pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib
membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan.
3. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-
jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1)
serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.

Pasal 7

1. Perusahaan pemberi pekerjaan yang telah menyerahkan pelaksanaan


sebagian pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan sebelum
ditetapkan Keputusan Menteri ini tetap melaksanakan perjanjian
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan
sebagaimana telah diperjanjikan sampai berakhirnya perjanjian
pemborongan pekerjaan tersebut.
2. Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berakhir, maka selanjutnya wajib menyesuaikan dengan
Keputusan Menteri ini.

Pasal 8

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP - 21/MEN/III/2004

TENTANG

PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING


SEBAGAI PEMANDU NYANYI / KARAOKE

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa pekerjaan sebagai pemandu nyanyi/ karaoke dalam dunia hiburan dewasa ini
semakin berkembang ;

b. bahwa kebutuhan terhadap pemandu nyanyi/ karaoke berkembang tidak hanya


pemandu nyanyi/karaoke
yang mempunyai keterampilan memandu nyanyi untuk lagu-lagu Indonesia dan
Daerah saja, tetapi juga
berkembang kearah kebutuhan akan keterampilan untuk memandu nyanyi lagu-lagu
asing dari berbagai
negara ;

c. bahwa selama ini di masyarakat secara nyata terdapat pemandu nyanyi/ karaoke
asing tanpa pengaturan
yang jelas ;

d. bahwa sesuai pertimbangan huruf a, b dan c diatas, penggunaan tenaga kerja asing
sebagai pemandu
nyanyi/ karaoke perlu ditetapkan dengan keputusan Menteri ;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang


Pengawasan Perburuan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4) ;

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara


Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) ;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4009) ;

4. Keputusan Presiden Nomor 228/ M Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabinet


Gotong Royong;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor


KEP-228/MEN/2003
tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGGUNAAN TENAGA KERJA
ASING SEBAGAI PEMANDU NYANYI/ KARAOKE.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja diwilayah Indonesia.

2. Pemberian Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA adalah pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

3. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah rencana penggunaan
TKA pada jabatan tertentu yang
dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.

4. Direktur adalah Direktur yang bertanggung jawab di bidang Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.

5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PERIJINAN

Pasal 2

Pemberi kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib memiliki ijin
tertulis dari Direktur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara
mempekerjakan TKA.

Pasal 3

(1). Untuk mendapatkan ijin sebagaiman dimaksud dalam pasal 2, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan IMTA dengan
melampirkan :

a. copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke ;


b. RPTKA yang telah disahkan oleh Direktur ;
bukti tanda pembayaran dan kompensasi penggunaan TKA sesuai peraturan perundang-undangan
c.
yang berlaku ;
d. perjanjian kerja antara TKA dengan pemberi kerja ;

(2) Direktur dapat membentuk tim untuk meneliti kelengkapan dan keabsahan dokumen sebagaimana
dimaksud ayat (1).

Pasal 4

(1) Dana kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c ditetapkan sebesar
US $ 100 (seratus dollar Amerika)
per bulan untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.

(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar dana kompensasi
sebagaiman dimaksud dalam ayat
(1) sebesar 1 (satu) bulan penuh.

(3) Pembayaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan oleh pemberi
kerja yang disetorkan pada rekening
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuka
oleh Menteri.

Pasal 5

Jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke diberikan paling lama 6
(enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang.

Pasal 6

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke disatu tempat
kerja, harus mempekerjakan pemandu nyanyi/ karaoke Tenaga Kerja Warga Negara Indonesia yang
jumlahnya 5 (lima) kali jumlah pemndu nyanyi/ karaoke tenaga kerja asing.

Pasal 7

Pemberi kerja yang mendatangkan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib
memulangkan TKA ke negara asal setelah jangka waktu ijin mempekerjakan TKA berakhir.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG

PERLINDUNGAN UPAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun
suatu peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1969.
b. Bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai
pengupahan bagi buruh laki- laki dan wanita untuk pekerjaan yang
sama nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 171).
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Tenaga Kerja ( Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912).

M EM U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN


UPAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut sutau persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya.
b. Pengusaha ialah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan
milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 diatas, yang berkedudukan di luar
Indonesia.
c. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
d. Menteri adalah Menteri yang betanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada
saat hubungan kerja putus.

Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh
laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 4

Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

Pasal 5

1. Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pengusaha


wajib membayar upah buruh :
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan
ketentuan sebagai berikut :

1. Untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah;
2. Untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari upah.
3. Untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah;
4. Untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari
upah.

b. Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal- hal sebagaimana dimaksud dibawah
ini, dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.


2. Menyunatkan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
3. Membaptiskan anak, dibayarkan untuk selama 1 (satu) hari.
4. Mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.
5. Anggota keluarga meninggal dunia yaitu suami/istri, orang tua/mertua atau
anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari.
6. Istri melahirkan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
2. Dalam hal pengusaha tidak mampu memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, pengusaha dapat mengajukan izin penyimpangan kepada
Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
3. Jika dalam suatu peraturan perusahaan atau perjanj ian perburuhan terdapat
ketentuan-ketentuan yang lebih baik daripada ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ketentuan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian
perburuhan tersebut tidak boleh dikurangi.

Pasal 6

1. Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak
dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban Negara,
jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak mendapatkan
upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
2. Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa dibayarkannya
kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang diperolehnya kurang dari upah yang
biasa diterima dari perusahaan yang bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu)
tahun.
3. Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang dalam
menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah serta tunjangan
lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang biasa ia terima dari
perusahaan yang bersangkutan.
4. Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.

Pasal 7

Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran yang diterima
oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan perundang- undangan atau peraturan
perusahaan atau sesuatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu
pertanggungan.

Pasal 8

Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya
dapat ia hindari.
Pasal 9

Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk menghitung upah
sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh
buruh.

Pasal 10

1. Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan perjanjian.
2. Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa dianggap
sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan keberatan yang
dinyatakan secara tertulis.
3. Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung.
4. Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk satu kali
pembayaran.
5. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 11

Pada tiap pembayaran seluruh jumlah upah harus dibayarkan.

BAB II

BENTUK UPAH

Pasal 12

1. Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.


2. Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.

Pasal 13

1. Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah dari Negara
Republik Indonesai.
2. Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.

Pasal 14

Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus dipergunakan secara
tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak diperbolehkan dan karenanya adalah batal
menurut hukum, kecuali jika penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-
undangan.

Pasal 15

1. Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu ketentuan
yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan atau peraturan perundang-undangan lainnya dan
karenanya menjadi batal menurut hukum, maka buruh berhak menerima
pembayaran kembali dari bagian upah yang ditahan sebagai perhitungan terhadap
upahnya, dan dia tidak diwajibkan mengembalikan apa yang telah diberikan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan perselisihan perburuhan dapat
membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian
yang diderita oleh buruh.

BAB III

CARA PEMBAYARAN UPAH

Pasal 16

Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan
perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh biasa bekerja, atau di
kantor perusahaan.

Pasal 17

Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau
selambat- lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari
satu minggu.

Pasal 18

Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka pembayaran upah
disesuaikan dengan ketentuan pasal 17 dengan pengertian bahwa upah harus dibayar
sesuai dengan hasil pekerjaannya dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia
bekerja.

Pasal 19

1. Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut
ditambah dengan 5 % (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari
kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan,
dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi
50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
2. Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit
perusahaan yang bersangkutan.
3. Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut
hukum.

BAB IV

DENDA DAN POTONGAN UPAH

Pasal 20

1. Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur
secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan.
2. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia.
3. Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha dilarang untuk
menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 21

1. Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut.
2. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 22

1. Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan
bilamana ada surat kuasa dari buruh.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban pembayaran oleh
buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
3. Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditarik kembali
pada setiap saat.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.

Pasal 23
1. Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan
barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga
oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
2. Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis
atau peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50 % (lima
puluh persen) dari upah.

BAB V

PERHITUNGAN DENGAN UPAH

Pasal 24

1. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah adalah :


a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23.
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis.
c. Uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang
buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.
2. Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 50 %
(lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima.
3. Setiap saat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk mengadakan
perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) adalah batal menurut hukum.
4. Pada waktu pemutusan hubungan kerja seluruh hutang piutang buruh dapat
diperhitungkan dengan upahnya.

Pasal 25

Bila uang yang disediakan oleh pengusaha untuk membayar upah disita oleh Juru Sita,
maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari jumlah upah
yang harus dibayarkan.

Pasal 26

1. Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran tiap bulan
daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari sebulan.
2. Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan itu diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga.

Pasal 27

Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan hutang yang
didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan yang berlaku.
Pasal 28

Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan
ketentuan tidak melebihi dari 25 % (dua puluh lima persen).

Pasal 29

1. Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan pada
keterangan-keterangan yang hanya dapat diperoleh dari buku-buku pengusaha,
maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk menerima keterangan dan
bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.
2. Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta bantuan
kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.
3. Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta bukti-bukti oleh
buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan, kecuali
bila keterangan tersebut dimintakan oleh badan yang diserahi urusan penyelesaian
perselisihan perburuhan.

Pasal 30

Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.

BAB VI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 31

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 32

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, disamping
perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang dengan
sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 100.000,- (seratu ribu rupiah).

Pasal 34

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 adalah
pelanggaran.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 14


Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, maka
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan upah,
sejauh telah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan perundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapk
an di Jakarta
pada
tanggal 2 Maret 1981

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 1981

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, SH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 8

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG

PERLINDUNGAN UPAH

UMUM

Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih tetap dipakai Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah tidak
sesuai lagi. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja,
maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional dirasakan makin mendesak.

Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan ke arah stabilitas yang makin
mantap maka pengaturan tentang perlindungan upah dalam Peraturan Pemerintah ini
diarahkan pula kepada sistim pembayaran upah secara keseluruhan Pengertian upah
secara keseluruhan dimaksudkan di sini tidak termasuk upah lembur. Pada pokoknya
sistim ini didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau dengan perkataan lain bahwa
upah itu tidak lagi dipengaruhi oleh tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya
dengan prestasi kerja.

Pembayaran upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian
dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi kemungkinan pemberian sebagian
upah dalam bentuk barang yang jumlahnya dibatasi.

Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan upah secara umum yang
berpangkal tolak kepada fungsi upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup
bagi buruh dan keluarganya.

Untuk menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan upah
minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.
Huruf a.

Yang dimaksud imbalan adalah termasuk juga sebutan honorarium yang diberikan oleh
pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus.

Huruf b.

Yang dimaksud orang adalah seorang manusia pribadi yang mengurus atau mengawasi
perusahaan secara langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu bentuk
usaha bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan
misalnya CV, Firma, Maatschap dan lain- lain maupun yang tidak mencari keuntungan
misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah perseroan yang didaftar
menurut undang- undang tentang perseroan atau jenis badan hukum lainnya yang
didirikan dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya
perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang dijalankan dengan
tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara yang
mempekerjakan buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh,
misalnya Yayasan dan lain- lain.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d.

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 4

Cukup Jelas

Pasal 5
Ayat (1)

Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk diterapkan secara mutlak.
Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena alasan tersebut
a dan b upah tersebut masih harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang
demikian tidak dapat dilakukan secara penuh dan terus menerus karena itu perlu
ditetapkan jumlah serta jangka waktunya.
Pengertian sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena
kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951
tentang kecelakaan kerja.

Ayat (2)
Cukup Jelas.

Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan untuk memikul tugas dan
kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah, misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan
dengan peraturan perundang- undangan.

Ayat (2)

Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak menjadi beban yang
berat bagi buruh dan keluarganya di satu pihak dan pengusaha di lain pihak.

Ayat (3)
Cukup Jelas.

Ayat (4)

Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh yang menjalankan
ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha tidak diwajibkan membayar upahnya.

Pasal 7

Pembayaran dari pertanggungan dapat diperhitungkan menurut pasal ini adalah


khususnya mengenai pertanggungan upah buruh selama sakit iurannya dibayar oleh
pengusaha. Dalam hal pembayaran dari pertanggungan itu kurang dari upah yang
seharusnya diterima buruh selama sakit maka kekurangan tersebut harus dibayar oleh
pengusaha. Akan tetapi bila buruh telah menerima pembayaran sesuai atau lebih dari
upah yang seharusnya dia terima selama sakit, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk
membayarkan lagi.

Pasal 8

Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk kehancuran atau
musnahnya perusahaan beserta peralatan yang dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran
atau peperangan sehingga tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau
menjalankan kegiatannya" Force mayeure".

Pasal 9

Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan dalam
menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan hubungan kerja,
lembur dan sebagainya.

Pasal 10

Ayat (1) sampai dengan ayat (5)

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang
yang tidak berhak. Oleh karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan baik buruh
laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat belas) tahun akan tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 11

Cukup Jelas

Pasal 12

Ayat (1) dan ayat (2)

Untuk menuju ke arah sistim pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam
bentuk uang, prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya
secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.
Penerapan prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang
mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.

Pasal 13

Ayat (1) dan ayat (2)

Cukup Jelas
Pasal 14

Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa ("enforced
shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah seperti yang
dikehendakinya. Sedang pengusaha tidak diperbolehkan mengikat buruh dalam
mempergunakan upahnya.

Pasal 15

Ayat (1) dan ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup Jelas

Pasal 17

Cukup Jelas

Pasal 18

Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan dengan hasil
pekerjaannya.

Pasal 19

Ayat (1) sampai dengan ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 20

Ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Yang dimaksud dengan pelanggaran sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran
terhadap kewajiban-kewajiban buruh yang telah ditetapkan dengan perjanjian tertulis
antara pengusaha dan buruh.

Pasal 21

Ayat (1) dan ayat (2)

Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh untuk kepentingan pribadi pengusaha
baik langsung ataupun tidak, melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana
buruh. Cara penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian atau
peraturan perusahaan.

Pasal 22

Ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 23

Ayat (1) dan ayat (2)


Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian materiil atau ekonomis.

Pasal 24

Ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Pembatasan perhitungan tidak boleh lebih dari 50 % (lima puluh persen) dimaksudkan,
agar buruh tidak kehilangan semua upah yang diterimanya.
Kemungkinan perhitungan dengan upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti
rugi dan lain- lain.
Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka pengusaha harus
mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah perhitungan tersebut tidak melebihi 50
% (lima puluh persen).

Pasal 25

Cukup Jelas.

Pasal 26

Ayat (1) dan ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 27

Cukup Jelas

Pasal 28

Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatuh pailit yang disebabkan tidak terbayarnya
hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha ataupun kepada orang lain. Untuk
menjamin kehidupan buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, maka perlu ada
jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya.
Oleh karena itu dalam pasal ini upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh,
tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25 % (dua puluh lima persen).

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Cukup Jelas

Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 30

Cukup Jelas

Pasal 31 sampai dengan Pasal 33

Ketentuan pidana yang dikenakan dalam Pasal-Pasal tersebut adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang- undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan Undang-undang
Induk daripada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 34

Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33
sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang- undang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang
merupakan Undang-undang Induk dari pada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 35

Ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan upah


antara lain adalah ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yaitu : 1601p; 1601q; 1601r; 1601s; 1601t; 1601u; 1601v; 1602; 1602a;
1602b; 1602c; 1602d; 1602e; 1602f; 1602g; 1602h; 1602i; 1602j; 1602k; 1602l; 1602m;
1602n; 1602o; 1602p; 1602q; 1602r; 1602s; 1602t; 1602u; 1602v alinea 5, 1968 alinea 3
dan 1971 sepanjang yang menyangkut upah.

Pasal 36

Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3190

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH


NO. 8 TAHUN 1981

TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

SURAT EDARAN
NO: SE-01/MEN/1982

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran
Negara No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai
pedoman bagi para petugas di lapangan khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal
Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang
perlu diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Pasal 1 huruf c berbunyi sebagai berikut :


" Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima
upah".

Penjelasan :

Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang
berstatus non organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu
perusahaan. Yang dimaksud dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah
tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan secara tidak teratur dan secara
organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok dalam perusahaan tersebut, misalnya
: Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja
yang bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang
disebabkan karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar
muat.
2. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
" Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus".

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya
perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.
3. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya"

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan pekerjaan yang sama nilainya dalam ketentuan ini adalah
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan uraian jabatan (Job discription) yang
sama pada suatu perusahaan.
4. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
" Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan "

Penjelasan :

Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua
golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan
disebabkan oleh kesalahan buruh.
5. Pasal 5 ayat (1) huruf a berbunyi sebagai berikut :

" Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pengusaha


wajib membayar upah buruh".
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah.
2. untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari
upah.
3. untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah.
4. untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari
upah.

Penjelasan :

Ketentuan pembayaran upah dengan bertahap berlaku bagi buruh yang sakit terus
menerus.
Termasuk sakit terus menerus adalah penyakit menahun atau berkepanjangan,
demikian pula apabila buruh yang setelah sakit lama mampu bekerja kembali
tetapi dalam waktu 4 Minggu sakit kembali.
Misalnya : pada 3 (tiga) bulan pertama buruh jatuh sakit dia berhak atas upah 100
%, kemudian masuk bekerja tetapi kurang dari 4 (empat) minggu buruh jatuh
sakit lagi dengan penyakit yang sama atau dengan komplikasi yang
ditimbulkannya maka dalam hal ini buruh berhak atas upah 75 % selama 3 (tiga)
bulan. Akan tetapi jika buruh setelah jatuh sakit, masuk bekerja kembali selama 4
(empat) minggu atau lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama
atau komplikasinya maka selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3
(tiga) bulan. Bulan yang dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan
atau waktu dimana buruh jatuh sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk
pelaksanaan pasal ini diperlukan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh
perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak
mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun
waktu 3 (tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal
5 tersebut.

Contoh yang dapat dibenarkan :


3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 75 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %

Contoh yang tidak dibenarkan :


3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 60 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %

Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti
tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.
6. Pasal 6 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan tetapi tidak melebihi 3 ( tiga ) bulan. "

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan " Selama waktu yang diperlukan" dalam pasal ini adalah
lamanya waktu untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan ketentuan
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI dari waktu ke waktu.
Misalnya : pada tahun 1981 waktu yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah
haji adalah 40 (empat puluh) hari, dengan demikian pengusaha wajib membayar
upah buruh selama 40 hari.
7. Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
" Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaannya yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami
oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari".

Penjelasan :

Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan
dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini
dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha
harus membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal
dimana kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi
karena sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar
upah buruh sesuai dengan perjanjian.
8. Pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut :
"Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung"

Penjelasan :

Apabila surat kuasa tersebut bersifat kolektif maka surat kuasa tersebut perlu
diketahui lebih dahulu oleh Kantor Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja
setempat.
9. Pasal 12 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.

Penjelasan :

Apabila selama ini suatu perusahaan memberikan upah dalam bentuk natura lebih
dari 25 % maka selanjutnya kelebihan prosentase tersebut harus diwujudkan
dalam bentuk uang.
Misalnya : Jika sebagian upah diberikan dalam bentuk natura 30 % maka yang
kelebihan 5 % tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.
10. Pasal 13 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.

Penjelasan :

Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia pada saat pembayaran upah.
11. Pasal 15 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi tugas urusan perselisihan perburuhan
dapat membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
kerugian yang diderita oleh buruh".

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan Badan yang diserahi urusan Perselisihan Perburuhan ialah
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tersebut dalam Undang-undang
No.22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 No.42
Tambahan Lembaran Negara No. 1227).
12. Pasal 19 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh Bank untuk
kredit perusahaan yang bersangkutan".

Penjelasan :

Untuk menentukan besarnya prosentase bunga karena keterlambatan membayar


upah buruh adalah : Apabila di perusahaan tersebut terdapat beberapa jenis kredit,
maka yang dipakai untuk menentukan besarnya diambil bunga kredit yang paling
menguntungkan buruh.
13. Pasal 21 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
" Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut".

Penjelasan :

Denda yang dikenakan kepada buruh juga tidak dapat digunakan untuk
kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan biaya operasional perusahaan.
14. Pasal 24 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan
hutang buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti
tertulis".

Penjelasan :

Untuk memperhitungkan hutang piutang buruh jika terjadi Pemutusan Hubungan


Kerja selain dapat diperhitungkan dari upah juga dari uang pesangon.
15. Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :
" Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan
Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah)"

Penjelasan :

Kata "Ahli" dalam pasal ini seharusnya dibaca kuasa yang ditunjuk oleh buruh
seperti dimaksud pada Pasal 29.

Demikian beberapa petunjuk tersebut disampaikan kepada Saudara untuk


diperhatikan dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 4 Februari 1982

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

HARUN ZAIN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER-15/MEN/VII/2005

TENTANG

WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT


PADA SEKTOR USAHA PERTAMBANGAN UMUM
PADA DAERAH OPERASI TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a bahwa usaha pertambangan umum memiliki karakteristik tersendiri


yang antara lain disebabkan karena lokasi usahanya pada umumnya
berada pada tempat terpencil sehingga tidak dapat diberlakukan
waktu kerja dan waktu istirahat yang biasa;
b bahwa Pasal 77 dan Pasal 78 Undang- undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan pengaturan waktu
kerja khusus untuk sektor tertentu;
c bahwa sehubungan dengan pertimbangan huruf a dan b dipandang
perlu untuk mengatur waktu kerja dan istirahat di sektor usaha
pertambangan umum dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948
nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
234/MEN/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor
Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu;
5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP.
102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur;

Memperhatikan : Hasil Pertemuan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional.


MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA
PERTAMBANGAN UMUM PADA DAERAH OPERASI
TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan pada suatu periode tertentu
2 Daerah operasi tertentu adalah lokasi tempat dilakukan eksplorasi,
eksplotasi dan atau pengapalan hasil tambang.
3 Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan
dengan mengabaikan hari- hari kalender.
4 Pekerj/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan lain dalam bentuk lain.
5 Perusahaan adalah :
a setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
6 Pengusaha adalah :
a orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7 Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang pertambangan umum termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat
enerapkan :
a waktu kerja dan istirahat sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
234/MEN/2003;
b periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja,
dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat dan setiap 2 (dua)
minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat.
(2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua
belas) jam sehari tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.
(3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib membayar upah kerja setelah 7 (tujuh) jam kerja
dengan perhitungan sebagai berikut:
a untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3,5 (tiga
setengah) x upah sejam;
b untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5,5 (lima tengah)
x upah sejam;
c untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7,5 (tujuh
setengah) x upah sejam;
d untuk waktu kerja 12 (dua belas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 9,5 (sembilan
setengah) x upah sejam.
Pasal 3
Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan kegiatan dan atau waktu kerja dengan
memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha
kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pengusaha
memberitahukan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
Pasal 5
Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat
tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk
waktu kerja apablia perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat)
jam atau lebih.
Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau
beberapa waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan ternyata
pekerja/buruh dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka
perusahaan wajib membayar upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih
dan ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal libur resmi jatuh pada suatu periode yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, maka libur resmi tersebut dianggap hari kerja
biasa.
Pasal 8
Perhitungan upah dan upah kerja lembur tunduk kepada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/VI/2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga)
bulan sekali kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat;
b jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan;
c daftar upah kerja lembur;
d perubahan pelaksanaan waktu kerja.
Pasal 10
Perusahaan harus menyesuaikan waktu kerja dan periode kerja sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini selambat- lambatnya 3
(tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 26 Juli 2005


MENTERI

TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,
ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya:

Kepala Biro Hukum,

Myra M. Hanartani

NIP. 160025858
KEPMEN NO. 235 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 235 /MEN/2003

TENTANG

JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN


KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU MORAL ANAK

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 74 ayat (3) Undang-


undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
perlu ditetapkan jenis-jenis pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1918);

3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang


Pengesahan ILO Convention No. 138 Convention Minimum
Age For Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3835);

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan


ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms
of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak), Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3941);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235);

6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

8. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang


Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS-JENIS PEKERJAAN
YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN, KESELAMATAN ATAU
MORAL ANAK.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun.

2. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau
dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral anak.
(2) Pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak
sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.

(3) Jenis-jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau
kembali sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 3

Anak usia 15 (lima belas) tahun atau lebih dapat mengerjakan pekerjaan kecuali
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 4

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk bekerja lembur.

Pasal 5

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA

Lampiran : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA.

NOMOR : KEP- 235 /MEN/2003

TANGGAL : 31 Oktober 2003

JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN KESEHATAN


DAN KESELAMATAN ANAK

A. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan


peralatan lainnya meliputi :

Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan


perbaikan :

1. Mesin- mesin

a. mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin
bubut, mesin skrap;

b. mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak,
mesin pengisi botol.

2. Pesawat

a. pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap;

b. pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli;

c. pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit;

d. pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport,


ekskalator, gondola, forklift, loader;

e. pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat
pembangkit listrik.

1. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin
pancang.

2. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam


kebakaran, saluran listrik.

3. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah.

4. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan


sejenisnya.

B. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya


yang meliputi :

1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik


a. pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang
sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur,
tangki;

b. pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter;

c. pekerjaan denga n menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat


listrik bertegangan di atas 50 volt;

d. pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas;

e. pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim


atau kecepatan angin yang tinggi;

f. pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran


yang melebihi nilai ambang batas (NAB);

g. pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan


radioaktif;

h. pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat


bahaya radiasi mengion;

i. pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu;

j. pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik,


kebakaran dan/atau peledakan.

2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia

a. pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan


(exposure) bahan kimia berbahaya;

b. pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan


bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar,
mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik
dan/atau teratogenik;

c. pekerjaan yang menggunakan asbes;

d. pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau


mengangkut pestisida.

3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis

a. pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan
sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik,
penyamakan kulit, pencucian getah/karet;

b. pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging


hewan;

c. pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah


susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang;

d. pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil- hasil pertanian;

e. pekerjaan penangkaran binatang buas.

C. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu :

1. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan.

2. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti


penebangan, pengangkutan dan bongkar muat.

3. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg


untuk anak laki- laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan.

4. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci.

5. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan


laut dalam.

6. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil.

7. Pekerjaan di kapal.

8. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau


daur ulang barang-barang bekas.

9. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00 ? 06.00

JENIS-JENIS PEKERJAAN YANG MEMBAHAYAKAN MORAL ANAK


1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti
pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi.
2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang
seksualitas dan/atau rokok.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 255 TH 2003

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 255/MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat (4) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka perlu
ditetapkan tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan
lembaga kerjasama bipartit;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 121; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);

2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN
SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Lembaga kerjasama bipartit yang selanjutnya disebut LKS Bipartit adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
2. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
6. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

FUNGSI DAN TUGAS


Pasal 2
Fungsi LKS Bipartit adalah :
a. sebagai forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah antara pengusaha dan
wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan;
b. sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di perusahaan guna
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh yang
menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan ketenangan kerja.

Pasal 3

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 LKS Bipartit


mempunyai tugas :

a. melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila


diperlukan;
b. mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh berkaitan
dengan kesejahteraan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha;
c. melakukan deteksi dini dan menampung permasalahan hubungan industrial di
perusahaan;
d. menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pengusaha dalam penetapan
kebijakan perusahaan;
e. menyampaikan saran dan pendapat kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.

BAB III

TATA CARA PEMBENTUKAN

Pasal 4
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh
atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit.
(2) LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh unsur pengusaha
dan unsur pekerja/buruh.
Pasal 5
Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut:
1. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan
semua pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut,
maka secara otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit.
2. Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang
dipilih secara demokratis.
3. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara
proporsional.
4. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
5. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh, menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit secara proporsional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara
demokratis.
Pasal 6
Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 melaksanakan pertemuan untuk :
a. membentuk LKS Bipartit;
b. menetapkan anggota LKS Bipartit.
Pasal 7
Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut:
a. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil
pekerja/buruh mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan
menetapkan anggota LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6;
b. anggota lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan
menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
c. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 8
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Untuk dapat dicatat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengurus LKS Bipartit
menyampaikan pemberitahuan tertulis baik langsung maupun tidak langsung
dengan dilampiri berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan,
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan nomor
bukti pencatatan.

BAB V

KEANGGOTAAN

Pasal 9
Keanggotaan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh
dengan komposisi perbandingan 1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 20 (dua puluh)
orang.
Pasal 10
(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua,
seorang sekretaris dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara wakil
pengusaha dan wakil pekerja/buruh.

Pasal 11

(1) Masa kerja keanggotaan LKS Bipartit 2 (dua) tahun.


(2) Pergantian keanggotaan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat
dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.
(3) Pergantian keanggotaan LKS Bipartit diberitahukan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

Pasal 12
Masa jabatan keanggotaan LKS Bipartit berakhir apabila:
a. meninggal dunia;

b. mutasi atau keluar dari perusahaan;

d. mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;

e. diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;

d. sebab-sebab lain yang menghalangi tugas-tugas dalam keanggotaan lembaga.

BAB VI

MEKANISME KERJA

Pasal 13

(1) LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam


sebulan atau setiap kali dipandang perlu.
(2) Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur pekerja/buruh atau
dari pengurus LKS Bipartit.
(3) LKS Bipartit menetapkan dan membahas agenda pertemuan sesuai kebutuhan.
(4) Hubungan kerja LKS Bipartit dengan lembaga lainnya di perusahaan bersifat
koordinatif, konsultatif, dan komunikatif.

BAB VII

PEMBINAAN
Pasal 14

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


bersama dengan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
mengadakan pembinaan terhadap LKS Bipartit.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. sosialisasi kepada pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh dalam rangka pembentukan LKS Bipartit;
b. memberikan bimbingan dalam rangka pembentukan dan pengembangan
LKS Bipartit.

BAB VIII

PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN

Pasal 15

Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS

Bipartit dibebankan kepada pengusaha.

Pasal 16

Kegiatan LKS Bipartit secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

BAB IX

PENUTU P

Pasal 17

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini, maka Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-328/MEN/1986 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit dinyatakan
tidak berlaku lagi.

Pasal 18

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 230 /MEN/2003

TENTANG

GOLONGAN DAN JABATAN TERTENTU

YANG DAPAT DIPUNGUT BIAYA PENEMPATAN TENAGA KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 38 ayat (3) Undang- undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
tentang golongan dan jabatan tertentu yang dapat dipungut
biaya penempatan tenaga kerja;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981, tentang Wajib Lapor


Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3201);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279 );

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952);

6. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang Pengesahan


ILO Convention Nomor 88 mengenai Lembaga Pelayanan
Penempatan Tenaga Kerja;

7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG GOLONGAN DAN JABATAN
TERTENTU YANG DAPAT DIPUNGUT BIAYA PENEMPATAN TENAGA
KERJA.

BAB I

PENGERTIAN

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disebut LPTKS adalah
lembaga yang berbadan hukum yang memiliki ijin untuk melaksanakan pelayanan
penempatan tenaga kerja.

Pasal 2

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.

Pasal 3

Pemberi kerja yang akan mempekerjakan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja baik
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan maupun
LPTKS.

Pasal 4

(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pemberi kerja.

(2) LPTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan tertentu.

Pasal 5

(1) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
adalah :

a. golongan pimpinan dengan jabatan manajer atau yang sederajat;

b. golongan supervisi dengan jabatan supervisor atau yang sederajat;

c. golongan pelaksana dengan jabatan operator atau yang sederajat;

d. golongan professional dengan syarat pendidikan strata satu (S1) ditambah


pendidikan profesi.

(2) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima upah
sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali upah minimum yang berlaku diwilayah setempat.

BAB II

BIAYA PENEMPATAN

Pasal 6

(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan antara pemberi dan LPTKS.

(2) Pemberi kerja dilarang membebankan biaya penempatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Pasal 7

(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari tenaga kerja
golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan LPTKS dan besarnya tidak
melebihi 1 (satu) bulan upah yang diterima.

(2) Biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangsur sekurang-
kurangnya 5 (lima) kali.

Pasal 8

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebelum selesainya angsuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), pekerja/buruh dibebaskan dari kewajiban membayar
kekurangan angsuran.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 51/MEN/IV/2004

TENTANG

ISTIRAHAT PANJANG PADA PERUSAHAAN TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan,
perlu diatur mengenai perusahaan tertentu yang wajib melaksanakan istirahat
panjang ;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri ;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-


undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia
untuk Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4) ;

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3201) ;

3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( Lembaran


Negara Republik IndonesiaTahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) ;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang


Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal


Memperhatikan : 1.
23 Maret 2004 ;

Kesepakatan Rapat Pleno Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional


2.
tanggal 23 Maret 2004 ;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG ISTIRAHAT PANJANG PADA
PERUSAHAAN TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja 6 (enam)
tahun secara terus menerus
pada perusahaan yang sama.

2. Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.

3. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama ini telah
melaksanakan istirahat
panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini.

Pasal 3

(1) Pekerja/buruh yang melaksanakan hak istirahat panjang pada tahun ketujuh dan kedelapan, tidak
berhak atas istirahat tahunan
pada tahun tersebut;
?????

(2) Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada
pelaksanaan istirahat tahun
kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji.

(3) Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.

Pasal 4

(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh tentang saat timbulnya hak
istirahat
panjang selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh) hari sebelum hak istirahat panjang timbul.

(2) Hak istirahat panjang gugur apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak hak atas istirahat panjang
tersebut
timbul pekerja/buruh tidak mempergunakan haknya.

(3) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak gugur apabila pekerja/buruh tidak
dapat
mempergunakan haknya.

Pasal 5

(1) Perusahaan dapat menunda pelaksanaan istirahat panjang untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak
timbulnya hak atas istirahat panjang dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh dan atau
perusahaan.

(2) Penundaan pelaksanaan istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur dalam
perjanjian kerja bersama.

Pasal 6

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi pekerja/buruh belum mempergunakan hak istirahat
panjangnya dan hak tersebut belum
gugur atau pengusaha menunda pelaksanaan istirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas
suatu pembayaran upah dan
kompensansi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima.

Pasal 7

(1) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang lebih baik dari ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan dalam Keputusan Menteri ini, maka perusahaan
tidak boleh mengurangi hal
tersebut.

(2) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang kepada pekerja/buruh tetapi lebih
rendah dari ketentuan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri ini, maka perusahaan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut.

Pasal 8

Pelaksanaan istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.

Pasal 9

Menteri dapat menetapkan perubahan perusahaan yang wajib memberikan istirahat panjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan perkembangan ketenagakerjaan.

Pasal 10
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 229 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN


LEMBAGA PELATIHAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA ,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14, ayat (4) dan

Pasal 17 ayat (6) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan Tata Cara

Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan

Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang tentang
Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4235);
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 10 Juli 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional


tanggal 25 September 2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN

PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,


meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

2. Program pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana
pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan
penetapan kelulusan peserta pelatihan.

3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.

4. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau


perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.

5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah atau lembaga
pelatihan kerja swasta atau perusahaan.

BAB II

PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

Pasal 3

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta wajib memiliki izin.

(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan tanpa


memungut biaya tidak wajib memiliki izin.

Pasal 4

(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diterbitkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dalam menerbitkan izin wajib mempertimbangkan tingkat
resiko bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan peserta pelatihan serta
lingkungan tempat dilaksanakannya pelatihan kerja.

Pasal 5

(1) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, wajib
mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang melakukan pelatihan kerja bagi
pekerjanya/buruhnya dan/atau melatih masyarakat umum tanpa memungut biaya,
wajib mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

Pasal 6

Izin dan tanda daftar lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (1) hanya berlaku di wilayah kerja instansi penerbit izin dan tanda
daftar.

BAB III

SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN

Pasal 7

(1) Badan hukum atau perorangan yang akan mendapatkan izin sebagai lembaga
pelatihan kerja, mengajukan permohonan dilampiri dengan:

a. copy surat pengesahan sebagai badan hukum atau kartu tanda penduduk
bagi pemohon perorangan;

b. copy surat izin gangguan dari instansi yang berwenang;

c. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggung jawab


lembaga dan program, tenaga kepelatihan;

d. keterangan domisili lembaga dari kelurahan atau desa setempat;

e. copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan
program pelatihan yang akan diselenggarakan;

f. program pelatihan kerja (kurikulum dan silabus);

g. struktur organisasi yang sekurang-kurangnya terdiri dari :

g.1. penanggung jawab lembaga pelatihan kerja;

g.2. penanggung jawab program pelatihan kerja;

g.3. tenaga kepelatihan;

h. copy deposito atas nama penanggung jawab lembaga pelatihan kerja yang
besarnya sesuai dengan biaya program pelatihan kerja yang diajukan;

i. surat penunjukan sebagai cabang dari lembaga pelatihan kerja di luar negeri
bagi lembaga pelatihan kerja yang merupakan cabang dari lembaga
pelatihan kerja di luar negeri.

(2) Untuk menentukan jumlah deposito yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf h, pemohon harus menyusun biaya program pelatihan kerja
berdasarkan struktur anggaran yang akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

Pasal 8

Dalam hal persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) telah
dilengkapi, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota melakukan verifikasi untuk membuktikan kebenaran persyaratan.

Pasal 9

(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Tim yang ditunjuk
oleh pejabat yang berwenang, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari unsur
organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang menangani pelatihan kerja dan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin lembaga pelatihan kerja dalam waktu paling lama 6 (enam) hari
kerja terhitung sejak tanggal selesainya verifikasi.

(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin, membuat surat penolakan pemberian izin kepada pemohon
disertai dengan alasannya dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja terhitung
sejak tanggal selesainya verifikasi.

Pasal 10

(1) Izin lembaga pelatihan kerja dapat diberikan sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang sama.

(2) Instansi penerbit izin dapat memperpanjang izin lembaga pelatihan kerja apabila
lembaga pelatihan kerja tersebut mempunyai kinerja yang baik.

(3) Kriteria penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

Pasal 11

(1) Bagi lembaga pelatihan kerja yang akan menambah jenis program pelatihan kerja
harus mendapat izin penambahan program pelatihan kerja dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.

(2) Permohonan izin penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilampiri dengan :

a. kurikulum dan silabus program pelatihan kerja yang baru;

b. daftar nama dan riwayat hidup instruktur pelatihan kerja bagi program yang
diusulkan;

c. tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana pelatihan kerja (tempat


dan gedung) untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;

d. tanda bukti memiliki fasilitas pelatihan (peralatan, mesin dan fasilitas


pendukung lainnya) sesuai dengan program pelatihan yang diusulkan;

e. copy saldo akhir rekening giro lembaga pelatihan kerja yang besarannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderar Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
Dalam Negeri.
BAB IV

SYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN

Pasal 12

Pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan


kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
dengan melampirkan :

a. surat keterangan keberadaan lembaga/unit pelatihan kerja dari instansi yang


membawahi lembaga/unit pelatihan kerja;

b. struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;

c. nama penanggung jawab;

d. program pelatihan yang diselenggarakan;

e. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan lainnya;

f. daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.

Pasal 13

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota


harus menerbitkan tanda daftar paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah seluruh syarat administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dipenuhi.

(2) Apabila setelah 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanda
daftar tidak atau belum diterbitkan, maka lembaga pelatihan kerja dapat
melaksanakan kegiatan pelatihan kerja.

BAB V

PELAPORAN

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja wajib melaporkan kegiatannya kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota setempat
secara periodik 6 (enam) bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada
instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Provinsi dan
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat


tentang jenis kejuruan, tingkat program pelatihan kerja yang dilaksanakan,
jumlah peserta dan jumlah lulusan.
BAB VI

PENGHENTIAN SEMENTARA PROGRAM, PENGHENTIAN

PROGRAM DAN PENCABUTAN IZIN LEMBAGA PELATIHAN KERJA

Pasal 15

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota


dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja,
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata :

a. tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program; atau

b. tidak sesuai dengan kurikulum; atau

c. sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program; atau

d. berkurangnya jumlah deposito atau giro yang dipersyaratkan.

(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

(3) Selama dalam masa penghentian sementara penyelenggara pelatihan kerja


dilarang menerima peserta pelatihan kerja baru untuk program pelatihan kerja
yang dihentikan sementara.

Pasal 16

(1) Dalam hal penyelenggara pelatihan kerja setelah 6 (enam) bulan masa
penghentian sementara masih belum memenuhi kewajiban yang diperintahkan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan program pelatihan kerja tersebut.

(2) Penyelenggara pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada peserta.

(3) Penyelenggara pelatihan kerja dapat mengajukan kembali program yang telah
dihentikan dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

Pasal 17

(1) Apabila lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tetap
melaksanakan program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang bersangkutan.

(2) Penyelenggara program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada seluruh peserta pelatihan.
Pasal 18

Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama
kurun waktu 1 (satu) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang
bersangkutan.

Pasal 19

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat


membatalkan tanda daftar lembaga pelatihan kerja milik perusahaan yang melaksanakan
program pelatihan kerja bagi masyarakat umum dengan memungut biaya dan lembaga
pelatihan kerja tersebut dianggap menyelenggarakan pelatihan kerja tanpa izin.

BAB VII

PEMBINAAN

Pasal 20

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota


melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap lembaga pelatihan kerja.

(2) Bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
terhadap program pelatihan kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, ketersediaan
dan kualitas tenaga kepelatihan, penerapan metode dan system pelaksanaan
pelatihan kerja.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor KEP-149/MEN/2000 tentang Tata Cara Perizinan Lembaga
Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 22

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 232 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 232/MEN/2003

TENTANG

AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA YANG TIDAK SAH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 142 ayat (2) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur
akibat hukum mogok kerja yang tidak sah;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan: 1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit

Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG AKIBAT HUKUM MOGOK KERJA
YANG TIDAK SAH.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan


secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.

4. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

Pasal 2

Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat


buruh yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 3

Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan :


a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau

b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di


bidang ketenagakerjaan; dan/atau

c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok


kerja; dan/atau

d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c,
dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 4

Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak


tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat
disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat
pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada
pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau
perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh
para pihak dalam risalah perundingan.

Pasal 5

Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan
yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh
pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak
sah.

Pasal 6

(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dikualifikasikan sebagai mangkir.

(2) Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.

(3) Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) maka dianggap mengundurkan diri.

Pasal 7

(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dikualifikasikan sebagai mangkir.

(2) Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan
dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

Pasal 8
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 233 TH 2003

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 233 /MEN/2003
TENTANG
JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 85 ayat (4) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
ditetapkan mengenai jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan
secara terus menerus;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut
jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau
dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.


Pasal 2
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk
pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara
terus menerus.
Pasal 3
(1) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yakni :
a. pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;
b. pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
c. pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
d. pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
e. pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
f. pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih
(PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
g. pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;
h. pekerjaan di bidang media masa;
i. pekerjaan di bidang pengamanan;
j. pekerjaan di lembaga konservasi;
k. pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses
produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat
produksi.
(2) Menteri dapat mengubah jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sesuai dengan perkembangan.
Pasal 4
Dalam keadaan tertentu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari
libur resmi berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Pasal 5
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3 dan Pasal 4 wajib membayar upah kerja lembur kepada pekerja/buruh.
Pasal 6
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 231 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 90 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai tata cara penangguhan
pelaksanaan upah minimum;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu


ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang


Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi


Perburuhan Internasional No. 100 mengenai Pengupahan yang Sama Bagi Buruh Laki-
laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 171 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2153);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3201);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839);

5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh


(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);

6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan


Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54);

8. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet


Gotong Royong.

Memperhatikan :

1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 31


Juli 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 9 Oktober


2003;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH
MINIMUM.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Upah minimum adalah upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur.

2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

3. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di


Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

Pasal 3

(1) Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud


dalam pasal 2 ayat (2) diajukan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum.

(2) Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat.

(3) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) Serikat Pekerja /Serikat Buruh yang
memiliki anggota lebih 50 % dari seluruh pekerja di perusahaan , maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(4) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50 % (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja /serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja / buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) atau ayat (5) tidak
terpenuhi, maka para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan anggota masing masing serikat
pekerja/serikat buruh.

(7) Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
perundingan untuk menyepakati penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat
antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mendapat mandat untuk mewakili
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) penerima upah minimum di perusahaan.

(8) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
perundingan secara mendalam, jujur, dan terbuka.

Pasal 4

(1) Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum harus disertai dengan :

a. naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat


pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;

b. laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan


rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;

c. salinan akte pendirian perusahaan;

d. data upah menurut jabatan pekerja/buruh;

e. jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang


dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum;

f. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta


rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang;

(2) Dalam hal perusahaan berbadan hukum laporan keuangan perusahaan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus sudah diaudit oleh akuntan
publik.

(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila


diperlukan Gubernur dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa keadaan
keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.

(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur


menetapkan penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah
minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan
Provinsi.

Pasal 5

(1) Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)


ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan :

a. membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;

b. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih
rendah dari upah minimum baru, atau;

c. menaikkan upah minimum secara bertahap.

(3) Setelah berakhirnya izin penangguhan, maka pengusaha wajib melaksanakan

ketentuan upah minimum yang baru.

Pasal 6

(1) Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh Gubernur.

(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir dan
belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka
permohonan penangguhan dianggap telah disetujui.

Pasal 7

(1) Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha


yang bersangkutan tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima
pekerja/buruh.

(2) Dalam hal permohonan penangguhan ditolak Gubernur, maka upah yang diberikan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, sekurang-kurangnya sama dengan upah
minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah
minimum yang baru.

Pasal 8

Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka segala peraturan perundang-


undangan yang bertentangan dengan keputusan ini dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003


MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWA WEA


PERATURAN MENTERI NO. 01 TH 2006

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

NOMOR : PER-01/MEN/I/2006

TENTANG

PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,

Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah Minimum Provinsi
ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah minimum;

b. bahwa sebagian besar Upah Minimum Provinsi tahun 2006


terlambat ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a
sehingga mempengaruhi persiapan pelaksanaannya;

c. bahwa keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf b,


disebabkan adanya transisi dari Komisi Penelitian Pengupahan
dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan kepada Dewan
Pengupahan sesuai Keputusan Presiden Indonesia Nomor 107
Tahun 2004 dan sebagai tindak lanjut Pelaksanaan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-
17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a, b, c, perlu pengaturan lebih lanjut batas waktu
pengajuan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum Tahun
2006 yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Mengingat : 1 . Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun


2204 tentang Dewan Pengupahan;

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun


2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhior
dengan Keputusan PResiden Nomor 20/P Tahun 2005;

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republlik


Indonesia Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal
1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11 , Pasal 20 dan
Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


KEP-231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan
Pelaksanaan Upah Minimum;

Memperhatikan Hasil monitoring dan evaluasi penetapan Upah Minimum Provinsi


: dan/atau Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASSI TENTANG PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI NOMOR KEP-231/MEN/2003 TENTANG
TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH
MINIMUM.

Pasal1

Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2006.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari


upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum,


maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan
upah minimum.

(3) Permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi


Tahun 2006 yang penetapannya dilakukan sesudah bulan
Oktober Tahun 2005, dan permohonan penangguhan Upah
Minimum dapat/Kota Tahun 2006 yang penetapannya
dilakukan sesudah tanggal 20 Nopember 2005 tetap dapat
dilakukan paling lambat 50 hari sejak tanggal penetapan Upah
Minimum Provinsi atau 30 hari sejak tanggal penetapan UPah
Minimum Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

(4) Syarat-syarat permohonan penagguhan pelaksanaan Upah


Minimum Tahun 2006 dilakukan sesuai dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-231
/MEN/2003 kecuali yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ERMAN SUPARNO
KEPMEN NO. 101 TH 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.101/MEN/VI/2004

TENTANG

TATA CARA PERIJINAN


PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksana Pasal 66 ayat (3) Undang-undang


Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
diatur mengenai tata cara perijinan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang- undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk
Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor
4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1 Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 20 April 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 23 April 2004;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
TATA CARA PERIJINAN PERUSAHAAN PENYEDIA
JASA/BURUH.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan muliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudkan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurusan dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau nimbalan dalam
bentuk lain.
4. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam
kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di
perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi

Pasal 2

(1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan


wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa
pekerja/ buruh.
(2) Untuk mendapatkan ijinoperasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
perusahaan menyampaikan permohonan dengan melampirkan:
a. copy pengesahan sebagai badab hukum berbentuk Perseorangan Terbatas
atau Koperasi;
b. copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia
jasa pekerja/buruh;
c. copy SIUP;
d. copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan ijin operasional terhadap
permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dalam waktu paling lama 30m (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.

Pasal 3

Ijin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku di seluruh Indonesia


untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 4

Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan


pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya memuat :

a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud
huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa
dengan pekerja/buruh yang dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan -enyedia jasa pekerja/buruh;
c. penegasan bahwa perusahaan penydia jasaja/burh bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk
jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Pasal 5

(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus didaftarkan pada


instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan
(2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh melaksanakan
pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih
dari satu kabupaten/kota dalam satu proinsi, maka pendaftaran dilakukan
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan
pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu
provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial.
(4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) harus melampirkan draft perjanjian kerja.

Pasal 6

(1) Dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pejabat


instansi yang bertanggung jawaab di bidang ketenagakerjaan melakukan
perjanjian tersebut;
(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menerbitkan bukti pendaftaran.
(3) Dalam hal terdaftar ketentuan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 4,
maka pejabat yang bertnaggung jawab di bidang ketenagakerjaan membuat
catatan pada bukti pendaftaran bahwa perjanjian dimaksud tidak sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 4.

Pasal 7

(1) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan


perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang bertanggung
jawab di bdang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang
bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pasal 8

Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004

MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 100 TH 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004

TENTANG

KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU


TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 59 ayat (8) Undang-undang
Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai
perjanjian kerja waktu tertentu;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang- undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4 ).

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);

3. Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M tahun


2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 6 April 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN
PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU
TERTENTU.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah


perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT
adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap
3. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;.
b.Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 2

(1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.

BAB II

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI


ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA
PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN

Pasal 3

(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah
PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun
karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat
dilakukan pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian.

BAB III

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERSIFAT MUSIMAN

Pasal 4

(1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya


tergantung pada musim atau cuaca.

(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.

Pasal 5

(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.

(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

Pasal 6

Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan tambahan.

Pasal 7

PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan
pembaharuan.

BAB IV

PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN


DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8

(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali
paling lama 1 (satu) tahun.

(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan
pembaharuan.

Pasal 9

PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi


pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan
yang biasa dilakukan perusahaan.

BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS

Pasal 10

(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian atau lepas.

(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari
dalam 1 (satu)bulan.

(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi PKWTT.

Pasal 11

Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu
PKWT pada umumnya.

Pasal 12
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara
tertulis dengan para pekerja/buruh.

(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat :

a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.


b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.

(3) Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan


kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.

BAB VI

PENCATATAN PKWT

Pasal 13

PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak penandatanganan.

Pasal 14

Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka
yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2).

BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT

Pasal 15

(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru menyimpang dari ketentua n Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.

(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.

(5) Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh


dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri


Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian
Lepas, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, masih tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga


Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan
Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 18

Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 21 Juni 2004

MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004

TENTANG

TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN


PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN KERJA BERSAMA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 115 dan Pasal 133 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu dia
tentang tata cara pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 No
4) ;

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomo
60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) ;
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) ;

4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;

5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) ;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otono
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3959) ;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;

2. Hasil Sidang Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CA
PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN
KERJA BERSAMA.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

2. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/se
buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

3. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta mau
milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ;

b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.

5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II

TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN

Pasal 2

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat peraturan perusahaan.

(2) Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dala
peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebu
harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang- undangan.

Pasal 3

(1) Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan
terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha.

(3) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada
perusahaan.

(4) Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.

(5) Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusah
tersebut, maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus serikat pekerja/buruh harus juga mememperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 4

(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) peraturan perusahaan yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.

(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat peraturan perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta d
dibuat peraturan perusahaan turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.

(3) Peraturan perusahaan induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan peraturan perusahaan turunan
memuat pelaksanaan peraturan perusahaan induk, yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.

(4) Dalam hal peraturan perusahaan induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang perusahaa
maka selama peraturan perusahaan turunan belum disahkan, tetap berlaku peraturan perusahaan induk.

(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka peratu
perusahaan dibuat oleh masing- masing perusahaan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3.

Pasal 5
Pembuatan peraturan perusahaan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha, sedangkan masukan yang disampaikan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh bersifat saran dan pertimbangan, sehingga pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat
diperselisihkan.

Pasal 6

(1) Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan peraturan perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk mendapa
saran dan pertimbangan.

(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan peraturan perusahaan sebagaima
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal deterimanya naskah rancan
peraturan perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.

(3) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ay
(2), maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan serikat pekerja/serikat buruh dan atau wakil pekerja/buruh tersebut.

(4) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh tidak
memberikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan peraturan perusahaan disertai bukti bahwa pengusaha tela
meminta saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

BAB III

PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN

Pasal7

Pengesahan peraturan perusahaan dilakukan oleh :

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilay
Kabupaten/Kota.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari
1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi.

Pasal 8

(1) Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melengkapi :

a. permohonan tertulis memuat :


a.1. nama dan alamat perusahaan;
a.2. nama pimpinan perusahaan;
a.3. wilayah operasi perusahaan;
a.4. status perusahaan;
a.5. jenis/bidang usaha;
a.6. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
a.7. status hubungan kerja;
a.8. upah tertinggi dan terendah;
a.9. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada);
a.10. nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (apabila ada);
a.11. masa berlakunya peraturan perusahaan; dan
a.12. pengesahan peraturan perusahaan untuk yang keberapa.

b. naskah peraturan perusahaan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh pengusaha;

c. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada
serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
meneliti materi peraturan perusahaan yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang berlaku.

(4) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu palin
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.

(5) Dalam hal pengajuan pengesahan peraturan perusahaan tidak memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan/atau terdapat
materi peraturan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 mengembal
secara tertulis permohonan pengesahan peraturan kepada pengusaha dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan
permohonan pengesahan, untuk dilengkapi atau diperbaiki.

(6) Perusahaan wajib menyampaikan peraturan perusahaan yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya pengembalian peraturan perusahaan.

(7) Apabila pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 (lima) maka perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan
permohonan pengesahan peraturan perusahaan, sehingga dapat dianggap belum memiliki peraturan perusahaan.

(8) Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Pasal 9

(1) Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerj
bersama atau disahkannya peraturan perusahaan yang baru.

(2) Dalam hal di perusahaan telah dilakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan, maka pengusah
wajib mengajukan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan.

Pasal 10

(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi peraturan perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya peraturan perusahaan, m
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Peraturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat pengesahan kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(3) Apabila perusahaan tidak mengajukan permohonan pengesahan perubahan peraturan perusahaan, maka perubahan itu dianggap tidak ada.

Pasal 11

(1) Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan peraturan perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir masa
berlakunya peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.

(2) Pengajuan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
dalam Pasal 8 ayat (2).

(3) Apabila dalam pembaharuan peraturan perusahaan terdapat perubahan materi dari peraturan perusahaan sebelumnya, maka perubahan materi
tersebut harus didasarkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.

BAB IV

PERSYARATAN PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Pasal 12

(1) Perjanjian kera bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

(2) Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan kemaua n bebas kedua belah pihak.

(3) Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan
dituangkan dalam tata tertib perundingan.

Pasal 13

(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.

(2) Dalam hal perusahaan yang perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat perjanjian kerja bersama induk yang berlaku di semua
perusahaan serta
dapat dibuat perjanjian kerja bersama turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.

(3) Perjanjian kerja bersama induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum diseluruh cabang perusahaan dan perjanjian kerja bersama tur
memuat pelaksanaan perjanjian kerja bersama induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.

(4) Dalam hal perjanjian kerja bersama induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya perjanjian kerja bersama turunan di cabang
perusahaan, maka selama perjanjian kerja bersama turunan belum disepakati tetap berlaku perjanjian kerja bersama induk.

Pasal 14

Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka perjanjian
bersama dibuat dan dirundingkan oleh masing- masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan.

Pasal 15

Pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dari serikat pekerja/serikat buruh apabila :

a. serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan peratur
pelaksanaannya ;

b. memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 16

(1) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persera
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuata
Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh da
wakil-wakil dari pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Panitia yang terbentuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengumumkan tanggal pemungutan suara selambat- lambatnya 24 (dua puluh emp
hari sebelum tanggal pemungutan suara.

(4) Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberitahukan tanggal pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan pemungutan suara .

(5) Serikat pekerja/serikat buruh diberi kesempatan menjelaskan program pembuatan perjanjian kerja bersama dalam waktu 14 (empat belas) hari, d
dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah tanggal diumumkannya pemungutan suara.

(6) Pelaksanaan penjelasan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan diluar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh ser
pekerja/serikat
buruh dan pengusaha.

(7) Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum dilaksanakan pemungutan suara ternyata serikat pekerja/serikat buruh dapat
membuktikan keanggotaannya kepada pengusaha bahwa serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka pemungutan suara tidak perlu dilaksanakan.

(8) Panitia pemungutan suara harus menyesuaikan waktu pelaksanaan pemungutan suara dengan jadwal kerja para pekerja/buruh sehingga tidak
mengganggu proses produksi.
(9) Tempat pemungutan suara ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penitia dengan pengusaha.

(10) Hasil pemungutan suara sah, setelah ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi.

Pasal 17

(1) Tempat perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat
buruh atau ditempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

(2) Biaya perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.

Pasal 18

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(2) Dalam hal penentuan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui verifikasi keanggotaan serikat
pekerja/serkat buruh maka verifikasi dilakukan oleh panitia yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaa
dengan disaksikan oleh wakil instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.

(3) Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota ses
Pasal 121 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan apabila terdapat kartu tanda anggota lebih dari 1 (satu), maka kartu tanda anggota yang sah adalah ka
tanda anggota yang terakhir.

(4) Hasil pelaksanaan verifikasi dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi sebagaimana dimaksud dala
ayat (2) yang hasilnya mengikat bagi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.

(5) Pelaksanaan verifikasi dilakukan di tempat-tempat kerja yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses produksi dalam waktu
(satu) hari kerja yang disepakati serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Pengusaha maupun serikat pekerja/serikat buruh dilarang melakukan tindakan yang mempengaruhi pelaksanaan verifikasi.

Pasal 19

Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat :

a. tujuan pembuatan tata tertib;


b. susunan tim perunding;
c. materi perundingan;
d. tempat perundingan;
e. tata cara perundingan;
f. cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
g. sahnya perundingan;
h. biaya perundingan.

Pasal 20

(1) Dalam menentukan tim perunding pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pih
serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuatu kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang
dengan kuasa penuh.

(2) Dalam hal terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang tidak terwakili dalam tim perunding, maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkuta
dapat menyampaikan aspirasinya secara tertulis kepada tim perunding sebelum dimulai perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.

Pasal 21

Perjanjian kerja bersama sekurang-kurangnya harus memuat :


a. nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
b. nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
c. nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
d. hak dan kewajiban pengusaha;
e. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
f. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
g. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Pasal 22

Apabila pembuatan perjanjian kerja bersama ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada perjanjian kerja bersama
tersebut.

Pasal 23

(1) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, maka ke 2 (dua) belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
perundingan gagal.

(2) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwala
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada
waktunya yang memuat :

a. materi perjanjian kerja bersama yang belum dicapai kesepakatan;


b. pendirian para pihak;
c. risalah perundingan;
d. tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.

(3) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka salah sat
pihak atau kedua belah pihak melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Instansi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) adalah :

a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama hanya
mencakup satu Kabupaten/Kota;
b. Instansi yang betanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi, apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu
Kabupaten/Kota di satu Provinsi;

c. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersam
meliputi lebih dari satu Provinsi.

(5) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
Industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 .

Pasal 24

(1) Apabila penyelesaian pada instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pih
tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada Menteri untuk menetapkan lengkah- langkah
penyelesaian.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat :

a. materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai kesepakatan;


b. pendirian para pihak;
c. kesimpulan perundingan;
d. pertimbangan dan saran penyelesaian;

(3) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan Perjanjian Kerja Bersama .

(4) Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan
Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.

(5) Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial, maka gugatan diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan.
Pasal 25

(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha hendak melakukan perubahan Perjanjian Kerja Bersama yang sedang berlaku, maka
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan.

(2) Perubahan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerja
Bersama yang sedang berlaku.

BAB V

PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Pasal 26

(1) Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerja bersama kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) Pendaftaran perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan :

a. sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan;
b. sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan perjanjian kerja bersama.

(3) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan naskah Perjanjian Kerja Bersama yan
dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 27

(1) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh :

a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu)
wilayah Kabupaten/Kota;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu)
Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi;

c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu) Provinsi.

(2) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan keterangan yang memuat :

a. nama dan alamat perusahaan;


b. nama pimpinan perusahaan;
c. wilayah operasi perusahaan;
d. status permodalan perusahaan;
e. jenis atau bidang usaha;
f. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
g. status hubungan kerja;
h. upah tertinggi dan terendah;
i. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh;
j. nomor pencatatan serikat pekerja.serikat buruh;
k. jumlah anggota serikat pekerja.serikat buruh;
l. masa berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
m. pendaftaran perjanjian kerja bersama untuk yang keberapa (dalam hal perpanjangan atau pembaharuan).

(3) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diteliti oleh Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam w
paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.

(4) Penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi :

a. kelengkapan formal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);


b. materi naskah perjanjian kerja bersama yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;

(5) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah terpenuhi dan tidak ada meteri yang bertentangan dengan peratu
perundangan, maka dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerbitkan surat keputusan pendaftaran perjanjian kerja bersama.

(6) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak terpenuhi dan atau terdapat materi perjanjian kerja bersama yang bertentang
dengan peraturan perundang- undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memberi catatan pada surat keputusan pendaftaran.

(7) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) memuat mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan
ketenagakerjaan.

Pasal 28

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan perkerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

(2) Pengusaha dan serikat pekerja/buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

(1) Peraturan Perusahaan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER.02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan
dan Perundingan pembuatan Perjanjian Perburuhan masih berlaku sampai dengan berakhirnya peraturan perusahaan yang bersangkutan.

(2) Perjanjian kerja bersama yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara
Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) masih berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja bersama yang bersangkutan.

BAB VII
SANKSI

Pasal 30

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai denga
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Dengan ditetapkannnya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga kerja, transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan dan perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang
Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-97/MEN/1993 tentang
Pelimpahan Wewenang Pendaftaran Kesepakatan Kerja Bersama dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 32

Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMINGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 228 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 228 /MEN/2003

TENTANG

TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGGUNAAN


TENAGA KERJA ASING

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (4) Undang-undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur
tentang tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga
kerja asing;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

2. <![endif]> Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001


tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan : 1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 25 September 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGESAHAN
RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.

2. Tenaga kerja Indonesia pendamping yang selanjutnya disebut TKI pendamping


adalah tenaga kerja warga negara Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan
sebagai pendamping dan/atau calon pengganti TKA.

3. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

5. Pengusaha adalah :

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

6. Usaha jasa impresariat adalah usaha mendatangkan dan mengembalikan artis,


musisi, olahragawan serta pelaku seni hiburan lainnya yang berkewarga negaraan
asing.

7. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah
rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja
TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.

8. Direktur adalah Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja.

9. Direktur Jenderal yang selanjutnya disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.

Pasal 2

Pemberi Kerja TKA dalam Keputusan Menteri ini meliputi :

a. kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing atau kantor
perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia;

b. perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia;

c. badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek bantuan luar negeri;

d. badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;

e. lembaga-lembaga sosial, pendidikan, kebudayaan atau keagamaan;

f. usaha jasa impresariat.

Pasal 3

(1) Pemberi kerja yang menggunakan TKA harus memiliki RPTKA.

(2) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk
mendapatkan ijin mempekerjakan TKA.

BAB II

TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN

RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 4

(1) Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) pemberi kerja harus mengajukan permohonan dilengkapi dengan alasan
penggunaan TKA secara tertulis serta melampirkan :

a. formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;

b. surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;

c. akte pengesahan sebagai badan hukum bagi perusahaan yang berbadan


hukum;

d. keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;

e. bagan struktur organisasi perusahaan;


f. copy surat penunjukan TKI sebagai pendamping;

g. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan berdasarkan Undang-undang Nomor


7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan yang
masih berlaku.

(2) Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :

a. identitas pemberi kerja TKA;

b. jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang

bersangkutan;

c. besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;

d. jumlah TKA;

e. uraian jabatan dan persyaratan jabatan TKA;

f. lokasi kerja;

g. jangka waktu penggunaan TKA;

h. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang

dipekerjakan;

i. rencana progam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.

(3) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana
tercantum dalam lampiran I Keputusan ini.

Pasal 5

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2)
huruf b, e, h dan huruf i tidak berlaku bagi usaha jasa impresariat.

(2) Bentuk formulir RPTKA untuk usaha jasa impresariat sebagaimana tercantum
dalam lampiran II Keputusan ini.

Pasal 6

Permohonan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5
disampaikan kepada Dirjen mela lui Direktur.
Pasal 7

(1) Dirjen atau Direktur harus melakukan penelitian kelengkapan dokumen permohonan
pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), apabila dokumen
permohonan belum lengkap Dirjen atau Direktur harus memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima.

(2) Dalam hal dokumen permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Dirjen atau Direktur melakukan penilaian kelayakan permohonan penggunaan TKA
dengan berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri dan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja nasional.

(3) Dalam melakukan penilaian kelayakan penggunaan TKA Dirjen atau Direktur dapat
memanggil pemberi kerja serta berkoordinasi dengan instansi terkait.

BAB III

PENGESAHAN RENCANA
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 8

Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai dengan daftar
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Dirjen atau Direktur untuk
menerbitkan Surat Keputusan Pengesahan RPTKA.

Pasal 9

Penerbitan surat keputusan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


dilakukan oleh :

a. Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA 50 (lima puluh) orang atau lebih;

b. Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh)
orang.

Pasal 10

(1) Surat keputusan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat
:

a. alasan penggunaan TKA;

b. jabatan dan/atau kedudukan TKA;

c. besarnya upah;

d. jumlah TKA;

e. lokasi kerja TKA;


f. jangka waktu penggunaan TKA;

g. jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang ditunjuk sebagai pendamping.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku untuk usaha
jasa impresariat.

Pasal 11

RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat diberikan untuk jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan
memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.

Pasal 12

(1) Perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diajukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6.

(2) Permohonan perpanjangan RPTKA harus dilengkapi :

a. laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan;

b. surat keputusan RPTKA yang akan diperpanjang.

(2) Bentuk laporan pelaksanaan pendidikan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan Menteri ini.

Pasal 13

(1) Pemberi kerja dapat mengajukan permohonan perubahan sebelum berakhirnya jangka waktu
RPTKA.

(2) Perubahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA; dan/atau

b. perubahan jabatan; dan/atau

c. perubahan lokasi kerja .

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Dengan ditetapkan Keputusan Menteri ini, maka semua ketentuan yang bertentangan
dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JACOB NUWA WEA


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 49/MEN/2004

TENTANG

KETENTUAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 92 ayat (3) Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur ketentuan
struktur dan skala upah;
b.bahwa untuk ikut perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1.Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi


Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai
Pengupahan yang Sama Bagi Buruh Laki- laki dan Wanita untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 171 Tahun 1957, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2153);
2.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lenbaga Kerjasama Tripartit


Memperhatikan: 1.
Nasional tanggal 23 Maret 2004;
Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
2.
tanggal 23 Maret 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA TENTANG KETENTUAN STRUKTUR DAN
SKALA UPAH.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini dimaksud dengan :

1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi
atau dari yang tertinggi sampai yang terendah.
3. Skala upah adalah kisaran nilai nominal upah untuk setiap kelompok jabatan.
4. Jabatan adalah sekumpulan pekerjaan dalam organisasi perusahaan.
5. Analisa jabatan adalah proses metoda secara sistimatis untuk memperoleh data jabatan,
mengolahnya menjadi informasi jabatan yang dipergunakan untuk berbagai
kepentingan program kelembagaan, ketatalaksanaan dan Manajemen Sumber Daya
Manusia.
6. Uraian jabatan adalah ringkasan aktivitas-aktivitas yang terpenting dari suatu jabatan,
termasuk tugas dan tanggung jawab dan tingkat pelaksanaan jabatan tersebut;
7. Evaluasi jabatan adalah proses menganalisis dan menilai suatu jabatan secara
sistimatik untuk mengetahui nilai relatif bobot jabatan-jabatan dalam suatu organisasi.
8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya ;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
9.
dalam bentuk lain.

Pasal 2

Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dalam penetapan upah pekerja/buruh
diperusahaan.

Pasal 3
Dalam penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dilaksanakan melalui :
a. analisa jabatan;
b. uraian jabatan;
c. evaluasi jabatan;

Pasal 4

Dalam melakukan analisa, uraian dan evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diperlukan data/informasi
a. bidang usaha dari perusahaan yang bersangkutan;
b. tingkat teknologi yang digunakan;
c. struktur organisasi;
d. manajemen perusahaan.

Pasal 5

(1) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, merumuskan jabatan-
jabatan baik tenaga pelaksana, non manajerial, maupun manajerial dalam suatu
perusahaan.
(2) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan menghasilakan uraian
jabatan dalam organisasi perusahaaan meliputi :
a. identifikasi jabatan;
b. ringkasan tugas;
c. rincian tugas;
d. spesifikasi jabatan termasuk didalamnya :
d.1. pendidikan;
d.2. pelatihan/kursus;
d.3. pengalaman kerja;
d.4. psikologi (bakat kerja, tempramen kerja dan minat kerja);
d.5. masa kerja;
e. hasil kerja;
f. tanggung jawab.

Pasal 6

(1) Evaluasi jabatan berfungsi untuk mengukur dan menilai jabatan yang tertulis dalam
uraian jabatan dengan metoda tertentu.
(2) Faktor-faktor yang diukur dan dinilai dalam evaluasi jabatan antara lain :
a. tanggung jawab;
b. andil jabatan terhadap perusahaan;
c. resiko jabatan;
d. tingkat kesulitan jabatan;
(3) Hasil evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan antara lain :
a. penetapan upah;
b. penilaian pekerjaan;
c. penetapan kebijakan pengembangan sumber daya manusia perusahaan.

Pasal 7

Dasar pertimbangan penyusunan struktur upah dapat dilakukan melalui :


a. Struktur organisasi;
b. rasio perbedaan bobot pekerjaan antar jabatan;
c. kemampuan perusahaan;
d. upah minimum;
e. kondisi pasar.

Pasal 8

(1) Penyusunan skala upah dapat dilakukan melalui :


a. skala tunggal;
b. skala ganda.
(2) Dalam skala tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, setiap jabatan
pada golongan jabatan yang sama mempunyai upah yang sama.
(3) Dalam skala ganda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, setiap golongan
jabatan mempunyai nilai upah nominal terendah dan tertinggi.

Pasal 9

(1) Skala ganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dapat berbentuk
skala ganda berurutan dan skala tumpang tindih.
(2) Dalam hal skala ganda berurutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), upah
tertinggi pada golongan jabatan dibawahnya lebih kecil dari upah terendah pada
golongan jabatan diatasnya.

Pasal 10

(1) Petunjuk teknis penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana terlampir
merupakan pedoman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
(2) Penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi
dan mempertimbangkan kondisi perusahaan.
Pasal 11

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April
2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA

JACOB NUWA WEA

Lampiran : Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah (format PDF)
KEPMEN NO. 102 TH 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004

TENTANG

WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 78 ayat (4) Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
perlu diatur mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja
lembur;
b.bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri;

Mengingat : 1.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Repupblik Indonesia Tahun
1951 Nomor 4);
2.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);
3.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952);
5.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan 1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama


: Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004.
2.Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 23 Maret 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH
KERJA LEMBUR.

Pasal 1.

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam
1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu
kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang
ditetapkan Pemerintah.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.
(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.

Pasal 3

(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari
libur resmi.

Pasal 4

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib


membayar upah lembur.
(2) Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak
berhak atas upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan
ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi.
(3) Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana,
pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat
dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai denga peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5

Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 6

(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan
persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang
ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar
pelaksanaan kerja lemb ur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur
dan lamanya waktu kerja lembur.

Pasal 7

(1) Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur


berkewajiban :

a. membayar upah kerja lembur;


b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya ;
c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori
apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.

(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
tidak boleh diganti dengan uang.

Pasal 8

(1) Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.


(2) Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.

Pasal 9

(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan
besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi
pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau
dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah
sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3)Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata
selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah
minimum setempat.

Pasal 10

(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar
perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak
tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh
puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75
% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Pasal 11

Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :

a. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :


a.1. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu
setengah) kali upah sejam;
a.2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar
2(dua) kali upah sejam.
b. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari
libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam
seminggu maka :
b.1. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2
(dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam
dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah
sejam.
b.2. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan
upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam
keenam 3(tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4
(empat) kali upah sejam.
c. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari
libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam
seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam
pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga)
kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah
sejam.
Pasal 12

Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang
nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur
tersebut tetap berlaku.

Pasal 13

(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka
yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu)
Provinsi yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur
adalah pengawas ketenagakerjaan Provinsi.
(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

Pasal 14

Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang
menetapkan besarnya upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 15

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja


Nomor:KEP-72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur, Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-608/MEN/1989 tentang Pemberian Izin
Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Bagi Perusahaan-perusahaan
Yang Mempekerjakan Pekerja 9 (sembilan) Jam Sehari dan 54 (lima puluh empat)
Jam Seminggu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor:
PER-06/MEN/1993 tentang waktu kerja 5 (lima) Hari Seminggu dan 8 (delapan)
Jam Sehari, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 16

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004

MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


KEPMEN NO. 234 TH 2003

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.234 /MEN/2003

TENTANG

WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA


ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA DAERAH TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 77 ayat (4) dan Pasal 78


ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dipandang perlu diatur mengenai waktu
kerja dan istirahat pada sektor usaha energi dan sumber
daya mineral pada daerah tertentu;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun
2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Agustus 2003;

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit


Nasional tanggal 9 Oktober 2003.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG WAKTU
KERJA DAN ISTIRAHAT PADA SEKTOR USAHA ENERGI
DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA DAERAH TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Waktu Kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada satu
periode tertentu.
2. Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja.
3. Upah Kerja Lembur adalah upah yang harus dibayar kepada pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja.
4. Periode Kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan.
5. Daerah tertentu adalah daerah operasi kegiatan perusahaan sektor Energi dan
Sumber Daya Mineral di daerah terpencil dan atau lepas pantai.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
7. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilih dan
menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan
operasional perusahaan sebagai berikut:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
waktu kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu;
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk waktu kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu;
c. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 45 (empat puluh lima) jam
dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
d. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 50 (lima puluh) jam dalam 5
(lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
e. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 55 (lima puluh lima) jam dalam
5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
f. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 63 (enam puluh tiga) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
g. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 70 (tujuh puluh) jam dalam 7
(tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
h. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 77 (tujuh puluh tujuh) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
i. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 90 (sembilan puluh) jam dalam
10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
j. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 100 (seratus) jam dalam 10
(sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
k. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 110 (seratus sepuluh) jam
dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
l. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 126 (seratus dua puluh enam)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
m. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 140 (seratus empat puluh) jam
dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
n. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 154 (seratus lima puluh empat)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf n,
tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) jam.
(3) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n,
sudah termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan 7 (tujuh) jam 1 (satu)
hari.
Pasal 3

Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan pergantian dan atau perubahan waktu kerja dengan

memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 ayat (1).

(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh


sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.

(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), maka Pengusaha memberitahukan secara tertulis atas

perubahan tersebut kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

Pasal 5
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, wajib memberikan waktu istirahat sebagai berikut:
a. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 6 (enam) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 1 (satu) hari
istirahat.
b. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 5 (lima) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1(satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 2
(dua) hari istirahat.
(2) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, harus menggunakan perbandingan waktu
kerja dengan waktu istirahat 2 (dua) banding 1 (satu) untuk 1 (satu) periode kerja
dengan ketentuan maksimum 14 (empat belas) hari terus menerus dan istirahat
minimum 5 (lima) hari dengan upah tetap dibayar.
(3) Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat tinggal
yang diakui oleh Perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apabila
perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih.

Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau beberapa
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ternyata pekerja/buruh
dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka perusahaan wajib membayar upah
sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan.

Pasal 7

Dalam hal perusahaan memilih dan menetapkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, dan mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, maka perusahaan
wajib membayar upah kerja lembur.

Pasal 8
Dalam hal hari libur resmi jatuh pada satu periode kerja yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh Perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, maka hari libur resmi tersebut dianggap
hari kerja biasa.

Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b wajib membayar upah kerja lembur sebagai berikut :
a. apabila kerja lembur dilakukan pada hari biasa, maka :
a.1. Untuk jam kerja lembur pertama selebihnya 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja wajib dibayar upah kerja lembur
sebesar 1,5 (satu setengah) x upah sejam.
a.2. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, wajib dibayar upah kerja
lembur sebesar 2 (dua) X upah sejam.
b. apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan hari libur
resmi, maka:
b.1. untuk setiap jam dalam batas 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah kerja
lembur sekurang-kurangnya 2 (dua) x upah sejam;
b.2. untuk jam kerja pertama selebihnya 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah
kerja lembur sebesar 3 (tiga) x upah sejam;
b.3. untuk jam kerja kedua selebihnya 7 (tujuh) jam dan seterusnya, wajib
dibayar upah kerja lembur sebesar 4 (empat) x upah sejam.

Pasal 10
(1) Perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan.
(2) Upah sejam dihitung 1/173 (satu perseratus tujuh puluh tiga) dari upah sebulan.

Pasal 11
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka dasar
perhitungan upah kerja lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak
tetap, maka perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada hasil perhitungan
yang lebih besar antara 100% (seratus perseratus) upah pokok ditambah tunjangan
tetap, atau 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah keseluruhan.
Pasal 12
Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, wajib membayar upah kerja lembur setelah

7 (tujuh) jam kerja dengan perhitungan sebagai berikut :

a. untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3 ½ (tiga setengah) x upah sejam;
b. untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5 ½ (lima setengah) x upah sejam;
c. untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7 ½ (tujuh setengah) x upah sejam.

Pasal 13
(1) Perusahaan yang mengunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan

tembusan kepada Menteri.

2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat :

a. waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat;

b. jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan;

c. daftar upah kerja lembur tetap;

d. perubahan pelaksanaan waktu kerja.

Pasal 14
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : KEP-64/MEN/1997 tentang Waktu Kerja Waktu Istirahat dan Perhitungan Upah
Lembur Pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi di
Daerah Lepas Pantai atau Daerah Operasi Tertentu dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2003
TENTANG

PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION


IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI
DAN PERDAGANGAN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk menciptakan hubungan industrial


yang harmonis dan berkeadilan serta untuk menjamin penegakan
hukum dan perlindungan tenaga kerja, dilakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan;

b. bahwa ketentuan Konvensi ILO No. 81 dapat lebih menjamin


pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia sesuai
dengan standar internasional;

c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ketiga puluh


tanggal 11 Juli 1947 di Jenewa, Swiss, telah menyetujui ILO
Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry and
Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan);

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, dan


c dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce
(Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan
Dalam Industri dan Perdagangan) dengan Undang-undang;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4012);

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.


81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND
COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN).

Pasal 1

Mengesahkan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in


Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan) yang salinan naskah
aslinya dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis, dan terjemahannya
dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juli 2003

Presiden Republik Indonesia,


ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 91


PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 21 TAHUN 2003

TENTANG

PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION


IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI
DAN PERDAGANGAN)

I. UMUM

Masalah ketenagakerjaan di masa datang akan terus berkembang semakin


kompleks sehingga memerlukan penanganan yang lebih serius. Pada masa
perkembangan tersebut pergeseran nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi.
Pergeseran dimaksud tidak jarang melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan
perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil
langkah-langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang
terjadi. Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan
ketenagakerjaaan harus terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan
dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan.
Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem
mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dapat ditegakkan.

Penerapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan


untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan
pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan ketenangan kerja dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja dapat terjamin.

Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu meratifikasi ILO Convention No. 81


Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81
mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan)
sehingga pengawasan ketenagakerjaan dapat dilaksanakan secara lebih efektif
sesuai standar ILO.

II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI

1. Konvensi ILO No. 81 Tahun 1947 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan


dalam Industri dan Perdagangan meminta semua negara anggota ILO untuk
melaksanakan sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja.

2. Agar sistem pengawasan ketenagakerjaan dalam Industri dan perdagangan


mempunyai pengaturan yang sesuai dengan standar internasional sehingga
dirasa perlu untuk mengesahkan Konvensi ILO No. 81.

III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI

1. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan suatu sistem yang sangat


penting dalam penegakan atau penerapan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Penegakan atau penerapan peraturan perundang-
undangan merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh. Keseimbangan tersebut
diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan ketenangan kerja yang
pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan
tenaga kerja.

2. Agar peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat


dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan pengawasan ketenagakerjaan
yang independen dan kebijakan yang sentralistik.

3. Selama ini pengawasan ketenagakerjaan diatur dalam Undang-undang


Nomor 3 Tahun 1951 . < Keselamatan tentang 1970 Tahun 1 Nomor
Undang-undang dan Indonesia seluruh untuk Republik dari 23 1948
Perburuhan Pengawasan Berlakunya Pernyataan>SPAN>Kedua Undang-
undang tersebut secara eksplisit belum mengatur mengenai kemandirian
profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta supervisi tingkat pusat
sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 6 Konvensi
ILO Nomor 81. Dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 81 memperkuat
pengaturan pengawasan ketenagakerjaan yang diamanatkan oleh Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia


dan sebagai anggota ILO mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan
ketentuan yang bersifat internasional termasuk standar ketenagakerjaan
internasional.

IV. POKOK-POKOK KONVENSI

1. Negara anggota ILO yang memberlakukan Konvensi ini harus


melaksanakan sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja.

2. Sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja harus diterapkan di


seluruh tempat kerja berdasarkan perundang-undangan, yang
pengawasannya dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan.

3. Fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan harus :

a. menjamin penegakan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan


tenaga kerja dan peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan,
keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta
orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait.

b. memberikan informasi tentang masalah-masalah teknis kepada


pengusaha dan pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk
mentaati peraturan perundang-undangan.

c. memberitahukan kepada pemerintah mengenai terjadinya penyimpangan


atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

4. Pengawasan ketenagakerjaan harus berada di bawah supervisi dan kontrol


pemerintah pusat.

5. Pemerintah Pusat harus menetapkan peraturan-peraturan untuk


meningkatkan :

a. kerjasama yang efektif antara unit pengawasan dengan instansi


pemerintah lainnya dan swasta yang menangani kegiatan serupa.
b. kerjasama antara Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dengan
pengusaha dan pekerja/buruh atau organisasi pengusaha dan
organisasi pekerja/buruh.

6. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terdiri atas Pegawai Negeri Sipil yang


status hubungan kerja dan syarat tugasnya diatur sedemikian rupa sehingga
menjamin pelaksanaan tugas pengawasan ketenagakerjaan yang
independen.

7. Sesuai dengan syarat-syarat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil yang


ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan nasional, maka pengawas
ketenagakerjaan harus :

a. direkrut dengan memperhatikan syarat -syarat jabatan.

b. memperoleh pelatihan agar dapat menjalankan tugas sebagaimana


mestinya.

8. Persyaratan rekruitmen dan pelatihan harus ditetapkan oleh pemerintah.

9. Jumlah dan spesialisasi Pengawas Ketenagakerjaan harus mencukupi


untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugas pengawasan yang efektif.

10. Pejabat yang berwenang mempunyai kewajiban :

a. menetapkan pengaturan-pengaturan yang diperlukan agar Pengawas


Ketenagakerjaan dapat diberikan kantor lokal, perlengkapan dan
fasilitas transportasi yang memadai sesuai dengan persyaratan tugas
pekerjaan.

b. membuat pengaturan-pengaturan yang diperlukan untuk mengganti biaya


perjalanan Pengawas Ketenagakerjaan dalam pelaksanaan tugas-tugas
mereka.

11. Pengawas Ketenagakerjaan atau kantor pengawasan lokal harus


memberikan laporan secara periodik kepada kantor pengawasan pusat
mengenai hasil kegiatan pengawasan.

12. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib memberikan
laporan terhadap pelaksanaan Konvensi tersebut.

V. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara terjemahan Konvensi dalam
bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya, maka yang berlaku adalah
salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.

Pasal 2

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4309


UNDANG-UNDANG NO. 2 TH 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu


diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai- nilai Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial
menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi
dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat,
tepat, adil, dan murah;
c. bahwa Undang- undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b,
dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan?ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang- undang ini yang dimaksud dengan :

1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang


mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul


karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara


serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan


suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,


dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
12. Mediator Hubungan Industrial ya ng selanjutnya disebut mediator adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang
ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai
kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah
seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator
ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang
atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter
yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada
Pengadilan Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial
dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul
serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.

20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah
Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih
dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya- upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial.
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7

(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat


mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak.

(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.

(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan
oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama.

(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi.

(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi

Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di
setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 9

Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai


berikut :

a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima


pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:

a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu


selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama
harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada
huruf c dianggap meno lak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, maka dalam waktu selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu
para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf
e dilakukan sebagai berikut:

a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran


dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;

b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan


ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 14

(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau
salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 15

Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga


puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).

Pasal 16

Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata
kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Pasal 17

Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang


terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah
kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara
tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan
disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada
kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:
a.b. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S.1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya
5 (lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;
dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi
legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 20

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima


permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat- lambatnya pada
hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.

Pasal 21

(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industria l berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 23

(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan


industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi, maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memb erikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada
huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a, maka, dalam waktu selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator ha rus sudah selesai membantu
para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta
bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf
e dilakukan sebagai berikut:

a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran


dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;

b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf


e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di
daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak
atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.

Pasal 25

Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga


puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.

Pasal 26

(1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan


penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
(2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27

Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri
atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 28

Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator


serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Keempat

Penyelesaian Melalui Arbitrase

Pasal 29

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi


perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.

Pasal 30

(1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti
ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran
arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing
pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih.

Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tungga l, maka para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis)
dalam jumlah gasal, masing- masing pihak berhak memilih seorang arbiter
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga
ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat- lambatnya
7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai
penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih.

(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


sekurang-kurangnya memuat hal- hal sebagai berikut :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing- masing pihak dan arbiter
mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(4) Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari
perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
(1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang
bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut .
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para
pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan
Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan
alasan yang dapat diterima.

Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka
para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada
pihak yang memilih arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri
atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti
berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau
salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan
harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat- lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.

Pasal 37

Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat


pernyataan kesediaan menerima hasil- hasil yang telah dicapai dan melanjutkan
penyelesaian perkara.

Pasal 38

(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase
dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter
akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan.

Pasal 39

(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter
yang bersangkutan.

(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
kepada majelis arbiter yang bersangkutan.

Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali
perpanjangan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41

Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau


majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang
berselisih menghendaki lain.

Pasal 42

Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya
dengan surat kuasa khusus.

Pasal 43

(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa
suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut,
maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu
pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk
itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa
perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau
majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak
dapat diminta kembali oleh para pihak.

Pasal 44

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali


dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.

(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka
arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
mengadakan perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan sebagai berikut :

a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran


dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;

b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta
Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;

c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal,
arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.

Pasal 45

(1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan


untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian
masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu
untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak
untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis,
dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pasal 46

(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau
seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.

(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing- masing.

(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan


pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan
kepada pihak yang meminta.

(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada
pihak yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh
arbiter dibebankan kepada para pihak.

Pasal 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter
guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang- undang ini wajib memberikannya, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 48

Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat


berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pasal 49

Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan


yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.

Pasal 50

(1) Putusan arbitrase memuat:


a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal- hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para
pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak
yang berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.

(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan
alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya
putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
harus sudah dilaksanakan.

Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan
untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan
didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat- lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.

Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 54

Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun
atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.

BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umu m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.

Pasal 56
Pengadilan Hub ungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:

a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;


b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang- undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang
berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya
di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang
berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi
yang bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan
Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri
dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri
dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan
diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul
serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64

Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan


Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat
sebagai berikut :

a. warga negara Indonesia ;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;

d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;

e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;

f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;


g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-
Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan

h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.

Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
?Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang- undang serta peraturan
lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan
akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku?.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:

a. anggota Lembaga Tinggi Negara;


b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat
dibatalkan.
Pasal 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena :
a. meninggal dunia ;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh
tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi
buruh yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.

(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan
yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi
pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada
Hakim dan Hakim Ad-Hoc.

(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),


Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada
Hakim Kasasi.
(5) Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim
Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus
perselisihan.
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan
tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak- hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang
dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.

(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-
kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis
perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita
Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya
yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub
Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Pasal 83

(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada pengugat.

(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan,
hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.

Pasal 84

Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif
dengan memberikan kuasa khusus.

Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial hanya apabila disetujui tergugat.

Pasal 86

Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan


perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial
wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan.

Pasal 87

Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai


kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya.

Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim
yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan
memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat
tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di
tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui
orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal,
maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di
bawah sumpah.

Pasal 91

(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.

(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 92

Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 88 ayat (1).

Pasal 93

(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim
menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara
patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah
Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha
terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 155 ayat (3) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan
Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-
hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada
hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan
Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh
pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah
Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97

Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus


dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak
atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Paragraf 3

Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

Pasal 98

(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak
dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat.

(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.

(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum.

Pasal 99

(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa
melalui prosedur pemeriksaan.

(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-
masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.

Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100

Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian


yang ada, kebiasaan, dan keadilan.

Pasal 101

(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai
putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemo hon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang
jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para
pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung
sejak sidang pertama.

Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.

Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus
sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani,
Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan
perlawanan atau kasasi.
Pasal 109

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai


perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.

Pasal 110

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri


mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam
sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan
putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi
harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam
waktu selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada
Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi

Pasal 113

Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim
Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan kasasi.

BAB V

SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA

Bagian Kesatu

Sanksi Administratif

Pasal 116

(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan
yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa hukuman disip lin sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu
selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang
tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 117

(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu


selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 118

Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai


konsiliator dalam hal:
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak
3 (tiga) kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3).

Pasal 119

(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial


dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam
jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan
setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang
ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan
arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak
3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan
perselisihan yang sedang ditanganinya.

Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kedua

Ketentuan Pidana

Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan
atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 123

Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha- usaha sosial dan
usaha- usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya
diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-
undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja
yang telah diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak
dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan
tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaia n
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang- undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Pasal 126
Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004


NOMOR 6

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan

Perundang- undangan,

ttd/cap

Lambock V. Nahattands

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR ?? TAHUN ??

TENTANG

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

I. UMUM

Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara


pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan
pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan
ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan
perundang-undangan.

Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan


hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang
selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi
untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan
kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan
pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak
untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu
pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut,
maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang
harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua
belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan
Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang- undang ini akan dapat
menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima
oleh salah satu pihak.

Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh,
maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat
dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan
ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh
yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan
keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan
penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak
dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi,
karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk
menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh
secara perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh
pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan
menjadi semakin panjang.

Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak
tanpa dicampuri oleh pihak manapun.

Namun demikian pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan


masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha,
berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut.
Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas
untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.

Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi


keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa
perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur
dalam undang- undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian
sengketa di bidang hubungan industrial.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini
mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan
oleh :
a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan
ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan;
b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam
melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan;
c. pengakhiran hubungan kerja;
d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat
pekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana
dimaksud di atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai
berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi
baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan
Usaha Milik Negara.
2. Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan
maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau
organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain
dalam satu perusahaan.
3. Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan
secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih
(bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal,
maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau
Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak,
sedangkan penyelesaian perselisihan melalui abitrase atas kesepakan
kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah
pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau
arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial
terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
6. Perselisihan Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui
konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan
Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7. Dalam hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase
dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase
bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal- hal tertentu dapat diajukan
pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan
umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada
Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah,
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum
dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan
untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan
tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke
Mahkamah Agung.

11. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili


perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang
beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri
dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh.
12. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan
alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 s.d 21

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif,
yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah
perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat
pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain
dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang
berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian
perselisihan yang mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-
syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang
mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11

Ayat (1)

Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang
mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan


surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau
surat perintah lembur dan lain- lain yang dilakukan oleh orang yang
ditunjuk mediator.

Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang
rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat
bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan (Undang- undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-
lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.
Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat


atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para
pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)

Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini


sesuai dengan tatacara penyelesaian perkara perdata pada peradilan
umum.

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup Jelas.

Pasal 18

Cukup Jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Yang dimaksud dengan syarat lain dalam huruf i ini adalah


antara lain : pengaturan tentang standar kompetensi
konsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi
calon konsiliator, dan masalah teknis lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan


surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau
surat perintah lembur dan lain- lain yang dilakukan oleh orang yang
ditunjuk konsiliator.

Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang
rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat
bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan (Undang- undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-
lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.
Pasal 30

Ayat (1)

Penetapan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi


kepentingan masyarakat, oleh karena itu tidak setiap orang dapat
bertindak sebagai arbiter.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan


bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang
kompeten di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak
tidak sia-sia.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)

Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah


pernah ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter
lain.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan menerima hasil- hasil yang telah dicapai bahwa
arbiter pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin
dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga


puluh) hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani
perjanjian arbitrase.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.
Pasal 42

Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang
diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada
seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan
perkaranya yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.

Pasal 43

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ?dipanggil secara patut? dalam ayat ini


yaitu para pihak telah dipanggil berturut-turut sebanyak 3 (tiga)
kali, setiap panggilan masing- masing dalam waktu 3 (tiga) hari.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan


surat-surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau
surat perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal
pembukuan yang ditunjuk oleh arbiter.
Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang
rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat
bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari
pemilik rekening yang bersangkutan (Undang- undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain-
lain.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk


memberi kesempatan kepada pihak berselisih yang dirugikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian


hukum.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

- Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota


Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia
memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan
Hubungan Industrial yang dibentuk untuk pertama kali dengan
undang-undang ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

- Dalam hal di ibukota provinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota


dan Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan
Industrial menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kata ?segera? dalam ayat ini adalah bahwa
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu


sesuai dengan agama masing- masing, misalnya untuk penganut
agama Islam ?Demi Allah? sebelum lafal sumpah dan untuk
penganut agama Kristen/Katholik kata-kata ?Kiranya Tuhan akan
menolong saya? sesudah lafal sumpah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus


menerus adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak
mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik.

Huruf d.

Cukup jelas.

Huruf e.

Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas


misalnya sering melakukan kesalahan dalam menjalankan
tugas karena kurang mampu.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan


dan hak- hak yang menyangkut kesejahteraan.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti


dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu
Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang
memuat:

- nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;

- pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek


gugatan;

- dokumen-dokumen, surat-surat dan hal- hal lain yang dianggap


perlu oleh penggugat.

Pasal 84

Cukup jelas.
Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang


dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan,
tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat
pekerja/serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.

Pasal 88

Cukup jelas

Pasal 89

Cukup jelas

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan


perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka
permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli
harus mengikuti prosedur yang ditentukan.

Ayat (3)

Cukup jelas.
Pasal 92

Ketentuan sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang


harus dihadiri oleh Hakim dan seluruh Hakim Ad-Hoc yang telah ditunjuk
untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Ayat (1)

Permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi


gugatan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan
salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak
merugikan hak para pihak.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.
Pasal 111

Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah
Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113
Cukup jelas

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan


penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana
dan prasarana seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan
Hubungan Industrial.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR


4356
UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

TENTANG
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik


secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan
yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat pekerja,/buruh
berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh
yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;
c. bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan syarat untuk
memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan
kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b,
c perlu ditetapkan undang-undang tetang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), pasal 27, dan pasal 28 Undang-
undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya
Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1050) ;
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan
buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh
yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di
satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
3. Serikat pekerja/serikat buruh diluar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat
buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang bekerja diluar perusahaan.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Konferensi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
7. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
8. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara, yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
9. Perselisihan antar serikat pekerja/antar serikat buruh, federasi dan konferensi
serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh lain,
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerja.
10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II

ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN

Pasal 2

1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-undang Dasarf
1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh mempunyai asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh


mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

Pasal 4

1. Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.
2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
mempunyai fungsi :
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama dibidang
ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan perundang-undangan
yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham
dalam perusahaan.

BAB III
PEMBENTUKAN

Pasal 5

1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang pekerja/buruh.

Pasal 6

1. Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi


serikat pekerja/serikat buruh.
2. Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 5 (lima)
serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 7

1. Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota


konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
2. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3
(tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 8

Penjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat


pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan /atau anggaran rumah tangganya.

Pasal 9

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh


dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan
pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.

Pasal 10

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan
kehendak pekerja/buruh.

Pasal 11

1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat


pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
2. Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
harus memuat :
a. nama dan lambang;
b. dasar negara, asas, dan tujuan;
c. tanggal pendirian;
d. tempat kedudukan;
e. keanggotaan dan kepengurusan;
f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

BAB IV

KEANGGOTAAN

Pasal 12

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus
terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa,
dan jenis kelamin.

Pasal 13

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.

Pasal 14

1. Seorang pekerja /buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh disatu perusahaan.
2. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus
menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.

Pasal 15

Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu
menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak
boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.

Pasal 16

1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
2. Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari
satu konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 17

1. Pekerja/buruh dapat berhenti menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh


dengan pernyataan tertulis.
2. Pekerja/buruh dapat diberhentikan dari serikat pekerja/serikat buruh sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
3. Pekerja/buruh, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota serikat
pekerja/serikat buruh yang berhenti atau diberhentikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) tetap bertanggung jawab atas kewajiban yang belum
dipenuhinya terhadap serikat pekerja/serikat buruh.

BAB V

PEMBERITAHUAN DAN PENCATATAN

Pasal 18

1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk
dicatat.
2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri :
a. daftar nama anggota pembentuk;
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. susunan dan nama pengurus.

Pasal 19

Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang akan diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan
lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah tercatat terlebih dahulu.

Pasal 20

1. Instansi pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1), wajib


mencatat dan memberikan nomor bukti pencatatan terhadap serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat
(2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19,
selambat -lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima
pemberitahuan.
2. Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat
menangguhkan pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan
Pasal 19.
3. Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan alasan-alasannya
diberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan.

Pasal 21

Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
memberitahukan kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga tersebut.

Pasal 22

1. Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), harus


mencatat serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11,
Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19 dalam buku pencatatan dan memeliharanya
dengan baik.
2. Buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dapat dilihat
setiap saat dan terbuka untuk umum.

Pasal 23

Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara
tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 24

Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 25
1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional
dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban :

a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan


memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai
dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

BAB VII

PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI

Pasal 28

Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk


atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota
atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh dengan cara :

a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan


jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 29

1. Pengusaha harus memberikan kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota


serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang
diatur dalam perjanjian kerja bersama.
2. Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama dalam
ayat (1) harus diatur mengenai:
a. jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
b. tata cara pemberian kesempatan;
c. pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat
upah

BAB VIII

KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN

Pasal 30

Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat


buruh bersumber dari :

a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran
rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.

Pasal 31

1. Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c,
berasal dari luar negeri, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan anggota.

Pasal 32

Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi
pengurus dan anggotanya.

Pasal 33

Permintaan atau pengalihan keuangan dan harta kekayaan kepada pihak lain serta
investasi dana dan usaha lain yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 34

1. Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan


harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta
melaporkan secara berkala kepada anggotanya menurut anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

BAB IX

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 35

Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 36

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai


kesepakatan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB X

PEMBUBARAN
Pasal 37

Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar
dalam hal :

a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran rumah


tangga;
b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya yang
mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh pekerja/buruh di
perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh
diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. dinyatakan dengan putusan Pengadilan.

Pasal 38

1. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf c dapat membubarkan


serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh dalam hal:
a. serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945;
b. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/serikat buruh
terbukti melakukan kejahatan terhadap keamanan negara dan dijatuhi
pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
2. Dalam hal putusan yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, lama hukumnya tidak sama, maka
sebagai dasar gugatan pembubaran serikat pekerja/sserikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh digunakan putusan yang memenuhi
syarat.
3. Gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diajukan oleh instansi pemerintah kepada pengadilan tempat serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan berkedudukan.

Pasal 39

1. Bubarnya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat


pekerja/serikat buruh tidak melepaskan para pengurus dari tanggung jawab dan
kewajibannya, baik terhadap anggota maupun pihak lain.
2. Pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang terbukti bersalah menurut
keputusan pengadilan yang menyebabkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibubarkan, tidak boleh membentuk
dan menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh lain selama 3 (tiga) tahun sejak putusan pengadilan
mengenai pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN

Pasal 40

Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh
melaksanakan kegiatannnya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan
pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 41

Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagekerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.

BAB XII

SANKSI

Pasal 42

1. Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal
21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan nomor bukti
pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang dicabut nomor bukti pencatatan kehilangan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai dengan waktu serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal
7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31.

Pasal 43

1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
3.

BAB XIII

KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44

1. Pegawai negeri sipil mempunyai hak dan kebebasan untuk berserikat.


2. Hak dan kebebasan berserikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pelaksanaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45

1. Pada saat diundangkannya undang-undang ini serikat pekerja/serikat buruh,


federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai
nomor bukti pencatatan yang baru sesuai dengan ketentuan undang-undang ini
selambat -lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak mulai berlakunya undang-
undang ini.
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai
berlaku, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-
undang ini dianggap tidak mempunyai nomor bukti pencatatan.

Pasal 46

Pemberitahuan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi


serikat pekerja/serikat buruh yang telah diajukan, tetapi pemberitahuan tersebut belum
selesai diproses saat undang-undang ini mulai berlaku, harus diproses menurut ketentuan
undang-undang ini.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penetapannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 131


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

NO: PER-14/MEN/IV/2006

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN KETENAGAKERJAAN


DI PERUSAHAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa tata cara pelaporan ketenagakerjaan sebagaimana diatur


dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.PER-
06/MEN/1995 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di
Perusahaan, yang penyampaiannya dilaksanakan secara
langsung atau melalui pos oleh perusahaan kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota dan
selanjutnya oleh instansi yang bersangkutan diteruskan ke
instansi yang membidangi ketenagakerjaan pada Propinsi dan
Pusat yang saat ini ternyata tidak berjalan sebagaimana
mestinya sehingga Pemerintah mengalami kendala dalam
menetapkan kebijakan mengenai hubungan ketenagakerjaan,
perlindungan tenaga kerja dan kesempatan kerja secara
nasional.
b. bahwa penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a
adalah sangat penting terutama menghadapi era globalisasi yang
menuntut tersedianya data yang akurat, cepat dan terukur serta
sedapat mungkin berbasis teknologi informasi, sehingga
penetapan kebijakan dapat mengakomodir kebutuhan hubungan
ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan
kerja dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan perlakuan yang tidak memihak (fair treatment) dan
dilaksanakan seragam (equal implementation) untuk seluruh
Indonesia.
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b,
dipandang perlu untuk mengubah tata cara pelaporan
ketenagakerjaan di perusahaan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 1951).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja (Lembaran Negara R.I. Tahun 1970 Nomor 1 dan
Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 2918);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara R.I. Tahun
1981 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor
3201);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kreja (Lemabaran Negara R.I. Tahun 1992 Nomor 14
dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 348);
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 39
dan Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 4279);
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan
ILO Convension No. 81 Concerning Labour Inspection in
Industry and Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 mengenai
Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri Dan Perdagangan
(Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 91 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4309);
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980
tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan.
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA
CARA PELAPORAN KETENAGAKERJAAN DI
PERUSAHAAN.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
a. Pengusaha adalah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
sesuatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.

b. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan


tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik
milik swasta maupun mulik negara;
c. Laporan ketenagakerjaan adalah laporan yang memuat data
tentang keadaan ketenagakerjaan di Perusahaan;
d. Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri
Sipil pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi yang ditunjuk
oleh Menteri dan diserahi tugas mengawasi serta menegakkan
hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
e. Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan adalah
suatu aplikasi sistem informasi yang mengumpulkan, mengelola
dan memverifikasi data dan informasi Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan.
f. Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan Tingkat
Nasional adalah data olahan yang menyajikan data dan
informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan secara
nasional sebagai bahan perumusan kebijakan secara nasional.
g. Data-DataWajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan Tingkat
Provinsi adalah data olahan yang menyajikan data dan informasi
Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan yang ada di
wilayah propinsi sebagai bahan perumusan kebijakan tingkat
provinsi.
h. Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan Tingkat
Kabupaten/Kota adalah data olahan yang menyajikan data dan
informasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan yang
ada di wilayah kabupaten/kota sebagai bahan perumusan
kebijakan tingkat kabupaten/kota.
Pasal 2

(1) Pengusaha wajib membuat laporan ketenagakerjaan sesuai


dengan keadaan yang sebenarnya baik pada kantor pusat,
cabang maupun pada bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Menteri dalam bentuk data elektronik yang
dihimpun dalam Basis Data Wajib lapor Ketenagakerjaan Di
Perusahaan melalui Sistem Informasi Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan (SINLAPNAKER).

Pasal 3

(1) Laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2


ayat (2) dibuat dengan menggunakan bentuk laporan
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum pada lampiran
Peraturan Mnetri ini.
(2) Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan setelah
menerima laporan ketenagakerjaan wajib memberikan tanda
penerimaan serta nomor pendaftaran.
(3) Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan
sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) menghimpun dan
menyajikan data wajib lapor ketenagakerjaan untuk skala
nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan dapat
diakses oleh perusahaan atau unit pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota melaui jaringan sistem informasi
yang telah ditetapkan secara proporsional
(5) Tata cara memperoleh Data Wajib lapor Ketenagakerjaan
melalui Basis Data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di
Perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

Pasal 4
Dalam hal pada Kabupaten/Kota belum terdapat fasilitas yang dapat
mengakses data elektronik dari Basis Data Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan, maka laporan sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan di kabupaten/kota tempat unit
perusahaan berada baik kantor pusat, cabang maupun bagian
perusahaan yang berdiri sendiri, dengan tembusan kepada pimpinan
instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Propinsi dan kepada
Menteri secara tertulis.

Pasal 5

(1) Penyampaian laporan ketenagakerjaan secara tertulis


sebagaimana dimaksud pasal 4 dilakukan secara langsung atau
melalui pos tercatat.
(2) Dalam hal penyampaian laporan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pos, maka
tanggal dan stempel kantor pos pada bukti pencatatan dimaksud
merupakan tanggal penyampaian.
(3) Laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dibuat rangkap 4 (empat) dengan menggunakan bentuk laporan
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum pada lampiran
Peraturan Menteri ini.
(4) Bentuk laporan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) disediakan tanpa dipungut biaya oleh instansi yang
membidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(5) Instansi yang mebidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
setelah menerima laporan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat dan memberikan tanda
penerimaan serta nomor pendaftaran.
(6) Instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
setelah menerima laporan ketenagakerjaan dari perusahaan
wajib menyampaikan data laporan ketenagakerjaan dimaksud
kepada Menteri.
(7) Petunjuk teknis pengisian bentuk laporan ketenagakerjaan diatur
lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

Pasal 6
Perusahaan yang telah melaporkan keadaan ketenagakerjaan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I.
Nomor Per. 06/MEN/1995. tentang Tata Cara Pelaporan
Ketenagakerjaan, sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan
dinyatakan berlaku sampai dengan kewajiban melapor pada tahun
berikutnya.

Pasal 7

Pengawasan terhadap data Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.

Pasal 8

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan


Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor : Per. 06/MEN/1995 tentang Tata
Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan dan Surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor
Kep-170/MEN/1981 tentang Penunjukkan Pejabat yang Diberikan
Tugas Menerima Laporan Ketenagakerjaan di Perusahaan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 April 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

ERMAN SUPARNO

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Andi Syahrul Pangerang, SH


NIP. 160 043 638.

Nomor Klasifikasi
I.L.O: ................

II. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.

1. Nama dan alamat


perusahaan atau Bagian
.
perusahaan
yang berdiri sendiri
2. Nama dan alamat
.
pengusaha
3. Nama dan alamat
.
pengurus perusahaan
4. Tanggal Memindahkan Menghentikan Membubarkan

5. Alasan Pailit Dijual/Dihibahkan Lain- lain


6. x) Upah : Telah dibayarkan tanggal
........................................untuk..............................................buruh
-----------Akan dibayarkan tanggal ...................................... untuk
............................................buruh
7. x) Upah lembur : Telah dibayarkan tanggal ........................... untuk
............................................ buruh
----------------- Akan dibayarkan tangal ............................. untuk
............................................. buruh
8. x) Cuti : a. Telah diberikan kepada .. ......................................buruh.
---------b. Belum diberikan kepada .......................................buruh

9. x) Tunjangan kecelakaan kerja : a. Telah diberikan kepada


.........................................buruh.
---------------------------------b. Belum diberikan kepada
.......................................buruh
10. Hal-hal lain :
Telah
Kewajiban-kewajiban Akan diselesaikan
diselesaikan
yang tercantum dalam
. a. Perjanjian Perburuhan . .
. b. Peraturan Perusahaan . .
. c. Perjanjian Kerja . .
. d. Lain- lain (sebutkan) . .
11. Kewajiban-kewajiban
lain . .
yang perlu dilaporkan :

Demikian dibuat menurut keadaan sebenarnya


......................................................................

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd
ERMAN SUPARNO

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Andi Syahrul Pangerang, SH


NIP. 160 043 638
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 2004

TENTANG

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL


PENGAWAS KETENAGAKERJAAN, PERANTARA HUBUNGAN
INDUSTRIAL DAN PENGANTAR KERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan mutu, prestasi,


pengabdian, dan semangat kerja bagi Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam jabatan
fungsional Pengawas Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan
Industrial, dan Pengantar Kerja, dipandang perlu memberikan
Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan,
Perantara Hubungan Industrial, dan Pengantar Kerja dengan
Keputusan Presiden ;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor
43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Le mbaran Negara Nomor 390);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang
Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir denga n Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 17);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3547);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2003
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4263);
6. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang
Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG TUNJANGAN
JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS
KETENAGAKERJAAN, PERANTARA HUBUNGAN
INDUSTRIAL, DAN PENGANTAR KERJA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengawas
Ketenagakerjaan adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Tunjangan Jabatan Fungsional Perantara Hubungan Industrial,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Perantara
Hubungan Industrial adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perantara
Hubungan Industrial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengantar Kerja, yang
selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengantar Kerja adalah
tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam
Jabatan Fungsional Pengantar Kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengawas
Ketenagakerjaan, diberikan Tunjangan Pengawas
Ketenagakejaan setiap bulan.
(2) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Perantara Hubungan
Industrial, diberikan Tunjangan Perantara Hubungan Industrial
setiap bulan.
(3) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengantar Kerja,
diberikan Tunjangan Pengantar Kerja setiap bulan.
Pasal 3
(1) Besarnya Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini.
(2) Besarnya Tunjangan Perantara Hubungan Industrial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden
ini.
(3) Besarnya Tunjangan Pengantar Kerja, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan Presiden ini.
Pasal 4
Pemberian Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, Tunjangan
Perantara Hubungan Industrial, dan Tunjangan Pengantar Kerja
dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, diangkat dalam jabatan struktural atau dalam
jabatan fungsional lain atau karena hal lain yang mengakibatkan
pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan
Keputusan Presiden ini diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau
Kepala Badan Kepegawaian Negara, baik secara bersama-sama
maupun sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing- masing.
Pasal 6
Denga n berlakunya Keputusan Presiden ini, maka ketentuan yang
mengatur mengenai tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomr 31 Tahun 1993 tentang Tunjangan Penilai Pajak
Bumi dan Bangunan, Pemeriksa Bea dan Cukai, Pengawas
Ketenagakerjaan, Pengamat Meteorologi dan Geofisika, Penyuluh
Kehutanan, Juru Penerang, Pekerja Sosial, dan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT
KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang- undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN I

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS


KETENAGAKERJAAN

JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 400.000,00
Ahli Madya
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 300.000,00
Muda
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 200.000,00
Pertama
2 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 225.000,00
Terampil Penyelia
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 175.000,00
Pelaksana Lanjutan
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 125.000,00
Pelaksana

Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN II

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PERANTARA HUBUNGAN


INDUSTRIAL

JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Perantara Hubungan Perantara Hubungan Rp. 400.000,00
Industrial Ahli Industrial Madya
Perantara Hubungan Rp. 200.000,00
Industrial Pertama

Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN III

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004

TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PENGANTAR KERJA

JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengantar Kerja Ahli Pengantar Kerja Madya Rp. 400.000,00
Pengantar Kerja Muda Rp. 300.000,00
Pengantar Kerja Pertama Rp. 200.000,00
2 Pengantar Kerja Terampil Pengantar Kerja Penyelia Rp. 225.000,00
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 175.000,00
Lanjutan
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 125.000,00
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan II

Edy Sudibyo

LAMPIRAN II

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR : 25 Tahun 2004
TANGGAL : 24 Maret 2004
PP 8/1981, PERLINDUNGAN UPAH

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:8 TAHUN 1981 (8/1981)

Tanggal:2 MARET 1981 (JAKARTA)

_________________________________________________________________

Tentang:PERLINDUNGAN UPAH

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun suatu
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang- undang Nomor
14 Tahun 1969;
b.bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1.Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi


Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai pengupahan bagi buruh
laki- laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 171);

3.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN UPAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a.Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada


buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan, dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya;
b.Pengusaha ialah : *19948 1.Orang, persekutuan atau badan hukum yang
menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri..

2.Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri


menjalankan perusahaan bukan miliknya.

3.Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 di atas, yang
berkedudukan di luar Indonesia.
c.Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan
menerima upah;
d.Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenaga
kerjaan.

Pasal 2

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja putus.

Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi


antara buruh laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya.

Pasal 4

Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

Pasal 5

(1)Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,


pengusaha wajib membayar upah buruh :

a.Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat metakukan


pekerjaannya dengan ketentuan sebagai berikut:
1.untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari
upah;

2.untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75% (tujuhpuluh lima persen)


dari upah;

3.untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50% (limapuluh persen) dari


upah;

4.untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25% (duaputuh lima persen)


dari upah.
b.Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal- hal sebagaimana dimaksud
di bawah ini, dengan ketentuan sebagai berikut :

1.buruh sendiri kawin, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

2.menyunatkan anaknya, dibaya r untuk selama 1 (satu) hari;


3.membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;

4.mengawinkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

5.anggota keluarga meninggal dunia yaitu suami/isteri, orang tua


/mertua atau anak, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; .

6.isteri melahirkan anak, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.

(2)Dalam hal pengusaha tidak mampu memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) huruf a, pengusaha dapat mengajukan *19949
izin penyimpangan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. 43

(3)Jika dalam suatu peraturan perusahaan atau perjanjian perburuhan


terdapat ketentuan-ketentuan yang lebih baik dari pada
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ketentuan
dalam peraturan perusahaan atau perjanjian perburuhan tersebut tidak
boleh dikurangi.

Pasal 6

(1)Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh


yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban Negara, jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut
buruh tidak mendapatkan upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah
tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.

(2)Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa


dibayarkannya kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang
diperolehnya kurang dari upah yang biasa diterima dari perusahaan yang
bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.

(3)Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang


dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah
serta tunjangan lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang
biasa ia terima dari perusahaan yang bersangkutan.

(4)Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak
dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah
menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3
(tiga) bulan.

Pasal 7

Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran


yang diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan
perundang-undangan atau peraturan perusahaan atau sesuatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu pertanggungan.

Pasal 8

Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia


melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang
dialami oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari.

Pasal 9

Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk
menghitung upah sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga)
bulan terakhir diterima oleh buruh.

Pasal 10

(1)Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang *19950
telah ditentukan sesuai dengan perjanjian.

(2)Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa


dianggap sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan
keberatan yang dinyatakan secara tertulis.

(3)Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada


surat kuasa dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak
dapat menerimanya secara langsung.

(4)Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk
satu kali pembayaran.

(5)Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal


menurut hukum.

Pasal 11

Pada tiap pembayaran, seluruh jumlah upah harus dibayarkan.

BAB II

BENTUK UPAH

Pasal 12

(1)Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang. (2)Sebagian dari


upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak
boleh melebihi 25% (duapuluh lima persen) dari nilai upah yang
seharusnya diterima.

Pasal 13

(1)Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang syah


dari Negara Republik Indonesia. (2)Bila upah ditetapkan dalam.mata
uang asing, maka pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi pada
hari dan tempat pembayaran.

Pasal 14

Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus


dipergunakan secara tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak
diperbolehkan dan karenanya adalah batal menurut hukum, kecuali jika
penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

(1)Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu


ketentuan yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan data Peraturan Pemerintah ini.dan atau peraturan
perundang-undangan lainnya dan karenanya menjadi batal menurut hukum,
maka buruh berhak menerima pembayaran kembali dari bagian upah yang
ditahan sebagai perhitungan terhadap upahnya, dan dia tidak diwajibkan
mengembalikan apa yang telah diberikan kepadanya untuk memenuhi
perjanjian.

*19951 (2)Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada


permintaan dari pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan
perselisihan perburuhan dapat membatasi pengembalian itu
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian yang diderita oleh
buruh.

BAB III

CARA PEMBAYARAN UPAH

Pasal 16

Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan data perjanjian atau


peraturan perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh
biasanya bekerja, atau di kantor perusahaan

Pasal 17

Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu


sekali atau selambat- lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian
kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.

Pasal 18

Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka


pembayaran upah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 17 dengan
pengertian bahwa upah harus dibayar sesuai dengan hasil pekerjaannya
dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia bekerja.

Pasal 19

(1)Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai
hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar,
upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap
keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu
persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan
itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (limapuluh persen)
dari upah yang seharusnya dibayarkan.

(2)Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping


berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan
oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
(3)Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal
menurut hukum.

BAB IV

DENDA DAN POTONGAN UPAH

Pasal 20

(1)Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal
itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan
perusahaan.

*19952 (2)Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang
Republik Indonesia.

(3)Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha


dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.

(4)Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal


menurut hukum.

Pasal 21

(1)Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung


maupun tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan 47
pengusaha atau orang yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda
tersebut.

(2)Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal


menurut hukum.

Pasal 22

(1)Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat


dilakukan bilamana ada surat kuasa dari buruh.

(2)Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban


pembayaran oleh buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada
suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

(3)Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat


ditarik kembali pada setiap saat.
(4)Setiap ketentuan.yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal
menurut hukum.

Pasal 23

(1)Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi
kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun
milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.

(2)Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu


perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan dan setiap bulannya
tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah.

BAB V

PERHITUNGAN DENGAN UPAH

Pasal 24

(1)Hal- hal yang dapat diperhitungkan dengan upah adalah :

a.denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b.sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan
perjanjian tertulis; *19953 c.uang muka atas upah, kelebiban upah yang
telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh kepada pengusaha, dengan
ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.

(2)Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh


melebihi 50 % (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang
seharusnya diterima.

(3)Setiap syarat yang memberikan wewenang kepada pengusaha untuk


mengadakan perhitungan lebih besar daripada yang diperbolehkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah batal menurut hukum.

(4)Pada waktu pemutusan hubungan kerja seluruh hutang piutang buruh


dapat diperhitungkan dengan upahnya.

Pasal 25

Bila uang yang disediakan oleh pengusaha-untuk membayar upah disita


oleh Juru Sita, maka penyitaan tersebut tidak boleh memebihi 20%
(duapuluh persen) dari jumlah upah yang harus dibayarkan.
Pasal 26

(1)Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran


tiap bulan daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20% (duapuluh
persen) dari sebulan.

(2)Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan


itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga.

Pasal 27

Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan


hutang yang didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tentang kepailitan yang berlaku.

Pasal 28

Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul
dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan
lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (duapuluh lima
persen).

Pasal 29

(1)Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan


pada keterangan-keteranga n yang hanya dapat diperoleh dari buku-buku
pengusaha, maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk 49
meminta keterangan dan bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.

(2)Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


tidak berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta
bantuan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.

(3)Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta


bukti-bukti oleh buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau *19954 Pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) wajib dirahasiakan, kecuali bila keterangan tersebut
dimintakan oleh badan yang diserahi urusan penyelesaian perselisihan
perburuhan.

Pasal 30

Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.

BAB VI KETENTUAN PIDANA


Pasal 31

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6


ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana
kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 32

Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22,
disamping perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 33

Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri yang dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya
sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah).

Pasal 34

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pisal 32, dan Pasal
33 adalah pelanggaran.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini berdasarkan Undang-undang


Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja, maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur perlindungan upah, sejauh telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam *19955 Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 1981 PRESIDEN REPUBLIK


INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 1981 MENTERI/SEKRETARIS


NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN
1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH UMUM

Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih


tetap dipakai Kitab Undang- undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah
tidak sesuai lagi. Sejalan dengan berlakunya Undang- undang Nomor 14
Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja,
maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional dirasakan
makin mendesak. Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan
kearah stabilitas yang makin mantap maka pengaturan tentang
perlindungan upah dalam Peraturan Pemerintah ini diarahkan pula kepada
sistim pembayaran upah secara keseluruhan. Pengertian upah secara
keseluruhan dimaksudkan disini tidak termasuk upah lembur. Pada
pokoknya sistim ini didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau
dengan perkataan lain bahwa upah itu tidak lagi dipengaruhi oleh
tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja.
Pembayaran, upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang,
namun demikian dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi
kemungkinan pemberian sebagian upah dalam bentuk barang yang jumlahnya
dibatasi. Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan
upah secara umum yang berpangkal tolak kepada fungsi upah yang harus
mampu menjamin kelangsungan hidup bagi buruh dan keluarganya. Untuk
menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan
upah minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Huruf a Yang dimaksud dengan imbalan adalah termasuk juga sebutan


honorarium yang diberikan oleh pengusaha kepada buruh secara teratur
dan terus menerus. *19956 Huruf b Yang dimaksud dengan orang adalah
seorang manusia pribadi yang mengurus atau mengawasi perusahaan secara
langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu bentuk usaha
bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan
misalnya CV., Firma, Maatschap dan lain- lain maupun yang tidak mencari
keuntungan misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah,
perseroan yang didaftar menurut undang-undang tentang perseroan atau
jenis badan hukum lainnya yang didirikan dengan atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya perkumpulan,
koperasi, dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan perusahaan adalah
setiap bentuk usaha yang dijalankan dengan tujuan mencari keuntungan
atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan
buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan
mempekerjakan buruh, misalnya Yayasan dan lain lain.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa


upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama dengan
upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk
pekerjaan yang sama nilainya.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1) Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk
diterapkan secara mutlak. Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat
melakukan pekerjaan karena alasan tersebut a dan b upah tersebut masih
harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang demikian tidak dapat
dilakukan secara penuh dan terus menerus, karena itu perlu ditetapkan
jumlah serta jangka waktunya. Pengertian sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena kecelakaan kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang
Kecelakaan Kerja.
*19957 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1) Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan
untuk memikul tugas dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah,
misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam penyelenggaraan Pemilihan
Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

Ayat (2). Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak
menjadi beban yang berat bagi buruh dan keluarganya disatu pihak dan
pengusaha dilain pihak.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh
yang menjalankan ibadah menur ut agamanya lebih diri 3 (tiga) bulan dan
dalam menjalankan ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha
tidak diwajibkan membayar upahnya.

Pasal 7

Pembayaran dari pertanggungan dapat diperhitungkan menurut pasal ini


adalah khususnya mengenai pertanggungan upah buruh selama sakit
iurannya dibayar oleh pengusaha. akan tetapi bila buruh telah menerima
pembayaran sesuai atau lebih dari upah seharusnya dia terima selama
sakit, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk membayarkan lagi.

Pasal 8

Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk


kehancuran atau musnahnya perusahaan beserta peralatan yang
dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran atau peperangan sehingga
tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau menjalankan
kegiatannya kerja, "Force majeure".

Pasal 9

Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan


dalam menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan
hubungan kerja, lembur dan sebagainya,

Pasal 10
Ayat (1) sampai dengan ayat (5) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan
agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang yang tidak berhak. Oleh
*19958 karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan
baik buruh laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat
belas) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1) dan ayat (2) Untuk menuju kearah sistim pembayaran upah
bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang. Prinsip tersebut
diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas
sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya. Penerapan prinsip
tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi
atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.

Pasal 13

Ayat (1) dan ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 14

Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa


("enforced shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah
seperti yang dikehendakinya, sedang pengusaha tidak diperbolehkan
mengikat buruh dalam mempergunakan upahnya.

Pasal 15

Ayat (1) dan ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan
dengan hasil pekerjaannya.

Pasal 19

Ayat (1) sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Yang dimaksud dengan pelanggaran
sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban *19959 buruh yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tertulis antara pengusaha dan buruh.

Pasal 21

Ayat (1) dan ayat (2) Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh
untuk kepentingan pribadi pengusaha baik langsung ataupun tidak,
melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana buruh. Cara
penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian
atau peraturan perusahaan.

Pasal 22

Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1) dan ayat (2) Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian
material atau ekonomis.

Pasal 24

Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Pembatasan perhitungan tidak boleh
lebih dari 50% (limapuluh persen) dimaksudkan, agar buruh tidak
kehilangan semua upah yang diterimanya. Kemungkinan perhitungan dengan
upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti rugi dan
lain- lain. Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka
pengusaha harus mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah
perhitungan tersebut tidak melebihi 50% (puluh persen).

Pasal 25

Cukup jelas.
Pasal 26

ayat (1 ) dan ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatah pailit yang disebabkan


tidak terbayarnya hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha
ataupun kepada orang lain. Untuk menjamin kehidupan buruh yang
keseluruhan harta bendanya disita, maka perlu ada jaminan untuk hidup
bagi dirinya beserta keluarganya. Oleh karena itu dalam pasal ini upah
dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh, tidak termasuk dalam
kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25% (duapuluh lima
persen).

Pasal 29

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) *19960 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup
jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 Ketentuan pidana yang dikenakan dalam


Pasal-pasal tersebut adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan
Undang-undang induk daripada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 34

Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai


dengan Pasal 33 sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan
Undang-undang induk daripada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 35

Ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur


perlindungan upah antara lain adalah ketentuan-ketentuan yang tersebut
dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata yaitu : 1601 p; 1601 q; 1601
r; 1601 s; 1601 t; 1601 u; 1601 v; 1602; 1602 a: 1602 b; 1602 c; 1602
d; 1602 e; 1602 f; 1602 g; 1602 h; 1602 i; 1602 j; 1602 k; 1602 l;
1602 m; 1602 n; 1602 o; 1602 p; 1602 q; 1602 r; 1602 s; 1602 t; 1602
u; 1602 v alinea 5, 1968 alinea 3 dan 1971 sepanjang yang menyangkut
upah.

Pasal 36

Cukup jelas.

--------------------------------

CATATAN

DICETAK ULANG
_________________________________________________________________
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004

TENTANG

PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN PELATIHAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan perusahaan
yang wajib melaksanakan pelatihan kerja bagi pekerja/buruhnya.
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu;

Memperhatikan 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit


: Nasional tanggal 1 Juli 2004;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
tanggal 13 Agustus 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUSAHAAN YANG WAJIB MELAKSANAKAN
PELATIHAN KERJA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

1. Perusahaan yang wajib meningkatkan kompetensi pekerja/buruhnya melalui


pelatihan kerja adalah perusahaan yang mempekerjakan 100 (seratus) orang
pekerja/buruh atau lebih.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mencakup sekurang-
kurangnya 5 % (lima perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/.buruh di perusahaan
tersebut setiap tahun.

Pasal 3

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 perusahaan harus


membuat perencanaan program pelatihan kerja tahunan bagi pekerja/buruh yang
sekurang-kurangnya meliputi jenis pelatihan kerja, jangka waktu pelatihan kerja dan
tempat pelatihan kerja.

Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.

Pasal 5

Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan untuk meningkatkan


keterampilan manajerial dan teknikal pekerja/buruh.

Pasal 6

1. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program yang dirancang sesuai


dengan kebutuhan dan teknologi yang digunakan perusahaan dalam rangka
meningkatkan kompetensi pekerja/buruh.
2. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan di
perusahaan dan atau di lembaga pelatihan.
3. Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan dengan
sistim pemagangan.

Pasal 7

1. Perusahaan dan atau lembaga yang menyelenggarakan pelatihan kerja wajib


memberikan surat tamat pelatihan kerja bagi peserta yang dinyatakan lulus.
2. Perusahaan yang melaksanakan pelatihan kerja dengan baik dapat diberikan
penghargaan oleh Menteri.

Pasal 8

Perusahaan melaporkan pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja secara periodik sesuai


dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan.

Pasal 9

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Nopember 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

FAHMI IDRIS
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005

TENTANG
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
ATAS HAK UJI MATERIL UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
TERHADAP UNDANG - UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28


Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember
2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakan, dipandang perlu menerbitkan
Surat Edaran sebagai berikut :

1. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undan Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan, khusus Pasal 158 ;Pasal 159 ; Pasal 160 ayat (1)
sepanjang mengenal anak kalimat "....bukan atas pengaduan pengusaha ";Pasal 170
sepanjang mengenai anak kalimat "...Pasal 158 ayat (1) ..."; Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat ....Pasal 158 ayat (1) ... " Pasal 186 sepanjang mengenai
anak kalimat "...Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) .... " tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.,

2. Sehubungan dengan hal resebut butir 1 maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat digunakan
lagi sebagai dasar / acuan dalam penyelesaian hubungan industrial.

3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :

a. Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh


melakukan kesalahan berat ( eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan
setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat
melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal
160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.
4. Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak
memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh
upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Jakarta, 07 Januari 2005

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

FAHMI IDRIS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa antara istirahat tahunan tersebut dalam undang-undang kerja tahun 1948 Nomor 12 dari
Republik Indonesia, yang dengan undang-undang Nomor 1 tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) telah dinyatakan untuk beberapa perusahaan tertentu.

Mengingat:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang "Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja
Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia" (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) serta pasal 98 Undang-Undang dasar Sementara Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
PERATURAN ISTIRAHAT TAHUNAN BAGI BURUH

Pasal 1
Antara istirahat tahunan tersebut dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang kerja tahun 1948 seperti
dimuat dalam Lembaran negara Tahun 1951 Nomor 2, berlaku bagi buruh yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan:
a. yang biasanya
1). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 3 PK akan tetapi kurang
dari 4 PK dan mempunyai buruh 20 orang atau lebih;
2). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 4 PK akan tetapi kurang
dari 5 PK dan mempunyai buruh 10 orang atau lebih;
3). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan 5 PK lebih;
4). mempunyai buruh 50 orang atau lebih.
b. lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Perburuhan dengan menyimpang dari ketentuan sub.a.
1). Buruh berhak atas istirahat tahunan tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12
bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi
majikan;
2). Lamanya waktu istirahat tahunan dihitung untuk tiap-tiap 23 hari bekerja dalam masa
kerja termaksud pada ayat 1, satu hari istirahat sampai paling banyak 12 hari kerja;
3). Hak atas istirahat tahunan termaksud ayat 1 dan ayat 2 gugur, bilamana dalam waktu
6 bulan setelah lahirnya hak itu, buruh ternyata tidak mempergunakan haknya bukan
karena alasan-alasan yang diberikan oleh majikan atau bukan karena alasan-alasan
istimewa, hal mana ditentukan oleh Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan.,

Pasal 3
(1). Untuk menghitung, lamanya waktu istirahat tahunan, dianggap pula sebagai hari bekerja,
hari-hari buruh tidak menjalankan pekerjaan karena:
a). istirahat berdasarkan peraturan ini atau berdasarkan pasal 13 ayat 1, 2 dan 3 dari
undang-undang kerja ;
b). mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu;
c). sakit yang diberitahukan secara sah;
d). hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan;
e). pemogokan yang sah;
f). alasan-alasan lain yang sah.
(2). Tidak dianggap sebagai hari kerja, hari-hari istirahat mingguan termaksud pada pasal-pasal
10 ayat 3 undang -undang kerja serta hari-hari termaksud pada pasal 11 undang -undang
kerja.

Pasal 4
(1). Selama istirahat tahunan buruh berhak atas upah penuh;
(2). Bila upahnya tidak tentu, sebagai upah harian diambil upah rata-rata dalam 6 bulan yang
mendahului, terhitung dari saat dimulainya istirahat tahunan;
(3). Bagi buruh harian upah itu dibayarkan sebelum istirahat tahunan dimulai;

Pasa l 5
(1). Saat dimulainya istirahat tahunan ditetapkan oleh majikan dengan memperhatikan
kepentingan buruh;
(2). Atas pertimbangan majikan, berhubung dengan kepentingan perusahaan yang nyata,
istirahat tahunan dapat diundurkan untuk selama-lamanya 6 bulan terhitung mulai saat
buruh berhak atas istirahat tahunan.

Pasa l 6
(1). Istirahat tahunan harus terus-menerus;
(2). Dengan persetujuan antara buruh dan majikan istirahat tahunan dapat dibagi dalam
beberapa bagian;
(3). Dalam hal demikian harus ada satu bagian dari sedikitnya 6 hari terus-menerus.

Pasal 7
(1). Bila hubungan kerja diputuskan:
a). oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh;
b). oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan;
Buruh berhak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan bila pada saat
diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya 6 bulan
terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir;
(2). Dalam hal demikian jumlah hari istirahat dihitung menurut ukuran dari pasal 2 ayat 2 untuk
masa kerja termaksud pada ayat 1 pasal ini sedangkan jumlah pembayaran penggantian
sama dengan upah penuh untuk hari -hari itu.

Pasal 8
Majikan berwajib mengadakan dan memelihara daftar -daftar yang berhubungan dengan istirahat
tahunan menurut contoh/petunjuk yang akan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pengawasan
Perburuhan dari Kementrian Perburuhan.

Pasal 9
Bila perusahaan pindah tangan, maka dalam menjalankan peraturan ini, masa kerja pada majikan
lama dianggap sebagai masa kerja majikan baru.

Pasal 10
Peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja pada Pemerintah atau daerah otonomi.

Pasal 11
Peraturan ini tidak mengurangi perjanjian antara buruh dan majikan tentang istirahat tahunan yang
lebih menguntungkan buruh dari pada yang ditetapkan di sini.

Pasal 12
(1). Bila pada mulai berlakunya peraturan ini, buruh yang bersangkutan sudah mempunyai masa
kerja tertentu pada majikan yang sebelum peraturan ini berlaku, tidak memberikan istirahat
tahunan pada buruhnya, maka masa kerja itu dinilaikan menjadi 1/4 dan dibulatkan ke atas
menjadi bulan penuh sampai paling banyak 12 bulan dalam menghitung hak atas istirahat
tahunan;
(2). Dalam tiap-tiap bulan penuh dari masa kerja itu buruh dianggap telah bekerja 23 hari.

Pasal Penutup
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1954.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, m emerintahkan pengundangan Peraturan
pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 9 Maret 1954
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEKARNO

Diundangkan,
Pada Tanggal 16 Maret 1954
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODI GONDOKUSUMO

MENTERI PERBURUHAN,
Ttd.
S.M. ABIDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1954 NOMOR 37


PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH

UMUM
Istirahat tahunan (dengan upah penuh) memegang peranan penting dalam memulihkan kesehatan
dan tenaga buruh setelah terus menerus bekerja untuk waktu yang lama.
Pada perusahaan -perusahaan besar istirahat tahunan ini sudah lama merupakan suatu kelaziman,
tetapi untuk sebagian dari perusahaan kecil yang kebanyakan masih "arbeidsintensief"
pembayaran upah penuh tetap merupakan beban yang terasa berat untuk dipikul.
Berdasarkan kenyataan ini Pemerintah berpendapat bahwa aturan istirahat tahunan baru dapat
dinyatakan berlaku (secara terbatas) setelah Pemerintah mempunyai pandangan yang jelas
tentang jenis-jenis perusahaan yang dapat atau tidak dapat memikul beban sebagai akibat
pemberian istirahat ini.
Untuk memperoleh pandangan ini diperlukan suatu tempat yang lama pula sehingga peraturan ini
baru sekarang dapat ditetapkan.
Dengan mengambil pandangan yang diperoleh itu sebagai pedoman, dalam peraturan ini
ditetapkan suatu ukuran menentukan perusahaan manakah yang harus dikecualikan.
Tentu ukuran demikian agaknya sedikit kasar dan berhubung dengan ini kepada Menteri
Perburuhan diberikan hak untuk menunjuk perusahaan-perusahaan lain untuk siapa per aturan ini
berlaku pula.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Alam pikiran yang menjadi dasar pasal ini sudah diterangkan pada penjelasan umum.

Pasal 2
Pada pasal ini ditetapkan suatu "qualifying periode" dari 12 bulan. Syarat demikian dianggap perlu
sebagai faktor pendorong ke arah "stability of employment". Selain dari pada itu tidak ada alasan
untuk memberikan istirahat ini kepada buruh yang baru saja masuk kerja. Dalam peraturan ini yang
dimaksud dengan bulan ialah bulan kalender dan bukan "jangka waktu dari 30 hari". Dengan
organisasi majikan dimaksudkan majikan-majikan yang dipandang dari sudut bedrijfsorganisatoris
mempunyai perhubungan (samenhareg) satu sama lain; bentuk organisasi dalam hal ini tidak
menjadi soal.
Hal demi hal harus ditetapkan apakah kita berhadapan dengan organisasi majikan.
Oleh karena peraturan ini dimaksudkan agar buruh tiap-tiap tahun tetap mempergunakan
kesempatan istirahat tahunan yang disediakan baginya maka penumpukan (accumulative) istirahat
tahunan tidak pada tempatnya.

Pasal 3
Ayat (1)
sub c
Keadaan sakit itu supaya diberitahukan hingga dapat diterima kebenarannya.
Pada umumnya bagi keadaan sakit yang pendek pemberitahuan tadi tidak perlu
disertai surat keterangan dokter.
Bagi keadaan sakit yang agak lama, sedapat mungkin disertai dengan surat
keterangan dokter yang berhak, baik dokter perusahaan maupun dokter partikelir.
Sub d
Sebagai contoh dari hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan dapat
disebut:
Majikan lalai dalam mendatangkan bahan-bahan mentah yang diperlukan, l ock-out
yang tidak sah, sangat kurangnya pesanan -pesanan dan sebagainya.
Dalam hal-hal yang menimbulkan kesangsian sebaiknya pihak yang
berkepentingan berhubungan dengan Jawatan Pengawasan Perburuhan yang
mengawasi ditaatinya peraturan ini.
Sub f
Sebagai contoh dari alasan-alasan lain yang sah dapat disebut:
Kejadian-kejadian dalam lingkungan keluarga seperti meninggal dunia atau
perkawinan dalam keluarga buruh, melakukan hak dipilih atau hak memilih, dan
sebagainya.
Apa yang dijelaskan sub d mengenai hal-h al yang dapat menimbulkan kesangsian,
berlaku sama terhadap sub f.

Pasal 4
Ayat (1)
Dengan upah penuh dimaksudkan jumlah upah biasa yang akan diterima oleh buruh untuk
jangka waktu yang sama bila ia dari pada beristirahat tetap melakukan pekerjaannya.
Petunjuk mengenai apa yang dimaksudkan dengan upah biasa diberikan oleh Jawaran
Pengawasan Perburuhan.
Ayat (2)
Jangka waktu untuk menentukan upah rata -rata, diambil angka panjang, untuk sedapat
mungkin meniadakan akibat-akibat dari kegoncangan dalam penghasilan.

Pasa l 5
Ayat (1)
Dalam penetapan saat dimulainya istirahat, sudah selayaknya majikan memperhatikan
kepentingan keinginan buruh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dengan kepentingan perusahaan yang nyata dimaksudkan misalnya waktu musim di
perkebunan, pabrik gala dan sebagainya, waktu pekerjaan bertimbun-timbun yang harus
diselesaikan dan sebagainya.
Selanjutnya bila sebagian besar dari buruh hendak beristirahat pada waktu yang
bersamaan sehingga tidak terjamin lagi jalannya perusahaan dengan lancar, hal ini dapat
pula dianggap sebagai berlawanan dengan kepentingan perusahaan yang nyata.

Pasal 6
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 7
Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan sebagai termaksud pada pasal ini,
dianggap layak untuk merubah hak atas istirahat menjadi hak atas suatu penggantian kerugian
berupa uang.
Bila misalnya dalam masa kerja yang dihitung menurut ukuran pasal ini terdapat 8 kali 23 hari
bekerja dalam arti kata peraturan ini, jumlah kerugian sama dengan upah untuk 8 hari.

Pasal 8
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 9
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 10
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 11
Tidak memerlukan penjelasan

Pasal 12
Untuk jelasnya maksud dari pasal ini sebagai berikut:
Bila pada waktu mulai berlakunya peraturan ini buruh mempunyai, masa kerja 5 tahun, ini
dinilaikan menjadi 5/4 tahun = 15 bulan sehingga buruh sudah berhak atas istirahat dari 12 hari
kerja.
Bila masa kerjanya 2,5 tahun, ini dinilaikan menjadi 1/4 x 5/2 = 5/8 tahun = 60/8 bulan, dibulatkan
menjadi 8 bulan m asa kerja, sehingga buruh hanya memerlukan 4 bulan masa kerja dengan 4 x 23
hari bekerja lagi untuk memperoleh hak istirahat 12 hari kerja.
Dengan sendirinya peraturan pasal 12 ini hanya berlaku, bila majikan sebelum berlaku peraturan
ini, tidak memberikan istirahat tahunan pada buruhnya.

Diketahui,
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODY GONDOKUSUMO

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 542


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

NOMOR : PER-01/MEN/I/2006

TENTANG

PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,

Menimbang :
a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah
Minimum Provinsi ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah
minimum;

b. bahwa sebagian besar Upah Minimum Provinsi tahun 2006 terlambat


ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga mempengaruhi
persiapan pelaksanaannya;

c. bahwa keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf b, disebabkan


adanya transisi dari Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial
Dewan Ketenagakerjaan kepada Dewan Pengupahan sesuai Keputusan
Presiden Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 dan sebagai tindak lanjut
Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c,


perlu pengaturan lebih lanjut batas waktu pengajuan penangguhan
pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2006 yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Mengingat :
1 . Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2204 tentang


Dewan Pengupahan;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
sebagaimana telah beberapa kali diubah yang terakhior dengan Keputusan
PResiden Nomor 20/P Tahun 2005;

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia


Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republlik Indonesia


Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11 , Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum;

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-


231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Minimum;

Memperhatikan : Hasil monitoring dan evaluasi penetapan Upah Minimum Provinsi


dan/atau Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASSI


TENTANG PELAKSANAAN PASAL 3 KEPUTUSAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR KEP-
231/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN
PELAKSANAAN UPAH MINIMUM.

Pasal1

Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2006.

Pasal 2

(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.

(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

(3) Permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi Tahun 2006 yang
penetapannya dilakukan sesudah bulan Oktober Tahun 2005, dan permohonan
penangguhan Upah Minimum dapat/Kota Tahun 2006 yang penetapannya
dilakukan sesudah tanggal 20 Nopember 2005 tetap dapat dilakukan paling lambat
50 hari sejak tanggal penetapan Upah Minimum Provinsi atau 30 hari sejak tanggal
penetapan UPah Minimum Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Syarat-syarat permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2006
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.
KEP-231 /MEN/2003 kecuali yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI NO. 09 TH 2005
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.09/MEN/V/2005

TENTANG

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN PELAKSANAAN


PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 179 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai Tata Cara Penyampaian Laporan
Pelaksanaan Pengawasan Ketenaga kerjaan dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4 ) ;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2819 ) ;
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce ( Konvensi ILO
Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan
Perdagangan) ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309));
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK


INDONESIA TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN PELAKSANAAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.
2. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus yang ditunjuk oleh Menteri dan diserahi
tugas mengawasi serta menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
3. Laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan adalah laporan yang memuat hasil kegiatan dan evaluasi
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan baik laporan individu pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun laporan
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pusat adalah unit kerja pelaksana yang menjalankan tugas dan fungsi
pengawasan ketenagakerjaan pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
5. Instansi di Kabupaten/Kota adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota.
6. Instansi di Provinsi adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
7. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota atau Provinsi adalah unit kerja pelaksana yang
menjalankan tugas dan fungsi di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota atau Provinsi.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan..
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1). Instansi di Kabupaten/Kota mengumpulkan, mengolah, mencatat dan menyimpan serta menyajikan
data pengawasan ketenagakerjaan.

(2). Data pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ;


b. Objek pengawasan ketenagakerjaan ;
c. Objek pengawasan norma jamsostek ;
d. Kegiatan pemeriksaan dan pengujian ;
e. Perijinan objek pengawasan ketenagakerjaan ;
f. Jenis kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja ;
g. Jenis pelanggaran dan tindak lanjut ;
h. Penyidikan.

Pasal 3

(1). Pegawai pengawas ketenagakerjaan secara induvidual wajib membuat laporan setiap kegiatan
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
(2). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
(3). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada atasan langsung pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang bersangkutan setiap selesai melaksanakan tugas atau setiap tahap penyelesaian
untuk kegiatan yang bersifat berkelanjutan.

Pasal 4

(1). Berdasarkan laporan individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) instansi di Kabupaten/Kota
menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi.
(2). Instansi di Provinsi menyusun rekapitulasi laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dari
instansi di masing- masing Kabupaten/Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(3). Instansi di Provinsi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Direktur
jenderal.
(4). Direktur Jenderal menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara nasional
kepada Menteri.
(5). Dalam hal unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tidak berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
instansi di Kabupaten/Kota atau di Provinsi maka unit kerja pengawasan tersebut menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi atau Direktur Jenderal.

Pasal 5

(1). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Provinsi sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

(1). Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka
pengambilan keputusan, peyusunan kebijakan pengawasan ketenagakerjaan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan.
(2). Dalam keputusan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi PPTKIS selama menjalani skorsing.
(3). Dalam hal masa telah berakhir dan PPTKIS belum juga melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 7

(1). Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Mei 2005

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Myra M. Hanartani
NIP. 160.025.858

LAMPIRAN-LAMPIRAN :
PERATURAN MENTERI NO. 17 TH 2007
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-17/MEN/VI/2007

TENTANG
TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PELATIHAN KERJA

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-229/MEN2003
tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sudah tidak
sesaui dengan perkembangan dan kebutuhan penyelenggaraan pelatihan kerja yang
dilaksanakan oleh lembaga pelatihan kerja, sehingga perlu disempurnakan ;
b. Bahwa Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (4) dan
Pasal 17 ayat (6) Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang -


Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Negara Republik
Indonesia untuk Seluruh Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1951 Nomor 04 ) ;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2003, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279 ) ;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422 ) ;
4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan
Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737 ) ;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2006, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4637 ) ;
6 Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah beberapa kali
diubah yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 ;

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG TATA
CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan :


1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
2. Program Pelatihan Kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistimatis dan memuat tentang kopetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana
pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan
penetapan kelulusan peserta pelatihan.
3. Instruktur adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan kegiatan pelatihan dan pembelajaran kepada peserta pelatihan
dibidang atau kejuruan tertentu.
4. Tenaga Kepelatihan adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan
kualifikasi kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya.
5. Kompetensi Kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
7. Lembaga Pelatihan Kerja yang selanjutnya disingkat LPK adalah instansi pemerintah,
badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan
pelatihan kerja.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung dibidang pelatihan kerja
dilingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran LPK dalam Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi
instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dalam
memberikan perizinan maupun pendaftaran kepada penyelenggara pelatihan kerja.

Pasal 3

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan oleh:


a. Lembaga pelatihan kerja pemerintah; atau
b. Lembaga pelatihan kerja swasta; atau
c. Perusahaan.

BAB I I
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Perizinan

Pasal 4

(1). LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b yang


menyelenggarakan pelatihan kerja bagi masyarakat umum wajib memiliki izin.
(2). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh kepala instansi
yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
Pasal 5

Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 6

(1). Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) LPK
swasta harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, dengan
melampirkan :.
a. copy akte pendirian dan/atau perubahan sebagai badan hukumdan tanda bukti
pengesahan dari insatansi yang berwenang;
b. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggungjawab LPK;
c. copy tanda bukti kepemilikan atau penguasaan sarana, prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program
pelatihan yang akan diselenggarakan;
d. program pelatihan kerja berbasis kompetensi;
e. profil LPK yang meliputi antara lain: struktur organisasi, alamat, telepon dan faximile;
f. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(2). Bagi LPK di luar negeri yang akan membuka cabang LPK di Indonesia, wajib
melampirkan surat penunjukan sebagai cabang dari LPK di luar negeri.

Pasal 7

Permohonan yag telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga kerjaan kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan verifikasi.

Pasal 8

(1). Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (7), dilakukan oleh Tim yang
dibentuk oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang - kurangnya
beranggotakan dari unsur organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang
menamgani pelatihan kerja dan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan di
kabupaten / kota dan mempunyai tugas melakukan verifikasi kelengkapan dan
keabsahan dokumen.
(3). Verifikasi dokumen yang dilakiukan oleh Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
sudah selesai dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan dan hasil verifikasi dilaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(4). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
( dua ) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(5). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mengeluarkan surat keputusan penetapan perizinan yang
dilampiri dengan sertikat perizinan LPK dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari
kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 9

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dalam


menerbitkan izin wajib mempertimbangkan tingkat resiko bahaya terhadap keselamatan dan
kesehatan peserta pelatihan serta lingkungan tempat dilaksanakannya pelatihan kerja.

Bagian Kedua
Pendaftaran

Pasal 10

(1). LPK pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf a dan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf c, yang
menyelenggarakan pelatihan kerja wajib mendaftar pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.

Pasal 11

Untuk mendaftarkan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
LPK pemerintah dan / atau perusahaan harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten /kota, dengan melampirkan :
a. Surat keterangan keberadaan lembaga / unit pelatihan kerja dari instansi yang
membawahi / unit pelatihan kerja.
b. Struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;
c. Nama penanggung jawab;
d. Program pelatihan berbasis kompetensi;
e. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan;
f. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.

Pasal 12

Permohonan yang telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggungjawab di


bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
11 dilakukan verifikasi.

Pasal 13

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


harus menerbitkan tanda daftar paling lambat dalam waktu 5 (lima) hari kerja
setelah seluruh syarat administratif sebagaiman dimaksud dalam pasal 11
dipenuhi.
(2) Apabila setelah 5 (lima) hari kerja instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
menerbitkan tanda daftar, maka LPK dapat melaksanakan kegiatan.
Pasal 14

Dalam hal LPK pemerintah dan/atau perusahaan yang telah mendapatkan tanda
bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), terdapat
perubahan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, harus
mendaftarkan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

BAB III
PENAMBAHAN PROGRAM

Pasal 15

Penambahan program pelatihan kerja hanya diberikan kepada LPK yang tidak sedang
dihentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja.

Pasal 16

(1). LPK yang telah mendpatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), apabila
akan menambah program pelatihan kerja harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(2). Permohonan penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilengkapi dengan :
a. Copy izin dan/atau tanda daftar yang masih berlaku sebagai lembaga pelatihan kerja;
b. Realisasi pelaksanaan program pelatihan;
c. Program tambahan pelatihan kerja yang berbasis kopetensi;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan sesuai dengan program tambahan;
e. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja sesuai dengan program
tambahan;
f. Daftar nama penanggung jawab program sesuai dengan program tambahan.

Pasal 17

Permohonan yang telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dilakukan verifikasi.

Pasal 18

(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus sudah selesai dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan dan hasil verifikasi.
(2) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
(dua) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menerbitkan surat keputusan penambahan program dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.

Pasal 19

Jangka waktu berlakunya izin penambah program pelatihan tidak boleh melebihi jangka waktu
berlakunya izin LPK.

BAB IV
PERPANJANGAN IZIN

Pasal 20

(1). Perpanjangnan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(2). Untuk mendapatkan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LPK harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga
puluh ) hari kerja sebelum izin berakhir dengan melampirkan :
a. Copy izin LPK yang masih berlaku ;
b. Copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasa prasarana dan fasilitas pelatihan
kerja untuk sekurang - kurangnya 3 ( tiga ) tahun sesuai dengan program pelatihan
yang akan diselenggarakan ;
c. Realisasi program pelatihan kerja yang telah dilaksanakan ;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(3). Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan melampaui
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 21

(1). Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) dinyatakan lengkap, kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota menerbitkan izin perpanjangan LPK.
(2). Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
diterbitkan dalam waktu selambat - lambatnya 12 ( dua belas ) hari kerja
sejak permohonan diterima.

Pasal 22
Perpanjangan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota, apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dengan mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.

BAB V
PENGHENTIAN SEMENTARA PELAKSANAAN PROGRAM,
PENGHENTIAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN PENCABUTAN
IZIN LEBAGA PELATIHAN

Pasal 23

(1). Kepala instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja, apabila LPK :
a. Menggunakan instruktur dan tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program, atau
b. Melaksanakan pelatihan tidak sesuai dengan program, atau
c. Menggunakan sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program.
(2). Penghentian sementara pelaksanaan program pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh kepala instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dalam bentuk surat keputusan
yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3). Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi LPK selama masa penghentian sementara.
(4). Selama dalam masa penghentian sementara LPK dilarang menerima peserta pelatihan
kerja baru untuk program pelatihan kerja yang dihentikan sementara.

Pasal 24

(1). Dalam hal LPK belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(3), maka kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan pelaksanaan program pelatihan kerja.
(2). Apabila LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mencabut izin LPK yang bersangkutan.
(3). LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengembalikan biaya pelatihan kerja
kepada peserta.

Pasal 25

(1). Dalam hal LPK sudah selesai menjalani masa penghentian sementara dan telah
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (3), LPK yang
bersangkutan wajib melaporkan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dinilai benar, kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaanwajib menerbitkan surat
pencabutan penghentian sementara, dan LPK dapat melanjutkan kembali program
pelatihan.
Pasal 26

Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama kurun
waktu 1 ( satu ) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota dapat mencabut izin LPK yang bersangkutan.

BAB VI
PELAPORAN

Pasal 27

(1). LPK wajib melapoprkan kegiatannya instansi yang bertanggung jawab di


bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota setempat secara priodik 6 (enam)
bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi dan Direktur Jenderal.
(2). Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang - kurangnya memuat
tentang jenis kejujuran, tingkat program pelatihan kerja yang dilaksanakan,
jumlah peserta dan jumlah lulusan.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 28

(1). Pembinaan terhadap LPK dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap program pelatihan
kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, instruktur dan tenaga kepelatihan, penerapan
metode dan sistem pelatihan kerja serta manajemen LPK.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara penilaian kinerja LPK, formal tanda bukti
pendaftaran, surat keputusan penetapan perizinan, penambahan program, perpanjangan izin,
penghentian sementara pelaksanaan program, penghentian pelaksanaan program, pencabutan
izin dan sertifikat perizinan LPK, diatur oleh Direktur Jenderal.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 229/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006

TENTANG

SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dengan adanya perubahan struktur organisasi di


lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta
perubahan sistem penganggaran, maka sistem pelaporan yang
diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.17/MEN/2002 tentang Sistem Pedoman Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian perlu
disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun
2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437);
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 126 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam
Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 2000, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4023);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 62 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4095);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2001, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4106);
7. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2002,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4214)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor
72 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 92
Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4418);
8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.14/MEN/VII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.06/MEN/VII/2005 tentang Unit Pelaksana Teknis Pusat;
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/IV/2006 tentang Tata Cara Pengajuan Usulan
Program Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG SISTEM PELAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN
DAN KETRANSMIGRASIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Sistem pelaporan adalah ketentuan yang meliputi jenis, materi, sistematika,
penyusunan dan penyampaian, koordinator serta penanggungjawab laporan yang
menjadi kewajiban unit kerja di tingkat pusat maupun daerah.
2. Pelaporan adalah jenis naskah dinas yang disampaikan sebagai
pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan pada periode waktu
tertentu atau sewaktu-waktu.
3. Laporan pelaksanaan tugas adalah jenis naskah dinas yang dibuat oleh pimpinan
unit kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan instansi
provinsi dan instansi kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian yang berisi uraian informasi sebagai pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas umum pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian.

2
4. Laporan khusus adalah jenis naskah dinas yang dipersiapkan untuk Sidang Kabinet
(lengkap dan terbatas), Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian, Rapat Koordinasi
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan
Keamanan, Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR-RI,
Rapat Kerja dengan DPD-RI, dan bahan rapat rapat lainnya yang sejenis.
5. Penanggung jawab laporan adalah pejabat tertinggi pada unit kerja, instansi provinsi
dan instansi kabupaten/kota yang berkewajiban untuk melaporkan hasil
pelaksananaan tugas di lingkungan unit kerjanya.
6. Koordinator penyusun laporan adalah pejabat yang karena tugas dan fungsinya
berkewajiban dan bertanggungjawab melakukan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dengan sub unit kerja di lingkungan unit kerjanya atau unit kerja terkait.
7. Instansi Provinsi adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian di provinsi yang bersangkutan.

8. Instansi Kabupaten/Kota adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya


di bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian di kabupaten/kota yang
bersangkutan.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Unit kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terdiri dari :
a. Sekretariat Jenderal;
b. Inspektorat Jenderal;
c. Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas;
d. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri;
e. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri;
f. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan;
g. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan;
h. Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan
Transmigrasi;
i. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi; dan
j. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi.

BAB II
SISTEM PELAPORAN

Bagian Kesatu
Jenis

Pasal 3

(1) Jenis pelaporan, meliputi :


a. Laporan Pelaksanaan Tugas; dan
b. Laporan Khusus.

(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. Laporan Departemen/Menteri;

3
b. Laporan Unit Kerja Eselon I;
c. Laporan Unit Kerja Eselon II;
d. Laporan Instansi Provinsi; dan
e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota.

(3) Laporan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari:
a. Laporan Menteri pada Sidang Kabinet;
b. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian;
c. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat;
d. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan;
dan
e. Laporan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Bagian Kedua
Materi

Pasal 4

(1) Materi laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a, merupakan data dan informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian serta program kegiatan
pembangunan dan pelaksanaan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA),
dengan sumber dana dari APBN dan APBD, permasalahan dan upaya tindak
lanjut serta data lainnya yang diperlukan.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaporkan
merupakan data dan informasi yang sifatnya pokok sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.

(3) Data dan informasi yang sifatnya lebih rinci diatur tersendiri oleh unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan
kebutuhan unit kerja yang bersangkutan.

Pasal 5

Materi laporan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b,
disesuaikan dengan agenda rapat koordinasi, sidang kabinet, rapat kerja, rapat dengar
pendapat, dan agenda lainnya sesuai kebutuhan.

Bagian Ketiga
Sistematika

Pasal 6

(1) Sistematika laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya memuat :
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran
Daftar Tabel
Daftar Gambar, Grafik
Rangkuman

4
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.
b. Maksud dan Tujuan.
c. Sasaran.
d. Landasan Operasional.
BAB II : TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BAB III : RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DAN ANGGARAN
a. Rencana Program/Kegiatan.
b. Pagu Anggaran.
BAB IV : PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN DAN HASIL-HASILNYA
a. Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Hasilnya;
b. Realisasi Penyerapan Anggaran.
BAB V : PERMASALAHAN DAN UPAYA TINDAKLANJUT
BAB VI : HAL-HAL KHUSUS
BAB VII : PENUTUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN

(2) Sistematika Laporan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
disesuaikan dengan agenda yang akan dibahas pada rapat koordinasi, sidang
kabinet, rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan DPR-RI dan/atau DPD-RI.

Bagian Keempat
Tata Cara dan Waktu Penyampaian Laporan

Pasal 7

(1) Tata cara penyampaian laporan diatur sebagai berikut:

a. Laporan Departemen/Menteri
Menteri menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Presiden R.I
dengan tembusan kepada Wakil Presiden R.I, Menteri Koordinator dan Menteri
terkait dengan bidang tugas Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

b. Laporan Unit Kerja Eselon I


Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, menyampaikan laporan pelaksanaan
tugas setiap bulan/tahun kepada Menteri. Direktur Jenderal dan Kepala Badan
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyampaikan
laporan pelaksanaan tugas setiap bulan/tahun kepada Menteri dengan
tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal dan Ka.Balitfo serta
unit kerja eselon I lainnya yang terkait.

c. Laporan Unit Kerja Eselon II


Masing-masing unit kerja eselon II di lingkungan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas setiap
bulan/tahun kepada pejabat eselon I atasan langsungnya dengan
tembusannya kepada Biro Perencanaan untuk unit Eselon II di lingkungan
Sekretariat Jenderal, Sekretaris Inspektorat Jenderal untuk unit Eselon II di
lingkungan Inspektorat Jenderal, Sekretaris Direktorat Jenderal untuk unit
Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal, serta Sekretaris Badan untuk unit
Eselon II di lingkungan Badan.

5
d. Laporan Instansi Provinsi
Instansi Provinsi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas setiap bulan/tahun
kepada gubernur yang bersangkutan dan Menteri, dengan tembusan kepada
Inspektur Jenderal, Ka.Balitfo dan Pejabat Eselon I terkait di lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota


Instansi Kabupaten/Kota menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada
Bupati/Walikota dan Kepala Instansi Provinsi yang bersangkutan setiap
bulan/tahun, dan tembusan disampaikan kepada Menteri, Inspektorat Jenderal,
Ka.Balitfo dan Pejabat Eselon I terkait di lingkungan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

f. Laporan Khusus
Unit kerja Sekretariat Jenderal melakukan koordinasi dengan unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam penyiapan
bahan laporan khusus sesuai dengan agenda rapat koordinasi atau rapat kerja
dengan lembaga legislatif.

(2) Waktu penyampaian laporan diatur sebagai berikut :


a. Laporan Menteri/Departemen
Laporan pelaksanaan tugas Menteri kepada Presiden R.I disampaikan
selambat-lambatnya setiap tanggal 25 pada bulan berikutnya, dan laporan
tahunan selambat-lambatnya pada minggu ke-2 bulan Maret tahun berikutnya.
b. Laporan Unit Kerja Eselon I
Laporan pelaksanaan tugas bulanan disampaikan selambat-lambatnya setiap
tanggal 20 pada bulan berikutnya, dan laporan pelaksanaan tugas tahunan
disampaikan pada minggu ke-4 bulan Februari pada tahun berikutnya.
c. Laporan Unit Kerja Eselon II
Laporan pelaksanaan tugas bulanan disampaikan selambat-lambatnya setiap
tanggal 15 pada bulan berikutnya, dan laporan pelaksanaan tugas tahunan
disampaikan pada minggu ke-2 bulan Februari pada tahun berikutnya.
d. Laporan Instansi Provinsi
Laporan bulanan pelaksanaan tugas Instansi Provinsi disampaikan selambat-
lambatnya setiap tanggal 10 pada bulan berikutnya, dan laporan pelaksanaan
tugas tahunan disampaikan pada minggu keempat bulan Januari pada tahun
berikutnya.
e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota
Laporan bulanan pelaksanaan tugas Instansi Kabupaten/Kota disampaikan
selambat-lambatnya setiap tanggal 5 pada bulan berikutnya, dan laporan
pelaksanaan tugas tahunan disampaikan pada minggu ke-2 bulan Januari
pada tahun berikutnya.
f. Laporan Khusus
Waktu penyampaian laporan khusus disesuaikan dengan agenda pelaksanaan
rapat koordinasi, sidang kabinet, rapat kerja, rapat dengar pendapat dengan
jadwal tentatif sebagai berikut :
a) Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian 4 kali dalam sebulan;
b) Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat 4 kali dalam sebulan;
c) Rapat Koordinasi Bidang Polhukam dua kali dalam sebulan;
d) Sidang Kabinet 2 kali dalam sebulan pada Minggu I dan III;
e) Rapat Kerja dengan DPR-RI 4 kali dalam setahun;
f) Rapat Kerja dengan DPD-RI 2 kali dalam setahun.
g) Laporan lainnya.

6
(3) Dalam keadaan tertentu rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf f dilakukan secara mendadak, dan waktu penyampaian laporan tergantung
permintaan dari Kantor Sekretaris Kabinet, Kantor Menko dan Sekretariat DPR-RI
atau DPD-RI.

Bagian Kelima
Koordinator dan Penyusun Laporan

Pasal 8

(1) Koordinator dan penyusun laporan pelaksanaan tugas diatur sebagai berikut :
a. Koordinator laporan Departemen/Menteri, yaitu Sekretaris Jenderal yang
penyusunannya dilaksanakan oleh Biro Perencanaan;
b. Koordinator laporan unit kerja Sekretariat Jenderal yaitu Kepala Biro
Perencanaan yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian
Evaluasi dan Pelaporan;
c. Koordinator laporan unit kerja Inspektorat Jenderal, yaitu Sekretaris Inspektorat
Jenderal, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program
Evaluasi dan Pelaporan;
d. Koordinator laporan unit kerja Direktorat Jenderal, yaitu Sekretaris Direktorat
Jenderal yang bersangkutan, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit
kerja Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan;
e. Koordinator laporan unit kerja Badan, yaitu Sekretaris Badan, yang
penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program Evaluasi dan
Pelaporan;
f. Koordinator laporan instansi provinsi, yaitu Kepala Bagian Tata Usaha instansi
provinsi yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk yang
penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan;
g. Koordinator laporan instansi kabupaten/kota adalah Kepala Bagian Tata Usaha
instansi kabupaten/kota yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk
yang penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan.

(2) Koordinator dan penyusun Laporan Khusus yaitu Sekretaris Jenderal dan/atau
pejabat lain yang setingkat di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi yang ditunjuk.

(3) Penyusun laporan di unit kerja Sekretariat Jenderal, yaitu unit kerja Biro
Perencanaan atau unit kerja eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal lainnya
yang ditunjuk.

(4) Penyusun laporan di unit kerja Inspektorat, Direktorat dan Badan, yaitu Sekretariat
Inspektorat Jenderal, Sekretariat Direktorat Jenderal, Sekretariat Badan atau
Pejabat Eselon II lainnya yang ditunjuk.

7
Bagian Keenam
Penanggungjawab

Pasal 9

(1) Penanggung jawab dan penandatangan laporan pelaksanaan tugas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut :
a. Penanggung jawab dan penandatangan laporan Menteri yaitu Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
b. Penanggung jawab dan penandatangan laporan Unit Kerja Eselon I yaitu
pejabat Eselon I di unit kerja yang bersangkutan;
c. Penanggung jawab dan penandatangan Laporan Unit Kerja Eselon II yaitu
Pejabat Eselon II di unit kerja yang bersangkutan;
d. Penanggung jawab dan penandatangan Laporan Instansi Provinsi yaitu Kepala
Instansi Provinsi yang melaksanakan tugas dan fungsi ketenagakerjaan
dan/atau ketransmigrasian;
e. Penanggung jawab dan penandatangan Laporan Instansi Kabupaten/Kota
yaitu Kepala Instansi Kabupaten/Kota yang melaksanakan tugas dan fungsi
ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian;

(2) Penanggungjawab dan penandatanganan laporan khusus sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b adalah Menteri.

BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 10

(1) Laporan pelaksanaan tugas beserta lampiran-lampirannya merupakan bagian tak


terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, dijadikan bahan evaluasi untuk melakukan penilaian terhadap instansi provinsi,
kabupaten/kota maupun unit kerja yang bersangkutan.

(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretaris Jenderal
dan hasilnya disampaikan kepada Menteri untuk tingkat departemen, gubernur
untuk laporan instansi provinsi, dan bupati/walikota untuk laporan instansi
kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi :


a. Subtansi laporan;
b. Tingkat ketaatan/kedisiplinan dalam penyampaian laporan.

(5) Penilaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan salah satu
pertimbangan dalam penentuan program dan besarnya anggaran tahun
berikutnya.

8
BAB IV
PENUTUP

Pasal 11

(1) Ketentuan sistem pelaporan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian ini


dipergunakan sebagai pedoman dalam penyusunan laporan oleh seluruh unit kerja
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, instansi provinsi dan
instansi kabupaten/kota.

(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, harus dilengkapi dengan data dan informasi perkembangan pelaksanaan
program/kegiatan dan data penting lainnya dalam periode waktu tertentu.

(3) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berpedoman
pada Lampiran Form Tabel-tabel beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 12

Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.17/MEN/2002 tentang Sistem Pedoman Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD

ERMAN SUPARNO

9
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

MATRIK MEKANISME PELAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

JENIS JANGKA PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU


No. KOORDINATOR PENYUSUN TEMBUSAN
LAPORAN WAKTU JAWAB KEPADA PENYAMPAIAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

I. Laporan Pelaksanaan Tugas A. Bulanan


- Laporan Departemen/ - Menteri - Sekretaris Jenderal - Kepala Biro - Presiden - Menteri terkait - Paling lambat tanggal 25
Menteri Perencanaan - Unit Kerja Eselon I bulan berikutnya
terkait

- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat tanggal 20
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen bulan berikutnya
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo
Ka.Badan) Pelaporan - Unit Kerja Eselon I
terkait
- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Eselon I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat tanggal 15
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen bulan berikutnya
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan

- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat tanggal 10
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo bulan berikutnya
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I
evaluasi dan terkait
pelaporan

- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat tanggal
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen 5 bulan berikutnya
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo
evaluasi dan - Unit Kerja Eselon I
pelaporan terkait
B. Tahunan
- Laporan Departemen/ - Menteri - Sekretaris Jenderal - Kepala Biro - Presiden - Menteri terkait - Paling lambat Minggu
Menteri Perencanaan - Unit Kerja Eselon I ke-2 bulan Maret pada
terkait tahun berikutnya
JANGKA PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
No. JENIS LAPORAN KOORDINATOR PENYUSUN TEMBUSAN
WAKTU JAWAB KEPADA PENYAMPAIAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat Minggu
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen ke-4 bulan Februari
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo pada tahun berikutnya
Ka.Badan) Pelaporan
- Unit Kerja Eselon I
terkait

- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Es I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat Minggu
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen ke-2 bulan Februari
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan pada tahun berikutnya
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan

- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat Minggu
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo ke-4 bulan Januari pada
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I tahun berikutnya
evaluasi dan terkait
pelaporan

- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat Minggu
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen ke-2 bulan Januari pada
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo tahun berikutnya
evaluasi dan
- Unit Kerja Eselon I
pelaporan
terkait

II. Laporan Khusus - Sesuai agenda rapat - Menteri - Sekretaris Jenderal - Karocan/Para Ses - Presiden - Menko yang terkait Sesuai agenda rapat
- Menko

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

TTD

ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MEKANISME LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS

P SEKJEN, PRESIDEN
U SES.DITJEN/DIREKTUR/
KASUBDIT/ DIRJEN, MENTERI
S KABAG KEPALA BIRO/KAPUS/
KEPALA BADAN, LAPORAN BULANAN/TAHUNAN
A SES.BADAN/SES.ITJEN
T IRJEN
SIDANG KABINET

RAKOR PEREKONOMIAN
D KEPALA INSTANSI RAKOR KESRA
GUBERNUR
A PROVINSI RAKOR POLHUKAM
E
Dana Dekonsentrasi + Tugas Pembantuan
R BAHAN RAKER DPR-RI
A
KEPALA INSTANSI BUPATI/WALIKOTA
H
KAB/KOTA
Dana Tugas Pembantuan
Ditetapkan di Jakarta
Keterangan: Pada tanggal 1 Desember 2006
Langsung MENTERI
Tembusan
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

TTD

ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

PETUNJUK PENGISIAN
FORM TABEL BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

A. Form Tabel Bidang Ketenagakerjaan

1. Form Tabel A.1

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Asing
(IMTA) yang diterbitkan bulan sebelumnya dan sampai
dengan bulan ini ditinjau menurut jabatan tenaga asing,
di sub sektor TKA bekerja, dan di kabupaten/kota TKA
tersebut bekerja.
Kolom 5 s.d. 6 : Diisi dengan jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Asing
(IMTA) yang masih berlaku bulan sebelumnya dan sampai
dengan bulan ini ditinjau menurut jabatan tenaga asing,
di sub sektor apa TKA bekerja, dan di kabupaten/kota TKA
tersebut bekerja.

2. Form Tabel A.2

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama perusahaan atau institusi berbadan hukum yang
membutuhkan tenaga kerja.
Kolom 3 : Diisi dengan lapangan usaha kebutuhan tenaga kerja
misalnya : (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan; (2) pertambangan dan penggalian; (3) industri
pengolahan; (4) listrik, gas dan air bersih; (5) bangunan; (6)
perdagangan, hotel dan restoran; (7) pengangkutan dan
komunikasi; (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan;
dan (9) jasa-jasa.
Kolom 4 : Diisi dengan kebutuhan perusahaan akan tenaga
kerja berdasarkan jabatan misalnya : (1) pimpinan; (2)
profesional; (3) supervisor; (4) teknisi/operator; (5) lainnya.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan daerah
asal dan tujuan, sekurang-kurangnya kabupaten/kota.
Kolom 7 s.d. 10 : Diisi dengan kebutuhan tenaga kerja dari masyarakat umum
dan penyandang cacat dirinci menurut jenis kelamin.
Kolom 11 : Diisi jumlah tenaga kerja umum dan penca menurut
jenis kelamin (kolom 7 s.d. 10).

1
3. Form Tabel A.3

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kabupaten/kota/kecamatan tenaga kerja yang
bersangkutan ditempatkan.
Kolom 3 : Diisi lokasi minimal kabupaten/kota tenaga kerja
ditempatkan.
Kolom 4 : Diisi daerah asal tenaga kerja minmal kabupaten/kota.
Kolom 5 : Diisi menurut lapangan usaha misalnya : (1) pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan; (2) pertambangan
dan penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan
air bersih; (5) bangunan; (6) perdagangan, hotel dan
restoran; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan; dan (9) jasa-jasa.
Kolom 6 : Diisi nama perusahaan dimana tenaga kerja ditempatkan.
Kolom 7 s.d. 10 : Disi tenaga kerja yang ditempatkan dari masyarakat umum
dan penyandang cacat.
Kolom 11 : Cukup jelas.

4. Form Tabel A.4

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d. 14 : Diisi dengan target dan realisasi program perluasan dan
pengembangan kesempatan kerja dirinci perkegiatan sesuai
bulan/tahun yang bersangkutan dalam satuan orang.
Kolom 15 dan 16 : Diisi jumlah target dan realisasi dari masing-masing
kegiatan (kolom 3 s.d. 14) dalam satuan orang.
Kolom 17 s.d. 22 : Diisi dengan target dan realisasi kegiatan penempatan
tenaga kerja.
Kolom 23 dan 24 : Diisi jumlah target dan realisasi dari masing-masing kegiatan
(kolom 17 s.d. 22) dalam satuan orang.

5. Form Tabel A.5

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 dan 4 : Diisi target dan realisasi berdasarkan masing-masing
kegiatan dalam satuan orang.

6. Form Tabel A.6

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan nama negara dimana calon TKI akan
ditempatkan.
Kolom 3 : Diisi jumlah calon TKI ditempatkan berdasarkan negara
penempatan.
Kolom 4 : Diisi dengan nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) yang akan menempatkan TKI.
Kolom 5 : Diisi dengan daerah asal calon TKI, sekurang-kurangnya
tingkat kabupaten/kota.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor formal.
Kolom 8 : Jumlah kolom 6 dan 7.
2
Kolom 9 dan 10 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor informal.
Kolom 11 : Jumlah kolom 9 dan 10.

7. Form Tabel A.7

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi negara tujuan pemberangkatan TKI dan negara asal
kepulangan tenaga kerja.
Kolom 3 : Diisi dengan nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia (PPTKIS) yang menempatkan TKI.
Kolom 4 dan 5 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor formal.
Kolom 6 : Jumlah kolom 4 dan 5.
Kolom 7 dan 8 : Diisi dengan jumlah calon TKI menurut jenis kelamin yang
bekerja pada sektor informal.
Kolom 9 : Jumlah kolom 7 dan 8.
Kolom 10 : Jumlah kolom 6 dan 9.
Kolom 11 : Diisi hanya untuk alasan kepulangan tenaga kerja Indonesia
yang pulang, sedangkan keberangkatan tidak perlu diisi.

8. Form Tabel A.8

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan daerah asal TKI, sekurang-kurangnya tingkat
kabupaten/kota.
Kolom 3 : Diisi dengan negara asal dimana TKI ditempatkan.
Kolom 4 dan 5 : Diisi dengan jumlah TKI purna berdasarkan jenis kelamin.
Kolom 6 : Diisi dengan jumlah kolom 4 dan 5.
Kolom 7 : Diisi dengan jenis usaha setelah tidak bekerja di luar negeri.
Kolom 8 : Diisi jumlah TKI purna berdasarkan bidang usahanya.

9. Form Tabel A.9

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Nama kecamatan/kabupaten/kota/provinsi tempat
beroperasinya perusahaan sesuai ijin yang diperoleh.
Kolom 3 : Diisi dengan skala perusahaan berdasarkan jumlah tenaga
kerjanya (kecil, menengah, sedang/besar).
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah perusahaan berdasarkan skala
perusahaan (kolom 3).
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan dirinci berdasarkan
jenis kelamin.
Kolom 7 : Diisi jumlah kolom 5 dan 6.
Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan jumlah perusahaan swasta maupun
BUMN/BUMD yang memiliki/mengeluarkan peraturan
perusahaan (PP).
Kolom 10 : Jumlah kolom 8 dan 9.
Kolom 11 dan 12 : Diisi dengan jumlah perusahaan swasta maupun BUMN
termasuk (BUMD) yang memiliki/mengeluarkan perjanjian
kerja bersama (PKB).
Kolom 13 : Jumlah kolom 11 dan 12.
3
10. Form Tabel A.10

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kecamatan/kabupaten/kota terjadinya pemogokan/
unjuk rasa menurut sektor.
Kolom 3 : Diisi pada sektor apa unjuk rasa/pemogokan terjadi.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah kasus pemogokan/unjuk rasa.
Kolom 5 dan 6 : Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kasus
pemogokan/unjuk rasa dirinci menurut jenis kelamin.
Kolom 7 : Jumlah kolom 5 dan 6.
Kolom 8 : Diisi dengan jumlah jam kerja yang hilang sebagai akibat
dari pemogokan/unjuk rasa.
Kolom 9 dan 10 : Diisi dengan tuntutan dari unjuk rasa/pemogokan
pekerja/buruh baik normatif atau non normatif.

11. Form Tabel A.11

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kabupaten/kota/kecamatan terjadinya kasus
perselisihan hubungan industrial.
Kolom 3 : Diisi dengan jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
menurut jenisnya.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah masing-masing kasus perselisihan
hubungan industrial.
Kolom 5 dan 6 : Diisi jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang
masih dalam proses penyelesaian dan jumlah kasus PHI
yang telah diselesaikan.
Kolom 7 : Diisi mediator yang menangani kasus PHI baik yang telah
selesai maupun yang masih dalam proses penyelesaian.

12. Form Tabel A.12

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi kabupaten/kota/kecamatan terjadinya perkara
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan jumlah perkara dan alasan pekerja
terkena PHK.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan jumlah pekerja/buruh yang terkena PHK
menurut jenis kelamin.
Kolom 7 : Diisi jumlah kolom 5 dan 6.

13. Form Tabel A. 13

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi Kabupaten/Kota/kecamatan yang terdapat Serikat
Pekerja/Serikat Buruh SP/SB; Federasi/Konfederasi SP/SB.
Kolom 3 dan 5 : Diisi jumlah Konfederasi/Federasi/SP/SB di masing-masing
kabupaten/Kota/kecamatan.

14. Form Tabel A.14

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan lembaga yang mengadakan kegiatan pelatihan,
dapat berupa lembaga Balai Latihan Kerja/Loka Latihan
Kerja (BLK/LLK), BPPD dan atau Balatrans atau sejenis
yang ada di daerah.
4
Kolom 3 : Diisi dengan jenis pelatihan yang diadakan lembaga
pelatihan yang ada di daerah.
Kolom 4 : Diisi dengan jenis kejuruan yang diadakan lembaga
pelatihan yang ada di daerah.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan target dan realisasi jumlah peserta
pelatihan dan kejuruan yang diadakan lembaga pelatihan
yang ada di daerah.
Kolom 7 dan 8 : Diisi dengan realisasi kelulusan berdasarkan jenis pelatihan
dan kejuruan dirinci menurut jenis kelamin yang diadakan
lembaga pelatihan yang ada di daerah.
Kolom 9 dan 10 : Diisi dengan realisasi penempatan setelah mengikuti
pelatihan berdasarkan jenis pelatihan dan kejuruan dirinci
menurut jenis kelamin yang diadakan lembaga pelatihan
yang ada di daerah.
Kolom 11 dan 12 : Diisi dengan wirausaha yang dapat diusahakan sebagai
hasil mengikuti pelatihan. Pengisian berdasarkan jenis
pelatihan dan kejuruan yang telah diikuti dirinci menurut
jenis kelamin yang diadakan lembaga pelatihan di daerah.

B. Form Tabel Bidang Ketransmigrasian

1. Form Tabel B.1

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi jumlah animo/minat masyarakat untuk bertransmigrasi
dalam satuan KK.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah KK yang mendaftarkan sebagai calon
transmigran.
Kolom 5 : Diisi dengan jumlah KK yang memenuhi syarat sebagai
calon transmigran dari hasil seleksi.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan jumlah KK/jiwa yang telah diberangkatkan.
Kolom 8 s.d. 10 : Diisi dengan daerah penempatan dirinci berdasarkan tingkat
provinsi, kabupaten/kota.

2. Form Tabel B. 2

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama unit pemukiman transmigrasi/lokasi, kabupaten
perkembangan penyiapan permukiman dan siap terima
penempatan transmigrasi baru (PTB).
Kolom 3 : Diisi dengan L bila program kolom 2 program luncuran,
M program murni, dan C program cicilan penempatan.
Kolom 4 : Diisi pola usaha yang diprogramkan misalnya lahan kering;
lahan basah; perkebunan dsbnya.
Kolom 5 s.d. 18 : Diisi target dan realisasi pembukaan lahan pekarangan
dalam satuan KK; lahan usaha I dalam satuan Ha, lahan
usaha II, pembangunan rumah transmigran dan jamban
keluarga (RTJK), sarana air bersih (SAB), dan
pembangunan fasilitas umum (FU) serta siap terima
penempatan (STP).

5
3. Form Tabel B.3

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama lokasi yang diprogramkan pembangunan
prasarana pemukiman pada lokasi baru.
Kolom 3 : Diisi pola usaha lokasi yang diprogramkan.
Kolom 4 dan 5 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan jalan
penghubung/poros dengan satuan km dan realisasinya
dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
jalan desa dengan satuan km dan realisasinya dalam
persentase bobot tertimbang.
. Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
gorong-gorong diameter 80 Cm dengan satuan meter dan
realisasinya dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 10 dan 11 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
gorong-gorong diameter 60 Cm dengan satuan meter dan
realisasinya dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 12 dan 13 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
jembatan kayu dengan satuan meter dan realisasinya dalam
persentase bobot tertimbang.
Kolom 14 dan 15 : Diisi dengan jumlah target dan realisasi pembangunan
jembatan semi permanen dengan satuan km dan
realisasinya dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 16 s.d. 19 : Diisi target dan realisasi pembangunan jembatan beton dan
jembatan non standar dengan satuan meter dan realisasinya
dalam persentase bobot tertimbang.
Kolom 20 s.d. 23 : Diisi target dan realisasi pembangunan drainase dan
dermaga dengan satuan unit pada bulan/tahun yang
bersangkutan dan realisasinya dalam persentase bobot
tertimbang.

4. Form Tabel B.4

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama UPT/lokasi, kabupaten penempatan transmigran.
Kolom 3 : Diisi dengan target penempatan transmigran dalam
satuan KK.
Kolom 4 : Diisi dengan realisasi penempatan transmigran yang berasal
dari penduduk setempat dalam satuan KK.
Kolom 5 s.d. 14 : Diisi dengan jumlah realisasi penempatan transmigran
dari daerah asal.
Kolom 15 : Diisi dengan jumlah kolom 5 sampai dengan kolom 14.
Kolom 16 : Diisi dengan jumlah penempatan transmigran penduduk
setempat (TPS) dan transmigran penduduk asal (TPA), yaitu
kolom 4 s.d. 14.

5. Form Tabel B.5

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama lokasi unit pemukiman transmigrasi yang
masih dibina (PTA) termasuk lokasi penempatan
transmigran yang baru.
6
Kolom 3 : Diisi dengan pola usaha yang diprogramkan.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah target penempatan transmigran baru
(PTB) dalam satuan KK.
Kolom 5 dan 6 : Diisi dengan realisasi penempatan transmigrasi baru
pada bulan/tahun yang bersangkutan dengan satuan KK dan
jiwa.
Kolom 7 s.d. 16 : Diisi dengan jumlah penempatan transmigran yang
sudah ada (PTA) berdasarkan tahun pembinaan T + 2
(tahun pembinaan 2 tahun) dan seterusnya dalam satuan
KK dan jiwa.
Kolom 17 : Diisi dengan jumlah transmigran yang dibina (PTA dan PTB)
pada tahun yang bersangkutan dengan satuan KK.
Kolom 18 s.d. 20 : Diisi dengan jumlah transmigran yang dibina (PTA dan PTB)
pada tahun yang bersangkutan dalam satuan jiwa (laki-laki
dan perempuan).
Kolom 21 : Diisi dengan jumlah UPT yang masih dalam pembinaan
(PTA dan PTB).

6. Form Tabel B.6

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama lokasi unit pemukiman transmigrasi yang
masih dibina (PTA) yang mendapat program peningkatan/
rehabilitasi sarana dan prasarana permukiman.
Kolom 3 : Diisi dengan pola usaha yang diprogram.
Kolom 4 s.d. 25 : Diisi target dan realisasi peningkatan/rehabilitasi jalan
penghubung/poros, jalan desa, gorong-gorong diameter
80 Cm dan 60 Cm, jembatan kayu, jembatan semi
permanen, jembatan beton, jembatan non standar, drainase
dermaga, sarana air bersih dan fasilitas umum. Realisasi
fisik dihitung berdasarkan presentase bobot tertimbang.

C. Form Tabel Realisasi Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Anggaran dan


Pengadaan Barang dan Jasa serta Permasalahan

1. Form Tabel C.1

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan nama program/kegiatan/jenis kegiatan yang
bersumber dari anggaran APBN (dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan).
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan pagu DIPA semula dan setelah direvisi (revisi
terakhir) apabila ada.
Kolom 5 : Diisi volume kegiatan dan satuannya sesuai dengan DIPA.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan realisasi keuangan dan fisik berdasarkan SPM
secara kumulatif dengan satuan rupiah dan persentase.
Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan realisasi fisik kegiatan baik dalam satuan
volume maupun persentase secara kumulatif.
Kolom 10 dan 11 : Diisi dengan permasalahan/hambatan dan upaya
penyelesaian yang berkaitan dengan pelaksanaan program
dan realisasi penyerapan anggaran.

2. Form Tabel C.2

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi dengan nama program/kegiatan/jenis kegiatan yang
bersumber dari anggaran APBD.
7
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan pagu DIPA semula dan setelah direvisi (revisi
terakhir) apabila ada.
Kolom 5 : Diisi volume kegiatan dan satuannya sesuai dengan DIPA.
Kolom 6 dan 7 : Diisi dengan realisasi keuangan dan fisik berdasarkan SPM
secara kumulatif dengan satuan rupiah dan persentase.
Kolom 8 dan 9 : Diisi dengan realisasi fisik kegiatan baik dalam satuan
volume maupun persentase secara kumulatif.
Kolom 10 dan 11 : Diisi dengan permasalahan/hambatan dan upaya
penyelesaian yang berkaitan dengan pelaksanaan program
dan realisasi penyerapan anggaran.

3. Form Tabel C.3

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi nama paket pekerjaan dan kegiatan/sub kegiatan.
Kolom 3 : Diisi dengan target sesuai DIPA dirinci menurut volume dan
biaya.
Kolom 5 : Cukup jelas.
Kolom 6 : Diisi dengan nama media yang digunakan dalam
mengumumkan pelelangan ataupun pemilihan/penunjukan
langsung.
Kolom 7 s.d. 10 : Diisi dengan realisasi pelaksanaan pelelangan ataupun
pemilihan/penunjukan langsung dirinci berdasarkan volume,
biaya, nama pihak III; dan kualifikasi golongan.

4. Form Tabel C.4

Kolom 1 : Cukup jelas.


Kolom 2 : Diisi sesuai dengan program yang ada di masing-masing
kantor/dinas.
Kolom 3 : Diisi dengan uraian masalah yang dihadapi dalam
melaksanakan program sesuai tugas dan fungsinya.
Kolom 4 : Diisi dengan upaya tindak lanjut yang telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan.
Kolom 5 : Diisi dengan usulan permasalahan di tingkat daerah yang
memerlukan penyelesaian di tingkat pusat.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

TTD

ERMAN SUPARNO

8
FORM : A.1
IZIN MEMPERKERJAKAN TENAGA ASING
MENURUT JABATAN, SUB SEKTOR, KEWARGANEGARAAN DAN LOKASI KERJA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
A. MENURUT JABATAN
1. Pimpinan
2. Profesional
3. Supervisor
4. Teknisi/Operator
5. Lain-lainnya
B. SUB SEKTOR
1. Perindustrian dan Perdagangan
- Industri Kimia
- Aneka Industri
- Industri Logam Mesin Elektro dan Aneka Perdagangan
2. Pertanian
- Pertanian
- Peternakan
3. Kehutanan
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
4. Kelautan dan Perikanan
- PBL Perikanan Tangkap
- PBL Perikanan Budidaya
5. Pertambangan dan Sumber Daya Mineral
- Pertambangan Umum
- Migas
- Listrik
6. Kesehatan
7. Perhubungan dan Telekomunikasi
- Perhubungan Darat
- Perhubungan Laut
- Perhubungan Udara
- Telekomunikasi
8. Pemukiman dan Prasarana Wilayah
9. Kebudayaan dan Pariwisata
- Hotel dan Rumah Makan
- Jasa Hiburan dan Kebudayaan
10. Agama
11. Keuangan
- Moneter
- Perbankan
- Asuransi
12. Sosial Kemasyarakatan
13. Pendidikan
14. Penerangan
15. Lembaga/Instansi Pemerintah
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6

C. KEWARGANEGARAAN

D. LOKASI KERJA

J U M L A H
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.2
KEBUTUHAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DIBUTUHKAN
NAMA PERUSAHAAN SEKTOR/ JABATAN YANG
No. DAERAH UMUM PENYANDANG CACAT JUMLAH
BADAN HUKUM SUB SEKTOR DIBUTUHKAN
ASAL TUJUAN L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

JUMLAH
Keterangan : SPP : Surat Penerbitan Penempatan; L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.3
REALISASI PENEMPATAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DITEMPATKAN
KABUPATEN/KOTA/ LOKASI DAERAH NAMA
No. SEKTOR UMUM PENYANDANG CACAT
KECAMATAN KERJA ASAL PERUSAHAAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.4
TARGET DAN REALISASI PROGRAM PERLUASAN DAN
PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KEGIATAN PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KEGIATAN PENEMPATAN
KABUPATEN/KOTA/ KESEMPATAN KERJA TENAGA KERJA
No.
KECAMATAN TKPMP TKMT TKS WUB TTG PK JML AKAD AKL AKSUS JML
T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; TKPMP : Tenaga Kerja Mandiiri Profesional; TKMT : Tenaga Kerja Mandiri Terampil;
TKS : Tenaga Kerja Sukarela; WUB : Wira Usaha Baru; TTG : Teknologi Tepat Guna; PK : Padat Karya; .............., .................
AKAD : Antar Kerja Antar Daerah; AKL : Antar Kerja Lokal; AKSUS : Angkatan Kerja Khusus Kepala Dinas/Kantor/Instansi
(Penyandang Cacat atau Lanjut Usia); Data kumulatif dari bulan Januari Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.5
TARGET DAN REALISASI PELAKSANAAN KEGIATAN
PROGRAM PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
MELALUI DANA DEKONSENTRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
F I S I K
No. K E G I A T A N TARGET REALISASI
(ORANG) (ORANG)
1 2 3 4

1. Bimbingan teknis pengantar kerja


2. Bimbingan teknis petugas pemandu wirausaha
3. Bimbingan teknis Tenaga Kerja Mandiri sektor informal
4. Bimbingan teknis pemandu Teknologi Tepat Guna
5. Bimbingan teknis tenaga kerja aksus
6. Bimbingan teknis petugas pemandu pendamping Tenaga Kerja Sukarela
7. Pembinaan dan pendayagunaan Tenaga Kerja Sukarela
8. Pembinaan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional
9. Pendayagunaan masyarakat untuk usaha produktif pola Gramen Bank
10. Promosi Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja
sektor pertanian dan jasa
11. Promosi PPKK sektor industri dan potensi daerah
12. Job Fair :
- Partisipasi perusahaan
- Partisipasi pengunjung
- Lowongan yang tersedia

JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.6
DATA PELAKSANAAN REKRUT CALON TENAGA KERJA INDONESIA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
NEGARA DAERAH FORMAL NON FORMAL
No. TOTAL NAMA PPTKIS
PENEMPATAN ASAL TKI LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

JUMLAH
Keterangan : PPTKIS : Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 dan 5 tidak diisi (tanda blok); data rekrut calon TKI berarti pekerja belum ditempatkan namun sudah resmi terdaftar .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM A.7
LAPORAN KEBERANGKATAN DAN KEPULANGAN TKI
BULAN/TAHUN : …………

DINAS PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
FORMAL NON FORMAL
No. NEGARA PPTKIS JUMLAH JUMLAH TOTAL ALASAN KEPULANGAN
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

A. Keberangkatan

Jumlah Keberangkatan
B. Kepulangan

Jumlah Kepulangan
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan khusus pada kolom 3 dan 11, pada keberangkatan tidak diisi (tanda blok)

.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.8
LAPORAN TENAGA KERJA INDONESIA PURNA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KABUPATEN/KOTA NEGARA JENIS KELAMIN JENIS USAHA TKI PURNA
No. JUMLAH
DAERAH ASALTKI PENEMPATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN USAHA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda di blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.9
WAJIB LAPOR PERUSAHAAN DAN SYARAT-SYARAT KERJA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH PEKERJA SYARAT-SYARAT KERJA
SKALA JUMLAH
No. KAB/KOTA/KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH PP PKB
PERUSAHAAN PERUSAHAAN
SWASTA BUMN JUMLAH SWASTA BUMN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

JUMLAH
Keterangan : PP : Peraturan Perusahaan; BUMN : Badan Usaha Milik Negara; PKB : Perjanjian Kerja Bersama
Skala Usaha : Perusahaan Kecil : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 orang .............., .................
Perusahaan Menengah : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 s.d. 49 orang Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Perusahaan Sedang : jumlah tenaga kerja kurang dari 50 s.d. 99 orang Provinsi/Kabupaten/Kota
Perusahaan Besar : jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang
Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) ...................................
FORM : A.10
PEMOGOKAN/UNJUK RASA
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH
TUNTUTAN
KABUPATEN/KOTA/ YANG TERLIBAT JAM KERJA
No. SEKTOR KASUS
KECAMATAN YANG HILANG NON
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH NORMATIF
NORMATIF
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.11
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PROSES PENYELESAIAN MEDIATOR YANG MENANGANI
KECAMATAN KASUS
KASUS DALAM PROSES SELESAI
1 2 3 4 5 6 7

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.12
PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PEKERJA YANG TER PHK
KECAMATAN ALASAN PHK
PERKARA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7

JUMLAH
Keterangan : PHK : Pemutusan Hubungan Kerja; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.13
FEDERASI SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH SP/SB, FEDERASI SP/SB, KONFEDERASI SP/SB
No. KABUPATEN/KOTA/KECAMATAN
SP/SB FEDERASI SP/SB KONFEDERASI SP/SB
1 2 3 4 5

JUMLAH
Keterangan : SP : Serikat Pekerja; SB : Serikat Buruh; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : A.14
REALISASI KEGIATAN PELATIHAN DAN
PRODUKTIVITAS DI UPTP DAN UPTD
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH REALISASI REALISASI WIRAUSAHA (USAHA
No. UNIT KERJA JENIS PELATIHAN JENIS KEJURUAN PESERTA KELULUSAN PENEMPATAN MANDIRI)
TARGET REALISASI L P L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

A. BLK/LLK - Institusional
- Non Institusional

B. BPPD - Institusional
- Non Institusional

C. BALATRANS

JUMLAH
Keterangan : L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.1
PENGERAHAN DAN PENEMPATAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH
JUMLAH JUMLAH JUMLAH DAERAH TUJUAN PENEMPATAN
PENEMPATAN
No. KABUPATEN/KOTA ANIMO PENDAFTAR TERSELEKSI
KABUPATEN/KOTA
(KK) (KK) (KK) (KK) (JIWA) PROVINSI
NAMA *) KK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : KK : Kepala Keluarga; *) Nama Kabupaten/Kota; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 8 dan 9 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.2
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PENYIAPAN PERMUKIMAN DAN SIAP TERIMA PENEMPATAN (STP)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI :
PEMBUKAAN LAHAN SARANA AIR FASILITAS SIAP TERIMA
RTJK
PROGRAM LP LU.I BERSIH UMUM PENEMPATAN
No. KABUPATEN/LOKASI POLA
(L/M/C) T R T R T R T R T R T R
(KK) (KK) (Ha) (Ha) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (KK) (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

JUMLAH
Keterangan : L : Luncuran; M : Murni; C : Cicilan; T : Target; R : Realisasi; LP : Lahan Pekarangan
LU.I : Lahan Usaha I; LU.II : Lahan Usaha II; RTJK : Rumah Trans dan Jamban Keluarga .............., .................
KK : Kepala Keluarga; Data kumulatif dari bulan Januari Kepala Dinas/Kantor/Instansi
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.3
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PRASARANA PERMUKIMAN
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI :
PEMBANGUNAN JALAN/GORONG-GORONG PEMBANGUNAN JEMBATAN
JALAN JALAN GORONG2 GORONG2 SEMI DRAINASE DERMAGA
KABUPATEN/ KAYU NON STANDAR
No. PHB/PRS DESA @ 80 Cm @ 60 Cm PERMANEN
LOKASI/UPT
T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(Km) (%) (Km) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (Unit) (%) (Unit) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; PHB/PRS: Penghubung/Poros; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.4
PERKEMBANGAN PENEMPATAN TRANSMIGRAN (PTB)
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET REALISASI PENEMPATAN (KK) JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI/UPT PENEMPATAN TPA PENEMPATAN
TPS
(KK) DKI JABAR BANTEN JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT LAIN-LAIN JUMLAH (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

JUMLAH
Keterangan : TPS : Transmigrasi Penduduk Setempat; TPA : Transmigrasi Penduduk Daerah Asal
Data kumulatif dari bulan Januari .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : B.5
DATA PERKEMBANGAN MASYARAKAT BINAAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PTB PTA (KK)
POLA REALISASI T+2 T+3 T+4 T+5 T>5 JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI TARGET
USAHA JIWA
(KK) KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK UPT
L P JML
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

JUMLAH
Keterangan : PTB : Pemukiman Transmigrasi Baru; PTA : Pemberdayaan Transmigran yang telah Ada
KK : Kepala Keluarga; UPT : Unit Pemukiman Transmigrasi; L : Laki-laki; P : Perempuan .............., .................
jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : C.1
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. DEPARTEMEN/LEMBAGA :
B. UNIT ORGANISASI :
C. KANTOR/SATKER :
D. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

A. APBN
1. Dekonsentrasi
- Program xx
- Program xy
2. Tugas Pembantuan
- Program xx
- Program xy

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran

...................................
FORM : C.2
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. KANTOR/SATKER :
B. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran

...................................
FORM : C.3
KEMAJUAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG, PEMILIHAN LANGSUNG DAN PELELANGAN
TAHUN ANGGARAN : ……………………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET KEGIATAN REALISASI PENGADAAN
SESUAI DIPA JENIS
MEDIA
No. PAKET PEKERJAAN PENGADAAN BIAYA NAMA KUALIFIKASI
BIAYA PENGUMUMAN VOLUME
VOLUME P/PL (Rp.000) PIHAK III GOLONGAN
(Rp.000)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JUMLAH
Keterangan : P : Pelelangan; PL : Penunjukan/Pemilihan Langsung; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 3, 5, 6, 7, 9, 10 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
FORM : C.4
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
BULAN/TAHUN : …………

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
USULAN DAERAH
No. PROGRAM URAIAN MASALAH UPAYA TINDAK LANJUT
PENYELESAIAN DI PUSAT
1 2 3 4 5

1. Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja

2. Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja

3. Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja

4. Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh

5. Pengembangan Wilayah Tertinggal

6. Pengembangan Wilayah Perbatasan

7. Program Lainnya

.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

...................................
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBIK INDONESIA
NOMOR : PER. 07/MEN/IV/2008

TENTANG

PENEMPATAN TENAGA KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.


207/MEN/1990 tentang Sistem Antar Kerja dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 203/MEN/1999 tentang
Penempatan Tenaga Kerja di Dalam Negeri sudah tidak sesuai
dengan kondisi ketenagakerjaan saat ini;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;

c. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat (1) Peraturan


Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota perlu
diatur penempatan tenaga kerja;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur penempatan
tenaga kerja yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor


Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3201);

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan


dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambaha n Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);

7. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor


Lowongan Pekerjaan di Perusahaan;

8. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang


Pengesahan Konvensi ILO Nomor 88 mengenai Lembaga
Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja;

9. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana


telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


05/MEN/IV/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Trans migrasi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PENEMPATAN TENAGA KERJA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Penempatan tenaga kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan kerja sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan.

2. Antar Kerja adalah suatu sistem yang meliputi pelayanan informasi pasar kerja,
penyuluhan dan bimbingan jabatan, dan perantaraan kerja.

3. Antar Kerja Lokal yang selanjutnya disebut AKL adalah penempatan tenaga kerja
antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

4. Antar Kerja Antar Daerah yang selanjutnya disebut AKAD adalah penempatan
tenaga kerja antar p rovinsi dalam wilayah Republik Indonesia.
5. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disebut AKAN adalah penempatan
tenaga kerja di luar negeri.

6. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah.
2
7. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP adalah izin yang diberikan
Pemerintah kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta untuk
merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu dan untuk
dipekerjakan pada calon pengguna/pemberi kerja tertentu dalam jangka waktu
tertentu.

8. Surat Persetujuan Penempatan yang selanjutnya disingkat SPP adalah surat


persetujuan dalam rangka penempatan tenaga kerja AKAD.

9. Pencari kerja adalah angkatan kerja yang sedang menganggur dan mencari
pekerjaan maupun yang sudah bekerja tetapi ingin pindah atau alih pekerjaan
dengan mendaftarkan diri kepada pelaksana penempatan tenaga kerja atau secara
langsung melamar pekerjaan kepada pemberi kerja.

10. Informasi Pasar Kerja yang selanjutnya disebut IPK adalah keterangan mengenai
karakteristik kebutuhan dan persediaan tenaga kerja.

11. Penyuluhan Jabatan adalah kegiatan pemberian informasi tentang jabatan dan
dunia kerja kepada pencari kerja dan/atau masyarakat.

12. Bimbingan Jabatan adalah proses membantu seseorang untuk mengetahui dan
memahami gambaran tentang potensi diri dan dunia kerja, untuk memilih bidang
pekerjaan dan karir yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.

13. Bursa kerja adalah tempat pelayanan kegiatan penempatan tenaga kerja .

14. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan melakukan
kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk .

15. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang antar kerja
dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan antar
kerja.

16. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disingkat LPTKS
adalah lembaga swasta berbadan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja.

17. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disingkat
PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis dari Menteri untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

18. Pameran kesempatan kerja adalah aktivitas untuk mempertemukan antara


sejumlah pencari kerja dengan sejumlah pemberi kerja pada waktu dan tempat
tertentu dengan tujuan penempatan.

19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi penempatan tenaga
kerja.

20. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dalam satu kesatuan pasar kerja nasional.

3
BAB II
PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA

Bagian Kesatu
Pelaksana

Pasal 3

Pelaksana penempatan tenaga kerja terdiri dari:


a. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. Lembaga swasta berbadan hukum.

Pasal 4

Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilarang memungut


biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan
kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.

Pasal 5

(1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a , terdiri dari:
a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di pusat;
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi;
c. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. merumuskan kebijakan di bidang penempatan tenaga kerja AKL, AKAD dan
AKAN;
b. merumuskan kebijakan dan pemberian SIP ;
c. pemberian SPP lintas provinsi;
d. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian LPTKS lintas provinsi;
e. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian PPTKIS ;
f. pencarian dan penyebarluasan lowongan pekerjaan di luar negeri;
g. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala nasional;
h. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja secara nasional
dan internasional;
i. pelayanan informasi pasar kerja skala nasional;
j. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala nasional;
k. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala nasional;
l. merumuskan kebijakan dan melaksanakan pengendalian penggunaan tenaga
kerja asing.

(3) Pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. pemberian ijin dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta skala
provinsi;
b. pemberian SPP lintas kabupaten/kota skala provinsi;
c. pembinaan pengantar kerja dan petugas antar kerja skala provinsi;
d. supervisi dan pengendalian pelaksanaan antar kerja skala provinsi;
e. penyebarluasan lowongan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
4
f. bertindak sebagai pusat kliring permintaan dan penawaran tenaga kerja
dari/kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
g. mengolah dan menganalisis hasil kegiatan antar kerja skala provinsi;
h. pelayanan informasi pasar kerja skala provinsi;
i. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala provinsi;
j. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala provinsi;
k. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala provinsi;
l. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala provinsi;
m. pengendalian penggunaan tenaga kerja asing.

(4) Pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,


mempunyai fungsi dan tugas meliputi:
a. pelayanan IPK skala kabupaten/kota;
b. pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala kabupaten/kota;
c. pelayanan penempatan tenaga kerja AKL, AKAD dan AKAN;
d. pelayanan perijinan dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta
skala kabupaten/kota;
e. pembinaan pelaksanaan bursa kerja di lembaga satuan pendidikan menengah,
pendidikan tinggi, dan pelatihan;
f. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala
kabupaten/kota;
g. melaksanakan pengembangan dan perluasan kesempatan kerja;
h. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala kabupaten/kota;
i. pengendalian penggunaan tenaga kerja asing.

Pasal 6

(1) Lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
adalah lembaga penempatan tenaga kerja swasta wajib memiliki ijin tertulis.
(2) Untuk memperoleh ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga swasta
berbadan hukum harus mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan:
a. copy akte pendirian dan/atau akte perubahan badan hukum yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. copy surat keterangan domisili perusahaan;
c. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun
1981 yang masih berlaku;
e. copy anggaran dasar yang memuat kegiatan yang bergerak di bidang jasa
penempatan tenaga kerja;
f. copy sertifikat hak kepemilikan tanah berikut bangunan kantor atau perjanjian
kontrak minimal 5 (lima) tahun yang dikuatkan dengan akte no taris;
g. bagan struktur organisasi dan personil;
h. rencana kerja lembaga penempatan tenaga kerja minimal 1 (satu) tahun;
i. pas foto pimpinan perusahaan berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga)
lembar;
j. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan.

Pasal 7

Permohonan ijin tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, diajukan kepada:


a. Direktur Jenderal untuk yang berskala nasional;
5
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi untuk yang
berskala provinsi; atau
c. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota
untuk berskala kabupaten/kota.

Pasal 8

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dilakukan verifikasi
oleh tim yang dibentuk oleh:
a. Direktur Jenderal untuk ijin yang berskala nasional;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
untuk ijin yang berskala provinsi;
c. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota .

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebanyak-banyaknya beranggotakan 5


(lima) orang.

(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus sudah selesai dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan.

(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak hasil verifikasi.

(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, Direktur
Jenderal ata u kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, harus mengeluarkan surat ijin usaha LPTKS dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.

Pasal 9

Surat Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), diberikan untuk jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun.

Pasal 10

(1) Permohona n perpanjangan surat ijin usaha LPTKS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir
masa berlakunya.

(2) Dalam hal LPTKS tidak memperpanjang surat ijin usahanya, maka LPTKS yang
bersangkutan wajib mengembalikan surat ijin tersebut kepada Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Pasal 11

(1) Permohonan perpanjangan surat ijin usaha LPTKS diajukan secara tertulis dan
bermaterai cukup dengan melampirkan:
a. copy surat ijin LPTKS yang masih berlaku; 6
b. bukti penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal atau kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam
bentuk rekapitulasi penempatan;
c. rencana penempatan tenaga kerja yang akan datang sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun;
d. copy bukti kepemilikan sarana dan prasarana kantor serta peralatan kantor,
atau bukti surat perjanjian sewa kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun;
e. pas foto penanggung jawab berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak 3 (tiga)
lembar.

(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Direktur Jenderal atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(3) LPTKS yang mengajukan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak dalam kondisi dijatuhi hukuman dan/atau kena sanksi.

Pasal 12

(1) Dalam hal permoho nan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dinyatakan lengkap maka ijin perpanjangan LPTKS diterbitkan oleh Direktur
Jenderal untuk skala nasional, atau kepala insta nsi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang berskala provinsi, atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk
ijin yang berskala kabupaten/kota.

(2) Ijin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima.

Pasal 13

Dalam hal terjadi perubahan nama perusahaan, alamat, dan direksi atau komisaris,
LPTKS harus menyampaikan perubahan surat ijin kepada Direktur Jenderal atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang
berskala provinsi, atau kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota.

Pasal 14

(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dapat memungut biaya
penempatan dari pengguna dan dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan
tertentu.

(2) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

(1) Selain pelayanan penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah dan
lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
7
pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan di lembaga satuan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dan pelatihan.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pela yanan penempatan
khusus bagi para lulusan, para siswa yang putus sekolah dan siswa yang masih
aktif.

(3) Lembaga yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disebut bursa kerja khusus harus menyampaikan laporan kegiatan penempatan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Pasal 16

Selain kegiatan pelayanan penempatan bagi pencari kerja dengan pemberi kerja yang
dilakukan oleh LPTKIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan bursa kerja khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, pameran kesempatan kerja antara pencari
kerja dan pemberi kerja dapat juga dilakukan oleh badan hukum lainnya.

Pasal 17

Untuk dapat melaksanakan kegiatan pameran kesempatan kerja sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16, penyelenggara wajib mendapatkan rekomendasi dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dengan
persyaratan sebagai berikut :
a. penyelenggara kegiatan berbadan hukum ;
b. peserta kegiatan adalah perusahaan pemberi kerja ;
c. melampirkan data jumlah dan syarat lowongan pekerjaan serta rencana
penempatan dari pemberi kerja; dan
d. tidak memungut biaya kepada pencari kerja dengan cara apapun.

Pasal 18

Pelaksana kegiatan pameran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, wajib:


a. melaporkan hasil penempatan langsung setelah selesai penyelenggaraan dan hasil
penempatan setelah paling lama 3 (tiga) bulan;
b. menjaga ketertiban umum .

Bagian Kedua
Fungsi dan Tugas Pelaksana Penempatan

Pasal 19

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,


mempunyai fungsi pelayanan:
a. IPK;
b. Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan;
c. Perantaraan Kerja.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta dapat melaksanakan sebagian fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 20

(1) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a , mempunyai tugas:
8
a. mengumpulkan, mengolah dan menyusun data IPK;
b. menganalisis pasar kerja;
c. menyajikan dan menyebarluaskan IPK.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b , mempunyai tugas:
d. melakukan penyuluhan jabatan;
e. memberikan bimbingan jabatan;
f. melaksanakan konseling kepada pencari kerja ;
g. melaksanakan analisis jabatan.
(3) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan perantaraan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c, mempunyai tugas :
a. melaksanakan pelayanan kepada pencari kerja;
b. melaksanakan pelayanan kepada pemberi kerja;
c. melaksanakan pencarian lowongan pekerjaan;
d. melakukan pencocokan antara pencari kerja dengan lowongan pekerjaan;
e. melaksanakan penempatan tenaga kerja ;
f. melaksanakan tindak lanjut penempatan tenaga kerja ;
g. membuat dan melaporkan penempatan tenaga kerja secara berkala.

Bagian Ketiga
Petugas Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja

Pasal 21

(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja pada instansi yang bertanggungjawab di


bidang ketenagakerjaan dilakukan oleh pengantar kerja .

(2) Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, wajib memiliki pejabat


fungsional pengantar kerja.

Pasal 22

Dalam hal instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


belum memiliki pengantar kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pelayanan
dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang di bidang
penempatan tenaga kerja.

Pasal 23

Petugas pelayanan penempatan pada LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


dan lembaga di satuan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta di lembaga
pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, harus memiliki kemampuan teknis di
bidang penempatan tenaga kerja .

BAB III
MEKANISME PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

Bagian Kesatu
Pelayanan Kepada Pencari Kerja

Pasal 24
9
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan secara manual dan/atau
sistem daring (on-line system).
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui sistem daring (on-line system)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terintegrasi dalam satu sistem
pelayanan penempatan tenaga kerja nasional.

Pasal 25

(1) Pencari kerja yang akan bekerja di dalam atau di luar negeri wajib dilayanani oleh
pengantar kerja di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

(2) Pencari kerja yang dilayani sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
menyerahkan fas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
memperlihatkan:
a. kartu tanda penduduk yang masih berlaku;
b. copy ijazah pendidikan terakhir bagi yang memiliki;
c. copy sertifikat keterampilan bagi yang memiliki; dan
d. copy surat keterangan pengalaman kerja bagi yang memiliki.

(3) Pencari kerja yang telah memperoleh pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I).

(4) Pengantar kerja wajib melakukan pengisian data pencari kerja (AK/II) melalui
wawancara langsung untuk mengetahui bakat, minat, dan kemampuannya.

(5) Kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), berlaku selama 2 (dua) tahun dengan keharusan melapor selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sekali terhitung sejak tanggal pendaftaran bagi pencari
kerja yang belum mendapat pekerjaan.

(6) Pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yang telah mendapatkan
pekerjaan wajib melaporkan bahwa yang bersangkutan telah diterima bekerja
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Pasal 26

(1) Dalam hal pencari kerja yang telah mendaftar melalui sistem daring (on-line
system) maka pencari kerja yang bersangkutan dapat memperoleh Kartu Tanda
Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dimana pencari kerja berada dengan
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan penempatan tenaga kerja melalui
sistem daring (on-line system ) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 27

Kartu Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) berlaku nasional.

10
Bagian Kedua
Pelayanan Kepada Pemberi Kerja

Pasal 28

(1) Pemberi kerja yang membutuhkan tenaga kerja wajib menyampaikan informasi
adanya lowongan pekerjaan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat :
a. jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan;
b. jenis pekerjaan, jabatan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan dalam
jenis kelamin, usia, pendidikan, keterampilan/keahlian, pengalaman kerja, dan
syarat-syarat lain yang diperlukan.

(3) Pengantar kerja atau petugas antar kerja pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah mencari dan/atau menerima
informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
mencatat dalam daftar isian permintaan tenaga kerja (AK/III) dan menerbitkan bukti
lapor lowongan pekerjaan.

Pasal 29

(1) Untuk mengisi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
wajib memenuhi lowongan pekerjaan sesuai data pencari kerja yang terdaftar
(AK/II).

(2) Dalam hal pencari kerja memenuhi persyaratan jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib melakukan pemanggilan kepada pencari
kerja dengan menggunakan kartu antar kerja (AK/IV).

(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib


mengirimkan pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada pemberi
kerja dengan membawa kartu antar kerja (AK/V).

(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


bersama-sama dengan pemberi kerja melakukan seleksi calon tenaga kerja sesuai
dengan persyaratan jabatan yang dibutuhkan.

Pasal 30

Bentuk dan format kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I), kartu data pencari
kerja (AK/II), kartu permintaan tenaga kerja (AK/III), kartu pemanggilan calon tenaga
kerja (AK/IV) dan surat pengantar dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kepada pemberi kerja (AK/V) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini.

BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
11
Pasal 31

(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja menurut lokasi kerja di bagi berdasarkan :
a. Penempatan tenaga kerja lokal;
b. Penempatan tenaga kerja antar daerah;
c. Penempatan tenaga kerja antar negara.

(2) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.

(3) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 32

(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja yang akan menempatkan tenaga kerja melalui
AKAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, harus memiliki SPP
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh:


a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
untuk penempatan tenaga kerja dalam kabupaten/kota;
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi untuk
penempatan tenaga kerja lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau
c. Direktorat Jenderal untuk penempatan tenaga kerja lintas provinsi.

(3) Untuk memperoleh persetujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
LPTKS harus mengajukan :
a. surat permintaan dan rencana kebutuhan tenaga kerja dari pemberi kerja;
b. rancangan perjanjian kerja antara calon tenaga kerja dengan pemberi kerja ;
c. perjanjian penempatan tenaga kerja antara calon tenaga kerja dengan LPTKS;
d. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota daerah penerima bagi penempatan tenaga kerja.

(4) Dalam hal penempatan tenaga kerja dilakukan oleh pemberi kerja, maka harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b dan
huruf d.

BAB V
PELAPORAN

Pasal 33

(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja, serta lembaga di satuan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, dan pelatihan wajib menyampaikan laporan mengenai data
penempatan tenaga kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:


a. pencari kerja yang terdaftar;
b. lowongan kerja yang terdaftar;
c. pencari kerja yang telah ditempatkan; dan
d. penghapusan pendaftaran pencari kerja dan lowongan kerja.
(3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal.
12
Pasal 34

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib


melaporkan data penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33, setiap bulan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi wajib


melaporkan data penempatan tenaga kerja setiap bulan kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal.

BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 35

Pembinaan penempatan tenaga kerja dilakukan oleh :


a. Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk skala nasional;
b. Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk skala provinsi;
c. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk skala kabupaten/kota.

Pasal 36

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota melakukan


monitoring dan evaluasi terhadap tenaga kerja yang ditempatkan.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 37

Pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan terhadap ditaatinya


Peraturan Menteri ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 38

(1) Menteri atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan
dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 33 ayat (1).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:


a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempata n;
c. pencabutan ijin atau rekomendasi.
(3) Tata cara penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
13
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur penempatan tenaga kerja tetap


berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 40

(1) LPTKS yang telah memiliki ijin penempatan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, paling
lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

(2) Apabila LPTKS dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan
Menteri ini, ijin LPTKS yang bersangkutan dicabut oleh Menteri.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka :


a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 207/MEN/1990 tentang Sistem Antar
Kerja; dan
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 203/MEN/1999 tentang Penempatan
Tenaga Kerja di Dalam Negeri,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

14
KEPUTUSAN dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TENTANG TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGANGKATAN DAN
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MEDIATOR PEMBERHENTIAN MEDIATOR SERTA TATA
SERTA TATA KERJA MEDIAS KERJA MEDIASI.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA BAB I


KETENTUAN UMUM
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 9 huruf g, Pasal 16
Undang - undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pasal 1
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
menetapkan syarat - syarat pengangkatan dan
pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi dalam 1. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
Keputusan Menteri ; pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan yang ditengahi oleh seorang atau
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun lebih mediator yang netral.
1999 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara 2. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut adalah pegawai
Republik Indonesia Tahun 199 Nomor 60, Tambahan instansi pemerintahan yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839 ) ; yang memenuhi syarat - syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 buruh hanya dalam satu perusahaan.
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ( 3. Perantara Hubungan Industrial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang
6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan
Nomor 4356 ) ; hubungan industrial serta penyelesaian perselisihan industrial.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M 4. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
Royong; dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
5. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
Negara Nomor 40/KEP/M/PAN/12/2000 tentang Jabatan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
Fungsional Perantara Hubungan Industrial dan Angka dalam satu perusahaan.
Kreditnya ;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5. Perselisihan hak adalah yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
Nomor 48/MEN/IV/2000 tentang Tata Cara Pembuatan adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. a. Telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan teknis hubungan
6. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan industrial dan syarat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat dari
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, b. Telah melaksanakan tugas di bidang pembinaan hubungan industrial
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. sekurang - kurangnya 1 ( satu ) tahun setelah lulus pendidikan dan
7. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul pelatihan teknis hubungan
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan industrial dan syarat kerja.
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
8. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya BAB III
hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham LEGITIMASI MEDIATOR
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan
pekerjaan Pasal 4
1). Tata cara untuk memperoleh legitimasi mediator sebagai berikut :
Pasal 2 a. Calon mediator pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pegawai Negeri Sipil di instansi yang bertanggung jawab di bidang diusulkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial ;
ketenagakerjaan dapat melakukan mediasi sebagaimana diatur dalam Undang - b. Calon mediator pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan ketenagakerjaan Provinsi diusulkan oleh Gubernur ;
Industrial setelah memperoleh pengangkatan dengan pemberian legitimasi sebagi c. Calon mediator pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
mediator dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. ketenagakerjaan Kabupaten / Kota diusulkan oleh Bupati / Walikota.

BAB II
SYARAT - SYARAT MEDIATOR 2). Pengajuan usul sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) dilengkapi dengan :
a. Copy ijazah pendidikan Strata Satu ( S1 ) ;
Pasal 3 b. Copy SK pangkat terakhir ;
1). Untuk menjadi mediator, seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu :
c. Copy SK penempatan atau SK penugasan pada unit kerja yang
a. Pegawai Negeri Sipil pada instansi/dinas yang bertanggung jawab di membidangi hubungan industrial ;
bidang ketenagakerjaan ;
d. Copy sertifikat pendidikan tehnis hubungan industrial dan syarat kerja ;
b. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
e. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter ;
c. Warga negara Indonesia ;
f. Foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm 2 ( dua ) lembar ;
d. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter ;
g. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai 2 ( dua ) tahun terakhir.
e. Menguasai peraturan perundang - undangan dibidang ketenagakerjaan :
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela ; Pasal 5
g. Berpendidikan sekurang - kurangnya Strata Satu (S1) ; dan Di dalam kartu legitimasi dicantumkan wilayah kerja sesuai dengan wilayah
h. Memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. kerja instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
mengusulkan.

2) Untuk memperoleh legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h,


harus memenuhi syarat :
BAB IV Pasal 9
MEDIATOR KHUSUS Mediator mempunyai kewenangan :
a. Menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih
Pasal 6
dahulu dengan itikad baik sebelum dilaksanakan mediasi ;
1. Berdasarkan pertimbangan tertentu Menteri dapat memberikan legitimasi
b. Meminta keterangan, dokumen, dan surat - surat yang berkaitan dengan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
perselisihan
Kabupaten/ Kota untuk menjadi mediator .
c. Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan ;
2. Pemberian legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) tidak mengikuti
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. d. Membuka buku dan meminta surat - surat yang diperlukan dari para pihak
dan instansi atau lembaga terkait ;
3. Pemberian legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dilakukan
melalui pengusulan dari Kepala Daerah setempat. e. Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata
tidak memiliki surat kuasa.
4. Legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) berlaku selama yang
bersangkutan menjabat sebagai kepala instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. BAB VI
KEDUDUKAN MEDIATOR

Pasal 10
BAB V
TUGAS KEWAJIBAN DAN WEWENANG MEDIATOR Mediator berkedudukan di :
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ;
Pasal 7 b. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk Provinsi ;
menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
c. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
Kabupaten / Kota.
perusahaan.

Pasal 8 Pasal 11
(1). Mediator mempunyai kewajiban (1). Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
a. Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan Transmigrasi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang
yang diperlukan ; terjadi lebih dari satu wilayah Provinsi.
b. Mengatur dan memimpin mediasi ; (2). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
c. Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai
industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota.
d. Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan ;
(3). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
e. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
f. Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota tempat
pekerja / buruh bekerja.
(2). Bentuk risalah, laporan dan tata cara pelaporan sebagaimanan dimaksud (4). Dalam hal satu wilayah kerja Kabupaten / Kota tidak mempunyai mediator
dalam ayat (1) huruf e dan huruf f diatur dengan Keputusan Direktur atau mediator yang ada tidak mencukupi jumlahnya, maka untuk
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang
bersangkutan dapat meminta bantuan tenaga mediator kepada kepala instansi telah ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang terdekat dalam 1 Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani
(satu) Provinsi. untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran ;
h. Membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan
Pasal 12 industrial.
Dalam hal perselisihan menimbulkan dampak yang mempengaruhi kepentingan (2). Dalam hal salah satu pihak atau para pihak mengunakan jasa kuasa hukum
nasional, maka Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mengambil langkah dalam sidang mediasi, maka pihak yang menggunakan jasa hukum tersebut
penyelesaian, berkordinasi dengan Kepala Daerah setempat. harus tetap hadir.
(3). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka permohonan
Pasal 13
tersebut dihapus dari buku perselisihan.
Dalam hal perselisihan hubungan industrial menyangkut mengenai perundingan
(4). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
Perjanjian Kerja Bersama yang tidak dapat mencapai kesepakatan pada tingkat
penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka mediator
mediasi di Kabupaten / Kota atau Provinsi, maka berdasarkan kesepakatan para
mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data - data yang ada.
pihak, perselisihan dapat disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk mendapatkan langkah - langkah penyelesaian. (5). Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis maka para
pihak dianggap menolak anjuran, mediator mencatat dalam buku
perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan
BAB VII melaporkan kepada pejabat yang memberi penugasan.
KEDUDUKAN MEDIATOR (6). Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya secara tertulis,
maka mediator membantu pembuatan perjanjian bersama secara tertulis
Pasal 14 selambat - lambatnya 3 (3) hari kerja sejak anjuran disetujui para pihak yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak dan mediator sebagai saksi.
(1). Segera setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator
harus : (7). Anjuran tertulis mediator memuat :
a. Melakukan penelitian berkas perselisihan; a. Keterangan pekerja / buruh atau keterangan serikat pekerja / serikat
buruh;
b. Melakukan sidang mediasi paling lambat 7 ( tujuh hari kerja setelah
menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ; b. Keterangan pengusaha ;
c. Mencapai para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang c. Keterangan saksi / saksi ahli apabila ada ;
denganmempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang mediasi d. Pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator ;
dapat dilaksanakan selambat - lambatnya 7 (hari) kerja sejak menerima e. Isi anjuran.
pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ;
(8). Dalam hal mediator mengeluarkan anjuran dengan mempertimbangkan
d. Melaksakan sidang mediasi dengan mengupayakan penyelesaian secara keterangan yang harus dirahasiakan menurut permintaan pemberi
musyawarah untuk mufakat ; keterangan, maka dalam anjuran mediator cukup menyatakan kesimpulan
e. Mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila berdasarkan keterangan yang harus dirahasiakan dalam pertimbangannya.
penyelesaian tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambat - (9). Dalam hal diperlukan, mediator dapat melakukan dengan pegawai pengawas
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang pertama ; ketenaga kerjaan.
f. Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai
kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh mediator ;
g. Memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersana yang
Pasal 15 diakibatkan dari kelalaian mediator maka atasan langsung mediator
Penyelesaian melalui mediasi sebagaina dimaksud dalam Pasal 14 harus sudah menjatuhkan lisan.
selesai dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya pelimpahan penyelesaian perselisihan. Pasal 19
(1). Teguran lisan dilakukan setiap kali mediator tidak dapat menyelesaikan
Pasal 16 tugas dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari kerja.
(1). Dalam hal instansi yang bertangung jawabdi bidang ketenagakerjaan (2). Teguran tertulis diberikan setelah melalui teguran lisan sebanyak 3 ( tiga )
menerima pemberitahuan pemogokan atau penutupan perusahaan, maka atas kali.
penunjukan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang (3). Pemberhentian sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis
ketenagakerjaan mediator segera mengupayakan penyelesaian dengan sebanyak 3 ( tiga ) kali.
mempertemukan para pihak untuk melakukan musyawarah agar tidak terjadi
pemogokan atau penutupan perusahaan.
Pasal 20
(2). Dalam hal musyawarah untuk menghentikan pemogokan atau penutupan
perusahaan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan mengacu kepada (1). Pemberhentian sementara sebagai mediator berlaku untuk jangka waktu
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14. selama 2 (dua) bulan.
(2). Pemberhentian sementara dilakukan dengan kartu legitimasi oleh kepala
instansi tempat kedudukan mediator yang bersangkutan.
BAB VIII
(3). Selama pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
PENCABUTAN LEGITIMASI MEDIATOR
mediator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan.

Pasal 17
Pasal 21
(1). Pemberhentian mediator dilakukan dengan pencabutan legitimasi oleh
(1). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara
Menteri.
pertama, maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian
(2). Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilakukan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan pemberhentian
karena : sementara yang kedua.
a. Meninggal dunia ; (2). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara kedua,
b. Permintaan sendiri ; maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali
c. Memasuki usia pensiun ; sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikenakan pemberhentian sementara
yang ketiga.
d. Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ;
e. Tidak bertugas lagi pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Pasal 22
f. Telah dikenakan pemberhetian sementara sebanyak 3 ( tiga ) kali. (1). Sebelum mediator dikenakan pemberhentian tetap, maka yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14 ( empat belas ) hari
kerja sejak tanggal penerimaan pemberhentian sementara yang ketiga.
Pasal 18
(2). Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai berikut :
(1). Dalam hal mediator dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 30 (tiga puluh )
a. Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
hari kerja maka atasan langsung mediator harus meneliti sebab - sebab tidak
Transmigrasi pembelaan diri dilakukan dihadapan Direktur Jenderal
selesainya perselisihan.
Pembinaan Hubungan Industrial
(2). Dalam hal sebab - sebab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata
b. Mediator yang berkedudukan di Provinsi pembelaan diri dilakukan ini berlaku efektif sejak mulai berlakunya Undang - undang Nomor 2 Tahun
dihadapan Gubernur. 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
c. Mediator yang berkedudukan di Kabupaten / Kota pembelaan diri
dilakukan dihadapan Bupati /Walikota. BAB X
(3). Dalam hal mediator menggunakan kesempatan membela diri sebagaimana KETENTUAN PENUTUP
dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) membuat risalah tentang pembelaan diri mediator.
Pasal 24
(4). Risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan dilampiri dokumen
pendukung disampaikan kepada Menteri dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri
kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh mediator. Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER-02/MEN/1985 tentang Syarat
Penunjukan, Tugas, Kedudukan dan Wewenang Pegawai Perantara
(5). Risalah sekurang - sekurangnya memuat :
dinyatakan tidak berlaku lagi.
a. Keterangan mediator;
b. Keterangan saksi apabila ada ;
Pasal 25
c. Pendapat atasan langsung mediator ;
d. Pendapat pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ).
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(6). Apabila mediator tidak menggunakan kesempatan membela diri dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat
Ditetapkan di Jakarta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengusulkan kepada Menteri untuk
pada tanggal 4 Oktober 2004
mencabut legitimasi mediator yang bersangkutan.
(7). Dalam hal pembelaan mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat MENTERI
diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat sebagaimana TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
dimaksud dalam ayat (2) mengembalikan kartu legitimasi mediator. REPUBLIK INDONESIA
(8). Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri menerbitkan ttd
keputusan pencabutan legitimasi mediator yang bersangkutan.
JACOB NUWA WEA

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 23
(1). Pegawai perantara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
diangkat sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri ini dapat diberi
legitimasi sebagai mediator.
(2). Untuk mendapatkan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bupati / Walikota atau Gubernur atau Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial mengusulkan kepada Menteri.
(3). Pelaksanaan tugas mediator sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
NOMOR : PER -10/MEN/V/2005

TENTANG Memperhatikan 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat lembaga Kerjasama Tripartit


:
Nasional tanggal 13 Januari 2004;
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KONSILIATOR
SERTA TATA KERJA KONSILIASI
Kesepakatan rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
2.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, tanggal 31 Maret 2005;

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 ayat (1) huruf i, Pasal 28 dan MEMUTUSKAN
Pasal 121 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu menetapkan
syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian konsiliator serta tata Menetapkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
kerja konsiliasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial : REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGANGKATAN DAN
dengan Peraturan Menteri; PEMBERHENTIAN KONSILIATOR SERTA TATA KERJA KONSILIASI

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BAB I


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
UMUM
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
1. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator
Republik Indonesia Nomor 4356);
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4437);
serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Peme rintah dan Kewenangan 2. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
Provinsi sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
Republik Indonesia Nomor 3952);
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral. d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
3. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang f. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, kurangnya 5 (lima) tahun;
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. ketenagakerjaan;
i. tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/POLRI;
4. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam j. lulus mengikuti program latihan yang diselenggarakan oleh
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pemerintah.
perbuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. (2) Pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g,
meliputi kegiatan yang pernah dilakukan sebagai :

5. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang a. penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai b. kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
c. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha;
6. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan d. konsultan hukum bidang hubungan industrial;
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya e. pengelola sumber daya manusia di perusahaan;
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
f. dosen, tenaga pengajar, dan peneliti di bidang hubungan
kewajiban keserikatanpekerja. industrial;
g. anggota P4D/P4P atau Panitera P4D/P4P;
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi h. narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium
dan lain-lain di bidang hubungan industrial.

BAB II
SYARAT-SYARAT KONSILIATOR (3) Dalam hal calon konsiliator tidak memenuhi pengalaman 5 (lima)
tahun untuk salah satu kegiatan, maka pengalaman 5 (lima) tahun
dapat diperhitungkan dari penggabungan beberapa kegiatan
(1) Untuk menjadi konsiliator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
yaitu :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa; (4) Pengalaman 5 (lima) tahun atas perhitungan penggabungan
b. warga negara Indonesia; beberapa kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan
dengan surat keterangan Kepala Instansi yang bertanggung jawab di
c. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat.
Tim Seleksi yang dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 3
(6) Materi seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

(1) Untuk dapat diangkat menjadi konsiliator, calon konsiliator a. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
mengajukan pendaftaran dengan menyampaikan permohonan b. hubungan industrial dan sarananya;
tertuilis kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Bupati /Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di c. penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam maupun
bidang ketenagakerjaan setempat. di luar pengadilan hubungan industrial;
d. persyaratan kerja, kondisi kerja, pengupahan dan jaminan sosial
tenaga kerja;
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
melampirkan: e tehnik negosiasi.
a. surat pernyataan tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI/POLRI;
Pasal 4
b. daftar riwayat hidup calon konsiliator;
c. copy ijazah pendidikan minimal Strata Satu (S1) yang telah
(1) Calon konsiliator yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud
dilegalisir rangkap 2 (dua);
dalam Pasal 3, diusulkan oleh Bupati/Walikota daengan melampirkan
d. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; tanda lulus seleksi kepada Menteri untuk mendapatkan legitimasi
sebagai konsiliator.
e. surat berkelakuan baik dari kepolisian;
(2) Calon konsiliator yang diusulkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana
f. copy KTP yang masih berlaku; dimaksud pada ayat (1) diberi legitimasi sebagai konsiliator dengan
g. pas foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm, sebanyak 4 (empat) Keputusan Menteri.
lembar; (3) Konsiliator yang telah mendapat legitimasi sebagaimana dimaksud
h. surat keterangan telah memiliki pengalaman di bidang hubungan pada ayat (1), melapor kepada Bupati/Walikota untuk dicatat
industral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) sebagai konsiliator dan didaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
setempat.
(3) Bupati/Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di BAB III
bidang ketenagakerjaan setempat setelah menerima permohonan
TUGAS DAN WEWENANG KONSILIATOR
tertulis calon konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terlebih dahulu melakukan seleksi atas kelengkapan berkas Pasal 5
permohonan.
Konsiliator bertugas melakukan konsiliator kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
(4) Terhadap calon konsiliator yang telah memenuhi kelengkapan berkas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan seleksi tertulis. Pasal 6
Konsiliator mempunyai kewenangan :
(5) Seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh a. meminta keterangan kepada para pihak;
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kesepakatan;
kuasa; d. membuat anjuran tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
c. menolak melakukan konsiliasi bagi pra pihak yang belum melakukan penyelesaian;
perundingan secara bipartit; e. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; f. membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; ditangani;

f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para g. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan
pihak instansi/lembaga terkait. industrial kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
BAB IV
KEWAJIBAN KONSILIATOR BAB V
PENDAFTARAN DAN KEDUDUKAN KONSILIATOR
Pasal 5
Pasal 8
KOnsiliator bertugas melakukan konsiliasi kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan Konsiliator terdaftar di instansi yang bertanggung jawab di bidang
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pasal 9
Pasal 6 (1) Konsiliator melakukan konsiliasi penyelesaian perselisihan hubungan
a. meminta keterangan kepada para pihak; industrial yang terjadi di Kabupaten/Kota tempat pekerja/buruh
bekerja.
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat
kuasa; (2) Berdasarkan permintaan para pihak yang berselisih, konsiliator dapat
melakukan konsiliasi diluar wilayah konsiliator terdaftar dengan seijin
c. menolak melakukan konsiliasi bagi para pihak yang belum Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melakukan perundingan secara bipartit; di tempat konsiliator terdaftar.
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; (3) Berdasarkan pertimbangan anggaran, Kepala Instansi yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliator
terdaftar berwenang menolak permintaan para pihak sebagaimana
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para dimaksud pada ayat (2)
pihak dan instansi/lembaga terkait.
BAB VI
BAB IV TATA KERJA KONSILIATOR
KEWAJIBAN KONSILIATOR
Pasal 10
Pasal 7
(1) Setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara
Konsiliator mempunyai kewajiban : tertulis dari para pihak, kosiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh
a. memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar para pihak segera :
keterangan yang diperlukan; a mencatat dalam buku yang dibuat khusus untuk itu;
b. mengatur dan memimpin konsiliasi; b melakukan penelitian berkas perselisihan termasuk risalah
c. membantu membuat perjanian bersama apabila tercapai perundingan bipartit;
c melakukan sidang konsiliasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja (6) Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya
setelah menerima permintaan penyelesaian secara tertulis; secara tertulis, maka konsiliator membantu pembuatan perjanjian
bersama selambat-lambatnya 3 (t iga) hari kerja sejak anjuran
d memanggil para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang disetujui para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak
dengan mempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang
dan konsiliator sebagai saksi.
konsiliasi dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak menerima penyerahan penyelesaian perselisihan; (7) Anjuran tertulis konsiliator memuat :
e melaksanakan sidang konsiliasi dengan mengupayakan a keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat
penyelesaian perselisihan secara musyawarah untuk mufakat; buruh;
f mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila b keterangan pengusaha;
penyelesaian perselisihan tidak mencapai kesepakatan dalam
c keterangan saksi/saksi ahli apabila ada;
waktu selambat-lambatnya 10 (sepulh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama; d pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator;
g membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila e isi anjuran.
tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator; (8) Dalam hal konsiliator mengeluarkan anjuran dengan
mempertimbangkan keterangan yang harus dirahasiakan menurut
h memberitahukan para pihak untuk mendaftarkan perjanjian permintaan pemberi keterangan, maka dalam anjuran konsiliator
bersama yang telah ditandatangani ke Pengadilan Hubungan cukup menyatakan kesimpulan berdasarkan keterangan yang harus
Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian dirahasiakan dalam pertimbangannya.
bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran; Pasal 11

i membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan Penyelesaian di tingkat konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sudah
idustrial. selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permintaan penyelesaian perselisihan.
(2) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menggunakan jasa kuasa
hukum dalam sidang konsiliasi, maka pihak yang menggunakan jasa BAB VII
kuasa hukum tersebut harus tetap hadir. PEMBERHENTIAN KONSILIATOR

(3) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan Pasal 12
waktu penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka
(1) Pemberhentian konsiliator dilakukan dengan pencabutan legitimasi
konsiliator melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab oleh Menteri.
dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat untuk
dihapuskan dari buku perselisihan. (2) Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan karena :
(4) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan
waktu penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka a meninggal dunia;
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data-data
b permintaan sendiri;
yang ada.
c terbukti telah melakukan tindak pidana kejahatan;
(5) Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak anjuran tertulis dikeluarkan, d menyalahgunakan jabatan;
maka para pihak dianggap menolak anjuran, selanjutnya konsiliator
e membocorkan keterangan yang seharusnya dirahasiakan;
mencatat dalam buku perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat
diselesaiakan melalui konsiliasi. f telah dikenakan pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga) kali.
(3) Sebelum dilakukan pencabutan legitimasi sementara sebagaimana bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliastor terdaftar.
dimaksud pada ayat (2) huruf f, terhadap konsiliator yang Pasal 15
bersangkutan diberikan teguran tertulis.
(1) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
Pasal 13 pertama, maka apbila konsiliator yang bersangkutan melakukan
(1) Teguran tertulis diberikan konsiliator apablia : kelalaian kembali sebagaiman dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
dikenakan pencabutan seme ntara yang kedua.
a tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dalam hal para pihak tidak (2) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
tercapai kesepakatan; kedua maka apabila konsiliator yang bersangkutan mealakukan
kelalaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
b tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam pencabutan sementara yang ketiga.
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja;
Pasal 16
c tidak menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 (tiga pulh) hari
kerja; aatau (1) Sebelum konsiliator dikanakan pencabutan tetap, maka yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14
d tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan pemberitahuan
Pasal 7 huruf g. pencabutan sementara yang ketiga.
(2) Dalam hal sebab-sebab sebagaiman dimaksud pada ayat (1) (2) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
ternyata diakibatkan dari kelalaian konsiliator maka Bupati/Walikota dihadapan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, menjatuhkan
menjatuhkan teguran tertulis kepada konsiliator yang teguran tertulis kepada konsiliator yang berkedudukan di
berkekdudukan di Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota.
(3) Pencabut an sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis (3) dalam hal konsiliator menggunakan kesempatan membela diri
sebanyak 3 (tiga) kali dalam waktu 2 (dua) bulan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pejabat sebagaimana
Pasal 14 dimaksud pada ayat (2) membuat risalah tentang pembelaan diri
konsiliator.
(1) Pencabutan sementara sebagai konsiliator berlaku untuk waktu
selama 3 (tiga) bulan. (4) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan dilampiri
dokumen pendukung, disamping kepada menteri dalam waktu 30
(2) Pencabutan sementara dilakukan dengan me narik legitimasi oleh (tiga puluh) hari kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh
Menteri. konsiliator.
(3) Menteri dapat mendelegasikan pencabutan sementara sebagaimana (5) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekuarng-kurangnya
dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pembinaan memuat :
Hubungan Industrial, Gubernur atau Bupati/Walikota.
a keterangan konsiliator;
(4) Selama pancabutan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
konsiliator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan b keterangan saksi apabila ada;
yang baru tetapi wajib menyelesaikan perselisihan yang sedang c pendapat pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
ditangani.
(6) Apabila konsiliator tidak menggunakan kesempatan membela diri
(5) Dalam hal Menteri atau Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan dalam tenggang waktu sebagaiman dimaksud ayat (1), maka
Industrial atau Gubernur atau Bupati/Walikota mencabut legitimasi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengusulkan kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pencabutan sementara Menteri untuk mencabut legitimasi konsiliator yang bersangkutan.
tersebut harus diumumkan, sekurang-kurangnya ditempatkan pada
papan pengumuman di kantor instansi yang bertanggung jawab di (7) Dalam hal pembelaan konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk mengembalikan kartu
legitimasi konsiliator.
(8) Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri
menerbitkan keputusan pencabutan legitimasi konsiliator yang
bersangkutan.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 17
Konsiliator wajib membuat laporan konsiliasi setiap 3 (tiga) bulan,
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dengan tembusan kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota setempat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2005

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala biro hukum,

Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
REPUBLIK INDONESIA 1. Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas adalah suatu lembaga non
struktural yang bersifat triparti.
NOMOR : PER-03/MEN/I/2005
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
TENTANG
mandiri, dan tanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN
DEWAN PENGUPAHAN NASIONAL 3. Organisasi pengusaha adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia(APINDO).
4. Perguruan Tinggi adalah Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA 5. Pakar adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan pengalaman di bidang pengupahan.
6. Menten adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor
107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, perlu diatur mengenai Cara BAB II
Pengusulan Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dengan Peraturan KEANGGOTAAN
Menteri; Bagian Pertama
Mengingat : Jumlah Anggota
1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 2
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39;
Anggota Dewan Pengupahan Nasional berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang, yang terdiri dari :
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
a. unsur pemerintah sebanyak 10 (sepuluh) orang;
4279);
b. unsur serikat pekerja/serikat buruh sebanyak 5 (lima) orang;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 c. unsur organisasi pengusaha sebanyak 5 (lima) orang;dan
tentang Dewan Pengupahan; d. unsur perguruan tinggi dan pakar sebanyak 3 (tiga) orang.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; Bagian kedua
Keterwakilan Masing-masing Unsur
Memperhatikan- : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional Pasal 3
tanggal 2 Desember 2004;
(1) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dan unsur pemerintah terdiri dari :
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebanyak 3(tiga) orang;
tanggal 13 Desember 2004;
b. Kantor Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian 1(satu) orang;
c. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 1(satu) orang;
MEMUTUSKAN : d. Badan Pusat Statistik 1(satu) orang;
e. Departemen Perindustrian 1 (orang);
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK f. Departemen Perdagangan 1 (satu) orang;
INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN DEWAN g. Departemen Pertanian 1(satu) orang;
PENGUPAHAN NASIONAL. h. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 1(satu) orang.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur organisasi pengusaha diwakili oleh
BAB I APINDO.
KETENTUAN UMUM (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditetapkan
Pasal 1 sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencat atan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Pasal 8
Dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
(4) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur perguruan tinggi dan pakar terdiri dari : Susunan keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional yang diusulkan oleh Menteri kepada Presiden:
a. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
a. Akademis; sebagai Ketua merangkap anggota;
b. Pakar Ekonomi. b. satu orang wakil dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebagai wakil ketua merangkap
anggota;
BAB III c. satu orang wakil dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai wakil ketua merangkap anggota;
PROSEDUR PENGUSULAN KEANGGOTAAN
Bagian Kesatu d. Direktur Pengupahan, Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Departemen Tenaga Kerja dan
Unsur Pemerintah Transmigrasi sebagai sekretaris merangkap anggota ;
Pasal 4 e. anggota.
Calon anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Departemen Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi,
Perguruan Tinggi dan Pakar ditunjuk oleh Menteri. Pasal 9
Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Permintaan nama calon anggota dari instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), huruf
b sampai dengan huruf h disampaikan oleh Menteri kepada Pimpinan Departemen atau Kementrian Ditetapkan di Jakarta
atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. pada tanggal 31-1-2005

Bagian Kedua MENTERI


Unsur Organisasi Pengusaha TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Pasal 6 REPUBLIK INDONESIA,
Permintaan nama calon anggota dari organisasi pengusaha sebagimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2), disampaikan oleh Menteri kepada Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia
(DPN APINDO). FAHMI IDRIS

Bagian Ketiga
Unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 7

(1) Permintaan nama calon anggota dari unsur serikat pekerja/serikat buruh disampaikan oleh
Menteri kepada serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan
Nasional.
(2) Penentuan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan Nasional
sebagaimana dimakdwsud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.16/MEN/2001 tentang Tata Cara
Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial.

BAB IV
SUSUNAN KEANGGOTAAN
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
NOMOR : PER. 02/MEN/XII/2004 Tahun' 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4279);
TENTANG 4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
BAGI TENAGA KERJA ASING 3520);

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Menimbang : a. bahwa program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bertujuan
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja beserta
PER-05/MEN/1993 tent ang Petunjuk Teknis Pendaftaran
keluarganya;
Kepesertaan, Pembayaran luran, Pembayaran Santunan dan
b. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, mengamanatkan pelaksanaan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diberlakukan kepada 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia; PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik
c. bahwa sebagian tenaga kerja asing yang bekerja di Indouesia dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan
telah mendapatkan perlindungan melalui berbagai program Sosial Tenaga Kerja;
asuransi jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya;
MEMUTUSKAN :
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b dan c maka perlu diatur Jaminan Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
Sosial Bagi Tenaga Kerja Asing dengan Peraturan Menteri; TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan TENAGA
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun KERJA BAGI TENAGA KERJA ASING.
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Pasal 1
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4); Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
Indonesia Nomor 3468): dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pasal 2

Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang telah memiliki perlindungan
melalui program jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya yang sejenis dengan
program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, tidak wajib mengikutsertakan
tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga kerja di
Indonesia .

Pasal 3

Keikutsertaan Tenaga Kerja Asing pada program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dibuktikan denaan polis asuransi asli.

Pasal 4

Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5

Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku seiak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31-12-2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MEMUTUSKAN :
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
REPUBLIK INDONESIA TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA
NOMOR : KEP. 225 /MEN/2003 AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA.

TENTANG
BAB I
ORGANISASI DAN TATA KERJA
KETENTUAN UMUM
LEMBAGA AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA
Pasal 1
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu 1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
diatur tentang Organisasi dan tata kerja lembaga meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
akreditasi lembaga pelatihan kerja; sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 2. Akreditasi pelatihan kerja adalah pengakuan status program pelatihan kerja
berbasis kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja melalui
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan penilaian yang dilakukan oleh lembaga akreditasi pelatihan kerja berdasarkan
kriteria standar yang ditetapkan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 3. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik BAB II
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUGAS
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
Pasal 2
4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
(1) Lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja yang selanjutnya disebut lembaga
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama akreditasi merupakan lembaga yang bersifat independen dan ditetapkan oleh
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; Menteri.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdomisili di Jakarta.
Pasal 3
(3) Keanggotaan lembaga akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 11 (sebelas)
Lembaga akreditasi berfungsi mengembangkan sistem dan melaksanakan akreditasi orang.
lembaga pelatihan kerja.
(4) Menteri menetapkan keanggotaan lembaga akreditasi berdasarkan usulan dari
Pasal 4 instansi pemerintah terkait dan masyarakat.

(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 lembaga Pasal 7
akreditasi mempunyai tugas :
a. menyusun kebijakan akreditasi lembaga pelatihan kerja; Untuk melaksanakan akreditasi, lembaga akreditasi dapat membentuk komite akreditasi
b. mengembangkan sistem akreditasi lembaga pelatihan kerja; sesuai kebutuhan.
c. melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan sistem akreditasi lembaga
pelatihan kerja; Pasal 8
d. mengembangkan kerjasama internasional antar lembaga akreditasi pelatihan
kerja. Komite akreditasi mempunyai tugas :
a. menetapkan tim pelaksana akreditasi lembaga pelatihan kerja;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga b. melaksanakan bimbingan teknis akreditasi;
akreditasi harus berpedoman kepada standar nasional pelatihan kerja yang c. melaksanakan akreditasi lembaga pelatihan kerja;
ditetapkan oleh Menteri. d. membuat laporan pelaksanaan kegiatan akreditasi.

BAB III Pasal 9


ORGANISASI DAN TATA KERJA
(1) Susunan keanggotaan komite akreditasi pelatihan kerja terdiri dari ketua,
Pasal 5 sekretaris dan anggota.

(1) Keanggotaan lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja terdiri dari unsur (2) Keanggotaan komite akreditasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
masyarakat yang dipilih berdasarkan keahlian dan profesionalisme serta unsur (1) terdiri dari tenaga profesional dan praktisi yang berasal dari unsur pemerintah,
pemerintah. asosiasi lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi dan pakar
di bidang pelatihan kerja.
(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari asosiasi
lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi atau pakar di bidang (3) Komite akreditasi dibantu sekretariat yang berasal dari instansi pemerintah yang
pelatihan kerja. bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.

(3) Pengurus lembaga akreditasi terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, Pasal 10
seorang wakil ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota
dan beberapa orang anggota. (1) Anggota Komite Akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 7 (tujuh) orang.

Pasal 6 (2) Anggota Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh masing-
masing unsur kepada lembaga akreditasi melalui instansi yang bertanggung jawab
(1) Ketua dan wakil ketua lembaga akreditasi adalah seseorang yang memiliki di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
kompetensi dan pengalaman di bidang pelatihan kerja, dan dipilih dari unsur
masyarakat . Pasal 11

(2) Sekretaris lembaga akreditasi berasal dari instansi pemerintah yang bertanggung (1) Dalam melaksanakan tugasnya Komite Akreditasi dibantu oleh Tim yang dibentuk
jawab di bidang pelatihan kerja. sesuai dengan kebutuhan bidang akreditasi.
(2) Komite Akreditasi harus menyampaikan laporan kepada ketua Lembaga Akreditasi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Komite
Akreditasi. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat pelaksanaan kegiatan
akreditasi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat nama
dan alamat lembaga pelatihan kerja, dan program pelatihan kerja.
Pasal 12
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan secara
(1) Keanggotaan lembaga akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali setahun.

(2) Keanggotaan Komite Akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Lembaga (6) Bentuk laporan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan
Akreditasi. Tenaga Kerja Dalam Negeri.

(3) Masa tugas keanggotaan lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) BAB VII
kali masa jabatan. KETENTUAN PENUTUP

BAB V Pasal 16
PENDANAAN
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka segala ketentuan yang bertentangan
Pasal 13 dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.

Sumber pendanaan lembaga akreditasi dapat berasal dari : Pasal 17


a. anggaran pemerintah;
b. dana dari lembaga pelatihan kerja; Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Ditetapkan di Jakarta
BAB VI pada tanggal 31 Oktober 2003
PEMBINAAN DAN PELAPORAN

Pasal 14 MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
(1) Pembinaan lembaga akreditasi dilakukan oleh Menteri. REPUBLIK INDONESIA,

(2) Pembinaan Komite Akreditasi dilakukan oleh Lembaga Akreditasi. ttd

(3) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) meliputi JACOB NUWA WEA
aspek administrasi dan teknis.

Pasal 15

(1) Lembaga akreditasi harus menyampaikan laporan kepada Menteri.


KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 226 /MEN/2003 MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TENTANG TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN
TATA CARA PERIZINAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PEMAGANGAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA.
PEMAGANGAN DI LUAR WILAYAH INDONESIA

BAB I
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONES IA, KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 25 ayat
(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara perizinan
penyelenggaraan program pemagangan di luar 1. Pemagangan di luar wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
wilayah Indonesia; yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan bekerja secara langsung dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
Menteri; pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau
jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai ketrampilan atau keahlian tertentu
Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang yang diselenggarakan di luar wilayah Indonesia.
Pernyataan Berlakunya Undang - undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik 2. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
Tahun 1951 Nomor 4); ditetapkan.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik 3. Lembaga Penyelenggara Program Pemagangan adalah Lembaga Pelatihan Kerja
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan yang telah mendapat izin atau telah terdaftar pada instansi yang bertanggung
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); jawab di bidang ketenagakerjaan untuk melaksanakan program pelatihan kerja.
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001
4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Pasal 2
Tripartit Nasional tanggal 10 Juli 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama (1) Pemagangan diselenggarakan berdasarkan kurikulum dan silabus.
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
(2) Kurikulum dan silabus pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
berdasarkan kompetensi kerja.

Pasal 3
Pasal 9
Penyelenggaraan program pemagangan di luar wilayah Indonesia mengikuti ketentuan
yang berlaku di negara penerima peserta program pemagangan. Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia wajib
menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta pemagangan selama berada di
Pasal 4 negara tempat pemagangan.

Lembaga penyelenggara program pemagangan wajib menjamin penyelenggaraan BAB III


program pemagangan tidak melanggar norma kesusilaan. SYARAT PERIZINAN

Pasal 5 Bagian 1

Peserta program pemagangan di luar wilayah Indonesia berhak untuk : Lembaga Pelatihan Kerja Yang Menyelenggarakan
a. mendapatkan sertifikat dari lembaga pelatihan kerja apabila yang bersangkutan Program Pemagangan Bagi Masyarakat Umum
telah menyelesaikan program pemagangan;
b. mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi kompetensi; Pasal 10
c. mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, kematian yang
preminya ditanggung oleh lembaga penerima peserta program pemagangan yang Lembaga pelatihan kerja yang akan menyelenggarakan program pemagangan di luar
besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara tempat dilaksanakannya wilayah Indonesia bagi masyarakat umum wajib mengajukan permohonan izin yang
program pemagangan; dilengkapi dengan :
d. mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti praktek a. copy izin lembaga pelatihan kerja yang masih berlaku;
kerja di perusahaan; b. copy dokumen perjanjian antara lembaga penyelenggara program pemagangan
e. mendapatkan uang saku dan transport sesuai perjanjian antara peserta magang dengan Lembaga Penerima Pemagang di wilayah Indonesia yang memuat tentang
dengan lembaga pelatihan kerja penyelenggara program pemagangan. tugas dan tanggung jawab para pihak termasuk pembebanan biaya;
c. contoh perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan lembaga pelatihan
BAB II kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
PERIZINAN d. contoh perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan penerima
peserta pemagangan di wilayah Indonesia yang memuat hak dan kewajiban para
Pasal 6 pihak;
e. kurikulum dan silabus yang sesuai dengan program pemagangan;
Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan wajib memiliki f. daftar tenaga instruktur program pemagangan.
izin penyelenggaraan program pemagangan.
Pasal 11
Pasal 7
(1) Dalam hal dokumen tidak lengkap maka Direktur Jenderal Pembinaan dan
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri menolak permohonan disertai dengan
dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri. alasan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan.
Pasal 8
(2) Dalam hal dokumen telah lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka
Izin lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
diberikan sekurang-kurangnya untuk waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk melakukan verifikasi tentang keabsahan dokumen dalam waktu paling lama 14
waktu yang sama. (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.

(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi
syarat, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
menerbitkan surat izin penyelenggara program pemagangan paling lama 30 (tiga Pasal 15
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(1) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
Bagian 2 tahapan:
a. teguran lisan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga pelatihan
Lembaga Pelatihan Kerja kerja yang bersangkutan;
Yang Menyelenggarakan Program Pemagangan b. peringatan tertulis dilakukan apabila dalam waktu 24 (dua puluh empat)
Bagi Pekerjanya/Buruhnya hari kerja terhitung sejak dilakukan teguran lisan, lembaga yang
bersangkutan tetap melakukan pelanggaran yang sama;
Pasal 12 c. pemberhentian sementara pengiriman peserta pemagangan selama 6
(enam) bulan apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak
Lembaga pelatihan kerja milik perusahaan dan/atau perusahaan yang melaksanakan dilakukan teguran tertulis, lembaga penyelenggara program pemagangan
program pemagangan di luar wilayah Indonesia bagi pekerjanya/buruhnya masih melakukan pelanggaran yang sama;
menyampaikan permohonan izin dengan melampirkan : d. izin lembaga penyelenggaraan program pemagangan dicabut apabila dalam
a. perjanjian antara perusahaan penyelenggara program pemagangan dengan masa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c
lembaga penerima pemagang di wilayah Indonesia tentang penyelenggaraan lembaga penyelenggara program pemagangan tetap melaksanakan
program pemagangan; pelanggaran yang sama dan/atau mengirim peserta program pemagangan.
b. contoh perjanjian pemagangan antara peserta program pemagangan dengan
perusahaan penyelenggara program yang mengirim peserta yang memuat hak dan
kewajiban para pihak; (2) Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia yang
c. tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pekerjanya/buruhnya setelah mengikuti pemagangan; program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat dicabut izin penyelenggara
d. rencana penempatan pekerja/buruh setelah menyelesaikan program pemagangan. program pemagangan.

(3) Lembaga penyelenggara program pemagangan yang izin penyelenggaraan


Pasal 13 program pemagangannya dicabut, tetap bertanggungjawab terhadap peserta
sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Lembaga pelatihan kerja milik perusahaan dan/atau perusahaan yang
menyelenggarakan program pemagangan bagi pekerjanya/buruhnya tidak melebihi BAB V
jangka waktu 3 (tiga) bulan tidak memerlukan izin penyelenggara program pemagangan. PELAPORAN

BAB IV Pasal 16
PENCABUTAN IZIN
(1) Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan di luar
Pasal 14 wilayah Indonesia wajib melaporkan penyelenggaraan program kepada Direktur
Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dapat
mencabut izin penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dalam hal (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 6 (enam) bulan
penyelenggaraan program pemagangan tidak sesuai ketentuan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 sekali dan sekurang-kurangnya berisi tentang data peserta, program yang
huruf a, huruf c, huruf d dan huruf e. dilaksanakan dan lembaga penerima program pemagangan.
BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 17

(1) Pembinaan terhadap lembaga penyelenggara program pemagangan selama di


Indonesia dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga
Kerja Dalam Negeri.

(2) Pembinaan terhadap lembaga penyelenggara program pemagangan selama di luar


wilayah Indonesia dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Dalam Negeri bekerjasama dengan Perwakilan Indonesia di luar
negeri serta lembaga yang bertanggung jawab di negara setempat.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi program, sumber
daya manusia, fasilitas, metoda dan sistem penyelenggaraan program
pemagangan.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan program pemagangan di luar wilayah


Indonesia diatur oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
Dalam Negeri.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JACOB NUWA WEA


KEPUTUSAN BAB I
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KETENTUAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 227/MEN/2003 Pasal 1

TENTANG Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

TATA CARA PENETAPAN 1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standard yang
ditetapkan.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 2. Standardisasi kompetensi kerja adalah proses merumuskan, menetapkan dan
menerapkan standard kompetensi kerja.
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 10 ayat 4 3. Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut SKKNI
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu
penetapan standard kompetensi kerja nasional yang berlaku secara nasional.
Indonesia; 4. Penetapan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah kegiatan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan menetapkan rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
Menteri. standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 5. Instansi Teknis adalah Departemen, Kantor Menteri Negara atau Lembaga
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Pemerintah lainnya, yang merupakan pembina teknis sektor yang bersangkutan.
Indonesai Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan 6. Konvensi SKKNI adalah forum untuk mencapai konsensus masyarakat sektor
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); profesi tentang rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
2. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 7. Masyarakat profesi adalah lembaga sertifikasi profesi, asosiasi perusahaan,
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama asosiasi profesi, lembaga pendidikan dan pelatihan dan lembaga lain yang terkait.
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; 8. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; Pasal 2

MEMUTUSKAN : Tata cara penetapan SKKNI bertujuan untuk memberikan acuan dalam penyusunan,
pembakuan dan penetapan SKKNI.
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
BAB II
TATA CARA PENETAPAN STANDARD KOMPETENSI
PENYUSUNAN RANCANGAN SKKNI
KERJA NASIONAL INDONESIA.
Pasal 3

(1) Instansi teknis bersama-sama dengan masyarakat profesi menyusun rancangan


dan/atau melakukan revisi standard kompetensi kerja.
(2) Untuk penyusunan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
: instansi teknis membentuk tim teknis yang keanggotaannya terdiri dari unsur
instansi teknis terkait, masyarakat profesi dan pakar dibidangnya.
BAB VI
(3) Penyusunan rancangan st andar kompetensi kerja mengacu pada pola penyusunan KETENTUAN PERALIHAN
SKKNI sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan Menteri ini.
(4) Rancangan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 7
selanjutnya diusulkan oleh instansi teknis bersangkutan kepada Badan Nasional
Sertifikasi Profesi untuk dibakukan. Dalam hal belum terbentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi setelah ditetapkannya
Keputusan Menteri ini, tugas dan fungsi badan nasional sertifikasi profesi dilaksanakan
oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB III
PEMBAKUAN SKKNI
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 4
Pasal 8
(1) Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyelenggarakan konvensi yang melibatkan
masyarakat profesi dan pakar di bidangnya untuk mencapai konsensus atas Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
rancangan SKKNI yang diajukan oleh instansi teknis.
Republik Indonesia Nomor KEP-146/MEN/1990 tentang Pola Standard Kualifikasi
(2) Hasil konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibakukan dan diberi Keterampilan dan Pola Standard Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
kodifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi untuk disampaikan kepada
Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk ditetapkan.
(3) Tata cara pelaksanaan konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Pasal 9
oleh Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
BAB IV
PENETAPAN SKKNI
Ditetapkan di Jakarta
Pasal 5 pada tanggal 31 Oktober 2003

(1) Rancangan SKKNI yang telah dibakukan dan dikodifikasi oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi ditetapkan oleh Menteri menjadi SKKNI. MENTERI
(2) SKKNI yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
secara nasional dan menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan dan REPUBLIK INDONESIA
pelatihan profesi serta uji kompetensi dan sertifikasi profesi.
ttd.
(3) SKKNI ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan masing-
masing bidang profesi.
JACOB NUWA WEA
(4) SKKNI dikembangkan setara dengan standard kompetensi yang berlaku secara
internasional atau berlaku di negara lain.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 6

Biaya penyusunan, pembakuan dan penetapan SKKNI dibebankan kepada anggaran


instansi pemerintah terkait atau sumber lain yang tidak mengikat.
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP. 187/MEN/X/2004


TENTANG
IURAN ANGGOTA SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a bahwa untuk mendorong peningkatan fungsi dan peran serikat


pekerja/serikat buruh, perlu dukungan dana yang antara lain
berasal dari iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh;
: b bahwa agar dana yang berasal dari iuran anggota serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dapat dihimpun dan dimanfaatkan secara efektif dan efisien, perlu
pedoman tata cara pemungutan, pemanfaatan dan
pendistribusian iuran anggota serikat pekerjalserikat buruh
dengan Keputusan Menteri;
Mengingat : 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279);
3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : Hasil Pembahasan Sidang Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 16 September 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG IURAN ANGGOTA SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.
Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh.
4. Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di lndonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
lndonesia.
6. Iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh adalah dana yang dihimpun dari upah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang dipungut setiap bulan dan besarnya
ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga atau peraturan organisasi.

Pasal 2

Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
bersumber dari :

a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 3

(1) Pembayaran iuran anggota dapat dilakukan melalui pemotongan upah setiap bulan.
(2) Pemotongan upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha.
(3) Pelaksanaan pungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan
dilakukan oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh memutuskan untuk memungut iuran anggota melalui
pemungutan upah pekerja/buruh maka pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
melakukan sosialisasi rencana pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
melalui pemotongan upah dan pemanfaatan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
kepada anggotanya.

(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan rencana pemungutan iuran
anggota kepada pimpinan perusahaan secara tertulis dengan melampirkan:

a. nama-nama anggota serikat pekerja/serikat buruh;


b. nama-nama pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan yang bersangkutan
dan pengesahan susunan pengurus serikat pekerja/serikat buruh;
c. copy surat bukti nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang
berwenang;
d. surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
e. copy peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang mengatur pemungutan dan
penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 5

(1) Pengusaha hanya dapat melakukan pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk
memotong upah pekerja/buruh.

(2) Pemungutan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dicatat secara khusus oleh
Pengusaha

(3) Dalam hal anggota serikat pekerja/serikat buruh berhenti dari keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh maka pekerja/buruh yang bersangkutan membuat pencabutan kuasa
pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk memotong upah.
Pasal 6

(1) Penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan kepada perangkat
organisasi serikat pekerja/serikat buruh, dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan wajib menyalurkan iuran anggota
serikat pekerja/serikat buruh kepada perangkat organisasi sesuai peraturan organisasi yang
bersangkutan.
(3) Penyaluran iuran anggota dilakukan melalui transfer bank dan dilarang dalam bentuk uang
tunai.
(4) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
mengatur jumlah minimum pengiriman iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(5) Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dapat meminta bukti transfer iuran anggota
kepada pengusaha.

Pasal 7

Besarnya iuran, pemanfaatan dan atau pendistribusian iuran untuk kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh,
diatur dalam anggaran dasar dan atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Pasal 8

(1) Dalam hal pemungutan dan penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh tidak
diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah rumah tangga, maka diatur dalam
peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh.

(2) Pembuatan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

a. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh tidak bergabung dalam federasi serikat
pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh maka peraturan
organisasi dibuat oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

b. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam federasi serikat pekerja/serikat
buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
c. dalam hal faderasi serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 9

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2004

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

JACOB NUWA WEA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 38 TAHUN 2007

TENTANG

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3)


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang . . .
- 2 -

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4724).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBAGIAN


URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH,
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,


adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

sebagaimana . . .
-3-

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan


pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

3. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah


kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

4. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban


daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan


yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan
mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi
kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

6. Kebijakan . . .
- 4 -

6. Kebijakan nasional adalah serangkaian aturan yang dapat


berupa norma, standar, prosedur dan/atau kriteria yang
ditetapkan Pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan
urusan pemerintahan.

BAB II

URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 2

(1) Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan


yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan
urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, serta agama.

(3) Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar


tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah semua urusan
pemerintahan di luar urusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

(4) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan
pemerintahan meliputi:

a. pendidikan;
b. kesehatan;

c. pekerjaan umum . . .
- 5-

c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;

dd. perdagangan . . .
-6 -

dd. perdagangan; dan


ee. perindustrian.

(5) Setiap bidang urusan pemerintahan sebagaimana


dimaksud pada ayat (4) terdiri dari sub bidang, dan setiap
sub bidang terdiri dari sub sub bidang.

(6) Rincian ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam
lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 3

Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah


disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian.

BAB III

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN


Bagian Kesatu

Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah

Pasal 4

(1) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.

(2) Ketentuan . . .
- 7 -

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk


masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan
pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala
lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi
urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah
berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 5

(1) Pemerintah mengatur dan mengurus urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Selain mengatur dan mengurus urusan pemerintahan


yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sebagaimana tercantum dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini.
(3) Khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman
modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedua

Urusan Pemerintahan yang Menjadi


Kewenangan Pemerintahan Daerah

Pasal 6

(1) Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah

kabupaten . . .
- 8 -

kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan


pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya.

(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 7

(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar.

(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi:

a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;

m. ketahanan pangan . . .
- 9 -

m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan

z. perpustakaan.

(3) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang secara nyata
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.

(4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


meliputi:

a. kelautan dan perikanan;


b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. pariwisata;

f. industri . . .
- 10 -

f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.

(5) Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan


daerah.

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (2) berpedoman pada standar
pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan
dilaksanakan secara bertahap.

(2) Pemerintahan daerah yang melalaikan penyelenggaraan


urusan pemerintahan yang bersifat wajib,
penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah
dengan pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah yang bersangkutan.

(3) Sebelum penyelenggaraan urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu
berupa teguran, instruksi, pemeriksaan, sampai dengan
penugasan pejabat Pemerintah ke daerah yang
bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang bersifat wajib tersebut.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan presiden.

Pasal 9 . . .
- 11 -

Pasal 9

(1) Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen


menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.

(2) Di dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan


kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah dengan
pemerintahan daerah dan antar pemerintahan daerah
sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan
pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan
Menteri Dalam Negeri.

Pasal 10

(1) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan
selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun.

(2) Apabila menteri/kepala lembaga pemerintah non


departemen dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria maka pemerintahan daerah dapat
menyelenggarakan langsung urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan sampai dengan
ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria.

Pasal 11 . . .
- 12 -

Pasal 11

Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah


kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan
wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1).

Pasal 12

(1) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi


kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana
dinyatakan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan dalam peraturan daerah selambat-lambatnya
1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan
Pemerintah ini.

(2) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan
susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah.

BAB IV
PENGELOLAAN URUSAN PEMERINTAHAN

LINTAS DAERAH

Pasal 13

(1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan


dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah
terkait.

(2) Tata . . .
- 13 -

(2) Tata cara pengelolaan bersama urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.

BAB V

URUSAN PEMERINTAHAN SISA

Pasal 14

(1) Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam


lampiran Peraturan Pemerintah ini menjadi kewenangan
masing-masing tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan yang penentuannya menggunakan kriteria
pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).

(2) Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau


pemerintahan daerah kabupaten/kota akan
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak
tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini
terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya.

Pasal 15

(1) Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen


menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan sisa.

(2) Ketentuan . . .
- 14 -

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)


dan ayat (3) berlaku juga bagi norma, standar, prosedur,
dan kriteria untuk urusan sisa.

BAB VI

PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 16

(1) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang


menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4),
Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi; atau

c. menugaskan . . .
- 15 -

c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut


kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

(3) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah


yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
pemerintahan daerah provinsi dapat:

a. menyelenggarakan sendiri; atau

b. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut


kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah


yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat:
a. menyelenggarakan sendiri; atau
b. menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan tersebut kepada pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pasal 17

(1) Urusan pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal


2 ayat (2) yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah
ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan
daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara

bertahap . . .
- 16 -

bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan


pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila
pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan
untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang dipersyaratkan.

(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi


yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada
pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas
tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan
untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota
yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah
kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.

(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur


pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat
daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang
diperlukan.

(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan
pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih
berhasilguna serta berdayaguna apabila
penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan
daerah yang bersangkutan.

(5) Ketentuan . . .
- 17 -

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan


urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan presiden.

BAB VII
PEMBINAAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 18

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada


pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan
pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

(2) Apabila pemerintahan daerah ternyata belum juga


mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah
dilakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) maka untuk sementara penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh Pemerintah.

(3) Pemerintah menyerahkan kembali penyelenggaraan


urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) apabila pemerintahan daerah telah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


penyelenggaraan urusan pemerintahan yang belum
mampu dilaksanakan oleh pemerintahan daerah diatur
dengan peraturan presiden.

BAB VIII . . .
- 18 -

BAB VIII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19

(1) Khusus untuk Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta


rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota sebagaimana tertuang dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini secara otomatis menjadi
kewenangan provinsi.

(2) Urusan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus
daerah yang bersangkutan.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berkaitan secara langsung dengan pembagian urusan
pemerintahan, wajib mendasarkan dan menyesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 21 . . .
- 19 -

Pasal 21

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua


peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 22

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka


Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952) dan semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian
urusan pemerintahan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 23

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . . .
- 20 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 82

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 38 TAHUN 2007

TENTANG

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

I. UMUM
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat
dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan
atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Untuk . . .
-2-

Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat


konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif
sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan
keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.
Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat
pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan
ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah
terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak
tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat
pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah
yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan tersebut.
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong
akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan
pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan
sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan
agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian
efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi
persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut,
semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas
dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan
melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai
esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup,
perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan
yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang
terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core
competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di
luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang

bersangkutan . . .
-3-

bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah


yang bersangkutan.
Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang
dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan
pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan
yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan
masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan
daerah yang bersangkutan.
Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini,
setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar
prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan
daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas
daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan, yang disebut juga dengan
“urusan pemerintahan yang bersifat konkuren” adalah
urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang
diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, pemerintahan
daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Ayat (4) . . .
-4-

Ayat (4)
Ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan sebagaimana
diatur dalam pasal ini berkaitan langsung dengan otonomi
daerah.

Ayat (5)
Cukup Jelas.

Ayat (6)
Cukup Jelas.

Pasal 3
Cukup Jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul
sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas
kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan
pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan
provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi
dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan
Pemerintah.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban
Pemerintah, pemerintahan daerah Provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada
masyarakat. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal
(satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah
kabupaten/kota bertanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara
langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam
satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang

bersangkutan . . .
-5-

bersangkutan bertanggung jawab mengatur dan mengurus


urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak
penyelenggaraan urusan pemerintahan dialami lebih dari satu
provinsi dan/atau bersifat nasional maka Pemerintah
bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dimaksud.
Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat
diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani
pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan
kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan
apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani pemerintahan
daerah provinsi, maka diserahkan kepada pemerintahan
daerah provinsi. Sebaliknya apabila suatu urusan
pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani Pemerintah
maka akan tetap menjadi kewenangan Pemerintah.

Ayat (2)
Rincian setiap bidang urusan pemerintahan dalam Peraturan
Pemerintah ini mencakup bidang, sub bidang sampai dengan
sub sub bidang. Rincian lebih lanjut dari sub bidang
dan/atau sub sub bidang diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non
departemen setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri guna dilakukan pembahasan bersama unsur-unsur
pemangku kepentingan terkait.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah” adalah urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 6 . . .
-6-

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Penentuan potensi unggulan mengacu pada produk domestik
regional bruto (PDRB), mata pencaharian penduduk, dan
pemanfaatan lahan yang ada di daerah.

Ayat (4)
Penentuan urusan pilihan sesuai dengan skala prioritas yang
ditetapkan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tetap
harus memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat meskipun pelayanan tersebut bukan berasal dari
urusan pilihan yang diprioritaskan.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Mengingat kemampuan anggaran yang masih terbatas, maka
penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
bidang yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah
dilaksanakan secara bertahap dengan mendahulukan sub
sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4) . . .
-7-

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai
tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prosedur adalah metode atau tata cara untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keserasian hubungan adalah
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh
tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung
(interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
kemanfaatan.

Ayat (3)
Pemangku kepentingan terdiri dari unsur
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait,
pemerintahan daerah, asosiasi profesi, dan perwakilan
masyarakat.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13 . . .
-8-

Pasal 13
Ayat (1)
Pengelolaan bersama dapat dilembagakan dalam bentuk
kerjasama antar daerah yang difasilitasi oleh Pemerintah.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas
provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala
provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala
kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota.

Ayat (2)
Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dapat berbentuk
pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, monitoring dan
evaluasi, pendidikan dan latihan dan kegiatan pemberdayaan
lainnya yang diarahkan agar pemerintahan daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.

Ayat (2) . . .
-9-

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737


- 389 -

N. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, 1. Penetapan dan 1. Pelaksanaan kebijakan 1. Pelaksanaan kebijakan pusat
Perencanaan, pelaksanaan kebijakan, pusat dan penetapan dan provinsi, penetapan
Pembinaan, pedoman, norma, kebijakan daerah serta kebijakan daerah dan
dan standar, prosedur, dan pelaksanaan strategi pelaksanaan strategi
Pengawasan kriteria penyelenggaraan penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan
urusan pemerintahan pemerintahan bidang pemerintahan bidang
bidang ketenagakerjaan ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
skala nasional. provinsi. kabupaten/kota.

2. Pembinaan 2. Pembinaan 2. Pembinaan (pengawasan,


(pengawasan, (pengawasan, pengendalian, monitoring,
pengendalian, pengendalian, evaluasi, dan pelaporan)
monitoring, evaluasi, monitoring, evaluasi, penyelenggaraan urusan
dan pelaporan) dan pelaporan) pemerintahan bidang
penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan ketenagakerjaan skala
pemerintahan bidang pemerintahan bidang kabupaten/kota.
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi.
- 390 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Koordinasi dan 3. Penanggungjawab 3. Penanggungjawab
pengintegrasian penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pemerintahan bidang
pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala provinsi. kabupaten/kota.
nasional.

4. Penetapan kebijakan, 4. Pembentukan 4. Pembentukan kelembagaan


pedoman, norma, kelembagaan SKPD SKPD bidang ketenagakerjaan
standar, prosedur, dan bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
kriteria pembentukan di provinsi.
kelembagaan/Satuan
Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) bidang
ketenagakerjaan skala
nasional.

5. Perencanaan tenaga 5. Perencanaan tenaga 5. Perencanaan tenaga kerja


kerja nasional, kerja daerah provinsi, daerah kabupaten/kota,
pembinaan perencanaan pembinaan perencanaan pembinaan perencanaan tenaga
tenaga kerja daerah tenaga kerja mikro, kerja mikro pada
provinsi dan pembinaan dan instansi/tingkat perusahaan,
kabupaten/kota, penyelenggaraan sistem pembinaan dan penyelenggaraan
- 391 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
sektoral, dan mikro informasi sistem informasi
serta pembinaan dan ketenagakerjaan, serta ketenagakerjaan skala
pengembangan sistem pembinaan perencanaan kabupaten/kota.
informasi tenaga kerja dan sistem
ketenagakerjaan informasi
nasional. ketenagakerjaan
kabupaten/kota skala
provinsi.

2. Pembinaan 1. Penetapan kebijakan, 1. Pelaksanaan kebijakan, 1. Pelaksanaan kebijakan,


Sumber Daya pedoman, norma, pedoman, norma, pedoman, norma, standar,
Manusia standar, prosedur, dan standar, prosedur, dan prosedur, dan kriteria
(SDM) kriteria monitoring kriteria monitoring monitoring evaluasi pembinaan
Aparatur evaluasi pembinaan evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan
SDM aparatur SDM aparatur pemerintahan bidang
pelaksana urusan pelaksana urusan ketenagakerjaan skala
pemerintahan bidang pemerintahan bidang kabupaten/kota.
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi.

2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, karir, dan


karir, dan pendidikan karir, dan diklat SDM diklat SDM aparatur pelaksana
dan pelatihan (diklat) aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang
- 392 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
SDM aparatur urusan pemerintahan ketenagakerjaan di
pelaksana urusan bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
pemerintahan bidang di provinsi.
ketenagakerjaan skala
nasional.

3. Pembinaan, 3. Pembinaan, 3. Pembinaan, penyelenggaraan,


penyelenggaraan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian,
pengawasan, dan pengawasan, dan serta evaluasi pengembangan
pengendalian, serta pengendalian, serta SDM aparatur pelaksana urusan
evaluasi pengembangan evaluasi pengembangan pemerintahan bidang
SDM aparatur SDM aparatur ketenagakerjaan skala
pelaksana urusan pelaksana urusan kabupaten/kota.
pemerintahan bidang pemerintahan bidang
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi.

4. Penetapan kriteria dan 4. Pengangkatan dan 4. Pengangkatan dan


standar pemangku pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat
jabatan perangkat perangkat daerah yang perangkat daerah yang
daerah yang menangani bidang menangani bidang
melaksanakan urusan ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
- 393 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pemerintahan bidang provinsi. kabupaten/kota.
ketenagakerjaan.

5. Pembinaan, 5. Pembinaan, 5. Pembinaan, pengangkatan, dan


pengangkatan, dan pengangkatan, dan pemberhentian pejabat
pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat fungsional bidang
fungsional bidang fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi
ketenagakerjaan di ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
instansi pusat. instansi provinsi.

3. Pembinaan 1.a. Standarisasi kompetensi 1.a. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan
Pelatihan dan dan penyelenggaraan penyelenggaraan pelatihan kerja skala
Produktivitas pelatihan kerja skala pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
Tenaga Kerja nasional. provinsi.

b.— b.Pelatihan diseminasi b.—


program untuk
kabupaten/kota di
wilayah provinsi.

2.a. Standarisasi, pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan
dan pelaksanaan dan pengukuran pengukuran produktivitas skala
pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.
- 394 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
produktivitas skala provinsi.
nasional.

b.Pembinaan dan b.Pelaksanaan program b.Pelaksanaan program


penyelenggaraan kerja peningkatan peningkatan produktivitas di
sama internasional produktivitas di wilayah wilayah kabupaten/kota.
dalam rangka provinsi.
peningkatan
produktivitas.

3. Pengawasan 3. Pengawasan 3. Penyelenggaraan perizinan/


pelaksanaan perizinan/ pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan
pendaftaran lembaga pendaftaran lembaga serta pengesahan
pelatihan kerja serta pelatihan kerja serta kontrak/perjanjian magang
penerbitan perizinan penerbitan rekomendasi dalam negeri.
magang ke luar negeri. perizinan magang ke
luar negeri.

4. Pengawasan 4. Pengawasan 4. Koordinasi pelaksanaan


pelaksanaan sertifikasi pelaksanaan sertifikasi sertifikasi kompetensi dan
kompetensi dan kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan
akreditasi lembaga akreditasi lembaga kerja skala kabupaten/kota.
- 395 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
sertifikasi profesi dan pelatihan kerja skala
lembaga pelatihan kerja provinsi.
skala nasional.

4. Pembinaan dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyebarluasan informasi pasar
Penempatan penyebarluasan penyebarluasan kerja dan pendaftaran pencari
Tenaga Kerja informasi pasar kerja informasi pasar kerja di kerja (pencaker) dan lowongan
Dalam Negeri secara nasional. wilayah provinsi. kerja.

b.Pemberian pelayanan b.Pemberian pelayanan b.Penyusunan, pengolahan dan


informasi pasar kerja informasi pasar kerja penganalisisan data pencaker
dan bimbingan jabatan dan bimbingan jabatan dan data lowongan kerja skala
kepada pencaker dan kepada pencaker dan kabupaten/kota.
pengguna tenaga kerja pengguna tenaga kerja
skala nasional. skala provinsi.

c. Pembinaan dan c. Pembinaan, monitoring, c. Pemberian pelayanan informasi


penyusunan sistem evaluasi, dan pendataan pasar kerja, bimbingan jabatan
pemberdayaan jabatan fungsional kepada pencaker dan pengguna
pengantar kerja pengantar kerja tingkat tenaga kerja skala
berskala nasional. provinsi. kabupaten/kota.
- 396 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
d.Monitoring, evaluasi, d.— d.Pembinaan pejabat fungsional
dan sosialisasi jabatan pengantar kerja.
fungsional pengantar
kerja.

e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit jabatan
jabatan fungsional jabatan fungsional fungsional pengantar kerja di
pengantar kerja pengantar kerja tingkat wilayah kerja kabupaten/kota.
berskala nasional. provinsi.

2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan pengendalian
pengendalian izin pengendalian izin izin pendirian Lembaga Bursa
pendirian Lembaga pendirian Lembaga Kerja/LPTKS dan Lembaga
Bursa Kerja/Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Penyuluhan dan Bimbingan
Penempatan Tenaga Lembaga Penyuluhan Jabatan skala kabupaten/kota.
Kerja Swasta (LPTKS) dan Bimbingan Jabatan
dan Lembaga skala provinsi.
Penyuluhan dan
Bimbingan Jabatan
lintas provinsi/berskala
nasional.
- 397 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

b.— b.Penerbitan rekomendasi b.Penerbitan rekomendasi untuk


untuk perizinan perizinan pendirian LPTKS dan
pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan
lembaga penyuluhan bimbingan jabatan yang akan
dan bimbingan jabatan melakukan kegiatan skala
yang akan melakukan kabupaten/kota.
kegiatan skala provinsi.

3. Pemberian rekomendasi 3. Pemberian rekomendasi 3. Pemberikan rekomendasi kepada


kepada swasta dalam kepada swasta dalam swasta dalam penyelenggaraan
penyelenggaraan penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair
pameran bursa pameran bursa skala kabupaten/kota.
kerja/job fair skala kerja/job fair skala
nasional. provinsi.

4. Sosialisasi dan evaluasi 4. Fasilitasi dan pembinaan 4. Fasilitasi penempatan bagi


penempatan tenaga penempatan bagi pencari pencari kerja penyandang cacat,
kerja penyandang cacat, kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala
lanjut usia (lansia) dan lansia dan perempuan kabupaten/kota.
perempuan skala skala provinsi.
nasional.
- 398 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
5.a. Penerbitan Surat 5.a. Penerbitan SPP AKAD 5.a. Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi
Persetujuan skala provinsi. dan pengesahan pengantar
Penempatan (SPP) Antar kerja, serta penempatan tenaga
Kerja Antar Daerah kerja AKAD/Antar Kerja Lokal
(AKAD) skala nasional. (AKL).

b.— b.— b.Penerbitan SPP AKL skala


kabupaten/kota.

6.a. Penerbitan izin 6.a. Penerbitan rekomendasi 6.a. Penerbitan rekomendasi izin
operasional Tenaga izin operasional TKS operasional TKS Luar Negeri,
Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS TKS Indonesia, lembaga
Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan
Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang beroperasi pada 1 (satu)
sukarela luar negeri dan akan beroperasi lebih kabupaten/kota.
lembaga sukarela dari 1 (satu)
Indonesia. kabupaten/kota dalam
satu provinsi.

b.Pembinaan, b.Pelaksanaan b.Pelaksanaan pembinaan,


pengawasan, dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
pengendalian pengendalian, dan pendayagunaan TKS dan
pendayagunaan TKS, pengawasan lembaga sukarela skala
- 399 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
Tenaga Kerja Mandiri pendayagunaan TKS kabupaten/kota.
(TKM), dan lembaga dan lembaga sukarela
sukarela skala nasional. skala provinsi.

c. — c.Koordinasi, integrasi c.Pendaftaran dan fasilitasi


dan sinkronisasi pembentukan TKM.
program
pendayagunaan TKM
skala provinsi.

7.a. Pengesahan Rencana 7.a. — 7.a. —


Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (RPTKA)
baru.

b.Pengesahan RPTKA b.Pengesahan RPTKA b.—


perpanjangan lintas perpanjangan yang
provinsi. tidak mengandung
perubahan jabatan,
jumlah orang, dan
lokasi kerjanya dalam 1
(satu) wilayah provinsi.
- 400 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c. Pengesahan RPTKA c. — c. —
perubahan seperti
perubahan jabatan,
perubahan lokasi,
perubahan jumlah
Tenaga Kerja Asing
(TKA) dan perubahan
kewarganegaraan.

8.a. Pemberian rekomendasi 8.a. — 8.a. —


visa kerja dan
penerbitan Izin
Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA) baru.

b.Penerbitan IMTA b.Penerbitan IMTA b.Penerbitan IMTA perpanjangan


perpanjangan untuk perpanjangan untuk untuk TKA yang lokasi kerjanya
TKA yang lokasi TKA yang lokasi dalam wilayah kabupaten/kota.
kerjanya lebih dari 1 kerjanya lintas
(satu) wilayah provinsi. kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi.
- 401 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c.Penyusunan jabatan c. — c. —
terbuka atau tertutup
bagi TKA.

9. Pembinaan dan 9. Monitoring dan evaluasi 9. Monitoring dan evaluasi


pengendalian penggunaan TKA yang penggunaan TKA yang lokasi
penggunaan TKA skala lokasi kerjanya lebih kerjanya dalam wilayah
nasional. dari 1 (satu) kabupaten/kota yang
kabupaten/kota dalam bersangkutan.
wilayah provinsi.

10. Pembinaan penerapan 10. Pembinaan dan 10. Pelaksanaan


teknologi tepat guna penerapan teknologi pelatihan/bimbingan teknis,
skala nasional. tepat guna skala penyebarluasan dan penerapan
provinsi. teknologi tepat guna skala
kabupaten/kota.

11. Pembinaan model-model 11. Koordinasi, integrasi, 11. Penyelenggaraan program


perluasan dan dan sinkronisasi perluasan kerja melalui
pengembangan pelaksanaan program bimbingan usaha mandiri dan
kesempatan secara usaha mandiri dan sektor informal serta program
nasional antara lain sektor informal serta padat karya skala
melalui usaha mandiri program padat karya kabupaten/kota.
- 402 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
dan sektor informal, skala provinsi.
serta program padat
karya.

5. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan, 1.a. Monitoring dan evaluasi 1.a. Pelaksanaan penyuluhan,
Penempatan pengendalian, dan penempatan TKI ke luar pendaftaran dan seleksi calon
Tenaga Kerja pengawasan negeri yang berasal dari TKI di wilayah kabupaten/kota.
Luar Negeri penempatan TKI ke luar wilayah provinsi.
negeri.

b.Pelaksanaan b.— b.Pengawasan pelaksanaan


penempatan TKI oleh rekrutmen calon TKI di wilayah
pemerintah. kabupaten/kota.

2. Pembuatan 2. Fasilitasi pelaksanaan 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian


perjanjian/pelaksanaan perjanjian kerjasama kerjasama bilateral dan
kerjasama bilateral dan bilateral dan multilateral penempatan TKI
multilateral dengan multilateral penempatan yang pelaksanaannya di wilayah
negara-negara TKI yang kabupaten/kota.
penempatan TKI. pelaksanaannya di
wilayah provinsi.
- 403 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Penerbitan Surat Izin 3. Penerbitan perizinan 3. Penerbitan rekomendasi izin
Pelaksana Penempatan pendirian kantor cabang pendirian kantor cabang PPTKIS
Tenaga Kerja Indonesia di wilayah provinsi dan di wilayah kabupaten/kota.
Swasta (SIPPTKIS)/ rekomendasi
Surat Izin Usaha perpanjangan
Penempatan (SIUP)- SIPPTKIS/PPTKIS.
Perusahaan
Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS) dan
rekomendasi rekrutmen
calon TKI serta
Penerbitan Surat Izin
Pengerahan (SIP).

4. Verifikasi dokumen TKI, 4. Verifikasi dokumen TKI 4. Penerbitan rekomendasi paspor


penerbitan Kartu di wilayah provinsi. TKI di wilayah kabupaten/kota
Tenaga Kerja Luar berdasarkan asal/alamat calon
Negeri (KTKLN), TKI.
penerbitan rekomendasi
paspor TKI yang bersifat
khusus dan crash
program.
- 404 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

5. Penyelenggaraan Sistem 5. Penyebarluasan sistem 5. Penyebarluasan sistem informasi


Komputerisasi Terpadu informasi penempatan penempatan TKI dan
Penempatan TKI di Luar TKI dan pengawasan pengawasan penyetoran dana
Negeri (SISKO TKLN) penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah
dan pengawasan perlindungan TKI di kabupaten/kota.
penyetoran dana wilayah provinsi.
perlindungan TKI.

6.a. Penentuan standar 6.a. Sosialisasi substansi 6.a. Sosialisasi terhadap substansi
perjanjian kerja, perjanjian kerja perjanjian kerja penempatan TKI
penelitian terhadap penempatan TKI ke luar ke luar negeri skala
substansi perjanjian negeri skala provinsi. kabupaten/kota.
kerja serta pengesahan
perjanjian kerja.

b.— b.— b.Penelitian dan pengesahan


perjanjian penempatan TKI ke
luar negeri.
- 405 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
7. Penyelenggaraan 7. Fasilitasi 7. —
Pembekalan Akhir penyelenggaraan PAP.
Pemberangkatan (PAP)
(pelaksanaannya dapat
didekonsentrasikan
kepada Gubernur).

8.a. Penyelenggaraan 8.a. Pembinaan, pengawasan 8.a. Pembinaan, pengawasan, dan


program perlindungan, penempatan dan monitoring penempatan maupun
pembelaan, dan perlindungan TKI di perlindungan TKI di
advokasi TKI. wilayah provinsi. kabupaten/kota.

b.Penentuan standar b.Penerbitan perizinan b.Penerbitan rekomendasi


tempat penampungan tempat penampungan di perizinan tempat penampungan
calon TKI dan Balai wilayah provinsi. di wilayah kabupaten/kota.
Latihan Kerja Luar
Negeri (BLK-LN).

c. Penetapan standar dan c. — c. —


penunjukan lembaga-
lembaga yang terkait
- 406 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
dengan program
penempatan TKI
(lembaga asuransi,
perbankan, dan sarana
kesehatan).

9. Fasilitasi kepulangan 9. Fasilitasi kepulangan 9. Pelayanan kepulangan TKI yang


dan pemulanganTKI TKI di pelabuhan berasal dari kabupaten/kota.
secara nasional. debarkasi di wilayah
provinsi.

6. Pembinaan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan serta
Hubungan serta pengesahan serta pengesahan pengesahan peraturan
Industrial dan peraturan perusahaan peraturan perusahaan perusahaan yang skala
Jaminan Sosial yang skala berlakunya yang skala berlakunya berlakunya dalam satu wilayah
Tenaga Kerja lebih dari satu provinsi. lebih dari satu kabupaten/kota.
kabupaten/kota dalam
satu provinsi.
- 407 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

b.Pendaftaran Perjanjian b.Pendaftaran PKB, b.Pendaftaran PKB, perjanjian


Kerja Bersama (PKB), perjanjian pekerjaan pekerjaan antara perusahaan
yang skala berlakunya antara perusahaan pemberi kerja dengan
lebih dari 1 (satu) pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa
wilayah provinsi. perusahaan penyedia pekerja/buruh yang skala
jasa pekerja/buruh berlakunya pada 1 (satu)
yang skala berlakunya wilayah kabupaten/kota.
lebih dari satu wilayah
kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi.

c. Pencatatan Perjanjian c. Pencatatan PKWT pada c. Pencatatan PKWT pada


Kerja Waktu Tertentu perusahaan yang skala perusahaan yang skala
(PKWT) pada perusaha- berlakunya lebih dari berlakunya dalam 1 (satu)
an yang skala satu kabupaten/kota wilayah kabupaten/kota.
berlakunya lebih dari 1 dalam 1 (satu) provinsi.
(satu) provinsi.

2.a.Pendaftaran Perjanjian 2.a.Pendaftaran Perjanjian 2.a. Penerbitan izin operasional


Pekerjaan antara Pekerjaan antara perusahaan penyedia jasa
Perusahaan Pemberi Perusahaan Pemberi pekerja/buruh yang berdomisili
Kerja dengan Kerja dengan di kabupaten/kota dan
- 408 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
Perusahaan Penyedia Perusahaan Penyedia pendaftaran perjanjian
Jasa Pekerja/Buruh Jasa Pekerja/Buruh pekerjaan antara perusahaan
yang skala berlakunya yang skala berlakunya pemberi kerja dengan
lebih dari 1 (satu) lebih dari 1 (satu) perusahaan penyedia jasa
provinsi. kabupaten/kota dalam pekerja/buruh yang skala
1 (satu) provinsi. berlakunya dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota.

b. Penerbitan rekomendasi b. Penerbitan rekomendasi b. Pencabutan izin operasional


pencabutan izin pencabutan izin perusahaan penyedia jasa
operasional perusahaan operasional pekerja/buruh yang berdomisili
penyedia jasa perusahaan penyedia di kabupaten/kota atas
pekerja/buruh yang jasa pekerja/buruh rekomendasi pusat dan atau
skala berlakunya lebih yang skala berlakunya provinsi.
dari 1 (satu) provinsi. lebih dari satu
kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi.

3. Pencegahan dan 3. Pencegahan dan 3. Pencegahan dan penyelesaian


penyelesaian perselisih- penyelesaian perselisih- perselisihan hubungan
an hubungan industrial, an hubungan indus- industrial, mogok kerja, dan
mogok kerja, dan trial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di
- 409 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
penutupan perusahaan penutupan perusahaan wilayah kabupaten/kota.
skala nasional. skala provinsi.

4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan lembaga
lembaga penyelesaian lembaga penyelesaian penyelesaian perselisihan di luar
perselisihan di luar perselisihan di luar pengadilan skala
pengadilan skala pengadilan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

5. Koordinasi penyusunan 5. Penyusunan formasi, 5. Penyusunan dan pengusulan


formasi, pendaftaran pendaftaran dan seleksi formasi serta melakukan
dan seleksi calon arbiter calon mediator, arbiter, pembinaan mediator,
dan konsiliator, dan konsiliator di konsiliator, arbiter di wilayah
pengangkatan dan wilayah provinsi. kabupaten/kota.
pemberhentian serta
penerbitan legitimasi
mediator, konsiliator,
dan arbiter.
- 410 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
6. Pendaftaran dan seleksi 6. Pendaftaran dan seleksi 6. Pendaftaran dan seleksi calon
calon hakim ad-hoc calon hakim ad-hoc hakim ad-hoc pengadilan
hubungan industrial pengadilan hubungan hubungan industrial yang
pada Mahkamah Agung. industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/
wilayahnya meliputi kota.
provinsi.

7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan
pengupahan skala pengupahan lintas di perusahaan skala
nasional. kabupaten/kota dalam kabupaten/kota.
satu provinsi.

b.Penetapan kebijakan b.Penyusunan dan b.Penyusunan dan pengusulan


pengupahan nasional penetapan upah penetapan upah minimum
dan penelaahan minimum provinsi, kabupaten/kota kepada
terhadap upah kabupaten/kota, dan gubernur.
minimum yang melaporkan kepada
ditetapkan pemerintah menteri yang
provinsi. bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
- 411 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan
penyelenggaraan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah
jaminan sosial, sosial tenaga kerja skala kabupaten/kota.
fasilitas, dan provinsi.
kesejahtaraan tenaga
kerja/buruh skala
nasional.

b.— b.Koordinasi pembinaan b.Pembinaan penyelenggaraan


penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di
fasilitas dan perusahaan skala
kesejahteraan tenaga kabupaten/kota.
kerja skala provinsi.

9. Pembinaan pelaksanaan 9. Pembinaan pelaksanaan 9. Pembinaan pelaksanaan sistem


sistem dan kelembagaan sistem dan kelembagaan dan kelembagaan serta pelaku
serta pelaku hubungan serta pelaku hubungan hubungan industrial skala
industrial skala industrial skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
- 412 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
10. Koordinasi pelaksanaan 10. Koordinasi pelaksanaan 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB
verifikasi keanggotaan verifikasi keanggotaan skala kabupaten/kota.
Serikat Pekerja/Serikat SP/SB skala provinsi.
Buruh (SP/SB) skala
nasional.

11. Koordinasi hasil 11. Koordinasi hasil 11. Pencatatan organisasi


pencatatan organisasi pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi
pengusaha dan pengusaha dan pekerja/buruh skala
organisasi organisasi kabupaten/kota dan
pekerja/buruh dari pekerja/buruh skala melaporkannya kepada provinsi.
provinsi. provinsi dan
melaporkannya kepada
pemerintah.

12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi pengusaha
pengusaha dan pengusaha dan dan organisasi pekerja/buruh
organisasi organisasi untuk duduk dalam lembaga-
pekerja/buruh untuk pekerja/buruh skala lembaga ketenagakerjaan
duduk dalam lembaga- provinsi untuk duduk kabupaten/kota berdasarkan
lembaga dalam lembaga-lembaga hasil verifikasi.
ketenagakerjaan ketenagakerjaan
nasional berdasarkan provinsi berdasarkan
- 413 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
hasil verifikasi. hasil verifikasi.

7. Pembinaan 1. Pembinaan dan 1. Pembinaan dan 1. Pembinaan dan pengawasan


Ketenagaker- pengawasan pengawasan pelaksanaan norma
jaan pelaksanaan norma pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

2. Pemeriksaan/pengujian 2. Pemeriksaan/pengujian 2. Pemeriksaan/pengujian


terhadap perusahaan terhadap perusahaan terhadap perusahaan dan obyek
dan obyek pengawasan dan obyek pengawasan pengawasan ketenagakerjaan
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
3. Penerbitan/rekomendasi 3. Penerbitan/rekomendasi 3. Penerbitan/rekomendasi (izin)
(izin) terhadap obyek (izin) terhadap obyek terhadap obyek pengawasan
pengawasan pengawasan ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

4. Penanganan 4. Penanganan 4. Penanganan kasus/melakukan


kasus/melakukan kasus/melakukan penyidikan terhadap
penyidikan terhadap penyidikan terhadap
- 414 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pengusaha yang pengusaha yang perusahaan dan pengusaha
melanggar norma melanggar norma yang melanggar norma
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala
nasional. provinsi. kabupaten/kota.

5.a.Penetapan rencana 5.a. Pelaksanaan penerapan 5.a. Pelaksanaan penerapan SMK3


tahunan audit dan SMK3 skala provinsi. skala kabupaten/kota.
sertifikasi Sistem
Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3).

b.— b.Pelaksanaan koordinasi b.Pelaksanaan koordinasi dan


dan audit SMK3 skala audit SMK3 skala
provinsi. kabupaten/kota.

6. Pengkajian dan 6. Pengkajian dan 6. Pengkajian dan perekayasaan


perekayasaan bidang perekayasaan bidang bidang norma ketenagakerjaan,
norma ketenagakerjaan, norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi,
hygiene perusahaan, hygiene perusahaan, keselamatan kerja yang bersifat
ergonomi, keselamatan ergonomi, kesehatan strategis skala kabupaten/kota.
dan kesehatan kerja dan keselamatan kerja
- 415 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
yang bersifat strategis yang bersifat strategis
dan berskala nasional. skala provinsi.

7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan serta
serta pengembangan serta pengembangan pengembangan bidang norma
bidang norma bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan
ketenagakerjaan, ketenagakerjaan, dan kesehatan kerja yang
hygiene perusahaan, keselamatan dan bersifat strategis skala
ergonomi, keselamatan kesehatan kerja yang kabupaten/kota.
dan kesehatan kerja bersifat strategis skala
yang bersifat strategis provinsi.
dan berskala nasional.

8. Pemberdayaan fungsi 8. Pemberdayaan fungsi 8. Pemberdayaan fungsi dan


dan kegiatan personil dan kegiatan personil kegiatan personil dan
dan kelembagaan dan kelembagaan kelembagaan pengawasan
pengawasan pengawasan ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
- 416 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
9. Fasilitasi pembinaan 9. Fasilitasi 9. Fasilitasi pembinaan
pengawasan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan
ketenagakerjaan skala pembinaan pengawasan skala kabupaten/kota.
nasional. ketenagakerjaan skala
provinsi.

10. Penyelenggaraan 10. Penyelenggaraan 10. Penyelenggaraan


ketatalaksanaan ketatalaksanaan ketatalaksanaan pengawasan
pengawasan pengawasan ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

11.a. Penyelenggaraan 11. a. Pengusulan calon 11.a. Pengusulan calon peserta


diklat peserta diklat diklat pengawasan
teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan kepada
pengawasan ketenagakerjaan pemerintah dan/atau
ketenagakerjaan. kepada pemerintah. pemerintah provinsi.

b. — b. Bekerjasama dengan b. —
pusat
menyelenggarakan
diklat teknis
- 417 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pengawasan
ketenagakerjaan.

12. Penunjukan, 12. Pengusulan calon 12. Pengusulan calon pegawai


pengangkatan, dan pegawai pengawas pengawas ketenagakerjaan skala
pemberhentian pegawai ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada
pengawas provinsi kepada pemerintah.
ketenagakerjaan. pemerintah.

13. Penerbitan kartu 13. Pengusulan penerbitan 13. Pengusulan penerbitan kartu
legitimasi bagi pengawas kartu legitimasi bagi legitimasi bagi pengawas
ketenagakerjaan. pengawas ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada
provinsi kepada pemerintah.
pemerintah.

14. Penerbitan kartu 14. Pengusulan kartu PPNS 14. Pengusulan kartu PPNS bidang
Penyidik Pegawai Negeri bidang ketenaga- ketenagakerjaan skala
Sipil (PPNS) bidang kerjaan skala provinsi kabupaten/kota kepada
ketenagakerjaan. kepada pemerintah. pemerintah.
- 418 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

15. Penetapan sertifikasi, 15. — 15. —


penunjukan, penerbitan
lisensi bagi lembaga
personil, dan kader
ketenagakerjaan.

2. Ketransmigra- 1. Kebijakan, 1. Perumusan dan 1. Pelaksanaan kebijakan 1. Pelaksanaan kebijakan pusat


sian Perencanaan, pelaksanaan kebijakan, pusat dan perumusan dan provinsi, perumusan
Pembinaan, pedoman, norma, kebijakan daerah serta kebijakan daerah dan
dan standar, prosedur, dan pelaksanaan strategi pelaksanaan strategi
Pengawasan kriteria penyelenggaraan penyelenggaraan urusan penyelenggaraan urusan
urusan pemerintahan pemerintahan bidang pemerintahan bidang
bidang ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
ketransmigrasian. provinsi. kabupaten/kota.

2. Pembinaan 2. Pengendalian, evaluasi, 2. Pelaporan dan


(pengawasan, dan pelaporan pertanggungjawaban
pengendalian, penyelenggaraan urusan pelaksanaan urusan
monitoring, evaluasi, pemerintahan di bidang pemerintahan di bidang
dan pelaporan) ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
penyelenggaraan urusan provinsi. kabupaten/kota.
pemerintahan bidang
- 419 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
ketransmigrasian skala
nasional.

3. Koordinasi dan integrasi 3. Sinkronisasi dan 3. Integrasi pelaksanaan urusan


penyelenggaraan urusan pengendalian pemerintahan bidang
pemerintahan bidang pelaksanaan urusan ketransmigrasian skala
ketransmigrasian skala pemerintahan bidang kabupaten/kota.
nasional. ketransmigrasian skala
provinsi.

4. Perumusan kebijakan 4. Pembentukan 4. Pembentukan kelembagaan


pedoman, norma, kelembagaan SKPD SKPD bidang ketransmigrasian
standar, prosedur, dan bidang skala kabupaten/kota
kriteria pembentukan ketransmigrasian skala berdasarkan kebijakan,
kelembagaan SKPD provinsi berdasarkan pedoman, norma, standar,
bidang kebijakan, pedoman, prosedur, dan kriteria yang
ketransmigrasian skala norma, standar, ditetapkan pemerintah.
nasional. prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan
pemerintah.
- 420 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

5. Perancangan 5. Perancangan 5. Perancangan pembangunan


pembangunan pembangunan transmigrasi daerah
transmigrasi nasional, transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta
serta pembinaan dan provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan
pengembangan sistem pembinaan dan sistem informasi
informasi penyelenggaraan sistem ketransmigrasian skala
ketransmigrasian skala informasi kabupaten/kota.
nasional. ketransmigrasian skala
provinsi.

6. Pemberdayaan 6. Pemberdayaan 6. Peningkatan kapasitas


pemerintah daerah pemerintah daerah pemerintah daerah dalam
provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala
pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
ketransmigrasian. provinsi.

2. Pembinaan 1. Perumusan dan 1. Pelaksanaan kebijakan, 1. Pelaksanaan kebijakan,


SDM Aparatur pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, pedoman, norma, standar,
pedoman, norma, standar, prosedur, prosedur, kriteria, dan
standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, monitoring, evaluasi pembinaan
- 421 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan
evaluasi pembinaan SDM aparatur pemerintahan bidang
SDM aparatur pelaksana urusan ketransmigrasian di pemerintah
pelaksana urusan pemerintahan bidang daerah kabupaten/kota.
pemerintahan bidang ketransmigrasian di
ketransmigrasian skala pemerintahan daerah
nasional. provinsi.

2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, 2. Perencanaan formasi, karir, dan


karir, dan diklat SDM karir, dan diklat SDM diklat SDM aparatur pelaksana
aparatur pelaksana aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang
urusan pemerintahan urusan pemerintahan ketransmigrasian di pemerintah
bidang bidang daerah kabupaten/kota.
ketransmigrasian skala ketransmigrasian di
nasional. pemerintah daerah
provinsi.

3. Pembinaan, 3. Pembinaan, 3. Pembinaan, penyelenggaraan,


penyelenggaraan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian,
pengawasan, dan pengawasan, dan serta evaluasi pengembangan
pengendalian, serta pengendalian, serta SDM aparatur pelaksana urusan
evaluasi pengembangan evaluasi pengembangan pemerintahan bidang
SDM aparatur SDM aparatur ketransmigrasian di pemerintah
- 422 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pelaksana urusan pelaksana urusan daerah kabupaten/kota.
pemerintahan bidang pemerintahan bidang
ketransmigrasian skala ketransmigrasian di
nasional. pemerintah daerah
provinsi.

4. Perumusan kriteria dan 4. Pengangkatan dan 4. Pengangkatan dan


standar pemangku pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat
jabatan perangkat perangkat daerah yang perangkat daerah yang
daerah yang menangani bidang menangani bidang
melaksanakan urusan ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
pemerintahan bidang pemerintah daerah pemerintah daerah
ketransmigrasian. provinsi. kabupaten/kota.

5. Pembinaan, 5. Pembinaan, 5. Pembinaan, pengangkatan, dan


pengangkatan, dan pengangkatan, dan pemberhentian pejabat
pemberhentian pejabat pemberhentian pejabat fungsional di bidang
fungsional di bidang fungsional di bidang ketransmigrasian instansi
ketransmigrasian di ketransmigrasian kabupaten/kota.
instansi pusat. instansi provinsi.
- 423 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Penyiapan 1.a. Perencanaan penyiapan 1.a. Pengusulan rencana 1.a. Pengalokasian tanah untuk
Permukiman permukiman dan lokasi pembangunan pembangunan WPT atau LPT di
dan penempatan Wilayah Pengembangan wilayah kabupaten/kota.
Penempatan transmigrasi untuk Transmigrasi (WPT) atau
kepentingan nasional Lokasi Permukiman
dan daerah. Transmigrasi (LPT) skala
provinsi berdasarkan
hasil pembahasan
dengan pemerintah
daerah kabupaten/kota.

b.— b.Pengusulan rencana b.Pengusulan rencana lokasi


pengarahan, pembangunan WPT atau LPT
perpindahan, dan skala kabupaten/kota.
penempatan
transmigrasi skala
provinsi berdasarkan
hasil pembahasan
dengan pemerintah
daerah kabupaten/kota.
- 424 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c. — c. — c. Pengusulan rencana kebutuhan
SDM untuk mendukung
pembangunan WPT atau LPT
skala kabupaten/kota.

d.— d.— d.Pengusulan rencana pengarahan


dan perpindahan transmigrasi
skala kabupaten/kota.

2.a. Penyediaan tanah untuk 2.a. Koordinasi penyediaan 2.a. Penyelesaian legalitas tanah
pembangunan WPT atau tanah untuk untuk rencana pembangunan
LPT untuk kepentingan pembangunan WPT atau WPT atau LPT skala
nasional dan daerah. LPT skala provinsi. kabupaten/kota.

b.— b.— b.Penetapan alokasi penyediaan


tanah untuk rencana
pembangunan WPT dan LPT
skala kabupaten/kota.
- 425 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
3. Penyusunan dan 3. Pengusulan rancangan 3. Penyediaan data untuk
penetapan rencana rencana teknis penyusunan rencana teknis
teknis pembangunan pembangunan WPT atau pembangunan WPT atau LPT
WPT atau LPT dalam LPT skala provinsi. skala kabupaten/kota.
rangka kepentingan
nasional dan daerah.

4. Komunikasi, Informasi, 4. KIE ketransmigrasian 4. KIE ketransmigrasian skala


dan Edukasi (KIE) skala provinsi. kabupaten/kota.
ketransmigrasian dalam
rangka kepentingan
nasional dan daerah.

5.a. Pengembangan dan 5.a. Penyediaan informasi 5.a. Penyediaan informasi


pelayanan investasi dan pengembangan investasi pengembangan investasi dalam
kemitraan dalam rangka dalam rangka rangka pembangunan WPT atau
pembangunan WPT atau pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
LPT skala nasional dan LPT skala provinsi.
daerah.

b.— b.Mediasi dan koordinasi b.Pelayanan investasi dalam


pelayanan investasi rangka pembangunan WPT atau
dalam rangka LPT skala kabupaten/kota.
- 426 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
pembangunan WPT atau
LPT skala provinsi.

6.a. Pengembangan 6.a. Mediasi kerjasama antar 6.a. Penjajagan kerjasama dengan
kerjasama antar daerah daerah dalam daerah kabupaten/kota lain.
dalam perpindahan dan perpindahan dan
penempatan penempatan
transmigrasi skala transmigrasi skala
nasional. provinsi.

b.— b.— b.Pembuatan naskah kerjasama


antar daerah dalam perpindahan
dan penempatan transmigrasi.

7. Pembangunan WPT atau 7. Koordinasi pelaksanaan 7. Sinkronisasi pembangunan WPT


LPT dalam rangka pembangunan WPT atau atau LPT dengan wilayah sekitar
kepentingan nasional LPT skala provinsi. skala kabupaten/kota.
dan daerah.

8.a. Penyiapan calon 8.a. Koordinasi pelaksanaan 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon
transmigran skala penyiapan calon transmigran skala
nasional. transmigran skala kabupaten/kota.
provinsi.
- 427 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
b.— b.— b.Penetapan status calon
transmigran skala
kabupaten/kota berdasarkan
kriteria pemerintah.

9. Peningkatan 9. Koordinasi pelaksanaan 9. Peningkatan ketrampilan dan


ketrampilan dan peningkatan keahlian calon transmigran
keahlian calon ketrampilan dan skala kabupaten/kota.
transmigran skala keahlian calon
nasional. transmigran skala
provinsi.

10. Fasilitasi perpindahan 10. Koordinasi pelaksanaan 10. Pelayanan penampungan calon
dan penempatan pelayanan perpindahan transmigran skala
transmigran skala dan penempatan kabupaten/kota.
nasional. transmigran skala
provinsi.

11. Pembinaan dan 11. Pengendalian dan 11. Pelaporan dan


pengawasan supervisi penyiapan pertanggungjawaban
pelaksanaan penyiapan permukiman dan pelaksanaan penyiapan
permukiman dan penempatan permukiman dan penempatan
penempatan transmigran skala transmigran di wilayah
- 428 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
transmigran skala provinsi. kabupaten/kota.
nasional.

4. Pengembangan 1. Perencanaan 1. Sinkronisasi dan 1. Pengusulan rencana


Masyarakat pengembangan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan
dan Kawasan masyarakat dan pengembangan kawasan transmigrasi skala
Transmigrasi kawasan transmigrasi masyarakat dan kabupaten/kota.
skala nasional. kawasan transmigrasi
skala provinsi.

2. Peningkatan kapasitas 2. Koordinasi pelaksanaan 2. Sinkronisasi peningkatan


SDM dan masyarakat di peningkatan kapasitas kapasitas SDM dan masyarakat
WPT atau LPT skala SDM dan masyarakat di di WPT atau LPT dengan wilayah
nasional. WPT atau LPT skala sekitar dalam skala
provinsi. kabupaten/kota.

3. Pengembangan usaha 3. Koordinasi pelaksanaan 3. Sinkronisasi pengembangan


masyarakat di WPT atau pengembangan usaha usaha masyarakat di WPT atau
LPT skala nasional. masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar
LPT skala provinsi. dalam skala kabupaten/kota.
- 429 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
4. Pemeliharaan dan 4. Koordinasi pelaksanaan 4. Sinkronisasi pemeliharaan dan
pengembangan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur
infrastruktur WPT atau pengembangan WPT atau LPT dengan wilayah
LPT skala nasional. infrastruktur WPT atau sekitar dalam skala
LPT skala provinsi. kabupaten/kota.

5. Penyerasian 5. Koordinasi pelaksanaan 5. Sinkronisasi penyerasian


pengembangan penyerasian pengembangan masyarakat dan
masyarakat dan pengembangan kawasan WPT atau LPT dengan
kawasan WPT atau LPT masyarakat dan wilayah sekitar skala
dengan wilayah sekitar. kawasan WPT atau LPT kabupaten/kota.
dengan wilayah sekitar
skala provinsi.

6.a. Evaluasi dan 6.a. Koordinasi dan 6.a. Penyediaan data dan informasi
pengukuran tingkat sinkronisasi penyajian tentang perkembangan WPT dan
keberhasilan data dan informasi LPT skala kabupaten/kota.
pembangunan tentang perkembangan
transmigrasi dan WPT atau LPT skala
pengalihan provinsi.
- 430 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
tanggungjawab
pembinaan khusus WPT
atau LPT skala nasional.

b.— b.Pengusulan calon WPT b.Pengusulan calon WPT atau LPT


atau LPT yang dapat yang dapat dialihkan
dialihkan tanggungjawab pembinaan
tanggungjawab khususnya dalam skala
pembinaan khususnya kabupaten/kota.
dalam skala provinsi.

7. Pembinaan dan 7. Pengendalian dan 7. Pelaporan dan


pengawasan supervisi pelaksanaan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengembangan pelaksanaan pengembangan
pengembangan masyarakat dan masyarakat dan kawasan
masyarakat dan kawasan transmigrasi transmigrasi di wilayah
kawasan transmigrasi skala provinsi. kabupaten/kota.
skala nasional.
- 431 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

5. Pengarahan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Pelaksanaan Komunikasi,
Dan Fasilitasi teknis, dan pelaksanaan teknis, dan pelaksanaan Informasi, dan Edukasi (KIE)
Perpindahan Komunikasi, Informasi, Komunikasi, Informasi, ketransmigrasian skala
Transmigrasi dan Edukasi (KIE) dan Edukasi (KIE) kabupaten/kota.
ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
nasional. provinsi.

b.Penyediaan dan b.Penyediaan dan b.Penyediaan dan pelayanan


pelayanan informasi pelayanan informasi informasi ketransmigrasian
ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.

c. — c. — c. Peningkatan motivasi
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.
- 432 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
d.— d.— d.Penyamaan persepsi,
kesepahaman, kesepakatan
mengenai pembangunan
ketransmigrasian skala
kabupaten/kota.

2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Identifikasi dan analisis
teknis, dan penyerasian teknis, penyusunan dan keserasian penduduk dengan
rencana pengarahan penyerasian rencana daya dukung alam dan daya
dan fasilitasi pengarahan dan tampung lingkungan skala
perpindahan fasilitasi perpindahan kabupaten/kota.
transmigrasi lintas transmigrasi skala
provinsi. provinsi.

b.— b.— b.Pemilihan dan penetapan daerah


dan kelompok sasaran
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.
- 433 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
c. — c. — c. Penyusunan rencana
pengarahan dan fasilitasi
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.

3. Fasilitasi kerjasama 3. Mediasi kerjasama 3. Pelaksanaan kerjasama


perpindahan perpindahan perpindahan transmigrasi dan
transmigrasi dan transmigrasi dan penataan persebaran
penataan persebaran penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan
transmigrasi yang serasi transmigrasi yang seimbang skala kabupaten/kota.
dan seimbang dengan serasi dan seimbang
daya dukung alam dan dengan daya dukung
daya tampung skala alam dan daya
nasional. tampung skala
provinsi.

4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Pelayanan pendaftaran dan
teknis, dan pelayanan teknis, dan pelayanan seleksi perpindahan
perpindahan perpindahan transmigrasi dan penataan
transmigrasi skala transmigrasi skala persebaran transmigrasi.
nasional. provinsi.
- 434 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA

b. — b. — b.Pelayanan pelatihan dalam


rangka penyesuaian kompetensi
perpindahan transmigrasi.

c. — c. — c. Pelayanan penampungan,
permakanan, kesehatan,
perbekalan, dan informasi
perpindahan transmigrasi.

d. — d. — d.Pelayanan pengangkutan dalam


proses perpindahan
transmigrasi.

e. — e. — e.Pelayanan dan pengaturan


penempatan, adaptasi
lingkungan dan konsoliasi
penempatan transmigrasi.
- 435 -

SUB SUB PEMERINTAHAN DAERAH PEMERINTAHAN DAERAH


SUB BIDANG PEMERINTAH
BIDANG PROVINSI KABUPATEN/KOTA
5. Pembinaan dan 5. Pengendalian dan 5. Pelaporan dan
pengawasan supervisi pelaksanaan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi pelaksanaan pengarahan dan
pengarahan dan perpindahan fasilitasi perpindahan
fasilitasi perpindahan transmigrasi skala transmigrasi di wilayah
transmigrasi skala provinsi. kabupaten/kota.
nasional.
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

NOMOR : KEP.12/DPHI/IV/2005

TENTANG

MEKANISME DAN WAKTU PELAKSANAAN PENDATAAN DAN VERIFIKASI


KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Menimbang : a. bahwa untuk memperoleh data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat


Buruh secara lengkap dan akurat, maka perlu dilakukan verifikasi
keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
b. bahwa sebagaimana diamanatkan pada pasal 8 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8
April 2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh perlu ditetapkan mekanisme dan waktu
pelaksanaan pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial.

Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu.
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-16/MEN/2001
tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh ;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.06/MEN/IV/2005
tanggal 8 April 2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL, DEPARTEMEN TENAGA KERJA
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
MEKANINSME DAN WAKTU PELAKSANAAN PENDATAAN
DAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.

Pasal 1.

Ruang lingkup, mekanisme dan waktu pendataan dan verifikasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dalam keputusan ini adalah untuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan
yang telah tercatat pada Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.

Pasal 2

(1). Mekanisme pendataan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

a. Instansi yang bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


menyampaikan surat permintaan data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
kepada pimpinan perusahaan dan pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
tercatat pada Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan untuk
meminta data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mutakhir;
b. Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, pimpinan
perusahaan bersama pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyampaikan hasil
pendataan keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh kepada Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
c. Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada huruf b, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan disusun dan dibuat rekapitulasi
data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berada di Kabupaten/Kota
menurut afiliasi Federasi/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lampiran II
pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.06/MEN/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, selanjutnya disebut Permenakertrans Nomor :
PER.06/MEN/IV/2005);
d. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota disampaikan
kepada Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi
menurut afiliasi Federasi/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lampiran
III pada Permenakertrans Nomor : PER.06/MEN/IV/2005);
e. Setelah menerima hasil rekapitulasi dari seluruh Kabupaten/Kota, Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi, menyusun rekapitulasi
data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan selanjutnya disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI.
(2). Dalam hal mekanisme pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan
jumlah anggota yang tidak disepakati oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang ada di
perusahaan harus dilakukan verifikasi dengan tahapan sebagai berikut :

a. Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


menunjuk petugas untuk menyaksikan pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Petugas sebagaimana dimaksud pada huruf a, berkoordinasi dengan pimpinan
perusahaan dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk bersama-sama melakukan
kegiatan verifikasi sesuai dengan Pasal 6 Permenakertrans Nomor
:PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8 April 2005;
c. Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan dibuat rekapitulasi data
keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berada di Kabupaten/Kota;
d. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, oleh Instansi yang
Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota disampaikan
kepada Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi;
e. Instansi yang Bertanggung jawab Dibidang Ketenagakerjaan Provinsi, setelah
menerima hasil rekapitulasi dari seluruh Kabupaten/Kota menyusun rekapitulasi
data Serikat Pekerja/Serikat Buruh Provinsi dan hasilnya disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi R.I.

(3)

a. Verifikasi di perusahaan dilakukan dan dibuktikan dengan menunjukkan kartu


anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang bersangkutan;
b. Apabila anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh belum memiliki kartu anggota
sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka pekerja/buruh baik perorangan
maupun kolektif wajib membuat surat pernyataan sebagaimana terlampir dalam
surat keputusan.

Pasal 3

Pelaksanaan pendataan dan verifikasi menggunakan tabel dan atau formulir isian
sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (3) dan (6) dan pasal 9 ayat (3) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8 April
2005.

Pasal 4

Pendataan dan verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dilaksanakan


selama 45 hari kerja.

Pasal 5
1. Pelaksanaan seluruh kegiatan dilakukan sesuai tahapan sebagai berikut :
Pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat
perusahaan, rekapitulasi hasil pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Kabupaten/Kota, rekapitulasi hasil pendataan
dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Provinsi,
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga hasil rekapitulasi tingkat Provinsi sudah
diterima di Pusat Cq. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial selambat-
lambatnya tanggal 17 Juni 2005;
2. Penyampaian rekapitulasi hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud butir (1) dapat
menggunakan fax nomor (021)5203607/5269353 atau melalui Pos Kilat khusus.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 April 2005

DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

MUZNI TAMBUSAI

---------------------------------------------

LAMPIRAN I

SURAT PERNYATAAN
KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
(PERORANGAN)

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Perusahaan :
Divisi/Unit :
Menyatakan bahwa saya adalah anggota/bukan anggota *) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh...................................
di perusahaan ...........................................

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari pihak
manapun.

..................................................200

Yang membuat pernyataan

( ...................................)

*) coret yang tidak perlu.

LAMPIRAN II

SURAT PERNYATAAN
DATA KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
DI PERUSAHAAN ...............................
(KOLEKTIF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----

Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

1. Nama : Ketua SP/SB ..........................

2. Nama : Ketua SP/SB .........................

3. Nama : Ketua SP/SB .........................

4. dst
Dengan ini kami masing-masing untuk dan atas nama Pengurus Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di perusahaan menyatakan bahwa jumlah dan nama-nama pekerja yang tercantum
dalam lampiran Surat Pernyataan ini sebagai anggota Serikat Pekerja/serikat Buruh kami.

Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dan tidak ada
sangkalan dari pihak manapun.

Mengetahui
................................, ...................................200
Pimpinan Perusahaan
Yang membuat pernyataan,
1. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)

2. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)
(..................................)
3. ................................... ........................
(Nama jelas) (ttd)

4. dst

LAMPIRAN III

Lampiran Surat Pernyataan Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh


Perusahaan : ....................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh : ....................................

Unit/Bagian/
No. Nama Umur L/P Tandatangan Keterangan
divisi
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 08/MEN/V/2008

TENTANG

TATA CARA PERIZINAN DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN


DI LUAR NEGERI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


KEP.226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan
Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah
Indonesia sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.112/MEN/VII/2004 dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.22/MEN/V/2006 sudah tidak sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan penyelenggaraan pemagangan di luar negeri
sehingga perlu disempurnakan;
b. Bahwa tata cara penyelenggaraan pemagangan di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan pelaksanaan
ketentuan Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan;
c. Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota perlu diatur tata cara
perizinan dan penyelenggaraan pemagangan di luar negeri.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.17/MEN/VII/2007 tentang Tata Cara Perizinan dan
Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI TENTANG TATA CARA PERIZINAN
DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI LUAR
NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Pemagangan di luar negeri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara utuh dan terpadu di Indonesia dan di luar negeri oleh
lembaga pelatihan kerja atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga
pendidikan dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur dan/atau pekerja yang
lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa dalam rangka
menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
2. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
3. Lembaga Pelatihan Kerja yang selanjutnya disingkat LPK adalah instansi
pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja.
4. Lembaga pendidikan adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah dan/atau yang mendapatkan izin dari Pemerintah.
5. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
6. Penyelenggara pemagangan di luar negeri adalah LPK yang telah mendapatkan izin
atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga pendidikan yang telah
terdaftar pada Direktorat Jenderal yang bertanggungjawab di bidang pelatihan kerja
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melaksanakan
pemagangan di luar negeri.
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bertanggungjawab di bidang
pelatihan kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggungjawab di bidang
pelatihan kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri terdiri dari :


a LPK swasta;
b Perusahaan;
c Instansi pemerintah;
d Lembaga pendidikan.

(2) LPK swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk masyarakat umum.
(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk pekerjanya.
(4) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu instansi yang
menyelenggarakan untuk masyarakat umum.
(5) Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan untuk siswa/mahasiswa.

Pasal 3

(1) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setelah
mendapat izin sebagai LPK dari instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota, wajib memiliki izin penyelenggaraan pemagangan
dari Direktur Jenderal.
(2) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4)
dan ayat (5) yang menyelenggarakan pemagangan melebihi jangka waktu 3 (tiga)
bulan wajib memiliki tanda daftar sebagai penyelenggara pemagangan dari Direktur
Jenderal.
BAB II
PERSYARATAN LEMBAGA

Bagian Kesatu
LPK swasta

Pasal 4

LPK swasta yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi


persyaratan :

a. Memiliki izin LPK yang masih berlaku;


b. Memilik program pemagangan;
c. Mendapat izin penyelenggaraan pemagangan dari Direktur Jenderal.

Bagian Kedua
Perusahaan

Pasal 5

(1) Perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi


persyaratan :
a. Memiliki izin usaha yang masih berlaku;
b. Memiliki program pemagangan;
c. Terdaftar sebagai penyelenggara pemagangan pada Direktorat Jenderal.

(2) Perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk jangka


waktu paling lama 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk jangka
waktu lebih dari 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada Direktorat Jenderal.

Bagian Ketiga
Instansi Pemerintah

Pasal 6

Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi


persyaratan :

a. Terdaftar sebagai penyelenggara pemagangan pada Direktorat Jenderal;


b. Memiliki program pemagangan.

Bagian Keempat
Lembaga Pendidikan

Pasal 7

(1) Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus


memenuhi persyaratan :
a. Memiliki izin lembaga pendidikan yang masih berlaku;
b. Memiliki program pemagangan;
c. Terdaftar sebagai penyelenggara pemagangan pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.

(2) Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk


jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri untuk
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan harus terdaftar pada Direktorat Jenderal.

BAB III
PERSYARATAN PESERTA

Pasal 8

(1) Peserta pemagangan bagi LPK swasta dan instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA atau sederajat;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(2) Peserta pemagangan bagi perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar
negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai pekerja di perusahaan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(3) Peserta pemagangan bagi lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan
di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
(4) Peserta pemagangan pada lembaga pendidikan khusus milik instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
Pasal 9

Peserta pemagangan yang berasal dari masyarakat umum dapat menanggung biaya sesuai
dengan perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagangan di luar negeri
yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal.

BAB IV
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Perizinan

Pasal 10

(1) Izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri diterbitkan oleh Direktur


Jenderal.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 3 (tiga) tahun
dan dapat diperpanjang untuk setiap perpanjangan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 11

(1) LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang akan
menyelenggarakan pemagangan harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan :


a. Copy izin LPK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh instansi yang
memberikan izin;
b. Copy perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagangan di luar
negeri yang diketahui oleh perwakilan negara Republik Indonesia di negara
penerima;
c. Program pemagangan yang akan dilaksanakan;
d. Profil LPK yang meliputi antara lain : struktur organisasi, alamat, telepon dan
faximile.

(3) Permohonan sebagaaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPK
swasta kepada Direktur Jenderal setelah mendapat rekomendasi dari instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.

Pasal 12

(1) LPK swasta yang telah mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas antara lain
melakukan verifikasi tentang kelengkapan dan keabsahan dokumen.
(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, tim
melakukan peninjauan ke lapangan dalam jangka waktu paling la 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak dokumen dinyatakan lengkap.
(6) Dalam hal hasil peninjauan lapangan tidak sesuai dengan dokumen yang
diajukan berdasarkan laporan tim, Direktur Jenderal menolak permohonan
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan peninjauan lapangan.
(7) Dalam hal hasil peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dinyatakan sesuai dengan dokumen yang diajukan, Direktur Jenderal
menerbitkan surat izin penyelenggara di luar negeri dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak peninjauan lapangan selesai dilakukan.

Bagian Kedua
Pendaftaran

Paragraf 1
Perusahaan

Pasal 13

(1) Perusahaan yang akan menyelenggarakan pemagangan bagi pekerjanya harus


mendaftarkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Copy izin usaha yang masih berlaku;
b. Program pemagangan;
c. Copy surat keputusan pengangkatan sebagai pekerja;
d. Copy surat perjanjian antara perusahaan dengan lembaga penerima pamagang di
luar negeri;
e. Copy perjanjian pemagang antara pekerja peserta pemagangan dengan
perusahaan tempat bekerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
f. Tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh
pekerja setelah mengikuti pemagangan;
g. Rencana penempatan pekerja setelah selesai magang.
(2) Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu pekerja yang ada
hubungan kerja dengan perusahaan yang akan menyelenggarakan pemagangan.
(3) Pendaftaran secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
disampaikan kepada Direktur Jenderal terlebih dahulu harus diketahui oleh instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

Paragraf 2
Instansi Pemerintah

Pasal 14

Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pemagangan wajib mendaftarkan secara


tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :

a. Program pemagangan;
b. Copy perjanjian antara instansi pemerintah dengan lembaga penerima pemagang di
luar negeri;
c. Copy perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.

Paragraf 3
Lembaga Pendidikan

Pasal 15

(1) Lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan bagi siswanya harus
mendaftarkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Copy izin sebagai lembaga pendidikan yang masih berlaku;
b. Program pemagangan;
c. Copy surat perjanjian antara lembaga pendidikan dengan lembaga penerima
pemagang di luar negeri;
d. Copy perjanjian pemagangan antara siswa peserta pemagangan dengan lembaga
pendidikan tempat siswa belajar yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
e. Tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh
siswa setelah mengikuti pemagangan.
(2) Siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelajar/mahasiswa yang belajar di
lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan.
(3) Pendaftaran secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
disampaikan kepada Direktur Jenderal terlebih dahulu harus diketahui oleh instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Paragraf 4
Jangka Waktu Penerbitan Tanda Daftar

Pasal 16

(1) Perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan yang telah mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15
dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan tanda daftar penyelenggara pemagangan
di luar negeri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
hasil verifikasi dinyatakan lengkap.

BAB V
PROGRAM PEMAGANGAN

Pasal 17

(1) Penyelenggara pemagangan wajib memiliki program pemagangan.


(2) Program pemagangan bagi LPK swasta sekurang-kurangnya harus memuat :
a. Nama pelatihan pemagangan;
b. Tujuan dan sasaran program pemagangan;
c. Program kejuruan;
d. Pelaksanaan program pemagangan;
e. Tindak lanjut pasca pemagangan.
(3) Program kejuruan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sekurang-kurangnya
memuat :
a. Persyaratan peserta;
b. Tingkat dan kualifikasi kompetensi ayang akan dicapai;
c. Kurikulum dan silabi;
d. Jadual pelaksanaan program;
e. Perangkat lunak yang dipergunakan;
f. Perangkat keras yang dipergunakan;
g. Instruktur dan tenaga kepelatihan;
h. Sistem dan metode pelatihan;
i. Persyaratan kelulusan;
j. Sertifikasi kompetensi;
k. Perjanjian pemagangan;
l. Sarana dan prasarana, instruktur, dan tenaga kepelatihan serta workshop sesuai
dengan kejuruan.
(4) Pelaksanaan program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d,
sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, alamat LPK dan penanggung jawab program;
b. Nama, alamat perusahaan tempat pemagangan, dan penanggung jawab program;
c. Monitoring dan evaluasi;
d. Pelaporan;
(5) Tindak lanjut pasca pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, antara
lain meliputi :
a. Penempatan dalam negeri;
b. Penempatan luar negeri;
c. Usaha mandiri.
(6) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k, sekurang-
kurangnya memuat hak dan kewajiban para pihak antara lain :
a. Uang saku dan transport bagi peserta pemagangan;
b. Perlindungan bagi peserta pemagangan antara lain : asuransi kecelakaan,
kesehatan, kematian, dan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Pembiayaan program magang;
d. Penyelesaian perselisihan.
(7) Dalam hal LPK swasta tidak memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf l, maka LPK swasta tersebut harus bekerjasama dengan LPK lain yang
sesuai dengan kejuruan pemagangan yang akan dilaksanakan dalam bentuk
perjanjian kerjasama.
(8) Program pemagangan bagi perusahaan dan/atau instansi pemerintah dan/atau
lembaga pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan/atau instansi
pemerintah dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 18

(1) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan ayat (3) merupakan satu kesatuan yang utuh dan berkelanjutan.
(2) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
ayat (3) dan ayat (7) harus mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.

Pasal 19

Penyelenggara pemagangan tidak diperbolehkan mengikutsertakan kembali peserta


pemagangan untuk program pemagangan yang sama.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 20

(1) Peserta pemagangan di luar negeri berhak untuk :


a. Mendapatkan uang saku dan transport sesuai dengan perjanjian antara peserta
pemagangan dengan penyelenggara pemagangan;
b. Mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, dan kematian yang
preminya ditanggung oleh penyelenggara pemagangan;
c. Mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti
magang;
d. Mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi
kompetensi;
e. Mendapatkan sertifikat apabila telah menyelesaikan program pemagangan.
(2) Penyelenggara pemagangan di luar negeri berhak untuk :
a. Hasil kerja/jasa peserta pemagangan;
b. Mengevaluasi peserta pemagangan;
c. Memberhentikan peserta pemagangan yang melanggar perjanjian pemagangan.

Pasal 21

(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri berkewajiban untuk :


a. Menyediakan uang saku dan transport sesuai dengan perjanjian antara peserta
pemagangan dengan penyelenggara pemagangan;
b. Menyediakan fasilitas pelatihan;
c. Menyediakan instruktur dan tenaga kepelatihan;
d. Menyediakan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti
magang;
e. Menyediakan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, kematian yang
preminya ditanggung oleh lembaga penyelenggara yang besarnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di negara tempat dilaksanakannya pemagangan;
f. Mengikuti peserta pemagangan dalam uji kompetensi untuk mendapatkan
pengakuan kualifikasi kompetensi;
g. Memberikan sertifikat kepada peserta pemagangan yang telah menyelesaikan
program pemagangan;
h. Menjamin penyelenggaraan pemagangan tidak melanggar norma kesusilaan.
i. Menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta pemagangan selama
berada di negara tempat magang;
j. Memulangkan peserta pemagangan baik yang telah selesai mengikuti program
magang maupun yang melanggar perjanjian pemagangan.
(2) Peserta pemagangan di luar negeri berkewajiban untuk :
a. Mentaati perjanjian pemagangan;
b. Mentaati peraturan yang berlaku di LPK swasta dan/atau perusahaan;
c. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat magang.

BAB VII
PELAKSANAAN

Pasal 22

Penyelenggara pemagangan dapat melaksanakan pemagangan di luar negeri setelah


mendapatkan izin atau terdaftar.

Pasal 23

Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a hanya
dapat merekrut peserta pemagangan dalam satu wilayah propinsi setelah memberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.

Pasal 24

(1) Rekrut dan seleksi calon peserta dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai
dengan kebutuhan tempat magang di perusahaan.
(2) Dalam hal rekrut dan seleksi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum memenuhi kebutuhan tempat magang, penyelenggara pemagangan dapat
melakukan rekrut dan seleksi kembali untuk memenuhi kebutuhan tempat magang.
(3) Hasil rekrut dan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.

Pasal 25

(1) Calon peserta pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 yang


dinyatakan lulus seleksi harus mengikuti pelatihan teknis, bahasa dan budaya
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemagangan.
(2) Peserta pemagangan yang telah mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diberangkatkan ke negara tempat magang.
Pasal 26

(1) Peserta pemagangan yang akan diberangkatkan ke negara tempat magang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) diberikan rekomendasi
pemberangkatan.
(2) Rekomendasi pemberangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan secara tertulis dari
penyelenggara pemagangan dengan melampirkan :
a. Bukti tertulis perusahaan tempat magang dan bidang kerjanya;
b. Copy perjanjian pemagangan;
c. Paspor peserta;
d. Data peserta/riwayat hidup;
e. Kartu pelajar/mahasiswa bagi peserta pemagangan dari lembaga pendidikan;
f. Ketentuan lain sesuai dengan peraturan di negara tempat magang.

Pasal 27

(1) Penyelenggara pemagangan yang telah mendapatkan rekomendasi pemberangkatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat mengajukan permohonan
rekomendasi bebas fiscal kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Rekomendasi pemberangkatan;
b. Copy paspor dan visa peserta pemagangan;
c. Daftar peserta pemagangan sesuai dengan visa;
d. Copy perjanjian pemagangan.
(2) Copy paspor dan visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
menunjukkan aslinya.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah
lengkap, Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan rekomendasi
bebas fiscal.

BAB VIII
PERPANJANGAN IZIN

Pasal 28

(1) Perpanjangan izin penyelenggaraan pemagangan diberikan oleh Direktur


Jenderal.
(2) Untuk mendapatkan izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
LPK swasta harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sebelum jangka waktu izin untuk
menyelenggarakan pemagangan berakhir.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dengan melampirkan
:

a. Copy izin LPK yang masih berlaku;


b. Copy izin penyelenggaraan pemagangan yang masih berlaku;
c. Realisasi pelaksanaan izin penyelenggaraan pemagangan;
d. Copy perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagang di luar negeri
yang diketahui oleh perwakilan Negara Republik Indonesia di negara penerima.

(5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bagi LPK
swasta yang tidak memiliki workshop, instruktur dan tenaga kepelatihan harus
melampirkan copy perjanjian kerjasama dengan LPK lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7).
(6) Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan
telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 29

(1) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan
perpanjangan pemagangan.
(2) Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
peninjauan lapangan selesai dilakukan.
(3) Prosedur dan tata cara pemberian perpanjangan izin mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12.

Pasal 30

Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) juga mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.

BAB IX
PENCABUTAN IZIN

Pasal 31

Direktur Jenderal mencabut izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri apabila


penyelenggaraan pemagangan :
a. Memungut biaya kepada peserta pemagangan di luar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 9;
b. Mengikutsertakan kembali peserta pemagangan pada program pemagangan yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
c. Tidak melaksanakan pemagangan dalam kurun waktu
1 (satu) tahun setelah memperoleh izin;
d. Merekrut peserta pemagangan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23;
e. Melakukan rekrut dan seleksi calon peserta pemagangan sebelum tersedianya tempat
magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
f. Tidak memberangkatkan peserta pemagangan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat
(2);
g. Terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemagangan di luar negeri.
h. Izin LPK dicabut oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota;
i. Memagangkan peserta pemagangan tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
j. Melanggar norma kesusilaan;
k. Menyelenggarakan pemagangan yang tidak sesuai dengan program sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;

Pasal 32

Penyelenggara pemagangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 31 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dicabut izin penyelenggaraan
pemagangannya dengan tahapan sebagai berikut :
a. Teguran lisan;
b. Peringatan tertulis dilakukan apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak teguran lisan diberikan penyelenggara pemagangan tetap melakukan
pelanggaran;
c. Pemberhentian sementara pengiriman peserta pemagangan selama 4 (empat) bulan
apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak teguran tertulis
diberikan penyelenggara pemagangan masih melakukan pelanggaran;
d. Izin penyelenggaraan pemagangan dicabut apabila dalam masa pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c penyelenggara pemagang tetap
melaksanakan pelanggaran yang sama dan/atau mengirim peserta pemagangan.

Pasal 33

Penyelenggara pemagangan yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 31 huruf g dicabut izin penyelenggaraan pemagangannya setelah
ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 34

Izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri tidak berlaku apabila izin LPK dicabut
oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf h.

Pasal 35

LPK swasta yang izin penyelenggaraan pemagangannya dicabut sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 tetap bertanggungjawab terhadap
peserta pemagangan sesuai perjanjian yang telah disepakati.

BAB X
PELAPORAN

Pasal 36

(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan setiap 6 (enam) bulan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan saat program pemagangan selesai
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaetn/kota.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :


a. Data peserta yang sedang mengikuti pelatihan teknis, bahasa dan budaya;
b. Data peserta yang sedang mengikuti magang di perusahaan penerima;
c. Data peserta yang gagal mengikuti magang :
d. Data peserta pasca magang.
e. Data perusahaan tempat magang.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
disampaikan secara manual atau media elektronik.

BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 37

(1) Pembinaan di dalam negeri terhadap penyelenggara pemagangan dilakukan secara


bersama oleh Direktorat Jenderal dan instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Pembinaan di luar negeri terhadap penyelenggara pemagangan dilakukan oleh
Direktorat Jenderal bekerjasama dengan perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi program,
sumber daya manusia, fasilitas, metode, dan sistem penyelenggaraan pemagangan.

Pasal 38

Dalam rangka pengendalian penyelenggaraan pemagangan, Direktur Jenderal secara


berkala menerbitkan dan mengumumkan kepada masyarakat melalui media cetak
dan/atau elektronik daftar penyelenggara pemagangan ke luar negeri yang memiliki
izin/tanda daftar yang masih berlaku.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

(1) Penyelenggara pemagangan yang telah memiliki izin penyelenggaraan pemagangan


di luar negeri sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini wajib menyesuaikan
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Apabila penyelenggara pemagangan dalam jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan persyaratan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini, maka izin penyelenggaraan pemagangan di luar
negeri yang bersangkutan dicabut oleh Direktur Jenderal.

BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka :

a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor :KEP.226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Program
Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia.
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor : KEP.112/MEN/VII/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi
Nomor : KEP. 226/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Program
Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia.
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor :PER. 22/MEN/V/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :KEP. 226/MEN/2003 tentang Tata Cara
Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia;

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Mei 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

TTD

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

Sunarno, SH,MH.
NIP. 730001630
KEPPRES NO.75 TH 1995

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 75 TAHUN 1995

TENTANG

PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, baik di bidang ekonomi maupun
bidang lainnya, telah meningkatkan kegiatan usaha dan semakin memperluas
lapangan kerja serta kesempatan kerja;
b. bahwa agar kesempatan kerja yang tersedia sebanyak mungkin dapat menyerap
Tenaga Kerja Indonesia, dipandang perlu mengadakan pengaturan kembali mengenai
penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan Keputusan
Presiden;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 1, diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam
Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3552);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin
Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3563);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGGUNAAN TENAGA KERJA WARGA NEGARA


ASING PENDATANG.

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan:


(1). Tenaga Kerja Asing Pendatang selanjutnya disingkat dengan TKWNAP adalah Warga
Negara Asing yang memiliki Visa Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Terbatas atau Izin
Tinggal Tetap untuk maksud bekerja di dalam wilayah Republik Indonesia.
(2). Pengguna TKWNAP adalah usaha perorangan atau badan usaha atau badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang menjalankan
kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa dengan tujuan mencari
keuntungan atau tidak yang telah memiliki izin mempekerjakan TKWNAP.
(3). Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja Warga Negara Indonesia.
Pasal 2

(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di
semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia.
(2). Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi
oleh Tenaga Kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP sampai
batas waktu tertentu.

Pasal 3

(1). Jabatan Direksi dan Komisaris pada perusahaan penanam modal yang didirikan dengan
seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum
asing, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia, terbuka bagi TKWNAP.
(2). abatan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan
penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia.
(3). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing, dapat menunjuk sendiri
TKWNAP sebagai Direksi dan Komisaris perusahaannya.
(4). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dalam bentuk patungan
antara modal asing dengan modal Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh
modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia/dan atau badan hukum Indonesia,
penunjukan Direksi dan Komisaris sesuai kesepakatan para pihak.

Pasal 4

(1). Jabatan Direksi pada perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka Undang-undang
Penanaman Modal, terbuka bagi TKWNAP.
(2). Jabatan Komisaris pada perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
terbuka bagi Tenaga Kerja Indonesia.

Pasal 5

Khusus untuk jabatan Direktur yang membidangi Personalia, perusahaan sebagaimana dalam
Pasal 3 dan Pasal 4, wajib menggunakan Tenaga Kerja Indonesia.

Pasal 6

(1). Daftar bidang dan jenis pekerjaan di bawah jabatan Direksi yang tertutup dan yang
terbuka bagi TKWNAP untuk batas waktu tertentu, diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga
Kerja dengan memperhatikan pendapat Menteri terkait.
(2). Daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau kembali selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun.

Pasal 7

(1). Pengguna TKWNAP wajib memiliki Rencana Penggunaan TKWNAP termasuk Direksi
Komisaris yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(2). Izin mempekerjakan TKWNAP diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang
ditunjuk.
(3). TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Direksi/Komisaris
sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dan Pasal 4 memiliki Izin Kerja TKWNAP dari Menteri
Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(4). Tatacara untuk memperoleh pengesahan Rencana Pembangunan TKWNAP, Izin
Mempekerjakan TKWNAP dan Izin Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri terkait.

Pasal 8

(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib melaksanakan program penggantian TKWNAP ke Tenaga
Kerja Indonesia.
(2). Dalam rangka pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna
TKWNAP wajib :
a. menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai Tenaga Pendamping pada jenis pekerjaan
yang dipegang oleh TKWNAP.
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Tenaga Kerja Indonesia
yang dipekerjakan, baik sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga.
(3). Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a harus tercantum
dengan jelas dalam Rencana Penggunaan TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan dalam struktur jabatan perusahaan.
(4). Biaya untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b dibebankan pada pengguna TKWNAP dan tidak dibebankan ulang pada
Tenaga Kerja Indonesia.

Pasal 9

Pengguna TKWNAP wajib melaporkan pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 ayat (2) kepada Menteri Tenaga Kerja.

Pasal 10

(1). Pengguna TKWNAP dikenakan pungutan pada setiap TKWNAP yang dipekerjakannya.
(2). Pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membantu
penyelenggaraan pelatihan Tenaga Kerja Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja.
(3). Besarnya pungutan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri Keuangan.

Pasal 11

Dengan dikenakan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, maka terhadap Pengguna
TKWNAP tidak lagi dikenakan pungutan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan TKWNAP.

Pasal 12

(1). Pengguna TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Keputusan
Pengesahan Rencana Penggunaan TKWNAP dan/atau Izin Mempekerjakan TKWNAP.
(2). TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Izin Kerja TKWNAP.

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini, diatur oleh
Menteri Tenaga Kerja dengan mendengar pendapat Menteri terkait.
Pasal 14

(1). Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun
1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang,
dinyatakan tidak berlaku.
(2). Semua peraturan pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1974 masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan atau belum diatur berdasarkan
Keputusan Presiden ini.

Pasal 15

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1995

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SOEHARTO
KEPMEN NO. 01 TAHUN 2008

KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 01 TAHUN 2008


NOMOR: KEP.24/MEN/II/2008
NOMOR: SKB/01/M.PAN/2/2008

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 55 TAHUN 2007, NOMOR:KEP.222/MEN/V/2007, NOMOR:
SKB/03/M.PAN/5/2007 TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN
2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Menimbang : a Bahwa dengan memperhatikan situasi Nasional dan Daerah sebagai dampak
perkembangan ekonomi global serta kondisi alam memerlukan kesiapan dan
perhatian dari semua pihak, terutama jajaran aparatur negara.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a huruf b di
atas, perlu mengubah Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008;

Mengingat : 1. Keputusan Presiden RI Nomor 10 tahun 1971 tentang Perubahan \Libur


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden RI
Nomor 3 Tahun 1983 ;
2. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek ;
3. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara RI sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden RI Nomor 94 Tahun 2006;
4. Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun 2007, Nomor :
KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008;
5. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 Tentang Penetapan Hari Tahun
baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional;

Memperhatikan : Masukan yang sangat positif dari berbagai pihak, baik perorangan, kelompok,
maupun media massa tentang kebijakan dan pelaksanaan cuti bersama;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 55 TAHUN 2007,
NOMOR: KEP.222/MEN/V/2007, NOMOR: SKB/03/ M.PAN/ 5/2007
TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2008

Kesatu : Mengubah Lampiran Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008 sehingga seluruhnya menjadi
sebagaimana Lampiran Keputusan Bersama ini.
Kedua : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008

MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI

---------------------------------------------------------------------------------------

LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA


MENTERI AGAMA, MENTERI KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 TAHUN 2008


NOMOR: KEP.24/MEN/II/2008
NOMOR: SKB/01/M.PAN/2/2008

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 55 TAHUN 2007, NOMOR :KEP.222/MEN/V/2007, NOMOR :
SKB/03/M.PAN/5/2007 TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN
2008

A. HARI LIBUR TAHUN 2008

NO Tanggal Hari Keterangan

1. 1 Januari Selasa Tahun Baru Masehi

2. 10 Januari Kamis Tahun Baru 1429 Hijriyah

3. 7 Pebruari Kamis Tahun Baru Imlek 2559

4. 7 Maret Jumat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1930

5. 20 Maret Kamis Maulid Nabi Muhammad SAW

6. 21 Maret Jumat Wafat Yesus Kristus

7. 1 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus

8. 20 Mei Selasa Hari Raya Waisak Tahun 2552

9. 30 Juli Rabu Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW

10. 18 Agustus Senin Hari Kemerdekaan RI yang diperingati pada hari


Minggu tanggal 17 Agustus 2008

11. 1-2 Oktober Rabu, Kamis Idul Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah

12. 8 Desember Senin Idul Adha 1429 Hijriyah

13. 25 Desember Kamis Hari Raya Natal

14. 29 Desember Senin Tahun Baru 1430 Hijriyah


B. CUTI BERSAMA TAHUN 2008

No Tanggal Hari Keterangan


1. 11 Januari Jum'at Cuti bersama menyambung hari libur Tahun Baru
1429 Hijriyah, Kamis tanggal 10 Januari 2008

5. 29, 30 September Senin, Selasa dan Cuti bersama sebelum dan sesudah Hari Raya Idul
dan 3 Oktober Jumat Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah, Rabu dan Kamis tanggal
1-2 Oktober 2008

6. 26 Desember Jumat Cuti bersama menyambung hari libur Hari Raya


Natal, Kamis tanggal 25 Desember 2008

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008

MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI


KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 4 TAHUN 2008


NOMOR : KEP. 115/ MEN/VI/2008
NOMOR : SKB/06/M. PAN/6/2008

TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemanfaatan hari-


hari kerja, hari-hari libur, dan cuti bersama dipandang perlu menata
pelaksanaan hari-hari libur nasional dan mengatur cuti bersama
tahun 2009;

b. bahwa penataan hari-hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun


2009 sebagaimana tersebut pada huruf a diharapkan menjadi
pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta sehingga dapat
meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a dan huruf b di atas, perlu ditetapkan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2009.

Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas


Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 10 Tahun 1971;
2. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Ta-
hun Baru Imlek;
3. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kernenterian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2006;
4. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tentang
Penetapan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA


DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA TENTANG HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI
BERSAMA TAHUN 2009.

Kesatu : Menetapkan Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2009
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.

Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Had Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Kedua : 'dui Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Ramadhan 1430 H, 1 Syawal
1430 H, dan 10 Dzulhijjah 1430 H ditetapkan kemudian dengan
Keputusan Kenteri Agama.

Ketiga : Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan


Iangsung kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang
mencakup kepentingan masyarakat luas, seperti: rumah sakit/puskesmas,
unit kerja yang memberikan pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum,
pemadam kebakaran, keamanan dan ketertiban, perbankan,
perhubungan, pajak, bea cukai, dan unit kerja pelayanan lainnya yang
sejenis agar mengatur penugasan pegawai dan pekerja/buruh pada hari -
hari libur nasional dan cuti bersama yang ditetapkan, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu


Keempat : mengurangi hak cuti tahunan pegawai sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku pada
masing-masing instansi/Iembaga/perusahaan.

Kelima : Pelaksanaan cuti bersama di kalangan dunia usaha sebagaimana


dimaksud pada Diktum Kesatu diatur oleh lembaga atau perusahaan yang
bersangkutan.

Keenam : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 4 TAHUN 2008


NOMOR : KEP.115/MENNI/2008
NOMOR : SKB/06/M.PAN/6/2008

TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009

A. HARI LIBUR TAHUN 2009


Tanggal
No Hari Keterangan
1 1. Januari Kamis Tahun Baru Masehi
2 26
. Januari Senin Tahun Baru Imlek 2560
3. 9 Maret _ Senin Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 26 Maret Kamis Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931
5. 10 April Jum'at Wafat Yesus Kristus
6. 9 Mei Sabtu Hari Raya Waisak Tahun 2553
7 21
. Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
8 20
. Juli Senin Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Senin Hari Kemerdekaan RI
10. 21-22 September Senin-Selasa Idul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriyah
11. 27 November Jum'at Idul Adha 1430 Hijriyah
12. 18 Desember Jum'at Tahun Baru 1431 Hijriyah
13. 25 Desember Jum'at Hari Raya Natal
B. CUTI BERSAMA TAHUN 2009

Tanggal Hari Keterangan


2 Januari Jum'at Cuti Bersama Tahun Baru Masehi
18 September Jum'at Cuti Bersama Idul Fitri
23 September Rabu Cuti Bersama Idul Fitri
24 Desember Kamis Cuti Bersama Natal

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008

I NEGARA
GUNAAN
NEGARA
KOMPILASI KETENTUAN PIDANA KETENAGAKERJAAN
(UU NO. 13/2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN,
UU NO. 3/1992 T ENTANG JAMSOSTEK, UU 21/2000 TENTANG SP/SB, UU 2/2004 TENTANG PPHI,
UU NO. 1/1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA & UU 7/1981 TENTANG WAJIB LAPOR
KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN


PASAL 183 – 189

Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.00 0.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus ju ta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayata (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu)

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 1
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp, 10.000 .000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak -hak dan/atau ganti kerugian kepada te naga kerja atau
pekerja/buruh.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 14 ayat (2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima
wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (lima puluh juta rupiah).

2. Pasal 35 ayat (2) dan (3) (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dim aksud pada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
penempatan tenaga kerja sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rupiah).
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental
maupun fisik tenaga kerja.

3. Pasal 37 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
ditunjuk rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

4. Pasal 38 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga (lima puluh juta rupiah).
kerja golongan dan jabatan tertentu.

5. Pasal 42 ayat (1) & (2) (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 2
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
kerja asing. ratus juta rupiah).
6. Pasal 44 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

7. Pasal 45 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja (seratus juta rupiah).
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.

8. Pasal 63 ayat (1) (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh yang bersangkutan. (lima puluh juta rupiah).

9. Pasal 67 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
kecacatannya. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

10. Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).

11. Pasal 69 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a. izin tertulis dari orang tua atau wali; sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; ratus juta rupiah).
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 3
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

12. Pasal 71 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) wajib memenuhi syarat: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, (seratus juta rupiah).
mental, sosial, dan waktu sekolah.

13. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
meliputi: juta rupiah).
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,
atau moral anak.

(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan,


keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

14. Pasal 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan (seratus juta rupiah).
dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan


antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib:
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 4
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Keputusan Menteri.

15. Pasal 78 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
syarat: (lima puluh juta rupiah).
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

16. Pasal 78 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
lembur paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

17. Pasal 79 ayat (1) & (2) (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerja/buruh. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
meliputi: (seratus juta rupiah).
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam
setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang -kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1
(satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam)
tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 5
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku
untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
18. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
agamanya. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).

19. Pasal 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 paling lama 4 (empat) tahun dan/ata u denda paling
(satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dokter kandungan atau bidan. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan ratus juta rupiah).
berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

20. Pasal 85 ayat (3) (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
wajib membayar upah kerja lembur. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

21. Pasal 90 ayat (1) (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).

22. Pasal 93 ayat (2) (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
pengusaha wajib membayar upah apabila: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
b pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; rupiah).
c pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia;
d pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalan kan kewajiban terhadap negara;

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 6
e pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kes alahan
sendiri maupun halangan yg seharusnya dpt dihindari pengusaha;
g pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh
atas persetujuan pengusaha; dan
i pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

23. Pasal 108 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang- Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00
yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang (lima puluh juta rupiah).
ditunjuk.

24. Pasal 111 ayat (3) (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).

25. Pasal 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta Pidana denda paling sedikit Rp 5 .000.000,00 (lima
memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh. (lima puluh juta rupiah).

26. Pasal 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang -halangi pekerja/buruh dan serikat Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
dilakukan secara sah, tertib, dan damai. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan ratus juta rupiah).
terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

27. Pasal 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
lain dari luar perusahaan; atau rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun (seratus juta rupiah).
kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

28. Pasal 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 7
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (lima puluh juta rupiah).
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock out) dilaksanakan.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-


kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan
perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang
bersangkutan.

29. Pasal 160 ayat (4) & (7) (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
mempekerjakan pekerja/buruh kembali. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).

30. Pasal 167 ayat (5) (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
program pensiun maka pengusaha wajib membe rikan kepada sedikit Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 dan paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal juta rupiah).
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 8
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMSOSTEK
PASAL 29
Pasal 29
(1). Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir tela h memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan.
(3). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL SANKSI PIDANA


NO. KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 4 ayat (1) (1) Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud 1. Hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam)
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga bulan atau denda setinggi -tingginya Rp.
kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
dengan ketentuan undang-undang ini.
2. Dalam hal pengulangan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir
telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan
selama-lamanya 8 (delapan) bulan.

3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) adalah pelanggaran.
2. Pasal 10 ayat (1), (2), dan (1). Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa
(3) tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan
Penyelenggaran dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam.

(2). Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga


Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali idem
24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan oleh dokter
yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacad atau meninggal
dunia.

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 9
(3). Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertmpa
kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai
memperoleh hak-haknya.

3. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (1). Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya,
(4), dan (5) daftar upah beserta perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan
kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.

(2). Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), idem


pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan data
perusahaan yangberhubungan dengan penyelenggaraan program
jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.

(3). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data seb agaimana


dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga
mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai
peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha
wajib memberikan hak -hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan
Undang-und ang ini.

(4). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga
mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga
kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan
tersebut.

(5). Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga
mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan
Penyelenggara.

4. Pasal 19 ayat (2) (2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan
sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib idem
memberikan JaminanKecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya
sesuai dengan Undang -undang ini.

5. Pasal 22 ayat (1) (1) Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan
iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan
upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan idem

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 10
Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

6. Pasal 26 Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2),


wajib membayar jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih idem
dari 1 (satu) bulan.

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT BURUH


PASAL 43
Pasal 43
(1). Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI P ASAL ANCAMAN SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA

1. Pasal 28 Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
pekerja/serikat buruh dengan cara : rupiah).

a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan


sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 11
buruh.

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)
PASAL 122
Pasal 122
(1). Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90
ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL ANCAMAN SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 12 ayat (1) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
diperlukan. rupiah).

2. Pasal 22 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan. idem
(2) --
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yan g diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Pasal 47 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan
hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib
memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 12
4. Pasal 90 ayat (2) (2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan idem
kesaksiannya di bawah sumpah.

5. Pasal 91 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa
syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA


PASAL 15
Pasal 15
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal -pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah)
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Penjelasan
Peraturan-peraturan turunan dari UU 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (dalam bentuk Peraturan maupun Keputusana Menteri Tenaga Kerja), ancaman
pidananya mengacu pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) di atas.

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1981 TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN


PASAL 10 - 11

Pasal 10

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 13
(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal
13 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah).
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan
pidana kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.

Pasal 11

(1) Jika perbuatan sebagaitnana dimaksud dalarn Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana
dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana
dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia.

NO. PASAL YANG DIKENAI ISI PASAL ANCAMAN SANKSI PIDANA


KETENTUAN PIDANA
1. Pasal 6 ayat (1) (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam atau denda setinggi -tingginya Rp. 1.000.000,- (satu
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan juta rupiah).
kembali atau memindahkan perusahaan.

2. Pasal 7 ayat (1) (1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan setiap tahun
secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada Menteri atau Idem
pejabat yang ditunjuk.

3. Pasal 8 ayat (1) (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memind ahkan, Idem
menghentikan atau membubarkan perusahaan.

4. Pasal 13 (1). Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum
dikenakan wajib lapor berdasarkan Undang -undang Nomor 23
Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan
keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-
Idem

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 14
undang ini.
(2). Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan
berdasarkan Undang -undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha
atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di
perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.

Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 15
KEPPRES NO. 83 TH 1998

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NO. 83 TAHUN 1998

Tentang

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 87


MENGENAI

KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK


UNTUK BERORGANISASI
(Lembaran Negara No. 98 tahun 1998)

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di San Fransisco oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan


Internasional, dan setelah mengadakan sidangnya yang ketiga puluh satu pada tanggal
17 Juni 1948,

Setelah memutuskan untuk menerima dalam bentuk Konvensi beberapa usul tertentu
tentang kebebasan untuk berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi
yang menjadi agenda sidang butir ketujuh,

Menimbang bahwa Mukadimah Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional


menyatakan "pengakuan atas prinsip kebebasan berserikat" merupakan alat untuk
meningkatkan kondisi pekerja dan menciptakan ketenangan,

Menimbang bahwa Deklarasi Philadelphia mengukuhkan bahwa "kebebasan untuk


mengemukakan pendapat dan berserikat merupakan hal yang sangat penting untuk
mencapai kemajuan",

Menimbang bahwa Konperensi Perburuhan Internasional pada sidangnya yang ketiga


puluh sembilan, secara aklamasi menerima prinsip-prinsip yang merupakan dasar bagi
terbentuknya peraturan internasional,

Menimbang bahwa sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada sidangnya yang


kedua, mengajukan prinsip-prinsip tersebut dan meminta Organisasi Perburuhan
Internasional untuk terus mengupayakan agar prinsip-prinsip dimaksud memungkinkan
untuk dibuat menjadi satu atau beberapa Konvensi internasional,

Menerima pada tanggal 9 Juli 1948 Konvensi berikut yang disebut sebagai Konvensi
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi tahun 1948:

Bab I
Kebebasan Berserikat

Pasal 1

Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut.

Pasal 2

Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut
aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka
sendiri tanpa pengaruh pihak lain.

Pasal 3

1. Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar dan peraturan -
peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola administrasi dan aktifitas, dan
merumuskan program.
2. Penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi
hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.

Pasal 4

Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh "penguasa
administratif".

Pasal 5

Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi
dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut
berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional.

Pasal 6

Ketentuan-ketentuan Pasal 2, 3 dan 4 berlaku untuk federasi dan konfederasi organisasi-organisasi


pekerja dan pengusaha.

Pasal 7

"Akuisisi keabsahan" oleh organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha, federasi dan konfederasi
tidak boleh dilakukan untuk maksud tertentu sehingga membatasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Pasal 2, 3 dan 4.

Pasal 8

1. Dalam melaksanakan hak-haknya berdasarkan Konvensi ini para pekerja dan pengusaha
serta organisasi mereka, sebagaimana halnya perseorangan atau organisasi perkumpulan
lainnya, harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku.

2. Hukum nasional yang berlaku tidak boleh memperlemah atau diterapkan untuk memperlemah
ketentuan-ketentuan yang dijamin dalam Konvensi.

Pasal 9

1. Ketentuan yang dijamin sebagaimana dinyatakan Konvensi yang diberlakukan untuk angkatan
bersenjata dan polisi harus diatur dengan hukum dan perundingan nasional.

2. Sesuai dengan prinsip yang tercantum dalam ayat 8 pasal 19 Konstitusi


Organisasi Perburuhan Internasional, ratifikasi Konvensi oleh Anggota tidak boleh
dianggap mempengaruhi hukum, penghargaan, kebiasaan atau kesepakatan yang ada
dengan mempertimbangkan bahwa anggota angkatan bersenjata atau polisi
dapat menggunakan haknya sebagaimana dijamin Konvensi.

Pasal 10

Dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan "organisasi" adalah organisasi pekerja dan pengusaha
yang didirikan untuk melanjutkan dan membela kepentingan pekerja dan pengusaha.

Bab II
Perlindungan Hak Berorganisasi

Pasal 11

Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
mengambil langkah-langkah yang perlu dan tepat untuk menjamin bahwa para pekerja dan
pengusaha dapat melaksanakan secara bebas hak-hak berorganisasi.
Bab III
Ketentuan Lain-lain

Pasal 12

1. Sehubungan dengan wilayah sebagaimana dimaksud pasal 35 Konstitusi Organisasi


Perburuhan Internasional sebagaimana diubah dengan Perangkat Amandemen Konstitusi
Organisasi Perburuhan Internasional, 1946, selain dari wilayah sebagaimana dimaksud ayat
4 dan 5 dari pasal perubahan tersebut, setiap Anggota organisasi yang
meratifikasi Konvensi ini harus menyampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Organisasi
Perburuhan Internasional dengan atau segera setelah pernyataan ratifikasi
sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa :

(a). wilayah yang bersangkutan tunduk kepada ketentuan-ketentuan Konvensi


yang diberlakukan tanpa tambahan apapun;

(b). wilayah yang bersangkutan tunduk kepada ketentuan-ketentuan Konvensi dengan


perubahan-perubahan, dengan menyertakan perubahan tersebut secara rinci.

(c). wilayah yang bersangkutan tidak dapat menerapkan ketentuan Konvensi, dengan
menyertakan alasannya.

(d). wilayah yang bersangkutan memutuskan mempertimbangkan kembali.

2. Langkah-langkah sebagaimana dimaksud sub - ayat (a) dan (b), ayat 1 Pasal ini
harus dianggap bagian integral daripada ratifikasi dan mempunyai kekuatan hukum ratifikasi.

3. Setiap Anggota dapat sewaktu-waktu dengan pernyataan berikutnya menunda seluruh atau
sebagian pertimbangan yang dibuat melalui naskah asli pernyataan dengan memperhatikan
ketentuan sub-ayat (b), (c) atau (d) ayat 1 Pasal ini.

4. Setiap Anggota dapat, sewaktu-waktu mencabut ratifikasi Konvensi ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 16, dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal mengenai maksud
perubahan atas syarat-syarat perubahan terdahulu dan menyatakan pendirian
sekarang sehubungan dengan wilayah-wilayah tersebut.

Pasal 13

1. Bilamana hal-hal pokok Konvensi dilaksanakan dalam suatu wilayah non - metropolitan yang
mempunyai kekuasaan mandiri, maka Anggota yang bertanggung jawab atas hubungan
internasional wilayah yang bersangkutan dapat, dengan persetujuan pemerintah wilayah
yang bersangkutan, menyampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional pernyataan menerima kewajiban-kewajiban Konvensi ini atas nama wilayah
yang bersangkutan.

2. Pernyataan menerima kewajiban - kewajiban Konvensi ini dapat disampaikan kepada


Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional oleh -

(a). dua atau lebih Anggota organisasi sehubungan dengan wilayah yang berada dalam
kekuasaan gabungan ; atau

(b). penguasa internasional yang bertanggung jawab atas administrasi suatu


wilayah, dengan mengingat Piagam Perserikatan Bangsa - Bangsa atau sejenisnya,
sehubungan dengan wilayah tersebut.

3. Pernyataan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor Organisasi


Perburuhan Internasional sesuai dengan ayat-ayat terdahulu Pasal ini harus menyebutkan
apakah ketentuan-ketentuan Konvensi akan diterapkan di wilayah yang bersangkutan
tanpa perubahan atau dengan perubahan; bilamana pernyataan menyebutkan bahwa
ketentuan - ketentuan Konvensi akan diterapkan dengan perubahan, harus disebutkan
secara rinci perubahan-perubahan dimaksud.
4. Anggota, beberapa Anggota, atau penguasa internasional yang bersangkutan
dapat sewaktu-waktu dengan pernyataan berikutnya membatalkan seluruh atau sebagian
hak untuk memperbaiki suatu perubahan yang disebutkan pada pernyataan terdahulu.

5. Anggota, beberapa Anggota, atau penguasa internasional yang bersangkutan


dapat sewaktu-waktu, dimana ratifikasi Konvensi ini dapat dicabut sesuai dengan
ketentuan Pasal 16, menyampaikan kepada Direktur Jenderal mengenai maksud perubahan
atas syarat-syarat perubahan terdahulu dan menyatakan pendirian sekarang
sehubungan dengan wilayah-wilayah tersebut.

Bab IV
Ketentuan-Ketentuan Akhir

Pasal 14

Ratifikasi resmi Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional untuk didaftarkan.

Pasal 15

1. Konvensi ini mengikat hanya kepada Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang
ratifikasinya telah didaftarkan oleh Direktur Jenderal.

2. Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan sejak tanggal dimana ratifikasi oleh dua Anggota
Organisasi Perburuhan Internasional didaftarkan pada Direktur Jenderal.

3. Selanjutnya Konvensi ini akan mulai berlaku terhadap setiap Anggota setelah 12 bulan sejak
tanggal ratifikasi didaftarkan.

Pasal 16

1. Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini, setelah lewat waktu 10 tahun terhitung dari
tanggal Konvensi ini mulai berlaku, dapat membatalkannya dengan menyampaikan
suatu keterangan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk
didaftarkan. Pembatalan demikian baru akan mulai berlaku satu tahun sesudah tanggal
pendaftarannya.

2. Tiap-tiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan tidak menggunakan hak
pembatalan menurut ketentuan pada ayat satu tersebut di atas dalam tahun berikutnya
setelah lewat sepuluh tahun seperti termaksud pada ayat di atas, akan terikat untuk
10 tahun lagi dan sesudah itu dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya
tiap - tiap masa 10 tahun menurut ketentuan yang tercantum pada Pasal ini.

Pasal 17

1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus memberitahukan kepada segenap


Anggota Organisasi Perburuhan Internasional tentang pendaftaran semua ratifikasi,
keterangan dan pembatalan yang disampaikan kepadanya oleh Anggota Organisasi.

2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi tentang pendaftaran dan ratifikasi
kedua yang disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota
Organisasi tanggal mulai berlakunya Konvensi ini.

Pasal 18

Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan, sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa hal ikwal mengenai semua ratifikasi, keterangan dan pembatalan yang
didaftarkannya menurut ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas.
Pasal 19

Pada waktu berakhirnya tiap-tiap masa sepuluh tahun setelah mulai berlakunya Konvensi ini Badan
Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi ini kepada Konperensi Umum dan harus mempertimbangkan apakah soal perubahan
Konvensi ini seluruhnya atau sebagian perlu ditempatkan dalam Agenda Konperensi.

Pasal 20

1. Jika Konperensi menerima Konvensi baru yang mengubah sebagian atau seluruh Konvensi ini,
kecuali Konvensi baru menentukan lain, maka :

(a). dengan menyimpang dari ketentuan pasal 11, ratifikasi Konvensi baru oleh Anggota
berarti pembatalan Konvensi ini pada saat itu juga karena hukum, jika dan pada waktu
Konvensi baru itu mulai berlaku;

(b). mulai pada tanggal Konvensi berlaku, Konvensi ini tidak dapat diratifikasi lagi oleh
Anggota.

2. Bagaimana juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi yang asli bagi Anggota
yang telah meratifikasinya, tetapi belum meratifikasi Konvensi baru.

Pasal 21

Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENGA KERJA R.I
NO.PER-04/MEN/1994
TENTANG
TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
BAGI PEKERJA DIPERUSAHAAN

MENTERI TENAGA KERJA R.I.

Menimbang: a.bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat


pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan, hari
raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing;

b.bahwa bagi pekerja untuk merayakan hari tersebut


memerlukan biaya tambahan ;

c.bahwa untuk merayakan hari Raya tersebut sudah


sewajarnya pengusaha memberikan Tunjangan Hari Raya
Keagamaan ;

d.bahwa untuk menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan


kesejahteraan pekerja dan keseragaman mengenai
pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan perlu
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat: 1. Undang-Undang No.3 tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara tahun-1951 Nomor 4).
,

2. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja(Lembaran Negara
tahun 1969 No.55,Tambahan Lembaran Negara No.2912).

3. Keputusan Presiden RI No 96/M tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet pembangunan VI.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG TUNJANGAN


HARI RAYA KEAGAMAAN BAGI PEKERJA DI PERUSAHAAN.

Pasal 1
Dalam Peraturun Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menpekerjakan pekerja
dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak baik milik swasta
maupun milik Pemerintah

b. Pengusaha adalah :
1. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri

2.Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri


sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka
2, yang berkedudukan di luar Indonesia.

c. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada Pengusaha_dengan


menerima upah.

d. Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR, adalah


pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada
pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa
uang atau bentuk lain.

e. Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Iedul Fitri bagi pekerja yang
beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen
Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja yang beragama
Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.

Pasal 2

1. Pengusaha wajib memberikan T H R kepada pekerja yang telah


mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih.

2. T H R sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan satu kali


dalam satu tahun.

Pasal 3

1. Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 ditetapkan


sebagai berikut:
a. pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus
menerus atau lebih sebesar 1(satu) bulan upah.
b. Pekerja yang mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus
tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan
masa kerja yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1(satu) bulan
upah .

2. Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah
pokok di tambah tunjangan-tunjangan tetap.

3. Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja


(KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai
THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan
kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan
Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah
dilakukan.

Pasal 4

1. Pemberian THR sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2)


disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan, masing-masing pekerja
kecuali kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain.

2. Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib


dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum Hari Raya Keagamaan.

Pasal 5

1. Dengan persetujuan pekerja, THR sebagaimana dimaksud dalam


pasal 3 sebagian dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali
minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan
ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima
persen) dari nilai THR yang seharusnya diterima.

2. Bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan


bersamaan dengan pembayaran THR.

Pasal 6

1. Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30


(tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan
berhak atas THR.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku


bagi pekerja dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu yang
hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari Raya
Keagamaan.

3. Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa


kerja berlanjut, maka pekerja berhak atas THR pada perusahaan
yang baru, apabila dari perusahaan yang lama, pekerja yang
bersangkutan belum mendapatkan THR.
Pasal 7

1. Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu


membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai
besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus


diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan
yang terdekat.

3. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah
mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.

Pasal 8

1. Bagi pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 2 ayat (1) - dan


pasal 4 ayat (2), diancam dengan hukuman sesuai dengan
ketentuan pasal 17 Undang-Undang No.14 tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah


pe1anggaran.

Pasal 9

1. Pengawasan untuk ditaatinya peraturan ini dilakukan oleh


Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan,

2. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga


kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana (Lembaran
Negara tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara Nomor
3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana pelanggaran
dalam peraturan ini.

Pasal 10

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri


Tenaga Kerja No.16 tahun 1968 tentang Tunjangan Hari Raya bagi
Buruh Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan

: J a k a r t a : 16 September 1994
PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
(IMTA)
Baru Perpanjangan Pindah Jabatan

I. DATA PEMOHON IJIN UNTUK MEMPEKERJAKAN TKA :

1. Nama Perusahaan/Instansi :

2. Nama Pimpinan/Penanggung Jawab :

3. Alamat Perusahaan/ Instansi :

Nomor Telepon dan Fax :


e-Mail (harus diisi) :

4. Tempat kedudukan cabang :

5. Ijin Usaha : a. Dari :


b. Nomor :
c. Tanggal :

6. Jenis Lapangan Usaha : Kode Sektor Teknis

7. Jumlah Tenaga Kerja : a. Indonesia : orang


b. Tenaga Asing : orang

8. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja : Sudah disahkan Belum disahkan

a. nomor SK Pengesahan :

b. Tahun berlaku :

II. DATA TENAGA KERJA ASING YANG AKAN DIPEKERJAKAN :

1. N a m a :

2. Alamat di Luar Negeri :

3. Alamat di Indonesia :

4. Kewarganegaraan :

5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :
6. Tempat Lahir :
Tanggal Lahir : Jenis Kelamin: L / P

7. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin

8. Pendidikan Tertinggi *) :

9. Pengalaman Kerja *) : a.

b.

c.

d.

10. Surat Keterangan Bukti Telex :

- Nomor :

- Tanggal :

11. Surat Ijin Masuk/Tinggal yang dimiliki :

a. Visa - Jenis :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :

b. Kartu Ijin Masuk (KIM) :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :

c. Surat Tanda Melapor Diri (STMD) :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :

- Nomor :

- Tanggal Dikeluarkan :

- Masa Berlaku :

III. JABATAN YANG AKAN DIISI OLEH TENAGA KERJA ASING :

1. Nama Jabatan :

Level Jabatan : Pimpinan/Manajer , Profesional , Supervisor , Teknisi Operator

2. Uraian Jabatan (tugas, tanggung :


jawab, dan wewenang )

3. Persyaratan tertentu untuk mengisi jabatan tersebut :

a. Pendidikan :

b. Pengalaman Kerja :

4. Lokasi Penempatan di

a. Propinsi Pertama :

- Kabupaten / Kota Pertama :

- Kabupaten / Kota Kedua :

b. Propinsi Kedua :

- Kabupaten / Kota Pertama :

- Kabupaten / Kota Kedua :

c. Seluruh INDONESIA :
IV. KONDISI KERJA

1. Perjanjian kerja berlaku tanggal :

2. Fasilitas dan gaji yang diberikan

a. Perumahan : Dapat , Tidak Dapat

b. Kendaraan : Dapat , Tidak Dapat

c. Gaji per bulan : US$

V. KETERANGAN LAIN YANG DIPANDANG PERLU :

Permohonan TA – 02 harus melampirkan IKTA lama

Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggungjawab akan
kebenarannya,

.............................................................

Pemohon,

Tanda tangan dan nama terang


penanggung jawab diatas materai Rp
6.000,-

*) Lampirkan copy ijazah terakhir/tanda bukti lain yang sah


Lampiran : I
DAFTAR ISIAN
RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA DALAM RANGKA PENGGUNAAN
TENAGA KERJA WARGA NEGARA ASING PENDATANG

R.P.T.K.A

1 Nama Perusahaan/Proyek : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

2 Alamat di Indonesia : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………


a. Kantor Pusat : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………
b. Kantor Cabang : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………
c. Nomor Telepon : ………………………………………………………… Fax : ..………………………….…………………………………
d. E-Mail (harus diisi ) : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

3 Nama Pimpinan : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

4 Lokasi Kegiatan/Produksi *) : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

5 Jenis Usaha/Hasil Usaha : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

6 Nomor SIUP : ……………………………………………………...… Tanggal : ..………………………...……………………….….

7 Status Badan Usaha : PMA/PMDN/PROYEK/LEMBAGA/YAYASAN/PERUSAHAAN SWASTA NASIONAL/ASING **)

8 Instansi Pemberi Ijin Usaha : ………………………….………………………………………………………………………………………………………………

*) Lokasi sampai Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota)


**) Coret yang tidak perlu
Lampiran : II
RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA
WARGA NEGARA ASING PENDATANG

NO JABATAN/JENIS PEKERJAAN JUMLAH JANGKA WAKTU PENGGUNAAN MULAI KETERANGAN


TKWNAP DIPEKERJAKAN

1 2 3 4 5 6

CATATAN : Lampiran Struktur Organisasi


Lampiran : III
RENCANA PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA
SEBAGAI PENDAMPING TKWNAP

NO NAMA JABATAN JUMLAH JUMLAH TKI SEBAGAI PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN TKI KETERANGAN
TKA PENDAMPING TKA PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA

1 2 3 4 5 6 7
Lampiran IV
URAIAN SINGKAT PEKERJAAN DAN PERSYARATAN MINIMUM
JABATAN TENAGA KERJA NEGARA ASING PENDATANG

PERSYARATAN MINIMUM
NO NAMA JABATAN URAIAN SINGKAT PEKERJAAN/JABATAN PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA
1 2 3 4 5
Lampiran : V
PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA KERJA INDONESIA
YANG DIPERSIAPKAN UNTUK PENGGANTIAN TENAGA KERJA ASING

NAMA JABATAN YANG PENDIDIKAN DAN TKI YANG AKAN DILATIH PELAKSANAAN RENCANA
NO YANG DIDUDUKI PELATIHAN YANG (SEBAGAI PENGGANTI) DIKLAT PENEMPATAN KETERANGAN
TKA YANG AKAN DILAKSANAKAN NAMA JABATAN DALAM LUAR (MULAI
DIGANTIKAN JENIS LAMANYA SEKARANG PERUSAHAAN PERUSAHAAN PENGGANTIAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

*) Kalau dilkat
dilaksanakan
di luar perusa-
haan harap
disebutkan
Lembaga Diklat
dan alamatnya.

Jakarta,
Pimpinan
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1990

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS


OF THE CHILD
(KONVENSI TENTANG HAK-HAK ANAK)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena
itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi
secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara;
b. bahwa pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk
mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang
tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjsama internasional;
c. bahwa di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah
Republik Indonesia telah menandatangani Convention on The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989);
d. bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut pada huruf c, sudah tercakup di
dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak;
e. bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan amanat Presiden Republik Indonesia
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu mengesahkan
konvensi tersebut danga n Keputusan Presiden;

Mengingat :

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN


CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD (KONVENSI TENTANG HAK-HAK
ANAK).

Pasal 1

Mengesahkan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang
telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat,
pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989 dengan pernyataan (declaration), yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden
ini.
Pasal 2

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1960
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1990

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1990 NOMOR 57
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

Kepada yth :
Kepala Dinas yang Bertanggung jawab Jakarta, 26 Pebruari 2002.
Di bidang ketenagakerjaan
Di Propinsi dan Kabupaten/Kota
Di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Nomor : 01.KP.01.15.2002

TENTANG

PENEMPATAN TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT


DI PERUSAHAAN

Berdasarkan pasal 14 Undang – undang No. 04 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, dinyatakan bahwa
Perusahaan Wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk mempekerjakan penyandang cacat di
perusahaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya. Jumlah tenaga kerja
penyandang cacat disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan, sekurang-kurangnya 1
(satu) orang tenaga kerja penyandang cacat untuk setiap 100 (seratus ) orang yang dipekerjakan.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana kurungan selama – lamanya 6
(enam) bulan dan atau pidana denda setinggi – tingginya Rp. 200.000.000, - (dua ratus juta rupiah ).

Sehubungan dengan hal tersebut kami agar Saudara dapat melaksanakan hal – hal sebagai berikut :

1. Melakukan sosialisasi Undang – undang No 04 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1998 sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat di perusahaan – perusahaan.
2. Melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara berkala
setiap 3 (tiga) bulan sekali.
3. Melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang cacat
kepada Menteri tenaga erja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri termasuk
realisasi pelaksanaan Undang – undang No. 04 Tahun 1997.

Demikian, atas perhatian Saudara disampaikan terima kasih.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia

ttd

Jacob Nuwa Wea.

Tembusan

1. Gubernur Seluruh Indonesia


2. Bupati/Walikota Seluruh Indonesia
3. DPP APINDO di Jakarta
4. Orsos Panca
5. Arsip.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 04 TAHUN 1997

TENTANG

PENYANDANG CACAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan


masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar
1945, penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga
memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama;
b. Bahwa penyandang cacat secara kualitas cenderung meningkat dan, oleh karena
itu, perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang
cacat;
c. Bahwa dalam rangka terwujudnya kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan
peran sebagaimana tersebut diatas, dipandang perlu memberikan landasan hukum
bagi upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat di segala aspek
kehidupan dan penghidupan dalam suatu Undang-Undang.

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG CACAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :


1. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari :
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental;
2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya keadaan cacat yang disandang
seseorang.
3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang
cacat untuk mendapat kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
4. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
5. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
6. Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak
mampu bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
sosialnya.
7. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang
bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang
wajar.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan


Undang – Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, manfaat , kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian
dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 4

Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diselenggarakan melalui pemberdayaan


penyandang cacat bertujuan terwjudnya kemandirian dan kesejahteraan.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5

Setiap peyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.

Pasal 6

Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :


1. Pendidikan pada semua satuan,jalur,jenis,dan jenjang pendidikan ;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan,pendidikan ,dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-
hasilnya ;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya ;
5. Rehabilitas, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial ; dan
6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,kemampuan,dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.

Pasal 7

(1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuikan dengan
jenis dan derajat kecacatan,pendidikan, dan kemampuannya.

Pasal 8

Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak


penyandang cacat.

BAB IV
KESAMAAN KESEMPATAN

Pasal 9

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Pasal 10

(1) Kesamaan kesempatan bagi peyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan
yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Pasal 11

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan


pada satuan, jalur , jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.

Pasal 12

Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan,jalur,jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.

Pasal 13

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan


sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 14

Perusahaan Negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai denga
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya , yang jumlahnya disesuikan
dengan jumlah karyawan dan / atau kualifikasi perusahaan.

Pasal 15

Ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
UPAYA

Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya :
1 Rehabilitas ;
2 Bantuan social ;
3 Pemeliharaan taraf kesejahteraan social.

Pasal 17

Rehabilitas diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan


fisik,mental,dan social penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar sesuai dengan bakat,kemampuan,pendidikan,dan pengalaman.

Pasal 18

(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselengarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.

(2) Rehabilitasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi, medic,
pendidikan , pelatihan , dan social.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Bantuan social diarahkan untuk membantu peyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.

Pasal 20

(1) Bantuan social sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diberikan kepada :


a Penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi,dan belum bekerja;
b Penyandang cacat yang tidak mampu,belum direhabilitasi,memiliki ketrampilan,
dan belum bekerja.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, jumlah,tata cara, dan pelaksanaan pemberian bantuan
social sebagaimana di maksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 21

Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diarahkan pada pemberian perlindungan dan


pelayanan agar penyandang cacat dapat memelihara taraf hidup yang wajar.

Pasal 22

(1) Pemeliharaan taraf kesejahteraan social sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21


diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatnnya tidak dapat direhabilitasi
dan kehidupnnya bergantung pada bantuan orang lain.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, tata cara, dan syarat-syarat pemeliharaan taraf
kesejahteraan social sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 23

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan


kesejahteraan social penyandang cacat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mencakup segala aspek kehidupan dan
penghidupan.

Pasal 24

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial


penyandang cacat melalui penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan, bimbingan, bantuan,
perijinan, dan pengawasan.

Pasal 25

(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan social penyandang cacat.
(2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.

Pasal 26

Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 dan Pasal 25 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
.
Pasal 27

(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan


penyandang cacat.
(2) Penghargaan diberikan juga kepada lembaga,masyarakat,dan/atau perseorangan yang
berjasa dalam upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.
(3) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum dilengkapi dengan aksesibilitas, wajib
dilengkapi dengan aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(2) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Bagian Ketiga
Kesamaan Kesempatan Dalam Pendidikan

Pasal 23

Setiap penyandang cacat memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 24
(1) Setiap penyelenggara satuan pendidikan bertanggung jawab atas pemberian
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada peyandang cacat untuk memperoleh
pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama
dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan.

Pasal 25

(1) Penyandang cacat yang karena jenis dan derajat kecacatannya tidak dapat mengikuti
pendidikan yang diselenggarakan untuk peserta didik pada umumnya, diberikan
pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang meyandang cacat.
(2) Pelaksanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Kesamaan Kesempatan Dalam Ketenagakerjaan
Paragraf Kesatu
Tenaga Kerja Peyandang Cacat

Pasal 26

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang
cacact yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 27

Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat.
Pasal 28
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya

Pasal 29

(1) Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat


yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada
perusahaannya.bagi yang memiliki pekerja kurang dari 100 (seratus) orang tetapi usaha
yang dilakukannya menggunakan teknologi tinggi.
(2) Penggunaan teknologi tinggi dalam usaha dan jumlah rasio pekerja sebagian dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di
bidang perindustrian.

Pasal 30

(1) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi penyandang cacat ditetapkan dengan
memperhatikan factor :
a Jenis dan derajat kecepatan;
b pendidikan
c Keterampilan dan/atau keahlian;
d Kesehatan;
e Formasi yang tersedia;
f Jenis atau bidang usaha;
g Factor lain.
(2) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi peyandang cacat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

Pasal 31

Setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf Kedua
Iklim Usaha

Pasal 32

(1) Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi penyandang cacat yang mempunyai
keterampilan dan /atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok
usaha bersama.
(2) Penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33
Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha
bagi penyandang cacat.

Pasal 34

(1) Dalam rangka mewujudkan iklim usaha bagi penyandang cacat, kepada penyandang
cacat yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian yang melakukan usaha sendiri
atau melalui kelompok usaha bersama dapat diberikan bantuan oleh Menteri.
(2) Bantuan bagi penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk :
a Permodalan;
b Fasilitas usaha;
c Jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan pemberian bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri .

BAB III
REHABILITASI
Bagian Pertama
Umum

Pasal 35

Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik


mental dan social penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
sesuai denganbakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman.

Pasal 36

Rehabilitasi bagi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medic,pendidikan, pelatihan,dan


sosial.

Pasal 37

(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh


Pemerintah dan / atau masyarakat.
(2) Pendirian fasilitasi rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 38

(1) Penyelenggaraan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu dalam satu atap oleh
masyarakat hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,tata cara perizinan,dan pelaksanaan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Menteri lain terkait sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-
masing.

Pasal 39

(1) Terhadap penyandang cacat yang tidak mampu dapat memperoleh keringanan
pembiyaan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Persyaratan ketidakmampuan seorang penyandang cacat ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 40

(1) Pelaksanaan rehabilitasi yang diperuntukan bagi anggota atau yang dipersamakan
dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan mengenai rehabilitasi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Ketentuan teknis pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung di bidang Pertahanan dan Keamanan.

Bagian Kedua
Rehabilitasi Medik

Pasal 41

Rehabilitasi medic dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai kemampuan


fungsional secara maksimal.
Pasal 42

Rehabilitasi madik melakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
tindakan medic yang berupa pelayanan:
a Dokter ;
b Psikologi ;
c Fisioterapi ;
d Okopasi terapi ;
e Terapi wicara ;
f Pemberian alat bantu atau alat pengganti ;
g Sosial medis ;
h Pelayanan medis lainnya ;

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi medic bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Rehabilitasi Pendidikan

Pasal 44

Rehabilitasi pendidikan dimaksud agar penyandang cacat dapat mengikuti pendidikan secara
optimal sesuai dengan bakat,minat,dan kemampuannya.

Pasal 45

Rehabilitasi pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan
terpadu melalui proses belajar mengajar.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pendidikan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Bagian Keempat
Rehabilitasi Pelatihan

Pasal 47

Rehabilitasi pelatihan dimaksud agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Pasal 48

Rehabilitasi pelatihan dilakukan dengan pemberian pelayanan secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan yang berupa :
a Asesmen pelatihan;
b Bimbingan dan penyuluhan jabatan;
c Latihan keterampilan dan pemagangan;
d Penempatan;
e Pembinaan lanjut.
Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pelatihan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Rehabilitasi Sosial

Pasal 50

Rehabilitasi social dimaksud untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan


kemampuan penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal
dalam hidup bermasyarakat.

Pasal 51
Rehabilitasi sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan pendekatan fisik,mental dan sosial yang berupa :
a Motivasi dan diagnosapsikososial ;
b Bimbingan mental;
c Bimbingan fisik;
d Bimbingan social;
e Bimbingan keterampilan;
f Terapi penunjang;
g Bimbingan resosialisasi;
h Bimbingan dan pembinaan usaha;
i Bimbingan lanjut.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi social bagi penyandang cacat diatur
oleh Menteri.

BAB IV
BANTUAN SOSIAL

Pasal 53

Bantuan social diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosianya.

Pasal 54
Bantuan social bagi penyandang cacat bertujuan untuk :
a Memenuhi kebutuhan hidup dasar penyandang cacat;
b Mengembangkan usaha dalam rangka kemandirian penyandang cacat;
c Mendapatkan kemudahan dalam memperoleh kesempatan berusaha.

Pasal 55

Bantuan social diberikan kepada:


a Penyandang cacat yang tidak mampu, sudah direhabilitasi,dan belum bekerja;
b Penyandang cacat yang tidak mampu,belum direhabilitasi,memiliki keterampilandan
belum bekerja.

Pasal 56

Bantuan social diberikan dalam bentuk :


a Materiil;
b Financial;
c Fasilitas pelayanan;
d Informasi.

Pasal 57

(1) Pemberian bantuan social dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 oleh
Menteri. Sifatnya tidak tetap dan dilaksanakan sesuai dengan arah dan tujuan bantuan
social.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bantuan social sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB V
PEMELIHARAAN TARAF KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 58

Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diarahkan pada pemberian perlindungan dan


pelayanan agar menyandang cacat dapat memperoleh taraf hidup yang wajar.

Pasal 59

Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diberikan kepada penyandang cacat yang derajat
kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada
bantuan orang lain.

Pasal 60

(1) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
diberikan dalam bentuk materiil,finansialdan pelayanan.
(2) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui keluarga pengganti dan
panti social yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 61

(1) Pemberian perlindungan dan pelayanan dalam bentuk materiil,financial dan pelayanan
dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada panti social
yang diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perlindungan dan pelayanan
dalam bentuk materiil dan financial diatur oleh Menteri.

Pasal 62

(1) Menteri melakukan pembinaan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial penyandang


cacat.
(2) Bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di bidang
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat;
b Bimbingan dan penyuluhan kepada keluarga atau keluarga pengganti dan panti
social yang merawat penyandang cacat tentang pemeliharaan taraf kesejahteraan
social.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial penyandang
cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

BAB VI
PERAN MASYARAKAT

Pasal 63

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya


peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.

Pasal 64

Peran masayarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat


bertujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat guna mewujudkan
kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.
Pasal 65

Peran masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan kelompok,badan hukum atau usaha, dan
lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang social.

Pasal 66

Peran masyarakat dilakukan melalui :


a Pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka penyusunan
peraturan perundang-undangan dan kebijkan di bidang kesejahteraan social
penyandang cacat;
b Pengadaan aksesibilitas bagi peyandang cacat;
c Pendirian fasilitas dan penyelenggaraan rehabilitas penyandang cacat ;
d Pengadaan dan pemberian bantuan Negara ahli atau sosial untuk melaksanakan atau
membantu melaksanakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat;
e Pemberian bantuan yang berupa materiil, financial,dan pelayanan bagi penyandang
cacat;
f Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat di segala
aspek kehidupan dan penghidupan;
g Pengadaan lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat;
h Pengadaan sarana dan prasarana bagi penyandang cacat;
i Kegiatan lain dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

Pasal 67

(1) Peran masyarakat dapat bersifat wajib atau sukarela.


(2) Peran masyarakat yang bersifat wajib dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 68

(1) Menteri menyebarluaskan informasi mengenai peran masyarakat dalam rangka upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyebarluasan informasi sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 69

Peran masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat


dilaksanakan dengan berpedoman kepada kebijaksanaan Pemerintah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
KOORDINASI

Pasal 70

Dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian upaya peningkatan kesehjateraan sosial


penyandang cacat dibentuk lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan
social penyandang cacat.

Pasal 71

Lembaga koordinasi dan pengendalian upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang


cacat sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 merupakan lembaga yang bersifat non
struktural yang dipimpin oleh Menteri yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur
Pemerintah, pengusaha, tenaga ahli, tokoh masyarakat, dan organisasi yang bergerak di
bidang sosial.
Pasal 72

Lembaga koordinasi dan pengendalian peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat


bertugas menyusun kebijaksanaan dan program pelaksanaan, pemantauan,evaluasi,serta
pengendalian umum terhadap pelaksanaan upaya peningkatan kesehjateraan sosial.

Pasal 73

Rincian tugas,fungsi,susunan organisasi,keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi dan


pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat sebagaimana di maksud
dalam Pasal 70, pasal 71, dan Pasal 72 ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 74

Pemerintah dan masyarakat melakukan pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial


penyandang cacat.

Pasal 75

Pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat oleh Pemerintah


dilaksanakan melalui :
a Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan;
b Penyuluhan;
c Bimbingan;
d Pemberian bantuan;
e Perizinan.

Pasal 76

Pembinaan melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a dilaksanakan dengan menyusun dan
memetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pasal 77

Pembinaan melalui penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf b dilakukan


untuk :
a Menumbuhkan rasa kepedulian masyarakat terhadap penyandang cacat;
b Memberikan penerangan berkenan dengan pelaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat;
c Meningkatkan peran para penyandang cacat dalam pembangunan nasional.

Pasal 78

Pembinaan melalui bimbingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 huruf c dilakukan


untuk :
a Meningkatkan kualitas penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat;
b Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan penyandang cacat secara optimal.

Pasal 79

Pembinaan melalui pemberian bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf d


dilakukan untuk;
a Membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan
sosialnya;
b Membantu penyandang cacat agar dapat memelihara taraf hidup yang wajar.

Pasal 80

Pembinaan melalui perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf c dilakukan


dengan :
a Penetapan peraturan perundang-undangan yang mempersyaratan pengadaan
aksesibilitas bagi penyandang cacat dalam pemberian ijin untuk mendirikan bangunan
atau ijin lainnya;
b Memberikan kemudahan dalam memperoleh perizinan dalam menyelenggarakan
rehabilitas bagi penyandang cacat.

Pasal 81

(1) Pembinaan upaya peningkatan kesejahteraan social oleh masyarakat dilaksanakan


melalui kegiatan-kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat.
(2) Pembinaan sebagiamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pimpinan atau
penyelanggara kegiatan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat terhadap unit kerja pelaksana kegiatan yang kegiatan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat terhadap unit kerja pelaksana kegiatan yang
bersangkutan agar berdaya guna dan berhasil guna.

Pasal 82

(1) Dalam rangka pembinaan,Menteri dapat melakukan kerja sama dengan badan atau
lembaga internasionaldan/atau instansi Pemerintah asing berkenan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.

Pasal 83

(1) Dalam rangka pembinaan,Menteri dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat


yang telah berjasa dalam mewujudkan upaya peningkatan kesejahteraan social
penyandang cacat.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat berupa :
a Piagam atau sertifikat;
b Lencana atau medali kepedulian;
c Tropy atau miniatur kemanusian;
d Insentif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri :

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 84

Pemerintah melakukan pengawasan pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan social


penyandang cacat.

Pasal 85

Pengawasan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dilaksanakan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 86

Segala ketentuan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan social bagi penyandang cacat
yang berupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang
Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat, sepanjang tidak bertentangan dan belum
di ganti/ diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 87

Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 36


Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan social Bagi Penderita Cacat (Lembaga Negara
Tahun 1980 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3179) dinyatakan tidak berlaku
lagi.

Pasal 88

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 1998

MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA

ttd

SAADILLAH MURSJID

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 70

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET R.I
Kepala Biro Hukum
Dan Perundang - undangan

ttd

Lambock V. Nahatands

Salinan sesuai dengan salinan aslinya


DEPARTEMEN SOSIAL RI
Kepala Biro Hukum,

Sri Kusniati, SH,


NIP. 170005272
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 1998

TENTANG

PENJELASAN
ATAS

UPAYA PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UMUM.

Dalam pembangunan nasional penyandang cacat mempunyai kedudukan hak, kewajiban, dan peran yang
sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam pembangunan
nasional perlu untuk lebih ditingkatkan serta didayagunakan seoptimal mungkin.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat yang diundangkan pada tanggal 28 Februari
1997 merupakan suatu bentuk upaya dari Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat untuk meningkatkan
peran penyandang cacat dalam pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat tersebut menitik beratkan kepada upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang
cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan guna mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban,
dan peran penyandang cacat.

Untuk melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Undang-undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengamanatkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Sehubungan dengan hal tersebut. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta
menjabarkan secara utuh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tersebut berkenaan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat agar pelaksanaannya dapat memberikan hasil yang
optimal sehingga dapat terwujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab bersama dari Pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan penyandang cacat sendiri.

Kesamaan kesempatan diwujudkan melalui penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat baik yang
berbentuk fisik maupun yang berbentuk non fisik pada sarana dan prasarana umum.

Pengaturan mengenai pembinaan dimaksudkan agar pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
kebijaksanaan Pemerintah.

Selain hal tersebut di atas, Peraturan Pemeritah ini juga mengatur mengenai pengawasan, lembaga
koordinasi, dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.

Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3.
Cukup jelas.

Angka 4
Cukup jelas.

Angka 5
Cukup jelas.

Angka 6
Cukup jelas.

Angka 7
Cukup jelas.

Angka 8
Cukup jelas.

Angka 9
Cukup jelas.

Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.

Angka 12
Cukup jelas.

Pasal 2.
Jenis kecacatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
adalah terdiri dari cacat fisik, cacat mental, dan cacat fisik dan mental.

Penentuan jenis dan tingkat derajat kecacatan yang dimaksud dalam Pasal ini dilakukan apabila terjadi
keragu-raguan tentang kecacatan yang disandang seseorang.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamaatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohaniah,
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi dan hak dan
kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila.

Penjelasan pengertian kesejahteraan sosial berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama, kecuali
ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5.
Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan meliputi antara lain aspek agama, kesehatan,
pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan
keamanan, olah raga, rekreasi, dan informasi.

Penjelasan pengertian aspek kehidupan dan penghidupan ini berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama
kecuali ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6.
Cukup jelas.

Pasal 7.
Cukup jelas.

Pasal 8.
Kewajiban penyediaan aksesibilitas yang dimaksud dalam Pasal ini tidak dikenakan sanksi pidana, namun
dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9.
Dengan adanya aksesibilitas, maka penyandang cacat dapat memperoleh dan memanfaatkan kesamaan
kesempatan seperti anggota masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan sehingga
dapat menunjang mobilitas dan kemandirian penyandang cacat.

Pasal 10.
Cukup jelas.

Pasal 11.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a.
Pelayanan informasi dapat diberikan melalui antara lain suara, bunyi, atau tulisan yang diperuntukkan bagi
penyandang cacat.

Huruf b.
Pelayanan khusus misalnya tempat tiket penjualan tiket angkutan umum yang diperuntukkan khusus bagi
penyandang cacat.

Pasal 12.
Cukup jelas.

Pasal 13.
Cukup jelas.

Pasal 14.
Cukup jelas.

Pasal 15.
Cukup jelas.

Pasal 16.
Cukup jelas.

Pasal 17.
Cukup jelas.

Pasal 18.
Yang dimaksud dengan Menteri lain adalah para Menteri selain Menteri yang bertanggungjawab di bidang
kesejahteraan sosial yang bidang tugas dan fungsinya terkait secara langsung dalam pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan penyandang cacat.

Penjelasan pengertian Menteri ini berlaku seharusnya untuk pengertian yang sama, kecuali ditentukan lain
dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 19.
Cukup jelas.
Pasal 20.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan penyediaan aksesibilitas yang dilakukan secara bertahap adalah dengan
mempertimbangkan kemampuan Pemerintah dan masyarakat serta didasarkan kepada kebutuhan dan prioritas
penyandang cacat.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 21.
Penyediaan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum yang telah ada tersebut pelaksanaannya secara
bertahap serta memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan penyandang cacat. Sekalipun secara
bertahap, penyediaan aksesibilitas tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara/pengelola sarana dan prasarana umum.

Pasal 22.
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 23
Perlakuan yang sama dimaksudkan agar penyandang cacat sebagai peserta didik mendapatkan kesamaan
perlakuan sebagaimana peserta didik lainnya, termasuk didalamnya kesamaan perlakuan untuk mendapatkan
sarana dan prasarana pendidikan.

Sedangkan yang dimaksud dengan satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 24.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara satuan pendidikan adalah Pemerintah atau masyarakat yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang pendidikan.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)
Pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang cacat adalah pendidikan luar
biasa.

Yang dimaksud dengan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta
didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.

Ayat (2).
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.

Pasal 26.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama sesuai dengan minat dan
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini termasuk tenaga kerja penyandang cacat.
Pasal 27.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam hal ini pengusaha wajib memberikan tanggungjawab dan hak-hak pekerja tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, dan agama. Hal ini termasuk pekerja penyandang cacat.

Pasal 28.
Keharusan mempekerjakan penyandang cacat pada perusahaan oleh pengusaha adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Pasal 29.
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 28.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d.
Setiap penyandang cacat yang boleh melakukan pekerjaan adalah penyandang cacat yang sehat jasmani dan
rohani.

Huruf e.
Cukup jelas.

Huruf f.
Cukup jelas.

Huruf g.
Cukup jelas

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 31.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 25
tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 32.
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2).
Penumbuhan iklim usaha telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
Pemerintah antara lain Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Pelaksanaan penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat didasarkan kepada peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan Pemerintah yang ada dan juga kondisi serta ketrampilan dan/atau keahlian
penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34.
Ayat (1).
Bantuan yang diberikan oleh Menteri merupakan stimulan untuk mendorong dan menggiatkan penyandang
cacat dalam menciptakan dan mengembangkan lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Ayat (3).
Cukup jelas

Pasal 35.
Yang dimaksud dengan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui
komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar.

Pasal 36.
Cukup jelas.

Pasal 37.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan fasilitas rehabilitasi adalah sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi, antara lain
pusat rehabilitasi, panti sosial, rumah sakit, lembaga pelatihan, dan unit rehabilitasi sosial keliling.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 38.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu adalah penanganan rehabilitasinya baik
medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial dilakukan sebagai satu kesatuan di dalam satu lembaga rehabilitasi.

Ayat (2).
Menteri ini terkait dalam Pasal ini adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan, pendidikan
dan ketenagakerjaan.

Pasal 39.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan tidak mampu adalah tidak mampu dari segi kondisi serta kejadian financial untuk
membiayai pelaksanaan rehabilitasi.

Keringanan pembiayaan dapat seluruh atau sebagaian biaya pelaksanaan rehabilitasi.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 40.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 41.
Yang dimaksud dengan kemampuan fungsional secara maksimal adalah dapat melaksanakan fungsi organ
tubuhnya dalam rangka melaksanakan kegiatan dengan selayaknya sesuai dengan kecacatan yang disandang.

Pasal 42.
Cukup jelas.

Pasal 43.
Ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 44.
Cukup jelas.

Pasal 45.
Cukup jelas.

Pasal 46.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 47.
Cukup jelas.

Pasal 48.
Huruf a.
Asesmen pelatihan dimaksudkan sebagai kegiatan pendaftaran bagi penyandang cacat dalam rangka
menemukenali bakat, minat untuk menentukan jenis keterampilan yang akan diberikan.

Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan jabatan dimaksudkan sebagai proses pemberian penerangan tentang potensi diri
yang meliputi intelegensia, bakat, minat, dan kepribadian.

Huruf c.
Latihan keterampilan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu/kualitas tenaga kerja penyandang
cacat agar pemakai jasa tenaga kerja penyandang cacat merasa saling membutuhkan dan ditangani secara
profesional.

Huruf d.
Penempatan disini dimaksudkan sebagai penggunaan tenaga kerja penyandang cacat secara optimal dan
produktif berdasarkan prinsip penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaannya.

Huruf e.
Pembinaan lanjut ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dan pengembangan kemampuan penyandang
cacat.

Pasal 49.
Cukup jelas.

Pasal 50.
Cukup jelas.

Pasal 51.
Huruf a.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan/mendorong penyandang cacat dalam mengikuti
program rehabilitasi sosial.

Huruf b.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kemauan dan kemampuan penerimaan pelayanan serta
pembinaan ketaqwaan.
Huruf c.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara kesehatan jasmani dan perkembangannya.

Huruf d.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta latih secara perseorangan agar
dapat mengatasi segala permasalahan sosial yang dihadapi.

Huruf e.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial
penyandang cacat agar mau dan mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalamannya.

Huruf f.
Kegiatan ini ditujukan kepada penyandang cacat yang mempunyai kelainan tambahan agar dapat menunjang
dalam kegiatan lainnya.

Huruf g.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar
terjadi integrasi sosial dalam hidup bermasyarakat.

Huruf h.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar
usaha/kerja yang dilakukan dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Huruf i.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat
dalam hidup bermasyarakat.

Pasal 52.
Cukup jelas.

Pasal 53.
Cukup jelas.

Pasal 54.
Cukup jelas.

Pasal 55.
Cukup jelas.

Pasal 56.
Cukup jelas.

Pasal 57.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 58.
Cukup jelas.

Pasal 59.
Cukup jelas.

Pasal 60.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 61.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 62.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Huruf a.
Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan oleh Menteri dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan dilakukan agar bagi yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan dapat
memberikan perlindungan dan pelayanan sosial secara tepat dan benar sehingga dapat terwujud taraf hidup
yang wajar bagi penyandang cacat.

Ayat (3).
Cukup jelas.

Pasal 63.
Cukup jelas.

Pasal 64.
Cukup jelas.

Pasal 65.
Cukup jelas.

Pasal 66.
Cukup jelas.

Pasal 67.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Peran masyarakat yang besifat wajib misalnya keharusan bagi pengusaha untuk mempekerjakan penyandang
cacat sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.

Pasal 68
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 69.
Cukup jelas.

Pasal 70.
Cukup jelas.
Pasal 71.
Cukup jelas.

Pasal 72.
Cukup jelas.

Pasal 73.
Cukup jelas.

Pasal 74.
Cukup jelas.

Pasal 75,
Cukup jelas.

Pasal 76.
Cukup jelas.

Pasal 77.
Cukup jelas.

Pasal 78.
Cukup jelas.

Pasal 79.
Cukup jelas.

Pasal 80.
Cukup jelas.

Pasal 81.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 82.
Ayat (1).
Cukup jelas.

Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 83.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan termasuk penyandang cacat, kelompok, badan hukum
atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang sosial.

Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Cukup jelas.

Pasal 84.
Cukup jelas.

Pasal 85.
Cukup jelas.
Pasal 86.
Cukup jelas.

Pasal 87.
Cukup jelas.

Pasal 88.
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3754.


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004

TENTANG

BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
(Lembaran Negara Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3346);
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3833);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Tahun
2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4226);
7. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran NegaraTahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
8. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaga Negara
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Sertifikasi kerja adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif
melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia/dan atau
internasional.

2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
PEMBENTUKAN DAN TUGAS
Pasal 2

1. Membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut
dengan BNSP.
2. BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada
Presiden.

Pasal 3

BNSP mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

Pasal 4

1 . Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat
memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP.

BAB III
ORGANISASI

Bagian Pertama
Keanggotaan

Pasal 5

Susunan Keanggotaan BNSP terdiri dari :

a. Seorang Ketua merangkap anggota;

b. Seorang Wakil Ketua merangkap anggota;

c. Sebanyak-banyaknya 23 (dua puluh tiga) orang anggota.

Pasal 6

1. Keanggotaan BNSP terdiri dari unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.

2. Keanggotaan dari unsur Pemerintah sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang.

Pasal 7

Untuk menjadi Anggota BNSP, Calon Anggota BNSP harus memenuhi persyaratan :

a. Warga Negara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. sanggup bekerja penuh waktu;

e. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana minimal 5 (lima) tahun;

f. memiliki tingkat pendidikan sekurang-kurangnya S 1 atau yang setara;

g. memiliki pengalaman kerja di bidang profesi tertentu minimal 5 (lima) tahun;

h. menguasai bahasa asing secara aktif minimal bahasa Inggris.


Bagian Kedua
Komisi

Pasal 8

1. Untuk menunjang pelaksanaan tugas, BNSP dapat membentuk Komisi sesuai dengan kebutuhan yang
keanggotaanya berasal dari anggota BNSP.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh BNSP.

Bagian Ketiga
Sekretariat

Pasal 9

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas BNSP dibentuk Sekreariat BNSP,

2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat BNSP yang
melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada BNSP.

3. Kepala Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dijabat oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dalam jabatan struktural Eselon IIa.

Pasal 10

1. Sekretariat BNSP dibentuk dan berada di lingkungan instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

2. Sekretariat BNSP terdiri sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian dan masing-masing terdiri dari 2 (dua) Sub
Bagian.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Pasal 11

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.

Pasal 12

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 13

1. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan dari
jabatan organiknya.

2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat
lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14

Selain karena berakhirnya masa jabatan, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan apabila yang
bersangkutan :

a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
d. sakit yang berkepanjangan lebih dari 6 (enam) bulan dan/atau tidak mampu lagi melaksanakan tugas; atau
e. tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana mestinya.

BAB V
TATA KERJA

Pasal 15

Dalam melaksanakan tugas, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, dan transparansi, baik secara internal maupun eksternal.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja BNSP diatur oleh BNSP.

BAB VI
PEMBIAYAAN

Pasal 17

Setelah pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas BNSP dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 18

Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja yang telah dilakukkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau telah diakui oleh lembaga internasional tetap dilaksanakan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bersangkutan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 78.

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

ttd

Lanbock Nahattands

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 2004

TENTANG

BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

I. UMUM

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan pembentukan Badan Nasional
Sertifikasi Profesi yang independen untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja, baik yang berasal
dari lulusan pelatihan kerja dan/tenaga kerja yang telah berpengalaman. Badan Nasional Sertifikasi Profesi tersebut
sangat diperlukan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan
sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Dengan demikian, maka akan dapat dibangun suatu sistem sertifikasi
kompetensi kerja nasional yang diakui oleh semua pihak.

Keberadaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud di atas juga sangat penting dalam kaitannya
dengan penyiapan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar kerja global. Disamping
itu, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi akan memudahkan kerja sama dengan institusi-institusi
sejenis di negara-negara lain dalam rangka membangun saling pengakuan (mutual recognition) terhadap
kompetensi tenaga kerja masing-masing negara.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas, organisasi, keanggotaan, tata kerja, dan pembiayaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

II PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas
Pasal 2

Cukup jelas
Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Walaupun sertifikasi kompetensi kerja dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Badan Nasional Sertifikasi
Profesi, namun karena ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar di berbagai sektor, maka diperlukan
adanya lembaga sertifikasi profesi yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi
Profesi dalam melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Walaupun secara fungsional Sekretariat BNSP bertanggung jawab kepada BNSP, namun secara struktural dan
administratif merupakan unit organisasi di bawah unit Eselon I di lingkungan instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas
Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan/atau telah diakui oleh Lembaga Internasional misalnya Asosiasi-asosiasi Profesi atau Lembaga
Sertifikasi Profesi milik Pemerintah dan swasta yang telah diakui keberadaannya oleh Lembaga Internasional.

Lembaga Sertifikasi Profesi tersebut tetap melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan bidangnya
tanpa harus mendapatkan lisensi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya Lembaga Sertifikasi Profesi disini berkoordinasi dengan BNSP.

Pasal 19

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4408


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999

TENTANG

HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab
untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang
satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik
Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dalam rangka
melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31
Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan
atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap
bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

BAB II
ASAS - ASAS DASAR

Pasal 2

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai
hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Pasal 3

1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

Pasal 4

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh
siapapun.

Pasal 5

1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak
berpihak.
3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Pasal 6

1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Pasal 7

1. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional.

Pasal 8

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA

Bagian Kesatu
Hak Untuk Hidup

Pasal 9

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan

Pasal 10

1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri

Pasal 11

Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.

Pasal 12

Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan
dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab,
berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Pasal 13

Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia.

Pasal 14

1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15

Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 16

Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan

Pasal 17

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.

Pasal 18

1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan
bagi tersangka.
4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 19

1. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta
kekayaan milik yang bersalah.
2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi

Pasal 20

1. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.


2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapUn yang
tujuannya serupa, dilarang.

Pasal 21

Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek
penelitian tanpa persetujuan darinya.

Pasal 22

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 23

1. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.


2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara
lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Pasal 24

1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan
tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 25

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

1. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang
bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Hak Atas Rasa Aman

Pasal 28

1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.
2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 29

1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 30

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.

Pasal 31

1. Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.


2. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan
kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Pasal 32

Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik
tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 33

1. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Pasal 34

Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

Pasal 35

Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang
menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.

Hak Ketujuh
Hak Atas Kesejahteraan

Pasal 36

1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37

1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian
yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak
diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti
kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Pasal 38

1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak
atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya
berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Pasal 39

Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Pasal 41

1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan
dan perlakuan khusus.

Pasal 42

Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan

Pasal 43

1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Pasal 44

Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan
kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesembilan
Hak Wanita

Pasal 45

Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.

Pasal 46

Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Pasal 47

Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.

Pasal 48

Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan.

Pasal 49

1. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan
peraturan perundang-undangan.
2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-
hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50

Wanita telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya.

Pasal 51

1. Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya
atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan
suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kesepuluh
Hak Anak

Pasal 52

1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum
bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 53

1. Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
2. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.

Pasal 54

Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri,
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 55

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas
dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Pasal 56

1. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan
Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

1. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh
orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua
orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
orang tua.
3. Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua
yang sesungguhnya.
Pasal 58

1. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59

1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri,
kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.

Pasal 60

1. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
2. Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya
demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61

Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Pasal 62

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan
fisik dan mental spiritualnya.

Pasal 63

Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan
peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental
spiritualnya.

Pasal 65

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.

Pasal 66

1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan
memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan
Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA

Pasal 67

Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum
tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 68

Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 69

1. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak
asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya.

Pasal 70

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-
undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pasal 71

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia
yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 72

Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN

Pasal 73

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang
lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.

Pasal 74

Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Pasal 75

Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan :

a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-
undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Pasal 76

1. Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
2. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesinal, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati
cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia.
3. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
4. Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.

Pasal 77

Komnas HAM berasaskan Pancasila

Pasal 78

1. Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :


a. sidang paripurna; dan
b. sub komisi.

2. Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.

Pasal 79

1. Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.


2. Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 81

1. Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
2. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
3. Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
4. Sekretariat Jenderal diusulkan oleh sidang paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
5. Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.

Pasal 82

Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas
HAM.

Pasal 83

1. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
2. Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
3. Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
4. Masa jabatan keanggotaan Komnas Hak Asasi Manusia selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 84

Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah warga negara Indonesia yang :

a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi
manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara;
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.

Pasal 85

1. Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2. Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1(satu) tahun
secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan
martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.

Pasal 86

Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 87

1. Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :


a. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM.
b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh
berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
2. Setiap anggota Komnas HAM berhak :
a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi;
b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi;
c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan
d. mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan
antarwaktu.

Pasal 88

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan
dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 89

1. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan
saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai
pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian dari penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik tingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
2. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan
non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar
keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan
bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam
proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.

Pasal 90

1. Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan
laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan
keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
3. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak
yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan
pertimbangan Komnas HAM.
4. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui
perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.

Pasal 91

1. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila :
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai;
b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;
c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau
e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

Pasal 92

1. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau
terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau
pemantauan.
2. Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti
lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
3. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan
atau bukti lainnya tersebut dapat :
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan
Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu
perkara pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau
h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang;

Pasal 93

Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.

Pasal 94

(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan,
maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.

Pasal 95

Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM
dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 96

1. Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM
yang ditunjuk sebagai moderator.
2. Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh moderator.
3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara
hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
4. Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan
tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".
5. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).

Pasal 97

Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta
kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan
Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

Pasal 98

Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 99

Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib Komans HAM.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 100

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Pasal 101

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas
HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Pasal 102

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.

Pasal 103

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama dengan Komnas
HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Pasal 104

1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
Peradilan Umum.
2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun.
3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.

BAB X
KETENTUAN

Pasal 105

1. Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
2. Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini.
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan
c. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan
Undang-undang ini.
3. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas
dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 106

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165

Salinan sesuai dengan aslinya.


SEKRETARIAT KABINET
REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro PeraturanPerundang-undangan

Edy

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999

TENTANG

HAK ASASI MANUSIA

UMUM

Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti
mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi
manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap
orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap
organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah
bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara
dan penduduknya tanpa diskriminasi.

Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya
itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan,
jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun
horisontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang
berat (gross violation of human rights).

Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan,
atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.

Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan,
penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama
beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang
seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.

Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Negara Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyerbarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Disamping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional
mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.

Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :

a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. Pada dasarnya, manusia dianugerai jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh
Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya(homa homini lupus).
d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia lain,
sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di
dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur
negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak -hak Anak, dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.

Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau
tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan,
hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai
kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.

Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai
lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas
pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia
dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2

Hak asasi manusia dan kebebasan tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara
Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4

Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Yang dimaksud dengan "siapun" adalah Negara, Pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Pasal 6

Ayat (1)

Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk
membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau
oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali
ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan negeri tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini
dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk
menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedics) sebelum
menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari
forum hukum nasional.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.

Pasal 9

Ayat (1)

Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas
kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan
yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut masih dapat
diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau
tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.

Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah" adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran
atau kejahatan.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21

Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian" adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang
dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadi serta direkam
gambar-gambar dan suaranya.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk
beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)

Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari
suaka.

Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "tidak boleh diganggu" adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam
tempat kediamannya.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa" dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan "penghilangan
nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus
memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak
milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39

Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk
menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan " kemudahan dan perlakuan khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas
dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.

Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46

Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita
untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju
keadilan dan kesetaraan jender.

Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah pelayanan suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua
orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan "kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan
atau nama marga.

Pasal 54

Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.

Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59

Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah satu seorang dari orang tuanya, atau
dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.

Pasal 60
Ayat (1)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65

Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi,
peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73

Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-
derogable lights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa"
adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.

Pasal 74

Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau
mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan
berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini.

Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh Presiden" adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden
dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi
dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh
puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e

Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan
diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas

Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan pemeriksaan" dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data,
informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik" antara lain mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mediasi" adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para
pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan" adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau
kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan
kepentingan hukumnya.

Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Yang dimaksud dengan "itikad buruk" adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya
pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan
pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang dimaksud dengan "tidak ada
kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah
3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.

Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas

Pasal 95

Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat 91)
dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar
Jawa dan Madura

Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediatur kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Ayat (4)

Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekutif) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui
Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat
dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan
mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judical killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimanation).
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "pengadilan yang berwenang" meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.

Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI NOMOR 3886


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1997

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 105

MENGENAI

PENGHAPUSAN KERJA PAKSA


(Lembaran Negara No. 55, tahun 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang keempat puluh pada tanggal 5 Juni 1957, dan

Setelah mempertimbangkan masalah kerja paksa, yang tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan

Setelah memperhatikan ketentuan Konvensi Kerja Paksa, 1930, dan

Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perbudakan, 1926, mengatur bahwa semua tindakan yang diperlukan harus
diambil untuk mencegah kerja paksa atau kerja wajib berkembang menjadi keadaan yang sama dengan perbudakan
dan bahwa Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan dan Lembaga Perbudakan serta
praktek yang sama dengan Perbudakan, 1956, mengatur tentang penghapusan sepenuhnya atas perbudakan (karena
lilitan hutang dan pengolahan tanah), dan

Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perlindungan Upah, 1949, menentukan bahwa upah harus dibayar teratur
dan melarang cara pembayaran yang menghalangi pekerja dari kemungkinan yang murni untuk mengakhiri hubungan
kerjanya, dan

Setelah memutuskan tentang penerimaan usulan selanjutnya yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu
dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia, dan

Setelah memutuskan bahwa usulan-usulan ini harus berbentuk Konvensi internasional,

Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi berikut, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja
Paksa, 1957:

Pasal 1

Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan
menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun -

(a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan
pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi
yang sah;

(b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi;

(c) Sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja;

(d) Sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan;

(e) Sebagai pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa dan agama.


Pasal 2

Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif
untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 1 Konvensi ini.

Pasal 3

Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.

Pasal 4

1. Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah
didaftarkan pada Direktur Jenderal.

2. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.

3. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.

Pasal 5

1. Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya masa sepuluh tahun dari
tanggal Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur
Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu
tahun setelah tanggal pendaftarannya.

2. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.

Pasal 6

1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran dari semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan
kepadanya oleh para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.

2. Pada saat memberitahukan para Anggota Organisasi tentang pendaftaran ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.

Pasal 7

Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan rincian lengkap
tentang semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan Pasal-Pasal
sebelumnya.

Pasal 8

Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.
Pasal 9

1. Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain –

(a) Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan
segera atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru
yang mengubah itu sudah berlaku;

(b) Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi
oleh para Anggota.

2. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.

Pasal 10

Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138

MENGENAI

USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA


(Lembaran Negara No. 56 Tahun 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang kelima puluh delapan pada tanggal 6 Juni 1973, dan

Setelah memutuskan untuk menerima beberapa usul mengenai usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja, yang
tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan

Memperhatikan syarat-syarat dari Konvensi Usia Minimum (industri) tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (laut)
tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (pertanian) tahun 1921, Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api) tahun
1921, Konvensi Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1932, Konvensi (revisi) Usia Minimum (laut) tahun
1936, Konvensi (revisi) Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (nelayan) tahun
1959 dan Konvensi Usia Minimum (kerja di bawah tanah) tahun 1965, dan

Menimbang bahwa telah tiba waktunya untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai hal itu, yang secara
berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas,
dengan tujuan untuk seluruhnya menghapus pekerja anak, dan
Setelah menetapkan bahwa naskah ini harus berbentuk Konvensi internasional ;

Menerima pada tanggal 26 Juni 1973 Konvensi di bawah ini yang dapat disebut Konvensi Usia Minimum tahun 1973:

Pasal 1

Setiap Anggota terhadap siapa Konvensi ini berlaku menanggung untuk menempuh suatu kebijaksanaan nasional yang
dibentuk untuk menjamin dihapuskannya kerja anak secara efektif dan untuk secara progresif menaikkan usia
minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari orang muda.

Pasal 2

1. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada ratifikasinya,
harus menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam wilayahnya dan pada alat
pengangkutan yang terdaftar dalam wilayahnya, tergantung pada Pasal 4 sampai 8 Konvensi ini, tidak seorang
pun di bawah umur yang ditetapkan di situ diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam suatu jabatan;
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini selanjutnya dapat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional dengan pernyataan lebih lanjut, bahwa ia telah menetapkan usia minimum, yang
lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya;
3. Usia minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan ayat 1 Pasal ini, tidak boleh kurang dari usia tamat
sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari 15 tahun;
4. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 3 Pasal ini, suatu Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya
tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan jika
yang demikian itu ada, sebagai permulaan dapat menetapkan usia minimum 14 tahun;
5. Setiap Anggota yang telah menetapkan usia minimum 14 tahun sesuai dengan ketentuan ayat terdahulu, di dalam
laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi ini yang disampaikan berdasarkan pasal 22 Konstitusi Organisasi
Perburuhan Internasional, harus menyatakan :

a. bahwa alasan yang menyebabkan dia berbuat demikian masih terus ada;
b. bahwa ia melepaskan haknya untuk menggunakan ketentuan tersebut mulai suatu tanggal yang dinyatakan.

Pasal 3

Usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau karena
keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.

1. Jenis pekerjaan atau kerja terhadap mana ayat 1 Pasal ini berlaku, harus ditetapkan dengan undang-undang atau
peraturan nasional atau oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada.
2. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 Pasal ini, undang-undang atau peraturan nasional atau penguasa yang
berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian
itu ada, dapat memperbolehkan orang muda berusia 16 tahun ke atas bekerja, dengan syarat bahwa kesehatan,
keselamatan dan moral orang muda yang bersangkutan cukup dilindungi dan bahwa orang muda itu telah menerima
pelajaran atau latihan kejuruan khusus mengenai cabang kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 4

1. Sejauh mana diperlukan, maka penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dapat mengecualikan dari berlakunya Konvensi ini jenis
pekerjaan atau kerja yang terbatas, dalam hubungan mana berlakunya Konvensi ini menimbulkan masalah yang
khas dan berat.
2. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini dalam laporannya yang pertama mengenai pelaksanaan Konvensi
yang disampaikan berdasarkan pasal 22 dari Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional, harus memberikan
daftar dari setiap jenis yang telah dikecualikan menurut Ketentuan ayat 1 Pasal ini, harus memberikan alasan
mengapa dikecualikan, dan dalam laporan berikutnya harus menyatakan kedudukan hukum dan praktek di
negerinya terhadap jenis yang dikecualikan itu, dan sampai berapa jauh Konvensi ini telah diberlakukan atau telah
diusulkan untuk diberlakukan terhadap jenis tersebut.
3. Pekerjaan atau kerja yang dicakup dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi
menurut Pasal ini.

Pasal 5

Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan
organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jka yang demikian itu ada, dapat pada permulaan membatasi
ruang lingkup berlakunya Konvensi ini.

1. Setiap Anggota yang mempergunakan ketentuan ayat 1 Pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada
ratifikasinya, harus memperinci cabang kegiatan ekonomi atau jenis perusahaan terhadap mana ketentuan Konvensi
ini akan diberlakukan olehnya.
2. Ketentuan Konvensi ini harus berlaku sebagai minimum bagi yang berikut : pertambangan dan penggalian; pabrik,
bangunan, listrik, gas dan air, jasa kebersihan, pengangkutan, pergudangan dan perhubungan, serta perkebunan dan
perusahaan pertanian lainnya yang terutama menghasilkan Unitika maksud perdagangan, akan tetapi megecualikan
perusahaan keluarga dan kecil yang menghasilkan untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempergunakan
tenaga bayaran.
3. Setiap Anggota yang membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini :

a. harus menunjukkan dalam laporannya sesuai dengan pasal 22 Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional,
kedudukan umum tentang pekerjaan dan kerja orang muda dan anak-anak dalam cabang kegiatan yang dikecualikan
dari ruang lingkup berlakunya Konvensi ini dan setiap kemajuan yang mungkin telah dicapai ke arah pelaksanaan
yang lebih luas dari ketentuan Konvensi ini.
b. dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup berlakunya itu dengan suatu pernyataan yang
dialamatkan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional.
Pasal 6

Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah untuk pendidikan
umum, kejuruan atau teknik atau di lembaga pelatihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang
sekurang-kurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, dimana pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang
bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dan merupakan bagian integral dari :

a. suatu kursus pendidikan atau pelatihan yang penanggung jawab utamanya adalah suatu sekolah atau lembaga
pelatihan;
b. suatu program pelatihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilakukan dalam suatu perusahaan, yang
telah disetujui oleh penguasa yang berwenang; atau
c. suatu program bimbingan atau orientasi yang bertujuan untuk mempermudah pemilihan suatu jabatan atau suatu
jurusan pelatihan.

Pasal 7

Undang-Undang atau peraturan nasional dapat mengizinkan dipekerjakannya atau bekerjanya orang-orang berusia 13
sampai 15 tahun dalam pekerjan-pekerjaan yang ;

a. kiranya tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka;


b. tidak menjadi halangan bagi mereka untuk dapat terus mengikuti pelajaran sekolah, mengikuti orientasi kejuruan
atau program pelatihan yang dibenarkan oleh karena mereka dapat menarik keuntungan dari pelajaran yang
diterima.

1. Undang-Undang atau peraturan nasional dapat juga mengizinkan dipekerjakannya atau diterimanya orang
yang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun, untuk bekerja akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan
sekolah wajib dalam pekerjaan yang telah memenuhi pesyaratan yang ditetapkan dalam sub ayat (a) dan (b)
ayat 1 Pasal ini.
2. Penguasa yang berwenang harus menetapkan kegiatan dimana pekerja atau kerja dapat diizinkan berdasarkan
ayat 1 dan 2 Pasal ini dan harus menetapkan jumlah jam kerja selama mana dan dalam kondisi bagaimana
pekerjaan atau kerja semacam itu dapat dilakukan.
3. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 dan 2 Pasal ini, Anggota yang telah menyatakan mempergunakan
ketentuan ayat 4 Pasal 2, selama masih menghendaki terus melakukan demikian dapat menggantikan usia 12
dan 14 tahun untuk usia 13 dan 15 tahun dalam ayat 1 dan usia 14 tahun usia 15 tahun dalam ayat 2 Pasal ini.

Pasal 8

Setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada,
penguasa yang berwenang dengan izin yang diberikan untuk tiap keadaan tersendiri, memperbolehkan pengecualian
larangan pekerjaan atas kerja sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi ini, untuk maksud seperti turut serta
dalam kegiatan kesenian.

1. Izin yang diberikan seperti itu harus membatasi lamanya jam kerja dan harus menetapkan kondisi dimana
pekerjaan atau kerja itu diperbolehkan.

Pasal 9

1. Segala tindakan yang perlu, termasuk penentuan hukuman yang setimpal, harus diambil oleh penguasa yang
berwenang untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari ketentuan Konvensi ini.
2. Undang-Undang atau peraturan nasional harus menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab atas ditaatinya
ketentuan yang memberlakukan Konvensi ini.
3. Undang-Undang atau peraturan nasional atau penguasa yang berwenang harus menetapkan, daftar dan dokumen
lain yang harus dipelihara dan disediakan oleh pengusaha, daftar dan dokumen seperti itu harus memuat nama-
nama dan usia atau tanggal lahir, sedapat mungkin dibuat dengan keterangan yang sah, dari orang yang
dipekerjakan olehnya atau yang bekerja untuknya dan yang berusia kurang dari 18 tahun.

Pasal 10

Konvensi ini merevisi, menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun
1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), tahun 1921, Konvensi Usia
Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, Konvensi Usia Minimum, (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1932,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), tahun 1937,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan) tahun
1959, dan Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Di bawah Tanah) tahun 1965.

1. Mulai berlakunya Konvensi ini tidak menutup kemungkinan untuk diratifikasinya Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Nelayan), tahun 1959, Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Dibawah Tanah) tahun 1965.
2. Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia
Minimum (Pertanian), tahun 1921, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, akan
ditutup untuk ratifikasi selanjutnya, jika semua pihak yang telah meratifikasinya telah setuju untuk menutupnya
dengan jalan meratifikasi Konvensi ini atau dengan suatu pernyataan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional.
3. Jika kewajiban Konvensi ini telah diterima :

a. oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, dan
telah menetapkan Usia Minimum tidak kurang dari 15 tahun menurut ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
b. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non-
Indusri), tahun 1932, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, maka itu berarti pembatalan
Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
c. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, dan telah
menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini, maka itu berarti
pembatalan segera Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
d. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Laut), tahun 1936, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 12
Konvensi ini atau Anggota itu menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
e. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), tahun 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2
Konvensi ini atau Anggota itu telah menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim,
maka itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
f. oleh Anggota yang telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan di bawah Tanah), tahun 1965, dan
telah menetapkan usia minimum menurut Pasal 2 Konvensi yang tidak kurang dari usia minimum yang
ditetapkan berdasarkan Konvensi itu atau Anggota itu menetapkan bahwa usia itu berlaku bagi pekerjaan di
bawah tanah dalam pertambangan berdasarkan Pasal 3 Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum, jika
dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.

4. Penerimaan kewajiban Konvensi ini ;

a. berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu;
b. dalam hal pertanian berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Pertanian) tahun 1921, sesuai dengan Pasal
9 Konvensi itu;
c. dalam hal pekerjaan maritim berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, sesuai dengan
Pasal 10 Konvensi itu, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, sesuai dengan Pasal
12 Konvensi itu; Jika dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.

Pasal 11

Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.

Pasal 12

Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional, yang ratifikasinya telah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.

1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Selanjutnya, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah ratifikasinya terdaftar.

Pasal 13

1. Anggota yang telah merafitikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya sepuluh tahun sejak
tanggal mulai berlakunya Konvensi, dengan suatu ketentuan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pembatalan itu tidak akan berlaku sebelum lewat satu tahun sesudah
tanggal pendaftarannya.
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan, dalam tahun berikutnya setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun sebagai tersebut dalam ayat terdahulu, tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal ini, akan tetap terikat untuk masa sepuluh tahun lagi dan, sesudah itu, dapat
membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya setiap masa sepuluh tahun menurut ketentuan yang tercantum
dalam pasal ini.

Pasal 14

1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional mengenai pendaftaran semua ratifikasi dan pembatalan yang disampaikan kepadanya
oleh Anggota Organisasi.
2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi mengenai pendaftaran ratifikasi kedua yang
disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota Organisasi akan tanggal mulai
berlakunya Konvensi.

Pasal 15

Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, keterangan
lengkap mengenai semua ratifikasi keterangan dan pembatalan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal yang terdahulu.

Pasal 16

Pada waktu-waktu yang dianggap perlu, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan
sebuah laporan mengenai pelaksanaan Konvensi ini kepada Konvensi Umum, dan harus meneliti apakah peninjauan
kembali seluruh atau sebagian Konvensi ini perlu dimasukkan dalam agenda Konperensi.

Pasal 17

1. Apabila Konperensi menerima sebuah Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian,
maka, kecuali Konvensi yang baru itu menetapkan lain ;

a. ratifikasi Konvensi revisi baru itu oleh Anggota berarti pembatalan Konperensi ini pada saat itu juga, karena
hukum tanpa mengindahkan ketentuan Pasal 13 di atas, jika dan pada waktu Konvensi revisi yang baru itu
mulai berlaku;
b. sejak tanggal mulai berlakunya Konvensi baru yang telah diubah itu Konvensi ini tidak akan terbuka lagi
untuk ratifikasi oleh Anggota.

1. Bagaimanapun juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi seperti yang asli bagi Anggota yang
telah meratifikasinya dan tidak meratifikasi Konvensi yang baru.

Pasal 18

Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1999

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 111

MENGENAI

DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN


(Lembaran Negara No. 57 Tahun 1999)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Konperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional,

Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional dan yang mengadakan
sidangnya yang keempat puluh dua pada tanggal 4 Juni 1958, dan

Setelah memutuskan untuk menyetujui usul-usul tertentu tentang diskriminasi di bidang pekerjaan dan jabatan, yang
merupakan soal keempat dalam acara sidang, dan

Setelah menetapkan bahwa usul-usul itu harus dalam bentuk Konvensi internasional, dan

Dengan mempertimbangkan bahwa Deklarasi Philadelphia menyatakan bahwa manusia semuanya, tanpa memandang
ras, kepercayaan, jenis kelamin, berhak untuk mengejar baik kesejahteraan materil maupun kemajuan spirituil dalam
suasana bebas dan
terhormat, dan dalam suasana kemantapan ekonomis dan kesamaan kesempatan, dan

Dengan mempertimbangkan juga bahwa diskriminasi merupakan pelanggaran hak-hak yang dinyatakan dalam
Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia,

Pada tanggal 25 Juni tahun 1958 menyetujui Konvensi berikut ini, yang dapat disebut sebagai Konvensi tentang
Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) tahun 1958 :

Pasal 1

1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "diskriminasi" meliputi :

a. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan
politik, kebangsaan atau asal dalam masyarakat, yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi persamaan
kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan lainnya yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi
persamaan kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh
Anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan organisasi yang mewakili pengusaha dan pekerja,
jika organisasi itu ada, dan dengan badan lain yang sesuai.

1. Perbedaan, pengecualian atau pilihan bentuk apapun juga mengenai suatu tugas tertentu yang didasarkan
pada persyaratan khas tugas itu, tidak dianggap sebagai suatu diskriminasi.
2. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "pekerjaan" dan "jabatan" meliputi juga kesempatan pelatihan
ketrampilan, kesempatan memperoleh pekerjaan dan kesempatan memperoleh jabatan tertentu, serta
ketentuan dan syarat kerja.

Pasal 2

Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk tercapainya suatu kebijaksanaan nasional yang
bertujuan untuk mendorong, dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan kebiasaan nasional, persamaan kesempatan
dan perlakuan di bidang pekerjaan dan jabatan, dengan tujuan untuk menghilangkan setiap diskriminasi di bidang itu.
Pasal 3

Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan
kebiasaan nasional :

a. memperoleh kerjasama dari organisasi pengusaha dan pekerja serta badan terkait lainnya untuk mendorong
diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
b. mengadakan perundang-undangan serta menganjurkan program pendidikan yang dapat diperkirakan akan
menjamin diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
c. menolak semua ketentuan peraturan dan mengubah petunjuk dan kebiasaan administratif yang tidak sesuai dengan
kebijaksanaan ini;
d. mendorong diberlakunya kebijaksanaan ini bagi pekerjaan yang langsung diawasi oleh penguasa nasional;
e. menjamin ditaatinya kebijaksanaan ini dalam kegiatan bimbingan ketrampilan, latihan ketrampilan serta jawatan
penempatan yang dipimpin oleh penguasa nasional;
f. mencantumkan dalam laporan tahunan tentang penerapan Konvensi ini tindakan apa yang telah diambil untuk
melaksanakan kebijaksanaan ini serta hasil yang dicapai dengan tindakan tadi.

Pasal 4

Setiap tindakan terhadap seseorang yang diperkirakan atau benar-benar melakukan kegiatan yang mengancam
keselamatan Negara, tidak dianggap sebagai diskriminasi, asal yang bersangkutan diberi hak untuk membela diri
dalam suatu badan yang berwenang yang diadakan sesuai dengan kebiasaan nasional.

Pasal 5

1. Langkah-langkah khusus Unitika perlindungan atau bantuan yang telah diatur dalam Konvensi atau Rekomendasi
yang lain yang telah disetujui oleh Sidang Perburuhan Internasional, tidak dianggap sebagai diskriminasi.
2. Setiap Anggota dapat, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja, jika ada, menetapkan
bahwa harus diambil langkah-langkah khusus yang lain untuk memenuhi kebutuhan khas dari orang-orang, yang
karena jenis kelamin, usia, cacad, tanggung-jawab keluarga atau status sosial atau budaya, yang secara umum
diakui memerlukan lindungan atau bantuan khusus, dan langkah-langkah itu tidak dianggap sebagai diskriminasi.

Pasal 6

Setiap Anggota yang menandatangani Konvensi ini akan berupaya menerapkannya di wilayah-wilayah non-
metropolitan, sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional.

Pasal 7

Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.

Pasal 8

Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.

1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.

Pasal 9

Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya seputuh tahun dari tanggal
Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur Jenderal Organisasi
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu tahun setelah tanggal
pendaftarannya.

1. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.

Pasal 10

Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan kepadanya oleh
para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.

1. Bila memberitahu kepada para Anggota Organisasi tentang pendaftaran dari ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.

Pasal 11

Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendaftaran rincian lengkap
semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dari Pasal-Pasal sebelumnya.

Pasal 12

Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.

Pasal 13

Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain :

a. Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan segera
atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru yang
mengubah itu sudah berlaku;
b. Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi oleh para
Anggota.

1. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.

Pasal 14

Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN
ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan fungsi dan


efektifitas Lembaga Kerja Sama Tripartit diperlukan
adanya keseimbangan komposisi antar unsur dan
kecukupan jumlah keanggotaan serta kesempatan
yang lebih luas untuk menjadi angggota;
b. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005
tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga
Kerja Sama Tripartit perlu dilakukan penyempurnaan;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan
Susunan Organisasi Lembaga Kerjasama Tripartit;

Mengingat : 1 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


. Indonesia Tahun 1945;
2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
. Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata
. Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama
Tripartit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4482);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN


ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN
2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN
ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT.
Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun


2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja
Sama Tripartit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4482) diubah sebagai berikut :

(1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 diubah, sehingga


Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1 Lembaga Kerja Sama Tripartit yang selanjutnya disebut
LKS Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
2 Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral, yang selanjutnya
disebut LKS Tripartit Sektoral, adalah forum
komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan sektor usaha tertentu yang anggotanya
terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha
sektor usaha tertentu, dan serikat pekerja/serikat buruh
sektor usaha tertentu.
3. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang
ditunjuk oleh Kamar Dagang dan Industri untuk
menangani masalah ketenagakerjaan.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan.
(2). Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat baru
sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : Pasal 6.
1. Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan
LKS Tripartit Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, paling banyak 45 (emapt puluh lima) orang yang
penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh masing-
masing paling banyak 15 (lima belas) orang.
2. Komposisi Keterwakilan LKS Tripartit Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur
organisasi pengusaha, dan 1 (satu) unsur serikat
pekerja/serikat buruh.
3. Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat
memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
(3). Ketentuan Pasal 7 dihapus.
(4). Ketentuan Pasal 12 huruf c dan huruf d diubah dan ditambah 1
(satu) ayat baru sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12
1. Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan LKS Tripartit
Nasional, calon anggota harus memenuhi persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat;
d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi
Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan dan/atau instansi Pemerintah yang
terkait lain bagi calon anggota yang berasal dari
unsur Pemerintah;
e. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi
calon anggota yang berasal unsur organisasi
pengusaha; dan
f. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh
bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh.

2. Ketua LKS Tripartit Nasional dapat dikecualikan dari


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5). Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
: Pasal 24
1. Keanggotaan LKS Tripartit Propinsi terdiri dari unsur
perangkat pemerintah propinsi, organisasi pengusaha, dan
serikat pekerja/serikat buruh.
(6). Ketentuan Pasal 25 huruf b diubah sehingga Pasal 25
berbunyi sebagai berikut : Pasal 25
Susunan keanggotaan LKS Tripartit Propinsi terdiri dari :
a. Ketua merangkap anggota, dijabat oleh gubernur.
b. 3 (tiga) orang Wakil Ketua merangkap angota, masing-
masing dijabat oleh anggota yang mewakili unsur
perangkat pemerintah propinsi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
c. Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang
mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari satuan
organisasi perangkat daerah propinsi yang
bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan; dan
d. Beberapa orang anggota sesuai dengan kebutuhan.

(7). Ketentuan Pasal 26 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat baru


sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 26
1. Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan
LKS Tripartit Propinsi sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 25, paling banyak 27 (dua puluh tujuh) orang yang
penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi unsur perangkat pemerintah propinsi,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh
masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang.
2. Komposisi perwakilan LKS Tripartit Propinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur perangkat pemerintah
propinsi, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, dan 1
(satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh.
3. Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat
memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.

(8). Ketentuan Pasal 27 dihapus.

(9). Ketentuan Pasal 32 huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f


diubah dan ditambah 1 (satu) ayat baru sehingga Pasal 32
berbunyi sebagai berikut : Pasal 32
1. Untuk dapat diangkat dalam Keanggotaan LKS Tripartit
Propinsi, calon anggota harus memenuhi persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat);
d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan satuan
organisasi perangkat daerah propinsi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dan/atau instansi pemerintah propinsi terkait lain
bagi calon anggota yang berasal dari unsur
pemerintah propinsi;
e. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi
calon anggota yang berasal dari unsur organisasi
pengusaha; dan
f. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh
bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh.

2. Ketua LKS Tripartit Propinsi dapat dikecualikan dari


ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

(10). Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut : Pasal 42
1. Keanggotaan LKS Tripartit Kabupaten/Kota terdiri dari
unsur perangkat pemerintah kabupaten/kota, organisasi
pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.

(11). Ketentuan Pasal 43 huruf b diubah sehingga Pasal 43


berbunyi sebagai berikut : Pasal 43
Susunan keanggotaan LKS Tripartit Kabupaten/Kota terdiri
dari :
a. Ketua merangkap anggota, dijabat oleh Bupati /Walikota ;
b. 3 (tiga) wakil ketua merangkap anggota, masing-masing
dijabat oleh anggota yang mewakili unsur perangkat
pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;
c. Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang
mewakili unsur pemerintah kabupaten/kota yang berasal
dari satuan organisasi perangkat daerah kabupaten/kota
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan ; dan
d. Beberapa orang anggota sesuai dengan kebutuhan.
(12). Ketentuan Pasal 44 diubah dan ditambah 2 (dua) ayat baru
sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut : Pasal 44
1. Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan LKS
Tripartit Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43, paling banyak 21 (dua puluh satu) orang yang
penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi keterwakilan unsur pemerintah
kabupaten/kota, oragnisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh masing-masing paling banyak 7
(tujuh) orang.
2. Komposisi keterwakilan LKS Tripartit Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
perbandingan 1 (satu) unsur perangkat pemerintah
kabupaten/kota, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, dan
1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal salah satu unsur atau lebih tidak dapat
3. memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
ketentuan komposisi keterwakilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku.

(13). Ketentuan Pasal 45 dihapus.

(14). Ketentuan Pasal 50 huruf c, huruf d, dan huruf f diubah dan


ditambah 1 (satu) ayat baru sehingga Pasal 50 berbunyi
sebagai berikut : Pasal 50
1. Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan LKS Tripartit
Kabupaten/Kota, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat);
d. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan satuan
organisasi perangkat daerah kabupaten/kota yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
dan/atau instansi pemerintah kabupaten/kota terkait
lain bagi calon anggota yang berasal dari unsur
pemerintah kabupaten/kota;
e. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi
calon anggota yang berasal dari unsur organisasi
pengusaha; dan
f. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh
bagi calon anggota yang berasal dari unsur serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Ketua LKS Tripartit Kabupaten/Kota dapat dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d.

(15). Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut : Pasal 53
1. LKS Tripartit Kabupaten/Kota mengadakan sidang
secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
bulan atau sewaktu-waktuuai dengan kebutuhan.

(16). Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi


sebagai berikut : Pasal 61
1. Susunan keanggotaan Tripartit Sektoral Nasional, LKS
Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Sektoral
Kabupaten/Kota terdiri dari dari Ketua, Sekretaris, dan
Anggota yang mewakili unsur Pemerintah/perangkat
pemerintah daerah propinsi/perangkat pemerintah daerah
kabupaten/kota, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
Jumlah anggota LKS Tripartit Sektoral Nasional, LKS
2. Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Sektoral
Kabupaten/Kota dalam susunan keanggotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak :
a. 15 (lima belas) orang anggota untuk LKS Tripartit
Sektoral Nasional;
b. 12 (dua belas) orang anggota untuk LKS Tripartit
Sektoral Propinsi;
c. 12 (dua belas) orang anggota untuk LKS Tripartit
Sektoral Kabupaten/Kota.

(17). Diantara BAB V dan BAB VI disisipkan 1 (satu) BAB yakni


BAB VA yang berbunyi sebagai berikut :
BAB VA
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64 A
1. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, LKS
Tripartit yang telah dibentuk sebelum ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini, wajib menyesuaikan dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
2. Bagi LKS Tripartit yang telah terbentuk sebelum
ditetapkan Peraturan Pemerintah ini dapat menjalankan
tugasnya sampai terbentuknya LKS Tripartit sesuai
dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO.

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.

MENTERI HUKUM DAN


HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 89.

Salinan Sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat.

ttd

Wisnu Setiawan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2008.

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN
ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT.

I. UMUM

Upaya yang ditempuh untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik


adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat luas dalam penyusunan
kebijakan pemerintah. Dengan upaya tersebut, maka kebijakan yang ditetapkan
pemerintah dapat lebih akomodatif terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat.

Dalam dunia ketenagakerjaan pelibatan masyarakat dalam mengambil


keputusan diwujudkan dalam prinsip tripartisme, suatu prinsip yang bertumpu
pada semangat bahwa kepentingan masing-masing unsur pelaku proses
produksi yaitu pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah menjadi kepentingan
bersama.
Sejalan dengan prinsip kebersamaan maka keseimbangan peran masing-
masing unsur dalam LKS Tripartit perlu diwujudkan dalam bentuk
keterwakilan masing-masing unsur dalam komposisi keanggotaan. Oleh
karena itu maka ketentuan komposisi perbandingan yang semula 2 :1:1 diubah
menjadi 1:1:1.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas, peran dan fungsi LKS Tripartit maka
dibutuhkan jumlah keanggotaan yang cukup, sehingga jumlah keanggotaan
LKS Tripartit perlu ditambah dengan tetap memperhatikan karakteristik
perekonomian serta kemampuan penganggaran. Dalam kenyataannnya tidak
semua unsur dapat memenuhi persyaratan administrasi keanggotaan khususnya
persyaratan pendidikan, sehingga diubah menjadi serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas(SMA/sederajat.

Dengan perubahan Peraturan Pemerintah ini, maka diharapkan LKS Tripartit


dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan optimal.

Peraturan Pemerintah ini antara lain memuat :


a. Perubahan komposisi dan jumlah keterwakilan keanggotaan LKS Tripartit ;
b. Perubahan persyaratan keanggotaan LKS Tripartit ;
c. Penambahan Bab Ketentuan Peralihan.
I I. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4862.


Jakarta, 28 Oktober 2004

Yth.
Pimpinan Perusahaan
di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004

TENTANG

PENCEGAHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MASSAL

Pekerja / buruh di dalam proses produksi barang dan jasa, tidak saja merupakan
sumber daya tapi juga sekaligus merupakan asset yang dapat dipisahkan dari upaya untuk
menjamin kelangsungan usaha. Oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu
dipelihara secara berkelanjutan dalam suasana hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat.

Namun apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat
membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah
merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut :

a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan
direktur ;
b. Mengurangi shift ;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
d. Mengurangi jam kerja ;
e. Mengurangi hari kerja ;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara
waktu ;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa
kontraknya ;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

Pemilihan alternatife dari hal - hal sebagaimana tersebut di atas perlu dibahas
terlebih dahulu dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja / buruh
dalam hal di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja / serikat buruh untuk
mendapatkan kesepakatan secara biparte sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
pemutusan hubungan kerja.

Dermikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya dan atas kerjasama Saudara


disampaikan terima kasih.

MENTERI

TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA

Ttd.

FAHMI IDRIS

Tembusan disampaikan kepada Yth :


1. Presiden Republik Indonesia ;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia ;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ;
4. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Depnakertrans R.I ;
5. Para Gubernur di seluruh Indonesia ;
6. Ketua DPN APINDO ;
7. Pertinggal.
RISALAH PERUNDINGAN PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
SECARA BIPARTIT

1. Nama Perusahaan :
...........................................................................................
2. Alamat Perusahaan :
...........................................................................................
3. Nama Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
4. Alamat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
5. Tanggal dan Tempat Perundingan :
...........................................................................................

6. Pokok Masalah/Alasan Perselisihan :


........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

7. Pendapat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

8. Pendapat Pengusaha :
............................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

9. Kesimpulan atau Hasil Perundingan :


...........................................................................................

...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...

Batam, .........................................20.............
Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/SP/SB

________________________ ________________________
DAFTAR H AD IR
P E R U N D I N G A N

HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG I, II, III
MASALAH :

PIHAK
PENGUSAHA/ TANDA
NO NAMA ALAMAT KETERANGAN
PEKERJA/BURUH/ TANGAN
SP/SB
PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT

Nomor : Batam,...........................20................
Lampiran : 1 (Satu) berkas Kepada
Hal. : Permintaan Perundingan Yth. Sdr ...........................................

Dengan hormat,

Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara Bipartit maka
kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada,

Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :

Untuk menyelesaikan masalah sebagai berikut :

1. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
2. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
3. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
........................
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

Pihak
*) Pengusaha/Pekerja/Buruh/SP/SB

............................................

*) Coret yang tidak perlu.


PERJANJIAN BERSAMA

Pada hari ini ........................................tanggal...................bulan..............tahun...............................


kami yang bertanda tangan di bawah ini

1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :

Yang selanjutnya disebut Pihak Ke I (Pengusaha)

2. Nama :
Jabatan :
Alamat :

Yang selanjutnya disebut Pihak Ke II (Pekerja/Buruh/SP/SB)

Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 2 tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak Ke I dan Pihak Ke II telah mengadakan perundingan secara Bipartit dan telah tercapai
kesepakatan sebagai berikut :

......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
....................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
............

Kesepakatan ini merupakan perjanjian bersama yang berlaku sejak ditandatangani


diatas materai cukup.

Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat da lam keadaan sadar tanpa paksaan dari
pihak manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.

Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/SP/SB

---------------------------- ---------------------------------------
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR :PER.24/MEN/XII/2008.

TENTANG

METODE PENGHITUNGAN PERSEDIAAN DAN


KEBUTUHAN TENAGA KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (4), Peraturan


Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh
Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta Pelaksanaan
Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan Menteri
tentang Metode Penghitungan Persediaan dan Kebutuhan Tenaga
Kerja;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4701);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER.05/MEN/IV/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor :PER.14/MEN/VIII/2008;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG METODE
PENGHITUNGAN PERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN
TENAGA KERJA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perencanaan Tenaga Kerja, yang selanjutnya disingkat PTK, adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematisyang dijadikan dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
2. Persediaan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang tersedia, dengan berbagai
karakteristiknya.
3. Kebutuhan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang diperlukan untuk mengisi
kesempatan kerja yang tersedia, dengan berbagai karakteristiknya.
4. Neraca tenaga kerja, adalah kesempatan atau kesenjangan antara persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan tenaga kerja, dengan berbagai karakteristiknya.
5. Metode penghitungan persediaan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
angkatan kerja secara statistika.
6. Metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
kesempatan kerja secara statistika.
7. Penduduk Usia Kerja, yang selanjutnya disingkat PUK, adalah penduduk yang
berumur 15 (lima belas) tahun dan lebih atau disebut tenaga kerja.
8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat TPAK, adalah rasio
antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja.
9. Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat AK, adalah penduduk usia kerja yang
bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran
yang aktif mencari pekerjaan.
10. Bekerja, adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam tidak terputus dalam seminggu.
11. Penganggur Terbuka, adalah mereka yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan serta yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
12. Tingkat Penganggur Terbuka, yang selanjutnya disingkat TPT, adalah rasio antara
banyaknya penganggur terbuka dengan jumlah angkatan kerja.
13. Kesempatan kerja, adalah lowongan pekerjaan yang diisi oleh pencari kerja, dan
pekerja yang sudah ada.
14. Produk Domestik Regional Bruto, yang selanjutnya disingkat PDRB, adalah jumlah
nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di
wialayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
15. Produktivitas Tenaga Kerja, adalah rasio antara produk berupa barang dan jasa,
dengan tenaga kerja yang digunakan baik individu maupun kelompok dalam satuan
waktu tertentu, yang merupakan besaran kontribusi tenaga kerja dalam pembentukan
nilai tambah suatu produk, pada proses kegiatan ekonomi.
16. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
Peraturan Menteri ini dipergunakan sebagai acuan bagi Kementrian, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, dan pemerintah daerah dalam melakukan penghitungan persediaan dan
kebutuhan tenaga kerja.

Pasal 3
Metode penghitungan persediaan, dan metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan contoh penghitungan persediaan dan
kebutuhan Tenaga Kerja tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini, dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Meneteri ini.

Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 18 Desember 2008.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO.MBA,M.Si.


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 32/MEN/XII/2008
TENTANG
TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN
KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 106 ayat (4) Undang-


Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka perlu ditetapkan Tata Cara Pembentukan dan Susunan
Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit;
b. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan
dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi
ketenagakerjaan saat ini, sehingga perlu disempurnakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2000 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3989);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 20/P Tahun 2005;

Memperhatikan : 1. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus


Program Ekonomi Tahun 2008-2009;
2. Pokok-pokok Pikiran Badan Pekerja Lembaga Kerja Sama
Tripartit Nasional Ketenagakerjaan Sementara tanggal 27
Oktober 2008, 10 November 2008, dan 14 November 2008;
3. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerja Sama Tripartit
Nasional Ketenagakerjaan Sementara tanggal 19 November
2008;

1
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN
KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJA SAMA BIPARTIT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Lembaga Kerja Sama Bipartit, yang selanjutnya disebut LKS Bipartit, adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
2. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
6. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
TUJUAN, FUNGSI, DAN TUGAS

Pasal 2

Pembentukan LKS Bipartit bertujuan untuk menciptakan hubungan industrial yang


harmonis, dinamis, dan berkeadilan di perusahaan.

2
Pasal 3

LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha
dengan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh.

Pasal 4

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, LKS Bipartit


mempunyai tugas :
a. melakukan pertemuan secara periodik dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
b. mengkomunikasikan kebijakan pengusaha dan aspirasi pekerja/buruh dalam rangka
mencegah terjadinya permasalahan hubungan industrial di perusahaan.
c. menyampaikan saran, pertimbangan, dan pendapat kepada pengusaha,
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka penetapan dan
pelaksanaan kebijakan perusahaan.

BAB III
TATA CARA PEMBENTUKAN

Pasal 5

(1) LKS Bipartit dibentuk oleh unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.

(2) LKS Bipartit dapat dibentuk di setiap cabang perusahaan.

Pasal 6

Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut :


a. dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan semua
pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut, maka secara
otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya dalam LKS
Bipartit;
b. dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang
mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis;
c. dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
yang mewakili dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara proposional;
d. dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk
wakilnya yang dipilih secara demokratis;
e. dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya dalam LKS
Bipartit secara proposional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.

3
Pasal 7

Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 melaksanakan pertemuan untuk :
a. membentuk LKS Bipartit;
b. menetapkan anggota LKS Bipartit.

Pasal 8

Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut :


a. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh
mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan menetapkan anggota
LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
b. anggota LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan
menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
c. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 9

(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus diberitahukan untuk dicatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Pengurus LKS Bipartit menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara tertulis, baik langsung maupun tidak langsung dengan
melampirkan berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan bukti penerimaan
pemberitahuan.
(4) Pemberitahuan pembentukan LKS Bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3
tidak dikenakan biaya.

BAB IV
KEPENGURUSAN

Pasal 10

Kepengurusan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh dengan komposisi 1:1 yang jumlahnya sesuai kebutuhan
dengan ketentuan sekurang-kurangnya 6 (enam) orang.

Pasal 11

(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, wakil ketua,
sekretaris, dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh.

4
Pasal 12

(1) Masa kerja kepengurusan LKS Bipartit 3 (tiga) tahun.

(2) Pergantian kepengurusan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat
dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.

Pasal 13

Masa jabatan kepengurusan LKS Bipartit berakhir apabila :


a. meninggal dunia;
b. mutasi;
c. mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;
d. diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;
e. sebab-sebab lain yang menghalangi tugas-tugas dalam kepengurusan lembaga.

BAB V
TATA KERJA

Pasal 14

(1) LKS Bipartit mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam


sebulan atau setiap kali dipandang perlu.
(2) Materi pertemuan dapat berasal dari unsur pengusaha, unsur pekerja/buruh, atau
dari pengurus LKS Bipartit.
(3) LKS Bipartit menetapkan agenda pertemuan secara periodik.
(4) Hubungan LKS Bipartit dengan lembaga lainnya di perusahaan bersifat koordinatif,
konsultatif, dan komunikatif.

BAB VI
PEMBINAAN

Pasal 15

(1) Pembinaan LKS Bipartit dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat
mengikutsertakan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :


a. sosialisasi kepada pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh dalam rangka pembentukan LKS Bipartit;
b. memberikan bimbingan dalam rangka pembentukan dan pengembangan LKS
Bipartit.

5
BAB VII
PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN
Pasal 16
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS
Bipartit dibebankan pada Perusahaan.
Pasal 17
(1) Pengurus LKS Bipartit melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada
pimpinan perusahaan.
(2) Pimpinan perusahaan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan
Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelesaikan perselisihan hubungan


industrial antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan perlu dilakukan
upaya penyelesaian perselisihan melalui perundingan secara
bipartit;

b. bahwa perundingan secara bipartit dilakukan dengan prinsip


musyawarah untuk mencapai mufakat secara kekeluargaan
dan keterbukaan;

c. bahwa untuk mengefektifkan pelaksanaan perundingan


bipartit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 perlu menyusun pedoman
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
perundingan bipartit;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan dengan
Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3989);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356);

4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang


Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 20/P Tahun 2005;
Memperhatikan : Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program
Ekonomi Tahun 2008 – 2009;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI
PERUNDINGAN BIPARTIT.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/


serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam satu perusahaan.

2. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pasal 2

Setiap terjadi perselisihan hubungan industrial wajib dilakukan perundingan


penyelesaian perselisihan secara bipartit sebelum diselesaikan melalui mediasi atau
konsiliasi maupun arbitrase.

Pasal 3

(1) Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib :


a. memiliki itikad baik;
b. bersikap santun dan tidak anarkis; dan
c. menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

(2) Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2
(dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi
melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-
bukti permintaan perundingan.

Pasal 4

(1) Perundingan bipartit dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :


a. tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan :

1) pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya


secara tertulis kepada pihak lainnya;

2
2) apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan
yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat
memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;

3) pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat


harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;

4) dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha


dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-
masing;

5) dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati
paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;

6) dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu


perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk
wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.

b. tahap perundingan :
1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis
dan jadwal perundingan yang disepakati;
3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan
dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana
mestinya;
4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang
disepakati;
5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka
para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari
kerja;
6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat
dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh
para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani,
maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
8) hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-
kurangnya memuat :
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan;
6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak
bersedia menandatanganinya;

3
c. tahap setelah selesai perundingan :
1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama;
2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh
bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Contoh bentuk permintaan perundingan secara bipartit, daftar hadir perundingan,
risalah perundingan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit,
perjanjian bersama, dan contoh permohonan pencatatan perselisihan hubungan
industrial sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran V
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, para pihak melakukan
hal-hal sebagai berikut :
a. pihak pengusaha agar :
1) memenuhi hak-hak pekerja/buruh tepat pada waktunya; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pekerja/buruh.
b. pihak pekerja/buruh agar :
1) melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pengusaha maupun dengan
serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 6
Perundingan bipartit yang berkaitan dengan penyusunan Perjanjian Kerja Bersama,
mengikuti prosedur yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 08/MEN/III/2006.
Pasal 7
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 4
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT

Nomor : (Tempat), (tanggal) ............................


Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal. : Permintaan Perundingan Kepada yth.
Sdr. ........................................

Dengan hormat,

Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara


Bipartit maka kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Untuk menyelesaikan masalah sebagai berikut :
1. ........................................................................................................
2. ........................................................................................................
3. ................................................................................. dst
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

Pihak
*)Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

ttd

(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.


Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 5
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

DAFTAR HADIR PERUNDINGAN

HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG ( I, II, III )
MASALAH :

PIHAK
NO. NAMA ALAMAT PENGUSAHA/ TANDA KETERANGAN
PEKERJA/ TANGAN
BURUH/
SERIKAT
PEKERJA/SERI
KAT BURUH

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.


Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

RISALAH PERUNDINGAN PENYELESAIAN


PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SECARA BIPARTIT

1. Nama Perusahaan : ...................................................................


2. Alamat Perusahaan : ...................................................................
3. Nama Pekerja/Buruh/ : ...................................................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
4. Alamat Pekerja/Buruh/ : ...................................................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5. Tanggal dan Tempat Perundingan : ...................................................................

6. Pokok Masalah/Alasan Perselisihan : ...................................................................

7. Pendapat Pekerja/Buruh/ : ...................................................................


Serikat Pekerja/Serikat Buruh

8. Pendapat Pengusaha : ...................................................................

9. Kesimpulan atau Hasil Perundingan : ...................................................................

...................., ....................200.....

Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/


Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ttd ttd

(Nama) (Nama)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH 7
NIP 730001630
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

PERJANJIAN BERSAMA
Pada hari ini................ tanggal ....... bulan ......... tahun....... kami yang bertanda tangan
di bawah ini :
1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-1 (Pengusaha)
2. Nama :
Jabatan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-2 (Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat
Buruh)
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak ke-1 dan Pihak ke-2 telah mengadakan perundingan secara bipartit dan telah
tercapai kesepakatan sebagai berikut :
............................................................................................................................................
Kesepakatan ini merupakan perjanjian bersama yang berlaku sejak ditandatangani di
atas materai cukup.
Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak
manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.

Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/


Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ttd ttd

(Nama) (Nama)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH 8
NIP 730001630
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT

PERMOHONAN PENCATATAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Nomor : (Tempat), (tanggal).................................
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal : Permohonan pencatatan perselisihan
Hubungan Industrial
Kepada Yth.
Sdr.....................................
(instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan)
di –
Dengan hormat,
Setelah dilakukan upaya secara maksimal untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial antara :
1. Nama Perusahaan :
2. Jenis Usaha :
3. Alamat :
dengan
1. Nama Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
2. Alamat Pekerja/Buruh/ Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
dengan duduk permasalahan sebagai berikut :
- .................................................................................................................................................
- .........................................................................................................................................dst.
Permasalahan di atas telah dirundingkan secara bipartit, namun tidak menghasiklan
kesepakatan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (1)
dengan ini kami mohon bantuan Saudara untuk mencatat dan membantu menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dimaksud (risalah perundingan terlampir).
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Pihak Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh*)
ttd
(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH 9
NIP 730001630
PERATURAN BERSAMA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI


MENTERI PERINDUSTRIAN, DAN MENTERI PERDAGANGAN.

NOMOR : PER.21/MEN/XI/2008
NOMOR : 53/2008
NOMOR : 97/M-IND/11/2008
NOMOR : 48/M-DAG/PER/11/2008

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PERINDUSTRIAN,
DAN MENTERI PERDAGANGAN. NOMOR : PER.16/MEN/X/2008, NOMOR : 49/2008, NOMOR : 922.1/M-
IND/10/2008, NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2008

TENTANG PEMELIHARAAN MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DALAM MENGANTISIPASI


PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI


MENTERI PERINDUSTRIAN, DAN MENTERI PERDAGANGAN.

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya penyamaan persepsi mengenai makna dan penetapan upah
minimum sebagai diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian,
Dan Menteri Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008,
Nomor : 922.1/M-IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008 perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bersama tersebut ;

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu


melakukan perubahan yang ditetapkan dengan Peraturan Bersama Menteri
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Perindustrian, Dan Menteri Perdagangan ;

Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3214) ;

2. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia nomor 3274) ;

3. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia nomor 4279) ;

4. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ;

5. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4866).

6. Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,


Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Dan Menteri Perdagangan.
Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008, Nomor : 922.1/M-
IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008, tentang Pemeliharaan
Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi
Perkembangan Perekonomian Global ;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI, MENTERI DALAM NEGERI , MENTERI
PERINDUSTRIAN DAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR :
PER.16/MEN/X/2008, NOMOR : 49/2008, NOMOR : 922.1/M-IND/10/2008,
NOMOR : 39/M-DAG/PER/10/2008 TENTANG PEMELIHARAAN
MOMENTUM PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DALAM
MENGANTISIPASI PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL.

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Dan Menteri
Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008, Nomor : 922.1/M-
IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008, tentang Pemeliharaan Momentum
Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian
Global :

1. Mengubah ketentuan Pasal 2 sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2

Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut :

(a). Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan .

- Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum Lebaga Kerja


Sama ( LKS ) Tripartit Nasional dan Daerah serta Dewan Pengupahan Nasional
dan Daerah agar dalam merumuskan rekomendasi kebijakan ketenagakerjaan
senantiasa mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja, dengan
memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya.

- Upaya mendorong komunikasi Bipartit yang efektif antar unsur pekerja/buruh


dan pengusaha di perusahaan ;

- Upaya meningkatkan efektivitas mediasi penyelesaian perselisihan hubungan


industrial secara cepat dan berkeadilan serta pencegahan terjadinya pemutusan
hubungan kerja ;

(b). Menteri Dalam Negeri melakukan :

- Upaya agar Gubernur dan Bupati/Walikota dalam menetapkan segala kebijakan


ketenagakerjaan di wilayah mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan
bekerja, tanpa meninggalkan usaha untuk kenaikan pendapatan pekerja / buruh
menuju pemenuhan kebutuhan hidup layak dengan mempertimbangkan tingkat
inflasi, dengan cara meningkatkan komunikasi yang efektif dalam Lembaga
Kerjasama Tripartit Daerah, dan Dewan Pengupahan Daerah ;

- Upaya agar Gubernur dalam menetapkan Upah minimum dan segala kebijakan
ketenagakerjaan di wilayahnya senantiasa mendukung kelangsungan berusaha
dan ketenangan bekerja dengan memperhatikan kemampuan dunia usaha
khususnya usaha padat karya ;

- Upaya agar Gubernur dan Bupati/Walikota senantiasa mengoptimalkan peran,


fungsi dan pelaksanaan tugas pejabat fungsional ketenagakerjaan dan lembaga –
lembaga ketenagakerjaan lainnya.

(c). Menteri Perindustrian melakukan :

- Upaya peningkatan efisiensi proses produksi, optimalisasi kapasitas produksi


dan daya saing produk industri ;

- Penyusunan kebijakan penggunaan produksi dalam negeri dan melaksanakan


monitoring pelaksanaannya.
(d). Menteri Perdagangan melakukan :

- Upaya peningkatan pencegahan dan penangkalan penyeludupan barang –


barang dari luar negeri ;

- Upaya untuk memperkuat pasar dalam negeri dan promosi penggunaan produk
dalam negeri ;

- Upaya untuk mendorong ekspor hasil industri padat karya.

2. Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3

Gubernur dalam menetapkan upah minimum mempertimbangkan rekomendasi Dewan


Pengupahan Daerah dan atau Bupati / Walikota dengan memperhatikan kebutuhan hidup
layak para pekerja / buruh, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi daerah / wilayah.

Pasal II

Peraturan Bersama ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Nopember 2008

MENTERI TENAGA KERJA DAN MENTERI DALAM NEGERI, ,


TRANSMIGRASI,

ttd ttd

ERMAN SUPARNO H. MARDIYANTO

MENTERI PERINDUSTRIAN, MENTERI PERDAGANGAN

ttd ttd

FAHMI IDRIS MARI ELKA PANGESTU


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
4 September 2008

Yth. 1. Para Gubernur


2. Para Bupati/Walikota
di Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR: SE. 358/MEN/SJ-OKP/IX/2008

TENTANG

PEDOMAN PENATAAN KELEMBAGAAN PERANGKAT DAERAH BIDANG

KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

I. Pendahuluan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi


Perangkat Daerah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu mengeluarkan
surat edaran tentang pedoman penataan kelembagaan perangkat daerah untuk
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Pedoman
penataan dimaksud disusun mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan
kewenangan pemerintah pusat c.q. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dalam penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria
pembentukan kelembagaan/ Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian skala nasional. Sedangkan kewenangan
pemerintahan daerah dalam hal ini adalah melaksanakan pembentukan
kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian skala provinsi
atau skala kabupaten/kota.

Dalam membentuk kelembagaan SKPD, pemerintah daerah harus memperhatikan


kriteria pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 7 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, bahwa
urusan ketenagakerjaan adalah urusan wajib, sedangkan urusan ketransmigrasian
adalah urusan pilihan bagi pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan wajib dan
pilihan menjadi dasar penyusunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah.
Dalam menetapkan SKPD, pemerintah daerah harus memperhatikan faktor-faktor
yang dominan menjadi kebutuhan daerah dan dapat mempengaruhi bentuk
organisasi daerah bersangkutan. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007
menetapkan bahwa susunan organisasi Dinas Daerah propinsi dan kabupaten / kota
terdiri atas 1 (satu) Sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, Sekretariat
terdiri dari 3 (tiga) Subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari 3 (tiga) Seksi.
II. Organisasi perangkat daerah bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
Urusan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta
peraturan perundangan lainnya meliputi :

• Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan


• Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja;
• Penempatan Tenaga Kerja;
• Perluasan Kesempatan Kerja;
• Perlindungan Tenaga Kerja;
• Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
• Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
• Pengawasan Ketenagakerjaan.

Urusan ketransmigrasian dalam Undang–Undang Nomor 15 Tahun 1997 serta


peraturan perundangan lainnya meliputi :

• Pengarahan dan penempatan;


• Penyiapan permukiman;
• Pembinaan masyarakat dan kawasan transmigrasi.

III. Matriks Pedoman Kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)


(Terlampir)
Matriks Pedoman Penataan Kelembagaan SKPD Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian menjelaskan pokok-pokok:

• Urusan Pemerintahan;
• Besaran Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah;
• Rumusan Nomenklatur.

IV. Penutup
Penyusunan tugas-tugas bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian pada
pedoman ini menggunakan prinsip pola minimal namun untuk pelaksanaannya
diberikan kesempatan yang luas bagi masing-masing daerah untuk menyusun
organisasi perangkat daerahnya sesuai dengan kondisi, karakteristik serta
kemampuan masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan
organisasi perangkat daerah, antara lain faktor kemampuan keuangan dan sumber
daya manusia, sarana dan prasarana penunjang yang tersedia, serta sasaran tugas
yang harus diwujudkan.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Dr. Ir. Erman Suparno, M.B.A., M.Si.


Tembusan :

1. Presiden Republik Indonesia;


2. Menteri Dalam Negeri RI;
3. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara.
LAMPIRAN
SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.358/MEN/SJ-OKP/IX/2008
TENTANG
PEDOMAN PENATAAN KELEMBAGAAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (SKPD)
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAAN

URUSAN BESARAN ORGANISASI


NO RUMUSAN NOMENKLATUR KETERANGAN
PEMERINTAHAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

I KETENAGAKERJAAN PROVINSI /KABUPATEN/KOTA - DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


DAN KETRANSMIGRASIAN

II KETENAGAKERJAAN
SKPD Model 1 PROVINSI /KABUPATEN/KOTA
a. 3 (tiga) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja - Seluruh Indonesia
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Perencanaan dan Informasi Pasar kerja
- Seksi Pelatihan dan Produktivitas
- Seksi Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja

b. Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja


- Seksi Kelembagaan Hubungan Industrial dan Perselisihan
- Seksi Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- Seksi Persyaratan Kerja

c. Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan


- Seksi Pengawasan Norma Kerja.
- Seksi Pengawasan Norma Kerja Perempuan, Anak dan Cacat
- Seksi Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja

d. UPTD Bidang Pelatihan Tenaga Kerja


UPTD Bidang Produktivitas Tenaga Kerja
UPTD Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

b. 3 (tiga) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Produktivitas


(jika Dinas paling banyak 15 Dinas) - Seksi Pelatihan dan Pengembangan Produktivitas
- Seksi Pembinaan Instruktur dan Kompetensi
- Seksi Lembaga Latihan Tenaga Kerja

b. Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja


- Seksi Informasi Pasar Tenaga Kerja
- Seksi Penempatan Tenaga Kerja
- Seksi Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja

c. Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan


- Seksi Kelembagaan Hubungan Industrial dan Perselisihan
- Seksi Syarat Kerja, Pengupahan dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
- Seksi Pengawasan Norma Ketenagakerjaan

d. UPTD Bidang Pelatihan Tenaga Kerja


UPTD Bidang Produktivitas Tenaga Kerja
UPTD Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
URUSAN BESARAN ORGANISASI
NO RUMUSAN NOMENKLATUR KETERANGAN
PEMERINTAHAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

c. 2 (dua) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja


(jika Dinas paling banyak 12 Dinas) - Seksi Perencanaan dan Informasi Pasar Kerja
- Seksi Pelatihan dan Produktivitas
- Seksi Penempatan, Pengembangan dan Perluasan
Kesempatan Kerja

b. Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan


- Seksi Kelembagaan Hubungan Industrial dan Perselisihan
- Seksi Syarat Kerja, Pengupahan dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
- Seksi Pengawasan Ketenagakerjaan

c UPTD Bidang Pelatihan Tenaga Kerja


UPTD Bidang Produktivitas Tenaga Kerja
UPTD Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

III KETRANSMIGRASIAN

1 SKPD Model 2.a 1) PROVINSI


- Merupakan daerah pengirim
a. 1 (satu) Bidang Ketransmigrasian a Bidang Transmigrasi (Banten, DKI Jakarta, Jawa
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Pelayanan informasi Barat, Jawa Timur, Jawa
- Seksi Pengarahan Tengah, DI Yogyakarta, dan
- Seksi Perpindahan Bali)

b 1 (satu) Bidang Gabungan b. Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 15 Dinas) - Seksi Pelayanan Informasi dan Pengarah
- Seksi Perpindahan

c 1 (satu) Bidang Gabungan c Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 12 Dinas) - Seksi Transmigrasi

d. UPTD Pelatihan Transmigrasi


2) KABUPATEN/KOTA

1 (satu) Bidang Gabungan - Bidang Transmigrasi dan bidang lain


- Seksi Transmigrasi
URUSAN BESARAN ORGANISASI
NO RUMUSAN NOMENKLATUR KETERANGAN
PEMERINTAHAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

2 SKPD Model 2.b 1) PROVINSI - Merupakan daerah penerima


(Papua, Kalimantan,
a. 1 (satu) Bidang Ketransmigrasian b. Bidang Transmigrasi Sulawesi, NTT, NTB, Maluku
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Penyiapan dan Sumatera)
- Seksi Penempatan
- Seksi Pembinaan

b 1 (satu) Bidang Gabungan b. Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 15 Dinas) - Seksi Penyiapan dan Penempatan
- Seksi Pembinaan Kawasan Transmigrasi

c 1 (satu) Bidang Gabungan c Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 12 Dinas) - Seksi Transmigrasi

d. UPTD Pelatihan Transmigrasi

2) KABUPATEN/KOTA

a. 1 (satu) Bidang Ketransmigrasian a. Bidang Transmigrasi


(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Penyiapan Permukiman
- Seksi Penempatan
- Seksi Pembinaan Masyarakat dan Kawasan

b 1 (satu) Bidang Gabungan b. Bidang Transmigrasi dan bidang lain


(Jika Dinas paling banyak 12 dan 15 Dinas) - Seksi Penyiapan Permukiman dan Penempatan
- Seksi Pembinaan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

Jakarta, 4 September 2008

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

TTD

Dr. Ir. Erman Suparno, M.B.A., M.Si


Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA


ACT NUMBER 2 YEAR 2004
CONCERNING
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES SETTLEMENT

III - 57
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

III - 58
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

Contents

CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS III-65

CHAPTER II
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES III-68
Section One : Settlement Through the Bipartite Mechanism
Section Two : Settlement Through Mediation
Section One : Settlement Through Conciliation
Section One : Settlement Through Arbritation

CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-89
Section One : General
Section Two : Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme Court Judge
Section One : Sub-Registrar Office and Substitute Registrar
Section One : Settlement Through Arbritstion

CHAPTER IV
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-97
Section One : Settlement of Dispute by the Justice
Subsection 1 : Submission of Petition
Subsection 2 : Hearing with Ordinary Procedure
Subsection 3 : Hearing with Fast Procedure
Subsection 4 : Passing of Verdict
Section Two : Settlement of Dispute by Supreme Court Judge

III - 59
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTION AND
CRIMINAL PROVISIONS III-106
Section One : Administrative Sanction
Section Two : Criminal Provisions

CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS III-109

CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS III-109

III - 60
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

EXPLANATORY NOTES OF
ACT OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004

CONCERNING

THE INDUSTRIAL RELATIONS


ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA DISPUTES SETTLEMENT
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004
I. GENERAL
CONCERNING
Industrial Relations, meaning the inter-
linkage of interests between workers/labourers
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
and employers, have the potential of giving
SETTLEMENT rise to differences of opinion and even disputes
between the two sides.
Disputes in the field of industrial
relations up to now have been identified as
occurring with regard to predetermined rights,
or with regard to any manpower conditions
that have not been codified whether they are
BY THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY work agreements, company regulations,
collective labour agreements, or legislative
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF articles.
INDONESIA, Industrial disputes can also be caused
by termination of the work relationship. The
Considering: stipulation on layoffs that up to know has
been arranged under Act No.12 of 1984
a. That harmonious, dynamic, and fair industrial relations concerning the Termination of employment
need to be put into practice in an optimal manner in in Private Corporations, turns out to be no
accordance with Pancasila values; longer effective in preventing and resolving
cases involving layoffs. This is caused by the
b. That in the era of industrialization, the problem of fact that the relationship between the workers/
industrial disputes have become more frequent and labourers and employers is a relationship
complex, so that it is necessary to establish institutions based on agreement between the parties
involved to bind themselves within such a
and mechanisms for settlement of industrial disputes that
working relationship. In the event one party
are prompt, appropriate, just, and inexpensive; no longer wishes to be bound by such a work
c. That the Act No. 22 of 1957 concerning Settlement of relationship, it becomes difficult for the parties
Labour Disputes and Act No. 12 of 1964 concerning concerned to maintain harmonious relations.
For that reason it becomes necessary to find
Termination of Employment in Private Corporations is the best solution for both parties to agree on
no longer suitable with the needs of the society; the form of settlement, so that the Industrial
d. That based on considerations as were mentioned under Relations Court as arranged under this Act
will be able to resolve cases of termination
letters a, b, and c, there needs to be stipulated an Act that that are considered unacceptable by one of
calls for an arrangement of matters concerning Industrial the parties.
Dispute Settlement. In line with the era of openness and

III - 61
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

In view of: democratization in the world of industry as


manifested by the existence of freedom of
1. Article 5 subsection (1), Article 20, Article 24, Article association for the workers/labourers, the
25, Article 27 Subsections (1), as well as Article 28 D number of labour unions within a company
subsection (1) and subsection (2) of the 1945 Constitution may not be limited. Competition between
of the Republic of Indonesia; the labour unions in one company may result
in strife among those labour unions, and in
2. Act No 14 of 1970 on Principal Provisions of Judiciary general are linked to membership and
Power (State Gazette No. 74 of 1970, Republic of representation matters related to the
Indonesia, Addendum to the State Gazette No. 2951) as negotiations for drawing up a collective labour
agreement.
has been revised by Act No. 35 of 1999 on the Revision
of Act No. 14 of 1970 concerning the Principal Provisions Legislation that oversees the resolution
of industrial disputes up to now has not been
of Judiciary Power (State Gazette No. 147 of 1999, able to put into effect a quick, appropriate,
Republic of Indonesia, Addendum to the State Gazette just, and inexpensive way of settling disputes.
No. 3879); Act No. 22 of 1957 that all along has
3. Act No. 14 of 1985 on the Supreme Court (State Gazette been used as the legal basis for industrial
relations dispute settlement is felt no longer to
No. 73 0f 1985, Republic of Indonesia, Addendum to be able to accommodate the developments
the State Gazette No. 3316); that have occurred, as the rights of the
4. Act No. 2 of 1986 on the General Judiciary (State Gazette individual workers/labourers have not been
considered sufficiently important to allow
No 20 of 1986, Republic of Indonesia, Addendum to
them to be a party in industrial dispute
the State Gazette No. 3327); settlements.
5. Act No 21 of 2000 on Wokers/Labour Unions (State Act No. 22 of 1957 that all along has
Gazette No. 131 of 2000, Republic of Indonesia, been used as the legal basis for industrial
Addendum to the State Gazette No. 3989); relations dispute settlement only covers the
disputes involving rights and the collective
6. Act No. 13 of 2003 on Manpower (State Gazette No. 39 interest, whereas the settlement of industrial
of 2003, Republic of Indonesia, Addendum to the State disputes concerning workers/labourers
Gazette No. 4279); individually has not been accommodated.
Another quite fundamental matter is
the passage of the P4P decisions as being
By the joint approval between within the realm of the State Administrative
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF Agency, as stipulated by Act No. 5 of 1986
regarding the State Administrative Agency
THE REPUBLIC OF INDONESIA Judicial System. With the enactment of this
AND stipulation, the road to be traversed both by
the workers/labourers and the employers in
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA order to obtain justice have become
increasingly lengthy.
DECIDE: The best dispute resolution is settlement
by the parties involved in the disagreements
To stipulate: so that a result advantageous to both sides can
ACT CONCERNING INDUSTRIAL RELATIONS be attained. This bipartite settlement is
conducted through deliberations and
DISPUTES SETTLEMENT consensus between the two parties without
intervention by any other party whatsoever.
Nevertheless the government in its

III - 62
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

endeavors to provide public service, specifically to the community of workers/labourers


as well as employers has the obligation to facilitate the settlement of those industrial
disputes. Efforts at facilitation are carried out through providing the services of a
mediator assigned to reconcile the interests of the two disputing parties.
With the onset of the democratization era in all fields, the involvement of society
in industrial relations dispute settlement should be accommodated, through conciliation
or arbitration.
Dispute settlement through arbitration in general has been codified through the
Act No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlements that
is in effect for commercial disputes. For that reason arbitration in industrial relations
as arranged under this Act is a special solution for dispute settlement in the field of
industrial relations.
With the considerations as outlined above, this Act should oversee settlement of
industrial disputes caused by:
a. differences of opinion or interests on labour conditions that have not been covered
through work agreements, corporate regulations, collective labour agreements, or
legislation.
b. negligence or disregard by one or both parties in carrying out the normative
stipulations as spelled out within the work agreement, company regulations,
collective labour agreement, or enacted legislation.
c. termination of the work relationship.
d. differences of opinion among the trade unions within one company regarding the
implementation of union rights and obligations.
With the range of material concerning industrial disputes as mentioned above,
this Act will include the main topics as follows.
1. The arrangements in resolving industrial disputes that occur both in private
corporations or companies under the aegis of state-owned enterprises (BUMN).
2. The parties involved in these matters are workers/labourers as individuals or as
members of trade union organizations against the employers or employers’
organizations. The parties involved in these cases may also be trade unions facing
other trade unions within a single corporation.
3. Each industrial dispute initially should be settled through deliberations leading to
consensus by the parties in disagreement (in a bipartite manner).
4. In the event deliberations by the parties in dispute (bipartite) fail, then one party
or both parties can register the dispute at the agency responsible for handling local
manpower matters.
5. Disputes concerning differing interests. Disputes arising out of the Termination of
Work Relations or disputes among trade unions that have been registered with the
responsible agency in manpower matters may be settled through conciliation or an
agreement between the two parties, while resolution of disputes through arbitration
can only be for disputes of differing interests and disputes between trade unions. In
the event there is no agreement attained by the two sides to settle their differences
through conciliation or arbitration, then before the case is submitted to the Industrial
Relations Court, firstly mediation should be attempted. This is meant to avoid an
excess of industrial relations dispute cases in the judicial system.
6. Disputes over Rights that have been registered at the agency responsible for the
manpower sector cannot be resolved through conciliation or arbitration, but
before they are submitted to the Industrial Relations Court, must go through a

III - 63
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

mediation process.
7. In cases where Mediation or Conciliation do not achieve a settlement manifested
through a common agreement, then one of the parties can submit a legal action
case to the Industrial Relations Court.
8. Resolution of Industrial Relations Disputes through arbitration is conducted
through an agreement between the parties and cannot be submitted as a legal
action case to the Industrial Relations Court, as an arbitration decision is considered
final and permanent, except in special cases where a cancellation has been submitted
to the Supreme Court.
9. The Industrial Relations Court exists within the realm of the general judicial
system and is established at the District Court in a phased manner and at the
Supreme Court.
10.In order to guarantee a prompt, appropriate, just, and inexpensive settlement, the
resolution of industrial disputes through the Industrial Relations Court within the
general judicial system, is limited in its processes and stages by not providing an
opportunity for appeal to the High Court. The decision of the Industrial Relations
Court arriving at the District Court level, involving disputes over rights and
disputes over termination of work can be directly filed as a supreme court to the
Supreme Court. Whereas a decision of the Industrial Relations Court arriving at
the District Court, involving conflicts over interests and disputes between trade
unions within a corporation is a first-level and final decision that cannot be filed
as a supreme court to the Supreme Court.
11.The Industrial Relations Court that reviews and adjudicates industrial relations
disputes is composed of a Panel of Judges comprising 3 (three) members, namely
a District Court judge and 2 (two) Ad-Hoc Judges, whose appointments are
proposed by the employers organization and workers/labour organization.
12.The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level
concerning disputes of differing interests and disputes between trade unions within
one corporation cannot be filed as an appeal to the Supreme Court.
13.In order to uphold the law, sanctions are imposed in order to function as stronger
methods of coercion so that the stipulations within this Act may be obeyed.

III - 64
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

CHAPTER I II. ARTICLE BY ARTICLE

GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
ARTICLE 1
Numbers 1 through 21
Under this Act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear.
1. An Industrial Relations Dispute is a difference of opinion
resulting in a dispute between employers or an association
of employers with workers/labourers or trade unions due
to a disagreement on rights, conflicting interests, a dispute
over termination of employment, or a dispute among trade
unions within one company.
2. Dispute over rights is a dispute arising over the non-
fulfillment of rights, as a result of differences in
implementation or interpretation concerning the laws and
regulations, work agreements, company regulations, or
the collective labour agreement.
3. Dispute over interest is a dispute arises in the work
relationship due to non-convergence of opinions in the
drawing up of, and/or changes in the work requirements
as stipulated in the working agreement, or company
regulations, or collective labour agreement.
4. A dispute over termination of employment is a dispute
arising from the lack of convergence of opinions regarding
the termination of employment as conducted by one of
the parties.
5. A dispute among trade unions is dispute between one
trade union and another trade union within one company,
due to the fact there is non-convergence regarding
membership, implementation of rights, and obligations
to the union.
6. An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.

III - 65
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

7. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
8. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/ labourers either within
an enterprise or outside of an enterprise, which is free,
open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
9. A worker/labourer is any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
10. Bipartite bargaining is meeting between the workers/
labourers or trade unions and the employers to resolve
disputes in industrial relations.
11. Industrial Relations Mediation that hereinafter referred
as to mediation is the settlement of disputes over rights,
conflict over interests, disputes over termination of the
work relationship, and disputes between worker/labour
unions within one company only through deliberations
that are interceded by one or more mediators who are
neutral.
12. An Industrial Relations Mediator that hereinafter referred
as to a mediator is a government agency employee
responsible for the manpower field who meet the
requirements as a mediator, and is appointed by the
Minister for the duty of carrying out mediation and has
an obligation to provide a written recommendation to
the parties in dispute in order to resolve disagreements
over rights, conflict over interests, disputes over
termination of working relationships, and disputes
between trade unions within one company.
13. Industrial Relations Conciliation that hereinafter referred
as to conciliation is the settlement of disputes over interests,

III - 66
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

disagreements over termination of work relationships, or


disputes between trade unions within one company only,
through deliberations interceded by one or more neutral
conciliators.
14. An Industrial Relations Conciliator who hereinafter
referred as to a conciliator is one or more persons who
meet the requirements as a conciliator and is appointed
by the Minister, who is assigned to carry out conciliation
and is obliged to give a written recommendation to the
parties in dispute to resolve the disagreements over
interests, dispute over termination of the work relationship,
or a dispute between the trade unions within a single
company.
15. Industrial Relations Arbitration that hereinafter referred
as to arbitration is the resolution of a dispute over interests,
and disputes between trade unions within one company
only, outside the Industrial Relations Court through a
written agreement from the parties in dispute who agree
to submit the settlement of the dispute to an arbiter whose
decision is binding on the parties involved and is final.
16. An Industrial Relations Arbiter who hereinafter referred
as to an arbiter is one or more persons selected by the
parties in dispute from a list of arbiters named by the
Minister to provide a decision on disputes over interests,
and disputes between trade unions within one company
only, with the settlement handed over to arbitration where
the decision is binding on the parties and is final.
17. An Industrial Relations Court is a special court established
within the aegis of the District Court that has the authority
to review, bring to court and provide a verdict concerning
an industrial relations dispute.
18. A Judge is a District Court Career Judge who is assigned
to the Industrial Relations Court.
19. Ad Hoc Judges are ad-hoc judges at the Industrial
Relations Court and ad-hoc judges at the Supreme Court
whose appointments are upon the proposal of the trade
unions and the employer’s organization.
20. Supreme Court Judges are Judges and Ad-Hoc Judges at
the Supreme Court who have the authority to review, bring
to court, and produce a verdict on industrial relations

III - 67
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

disputes.
21. Minister is the minister responsible for manpower affairs.

ARTICLE 2 Article 2
Letter a
The types of Industrial Relations Disputes cover: A dispute over rights is a disagreement
a. disputes of rights; concerning normative rights that has been
determined by a work agreement, company
b. disputes of interests; regulations, collective labour agreement, or
c. disputes over termination of employment; and laws and regulations.
Letter b
d. disputes among trade unions within one company. Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
CHAPTER II Letter d
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF Sufficiently clear.

INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES

ARTICLE 3 ARTICLE 3
Subsection (1)
(1) Industrial relations disputes are required to be resolved The definition of bipartite bargaining
first through bipartite bargaining in deliberation to reach in this article is negotiations between the
consensus. employers or assemblage of employers with
the workers or trade unions, or among one
(2) Settlement of disputes through bipartite mechanism as trade union with another trade union within
stipulated in subsection (1) must be settled at the latest one corporation, who are in disagreement.
within 30 (thirty) working days from the commencement
of negotiations. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(3) In the event that within a time frame of 30 (thirty) days
as stipulated in subsection (2), one party refuses to Subsection (3)
continue negotiations or there had been bargaining which Sufficiently clear.
did not result in agreement, then the bipartite meetings
will be considered to have failed.

ARTICLE 4 ARTICLE 4
Subsection (1)
(1) In the event the bipartite bargaining failed as stipulated Sufficiently clear.
in Article 3 subsection (3), then one or both of the parties
can file their dispute to the local authorized manpower Subsection (2)
Sufficiently clear.
offices, and attaching proof that efforts to resolve the
dispute through bipartite bargaining have been Subsection (3)
conducted. The stipulations within this article
(2) In the event the proofs as stipulated in subsection (1) provide the freedom for the parties in dispute
to freely select the method of dispute settlement
were not attached, then the authorized manpower offices that they wish.
will return the dossier to be made complete at the latest

III - 68
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

within 7 (seven) working days from the date the dossier Subsection (4)
was returned. Sufficiently clear.

(3) After receiving a written report from one or both parties, Subsection (5)
the local authorized manpower offices is required to offer Sufficiently clear.
to both parties a Collective Agreement to select a
Subsection (6)
settlement through conciliation or arbitration. Sufficiently clear.
(4) In the event the parties do not select settlement through
conciliation or arbitration within 7 (seven) working days,
then the authorized manpower offices will transfer
settlement of the dispute to a mediator.
(5) Settlement through conciliation is conducted for resolution
of disputes over interests, disputes on termination of work
relationships, or disputes among trade unions.
(6) Settlement through arbitration is conducted for resolution
of disputes over interest or disputes among trade unions.

ARTICLE 5 ARTICLE 5
In cases where an attempt at settlement through Sufficiently clear.
conciliation or mediation does not result in agreement, then
one of the parties can file a legal petition to the Industrial
Relations Court.

SECTION ONE
SETTLEMENT THROUGH THE BIPARTITE MECHANISM

ARTICLE 6 ARTICLE 6
Sufficiently clear.
(1) Every bargaining as meant in Article 3 must be evidenced
by a minutes signed by the parties.
(2) The minutes of the bargaining as mentioned in subsection
(1) must at the least contain:
a. full names and addresses of the parties;
b. date and venue of the bargaining;
c. agenda or reasons underlying the dispute;
d. the positions of each party;
e. a summary or results of the bargaining; and
f. date and signatures of the parties involved in the
bargaining.

III - 69
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 7 ARTICLE 7
Sufficiently clear.
(1) In the event that the bargaining as stipulated in Article 3
reach an agreement for settlement, then a Collective
Agreement is drawn up and signed by the parties.
(2) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is binding and become the law and must be performed
by the parties.
(3) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is required to be registered by the parties to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
parties conducted the Collective Agreement.
(4) The Collective Agreement that has been registered as
mentioned in subsection (3) will be provided with a
Collective Agreement registration deed that will be an
inseparable part of the Collective Agreement.
(5) In the event that the Collective Agreement as mentioned
under subsection (3) and subsection (4) is not
implemented by one of the parties, then the party suffering
injury can file a petition for execution to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
Collective Agreement was registered, in order to obtain
an order for execution.
(6) In the case the petitioner for execution is domiciled outside
the jurisdiction of the District Court where the Collective
Agreement was registered as mentioned in subsection (3),
then the petitioner can submit a request for court order
through the Industrial Relations Court in the District
Court at the domicile of the petitioner to be forwarded to
an Industrial Relations Court in the District Court having
the competency to conduct the execution.

SECTION TWO
SETTLEMENT THROUGH MEDIATION

ARTICLE 8 ARTICLE 8
Settlement of a dispute through mediation is carried out Sufficiently clear.
by a mediator which present at each manpower office at the
District/City level.

III - 70
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 9 ARTICLE 9
As the mediator is a government civil
A mediator as meant by Article 8 must meet the following
servant, thus besides the requirements
requirements: mentioned in this article, there must also be
a. believe and subservient to God Almighty; some consideration of other stipulations that
cover civil servants in general.
b. Indonesia citizen;
c. physically healthy according to a doctor’s certificate;
d. mastering manpower laws and regulations;
e. has dignity, honesty, fair and good reputation;
f. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1); and
g. other requirements as determined by the Minister.

ARTICLE 10 ARTICLE 10

At the latest within 7 (seven) working days of receiving Sufficiently clear.


the transfer of responsibility for settlement of the dispute, the
mediator must have conducted an investigation of the case
and immediately prepare a mediation hearing.

ARTICLE 11 ARTICLE 11
Subsection (1)
(1) The mediator may summon witnesses or expert witnesses The expert witness mentioned in this
to attend the mediation hearing to request and hear the Article is one with special expertise in his/her
information. field, including Labour Inspectors.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons Subsection (2)
has a right to receive compensation for transport and Sufficiently clear.
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.

ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the mediator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others the register of
including opening the books and showing necessary wages or orders for overtime work and other
documents. documents, carried out by persons named by
the mediator.
(2) In cases where the information needed by the mediator
has some connection with someone who due to his position Subsection (2)
must preserve confidentiality, then procedures must be As in certain positions, based on laws
and regulations, secrecy must be preserved,
undertaken as arranged under the prevailing laws and thus requests for information submitted to
regulations. persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure

III - 71
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(3) The mediator must preserve the confidentiality of all Example: In cases that concern someone
information requested as meant under subsection (1). making a request for information about
another party’s bank account details that
request will only be met by bank officials if
there is permission from the Bank Indonesia
or from the owner of the account himself/
herself (Act No. 10 of 1998 on Banking).
Likewise there is also the stipulation
under Act No. 7 of 1971 concerning the
Primary Regulations on Archival Materials
etc.

Subsection (3)
Sufficiently clear.

ARTICLE 13 ARTICLE 13
Subsection (1)
(1) In the event an agreement to settle industrial relations Sufficiently clear.
dispute through mediation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties Subsection (2)
and witnessed by the mediator, as well as being registered Letter a
What is meant by a written
at the Industrial Relations Court in the District Court recommendation is an opinion or suggestion
within the jurisdiction where the parties conducting the in writing that is proposed by the mediator to
Collective Agreement, in order to obtain a registration the parties involved as an effort to obtain a
deed. settlement of their dispute.
Letter b
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the Sufficiently clear.
industrial dispute through mediation, then: Letter c
a. the mediator will issue a written recommendation; Sufficiently clear.
Letter d
b. the written recommendation as mentioned under letter Sufficiently clear.
a, at the latest within 10 (ten) working days after the Letter e
first mediation session was held, must be conveyed to Sufficiently clear.
both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the mediator with the contents indicating whether they
accept or reject the written recommendation at the
latest within 10 (ten) working days after receiving the
written recommendation;
d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written

III - 72
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

recommendation being agreed upon, the mediator Subsection (3)


must have completed work in assisting the parties to Sufficiently clear.
draw up a Collective Agreement and register at the
Industrial Relations Court in the District Court within
the jurisdiction where the parties conducted their
Collective Agreement in order to obtain a registration
deed.
(3) The registration of the Collective Agreement at the
Industrial Relations Court in the District Court as
mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e,
will be carried out as follows:
a. The Collective Agreement that has been registered will
be given a proof of registration deed and constitutes
an inseparable part of the Collective Agreement;
b. in the case of the Collective Agreement as mentioned
in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being
performed by one of the parties, then the party
suffering injury may submit a petition for execution
to the Industrial Relations Court in the local District
Court where the Collective Agreement was registered
in order to obtain an order for execution;
c. in the event of the petitioner for court action is
domiciled outside the jurisdiction of the Industrial
Relations Court at the District Court where the
Collective Agreement was registered, then the
petitioner may submit the petition through the
Industrial Relations Court in the District Court at the
domicile of the petitioner, to be forwarded to the
Industrial Relations Court in the District Court having
competence in conducting the execution.

ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) In the case of the written recommendation as meant in Sufficiently clear.
Article 13, subsection (2), letter a, being rejected by one
or both of the parties, then the parties or one of the parties Subsection (2)
may continue to file settlement of the dispute to the The stipulation on taking legal action
as arranged under this subsection is in
Industrial Relations Court in the local District Court. accordance with the procedures for resolving
(2)The settlement of the dispute as mentioned in subsection civil cases at the general judiciary.
(1) is conducted through a petition by one of the parties
to the Industrial Relations Court in the local District
Court.

III - 73
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 15 ARTICLE 15
Sufficiently clear.
The mediator must complete his duties at the latest
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received, as
mentioned in Article 4 subsection (4).

ARTICLE 16 ARTICLE 16

The provisions concerning the procedures for Sufficiently clear.


appointment and termination of the mediator and the work
procedures of mediation shall be regulated with a Ministerial
Decision.

SECTION THREE
SETTLEMENT THROUGH CONCILIATION

ARTICLE 17 ARTICLE 17
Settlement of a dispute through conciliation is conducted Sufficiently clear.
by a conciliator registered at the manpower offices at the
District/City level.

ARTICLE 18 ARTICLE 18
Sufficiently clear.
(1) Settlement of disputes over interests, disputes over
termination of employment or disputes between trade
unions within one company, through conciliation is
carried out by a conciliator whose work area covers the
place of work of the workers/labourers.
(2) Settlement by a conciliator as mentioned in subsection
(1) is conducted after the parties submit a request for
settlement in a written to a conciliator appointed and
agreed by the parties.
(3) The parties may know the name of the chosen and agreed
conciliator from a list of conciliators’ names posted and
announced at the local Government office responsible for
manpower affairs.

ARTICLE 19 ARTICLE 19
Subsection (1)
(1) The conciliator, as mentioned in Article 17, must meet Letter a
these requirements: Sufficiently clear.
Letter b
a. believe and subservient to God Almighty.
Sufficiently clear.
b. Indonesia citizen;

III - 74
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

c. minimal 45 years of age; Letter c


Sufficiently clear.
d. has a level of education of at least university or bachelor Letter d
degree (S1); Sufficiently clear.
e. physically healthy according to a doctor’s certificate; Letter e
Sufficiently clear.
f. has dignity, honesty, fair, and good reputation; Letter f
g. has experience in the industrial relations field for at Sufficiently clear.
Letter g
least 5 (five) years; Sufficiently clear.
h. Mastering manpower laws and regulations; and Letter h
Sufficiently clear.
i. other requirements as determined by the Minister. Letter i
(2) The registered conciliators as mentioned in subsection What is meant by other requirements
(1) will be given a legitimization by the Minister or the under this letter i is among others:
arrangements on the standard of competence
authorized official on manpower affairs.
of the conciliator, training of the apprentices
or conciliators, selection of apprentice
conciliators, and other technical matters.

Subsection (2)
Sufficiently clear.

ARTICLE 20 ARTICLE 20
Sufficiently clear.
Within maximum of 7 (seven) working days after
receiving the request for dispute settlement in written, the
conciliator must have conducted an investigation regarding
the case and at the latest by the eighth working day, the first
conciliation session must have been held.

ARTICLE 21 ARTICLE 21
Sufficiently clear.
(1) The conciliator may summon witnesses or expert witnesses
to attend the mediation hearing to request and hear the
information.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons
has a right to receive compensation for transport and
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.

ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the conciliator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others records of wages
including opening the books and showing necessary or orders for overtime work and other matters

III - 75
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

documents. conducted by persons named by the


conciliator.
(2) In cases where the information needed by the conciliator
has some connection with someone who due to his position Subsection (2)
must preserve confidentiality, then procedures must be As in certain positions, based on the laws
undertaken as arranged under the prevailing laws and and regulations, secrecy must be preserved,
thus requests for information submitted to
regulations. persons in those positions acting as expert
(3) The conciliator must preserve the confidentiality of all witnesses must follow a predetermined
information requested as meant under subsection (1). procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about another party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking).
Similarly there is also the
stipulation under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.

Subsection (3)
Sufficiently clear.

ARTICLE 23 ARTICLE 23
Sufficiently clear.
(1) In the event an agreement to settle industrial relations
dispute through conciliation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties
and witnessed by the conciliator, as well as being registered
at the Industrial Relations Court in the District Court
within the jurisdiction where the parties conducting the
Collective Agreement, in order to obtain a registration
deed.
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the
industrial dispute through conciliation, then:
a. the conciliator will issue a written recommendation;
b. the written recommendation as mentioned under letter
a, at the latest within 10 (ten) working days after the
first conciliation session was held, must be conveyed
to both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the conciliator with the contents indicating whether
they accept or reject the written recommendation at
the latest within 10 (ten) working days after receiving

III - 76
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

the written recommendation;


d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written
recommendation being agreed upon, the conciliator
must have completed work in assisting the parties to
draw up a Collective Agreement and register at the
Industrial Relations Court in the District Court within
the jurisdiction where the parties conducted their
Collective Agreement in order to obtain a registration
deed.
(3) The registration of the Collective Agreement at the
Industrial Relations Court in the District Court as
mentioned in subsection (1) and subsection (2), letter e,
will be carried out as follows:
a. The Collective Agreement that has been registered will
be given a proof of registration deed and constitutes
an inseparable part of the Collective Agreement;
b. in the case of the Collective Agreement as mentioned
in subsection (1) and subsection (2), letter e, not being
performed by one of the parties, then the party
suffering injury may submit a petition for execution
to the Industrial Relations Court in the local District
Court where the Collective Agreement was registered
in order to obtain an order for execution;
c. in the event of the petitioner for court action is
domiciled outside the jurisdiction of the Industrial
Relations Court at the District Court where the
Collective Agreement was registered, then the
petitioner may submit the petition through the
Industrial Relations Court in the District Court at the
domicile of the petitioner, to be forwarded to the
Industrial Relations Court in the District Court having
competence in conducting the execution.

III - 77
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 24 ARTICLE 24
Sufficiently clear.
(1) in the case of the written recommendation as meant in
Article 23 subsection (2) letter a being rejected by one or
both of the parties, then one or both parties may continue
to settle the dispute to the Industrial Relations Court in
the local District Court.
(2) Settlement of the dispute as mentioned in subsection (1)
is implemented through a petition by one of the parties.

ARTICLE 25 ARTICLE 25
The conciliator must complete his duties at the latest Sufficiently clear.
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received.

ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear.
(1) The conciliator is entitled to receive honorarium for services
rendered based on dispute settlement to be borne by the
state.
(2) The amount of honorarium as mentioned in subsection
(1) will be determined by the Minister.

ARTICLE 27 ARTICLE 27
Sufficiently clear.
The conciliator’s performance within a certain period will
be monitored and assessed by the Minister or government
official on manpower affairs.

ARTICLE 28 ARTICLE 28
The procedures for candidate registration, appointment Sufficiently clear.
and revocation of conciliator license, and work procedures of
conciliation will be regulated with a Ministerial Decision.

SECTION FOUR
SETTLEMENT THROUGH ARBITRATION

ARTICLE 29 ARTICLE 29
Settlement of industrial relations dispute through Sufficiently clear.
arbitration will include disputes over interests and disputes
among workers /labour unions within one company.

III - 78
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 30 ARTICLE 30
Subsection (1)
(1) The arbiter with authority to settle industrial relations The stipulation contained within this
disputes must be an arbiter who has been determined by Article is meant to protect the interests of society,
the Minister. and for that reason not every person can act as
an arbiter.
(2) Work area of the arbiter covers the entire territory of the
Republic of Indonesia. Subsection (2)
Sufficiently clear.

ARTICLE 31 ARTICLE 31
Subsection (1)
(1) In order to be appointed as arbiter as mentioned in Article Letter a
30 subsection (1) the person must meet the following Sufficiently clear.
requirements : Letter b
Sufficiently clear.
a. Believe and subservient to God Almighty; Letter c
b. Competent to do legal action; Sufficiently clear.
Letter d
c. Indonesia citizen; Sufficiently clear.
d. has a level of education of at least university or bachelor Letter e
degree (S1); Sufficiently clear.
Letter f
e. at least forty-five (45) years of age; Bearing in mind that the arbiter’s
f. physically healthy according to a doctor’s certificate; decision is binding to all parties and is final
and permanent in nature, the arbiters must
g. mastering manpower laws and regulations as proven be those competent in their field, so that the
by a certificate or proof of passing an arbitration trust given by the parties involved is not
examination; and meaningless.
Letter g
h. has at least five (5) years experience in the field of Sufficiently clear.
industrial relations.
(2) Provisions concerning examination and procedures for Subsection (2)
Sufficiently clear.
arbiter registration will be regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 32 ARTICLE 32
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute through
an arbiter will be performed on the basis of agreement by
the disputing parties.
(2) Agreement of the parties as meant in subsection (1) will
be declared in writing through a letter of arbitration
agreement, made in three (3) copies wherein each party
is to receive one (1) copy with the same legal power.
(3) The arbitration agreement as meant in subsection (2) at

III - 79
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

the least contain:


a. full names and addresses or domicile of the disputing
parties;
b. main issues underlying the dispute to be handed over
to arbitration for settlement;
c. number of arbiters agreed upon;
d. a statement of the disputing parties to comply with
and implement the arbitration decision; and
e. the place and date of drawing up the agreement and
signatures of the disputing parties.

ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear.
(1) In the event of the parties having signed the arbitration
agreement as mentioned in Article 32 subsection (3), the
parties are entitled to choose an arbiter from a list of arbiters
determined by the Minister.
(2) The disputing parties may designate a single arbiter or
several arbiters (council) of an odd number of at least three
(3) persons.
(3) In the event that the parties agree to designate a single
arbiter, the parties must reach an agreement at the latest
within seven (7) working days on the name of the arbiter.
(4) In the event that the parties agree to appoint several
arbiters (council) in odd number, each party is entitled
to choose an arbiter at the latest within three (3) days,
while the third arbiter will be decided by the designated
arbiters at the latest within seven (7) days to be appointed
chairman of the Arbitration Council.
(5) Appointment of the arbiters as mentioned in subsections
(3) and (4) will be performed in writing.
(6) In the event that the parties are not in agreement over the
appointment of an arbiter whether a single arbiter or
several arbiters (council) of odd number as meant in
subsection (2), then upon the request of one of the parties
the Head of the Court may appoint an arbiter from the
list of arbiters determined by the Minister.
(7) An arbiter, who is requested by the parties, is required to
notify the parties of any matter that might affect his
independence or may result in imbalance in any

III - 80
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

adjudication to be made.
(8) Any person who accepts appointment as arbiter as
mentioned in subsection (6) must notify the parties in
writing of his acceptance.

ARTICLE 34 ARTICLE 34
Sufficiently clear.
(1) An arbiter who is willing to be appointed as mentioned
in Article 33 subsection (8) will draw up an agreement of
arbiter appointment with the disputing parties.
(2) The agreement of arbiter appointment as mentioned in
subsection (1) shall at least contain the following:
a. full names and addresses or domiciles of the disputing
parties and arbiter;
b. main issues underlying the dispute and handed over
to the arbiter to settle and make the decision;
c. arbitration costs and arbiter honorarium;
d. a statement made by the disputing parties to abide by
and implement the arbitration decision;
e. place, date of drawing up the agreement letter and
signatures of the disputing parties and arbiter;
f. a statement by arbiter or arbiters that they will not go
beyond their authority in settlement of the case that
they are handling; and
g. no blood or marriage relationship up to the second
degree, with one of the disputing parties.
(3) The arbiter agreement as meant in subsection (2) will be
made in at least three (3) copies, in which each party and
the arbiter will receive one (1) copy having similar legal
power.
(4) In the event of arbitration being performed by several
arbiters, the original copy of the agreement will be
submitted to the Chairman of the Arbiter Council.

ARTICLE 35 ARTICLE 35
Sufficiently clear.
(1) In the event of the arbiter accepts his appointment and
sign an agreement as mentioned in Article 34 subsection
(1), then the concerned arbiter may not withdraw, unless
upon approval of the parties.

III - 81
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(2) The arbiter who intends to withdraw as meant in


subsection (1) must make a written request to the parties.
(3) In the event of the parties approve the request to withdraw
as mentioned in subsection (2), the arbiter may be released
from duties as arbiter in settlement of the case.
(4) In the case of the request to withdraw is not approved by
the parties, the arbiter must make a request to the
Industrial Relations Court to be released from duties as
arbiter by stating an acceptable reason.

ARTICLE 36 ARTICLE 36
Subsection (1)
(1) In the event of a single arbiter withdraw or pass away, Sufficiently clear.
then the parties must appoint a replacement based on
the approval of both parties. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(2) In the event of the arbiter designated by the parties
withdraw or pass away, appointment of a replacement will Subsection (3)
be left to the party designating the arbiter. Sufficiently clear.

(3) In the event of a third arbiter chosen by the arbiters Subsection (4)
withdraw or pass away, the arbiters must appoint a Sufficiently clear.
substitute arbiter based on agreement of arbiters.
Subsection (5)
(4) The parties or the arbiters as mentioned in subsection An arbiter appointed by the Court shall
(1), subsection (2) and subsection (3) must reach an not be an arbiter who in the past was rejected
agreement to designate a substitute arbiter at the latest by the parties or the arbiters, but instead must
within seven (7) working days. be a different arbiter.

(5) In the event the parties or the arbiters fail to reach an


agreement as mentioned in subsection (4), then the parties
or one of the parties or one of the arbiters or the arbiters
may request to the Industrial Relations Court to determine
a substitute arbiter and the Court must determine a
substitute arbiter at the latest within seven (7) working
days from the date of receipt of request for substitute
arbiter.

ARTICLE 37 ARTICLE 37
What is meant by accepting the result
The substitute arbiter as mentioned in Article 36 shall
attained is that a replacement arbiter is bound
make a statement of willingness to accept the results that have by the result reached by the previous arbiter
been achieved and to continue settlement of the case. as reflected in the report of activities leading
to dispute settlement.

III - 82
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear.
(1) The arbiter appointed by the parties based on the
arbitration agreement may file objections to the District
Court if sufficient reasons and authentic proof exist that
raise doubt that the arbiter will not carry out his duties
independently and show imbalance making a decision.
(2) Claim of breach against the arbiter may also be filed when
sufficient proof exists that there is a family or work
relationship with one of the parties or their proxy.
(3) No appeal may be filed against adjudication of the District
Court on claim of breach.

ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear.
(1) Claim of breach against the arbiter that is appointed by
the Head of the Court shall be directed to the Head of
the Court.
(2) Claim of breach against a single arbiter agreed shall be
filed to the concerned arbiter.
(3) Claim of breach against a member of the approved arbiter
council shall be filed to the concerned arbiter council.

ARTICLE 40 ARTICLE 40
Subsection (1)
(1) The arbiter is required to settle industrial relations disputes In the event there is a change in arbiters,
at the latest within thirty (30) working days commencing then the time frame for the change to take
from the date of signing a letter of agreement for arbiter effect is 30 (thirty) working days from the
time the replacement arbiter signed the
appointment. arbitration agreement.
(2) Examination of disputes must commence within three
(3) working days at the latest after the date of signing a Subsection (2)
Sufficiently clear.
letter of agreement of arbiter appointment.
(3) Based on the agreement of the parties, the arbiter will Subsection (3)
have authority to extend the time period to settle the Sufficiently clear.
industrial relations dispute at the latest for one (1) period
of fourteen (14) working days.

ARTICLE 41 ARTICLE 41
Examination of industrial relations dispute by the arbiter Sufficiently clear.
or arbiter council will be made behind closed doors unless
otherwise preferred by the disputing parties.

III - 83
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 42 ARTICLE 42
What is meant by a special letter of
In the arbitration session, the disputing parties may be
authorization in this Article is the authority
represented by their authorized representatives with a special given by the parties in dispute as the powers
letter of authority. providing authority to someone, or more to
be their proxy in order to conduct legal actions
or other actions related to the case mentioned
specifically in the said letter of authorization.

ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) In the event that on the session is held, the disputing What is meant by “summoned in a
parties or their authorized representatives are not present reasonable manner” in this Subsection is that
without valid reason, despite proper summon has been the parties involved have been summoned 3
made, the arbiter or arbiter council may cancel the (three) times in succession, with each one
respectively lasting for a time span of 3 (three)
agreement of arbiter appointment, and the duties of the days.
arbiter or arbiter council are considered completed.
(2) In the event that on the first day of session and further Subsection (2)
Sufficiently clear.
session, one of the parties or their authorized
representatives is absent without valid reason, despite Subsection (3)
proper summon has been made, the arbiter or arbiter Sufficiently clear.
council may examine the case and issue an adjudication
without the presence of one party or their authorized
representative.
(3) In the event of costs being incurred with regard to the
agreement of arbiter appointment before cancellation of
the agreement by the arbiter or arbiter council as
mentioned in subsection (1), the parties can not request
the returning of the fee.

ARTICLE 44 ARTICLE 44
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute by an
arbiter must commence with efforts to make peace
between the parties.
(2) In the event of the peaceful settlement as meant in
subsection (1) is achieved, the arbiter or arbiter council is
required to draw up a Settlement Deed signed by the
parties and arbiter or arbiter council.
(3) The Settlement Deed as mentioned in subsection (2) shall
be registered at the Industrial Relations Court in the local
District Court where the arbiter made the settlement
efforts.

III - 84
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(4) Registration of the Settlement Deed as mentioned in


subsection (3) will be carried out as follows;
a. The Settlement Deed that has been registered will be
provided with a proof of registration deed and
constitutes an inseparable part of the Settlement Deed;
b. In the event of the Settlement Deed is not
implemented by one of the parties, the party suffering
injury may file a petition to the Industrial Relations
Court in the local District Court where the Settlement
Deed was registered in order to obtain an order for
execution;
c. In the case of the petitioner is domiciled outside the
jurisdiction of the Industrial Relations Court in the
District Court where the Settlement Deed was
registered, then the petitioner may file the petition
through the Industrial Relations Court in the District
Court in the petitioner domicile to be forwarded to
the Industrial Relations Court in the District Court
having competency to conduct execution.
(5) In the event of peaceful settlement efforts mentioned in
subsection (1) fail, the arbiter or arbiter council shall
continue the arbitration session.

ARTICLE 45 ARTICLE 45
Sufficiently clear.
(1) During the arbitration session the parties will be given
opportunities to explain in writing or verbally, their
respective opinions, and to submit evidence considered
necessary to reinforce their opinions within a period of
time determined by the arbiter or arbiter council.
(2) The arbiter or arbiter council is entitled to request the
parties to submit additional written explanation,
documents or other evidences deemed necessary within a
period of time determined by the arbiter or arbiter council.

ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear.
(1) The arbiter or arbiter council may summon one or more
witnesses or expert witnesses to provide information.
(2) Before giving information, the witness or expert witness
will be sworn in according to the respective religion and
faith.

III - 85
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(3) The cost of summoning and trip for a clergy member to


perform the swearing of witnesses or expert witness will
be borne by the requesting party.
(4) The cost of summoning and trip for witness or expert
witness will be borne by the requesting party.
(5) The cost of summoning and trip for witness or expert
witness requested by the arbiter will be borne by the
parties.

ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Any person who is requested to provide information by What is meant by opening the company
the arbiter or arbiter council in examination for settlement books and showing documents in this Article
of an industrial relations dispute based on this Act is is for example, showing the register on wages
or the order for overtime work, and must be
required to give such information, including showing the
conducted by someone with expertise in
books and necessary letters. bookkeeping, appointed by the arbiter.
(2) In case the information required by the arbiter is related
to someone who because of his position must maintain Subsection (2)
Due to the fact that certain positions,
confidentiality, a procedure must be followed as regulated based on legal regulations, must preserve
in the prevailing legislation and regulations. secrecy, so any request for information from
(3) The arbiter is required to keep in confidence all information persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
requested as mentioned in subsection (1). procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about any other party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking). The same applies to the
stipulations under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.

Subsection (3)
Sufficiently clear.

ARTICLE 48 ARTICLE 48
Sufficiently clear.
The activities undertaken during the examination and
arbitration session will be drawn up into an official report of
examination by the arbiter or arbiter council.

III - 86
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 49 ARTICLE 49
Sufficiently clear.
The adjudication of the arbitration session is made on
the basis of prevailing laws and regulations, agreements, mores,
justice and public interest.

ARTICLE 50 ARTICLE 50
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication shall contain the following:
a. head of adjudication stating “FOR JUSTICE BASED
ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. full name and address of the arbiter or arbiter council;
c. full names and addresses of the parties;
d. matters contained in the agreement made by the
disputing parties;
e. Summary of charges, replies, and further explanations
by the disputing parties.
f. considerations underlying the adjudication;
g. primary topic of adjudication;
h. place and date of adjudication;
i. effective date of adjudication; and
j. arbiter or arbiter council’s signature(s).
(2) The arbiter decision which is not signed by one of the
arbiters for reasons of illness or his decease will not affect
the power of the adjudication.
(3) The reason for no signature as mentioned in subsection
(2) must be included in the decision.
(4) The adjudication stipulates that at the latest fourteen (14)
working days, the adjudication must be implemented.

ARTICLE 51 ARTICLE 51
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication possesses binding legal force
to the disputing parties and constitutes final and
permanent in nature
(2) The arbitration adjudication as stipulated in subsection
(1) will be registered at the Industrial Relations Court in
the local District Court where the arbiter made the
decision.
(3) In the event of the arbitration adjudication as mentioned
in subsection (1) is not implemented by one of the parties,

III - 87
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

the party suffering injury may file a request for court


execution to the Industrial Relations Court in the District
Court which legal jurisdiction includes the domicile of
the party to whom the decision must be performed, in
order that implementation of adjudication will be
instructed.
(4) The instruction as mentioned in subsection (3) must be
issued at the latest within thirty (30) working days after
the request is registered at the local District Court Clerk
without examining the reason or consideration for
arbitration adjudication.

ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) Any of the parties may file a petition of cancellation of A legal effort to request cancellation is
arbitration adjudication to the Supreme Court at the meant to provide a fair opportunity to the
latest within thirty (30) working days since the arbiter injured party in the dispute.
decision was made, if the decision is believed to include
Subsection (2)
the following : Sufficiently clear.
a. A letter or document that was submitted during
examination, after adjudication is made is admitted or Subsection (3)
Sufficiently clear.
stated to be false;
b. after adjudication, a document which is decisive in
nature is found that was concealed by the other party;
c. adjudication is made through deception by one of the
parties during the examination of dispute;
d. the adjudication is beyond the authority of the
industrial relations arbiter; or
e. the adjudication is contrary to laws and regulations.
(2) In the event of such petition as mentioned in subsection
(1) is granted, the Supreme Court will stipulate the
consequences of cancellation whether in whole or in part
of the arbitration decision.
(3) The Supreme Court will decide on the cancellation of
petition as stipulated in subsection (1) at the latest thirty
(30) working days commencing from the date of receipt
of cancellation petition.

III - 88
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 53 ARTICLE 53
The stipulations in this Article are for
Industrial relations disputes that are in progress or have
the purpose of providing legal certainty.
been settled through arbitration may not be filed to the
Industrial Relations Court.

ARTICLE 54 ARTICLE 54
Sufficiently clear.
The arbiter or panel of arbiters may not be held legally
responsible whatsoever on all actions taken during the session
in process, in order to perform their function as the arbiter or
panel of arbiters, except when it can be proven that the action
is not conducted in good faith.

CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
GENERAL

ARTICLE 55 ARTICLE 55
The Industrial Relations Court is a special court within Sufficiently clear.
the general court.

ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear.
The Industrial Court is assigned and authorized to
investigate and adjudicate:
a. at the first level regarding disputes on rights;
b. at the first and final levels regarding disputes on interests;
c. at the first level regarding disputes on termination of
employment;
d. at the first and final levels regarding disputes between
workers unions / labor unions in one company.

ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear.
The prevailing legal proceeding in the Industrial Relations
Court is the Civil Law Proceeding prevails at the general court,
unless otherwise regulated under this act.

ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear.
The parties in the legal proceeding are not charged any
costs for the trial process at the Industrial Relations Court,

III - 89
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

including the execution costs which value of suit is below Rp.


150,000,000.00 (one hundred fifty million rupiah).

ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) For the first time, the Industrial Relations Court under - Bearing in mind that the Special
this act is established at each District Court in the Regency/ Capital City Territory of Jakarta is a provincial
City level, located in each Provincial Capital, which capital and simultaneously the capital city of
the Republic of Indonesia, and has more than
jurisdiction covers the concerned province. one District Court, the Industrial Relations
(2) The Industrial Relations Court should, with the Court established for the first time with this
Presidential Decree, immediately be established at the Act is the Industrial Relations Court at the
Central Jakarta District Courthouse.
local District Court.
- In the event that in any provincial
capital, there exist a Municipal District Court
and a District Court, then the Industrial
Relations Court will be a part of the District
Court.

Subsection (2)
What is meant by the term
“immediately” in this Subsection is the time
frame within 6 (six) months after this Act
takes effect.

ARTICLE 60 ARTICLE 60
Sufficiently clear.
(1) The composition of the Industrial Relations Court in the
District Court is as follows;
a. Judge;
b. Ad-Hoc Judge;
c. Junior Registrar; and
d. Substitute Registrar.
(2) The composition of the Industrial Relations Court in the
Supreme Court is as follows:
a. Supreme Judge;
b. Ad-Hoc Judge in the Supreme Court; and
c. Registrar.

III - 90
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

SECTION TWO ARTICLE 61


Sufficiently clear.
JUDGE, AD-HOC JUDGE AND SUPREME COURT JUDGE

ARTICLE 61
The Judge at the Industrial Relations Court is appointed
and discharged based on the Decree of the Head of the Supreme
Court.

ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear.
The appointment of the Judge as meant in Article 61 is
carried out in accordance with the prevailing laws and
regulations.

ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear.
(1) The Ad-hoc Judge in the Industrial Relations Court is
appointed with a Presidential Decree upon proposal of
the Head of the Supreme Court.
(2) The nomination of Ad-Hoc Judge as meant in subsection
(1) is proposed by the Head of the Supreme Court from
the names approved by the Minister upon proposal of
the workers union / labor union or employer’s
organization.
(3) The Head of the Supreme Court proposes the discharge
of the Ad-Hoc Judge of the Industrial Relations Court to
the President.

ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear.
The following requirements should be fulfilled in order
to be appointed as an Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations
Court and as an Ad-Hoc Judge in the Supreme Court:
a. Indonesian citizen;
b. devout to the Only God;
c. loyal to the Pancasila and the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia;
d. minimum age of 30 (thirty) years;
e. physically healthy based on a doctor’s certificate;
f. has an authoritative bearing, honest, just and has a non-
disgraceful behavior;
g. has a level of education of at least university degree (S1),

III - 91
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

except for the Ad-Hoc Judge in the Supreme Court should


have at least university degree on laws; and
h. Minimum of 5 years experience in the industrial relations
field.

ARTICLE 65 ARTICLE 65
Subsection (1)
(1) Prior to the appointment, the Ad-Hoc Judge in the At the time the sacred oath/pledge is
Industrial Court should take an oath or promise according taken, certain words are spoken in accordance
to his/her religion/belief, which oath or promise is as with the person’s religion, for example for
adherents of Islam, “For God’s Sake” is said
follows:
before repeating the oath, and for Protestants/
“I swear/promise truthfully that to obtain this position, I Catholics the words “May God Help Me”
shall, directly or indirectly, by using whatever name or will be said after repeating the oath.
way, not give or promise anything to whomsoever. I swear/
Subsection (2)
promise that, for carrying out or for not carrying out Sufficiently clear.
something in this position, I shall not at all receive a
promise or gift, directly or indirectly from whomsoever.
I swear/promise that I shall be loyal to maintain and carry
out with devotion the Pancasila as the nation’s philosophy
of life, state principle and national ideology, and the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, and all laws
and regulations that apply for the Republic of Indonesia.
I swear/promise that I shall always carry out my function
honestly, thoroughly and without discriminating people,
and shall undertake my obligations, as good as possible
and as just as possible based on the prevailing laws and
regulations”.
(2) The taking of oath or promise of the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Regulations Court is made by the Head of the
District Court or appointed official.

ARTICLE 66 ARTICLE 66
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge may not serve concurrently as:
a. member of the State High Institution;

III - 92
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

b.head of region / head of territory;


c.legislative institution at the regional level;
d.civil servant;
e.member of the Indonesian Army / Police;
f.official of political party;
g.lawyer;
h.mediator;
i.conciliator;
j.arbitrator; or
k.official member of workers union / labor union or
official member of employers organization;
(2) In case an Ad-Hoc Judge serves concurrently with the
position as meant in subsection (1), then his/her position
as Ad-Hoc Judge may be revoked.

ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and Letter a
the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at Sufficiently clear.
the Supreme Court may be honorably discharged from Letter b
their positions due to the following reasons: Sufficiently clear.
Letter c
a. passed away; What is meant by continuous physical
b. upon own request; or mental illness is a disability that causes the
sufferer to be no longer capable of carrying
c. continuously ill, physically or mentally, during (12) out his tasks well.
months; Letter d
Sufficiently clear.
d. has reached the age of 62 (sixty two) years for the Ad-
Letter e
Hoc Judge in Industrial Relations Court, and has What is meant by not competent in
reached the age of 67 (sixty seven) years for the Ad- carrying out duties is for example, often
Hoc Judge in the Supreme Court: making mistakes in conducting tasks for
reasons of lack of ability.
e. not competent in carrying out his/her duties; Letter f
f. upon request of the employers organization or upon Sufficiently clear.
proposal of the Workers union / labor union; or Letter g
Sufficiently clear.
g. Has completed his / her office term.
(2) The office term of the Ad-Hoc Judge is 5 (five) years and Subsection (2)
Sufficiently clear.
he/she may be reappointed for another 1 (one) office term.

III - 93
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 68 ARTICLE 68
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is
dishonorably discharged from his/her position due to the
following reasons:
a. condemned for being guilty of conducting criminal
acts;
b. neglects the obligation to carry out his/her work
assignments without valid reasons for 3 (three)
successive times during the period of 1 (one) month;
or
c. violates his/her oath or promise.
(2) The dishonorably discharge with the reasons as meant in
subsection (1) is carried out after the concerned is given
the opportunity to file his/her plea to the Supreme Court.

ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear.
(1) Prior to his/her dishonorably discharge as meant in Article
68 subsection (1), the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court may be temporary discharged from his/
her position.
(2) The stipulation as meant in Article 68 subsection (2) also
applies to the temporary discharged Ad-Hoc Judge as
meant in Article 68 subsection (1).

ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear.
(1) The appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court is conducted by considering the need
and available resources.
(2) For the first time, the appointment of the Ad-Hoc Judge
in the Industrial Relations Court at the District Court is
at least 5 (five) persons from the workers union / labor
union and 5 (five) persons from the employers
organization.

ARTICLE 71 ARTICLE 71
Sufficiently clear.
(1) The Head of the District Court controls the
implementation of duties by the Judge, Ad-Hoc Judge,
Junior Registrar, and Substitute Registrar, and Substitute
Registrar of the Industrial Relations Court at the District
Court in accordance with his/her authority.

III - 94
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(2) The Head of the Supreme Court controls the


implementation of duties by Supreme Court Judge, Junior
Registrar and Substitute Registrar of the Industrial
Relations Court at the Supreme Court in accordance with
his/her authority.
(3) In carrying out the control as meant in subsection (1),
the Head of the District Court may give instructions and
reprimands to the Judge Ad-Hoc Judge.
(4) In carrying out the control as meant in subsection (2),
the Head of the Supreme Court may give instructions
and reprimands to the Supreme Court Judge.
(5) The instructions and reprimands as meant in subsection
(3) and subsection (4) may not diminish the freedom of
the Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme court Judge in the
Industrial Relations Court in the hearing and adjudication
process of disputes.

ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear.
The method of appointing, honorably discharging,
dishonorably discharging, and temporary discharge of the Ad-
Hoc Judge as meant in Article 67, Article 68, and Article 69 is
regulated with a Government Regulation.

ARTICLE 73 ARTICLE 73
What is meant by benefits and other
Allowances and other rights for the Ad-Hoc Judge in the rights are official benefits and employee rights
Industrial Relations Court are regulated with a Presidential related to their welfare.
Decree.

SECTION THREE
SUB-REGISTRAR OFFICE AND SUBSTITUTE REGISTRAR

ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear.
(1) A Sub-Registrar Office of the Industrial Relations Court
is formed at each District Court that has an Industrial
Relations Court, managed by a Junior Registrar.
(2) In carrying out his/her duties, the Junior Registrar as
meant in subsection (1) is assisted by several Substitute
Registrars.

III - 95
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 75 ARTICLE 75
Sufficiently clear.
(1) The Sub-Registrar Office as meant in Article 74 subsection
(1) is assigned to:
a. maintain the administration of the Industrial Relations
Court; and
b. make the list of all received disputes in the book of
cases.
(2) The book of cases as meant in subsection (1) letter b
contains at least the sequence number, names and addresses
of the parties, and types of disputes.

ARTICLE 76 ARTICLE 76
Sufficiently clear.
The Sub-Registrar Office is responsible for the delivery
of summons letters for trial, delivery of verdict notifications
and delivery of verdict copies.

ARTICLE 77 ARTICLE 77
Sufficiently clear.
(1) For the first, the Junior Registrars and Substitute Registrars
at the Industrial Relations Court are appointed from Civil
Servants of Government Agencies that are responsible in
the manpower sector.
(2) Provisions concerning the requirements, appointment and
discharge procedures of the Junior Registrars and
Substitute Registrars at the Industrial relations Court are
further regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.

ARTICLE 78 ARTICLE 78
Sufficiently clear.
The organization structure, tasks and work procedure of
the Sub-Registrar Office at the Industrial relations Court are
regulated with the Decree of the Head of the Supreme Court.

ARTICLE 79 ARTICLE 79
Sufficiently clear.
(1) The Substitute Registrar is assigned to record the trial
process in the Minutes.
(2) The Minutes as meant in subsection (1) is signed by the
Judge, the Ad-Hoc Judge and the Substitute Registrar.

III - 96
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 80 ARTICLE 80
Sufficiently clear.
(1) The Junior Registrar is responsible for the book of cases
and other documents that are kept in the Sub-Registrar
Office.
(2) All books of cases and other documents as meant in
subsection (1), either the originals or photocopies, may
not be taken out of the work room of the Sub-Registrar
Office, unless upon permission of the Junior Registrar.

CHAPTER 1V
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE JUDGE
SUBSECTION 1
SUBMISSION OF PETITION

ARTICLE 81 ARTICLE 81
Sufficiently clear.
The Petition of the industrial relations dispute is
submitted to the Industrial Relations Court in the District
Court which jurisdiction covers the workplace of the worker/
laborer.

ARTICLE 82 ARTICLE 82
The petition which is filed by the worker/laborer as meant Sufficiently clear.
in Article 159 and Article 171 of Law Number 13 of 2003
concerning Manpower, may only be submitted within the grace
period of 1 (one) year after the decision of the employer is
received or informed.
ARTICLE 83
ARTICLE 83 Subsection (1)
Sufficiently clear.
(1) The petition submitted without attachment of the
minutes of settlement through mediation or conciliation, Subsection (2)
should be returned by the judge of the Industrial Relations During the process for completion of a
Court to the plaintiff. legal action, the Registrar or Alternate Registrar
may assist in drawing up/completing the legal
(2) The judge is required to examine the contents of the action. For that purpose the Registrar or
petition, and if there are shortages, then the judge should Alternate Registrar records in a special register
request the plaintiff to complete his/her petition. data that includes:

III - 97
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

- full names and addresses or the location


of the parties;
- the main topics that become a matter of
dispute or the reason for the legal action;
- documents, correspondence, and other
matters that are considered necessary by
the plaintiff.

ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear.
Petitions that involve more than one plaintiff may be
submitted collectively by providing a special power of attorney.

ARTICLE 85 ARTICLE 85
Sufficiently clear.
(1) The plaintiff may at any time withdraw his/her petition
before the defendant gives his/her reply.
(2) If the defendant has given his/her reply on the petition,
then the withdrawal of the petition by the plaintiff shall
be agreed by the Industrial Relations Court upon approval
of the defendant.

ARTICLE 86 ARTICLE 86
In case the dispute on rights and/or dispute on interest Sufficiently clear.
are followed by a dispute on termination of employment, then
the Industrial Relations Court should first sentence the cases
of dispute on rights and/or dispute on interest.

ARTICLE 87 ARTICLE 87
What is meant by trade unions as
The workers union/labor union and employer’s mentioned under this Article cover the
organization may act as legal proxies in the court session at the management at the company level, the district/
Industrial Relations Court in order to represent their members. city level, the provincial level, and central
level, whether for trade unions, federation
members, or confederation members.

ARTICLE 88 ARTICLE 88
Sufficiently clear.
(1) Within the period of not later than 7 (seven) working
days after receiving the petition, the Chairman of the
District Court should have established the Council of
Judges, which consists of 1 (one) Judge as the Chairman
of Council and 2 (two) Ad-Hoc Judges as Council

III - 98
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

Members who will investigate and adjudicate the dispute.


(2) The Ad-Hoc Judges as meant in subsection (1) consist of
one Ad-Hoc Judge whose appointment is proposed by
the workers union/labor union and one Ad-Hoc Judge
whose appointment is proposed by the employer’s
organization as meant in Article 63 subsection (2).
(3) A Substitute Registrar is appointed to assist the duties of
the Council of Judges as meant in subsection (1).

SUBSECTION 2
HEARING WITH ORDINARY PROCEDURE

ARTICLE 89 ARTICLE 89
Sufficiently clear.
(1) The Chairman of the Council of Judges should have held
the first court session within the period of not later than
7 (seven) working days after the establishment of the
Council of Judges.
(2) The summons to appear before court is conducted legally
if it is submitted through a letter of summons to the parties
at their addresses of domicile or if their addresses of
domicile are not known, then it is submitted to their latest
addresses of domicile.
(3) If the summoned party is not at his/her address of domicile
or latest address of domicile, then the letter of summons
is submitted through the Head of Sub-district or Village
Chief whose jurisdiction covers the address of domicile or
latest address of domicile of the summoned party.
(4) The letter of summons which is received by the summoned
party himself/herself or through another party should be
given a receipt.
(5) If the address of domicile or latest address of domicile is
not known, then the letter of summons is placed on the
announcement board at the building in the Industrial
Relations Court that investigates the case.

ARTICLE 90 ARTICLE 90
Sufficiently clear.
(1) The Council of Judges may summon the witness or expert
witness to be present at the court session in order to request
or listen to his/her information.
(2) Anyone who is summoned to become a witness or expert

III - 99
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

witness is required to comply with the summons and to


give his/her testimony under oath.

ARTICLE 91 ARTICLE 91
Subsection (1)
(1) Anyone who is requested by the Council of Judges to Sufficiently clear.
provide his/her information in order to conduct
investigation for settlement of the industrial relations Subsection (2)
As in certain positions, according to legal
dispute based on this act, should provide it provisions, secrecy must be maintained, any
unconditionally, including the opening of books and request for information from the person in
showing of necessary letters / documents. that position and serving as an expert witness,
must comply with a certain predetermined
(2) In case the information requested by the Council of Judges
procedure.
is related to someone who due to his/her position should
maintain the confidentiality, then the procedure to be Subsection (3)
followed should be as regulated in the prevailing laws and Sufficiently clear.
regulations.
(3) The judge should keep in confidence all requested
information as meant in subsection (1).

ARTICLE 92 ARTICLE 92
The court session is valid if it is held by the Council of The stipulation requiring the validity
of the court proceedings under this Article is
Judges, as is meant in Article 88 subsection (1). for the purpose of guaranteeing that every
session must be attended by the Judge and all
the Ad-Hoc Judges who have been appointed
to resolve the dispute.

ARTICLE 93 ARTICLE 93
Sufficiently clear.
(1) In case one of the parties or the parties are unable to be
present in the court session without any accountable
reasons, then the Chairman of the Council of Judges
determines the next session day.
(2) The next session day as meant in subsection (1) is
determined within the period of not later than 7 (seven)
working days as of the date of deferment.
(3) The deferment due to the absence of one of the parties or
the parties is maximum 2 (two) times.

ARTICLE 94 ARTICLE 94
Sufficiently clear.
(1) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the plaintiff or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article

III - 100
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

93 subsection (3), then his/her petition is considered as


abrogated, however, the plaintiff has the right to file his/
her petition one more time.
(2) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the defendant or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article
93 subsection (3), then the Council of Judges may conduct
the hearing and adjudicate the dispute without presence
of the defendant.

ARTICLE 95 ARTICLE 95
Sufficiently clear.
(1) The session held by the Council of Judges is open for
public, unless otherwise determined by the Council of
Judges.
(2) Everyone present in the court session should respect the
court session order.
(3) Everyone who is not following the court session order as
meant in subsection (2) may be taken out of the room,
after obtaining an admonition from or upon order of the
Chairman of the Council of Judges.

ARTICLE 96 ARTICLE 96
Subsection (1)
(1) If in the first court session it is decidedly proven that the A request for a temporary verdict is
employer is not undertaking his/her obligations as meant submitted together with the legal action
in Article 155 subsection (3) of Law Number 13 of 2003 dossier.
concerning Manpower, then the Chairman of Judge of
Subsection (2)
the court session should immediately pass the Interval
Sufficiently clear.
Verdict in form of an order to pay the wage and other
rights that are normally received by the concerned worker/ Subsection (3)
laborer. Sufficiently clear.
(2) The Interval Verdict as meant in subsection (1) may be Subsection (4)
passed on the court session day or on the second court Sufficiently clear.
session day.
(3) In case during the dispute hearing, which is ongoing, the
Interval Verdict as meant in subsection (1) is not carried
out by the employer, then the Chairman of Judge of the
court session may order a Collateral Confiscation through
a Decree of the Industrial Relations Court.
(4) A resistance cannot be filed and/or legal efforts cannot be
used against the Interval Verdict as meant in subsection

III - 101
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(1) and the Decree as meant in subsection (3).

ARTICLE 97 ARTICLE 97
Sufficiently clear.
The obligations that should be carried out and/or the rights
that should be received by the parties or by one of the
parties on each settlement of the industrial relations
dispute are determined in the verdict of the Industrial
Relations Court.

SUBSECTION 3
HEARING WITH FAST PROCEDURE

ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear.
(1) In case there are rather urgent interests of the parties and/
or of one of the parties, which should be able to be
concluded from the reasons of petition of the concerned,
then the concerned parties or one of the parties may request
the Industrial relations Court to speed up the hearing of
the dispute.
(2) Within the period of 7 (seven) working days after the
request as meant in subsection (1) is received, the
Chairman of the District Court issues the decision on
whether such request is granted or not.
(3) No legal efforts can be used against the decision as meant
in subsection (2).

ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear.
(1) In case the request as meant in Article 98 subsection (1)
is granted, then the Chairman of the District Court
determines the council of judges, day, place and time of
the court session without going through the examination
process, within the period of 7 (seven) working days after
the decision as meant in Article 98 subsection (2) is issued.
(2) The grace periods for reply and authentication by both
parties are respectively determined as not exceeding 14
(fourteen) working days.

III - 102
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

SUBSECTION 4
PASSING OF VERDICT

ARTICLE 100 ARTICLE 100


Sufficiently clear.
The Council of Judges takes into consideration the laws,
existing agreements, customs and justice in passing the verdict.

ARTICLE 101 ARTICLE 101


Sufficiently clear.
(1) The verdict of the Council of Judges is read out in the
court session, which is open for public.
(2) In case one of the parties is not present in the session as
meant in subsection (1), then the Chairman of the Council
of Judges orders the Substitute Registrar to submit the
notification on the verdict to the party that is not present.
(3) The verdict of the Council of Judges as meant in subsection
(1) is the verdict of the Industrial Relations Court.
(4) Non-compliance of the stipulation as meant in subsection
(2) causes that the Court verdict is not legal and has no
legal power.

ARTICLE 102 ARTICLE 102


Sufficiently clear.
(1) The court verdict should contain:
a. head of the verdict which reads : “FOR JUSTICE
BASED ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. names, positions, citizenships, residences or domiciles
of the disputed parties;
c. summary of the plaintiff ’s petition and the defendant’s
reply;
d. considerations on each submitted evidence, data and
matters that take place in the court session during the
dispute hearing;
e. legal reasons as basis of the dispute;
f. injunction on the dispute;
g. day, date of verdict, name of Judge, name of Ad-Hoc
Judge who adjudicate, name of Registrar, and
information on the presence or absence of the parties.
(2) Non-compliance with one of the stipulations as meant in
subsection (1) may cause the abrogation of the Industrial
Relations Court verdict.

III - 103
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 103 ARTICLE 103


Sufficiently clear.
The Council of Judges should pass the verdict on the
industrial relations dispute settlement within the period of
not later than 50 (fifty) working days as of the date of the first
court session.

ARTICLE 104 ARTICLE 104

The Industrial Relations Court verdict, as meant in Article Sufficiently clear.


103, is signed by the Judge, Ad-Hoc Judges and Substitute
Registrar.

ARTICLE 105 ARTICLE 105


Sufficiently clear.
The Industrial Relations Substitute Registrar should have
submitted the notification on the verdict to the party that is
not present in the court session as meant in Article 101
subsection (2) within the period of not later than 7 (seven)
working days after the verdict of the Council of Judges is read
out.

ARTICLE 106 ARTICLE 106


This stipulation means that the time
The Junior Registrar should have produced the verdict frame for arriving at the verdict in its original
copy within not later than 14 (fourteen) working days after form and a copy of that verdict is limited to
such verdict is signed. 14 (fourteen) working days so that the matter
is not detrimental to the party’s legal rights.

ARTICLE 107
ARTICLE 107
Sufficiently clear.
The Registrar of the District Court should have
dispatched the verdict copy to the parties within the period of
not later than 7 (seven) working days after such verdict copy is
produced.

ARTICLE 108 ARTICLE 108


Sufficiently clear.
The Chairman of the Council of Judges of the Industrial
relations Court may pass a verdict that can be implemented in
advance, although a resistance or supreme court is filed towards
the verdict.

ARTICLE 109 ARTICLE 109


Sufficiently clear.
The verdict of the Industrial Relations Court at the
District Court on the dispute of interest and dispute between
workers unions/labor unions in one company is a final and
permanent verdict.

III - 104
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 110 ARTICLE 110


Sufficiently clear.
The verdict of the Industrial Relations Court at the
District Court on the dispute of rights and dispute of
termination of employment has permanent legal power if no
appeal is filed to the Supreme Court within the period of not
later than 7 (seven) working days:
a. for the party being present, as of the date the verdict is
read out in the session of the council of judges;
b. for the party being absent, as of the date the verdict
notification is received.

ARTICLE 111 ARTICLE 111


What is meant by the local District
One of the parties or the parties intended to file the appeal
Court under this Article is the District Court
to the Supreme Court should submit it in writing through that decides on the aforementioned case.
the Sub-Registrar’s Office of the Industrial Relations Court at
the local District Court.

ARTICLE 112 ARTICLE 112


Sufficiently clear.
The Sub-Registrar’s Office of the Industrial relations
Court at the District Court should have submitted the case
dossiers to the Head of the Supreme Court within the period
of not later than 14 (fourteen) working days as of the date the
appeal is received.

SECTION TWO
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE SUPREME COURT JUDGE

ARTICLE 113 ARTICLE 113


Sufficiently clear.
The Council of Supreme court Judges consists of one
Supreme Court Judge and two Ad-Hoc Judges, who are
assigned to investigate and preside over industrial relations
dispute cases at the Supreme Court, and are appointed by the
Head of the Supreme Court.

ARTICLE 114 ARTICLE 114


Sufficiently clear.
Procedure of appeal to the Supreme Court and settlement
of the dispute on rights and dispute on termination of
employment by the Supreme Court Judge, are carried out in
accordance with the prevailing laws and regulations.

III - 105
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 115 ARTICLE 115


Sufficiently clear.
Settlement of the dispute on rights or dispute on
termination of employment at the Supreme Court is not later
than 30 (thirty) working days as of the date the appeal is
received.

CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTIONS AND
CRIMINAL PROVISIONS

SECTION ONE
ADMINISTRATIVE SANCTIONS

ARTICLE 116 ARTICLE 116


Sufficiently clear.
(1) The Mediator who is unable to settle the industrial
relations dispute within the period of 30 (thirty) working
days without any valid reasons as meant in Article 15,
may be imposed an administrative sanction in form of a
disciplinary punishment in accordance with the laws and
regulations that apply for Civil Servants.
(2) The Junior Registrar who has not produced the verdict
copy within the period of 14 (fourteen) working days after
the verdict is signed as meant in article 106, and the
Registrar who has not dispatched such copy to the parties
within the period of 7 (seven) working days as meant in
Article 107, may be imposed an administrative sanction
in accordance with the prevailing laws and regulations.

ARTICLE 117 ARTICLE 117


Sufficiently clear.
(1) The Conciliator who has not submitted the written advice
within the period of 14 (fourteen) working days as meant
in Article 23 subsection (2) letter b, or has not assisted
the parties to enter into a Collective Agreement within
the period of not later than 3 (three) working days as
meant in Article 23 subsection (2) letter e, may be imposed
an administrative sanction in form of a written reprimand.
(2) The Conciliator who has received 3 (three) written
reprimands as meant in subsection (1), may be imposed
an administrative sanction in form of temporary revocation

III - 106
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

as conciliator.
(3) The sanction as meant subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him/her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
conciliator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.

ARTICLE 118 ARTICLE 118


Sufficiently clear.
The Conciliator may be imposed an administrative
sanction in form of permanent revocation as conciliator if the
concerned:
a. has been passed 3 (three) times the administrative sanction
in form of temporary revocation as conciliator as meant in
Article 117 subsection (2);
b. is proven of conducting a criminal act;
c. has misused his/her position; and/or
d. has divulged the requested information as meant Article
22 subsection (3).

ARTICLE 119 ARTICLE 119


Sufficiently clear.
(1) The Arbitrator who is unable to settle the industrial
relations dispute within the period of 30 (thirty) working
days and within the extension period as meant in Article
40 subsection (1) and subsection (3) or has not prepared
the minutes of hearing as meant in Article 48, may be
imposed an administrative sanction in form of a written
reprimand.
(2) The Arbitrator who has received 3 (three) written
reprimands as meant in subsection (1) may be imposed
an administrative sanction in form of temporary revocation
as arbitrator.
(3) The sanction as meant in subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him / her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
arbitrator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.

III - 107
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 120 ARTICLE 120


Sufficiently clear.
(1) The Arbitrator may be imposed the administrative sanction
in form of permanent revocation as arbitrator if the
concerned:
a. has made at least 3 (three) arbitration decisions on
industrial relations disputes that are exceeding his/her
authority and are contradicting the laws and
regulations as meant in Article 52 subsection (1) letters
d and e, and the Supreme Court has granted the appeal
judicial review on the decisions of such arbitrator.
b. is proven of conducting a criminal act;
c. has misused his/her position;
d. has been passed 3 (three) times the administrative
sanction in form of temporary revocation as arbitrator,
as meant in Article 119 subsection (2).
(2) The administrative sanction in form of permanent
revocation as arbitrator, as meant in subsection (1),
commences effective as of the date the arbitrator has settled
the dispute that is being handled by him/her.

ARTICLE 121 ARTICLE 121


Sufficiently clear.
(1) The administrative sanctions as meant in article 117,
Article 118, Article 119 and Article 120 are passed by
the Minister or appointed official.
(2) The method of imposing and revoking sanctions shall be
further regulated with a Ministerial Decision.

SECTION TWO
CRIMINAL PROVISIONS

ARTICLE 122 ARTICLE 122


Sufficiently clear.
(1) Anyone who violates the stipulations as meant in Article
12 subsection (1), Article 22 subsection (1) and subsection
(3), Article 47 subsection (1) and subsection (3), Article
90 subsection (2), Article 91 subsection (1) and subsection
(3), is imposed the criminal sanction of minimum 1 (one)
month and maximum 6 (six) months confinement and or
a fine of minimum Rp. 10,000,000.00 (ten million
rupiah) and maximum Rp. 50,000,000.00 (fifty million
rupiah).

III - 108
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

(2) The act as meant in subsection (1) is a violation criminal ARTICLE 123
act. Sufficiently clear.

CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS

ARTICLE 123
In case industrial relations disputes occur at social
operations and other operations that are not in form of
company operations, but have a management and employ other
people by paying wages, then such disputes are settled in
accordance with the stipulations of this act.

CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS

ARTICLE 124 ARTICLE 124


Sufficiently clear.
(1) Before the Industrial relations Court is established as
meant in Article 59, the Regional Labor Dispute
Settlement Committee and the Central Labor Dispute
Settlement Committee shall still carry out their functions
and duties in accordance with the prevailing laws and
regulations.
(2) With the establishment of the Industrial Relations Court
based on this act, then the industrial relations disputes
and terminations of employment that have been proposed
to:
a. Regional Labor Dispute Settlement Committee or
other institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Industrial Relations Court at the local
District Court;
b. Decisions of the Regional Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter a,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 14 (fourteen) days, are settled by the

III - 109
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

Supreme Court;
c. Central Labor Dispute Settlement Committee or other
institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Supreme Court;
d. Decisions of the Central Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter c,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 90 (ninety) days, are settled by the
Supreme Court.

CHAPTER VIII
CLOSING PROVISIONS

ARTICLE 125 ARTICLE 125


Sufficiently clear.
(1) With the enactment of this law, then:
a. Law Number 22 of 1957 concerning labor Dispute
Settlement (State Gazette of 1957 Number 42,
Supplement of State Gazette Number 1227); and
b. Law Number 12 of 1964 concerning Termination of
Employment at Private Companies (State Gazette of
1964 Number 93, Supplement of State Gazette
Number 2686);
Are declared as no more applicable.
(2) At the time this act take into effect, all Laws and
Regulations that are the Implementation Regulations of
Law Number 22 of 1957 concerning Labor Dispute
Settlement (State Gazette of 1957 Number 42,
Supplement of State Gazette Number 1227) and Law
Number 12 of 1964 concerning termination of
Employment at Private Companies (State Gazette of 1964
Number 93, Supplement of State Gazette Number 2686)
are declared as still applicable, as long as they are not
contradicting the provisions in this act.

III - 110
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes

ARTICLE 126 ARTICLE 126


The grace period in this Article is meant
This act shall be effective 1 (one) year after its
to prepare for the provision and appointment
promulgation. of the Judge and Ad Hoc Judges, preparation
For the cognizant of the public, orders the promulgation of infrastructure and facilities such as providing
of this act by having it place on the State Gazette of the office space and the courtroom/hall for the
Republic of Indonesia. Industrial Relations Court.

Legalized in Jakarta SUPPLEMENT TO THE STATE


On 14 January 2004 GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 4356

PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Promulgated in Jakarta
On 14 January 2004

STATE SECRETARY OF THE REPUBLIC OF


INDONESIA

BAMBANG KESOWO

STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC


OF INDONESIA NUMBER 6 OF 2004

III - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

PRESIDENT OF REPUBLIC OF INDONESIA


ACT NUMBER 13 YEAR 2003
CONCERNING
MANPOWER

II - 93
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

II - 94
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Contents

CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS II-103

CHAPTER II
STATUTORY BASIS, PRINCIPLES
AND OBJECTIVES II-106

CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES II-108

CHAPTER IV
MANPOWER PLANNING AND
MANPOWER INFORMATION II-108

CHAPTER V
JOB TRAINING II-109

CHAPTER VI
JOB PLACEMENT II-117

CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES II-119

CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER II-121

CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS II-123

II - 95
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE II-131
Section One : Protection
Subsection 1 : Disabled Person
Subsection 2 : Children
Subsection 3 : Women
Subsection 4 : Working Hours
Subsection 5 : Occupational Safety and Health
Section Two : Wages
Section Three : Welfare

CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS II-146
Section One : General
Section Two : Trade/Labour Union
Section Three : Entrepreneurs’ Organization
Section Four : Bipartite Cooperation Institution
Section Five : Tripartite Cooperation Institution
Section Six : Company Ragulations
Section Seven : Collective Labour Agreement
Section Eight : Institutions/Agencies for the Settlement of
Industrial Relation Disputes
Subsection 1 : Industrial Relations Disputes
Subsection 2 : Strike
Subsection 3 : Lock-Out

CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT II-163

CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT II-178

CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION II-179

CHAPTER XV
INVESTIGATION II-180

II - 96
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND
ADMINISTRATIVE SANCTIONS II-181
Section One : Criminal Provisions
Section Two : Administrative Sanctions

CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS II-184

CHAPTER XVIII
CLOSING PROVISIONS II-184

II - 97
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

II - 98
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

EXPLANATORY NOTES
ON THE ACT OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 OF THE YEAR 2003

CONCERNING

MANPOWER AFFAIRS
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 YEAR 2003

CONCERNING
I. GENERAL
MANPOWER Manpower development as an integral
part of the national development based on
the Pancasila and the 1945 Constitution shall
be carried out within the framework of
building up Indonesian as fully integrated
human beings and the overall, integrated
development of Indonesia’s society in order to
WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY, enhance the dignity, values and status of
manpower and to create a prosperous, just
and well-off society in which material and
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF spiritual benefits are evenly distributed.
INDONESIA, Manpower development must be
regulated in such a way so as to fulfill the
Considering: rights of and to provide basic protection to
manpower and workers/ labourers and at the
a. That Indonesia’s national development shall be same time to be able to create conducive
implemented within the framework of building conditions for the development of the world
Indonesians as fully-integrated human beings and of of business.
building the whole Indonesian society in order to realize Manpower development has many
dimensions and interconnectivity. The
a society in which there shall be welfare, justice and
interconnectivity is not only related to the
prosperity based on equity both materially and spiritually interests of the workforce during, prior to and
with the Pancasila and the 1945 Constitution at its after the term of employment but also related
foundation. to the interests of the entrepreneur, the
government and the public. Therefore,
b. That in the implementation of national development, comprehensive and all-inclusive arrangements
workers have a very important role and position as actors are needed. And this shall include, among
of development as well as the goal of development itself; others, the development of human resources,
improvement of productivity and
c. That in accordance with the role and position of workers, competitiveness of Indonesian manpower,
manpower development is required to enhance the quality efforts to extend job opportunities, job
of workers as well as their role and participation in national placement service, and industrial relations
development and in improving protection for workers and development.
their families in respect to human dignity and values; Industrial relations development as part
of manpower development must be directed
d. That protection of workers is intended to safeguard the to keep on realizing industrial relations that

II - 99
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

fundamental rights of workers and to secure the are harmonious, dynamic and based on
implementation of equal opportunity and equal treatment justice. For this purpose, recognition and
appreciation of human rights as stated under
without discrimination on whatever basis in order to the Decree of the People’s Consultative
realize the welfare of workers/ labourers and their family Assembly Number XVII of 1998 (TAP MPR
by continuing to observe the development of progress NO. XVII/MPR/1998) must be realized. As
made by the world of business; far as manpower business is concerned, this
MPR decree serves as a chief milestone in
e. That several acts on manpower are considered no longer promoting and upholding democracy in the
relevant to the need and demand of manpower workplace. It is expected that the
development and hence, need to be abolished and/or implementation of democracy in the workplace
revoked; will encourage optimal participation from all
manpower and workers/ labourers of
f. That based on the considerations as mentioned under Indonesia to build the aspired State of
points a, b, c, d and e, it is necessary to establish an Act Indonesia.
concerning Manpower. Some prevailing laws and regulations
concerning manpower that has been ongoing
thus far, including parts that are of colonial
In view of: products, put workers in a less advantageous
Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27 position especially when it comes to job
placement service and industrial relations
Subsection (2), Article 28 and Article 33 Subsection (1) of
system that put too much emphasis on
the 1945 Constitution. differences of positions and interests so that
they are no longer suitable for today’s needs as
well as for future demands. The said statutory
By the joint approval between
legislations are:
Ordinance concerning the Mobilization
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF of Indonesian People To Perform Work
Outside of Indonesia (Staatsblad Year
THE REPUBLIC OF INDONESIA 1887 Number 8);
AND Ordinance dated December 17, 1925,
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA which is a regulation concerning the
Imposition of Restriction on Child Labour
and Night Work for Women (Staatsblad
DECIDE: Year 1925 Number 647);
Ordinance Year 1926, which is a
To stipulate: regulation concerning Child and Youth
ACT CONCERNING MANPOWER AFFAIRS Labour on Board of A Ship (Staatsblad
Year 1926 Number 87);
Ordinance dated May 4, 1936
concerning Ordinance To Regulate
Activities To Recruit Candidates
(Staatsbald Year 1936 Number 208);
Ordinance concerning the Repatriation
of Labourers Who Come From or Are
Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
Ordinance Number 9 Year 1949
concerning Restriction of Child Labour

II - 100
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(Staatsblad Year 1949 Number 8);


Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of the Enactment of
Employment Act Year 1948 Number 12 From the Republic of Indonesia For All
Indonesia (State Gazette Year 1951 Number 2);
Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement Between Labour
Union and Employer (State Gazette Year 1954 Number 69, Supplement to State
Gazette Number 598a);
Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of Foreign Manpower (State
Gazette Year 1958 Number 8);
Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work for University Graduates
Holding Master’s Degree (State Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to
State Gazette Number 2270);
Act Number 7 of the Year 1963 serving as the Presidential Resolution on Prevention
of Strike and or Lockout at Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963 Number 67);
Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental Provisions concerning
Manpower (State Gazette Year 1969 Number 55, Supplement to State Gazette
Number 2912);
Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette of the Republic
of Indonesia Year 1997 Number 73, Supplement to State Gazette of the Republic
of Indonesia Number 3702);
Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act
Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State Gazette Year 1998 Number
184, Supplement to State Gazette Number 3791);
Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment of Government
Regulation in lieu of Law Number 3 Year 2000 concerning Changes to Act
Number 11 Year 1998 concerning the Change in the Applicability of Act Number
25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State Gazette Year 2000 Number
204, Supplement to State Gazette Number 4042).
The above-mentioned statutory legislations are considered necessary to be revoked
and replaced by a new act. Relevant provisions of the old statutory rules and regulations
are accommodated under this manpower act. Implementing regulations from the
abolished acts shall remain effective until new implementing regulations are established
to replace them.
This act does not only abolish rules, regulations and provisions that are no longer
suitable/ relevant in the manpower context of today but also accommodate very
fundamental changes in all aspects of the life of Indonesian as a nation that started
with the 1998 reformation era.
At international labour forums, fundamental human rights in the workplace
are recognized through the 8 (eight) core conventions of the International Labour
Organization (ILO). These core conventions are basically made up of four groups:
Freedom of Association (ILO Conventions No. 87 and 98);
Prohibition against Discrimination (ILO Conventions No. 100 and 111);
Abolition of Forced Labour (ILO Conventions No. 29 and 105);
Minimum Age for Admission to Employment (ILO Convention No. 138 and
No. 182).

II - 101
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Indonesian, as a nation, is committed to the recognition and appreciation of


fundamental human rights in the workplace. This has been realized, among others,
through the ratification of the 8 (eight) core conventions of the ILO. In line with the
ratification in recognition of the fundamental rights, this manpower act must also
reflect observance and appreciation of the seven core principles.
This act contains, among others:
Statutory basis, fundamental principles and the objectives of manpower
development;
Manpower planning and manpower information;
Provision of equal opportunities and equal treatment for manpower and workers/
labourers;
Job training that is directed to improve and develop skills and expertise of manpower
in order to increase labour productivity as well as enterprise productivity;
Job placement service in order to optimally use manpower and the placement of
people available for work in jobs that uphold human values and human dignity
as a form of responsibility of the government and the society in efforts to extend job
opportunities;
The proper use of manpower of foreign citizenship in accordance with the
competences that are needed.
Industrial relations development that accords with the values of the Pancasila,
directed towards the development of harmonious, dynamic and justice-based
relations among actors of production process;
Institutional development and structures of industrial relations, including collective
labour agreements, bipartite cooperative institutes, tripartite cooperative institutes,
the provision of information on industrial relations to the society, and the settlement
of industrial relations disputes.
Protection for workers/ labourers, including protection of the worker/ labourer’s
fundamental rights to negotiate with the entrepreneur, protection of the worker/
labourer’s occupational safety and health, special protection for female workers/
labourers, children, youths and disabled or handicapped workers, and protection
concerning wages, welfare and social security for employees;
Labour inspection, in order to make sure that statutory rules and regulations
concerning manpower are indeed carried out, as they should.

II - 102
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER I II. ARTICLE BY ARTICLE

GENERAL PROVISIONS

ARTICLE 1 ARTICLE 1
Under this act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear

1. Manpower affairs are referring to every matter that is related


to people who are needed or available for a job before,
during and after their employment.
2. Manpower is every individual or person who is able to
work in order to produce goods and/ or services either to
fulfill his or her own needs or to fulfill the needs of the
society.
3. A worker/labourer are any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
4. An employer is individual, entrepreneur, legal entities, or
other entity that employ manpower by paying them wages
or other forms of remuneration.
5. An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
6. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
7. Manpower planning is the process of making a manpower
plan systematically that is used as a basis and reference
for formulating the policy, strategy and implementation
of a sustainable manpower development program.

II - 103
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

8. Manpower information is a group, a set or series and an


analysis of data in the form of processed numbers, texts
and documents that have specific meanings, values and
messages concerning labour.
9. Job training is the whole activities of providing workers
or potential workers with, and paving the way for them
to acquire, enhance and develop job competence,
productivity, discipline, work attitude and ethics until a
desired level of skills and expertise that match the grade
and qualifications required for a position or a job is reached.
10. Job competence or competency is the capability of each
individual that covers aspects of knowledge, skills and work
attitude which accords with prescribed standards.
11. Apprenticeship is a part of a job training system that
integrates training at a training institute with working
directly under the tutelage and supervision of an instructor
or a more experienced worker/ labourer in the process of
producing goods and/ or services in an enterprise in order
to master a certain skill or trade.
12. Job placement service is an activity aimed at matching
up manpower with employers so that manpower get jobs
that are suitable to their talents, interest and capability
and employers get the manpower they need.
13. Foreign worker is a visa holder of foreign citizenship with
the intention to work in Indonesia’s territory.
14. Work agreement is an agreement made between a worker/
labourer and an entrepreneur or an employer that specifies
work requirements, rights and obligations of the parties.
15. An employment relation is a relationship between an
entrepreneur and a worker/ labourer based on a work
agreement, which contains the elements of job, wages and
work order.
16. Industrial relations is a system of relations that is formed
among actors in the process of producing goods and/or
services, which consist of employers, workers/ labourers
and the government, which is based on the values of the
Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia.
17. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/labourers either within

II - 104
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

an enterprise or outside of an enterprise, which is free,


open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
18. A bipartite cooperation institution is a communication
and consultation forum on matters pertaining to industrial
relations in an enterprise whose members consist of
entrepreneurs and trade/labour unions that have been
registered at a government agency responsible for
manpower affairs or workers/labourers’ representatives.
19. A tripartite cooperation institute is a communication,
consultation and deliberation forum on manpower issues
(problems) whose members consist of representatives from
entrepreneurs’ organizations, workers/labourers’
organizations and the government.
20. Company regulations is a set of rules and regulations made
in writing by an entrepreneur that specifies work
requirements and the enterprise’s discipline and rule of
conduct.
21. A collective labour agreement is an agreement resulted
from negotiations between a trade/labour union or several
trade/ labour unions registered at a government agency
responsible for manpower affairs and an entrepreneur or
several entrepreneurs or an association of entrepreneurs
that specifies work requirements, rights and obligations
of the parties.
22. An industrial relations dispute is a difference of opinion
that results in a conflict between an entrepreneur or an
association of entrepreneurs and a worker/labourer or a
trade/labour union because of dispute over rights, interests
and termination of employment and dispute between a
trade/labour union and another trade/labour union in the
same enterprise.
23. A strike is a collective action of workers/labourers, which
is planned and carried out by a trade/labour union to
stop or slower work.
24. A lockout is the entrepreneur’s action of refusing the
worker/labourer in whole or in part to perform work.
25. The termination of an employment relationship is

II - 105
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

termination of employment relationship because of a


certain thing that results in the coming of an end of the
rights and obligations of the worker/ labourer and the
entrepreneur.
26. A child is every person who is under 18 (eighteen) years
old.
27. Day is a period of time between 6am to 6pm.
28. One (1) day is a period of time of 24 (twenty four) hours.
29. A week is a period of 7 (seven) days.
30. A wage is the right of the worker/ labourer that is received
and expressed in the form of money as remuneration from
the entrepreneur or the employer to workers/ labourer,
whose amount is determined and paid according to a work
agreement, consensus, or laws and regulations, including
allowances for the worker/ labourer and their family for a
job and or service that has been performed or will be
performed.
31. Workers/ labourers’ welfare is a fulfillment of physical and
spiritual needs and/or necessities [of the worker] either
within or outside of employment relationships that may
directly or indirectly enhance work productivity in a
working environment that is safe and healthy.
32. Labour inspection is the activity of controlling and
enforcing the implementation of laws and regulations in
the field of manpower.
33. Minister is the minister responsible for manpower affairs.

CHAPTER II
STATUTORY BASIS, BASIC PRINCIPLES AND
OBJECTIVES
ARTICLE 2
ARTICLE 2
The National Development shall be
Manpower development shall have the Pancasila and the carried out in the framework of the whole,
1945 Constitution as its statutory basis. undivided development of Indonesian as a
human being. Therefore, manpower
development shall be carried out with the
aim to develop Indonesian and the
Indonesian society as a whole into a
prosperous, just, and well-off society in which
material and spiritual benefits are evenly
shared.

II - 106
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 3 ARTICLE 3
Manpower development shall be carried out based on The fundamental principle of
manpower development basically accords with
the basic principle of integration through functional, cross- the fundamental principle of national
sector, central, and provincial/municipal coordination. development, in particular with the
fundamental principle of democracy of the
Pancasila and the fundamental principles of
social justice and equity. Manpower
development has many dimensions and
interconnectivity with many stakeholders such
as the government, the entrepreneur and the
worker/ labourer. Therefore, manpower
development shall be carried out in an
integrated manner and in the form of a
mutually supportive cooperation.

ARTICLE 4 ARTICLE 4
Manpower development aims at: Point a
The empowerment and the effective
a. Empowering and making efficient use of manpower employment of manpower and the
optimally and humanely; development of their potentials shall go hand
in hand as an integrated activity aimed at
b. Creating equal opportunity and providing manpower providing as many job opportunities as possible
(supply of manpower) that suits the need of national and to Indonesian manpower. Through the
provincial/ municipal developments; empowerment and their employment/
potential development, Indonesian manpower
c. Providing protection to manpower for the realization of
shall be able to participate optimally in the
welfare; and national development but with keeping on
d. Improving the welfare of manpower and their family. upholding their values as human beings.
Point b
All efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities throughout
all the territory of the Unitary State of the
Republic of Indonesia as a unified job markets
by providing equal opportunities to all
Indonesian manpower to find job that is in
line with their talents, interest and capabilities.
All efforts must also be made to ensure equal
distribution of job placement in order to fulfill
the needs in all sectors and regions.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear

II - 107
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES

ARTICLE 5 ARTICLE 5
Every person who is available for a job
Any manpower shall have the same opportunity to get a
shall have the same right and opportunity to
job without discrimination. find a decent job and to earn a decent living
without being discriminated against on
grounds of sex, ethnicity, race, religion, political
orientation, in accordance with the person’s
interest and capability, including the provision
of equal treatment to the disabled.
ARTICLE 6 ARTICLE 6
Every worker/ labourer has the right to receive equal Entrepreneurs are under an obligation
treatment without discrimination from their employer. to give the worker/ labourer equal rights and
responsibilities without discrimination based
on sex, ethnicity, race, religion, skin color,
CHAPTER IV and political orientation.

MANPOWER PLANNING AND MANPOWER


INFORMATION

ARTICLE 7 ARTICLE 7
Subsection (1)
(1) For the sake of manpower development, the government Manpower planning that is formulated
shall establish manpower policy and develop manpower and established by the government shall be
planning. implemented through sector-based, regional
and national manpower planning
(2) Manpower planning shall include: approaches.
a. Macro manpower planning; and
Subsection (2)
b. Micro manpower planning. Point a
(3) In formulating policies, strategies, and implementation Macro manpower planning is a process
of sustainable manpower development program, the of systematically formulating manpower
planning, which makes effective, productive
government must use the manpower planning as and optimal use of workforce in order to
mentioned under subsection (1) as guidelines. support economic or social developments at
national, regional or sector-based level. In
this way as many as possible job opportunities
can be made available while job productivity
and workers/ labourers’ welfare can also be
increased.
Point b
Micro manpower planning is a process
of systematically formulating manpower
planning within an agency – either a
government agency or a private agency – in
order to enhance the effective, productive and

II - 108
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

optimal use of workforce to support the


achievement of high performance at the agency
or enterprise concerned.
Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 8 ARTICLE 8
Subsection (1)
(1) Manpower planning shall be developed on the basis of Manpower information is collected and
manpower information, which, among others, includes processed according to the objectives of the
information concerning: formulation of national manpower planning
and provincial or district or city manpower
a. Population and manpower; planning.
b. Employment opportunity;
Subsection (2)
c. Job training including job competence; For the sake of manpower development,
d. Workers’ productivity; the participation of the private sector is expected
to provide information concerning manpower.
e. Industrial relations; The term “private sector” shall include
f. Working environment condition; enterprises/ companies, universities, and non-
government organizations at central level,
g. Wages system and workers’ welfare; and provincial or district/ city levels.
h. Social security for the employed. Subsection (3)
Sufficiently clear
(2) The manpower information as mentioned under
subsection (1) shall be obtained from all related parties,
including from government and private agencies.
(3) Provisions concerning procedures for acquiring manpower
information as well as procedures for the formulation and
implementation of manpower planning as mentioned
under subsection (1) shall be regulated with a Government
Regulation.

CHAPTER V
JOB TRAINING

ARTICLE 9 ARTICLE 9

Job training is provided and directed to instill, enhance, Welfare improvement as mentioned
under this Article shall mean the welfare
and develop job competence in order to improve ability, gained by manpower through the fulfillment
productivity and welfare. of work competence acquired by means of job
training.

ARTICLE 10 ARTICLE 10
Subsection (1)
(1) Job training shall be carried out by taking into account Sufficiently clear

II - 109
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

the need of the job market and the need of the business Subsection (2)
community, either within or outside the scope of Work competence standards shall be
established by Minister by including the
employment relations. sectors concerned.
Job training shall be provided on the basis of training Subsection (3)
programs that refer to job competence standards. Job training commonly comes in three
levels: elementary level, intermediate level and
(2) Job training may be administered step by step. advanced level.
(3) Provisions concerning procedures for establishing job Subsection (4)
Sufficiently clear
competence standards as mentioned under subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 11 ARTICLE 11
Manpower has the right to acquire and/or improve and/ Sufficiently clear
or develop job competence that is suitable to their talents,
interest and capability through job training.

ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are responsible for improving and or Users of skilled manpower are
developing their workers’ competence through job entrepreneurs. Therefore, entrepreneurs are
training. responsible for organizing job training in
order to improve their workers’ competence.
Entrepreneurs who have meet the requirements stipulated
with a Ministerial Decision are under an obligation to Subsection (2)
improve and or develop the competence of their workers Entrepreneurs are obliged to enhance
and/or develop the competence of their
as mentioned under subsection (1)
workers/ labourers because it is the enterprise
(2) Every worker/ labourer shall have equal opportunity to that will benefit from the enhancement of
take part in a job training that is relevant to their field of their workers/ labourers’ job competence.
duty.
Subsection (3)
The administration of job training shall
be adjusted to the need of and the available
opportunity at the enterprise so that enterprise
activities are not disrupted.

ARTICLE 13 ARTICLE 13
(1) Job training shall be provided by government job-training Subsection (1)
institutes and/or private job-training institutes. Private job training shall also include
enterprise job training.
(2) Job training may be provided in a training place or in the
workplace. Subsection (2)
Sufficiently clear
(3) In providing job training, government job-training
institutes as mentioned under subsection (1) may work Subsection (3)
together with the private sector. Sufficiently clear

II - 110
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) A private job-training institute can take the form of an Sufficiently clear
Indonesian legal entity or individual proprietorship.
Subsection (2)
(2) Private job-training institutes as mentioned under
Sufficiently clear
subsection (1) are under an obligation to have a permit or
register with the agency responsible for manpower affairs Subsection (3)
in the local district/ city. The registration of training activities
administered by a government job-training
(3) A job-training institute run by a government agency shall institute at the government agency responsible
register its activities at the government agency responsible for manpower affairs in the district/ city is
for manpower affairs in the local district/ city. intended to get information for optimal
enhancement and development of the
(4) Provisions concerning procedures for acquiring a permit effectiveness of the training, training results,
from the authorities and registration procedures for job training structures and infrastructures.
training institutes as mentioned under subsection (2) and
subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Subsection (4)
Sufficiently clear
Decision.

ARTICLE 15 ARTICLE 15
Job training providers are under an obligation to make Sufficiently clear
sure that the following requirements are met:
a. The availability of trainers;
b. The availability of a curriculum that is suitable to the
level of job training to be given;
c. The availability of structures and infrastructure for job
training; and
d. The availability of fund for the perpetuation of the activity
of providing job training.

ARTICLE 16 ARTICLE 16
Sufficiently clear
(1) Licensed private job training institutes and registered
government-sponsored job training institutes may obtain
accreditation from accrediting agencies.
(2) The accrediting agencies as mentioned under subsection
(1) shall be independent, consisting of community and
government constituents, and shall be established with a
Ministerial Decision.
(3) The organization and procedures of work of the accrediting
agencies as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision.

II - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 17 ARTICLE 17
Sufficiently clear
(1) The government agency responsible for labour/ manpower
affairs in a district/ city may temporarily terminate
activities associated with the organization and
administration of a job training in the district/ city if it
turns out that the implementation of the job training:
a. Is not in accordance with the job training directions
as mentioned under Article 9; and/or
b. Does not fulfill the requirements as mentioned under
Article 15.
(2) The temporary termination of activities associated with
the organization and administration of job training as
mentioned under subsection (1) shall be accompanied
with the reasons for the temporary termination and
suggestions for corrective actions and shall apply for no
longer than 6 (six) months.
(3) The temporary termination of the implementation of the
administration of job training only applies to training
programs that do not fulfill the requirements as specified
under Article 9 and Article 15.
(4) Job training providers who, within a period of 6 months,
do not fulfill and complete the suggested corrective actions
as mentioned under subsection (2) shall be subjected to a
sanction that rules the termination of their training
programs.
(5) Job training providers who do not obey and continue to
carry out the training programs that have been ordered
for termination as mentioned under subsection (4) shall
be subjected to a sanction that revokes their licenses and
cancels their registrations as job training providers.
(6) Provisions concerning procedures for temporary
termination, termination, revocation of license, and
cancellation of registration shall be regulated with a
Ministerial Decision.

ARTICLE 18 ARTICLE 18
Subsection (1)
(1) Manpower shall be entitled to receive job competence Sufficiently clear
recognition after participating in job training provided
by government job training institutes, private job training Subsection (2)
institutes, or after participating in job training in the Certification of competence is a process

II - 112
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

workplace. of issuing competence-attesting certificates in


a systematic and objective way through
(2) The job competence recognition as mentioned under competence tests that use national as well as
subsection (1) shall be made through job competence international competence standards as
certification. reference.
(3) Manpower with experience in the job may, despite their Subsection (3)
experience, take part in the job training as mentioned Sufficiently clear
under subsection (1) in order to obtain job competence
certification as mentioned under subsection (2). Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) To provide job competence certification, independent
profession-based certification agencies shall be established. Subsection (5)
Sufficiently clear
(5) Provisions concerning the procedures for the establishment
of certification agencies as mentioned under subsection
(4) shall be regulated with a Presidential Decision.

ARTICLE 19 ARTICLE 19
The provision of job training to people with disability Sufficiently clear
who are available for a job shall take into account the type and
severity of the disability and their ability.

ARTICLE 20 ARTICLE 20
Subsection (1)
(1) To support the improvement of job training for the sake The national job training system as
of manpower development, a national job-training system mentioned under this subsection is
that serves as a reference for the administration of job interconnectivity and integration of various
training in all fields of work and/or all sectors shall be job training elements/ aspects which include,
among others, participants, costs, structures
developed. and infrastructures, instructors, training
(2) Provisions concerning the form, mechanism and programs and methods and graduates. With
institutional arrangements of the national job-training the existence of the national job training
system, all elements and all resources of
system as mentioned under subsection (1) shall be national job training found in government
regulated with a Government Regulation. agencies, private agencies and companies can
be optimally used.

Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 21 ARTICLE 21
Job training may be administered by means of Sufficiently clear
apprenticeship systems.

ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Apprenticeship shall be carried out based on an Sufficiently clear
apprenticeship agreement made in writing between the

II - 113
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

apprenticeship participant and the entrepreneur. Subsection (2)


The rights of the apprentice include the
(2) The apprenticeship agreement as mentioned under right to receive pocket money and or transport
subsection (1) shall at least have stipulations explaining money, the right to receive social security for
the rights and obligations of both the participant and the employees, certificate upon completion of
entrepreneur as well as the period of apprenticeship. apprenticeship if they successfully complete the
apprenticeship program.
(3) Any apprenticeship administered without an The rights of the entrepreneur, on the
apprenticeship agreement as mentioned under subsection other hand, include the right to possess any
(2) shall be declared illegal and as a consequence, the status products/ services resulted from the
apprenticeship activities, the right to recruit
of the apprenticeship’s participants shall change to be the
and install successful apprentices as workers/
workers/ labourers of the enterprise. labourers if they meet the entrepreneur’s
criteria.
The obligations of the apprentice include
the obligation to comply with the
apprenticeship agreement, to follow
apprenticeship programs and procedures, and
to comply with the enterprise’s discipline and
rule of conduct.
The obligations of the entrepreneur, on
the other hand, include the obligation to
provide pocket money and/or transport money
to the apprentice, training facilities and
infrastructures as well as occupational safety
and health equipment.
The period of apprenticeship varies,
subject to the length of time needed to achieve
the competence standards that have been set/
established in the apprenticeship training
programs.

Subsection (3)
An apprentice who has the status of a
worker/ labourer in the enterprise that employs
him or her as apprentice shall have the right
over everything that is regulated in the
company regulations or the collective labour
agreement.

ARTICLE 23 ARTICLE 23
Certification may be performed by a
Manpower that has completed an apprenticeship program
certification agency established by and or
is entitled to get their job competence and qualifications accredited by the government if the program
recognized by enterprises or by certification agency. is general, or by the enterprise if the program
is specific.

ARTICLE 24
ARTICLE 24
Sufficiently clear
Apprenticeship can take place within the enterprise or at
the place where job training is organized, or at another

II - 114
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

enterprise, within or outside of the Indonesia’s territory.

ARTICLE 25 ARTICLE 25
Sufficiently clear
(1) The apprenticeship which is conducted outside of
Indonesia’s territory must obtain a license from Minister
or the appointed official.
(2) In order to obtain the license as mentioned under
subsection (1), the organizer of the apprenticeship must
be in the form of an Indonesian legal entity in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(3) Provisions concerning the procedures for obtaining license
for apprenticeship organized outside of Indonesia’s territory
as mentioned under subsection (1) and subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear
(1) Any apprenticeship organized outside of the Indonesia’s
territory must take into account:
a. The dignity and standing of Indonesians as a nation;
b. Mastery of a higher level of competence; and
c. Protection and welfare of apprenticeship participants,
including their rights to perform religious obligations.
(2) The Minister or appointed official may order the
termination of any apprenticeship taking place outside of
the Indonesia’s territory if it turns out that its organization
is not pursuant to subsection (1).

ARTICLE 27 ARTICLE 27
Subsection (1)
(1) Minister may require qualified enterprises to organize Sufficiently clear
apprenticeship programs.
(2) In determining the requirements for organizing Subsection (2)
The phrase the interests of the enterprise
apprenticeship programs as mentioned under subsection under this subsection means to ensure the
(1), Minister must take into account the interests of the availability of skilled and expert manpower
enterprise, the society and the State. at certain competence levels such specialist
welders for performing welding underwater.
The phrase the interests of the society
shall refer to, for instance, the opening up of
opportunities for people to find a job in a
specific industry such as plant cultivation
technology with tissue culture.
The phrase the interests of the State shall

II - 115
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

refer to, for instance, efforts to save the country’s


foreign exchange reserves through
apprenticeship programs aimed at enabling
the apprentice to manufacture modern
agricultural machines and tools.

ARTICLE 28 ARTICLE 28
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendation and consideration
in the establishment of policies and coordination of job
training and apprenticeship activities, a national job
training coordinator institute shall be established.
(2) The formation, membership and procedures of work of
the national job training coordinator institute as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Presidential Decision.

ARTICLE 29 ARTICLE 29
Sufficiently clear
(1) The Central Government and/or Regional Governments
shall develop job training and apprenticeship.
(2) The development of job training and apprenticeship shall
be directed to improve the relevance, quality, and
efficiency of job training administration and productivity.
(3) Efforts to improve productivity as mentioned under
subsection (2) shall be made through the development of
productive culture, work ethics, technology and efficiency
of economic activities directed towards the realization of
national productivity.

ARTICLE 30 ARTICLE 30
Sufficiently clear
(1) In order to enhance productivity as mentioned under
subsection (2) of Article 29, a national productivity
institute shall be established.
(2) The national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be in the form of an institutional
productivity enhancement service network, which
supports cross-sector and cross-regional activities/
programs.
(3) The formation, membership and procedures of work of
the national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Presidential
Decision.

II - 116
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER VI
JOB PLACEMENT

ARTICLE 31 ARTICLE 31
Any manpower shall have equal rights and opportunities Sufficiently clear
to choose a job, get a job, or move to another job and earn
decent income irrespective of whether they are employed at
home or abroad.

ARTICLE 32 ARTICLE 32
Subsection (1)
(1) Job placement shall be carried out based on transparency,
The term transparency here refers to the
free, objectivity, fairness and equal opportunity without giving of clear information to jobseekers
discrimination. concerning the type of work, the amount
(2) Job placement shall be directed to place manpower in of wages, and working hours. This is
necessary to protect workers/ labourers and
the right job or position which best suits their skills, trade, to avoid disputes after the placement takes
capability, talents, interest and ability by observing their place.
dignity and rights as human beings as well as legal Free means that jobseekers are free to choose
protection. whatever job they like and employers are
also free to choose manpower/ jobseekers
(3) Job placement shall be carried out by taking into account
they like. Thus jobseekers must not be
the equal distribution of equal opportunity and the forced to accept a job and employers must
available supply of manpower in accordance with the needs not be forced to accept any manpower
of the national and regional development programs. offered to him.
The term objectivity here is intended to
encourage employers to offer to jobseekers
jobs that suit their abilities and
qualifications. In so doing, however,
employers have to consider the interests of
the public and must not take sides.
The phrase fairness and equal here shall
refer to placement purely based on the
ability of the manpower and not based
on the manpower’s race, sex, skin color,
religion, and political orientation.

Subsection (2)
Sufficiently clear

Subsection (3)
Efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities in the whole
territory of the State of the Republic of
Indonesia as a unified national job market
by providing the whole manpower with the
same opportunity to get job according to their

II - 117
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

talents, interests and ability. Efforts to ensure


equal distribution of job opportunities also
need to be made so that the need for manpower
in all sectors and regions can be fulfilled.

ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear
The placement of manpower consists of:
a. The placement of manpower at domestic level;
b. The placement of manpower in foreign countries.

ARTICLE 34 ARTICLE 34
Prior to the enactment of the act on the
Provisions concerning the placement of manpower in placement of manpower in foreign countries,
foreign countries as mentioned under Article 33 point b shall all laws and regulations that regulate
be regulated with an act. placement of manpower in foreign countries
shall remain valid.

ARTICLE 35 ARTICLE 35
Subsection (1)
(1) Employers who need workforce may recruit by themselves Employers under this subsection refer to
the workforce they need or have them recruited through domestic employers.
job placement agencies.
Subsection (2)
(2) Job placement agencies as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) are under an obligation to provide protection to
manpower that they try to find a placement for since their Subsection (3)
recruitment takes place until their placement is realized. Sufficiently clear

(3) In employing people who are available for a job, the


employers as mentioned under subsection (1) are under
an obligation to provide protection which shall include
protection for their welfare, safety and health, both mental
and physical.

ARTICLE 36 ARTICLE 36
Sufficiently clear
(1) The placement of manpower by a job placement agency
as mentioned under subsection (1) of Article 35 shall be
carried out through the provision of job placement service.
(2) Job placement service as mentioned under subsection (2)
shall be provided/rendered in an integrated manner within
a job placement system to which the following elements
are part:
a. Job seekers;
b. Vacancies;
c. Job market information;

II - 118
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

d. Inter-job mechanisms; and


e. Institutional arrangements for job placement.
(3) Activities connected with the elements of the job
placement system as mentioned under subsection (2) can
take place separately and are aimed at the realization of
the placement of manpower.

ARTICLE 37 ARTICLE 37
Subsection (1)
(1) Job placement agencies as mentioned under subsection Point a
(1) of Article 35 consist of: The establishment of government
a. Government agencies responsible for manpower affairs; agencies responsible for manpower affairs at
central and regional level shall be regulated
and according to prevailing laws and regulations.
b. Private agencies with legal status. Point b
Sufficiently clear
(2) In order to provide job placement service, the private
agency as mentioned under subsection (1) point b is under Subsection (2)
an obligation to possess a written permission from Minister Sufficiently clear
or another appointed official.

ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear
(1) Job placement agencies as mentioned under point a
subsection (1) of Article 37 are prohibited from collecting
placement fees, either directly or indirectly, in part or in
whole, from people available for work whom they find a
placement for and their users.
(2) Private job placement agencies as mentioned under point
b subsection (1) of Article 37 may only collect placement
fees from users of their service and from workers of certain
ranks and occupation whom they have placed.
(3) The ranks and occupation as mentioned under subsection
(2) shall be regulated with a Ministerial Decision.

CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES

ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear
(1) The government is responsible for making efforts to extend
job opportunities either within or outside of employment
relationships.

II - 119
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) The government and the society shall jointly make efforts
to extend job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(3) All the government’s policies, at the central or regional
level and in each sector, shall be directed to realize the
extension of job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(4) Financial institutions, either banks or non-banks, and the
business society need to help and facilitate each activity
of the society which can create or develop extension of job
opportunities.

ARTICLE 40 ARTICLE 40
Sufficiently clear
(1) Extension of employment opportunities outside of
employment relationships shall be undertaken through
the creation of productive and sustainable activities by
efficient use of natural resource potentials, human
resources, and effective practical technologies.
(2) Extension of employment opportunities as mentioned
under subsection (1) shall be undertaken through patterns
of formation and development for the self-employed, the
application of labour-intensive system, the application and
development of effective practical technology, and efficient
use of volunteers or other patterns that may encourage
the creation of job opportunity extension.

ARTICLE 41 ARTICLE 41
Because efforts to extend job
(1) The government shall determine manpower and job opportunities are of cross-sector coverage, a
opportunity extension policies. national policy must be made in all sectors to
absorb manpower optimally. In order to
(2) The government and the society shall jointly exercise properly implement the national policy, the
control over the implementation of the policies as government and society shall jointly and in a
mentioned under subsection (1). coordinated way monitor and control the
implementation of the policy.
(3) In implementing the duty as mentioned under subsection
(2), a coordinating body with government and society
constituents as its members may be established.
(4) Provisions concerning the extension of job opportunities
as mentioned under Article 39 and Article 40 and the
formation of a coordinating body as mentioned under
subsection (3) of this Article shall be regulated with a
Government Regulation.

II - 120
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER

ARTICLE 42 ARTICLE 42
Subsection (1)
(1) Every employer that employs foreign worker is under an The requirement to obtain permission
obligation to obtain written permission from Minister. for the use of foreign worker is intended to
ensure selective employment of foreign worker
(2) An employer who is an individual person is prohibited so that Indonesian manpower can be used
from employing foreign worker. and developed optimally.
(3) The obligation to obtain permission from Minister as
Subsection (2)
mentioned under subsection (1) does not apply to
Sufficiently clear
representative offices of foreign countries in Indonesia that
employ foreign citizens as their diplomatic and consular Subsection (3)
employees. Sufficiently clear
(4) Foreign worker can be employed in Indonesia in Subsection (4)
employment relations for certain positions and for a Sufficiently clear
certain period of time only.
Subsection (5)
(5) Provisions concerning certain positions and certain periods Sufficiently clear
of time as mentioned under subsection (4) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (6)
Sufficiently clear
(6) Foreign workers as mentioned under subsection (4) whose
working period has expired and cannot be extended may
be replaced by other foreign workers.

ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker must have plan concerning The plan for the utilization of foreign
the utilization of foreign worker that are legalized by the worker is a requirement to get working permit
Minister or appointed official. (IKTA).
(2) The plans for the utilization of foreign worker as Subsection (2)
mentioned under subsection (1) shall at least contain the Sufficiently clear
following information:
Subsection (3)
a. The reasons why the service of foreign worker is needed The “international agencies” under this
or required. subsection refer to non-profit international
b. The position and or occupation of the foreign worker organizations under the United Nations such
as the ILO, WHO or UNICEF.
within the organizational structure of the enterprise.
c. The timeframe set for the use of the foreign worker; Subsection (4)
and Sufficiently clear

d. The appointment of Indonesian worker as associate


for the foreign worker.

II - 121
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) The provision as mentioned under subsection (1) does


not apply to government agencies, international agencies
and representative diplomatic offices of foreign countries.
(4) The provisions concerning the procedures for the
legalization of plans concerning the utilization of foreign
worker shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 44 ARTICLE 44
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker are under an obligation to The competence standards here refer to
obey the prevailing regulations concerning occupations qualifications that must be owned by
and competence standards. manpower of foreign citizenship such as
knowledge, skills and expertise in certain fields
(2) The provisions concerning occupations and competence and understanding of Indonesian culture.
standards as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (2)
ufficiently clear

ARTICLE 45 ARTICLE 45
Subsection (1)
(1) Employers who employ foreign worker are under Point a
obligations: Indonesian worker who accompany
foreign worker do not automatically replace
a. To appoint Indonesian worker as associate for foreign
or occupy the position of the foreign worker
worker whereby the foreign worker shall transfer that they accompany. The accompaniment is
technologies and his/her expertise to his/her emphasized on transfer of technology and
Indonesian associate; and transfer of expertise/ skills so that the
accompanying Indonesian workers may get
b. To educate and train Indonesian worker, as mentioned ability to replace the foreign worker that they
under point a, until he/she has the qualifications accompany in due time.
required to occupy the position currently occupied by Point b
foreign worker. Vocational education and training by
employers may be carried out either in the
(2) The provision as mentioned under subsection (1) does country home or by sending Indonesian
not apply to foreign worker who occupy the position of manpower to foreign countries for training.
director and/or commissioner.
Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear
(1) Foreign worker is not allowed to occupy position that deal
with personnel and/or occupy certain positions.
(2) The certain positions as mentioned under subsection (1)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

II - 122
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Employers are obliged to pay compensation for each of The obligation to pay compensation is
foreign worker that they employ. intended to support efforts to increase the
quality of Indonesian human resources.
(2) The obligation to pay compensation as mentioned under
subsection (1) does not apply to government agencies, Subsection (2)
international agencies, social and religious undertakings Sufficiently clear
and certain positions in educational institutions.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning certain positions in educational Sufficiently clear
institutions as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the amount of compensation
and its utilization shall be regulated with a Government
Regulation.

ARTICLE 48 ARTICLE 48
Employers who employ foreign worker are under an Sufficiently clear
obligation to repatriate the foreign worker to their countries
of origin after their employment comes to an end.

ARTICLE 49
Provisions concerning the procedures for the utilization
of foreign workers and the implementation of education and
training for their Indonesian associate shall be regulated with ARTICLE 49
a Government Regulation. Sufficiently clear

CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS

ARTICLE 50 ARTICLE 50
Employment relation exists because of the existence of a Sufficiently clear
work agreement between the entrepreneur and the worker/
labourer.

ARTICLE 51 ARTICLE 51
Subsection (1)
(1) Work agreements can be made either orally or in writing. Principally, work agreements shall be
(2) Work agreements that specify requirements in writing shall made in writing. However, given the various
be carried out in accordance with valid legislation. conditions in the society, oral work agreements
are possible.

II - 123
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Subsection (2)
Work agreements that specify work
requirements in writing must be in
accordance with the prevailing laws and
regulations, including work agreements for a
specified time, inter-work inter-region and
inter-work inter-country and maritime work
agreements.

ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) A work agreement shall be made based on: Point a
a. The agreement of the parties; Sufficiently clear
Point b
b. The capability or competence to take legal actions; The phrase capability or competence to
c. The availability/existence of the job which the parties take legal actions refers to parties who are
have agreed about; capable or competent by law to make
agreements. Work agreements for child labour
d. The notion that the job which the parties have agreed shall be signed by their parents or guardians.
about is not against public order, morality and what is Point c
prescribed in the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear
Point d
(2) If a work agreement, which has been made by the parties, Sufficiently clear
turns out to be against what is prescribed under point a
and point b of subsection (1), the agreement may be Subsection (2)
abolished/cancelled. Sufficiently clear

(3) If a work agreement, which has been made by the parties, Subsection (3)
turns out to be against what is prescribed under point c Sufficiently clear
and point d of subsection (1), the agreement shall be
declared null and void by law.

ARTICLE 53 ARTICLE 53
Sufficiently clear
Everything associated with, and/or the costs needed for,
the making of a work agreement shall be borne by, and shall
be the responsibility of, the entrepreneur.

ARTICLE 54 ARTICLE 54
Subsection (1)
(1) A written work agreement shall at least include: Sufficiently clear
a. The name, address and line of business;
Subsection (2)
b. The name, sex, age and address of the worker/ labourer; What is meant by the phrase must not
c. The occupation or the type of job; against stated under this subsection is that if
the enterprise already has its rules and
d. The place, where the job is to be carried out; regulations or its collective labour agreement,
e. The amount of wages and how the wages shall be paid; then the content of the work agreement, both
in terms of quality and quantity, can not be
f. Job requirements stating the rights and obligations of

II - 124
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

both the entrepreneur and the worker/ labourer; lower than the provisions under the company
regulations or the collective labour agreement.
g. The date the work agreement starts to take effect and
the period during which it is effective; Subsection (3)
h. The place and the date where the work agreement is Sufficiently clear
made; and
i. The signatures of the parties involved in the work
agreement.
(2) The provisions in a work agreement as mentioned under
point e and point f of subsection (1) are concerned must
not against the company regulations, the collective labour
agreement and prevailing laws and regulations.
(3) A work agreement as mentioned under subsection (1) shall
be made in 2 (two) counterparts which have the same
legal force, 1 (one) copy of which shall be kept by the
entrepreneur and the other by the worker/ labourer.

ARTICLE 55 ARTICLE 55
A work agreement cannot be withdrawn and/or changed Sufficiently clear
unless the parties agreed otherwise.

ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear
(1) A work agreement may be made for a specified time or for
an unspecified time.
(2) A work agreement for a specified time shall be made based
on:
a. A term; or
b. The completion of a certain job.

ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time shall be made in
writing and must be written in the Indonesian language
with Latin alphabets.
(2) A work agreement for a specified time, if not made in
writing is against what is prescribed under subsection (1),
shall be regarded as a work agreement for an unspecified
time.
(3) If a work agreement is written in both the Indonesian
language and a foreign language and then differences in
interpretation arise, then the Indonesian version of the
agreement shall prevail.

II - 125
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time cannot stipulate
probation.
(2) If a work agreement as mentioned under subsection (1)
stipulates the probation, it shall then be declared null
and void by law.

ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) A work agreement for a specified time can only be made The work agreement as mentioned
for a certain job, which, because of the type and nature of under this subsection shall be registered with
the job, will finish in a specified time, that is: the government agency responsible for
manpower affairs.
a. Work to be performed and completed at once or work
which is temporary by nature; Subsection (2)
b. Work whose completion is estimated time which is Jobs that are permanent by nature refer
to continuous, uninterrupted jobs that are
not too long and no longer than 3 (three) years; not confined by a timeframe and are part of
c. Seasonal work; or production process in an enterprise or jobs
that are not seasonal.
d. Work that is related to a new product, a new activity Jobs that are not seasonal are jobs that
or an additional product that is still in the experimental do not depend on the weather or certain
stage or try-out phase. conditions. If a job is a continuous,
uninterrupted job that is not confined by a
(2) A work agreement for a specified time cannot be made for
timeframe and part of a production process
jobs that are permanent by nature. but depends on the weather or the job is
(3) A work agreement for a specified time can be extended or needed because of the existence of a certain
renewed. condition, then the job is a seasonal job. The
job does not belong to permanent employment
(4) A work agreement for a specified time may be made for a and hence, can be subjected to a work
period of no longer than 2 (two) years and can only be agreement for a specified time.
extended one time that is not longer than 1 (one) year.
Subsection (3)
(5) Entrepreneurs who intend to extend work agreement for Sufficiently clear
a specified time shall notify the said workers/ labourers of
the intention in writing within a period of no later than 7 Subsection (4)
Sufficiently clear
(seven) days prior to the expiration of the work agreements.
(6) The renewal of a work agreement for a specified time can Subsection (5)
only be made after a grace period of 30 (thirty) days is Sufficiently clear
over since the work agreement for a specified period comes
Subsection (6)
to an end; the renewal of a work agreement for a specified Sufficiently clear
time can only be made once that is no longer than 2 (two)
years. Subsection (7)
Sufficiently clear
(7) Any work agreement for a specified time that does not
fulfill the requirements mentioned under subsection (1), Subsection (8)
subsection (2), subsection (4), subsection (5) and Sufficiently clear

II - 126
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

subsection (6) shall, by law, become a work agreement


for an unspecified time.
(8) Other matters that have not been regulated under this
article shall be further regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 60 ARTICLE 60
Subsection (1)
(1) A work agreement for an unspecified time may require a A requirement for a probationary period
probation period for no longer than 3 (three) months. must be stated in a work agreement. If the
(2) During the probation period as mentioned under work agreement is made orally, the
requirement for a probationary period must
subsection (1), the entrepreneur is prohibited from paying be made known to the worker and stated in
wages less than the applicable minimum wage. the worker’s letter of appointment. If the work
agreement or the letter of appointment is silent
about probationary period, probationary
period shall be considered non-existent.

Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 61 ARTICLE 61
Subsection (1)
(1) A work agreement comes to an end if: Point a
a. The worker dies; or Sufficiently clear
Point b
b. The work agreement expires; or Sufficiently clear
c. A court decision and/or a resolution or order of the Point c
industrial relations disputes settlement institution, Sufficiently clear
Point d
which has permanent legal force; or A certain situation or incident which
d. There is a certain situation or incident prescribed in may result in the termination of employment
the work agreement, the company regulations, or the refers to certain conditions such as natural
disasters, social upheavals/ unrest and security
collective labour agreement which may effectively
disturbances.
result in the termination of employment.
A work agreement does not end because the Subsection (2)
entrepreneur dies or because the ownership of the Sufficiently clear
company has been transferred because the company Subsection (3)
has been sold, bequeathed to an heir, or awarded as a Sufficiently clear
grant.
Subsection (4)
(2) In the event of a transfer of ownership of an enterprise, Sufficiently clear
the new entrepreneur shall bear the responsibility of
fulfilling the entitlements of the worker/ labourer unless Subsection (5)
otherwise stated in the transfer agreement, which must What is meant by the worker’s
entitlements that pursuant to the prevailing
not reduce the entitlements of the worker/ labourer.
laws and regulations or the entitlements that
has been prescribed in the work agreement,

II - 127
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) If the entrepreneur, individual, dies, his or her heir may the company regulations, or collective labour
terminate the work agreement after negotiating with the agreement are entitlements that must be given
that are better and more beneficial for the
worker/ labourer. worker/ labourer.
(4) If a worker/ labourer die, his or her heir has a rightful
claim to acquire the worker’s entitlements according to
the prevailing laws and regulations or to the entitlements
that has been prescribed in the work agreement, the
company regulations, or the collective labour agreement.

ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear
If either party in a work agreement for a specified time
shall terminates the employment relations prior to the
expiration of the agreement, or if their work agreement has to
be ended for reasons other than what is given under subsection
(1) of Article 61, the party that terminates the relation is obliged
to pay compensation to the other party in the amount of the
worker’s/ labourer’s wages until the expiration of the agreement.

ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear
(1) If a work agreement for an unspecified time is made orally,
the entrepreneur is under an obligation to issue a letter of
appointment for the relevant worker/ labourer.
The letter of appointment as mentioned under subsection
(1) shall at least contain information concerning:
a. The name and address of the worker/ labourer;
b. The date the worker starts to work;
c. The type of job or work; and
d. The amount of wages.

ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear
An enterprise may subcontract part of its work to another
enterprise under a written agreement of contract of work or a
written agreement for the provision of worker/labour.

ARTICLE 65 ARTICLE 65
Sufficiently clear
(1) The subcontract of part of work to another enterprise shall
be performed under a written agreement of contract of
work.
(2) Work that may be subcontracted as mentioned under
subsection (1) must meet the following requirements:

II - 128
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

a. The work can be done separately from the main activity;


b. The work is to be undertaken under either a direct or
an indirect order from the party commissioning the
work;
c. The work is an entirely auxiliary activity of the
enterprise; and
d. The work does not directly inhibit the production
process.
(3) The other enterprise as mentioned under subsection (1)
must be in the form of a legal entity.
(4) The protection and working conditions provided to
workers/ labourers at the other enterprise as mentioned
under subsection (2) shall at least the same as the
protection and working conditions provided at the
enterprise that commissions the contract or in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(5) Any change and/or addition to what is required under
subsection (2) shall be regulated further with a Ministerial
Decision.
(6) The employment relationship in undertaking the work
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with
a written employment agreement between the other
enterprise and the worker/labourer it employs.
(7) The employment relationship as mentioned under
subsection (6) may be based on an employment agreement
for an unspecified time or on an employment agreement
for a specified time if it meets the requirements under
Article 59.
(8) If what is stipulated under subsection (2), and subsection
(3), is not met, the enterprise that contracts the work to
the contractor shall be held legally responsible by law to
be the employer of the worker/ labourer employed by the
contractor.
(9) In the event of change of employer from the contractor to
the contracting enterprise as mentioned under subsection
(8), the employment relationship between the worker/
labourer and the contracting enterprise shall be subjected
to the employment relationship as mentioned under
subsection (7).

II - 129
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 66 ARTICLE 66
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers from labour suppliers must not be If the job is related to the entrepreneur’s
utilized by employers to carry out their enterprises’ main core business activities or activities directly
activities or activities that are directly related to production connected with production process, the
process except for auxiliary service activities or activities entrepreneur is only allowed to employ
workers/ labourers under an employment/
that are indirectly related to production process. work agreement for a specified time and/or
(2) Labour suppliers which provide labour for auxiliary service under a work agreement for an unspecified
activities or activities indirectly related to production time.
What is meant by auxiliary service
process must fulfill the following requirements: activities or activities indirectly related to
a. There is employment relationship between the worker/ production process are activities outside of the
labourer and the labour provider; core business of the enterprise.
Such activities include, among others,
b. The applicable employment agreement in the activities associated with the provision of
employment relationship as mentioned under point a cleaning service, the provision of catering
above shall be employment agreement for a specified service the provision of a supply of security
guards, auxiliary business activities in the
time which fulfills the requirements under Article 59
mining and oil sectors, and the provision of
and/or work agreement for an unspecified time made transport for workers/ labourers.
in writing and signed by the parties;
c. The labour provider shall be responsible for wages and Subsection (2)
Point a
welfare protection, working conditions and disputes Sufficiently clear
that may arise; and Point b
d. The agreements between enterprises serving as labour Sufficiently clear
Point c
providers and enterprises using the labour they provide Issues concerning wage and welfare
shall be made in writing and shall include provisions protection, working requirements/ conditions
as mentioned under this act. and settlements of disputes between labour
providers/ suppliers and workers/ labourers
(3) Labour providers/ suppliers shall take the form of a legal
must be in accordance with the prevailing
entity business with license from a government agency laws and regulations.
responsible for manpower affairs. As far as wage and welfare protection,
(4) If what is stipulated under subsection (1), point a, point working conditions, and protection in the
event of a dispute are concerned, workers/
b, and point d of subsection (2), and subsection (3) is labourers who work at labour provider
not fulfilled, the enterprise that utilizes the service of the enterprises shall receive the same entitlements
labour provider shall be held legally responsible by law to as the ones provided in the enterprises that use
be the employer of workers/ labourers provided to it by their service in accordance with the work
agreements, company regulations or collective
the labour provider.
labour agreements.
Point d
Sufficiently clear

Subsection (3)
Sufficiently clear

Subsection (4)
Sufficiently clear

II - 130
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE
SECTION ONE
PROTECTION
SUBSECTION 1
DISABLED PERSONS

ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who employ disabled workers are under The protection to disabled workers
an obligation to provide protection to the workers in according to the type and severity of the
accordance with the type and severity of their disability. disability as mentioned under this subsection
refers to, for instance, the provision of
(2) The protection for disabled workers as mentioned under accessibility, working tools, and personal
subsection (1) shall be administered in accordance with protective equipment that are adjusted to the
prevailing laws and regulations. type and severity of the worker’s disability.

Subsection (2)
SUBSECTION 2 Sufficiently clear
CHILDREN
ARTICLE 68 ARTICLE 68
Entrepreneurs are not allowed to employ children. Sufficiently clear

ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear
(1) Exemption from what is stipulated under Article 68 may
be made for the employment of children aged between
13 (thirteen) years old and 15 (fifteen) years old for light
work to the extent that the job does not stunt or disrupt
their physical, mental and social developments.
(2) Entrepreneurs who employ children for light work as
mentioned under subsection (1) must meet the following
requirements:
a. The entrepreneurs must have written permission from
the parents or guardians of the children;
b. There must be a work agreement between the
entrepreneur and the parents or guardians;
c. Maximum working time 3 (three) hours a day;
d. Conducting during the day without disturbing school
time;

II - 131
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

e. occupational safety and health;


f. A clear employment relations; and
g. receive wages in accordance with the prevailing
provisions.
(3) The provisions as mentioned under point a, b, f and point
g of subsection (2) shall not apply to children who work
in a family business.

ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear
(1) Children may work at a workplace as part of their school’s
education curriculum or training legalized by the
authorities.
(2) The children as mentioned under subsection (1) at least
14 (fourteen) years of age.
(3) The job as mentioned under subsection (1) can be
performed on the conditions:
a. given clear instructions on how to do the job as well as
guidance and supervision on how to carry out the work;
and
b. given the occupational safety and health.

ARTICLE 71 ARTICLE 71
Subsection (1)
(1) Children may work in order to develop their talents and What is stipulated under this subsection
interest. is intended to protect children in such a way
that the development of their talents and
(2) Entrepreneurs who employ children as mentioned under
interest – that commonly takes place at their
subsection (1) are under an obligation to meet the age – is not disrupted.
following requirements:
a. put under direct supervision of their parents or Subsection (2)
Sufficiently clear
guardians;
b. maximum working time 3 (three) hours a day; and Subsection (3)
Sufficiently clear
c. the working conditions and environment do not disrupt
their physical, mental and social developments as well
as school time;
(3) Provisions concerning children who work to develop their
talents and interest as mentioned under subsection (1)
and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

II - 132
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear
In case children are employed together with adult
workers/labourers, the children’s workplace must be separated
from the workplace for adult workers/labourers.

ARTICLE 73 ARTICLE 73
Children shall be assumed to be at work if they are found Sufficiently clear
in a workplace unless there is evidence to prove otherwise.

ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear
(1) Anyone shall be prohibited from employing and involving
children in the worst forms of child labour.
(2) The worst forms of child labour as mentioned under
subsection (1) include:
a. All kinds of job in the form of slavery or practices similar
to slavery;
b. All kinds of job that make use of, procure, or offer
children for prostitution, the production of
pornography, pornographic performances or gambling;
c. All kinds of job that make use of, procure, or involve
children for the production and trade of alcoholic
beverages, narcotics, psychotropic substances and other
addictive substances; and/or
d. All kinds of job harmful to the health, safety and moral.
(3) The types of jobs that damage the health, safety or moral
of the child as mentioned under point d of subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 75 ARTICLE 75
Subsection (1)
(1) The government is under an obligation to make efforts to Efforts to overcome problems associated
overcome problems concerning with children who work with children who work outside of employment
outside of employment relationship. relations are intended to ensure that no child
works outside of employment relations or to
(2) The efforts as mentioned under subsection (1) shall be reduce the number of children who work
regulated with a Government Regulation. outside of employment relations. These efforts
must be carried out in a well-planned, well-
integrated and well-coordinated manner with
related agencies.
Children who work outside of
employment relations are for instance shoeshine
boys or newspaper boys.

II - 133
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SUBSECTION 3 Subsection (2)


Sufficiently clear
WOMEN
ARTICLE 76 ARTICLE 76
Subsection (1)
(1) It is prohibited to employ female workers/ labourers aged Entrepreneurs shall be the ones
less than 18 (eighteen) years of age between 11 p.m. until responsible for the violation of this article.
7 a.m. Should female workers/ labourers as
mentioned under this subsection be employed
(2) Entrepreneurs are prohibited from employing pregnant between 11 p.m. until 7 a.m., the
female workers/ labourers who, according to a doctor’s entrepreneur shall be held responsible for this
certificate, are at risk of damaging their health or harming violation.
their own safety and the safety of the baby that are in Subsection (2)
their wombs if they work between 11 p.m. until 7 a.m. Sufficiently clear
(3) Entrepreneurs who employ female workers/ labourers to
Subsection (3)
work between 11 p.m. until 7 a.m. are under an obligation:
Sufficiently clear
a. To provide them with nutritious food and drinks; and
Subsection (4)
b. To maintain decency/ morality and security in the
Sufficiently clear
workplace.
(4) Entrepreneurs are under an obligation to provide returned/ Subsection (5)
roundtrip transport for female workers/ labourers who work Sufficiently clear
between 11 p.m. until 5 a.m.
(5) Provisions as mentioned under subsection (3) and
subsection (4) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

SUBSECTION 4
WORKING HOURS

ARTICLE 77 ARTICLE 77
Subsection (1)
(1) Every entrepreneur is under an obligation to observe the Sufficiently clear
provision concerning working hours.
(2) The working hours as mentioned under subsection (1) Subsection (2)
Sufficiently clear
cover:
a. 7 (seven) hours a day and 40 (forty) hours a week for 6 Subsection (3)
(six) workdays in a week; or Under this subsection, certain business
sectors or certain types of work refer to, for
b. 8 (eight) hours a day, 40 (forty) hours a week for 5 instance, work on offshore oil drilling rigs/
(five) workdays in a week; platforms, work involving long distance
driving of vehicles, work involving long
(3) The provisions concerning the working hours as mentioned
distance flight, work at sea (on a ship) or
under subsection (2) do not apply to certain business work involving the felling of trees.

II - 134
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

sectors or certain types of work. Subsection (4)


Sufficiently clear
(4) The provisions concerning working hours for certain
business sectors or certain types of work as mentioned
under subsection (3) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 78 ARTICLE 78
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Employing workers beyond normal
longer than the working hours determined under working hours must be avoided because
subsection (2) of Article 77 must meet the following workers/ labourers must have enough time to
requirements: take a rest and recover their fitness. However,
in certain cases there are urgent needs in which
a. Approval of the relevant worker/labourer; work must be immediately and inevitably
b. Maximum overtime work of 3 (three) hours in a day done so that workers/ labourers have to work
beyond normal working hours.
and 14 (fourteen) hours in a week.
(2) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Subsection (2)
overtime as mentioned under subsection (1) are under an Sufficiently clear
obligation to pay overtime pay.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning overtime as mentioned under Sufficiently clear
subsection (1) point b do not apply to certain business
sector or certain jobs. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning overtime and overtime wages
as mentioned under subsection (2) and subsection (3)
shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 79 ARTICLE 79
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are under an obligation to allow their Sufficiently clear
workers/ labourers to take a rest and leave. Subsection (2)
Point a
(2) The period of rest and leave as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) shall include: Point b
a. The period of rest between working hours at least half Sufficiently clear
Point c
an hour after working for 4 (four) hours consecutively
Sufficiently clear
and this period of rest shall not be inclusive of working Point d
hours; While taking a long period of rest,
The weekly period of rest is 1 (one) day after 6 (six) workers/ labourers are given compensation
pay for their entitlement to the eighth year’s
workdays in a week or 2 (two) days after 5 (five) annual leave amounting to half their monthly
workdays in a week; salary. Enterprises that have already applied a
b. The yearly period of rest is 12 (twelve) workdays after long period of rest that is better than the one
stipulated under this act are not allowed to
the worker/labourer works for 12 (twelve) months reduce it.
consecutively; and

II - 135
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

c. A long period of rest of no less than 2 (two) months, Subsection (3)


which shall be awarded in the seventh and eighth year Sufficiently clear
of work each for a period of 1 (one) month to workers/ Subsection (4)
labourers who have been working for 6 (six) years Sufficiently clear
consecutively at the same enterprise on the condition
that the said workers/ labourers will no longer be Subsection (5)
Sufficiently clear
entitled to their annual period of rest in 2 (two) current
years. This provision shall henceforth be applicable
every 6 (six) years of work.
(3) The application of the provision concerning the period of
rest as mentioned under point c of subsection (2) shall be
regulated in a work agreement, the company regulations
or the collective labour agreement.
(4) The provisions concerning the long period of rest as
mentioned under point d of subsection (2) only apply to
workers/labourers who work in certain enterprises.
(5) The certain enterprises as mentioned under subsection
(4) shall be regulated with a Ministerial Decision.

ARTICLE 80 ARTICLE 80
Entrepreneurs are under an obligation to provide workers What is meant by the provision of
adequate opportunity shall refer to the
with adequate opportunity to perform their religious provision of a place for praying to and
obligations. worshipping God that enables workers/
labourers to properly perform their religious
obligations/ rituals, in which the enterprise’s
conditions and financial ability for the
provision of such a place shall be taken into
account.
ARTICLE 81 ARTICLE 81
(1) Female workers/labourers who feel pain during their Sufficiently clear
menstruation period and notify the entrepreneur about
this are not obliged to come to work on the first and second
day of menstruation.
(2) The implementation of what is stipulated under subsection
(1) shall be regulated in work agreements, the company
regulations or collective labour agreements.

ARTICLE 82 ARTICLE 82
Subsection (1)
(1) Female workers/ labourers are entitled to a 1.5 (one-and- The length of the period of rest may be
a-half ) month period of rest before the time at which extended if required as attested by a written
they are estimated by an obstetrician or a midwife to give statement from the obstetrician or midwife

II - 136
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

birth to a baby and another 1.5 (one-and-a-half ) month either prior to or after the delivery.
period of rest thereafter.
Subsection (2)
(2) A female worker/ labourer who has a miscarriage is entitled Sufficiently clear
to a period of rest of 1.5 (one-and-a-half ) months or a
period of rest as stated in the medical statement issued by
the obstetrician or midwife.

ARTICLE 83 ARTICLE 83
Entrepreneurs are under an obligation to provide proper What is meant by providing proper
opportunities to female workers/ labourers to
opportunities to female workers/ labourers whose babies still breast-feed their babies during working hours
need breastfeeding to breast-feed their babies if that must be are periods of time provided by the enterprise
performed during working hours. to the female workers/ labourers to breast-
feed their babies, by taking into account the
availability of a place/ room that can be used
for such a purpose according to the enterprise’s
conditions and financial ability, which shall
be regulated in the company regulations or
collective labour agreements.

ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear
Every worker/ labourer who uses her right to take the
period of rest as specified under points b, c and d of subsection
(2) of Article 79, Article 80 and Article 82 shall receive her
wages in full.

ARTICLE 85 ARTICLE 85
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers are not obliged to work on formal Sufficiently clear
public holidays. Subsection (2)
(2) Entrepreneurs may require their workers/ labourers to work What is stipulated under this subsection
is intended to serve the public interest and
during formal public holidays if the types and nature of public welfare. Moreover, there are works
their jobs must be conducted continuously or under other whose type and nature are such that it is
circumstances based on the agreement between the worker/ impossible to stop it.
labourer and the entrepreneur.
Subsection (3)
(3) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Sufficiently clear
on formal public holidays as mentioned under subsection
(2) are under an obligation to pay overtime pay. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the types and nature of the
jobs mentioned under subsection (2) shall be regulated
with a Ministerial Decision.

II - 137
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SUBSECTION 5
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH

ARTICLE 86 ARTICLE 86
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to receive protection Sufficiently clear
on:
a. Occupational safety and health; Subsection (2)
Occupational safety and health efforts
b. morality and decency; and are intended to provide guarantee of safety
c. Treatment that shows respect to human dignity and and increase the level of health of workers/
labourers by preventing occupational
religious values. accidents and diseases, controlling hazards in
(2) In order to protect the safety of workers/ labourers and to the workplace, promoting health, medical care
realize optimal productivity, an occupational health and and rehabilitation.
safety scheme shall be administered.
Subsection (3)
(3) The protection as mentioned under subsection (1) and Sufficiently clear
subsection (2) shall be given in accordance with prevailing
laws and regulations.

ARTICLE 87 ARTICLE 87
Subsection (1)
(1) Every enterprise is under an obligation to apply an The occupational safety and health
occupational safety and health management system that management system is part of the overall
shall be integrated into the enterprise’s management management system of the enterprise, which
system. includes organizational structure, planning,
implementation, responsibility, procedures,
(2) The provisions concerning the application of the processes, and resources that are needed for
occupational safety and health management system as the development, application, achievement,
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a study and maintenance of the enterprise’s
occupational safety and health policy in order
Government Regulation.
to control the risks associated with working
activities for the creation of secure, efficient
and productive workplace.
SECTION TWO Subsection (2)
WAGES Sufficiently clear

ARTICLE 88 ARTICLE 88
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to earn a living that
Income that enables workers/ labourers
is decent from the viewpoint of humanity to properly meet their livelihood needs refers
(2) In order to enable the worker to earn a living that is decent to the amount of income or earning that
from the viewpoint of humanity as mentioned under workers/ labourers earns from their work so
that they can reasonably meet what they and
subsection (1), the Government shall establish a wages their families need for living, including the
policy that protects the worker/labourer. ability to meet the need for food and drinks,

II - 138
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) The wages policy that protects workers/labourers as clothes, housing, education, healthcare,
mentioned under subsection (2) shall include: recreation and old age benefit.

a. Minimum wages; Subsection (2)


b. Overtime pay; Sufficiently clear

c. Paid-wages during the absence; Subsection (3)


d. Paid-wages because of activities outside of his job that Sufficiently clear
he has to carry out; Subsection (4)
e. Wages payable because he uses his right to take a rest; Sufficiently clear
f. The form and method of the payment of wages;
g. Fines and deductions from wages;
h. Other matters that can be calculated with wages;
i. Proportional wages structure and scale;
j. Wages for the payment of severance pay; and
k. Wages for calculating income tax.
(4) The Government shall establish/set minimum wages as
mentioned under subsection (3) point (a) based on the
need for decent living by taking into account productivity
and economic growth.

ARTICLE 89 ARTICLE 89
Subsection (1)
(1) The minimum wages as mentioned under point a of Point a
subsection (3) of Article 88 may consist of: Sufficiently clear
a. Provincial or district/city-based minimum wages;
Point b
b. Provincial or district/city-based sectoral minimum Sector-based minimum wages can be
wages. established for business groups by sector and
their breaking down according to business
(2) The establishment of minimum wages as mentioned under classification by sector nationwide (Indonesia),
subsection (1) shall be directed towards meeting the need by district/ city or province. Such sector-based
for decent living. minimum wages in any given area must not
be lower than the regional minimum wages
(3) The minimum wages as mentioned under subsection (1)
applicable to the area in question.
shall be determined by Governors after considering
recommendations from Provincial Wages Councils and/ Subsection (2)
or District Heads/Mayors. The phrase shall follow the guidance
for meeting the need for decent living as
(4) The components of and the implementation of the phases mentioned under this subsection shall mean
of achieving the needs for decent living as mentioned under that the setting of minimum wages must be
subsection (2) shall be regulated with a Ministerial adjusted to the level at which the minimum
Decision. wages are on par with the need for decent
living. The amount of such minimum wages
shall be determined by Minister.

II - 139
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Subsection (3)
Sufficiently clear

Subsection (4)
The meeting of the need for decent
living needs to be made gradually because
the need for decent living is an upgrade of the
need for minimum living that heavily
depends on the level of financial ability of the
world of business.

ARTICLE 90 ARTICLE 90
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower Sufficiently clear
than the minimum wages as mentioned under Article 89.
Subsection (2)
(2) Entrepreneurs who are unable to pay minimum wages as
The postponement of the payment of
mentioned under Article 89 may be allowed to make minimum wages by an enterprise that is
postponement. financially not able to pay minimum wages is
(3) Procedures for postponing paying minimum wages as intended to release the enterprise from having
to pay minimum wages for a certain period of
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a time. If the postponement comes to an end,
Ministerial Decision. the enterprise is under an obligation to pay
minimum wages that are applicable at the
time but is not obliged to make up the
difference between the wages it actually paid
and the applicable minimum wages during
the period of time of the postponement.

Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 91 ARTICLE 91
Sufficiently clear
(1) The amount of wages set based on an agreement between
the entrepreneurs and the worker/ labourer or trade/
labour union must not be lower than the amount of wages
set under the prevailing laws and regulations.
(2) In case the agreement as mentioned under subsection (1)
sets a wages that is lower than the one that has to be set
under the prevailing laws and regulations or against
prevailing laws and regulations, the agreement shall be
declared null and void by law and the entrepreneur shall
be obliged to pay the worker/ labourer a wages according
to the prevailing laws and regulations.

II - 140
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 92 ARTICLE 92
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs shall formulate the structure and scales of The formulation of wages structures and
wages by taking into account the level, position, years of scales is intended as a guideline for setting
work, education and competence of the worker/ labourer. wages so that the wages of each worker can be
determined with certainty. Such formulation
(2) Entrepreneurs shall review their workers/labourers’ wages is also intended to reduce the gap between the
periodically by taking into account their enterprise’s lowest wages and the highest wages in the
financial ability and productivity. enterprise.

(3) The provisions concerning the structure and scales of wages Subsection (2)
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with The reviewing of wages shall be done to
a Ministerial Decision. adjust the wages to the consumer price index,
the worker’s performance, and the enterprise’s
development and financial ability.

Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 93 ARTICLE 93
Subsection (1)
(1) No wages will be paid if workers/labourers do not perform What is stipulated under this subsection
work. is a fundamental principle that is basically
(2) However, the provision as mentioned under subsection applicable to every worker/ labourer, that is,
unless the worker/ labourer cannot perform
(1) shall not apply and the entrepreneur shall be obliged his/ her job because of mistakes that are not
to pay the worker/labourer’s wages if the worker/labourer his/ her.
does not perform work because of the following reasons:
Subsection (2)
a. The workers/labourers are ill so that they cannot Point a
perform their work; A worker/labourer are ill if there is a
b. The female workers/labourers are ill on the first and statement from the physician.
Point b
second day of their menstruation period so that they Sufficiently clear
cannot perform their work; Point c
c. The workers/labourers have to be absent from work Sufficiently clear
Point d
because they get married, marry of their children, have
Fulfilling one’s obligation to the State
their sons circumcised, have their children baptized, means fulfilling State obligation, which is
or because the worker/ labourer’s wife gives birth or stipulated under laws and regulations.
suffers from a miscarriage, or because the wife or The payment of wages to workers/
husband or children or children-in-law(s) or parent(s) labourers who have to be absent from work
because they are required to perform their
or parent-in-law(s) of the worker/labourer or a member obligations to the State shall be made if:

II - 141
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

of the worker/labourer’s household dies. a. The State does not pay the worker/
labourer; or
d. The workers/labourers cannot perform their work
b. The State pays worker/labourer less than
because they are carrying out or fulfilling their the amount of wages he/she usually
obligations to the State; receives. In this case the entrepreneur is
e. The workers/labourers cannot perform their work under an obligation to make up the
difference.
because they are performing religious obligations Point e
ordered by their religion; Practicing or observing religious duties
f. The workers/labourers are willing to do the job that ordered/ required by his/her religion means
practicing religious obligations according to
they have been promised to but the entrepreneur does
his/her religion requirement, which has been
not employ them, because of the entrepreneur’s own regulated with laws and regulations.
fault or because of impediments that the entrepreneur Point f
should have been able to avoid; Sufficiently clear
Point g
g. The workers/labourers are exercising their right to take Sufficiently clear
a rest; Point h
h. The workers/labourers are performing their trade union Sufficiently clear
Point i
duties with the permission from the entrepreneur; and Sufficiently clear
i. The workers/labourers are undergoing an education
program required by their enterprise. Subsection (3)
Sufficiently clear
(3) The amount of wages payable to workers who are taken
ill as mentioned under point a of subsection (2) shall be Subsection (4)
determined as follows: Sufficiently clear
a. For the first four months, they shall be entitled to Subsection (5)
receive 100 % (one hundred percent) of their wages; Sufficiently clear
b. For the second four months, they shall be entitled to
receive 75 % (seventy five percent) of their wages;
c. For the third four months, they shall be entitled to
receive 50 % (fifty percent) of their wages; and
d. For subsequent months, they shall be entitled to receive
25 % (twenty five percent) of their wages prior to the
termination of employment by the entrepreneur.
(4) The amount of wages payable to workers/ labourers during
the period in which they have to be absent from work for
reasons specified under point c of subsection (2) shall be
determined as follows,
a. If the workers/labourers are get married, shall be
entitled to receive a payment for 3 (three) days;
b. If the workers/labourers marry of their children, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
c. If the workers/labourers’ child are circumcised, shall

II - 142
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

be entitled to receive a payment for 2 (two) days;


d. If the workers/labourers’ children are baptized, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
e. If a workers/labourers’ wife gives birth or suffers a
miscarriage, shall be entitled to receive a payment for
2 (two) days;
f. If the workers/labourers’ spouse, or because either one
parent or one of parent-in-law, or because one of
children or children-in-law dies, shall be entitled to
receive a payment for 2 (two) days; and
g. If a member of the worker/labourer’s household dies,
shall be entitled to receive a payment for 1 (one) day.
(5) Arrangements for the implementation of what is stipulated
under subsection (2) shall be specified in the work
agreements, company regulations or collective labour
agreements.

ARTICLE 94 ARTICLE 94
What is meant by fixed allowance under
If a wages is composed of basic wage and fixed allowances, this subsection is payment to workers/ labourers
the amount of the basic wage must not be less than 75% that is made regularly and not commensurate
(seventy five percent) of the total amount of the basic wages with the attendance or certain achievement /
and fixed allowances. performance of the worker/ labourer.

ARTICLE 95 ARTICLE 95
Subsection (1)
(1) Violations by the worker/ labourer, either by willful Sufficiently clear
misconduct or negligence, may result in the imposition
of a fine. Subsection (2)
Sufficiently clear
(2) Entrepreneurs who pay their workers/ labourers’ wages
late either by willful misconduct or negligence shall be Subsection (3)
ordered to pay a fine whose amount shall correspond to a Sufficiently clear
certain percentage from the worker/labourer’s wages.
Subsection (4)
(3) The government shall regulate the imposition of fine on The payment of worker/ labourer’s
the entrepreneur and or the worker/ labourer in the wages shall take priority over the payment of
payment of wages. other debts. This means that workers/
labourers’ wages must be the first to be paid
(4) In case the enterprise is declared bankrupt or liquidated before other debts are paid.
based on the prevailing laws and regulations, the payment
of the enterprise’s workers/ labourers’ wages shall take
priority over the payment of other debts.

II - 143
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 96 ARTICLE 96
Sufficiently clear
Any claim for the payment of the worker/ labourer’s wages
and all other claims for payments that arise from an employment
relation shall expire after the lapse of 2 (two) years since such
the right is arose.

ARTICLE 97 ARTICLE 97

The provisions concerning decent income, wages policy, Sufficiently clear


the need for decent living and workers’ wages protection as
mentioned under Article 88, the setting of minimum wages
as mentioned under Article 89, and the provision concerning
the imposition of a fine as mentioned under subsection (1),
subsection (2) and subsection (3) of Article 95 shall be regulated
with a Government Regulation.

ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendations and considerations
for the formulation of wages policies to be established by
the Government, and to develop a national wages system,
the National Wage Council, Provincial Wage Councils,
and District/ City Wage Councils shall be established.
(2) The councils as mentioned under subsection (1) shall have
representatives from the government, entrepreneurs’
organizations, trade/ labour unions, universities and experts
as their members.
(3) The members of the National-level Wage Council shall
be appointed and dismissed by the President while the
members of Provincial Wage Councils and District/ City
Wage Councils shall be appointed and dismissed by the
Governors/ District Heads/ Mayors of the respective
provinces, districts and cities.
(4) The provisions concerning the procedures for the formation
of, membership composition of, procedures for appointing
and dismissing members of and duties and working
procedures of wages system councils as mentioned under
subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with
a Presidential Decision.

II - 144
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SECTIONTHREE
WELFARE

ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear
(1) Workers/ labourers and their families shall each be entitled
to social security.
(2) The social security as mentioned under subsection (1)
shall be administered in accordance with the prevailing
laws and regulations.

ARTICLE 100 ARTICLE 100


Subsection (1)
(1) In order to improve the welfare of the workers/labourers Welfare facilities shall refer to, for
and their families, the entrepreneur shall provide welfare instance, family planning service, babysitting
facilities. facilities, housing facilities for workers/
labourers, special rooms for prayer or other
(2) The provision of welfare facilities as mentioned under religious facilities, sports facilities, canteens,
subsection (1) shall be administered by weighing the need policlinic and other medical/ health facilities,
of the worker/labourer for welfare facilities against the and recreational facilities.
enterprise’s ability to provide such facilities.
Subsection (2)
(3) The provisions concerning the type and criteria of welfare Sufficiently clear
facilities according to the need of the worker/ labourer
and the measurement of the enterprise’s ability to provide Subsection (3)
Sufficiently clear
them as mentioned under subsection (1) and subsection
(2) shall be regulated with a Government Regulation.

ARTICLE 101 ARTICLE 101


Subsection (1)
(1) To improve workers/labourers’ welfare, workers/labourers’ Productive business undertakings at the
cooperatives and productive business at the enterprise shall enterprise shall refer to economic activities that
be established. generate income other than wages.
(2) The government, the entrepreneur and the worker/ Subsection (2)
labourer or the trade/labour union shall make efforts to Sufficiently clear
develop workers/labourers’ cooperatives and develop
productive business as mentioned under subsection (1). Subsection (3)
Sufficiently clear
(3) Efforts to establish workers/labourers’ cooperatives as
mentioned under subsection (1) shall be made in Subsection (4)
accordance with the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear
(4) Efforts to develop workers/labourers’ cooperatives as
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a
Government Regulation.

II - 145
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 102 ARTICLE 102
Sufficiently clear
(1) In conducting industrial relations, the government shall
perform the function of establishing policies, providing
services, taking control and taking actions against any
violations of statutory manpower laws and regulations.
(2) In conducting industrial relations, workers/ labourers and
their organizations unions shall perform the function of
performing their jobs/ work as obliged, working order to
ensure production, channeling their aspirations
democratically, enhancing their skills and expertise and
helping promote the business of the enterprise and fight
for the welfare of their members and families.
(3) In conducting industrial relations, entrepreneurs and their
associations shall perform the function of creating
partnership, developing business, diversifying employment
and providing welfare to workers/ labourers in a transparent
and democratic way and in a way that upholds justice.

ARTICLE 103 ARTICLE 103


Industrial relations shall be applied through: Sufficiently clear

a. Trade/ labour unions;


b. Entrepreneurs’ organizations;
c. Bipartite cooperation institutions;
d. Tripartite cooperation institutions;
e. Company regulations;
f. Collective labour agreements;
g. Statutory manpower laws and regulations; and
h. Industrial relations dispute settlement institutes.

II - 146
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

SECTION TWO
TRADE/LABOUR UNION

ARTICLE 104 ARTICLE 104


Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to form and become The freedom to establish a trade/ labour
member of a trade/ labour union. union and to become or not to become member
of a trade/ labour union is one of the
(2) In performing functions as mentioned under Article 102, fundamental rights of workers/ labourers.
a trade/ labour union shall have the right to collect and
manage fund and be accountable for the union’s finances, Subsection (2)
including for the provision of a strike fund. Sufficiently clear
(3) The amount of the strike fund and procedures for collecting Subsection (3)
it as mentioned under subsection (2) shall be regulated Sufficiently clear
under the union’s constitution and/or the union’s by-laws.

SECTION THREE
ENTREPRENEURS’ ORGANIZATION

ARTICLE 105 ARTICLE 105


Sufficiently clear
(1) Every entrepreneur has the right to form and become a
member of entrepreneurs’ organization.
(2) The provisions concerning entrepreneurs’ organizations
shall be regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.

SECTION FOUR
BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION

ARTICLE 106 ARTICLE 106


Subsection (1)
(1) Every enterprise employing 50 (fifty) workers/ labourers At enterprises whose workers/ labourers
or more is under an obligation to establish a bipartite number less than 50 (fifty) people, effective
cooperation institution. and proper communication and consultation
can still be performed on an individual basis.
(2) The bipartite cooperation institution as mentioned under However, if the enterprise has 50 (fifty)
subsection (1) shall function as a forum for communication workers/ labourers or more, it is necessary to
and consultation on labour issues at an enterprise. perform communication and consultation
through a representative system.
(3) The membership composition of the bipartite cooperation
institution as mentioned under subsection (2) shall Subsection (2)
include the entrepreneur’s representatives and the worker/ Sufficiently clear
labourer’s representatives who are democratically
appointed by workers/ labourers to represent the interests

II - 147
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

of the worker/ labourer in the relevant enterprise. Subsection (3)


Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the procedures for establishing
the membership of the bipartite cooperation institution Subsection (4)
as mentioned under subsection (1) and subsection (3) Sufficiently clear
shall be regulated with a Ministerial Decision.

SECTION FIVE
TRIPARTITE COOPERATION INSTITUTION

ARTICLE 107 ARTICLE 107


Sufficiently clear
(1) Tripartite cooperation institution shall provide
considerations, recommendations and opinions to the
government and other parties involved in policy making
and problem solving concerning labour issues/ problems.
(2) The tripartite cooperation institution as mentioned under
subsection (1) shall consist of:
a. The National Tripartite Cooperation Institution and
the Provincial, District/City Tripartite Cooperation
Institutions; and
b. Sector-based National Tripartite Cooperation
Institution and sector-based Provincial, District/City
Tripartite Cooperation Institutions.
(3) The membership of tripartite cooperation institutions shall
consist of representatives from the government,
entrepreneurs’ organizations and trade/labour unions.
(4) Procedures and organizational structures of tripartite
cooperation institutions as mentioned under subsection
(1) shall be regulated with a Government Regulation.

SECTION SIX
COMPANY REGULATIONS

ARTICLE 108 ARTICLE 108


Sufficiently clear
(1) Every enterprise which employs at least 10 (ten) workers/
labourers is under an obligation to establish a set of
company regulations that shall come into force after
legalized by the Minister or appointed official.
(2) The obligation to have a set of legalized company
regulations as mentioned under subsection (1), however,

II - 148
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

does not apply to enterprises already having collective


labour agreements.

ARTICLE 109 ARTICLE 109


Sufficiently clear
Entrepreneurs shall formulate the rules and regulations
of their enterprise and shall be responsible for them.

ARTICLE 110 ARTICLE 110


Sufficiently clear
(1) Companies regulations shall be formulated by taking into
account the recommendations and considerations from
the worker/ labourer’s representatives of the enterprise.
(2) If a trade/ labour union have already been established in
the enterprise, the worker/ labourer’s representatives as
mentioned under subsection (1) shall be the trade/ labour
union’s officials.
(3) If there is no trade/ labour union in the enterprise, the
worker/ labourer’s representatives mentioned under
subsection (1) shall be the workers/ labourers who hold a
position in, or are members of, the bipartite cooperation
institution and or has been democratically elected by the
workers/ labourers in the enterprise to represent them and
act on behalf of their interests.

ARTICLE 111 ARTICLE 111


Subsection (1)
(1) Company regulations shall at least contain: Point a
a. The rights and obligations of the entrepreneur; Sufficiently clear
Point b
b. The rights and obligations of the worker/ labourer; Sufficiently clear
c. Working conditions; Point c
Working/work requirements refer to the
d. Enterprise discipline and rule of conduct; and rights and obligations of the entrepreneur and
e. The period of the validity of the company regulations. the worker/ labourer that have not been
regulated under laws and regulations.
(2) Company regulations shall not against the prevailing laws Point d
and regulations. Sufficiently clear
(3) The company regulations is valid for 2 (two) years and Point e
Sufficiently clear
shall be renewed upon its expiration.
(4) During the validity of the company regulations, if the Subsection (2)
trade union within the enterprise request negotiation of The sentence ompany regulations shall
the drafting of the collective labour agreement, the not against any prevailing laws and
regulations means that company regulations
entrepreneur is obligated to do so. must not be lower in both quality and quantity
(5) If the negotiation as mentioned under subsection (4) fails than those stipulated under the prevailing

II - 149
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

to reach an agreement, then the existing company laws and regulations. If proved otherwise,
regulations shall remain valid until its expiration. however, the stipulations of prevailing laws
and regulations shall apply.

Subsection (3)
Sufficiently clear

Subsection (4)
Sufficiently clear

Subsection (5)
Sufficiently clear

ARTICLE 112 ARTICLE 112


Sufficiently clear
(1) Legalization of company regulations by the Minister or
appointed official as mentioned under subsection (1) of
Article 108 must have performed within a period of no
later than 30 (thirty) workdays after the draft of the
company regulations is received.
(2) If the company regulations have met the requirements
under subsection (1) and subsection (2) of Article 111
and the period of 30 (thirty) workdays for legalizing them
as mentioned under subsection (1) has elapsed but the
Minister or the appointed official has not legalized them
yet, then the company regulations shall be assumed to
have been legalized.
(3) If the company regulations have not met the requirements
under subsection (1) and subsection (2) of Article 111
yet, the Minister or the appointed official must give a
written notification to the entrepreneur the correction to
the company regulations.
(4) Within a period of no later than 14 (fourteen) workdays
after the date on which the written notification is received
by the entrepreneur as mentioned under subsection (3),
the entrepreneur is under an obligation to resubmit the
corrected version of the company regulations to the
Minister or appointed official.

ARTICLE 113 ARTICLE 113


Sufficiently clear
(1) Any changes to the company regulations prior to its
expiration can only be made on the basis of an agreement
between the entrepreneur and the worker/ labourer’s
representatives.

II - 150
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) The company regulations resulting from the agreement


as mentioned under subsection (1) shall be legalized by
Minister or appointed official.

ARTICLE 114 ARTICLE 114


The entrepreneur is under an obligation to notify and The entrepreneur is under an obligation
to notify and explain to the worker/ labourer
explain, as well as deliver, the contents of the company the company regulations and changes made
regulations or its changes to the worker/ labourer. to them. To do so, the entrepreneur may
distribute the copies of company regulations
to each worker/ labourer, post them at places
where workers/ labourers can easily read them.
Alternatively, the entrepreneur may also
explain them directly to workers/ labourers.
ARTICLE 115 ARTICLE 115
Provisions concerning procedures for making and Sufficiently clear
legalizing the company regulations shall be regulated with a
Ministerial Decision.

SECTION SEVEN
COLLECTIVE LABOUR AGREEMENT

ARTICLE 116 ARTICLE 116


Subsection (1)
(1) A collective labour agreement shall be made between a Sufficiently clear
trade/ labour union or several trade unions already recorded
at a government agency responsible for manpower affairs Subsection (2)
Work agreements must be made in good
and an entrepreneur or several entrepreneurs respectively.
faith. This means that there must be honesty,
(2) The collective labour agreement as mentioned under transparency, willingness and awareness on
subsection (1) shall be formulated by means of the part of all parties concerned in the making
deliberations. of the agreements without any party forcing
or pressurizing another party.
(3) The collective labour agreement as mentioned under
subsection (1) shall be made in writing using Latin Subsection (3)
alphabets and in the Indonesian language. If the collective labour agreement is made
in Indonesian and translated into another
(4) In case the collective labour agreement is not written in language and then differences in interpretation
the Indonesian language, the collective labour agreement arise, then the collective labour agreement
must be translated into Indonesian by a sworn translator that use or are written in Indonesian shall
apply.
and the translation shall be considered to have fulfilled
the requirements stipulated under subsection (3). Subsection (4)
Sufficiently clear

II - 151
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 117 ARTICLE 117


Settlements through procedures for the
In case the deliberations as mentioned under subsection
settlement of industrial relations disputes may
(2) of Article 116 fail to reach any consensus, then shall be be carried out through mediators, conciliators,
settled through the procedures of industrial relations disputes arbiters, or institutes for the settlement of
settlement. industrial relations disputes.

ARTICLE 118 ARTICLE 118

In one enterprise only 1 (one) collective labour agreement Sufficiently clear


can be made that shall apply to all workers/labourers working
in the enterprise.

ARTICLE 119 ARTICLE 119


Sufficiently clear
(1) If there is only one trade/labour union in an enterprise,
the only trade/labour union in the enterprise shall have
the right to represent workers/labourers in negotiating a
collective labour agreement with the entrepreneur
provided that more than 50% (fifty percent) of the total
number of workers/labourers who work in the enterprise
are members of the trade/labour union.
(2) In case there is only one trade/labour union in an
enterprise as mentioned under subsection (1) above but
the number of its members does not exceed 50% (fifty
percent) of the total workforce in the enterprise, the trade/
labour union may represent workers/labourers in
negotiating a collective labour agreement with the
entrepreneur provided that a vote that is held on this issue
confirms that the trade/labour union wins the support of
more than 50% (fifty percent) of the total number of
workers in the enterprise.
(3) If the support of more than 50% (fifty percent) of the
enterprise’s total workforce as mentioned under subsection
(2) is not obtained, then the trade/labour union concerned
may once again put forward its request to negotiate a
collective labour agreement with the entrepreneur after a
period of 6 (six) months is passed since the vote is held in
accordance with the procedures as mentioned under
subsection (2).

ARTICLE 120 ARTICLE 120


Sufficiently clear
(1) If there are more than 1 (one) trade/labour union in an
enterprise, the trade/labour union that has the right to

II - 152
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

represent workers/labourers in negotiating a collective


labour agreement with the entrepreneur shall be the one
whose members are more than 50% (fifty percent) of the
total number of all the workers/labourers who work in
the enterprise.
(2) If the requirement as mentioned under subsection (1) is
not fulfilled, then the trade/labour unions in the enterprise
may form a coalition until the coalition gets the support
of workers numbering more than 50% (fifty percent) of
the total number of workers/ labourers in the enterprise
so that it is qualified to represent workers/labourers in
negotiating a collective labour agreement with the
entrepreneur.
(3) In case what is stipulated under subsection (1) or
subsection (2) is not fulfilled, then the trade/ labour
unions shall establish a negotiating team whose members
shall be determined in proportion to the number of
members that each trade/ labour union has.

ARTICLE 121 ARTICLE 121


Membership in a trade/labour union as mentioned under Sufficiently clear
Article 119 and Article 120 shall be proved with a membership
card.

ARTICLE 122 ARTICLE 122


Sufficiently clear
The vote as mentioned under subsection (2) of Article
119 shall be administered by a committee that is composed of
workers/ labourers’ representatives and trade/labour union
officials witnessed by the government official responsible for
manpower affairs and by the entrepreneur.

ARTICLE 123 ARTICLE 123


Sufficiently clear
(1) The validity of the collective labour agreement is for 2
(two) years.
(2) The effectiveness of the collective labour agreement as
mentioned under subsection (1) may be extended for no
longer than 1 (one) year based on a written agreement
between the entrepreneur and the trade/labour union(s).
(3) Negotiations for the next collective labour agreement may
be started as early as 3 (three) months prior to the
expiration of the existing collective labour agreement.

II - 153
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(4) In case the negotiations as mentioned under subsection


(3) fail to result in any agreement, the existing collective
labour agreement shall remain valid for a maximum period
of 1 (one) year.

ARTICLE 124 ARTICLE 124


Subsection (1)
(1) A collective labour agreement shall at least contain: Sufficiently clear
a. The rights and obligations of the employer;
Subsection (2)
b. The rights and obligations of the trade/ labour union The phrase “must not against any
and the worker/ labourer; prevailing laws and regulations” means that
the contents of the collective labour agreement
c. The period during which and the date starting from must not be lower in both quality and quantity
which the collective labour agreement takes effect; and than their counterparts or equivalence that
d. The signatures of those involved in making the are stipulated under the prevailing laws and
regulations.
collective labour agreement.
(2) The provisions of a collective labour agreement must not Subsection (3)
against the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear

(3) Should the contents of a collective labour agreement


against the prevailing laws and regulations as mentioned
under subsection (2), then the contradictory stipulations
shall be declared null and void by law and the provision
under prevailing laws and regulations shall prevail.

ARTICLE 125 ARTICLE 125


Sufficiently clear
If the parties agree to change collective labour agreement,
then the changes shall form an inseparable part of the existing
collective labour agreement.

ARTICLE 126 ARTICLE 126


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur, the trade/labour union and or the
worker/ labourer is under an obligation to implement the
provisions in the collective labour agreement.
(2) The entrepreneur and the trade/labour union are under
an obligation to inform the contents of the collective labour
agreement or any changes made to it to all workers/
labourers.
(3) The entrepreneur must print and distribute the text of
collective labour agreement to each worker/ labourer on
the enterprise’s expense.

II - 154
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 127 ARTICLE 127


Sufficiently clear
(1) Any work agreement made by the entrepreneur and the
worker/ labourer shall not against the collective labour
agreement.
(2) Should there be any provisions under the work agreement
mentioned under subsection (1) against the collective
labour agreement, then those particular provisions in the
work agreement shall be declared null and void by law
and the provision on the collective labour agreement shall
prevail.

ARTICLE 128 ARTICLE 128


Sufficiently clear
If a work agreement does not contain the rules and
regulations that are stipulated in the collective labour
agreement, then the stipulations specified in the collective
labour agreement shall prevail.

ARTICLE 129 ARTICLE 129


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur is prohibited from replacing the
collective labour agreement with the company regulations
as long as there is a trade/ labour union in the enterprise.
(2) If there is no more trade/ labour union in the enterprise
and the collective labour agreement is replaced by the
company regulations, then the provisions in the company
regulations shall by no means be inferior to the provisions
in the collective labour agreement.

ARTICLE 130 ARTICLE 130


Sufficiently clear
(1) If a collective labour agreement that has expired will be
extended or renewed and there is only 1 (one) trade/labour
union in the enterprise, then the extension or renewal of
the collective labour agreement shall not require the
requirements under Article 119.
(2) If a collective labour agreement that has expired will be
extended or renewed and there are more than 1 (one)
trade/ labour union in the enterprise and the trade/ labour
union that negotiated in the last agreement no longer
meet the requirement under subsection (1) of Article 120,
the extension or renewal of the collective labour agreement
shall be made by the trade/ labour union whose members

II - 155
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

are more than 50% (fifty percent) of the total number of


workers/ labourers in the enterprise together with the
trade/ labour union that negotiated in the last agreement
by establishing a negotiating team whose members are
proportional to the members of the trade/ labour unions
represented in the team.
(3) If the expired collective labour agreement will be extended
or renewed and there are more than 1 (one) trade/labour
unions in the enterprise and none of them meet the
requirement under subsection (1) of Article 120, then
the extension or renewal of the collective labour agreement
shall be made in accordance with the provision under
subsection (2) and subsection (3) of Article 120.

ARTICLE 131 ARTICLE 131


Sufficiently clear
(1) In case of the dissolution of a trade/labour union or the
transfer of the enterprise’s ownership, then the existing
collective labour agreement shall remain valid until it
expires.
(2) If an enterprise with a collective labour agreement merges
with another enterprise with another collective labour
agreement, then the prevailing collective labour agreement
is the one that gives the worker/labourer more advantages.
(3) If an enterprise that has a collective labour agreement
merges with another enterprise that has no collective
labour agreement, then the collective labour agreement
of the enterprise that has it shall apply to the enterprise
resulted from the merger until the collective labour
agreement expires.

ARTICLE 132 ARTICLE 132


Sufficiently clear
(1) A collective labour agreement shall take effect on the day
it is signed unless otherwise stated in the relevant collective
labour agreement.
A collective labour agreement that has been signed by the
parties must be registered by the entrepreneur at a
government agency responsible for manpower affairs.

ARTICLE 133 ARTICLE 133


Sufficiently clear
The provisions concerning the requirements and
procedures for making, extending, changing and registering

II - 156
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

the collective labour agreement shall be regulated with a


Ministerial Decision.

ARTICLE 134 ARTICLE 134


Sufficiently clear
In order to realize the rights and obligations of both the
worker and the entrepreneur, the Government is under an
obligation to control the implementation of manpower laws
and regulations and ensure their observance and enforcement.

ARTICLE 135 ARTICLE 135


Sufficiently clear
The implementation of manpower laws and regulations
in order to realize industrial relations is the responsibility of
the worker/labourer, the entrepreneur and the government.

SECTION EIGHT
INSTITUTIONS/ AGENCIES FOR THE SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SUBSECTION 1
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTE

ARTICLE 136 ARTICLE 136


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur and the worker/labourer or the trade/
labour union are under an obligation to make efforts to
settle any industrial relations dispute they have through
deliberations aimed at reaching a consensus.
(2) If the deliberations as mentioned under subsection (1)
fail to reach a consensus, then the entrepreneur and the
worker/labourer or the trade/labour union shall have the
industrial relations dispute settled through procedures for
the settlement of industrial relations disputes that are
regulated by law.

SUBSECTION 2
STRIKE

ARTICLE 137 ARTICLE 137


Strike is a fundamental right of workers/labourers and What is meant by failed negotiation
under this Article is that no agreement to
trade/labour unions that shall be staged legally, orderly and settle the industrial relations dispute is reached
peacefully as a result of failed negotiation. because the entrepreneur is not willing to
negotiate or because the negotiation ends in

II - 157
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

deadlock.
The term peacefully and orderly means
that the strike must not disrupt security and
public order and/or threaten the life safety
and property of the entreprise, entrepreneur,
other people or other members of the general
public.

ARTICLE 138 ARTICLE 138


Sufficiently clear
(1) The workers/labourers and/or trade/labour unions
intending to invite other workers/ labourers to strike whilst
the strike is going on shall be performed without violating
laws.
(2) The workers/labourers who are invited to join the strike
as mentioned under subsection (1) may accept or decline
the invitation.

ARTICLE 139 ARTICLE 139


Enterprises that serve the public interest
The implementation of strike staged by the workers/
and/or enterprises whose types of activities,
labourers of enterprises that serve the public interest and/or when interrupted by a strike, will lead to the
enterprises whose types of activities, will lead to the endangerment of human lives are those
endangerment of human lives, shall be arranged in such a way running hospitals, fire department, those
so as not to disrupt public interests and/or endanger the safety providing railway service, those in charge of
sluices, those in charge of regulating air traffic,
of other people. and those in charge of sea traffic.
That the strike shall be arranged in such
a way so as not to disrupt public interests and/
or endanger the safety of other people means
that the strike shall be carried out by workers/
labourers who are not on duty.

ARTICLE 140 ARTICLE 140


Subsection (1)
(1) Within a period of no less than 7 (seven) days prior to the Sufficiently clear
actual realization of a strike, workers/ labourers and trade/
labour unions intending to stage a strike are under an Subsection (2)
obligation to give a written notification of the intention Point a
Sufficiently clear
to the entrepreneur and the local government agency
responsible for manpower affairs.
(2) The notification as mentioned under subsection (1) shall
at least contain:

II - 158
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

a. The time (day, date and the hour) at which they will Point b
start and end the strike; Places for staging a strike refer to places
chosen by those responsible for the strike for
b. The venue of the strike; staging the strike in a way that will not prevent
c. Their reasons for the strike; and other workers/ labourers from performing
work.
d. The signatures of the chairperson and secretary of the Point c
striking union and/or the signature of each of the Sufficiently clear
chairpersons and secretaries of the unions participating Point d
Sufficiently clear
in the strike, who shall be held responsible for the
strike. Subsection (3)
(3) If the strike is staged by workers/ labourers who are not Sufficiently clear
members of any trade/labour union, the notification as
Subsection (4)
mentioned under subsection (2) shall be signed by Sufficiently clear
workers/ labourers’ representatives who have been
appointed to coordinate and/or responsible for the strike.
(4) If a strike is performed not pursuant to the requirements
as mentioned under subsection (1), then in order to save
production equipment and enterprise assets, the
entrepreneur may take temporary action by:
a. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at locations where production processes
normally take place; or
b. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at the enterprise’s premise if necessary.

ARTICLE 141 ARTICLE 141


Sufficiently clear
(1) A representative of the government agency and the
management who receives the letter notifying the intention
to strike as mentioned under Article 140 is under an
obligation to issue a receipt of acknowledment.
(2) Prior to and during the strike, the government agency
responsible for manpower affairs is under an obligation to
solve problem that leads to the emergence of strike by
arranging a meeting and negotiate between the disputing
parties.
(3) If the discussion as mentioned under subsection (2)
reaching an agreement, the agreement shall be made and
signed by the parties and a responsibble official from the
government agency responsible for manpower affairs shall
serve as witness.

II - 159
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(4) In case the discussion as mentioned under subsection (2)


results in no agreement, the official from the government
agency responsible for manpower affairs shall immediately
refer the problem(s) that cause(s) the strike to the
authorized institution for the settlement of industrial
relations disputes.
(5) In case the discussion results in no agreement as
mentioned under subsection (4), then on the basis of
negotiation between the entrepreneur and the trade/
labour union(s) responsible for the strike or the bearer(s)
of responsibility for the strike, the strike may be continued
or terminated temporarily or terminated at all.

ARTICLE 142 ARTICLE 142


Sufficiently clear
(1) Any strike that is staged without fulfilling the requirement
under Article 139 and Article 140 is illegal.
(2) The legal consequences of staging an illegal strike as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Ministerial Decision.

ARTICLE 143 ARTICLE 143


Subsection (1)
(1) Nobody is allowed to prevent workers/labourers and trade/ What is meant by the word ‘to prevent’
labour unions from using their right to strike legally, under this subsection is preventing the use of
orderly and peacefully. the right to strike by means of, among others:
(2) It is prohibited to arrest and/or detain workers/labourers a. Punishment;
and union officials who are on strike legally, orderly and b. Intimidation, in whatever form; or
peacefully pursuant to the prevailing laws and regulations. c. Transfer to another position or place with
the intention to put the transferee at a
disadvantage

Subsection (2)
Sufficiently clear

ARTICLE 144 ARTICLE 144


Sufficiently clear
In the event of a strike performed pursuant to Article
140, the entrepreneur is prohibited from:
a. Replacing striking workers/labourers with other workers/
labourers from outside of the enterprise; or
b. Imposing sanctions on or taking retaliatory actions in
whatever form against striking workers/labourers and union
officials during and after the strike is performed.

II - 160
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 145 ARTICLE 145


Subsection (1)
Workers/ labourers who stage a strike legally in order to
The phrase their normative rights,
demand the fulfillment of their normative rights, which the which the entrepreneur has indeed violated
entrepreneur has indeed violated, then they shall have their means that the entrepreneur is, clearly and as
wages. a matter of fact, unwilling to fulfill their
obligations as mentioned and/or as stipulated
under work agreements, company regulations,
collective labour agreements or labour
legislation even though their has been ordered
to do so by the government official responsible
for labour/ manpower affairs.
The payment of the wages of striking
workers/ labourers as mentioned under this
SUBSECTION 3 Article shall not eliminate the imposition of
sanction on entrepreneurs who violate
LOCKOUT normative provisions.

ARTICLE 146 ARTICLE 146


Subsection (1)
(1) Lockout is a fundamental right of entrepreneurs to prevent Sufficiently clear
their workforce either in part or in whole from performing
work as a result from failed negotiation. Subsection (2)
Sufficiently clear
(2) Entrepreneurs are not justified to lock out their workforce
as retaliation for normative demands raised by workers/ Subsection (3)
labourers and/or trade/ labour unions. If the lockout is carried out illegally or
as retaliation for a legal strike which rightfully
(3) Lockouts must be performed pursuant to the prevailing demands the fulfillment of normative rights,
laws and regulations. the entrepreneur is under an obligation to
pay the worker/ labourer’s wages.

ARTICLE 147 ARTICLE 147


Lockouts shall be prohibited from taking place at Sufficiently clear
enterprises that serve the public interest and or enterprises
whose types of activities, when interrupted by lockouts, will
endanger human lives, including hospitals, enterprises that
provide networks of clean water supply to the public, centers
of telecommunications control, centers electricities, oil-and-
gas processing industries, and trains.

ARTICLE 148 ARTICLE 148


Sufficiently clear
(1) An entrepreneur who intends to perform a lockout is under
an obligation to give a written notification of the lockout
to workers/ labourers and/or trade/ labour union and the
local government agency responsible for manpower affairs
of no less than 7 (seven) workdays before the lockout takes

II - 161
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

place.
(2) The lockout notification as mentioned under subsection
(1) shall at least contain:
a. The time (day, date and hour) will start and end the
lockout; and
b. The reason and cause for the lockout.
(3) The notification as mentioned under subsection (1) shall
be signed by the entrepreneur and/or the management of
the relevant enterprise.

ARTICLE 149 ARTICLE 149


Sufficiently clear
(1) Workers/labourers or trade/labour unions and government
agencies responsible for manpower affairs that directly
receive a written notification of the lockout as mentioned
under Article 148 must issue receipts acknowledging
which state the day, the date, and the hour received.
(2) Before and during the lockout, the government agency
responsible for manpower affairs shall immediately try to
solve the problem that causes of the lockout by arranging
a meeting and between the disputing parties discussing.
(3) If the discussion as mentioned under subsection (2)
reaching an agreement, an agreement shall be made and
signed by the parties and also by a official from the
government agency responsible for manpower affairs who
shall serve as witness.
(4) In case the discussion as mentioned under subsection (2)
results in no agreement, the official from the government
agency responsible for manpower affairs shall immediately
refer the problem that cause the strike to the authorized
institution for the settlement of industrial relations
disputes.
(5) In case the discussion results in no agreement as
mentioned under subsection (4), then, on the basis of
negotiation between the entrepreneur and the trade/
labour union, the lockout may be continued or terminated
temporarily or terminated at all.
(6) Notification as mentioned under subsection (1) and
subsection (2) of Article 148 is not needed if:
a. The workers/labourers or trade/labour unions violate
the strike procedures as mentioned under Article 140;

II - 162
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

b. The workers/labourers or trade/labour unions violate


the normative provisions stipulated under the work
agreements, company regulations, collective labour
agreements or prevailing laws and regulations.

CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT

ARTICLE 150 ARTICLE 150


Sufficiently clear
The provisions concerning termination of employment
under this act shall cover termination of employment that
happens in a business undertaking which is a legal entity or
not, a business undertaking owned by an individual, by a
partnership or by a legal entity, either owned by the private
sector or by the State, as well as social undertakings and other
undertakings which have administrators/officials and employ
people by paying them wages or other forms of remuneration.

ARTICLE 151 ARTICLE 151


Subsection (1)
(1) The entrepreneur, the worker/labourer and or the trade/ The phrase make all efforts under this
labour union, and the government must make all efforts subsection refers to positive activities or actions
to prevent termination of employment. which may eventually prevent termination of
employment from happening, including,
(2) If despite all efforts made termination of employment among others, arrangement of working time,
remains inevitable, then the intention to carry out the saving measures, restructuring or
termination of employment must be negotiated between reorganization of working methods, and
efforts to develop the worker/ labourer.
the entrepreneur and the trade/labour union to which
the affected worker/labourer belongs as member, or Subsection (2)
between the entrepreneur and the worker/labourer to be Sufficiently clear
dismissed if the worker/labourer is not a union member.
Subsection (3)
(3) If the negotiation as mentioned under subsection (2) fails Sufficiently clear
to result in any agreement, the entrepreneur may only
terminate the employment of the worker/labourer after
receiving a decision from the institution for the settlement
of industrial relations disputes.

ARTICLE 152 ARTICLE 152


Sufficiently clear
(1) A request for a decision of the institution for the settlement
of industrial relations disputes to allow termination of
employment shall be addressed in writing to the
institution by stating the underlying reasons for the

II - 163
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

request.
(2) The request for such a decision as mentioned under
subsection (1) may be accepted by the institution for
settlement of industrial relations disputes if it has been
negotiated as mentioned under subsection (2) of Article
151.
(3) The decision on the request for termination of
employment can only be made by the institution for the
settlement of industrial relations disputes if it turns out
that the intention to carry out the termination of
employment has been negotiated but that the negotiation
results in no agreement.

ARTICLE 153 ARTICLE 153


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur is prohibited from terminating the
employment of a worker/ labourer because of the following
reasons:
a. The worker/labourer is absent from work because of
illness as attested by a written statement from the
doctor provided that it is for a period of longer than
12 (twelve) months consecutively;
b. The worker/labourer is absent from work because he
or she is fulfilling his or her obligations to the State in
accordance with the prevailing laws and regulations;
c. The worker/labourer is absent from work because he
or she is practicing what is required by his or her
religion;
d. The worker/labourer is absent from work because he
or she is getting married;
e. The worker/labourer is absent from work because she
is pregnant, giving birth, having a miscarriage, or
breast-feeding her baby;
f. The worker/labourer is related by blood and or through
marriage to another worker within the enterprise unless
so required in the collective labour agreement or the
company regulations;
g. The worker/labourer establishes, becomes a member
of and or an official of a trade/labour union; the worker/
labourer carries out trade/labour union activities outside
working hours, or during working hours with approval

II - 164
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

from the entrepreneur, or according to that which has


been stipulated in the work agreement, or the company
regulations, or the collective labour agreement;
h. The worker/labourer reports to the authorities the
crime committed by the entrepreneur;
i. Because different of understanding/belief, religion,
political orientation, ethnicity, color, race, sex, physical
condition or marital status;
j. The worker/labourer is permanently disabled, ill as a
result of a work accident, or ill because of an
occupational disease whose period of recovery cannot
be ascertained as attested by the written statement
made by the physician.
(2) Any termination of employment that takes place for reasons
mentioned under subsection (1) shall be declared null
and void by law. The entrepreneur shall then be obliged
to reemploy the affected worker/labourer.

ARTICLE 154 ARTICLE 154


Sufficiently clear
The decision of the institute for the settlement of
industrial relations disputes as mentioned under subsection
(3) of Article 151 is not needed if:
a. The affected worker/ labourer is still on probation provided
that such has been stipulated in writing beforehand;
b. The affected worker/ labourer makes a written request for
resignation at his/her own will with no indication of being
pressurized or intimidated by the entrepreneur; or the
employment relationship comes to an end according to
the work agreement for a specified time for the first time;
c. The affected worker/ labourer has reached a retirement
age as stipulated under the work agreement, company
regulations, collective labour agreements, or laws and
regulations; or
d. The affected worker/labourer dies.

ARTICLE 155 ARTICLE 155


Sufficiently clear
(1) Any termination of employment without the decision of
the institution for the settlement of industrial relations
disputes as mentioned under subsection (3) of Article 151
shall be declared null and void by law.

II - 165
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) As long as there is no decision from the institution for the


settlement of industrial relations disputes, the entrepreneur
and the worker/labourer must keep on performing their
obligations.
(3) The entrepreneur may violate the provision under
subsection (2) above by suspending the worker/labourer
who is still in the process of having his/her employment
terminated provided that the entrepreneur continues to
pay the worker/labourer’s wages and other entitlements
that worker/labourer normally receives.

ARTICLE 156 ARTICLE 156


Sufficiently clear
(1) Should termination of employment take place, the
entrepreneur is obliged to pay the dismissed worker
severance pay and or a sum of money as a reward for service
rendered during his or her term of employment and
compensation pay for rights or entitlements.
The calculation of severance pay as mentioned under
subsection (1) shall at least be as follows:
a. 1 (one)-month wages for years of employment less than
1 (one) year;
b. 2 (two)-month wages for years of employment up to 1
(one) year or more but less than 2 (two) years;
c. 3 (three)-month wages for years of employment up to
2 (two) years or more but less than 3 (three) years;
d. 4 (four)-month wages for years of employment up to
3 (three) years or more but less than 4 (four) years;
e. 5 (five)-month wages for years of employment up to 4
(four) years or more but less than 5 (five) years;
f. 6 (six)-month wages for years of employment up to 5
(five) years or more but less than 6 (six) years;
g. 7 (seven)-month wages for years of employment up to
6 (six) years or more but less than 7 (seven) years;
h. 8 (eight)-month wages for years of employment up to
7 (seven) years or more but less than 8 (eight) years;
i. 9 (nine)-month wages for years of employment up to
8 (eight) years or more.
(2) The calculation of the sum of money paid as reward for
service rendered during the worker/ labourer’s term of

II - 166
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

employment shall be determined as follows:


a. 2 (two)-month wages for years of employment up to 3
(three) years or more but less than 6 (six) years;
b. 3 (three)-month wages for years of employment up to
6 (six) years or more but less than 9 (nine) years;
c. 4 (four)-month wages for years of employment up to
9 (nine) years or more but less than 12 (twelve) years;
d. 5 (five)-month wages for years of employment up to
12 (twelve) years or more but less than 15 (fifteen)
years;
e. 6 (six)-month wages for years of employment up to
15 (fifteen) years or more but less than 18 (eighteen)
years;
f. 7 (seven)-month wages for years of employment up to
18 (eighteen) years but less than 21 (twenty one) years;
g. 8 (eight)-month wages for years of employment up to
21 (twenty one) years but less than 24 (twenty four)
years;
h. 10 (ten)-month wages for years of employment up to
24 (twenty four) years or more.
(3) The compensation pay that the dismissed worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (1) shall
include:
a. Annual leaves that have not expired and not have taken;
b. Costs or expenses for transporting the worker/ labourer
and his or her family back to the point of hire;
c. Compensation for housing allowance, medical and
health care allowance is determined at 15% (fifteen
percent) of the severance pay and or reward for years
of service pay for those who are eligible;
d. Other compensations that are stipulated under the
work agreement, company regulations or collective
labour agreements.
(4) Changes concerning the calculation of the severance pay,
the sum of money paid as reward for service during term
of employment and the compensation pay that the worker/
labourer ought to have as mentioned under subsection
(2), subsection (3), and subsection (4) shall be regulated
with a Government Regulation.

II - 167
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 157 ARTICLE 157


Sufficiently clear
(1) Wages components used as the basis for calculating
severance pay, money paid as reward for service rendered,
and money paid to compensate for entitlements that
should have been received, which are deferred, are
composed of:
a. Basic wages;
b. All forms of fixed allowances that are provided to
workers/ labourers and their families, including the
price of buying ration provided to the worker/ labourer
free of change whereby if the ration must be paid by
workers/ labourers with subsidies, the difference
between the buying price of the ration and the price
that must be paid by the worker/ labourer shall be
considered as wage.
(2) In case the worker/ labourer’s wages is paid on the basis of
daily calculation, a one-month wage shall be equal to 30
times a one-day wage.
(3) In case the worker/ labourer’s wage is paid on a piece-rate
or commission basis, a day’s wage shall equal the average
daily wage for the last 12 (twelve) months on the condition
that the wages must not be less than the provisions for
the provincial or district/ city minimum wages.
(4) In case the work depends on the weather and the wage is
calculated on a piece-rate basis, the amount of one month’s
wages shall be calculated from the average wages in the
last 12 (twelve) months.

ARTICLE 158 ARTICLE 158


Sufficiently clear
(1) An entrepreneur may terminate the employment of a
worker/labourer because the worker/labourer has
committed the following grave wrongdoings:
a. Stolen or smuggled goods and/or money that belong
to the enterprise;
b. Given false or falsified information that causes the
enterprise to incur losses;
c. Drunk, drunken intoxicating alcoholic drinks,
consumed and or distributed narcotics, psychotropic
substances and other addictive substances in the

II - 168
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

working environment;
d. Committed immorality/indecency or gambled in the
working environment;
e. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or
her co-workers or the entrepreneur in the working
environment.
f. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to
do something that against laws and regulations.
g. Carelessly or intentionally destroyed or let the property
of the entrepreneur exposed to danger, which caused
the enterprise to incur losses;
h. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or
the entrepreneur exposed to danger in the workplace;
i. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is
supposed to keep secret unless otherwise required by
the State; or
j. Committed other wrongdoings within the working
environment, which call for imprisonment for 5 (five)
years or more.
(2) The grave wrongdoings as mentioned under subsection
(1) must be supported with the following evidence:
a. The worker/labourer is caught red-handed;
b. The worker/labourer admits committed a wrongdoing;
or
c. Other evidence in the form of reports of events made
by the authorities at the enterprises and confirmed by
no less than 2 (two) witnesses.
(3) Workers/ labourers whose employment is terminated
because of reasons as mentioned under subsection (1) may
receive compensation pay for entitlements as mentioned
under subsection (4) of Article 156.
(4) Workers/ labourers as mentioned under subsection (1)
whose duties and functions do not directly represent the
interest of the entrepreneur shall be given detachment
money whose amount and the procedures or methods
associated with its payment shall be determined and
stipulated in the work agreements, company regulations,
or collective labour agreements.

II - 169
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 159 ARTICLE 159


Sufficiently clear
If the worker/labourer is unwilling to accept the
termination as mentioned under subsection (1) of Article 158,
the worker/labourer may file a suit to the institution for the
settlement of industrial relations disputes.

ARTICLE 160
ARTICLE 160
(1) In case the worker/labourer is detained by the authorities Subsection (1)
because he or she is alleged to have committed a crime The members of the worker/ labourer’s
and this happens not because of the complaint filed by family that are his or her dependents are his
the entrepreneur, the entrepreneur is not obliged to pay wife or her husband, children or persons who
legally become the worker/ labourer’s
the worker/labourer’s wages but is obliged to provide dependents according to company regulations,
assistance to the family who are his or her dependents work agreements or collective labour
according to the following provisions: agreements.
a. For 1 (one) dependent, the entrepreneur is obliged to
Subsection (2)
pay 25% (twenty-five percent) of the worker/labourer’s Sufficiently clear
wages.
b. For 2 (two) dependents, the entrepreneur is obliged Subsection (3)
Sufficiently clear
to pay 35% (thirty-five percent) of the worker/
labourer’s wages. Subsection (4)
c. For 3 (three) dependents, the entrepreneur is obliged Sufficiently clear
to pay 45% (fourty-five percent) of the worker/ Subsection (5)
labourer’s wages. Sufficiently clear
d. For 4 (four) dependents or more, the entrepreneur is
Subsection (6)
obliged to pay 50% (fifty percent) of the worker/
Sufficiently clear
labourer’s wages.
(2) The assistance as mentioned under subsection (1) shall Subsection (7)
be provided for no longer than 6 (six) months of calendar Sufficiently clear
year starting from the first day the worker/labourer is
detained by the authorities.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of the
worker/labourer who after the passing of 6 (six) months
are unable to perform his or her work as worker/labourer
because of the legal process associated with the legal
proceedings as mentioned under subsection (1).
(4) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months as mentioned under subsection (3) and the
worker/ labourer is declared not guilty, the entrepreneur
is obliged to reemploy the worker/labourer.

II - 170
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(5) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months and the worker/labourer is declared guilty,
the entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer.
(6) The termination of employment as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) is carried out without
the decision of the institution for the settlement of
industrial relations disputes.
(7) The entrepreneur is obliged to pay to the worker/labourer
whose employment is terminated as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) reward pay for service
rendered during his/her period of employment 1 (one)
time of what is stipulated under subsection (3) of Article
156 and compensation pay that the worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (4) of Article
156.

ARTICLE 161 ARTICLE 161


Subsection (1)
(1) In case the worker/labourer violates the provisions that Sufficiently clear
are specified under work agreement, the company
regulations, or the collective labour agreement, the Subsection (2)
entrepreneur may terminate the employment after the Each warning letter may be issued either
consecutively or not consecutively, according
entrepreneur precedes it with the issuance of the first, to what is stipulated under the work
second and third warning letters consecutively. agreements or company regulations or
(2) Each warning letter issued as mentioned under subsection collective labour agreements.
In case the warning letter is issued
(1) shall expire after 6 (six) months unless otherwise stated
consecutively then the first warning letter shall
in the work agreement or the company regulations or the be effective for a period of 6 (six) months. If
collective labour agreement. the worker/labourer commits a violation
(3) Workers/labourers whose employment is terminated for again against the provisions under the work
agreement or company regulations or collective
reasons as mentioned under subsection (1) shall be labour agreement within the 6 (six) month
entitled to severance pay amounting to 1 (one) time of period, the entrepreneur may issue the second
the amount of severance pay stipulated under subsection warning letter, which shall also be effective
(2) of Article 156, reward pay for period of employment for a period of 6 (six) months since the issuance
of the second warning letter.
amounting to 1 (one) time of the amount stipulated under
If the worker/labourer keeps on violating
subsection (3) of Article 156, and compensation pay for the provisions under the work agreement or
entitlements according to the provision under subsection company regulations or collective labour
(4) of Article 156. agreement, the entrepreneur may issue the
third (last) warning, which shall be effective
for 6 (six) months since the issuance of the
third warning. If within the effective period
of the third warning, the worker/ labourer
once again violate the provisions under the

II - 171
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

work agreement or company regulations or


collective labour agreement, the entrepreneur
may terminate employment.
If the six-month period since the
issuance of the first warning letter is lapsed
and the worker/ labourer once again violates
the work agreement, company regulations or
collective labour agreement, then the warning
letter issued by the entrepreneur shall once
again be the first warning letter. The same
shall also apply to the second and third
warning.
Work agreements or company regulations
or collective labour agreements may stipulate
the issuance of first and last warning letter for
certain types of violations. So, if the worker/
labourer violate the work agreement or
company regulations or collective labour
agreement within the effective period of the
first and last warning letter, the entrepreneur
may terminate the worker/ labourer’s
employment.
The six-month period is meant as an
effort to educate the affected worker/ labourer
so that he/she has time to correct his/her
behavior. On the other hand, the six-month
period shall give the entrepreneur enough time
to evaluate the performance of the worker/
labourer in question.

Subsection (3)
Sufficiently clear

ARTICLE 162 ARTICLE 162


Sufficiently clear
(1) Worker/labourer who resign on his/her own will, shall be
entitled to compensation pay in accordance with
subsection (4) of Article 156.
(2) Workers/labourers who resign of their own will, whose
duties and functions do not directly represent the interest
of the entrepreneur shall, in addition to the compensation
pay payable to them according to subsection (4) of Article
156, be given detachment money whose amount and the
procedures/methods associated with its payment shall be
regulated in the work agreements, company regulations
or collective labour agreements.
(3) A worker/labourer who resigns as mentioned under

II - 172
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

subsection (1) must fulfill the following requirements:


a. Submit a resignation letter no later than 30 (thirty)
days prior to the date of resignation;
b. Not being bound by a contract to serve the enterprise;
and
c. Continue to carry out his or her obligations until the
date of his or her resignation.
(4) Termination of employment for the reason of own will
resignation shall be carried out without the decision of
the institution for the settlement of industrial relations
disputes.

ARTICLE 163 ARTICLE 163


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur may terminate the employment of his
or her workers/labourers in the event of change in the
status of the enterprise, merger, fusion, or change in the
ownership of the enterprise and the workers/labourers are
not willing to continue their employment, the worker/
labourer shall be entitled to severance pay 1 (one) time
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward pay for period of employment
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156, and compensation pay for entitlements
that have not been used according to what is stipulated
under subsection (4) of Article 156.
(2) The entrepreneur may terminate the employment of his
or her workers/labourers in the event of change in the
status of the enterprise, merger, fusion, or change in the
ownership of the enterprise and the entrepreneur is not
willing to accept the workers/labourers to work in the
new enterprise. The worker/labourer shall be entitled to
severance pay twice the amount of severance pay stipulated
under subsection (2) of Article 156, reward pay for period
of employment 1 (one) time the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay for
entitlements according to what is stipulated under
subsection (4) of Article 156.

II - 173
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

ARTICLE 164 ARTICLE 164


Sufficiently clear
(1) The entrepreneur may terminate the employment of
workers/labourers because the enterprise has to be closed
down due to continual losses for 2 (two) years consecutively
or force majeure. The workers/labourers shall be entitled
to severance pay amounting to 1 (one) time the amount
of severance pay stipulated under subsection (2) of Article
156, reward pay for period of employment amounting to
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
according to subsection (4) of Article 156.
(2) The continual losses as referred under subsection (1) must
be proved in the enterprise’s financial reports over the last
2 (two) years that have been audited by public accountants.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of its
workers/labourers because the enterprise has to be closed
down and the closing down of the enterprise is caused
neither by continual losses for 2 (two) years consecutively
nor force majeure but because of rationalization. The
workers/labourers shall be entitled to severance pay twice
the amount of severance pay stipulated under subsection
(2) of Article 156, reward for period of employment pay
amounting to 1 (one) time the amount stipulated under
subsection (3) of Article 156 and compensation pay for
entitlements according to subsection (4) of Article 156.

ARTICLE 165 ARTICLE 165


Sufficiently clear
The entrepreneur may terminate the employment of the
enterprise’s workers/labourers because the enterprise goes
bankrupt. The workers/labourers shall be entitled to severance
pay amounting to 1 (one) time the amount of severance pay
stipulated under subsection (2) of Article 156, reward pay for
period of employment amounting to 1 (one) time the amount
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.

ARTICLE 166 ARTICLE 166


Sufficiently clear
If an employment relationship comes to an end because
the worker/ labourer dies, to the worker’s heirs shall be given a
sum of money whose amount shall be the same as twice the

II - 174
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

amount of severance pay as stipulated under subsection (2) of


Article 156, reward pay for period of employment worked by
the worker/ labourer amounting to 1 (one) time the amount
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.

ARTICLE 167 ARTICLE 167


Subsection (1)
(1) An entrepreneur may terminate the employment of its Sufficiently clear
workers/labourers because they enter pension age,
entrepreneur has included the workers/labourers in a Subsection (2)
Sufficiently clear
retirement benefit program, the workers/labourers are not
entitled to severance pay according to what is stipulated Subsection (3)
under subsection (2) of Article 156, reward pay for period An example for this subsection is:
of employment in accordance with what is stipulated For instance, if the severance pay that
under subsection (3) of Article 156, and compensation should have been received by the worker/
pay for entitlements according to subsection (4) of Article labourer is Rp10,000,000 and the
amount of pension benefit payable to the
156. worker/ labourer according to the pension
(2) If the amount of retirement benefit that they get as a program is Rp6,000,000 and
single lump-sum payment as a result of their participation arrangements have been made in the
pension program that the entrepreneur pays
in a pension program as mentioned under subsection (1)
60% of the premium and the worker/
turns out to be lower than twice the amount of the labourer pays the remaining 40%, then:
severance pay stipulated under subsection (2) of Article The total premiums paid by the
156, reward pay for period of employment in accordance entrepreneur are equal to 60% x
with what is stipulated under subsection (3) of Article Rp6,000,000 = Rp3,600,000
156, and compensation pay for entitlements according The total pension benefit for which
to subsection (4) of Article 156, the entrepreneur shall premiums have been paid by the worker/
labourer are equal to 40% x
pay the difference.
Rp6,000,000 = Rp2,400,000
(3) If the entrepreneur has included the worker/labourer in a So, the difference that the entrepreneur
pension program whose contributions/premiums are paid has to make up is Rp10,000,000 –
by the entrepreneur and the worker/labourer, then that Rp3,600,000 = Rp6,400,000.
which is calculated with the severance pay shall be the This means that the money receivable by
pension whose contributions/premiums have been paid the worker/ labourer upon the
termination of the worker/ labourer’s
by the entrepreneur. employment is:
(4) Arrangements other than what is stipulated under Rp3,600,000 (which is the benefit paid
subsection (1), subsection (2) and subsection (3) may be by the pension program administrator of
made in the work agreement or company regulations or which represents 60% of the total
premiums which had been paid by the
collective labour agreements.
entrepreneur)
(5) If the entrepreneur does not include workers/labourers Rp6,400,000 (which comes from the
whose employment is terminated because they enter difference in severance pay that must be
pension age in a pension program, the entrepreneur is made up by the entrepreneur)

II - 175
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

obliged to pay them severance pay twice the amount of Rp2,400,000 (which is the benefit paid
severance pay as stipulated under subsection (2) of Article by the pension program administrator
which represents 40% of the total
156, reward pay for period of employment amounting to premiums which had been paid by the
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) worker/ labourer)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
——————————————
according to subsection (4) of Article 156.
Total: Rp12,400,000 (twelve
(6) The worker/labourer’s entitlement to retirement benefit million four hundred thousand rupiah)
as mentioned under subsection (1), subsection (2) and
subsection (3) shall not eliminate their entitlement to Subsection (4)
the old age benefit that is compulsory according to Sufficiently clear
prevailing laws and regulations. Subsection (5)
Sufficiently clear

ARTICLE 168 ARTICLE 168


Subsection (1)
(1) An entrepreneur may terminate the employment of a The phrase ‘the entrepreneur has properly
worker/labourer if the worker/labourer has been absent summoned him or her’ means that the worker/
from work for 5 (five) workdays or more consecutively labourer has been summoned in writing
without submitting to the entrepreneur a written through a letter sent to the address of the
worker/ labourer as recorded at the enterprise
explanation supplemented with valid evidence and the on the basis of the information provided by
entrepreneur has properly summoned him or her twice the worker/ labourer to the enterprise. There
in writing, by qualify the worker/labourer as resigning. shall be a minimum of three-workday spacing
between the first summon and the second
(2) The written explanation supplemented with valid evidence summon.
as mentioned under subsection (1) must be submitted at Subsection (2)
the latest on the first day on which the worker/labourer Sufficiently clear
comes back to the workplace.
Subsection (3)
(3) In the event of the termination of employment as Sufficiently clear
mentioned under subsection (1), the worker/labourer shall
be entitled to compensation pay for her/his entitlements
according to subsection (4) of Article 156 and they shall
be given detachment money whose amount and the
procedures and methods associated with its payment shall
be regulated in the work agreements, company
regulations, or collective labour agreements.

ARTICLE 169 ARTICLE 169


Sufficiently clear
(1) A worker/labourer may file an official request to the
institution for the settlement of industrial relations
disputes to terminate his/her employment relationship
with his/her entrepreneur if:

II - 176
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

a. Battered, rudely humiliated or intimidated the worker/


labourer;
b. Persuaded and/or ordered the worker/labourer to
commit acts that against statutory laws and regulations;
c. Not paid wages at a prescribed time for three months
consecutively or more;
d. Not performed obligations promised to workers/
labourers;
e. Orders the worker/labourer to perform work outside
of that which has been agreed upon; or
f. Ordered the worker/labourer to carry out work that
endangered life, safety, health and morality of the
worker/labourer which is not mentioned in the work
agreement.
(2) The termination of employment because of reasons as
mentioned under subsection (1), the worker/ labourer is
entitled to receive severance pay amounting to twice the
amount of severance pay stipulated under subsection (2)
of Article 156, reward pay amounting to 1 (one) time the
amount of reward pay for period of employment worked
stipulated under subsection (3) of Article 156 and
compensation pay for entitlements according to subsection
(4) of Article 156.
(3) In case the entrepreneur is found not guilty of committing
the acts mentioned under subsection (1) by the institution
for the settlement of industrial relations disputes, the
entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer without having the decision of the
institution for the settlement of industrial relations
disputes and the worker/ labourer in question is not
entitled to severance pay as mentioned under subsection
(2) of Article 156 and reward pay for period of
employment worked as mentioned under subsection (3)
of Article 156.

ARTICLE 170 ARTICLE 170


Sufficiently clear
Any termination of employment that is carried out
without fulfilling subsection (3) Article 151 and Article 168
except subsection (1) of Article 158, subsection (3) of Article
160, Article 162, and Article 169 shall be declared null and

II - 177
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

void by law and the entrepreneur is obliged to reemploy the


worker/ labourer and pay all the wages and entitlements which
the worker/ labourer should have received.

ARTICLE 171 ARTICLE 171


The one-year spacing reserved for
If workers/labourers whose employment is terminated
dismissed workers/ labourers to file a lawsuit
without the decision of the institution for the settlement of starting from the date on which their
industrial relations disputes as mentioned under subsection employment is terminated is considered as an
(1) of Article 158, subsection (3) of Article 160 and Article appropriate period of time during which to
162 cannot accept the termination of their employment, the file a lawsuit.
workers/ labourers may file a lawsuit to the institution for the
settlement of industrial relations disputes within a period of
no later than 1 (one) year since the date on which their
employment was terminated.

ARTICLE 172 ARTICLE 172


Sufficiently clear
Workers/labourers who are continuously ill for a very long
time, who are disabled as a result of a work accident and are
unable to perform their work may, after they have been in
such a condition for more than the absenteeism limit of 12
(twelve) months consecutively, request that their employment
be terminated upon which they shall be entitled to receive
severance pay amounting to twice the amount of severance
pay stipulated under subsection (2) of Article 156, reward
pay for the period of employment they have worked amounting
to twice the amount of such reward pay stipulated under
subsection (3) of Article 156, and compensation pay
amounting to one time the amount of that which is stipulated
under subsection (4) of Article 156.

CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT

ARTICLE 173 ARTICLE 173


Subsection (1)
(1) The goverment shall make efforts to develop and build The term develop shall refer to activities
up elements and activities related to manpower. carried out effectively and efficiently to get
(2) The efforts to develop manpower-related elements and better results in order to improve and develop
all manpower-related activities.
activities as mentioned under subsection (1) may invite
participation of entrepreneurs’ organizations, trade/labour Subsection (2)
unions and other related organizations of professions. Sufficiently clear

II - 178
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(3) The efforts to develop manpower as mentioned under Subsection (3)


subsection (1) and subsection (2) shall be carried out in a Those who shall perform the
coordination as mentioned under this
well-integrated and well-coordinated way. subsection are the government agency
(agencies) responsible for labour/ manpower
affairs.

ARTICLE 174 ARTICLE 174


Sufficiently clear
For the purpose of manpower development, the
government, associations of entrepreneurs, trade/ labour unions
and other professions organizations may establish international
cooperation in the field of labour according to the prevailing
laws and regulations.

ARTICLE 175 ARTICLE 175


Sufficiently clear
(1) The government may award persons or institutions that
have done meritorious service in the field of manpower
development.
(2) The award as mentioned under subsection (1) may be
given in the form of a charter, money and or other forms
of reward.

CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION

ARTICLE 176 ARTICLE 176


The word “independency” attributable
Labour inspection shall be carried out by government
to labour inspectors under this subsection shall
labour inspectors who have the competence and independency mean that in making decision, labour
to ensure the implementation of the labour laws and inspectors are not under the influence of other
regulations. parties.

ARTICLE 177 ARTICLE 177


Sufficiently clear
The labour inspectors as mentioned under Article 176
shall be determined by Minister or appointed officials.

ARTICLE 178
ARTICLE 178
(1) Labour inspection shall be carried out by a separate Sufficiently clear
working unit of a government agency whose scope of duty
and responsibility are in the field of labour at the Central
Government, Provincial Governments and District/ City
Governments.

II - 179
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(2) The implementation of labour inspection as mentioned


under subsection (1) shall be regulated further with a
Presidential Decision.

ARTICLE 179 ARTICLE 179


Sufficiently clear
(1) The working units for labour inspection as mentioned
under Article 178 at the Provincial Governments and
District/ City Governments are obliged to submit reports
on the implementation of labour inspection to Minister.
(2) Procedures for submitting the reports as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Ministerial
Decision.

ARTICLE 180 ARTICLE 180


Sufficiently clear
Provisions concerning the requirements for the
appointment of, the rights and obligations of, the authority
of, labour inspectors as mentioned under Article 176 pursuant
to the prevailing laws and regulations.

ARTICLE 181 ARTICLE 181


In carrying out their duties as mentioned under Article Sufficiently clear
176, labour inspectors are obliged:
a. To keep secret everything that, by its nature, needs or is
worthy to be kept secret;
b. To refrain from abusing their authority.

CHAPTER XV
INVESTIGATION
ARTICLE 182 ARTICLE 182
Sufficiently clear
(1) Special authority to act as civil servant investigators may
also be given, in addition to the one assigned to the
investigating officials of the Police of the State of the
Republic of Indonesia, to labour inspectors in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(2) The civil servant investigators as mentioned under
subsection (1) shall have the authority:
a. To examine whether or not reports and explanation
about labour crimes are true;

II - 180
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

b. To investigate individuals suspected of having


committed a labour crime;
c. To require explanations and evidences from persons or
legal entity considered to be relevant to the labour
crime being investigated;
d. To examine or confiscate objects or evidences found in
a case of labour crime;
e. To examine papers and/or other documents related
with labour crimes;
f. To request the help of experts in performing labour-
related criminal investigations; and
g. To stop investigation if there is not enough evidence
to prove that a labour crime has been committed.
(3) The authority of civil servant investigators as mentioned
under subsection (2) shall be exercised in accordance with
the prevailing laws and regulations.

CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE
SANCTIONS
SECTION ONE
CRIMINAL PROVISIONS

ARTICLE 183 ARTICLE 183


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates the provision under Article 74 shall
be subjected to a criminal sanction in jail for a minimum
of 2 (two) years and a maximum of 5 (five) years and/or a
fine of a minimum of Rp200,000,000 (two hundred
million rupiah) and a maximum of Rp500,000,000 (five
hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.

ARTICLE 184 ARTICLE 184


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is mentioned under subsection
(5) of Article 167 shall be subjected to a criminal sanction
in jail for a minimum of 1 (one) year and a maximum of
5 (five) years and or a fine of a minimum of Rp100,000,000

II - 181
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

(one hundred million rupiah) and a maximum of


Rp500,000,000 (five hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.

ARTICLE 185 ARTICLE 185


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(1) and subsection (2) of Article 42, Article 68, subsection
(2) of article 69, Article 80, Article 82, subsection (1) of
Article 90, Article 139, Article 143, and subsection (4)
and subsection (7) of Article 160 shall be subjected to a
criminal sanction in jail for a minimum of 1 (one) year
and a maximum of 4 (four) years and/or a fine of a
minimum of Rp100,000,000 (one hundred million
rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four hundred
million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a felony.

ARTICLE 186 ARTICLE 186


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) and subsection (3) of Article 35, subsection (2) of
Article 93, Article 137, and subsection (1) of Article 138
shall be subjected to a criminal sanction in jail for a
minimum of 1 (one) month and a maximum of 4 (four)
years and/or a fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten
million rupiah) and a maximum of Rp400,000,000 (four
hundred million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.

ARTICLE 187 ARTICLE 187


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) of Article 37, subsection (1) of Article 44, subsection
(1) of Article 45, subsection (1) of Article 67, subsection
(2) of Article 71, Article 76, subsection (2) of Article 78,
subsection (1) and subsection (2) of Article 79, subsection
(3) of Article 85, and Article 144 shall be subjected to a
criminal sanction in prison for a minimum of 1 (one)
month and a maximum of 12 (twelve) months and/or a
fine of a minimum of Rp10,000,000 (ten million rupiah)

II - 182
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

and a maximum of Rp100,000,000 (one hundred million


rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.

ARTICLE 188 ARTICLE 188


Sufficiently clear
(1) Whosoever violates what is stipulated under subsection
(2) of Article 14, subsection (2) of Article 38, subsection
(1) of Article 63, subsection (1) of Article 78, subsection
(1) of Article 108, subsection (3) of Article 111, Article
114, and Article 148 shall be subjected to a criminal
sanction in the form of a fine of a minimum of
Rp5,000,000 (five million rupiah) and a maximum of
Rp50,000,000 (fifty million rupiah).
(2) The criminal action mentioned under subsection (1) shall
be legally categorized as a misdemeanor.

ARTICLE 189 ARTICLE 189


Sufficiently clear
Sanctions imposed on entrepreneurs in the form of a jail,
prison sentence and/or a fine do not release the entrepreneurs
from their obligations to pay entitlements and/or
compensations to the workers/ labourers.

SECTION TWO
ADMINISTRATIVE SANCTIONS

ARTICLE 190 ARTICLE 190


Sufficiently clear
(1) Minister or appointed official shall impose administrative
sanctions because of violations under Article 5, Article 6,
Article 15, Article 25, subsection (2) of Article 38,
subsection (1) of Article 45, subsection (1) of Article 47,
Article 48, Article 87, Article 106, subsection (3) of Article
126, and subsection (1) and subsection (2) of Article 160
of this act and its implementing regulations.
The administrative sanctions as mentioned under
subsection (1) may take the form of:
a. A rebuke;
b. A written warning;
c. restrict/limit the business activities of the affected
enterprise;

II - 183
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

d.freeze the business activities of the affected enterprise;


e.Cancellation of approval;
f.Cancellation of registration;
g.Temporary termination of partial or the whole
production tools/instruments;
h. Abolishment/revocation of license or permission to
operate.
(2) The provisions concerning administrative sanctions as
mentioned under subsection (1) and subsection (2) shall
be regulated further by Minister.

CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS

ARTICLE 191 ARTICLE 191


All implementing regulations that regulate manpower Implementing regulations which
regulate matters pertaining to labour/
affairs shall remain effective as long as they do not against and/ manpower under this act are implementing
or have not been replaced by the new regulations made based regulations from various labour/ manpower
on this act. laws irrespective of whether they have been
revoked or are still in place and valid. In
order to avoid legal vacuum, this act shall
apply to implementing regulations that have
not been revoked or replaced on the basis of
this act as long as they are not against this act.
Likewise, if a labour incident or case
happens before the application of this act and
is still in the process of being settled through
an institute for the settlement of industrial
relations disputes, then in accordance with
the principle of legality, implementing
CHAPTER XVIII regulations that are in existence prior to the
application of this act shall be used to settle
CLOSING PROVISIONS the incident or case.

ARTICLE 192 ARTICLE 192


At the time this act starts to take effect, then: Sufficiently clear

1. Ordinance concerning the Mobilization of Indonesian


People To Perform Work Outside of Indonesia (Staatsblad
Year 1887 Number 8);
2. Ordinance dated December 17, 1925, which is a
regulation concerning Restriction of Child Labour and
Night Work for Women (Staatsblad Year 1925 Number

II - 184
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

647);
3. Ordinance Year 1926, which is a regulation which
regulates the Employment of Child and Youth on Board
of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87);
4. Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To
Regulate Activities To Recruit Candidates/ Prospective
Workers (Staatsbald Year 1936 Number 208);
5. Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who
Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
6. Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction
of Child Labour (Staatsblad Year 1949 Number 8);
7. Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of
the Enactment of Employment Act Year 1948 Number
12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State
Gazette Year 1951 Number 2);
8. Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement
Between Labour Union and Employer (State Gazette Year
1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number
598a);
9. Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of
Foreign Workers (State Gazette Year 1958 Number 8);
10. Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work
for University Graduates Holding Master’s Degree (State
Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State
Gazette Number 2270);
11. Act Number 7 Year 1963 Serving as the Presidential
Resolution on the Prevention of Strike and/or Lockout at
Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963
Number 67);
12. Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental
Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969
Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912);
13. Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State
Gazette Year 1997 Number 73, Supplement to State
Gazette Number 3702);
14. Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the
Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning

II - 185
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes

Manpower (State Gazette Year 1998 Number 184,


Supplement to State Gazette Number 3791);
15. Act Number 28 Year 2000 concerning the Establishment
of Government Regulation in lieu of Law Number 3 Year
2000 concerning Changes to Act Number 11 Year 1998
concerning the Change in the Applicability of Act Number
25 Year 1997 concerning Manpower into Act (State
Gazette Year 2000 Number 204, Supplement to State
Gazette Number 4042)
shall herewith be declared null and void.

ARTICLE 193 ARTICLE 193


This act shall be effective upon the date of its Sufficiently clear
promulgation. For the cognizant of the public, orders the
promulgation of this act by having it place on the State Gazette
of the Republic of Indonesia.

Legalized in Jakarta
On 25 March, 2003

PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Promulgated in Jakarta:
On 25 March, 2003

STATE SECRETARY OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA

BAMBANG KESOWO SUPPLEMENT TO THE STATE


GAZETTE OF THE REPUBLIC OF
INDONESIA NUMBER 4279
STATE GAZETTE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 39 OF 2003

II - 186
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang


secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat


internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung
tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;

c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam


sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan
International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya);

d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud


pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara
Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang
menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di
dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk
secara terus menerus memajukan dan melindungi hak
asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

e. bahwa . . .
- 2 -

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya).

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan


Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3882);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012);

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);

Dengan . . .
- 3 -

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL


COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
(KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI,
SOSIAL DAN BUDAYA).

Pasal 1

(1 ) Mengesahkan International Covenant on Economic, Social


and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dengan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1.

(2) Salinan naskah asli International Covenant on Economic,


Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.

Pasal 2

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 4 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 118


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

I. UMUM

1. Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak


Ekonomi, Sosial dan Budaya Sipil dan Politik.

Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human
Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya
disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan
kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil
pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan
dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan
efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri
maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah
yurisdiksi mereka.

Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan


kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen
internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan
hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi
Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan
DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta
rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada
tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi
yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta
kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui
perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta

kepada . . .
- 2 -

kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak
asasi manusia: (1) Kove nan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga
menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus
memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat
pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.

Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai


dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953
dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada
tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas
mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara
mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas.
Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB
membahas rancangan naskah Kovenan itu pasal demi pasal mulai tahun
1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal,
naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966.
Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI),
MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak
Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976.

2. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant


on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)

Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat
penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan
(Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di
dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara

Indonesia . . .
- 3 -

Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);
hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28);
kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29
ayat (2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31
ayat (1) ).

Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut


meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara
kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15
Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).

Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus


1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung
tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS
RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5
Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar
pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan
bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang
bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping
komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950,
Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan
dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan
keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi
perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization
(Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia
II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah
Belanda, menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat oleh
Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan
mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni
Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hak-
hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun
1958.

Dalam . . .
- 4 -

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan dan


perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa
upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan
oleh kepentingan kekuasaan.

Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak


mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan
selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak
memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik,
sosial dan budaya untuk jangka panjang.

Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah


membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi
terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk
menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.

Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM


melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan
dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun
2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan
ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984)
pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial).

Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan,
penghormatan dan penegakan HAM, yaitu dengan mengesahkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat
"Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia"
(Lampiran angka I) dan "Piagam Hak Asasi Manusia" (Lampiran angka II).

Konsideran . . .
- 5 -

Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan,


antara lain, "bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi
pelaksanaan hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara" (huruf b) dan "bahwa bangsa
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi
manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa -Bangsa serta instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia" (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR
tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa -Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai
hak asasi manusia" (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa
DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM
dan yang lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights"
(Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan
instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan


perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan
dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua
Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia
terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan
mengintegrasikan ketentuan-ke1entuan penting dari instrumen-
instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam
BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan
sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang
kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

serta . . .
- 6 -

serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat


internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu
mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM,
khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
serta International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

3. Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial


dan Budaya.

Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang


ekonomi, sosial dan budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan
yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-
pasal yang mencakup 31 pasal.

Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya


menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM,
mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi
pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam
kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui
bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan
kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap
orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta
hak-hak sipil dan politiknya.

Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk


menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara,
termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan
Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian,
untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti
yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun
1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.

Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-


Langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut
tanpa pembedaan apa pun. Negara-negara berkembang, dengan

memperhatikan . . .
- 7 -

memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan


sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan menjamin hak-hak
ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk
ketentuan ini, diperlukan pengaturan ekonomi nasional.

Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Pasal 4 menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan


pembatasan atas hak-hak melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal
itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan semata-mata untuk maksud
memajukan kesejahte raan umum dalam masyarakat demokratis.

Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok,
atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan
tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun
yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya
pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang
berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut
atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.

Pasal 6 sampai dengan pasal 15 mengakui hak asasi setiap orang di


bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6),
hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal
7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan
dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang
muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11),
hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi
yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan
hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).

Selanjutnya Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 mengatur hal-hal mengenai


pelaksanaan Kovenan ini, yakni kewajiban negara pihak untuk
menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai
tindakan yang telah diambil dan kemajuan yang telah dicapai dalam
penaatan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (Pasal 16 dan Pasal 17),
penanganan laporan tersebut oleh ECOSOC (Pasal 18 sampai dengan
Pasal 22), kesepakatan tentang lingkup aksi internasional guna mencapai
hak-hak . . .
- 8 -

hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak
ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai
mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus
yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini
(Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat
pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).

Kovenan diakhiri dengan ketentuan penutup yang mengatur pokok-pokok


yang bersifat prosedural (Pasal 26 sampai dengan Pasal 31), dan yang
mencakup pengaturan penandatanganan, pengesahan, aksesi, dan
penyimpanan Kovenan ini, serta tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai
penyimpan (depositary) (Pasal 26 dan Pasal 30), mulai berlakunya
Kovenan ini (Pasa! 27), lingkup wilayah berlakunya Kovenan ini di negara
pihak yang berbentuk federal (Pasal 28), prosedur perubahan (Pasal 29),
dan bahasa yang digunakan dalam naskah otentik Kovenan ini (Pasal 31).

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling
terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun
1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak
asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi
dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini
harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan,
pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial,
dan pudaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman
hak-hak sipil dan politik.

Ayat (2) . . .
- 9 -

(Ayat 2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah
asli dalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 1 Kovenan ini.

Pasal 2
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4557


- 10 -
UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 1951
Tentang
PERNYATAAN BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948 NO. 23.
DARI REPUBLIK INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA
(Lembaran Negara No.4 Tahun 1951).

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum


ada undang-undang mengenai pengawasan perburuhan
yang sesuai dengan keadaan sekarang;
2. bahwa ketiadaan undang-undang itu sangat dirasakan dan
oleh karenanya perlu segera mengadakannya;
3. bahwa dengan menunggu selesainya pekerjaan tersebut
terlebih dahulu perlu dijalankan undang-undang
pengawasan perburuhan Republik Indonesia yang sudah
ada;
4. bahwa “Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948” dari Republik Indonesia adalah salah undang-
undang yang dibutuhkan dan oleh karenanya perlu lekas
dijalankan untuk seluruh Indonesia.

Mengingat : Pasal 36 dan 89 Undang-Undang Dasar Sementera


Republik Indonesia.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.

MEMUTUSKAN :
Dengan membatalkan segala peraturan yang berlawanan dengan undang-undang ini
menetapkan :

UNDANG-UNDANG PERNYATAAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG


PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948 NR. 23 DARI REPUBLIK
INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA.

PASAL 1
Menyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia undang-undang Pengawasan Perburuhan
tanggal 23 Juli 1948 Nr. 23 dari Republik Indonesia yang bunyinya sebagai berikut :
BAGIAN I
Tentang Pengawasan Perburuhan

Pasal 1

1. Pengawasan Perburuhan diadakan guna :


a) mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan
pada khususnya;

b) mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan


keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-
undang dan peraturan-peraturan perburuhan;

c) menjalankan pekerjaan lain-lain yang diserahkan kepadanya dengan undang-


undang atau peraturan-peraturan lainnya.

2. Menteri yang diserahi urusan perburuhan mengadakan laporan tahunan tentang


pekerjaan pengawasan perburuhan.

BAGIAN II
Hak Pegawai-pegawai Pengawasan Perburuhan untuk memperoleh Keterangan.

Pasal 2

1) Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk olehnya,
menunjuk pegawai-pegawai yang diberi kewajiban menjalankan pengawasan
perburuhan;

2) Pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) pasal ini, beserta pegawai-pegawai


pembantu yang mengikutinya, dalam melakukan kewajiban-kewajiban tersebut
dalam pasal 1 ayat (1), berhak memasuki semua tempat-tempat, dimana
dijalankan atau biasa dijalankan pekerjaan, atau dapat disangka bawah di situ
dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah yang disewakan atau dipergunakan
oleh majikan atau wakilnya untuk perumahan atau perawatan buruh. Yang
dimaksud dengan pekerjaan ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk
majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah.

3) Jikalau pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) ditolak untuk memasuki


tempat-tempat termaksud dalam ayat (2) maka mereka memasukinya, jika perlu
dengan bantuan Polisi Negara.

Pasal 3
1) Majikan atau wakilnya, demikian pula semua buruh yang bekerja pada majikan
itu, atas permintaan dan dalam waktu sepantasnya yang ditentukan oleh
pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1), wajib memberikan semua
keterangan-keterangan yang sejelas-jelasnya, baik dengan lisan maupun tertulis
yang dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat yang pasti tentang
hubungan kerja dan keadaan perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan
itu pada waktu itu atau/dan pada waktu yang telah lampau;

2) Pegawai-pegawai tersebut di atas berhak menanyai buruh dengan tidak dihadiri


oleh orang ketiga;

3) Dalam menjalankan tugasnya pegawai-pegawai tersebut diwajibkan


berhubungan dengan organisasi buruh yang bersangkutan.

Pasal 4

Atas permintaan pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1) majikan atau
wakilnya wajib menunjuk seorang pengantar untuk memberi keterangan-keterangan
pada waktu diadakan pemeriksaan.

BAGIAN III
Menyimpan Rahasia.

Pasal 5

Pegawai-pegawai beserta pegawai-pegawai pembantu tersebut dalam pasal 2 di luar


jabatannya wajib merahasiakan segala keterangan tentang rahasia-rahasia di dalam suatu
perusahaan, yang didapatnya berhubungan dengan jabatannya.

BAGIAN IV
Aturan Hukuman

Pasal 6

1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya


termaksud dalam pasal 5, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah dengan tidak
atau dipecat dari hak memangku jabatan.

2) Barang siapa karena kehilapannya menyebabkan rahasia itu menjasi terbuka,


dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah;
3) Tidak ada tuntutan terhadap hal-hal tersebut dalam ayat (1) dan (2), jikalau
tidak ada pengaduan dari majikan yang berkepentingan atau wakilnya;

4) Barang siapa menghalang-halangi atau menggagalkan sesuatu yang dilakukan


oleh pegawai-pegawai dalam melakukan kewajibannya seperti tersebut dalam
pasal 2, begitu pula barang siapa tidak memenuhi kewajibannya termasuk
dalam pasal 3 ayat (1), dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah;

5) Barang siapa tidak memenuhi kewajibannya tersebut dalam pasal 4 dihukum


dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya lima ratus rupiah;

6) Hal-hal yang dikenakan hukuman tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dianggap
sebagai kejahatan, sedangkan yang tersebut dalam ayat(4) dan (5) dianggap
sebagai pelanggaran.

Pasal 7

1) Jikalau yang dikenakan hukuman tersebut dalam pasal 6 itu suatu badan
hukum, maka tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan
hukum itu;

2) Jikalau urusan badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain maka
tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan hukum lain yang
mengurus itu.

BAGIAN V
Tentang Mengusut Pelanggaran dan Kejahatan.

Pasal 8

Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran dan


kejahatan pada umumnya, pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 dan orang-orang lain
menurut undang-undang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan
untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan dalam undang-undang ini
dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman tersebut
dalam pasal 6.
PASAL II

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Januari 1951.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEKARNO.

Diundangkan MENTERI PERBURUHAN


Pada tanggal 8 januari 1951
Menteri Kehakiman

WONGSONEGORO. SOEROSO
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1948.
Tentang
PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948

PEMANDANGAN UMUM
Pengawasan perburuhan adalah suatu institut yang sangat penting dalam penyelenggaraan
undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan.

Tidak hanya untuk mengawasi tentang berlakunya undang-undang dan peraturan-


peraturan tadi dengan jalan memberi penerangan kepada buruh, serikat buruh dan
majikan jikalau perlu dengan mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman oleh undang-
undang/peraturan-peraturan itu, akan tetapi pula untuk mengetahui dan menyelami
tentang keinginan dan kebutuhan masyarakat akan adanya undang-undang/peraturan-
peraturan pemerintah dalam suatu hal, dan selanjutnya untuk mengumpulkan bahan-
bahan keterangan, agar dapat mengadakan undang-undang/peraturan-peraturan yang
setepat-tepatnya.

Meskipun Kantor Pengawas Perburuhan itu di dalam zaman Belanda sudah ada, ialah
”Arbeidsinspectie”, akan tetapi kantor itu tidak begitu dikenal oleh dunia buruh (terutama
perusahaan-perusahaan yang besar-besar, kebu-kebun dan lain-lain), oleh karena pegawai
yang harus mengadakan pemeriksaan, seorang Arbeidsinspecteur tidak pernah
mengadakan perhubungan yang erat-eratnya dengan pihak buruh Indonesia. Oleh karena
itu sampai kinipun Kantor Pengawas Perburuhan yang sebetulnya telah ada dan bekerja
itu (lihat Penetapan Pemerintah Nr. 3 Tahun 1947 jo Keputusan Menteri Perhubungan
tanggal 30 Juli 1947 Nr. 364/P.V) masih saja belum dikenal sebaik-baiknya oleh
beberapa majikan dan buruh, sehingga telah beberapa kali terjadi seorang Ajun Inspektur
Pengawasan Perburuhan yang memasuki suatu tempat perusahaan untuk menjalankan
kewajibannya, mendapat rintangan dari atau ditolak oleh majikan yang berkepentingan.

Berhubungan dengan itu dan mengingat akan pentingnya pengawasan perburuhan, pula
untuk menyesuaikan sifatnya dengan aliran sekarang, maka Pemerintah menganggap
perlu untuk mengadakan undang-undang yang dengan tegas menetapkan tentang adanya
pengawasan perburuhan beserta aturan-aturannya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1

Ayat (1) :
Dalam ayat ini disebut 3 macam kewajiban dari pengawasan perburuhan.

Ayat (2) :
Berhubungan dengan pentingnya pekerjaan pengawasan perburuhan ini, maka
tiap-tiap tahun Menteri yang diwajibkan mengurus perburuhan, berwajib memberi
laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 2

Ayat (1) :

Menteri yang diserahi urusan perburuhan dan pegawai yang ditunjuk olehnya,
akan menetapkan pegawai-pegawai mana yang diberi kewajiban untuk
menjalankan pengawasan perburuhan.

Ayat (2) :

Supaya dapat melihat dan mendengar sendiri tentang keadaan perburuhan,


pegawai-pegawai tersebut dalam ayat (1) di atas harus dapat memasuki semua
tepat dimana dijalankan pekerjaan atau biasa dijalankan pekerjaan atau disangka
bahwa di situ dijalankan pekerjaan.
Dalam perkataan semua tempat itu termasuk juga tempat-tempat di mana
dilakukan pekerjaan oleh atau untuk suatu Jawaban Pemerintah.

Ayat (3) :

Di dalam arti kata Polisi negara termasuk kekuasaan tentara.

Pasal 3 dan 4

Dalam pasal-pasal ini disebut kewajiban majikan atau wakilnya dan buruh untuk
memberi segala bantuan agar pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dapat
memperoleh pendapat yang pasti tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan pada umumnya dalam perusahaan itu.

Jikalau keterangan-keterangan itu hanya bisa terdapat dari buku-buku perusahaan,


maka atas permintaan pegawai-pegawai pengawasan perburuhan majikan atau wakilnya
wajib mengusahakan sedemikian sehingga keterangan-keterangan yang diperlukan tadi
bisa terdapat pegawai-pegawai dari pengawasan perburuhan. Kewajiban ini dianggap
oleh pemerintah sebagai hal yang sangat pentingnya dan tidak dapat dipisah-pisahkan
dari adanya undang-undang perburuhan. Oleh karena itu untuk menjaga supayakewajiban
itu akan dipenuhi sebenar-benarnya maka perlu diadakan aturan hukuman terhadap
adanya kewajiban itu (lihat pasal 6 ayat (4) dan (5).

Pasal 5

Aturan-aturan dalam pasal ini menjaga jangan sampai rahasia-rahasia dalam suatu
perusahaan yang dalam sifatnya perlu disimpan betul-betul oleh perusahaan tadi,dapat
terbuka oleh pegawai-pegawai yang mengadakan pemeriksaan dalam perusahaan tadi
yang berhubungan dengan pekerjaan , tentu mengetahui tentang rahasia-rahasia dalam
perusahaan tadi.

Pasal 6

Dalam Pasal ini disebut aturan-aturan hukuman. Ancaman hukuman agak berat
berhubung dengan pentingnya tujuan undang-undang ini.

Pasal 7,8,9

Cukup Jelas
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 107 TAHUN 2004

TENTANG

DEWAN PENGUPAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 98 Undang-Undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang perlu
menetapkan Keputusan Presiden tentang Dewan Pengupahan.
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3989);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4279);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG DEWAN PENGUPAHAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :

1. Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit;
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang ditunjuk oleh Kamar
Dagang dan Industri untuk menangani masalah ketenagakerjaan.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Dewan Pengupahan terdiri dari :

a. Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas;


b. Dewan Pengupahan Provinsi yang selanjutnya disebut Depeprov;
c. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Depekab/Depeko.

Pasal 3

1. Depenas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dibentuk oleh Presiden.


2. Depeprov sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dibentuk oleh Gubernur.
3. Depekab/Depeko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dibentuk oleh
Bupati/Walikota.

BAB II

DEWAN PENGUPAHAN NASIONAL

Bagian Pertama

Tugas

Pasal 4

Depenas bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Pasal 5

Dalam melaksanakan tugasnya, Depenas dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

Bagian Kedua

Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan

Pasal 6

1. Keanggotaan Depenas, terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha,


Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Perguruan Tinggi, dan Pakar.
2. Keanggotaan Depenas dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.
3. Keanggotaan Depenas dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya
disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Keseluruhan anggota Depenas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berjumlah
gasal.

Pasal 7

Susunan keanggotaan Depenas terdiri dari :

a. Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah;


b. Wakil Ketua, sebanyak 2 (dua) orang merangkap sebagai anggota masing-masing
dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi pengusaha;
c. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah yang mewakili
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan;
d. Anggota.

Paragraf 2

Kesekretariatan

Pasal 8

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depenas dibantu oleh


Sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh salah satu
unit kerja yang dibentuk dan berada di lingkungan instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
3. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Komisi

Pasal 9
1. Apabila dipandang perlu, Depenas dapat membentuk Komisi untuk melaksanakan
tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depenas.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 10

Anggota Depenas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri

Pasal 11

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depenas, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :

a. warga negara Indonesia


b. berpendidikan paling rendah lulus Strata-1 (S-1);
c. memiliki pengalaman aau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan
Sumber Daya Manusia

Pasal 12

Anggota Depenas diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 13

1. Calon anggota Depenas dari unsur pemerintah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 ayat (1) diusulkan oleh instansi terkait kepada Menteri
2. Calon anggota Depenas dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi
syarat keterwakilan untuk duduk dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang
bersifat tripartit
3. Ketentuan mengenai keterwakilan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri
4. Calon anggota Depenas dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan disepakati
dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Calon anggota Depenas dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar yang ditunjuk
oleh Menteri.
6. Tata cara pengusulan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),ayat (2),
ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 14

Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depenas diberhentikan apabila yang
bersangkutan:

a. mengundurkan diri; atau


b. selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 15

Penggantian anggota Depenas yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 diusulkan oleh Menteri kepada Presiden setelah menerima usulan dari
organisasi atau instansi yang bersangkutan

Pasal 16

1. Dalam hal anggota Depenas mengundurkan diri atas permintaan sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, permintaan disampaikan oleh
anggota yang bersangkutan kepada Menteri dengan tembusan kepada organisasi
atau instansi yang mengusulkan.
2. Organisasi atau instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengusulkan
penggantian anggota kepada Menteri untuk diajukan kepada Presiden.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 17

1. Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depenas dilaksanakan melalui


tahapan sebagai berikut :

a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau unsur


Organisasi Pengusaha dan/atau unsur Perguruan Tinggi/Pakar menyiapkan
bahan untuk dibahas dalam rapat Depenas.

b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dituangkan dalam bentuk


pokok-pokok pikiran Depenas.

c. Pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan kepada


Pemerintah dalam bentuk rekomendasi sebagai saran dan pertimbangan dalam
rangka perumusan kebijakan pengupahan.

2. Depenas bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 bulan


Pasal 18

Depenas menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas sekurang-kurangnya 1


(satu) tahun sekali kepada Presiden melalui Menteri.

Pasal 19

Ketentuan mengenai tata kerja Depenas diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 20

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depenas dibebankan kepada
Anggaran Belanja Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

BAB III

DEWAN PENGUPAHAN PROVINSI

Bagian Pertama

Tugas

Pasal 21

Depeprov bertugas :

a. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka :


1) Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).
2) Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum
Sektoral (UMS).
3) Penerapan sistem pengupahan di tingkat Provinsi.
b. Menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Pasal 22

Dalam melaksanakan tugasnya, Depeprov dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

Bagian Kedua

Organisasi
Paragraf 1

Keanggotaan

Pasal 23

1. Keanggotaan Depeprov, terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha,


Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Perguruan Tinggi, dan Pakar.
2. Keanggotaan Depeprov dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.
3. Keanggotaan Depeprov dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya
disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Keseluruhan anggota Depeprov sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) berjumlah
gasal.

Pasal 24

Susunan keanggotaan Depeprov terdiri dari :

a. Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah.


b. Wakil Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Perguruan Tinggi/Pakar.
c. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah yang mewakili
Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
d. Anggota.

Paragraf 2

Kesekretariatan

Pasal 25

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depeprov dibantu oleh


Sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Komisi

Pasal 26

1. Apabila dipandang perlu, Depeprov dapat membentuk Komisi untuk


melaksanakan tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depeprov.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua Depeprov.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 27

Anggota Depeprov diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Pimpinan Satuan
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depeprov, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :

a. Warga Negara Indonesia.


b. Berpendidikan paling rendah lulus Strata-1 (S-1).
c. Memiliki pengalaman atau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan
Sumber Daya Manusia.

Pasal 29

Anggota Depeprov diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 30

1. Calon anggota Depeprov dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 23 ayat (1) diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi terkait kepada Gubernur.
2. Calon anggota Depeprov dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditunjuk oleh
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi syarat keterwakilan untuk duduk
dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang bersifat tripartit.
3. Ketentuan mengenai keterwakilan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
4. Calon anggota Depeprov dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan disepakati
dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Calon anggota Depeprov dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar ditunjuk oleh
Gubernur.
6. Tata cara pengusulan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Gubernur.

Pasal 31

Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depeprov diberhentikan apabila yang
bersangkutan :

a. mengundurkan diri; atau


b. selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 32

Penggantian anggota Depeprov yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31 diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kepada Gubernur setelah menerima
usulan dari organisasi atau instansi yang bersangkutan.

Pasal 33

1. Dalam hal anggota Depeprov mengundurkan diri atas permintaan sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a , permintaan disampaikan oleh
anggota yang bersangkutan kepada Gubernur dengan tembusan kepada organisasi
atau instansi yang mengusulkan.
2. Organisasi atau instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengusulkan
penggantian anggota kepada Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Provinsi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk diajukan
kepada Gubernur.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 34

1. Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depeprov dilaksanakan melalui


tahapan sebagai berikut :
a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau unsur
Organisasi Pengusaha dan/atau Unsur Perguruan Tinggi/Pakar menyiapkan
bahan untuk dibahas dalam rapat Depeprov.
b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dituangkan dalam
bentuk pokok-pokok pikiran Depeprov.
c. Pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan
kepada Pemerintah dalam bentuk rekomendasi sebagai saran dan
pertimbangan dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan.
2. Depeprov bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 bulan.

Pasal 35

Depeprov menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas sekurang-kurangnya 1


(satu) tahun sekali kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 36

Ketentuan mengenai tata kerja Depeprov diatur lebih lanjut oleh Ketua Depeprov.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 37

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depeprov dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

BAB IV

DEWAN PENGUPAHAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Pertama

Tugas

Pasal 38

Depekab/Depeko bertugas :

a. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota dalam rangka :


1) pengusulan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan/atau Upah Minimum
Sektoral Kabupaten/Kota(UMSK);
2) penerapan sistem pengupahan di tingkat Kabupaten/Kota.
b. Menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

Pasal 39

Dalam melaksanakan tugasnya, Depekab/Depeko dapat bekerja sama baik dengan


instansi Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

Bagian Kedua
Organisasi

Paragraf 1

Keanggotaan

Pasal 40

1. Keanggotaan Depekab/Depeko, terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi


Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Perguruan Tinggi dan Pakar.
2. Keanggotaan Depekab/Depeko dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1.
3. Keanggotaan Depekab/Depeko dari unsur Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya
disesuaikan menurut kebutuhan.
4. Keseluruhan anggota Depekab/Depeko sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berjumlah gasal.

Pasal 41

Susunan keanggotaan Depekab/Depeko terdiri dari :

a. Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah.


b. Wakil Ketua, merangkap sebagai anggota dari unsur perguruan tinggi/pakar;
c. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsur Pemerintah yang mewakili
Satuan Organisasi Perangkap Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di
bidang di bidang ketenagakerjaan;
d. Anggota.

Paragraf 2

Kesekretariatan

Pasal 42

1. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, Depekab/Depeko dibantu


oleh Sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh Bupati/Walikota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Komisi

Pasal 43
1. Apabila dipandang perlu, Depekab/Depeko dapat membentuk Komisi untuk
melaksanakan tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depekab/Depeko.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 44

Anggota Depekab/Depeko diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul


Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depekab/Depeko, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :

a. warga negara Indonesia.


b. berpendidikan paling rendah lulus Diploma-3 (D-3)
c. memiliki pengalaman atau pengetahuan di bidang pengupahan dan pengembangan
Sumber Daya manusia.

Pasal 46

Anggota Depekab/Depeko diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 47

1. Calon anggota Depekab/Depeko dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 40 ayat (1) diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.
2. Calon anggota Depkab/Depeko dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditunjuk
oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memenuhi syarat keterwakilan untuk
duduk dalam kelembagaan ketenagakerjaan yang bersifat tripartit.
3. Ketentuan mengenai keterwakilan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
4. Calon anggota Depekab/Depeko dari unsur organisasi pengusaha ditunjuk dan
disepakati dari dan oleh organisasi pengusaha yang memenuhi syarat sesuai
ketentuan yang berlaku.
5. Calon anggota Depekab/Depeko dari unsur Perguruan Tinggi dan pakar ditunjuk
oleh Bupati/Walikota.
6. Tata cara pengusulan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut oleh Bupati/Walikota

Pasal 48

Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depekab/Depeko diberhentikan apabila


yang bersangkutan :

a. mengundurkan diri; atau


b. selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak dapat menjalankan tugasnya; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap

Pasal 49

Penggantian anggota Depekab/Depeko yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 48 diusulkan oleh Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kepada
Bupati/Walikota setelah menerima usulan dari organisasi atau instansi yang
bersangkutan.

Pasal 50

1. Dalam hal anggota Depekab/Depeko mengundurkan diri atas permintaan sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a, permintaan disampaikan oleh
anggota yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
organisasi atau instansi yang mengusulkan.
2. Organisasi atau Instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengusulkan
penggantian anggota kepada Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk
diajukan kepada Bupati/Walikota.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 51

1. Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depekab/Depeko dilaksanakan


melalui tahapan sebagai berikut :
a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau unsur
Organisasi Pengusaha dan/atau unsur Perguruan Tinggi/Pakar menyiapkan
bahan untuk dibahas dalam rapat Depekab/Depeko.
b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dituangkan dalam
bentuk pokok-pokok Depekab/Depeko;
c. Pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan
kepada Pemerintah dalam bentuk rekomendasi sebagai saran dan
pertimbangan dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan.
2. Depekab/Depeko bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
bulan.

Pasal 52

Depekab/Depeko menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas sekurang-


kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan Menteri.

Pasal 53

Ketentuan mengenai tata kerja Depekab/Depeko diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 54

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depekab/Depeko dibebankan


kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55

Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 58


Tahun 1969 tentang Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 56

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI

Plt. Kepala Biro Peraturan


Perundang-undangan Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan
Aparatur Negara

Faried Utomo.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: PER.01/MEN/I/2009.

TENTANG

PEDOMAN PENGGUNAAN
METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan


Pemerintah Nomor 15 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh
Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan
Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan Menteri
tentang Pedoman Penggunaan Metoda Statistika Ketenagakerjaan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3683);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4273);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan
Penyusunan Serta Pelaksanaan Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 34);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);

6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana


telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN
METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Metoda statistika ketenagakerjaan adalah metoda yang
dipergunakan untuk pengumpulan, pengolahan, dan
penganalisaan serta sebagai system yang mengatur
keterkaitan antar klasifikasi dan karakteristik data dari jenis
informasi ketenagakerjaan.
2. Pengumpulan data dan Informasi ketenagakerjaan adalah
pencatatan peristiwa, keterangan dan karakteristik baik
sebagian maupun keseluruhan populasi yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan.
3. Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan adalah
proses penataan dan penghitungan data dan informasi
ketenagakerjaan sesuai dengan tahapan dan kebutuhan yang
dapat dilakukan secara manual dan/atau elektronik.
4. Analisis data dan Informasi ketenagakerjaan adalah proses
penguraian data dan informasi ketenagakerjaan dari hasil
pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan yang
memuat interpretasi dan kesimpulan.
5. Sensus ketenagakerjaan adalah cara pengumpulan data dan
informasi ketenagakerjaan yang dilakukan melalui
pencacahan semua unit populasi untuk memperoleh
karakteristik suatu populasi pada saat tertentu.
6. Survey ketenagakerjaan adalah cara pengumpulan data dan
informasi ketenagakerjaan yang dilakukan melalui
pencacahan sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu
populasi pada saat tertentu.
7. Kompilasi produk administrasi adalah cara pengumpulan,
pengolahan, penyajian, dan analisis data yang didasarkan
pada catatan administrasi yang ada pada pemerintah dan/atau
masyarakat
8. Sample adalah sebagian unit populasi yang menjadi objek
pencacahan untuk memperkirakan karakteristik suatu
populasi.

Pasal 2

(1) Data dan informasi ketenagakerjaan yang dikumpulkan,


diolah, dan dianalisis meliputi data dan informasi :
a. Ketenagakerjaan umum;
b. Pelatihan dan produktivitas tenaga kerja;
c. Penempatan tenaga kerja;
d. Pengembangan dan perluasan kesempatan kerja; dan
e. Hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja.

(2) Pengumpulan, pengolahan, dan penganalisisan data dan


informasi ketenagakerjaan, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan menggunakan metoda statistika.

BAB II
PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 3

Pengumpulan data dan informasi ketenagakerjaan, dapat


menggunakan metoda statistika :
a. Sensus;
b. Survey;
c. Komplikasi produk administrasi; atau
d. Cara lain sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 4

Penggunaan metoda statistika dengan cara sensus, sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan secara menyeluruh
terhadap populasi.

Pasal 5

(1) Penggunaan metoda statistika dengan cara survey,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dilakukan
terhadap sebagian populasi melalui penarikan sampel
berdasarkan :
a. Peluang; dan
b. Penunjukkan.

(2) Penarikan sampel berdasarkan peluang, sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a, melalui penarikan sampel
secara acak :
a. Sederhana;
b. Sistematik;
c. Berstrata;
d. Berkelompok; atau
e. Bertingkat.

(3) Penarikan sampel berdasarkan penunjukan, sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b, melalui cara penarikan
sampel berdasarkan penunjukan :
a. Dengan maksud tertentu;
b. Tidak direncanakan; atau
c. Berjatah.
Pasal 6

(1) Penggunaan metoda statistika dengan cara kompilasi produk


administrasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c,
dilakukan untuk data dan informasi yang bersifat :
a. Transaksional; atau
b. Pencatatan administrasi.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, adalah data dan informasi yang terjadi sewaktu-
waktu dan terus menerus.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, adalah data dan informasi yang dilakukan menurut
tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja.

Pasal 7

Penggunaan metoda statistika, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


3 huruf d, dilakukan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi.

Pasal 8

Pengumpulan data dan informasi ketenagakerjaan, dapat


dilakukan antara lain melalui instrumen :
a. Angket atau daftar pertanyaan;
b. Wawancara ;
c. Pengamatan ;

Pasal 9

(1) Angket atau daftar pertanyaan, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 huruf a, adalah alat pengumpul data dalam
bentuk serangkaian pertanyaan tertulis, yang diajukan pada
responden untuk mendapat jawaban.
(2) Wawancara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b,
adalah tanya-jawab dengan respoden untuk mendapatkan
keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah.
(3) Pengamatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c,
adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang, dengan
maksud untuk merasakan dan memahami fenoma
berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui.

BAB III
PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 10

Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan hasil sensus,


survei, kompilasi produk administrasi, dan cara lain sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dilakukan dengan cara
manual dan/atau elektronik.
Pasal 11

Pengolahan dengan cara manual, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10, dilakukan melalui validasai, identifikasi, klasifikasi,
kodifikasi, entri, tabulasi, editing, dan/atau penghitungan.

Pasal 12

Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan secara elektronik,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan dengan
menggunakan program aplikasi sesuai kebutuhan.

BAB IV
PENGANALISISAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Data dan Informasi Ketenagakerjaan Umum

Pasal 13

Penganalisisan data dan informasi ketenagakerjaan umum,


dilakukan antara lain dengan cara menghitung :
a. Tingkat partisipasi angkatan kerja;
b. Tingkat ketidakaktifan angkatan kerja.
c. Tingkat penganggur terbuka;
d. Kesempatan kerja;
e. Tingkat elastisika kesempatan kerja.

Pasal 14

Tingkat partisipasi angkatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13 huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan antara
jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja.

Pasal 15

Tingkat ketidakaktifan angkatan kerja, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 13 huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan
jumlah Bukan Angkatan Kerja (BAK) dengan penduduk usia
kerja.

Pasal 16

Tingkat penganggur terbuka, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 huruf c, dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah
pengangguran dengan jumlah angkatan kerja pada waktu tertentu.

Pasal 17

Tingkat kesempatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


huruf d, dilakukan dengan cara membandingkan penduduk yang
bekerja dengan jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja.
Pasal 18

Elastisitas kesempatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 e, dilakukan dengan cara membandingkan antara pertumbuhan
kesempatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi.

Bagian Kedua
Data dan Informasi Pelatihan dan Produktivitas.

Pasal 19

Penganalisisan data dan informasi pelatihan dan produktivitas,


antara lain menghitung :
a. Kebutuhan pelatihan menurut lapangan usaha dan jenis
pekerjaan/jabatan;
b. Kebutuhan pelatihan calon tenaga kerja indonesia;
c. Kebutuhan pelatihan pencari kerja;
d. Kebutuhan pelatihan pekerja/buruh di perusahaan;
e. Produktivitas tenaga kerja.

Pasal 20

Kebutuhan pelatihan menurut lapangan usaha dan jenis


pekerjaan/jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a,
dilakukan dengan cara membandingkan beban kerja dengan
kapasitas kerja pada lapangan usaha atau jenis pekerjaan/jabatan.

Pasal 21

Kebutuhan pelatihan bagi calon tenaga kerja Indonesia,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah calon tenaga kerja Indonesia yang
memenuhi persyaratan dengan jumlah permintaan tenaga kerja
Indonesia.

Pasal 22

Kebutuhan pelatihan bagi pencari kerja, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 19 huruf c, dilakukan dengan cara membandingkan
antara kebutuhan dengan pencari kerja yang tidak memenuhi
persyaratan.

Pasal 23

Kebutuhan pelatihan bagi pekerja/buruh di perusahaan,


sebagamana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, dilakukan dengan
cara membandingkan kompetensi yang seharusnya dimiliki
dengan kompetensi yang sudah dimiliki oleh pekerja/buruh yang
tersedia.

Pasal 24

Produktivitas tenaga kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


huruf e, dilakukan dengan cara membandingkan nilai tambah
suatu produk dengan jumlah tenaga kerja untuk menghasilkan
produk tersebut.

Bagian Ketiga
Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja

Pasal 25

Penganalisisan Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja,


antara lain menghitung :
a. Penciptaan kesempatan kerja;
b. Penempatan pencari kerja;
c. Penempatan TKI;
d. Penerimaan devisa dari TKI.

Pasal 26

Penciptaan kesempatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan investasi
dengan perkiraan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produk.

Pasal 27

Penempatan pencari kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25


huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan jumlah
penempatan pencari kerja yang tersedia dengan lowongan kerja
yang terisi.

Pasal 28

Penempatan TKI, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c,


dilakukan dengan cara membandingkan jumlah penempatan TKI
di luar negeri dengan jumlah permintaan TKI di luar negeri.

Pasal 29

Penerimaan devisa dari TKI, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 huruf d, dilakukan dengan cara membandingkan jumlah riil
pendapatan TKI dengan akumulasi pengeluaran TKI.

Bagian Keempat
Data dan Informasi Pengembangan dan Perluasan
Kesempatan Kerja

Pasal 30

Penganalisis Data dan Informasi Pengembangan dan Perluasan


Kesempatan Kerja, antara lain menghitung :
a. Kebutuhan wirausaha baru;
b. Kebutuhan padat karya;
c. Kebutuhan teknologi tepat guna;
d. Kebutuhan tenaga kerja pemuda mandiri profesional dan
kebutuhan tenaga kerja muda terdidik.

Pasal 31

Kebutuhan wirausaha baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal


30 huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan potensi usaha
dengan wirausaha yang ada.

Pasal 32

Kebutuhan padat karya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30


huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan anggaran yang
tersedia dengan beban kerja.

Pasal 33

Kebutuhan teknologi tepat guna, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 30 huruf c, dilakukan dengan cara membandingkan
penggunaan dengan potensi sumber daya lokal yang tersedia.

Pasal 34

Kebutuhan tenaga kerja pemuda mandiri profesional dan


kebutuhan tenaga kerja muda terdidik, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 huruf d, dilakukan dengan cara membandingkan
usaha yang telah dirintis oleh pemuda dengan potensi dan peluang
pengembangan usaha.

Bagian Kelima
Data Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Pasal 35

Penganalisisan Data dan Informasi Hubungan Industrial dan


Jaminan Sosial Tenaga Kerja, antara lain menghitung :
a. Pengupahan;
b. Tingkat kerawanan hubungan industrial;
c. Tingkat partisipasi perusahaan dalam program Jamsostek;
d. Tingkat partisipasi pekerja/buruh dalam Serikat
Pekerja/Serikat Buruh;
e. Tingkat penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 36

Pengupahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a,


dilakukan dengan cara membandingkan upah minimum dengan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Pasal 37

Tingkat kerawanan hubungan industrial, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 35 huruf b, dilakukan dengan cara membandingkan
nilai-nilai indikator kerawanan hubungan industrial dengan nilai
standar hubungan industrial.

Pasal 38

Tingkat partisipasi perusahaan dalam program Jamsostek,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah perusahaan peserta Jamsostek
dengan jumlah perusahaan wajib Jamsostek.

Pasal 39

Tingkat partisipasi pekerja/buruh dalam Serikat Pekerja/Serikat


Buruh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d, dilakukan
dengan cara membandingkan jumlah anggota Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan jumlah pekerja/buruh di perusahaan
yang memenuhi ketentuan.

Pasal 40

Tingkat penyelesaian perselisihan hubungan industrial,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus yang diselesaikan dengan
jumlah kasus yang masuk dan sisa kasus.

Bagian Keenam
Data dan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pasal 41

Penganalisisan Data dan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan,


antara lain menghitung tingkat :
a. Kecelakaan kerja;
b. Partisipasi perusahaan dalam pelaksanaan wajib lapor
ketenagakerjaan;
c. Pelanggaran norma ketenagakerjaan;
d. Pelanggaran norma kesehatan dan keselamatan kerja;
e. Penindakan pelanggaran norma ketenagakerjaan;
f. Penindakan pelanggaran norma kesehatan dan keselamatan
kerja.
Pasal 42

Tingkat kecelakaan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41


huruf a, dilakukan dengan cara membandingkan jumlah kasus
kecelakaan kerja dengan jumlah pekerja/buruh.

Pasal 43

Tingkat partisipasi perusahaan dalam pelaksanaan wajib lapor


ketenagakerjaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b,
dilakukan dengan cara membandingkan jumlah perusahaan yang
terdaftar dan mendaftar ulang dengan jumlah perusahaan wajib
lapor.

Pasal 44

Tingkat pelanggaran norma ketenagakerjaan, sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 41 huruf c, dilakukan dengan cara
membandingkan jumlah kasus pelanggaran norma
ketenagakerjaan dengan jumlah norma ketenagakerjaan.

Pasal 45

Tingkat pelanggaran norma kesehatan dan keselamatan kerja,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf d, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus pelanggaran norma kesehatan
dan keselamatan kerja, dengan jumlah norma kesehatan dan
keselamatan kerja.

Pasal 46

Tingkat penindakan pelanggaran norma ketenagakerjaan,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf e, dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kasus yang ditindak dengan jumlah
seluruh kasus dalam periode waktu tertentu.

Pasal 47

Tingkat penindakan pelanggaran norma kesehatan dan


keselamatan kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf f,
dilakukan dengan cara membandingkan jumlah kasus yang
ditindak dengan jumlah kasus dalam periode waktu tertentu.

Bagian Ketujuh
Data dan Informasi dengan Teknik Lainnya.

Pasal 48

(1) Data dan Informasi Ketenagakerjaan dapat dilakukan dengan


metode lainnya, yaitu dengan menghitung :
a. Distribusi;
b. Rata-rata;
c. Regresi;
d. Korelasi;
e. Pertumbuhan, dan/atau
f. Proyeksi.

Pasal 49

Distribusi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a,


dilakukan dengan cara membandingkan sebaran nilai data dengan
jumlah nilai keseluruhan data secara proporsional.
Pasal 50

Rata-rata, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b,


dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah seluruh
nilai data dengan jumlah data.

Pasal 51

Regresi; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c, dilakukan


untuk melihat kecenderungan hubungan antara dua variabel atau
lebih.
Pasal 52

Korelasi; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d,


dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan
antara dua variabel atau lebih.

Pasal 53

Pertumbuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e,


dilakukan dengan cara membandingkan kondisi pada waktu
tertentu dengan waktu sebelumnya.

Pasal 54

Proyeksi. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf f,


dilakukan dengan cara memperkirakan kondisi yang akan datang
berdasarkan kondisi saat ini atau masa lalu.

Pasal 55

(1) Penguraian hasil analisis, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 52, dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif dan/atau kuantitatif.
(2) Metode deskriptif kualitatif, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan cara pemaparan naratif
berdasarkan penilaian yang dilakukan menggunakan tolok
ukur tertentu.
(3) Metode deskriptif kuantitatif, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan pemaparan angka-angka yang
dihasilkan dari pengolahan data.
BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 08 Januari 2009.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro hukum,

ttd

SUNARNO, SH, MH.


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

31 Maret 2009
Yth.
1. Para Gubernur
2. Para Bupati / Walikota
di seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.114/MEN/SJ-HK/III/2009

TENTANG

HARI LIBUR BAGI PEKERJA / BURUH


PADA HARI PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM

Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan


Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Hari
Pemungutan Suara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2009 Sebagai Hari Libur
Nasional maka dipandang perlu memberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 ditetapkan bahwa hari
Kamis, tanggal 9 April 2009 sebagai hari libur nasional untuk pemungutan suara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau hari dan tanggal lain yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum untuk pemilihan umum lanjutan dan/atau susulan.

2. Dalam hal di suatu wilayah/daerah berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum


harus dilakukan pemilihan umum lanjutan dan / atau susulan, sebagaimana dimaksud
pada angka 1, bagi pekerja/buruh yang mempunyai hak pilih di wilayah/daerah tesebut
dinyatakan sebagai hari libur.

3. Dalam hal pekerja/buruh harus bekerja pada hari pemungutan suara, maka pengusaha
harus mengatur waktu kerja sedemikian rupa agar pekerja/buruh dapat menggunakan
hak pilihnya.
4. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
angka 1, dan angka 2, berhak atas upah kerja lembur dan hak–hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh yang dipekerjakan pada hari libur resmi.

5. Sehubungan dengan angka 4 di atas, maka upah kerja lembur pada hari libur resmi
dihitung hanya pada saat pekerja/buruh melakukan pekerjaan.

Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Dr. Ir. Erman Suparno, MBA, M.Si

Tembusan :

1. Presiden Republik Indonesia;


2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
4. Ketua Umum APINDO;
5. Para Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER-04/MEN/II/2009.

TENTANG

PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA


NOMOR KEP-27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA
PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa ketentuan perlindungan bagi pekerja/buruh dengan


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu telah diatur didalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta
peraturan pelaksanaannya;
b. Bahwa ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor :
KEP 27/MEN/2000 tentang Program Santunan Pekerja
Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini,
sehingga perlu dicabut dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah, dan yang terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP-27/MEN/2000
TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA
PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN
MINYAK DAN GAS BUMI.

Pasal 1

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP-27/MEN/2000 tengang Program


Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2

Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat
diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000.

Pasal 3

Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang akan memberikan
santunan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan hubungan kerja
perjanjian kerja waktu tertentu dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 4

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 20 Pebruari 2009.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, MSi.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

ttd

Sunarno, SH,MH.
NIP. 195807261985031002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 02/MEN/II/2009.

TENTANG

PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN BEBERAPA


KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI MENGENAI
AKREDITASI, SERTIFIKASI, PEDOMAN KONVENSI, DAN KERANGKA
KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dengan telah diundangkannya Peraturan Pemerintah


Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi
Profesi, maka tugas-tugas dalam melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja yang telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi yang semula tugas Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi menjadi tugas Badan Nasional
Sertifikasi Profesi;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu mencabut Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan beberapa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengenai akreditasi, sertifikasi, pedoman
konvensi, dan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
2. Peratura Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4408);
3. Peratura Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4637);
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007.
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.231A/MEN/X/2005 tentang Pelaksanaan Sertifikasi
Kompetensi dan Pembinaan Lembaga Sertifikasi Profesi
(LSP).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN BEBERAPA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI MENGENAI AKREDITASI,
SERTIFIKASI, PEDOMAN KONVENSI, DAN KERANGKA
KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA.

Pasal 1

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Keputusan Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi :
a. Nomor KEP-157/MEN/I/1999 tentang Pembentukan Lembaga
Standardisasi dan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja
Pariwisata Indonesia;
b. Nomor KEP-233/MEN/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kelembagaan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Nasional;
c. Nomor KEP-234/MEN/2002 tentang Pedoman Konvensi
Penetapan Standard Sektoral;
d. Nomor KEP-70A/MEN/2003 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia;
e. Nomor KEP-81A/MEN/2003 tentang Lembaga Uji
Kompetensi Independen Calon Tenaga Kerja Indonesia dalam
Kendali Alokasi;
f. Nomor KEP-157/MEN/2003 tentang Pembentukan Lembaga
Sertifikasi Profesi Bidang Pelaut Kapal Niaga dan Kapal
Perikanan Yang Belum Diatur Dalam STCW 1978
Amandemen 1995;
g. Nomor KEP-219/MEN/2003 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Teknisi Otomotif Indonesia;
h. Nomor KEP-220/MEN/2003 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Logam dan Mesin Indonesia;
i. Nomor KEP-221/MEN/2003 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Persemenan Indonesia;
j. Nomor KEP-96A/MEN/VI/2004 tentang Pedoman Penyiapan
dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi;
k. Nomor KEP-135/MEN/VIII/2004 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Pariwisata;
l. Nomor KEP-136/MEN/VIII/2004 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Ahli Teknik Laboratorium Kesehatan dan
Ahli Pengujian Pangan Indonesia;
m. Nomor KEP-137/MEN/2004 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Garmen Indonesia;
n. Nomor KEP-211/MEN/X/2004 tentang Pedoman Penerbitan
Sertifikat Kompetensi Kerja;
o. Nomor KEP-265/MEN/XI/2004 tentang Lembaga Sertifikasi
Kompetensi Calon Tenaga Kerja Indonesia;
p. Nomor KEP-75/MEN/IV/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Maritim Indonesia;
q. Nomor KEP-76/MEN/IV/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Sekuriti Indonesia;
r. Nomor KEP-77/MEN/IV/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Lembaga Keuangan Mikro;
s. Nomor KEP-149/MEN/V/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Telematika Indonesia;
t. Nomor KEP-150/MEN/V/2005 tentang Akreditasi Lembaga
Sertifikasi Profesi Tata Laksana Rumah Tangga;

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 Pebruari 2009.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, Msi.


Salinan sesuai dengan
aslinya
Kepala Biro Hukum

ttd

SUNARNO, SH, MH.


NIP. 730001630.
 
 
 
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 TAHUN 2009


NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009
NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009

TENTANG

HARI – HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas pemanfaatan hari-hari


kerja, hari-hari libur, dan cuti bersama dipandang perlu menata
pelaksanaan hari-hari libur nasional dan mengatur cuti bersama
tahun 2010;

b. Bahwa penataan hari-hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun


2010 sebagaimana tersebut pada huruf a menjadi pedoman bagi
instansi pemerintah dan swasta sehingga dapat meningkatkan
efektivitas dan produktivitas kerja ;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a dan huruf b di atas, perlu ditetapkan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Hari-hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010;

Mengingat 1. Keputusan Presiden RI Nomor 03 Tahun 1983 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-hari
Libur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 1971 ;

2. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun


Baru Imlek ;

3. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2008;

4. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tentang


Penetapan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional ;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

KESATU : Hari-hari libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 adalah
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Idul Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Syawal 1431 H dan 10
Dzulhijjah 1431 H, ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri
Agama.

KETIGA : Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan


langsung kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang
mencakup kepentingan masyarakat luas, seperti rumah sakit/puskesmas,
unit kerja yang memberikan pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum,
pemadam kebakaran, keamanan dan ketertiban, perbankan,
perhubungan, perpajakan, bea cukai, dan unit kerja pelayanan lainnya
yang sejenis agar mengatur penugasan pegawai, karyawan, dan
pekerja/buruh pada hari-hari libur nasional dan cuti bersama yang
ditetapkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

KEEMPAT : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU


mengurangi hak cuti tahunan pegawai, karyawan dan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang
berlaku pada masing-masing instansi/lembaga/perusahaan.

KELIMA : Pelaksanaan cuti bersama di kalangan dunia usaha sebagaimana


dimaksud pada diktum KESATU diatur oleh lembaga atau perusahaan
yang bersangkutan

KEENAM : Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009

MENTERI AGAMA MENTERI TENAGA KERJA MENTERI NEGARA


DAN TRANSMIGRASI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI


LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 1 TAHUN 2009


NOMOR : SKB/13/M.PAN/8/2009
NOMOR : KEP.227/MEN/VIII/2009

TENTANG
HARI – HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010

A. HARI _HARI LIBUR TAHUN 2010

No Tanggal Hari Keterangan


1. 1 Januari Jumat Tahun Baru Masehi
2. 14 Februari Minggu Tahun Baru Imlek 2561
3. 26 Februari Jumat Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 16 Maret Selasa Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1932
5. 2 April Jumat Wafat Yesus Kristus
6. 13 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
7. 28 Mei Jumat Hari Raya Waisak Tahun 2554
8. 10 Juli Sabtu Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Selasa Hari Kemerdekaan RI
10. 10 – 11 Jumat – Sabtu Idul Fitri 1 Syawal 1431 Hijriyah
September
11. 17 November Rabu Idul Adha 1431 Hijriyah
12. 7 Desember Selasa Tahun Baru 1432 Hijryah
13. 25 Desember Sabtu Hari Raya Natal

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2010

Tanggal Hari Keterangan


9 September Kamis Cuti Bersama Idul Fitri
13 September Senin Cuti Bersama Idul Fitri
24 Desember Jumat Cuti Bersama Natal

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009

MENTERI AGAMA MENTERI TENAGA KERJA MENTERI NEGARA


DAN TRANSMIGRASI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA

MUHAMMAD M. BASYUNI ERMAN SUPARNO TAUFIQ EFFENDI


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA

NOMOR : PER-01/MEN/1999
Tentang
UPAH MINIMUM
Menimbang a. bahwa dalam rangka upaya mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja,perlu
ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan
pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan
serta perkembangan perekonomian pada umumnya;
b. bahwa untuk mewujudkan penetapan upah minimum yang lebih realistis sesuai
dengan kemampuan perusahaan secara sektoral,maka disamping penetapan Upah
Minimum Regioanal juga dilakukan penetapan Upah Minimum Sektoral Regional;
c. bahwa sehunngan dengan huruf a dan b,Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-
03/MEN/1997 tentang Upah Minimum Regional, dipandang sudah tidak sesuai
lagi,sehingga perlu diadakan penyempurnaan.
d. Bahwa untuk itu,perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Mengingat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Titel 7A pasal 1601.
2 Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Kerja Tahun 1946 No.12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran
Negara No.2 Tahun 1951).
3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari republik Indonesia
untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Tahun 1951 Nomor 4 ).
4 Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama bagi buruh
laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran Negara Nomor
171 Tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2153).
5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1961 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.106
tentang Istirahat Mingguan.
6 Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912).
7 Undang-undang Nomor 5 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037).
8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1981 tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 39,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3201).
9 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3190).
10 Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1969 tentang Pembentukan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
11 Keputusan Presiden RI No. 122/M/Tahun 1995 tentang Kabinet Reformasi
Pembangunan.
12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1985 tentang Perlindungan
Pekerja Harian Lepas.
13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No Per-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu.
14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1993 tentang Waktu Kerja 5(lima)
Hari Seminggu 8(delapan)Jam Sehari.
15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.05/MEN/1998 tentang Pendaftaran
Organisasi Pekerja.
Memperhatikan Surat Dewan Penelitian Pengupahan Nasional No.42/DPPN/1999 tanggal 11 Januari
1999 perihal Saran dan Pertimbangan Penetapan Upah Minimum.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN MENTERI T E N A G A K E R J A TENTANG UPAH MINIMUM

BAB I
PENGERTIAN
PASAL 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap.
2 Upah Minimum Regional Tingkat 1 untuk selanjutnya disebut UMR Tk.1 adalah
upah minimum yang berlaku di satu propinsi.
3 Upah Minimum Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMR Tk.II adalah
upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kotamadya atau menurut
wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah
tertentu.
4 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.I adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu propinsi.
5 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.II adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di daerah
Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah
atau karena kekhususan wilayah tertentu.
6 Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut
klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).
7 Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja para
pengusaha dengan menerima upah.
8 Pengusaha adalah :
a Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagai dimaksud dalam huruf (a)dan(b) yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9 Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang
mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak milik
orang perseorangan,persekutuan atau badan hukum,baik milik swasta maupun
milik negara.
10 Serikat pekerja adalah organisasi pekerja atas dasar lapangan pekerjaan yang
bersifat mandiri,demokratis,bebas,dan tanggung jawab yang di bentuk
dari,oleh dan untuk pekerja,untuk memperjuangkan hak dan kepentingan
kaum pekerja dan keluarganya.
11 Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
12 Kesepakatan Kerja Bersama adalah kesepakatan hasil perundingan yang di
selenggarakan oleh serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja dengan
pengusaha atau gabungan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,untuk
mengatur dan melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
13 Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tertulis,baik,untuk waktu tertentu maupun untuk waktu
yang tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban para
pihak.
14 Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang berbentuk perusahaan diperlakukan
sama dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan pekerja.

Pasal 3
Upah Minimum terdiri dari UMR Tk.1,UMR Tk.II, UMSR,Tk.1 dan UMSR Tk.II.

BAB II
DASAR DAN WEWENANG PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 4
(1). Menteri menetapkan besarnya upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3.
(2). Dalam satu propinsi ditetapkan UMR Tk.1
(3). Selain UMR Tk. 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan UMR
Tk.II danatau UMSR Tk.II.
(4). Dalam hal di seluruh daerah Kabupaten/Kotamadya dalam satu propinsi sudah
ada penetapan UMR Tk.II ,ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),tidak berlaku.
(5). Besarnya upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan
peninjauan selambat-lambatnya 2(dua) tahun sekali.
(6). Ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan selambat-
lambatnya 40(empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya Upah Minimum.

Pasal 5
Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ditetepkan:
a. UMSR Tk.1 harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.1
b. UMSR TK.II harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.II.

Pasal 6
(1). UMR Tk.1 dan UMR Tk.II ditetapkan dengan mempertimbangkan :
a. kebutuhan
b. indeks harga konsumen(IHK);
c. kemampuan,perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
d. upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah ;
e. kondisi pasar kerja;
f. tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
(2) UMSR Tk.1 dan UMSR Tk.II ditetapkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan mempertimbangkan kemampuan perusahaan
secara sektoral.

Pasal 7
(1). Upah Minimum wajib dibayar dengan upah bulanan kepada pekerja
(2) Berdasarkan kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha
upah dapat dibayarkan mingguan atau 2 mingguan dengan ketentuan
perhitungan upah didasarkan pada upah bulanan .

BAB III
TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM
Bagian Kesatu
Upah Minimum Regional
Pasal 8
(1). Usulan penetapan UMR Tk.1 dan UMR Tk.II dirumusakan oleh Komisi Penelitian
Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
(2). Dalam merumuskan usulan.Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial
Dewan Ketenagakerjaan Daerah dapat berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha,serikat pekerja dan instansi terkait ditingkat daerah.
(3). Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setelah memperoleh
rekomendasi persetujuan Gubernur Kepala Daerah tingkat 1.
(4). Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 menolak memberikan
rekomendasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) usulan tersebut
dikembalikan kepada Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan
Ketenagakerjaan Daerah disertai alasan penolakan untuk dikaji dan diusulkan
kembali.
(5). Berdasarkan usulan sebagaimana pada ayat (3),Menteri menetapkan upah
minimum setelah mendengar saran dan pertimbangan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
(6). Dalam memberikan saran dan pertimbangan,Dewan Penelitian Pengupahan
Nasional dapat berkonsultasi dengan organisasi pengusaha,serikat pekerja dan
instansi terkait ditingkat nasional.

Pasal 9
Menteri dapat menetapkan UMR Tk.I atau UMR Tk.II berbeda dari usulan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 setelah mendengarkan saran dan
pertimbangan Dewan Penelitian Pengupahan Nasional.
Bagian Kedua
Upah Minimum Sektoral Regional
Pasal 10
(1). Untuk menetapkan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,Komisi Penelitian
Pengupahan dan jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah,mengadakan
penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai:
(a). homogeneitas perusahaan;
(b). jumlah perusahaan;
(c). jumlah tenaga kerja;
(d). devisa yang dihasilkan;
(e). nilai tambah yang dihasilkan;
(f). kemampuan perusahaan;
(g). asosiasi perusahaan;
(h). seikat pekerja terkait;
(2). Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan
Daerah menentukan sector dan sub sector unggulan yang selanjutnya
disampaikan kepada masing-masing asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.

Pasal 11
Usulan penetapan UMSR Tk.I dan UMSR Tk.II dirundingkan dan disepakati oleh
(1).
asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan di
(2). sektor atau sub sektor yang bersangkutan bersama APINDO dengan serikat
pekerja terkait.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan dan
serikat pekerja,perundingan dan kesepakatan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II
(3).
dilakukan oleh APINDO dengan gabungan serikat pekerja yang terkait dengan
sektor atau sub sektor.
Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2) dan (3)dimintakan
(4). rekomendasi kepada Gubernur melalui Komisi Penelitian pengupahan dan
Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
Kesepakatan yang telah memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
(5). ayat (4) , disampaikan kepada Menteri melalui Kantor Wilayah Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II .

Pasal 12
Asosiasi perusahaan dan serikat pekerja di luar sektor atau sub sektor yang
telah ditentukan oleh Komisi dapat mengajukan usulan penetapan UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II.

BAB IV
PELAKSANAAN KETETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 13
Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.I atau UMR Tk.II
(1).
atau UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal di daerah sudah ada penetapan UMR Tk.II perusahaan dilarang
(2).
membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.II.
Dalam hal di suatu sektor uasaha telah ada penetapan UMSR Tk. II dan atau
(3). UMSR Tk.II perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II tersebut.
Pasal 14
Bagi pekerja yang berstatus tetap, tidak tetap dan dalam masa
(1). percobaan,upah diberikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah
minimum.
Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang
(2).
dari 1(satun) tatun.
Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1(satu)
(3). tahun,dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja
dengan pengusaha.

Pasal 15
Bagi pekerja dengan sistim kerja borongan atau berdasarkan satuan hasil yang
(1). dilaksanakan 1 (satu) bulan atau lebih,upah rata-rata sebulan serendah-
rendahnya sebesar Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan.
Upah pekerja harian lepas,ditetapkan secara upah bulanan yang dibayarkan
(2).
berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 6(enam) hari dalam seminggu,upah
a.
bulanan dibagi 25(dua puluh lima).
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 5(lima) hari dalam seminggu,upah
b.
bulanan dibagi 21 (dua puluh satu ).

Pasal 16
Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor atau sub sektor,maka
(1).
upah yang di berlakukan sesuai dengan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal satu perusahan mencakup beberapa saktor atau sub sektor yang satu
lebih belum ada penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II untuk sektor
(2).
tersebut diberlakukan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II tertinggi diperusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal perusahaan untuk menjalankan usahanya memerlukan pekerjaan
(3). jasa penunjang yang belum terdapat penetapan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 17
Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum
yang berlaku,pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

Pasal 18
Peninjauan besarnya upah bagi pekerja yang telah menerima upah lebih tinggi
dari upah minimum yang berlaku,dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Perjanjian Kerja .Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja
Bersama.

Pasal 19
Dengan kenaikan upah minimum,para pekerja harus memelihara prestasi kerja
(1). sehingga tidak lebih rendah dari prestasi kerja sehingga tidak lebih rendah dari
prestasi kerja sebelum kenaikan upah.
Ukuran prestasi kerja untuk masing-masing perusahaan dirumuskan bersama
(2). oleh pengusaha dan pekerja atau Lembaga Kerjasama Bipartit perusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal tingkat prestasi kerja tidak sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),pengusaha dapat mengambil tindakan kepada pekerja yang bersangkutan
(3).
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,Perjanjian
Kerja,Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja Bersama.

BAB V
TATA CARA PENANGGUHAN
Pasal 20
Pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 4,dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimanadimaksud
(2).
pada ayat (1) diajukan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 21
Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1)
didasarkan atas kesepakatan tertulis antara serikat pekerja yang terdaftar
pada Departemen Tenaga Kerja dan didukung oleh mayoritas pekerja di
(1). perusahaan yang bersangkutan dengan pengusaha,atau kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja yang mewakili lebih dari 50% pekerja penerima
upah minimum bagi perusahaan yang belum ada serikat pekerja,disertai
dengan:
a. salinan kesepakatan bersama;
b. salinan akte pendirian perusahaan;
laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca,perhitungan rugi/laba
c.
beserta penjelasan-penjelasan untuk 2(dua) tahun terakhir;
d. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2(dua) tahun terakhir;
e. data upah menurut jabatan pekerja;
jumlah pekerja seluruhnya dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan
f.
pelaksanaan upah minimum;
surat pernyataan kesediaan perusahaan untuk melaksanakan upah minimum
g.
yang baru setelah berakhirnya waktu penangguhan.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 91 Menteri atau
Pejabat yang ditunjuk,dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa
(2).
keadaan keuangan guna pembuktian ketidak mampuan perusahaan tersebut
atas biaya perusahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b,huruf c dan ayat 2 tidak
(3). diwajibkan bagi perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sampai dengan
100(seratus) orang.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Menteri atau
(4). Pejabat yang ditunjuk menetapkan penolakkan atau persetujuan penangguhan
pelaksanaan upah minimum.
(5). Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 2 adalah:
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
a. Ketenagakerjaan untuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 500
(lima ratus) orang atau lebih.
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat untuk perusahaan
b. yang memperkerjakan tenaga kerja 101 (sertaus satu) sampai dengan 500(lima
ratus) orang;
Kantor Departemen Tenaga Kerja/Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat untuk
c. perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sampai dengan 100(seratus)
orang.
Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
(6). ditetapkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (5),berlaku untuk waktu paling lama 1(satu) tahun.

Pasal 22
Persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 21 ayat (4) diberikan kepada pengusaha dalam bentuk:
membayar upah terendah,tetap sesuai ketetapan upah minimum yang lama
a.
atau
b. membayar lebih rendah dari upah minimum yang baru atau
c. menangguhkan pembayaran upah minimum yang baru secara bertahap
Besarnya UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,selama penangguhan tidak boleh lebih
(2).
rendah dari UMR Tk.I atau Tk.II yang berlaku.
Bagi perusahaan yang diberikan penangguhan sebagaimana dimaksud pada
(3). ayat(1) dan (2),pengusaha tidak diwajibkan membayar kekurangan upah
selama jangka waktu pelaksanaan penangguhan upah minimum.
Pasal 23
Permohonan penangguhan upah minimum diajukan oleh pengusaha paling lama
(1).
10 (sepuluh) hari sebelum berlakunya ketetapkan upah minimum.
Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
(2). pengusaha,diberikan dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan terhitung
sejak diterima secara lengkap permohonan penangguhan upah minimum.
Apabila waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) telah
terlampaui dan belum ada keputusan dari pejabat sebagaimana dimaksud
(3). dalam pasal 21 ayat (4) dan(5),permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1)
dianggap telah disetujui.
Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian
(4). perusahaan yang bersangkutan dapat membayar upah yang biasa diterima
pekerja.
Dalam hal permohonan penanggulangan ditolak,upah yang diberikan pengusaha
(5). kepada pekerja serendah-rendahnya sama dengan upah minimum yang berlaku
terhitunh tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.

BAB VI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini,rekomendasi Gubernur yang
belum sesuai dengan ketentuan pasal 5 tetap berlaku untuk penetapan UMSR
Tk.I dan atau UMSR Tk.II tahun 1999.

BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
Berdasarkan pasal 17 undang-undang No.14 tahun 1969 pengusaha yang
melanggar ketentuan pasal 7 dan pasal 13 atau tidak memenuhi pasal 14 ayat
(1).
(1) dan (2) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000;(seratus ribu rupiah).
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),hakim dapat
(2).
menjatuhkan putusan membayar upah pekerja.

BAB VIII
PENUTUP

Pasal 26
Selain dari pegawai penyidik pada umumnya,pegawai pengawas perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.3 tahun 1951 tentang
Pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948
No.23 berwenang melakukan pengawasan dan penyidaikan atas pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini,maka Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.Per.03/Men/1997 tentang Upah Minimum Regional,dan Keputusan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No.Kep.16/BW/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upah
minimum Regional bagi Perusahaan Padat Karya tertentu dan Perusahaan Kecil
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 28
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal :12 Januari 1999
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :PER.21/MEN/X/2007.

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN


STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


nomor KEP-227/MEN/2003 tentang Tata Cara Penetapan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-69/MEN/V/2004 sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan kebutuhan penetapan standar
kompetensi kerja nasional Indonesia;
b. Bahwa tata cara penetapan standar kompetensi kerja nasional
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a,merupakan
pelaksanaan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu diatur tata cara penetapan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia dengan Peraturan
Menteri.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 4279);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan
nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4297);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2006 Nomor 67,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah yang terakhir dengan Keputusan
Presiden nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG TATA CARA PENETAPAN
STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :


1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yg
mencakup aspek pengetahuan,keterampilan dan sikap kerja
yang sesuai dengan standard yang ditetapkan.
2. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur
pekerjaan di berbagai sector.
3. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas dan syarat yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Rancangan Standar Kompetensi Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat RSKKNI adalah rancangan SKKNI yang
disusun dan disetujui oleh para pemangku kepentingan untuk
digunakan sebagai bahan pra konvensi dan konvensi.
5. Lapangan Usaha adalah bidang kegiatan usaha di berbagai
sektor ekonomi yang terkait dengan produksi barang ataupun
jasa, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
6. Profesi adalah bidang pekerjaan yang untuk melaksanakannya
diperlukan kompetensi kerja tertentu,baik jenis maupun
kualifikasinya.
7. Pelatihan Kerja Berbasis Kompetensi adalah pelatihan kerja
yang menitikberatkan pada pengusaan kemampuan kerja yang
mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan
standar kompetensi yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
8. Penetapan SKKNI adalah keseluruhan proses kegiatan dalam
rangka penetapan RSKKNI menjadi SKKNI oleh Menteri.
9. Instansi Teknis Pembina Sektor adalah Departemen,Kantor
Menteri Negara atau Lembaga Pemerintah Non Departemen
yang melakukan fungsi pembinaan terhadap sektor yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10 Regional Model Competency Standart yang selanjutnya
disingkat RMCS adalah suatu model penyusunan standar
kompetensi yang menggunakan pendekatan proses kerja untuk
menghasilkan barang dan jasa di industri yang telah disepakati
oleh Negara-negara Asia Pasifik.
11. Pembakuan Standar Kompetensi adalah proses untuk
memperoleh kesepakatan atas isi rumusan standar kompetensi
kerja oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui konvensi.
12. Konvensi RSKKNI adalah forum dialog para pemangku
kepentingan untuk mencapai kesepakatan dan consensus
tentang pembakuan RSKKNI sektor, subsektor dan bidang
profesi tertentu.
13. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat
BNSP adalah lembaga independen yang bertugas
melaksanakan sertifikasi kompetensi.
14. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung
jawab di bidang pelatihan dan produktivitas di lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
15. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Tata cara penetapan SKKNI bertujuan untuk memberikan acuan


dalam perencanaan, penyusunan, pembakuan RSKKNIdan
penetapan SKKNI.

Pasal 3

Tahapan penetapan SKKNI meliputi :


a. Perencanaan penyusunan RSKKNI ;
b. Penyusunan RSKKNI;
c. Pembakuan RSKKNI;
d. Penetapan SKKNI ;

BAB II
PERENCANAAN PENYUSUNAN RSKKNI

Pasal 4

(1). Instansi teknis Pembina sector menyusun rencana induk


penyusunan RSKKNI di masing-masing sektor.
(2). Perencanaan penyusunan RSKKNI diprakarsai oleh instansi
teknis Pembina sector, asosiasi profesi, pakar , pratiksi,asosiasi
perusahaan/industri dan/atau pemangku kepentingan lainnya
mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Dalam hal perencanaan penyusunan RSKKNI diprakarsai oleh
instansi teknis Pembina sektor, maka Tim penyusun RSKKNI
terlebih dahulu melaporkan pada instansi teknis Pembina
sektor untuk mendapatkan persetujuan.

BAB III
PENYUSUNAN RSKKNI

Pasal 5

(1). Penyusunan RSKKNI dilakukan pada bidang pekerjaan yang


belum memiliki penetapan SKKNI.
(2). Penyusunan RSKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan pola RMCS yang mengacu pada kebutuhan
lapangan usaha.
(3). Penyusunan RSKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurang nya memuat :
a. Sektor, sub.sektor, atau istilah yang digunakan dalam
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI);
b. Bidang, sub bidang kerja dan/ atau profesi;
c. Jenjang kualifikasi menurut bidang profesi dan/atau
pekerjan;
d. Unit kompetensi dan uraian unit kompetensi.
(4). Format penyusunan RSKKNI mengacu pada Lampiran
Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

Tahapan penyusunan RSKKNI dimulai dari :


a. Pembentukan komite RSKKNI;
b. Pembentukan tim penyusun RSKKNI;
c. Penyusunan draft RSKKNI;
d. Pembahasan draft RSKKNI melalui pra konvensi;
e. Vertifikasi draft RSKKNI hasil pra konvensi;
f. Konvensi dalam rangka pembakuan RSKKNI.

Pasal 7

(1). Pembentukan komite RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf a, dilakukan oleh pejabat Eselon I pada instansi
teknis pembina sektor.
(2). Keanggotaan komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur instansi teknis pembina sektor, Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi,BNSP, asosiasi profesi,
industri terkait, pakar, praktisi dan tenaga ahli sesuai bidang
profesinya.
(3. Susunan organisasi komite sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas pengarah, nara sumber, ketua,wakil ketua,
sekretaris dan anggota yang jumlahnya sesuai dengan
kebutuhan.
(4). Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai
tugas memberikan arahan dan menentukan prioritas bidang
kerja dan / atau profesi yang akan disusun standar kompetensi
kerjanya dan bertanggung jawab kepada pejabat Eselon I pada
instansi teknis pembina sektor.

Pasal 8

(1). Dalam melaksanakan tugasnya, komite sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (4), dapat membentuk tim menyusun draft
RSKKNI yang keanggotaan nya terdiri atas unsur asosiasi
profesi, pakar, praktisi, industri, dan instansi teknis pembina
sektor.
(2). Susunan organisasi tim penyusun terdiri atas ketua,wakil
ketua, sekretaris dan anggota yang jumlahnya sesuai dengan
kebutuhan.
(3). Tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas melakukan penyusunan draft RSKKNI.

Pasal 9

(1) Pembahasan draft RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf 6 huruf d, dilaksanakan melalui pra konvensi
(2) Penyelenggaraan pra konvensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh komite pada instansi teknis
pembina sektor dengan melibatkan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, BNSP, asosiasi profesi, pakar dan praktisi.
(3) Penyelenggaraan pra konvensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan paling banyak 3(tiga) kali.
(4) Hasil pra kovensi sebagaiamana dimaksud pada ayat (3)
dipergunakan sebagai bahan konvensi.

Pasal 10

(1). Hasil pra konvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat


(4) dilakukan verifikasi draft RSKKNI oleh BNSP.
(2). Verifikasi draft RSKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka kesesuaian draft RSKKNI yang
terkait dengan sertifikasi kompetensi kerja.
(3). Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
paling lama 14 (empat belas hari) hari kerja sejak diterimanya
draft RSKKNI dari instansi teknis pembina sektor.

Pasal 11

Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2)


dipergunakan sebagai bahan konvensi dalam rangka pembakuan
RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f.

BAB IV
PEMBAKUAN RSKKNI

Pasal 12

(1) Pembakuan RSKKNI dilakukan melalaui penyelenggaraan


forum konvensi yang dikoordinasikan oleh komite RSKKNI
pada instansi teknis pembina sektor.
(2) Penyelenggaraan forum konvensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melibatkan asosiasi profesi,pakar,praktisi,lembaga
diklat, industri, pemerhati profesi, Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan BNSP.
(3) Forum konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menghasilkan bakuan RSKKNI yang telah disetujui oleh
seluruh pemangku kepentingan untuk ditetapkan menjadi
SKKNI.
Pasal 13

(1). Dalam hal komite RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 belum terbentuk,penyusunan dan pembakuan RSKKNI
dapat dilakukan oleh panitia teknis yang dibentuk oleh pejabat
Eselon I pada instansi teknis pembina sektor.
(2). Panitia teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas dan tanggung jawab sama dengan Komite
RSKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

BAB V
PENETAPAN SKKNI

Pasal 14

(1). RSKKNI yang telah dibakukan melalui konvensi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diusulkan oleh instansi
teknis pembina sektor kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal untuk ditetapkan menjadi SKKNI.
(2). Usulan penetapan SKKNI sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan berita acara konvensi.
(3). Penetapan RSKKNI menjadi SKKNI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh ) hari kerja sejak
diterimanya usulan dari instansi teknis pembina sektor.
(4). SKKNI yang telah di tetapkan oleh Menteri diserahkan pada
instansi teknis pembina sektor.

BAB VI
PEMBERLAKUAN SKKNI

Pasal 15

(1). SKKNI yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 14 berlaku secara nasional menjadi acuan bagi
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi, uji
kompetensi dan sertifikasi profesi.
(2). Pemberlakuan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh instansi teknis pembina sektor untuk
penyelenggaraan program pelatihan berbasis kompetensi dan
sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan lapangan usaha dan
/atau bidang profesinya.
(3). Pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh pembaga pelatihan kerja.
(4). Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah
mendapat izin dari BNSP.
(5). SKKNI yang berlakukan secara nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat di gunakan sebagai bahan
kerjasama dan saling pengakuan dengan negara lain baik
secara bilateral maupun multilateral.
Pasal 16

Pemberlakuan SKKNI oleh instansi teknis pembina sektor


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mempertimbangkan
aspek-aspek antara lain;
a Risiko bahaya kecelakaan kerja;
b Kerusakan barang modal;
c Kerusakan lingkungan;
d Persaingan tenaga kerja Indonesia di pasar kerja global;
e Kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas tenaga
kerja Indonesia;
f Kesiapan infrastruktur untuk melaksanakan pendidikan dan
pelatihan kerja berbasis kompetensi dan sertifikasi kompetensi
kerja.

BAB VII
PENGEMBANGAN SKKNI DAN HARMONISASI SKKNI

Pasal 17

(1) Pengembangan SKKNI dapat dilakukan apabila tidak sesuai


dengan kebutuhan masyarakat,lapangan usaha,perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, cara kerja, dan persyaratan
pekerjaan / jabatan.
(2) Pengembangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan perubahan SKKNI.
(3) Perubahan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun dan
/ atau sesuai kesepakatan pemangku kepentingan pada saat
dilakukan konvensi pembalkuan RSKKNI menjadi SKKNI.
(4) Perubahan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan dengan tahapan sebagaimana dimaksud diatur
dalam Pasal 6.

Pasal 18

(1). Harmonisasi SKKNI dilakukan oleh masing-masing instansi


teknis pembina sektor dengan memberitahukan pada pihak-
pihak yang terkait baik secara nasional,bilateral maupun
multilateral.
(2). Harmonisasi SKKNI di tingkat nasional dilakukan melalui
forum pembahasan yang melibatkan instansi teknis pembina
sektor, badan dan/atau lembaga yang berwenang melakukan
standarisasi dan sertifikasi kompetensi kerja.
(3). Harmonisasi SKKNI di tingkat bilateral dan multilateral
dilakukan antar negara dengan menbandingkan masing-masing
standar kompetensi kerja yang berlaku di negara masing-
masing.
(4). Harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
notifikasi ke lembaga internasional oleh BNSP, sesuai dengan
persyaratan dan prosedur yang berlaku secara bilateral dan
multilateral.
BAB VIII
PENGAWASAN PENERAPAN SKKNI

Pasal 19

(1) Pengawasan penerapan SKKNI untuk kepentingan sertifikasi


kompetensi kerja dilakukan oleh BNSP untuk menjamin
konsistensi pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja.
(2) Pengawasan penerapan SKKNI untuk kepentingan pendidikan
dab pelatihan kerja dilakukan oleh instansi yang membidangi
pendidikan dan pelatihan kerja bersama instansi teknis
pembina sektor terkait untuk menjamin konsistensi
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi
kerja.
(3) Pengawasan terhadap SKKNI untuk kepentingan penerapan
SKKNI serta sertifikasi kompetensi kerja dilakukan oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama BNSP
dan instansi teknis pembina sektor terkait.

Pasal 20

Pengawasan penerapan SKKNI untuk kepentingan pendidikan dan


pelatihan kerja dilakukan oleh instansi yang membidangi pendidikan
dan pelatihan kerja bersama instansi teknis pembina sektor terkait
untuk menjamin konsistensi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
berbasis kompetensi kerja.

Pasal 21

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan penerapan


SKKNI melalui penyampaian informasi secara lisan ataupun tertulis
kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi , BNSP
dan/atau instansi teknis pembina sektor terkait.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 22

Pendanaan untuk keperluan penyusunan dan pengembangan yang


terkait dengan SKKNI dan implementasinya bersumber dari:
a Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ;
b Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi /
Kabupaten /Kota;
c Penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23

Pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Menteri ini ditetapkan oleh


Direktur Jenderal.

Pasal 24

Dengan ditetapkannyaperaturan Menteri ini maka :


a Keputusan Menteri Tenga Kerja Republik Indonesia Nomor
KEP-227/MEN/2003 Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;dan
b Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
KEP-69/MEN/2004 tentang Perubahan Lampiran Keputusan
Menteri Tenaga Kerja republik Indonesia Nomor KEP-
227/MEN/2003 tentang Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;

Di cabut dan dinyatakan tidak berlaku

Pasal 25

Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Oktober 2007

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, MSi.


LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-21/MEN/X/2007.

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN


STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

FORMAT PENYUSUNAN RSKKNI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
…………………….

B. Tujuan .
…………………….

C. Pengertian SKKNI.
…………………….

D. Penggunaan SKKNI.
………………………..

E. Format Standar Kompetensi.


Standar Kompetensi Kerja disusun menggunakan format standar kompetensi kerja.
Untuk menuangkan standar kompetensi kerja menggunakan urutan-urutan
sebagaimana struktur SKKNI. Dalam SKKNI terdapat daftar unit kompetensi terdiri
atas unit-unit kompetensi. Setiap unit kompetensi merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari susunan daftar unit kompetensi sebagai berikut :

1. Kode Unit Kompetensi.


Kode unit kompetensi mengacu kepada kodifikasi yang memuat sektor, sub
sektor/bidang, kelompok unit kompetensi, nomor urut unit kompetensi dan versi,
yaitu :

X X X X X 0 0 0 0 0 0 0
(1) (2) (3) (4) (5)

a. Sektor /Bidang Lapangan Usaha.


Untuk sektor (1) mengacu sebagaimana dalam Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia (KBLI), diisi dengan 3 huruf kapital dari nama sektor/bidang
lapangan usaha.
b. Sub Sektor /Sub Bidang Lapangan Usaha :
Untuk sub sektor (2) mengacu sebagaimana dalam Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), diisi dengan 2 huruf kapital dari nama
Sub Sektor/Sub Bidang.
c. Kelompok Unit Kompetensi.
Untuk kelompok kompetensi (3), diisi dengan 2 digit angka untuk masing-
masing kelompok, yaitu :
01 Untuk kode Kelompok unit kompetensi umum (general).
02 Untuk kode Kelompok unit kompetensi inti (fungsional)
03 Untuk kode Kelompok unit kompetensi khusus (spesifik)
04 Untuk kode Kelompok unit kompetensi pilihan (optional).

d. Nomor urut unit kompetensi.


Untuk nomor urut unit kompetensi (4), diisi dengan nomor urut unit
kompetensi dengan menggunakan 3 digit angka, mulai dari angka 001, 002,
003, dan seterusnya pada masing-masing kelompok unit kompetensi. Nomor
urut unit kompetensi inidisusun dari angka yang paling rendah ke angka yang
lebih tinggi. Hal tersebut untuk menggambarkan bahwa tingkat kesulitan jenis
pekerjaan pada unit kompetensi yang paling sederhana tanggung jawabnya ke
jenis pekerjaan yang lebih besar tanggung jawabnya, atau dari jenis pekerjaan
yang paling mudah ke jenis pekerjaan yang lebih komplek.

e. Versi unit kompetensi.


Versi unit kompetensi (5), diisi dengan 2 digit angka, mulai dari angka 01,02,
dan seterusnya versi merupakan urutan penomoran terhadap urutan
penyusunan/penetapan unit kompetensi dalam penyusunan standar
kompetensi yang disepakati, apakah standar kompetensi tersebut disusun
merupakan yang pertama kali, revisi dan/atau seterusnya.

2. Judul Unit Kompetensi.


Judul unit kompetensi, merupakan bentuk pernyataan terhadap tugas/pekerjaan
yang akan dilakukan. Unit kompetensi adalah sebagai bagian dari keseluruhan
unit kompetensi yang terdapat pada standar kompetensi kerja. Judul unit
kompetensi yang terdapat pada standar kompetensi kerja. Judul unit kompetensi
harus menggunakan kalimat aktif yang diawali dengan kata kerja aktif yang
terukur.
a. Kata kerja aktif yang digunakan dalam penulisan judul unit kompetensi
diberikan contoh antara lain : memperbaiki, mengoperasikan, menggunakan,
melayani, merawat, merencanakan, membuat dan lain-lain.
b. Kata kerja aktif yang digunakan dalam penulisan judul unit kompetensi
sedapat mungkin dihindari penggunaan kata kerja antara lain : memahami,
mengetahui, menerangkan, mempelajari, menguraikan, mengerti dan atau
yang sejenis.

3. Diskripsi Unit Kompetensi.


Diskripsi unit kompetensi merupakan bentuk kalimat yang menjelaskan secara
singkat isi dari judul unit kompetensi yang mendiskripsikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan satu tugas
pekerjaan yang dipersyaratkan dalam judul unit kompetensi.

4. Elemen Kompetensi.
Elemen Kompetensi adalah merupakan bagian kecil dari unit kompetensi yang
mengindentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit
kompetensi tersebut. Elemen kompetensi ditulis menggunakan kalimat aktif dan
jumlah elemen kompetensi untuk setiap unit kompetensi terdiri dari 2 sampai 5
elemen kompetensi. Kandungan dari keseluruhan elemen kompetensi pada setiap
unit kompetensi harus mencerminkan unsur : ”merencanakan, menyiapkan,
melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan”.

5. Kriteria Unjuk Kerja.


Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan
kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada
setiap elemen kompetensi. Kriteria unjuk kerja harus mencerminkan aktivitas
yang dapat menggambarkan 3 aspek yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja. Untuk setiap elemen kompetensi dapat terdiri 2 s/d 5 kriteria unjuk kerja
dan dirumuskan dalam kalimat terukur dengan bentuk pasif.
Pemilihan kosakata dalam menulis kalimat KUK harus memperhatikan
keterukuran aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, yang ditulis
dengan memperhatikan level taksonomi Bloom dan pengembangannya yang
terkait dengan aspek-aspek prikomotorik, kognitif dan efektif sesuai dengan
tingkat kesulitan pelaksanaan tugas pada tingkatan/urutan unit kompetensi.

6. Batasan Variabel.
Batasan variabel untuk unit kompetensi minimal dapat menjelaskan :
a. Kontek variabel yang dapat mendukung atau menambah kejelasan tentang isi
dari sejumlah elemen unit kompetensi pada satu unit kompetensi tertentu, dan
kondisi lainnya yang diperlukan dalam melaksanakan tugas.
b. Perlengkapan yang diperlukan seperti peralatan, bahan atau fasilitas dan
materi yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
melaksanakan unit kompetensi.
c. Tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi persyaratan unit kompetensi.
d. Peraturan-peraturan yang diperlukan sebagai dasar atau acuan dalam
melaksanakan tugas untuk memenuhi persyaratan kompetensi.

7. Panduan Penilaian.
Panduan penilaianini digunakan untuk membantu penilaian dalam melakukan
penilaian/pengujian pada unit kompetensi antara lain meliputi :
a. Penjelasan tentang hal-hal yang diperlukan dalam penilaian antara lain :
prosedur, alat, bahan dan tempat penilaian serta penguasaan unit kompetensi
tertentu, dan unit kompetensi yang harus dikuasai sebelumnya sebagai
persyaratan awal yang diperlukan dalam melanjutkan penguasaan unit
kompetensi yang sedang dinilai serta keterkaitannya dengan unit kompetensi
lain.
b. Kondisi pengujian merupakan suatu kondisi yang berpengaruh atas
tercapainya kompetensi kerja, dimana, apa dan bagaimana serta lingkup
penilaian mana yang seharusnya dilakukan, sebagai contoh pengujian
dilakukan dengan metode test tertulis, wawancara, demonstrasi, praktek di
tempat kerja dan menggunakan alat simulator.
c. Pengetahuan yang dibutuhkan, merupakan informasi pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
d. Keterampilan yang dibutuhkan, merupakan informasi keterampilan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
e. Aspek kritis merupakan aspek atau kondisi yang harus dimiliki seseorang
untuk menemukenali sikap kerja untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk
kerja pada unit kompetensi tertentu.
8. Kompetensi Kunci.
Kompetensi kunci merupakan persyaratan kemampuan yang harus dimiliki
seseorang untuk mencapai unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan
tugas pada unit kompetensi tertentu yang terdistribusi dalam 7 (tujuh) kriteria
kompetensi kunci antara lain :
a. Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi.
b. Mengkomunikasikan informasi dan ide-ide.
c. Merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan.
d. Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok.
e. Menggunakan gagasan secara matematis dan teknis.
f. Memecahkan masalah.
g. Menggunakan teknologi.

Masing-masing dari ketujuh kompetensi kunci tersebut, memiliki tingkatan dalam


tiga kategori. Kategori sebagaimana dimaksud tertuang dalam tabel gradasi
kompetensi kunci berikut (lihat tabel gradasi kompetensi kunci). Tabel gradasi
kompetensi kunci merupakan daftar yang menggambarkan :
a. Kompetensi kunci (berisi 7 kompetensi kunci);
b. Tingkat /nilai (1, 2 dan 3).

Dari Tabel Gradasi kompetensi kunci, setelah dilakukan analisa terhadap masing-
masing nilai kompetensi kunci, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
penjumlahan nilai setiap kompetensi kunci yang digunakan sebagai pedoman
penetapan tingkat/derajat kemudahan atau kesulitan dari unit kompetensi tertentu.

F. Gradasi Kompetensi Kunci.

TABEL GRADASI (TINGKATAN) KOMPETENSI KUNCI.

KOMPETENSI TINGKAT I TINGKAT 2 TINGKAT 3.


KUNCI ”Melakukan ”Mengelola Kegiatan” ”Mengevaluasi dan
Kegiatan” Memodifikasi Proses”
1. Mengumpulkan, Mengikuti pedoman Mengakses dan Meneliti dan menyaring
menganalisa dan yang ada dan merekam merekam lebih dari satu lebih dari satu sumber dan
mengorganisasikan dari satu sumber sumber informasi. mengevaluasi kualitas
informasi. informasi. informasi.
2. Mengkomunikasika Menerapkan bentuk Menerapkan gagasan Memilih model dan
n informasi dan komunikasi untuk informasi dengan bentuk yang sesuai dan
ide-ide. mengantisipasi Kontek memilih gaya yang memperbaiki dan
komunikasi sesuai jenis paling sesuai. mengevaluasi jenis
dan gaya komunikasi dari berbagai
berkomunikasi. macam jenis dan gaya
cara berkomunikasi.
3. Merencanakan dan Bekerja di bawah Mengkoordinir dan Menggabungkan strategi,
mengorganisasikan pengawasan atau mengatur proses rencana, pengaturan,
kegiatan. supervisi. pekerjaan dan tujuan dan prioritas kerja.
menetapkan prioritas
kerja.
4. Bekerjasama Melaksanakan Melaksanakan kegiatan Bekerjasama untuk
dengan orang lain kegiatan-kegiatan yang dan membantu menyelesaikan kegiatan-
& kelompok. sudah dipahami merumuskan tujuan. kegiatan yang bersifat
/aktivitas rutin. komplek.
5. Menggunakan Melaksanakan tugas- Memilih gagasan dan Bekerjasama dalam
gagasan secara tugas yang sederhana teknik bekerja yang menyelesaikan tugas
matematis dan dan telah ditetapkan. tepat untuk yang lebih komplek
teknis. menyelesaikan tugas- dengan menggunakan
tugas yang komplek. teknik dan matematis.
6. Memecahkan Memecahkan masalah Memecahkan masalah Memecahkan masalah
masalah. untuk tugas rutin di untuk tugas rutin secara yang komplek dengan
bawah mandiri berdasarkan menggunakan pendekatan
pengawasan/supervisi. pedoman/panduan. metode yang sistimatis.
7. Menggunakan Menggunakan Menggunakan Menggunakan teknologi
teknologi. teknologi untuk teknologi untuk untuk membuat
membuat barang dan mengkonstruksi, desain/merancang,
jasa yang sifatnya mengorganisasikan atau menggabungkan,
berulang-ulang pada membuat produk memodifikasikan dan
tingkat dasar di bawah barang atau jasa mengembangkan produk
pengawasan/supervisi. berdasarkan desain. barang atau jasa.

G. Rumusan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

KUALIFIKASI PARAMETER
KEGIATAN PENGETAHUAN TANGGUNG JAWAB
Melaksanakan kegiatan : * Mengungkap kembali. * Terhadap kegiatan sesuai
1. Lingkup terbatas. * Menggunakan pengetahuan arahan.
*. Berulang dan sudah yang terbatas. * Dibawah pengawasan
I biasa. * Tidak memerlukan gagasan langsung.
* Dalam konteks yang baru. * Tidak ada tanggungjawab
terbatas. terhadap pekerjaan orang
lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan * Terhadap kegiatan sesuai
* Lingkup agak luas. dasar operasional. arahan.
* Mapan dan sudah * Memanfaatkan informasi * Dibawah pengawasan tidak
biasa. yang tersedia. langsung dan pengendalian
* Dengan pilihan-pilihan * Menerapkan pemecahan mutu.
II
yang terbatas terhadap masalah yang sudah baku. * Punya tanggungjawab
sejumlah tanggapan * Memerlukan sedikit terbatas terhadap kuantitas
rutin. gagasan baru. dan mutu.
* Dapat diberii tanggungjawab
membimbing orang lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan * Terhadap kegiatan sesuai
* Dalam lingkup yang Pengetahuan –pengetahuan arahan dengan otonomi
luas dan memerlukan teoritis yang relevan. terbatas.
keterampilan yang * Menginteprestasikan * Dibawah pengawasan tidak
sudah baku. informasi yang tersedia. langsung dan pemeriksaan
* Dengan pilihan-pilihan * Menggunakan perhitungan mutu.
III.
terhadap sejumlah dan pertimbangan. * Bertanggungjawab secara
prosedur. * Menerapkan sejumlah memadai terhadap kuantitas
* Dalam sejumlah pemecahan masalah yang dan mutu hasil kerja.
konteks yang sudah sudah baku. * Dapat diberii tanggungjawab
biasa. terhadap hasil kerja orang
lain.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan basis * Terhadap kegiatan yang
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas direncanakan sendiri.
luas dan memerlukan dengan mengaitkan * Dibawah bimbingan dan
keterampilan penalaran sejumlah konsep teoritis. evaluasi yang luas.
teknis. * Membuat interpretasi * Bertanggung jawab penuh
* Dengan pilihan-pilihan analistis data yang tersedia. terhadap kuantitas dan mutu
yang banyak terhadap * Pengambilan keputusan hasil kerja.
IV sejumlah prosedur. berdasarkan kaidah-kaidah * Dapat diberi tanggung jawab
* Dalam berbagai yang berlaku. terhadap kuantitas dan mutu
konteks yang sudah * Menerapkan sejumlah hasil kerja orang lain.
biasa maupun yang pemecahan masalah yang
tidak biasa. bersifat inovatif terhadap
masalah-masalah yang
kongkrit dan kadang-
kadang tidak biasa.
Melakukan kegiatan : * Menerapkan basis Melakukan :
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas * Kegiatan yang diarahkan
luas dan memerlukan dengan pendalaman yang sendiri dan kadang-kadang
keterampilan penalaran cukup dibeberapa area. memberikan arahan kepada
teknis khusus * Membuat interpretasi orang lain.
(spesialis). analitik terhadap sejumlah * Dengan pedoman atau fungsi
* Dengan pilihan-pilihan data yang tersedia yang umum yang luas.
yang sangat luas memiliki cakupan yang * Kegiatan yang memerlukan
terhadap sejumlah luas. tanggungjawab penuh baik
V
prosedur yang baku * Menentukan metoda – sifat, jumlah maupun mutu
dan tidak baku. metoda dan prosedur yang dari hasil kerja.
* Yang memerlukan tepat guna, dalam * Dapat diberi tanggungjawab
banyak pilihan pemecahan sejumlah terhadap pencapaian hasil.
prosedur standar masalah yang kongkrit yang
maupun non standar. mengandung unsur-unsur
* Dalam konteks yang teoritis.
rutin maupun tidak
rutin.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan Melaksanakan :
* Dalam lingkup yang khusus yang mendalam * Pengelolaan kegiatan/proses
luas dan memerlukan pada beberapa bidang. kegiatan.
keterampilan penalaran * Melakukan analisis, mem- * Dengan parameter yang luas
teknis khusus. format ulang dan untuk kegiatan-kegiatan yang
* Dengan pilihan-pilihan mengevaluasi informasi- sudah tertentu.
yang sangat luas informasi yang cakupannya * Kegiatan dengan penuh
terhadap sejumlah luas. akuntabilitas untuk
VI
prosedur yang baku * Merumuskan langkah- menentukan tercapainya hasil
dan tidak baku serta langkah pemecahan yang kerja pribadi dan atau
kombinasi prosedur tepat, baik untuk masalah kelompok.
yang tidak baku. yang konkrit maupun * Dapat diberi tanggungjawab
* Dalam konteks rutin abstrak. terhadap pencapaian hasil
dan tidak rutin yang kerja organisasi.
berubah-ubah sangat
tajam.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VII * Menjelaskan kajian, penelitian dan kegiatan intelektual secara mandiri disuatu
bidang, menunjukkan kemandirian intelektual serta analisis yang tajam dan
komunikasi yang baik.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VIII * Menunjukkan penguasaan suatu bidang dan,
* Merencanakan dan melaksanakan proyek penelitian dan kegiatan intelektual secara
original berdasarkan standar-standar yang diakui secara internasional.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
IX
* Menyumbangkan pengetahuan original melalui penelitian dan kegiatan intelektual
yang dinilai oleh ahli independen berdasarkan standar internasional.

H Kelompok Kerja.
Untuk menetapkan kelompok kerja penyusun RSKKNI yang dibentuk oleh
Departemen Teknis Pembina Sektor menggunakan format sebagai contoh dibawah
ini.
1. Format Komite SKKNI.
Informasi yang dimasukka dalam pembentukan komite SKKNI terdiri dari Nomor,
Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.
Contoh format :

NO NAMA JABATAN DI JABATAN KETERANGAN


INSTANSI DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.

2. Format Panitia Teknis.


Informasi yang dimasukkan dalam pembentukan panitia teknis terdiri dari Nomor,
Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.

Contoh format :

NO NAMA JABATAN DI JABATAN KETERANGAN


INSTANSI DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.

3. Format Tim Penyusun SKKNI.


Informasi yang dimaksudkan dalam pembentukan tim penyusun SKKNI terdiri dari
Nomor, Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.

Contoh format :

NO NAMA JABATAN DI JABATAN KETERANGAN


INSTANSI DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.

4. Format Pembentukan Panitia Konvensi RSKKNI.


Informasi yang dimasukkan dalam pembentukan panitia konvensi RSKKNI terdiri
dari Nomor, Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.

Contoh Format :

NO NAMA INSTANSI JABATAN KETERANGAN


DALAM TIM
1 2 3 4 5

Keterangan :

Kolom keterangan diisi hal-hal lain yang dianggap penting.


BAB II

STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA.

A. Kodifikasi Pekerjaan/Profesi.
Pemberian kode pada suatu kualifikasi pekerjaan/berdasarkan hasil kesepakatan
dalam pemaketan sejumlah unit kompetensi, diisi dan ditetapkan dengan mengacu
dengan “Format Kodifikasi Pekerjaan/Jabatan “ sebagai berikut :

X 00 00 00 00 00 0 Y 00
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

; Kategori, merupakan garis pokok penggolongan kegiatan


(1) X
ekonomi, diisi dengan dari kategori lapangan usaha.
; Golongan Pokok, merupakan uraian lebih lanjut dari kategori,
(2) 00 diisi dengan 2 digit angka sesuai nama golongan pokok lapangan
usaha.
; Golongan, merupakan uraian lebih lanjut dari golongan pokok,
(3) 00 diisi dengan 2 digit angka sesuai nama golongan lapangan usaha.

; Sub Golongan, merupakan uraian lebih lanjut dari kegiatan


(4) 00 ekonomi yang tercakup dalam suatu golongan, diisi dengan 1-2
digit angka sesuai nama sub golongan lapangan usaha.
; Kelompok, memilah lebih lanjut kegiatan yang tercakup dalam
sub golongan menjadi beberapa kegiatan yang lebih homogen,
(5) 00
diisi dengan 1-2 digit angka sesuai nama kelompok lapangan
usaha.
; Sub Kelompok, memilah lebih lanjut kegiatan yang tercakup
(6) 00 dalam suatu kelompok, diisi dengan 1-2 digit angka sesuai nama
sub kelompok lapangan usaha.
; Bagian, memilah lebih lanjut kegiatan yang tercakup dalam
suatu sub kelompok menjadi nama-nama pekerjaan (paket
(7) 0
SKKNI), diisi dengan 1 digit angka sesuai nama bagian
lapangan usaha (pekerjaan/profesi/jabatan).
; Kualifikasi kompetensi, untuk menetapkan jenjang kualifikasi
kompetensi kerja dan yang terendah s/d yang tertinggi untuk
masing-masing nama pekerjaan/jabatan/profesi, diisi dengan 1
digit angka romawi dengan mengacu pada perjenjangan KKNI,
yaitu :
(8) Y
- Kualifikasi I untuk Sertifikat 1.
- Kualifikasi II untuk Sertifikat 2.
- Kualifikasi III untuk Sertifikasi 3.
- Kualifikasi IV untuk Sertifikasi 4.
- Kualifikasi V s/d IX untuk Sertifikasi 5 s/d 9.
; Versi, untuk Paket SKKNI diisi dengan nomor urut versi dan
(9) 00
menggunakan 2 digit angka, mulai dari 01, 02 dan seterusnya.
Keterangan :

- Nomor (1) s/d (4) pada berpedoman pada UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik
dan mengacu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
- Nomor (5) s/d (9) pengisiannya berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari nomor 5 dan
ditetapkan/dibakukan melalui Forum Konvensi antar asosiasi profesi, pakar praktisi
dan stakeholder pada, sub sektor dan bidang yang bersangkutan.

B. Peta KKNI Sektor, Sub Sektor, Bidang.

FORMAT PENUANGAN KERANGKA KUALIFIKASI


NASIONAL INDONESIA DALAM SKKNI

Sektor : ...................
Sub Sektor : ............
Bidang :..................
Sub Bidang : .............

Jenjang /Level Area Bidang/Sub Bidang Pekerjaan atau Jabatan


KKNI Kualifikasi Berjenjang Kualifikasi Tertentu
1. *) 2. *) 3. *) 4.. *) dst pada Profesi Tertentu
1 2 3 4 5 6
Sertifikat IX *) *) *) **)
Sertifikat VIII *) *) *) *) **)
Sertifikat VII *) *) *) **)
Sertifikat VI *) *) *) *) **)
Sertifikat V *) *) *) *) **)
Sertifikat IV *) *) *) *) **)
Sertivikat III *) *) *) *) **)
Sertivikat II *) *) *) *) **)
Sertivikat I *) *) *) *) **)

Keterangan :
*) kolom 2, 3 atau 4 diisi nama Pekerjaan/Profesi sesuai jenjang kualifikasi dan/atau jenjang
jabatan, sesuai dengan penggolongan jenjang/jabatan yang disepakati.

**) Kotak 1*, 2*, 3 * dan seterusnya diisi penggolongan level/jabatan pada jenjang kualifikasi
tertentu.

**) Diisi nama pekerjaan/Profesi tertentu sesuai dengan jumlah unit kompetensi yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan pekerjaan/profesi tertentu, yang tidak memiliki
atau tidak memerlukan jenjang pada KKNI, tetapi dibutuhkan oleh dunia kerja/masyarakat
pada kelompok kerja/kluster tertentu..

C. Paket SKKNI Sektor, Sub Sektor, Bidang, Nama Pekerjaan.

1. FORMAT PENUANGAN PAKET UNIT KOMPETENSI PADA JENJANG


KUALIFIKASI PEKERJAAN/JABATAN PADA SKKNI BIDANG PEKERJAAN
TERTENTU.
PEMAKETAN JENJANG KUALIFIKASI PEKERJAAN/JABATAN

Sektor : .........................................
Sub Sektor : ...........................................
Nama Pekerjaan/Profesi : ...........................................
Area Pekerjaan : ...........................................
Jenjang KKNI : Sertifikat.................( ...)..........
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

KELOMPOK KOMPETENSI UMUM


NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOMPOK KOMPETENSI INTI


NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOM[POK KOMPETENSI KHUSUS

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

2. FORMAT PENUANGAN PAKET UNIT KOMPETENSI PADA


PEKERJAAN/KLUSTER PADA SKKNI BIDANG PEKERJAAN
TERTENTU.

PEMAKETAN PEKERJAAN/JABATAN BERDASARKAN KLUSTER

Sektor : ..............................................
Sub Sektor : .............................................
Nama Pekerjaan/Profesi : .............................................
Area Pekerjaan : .............................................
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
KELOMPOK KOMPETENSI UMUM

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOMPOK KOMPETENSI INTI

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

KELOM[POK KOMPETENSI KHUSUS

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

Keterangan :
Untuk jenis pekerjaan/jabatan berdasarkan kluster tidak memerlukan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam jenjang kualifikasi pekerjaan/jabatan berdasarkan KKNI,
tetapi masih dalam koridor SKKNI.

D. Daftar Unit Kompetensi.

DAFTAR UNIT KOMPETENSI

Kelompok Kompetensi Umum (01).

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

Kelompok Kompetensi Inti (02)

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi


Kelompok Kompetensi Khusus (03).

NO. Kode Unit Judul Unit Kompetensi

Keterangan :

Masing-masing kelompok kompetensi dimulai dari nomor urut unit kompetensi yang
terendah/terkecil s/d yang tertinggi/terbesar berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan
pekerjaan, sifat pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan.

E. Unit-unit Kompetensi.

BAB III

PENUTUP

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 25 Oktober 2007.

MENTERI

TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA, M.Si


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

28 Agustus 2009

Yth. 1. Gubernur se-Indonesia


2. Bupati/Walikota se-Indonesia

Di Tempat

SURAT EDARAN
Nomor : SE.314/MEN/PHIJSK-PKKAD/VIII/2009

TENTANG
PEMBAYARAN TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Indonesia termasuk pekerja/buruh


sebagai pemeluk agama, akan merayakan Hari Raya Keagamaan sesuai dengan
agamanya masing-masing. Sehubungan dengan hal tersebut perlu disampaikan
kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam rangka pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, pekerja/buruh


memerlukan biaya tambahan. Bila biaya tambahan tersebut terpenuhi akan
menambah ketenangan bekerja bagi pekerja/buruh sekaligus dapat
mendorong tumbuhnya rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan usaha
perusahaan. Oleh karena itu, pengusaha memberikan Tunjangan Hari Raya
(THR) Keagamaan bagi pekerja/buruh tepat pada waktunya.

2. Pemberian THR Keagamaan bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur


dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor. PER.04/MEN/1994
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut, mewajibkan pengusaha untuk
memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah
mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus menerus.

3. Besarnya THR Keagamaan sebagaimana dimaksud di atas diatur sebagai


berikut :

a). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan upah.

b). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan
secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan,
diberikan secara proporsional dengan menghitung masa kerja yang
sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
4. THR Keagamaan bagi pekerja/buruh tersebut diatas, diberikan satu kali
dalam setahun oleh pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan
Hari Raya Keagamaan masing-masing, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum Hari Raya Keagamaan.

5. Pelaksanaan THR Keagamaan yang dibayarkan tepat waktu sangat


bermanfaat dalam membantu para pekerja/buruh dan keluarganya untuk
memenuhi kebutuhan pada Hari Raya Keagamaan.

6. Berkenaan dengan hal tersebut dimintakan kepada Gubernur


Bupati/Walikota untuk mengingatkan pengusaha sehingga pembayaran
THR Keagamaan dilaksanakan tepat waktu dan sesuai ketentuan yang
berlaku.

7. Sejalan dengan itu, untuk mengantisipasi timbulnya keluhan dalam


pelaksanaan pembayaran THR Keagamaan dan pelaksanaan mudik
Lebaran, diharapkan masing-masing provinsi dan kabupaten/kota segera
membentuk Satuan Tugas (Posko) Ketenagakerjaan Peduli Lebaan Tahun
2009.

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baikm kami


ucapkan terima kasih.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia

ttd

Dr. Ir. Erman Suparno, MBA, MSI

Tenbusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden RI;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
4. Ketua Umum DPN APINDO;
5. Ketua Umum DPP SP/SB;
6. Instansi yang bertanggungjawab di bidang
Ketenagakerjaan Provinsi se-Indonesia
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER.22/MEN/IX/2009

TENTANG

PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI DALAM NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan


Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan
Kerja Nasional perlu mengatur penyelenggaraan pemagangan di
dalam negeri;

b. bahwa pengaturan penyelenggaraan pemagangan di dalam


negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 tentang Badan


Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4408);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem


Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4637);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden
Nomor 31/P Tahun 2007;

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


17/MEN/VII/2007 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja;

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.


21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI DALAM
NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan


secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih
berpengalaman dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan,
dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

2. Pemagangan di dalam negeri adalah pemagangan yang diselenggarakan oleh


perusahaan yang berdomisili di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Penyelenggara program pemagangan di dalam negeri adalah perusahaan yang


memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan program pemagangan.

4. Perusahaan adalah:

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

5. Lembaga Pelatihan Kerja, yang selanjutnya disingkat LPK, adalah instansi


pemerintah, badan hukum, atau perseorangan yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja.

2
6. Unit Pelatihan adalah satuan unit yang menyelenggarakan pelatihan di perusahaan
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat.

7. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SKKNI,


adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

8. Standar Internasional adalah standar kompetensi kerja yang disusun,


dikembangkan, dan digunakan oleh dua negara atau lebih yang ditetapkan oleh
suatu forum organisasi yang bersifat multinasional berskala regional dan/atau
internasional.

9. Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang disusun, dikembangkan,


dan digunakan oleh instansi/perusahaan/organisasi atau memenuhi tujuan internal
organisasinya sendiri atau untuk memenuhi kebutuhan organisasinya.

10. Perjanjian pemagangan adalah perjanjian antara peserta pemagangan dengan


penyelenggara pemagangan yang dibuat secara tertulis yang memuat hak dan
kewajiban serta jangka waktu pemagangan.

11. Perjanjian kerja sama penyelenggara pemagangan adalah perjanjian antara LPK
dengan perusahaan yang dibuat secara tertulis yang memuat teknis pelaksanaan
penyelenggaraan program pemagangan.

12. Tenaga pelatihan adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi
kompetensi untuk mendukung terlaksananya program pemagangan sesuai dengan
bidang tugasnya.

13. Pembimbing pemagangan adalah tenaga pelatihan yang merupakan tenaga


penyelia atau pekerja yang ditunjuk oleh penyelenggara pemagangan untuk
membimbing peserta pemagangan di perusahaan.

14. Jejaring Pemagangan adalah forum komunikasi atau wadah yang beranggotakan
dari unsur-unsur perusahaan, LPK, pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi LPK,
serta stakeholder, untuk memfasilitasi penyelenggaraan program pemagangan.

15. Dinas kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan kabupaten/kota.

16. Dinas provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.

17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pelatihan kerja dan
produktivitas di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

18. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pemagangan diselenggarakan oleh perusahaan yang memiliki unit pelatihan.

3
(2) Dalam hal perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, perusahaan dapat melakukan
kerjasama dengan LPK dan/atau unit pelatihan lainnya.

Pasal 3

LPK dapat mengikutsertakan peserta pelatihannya untuk mengikuti pemagangan di


perusahaan sebagai satu kesatuan program pemagangan yang diselenggarakan atas
dasar kerjasama dengan perusahaan.

Pasal 4

Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari
jumlah karyawan.

BAB II
PERSYARATAN

Bagian Kesatu
Persyaratan Peserta

Pasal 5

(1) Peserta pemagangan di dalam negeri terdiri dari:


a. pencari kerja;
b. siswa LPK; dan
c. tenaga kerja yang akan ditingkatkan kompetensinya.

(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti pemagangan
apabila telah memenuhi persyaratan:
a. usia minimal 18 (delapan belas) tahun;
b. memiliki bakat, minat, dan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan program
pemagangan; dan
c. menandatangani perjanjian pemagangan.

Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara Pemagangan

Pasal 6

Penyelenggara pemagangan harus memiliki:


a. program pemagangan;
b. sarana dan prasarana;
c. tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan; dan
d. pendanaan.

BAB III
PROGRAM PEMAGANGAN

Pasal 7

(1) Program pemagangan dapat disusun oleh perusahaan dan/atau bersama-sama


LPK.

4
(2) Program Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama program;
b. tujuan program;
c. jenjang kualifikasi tertentu dan/atau kompetensi yang akan dicapai dalam
jabatan tertentu;
d. uraian pekerjaan atau unit kompetensi yang akan dipelajari;
e. jangka waktu pemagangan;
f. kurikulum dan silabus; dan
g. sertifikasi.

(3) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
a. SKKNI;
b. Standar Internasional; dan/atau
c. Standar Khusus.

(4) Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dibatasi
paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu
lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan
baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten/kota setempat.

(6) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diketahui dan
disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.

Pasal 8

Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan:
a. teori;
b. simulasi/praktik;
c. bekerja secara langsung di bawah bimbingan pekerja yang berpengalaman sesuai
dengan program pemagangan; dan
d. keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Pasal 9

Pembimbing pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dapat


membimbing peserta pemagangan sesuai dengan kebutuhan program pemagangan.

Pasal 10

Penyelenggara pemagangan tidak diperbolehkan mengikutsertakan peserta yang telah


mengikuti program pemagangan pada program/jabatan/kualifikasi yang sama.

BAB IV
PERJANJIAN PEMAGANGAN

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian tertulis antara


peserta pemagangan dengan perusahaan.

5
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. hak dan kewajiban peserta;
b. hak dan kewajiban penyelenggara program; dan
c. jenis program dan kejuruan.

Pasal 12

(1) Perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan perusahaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus diketahui dan disahkan oleh dinas
kabupaten/kota setempat.

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

Pasal 13

Perjanjian Kerja sama Pemagangan antara LPK dengan perusahaan dilaksanakan atas
dasar perjanjian secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat:
a. hak dan kewajiban;
b. pembiayaan;
c. jangka waktu;
d. jenis program dan bidang kejuruan; dan
e. jumlah peserta pemagangan.

Pasal 14

Perjanjian Kerja sama Pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus


diketahui oleh:
a. Kepala dinas kabupaten/kota untuk penyelenggaraan pemagangan dalam satu
wilayah kabupaten/kota;
b. Kepala dinas provinsi untuk penyelenggaraan pemagangan lintas kabupaten/kota
dalam satu wilayah provinsi;
c. Direktur Jenderal untuk penyelenggaraan pemagangan lintas provinsi.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 15

(1) Peserta pemagangan berhak untuk:


a. memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti
pemagangan;
b. memperoleh uang saku dan/atau uang transport;
c. memperoleh perlindungan dalam bentuk jaminan kecelakaan kerja dan
kematian; dan
d. memperoleh sertifikat pemagangan apabila dinyatakan lulus.

(2) Penyelenggara pemagangan berhak untuk:


a. memanfaatkan hasil kerja peserta pemagangan; dan
b. memberlakukan tata tertib dan perjanjian pemagangan.

6
Pasal 16

(1) Peserta pemagangan berkewajiban untuk:


a. mentaati perjanjian pemagangan;
b. mengikuti program pemagangan sampai selesai;
c. mentaati tata tertib yang berlaku di perusahaan penyelenggara pemagangan;
dan
d. menjaga nama baik perusahaan penyelenggara pemagangan.

(2) Penyelenggara pemagangan berkewajiban untuk:


a. membimbing peserta pemagangan sesuai dengan program pemagangan;
b. memenuhi hak peserta pemagangan sesuai dengan perjanjian pemagangan;
c. menyediakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3);
d. memberikan perlindungan dalam bentuk asuransi kecelakaan kerja kepada
peserta;
e. memberikan uang saku dan/atau uang transport peserta;
f. mengevaluasi peserta pemagangan; dan
g. memberikan sertifikat pemagangan bagi peserta yang dinyatakan lulus.

BAB VI
PELAKSANAAN

Pasal 17

Penyelenggara pemagangan dapat melaksanakan pemagangan setelah


memberitahukan secara tertulis rencana pelaksanaan pemagangan kepada dinas
kabupaten/kota dengan melampirkan:
a. program pemagangan;
b. rencana pelaksanaan pemagangan;
c. perjanjian pemagangan.

Pasal 18

(1) Penyelenggara pemagangan setelah memberitahukan secara tertulis sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 dapat merekrut dan menyeleksi peserta pemagangan.

(2) Dalam melaksanakan rekrut peserta program pemagangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), perusahaan dapat berkoordinasi dengan dinas kabupaten/kota
setempat.

(3) Seleksi peserta program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan.

Pasal 19

(1) Pelaksanaan program pemagangan meliputi teori, praktik, workshop laboratory di


unit pelatihan/LPK dan praktik kerja di perusahaan secara rotasi yang dibimbing
oleh tenaga pelatihan dan/atau pembimbing pemagangan sesuai dengan tuntutan
program.

(2) Teori, simulasi, dan praktik di unit pelatihan/LPK dilaksanakan paling banyak 25%
dari komposisi program pemagangan, sedangkan praktik kerja secara langsung di
perusahaan dilaksanakan paling sedikit 75% dari komposisi program pemagangan.

7
(3) Waktu magang di perusahaan disesuaikan dengan jam kerja yang diberlakukan di
perusahaan.

Pasal 20

Untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan penyelenggaraan program pemagangan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 19, perusahaan dapat
melakukan koordinasi dengan jejaring pemagangan.

Pasal 21

(1) Penyelenggara pemagangan melakukan evaluasi terhadap peserta pemagangan


secara berkala.

(2) Peserta pemagangan yang telah dievaluasi dan dinyatakan memenuhi standar
kompetensi yang telah ditentukan oleh perusahaan diberikan sertifikat
pemagangan.

(3) Peserta pemagangan yang telah memiliki sertifikat pemagangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dapat mengikuti sertifikasi kompetensi melalui lembaga
sertifikasi profesi yang terlisensi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Pasal 22

Peserta pemagangan yang telah memperoleh sertifikat pemagangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dapat:
a. direkrut langsung sebagai pekerja oleh perusahaan yang melaksanakan
pemagangan;
b. bekerja pada perusahaan yang sejenis;
c. melakukan usaha mandiri/menjadi wirausaha.

BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 23

(1) Dinas kabupaten/kota melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik terhadap
penyelenggaraan pemagangan di wilayah kerjanya.

(2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
kepala dinas kabupaten/kota kepada kepala dinas provinsi dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemagangan di dalam


negeri dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dinas provinsi,
dan dinas kabupaten/kota sesuai kewenangan masing-masing.

8
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. program;
b. tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan;
c. fasilitas; dan
d. sistem dan metode penyelenggaraan pemagangan.

(3) Dalam hal terjadi pelanggaran/menyalahi aturan dalam penyelenggaraan


pemagangan yang berada di luar perjanjian/aturan pemagangan akan diselesaikan
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang
membidangi pelatihan berkoordinasi dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dinas provinsi, dan dinas
kabupaten/kota setempat.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 25

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemagangan di dalam negeri bagi warga


negara asing diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27

Pemagangan yang diselenggarakan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini masih


tetap dapat berjalan sampai selesainya program pemagangan atau paling lama 2 (dua)
tahun.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 21/MEN/X/2005 tentang Penyelenggaraan Pemagangan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

9
Pasal 29

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA

Ttd

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 339

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002

10
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER.21/MEN/IX/2009

TENTANG

PEDOMAN PELAYANAN PRODUKTIVITAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (3)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Pedoman Pelayanan
Produktivitas;

b. bahwa pedoman pelayanan produktivitas sebagaimana


dimaksud dalam huruf a merupakan norma, standar, prosedur,
dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


05/MEN/IV/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.28/MEN/XII/2008;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.06/MEN/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.16/MEN/VII/2007;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PRODUKTIVITAS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Produktivitas adalah sikap mental yang selalu berusaha untuk melakukan perbaikan
mutu kehidupan secara berkelanjutan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, dan
kualitas.

2. Pelayanan adalah segala bentuk pelayanan umum yang dilaksanakan oleh


Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3. Pelayanan Produktivitas adalah segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh


Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dalam rangka promosi, peningkatan, pengukuran, dan pemeliharaan
tingkat produktivitas masyarakat, perusahaan, dan instansi pemerintah;

4. Efisiensi adalah suatu ukuran tingkat penghematan penggunaan masukan dalam


suatu proses produksi barang atau jasa.

5. Efektivitas adalah suatu ukuran tingkat pencapaian sasaran dari suatu proses
produksi barang atau jasa, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas.

6. Kualitas adalah suatu ukuran tingkat pencapaian persyaratan, spesifikasi, dan/atau


harapan konsumen dari suatu produk barang atau jasa.

7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pedoman Pelayanan Produktivitas ini dimaksudkan sebagai Norma, Standar,


Prosedur, dan Kriteria pelaksanaan kegiatan promosi, peningkatan, pengukuran
dan pemeliharaan produktivitas.
(2) Pedoman Pelayanan Produktivitas ini bertujuan untuk memberi acuan kepada
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Badan Usaha
Milik Negara/Daerah dalam melaksanakan kegiatan promosi, peningkatan,
pengukuran dan pemeliharaan produktivitas sebagai bagian integral dari Gerakan
Peningkatan Produktivitas Nasional.

BAB II
PROMOSI PRODUKTIVITAS

Pasal 3

Promosi Produktivitas ditujukan untuk memberikan pemahaman dan penyebarluasan


konsepsi produktivitas kepada masyarakat, dunia usaha, dan instansi pemerintah guna
meningkatkan kesadaran dan membangun komitmen kegiatan peningkatan
produktivitas.

Pasal 4

(1) Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan


dengan prinsip konsepsional, sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.

(2) Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
melalui kegiatan seperti:
a. penyelenggaraan forum seminar, workshop, symposium, dialog, dan konvensi;
b. penyebarluasan informasi melalui media cetak/elektronik;
c. penyelenggaraan Bulan Mutu dan Produktivitas; dan/atau
d. pemberian anugerah produktivitas dan kualitas.

Pasal 5

(1) Promosi produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh Menteri.


(2) Promosi produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh Gubernur.
(3) Promosi produktivitas pada skala Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Bupati/
Walikota.

Pasal 6

Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus melibatkan peran


serta dunia usaha dan masyarakat.

BAB III
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Pasal 7

(1) Peningkatan Produktivitas diselenggarakan dengan prinsip relevan, efektif, efisien,


terukur, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
(2) Peningkatan Produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
inovasi teknologi, dan pengembangan manajemen.

(3) Peningkatan Produktivitas dilakukan pada skala mikro dan makro.

Pasal 8

Peningkatan Produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan melalui


kegiatan seperti:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. bimbingan teknis dan konsultansi;
c. pengembangan Inovasi; atau
d. kerja sama kelembagaan.

Pasal 9

(1) Peningkatan produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh Menteri.


(2) Peningkatan produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh Gubernur.
(3) Peningkatan produktivitas pada skala Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Bupati/Walikota.

Pasal 10

Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus melibatkan


peran serta dunia usaha dan masyarakat.

BAB IV
PENGUKURAN DAN PEMELIHARAAN PRODUKTIVITAS

Pasal 11

(1) Pengukuran Produktivitas meliputi:


a. pengukuran produktivitas individu;
b. pengukuran produktivitas mikro;
c. pengukuran produktivitas makro.

(2) Pengukuran produktivitas individu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan pada orang per orang yang bekerja di perusahaan, instansi pemerintah,
atau kelompok masyarakat.

(3) Pengukuran produktivitas mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan pada skala perusahaan, instansi pemerintah, atau kelompok
masyarakat.

(4) Pengukuran produktivitas makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan pada skala nasional, sektoral, provinsi, atau kabupaten/kota.
Pasal 12

Pengukuran produktivitas diselenggarakan dengan prinsip valid, reliabel, akurat,


objektif, dan akuntabel.

Pasal 13

Pemeliharaan produktivitas meliputi:


a. pembakuan teknik dan metode peningkatan produktivitas;
b. pelestarian penggunaan teknik dan metode peningkatan produktivitas.

Pasal 14

(1) Dalam rangka menjaga mutu pemeliharaan, perlu dilakukan pembudayaan


produktivitas.

(2) Pembudayaan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan


dengan prinsip disiplin, konsisten, dan berkelanjutan.

Pasal 15

(1) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh
Menteri.
(2) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh
Gubernur.
(3) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 16

Biaya pelaksanaan pelayanan produktivitas bersumber dari APBN, APBD atau sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB VI
KETENTUAN LAIN –LAIN

Pasal 17

Pelaksanaan promosi, peningkatan, pengukuran, dan pemeliharaan produktivitas,


dilaksanakan dalam lingkup jejaring kelembagaan Lembaga Produktivitas Nasional dan
Internasional.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan promosi, peningkatan,


pengukuran, dan pemeliharaan produktivitas diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 338

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

30 Desember 2009
Kepada Yth,
1. Para Gubernur
2. Para Bupati/Walikota
di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : SE.441/MEN/SJ-HK/XII/2009
TENTANG
PELAKSANAAN CUTI BERSAMA DI SEKTOR SWASTA TAHUN 2010

Sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia
Nomor : 1 Tahun 2009, Nomor : SKB/13/M.PAN/8/2009 dan Nomor : KEP.227/MEN/VIII/2009 tentang
Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 (untuk selanjutnya disebut SKB), dipandang
perlu diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-
sama.
2. Pelaksanaan cuti bersama bersifat fakultatif/pilihan yang dikaitkan dengan cuti tahunan
pekerja/buruh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan
Peraturan Istirahat Buruh.
3. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti tahunannya tidak
berkurang dan kepadanya dibayarkan upah seperti hari kerja biasa.
4. Pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti yang
diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
5. Oleh karena cuti bersama tersebut bersifat fakultatif/pilihan, pelaksanaannya diatur berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.

Demikian untuk menjadi perhatian.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Drs. H. A. Muhaimin Iskandar, MSi


Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Kedua.
PERATURAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 02 / MEN /III / 2008

TENTANG

TATA CARA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP. 20/MEN/III/2004 Tentang Tata Cara Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor. KEP.21/MEN/III/2004 Tentang Tata
Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu
Nyanyi/Karaoke perlu disesuaikan dengan perkembangan keadaan
ketenagakerjaan dan otonomi daerah.

b. Bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan


pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (4) Undang–Undang
Nomor 3 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

c. Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah


Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota perlu diatur tata cara penggunaan tenaga kerja asing.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,


huruf b, dan huruf c perlu menetapkan tata cara penggunaan tenaga kerja
dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Undang –Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-


Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk seluruh Indonesia ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1951 Nomor 4 ) ;

2. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor


Ketenagakerjaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3201) ;

3. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara


Bukan Pajak ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687) ;
4. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;

5. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) ;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga
Kerja Dan Transmigrasi ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 4009) ;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembagian Urusan


Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 4737) ;

8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 sebagaimana telah


beberapa kali yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31 /P
Tahun 2007.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA, adalah warga Negara
asing pemegang visa kerja warga Negara Indonesia yang ditunjuk dan
dipersiapkan sebagai pendamping TKA.

2. Tenaga Kerja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut TKI


pendamping, adalah tenaga kerja warga Negara Indonesia yang ditunjuk dan
dipersiapkan sebagai pendamping TKA.

3. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja
TKA, adalah badan hokum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat


RPTKA, adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang
dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

5. Izin Mempekerjakan Tenga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA,


adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk
kepada pemberi kerja TKA.

6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA
kepada Negara atas penggunaan YKA.

7. Pekerjaan yang bersifat darurat adalah pekerjaan yang mendesak dan


apabila tidak ditangani secara langsung dapat mengakibatkan kerugian fatal
bagi perusahaan dan/atau masyarakat umum.

8. Usaha jasa impresariat adalah kegiatan pengurusan penyelenggaraan


hiburan di Indonesia, baik yang mendatangkan maupun mengembalikan
tenaga kerja asing di bidang seni dan olah raga.

9. Kawsan ekonopmi khusus adalah kawasan dalam wilayah hokum Negara


kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan
fungsi-fungsi perekonomian yang bersifat khusus dan memperoleh fasilitas
tertentu.

10 Direktur adalah Direktur Pengendalian Pengguaan Tenaga Kerja Asing.

11 Direktur Jenderal yang selanjutnya disingkat Dirjen, adalah Direktur


Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja.

12 Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrsi.

Pasal 2

Pemberi Kerja TKA meliputi :

a. Kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaa asing atau


kantor perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia.

b. Perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia ;

c. Badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek batuan luar


negaeri ;

d. Badan usaha yang didirikan berdasarkan hokum Indonesia ;

e. Lembaga-lembaga social, pendidikan, kebudayan atau keagamaan ;


f. Usaha jasa impresariat.

Pasal 3

(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA.

(2) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar
untuk mendapatkan IMTA.

Pasal 4

Pemberi kerja wajib mengikutsertakan TKA dalam program asuransi social


tenaga kerja dan / atau asuransi jiwa.

BAB II
TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN RPTKA

Pasal 5

(1) Untuk medapatkan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 3 ayat (1), pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara
tertulis yang dilengkapi alasan penggunaan TKA dengan melampirkan :

a. Formulir RPTKA yang sudah dilengkapi ;


b. Surat ijin usaha dari instansi yang berwenang ;
c. Akte pendirian sebagai badan hokum yang sudah disahkan oleh pejabat
yang berwenang ;
d. Keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat ;
e. Bagan struktur organisasi perusahaan ;
f. Surat penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan ;
g. Copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di perusahaan ; dan
h. Rekomendasi jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi
tertentu apabila diperlukan.

(2) Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :

a. Identitas pemberi kerja TKA ;


b. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi
perusahaan yang bersangkutan ;
c. Besarnya upah TKA yang persyaratan jabatan TKA ;
d. Jumlah TKA ;
e. Uraian jabatan dan persyaratan jabatan dibayarkan TKA ;
f. Lokasi kerja ;
g. Jangka waktu penggunaan TKA ;
h. Penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping
TKA yang dipekerjakan ; dan
i. Rencana program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.

(3) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

(1) Untuk mendapatkan pengesahaan RPTKA untuk pekerjaan yang bersifat


darurat dengan jangka waktu tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, pekerja
TKA harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf a dan huruf b serta Pasal 5 ayat (2) huruf a.

(2) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

Pasal 7

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f, ayat (2)
huruf b huruf h, dan huruf i tidak berlaku bagi usaha jasa impresariat.

(2) Bentuk formulir RPTKA untuk usaha jasa impresariat sebagaimana


tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini.

Pasal 8

Permohonan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)


disampaikan kepada Dirjen melalui Direktur.

Pasal 9

(1) Permohonan pengesahaan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5


ayat (1), dilkukan penelitian kelengkapan dokumen.

(2) Dalam hal dokumen permohonan belum lengkap, harus dikembalikan


kepada permohonan dengan memberitahukan kekurangan persyaratan yang
harus dilengkapi pada saat pengajuan permohonan.

(3) Dalam hal dokumen permohonan telah lengkap, Dierjaen atau Direktur
melakukan penilaian kelayakan permohonan penggunaan TKA dengan
berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri dan
memperhatikan kebutuhan pasar kerja nasional.

(4) Dirjen atau Sirektur dapat memanggil pemberi kerja serta berkoordinasi
dengan instansi terkait dalam melakukan penilaian kelayakan penggunaan
TKA
BAB III
PENGESAHAAN RPTKA

Pasal 10

Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai dengan
daftar jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Dirjen atau
Direktur harus menerbitkan keputusan pengesahan RPTKA.

Pasal 11

Penerbitan keputusan pengesahaan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal


10 dilakukan oleh :
a. Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh )
orang atau lebih ;
b. Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50
(lima puluh) orang.

Pasal 12

(1) Keputusan pengesahaan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10


memuat :
a. Alasan penggunaan TKA ;
b. Jabatan dan / atau kedudukan TKA ;
c. Besarnya upah TKA ;
d. Jumlah TKA ;
e. Lokasi kerja TKA ;
f. Jangka waktu pengguanaan TKA ;
g. Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai pendamping ; dan
h. Jumlah TKI yang diperkerjakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku untuk
usaha jasa impresariet.

Pasal 13

RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat diberikan untuk jangka


waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang sama dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.

BAB IV
PERPANJANGAN RPTKA

Pasal 14

(1) Perpanjangna RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diajukan


sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Pengajuan perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan kepada :
a. Menteri dalam hal pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi dan
pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan
lokasi, perrubahan jumlah TKA dan / atau perubahan kewarganegaraan.
b. Kepala insyansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi untuk pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak
mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya
dalam satu wilayah provinsi.

(3) Pengajuan perpanjngan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


harus dilengkapi :
a. Laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan ;
b. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku ;
c. Copy IMTA yang masih berlaku ; dan
d. Copy bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui
Bank yang ditunjuk oleh Menteri.

(4) Bentuk laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran IV Peraturan
Menteri ini.

BAB V
PERUBAHAN RPTKA

Pasal 15

(1) Pemberi kerja TKA dapat mengaujukan permohonan perbahan RPTKA


sebelum berakhirnya jangka waktu RPTKA.

(2) Perubahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ;


a. Penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA ;
b. Perubahan jabatan ; dan/atau
c. Perubahan lokasi kerja.

BAB VI

TATA CARA MEMPEROLEH RPTKA UNTUK PEKERJAAN


YANG BERSIFAT DARURAT DAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Bagian Kesatu
Tata Cara Memperoleh RPTKA untuk
Pekerjaan Yang Bersifat Darurat

Pasal 16

(1) Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA untuk pekerjaan yang bersifat


darurat pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Dirjen melalui Direktur yang dilengkapi alasan penggunaan TKA
dengan melampirkan :
a. Formulir RPTKA yang sudah dilengkapi ;
b. Surat ijin usaha dari instansi yang berwenang ;
c. Akte pengesahan sebagai badan hukum bagi perusahaan yang berbadab
hukum ; dan
d. Keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat.

(2) Pekerjaan yang bersifat dadrurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor usaha yang
bersangkutan.

Pasal 17

Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a memuat :


a. Identitas pemberi kerja TKA ;
b. Jabatan, iuran jabatan dan persyaratan jabatan TKA ;
c. Jumlah TKA ; dan
d. Jangka waktu penggunaan TKA.

Pasal 18

Keputusan pengesahan RPTKA memuat :


a. Alsan penggunaan TKA ;
b. Jabatan dan/atau kedudukan TKA ;
c. Jumlah TKA ;
d. Lokasi kerja TKA ; dan
e. Jangka waktu penggunaan TKA.

Pasal 19

RPTKA dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
dan tidak dapat diperpanjang.

Bagian Kedua
Tata Cara Memperoleh RPTKA
Di Kawasan Ekonomi Khusus

Pasal 20

(1) Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA di kawasan ekonomi RPTKA di


kawasan ekonomi khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada pejabat yang ditunjuk di kawasan
ekonomi khusus dan dilengkapi alasan penggunaan TKA dengan
melampirkan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 5.

(2) Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari
ketentuan Pasal 11.
BAB VII
PERSYARATAN TKA

Pasal 21

(1) TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki ;
b. Bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan kahliannya kepada
tenaga kerja warga negara indonesia khususnya TKI pendamping ; dan
c. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

(2) Dalam hal jabatan yang akan diduduki TKA telah mempunyai standar
kompetensi kerja, maka TKA yang akan dipekerjakan harus memenuhi
standar tersebut.

(3) TKI pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memiliki latar belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki TKA.

BAB VIII
PERIJINAN

Pasal 22

(1) IMTA diberikan oleh Direktur.

(2) IMTA perpanjangan diberikan oleh Direktur atau Gubernur atau


Bupati/Walikota.

Pasal 23

(1) Pemberian kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi
visa (TA-01) dengan melampirkan :
a. Copy keputusan pengesahan RPTKA ;
b. Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan ;
c. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan ;
d. Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan
dipekerjakan ;
e. Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping ; dan
f. Pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
(2) Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (10, Direktur harus menerbitkan rekomendasi(TA-01) dan
menyampaikan kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim),
Direktorat Jenderal Imigrasi dalam waktu selambat-lambatnya pada hari
berikutnya dengan ditembuskan kepada pemberi kerja TKA.
(3) Rekomendasi visa (TA-01) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkan.

(4) Bentuk formulir permohonan IMTA sebagaimana tercantum dalam


LampiranV Peraturan Menteri ini.

Pasal 24

(1) Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat
bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat
pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja
TKA mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
a. Copy draft perjanjian kerja ;
b. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
c. Copy polis asuransi ;
d. Copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa ; dan
e. Foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi,
Direktur menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja.

(3) Jangka waktu berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal 25

(1) Dana kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24


huruf b ditetapkan sebesar US $ 100 (seratus dollar Amerika) per bulan
untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.

(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib
membayar dana kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.

(3) Pembayaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan oleh pemberi kerja TKA dan disetorkan pada rekening
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) pada Bank
Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.

(4) Dana Kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Pemerintah Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pasal 26

(1) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu)
jabatan.

(2) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh
pemberi kerja lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi TKA
yang diangkat untuk menduduki jabatan Direktur atau komosaris bagi TKA
yang diangkat untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di
Perusahaan lain berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

BAB IX
PERPANJANGAN IMTA

Pasal 27

(1) Dalam hal pemberi kerja TKA akan memperpanjang IMTA, maka harus
mengajukan permohonan perpanjangan kepada Direktur atau Gubernur
atau Bupati / Walikota.

(2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh :
a. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah
provinsi.
b. Gubernur atau pejabat yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
c. Bupati/alikota atau pejabat yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota untuk TKA yang lokasi kerjanya
dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-


lambatnya 30 (tiga puluh ) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya
IMTA berakhir.

(4) Permohonan perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan
melampirkan :
a. Copy IMTA yang masih berlaku ;
b. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
c. Copy polis asuransi ;
d. Pelatihan kepada TKI pendamping ;
e. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku ; dan
f. Foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

(5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lengkap,
maka Direktur atau Gubernur atau Bupati atau walikota menerbitkan IMTA
paling lama 3 (tiga) hari kerja.

(6) Bentuk formulir permohonan perpanjangan IMTA sebagaimanan tercantum


dalam Lampiran VI Peraturan Menteri ini.
Pasal 28

(1) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA dengan
ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.

(2) IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud ayat (1) digunakan sebagai


dasar untuk memperpanjang KITAS.

BAB X
IMTA UNTUK PEKERJAAN DARURAT

Pasal 29

(1) Pemberi kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA untuk pekerjaan yang
bersifat darurat wajib mengajukan permohonan IMTA kepada Direktur.

(2) Pekerjaan yang bersifat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(3) Pekerjaan yang bersifat darurat dapat ditetapkan oleh instansi pemerintah
yang membidangi sektor usaha yang bersangkutan.

Pasal 30

a. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 disampaikan kepada


Direktur dengan melampirkan :
b. Rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) ;
c. Copy polis asuransi ;
d. Pas photo TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar ;
e. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang
ditunjuk oleh Menteri ; dan
f. Bukti ijin keimigrasian yang masih berlaku.

Pasal 31

Direktur harus menerbitkan IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29


dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja.

BAB XI
IMTA UNTUK KAWSAN EKONOMI KHUSUS

Pasal 32

(1) Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan ekonomi
khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus.
(2) Tata cara memperoleh IMTA di kawasan ekonomi khusus mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan
Pasal 26.

BAB XII
IMTA UNTUK PEMEGANG KARTU IJIN TINGGAL TETAP (KITAP)

Pasal 33

(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap
wajib mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
a. Copy RPTKA yang masih berlaku ;
b. Copy ijin tinggal tetap yang masih berlaku ;
c. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan ;
d. Copy ijasah atau pengalaman kerja ;
e. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
f. Copy polis asuransi ; dan
g. Pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.

(2)

BAB XIII
IMTA UNTUK PEMANDU NYANYIAN / KARAOKE

Pasal 34

Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu


nyanyi/karaoke wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur.

Pasal 35

Untuk mendapatkan ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, pemberi kerja
TKA harus mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
a. Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke ;
b. RPTKA yang telah dishkan oleh Direktur ;
c. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
d. Copy polis asuransi ; dan
e. Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.

Pasal 36

Jangka waktu yang mempekerjakan sebagai pemandu nyanyi/karaoke diberikan


paling lama 6 (enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
Pasal 37

Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke


disatu tempat kerja, harus mempekerjakan pemandu / karaoke tenaga kerja
warga negara Indonesia yang jumlahnya 5 (lima) kali jumlah pemandu
nyanyi/karaoke TKA.

BAB XIV
ALIH STATUS

Pasal 38

(1) Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau
badan internasional yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya
ke instansi pemeritah atau lembaga pemerintah atau badan internasional
lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi alih status kepada
Direktur.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP.
(3) KITAS/KITAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan sebagai
dasar perubahan IMTA atau penerbitan IMTA baru.

BAB XV
PERUBAHAN NAMA PEMBERI KERJA

Pasal 39

(1) Dalam hal pemberian kerja TKA berganti nama, Direktur menerbitkan
rekomendasi kepada Direktur Jenderah Imigrasi untuk mengubah
KITAS/KITAP.

(2) Pemberi kerja TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
permohonan dengan melampirkan :
a. Copy RPTKA yang masih berlaku ;
b. Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku ;
c. Copy IMTA yang masih berlaku ;
d. Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh
instansi berwenang.

(3) Sebelum rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan,


pemberi kerja TKA terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan
RPTKA kepada Direktur.

(4) KITAS / KITAP yang baru digunakan sebagai dasr perubahan IMTA.
BAB XVI
PERUBAHAN LOKASI KERJA

Pasal 40

Dalam hal pemberi kerja TKA melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi
kerja wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada
Direktur dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.

BAB XVII
PELAPORAN

Pasal 41

(1) Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping
TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur
atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen.

(2) Direktur atau Gubernur atau Bupati / Walikota melaporkan IMTA yang
diterbitkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan
tembusan kepada Dirjen.

BAB XVIII
PENGAWASAN

Pasal 42

Pengawasan terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA dilakukan oleh


pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang –
undangan.

BAB XIX
PENCABUTAN IJIN

Pasal 43

Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA,
Direktur atau Gubernur atau Bupati / Walikota berwenang mencabut IMTA.

BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka :


1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.
KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing ;
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.
KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh ijin mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing ;
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.
KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai
pemandu Nyanyi / Karaoke ;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.
PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ( IMTA) ;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.
PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. PER.07/MEN/III/2006 tentang
Penyederhanaan Prosedur Memperoleh ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing ( IMTA) ;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor.
PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian ijin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing ( IMTA) Kepada Pengusaha Yang Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi Atau Komisaris ;

Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Maret 2008

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd

Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum

ttd

Sumarno, SH. MH
NIP. 730001630

Lampiran - lampiran
Peraturan Mernteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I
Nomor : PER.02/MEN/III/2008.
Tentang Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2010
TENTANG
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 178 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dipandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO


Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry
And Commerce (Konvensi ILO No. 81 Mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309);

5. Undang-Undang ...
- 2 -

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman


Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang


Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4816);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN.

BAB I ...
- 3 -

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :

1. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan


menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan.

2. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang


lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Pusat adalah unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada Kementerian yang menangani urusan di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang


lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Provinsi adalah unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi yang
menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup


tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/
Kota yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pegawai ...
- 4 -

5. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut


Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang
diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

6. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan.

Pasal 2

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dalam satu kesatuan sistem


pengawasan ketenagakerjaan yang terpadu, terkoordinasi, dan
terintegrasi yang meliputi :
a. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan;
b. Pengawas Ketenagakerjaan; dan
c. Tata cara pengawasan ketenagakerjaan.

BAB II
UNIT KERJA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 3
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Untuk ...
- 5 -

(2) Untuk menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di lingkungan organisasi
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dibentuk
jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan.

(3) Ketentuan mengenai pembentukan unit kerja pengawasan


ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 4
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/
Kota dalam melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan didukung
dengan sarana dan prasarana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 5
(1) Pengawasan ketenagakerjaan oleh unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dilaksanakan secara terkoordinasi.

(2) Koordinasi ...


- 6 -

(2) Koordinasi antar unit kerja pengawasan ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Koordinasi Tingkat Nasional;
b. Koordinasi Tingkat Provinsi.

Pasal 6
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenaga-
kerjaan pada Pemerintah Pusat menyelenggarakan rapat
Koordinasi Tingkat Nasional yang dihadiri oleh seluruh unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Dalam rapat Koordinasi Tingkat Nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat, dapat
mengikutsertakan instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain
yang dipandang perlu.

Pasal 7
Hasil rapat Koordinasi Tingkat Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 menjadi pedoman pelaksanaan Koordinasi Tingkat
Provinsi.

Pasal 8 ...
- 7 -

Pasal 8
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenaga-
kerjaan pada Pemerintah Provinsi menyelenggarakan rapat
Koordinasi Tingkat Provinsi yang dihadiri seluruh unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan,
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Dalam rapat Koordinasi Tingkat Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi, dapat
mengikutsertakan instansi Pemerintah dan instansi Pemerintah
Daerah terkait dan/atau pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 9
(1) Hasil rapat Koordinasi Tingkat Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, menjadi pedoman pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/
Kota dapat melaksanakan rapat kerja teknis operasional.

Pasal 10 ...
- 8 -

Pasal 10
(1) Hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/
Kota dilaporkan kepada Bupati/Walikota.
(2) Bupati/Walikota melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan di wilayahnya kepada Gubernur.

Pasal 11
(1) Hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Provinsi
dilaporkan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenaga-
kerjaan di wilayahnya kepada Menteri dengan tembusan kepada
Menteri Dalam Negeri.

Pasal 12
Menteri melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan
secara nasional kepada Presiden.

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi unit kerja pengawasan


ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan tata cara
pelaporan pengawasan ketenagakerjaan diatur oleh Menteri dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III ...


- 9 -

BAB III

PENGAWAS KETENAGAKERJAAN

Pasal 14

(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh Pengawas


Ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen.

(2) Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 15

(1) Dalam rangka memenuhi kebutuhan Pengawas Ketenagakerjaan


dilakukan pengadaan Pengawas Ketenagakerjaan.

(2) Pengadaan Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), dilaksanakan melalui :
a. Pengadaan Pegawai Negeri Sipil baru sebagai Pengawas
Ketenagakerjaan;
b. Pendayagunaan Pegawai Negeri Sipil menjadi Pengawas
Ketenagakerjaan.
(3) Pengadaan Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

(1) Menteri menetapkan Rencana Kebutuhan Pengawas Ketenaga-


kerjaan secara nasional.

(2) Penetapan ...


- 10 -

(2) Penetapan Rencana Kebutuhan Pengawas Ketenagakerjaan


secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya
Peraturan Presiden ini dan disesuaikan secara berkala 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Kebutuhan Pengawas
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 17
(1) Dalam rangka memenuhi Pengawas Ketenagakerjaan yang
berdaya guna dan berhasil guna dilakukan peningkatan kualitas
Pengawas Ketenagakerjaan.
(2) Peningkatan kualitas Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 18
Instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat melakukan pembinaan
fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 19
(1) Pengawas Ketenagakerjaan bertugas melaksanakan pengawasan
ketenagakerjaan.
(2) Selain ...
- 11 -

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas


Ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 20
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengawas Ketenaga-
kerjaan wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

Pasal 21
Ketentuan mengenai hak, kewajiban, tugas dan wewenang Pengawas
Ketenagakerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB IV

TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 22

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang


lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenaga-
kerjaan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota menyelenggarakan pengawasan
ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangannya, yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan.

(2) Tata cara …


- 12 -

(2) Tata cara pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 23
(1) Dalam hal terjadi permasalahan atas pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota yang
berdampak nasional atau internasional, maka unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Pusat melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara berkoordinasi dengan instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota dimana
permasalahan tersebut terjadi.

BAB V
PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 24
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Pusat melakukan pembinaan pengawasan
ketenagakerjaan kepada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Dalam …
- 13 -

(2) Dalam rangka pembinaan terhadap unit kerja pengawasan


ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/
Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
melimpahkan pelaksanaannya kepada Gubernur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25
Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dimaksudkan untuk mendukung kemampuan unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan pengawasan
ketenagakerjaan yang menjadi kewenangannya.

Pasal 26
Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 meliputi bidang :
a. kelembagaan;
b. sumber daya manusia Pengawas Ketenagakerjaan;
c. sarana dan prasarana;
d. pendanaan;
e. administrasi;
f. sistem informasi pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 27…
- 14 -

Pasal 27

Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 26 dilaksanakan melalui :
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. penyuluhan;
d. supervisi dan pemantauan;
e. sosialisasi;
f. pendidikan dan pelatihan;
g. pendampingan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan;
h. kegiatan lain dalam rangka pembinaan.

Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengawasan ketenaga-
kerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
dan Pasal 27, diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 29
(1) Apabila unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota belum juga mampu
setelah dilakukan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan, maka
untuk sementara pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Pusat.
(2) Unit kerja …
- 15 -

(2) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup


tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Pusat menyerahkan kembali urusan pengawasan
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota telah mampu menyelenggarakan
pengawasan ketenagakerjaan.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan


ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB VI
JARINGAN INFORMASI PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN
Pasal 30
Dalam rangka pengawasan ketenagakerjaan dibentuk jaringan informasi
pengawasan ketenagakerjaan sebagai satu kesatuan sistem informasi
pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 31

Jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan mempunyai fungsi :


a. sebagai sarana pelayanan informasi;
b. meningkatkan penyebarluasan dan pemahaman pengetahuan di
bidang pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 32 ...
- 16 -

Pasal 32

(1) Jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan terdiri dari :


a. pusat jaringan;
b. anggota jaringan.

(2) Pusat jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a


adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Pusat.

(3) Anggota jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b


adalah :
a. unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi;
b. unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 33

Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup


tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Provinsi bertindak sebagai pusat jaringan di Provinsi
dengan anggota jaringan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 34 ...
- 17 -

Pasal 34

Ketentuan mengenai bentuk, isi, dan pengelolaan data dan informasi


dalam jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan diatur lebih
lanjut oleh Menteri.

Pasal 35

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang


lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenaga-
kerjaan pada Pemerintah Pusat sebagai pusat jaringan
mempunyai tugas melakukan pembinaan, pengembangan,
pemantauan kepada anggota jaringan informasi pengawasan
ketenagakerjaan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 36
(1) Pihak lain dapat menjadi anggota jaringan informasi
pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
menjadi anggota jaringan informasi pengawasan ketenaga-
kerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
Menteri.

Pasal 37 ...
- 18 -

Pasal 37

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan jaringan informasi


pengawasan ketenagakerjaan dibebankan kepada anggaran pusat
jaringan dan masing-masing anggota jaringan informasi pengawasan
ketenagakerjaan.

BAB VII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 38

(1) Dalam rangka pengawasan ketenagakerjaan, Menteri dapat


melakukan :
a. kerjasama internasional di bidang pengawasan ketenaga-
kerjaan;
b. pemberian penghargaan; dan
c. pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VIII ...


- 19 -

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Maret 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
--

Departemen Tcnaga Kerja RI

Direktorat JendraJ Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan

Ketenagakerjaan

.n. Jenderal Gatot Subroto Kav. No. 51 JAKARTA

Kotak Pos ·H172 Jak. 1204S Telp. 5255733 Pcs. 600, Fax (021) 5253913

Jakarta. 17 April 1997


'.omor • 13 20() HW ! 997
Lampiran Kep;lda
Peri hal : Pelaksanaan perhitungan upah ')"th Para Kanwil Depnaker
Apabila pcker)a l11angkll' dl
~~_: I I I ~ !!_O1\iE_"
...t:.:...:..1 SJ,;\,

Sejak cliterbitkann~ a Pcratllran \1enteri Tenaga Kcrja No. 1)1:J{-03/ME0JiI997


lentang Upah Minimum RegionaL mllncul beberapa pertanyaan mengenai perhitungan
upah yang tidak clibayar pacla saat pekeI:J3 mangkir. Oleh karena itll untllk
menghindarkan timbllillya perbedaan i yang clapat mcnimbulkan keranellan dalam
pelaksanaan ditingkat rerusahaan. rer1u diberikan penielasan sebagai hcnkut •

Dalam Pasal 4 PP 1\)8 i telltang Periindungan Upah. dll1yatakan bah\!;·a • "Upah


pekerja tidak dibayar bila buruh (pekerja) ticlak Illclakukan pekerjaan" Ketentuan
tersebut herlaku bagi selurllh pekerja tanpa membeclakan status ..~aat pekeI:la tidak
melakukan pekerjaan bukan disebabkan oleh kelalaian pengllsai1a atau bll'cna
ditentukan oleh Peraturan Perundallgan.
Dengan penctapan Minimulll Regional seCClm buianan. maka rada prinsipnya
pekerja harus bekerja penuh sesLIai jumlah hari kerja clalarn :,ehllian agar dapat
rncrnperoleh sebulan. sehingga rekerja dapat memenuhi kehlltuhannYH selamCl
sebulan. ()Ieh sebelh itu arahila rckerl<l mangkir mab p;lda asa;!l pek mang:kir
tcrsebUl upah tidak dibayarkem Jcngan rerhitungail .
a. Apabila sistern \\aktu ker!Cl yang hiasa berlaku di pel'usahaan 6 (cnarn) Inri dalam
scminggu, upah tidak dibavarkan sebesar /125 x upab sehll/an IInlllk seliap
hari mangkir. .
h. Apabila sistcrn waktu kerja yang biasa berlaku di perusahaan '\ (lima) hari dalam
seminggu. upah yang tidak dibayarkan sebcsar 1121 x upah sehilian unluk seliap
hari mangkir.
3. Dalam hal perusahaan I11cnycpakati besarnya upah yang tidak dihayarkan 1130 . \
upah sehu/an untuk seliap hari mangkir, maka hasil kesepakatan tersebut supaya
dituangkan dalam Kesepakatan Kerja, Pcraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama.
Sebelum perhitungan upah yang lidak dibayarkan pada saal mangkir lersebut
dilaksankan. supa:-a lerlebih dahulu dilakukan penjelasan kepada para pekclja secara
tenulis dan pcnjeiasan lisan.

Denllkian dlsarnpaikan untuk dlpedomanl.

Direktur Jendral
Pell1binaan , Ilihungan 'nduslrial
clan Pengawi\s<Jn Kelenagakcrjaan

DRS l.I W /\ RJ
l\: I P 1600' 1300

I. Bapak Menteri Tenaga KerJa i sebagui laporan L


2. Sekjen Depnaker lp K Birc) HukUJll:
3. Pertinggal

!ndHSino! NehlflOI; /)tjJUrfmenf


Department of Manpower Republic of Indonesia

Directorate General of Manpower Fostering and Manpower Supervision

.11. Jenderal Gatot Subroto Kav. No. 51 JAKARTA

Kotak Pos 4872 Jak. 12048 Telp. 5255733 Pes. 600, Fax (021) 5253913

Jakarta, 17 Apri I 1997

Nomor • [3.200 i [3W i 1997 10


Attachment Ilonorably
Regarding Implementing \Vage all heads of RegIOnal Offices of
Calculation When the Manpower Department
workers fail to report to
work
THROUGHOUT INDO"JESIAt

Since the issuance or Regulation of the rvlinister of \1anpower No. PER­


03!MEN/1997 regarding onai /\"linirnurn \Vage, some questions \evere raised relating
to calculation of unpaid \\agc when the \'\'orkers are absent from wurk. It is therefore to
avoid possible discrepancIes or perception to happen which might lead to confusion in
implementing the said calculation in the company level, the following explanation is
necessary.

I. In Article 4 PI) 8/1981 regarding Protection of Wage, it is stipulated that: "'I'he


workers wages shall not paid when the workers do not perj()l"In their job". This
regulation shall apply to all workers disregarding their status, when they do not carry
out their job not because of' the employer's negligence or regulation as referred to in
Manpower Regulation.
2. By the fixing of Regional Minimum Wage on a monthly basis. then to receive
monthl) v,age. basically the workers shall be required to work in f'LlIl in accordance
with number or working days per mon1h. so that the \vorkers are able to fulfill their
needs for a month. Therefore. If the workers are absent from work. wage for number
of the absent days shall not be paid with the following calculation.
a. If a system of normal working hours in a company is 6 (six) Jays a week, then
total unpaid wage shall be 1/25 x monthly wage per number of absent day
b. If a system of normal working hours in a company is 5 (five) days a week, total
unpaid wage shall be 1/21 x mol1lhly wage per number of abseil I days.
3. In the event that the company reaches a consensus that total unpaid wage is 1/30 x
monthly wage per number of absel1l days, then it is recommended that the result of
such consensus to be inserted in the Employment Agreement Company Rules and
Regulations or Joint Employment Agreement.

iodl! ~(rral I?eralion UeparlllJelll


Prior to the implementation of calculation of unpaid wage, it is deemed neeessary to
brief all workers verbally and in written.

This is for your cognizance for a reference.

Dlrektor General of
Industrial Relations Fostering and
:v1anpovver Supervision

NIP. 160011300

I. The Minister of \ianpl)\\t:r and I ransmigration (as a report):


2. Secretariat General ut Vlailp(l\\cr Dcpartmcnt lor the aitentiol1 01 llead ur] ,ega]
Bureau;
3. Archive

luell/sfrw! Nelo/lOnl i)(!parftJIt!nl


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER.05/MEN/III/2010
TENTANG
BANTUAN KEUANGAN BAGI TENAGA KERJA
PESERTA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk meningkatkan jumlah manfaat dan jangkauan


pelayanan pemberian bantuan keuangan bagi tenaga kerja
peserta program jaminan sosial tenaga kerja yang mengalami
pemutusan hubungan kerja, maka perlu menyempurnakan
ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER. 31/MEN/IX/2006 tentang Bantuan Keuangan
Bagi Tenaga Kerja Peserta Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dengan
Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial


Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3468);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3520) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4961);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang


Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 59);

4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

5. Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor: KEP-


247/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Dana Peningkatan
Kesejahteraan Peserta (DPKP);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG BANTUAN KEUANGAN BAGI
TENAGA KERJA PESERTA PROGRAM JAMINAN SOSIAL
TENAGA KERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA.

Pasal 1

Tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja yang mengalami pemutusan
hubungan kerja diberi bantuan keuangan dari PT. Jamsostek (Persero).

Pasal 2

Untuk mendapat bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tenaga


kerja program jaminan sosial tenaga kerja harus mengajukan permohonan dan
memenuhi syarat:

a. telah menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja sekurang-kurangnya


selama 1 (satu) tahun secara terus menerus;
b. belum timbul hak Jaminan Hari Tua;
c. upah terakhir yang diterima maksimal sebesar 20% di atas Upah Minimum
Provinsi setempat dalam hal di suatu provinsi ditetapkan Upah Minimum Provinsi;
atau
d. upah terakhir yang diterima maksimal sebesar 20% di atas Upah Minimum
masing-masing kabupaten/kota dalam hal di suatu provinsi tidak menetapkan
Upah Minimum Provinsi; atau
e. upah terakhir yang diterima maksimal sebesar 20% di atas Upah Minimum
Kabupaten/Kota setempat dalam hal di suatu provinsi menetapkan Upah Minimum
Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota;
f. adanya penetapan pemutusan hubungan kerja dari Pengadilan Hubungan
Industrial atau Perjanjian Bersama (PB) yang telah didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial;
g. belum pernah mendapat bantuan keuangan pemutusan hubungan kerja dari PT.
Jamsostek (Persero).

2
Pasal 3

(1) Permohonan bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal
2 diajukan oleh tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja ke PT.
Jamsostek (Persero) di mana tenaga kerja yang bersangkutan terdaftar dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tenaga kerja memperoleh penetapan pemutusan
hubungan kerja.

(2) Penetapan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas putusan Pengadilan Hubungan Industrial atau adanya Perjanjian
Bersama yang telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.

(3) Permohonan bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tenaga kerja yang
bersangkutan memperoleh penetapan pemutusan hubungan kerja.

Pasal 4

(1) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar Rp.
500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

(2) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan langsung
kepada tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja yang
bersangkutan.

(3) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan hanya 1 (satu)
kali selama tenaga kerja menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja.

(4) Dana bantuan keuangan pemutusan hubungan kerja dibebankan pada anggaran
Dana Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (DPKP) PT. Jamsostek (Persero) sesuai
dengan anggaran tahun yang bersangkutan.

(5) Pelaksanaan pembayaran bantuan keuangan pemutusan hubungan kerja


selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah permohonan sebagaimana dimaksud
Pasal 3 ayat (1) diterima oleh PT. Jamsostek (Persero).

Pasal 5

Tata cara pembayaran bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Direksi PT. Jamsostek (Persero).

Pasal 6

PT. Jamsostek (Persero) wajib melaporkan pelaksanaan Peraturan Menteri ini setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 7

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER. 31/MEN/IX/2006 tentang Bantuan Keuangan Bagi Tenaga
Kerja Peserta Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Yang Mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

3
Pasal 8

Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR. M.Si.

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Maret 2010

MENTERI HUKUM DAN HAM,

ttd

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 145

4
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 TAHUN 2002
TENTANG
RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa anak Indonesia baik sebagai individu maupun sebagai


generasi penerus bangsa harus dijaga pertumbuhan dan
perkembangannya sehingga anak dapat berkembang secara
wajar baik fisik, mental, sosial, dan intelektualnya;

b. bahwa bekerja bagi anak terutama pada jenis pekerjaan -


pekerjaan yang terburuk sangat membahayakan bagi anak dan
akan menghambat anak untuk tumbuh dan berkembang secara
wajar disamping sangat bertentangan pula dengan hak asasi
anak dan nilai -nilai keman usiaan yang diakui secara universal;

c. bahwa Indonesia telah mengesahkan ILO Convention No.


182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the
Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO
Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk -Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak)
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000;

d. bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182 tersebut


mengamanatkan untuk menyusun dan melaksanakan Program
Aksi Nasional untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;

e. bahwa sehubungan dengan hal -hal sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu
menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-
Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan Keputusan
Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO


Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate
Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour
(Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nom or 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

5. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi


Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL


PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK
UNTUK ANAK.

Pasal 1

Menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk


Pekerjaan Terburuk Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 2

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan


Terburuk Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan Presiden ini merupakan pedoman bagi pelaksanaan
Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak.

Pasal 3

Keputusan Presiden i ni mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Agustus 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang -undangan II

ttd

Edy Sudibyo
LAMPIRAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 59 Tahun 2002
TANGGAL :13 Agustus 2002

RENCANA AKSI NASIONAL


PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN
TERBURUK UNTUK ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti.
Pekerja anak tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja
anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian,
perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan
keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan,
rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industri rumahan
atau industri keluarga) maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu
atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat
dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan


pekerja anak tersebut. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, faktor kemiskinan
dan kondisi ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang mendorong keberadaan
pekerja anak.

Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang buruk di


Indonesia, namun demikian keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih
dijajah oleh Pemerintah Belanda.

Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak jaman Pemerintahan
Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-
undangan yang mengatur soal pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun,
upaya -upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak
yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih
menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus
ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan


Belanda tersebut antara lain :

1. 1. Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925 yang intinya melarang anak di bawah
umur 12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan:

1. a. di pabrik pada ruangan tertutup di mana biasanya dipergunakan


tenaga mesin;
2. b. di tempat kerja ruangan tertutup yang biasanya dilakukan
pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama;
3. c. pembuatan, pemeliharan, perbaikan dan pembongkaran jalan
tanah, penggalian, perairan dan bangunan serta jalan-jalan;
4. d. pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran, dan
pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan galangan kapal
maupun di stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan,
di tempat penyimpanan dan gudang kecuali jika membawa dengan
tangan;
5. e. larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam
atau untuk keperluan perusahaan.

2. 2. Ordonansi Tahun 1926, Staatsblad Nomor 87 melarang mempekerjakan


anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila
ia bekerja di bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai
derajat ketiga;

3. 3. Regeringsverordening Tahun 1930 Staatsblad Nomor 341 melarang anak


usia di bawah 16 (enam belas) tahun untuk melakukan pekerjaan pada
bangunan di atas tanah.

Setelah Indonesia merdeka, kebijakan perlindungan anak yang bekerja ditandai


dengan terbitnya Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 yang melarang anak bekerja
pad a malam hari, dan Undang -undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 yang melarang orang
laki-laki maupun perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah melakukan
pekerjaan.
Sekalipun telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 tersebut,
namun dalam prakteknya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang dimaksud
tidak berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam
pelaksanaan perlindungan dan pelarangan untuk mempekerjakan anak adalah
Staatsblad sebagaimana tersebut di atas.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan mengenai perlindungan dan
pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang -undangan
lainnya, diantaranya adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksan aan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 (tujuh) tahun
sampai dengan 15 (lima belas) tahun mendapatkan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dasar. Dengan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
secara tidak langsung diharapk an dapat mengurangi pekerja anak. Peraturan
perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dirasakan masih
kurang memadai, sehingga Pemerintah meratifikasi Konvensi tentang Hak -hak
Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on Rights of Child.
Selanjutnya, untuk lebih melindungi hak-hak anak maka Indonesia meratifikasi
beberapa Konvensi ILO yaitu dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999
tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for
Admission to Employment (Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Untuk
Diperbolehkan Bekerja), dan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000
tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and
Immediate Action for the Elimination for the Worst Forms of Child Labour (Konvensi
ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak).
Pekerja anak merupakan masalah bagi semua pihak dan bersifat multi sektoral,
sehingga kebijakan penanggulangan pekerja anak merupakan kebijakan lintas
sektor. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk terus menerus mengurangi
jumlah pekerja anak, namun demikian dengan kondisi perekonomian yang belum
kondusif upaya tersebut belum mencapai hasil yang menggembirakan. Bahkan
perkembangan masalah sosial yang semakin kompleks, mendorong pekerja anak
terpuruk pada jenis -jenis pekerjaan terburuk.
Sejalan dengan hal tersebut dan sebagai pelaksanaan Ratifikasi Konvensi ILO
Nomor 182 tersebut, maka disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-
Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak disusun dengan melibatkan
berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001.
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya
data yang meyakinkan semua pihak tentang jumlah dan besaran masalah pekerja
anak pada pekerjaan terburuk. Hal ini tentunya dapat dimengerti, mengingat
kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan berbeda-beda antara
satu daerah dengan daerah yang lain.
Yang dimaksud dengan bentuk -bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No.
182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of the
Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaaan Terburuk Untuk Anak)
adalah :

1. a. segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti


penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan
(serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak
secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2. b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk
produksi pornografi, atau untuk pertunjukan -pertunjukan porno;
3. c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang,
khususnya untuk produksi dan perdagangan obat- obatan sebagaimana diatur
dalam perjanjian internasional yang relevan;
4. d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat
membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang


Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-
anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam
bentuk:

1. 1. Anak-anak yang dilacurkan;


2. 2. Anak-anak yang bekerja di pertambangan;
3. 3. Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara;
4. 4. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi;
5. 5. Anak-anak yang bekerja di jermal;
6. 6. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah;
7. 7. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang
menggunakan bahan-bahan peledak;
8. 8. Anak yang bekerja di jalan;
9. 9. Anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga;
10. 10. Anak yang bekerja di industri rumah tangga;
11. 11. Anak yang bekerja di perkebunan;
12. 12. Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan
kayu;
13. 13. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan
bahan kimia yang berbahaya.

B. Tantangan bagi Aksi Penghapusan Bentuk -bentuk Pekerjaan Terburuk :

Tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk


anak, yaitu :

1. 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang
pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis
pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak.

2. 2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk


untuk anak.

3. 3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya


masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

4. 4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan


bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun
Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota).

1. 5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam


penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

2. 6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan


dalam aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

3. 7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka


penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
4.
5.
BAB II

KEBIJAKAN NASIONAL PENGHAPUSAN


BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

1. A. TUJUAN
Hakekat dan tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak adalah mencegah dan menghapus bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak yang ada di Indonesia.

2. B. Visi dan Mis i

Visi :

Anak sebagai generasi penerus bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan


terburuk sehingga dapat tumbuh kembang secara wajar dan optimal baik fisik,
mental, sosial maupun intelektualnya.
Misi :

1. 1. Mencegah dan menghapus segala bentuk per budakan atau praktek


sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan
perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk
pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik
bersenjata;
2. 2. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran
anak untuk pelacuran, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno;
3. 3. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran
anak untuk kegiatan haram atau terlarang, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional;
4. 4. Mencegah dan menghapus pelibatan anak dalam produksi atau penjualan
bahan peledak, penyelaman air dalam, pekerjaan-pekerjaan di anjungan lepas
pantai, di dalam tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang
sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan atau moral anak.

C. Kelompok Sasaran

1. 1. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk;


2. 2. Semua pihak yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak
untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk.

D. Kebijakan Nasional

Mencegah dan menghapus bentuk -bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara
bertahap.

E. Strategi

Kebijakan Nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh,


dengan strategi :
1. 1. Penentuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara
bertahap

Penentuan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan besaran dan


kompleksitas masalah pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk
serta berbagai sumber yang tersedia untuk melaksanakan program
penghapusannya.

2. 2. Melibatkan semua pihak di semua tingkatan

Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk merupakan


masalah bangsa. Tidak ada satu pihakpun yang merasa mampu
menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendirian. Oleh karena itu
pelibatan semua pihak dalam program penghapusan bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak merupakan kunci keberhasilan.

3. 3. Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam


negeri

Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan dalam penghapusan


bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka penggalian, pengembangan dan
pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang dimiliki oleh Pemerintah
Pusat dan Daerah maupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara
maksimal.

4. 4. Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagai negara dan lembaga


internasional

Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman dalam


pelaksanaan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka
kerjasama dan bantuan teknis dari berbagai negara dan lembaga internasional
diperlukan.

BAB III
PROGRAM AKSI

Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih
menunjang pencapaian program-program aksi tersebut rencana aksi nasional dibagi dalam
beberapa tahapan. Tahapan program-program dimaksud yaitu:

a. tahap pertama, sasaran yang ingin dicapai setelah 5 (lima) tahun yang pertama;
b. tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun;
c. tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun.

Secara lebih rinci pentahapan tersebut adalah sebagai berikut :

1. A. Tahapan Program
1. Tahap Pertama
Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah:

1. a. tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan


terburuk untuk anak;
2. b. terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
dan upaya penghapusannya;
3. c. terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman
air dalam, pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di
pertambangan, pekerja anak di industri alas kaki, pekerja anak di industri dan
peredaran narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.
2. Tahap Kedua

Sasaran yang ingin dicapai setelah 10 tahun adalah :

4. a. replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak


yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di daerah lain;
5. b. berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak lainnya;
6. c. tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3. Tahap Ketiga

Sasaran yang ingin dicapai setelah 20 tahun adalah :

7. a. pelembagaan gerakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk


untuk anak secara efektif;
8. b. pengarusutamaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
1. B. Kegiatan Tahap Pertama

1. 1. Penelitian dan Dokumentasi

Program pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk


pekerjaan terburuk untuk anak disusun atas dasar besaran, kualitas dan lokasi
masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai
anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat pada
bentuk pekerjaan terburuk. Jangkauan penelitian dan dokumentasi untuk pekerja
anak dapat diperluas, yang meliputi :

1. a. data statistik mengenai pekerja anak yang dimulai dari usia 10 tahun keatas;
2. b. data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 tahun yang terlibat
dalam bentuk pekerjaan terburuk;
3. c. data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis
kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian.

2. 2. Kampanye Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk


Anak
Informasi mengenai bentuk -bentuk pekerjaan terburuk sangat menunjang
keberhasilan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Program
penyebarluasan informasi meliputi kegiatan :
1. a. menyebarluaskan informasi tentang bentuk -bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak kepada masyarakat luas;
2. b. memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak;
3. c. sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak;
4. d. mendorong peranan media massa dalam penyebaran informasi baik di
tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

3. 3. Pengkajian dan Pengembangan Model Penghapusan Bentuk-bentuk


Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Guna menunjang keberhasilan program penghapusan bentuk -bentuk pekerjaan


terburuk untuk anak perlu dilakukan kajian serta pengembangan model, sehingga
penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian
yang dilakukan meliputi :

1. a. lembaga -lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak;


2. b. karakteristik bentuk pekerjaan terburuk bagi anak;
3. c. model -model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
yang mencakup antara lain cara advokasi, bantuan langsung, pemulihan,
dan reintegrasi dengan b asis masyarakat;
4. d. panduan replikasi model;
5. e. panduan bagi pekerja sosial pendamping;
6. f. panduan pemantauan dan evaluasi.

4. 4. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No.


182 Con cerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The
Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
dilaksanakan dan ditindaklanjuti de ngan harmonisasi peraturan perundang -
undangan yang meliputi :

1. a. menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang


membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak;
2. b. menetapkan bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk merupakan
tindak pidana.
3. c. merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam
pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak, baik secara pre-emptif, preventif maupun represif.

5. 5. Peningkatan Kesadaran dan Advokasi


Peningkatan kes adaran dan advokasi sangat penting dalam mempercepat tindakan
segera dan pelarangan bentuk -bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan
peningkatan kesadaran dan advokasi meliputi :

1. a. penyusunan metode dan modul sosialisasi Rencana Aksi Nasional


Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
2. b. sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
3. c. membangun sistem pengaduan masyarakat bagi kasus-kasus
pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk.

6. 6. Penguatan Kapasitas

Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan sumber daya manusia dalam mengelola
program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
cara-cara pelarangan dan tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring
kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan, kerjasama teknis antar
instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga
swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan
masyarakat dan keluarga dilaksanakan pada tingkat Nasional, Propinsi,
Kabupaten/Kota.

7. 7. Integrasi Program Penghapusan Pekerja Anak dalam Institusi Terkait

Anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
memerlukan bimbingan dan dukungan sosial, pelayanan kesehatan maupun
keuangan agar kembali dalam masyarakat (keluarga dan lingkungannya).
Untuk itu membebaskan anak dari bentuk -bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
harus terintegrasi dengan upaya-upaya lain agar anak tidak kembali pada bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya integrasi dilakukan melalui :

1. a. penetapan kebijakan di Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, maupun


Pemerintah Kabupaten/Kota;
2. b. perencanaan terpadu;
3. c. koordinasi lintas sektor maupun lintas fungsi.

2. C. Kegiatan Tahap Kedua dan Ketiga

Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap
pertama. Demikian pula kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang
dicapai dalam tahap kedua.
6.
7.
BAB IV

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat
maupun daerah, lembaga swadaya masyarakat, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, organisasi
pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Peran dan tanggung jawab terdiri dari
bidang-bidang sebagai berikut :

14. 1. Bidang Pendidikan

1. a. pengumpulan data tentang anak putus sekolah;


2. b. pemberian kemudahan agar program -program wajib belajar 9 (sembilan)
tahun dapat dijangkau bagi semua lapisan masyarakat;
3. c. pemberian program beasiswa dapat diprioritaskan kepada anak-anak dari
keluarga yang kurang mampu seperti keluarga dimana ibu sebagai kepala
keluarga dan keluarga miskin yang tidak dapat membiayai pendidikan anak -
anaknya;
4. d. perbaikan metode belajar mengajar serta fasilitas tambahan seperti
asrama, dan pelayanan konsultasi psikologi bagi anak-anak yang melakukan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
5. e. pemberian kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi anak -anak
yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
6. f. pemberian pelatihan bagi para pendidik dan pembimbing dalam
menghadapi pekerja anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.

15. 2. Bidang Ketenagakerjaan

1. a. pengumpulan dan penyebarluasan data serta informasi mengenai segala


hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
2. b. pemberian pelatihan serta upaya rehabilitasi dan integrasi program;
3. c. pengkoordinasian pembebasan terhadap pekerja anak serta melakukan
upaya agar mereka tidak kembali bekerja pada bentuk -bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;
4. d. penciptaan dan pelaksanaan program-program pemindahan anak-anak
dari tempat kerja;
5. e. pelaksanaan pemeriksaan tempat-tempat kerja yang rawan akan praktek
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
6. f. pelaksanaan tindakan pembebasan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.

16. 3. Bidang Kesehatan

1. a. pengumpulan data, penelitian, dan pengkajian mengenai dampak buruk


yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan anak yang melakukan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
2. b. penyediaan pelayanan kesehatan bagi anak-anak (termasuk yang telah
keluar dari tempat kerjanya) di sarana-sarana kesehatan;
3. c. penyebarluasan informasi tentang resiko kesehatan bagi anak yang
bekerja kepada pihak-pihak terkait dengan masalah pekerja anak;
4. d. peningkatan kesadaran tentang kesehatan bagi pekerja anak dan
orangtuanya.
17. 4. Bidang Penegakan Hukum

1. a. penyusunan strategi kerjasama dengan Departemen/instansi lintas sektoral


terkait maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membebaskan dan
menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak;
2. b. penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan
pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak di daerah/kewilayahan baik secara pre -emptif, preventif dan represif;
3. c. pengambilan langkah-langkah dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak;
4. d. pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan yang bersifat :
1. Pre-emptif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menetralisasi dan
menghilangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan
bimbingan, penyuluhan, penerangan, dan tatap muka dengan pelaku dan
korban anak yang bersangkutan, orang tua, tokoh agama/masyarakat
dan pendidik;
2. Preventif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan
kesempatan terjadinya peristiwa/kasus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak melalui kegiatan patroli/perondaan, penjagaan baik secara
terbuka maupun tertutup terhadap tempat- tempat/daerah-daerah dan
saat/waktu yang dianggap rawan terjadinya peristiwa/kasus;
3. Represif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang berwenang terhadap
pelaku untuk dapat diajukan ke Penuntut Umum.
e. penuntutan terhadap para pelaku yang melibatkan anak dalam bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
4. f. pelaksanaan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral untuk dapat
mewujudkan keterpaduan sikap dan tindakan dalam penanggulangan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mulai dari tahap perumusan,
pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengend alian.
5. g. pelaksanaan tindak lanjut atas segala pengaduan tentang eksploitasi
pekerja anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

18. 5. Bidang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

1. a. pengevaluasian berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan


dengan pelarangan anak bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak,
2. b. penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada pekerjaan terburuk
untuk anak, dan menyatakan bahwa tindakan melibatkan anak dalam bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan suatu tindak pidana;
3. c. pelaksanaan revisi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
merancang peraturan perundang -undangan yang baru sesuai dengan
konvensi internasional mengenai anak yang telah disahkan;
4. d. pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang -undangan yang berlaku
khususnya yang berkaitan dengan masalah anak.

19. 6. Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi

1. a. pengidentifikasian daerah-daerah yang terdapat ancaman bahaya fisik,


mental, dan perkembangan moral anak;
2. b. penyusunan pengajaran agama dan pendidikan mental spiritual kepada
anak-anak yang mempunyai resiko putus sekolah;
3. c. pensosialisasian dan diseminasi kepada para tokoh agama dan lembaga
agama tentang kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak;
4. d. penyusunan panduan bagi mubalig mengenai pekerja anak dan bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
5. e. pelaksanaan kerjasama denga n para pekerja sosial untuk menjamin anak-
anak tersebut menjalankan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan.
6. f. penyampaian skema pemberian kredit mikro kepada keluarga yang
mempekerjakan anaknya;
7. g. pemberian bimbingan usaha skala kecil dan beru paya membuka akses
pasar yang lebih luas;
8. h. perbaikan sarana perumahan bagi keluarga miskin agar dicapai rumah
bersih dan sehat;
9. i. pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelaksanaan penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

20. 7. Bidang Media

1. a. penyebarluasan informasi tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan


Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
2. b. penyebarluasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
3. c. pen yebarluasan informasi tentang berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Untuk Anak;
4. d. pengupayaan tumbuhnya jurnalis/wartawan yang sensitif terhadap praktek
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

BAB V

PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Dalam rangka menjaga kesinambungan kebijakan dan berbagai program nasional, maka
pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak perlu dinilai ulang secara ber kala.

Pemantauan dan evaluasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk -bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak dilaksanakan oleh Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2001. Pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan
pemantauan dan evaluasi, Komite Aksi Nasional dapat mengikutsertakan segenap lapisan
masyarakat maupun instansi terkait, se hingga dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan


Rencana Aksi Nasional. Pemantauan dan evaluasi dilakukan melalui penyusunan dan
pengembangan :

1. 1. sistem dan mekanisme pemantauan;

2. 2. indikator keberhasilan program;

3. 3. publikasi;

4. 4. pelaporan secara berkala.

BAB VI

PENUTUP

Upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bukanlah hal yang
mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang sing kat, tetapi merupakan suatu proses
yang panjang dan berkelanjutan. Karena itu, upaya tersebut perlu dilakukan secara terus
menerus, berkelanjutan dan terpadu oleh semua pihak yakni pemerintah, organisasi sosial
dan kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat serta semua kalangan dan lapisan
masyarakat secara bersama -sama.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang -undangan II

ttd

Edy Sudibyo
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2000

TENTANG

PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND


IMMEDIATE ACTION
FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR
( KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang


Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,
sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak dilindungi
dari upaya-upaya mempekerjakannya pada pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan
harkat dan martabat manusia atau pekerjaan yang tidak manusiawi;

b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati,


menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Deklarasi Philadelphia
Tahun 1944, Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi
Hak-Hak Anak Tahun 1989;

c. bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang kedelapan puluh tujuh tanggal


17 Juni 1999, telah menyetujui Pengesahan ILO Convention No. 182 concerning The
Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour
(Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak);

d. bahwa konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara
terus-menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu


mengesahkan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action
for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak) dengan Undang-undang;
Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34
Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182


CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION
OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI
PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK).

Pasal 1

Mengesahkan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action
for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 8 Maret 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 8 Maret 2000

Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BONDAN GUNAWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 30

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2000

TENTANG

PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION

AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS

OF CHILD LABOUR ( KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN

DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK

PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK)

I. UMUM

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak
dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh
merampas hak tersebut. Hak asasi anak diakui secara universal
sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia,
Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB
tahun 1959 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1966 tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi PBB Tahun 1989
tentang Hak-Hak Anak. Dengan demikian semua negara di dunia secara
moral dituntut untuk menghormati, menegakkan, dan melindungi hak
tersebut.
Salah satu bentuk hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapat
perlindungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional


atau Internasional Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai,
menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan
lembaga internasional dimaksud.

Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke
delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah
satu Konvensi yang melindungi hak asasi anak.

Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah


meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk
menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konvensi, maka "anak" berarti semua


orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI

1. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum


untuk Diperbolehkan Bekerja merupakan instrumen dasar
tentang kerja anak.

2. Di samping Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 tersebut,


dipandang perlu untuk menyetujui instrumen ketenagakerjaan
yang baru untuk melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk
terburuk dari kerja anak yang akan melengkapi Konvensi ILO
No. 138 Tahun 1973.

3. Konvensi mengenai Hak Anak telah diterima oleh Sidang


Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989.

4. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak telah diatur oleh


instrumen internasional lainnya khususnya Konvensi ILO No. 29
Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi Tambahan PBB
mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan
Lembaga-Lembaga serta Praktek-Praktek Perbudakan atau
Sejenis Perbudakan Tahun 1956.

III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI

1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa


Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan
landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila
khususnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Untuk itu
bangsa Indonesia bertekad melindungi hak asasi anak sesuai
dengan ketentuan Konvensi ini.

2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan


Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia telah menetapkan
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
perlindungan anak.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui


Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
menugasi Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai
instrumen PBB yang berkaitan dengan dengan hak asasi
manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30
September 1990, mengenai Hak-hak Anak. Di samping itu
Indonesia telah meratifikasi 7 (tujuh) Konvensi ILO yang memuat
hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973
mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan
Undang-undang No. 20 Tahun 1999.

4. Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan


perundang-undangan masih dirasakan adanya penyimpangan
perlindungan hak anak. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi
ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk terburuk
dalam praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan
perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga
akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk
tindakan perbudakan dan tindakan atau pekerjaan yang
berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, narkotika, dan
psikotropika. Perlindungan ini juga mencakup perlindungan dari
pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan,
keselamatan atau moral anak-anak.

5. Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan


Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi anak
sebagaimana diuraikan pada butir 4. Hal ini akan lebih
meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan
kepercayaan masyarakat internasional.

IV. POKOK-POKOK KONVENSI

1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib


mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak.

2. "Anak" berarti semua orang yang berusia di bawah 18


(delapan belas) tahun.

3. Pengertian "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" adalah :

(a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis


perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak,
kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja
paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak
secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam
konflik bersenjata;

(b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak


untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk
pertunjukan-pertunjukan porno;

(c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak


untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam
perjanjian internasional yang relevan;

(d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan


itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak-anak.

4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib


menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak.

5. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib


mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat
diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana.

6. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib


melaporkan pelaksanaannya.

V. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya


dalam bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli
Konvensi dalam bahasa Inggris.

Pasal 2

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3941


KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 2 TAHUN 2010


NOMOR : KEP.110/MEN/VI/2010
NOMOR : SKB/07/M.PAN-RB/06/2010
TENTANG
HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2011
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja, hari libur dan cuti bersama
dipandang perlu menata kembali pelaksanaan hari libur nasional dan mengatur cuti
bersama tahun 2011;
b. bahwa penataan kembali hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun 2011
sebagaimana dimaksud pada huruf a menjadi pedoman bagi instansi pemerintah dan
swasta sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2011.

Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-Hari Libur sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1971;
2. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek;
3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara;
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun
Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.

MEMUTUSKAN …
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KESATU : Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2011 adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul
Adha bagi umat Islam, tanggal 1 Ramadhan 1432 H, 1 Syawal 1432 H dan 10
Dzulhijjah 1432 H ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri Agama.

KETIGA : Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan langsung


kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang mencakup kepentingan
masyarakat luas, seperti rumah sakit/puskesmas, unit kerja yang memberikan
pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum, pemadam kebakaran, keamanan dan
ketertiban, perbankan, perhubungan, dan unit kerja pelayanan lain yang sejenis,
agar mengatur penugasan pegawai, karyawan dan pekerja pada hari libur nasional
dan cuti bersama yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

KEEMPAT : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU


mengurangi hak cuti tahunan pegawai, karyawan, dan pekerja sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku pada setiap
instansi/lembaga/perusahaan.

KELIMA : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU bagi
kalangan lembaga atau perusahaan diatur oleh lembaga atau perusahaan yang
bersangkutan.

KEENAM : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juni 2010

MENTERI AGAMA, MENTERI MENTERI NEGARA


TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI,

ttd ttd ttd

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR E.E. MANGINDAAN

LAMPIRAN
LAMPIRAN

KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : NOMOR 2 TAHUN 2010


NOMOR : KEP.110/MEN/VI/2010
NOMOR : SKB/07/M.PAN-RB/06/2010

TENTANG

HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2011

A. HARI LIBUR NASIONAL TAHUN 2011

No. Tanggal Hari Keterangan


1. 1 Januari Sabtu Tahun Baru Masehi
2. 3 Februari Kamis Tahun Baru Imlek 2562
3. 15 Februari Selasa Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 5 Maret Sabtu Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933
5. 22 April Jum’at Wafat Yesus Kristus
6. 17 Mei Selasa Hari Raya Waisak Tahun 2555
7. 2 Juni Kamis Kenaikan Yesus Kristus
8. 29 Juni Rabu Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
9. 17 Agustus Rabu Hari Kemerdekaan RI
10. 30-31 Agustus Selasa - Rabu Idul Fitri 1 dan 2 Syawal 1432 Hijriyah
11. 6 November Minggu Idul Adha 1432 Hijriyah
12. 27 November Minggu Tahun Baru 1433 Hijriyah
13. 25 Desember Minggu Hari Raya Natal

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2011

No. Tanggal Hari Keterangan


1. 29 Agustus Senin Cuti Bersama Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah
2. 1-2 September Kamis - Jum’at Cuti Bersama Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah
3. 26 Desember Senin Cuti Bersama Hari Raya Natal

MENTERI AGAMA, MENTERI MENTERI NEGARA


TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI,

ttd ttd ttd

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR E.E. MANGINDAAN


4
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.11/MEN/VII/2010
TENTANG
WAKTU KERJA DAN ISTIRAHAT DI SEKTOR PERIKANAN
PADA DAERAH OPERASI TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 77 ayat (4) dan Pasal 78


ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dipandang perlu diatur mengenai waktu kerja
dan istirahat di sektor perikanan pada daerah operasi tertentu;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


pada huruf a untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004,
Tambahan Lembaran Negara Tahun 4433);

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010


tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun


2009;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah
Kerja Lembur.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG WAKTU KERJA DAN
ISTIRAHAT DI SEKTOR PERIKANAN PADA DAERAH OPERASI
TERTENTU.

Pasal 1
Ketentuan Umum

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada suatu
periode tertentu.

2. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.

3. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan


pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem
bisnis perikanan.

4. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak
dalam keadaan di budidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

5. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau


membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan /atau mengawetkannya.

6. Daerah operasi tertentu adalah lokasi kegiatan yang berhubungan dengan


penangkapan dan/atau budidaya ikan pada daerah terpencil.

7. Daerah terpencil adalah lokasi tempat kerja yang:


a. lokasi tempat kerja jauh dari tempat permukiman umum;
b. tidak tersedia atau tidak dapat dilalui oleh kendaraan umum/transportasi umum;
c. untuk mencapai lokasi kerja harus menggunakan kendaraan khusus;
d. tidak tersedia pasar, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan; dan
e. kebutuhan hidup sehari-hari harus didatangkan dari daerah lain sehingga harus
disediakan oleh pengusaha/perusahaan.

8. Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan.

9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan lain dalam bentuk lain.

2
10. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.

11. Pengusaha adalah:


a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

12. Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2
Ruang Lingkup

Peraturan Menteri ini meliputi pengaturan waktu kerja dan istirahat bagi pekerja/buruh
yang dipekerjakan oleh pengusaha yang berdomisili di Indonesia yang melakukan
usaha di sektor perikanan pada daerah operasi tertentu.

Pasal 3

(1) Perusahaan di sektor perikanan termasuk perusahaan jasa penunjang yang


melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilih dan menetapkan
salah satu dan/atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan operasional
perusahaan sebagai berikut:
a. Periode kerja 3 (tiga) minggu berturut-turut, dengan ketentuan setelah pekerja
bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut diberikan 1 (satu) hari istirahat serta
4 (empat) hari istirahat setelah pekerja menyelesaikan periode kerja;
b. Periode kerja 4 (empat) minggu berturut-turut bekerja, dengan ketentuan setelah
pekerja bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut diberikan 1 (satu) hari
istirahat serta 5 (lima) hari istirahat setelah pekerja menyelesaikan periode kerja.

(2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua belas) jam sehari
tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.

(3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
wajib membayar upah kerja lembur setelah 7 (tujuh) jam kerja dengan perhitungan
sebagai berikut:
a. Hari kerja biasa:
1) untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 11/2 (satu
setengah) kali upah sejam;
2) untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 (dua)
kali upah sejam.

3
b. Hari libur resmi:
1) untuk setiap jam dalam batas 7 (tujuh) jam sedikit-dikitnya dibayar 2 (dua) kali
upah sejam;
2) untuk jam kerja pertama selebihnya 7 (tujuh) jam harus dibayar sebesar 3
(tiga) kali upah sejam;
3) untuk jam kerja kedua setelah 7 (tujuh) jam dan seterusnya dibayar sebesar 4
(empat) kali upah sejam.

Pasal 4

Pemilihan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3 lebih lanjut diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.

Pasal 5

(1) Pengusaha dapat melakukan penggantian dan/atau perubahan periode kerja


dengan memilih dan menetapkan kembali periode kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.

(2) Pergantian dan/atau perubahan periode kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disepakati terlebih dahulu oleh pekerja/buruh dengan pengusaha.

(3) Pergantian dan/atau perubahan periode kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.

Pasal 6

Dalam hal pekerja/buruh dan pengusaha telah memilih dan menetapkan periode kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ternyata pekerja/buruh dipekerjakan kurang
dari periode kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan, maka pengusaha wajib membayar
upah sesuai dengan periode kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan.

Pasal 7

Dalam hal pekerja/buruh dipekerjakan pada hari libur resmi yang jatuh pada periode
kerja yang telah dipilih dan/atau ditetapkan maka dihitung sebagai bekerja lembur.

Pasal 8

Waktu yang dipergunakan untuk perjalanan pekerja/buruh dari tempat tinggal yang
diakui oleh pengusaha ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apabila perjalanan
tersebut memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih.

Pasal 9

Perhitungan upah dan upah kerja lembur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

4
Pasal 10

(1) Pengusaha menyampaikan laporan pelaksanaan waktu kerja dan waktu kerja
lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setiap 3 (tiga) bulan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat;

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:


a. periode kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan;
b. bagian-bagian yang dipekerjakan lembur;
c. jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan; dan
d. daftar upah kerja lembur.

Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR,M.Si

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2010

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR, SH.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 366

5
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.17/MEN/XI/2010
TENTANG
PERENCANAAN TENAGA KERJA MIKRO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 27, Pasal
38 ayat (2), Pasal 39 ayat (5), Pasal 41 ayat (3), dan Pasal 43 ayat (3),
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Perencanaan Tenaga Kerja Mikro;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 34, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4701);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4741);
5. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi,
Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
6. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PERENCANAAN TENAGA KERJA MIKRO.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Perencanaan Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat PTK, adalah proses


penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
2. Perencanaan Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disebut PTK Mikro, adalah
proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu
instansi/lembaga, baik instansi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja
yang tinggi pada instansi/lembaga atau perusahaan yang bersangkutan.
3. Rencana Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disingkat RTK Mikro, adalah hasil
kegiatan PTK Mikro.
4. Metoda adalah cara kerja yang teratur dan sistematis untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
5. Persediaan pegawai adalah jumlah pegawai pada suatu perusahaan dengan
berbagai karakteristiknya.
6. Kebutuhan pegawai adalah jumlah pegawai yang diperlukan oleh perusahaan
sesuai dengan beban kerja dengan berbagai karakteristiknya.
7. Neraca pegawai adalah keseimbangan atau kesenjangan antara persediaan
pegawai dengan kebutuhan pegawai dengan berbagai karakteristiknya.
8. Program kepegawaian adalah program di bidang kepegawaian sesuai dengan
neraca pegawai, antara lain meliputi perekrutan, seleksi, penempatan,
pemensiunan, pelatihan/kompetensi dan pengembangan, perlindungan,
pengupahan, jaminan sosial dan produktivitas kerja.
9. Jabatan adalah sekumpulan pekerjaan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab
dan wewenang seseorang pegawai dalam perusahaan.
10. Beban kerja adalah sejumlah target pekerjaan atau target hasil yang harus dicapai
dalam satu satuan waktu tertentu.

2
11. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.

12. Pegawai adalah pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
13. Pembinaan adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kemampuan dan
kapasitas sumber daya manusia dalam rangka penyusunan serta pelaksanaan RTK
Mikro.

14. Pemantauan adalah serangkaian kegiatan untuk pengamatan dan identifikasi


penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro.
15. Evaluasi adalah serangkaian kegiatan penilaian terhadap hasil pemantauan
penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dalam waktu tertentu.
16. Laporan adalah penyampaian analisis hasil kegiatan yang dilakukan dalam
penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro.
17. Dinas Kabupaten/Kota adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
18. Dinas Provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.
19. Pusat Perencanaan Tenaga Kerja adalah unit Eselon II Sekretariat Jenderal
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang tugas dan fungsinya melakukan
pembinaan, pemantauan, evaluasi, penyusunan dan pelaksanaan PTK.

20. Sekretariat Jenderal adalah unit Eselon I Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, yang tugas dan fungsinya melaksanakan koordinasi pelaksanaan
tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi dan dukungan teknis
lainnya.
21. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

PTK Mikro bertujuan untuk:


a. menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan perusahaan melalui
pelaksanaan program kepegawaian yang terarah;
b. menjamin perlindungan pegawai, hubungan industrial yang harmonis, peningkatan
kesejahteraan pegawai dan keluarganya, dan menciptakan kesempatan kerja yang
seluas-luasnya.

Pasal 3

RTK Mikro paling sedikit memuat:


a. persediaan pegawai;
b. kebutuhan pegawai;
c. neraca pegawai;dan
d. program kepegawaian.
3
Pasal 4

Tahapan kegiatan PTK Mikro meliputi:


a. penyusunan;
b. metoda penyusunan;
c. tata cara penyusunan laporan hasil pelaksanaan;
d. tata cara pemantauan terhadap penyusunan dan pelaksanaan;
e. evaluasi hasil pemantauan;dan
f. tata cara pembinaan terhadap penyusunan dan pelaksanaan.

BAB II
PENYUSUNAN PTK MIKRO

Pasal 5

Penyusunan PTK Mikro dimaksudkan untuk:


a. mendayagunakan pegawai secara optimal dan produktif;
b. mendukung pencapaian kinerja pegawai dan perusahaan yang tinggi;
c. memudahkan pencapaian visi dan misi perusahaan;
d. membatasi timbulnya permasalahan di perusahaan;
e. menjamin kelangsungan dan pengembangan perusahaan;
f. memperluas kesempatan kerja.

Pasal 6

Tahapan penyusunan PTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,


dilakukan melalui kegiatan:
a. pengumpulan dan pengolahan data kepegawaian;
b. perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai, kebutuhan pegawai, dan neraca
pegawai;
c. analisis persediaan pegawai, kebutuhan pegawai, dan neraca pegawai;dan
d. penyusunan program kepegawaian.

Pasal 7

Pengumpulan dan pengolahan data kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal


6 huruf a, merupakan proses penataan, identifikasi dan penghitungan jumlah pegawai
setiap jabatan dengan berbagai klasifikasi, karakteristik sesuai dengan kondisi dan
rencana pengembangan perusahaan.

Pasal 8

Perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai, kebutuhan pegawai, dan neraca


pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, meliputi:
a. jumlah pegawai setiap jabatan dan karakteristiknya di masa datang;
b. jumlah pegawai setiap jabatan dan karakteristiknya yang dibutuhkan di masa
datang;
c. jumlah pegawai setiap jabatan dan karakteristiknya, dengan membandingkan antara
persediaan pegawai dengan kebutuhan pegawai di masa datang.

4
Pasal 9

Analisis persediaan pegawai, kebutuhan pegawai, dan neraca pegawai sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, meliputi:
a. proses penguraian data pegawai kondisi sekarang berdasarkan jabatan, jumlah dan
karakteristiknya;
b. proses penguraian data pegawai dari hasil perkiraan pegawai yang dibutuhkan di
masa datang menurut jabatan, jumlah dan karakteristiknya;
c. proses penguraian data perbandingan antara persediaan pegawai dengan
kebutuhan pegawai di masa datang menurut jabatan, jumlah dan karakteristiknya.

Pasal 10

Penyusunan program kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d,


merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi kesenjangan antara
persediaan pegawai dengan kebutuhan pegawai berdasarkan neraca pegawai sesuai
dengan hasil analisis baik secara kualitas maupun kuantitas yang menghasilkan
program kepegawaian.

Pasal 11

Pelaksanaan penyusunan PTK Mikro dilakukan oleh unit kerja yang mempunyai tugas
dan fungsi di bidang kepegawaian atau unit lain di perusahaan yang diberikan tanggung
jawab untuk melaksanakan penyusunan PTK Mikro.

BAB III
PENYUSUNAN RTK MIKRO

Pasal 12

Penyusunan RTK Mikro menggunakan cara:


a. pengolahan data kepegawaian;
b. perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai;
c. perkiraan dan perencanaan kebutuhan pegawai;
d. perkiraan dan perencanaan neraca pegawai;
e. penyusunan program kepegawaian.

Pasal 13

(1) Pengolahan data kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a,


menggunakan cara:
a. penataan data;
b. pengidentifikasian data;
c. penghitungan data.

(2) Penataan data kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disusun
berdasarkan:
a. klasifikasi data kepegawaian;
b. karakteristik data kepegawaian.

(3) Pengidentifikasian data kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan untuk menentukan karakteristik dan klasifikasi data pegawai yang
diperlukan dalam penyusunan rencana persediaan pegawai, rencana kebutuhan
pegawai, dan neraca pegawai.

5
(4) Penghitungan data kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan untuk mengetahui jumlah data pegawai yang diperlukan untuk
penyusunan rencana persediaan pegawai dan rencana kebutuhan pegawai.

Pasal 14
(1) Klasifikasi data kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
a, antara lain meliputi bagian:
a. produksi barang dan/atau jasa;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. umum;
e. kepegawaian;
f. pengembangan usaha.
(2) Karakteristik data kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf b, meliputi:
a. jabatan;
b. status pegawai;
c. bidang pendidikan akhir;
d. usia;
e. jenis kelamin;
f. pelatihan/kompetensi;
g. pengalaman kerja.

Pasal 15

Perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal


12 huruf b, dilakukan dengan cara menghitung jumlah pegawai yang telah tersedia,
jumlah pegawai yang berkurang akibat pensiun, mengundurkan diri dan meninggal
dunia, serta rencana kebutuhan pegawai.

Pasal 16

(1) Perkiraan dan perencanaan kebutuhan pegawai sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 huruf c, dihitung berdasarkan beban kerja atau lainnya sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan.

(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan dengan
membandingkan antara jumlah volume kerja terhadap hasil perkalian antara
persentase masuk kerja dengan waktu penyelesaian pekerjaan.

(3) Volume kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditentukan dengan hasil kali
antara target beban kerja dalam skala waktu tertentu dengan norma waktu pada
setiap jabatan.

(4) Persentase masuk kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditentukan dengan
membandingkan antara jumlah hari masuk kerja dengan hari kerja yang tersedia
dikali seratus persen.

(5) Waktu penyelesaian pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan
waktu yang diperlukan oleh pemangku jabatan atau kelompok pemangku jabatan
untuk menghasilkan suatu barang dan/atau jasa.

6
Pasal 17

(1) Perkiraan dan perencanaan kebutuhan pegawai sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 16 ayat (1), disusun berdasarkan syarat jabatan.

(2) Syarat jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat:
a. pendidikan;
b. pelatihan/kompetensi;
c. pengalaman kerja;
d. penggunaan fisik;
e. kondisi fisik;dan
f. psikologi.

(3) Penggunaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi duduk,
berdiri, berjalan dan berbicara.

(4) Kondisi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi jenis kelamin,
usia, tinggi dan berat.

(5) Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, meliputi bakat, temperamen
dan minat.

Pasal 18

(1) Penghitungan beban kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2),
sekurang-kurangnya menggunakan unsur-unsur:
a. uraian tugas jabatan;
b. norma waktu;
c. target beban kerja.

(2) Uraian tugas jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
menggambarkan rincian kegiatan yang dilakukan pada jabatan tersebut.

(3) Norma waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan ukuran
waktu yang diperlukan seorang/sekelompok pegawai untuk melaksanakan tugas
pada setiap jabatan dengan maksud menghasilkan barang dan/atau jasa.

(4) Target beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan
jumlah satuan hasil barang dan/atau jasa yang harus dicapai pada suatu jabatan
dalam satuan waktu tertentu.

Pasal 19

Perkiraan dan perencanaan neraca pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12


huruf d, dilakukan dengan membandingkan antara perkiraan dan perencanaan
kebutuhan pegawai dengan perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai.

Pasal 20

Perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai, kebutuhan pegawai dan neraca


pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilakukan
analisis dengan menguraikan hasil perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai,
perkiraan dan perencanaan kebutuhan pegawai, perkiraan dan perencanaan neraca
pegawai dengan berbagai klasifikasi dan karakteristik.

7
Pasal 21

(1) Penyusunan program kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf


e, dilakukan dengan menentukan rencana kegiatan untuk mengatasi kesenjangan
yang terdapat pada neraca pegawai.

(2) Program kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya


memuat:
a. perekrutan, seleksi, penempatan, serta pemensiunan pegawai;
b. pola pembinaan karir;
c. pelatihan/kompetensi dan pengembangan;
d. perlindungan, dan pengupahan serta jaminan sosial;
e. produktifitas kerja.

Pasal 22

RTK Mikro disusun dengan sistematika sebagai berikut:


a. pendahuluan;
b. kondisi perusahaan;
c. perkiraan dan perencanaan persediaan pegawai;
d. perkiraan dan perencanaan kebutuhan pegawai;
e. perkiraan dan perencanaan neraca pegawai;
f. program kepegawaian;
g. penutup.

Pasal 23

(1) RTK Mikro disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

(2) Setiap tahun RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penilaian
untuk disesuaikan dengan perkembangan perusahaan.

Pasal 24

(1) Penyusunan PTK Mikro dilakukan oleh unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi
di bidang kepegawaian atau unit lain di perusahaan yang diberikan tanggung jawab
untuk menyusun PTK Mikro.

(2) PTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditandatangani oleh pimpinan
perusahaan.

Pasal 25

Untuk mempermudah memperkirakan dan merencanakan persediaan pegawai,


kebutuhan pegawai, dan neraca pegawai di perusahaan dapat dibangun program
aplikasi.

8
BAB IV
TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN
HASIL PELAKSANAAN RTK MIKRO

Pasal 26

(1) Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Perusahaan Swasta, dan
Lembaga Swasta lainnya menyampaikan laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro
kepada Dinas Kabupaten/Kota.

(2) Laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. perekrutan;
b. seleksi;
c. penempatan;
d. pemensiunan;
e. pola pembinaan karir;
f. pelatihan/kompetensi;
g. produktifitas kerja;
h. perlindungan;dan
i. pengupahan serta jaminan sosial pegawai.

(3) Laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disusun dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. hasil pelaksanaan;
c. penutup.

Pasal 27
Hasil pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, secara
berjenjang dilaporkan sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota, laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro disampaikan oleh
Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Provinsi;dan
b. Tingkat Provinsi, laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro disampaikan oleh Kepala
Dinas Provinsi kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 28
Laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro disampaikan selambat-lambatnya pada bulan
Januari tahun berikutnya.

BAB V
TATA CARA
PEMANTAUAN PENYUSUNAN DAN
PELAKSANAAN RTK MIKRO

Pasal 29

(1) Pemantauan dilakukan terhadap:


a. penyusunan RTK Mikro;dan
b. pelaksanaan RTK Mikro.

9
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara:
a. langsung;dan
b. tidak langsung.

(3) Laporan hasil pemantauan RTK Mikro baik langsung maupun tidak langsung dibuat
dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. hasil pemantauan;
c. penutup.

Pasal 30

(1) Pemantauan terhadap penyusunan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap penggunaan metoda penyusunan RTK
Mikro.

(2) Pemantauan terhadap pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 29 ayat (1) huruf b, dilakukan terhadap hasil pelaksanaan program RTK
Mikro.

Pasal 31

(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
huruf a, dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota, oleh Dinas Kabupaten/Kota dengan cara melakukan
kunjungan langsung ke Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
Perusahaan Swasta, dan Lembaga Swasta Lainnya dan hasilnya dilaporkan
kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi;
b. Tingkat Provinsi, oleh Dinas Provinsi dengan cara melakukan kunjungan
langsung ke Dinas Kabupaten/Kota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri;dan
c. Tingkat Pusat, oleh Pusat Perencanaan Tenaga Kerja dengan cara melakukan
kunjungan langsung ke Dinas Provinsi dan hasilnya dilaporkan kepada Menteri
melalui Sekretaris Jenderal.

(2) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
huruf b, dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota oleh Dinas Kabupaten/Kota dengan cara pengamatan
dan identifikasi laporan dari Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Perusahaan Swasta, dan Lembaga Swasta Lainnya dan hasilnya
dilaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Provinsi;
b. Tingkat Provinsi oleh Dinas Provinsi dengan cara pengamatan dan identifikasi
laporan dari Tingkat Kabupaten/Kota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri;dan
c. Tingkat Pusat oleh Pusat Perencanaan Tenaga Kerja dengan cara pengamatan
dan identifikasi laporan dari Tingkat Provinsi dan hasilnya dilaporkan kepada
Menteri melalui Sekretaris Jenderal.

Pasal 32

Pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dilakukan secara berkala baik
langsung maupun tidak langsung paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

10
BAB VI
EVALUASI TERHADAP HASIL PEMANTAUAN

Pasal 33

(1) Evaluasi terhadap hasil pemantauan dilakukan terhadap:


a. penyusunan RTK Mikro;dan
b. pelaksanaan RTK Mikro.

(2) Evaluasi penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. cara penghitungan persediaan pegawai, kebutuhan pegawai dan neraca
pegawai;
b. penyusunan program kepegawaian.

(3) Evaluasi pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. perekrutan;
b. seleksi;
c. penempatan;
d. pemensiunan;
e. pembinaan karir;
f. pelatihan/kompetensi;
g. produktifitas kerja;
h. perlindungan pegawai;
i. pengupahan pegawai;
j. jaminan sosial pegawai.

(4) Laporan hasil evaluasi dibuat dengan sistematika sebagai berikut:


a. pendahuluan;
b. hasil evaluasi;
c. penutup.

Pasal 34

Evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro


dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota, evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan
pelaksanaan RTK Mikro dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota dan hasilnya
dilaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi;
b. Tingkat Provinsi, evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan
pelaksanaan RTK Mikro dilakukan oleh Dinas Provinsi dan hasilnya dilaporkan
kepada Gubernur dengan tembusan Menteri;dan
c. Tingkat Pusat, evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan pelaksanaan
RTK Mikro dilakukan oleh Pusat Perencanaan Tenaga Kerja dan hasilnya
dilaporkan kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal.

Pasal 35

Evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dapat
dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

11
BAB VII
PEMBINAAN TERHADAP
PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN RTK MIKRO

Pasal 36

Pembinaan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dilakukan secara


berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Perusahaan, pembinaan kapasitas petugas pembina penyusun dan
pelaksana RTK Mikro dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota;
b. Tingkat Kabupaten/Kota, pembinaan kapasitas petugas pembina penyusun dan
pelaksana RTK Mikro dilaksanakan oleh Dinas Provinsi;
c. Tingkat Provinsi, pembinaan kapasitas petugas pembina penyusun dan pelaksana
RTK Mikro dilaksanakan oleh Pusat PTK;dan
d. Tingkat Pusat, pembinaan kapasitas petugas pembina penyusun dan pelaksana
RTK Mikro dilaksanakan oleh Pusat PTK.

Pasal 37

Pembinaan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dilakukan melalui kegiatan antara
lain:
a. konsultasi;
b. bimbingan;
c. pelatihan/kompetensi; dan
d. sosialisasi.

BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 38

(1) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
pada tingkat pusat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
pada tingkat provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi.

(3) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
pada tingkat kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota.

(4) Biaya yang diperlukan untuk penyusunan dan pelaksanaan PTK Mikro pada Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga
Swasta Lainnya dibebankan pada anggaran Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga Swasta Lainnya yang
bersangkutan.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 39

Perencanaan untuk pegawai negeri pada instansi pemerintah mengacu pada Peraturan
Perundang-undangan tentang pegawai negeri.

12
BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 543

13
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2010
TENTANG
PERENCANAAN TENAGA KERJA MAKRO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (5), Pasal 15 ayat
(4), Pasal 34, Pasal 39 ayat (5), Pasal 41 ayat (3), dan Pasal 43 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Perencanaan Tenaga Kerja Makro;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara


Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 34, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4701);

4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,


Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi,
Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG PERENCANAAN TENAGA KERJA MAKRO.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Perencanaan Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat PTK, adalah proses


penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.

2. Perencanaan Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disebut PTK Makro, adalah
proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat
pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif guna mendukung
pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral
sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan
produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.

3. Perencanaan Tenaga Kerja Nasional yang selanjutnya disebut PTK Nasional,


adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang
dijadikan dasar dan acuan dalam kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan secara nasional.

4. Perencanaaan Tenaga Kerja Provinsi yang selanjutnya disebut PTK Provinsi,


adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang
dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan di provinsi.

5. Perencanaan Tenaga Kerja Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut PTK


Kabupaten/Kota, adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi,
dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan
di kabupaten/kota.

6. Perencanaan Tenaga Kerja Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Provinsi, dan


Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut PTK Sektoral/Sub Sektoral, adalah
proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan
dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan secara sektoral/sub
sektoral nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

7. Rencana Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat RTK, adalah hasil kegiatan PTK
yang memuat perkiraan dan rencana persediaan tenaga kerja, kebutuhan akan
tenaga kerja, serta neraca dan program pembangunan ketenagakerjaan.

8. Rencana Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disebut RTK Makro, adalah hasil
kegiatan PTK Makro yang meliputi seluruh sektoral atau satu sektoral/sub sektoral
di tingkat nasional, atau satu daerah.

2
9. Rencana Tenaga Kerja Nasional yang selanjutnya disebut RTK Nasional, adalah
hasil kegiatan PTK Nasional yang memuat perkiraan dan rencana persediaan
tenaga kerja, perkiraan dan rencana kebutuhan akan tenaga kerja, serta neraca dan
program pembangunan ketenagakerjaan di tingkat nasional.

10. Rencana Tenaga Kerja Provinsi yang selanjutnya disebut RTK Provinsi, adalah
hasil kegiatan PTK Provinsi yang memuat perkiraan dan rencana persediaan tenaga
kerja, perkiraan dan rencana kebutuhan akan tenaga kerja, serta neraca dan
program pembangunan ketenagakerjaan di tingkat provinsi.

11. Rencana Tenaga Kerja Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut RTK


Kabupaten/Kota, adalah hasil kegiatan PTK Kabupaten/Kota yang memuat
perkiraan dan rencana persediaan tenaga kerja, perkiraan dan rencana kebutuhan
akan tenaga kerja, serta neraca dan program pembangunan ketenagakerjaan di
tingkat kabupaten/kota.

12. Rencana Tenaga Kerja Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Provinsi, dan


Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut RTK Sektoral/Sub Sektoral, adalah hasil
kegiatan PTK Sektoral/Sub Sektoral.

13. Persediaan Tenaga Kerja adalah jumlah dan kualitas angkatan kerja yang tersedia
dengan berbagai karakteristiknya.

14. Kebutuhan akan tenaga kerja adalah jumlah dan kualitas angkatan kerja yang
diperlukan untuk mengisi kesempatan kerja yang tersedia dengan berbagai
karakteristiknya.

15. Neraca tenaga kerja adalah keseimbangan atau kesenjangan jumlah dan kualitas
antara persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan akan tenaga kerja dengan
berbagai karakteristiknya.

16. Metoda adalah cara kerja yang teratur dan sistematis untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

17. Metoda penghitungan persediaan tenaga kerja, adalah cara kerja yang teratur dan
sistematis untuk memperkirakan jumlah dan kualitas angkatan kerja.

18. Metoda penghitungan kebutuhan akan tenaga kerja adalah cara kerja yang teratur
dan sistematis untuk memperkirakan jumlah dan kualitas kesempatan kerja.

19. Penduduk Usia Kerja yang selanjutnya disingkat PUK, adalah jumlah penduduk
yang berumur 15 (lima belas) tahun atau lebih, yang disebut juga tenaga kerja.

20. Angkatan Kerja yang selanjutnya disingkat AK, adalah jumlah dan kualitas PUK
yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan
pengangguran.

21. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja yang selanjutnya disingkat TPAK, adalah rasio
antara jumlah AK dengan jumlah PUK.

22. Bekerja adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan ekonomi dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam tidak terputus dalam seminggu sebelum pencacahan.

23. Penganggur terbuka adalah mereka yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

3
24. Tingkat Penganggur Terbuka yang selanjutnya disingkat TPT, adalah rasio antara
jumlah penganggur terbuka dengan jumlah angkatan kerja.

25. Kesempatan kerja adalah lowongan pekerjaan yang belum diisi oleh pencari kerja
dan pekerja yang sudah ada.

26. Produktivitas tenaga kerja adalah rasio antara nilai produk domestik bruto dengan
jumlah penduduk yang bekerja yang digunakan baik individu maupun kelompok
dalam satuan waktu tertentu yang merupakan besaran kontribusi penduduk yang
bekerja dalam pembentukan nilai tambah suatu produk dari proses kegiatan
ekonomi pada suatu lapangan usaha secara nasional dan regional.

27. Instansi Sektoral adalah instansi yang membina sektor lapangan usaha di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

28. Pembinaan adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kemampuan dan


kapasitas sumber daya manusia dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan RTK
Makro.

29. Pemantauan adalah serangkaian kegiatan pengamatan dan identifikasi penyusunan


dan pelaksanaan RTK Makro.

30. Evaluasi adalah serangkaian kegiatan penilaian terhadap hasil pemantauan


penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dalam waktu tertentu.

31. Laporan adalah penyampaian analisis hasil kegiatan yang dilakukan dalam
penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro.

32. Dinas Kabupaten/Kota adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan kabupaten/kota.

33. Dinas Provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.

34. Pusat PTK adalah unit Eselon II Sekretariat Jenderal Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi yang tugas dan fungsinya melakukan pembinaan, pemantauan,
evaluasi, penyusunan dan pelaksanaan PTK.

35. Sekretariat Jenderal adalah unit Eselon I Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, yang tugas dan fungsinya melaksanakan koordinasi pelaksanaan
tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi dan dukungan teknis
lainnya.

36. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

PTK Makro bertujuan untuk:


a. menyediakan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa;
b. mempermudah pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang meliputi,
perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendayagunaan tenaga kerja,
peningkatan kualitas tenaga kerja, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.

4
Pasal 3

Tahapan kegiatan PTK Makro meliputi:


a. penghitungan persediaan, kebutuhan, dan neraca tenaga kerja;
b. pembentukan tim;
c. pelaporan hasil pelaksanaan RTK Makro;
d. pemantauan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro;
e. pelaksanaan evaluasi hasil pemantauan;
f. pembinaan terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro.

Pasal 4

PTK Makro terdiri atas:


a. lingkup kewilayahan, meliputi PTK Nasional, PTK Provinsi, dan PTK
Kabupaten/Kota;
b. lingkup sektoral, meliputi PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional, PTK Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi, dan PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

Pasal 5

Kegiatan PTK Makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, menghasilkan RTK Makro.

Pasal 6

RTK Makro dihasilkan dengan melakukan penghitungan persediaan tenaga kerja,


penghitungan kebutuhan akan tenaga kerja, dan penghitungan neraca tenaga kerja.

Pasal 7

RTK Makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, disusun dengan sistematika sebagai
berikut:
a. pendahuluan;
b. kondisi ketenagakerjaan;
c. perkiraan dan perencanaan persediaan tenaga kerja;
d. perkiraan dan perencanaan kebutuhan akan tenaga kerja;
e. perkiraan dan perencanaan keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan
tenaga kerja;
f. arah kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan;
g. penutup.

Pasal 8

Penghitungan persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja dipergunakan untuk


menyusun PTK Makro yang meliputi penyusunan perkiraan dan perencanaan:
a. persediaan tenaga kerja;
b. kebutuhan akan tenaga kerja;
c. keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja;
d. penyusunan kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan.

5
BAB II
PENGHITUNGAN PERSEDIAAN
DAN KEBUTUHAN AKAN TENAGA KERJA

Bagian Kesatu
Penghitungan Persediaan Tenaga Kerja

Pasal 9

Persediaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, disusun


berdasarkan:
a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

Pasal 10

Persediaan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


huruf a, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja atau AK
yang siap memasuki pasar kerja di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 11

(1) Persediaan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan metoda:
a. metoda TPAK;
b. metoda Kohort;dan
c. metoda lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

(2) Metoda TPAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipergunakan untuk
menghitung jumlah persediaan tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja atau AK yang
siap memasuki pasar kerja melalui pendekatan perkembangan TPAK dengan
perkembangan penduduk dan tenaga kerja di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.

(3) Metoda Kohort sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipergunakan untuk
menghitung jumlah persediaan tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja atau AK yang
siap memasuki pasar kerja melalui pendekatan luaran pendidikan setiap jenjang di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 12

Penggunaan metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, harus memperhatikan


faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan kualitas persediaan tenaga kerja
menyangkut perkembangan penduduk, tenaga kerja, partisipasi AK, dan luaran setiap
jenjang pendidikan.

Pasal 13

(1) Persediaan tenaga kerja lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf b, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas AK yang bekerja di
Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota.

6
(2) Persediaan tenaga kerja lingkup Sektoral/Sub Sektoral sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan
metoda regresi linier atau semi logaritma untuk menentukan jumlah dan kualitas
tenaga kerja yang bekerja di Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi, dan Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua
Penghitungan Kebutuhan Akan Tenaga Kerja

Pasal 14

Kebutuhan akan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, disusun
berdasarkan:
a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

Pasal 15

Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf a, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
dibutuhkan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 16

(1) Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan:
a. metoda ekonometrik;
b. metoda elastisitas;
c. metoda input output (I-O).

(2) Metoda ekonometrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipergunakan
untuk memperkirakan dan merencanakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui penentuan
faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di setiap sektoral
atau lapangan usaha di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

(3) Metoda elastisitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipergunakan
untuk memperkirakan dan merencanakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan kesempatan kerja di setiap sektoral atau lapangan
usaha di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

(4) Metoda input output (I-O) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dipergunakan untuk penghitungan perkiraan dan perencanaan jumlah dan kualitas
tenaga kerja yang akan dibutuhkan atau kesempatan kerja pada suatu kegiatan
atau lapangan usaha bahwa permintaan akhir efektif mempunyai pengaruh
terhadap penciptaan kesempatan kerja di berbagai sektoral atau lapangan usaha di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 17

Penggunaan metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, harus memperhatikan


faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan tenaga kerja yang menyangkut
perkembangan perekonomian.

7
Pasal 18

Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf b, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
dibutuhkan di tingkat Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi,
dan Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

Pasal 19

(1) Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan:
a. metoda ekonometrik;
b. metoda elastisitas.

(2) Metoda ekonometrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipergunakan
untuk penghitungan perkiraan dan perencanaan jumlah dan kualitas tenaga kerja
yang akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui penentuan
faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di setiap sub sektor
di tingkat Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

(3) Metoda elastisitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipergunakan
untuk penghitungan perkiraan dan perencanaan jumlah dan kualitas tenaga kerja
yang akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kesempatan kerja di setiap sub sektor di
tingkat Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

Pasal 20

Penggunaan metoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, harus memperhatikan


faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan tenaga kerja yang menyangkut
perkembangan perekonomian.

Bagian Ketiga
Penghitungan Neraca Tenaga Kerja

Pasal 21

Keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, disusun berdasarkan:
a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

Pasal 22

(1) Keseimbangan atau kesenjangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga
kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a,
dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja dari hasil
keseimbangan atau kesenjangan antara jumlah dan kualitas persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan akan tenaga kerja atau kesempatan kerja di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

8
(2) Keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja lingkup sektoral
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dipergunakan untuk
memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja dari hasil keseimbangan atau
kesenjangan antara jumlah dan kualitas persediaan tenaga kerja dengan
kebutuhan akan tenaga kerja atau kesempatan kerja di sub sektor di tingkat
Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota.

Pasal 23

Untuk mempermudah penghitungan perkiraan dan perencanaan persediaan,


kebutuhan, dan neraca tenaga kerja dapat dibangun program aplikasi di tingkat
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi, dan Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

BAB III
PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM PTK MAKRO

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 24

(1) Untuk menjamin terlaksananya kegiatan PTK Makro yang sistematis dan
komprehensif perlu dibentuk Tim PTK Makro.

(2) Tim PTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi lingkup kewilayahan
dan lingkup sektoral.

Pasal 25

Tim PTK Makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, terdiri atas:
a. Nasional;
b. Provinsi;
c. Kabupaten/Kota;
d. Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
e. Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
f. Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua
Tim PTK Nasional

Pasal 26

Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, meliputi:


a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.

9
Pasal 27

Susunan keanggotaan Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf
a, terdiri atas:
a. Pembina : Menteri.
b. Ketua : Sekretaris Jenderal.
c. Sekretaris : Kepala Pusat PTK.
d. Anggota : terdiri dari unsur kementerian, lembaga non kementerian dan
instansi sektor terkait serta perguruan tinggi.
e. Sekretariat : Pusat PTK.

Pasal 28

Pembina Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
b. menyampaikan target pembangunan ketenagakerjaan secara periodik;
c. memberikan arahan agar RTK Nasional dilaksanakan.

Pasal 29

Ketua Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan nasional;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan nasional;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Nasional;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Nasional;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Nasional kepada Menteri.

Pasal 30

Sekretaris Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Nasional;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
c. mengkoordinasikan sekretariat penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional kepada Ketua.

Pasal 31

Anggota Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Nasional;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Nasional kepada Sekretaris.

10
Pasal 32

Sekretariat Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e,


bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas dan dokumen PTK Nasional, dan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Nasional, dan Tim PTK
Sektoral/Sub Sektoral Nasional.

Pasal 33

(1) Tim PTK Nasional bertugas selama 5 (lima) tahun.

(2) Keanggotaan Tim PTK Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Tim PTK Provinsi

Pasal 34

Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, meliputi:


a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.

Pasal 35

Susunan keanggotaan Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
a, terdiri atas:
a. Pembina : Gubernur.
b. Ketua : Kepala Dinas Provinsi.
c. Sekretaris : Sekretaris Pejabat Eselon III Dinas Provinsi.
d. Anggota : Kepala Bappeda Provinsi, Kepala Dinas yang membidangi
sektoral Provinsi, Kepala BPS Provinsi, Kepala BKPMD
Provinsi,Ketua APINDO, Ketua Kadin, Perguruan Tinggi, dan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
e. Sekretariat : Dinas Provinsi.

Pasal 36

Pembina Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian provinsi yang akan dicapai
dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Provinsi dilaksanakan.

Pasal 37

Ketua Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;

11
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan provinsi;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan provinsi;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Provinsi;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Provinsi;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Provinsi kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 38

Sekretaris Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Provinsi;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
c. mengkoordinasikan sekretariat penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi kepada Ketua.

Pasal 39

Anggota Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Provinsi;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Provinsi kepada Sekretaris.

Pasal 40

Sekretariat Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas dan dokumen PTK Provinsi, PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan PTK Kabupaten/Kota;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Provinsi, dan Tim PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi.

Pasal 41

(1) Tim PTK Provinsi bertugas selama 5 (lima) tahun.

(2) Keanggotaan Tim PTK Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
Kepala Dinas Provinsi.

Bagian Keempat
Tim PTK Kabupaten/Kota

Pasal 42

Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, meliputi:


a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.

12
Pasal 43

Susunan keanggotaan Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal


42 huruf a, terdiri atas:
a. Pembina : Bupati/Walikota.
b. Ketua : Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
c. Sekretaris : Sekretaris Pejabat Eselon III Dinas Kabupaten/kota.
d. Anggota : Kepala Bappeda Kabupaten/Kota, Kepala Dinas yang
membidangi sektoral Kabupaten/Kota, Kepala BPS
Kabupaten/Kota, Kepala BKPMD Kabupaten/Kota, Ketua
APINDO, Ketua Kadin, Perguruan Tinggi, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
e. Sekretariat : Dinas Kabupaten/Kota.

Pasal 44

Pembina Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a,


bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Kabupaten/Kota;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian kabupaten/kota yang akan
dicapai dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Kabupaten/Kota dilaksanakan.

Pasal 45

Ketua Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b,


bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Kabupaten/Kota;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan kabupaten/kota;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan
kabupaten/kota;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Kabupaten/Kota;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK
Kabupaten/Kota;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Kabupaten/Kota kepada
Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi.

Pasal 46

Sekretaris Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c,


bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Kabupaten/Kota;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Kabupaten/Kota;
c. mengkoordinasikan Sekretariat Penyusunan dan pelaksanaan PTK
Kabupaten/Kota;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Kabupaten/Kota kepada
Ketua.

13
Pasal 47

Anggota Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d,


bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Kabupaten/Kota;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Kabupaten/Kota kepada Sekretaris.

Pasal 48

Sekretariat Tim PTK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf e,


bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;

b. menyiapkan data, memelihara data, berkas dan dokumen PTK Kabupaten/Kota, PTK
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Kabupaten/Kota, dan
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.

Pasal 49

(1) Tim PTK Kabupaten/Kota bertugas selama 5 (lima) tahun.

(2) Keanggotaan Tim PTK Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh


Bupati/Walikota atas usul Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

Bagian Kelima
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional

Pasal 50

Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
d, meliputi:
a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.

Pasal 51

Susunan keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 50 huruf a, terdiri atas:
a. Pembina : Menteri/Kepala lembaga yang membidangi sektoral/sub sektoral.
b. Ketua : Sekretaris Kementerian/Lembaga yang membidangi sektoral.
c. Sekretaris : Kepala Biro Perencanaan Kementerian yang membidangi
sektoral.
d. Anggota : terdiri dari unsur unit teknis di sektor yang bersangkutan,
Bappenas, BPS, Pusat PTK, dan Perguruan Tinggi.
e. Sekretariat : Biro Perencanaan Kementerian/Lembaga yang membidangi
sektoral.

14
Pasal 52

Pembina Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian Sektoral/Sub Sektoral Nasional
yang akan dicapai dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional dilaksanakan.

Pasal 53

Ketua Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub Sektoral
Nasional;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional kepada Menteri/Kepala lembaga yang membidangi sektoral/sub sektoral
yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 54

Sekretaris Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 51 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
c. mengkoordinasikan Sekretariat Penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional kepada Ketua.

Pasal 55

Anggota Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektor dan Sub Sektor Nasional kepada Sekretaris.

15
Pasal 56

Sekretariat Tim PTK Sektoral/Sub Sektor Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf e, bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas, dan dokumen PTK Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional.

Pasal 57

(1) Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional bertugas selama 5 (lima) tahun.

(2) Keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri yang membidangi sektor yang bersangkutan.

Bagian Keenam
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi

Pasal 58

Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
e, meliputi:
a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.

Pasal 59

Susunan keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 58 huruf a, terdiri dari:
a. Pembina : Gubernur.
b. Ketua : Kepala Dinas Provinsi yang membidangi sektoral/sub sektoral
provinsi.
c. Sekretaris : Sekretaris Pejabat Eselon III Dinas Provinsi yang membidangi
sektoral/sub sektoral provinsi.
d. Anggota : terdiri dari unsur Kepala Bidang di lingkungan dinas yang
membidangi sektoral/sub sektoral yang bersangkutan, Sekretaris
Dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,
Kepala Bidang Statistik Ketenagakerjaan BPS Provinsi, Kepala
Bidang Statistik yang membidangi Sektoral/Sub Sektoral yang
bersangkutan BPS Provinsi, dan Kepala Bidang yang membidangi
Sektoral/Sub Sektoral BKPM Provinsi.
e. Sekretariat : Dinas yang membidangi Sektoral/Sub Sektoral Provinsi.

Pasal 60

Pembina Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian Sektoral/Sub Sektoral Provinsi
yang akan dicapai dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi dilaksanakan.

16
Pasal 61

Ketua Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi kepada Gubernur dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi.

Pasal 62

Sekretaris Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
c. mengkoordinasikan Sekretariat Penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi
kepada Ketua.

Pasal 63

Anggota Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi kepada Sekretaris.

Pasal 64

Sekretariat Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 59 huruf e, bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas, dan dokumen PTK Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi.

17
Pasal 65

(1) Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi bertugas selama 5 (lima) tahun.

(2) Keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usulan Kepala Dinas Instansi Sektoral/Sub Sektoral yang
bersangkutan.

Bagian Ketujuh
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota

Pasal 66

Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 huruf f, meliputi:
a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.

Pasal 67

Susunan keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 66 huruf a, terdiri atas:
a. Pembina : Bupati/Walikota;
b. Ketua : Kepala Dinas yang membidangi Sektoral/Sub Sektoral yang
bersangkutan di Kabupaten/Kota;
c. Sekretaris : Sekretaris Dinas yang membidangi Sektoral/Sub Sektoral yang
bersangkutan di Kabupaten/Kota;
d. Anggota : terdiri dari unsur Kepala Bidang di lingkungan dinas yang
membidangi sektoral/sub sektoral yang bersangkutan, Sekretaris
Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Bidang Statistik Ketenagakerjaan
BPS Kabupaten/Kota, Kepala Bidang Statistik yang membidangi
sektoral/sub sektoral yang bersangkutan BPS Kabupaten/Kota,
Kepala Bidang yang membidangi Sektoral/Sub Sektoral BKPM
Kabupaten/Kota.
e. Sekretariat : Dinas yang membidangi Sektoral/Sub Sektoral di
Kabupaten/Kota.

Pasal 68

Pembina Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 67 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian Sektoral/Sub Sektoral
kabupaten/kota yang akan dicapai dikaitkan dengan pembangunan
ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota untuk
dilaksanakan.

18
Pasal 69

Ketua Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 67 huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.

Pasal 70

Sekretaris Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 67 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota;
c. mengkoordinasikan Sekretariat Penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota kepada Ketua.

Pasal 71

Anggota Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 67 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota kepada Sekretaris.

Pasal 72

Sekretariat Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 67 huruf e, bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas dan dokumen PTK Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral
Kabupaten/Kota.

19
Pasal 73

(1) Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota bertugas selama 5 (lima) tahun.

(2) Keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota diangkat dan


diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan Kepala Dinas instansi sektoral/sub
sektoral yang bersangkutan.

BAB IV
TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN
HASIL PELAKSANAAN RTK MAKRO

Pasal 74

(1) Laporan hasil pelaksanaan RTK Makro meliputi:


a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

(2) Laporan hasil pelaksanaan RTK Makro lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. pelaksanaan RTK Makro;
c. penutup.

(3) Laporan hasil pelaksanaan RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan selambat-lambatnya pada bulan Januari tahun berikutnya.

Pasal 75

(1) Hasil pelaksanaan RTK Makro lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 huruf a, dilaporkan oleh:
a. Menteri kepada Presiden untuk pelaksanaan RTK Makro tingkat Nasional;
b. Kepala Dinas Provinsi kepada Gubernur, dengan tembusan kepada Menteri
untuk pelaksanaan RTK Makro tingkat Provinsi;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
kepada Kepala Dinas Provinsi untuk pelaksanaan RTK Makro tingkat
Kabupaten/Kota.

(2) Hasil pelaksanaan RTK Makro lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 huruf b, dilaporkan oleh:
a. Sekretaris Jenderal Instansi Sektoral/Sub Sektoral kepada Menteri instansi
yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri untuk pelaksanaan RTK
Sektoral/Sub Sektoral tingkat Nasional;
b. Kepala Dinas Instansi Sektoral/Sub Sektoral kepada Gubernur dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi untuk pelaksanaan RTK Sektoral/Sub
Sektoral tingkat Provinsi;
c. Kepala Dinas Instansi Sektoral/Sub Sektoral kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi untuk pelaksanaan RTK Sektoral/Sub
Sektoral tingkat Kabupaten/Kota.

20
BAB V
TATA CARA PEMANTAUAN PENYUSUNAN
DAN PELAKSANAAN RTK MAKRO

Pasal 76

(1) Pemantauan dilakukan terhadap:


a. penyusunan RTK Makro;dan
b. pelaksanaan RTK Makro.

(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:


a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

(3) Pemantauan lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral sebagaimana pada ayat (2)
dilakukan secara berjenjang dengan cara:
a. langsung;
b. tidak langsung.

Pasal 77

(1) Pemantauan terhadap penyusunan RTK Makro sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76 ayat (1) huruf a, menyangkut pembentukan Tim PTK, penggunaan metoda
penghitungan persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja, neraca tenaga kerja
dan kebijakan, strateg, dan program pembangunan ketenagakerjaan.

(2) Pemantauan terhadap pelaksanaan RTK Makro sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 76 ayat (1) huruf b, menyangkut kegiatan dalam perluasan kesempatan kerja,
peningkatan pendayagunaan tenaga kerja, peningkatan kualitas tenaga kerja,
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan perlindungan tenaga kerja
serta peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Pasal 78

(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3)
huruf a, dilakukan secara berjenjang dengan cara:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK dengan melakukan kunjungan ke
Dinas Provinsi, yang hasilnya dilaporkan kepada Menteri;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi dengan melakukan kunjungan ke
Dinas Kabupaten/Kota, yang hasilnya dilaporkan kepada Gubernur dengan
tembusan kepada Menteri.

(2) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3)
huruf b, dilakukan secara berjenjang dengan cara:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK dengan melakukan pengamatan
dan identifikasi laporan hasil penyusunan RTK Provinsi yang hasilnya
dilaporkan kepada Menteri;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi dengan melakukan pengamatan
dan identifikasi laporan hasil penyusunan RTK Kabupaten/Kota yang hasilnya
dilaporkan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

21
Pasal 79

Laporan hasil pemantauan lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral baik langsung
maupun tidak langsung dibuat dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. hasil pemantauan;
c. penutup.

Pasal 80

Pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dilakukan secara berkala baik
langsung maupun tidak langsung paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

BAB VI
EVALUASI TERHADAP HASIL PEMANTAUAN

Pasal 81

(1) Evaluasi terhadap hasil pemantauan dilakukan terhadap:


a. penyusunan RTK Makro;
b. pelaksanaan RTK Makro.

(2) Evaluasi penyusunan RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan terhadap:
a. tim PTK;
b. metoda penghitungan persediaan, kebutuhan akan tenaga kerja, dan neraca
tenaga kerja;
c. kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan.

(3) Evaluasi pelaksanaan RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi kegiatan:
a. perluasan kesempatan kerja;
b. peningkatan pendayagunaan tenaga kerja;
c. peningkatan kualitas tenaga kerja;
d. peningkatan produktivitas tenaga kerja;
e. peningkatan perlindungan tenaga kerja;
f. peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Pasal 82

(1) Evaluasi terhadap hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81,
meliputi:
a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

(2) Evaluasi lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK yang hasilnya dilaporkan kepada
Menteri melalui Sekretaris Jenderal;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi yang hasilnya dilaporkan kepada
Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

22
(3) Evaluasi lingkup sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan
sebagai berikut:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK yang hasilnya dilaporkan kepada
Menteri melalui Sekretaris Jenderal;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi yang hasilnya dilaporkan kepada
Gubernur dengan tembusan kepada Menteri;
c. Tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota yang hasilnya
dilaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dinas Provinsi.

(4) Laporan hasil evaluasi dibuat dengan sistematika sebagai berikut:


a. pendahuluan;
b. hasil evaluasi;
c. penutup.

Pasal 83

Evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dapat
dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

BAB VII
PEMBINAAN TERHADAP
PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN RTK MAKRO

Pasal 84

Pembinaan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro meliputi:


a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.

Pasal 85

(1) Pembinaan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro lingkup kewilayahan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a, dilakukan sebagai berikut:
a. Tingkat Nasional oleh Pusat PTK, kepada petugas penyusun dan pelaksana
RTK Makro Provinsi;
b. Tingkat Provinsi oleh Dinas Provinsi, kepada petugas penyusun dan pelaksana
RTK Makro Kabupaten/Kota.

(2) Pembinaan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro lingkup sektoral


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b, dilakukan sebagai berikut:
a. Tingkat Nasional oleh Pusat PTK;
b. Tingkat Provinsi oleh Dinas Provinsi;
c. Tingkat Kabupaten/Kota oleh Dinas Kabupaten/Kota.

Pasal 86

Pembinaan petugas penyusun dan pelaksana RTK Makro dilakukan melalui kegiatan,
antara lain:
a. konsultasi;
b. bimbingan;
c. pelatihan;dan
d. sosialisasi.

23
BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 87

(1) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan, pelaksanaan,


pemantauan, evaluasi, pelaporan dan pembinaan pada tingkat Pusat dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan, pelaksanaan,


pemantauan, evaluasi, pelaporan dan pembinaan pada tingkat provinsi dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tingkat provinsi.

(3) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan, pelaksanaan,


pemantauan, evaluasi, pelaporan dan pembinaan pada tingkat kabupaten/kota
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tingkat
kabupaten/kota.

(4) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan pada
instansi sektoral/sub sektoral nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Instansi Pembina sektoral/sub sektoral nasional yang bersangkutan.

(5) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan pada
instansi sektoral/sub sektoral provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Instansi Pembina sektoral/sub sektoral provinsi yang bersangkutan.

(6) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan pada
instansi sektoral/sub sektoral kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Instansi Pembina sektoral/sub sektoral yang
kabupaten/kota bersangkutan

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 88

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka:


1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.35/MEN/XII/2006
tentang Pedoman Pembentukan Tim PTK Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.24/MEN/XII/2008
tentang Metode Perhitungan Persediaan dan Kebutuhan Tenaga Kerja,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

24
Pasal 89

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR, SH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 542

25
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
28 Desember 2010
Kepada Yth,
1. Para Gubernur
2. Para Bupati/Walikota
di -
Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010
TENTANG
PELAKSANAAN CUTI BERSAMA DI SEKTOR SWASTA TAHUN 2011

Sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 2010, Nomor : KEP.110/MEN/VI/2010, Nomor
SKB/07/M.PAN-RB/06/2010 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2011,
tanggal 15 Juli 2010, untuk selanjutnya disebut SKB perlu diberikan penjelasan sebagai
berikut :
1. Cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara
bersama-sama.
2. Pelaksanaan cuti bersama bersifat fakultatif/pilihan yang dikaitkan dengan cuti tahunan
pekerja/buruh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang
Penetapan Peraturan Istirahat Buruh.
3. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti tahunannya
tidak berkurang dan kepadanya dibayarkan upah seperti hari kerja biasa.
4. Pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti
yang diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh
yang bersangkutan.
5. Cuti bersama bersifat fakultatif/pilihan dan pelaksanaannya diatur berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.

Demikian untuk menjadi perhatian.

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Drs. H. A. Muhaimin Iskandar, MSi


Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Kedua.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

20 Agustus 2010

Yth : 1. Gubernur se-Indonesia


2. Bupati/Walikota se-Indonesia

di Tempat

SURAT EDARAN
Nomor : SE.190/MEN/PHIJSK-PJSK/VIII/2010

TENTANG

PEMBAYARAN TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN DAN


HIMBAUAN MUDIK LEBARAN BERSAMA

Pada saat menjelang dan selama pelaksanaan Hari Raya Keagamaan,


sebagaimana masyarakat pada umumnya, pekerja/buruh dihadapkan pada tuntutan
pengeluaran tambahan, sehingga pekerja/buruh mengharapkan adanya Tunjangan
Hari Raya (THR) sebagai sumber pendapatan di luar upah yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan tambahan dimaksud. Kepastian adanya THR tersebut
membuat pekerja/buruh dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik sehingga
dapat memacu peningkatan produktivitas perusahaan.

Dalam upaya penciptaan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan


berkeadilan, maka masyarakat sudah menganggap pembayaran THR Keagamaan
merupakan kebutuhan dan kewajaran. Oleh karena itu, ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari
Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan harus dilaksanakan secara konsisten
oleh setiap perusahaan sebagai berikut :

1. THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa


kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus menerus.

2. Besarnya THR Keagamaan sebagaimana dimaksud diatas diatur sebagai berikut :

a) Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan upah.

b) Bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus-
menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional
dengan perhitungan : jumlah bulan masa kerja x 1 bulan upah.
12

3. THR Keagamaan bagi pekerja/buruh diberikan satu kali dalam setahun oleh
pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan
masing-masing, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya
Keagamaan.

Berkenaan dengan hal tersebut kepada para Gubernur/Bupati/Walikota diminta


untuk senantiasa mengingatkan pengusaha agar pembayaran THR Keagamaan
dilaksanakan dengan tepat waktu.

Selanjutnya untuk meringankan beban para pekerja/buruh dan keluarganya


yang akan mudik lebaran maka diharapkan para Gubernur/Bupati/Walikota dapat
mendorong perusahaan-perusahaan di wilayahnya untuk menyelenggarkan mudik
lebaran bersama.
Sejalan dengan itu, untuk mengantisipasi timbulnya keluhan dalam
pelaksanaan pembayaran THR Keagamaan dan pelaksanaan mudik lebaran,
diharapkan masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota segera membentuk Satuan
Tugas (Posko) Ketenagakerjaan Peduli Lebaran Tahun 2010.

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik, kami ucapkan
terima kasih

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Drs. H.A. Muhaimin Iskandar, M.Si.

Tembusan :

1. Presiden Republik Indonesia;


2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;
4. Ketua Umum DPN Apindo;
5. Ketua Umum DPP Konfederasi SP/SB;
6. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Provinsi se-Indonesia.
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERIAGAMA, MENTERITENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN
DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 03 TAHUN 2011


NOMOR : KEp. 135 /MENA//2011
NOMOR : SKB/02/M.pAN-RB/S/201 1

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA KEPUTUSAN BERSAMA


MENTERIAGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN
DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLTK |NDONESIA NoMoR: 02TAHUN 2010; NOMOR:
NoMoR: SKB/07/M'PAN-RB/06/2010 TENTANG HARI LiBui t'tnslorunl fiolrvlrrtruljioro;
KEp.
TAHUN 2011
DAN BERSAMA cul
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR T'TECANA
DAN REFORTVIESI EINOXNRSI,

Menimbang
?3h*1 dalam rangka eflsiensi dan efektivitas hari kerja, hari libur dan cuti bersama
dipandang perlu menata kembali pelaksanaan hari libur
nasionai dan mengatur cuti
bersama tahun 2011;
bahwa penataan kembali hari ribur dan pengaturan cuti bersama tahun 2011
sebagaimana dimaksu.d pada huruf a menjadi peiom"n
o"gi in.i"n"i pemerintah dan
swasta sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas
t<erja;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
perlu ditetapkan Keputusan Bersama i4enteri Agama, huruf a dan huruf b,
n,|lnioi iun.g, K"riu lJn
Transmigrasi, dan Menteri Negara pendayagunaan Aparatur
ttegara dan Reformasi
Birokrasi tentang perubahan Kedua xepltusan Bersama
nlentirr Agama, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menieri Ne.gara
ello"yrgrra-an nparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Republik lndonesia N6mor: OZ
fanun ZO_10; Nomor: KEp.
110/MENA/r/2010; Nomor: sKB/07/M.pAN-R8/06/2010
Cuti Bersama Tahun 2011;
te;ta;g;"rliinw Nasionardan
Mengingat Keputusan presiden Nomor 3 Tahun 1 9g3 tentang perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-Hari
rioi,r senagll,iun"
t"trn beberapa
kali diubah terakhir dengan Keputusan pr-esiden Nomor
t o ranrin gir
t ;

2 Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang


Hari rahun Baru rmrek;
J Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Kementerian Negara; Organisasi

4. Keputusan Presiden Nomor g4lp Tahun 2009;


5. Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang penetapan
Baru lmlek sebagai Hari Libur Nasional. Hari rahun

MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN:

Menetapkan KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI


TENAGA
TRANSMIGRASI DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNMN KERJA DAN
APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PERUEAHAN KEDUA
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTER
iruNCN
TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA pENDAyAGUr.rnnr.r KERJA DAN
DAN REFORMAST BTROKRAST REPUBLTK TNDONESIA npnRATUR NEGARA
Nol,lon: 02 TAHUN 2010;
NoMOR KFP IlO/MENA/|/2O10; NoMoR. SKB/07/M pnr.r-net0o/2010
LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2011
TENTANG HARt

Pasal I

Mengubah Lampiran Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri


renaga Kerja dan Transmigrasi, dan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi-Nomoi: oi ianun 2010; Nomor:
KEP 110/MENivl/2010; Nomor: sKB/O7lM.PAN-RB/06/2010t""i".gHariLiburNasionatdancuti
Tahun 2011 menjadi berbunyi sebagaimana tercantum dalam Lampiin Bersama
Keputusan Bersama ini;

Pasal ll

Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

#
Ditetapkan di Jakarta
20 Mei 2011
4 r'-
{{

I
f*#q ARA
ARATUR NEGARA
BIROKRASI,

,9;
il
;1,\W
,rj."l!jea
aerfl
{I} 'R"',1x^,t]d
INDAAN
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN
MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASl
BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: 03 TAHUN 2011


NOMOR : KEP.135/MENN t2011
NOMOR : SKB/02/M.pAN-RB/5/201 1

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA KEPUTUSAN BERSAMA


MENTERIAGAMA, MENTERITENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN
MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEG,ARA DAN REFORMASI
BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02 TAHUN 2010; NOMOR: KEp. 110/MENA/;/2010;
NOMOR: SKB/07/M.PAN-RB/06/2010 TENTANG HARILIBUR NASIONAL DAN
CUTI BERSAMA
TAHUN 201,I

A. HARILIBUR NASIONAL TAHUN 2011

No. Tanggal Hari Keterangan


1 1 Januari Sabtu Tahun Baru Masehi
2 3 Februari Kamis Tahun Baru lmlek 2562
*) 15 Februari Selasa Maulid Nabi Muhammad SAW
4. 5 Marel Sabtu Hari Raya Nyepi Tahun Saru.;t;l s33
5. 22 April Jum'at Wafat Yesus Kristus
6. 17 Mei Selasa Had Raya Waisak Tahun 2SSS
7. 2 Juni Kamis Kenaikan Yesus Kristus
8. 29 Juni Rabu lsra' Mi'raj Nabi MuhammiO SnW
9. 17 Agustus Rabu Hari Kemerdekaan Rl
10. 30-31 Agustus Selasa - Rabu ldulFitri 1 dan2 Syawat 1432Htjr'tyah
11 6 November Minggu ldulAdha 1432 Hijriyah
12 27 November Minggu Tahun Baru 1433 Htriyah
13 25 Desember Minggu Hari Raya Natal

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2011

Keterangan
Cuti Bersama Hari Raya WaisatrTinun ZSSS
Cuti Bersama Kenaikan Vesui KiistG
CutiBersama tdutFitri 1 Syad 1432@h
CutiBersama ldutF@
Cuti Bersama Hari Raya l'.latal

'f
r,r !li\ll P4,A,:';
/nXtn I /'lfc
--l**-\ "qrl"

,-3ffi
:t.-r''

'i:
?)W
ALI
s{{t{iil
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.02/MEN/I/2011
TENTANG
PEMBINAAN DAN KOORDINASI
PELAKSANAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 13, Pasal 16 ayat


(3), dan Pasal 28 Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010
tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai
pembinaan dan koordinasi pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1918);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan
ILO Convention Nomor 81 (Konvensi ILO Nomor 81 Mengenai
Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan
Perdagangan) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4309);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010
tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;
8. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawasan
Ketenagakerjaan dan Angka Kreditnya;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: PER.20/MEN/IX/2005 tentang Pola Karir
dan Diklat Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBINAAN DAN
KOORDINASI PELAKSANAAN PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

2. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menangani urusan di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah provinsi
yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota
adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan adalah serangkaian kegiatan pembinaan


yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi mengenai
kelembagaan, sumber daya manusia pengawasan ketenagakerjaan, sarana dan
prasarana, pendanaan, administrasi, dan sistem informasi pengawasan
ketenagakerjaan.

2
6. Pegawai pengawas ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut pengawas
ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam
jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pengawasan


ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat.

8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 2

Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mendukung kemampuan


unit kerja pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan penegakan hukum di
bidang ketenagakerjaan secara terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi pada pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 3

(1) Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan sesuai kebijakan nasional


dalam Peraturan Menteri ini.

(2) Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan pada


pemerintah provinsi berdasarkan kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

(3) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaksanakan pembinaan pengawasan


ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 4

(1) Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1), meliputi:
a. kelembagaan;
b. sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan;
c. sarana dan prasarana;
d. pendanaan;
e. administrasi;
f. sistem informasi pengawasan ketenagakerjaan.

3
(2) Pelaksanaan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. penyuluhan;
d. supervisi dan pemantauan;
e. sosialisasi;
f. pendidikan dan pelatihan;
g. pendampingan;
h. evaluasi.

Bagian Kedua
Kelembagaan

Pasal 5

Pembinaan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a


dilaksanakan untuk meningkatkan kinerja melalui optimalisasi pelaksanaan tugas dan
fungsi unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 6

Peningkatan kinerja melalui optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. penyusunan rencana kerja pengawasan ketenagakerjaan berdasarkan hasil analisis
objek pengawasan ketenagakerjaan dan disesuaikan dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan sosial ekonomi daerah;
b. pendataan obyek pengawasan ketenagakerjaan sebagai bahan penyusunan peta
kerawanan norma ketenagakerjaan, penetapan norma, standar, prosedur dan
kriteria;
c. penyebarluasan norma ketenagakerjaan kepada masyarakat;
d. pengelolaan kegiatan pengawasan ketenagakerjaan berupa pemeriksaan,
pengujian dan penyidikan;
e. penerbitan perijinan pemakaian peralatan produksi, pengesahan peralatan/instalasi
dan sarana proteksi, pemberian rekomendasi bidang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) dan lisensi petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di
tempat kerja;
f. penetapan kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja;
g. penetapan perhitungan upah dan/atau upah kerja lembur;
h. pembinaan penerapan dan audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3);
i. pembinaan pembentukan dan peningkatan aktivitas Panitia Pembina Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (P2K3);
j. pembinaan dan pemberdayaan Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (PJK3) serta evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan;
k. pembinaan pembentukan dan peningkatan aktivitas kader norma kerja;
l. pembinaan Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dokter perusahaan
dan/atau dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja, auditor SMK3, petugas,
operator, dan teknisi bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3);
m. pembinaan pembentukan komite aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak;
n. pembinaan dalam pencegahan diskriminasi penerapan norma ketenagakerjaan;
o. pemberian penghargaan di bidang ketenagakerjaan;
p. koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga dan asosiasi profesi terkait;
q. pelaporan hasil kegiatan pengawasan ketenagakerjaan.

4
Pasal 7

Dalam pelaksanaan pembinaan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,


Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, melakukan bimbingan, supervisi, pendampingan,
dan evaluasi kepada pemerintah kabupaten/kota.

Bagian Ketiga
Sumber Daya Manusia Pengawas Ketenagakerjaan

Pasal 8

Pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
b dilaksanakan untuk:
a. memenuhi kebutuhan sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan;
b. meningkatkan kualitas pengawas ketenagakerjaan;
c. penugasan dan penempatan.

Pasal 9

(1) Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilakukan berdasarkan beban kerja,
objek pengawasan ketenagakerjaan dan formasi sesuai peraturan perundang-
undangan.

(2) Untuk pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan di


provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk, mengusulkan calon peserta pendidikan dan pelatihan pengawas
ketenagakerjaan kepada Menteri sesuai peraturan perundang-undangan.

(3) Untuk pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan di


kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk, mengusulkan peserta pendidikan dan pelatihan pengawas
ketenagakerjaan kepada Menteri melalui Gubernur sesuai peraturan perundang-
undangan.

Pasal 10

(1) Peningkatan kualitas sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dapat dilakukan melalui:
a. pendidikan dan pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
b. pendidikan dan pelatihan ketenagakerjaan bidang keahlian/spesialis;
c. pendidikan dan pelatihan peningkatan kemampuan (up grading);
d. bimbingan teknis;
e. seminar;
f. lokakarya;
g. pelatihan bagi pelatih;
h. studi banding; dan/atau
i. pemagangan/pendampingan.

(2) Materi peningkatan kualitas sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyusunan rencana kerja pemeriksaan/pengujian;
b. pemeriksaan dan/atau pengujian;
c. penetapan dan perhitungan;

5
d. penyebarluasan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. penyidikan di bidang ketenagakerjaan;
f. pengembangan di bidang pengawasan ketenagakerjaan;
g. kerjasama dan koordinasi dengan mitra kerja; dan/atau
h. pelaporan hasil pemeriksaan/pengujian.

(3) Pelaksanaan peningkatan kualitas sumber daya manusia pengawas


ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.

Pasal 11

(1) Peserta pendidikan dan pelatihan pengawasan ketenagakerjaan yang dinyatakan


lulus dan memenuhi persyaratan, ditunjuk sebagai pengawas ketenagakerjaan oleh
Menteri.

(2) Pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan serta ditempatkan
di unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

Dalam pelaksanaan pembinaan sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan
bimbingan, supervisi, pendampingan, dan evaluasi kepada pemerintah kabupaten/kota.

Bagian Keempat
Sarana dan Prasarana

Pasal 13

(1) Pembinaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c dilakukan untuk meningkatkan kemampuan operasional unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan.

(2) Pembinaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengadaan dan penggunaan sarana dan prasarana.

(3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. kantor;
b. perlengkapan kantor;
c. fasilitas transportasi;
d. peralatan pemeriksaan dan pengujian;
e. seragam dan atribut pengawas ketenagakerjaan;
f. kartu legitimasi; dan
g. penunjang operasional lainnya.

Pasal 14

Dalam pelaksanaan pembinaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan bimbingan, konsultasi,
supervisi dan pemantauan serta evaluasi kepada pemerintah kabupaten/kota.

6
Bagian Kelima
Pendanaan

Pasal 15

(1) Pembinaan pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan biaya operasional pengawasan
ketenagakerjaan.

(2) Pembinaan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan


terhadap perencanaan dan pemanfaatan anggaran untuk:
a. pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kemampuan pengawas
ketenagakerjaan;
b. penyebarluasan norma ketenagakerjaan;
c. pemeriksaan dan pengujian;
d. penyidikan;
e. penyediaan sarana dan prasarana;
f. pengelolaan jaringan informasi;
g. penyelenggaraan administrasi teknis dan penyidikan;
h. koordinasi fungsional; dan
i. kerjasama pengawasan ketenagakerjaan.

(3) Anggaran operasional pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan/atau sumber lain yang sah dan tidak
mengikat.

Pasal 16

Dalam pelaksanaan pembinaan pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,


Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan bimbingan, konsultasi, supervisi dan
pemantauan serta evaluasi kepada pemerintah kabupaten/kota.

Bagian Keenam
Administrasi

Pasal 17

(1) Pembinaan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e
dilaksanakan untuk menjamin terselenggaranya administrasi teknis pengawasan
ketenagakerjaan sesuai ketentuan yang ditetapkan.

(2) Administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi:
a. pengelolaan data pengawas ketenagakerjaan;
b. pengelolaan rencana kerja unit dan pengawas ketenagakerjaan;
c. pengelolaan data obyek pengawasan ketenagakerjaan
d. pengelolaan data kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian pengawas
ketenagakerjaan;
e. pengelolaan data perijinan dan/atau pengesahan obyek pengawasan
ketenagakerjaan;
f. pengelolaan data mitra kerja pengawasan ketenagakerjaan (kelembagaan dan
personil);
g. pengelolaan data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja; dan
h. pengelolaan laporan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.

7
(3) Dalam rangka penyelenggaraan administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pengadaan penyelenggara
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan.

(4) Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara administrasi teknis pengawasan


ketenagakerjaan di provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur atau
pejabat yang ditunjuk menyampaikan usulan peserta pendidikan dan pelatihan
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.

(5) Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara administrasi teknis pengawasan


ketenagakerjaan di kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan usulan peserta
pendidikan dan pelatihan administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri melalui Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 18

Dalam pelaksanaan pembinaan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,


Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan bimbingan, konsultasi, supervisi dan
pemantauan serta evaluasi kepada pemerintah kabupaten/kota.

Bagian Ketujuh
Sistem Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan

Pasal 19

Pembinaan sistem informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dilaksanakan untuk menjamin tersedianya informasi
ketenagakerjaan pada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 20

(1) Sistem informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 19, dibentuk melalui penyelenggaraan jaringan informasi pengawasan
ketenagakerjaan.

(2) Penyelenggaraan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) mencakup memasukkan, mengolah, dan menyajikan data
pengawasan ketenagakerjaan.

(3) Informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


memuat data:
a. sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan;
b. obyek pengawasan ketenagakerjaan;
c. kegiatan pengawasan ketenagakerjaan;
d. kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
e. kelembagaan dan mitra kerja pengawasan ketenagakerjaan;
f. perijinan dan rekomendasi; dan
g. ketenagakerjaan lainnya.

Pasal 21

Dalam pelaksanaan pembinaan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


20, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melakukan bimbingan, konsultasi,
pendampingan, supervisi dan pemantauan serta evaluasi kepada pemerintah
kabupaten/kota.

8
BAB III
KOORDINASI UNIT KERJA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 22

(1) Koordinasi antar unit kerja pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk


mencapai kesamaan pandang dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.

(2) Koordinasi antar unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

(3) Koordinasi pada tingkat pemerintah kabupaten/kota dilakukan melalui rapat kerja
teknis operasional pengawasan ketenagakerjaan.

Bagian Kesatu
Koordinasi Tingkat Nasional

Pasal 23

(1) Koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat nasional sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 22 ayat (2) dilaksanakan untuk membahas dan/atau menyepakati hal-
hal sebagai berikut:
a. kebijakan dan strategi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan;
b. program dan kegiatan pengawasan ketenagakerjaan;
c. harmonisasi kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten/kota;
d. kebutuhan lembaga, sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan,
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan dan penyelenggaraan jaringan
informasi pengawasan ketenagakerjaan;
e. penajaman pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan;
f. permasalahan ketenagakerjaan nasional dan internasional.

(2) Koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat nasional sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan melalui rapat koordinasi tingkat nasional yang
diselenggarakan oleh Direktur Jenderal sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.

Pasal 24

Rapat koordinasi tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
dihadiri oleh seluruh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain yang
dipandang perlu.

Pasal 25

Hasil koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat nasional sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 24 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan menjadi
pedoman pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.

9
Bagian Kedua
Koordinasi Tingkat Provinsi

Pasal 26

(1) Koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 22 ayat (2) diselenggarakan untuk melaksanakan hasil rapat koordinasi
tingkat nasional.

(2) Dalam rapat koordinasi tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibahas dan/atau disepakati hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi pengawasan ketenagakerjaan setempat;
b. kebutuhan lembaga, sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan,
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan dan penyelenggaraan jaringan
informasi pengawasan ketenagakerjaan;
c. koordinasi internal dan eksternal dalam pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan;
d. harmonisasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan antar pemerintah
kabupaten/kota;
e. keseimbangan program dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan antar
kabupaten/kota;
f. praktek dan/atau pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan disesuaikan
dengan kebutuhan daerah tanpa menyimpang dari kebijakan nasional;
g. tata cara penanganan dan penyelesaian kasus bidang ketenagakerjaan;
h. hasil pengawasan ketenagakerjaan di kabupaten/kota dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun terakhir.

Pasal 27

(1) Koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 26 dilaksanakan melalui rapat koordinasi tingkat provinsi yang
diselenggarakan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sekurang-kurangnya 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(2) Rapat koordinasi tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh
seluruh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
kabupaten/kota, instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain yang dipandang
perlu.

Pasal 28

Hasil koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 27 ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan menjadi
pedoman pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota
dan menjadi bahan rapat koordinasi tingkat nasional.

Bagian Ketiga
Rapat Kerja Teknis Operasional

Pasal 29

(1) Guna meningkatkan kinerja pengawas ketenagakerjaan dan mendukung rapat


koordinasi tingkat provinsi, unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah kabupaten/kota dapat melaksanakan rapat kerja teknis operasional.

10
(2) Rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membahas
dan menyepakati upaya-upaya melaksanakan hasil rapat koordinasi tingkat nasional
dan tingkat provinsi.

(3) Dalam rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas
dan/atau disepakati hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi pengawasan ketenagakerjaan setempat;
b. kebutuhan lembaga, sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan,
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan dan penyelenggaraan jaringan
informasi pengawasan ketenagakerjaan;
c. koordinasi internal dan eksternal dalam pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan;
d. harmonisasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dengan
lembaga/instansi di pemerintah kabupaten/kota;
e. praktek dan/atau pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan disesuaikan
dengan kebutuhan daerah tanpa menyimpang dari kebijakan nasional;
f. peran pengawasan ketenagakerjaan dalam pertumbuhan sosial ekonomi
setempat;
g. tata cara penanganan dan penyelesaian kasus bidang ketenagakerjaan;
h. hal-hal lain yang dipandang perlu dalam pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 30

(1) Rapat kerja teknis operasional pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 diselenggarakan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang
ditunjuk sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(2) Rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh
seluruh pengawas ketenagakerjaan pada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain yang dipandang
perlu.

Pasal 31

Hasil rapat kerja teknis operasional pengawasan ketenagakerjaan tingkat


kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 digunakan sebagai bahan rapat
koordinasi tingkat provinsi.
.

Bagian Keempat
Pembiayaan

Pasal 32

(1) Biaya pelaksanaan koordinasi tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, dan sumber lain yang sah dan tidak
mengikat.

(2) Biaya koordinasi tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2)
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, dan sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.

11
(3) Biaya rapat teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
kabupaten/kota, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB III
KETENTUAN LAIN

Pasal 33

Ketentuan yang belum diatur dalam peraturan ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.

BAB IV
PENUTUP

Pasal 34

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2011

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR, SH.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 39

12
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR PER.15/MEN/XI/2011

TENTANG

JARINGAN INFORMASI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34, Pasal 35, dan
Pasal 36 Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2918);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor


Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3201);

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO


Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry and
Commerce (Konvensi ILO No. 81 Mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010


tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor PER.09/MEN/V/2005 tentang Tata Cara
Penyampaian Laporan Pelaksanaan Pengawasan
Ketenagakerjaan;

9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor KEP. 250/MEN/XII/2008 Tentang Klasifikasi
dan Karakteristik Data Dari Jenis Informasi Ketenagakerjaan;

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor PER.10/MEN/VII/2010 tentang E-Government
di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
TENTANG JARINGAN INFORMASI PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan adalah satu kesatuan sistem
informasi pengawasan ketenagakerjaan yang berfungsi sebagai sarana pelayanan
dan penyebarluasan informasi dalam rangka peningkatan pemahaman pengetahuan
pengawasan ketenagakerjaan pada tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

2. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan


pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menangani urusan di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah provinsi
yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota
adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Tata Kelola Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan adalah penyusunan


spesifikasi kerangka kerja akuntabilitas untuk mendorong perilaku yang diinginkan
dalam penggunaan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.

7. Sumber Daya Manusia Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan adalah


pegawai yang diberikan tugas dan tanggung jawab dalam penggunaan Jaringan
Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.

8. Data Pengawasan Ketenagakerjaan adalah keterangan, pernyataan, fakta, angka,


dan laporan yang berkaitan dengan pengawasan ketenagakerjaan dalam format
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

9. Infrastruktur Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan adalah piranti keras,


piranti lunak, sistem operasi dan aplikasi, pusat dan jaringan komunikasi data serta
fasilitas pendukung lainnya untuk mendukung penyelenggaraan Jaringan Informasi
Pengawasan Ketenagakerjaan.

10. Aplikasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan adalah komponen sistem


informasi yang digunakan untuk menjalankan fungsi, proses, dan mekanisme kerja
yang mendukung penyelenggaraan Jaringan Informasi Pengawasan
Ketenagakerjaan.

11. Interoperabilitas adalah kemampuan dua sistem atau dua komponen atau lebih
untuk bertukar informasi dan untuk menggunakan informasi yang telah
dipertukarkan.

12. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan


Ketenagakerjaan.

13. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan


Ketenagakerjaan.

Pasal 2

Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk menunjang


keberhasilan pengawasan ketenagakerjaan dan merupakan satu kesatuan sistem
pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 3

Peraturan Menteri ini mengatur ketentuan tentang:


a. bentuk, isi dan keanggotaan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
b. penyelenggaraan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan; dan
c. pembinaan, pengembangan dan pemantauan Jaringan Informasi Pengawasan
Ketenagakerjaan.

3
BAB II
BENTUK, ISI DAN KEANGGOTAAN

Pasal 4

(1) Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan merupakan sarana pelayanan


dan penyebarluasan informasi pengawasan ketenagakerjaan berbentuk sistem
digital yang terpusat dan tersebar.

(2) Jaringan informasi yang terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk mengintegrasikan informasi pengawasan ketenagakerjaan.

(3) Jaringan Informasi yang tersebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk memberikan dan menyebarluaskan data dan informasi
pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 5

(1) Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan berisi data dan informasi


pengawasan ketenagakerjaan.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. organisasi pengawasan ketenagakerjaan;
b. peraturan perundang-undangan bidang pengawasan ketenagakerjaan;
c. program dan strategi pengawasan ketenagakerjaan;
d. sumber daya manusia pengawasan ketenagakerjaan;
e. obyek pengawasan ketenagakerjaan;
f. kegiatan pengawas ketenagakerjaan;
g. perizinan, penetapan, rekomendasi, dan pengesahaan;
h. kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
i. kelembagaan dan mitra kerja pengawasan ketenagakerjaan; dan
j. hasil pemeriksaan, pengujian dan penyidikan pengawasan ketenagakerjaan.

(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses oleh pusat
jaringan dan anggota jaringan, kecuali hasil pemeriksaan, pengujian dan penyidikan
pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia.

Pasal 6

(1) Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan terdiri dari:


a. pusat jaringan; dan
b. anggota jaringan.

(2) Pusat jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh
Direktorat Jenderal.

(3) Anggota jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi;

4
b. unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
kabupaten/kota; atau
c. pihak lain.

(4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi:
a. Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3);
b. lembaga/organisasi/institusi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi
pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Untuk menjadi anggota jaringan, pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf c harus memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal.

Pasal 7

(1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5),
pihak lain mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan
melampirkan:
a. daftar perangkat lunak dan perangkat keras;
b. riwayat hidup sumber daya manusia jaringan informasi; dan
c. surat pernyataan bersedia mematuhi ketentuan yang ditetapkan.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kepala
Dinas pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.

Pasal 8

(1) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan


permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) serta melakukan
verifikasi.

(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terpenuhi, maka
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja Direktur Jenderal menerbitkan
persetujuan atas permohonan keanggotaan Jaringan Informasi Pengawasan
Ketenagakerjaan.

BAB III
PENYELENGGARAAN

Pasal 9

(1) Penyelenggaraan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi:
a. tata kelola Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
b. sumber daya manusia Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
c. infrastruktur Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
d. aplikasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan; dan
e. data dan informasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.

(2) Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) harus memenuhi standar Interoperabilitas sehingga dapat diakses oleh
sistem informasi kementerian yang dikelola secara terpusat oleh Badan Penelitian
Pengembangan dan Informasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

5
(3) Untuk kepentingan pelayanan publik, informasi pengawasan ketenagakerjaan pada
sistem informasi kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses
melalui alamat situs website resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Bagian Kesatu
Tata Kelola Jaringan Informasi

Pasal 10

(1) Untuk pelaksanaan tata kelola jaringan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a:
a. Menteri atau Pejabat yang ditunjuk membangun, mengelola dan
mengembangkan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan lingkup
nasional, yang dilaksanakan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada
instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada pemerintah pusat;
b. Gubernur membangun, mengelola dan mengembangkan Jaringan Informasi
Pengawasan Ketenagakerjaan lingkup provinsi, yang dilaksanakan oleh unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi;
c. Bupati/Walikota membangun, mengelola dan mengembangkan Jaringan
Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan lingkup kabupaten/kota, yang
dilaksanakan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah kabupaten/kota;
d. Anggota jaringan pihak lain membangun, mengelola dan mengembangkan
Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sesuai kegiatan pada
lembaga/organisasi/institusinya.

(2) Pembangunan, pengelolaan dan pengembangan Jaringan Informasi Pengawasan


Ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota dan lembaga/organisasi/institusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilakukan secara terintegrasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia Jaringan Informasi

Pasal 11

(1) Sumber daya manusia jaringan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b terdiri dari penyelenggara dan pengelola.

(2) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai


kompetensi di bidang penyelenggaraan Jaringan Informasi Pengawasan
Ketenagakerjaan.

(3) Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:


a. Direktorat Jenderal untuk pusat jaringan;
b. Dinas pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota
untuk anggota jaringan.

6
Bagian Ketiga
Infrastruktur Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan

Pasal 12

(1) Infrastruktur Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dapat memanfaatkan jaringan informasi
yang sudah tersedia di pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.

(2) Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar manual
peralatan, interoperabilitas, dan keamanan sistem informasi.

Bagian Keempat
Aplikasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan

Pasal 13

(1) Aplikasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d harus memenuhi standar interoperabilitas dan
keamanan sistem informasi yang mudah digunakan.

(2) Aplikasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) harus dilengkapi:
a. dokumen kebutuhan perangkat lunak;
b. dokumen arsitektur atau desain;
c. dokumen teknis;
d. dokumen manual, termasuk didalamnya hak login;
e. dokumen standar operasi dan prosedur;
f. dokumen kebutuhan sumber daya manusia; dan
g. dokumen lain yang ditentukan oleh unit kerja yang bersangkutan.

Bagian Kelima
Data dan Informasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan

Pasal 14

(1) Data dan informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 9 ayat (1) huruf e dikelola dalam satu kesatuan sistem yang terpadu,
terkoordinasi dan terintegrasi.

(2) Pengelolaan data dan informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup kegiatan:
a. pemasukan data;
b. verifikasi dan validasi data;
c. pengelolaan basis data;
d. pemeliharaan aplikasi;
e. pemutakhiran data; dan
f. penyajian data.

(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada pusat jaringan

7
berasal dari anggota jaringan.

(4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada pemerintah provinsi
berdasarkan data dan informasi dari pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya.

(5) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada pemerintah
kabupaten/kota merupakan kondisi dan hasil pelaksanaan Pengawasan
Ketenagakerjaan pada lingkup kabupaten/kota.

(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
lembaga/organisasi/institusi merupakan kondisi dan hasil kegiatan bidang
Pengawasan Ketenagakerjaan yang dilakukannya.

BAB IV
PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PEMANTAUAN JARINGAN

Pasal 15

(1) Unit kerja Pengawasan Ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Pengawasan Ketenagakerjaan pada pemerintah
pusat melakukan pembinaan, pengembangan dan pemantauan terhadap anggota
jaringan.

(2) Unit kerja Pengawasan Ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah
provinsi melakukan pembinaan, pengembangan dan pemantauan terhadap
anggota jaringan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
kabupaten/kota.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. pelatihan bagi tim penyelenggara; dan
b. pendampingan pengelolaan data dan informasi.

(4) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. sistem aplikasi atau perangkat lunak; dan
b. penyiapan jaringan atau perangkat keras.

(5) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. pengelolaan data dan informasi;
b. monitoring dan evaluasi; dan
c. keamanan data.

Pasal 16

Segala biaya penyelenggaraan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dibebankan kepada anggaran pusat jaringan
dan masing-masing anggota jaringan serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

8
BAB V
PENUTUP

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 709

9
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERINEGARA PENDAYAGUNMN APARATUR NEGAM DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : TTAHUN 2011


N0M0R :04/MENt/il/2011
N0M0R : SKB/03/M.PAN.RB/07/2011

TENTANG

HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2012

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMh, T,,TIHTENI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRAS],


DAN MENTERINEGAM PENDAYAGUNMN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI,

Menimbang : a' bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja, dipandang perlu menata kembali
pelaksanaan hari libur nasional dan mengatur cuti bersama tahun 2012;

b. bahwa penataan kembali hari liburdan pengaturan cuti bensama tahun 2012 sebagaimana
dimaksud dalam huruf a menjadi pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta sehingga
dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas keqa;

c, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
ditetapkan Keputusan Bensama Menteri Agama, Menteri Tenaga Ker;a dan Transmigrasi,
dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Hari
Libur Nasionaldan Cuti Bersama Tahun 2012.

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1976 tentang cuti pegawai Negeri sipil

2.Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang'Perubahan Atas-Keputusan Presiden


Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-Hari Libur sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhirdengan Keputusan Presiden Nomol l0 Tahun 197f;
3. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru lmlek;

4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tbhun 2009 tentang Kabinet Indonesia Bersatu ll periode
2009-2014;

5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi


Kementerian Negara;

6. Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun Baru

lmlek sebagai Hari Libur Nasional.

MEMUTUSMN...
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN
TMNSMIGRASI, DAN MENTERI NEGAM PENDAYAGUNMN APARATUR
NEGAM DAN REFORMASI BIROKR,ASI TENTANG HARI LIBUR NASIONAL
DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2012.

KESATU Hari Libur Nasionaldan Cuti Bersama Tahun 2012 adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA Untuk kepentingan pelaksanaan inaoan Hari Raya ldul Fitri dan Hari Raya ldul
Adha bagi umat lslam, tanggal 1 Ramadhan 1433 H, 1 syawar 1433 H dan 1
Dzulhijjah 1433 H ditetapkan dengan Keputusan MenteriAgama,

KETIGA Unit kerja/satuan organisasi yang berfungsi memberikan pelayanan langsung


kepada masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah yang mencakup kepentingan
masyarakat luas, seperti rumah sakit/puskesmas, unit kerja yang memberikan
pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum, pemadam kebakaran, keamanan
dan ketertiban, perbankan, perhubungan, dan unit kerja pelayanan lain yang
sejenis, agar mengatur penugasan pegawai, karyawan dan pekerja pada hari libur
nasionaldan cuti bersama yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

KEEMPAT Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU


mengurangi hak cuti tahunan pegawai, karyawan, dan pekerja sesuai dengan
peraturan perundang+ndangan dan ketentuan yang berlaku pada setiap
instansi/lembaga/perusahaan.

KELIMA Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU bagi
kalangan lembaga atau perusahaan diatur oleh lembaga atau perusahaan yang
bersangkutan.

KEENAM Keputusan ini mulai berlaku pada tanggalditetapkan,

Ditetapkan diJakarta
pada tanggal 6 luri 2011

. MEhITERIAGAMA, MENTERI MENTERI NEGARA


,rdi
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, PEN DAYAGUNMN APARATU R NEGAM
DAN REFORMASI BIROKRASI,
\
).
LAMPIMN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TMNSMIGMSI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNMN APARATUR NEGAM
DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 7 TAHUN 2011


NOMOR :04/MEN/V1U2011
NOMOR : SKB/03/M.PAN-RB/07/2011

TENTANG

HARI LIBUR NASIONAL DAN CUT] BERSAMA TAHUN 2012

A. HARI LIBUR NASIONAL TAHUN 2012

No. Tanggal Hari Keterangan


1
t. 1 Januari Minggu Tahun Baru Masehi
2, 23 Januari Senin Tahun Baru lmlek 2563
c 5 Februari Minoou Maulid Nabi Muhammad SAW
A
+. 23 Maret Jum'at Hari Rava Nvepi Tahun Baru Saka 1934
5, 6 April Jum'at Wafat Yesus Kristus
A 6 Mei Minggu Hari Raya Waisak Tahun 2556
7. 17 Mei Kamis Kenaikan Yesus Kristus
8. 1 7 Juni Minqqu lsra' Mi'rai Nabi Muhammad SAW
9. 17 Aqustus Jum'at HariKemerdekaan Rl
10. 19-20 Aqustus Minqou - Senin Hari Rava ldul Fitri 1433 Hiirivah
11, 26 Oktober Jum'at Hari Rava ldulAdha 1433 Hiirivah
12. ,15 November Kamis Tahun Baru Hiiriyah 1434
13. 25 Desember Selasa HariRaya Natal

B. CUTI BERSAMATAHUN 2012

No. Tanggal Hari Keterangan

L 1B Mei Jum'at Cuti Bersama Kenaikan Yesus Kristus

2. 21-22 Agustus Selasa-Rabu CutiBersama ldul Eitri 1 Syawal 1433 Hijriyah


3. 16 November Jum'at Cuti Bersama Tahun Baru 1434 Hijriyah

4. 24 Desember Senin Cuti Bersama Hari Raya Natal

MENTERI NEGARA
PENDAYAGUNMN APARATUR NEGARA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG

TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN


PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN KERJA BERSAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.08/MEN/III/2006 sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi dan kebutuhan di lapangan sehingga perlu
disempurnakan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Tata
Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta
Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3989);

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4356);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Penganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);

Memperhatikan: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal


25 Oktober 2010;
2. Pokok-Pokok Pikiran Badan Pekerja Lembaga Kerja Sama
Tripartit Nasional Nomor 03/PPKBP-Tripnas/IV/2011 tanggal 15
April 2011;
3. Kesepakatan Bersama Sidang Pleno LKS Tripartit Nasional
Nomor 01/KBPL-Tripnas/IV/2011 tanggal 25 April 2011;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Peraturan Perusahaan yang selanjutnya disingkat PP adalah peraturan yang dibuat
secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.

2. Perjanjian Kerja Bersama yang selanjutnya disingkat PKB adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.

3. Perusahaan adalah:

2
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.

4. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PERATURAN PERUSAHAAN

Bagian Kesatu
Tata Cara Pembuatan Peraturan Perusahaan

Pasal 2

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)


orang wajib membuat PP.

(2) PP berisi syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal PP akan mengatur kembali materi dari peraturan perundang-undangan
maka PP tersebut mengatur lebih baik atau minimal sama dengan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PP yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PP induk yang
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PP turunan yang berlaku
di masing-masing cabang perusahaan.

3
(3) PP induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan dan PP turunan memuat pelaksanaan PP induk yang disesuaikan
dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.

(4) Dalam hal PP induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PP
turunan di cabang perusahaan, maka selama PP turunan belum disahkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, tetap
berlaku PP induk.

(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup, maka PP dibuat oleh
masing-masing perusahaan.

Pasal 4

(1) PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.

(2) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak memberikan
saran dan pertimbangan terhadap PP yang diajukan oleh pengusaha.

(3) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh
pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada di
perusahaan.

(4) Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.

(5) Dalam hal di perusahaan sudah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun
keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusahaan tersebut,
maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus
serikat pekerja/serikat buruh harus juga memperhatikan saran dan pertimbangan
dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(6) Saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diperselisihkan.

Pasal 5

Pembuatan PP merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha.

Pasal 6

(1) Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan PP kepada wakil


pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh untuk mendapatkan saran dan
pertimbangan.

(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh terhadap naskah rancangan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal diterimanya naskah rancangan PP oleh wakil pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh telah
menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

4
maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan wakil pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh tersebut.

(4) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh tidak memberikan
saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan PP
disertai bukti berupa surat permintaan saran dan pertimbangan dari pengusaha
kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

Bagian Kedua
Pengesahan Peraturan Perusahaan

Pasal 7

Pengesahan PP dilakukan oleh:


a. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota;
b. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk
perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) provinsi.

Pasal 8

(1) Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan PP kepada pejabat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a. naskah PP yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan ditandatangani oleh
pengusaha; dan
b. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh
dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat
pekerja/serikat buruh.

(3) Bentuk permohonan pengesahan, bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan
dari serikat pekerja/serikat buruh, dan bukti tidak ada serikat pekerja/serikat buruh
di perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan Lampiran I,
Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Menteri ini.

(4) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 harus meneliti kelengkapan


dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan meneliti materi PP yang
diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal pengajuan pengesahan PP tidak memenuhi kelengkapan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dan/atau terdapat materi PP yang lebih rendah dari
peraturan perundang-undangan, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 menolak secara tertulis permohonan pengesahan PP.

(6) Dalam hal pengajuan pengesahan PP telah memenuhi kelengkapan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dan materi PP tidak lebih rendah dari peraturan perundang-
undangan maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib
mengesahkan PP dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan.

5
Pasal 9

(1) Dalam hal di perusahaan sedang dilakukan perundingan pembuatan PKB dan
masa berlaku PP telah berakhir, maka pengusaha dapat mengajukan permohonan
perpanjangan masa berlaku PP.

(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu)
tahun.

Bagian Ketiga
Perubahan

Pasal 10

(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi PP dalam tenggang waktu
masa berlakunya PP, maka dalam hal perubahan tersebut menjadi lebih rendah
dari PP sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka perubahan tersebut harus disepakati oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan/atau wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).

(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan
kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(3) Apabila perubahan PP tidak mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud Pasal


7, maka perubahan itu dianggap tidak ada.

Bagian Keempat
Pembaharuan

Pasal 11

(1) Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan PP paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sebelum berakhir masa berlakunya PP, kepada pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.

(2) Pengajuan pengesahan pembaharuan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2).

(3) Pembaharuan PP memperhatikan saran dan pertimbangan wakil pekerja/buruh


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

BAB III
PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Bagian Kesatu
Persyaratan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 12

(1) PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

6
(2) Perundingan PKB harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah
pihak.

(3) Perundingan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
secara musyawarah untuk mufakat.

(4) Lamanya perundingan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan.

Pasal 13

(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PKB induk yang
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PKB turunan yang berlaku
di masing-masing cabang perusahaan.

(3) PKB induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan
dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.

(4) Dalam hal PKB induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PKB
turunan di cabang perusahaan, maka selama PKB turunan belum disepakati tetap
berlaku PKB induk.

Pasal 14

Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing-masing
perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka PKB dibuat dan
dirundingkan oleh masing-masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-
masing perusahaan.

Pasal 15

Pengusaha harus melayani serikat pekerja/serikat buruh yang mengajukan permintaan


secara tertulis untuk merundingkan PKB dengan ketentuan apabila:
a. serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; dan
b. memenuhi persyaratan pembuatan PKB sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 16

(1) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi
tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha
apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan melalui pemungutan suara.

(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan wakil-wakil dari
pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.

7
(3) Dalam waktu 30 hari setelah pembentukannya, panitia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) telah mengumumkan hasil pemungutan suara.

(4) Pemungutan suara dapat dilakukan paling cepat 7 (tujuh) hari setelah
pemberitahuan pemungutan suara oleh panitia.

(5) Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan tanggal


pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan
pemungutan suara.

(6) Panitia harus memberi kesempatan kepada serikat pekerja/serikat buruh untuk
menjelaskan program kerjanya kepada pekerja/buruh di perusahaan untuk
mendapatkan dukungan dalam pembuatan PKB.

(7) Penjelasan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan di luar
jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh panitia pemungutan suara dan
pengusaha.

(8) Tempat dan waktu pemungutan suara ditetapkan oleh panitia dengan
mempertimbangkan jadwal kerja pekerja/buruh agar tidak mengganggu proses
produksi.

(9) Penghitungan suara disaksikan oleh perwakilan dari pengusaha.

Pasal 17

(1) Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam
melakukan perundingan dengan pengusaha adalah maksimal 3 (tiga) serikat
pekerja/serikat buruh yang masing-masing anggotanya minimal 10% (sepuluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

(2) Jumlah 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan sesuai peringkat berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak.

(3) Setelah ditetapkan 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) dan ternyata masih terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya masing-masing minimal 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut dapat
bergabung pada serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

Pasal 18

(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
mengajukan permintaan berunding dengan pengusaha, maka pengusaha dapat
meminta verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.

(2) Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota.

Pasal 19

Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. tujuan pembuatan tata tertib;

8
b. susunan tim perunding;
c. lamanya masa perundingan;
d. materi perundingan;
e. tempat perundingan;
f. tata cara perundingan;
g. cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
h. sahnya perundingan; dan
i. biaya perundingan.

Pasal 20

(1) Dalam menentukan tim perunding pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pihak serikat pekerja/serikat buruh
menunjuk tim perunding sesuai kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling
banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh.

(2) Anggota tim perunding pembuatan PKB yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh
harus pekerja/buruh yang masih terikat dalam hubungan kerja di perusahaan
tersebut.

Pasal 21

(1) Tempat perundingan pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


huruf e, dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat
pekerja/serikat buruh atau di tempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak.

(2) Biaya perundingan pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


huruf i, menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.

Pasal 22

PKB sekurang-kurangnya harus memuat:


a. nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
b. nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
c. nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
d. hak dan kewajiban pengusaha;
e. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
f. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB; dan
g. tanda tangan para pihak pembuat PKB.

Pasal 23

(1) Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak selesai dalam waktu yang disepakati
dalam tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 maka kedua belah pihak
dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah perundingan gagal.

(2) Dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai dalam waktu yang
disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak
dapat diselesaikan pada waktunya, yang memuat:
a. materi PKB yang belum dicapai kesepakatan;
b. pendirian para pihak;
c. risalah perundingan; dan
d. tempat, tanggal, dan tanda tangan para pihak.

9
(3) Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
untuk dilakukan penyelesaian.

(4) Instansi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) adalah:


a. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota
apabila lingkup berlakunya PKB hanya mencakup satu kabupaten/kota;
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi, apabila
lingkup berlakunya PKB lebih dari satu kabupaten/kota di satu provinsi;
c. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup
berlakunya PKB meliputi lebih dari satu provinsi.

(5) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

(6) Instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c, menyelesaikan
perselisihan PKB tersebut berdasarkan kesepakatan tertulis dari serikat
pekerja/serikat buruh yang menjadi perunding dengan pengusaha.

(7) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memuat syarat:
a. pihak-pihak yang melakukan perundingan;
b. wilayah kerja perusahaan; dan
c. tempat, tanggal, dan tanda tangan para pihak.

Pasal 24

Apabila PKB ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan
pada PKB tersebut.

Pasal 25

(1) Apabila penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4)
dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak menerima
anjuran mediator, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.

(2) Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan Hubungan Industrial,
maka gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya
mencakup domisili perusahaan.

Pasal 26

(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha akan melakukan perubahan
PKB yang sedang berlaku, maka perubahan tersebut harus berdasarkan
kesepakatan.

(2) Perubahan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku.

10
Bagian Kedua
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 27

(1) Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

(2) Pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan:


a. sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang
dilaksanakan di perusahaan; dan
b. sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan PKB.

(3) Pengajuan pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
melampirkan naskah PKB yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup
yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 28

(1) Pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan oleh:
a. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota;
b. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi
untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) provinsi.

(2) Pengajuan pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
Peraturan Menteri ini.

(3) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti


kelengkapan persyaratan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau
materi naskah PKB.

(4) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerbitkan surat keputusan
pendaftaran PKB dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan pendaftaran.

(5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi
dan/atau terdapat materi PKB yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi catatan pada
surat keputusan pendaftaran.

(6) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat mengenai pasal-pasal yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

11
Pasal 29

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan


ketentuan yang ada dalam PKB.

(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi PKB atau
perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

BAB IV
SANKSI

Pasal 30

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dan
Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

(1) PP yang ada berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/III/2006, masih berlaku sampai dengan
berakhirnya PP yang bersangkutan.

(2) PKB yang ada berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/III/2006, masih berlaku sampai dengan
berakhirnya PKB yang bersangkutan.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.48/MEN/IV/2004
tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta
Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama; dan
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/III/2006
tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

12
Pasal 33

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 710

13
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

FORMAT PERMOHONAN PENGESAHAN


PERATURAN PERUSAHAAN

KOP PERUSAHAAN

......, ............... (kota dan tanggal)

No : Kepada
Hal : Permohonan Pengesahan ..........................................
Peraturan Perusahaan ...........................................
di ........................................

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


dengan ini kami sampaikan permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan sebanyak
3 (tiga) eksemplar, yaitu:

1. Nama Perusahaan :
2. Alamat Perusahaan :

3. Nomor Telepon :
4. Jenis/Bidang Usaha : (diisi sesuai KLUI)
5. Status Perusahaan : PT/CV/Firma/Perusahaan Perseorangan/Badan
Usaha Negara/Persero/PMA/PMDN/Joint Venture
(coret yang tidak perlu)
6. Surat Keputusan Izin Usaha : Nomor :
Tanggal :
7. Nama-nama Serikat Pekerja :
di Perusahaan (apabila ada)
8. Nomor Kepesertaan :
Jamsostek
9. Jumlah Pekerja Pusat : Laki-laki : ................ orang
Wanita : ................ orang
10. Jumlah Pekerja di Cabang : Laki-laki : ................ orang
Wanita : ................ orang
11. Konsep Peraturan : Baru/Pembaharuan yang ke ...... kali (sebutkan)

14
Perusahaan (coret yang tidak perlu)
12. Tanggal berlakunya :
Peraturan Perusahaan yang
baru
13. Upah Pekerja Bulanan : Minimum Rp. .....................
Maximum Rp. .....................
Upah Pekerja Harian : Minimum Rp. .....................
Maximum Rp. .....................

14. Sistem Hubungan Kerja :


c. Untuk Waktu Tertentu ..................... orang
d. Untuk Waktu Tidak ..................... orang
Tertentu

Lampiran :
1. Nama-nama cabang perusahaan masing-masing beserta alamat, jenis usaha dan
jumlah pekerja.
2. Konsep Peraturan Perusahaan yang akan disahkan (3 eksemplar).
3. Peraturan Perusahaan yang lama/terakhir beserta Surat Keputusannya.
4. Surat usul perbaikan/percobaan yang akan diadakan dengan memberi penjelasan-
penjelasannya bagi Peraturan Perusahaan yang akan diperbaharui.
5. Surat persetujuan dari Pimpinan Serikat Pekerja yang menyatakan belum
siap/mampu meningkatkan menjadi Perjanjian Kerja Bersama (jika sudah ada
Serikat Pekerja).
6. Fotocopy tanda keanggotaan dan fotocopy pembayaran terakhir Jamsostek.

Pimpinan Perusahaan,

...............................

Catatan : Setiap berkas Peraturan Perusahaan diparaf disetiap lembarnya oleh


manajemen.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

15
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

FORMAT SURAT PERNYATAAN 1

KOP PERUSAHAAN

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini, kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sebagai berikut:
1. Perusahaan telah menyampaikan naskah Rancangan Peraturan Perusahaan
PT. .................. dengan surat tanggal ............, nomor .................. kepada Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dari setiap unit kerja di
perusahaan.
2. Untuk itu, kami telah memberikan saran dan pertimbangan terhadap naskah
Rancangan Peraturan Perusahaan tanggal ............... sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
3. Pengusaha dalam rangka menyusun naskah Peraturan Perusahaan, telah
memperhatikan saran dan pertimbangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau
wakil pekerja/buruh dan tidak lebih rendah dari Peraturan Perusahaan lama.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya.

................, ................ (kota dan tanggal)

Pihak-Pihak yang menyatakan,

Pengusaha, Wakil Pekerja/Buruh,


PT. ..............................
NO NAMA UNIT/DIVI TANDA
SI/ TANGAN
Meterai Rp. 6.000,- SERIKAT
PEKERJA
/SERIKAT
................................ BURUH*)
1 1.
..........
2 2.
.........
3 3.

16
..........
4 4.
.........
dst

Keterangan *):
- apabila di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang
memberikan saran dan pertimbangan adalah wakil pekerja/buruh dari unit/divisi.
- apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang
memberikan saran dan pertimbangan adalah serikat pekerja/serikat buruh.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

17
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

FORMAT SURAT PERNYATAAN 2

KOP PERUSAHAAN

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ..............................................
Alamat : ..............................................
..............................................
Jabatan : ..............................................

Dengan ini menyatakan bahwa sampai saat ini di perusahaan kami


PT. .............................. tidak ada Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

..............., ................. (kota dan tanggal)

Meterai Rp. 6.000,-

...........................
Direktur

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

18
Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

FORMAT PENGAJUAN PENDAFTARAN


PERJANJIAN KERJA BERSAMA

KOP PERUSAHAAN

............., ........ (kota dan tanggal)

No : Kepada
Hal : Pendaftaran Perjanjian ..........................................
Kerja Bersama ...........................................
di ........................................

Bersama ini kami ajukan permohonan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
sebagaimana yang diatur dalam pelaksanaan Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, dengan beberapa keterangan perusahaan sebagai berikut:

1. Nama Perusahaan :
2. Alamat Perusahaan / Telepon :

3. Tahun Pendirian Perusahaan :


4. Jenis/Bidang Usaha : (diisi sesuai KLUI)
5. Status Perusahaan : PT/CV/Firma/Perusahaan Perseorangan/Badan
Usaha Negara/Persero/PMA/PMDN/Joint Venture
(coret yang tidak perlu)
6. Nama Direktur / Pimpinan :
Perusahaan
7. Jumlah Pekerja :
- Laki-laki :
- Perempuan :
8. Daerah Operasi/provinsi :
9. Nama Serikat Pekerja/Serikat :
Buruh / No. Pendaftaran
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
10. Alamat Serikat :

19
Pekerja/Serikat Buruh
11. Jumlah Anggota :
12. Upah
- Tertinggi :
- Terendah :
13. Waktu Berlaku PKB : Tanggal ............... s/d ...............

14. PKB yang didaftar yang ke :


(1,2,3 dst)
15. No. Anggota APINDO :
16. No. Anggota Jamsostek :
17. Koperasi Pekerja :
18. Jumlah Pekerja :
- PKWT :
- PKWTT :

Pimpinan Perusahaan,

Tanda tangan
&
Stempel

...............................

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

20
PUTUSAN
Nomor 37/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada


tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : drg. Ugan Gandar;


Warga Negara : Indonesia;
Alamat : Jalan Perwira 2-4 (R-139) Jakarta 10110;
Pekerjaan : Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina
Bersatu (FSPPB);

Yang dalam hal ini bertindak sebagai perorangan warga negara


Indonesia yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah
ketenagakerjaan;
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------- Pemohon I;

2. Nama : Ir. Eko Wahyu;


Warga Negara : Indonesia;
Alamat : Jalan Perwira 2-4 (R-139) Jakarta 10110;
Pekerjaan : Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu (FSPPB);

Yang dalam hal ini bertindak sebagai perorangan warga negara


Indonesia yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah
ketenagakerjaan.
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------- Pemohon II;
2

3. Nama : Ir. Rommel Antonius Ginting;


Warga Negara : Indonesia;
Alamat : Jalan Gunung Merbabu Nomor 2 RT.004/RW. 014,
Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur;
Yang dalam hal ini bertindak selaku perorangan warga negara Indonesia
dan mewakili kepentingannya sebagai eks pekerja yang hak-hak
konstitusionalnya dijamin oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------- Pemohon III;

Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Mei 2011 dan tanggal 12 Mei 2011
memberi kuasa kepada 1) Ecoline Situmorang, S.H., 2) Henry David Oliver Sitorus,
S.H., 3) Riando Tambunan, S.H., 4) B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., 5) M. Taufiqul
Mujib, S.H., 6) Ridwan Darmawan, S.H., 7) Janses E. Sihaloho, S.H., 8) M. Zaimul
Umam, S.H. M.H., 9) Anton Febrianto, S.H., 10) Dhona El Furqon, S.Hi., dan 11)
Priadi, S.H., seluruhnya para Advokat/Asisten Advokat, pada Kantor Indonesian
Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), memilih domisili di Jalan
Mampang Prapatan XV Nomor 8A Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;


Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;
Mendengar keterangan para ahli dari Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan


dengan surat permohonan bertanggal 1 Juni 2011, yang diterima Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
1 Juni 2011 dengan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
3

221/PAN.MK/2011 dan diregister pada hari Senin, tanggal 13 Juni 2011 dengan
registrasi perkara Nomor 37/PUU-IX/2011, yang telah diperbaiki dan diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juli 2011, menguraikan hal-hal sebagai
berikut:

A. PENDAHULUAN
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin, melindungi,
serta memenuhi hak-hak warga negaranya melalui konstitusinya yaitu
Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa diantaranya adalah hak atas
kepastian hukum dan hak atas perlindungan yang layak dalam hubungan
kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum” dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Lebih lanjut,
pemerintah Republik Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap
Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi Dalam
Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999,
sebagai bagian dari perlindungan hak asasi tenaga kerja dan pekerja/buruh.
Untuk melaksanakan mandat konstitusi tentang hak atas pekerjaan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 maupun hak-hak terkait lainnya dalam Pasal 28 Undang-
Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 25 Maret 2003 pemerintah Republik
Indonesia, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah
mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 39
Tahun 2003.
Bahwa tujuan dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan adalah sebagaimana disebut dalam
pertimbangannya :
a. Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
4

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku
dan tujuan pembangunan;
c. Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;

B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Hak Uji menurut Prof. DR. Sri Soemantri, dalam Bukunya: “HAK UJI
MATERIIL DI INDONESIA, 1997”, ada dua jenis, yaitu Hak Uji Formil dan
Hak Uji Materiil. Hak Uji Formil menurutnya adalah “wewenang untuk
menilai, apakah suatu produk legislatif, seperti undang-undang misalnya
terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak”
(halaman 6). Selanjutnya ia mengartikan Hak Uji Materiil sebagai
“wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu
peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu”;
2. Hak Uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem
hukum kita, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, yang telah mengalami perubahan sebanyak
empat kali, dalam Pasal 24 ayat (1), yang menyatakan, “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya …. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan hak uji Undang-Undang
5

terhadap Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Pasal 24C


Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang
selengkapnya menentukan sebagai berikut:
Pasal 24C ayat (1) berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
3. Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Bahwa Pasal 1 angka (3) huruf (a) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi, menyatakan bahwa “Permohonan adalah permintaan yang
diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;
5. Bahwa selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur secara hirarki
kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang,
oleh karenanya setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Maka jika terdapat ketentuan
dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 maka ketentuan Undang-Undang tersebut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang di Mahkamah
Konstitusi;
6. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian
secara materiil, yaitu untuk melakukan pengujian sebuah produk Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
6

C. KEDUDUKAN DAN HAK KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON


7. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
menyatakan para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang,
yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat, atau;
d. lembaga negara;
8. Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah
hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
9. Bahwa hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam Undang-
Undang Dasar 1945 diantaranya meliputi hak untuk mendapatkan
kepastian hukum, hak atas pekerjaan sebagiamana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
10. Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing
(dikualifikasi sebagai Pemohon) dalam permohonan pengujian undang-
undang tersebut. Adapun syarat yang pertama adalah kualifikasi bertindak
sebagai pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi. Syarat kedua adalah adanya kerugian
Pemohon atas terbitnya Undang-Undang tersebut;
11. Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia
(individu), yang juga adalah pekerja maupun eks pekerja, yang bergerak,
berminat dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk menegakkan hak-hak
para pekerja di Indonesia bagi terpenuhinya perlindungan dan penegakan
keadilan sosial, hukum, dan hak asasi manusia;

D. PARA PEMOHON
12. Bahwa Pemohon I adalah warga negara Republik Indonesia dan
merupakan pekerja di PT. Pertamina, yang mempunyai kepedulian yang
7

tinggi dalam rangka peningkatan kesejahteraan pekerja yang telah


mendapatkan kepercayaan dari pekerja dengan mengangkat Pemohon I
sebagai Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu
(FSPPB) berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor
03/MUNAS III/FSPPB/2008 tentang Pengangkatan Presiden FSPPB Masa
Bakti 2008-2011;
13. Bahwa Pemohon II adalah warga negara Republik Indonesia dan
merupakan pekerja di PT. Pertamina, yang mempunyai kepedulian yang
tinggi dalam rangka peningkatan kesejahteraan pekerja yang telah
mendapatkan kepercayaan dari pekerja dengan mengangkat Pemohon II
sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu
(FSPPB);
14. Bahwa baik Pemohon I maupun Pemohon II memandang bahwa hak-hak
konstitusionalnya selaku pekerja, termasuk pula hak-hak konstitusional
para pekerja lainnya (baik itu pekerja yang merupakan anggota FSPPB
maupun bukan) akan dirugikan sebagai akibat dari tidak adanya penafsiran
yang tegas dan jelas terhadap Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam hal kelak terjadinya suatu
perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja;
15. Bahwa Pemohon III adalah warga negara Indonesia selaku mantan
pekerja di PT. Total Indonesie yang perkaranya telah diputus di Pengadilan
Hubungan Industrial sampai Tingkat Peninjauan Kembali dengan Putusan
Nomor 096 PK/PDT.SUS/2010 Tahun 2010 Ir. Rommel Ginting melawan
Total E & P. Indonesie;
16. Bahwa Pemohon III memiliki kepedulian terhadap nasib para pekerja
lainnya yang sedang mengikuti proses penyelesaian hubungan industrial;
17. Bahwa Pemohon III secara de facto dan de jure telah dirugikan hak-hak
konstitusionalnya terkait pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai akibat dari tidak
adanya penafsiran yang tegas dan jelas terhadap Pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

E. FAKTA HUKUM
18. Bahwa pada tanggal 25 Maret 2003 Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
8

tentang Ketenagakerjaan, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor


39 Tahun 2003;
19. Bahwa Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu hubungan industrial
sekaligus juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
hal terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial;
20. Bahwa salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 155 ayat (2) menyatakan, “Selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya”;
21. Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) di atas, maka para pihak dalam
hubungan industrial (baik itu pengusaha maupun buruh) harus tetap
melaksanakan kewajiban, sehingga di sisi lainnya para pihak juga masih
harus tetap memperoleh hak-haknya selama masih berperkara dan
menunggu turunnya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan
perburuhan;
22. Bahwa adapun yang dimaksud dengan Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan adalah lembaga yang memiliki tugas dan
kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus terjadinya
perselisihan hubungan industrial mulai dari instansi yang berwenang
dibidang ketenagakerjaan (Disnakertrans) sampai dengan Pengadilan
Hubungan Industrial. Sedangkan jenis-jenis perselisihan hubungan
industrial itu sendiri berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja dan Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Buruh Dalam Satu
Perusahaan;
23. Bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu
sendiri memiliki struktur penyelesaian secara bertahap atau bertingkat,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004, bahwa salah satu pihak atau para pihak yang menolak anjuran dari
Disnakertrans dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat sampai akhirnya
9

diperoleh suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap atas perselisihan


tersebut;
24. Bahwa Pengadilan Hubungan Industrial memiliki tugas dan kewenangan
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Bab III Pasal 56) untuk
memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
25. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dalam hal terjadinya perselisihan
hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka pada waktu
keputusan peradilan tingkat pertama tidak diterima atau diajukan upaya
kasasi dan seterusnya maka keputusannya belum bersifat final atau
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
26. Bahwa bila ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dikaitkan dengan mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka terdapat
potensi ketidakpastian hukum bagi pekerja dalam perolehan hak-haknya
selama proses penyelesaian perselihan hubungan industrial belum diputus
(in kracht van gewijsde). Hal ini terjadi dengan mengingat bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) berupaya memberikan jaminan
dan perlindungan bagi buruh untuk tetap menerima upahnya selama
proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih berlangsung,
padahal putusan itu sendiri bersifat inkract bisa terjadi di pengadilan
hubungan industrial ataupun sampai dengan putusan kasasi atau
peninjauan kembali di Mahkamah Agung;
27. Bahwa dalam praktek, pengadilan hubungan industrial mengenai
kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja beserta hak-hak
lainnya selama proses persidangan ditemukan beberapa penafsiran, ada
yang menafsirkan upah proses hanya pada tingkat pengadilan hubungan
Industrial tapi ada juga yang menafsirkan sampai berkekuatan hukum
tetap;
10

28. Bahwa khusus untuk Pemohon III upah proses di tetapkan sampai dengan
keluarnya putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, seperti Putusan
dalam perkara Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
07/G/2008/PHI.Smda antara PT. Total E&P Indonesie dengan Ir. Rommel
Ginting menyatakan bahwa:
Mengadili:
Dalam Provisi:
‐ Mengabulkan tuntutan provisi dari Penggugat
‐ Memerintahkan kepada Penggugat untuk membayar upah beserta hak-
hak lainnya yang biasa diterima oleh Tergugat setiap bulan sebesat Rp
31.884.090,- (tiga puluh satu juta delapan ratus delapan puluh empat
ribu sembilan puluh rupiah) sejak bulan November 2007 sampai
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
29. Bahwa merujuk pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, maka sepatutnya dan berdasarkan hukum
bahwa putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht) pada saat keluarnya Putusan Kasasi Nomor 839
K/PDT.SUS/2008 pada tanggal 11 Februari 2009 dalam perkara a quo.
Namun ternyata mengenai pengertian mempunyai kekuatan hukum tetap
pihak pengusaha dalam hal ini, pihak PT. Total E&P Indonesie belum juga
membayarkan hak-hak pekerja yang bersangkutan karena adanya
perbedaan penafsiran tentang putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Perusahaan beranggapan bahwa yang di maksud dengan inkracht adalah
saat keluarnya keputusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
07/G/2008/PHI.Smda, pada bulan April 2007;
30. Bahwa selain menafsirkan upah proses sampai mempunyai kekuatan
hukum tetap, ternyata banyak juga pihak bahkan Hakim berpendapat
bahwa upah proses hanya sampai keluarnya putusan tingkat pertama di
Pengadilan Hubungan Industrial dengan alasan, Hakim Kasasi hanya
berwenang untuk mengkaji penerapan hukum terhadap putusan
Pengadilan Hubungan Industrial itu saja bahkan Hakim ada yang
berpendapat bahwa alasan upah prosesnya pada tingkat pengadilan
hubungan Industrial disebabkan Hakim menilai tidak adil kalau selama
proses pemeriksaan perkara pengusaha dibebankan kewajiban untuk
11

membayar upah. Sebagai contoh dalam perkara Nomor Nomor 078


K/PDT.SUS/2010 upah proses hanya dihitung sampai proses Pengadilan
Hubungan Industrial saja. Sehingga dengan tidak adanya penafsiran
secara tegas ketentuan Pasal 155 ayat (2) mengakibatkan ketidakpastian
hukum. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20559/ma-tak-hitung-
upah-selama-proses-dan-pesangon);
31. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu diperoleh suatu
penafsiran yang pasti dan berkekuatan hukum dari Mahkamah Konstitusi
terhadap pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, sehingga para pekerja yang memperoleh jaminan dan
kepastian hukum terhadap perolehan hak-hak mereka dalam hal terjadinya
perselisihan hubungan industrial dalam hal ini mengenai perselisihan hak
dan pemutusan hubungan kerja;
32. Bahwa salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu pada Pasal 155 ayat (2) berupaya
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha dan
pekerja dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial yang masih
berproses dipengadilan untuk tetap menjalankan kewajibannya masing-
masing, sampai dengan ditetapkan keputusan Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi:
“Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya.”
33. Bahwa dari Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang a quo mengandung
makna, selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, maka:
a. pekerja tetap memperoleh hak-haknya dan wajib bekerja, dan apabila
pekerja tidak bekerja bukan atas kemauan pekerja tapi atas kemauan
pengusaha maka pengusaha wajib juga membayarkan hak-hak pekerja.
b. pengusaha berhak mempekerjakan pekerja dan wajib membayar upah
pekerja.
12

F. ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN UJI MATERIIL TERHADAP PASAL


155 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
F. 1. PASAL 155 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL
28D AYAT (1) UNDANG-UNDANG DASAR 1945 KARENA
BERPOTENSI MENIMBULKAN KETIDAKPASTIAN HUKUM BAGI
PEKERJA:
Bahwa Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Adapun Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa: Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

Bahwa pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tidak adanya
penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula “belum ditetapkan”.

Bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah:
1) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan;
2) baik pengusaha;
3) maupun pekerja/buruh;
4) harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di


atas, maka secara hukum adanya proses dalam penyelesaian perkara
Hubungan Industrial tidak serta merta melepaskan tanggung jawab
perusahaan terhadap kewajiban mereka untuk menjamin kehidupan
karyawannya. Dalam hal ini imbalan yang berbentuk gaji pokok dan hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja wajib dibayarkan, serta tidak ada
penahanan atau bahkan pemotongan terhadap gaji yang dibayarkan.
13

Namun dalam praktiknya, implementasi dari unsur kata “belum ditetapkan”


menimbulkan pertentangan apakah putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial tersebut hanya sebatas pada pengadilan
tingkat pertama ataukah juga meliputi putusan pada tingkat selanjutnya yaitu
Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung?

Terlebih dengan mengingat ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2


Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang
menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
untuk memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Bahwa selanjutnya dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004


tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga ditegaskan
bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam
undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor


2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka
setiap pihak atau para pihak yang berselisih dalam perkara hubungan
industrial dapat mengajukan upaya hukum kasasi atau Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung dalam hal mereka menolak putusan pada pengadilan
hubungan industrial.

Bahwa lembaga peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung merupakan


pranata penentu keputusan dalam memutuskan suatu permasalahan hukum
yang dihadapkan kepadanya oleh pencari keadilan. Dalam bidang hukum
acara ditemukan upaya hukum banding dan kasasi bagi para pihak berperkara
yang tidak merasa puas atas keputusan pengadilan.

Bahwa Putusan Kasasi yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung merupakan


putusan yang terakhir dan mengikat kepada para pihak yang berperkara,
14

dalam arti lain putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van Gewijsde).

Bahwa memang benar berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor


2 Tahun 2004, Majelis Hakim dalam suatu perkara dapat mengeluarkan
Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayarkan upah-
upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja atau buruh.

Masalah ketidakpastian hukum justru timbul manakala putusan perselisihan


hubungan industrial tidak tercapai inkracht dalam peradilan tingkat
pertama/pengadilan hubungan industrial, di mana para pihak mengajukan
upaya hukum pada tingkatan yang lebih tinggi (Mahkamah Agung). Apakah
amanat Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa pengusaha dan pekerja masih harus tetap
melaksanakan kewajibannya selama putusan pengadilan hubungan industrial
belum ditetapkan, in casu bahwa pekerja masih harus dipenuhi upah dan hak-
hak lainnya sampai keluarnya putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap
di tingkatan Mahkamah Agung.

Bahwa yang dimaksud dengan berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah:


• Berdasarkan Titik Triwulan Tutik, S.H., MH, buku Pengantar Hukum Tata
Usaha Negara Indonesa, Prestasi Pustakaraya, 2010, halaman 367:
“Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa
terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat
juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum
tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggat waktu yang ditentukan oleh
UU.”
• Berdasarkan Juanda Pangaribuan, S.H., M.H., buku Tinjauan Praktis
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, edisi Revisi, PT.Bumi
Initama Sejahtera, 2010, halaman 162:
“Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum apabila:
a) Putusan itu mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
b) Para pihak tidak mengajukan kasasi dalam waktu 14 hari kerja sejak
putusan dibacakan atau sejak tanggal menerima pemberitahuan
putusan.
15

Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi dalam waktu 30 (tiga


puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi diterima.
Putusan yang diajukan kasasi dinyatakan berkekuatan hukum tetap apabila
hakim kasasi telah memutus permohonan itu. Putusan kasasi dapat
dieksekusi melalui PHI bila Tergugat tidak melaksanakan secara sukarela.
PK tidak menunda pelaksanaan putusan. Meskipun demikian, sulit
melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap bila Tergugat
mengajukan PK. Karena itu kadang kala PK diajukan bukan untuk
membatalkan putusan kasasi tetapi untuk menghalang-halangi eksekusi”.
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, agar Pasal 155 ayat (2) berkepastian
hukum untuk perselisihan hubungan Industrial berupa Perselisahan Hak dan
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, maka kalimat ”Selama putusan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial “belum ditetapkan”
harus di tafsirkan, selama putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap, kewajiban pekerja untuk bekerja dan hak pengusaha untuk
membayarkan upah adalah sampai suatu putusan berkekuatan hukum tetap,
dengan kata lain seandainya terhadap putusan pengadilan hubungan
Industrial, salah satu pihak mengajukan upaya hukum kasasi, maka baik
pekerja maupun pengusaha tetap harus menjalankan hak dan kewajibannya;

F. 2. PASAL 155 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003


TENTANG KETENAGAKERJAAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL
28D AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR 1945 KARENA
BERPOTENSI MENIMBULKAN PELANGGARAN HAK PEKERJA
UNTUK MEMPEROLEH PERLAKUAN YANG ADIL DAN LAYAK
SECARA HUKUM

Bahwa Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Adapun Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa, Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
16

Bahwa akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 155 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berujung pada ketidakpastian hukum
sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dengan sendirinya juga
menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai
yang termaktub dalam konstitusi Negara kita pada Pasal 28D ayat (2).

Bahwa berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, salah
satu pihak yang di jaminkan haknya dalam putusan sela itu yaitu para buruh
dan pekerja menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan
penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya.

Pelaksanaan putusan dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh


hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu
memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur
kemanfaatan dan unsur kepastian hukum.

G. KESIMPULAN
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa konstitusi negara Republik Indonesia menjamin hak warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam
hubungan industrial, termasuk juga pranata-pranata yang wajib dipenuhi
dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial;
3. Bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
memiliki struktur yang bertingkat, mulai dari proses penyelesaian di
instansi yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan (disnakertrans)
sampai dengan pengadilan hubungan industrial;
4. Bahwa untuk perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja,
pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan tingkat pertama.
Artinya masih ada upaya hukum lainnya yaitu Kasasi Dan Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung;
17

5. Bahwa Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang ketenagakerjaan yang mewajibkan para pihak untuk
melaksanakan kewajibannya sampai dengan ditetapkannya putusan
oleh lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan;
6. Bahwa berdasarkan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang a quo juga
mengandung arti bahwa para pekerja berhak atas upah dan hak-hak
lainnya sampai dengan jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap
dalam perselisihan hubungan industrial;
7. Bahwa tidak adanya penafsiran yang tegas terhadap Pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang a quo utamanya terhadap frasa ”belum ditetapkan”,
berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dilanggarnya hak
atas rasa adil bagi para pekerja, dengan mengingat bahwa putusan
perselisihan hubungan industrial bisa in kracht pada pengadilan tingkat
pertama (pengadilan hubungan industrial dan/atau in kracht pada
tingkatan Kasasi (Mahkamah Agung);
8. Bahwa Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
adalah konstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 sejauh kata belum ditetapkan ditafsirkan sampai pengadilan
hubungan industrial mempunyai kekuatan hukum tetap.
9. Bahwa pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
adalah konstitusional dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 sejauh kata ”belum ditetapkan” ditafsirkan sampai pengadilan
hubungan industrial mempunyai kekuatan hukum tetap.

H. PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang
Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan adalah konstitusional bersyarat dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sejauh frasa ”belum
ditetapkan” ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap (inkract van
gewisde);
18

3. Menyatakan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan adalah konstitusional bersyarat dengan Pasal
28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sejauh frasa ”belum
ditetapkan” ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap (inkract van
gewisde);
Atau Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan
Bukti P-14, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial;
4. Bukti P-4.1 : Fotokopi Putusan Sela Nomor 07/G/2008/PHI.smda, tanggal
2 April 2008;
Bukti P-4.2 : Fotokopi Putusan Nomor 07/G/2008/PHI.smda, tanggal 12 Mei
2008;
Bukti P-4.3 : Fotokopi Putusan Nomor 839 K/PDT.SUS/2008, tanggal
11 Februari 2009;
Bukti P-4.4 : Fotokopi Putusan Nomor 096 PK/PD.SUS/2010, tanggal
24 Agustus 2010;
Bukti P-4.5 : Fotokopi Putusan Nomor 078 K/PDT.SUS/2010, tanggal
30 Maret 2010;
Bukti P-4.6 : Fotokopi Putusan Nomor 132 PK/PD.SUS/2010, tanggal
30 September 2010;
5. Bukti P-5.1 : Fotokopi Surat Elektronik (E-mail) dari darmanto@fardalaw.com
(Kuasa Hukum PT.Total E&P Indonesie) kepada
raginting@yahoo.co.id (eks karyawan PT. Total E&P Indonesie);
19

Bukti P-5.1 : Fotokopi Surat Elektronik (E-mail) dari Ari.KARTIKA@total.com


(Managemen PT.Total E&P Indonesie) kepada
raginting@yahoo.co.id (eks karyawan PT. Total E&P Indonesie);
6. Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon II;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor
03/MUNAS III/FSPPB/2008 tentang Pengangkatan Presiden
FSPP Masa Bakti 2008 – 2011, tanggal 29 Oktober 2008;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Federasi
Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
9. Bukti P-9 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu (FSPPB) di Disnaker dengan Nomor
001/FSPPB/2003, tanggal 19 Maret 2003;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun
2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja
dan Ganti Kerugian di Perusahaan;
11. Bukti P-11.1 : Fotokopi Buku Tuntutan Praktis Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, Penulis Juanda Pangaribuan, S.H., M.H.,
Edisi Revisi;
12. Bukti P-11.2 : Fotokopi Halaman 367 dari Buku Pengantar Hukum Tata Usaha
Negara, Penulis Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H.;
13. Bukti P-12 : Fotokopi Berita Media hukumonline.com, MA Tak Hitung Upah
Selama Proses dan Pesangon;
14. Bukti P-13 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
15. Bukti P-14 : Fotokopi Makalah yang berjudul, Batas upah proses terkait
penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan dalam hukum
ketenagakerjaan, yang disampaikan oleh Juanda Pangaribuan,
Hakim ad hoc. pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang telah didengar


keterangannya dalam persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai
berikut:
20

1. Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H.

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 155


ayat (2) menyatakan, "Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh
harus tetap melaksanakan segala kewajibannya." Penjelasan Pasal 155: Cukup
jelas;

2. Ayat (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan
tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh;
3. Penafsiran gramatikal atas frasa belum di tetapkan pada ayat (2), saat ini dalam
praktik, paling tidak ada 3 penafsiran yang berkembang yaitu:
i. Upah proses hanya 6 bulan; [Para pencari keadilan dapat menggunakan
Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 sebagai dasar hukum yang
menyatakan pembayaran upah proses atau upah yang biasa diterima dan
upah skorsing maksimal 6 bulan apabila: a) UU Ketenagakerjaan tidak
mengatur tentang pembayaran upah proses atau upah yang biasa
diterima dan upah skorsing; b) UU Ketenagakerjaan dengan tegas
mengatur batas pembayaran upah skorsing dan upah proses merujuk
pada Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000; c) UU Ketenagakerjaan
memberi mandat kepada pemerintah untuk mengatur batas upah proses
atau upah yang biasa diterima dan upah skorsing, akan tetapi pemerintah
melalaikan kewajiban hukumnya.
Dalam praktik peradilan yang memutus upah proses Iebih dari 6 bulan,
membuktikan bahwa UU Ketenagakerjaan tidak mengatur batas maksimal
pembayaran upah proses];
ii. Upah proses hanya sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap
pertama;
iii. Upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap.
4. Mencermati Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) jelas mengatur kewajiban
pengusaha untuk membayar upah pekerja selama proses penyelesaian
perselisihan PHK berlangsung;
21

5. Apabila, penafsiran secara gramatikal ada sesuatu yang belum/tidak jelas maka
dapat di lakukan penafsiran secara sistematis yaitu menafsirkan Pasal 155 ayat
(2) dengan ketentuan hukum terkait lainnya. Pasal 155 tentang upah proses
selama ada sengketa perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan
hubungan kerja apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pasal 56 yang
menyatakan pengadilan hubungan industrial memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
6. Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dihubungkan dengan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka upah proses
seharusnya di bayarkan sampai dengan putusan pengadilan hubungan industrial
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
7. Pembayaran upah proses merupakan norma yang bertujuan untuk melindungi
buruh (yang mempunyai posisi lebih lemah) dari tindakan pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang dilakukan oleh pengusaha;
8. Istilah upah proses tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003. Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenal istilah upah beserta hak-hak
lain yang biasa diterima. Dalam praktik ada yang menggunakan istilah upah
proses (Putusan MA Nomor 848 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 6 Mei 2010 juncto
Nomor 112/PHI.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 14 Juli 2009 antara PT Carrefour
Indonesia vs Riska Oktariana. Judex juris menguatkan judex factie dengan
menghukum PT Carrefour Indonesia membayar upah proses tmt Oktober 2008
sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan. Jumlahnya 10
bulan, upah yang biasa diterima (Putusan MA Nomor 051 PK/Pdt.Sus/2009
tanggal 11 November 2009 menghukum PT Bank Commonwealth membayar
upah yang biasa diterima pekerja (Theresia Adiwijaya) tmt April 2007 sampai
dengan Juli 2008. Juli 2008 saat Majelis Hakim di tingkat Kasasi memutus
permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Bank Commonwealth. Putusan
22

Peninjauan Kembali menghitung upah sampai putusan berkekuatan hukum


tetap, dan kalau dihitung maka berjumlah 16 bulan.
Putusan Peninjauan Kembali ini membatalkan putusan MA Nomor 328
K/Pdt.Sus/2008 tanggal 28 Juli 2008 dan putusan PHI PN Jakarta Pusat Nomor
347/PHI. G/2007/PN Jkt. Pst tanggal 28 Februari 2008.
Vide Putusan MA Nomor 543 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 17 November 2009 yang
menguatkan Putusan PN Nomor 128/PHI.G/PN.JKT.PST tanggal 22 Agustus
2008 yang menghukum pengusaha untuk membayar upah yang biasa diterima
(upah proses) buruh selama 22 bulan.
Vide Putusan MA Nomor 127 K/PHI/2006 tanggal 22 Februari 2007 yang
menguatkan Putusan Nomor O1/PHI.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 Juli 2006
yang menghukum PT Garuda Indonesia untuk membayar upah yang biasa
diterima oleh penggugat (Firdaus) sejak Februari 2004 sampai dengan putusan
berkekuatan hukum tetap. Total selama 37 bulan, namun demikian kedua istilah
tersebut memiliki makna yang sama. Intinya adalah kewajiban pengusaha untuk
membayarkan upah kepada pekerja/buruh yang sedang menjalani proses PHK;

Kewajiban tersebut paralel dengan ketentuan:

Pasal 151 ayat (3) menyatakan, “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara
tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat
(2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat
diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan,
tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.”
23

Pasal 155 ayat (1) “Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.”;
9. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu diperoleh suatu penafsiran yang
pasti dan berkekuatan hukum dari Mahkamah Konstitusi terhadap pemberlakuan
Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga para
pekerja yang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan
hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial mengenai
perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja;
10. Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah konstitusional bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang frasa belum ditetapkan ditafsirkan
sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

2. Surya Chandra, S.H., LL.M.


1. Ahli sependapat dengan keterangan ahli Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H.,
yaitu secara hukum frasa atau kalimat di dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-
Undang Ketenagakerjaan, terkait dengan selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja buruh harus melaksanakan segala kewajibannya.
Artinya, dari pekerja harus tetap bekerja dan dari pengusaha harus tetap
membayar upah atau hak-hak yang biasa diterima. Lembaga penyelesaian
perselisihan perburuhan dimaksud adalah Pengadilan Hubungan Industrial
(Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial) yang sebelumnya diselesaikan oleh P4 (Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) di tingkat daerah dan di tingkat
nasional yang memberikan anjuran atau putusan seperti PHK. Dengan
demikian menurut ahli frasa ’belum ditetapkan’ harus mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
2. Frasa ’belum ditetapkan’ menjadi penting karena terkait dengan hak dan
kewajiban dari para pihak, misalnya terjadi PHK, maka ketika salah satu pihak
menolak terjadilah perselisihan/dispute yang kemudian akan dibawa ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI);
3. Dalam praktik terjadi hakim mengacu kepada Keputusan Menteri Tenaga Kerja
24

Nomor 150 Tahun 2000 yang mengatur secara tegas adanya upah selama
skorsing, yang dibatasi enam bulan. Namun ada juga yang menyatakan sampai
putusan PHI dikeluarkan dan ada juga yang menyatakan sampai putusan
Mahkamah Agung, ketika proses kasasi terjadi. Oleh karena itu, menurut ahli,
frasa ’belum ditetapkan’ menimbulkan kerancuan penafsiran dari hakim,
khususnya yang selama ini bertanggung jawab memeriksa kasus-kasus terkait
perselisihan ketenagakerjaan, sehingga menurut ahli, frasa itu harus dipertegas
dengan menggunakan preseden yang sudah ada saja yaitu ketika P4, P4D
maupun P4 Pusat (P4P) ada, di mana upah proses itu sampai putusan yang
inkracht van gewijsde;
4. Memperjelas tafsiran dari frasa ’belum ditetapkan’ akan membantu hakim-
hakim di pengadilan hubungan industrial sehingga mempunyai pilihan yang
tegas.
5. Ahli juga mendukung keterangan juga yang tadi dikatakan oleh Prof. Dr. Anna
Erliyana, S.H., M.H., yaitu untuk kepastian hukum, khususnya dari pihak
pekerja yang secara sosiologis lemah walaupun secara hukum sama
kedudukannya,
6. Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) UU 13/2003 memberikan perlindungan pekerja
dari kemungkinan atau potensi arogansi pengusaha, khususnya ketika terjadi
PHK secara melawan hukum (unfair dismissal). Penegasan dari Mahkamah
Konstitusi menjadi penting karena praktiknya perselisihan hubungan industrial
tidak dapat selesai dalam waktu 6 bulan. Dengan demikian frasa ’belum
ditetapkan ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap merupakan satu
statement yang wajar, yang sah, dan sudah merupakan praktik sehari-hari di
dalam proses peradilan.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah


menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan tanggal 27
Juli 2011 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 Agustus 2011, sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON


1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi Nomor
628.37/PAN.MK/VI/2011, para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-
25

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal


28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
3. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:
”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan la yak dalam hubungan kerja.”
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah peselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;
5. Ketentuan di dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa apabila terjadi
perselisihan pemutusan hubungan kerja yang oleh lembaga penyelesaian
perselisihan belum ditetapkan, maka segala kewajiban baik pengusaha
maupun pekerja harus tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya;
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Pasal 56 menyatakan, ”Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertaman dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan";
7. Dengan adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka
dalam hal perselisihan pemutusan hubungan kerja, putusan lembaga
perselisihan hubungan industrial berkekuatan hukum tetap apabila telah
dilakukan upaya peradilan terakhir baik Kasasi ataupun Peninjauan Kembali
di tingkat Mahkamah Agung;
26

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat den prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus
memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
27

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik


(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan
Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusinalnya dirugikan atas berlakunya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Juga apakah terdapat
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
untuk diuji;
Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan
membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai
pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah
berpendapat bahwa tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional
para Pemohon yang dirugikan atas berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang terdahulu;
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terkait dengan kedudukan hukum (legal
standing) para Pemohon, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya
apakah para Pemohon memiliki kualifikasi sebagai pihak yang dirugikan hak-
hak konstitusionalnya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
28

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL


155 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN

Terhadap permohonan pengujian ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-


Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah dapat
menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur
dan mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan. Dimana keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan, tenaga kerja sebelum, selama, dan
sesudah bekerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah, dan masyarakat;
2. Pada dasarnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh dimaksudkan terjadinya hubungan kerja yang
kekal dan langgeng, dengan perkataan lain masing-masing pihak berupaya
sekuat tenaga agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja;
3. Oleh karena itu pemutusan hubungan kerja adalah awal penderitaan
pekerja dan keluarganya serta dapat berdampak terhadap kelangsungan
proses produksi guna memenuhi kebutuhan masyarakat, maka pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja;
4. Dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh, dapat terjadi pemutusan hubungan kerja yang disebabkan
adanya pelanggaran sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, yang ada kalanya sulit dihindari.
Maka apabila pengusaha hendak melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh, pengusaha yang bersangkutan diwajibkan untuk
merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja tersebut dengan serikat
pekerja/serikat buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh atau langsung dengan pekerja/buruh
yang bersangkutan apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh;
5. Bahwa dalam perundingan penyelesaian pemutusan hubungan kerja antara
29

pengusaha dan pekerja/buruh apabila tidak mencapai kesepakatan,


pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Dengan perkataan lain, pengusaha tidak
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
secara sepihak atau semena-mena;
6. Jika proses pemutusan hubungan kerja sebagaimana tersebut pada angka
5 di atas tidak dilalui, maka pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
pengusaha terhadap pekerja/buruh menjadi batal demi hukum (noel en
void);
7. Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dapat dilakukan melalui berbagai alternatif
penyelesaian, dimulai dengan perundingan bipartit antara pengusaha
dengan pekerja/buruh, dan apabila tidak mencapai kesepakatan dalam
perundingan bipartit, untuk penyelesaian selanjutnya dapat memilih melalui
mediasi atau konsiliasi. Dalam hal salah satu pihak atau kedua belah pihak
tidak dapat menerima hasil mediasi atau konsiliasi maka dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan bahkan hingga kasasi ke
Mahkamah Agung. Ketentuan ini telah memberikan keleluasaan dan
kesempatan kepada para pihak untuk menggunakan alternatif penyelesaian
perselisihan yang tersedia, untuk mendapatkan penyelesaian secara cepat,
tepat, adil, dan murah;
8. Perselisihan pemutusan hubungan kerja merupakan jenis perselisihan yang
dapat ditempuh upaya Kasasi di Mahkamah Agung apabila salah satu pihak
ada yang tidak puas atas putusan Pengadilan Hubungan Industrial;
9. Selama proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya dalam arti pekerja/buruh tetap bekerja sehingga berhak
memperoleh upah sebaliknya pengusaha wajib mempekerjakan dan
memberi upah, sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan
demikian hak pekerja/buruh wajib melaksanakan kewajibannya sebelum
adanya putusan lembaga pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan
30

hukum tetap;
10. Proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial telah menentukan secara rinci batasan
waktu yang jelas dimasing-masing tahapan. Yaitu, pada proses
perundingan bipartit selama 30 (tiga puluh) hari, proses mediasi atau
konsiliasi selama 30 (tiga puluh) hari, proses Pengadilan Hubungan
Industrial selama 50 (lima puluh) hari dan apabila Kasasi ke Mahkamah
Agung, waktu yang dibutuhkan selama 30 (tiga puluh) hari. Sehingga dari
keseluruhan proses tersebut diatas memerlukan waktu selama 140 (seratus
empat puluh) hari.
Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 155 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial telah memberikan kepastian hukum terhadap
penyelesaian perselisihan hubungan kerja maupun jangka waktu upah
proses;
Karena itu, menurut pemerintah yang terjadi pada diri para Pemohon tidak
terkait dengan masalah konstitusionalitas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji, akan tetapi terkait dengan praktik pelaksanaan
penyelesaian di lembaga peradilan (dari mulai peradilan hubungan industrial
sampai Kasasi di Mahkamah Agung);

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dapat
memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2. Menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
31

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan


Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

[2.4] Menimbang bahwa para Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis


yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 Agustus 2011 yang
pada pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya. Pemerintah tidak
menyampaikan kesimpulan;

[2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian


frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) selanjutnya disebut UU 13/2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo dan kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
32

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
selanjutnya disebut UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah menguji Pasal


155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa “belum ditetapkan” terhadap UUD
1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
UU MK;
33

b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan


oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi
lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan selaku perorangan


warga negara Indonesia menganggap frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155
ayat (2) UU 13/2003 merugikan hak konstitusional para Pemohon yang ditentukan
dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:

”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;”
34

Dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:


1. Bahwa pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa ”belum
ditetapkan” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal
tersebut disebabkan karena tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas
mengenai klausula “belum ditetapkan”, yang dalam praktiknya, implementasi
dari unsur kata “belum ditetapkan” menimbulkan pertentangan apakah
putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut
hanya sebatas pada pengadilan tingkat pertama ataukah juga meliputi putusan
pada tingkat selanjutnya yaitu kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah
Agung?
2. Bahwa menurut para Pemohon frasa ”belum ditetapkan” juga telah
menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai Pasal
28D ayat (2) UUD 1945, karena berdasarkan Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003
juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4356, selanjutnya disebut UU 2/2004), salah
satu pihak yang dijamin haknya dalam putusan sela itu, yaitu para buruh dan
pekerja, menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan
penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya.
3. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Pasal
155 ayat (2) UU 13/2003 khususnya frasa “belum ditetapkan” harus di
tafsirkan, selama putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum
tetap, kewajiban pekerja untuk bekerja dan kewajiban pengusaha untuk
membayarkan upah adalah sampai suatu putusan berkekuatan hukum tetap,
dengan kata lain seandainya terhadap putusan pengadilan hubungan Industrial,
salah satu pihak mengajukan upaya hukum kasasi, maka baik pekerja maupun
pengusaha tetap harus menjalankan hak dan kewajibannya;

[3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK


dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing)
35

serta dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut
Mahkamah:

• Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945,
khususnya Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan para Pemohon menganggap
hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
• Kerugian konstitusional para Pemohon bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
• Terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, serta ada
kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa,


mengadili, dan memutus permohonan a quo, dan para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
[3.10] Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan ahli dari para
Pemohon, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon,
sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:

[3.10.1] Para Pemohon memohon pengujian konstitusional frasa “belum


ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan menyatakan frasa “belum ditetapkan”
konstitusional bersyarat sepanjang frasa “belum ditetapkan” ditafsirkan sampai
berkekuatan hukum tetap;
36

[3.10.2] UU 13/2003 dan UU 2/2004 telah mengatur tentang mekanisme


pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut PHK). Pasal 151 UU 13/2003
menegaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin
menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat dihindari, maka pekerja dan
pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. Sekiranya pun
perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PHK hanya dapat dilakukan
setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. PHK yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial menjadi batal demi hukum [vide Pasal 155 ayat
(1) UU 13/2003]. Selama masa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha harus tetap
melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing sebagaimana diatur dalam
Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003;

[3.10.3] Lahirnya UU 2/2004 merupakan amanat dari Pasal 136 ayat (2) UU
13/2003 yang menyatakan, “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang”;

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU 2/2004, Perselisihan Hubungan Industrial


meliputi: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu
perusahaan. Mekanisme penyelesaian masing-masing perselisihan tersebut
dilakukan secara bertahap yang dimulai dari perundingan bipartit, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian oleh Pengadilan Hubungan Industrial.

Ketika perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana


diatur dalam Pasal 24 UU 2/2004, maka perselisihan tersebut dianggap belum final
dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 dikaitkan
dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka terdapat
potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak tentang makna frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003. Apakah frasa “belum
ditetapkan” adalah diartikan pada saat putusan dijatuhkan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial ataukah pada saat putusan tersebut berkekuatan hukum
37

tetap? Pertanyaan ini muncul karena tidak semua putusan Pengadilan Hubungan
Industrial langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya putusan mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada
saat putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama sedangkan
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan
permohonan kasasi sehingga putusannya apabila dimohonkan kasasi baru
memperoleh kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan Mahkamah Agung
[vide Pasal 56 juncto Pasal 109 dan Pasal 110 UU 2/2004];

[3.10.4] Bahwa Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan:
”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;”
Berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut,
menurut Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003, agar terdapat kepastian hukum
yang adil dalam pelaksanaan dari frasa “belum ditetapkan” a quo, sehingga para
pihak dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-
hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial. Menurut
Mahkamah, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 harus
dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena
putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial,
yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan mengenai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, serta putusan
mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi. Adapun
putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi harus
menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung terlebih dahulu baru
memperoleh kekuatan hukum tetap;

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas


Mahkamah berpendapat, permohonan para Pemohon tersebut terbukti dan
beralasan menurut hukum;
38

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan para Pemohon terbukti dan beralasan menurut
hukum;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,

Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum
berkekuatan hukum tetap;
39

3. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang


dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Hamdan
Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Maria Farida Indrati, dan Muhammad Alim,
masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal enam bulan
September tahun dua ribu sebelas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin tanggal sembilan belas bulan
September tahun dua ribu sebelas, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh.
Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Anwar Usman,
Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Maria Farida Indrati, dan
Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh
Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para
Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,
40

ttd. ttd.

Achmad Sodiki Anwar Usman

ttd. ttd.

Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi

ttd. ttd.

Harjono Maria Farida Indrati

ttd.

Muhammad Alim

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Cholidin Nasir
Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia
Nomor 92 Tahun 2004, Terbit Hari Rabu tanggal 17 Nopember 2004

PUTUSAN
Perkara Nomor 012/PUU-I/2003

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat


pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh : -----------------

1. Nama : SAEPUL TAVIP.


Jabatan & Organisasi : Sekjen. Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia.
Alamat : Jl. Tebet Dalam II No. 29, Jakarta Selatan.
2. Nama : HIKAYAT ATIKA KARWA.
Jabatan & Organisasi : Ketua Umum Federasi SP Logam, Elektronik, dan
Mesin SPSI.
Alamat : Jl. Raya Pasar Minggu No. 9, Jakarta Selatan.
3. Nama : ILHAMSYAH.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia
(FNPBI).
Alamat : Jl. Rawajati Timur II No. 8, Kalibata, Jakarta Selatan.
4. Nama : SOEPARMAN SHR.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi Serikat Pekerja Nasional (dahulu
Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang & Kulit).
Alamat : Gedung Selaras Lt. 3, Mampang Prapatan 79, Jakarta
Selatan.
5. Nama : DJUFNIE A.
2

Jabatan & Organisasi : Ketua Umum Federasi SP Farmasi dan Kesehatan


Reformasi.
Alamat : Jl. Pramuka Raya No. 404 K, Jakarta Pusat.
6. Nama : SJAIFUL DP.
Jabatan & Organisasi : Ketua Umum Federasi SP Kimia, Energi, dan
Pertambangan.
Alamat : Jl. Tebet Dalam III-C No. 15, Jakarta Selatan.
7. Nama : RUSTAM A.
Jabatan & Organisasi : Presiden Kongres Serikat Pekerja Indonesia.
Alamat : Graha Selaras Lt. 3, Jl. Mampang Prapatan 79, Jakarta
Selatan.
8. Nama : NURHASANAH MUNAF.
Jabatan & Organisasi : Ketua Federasi Serikat Buruh Indonesia Perjuangan
(SBI Perjuangan) .
Alamat : Perum Kali Deres Permai Blok 1/7 B, Jakarta Barat.
9. Nama : STIYONO.
Jabatan & Organisasi : Ketua Umum Serikat Buruh Jabotabek (SBJ).
Alamat : Komplek P&K, Jl. Nusa Indah No. 251, RT. 01 / 05,
Cipondoh, Tangerang.
10. Nama : MOH. JUMHUR HIDAYAT.
Jabatan & Organisasi : Ketua Umum GASPERMINDO.
Alamat : STM Budi 3 A, Dewi Sartika Cawang III, Jakarta Timur.
11. Nama : SUMARNO.
Jabatan & Organisasi : Ketua DPP Garmen dan Tekstil SBSI (Garteks-SBSI).
Alamat : Jl. Kayu Mas Raya No. 401, Jakarta Timur.
12. Nama : BAMBANG PRIYANTO.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. DPN Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia
(SPISI).
Alamat : Graha Irama Lt. II (Kantor Semen Gresik),
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 1-2, Jakarta Selatan.
13. Nama : TEGUH SUSILO.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. DPP Serikat Buruh Transportasi Perjuangan
Indonesia (SBTPI).
Alamat : Jl. Jampea Raya No. 123 C, Koja, Jakarta Utara.
14. Nama : EDDY SUPRAPTO.
3

Jabatan & Organisasi : Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.


Alamat : Jl. LAN 1 / 12 B, Penjernihan, Jakarta.

15. Nama : RUDI HB. DZAMAN.


Jabatan & Organisasi : Sekjen. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
Alamat : Jl. Raya Lenteng Agung No. 2 RT. 01 / 03, Srengseng,
Jakarta Selatan.
16. Nama : ALY AKBAR.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. DPP SP Percetakan, Pers, dan Media (PPMI).
Alamat : Jl. Tebet Dalam III-C, Jakarta Selatan.
17. Nama : W.D.F. RINDORINDO.
Jabatan & Organisasi : Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI).
Alamat : Jl. Tanah Abang III No. 24, Jakarta Pusat.
18. Nama : SUNARNO.
Jabatan & Organisasi : Ketua Serikat Buruh Nusantara (SBN).
Alamat : Jl. Poris Gaga Baru RT. 04 / 02 No. 26, Tangerang.
19. Nama : SOFYAN.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi SP Pariwisata Reformasi.
Alamat : Jl. Bendungan Jatiluhur No. 100, Jakarta Pusat.
20. Nama : SULISTRI.
Jabatan & Organisasi : Koordinator Forum Pemimpin dan Aktivis Perempuan
SP / SB Indonesia.
Alamat : Jl. Damar I No. 544, Blok D Margahayu, Bekasi.
21. Nama : MOHAMMAD IRFAN.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Serikat Buruh Maritim dan Nelayan Indonesia
(SBMNI).
Alamat : Jl. Tongkol 3A, Jakarta Utara.
22. Nama : NURYONO.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. SBJ Perjuangan.
Alamat : Kedumanggu RT. 03 RW. 02 Babakan Madang, Bogor.
23. Nama : ANWAR MARUF.
Jabatan & Organisasi : Sekjen Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU).
Alamat : Jl. Kalimantan Blok B. 78 Cimone Mas Permai I,
Tangerang.
4

24. Nama : EDI HUDYANTO.


Jabatan & Organisasi : Sekum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM).
Alamat : Jl. Pondok Jaya III No. 3A, Jakarta Selatan.
25. Nama : IDIN ROSIDIN.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
26. Nama : NIKASI GINTING.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi SB Pertambangan dan Energi SBSI.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
27. Nama : ANDY W. SINAGA.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi SB Transportasi dan Angkutan SBSI.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
28. Nama : STEVEN IWANGGIN.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi Pelaut dan Nelayan SBSI.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
29. Nama : ULY NURSIA.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi Niaga Keuangan dan Perbankan SBSI
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
30. Nama : TRISNA MIHARJA.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi SB Makanan Minuman Pariwisata
Restoran Hotel dan Tembakau SBSI.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
31. Nama : MATHIAS MEHAN.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. Federasi SB Kehutanan Perkayuan dan
Pertanian SBSI.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
32. Nama : EDWARD P.M.
Jabatan & Organisasi : Ketua FSB Logam Mesin dan Elektronik SBSI.
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
33. Nama : HARRIS MANALU.
Jabatan & Organisasi : Ketua FSB Konstruksi Umum dan Informal SBSI..
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
34. Nama : S. SIMARMALA.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. FSB Pendidikan Pelatihan dan Pegawai Negeri
SBSI.
5

Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.

35. Nama : ARI DJOKO S.


Jabatan & Organisasi : Ketua FSB Garmen Tekstil Kulit dan Sepatu SBSI
Alamat : Jl. Otista III No. 20 Bidara Cina, Jakarta Timur.
36. Nama : DINGIN.
Jabatan & Organisasi : Sekjen. SB Kimia dan Kesehatan SBSI
Alamat : Jl. Otista III No. 20 Bidara Cina, Jakarta Timur.
37. Nama : SOFIATI MUKADI.
Jabatan & Organisasi : Ketua Umum FSP Kahutindo.
Alamat : Jl. KAHFI 1 No. 31 Kav. DPR 05/01 Ciganjur.

Dalam hal ini diwakili oleh Kuasanya : SURYA TJANDRA, SH., LLM; RITA OLIVIA
TAMBUNAN, SH, LLM; ASFINAWATI, SH; B. LUCKY ROSSINTHA, SH; Pengacara
Publik pada Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Jakarta, beralamat di Jl. Diponegoro
No. 74, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Juni 2003 dan
11 November 2003. Selanjutnya disebut sebagai ………...………….…PARA PEMOHON;

- Telah membaca surat permohonan Para Pemohon; ---------------------------------------------


- Telah mendengar keterangan Para Pemohon; ----------------------------------------------------
- Telah mendengar keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia; ----------------------------------------------------------------------------------------------------
- Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia; ---------------------------------------------------------------------------------------
- Telah memeriksa bukti-bukti; ---------------------------------------------------------------------------
- Telah mendengar keterangan Ahli dan Saksi dari Para Pemohon; ---------------------------

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dengan surat permohonannya bertanggal 18 Juni
2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(selanjutnya disebut Mahkamah) pada tanggal 15 Oktober 2003 dengan Registrasi
6

Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 21 Nopember 2003; -----------------

Menimbang bahwa para Pemohon di dalam permohonannya pada pokoknya


mengemukakan hal-hal sebagai berikut : ----------------------------------------------------------------

I. PENDAHULUAN

"Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", sudah sejak
awal berdirinya negara ini ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara yang
secara khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional
negara ini. Dengan demikian pemerintah, selaku pelaksana utama konstitusi,
berkewajiban melaksanakan amanat ini dengan semaksimal mungkin
mengusahakan agar warga negara Indonesia bisa sungguh mendapatkan
pemenuhan hak asasinya ini. Amanat ini juga amat terkait dengan tujuan umum
bangsa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 untuk
"memajukan kesejahteraan umum" berdasarkan Pancasila, untuk terciptanya
"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"; -------------------------------------------------

Seperti negara-negara lain yang baru lepas dari kolonialisme pasca-Perang Dunia II,
Indonesia memilih industrialisasi dan pembangunan ekonomi sebagai salah satu
strategi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Amat disadari oleh para
pendiri negara (founding mothers and fathers) bahwa industrialisasi sendiri akan
menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba meraih
kesejahteraannya dari situ, yaitu mereka yang tidak punya apa-apa selain tenaganya
untuk dijual guna mendapatkan upah untuk hidup. Mereka inilah yang disebut
dengan buruh/pekerja. Negara, selaku pihak yang sejak awal memang merancang
ini, mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal perburuhan
dengan menjamin agar mereka dapat terlindungi hak-haknya dalam bingkai
konstitusi; --------------------------------------------------------------------------------------------------

Inilah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai "pekerjaan"
dan "penghidupan yang layak" tersebut, yang terkait amat erat dengan Pasal 28
mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul. Keduanya termuat di dalam
Bab X UUD 1945 yang bertajuk "Warganegara dan Penduduk". Keduanya sekaligus
menjadi jaminan konstitusional bagi warga negara umumnya dan buruh khususnya,
untuk mendapatkan hak konstitusional "penghidupan yang layak" yang dapat
7

diperolehnya dari "pekerjaan", dan kebebasan untuk berorganisasi guna menaikkan


posisi tawarnya; ------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada penjelasan khusus mengenai "hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak" di dalam Penjelasan UUD 1945 yang mengatakan "cukup jelas". Namun
demikian, apabila melihat sejarah pembentukan hukum perburuhan di Indonesia
dapat ditemukan banyak bukti nuansa perlindungan (proteksi) terhadap buruh. Pada
tahun 1947, dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Perdana
Menteri Sjahrir mengeluarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang
Kecelakaan, yang merupakan produk hukum perburuhan pertama yang dibuat oleh
bangsa Indonesia sendiri. Undang-undang ini memberi sinyal baru perubahan
penting dari kebijakan dasar perburuhan di Indonesia, dengan antara lain
menggantikan sistem Pasal 1601-1603 BW yang lebih banyak mengacu kepada
hubungan "privat" antara para pihak (buruh dan majikan) dengan nuansa liberal
"no work no pay"; ----------------------------------------------------------------------------------------

Kemudian pada tahun 1948 dihasilkan dua undang-undang lain yaitu Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun
1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak aspek perlindungan
terhadap buruh. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 misalnya memuat larangan
terhadap diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu; kewajiban
pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja; termasuk
sebuah pasal yang melarang mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun. Selain
itu Undang-undang ini juga menjamin hak perempuan buruh untuk mengambil cuti
haid dua hari dalam sebulan, dan pembatasan kerja malam bagi perempuan.
Seorang pengamat Indonesia asal Australia, Chris Manning, di dalam buku
Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story ? (1998),
mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 adalah Undang-undang
Perburuhan yang paling maju di Asia Tenggara pada waktu itu dari segi
perlindungan terhadap buruh. Ketentuan kerja 40 jam seminggu misalnya, jauh lebih
baik dibanding negara-negara tetangga dengan 44 hingga 48 jam seminggu.
Demikian pula dengan ketentuan larangan buruh anak, yang relatif belum dikenal
di region ini pada waktu itu; ---------------------------------------------------------------------------

Rangkaian Undang-undang Perburuhan awal ini juga menegaskan bahwa sistem


hukum perburuhan yang ingin dibangun adalah sistem hukum perburuhan yang
8

melindungi (protektif) terhadap buruh/pekerja, sebagai pihak yang senantiasa akan


berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi perburuhan yang karenanya
perlu proteksi; ---------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam konteks inilah pemerintah memainkan peran untuk menjamin perlindungan


tersebut dengan secara aktif terlibat dalam isu perburuhan. Melalui undang-undang
pemerintah mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan
tenaga kerja (labour supply). Ini antara lain dilakukan dengan mendefinisikan kapan
orang dapat memasuki pasar kerja (usia lulus sekolah); kapan mereka diharapkan
berhenti bekerja (usia pensiun) serta dengan mengatur syarat-syarat di mana
kelompok masyarakat tertentu bekerja (misalnya: perempuan, orang muda, buruh
migran); -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Kebijakan legislasi yang protektif seperti ini terus berlangsung hingga disahkannya
UU Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas akan menghapuskan nuansa protektif dalam
hukum perburuhan Indonesia, dan karenanya menjadikan undang-undang tersebut
bertentangan dengan amanat UUD 1945; --------------------------------------------------------

"Setiap konstitusi adalah cita-cita", demikian kata B. Herry-Priyono ("Amandemen


Pasal Ekonomi", Kompas, 5 Juli 2001), karenanya "masa depan" yang menjadi
faktor pertimbangannya. UUD 1945 sudah memberikan dasar yang tegas bahwa
kesejahteraan masyarakatlah yang menjadi prioritas dan cita-cita itu sendiri, sebagai
dasar konstitusional perjuangan anak-cucu kita di masa depan. Namun ini
sepertinya semakin sulit terlaksana karena sebuah warisan bijak para pendiri negara
ini, telah berkali-kali dirusak dan dipinggirkan oleh sebuah undang-undang yang
lebih khusus; ----------------------------------------------------------------------------------------------

II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON

1. Bahwa dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah


Konstitusi Pasal 1 ayat (3) huruf a dinyatakan bahwa : Permohonan adalah
permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai
pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; ----------------------------------------------------------------------------

2. Bahwa selanjutnya dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Mahkamah


Konstitusi juga dinyatakan bahwa: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
9

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-


undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;------------------------------------

3. Bahwa para Pemohon adalah para pemimpin dan aktivis organisasi buruh/
pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja yang selama ini mempunyai kepedulian
dan menjalankan aktifitasnya dalam perlindungan dan penegakan hak-hak
buruh/pekerja di Indonesia maupun di dunia intemasional, yang mana sudah
teruji dan merupakan pengetahuan umum; --------------------------------------------------

4. Bahwa para Pemohon juga merupakan para pemimpin dari berbagai kelompok
masyarakat dan organisasi non-pemerintah (dalam hal ini organisasi buruh/
pekerja) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan
keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar
kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan KEADILAN,
HUKUM dan HAK ASASI MANUSIA di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja
yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya; ------------------------------------------

5. Bahwa UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945


adalah Undang-undang Pokok Perburuhan yang akan mengatur segala sesuatu
mengenai perburuhan dan hubungan perburuhan di Indonesia, yang akan
memiliki dampak langsung dan tidak langsung melalui peraturan-peraturan
turunannya kepada semua buruh/pekerja yang ada di Indonesia; ---------------------

6. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum dan argumentasi di atas, maka jelaslah


bahwa para Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan dasar kepentingan
untuk mengajukan permohonan hak uji terhadap pemberlakuan UU
Ketenagakerjaan, karena mempunyai kepentingan secara langsung dan akan
menerima dampak secara langsung dari pelaksanaan UU Ketenagakerjaan; ------

III. ALASAN-ALASAN HUKUM MENGAJUKAN PERMOHONAN HAK UJI

A. TENTANG FAKTA-FAKTA HUKUM

1. Bahwa pada tanggal 25 Februari 2003 DPR RI telah menyetujui RUU


Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Pemerintah RI menjadi UU
Ketenagakerjaan, dan selanjutnya disahkan oleh Pemerintah RI cq.
Presiden RI menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
10

Ketenagakerjaan, yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003 dalam


Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 39; ---------------------------------------------

2. Bahwa sejak awal mulai dari pembahasannya hingga pensahannya, UU


Ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU Pembinaan dan Perlindungan
Ketenagakerjaan (PPK), sudah banyak menimbulkan kontroversi, karena
pertama-tama dianggap telah tidak berpihak kepada kepentingan buruh/
pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal,
nasional dan terutama internasional, serta tidak cukup mempertimbangkan
dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia; ----------------------------

3. Bahwa banyak pengamat sudah mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan


a quo telah lebih dipengaruhi oleh ideologi neoliberalisme, yaitu sebuah
ideologi yang menekankan kepada pelaksanaan pasar bebas dan efisiensi
untuk semata-mata pembangunan ekonomi, di mana "efisiensi" yang
dimaksudkan adalah kebijakan upah murah melalui strategi ekonomi yang
disebut dengan "pasar tenaga kerja yang fleksibel" (flexible labour market); -

4. Bahwa dalam kenyataannya yang dimaksud dengan flexible labour market


ini adalah sebuah upaya sistematis untuk mengurangi upah demi
mempertahankan hubungan kerja, untuk menemukan jalan guna
memindahkan buruh secara efektif ke berbagai jenis pekerjaan selama
hidupnya, yang dengan demikian pada akhirnya akan makin melemahkan
standar perburuhan di Indonesia. Hal ini tercermin dalam pasal-pasal UU
Ketenagakerjaan; -----------------------------------------------------------------------------

5. Bahwa sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penekanan


terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan
investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah
murah ini berakibat kepada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi
buruh/pekerja Indonesia, karena sebagian besar buruh/pekerja tidak akan
lagi menjadi buruh/pekerja tetap tetapi menjadi buruh/pekerja kontrak yang
akan berlangsung seumur hidupnya (lihat misalnya Guy Standing, Global
Labour Flexibility, 1999). Hal inilah yang oleh sebagian kalangan dikatakan
sebagai satu bentuk "perbudakan zaman modern" (modern formed of
slavery atau modern slavery); -------------------------------------------------------------

6. Bahwa status sebagai buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti


juga hilangnya hak-hak dan tunjangan-tunjangan kerja maupun jaminan-
11

jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian
amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja
Indonesia, dan karena buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat
Indonesia, pada akhimya juga akan menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya;-------------------------------------

7. Bahwa sudah berkali-kali ribuan aktivis buruh/pekerja dan serikat buruh


maupun organisasi non pemerintah perburuhan di berbagai tempat di
seluruh Indonesia, baik yang tergabung dalam Komite Anti-Penindasan
Buruh (KAPB) maupun aliansi lainnya, melakukan aksi menolak
pengesahan RUU Ketenagakerjaan (RUUK) oleh DPR pada tanggal 25
Februari 2003 (Kompas, 26/02/03). Mereka melakukan demonstrasi di
depan gedung DPR/DPRD maupun tempat lainnya, yang tidak jarang
berakhir dengan bentrokan antara polisi dan para demonstran. Namun
demikian, Pemerintah dan DPR tetap saja mensahkan RUU PPK menjadi
UU Ketenagakerjaan tidak peduli kerasnya penentangan oleh buruh/
pekerja; ------------------------------------------------------------------------------------------

8. Bahwa pensahan RUU Perlindungan dan Penempatan Ketenagakerjaan


(RUU PPK) menjadi UU Ketenagakerjaan oleh DPR pada tanggal 25
Februari 2003 itu sendiri terbukti dilakukan lebih banyak karena tekanan
dunia internasional, khususnya lembaga keuangan internasional, dan terjadi
hanya sekitar sebulan setelah Daniel Citrin, Penasehat Senior IMF,
diberitakan telah "mempertanyakan" RUU Ketenagakerjaan yang tidak
kunjung disahkan tersebut (Jakarta Post, 20/01/03); --------------------------------

9. Bahwa semakin hari semakin banyak demonstrasi buruh/pekerja di seluruh


Indonesia, yang tergabung dalam berbagai organisasi dan serikat
buruh/serikat pekerja baik yang nasional maupun regional, dan sama-sama
menyuarakan penolakan terhadap UU Ketenagakerjaan tersebut, dengan
puncaknya pada peringatan Hari Buruh Sedunia tanggal 1 Mei 2003 lalu,
yang untuk di Jakarta saja diikuti puluhan ribu buruh/pekerja yang
membanjiri gedung DPR, Istana Negara, dan lain-lain, belum termasuk yang
di daerah-daerah lain (Jakarta Post, 02/05/03; Kompas, 02/05/03; Suara
Pembaruan, 01/05/03); -----------------------------------------------------------------------
12

10. Bahwa perjuangan buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja ini di


beberapa daerah bahkan didukung oleh anggota DPRD setempat yang
mendukung tuntutan buruh/pekerja agar Pemerintah dan DPR mencabut
UU Ketenagakerjaan, sebagaimana terjadi misalnya di DPRD Bandung
dan DPRD Banten, yang secara tegas mendukung tuntutan buruh/pekerja
untuk membatalkan UU Ketenagakerjaan tersebut; ---------------------------------

11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas bahwa permohonan ini


disampaikan secara meyakinkan dan patut, karena berangkat dari
keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja maupun serikat buruh/
serikat pekerja, sehingga patut kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan
haknya untuk menguji UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945; --------------

B. TENTANG ARGUMEN-ARGUMEN HUKUM

Agumen-argumen hukum untuk mendukung fakta-fakta telah adanya


pelanggaran hak konstitusional dalam UU Ketenagakerjaan terhadap UUD
1945; -------------------------------------------------------------------------------------------------

1. UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip


dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang
yang patut.

UU Ketenagakerjaan telah dibuat tanpa mengikuti prosedur dan tata cara


penyusunan sebuah undang-undang yang patut. Hal ini terlihat dari fakta-
fakta antara lain : -----------------------------------------------------------------------------

a. Tidak adanya "naskah akademis" yang memberi dasar pertimbangan


ilmiah perlunya UU a quo.

Sejak awal hingga akhirnya disahkan oleh DPR tanggal 25 Februari


2003 dan diundangkan oleh pemerintah pada tanggal 25 Maret 2003,
tidak pernah ada sebuah "naskah akademis" yang memberikan dasar
dan pertimbangan ilmiah keberadaan UU Ketenagakerjaan ini. Padahal
sebuah "naskah akademis" adalah penting agar tidak terjadi salah
perhitungan dan kesalahan logika akan dampak keberadaan sebuah
undang-undang; --------------------------------------------------------------------------

Alih-alih untuk memberi perlindungan kepada warga negara, dalam hal


ini kaum buruh/pekerja, dalam menghadapi globalisasi dan segala
13

eksesnya, warga negara malah dikorbankan untuk semata-mata


kepentingan modal dan investasi. Sebuah undang-undang seharusnya
melindungi warga negara dan bukan sebaliknya malah menindasnya. Ini
mengakibatkan secara prosedural pembuatan UU Ketenagakerjaan
telah tidak patut, dan karenanya menjadikan UU a quo telah cacat
secara hukum; ----------------------------------------------------------------------------

b. Penyusunan UU Ketenagakerjaan diwarnai kebohongan publik oleh


DPR.

UU Ketenagakerjaan yang keberlakuannya cenderung dipaksakan


karena mengejar "target” Bank Dunia dan IMF ini juga telah disahkan
dengan sebuah kebohongan publik DPR, khususnya oleh Sdr. Rekso
Ageng Herman anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan yang berasal
dari daerah pemilihan Timor Timur dan diserahi tugas untuk itu, dengan
klaim bahwa UU a quo telah disusun berdasarkan pada konsultasi
dengan organisasi buruh/pekerja melalui apa yang disebut dengan "Tim
Kecil", yang terdiri dari "Wakil-wakil" dari organisasi buruh/pekerja; -------

Pada kenyataannya apa yang disebut dengan "Tim Kecil" ini tidak lebih
dari rekayasa DPR untuk memberi pembenaran terhadap upaya mereka
memaksakan golnya UU a quo. Ini terbukti dengan adanya bantahan
dari beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang dikatakan oleh DPR
"wakil"-nya duduk di "Tim Kecil" tersebut, dan menegaskan bahwa kalau
pun ada maka ia hanya mewakili pribadinya dan bukan mewakili
organisasi (lihat misalnya surat dari Ketua Umum dan Wakil Sekretaris
Jenderal DPP Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit
tanggal 13 Februari 2003 dan surat Sekretaris Jenderal Serikat Buruh
Maritim dan Nelayan Indonesia tanggal 14 Februari 2003); ------------------

2. UU Ketenagakerjaan, sebagai satu dari "Paket 3 UU Perburuhan",


dibuat semata-mata karena tekanan kepentingan modal asing
daripada kebutuhan nyata buruh/pekerja Indonesia.

Sebelum terjadinya krisis ekonomi, pada tahun 1996, dalam sebuah


evaluasi mengenai hukum perburuhan Indonesia, Bank Dunia menyatakan
bahwa “the [Indonesian] workers are overly protected", dan bahwa "the
government should stay out of industrial dispute" (Jakarta Post, 04/04/96); -
14

Pernyataan ini dikeluarkan sebagai sebuah upaya Bank Dunia untuk


menciptakan "industrial harmony between workers and employers"
berkaitan dengan makin meningkatnya ketidakstabilan perburuhan di negeri
ini yang menurut mereka tidak menguntungkan bagi bisnis dan investasi.
Pemerintah Indonesia, sebagian didorong oleh masalah finansial pada
waktu itu, merespon "peringatan" ini dengan mengajukan RUU
Ketenagakerjaan kepada DPR yang kemudian menjadi Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997; ---------------------------------------------------------------------

Undang-undang baru ini mendapat protes dari berbagai organisasi buruh


dan LSM perburuhan sebagai sebuah undang-undang yang "anti-buruh"
dalam berbagai hal. Undang-undang tersebut telah disahkan dengan
banyak masalah di dalamnya, ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya
cenderung menjadi "legalisasi" dari praktek-praktek Orde Baru yang
merugikan buruh dalam bentuk sebuah undang-undang, yang disusun
secara sembunyi-sembunyi di hotel berbintang untuk menghindari aksi
buruh yang menolak, dengan memanipulasi uang buruh dalam program
Jamsostek, serta masih banyak lagi masalah lainnya (lihat UU
Ketenagakerjaan Pantas Meresahkan Buruh, YLBHI, 1997); --------------------

Di bawah tekanan komunitas internasional dan kebutuhan untuk


memperbaiki citra yang diwariskan oleh Orde Baru, pemerintahan pasca-
Orde Baru beberapa kali menunda undang-undang tersebut, hingga
akhirnya memang dinyatakan tidak berlaku oleh DPR melalui sebuah RUU.
Pemerintah kemudian mengajukan tiga RUU baru sebagai gantinya: RUU
Serikat Pekerja (kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 12
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh), RUU Perlindungan dan
Penempatan Ketenagakerjaan (kemudian menjadi Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan RUU Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (masih dibahas di DPR). Ketiganya
merupakan satu "Paket 3 UU Perburuhan" yang isinya saling kait mengait
satu sama lain; --------------------------------------------------------------------------------

Dengan demikian jelas bahwa UU Ketenagakerjaan memang merupakan


kelanjutan dari hasil pesanan Bank Dunia yang mewakili kepentingan modal
internasional di Indonesia yang melihat buruh/pekerja semata sebagai
hambatan bagi investasi dan pembangunan ekonomi; -----------------------------
15

3. UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya


Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, dan Pasal 33, dan secara
substansial LEBIH BURUK dari UU yang dihapusnya.

a. Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (2) menegaskan bahwa : setiap warga negara berhak


atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam
konteks perburuhan kita bisa melihat "penjelasan" lebih lanjut dari pasal
ini termuat dalam serangkaian undang-undang perburuhan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah RI pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Di
sini kita mengacu kepada setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu
Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh
banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling
progresif dan protektif terhadap buruh/pekerja pada masanya bahkan
sampai sekarang; ------------------------------------------------------------------------

Prinsip yang dianut oleh rangkaian Undang-undang Perburuhan awal ini


adalah proteksi terhadap terutama keamanan kerja bagi buruh/pekerja
(job security). Ini pula yang mendasari Undang-undang Perburuhan
yang disusun kemudian, seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan juga Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta,
yang pada intinya rnempersulit tindakan PHK oleh pihak majikan dengan
keharusan meminta "ijin" untuk PHK terlebih dahulu kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4). Persis inilah yang ingin
dihapuskan oleh UU Ketenagakerjaan; --------------------------------------------

Inti pokok dari UU Ketenagakerjaan adalah bagaimana membuat


mekanisme pasar bekerja secara bebas sebebasnya terlaksana
khususnya dalam konteks perburuhan. Di sini buruh/pekerja dilihat
semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan di sebuah pasar
tenaga kerja, yang bisa dipakai ketika perlu dan bisa dibuang begitu
tidak menguntungkan lagi. Inilah hakekat utama dari yang dikenal
dengan flexible labour market (pasar buruh yang fleksibel); ----------------
16

Dengan menghapus nuansa protektif dalam hukum perburuhan, standar


perlindungan buruhpun semakin dikurangi, dan peran negara sebagai
pelindung pun semakin dihilangkan. Buruh/pekerja dibiarkan sendirian
menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal. Seperti
telah ditunjukkan oleh banyak hasil penelitian di berbagai negara, baik
di negara maju maupun negara Dunia Ketiga, pembukaan pasar secara
bebas seperti ini tanpa didukung oleh sistem jaminan sosial yang
matang, bukannya membuat ekonomi menjadi lebih baik justeru
sebaliknya yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang semakin
menganga antara yang kaya dan yang miskin (lihat misalnya buku
karangan Guy Standing, seorang konsultan ILO, berjudul Beyond the
New Paternalism: Basic Security as Equality, tahun 2002); ---------------

b. Bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Pasal 28 UUD 1945 berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan


berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Hal ini berarti setiap
warga negara mempunyai hak asasi untuk secara bebas berorganisasi
termasuk mendirikan serikat dan organisasi dan menjalankan aktivitas
organisasinya tanpa ada tekanan dalam bentuk apapun; ---------------------

Dengan demikian berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 tersebut negara,


dalam konteks ini pemerintah, mengakui dan menjamin kebebasan
buruh/pekerja untuk mendirikan serikat buruh dan melakukan aktivitas
keserikatburuhan yang utamanya ditujukan untuk memperjuangkan,
melindungi, dan membela hak dan kepentingan buruh/pekerja serta
mengusahakan peningkatan kesejahteraan buruh/pekerja dan
keluarganya. Hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi dalam
hal ini juga termasuk hak serikat buruh/serikat pekerja untuk melakukan
perundingan untuk membuat perjanjian kerja bersama (PKB) dengan
pihak pengusaha; ------------------------------------------------------------------------

UU Ketenagakerjaan pada beberapa pasalnya justeru memasung hak-


hak fundamental buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja ini,
tampak dalam beberapa ketentuan dalam pasal-pasalnya sebagaimana
diuraikan berikut ini : --------------------------------------------------------------------
17

• Pasal 119 UU Ketenagakerjaan rnensyaratkan bahwa untuk


melakukan perundingan pembuatan PKB, serikat buruh/serikat
pekerja harus dapat membuktikan bahwa serikat buruh/serikat
pekerja tersebut memiliki jumlah anggota lebih dari 50% dari jumlah
seluruh buruh/pekerja di perusahaan yang bersangkutan. Jikalau
tidak, maka serikat buruh/serikat pekerja tersebut harus mendapat
dukungan lebih dari 50% dari jumlah seluruh buruh/pekerja di
perusahaan tersebut; ---------------------------------------------------------------

Ketentuan Pasal 119 UU Ketenagakerjaan tersebut jelas-jelas


melanggar ketentuan Pasal 28 UUD 1945 karena Pasal 119 UU
Ketenagakerjaan menentukan secara rigid dalam hal hanya terdapat
satu serikat buruh/serikat pekerja di lingkungan perusahaan, maka
hanya apabila mendapat dukungan lebih dari 50% dari jumlah seluruh
buruh/pekerja saja baru serikat buruh/serikat pekerja tersebut dapat
memiliki hak untuk melakukan perundingan PKB; ----------------------------

Hal ini dapatlah diartikan bahwa Pasal 119 UU Ketenagakerjaan


memberi peluang kepada pengusaha/majikan untuk mengabaikan
kewajibannya menghormati hak asasi serikat buruh/serikat pekerja
untuk berserikat dan berorganisasi dengan alasan bahwa serikat
buruh/serikat pekerja tidak didukung oleh mayoritas buruh/pekerja di
lingkungan perusahaan yang bersangkutan. Hal ini tentu saja
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28 UUD 1945; --------------------

• Pasal 120 UU Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa apabila dalam


satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja,
maka yang berhak mewakili buruh/pekerja dalam melakukan
perundingan PKB adalah yang memiliki anggota lebih dari 50% dari
jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaan. Jikalau tidak, maka
serikat buruh/serikat pekerja dapat bergabung membentuk koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% dari seluruh jumlah
buruh/pekerja di perusahaan tersebut. Jikalau hal tersebut tidak
terpenuhi juga, maka seluruh serikat buruh/serikat pekerja bergabung
membentuk tim yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat buruh/serikat
pekerja; -----------------------------------------------------------------------------------
18

• Pasal 121 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotaan


serikat buruh/serikat pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda
anggota; -------------------------------------------------------------------------

Ketentuan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan


Pasal 28 UUD 1945 yang membatasi hak serikat buruh/serikat pekerja
untuk membuktikan keberadaan anggotanya dengan mewajibkan
adanya kartu tanda anggota. Hal ini tentu saja amatlah merugikan
serikat buruh/serikat pekerja. Dalam situasi serikat buruh/serikat
pekerja di Indonesia kini yang baru saja bertumbuh dan berkembang,
pembatasan cara pembuktian keanggotaan serikat buruh/serikat
pekerja hanya dengan adanya kartu tanda anggota tentulah akan juga
membatasi keleluasaan serikat buruh/serikat pekerja untuk
mendapatkan hak untuk beraktivitas, termasuk hak untuk melakukan
perundingan PKB; ---------------------------------------------------------------------

Dalam prakteknya, pelaksanaan aturan Pasal 119 - Pasal 121 UU


Ketenagakerjaan tersebut telah terbukti melanggar hak asasi serikat
buruh/serikat pekerja untuk melakukan perundingan PKB. Hal ini
terbukti dalam kasus-kasus aktual seperti yang terjadi di PT. DHL dan
PT. Tambun Kusuma; ----------------------------------------------------------------

• Pasal 106 UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang


mempekerjakan 50 orang buruh/pekerja atau lebih untuk membentuk
"Lembaga Kerja Sama Bipartit". Lembaga ini diwajibkan untuk terdiri
dari wakil pengusaha dan wakil buruh/pekerja, dan difungsikan
sebagai "forum komunikasi dan konsultasi hal-hal ketenagakerjaan di
lingkungan perusahaan"; ------------------------------------------------------------

Bahwa fungsi Lembaga Kerja Sama Bipartit yang ditentukan secara


eksplisit sebagai "forum komunikasi dan konsultasi hal-hal
ketenagakerjaan di lingkungan perusahaan" pada asasnya adalah
pengambilalihan peran dan tanggung jawab serikat buruh/serikat
pekerja untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan
kepentingan buruh dan anggotanya di lingkungan perusahaan; ----------
Dengan demikian ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 karena
pembentukan Lembaga Kerja Sama Bipartit yang keberadaannya
19

ditentukan sebagai sebuah kewajiban (compulsory action), tentu saja


akan melanggar hak asasi serikat buruh/serikat pekerja untuk
berserikat dan berorganisasi, khususnya hak mewakili serikat buruh/
serikat pekerja dalam mewakili buruh/pekerja untuk melakukan
kegiatan pembelaan dan perjuangan kepentingan buruh/pekerja di
tingkat perusahaan. Ini terjadi di Korea Selatan misalnya, ketentuan
sejenis telah secara signifikan mengurangi peran dan fungsi serikat
buruh/serikat pekerja di sana, dan berakibat pada penurunan besar-
besaran keanggotaan serikat buruh/serikat pekerja di sana (lihat
misalnya Park, Young-Ki, 1993, "South Korea" dalam Deery, Stephen
J. and Richard J. Mitchell (Eds.), Labour Law and Industrial Relations
in Asia: Eight Country Studies, halaman 137-71); ---------------------------

c. Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 33 ayat (1) mengatakan "perekonomian disusun sebagai usaha


bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan". Di dalam
Penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini artinya perekonomian kita
didasarkan pada "demokrasi ekonomi" di mana "produksi dikerjakan
oleh semua, untuk semua", dengan "kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan"; -----------------------------------------------------------------

UU Ketenagakerjaan menempatkan buruh/pekerja sebagai faktor produksi


semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan untuk
kemudian di-PHK ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian
komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (costs) bisa tetap
ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya
sistem kerja "pemborongan pekerjaan" ("outsourcing") sebagaimana
diatur dalam Pasal 64 - 66, yang akan menjadikan buruh/pekerja semata
sebagai sapi perahan para pemilik modal; ------------------------------------------

Bahwa dalam prakteknya "outsourcing" telah berlangsung dan


"daripada tidak diatur lebih baik diatur" tidak bisa menjadi alasan, karena
dalam prakteknya buruh Indonesia pun sejak lama sudah harus
mengalami yang disebut dengan "penindasan upah" (wage repression)
untuk dibedakan dengan "penindasan buruh" (labour repression) pada
umumnya. Hasil penelitian internasional sudah banyak menunjukkan
20

bahwa perkembangan ekonomi Asia Tenggara pada umumnya dan


Indonesia pada khususnya, dalam kurun waktu 1970an hingga 1990an
yang rata-rata 6 - 7% per tahun, tidak serta merta memberikan
kesejahteraan bagi buruh/pekerja Indonesia, malah buruh/pekerja
cenderung dijadikan salah satu faktor produksi yang paling bisa ditekan
melalui represi dan kontrol yang ketat dari negara (lihat misalnya Frederic
Deyo, "Labour and Industrial Restructuring in South-East Asia", 1997); ----

Di sinilah persis "perbudakan modern" dan degradasi nilai manusia,


"buruh sebagai komoditas atau barang dagangan", akan terjadi secara
resmi dan diresmikan melalui sebuah undang-undang. "Kemakmuran
masyarakat" yang diamanatkan konstitusi pun hanya akan menjadi kata-
kata kosong belaka; ---------------------------------------------------------------------

d. Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatakan: "segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya". UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 ini karena telah bersifat diskriminatif secara
hukum, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 158 jo. Pasal 170
UU a quo; -------------------------------------------------------------------------------------

Pasal 158 ayat (1) berisi perbuatan-perbuatan yang karenanya buruh


dapat diputuskan hubungan kerjanya karena telah melakukan kesalahan
berat. Perbuatan-perbuatan dalam pasal ini masuk dalam kualifikasi
tindak pidana; --------------------------------------------------------------------------------

Pasal 158 ayat (2) mensyaratkan bukti untuk menuduh telah terjadi
kesalahan berat yaitu : ------------------------------------------------------------------

• tertangkap tangan; --------------------------------------------------------------------


• pengakuan buruh yang bersangkutan; ------------------------------------------
• laporan kejadian yang dibuat pihak yang berwenang di perusahaan
dan didukung oleh minimal 2 saksi; -----------------------------------------------
21

Pasal 170 menegaskan kembali bahwa PHK yang disebabkan


kesalahan berat seperti dalam Pasal 158 ayat (1) tidak perlu mengikuti
ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu "bisa tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial”; --------------------------

Ketentuan pasal-pasal di atas jelas telah melanggar prinsip-prinsip


pembuktian terutama asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh
UUD 1945. Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat
pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah pula ditentukan
sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. Karenanya, pembuktian di luar mekanisme dan aturan
tersebut harus dipandang sebagai tidak dapat membuktikan kesalahan
apa pun; ------------------------------------------------------------------------------------

Undang-undang ini selain melegalisasi pembuktian tindak pidana di luar


jalur pengadilan dan aturan pembuktian berdasarkan undang-undang
juga melanggar asas praduga tak bersalah, karena begitu pengusaha
dapat memenuhi pembuktian sesat berdasarkan UU a quo maka buruh
langsung dapat di-PHK tanpa ada kesempatan untuk mengajukan
pembelaan diri, karena PHK dapat dilakukan tanpa melalui penetapan
seperti pada PHK karena alasan lainnya; -----------------------------------------

Pasal 159: "apabila pekerja/buruh tidak menerima PHK sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan
dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial”, maka UU a quo juga telah mengalihkan/
mencampuradukkan wewenang peradilan pidana ke peradilan perdata.
Padahal, seharusnya, segala tuduhan tindak pidana diselesaikan melalui
peradilan pidana; -------------------------------------------------------------------------

4. UU Ketenagakerjaan secara substansial juga bertentangan dengan


standar perburuhan internasional (Konvensi dan Rekomendasi ILO).

UU Ketenagakerjaan yang dinyatakan sah berlaku sejak tanggal 25 Maret


2003 secara substansial juga bertentangan dengan standar perburuhan
internasional (International Labour Standards) sebagaimana terdapat
22

dalam berbagai Konvensi ILO (International Labour Organization) yang


telah diratifikasi Indonesia, maupun Rekomendasi ILO lainnya yang mana
juga mengikat Indonesia sebagai anggota ILO; --------------------------------------

Ini terlihat dalam beberapa hal berikut : ------------------------------------------------

a. Pengaturan tentang mogok kerja dalam Pasal 137 - Pasal 145 UU


Ketenagakerjaan bertentangan dengan Konvensi ILO tentang hak-
hak fundamental buruh yang berkenaan dengan hak asasi atas
kebebasan berserikat dan berorganisasi dan untuk melakukan
perundingan kolektif yang termaktub dalam Konvensi ILO No. 87
dan No. 98 yang telah diratifikasi oleh Indonesia; ------------------------

ILO secara tegas telah menyatakan bahwa "hak mogok adalah bagian
tak terpisahkan dari hak berorganisasi yang dilindungi dalam Konvensi
ILO No. 87." (dalam bahasa Inggris disebutkan "ILO is of the opinion
that the right to strike in an intrinsic corollary of the right to organize
protected by Convention No. 87. " dalam "Freedom of Association and
Collective Bargaining : General Survey of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendation, 1994, hal. 66 -
67). Dengan kata lain, penerimaan Konvensi ILO No. 87 berarti juga
penghormatan terhadap hak mogok yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari hak berorganisasi buruh/pekerja. Untuk itu
pemerintah suatu negara tidak boleh menciptakan halangan apa pun
baik yang bersifat administratif maupun birokratis yang bisa
mengakibatkan buruh/pekerja tidak dapat menikmati hak mogok ; -------

Komite Ahli ILO (Committee of Experts) yang merupakan forum


independen dalam salah satu rekomendasinya yang terkait juga
berpendapat bahwa: ------------------------------------------------------------------

Hak mogok adalah hak esensial bagi buruh dan organisasinya dalam
memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosial
buruh. Kepentingan-kepentingan ini bukan hanya berarti memperoleh
perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan
kerja, tetapi juga termasuk kepentingan buruh dalam menuntut
23

perbaikan kebijakan sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada


kondisi buruh; ---------------------------------------------------------------------------

Kutipan asli lengkapnya berbunyi : The Committee considers that the


right to stike is one of the essential means available to workers and
their organisations for the promotion and protection of their economic
and social interests. These interests not only have to do with obtaining
better working conditions and pursuing collective demands of an
occupational nature, but also with seeking solutions to economic and
social policy questions and to labour problems of any kind which are of
direct concern to the workers. (dari ILO, "Freedom of Association and
Collective Bargaining: General Survey of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendations," Report III (4B)
69th session (Geneva, International Labour Office,1983, para. 200); ----

Pelanggaran UU Ketenagakerjaan terhadap hak mogok yang dijamin


Konvensi internasional ini terlihat dalam analisis pasal-pasal UU a quo
berikut ini : -------------------------------------------------------------------------------

• Pasal 137 UU Ketenagakerjaan berbunyi, "Mogok kerja sebagai


hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah dan tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan"; ----------------------------------------------------------------------

Pasal ini jelas melanggar standar perburuhan internasional


tersebut, karena secara jelas membatasi alasan mogok hanya
sebagai akibat "gagalnya suatu perundingan". Dalam praktek relasi
perburuhan, ILO juga mengakui kebebasan buruh/pekerja dan
serikat buruh/serikat pekerja menggunakan hak mogok untuk
mempertahankan dan melindungi hak-hak buruh/pekerja dan hak-
hak serikat buruh/serikat pekerja, misalnya dalam hal menyatakan
rasa solidaritas terhadap pelanggaran hak buruh/pekerja dan/atau
serikat buruh/serikat pekerja di tempat lain bahkan negara lain; -----

Pembatasan hak mogok seperti tersebut dalam Pasal 137 UU


Ketenagakerjaan ini tidak saja membatasi kebebasan dari buruh/
pekerja dan/atau serikat buruh/serikat pekerja untuk menggunakan
hak mogok sebagai bagian dari hak kebebasan berserikat dan
24

berorganisasi serta menjalankan aktivitas serikat dan organisasinya


tersebut, tetapi juga merupakan sebuah bentuk kontrol terhadap
peran dan fungsi serikat buruh/serikat pekerja sebagai instrumen
resmi buruh/pekerja untuk memperjuangkan peningkatan
kesejahteraannya; -----------------------------------------------------------------

Ketentuan Pasal 137 di atas adalah untuk menggantikan ketentuan


mengenai mogok sebelumnya yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf d nomor 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang berbunyi : dari pihak
buruh : secara kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya
pekerjaan, sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan
dengan maksud untuk menekan atau membantu golongan buruh
lain menekan supaya majikan menerima hubungan kerja, syarat
kerja, dan/atau keadaan perburuhan; ----------------------------------------

Dengan demikian, undang-undang juga telah mencapuradukkan


pengertian hak mogok sebagai hak fundamental dengan syarat
prosedural administratif yang tidak ada sebelumnya. Pada saat UU
Ketenagakerjaan mengakui bahwa mogok adalah "hak dasar
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh", pada saat sama
sekaligus juga membatasinya secara ketat dengan memasukkan
syarat prosedural administratif "dilakukan secara sah dan tertib"
sebagai bagian dari definisi mogok itu sendiri. Ini langsung dan
tidak langsung ini akan berakibat pada pembatasan terhadap hak
mogok itu sendiri yang merupakan hak fundamental buruh/pekerja
dan serikat buruh/serikat pekerja; ---------------------------------------------

Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Konvensi


ILO No. 87 yang juga merupakan hukum positif di Indonesia
dengan ratifikasi melalui Keputusan Presiden RI Nomor 83 Tahun
1998 tanggal 5 Juni 1998; ------------------------------------------------------

• Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa,


“pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang
bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada
saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar
hukum"; ------------------------------------------------------------------------------
25

Pasal ini melanggar standar perburuhan internasional dengan


membatasi hak buruh/pekerja dan/atau serikat buruh/serikat
pekerja untuk mengajak rekannya melakukan mogok kerja
(picketing); -------------------------------------------------------------------------

• Pasal 186 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal sanksi


menetapkan sanksi pidana kejahatan terhadap pelanggaran Pasal
138 ayat (1) ini dengan ancaman hukuman pidana penjara
maksimum 4 tahun penjara dan/atau denda maksimum Rp 400 juta.
Ketentuan seperti ini tentu saja amatlah memberatkan buruh/
pekerja dan merupakan sebuah upaya untuk menghalangi
dilaksanakannya hak asasi mogok kerja; -----------------------------------

• Pasal 140 - 141 UU Ketenagakerjaan juga melanggar standar


perburuhan internasional ILO karena pasal-pasal tersebut secara
rigid menetapkan tahapan prosedur administratif dan birokratis
yang harus dilalui oleh buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat
pekerja yang justru amat tidak memungkinkan bagi buruh/pekerja
dan serikat buruh/serikat pekerja untuk melaksanakan hak mogok; -

Disebutkan bahwa sebelum melaksanakan mogok, buruh/pekerja


dan serikat buruh/serikat pekerja harus menyampaikan surat
pemberitahuan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum mogok
dilaksanakan. Surat pemberitahuan harus memuat waktu mulai dan
diakhiri mogok, tempat, alasan dan sebagai melakukan mogok, dan
tanda tangan penanggung jawab mogok. Setelah itu, para pihak
yang berselisih (buruh/pekerja dan pengusaha/majikan) diwajibkan
untuk melaksanakan perundingan yang diperantarai oleh pegawai
instansi ketenagakerjaan. Jika tercapai kesepakatan, maka mogok
tidak akan dilaksanakan. Jika kesepakatan tidak tercapai, maka
dapat ditentukan apakah mogok akan diteruskan atau dihentikan
untuk sementara atau dihentikan sama sekali; ----------------------------

Ketentuan melakukan pemberitahuan 7 (tujuh) hari sebelum mogok


kerja dan keharusan untuk dilakukannya perundingan sebelum
mogok justru semakin memperbesar kemungkinan terjadinya
pelanggaran standar perburuhan internasional ILO. Komite Ahli ILO
26

menyatakan bahwa "jangka waktu surat pemberitahuan


seharusnya tidak boleh diadakan untuk menghalangi,
mengingat buruh praktis hanya akan menunggu saja untuk
melaksanakan hak mereka untuk melakukan mogok kerja.
Jangka waktu pemberitahuan juga seharusnya dibuat
sependek (mungkin) jika proses perundingan akan memakan
waktu." (terjemahan dari : "[...] the period of advance notice should
not be an additional obstacle to bargaining, with workers in practice
simply waiting for its expiry in order to exercise their right to strike,
and it should be shorter if the mediation process is lengthy."
General Survey 1995/4, hal. 172); --------------------------------------------

b. Pengaturan tentang jam kerja bagi buruh perempuan dalam Pasal


76 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan konvensi
internasional ILO No. 111 tentang Larangan Diskriminasi di
Tempat Kerja.

Pasal 76 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa buruh perempuan


yang bekerja malam (antara pukul 23.00 - 05.00) tidak boleh sedang
dalam keadaan hamil dan berusia di bawah 18 tahun. Selanjutnya juga
disyaratkan agar bagi mereka disediakan transportasi dari dan ke
rumah, adanya makanan tambahan, dan pengusaha wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja; ---------------------------

Bahwa Pasal 76 UU Ketenagakerjaan tersebut bertentangan dengan


Konvensi ILO No. 111 karena pasal ini menyebabkan buruh
perempuan tidak dapat memiliki kesempatan kerja yang sama seperti
halnya buruh laki-laki, serta cenderung telah bias gender karena
mengaitkan perempuan sebagai faktor utama pencetus tindakan
asusila yang mana harus dijaga oleh pengusaha agar tidak terjadi; -----

5. UU Ketenagakerjaan dari segi sistematika dan prosedural sebuah


produk perundang-undangan rancu di antara pasal-pasalnya serta
banyak memberikan "cek kosong" kepada Pemerintah sehingga
cenderung "executive heavy".

a. Bahwa untuk pelaksanaannya, UU Ketenagakerjaan memandatkan


pembuatan setidaknya : ----------------------------------------------------------------
27

- 5 Undang-Undang; --------------------------------------------------------------
- 12 Peraturan Pemerintah; ------------------------------------------------------
- 5 Keputusan Presiden, dan; --------------------------------------------------
- 30 Keputusan Menteri; -----------------------------------------------------------

UU Ketenagakerjaan juga memandatkan pembentukan 3 lembaga baru,


yaitu : ----------------------------------------------------------------------------------------

- Badan Koordinasi Ketenagakerjaan; -------------------------------------------


- Dewan Pengupahan (tingkat Nasional dan Daerah); -----------------------
- dan Lembaga Kerjasama Tripartit (tingkat Nasional dan Daerah); -----

Ditambah dengan ratusan, bahkan bisa ribuan "Lembaga Kerja Sama


Bipartit" yang dibentuk di tiap perusahaan yang mempekerjakan 50
orang atau lebih buruh/pekerja; ------------------------------------------------------

Bahwa pengaturan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan yang sedemikian


secara prosedural telah bersifat "executive heavy" dengan memberikan
kewenangan berlebihan kepada kekuasaan eksekutif yang sedang
berkuasa. Hal ini dapat diartikan bahwa UU Ketenagakerjaan jelas-jelas
akan menyerahkan nasib buruh/pekerja Indonesia semata-mata pada
kebijakan politik penguasa eksekutif yang sedang berkuasa; ----------------

Dapatlah diduga bahwa berbagai peraturan pelaksanaan di bawah UU


Ketenagakerjaan akan dapat berubah - ubah mengikuti kepentingan
dan kebijakan politik ekonomi penguasa eksekutif yang sedang
berkuasa, tanpa harus mengkonsultasikannya dengan wakil-wakil rakyat
di lembaga legislatif DPR Rl; ----------------------------------------------------------

b. Bahwa banyaknya ketentuan teknis pelaksanaan UU Ketenagakerjaan


yang diserahkan pada kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI untuk mengaturnya, lebih jauh menguatkan argumen
bahwa UU Ketenagakerjaan bersifat "executive heavy". Apalagi jika hal
ini dikaitkan dengan Ketetapan MPR RI Nomor III Tahun 2000 yang
menentukan tata urutan perundangundangan sebagai berikut : -------------

• Undang-Undang Dasar; ------------------------------------------------------------


• Undang-undang; ---------------------------------------------------------------------
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; ------------------------
• Peraturan Pemerintah; -------------------------------------------------------------
28

• Keputusan Presiden; ---------------------------------------------------------------


• Peraturan Daerah; ------------------------------------------------------------------

Jelas bahwa peraturan setingkat Keputusan Menteri tidaklah


termasuk dalam tata urutan perundang-undangan menurut
Ketetapan MPR RI Nomor IlI Tahun 2000 di atas. Dengan demikian
nyata bahwa Keputusan Menteri tidaklah memiliki kekuatan mengikat
secara hukum yang bersifat umum untuk dapat diberlakukan sebagai
aturan pelaksana UU Ketenagakerjaan. Semua hal ini akan
menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya nanti; -----------------------

6. UU Ketenagakerjaan dari segi sistematika penyusunannya


cenderung dibuat dengan banyak INKONSISTENSI dan saling
bertolak belakang di antara pasal-pasalnya satu sama lain
sehingga cenderung menjadi rancu.

UU Ketenagakerjaan dari segi sistematika penyusunannya cenderung


banyak inkonsistensi di antara pasal-pasalnya sehingga cenderung menjadi
rancu, terlihat dalam analisis pasal-pasal sebagai berikut : -----------------------

a. Pasal 1 angka 3 dengan Pasal 1 angka 15 dan dengan Pasal 50.

Pasal 1 angka 3 disebutkan definisi buruh yang unsurnya : -------------------


• Bekerja; ------------------------------------------------------------------------------------
• Menerima upah/imbalan lain; ---------------------------------------------------------

Pasal 1 angka 15 rnenyebutkan definisi hubungan kerja yaitu unsurnya : -


• Pekerjaan; ---------------------------------------------------------------------------------
• Upah; ---------------------------------------------------------------------------------------
• Perintah; ------------------------------------------------------------------------------------

Pasal 50 juga menjelaskan hubungan kerja yaitu terjadi karena : ------------


• Perjanjian kerja; --------------------------------------------------------------------------
• Antara buruh dengan pengusaha; --------------------------------------------------

Analisa dari ketiga pasal tersebut : ----------------------------------------------------

Buruh/pekerja biasanya selalu bermakna pada konteks hubungan kerja


karena di luar konteks tersebut biasa digunakan istilah "tenaga kerja".
Logika ini pula yang digunakan oleh UU Ketenagakerjaan seperti yang
29

terlihat dalam Pasal 1 (Ketentuan Umum) yang membedakan buruh/


pekerja dengan tenaga kerja; -----------------------------------------------------------

Oleh karenanya Pasal 1 angka 3 dengan angka 15 membingungkan


karena tidak konsisten dalam mendefinisikan dalam kondisi apa dapat
dikatakan buruh ada dalam hubungan kerja. Dari kedua pasal tersebut
dapat diandaikan adanya keanehan seperti adanya buruh yang tidak
terikat dalam hubungan kerja karena pengusaha mendalilkan tidak
adanya perintah. Akibatnya adalah ia bisa tidak mendapat perlindungan
seperti bila seorang buruh yang ada dalam hubungan kerja; ------------------

Pasal 50 selain bisa diartikan sebagai pengulangan pasal yang tidak perlu
(karena Pasal 1 angka 15 juga sudah menyebut perjanjian kerja sebagai
dasar hubungan kerja) dapat juga diartikan sebagai inkonsistensi karena
hanya mengulang sebagian pengertian tentang hubungan kerja yang
sudah ada dalam pasal sebelumnya; -------------------------------------------------

b. Pasal 1 angka 26 dengan Pasal 66 – 69.

Pasal 1 angka 26 menyebutkan definisi anak yaitu : -----------------------------

• Setiap Orang; -----------------------------------------------------------------------------


• Di bawah 18 tahun; ---------------------------------------------------------------------

Pasal 69 berisi pengecualian pelarangan mempekerjakan anak yang ada


dalam Pasal 68; ----------------------------------------------------------------------------

Pengecualian tersebut yaitu : -----------------------------------------------------------


• 13 -15 tahun; -------------------------------------------------------------------------------
• melakukan pekerjaan ringan; ---------------------------------------------------------
• tidak rnengganggu perkembangan dan kesehatan (fisik, mental, sosial);

Analisa dari kedua pasal tersebut : ----------------------------------------------------

Bagaimana posisi hukum bagi seorang "anak" yang berusia 16-17 tahun ?
UU jelas mempunyai standar perlindungan yang sangat aneh dan
membingungkan terhadap anak. Di mana anak berumur 13-15 tahun
dianggap lebih kuat tidak beresiko bila dipekerjakan bila dibandingkan
anak berumur 16 -17 atau sebelum 18 tahun; --------------------------------------

c. Pasal 1 angka 23 dengan Pasal 137.


30

Pasal 1 angka 23 menyebutkan definisi mogok dengan unsur : --------------

• Direncanakan; --------------------------------------------------------------------------
• Dilaksanakan bersama-sama dan/atau oleh serikat buruh; ------------------
• Untuk menghentikan/memperlambat pekerjaan; --------------------------------

Pasal 137 menjelaskan pula tentang mogok yaitu: -------------------------------

• Dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya


perundingan; ------------------------------------------------------------------------------

Analisa : ------------------------------------------------------------------------------

Bila melihat definisi mogok dalam ketentuan umum Pasal 1, maka yang
dapat dikatakan sebagai mogok cukup memenuhi ketiga unsur di atas.
Tetapi bila melihat Pasal 137, maka bukan 3 unsur tersebut yang
menentukan tindakan buruh/serikat buruh dapat dikatakan sebagai mogok
kerja tetapi harus karena "gagalnya perundingan". Ini jelas membuat
rancu ketentuan mengenai mogok, dan cenderung menjadi upaya untuk
mempersulit penggunaan mogok yang dengan demikian melanggar hak
fundamental buruh; ------------------------------------------------------------------------

d. Pasal 74 ayat (2) a, b dan c dengan Pasal 52 ayat (1) d.

Pasal 74 berisi larangan mempekerjakan anak pada pekerjaan yang


terburuk ; --------------------------------------------------------------------------------------

Ayat (2) a menyebutkan : segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan


dan sejenisnya; -----------------------------------------------------------------------------

Ayat (2) b menyebutkan : ----------------------------------------------------------------

• Pelacuran; -------------------------------------------------------------------------------
• Produksi pornografi; -------------------------------------------------------------------
• Pertunjukan porn; ----------------------------------------------------------------------
• Perjudian; --------------------------------------------------------------------------------

Ayat (2) c menyebutkan : ----------------------------------------------------------------

• Produksi dan perdagangan minuman keras; ------------------------------------


• Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; ----------------------------------
31

Pasal 52 ayat (1) d menyebutkan pekerjaan yang diperjanjikan tidak


bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; --------------------------------------------------

Analisa : ------------------------------------------------------------------------------

Dengan melihat pada Pasal 52 ayat (1) d maka Pasal 74 ayat (2) a, b dan
c merupakan ketidakkonsistenan. Karena pengaturan Pasal 74 a, b dan c
sama saja dengan mengatakan bila jenis kegiatan yang disebutkan itu
dilakukan oleh orang dewasa maka tidak apa-apa. Padahal dari pekerjaan
yang disebutkan itu ada pula yang jelas-jelas dilarang oleh ketertiban
umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan, sehingga berarti
mengabaikan Pasal 52 ayat (1) d; -----------------------------------------------------

e. Pasal 1 angka 26 jo. Pasal 68 jo. Pasal 69 ayat (2) d dengan


Pasal 76 ayat (1).

Pasal 1 angka 26 menyebutkan definisi anak yaitu : -----------------------------

• Setiap orang; ------------------------------------------------------------------------------


• Di bawah 18 tahun; ----------------------------------------------------------------------

Pasal 68 pada prinsipnya melarang mempekerjakan anak, dan Pasal 69


ayat (2) d menyebutkan salah satu syarat bila pengusaha mempekerjakan
anak yaitu dilakukan pada siang hari. Dan Pasal 76 ayat (1) berisi
larangan terhadap buruh perempuan yang belum 18 tahun untuk
dipekerjakan antara pukul 23.00 - 07.00; --------------------------------------------

Analisa : ------------------------------------------------------------------------------

• Ketentuan Pasal 76 mereduksi ketentuan Pasal 1 angka 26 dan Pasal


68 karena dengan menyebutkan buruh perempuan yang belum
berumur 18 tahun sama saja dengan pengakuan bolehnya orang
(khususnya perempuan) yang belurn berumur 18 tahun untuk bekerja; --

• Ketentuan ini juga diskiminatif karena seolah-olah perlindungan


terhadap anak (yang berumur di bawah 18 tahun) hanya untuk laki-laki.
Karena bila anak tersebut berjenis kelamin perempuan maka disebut
buruh perempuan di bawah 18 tahun bukan lagi anak; ------------------------
32

• Ketentuan Pasal 76 ini seolah-olah menegasi perlindungan yang sudah


diberikan dalam pasal sebelumnya dalam Pasal 69 ayat (2) d. Karena
ketentuan mempekerjakan pada siang hari saja di perluas dengan
pembatasan hanya tidak boleh dipekerjakan dari jam 23.00 - 07.00; ------

Berarti walaupun malam hari, asalkan sebelum pukul 23.00 tidak apa-
apa. Selain kontradiktif, pasal ini juga sangat diskriminatif karena lagi-
lagi hanya untuk buruh anak dan perempuan; ---------------------------------

f. Pasal 1 angka 18 dengan Pasal 106 ayat (3)

Pasal 1 angka 18 menyebutkan definisi lembaga kerja sama bipartit


yaitu : ----------------------------------------------------------------------------------------

• Forum komunikasi dan konsultasi; -----------------------------------------------


• Berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan; ---------------
• Terdiri dari pengusaha dan serikat buruh atau unsur buruh; --------------

Pasal 106 ayat (3) menyebutkan susunan keanggotaan lembaga kerja


sama bipartit yaitu : ----------------------------------------------------------------------

• Unsur pengusaha; --------------------------------------------------------------------


• Unsur buruh yang ditunjuk secara demokratis; -------------------------------

Analisa : ----------------------------------------------------------------------------

• Pasal 106 ayat (3) tidak konsisten dengan ketentuan umum, karena
menghilangkan serikat buruh dari keanggotaan lembaga kerja sama
bipartit, hingga tinggal unsur buruh yang ada. Padahal Pasal 1 angka
18 jelas-jelas menyebutkan keanggotaan lembaga itu adalah serikat
buruh atau unsur buruh; --------------------------------------------------------------

• Masalah mekanisme wakil buruh. Karena ketidakkonsistenan kedua


pasal tersebut maka potensial menimbulkan perpecahan antara buruh
sendiri karena serikat buruh yang esensinya merupakan perwakilan
buruh belum tentu yang menjadi wakil dalam lembaga kerja sama
bipartit; ------------------------------------------------------------------------------------

g. Pasal 102 ayat (2) dengan Pasal 106.


33

Pasal 102 ayat (2) menyebutkan fungsi buruh dan serikat buruh yang
salah satunya adalah menyerukan aspirasi secara demokratis; -------------

Pasal 106 mengatur tentang lembaga kerja sama bipartit, yang


diwajibkan bila perusahaan mempekerjakan sedikitnya 50 orang buruh/
pekerja. Anggota unsur buruh ditunjuk oleh buruh secara demokratis
untuk mewakili kepentingan buruh; --------------------------------------------------

Analisa : ----------------------------------------------------------------------------

Walaupun terkesan memberi ruang demokrasi yang luas bagi buruh


untuk memperjuangkan kepentingannya, sebenarnya Pasal 106
mengurangi fungsi serikat buruh karena kedua pasal ini mengatur hal
yang sama yaitu penyaluran aspirasi kepentingan buruh tetapi lewat dua
forum berbeda. Akibatnya akan terjadi ketidakjelasan, forum mana yang
sebaiknya digunakan buruh. Dalam prakteknya ini membuat pengusaha
akan mudah berkelit dan melemparkan penyelesaian masalah dari satu
wadah ke wadah lainnya; --------------------------------------------------------------

h. Pasal 106 ayat (3) dengan Pasal 110 ayat (3).

Pasal 106 ayat (3) menjelaskan tentang susunan keanggotaan lembaga


kerja sama bipartit, untuk unsur buruh ditunjuk oleh buruh secara
demokratis untuk mewakili kepentingan buruh di perusahaan yang
bersangkutan; -----------------------------------------------------------------------------

Pasal 110 ayat (3) menjelaskan di perusahaan yang belum terbentuk


serikat buruh, wakil buruh (untuk memberikan saran pembentukan
peraturan perusahaan) adalah buruh yang dipilih secara demokratis
untuk mewakili kepentingan para buruh di perusahaan yang
bersangkutan; -----------------------------------------------------------------------------

Analisa : --------------------------------------------------------------------------

Kedua pasal ini tumpang tindih karena dalam Pasal 106, wakil buruh
adalah untuk mewakili dalam lembaga kerja sama bipartit yang
fungsinya sebagai forum komunikasi dan konsultasi tentang
ketenagakerjaan di perusahaan. Pembuatan peraturan perusahaan jelas
34

termasuk masalah ketenagakerjaan, tetapi Pasal 110 ayat (3) malah


mengatur kembali tentang pemilihan wakil buruh; -------------------------------

i. Pasal 1 angka 20 dan Pasal 108 ayat (2) dengan Pasal 1 angka
21.

Pasal 1 angka 20 berisi definisi peraturan perusahaan yaitu : --------------

• Peraturan tertulis; ----------------------------------------------------------------------


• Dibuat oleh pengusaha; --------------------------------------------------------------
• Memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan; --------------------

Pasal 108 ayat (2) menyebutkan tidak wajibnya membuat peraturan


perusahaan bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja
bersama; -----------------------------------------------------------------------------------

Pasal 1 angka 21 berisi definisi perjanjian kerja bersama yaitu : ----------

• Perjanjian; -------------------------------------------------------------------------------
• Hasil perundingan serikat buruh dengan pengusaha; ------------------------
• Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua pihak; -------------

Analisa : ------------------------------------------------------------------------------------

Pasal 1 angka 20 dan Pasal 1 angka 21 terdapat persamaan antara


peraturan perusahaan dengan perjanjian kerja bersama, yaitu sama-
sama mengatur syarat-syarat kerja, dapat disimpulkan bila posisinya
saling menggantikan tergantung dari ada tidaknya serikat buruh dalam
perusahaan yang bersangkutan; -----------------------------------------------------

Tetapi logika tersebut tidak konsisten dengan adanya Pasal 108 ayat (2)
yang menyatakan perusahaan "tidak wajib" (artinya bisa saja kalau
perusahaan mau) membuat peraturan perusahaan, maka bisa ditafsirkan
bisa tetap ada. Hal ini menimbulkan masalah tentang posisi kedua
aturan tersebut bila suatu perusahaan setelah adanya perjanjian kerja
bersama tetap membuat peraturan perusahaan; --------------------------------

j. Pasal 108 ayat (2) dengan Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 116.
35

Pasal 108 ayat (2) berisi tentang tidak ketidakwajiban membuat


peraturan perusahaan bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian
kerja bersama; ----------------------------------------------------------------------------

Pasal 110 ayat (2) berisi ketentuan dalam perusahaan yang telah
terbentuk serikat buruh maka wakil buruh untuk memberikan saran dan
pertimbangan dalam pembuatan peraturan perusahaan adalah pengurus
serikat buruh; ------------------------------------------------------------------------------

Pasal 116 menjelaskan tentang perjanjian kerja bersama yang dibuat


oleh serikat buruh dengan pengusaha; ---------------------------------------------

Analisa : ------------------------------------------------------------------------------------

Ketentuan pasal-pasal ini membuat ketidakjelasan posisi serikat buruh


dalam peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Di satu sisi,
Pasal 108 ayat (2) dan Pasal 116 menyiratkan perjanjian kerja bersama
sebagai pengganti peraturan perusahaan, tetapi di sisi lain serikat buruh
masih diposisikan hanya sebagai pemberi saran untuk pembuatan
perusahaan; -------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa memang


banyak sekali tumpang tindih aturan di satu pasal dengan pasal lainnya
dalam UU Ketenagakerjaan, dan potensial menimbulkan kerancuan dan
perbedaan tafsir antara pasal satu dengan lainnya, sehingga secara
formal UU a quo menjadi tidak patut; -----------------------------------------------

7. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang diundangkan


tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft UU Ketenagakerjaan
yang disahkan oleh Sidang Umum DPR RI pada tanggal 25 Februari
2003.

Bahwa diketahui UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang


diundangkan tanggal 25 Maret 2003 adalah berbeda dengan draft UU
Ketenagakerjaan yang disahkan oleh Sidang Umum DPR RI pada tanggal
25 Pebruari 2003; ----------------------------------------------------------------------------
36

Adapun yang berbeda adalah pada Pasal 159 UU Ketenagakerjaan hanya


memuat satu ayat saja, sementara Pasal 159 UU Ketenagakerjaan yang
disahkan oleh Sidang Umum DPR RI tanggal 25 Pebruari 2003 memuat
4 (empat) ayat; --------------------------------------------------------------------------------

Adanya perubahan redaksi UU Ketenagakerjaan yang disahkan DPR dan


Pemerintah cq. Presiden yang dilakukan tanpa melalui proses pengesahan
oleh Sidang Umum DPR RI adalah jelas-jelas menyalahi aturan tata cara
pembuatan UU mengingat UU harus dibuat berdasarkan atas dan melalui
kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif; -----------------------------------

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Ketua


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan
Hak Uji terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan hak uji ini; ------------------------------

2. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


sebagai bertentangan dengan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; ----------------------------------------------------------------------------------------------

3. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan


sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak berlaku umum;

4. Memerintahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia cq. Presiden Republik


Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mencabut dan
menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan; ---------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 7 Nopember 2003 dan tanggal 11


Desember 2003 para Pemohon/Kuasa Hukum para Pemohon telah didengar
keterangannya dan telah memberikan keterangan tertulis bertanggal 20 Januari 2004
yang pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tetap pada dalil-dalil
permohonannya; ------------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 26 Januari 2004 telah didengar


keterangan dari pihak pemerintah yang diwakili oleh Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia JACOB NUWA WEA dan Menteri Kehakiman dan Hak
37

Asasi Manusia Republik Indonesia YUSRIL IHZA MAHENDRA, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 8 Desember 2003, bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik
Indonesia, dan Mahkamah telah pula menerima keterangan tertulis dari pemerintah pada
tanggal 2 Januari 2004, yang pada pokoknya sebagai berikut : ------------------------------------

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan


nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun
spiritual; -----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga


terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh
serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan dunia usaha; -------------------------------------------------------------------------------

Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.


Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan
sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah
dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif,
antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas,
dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan
penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh pada khususnya dan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya; -----------------------------------------------------------------------------------

Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan


ketenagakerjaan diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi
manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus
diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama
dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakan demokrasi di tempat kerja
diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan
pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan; ------------
38

Undang-undang ini dimaksudkan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 25


Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang ditunda pelaksanaannya melalui Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan menjadi undang-undang. Dalam pertimbangan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2000, diamanatkan untuk melakukan perubahan, penyempurnaan serta
menyusun kembali pengganti Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 agar dapat
menampung aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang pada dasarnya adalah
tuntutan untuk menegakkan hak asasi manusia; -------------------------------------------------------

Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan hak asasi manusia di bidang


ketenagakerjaan antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar ILO
yang menyangkut : ------------------------------------------------------------------------------------------------
- Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan 98); ---------------------------------------------
- Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100 dan 111); -------------------------------------------------------
- Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29 dan 105), dan;--------------------------------------------------
- Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan 182); ----------------------------------------------

Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka UU


Ketenagakerjaan ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada kedelapan
prinsip dasar tersebut. Oleh karena itu undang-undang ini di samping untuk mencabut
ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman, dimaksudkan
juga untuk menampung prinsip-prinsip dasar ILO yang telah diratifikasi; --------------------------

Undang-undang ini antara lain memuat : -------------------------------------------------------------------

- Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; -----------------------------------

- Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; --------------------------------------

- Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja/buruh; ---------------

- Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan


serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas
perusahaan; ----------------------------------------------------------------------------------------------------

- Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja


secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja; -------------------------------------------
39

- Penggunaan tenaga kerja asing yang selektif sesuai dengan kompetensi yang
diperlukan; ------------------------------------------------------------------------------------------------------

- Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan


untuk menumbuhkembangkan kesetaraan antar para pelaku proses produksi untuk
mencapai hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses
produksi ; --------------------------------------------------------------------------------------------------------

- Hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan tidak dapat terwujud
tanpa adanya kepastian hukum yang selama ini menjadi keluhan semua pihak yang
terlibat dalam hubungan industrial terutama para pelaku proses produksi (pekerja/buruh
dan pengusaha) ; ---------------------------------------------------------------------------------------------

- Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial didasarkan pada asas


demokratisasi di tempat kerja yang dapat dilihat dari proses pembuatan perjanjian kerja
bersama, peran dan fungsi lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama tripartit,
dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial; ------------------------------------------------

- Perlindungan pekerja/buruh termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh


untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselarnatan dan kesehatan kerja,
perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat
serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; -----

- Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud adanya jaminan kepastian atas


pelaksanaan undang-undang ini yang pada hakekatnya memberikan perlindungan
kepada pekerja/buruh; ------------------------------------------------------------------------------------

Dengan demikian maka keseluruhan materi dari Undang-undang Nomor 13


Tahun 2003 di samping memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh, undang-undang ini
juga memberikan kontribusi dunia ketenagakerjaan untuk menciptakan suasana kondusif
untuk penanaman modal sehingga diharapkan dapat mendorong berkembangnya dunia
usaha yang merupakan salah satu jawaban terhadap langkanya kesempatan kerja di
dalam negeri. Dengan demikian penyusunan undang-undang ini berada dalam kerangka
berpikir yang mengacu kepada upaya pengembangan dunia usaha dan penciptaan
lapangan kerja; --------------------------------------------------------------------------------------------------

TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON.

Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang
40

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya


undang-undang, dalam hal ini UU tentang Ketenagakerjaan yaitu : ------------------------------

a. perorangan warga negara Indonesia; ----------------------------------------------------------------


b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang; --------------------------------------------------------------------------
c. badan hukum publik atau privat; atau ----------------------------------------------------------------
d. lembaga negara; -------------------------------------------------------------------------------------------

Bahwa LBH Jakarta tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon
karena dalam perkara a quo Pemohon sebanyak 37 orang yang mengaku mewakili 37
organisasi ternyata yang memberi Surat Kuasa hanya 22 orang, (Bukti P-3); -----------------

Bahwa dalam Surat Kuasa tersebut terdapat cacat hukum antara lain karena
Pemohon atas nama Dingin M (Sekjen FSB Kikes) tidak ditandatangani oleh LBH Jakarta
selaku Kuasa Hukum Pemohon. Di samping itu status Sdr. Dingin M. tidak jelas karena
dalam Surat Kuasa mengaku sebagai Sekjen FSB Kikes tetapi dalam Permohonan Hak
Uji, Sdr. Dingin ditulis sebagai Sekjen SB Kimia dan Kesehatan SBSI; ------------------------
Dengan demikian Sdr. Dingin M. selaku Pemohon tidak jelas status hukumnya; -------------

Bahwa Pemohon yang mengatasnamakan organisasi serikat pekerja/serikat


buruh berdasarkan fakta hukum ternyata tidak dapat dikategorikan sebagai badan hukum
privat atau publik sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 51 Undang-undang
Mahkamah Konstitusi; -----------------------------------------------------------------------------------------

Hal tersebut dapat dibuktikan sebagai berikut : ---------------------------------------------------------

Pemohon mengatasnamakan serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan Undang-undang


Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka serikat pekerja/
serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk
memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat dengan melaporkan daftar
nama anggota pembentuk, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta susunan
dan nama pengurus. Pencatatan tersebut tidak otomatis membuat serikat
pekerja/serikat buruh menjadi badan hukum privat; -----------------------------------
41

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemohon tidak memenuhi syarat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Pemerintah mohon Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang terhormat dapat memutus perkara dengan menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima; ------------------------------------------------------------------------------

TENTANG ARGUMEN-ARGUMEN HUKUM.

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang


menyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip
prosedur penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang yang patut, karena : --------

a. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa "setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama "; ---------------------------------------------------------------------

Dengan demikian, karena UU Ketenagakerjaan telah dibahas dan mendapat


persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Presiden Republik Indonesia, maka telah sesuai dengan Konstitusi; ------------------------

b. Penyusunan "naskah akademis" dalam proses pembuatan undang-undang tidak


disyaratkan dalam ketentuan UUD 1945. Ketentuan mengenai pembuatan naskah
akademis tidak diamanatkan dalam UUD 1945; penyusunan naskah akademis diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata
Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (Bukti P-4) dan tidak bersifat wajib.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tidak melakukan uji materiil atas Keputusan Presiden terhadap
UUD 1945. Dengan demikian, maka dalil Pemohon agar dikesampingkan; ----------------

c. Lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 sungguh merupakan perjalanan yang


panjang karena menempuh waktu hampir 4 (empat) tahun. Selama kurun waktu
tersebut Pemerintah dan DPR telah mengakomodir aspirasi dari segenap lapisan
masyarakat, baik kalangan organisasi pekerja/buruh, organisasi pengusaha,
cendekiawan, akademisi mulai dari proses pembuatan draft pemerintah sebelum
diajukan ke DPR, dan pada saat pembahasan di DPR melalui forum Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU), (Bukti P-5); ---------------------------------------------------------------

Bahwa mengenai anggapan Pemohon yang mengatakan bahwa UU


Ketenagakerjaan sebagai 1 (satu) dari "Paket 3 UU Perburuhan" yang dibuat karena
42

tekanan kepentingan modal asing daripada kebutuhan nyata pekerja/buruh Indonesia,


harus ditolak karena : -----------------------------------------------------------------------------------------

UU Ketenagakerjaan telah mengakomodir : -------------------------------------------------------------

a. pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; ------

b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan Nasional dan daerah; ----------------------------------------

c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan


meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya; ----------------------------------

Dari rumusan pasal-pasal UU Ketenagakerjaan tidak dapat disimpulkan baik


secara tersirat atau tersurat adanya kepentingan modal asing; ------------------------------------

TENTANG BEBERAPA PASAL UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003


TENTANG KETENAGAKERJAAN.

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon yang mengatakan


bahwa UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28 dan Pasal 33 dan secara substansial lebih buruk dari undang-
undang yang dihapuskan; ------------------------------------------------------------------------------------

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : --------------------------------------------------------

1. Bahwa UU Ketenagakerjaan di samping untuk mencabut beberapa ketentuan yang


tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman, dimaksudkan juga untuk
menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa
Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998. Ketentuan dari perundang-
undangan yang lama yang masih relevan tetap ditampung dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 dengan mengakomodir kebutuhan sesuai perkembangan
dalam masyarakat maupun Konvensi ILO; ----------------------------------------------------------

Contoh :

a. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 disebutkan bahwa anak yang boleh
bekerja adalah sekurang-kurang berusia 10 tahun. Sementara dalam UU
Ketenagakerjaan, anak yang diperbolehkan bekerja adalah anak yang telah
berusia 13 tahun ke atas dan terbatas untuk pekerjaan-pekerjaan ringan dengan
ketentuan dan syarat-syarat yang khusus. Dengan demikian, maka tidak benar
43

bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 lebih buruk dari undang-undang


sebelumnya, (Bukti P-6); ----------------------------------------------------------------------------

b. Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan tidak menjamin


pemenuhan kewajiban pengusaha terhadap resiko kecelakaan, sehingga undang-
undang tersebut dicabut dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang memberikan jaminan kepastian pemenuhan
hak terhadap pekerja/buruh yang mengalami kecelakaan kerja. Sedangkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mencabut Undang-undang Nomor 3
Tahun 1992, (Bukti P-7); -----------------------------------------------------------------------------

c. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan,


yang diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951. Pemerintah
menyadari pentingnya pengawasan ketenagakerjaan untuk menjamin pemenuhan
hak pekerja/buruh dan pengusaha. Oleh karena itu, dalam UU Ketenagakerjaan
telah dicantumkan dalam Bab tersendiri tentang pengawasan yang mengukuhkan
keberadaan sistem pengawasan ketenagakerjaan yang tetap mengacu kepada
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan jo.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951, (Bukti P-8); -----------------------------------------

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Ketenagakerjaan tidak dapat


dikatakan lebih buruk dari undang-undang sebelumnya; -----------------------------------

2. Bahwa asas yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) lebih dikukuhkan dalam pasal-
pasal UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai BAB tentang Pemutusan Hubungan
Kerja. UU Ketenagakerjaan Pasal 150 s/d Pasal 172 secara jelas memberikan
proteksi/perlindungan yang optimal bagi pekerja/buruh dalam hal PHK antara lain
sebagai berikut : --------------------------------------------------------------------------------------------

a. PHK pada prinsipnya merupakan sesuatu yang harus dihindarkan dan merupakan
jalan terakhir apabila upaya-upaya lain tidak dapat dihindari; -----------------------------

b. Apabila akan dilakukan PHK disyaratkan harus ada penetapan (sebagai pengganti
dari istilah "ijin") Lembaga Pengadilan sebelum pengusaha dapat mem-PHK
pekerjanya/buruhnya; --------------------------------------------------------------------------------

c. Apabila belum ada penetapan PHK, maka para pihak tetap melaksanakan
tugasnya artinya pengusaha harus tetap memenuhi kewajibannya membayar hak-
hak pekerja/buruh; ------------------------------------------------------------------------------------
44

d. Bagi pekerja/buruh yang terpaksa diputuskan hubungan kerjanya, UU


Ketenagakerjaan telah mewajibkan pengusaha untuk memberikan pesangon, uang
penghargaan masa kerja atau penggantian hak yang seharusnya diterima.
Perhitungan uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan lebih menguntungkan
pekerja/buruh dibanding peraturan sebelumnya karena perhitungan uang
pesangon mencapai kelipatan 9 (sembilan) bulan upah bagi pekerja/buruh dengan
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih. Perhitungan uang pesangon yang diatur
sebelumnya hanya mencapai kelipatan 8 (delapan) bulan upah. Selain itu
perhitungan penghargaan masa kerja mencapai 10 (sepuluh) bulan upah bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja pada peraturan sebelumnya hanya
mencapai kelipatan 8 (delapan) bulan upah; ---------------------------------------------------

Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atau pekerja/buruh yang di-PHK


karena melakukan kesalahan berat diberikan uang pisah; ---------------------------------

e. Bahwa UU Ketenagakerjaan mengatur pekerja/buruh yang diputuskan hubungan


kerjanya karena melakukan kesalahan berat tidak diberikan uang pesangon atau
uang penghargaan masa kerja seharusnya dapat dimengerti. Pengaturan ini lebih
dimaksudkan sebagai upaya pencegahan (preventif) mengingat kesalahan berat
yang dilakukan di tempat kerja dapat menimbulkan dampak negatif yang luas
terhadap suasana kerja di perusahaan; ---------------------------------------------------------

contoh :
Dalam hal terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pekerja/buruh terhadap
majikannya sangat tidak adil apabila pekerja/buruh mendapatkan uang pesangon
dan uang penghargaan masa kerja; --------------------------------------------------------------

Dengan demikian, maka tidak relevan apabila ketentuan mengenai PHK dikaitkan
dengan standar perlindungan bagi pekerja/buruh; --------------------------------------------

3. Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak membatasi
kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan menganut
prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Apabila di
satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap
serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan pembuatan
45

perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan tersebut akan


terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama. Sehingga dengan demikian
kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal ini bertentangan dengan
prinsip anti diskriminasi yang dianut dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan. Oleh karena
itu sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28
UUD 1945, maka UU Ketenagakerjaan mengatur sistem keterwakilan yang mayoritas
yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja
bersama. Itupun wakil dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam
perusahaan tersebut masih dimungkinkan untuk duduk dalam tim perunding
sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan; --------------------------

Rumusan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu tanda anggota bagi
pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui kartu tanda anggota merupakan hal
yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa yang bersangkutan adalah anggotanya.
Pembuktian keanggotaan ini merupakan cara yang akurat untuk menentukan siapa
yang berhak mewakili organisasinya; -------------------------------------------------------------------

Dalam kasus PT. DHL dan PT. Tambun Kusuma yang disampaikan oleh Pemohon
ternyata pengurus serikat pekerja/serikat buruh tidak dapat membuktikan kebenaran
jumlah anggota sehingga perusahaan menolak melakukan perundingan perjanjian kerja
bersama. Penolakan oleh perusahaan dapat dimengerti karena tanpa adanya bukti
keanggotaan, terdapat keraguan apakah betul serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan mewakili pekerja/buruh yang dimaksud; ---------------------------------------------

4. Bahwa rumusan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan dimaksudkan bahwa Lembaga


Kerjasama Bipartit adalah sebagai forum kerjasama yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan yang anggotanya terdiri dari unsur perusahaan dan
pekerja/buruh. Karena salah satu tujuannya antara lain untuk meningkatkan kinerja
perusahaan maka keanggotaannya diharapkan adalah orang-orang yang profesional
dan berkompeten di bidangnya. Misalnya yang berkaitan di bidang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3), produktivitas. Lembaga Kerjasama Bipartit dibentuk di
perusahaan yang mempekerjakan minimal 50 orang pekerja/buruh, sementara di 1
(satu) perusahaan yang berjumlah 50 orang ke atas belum tentu ada serikat pekerja/
serikat buruh sehingga apabila kita mempersyaratkan keanggotaan Lembaga Kerja
Sama Bipartit hanya dari serikat pekerja/serikat buruh, maka akan terkendala
46

pembentukan Lembaga Kerja Sama Bipartit. Namun apabila di perusahaan tersebut


terdapat 1 (satu) atau lebih serikat pekerja/serikat buruh maka mereka mempunyai
wakil dalam LKS Bipartit. (Pasal 5 Keputusan Menteri Nomor : KEP-255/MEN/2003
tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama
Bipartit sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal
106 ayat (4), (Bukti P-9); ---------------------------------------------------------------------------------

5. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon yang mengatakan


bahwa ketentuan Pasal 64 s/d Pasal 66 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945 dengan penjelasan sebagai berikut : --------------------------------------

- Rumusan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan mengakomodir kenyataan yang ada


dalam praktek sehari-hari bahwa ada pekerjaan-pekerjaan yang menurut jenis dan
sifat pekerjaan itu merupakan penunjang bagi kegiatan usaha tertentu yang pada
umumnya dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh. Dalam hukum perdata hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim
dan diperbolehkan. Dalam rumusan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan justru
memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dengan menetapkan syarat-
syarat yang dimaksudkan memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh.
Penetapan syarat-syarat dimaksud akan menjamin bahwa perlindungan
pekerja/buruh yang bekerja pada perjanjian pemborongan tidak akan menerima
hak yang lebih rendah dari mereka yang bukan bekerja berdasarkan perjanjian
pemborongan; ------------------------------------------------------------------------------------------

- Rumusan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan secara tegas diatur tentang jenis-jenis


pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
yaitu dibatasi hanya untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi; ---------------------------------------------

Mekanisme tersebut di atas dalam hubungan kerja dilakukan dengan menghormati


hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling menguntungkan.
Bahwasanya perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mendapatkan hasil adalah
sesuatu yang wajar sebagai konsekuensi badan hukum yang mengelola jasa
tersebut (management fee); ------------------------------------------------------------------------
47

6. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon yang mengatakan


bahwa ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 karena : ------------------------------------------------------------------------------------

- Rumusan Pasal 158 telah menetapkan secara limitatif jenis-jenis tindakan


pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai kesalahan berat menurut UU
Ketenagakerjaan. Di dalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan faktor
kepercayaan, dan ketentraman kerja sangat dominan. Oleh karena itu, pekerja/
buruh yang nyata-nyata melakukan tindakan-tindakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 158 UU Ketenagakerjaan akan menimbulkan dampak negatif terhadap
suasana kerja. Dapat dibayangkan apabila di tempat kerja terdapat pekerja/buruh
yang telah nyata-nyata melakukan penganiayaan terhadap pengusaha atau teman
sekerja atau melakukan pencurian, atau mabok di tempat kerja. Sehingga dalam
kasus-kasus seperti itu tidak diperlukan proses pembuktian pengadilan; --------------

Walaupun demikian tindakan pengusaha untuk mem-PHK tidak dapat dilakukan


semena-mena karena UU Ketenagakerjaan mengatur tentang PHK yang
disebabkan karena kesalahan berat harus didukung dengan bukti-bukti yang cukup
berupa : --------------------------------------------------------------------------------------------------

a. pekerja/buruh tertangkap tangan; -------------------------------------------------------------


b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau -------------------------
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi; -----------------------------------------------------------------------------------------

Dalam hal pekerja/buruh berkeberatan atas PHK karena kesalahan berat, maka
dapat mengajukan keberatan kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial; ----------------------------------------------------------------------------------

7. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon yang mengatakan


bahwa UU Ketenagakerjaan secara substansial bertentangan dengan standar
perburuhan internasional (Konvensi dan Rekomendasi ILO) karena Pemerintah
Indonesia pada prinsipnya mengakui hak mogok merupakan hak dasar pekerja/buruh
dan sebagai bagian dari hak kebebasan berserikat. Pemerintah RI juga mengakui hak
mogok sebagaimana direkomendasikan Komite Kebebasan Berserikat ("Freedom of
48

Association and Collective Bargaining : General Survey; Report II (4B) Sidang ILO
ke-69") ; -------------------------------------------------------------------------------------------------------

a. Rumusan Pasal 137 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan standar


perburuhan internasional, karena dimungkinkan bagi pemerintah negara anggota
ILO untuk mengatur "persyaratan" atau "batasan" hak-hak mogok sebagaimana
dinyatakan oleh Komite Kebebasan Berserikat (Freedom of Association, Fourth
(revised) Edition, 1996, Prerequisites, paragraph 500, hal. 105) : ----------------------

Legislation which provides for voluntary conciliation and arbritation in industrial


disputes before a strike may be called cannot be regarded as an intringement of
freedom of association (Prerequisites, paragraf 500, hal 105, "Freedom of
Association, Fourth (revised) Edition, 1996); -------------------------------------------------

The Committee has emphasized that, although a strike may be temporarily


restricted by law until all procedures available for negotiation, conciliation, and
arbitration have been exhausted, such a restriction should be accompanied by
adequate, impartial, and speedy conciliation and arbitration proceedings in which
parties concerned can take part at every stage. (Prerequisites, paragraf SDO, hal
105, "Freedom of Association, Fourth (revised) Edition, 1996); -------------------------

"Peraturan perundangan yang mengatur proses konsiliasi dan arbitrasi dalam


perselisihan industrial, sebelum pemogokan terjadi, tidak dapat dianggap sebagai
pelanggaran atas kebebasan berserikat"; -------------------------------------------------------

"Komite menekankan bahwa, walaupun mogok dapat saja sementara dilarang


menurut undang-undang sampai semua prosedur yang ada untuk bernegosiasi,
konsiliasi, dan arbitrasi dilaksanakan dengan sepenuhnya, larangan tersebut harus
disertai dengan penyelesaian konsiliasi dan arbitrasi yang tepat/memadai, tidak
terpisah-pisah, dan cepat dimana para pihak yang berkepentingan dapat berperan
serta pada setiap tahap"; ----------------------------------------------------------------------------

b. Rumusan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan


standar perburuhan internasional, karena dimungkinkan bagi pemerintah negara
anggota ILO untuk ic. mengatur "batasan" hak-hak mogok sebagaimana
dinyatakan oleh Komite Kebebasan Berserikat (Freedom of Association, Fourth
(revised) Edition, 1996, Prerequisites, paragraph 584 dan 585, hal. 120): -----------
49

The prohibition of strike pickets is justified only if the strike ceases to be peaceful
(Pickets, paragraf 584, hal 120, "Freedom of Association, Fourth (revised)
Edition, 1996); ---------------------------------------------------------------------------------------

The Committee has considered legitimate a legal provision that prohibited pickets
from disturbing public order and threatening workers who continued to work
(Pickets, paragraf 585, hal 120, "Freedom of Association; Fourth (revised)
Edition, 1996); ---------------------------------------------------------------------------------------

"Larangan mogok dapat dibenarkan hanya bilamana mogok tersebut tidak


dilaksanakan secara damai”; -----------------------------------------------------------------------

"Komite berpendapat bahwa merupakan ketentuan yang sah menurut hukum bila
larangan mogok ditujukan untuk mencegah gangguan atas ketertiban masyarakat
dan mengganggu pekerja/buruh lain yang terus melakukan pekerjaan"; ---------------

Rumusan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pada dasarnya tidak melarang
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang sedang mogok kerja
mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja. Namun ajakan mogok kerja
tersebut harus dilakukan dengan tidak melanggar hukum seperti : ----------------------

- memaksa/mengintimidasi/mengancam pekerja/buruh yang tidak ikut mogok


kerja sehingga pekerja/buruh terpaksa ikut mogok kerja atau tidak
melaksanakan pekerjaan; -----------------------------------------------------------------------
- melakukan tipu muslihat/menghasut sehingga pekerja/buruh terjebak untuk ikut
mogok kerja; ----------------------------------------------------------------------------------------
- menghalang-halangi pekerja/buruh lain yang mau masuk kerja/melaksanakan
pekerjaan; -------------------------------------------------------------------------------------------

Dengan demikian, maka rumusan pasal tersebut tidak membatasi hak


pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh untuk mengajak rekannya
melakukan mogok kerja sepanjang tidak melanggar hukum. Pada dasarnya
pekerja/buruh yang tidak mau mogok juga merupakan hak asasi/hak dasar bagi
pekerja/buruh yang bersangkutan sehingga harus dihormati; -----------------------------

c. Rumusan Pasal 186 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan standar


perburuhan internasional, karena dimungkinkan bagi pemerintah negara anggota
ILO untuk mengatur "sanksi" pelanggaran hak-hak mogok sebagaimana
50

dinyatakan oleh Komite Kebebasan Berserikat (Freedom of Association, Fourth


(revised) Edition, 1996, Sanction, 2. Cases of Abuse while exercising the Right to
Strike, paragraf 385, hal. 120): ------------------------------------------------------------------

The principles of freedom of association do not protect abuses consisting of


criminal acts while exercising the right to strike. (Sanction, 2. Cases of abuse
while exercising the right to strike, paragraf 585, hal 120, "Freedom of
Association, Fourth (revised) Edition, 1996); ------------------------------------------

"Prinsip-prinsip kebebasan berserikat tidak melindungi pelanggaran-pelanggaran


yang berupa tindakan kriminal ketika dilakukan pemogokan"; -----------------------------

d. Rumusan Pasal 140 - 141 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan


standar perburuhan internasional, karena dimungkinkan bagi pemerintah negara
anggota ILO untuk mengatur "waktu pemberitahuan" hak-hak mogok sebagaimana
dinyatakan oleh Komite Kebebasan Berserikat (Freedom of Association, Fourth
(revised) Edition, 1996, Prerequisites, paragraf 505 hal. 105; paragraf 504
dan 505 hal. 106): ----------------------------------------------------------------------------

"the obligation to give prior notice to the employer before calling a strike may
be considered acceptable "; ---------------------------------------------------------------

"Kewajiban memberitahukan terlebih dahulu kepada pengusaha sebelum


dilaksanakannya aksi mogok dipandang dapat diterima"; ---------------------------------

The requirement that a 20-day period of notice be given in services of social


and public interest does not undermine the principles of freedom of
association (Prerequisites, paragraf 504, hal 106; "Freedom of Association,
Fourth (revised) Edition, 1996); ----------------------------------------------------------

"Persyaratan dengan 20 hari masa pemberitahuan sebelum pemogokan dilakukan


di dalam rangka pelayanan sosial dan kepentingan publik tidak melanggar prinsip-
prinsip kebebasan berserikat"; ---------------------------------------------------------------------

The requirement that a 20-day period of notice be given in services of social


and public interest does not undermine the principles of freedom of
association (Prerequisites, paragraf 504, hal 106, "Freedom of Association,
Fourth (revised) Edition, 1996); ----------------------------------------------------------
51

"Persyaratan legal 40 hari "masa tenang" (cooling of period) sebelum pemogokan


diumumkan di bidang layanan esensial, yang mana sejauh ini dimaksudkan untuk
memberikan para pihak gambaran keadaan (reflection) tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebebasan berserikat. Hal ini merupakan tindakan yang mempunyai
maksud agar para pihak berkesempatan untuk sekali lagi duduk dimeja
perundingan dan sedapat mungkin mencapai kesepakatan tanpa melalui aksi
mogok"; --------------------------------------------------------------------------------------------------

Rumusan Pasal 140 dan Pasal 141 UU Ketenagakerjaan mengenai pengaturan


waktu atas penggunaan hak mogok, tidak bertentangan dengan standar ILO
karena : --------------------------------------------------------------------------------------------------

Hak mogok pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh telah dijamin dalam
UU Ketenagakerjaan, namun dalam pelaksanaan hak mogok tersebut sudah
sewajarnya diatur agar tidak merugikan hak orang lain yang juga dijamin oleh
undang-undang; ---------------------------------------------------------------------------------------

Waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum dilaksanakan mogok kerja dimaksudkan untuk
memberi kesempatan yang cukup kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk mengupayakan penyelesaian;

Apabila pekerja/buruh telah melakukan mogok kerja sebelum tenggang waktu


pemberitahuan mogok kerja mencapai 7 (tujuh) hari, maka dikhawatirkan tidak
cukup waktu untuk penyelesaian sebagaimana yang diharapkan; -----------------------

e. Tentang jam kerja bagi buruh perempuan.

Pasal 76 UU Ketenagakerjaan tidak bermaksud untuk melakukan diskriminasi


terhadap pekerja/buruh perempuan tetapi mengedepankan aspek perlindungan.
Bahwa larangan bekerja bagi pekerja/buruh perempuan hamil dan pekerja/buruh
perempuan di bawah usia 18 tahun pada pukul 23.00 s/d 05.00 WIB didasarkan
pada pertimbangan bahwa secara kodrat perempuan yang hamil dan perempuan
usia di bawah 18 tahun harus mendapatkan perlindungan keselamatan,
perlindungan kesehatan kerja serta moral dan kesusilaan; ------------------------------

8. Bahwa Pemohon mengatakan UU Ketenagakerjaan banyak memberikan "cek kosong"


kepada Pemerintah sehingga cenderung "executive heavy", maka dapat pemerintah
berikan keterangan sebagai berikut : -----------------------------------------------------------------
52

UU Ketenagakerjaan berorientasi pada penyeimbangan kepentingan pekerja/buruh


dengan pengusaha, namun pada hal-hal tertentu UU Ketenagakerjaan tidak mengatur
hal-hal yang bersifat teknis operasional dan harus dalam peraturan pelaksanaan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau Keputusan Menteri.
Pemerintah berpendapat bahwa Keputusan Menteri adalah merupakan produk
peraturan yang sah karena berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Tap MPR Nomor III Tahun
2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka
Keputusan Menteri merupakan sumber hukum yang keberadaannya sah. Dengan
demikian Keputusan Menteri tidak bertentangan dengan Tap MPR Nomor III Tahun
2000; ----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan keterangan sebagaimana Pemerintah sampaikan tersebut di atas,


maka setelah mencermati dengan seksama isi permohonan Pemohon dapat disimpulkan
sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Bahwa UU Ketenagakerjaan pembuatannya telah sejalan dengan konstitusi


sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 karena telah dibahas dan mendapat
persetujuan bersama antara DPR-RI dan Presiden RI; ------------------------------------------

2. Bahwa UU Ketenagakerjaan telah cukup mengakomodir kepentingan hak-hak dasar


(hak asasi) manusia, menjaga keseimbangan kebutuhan rakyat banyak terutama
masyarakat dunia usaha (pekerja/buruh dan pengusaha) dalam rangka melaksanakan
amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945; -----------------------------------------------------------------

3. Bahwa materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian UU Ketenagakerjaan tidak
bertentangan dengan UUD 1945; ----------------------------------------------------------------------

4. Bahwa Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagakerjaan,
sehingga Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 51 Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; --------------------------------

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah memohon kepada yang


terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus
permohonan pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat
memberikan putusan sebagai berikut : -------------------------------------------------------------------

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai legal standing; ------------------------------


53

2. Menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya permohonan


Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima; ----------------------------------------------------------

3. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak


bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap


mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia; ----------------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil keterangan tertulisnya,


Pemerintah telah mengajukan bukti-bukti surat yang telah diberi tanda Bukti P-1 sampai
dengan P-9, yaitu sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------

1. Bukti P-1 : Surat Kuasa Khusus Presiden kepada Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi, dan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia tanggal
8 Desember 2003; -----------------------------------------------------------------------

2. Bukti P-2 : Surat Panggilan Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/MK/KA/12/2003


tanggal 1 Desember 2003; ------------------------------------------------------------

3. Bukti P-3 : Surat Kuasa Khusus para Pemohon tertanggal 11 Nopember 2003; ------

4. Bukti P-4 : Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang; -----------------------------------

5. Bukti P-5 : Daftar Hadir Pembahasan Draft Rancangan Undang-Undang tentang


Ketenagakerjaan; ------------------------------------------------------------------------

6. Bukti P-6 : Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang-undang Kerja


Tahun 1948; -------------------------------------------------------------------------------

7. Bukti P-7 : Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan; ---------------

8. Bukti P-8 : Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan


Perburuhan; -------------------------------------------------------------------------------

9. Bukti P-9 : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
tentang Tata cara Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga
Kerjasama Bipartit; ----------------------------------------------------------------------
54

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 Desember 2003 telah didengar


keterangan dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang diwakili oleh
Kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 193/ASSES I/XII/2003 tanggal 11
Desember 2003, dan Mahkamah Konstitusi telah pula menerima keterangan tertulis dari
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 2004, yang pada
pokoknya sebagai berikut : -----------------------------------------------------------------------------------

MENGENAI SYARAT PERMOHONAN.

1. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon.

a. Bahwa permohonan diajukan untuk melaksanakan hak konstitusional yang dijamin


dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 dan Pasal 33 UUD 1945; -------------

b. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yaitu : -----------------------------------------------------------------------------------------------------

1) perorangan warga negara Indonesia; --------------------------------------------------------


2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang; ----------------------------------------------------------
3) badan hukum publik atau privat; atau --------------------------------------------------------
4) lembaga negara; ----------------------------------------------------------------------------------

c. Bahwa berkaitan dengan legal standing, LBH Jakarta tidak berhak bertindak untuk
dan atas nama Pemohon karena dalam perkara a quo Pemohon sebanyak 37
orang yang mengaku mewakili 37 organisasi ternyata yang memberi Surat Kuasa
hanya 22 orang; ----------------------------------------------------------------------------------------

d. Bahwa dalam beberapa Surat Kuasa tersebut terdapat cacat hukum, antara lain,
karena Pemohon atas nama Dingin M (Sekjen FSB Kikes) tidak ditandatangani
oleh LBH Jakarta selaku Kuasa Hukum Pemohon. Disamping itu status Sdr. Dingin
M. tidak jelas karena dalam Surat Kuasa mengaku sebagai Sekjen FSB Kikes,
tetapi dalam Permohonan Hak Uji, Sdr. Dingin ditulis sebagai Sekjen SB Kimia dan
55

Kesehatan SBSI. Dengan demikian Sdr. Dingin M. selaku Pemohon tidak jelas
status hukumnya; --------------------------------------------------------------------------------------

e. Bahwa Pemohon yang mengatasnamakan organisasi ternyata berdasarkan fakta


hukum yang ada tidak sah mewakili organisasinya; ------------------------------------------

f. Bahwa Pemohon mengatasnamakan serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan


Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/

serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk
dicatat dengan melaporkan daftar nama anggota pembentuk, anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, serta susunan dan nama pengurus; ----------------------------

Serikat pekerja/serikat buruh tidak sesuai sebagai Pemohon sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Mahkamah Konstitusi, karena proses
pencatatan tersebut tidak otomatis membuat serikat pekerja/serikat buruh menjadi
badan hukum privat. Oleh karena itu, tidak benar menurut Undang-undang
Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Pemohon; ------------------------------------------

2. Syarat Formalitas Permohonan.

a. Bahwa permohonan Pemohon tidak secara jelas menguraikan hal-hal yang tidak
memenuhi ketentuan dalam UUD 1945 mengenai pembentukan undang-undang
(Pasal 51 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ); ---------------------------------------------------------------------------

b. Bahwa permohonan Pemohon tidak menguraikan dengan jelas tentang hak-hak


konstitusional yang dilanggar (Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ); --------------------------------------------

c. Bahwa permohonan Pemohon yang mengatakan bahwa Pasal 140 dan Pasal
141 UU Ketenagakerjaan secara substansial bertentangan dengan standar
perburuhan internasional (Konvensi dan Rekomendasi ILO), Undang-undang
Ketenagakerjaan sebagai 1 (satu) dari "Paket 3 UU Perburuhan " yang dibuat
karena tekanan kepentingan modal asing daripada kebutuhan nyata pekerja/
56

buruh Indonesia, serta yang menyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan banyak


memberikan "cek kosong" kepada pemerintah adalah bukan hak konstitusional
yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (Pasal 51 ayat (3) UU MK); -----

Berdasarkan uraian di atas permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003,
karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima; -------------------

MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN.

1. Formil Pengesahan Undang-undang.

Bahwa UUD 1945 tidak mengatur mengenai "naskah akademis" atau


mengharuskan proses pembuatan undang-undang dengan pembuatan naskah
akademis. Oleh karena itu, UU Ketenagakerjaan telah memenuhi ketentuan
pembuatan undang-undang sebagaimana diatur dalam UUD 1945; -----------------------

2. Pokok Materi Permohonan.

Bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari


pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga
kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil
maupun spiritual; -------------------------------------------------------------------------------------------

Bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan


keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama,
sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan
pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang
menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya
manusia, peningkatan produktivitas, dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya
perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan
hubungan industrial; ---------------------------------------------------------------------------------------
57

Bahwa pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan


ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap
hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini
merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakan
demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari
seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara
Indonesia yang dicita-citakan; --------------------------------------------------------------------------

Bahwa komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi


manusia di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan
konvensi dasar ILO yaitu Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan 98);
Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100 dan 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29 dan
105); dan Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan 182); ------------------------------

Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak


membatasi kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat
pekerja/serikat buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. Hal tersebut sejalan
dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945 yaitu prinsip
demokrasi. Berdasarkan prinsip tersebut, maka suatu hal yang wajar apabila 1 (satu)
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) mengatur syarat-syarat kerja bagi seluruh
pekerja/buruh dalam 1 (satu) perusahaan. Sebaliknya jika dalam 1 (satu) perusahaan
terdapat lebih dari 1 (satu) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) justru berpeluang
terjadinya diskriminasi bagi para pekerja/buruh; ---------------------------------------------------

Bahwa rumusan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu


tanda anggota bagi pekerja/buruh yang ikut dalam keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh antara lain untuk dapat diketahui dengan sungguh-sungguh keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dalam rangka menentukan
keterwakilan dalam pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB). Sebaliknya jika tanpa
adanya bukti keanggotaan justru akan mempersulit menentukan keterwakilan; ----------

Bahwa rumusan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan dimaksudkan bahwa


Lembaga Kerjasama Bipartit adalah sebagai forum kerjasama yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan yang anggotanya terdiri dari unsur perusahaan dan
pekerja/buruh. Sedangkan serikat pekerja/serikat buruh merupakan organisasi untuk
58

memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dengan demikian jelas bahwa fungsi


lembaga kerjasama bipartit tidak menggantikan fungsi serikat pekerja/serikat buruh
sebagai organisasi yang berhak mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam
memperjuangkan hak dan kepentingannya; --------------------------------------------------------

Bahwa Dewan tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon yang


menyatakan bahwa ketentuan Pasal 64 s/d Pasal 66 UU Ketenagakerjaan
bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dengan penjelasan sebagai berikut : ---------

- Rumusan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan mengakomodasi kenyataan yang ada


dalam praktek sehari-hari bahwa ada pekerjaan-pekerjaan yang menurut jenis dan
sifat pekerjaan itu dapat dilakukan melalui pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam hukum perdata hal tersebut merupakan
sesuatu yang lazim dan diperbolehkan; ---------------------------------------------------------

- Rumusan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan justru mengatur lebih lanjut syarat-


syarat atas pekerjaan yang dapat dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan serta perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh dan
memberikan proteksi yang memadai bagi pekerja/buruh yang bekerja di
perusahaan pemborong pekerjaan; ---------------------------------------------------------------

Bahwa Dewan tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon yang


mengatakan bahwa ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 karena rumusan Pasal 158 jo. Pasal 170 UU
Ketenagakerjaan disemangati pemikiran saling menghormati tegaknya aturan hukum
dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial yang harmonis, sehingga bagi
pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat dilingkungan perusahaan, maka
dikenakan PHK. Namun apabila pekerja/buruh berkeberatan terhadap PHK tersebut
dapat membela diri dengan cara mengajukan gugatan ke Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial; ------------------------------------------------------------------

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka permohonan para Pemohon yang


menyatakan bahwa prosedur persetujuan RUU Ketenagakerjaan menjadi undang-
undang melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dan keberadaan UU
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 dan
Pasal 33 UUD 1945 tidak beralasan, karena itu permohonan harus dinyatakan ditolak; --
59

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya Para


Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang telah diberi tanda Bukti P-1 sampai
dengan P-13, yaitu sebagai berikut : ----------------------------------------------------------------------

1. Bukti P-1 : Surat No. 005.3/DPNFSPTSK/II/2003 tertanggal 13 Pebruari 2003


yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Wakil Sekretaris Jenderal
Federasi Serikat Pekerja Tektil, Sandang, dan Kulit (FSPTSK); ----------

2. Bukti P-2 : Surat Dewan Pengurus Pusat Solidaritas Buruh Maritim dan Nelayan
tertanggal 14 Pebruari 2003 yang ditandatangani oleh Sekretaris
Jenderal; ---------------------------------------------------------------------------------

3. Bukri P-3 : Surat Keputusan DPN FSPTSK No. SK.07.4/DPN FSPTSK/V/03


tertanggal 12 Mei 2003; --------------------------------------------------------------

4. Bukti P-4 : Surat Keputusan DPN FSPTSK No. SK.08.4/DPN FSPTSK/V/03


tertanggal 12 Mei 2003; --------------------------------------------------------------

5. Bukti P-5 : Surat yang dibuat oleh TIM KECIL;------------------------------------------------

6. Bukti P-6.1 : Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gresik; --------------

7. Bukti P-6.2 : Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Barat; -----------

8. Bukti P-7 : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari Organisasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang diwakili Oleh Para Pemohon; -----------------

9. Bukti P-8 : Surat-surat Pencatatan dari Organisasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh


yang diwakili Oleh Para Pemohon; ------------------------------------------------

10. Bukti P-9 : Data sejumlah buruh dari organisasi serikat buruh dan LSM
Perburuhan yang menjadi korban atas pemberlakuan Undang-Undang
Nomot 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sejak bulan April
2003; --------------------------------------------------------------------------------------

11. Bukti P-10 : Kliping Koran Kompas tanggal 10 Desember 2003 berisi artikel dengan
judul “ Mempertimbangkan Hak-hak Ekososbud, Penulis AI. Andang L.
Binawan, Pengajar di STF Driyarkara Jakarta; --------------------------------

12. Bukti P-11 : Kliping Koran Kompas tanggal 20 Desember 2003 berisi artikel dengan
judul “ Merawat Mimpi Globalisasi “, Penulis B. Herry Priyono Ketua
Program Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta; ------------------------------
60

13. Bukti P-12 : Buku berjudul “ Labour Flexibility “, Penulis Guy Standing, seorang
ekonom senior di Kantor Pusat ILO ( Organisasi Perburuhan
Internasional ); --------------------------------------------------------------------------

14. Bukti P-13 : Laporan Investigasi – Dampak Pemberlakuan Undang-Undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Hubungan Industrial di
Tangerang Propinsi Banten; --------------------------------------------------------

Menimbang bahwa di samping mengajukan bukti-bukti surat tersebut, Para


Pemohon juga telah mengajukan 2 (dua) orang Ahli, yaitu : ---------------------------------------

1. Prof. Dr. ALOYSIUS UWIYONO, Ahli Hukum Perburuhan dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, telah memberikan keterangan di bawah sumpah sesuai
dengan keahliannya, yang pada pokoknya sebagai berikut : -----------------------------------

- Bahwa UU Ketenagakerjaan secara historis merupakan kelanjutan dari Undang-


undang Nomor 25 Tahun 1997 yang sempat diundangkan pada tahun 1997 tetapi
tidak pernah efektif karena ditolak oleh masyarakat perburuhan, sehingga Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 ditunda sampai 2 kali, karena tidak dapat ditunda
sampai ketiga kali maka RUU Ketenagakerjaan diundangkan menjadi Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003; --------------------------------------------------------------------

Seharusnya UU Ketenagakerjaan menyempurnakan atau memperbaiki Undang-


undang Nomor 25 Tahun 1997, tetapi ternyata substansinya tidak ada perubahan
yang signifikan; -----------------------------------------------------------------------------------------

UU Ketenagakerjaan sama dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997, tidak


diawali dengan suatu academic draft sehingga materi atau substansinya pada
dasarnya mengambil dari materi-materi dari tingkat undang-undang sampai
Keputusan Menteri yang diakomodir di dalam UU Ketenagakerjaan. Oleh karena
itu, paradigma hukum yang digunakan di dalam UU Ketenagakerjaan tidak jelas; --

- Bahwa salah satu substansi yang tidak berubah adalah ketentuan yang
menyangkut outsourcing, baik di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003; --------------------------------------------

- Bahwa salah satu pasal yang jelas inkonsisten adalah Pasal 1 ayat (15) yang
menyatakan: hubungan kerja adalah hubungan hukum yang timbul antara pekerja
61

dan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki ciri-ciri adanya upah,
adanya perintah, dan adanya pekerjaan; --------------------------------------------------------

Di dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa antara perusahaan penyedia
jasa pekerja dipersyaratkan harus ada hubungan kerja. Padahal antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja hubungan hukumnya tidak
memenuhi unsur perintah, pekerjaan dan upah. Tetapi dalam Pasal 66 ayat (2)
diharuskan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan penyedia jasa pekerja;

Dalam konstruksi outsourcing, sebetulnya hubungan kerja yang terjadi adalah


antara pengguna (user) dengan pekerja, karena perusahaan penyedia jasa
pekerja, pada saat menyerahkan pekerja untuk bekerja pada pengguna, maka
terjadilah hubungan hukum yang disebut hubungan kerja, karena telah ada unsur
perintah, pekerjaan dan upah. Sehingga dengan demikian Pasal 1 ayat (15)
bertentangan dengan Pasal 66 ayat (2) b; ------------------------------------------------------

- Bahwa keberatan dari kalangan buruh dan akademisi pada waktu itu, pada
dasarnya adalah bahwa Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 meliberalisasi
hubungan kerja, karena mengatur pasal-pasal yang mengatur hak-hak pekerja,
tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada para pihak dalam bentuk perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau dalam bentuk Peraturan Kerja Bersama yang
dibuat antara serikat pekerja dengan pengusaha; --------------------------------------------

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 yang juga diikuti oleh UU


Ketenagakerjaan, mencabut 6 undang-undang dan 6 ordonansi yang substansinya
memberikan perlindungan kepada pekerja. Artinya hak-hak yang berupa syarat-
syarat kerja dan kondisi kerja ditetapkan secara limitatif di dalam keenam undang-
undang dan keenam ordonansi tersebut. Dengan dicabutnya keenam undang-
undang dan keenam ordonansi, maka peran Pemerintah di dalam menentukan
syarat dan kondisi kerja mulai dikurangi, artinya diserahkan kepada para pihak.
Contoh: pasal yang mengatur cuti tahunan atau cuti haid. Dalam Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pekerja mempunyai hak cuti tahunan
12 hari kerja, tetapi dalam pasal berikutnya diatur bahwa pelaksanaan cuti
tahunan sebagaimana tersebut dalam pasal di atas diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama; ---------------------------------------

Jadi artinya, kalau cuti tahunan tidak diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, dalam perjanjian kerja bersama, maka cuti tahunan bukan menjadi
hak normatif pekerja. Inilah yang dimaksud salah satu contoh pasal yang
62

meliberalisasi hubungan kerja, padahal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun


1948 yang dicabut oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 dinyatakan secara
tegas bahwa pekerja yang sudah sampai pada masa kerja 1 tahun mempunyai hak
cuti tahunan selama 12 hari kerja; ----------------------------------------------------------------

Dalam hal ini, lebih tepat Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 yang mengatur
secara limitatif hak cuti tahunan pekerja sekurang-kurangnya 12 hari kerja, pada
saat pekerja sampai pada masa kerja 1 tahun, maka timbul hak pekerja otomatis.
Hal itu merupakan kewajiban pengusaha untuk memberikan cuti tahunan kepada
pekerja yang punya hak; -----------------------------------------------------------------------------

Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 maupun UU Ketenagakerjaan, cuti


tahunan tidak otomatis menjadi hak pekerja kalau cuti tahunan tersebut tidak diatur
di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau dalam Perjanjian Kerja
Bersama; ------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa konsep hukum perburuhan secara teoritis dalam era globalisasi dan situasi
ekonomi yang masih belum membaik, maka hubungan antara pekerja dan
pengusaha seharusnya didorong untuk mencapai suatu hubungan yang harmonis.
Artinya, Pemerintah melalui undang-undang seharusnya menciptakan situasi yang
kondusif bagi terciptanya hubungan harmonis, hubungan kemitraan antara pekerja
dan pengusaha; ----------------------------------------------------------------------------------------

Paradigma hukum seharusnya dijadikan dasar di dalam pembentukan suatu


undang-undang, yaitu paradigma kemitraan. Di dalam UU Ketenagakerjaan bukan
paradigma kemitraan yang dijadikan landasan teoritis untuk menyusun undang-
undang, tetapi paradigma konflik. Karena paradigma konflik, maka UU
Ketenagakerjaan tentunya tidak menciptakan situasi yang kondusif supaya tercipta
hubungan yang harmonis, bahkan sebaliknya memberikan kesempatan kepada
para pihak untuk berunding mengenai syarat dan kondisi kerja yang berlaku di
dalam suatu perusahaan. Hal itu akan menciptakan situasi antar para pihak untuk
melakukan perundingan, tawar-menawar dan seterusnya. Dengan demikian UU
Ketenagakerjaan masih belum sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia yaitu keterpurukan ekonomi yang masih belum membaik; --

- Bahwa dalam situasi ekonomi yang masih belum membaik ini, hukum perburuhan
seharusnya berdasarkan pada paradigma kemitraan supaya dapat menciptakan
situasi yang kondusif bagi hubungan yang harmonis, karena UU Ketenagakerjaan
63

tidak didahului oleh suatu academic draft, maka paradigma yang dianut atau
yang dijadikan dasar pembentukan UU Ketenagakerjaan menjadi tidak jelas dan
lebih mengarah pada paradigma konflik karena paradigma kemitraan tidak
dijadikan dasar; ----------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa oleh karena UU Ketenagakerjaan tidak didahului oleh academic draft,


maka sebagian materinya diambil dari Peraturan Pemerintah misalnya Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dan UU
Ketenagakerjaan. Kemudian ketentuan tentang pesangon diambil dari Keputusan
Menteri Nomor 150 Tahun 2000 diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan.
Ketentuan tentang perjanjian kerja waktu tertentu, diambil dari Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 02 Tahun 1976. Pokoknya ketentuan-ketentuan tersebut
diambil dari Keputusan Menteri, Peraturan Pemerintah, undang-undang yang
dicabutnya. Jadi, dikatakan kanibalisme karena undang-undang tersebut bukan
merupakan produk baru yang orisinil, tetapi diambil dari ketentuan-ketentuan yang
berserakan yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh undang-undang itu
sendiri; ----------------------------------------------------------------------------------------------------

- Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan


penyedia jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan di perusahaan
pengguna. Jadi di sini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna pekerja.
Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk menempatkan
pekerja di perusahaan pengguna, dan perusahaan pengguna mengikatkan dirinya
untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan perjanjian penempatan tenaga
kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja akan mendapatkan sejumlah uang dari
pengguna. Untuk 100 orang misalnya Rp 10.000.000,00, kemudian perusahaan
penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada
pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam
ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada
pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern; --------------

Di dalam Pasal 66 ayat (2) b menyatakan : dipersyaratkan adanya hubungan kerja


antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya. Ini seolah-olah
pekerja adalah milik dari perusahaan penyedia jasa pekerja yang disewakan
dengan sejumlah uang kepada perusahaan pengguna. Hal ini jelas bertentangan
dengan UUD 1945; ------------------------------------------------------------------------------------
64

Di lain pihak outsourcing juga menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu.


Perjanjian kerja waktu tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, adanya
kelangsungan pekerjaan seorang pekerja, karena seorang pekerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja
akan putus dan tidak akan bekerja lagi di situ, akibatnya pekerja akan mencari
pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinuitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja
yang di outsource dengan perjajian kerja waktu tertentu. Kalau job security tidak
terjamin, jelas bertentangan dengan Pasal 27 yaitu hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak; --------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa di dalam UU Ketenagakerjaan memang juga mengatur hak mogok. Pada


awalnya mogok dikonsepkan sebagai tindak pidana bahkan mogok dianggap
sebagai criminal conspiracy (persekongkolan jahat) karena akibat mogok adalah
terhambatnya pertumbuhan ekonomi; -----------------------------------------------------------

Pada masa industrialisasi, yaitu di Amerika, Inggris maupun Jepang. Mogok


dikonsepkan sebagai tindak pidana, oleh karena itu mogok dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana. Dalam perkembangannya mogok tidak dapat lagi
dikonsepkan sebagai tindak pidana karena mogok dikonsepkan sebagai alat
penyeimbang yang harus dimiliki oleh buruh karena secara sosiologis hubungan
buruh dan pengusaha timpang (tidak sama). Pengusaha sebagai pemilik alat
produksi, pemilik modal mempunyai kedudukan ekonomis yang lebih tinggi
dibanding dengan buruh yang hanya memiliki tenaga; --------------------------------------

Di dalam tawar-menawar, posisi yang demikian jelas sangat merugikan buruh,


artinya buruh tidak bisa berunding. Oleh karena itu, sebagai alat penyeimbang
dalam proses tawar-menawar buruh diberi hak mogok. Di sinilah mogok tidak
dikonsepkan sebagai tindak pidana tetapi dikonsepkan sebagai kebebasan, maka
buruh diberi hak melakukan mogok begitu juga pengusaha diberikan untuk
melakukan lockout atau melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh
yang melakukan mogok. Ini suatu hubungan hukum yang liberal sekali; ---------------

Dalam perkembangannya, konsep mogok sebagai kebebasan berubah menjadi


mogok dikonsepkan sebagai hak. Karena kalau dikonsepkan sebagai kebebasan
mogok, itu hanya sekedar sebagai moral right saja. Supaya merupakan legal
right bukan moral right, maka mogok dikonsepkan sebagai hak. Oleh karena itu,
mogok harus diatur, tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Tetapi pengaturan
hak mogok tidak boleh menghilangkan atau mengeliminasi esensi hak mogok itu
65

sendiri. Pengaturan hak mogok seharusnya mendasarkan konsep sebagai hak


bukan sebagai tindak kriminal atau sebagai kebebasan; -----------------------------------

Di dalam UU Ketenagakerjaan, mogok sudah dikonsepkan sebagai hak karena


diatur dengan syarat, mogok dapat dilakukan secara sah kalau dilakukan setelah
memberi tahu kepada pengusaha dan instansi yang berwenang, dalam hal ini
Departemen Tenaga Kerja, dan setelah 7 hari pemberitahuan, mogok dapat
dilaksanakan. 7 hari memang merupakan cooling of period, artinya mogok
sedapat mungkin jangan digunakan. Oleh karena itu, diberikan cooling of period
(masa pendinginan). Kalau dalam masa pendinginan tetap tidak mendinginkan
buruh, maka buruh diberi hak untuk melakukan mogok secara sah; ---------------------

Kemudian dipersyaratkan dalam UU Ketenagakerjaan mogok harus merupakan


karena kegagalan suatu perundingan. Hal ini mengeliminir mogok, karena dengan
persyaratan harus lewat perundingan, maka mogok yang dilakukan tanpa diawali
suatu perundingan dianggap tidak sah, padahal mogok adalah hak buruh; -----------

Pengaturan hak mogok di dalam UU Ketenagakerjaan, memberikan ancaman


sanksi pidana terhadap pelaksanaan hak mogok. Hal ini sebetulnya mencerminkan
bahwa konsep hak mogok masih diwarnai oleh konsep mogok sebagai tindak
pidana. Kalau mogok dilakukan secara tidak sah, maka sanksinya bukan sanksi
pidana tetapi adalah sanksi pemutusan hubungan kerja; -----------------------------------

Pemutusan hubungan kerja baru sah kalau mogok merupakan mogok yang
menyimpang dari aturan, mogok yang illegal right (mogok yang tidak sah). Tetapi
kalau mogok dilakukan secara sah, maka pengusaha tidak dapat mem-PHK
pekerja. Jadi ini merupakan hak legal right bukan sebagai tindak pidana; ------------

- Bahwa skorsing pada dasarnya adalah pemberhentian sementara dan dilakukan


untuk memberikan semacam sanksi kepada pekerja yang melakukan tindakan
indisipliner. Di dalam perkembangannya skorsing dikonsepkan sebagai waktu
tunggu dalam suatu proses pemutusan hubungan kerja, karena dalam suatu
proses pemutusan hubungan kerja dikhawatirkan pekerja yang tetap bekerja,
padahal ada masalah akan di-PHK dan seterusnya, dikhawatirkan akan melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan. Oleh karena itu, skorsing dibenarkan dalam arti
sebagai waktu tunggu proses pemutusan hubungan kerja; --------------------------------

Dalam Keputusan Menteri Nomor 150 memang diatur skorsing sebelum pekerja
diproses PHK nya karena telah melakukan tindakan atau kesalah berat, misalnya
66

pencurian, penggelapan, penganiayaan, dan seterusnya. Hal itu tidak ada


masalah, yang menjadi masalah adalah bahwa dalam UU Ketenagakerjaan, kalau
buruh atau pekerja menurut pengusaha berdasarkan berita acara, berdasarkan
bukti bahwa pekerja telah melakukan tindak pidana, maka pekerja bisa langsung
di-PHK tanpa penetepan pengadilan hubungan industrial, tanpa skorsing. Hal itu
justru memperlihatkan bahwa pasal tersebut tidak ada keberpihakan terhadap
pekerja dan bertentangan dengan presumption of innocence; -------------------------

Mengenai mogok, kalau dikonsepkan sebagai hak, maka masalah itu harus diatur.
Pengaturannya memang harus tidak mengeliminir esensi dari hak mogok itu
sendiri. Yang namanya aturan pasti ada pembatasan-pembatasan dan tercermin
di dalam persyaratan-persyaratan. Sepanjang persyaratan-persyaratan itu tidak
mengeliminier esensi hak mogok, hal ini dapat dibenarkan. Jadi seharusnya kalau
mogok dilakukan secara tertib dan damai, karena mogok esensinya menghentikan
pekerjaan, dengan menghentikan pekerjaan hal itu sudah merupakan suatu
tekanan terhadap pengusaha supaya berunding kembali atau mengikuti tuntutan
pekerja. Jadi dalam hal ini koordinator pemogokan harus betul-betul bertanggung
jawab, jangan mogok dianggap dikonsepkan sebagai upaya untuk merusak
perusahaan, tetapi yang penting tujuannya untuk menghentikan pekerjaan, dengan
menghentikan pekerjaan maka produksi berhenti, berarti pengusaha akan
berkurang hasil produksinya, sehingga tuntutan pekerja dapat dikabulkan oleh
pihak pengusaha; --------------------------------------------------------------------------------------

Kalau melakukan mogok tetapi tidak menghentikan pekerjaan, namanya unjuk


rasa; -------------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa kalau undang-undang menginginkan suatu pengaturan yang mempunyai


jangkauan yang jauh ke depan bukan hanya berdasarkan kepentingan jangka
pendek, maka paradigma harus ada. Kemudian paradigma juga merupakan suatu
landasan pola berpikir di dalam merumuskan pasal demi pasal, sehingga tidak lagi
memperdebatkan masalah-masalah yang didasarkan pada paradigma yang
berbeda. Jadi misalnya anggota DPR berparadigma konflik yang lain
berparadigma kemitraan, maka pengaturan undang-undang juga akan dilihat dari
sisi masing-masing. Hal itu akan menjadi persoalan, sehingga undang-undang
yang ada sekarang pada umumnya adalah bersifat kompromistis, akhirnya pasal-
pasal yang ada terjadi inkonsisten; ---------------------------------------------------------------
67

Oleh karena itu, sebaiknya setiap undang-undang melalui academic draft,


sehingga paradigmanya jelas; ---------------------------------------------------------------------

- Bahwa Ahli pernah melihat pembahasan rancangan undang-undang menjadi


undang-undang di DPR yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003; -----------------

- Bahwa perumusan Pasal 64 merupakan sesuatu kesalahan ataupun salah dalam


pengertian outsourcing. Kalimat terakhir salah, yaitu “ … penyerahan penyedia
jasa pekerja buruh yang dibuat secara tertulis “ atau penyedia jasa buruh harusnya
dihapus; --------------------------------------------------------------------------------------------------
Seharusnya perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang
dibuat secara tertulis; ---------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa perjanjian kerja mempunyai ciri khusus, mempunyai esensial yang berbeda
dengan perjanjian lainnya. Esensialnya adalah adanya pekerjaan, perintah, dan
upah. Kalau suatu perjanjian ada unsur pekerjaan tetapi tidak ada unsur upah dan
perintah, maka bukan perjanjian kerja. Dalam hubungan kerja antara buruh
dengan majikan atau dengan pengusaha harus memenuhi ketiga unsur tersebut,
kalau tidak memenuhi maka tidak ada hubungan kerja; -------------------------------------

Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan bahwa ada 2 macam outsourcing


yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong, dan
outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh perusahaan jasa
pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya
yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub kontraktor. Sub
kontraktor untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang
membutuhkan pekerja. Di situlah sub kontraktor merekrut pekerja untuk
mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada
hubungan kerja antara sub kontraktor dengan pekerjaannya; -----------------------------

- Bahwa di dalam Pasal 66 ayat (2) b dinyatakan : penyedia jasa pekerja buruh
untuk kegiatan jasa penunjang dan seterusnya yang tidak berhubungan langsung
dengan produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut, jadi syarat dari
perusahaan penyedia jasa pekerja adalah ayat a : “ adanya hubungan kerja antara
pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja ”. Hal itu salah, karena tidak
ada perintah; --------------------------------------------------------------------------------------------
68

- Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya
hubungan kerja antara penyedia jasa pekerja dengan buruhnya yang sebenarnya
tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan
upah, maka ini menunjukkan bahwa buruh hanya dianggap sebagai barang saja,
bukan sebagai subjek hukum; ----------------------------------------------------------------------

- Bahwa cuti tahunan yang diatur di dalam Pasal 79 ayat (3) dinyatakan bahwa
pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja
Bersama kalau pengusaha tidak memberikan cuti, maka dianggap melakukan
perbuatan yang melanggar hukum; ---------------------------------------------------------------

- Bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat seperti undang-undang.
Memang dalam Pasal 79 ayat (1) diwajibkan, tetapi mengapa ada ayat (3) yang
mengatakan pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja. Sebetulnya ini overbodig; -------------

- Bahwa di dalam Pasal 158 ayat (2) dikaitkan dengan ayat 1-nya, bahwa
pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang demikian,
kemudian kesalahan berat sebagaimana dimaksud harus didukung dengan bukti,
maka sebetulnya sebelum buruh/pekerja dinyatakan bersalah melakukan
penipuan, melakukan tindak pidana, maka asumsinya buruh belum bersalah; -------
Oleh karena itu, Pasal 158 ayat (1) dan (2) melanggar asas presumption of
innocence, maka sebelum seseorang dinyatakan salah oleh Majelis Hakim
melakukan tindak pidana, maka asumsinya yang bersangkutan belum bersalah; ---

- Bahwa Pasal 159 justru bukan keseimbangan. Tetapi malah memberatkan buruh,
karena di satu pihak sudah dituduh melakukan tindak pidana yaitu dalam Pasal
158 ayat (1). Di lain pihak untuk menyatakan tidak bersalah, maka harus
menggugat. Bukankah ini merupakan beban buat pekerja apalagi menggugat di
Pengadilan memerlukan biaya, waktu, dan seterusnya; ------------------------------------

- Bahwa perkembangan Hukum Perburuhan di dunia menunjukkan bahwa terjadi


perubahan paradigma dari paradigma konflik ke paradigma kemitraan. Contoh,
misalnya Amerika Serikat yang jelas-jelas adalah negara liberal dan sekarang
sudah mapan bukan negara berkembang; ------------------------------------------------------
69

Hubungan kemitraan juga dijadikan paradigma, buktinya ada perusahaan-


perusahaan yang 100 % sahamnya adalah milik buruh. Dan ini merupakan bukti
bahwa hubungan kemitraan atau paradigma kemitraan betul-betul di break down
di dalam aturan-aturan di dalam hubungan kerja; ---------------------------------------------

- Bahwa banyak faktor yang menentukan untuk memajukan perusahaan, maka


hubungan kerjasama buruh dan majikan tetap menjadi mekanisme yang harus
ditempuh. Di Jepang juga demikian, di Jerman pekerja dan pengusaha duduk
dalam satu meja menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan, tidak hanya yang
menyangkut masalah-masalah yang bersifat hubungan kerja tetapi juga hal-hal
yang bersifat manajerial; -----------------------------------------------------------------------------

- Bahwa peran pemerintah adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk


terciptanya hubungan kemitraan. Oleh karena itu, di Jerman misalnya
mengharuskan atau mewajibkan kepada perusahaan yang mempunyai pekerja
diatas 500 orang, harus membentuk conditier menisier. Jadi, pemerintah
mendorong supaya hubungan kemitraan tercapai. Itulah yang dimaksudkan dalam
UU Ketenagakerjaan, dan seharusnya hal-hal demikianlah yang harusnya diatur; --

- Bahwa Liberalisasi adalah suatu proses pengurangan peran pemerintah, karena


Liberalisme merupakan suatu faham yang memberikan kebebasan kepada individu
untuk mengatur sendiri, pemerintah sedapat mungkin hands up. Peraturan
perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan atau Perburuhan sebelum UU
Ketenagakerjaan, peran pemerintah sangat dominan, yang menentukan secara
jelas cuti haid 2 hari selama limitatif dinyatakan tanpa diembel-embeli pasal yang
menyatakan pelaksanaan cuti haid harus diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Artinya, pemerintah melepaskan
penentuan syarat-syarat kerja kepada para pihak tetapi tidak memberikan
mekanisme perundingan mengarah pada suatu hubungan kemitraan. Kalau
dilepas sedemikian saja, yang terjadi adalah konflik; ----------------------------------------

- Bahwa pemerintah dalam hal hubungan kemitraan sama sekali tidak hands up
sebetulnya. Di Amerika pun juga sama sekali tidak diserahkan pada para pihak.
Artinya masih ada aturan-aturan, rambu-rambu yang dikeluarkan oleh pemerintah,
misalnya seperti yang mewajibkan kepada perusahaan yang mempekerjakan
buruh lebih dari 500 orang, membentuk wadah untuk hubungan kemitraan; ---------
70

Di Indonesia melalui UU Ketenagakerjaan tidak menyediakan mekanisme dulu,


tidak menyediakan forumnya. Forumnya diserahkan kepada para pihak. Inilah
yang akan menimbulkan konflik, tetapi kalau ada aturan-aturan mengenai
conditier menisier misalnya, kemudian penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi
kerja diserahkan melalui conditier menisier, hal itu merupakan pelepasan.
Katakanlah liberalisasi tetapi liberalisasi yang jelas bertahap. Sekarang ini seperti
membalik tangan saja, melepaskan begitu saja sehingga apalagi dalam kondisi
serikat pekerja yang masih terpuruk. Hal ini sangat memberatkan pekerja; -----------

- Bahwa UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan standar internasional yang


ditetapkan oleh International Labour Organization (ILO) yang menetapkan
berbagai macam konvensi, antara lain konvensi tentang hak berserikat, konvensi
tentang hak berunding bersama; ------------------------------------------------------------------

Kemudian mendapat tekanan internasional, barangkali karena UU


Ketenagakerjaan lahir pada era globalisasi. Oleh karena itu, tekanan-tekanan
internasional dalam arti bukan tekanan konvensi yang ditetapkan oleh ILO tetapi
tekanan-tekanan internasional dalam arti globalisasi yang dimotori oleh MNC-MNC
(Multi National Corporation), sehingga meliberalisasi berarti memang arah MNC
menginginkan supaya hubungan kerja diserahkan kepada para pihak, pemerintah
jangan terlalu banyak campur tangan karena terlalu banyak campur tangan
pemerintah berarti mendistorsi pasar bebas; --------------------------------------------------

- Bahwa tekanan MNC adalah menginginkan berkurangnya campur tangan


pemerintah. Oleh karena itu, undang-undang ini liberalisasi hukum perburuhan; ----

- Bahwa konvensi boleh saja, tetapi yang jelas konvensi ILO ditetapkan oleh 3
pihak, di sana ada unsur pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Sehingga setiap
konvensi harus merupakan kesepakatan dari 3 unsur; --------------------------------------

- Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan


penyedia jasa pada dasarnya adalah menjual manusia kepada user. Dengan
sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia.
Mengenai sistem makro, UU Ketenagakerjaan tidak mengundang investor asing
karena dalam undang-undang tersebut terjadi inkonsistensi seperti outsourcing.
Dari pihak perusahaan memang menginginkan outsourcing. Tetapi dari segi
aturan yang bertentangan, ini menjadi permasalahan. Jadi misalnya suatu
perusahaan meng outsource pekerja; ----------------------------------------------------------
71

- Bahwa undang-undang akan menarik investor kalau undang-undang tersebut


menjamin kepastian hukum, kalau undang-undang tidak menjamin kepastian
hukum maka investor pun juga akan ragu-ragu; ----------------------------------------------

- Bahwa Outsourcing adalah perbudakan dalam arti menjual manusia, antara


perusahaan penyedia jasa dengan user. Kalau ini terjadi, maka berdasarkan Pasal
1 ayat (15) terjadi secara otomatis hubungan kerja antara user dengan pekerja.
User tidak dapat mengelak, karena tidak ada hubungan kerja karena hubungan
hukum yang terjadi memberikan ciri-ciri esensialiah perjanjian kerja. Ada
pekerjaan dibawah perintah user dan ada upah. Upah melalui perusahaan
penyedia jasa pekerja sehingga posisi perusahaan penyedia jasa pekerja adalah
sebagai kasir, sebagai juru bayar karena upah juga berasal dari user; -----------------

Oleh karena itu ada ketidakpastian hukum. Di satu pihak menyatakan tidak ada
hubungan kerja, hubungan kerja hanya terjadi di sini. Tetapi secara yuridis
berdasarkan Pasal 1 ayat (15) antara perusahaan penyedia jasa pekerja tidak
mungkin terjadi hubungan kerja, hubungan kerja hanya terjadi antara user dengan
pekerja; ---------------------------------------------------------------------------------------------------

2. Dr. ANDANG L. BINAWAN, Ahli Filsafat etika sosial, pengajar etika hukum dan
Human Rights dari kacamata filosofis di sekolah tinggi filsafat, mendapatkan
pendidikan untuk etika sosial dari Universitas Katolik Belgia, telah memberikan
keterangan di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya, yang pada pokoknya
sebagai berikut : --------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa di dalam materi permohonan pemohon yang mereka perjuangkan adalah


perlindungan terhadap buruh karena memang lemah. Argumentasi secara etika
seharusnya hukum melindungi manusia terutama yang lemah dan buruh adalah
yang lemah, tidak cukup kuat atau lebih banyak berpihak pada para pengusaha; ---

- Bahwa konstitusi adalah suatu kontrak sosial dan sebenarnya bukan hanya
sekedar kontrak sosial yang netral di antara banyak pihak yang seimbang, tetapi
lebih-lebih melindungi mereka yang lemah pada tatanan yang ideal; -------------------

- Bahwa di dalam materi permohonan Pemohon terlihat bahwa Undang-undang


ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27, 28, dan 33, karena manusia yang
harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya maka ada banyak reduksi yang
72

terlihat, misalnya hak hidup, bekerja seharusnya adalah untuk memberikan


kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu buruh hanya sebagai bagian produksi
dan terutama dengan kontrak-kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu
bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah; -----

- Bahwa hak untuk mogok, misalnya ketika Pemohon diperlakukan secara tidak adil
dan hak-hak untuk mogok sangat dibatasi, memang ada jaminannya dalam hukum
tetapi ada banyak pembatasan, maka perlindungan atas hak menjadi minim,
sehingga Ahli sangat setuju dengan keinginan Pemohon untuk membatalkan UU
Ketenagakerjaan; --------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa Ahli dalam arti tertentu mengagumi Pasal 33 UUD 1945 di mana masalah
ekonomi adalah untuk kesejahteraan bersama, maka sebenarnya pembangunan
ekonomi atau dunia usaha adalah untuk kesejahteraan bersama bukan hanya
untuk keuntungan memperbanyak modal, perbesaran modal, atau keuntungan
pemilik modal. Dalam tataran inilah hubungan antara pengusaha dengan buruh
memang seharusnya adalah kerja sama dua pihak manusia bukan antara pemilik
modal dengan yang tidak memiliki modal, kalau kemudian ditarik pada tataran
ekonomi seperti ini maka ada sebuah reduksi kemanusiaan dari sudut pandang
etika, sehingga hak untuk direduksikannya atau dibatasinya hak-hak untuk mogok
sebenarnya adalah sebuah pembatasan hak kemanusiaan yang seharusnya
dimiliki oleh buruh; ------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa pada logika ekonomi atau logika pasar sekarang, logika sangat dominan,
salah satu logika pokok dari ekonomi adalah bagaimana mendapatkan input yang
sebanyak-banyaknya dan dengan output yang sekecil-kecilnya, maksimalisasi
keuntungan juga terjadi di dunia usaha menjadi sebuah paradigma atau logika
pokok dari dunia usaha, kalau itu yang dipakai maka para pengusaha hanya akan
memperhatikan keuntungannya sendiri, kemudian buruh atau pekerja akan
direduksi hanya sekedar sebagai kuda yang hanya tahu memakan rumput tetapi
tidak pernah bisa nonton bioskop; ----------------------------------------------------------------

- Bahwa dunia sekarang mempunyai tiga ciri yaitu bahwa pasar menjadi salah satu
kata kunci. Pertama adalah bahwa pasar menjadi sebuah sistem, pasar tidak
hanya sekedar menjadi arena tukar menukar barang beredar di pasar, tetapi tidak
bisa dilepaskan dengan sebuah mekanisme atau sistem yang ada di dunia ini; ------
73

Kedua adalah pasar menjadi global pasar menjadi sesuatu yang saling berkait dan
tidak dapat dilepaskan yang satu dengan yang lain. Ketiga adalah ciri neoliberal di
mana maksimalisme dari kapitalis begitu kuat dengan prinsip pasar sebaiknya
adalah pasar bebas dimana individu-individu adalah aktor yang bebas, hal ini
menjadi sesuatu yang sangat merugikan karena mereka yang lemah, tidak
mungkin individu-individu sungguh-sungguh bebas secara filosofis dan individu-
individu tidak mungkin sungguh-sungguh sederajat; -----------------------------------------

- Bahwa ketika hukum dikatakan sebagai kompromi dua pihak, maka dari konteks
filosofis menjadi sesuatu yang muskil, apakah sungguh-sungguh mereka yang
lemah dapat memperjuangkan keadilan kalau memang sungguh-sungguh tidak
ada kesederajatan dan tidak ada kebebasan, hal ini sebagai contoh kembali ke
dunia kebodohan, apakah mereka sungguh-sungguh bebas untuk mendapatkan
pekerjaan dan mengikat perjanjian dengan pengusaha, kalau tanpa itu mereka
menganggur dan kalau mereka menganggur berarti anak-anaknya menangis, tidak
ada kebebasan dan tidak ada kesederajatan lebih jauh lagi dengan logika
ekonomi, maka etika yang berlaku dalam konteks hukum atau etika yang berlaku
secara umum adalah etika utilitarian yang hanya mencari hasil, padahal banyak
etika yang juga seharusnya dihargai, etika teleologis, etika deontologis yang juga
menjadi bagian dari konstitusi kita; ---------------------------------------------------------------

Kalau kemudian ternyata yang berlaku adalah etika utilitarian yang sangat diwarnai
logika ekonomi, maka manusianya pun kalau dilihat hanya sekedar
homoekonomikus, makhluk ekonomis padahal ada yang namanya homoludens,
homoorans dan itu berkurang atau bahkan direduksi maknanya, maka dampaknya
bagi hukum menjadi sangat parah kalau dalam konteks ini negara yang pada
tataran idealnya seharusnya melindungi warganya tidak berperan cukup aktif,
sehingga yang lemah semakin akan tersingkir dan tertindas, dan potensi di dalam
hukum ketenagakerjaan yang baru cukup kuat, oleh karena itu Ahli mendukung
kalau UU Ketenagakerjaan akan dibatalkan; ---------------------------------------------------

- Bahwa ada beberapa pasal di dalam UU Ketenagakerjaan yang bertentangan


dengan konstitusi yaitu Pasal 27, 28 dan 33. Contoh : Pasal 120 dikatakan bahwa
para buruh dapat melakukan perundingan jika sebagai organisasi mempunyai
anggota 50% atau lebih, tetapi dilain pihak dijamin juga bahwa boleh membuat
organisasi berserikat dan berkumpul, tetapi ketika dikatakan 50% atau lebih maka
otomatis dengan logika yang sangat sederhana hanya akan ada satu organisasi
74

buruh kalau yang satu 50% atau lebih, yang lain tidak mungkin akan bisa
mencapai 50% atau lebih, maka tidak ada jaminan untuk berserikat dan
berkumpul. Berserikat dan berkumpul adalah perlindungan haknya sebagai
manusia, kalau tidak dilindungi maka hukum juga harus sungguh dipertanyakan
keadilannya; --------------------------------------------------------------------------------------------

Inilah salah satu contoh dari Pasal 33, pasal yang sangat bagus karena dikatakan
bahwa ekonomi adalah untuk kesejahteraan bersama tetapi ketika logika ekonomi,
logika pasar, logika neoliberal yang lebih dominan maka persfektif keadilan yang
bukan sekedar distributif tetapi juga keadilan sosial semakin dipersempit dalam
keadilan komutatif artinya bahwa keadilan yang terjadi adalah keadilan hubungan
dua individu padahal negara sebagai republika urusan bersama menjadi semakin
jauh dari cita-cita Pasal 33; -------------------------------------------------------------------------

- Bahwa buruh adalah pihak yang lemah, maka tidak mungkin ada sebuah
kesepakatan atau perjanjian seperti diisyaratkan dalam UU Ketenagakerjaan yang
seimbang, adil dan sejajar, neoliberal jelas, pasar bebas semua mempunyai
kebebasan dan kesederajatan, tetapi tidak mungkin terjadi; -------------------------------

Bahwa buruh adalah pihak yang sangat dirugikan dan sangat lemah, maka negara
seharusnya berani turun tangan bukan sekedar hanya menjadi juri dari sebuah
peraturan yang dibuat, tetapi lebih proaktif untuk membela yang lemah, kalau kita
konsekwen dengan konstitusi sebagai perlindungan negara, dalam konteks PHK; -

Bahwa Ahli setuju misalnya dalam konteks perlindungan terhadap mereka yang
bersalah, Pasal 158 ayat (2) seorang pengusaha mem-PHK secara langsung
misalnya terjadi kesalahan berat karena tertangkap tangan, pengakuan buruh yang
bersangkutan, laporan kejadian yang dibuat oleh yang berwenang di perusahaan
dan didukung dua saksi, tidak ada peran negara di sana, karena tidak ada peran
negara yang cukup kuat maka seorang pengusaha dapat dengan sewenang-
wenang membuat dan mengusahakan dua saksi, dan ini tidak dikatakan aparat
yang berwenang di perusahaan menjadi sesuatu yang ambigu, dengan kata lain
Ahli setuju bahwa negara tidak cukup aktif atau bahkan menarik diri mengenai
dunia usaha ini; ----------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa ketika globalisasi dilihat dari kacamata WTO atau negara-negara maju
yang sekarang menguasai WTO seperti IMF, mereka mengatakan bahwa negara
tidak boleh mengambil peran hanya sekedar penjaga malam, tetapi ketika
75

globalisasi dilihat dari kacamata mereka yang terpinggirkan yang termarginalisasi


lewat siapa lagi kalau tidak mengharapkan juga dari negara, maka dalam konteks
ini Ahli setuju bahwa negara pun perlu berperan aktif untuk melindungi para buruh;

- Sebagai ilustrasi, sebulan yang lalu Ahli bertemu dengan beberapa buruh
Indonesia yang bekerja di Korea, kemudian Ahli pergi ke Seoul dan bertemu
dengan mereka yang sekarang sedang mogok mendirikan tenda setelah hampir 11
bulan karena pasportnya tidak diberikan oleh pengusahanya dan kemudian lari,
ilustrasi ini menjadi penting karena bagaimana buruh Indonesia yang bekerja di
luar negeri, Ahli merasa sungguh-sungguh diperas dan negara tidak cukup
melindungi, sebagai contoh salah seorang pemuda bernama A yang lahir dan
besar di Ponorogo lulus SMP di sana dan ingin bekerja karena ditawari oleh salah
satu agen tenaga kerja Indonesia untuk Korea; -----------------------------------------------

Setelah dibuat sedemikian rupa akhirnya si A dicarikan ijazah SMA dan dapat,
umurnya yang seharusnya 17 dibuat menjadi 20 dan si A harus membayar 18 juta
untuk pergi ke Korea, namanya pun berubah, selain itu dalam satu tahun hanya
dianggap sebagai training yang jaminan hukumnya lemah, maka hanya
mendapatkan 50% upah padahal si A harus bekerja dari jam 8 pagi sampai
dengan jam 10 malam selama satu tahun, si A sungguh-sungguh merasa stres
dan tidak tahan sebenarnya, tetapi karena mengingat orang tuanya yang sudah
menjual sawahnya untuk pergi ke Korea maka si A bertahan; ----------------------------

Kemudian mereka juga yang tidak tahan dan lari tidak ada perlindungan dari
pemerintah Indonesia, keluhan mereka adalah pihak kedutaan Indonesia tidak
berbuat apa-apa, agen yang dulu berjanji melindungi bahkan lepas tangan, Ahli
sangat sanksi apakah ini ada perlindungan dari negara, padahal pada salah satu
pasal dikatakan bahwa para pekerja Indonesia di luar negeri pun mendapatkan
perlindungan dari negara, tetapi hanya satu ayat tidak ada penjelasan yang cukup
kuat untuk sungguh-sungguh melindungi mereka yang sungguh-sungguh terpaksa
bekerja membanting tulang untuk negeri ini; ---------------------------------------------------

- Bahwa pada bagian menimbang UU Ketenagakerjaan yang tentu saja merupakan


landasan idealnya, tidak terlihat keberatan yang esensial dalam hal menimbang,
tetapi ketika dirumuskan dalam pasal-pasal hukum maka disana ada masalah, dan
ini jelas menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan karena pada tataran idealnya
76

pasal-pasal hukum seharusnya menterjemahkan apa yang diidealkan dalam hal


menimbang; ---------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa pada tataran pertama, memang kita tidak mempunyai modal dari dalam
negeri, tetapi kita tidak perlu masuk ke dalam tataran ekonomi praktis, secara
hitungan-hitungan ekonomi kalau kita dapat sungguh-sungguh memberdayakan
negeri ini sebenarnya mampu dan tidak perlu sungguh-sungguh tergantung pada
modal luar negeri, memang boleh ada modal dari luar negeri tetapi bukan menjadi
variabel utama, pada tataran kedua jelas kompromi memang ada dan tidak
mungkin hidup tanpa kompromi. Demikian juga pada tataran hukum, hukum juga
bagian dari kompromi tetapi kompromi itupun seharusnya juga menghormati hak-
hak yang paling dasar dari pihak-pihak yang saling berkompromi; -----------------------

Teori Jhon Rolce menjadi sangat inspiratif, memang kalau ada dua pihak yang
mau berkompromi yang satu lebih kuat dari pada yang lain, maka yang kuat boleh
memanfaatkan kekuatannya tetapi untuk kesejahteraan bersama dan yang lemah
harus dijamin hak-hak sebagai manusia. Justru materi UU Ketenagakerjaan kurang
melindungi pada tataran yang esensial buruh sebagai manusia, bahwa
melunakkan sedikit perlindungan memang boleh tetapi yang mana, ini
komprominya, padahal yang sangat esensial untuk seorang buruh dan menjadi
tidak bisa ditolelir; -------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa bertolak dari pengalaman Ahli ketika belajar di Belgia, juga bekerja
sebagai pencuci piring di sebuah restoran dan haknya dijamin, karena ada
perjanjian yang jelas dan penggajian yang jelas, hal itu menjadi sesuatu yang
sangat berbeda dengan pengalaman Ahli pada tahun 1984 juga pernah menjadi
buruh di Semarang dengan gaji 700 rupiah sehari, kemudian ketika di Belgia satu
jam dibayar 240 Belgium Frank atau kalau dikurs sekarang sekitar 7,5 Euro; --------

Ahli sebagai pelajar memang hanya mendapatkan jatah selama satu bulan 20 jam,
tidak boleh lebih. Pengalaman ini dapat digaris bawahi bagaimana kesejahteraan
menjadi sesuatu yang sangat jauh dibanding dengan Indonesia, hitungan
Indonesia hanya perhari dan itu kalau di kurs tidak lebih dari 2 Dollar, padahal di
negara maju jelas perjam, dan perjamnya sekitar 7,5 sampai dengan 8 Dollar; ------

Di Indonesia perlindungan hukumnya pun lemah, pengalaman Ahli adalah suatu


saat bersama teman bekerja, Ahli mempunyai izin bekerja dan temannya tidak,
77

tetapi pihak restoran tetap mempekerjakan secara gelap dan suatu hari ada
seorang peninjau dari pemerintah dan tertangkap atau ketahuan bahwa pihak
restoran mempekerjakan pekerja asing atau pekerja gelap dan restoran kena
denda 200 ribu Belgium Frank, dengan kata lain perlindungan hukumnya jelas dan
kuat, sementara di Indonesia tidak ada perlindungan seperti itu; -------------------------

- Bahwa dalam konteks supply and demand memang ada demand dan ada supply,
sekarang di negara maju posisinya cukup seimbang, tetapi justru yang menjadi
masalah adalah bagaimana ketidakseimbangan yang sangat jauh dan ketidak
seimbangan ini dimanfaatkan untuk membuat buruh semakin tidak bebas di dalam
membuat negosiasi dan ketika kesempatan-kesempatan, perlindungan-
perlindungan untuk bernegosiasi salah satu kekuatan buruh adalah misalnya
mogok, dan itu sungguh-sungguh dikebiri maka buruh tidak punya kekuatan lagi; --

- Bahwa Ahli setuju bahwa setiap union bisa masuk, kalau hanya satu union atau
hanya satu serikat pekerja yang anggotanya satu atau dua yang langsung bisa
bargaining, tetapi masalahnya juga telah disinggung pada Pasal 120 jelas kalau
serikat pekerja yang membuat negosiasi syaratnya adalah 50% atau lebih, secara
logis matematis jelas bahwasanya akan ada satu serikat pekerja, kalau yang satu
50 % atau lebih, yang lain tidak akan bisa mencapai 50 % atau lebih. Kompromi
adalah misalnya kalau ada serikat buruh minimal hanya mempunyai 20 atau 30
orang mungkin akan menjadi kuat, tetapi kalau dikatakan 50 % atau lebih maka
sungguh-sungguh membatasi hak berserikat dan berkumpul dan itu adalah bagian
perlindungan dari para buruh, kalau perlindungan ini dikebiri maka hak sebagai
manusia juga dikebiri; --------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tetap bertentangan dengan UUD 1945,


karena apa gunanya serikat kerja yang lain untuk melindungi buruh kalau tidak
didengarkan, kalau tidak didengarkan lalu dianggap apa, apa sekedar bagian dari
mesin ?; --------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa demokrasi dalam konteks ini tidak hanya pada soal kuantitas, kalau
misalnya ada 50% plus satu dari seribu buruh berarti hanya 501, kemudian yang
499 orang apakah tidak akan didengarkan, dan hal ini salah; -----------------------------

- Bahwa Pasal 137, 138 UU Ketenagakerjaan mengenai mogok, dikatakan disini


ada hak untuk mogok adalah benar tetapi aplikasi di dalam ayat-ayat selanjutnya
78

adalah membatasi, jadi tiap hak tidak bisa absolut dipergunakan tentu ada
pembatasan; --------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa pembatasan yang menghilangkan esensi daripada hak mogok adalah


sebagai contoh misalnya Pasal 138 ayat (1) pada klausul pembatasan, jelas pada
saat mogok kerja dilangsungkan dengan tidak melanggar hukum; -----------------------

- Bahwa sebagai contoh lain misalnya Pasal 137 dikatakan mogok kerja adalah
sebagai hak dasar pekerja atau buruh dan serikat pekerja atau serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Arti sah,
damai, tertib adalah tidak jelas dan hal ini bisa dijadikan potensi apa yang bisa
dipakai oleh pengusaha untuk mengatakan tidak tertib, damai dan sah. Kemudian
ada klausul akibat adanya perundingan menjadi sesuatu yang tidak jelas juga; ----

- Bahwa peran negara pada Pasal 158 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tersebut,
adalah salah karena tidak lengkap, karena tidak ditulis bahwa ada peran negara,
peran polisi yang sungguh secara objektif untuk menilai, kalau ini tidak
dicantumkan akan menjadi potensi, tetapi apakah ada orang atau apakah semua
orang akan menggunakan potensi ini kalau hukum mempunyai potensi baik dan
buruk, sehingga potensi ini harus dibatasi, karena hal ini dapat menjadi potensi
kesewenang-wenangan pengusaha; ------------------------------------------------------------

- Bahwa mengenai Pasal 33 ayat (1), menurut Ahli perekonomian nasional kita
belum berdasarkan demokrasi ekonomi, yang namanya demokrasi ekonomi
bukanlah one dollar one food karena sering dipahami bahwa satu dolar adalah
satu suara, jadi yang memiliki satu juta US dollar berarti satu juta suara, bukan itu,
padahal yang sering terjadi adalah pemilik modal dengan kekuatan ekonominya
dapat memaksakan; ----------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa sehubungan dengan konstitusi sebagai kontrak sosial, maka Ahli tidak
setuju kalau mau direduksi individualisme bahwa dapat berpotensi tetapi harus
dilihat juga bahwa konstitusi adalah sebagai cita-cita bersama, jadi ada bagian
unsur komunitarian yang juga kental. Dalam konteks ini bahwa cita-cita sosial itu
pun kental dalam UUD 1945 juga yang di Amandemen, kalau kemudian UU
Ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur atau minimal potensi adanya
perlindungan yang lemah terhadap buruh, maka memang perlu digugat. Sebagai
79

contoh bahwa unsur-unsur atau variabel-variabel itu ada, yang menjadi masalah
bagaimana hal itu diformulasikan dan dirumuskan; ------------------------------------------

- Bahwa jelas, hukum adalah mempunyai cita-cita keadilan selain ketertiban, tetapi
keadilan pun memiliki banyak dimensi keadilan komutatif, distributif dan sosial.
Pancasila juga jelas-jelas mencantumkan keadilan sosial, tetapi ketika pemerintah
mencoba lepas tangan atau memberikan pekerja semua itu urusan antara pekerja
dan pengusaha, maka yang terjadi keadilan hanya direduksi keadilan komutatif,
bahkan keadilan distributif pun menjadi tidak terlalu dijamin karena keadilan
distributif seharusnya adalah dibagi tidak sama rata sama rasa tetapi dalam porsi
masing-masing di dalam kacamata keadilan, kalau itu pun belum dan juga jelas-
jelas keadilan sosial menjadi semakin jauh padahal sudah menjadi cita-cita kita
bersama yang tercantum juga secara inplisit di dalam UUD 1945, jadi dalam
seluruh alur logika UU Ketenagakerjaan ini dimensi komutatiflah yang menonjol
padahal sebagai jaminan pada individu maka keadilan distributif dan keadilan
sosial juga harus sungguh ditonjolkan; ----------------------------------------------------------

- Bahwa menurut filsuf Jhon Rolce yang mencoba menggabungkan beberapa


prinsip etika yang kemudian diharapkan diterjemahkan ke dalam proses
pembentukan hukum; --------------------------------------------------------------------------------

Dua prinsip yang diajukan adalah bahwa kesamaan kesederajatan di satu pihak
dijamin, tetapi pada prinsip kedua ketidaksamaan dalam kesederajatan juga
dijamin, dengan catatan yang pertama bahwa yang kuat, kekuatan, bagi mereka
yang mempunyai kelebihan dipakai dan diberikan kesempatan untuk tumbuh,
tetapi untuk kesejahteraan bersama dan dari kacamata sosial kita adalah itulah
keadilan sosial atau minimal keadilan distributif, tetapi itu tidak dijamin; ---------------

Yang kedua, bahwa negosiasi kompromi itu juga jangan lupa bahwa yang lemah
pun mempunyai standart minimum dan standart minimum adalah dari kacamata
Rolce adalah hak-hak asasi manusia, kalau langsung mengacu pada deklarasi
hak-hak asasi manusia universal misalnya, maka konstitusi kita kurang lebih sudah
menjamin tetapi undang-undang inilah yang menjadi masalah sehingga undang-
undang ini menjadi tidak adil; ----------------------------------------------------------------------

- Bahwa bertolak pada sebuah cita-cita yang dijamin pada undang-undang kita,
bahwa hak untuk bekerja adalah juga untuk kehidupan tetapi ketika ada
80

outsourcing kemudian ada kontrak-kontrak pada periode-periode tertentu lalu


jaminan untuk masa tua menjadi tidak ada atau sangat minimal kalau pun ada, ini
menjadi rancu, apa artinya manusia kalau hanya bagian dari sebuah proses
produksi bukan dihargai sungguh-sungguh sebagai manusia dengan jaminan
sosial, dengan jaminan masa tua dan menurut pengamatan Ahli adalah bahwa
lembaga-lembaga atau PT-PT yang bergerak dalam bidang outsourcing tidak
memberikan jaminan sosial yang layak; ---------------------------------------------------------

- Bahwa tentang kosmologi atau cara pandang dunia nyata, cara pandang
masyarakat terhadap UUD 1945, kalau kita bertolak pada faham keluarga
Soepomo misalnya, maka itu adalah paradigma komunitarian meskipun tidak
sangat kental tetapi memberikan dimensi, dengan kata lain bahwa di dalam UUD
1945 ada cita-cita bukan hanya sekedar keadilan komutatif tetapi ada keadilan
distributif, keadilan sosial, yang secara tegas juga dinyatakan UU Ketenagakerjaan
menjadi bermasalah karena hanya menjamin keadilan komutatif, keadilan
komutatif mengandaikan ada kesederajatan dan kebebasan pihak-pihak yang
bernegosiasi padahal jelas buruh tidak mempunyai kebebasan dan tidak sederajat
dengan pengusaha, maka dengan kata lain UU Ketenagakerjaan bertentangan
dengan konstitusi kita; --------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa sedemikian bersalahnya UU Ketenagakerjaan, sehingga ini sungguh-


sungguh seratus persen tidak adil, tentu tidak. Kompromi mengandaikan seperti
orang naik kelas minimal nilainya 6 atau 59, tetapi dalam analogi itu Ahli menilai
UU Ketenagakerjaan dari kacamata pekerja dan buruh tidak naik kelas, nilainya
paling 45, 49 tetapi kalau gurunya baik dikasih 51, tetapi tetap tidak naik kelas; -----

Menimbang bahwa Para Pemohon juga telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi
di persidangan, yaitu : -----------------------------------------------------------------------------------------

1. SITI ISTIKHAROH, telah memberikan keterangan di bawah sumpah sesuai dengan


apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri, yang pada pokoknya sebagai berikut : -

- Bahwa Saksi dahulu bekerja di PT. Chiquita yang beralamat Jalan Halim Perdana
Kusuma No. 88 Kebon Besar, Batu Ceper, Tangerang, Banten, produksinya
resluiting merk Chiq, untuk pasar dalam negeri dan eksport; ------------------------------
81

- Bahwa Saksi sekarang sebagai pengangguran sejak tanggal 14 Maret 2004


karena ada PHK massal, alasan di-PHK karena perusahaan ingin melakukan
efisiensi, dari 502 karyawan menjadi 300 karyawan; -----------------------------------------

- Bahwa prosesnya, pada bulan Januari 2004 serikat buruh mengajukan surat ke
manajemen untuk melakukan negosiasi kenaikan upah Tahun 2004, tetapi sampai
hampir akhir Januari tidak ada pertemuan dan tidak ada tanggapan dari pihak
manajemen. Akhirnya serikat buruh membuat surat kembali supaya bisa bertemu
untuk berunding tentang kenaikan upah; --------------------------------------------------------

- Bahwa waktu itu ada pertemuan dengan semua Kepala Bagian, Manajer dan
semua Serikat Pekerja, tetapi bukan membicarakan tentang kenaikan upah,
melainkan membicarakan kondisi perusahaan yang lagi sulit, alasannya karena
ada beberapa hutang yang harus dibayar misalnya hutang bahan baku, hutang
pajak, hutang ke Pemerintah; ----------------------------------------------------------------------

- Bahwa akhirnya surat tersebut mendapat tanggapan, hanya ada 3 orang dari
sejumlah karyawan yang memang gajinya masih dibawah UMR, kemudian
dinaikkan sesuai dengan UMK Tangerang yaitu Rp 660.000,- selebihnya harus
menunggu setelah selesai Pemilu alasannya karena kondisi politik dan keamanan
yang tidak menentu; ----------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa pada pertemuan tersebut banyak dibantah oleh teman-teman serikat buruh
kalau kondisi perusahaan sangat buruk karena soal order, padahal serikat buruh
masih bekerja seperti biasa bahkan banyak bagian-bagian yang harus lembur; -----

- Bahwa sebenarnya pekerjaan dan order adalah biasa saja, tidak mengalami
penurunan karena kalau ada penurunan artinya tidak ada jam lembur. Tetapi
kenyataannya berbeda ketika berbicara kondisi pailit, mengapa justru banyak
teman-teman yang harus pulang pagi karena kerja 12 jam. Sebelumnya jam kerja
biasa, jam kerja normal tetapi soal lembur hampir tiap hari ada, sehingga ada
peningkatan jam kerja; -------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa perusahaan tidak melakukan apa-apa terhadap buruh, tetapi ingin


mengadakan efisiensi, bahkan perusahaan akan dijual. Selanjutnya ditawarkan
kepada serikat pekerja untuk bersama-sama mencari orang yang berminat
membeli perusahaan tersebut, dengan catatan, kalau laku sampai 10 milyar, maka
8 milyar adalah milik karyawan, haknya karyawan untuk membayar pesangon; -----
82

- Bahwa kemudian serikat pekerja mencoba untuk mencari informasi orang yang
mau membeli perusahaan. Namun ketika mengajukan orang yang mau membeli
ternyata keputusannya jadi berbeda, karena oleh pemilik perusahaan
H. Mohammad Thaha (Direktur Utama) langsung mengatakan telah dijual kepada
Erik Wijaya dan keluarganya (salah satu Direksi PT. Chiquita); --------------------------

- Bahwa setelah berganti manajemen baru, tuntutan untuk meminta kenaikan gaji
tidak mendapat tanggapan bahkan mengatakan tidak bicara masalah kenaikan
gaji, tetapi bagaimana melakukan perubahan di dalam perusahaan PT. Chiquita; --

- Bahwa pada awalnya semua karyawan (502 orang) statusnya sebagai karyawan
tetap, dengan adanya manajemen baru karyawan terus melakukan perundingan,
tetapi intinya dari pihak manajemen hanya ingin menggunakan tenaga kerja 300
orang. Jadi selebihnya 200 orang harus di-PHK untuk efisiensi dan akan
mendapatkan dua kali PMTK, tetapi nasib teman-teman yang 300 orang bekerja
sudah mulai dihilangkan fasilitas-fasilitas yang lainnya, misalnya pengobatan dan
menurut informasi akan menggunakan jam kerja panjang yaitu 12 jam sehari.
Kemudian teman-teman berkumpul untuk berbicara, ternyata dari 502 orang telah
sepakat untuk tidak ikut bergabung atau bekerja kembali dengan manajemen
yang baru dengan imbalan kompensasi satu kali PMTK; -----------------------------------

- Bahwa setelah disampaikan hasil kesepakatan dari teman-teman kepada pihak


manajemen, akhirnya semua putus hubungan pada tanggal 4 Maret 2004.
Kemudian pengusaha langsung membuat pengumuman bahwa siapa yang masih
mau bekerja kembali diminta untuk membuat surat lamaran baru dengan masa
kerja 0, sistem kerja baru dengan gaji Rp 990.000,- satu bulan dan tidak
mendapatkan fasilitas apa-apa; --------------------------------------------------------------------

- Bahwa dari 502 orang pekerja, hanya 230 orang yang bekerja kembali di
perusahaan tersebut, tidak termasuk Saksi, tetapi Saksi sering datang ke
perusahaan hanya ingin mencari informasi dari teman-teman sampai saat ini.
Ternyata dari 230 orang pekerja yang direkrut kembali oleh pihak perusahaan
statusnya menjadi karyawan kontrak, tidak ada surat perjanjian secara tertulis dari
pihak manajemen, jadi hanya secara lisan. Kemudian gajinya ada yang
Rp 880.000,- sebulan dan ada yang Rp 990.000,- dengan jam kerja 12 jam, tidak
ada tunjangan yang diberikan bahkan untuk fasilitas makanpun tidak diberikan.
Jadi gaji Rp 990.000,- dan Rp 880.000,- adalah menjadi penghasilan kotor; ----------
83

- Bahwa sampai dengan tanggal 23 Maret 2004, ada teman yang mengatakan
bahwa ada 180 orang yang masih bertahan karena mereka hanya ingin
mengetahui seperti apa sebenarnya. Kalau menurut mereka dengan gaji
Rp. 990.000,- memang tidak cukup karena mereka punya anak, biaya sekolah,
bayar kontrakan, bahkan untuk makan sehari-hari saja tidak cukup, karena anak
mereka ada yang sekolah di SMP, SMA, dan rata-rata suami istri bekerja di situ; ---

- Bahwa serikat pekerja menuntut kenaikan upah kepada perusahaan karena setiap
tahun kebutuhan ekonomi jelas semakin meningkat, semakin tinggi, harga-harga
semakin melambung, tetapi kalau dengan penghasilan yang seperti itu secara
otomatis juga tidak cukup. Kemudian karena teman-teman rata-rata sudah lama
bekerja disana sekitar 10 tahun sampai 20 tahun. Jadi sudah tidak sepantasnya
lagi harus mengikuti UMK gaji yang ditentukan untuk di bawah 1 tahun. ---------------

- Bahwa Saksi menerima gaji terakhir sebesar Rp 2.380.000,- sudah termasuk


tunjungan, uang makan dan sebagainya, dengan masa kerja 14 tahun; ---------------

- Bahwa UMK maksudnya Upah Minimum Kota atau Provinsi, kalau di Tangerang
sebesar Rp 660.000,-; -------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa teman-teman memilih untuk di-PHK karena sudah mendengar informasi


pada waktu negosiasi dengan pihak manajemen yang baru Bapak Erik Wijaya,
bahwa akan melakukan sistem kerja kontrak. Jadi nanti semakin tidak jelas karena
semua fasilitas akan hilang dan statusnya juga semakin tidak jelas. Sehingga akan
lebih menguntungkan ketika menggunakan tenaga kerja kontrak; -----------------------

- Bahwa keuntungan Saksi mengundurkan diri, yang jelas akan mendapat satu kali
PMTK, tetapi kalau nanti dijadikan tenaga kontrak tidak akan mendapatkan apa-
apa. Hal ini dilakukan karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain, tetapi setelah itu
sebagian teman-teman memilih bekerja lagi karena jadi pengangguran tidak enak,
tidak dapat penghasilan, sementara kebutuhan terus bertambah, sehingga mau
tidak mau tawaran kerja kontrak akhirnya mereka terima; ----------------------------------

- Bahwa selain karena terpaksa oleh keadaan juga karena dari segi usia saja sudah
tidak mungkin bekerja di tempat lain, sementara pelamar-pelamar banyak yang
masih muda. Kemudian dari segi ekonomi yang jelas bagi suami istri yang bekerja
dan sekarang ter-PHK tidak mungkin mereka dua-duanya akan menganggur; -------
84

- Bahwa teman-teman yang bekerja lagi dengan kondisi yang baru keadaannya jadi
lebih buruk, justru yang dikeluhkan karena anak-anak mereka menjadi tidak
terawat karena bekerja seharian penuh bahkan sampai malam, berangkat pagi
pulang malam, dan akhirnya banyak yang memutuskan untuk mengundurkan diri
terutama bagi yang istrinya bekerja disitu, terpaksa istrinya mengundurkan diri
untuk mengurus anaknya; --------------------------------------------------------------------------

- Bahwa masalah UU Ketenagakerjaan, Saksi tahu dengan adanya kasus ketika


memutuskan untuk tidak bergabung dengan perusahaan dengan kompensasi satu
kali PMTK yang diterima, kemudian boleh melakukan pekerja kontrak meskipun
dalam keadaannya pekerjaan tersebut tidak dapat dikontrakkan karena sifatnya
tertentu, tidak ada habisnya; ------------------------------------------------------------------------

- Bahwa yang jelas UU Ketenagakerjaan tersebut sudah diundangkan dan sudah di


sahkan dan di legalkan oleh pemerintah yang sebenarnya membuat pekerja yang
tadinya sebagai pekerja tetap menjadi pekerja kontrak. Artinya sah bagi
pemerintah karena sudah di legalkan, tetapi sebagai pekerja menderita karena
menjadi tidak jelas nasibnya, ke depannya menjadi terkatung-katung, bukan untuk
menanggulangi pengangguran melainkan hanya merupakan suatu rotasi saja.
Saat ini Saksi yang menganggur, sementara teman-teman yang bekerja, suatu
saat gantian, teman-teman yang menganggur Saksi yang bekerja; ---------------------

- Bahwa PT. Chiquita memang berdasarkan undang-undang, tetapi ketika bicara


tentang kenaikan upah pun mereka langsung mengatakan tidak ada, jadi tidak
perlu naik upah. Kemudian mereka langsung menggunakan tentang kompensasi
PHK kalau tidak bergabung dengan pemilik baru dan mendapat satu kali PMTK.
Di PT. Chiquita sudah memberlakukan, akhirnya yang 502 orang menjadi
terlantar, menjadi tidak jelas nasibnya karena 200 orang bekerja sementara yang
lainnya menjadi pengangguran; -------------------------------------------------------------------

- Bahwa pengertian pailit adalah tidak ada order, tidak bisa bekerja, tidak produksi,
tetapi yang menyatakan pailit adalah pernyataan dari perusahaan sendiri,
sehingga perusahaan akan mengadakan efisiensi ; ------------------------------------------

Perusahaan saat itu belum bicara tentang sistemnya bagaimana melakukan


efisiensi, tetapi yang jelas hanya akan menggunakan tenaga kerja 300 orang; ------
85

- Bahwa dengan adanya efisiensi yang 200 orang, berarti masih ada 300 orang
teman-teman yang harus tetap bekerja dengan menggunakan sistem kerja baru
yaitu kerja kontrak, karena kalau hanya 300 orang saja yang dipakai kembali
dengan sistem kontrak tetapi tidak akan mendapatkan kompensasi apa-apa, masa
kerja hilang, kemudian yang 200 orang akan mendapatkan kompensasi satu kali
PMTK, pertimbangannya dari pada nanti 300 orang yang semakin tidak jelas
nasibnya, kemudian sepakat untuk tidak bergabung dengan pemilik baru dengan
kompensasi satu kali PMTK, akhirnya 502 orang semuanya mengundurkan diri; --

- Bahwa dengan diadakan PHK secara massal, dan semua telah sepakat waktu itu
untuk menerima kompensasi satu kali PMTK, dan kemudian dipenuhi pada
tanggal 4 April 2003 semua dibayar; -------------------------------------------------------------

- Bahwa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada yang dilanggar, karena


semua sudah legal, tetapi menjadi persoalan ketika teman-teman menjadi pekerja
kontrak; ---------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa Saksi mulai bekerja pertama pada umur 16 tahun dan menjadi Serikat
Pekerja; --------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa masalah PHK sempat ditawarkan dari pihak manajemen, akhirnya kami
semua mengambil keputusan bahwa harus menerima dengan terpaksa, karena
sebenarnya masih ingin bekerja; ------------------------------------------------------------------

- Bahwa alasan efisiensi, karena memang ada aturannya untuk bisa


memperlakukan tenaga kerja kontrak, karena yang dipegang selalu UU
Ketenagakerjaan, sudah sah dan sudah bisa dipakai, juga tidak salah kalau
dilakukan karena secara legal memang sudah sah dan boleh dipakai, tetapi
akhirnya karyawan yang menjadi menderita; ---------------------------------------------------

- Bahwa dari 502 orang karyawan yang sampai sekarang masih bekerja dengan
mengikuti sistem tenaga kerja kontrak adalah 180 orang, semua karyawan lama
ditawarkan untuk membuat lamaran baru, kemudian ada 230 orang yang bekerja
tetapi teman-teman Saksi ada 180 orang yang bekerja di sana; --------------------------

- Bahwa dari manajemen baru memang sengaja akan memberlakukan UU


Ketenagakerjaan tersebut dengan sistem kontraknya, kalau efisiensi tidak mungkin
86

meskipun menerima tenaga kerja baru lagi, artinya mereka langsung pekerja tetap,
tidak ada perjanjian kerja kontrak hanya secara lisan; ---------------------------------------

- Bahwa Saksi adalah Ketua Organisasi Serikat Pekerja di PT. Chiquita, dari 502
orang dipimpin oleh serikat pekerja termasuk Saksi melakukan perundingan untuk
memutuskan lebih baik PHK dengan satu kali PMTK, tidak ada advokat atau
pengacara yang mendampingi. PMTK adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja,
mengenai pesangon; ---------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa Saksi tahu pada waktu memutuskan untuk PHK mengenai Pasal 156 ayat
(1), (2) dan (3) dan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan, tetapi itu tidak mutlak
keputusan Saksi, karena telah berunding dengan 502 orang teman-teman untuk
menerima, Saksi hanya menyampaikan hasil perundingan tersebut; --------------------

- Bahwa di PT. Chiquita sebelumnya pernah dilakukan sosialisasi terhadap UU


Ketenagakerjaan, tetapi tidak sampai mendetil, hanya diberitahu bahwa UU
Ketenagakerjaan tersebut sudah di sahkan dan sudah mulai berlaku, kemudian
teman-teman pengurus juga semua mendapat kopinya, tetapi sosialisasi dari
Depnaker belum ada sama sekali bahkan sampai sekarang belum ada; ---------------

- Bahwa Saksi dan teman-teman yang 502 orang tidak merasa terprovokasi oleh
pihak-pihak tertentu; ----------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa UU Ketenagakerjaan memang secara legalitas sudah sah dan memang


harus diberlakukan, tetapi bagi karyawan merasa dirugikan. Tentang kompensasi
atau pesangon yang 9 bulan upah untuk masa kerja 7 – 8 tahun ke atas,
sementara kalau sebagai pekerja kontrak, bagaimana bisa mendapatkan yang 9
bulan dan hal itu yang menjadi persoalan yang sangat berat karena kontrak selesai
3 bulan, sehingga tidak mungkin mereka akan mendapatkan pesangon. Jadi hal itu
hanya sebuah iming-iming saja; -------------------------------------------------------------------

- Bahwa selama 14 tahun bekerja di perusahaan tersebut, yang lebih


menguntungkan Saksi adalah peraturan perundang-undangan yang lama daripada
UU Ketenagakerjaan karena tentang pekerja kontrak disebutkan dengan jelas,
pekerjaannya yang tidak menentu itu jelas, jadi jenis pekerjaannya diatur secara
jelas; ------------------------------------------------------------------------------------------------------
87

Kalau sekarang, berhubung sudah dilegalkan maka pekerjaan pabrik produksinya


rutinitas. Jadi setiap harinya seperti itu produksinya, tidak ada habisnya. Itulah
yang menjadi persoalan sehingga lebih baik peraturan yang lama karena disitu
tidak ada jenis pekerja kontrak, setelah masa percobaan selama 3 bulan mereka
langsung menjadi pegawai tetap, tetapi kalau di dalam UU Ketenagakerjaan disitu
dapat melakukan sistem kerja kontrak untuk siapa pun; ------------------------------------

- Bahwa perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan


yang baru (UU Ketenagakerjaan) antara lain masalah standar minimun pekerja, di
dalam ketentuan peraturan yang lama kalau ada persoalan perburuhan dapat
dibicarakan di tingkat tripartit sampai ke P-4D dan P-4P. Sedangkan dengan
adanya UU Ketenagakerjaan tersebut tidak dapat diwakilkan oleh serikat
pekerjanya tetapi harus menggunakan pengacara, ini yang menjadi persoalan,
bagaimana harus membayar pengacara karena tidak mungkin mutlak mau
sukarela, sementara untuk hidup sehari-hari saja sudah sulit, padahal kalau
dengan peraturan yang lama dapat didampingi oleh serikat pekerja; -------------------

2. LULUK SETYOWATI, telah memberikan keterangan di bawah sumpah sesuai dengan


apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri, yang pada pokoknya sebagai berikut : -

- Bahwa pekerjaan Saksi adalah sebagai operator di bagian produksi di CV. Lengtat
yang beralamat di Sewan, Tangerang yang memproduksi penyamakan kulit, yaitu
kulit domba dan kulit kambing.; --------------------------------------------------------------------

- Bahwa Saksi telah bekerja kurang lebih 5 tahun dan sebagai Ketua Serikat Buruh
di perusahaan tersebut yang umurnya baru 1 tahun, tetapi sekarang Saksi sedang
mengalami proses PHK; -----------------------------------------------------------------------------

- Bahwa awal mulanya terjadi PHK tersebut sebenarnya sudah lama dirancang,
sejak setahun - dua tahun yang lalu telah ada indikasi untuk membuat seluruh
karyawan menjadi pekerja kontrak. Setahun yang lalu pekerjaan di tekan
sebanyak mungkin, orang dikeluarkan dengan PHK yang sangat kecil bahkan
orang hamil dikeluarkan hanya dianggap kurang efisien dalam kerja. Kemudian
serikat buruh melakukan demo, setelah demo kembali masuk dengan pemikiran
masuk kerja lagi; ---------------------------------------------------------------------------------------
88

Itulah awalnya ada serikat pekerja, dan meminta ke perusahaan seperti uang
makan, uang transport karena memang belum diberikan kemudian perusahaan
memberi penawaran, bagaimana kalau langsung membuat PKB. Serikat Pekerja
tahu bahwa itu adalah permainan tetapi diikuti dulu, jadi membuat PKB. Proses
PKB selama 3 bulan dan selama 3 bulan walaupun PKB belum ditandatangani,
perusahaan telah melakukan apa yang ada di dalam PKB yaitu uang makan dan
uang transport telah diberikan; ---------------------------------------------------------------------

Beberapa peraturan yang tertuang di dalam PKB walaupun belum ditandatangani


tetapi sudah diberikan, sudah dilakukan. Tiga bulan kemudian PKB sudah selesai
tinggal penandatanganan. Pada waktu pembuatan PKB telah menjadi kesepakatan
bahwa ada 60 orang untuk pekerja kontrak hendak dijadikan pekerja tetap, sebab
sudah tiga tahun dikontrak-kontrak terus seperti itu; -----------------------------------------

Perusahaan menolak adanya penandatanganan isi PKB bahkan surat kuasa yang
diberikan kepada beberapa Manajer yang dipercaya untuk membuat PKB dicabut.
Dalam undang-undang hal itu tidak dibenarkan, sebab pencabutan surat kuasa
hanya bisa dilakukan pada saat proses bukan setelah semuanya selesai; ------------

Surat Kuasa dicabut, dalam pemikirannya bahwa kalau surat kuasa telah dicabut
maka semua isi PKB, semua perjanjian yang berkenaan dengan PKB menjadi
batal, maka saat itu juga perusahaan mem-PHK 60 orang tersebut pada saat
gajian. Jadi teman-teman 10 atau 5 menit sebelum bel diberikan 2 amplop, yaitu
satu amplop gaji dan satu amplop PHK. Saat itulah teman-teman marah karena
di-PHK tanpa diberi pesangon sama sekali; ---------------------------------------------------

Jadi inilah PHK pertama, adanya PKB yang dicabut surat kuasanya, adanya 60
orang yang di-PHK. Kemudian para pengurus diletakkan dalam satu lokasi
produksi, memproduksi 2 kulit yaitu kulit domba dan kambing. Kalau untuk kulit
yang dibuat tas, sepatu nilainya tinggi dibanding yang dibuat sarung tangan.
Memang ada rencana produksi sarung tangan mau dihapus, kami disatukan dalam
lokasi kerja tersebut selanjutnya adanya pencabutan uang makan dan uang
transport, adanya peraturan yang lebih diperberat misalnya kalau terlambat 5 menit
diberi surat peringatan 1, 2, 3. Jadi beberapa kesalahan kecil diperbesar dengan
suatu tindakan diberikan surat peringatan, adanya gejolak diantara teman-teman,
pada saat Ramadhan kalau sudah mendekati hari raya biasanya pekerjaan
sudah mau menipis, tetapi ini bahkan makin banyak mengambil kulit-kulit untuk
89

dikerjakan dan karyawan-karyawan baru makin diperbanyak. Hal yang lain


adalah untuk minta tanda tangan PKB dilakukan dalam ke persidangan. Oleh
karena ketidaknyamanan tersebut maka banyak tuntutan, akhirnya melakukan
demo untuk menuntut 4 hal tentang PPH; ------------------------------------------------------

Jadi selama ini untuk THR kalau diatas Rp 1.000.000,- ada potongan untuk PPH,
kalau baru diberikan Rp 600.000,- juga sudah dipotong dengan PPH, belum lagi
gajian setiap bulannya cuma Rp 628.000,- di potong dengan PPH. Kemudian
meminta supaya PPH dihapuskan dan permintaan yang lain tentang THR yang
sesuai dengan undang-undang, tetapi bukan suatu permintaan yang besar; ---------
Dua hari setelah melakukan demo, perusahaan me-lock out, selama seminggu
perusahaan sama sekali tidak mau diajak bicara, walaupun hanya sekedar
menanyakan apa sikap perusahaan; -------------------------------------------------------------

- Bahwa demo telah dilakukan sesuai dengan prosedur yaitu seminggu sebelumnya
sudah membuat surat demo ke Perusahaan, ke Kepolisian dan juga serikat; ---------

- Bahwa Saksi statusnya pekerja tetap, prosentase karyawan sebelum demo adalah
70% kontrak yang sisanya adalah tetap dan sekarang hampir 90% kontrak, 10%
tetap, pekerjaannya sama tidak ada perbedaan; ----------------------------------------------

- Bahwa lock out dilakukan dua hari saat demo, lock out yang dilakukan oleh
perusahaan adalah lock out manusia, padahal hal itu tidak benar seharusnya lock
out produksi. Sebenarnya lock out manusia tidak ada, yang ada adalah mem PHK
manusia, tetapi perusahaan melakukan lock out manusia, sesuatu yang tidak bisa
sebenarnya; ---------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan yang sehat, saat demo 2 hari
kemudian di lock out, kami berusaha untuk masuk tetapi ditolak dengan keras
bahkan gerbang atau pintu ditutup. Beberapa teman kontrak yang kerja disuruh
tidur di pabrik, uang makan ditanggung oleh perusahaan. Kami sama sekali tidak
dapat masuk ke perusahaan, jangankan untuk masuk dan kerja, sebagai pengurus
untuk berbicara saja susah; ------------------------------------------------------------------------

- Bahwa tindakan serikat pekerja menanggapi lock out dari perusahaan adalah
minta penjelasan pada perusahaan, paling tidak dengan cara damai tetapi
perusahaan tidak mau tahu, akhirnya kita meminta bantuan pada serikat yaitu SPN
untuk menjembatani. Mungkin dengan orang luar perusahaan bisa terbuka,
90

nyatanya tidak bisa, kemudian Disnaker juga sudah turun tetapi malah tidak
dihiraukan, terus kita ke persidangan dan sekarang sudah sampai di P-4P; ---------

- Bahwa lock out diberikan oleh perusahaan dengan sebuah kertas, dan buktinya
juga ada. Perusahaan menyatakan me-lock out dan di belakangnya ada nama-
nama 182 orang, kemudian menyatakan 1 divisi ditutup termasuk di divisi Saksi
dan pengurus serikat yang lain; --------------------------------------------------------------------

- Bahwa dilapangan yang di divisi tersebut ada 3 orang masih kerja yang memang
orang-orang ahli, karena walaupun tanpa kami beberapa mesin masih bisa
diperbaiki. Dua minggu kemudian, perusahaan membuka lowongan sehingga
banyak yang masuk ke divisi tersebut dan lowongan bukan cuma siang atau pun
pagi bahkan malam hari perusahaan membuka lowongan tersebut; --------------------

- Bahwa yang divisinya ditutup tersebut kebanyakan memang yang pekerja tetap,
ada rotasi besar-besaran, jadi beberapa orang yang vocal, pengurus dan orang
yang memang sudah lama ditempatkan di divisi tersebut, sementara yang kontrak
di divisi yang lain. Dalam sehari ada mutasi 3 orang, 4 orang, karena tidak tahu isi
suratnya sehingga kami ke personalia tanya mau di pindahkan kemana; --------------

- Bahwa yang dirasakan Saksi di perusahaan CV. Lengtat Tangerang pada saat itu,
perusahaan tidak melihat tentang kerja orang tetapi melihat orangnya. Di saat
tidak suka orangnya bagaimana akan dikeluarkan, kalau dikeluarkan artinya
mem-PHK dan berarti uang, sehingga kami diletakkan di tempat-tempat yang tidak
kami sukai, misalnya saat ini di bagian packing, nanti di pindah ke suatu mesin
yang panas, baru berapa lama atau sebulan di pindah lagi ke bagian kebersihan,
setelah itu karena tidak masuk sehari atau ada kepentingan, di keluarkan. Hal-hal
yang sangat mudah seperti itu diberikan pada pekerja kontrak yang seharusnya
sudah menjadi pekerja tetap; -----------------------------------------------------------------------

- Bahwa beberapa hal yang buruk tentang kesehatan, misalnya di penyamakan kulit,
debunya banyak sekali dan tipis-tipis sekali, bahkan teman Saksi meninggal
karena ada debu masuk ke lubang otak sehingga ada penyumbatan dan ada juga
yang mengundurkan diri. Alat kesehatan yang diberikan oleh perusahaan cuma
masker dari kain, terlalu tipis sehingga ada debu yang masuk ke pernafasan,
itupun kalau diminta, kalau tidak diminta seminggu kemudian baru diberikan,
kemudian diberikan sapu tangan, padahal sapu tangan sama saja tidak bisa
menahan debu; ----------------------------------------------------------------------------------------
91

- Bahwa satu tahun yang lalu memang belum ada Serikat, yang dituntut adalah
uang makan, uang transport, dan biaya kesehatan, karena selama ini sakit apapun
hanya diganti Rp 15.000,-, seharusnya ada suatu sistem yang dibuat misalnya
kalau sakit di bayar sesuai dengan sakitnya; ---------------------------------------------------

- Bahwa memang ada Program Jamsostek tentang kematian, tetapi dapat diambil
setelah 5 tahun atau mungkin kalau ada kematian, tentang kesehatan dan
kecelakaan pada waktu itu tidak ada, setelah di demo barulah diberikan oleh
perusahaan, sehingga dari pengalaman itulah kami membuat serikat pekerja; ------

- Bahwa pada saat itu semua 100% mengundurkan diri dan meminta PHK, dan
memang perusahaan sudah siap mem-PHK semua. Kemudian Saksi berjuang
karena pengusaha ingin menghapus semua karyawan dan dijadikan sebagai
karyawan kontrak, teman-teman sudah tidak tahan akan keadaan pekerjaan
maupun cara kerja pengusaha, semuanya ingin di-PHK. Saksi yakinkan kepada
semua teman-teman bahwa kalau mengundurkan diri itu artinya pengecut, kalau
kerja lagi yang menderita cuma kami, tetapi kalau di-PHK yang menderita anak
dan istri. Biarlah kami yang menderita tetapi mereka masih terselamatkan. Saksi
berjuang di dalam, memang sangat sulit karena Saksi berjuang sendiri, tetapi
akhirnya mereka dapat masuk kerja lagi, itulah awalnya ada serikat; -------------------

- Bahwa pekerja di perusahaan tersebut ada yang kontrak dan tetap, kalau dalam
prosentase yang tetap 30 – 40 % yang lainnya adalah kontrak, pada awalnya
semuanya tetap hanya satu yang kontrak, kemudian memang ada penekanan-
penekanan bagi karyawan yang dikontrak, akhirnya mereka keluar dari
kepengurusan tetapi sebulan setelah pembentukan serikat, semuanya jadi
karyawan tetap dan menjadi pengurus; ----------------------------------------------------------

- Bahwa serikat pekerja terbentuk pada bulan Pebruari 2003, setelah itu ada
tawaran dari Manajer untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pada waktu
itu Saksi dipanggil oleh manajer di suatu tempat tertutup, dan mengatakan kepada
Saksi “tolong jangan bilang ini dari manajer”. Maksudnya adalah seolah-olah
serikat yang berjuang adanya PKB; --------------------------------------------------------------

- Bahwa sebetulnya hal itu tidak mungkin, karena kami minta uang makan dan uang
transport saja susah apalagi PKB. PKB isinya ada satu buku yang menyatakan
suatu perjanjian kerja bersama antara pengusaha dan karyawan, isinya bukan
92

sekedar uang makan, uang transport, tetapi semua ada aturannya. Misalnya cara
kerja, kapan masuk kerja, kapan pulang kerja, istirahat bagaimana, kalau si A itu
melakukan pelanggaran apa yang dilakukan, kalau si B cuti bagaimana, semua
ada aturannya. Apakah mereka mau diatur dengan cara seperti itu. Saksi juga
merasa curiga di situ, tetapi kalau menolak artinya menolak sesuatu permainan
yang sudah diketahui; --------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa pada pertemuan pertama berlangsung lengkap, pihak pengusaha ada


empat orang. Pertemuan kedua hanya dua orang, pertemuan ketiga dan
selanjutnya hanya dua orang saja, hasilnya tiga bulan kemudian memang PKB
terjadi; ----------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa selama PKB memang kami juga suka demo. Saksi berpikir kalau demo
terbuka artinya membuka aib sendiri, karena ini masalah rumah tangga sendiri,
cukup kami saja yang tahu. Akhirnya demo yang dilakukan di masa-masa PKB
hanya menempel-nempel saja untuk menyatakan perasaan kami, maksudnya
untuk menegur supaya pengusaha berundingnya yang benar. Hal ini sampai tiga
kali dilakukan; ------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa sebenarnya PKB adalah harga yang sudah sangat rendah. Kami
menginginkan semua pekerja di situ adalah tetap, tetapi pengusaha mengatakan
tidak bisa dan kami berpikir kalau semua minta tetap bisa menjadi tetap saat itu
juga dan PHK saat itu juga. Pengusaha menawarkan bagaimana kalau untuk
karyawan kontrak 30% dan kami setuju dari pada tidak sama sekali. Kemudian
disusun nama-namanya, dari apa, dicari yang punya keahlian, yang sudah lama,
yang kerjanya bagus. Kemudian yang 60 orang diambil dari pilihan antara
perwakilan pengusaha dengan karyawan, kemudian kami tulis nama-namanya
untuk dijadikan karyawan tetap; -------------------------------------------------------------------

- Bahwa yang mengusulkan PKB adalah pengusaha sendiri, pengusaha setuju,


bahkan orang-orangnya juga pengusaha yang pilih karena memang bagus, setelah
itu yang terjadi adalah setelah PKB sudah selesai dan tinggal tanda tangan,
pengusaha mencabut surat kuasa dan 60 orang tersebut di-PHK, padahal PKB
belum kami tanda tangan, dan ternyata surat kuasa dicabut, beberapa lama
kemudian uang makan dan uang transport dicabut; ------------------------------------------
93

- Bahwa masalah 60 orang yang dikontrak kemudian menjadi tetap dan akhirnya
di-PHK, pada waktu itu ada 4 orang teman datang dan mengatakan bagaimana ini,
Saksi dan serikat pekerja mengatakan tunggu dulu, namun ada lagi yang
mengadukan tentang PHK tersebut. Kemudian Saksi lihat di depan banyak
karyawan yang ramai dengan mata merah dan penuh emosi. Mereka mengatakan
ingin ke kantor. Pada waktu itu suasana sudah sangat sulit untuk dikendalikan,
kalau Saksi menahan mereka bahaya. Jadi Saksi memberi mereka kebebasan,
Saksi tahu mereka akan merusak tetapi kalau pun mereka merusak Saksi berada
di antara mereka dan bisa menahan. Kalau mereka marah dan Saksi menahan,
mereka akan merusak dan Saksi tidak bisa berbuat apa-apa; ----------------------------

- Bahwa sehari kemudian kami mengadakan dialog dengan personalia, kami


didampingi oleh DPC SPN (Dewan Perwakilan Cabang Serikat Pekerja Nasional).
Sebenarnya kami hanya ingin tahu bagaimana perusahaan mem-PHK orang,
karena kalau di-PHK ada uang PHK nya, apa yang akan dilakukan oleh
perusahaan. Nyatanya perusahaan bicaranya seolah-olah tidak tahu
permasalahannya sehingga kami ke Disnaker; ------------------------------------------------

- Bahwa saat itu tidak ada demo, setelah peristiwa tersebut baru ada rotasi
karyawan maksudnya perpindahan besar-besaran dan beberapa karyawan yang
baru sudah masuk dan yang ada berbagai gejolak, sehingga kami melakukan aksi
demo tersebut seminggu setelah Lebaran yaitu tanggal 18 Desember 2003; -------

- Bahwa kami ke P-4 untuk kasus PHK yang 180 orang, karena setelah demo 2
hari, kita di lock out yaitu di-PHK. Lock out adalah penutupan suatu divisi kerja
yaitu divisi sarung tangan, tetapi dalam pemahaman pengusaha, lock out adalah
bagaimana cara untuk mem-PHK orang, karena sampai saat ini juga masih
berpikiran bahwa kami mengundurkan diri, pengusaha tidak mem-PHK, pada saat
Disnaker menyuruh kami untuk kerja lagi tetapi ternyata pengusaha malah
merendahkan lembaga tersebut dengan menyatakan bahwa Disnaker terlalu cepat
mengambil keputusan, kurang jernih dalam memahami suatu permasalahan; -------

- Bahwa Saksi tadinya di divisi sweaper yaitu memproduksi bahan-bahan untuk


sepatu, tas dan macam-macam, kemudian di pindahkan ke glove. Jadi yang di lock
out adalah divisi glove dan Saksi masih di divisi glove; -------------------------------------
94

- Bahwa pengurus serikat pekerja saat ini ada 2 orang yang dipindah, lusanya ada
lagi yang dipindah bahkan bukan hanya pengurus, beberapa orang lama juga di
pindah, pemindahan-pemindahan tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; ------

- Bahwa lock out hanya 2 minggu, setelah itu banyak dan berjalan lagi. Kemudian
perusahaan merekrut orang baru untuk di divisi glove yang diambil di sekitar
perusahaan, Polisi dan orang-orang dalam yang bekerja disitu juga menjadi
penyalur, kemudian ada beberapa staf ke desa juga menjadi penyalur kerja; --------

- Bahwa UU Ketenagakerjaan dalam kaitan kasus yang Saksi alami, adanya suatu
aturan dari pekerja kontrak yang kurang jelas, terlalu umum, kurang terperinci,
sehingga membuat pengusaha dapat mengambil celah-celahnya. Disitulah
namanya penindasan, makanan dan kedholiman yang mereka lakukan dan
mengatakan sudah wajar-wajar saja karena di undang-undang ada; --------------------

- Bahwa wajar-wajar saja maksudnya pada saat kami memperjuangkan teman


kontrak, dalam UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa kontrak adalah sekian
bulan, lebih dari itu akan menjadi orang tetap. Permainan yang dilakukan oleh
pengusaha adalah 3 bulan kontrak, 1 bulan buruh lepas terus kontrak lagi-kontrak
lagi, terus sampai 3 tahun. Itu artinya sebenarnya mereka menjadi orang tetap,
tetapi dibuatnya seperti menjadi orang kontrak, sehingga hak-haknya seperti orang
kontrak saja bukan orang tetap; -------------------------------------------------------------------

- Bahwa orang yang baru direkrut untuk divisi glove itu dikontrak selama 3 bulan,
setelah itu diperpanjang lagi. Dikontrak-dikontrak-dilepas-dilepas-dikontrak, buruh
lepas. Masalahnya kalau dikontrak terus akan terkena undang-undang karenanya
harus menjadi orang tetap, jadi itu adalah permainan; --------------------------------------

- Bahwa masalah orang yang baru direkrut, yang membuat kami demo 1 tahun yang
lalu, karena semua teman-teman mengeluh kepada Saksi, waktu itu yang
membuat mogok kerja bukan Saksi pemicunya, mereka bersatu untuk mogok
kerja dan kalau sekarang mogok lagi, itu salah satu pemicunya; -------------------------

- Bahwa sebenarnya kalau Saksi di-PHK harus diberikan pesangon, Saksi sedang
dalam proses, mungkin bisa saja pengusaha tidak mau memberikan pesangon,
tetapi negara punya undang-undang; ------------------------------------------------------------
95

- Bahwa PKB adalah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat oleh karyawan dan
pengusaha, karyawan diwakilkan oleh serikat pekerja, sementara pengusaha
diwakilkan oleh manajer. Isi dari PKB adalah hak dan kewajiban dari pekerja dan
pengusaha; ---------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa di perusahaan tempat Saksi bekerja ada satu serikat pekerja yaitu SPN,
pada waktu perundingan dari perjanjian tersebut ada hasilnya dan telah diketik rapi
dan ada notulennya, tetapi perjanjian tersebut belum dicatatkan di Menteri Tenaga
Kerja karena PKB sudah selesai semua tetapi belum ditanda tangan; ------------------

- Bahwa pengusaha kalau untuk berunding langsung dengan karyawan tidak punya
waktu, sehingga pengusaha memberi kuasa kepada 3 orang manajer dan 1 orang
personalia, tetapi sekarang surat kuasanya sudah dicabut; --------------------------------

- Bahwa demo disini dalam arti mogok kerja, kalau sebelumnya kami mengadakan
mogok kerja, tetapi di depan mesin. Pada saat yang ke depannya mogok kerja
terpaksa dengan cara langsung, sebab segala cara telah dilakukan, bahkan kami
sempat dilaporkan ke Kepolisian hanya karena seperti itu; --------------------------------

- Bahwa sebenarnya yang merisaukan Saksi adalah keadaan yang serba ditekan; --

- Bahwa tujuan mendirikan serikat pekerja, untuk Saksi pribadi adalah bahwa
serikat dilakukan karena sebenarnya antara perusahaan dan karyawan saling
membutuhkan. Kalau terjadi perselisihan karena kurang komunikasi. Jadi biarlah
kami jadi jembatan di mana mereka berkomunikasi; -----------------------------------------

- Bahwa adanya perlakuan-perlakuan terhadap buruh yang kurang baik terjadi


sebelum bulan April 2003, pada saat itu yang berlaku Undang-undang Perburuhan
yang lama, dan menurut peraturan yang sebelumnya buruh sebenarnya tidak
boleh diperlakukan seperti itu; ---------------------------------------------------------------------

- Bahwa memang penyebabnya bukan karena undang-undang, tetapi manajer dan


orang-orang tidak mau melaksanakan undang-undang tersebut. Memang semua
tergantung orangnya, tetapi pada saat kami mengatakan “tidak sesuai dengan
undang-undang”, tetapi mana yang tidak sesuai atau mana yang akan
diperjuangkan, kami tidak tahu karena undang-undangnya sudah bagus; -------------

- Bahwa yang dipersoalkan oleh Pemohon tentang UU Ketenagakerjaan adalah


untuk meninjau kembali apakah layak sebagai suatu undang-undang, apakah
96

berselisihan dengan UUD 1945, apakah nafasnya memang adalah untuk


kesejahteraan rakyat ataukah untuk kesejahteraan “yang berduit” ataukah karena
apa; -------------------------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa adanya UU Ketenagakerjaan yang dirasakan Saksi dan para pekerja


adalah hanya suatu tekanan, suatu kedholiman yang disahkan, yang dianggap
dholim misalnya kontrak. Kontrak di undang-undang dikatakan bahwa masa
kontrak adalah sekian bulan, juga dikatakan beberapa hal tentang uang lepas.
Di situ perusahaan mengambil celah-celah dimana mereka bekerja, dimana
mereka mendapatkan karyawan dengan harga yang sangat murah, tenaga yang
bagus, kesetiaan, kerja yang lama sehingga dibuatnya kontrak 3 bulan, 1 bulan
buruh lepas-kontrak lagi, kontrak lagi begitu seterusnya sampai 3 tahun; --------------

- Bahwa dengan adanya UU Ketenagakerjaan, pekerja merasa dirugikan, karena


undang-undang tersebut melegalkan apa yang dilakukan oleh pengusaha misalnya
tentang kontrak, bahwa seseorang hanya boleh kontrak 2 kali, 2 hari setelah itu
atau lebih dianggapnya sebagai buruh tetap, tetapi buruh tidak dirugikan,
maksudnya dalam perusahaan tersebut dibuat kontrak 2 kali setelah itu dibuat
lepas, setelah itu kontrak 2 kali lagi dan lepas lagi; -------------------------------------------

- Bahwa di perusahaan Saksi bekerja, dilaksanakan dalam waktu tidak terbatas dan
bukan untuk waktu tertentu; ------------------------------------------------------------------------

- Bahwa untuk membela kepentingan pekerja, selama ini memang dibela oleh
seorang ahli hukum agar sesuai dengan hukum yang berlaku; ---------------------------

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala


sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; --------------------------

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa maksud dan tujuan para Pemohon dalam permohonan


a quo adalah sebagaimana disebutkan di atas; --------------------------------------------------------
97

Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok perkara, Mahkamah harus


terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : ---------------------------------------

1. Apakah Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan pengujian


UU Ketenagakerjaan; -------------------------------------------------------------------------------------

2. Apakah para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya
undang-undang dimaksud, sehingga para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak sebagai para Pemohon di hadapan Mahkamah; ----------------

Terhadap kedua hal dimaksud, Mahkamah berpendapat sebagai berikut : ---------------------

1. Kewenangan Mahkamah.

Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan : Mahkamah
Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga
menyatakan bahwa Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar; ----------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang


Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyatakan bahwa undang-undang
yang dapat diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan
pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999; ------------------------------------

Menimbang bahwa UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan untuk diuji adalah


undang-undang yang telah diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945,
sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus
permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan tersebut terhadap UUD 1945; --------------

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon.

Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan
98

permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah pihak


yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yang dapat berupa perorangan warga negara Indonesia,
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara;

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional menurut


penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah hak-hak
yang diatur dalam UUD 1945; --------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa dengan demikian seseorang atau suatu pihak untuk dapat
diterima sebagai Pemohon yang memiliki legal standing di hadapan Mahkamah dalam
permohonan pengujian undang-undang harus terlebih dahulu menjelaskan : -------------
Pertama, kedudukannya dalam permohonan yang diajukan sesuai dengan kualifikasi
yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003; ------
Kedua, kerugian konstitusional yang diderita dalam kualifikasi dimaksud, akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya; ---------------------------------

Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa


para Pemohon sebanyak 37 orang adalah para pemimpin dan aktivis organisasi
serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak
dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas
kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum
dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja yang selama ini
seringkali dipinggirkan nasibnya; ----------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan berupa akta-akta pendirian
asosiasi, federasi atau organisasi buruh/pekerja, tidak ternyata bahwa organisasi
organisasi tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedang di lain pihak tidak ternyata pula
bahwa UU Ketenagakerjaan secara khusus memberikan kedudukan atau standing
bagi organisasi atau asosiasi-asosiasi serikat buruh untuk dapat mengajukan
permohonan di hadapan Mahkamah untuk membela kepentingan hukum dan hak
asasi para buruh sebagaimana dikenal dalam Undang-undang Lingkungan Hidup,
99

akan tetapi sebagai perorangan atau kumpulan perorangan yang bertindak untuk diri
sendiri maupun untuk para buruh yang tergabung dalam organisasi yang dipimpin
para Pemohon, maka para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki
kepentingan yang sama; ---------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaan adalah


Undang-undang Pokok Perburuhan yang mengatur segala sesuatu mengenai
perburuhan dan hubungan perburuhan di Indonesia, yang memiliki dampak langsung
dan tidak langsung melalui peraturan peraturan turunannya kepada semua buruh
pekerja yang ada di Indonesia karena mempunyai kepentingan langsung dari
pelaksanaan UU Ketenagakerjaan, yang oleh para Pemohon dipandang merugikan
hak-hak konstitusional buruh atau pekerja yang diatur dalam UUD 1945 antara lain
hak untuk berserikat, hak mogok dan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama
di depan hukum; --------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa berdasar uraian tersebut di atas dan memperhatikan Pasal


51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan ini, oleh karenanya Mahkamah harus
mempertimbangkan pokok perkara sebagaimana diuraikan di bawah ini; ------------------

Pokok Perkara

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permohonan para Pemohon


secara keseluruhan, terlebih dahulu harus menjadi perhatian bahwa meskipun tidak
secara tegas dinyatakan, sesungguhnya para Pemohon telah mengajukan permohonan
pengujian formil maupun pengujian materiil sekaligus, dan kemudian setelah
menguraikan pengujian materiil terhadap beberapa pasal yang dimuat dalam UU
Ketenagakerjaan dimaksud, pada akhirnya dalam petitum telah memohon agar
Mahkamah menyatakan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh
karenanya agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; ----------------------

Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon yang diajukan secara


umum tentang kecenderungan yang dilihat dalam pembentukan undang-undang a quo,
yang lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal nasional terutama internasional, serta
100

tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia,


sangat dipengaruhi ideologi neoliberalisme yang menekankan pasar bebas dan efisiensi.
Efisiensi dimaksud dicapai melalui strategi upah buruh murah dalam pasar tenaga kerja
yang fleksibel (flexible labour market), yang berakibat hilangnya keamanan kerja (job
security) bagi buruh/pekerja, yang menyebabkan buruh/pekerja tetap menjadi buruh/
pekerja kontrak yang berlangsung seumur hidup yang oleh sebagian kalangan dikatakan
sebagai satu bentuk perbudakan modern (modern form of slavery atau modern slavery),
dan adanya tekanan dunia internasional melalui IMF melahirkan UU Ketenagakerjaan
a quo, meskipun mendapat tentangan dari kaum buruh, dan lain-lain pernyataan yang
tidak perlu dikutip seluruhnya, harus pula dipertimbangkan Mahkamah secara umum; -----

Menimbang bahwa dalam menguji UU Ketenagakerjaan yang diajukan para


Pemohon terhadap UUD 1945 dengan melakukan penilaian dan penafsiran, harus juga
memperhatikan kondisi-kondisi dinamis yang berubah bersama lingkungan strategis yang
berkembang dalam perekonomian global, regional dan nasional serta kecenderungan
(trend) dalam hubungan kerja industrial secara internasional yang juga mempengaruhi
perekonomian Indonesia terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang bersifat multi
dimensional. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 serta undang-
undang dan peraturan lainnya mau tidak mau mendapat pengaruh karena adanya
perubahan nilai dan sistem di dunia, terutama sistem perekonomian yang cenderung
lebih didasarkan pada sistem ekonomi pasar yang menekankan prinsip efisiensi; -----------

Menimbang bahwa kemerosotan perekonomian Indonesia setelah krisis sejak


tahun 1998 dan masuknya peran lembaga-lembaga keuangan internasional dalam proses
pemulihan ekonomi telah menyebabkan Indonesia melakukan perubahan kebijakan
ekonomi sedemikian rupa yang berkaitan dengan dana bantuan untuk penyelamatan
ekonomi. Hal tersebut menyebabkan Indonesia semakin sulit menyusun kebijakan
ekonomi yang berdasar sistem yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, dan menyusun
peraturan perundangan di bidang sosial ekonomi secara serasi dengan UUD 1945
menurut filosofi yang diletakkan founding fathers Indonesia. Merosotnya perekonomian
dan menurunnya kegiatan investasi, serta sukarnya masuk investasi baru karena kondisi
yang tidak kondusif, menimbulkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan
(supply and demand) di bidang pasar tenaga kerja (labour market). Hal tersebut semakin
memperkuat posisi tawar pengusaha dalam menentukan syarat-syarat yang dapat lebih
menguntungkan kepentingan pengusaha dan merugikan kepentingan tenaga kerja/buruh;
101

Menimbang bahwa meskipun tidak dikehendaki, syarat-syarat kerja, upah dan


perlindungan hukum yang berada di bawah standard internasional, gerakan dinamis
investasi yang mencari host-country yang lebih menguntungkan yang dapat diberikan
oleh negara-negara lain secara kompetitif di wilayah regional sekitar Indonesia,
merupakan lingkungan strategis yang harus diperhitungkan. Menghadapi kompleksitas
permasalahan seperti tergambar di atas menyebabkan kita tidak dapat bersikap hitam-
putih, melainkan harus menafsirkan hukum dan konstitusi di bidang ekonomi secara
lebih dinamis dan kontekstual. Mahkamah berpendapat bahwa dalam ekonomi pasar,
campur tangan pemerintah melalui kebijakan dan pengaturan ekonomi pasar (market
economy) harus dilakukan seproporsional mungkin, sehingga cita-cita yang terkandung
dalam Pasal 33 UUD 1945 tetap menjadi filosofi dan sistem norma dalam UUD sebagai
the supreme law of the land, dari mana akan mengalir serangkaian aturan dan kebijakan
yang serasi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut diartikan bahwa hukum
pasar akan dipengaruhi secara proporsional untuk menghilangkan distorsi maupun
kelemahan-kelemahan pasar dan dapat ditiadakan dengan tetap mempertimbangkan
risiko yang akan dialami investor melalui insentif yang seimbang dan wajar; ------------------

Menimbang bahwa di sisi lain, aturan dan kebijakan tersebut harus tetap
memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi pekerja dan melakukan usaha
peningkatan kesejahteraan. Penafsiran konstruktif demikian yang dapat mengedepankan
susunan dan menghilangkan hambatan argumen hukum secara seimbang hanya dapat
dilakukan jika dapat mengidentifikasi dan membedakan beragam dimensi kepentingan
dan nilai-nilai yang sering berbenturan, yang dijalin dalam penilain yang kompleks yang
diharapkan membuat undang-undang yang ditafsirkan menjadi lebih baik secara
keseluruhan; -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengujian Formil.

Menimbang bahwa sebagaimana telah diutarakan, para Pemohon juga telah


mengajukan permohonan pengujian formil dengan alasan-alasan yang pada pokoknya
sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------------------------------

1. UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural


penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang yang patut, yang terlihat dari
fakta-fakta antara lain : -----------------------------------------------------------------------------------
102

a. Tidak adanya “naskah akademis“ yang memberi dasar pertimbangan ilmiah


perlunya undang-undang a quo; ------------------------------------------------------------------
b. Penyusunan UU Ketenagakerjaan diwarnai kebohongan publik oleh DPR; -----------

2. UU Ketenagakerjaan, sebagai satu dari ”Paket 3 UU Perburuhan”, dibuat semata-


mata karena tekanan kepentingan modal asing daripada kebutuhan nyata buruh/
pekerja Indonesia; -----------------------------------------------------------------------------------------

Terhadap alasan-alasan permohonan dimaksud, Mahkamah akan


mempertimbangkan sebagai berikut : ---------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa meskipun adanya naskah akademis penting untuk memberi


dasar dan pertimbangan ilmiah bagi satu undang-undang yang dirancang agar tidak
terjadi salah perhitungan dan kesalahan logika, keberadaan naskah akademis bukanlah
merupakan keharusan konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang. Oleh
karena itu, ketiadaan naskah akademis RUU Ketenagakerjaan bukanlah merupakan
cacat hukum yang mengakibatkan batalnya undang-undang a quo sebagaimana
didalilkan para Pemohon; ------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang mengatakan ada kebohongan


publik yang direkayasa oleh salah seorang anggota DPR, yaitu adanya Tim Kecil yang
seolah-olah mewakili organisasi buruh yang turut serta melakukan konsultasi dalam
penyusunan undang-undang a quo, jikapun benar, hal itu hanyalah menunjukkan bahwa
proses penyusunan undang-undang tersebut kurang aspiratif, namun tidak dengan
sendirinya menjadikan hal dimaksud bertentangan dengan prosedur pembentukan
undang-undang menurut undang-undang dasar. Lagi pula, keikutsertaan masyarakat
(stake holder) dalam memberi masukan kepada DPR sebagai sarana penyerap aspirasi
masyarakat sudah dianggap ada dalam wujud penyampaian pendapat melalui
demonstrasi-demonstrasi yang telah dilakukan buruh pada saat proses penyusunan
undang-undang a quo, yang dapat dipandang sebagai penyerapan aspirasi kaum buruh; -

Menimbang bahwa keterpautan kepentingan asing dalam pembuatan hukum


satu negara yang dimasukkan melalui persuasi untuk menyeimbangkan kepentingan
ekonomi pihak yang terkena dampak satu undang-undang, tidak dapat dikatakan
merupakan campur tangan dalam kedaulatan satu negara, sepanjang kewenangan untuk
membentuk undang-undang itu tetap dilakukan secara bebas dan independen oleh
pembuat undang undang, tanpa paksaan, tipu daya dan intervensi kekuatan secara
103

langsung. Kepentingan modal asing wajar dipertimbangkan secara bebas dan mandiri
oleh pembuat undang-undang dengan memperhatikan kepentingan nasional; ----------------

Menimbang bahwa dengan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah


berpendapat bahwa tidak terdapat cacat hukum secara prosedural yang menyebabkan
UU Ketenagakerjaan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
oleh karenanya, permohonan pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon harus
ditolak; -------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengujian Materil.

Menimbang bahwa para Pemohon telah mendalilkan UU Ketenagakerjaan


bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, dan Pasal 33,
dan secara substansial lebih buruk dari undang-undang sebelumnya, dengan argumen-
argumen yang pada pokoknya sebagai berikut : ------------------------------------------------------

1. Inti pokok UU Ketenagakerjaan adalah membuat mekanisme pasar bekerja sebebas-


bebasnya dalam konteks perburuhan, di mana buruh dilihat semata-mata sebagai
komoditas atau barang dagangan di pasar tenaga kerja yang dipakai ketika perlu dan
dibuang jika tidak menguntungkan lagi, nuansa protektif dan standar perlindungan
buruh dalam hukum perburuhan semakin dikurangi dan buruh dibiarkan sendirian
menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan modal, hal mana bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa: ”setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; ----------------------------

2. UU Ketenagakerjaan dalam beberapa pasalnya memasung hak fundamental buruh/


pekerja dan serikat buruh/pekerja, bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang
menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan, yaitu : ------------------------------------------------------------------------------------------

a. Pasal 119 UU Ketenagakerjaan, yang mensyaratkan bahwa untuk melakukan


perundingan pembuatan PKB serikat buruh atau pekerja harus dapat membuktikan
bahwa serikat perkerja/buruh tersebut memiliki jumlah anggota lebih dari 50% dari
jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaan bersangkutan, kalau tidak serikat
buruh/pekerja harus mendapat dukungan lebih dari 50% dari jumlah seluruh
buruh/pekerja di perusahaan tersebut. Hal ini diartikan bahwa Pasal 119 undang-
undang a quo memberi peluang kepada pengusaha/majikan untuk mengabaikan
104

kewajibannya menghormati hak asasi serikat buruh/pekerja untuk berserikat dan


berkumpul di lingkungan perusahaan yang bersangkutan; ---------------------------------

b. Pasal 120 UU Ketenagakerjaan, mensyaratkan bahwa apabila dalam satu


perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh/pekerja, maka yang berhak
mewakili buruh dalam melakukan perundingan PKB adalah yang memiliki anggota
lebih dari 50 % dari jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaan tersebut, jikalau
tidak, dapat bergabung membentuk koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari
50 %. Dan jikalau tidak, seluruh serikat buruh/pekerja bergabung membentuk tim
yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat buruh/pekerja; -----------------------------------------------------------

c. Pasal 121 UU Ketenagakerjaan, menentukan bahwa keanggotaan serikat


buruh/pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota, hal tersebut amat
merugikan serikat buruh/pekerja yang baru saja tumbuh dan berkembang,
pembatasan cara pembuktian mana akan membatasi keleluasaan serikat buruh/
pekerja untuk mendapatkan hak beraktivitas termasuk untuk melakukan
perundingan PKB; -------------------------------------------------------------------------------------

d. Pasal 106 UU Ketenagakerjaan, mewajibkan setiap perusahaan yang


mempekerjakan 50 orang buruh/pekerja atau lebih untuk membentuk “Lembaga
Kerja Sama Bipartit”, yang terdiri dari wakil pengusaha dan buruh/pekerja yang
difungsikan sebagai “Forum Komunikasi dan Konsultasi” hal-hal ketenagakerjaan
di lingkungan perusahaan, hal tersebut sesungguhnya merupakan pengambil
alihan peran dan tanggung jawab serikat buruh/pekerja untuk melakukan hal-hal
yang berkaitan dengan hak dan kepentingan buruh dan anggotanya di lingkungan
perusahaan, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, dan
keberadaannya yang bersifat wajib (compulsory) akan mengurangi secara
signifikan peran dan fungsi serikat buruh/pekerja yang berakibat pada penurunan
secara besar-besaran keanggotaan serikat buruh/pekerja; --------------------------------

e. Pasal 64 – 66 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang sistem kerja


“pemborongan pekerjaan”, yang dikenal dengan istilah “outsourcing” telah
menempatkan buruh sebagai faktor produksi semata, yang dengan mudah
dipekerjakan bila dibutuhkan dan di-PHK ketika tidak dibutuhkan lagi, sehingga
komponen upah sebagai salah satu biaya (costs) bisa ditekan seminimal mungkin,
padahal Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 mengatakan “Perekonomian disusun sebagai
105

usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, yang diartikan bahwa


perekonomian kita didasarkan atas demokrasi ekonomi dimana produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua, dengan mengutamakan kemakmuran
rakyat”. Di sinilah “perbudakan modern” dan degradasi nilai manusia, buruh
sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan
diresmikan melalui sebuah undang-undang; ---------------------------------------------------

3. Pasal 158 ayat (1), (2), Pasal 170 UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : ”segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, hal dimaksud bersifat diskriminatif
secara hukum, karena pasal-pasal tersebut membenarkan PHK dengan alasan
melakukan kesalahan berat yang masuk kualifikasi tindak pidana, yang menurut Pasal
170 prosedurnya tidak perlu mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu bisa tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan ini
telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin di
dalam UUD 1945. Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat
pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang a quo
melegalisasi tindak pidana di luar pengadilan. Lebih jauh lagi ketentuan Pasal 159
yang menentukan bahwa : “apabila pekerja/buruh tidak menerima PHK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”,
sehingga dengan demikian mengalihkan/mencampuradukkan wewenang peradilan
pidana ke peradilan perdata, yang seharusnya diselesaikan melalui peradilan pidana; -

4. UU Ketenagakerjaan secara substansial juga bertentangan dengan standard


perburuhan internasional (Konvensi dan Rekomendasi ILO), yang terlihat dalam
beberapa hal berikut : -------------------------------------------------------------------------------------

a. Pengaturan tentang mogok kerja dalam Pasal 137 - 145 UU Ketenagakerjaan


bertentangan dengan Konvensi ILO tentang hak fundamental buruh yang
berkenaan dengan hak asasi atas kebebasan berserikat dan berorganisasi dan
untuk melakukan perundingan kolektif yang termaktub dalam Konvensi ILO No. 87
dan 98 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. ILO secara tegas menyatakan “hak
106

mogok” adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak berorganisasi yang
dilindungi konvensi ILO, dan dengan diterimanya konvensi tersebut berarti juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak berorganisasi buruh/pekerja,
dan pemerintah tidak boleh menciptakan halangan apapun yang bersifat
administratif maupun birokratis yang bisa mengakibatkan buruh/pekerja tidak dapat
menikmati hak mogok. Hak mogok adalah hak essensial bagi buruh dan
organisasinya dalam memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan
sosial buruh, dan kepentingan tersebut bukan hanya berarti memperoleh perbaikan
kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan kerja; -------------------------

Pelanggaran terhadap hak mogok yang dijamin konvensi internasional terlihat


dalam pasal-pasal a quo berikut : -----------------------------------------------------------------

a. Pasal 137 undang-undang a quo menyatakan “mogok kerja sebagai hak dasar
buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja dilakukan secara sah dan tertib dan
damai sebagai akibat gagalnya perundingan”; Pasal ini melanggar standar
perburuhan internasional, karena membatasi alasan mogok hanya akibat
“gagalnya suatu perundingan”, dan merupakan pembatasan terhadap hak
mogok itu sendiri yang merupakan hak fundamental buruh/pekerja dan serikat
buruh/serikat pekerja. Pembatasan hak mogok dalam Pasal 137 UU
Ketenagakerjaan tersebut tidak saja membatasi kebebasan buruh/pekerja
dan/atau serikat buruh/pekerja untuk menggunakan hak mogok sebagai bagian
dari hak kebebasan berserikat dan berorganisasi serta menjalankan aktivitas
serikat buruh dan organisasinya tetapi juga merupakan sebuah bentuk kontrol
terhadap peran dan fungsi serikat buruh/serikat pekerja sebagai instrumen
resmi buruh/pekerja untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraannya; ----

b. Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, menetapkan bahwa “pekerja/buruh


dan/atau serikat pekerja/buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain
untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak
melanggar hukum”, pasal ini melanggar standar perburuhan internasional
dengan membatasi hak buruh/pekerja dan/atau serikat buruh/serikat pekerja
yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat
mogok kerja berlangsung dilakukan tidak dengan melanggar hukum; --------------

c. Pasal 186 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur sanksi pidana terhadap


pelanggaran Pasal 138 ayat (1) dengan pidana maksimum 4 (empat) tahun
107

penjara dan/atau denda Rp. 400 juta amat berat dan merupakan upaya untuk
menghalangi dilaksanakannya hak asasi mogok kerja; ---------------------------------

d. Pasal 140 - 141 UU Ketenagakerjaan, juga melanggar standar perburuhan


internasional karena pasal-pasal tersebut menetapkan tahapan prosedur
administratif dan birokratis yang harus dilalui serikat buruh/pekerja untuk
melaksanakan hak mogok, pemberitahuan selambat-lambatnya 7 hari sebelum
mogok dilaksanakan dengan menyebut waktu mulai, tempat dan alasan mogok,
yang justru menyebabkan buruh/pekerja tidak dimungkinkan untuk
melaksanakan hak mogok; ---------------------------------------------------------------------

e. Pasal 76 UU Ketenagakerjaan, tentang buruh perempuan yang bekerja malam


(antara pukul 23.00-05.00) tidak boleh sedang hamil dan berusia di bawah 18
tahun, disediakan transportasi dan tambahan makan serta pengusaha wajib
menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja, bertentangan dengan ILO
No. 111 karena hal ini menyebabkan buruh perempuan tidak memiliki
kesempatan kerja yang sama seperti buruh laki-laki, serta cenderung telah bias
gender karena mengaitkan perempuan sebagai faktor utama pencetus tindakan
asusila yang harus dijaga oleh pengusaha agar tidak terjadi; -------------------------

f. UU Ketenagakerjaan dari segi sistematika dan prosedural rancu di antara


pasal-pasalnya serta banyak memberikan “cek kosong” kepada pemerintah
sehingga cenderung executive heavy, karena untuk pelaksanaannya, UU
Ketenagakerjaan memandatkan pembuatan 5 Undang-undang, 12 Peraturan
Pemerintah, 5 Keputusan Presiden dan 30 Keputusan Menteri, serta
memerintahkan pembentukan 3 lembaga baru yaitu Badan Koordinasi
Ketenagakerjaan, Dewan Pengupahan (tingkat Nasional dan Daerah) dan
Lembaga Kerjasama Tripartit (tingkat Nasional dan Daerah); -------------------------

Pengaturan yang demikian memberikan kewenangan berlebihan kepada


kekuasaan eksekutif yang sedang berkuasa, yang diartikan menyerahkan nasib
buruh/pekerja pada kebijakan politik penguasa eksekutif, dengan peraturan
pelaksanaan di bawah undang-undang yang dapat berubah-ubah sesuai
kepentingan politik. Lagi pula Keputusan Menteri tidaklah termasuk dalam tata
urutan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR RI Nomor III Tahun
2000, karenanya Keputusan Menteri tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang bersifat umum; -----------------------------------------------------------------
108

g. UU Ketenagakerjaan dari segi sistimatika penyusunannya cenderung dibuat


dengan banyak inkonsistensi dan saling bertolak belakang di antara pasal-
pasalnya satu sama lain sehingga cenderung menjadi rancu; ------------------------

h. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang diundangkan tanggal 25


Maret 2003 berbeda dengan draft Undang-undang Ketenagakerjaan yang
disahkan oleh Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 25 Februari 2003; ---------

Menimbang bahwa setelah memperhatikan keterangan Pemerintah, DPR, Ahli,


serta Saksi dan alat bukti yang diajukan, Mahkamah akan memberi pendapat
sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di bawah ini : -----------------------------------------

Para Pemohon telah mengutip Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu
norma penguji terhadap UU Ketenagakerjaan, yang didalilkan memperlakukan buruh/
pekerja semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan yang dapat dibuang
apabila tidak menguntungkan lagi dengan menghapus nuansa protektif dan peran negara
sebagai pelindung; ---------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa sebagaimana diakui juga oleh para Pemohon bahwa UUD
1945 adalah juga merupakan cita-cita dan arah serta dasar kebijakan yang bersifat
normatif, sehingga apabila menilai perlindungan dan peran negara sebagai pelindung
dilihat tidak tegas tampak dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini disebabkan bahwa UU
a quo harus merujuk kepada UUD 1945 yang artinya memperhitungkan pula
keseimbangan berbagai kepentingan, khususnya kepentingan buruh dan kepentingan
pengusaha dalam mekanisme ekonomi pasar. Kepentingan pengusaha harus juga
diakomodasi karena ketiadaan investasi justru akan menyebabkan berkurangnya
lapangan kerja dan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya justru akan
merugikan pihak buruh sendiri. Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 33
UUD 1945 tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadap sistem
ekonomi pasar, yang berarti mengharuskan negara melakukan campur tangan tatkala
mekanisme ekonomi pasar mengalami distorsi; --------------------------------------------------------

Menimbang bahwa anggapan para Pemohon bahwa UU Ketenagakerjaan


memandang buruh hanya sebagai komoditi, karena kecenderungan sistem outsourcing
dalam pola pekerjaan yang juga dianggap sebagai modern slavery, Mahkamah
berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat membuktikan dasar dari dalil tersebut,
109

karena dalam keseluruhan ketentuan undang-undang a quo tidak memuat aturan yang
menunjuk pada hal yang didalilkan, meskipun benar bahwa pola outsourcing telah diatur
secara khusus dalam Pasal 64 – 66 UU a quo; --------------------------------------------------------

Menimbang bahwa pengaturan outsourcing dalam Pasal 64 - 66 UU


Ketenagakerjaan menjelaskan keberadaan dan batasan dari outsourcing tersebut
sebagai bagian dari pekerjaan yang terpisah dari kegiatan utama yang merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan yang tidak menghambat proses
produksi secara langsung. Pelaksanaan pekerjaan tersebut diserahkan oleh suatu
perusahaan kepada perusahaan lainnya dengan perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Buruh/pekerja dimaksud tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sehingga hubungan kerja antara
buruh/pekerja outsourcing adalah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; -------

Menimbang bahwa perlindungan yang diberikan terhadap buruh outsourcing


tampak dalam Pasal 66 ayat (1), (2) a, c dan ayat (4) yang berbunyi : --------------------------

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi;

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------------------------

a). Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; ----------------------------------------------------------------------------------------

c). Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan


yang timbul menjadikan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/
buruh; dan; --------------------------------------------------------------------------------------------

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan; --
110

Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam hal


buruh dimaksud ternyata dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada
hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dan jika perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum,
maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan
yang perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha, buruh/pekerja dan masyarakat
secara selaras, dalil para Pemohon tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antara buruh
dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pelaksanaan pekerjaan pada
perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 - 66 undang-undang a quo,
mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka
waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam kesempatan
yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU
Ketenegakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing
merupakan modern slavery dalam proses produksi; --------------------------------------------------

Menimbang bahwa akan tetapi terlepas dari uraian di atas, berdasarkan


keterangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan para Pemohon, telah nyata bagi
Mahkamah bahwa praktek-praktek yang dilakukan pengusaha dalam hal terjadinya
pengalihan usaha dan dalam keadaan lain ketika pengusaha ingin melakukan
penghematan dengan segala daya upaya untuk menekan buruh/pekerja mengundurkan
diri melalui lock-out perusahaan dengan kewajiban membayar pesangon yang minim, dan
kemudian membuka kesempatan kerja atas dasar perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang disebut saksi sebagai pekerja kontrak dengan syarat-syarat yang sangat merugikan
pekerja/buruh, tampaknya pengawasan dan penegakan hukum dari yang berwenang
tidak mampu melindungi buruh/pekerja dari praktek yang berlawanan dengan UU
Ketenagakerjaan a quo. Terlepas dari adanya hak pekerja untuk memperoleh
perlindungan secara hukum atas hak-haknya yang telah dijamin oleh UU
Ketenagakerjaan, akan tetapi pelanggaran pengusaha terhadap Pasal 55, Pasal 59 ayat
(1), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 62, Pasal 65 ayat (2) secara seimbang tidak
diberikan sanksi pidana sebagai bentuk perlindungan hukum yang dapat memaksa
pengusaha untuk memberikan hak-hak buruh yang menghilangkan kesempatan
111

memperlakukan buruh/pekerja sebagaimana mestinya. Di pihak lain dalam Pasal 186


ditentukan sanksi bagi buruh yang melanggar Pasal 137 dan 138, diancam dengan
pidana minimum 1 (satu) bulan dan maksimum 4 (empat) tahun penjara dan/atau denda
minimum Rp. 10.000.000., maksimum Rp. 400.000.000,- sehingga dengan demikian
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 186 UU Ketenagakerjaan a quo bertentangan
dengan UUD 1945, oleh karena sanksi-sanksi pidana dalam UU a quo bagi buruh/pekerja
dipandang tidak proporsional dan berlebihan; ----------------------------------------------------------

Menimbang bahwa Pasal 119, 120 dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan ada di
bawah Bab Ketujuh yang mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang dalam Pasal
118 secara logis ditentukan bahwa dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu)
Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan,
sehingga oleh karenanya juga cukup wajar jika mitra-runding pengusaha dalam
penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dimaksud sedapat-dapatnya mewakili
mayoritas buruh/pekerja yang hak dan kepentingannya diatur dalam Perjanjian Kerja
Bersama tersebut. Mahkamah berpendapat aturan yang mensyaratkan satu serikat
buruh/pekerja di perusahaan memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama apabila memiliki jumlah anggota lebih
dari 50 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, dan
jikalau jumlah 50 % tidak tercapai, untuk dapat berunding serikat buruh/pekerja yang
bersangkutan memerlukan dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja,
yang akan dicapai oleh serikat buruh/pekerja melalui musyawarah dan mufakat di antara
sesama buruh/pekerja, sedang jika serikat buruh/pekerja lebih dari satu dan tidak
mencapai jumlah lebih dari 50%, dapat dilakukan koalisi di antara serikat buruh/pekerja di
perusahaan tersebut untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan
jika hal inipun tidak dicapai tim perunding ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah anggota masing-masing serikat buruh/pekerja. Aturan tersebut dipandang cukup
wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3).
Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan
seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam
organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota, dan sama sekali
tidak cukup mendasar untuk dipandang bertentangan dengan UUD; ----------------------------

Menimbang bahwa ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan yang


mengharuskan dibentuknya Lembaga Kerja Sama Bipartit dalam perusahaan yang
112

mempekerjakan 50 orang buruh atau lebih, yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan yang bersangkutan, tidak perlu
ditafsirkan meniadakan hak organisasi buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan buruh/pekerja, karena penunjukan unsur buruh/pekerja yang akan duduk
dalam forum tersebut dilakukan secara demokratis, yang dapat ditarik setiap saat jika
ternyata bukan kepentingan buruh yang dipertahankan dalam forum konsultasi dimaksud.
Oleh karenanya Mahkamah tidak melihat Pasal 106 tersebut bertentangan dengan UUD
1945; ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa


Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27
ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha
untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat
tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial,
melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti
yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak,
Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan
pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian dari hak-haknya
sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan
tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal
tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum
yang bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; --------------------------------------------

Menimbang bahwa meskipun Pasal 159 menentukan, apabila buruh/pekerja


yang telah di-PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak
menerima pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial, maka di samping
ketentuan tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi
buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara
113

ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih
dibanding pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan
berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara
perdata secara tidak pada tempatnya; -------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa syarat-syarat yang ditetapkan untuk pelaksanaan hak buruh


untuk mogok, baik syarat bahwa mogok dilakukan secara sah dan tertib dan damai
sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137), ajakan mogok terhadap buruh saat
mogok kerja berlangsung dengan tidak melanggar hukum (Pasal 138) maupun syarat-
syarat administratif tentang jangka waktu pemberitahuan dan lain-lain (Pasal 140 - 141),
yang oleh para Pemohon dipandang bertentangan dengan standard perburuhan
internasional (ILO), Mahkamah berpendapat, tidak terdapat ketidaksesuaiannya dengan
standard perburuhan internasional. Hal tersebut disebabkan sejumlah pembatasan juga
dikenal dalam praktek yang disetujui ILO. Seandainyapun hal itu benar bertentangan
dengan standard ILO -quod non- maka standard dan norma-norma yang demikian
haruslah dilihat sebagai bagian dari standard dan norma yang berlaku di Indonesia
melalui ukuran yang dikenal dalam UUD 1945. Hal itu disebabkan hak asasi tidak
dipandang sebagai sesuatu yang berlaku mutlak. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
menetapkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; --

Menimbang bahwa walaupun demikian jika dikaitkan dengan sanksi atas


pelanggaran terhadap Pasal 137 dan 138 sebagaimana termuat di dalam Pasal 186 UU
Ketenagakerjaan yang juga telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa sanksi dalam Pasal 186 tersebut tidak proporsional karena mereduksi hak mogok
yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD 1945 dalam rangka kebebasan
menyatakan sikap [Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3)] dan hak untuk mendapat imbalan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)]. Pelaksanaan hak mogok
yang melanggar persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 137 dan Pasal
138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus diatur secara proporsional;------------------------------
114

Menimbang bahwa ketentuan Pasal 76 UU Ketenagakerjaan yang memberi


syarat-syarat tertentu bagi buruh perempuan yang bekerja malam, menurut Mahkamah
justru memberi perlindungan yang perlu bagi buruh perempuan yang dipandang sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, yang tidak harus dilihat dari
adanya bias gender yang mengkaitkan perempuan sebagai faktor utama pencetus
tindakan asusila, melainkan tindakan yang perlu dilakukan menurut nilai-nilai yang dianut
dalam masyarakat, hal tersebut sama sekali tidak relevan dikaitkan dengan sikap dan
perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap buruh perempuan; --------------------------------

Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan dari segi sistematika
dan prosedural terdapat kerancuan di antara pasal-pasal UU Ketenagakerjaan,
Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian merupakan tafsiran dari para Pemohon,
yang oleh Mahkamah tidak dilihat secara prinsipil mengandung inkonsistensi satu dengan
yang lain dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun oleh Pemohon diakui
bahwa undang-undang a quo memberi mandat kepada eksekutif untuk melaksanakan
undang-undang a quo melalui 5 Undang-undang, 12 Peratutan Pemerintah, 5 Keputusan
Presiden dan 30 Keputusan Menteri, yang dapat diartikan tidak lengkapnya undang-
undang dimaksud, keadaan tersebut tidak harus disimpulkan sebagai executive heavy,
karena setiap peraturan dapat diuji keabsahannya terhadap aturan yang lebih tinggi.
Meskipun Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 secara expresis verbiss tidak menyebut
Keputusan Menteri dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia, akan tetapi Pasal
4 ayat (2) Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut dan praktik ketatanegaraan di
Indonesia, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan untuk menjalankan undang-
undang, Keputusan Menteri yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang bersifat
umum telah diterima dan diakui keberadaannya. Walaupun Tap MPR Nomor III Tahun
2000 tersebut tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan pada tanggal 22 Juni
2004, Pasal 56 UU a quo, menyatakan, ”semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau Keputusan Pejabat lainnya
sebagaimana dimaksud Pasal 54 yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum
undang-undang ini berlaku harus dibaca peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini”;--------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa adanya dalil yang menyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan


yang diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft UU Ketenagakerjaan
115

yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR R.I tanggal 25 Februari 2003, oleh Mahkamah
dipandang tidak dapat dibuktikan secara sah oleh para Pemohon, sehingga harus
dikesampingkan; ------------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah


berpendapat bahwa permohonan para Pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian, yaitu
sebagaimana akan disebut dalam amar putusan di bawah ini, dan akan menolak
permohonan para Pemohon yang selebihnya, karena dipandang tidak cukup beralasan; --

Memperhatikan Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi; ----------------------------------------------------------

MENGADILI:

Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; -----------------------

Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan:----------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 158;----------------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 159;----------------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan
pengusaha …”;--------------------------------------------------------------------------------------------
• Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;-
• Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;----------
• Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat
(1)…”;----------------------------------------------------------------------------------------------------------
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai
anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang
mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang
mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat; ---------------------------------------------------------------------------------------------
116

Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; ----------------------------

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas


tentang pokok perkara dalam Sidang Pleno Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi,
telah mengambil putusan terhadap permohonan para Pemohon a quo dengan 2 (dua)
orang Hakim Konstitusi mengajukan pendapat berbeda; --------------------------------------------

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION).

Hakim Konstitusi : Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan


Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.

1. Sesungguhnya, setelah perubahan UUD 1945 (1999-2002), Konstitusi NKRI benar-


benar merupakan konstitusi yang berbasiskan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui 10
(sepuluh) pasal HAM yang tercantum dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J,
sehingga lebih memperkokoh paradigma bernegara, sebagaimana dikehendaki oleh
Pembukaan UUD 1945; ----------------------------------------------------------------------------------

2. Akan tetapi, sungguh disesalkan bahwa pembaharuan undang-undang di bidang


ketenagakerjaan melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat UU Ketenagakerjaan) justru kurang ramah
kemanusiaan dan kurang memberi pengayoman (proteksi), khususnya terhadap
buruh/tenaga kerja, seperti ditunjukkan oleh berbagai kebijakan yang tercantum dalam
undang-undang a quo, antara lain: --------------------------------------------------------------------

• Kebijakan “outsourcing” yang tercantum dalam Pasal 64 – 66 UU Ketenagakerjaan


telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu
dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan men-downgrading-kan
mereka sekedar sebagai sebuah komoditas, sehingga berwatak kurang protektif
terhadap buruh/pekerja. Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan
paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945; ------------------------------------

• Kebijakan yang tercantum dalam Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, dan Pasal 106
UU Ketenagakerjaan yang intinya memperberat persyaratan untuk merundingkan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) bagi serikat buruh/serikat pekerja, merupakan
kebijakan terselubung guna mengurangi hak buruh/pekerja untuk memperjuangkan
117

hak-haknya dan mereduksi hakikat kebebasan berserikat/berorganisasi bagi


buruh/pekerja seperti yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945; -----------------------------

• Kebijakan prosedural administratif mengenai mogok kerja yang cenderung


mereduksi makna mogok kerja sebagai hak dasar buruh/pekerja seperti yang
tercantum dalam Pasal 137 sampai 140 UU Ketenagakerjaan. Sebagai contoh
ketentuan tentang kewajiban pemberitahuan secara tertulis bagi buruh/pekerja dan
serikat buruh/pekerja dalam tenggang waktu sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari
kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pada hakikatnya merupakan
pengekangan hak dasar universal perjuangan buruh/pekerja dan serikat buruh/
serikat pekerja (vide Pasal 140 UU Ketenagakerjaan); --------------------------------------

3. Selain hal-hal yang bersifat substansial seperti tersebut di atas (uji materiil UU
Ketenagakerjaan), kiranya dari sudut pengujian formil perlu dipertimbangkan
kemungkinan untuk dikabulkan. UUD 1945 memang tidak memuat secara rinci
prosedur (tata cara) pembentukan sebuah undang-undang, karena akan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang (vide Pasal 22A UUD 1945). Undang-undang yang
dimaksud adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baru diundangkan pada tanggal 22 Juni 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389), sehingga belum dapat dijadikan dasar
hukum prosedur pembentukan UU Ketenagakerjaan yang diundangkan pada tahun
2003. Tetapi seyogyanya untuk menilai apakah prosedur pembentukan UU
Ketenegakerjaan sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945, perlu menyimak
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada pada waktu itu, seperti
ketentuan dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB, Stb.1847:
23), Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD
yang lahir atas perintah UUD 1945 yang kemudian juga memerintahkan pengaturan
lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPR (yang memuat ketentuan tentang
naskah akademik), dan Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 jo Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 1999. Selain itu, juga harus memperhatikan asas-asas
umum peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas tujuan yang jelas, asas
lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan, dan asas dapat dilaksanakan, yang
ternyata kemudian asas-asas tersebut diadopsi oleh Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 dan bahkan ditambah antara lain dengan asas keadilan dan pengayoman
(vide Pasal 5 dan Pasal 6); ------------------------------------------------------------------------------
118

4. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka seharusnya yang dikabulkan dari


permohonan a quo lebih banyak dari pada sekedar yang disebutkan dalam amar
putusan Mahkamah; ---------------------------------------------------------------------------------------

Demikianlah diputuskan dalam Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim Konstitusi


pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2004, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis tanggal 28
Oktober 2004, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H selaku Ketua merangkap
anggota dan didampingi oleh Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A.S.
Natabaya, S.H., LLM., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., H. Achmad
Roestandi, S.H., Dr. Harjono, S.H., MCL., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.,
Maruarar Siahaan, S.H., Soedarsono, S.H. masing-masing sebagai Anggota dan
dibantu oleh Triyono Edy Budhiarto, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri
oleh Para Pemohon/ Kuasanya, beserta wakil dari Pemerintah; -----------------------------------

K e t u a,

ttd
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Anggota-anggota,

ttd ttd
Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM.

ttd ttd
Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H.,MS. H. Achmad Roestandi, S.H.

ttd ttd
Dr. Harjono, S.H., MCL. I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.H.
119

Ttd ttd
Maruarar Siahaan, S.H. Soedarsono, S.H.

Panitera Pengganti,

ttd
Triyono Edy Budhiarto, S.H.
1

PUTUSAN
Nomor 115/PUU-VII/2009

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. N a m a : RONALD EBENHARD PATTIASINA


Tempat tanggal lahir : Malang, 05 November 1972;
Agama : Kristen;
Pekerjaan : Karyawan Swasta;
Kewarganegaraan : Indonesia;
Alamat : Kampung Bojong Jati Nomor 11 RT.003
RW.016 Kelurahan Depok Pancoran Mas
Kota Depok;
Nomor KTP : 3276010511720001
Nomor Telepon/Faksimili : 021-26892178
Nomor Telepon Seluler : 08567157715
Email : Lbu_mgu@bca.co.id

2. N a m a : PUJI RAHMAT
Tempat tanggal lahir : Bojonegoro, 23 Februari 1981;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Karyawan Swasta;
Kewarganegaraan : Indonesia;
Alamat : Jalan Mustafa VI Nomor 3A RT. 004 RW.
005 Kelurahan Kukusan Kecamatan Beji
Kota Madya Jawa Barat 16425;
2

Nomor KTP : 32.77.72.1004/03445/72013012


Nomor Telepon/Faksimili : 021-23588000 ext. 22236
Nomor Telepon Seluler : 081210002336
Email : puji_rahmat@bca.co.id
baik untuk atas nama pribadi maupun sebagai perwakilan dari kelompok
orang yang memiliki kepentingan yang sama, yang dalam hal ini adalah:
Nama : Serikat Pekerja BCA Bersatu;
Nomor Pencatatan : 519/V/P/VII/2007 pada Suku Dinas
Ketenagakerjaan Jakarta Selatan;
Alamat Koresponden : PT. Bank Central Asia Menara BCA Lantai
22 Grand Indonesia Jalan M.H. Thamrin
Nomor 1 Jakarta Pusat 10310;

Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------- Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan dari Pemohon;

Mendengar keterangan dari Pemohon;

Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;

Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;

Membaca kesimpulan Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan surat


permohonan bertanggal 27 Juli 2009 yang terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 10 Agustus
2009 dengan registrasi Nomor 115/PUU-VII/2009, yang telah diperbaiki dan diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 September 2009 yang menguraikan hal-hal
sebagai berikut:
3

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK),
salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian
(judicial review) Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Bukti P-2);
2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945”;
3. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan bahwa ”Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; (Bukti P-3)
4. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih
tinggi dari Undang-Undang, oleh karenanya setiap ketentuan Undang-Undang tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-
Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme Pengujian Undang-Undang;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini;

II. Kedudukan Hukum Dan Kepentingan Pemohon


5. Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK menyatakan, “Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat;atau
4

d. lembaga negara.
6. Bahwa kedudukan hukum (legal standing) Pemohon adalah sebagai perorangan
warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 1 huruf a
UU MK beserta penjelasannya;
7. Sebagai persyaratan awal Pemohon telah menyiapkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
i. Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276010511720001 atas nama Ronald Ebenhard
Pattiasina (Lampiran 1a);
ii. Kartu Tanda Penduduk Nomor 32.77.72.1004/03445/72013012 atas nama Puji
Rahmat (Lampiran 1b);
iii. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga SP BCA Bersatu (Lampiran lc);
8. Pengesahan Pemohon sebagai sebuah organisasi serikat pekerja atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama adalah mengacu pada surat dari Suku
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 2744/-
1.838 tanggal 06 Juli 2007 perihal Pencatatan dan Pemberian Nomor Bukti
Pencatatan SP/SB di Perusahaan, SP/SB di luar Perusahaan, Federasi SP/SB,
Konfederasi SP/SB yang memberikan Konfirmasi Nomor Bukti Pencatatan
519/V/P/VIU2007 tanggal 6 Juli 2007 kepada Pemohon (Lampiran 2);
9. Berdasarkan Surat Ketetapan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) SP
BCA Bersatu di Tretes, Pasuruan pada tanggal 05 sampai dengan 07 Maret 2009
dengan Nomor Keputusan 009/MUNASLUB/SP BCA BERSATU/2009 tanggal 06
Maret 2009 perihal Penetapan Ketua Formatur (Ex Officio Ketua Umum DPP SP
BCA Bersatu), sehingga dalam posisinya tersebut, Ketua Umum Dewan Pengurus
Pusat (DPP) SP BCA Bersatu dalam hal ini adalah Ronald Ebenhard Pattiasina
dapat mewakili untuk atas nama organisasi SP BCA Bersatu yang
keanggotaannya terbentang dari Lhokseumawe sampai Papua (Jayapura) dengan
jumlah anggota lebih dari 1.280 orang untuk mengajukan permohonan uji materi
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi (Lampiran 3);
10. Berlandaskan pada Pasal 28 UUD 1945 yang memberikan jaminan perlindungan
dan hak dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi sebagaimana disebutkan
bahwa ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
5

dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”; (Bukti P-2)


11. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; (Bukti P-2)
12. Mengacu pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyatakan, "Serikat pekerja/serikat buruh
adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya"; (Bukti P-4)
13. Selanjutnya dalam pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga mengatur bahwa “Untuk mencapai
tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian
perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan
sesuai dengan tingkatannya
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan
anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam
perusahaan”; (Bukti P-4)
14. Dengan berlandaskan pada Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tersebut di
atas, maka Pemohon secara konstitusional mempunyai hak asasi untuk
menyampaikan aspirasi dalam rangka memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja melalui perundingan perjanjian kerja
bersama (PKB) yang ada di dalam perusahaan;
15. Dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur
6

dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh tersebut, maka Pemohon pun mempunyai hak untuk turut
serta menjadi salah satu pihak dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) antara Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja dengan
Pengusaha yang diwakili oleh Manajemen (dalam hal ini adalah Manajemen PT
Bank Central Asia Tbk), dalam rangka menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi/
hak anggotanya;
16. Pertimbangan mendasar yang digunakan dalam permohonan ini adalah
bahwasanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan ketentuan yang berlaku
bagi seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan, maka dengan demikian dapat
ditarik sebuah analogi bahwa hakikat dari pada pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) adalah pembuatan Undang-Undang yang berlaku dan mengikat
bagi seluruh komponen yang ada di dalam perusahaan;
17. Pembuatan Undang-Undang yang berlaku dan mengikat bagi seluruh komponen
yang ada di dalam perusahaan, maka sudah barang tentu menjadi suatu
keharusan di dalam negara hukum yang berkeadilan bahwa pembuatan Undang-
Undang tersebut melibatkan pihak-pihak yang terkait di dalam perusahaan, yang
dalam hal ini adalah seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan;
18. Asas Keterwakilan di dalam Tim Perunding Perjanjian Kerja Bersama di dalam
perusahaan adalah sebuah hak asasi maupun hak konstitusional yang harus
dilindungi oleh Undang-Undang sebagai amanat dan pelaksanaan dari hak
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan sebagai
dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tersebut;
19. Jika kemudian terdapat suatu bantahan, argumentasi atau pandangan
bahwasanya akan terjadi kemungkinan begitu banyaknya perwakilan dari serikat
pekerja yang akan duduk dalam Tim Perunding Serikat Pekerja, maka dengan
mengacu asas keterwakilan sebagaimana dinyatakan dalam sila ke-4 Pancasila
yang berbunyi, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, serikat pekerja dengan keanggotaan lebih dari 2,5%
dari total seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan dapat duduk dalam Tim
Perunding Serikat Pekerja untuk merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
dengan Tim Perunding Manajemen perusahaan;
7

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemohon mempunyai kedudukan


hukum dan kepentingan konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU 13/2003) terhadap UUD 1945 karena pasal
tersebut mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat,
menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan
tujuan dibentuknya Serikat Pekerja di dalam perusahaan;

III. Alasan-Alasan Hukum Permohonan

Alasan-Alasan Hukum Permohonan Uji Materi Pasal 120 ayat (1):


20. Pasal 120 UU 13/2003 yang menyatakan:
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan
tersebut;
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi,
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai
jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/
buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan
pengusaha;
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding
yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah
anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh”;
21. Dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, maka
Pemohon yang saat ini jumlah anggotanya kurang dari 51% dari total seluruh
karyawan menjadi kehilangan hak untuk menyampaikan aspirasi melalui
perundingan perumusan Perjanjian Kerja Bersama di PT Bank Central Asia Tbk,
hal ini dibuktikan dengan tidak diikutsertakannya Pemohon dalam perundingan
Perjanjian Kerja Bersama PT Bank Central Asia Tbk 2008 — 2010; (Bukti P-5)
22. Dengan adanya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 telah secara nyata merugikan
8

Pemohon untuk menyampaikan aspirasinya. Sebagaimana telah diketahui


bersama bahwasanya perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di dalam
sebuah perusahaan merupakan proses pembuatan Undang-Undang yang berlaku
dan mengikat bagi seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan, maka
seharusnya asas keterwakilan dari seluruh komponen atau serikat pekerja yang
ada di dalam perusahaan seharusnya diakomodasi dan dilindungi oleh Undang-
Undang;
23. Selanjutnya, di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa ”Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; (Bukti P-2)
24. Kemudian dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 pun mengatur bahwa ”Setiap orang
berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”; (Bukti P-2)
25. Dengan menggunakan alasan konstitusional di dalam Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tersebut di atas, maka Pemohon dengan ini
mengajukan kembali permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi
terhadap Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003;
26. Permohonan pengujian kembali Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 mengacu pada
Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang yang menyatakan,
”Permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang
sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan
pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan
permohonan yang bersangkutan berbeda”;
27. Pemohon sebelumnya mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah
Konstitusi dengan landasan konstitusional Pasal 28 UUD 1945 dengan alasan
bahwa seluruh serikat pekerja harus diberikan hak (secara masing-masing) untuk
menjadi Tim Perunding dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama, sehingga
Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat pada saat itu berkesimpulan bahwa ”UU
Ketenagakerjaan menganut prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya
berlaku 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di
9

perusahaan tersebut. Apabila di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu)


serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap serikat pekerja/serikat buruh secara
sendiri-sendiri melakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
dengan perusahaan maka di perusahaan tersebut akan terdapat lebih dari 1 (satu)
perjanjian kerja bersama”;
28. Dalam putusan tersebut, Pemohon memandang bahwa Majelis Hakim Konstitusi
yang terhormat dalam putusan terhadap Perkara Nomor 012/PUU-II/2003 belum
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Asas Keterwakilan (Representative)
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) di dalam perusahaan adalah pembuatan Undang-Undang,
oleh karenanya dalam proses pembuatan Undang-Undang tersebut,
keterwakilan seluruh komponen yang ada di dalam perusahaan atau
keterwakilan seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan hams
diakomodir dan dilindungi oleh Undang-Undang;
b. Kesederajatan Hukum (Legal Equality)
Perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum telah dijamin dalam UUD
1945, oleh karenanya Undang-Undang sebagai ketentuan peraturan
perundangan yang berada di bawah UUD seyogianya tetap menghargai dan
menghormati kesederajatan hukum, termasuk dalam hal ini adalah perlakuan
yang sama terhadap seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan,
tidak boleh membedakan hak antara serikat pekerja mayoritas maupun serikat
pekerja minoritas, semuanya harus diberikan hak yang sama untuk ikut serta
dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama di dalam perusahaan;
29. Oleh karenanya, Pemohon mengajukan kembali permohonan uji materi kepada
Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 menggunakan
landasan konstitusional Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi
atau perbedaan apakah status Pemohon merupakan serikat pekerja yang
mayoritas ataukah serikat pekerja minoritas sebagaimana dijamin dalam Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) tersebut;
10

30. Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, maka secara jelas dan nyata
Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja, dan ketentuan lain di bawahnya yang hanya memberikan hak berunding
kepada hanya satu serikat pekerja dengan jumlah anggota lebih dari 50% dalam
perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di dalam perusahaan, telah secara
nyata mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat,
menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan
tujuan dibentuknya Serikat Pekerja di dalam perusahaan sehingga dengan
demikian, pasal tersebut telah memandulkan atau mengabaikan 49% suara di luar
serikat pekerja mayoritas tersebut. Hal ini, secara jelas telah bertentangan dengan
UUD 1945 Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2);
31. Pemohon mengajukan kembali permohonan uji materi Pasal 120 ayat (1)
UU 13/2003 kepada Mahkamah Konstitusi agar kiranya seluruh serikat pekerja yang
ada di dalam perusahaan diberikan kesempatan dan hak yang sama untuk secara
bersama-sama dengan serikat pekerja mayoritas untuk duduk dalam Tim Perunding
yang akan merumuskan dan menyepakati hanya satu Perjanjian Kerja Bersama
yang dibuat dan berlaku di dalam perusahaan dengan pengusaha yang diwakili
oleh Manajemen Perusahaan;
32. Penentuan komposisi Tim Perunding dapat dilakukan secara koalisi atau
proporsional berdasarkan jumlah anggota, sehingga asas keterwakilan dalam
perumusan dan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama di dalam perusahaan tetap
melibatkan seluruh komponen serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan;
33. Asas keterwakilan atau yang dikenal dengan istilah proportional representative
dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan hal yang lazim
dilakukan di negara-negara maju, pendapat ini disampaikan oleh Bapak
Dr. Mochtar Pakpahan kepada Pemohon berdasarkan pengalaman dan keahliannya
baik sebagai aktivis serikat pekerja maupun sebagai pengacara dalam sebuah diskusi
dan konsultasi. Jika Mahkamah berkenan dan berpendapat perlu menghadirkan yang
bersangkutan sebagai saksi ahli, maka Pemohon dengan segala hormat
mempersilakan Mahkamah untuk memanggil yang bersangkutan dalam persidangan
berikutnya;
34. Selanjutnya, dalam buku yang berjudul “Makna Pemerintahan”, dengan pengarang
11

Muhammad Ryass Rasyid mengemukakan bahwa:


“Dalam proses pemerintahan, pembuatan hukum dan peraturan merupakan salah
satu kewajiban yang hakiki. Fenomena pemerintahan modern antara lain ditandai
oleh tersedianya banyak peraturan yang merujuk pada semua segi antar hubungan
dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan peraturan peraturan (hukum) yang
banyak itu dimaksudkan untuk memberi kepastian dan keadilan kepada setiap
warga masyarakat tentang apa yang bisa dan apa yang tidak bisa” (halaman 11
dan 12);

”Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem


ketertiban di dalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya yang wajar;

Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh
bidang pelayanan:

”. . . Ketiga, menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga


masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan
mereka. Jaminan keadilan ini terutama harus tercermin melalui keputusan-
keputusan pengadilan, di mana kebenaran diupayakan pembuktiannya secara
maksimal, dan di mana konstitusi dan hukum yang berlaku dapat ditafsirkan dan
diterapkan secara adil dan tidak memihak, serta di mana perselisihan bisa
didamaikan”. (halaman 14 dan 15)

”. . . Pemerintahan mayoritas yang sewenang-wenang bukanlah pengejawantahan


dari sistem yang demokratis. Madison, de Tocqueville dan J.S Mill sangat khawatir
terhadap kemungkinan tergelincirnya demokrasi ke dalam perangkap majority rule
yang tak terkendali (supremasi mayoritas) karena hal ini dapat mengancam
kebebasan. Menurut mereka, mayoritas yang tidak menghargai hak-hak
kebebasan mayoritas justru merupakan ancaman eksistensi demokrasi. Sikap
senada juga dikemukakan oleh Hayek: "If democracy means unrestricted will of the
majority, I am not a democrat". Hayek juga mengatakan bahwa demokrasi
bukanlah merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai alat untuk
menjamin tercapainya tujuan politik yang lebih tinggi, yakni keadilan yang tegak di
atas fondasi kebebasan dan kesederajatan”. (halaman 48 dan 49)

35. Berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut di atas, Pemohon meminta


12

Mahkamah untuk kembali menguji materi yang tertuang dalam Pasal 120 ayat (1)
UU 13/2003 yang hanya memberikan kesempatan kepada serikat pekerja
mayoritas (yakni serikat pekerja yang jumlah anggotanya lebih dari 51%) dan
menghilangkan hak suara dari serikat pekerja minoritas. Pasal 120 ayat (1) secara
nyata mengandung materi muatan dominasi mayoritas yang membuat dan
menyebabkan peniadaan atau penghapusan hak dan kepentingan yang dimiliki
serikat pekerja minoritas, sehingga hal ini secara jelas bertentangan dengan UUD
1945. Hukum seharusnya dibuat untuk menegakkan keadilan bagi seluruh warga
negara, dan hukum dibuat untuk melindungi hak-hak minoritas dan kelompok yang
lemah sehingga tidak tertindas atau terzalimi oleh kekuatan mayoritas. Jikalau
hukum selalu membela yang kuat dan mayoritas, maka hukum yang berlaku
adalah hukum rimba, yakni hukum dimana yang kuat dan mayoritas yang selalu
berkuasa dan menguasai kepentingan minoritas;
36. Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menambahkan/menyempurnakan
klausul dalam Pasal 120 UU 13/2003 menjadi sebagai berikut:
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh, maka seluruh serikat pekerja/serikat buruh yang ada di dalam perusahaan
mempunyai hak yang sama untuk menjadi anggota Tim Perunding dan dapat
melakukan koalisi sehingga setidaknya tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili
dalam perundingan dengan pengusaha;
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh .
37. Dalam Pasal 121 UU 13/2003 menyatakan, “Keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu
tanda anggota;
38. Dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 121 UU 13/2003, Pemohon merasa
dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat menggunakan metode lain
yang dapat menunjukkan keanggotaan secara akurat dan dipercaya serta dapat
diandalkan dalam proses verifikasi keanggotaan serikat pekerja di dalam
13

perusahaan. Pemohon tidak bersedia mengikuti proses verifikasi di dalam


perusahaan, jika hanya berdasarkan fotokopi kartu anggota saja tanpa disertai
adanya mekanisme yang terbuka dengan mengumumkan daftar dan hasil verifikasi
keanggotaan serikat pekerja kepada seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan;
(Bukti P-6)
39. Proses verifikasi hanya dengan menggunakan fotokopi kartu anggota dalam
pandangan Pemohon sangat rentan akan adanya proses manipulasi atau
penggelembungan jumlah keanggotaan, mengingat proses pembuatan kartu tanda
anggota dapat dilakukan dengan mudah dan kemungkinan dapat saja dilakukan
tanpa adanya permohonan dari pekerja/anggota yang bersangkutan;
40. Proses verifikasi seharusnya dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan
melakukan konfirmasi kepada masing-masing anggota sehingga keabsahan dari
kartu anggota atau keanggotaannya di dalam serikat pekerja dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum;
41. Mekanisme proses verifikasi secara transparan dan terbuka, serta menggunakan
media yang ada di dalam perusahaan seperti email, website, dan media
komunikasi sejenisnya untuk melakukan konfirmasi keanggotaan serikat pekerja
kepada masing-masing anggota yang bersangkutan di dalam perusahaan adalah
sesuai dengan prinsip di dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin bahwa
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. (Bukti P-2)
42. Oleh karenanya, Pemohon mengajukan kembali permohonan uji materi Pasal 121
UU 13/2003 kepada Mahkamah Konstitusi agar kiranya Pemohon dan serikat
pekerja lainnya dapat menggunakan metode lain yang lebih komprehensif dan
akurat untuk membuktikan keanggotaan dalam serikat pekerja secara transparan,
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Pengumuman
keanggotaan serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan secara terbuka, dapat
mengantisipasi atau mengeliminir adanya penggelembungan atau klaim sepihak
oleh serikat pekerja tertentu di dalam perusahaan;
43. Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menambahkan/menyempurnakan
14

klausul dalam Pasal 121 UU 13/2003 menjadi sebagai berikut “Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota atau formulir keanggotaan dengan mekanisme
yang transparan, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum”;

IV. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003

44. Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman


Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang mengatur bahwa:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang
pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda;
45. Dalam permohonan uji materi yang dilakukan oleh Pemohon sebelumnya pada
tanggal 18 Juni 2003 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 15 Oktober 2003 dengan Registrasi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
menyampaikan uraian dan alasan permohonan sebagai berikut:
“Pasal 120 UU Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa apabila dalam satu perusahaan
terdapat lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja, maka yang berhak mewakili buruh/
pekerja dalam melakukan perundingan PKB adalah yang memiliki anggota lebih dari
50% dari jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaan. Jikalau tidak, maka serikat
buruh/serikat pekerja dapat bergabung membentuk koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja di perusahaan tersebut. Jikalau hal
tersebut tidak terpenuhi juga, maka seluruh serikat buruh/serikat pekerja bergabung
membentuk tim yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah anggota masing-masing serikat buruh/serikat pekerja;

Pasal 121 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotaan serikat buruh/serikat


pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota;

Ketentuan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28 UUD


1945 yang membatasi hak serikat buruh/serikat pekerja untuk membuktikan
15

keberadaan anggotanya dengan mewajibkan adanya kartu tanda anggota. Hal ini
tentu saja amatlah merugikan serikat buruh/serikat pekerja. Dalam situasi serikat
buruh/serikat pekerja di Indonesia kini yang baru saja bertumbuh dan berkembang,
pembatasan cara pembuktian keanggotaan serikat buruh/serikat pekerja hanya
dengan adanya kartu tanda anggota tentulah akan juga membatasi keleluasaan
serikat buruh/serikat pekerja untuk mendapatkan hak untuk beraktivitas, termasuk hak
untuk melakukan perundingan PKB;

Dalam praktiknya, pelaksanaan aturan Pasal 119 - Pasal 121 Undang-Undang


Ketenagakerjaan tersebut telah terbukti melanggar hak asasi serikat buruh/serikat
pekerja untuk melakukan perundingan PKB. Hal ini terbukti dalam kasus-kasus
aktual seperti yang terjadi di PT. DHL dan PT. Tambun Kusuma”;

46. Alasan yang disampaikan oleh Pemerintah sehubungan dengan adanya


permohonan uji materi tersebut di atas adalah sebagai berikut:

“Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak membatasi
kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan menganut
prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Apabila di
satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-
tiap serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan
tersebut akan terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama. Sehingga
dengan demikian kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal ini
bertentangan dengan prinsip anti diskriminasi yang dianut dalam Pasal 6 UU
Ketenagakerjaan. Oleh karena itu sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat
yang terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945, maka UU Ketenagakerjaan mengatur
sistem keterwakilan yang mayoritas yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh
dalam perundingan perjanjian kerja bersama. Itupun wakil dari masing-masing
serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam perusahaan tersebut masih
dimungkinkan untuk duduk dalam tim perunding sebagaimana diatur dalam Pasal
120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan;
16

Rumusan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu tanda anggota


bagi pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui kartu tanda anggota
merupakan hal yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa yang bersangkutan
adalah anggotanya. Pembuktian keanggotaan ini merupakan cara yang akurat
untuk menentukan siapa yang berhak mewakili organisasinya;

Dalam kasus PT. DHL dan PT. Tambun Kusuma yang disampaikan oleh Pemohon
ternyata pengurus serikat pekerja/serikat buruh tidak dapat membuktikan
kebenaran jumlah anggota sehingga perusahaan menolak melakukan perundingan
perjanjian kerja bersama. Penolakan oleh perusahaan dapat dimengerti karena
tanpa adanya bukti keanggotaan, terdapat keraguan apakah betul serikat pekerja/
serikat buruh yang bersangkutan mewakili pekerja/buruh yang dimaksud”;

47. Selanjutnya, Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara
Nomor 012/PUU-I/2003 tersebut di atas menyatakan bahwa:

”Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak membatasi
kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan menganut
prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Apabila di satu
perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap serikat
pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan tersebut akan
terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama. Sehingga dengan demikian
kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal ini bertentangan dengan
prinsip anti diskriminasi yang dianut dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan. Oleh karena
itu sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28
UUD 1945, maka UU Ketenagakerjaan mengatur sistem keterwakilan yang mayoritas
yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja
bersama. Itupun wakil dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam
perusahaan tersebut masih dimungkinkan untuk duduk dalam tim perunding sebagaimana
diatur dalam Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan;
17

Rumusan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu tanda anggota bagi
pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui kartu tanda anggota merupakan hal
yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa yang bersangkutan adalah anggotanya.
Pembuktian keanggotaan ini merupakan cara yang akurat untuk menentukan siapa yang
berhak mewakili organisasinya”;

48. Dalam keputusan tersebut, Mahkamah menilai bahwa serikat pekerja minoritas
(yang keanggotaannya kurang dari 51%) masih mempunyai hak untuk duduk
dalam tim perunding sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan. Namun dalam kenyataannya, keberadaan serikat pekerja
yang mengklaim dirinya sebagai serikat pekerja mayoritas hanya menggunakan
Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan tidak pernah mau menggunakan
Pasal 120 ayat (2) dan/atau ayat (3);
49. Dengan adanya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, maka secara nyata dan jelas telah
mematikan hak suara atau aspirasi dari serikat pekerja yang bukan mayoritas, yang
seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang;
50. Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 telah memperlakukan secara diskriminatif terhadap
serikat pekerja yang anggotanya lebih dari 50% dengan serikat pekerja yang
jumlah anggotanya kurang dari 50%. Asas keterwakilan seluruh komponen di
dalam perusahaan (seluruh serikat pekerja yang ada) menjadi terhambat dengan
adanya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003;
51. Dalam pertimbangan putusan berikutnya Mahkamah menilai bahwa pembuktian
keanggotaan melalui kartu anggota dipandang sebagai cara yang akurat untuk
menentukan siapa yang berhak mewakili organisasinya, namun dalam kenyataan
di lapangan bahwa tata cara pembuktian keanggotaan yang hanya dengan
menunjukkan fotokopi kartu tanda anggota telah menimbulkan potensi adanya
penggelembungan keanggotaan dengan cara mencetak kartu tanda anggota tanpa
adanya terlebih dahulu surat permohonan keanggotaan dan pekerja yang
bersangkutan;
52. Pemohon memandang perlu bahwa ketentuan perundang-undangan tidak boleh
membatasi mekanisme dan tata cara proses verifikasi keanggotaan hanya
berdasarkan kartu anggota saja, sehingga perlu diberikan kesempatan bahwa
18

proses verifikasi keanggotaan seharusnya dilakukan secara terbuka/transparan


melalui pengumuman terbuka kepada seluruh pekerja di dalam perusahaan,
sehingga memungkinkan terjadinya check and control dari seluruh pekerja yang
bersangkutan dan mengeliminir potensi penggelembungan data keanggotaan oleh
serikat pekerja tertentu melalui manipulasi jumlah fotokopi kartu tanda anggota;
53. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan memperhatikan uraian pada poin
sebelumnya, maka Pemohon berkesimpulan bahwa syarat-syarat
konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang disampaikan oleh
Pemohon sebelumnya dalam permohonan Nomor 012/PUU-I/2003 berbeda
dengan alasan permohonan yang disampaikan oleh Pemohon dalam surat
permohonan ini;
54. Dengan demikian, Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi seyogianya
dapat menerima permohonan uji materi Pasal 120 khususnya ayat (1) dan Pasal
121 UU 13/2003;

V. Petitum

Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah


Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal
28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2);
3. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono;

[2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan


alat bukti surat atau tulisan yang telah diberi tanda P-1 sampai dengan P-6, sebagai
berikut:
1. Bukti P-1 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
19

2. Bukti P-2 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


3. Bukti P-3 : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
4. Bukti P-4 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Perjanjian Kerja Bersama PT. Bank Central Asia Tbk
Tahun 2008 – 2010;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Berita Acara Verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja di
BCA Tahun 2007;
7. Lampiran 1a : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276010511720001 atas
nama Ronald E. Pattiasina;
8. Lampiran 1b : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Nomor 32.77.72.1004/03445/
72013012 atas nama Puji Rahmat;
9. Lampiran 1c : Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga SP BCA
Bersatu;
10. Lampiran 2 : Fotokopi Surat dari Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 2744/-1838 tanggal 06 Juli
2007 perihal Pencatatan dan Pemberian Nomor Bukti Pencatatan
SP/SB di perusahaan, SP/SN di luar perusahaan, Federasi SP/SB,
Konfederasi SP/SB;
11. Lampiran 3 : Fotokopi Surat Ketetapan Musyawarah Nasional Luar Biasa
(MUNASLUB) SP BCA Bersatu di Tretes, Pasuruan tanggal 05 s.d
07 Maret 2009 dengan Nomor Keputusan 009/MUNASLUB/SP
BCA BERSATU/2009 tanggal 06 Maret 2009 perihal Penetapan
Ketua Formatur (Ex. Officio Ketua Umum DPP SP BCA Bersatu);

[2.3] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat pada persidangan tanggal 14


Januari 2010 telah menyampaikan keterangan lisan dan telah pula menyampaikan
keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Januari 2010,
pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon.


Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan bahwa
20

”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan


konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat ; atau
d. lembaga negara”.
Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “Yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional;

Oleh karena itu menurut UU 24/2003, agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) dan Penjelasan UU 24/2003 yang dianggapnya telah dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat dari
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1)
UU 24/2003, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
21

dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon;

Bahwa untuk memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon


sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya UU 24/2003, juga harus
memenuhi batasan kerugian konstitusional yang ditetetapkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007, yang mana Putusan ini
menjadi rujukan Mahkamah Konstitusi untuk menilai ada tidaknya kerugian
konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi;

Bahwa walaupun Pemohon sudah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasannya UU 24/2003, namun berdasarkan batasan kerugian konstitusional
yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR berpendapat
bahwa pada kenyataannya tidak terdapat kerugian konstitusional ataupun berpotensi
menimbulkan kerugian terhadap Pemohon oleh berlakunya ketentuan Pasal 120
ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan adanya kerugian
konstitusional yang nyata-nyata telah terjadi ataupun kerugian potensial yang akan
dialami Pemohon, oleh karena justru pada kenyataannya Pemohon masih tetap
memperoleh kebebasan berserikat dan berorganisasi dalam serikat pekerja/serikat
buruh yang diwakilinya, sesuai Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945., sehingga ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo tidak
menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon dalam memperoleh
kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengeluarkan pendapat;
2. Bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo sebagaimana
didalilkan oleh Pemohon, menurut DPR tidak mencerminkan pengaturan yang
22

bersifat diskriminatif karena ketentuan a quo berlaku untuk semua serikat pekerja/
serikat buruh yang terdapat pada semua perusahaan. Hal ini justru sesuai dengan
maksud dan tujuan untuk melaksanakan prinsip anti diskriminasi sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang a quo yang berbunyi, "Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha", dan
penjelasannya menyatakan, "Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban
pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan
aliran politik";

3. Bahwa ketentuan Pasal 6 dan Penjelasannya UU 13/2003 tersebut tidak


bertentangan dengan batasan diskriminasi yang diatur dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya
disebut UU 39/1999) yang berbunyi, "Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan
aspek kehidupan lainnya";

4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 dan Penjelasan UU 13/2003 juncto Pasal 1


angka 3 UU 39/1999, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1)
Undang-Undang a quo bukanlah pengaturan yang diskriminatif karena tidak
memenuhi unsur-unsur diskriminasi yang dibatasi dalam ketentuan Pasal 1 angka 3
UU 39/1999;

5. Bahwa pengujian Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003, sebelumnya
pernah dilakukan pengujian dalam perkara Nomor 12/PUU-I/2003, dengan alasan
konstitusional yang pada pokoknya "membatasi kebebasan berserikat para
pekerja/buruh". Bahwa menurut ketentuan Pasal 60 UU 24/2003 yang menyatakan,
”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”;

6. Bahwa walaupun alasan konstitusionalnya berbeda sesuai dengan Peraturan


23

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 yang menjadi dalil Pemohon a quo


untuk mengajukan pengujian kembali terhadap Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121
Undang-Undang a quo, namun DPR berpandangan bahwa sesungguhnya tidak
terdapat perbedaan alasan konstitusional dengan perkara Nomor 12/PUU-I/2003,
karena pada pokoknya alasan konstitusional yang dijadikan dalil Pemohon adalah
sama dengan alasan konstitusional dalam perkara Nomor 12/PUU-I/2003 yaitu,
bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan telah
membatasi kebebasan berserikat para buruh dan pekerja;

7. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, sudah sepatutnya Majelis Hakim Konstitusi


yang mulya menyatakan permohonan Pemohon a quo tidak diterima, karena tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing), dan mengingat ketentuan Pasal 120
ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang a quo sudah pernah diuji dalam perkara
Nomor 12/PUU-l/2003 maka sesuai Pasal 60 UU 24/2003 sudah sepatutnya
permohonan Pemohon a quo ditolak, atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima;

8. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo adalah berprofesi pekerja dalam


perusahaan yang tergabung dalam kelompok Serikat Pekerja. Dalam permohonan
a quo tidak jelas kedudukan hukum Pemohon karena Pemohon menyatakan baik
atas nama pribadi maupun sebagai perwakilan dari kelompok (Serikat Pekerja BCA
Bersatu). Sekalipun Pemohon mengatasnamakan serikat pekerja maka walaupun
organisasi tersebut sudah didaftarkan pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 2744/-1.838 tanggal 06 Juli 2007
perihal Pencatatan dan Pemberian Nomor Bukti Pencatatan SP/SB di Perusahaan,
SP/SB di Iuar Perusahaan, Federasi SP/SB, Konfederasi SP/SB. Namun
pendaftaran tersebut belum dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c yakni badan hukum publik atau privat. Hal ini karena
untuk menjadi bahan hukum suatu perkumpulan harus ada pendaftaran dan
pengesahan sebagai badan hukum berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan
HAM;
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal
120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon
sebagaimana dijamin Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I
24

ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51 ayat (1) UU
24/2003 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007 terdahulu;
Dengan demikian DPR memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang terhormat secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun jika
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan
Keterangan DPR mengenai materi pengujian UU 13/2003 terhadap UUD 1945;

2. Tentang Pokok Permohonan

Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materil Pasal 120


ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003. Terhadap permohonan Pemohon tersebut, DPR
berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan, ketentuan
Pasal 20 ayat (1) UU 13/2003 yang hanya memberikan hak berunding kepada
hanya satu serikat pekerja dengan jumlah anggota Iebih dari 50% dalam
perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan telah secara
nyata mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat,
menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi
dan tujuan dibentuknya serikat pekerja di dalam perusahaan, sehingga
dianggapnya bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat
(3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
2. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa ketentuan
Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo tidak membatasi, menghalangi,
menghambat, mengurangi dan mendiskriminasi hak konstitusional Pemohon
dalam kebebasan berorganisasi dan berserikat serta menyampaikan pendapat,
karena pada pokoknya ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo
adalah mengatur sistem keterwakilan dari serikat pekerja/serikat buruh.
Bagaimana mengatur keterwakilan tersebut, tentu kita perlu menentukan sistem,
salah satunya yaitu dengan memperhatikan jumlah. Dalam Undang-Undang a quo
diatur berdasarkan sistem mayoritas untuk mewakili pekerja/buruh dalam
25

perundingan perjanjian kerja bersama, yang mensyaratkan memiliki jumlah


keanggotaannya Iebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh pada
perusahaan tersebut. Oleh karena itu sistem keterwakilan mayoritas ini
merupakan hal yang lazim dan wajar dalam negara yang demokratis;

3. Bahwa berdasarkan argumentasi sistem keterwakilan mayoritas tersebut, dalil


Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 120 ayat (1)
Undang-Undang a quo tidak berdasar. DPR berpendapat bahwa justru dengan
memiliki jumlah keanggotaan atau memperoleh dukungan lebih dari 50% dari
seluruh jumlah pekerja/buruh pada suatu perusahaan akan mencerminkan sifat
representative dan memberikan legitimasi bagi serikat pekerja/serikat buruh itu
sendiri dalam melakukan perundingan dengan perusahaan;

4. Bahwa serikat pekerja/serikat buruh memiliki hak-hak sebagaimana yang diatur


dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (selanjutnya disebut UU 21/2000), tetapi perlu diperhatikan ketentuan dalam
Pasal 25 ayat (2) UU 21/2000 yang menyatakan, bahwa "Pelaksanaan hak-hak
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku". Dalam kaitan ini maka pelaksanaan hak dan kewajiban
serikat pekerja/serikat buruh tentu harus berpedoman pada UU 13/2003. Hal ini
sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

5. Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam berorganisasi selain dijamin dalam


Pasal 28, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, juga dilindungi oleh UU 21/2000 dalam
Pasal 28 yang menyatakan, "Siapapun dilarang menghalang-halangi atau
memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus
atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau
menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan
cara:
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara,
menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh".
26

Pada kenyataannya Pemohon a quo sampai dengan sekarang tidak terhalangi


ataupun terkurangi dalam menjalankan aktivitasnya baik sebagai pekerja/buruh
maupun sebagai pengurus/anggota serikat pekerja/serikat buruh, serta hak-hak
perdatanya pun tidak terhalangi ataupun tidak terkurangi seperti tidak dikenai
Pemutusan Hubungan Kerja, tidak dikurangi atau tetap dibayar upahnya, tidak
mengalami intimidasi, tidak diturunkan jabatannya, serta tidak dimutasi. Oleh
karena hak berorganisasi para pekerja/buruh dilindungi oleh UU 21/2000;
6. Bahwa terkait dengan konstitusionalitas Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121
UU 13/2003, DPR merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara
Nomor 12/PUU-I/2003 pada pertimbangan hukumnya mengemukakan
pendapatnya, "bahwa Pasal 119, Pasal 120 dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan,
pengaturan yang mensyaratkan satu serikat pekerja/buruh di perusahaan
memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersangkutan, dan jikalau jumlah
50% tidak tercapai, untuk dapat berunding Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
bersangkutan memerukan dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah
pekerja/buruh, yang akan dicapai oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh melalui
musyawarah dan mufakat di antara sesama pekerja/buruh, sedang jika Serikat
Pekerja/Serikat Buruh lebih dari satu dan tidak mencapai jumlah lebih dari 50%,
dapat dilakukan koalisi di antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan
tersebut untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan jika hal
inipun tidak dicapai tim perunding ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah anggota masing-masing Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Aturan tersebut
dipandang cukup wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai
alat bukti bagi tanda keanggotaan seseorang dalam satu Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah
menyatakan klaim mewakili anggota, dan sama sekali tidak cukup mendasar untuk
dipandang bertentangan dengan UUD 1945."
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
27

1. Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing),


sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
2. Menyatakan menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menyatakan menerima Keterangan DPR untuk seluruhnya;
4. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
5. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, DPR mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

[2.4] Menimbang bahwa Pemerintah pada persidangan tanggal 14 Januari 2010


telah menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang pada pokoknya menguraikan
hal-hal sebagai berikut:

Menurut Pemerintah, anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan yang


dimohonkan untuk diuji tersebut telah membatasi, menghambat, menghilangkan dan
mendiskriminasikan hak-hak Pemohon adalah tidak tepat, karena pada kenyataannya
Pemohon tidak dalam posisi/situasi yang terganggu, terkurangi maupun terhalang-halangi
untuk bebas berkumpul, berserikat maupun mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin
oleh konstitusi;

Selain itu menurut Pemerintah, anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa


ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut di atas telah bersifat dan berlaku
diskriminatif, juga tidak tepat, karena untuk menilai apakah suatu norma hukum dalam
suatu Undang-Undang tersebut bersifat diskriminatif atau tidak, maka sebagai acuan/
landasan pijakannya adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Pasal 2 International
Covenant on Civil and Political Rights;

Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Majelis


28

Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih
dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi yang terdahulu;

Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian, apabila
Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut disampaikan penjelasan Pemerintah
atas permohonan a quo, sebagai berikut:

Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan lebih lanjut atas permohonan


pengujian ketentuan a quo, terlebih dahulu disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap permohonan pengujian (constitutional review) materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang dimohonkan pengujian
tersebut, telah diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yang
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum
pada tanggal 28 Oktober 2003, atas permohonan yang diajukan Syaeful Tavip, dkk
(Register Perkara Nomor 012/PUU-I/2003) dengan putusan menyatakan
mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dan menolak selebihnya;

2. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan dipertegas dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003) bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final, sehingga terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh;
29

3. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 60 UU 24/2003 yang menyatakan bahwa terhadap


materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;

4. Pemerintah berpendapat bahwa permohonan pengujian ketentuan a quo yang


diajukan oleh Ronald Ebenhard Pattiasina, dkk (Register Perkara Nomor 115/PUU-
VII/2009), walaupun tidak dinyatakan secara tegas tentang adanya kesamaan
kerugian konstitusionalitas yang terjadi, namun pada dasarnya permohonan a quo
memiliki kesamaan syarat-syarat konstitusionalitas yang dijadikan alasan Pemohon
dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo seperti yang diajukan para
Pemohon terdahulu (vide Register Perkara Nomor 012/PUU-I/2003), sehingga
sepatutnyalah permohonan tersebut secara mutatis mutandis dinyatakan ditolak
[vide, Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang];

5. Pemerintah berpendapat bahwa alasan kerugian hak dan/atau kewenangan


konstitusionalitas yang berbeda yang dialami oleh Pemohon saat ini dan
permohonan para Pemohon terdahulu, menurut Pemerintah ternyata tidak terjadi
dan tidak terbukti;

6. Karena itu, Pemerintah melalui Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kiranya


Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon telah
dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dan/atau kerugian
dimaksud berbeda dengan kerugian para Pemohon terdahulu;

Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat permohonan pengujian


Undang-Undang a quo tidak dapat diajukan kembali (nebis in idem), namun
apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut
disampaikan keterangan Pemerintah selengkapnya sebagai berikut:

Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya yang


menyatakan bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya UU 13/2003) yang
menyatakan:
• Pasal 120 ayat (1), "Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
30

pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan


perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut";
• Pasal 121, "Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota";
Ketentuan di atas oleh Pemohon dianggap merugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon, dan karenanya dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan sebagai berikut:
• Pasal 28, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang";
• Pasal 28D:
(1) "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang add serta perlakuan yang sama di hadapan hukum";
• Pasal 28E
(3) "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat";
• Pasal 28I ayat (2), "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu";
Terhadap anggapan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai
berikut:
1. Bahwa menurut Pemerintah rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU 13/2003 tidak
membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul, tetapi berkaitan dengan pengaturan
tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh dalam pembuatan perjanjian kerja
bersama. Karena Undang-Undang a quo menganut prinsip bahwa di dalam 1 (satu)
perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk
seluruh karyawan di dalam perusahaan tersebut;

2. Bahwa apabila di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan tiap-tiap serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di
31

perusahaan tersebut akan terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama.
Sehingga dengan demikian kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal
ini bertentangan dengan prinsip anti diskriminasi sebagaimana dianut dalam
ketentuan Pasal 6 UU 13/2003;

3. Karena itu, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 119 dan Pasal 120 UU 13/2003
yang mengatur sistem keterwakilan yang mayoritas yang mewakili serikat pekerja/
serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama, telah sejalan dengan
prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28 UUD dan terhadap
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang tidak mewakili serikat
pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama, dapat/
dimungkinkan untuk duduk dalam tim perundingan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003;

4. Bahwa menurut Pemerintah rumusan Pasal 121 UU 13/2003 yang mensyaratkan


kartu tanda anggota bagi pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan
benar-benar menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui
kartu tanda anggota merupakan hal yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa
yang bersangkutan adalah anggotanya. Pembuktian keanggotaan ini merupakan
cara yang akurat untuk menentukan siapa yang berhak mewakili organisasinya;

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah, ketentuan yang


dimohonkan untuk diuji telah sejalan dengan amanat konstitusi, ketentuan a quo telah
memberikan jaminan kepada setiap orang (buruh/pekerja) untuk bebas berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pendapat guna menyuarakan kepentingan
organisasinya maupun para anggotanya. Ketentuan a quo juga telah memberikan
jaminan kepastian hukum (legal certenty, rechtszekerheid) bagi buruh/pekerja maupun
serikat pekerja/serikat buruh untuk menempatkan wakil-wakilnya guna melakukan
perundingan-perundingan dengan perusahaan tempat bekerja;
Lebih lanjut Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan Pemohon
yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah memberikan
perlakuan dan pembatasan yang bersifat diskriminatif terhadap Pemohon, karena
pembatasan yang demikian telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
yang menyatakan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
32

wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan


maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis";
Juga menurut Pemerintah, bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121
UU 13/2003 tidak memberikan perlakuan yang diskriminatif terhadap Pemohon, kecuali
jika ketentuan a quo memberikan pembatasan dan pembedaan yang didasarkan atas
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa dan keyakinan politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3)
UU 39/1999 maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Rights;

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada


Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan pengujian UU 13/2003 terhadap UUD 1945, dapat memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
Namun demikian apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulannya yang diterima


di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Januari 2009 yang pada pokoknya
Pemohon tetap pada permohonannya semula;
33

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka
segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah


mengenai pengujian materiil Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279,
selanjutnya disebut UU 13/2003) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Mahkamah, akan mempertimbangkan
terlebih dahulu hal-hal berikut:
a. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan
a quo;
b. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya
disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076,
selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah
adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
34

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian


Undang-Undang in casu UU 13/2003 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;

Kedudukan hukum (Legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005


bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September
2007 serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
35

hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf


[3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo sebagai
berikut:

[3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia


atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama yang bergabung dalam
Serikat Pekerja BCA Bersatu menganggap telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 120
ayat (1) UU 13/2003 yang menyatakan, ”Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih
dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh
melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut”
dan Pasal 121 UU 13/2003 yang menyatakan, “Keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu
tanda anggota”. Menurut Pemohon bahwa berlakunya pasal a quo telah menyebabkan
terlanggarnya hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yaitu
hak kemerdekaan untuk berserikat, dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan (Pasal 28), hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D
ayat (1)], hak bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat [Pasal 28E
ayat (3)], hak untuk tidak diperlakukan secara diskrimininatif [Pasal 28I ayat (2)];

[3.7.2] Bahwa hak konstitusional Pemohon sebagaimana yang didalilkan tersebut


telah secara nyata dirugikan oleh berlakunya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, di mana
Pemohon yang jumlah anggotanya kurang dari 51% dari total seluruh karyawan
menjadi hilang haknya untuk ikut dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama yang mewakili buruh/pekerja dengan pengusaha in casu Manajemen PT.
Bank Central Asia Tbk (vide, Bukti P-5). Dengan demikian, Pemohon mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
36

[3.8] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang untuk memeriksa,


mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, maka selanjutnya Mahkamah
akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;

Pokok Permohonan

[3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian kembali


mengenai konstitusionalitas Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 yang
menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 28I UUD 1945, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
• bahwa pengujian kembali pasal a quo didasarkan pada Pasal 42 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Pengujian Undang-Undang yang menyatakan, ”Permohonan pengujian undang-
undang terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara
yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda”. Alasan konstitusional permohonan a quo (perkara Nomor
115/PUU-VII/2009) berbeda dengan alasan konstitusionalitas permohonan
terdahulu (perkara Nomor 012/PUU-I/2003). Dalam permohonan dahulu, para
Pemohon mendasarkan pada alasan konstitusionalitas Pasal 28 UUD 1945,
sedangkan dalam permohonan a quo, Pemohon mendasarkan pada alasan
konstitusionalitas Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945;
• bahwa permohonan pengujian kembali Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 didasarkan
pada alasan agar seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan diberikan
kesempatan dan hak yang sama untuk secara bersama-sama dengan serikat
pekerja mayoritas duduk dalam Tim Perunding yang akan merumuskan dan
menyepakati hanya satu perjanjian kerja bersama yang dibuat dan berlaku di dalam
perusahaan dengan pengusaha yang diwakili oleh Manajemen Perusahaan;
• bahwa Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja, dan ketentuan lain di bawahnya yang hanya memberikan hak
berunding hanya satu serikat pekerja yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% dari
37

keseluruhan pekerja/buruh perusahaan dalam perundingan perjanjian kerja


bersama dalam suatu perusahaan, telah secara nyata mengandung materi muatan
yang bersifat membatasi, menghambat, menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-
hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan tujuan dibentuknya serikat pekerja di dalam
perusahaan sehingga dengan demikian, pasal tersebut telah memandulkan atau
mengabaikan 49% suara di luar serikat pekerja mayoritas tersebut. Hal ini, secara
jelas telah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2);
• bahwa asas keterwakilan dalam Tim Perunding pada suatu perusahaan merupakan
hak asasi maupun hak konstitusional yang harus dilindungi oleh Undang-Undang
sebagai amanat dan pelaksanaan dari hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pikiran baik lisan maupun tulisan sebagai dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945;
• bahwa perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum (equality before the law)
telah dijamin dalam UUD 1945. Oleh karenanya Undang-Undang sebagai ketentuan
peraturan perundangan yang berada di bawah UUD 1945 seyogyanya tetap
menghargai dan menghormati kesederajatan hukum, termasuk dalam hal ini
perlakuan yang sama terhadap seluruh serikat pekerja yang ada di dalam
perusahaan, tidak boleh membedakan hak antara serikat pekerja mayoritas dan
serikat pekerja minoritas. Semuanya harus diberikan hak yang sama untuk ikut serta
dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama di dalam perusahaan;
• bahwa perjanjian kerja bersama merupakan Undang-Undang yang berlaku dan
mengikat bagi seluruh komponen yang ada di dalam perusahaan, sehingga sudah
menjadi suatu keharusan di dalam negara hukum bahwa pembuatan suatu
perjanjian sebagai Undang-Undang itu harus pula melibatkan pihak-pihak yang
terkait di dalam perusahaan tersebut in casu serikat pekerja;
• bahwa ketentuan Pasal 121 UU 13/2003 yang menentukan bukti keanggotaan
serikat pekerja dengan kartu tanda anggota merupakan ketentuan yang merugikan
Pemohon, karena pembuktian demikian sangat rentan adanya manipulasi atau
penggelembungan jumlah keanggotaan;
• bahwa menurut Pemohon proses verifikasi seharusnya dilakukan secara
transparan dan terbuka, dengan melakukan konfirmasi kepada masing-masing
38

anggota sehingga keabsahan dari kartu anggota atau keanggotaannya di dalam


serikat pekerja dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Proses
verifikasi secara transparan dan terbuka yang menggunakan media lain, misalnya
email, website, dan media komunikasi sejenisnya telah sesuai dengan prinsip yang
diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin bahwa “Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”;
• Pemohon berpendapat bahwa proses verifikasi keanggotaan hendaknya tidak hanya
berdasarkan kartu anggota saja, tetapi dapat juga dilakukan melalui pengumuman
terbuka/transparan kepada seluruh pekerja di dalam perusahaan, sehingga dapat
menghindarkan adanya penggelembungan data keanggotaan oleh serikat pekerja
tertentu melalui manipulasi jumlah fotokopi kartu tanda anggota;

[3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) pada persidangan tanggal 14 Januari 2010 menyampaikan keterangan
lisan dan tertulis yang selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara, pada
pokoknya sebagai berikut:
• bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan adanya kerugian
konstitusional yang nyata-nyata telah terjadi ataupun kerugian potensial yang
akan dialami Pemohon. Pemohon pada kenyataannya justru masih tetap
memperoleh kebebasan berserikat dan berorganisasi dalam serikat
pekerja/serikat buruh yang diwakilinya sebagaimana dijamin Pasal 28, Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian Pasal 120 ayat (1)
UU 13/2003 tidak menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon
untuk memperoleh kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan
mengeluarkan pendapat;
• bahwa Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 tidak mencerminkan pengaturan yang
bersifat diskriminatif, karena ketentuan a quo berlaku untuk semua serikat
pekerja/serikat buruh yang terdapat pada semua perusahaan. Hal tersebut sesuai
ketentuan Pasal 6 UU 13/2003 yang berbunyi, "Setiap pekerja/buruh berhak
39

memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha", dan


penjelasannya menyatakan, "Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban
pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit,
dan aliran politik";
• bahwa Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 pernah dimohonkan
pengujian oleh Pemohon lain dalam perkara Nomor 12/PUU-I/2003. Pasal 60 UU
MK menyatakan, ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Pasal
60 UU MK telah dibuka oleh Mahkamah Konstitusi dengan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, selanjutnya disebut PMK 06/2005, yang pada
pokoknya menyatakan “Muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dapat dimohonkan pengujian kembali,
dengan syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan berbeda”.
Mencermati permohonan Pemohon a quo, DPR berpendapat bahwa tidak terdapat
alasan konstitusionalitas yang berbeda dengan permohonan terdahulu in casu
Perkara Nomor 12/PUU-1/2003, di mana ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal
121 UU 13/2003 telah membatasi kebebasan berserikat para buruh dan pekerja;
• Berdasarkan alasan tersebut, DPR berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dan karena pasal a quo pernah dimohonkan
pengujian, maka berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK, seharusnya
permohonan Pemohon a quo ditolak, atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima;
• bahwa Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 tidak membatasi, menghalangi,
menghambat, mengurangi dan mendiskriminasi hak konstitusional Pemohon
dalam kebebasan berorganisasi dan berserikat serta menyampaikan pendapat,
karena Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 adalah mengatur mengenai sistem
keterwakilan dari serikat pekerja/serikat buruh. Dalam mengatur keterwakilan
tersebut, tentu harus menentukan sistem yang salah satunya adalah dengan
memperhatikan jumlah. Dalam UU 13/2003 diatur mengenai sistem mayoritas
untuk mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan perjanjian kerja
bersama (PKB) yang mensyaratkan jumlah keanggotaannya Iebih dari 50% dari
seluruh jumlah pekerja/buruh pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu sistem
keterwakilan mayoritas yang diatur dalam UU 13/2003 merupakan hal yang lazim
40

dan wajar dalam negara yang demokratis;


• bahwa penentuan jumlah keanggotaan atau memperoleh dukungan lebih dari 50%
dalam membuat PKB mencerminkan sifat representative dan memberikan
legitimasi bagi serikat pekerja/serikat buruh untuk melakukan perundingan dengan
perusahaan;
• bahwa hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat
(3) UUD 1945 tidak terhalangi ataupun terkurangi, karena Pemohon hingga saat
ini masih dapat menjalankan aktivitasnya baik sebagai pekerja/buruh maupun
sebagai pengurus/anggota serikat pekerja/serikat buruh, serta tidak terhalangi
hak-hak perdatanya, misalnya tidak dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK),
masih tetap dibayarkan upahnya, tidak mengalami intimidasi, tidak diturunkan
jabatannya, serta tidak dimutasi;

[3.11] Menimbang bahwa Pemerintah pada persidangan tanggal 14 Januari 2010


menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya telah diuraikan pada
bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut:
• bahwa Pasal 120 dan Pasal 121 UU 13/2003 pernah dimohonkan oleh Pemohon
lain dalam Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 dan telah diputus oleh Mahkamah
Konstitusi, dimana yang terkait Pasal 120 dan Pasal 121 UU 13/2003 telah
dinyatakan ditolak. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
kemudian dipertegas Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final”, sehingga terhadap putusan tersebut tidak terdapat
upaya hukum untuk melawan Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Pasal 60
UU MK telah dengan jelas menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali. Sekalipun PMK 06/2005 telah membuka celah dapat dilakukan
pengujian kembali terhadap ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
pernah diuji, namun permohonan Pemohon a quo tidak mengindikasikan adanya
syarat konstitusionalitas yang berbeda sebagaimana yang disyaratkan oleh PMK
tersebut. Berdasarkan alasan tersebut, Pemerintah berpendapat permohonan
Pemohon secara mutatis mutandis harus dinyatakan ditolak;
41

• bahwa UU 13/2003 menganut prinsip, di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku


1 (satu) perjanjian kerja. Apabila dalam suatu perusahaan terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap serikat pekerja/serikat buruh
malakukan perundingan PKB, maka akan menimbulkan perbedaan syarat kerja,
yang bertentangan dengan prinsip anti diskriminasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 UU 13/2003;
• bahwa sistem keterwakilan mayoritas yang diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 120
UU 13/2003 telah sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat yang
terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945. Bahwa terhadap masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh yang tidak mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam
perundingan perjanjian kerja bersama, dapat dimungkinkan untuk duduk dalam tim
perundingan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003;
• Bahwa menurut Pemerintah rumusan Pasal 121 UU 13/2003 yang mensyaratkan
kartu tanda anggota (KTA) bagi pekerja/buruh adalah sebagai bukti bahwa yang
bersangkutan benar-benar menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Pembuktian dengan KTA merupakan hal yang wajar bagi sebuah organisasi untuk
menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anggotanya. Pembuktian
keanggotaan ini merupakan cara yang akurat untuk menentukan yang berhak
mewakili organisasinya;
• Bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 tidak memberikan
perlakuan yang diskriminatif kepada Pemohon, kecuali jika ketentuan a quo
memberikan pembatasan dan pembedaan yang didasarkan atas agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa
dan keyakinan politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UU 39/1999
maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Rights;

Pendapat Mahkamah

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan


Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan keterangan DPR dan
Pemerintah yang menyatakan bahwa Pasal 120 dan Pasal 121 UU 13/2003 pernah
dimohonkan pengujian oleh Pemohon lain dalam Perkara Nomor 012/PUU-I/2003.
Bahwa mengacu pada Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005, pengujian kembali ayat, pasal,
42

dan/atau bagian Undang-Undang dapat dimungkinkan dengan alasan terdapat syarat


konstitusionalitas yang berbeda. DPR dan Pemerintah berpendapat bahwa
permohonan Pemohon a quo tidak mengindikasikan adanya alasan konstitusionalitas
yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. Oleh karena itu permohonan
Pemohon harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap keterangan DPR dan Pemerintah tersebut,


Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.13.1] bahwa dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004,


Mahkamah Konstitusi telah menguji beberapa pasal dari UU 13/2003, termasuk Pasal
120 dan Pasal 121;

[3.13.2] bahwa dalam permohonan di atas, Pemohon mendalilkan beberapa pasal


yang dimohonkan pengujian tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945
dengan alasan UU 13/2003 pada beberapa pasalnya antara lain Pasal 120 dan Pasal
121 telah memasung hak-hak fundamental buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat
pekerja dengan alasan sebagai berikut:

- ... dst;
- Pasal 120 UU Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa apabila dalam satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja, maka yang berhak
mewakili buruh/pekerja dalam melakukan perundingan PKB adalah yang memiliki
anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaan. Jikalau
tidak, maka serikat buruh/serikat pekerja dapat bergabung membentuk koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja di
perusahaan tersebut. Jikalau hal tersebut tidak terpenuhi juga, maka seluruh serikat
buruh/serikat pekerja bergabung membentuk tim yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
buruh/serikat pekerja;
- Pasal 121 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotaan serikat buruh/
serikat pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota;
- Ketentuan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28 UUD
1945 yang membatasi hak serikat buruh/serikat pekerja untuk membuktikan
43

keberadaan anggotanya dengan mewajibkan adanya kartu tanda anggota. Hal ini
tentu saja amatlah merugikan serikat buruh/serikat pekerja. Dalam situasi serikat
buruh/serikat pekerja di Indonesia kini yang baru saja bertumbuh dan berkembang,
pembatasan cara pembuktian keanggotaan serikat buruh/serikat pekerja hanya
dengan adanya kartu tanda anggota tentulah akan juga membatasi keleluasaan
serikat buruh/serikat pekerja untuk mendapatkan hak untuk beraktivitas, termasuk
hak untuk melakukan perundingan PKB”;
- ... dst;

[3.13.3] bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon memohon pengujian Pasal 120
ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 dengan dalil bertentangan dengan Pasal 28, Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

[3.13.4] bahwa Pasal 60 UU MK menentukan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal,


dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali”;

[3.13.5] bahwa Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005 menyatakan, “Permohonan pengujian
undang-undang terhadap muatan ayat, pasal dan atau bagian yang sama dengan
perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali
dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda”;

[3.13.6] bahwa pokok permohonan para Pemohon dalam Perkara Nomor 12/PUU-
I/2003, adalah pengujian formil dan pengujian materil atas UU 13/2003. Mengenai
pengujian formil para Pemohon tersebut mempersoalkan adanya pelanggaran prinsip-
prinsip dan prosedur penyusunan dan pembuatan sebuah Undang-Undang yang patut
dan Undang-Undang tersebut dibuat semata-mata karena tekanan kepentingan modal
asing daripada kebutuhan nyata buruh/pekerja Indonesia. Sedangkan mengenai
pengujian materiil, para Pemohon dalam Perkara Nomor 12/PUU-I/2003
mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 76, Pasal 106,
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 140, Pasal 141, Pasal
158, Pasal 170, dan Pasal 186 UU 13/2003 yang menurut para Pemohon bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, dan Pasal 33 UUD 1945. Khusus mengenai Pasal
120 dan Pasal 121 UU 13/2003, para Pemohon beralasan bahwa: (i) ketentuan
44

tersebut memberi peluang kepada pengusaha/majikan untuk mengabaikan


kewajibannya menghormati hak asasi serikat buruh/pekerja untuk berserikat dan
berkumpul di lingkungan perusahaan yang bersangkutan dan (ii) keharusan adanya
pembuktian dengan kartu anggota, sangat merugikan serikat buruh/pekerja yang baru
tumbuh dan berkembang sehingga membatasi keleluasaan serikat buruh/pekerja untuk
mendapatkan hak beraktivitas termasuk untuk melakukan perundingan PKB;
Bahwa terhadap permohonan tersebut, khusus mengenai Pasal 120 dan Pasal 121
dalam Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 a quo, Mahkamah berpendapat bahwa, “aturan
tersebut dipandang cukup wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya
Pasal 28E ayat (3). Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti tanda
keanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang
wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota,
dan sama sekali tidak cukup mendasar untuk dipandang bertentangan dengan UUD;

[3.13.7] bahwa permohonan dalam Perkara Nomor 115/PUU-VII/2009 mengemukakan


alasan sebagai berikut: (i) Pemohon yang anggotanya kurang dari 51% (lima puluh
satu perseratus) dari seluruh karyawan (in casu pada PT. Bank Central Asia Tbk)
kehilangan hak untuk menyampaikan aspirasinya merumuskan perjanjian kerja
bersama (PKB); (ii) PKB dalam suatu perusahaan merupakan Undang-Undang
sehingga seharusnya keterwakilan dari seluruh komponen atau serikat pekerja yang
ada di dalam perusahaan diakomodasikan dan dilindungi oleh Undang-Undang;
(iii) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang dahulu belum
mempertimbangkan: a. asas keterwakilan (representative), yakni keterwakilan semua
komponen yang ada dalam perusahaan yang harus diakomodasi dan dilindungi oleh
Undang-Undang; b. kesederajatan hukum (legal equality) adalah perlakuan sama
terhadap seluruh serikat pekerja, tidak boleh membedakan antara serikat pekerja
mayoritas dan minoritas; (iv) hukum dibuat untuk menegakkan keadilan bagi seluruh
warga negara, bukan melindungi mayoritas dan menindas minoritas, karena kalau
begitu hukumnya, berarti hukum rimba, yakni yang kuat (mayoritas) selalu berkuasa,
yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
45

atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”;
Tentang Pasal 121 UU 13/2003 yang menyatakan, “Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota”, merugikan hak konstitusional Pemohon
karena: (i) tidak dapat menggunakan metode lain yang dapat menunjukkan
keanggotaan secara akurat, dipercaya, dan dapat diandalkan dalam proses verifikasi
serikat pekerja dalam perusahaan; (ii) verifikasi berdasarkan fotokopi kartu tanda
anggota saja tanpa disertai adanya mekanisme yang terbuka dengan menggunakan
daftar dan hasil verifikasi keanggotaan serikat pekerja kepada seluruh pekerja yang
ada di dalam perusahaan; (iii) verifikasi dengan hanya menggunakan fotokopi kartu
tanda anggota, rentan akan adanya proses manipulasi atau penggelembungan jumlah
keanggotaan karena proses pembuatan kartu tanda anggota dapat dilakukan dengan
mudah; (iv) mekanisme verifikasi secara transparan dan terbuka, serta menggunakan
media yang ada di dalam perusahaan seperti e-mail, website, dan media komunikasi
yang sejenisnya untuk konfirmasi keanggotaan serikat pekerja lebih sesuai dengan
prinsip Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dalam paragraf [3.13.6] dan


[3.13.7] di atas, menurut Mahkamah, alasan konstitusionalitas yang menjadi dasar
permohonan Pemohon dalam permohonan ini serta pasal dalam UUD 1945 yang
menjadi batu uji permohonan berbeda dengan permohonan dalam Perkara Nomor
12/PUU-I/2003, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005,
Mahkamah dapat menguji kembali ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121
Undang-Undang a quo. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan
pokok permohonan Pemohon, beserta bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon,
keterangan DPR, keterangan Pemerintah, dan kesimpulan Pemohon sebagaimana
telah diuraikan di atas;
46

[3.15] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan


pengujian konstitusionalitas Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 yang
menyatakan:
• Pasal 120 ayat (1), “Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut”;
• Pasal 121, “Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota”;
yang menurut Pemohon bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal
28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

[3.15.1] bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah


berpendapat bahwa hak berserikat dalam serikat pekerja/serikat buruh merupakan
salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945 yang
menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu, hak
berserikat dan kebebasan mengeluarkan pendapat juga dijamin oleh Pasal 28E ayat
(3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”;

[3.15.2] bahwa menurut UU 13/2003 hubungan antara pekerja/buruh dengan


pengusaha di samping tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, juga tunduk pada perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan
pengusaha atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang dibuat oleh dan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan demikian, keberadaan suatu PKB sangat
menentukan dan mengikat nasib seluruh pekerja yang ada dalam suatu perusahaan;

[3.15.3] bahwa tujuan dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh oleh pekerja/buruh


adalah untuk memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya
(vide Pasal 1 butir 17 UU 13/2003). UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
47

membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945).
Keberadaan sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam sebuah perusahaan menjadi tidak bermakna
dan tidak bisa mencapai tujuannya dalam sebuah perusahaan serta tidak dapat
memperjuangkan haknya secara kolektif sebagaimana tujuan pembentukannya,
apabila serikat pekerja/serikat buruh tersebut sama sekali tidak memiliki hak untuk
menyampaikan aspirasi, memperjuangkan hak, kepentingan serta melindungi
anggotanya karena tidak terlibat dalam menentukan PKB yang mengikat seluruh
pekerja/buruh dalam perusahaan. PKB adalah suatu perjanjian yang seharusnya
mewakili seluruh aspirasi dan kepentingan dari seluruh buruh/pekerja baik yang
tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota mayoritas
maupun serikat pekerja yang memiliki anggota tidak mayoritas. Mengabaikan aspirasi
minoritas karena dominasi mayoritas adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
negara berdasarkan konstitusi yang salah satu tujuannya justru untuk memberikan
persamaan perlindungan konstitusional, baik terhadap mayoritas maupun aspirasi
minoritas;

[3.15.4] bahwa sesuai ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo, jika
dalam suatu perusahaan ada serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki lebih dari
50% anggota dari seluruh jumlah pekerja/buruh dalam perusahaan itu, maka hanya
serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% itu yang berhak
mewakili seluruh pekerja dalam perusahaan untuk melakukan perundingan dengan
pengusaha. Berdasarkan ketentuan tersebut, serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya kurang dari 50% (misalnya dengan jumlah 49% dari seluruh pekerja di
suatu perusahaan) dapat tidak terwakili hak dan kepentingannya dalam perundingan
dengan pengusaha untuk membuat PKB. Dengan demikian, keberadaan serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya kurang dari 50% menjadi tidak bermakna dan
tidak dapat memperjuangkan hak dan kepentingan serta tidak dapat melindungi
pekerja/buruh yang menjadi anggotanya, yang justru berlawanan dengan tujuan
dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh yang keberadaannya dilindungi oleh
konstitusi. Demikian juga dengan ketentuan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang a quo
yang menentukan bahwa hanya gabungan dari serikat pekerja/serikat buruh yang
memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam suatu perusahaan
48

yang dapat melakukan perundingan dengan pengusaha jika tidak ada satu pun serikat
pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50%. Berdasarkan ketentuan
tersebut, sebuah atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota
kurang dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam suatu perusahaan (misalnya
memiliki anggota 49%) menjadi sama sekali tidak terwakili hak dan kepentingannya
dalam PKB;

[3.15.5] bahwa menurut Mahkamah ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang a quo, setidaknya dapat menimbulkan tiga persoalan konstitusional
yang terkait langsung dengan hak-hak konstitusional seseorang yang dijamin dan
dilindungi oleh konstitusi, yaitu: i) menghilangkan hak konstitusional serikat
pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan haknya secara kolektif mewakili
pekerja/buruh yang menjadi anggotanya dan tidak tergabung dalam serikat pekerja
mayoritas; ii) menimbulkan perlakuan hukum yang tidak adil dalam arti tidak
proporsional antara serikat pekerja/serikat buruh yang diakui eksistensinya menurut
peraturan perundang-undangan, dan iii) menghilangkan hak pekerja/buruh yang tidak
tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh mayoritas untuk mendapat perlindungan
dan perlakuan hukum yang adil dalam satu perusahaan. Hak dan kewenangan
konstitusional tersebut hanya akan terjamin jika seluruh serikat pekerja/serikat buruh
diberikan kesempatan yang sama secara adil dan proporsional untuk ikut melakukan
perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan;

[3.15.6] bahwa menurut Mahkamah untuk membentuk PKB, dilakukan dengan


musyawarah antara pengusaha dan perwakilan semua serikat pekerja/serikat buruh
secara adil dan proporsional. Musyawarah adalah suatu hal yang sesuai dengan dasar
negara Pancasila, yaitu sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Permasalahannya adalah perwakilan serikat
pekerja yang anggotanya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari keseluruhan
pekerja dalam suatu perusahaan menjadi wakil tunggal untuk semua pekerja atau
serikat pekerja yang menurut Pemohon tidak mencerminkan keadilan dalam
perwakilan secara proporsional dan memasung hak mengeluarkan pendapat bagi
serikat pekerja yang jumlah anggotanya tidak melebihi 50% (lima puluh perseratus)
dari keseluruhan pekerja dalam suatu perusahaan. Atau dengan kata lain, serikat
49

pekerja yang anggotanya kurang dari 50% (lima puluh perseratus) menjadi tidak
terwakili;

[3.15.7] bahwa perwakilan pekerja atau serikat pekerja dalam melakukan


perundingan dengan pengusaha mengenai PKB yang anggotanya lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari keseluruhan pekerja dalam suatu perusahaan, misalnya
anggotanya 50,1% (lima puluh koma satu perseratus) akan meniadakan hak-hak
musyawarah dari 49,9% (empat puluh sembilan koma sembilan perseratus) pekerja
atau serikat pekerja lainnya. Hal ini sangat tidak adil dan tidak patut karena
mengesampingkan keterwakilan serta meniadakan hak mengemukakan pendapat dari
pihak lainnya yang dijamin oleh UUD 1945. Mahkamah berpendapat agar memenuhi
prinsip keadilan dan keterwakilan secara proporsional, selain perwakilan dari serikat
pekerja yang anggotanya meliputi lebih 50% (lima puluh perseratus) dari semua
pekerja dalam suatu perusahaan, harus juga ada perwakilan dari pekerja atau serikat
pekerja lainnya yang dipilih dari dan oleh pekerja atau serikat pekerja di luar dari yang
anggotanya meliputi 50% (lima puluh perseratus) secara proporsional;

[3.16] Menimbang bahwa Pemerintah pada pokoknya menyatakan, “Apabila dalam


satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap
serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan perjanjian
kerja bersama dengan perusahaan, maka akan terdapat lebih dari satu perjanjian kerja
bersama”. Terhadap keterangan Pemerintah tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
UU 13/2003 tidak melarang dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 21
dan Pasal 116 ayat (1), dan Pasal 119 ayat (1) UU 13/2003 yang menyatakan:
• Pasal 1 angka 21, “Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan
hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak”;
• Pasal 116 ayat (1), “Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada
50

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha


atau beberapa pengusaha”;
Pasal 1 angka 21 dan Pasal 116 ayat (1) UU 13/2003 menggunakan kata “serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh”. Kata
“beberapa” berarti lebih dari satu, sehingga perjanjian kerja bersama dapat dibuat
antara beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.

[3.17] Menimbang bahwa DPR dalam keterangannya pada pokoknya menyatakan,


“Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo mengatur mengenai sistem keterwakilan
dari serikat pekerja/serikat buruh. Untuk mengatur sistem keterwakilan tersebut salah
satunya dengan memperhatikan jumlah, yang mensyaratkan lebih dari 50% dari
seluruh jumlah pekerja/buruh pada perusahaan tersebut”. Terhadap keterangan DPR
tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa penentuan jumlah mayoritas tidak harus
ditentukan dengan persentase di atas 50%. Penentuan jumlah persentase demikian
dapat menghilangkan hak-hak pekerja/buruh untuk terwakili dalam perjanjian kerja
bersama yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang mewakilinya dengan
pengusaha. Penentuan jumlah persentase keterwakilan harus pula disesuaikan atau
setidak-tidaknya ditentukan secara proporsional dengan Undang-Undang yang terkait
mengenai keterwakilan tersebut dengan batas jumlah maksimal. Sebagai contoh,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dalam Pasal 202 menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi
ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus)
dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan
kursi DPR”;

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah


berpendapat bahwa Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 yang mensyaratkan hanya serikat
pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% yang berhak ikut dalam
melakukan perundingan PKB dengan pengusaha adalah merupakan ketentuan yang
tidak adil dan memasung serta meniadakan hak mengeluarkan pendapat untuk
memperjuangkan hak, kepentingan, dan melindungi pekerja/buruh yang tergabung
dalam serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya kurang dari 50% (lima
51

puluh perseratus) dari keseluruhan pekerja di satu perusahaan. Serikat pekerja/serikat


buruh yang memilliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari keseluruhan
pekerja dalam suatu perusahaan, misalnya 50,1% (lima puluh koma satu perseratus)
akan meniadakan hak-hak musyawarah dari 49,9% (empat puluh sembilan koma
sembilan perseratus) dari serikat pekerja/serikat buruh lainnya adalah sangat tidak adil.
Menurut Mahkamah Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 melanggar hak-hak konstitusional
Pemohon untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyampaikan aspirasinya melalui
perjanjian kerja bersama. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai pasal a quo
beralasan menurut hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah,
Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.

[3.19] Menimbang bahwa walaupun Pemohon hanya memohon pengujian Pasal


120 ayat (1) UU 13/2003, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dipertimbangkan
dalam paragraf [3.15.4] di atas, konsekuensi dari ketentuan yang terkandung dalam
Pasal 120 ayat (2) sama dengan konsekuensi dari ketentuan yang terkandung dalam
Pasal 120 ayat (1), yaitu keduanya sama-sama dapat menghilangkan hak-hak
konstitusional yang dimiliki oleh serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya kurang dari 50% dari seluruh pekerja/buruh
dalam perusahaan atau hak pekerja/buruh yang tergabung di dalamnya. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 120 ayat (2) UU 13/2003
bertentangan dengan UUD 1945.

[3.20] Menimbang bahwa menurut Mahkamah norma yang terkandung dalam


Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003 justru sesuai dengan prinsip keadilan proporsional
sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam paragraf sebelumnya.
Oleh karena Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU 13/2003 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka ketentuan
Pasal 120 hanya tinggal satu norma yaitu norma yang terkandung dalam Pasal 120
ayat (3). Namun demikian, karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) merupakan rangkaian
dari Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), maka untuk menghindari kekacauan makna dan
ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (3) yang justru
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang harus dijamin oleh konstitusi,
52

maka Mahkamah juga harus menilai dan mempertimbangkan Pasal 120 ayat (3)
sebagai satu rangkaian dan kesatuan yang utuh dengan ketentuan Pasal 120 ayat (1)
dan ayat (2);

[3.21] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 120 UU 13/2003 adalah mengatur


mengenai serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh untuk
melakukan perundingan PKB dengan pengusaha apabila terdapat lebih dari satu
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Sebagaimana telah
dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam uraian pertimbangan dalam paragraf
sebelumnya, untuk memenuhi prinsip-prinsip konstitusi dan menghindari pelanggaran
hak-hak konstitusional yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, yaitu untuk
memenuhi prinsip keadilan proporsional, menjamin dan melindungi hak serikat
pekerja/serikat buruh, serta hak-hak pekerja/buruh yang dijamin dan dilindungi oleh
konstitusi, maka seluruh serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam satu
perusahaan berhak terwakili secara proporsional dalam melakukan perundingan
dengan pengusaha. Oleh karena itu, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 120 ayat (3)
UU 13/2003 adalah tidak bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat
(conditionally unconstitutional), yaitu tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang
frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
dihapus karena tidak relevan lagi. Dengan dinyatakan tidak berlakunya Pasal 120 ayat
(1) dan ayat (2), maka Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003 harus dimaknai bahwa apabila
dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
para serikat pekerja/serikat buruh terwakili secara proporsional dalam melakukan
perundingan dengan pengusaha.

[3.22] Menimbang bahwa meskipun hak berserikat dan berkumpul dijamin oleh
ketentuan di dalam UUD 1945 dan para serikat perkerja/serikat buruh berhak terwakili
secara proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha serta
mengingat substansi dari PKB itu sendiri, tetapi agar tidak secara berkelebihan
mendorong timbulnya serikat pekerja/serikat buruh yang tidak proporsional yang dapat
menghambat terjadinya kesepakatan dalam perundingan antara serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha, Mahkamah berpendapat, jumlah serikat pekerja/serikat
53

buruh yang berhak mewakili dalam suatu perusahaan harus dibatasi secara wajar atau
proporsional yaitu maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari
seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan. Pembatasan tersebut dapat
dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang dalam konteks
ini Mahkamah membatasinya dalam bentuk negative legislature;

[3.23] Menimbang bahwa pernyataan konstitusional bersyarat terhadap Pasal 120


ayat (3) UU 13/2003 a quo harus dilakukan guna menghindari kekosongan hukum
yang terjadi apabila pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dengan adanya putusan ini
pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan legislative
review. Artinya, ketentuan yang dibuat oleh Mahkamah ini hanya berlaku sampai
pembentuk Undang-Undang melakukan perubahan atas Undang-Undang a quo
dengan memuat ketentuan yang lebih proporsional sesuai dengan jiwa putusan
Mahkamah ini;

[3.24] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan a quo, juga mengajukan


pengujian Pasal 121 UU 13/2003 yang menyatakan, “Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota”. Menurut Pemohon bahwa verifikasi hanya
dengan menggunakan fotokopi kartu anggota sangat rentan manipulasi atau
penggelembungan jumlah keanggotaan karena proses pembuatan kartu anggota dapat
dilakukan dengan mudah dan dapat juga dilakukan tanpa adanya permohonan dari
pekerja/anggota yang bersangkutan. Proses verifikasi seharusnya dilakukan sesuai
ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yaitu dilakukan secara transparan dan terbuka,
dengan melakukan konfirmasi kepada masing-masing anggota, sehingga keabsahan
kartu anggota dari serikat pekerja dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
hukum. Terhadap dalil permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah menilai bahwa
persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan seseorang
dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam organisasi
untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota. Kartu tanda anggota
54

adalah salah satu bukti secara administrasi keanggotaan seseorang. Dalam sistem
administrasi, semua kegiatan dan bidang hukum menggunakan kartu tanda anggota.
Beberapa contoh di antaranya, Korps Pegawai Negeri Sipil (Korpri), kartu tanda
peserta asuransi kesehatan (Askes), kartu tanda anggota TNI atau anggota Kepolisian
RI (Polri) bahkan seluruh rakyat Indonesia yang sudah mencapai umur tertentu
menggunakan kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan pandangan tersebut,
Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 121 UU 13/2003 tidak cukup
mendasar dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah


berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan


a quo;

[4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan


permohonan a quo;

[4.3] Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
adalah bertentangan dengan UUD 1945;

[4.4] Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai
sebagaimana dalam amar putusan ini;

[4.5] Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak bertentangan
dengan UUD 1945;
55

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


dan mengingat Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) serta Pasal 57 ayat (1) dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

• Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

• Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

• Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang:

i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat
pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh”, dan

ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan
terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat
pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan
dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat
pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah
anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang
ada dalam perusahaan”;
56

• Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat;
• Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
ii) ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih
dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang
berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh


sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal dua puluh lima bulan Oktober
tahun dua ribu sepuluh dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal sepuluh bulan November tahun dua ribu
sepuluh, oleh kami sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, M. Akil Mochtar, M.
Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva,
masing-masing sebagai Anggota dengan dibantu oleh Sunardi sebagai Panitera
Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan
Pemerintah atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.


57

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Achmad Sodiki Muhammad Alim

ttd. ttd.

Harjono M. Akil Mochtar

ttd. ttd.

M. Arsyad Sanusi Maria Farida Indrati

ttd. ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi Hamdan Zoelva
PANITERA PENGGANTI,

ttd.
Sunardi
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

3 Nopember 2010

Yth : 1. Para Gubernur;


2. Para Bupati/Walikota;
3. Para Kepala Dinas/Instansi yang bertanggungjawab
di bidang Ketenagakerjaan Provinsi;
4. Para Kepala Dinas/Instansi yang bertanggungjawab
di bidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Se Jawa-Bali

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.246/MEN/PHIJSK-KPHI/XI/2010
TENTANG
PENCABUTAN SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA NOMOR : SE.304/MEN/PHI-KPHI/VII/2008 TENTANG
PELAKSANAAN PENGOPTIMALAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU
KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA DAN BALI

Sehubungan dengan telah ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Perindustrian,


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 102/M-
IND/PER/9/2010, Nomor 16 Tahun 2010, Nomor PER.13/MEN/IX/ 2010, Nomor 48 Tahun
2010, Nomor PER-04/MBU/2010 Tentang Pencabutan Peraturan Bersama Menteri
Perindustrian, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor
47/M-IND/PER/7/2008, Nomor 23 Tahun 2008, Nomor Per.13/MEN/VII/2008, Nomor 35
Tahun 2008, Nomor PER-03/MBU/08 tentang Pengoptimalan Beban Listrik Melalui
Pengalihan Waktu Kerja pada Sektor Industri di Jawa-Bali, disampaikan hal-hal sebagai
berikut :

1. Bagi perusahaan yang telah melakukan pengalihan waktu kerja dan istirahat mingguan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Perindustrian, Menteri Energi Dan
Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 47/M-IND/PER/7/2008,
Nomor 23 Tahun 2008, Nomor Per.13/MEN/VII/2008, Nomor 35 Tahun 2008,
Nomor PER-03/MBU/08 tentang Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu
Kerja pada Sektor Industri di Jawa-Bali dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor : SE.304/MEN/PHI-KPHI/VII/2008 dapat menerapkan kembali waktu
kerja dan waktu istirahat mingguan seperti semula.
2. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini maka
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : SE.304/MEN/PHI-
KPHI/VII/2008 tentang Pelaksanaan Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan
Waktu Kerja pada Sektor Industri di Jawa dan Bali dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik, kami ucapkan terima
kasih

Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,

ttd

Drs. H.A. Muhaimin Iskandar, M.Si.

Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;
4. Ketua Umum DPN Apindo;
5. Ketua Umum DPP Konfederasi SP/SB.
PUTUSAN
Nomor 27/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : DIDIK SUPRIJADI


Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 03 Desember 1972
Warga negara : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Pandegiling II Nomor 7, RT 002, RW 007,
Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegalsari,
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.

Dalam hal ini, bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas
Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), jabatan: Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 30 April 2011, memberi kuasa kepada
Dwi Hariyanti, S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat dan Penasihat
Hukum “Dwi Hariyanti, S.H., & Rekan”, beralamat di Jalan Karangrejo VIII Nomor 20
Surabaya, bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama
pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar keterangan lisan para saksi Pemohon;
Mendengar keterangan Pemerintah;
2

Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;


Membaca kesimpulan Pemohon.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan bertanggal


21 Maret 2011, yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin, tanggal 4 April 2011
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 127/PAN.MK/2011 dan
diregistrasi pada hari Senin tanggal 4 April 2011 dengan Nomor 27/PUU-IX/2011, yang
telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal tanggal 11 Mei
2011, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi
berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar” dan hal tersebut ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
2. Bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyatakan bahwa Undang-
Undang yang dapat diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah
perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.

II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang


Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusinya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa perorangan
3

warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang


masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan
hukum publik atau privat atau lembaga negara.
2. Bahwa menurut penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 yang dimaksud hak konstitusi adalah hak-hak yang diatur
dalam UUD 1945.
3. Bahwa Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meter
Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur yang merupakan lembaga
swadaya masyarakat yang berbadan hukum, yang tumbuh dan
berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di
tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian
untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak
asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak
yang Iemah.
4. Bahwa Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945
adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (pekerja
kontrak) dan Pasal 64 yang mengatur tentang penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (outsourcing) yang
memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja
kontrak dan buruh/pekerja outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat
merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD 1945, yaitu
mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak atas kesejahteraan dan
kemakmuran.
5. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum dan argumentasi di atas, maka
jelaslah bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan dasar
kepentingan untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 59 dan
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
terhadap UUD 1945, karena mempunyai kepentingan secara langsung dan
4

akan menerima dampak secara langsung dari pelaksanaan Pasal 59 dan


Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ill. FAKTA HUKUM

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia


dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah merupakan
tujuan umum Bangsa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Pembukaan
UUD 1945.
2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan sudah
sejak awal berdirinya negara ini ditetapkan sebagai hak asasi manusia
warga negara yang secara khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang
menjadi dasar konstitusional negara ini dan hak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan Iayak dalam hubungan
kerja juga ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara yang secara
khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional
negara ini.
3. Pemerintah selaku pelaksana utama konstitusi, berkewajiban
melaksanakan amanat ini, dengan semaksimal mungkin mengusahakan
agar warga negara Indonesia bisa sungguh mendapatkan pemenuhan hak
asasi tersebut dan amanat ini berkaitan erat pula dengan tujuan umum
bangsa Indonesia.
4. Industrialisasi dan pembangunan ekonomi salah satu strategi dari bangsa
Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan industrialisasi
sendiri akan menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba
meraih kesejahteraannya dari situ yaitu mereka yang tidak punya apa-apa
selain tenaganya untuk dijual guna mendapatkan upah untuk hidup. Mereka
inilah yang disebut dengah buruh/pekerja dalam hal ini negara mau tidak
mau harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal
perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar buruh/pekerja dapat
terlindungi hak-haknya dalam bingkai konstitusi.
5. Warga negara umumnya dan buruh/pekerja khususnya harus mendapatkan
hak konstitusional berupa penghidupan yang Iayak yang dapat
5

diperolehnya dari pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang adil dan
Iayak yang harus diterima dalam hubungan kerja.
6. Dalam relasi perburuhan/ketenagakerjaan dan dalam hubungan kerja,
buruh/pekerja senantiasa berada pada posisi yang Iemah, karenanya
sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang harus dibangun di negara
ini adalah sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi
(protektif) terhadap buruh/pekerja.
7. Dalam hal ini pemerintah harus dapat memainkan peran untuk menjamin
perlindungan terhadap buruh/pekerja, dengan secara aktif terlibat dalam isu
perburuhan/ketenagakerjaan dan melalui Undang-Undang
Perburuhan/Ketenagakerjaan. Namun sayang, kenyataannya, kebijakan
legislasi yang protektif terhadap buruh/pekerja tidak tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama
Pasal 59 dan Pasal 64 bahkan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
8. Bahwa sudah berkali-kali ribuan aktivis buruh/pekerja, serikat buruh/
pekerja, organisasi non pemerintah perburuhan dan aliansi-aliansi
perburuhan di berbagai tempat di Indonesia melakukan aksi menolak
adanya perjanjian kerja untuk waktu tertentu pekerja kontrak (pekerja
kontrak) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagaian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.

IV. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

1. Penekanan terhadap efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata


meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui
kebijakan upah murah ini berakibat pada hilangnya keamanan kerja
(job security) bagi buruh/pekerja Indonesia, karena sebagian besar
buruh/pekerja tidak akan lagi menjadi buruh/pekerja tetap, tetapi menjadi
buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah
yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai satu bentuk perbudakan
zaman modern.
6

2. Bahwa status sebagai buruh/pekerja kontrak ini pada kenyataannya berarti


juga hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan-jaminan kerja
dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status
sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat potensial
menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonsia dan
karenanya buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia,
pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan
rakyat Indonesia pada umumnya.
3. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing) sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai
komoditas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja.
Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar
dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang
semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup
kemungkinan kelak anak cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri
dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan". Dan Pasal 28D ayat (2)
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan Iayak dalam hubungan kerja".
4. Dalam hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor
produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan
diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian
komponen upah sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap
ditekan seminimal mungkin. Inilah yang akan terjadi dengan dilegalkannya
sistem kerja "pemborongan pekerjaan" (outsourcing), yang akan
7

menjadikan buruh/pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal


dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan". Di dalam penjelasannya ditegaskan lagi bahwa ini
artinya perekonomian kita berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan. Disinilah persis perbudakan modern dan
degradasi nilai manusia, buruh/pekerja sebagai komoditas atau barang
dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui sebuah
Undang-Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusi
pun akan menjadi kata-kata kosong atau merupakan hiasan kata mutiara
saja.
5. Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan
jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan diperusahaan
pengguna. Jadi disini diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian
antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna
pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk
menempatkan pekerja di perusahaan pengguna dan perusahaan pengguna
mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan
perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang
misalnya Rp. 10.000.000, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja
akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang
bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini
merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada
pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern.
6. Di lain pihak outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jelas tidak menjamin adanya job
security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat
hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya
pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinitas pekerjaan
menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian
8

Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak.
7. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam
outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh
pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh
perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan,
konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan
pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang di
subkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub
contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan
oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub
contractornya dengan pekerjanya.
8. Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya
hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan
pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja
yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa
pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.
9. Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan
penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user.
Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual
manusia.
10 Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus
dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah
untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja
hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang
dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga
perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa permohonan ini
disampaikan secara menyakinkan dan patut, karena berangkat dari
keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja maupun, sehingga patut
9

kiranya Mahkamah berkenan melaksanakan haknya untuk melakukan


pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2)
dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
12. Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ada kaitannya dengan Pasal 64
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
dengan sendirinya Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

V. MATERI POKOK UJI MATERI

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59


Ayat (1): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
Ayat (2): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap”.
Ayat (3): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui”.
Ayat (4): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan
hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama
satu tahun”.
Ayat (5): “Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja
untuk waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum
10

perjanjian kerja waktu tetentu berakhir telah memberitahukan


maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
Ayat (6): “Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari
berakhirnya perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang lama,
pembaharuan perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun”.
Ayat (7): “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4),
ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu”.
Ayat (8): “Hal-hal yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan keputusan menteri”.
2. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan,
"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis".
3. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ayat (1): “Penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalu perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis”.
Ayat (2): “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung”.
11

Ayat (3): “Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum”.
Ayat (4): “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Ayat (5): “Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
diatur pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri”.
Ayat (6): “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis
antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”.
Ayat (7): “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59”.
Ayat (8): “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan”.
Ayat (9): “Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan
kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7)”.
4. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ayat (1): “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”.
12

Ayat (2): “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Ayat (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan”.
Ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan".
6. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
7. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
13

"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas


kekeluargaan".

VI. PETITUM

Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan hukum serta didukung alat-alat


bukti yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, memohon kiranya Mahkamah
Konstitusi berkenan memutuskan:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
4. Menempatkan Putusan ini dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia.

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah


mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda dengan Bukti P-1 sampai dengan
Bukti P-7, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Aliansi Petugas


Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa
Timur, oleh Notaris Bachtiar Hasan, SH, Nomor 3 tanggal 11
Juni 2010;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Tanda Terima Gaji Karyawan PT Multi Artha
Sejahtera Abadi Unit Baca Meter, tanggal 26 Mei 2010;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Berita Acara Nomor 27/BA/SM/XI/2007, perihal
Dasar penentuan denda baca meter, tanggal 19 November
2007;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Kontrak Profesi Nomor ---/3.01.1/KPJ/KSU/I/2010,
tanggal 6 Januari 2010 dan Surat Perjanjian Kerja Karyawan;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Masa Kerja dan PHK Karyawan;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Lelang atau Tender Pencatatan Meter Listrik
14

7. Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan;
8. Bukti P-8 : Fotokopi beberapa surat pengalaman Pemohon.

Selain itu, Pemohon pada persidangan tanggal 6 Juli 2011, telah


mengajukan 2 (dua) orang Saksi yang bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh.
Yunus Budi Santoso yang menerangkan sebagai berikut:
1. Moh. Fadlil Alwi
• Bahwa pekerjaan saksi sebagai pembaca meteran yang dilakukan secara
terus-menerus, dilakukan dalam waktu tertentu dan berkesinambungan;
• Bahwa saksi mantan pegawai PLN sebagai mengelola pembaca meter dan
belum pernah menjadi karyawan outsourcing;
• Bahwa pegawai pembaca meteran dulunya memakai sistim kontrak dengan
batas tertentu dari koperasi yang kemudian dilimpahkan ke pemborong lain.

2. Moh. Yunus Budi Santoso


• Bahwa saksi sebagai karyawan outsourcing;
• Bahwa saksi pada tahun 2000 pekerjaannya sebagai pembaca meteran di
bawah koperasi PLN;
• Bahwa saksi dari tahun 2004 sampai tahun 2007 bekerja sebagai tenaga
kontrak pembaca meteran dan sudah tiga kali pindah ke perusahaan lain
dengan cara direkrut dan tanpa SK dengan gaji tetap, karena terjadi konflik,
dinonaktifkan dengan tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari manajemen;
• Bahwa saksi dari tahun 2007 sampai tahun 2009 telah pindah pekerjaan ke
perusahaan lainnya dengan gaji turun;
• Bahwa UMR di Bangkalan Madura Rp. 850.000,-/bulan;
• Bahwa saksi mendapat gaji total Rp 1.300.000,00,- sedangkan gaji anggota
lainnya bervariasi ada yang mendapatkan Rp. 625.000,- sampai dengan
Rp. 975.000,- tergantung volume pekerjaannya;
• Bahwa saksi pada tahun 2004-2007 bekerja di PT. Data Energi Infomedia,
tahun 2007-2009 bekerja di PT. Bukit Alam Barisani dan yang terakhir
bekerja di PT. Berkah Abadi dengan gaji turun alasannya karena
perusahaan tersebut mempunyai manajemen sendiri;
• Bahwa kalau bekerja melebihi tiga tahun akan jadi karyawan tetap.
15

[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah didengar
opening statement Pemerintah yang menerangkan sebagai berikut:
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing), atau tidak atas berlakunya Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, sebagaimana
yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu, dalam hal ini Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007.
Bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu tidak hanya
dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah bekerja, tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
Hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, yang umum dikenal
dengan outsourcing, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 serta Pasal 64 Undang-
Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi
seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, juga dalam rangka
memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam
hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang
dilaksanakannya.
Sehingga dengan diterapkannya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT), dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau
outsourcing adalah bagi pekerja outsourcing akan menggunakan seluruh
kemampuannya dalam bekerja. Dengan adanya outsourcing, maka mereka akan
mendapatkan suatu keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya. Dan jika
telah memiliki kemampuan tersebut, maka pekerja akan menambah kemampuan
mereka dengan bekerja di outsourcing. Pekerjaan tersebut akan menjadi lebih
16

bermanfaat, jika pekerjanya mampu menangkap ilmu yang mereka dapat dari
perusahaan penerima.
Kemudian, mereka mengembangkan keterampilan tersebut untuk
menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan. Sebelum mendapatkan
pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing akan membantu tenaga kerja yang
belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan-perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Selain hal
tersebut, Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur
jenis dan sifat pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala
aturan-aturan dalam menerapkan sebuah pekerjaan untuk waktu tertentu, dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Terhadap anggapan
Pemohon yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon menurut Pemerintah
adalah tidak benar.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Majelis Mahkamah Konstitusi yang mengadili dapat memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima.
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
3. Menyatakan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

[2.4] Menimbang bahwa pada tanggal 22 Juli 2011 Kepaniteraan telah


menerima keterangan tertulis Pemerintah yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. Pokok Permohonan
1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi
Nomor 547.27/PAN.MK/V/2011, para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65
17

dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal
33 ayat (1) UUD 1945;
2. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64
Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing),
maka buruh/pekerja dilihat semata mata sebagai komoditas atau barang
dagangan disebuah pasar tenaga kerja, selain itu buruh/pekerja
ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah
dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak
dibutuhkan lagi, yang pada gilirannya komponen upah dapat ditekan
seminimal mungkin;
3. Bahwa outsourcing adalah suatu bentuk pemaksaan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, yang sebenarnya
tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah,
pekerjaan dan upah, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerja hanya
dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum;
4. Karena itu menurut Pemohon, Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang dengan sendirinya juga terkait dengan ketentuan
Pasal 65 dan Pasal 66, dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945.

II. Tentang Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
18

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan


"hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang
dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul
karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide putusan Nomor
006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima)
syarat yaltu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon
apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal
65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
19

yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji tersebut di atas telah menimbulkan kekhawatiran, kecemasan terhadap
Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang Iayak yang
pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi Pemohon, yang
berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Menurut Pemerintah adalah tidak tepat dan hanya berdasarkan
asumsi-asumsi semata yang berlebihan, karena pada kenyataannya pekerja/buruh
dalam melakukan hubungan kerja didasari oleh kesepakatan bersama yang
dilakukan secara sukarela berdasarkan perjanjian keperdataan. Apabila dalam
perjanjian keperdataan tersebut terdapat satu peristiwa hukum berupa mengingkari
atau wanprestasi, maka penyelesaiannya melalui lembaga peradilan yang
tersedia.
Menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah merupakan
rangkaian aturan yang mendasari mekanisme penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan Iainnya (dikenal dengari istilah outsourcing),
sehingga jika ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut dikabulkan, maka justru
akan menimbulkan kerugian konstitusionalitas terhadap seluruh pekerja/buruh
termasuk Pemohon itu sendiri.
Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah
terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak
terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.
20

Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian, apabila Ketua/Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
berikut disampaikan penjelasan Pemerintah atas permohonan a quo, sebagai
berikut:

III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Ketentuan Pasal


59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan

Sehubungan permohonan pengujian ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan:
Pasal 59 ayat (1)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan”.

Pasal 59 ayat (2)


“Perjanjan kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap”.
Ayat (3)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui”.
21

Ayat (4)
“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”
Ayat (5)
“Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
Ayat (6)
“Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”.
Ayat (7)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentt an
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.
Ayat (8)
“Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri”.
Pasal 64:
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
Pasal 65:
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
22

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi


pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana diimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain
dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan
ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7).
Pasal 66:
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
23

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perse!isihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Ketentuan pasal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945:
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan".
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945:
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
24

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945:


"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan".
Terhadap materi muatan norma yang dimohonkan diuji oleh Pemohon, Pemerintah
dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Terhadap ketentuan Pasal 59 Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal
sebagai berikut:
a. bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan. Di mana keterkaitan itu tidak hanya
dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama dan sesudah bekerja, tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat;
b. bahwa ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut juga terkait erat dengan
masalah hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan
pekerjaan, karena itu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha, maka di
dalamnya akan memuat syarat-syarat kerja maupun hak dan kewajiban para
pihak. Syarat perjanjian kerja antara para pihak yang dibuat oleh pekerja/buruh
tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dengan segala konsekuensinya,
yang dipertegas dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
c. bahwa terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pengaturannya
telah secara jelas dan tegas diatur dalam ketentuan pasal yang dimohonkan untuk
diujikan tersebut, dengan syarat-syarat yang ketat yaitu:
-. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
-. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
-. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
-. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) antara pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya
sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dipastikan kekhawatiran
25

Pemohon tidak akan terjadi. Dengan perkataan lain menurut Pemerintah apa yang
dialami oleh Pemohon dengan pihak perusahaan tempat Pemohon bekerja
semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja dan bukan masalah
konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo tersebut.
Pemerintah dapat menyampaikan bahwa karakteristik dan sifat suatu pekerjaan
ada yang bersifat continue dan ada yang bersifat temporer, sehingga hubungan
kerjapun ada yang bersifat tetap (PKWTT) dan ada yang bersifat sementara
(PKWT), karenanya terhadap keduanya tidak dapat saling menghilangkan dan
tidak dapat dipersamakan satu dengan lainnya, sehingga menurut Pemerintah
apabila anggapan Pemohon tersebut dianggap benar adanya, quod non, dan
permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menurut Pemerintah
dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengaburkan sistem hubungan kerja yang selama ini telah dikenal dan
berjalan sesuai dengan karakteristik dan sifat pekerjaan (pekerjaan yang bersifat
permanen dan pekerjaan yang bersifat temporer).
2. Dapat mengganggu iklim dunia usaha dan investasi khususnya usaha
mikro, kecil dan menengah, karena pada umumnya jenis usaha ini sifatnya
musiman dan jangka pendek.
Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat konstitusi khususnya yang
terkait dengan hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang layak, karena itu ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, juga tidak
merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
2. Terhadap ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang a
quo, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa terhadap materi pengujian ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan, telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor
012/PUU-I/2003, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip,
dan kawan-kawan).
Sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, bahwa terhadap materi muatan, bagian pasal, maupun ayat
26

Undang-Undang yang pernah dimohonkan untuk diuji tidak dapat diajukan


permohonan kembali (ne bis in idem), walaupun sebagaimana ditentukan dalam
ketentuan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, yang menyatakan bahwa
terhadap materi muatan norma yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat
dimohonkan pengujian kembali, asalkan permohonannya menggunakan pasal-
pasal dalam UUD 1945 yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.
Menurut Pemerintah, permohonan pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon
saat ini (Didik Suprijadi), seolah-olah menggunakan batu uji yang berbeda dengan
permohonan terdahulu, namun demikian pada dasarnya memiliki kesamaan
maksud dan tujuan, atau dengan perkataan lain, Pemohon saat ini berpendapat
seolah-olah berbeda dan asal berbeda (vide Pertimbangan dan Pendapat
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 012/PUU-I/2003).
IV. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard);
3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
5. Menyatakan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang
Ketenegakerjaan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (ne bis in idem)

[2.5] Menimbang bahwa pada tanggal 1 November 2011 Kepaniteraan telah


menerima keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat yang pada pokoknya
sebagai berikut:
27

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon.

Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24


Tahun 003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah
Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang , yaitu:
a. peroangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang


dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak
yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk "hak
konstltuslonal".
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang
atau suatu pihak dapat diterima sebagai pihak Pemohon yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
“Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang
dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional,


Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang berdasarkan
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide
28

Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-


V/2007), yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam
mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak
memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon;
DPR berpendapat meskipun sebagai subjek hukum perorangan warga
negara Indonesia, para Pemohon memiliki kualifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK, namun demikian menurut DPR tidak ada kerugian
konstitusional para Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi
dengan berlakunya Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Para Pemohon
tidak menguraikan secara spesifik (khusus) dan aktual mengenai kerugian
konstitusional akibat pemberlakuan pasal a quo UU Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 59 dan
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
menghambat dan merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana
dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Oleh
karena itu menurut DPR, para Pemohon dalam permohonan a quo tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51
ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 terdahulu.
Namun jika Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini
disampaikan keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
29

2. Pengujian materiil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Terhadap hal-hal yang dikemukakan para Pemohon tersebut, DPR


memberi keterangan sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dari sudut
konstitusi memberikan hak kepada tiap-tiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang Iayak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Untuk mewujudkan amanat pasal-pasal a
quo diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional;
2. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan
dan keterkaitan antara berbagai pihak yaitu pemerintah, pengusaha dan
pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan
komprehensif tentang ketenagakerjaan yang diantaranya mengatur tentang
perlindungan pekerja/buruh termasuk perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh. Hal itulah yang menjadi pengaturan di dalam
UU Ketenagakerjaan.
3. UU Ketenagakerjaan mengatur tentang kegiatan yang bersifat pokok yaitu yang
berhubungan Iangsung dengan proses produksi dan kegiatan jasa penunjang
yang tidak berhubungan Iangsung dengan proses produksi. Kegiatan yang
berhubungan Iangsung dengan proses produksi, buruh/pekerja outsourcing
tidak boleh digunakan oleh perusahaan. Adapun untuk kegiatan jasa penunjang
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, perusahaan dapat
mempekerjakan buruh/pekerja outsourcing melalui perusahaan penyedia jasa.
Dengan demikian hubungan kerja antara buruh/pekerja outsourcing adalah
dengan perusahaan penyedia jasa. sehingga perlindungan, upah dan
kesejahteraan buruh/pekerja outsourcing merupakan tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa;
4. UU Ketenagakerjaan juga mengatur jenis-jenis pekerjaan tertentu yang hanya
dapat dikerjakan oleh pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Sesungguhnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan telah memberikan pembatasan
yang sangat tegas mengenai pekerjaan tertentu yang hanya dapat dikerjakan
oleh pekerja dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
30

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak


terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan"
5. Untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, Pasal 59 Undang-Undang
Ketenagakerjaan melarang secara tegas untuk mempekerjakan pekerja
dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu terhadap jenis pekerjaan yang
sifatnya tetap dan merupakan bagian dari pokok kegiatan perusahaan. Selain
itu, terdapat juga pembatasan waktu bahwa perjanjian kerja waktu tertentu
paling lama 3 (tiga) tahun. Apabila kedua hal tersebut dilanggar maka demi
hukum perjanjian kerja waktu tertentu, menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Dan jika terdapat pelanggaran terhadap ketentuan tersebut seperti
yang dialami oleh para Pemohon, maka hal tersebut merupakan permasalahan
penerapan norma bukan persoalan konstitusionalitas norma;
6. Hubungan kerja antara buruh/pekerja dengan perusahaan pemberi kerja yang
melaksanakan pekerjaan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 59
Undang-Undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Demikian juga halnya dengan hubungan kerja antara buruh/pekerja
outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang a quo mendapat
perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, terlepas dari
jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja,
perlindungan hak-hak buruh dilakukan sesuai dengan aturan hukum dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga tidak cukup alasan terjadi modern
slavery (sistem perbudakan modern) dalam proses produksi, sebagaimana
didalilkan oleh para Pemohon;
7. Mengingat materi muatan Pasal 59 dan Pasal 64 pernah dimohonkan pengujian
dengan Register Perkara Nomor 12/PUU-I/2003, berdasarkan Pasal 60
31

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap


materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang teIah
diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (ne bis in idem);
8. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa jika ditinjau dari jangka
waktu perjanjian kerja dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu perjanjian kerja yang
dibuat untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja yang tidak dibatasi oleh jangka
waktu tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu Iazimnya disebut pekerja
kontrak. Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
serta ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8)
Undang-Undang a quo, kesepakatan yang dibuat untuk perjanjian kerja waktu
tertentu adalah hanya untuk pekerjaan yang mempunyai sifat, jenis dan
kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu;
9. Bahwa pekerjaan para Pemohon sebagai pembaca meter listrik, menurut DPR
dapat dikategorikan sebagai pekerjaan waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang
sekali selesai yang dilakukan sekali tiap bulan.
Berdasarkan uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan
Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Keterangan DPR sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus dan mengadili perkara a quo
dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
2. Menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis


yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 20 Juli 2011 yang pada pokoknya
tetap pada dalilnya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala hal-hal yang terjadi di persidangan merujuk dalam berita acara
32

persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan
Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah


menguji Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279, selanjutnya disebut UU 13/2003), terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan
a quo dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji


Undang-Undang in casu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003
33

terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK


beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005,


bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20
September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
34

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat


spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada


paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo
sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa Pemohon adalah Aliansi Petugas Pembaca Meter


Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur, sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan
perlindungan dan penegakan keadilan, hukum, dan hak asasi manusia di
Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja. Dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum
AP2ML, sehingga Pemohon dikualifikasikan sebagai badan hukum swasta sesuai
dengan akte pendirian yang diajukan Pemohon dan kawan-kawan di hadapan
Kantor Notaris Bactiar Hasan, SH (bukti P-1 yaitu Fotokopi Pendirian Perkumpulan
Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) Provinsi Jawa Timur
Nomor 3 beserta lampirannya);
Menurut Pemohon, penerapan Pasal 59 UU 13/2003 mengenai Perjanjian
Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
13/2003 mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya (pemborongan/outsourcing) menyebabkan para pekerja
kontrak/outsourcing:
1. kehilangan jaminan atas kelangsungan kerja bagi buruh/pekerja (kontinuitas
pekerjaan);
2. kehilangan hak-hak dan jaminan kerja yang dinikmati oleh para pekerja tetap;
3. kehilangan hak-hak yang seharusnya diterima pekerja sesuai dengan masa
kerja pegawai karena ketidakjelasan penghitungan masa kerja.
35

Berdasarkan dalil-dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah,


Pemohon adalah badan hukum privat yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh
adanya pasal-pasal Undang-Undang yang dimohonkan a quo, yaitu Pasal 59,
Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 13/2003 yaitu hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,
hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945,
dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian terdapat hubungan kausalitas antara kerugian konstitusional
Pemohon dengan norma yang diuji, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan pemohonan a quo.

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing),
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan buruh/pekerja kontrak yang


dipekerjakan berdasarkan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66
UU 13/2003, pada kenyataannya kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,
jaminan-jaminan kerja dan sosial sehingga menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia. Hal itu, disebabkan karena hubungan
kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur
dalam Pasal 59 UU 13/2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
13/2003, buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan
begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika
tidak dibutuhkan lagi. Bagi perusahaan pemberi kerja komponen upah sebagai
salah satu dari biaya-biaya (cost) dapat tetap ditekan seminimal mungkin, tetapi
pada sisi lain pekerja/buruh kehilangan jaminan kerja, termasuk jaminan
kesehatan, masa kerja yang dikaitkan dengan upah serta jaminan pensiun dan hari
tua. Buruh/pekerja hanya sebagai sapi perahan para pemilik modal. Menurut
Pemohon hal itu menyebabkan hilangnya hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja,
36

jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat
potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia,
sehingga bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti
tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan pada
persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah menghadirkan saksi Pemohon yang
bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso, yang selengkapnya
termuat dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan bahwa
pekerjaan pembaca meteran yang dilakukan secara terus-menerus, dilakukan
dalam waktu tertentu dan berkesinambungan yang dulunya memakai sistem
kontrak (outsourcing), setelah pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya
pengalaman kerjanya tidak dihitung sehingga gajinya menjadi turun;

[3.11] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan a quo, Pemerintah


maupun DPR telah menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya bahwa
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang termuat dalam Pasal 59 UU
13/2003, tetap tunduk pada perjanjian kerja yaitu kesepakatan berdasarkan
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang harus dihormati para pihak. Di samping
itu syarat-syarat PKWT adalah sudah ketat yaitu hanya mengenai:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Menurut Pemerintah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara


pekerja/buruh dengan pengusaha, jika dalam implementasinya sesuai dengan
ketentuan tersebut di atas, semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja
dan bukan masalah konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
a quo. Oleh karena itu tidak ada persoalan konstitusionalitas pada Pasal 59
Undang-Undang a quo yang dipersoalkan Pemohon;
37

Adapun mengenai pengujian Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang a


quo telah diadili oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak
permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28
Oktober 2004, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip, dan
kawan-kawan), sehingga menurut Pemerintah, Mahkamah tidak perlu
mempertimbangkanya lagi.

Pendapat Mahkamah

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama


permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, bukti-bukti yang
diajukan oleh Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara,
persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam
permohonan ini adalah: (1) Apakah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan berdasarkan PKWT
yang memperoleh pekerjaan dari suatu perusahaan lain bertentangan dengan
UUD 1945?; (2) Apakah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
yang menyediakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT bertentangan dengan UUD
1945?;
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan, norma yang mengatur
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 UU 13/2003 tidak
memberikan jaminan kelanjutan kerja bagi pekerja/buruh, serta tidak memberikan
jaminan atas hak-hak pekerja/buruh yang lainnya. Menurut Mahkamah, PKWT
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003 adalah jenis perjanjian kerja yang
dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan
tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga hubungan kerja antara buruh dan
majikan akan berakhir begitu jangka waktu berakhir atau ketika pekerjaan telah
selesai dikerjakan. Oleh karena itulah Pasal 59 UU 13/2003 menegaskan bahwa
PKWT hanya dapat diterapkan untuk 4 jenis pekerjaan, yaitu: (i) pekerjaan yang
sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (ii) pekerjaan yang diperkirakan
dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun, (iii) pekerjaan yang bersifat musiman, (iv) pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan, dan bersifat tidak tetap;
38

Dalam praktik, ada beberapa jenis pekerjaan yang termasuk kriteria disebut di atas
dengan alasan efisiensi bagi suatu perusahaan dan keahlian suatu pekerjaan
tertentu lebih baik diserahkan untuk dikerjakan oleh perusahaan/pihak lain, antara
lain pekerjaan bangunan, buruh karet, penebang tebu (musiman), konsultan,
ataupun kontraktor. Terhadap jenis pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh
menghadapi resiko berakhir masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah
selesai, dan harus mencari pekerjaan baru. Pada sisi lain, bagi pengusaha pemilik
pekerjaan akan lebih efisien dan tidak membebani keuangan perusahaan apabila
jenis pekerjaan demikian tidak dikerjakan sendiri dan diserahkan kepada pihak lain
yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tersebut, sehingga perusahaan
hanya fokus pada jenis pekerjaan utamanya (core business). Bagi pengusaha atau
perusahaan yang mendapatkan pekerjaan yang memenuhi kriteria tersebut dari
perusahaan lain, juga menghadapi persoalan yang sama dalam hubungannya
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya dalam jenis pekerjaan yang sifatnya
sementara dan dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan jenis pekerjaan yang
demikian, wajar bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh,
karena tidak mungkin bagi pengusaha untuk terus memperkerjakan pekerja/buruh
tersebut dengan tetap membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai
dilaksanakan. Dalam kondisi yang demikian pekerja/buruh tentu sudah harus
memahami jenis pekerjaan yang akan dikerjakannya dan menandatangani PKWT
yang mengikat para pihak. Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata, yang mewajibkan para pihak yang menyetujui dan
menandatangani perjanjian untuk menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT. Untuk
melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah karena
banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat penting
untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
a quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat
pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagi pula,
jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu
merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma
yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian
menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945;
39

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU 13/2003, suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu. Dalam praktik, jenis pekerjaan
demikian disebut “pekerjaan outsourcing”, dan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing disebut “perusahaan outsourcing” dan pekerja/buruh yang
melaksanakan pekerjaan demikian disebut “pekerja outsourcing”. Berdasarkan
UU 13/2003 a quo ada dua jenis pekerjaan outsourcing yaitu outsourcing
sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan
outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana permasalahan di atas.
Pasal 65 Undang-Undang a quo, mengatur syarat-syarat penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan Pasal 66 Undang-
Undang a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh. Pekerjaan
yang diserahkan dengan cara outsourcing menurut Pasal 65 Undang-Undang
a quo harus memenuhi syarat: (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan; (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
dan (iv) tidak menghambat proses produksi secara langsung. Suatu perusahaan
hanya dapat menyerahkan pekerjaan yang demikian kepada perusahaan lain
yang berbentuk badan hukum dan harus dilakukan secara tertulis. Untuk
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, Pasal 65 ayat (4) Undang-
Undang a quo menegaskan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan outsourcing sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan outsourcing dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya, baik berdasarkan PKWT apabila memenuhi persyaratan Pasal
59 Undang-Undang a quo maupun berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Jika syarat-syarat penyerahan sebagian pekerjaan tersebut tidak
terpenuhi maka status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
40

penerima pemborongan, demi hukum beralih menjadi hubungan kerja


pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan;

Adapun penyerahan pekerjaan melalui penyediaan jasa pekerja/buruh (pekerja


outsourcing) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(i) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan
outsourcing) tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(ii) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
UU 13/2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(iii) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(iv) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud point angka i dan angka ii
huruf a, huruf b dan huruf d serta angka (iii) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
41

pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan norma yang terkandung dalam Pasal 65


dan Pasal 66 Undang-Undang a quo, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih
lanjut adakah ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan terancamnya hak
setiap orang dan hak-hak pekerja yang dijamin oleh konstitusi dalam hal ini hak-
hak pekerja outsourcing dilanggar sehingga bertentangan dengan UUD 1945, yaitu
hak yang diberikan oleh UUD 1945 kepada setiap orang untuk bekerja dan
mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja [vide
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945];

[3.16] Menimbang bahwa pasal-pasal tentang outsourcing pernah


dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan Putusan
Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut, “Menimbang bahwa
berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam hal buruh dimaksud ternyata
dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja
dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakan bentuk usaha
berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan penyedia jasa beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap
pengusaha, buruh/pekerja dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon
tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan
penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana
diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang a quo, mendapat
perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu
tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam
kesempatan yang tersedia maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan
aturan hukum dalam UU Ketenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu
menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses
42

produksi”;

[3.17] Menimbang bahwa posisi pekerja/buruh outsourcing dalam


hubungannya dengan perusahaan outsourcing, baik perusahaan outsourcing yang
melaksanakan sebagian pekerjaan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan
maupun perusahaan outsourcing yang menyediakan jasa pekerja/buruh,
menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT. Apabila
hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan
perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja/buruh
outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja
pekerja/buruh outsourcing. Akibatnya, pekerja/buruh harus menghadapi resiko
tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau
perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh tidak lagi mendapat kontrak
perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja. Selain adanya ketidakpastian
mengenai kelanjutan pekerjaan, pekerja/buruh akan mengalami ketidakpastian
masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat
sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak
pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan
dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya. Walaupun,
sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 12/PUU-I/2003,
tanggal 28 Oktober 2004, terdapat perlindungan atas hak dan kepentingan
pekerja/buruh dalam Undang-Undang a quo [vide Pasal 65 ayat (4) UU 13/2004],
yang menyatakan bahwa “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”, akan tetapi sebagaimana
didalilkan oleh Pemohon maupun kenyataannya tidak ada jaminan bahwa
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja tersebut dilaksanakan. Dengan
demikian, ketidakpastian nasib pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan
outsourcing tersebut, terjadi karena Undang-Undang a quo tidak memberi jaminan
kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan
43

serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan
bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to
protect the workers/laborers terabaikan;

[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penyerahan sebagian


pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
(perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu
perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Penyerahan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja yang demikian harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU 13/2003. Namun
demikian, Mahkamah perlu meneliti aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang
dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing
dengan pekerja/buruh. Memperhatikan syarat-syarat dan prinsip outsourcing baik
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan maupun melalui perusahaan
penyediaan jasa pekerja/buruh, dapat berakibat hilangnya jaminan kepastian
hukum yang adil bagi pekerja dan hilangnya hak setiap orang untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal
itu terjadi, karena dengan berakhirnya pekerjaan pemborongan atau berakhirnya
masa kontrak penyediaan pekerja/buruh maka dapat berakhir pula hubungan
kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh, sehingga
pekerja/buruh kehilangan pekerjaan serta hak-hak lainnya yang seharusnya
diperoleh. Menurut Mahkamah, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan
dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi
oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas
hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan
oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa
memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh. Jaminan dan
perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui
perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dengan pekerja/buruh
44

berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang
lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan
melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis
tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh
untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi
hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu
menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini
ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak
pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing
tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE)
yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing
berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-
haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing. Dalam praktik, prinsip tersebut telah diterapkan dalam
hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal suatu perusahaan diambil alih oleh
perusahaan lain. Untuk melindungi hak-hak para pekerja yang perusahaannya
diambil alih oleh perusahaan lain, hak-hak dari pekerja/buruh dari perusahaan
yang diambil alih tetap dilindungi. Pengalihan perlindungan pekerja/buruh
diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-
wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip
pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi
memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada
45

suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut


kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang
diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia
jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada
sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk
meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya
pengalaman dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan
kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga
memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya,
karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan
sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing
tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing
dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional.
Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian
perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum
untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan
industrial sebagai sengketa hak. Melalui prinsip pengalihan perlindungan
tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak konstitusional pekerja
outsourcing dapat dihindari.

Untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan


pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang
sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan
pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut
menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja
pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat
(4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 13/2003;

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,


menurut Mahkamah Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat (3), serta ayat (4) UU 13/2003 tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2)
46

huruf b UU 13/2003 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945


(conditionally unconstitutional). Dengan demikian permohonan Pemohon
beralasan menurut hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan


permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) serta
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5076).

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:
• Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam
47

perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan


hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi
pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap
ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
• Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang


dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD. selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar,
masing-masing sebagai Anggota pada hari Kamis tanggal lima bulan Januari
tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal tujuh belas bulan
Januari tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami
Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan
Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria
Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Eddy Purwanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh
Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili.
48

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.
td
Achmad Sodiki Hamdan Zoelva

ttd. ttd.

Muhammad Alim Ahmad Fadlil Sumadi

ttd. ttd.

Anwar Usman Harjono


ttd. ttd.

Maria Farida Indrati M. Akil Mochtar

PANITERA PENGGANTI,

ttd.
Eddy Purwanto
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

UNDANG-UNDANG DASAR PEMBUKAAN


NEGARA REPUBLIK INDONESIA ( P r e a m b u l e)
TAHUN 1945
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak se-
gala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas du-
nia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan se-
lamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang mer-
deka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya ber-
kehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan ke-

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

1 2
adilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara UNDANG-UNDANG DASAR
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan ber-
dasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan BAB I
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan BENTUK DAN KEDAULATAN
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusya-
waratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Ke- Pasal 1
adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berben-
tuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.’’’
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.’’’

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakil-
an Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan di-
atur lebih lanjut dengan undang-undang.’’’’
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya
sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat dite-
tapkan dengan suara yang terbanyak.

Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar.’’’

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

3 4
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.’’’
dan/atau Wakil Presiden.’’’/’’’’
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat member- Pasal 6A
hentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasang-
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.’’’/’’’’ an secara langsung oleh rakyat.’’’
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
BAB III oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.’’’
Pasal 4 (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang men-
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pe- dapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
merintahan menurut Undang-Undang Dasar. suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
satu orang Wakil Presiden. lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.’’’
Pasal 5 (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.’ suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk men- umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
jalankan undang-undang sebagaimana mestinya. yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.’’’’
Pasal 6 (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.’’’
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehen- Pasal 7
daknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.’
Presiden.’’’
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

5 6
Pasal 7A pada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.’’’
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan
Presiden dan/atau Wakil Presiden.’’’ puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat
itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.’’’
Pasal 7B (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden,
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Permusyawaratan Rakyat.’’’
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menye-
Presiden dan/atau Wakil Presiden.’’’ lenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul
hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi tersebut.’’’
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
Perwakilan Rakyat.’’’ diambil dalam rapat paripurna Majelis
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat ke- Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

7 8
kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat berakhir masa jabatannya.’’’’
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.’’’
Pasal 9
Pasal 7C (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji
Dewan Perwakilan Rakyat.’’’ dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Pasal 8 Rakyat sebagai berikut :
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewa-
habis masa jabatannya.’’’ jiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat- Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
diusulkan oleh Presiden.’’’ Bangsa.”
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban- Janji Presiden (Wakil Presiden) :
nya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelak- “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan
sana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-
bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menye- Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang
lenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.’
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau (2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

9 10
Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.’
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Per-
dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.’ wakilan Rakyat.’

Pasal 10 Pasal 14
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mem-
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. perhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.’
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memper-
Pasal 11 hatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.’
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanji- Pasal 15
an dengan negara lain.’’’’ Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional kehormatan yang diatur dengan undang-undang.’
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan Pasal 16
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang
perubahan atau pembentukan undang-undang harus bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.’’’ Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional undang.’’’’
diatur dengan undang-undang.’’’

Pasal 12 BAB IV
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang- Dihapus.’’’’
undang.

Pasal 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

11 12
BAB V (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
KEMENTERIAN NEGARA luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pasal 17 Pusat.’’
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksana-
Presiden.’ kan otonomi dan tugas pembantuan.’’
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
pemerintahan.’ daerah diatur dalam undang-undang.’’
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kemen-
terian negara diatur dalam undang-undang.’’’ Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
BAB VI pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
PEMERINTAHAN DAERAH atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan ke-
Pasal 18 khususan dan keragaman daerah.’’
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
diatur dengan undang-undang.’’ undang-undang.’’
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerin- Pasal 18B
tahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.’’ (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang istimewa yang diatur dengan undang-undang.’’
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.’’ (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembang-
dipilih secara demokratis.’’ an masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

13 14
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.’’ diundangkan.’’

BAB VII Pasal 20A


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.’’
Pasal 19 (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemi- dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini,
lihan umum.’’ Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi,
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan hak angket, dan hak menyatakan pendapat.’’
undang-undang.’’ (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan
dalam setahun.’’ Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.’’
Pasal 20 (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan mem- Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat
bentuk undang-undang.’ diatur dalam undang-undang.’’
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat perse- Pasal 21
tujuan bersama.’ Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat per- rancangan undang-undang.’
setujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Pasal 22
Perwakilan Rakyat masa itu.’ (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.’ pengganti undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan berikut.
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang- (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan peme-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib rintah itu harus dicabut.

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

15 16
Pasal 22A ber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan perimbangan keuangan pusat dan daerah.’’’
undang-undang diatur dengan undang-undang.’’ (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
Pasal 22B hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
dalam undang-undang.’’ perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
BAB VIIA’’’ Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
DEWAN PERWAKILAN DAERAH pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
Pasal 22C agama.’’’
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan peng-
provinsi melalui pemilihan umum.’’’ awasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.’’’ ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
dalam setahun.’’’ menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
diatur dengan undang-undang.’’’ ditindaklanjuti.’’’
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan
Pasal 22D dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada diatur dalam undang-undang.’’’
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pengga-
bungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sum-

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

17 18
BAB VIIB’’’ kemakmuran rakyat.’’’
PEMILIHAN UMUM (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
Pasal 22E bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperha-
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, tikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.’’’
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
sekali.’’’ rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan lalu.’’’
Perwakilan Rakyat Daerah.’’’
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Pasal 23A
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
Rakyat Daerah adalah partai politik.’’’ keperluan negara diatur dengan undang-undang.’’’
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan.’’’ Pasal 23B
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan undang.’’’’
mandiri.’’’
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur Pasal 23C
dengan undang-undang.’’’ Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan
undang-undang.’’’
BAB VIII
HAL KEUANGAN Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedu-
Pasal 23 dukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud diatur dengan undang-undang.’’’’
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

19 20
BAB VIIIA’’’ BAB IX
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 23E Pasal 24


(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab ten- (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
tang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
Keuangan yang bebas dan mandiri.’’’ menegakkan hukum dan keadilan.’’’
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mah-
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, kamah Agung dan badan peradilan yang berada di
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, ling-
kewenangannya.’’’ kungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang- Mahkamah Konstitusi.’’’
undang.’’’ (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.’’’’
Pasal 23F
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Pasal 24A
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbang- (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
an Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
Presiden.’’’ bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
oleh anggota.’’’ undang-undang.’’’
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian
Pasal 23G yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota di bidang hukum.’’’
negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.’’’ (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetu-
Keuangan diatur dengan undang-undang.’’’ juan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden.’’’
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

21 22
oleh hakim agung.’’’ pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara menurut Undang-Undang Dasar.’’’
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
diatur dengan undang-undang.’’’ anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden,
yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Pasal 24B Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang meng- Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.’’’
usulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan dari dan oleh hakim konstitusi.’’’
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepri-
hakim.’’’ badian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki merangkap sebagai pejabat negara.’’’
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.’’’ (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.’’’
Rakyat.’’’
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial Pasal 25
diatur dengan undang-undang.’’’ Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan
sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada BAB IXA’’
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat WILAYAH NEGARA
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Pasal 25A’’’’
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.’’’ kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan undang.’’

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

23 24
BAB XA’’
BAB X HAK ASASI MANUSIA
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK’’
Pasal 28A
Pasal 26 Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper-
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa tahankan hidup dan kehidupannya.’’
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pasal 28B
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
yang bertempat tinggal di Indonesia.’’ melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.’’
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dengan undang-undang.’’ dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.’’
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Pasal 28C
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui peme-
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan peng- pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
hidupan yang layak bagi kemanusiaan. pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejah-
upaya pembelaan negara.’’ teraan umat manusia.’’
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
Pasal 28 memperjuangkan haknya secara kolektif untuk memba-
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan ngun masyarakat, bangsa, dan negaranya.’’
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang. Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin-
dungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.’’
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

25 26
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
hubungan kerja.’’ atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.’’
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
yang sama dalam pemerintahan.’’ perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.’’ dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.’’

Pasal 28E Pasal 28H


(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
menurut agamanya, memilih pendidikan dan peng- bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
ajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan kesehatan.’’
meninggalkannya, serta berhak kembali.’’ (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini ke- perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
percayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
hati nuraninya.’’ keadilan.’’
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, ber- (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung-
kumpul, dan mengeluarkan pendapat.’’ kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat.’’
Pasal 28F (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sewenang-wenang oleh siapa pun.’’
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan Pasal 28I
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemer-
tersedia.’’ dekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
Pasal 28G pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan pun.’’

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

27 28
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat BAB XI
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak AGAMA
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.’’ Pasal 29
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
peradaban.’’ untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.’’ BAB XII
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia PERTAHANAN
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, DAN KEAMANAN NEGARA’’
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,
dan dituangkan dalam peraturan perundang- Pasal 30
undangan.’’ (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.’’
Pasal 28J (2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
berbangsa, dan bernegara.’’ Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama,
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.’’
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi keutuhan dan kedaulatan negara.’’
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
dalam suatu masyarakat demokratis.’’ masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.’’
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

29 30
Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewe- Pasal 32
nangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta nilai-nilai budayanya.’’’’
hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
diatur dengan undang-undang.’’ sebagai kekayaan budaya nasional.’’’’

BAB XIII BAB XIV


PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN’’’ PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL’’’’
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.’’’’ Pasal 33
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
dan pemerintah wajib membiayainya.’’’’ atas asas kekeluargaan.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam negara.
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dengan undang-undang.’’’’ dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan seku- sebesar-besar kemakmuran rakyat.
rang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pen- (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
dapatan dan belanja negara serta dari anggaran demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi ke- efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
butuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.’’’’ lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga ke-
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi seimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan nasional.’’’’
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
kesejahteraan umat manusia.’’’’ diatur dalam undang-undang.’’’’

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

31 32
Pasal 34 Pasal 36C
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan
oleh negara.’’’’ Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi undang-undang.’’
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat BAB XVI
kemanusiaan.’’’’ PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang Pasal 37
layak.’’’’ (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permu-
diatur dalam undang-undang.’’’’ syawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permu-
BAB XV syawaratan Rakyat.’’’’
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang
SERTA Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan
LAGU KEBANGSAAN**) jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasan-
nya.’’’’
Pasal 35 (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar,
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Pasal 36 Permusyawaratan Rakyat.’’’’
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurang-
Pasal 36A nya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.’’’’
Bhinneka Tunggal Ika.’’ (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.’’’’
Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.’’

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

33 34
ATURAN PERALIHAN ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.’’’’
Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.’’’’

Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.’’’’

Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.’’’’

ATURAN TAMBAHAN

Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan
pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun
2003.’’’’

Pasal II
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar

’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA, ’ = PERUBAHAN PERTAMA, ’’ = PERUBAHAN KEDUA,


’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT ’’’ = PERUBAHAN KETIGA, ’’’’ = PERUBAHAN KEEMPAT

35 36
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 1998

Tentang

Kemerdekaan Meny
a mpaikan Pendapat

Di Muka Umum

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Presiden Republik Indonesia

Menimbang: a.Bahwakemerdekaanm e n ya mpaikan pendapat di muka umum adalah


hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;

b.Bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan


pendapatd i muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

c.Bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan


keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya
suasana yang aman, tertib, dand a m a i ;

d.Bahwa hak menyampaikan pendapat di


muka umum dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

e.Bahwaberdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf


a , b, c, dan d, periu dibentuk Undang-Undang tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

Mengingat : Pasal 5 ayat(1), pasal 20a y a t ( 1 ) d


, a nP a s a l2 8 Undang-UndangD a s a r
1945;
Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan: MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN


PENDAPAT DI MUKA UMUM

BAB I
KETENTUAN UMUM

PASAL 1

Dalam Undang Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk


menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2. Di muka umum adalah di hadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di
tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.

3. Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau
lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara
demonstratif dimuka umum.

4. Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.

5. Rapat umum adalah pertemuan terbuk


a yang dilakukan untuk menyampaikan
pendapat dengan tema tertentu.

6. Mimbar bebas adalah kegiatan peny a mpaian pendapat di muka umum yang
dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

7. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.

8. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.

PASAL 2
(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan


Undang-Undang ini.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan


pada :
a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
b. asas musyawarah;
c. asas kepastian hukum dan keadilan;
d. asas proporsionalitas; dan
e. asas manfaat.

Pasal 4

Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum


adalah :

a. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksana hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam


menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;

c. mewujudkan iklim yang kondusif bagiberkembangnya partisipasi dan kreativitas


setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan
berdemokrasi;

d. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,


dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5

Warga negara yang menyampaikan pendapat


di muka umum berhak untuk :

a. mengeluarkan pikiran secara bebas;


b. memperoleh perlindungan hukum;

Pasal 6

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan


bertanggung jawab untuk:

a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;


b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 7

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.

Pasal 8

Masyarakat berhak berperanserta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar


penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib dan
damai.

BAB IV

BENTUK- BENTUK DAN TATA CARA

PENYAMPAIAN PENDAPAT Dl MUKA UMUM

Pasal 9

(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan :

a. unjuk rasa atau demonstrasi;


b. pawai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas

(2) Penyampaian pendapat di muka umum


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:

a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit,


pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan
obyek-obyek wisata nasional;

b. pada hari besar nasional.

(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat
membahayakan keselamatan umum.
Pasal 10

(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.

(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok.

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24


(tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri
setempat.

4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. waktu dan lama;
d. bentuk;
e. penanggung jawab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta;

Pasal 12

(1) Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasa! 6, Pasal 9, dan
Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman,
tertib, dan damai;

(2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi
dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.

Pasal 13

(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


Polri wajib:

a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;

b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;

c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan

d. penyampaian pendapat; mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute;

(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung


jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta
penyampaian pendapat di muka umum;
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung
jawab menyelenggarakan pengamanan untukmenjamin keamanan dan ketertiban
umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Pasal 14

Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat dimuka umum disampaikan secara


tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua
puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.

BAB V

SANKSI

Pasal 15

Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak


memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 10, dan Pasal 11.

Pasal 16

Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang


melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 17

Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian p e n d a p a t d i m u k a u m u m y a n g


melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini
dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku
ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana pokok.

Pasal 18

(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak
warga negara untuk menyampaikan pendapatdi muka umum yang telah memenuhi
ketentuan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19

Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan tetap


berlaku sepanjang tidak diatur khusus atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tangga! diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 26 Oktober 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 26 Oktober 1998

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

Ttd

AKBAR TANJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 1998 NOMOR 181.


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9TAHUN 1998
TENTANG
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT
DI MUKA UMUM

Umum

Menyampaikan pendapat di muka umum mempak an salah satu hak asasi manusia yang
dijamin dalam Pasal 28 Undang-UndangDasar 1945 yang berbunyi: "Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".

Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi


Universal Hak-hak Asasi Manusia yang ber
bunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima
dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan dengan
tidak memandang batas-batas".

Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara
lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan
kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan
atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari
proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakkan hukum sehingga tidak
menciptakan disintegrasi sosial, tetapi ju
s tru harus dapat menjamin rasa aman dalam
kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus


dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universa
l Hak-hak Asasi Manusia yang antara lain
menetapkan sebagai berikut:

1. setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan


pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;

2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata
pada pembatasan yang ditentukan oleh Undang Undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain,
dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta
kesejahteraan umum dalam suat u masyarakat yang demokratis;

3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan
dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur
hukum, sarana dan prasarana hukum, buday a hukum dan hak asasi manusia,
pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkannya dalam bentuk sikap politik
yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi
kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan :

1. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;


2. asas musyawarah dan mufakat;
3. asas kepastian hukum dan keadilan;
4. asas proporsionalitas;
5. asas manfaat.

Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam
berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum


tersebut maka pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk :
1. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam
menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;

3. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas


setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan
berdemokrasi;
4. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik
otonom, responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif.

Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang


Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum, merupakan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga disatu sisi dapat
melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945,
dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis, yang dapat
mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan
penegakan hukum. Undang-Undang ini mengatur bentuk dan tatacara penyampaian
pendapat dimuka umum, dan tidak mengatur penyampaian pendapat melalui media
massa, baik cetak maupun elektronika dan hak mogok pekerja dilingkungan kerjanya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup Jelas

Pasal2

Ayat(1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "penyampaian pendapatdi muka umum" adalah penyampaian


pendapat secara lisan, tulisan, dan sebagainya.

"Penyampaian pendapat secara lisan" antara lain:

pidato, dialog, dan diskusi.

"Penyampaian pendapat secara tulisan" antara lain:

petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan spanduk.

Adapun yang dimaksud dengan "dan sebagainya" antara lain: sikap membisu dan
mogok makan.

Pasal 3

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala
kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh
warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika
individual, etika sosial, dan etika institusional.

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas
Pasal 5

Huruf a

Yang dimaksud dengan "mengeluarkan pikiran secara bebas" adalah mengeluarkan


pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis,
atau pembatasan yang bertentangn dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 Undang-undang ini.

Huruf b

Yang dimaksud dengan" memperoleh perlindungan hukum" termasuk didalamnya


jaminan keamanan.

Pasal 6

Huruf a

Yang dimaksud dengan "menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain" adalah ikut
memelihara dan menjaga hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan
damai.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum" adalah
mengindahkan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam kehidupan
masyarakat.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan "menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum"
adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya bahaya bagi ketentraman dan
keselamatan umum, baik yang meny
angkut orang, barang maupun kesehatan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa" adalah
perbuatan yang dapat mencegah timbulnya permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan dalam masyarakat.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan "aparatur pemerintah" adalah aparatur pemerintah yang


menyelenggarakan pengamanan.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan "menyelenggarakanpengamanan" adalah segala daya upaya


untuk menciptakan kondisi aman, tertib , dan damai, termasuk mencegah timbulnya
gangguan atau tekanan, baik fisik maupun psikis yang berasal dari manapun juga.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan "berperanserta secara bertanggung jawab" adalah hak


masyarakat untuk memberi dan memperoleh informasi atau konfirmasi kepada atau dari
aparatur pemerintah agar terjamin keamanan dan ketertiban lingkungannya, tanpa
menghalangi terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum.

Pasal 9

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana
presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "instalasi militer" meliputi radius 150 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "obyek-obyek vital nasional" meliputi radius 500 meter dari pagar
luar.

Huruf b

Yang dimaksud dengan hari-hari besar nasional adalah:

1. Tahun Baru;

2. Hari Raya Nyepi;

3. Hari Wafat Isa Almasih;

4. Isra Mi'raj;

5. Kenaikan Isa Almasih;

6. Hari Raya Waisak;

7. Hari Raya Idul Fitri;

8. Hari Raya Idul Adha;

9. Hari Maulid Nabi;

10. 1 Muharam;

11. Hari Natal;

12. 17Agustus.
Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "Polri setempat" adalah satuan Polri terdepan dimana kegiatan
penyampaian pendapat akan dilakukan apabila kegiatan dilaksanakan pada :

a. 1 (satu) kecamatan, pemberitahuan ditujukan kepada Polsek setempat;

b. 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam lingkungan

c. kabupaten/kotamadya, pemberitahuan ditujukan kepada Polres setempat;

2 (dua) kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi, pemberitahuan


ditujukan kepada Polda setempat;

d. 2 (dua) propinsi atau lebih, pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 11

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan "tempat" dalam Pasal ini adalah tempat peserta berkumpul dan
berangkat ke lokasi.
Yang dimaksud dengan "lokasi" dalam Pasal ini adalah tempat penyampaian pendapat
di muka umum.

Yang dimaksud dengan "rute" dalam Pasal ini adalah jalan yang dilalui oleh peserta
penyampaian pendapatdi muka umum dari tempat berkumpul dan berangkat sampai di
lokasi yang dituju dan atau sebaliknya.

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d

Yang dimaksud dengan "bentuk" adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat
(1).
Huruf e

Penanggung jawab adalah orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan


pelaksanaan penyampaian pendapat di mukaumum yang bertanggung jawab agar
pelaksanaannya berlangsung dengan aman, tertib, dan damai.

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal13
Ayat(1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b

Koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab dimaksudkan untuk


mempertimbangkan faktor-faktor a
yng dapat mengganggu terlaksananya penyampaian
pendapat di muka umum secara aman, tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan
pada malam hari.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Kewajiban dan tanggung jawab yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, b, d, dan e
adalah kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Yang dimaksud dengan "sanksi hukum" adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum
perdata, atau sanksi administrasi. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan
perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi.

Pasal 17

Yang dimaksud dengan "melakukan tindak pidana" dalam Pasal ini adalah termasuk
perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 3789


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM PELATIHAN KERJA NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM PELATIHAN


KERJA NASIONAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan
kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja
pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

2. Sistem . . .

- 2 -
2. Sistem Pelatihan Kerja Nasional yang selanjutnya disingkat
Sislatkernas, adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai
komponen pelatihan kerja untuk mencapai tujuan pelatihan
kerja nasional.
3. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan
hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja.
4. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap
kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
5. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif
melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia, Standar Internasional dan/atau Standar
Khusus.
7. Sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang
diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang
menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi
kerja tertentu sesuai dengan SKKNI.
8. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan di berbagai sektor.
9. Pelatihan berbasis kompetensi kerja adalah pelatihan kerja
yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja
yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai
dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
10. Akreditasi adalah proses pemberian pengakuan formal yang
menyatakan bahwa suatu lembaga telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan kerja.

11. Pemerintah . . .

- 3 -

11. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah,


adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
12. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
13. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat
BNSP, adalah lembaga independen yang bertugas
melaksanakan sertifikasi kompetensi yang dibentuk dengan
Peraturan Pemerintah.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
TUJUAN

Pasal 2
Sislatkernas bertujuan untuk :
a. mewujudkan pelatihan kerja nasional yang efektif dan efisien
dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga kerja;
b. memberikan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan,
pembinaan, dan pengendalian pelatihan kerja;
c. mengoptimalkan pendayagunaan dan pemberdayaan seluruh
sumber daya pelatihan kerja.

BAB III
PRINSIP DASAR PELATIHAN KERJA

Pasal 3
Prinsip dasar pelatihan kerja adalah :
a. berorientasi pada kebutuhan pasar kerja dan pengembangan
SDM;
b. berbasis pada kompetensi kerja;
c. tanggung jawab bersama antara dunia usaha, pemerintah,
dan masyarakat;
d. bagian dari pengembangan profesionalisme sepanjang hayat;
dan
e. diselenggarakan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif.

BAB IV . . .

- 4 -

BAB IV
PROGRAM PELATIHAN KERJA
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
(1) Program pelatihan kerja disusun berdasarkan SKKNI,
Standar Internasional dan/atau Standar Khusus.
(2) Program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat disusun secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Program pelatihan kerja yang disusun secara berjenjang
mengacu pada jenjang KKNI.
(4) Program pelatihan kerja yang tidak berjenjang disusun
berdasarkan unit kompetensi atau kelompok unit
kompetensi.

Bagian Kedua
KKNI

Pasal 5
(1) Dalam rangka pengembangan kualitas tenaga kerja
ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang
kualifikasi kompetensi kerja dari yang terendah sampai
yang tertinggi.
(2) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 9
(sembilan) jenjang yang dimulai dengan kualifikasi sertifikat
1 (satu) sampai dengan sertifikat 9 (sembilan).
(3) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden.

Pasal 6

(1) KKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)


menjadi acuan dalam penetapan kualifikasi tenaga kerja.
(2) Dalam hal sektor dan/atau profesi tertentu tidak memiliki
atau tidak memerlukan seluruh jenjang pada KKNI, dapat
memilih kualifikasi tertentu.
(3) Kualifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus menggunakan KKNI.

Bagian Ketiga . . .

- 5 -

Bagian Ketiga
SKKNI

Pasal 7
(1) SKKNI disusun berdasarkan kebutuhan lapangan usaha
yang sekurang-kurangnya memuat kompetensi teknis,
pengetahuan, dan sikap kerja.
(2) SKKNI dikelompokkan ke dalam jenjang kualifikasi dengan
mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan.
(3) Pengelompokkan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan pekerjaan, sifat
pekerjaan, dan tanggung jawab pekerjaan.
(4) Rancangan SKKNI dibakukan melalui forum konvensi antar
asosiasi profesi, pakar dan praktisi untuk sektor, sub
sektor dan bidang tertentu dan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 8
SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) menjadi
acuan dalam penyusunan program pelatihan kerja dan
penyusunan materi uji kompetensi.

BAB V
PENYELENGGARAAN

Pasal 9
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan dengan metode pelatihan
kerja yang relevan, efektif, dan efisien dalam rangka
mencapai standar kompetensi kerja.
(2) Metode pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pelatihan di tempat kerja dan/atau pelatihan
di lembaga pelatihan kerja.
(3) Metode pelatihan di tempat kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat diselenggarakan dengan pemagangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10 . . .

- 6 -

Pasal 10
(1) Penyelenggaraan pelatihan kerja harus didukung dengan
sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk
menjamin tercapainya standar kompetensi kerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11
(1) Penyelenggaraan pelatihan kerja harus didukung dengan
tenaga kepelatihan yang memenuhi persyaratan kualifikasi
kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Kualifikasi kompetensi tenaga kepelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup kompetensi teknis,
pengetahuan, dan sikap kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kualifikasi
kompetensi tenaga kepelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2)) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah memiliki tanda daftar atau
lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memiliki izin dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
(2) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi
pelatihan kerja setelah melalui proses akreditasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
lembaga pelatihan kerja pemerintah, perizinan lembaga
pelatihan kerja swasta dan akreditasi lembaga pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI
PESERTA PELATIHAN KERJA

Pasal 13
(1) Setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.

(2) Untuk . . .

- 7 -

(2) Untuk dapat mengikuti pelatihan kerja, peserta wajib


memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis dan tingkat
program yang akan diikuti.
(3) Peserta pelatihan kerja yang memiliki keterbatasan fisik
dan/atau mental tertentu dapat diberikan pelayanan
khusus sesuai dengan keterbatasannya.
BAB VII
SERTIFIKASI

Pasal 14
(1) Peserta pelatihan yang telah menyelesaikan program
pelatihan berhak mendapatkan sertifikat pelatihan dan/atau
sertifikat kompetensi kerja.
(2) Sertifikat pelatihan kerja diberikan oleh lembaga pelatihan
kerja kepada peserta pelatihan yang dinyatakan lulus sesuai
dengan program pelatihan kerja yang diikuti.
(3) Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh BNSP kepada
lulusan pelatihan dan/atau tenaga kerja berpengalaman
setelah lulus uji kompetensi.
(4) BNSP dapat memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi
profesi yang memenuhi persyaratan akreditasi untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal lembaga sertifikasi profesi tertentu belum
terbentuk maka pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh BNSP.
(6) Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mengacu pada
pedoman sertifikasi kompetensi kerja yang ditetapkan oleh
BNSP.

BAB VIII
SISTEM INFORMASI

Pasal 15
(1) Menteri mengembangkan sistem informasi pelatihan kerja
nasional untuk mendukung pelaksanaan Sislatkernas.

(2) Sistem . . .

-8-

(2) Sistem informasi pelatihan kerja nasional sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya
memuat data dan informasi tentang :
a. SKKNI dan KKNI;
b. program pelatihan kerja;
c. penyelenggaraan pelatihan kerja;
d. tenaga kepelatihan; dan
e. sertifikasi.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun
dari semua pihak yang terkait dengan pelatihan kerja baik
instansi pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta,
serta informasi dari lembaga di luar negeri.

Pasal 16
Kegiatan sistem informasi pelatihan kerja nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 meliputi pengumpulan, pengolahan,
penyajian, dan penyebarluasan data dan informasi.

Pasal 17
Sistem informasi pelatihan kerja nasional harus menjangkau
sasaran yang luas, murah, dan mudah diperoleh masyarakat.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 18
(1) Pendanaan sistem pelatihan kerja baik yang menyangkut
pembinaan maupun penyelenggaraan dilaksanakan
berdasarkan prinsip efektif, efisien, akuntabilitas,
transparansi, dan berkelanjutan.
(2) Pendanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan/atau
penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendanaan
sistem pelatihan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB X . . .

- 9 -

BAB X
PEMBINAAN

Pasal 19
(1) Pembinaan Sislatkernas diarahkan untuk meningkatkan
relevansi, kualitas, dan efisiensi pelatihan kerja serta
standardisasi sertifikasi kompetensi kerja.
(2) Pembinaan Sislatkernas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari pembinaan umum dan pembinaan teknis.
(3) Pembinaan umum terhadap Sislatkernas dilakukan oleh
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Pembinaan teknis terhadap pelaksanaan Sislatkernas di
masing-masing sektor dilakukan oleh instansi pemerintah
yang membidangi sektor yang bersangkutan.
(5) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan melalui perencanaan, bimbingan, konsultasi,
fasilitasi, koordinasi dan pengendalian.

BAB XI
KOORDINASI

Pasal 20
(1) Koordinasi pelatihan kerja dilakukan oleh lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional yang dibentuk dengan
Peraturan Presiden.
(2) Koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) antara lain meliputi koordinasi dalam perencanaan,
penyelenggaraan, pemberdayaan, dan pendanaan pelatihan
kerja.

BAB XII
PELAKSANAAN SISLATKERNAS DI DAERAH

Pasal 21
(1) Pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
Sislatkernas di daerahnya sesuai dengan tugas dan
wewenang penyelenggaraan otonomi daerah di bidang
ketenagakerjaan.

(2) Pelaksanaan . . .

- 10 -

(2) Pelaksanaan Sislatkernas di daerah sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) berlandaskan pada pedoman penyelenggaraan
Sislatkernas yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 22
(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pelatihan kerja yang telah ditetapkan oleh instansi
teknis dan/atau lembaga lain dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah atau
diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Penyesuaian peraturan tentang pelatihan kerja yang
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, wajib
disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan.

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1991 tentang Latihan
Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 24

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . . .

- 11 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 67

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan,
Bidang Politik dan Kesra,

Wisnu Setiawan

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 31 TAHUN 2006

TENTANG

SISTEM PELATIHAN KERJA NASIONAL

I. UMUM

Pelatihan kerja merupakan keseluruhan kegiatan untuk memberi,


memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan. Oleh karena itu, pelatihan kerja merupakan salah satu jalur
untuk meningkatkan kualitas serta mengembangkan karir tenaga kerja.
Paradigma baru peningkatan kualitas tenaga kerja bertumpu pada tiga pilar
utama, yaitu standar kompetensi kerja, pelatihan berbasis kompetensi serta
sertifikasi kompetensi oleh lembaga yang independen. Standar kompetensi
kerja perlu disusun dan dikembangkan di berbagai sektor atau bidang
profesi, dengan mengacu pada kebutuhan industri atau perusahaan. Hal ini
penting, agar standar kompetensi kerja dapat diterima di dunia kerja atau
pasar kerja, baik secara nasional maupun internasional.
Standar kompetensi sebagaimana dimaksud di atas akan menjadi acuan
dalam mengembangkan program pelatihan. Untuk keperluan
pengembangan pelatihan berbasis kompetensi seperti ini, perlu ditata dan
dikembangkan keseluruhan unsurnya dalam satu kesatuan sistem
pelatihan berbasis kompetensi. Untuk mengetahui sejauh mana lulusan
pelatihan telah memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan, perlu
dilakukan sertifikasi kompetensi melalui uji kompetensi.
Sertifikasi kompetensi tersebut di atas dilakukan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi yang independen. Hal ini penting, agar tidak terjadi konflik
kepentingan antara penyelenggara pelatihan sebagai produsen dan lembaga
sertifikasi sebagai penjamin mutu lulusan.
Ketiga pilar pengembangan kualitas tenaga kerja sebagaimana dimaksud di
atas, perlu disinergikan ke dalam suatu sistem pelatihan kerja nasional
(Sislatkernas).
Sistem Pelatihan Kerja Nasional merupakan panduan arah kebijakan
umum bagi terselenggaranya pelatihan secara terarah, sistematis, dan
sinergis dalam penyelenggaraan pelatihan di berbagai bidang, sektor,
instansi dan penyelenggaraan pelatihan dalam melakukan kegiatannya
sehingga tujuan pelatihan nasional dapat dicapai secara efisien dan efektif.

Berdasarkan . . .

- 2 -

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah ini


memuat antara lain:
- Tujuan Sislatkernas.
- Prinsip dasar pelatihan kerja.
- Program pelatihan kerja.
- Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
- Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
- Penyelenggaraan pelatihan kerja.
- Peserta pelatihan kerja.
- Sertifikasi.
- Sistem informasi, pendanaan, dan pembinaan Sislatkernas.
- Pelaksanaan Sislatkernas di daerah.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penerapan kualifikasi sertifikat 1 (satu) sampai dengan 9
(sembilan) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
masing-masing sektor .
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7 . . .

- 3 -

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pelatihan di tempat kerja” adalah
pelatihan yang diselenggarakan dimana peserta pelatihan
dilibatkan secara langsung dalam proses produksi dengan
bimbingan instruktur dan/atau pekerja senior sesuai dengan
program pelatihan yang telah ditetapkan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pemagangan” adalah bagian dari
sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu
antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur
atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka
menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tenaga kepelatihan” dalam pasal ini
antara lain instruktur, tenaga perencana, penganalisis
kebutuhan pelatihan, pengembang kurikulum,
pengadministrasi, pemelihara sarana, pengelola pelatihan,
penyelia, dan pengelola lembaga pelatihan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14 . . .

- 4 -

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini termasuk
penerimaan yang bersumber dari masyarakat yang dikelola
langsung oleh lembaga pelatihan swasta.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pembinaan umum” adalah
pembinaan yang bersifat nasional yang berlaku di semua
sektor dan daerah yang menjamin terlaksananya
Sislatkernas secara keseluruhan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pembinaan teknis” adalah
pembinaan yang bersifat sektoral yang menjamin
terlaksananya Sislatkernas di sektor yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 20
Lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional pada ayat ini sebagai
amanat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

Pasal 21 . . .

- 5 -

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4637


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara
yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;

mengingat:
1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.

1
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB II

KEDUDUKAN DAN SUSUNAN

Bagian Pertama
Kedudukan

Pasal 2
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 3
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Susunan

Pasal 4

2
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim
konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa
jabatan selama 3 (tiga) tahun.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 5
Hakim konstitusi adalah pejabat negara.

Pasal 6
(1) Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota
hakim konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
pejabat negara.
(2) Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan kepolisian atas perintah
Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalam
hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

Bagian Ketiga
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Pasal 7
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi
dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.

Pasal 8
Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.

Pasal 9
Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB III

KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI

3
Bagian Pertama
Wewenang

Pasal 10
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 11
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah,
atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.

Bagian Kedua
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas

Pasal 12
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan
bersih.

Pasal 13
(1) Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada
masyarakat secara terbuka mengenai:

4
a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala
yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 14
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.

BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM KONSTITUSI
Bagian Pertama
Pengangkatan

Pasal 15
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi
syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berpendidikan sarjana hukum;
c. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
d. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
f. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun.
(2) Calon hakim konstitusi yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan
tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi.

Pasal 17
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara lainnya;
b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.

Pasal 18

5
(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah
Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima
Presiden.

Pasal 19
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim
konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara obyektif dan akuntabel.

Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah hakim konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim
konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji hakim konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
(2) Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di hadapan Presiden.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah
Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya

6
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

Bagian Kedua
Masa Jabatan

Pasal 22
Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Bagian Ketiga
Pemberhentian

Pasal 23
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi;
c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;
d. telah berakhir masa jabatannya; atau
e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya
selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan
dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas
permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut oleh Mahkamah
Konstitusi.

Pasal 24

7
(1) Hakim konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan
sementara dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua
Mahkamah Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
berakhir tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan
direhabilitasi dengan Keputusan Presiden.
(4) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dikeluarkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Sejak dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim konstitusi yang bersangkutan dilarang menangani perkara.

Pasal 25
(1) Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim
konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dituntut di
muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana meskipun tidak ditahan.
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(4) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
berakhir dan belum ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan
diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
(5) Apabila di kemudian hari putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan
tidak bersalah, yang bersangkutan direhabilitasi.

Pasal 26
(1) Dalam hal terjadi kekosongan hakim konstitusi karena berhenti atau
diberhentikan, lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) mengajukan pengganti kepada Presiden dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadi kekosongan.
(2) Keputusan Presiden tentang pengangkatan pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja
sejak pengajuan diterima Presiden.

Pasal 27
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

BAB V

HUKUM ACARA

8
Bagian Pertama
Umum

Pasal 28
(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno
Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali
dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang
dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada
waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang
dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.
(4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang
hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
(5) Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakibat
putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.

Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan

Pasal 29
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon
atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.

Pasal 30
Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 31

9
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.

Bagian Ketiga
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang

Pasal 32
(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi
melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan.
(2) Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat (2), wajib dilengkapi
oleh pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.

Pasal 33
Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan tentang kelengkapan
administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan
berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.

Pasal 34
(1) Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama, setelah permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Penetapan hari sidang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat.
(3) Pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan menempelkan salinan pemberitahuan tersebut di papan
pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus digunakan untuk itu.

Pasal 35
(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama
pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
permohonan tidak dapat diajukan kembali.

Bagian Keempat
Alat Bukti

Pasal 36
(1) Alat bukti ialah:

10
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat
bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 37
Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan
memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Pasal 38
(1) Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah
Konstitusi.
(2) Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
(3) Para pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang
ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara
patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian
untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.

Bagian Kelima
Pemeriksaan Pendahuluan

Pasal 39
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah
Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari.

Bagian Keenam
Pemeriksaan Persidangan

Pasal 40
(1) Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim.

11
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib
persidangan.
(3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi.

Pasal 41
(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti
yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi
keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis
kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permintaan hakim konstitusi diterima.

Pasal 42
Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan.

Pasal 43
Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi
atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.

Pasal 44
(1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di
dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat
keterangan yang khusus untuk itu.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan
diserahkan kepada hakim konstitusi di dalam persidangan.

Bagian Ketujuh
Putusan

Pasal 45
(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah
untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua
sidang.
(5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.

12
(6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
(7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak.
(8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua
sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda
pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
(10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat
dalam putusan.

Pasal 46
Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera.

Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Pasal 48
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Pasal 49
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Bagian Kedelapan
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Pasal 50
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

13
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pasal 52
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 53
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya
permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 54
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.

Pasal 55
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang
dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah
Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

14
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak putusan diucapkan.

Pasal 58
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 59
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada
DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

Pasal 60
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Bagian Kesembilan
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh
Undang-Undang Dasar

Pasal 61
(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

15
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon.

Pasal 62
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.

Pasal 63
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 64
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.
(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.

Pasal 65
Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.

Pasal 66
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan
yang dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.
(2) Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi
hukum.

Pasal 67
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan
kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden.

16
Bagian Kesepuluh
Pembubaran Partai Politik

Pasal 68
(1) Pemohon adalah Pemerintah.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan,
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pasal 69
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 70
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 71
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik
wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 72
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik disampaikan
kepada partai politik yang bersangkutan.

Pasal 73
(1) Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.

Bagian Kesebelas
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Pasal 74
(1) Pemohon adalah:
a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah peserta pemilihan umum;

17
b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. partai politik peserta pemilihan umum.
(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum
yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
mempengaruhi:
a. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden;
c. perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan.
(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.

Pasal 75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas
tentang:
a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan
oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar menurut pemohon.

Pasal 76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.

Pasal 77
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar.
(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.

Pasal 78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil
pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu:

18
a. paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden;
b. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 79
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilihan umum
disampaikan kepada Presiden.

Bagian Kedua belas


Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden

Pasal 80
(1) Pemohon adalah DPR.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai
dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai
pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau berita
acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

Pasal 81
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.

Pasal 82
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses
pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan
permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 83
(1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

19
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar
putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.
(3) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 84
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam
jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 85
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada
DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 86
Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang
diterima Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

20
Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 13 Agustus 2003

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 13 Agustus 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


Ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 98

21
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI

I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk
menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di


samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berwenang untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and


balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara
sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi
kinerja antar lembaga negara.

22
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini
mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur
pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan
secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif
dan akuntabel.

Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara
di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik
masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi
kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini.
Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.

Dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya
pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga Undang-Undang ini mengatur pula
peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah terbentuknya
Mahkamah Konstitusi.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)

23
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah:
a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;
b. meminta keterangan tentang tindak pidana;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan; dan/atau
f. penyitaan.

Pasal 7
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi,
sedangkan Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 11
Yang dimaksud dengan “keterangan” adalah segala keterangan lisan dan tertulis,
termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa.

Pasal 12
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian dan kredibilitas Mahkamah
Konstitusi dalam mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan
sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b

24
Kewajiban memberikan laporan berkala berdasarkan ketentuan ini tidak
mengurangi kewajiban membuat laporan keuangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat pernyataan yang dimaksud dalam ketentuan ini juga memuat tentang
telah terpenuhinya seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ketentuan ayat (1) dan surat pernyataan tersebut disimpan pada Mahkamah
Konstitusi.

Pasal 17
Huruf a
Pejabat negara lainnya, misalnya anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hakim atau hakim agung,
menteri, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris
perusahaan.
Huruf d
Selama menjadi hakim konstitusi, advokat tidak boleh menjalankan profesinya.
Huruf e
Selama menjadi hakim konstitusi, status pegawai negeri yang bersangkutan
diberhentikan sementara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18
Ayat (1)
Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini bersifat administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 19

25
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa
baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk
ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah perbuatan
yang dapat merendahkan martabat hakim konstitusi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persidangan” adalah persidangan dalam
pemeriksaan perkara.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)

26
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dituntut di muka pengadilan” adalah pelimpahan
berkas perkara yang bersangkutan ke pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pengembalian hak-hak pribadi dan
nama baik yang bersangkutan tanpa mengembalikan kedudukannya sebagai
hakim konstitusi.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah meninggal dunia atau
terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban
sebagai hakim konstitusi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah keadaan luar biasa
sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan kelengkapan permohonan” adalah
bersifat administrasi.

27
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Petunjuk yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan barang bukti.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 37
Alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah alat bukti petunjuk.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

28
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi” dalam
ketentuan ini dikenal dengan istilah Contempt of Court.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keyakinan Hakim” adalah keyakinan Hakim
berdasarkan alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini dalam sidang permusyawaratan pengambilan
putusan tidak ada suara abstain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.

29
Ayat (10)
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum yang menjadi dasar
putusan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.

Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.
Huruf b

30
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63

31
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan” adalah tindakan baik tindakan
nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan.
Dalam mengeluarkan penetapan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dampak
yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penetapan hasil pemilihan umum” adalah jumlah
suara yang diperoleh peserta pemilihan umum.

32
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 75
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini pemohon menunjukkan dengan jelas tempat
penghitungan suara dan kesalahan dalam penjumlahan penghitungan suara.
Huruf b
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “risalah dan/atau berita acara rapat DPR” adalah
risalah dan/atau berita acara rapat alat kelengkapan DPR maupun rapat
paripurna DPR.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85

33
Cukup jelas.

Pasal 86
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau
kekosongan dalam hukum acara berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4316

34
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.18/MEN/XII/2011

TENTANG

SISTEM PELAPORAN SATUAN KERJA


PERANGKAT DAERAH/INSTANSI
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN
KETRANSMIGRASIAN

KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
Jakarta 2011
ii SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
DAFTAR ISI

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia


Nomor: Per.18/MEN/XII/2011 tentang Sistem Pelaporan Satuan Kerja
Perangkat Daerah/Instansi Provinsi/Kabupaten/Kota
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian 5

LAMPIRAN I
Matrik Mekanisme Penyusunan Laporan Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian 16

LAMPIRAN II
Mekanisme Laporan Pelaksanaan Tugas 19

LAMPIRAN III
Petunjuk Pengisian Formulir Tabel Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian 21

FORM BIDANG KETENAGAKERJAAN 39

FORM BIDANG KETRANSMIGRASIAN 55

FORM REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN,


PENGADAAN BARANG DAN JASA SERTA PERMASALAHAN 63

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA iii


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
iv SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.18/MEN/XII/2011

TENTANG

SISTEM PELAPORAN SATUAN KERJA


PERANGKAT DAERAH/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dengan adanya perubahan nomenklatur dan


struktur organisasi Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/
VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta adanya restrukturisasi
program dan kegiatan, maka sistem pelaporan yang diatur
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.33A/MEN/XII/2006 tentang Sistem Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian perlu
disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi tentang Sistem Pelaporan Satuan
Kerja Perangkat Daerah/Instansi Provinsi, Kabupaten/Kota;

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 5


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126 Tahun
2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4438);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4614);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 96 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4663);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/
Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82
Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3737);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

6 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah di wilayah Provinsi;
9. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
10. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara;
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.07/MEN/IV/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA TENTANG SISTEM PELAPORAN SATUAN
KERJA PERANGKAT DAERAH/INSTANSI PROVINSI, KABUPATEN/
KOTA BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Sistem pelaporan adalah ketentuan yang mengatur jenis, materi, sistematika,
penyusunan dan penyampaian, koordinator serta penanggungjawab laporan
yang menjadi kewajiban unit kerja daerah.

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 7


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
2. Pelaporan adalah jenis naskah dinas yang disampaikan sebagai
pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan pada periode
waktu tertentu atau sewaktu-waktu.
3. Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah
organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan dekonsentrasi/tugas pembantuan di daerah provinsi,
kabupaten/kota.
4. Laporan pelaksanaan tugas adalah jenis naskah dinas yang dibuat oleh
pimpinan SKPD/Instansi provinsi dan SKPD/Instansi kabupaten/kota yang
melaksanakan fungsi ketenagakerjaan dan ketransmigrasian yang berisi
uraian informasi sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan tugas umum
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.
5. Penanggung jawab laporan adalah pejabat tertinggi pada unit kerja, SKPD/
Instansi provinsi dan SKPD/instansi kabupaten/kota yang berkewajiban untuk
melaporkan hasil pelaksananaan tugas di lingkungan unit kerjanya.
6. Koordinator penyusun laporan adalah pejabat yang karena tugas dan
fungsinya berkewajiban dan bertanggungjawab melakukan koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi dengan sub unit kerja di lingkungan unit kerjanya
atau unit kerja terkait.
7. SKPD/Instansi Provinsi adalah SKPD/instansi yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian di
provinsi yang bersangkutan.
8. SKPD/Instansi Kabupaten/Kota adalah SKPD/instansi yang lingkup tugas
dan tanggungjawabnya di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
di kabupaten/kota yang bersangkutan.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Pasal 2

Unit kerja eselon I di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi


terdiri dari:
1. Sekretariat Jenderal;
2. Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas;

8 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
3. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja;
4. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja;
5. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan;
6. Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi;
7. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi;
8. Inspektorat Jenderal; dan
9. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi.

BAB II
SISTEM PELAPORAN

Bagian Kesatu
Jenis

Pasal 3

(1) Jenis pelaporan, adalah laporan pelaksanaan tugas


(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Laporan SKPD/Instansi Provinsi; dan
b. Laporan SKPD/Instansi Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua
Materi

Pasal 4

(1) Materi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), adalah berupa
data dan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian, antara lain:
a. pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan serta pelaksanaan
daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang dananya bersumber dari
APBN dan APBD;

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 9


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
b. permasalahan dan upaya tindak lanjut; dan
c. data-data lainnya.
(2) Data dan informasi yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan data dan informasi yang sifatnya pokok.
(3) Data dan informasi yang bersifat pokok sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

Data dan informasi yang sifatnya lebih rinci diatur tersendiri oleh unit kerja
eselon I di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan
kebutuhan unit kerja yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Sistematika

Pasal 6

Sistematika laporan pelaksanaan tugas sekurang-kurangnya memuat:


Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran
Daftar Tabel
Daftar Gambar, Grafik
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.
b. Maksud dan Tujuan.
c. Sasaran.
d. Landasan Operasional.
BAB II : TUGAS DAN FUNGSI

10 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
BAB III : RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DAN ANGGARAN
a. Rencana Program/Kegiatan.
b. Pagu Anggaran.
BAB IV : PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN DAN ANGGARAN
a. Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Hasilnya.
b. Realisasi Penyerapan Anggaran.
BAB V : PERMASALAHAN DAN UPAYA TINDAKLANJUT
BAB VI : HAL-HAL KHUSUS
BAB VII : PENUTUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Bagian Keempat
Tata Cara dan Waktu Penyampaian Laporan

Pasal 7

(1) Tata cara penyampaian laporan diatur sebagai berikut:


a. Laporan SKPD/Instansi Provinsi:
SKPD/Instansi Provinsi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara
berkala setiap bulan dan setiap tahun kepada Gubernur dan kepada
Menteri, dengan tembusan Inspektur Jenderal, Kepala Balitfo dan
Direktur Jenderal terkait di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
b. Laporan SKPD/ Instansi Kabupaten/Kota
SKPD/Instansi Kabupaten/Kota menyampaikan laporan pelaksanaan
tugas kepada Bupati/Walikota dan Kepala SKPD/Instansi Provinsi yang
bersangkutan setiap bulan/tahun.
(2) Waktu penyampaian laporan diatur sebagai berikut :
a. Laporan SKPD/Instansi Provinsi
Laporan bulanan pelaksanaan tugas SKPPD/Instansi Provinsi disampaikan
selambat-lambatnya setiap tanggal 10 pada bulan berikutnya, sedangkan

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 11


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
laporan tahunan disampaikan pada minggu keempat bulan Januari pada
tahun berikutnya.
b. Laporan SKPD/Instansi Kabupaten/Kota
Laporan bulanan pelaksanaan tugas SKPPD/Instansi Kabupaten/
Kota disampaikan selambat-lambatnya setiap tanggal 5 pada bulan
berikutnya, sedangkan laporan tahunan disampaikan pada minggu
ke-2 bulan Januari pada tahun berikutnya.

Pasal 8

Matrik tata cara dan waktu penyampaian laporan pelaksanaan tugas bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.

Bagian Kelima
Koordinator dan Penyusun Laporan

Pasal 9

Koordinator dan penyusun laporan pelaksanaan tugas diatur sebagai berikut:


1. Koordinator laporan tingkat Kementerian/Menteri, adalah Sekretaris Jenderal
yang penyusunannya dilaksanakan oleh Biro Perencanaan;
2. Koordinator laporan instansi SKPPD/provinsi, adalah Sekretaris SKPD/Instansi
Provinsi atau pejabat lain yang ditunjuk yang penyusunannya dilaksanakan
oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang
pelaporan;
3. Koordinator laporan instansi SKPPD/kabupaten/kota adalah Sekretaris SKPD/
Instansi Kabupaten/Kota yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk
yang penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan.

12 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Bagian Keenam
Penanggungjawab

Pasal 10

(1) Penanggung jawab dan penandatangan laporan SKPD/Instansi Provinsi


yaitu Kepala SKPD/Instansi Provinsi yang melaksanakan tugas dan fungsi di
bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
(2) Penanggung jawab dan penandatangan Laporan SKPD/Instansi Kabupaten/
Kota yaitu Kepala SKPD/Instansi Kabupaten/Kota yang melaksanakan tugas
dan fungsi di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;

BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 11

(1) Laporan pelaksanaan tugas dijadikan bahan evaluasi dalam melakukan


penilaian terhadap SKPD/instansi provinsi dan kabupaten/kota oleh Sekretaris
Jenderal dan hasilnya disampaikan kepada Menteri, Gubernur untuk laporan
SKPD/instansi provinsi, dan Bupati/Walikota untuk laporan SKPD/intansi
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi substansi laporan
serta tingkat ketaatan/kedisiplinan dalam penyampaian laporan, dan
merupakan salah satu pertimbangan dalam penentuan program dan
besarnya anggaran tahun berikutnya.
(3) Mekanisme laporan pelaksanaan tugas sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan
Menteri ini.

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 13


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 12

(1) Sistem pelaporan satuan kerja perangkat daerah/instansi provinsi, kabupaten/


kota bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dipergunakan sebagai
pedoman dalam rangka penyusunan laporan oleh SKPD/instansi Provinsi dan
SKPD/Instansi kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilengkapi dengan
data dan informasi perkembangan pelaksanaan program/kegiatan dan data
penting lainnya.

Pasal 13

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.33A/MEN/XII/2006 tentang Sistem Pelaporan Bidang
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

14 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 791

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 15


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
16
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.18/MEN/XII/2011
TENTANG
SISTEM PELAPORAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH /INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANMIGRASIAN

MATRIK MEKANISME PENYUSUNAN LAPORAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
JANGKA WAKTU JAWAB KOORDINATOR PENYUSUN KEPADA TEMBUSAN PENYAMPAIAN

A. Bulanan Kepala SKPD/ Sekretaris Dinas Pejabat Eselon IV - Menteri - Itjen Paling lambat

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


- SKPD/Instansi Instansi Provinsi Provinsi yang mempunyai - Gubernur - Balitfo tanggal
Provinsi tugas dan fungsi - Unit Kerja 10 bulan

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


di bidang evaluasi Eselon I terkait berikutnya.
dan pelaporan

- SKPD/Instansi Kepala SKPD/ Sekretaris Dinas Pejabat Eselon IV - Bupati/ - Itjen Paling lambat
Kab/Kota Instansi Kab/Kota Kab/Kota yang mempunyai Walikota - Balitfo tanggal 5 bulan
tugas dan fungsi - Kepala SKPD/ - Unit Kerja berikutnya.
di bidang evaluasi Instansi Eselon I terkait
dan pelaporan Provinsi

B. Tahunan Kepala Instansi Kabag TU/Pejabat Pejabat Eselon IV - Menteri - Itjen Paling lambat
- SKPD/Instansi Provinsi yang ditunjuk yang mempunyai - Gubernur I - Balitfo Minggu ke-4
Provinsi tugas dan fungsi - Unit Kerja bulan Januari
di bidang evaluasi Eselon I terkait pada tahun
dan pelaporan berikutnya.
PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
JANGKA WAKTU JAWAB KOORDINATOR PENYUSUN KEPADA TEMBUSAN PENYAMPAIAN

- SKPD/Instansi Kepala Instansi Kabag TU/ Pejabat Eselon IV - Bupati/ - Menteri Paling lambat
Kab/Kota Kabupaten/Kota Pejabat yang yang mempunyai Walikota - Itjen Minggu ke-2
ditunjuk tugas dan fungsi - Kepala - Balitfo bulan Januari
di bidang evaluasi Instansi - Unit Kerja pada tahun
dan pelaporan Provinsi Eselon I terkait berikutnya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.


Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
17
18 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.18/MEN/XII/2011
TENTANG
SISTEM PELAPORAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH /INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANMIGRASIAN

MEKANISME LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS

DIRJEN,
KEPALA INSTANSI KEPALA BADAN,
PROVINSI GUBERNUR MENAKERTRANS
IRJEN

KEPALA INSTANSI BUPATI/WALIKOTA


KABUPATEN
Keterangan:
Langsung Ditetapkan di Jakarta
Tembusan pada tanggal 7 Desember 2011

Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI


Kepala Biro Hukum, TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
Sunarno, SH, MH

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
NIP. 19580726 198503 1 002 Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

19
20 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 18/MEN/XII/2011
TENTANG
SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR TABEL BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN
KETRANSMIGRASIAN
A. Form Tabel Bidang Ketenagakerjaan
1. Form Tabel A.1. Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan dan Produktivitas
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi kejuruan/jenis pelatihan:
(1) Teknologi Mekanik; (2) Listrik; (3) Otomotif; (4)
Aneka Kejuruan; (5) Tata Niaga; (6) Bangunan; (7)
Pertanian; (8) Teknologi Informasi; (9) Produktivitas;
(10) Ketransmigrasian; (11) Pemagangan
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 4 : Diisi sub kejuruan/jenis pelatihan :
(1.a): Las; (1.b): Mesin Produksi; dll; (1.c): Kerja Pelat, dll.
(2.a): Elektronika; (2.b): Pendingin; (2.c): Instalasi
Listrik, dll.
(3.a): Sepeda Motor; (3.b): Mobil Bensin; dll.
(4.a): Perhotelan; (4.b): Menjahit; (4.c): Bordir, dll.
(5.a): Bahasa; (5.b): Operator Komputer; (5.c):
Sekretaris, dll.
(6.a): Bangunan Kayu ; (6.b): Bangunan Batu, (6.c):
Gambar, dll.

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 21


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
(7.a): Mix Farming; (7.b): Mekanisasi Pertanian; (7.c):
Perikanan, dll.
(8) Teknologi Informasi.
(9.a): Kewirausahaan; (9.b): Peningkatan Produktivitas;
(9.c): Manajemen, dll.
(10.a): PDU ; (10.b): Kewirausahaan; dll.
(11.a): Pemagangan Dalam Negeri; (11.b): Pemagangan
Luar Negeri, dll.
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 5 s.d 10 : Diisi target dan realisasi peserta pelatihan L: Laki-laki; P:
Perempuan; dan JMH: Jumlah Laki-laki dan Perempuan.
Kolom 11 s.d 13 : Diisi realisasi kelulusan peserta pelatihan L: Laki-laki;
P: Perempuan; JMH: Jumlah Laki-laki dan Perempuan.
Kolom 14 s.d 16 : Diisi realisasi penyerapan peserta pelatihan di industri/
perusahaan L: Laki-laki; P: Perempuan; JMH: Jumlah
Laki-laki dan Perempuan.
Kolom 17 : Diisi realisasi penyerapan peserta pelatihan.wirausaha
(Usaha Mandiri)

2. Form Tabel A.2. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Menurut
Jabatan, Lapangan Pekerjaan Utama, Kewarganegaraan dan Lokasi Kerja
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d 11 : Diisi jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA) yang diterbitkan bulan sebelumnya dan
sampai dengan bulan ini dan jumlah total IMTA yang
dterbitkan menurut Jabatan, Lapangan Pekerjaan
Utama, Kewarganegaraan dan Lokasi Kerja,
L: Laki-laki; P: Perempuan; JMH: Jumlah.
Kewarganegaraan diisi asal negara TKA;
Lokasi Kerja untuk memperoleh IMTA diisi kabupaten/
kota (Cukup Jelas).

22 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 12 s.d.20 : Diisi jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA) yang masih berlaku bulan sebelumnya dan
sampai dengan bulan ini dan jumlah total IMTA yang
masih berlaku Menurut Jabatan, Lapangan Pekerjaan
Utama, Kewarganegaraan dan Lokasi Kerja, L: Laki-
laki; P: Perempuan; JMH: Jumlah.
Kewarganegaraan diisi asal negara TKA;
Lokasi Kerja untuk memperoleh IMTA diisi kabupaten/
kota (cukup jelas).

3. Form Tabel A.3. Pelaksanaan Kegiatan Penempatan dan Perluasan


Kesempatan Kerja
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d. 8 : Diisi target dan realisasi Tenaga Kerja Pemuda Mandiri
Profesional (TKPMP) : L : Laki-laki, P : Perempuan,
JMH: jumlah.
Kolom 9 s.d.14 : Diisi target dan realisasi Tenaga Kerja Mandiri Terdidik
(TKMT) : L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah.
Kolom 15 s.d. 20 : Diisi target dan realisasi Tenaga Kerja Sukarela (TKS):
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah.
Kolom 21 s.d. 26 : Diisi target dan realisasi Wira Usaha Baru (WUB):
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah.
Kolom 27 s.d. 32 : Diisi target dan realisasi Teknologi Tepat Guna (TTG):
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah.
Kolom 33 s.d. 38 : Diisi target dan realisasi Padat Karya (PK) :
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : jumlah.

4. Form Tabel A.4. Pelaksanaan Kegiatan Penempatan dan Perluasan


Kesempatan Kerja Melalui Mekanisme Penempatan Tenaga Kerja
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d. 8 : Diisi target dan realisasi Mekanisme Penempatan

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 23


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Tenaga Kerja melalui Antar Kerja Antar Daerah (AKAD):
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah.
Kolom 9 s.d. 14 : Diisi target dan realisasi Mekanisme Penempatan
Tenaga Kerja melalui Antar Kerja Lokal (AKL):
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah.
Kolom 15 s.d. 20 : Diisi target dan realisasi Mekanisme Penempatan
Tenaga Kerja melalui Antar Kerja Sukarela (AKS):
L : Laki-laki, P : Perempuan, JMH : Jumlah

5. Form Tabel A.5. Pelaksanaan Rekrut Calon Tenaga Kerja Indonesia di


Luar Negeri
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Cukup jelas
Kolom 4.s.d 6 : Diisi jumlah Penempatan Tenaga Kerja pada sektor
Formal : L : Laki-laki, P : Perempuan, Jumlah Tenaga
Kerja Laki-laki dan Perempuan.
Kolom 7 s.d 9 : Diisi Jumlah Penempatan Tenaga Kerja pada Sektor
Non Formal : L : Laki-laki, P : Perempuan, Jumlah
Tenaga Kerja Laki-laki dan Perempuan.
Kolom 10 : Diisi Total Jumlah TKI Formal dan Non Formal (kolom
6 + 9)
Keterangan:
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Formal adalah TKI yang bekerja pada
Pengguna Berbadan Hukum/Pemerintah/Swasta.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Non Formal adalah TKI yang bekerja pada
pengguna perseorangan.
Tanda Blok Tidak Diisi

6. Form Tabel A.6. Monitoring Kasus Pemogokan/Unjuk Rasa
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.

24 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 3
: Diisi Sektor/Lapangan pekerjaan utama perusahaan
seperti : Pertanian, Industri, Konstruksi, Perdagangan,
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi,
Keuangan, Jasa Kemasyarakatan, Pertambangan,
Listrik, Gas dan Air; dan sektor lainnya).
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 4
: Diisi Jenis Kasus yang ada pada sektor/lapangan
pekerjaan utama perusahaan.
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 5 s.d. 7 : Diisi Pekerja/Buruh yang terlibat dalam Pemogokan/
unjuk rasa : Laki-laki, Perempuan, dan Jumlah.
Kolom 8 : Diisi Jumlah Tuntutan Normatif,
Kolom 9 : Diisi Jumlah Tuntutan Non Normatif.
Keterangan :
Tuntutan Normatif Tuntutan yang menyangkut pelaksanaan hak-hak
pekerja yang telah diatur dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan, peraturan perusahaan (PP) atau
kesepakatan kerja bersama, (PKB), pelaksanaan upah
minimum, jamsostek, lembur, cuti, pembentukan
serikat pekerja, tunjangan hari raya dan pembagian
uang servis di sektor perhotelan, dan lain-lainnya.
Tuntutan Non Tuntutan yang menyangkut peningkatan kesejahteraan
Normatif pekerja/buruh yang belum diatur di dalam peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan seperti:
kenaikan upah, perbaikan menu makan, manajemen
perusahaan, menyangkut status pekerja, sarana
ibadah, uang transport dan lain-lain.
Tanda Blok Tidak Diisi

7. Form Tabel A.7. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi Jenis Perselisihan/Kasus.
Kolom 4 s.d. 8 : Diisi Penyelesaian Perselisihan (Kasus) di Luar Pengadilan

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 25


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
melalui: Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrasi dan
Jumlah Kasus.
Kolom 9 : Diisi Penyelesaian Perselisihan (Kasus) di Pengadilan.
Kolom 10 : Diisi Penyelesaian Perselisihan (Kasus) yang masih
dalam proses,
Kolom 11 : Diisi Penyelesaian Perselisihan (Kasus) yang telah
ditangani dan selesai diproses.
Kolom 12 : Diisi jumlah kasus penyelesaian perselisihan (kasus)
di luar; dan di Pengadilan.
Keterangan :
Perselisihan hak : Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak-
hak pekerja/buruh, sebagai akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan : Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena
kepentingan tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan : Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pemutusan pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
hubungan kerja dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan antar : Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan
Serikat Pekerja/ dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu
Serikat buruh perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan
kewajiban keserikatanpekerja.

8. Form Tabel A.8, Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi Alasan Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);

26 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 4 : Diisi Jumlah Perkara Pekerja Yang Terkena Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK);
Kolom 5 s.d. 7 : Diisi Jumlah Pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) : Laki-laki, Perempuan, dan Jumlah
Keterangan :
Perkara pemutusan hubungan kerja
a. Dalam hal pekerja mangkir bekerja paling sedikit dalam waktu 5 (lima)
hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua)
kali secara tertulis tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan
tertulis dengan bukti yang sah, maka pengusaha dapat melakukan
proses pemutusan hubungan kerja;
b. Pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat;
c. Pekerja telah mencapai usia pensiun yang diterapkan dalam perjanjian
kerja atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (SKB);
d. Berakhirnya perjanjian kerja antar waktu tertentu;
e. Pekerja meninggal dunia;
f. Pencurian dan penggelapan barang/uang milik pengusaha atau milik
teman sekerja atau milik teman pengusaha.
g. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan pengusaha atau kepentingan negara;
h. Mabuk, minum-minuman keras yang memabokan, madat, memakai obat
bius atau menyalahgunakan obat-obatan terlarang atau obat-obatan
perangsang lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan
di tempat kerja dan ditempat-tempat yang ditetapkan oleh perusahaan;
i. Melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di tempat kerja,
atau menyerang dan mengintimidasi atau menipu pengusaha atau
teman sekerja dan memperdagangkan barang-barang terlarang baik
dalam lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan;
j. Menganiaya, mengancam fisik atau mental, menghina secara kasar
pengusaha atau keluarga pengusaha atau teman sekerja;
k. Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau kesusilaan serta

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 27


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
peraturan perundangan yang berlaku;
l. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan atau
mencemarkan nama baik pengusaha dan atau keluarga pengusaha
yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
m. Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan
atau kesepakatan kerja bersama.
(Keputusan Menakertrans Nomor : KEP. 150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,
Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan).
Tanda Blok Tidak Diisi

9. Form Tabel A.9. Syarat-syarat Kerja dan Perangkat Hubungan Industrial
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d. 5 : Diisi Jumlah Perusahaan yang telah memiliki Peraturan
Perusahaan (PP) : BUMN, Swasta, Jumlah
Kolom 6 s.d. 8 : Diisi Jumlah Perusahaan yang telah memiliki Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) : BUMN, Swasta, Jumlah
Kolom 9 s.d. 13 : Diisi Jumlah Perusahaan/Lembaga yang telah memiliki
SP/SB, Federasi, Konfederasi, LKS Bipartit, LKS Tripartit.
a. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh;
b. Kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi
perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama;
c. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat: hak dan kewajiban
pengusaha; hak dan kewajiban pekerja dan buruh; syarat kerja; tata
tertib perusahaan; dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan;
d. Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya;

28 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat satu perjanjian kerja
bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh diperusahaan.

10. Form Tabel A.10. Monitoring Jumlah Tenaga Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d. 5 : Diisi Jumlah Mediator : L: Laki-laki, P:Perempuan,
Jumlah (kolom 3 + 4)
Kolom 6 s.d 8 : Diisi Jumlah Konsiliator : L: Laki-laki, P:Perempuan,
Jumlah kolom 6 dan 7
Kolom 9 s.d. 11 : Diisi Jumlah Arbiter : L: Laki-laki, P:Perempuan, Jumlah
(kolom 9 + 10)

11. Form Tabel A.11. Data Perusahaan Wajib Lapor Ketenagakerjaan di


Perusahaan
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi Jumlah Perusahaan dengan Skala Perusahaan
Kecil (jumlah tenaga kerja < 25 orang)
Kolom 4 s.d. 6 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (WNI) berdasarkan
Skala Perusahaan Kecil : L:Laki-laki, P: Perempuan, dan
JMH : Jumlah.
Kolom 7 s.d. 9 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Asing (WNA) berdasarkan
Skala Perusahaan Kecil : L:Laki-laki, P: Perempuan,
dan JMH : Jumlah.
Kolom 10 s.d. 12 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (WNI) danTenaga
Kerja Asing (WNA) berdasarkan Skala Perusahaan Kecil
menurut jenis kelamin dan jumlah (kolom 6 + 9).
Kolom 13 : Diisi Jumlah Perusahaan dengan Skala Perusahaan
Sedang (jumlah tenaga kerja 26-99 orang)

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 29


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 14 s.d. 16 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (WNI) berdasarkan
Skala Perusahaan Sedang : L:Laki-laki, P: Perempuan,
dan JMH : Jumlah.
Kolom 17 s.d. 19 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Asing (WNA) berdasarkan
Skala Perusahaan Sedang : L:Laki-laki, P: Perempuan,
dan JMH : Jumlah.
Kolom 20 s.d. 22 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (WNI) danTenaga
Kerja Asing (WNA) berdasarkan Skala Perusahaan
Sedang menurut jenis kelamin dan jumlah (Kolom
16 + 19).
Kolom 23 : Diisi Jumlah Perusahaan dengan Skala Perusahaan
Besar (jumlah tenaga kerja ≥100 orang)
Kolom 24 s.d. 26 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (WNI) berdasarkan
Skala Perusahaan Besar : L: Laki-laki, P: Perempuan.
Kolom 27s.d. 29 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Asing (WNA) berdasarkan
Skala Perusahaan Besar : L : Laki-laki, P : Perempuan.
Kolom 30 s.d. 32 : Diisi Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (WNI) danTenaga
Kerja Asing (WNA) berdasarkan Skala Perusahaan
Besar L:Laki-laki, P: Perempuan, dan Jumlah (kolom
26 + 29).
Kolom 34 s.d.36 : Diisi Jumlah Status Perusahaan : Swasta, Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN), Penanaman Modal
Asing/ PMA, Join Ventura)
Kolom 37 : Diisi Penjumlahan Status Perusahaan (Kolom
33+34+35+36)

12. Form Tabel A. 12. Pemeriksaan, Pengujian dan Penyidikan


Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 dan 4 : Diisi Jumlah Tenaga Pengawas Ketenagakerjaan
berdasarkan jenis kelamin;
Kolom 5 dan 6 : Diisi Jumlah kegiatan Pengawasan, pemeriksaan dan
pengujian;

30 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 7 dan 8 : Diisi Jumlah Kasus Pelanggaran;
Kolom 9 : Diisi Jumlah Perusahaan Yang Diajukan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP);
Kolom 10 : Diisi Jumlah Perusahaan Yang Dilakukan Penghentian
Penyidikan;
Kolom 11 : Diisi Jumlah Uang Denda Putusan;
Kolom 12 : Diisi Jumlah Hukuman Kurungan;

13. Form Tabel A.13. Monitoring Jumlah Kasus dan Kecelakaan di Tempat
Kerja
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 Diisi sesuai dengan nama bidang usaha perusahaan
seperti: Jasa Konstruksi, Pabrik, dll.
Kolom 4 : Diisi sesuai dengan Jumlah Kasus Kecelakaan Kerja:
1. Sembuh dapat bekerja kembali akibat Kecelakaan
Kerja;
2. Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) akibat
Kecelakaan Kerja;
3. Cacat Akibat Kecelakaan Kerja;
4. Meninggal Akibat Kecelakaan Kerja.
Kolom 5 : Diisi sesuai dengan Jumlah Kasus Penyakit Akibat Kerja.
Kolom 6 : Diisi sesuai dengan Jumlah Tenaga Kerja yang Sembuh
dan dapat bekerja kembali akibat kecelakaan kerja.
Kolom 7 : Diisi sesuai dengan jumlah Hari Yang Hilang Akibat
Kecelakaan Kerja.

14. Form Tabel A.14. Kepesertaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 Diisi sesuai dengan Jumlah Perusahaan Yang Terdaftar.

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 31


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 4 s.d. 6 : Diisi sesuai dengan Jumlah Tenaga Kerja (WNI) Laki-
laki, Perempuan, dan jumlah yang terdaftar.
Kolom 7 s.d.9 : Diisi sesuai dengan Jumlah Tenaga Kerja Asing(WNA)
Laki-laki, Perempuan, dan jumlah yang terdaftar.
Kolom 10 s.d. 12 : Diisi sesuai dengan Jumlah Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK) Laki-laki, Perempuan dan Jumlah .
Kolom 13 s.d. 15 : Diisi sesuai dengan Jumlah Jaminan Kematian (JKM)
Laki-laki, Perempuan, dan jumlah.
Kolom 16 s.d. 18 : Diisi sesuai dengan Jumlah Jaminan Hari Tua (JHT)
Laki-laki, Perempuan, dan jumlah.
Kolom 19 s.d. 21 : Diisi sesuai dengan Jumlah Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) Laki-laki, Perempuan dan jumlah.

B. Form Tabel Bidang Ketransmigrasian


1. Form Tabel B.1. Rencana Pengerahan dan PenempatanTransmigrasi
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi sesuai dengan jumlah animo/minat masyarakat
untuk bertransmigrasi dalam satuan KK.
Kolom 4 : Diisi sesuai dengan jumlah KK yang mendaftarkan
sebagai calon transmigran.
Kolom 5 : Diisi sesuai dengan jumlah KK yang memenuhi syarat
sebagai calon transmigran dari hasil seleksi.
Kolom 6, 7 dan 8 : Diisi sesuai dengan daerah penempatan dirinci
berdasarkan tingkat provinsi, kabupaten/kota dalam
satuan KK
Tanda Blok Tidak Diisi

2. Form Tabel B. 2. Pembangunan Transmigrasi Baru (PTB), Perkembangan


Penyiapan Permukiman, Siap Terima Penempatan (STP) dan Siap
Pemberangkatan Penempatan (SPP)

32 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi sesuai dengan L bila program Luncuran, M program
Murni, dan C program cicilan, dalam satuan KK.
Kolom 4 : Diisi pola usaha yang diprogramkan misalnya pola
lahan kering, pola lahan basah, perkebunan (PIR),
pola nelayan, pola industri dan sebagainya.
Kolom 5 s.d. 26 : Diisi target dan realisasi pembukaan lahan, pembangunan
prasarana (jalan,jembatan, jembatan non standar,
gorong-gorong dan drainase), rumah transmigrasi
dan jamban keluarga (RTJK), sarana air bersih (SAB),
pembangunan fasilitas umum (FU), dan siap terima
penempatan (STP) serta siap pemberangkatan
penempatan (SPP).

3. Form Tabel B. 3. Perkembangan Penempatan Transmigran Baru (PTB)


Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 dan 4 : Diisi sesuai dengan target dari masing-masing
penempatan transmigran penduduk setempat (TPS)
maupun transmigran daerah asal (TPA), dalam satuan
KK.
Kolom 5 : Diisi sesuai dengan penjumlahan target penempatan
transmigran setempat (TPS) dan transmigran daerah
asal (TPA), atau penjumlahan kolom 3 dan kolom 4,
dalam satuan KK.
Kolom 6 : Diisi sesuai dengan realisasi penempatan transmigran
yang berasal dari penduduk setempat (TPS), dalam
satuan KK.
Kolom 7 s.d. 16 : Diisi sesuai dengan jumlah realisasi penempatan
tansmigran dari daerah asal, dalam satuan KK;
Kolom 17 : Diisi penjumlahan realisasi penempatan transmigran
penduduk asal (TPA), yaitu penjumlahan kolom 7 s.d.
16, dalam satuan KK;

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 33


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 18 : Diisi penjumlahan realisasi penempatan transmigran
penduduk setempat (TPS) dan transmigran penduduk
asal (TPA), yaitu penjumlahan kolom 6 dan kolom 17,
dalam satuan KK.

4. Form Tabel B.4. Peningkatan/Rehabilitasi Sarana dan Prasarana


Permukiman Transmigrasi (PTA)/Kawasan
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi sesuai dengan jumlah transmigran yang ada,
dalam satuan KK.
Kolom 4 : Diisi sesuai dengan jumlah rumah transmigran dan
jamban keluarga yang tersedia (RTJK), dalam satuan unit.
Kolom 5 s.d. 14 : Diisi sesuai dengan target dan realisasi Pengembangan
Prasarana jalan, jembatan, jembatan non standar,
gorong-gorong, dan drainase.
Kolom 15 s.d. 22 : Diisi sesuai dengan target dan realiasi Pengembangan
sarana dermaga, sarana air bersih standar (SAB), sarana
air bersih non standar (SAB NS) dan Fasilitas Umum (FU),

5. Form Tabel B.5. Pemberdayaan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi


Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi sesuai dengan tahun pembinaan transmigran
Kolom 4 : Diisi sesuai dengan jumlah transmigran yang ada,
dalam satuan KK.
Kolom 5 s.d. 10 : Diisi target dan realisasi pengembangan usaha ekonomi
masyarakat transmigran untuk produktivitas lahan
sesuai paket A, B dan C.
Kolom 11 : Diisi dengan jenis usaha pada kelembagaan ekonomi;
Tanda Blok Tidak Diisi

34 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 12 s.d. 15 : Diisi dengan target dan realisasi pembentukan dan
pengembangan kelembagaan ekonomi.
Kolom 16 s.d. 19 : Diisi target dan realisasi Peningkatan Kapasitas SDM
dan Masyarakat Transmigrasi untuk Bantuan Pangan
Beras dan Non Beras.
Kolom 20 s.d. 31 : Diisi Peningkatan Kapasistas SDM dan Masyarakat
Transmigrasi untuk tenaga pembina UPT, tenaga guru,
tenaga kesehatan dan rohaniawan berdasarkan jenis
kelamin, L: laki-laki, P: Perempuan dan jumlah laki-laki
dan perempuan.

C. Form Tabel Realisasi Pelaksanaan Program/Kegiatan dan


Anggaran dan Pengadaan Barang dan Jasa serta Permasalahan
1. Form Tabel C.1. Laporan Realisasi Keuangan dan Fisik Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Diisi dengan nama jenis anggaran/program yang
bersumber dari anggaran APBN (dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan).
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan pagu DIPA semula dan setelah direvisi
(revisi terakhir) apabila ada, dalam satuan Rp.
Kolom 5 s.d. 7 : Diisi dengan realisasi keuangan dan fisik berdasarkan
SPM secara kumulatif dengan satuan rupiah dan
persentase.

2. Form Tabel C.2. Laporan Realisasi Keuangan dan Fisik Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Diisi dengan nama jenis anggaran/program yang
bersumber dari anggaran APBD.
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan pagu DIPA semula dan setelah direvisi
(revisi terakhir) apabila ada.

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 35


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 5 s.d 7 : Diisi dengan realisasi keuangan dan fisik berdasarkan SPM
secara kumulatif dengan satuan rupiah dan persentase.

3. Form Tabel C.3. Kemajuan Pengadaan Barang dan Jasa Melalui


Penunjukan/Pemilihan/Seleksi Langsung dan Pelelangan, Seleksi,
Sayembara
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Diisi nama paket pekerjaan.
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan target sesuai pagu anggaran dirinci
menurut volume dan biaya.
Kolom 5
: Diisi target sesuai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dalam
rupiah
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 6
: Diisi dengan nama media yang digunakan dalam
pengumuman pengadaan barang dan jasa
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 7
: Diisi dengan metode yang digunakan dalam
pengadaan barang dan jasa.
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 8
: Diisi dengan Sumber dana yang digunakan APBN/
APBD/BLN
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 9 : Diisi dengan nilai kontrak pengadaan barang dan jasa.
Kolom 10 : Diisi dengan nama penyedia barang dan jasa.
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 11
: Diisi dengan klasifikasi usaha yang digunakan dalam
pengadaan barang dan jasa.
Tanda Blok Tidak Diisi

4. Form Tabel C.4. Permasalahan dan Upaya Penyelesaian


Kolom 1 : Cukup Jelas.
Kolom 2 : Cukup Jelas.

36 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
Kolom 3 dan 4 : Diisi dengan uraian masalah yang dihadapi dalam
melaksanakan program sesuai tugas dan fungsinya.
Kolom 5 : Diisi dengan upaya tindak lanjut yang telah dilakukan
untuk mengatasi permasalahan.
Kolom 6 ,7,8 dan 9 : Diisi dengan usulan permasalahan di tingkat daerah
yang memerlukan penyelesaian di tingkat pusat.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum,

Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 37


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
38 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
FORM
BIDANG
KETENAGAKERJAAN

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 39


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
40
FORM : A.1
PELAKSANAAN KEGIATAN PELATIHAN DAN PRODUKTIVITAS
UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH (UPTD)
BULAN:............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :

PESERTA PELATIHAN (ORANG) REALISASI KELULUSAN REALISASI PENYERAPAN (ORANG)


NO SUMBER DANA/UNIT KERJA/SKPD KEJURUAN SUB KEJURUAN TARGET REALISASI (ORANG) INDUSTRI/PERUSAHAAN WIRAUSAHA
(USAHA MANDIRI)
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
I APBN
A. BLK/LLK
1.
2.
3.

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


dst
B. BPPD

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


C. BALATRANS
D. Dinas Provinsi

II APBD


III KERJASAMA DG PIHAK III
(SWASTA & MASYARAKAT)

JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.2
IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)
MENURUT JABATAN, LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA, KEWARGANEGARAAN DAN LOKASI KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)
NO KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU BULAN INI JUMLAH TOTAL BULAN LALU BULAN INI JUMLAH TOTAL
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

A. JABATAN
1. Pimpinan
2. Profesional
3. Supervisor
4. Teknisi/Operator
5. Lain-lainnya
B. LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik, Gas dan Air
5. Bangunan
6. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel
7. Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi
8. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan,
Tanah dan Jasa Perusahaan
9. Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan
C. KEWARGANEGARAAN
1. USA
2. Jepang
3. Inggris
4. Jerman
5. dst.
D. LOKASI KERJA
1. Kabupaten/kota..............
2. Kabupaten/kota..............
3. Kabupaten/kota..............
4. Kabupaten/kota..............
5. dst.

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
41
(...................................)
42
FORM : A.3
PELAKSANAAN KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA (ORANG)
NO KABUPATEN/KOTA/ TENAGA KERJA PEMUDA MANDIRI PROFESIONAL (TKPMP) TENAGA KERJA MANDIRI TRAMPIL (TKMT) TENAGA KERJA SUKARELA (TKS)
KECAMATAN TARGET REALISASI TARGET REALISASI TARGET REALISASI
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.3 LANJUTAN FORM A.3

TARGET DAN REALISASI KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA


BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA (ORANG)
NO KABUPATEN/KOTA/ WIRA USAHA BARU (WUB) TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG) PADAT KARYA (PK)
KECAMATAN TARGET REALISASI TARGET REALISASI TARGET REALISASI
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

43
44
FORM : A.4
PELAKSANAAN KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN TENAGA KERJA MELALUI MEKANISME PENEMPATAN TENAGA KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
MEKANISME PENEMPATAN TENAGA KERJA (ORANG)
NO KABUPATEN/KOTA ANTAR KERJA ANTAR DAERAH (AKAD) ANTAR KERJA LOKAL (AKL) ANGKATAN KERJA SUKARELA (AKS)
TARGET REALISASI TARGET REALISASI TARGET REALISASI
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.5
PELAKSANAAN REKRUT CALON TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :

FORMAL (ORANG) NON FORMAL (ORANG)


NO NEGARA PENEMPATAN DAERAH ASAL TKI TOTAL
(KABUPATEN/KOTA) LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10:(6)+(9)

JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

45
46
FORM : A.6
MONITORING KASUS/PEMOGOKAN/UNJUK RASA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :

PEKERJA/BURUH YANG TERLIBAT (ORANG) TUNTUTAN


NO KABUPATEN/KOTA SEKTOR JENIS KASUS
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH NORMATIF NON NORMATIF
1 2 3 4 5 6 7 8 9

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.7
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PENYELESAIAN PERSELISIHAN (KASUS)

NO KABUPATEN/KOTA JENIS PERSELISIHAN (KASUS) DI LUAR PENGADILAN DI PROSES JUMLAH


BIPARTIT MEDIASI KONSILIASI ARBITRASI JUMLAH PENGADILAN DALAM PROSES SELESAI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12:(8+9)

1. Hak

2. Kepentingan

3. PHK

4. Antar SP/SB

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

47
48
FORM : A.8
PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
KABUPATEN/KOTA/
NO KECAMATAN PEKERJA YANG TER PHK (ORANG
ALASAN PHK JUMLAH PERKARA
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7:(5+6)

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.9
SYARAT-SYARAT KERJA DAN PERANGKAT HUBUNGAN INDUSTRIAL
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
SARANA HUBUNGAN INDUSTRIAL (PERUSAHAAN/LEMBAGA)
NO KABUPATEN/KOTA
PERATURAN PERUSAHAAN (PP) PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
SP/SB FEDERASI KONFEDERASI LKS BIPARTIT LKS TRIPARTIT
BUMN SWASTA JUMLAH BUMN SWASTA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

49
50
FORM : A.10
MONITORING JUMLAH
TENAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PERSONIL PENYELESAIAN PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (ORANG)
NO
KABUPATEN/KOTA MEDIATOR KONSILIATOR ARBITER
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.11
DATA PERUSAHAAN WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
KLASIFIKASI PERUSAHAAN
KECIL (Jumlah Tenaga Kerja < 25 orang) SEDANG (Jumlah Tenaga Kerja 26-99 orang) BESAR (Jumlah Tenaga Kerja > 100 orang)
STATUS PERUSAHAAN
NO KABUPATEN/KOTA TENAGA KERJA TENAGA KERJA TENAGA KERJA
WNI WNA JMH WNI WNA JMH WNI WNA JMH

JUMLAH
JUMLAH
JUMLAH
SWAS

PERUSAHAAN
PERUSAHAAN
PERUSAHAAN
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH TA
JOIN JMH
PMDN PMA VENTURA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

51
52
FORM : A.12
PEMERIKSAAN, PENGUJIAN DAN PENYIDIKAN
BULAN: ..................... TAHUN : ......................

PROVINSI :
JUMLAH PENGAWAS JUMLAH
KETENAGAKERJAAN KEGIATAN PENGAWASAN JUMLAH PENGHENTIAN PUTUSAN
NO PELANGGARAN PERUSAHAAN YANG PENYIDIKAN
KABUPATEN/KOTA
LAKI-LAKI PEREMPUAN PEMERIKSAAN PENGUJIAN DIAJUKAN BAP DENDA KURUNGAN
(orang) (orang) (kali) (kali) (perusahaan) (kasus) (perusahaan) (perusahaan) (Rp) (Bulan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : A.13
MONITORING JUMLAH KASUS DAN KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
JUMLAH KASUS (ORANG)
AKIBAT KECELAKAAN
KABUPATEN/KOTA BIDANG USAHA KERJA
NO PERUSAHAAN JUMLAH
KECELAKAAN KERJA PENYAKIT AKIBAT KERJA (ORANG)

1 2 3 4 5 6 7:(5+6)

1. Sembuh

2. Sementara Tidak Mampu Bekerja


(STMB)

3. Cacat

4. Meninggal

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

53
54
FORM : A.14
KEPESERTAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
KEPESERTAAN PROGRAM (ORANG)
TK TERDAFTAR TK TERDAFTAR JAMINAN JAMINAN
JUMLAH PERUSAHAAN (WNI) (WNA) KECELAKAAN JAMINAN JAMINAN HARI PEMELIHARAAN
NO KABUPATEN/KOTA TERDAFTAR KERJA (JKK) KEMATIAN (JKM) TUA (JHT) KESEHATAN (JPK)
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM
BIDANG
KETRANSMIGRASIAN

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 55


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
56
FORM : B.1
RENCANA PENGERAHAN DAN PENEMPATAN TRANSMIGRASI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :

JUMLAH JUMLAH JUMLAH DAERAH TUJUAN PENEMPATAN


NO KABUPATEN/KOTA ANIMO PENDAFTAR TERSELEKSI
(KK) (KK) (KK) PROVINSI KABUPATEN/KOTA KK
1 2 3 4 5 6 7 8

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH

Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi


Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : B.2
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PENYIAPAN PERMUKIMAN, SIAP TERIMA PENEMPATAN (STP) DAN PEMBERANGKATAN PENEMPATAN (SPP)
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
SIAP TERIMA SIAP
PEMBUKAAN PEMBANGUNAN PRASARANA SARANA FASILITAS PENEMPATAN PEMBERANGKATAN
PROGRAM LAHAN RTJK AIR BERSIH UMUM
JALAN JEMBATAN JEMBATAN NS GORONG2 DRAINASE (STP) PENEMPATAN (SPP)
(L/M/C) POLA
NO KABUPATEN/LOKASI T R
T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(KK) (Ha) (%) (Km) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (Km) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (KK) (KK) (KK) (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

JUMLAH

Keterangan: L : Luncuran; M : Murni; C : Cicilan; T : Target; R : Realisasi


RTJK : Rumah Trans dan Jamban Keluarga Kepala SKPD/Instansi
KK : Kepala Keluarga; Data kumulatif dari bulan Januari Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

57
58
FORM : B.3
PENGEMBANGAN PENEMPATAN TRANSMIGRAN BARU (PTB)
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
TARGET PENEMPATAN (KK) REALISASI PENEMPATAN (KK)
NO KABUPATEN/LOKASI
TPA JUMLAH
TPS TPA JUMLAH TPS
DKI JABAR BANTEN JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT LAMPUNG JUMLAH PENEMPATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18=(6+17)

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
TPS: Transmigrasi Penduduk Setempat Kepala SKPD/Instansi
TPA: Transmigrasi Penduduk Asal Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : B.4
PENINGKATAN/REHABILITASI SARANA DAN PRASARANA
PERMUKIMAN TRANSMIGRASI (PTA)/KAWASAN
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PENGEMBANGAN PRASARANA PENGEMBANGAN SARANA
NO KABUPATEN/ JUMLAH RTJK
JALAN JEMBATAN JEMBATAN NS GORONG-2 DRAINASE DERMAGA SAB STANDAR SAB NS FASUM
LOKASI/UPT
T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(KK) (UNIT) (KM) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (KM) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
SAB NS: Sarana Air Bersih Non Standar Kepala SKPD/Instansi
Fasum: Fasilitas Umum Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

59
60
FORM : B.5
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
PENGEMBANGAN USAHA EKONOMI MASYARAKAT TRANSMIGRASI
PRODUKTIFITAS LAHAN KELEMBAGAAN EKONOMI
NO KABUPATEN/LOKASI TAHUN BINA JUMLAH KK PAKET A PAKET B PAKET C PEMBENTUKAN PENGEMBANGAN
T R T R JENIS T R T R
T R USAHA
(PAKET) (%) (PAKET) (%) (PAKET) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : B.5 LANJUTAN FORM : B.5
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................

PROVINSI :
PENINGKATAN KAPASITAS SDM DAN MASYARAKAT TRANSMIGRASI
BANTUAN PANGAN JUMLAH TENAGA PEMBINA
NO KABUPATEN/LOKASI BERAS NON BERAS TENAGA PEMBINA UPT TENAGA GURU TENAGA KESEHATAN ROHANIAWAN
T R T R L P JUMLAH L P JUMLAH L P JUMLAH L P JUMLAH
(Kg) (%) (PAKET) (%) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang)
1 2 3 4 5 6 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

61
62 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
FORM
REALISASI ANGGARAN
DAN KEGIATAN,
PENGADAAN BARANG
DAN JASA SERTA
PERMASALAHAN

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 63


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
64
FORM : C.1
REALISASI KEUANGAN DAN FISIK
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PAGU DIPA (Rp) REALISASI S/D BULAN INI
NO JENIS ANGGARAN/PROGRAM KEUANGAN FISIK (Bobot
AWAL SETELAH tertimbang)
REVISI (Rp) (%) (%)
1 2 3 4 5 6 7

1. Dekonsentrasi
1. Program Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas
2. Program Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja
3. Program Pengembangan Hubungan Industrial dan
Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


4. Program Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan
Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan
5. Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi

SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


6. Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

2. Tugas Pembantuan
1. Program Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan
Produktivitas
2. Program Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja
3. Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi
4. Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : C.2
REALISASI KEUANGAN DAN FISIK
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PAGU DIPA (Rp) REALISASI S/D BULAN INI

NO JENIS ANGGARAN/PROGRAM KEUANGAN FISIK (Bobot tertimbang)


AWAL SETELAH REVISI
(Rp) (%) (%)
1 2 3 4 5 6 7

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

65
66
FORM : C.3
KEMAJUAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
MELALUI PENUNJUKAN/PEMILIHAN/SELEKSI LANGSUNG DAN PELELANGAN, SELEKSI, SAYEMBARA/KONTES
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PAGU ANGGARAN PEMILIHAN PENYEDIA
HPS METODE
BIAYA (Rp) BARANG/JASA SUMBER DANA NILAI KONTRAK NAMA PENYEDIA KLASIFIKASI
NO PAKET PEKERJAAN VOLUME (Rp 000) (Non E-Proc/E-Proc) PENGADAAN (Rp 000) BARANG/JASA USAHA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1. APBN

2. APBD

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
2. BLN

JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

(...................................)
FORM : C.4
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
BULAN: ................... TAHUN : ........................

PROVINSI :
USULAN DAERAH
NO PROGRAM URAIAN MASALAH UPAYA TINDAK LANJUT PENYELESAIAN DI PUSAT
1 2 3 4 5

1. Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan


Produktivitas

2. Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja

3. Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan


Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan

4. Pengembangan Hubungan Industrial dan


Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

5. Pembangunan Kawasan Transmigrasi

6. Pengembangan Masyarakat dan Kawasan


Transmigrasi

Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari


Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota

BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN


SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(...................................)

67
68 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2012
TENTANG
JABATAN-JABATAN TERTENTU YANG DILARANG DIDUDUKI
TENAGA KERJA ASING

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Keputusan Menteri
tentang Jabatan-Jabatan Tertentu Yang Dilarang Diduduki
Tenaga Kerja Asing;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan
Tenaga Kerja Asing;
4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun
2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan-jabatan tertentu yang dilarang diduduki Tenaga
Kerja Asing sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Pebruari 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN-JABATAN TERTENTU YANG DILARANG DIDUDUKI


TENAGA KERJA ASING

NAMA JABATAN
NO. KODE
INDONESIA INGGRIS
ISCO
1. Direktur Personalia 1210 Personnel Director
2. Manajer Hubungan 1232 Industrial Relation Manager
Industrial
3. Manajer Personalia 1232 Human Resource Manager
4. Supervisor Pengembangan 1232 Personnel Development
Personalia Supervisor
5. Supervisor Perekrutan 1232 Personnel Recruitment
Personalia Supervisor
6. Supervisor Penempatan 1232 Personnel Placement
Personalia Supervisor
7. Supervisor Pembinaan 1232 Employee Career Development
Karir Pegawai Supervisor
8. Penata Usaha Personalia 4190 Personnel Declare
Administrator

9. Kepala Eksekutif Kantor 1210 Chief Executive Officer


10. Ahli Pengembangan 2412 Personnel and Careers
Personalia dan Karir Specialist
11. Spesialis Personalia 2412 Personnel Specialist

12. Penasehat Karir 2412 Career Advisor

13. Penasehat tenaga Kerja 2412 Job Advisor

14. Pembimbing dan Konseling 2412 Job Advisor and Counseling


Jabatan
15. Perantara Tenaga Kerja 2412 Employee Mediator

16. Pengadministrasi 4190 Job Training Administrator


Pelatihan Pegawai
17. Pewawancara Pegawai 2412 Job Interviewer
18. Analis Jabatan 2412 Job Analyst
NAMA JABATAN
NO. KODE
INDONESIA INGGRIS
ISCO
19. Penyelenggara 2412 Occupational Safety Specialist
Keselamatan Kerja
Pegawai

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Pebruari 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

KEPllTUSAN GUBERHUR KEPULAUAN RlAU

NOHOR. 23'0 TAHUN 2012

T'ENTANG

PENETAPAN UPAH MINIMUM SCKTORJNOUSTRI OGAM


KOTA SATAN TAHUN 2012

GUBERNUR KEPULAUAN RlAU,

3. bahwa sesuai dengan pasal 11 ayat (1) Pera ran Mentf'"i Tenaga
Kerja Nomor : Pef-{)1/MEN/1999, Usulan Pen pan U~ Minimum
Sektoral, , Dlrundiogkan dan Disepakab oleh iasl Petusahaan I
Perus.ahaan dan Serilart: Peke.-ja ..., dalam hal ini d~ksudk3n
bahwa dalam penetapan Upah Minimum ral (U~) benar­
benar didasati atas adanya - kesepakat3 berSarn.a
or antara
Pengusaha dengan Serikat Merja tanpa sa.latu
unsur
paksaan dan atau k.ewa1lban;

b bahwa dalam perundingan antara Pen OPe F-SP', LEM-SPSl


Kota Batam dengan pinak Pengusaha yang diwaJdIt ~ Asosiasl
Galangan Kapal Batam (Batam Shipyard & AsSexiatioll-
BSOA) tanggal 9 Februari 2012 tdah dicapai katar-
bersama
tentang Upah Minimum Sektoral Tahun 012 SeIdt::ir Industri
Logam~

c bahwa berdasarkan huruf a dan b di a periu ditif,daldanjuti


dengan penetapan Upah Minimum SeJdor ustri ~m Kota
Batam Tahun 2012 dengan Keput:usan Kepula$n Riau;

Mengingat . 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992


T eoaga Ket'ja (Lembaran Negarn Republik lhAJ.......,..,bo

Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara


3468);
2. Undang-Undaog Nomor 21 Tahun
PekerjaJSerbt Buruh (lembaran Negara r.c:1J\~
2000 Nomor 131, Tambahan Lembarao ........~
Nemer 3989); .

3. Undang-tJndang Nomor 25 Tahun 2002


Provlnsi Kepulaoan ruau (Lembanm
Tahun 2002 Nornor 111, Tambahan
Indonesia Hornor 4237);
4. Undang-Undang NomoI" 13 Tahun 2003 t . ~gakerjaan
(Lembatan Negara ~ Indooesia To 2003 r;omor 39,
Tambahan Lembaonln Negara ~ IrviI'..v.c"", Nomor 1279):

?
5. Undang-Undang Nomor 32 iahun 200·1 itentang Pemerin~hC3n
Oaerah (Lembaran Negara Republlk Lndone~la Tanun 2004 Nemor
125, Tambahan LemOaran Negara Republlk lndon~ia Nemor 4437) .. _
seba~imana telah diubah beberapa ksli teEkhir dengan Undang­
Undang Nemer 12 Tahun 2008 tentang erubahan Kedua Atas
Und~ng-Undang Nomor 32 Tahun 2.004 ntang ~nw.rlntahan
Daerah (L.embaran Negara Republik Indone .Ia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Ne~ara Re;:;ubiil< Inponesia Nomor 4844j;
6, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 \tenmng Perimoongan
Keuangan antara Pemerintah Pusa~ da1
Pemerlntah Daerah
(Lembaran Negara Republlk Indonesia Ta~un 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nemor 4438);
I
7. Peraruran Pemerintah Nomer 8 Tahun 198~ tentang Perlindungan
Upah (L.embaran Negara Republik Indonesia \Tahun 1981 Nomer 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik It;denrsia Nomor 3190);

s. KepLItusan Praslden Nemer 83/P iqhl1n 2010 tentang


Pengesahan Pengangkatan Drs H. MUH1MIv1AD SANI dan Dr,
H, M SOERYA RESPATIONO, SH, MH sebagai Gubernur dan
WakJl Gubernur Kepulauan Riau ~",'asa Jab~tan 2010-2015;
I
9. Peraturan f'<1enteri Tenaga Kerja Republi~ Indonesia Nomor :
Per.OljMEN/1999 jo Keputusan Henteri I Tenaga Kerja dan
Transmigrasl Repubiik IndonesiJ Nomor i: KEP.226/tvlEN/2000
tentang· Upah f'.1Inlmurr:;
I
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan ~ransmigra5i Republik
Indonesia Namor : PER·17/MEN/V1II/2005·t~ntang Komponen dan
Pelaksanaan Tahap Pencapaian Kebut~han Hipup layak;
I
j 1
Pcraturan Daerah Provlnsl Kepulauan Riau f'jomor 06 Tahun 2008

tentang Urusan· Pemerintah Yang Menjadi Kerenangan Pemertntah

provlnsl Kepuiauan Rlau (L.embaran Daerah P~ovlnsi Kepulauan Riau

Tahun 2008 Nomor 06); \

~emperhat:kan 1. Surat Walikota Batam Nomor : 063/S611lT/2012 Tanggal 20


Februari 2012, perihal Usulan UfvlS Ir~dustrT: Logam Keta Satan>
Tahun 2012;
2, Berlta Ac.ara Kesepakatan antara pengurus\ DPCF-SP LEM-SPS~
Kota Batam dengan pihak Pengusaha yang i diwaklll oleh AsoSlaSI
Galangan Kapal Batam (Batam Shipyard & qJffshore Association ­
BSOA) tanggal 9 FEbnJari 2012 telah dicapai Lkesepakatan bersam~
tentang Upah tviinimum Sektoral Tahun fO:2 Sektor Industn
L~am; i
I

MEMUTUSKAN :

i'>lenetapkan
. \ . -­
KESATU Penetapan Upan MinImum Sektor Industri Logar
Kota Batam Tahun
2012 adalah sebesar Rp. 1.480.000,- (Satu Juta Empat Raws Delapan
Puluh Rlbu ;:<,uplah) per bulan.
I
Besaran Penetapan Upah Minimum Sektor Logam Batam I~ «eta
Tahun 2012 seba.gaimana dimaksudkan pada dl urn KESAjU di atas,
meHputi Sektor(Sub 5eJctDr Industrf dengan Nang' P ~i Klasifikasi
&lku Lapangan Usaha Indonesia (KBU) 2005, i berirut : ;
L Industri pipa dan sambt..I'lgan pipe:! dart baja
27103);
2. Indt£bi ~ Iogam Ix.dcan best dan baja I<Bll i7320);
3. Industn mesin-me:sin l.I1tUk pertambangao, ~ koostruksi
(Kode KBlI 29240); I
4 IndustJi perl)aii:an dan pe.rnbuatan Icapa1 perahui - kecuali
pembuatao perahu dan kayu (t<ode ~ 3511); i
Kal Uti sesual deng.an Surat Walikota Batarn N : 063Ii;61/II12012
Tdflggal 20 Februari 2012 dan cfiberfaJa.:kan bagi pdcerja yang
mempunyal masa kerja k;urang dari SC3hl tahun. 1...lI1tUk pekesja
dengan masa kerja di atas saw tatum terlebih dahu u meIa.Iui rOusyawarah
dan peruncfingan bersama antara pengusaha dan . ~ sebaj)(­
baiknya.

Perusahaan ,ong telah memberikan upah iebih gi daripada keretapan


Upah t-linirnum Sektor Industn Logam Kota Salam Tahun 2012 ini, ti<1ak
jb€ n arKOii! mengurangi atau menurunkan upah s ai Pasal 16 Peraturan
~/~~~! .. ~~~•.-; ~ '" .. ~ _r..-, R£oub~k_ lrvdc,~~'~ NO!'r'~r ~ PE,~~ Q1jr-Ah£N!1999
1 ~ jdiTJdri 1 'J~,;! tentanq r·1iii:tr1UiTl, 1
- I
,~;;P""~(.·.r:r'\"'''
-'-"'~r""""
'""',..., rt-!l52'1
""7"- ~-r-"" .. "]' l1"..,Jka
'" in: . '. K""'"
."Ci:~
-ttle~n
..-.r~~
Guhorr"
"--.O'.~
'\w
'r l<>nu~"~n
'-. -~
;:~;cw Noma, '}Q Taht.l~ 2011 tanggal 24 Fe:....~:. !ar1
t'f:!!1t3 ng Pene~r~"L" 2S:1
. ,'. >rt~i;~;;Jrn Se~LVr I:;duSi Lc.g~m f<c~ e-3t3.rn jZhun 2D 11. dinya~k:a!1
be;:;,. ;::,,=no;.:;,~ i
,'', .!~'l
.,,'
••.• I. U'''-
... -.-l~(r"
L":l'::Jt.O-C\.\".oo r=-'~
~1.0 +-"",...,-,;;,1
&...a:~~... d:~" i!".k~""
ti..\....td...... ·u...Hr
.-I",,,
V"',.,...~ ,...i1"\U-,.....,I~
. . . . . . +i7~~~r

t.?er!.Jku SDr:.....' t ;:;ejak Gt"'h,.--:gal 01 Januari ~201~'.Kem1ruan 'apatma


c!ikemudiafl haM ter"...apat keke!:iruan dalam va alam diadakan
p.erb.aik:a.'1 sel::::.aga iman,a mestinya
I
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI,DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR
NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: 2 TAHUN 2012


NOMOR: KEP.28/MEN/I/2012
NOMOR: SKB/01/M.PAN-RB/01/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI


TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI NEGARA
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
NOMOR: 7 TAHUN 2011; NOMOR: 04/MEN/VII/2011; NOMOR:
SKB/03/M.PAN-RB/2011 TENTANG HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI
BERSAMA TAHUN 2012

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN
REFORMASI BIROKRASI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja, hari
libur dan cuti bersama, perlu menetapkan tanggal 31
Desember 2012 sebagai hari cuti bersama tahun baru Masehi
2013;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut huruf a, perlu
menata kembali pelaksanaan cuti bersama tahun 2012;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan
Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi,dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Perubahan Atas
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2012;

Mengingat: ...
-2–

Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967
tentang Hari-Hari Libur sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun
1971;
2. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari
Tahun Baru Imlek;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN BERSAMAMENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI,DAN MENTERI NEGARA
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI
BIROKRASITENTANGPERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN
BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI,DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI NOMOR: 7
TAHUN 2011; NOMOR: 04/MEN/VII/2011; NOMOR:
SKB/03/M.PAN-RB/07/2011 TENTANG HARI LIBUR
NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2012.

Pasal I

Mengubah huruf B Lampiran Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi,dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 7 Tahun 2011;
Nomor: 04/MEN/VII/2011; Nomor: SKB/03/M.PAN-RB/07/2011 tentang Hari
Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2012 menjadi berbunyi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Keputusan Bersama ini.

Pasal II ...
-3–

Pasal II
Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2012

MENTERI AGAMA, MENTERI MENTERI NEGARA


TENAGA KERJA DAN PENDAYAGUNAAN APARATUR
TRANSMIGRASI, NEGARADAN REFORMASI
BIROKRASI,

ttd. ttd. ttd.

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR AZWAR ABUBAKAR


-4–

LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMAMENTERI AGAMA,


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,DAN
MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR
NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR: 2 TAHUN 2012
NOMOR: KEP.28/MEN/I/2012
NOMOR: SKB/01/M.PAN-RB/01/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI
AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR
NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI NOMOR: 7 TAHUN
2011; NOMOR: 04/MEN/VII/2011; NOMOR:
SKB/03/M.PAN-RB/07/2011 TENTANG HARI LIBUR
NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2012

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2012

No. Tanggal Hari Keterangan

1. 18 Mei Jumat Cuti Bersama Kenaikan Yesus Kristus

2. 21-22 Agustus Selasa – Rabu Cuti Bersama Idul Fitri1433 Hijriyah

3. 16 Nopember Jumat Cuti Bersama Tahun Baru Hijriyah 1434

4. 24 Desember Senin Cuti Bersama Hari Raya Natal

5. 31 Desember Senin Cuti Bersama Tahun Baru Masehi 2013

MENTERI AGAMA, MENTERI MENTERI NEGARA


TENAGA KERJA DAN PENDAYAGUNAAN APARATUR
TRANSMIGRASI, NEGARADAN REFORMASI
BIROKRASI,

ttd. ttd. ttd.

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR AZWAR ABUBAKAR


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN


STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan penetapan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia;

b. bahwa tata cara penetapan standar kompetensi kerja


nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
merupakan pelaksanaan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 7
ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang


Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4445);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang


Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4637);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);

6. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka


Kualifikasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 24);

7. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5


Tahun 2012 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja
Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 338);

9. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun


2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI
KERJA NASIONAL INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat


SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Rencana Induk Pengembangan SKKNI, yang selanjutnya disebut RIP


SKKNI, adalah dokumen rencana program pengembangan SKKNI yang
disusun oleh instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan
usaha.

3. Peta kompetensi adalah gambaran komprehensif tentang kompetensi dari


setiap fungsi dalam suatu lapangan usaha yang akan dipergunakan
sebagai acuan dalam menyusun standar kompetensi.

2
4. Pengembangan SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam
rangka penyusunan dan kaji ulang SKKNI.

5. Verifikasi SKKNI adalah proses penilaian kesesuaian rancangan dan


proses dari suatu perumusan SKKNI terhadap ketentuan dan/atau acuan
yang telah ditetapkan.

6. Kaji ulang SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam


rangka perbaikan dan pengembangan berkelanjutan terhadap SKKNI agar
sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan persyaratan pekerjaan.

7. Regional Model Competency Standard, yang selanjutnya disingkat RMCS,


adalah model standar kompetensi yang pengembangannya menggunakan
pendekatan fungsi dari proses kerja untuk menghasilkan barang
dan/atau jasa.

8. Instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan usaha, yang


selanjutnya disebut Instansi Teknis, adalah kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang memiliki otoritas teknis dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha
tertentu.

9. Komite Standar Kompetensi adalah lembaga yang dibentuk oleh instansi


teknis dalam rangka membantu pengembangan SKKNI di sektor atau
lapangan usaha yang menjadi tanggung jawabnya.

10. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di


bidang pelatihan dan produktivitas di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.

11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan acuan kepada Instansi


Teknis dan pemangku kepentingan dalam penyusunan, penetapan dan kaji
ulang SKKNI di sektor atau lapangan usaha masing-masing.

BAB II
KELEMBAGAAN

Pasal 3

Kelembagaan pengembangan standar kompetensi terdiri atas Kementerian


Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Instansi Teknis, Komite Standar Kompetensi,
Tim Perumus SKKNI dan Tim Verifikasi SKKNI.

Pasal 4

(1) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 3 memiliki peran dan fungsi:
a. pembinaan umum dan teknis pengembangan SKKNI secara nasional;
b. penetapan norma dan kebijakan nasional pengembangan SKKNI;
c. pengkoordinasian dan fasilitasi pengembangan SKKNI di sektor atau
lapangan usaha; dan
d. penetapan SKKNI.
3
(2) Instansi Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 memiliki peran dan
fungsi di sektor atau lapangan usaha masing-masing, meliputi:
a. pengembangan SKKNI;
b. koordinasi dan fasilitasi pengembangan SKKNI;
c. penetapan pemberlakuan SKKNI; dan
d. pembentukan Komite Standar Kompetensi.

Pasal 5

(1) Komite Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


memiliki peran dan fungsi di sektor atau lapangan usaha masing-masing,
meliputi:
a. penyusunan RIP SKKNI ;
b. pembentukan Tim Perumus dan Tim Verifikasi SKKNI;
c. penilaian usulan penyusunan SKKNI;
d. pengembangan SKKNI;
e. penyelenggaraan Pra Konvensi dan Konvensi Rancangan SKKNI; dan
f. pemantauan dan kaji ulang SKKNI.

(2) Komite Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dibentuk oleh Instansi Teknis dengan susunan organisasi dan
keanggotaan sebagai berikut:
a. Pengarah;
b. Ketua merangkap anggota;
c. Sekretaris merangkap anggota;
d. Anggota, yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan yang
merepresentasikan unsur Instansi Teknis yang bersangkutan, Instansi
Teknis terkait, perusahaan atau asosiasi perusahaan, asosiasi profesi,
lembaga atau asosiasi lembaga pendidikan dan pelatihan, Lembaga
Sertifikasi Profesi, serikat pekerja dan/atau pakar kompetensi.

(3) Komite Standar Kompetensi didukung oleh sekretariat, dengan tugas


memberi dukungan teknis dan administratif.

(4) Komite Standar Kompetensi dan sekretariat didukung pendanaan yang


bersumber dari anggaran Instansi Teknis yang bersangkutan.

(5) Dalam hal Instansi Teknis telah memiliki satuan kerja yang tugas dan
fungsinya di bidang standardisasi, maka tugas dan fungsi Komite Standar
Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tugas satuan
kerja yang bersangkutan.

Pasal 6

Tim Perumus SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersifat ad hoc,


dibentuk oleh Komite Standar Kompetensi dengan tugas:
a. menyusun Rancangan SKKNI di sektor atau lapangan usaha masing-
masing; dan
b. melakukan kaji ulang Rancangan SKKNI.

Pasal 7

Tim Verifikasi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersifat ad hoc,


dibentuk oleh Komite Standar Kompetensi dengan tugas melakukan verifikasi
Rancangan SKKNI di Instansi Teknis masing-masing sebelum pra konvensi.

4
BAB III
PERSYARATAN UMUM

Pasal 8

Rancangan SKKNI yang akan ditetapkan sebagai SKKNI harus memenuhi


prinsip:
a. relevan dengan kebutuhan dunia usaha atau industri di masing-masing
sektor atau lapangan usaha;
b. valid terhadap acuan dan/atau pembanding yang sah;
c. aseptabel oleh para pemangku kepentingan;
d. fleksibel untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhan pemangku
kepentingan; dan
e. mampu telusur dan dapat dibandingkan dan/atau disetarakan dengan
standar kompetensi lain, baik secara nasional maupun internasional.

Pasal 9

Rancangan SKKNI yang akan ditetapkan sebagai SKKNI sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi ketentuan:
a. berisi rumusan tentang kompetensi tugas, kompetensi manajemen tugas,
kompetensi menghadapi keadaan darurat dan kompetensi menyesuaikan
diri dengan lingkungan kerja, termasuk tanggung jawab dan bekerja sama
dengan orang lain;
b. mencerminkan pekerjaan yang realistik berlaku di tempat kerja secara
umum di sektor atau lapangan usaha tertentu;
c. dirumuskan dengan orientasi hasil kerja (outcomes); dan
d. dirumuskan secara terukur dengan bahasa yang jelas, sederhana, dan
mudah dipahami oleh pengguna SKKNI.

Pasal 10

(1) Penyusunan SKKNI di setiap sektor atau lapangan usaha mengacu pada
peta kompetensi yang disusun dalam RIP SKKNI di sektor atau lapangan
usaha yang bersangkutan.

(2) Penyusunan SKKNI dan pemetaan kompetensi sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), mengacu pada RMCS.

Pasal 11

(1) Pemetaan SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) disusun
dalam susunan fungsi pekerjaan yang mencakupi:
a. tujuan utama (main purpose);
b. fungsi kunci (key function) dari tujuan utama (main purpose);
c. fungsi utama (major function) dari fungsi kunci (key function); dan
d. fungsi dasar (basic function) dari fungsi utama (major function),
dari lapangan usaha pada klasifikasi kategori, golongan pokok, golongan
atau sub golongan usaha tertentu.

(2) Fungsi dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diidentifikasi
sebagai unit kompetensi.

5
Pasal 12

SKKNI pada setiap kategori, golongan pokok, atau golongan usaha tertentu
dapat disusun dalam kemasan sebagai berikut:
a. kualifikasi nasional, dengan mengacu pada jenjang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia;
b. jabatan atau okupasi nasional, dengan mengacu pada tugas dan fungsi
jabatan atau okupasi;
c. klaster kompetensi, dengan mengacu pada kebutuhan khusus kompetensi
tertentu sesuai kebutuhan industri atau organisasi.

Pasal 13

(1) SKKNI disusun dengan struktur sebagai berikut:


a. kode unit;
b. judul unit ;
c. deskripsi unit;
d. elemen kompetensi;
e. kriteria unjuk kerja;
f. batasan variabel; dan
g. panduan penilaian.

(2) Struktur dan format penulisan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) secara rinci tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IV
PERENCANAAN

Pasal 14

(1) Komite standar kompetensi menyusun RIP SKKNI sesuai sektor atau
lapangan usaha masing-masing untuk jangka waktu 3 (tiga) sampai 5
(lima) tahun.

(2) RIP SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain:
a. pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, tujuan, dan
ruang lingkup;
b. acuan normatif yang berisi standar dan regulasi teknis yang dipakai
sebagai dasar dan acuan dalam penyusunan RIP SKKNI;
c. metode yang digunakan dalam penyusunan RIP SKKNI;
d. deskripsi peta fungsi pekerjaan;
e. peta kompetensi yang ada atau yang diperlukan di setiap peta fungsi
dari sektor atau lapangan usaha, serta prioritas penyusunannya;
f. program, rencana anggaran dan jadwal pelaksanaannya.

(3) Prioritas penyusunan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
mempertimbangkan aspek:
a. keselamatan dan kesehatan;
b. potensi terjadinya perselisihan; dan/atau
c. peningkatan daya saing produk barang atau jasa tertentu dalam
persaingan global.

6
Pasal 15

(1) RIP SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, sebagai dasar untuk
menyusun rencana tahunan perumusan dan penetapan SKKNI.

(2) Rencana tahunan perumusan dan penetapan SKKNI sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), memuat antara lain:
a. jumlah dan jenis SKKNI yang akan dirumuskan dan ditetapkan;
b. kegiatan yang akan dilakukan;
c. biaya yang diperlukan;
d. rencana pelaksanaan kegiatan dan jadwal.

BAB V
PERUMUSAN RANCANGAN SKKNI

Bagian Kesatu
Inisiasi Perumusan SKKNI

Pasal 16

(1) Inisiasi perumusan SKKNI dapat dilakukan oleh Instansi Teknis atau
pemangku kepentingan lainnya.

(2) Pemangku kepentingan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


meliputi masyarakat, asosiasi industri, dan asosiasi profesi.

(3) Inisiasi perumusan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan adanya kebutuhan SKKNI baru
atau kebutuhan perbaikan atau pengembangan SKKNI yang telah ada.

(4) Inisiasi perumusan SKKNI harus disampaikan kepada Instansi Teknis


dalam hal ini Komite Standar Kompetensi sesuai dengan sektor atau
lapangan usaha masing-masing.

(5) Komite Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),


melakukan justifikasi kelayakan tuntutan kebutuhan SKKNI berdasarkan:
a. sistem industri dan/atau regulasi teknis golongan SKKNI yang
diusulkan;
b. RIP SKKNI.

(6) Dalam hal usulan perumusan SKKNI dinyatakan layak, maka Komite
Standar Kompetensi memasukkan usulan dimaksud ke dalam rencana
tahunan perumusan dan penetapan SKKNI dan mengusulkannya kepada
Instansi Teknis.

Bagian Kedua
Pembentukan Tim Penyusun SKKNI

Pasal 17

(1) Komite Standar Kompetensi membentuk Tim Perumus dan Tim Verifikasi
untuk jenis SKKNI yang telah diprogramkan dalam rencana tahunan
perumusan dan penetapan SKKNI di masing-masing kategori, golongan
pokok, golongan, atau sub golongan usaha tertentu.

7
(2) Tim Perumus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kompetensi:
a. metodologi perumusan standar kompetensi;
b. substansi teknis sesuai dengan bidang kerja yang relevan dengan
SKKNI yang akan disusun.

(3) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kompetensi:
a. metodologi verifikasi standar kompetensi;
b. substansi teknis sesuai dengan bidang kerja yang relevan dengan
SKKNI yang akan disusun.

(4) Tim Perumus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan
tugas, dapat dibantu narasumber.

Pasal 18

Tim Perumus dan Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17


bertanggung jawab kepada Komite Standar Kompetensi.

Bagian Ketiga
Perumusan Rancangan SKKNI

Pasal 19

(1) Rancangan SKKNI diidentifikasi sebagai Rancangan SKKNI-1, Rancangan


SKKNI-2, dan Rancangan SKKNI-3.

(2) Sistematika dan penulisan SKKNI sebagaimana tercantum dalam


Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

(3) Perumusan Rancangan SKKNI dapat dilakukan dengan metode adopsi,


adaptasi dan/atau riset lapangan.

(4) Dalam hal perumusan Rancangan SKKNI dilakukan dengan metode adopsi
atau adaptasi harus memperhatikan persyaratan:
a. hak cipta;
b. standar kompetensi yang diadopsi atau diadaptasi, telah diakui dan
diberlakukan secara luas pada tingkat nasional atau internasional;
c. struktur dan formatnya sama, setara atau sebanding dengan struktur
dan format RMCS;
d. identitas standar kompetensi yang diadopsi dinyatakan dengan jelas,
antara lain yang menyangkut nomor, judul, tanggal atau tahun
publikasi dan tingkat kesetaraannya dengan SKKNI.

(5) SKKNI hasil adopsi wajib diamandemen dengan segera apabila terjadi
perubahan atas standar kompetensi yang diadopsi atau diadaptasi.

Pasal 20

(1) Perumusan Rancangan SKKNI dilakukan oleh Tim Perumus dengan


mengacu pada rencana tahunan perumusan dan penetapan SKKNI di
masing-masing sektor atau lapangan usaha, serta arahan atau ketentuan
Komite Standar Kompetensi.

(2) Rancangan SKKNI disusun menggunakan model RMCS dengan struktur


SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

8
Pasal 21

(1) Rancangan SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, disampaikan


oleh Tim Perumus kepada Tim Verifikasi untuk diverifikasi kesesuaiannya.

(2) Verifikasi Rancangan SKKNI dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:


a. struktur Rancangan SKKNI telah sesuai dengan struktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13;
b. substansi Rancangan SKKNI telah dirumuskan secara jelas, tepat dan
akurat dengan presisi yang mampu telusur dengan standar proses
kerja di industri, organisasi, atau produk/jasa.

(3) Rancangan SKKNI yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) diidentifikasi sebagai Rancangan SKKNI-1.

Pasal 22

(1) Rancangan SKKNI-1 divalidasi melalui pra konvensi.

(2) Pra konvensi Rancangan SKKNI-1 diselenggarakan oleh Komite Standar


Kompetensi di masing-masing instansi teknis.

(3) Pra konvensi Rancangan SKKNI-1 diikuti oleh pakar dan/atau praktisi
antara lain dari unsur pemangku kepentingan industri, kelompok profesi,
lembaga pendidikan dan pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi, Intansi
Teknis, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional
Sertifikasi Profesi.

(4) Pra konvensi Rancangan SKKNI-1 dinyatakan sah apabila dihadiri oleh
paling sedikit 2/3 dari peserta yang diundang.

(5) Pra konvensi Rancangan SKKNI-1 juga harus memperhatikan masukan


tertulis yang disampaikan oleh peserta yang berhalangan hadir.

(6) Peserta yang berhalangan hadir tetapi menyampaikan masukan secara


tertulis, dianggap peserta yang hadir dalam pra konvensi.

(7) Hasil pra-konvensi disetujui secara aklamasi oleh peserta pra-konvensi.

(8) Rancangan SKKNI-1 diperbaiki berdasarkan hasil pra konvensi dan


disampaikan oleh Instansi Teknis kepada Direktur Jenderal Cq. Direktur
Standardisasi Kompetensi dan Program Pelatihan untuk diverifikasi.

Pasal 23

(1) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan verifikasi


Rancangan SKKNI-1 hasil pra konvensi.

(2) Verifikasi Rancangan SKKNI-1 dilakukan dengan kriteria sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2).

(3) Verifikasi Rancangan SKKNI-1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak diterimanya dari Instansi Teknis.

9
(4) Rancangan SKKNI-1 yang telah memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diidentifikasi sebagai Rancangan SKKNI-2.

Pasal 24

(1) Rancangan SKKNI-2 dibakukan melalui Konvensi Nasional.

(2) Konvensi Nasional diikuti oleh peserta dari unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3).

(3) Konvensi Nasional Rancangan SKKNI-2 dinyatakan sah apabila dihadiri


oleh paling sedikit 2/3 dari peserta yang diundang.

(4) Konvensi Nasional Rancangan SKKNI-2 juga harus memperhatikan


masukan tertulis yang disampaikan oleh peserta yang berhalangan hadir.

(5) Peserta yang berhalangan hadir tetapi menyampaikan masukan secara


tertulis, dianggap peserta yang hadir dalam konvensi.

(6) Rancangan SKKNI-2 yang telah disepakati secara aklamasi dan telah
diperbaiki oleh Tim Perumus diidentifikasi menjadi Rancangan SKKNI-3.

(7) Rancangan SKKNI-3 disampaikan oleh Instansi Teknis kepada Direktur


Jenderal Cq. Direktur Standardisasi Kompetensi dan Program Pelatihan
untuk ditetapkan.

Pasal 25

Keseluruhan proses pra konvensi dan Konvensi Nasional Rancangan SKKNI


harus didokumentasikan secara lengkap dan kronologis oleh Instansi Teknis.

BAB VI
PENETAPAN

Pasal 26

(1) Rancangan SKKNI-3 yang diusulkan oleh Instansi Teknis sebagaimana


dalam Pasal 24 ayat (7) difinalisasi oleh Direktorat Standardisasi
Kompetensi dan Program Pelatihan dalam jangka waktu paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak diterima dari Instansi Teknis.

(2) SKKNI ditetapkan dengan Keputusan Menteri dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari kerja.

BAB VII
KAJI ULANG SKKNI

Pasal 27

(1) Untuk memelihara SKKNI selalu bermanfaat bagi masyarakat, SKKNI yang
telah ditetapkan harus dikaji ulang paling lama 5 (lima) tahun.

(2) Kaji ulang SKKNI dilakukan oleh Komite Standar Kompetensi.

10
(3) Hasil kaji ulang SKKNI dapat berupa rekomendasi:
a. perubahan;
b. pencabutan;
c. tanpa perubahan.

Pasal 28

(1) Hasil kaji ulang SKKNI berupa rekomendasi perubahan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a, dapat berupa:
a. kesalahan redaksional;
b. perbaikan atau penambahan substansi yang sifatnya terbatas;
c. perubahan substansi yang cukup luas atau menyeluruh.

(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak melalui
Konvensi Nasional.

(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
dilaksanakan melalui Konvensi Nasional.

(4) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Instansi
Teknis kepada Menteri.

Pasal 29

(1) Hasil kaji ulang SKKNI berupa rekomendasi pencabutan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b dilakukan apabila SKKNI
tersebut tidak diperlukan lagi.

(2) Pencabutan SKKNI diusulkan oleh Instansi Teknis kepada Menteri untuk
dicabut.

Pasal 30

Hasil kaji ulang SKKNI berupa rekomendasi tanpa perubahan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c dilakukan apabila SKKNI tersebut
masih dinyatakan valid dan relevan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

(1) SKKNI yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara
Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia masih tetap
berlaku sampai dengan batasan waktu dilakukan kaji ulang.

(2) SKKNI yang dalam proses penyusunan sampai dengan tahap Konvensi
Nasional tetap dapat dilanjutkan dengan mengacu pada Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata
Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, sampai
dengan jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.

11
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 32

Tata Cara Pemetaan Kompetensi, Penulisan, Verifikasi, Pra-Konvensi dan


Konvensi, dan Adopsi dan Adaptasi, diatur lebih lanjut dengan keputusan
Direktur Jenderal.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara
Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 33

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 364

12
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA


NASIONAL INDONESIA

STRUKTUR DAN FORMAT PENULISAN


STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI)

A. STRUKTUR

1. Kode Unit
Berisi nomor kode unit kompetensi sesuai dengan kategori, golongan
pokok, golongan dan fungsi utama pekerjaan.

Kode unit kompetensi berjumlah 12 (dua belas) digit yang memuat


kategori, Golongan Pokok, Golongan, sub golongan, kelompok lapangan
usaha, penjabaran kelompok lapangan usaha (mengacu pada Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia yang diterbitkan oleh Biro Pusat
Statistik), nomor urut unit kompetensi dan versi, yaitu sebagai berikut:

X . 0 0 0 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0
(1) (2) (7) (8)
(3)
(4)
(5)
(6)

(1) = Kode Kategori (A, B, C ... dst), diisi 1 huruf sesuai kode huruf
kategori pada KBLUI;
(2) = Kode Golongan Pokok, terdiri dari 2 angka;
(3) = Kode Golongan, terdiri dari 3 angka;
(4) = Kode Sub Golongan, terdiri dari 4 angka;
(5) = Kode Kelompok usaha, terdiri dari 5 angka;
(6) = Kode Penjabaran Kelompok usaha, terdiri dari 6 angka, jika tidak
ada penjabaran kelompok usaha angka terakhir diisi dengan
angka 0;
(7) = Nomor urut unit kompetensi dari SKKNI pada kelompok usaha
atau penjabaran kelompok usaha, terdiri dari 3 digit angka, mulai
dari angka 001, 002, 003 dan seterusnya;
(8) = Versi penerbitan SKKNI sebagai akibat dari adanya perubahan,
diisi dengan 2 digit angka, mulai dari angka 01, 02 dan
seterusnya. Versi merupakan urutan penomoran terhadap urutan
penyusunan atau penetapan unit kompetensi dalam penyusunan
standar kompetensi yang disepakati, apakah standar kompetensi
tersebut disusun merupakan yang pertama kali, hasil revisi dan
atau seterusnya.
2. Judul Unit
Judul unit kompetensi, merupakan bentuk pernyataan terhadap tugas
atau pekerjaan yang akan dilakukan. Judul unit kompetensi harus
menggunakan kalimat aktif yang diawali dengan kata kerja aktif atau
performatif yang terukur.

3. Deskripsi Unit
Berisi deskripsi tentang lingkup pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu secara
kompeten, dalam kaitannya dengan unit kompetensi. Dalam deskripsi,
dapat pula disebutkan keterkaitan unit kompetensi ini dengan unit
kompetensi lain yang memiliki kaitan erat.

4. Elemen Kompetensi
Berisi deskripsi tentang langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan
dalam melaksanakan unit kompetensi. Kegiatan dimaksud biasanya
disusun dengan mengacu pada proses pelaksanaan unit kompetensi,
yang dibuat dalam kata kerja aktif atau performatif.

5. Kriteria Unjuk Kerja


Berisi deskripsi tentang kriteria unjuk kerja yang menggambarkan
kinerja yang harus dicapai pada setiap elemen kompetensi. Kriteria unjuk
kerja dirumuskan secara kualitatif dan/atau kuantitatif, dalam rumusan
hasil pelaksanaan pekerjaan yang terukur, yang dibuat dalam kata kerja
pasif.

6. Batasan Variabel
Berisi deskripsi tentang konteks pelaksanaan pekerjaan, yang berupa
lingkungan kerja, peralatan dan perlengkapan kerja yang digunakan,
norma dan standar, rentang pernyataan (range of statement) yang harus
diacu, serta peraturan dan ketentuan terkait yang harus diikuti.
Batasan variabel minimal dapat menjelaskan :
a. Kontek variabel
Berisi penjelasan kontek unit kompetensi untuk dapat dilaksanakan
pada kondisi lingkungan kerja yang diperlukan dalam melaksanakan
tugas.

b. Peralatan dan perlengkapan


Berisi peralatan yang diperlukan seperti alat, bahan atau fasilitas dan
materi yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang harus
dipenuhi untuk melaksanakan unit kompetensi.

c. Peraturan yang diperlukan


Peraturan atau regulasi yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
pekerjaan.

d. Norma dan standar


Dasar atau acuan dalam melaksanakan pekerjaan untuk memenuhi
persyaratan.

7. Panduan Penilaian
Berisi deskripsi tentang berbagai kondisi atau keadaan yang dapat
dipergunakan sebagai panduan dalam asesmen kompetensi. Diantaranya
deskripsi tentang konteks penilaian, persyaratan kompetensi yang harus
dimiliki sebelumnya (bila diperlukan), pengetahuan dan keterampilan
yang harus dikuasai, sikap kerja yang harus ditampilkan, serta aspek
kritis yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.
2
Panduan penilaian ini digunakan untuk membantu penilai dalam
melakukan penilaian atau pengujian pada unit kompetensi baik pada
saat pelatihan maupun uji kompetensi, meliputi:
a. Konteks penilaian
Memberikan penjelasan tentang hal-hal yang diperlukan dalam
penilaian dan kondisi yang berpengaruh atas tercapainya kompetensi
kerja, serta dimana, apa dan bagaimana penilaian seharusnya
dilakukan.

b. Persyaratan kompetensi
Memberikan penjelasan tentang unit kompetensi yang harus dikuasai
sebelumnya (jika di perlukan) sebagai persyaratan awal yang
diperlukan dalam melanjutkan penguasaan unit kompetensi.

c. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan


Merupakan informasi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi.

d. Sikap kerja yang diperlukan


Merupakan informasi sikap kerja yang harus ditampilkan untuk
tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit kompetensi.

e. Aspek kritis
Memberikan penjelasan tentang aspek atau kondisi yang sangat
mempengaruhi atau menentukan pelaksanaan pekerjaan.

3
B. FORMAT PENULISAN STRUKTUR SKKNI UNTUK SETIAP UNIT
KOMPETENSI

KODE UNIT :

JUDUL UNIT :

DESKRIPSI UNIT :

ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA UNJUK KERJA

1. 1.1

2. 2.1

3. Dst 3.1
3.2 dst.

BATASAN VARIABEL

PANDUAN PENILAIAN

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

4
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012
TENTANG
TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA
NASIONAL INDONESIA

SISTEMATIKA PENULISAN SKKNI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berisi latar belakang kategori atau golongan terkait dengan isi SKKNI,
uraian proses perumusan serta hasil pemetaan unit kompetensi
berdasarkan kategori atau golongan.
B. Pengertian
Memberikan penjelasan tentang pengertian-pengertian yang bersifat teknis
substantif yang terkait dengan unit-unit kompetensi.
C. Penggunaan SKKNI
Memberikan penjelasan tentang pemanfaatan SKKNI pada lembaga
pendidikan atau pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi dan industri.
D. Komite Standar Kompetensi
Berisi daftar atau susunan komite standar kompetensi yang dibentuk oleh
Instansi Teknis serta susunan Tim Perumus dan Tim Verifikasi yang
dibentuk oleh Komite Standar Kompetensi.

BAB II
STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA

A. Pemetaan dan Kemasan Standar Kompetensi


Berisi peta kompetensi dan pengemasan standar kompetensi berdasarkan
kualifikasi, jabatan atau okupasi dan kluster.

B. Daftar Unit Kompetensi


Berisi daftar dan uraian setiap unit kompetensi.

C. Uraian Unit Kompetensi

BAB III
PENUTUP

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2012

TENTANG

KERJASAMA PENGGUNAAN BALAI LATIHAN KERJA OLEH SWASTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka optimalisasi pendayagunaan Balai


Latihan Kerja untuk mendukung peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui pelatihan kerja perlu
dilakukan kerjasama pemanfaatan Balai Latihan Kerja oleh
pihak ketiga dalam pelatihan kerja;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, perlu menetapkan dengan Peraturan
Menteri tentang Kerjasama Penggunaan Balai Latihan
Kerja oleh Swasta;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif


Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4009);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4502);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang


Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4637);

5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;


6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.04/MEN/III/2007 tentang Pedoman Pelayanan Publik
di Lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG KERJASAMA PENGGUNAAN BALAI LATIHAN
KERJA OLEH SWASTA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1. Balai Latihan Kerja yang selanjutnya disingkat BLK, adalah tempat


diselenggarakannya proses pelatihan kerja bagi peserta pelatihan sehingga
mampu dan menguasai suatu jenis dan tingkat kompetensi kerja tertentu
untuk membekali dirinya dalam memasuki pasar kerja dan/atau usaha
mandiri maupun sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan
produktivitas kerjanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya.

2. Kerjasama Penggunaan BLK oleh Swasta adalah pemanfaatan sumber daya


pelatihan BLK yang meliputi sumber daya manusia, program, sarana dan
prasana.

3. Program Pelatihan Kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun


secara sistimatis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai,
materi pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan
sarana pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta
evaluasi dan penetapan kelulusan peserta pelatihan.

4. Pengguna BLK adalah lembaga swasta yang berbadan hukum atau unit
usaha maupun perorangan yang mampu melakukan ikatan hukum.

5. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,


meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

6. Tempat Uji Kompetensi yang selanjutnya disingkat TUK adalah tempat


kerja dan/atau lembaga yang dapat memberikan fasilitas pelaksanaan uji
kompetensi, yang telah diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
berlisensi.

7. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di


lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

2
8. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah
seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan.

9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di


bidang pelatihan kerja di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

Maksud ditetapkannya Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi BLK dan
Pengguna BLK dalam rangka pelaksanaan kerjasama penggunaan BLK.

Pasal 3

Tujuan Peraturan Menteri ini untuk meningkatkan pelaksanaan kerjasama


penggunaan BLK dalam:
a. mengoptimalkan penggunaan sumber daya pelatihan di BLK; dan
b. meningkatkan peran serta swasta dalam pengembangan sumber daya
manusia.

BAB III
BENTUK KERJASAMA

Pasal 4

(1) Bentuk kerjasama penggunaan BLK antara lain meliputi:


a. penyelenggaraan pelatihan kerja;
b. penyelenggaraan uji kompetensi;
c. pembuatan produk barang dan/atau jasa;
d. pemanfaatan fasilitas BLK; dan
e. konsultasi pelatihan.

(2) Penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a, dilaksanakan sesuai dengan kejuruan yang dimiliki BLK atau
sesuai dengan kebutuhan.

(3) Penyelenggaraan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf b, merupakan penyelenggaraan uji kompetensi sesuai dengan
akreditasi TUK yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi berlisensi.

(4) Pembuatan produk barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf c, merupakan kerjasama pembuatan produk barang
dan/atau jasa yang menggunakan fasilitas dan sumber daya manusia.

(5) Pemanfaatan fasilitas BLK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
merupakan pemanfaatan aula, asrama, laboratorium, workshop, atau
fasilitas lainnya yang dimiliki oleh BLK.

3
(6) Konsultasi pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
merupakan pemberian jasa konsultasi yang antara lain meliputi
pengembangan program pelatihan, peningkatan sarana dan prasarana,
manajemen, sertifikasi, pengembangan tenaga kepelatihan.

BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN KERJASAMA

Pasal 5

(1) BLK atau pengguna BLK yang akan menyelenggarakan kerjasama


penggunaan BLK harus memiliki rancangan kegiatan yang diusulkan
untuk dikerjasamakan.

(2) Rancangan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang telah
disepakati oleh BLK dan Pengguna BLK dituangkan dalam bentuk Naskah
Perjanjian Kerjasama.

(3) Naskah Perjanjian Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


sekurang-kurangnya memuat:
a. para pihak yang terlibat dalam perjanjian;
b. dasar perjanjian;
c. maksud dan tujuan;
d. ruang lingkup;
e. peran dan tanggung jawab para pihak;
f. jangka waktu;
g. tempat/lokasi;
h. pembiayaan;
i. monitoring dan evaluasi; dan
j. penyelesaian perselisihan;

(4) Naskah perjanjian kerjasama ditandatangani oleh Kepala BLK dan


pengguna BLK atau orang yang bertanggung jawab sebagai pengguna BLK,
dan diketahui oleh Direktur Jenderal.

Pasal 6

Pendanaan kerjasama penggunaan BLK bersumber dari APBN, APBD,


dan/atau anggaran pengguna BLK yang pelaksanaannya mengacu pada
perjanjian kerjasama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 7

(1) Biaya penggunaan fasilitas BLK dibebankan kepada pengguna BLK.

(2) Biaya penggunaan fasilitas BLK dibedakan berdasarkan bentuk kerjasama


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

4
Pasal 8

(1) Biaya penggunaan fasilitas BLK untuk penyelenggaraan pelatihan kerja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), meliputi:
a. biaya langsung;
b. biaya tidak langsung; dan
c. biaya penunjang.

(2) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. administrasi latihan;
b. bahan latihan;
c. pengadaan diktat atau buku pegangan (hand out materials);
d. honorarium instruktur;
e. pengadaan suku cadang; dan
f. pakaian dan perlengkapan kerja siswa.

(3) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun sesuai
kejuruan pelatihan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pemakaian air;
b. pemakaian listrik;
c. pemakaian telepon;
d. perawatan mesin; dan
e. perawatan gedung.

(5) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan
antara 2 (dua) sampai dengan 10 (sepuluh) persen dari jumlah biaya
langsung dan biaya penunjang.

(6) Biaya penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. konsumsi dan asrama siswa;
b. pelayanan dan kebersihan;
c. kesehatan, olahraga dan rekreasi;
d. eksploitasi kendaraan;
e. pembukaan dan penutupan latihan;
f. widya wisata; dan
g. biaya lain-lain.

Pasal 9

(1) Biaya penggunaan fasilitas BLK untuk penyelenggaraan uji kompetensi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), meliputi:
a. biaya langsung;
b. biaya tidak langsung; dan
c. biaya penunjang.

(2) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. administrasi uji kompetensi;
b. bahan uji kompetensi; dan
c. biaya asesor.

(3) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun sesuai
kejuruan pelatihan atau unit kompetensi berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

5
(4) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pemakaian air
b. pemakaian listrik;
c. perawatan mesin; dan
d. perawatan gedung.

(5) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan
antara 2 (dua) sampai dengan 10 (sepuluh) persen dari jumlah biaya
langsung dan biaya penunjang.

(6) Biaya penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,meliputi:
a. konsumsi peserta uji kompetensi dan asesor; dan
b. pelayanan dan kebersihan.

Pasal 10

(1) Biaya penggunaan fasilitas BLK untuk pembuatan produk barang


dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), meliputi:
a. biaya langsung;
b. biaya tidak langsung; dan
c. biaya penunjang.

(2) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. administrasi pembuatan produk barang;
b. bahan baku pembuatan produk barang; dan
c. honorarium petugas pembuat produk barang.

(3) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun sesuai
kejuruan pelatihan/unit kompetensi berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

(4) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pemakaian air;
b. pemakaian listrik;
c. perawatan mesin; dan
d. perawatan gedung.

(5) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3,) ditetapkan
antara 2 (dua) sampai dengan 10 (sepuluh) persen dari jumlah biaya
langsung dan biaya penunjang.

(6) Biaya penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. konsumsi petugas pembuat produk barang; dan
b. pelayanan dan kebersihan.

Pasal 11

Biaya penggunaan fasilitas BLK untuk pemanfaatan aula, asrama,


laboratorium, atau workshop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5),
meliputi:
a. pemakaian air;
b. pemakaian listrik;
c. perawatan mesin;
d. perawatan gedung; dan
e. pelayanan kebersihan.

6
Pasal 12

Biaya penggunaan fasilitas BLK untuk konsultasi pelatihan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6), meliputi:
a. jasa profesi; dan
b. penggandaan bahan.

Pasal 13

Perincian biaya yang dikenakan kepada pengguna BLK harus dicantumkan


secara jelas dalam naskah perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) huruf h.

BAB VI
PENGELOLAAN BIAYA

Pasal 14

(1) Pengelolaan biaya penggunaan fasilitas BLK yang bukan BLU mengacu
pada aturan PNBP.

(2) Pengelolaan biaya penggunaan fasilitas BLK yang merupakan BLU


mengacu pada aturan BLU.

BAB VII
PELAPORAN

Pasal 15

Kepala BLK wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kerjasama penggunaan


BLK kepada Direktur Jenderal sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 16

Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap


pelaksanaan kerjasama penggunaan BLK.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

7
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 340

8
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2012

TENTANG

PENDANAAN SISTEM PELATIHAN KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3)


Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional, perlu mengatur
pendanaan sistem pelatihan kerja;

b. bahwa pendanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana


dimaksud dalam huruf a merupakan norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Menteri tentang Pendanaan Sistem Pelatihan
Kerja;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang


Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286);

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4400);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang


Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4637);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang


Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4816);

8. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG PENDANAAN SISTEM
PELATIHAN KERJA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1. Sistem Pelatihan Kerja Nasional, yang selanjutnya disebut Sislatkernas,


adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai komponen pelatihan kerja
untuk mencapai tujuan pelatihan kerja nasional.

2. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,


meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

3. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat


SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2
4. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI,
adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat
menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang
pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja, dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur
pekerjaan di berbagai sektor.

5. Lembaga Pelatihan Kerja, yang selanjutnya disingkat LPK, adalah instansi


pemerintah, badan hukum, atau perorangan yang memenuhi persyaratan
untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.

6. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.

7. Masyarakat adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang


berkepentingan dengan Sislatkernas.

8. Pendanaan sistem pelatihan kerja adalah penyediaan dan penggunaan


sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk pelaksanaan Sislatkernas.

9. Pembinaan adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan upaya


peningkatan kapasitas kelembagaan dan/atau perorangan dalam
melaksanakan Sislatkernas.

10. Instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan usaha, yang
selanjutnya disebut Instansi Teknis, adalah kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang memiliki otoritas teknis dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha
tertentu.

11. Dinas provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan provinsi.

12. Dinas teknis provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di sektor
tertentu di provinsi.

13. Dinas kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang


ketenagakerjaan kabupaten/kota.

14. Dinas teknis kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab di


sektor tertentu di kabupaten/kota.

15. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Pendanaan sistem pelatihan kerja dilaksanakan berdasarkan prinsip efektif,


efisien, akuntabel, transparan, adil, kecukupan, dan berkelanjutan.

3
Pasal 3

(1) Pendanaan sistem pelatihan kerja ditujukan ke arah tersedianya dana


secara adil, kecukupan, dan berkesinambungan untuk pelaksanaan
Sislatkernas.

(2) Pendanaan sistem pelatihan kerja dipergunakan untuk kegiatan


pembinaan dan penyelenggaraan Sislatkernas.

BAB II
SUMBER DANA SISTEM PELATIHAN KERJA

Pasal 4

(1) Pendanaan sistem pelatihan kerja bersumber dari:


a. APBN;
b. APBD; dan/atau
c. penerimaan lain yang sah.

(2) Penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat berasal dari perusahaan dan masyarakat atau pihak lain dalam
bentuk iuran, bantuan, sponsorship atau bentuk lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III
PENGGUNAAN DANA SISTEM PELATIHAN KERJA

Bagian Kesatu
Pengunaan Dana Pembinaan Sistem Pelatihan Kerja

Pasal 5

(1) Pendanaan sistem pelatihan kerja dipergunakan untuk kegiatan:


a. pengembangan infrastruktur;
b. pengembangan kelembagaan; dan
c. sosialisasi.

(2) Pengembangan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a


meliputi pengembangan:
a. standardisasi kompetensi;
b. sistem pelatihan berbasis kompetensi;
c. sistem sertifikasi kompetensi; dan
d. sistem informasi pelatihan kerja nasional.

(3) Pengembangan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b


meliputi:
a. lembaga standardisasi kompetensi;
b. LPK;
c. lembaga akreditasi LPK;
d. lembaga sertifikasi kompetensi kerja;
e. lembaga pembina pelatihan kerja; dan
f. lembaga koordinasi pelatihan kerja.

4
(4) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. sistem standarisasi kompetensi;
b. sistem pelatihan berbasis kompetensi;
c. sistem sertifikasi kompetensi; dan
d. sistem pengakuan dan penghargaan kompetensi.

Pasal 6

Pengembangan standardisasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 ayat (2) huruf a meliputi:
a. penyusunan rencana induk SKKNI;
b. penyusunan SKKNI;
c. penetapan SKKNI;
d. penerapan SKKNI; dan
e. kaji ulang SKKNI.

Pasal 7

Pengembangan sistem pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b meliputi pengembangan:
a. program pelatihan kerja;
b. sarana dan fasilitas pelatihan kerja;
c. tenaga kepelatihan; dan
d. akreditasi LPK.

Pasal 8

Pengembangan sistem sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 ayat (2) huruf c meliputi pengembangan:
a. skema sertifikasi kompetensi;
b. materi uji kompetensi;
c. asesor lisensi dan asesor kompetensi; dan
d. pengakuan dan penghargaan kompetensi.

Pasal 9

Pengembangan sistem informasi pelatihan kerja nasional sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d meliputi pengembangan:
a. sistem pengumpulan data dan/atau informasi pelatihan kerja;
b. sistem pengolahan data dan/atau informasi pelatihan kerja;
c. sistem penyebarluasan informasi pelatihan kerja; dan
d. sistem pengembangan database pelatihan kerja.

Pasal 10

(1) Pengembangan kelembagaan sistem pelatihan kerja sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi pengembangan:
a. kapasitas lembaga; dan
b. kredibilitas lembaga.

(2) Pengembangan kapasitas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a meliputi pengembangan daya tampung atau kemampuan dan
jangkauan pelayanan lembaga.

5
(3) Pengembangan kredibilitas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi kualitas pelayanan dan akuntabilitas manajemen
kelembagaan.

Bagian Kedua
Penggunaan Dana Penyelenggaraan Sistem Pelatihan Kerja

Pasal 11

Dana penyelenggaraan sistem pelatihan kerja dipergunakan untuk


penyelenggaraan:
a. pelatihan kerja, termasuk pemagangan; dan
b. sertifikasi kompetensi.

Pasal 12

Dana penyelenggaraan sistem pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 dipergunakan untuk kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan;
c. pengendalian;
d. monitoring dan evaluasi; dan
e. pelaporan.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB, PENGELOLAAN, DAN KOORDINASI
PENDANAAN SISTEM PELATIHAN KERJA

Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan Sistem Pelatihan Kerja

Pasal 13

Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendanaan sistem pelatihan kerja


yang berkaitan dengan:
a. pembinaan dan penyelenggaraan sistem pelatihan kerja secara nasional,
termasuk keterkaitannya dengan kerjasama internasional;
b. penyelenggaraan sistem pelatihan kerja yang bersifat percontohan;
c. pengalokasian dana dekonsentrasi untuk pembinaan dan penyelenggaraan
sistem pelatihan kerja; dan
d. pengalokasian dana tugas pembantuan di bidang pelatihan kerja.

Pasal 14

(1) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertanggung jawab terhadap


pengalokasian dana pembinaan dan pelaksanaan sistem pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

(2) Instansi Teknis bertanggung jawab terhadap pengalokasian dana


pembinaan dan pelaksanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan huruf b di masing-masing sektor.

6
Pasal 15

Pemerintah provinsi bertanggung jawab terhadap pendanaan sistem pelatihan


kerja yang berkaitan dengan:
a. pembinaan dan penyelenggaraan sistem pelatihan kerja di provinsi sesuai
dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah provinsi di
bidang pelatihan kerja;
b. penyelenggaraan pelatihan kerja untuk bidang profesi yang diperlukan
tetapi tidak atau belum dapat dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota;
c. dukungan penyelenggaraan uji kompetensi dalam rangka sertifikasi; dan
d. dukungan penyelenggaraan akreditasi LPK.

Pasal 16

(1) Dinas provinsi bertanggung jawab terhadap pengalokasian dana


pembinaan dan pelaksanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Dinas teknis provinsi pembina sektor bertanggung jawab terhadap
pengalokasian dana pelaksanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan huruf b di masing-masing sektor.

Pasal 17

Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pendanaan sistem


pelatihan kerja yang berkaitan dengan:
a. pembinaan dan penyelenggaraan sistem pelatihan kerja di kabupaten/kota
sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota di bidang pelatihan kerja;
b. dukungan penyelenggaraan uji kompetensi dalam rangka sertifikasi; dan
c. dukungan penyelenggaraan akreditasi LPK.

Pasal 18

(1) Dinas kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengalokasian dana


pembinaan dan pelaksanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17.

(2) Dinas teknis kabupaten/kota pembina sektor bertanggung jawab terhadap


pengalokasian dana pelaksanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf a di masing-masing sektor.

Bagian Kedua
Pengelolaan Dana Sistem Pelatihan Kerja

Pasal 19

(1) Pengelolaan dana sistem pelatihan kerja meliputi kegiatan perencanaan,


pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan.

(2) Pengelolaan dana sistem pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7
Bagian Ketiga
Koordinasi Pendanaan Sistem Pelatihan Kerja
Pasal 20

(1) Koordinasi pendanaan sistem pelatihan kerja secara nasional dilakukan


oleh Menteri.

(2) Koordinasi pendanaan sistem pelatihan kerja di provinsi dilakukan oleh


Gubernur.

(3) Koordinasi pendanaan sistem pelatihan kerja di kabupaten/kota dilakukan


oleh Bupati/Walikota.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Perusahaan, masyarakat, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelatihan
dapat mengalokasikan dan mengembangkan dana untuk penyelenggaraan
Sislatkernas sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 22
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 339

8
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2012

TENTANG

SISTEM STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa guna mendukung pelaksanaan pelatihan berbasis


kompetensi dan sertifikasi kompetensi diperlukan sistem
standardisasi kompetensi kerja nasional;

b. bahwa sistem standardisasi kompetensi kerja nasional


sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem


Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4637);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);

4. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka


Kualifikasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 24);

5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG SISTEM STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA
NASIONAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1. Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional adalah tatanan


keterkaitan komponen standardisasi kompetensi kerja nasional yang
komprehensif dan sinergis dalam rangka mencapai tujuan standardisasi
kompetensi kerja nasional di Indonesia.

2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat


SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Pengembangan SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam


rangka penyusunan dan kaji ulang SKKNI.

4. Rencana Induk Pengembangan SKKNI, yang selanjutnya disebut RIP


SKKNI, adalah dokumen rencana program pengembangan SKKNI yang
disusun oleh instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan
usaha.

5. Penerapan SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam


rangka implementasi SKKNI di bidang pelatihan kerja, sertifikasi
kompetensi kerja serta manajemen dan pengembangan sumber daya
manusia.

6. Harmonisasi SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam


rangka kerja sama saling pengakuan SKKNI dengan standar kompetensi
kerja lain, baik di dalam maupun di luar negeri, guna mencapai kesetaraan
atau rekognisi.

7. Kaji ulang SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam


rangka perbaikan dan pengembangan berkelanjutan terhadap SKKNI agar
sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan persyaratan pekerjaan.

8. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,


meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

2
9. Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi
sesuai SKKNI, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus.

10. Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan
digunakan oleh organisasi untuk memenuhi tujuan internal organisasinya
sendiri dan/atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi lain yang
memiliki ikatan kerja sama dengan organisasi yang bersangkutan atau
organisasi lain yang memerlukan.

11. Standar Internasional adalah standar kompetensi kerja yang


dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu organisasi multinasional dan
digunakan secara internasional.

12. Regional Model Competency Standard, yang selanjutnya disingkat RMCS,


adalah model standar kompetensi yang pengembangannya menggunakan
pendekatan fungsi dari proses kerja untuk menghasilkan barang dan/atau
jasa.

13. Instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan usaha, yang
selanjutnya disebut Instansi Teknis, adalah kementerian atau lembaga
pemerintah nonkementerian yang memiliki otoritas teknis dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha
tertentu.

14. Badan Nasional Sertifikasi Profesi, yang selanjutnya disingkat BNSP,


adalah lembaga independen yang bertugas melaksanakan sertifikasi
kompetensi yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah.

15. Komite Standar Kompetensi adalah lembaga yang dibentuk oleh Instansi
Teknis dalam rangka membantu pengembangan SKKNI di sektor atau
lapangan usaha yang menjadi tanggung jawabnya.

16. Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja, yang selanjutnya disingkat


LALPK, adalah lembaga independen yang berfungsi mengembangkan
sistem dan melaksanakan akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri.

17. Profesi adalah bidang pekerjaan yang untuk melaksanakannya diperlukan


kompetensi kerja tertentu, baik jenis maupun kualifikasinya.

18. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
PENGEMBANGAN SKKNI

Bagian Kesatu
Arah dan Kebijakan

Pasal 2

(1) Pengembangan SKKNI diarahkan pada tersedianya SKKNI yang memenuhi


prinsip:
a. relevan dengan kebutuhan dunia usaha atau industri di masing-
masing sektor atau lapangan usaha;
b. valid terhadap acuan dan/atau pembanding yang sah;
3
c. aseptabel oleh para pemangku kepentingan;
d. fleksibel untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhan pemangku
kepentingan; dan
e. mampu telusur dan dapat dibandingkan dan/atau disetarakan dengan
standar kompetensi lain, baik secara nasional maupun internasional.

(2) Kebijakan pengembangan SKKNI harus:


a. mengacu pada model RMCS;
b. memperhatikan perbandingan dan kesetaraan dengan standar
internasional serta kemampuan penerapan di dalam negeri.

Bagian Kedua
Inisiasi dan Perumusan

Pasal 3

(1) Inisiasi pengembangan SKKNI dapat berasal dari masyarakat, asosiasi


industri, asosiasi profesi, Lembaga Sertifikasi Profesi, lembaga pelatihan,
pemerintah dan/atau pemangku kepentingan lainnya.

(2) Inisiasi pengembangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengacu pada peta kompetensi dan RIP SKKNI di sektor atau lapangan
usaha masing-masing.

(3) Inisiasi pengembangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan atas dasar usulan, rekomendasi, dan/atau permintaan
perbaikan SKKNI.

(4) Inisiasi pengembangan SKKNI disampaikan kepada Instansi Teknis sesuai


dengan sektor atau lapangan usaha masing-masing.

Pasal 4

(1) Perumusan SKKNI di setiap sektor atau lapangan usaha dikoordinasikan


oleh Instansi Teknis.

(2) Perumusan SKKNI yang tidak teridentifikasi otoritas Instansi Teknisnya,


dikoordinasikan dan/atau dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

(3) Perumusan SKKNI secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian


Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 5

(1) Perumusan SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan oleh


Komite Standar Kompetensi.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite
Standar Kompetensi membentuk Tim Perumus dan Tim Verifikasi.

(3) Tim Perumus beranggotakan personil yang memiliki kualifikasi perumus


standar kompetensi dan Tim Verifikasi beranggotakan personil yang
memiliki kualifikasi verifikasi standar kompetensi.

4
Pasal 6

(1) Perumusan Rancangan SKKNI dapat dilakukan dengan metode:


a. riset dan/atau penyusunan standar baru;
b. adaptasi dari standar internasional atau standar khusus; atau
c. adopsi dari standar internasional atau standar khusus.

(2) Perumusan SKKNI menghasilkan rancangan SKKNI.

(3) Rancangan SKKNI yang telah dirumuskan oleh Tim Perumus harus
diverifikasi oleh Tim Verifikasi.

Bagian Ketiga
Validasi dan Penetapan

Pasal 7

(1) Validasi rancangan SKKNI dilakukan melalui pra konvensi yang


melibatkan pemangku kepentingan secara selektif, sesuai dengan sektor
atau kelompok usaha tertentu.

(2) Rancangan SKKNI yang telah divalidasi dibakukan melalui konvensi


nasional Rancangan SKKNI.

(3) Konvensi nasional rancangan SKKNI melibatkan pemangku kepentingan


secara luas yang menjamin tercapainya konsensus secara nasional.

(4) Pra konvensi Rancangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Konvensi Nasional rancangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan oleh Komite Standar Kompetensi.

Pasal 8

Rancangan SKKNI yang telah dibakukan melalui Konvensi Nasional


Rancangan SKKNI, ditetapkan menjadi SKKNI dengan Keputusan Menteri.

BAB III
PENERAPAN SKKNI

Pasal 9

(1) SKKNI yang telah ditetapkan oleh Menteri, penerapannya dilakukan oleh
Instansi Teknis yang mengusulkan.

(2) SKKNI diberlakukan secara wajib oleh Instansi Teknis sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), apabila berkaitan dengan keamanan,
keselamatan, kesehatan dan/atau mempunyai potensi perselisihan dalam
perjanjian perdagangan dan jasa.

(3) Pemberlakukan SKKNI secara wajib dapat dilakukan di bidang profesi atau
pekerjaan yang memiliki posisi strategis dalam meningkatkan daya saing
nasional.

5
Pasal 10

SKKNI diterapkan di bidang:


a. pelatihan kerja; dan
b. sertifikasi kompetensi.

Pasal 11

(1) Penerapan SKKNI di bidang pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada


Pasal 10 huruf a, dilakukan dalam rangka pengembangan program
pelatihan dan akreditasi lembaga pelatihan kerja.

(2) Penerapan SKKNI dalam rangka pengembangan program pelatihan kerja


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai acuan untuk:
a. pengembangan kurikulum, silabus dan modul; dan
b. evaluasi hasil pelatihan.

(3) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disusun
dalam kemasan kualifikasi nasional, okupasi atau jabatan nasional,
klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi.

(4) Penyusunan kemasan kualifikasi nasional, okupasi atau jabatan nasional,


klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), harus mampu telusur dengan skema sertifikasi.

Pasal 12

Pedoman penerapan SKKNI dalam kaitannya dengan pengembangan program


pelatihan kerja, disusun oleh Instansi Teknis.

Pasal 13

(1) Penerapan SKKNI dalam rangka akreditasi lembaga pelatihan kerja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), sebagai persyaratan
penetapan lingkup program pelatihan berbasis kompetensi.

(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh
LALPK.

Pasal 14

Pedoman penerapan SKKNI dalam kaitannya dengan akreditasi lembaga


pelatihan kerja, disusun oleh LALPK.

Pasal 15

Penerapan SKKNI di bidang sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 huruf b, dilakukan dalam rangka pengembangan skema
sertifikasi kompetensi dan lisensi lembaga sertifikasi profesi.

Pasal 16

(1) Dalam rangka pengembangan skema sertifikasi kompetensi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 15, SKKNI diterapkan untuk:
a. asesmen kompetensi;
b. surveilans pemegang sertifikat kompetensi.
6
(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disusun
dalam kemasan kualifikasi nasional, okupasi atau jabatan nasional,
klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi.

(3) Penyusunan kemasan kualifikasi nasional, okupasi atau jabatan nasional,


klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), harus mampu telusur dengan skema sertifikasi.

Pasal 17

(1) Penerapan SKKNI dalam rangka lisensi lembaga sertifikasi profesi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, sebagai persyaratan penetapan
lingkup program sertifikasi kompetensi.

(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh
BNSP.

Pasal 18

Pedoman penerapan SKKNI dalam kaitannya dengan sertifikasi kompetensi,


disusun oleh BNSP.

Pasal 19

SKKNI dapat digunakan oleh perusahaan atau organisasi untuk acuan


evaluasi dan asesmen kompetensi tenaga kerja, baik dalam kaitannya dengan
rekrutmen, pengembangan karier maupun remunerasi.

BAB IV
KAJI ULANG SKKNI

Pasal 20

(1) Untuk memelihara validitas dan reliabilitas SKKNI yang telah diterapkan,
dilakukan kaji ulang SKKNI.

(2) Kaji ulang SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
kesesuaian dengan:
a. perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. perubahan cara kerja; dan
c. perubahan lingkungan kerja dan persyaratan kerja.

(3) Kaji ulang SKKNI dapat dilakukan dalam rangka harmonisasi dengan
standar kompetensi lain, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pasal 21

(1) Kaji ulang SKKNI dilakukan atas dasar hasil monitoring, evaluasi dan/atau
usulan pemangku kepentingan.

(2) Kaji ulang SKKNI dilakukan oleh Komite Standar Kompetensi sesuai
dengan sektor atau lapangan usaha, paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Hasil kaji ulang SKKNI digunakan untuk keperluan perubahan SKKNI.
7
BAB V
HARMONISASI STANDAR KOMPETENSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 22

(1) Harmonisasi SKKNI ditujukan untuk keperluan rekognisi kompetensi antar


berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri dengan prinsip
kesetaraan.

(2) Harmonisasi SKKNI dilakukan dalam bentuk kesetaraan standar


kompetensi, pengujian, sertifikasi, dan penandaan atau kodefikasi.

Pasal 23

(1) Harmonisasi SKKNI dilakukan oleh Komite Standar Kompetensi dengan


tetap menjaga kesesuaiannya terhadap peraturan perundang-undangan
dan/atau pengakuan internasional.

(2) Harmonisasi SKKNI dengan negara-negara mitra kerjasama, baik bilateral,


regional maupun multilateral, dilakukan dalam kerangka kerjasama luar
negeri di bidang ketenagakerjaan.

(3) Harmonisasi SKKNI dengan organisasi standardisasi kompetensi


dilaksanakan dalam kerangka Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja
Nasional, dengan prinsip kesetaraan dan saling pengakuan.

Pasal 24

(1) Dalam penerapan SKKNI secara wajib, Instansi Teknis harus


memperhatikan hasil harmonisasi yang dicapai dengan negara-negara
mitra bisnis.

(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
tenaga kerja Indonesia maupun tenaga kerja asing yang bekerja di
Indonesia.

(3) Penerapan SKKNI secara wajib yang dapat mempengaruhi proses


perdagangan barang atau jasa dalam kerangka General Agreement on Trade
and Services, harus dinotifikasikan melalui Menteri yang bertanggung
jawab di bidang perdagangan atau lembaga notifikasi yang ditunjuk oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.

Bagian Kedua
Registrasi Standar Khusus dan Standar Internasional

Pasal 25

(1) Standar Khusus dan/atau Standar Internasional dapat diajukan kepada


Direktur Jenderal untuk diregistrasi setelah ditetapkan oleh otoritas
instansi, perusahaan, atau organisasi.

8
(2) Standar Khusus dan/atau Standar Internasional yang telah diregistrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan
skema sertifikasi kompetensi kerja.

(3) Tata cara registrasi Standar Khusus dan/atau Standar Internasional


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam keputusan
Direktur Jendral.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL

Pasal 26

(1) Pembinaan dan pengendalian Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional


harus memastikan operasionalisasi Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja
Nasional secara terpelihara dan berkesinambungan.

(2) Pembinaan dan pengendalian operasionalisasi Sistem Standardisasi


Kompetensi Kerja Nasional dilakukan oleh Instansi Teknis sesuai dengan
otoritasnya dan dikoordinasikan oleh Menteri.

Pasal 27

(1) Pembinaan operasionalisasi penerapan Sistem Standardisasi Kompetensi


Kerja Nasional meliputi pembinaan terhadap industri, asosiasi profesi,
kelembagaan pendidikan dan pelatihan, dan kelembagaan sertifikasi
profesi.

(2) Pembinaan terhadap industri mencakup penerapan SKKNI dalam


rekrutmen berbasis kompetensi, evaluasi kompetensi dan pemeliharaan
kompetensi tenaga kerja.

(3) Pembinaan terhadap profesi mencakup pembinaan pembelajaran


sepanjang hayat berbasis kompetensi, perencanaan karir berbasis
kompetensi, pengembangan asosiasi profesi dalam pemeliharaan
kompetensi anggotanya.

(4) Pembinaan terhadap kelembagaan pendidikan dan pelatihan mencakup


penerapan SKKNI dalam pengembangan kurikulum dan silabus berbasis
kompetensi, pengembangan instruktur berbasis kompetensi, dan proses
pembelajaran/pelatihan dan asesmen berbasis kompetensi.

(5) Pembinaan terhadap kelembagaan sertifikasi kompetensi mencakup


penerapan SKKNI dalam pengembangan skema sertifikasi dan lisensi
Lembaga Sertifikasi Profesi.

9
Pasal 28

(1) Pengendalian operasionalisasi penerapan Sistem Standardisasi Kompetensi


Kerja Nasional dilakukan terhadap kelembagaan pendidikan dan pelatihan,
kelembagaan sertifikasi, dan pengendalian penerapan wajib SKKNI.

(2) Pengendalian terhadap kelembagaan pendidikan dan pelatihan dilakukan


dalam kaitannya dengan pengembangan program pelatihan berbasis
kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja.

(3) Pengendalian terhadap kelembagaan sertifikasi dilakukan dalam kaitannya


dengan pengembangan skema sertifikasi dan lisensi Lembaga Sertifikasi
Profesi.

(4) Pengendalian penerapan SKKNI secara wajib dilakukan instansi teknis


dalam lingkup otoritasnya.

BAB VII
PENDANAAN SISTEM
STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL

Pasal 29

Pendanaan Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional bersumber dari:


a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan di setiap
Instansi Teknis.
b. Partisipasi masyarakat atau pemerintah daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 30

Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia diatur


lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

10
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR., M.Si.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 338

11
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2012
TENTANG
KOMITE PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pengawasan ketenagakerjaan merupakan


fungsi negara yang dilaksanakan secara independen
untuk menegakkan peraturan perundang-undangan
di bidang ketenagakerjaan;
b. bahwa pengawasan ketenagakerjaan mengalami
perkembangan yang dinamis dan menghadapi
tantangan yang semakin kompleks terkait dengan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan;
c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan perlu dilakukan penguatan sistem
pengawasan ketenagakerjaan melalui pelibatan
pemangku kepentingan lainnya dalam Komite
Pengawasan Ketenagakerjaan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c maka
perlu dibentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan
dengan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang


Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang


Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang


Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3989);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang


pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning
Labour Inspection Industry and Commerce (Konvensi
ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4309);

6. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang


Pengawasan Ketenagakerjaan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
KOMITE PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

2. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas


Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Komite Pengawasan Ketenagakerjaan adalah lembaga non struktural yang


terdiri dari unsur pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi
pengusaha, dan/atau pemangku kepentingan lainnya yang dianggap perlu
untuk melakukan penguatan sistem pengawasan ketenagakerjaan.

4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,


dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.

5. Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan serikat


pekerja/serikat buruh.

6. Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan federasi


serikat pekerja/serikat buruh.
2
7. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggungjawab di


bidang pengawasan ketenagakerjaan.

9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Pasal 2

Komite pengawasan ketenagakerjaan merupakan lembaga non struktural


terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh, dan pemangku kepentingan lainnya yang memberikan penguatan
terhadap pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan tanpa mempengaruhi
kemandirian pengawas ketenagakerjaan dalam proses penegakan hukum
ketenagakerjaan.
Pasal 3

Komite pengawasan ketenagakerjaan melakukan pemantauan, memberikan


masukan, saran, dan pertimbangan kepada Menteri atas pelaksanaan
pengawasan ketenagakerjaan.

BAB II
TUGAS

Pasal 4

Komite Pengawasan Ketenagakerjaan mempunyai tugas:


a. memberikan masukan kepada Menteri dalam menyusun dan menetapkan
kebijakan pengawasan ketenagakerjaan.
b. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran
yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dan
peningkatan kinerja pengawasan ketenagakerjaan.
c. memberikan saran dan pertimbangan dalam mewujudkan pengawas
ketenagakerjaan yang mandiri dan profesional.
d. menyampaikan adanya indikasi pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan kepada unit pengawasan
ketenagakerjaan.

3
BAB III
KEDUDUKAN DAN KEANGGOTAAN

Bagian Kesatu
Kedudukan

Pasal 5

(1) Komite Pengawasan Ketenagakerjaan berkedudukan di Ibukota Negara


Republik Indonesia.

(2) Komite Pengawasan Ketenagakerjaan dibentuk dan bertanggungjawab


kepada Menteri.

Bagian Kedua
Keanggotaan

Pasal 6

(1) Keanggotaan Komite Pengawasan Ketenagakerjaan terdiri dari pemerintah,


organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pihak lain yang
dianggap perlu.

(2) Komite Pengawasan Ketenagakerjaan beranggotakan sebanyak-banyaknya


19 (sembilan belas) orang, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:
a. Ketua;
b. Wakil ketua;
c. Sekretaris; dan
d. Anggota.

(3) Masa jabatan keanggotaan Komite Pengawasan Ketenagakerjaan selama 2


(dua) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Susunan keanggotaan Komite Pengawasan Ketenagakerjaan ditetapkan


oleh Direktur Jenderal.

Pasal 7

Mekanisme dan tata kerja Komite Pengawasan Ketenagakerjaan diatur lebih


lanjut oleh Direktur Jenderal.

Pasal 8

(1) Komite Pengawasan Ketenagakerjaan mengadakan pertemuan sekurang-


kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sesuai kebutuhan.

(2) Dalam pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite


Pengawasan Ketenagakerjaan dapat mengundang pimpinan instansi
dan/atau pihak lain yang terkait.

4
BAB IV
PELAPORAN

Pasal 9

Komite Pengawasan Ketenagakerjaan menyampaikan laporan secara berkala 6


(enam) bulan sekali dalam 1 (satu) tahun dan/atau sewaktu-waktu jika
diperlukan, serta menyampaikan laporan akhir masa jabatan kepada Menteri.

BAB V
PENUTUP

Pasal 10

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 438

5
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 1981

TENTANG

WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang perluasan kesempatan kerja dan


perlindungan tenaga kerja, sebagai kebijaksanaan pokok yang bersifat menyeluruh,
diperlukan data yang dapat memberikan gambaran mengenai ketenaga kerjaan di
perusahaan;

b. bahwa untuk mendapatkan data tersebut, setiap pengusaha atau pengurus perlu
melaporkan mengenai ketenaga kerjaan di perusahaannya masing-masing;

c. bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan


Perusahaan sudah tidak sesuai lagi dengan lajunya usaha-usaha pembangunan,
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta digunakannya teknologi modern dewasa
ini;

d. bahwa oleh karena itu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 perlu diganti.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang


Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor
4);

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai


Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912).
Dengan Persetujuan:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan

Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor

471);

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DI PERUSAHAAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan buruh dengan tujuan
mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.

b. Pengusaha adalah:

1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan


milik sendiri.

2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.

3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili


perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang
berkedudukan di luar Indonesia.

c. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin suatu perusahaan;

d. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah;

e. Mendirikan perusahaan adalah sejak perusahaan itu melakukan kegiatan fisik


perusahaan dan atau memperol eh izin;
f. Menghentikan perusahaan adalah menghentikan kegiatan usaha perusahaan tidak lebih
dari satu tahun akan tetapi bukan bermaksud untuk membubarkan baik karena kemauan
sendiri maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

g. Menjalankan kembali perusahaan adalah mulai menjalankan kembali kegiatan


perusahaan setelah dihentikan sebelumnya;

h. Memindahkan perusahaan adalah memindahkan tempat kedudukan dan atau lokasi


perusahaan, atau mengal ihkan pemiliknya;

i. Membubarkan perusahaan adalah menghentikan kegiatan perusahaan untuk selama-


lamanya;

j. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenaga kerjaan.

Pasal 2

Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama
dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh.

BAB II

MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 3

Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) merupakan
bahan informasi resmi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang ketenaga
kerjaan.

BAB III

KEWAJIBAN MELAPORKAN DAN SYARAT-SYARATNYA

Pasal 4

(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan,
menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan
kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Jika suatu perusahaan mempunyai kantor cabang atau bagian yang berdiri sendiri,
kewajiban yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku terhadap masing-masing kantor
cabang atau bagian yang berdiri sendiri itu.
Pasal 5

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Menteri mengatur lebih lanjut tentang penahapan
perusahaan-perusahaan yang dikenakan wajib lapor.

Pasal 6

(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan:

a. identitas perusahaan;

b. hubungan ketenaga kerjaan;

c. perlindungan tenaga kerja;

d. kesempatan kerja.

(3) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 7

(1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pengusaha atau
pengurus wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan
kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) berlaku pula untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).

Pasal 8

(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum
memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan:

a. nama dan alamat perusahaan atau bagian perusahaan;

b. nama dan alamat pengusaha;


c. nama dan alamat pengurus perusahaan;

d. tanggal memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan;

e. alasan-alasan pemindahan, penghentian atau pembubaran perusahaan;

f. Kewajiban-kewajiban yang telah dan akan dilaksanakan terhadap buruhnya,


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian
kerja, perjanjian perburuhan dan k ebiasaan-kebiasaan setempat;

g. jumlah buruh yang akan diberhentikan.

BAB IV

TATA CARA PELAPORAN

Pasal 9

Menteri mengatur tatacara laporan dan menetapkan bentuk laporan yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 8 ayat (2).

BAB V

KETENTUAN PIDANA

Pasal 10

(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13
diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah).

(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang
terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan pidana
kurungan.

(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pel anggaran.
Pasal 11

(1) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan oleh suatu
persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana
dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.

(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang
bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum l ain itu.

(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan
ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana dilakukan dan
pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia.

Pasal 12

Selain dari pegawai penyidik umum, maka kepada pegawai pengawas perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, diberikan juga
wewenang untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-
undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 13

(1) Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum dikenakan wajib lapor
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib
melaporkan keadaan ketenagakerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam
waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.

(2) Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan berdasarkan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga
kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
mulai berlakunya Undang-undang ini.
BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Dengan diundangkannya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-


undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Pasal 15

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari ke 60 (enam puluh) sesudah hari
pengundangannya.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dal am Lembaran N egara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 31 Juli 1981

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 31 Juli 1981

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SUDHARMONO, SH.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 39


PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 1981

TENTANG

WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DI PERUSAHAAN

I. UMUM

Disadari bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan


Perusahaan pada saat ini sudah tidak sesuai lagi baik ditinjau dari segi tuntutan perk embangan
pembangunan maupun maksud menempatkan masalah ketenega kerjaan dalam kedudukan
yang lebih strategis serta lebih manusiawi.

Ketenaga kerjaan adalah hal ihwal mengenai keadaan tenaga kerja yang merupakan faktor
penting bagi terselenggaranya pembangunan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tidak meletakkan dasar kewajiban yang sama bagi
setiap perusahaan, hal ini tersirat dalam Pasal 5 yang mengecualikan jenis perusahaan lain
untuk tidak melapor.

Dari segi tuntutan pembangunan ketenaga kerjaan umumnya adanya pengecualian tidak
memungkinkan diperolehnya data yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh
mengenai ketenaga kerjaan yang semakin kompleks, sehingga mempersulit penanganan
masalah ketenaga kerjaan baik preventif maupun represif.

Demikian pula kewajiban melaporkan satu kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1953 kurang memberi jaminan kesinambungan gambaran kebenaran
atas perkembangan keadaan tenaga kerja, kurang memberikan gambaran tentang
kemungkinan perluasan kesempatan kerja maupun upaya peningkatan produktivitas kerja
dalam perusahaan, karena pada tahun-tahun berikutnya tentu telah banyak terjadi perubahan
keadaan di perusahaan bersangkutan yang tidak terjangkau lagi oleh pelaksanaan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1953 tersebut.

Sehubungan dengan itu maka diperlukan suatu pengaturan pelaporan yang lebih sesuai
dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, khususnya mengenai persamaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1).

Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum maka penggantian Undang-undang Nomor
23 Tahun 1953 lebih diarahkan agar mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat
kemajuan di segala bidang sehingga dapat diciptakan kepastian hukum dalam memperlancar
pelaksanaan pembangunan terutama di bidang hubungan ketenaga kerjaan, perlindungan
tenaga kerja dan kesempatan kerja, dengan demikian akan lebih menjamin kemantapan dan
keterbukaan serta hubungan yang serasi antar para pelaku proses produksi barang dan jasa
sesuai dengan tujuan pembudayaan Hubungan Perburuhan berdasarkan Pancasila, sehingga
dapat tercapai kehidupan yang layak, khususnya bagi tenaga kerja masyarakat pada umumnya
seperti yang diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Untuk dapat melaksanakan kebijaksanaan tersebut Pemerintah memerlukan data ketenaga
kerjaan dari semua perusahaan yang mencakup semua sektor melalui wajib lapor ketenaga
kerjaan secara berkala.

Untuk itu diperlukan suatu pengaturan yang materi nya meliputi antara lain:

1. Kewajiban melaporkan keadaan ketenagakerjaan bagi semua perusahaan;

2. Kewajiban melaporkan tidak dilakukan hanya sekali akan tetapi dilakukan secara berkala
atau setiap tahun, sehingga dapat diperoleh data keadaan tenaga kerja secara terus-
menerus;

3. Data yang wajib dilaporkan yang lebih diperluas antara lain mengenai identitas
perusahaan, hubungan ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan
kerja;

4. Peningkatan sanksi pidana baik secara kuantitatif, yaitu jumlah denda maupun kualitatif
yaitu penerapan pidana kurungan.

Dengan adanya pengaturan sebagaimana tersebut di atas maka akan diperolehnya data yang
sesuai dengan perkembangan tentang keadaan tenaga kerja pada setiap perusahaan yang
merupakan bahan informasi bagi Pemerintah untuk selanjutnya diolah sebagai bahan
menetapkan k ebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan.

II. PASAL DEMI PASAL

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan
perusahaan adalah yayasan, badan-badan lembaga-lembaga ilmiah serta badan usaha l ainnya
dengan nama apapun yang mempunyai dan mempekerjakan buruh.

Pasal 3

Laporan yang diperoleh diolah sebagai bahan bagi Pemerintah untuk menetapkan
kebijaksanaan dalam peningkatan perluasan kesempatan kerja, pembinaan hubungan
ketenaga kerjaan dan perlindungan tenaga kerja.
Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri adalah pejabat yang diserahi
tugas pengawasan di bidang ketenaga kerjaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 5

Penahapan perusahaan-perusahaan yang wajib lapor, dilaksanakan dengan mengingat


kemampuan dan sifat perusahaan.

Pasal 6

Ayat (1)

Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal tertera pada stempel pos.

Ayat (2)

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah keterangan yang berhubungan dengan antara lain
nama perusahaan, alamat perusahaan, kepengurusan perusahaan, permodalan
perusahaan, proses produksi, hubungan ketenaga kerjaan, syarat kerja, kondisi kerja,
rencana perluasan dan pengurangan kesempatan kerja serta rencana latihan kejuruan
bagi tenaga kerja.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 7

Laporan berkala setiap tahun ini terhitung mulai perusahaan itu dilaporkan pada laporan
pertama; contoh apabila perusahaan itu dilaporkan pada bulan Juli maka bulan Juli pada tahun
berikutnya laporan berkala itu disampaikan lagi, dan seterusnya.

Pasal 8

Ayat (1)
Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal tertera pada stempel pos.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 yang dinyatakan tidak berlaku
lagi adalah:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan


Perusahaan;

b. Surat Keputusan Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan Nomor 3/I/Und/1953.


Pasal 15

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3201


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2009
TENTANG
KAWASAN EKONOMI KHUSUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui
penyelenggaraan pembangunan perekonomian nasional
berdasar atas demokrasi ekonomi;
b. bahwa untuk mempercepat pengembangan ekonomi di
wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan
ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional,
perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur
dengan Undang-Undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
Dengan . . .
-2-

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK,
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian
dan memperoleh fasilitas tertentu.
2. Zona adalah area di dalam KEK dengan batas tertentu yang
pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya.
3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat
nasional untuk menyelenggarakan KEK.
4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat
provinsi untuk membantu Dewan Nasional dalam
penyelenggaraan KEK.
5. Administrator adalah bagian dari Dewan Kawasan yang
dibentuk untuk setiap KEK guna membantu Dewan
Kawasan dalam penyelenggaraan KEK.
6. Badan Usaha adalah perusahaan berbadan hukum yang
berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi, swasta, dan usaha patungan untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
7. Pelaku Usaha adalah perusahaan yang berbentuk badan
hukum, tidak berbadan hukum atau usaha orang
perseorangan yang melakukan kegiatan usaha di KEK.

BAB II . . .
-3-

BAB II
FUNGSI, BENTUK, DAN KRITERIA

Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 2
KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki
keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan
ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya
saing internasional.

Bagian Kedua
Bentuk
Pasal 3
(1) KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona:
a. pengolahan ekspor;
b. logistik;
c. industri;
d. pengembangan teknologi;
e. pariwisata;
f. energi; dan/atau
g. ekonomi lain.
(2) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan
perumahan bagi pekerja.
(3) Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha
mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik
sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung
kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.

Bagian Ketiga
Kriteria
Pasal 4
Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus
memenuhi kriteria:
a. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak
berpotensi mengganggu kawasan lindung;

b. pemerintah . . .
-4-

b. pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan


mendukung KEK;
c. terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan
internasional atau dekat dengan jalur pelayaran
internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah
potensi sumber daya unggulan; dan
d. mempunyai batas yang jelas.

BAB III
PEMBENTUKAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Bagian Kesatu
Pengusulan

Pasal 5
(1) Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional
oleh:
a. Badan Usaha;
b. pemerintah kabupaten/kota; atau
c. pemerintah provinsi.
(2) Dalam hal usulan diajukan oleh Badan Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, usulan
disampaikan melalui pemerintah provinsi setelah
memperoleh persetujuan pemerintah kabupaten/kota.
(3) Dalam hal usulan diajukan oleh pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, usulan disampaikan melalui pemerintah
provinsi.
(4) Dalam hal usulan diajukan oleh pemerintah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, usulan
disampaikan setelah mendapat persetujuan pemerintah
kabupaten/kota.

Pasal 6
(1) Usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
(2) Usulan . . .
-5-

(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi


persyaratan paling sedikit:
a. peta lokasi pengembangan serta luas area yang
diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
b. rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi
dengan peraturan zonasi;
c. rencana dan sumber pembiayaan;
d. analisis mengenai dampak lingkungan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial; dan
f. jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis.

Bagian Kedua
Proses Penetapan

Pasal 7
(1) Dewan Nasional dapat menyetujui atau menolak usulan
pembentukan KEK setelah melakukan pengkajian atas
usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Dalam hal Dewan Nasional menyetujui pembentukan
KEK, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi
pembentukan KEK kepada Presiden.
(3) Dalam hal Dewan Nasional menolak usulan
pembentukan KEK, penolakan disampaikan kepada
pengusul disertai dengan alasan.
(4) Pembentukan KEK ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 8
Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan suatu
wilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga . . .
-6-

Bagian Ketiga
Pembangunan dan Pengoperasian

Pasal 10
(1) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4), pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota menetapkan Badan Usaha untuk
membangun KEK sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh:
a. pemerintah provinsi dalam hal lokasi KEK berada
pada lintas kabupaten/kota; dan
b. pemerintah kabupaten/kota dalam hal lokasi KEK
berada pada satu kabupaten/kota.

Pasal 11
Dalam hal usulan berasal dari Badan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten/kota menunjuk langsung Badan
Usaha pengusul untuk membangun KEK.

Pasal 12
(1) KEK harus siap beroperasi dalam waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak ditetapkan.
(2) Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional melakukan
evaluasi setiap tahun.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada pengusul untuk ditindaklanjuti.
(4) Dalam hal setelah 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) KEK belum siap beroperasi, Dewan
Nasional:
a. melakukan perubahan atas usulan sebelumnya;
b. memberikan perpanjangan waktu paling lama 2 (dua)
tahun; dan/atau
c. mengambil langkah penyelesaian masalah
pembangunan KEK.

(5) Dalam . . .
-7-

(5) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud


pada ayat (4) huruf b KEK belum siap beroperasi karena
bukan dari kelalaian atau karena force majeure, Dewan
Nasional dapat memberikan perpanjangan waktu setelah
mendapat pertimbangan dari Dewan Kawasan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
(1) Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur di dalam KEK dapat berasal dari:
a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
b. swasta;
c. kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dan swasta; atau
d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri
dalam kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur di dalam KEK.
(3) Pengelolaan aset hasil kerja sama Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta dapat dilakukan sesuai
dengan analisis kelayakan ekonomi dan finansial.

BAB IV
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 14
(1) Dalam menyelenggarakan pengembangan KEK, dibentuk
Dewan Nasional dan Dewan Kawasan.
(2) Dewan Nasional terdiri atas menteri dan kepala lembaga
pemerintah nonkementerian.

(3) Dewan . . .
-8-

(3) Dewan Kawasan terdiri atas wakil Pemerintah dan wakil


pemerintah daerah.

Bagian Kedua
Dewan Nasional

Pasal 15
(1) Dewan Nasional KEK dibentuk dengan Keputusan
Presiden.
(2) Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 16
(1) Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menangani
urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan
beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian.
(2) Dalam melaksanakan tugas, Dewan Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk
Sekretariat Dewan Nasional.
(3) Ketentuan mengenai keanggotaan, tata kerja, dan
kesekretariatan Dewan Nasional diatur dengan Peraturan
Presiden.

Pasal 17
Dewan Nasional bertugas:
a. menyusun Rencana Induk Nasional KEK;
b. menetapkan kebijakan umum serta langkah strategis
untuk mempercepat pembentukan dan pengembangan
KEK;
c. menetapkan standar infrastruktur dan pelayanan
minimal dalam KEK;
d. melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk
dijadikan KEK;
e. memberikan rekomendasi pembentukan KEK;

f. mengkaji . . .
-9-

f. mengkaji dan merekomendasikan langkah


pengembangan di wilayah yang potensinya belum
berkembang;
g. menyelesaikan permasalahan strategis dalam
pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan KEK; dan
h. memantau dan mengevaluasi keberlangsungan KEK serta
merekomendasikan langkah tindak lanjut hasil evaluasi
kepada Presiden, termasuk mengusulkan pencabutan
status KEK.

Pasal 18
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Dewan Nasional dapat:
a. meminta penjelasan Dewan Kawasan dan Administrator
mengenai pelaksanaan kegiatan;
b. meminta masukan dan/atau bantuan instansi
Pemerintah, pemerintah daerah, atau para ahli sesuai
dengan kebutuhan; dan/atau
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan
kebutuhan.
Bagian Ketiga
Dewan Kawasan

Pasal 19
(1) Dewan Kawasan dibentuk pada setiap provinsi yang
sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK.
(2) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Dewan Nasional.

Pasal 20
(1) Dewan Kawasan terdiri atas ketua, yaitu gubernur, wakil
ketua, yaitu bupati/walikota, dan anggota, yaitu unsur
Pemerintah di provinsi, unsur pemerintah provinsi, dan
unsur pemerintah kabupaten/kota.

(2) Dalam . . .
- 10 -

(2) Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kawasan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk
Sekretariat Dewan Kawasan.
(3) Ketentuan mengenai keanggotaan, tata kerja, dan
kesekretariatan Dewan Kawasan diatur dengan Peraturan
Presiden.

Pasal 21
Dewan Kawasan bertugas:
a. melaksanakan kebijakan umum yang telah ditetapkan
oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan
mengembangkan KEK di wilayah kerjanya;
b. membentuk Administrator KEK di setiap KEK;
c. mengawasi, mengendalikan, mengevaluasi, dan
mengoordinasikan pelaksanaan tugas Administrator KEK
dalam penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu satu
pintu dan operasionalisasi KEK;
d. menetapkan langkah strategis penyelesaian
permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di
wilayah kerjanya;
e. menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan
Nasional setiap akhir tahun; dan
f. menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat
permasalahan strategis kepada Dewan Nasional.

Pasal 22
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Dewan Kawasan dapat:
a. meminta penjelasan Administrator KEK mengenai
pelaksanaan sistem pelayanan terpadu satu pintu serta
pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK;
b. meminta masukan dan/atau bantuan kepada instansi
Pemerintah atau para ahli sesuai dengan kebutuhan;
dan/atau
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan
kebutuhan.

Bagian Keempat . . .
- 11 -

Bagian Keempat
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus

Pasal 23
(1) Administrator KEK bertugas:
a. melaksanakan pemberian izin usaha dan izin lain
yang diperlukan bagi Pelaku Usaha yang mendirikan,
menjalankan, dan mengembangkan usaha di KEK;
b. melakukan pengawasan dan pengendalian
operasionalisasi KEK; dan
c. menyampaikan laporan operasionalisasi KEK secara
berkala dan insidental kepada Dewan Kawasan.
(2) Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan melalui pelayanan terpadu
satu pintu.
Pasal 24
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23, Administrator KEK:
a. memperoleh pendelegasian atau pelimpahan wewenang di
bidang perizinan dari Pemerintah dan pemerintah
daerah; dan
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan Usaha
dan/atau Pelaku Usaha di KEK mengenai kegiatan
usahanya.

Bagian Kelima
Pembiayaan

Pasal 25
(1) Dewan Nasional, Dewan Kawasan, dan Administrator
KEK memperoleh pembiayaan yang berasal dari:
a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan
b. sumber lain yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam . . .
- 12 -

Bagian Keenam
Badan Usaha Pengelola

Pasal 26
(1) Penyelenggaraan kegiatan usaha di KEK dilaksanakan
oleh Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pengelola
KEK.
(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik
Daerah;
b. Badan Usaha koperasi;
c. Badan Usaha swasta; atau
d. Badan Usaha patungan antara swasta dan/atau
koperasi dengan Pemerintah, dan/atau pemerintah
provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

BAB V
LALU LINTAS BARANG, KARANTINA, DAN DEVISA

Pasal 27
(1) Ketentuan larangan atau pembatasan impor dan ekspor
yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan
berlaku di KEK.
(2) Barang yang terkena ketentuan pembatasan impor dan
ekspor dapat diberikan pengecualian dan/atau
kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Lalu lintas barang ke KEK dan dari KEK berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28
Ketentuan mengenai karantina manusia, hewan, ikan, dan
tumbuh-tumbuhan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan tetap berlaku di KEK.

Pasal 29 . . .
- 13 -

Pasal 29
(1) Mata uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah
di KEK.
(2) Pemasukan dan pengeluaran mata uang rupiah antara
KEK dan luar negeri tunduk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Mata uang asing hanya dapat dijualbelikan di KEK
melalui bank atau pedagang valuta asing yang telah
mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Semua transaksi perdagangan internasional dalam valuta
asing di KEK yang dilakukan melalui bank hanya dapat
dilakukan oleh bank yang telah mendapat izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
FASILITAS DAN KEMUDAHAN
Bagian Kesatu
Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai

Pasal 30
(1) Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di
KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh).
(2) Selain fasilitas PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat diberikan tambahan fasilitas PPh sesuai dengan
karakteristik Zona.
(3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas PPh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31 . . .
- 14 -

Pasal 31
Fasilitas perpajakan juga dapat diberikan dalam waktu
tertentu kepada penanam modal berupa pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 32
(1) Impor barang ke KEK dapat diberikan fasilitas berupa:
a. penangguhan bea masuk;
b. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut
merupakan bahan baku atau bahan penolong
produksi;
c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena
pajak; dan
d. tidak dipungut PPh impor.
(2) Penyerahan barang kena pajak dari tempat lain di dalam
daerah pabean ke KEK dapat diberikan fasilitas tidak
dipungut PPN dan PPnBM berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyerahan barang kena pajak dari KEK ke tempat lain
di dalam daerah pabean sepanjang tidak ditujukan
kepada pihak yang mendapatkan fasilitas PPN dikenakan
PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33
(1) Barang asal impor yang dikeluarkan dari KEK dengan
tujuan diimpor untuk dipakai, sepanjang pengeluaran
tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh
fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk,
cukai, atau pajak dalam rangka impor:
a. dipungut bea masuk;

b. dilunasi . . .
- 15 -

b. dilunasi cukainya untuk barang kena cukai; dan


c. dikenakan PPN, atau PPN dan PPnBM, serta PPh
impor berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberlakukan ketentuan impor berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 34
Barang yang dikeluarkan dari KEK dengan tujuan untuk
diekspor diberlakukan ketentuan ekspor berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 35
(1) Setiap wajib pajak yang melakukan usaha di KEK
diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan
pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah
dapat memberikan kemudahan lain.

Bagian Ketiga
Pertanahan, Perizinan, Keimigrasian, dan Investasi

Pasal 36
Di KEK diberikan kemudahan untuk memperoleh hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 37
Badan Usaha yang telah memperoleh tanah di lokasi yang
sudah ditetapkan sebagai KEK berdasarkan Peraturan
Pemerintah diberikan hak atas tanah.

Pasal 38 . . .
- 16 -

Pasal 38
(1) Di KEK diberikan kemudahan dan keringanan di bidang
perizinan usaha, kegiatan usaha, perindustrian,
perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang
asing pelaku bisnis, serta diberikan fasilitas keamanan.
(2) Kemudahan dan keringanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 39
Di KEK tidak diberlakukan ketentuan yang mengatur bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman
modal, kecuali yang dicadangkan untuk UMKM dan koperasi.

Bagian Keempat
Fasilitas dan Kemudahan Lain

Pasal 40
(1) Selain pemberian fasilitas dan kemudahan sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 39, Zona
yang berada di dalam KEK dapat diberikan fasilitas dan
kemudahan lain.
(2) Ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh instansi
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kelima
Ketenagakerjaan

Pasal 41
Izin mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) yang mempunyai
jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan
berlaku selama TKA yang bersangkutan menjadi direksi atau
komisaris.

Pasal 42 . . .
- 17 -

Pasal 42
Penggunaan tenaga kerja di KEK mengutamakan warga
negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 43
(1) Di KEK dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus
oleh gubernur yang mempunyai tugas:
a. melakukan komunikasi dan konsultasi mengenai
berbagai masalah ketenagakerjaan;
b. melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan
timbulnya permasalahan ketenagakerjaan; dan
c. memberikan saran dan pertimbangan mengenai
langkah penyelesaian permasalahan.
(2) Keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemerintah
daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh, dan unsur
asosiasi pengusaha.
(3) Di dalam melakukan tugas dan fungsinya, lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan lembaga lain.

Pasal 44
(1) Di KEK dibentuk Dewan Pengupahan oleh gubernur yang
tugas dan fungsinya sebagai berikut:
a. memberikan masukan dan saran untuk penetapan
pengupahan; dan
b. membahas permasalahan pengupahan.
(2) Keanggotaan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemerintah
daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh, unsur
asosiasi pengusaha, tenaga ahli, dan perguruan tinggi.
(3) Di dalam melakukan tugas dan fungsinya, Dewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan lembaga lain.

Pasal 45 . . .
- 18 -

Pasal 45
(1) Penetapan dan pemberlakuan upah minimum ditetapkan
dan diatur oleh gubernur.
(2) Penetapan upah minimum mempertimbangkan paling
sedikit:
a. upah minimum sebagai jaring pengaman;
b. kemampuan UMKM dan koperasi; dan
c. kebutuhan hidup layak (KHL).

Pasal 46
(1) Untuk perusahaan yang mempunyai lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk 1 (satu)
forum serikat pekerja/serikat buruh pada setiap
perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan forum serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menangani
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 47
(1) Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat
pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama
(PKB) antara serikat pekerja/serikat buruh dan
pengusaha.
(2) Dalam PKB disepakati:
a. jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain; dan
b. bentuk hubungan kerja yang didasarkan perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak
tertentu.
(3) Dalam hal perusahaan melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja
waktu tertentu untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun dan dapat diperpanjang untuk sekali paling lama 1
(satu) tahun.

(4) Perjanjian . . .
- 19 -

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) tidak dapat dilakukan pembaruan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 48
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yaitu Batam,
Bintan, dan Karimun, yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi
Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4775), sebelum atau sesudah jangka waktu yang
ditetapkan berakhir, dapat diusulkan menjadi KEK
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

(2) Dalam . . .
- 20 -

(2) Dalam hal Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan


Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diusulkan menjadi KEK, Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas berakhir sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditetapkan.

Pasal 49
Dengan beralihnya status Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat
(1) atau berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2), Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4775), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 50
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 21 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 147

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2009
TENTANG
KAWASAN EKONOMI KHUSUS

I. UMUM
Untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu
dilaksanakan pembangunan perekonomian nasional berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
rangka demokrasi ekonomi, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang
lebih memberikan kesempatan dan dukungan pada usaha mikro, kecil,
menengah (UMKM), dan koperasi dan sekaligus memberikan manfaat bagi
industri dalam negeri. Berkaitan dengan hal itu, dalam Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) disediakan lokasi bagi UMKM dan koperasi agar dapat
mendorong terjadinya keterkaitan dan sinergi hulu hilir dengan
perusahaan besar, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung
Pelaku Usaha lain.
Dalam rangka mempercepat pencapaian pembangunan ekonomi nasional,
diperlukan peningkatan penanaman modal melalui penyiapan kawasan
yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis. Kawasan tersebut
dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan
kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pengembangan
KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai
model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi,
antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat
menciptakan lapangan pekerjaan.

Pasal 31 . . .
-2-

Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal mengatur bahwa ketentuan mengenai Kawasan
Ekonomi Khusus diatur dengan Undang-Undang. Ketentuan tersebut
menjadi dasar hukum perlunya diatur kebijakan tersendiri mengenai KEK
dalam suatu Undang-Undang.
Ketentuan KEK dalam Undang-Undang ini mencakup pengaturan fungsi,
bentuk, dan kriteria KEK, pembentukan KEK, pendanaan infrastruktur,
kelembagaan, lalu lintas barang, karantina, dan devisa, serta fasilitas dan
kemudahan.
KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di
bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi,
maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang
lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona,
antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan
teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk
ekspor dan untuk dalam negeri.
Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai
KEK adalah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, tidak berpotensi
mengganggu kawasan lindung, adanya dukungan dari pemerintah
provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang
strategis atau mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang
kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta
mempunyai batas yang jelas, baik batas alam maupun batas buatan.
Untuk menyelenggarakan KEK, dibentuk lembaga penyelenggara KEK yang
terdiri atas Dewan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Kawasan di tingkat
provinsi. Dewan Kawasan membentuk Administrator KEK di setiap KEK
untuk melaksanakan pelayanan, pengawasan, dan pengendalian
operasionalisasi KEK. Kegiatan usaha di KEK dilakukan oleh Badan Usaha
dan Pelaku Usaha.
Fasilitas yang diberikan pada KEK ditujukan untuk meningkatkan daya
saing agar lebih diminati oleh penanam modal. Fasilitas tersebut terdiri
atas fasilitas fiskal, yang berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak
daerah dan retribusi daerah, dan fasilitas nonfiskal, yang berupa fasilitas
pertanahan, perizinan, keimigrasian, investasi, dan ketenagakerjaan, serta
fasilitas dan kemudahan lain yang dapat diberikan pada Zona di dalam
KEK, yang akan diatur oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam . . .
-3-

Dalam hal pengawasan, ketentuan larangan tetap diberlakukan di KEK,


seperti halnya daerah lain di Indonesia. Namun, untuk ketentuan
pembatasan, diberikan kemudahan dalam sistem dan prosedur yang
ditetapkan oleh Pemerintah dengan tetap mengutamakan pengawasan
terhadap kemungkinan penyalahgunaan atau pemanfaatan KEK sebagai
tempat melakukan tindak pidana ekonomi.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, diharapkan terdapat satu
kesatuan pengaturan mengenai kawasan khusus di bidang ekonomi yang
ada di Indonesia dengan memberi kesempatan kepada Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4775) untuk diusulkan menjadi KEK,
baik dalam jangka waktu maupun setelah berakhirnya jangka waktu yang
telah ditetapkan. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, tidak terjadi lagi
pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Yang dimaksud dengan “geoekonomi” adalah kombinasi faktor
ekonomi dan geografi dalam perdagangan internasional.

Yang . . .
-4-

Yang dimaksud dengan “geostrategi” adalah kombinasi faktor


geopolitik (pengaruh faktor geografi, ekonomi, dan demografi dalam
politik luar negeri suatu negara) dan strategi yang memberikan peran
tertentu pada suatu kawasan geografis.
Yang dimaksud dengan “kegiatan industri” adalah kegiatan ekonomi
yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi,
dan/atau barang jadi dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, kegiatan rancang bangun, dan perekayasaan
industri.
Yang dimaksud dengan “penyiapan kawasan” adalah upaya
pengembangan suatu kawasan agar memenuhi standar infrastruktur
dan standar pelayanan tertentu.

Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Zona pengolahan ekspor” adalah
area yang diperuntukkan bagi kegiatan logistik dan industri
yang produksinya ditujukan untuk ekspor.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “Zona logistik” adalah area yang
diperuntukkan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan,
penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan, dan
perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari luar
negeri.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “Zona industri” adalah area yang
diperuntukkan bagi kegiatan industri yang mengolah bahan
mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang
jadi, serta agroindustri dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan
perekayasaan industri yang produksinya untuk ekspor
dan/atau untuk dalam negeri.

Huruf d . . .
-5-

Huruf d
Yang dimaksud dengan “Zona pengembangan teknologi”
adalah area yang diperuntukkan bagi kegiatan riset dan
teknologi, rancang bangun dan rekayasa, teknologi terapan,
pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang
teknologi informasi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Zona pariwisata” adalah area yang
diperuntukkan bagi kegiatan usaha pariwisata untuk
mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi,
pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan
yang terkait.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Zona energi” adalah area yang
diperuntukkan antara lain untuk kegiatan pengembangan
energi alternatif, energi terbarukan, teknologi hemat energi,
dan pengolahan energi primer.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Zona ekonomi lain” antara lain
dapat berupa Zona industri kreatif dan Zona olahraga.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pendukung” antara lain fasilitas
ibadah, hotel, rumah sakit, pendidikan, dan pelatihan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kawasan lindung” adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c . . .
-6-

Huruf c
Yang dimaksud dengan “jalur pelayaran internasional” adalah:
a. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI);
b. jaringan pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan
internasional hub di Indonesia dan pelabuhan internasional di
Indonesia; dan
c. jaringan pelayaran yang menghubungkan antara pelabuhan
internasional hub dan pelabuhan internasional dengan
pelabuhan internasional di negara lain.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mempunyai batas yang jelas” adalah batas
alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok).

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan
area baru atau perluasan KEK yang sudah ada.
Huruf b
Yang dimaksudkan dengan “peraturan zonasi” adalah
ketentuan yang mengatur persyaratan pemanfaatan ruang
dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
Zona peruntukkan yang penetapan Zonanya dilakukan
dengan rencana rinci tata ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
-7-

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan Pemerintah antara lain mengatur penetapan batas luar
kawasan, Zona yang ada di dalam KEK, dan luas area KEK.

Pasal 8
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah hal-hal yang
terkait dengan kepentingan nasional yang bersifat strategis bagi
pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah tertentu.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “harus siap beroperasi” adalah telah
dipenuhinya seluruh kelengkapan infrastruktur, sumber daya
manusia, dan perangkat pengendalian administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4) . . .
-8-

Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perubahan” antara lain mencakup
luas area yang diusulkan, Zona, dan sumber pembiayaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “langkah penyelesaian” antara lain
berupa penggantian Badan Usaha dan pengusulan
pembatalan lokasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu
kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari
Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta, serta hak
kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
-9-

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “permasalahan strategis” antara lain
permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan
atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang
memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK.
Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Dewan
Nasional/pengelola KEK negara lain, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia, asosiasi pengusaha, dan perguruan tinggi yang bersifat
nirlaba.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22 . . .
- 10 -

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ke KEK dan dari KEK” termasuk juga
pemasukan dan pengeluaran barang antar-KEK.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33 . . .
- 11 -

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Kemudahan yang diberikan antara lain percepatan pelayanan
pengukuran, pendaftaran hak, dan penerbitan sertifikat hak atas
tanah.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Dengan ketentuan ini, ketentuan bidang usaha yang tertutup untuk
penanaman modal sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal tetap
berlaku di KEK.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Yang dimaksud dengan “jabatan direksi atau komisaris” adalah
jabatan direksi atau komisaris yang tercantum dalam akte pendirian
perusahaan atau perubahannya.

Pasal 42
Penggunaan tenaga kerja Indonesia menganut prinsip Indonesia
sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional yang didasarkan pada
kompetensi kerja.
Pengusaha mengutamakan tenaga kerja setempat dalam hal syarat
kompetensi kerja telah dipenuhi.

Pasal 43 . . .
- 12 -

Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus”
adalah Lembaga Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Ayat (1)
Sesuai dengan prinsip kebebasan berserikat, forum tidak
mengurangi independensi serikat pekerja/serikat buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”perjanjian kerja bersama (PKB)” adalah
perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dalam PKB disepakati” apabila
perusahaan akan menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada
perusahaan lain dan/atau melaksanakan hubungan kerja dalam
bentuk perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu
tidak tertentu, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
merundingkannya untuk menyepakatinya dalam PKB.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4) . . .
- 13 -

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5066


PUTUSAN
Nomor 19/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Asep Ruhiyat


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 1 Maret 1969
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Griya Cempaka Arum B-3 Nomor 37
RT 004/RW 002, Kota Bandung

2. Nama : Suhesti Dianingsih


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 22 Oktober 1967
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Sanggar Indah Banjaran Blok DH Nomor 12,
DS Nagrak, Kabupaten Bandung

3. Nama : Bambang Mardiyanto


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 31 Maret 1970
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Komplek Bumi Sari Indah Blok I Nomor 17
RT 04/RW 17, Kabupaten Bandung

4. Nama : Rahmat Nurhamid


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 6 September 1968
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Batu Raden, Ciwastra Bandung

5. Nama : Asep Kusnadi


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 13 November 1963
2

Pekerjaan : Karyawan Swasta


Alamat : Babakan Dese RT 01/RW 06 Kiara Condong,
Bandung

6. Nama : Asep Supena


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 10 Juli 1964
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Cikutra Nomor 185, Bandung

7. Nama : Asep Taryana


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 14 Agustus 1964
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Pagarsih GG Holili Nomor 90/87 Bandung

8. Nama : Abidin
Tempat, tanggal lahir : Bandung,13 Maret 1976
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : GG H. Munajat Nomor 97 Kiara Condong,
Bandung

9. Nama : Cucu Sunarya


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 4 Maret 1957
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Asep Berlian GG Moh. Nawawi I
Nomor 12, Cicadas

10. Nama : Desi Ruslita


Tempat, tanggal lahir : Tarakan, 5 Desember 1963
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Saluyu Indah II L Nomor 24 Riung,
Bandung

11. Nama : Endang Rahmat


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 Januari 1970
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Kebon Gedang II RT 02/RW 11,
Maleer, Bandung
3

12. Nama : Eri Sunarya


Tempat, tanggal lahir: Bandung, 14 Maret 1957
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Bojong Koneng Sekemerak
RT 05/ RW 15, Bandung

13. Nama : Hendrawan


Tempat, tanggal lahir : Manado, 4 Oktober 1971
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Banjaran Nomor 49, RT 07/RW 02
Bandung

14. Nama : Hardi Somantri


Tempat, tanggal lahir : Garut, 7 April 1967
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Pelita III Nomor 140/116 RT 03/RW 02
Cibangkong

15. Nama : Imat Hikmat


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 Desember 1969
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Cilengkrang I Nomor 105 RT 03/06
Bandung

16. Nama : Irman Rakhman


Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 12 September 1966
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Sekepanjang I Nomor 65,
Cibeunying Kidul

17. Nama : Ipur Triana


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 11 Mei 1964
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Babakan Surabaya Nomor 10
Kiara Condong, Bandung

18. Nama : Iman Hardiman


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 Mei 1970
Pekerjaan : Karyawan Swasta
4

Alamat : Jalan Antasari VII Nomor 3, Antapani, Bandung

19. Nama : M. Tedi Saripudin


Tempat, tanggal lahir : Cianjur, 16 Agustus 1970
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Cikudapateuh RT 05/RW 01,
Batu Nunggal, Bandung

20. Nama : Mauludin Saleh


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 11 Agustus 1964
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Citepus II Nomor 11 RT 01/RW 06,
Pajajaran, Bandung

21. Nama : Nia Isnania


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 22 November 1967
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Komp Bumi Harapan Nomor DDXI 32,
Cibiru, Bandung

22. Nama : Rachmat Syarif


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 19 Mei 1968
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Kartika III BLK 3 Nomor 1 RT 001/RW 017,
Jatinangor

23. Nama : R. Jaka Sutaatmadja


Tempat, tanggal lahir : Lampung, 30 Juli 1966
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : KP Cionyam RT 001/RW 003 Palasari, Cibiru
Bandung

24. Nama : Samsuri


Tempat, tanggal lahir : Bandung 3 Januari 1970
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Cikudapaeteuh Dalam 218/121 Kacapiring,
Bandung
5

25. Nama : Subuh Prasetya


Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 4 Februari 1972
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Ahmad Yani Nomor 236, Bandung

26. Nama : Supangkat


Tempat, tanggal lahir : Temanggung, 27 Juli 1966
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Samoja Nomor 29/121, Bandung

27. Nama : Sihab Hafidi


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 4 Maret 1973
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : KP Cikundul RT 01, DS Kopo, Bandung

28. Nama : Samsudin Wiguna


Tempat, tanggal lahir : Garut, 3 Juni 1966
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Alani Nomor 6/34B, Bandung

29. Nama : Sahafudin


Tempat, tanggal lahir : Lampung, 11 November 1973
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Kampus III Nomor 12 Babakan, Kiara Condong
Bandung

30. Nama : Taryono


Tempat, tanggal lahir : Solo, 16 Mei 1971
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Kp Pasir Salam, DS Sukamanagara
RT 02/RW 04 Soreang

31. Nama : Umar Nasir


Tempat, tanggal lahir : Purwokerto, 28 Juni 1964
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Ciateul Tengah RT 003/RW 06, Pungkur Regol,
Bandung
6

32. Nama : Ujang Rahmat


Tempat, tanggal lahir : Sumedang, 13 Maret 1967
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Tanjung Sari IV Nomor 56 Antapani,
Bandung

33. Nama : Wawan Setiawan


Tempat, tanggal lahir : Sumedang, 14 Mei 1971
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Nusa Indah I Nomor 9 Kompleks Rancaekek
Kencana

34. Nama : Ahmad Nurdin


Tanggal lahir : 5 Januari 1968
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Manis Jati Kaler Nomor 22, Pasir Biru,
Cibiru, Bandung

35. Nama : I Nyoman Sukertha


Tempat, tanggal lahir : Bali, 21 November 1960
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Saluyu Indah II Nomor 24 Riung Bandung

36. Nama : Dede Saputra


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 31 Maret 1974
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jalan Kebon Gedang II RT 02/RW 11, Bandung

37. Nama : Rosmawati


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 15 Agustus 1969
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Perum GBI GG-37 RT04/RW 09 Bojong Soang,
Bandung

38. Nama : Ahmad Juanda


Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 April 1971
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Manggahang Bukit Mulya RT 01/RW 08,
Bale Endah

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;


7

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;


Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah;
Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Mendengar keterangan ahli dan saksi para Pemohon;
Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon menyampaikan permohonan


bertanggal 5 Januari 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Rabu tanggal 9 Februari
2011 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 87/PAN.MK/2011
yang kemudian dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada hari Rabu
tanggal 23 Februari 2011 dengan Nomor 19/PUU-IX/2011, yang telah diperbaiki
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 Maret 2011 yang pada
pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan pengujian (judicial review) Undang-Undang terhadap UUD 1945
(Bukti P-2);
2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945”;
3. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan bahwa
”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; (Bukti P-3)
8

4. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis
kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karenanya
setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD
1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan
dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji
melalui mekanisme Pengujian Undang-Undang;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini;

II. Kedudukan Hukum dan Kepentingan Pemohon


5. Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK menyatakan, “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara”.
6. Bahwa kedudukan hukum (legal standing) Pemohon adalah sebagai
perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (1) huruf a UU MK beserta Penjelasannya;
7. Sebagai persyaratan awal para Pemohon telah menyiapkan dokumen-
dokumen sebagai berikut:
a. Kartu Tanda Penduduk Nomor 1050270103695001 atas nama Asep
Ruhiyat (Lampiran 1a);
b. Kartu Tanda Penduduk Nomor 32.0444.621067.0001 atas nama
Suhesti Dianingsih (Lampiran 1b);
c. Kartu Tanda Penduduk Nomor 32.0432.310370.0006 atas nama
Bambang Mardiyanto (Lampiran 1c) ;
d. Selanjutnya para Pemohon menyerahkan Kartu Tanda Penduduk
sebanyak 35 (tiga puluh lima) orang atas nama Rahmat Nurhamid
dkk.
9

8. Berlandaskan pada Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang memberikan
jaminan atas pekerjaan sebagaimana disebutkan “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”; (Bukti P-1)
9. Para Pemohon adalah pihak yang dirugikan atas berlakunya pasal 164 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(selanjutnya disebut UU 13/2003) yang isinya adalah “Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”;
(Bukti P-4)
10. Kerugian yang dimaksud adalah para Pemohon diputus-hubungan kerjanya
karena tempat bekerjanya yaitu Hotel Papandayan Bandung melakukan
renovasi dan mempergunakan pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; (Bukti P-5)
11. Dampak dari pemutusan hubungan kerja tersebut adalah :
• Para Pemohon kini tidak lagi memiliki pekerjaan. Hal ini telah
membuat hilangnya kepercayaan dari tetangga, kerabat dan
lembaga-lembaga lain.
• Para Pemohon sudah tidak lagi memiliki penghasilan yang biasa
diterima dari upah bulanan. Hal ini sudah berlangsung selama 13
bulan.
• Para Pemohon sudah tidak memiliki jaminan sosial seperti kesehatan
untuk diri pemohon dan keluarganya apabila mengalami sakit.
• Para Pemohon kini sudah tidak memiliki kesanggupan untuk mencicil
rumah sangat sederhana. Akibatnya sebagian pemohon kini tidak
memiliki tempat tinggal karena telah disita oleh pihak bank.
• Semakin sulit mendapatkan pekerjaan baru karena telah memasuki
usia paruh baya dan tidak bekerja sehingga sangat sulit bersaing
dengan pekerja yang usianya lebih muda.
10

12. Pemutusan hubungan kerja yang diterima oleh para Pemohon dasar
hukumnya adalah PHK dengan alasan efisiensi yang diakibatkan Hotel
Papandayan Bandung melakukan renovasi.
13. Para Pemohon menilai pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi
karena adanya renovasi adalah tidak memberikan keadilan bagi para
Pemohon dalam hubungan kerja.
14. Renovasi yang dilakukan oleh pemilik Hotel Papandayan Bandung adalah
berdasarkan kemampuan finansial dan bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang semakin besar. Hal ini dapat dipastikan karena Hotel
Papandayan Bandung kini telah naik kelas yaitu dari bintang 4 (empat)
menjadi bintang 5 (lima).
15. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para Pemohon mempunyai
kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU 13/2003)
terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (2);

III. Alasan-Alasan Hukum Permohonan


Alasan-Alasan Hukum Permohonan Uji Materi Pasal 164 ayat (3):
16. Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 UU 13/2003 mengatur mengenai
segala sesuatu terkait pemutusan hubungan kerja, termasuk salah satunya
mengenai alasan-alasan melakukan pemutusan hubungan kerja
17. Untuk mempermudah penafsiran, berikut para Pemohon akan mengutip
keseluruhan isi pasal 164 UU 13/2003:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat(2)),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan publik.
11

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap


pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian
2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force
majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4);
18. Dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 164 UU 13/2003, maka jika
dicermati kembali, penekanan harus diberikan pada klausul “perusahaan
tutup”, karena Pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi perusahaan
untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup, bukan
karena alasan lainnya.
19. Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3)
UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar
perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga
“Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK pekerja yang
ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan
apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk
efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan efisiensi, caranya
dengan menutup perusahaan".
20. Efisiensi harus memiliki alasan yang kuat di antaranya :
• Jumlah alat kerja tidak sesuai jumlah pekerja. Contohnya di sebuah
pabrik garmen, jumlah mesin jahit hanya berjumlah 10 buah
sementara jumlah pekerjanya sebanyak 40 orang.
• Adanya faktor teknologi. Misalnya pintu masuk jalan tol. Jika dahulu
dijaga oleh pekerja untuk menyerahkan tiket tol, kini sudah digantikan
oleh mesin penjaga.
• Kelebihan karyawan.
21. Untuk menyatakan sebuah perusahaan telah kelebihan karyawan,
syaratnya harus mendapatkan rekomendasi dari instansti yang berwenang
diantaranya melalui Departemen / Dinas Tenaga Kerja sebelum efesiensi itu
dilakukan.
12

22. Para Pemohon adalah pihak yang telah dirugikan atas Pasal 164 ayat (3)
tersebut karena dijadikan oleh Pengusaha untuk diputus hubungan kerjanya
walaupun perusahaan tidak tutup dan semata karena melakukan
renovasi yang dapat diperkirakan jangka waktunya;
23. Renovasi bukanlah bentuk dari penutupan perusahaan karena tujuan
renovasi adalah untuk meningkatkan fasilitas dan akan dibuka kembali.
24. Tindakan ini sangat bertentangan dengan norma yang diatur Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945 yang memberikan jaminan atas pekerjaan sebagaimana
disebutkan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;
25. Renovasi di Hotel Papandayan Bandung (tempat para Pemohon bekerja)
bukanlah disebabkan perusahaan tutup. Renovasi dilakukan karena secara
financial, Pengusaha telah memiliki cadangan dana yang cukup dan telah
direncanakan sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari terus meningkatnya
pendapatan Pengusaha dan tidak memiliki hutang atau pinjaman apapun
pada pihak ketiga;
26. Kini telah terbukti renovasi hanya berlangsung singkat dan Hotel
Papandayan Bandung tempat pemohon bekerja telah dibuka kembali pada
tanggal 12 Maret 2011. Sementara Pemohon telah kehilangan pekerjaan
dan masa depannya untuk menghidupi keluarganya; (Bukti P-7)
27. Renovasi akhirnya menjadi cara dan alasan untuk melakukan PHK
kepada Pemohon. Bandingkan dengan kasus di Hotel Regent Jakarta
pada tahun 2001 yang tutup karena banjir selama hampir 2 tahun.
Walaupun merupakan force majeur dan tidak memiliki persiapan dan
cadangan dana namun tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Sebagian
pekerja dirumahkan dan pengusaha tetap membayarkan kewajibannya
walaupun hanya berupa hak-hak normatif sambil menunggu proses
renovasi selesai. Sebagian lagi diperbantukan dalam proyek renovasi.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 2001 sebelum munculnya Pasal 164
ayat (3) UU 13/2003;
28. Jaminan atas kesempatan tetap bekerja yang telah didapatkan oleh para
pekerja Hotel Regent Jakarta tersebut telah sejalan dengan amanat yang
dimuat oleh UU Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di perusahaan swasta.
13

29. Sehingga UU ketenagakerjaan terdahulu lebih memberikan perlindungan


atas nasib pekerja dan keluarganya dibandingkan UU Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003.
30. Berikut adalah penjelasan dan pokok-pokok pikiran yang dimuat dalam UU
Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan
swasta:
Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa
pangangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin
kepastian ketenteraman hidup buruh seharusnya tidak ada pemutusan
hubungan kerja.
Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dicegah seluruhnya. Berbagai jalan dapat ditempuh untuk
memecahkan persoalannya. Setelah ditinjau masak-masak berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hemat pemerintah,
sistem yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepat bagi
negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini garis
besarnya adalah sebagai berikut :
1) Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi
masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin
pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya
upaya bahkan dalam beberapa hak dilarang.
2) Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-
pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang
bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh
pemerintah, maka dalam sistem Undang-undang ini, penempuhan
jalan perundingan kewajiban, setelah daya dan upaya tersebut tidak
memberikan hasil.
3) Bila jalan perundingan tidak berhasil mendekatkan kedua belah
pihak, haruslah Pemerintah tampil kemuka dan campur tangan dalam
pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha.
Bentuk campur tangan ini adalah pengawasan preventif, yaitu untuk
tiap-tiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan izin
dari instansi Pemerintah.
14

4) Berdasarkan penglaman dalam menghadapi masalah pemutusan


hubungaan kerja maka sudah sepatutlah bila pengawasan prepentif
ini diserahkan kepada Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat.
5) Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang
bersifat formil tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap
penolakan banding terhadap permohonan izin dan seterusnya.
6) Disamping itu perlu dijelaskan bahwa bilamana terjadi pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat tidakan
pemerintah, maka pemerintah akan berusaha untuk meringankan
beban kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada
perusahaaan/proyek yang lain.
7) Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena modernisasi,
otomatisasi, efisiensi dan rasionalisasi yang disetujui oleh pemerintah
mendapat perhatian pemerintah sepenuhnya dengan jalan
mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu ke
perusahaan/proyek lain. (Bukti P-11)
31. Intisari dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tersebut adalah ”Untuk
menjamin kepastian ketenteraman hidup buruh seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja dan pemerintah menyalurkan buruh-buruh
yang terkena pemutusan hubungan kerja ke perusahaan/proyek lain”.
32. Amanat ini yang kemudian dihilangkan dalam UU 13/2003. Melalui Pasal
164 ayat (3) itulah hak konstitusional para Pemohon telah dirampas.
33. Dengan kata lain, renovasi bukanlah dasar untuk melakukan efisiensi
karena perusahaan tidak tutup. Hal lain, perusahaan tempat kerja para
Pemohon tidak mengalami pembubaran perseroan sebagaimana UU
Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007; (Bukti P-6)
34. Pasal 164 ayat (3) pada akhirnya menjadi celah kepada pihak Pengusaha
untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak di antaranya karena:
a. Pengusaha tidak menghendaki adanya serikat pekerja di Perusahaan
dengan melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja kepada
pengurus serikat pekerja.
15

b. Pengusaha menghilangkan tanggung jawab pada masa depan


pekerja dan keluarganya dengan cara mengganti pekerja tetap
dengan pekerja kontrak, harian atau outsourcing.
c. Pengusaha mengganti pekerja yang masih jauh dari usia pensiun
dengan pekerja muda.
d. Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena unsur
agama, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik dan
status perkawinan;
35. Contoh konkret dari poin 34 di atas adalah:
• Pemutusan hubungan kerja terhadap pengurus dan anggota serikat
karyawan Indosiar (Sekar Indosiar) karena berserikat;
• Pemutusan hubungan kerja kepada PT Panen Lestari Internusa –
Sogo Departemen Store karena sebagian pekerja perempuannya
menggunakan jilbab;
• Pemutusan hubungan kerja kepada karyawan Harian Suara
Pembaruan, Investor Daily dan Jakarta Globe; (P-12)
36. Pemutusan hubungan kerja tidak boleh dilakukan tanpa ada alasan yang
valid. Tidak boleh seorangpun dimuka bumi ini dihilangkan hak
konstitutionalnya untuk bekerja dan mencari nafkah tanpa pernah
melakukan kesalahan dan alasan yang tepat.
37. Pasal 164 ayat (3) itu sendiri bertolak belakang dengan sebuah amanat
penting dari UU 13/2003 mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal
tersebut dimuat dalam pasal 151 ayat (1) dan Penjelasannya yang isinya
adalah “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja”; (Bukti P-8)
38. Selain itu Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 bertentangan dengan Surat
Edaran Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28
Oktober 2004 yang isinya :
“….. Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang
dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan
hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan
upaya sebagai berikut :
16

a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat


manager dan direktur
b. Membatasi/menghapuskan kerja lembur
c. Mengurangi Jam Kerja
d. Mengurangi Hari Kerja
e. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk
sementara waktu
f. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis
masa kontraknya
g. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat”; (Bukti P-9)
39. Pasal 164 ayat (3) kini menjadi ancaman paling menakutkan karena
memberikan peluang sebesar-besarnya untuk menghilangkan hak atas
pekerja, imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja
sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pekerja dapat setiap
saat dapat diputus hubungan kerjanya walau tanpa ada kesalahan apapun
atau ketika kondisi perusahaan dalam kondisi yang maju sekalipun;
40. Sebenarnya pihak pemerintah sendiri telah mengakui jika pemutusan
hubungan kerja dengan alasan renovasi tidak dapat dibenarkan
sebagaimana pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Muhaimin Iskandar pada tanggal 5 Desember 2009 di kantor Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat yang secara tegas menyatakan bahwa
PHK dengan alasan renovasi tidak dapat dibenarkan; (Bukti P-10)
41. Dengan menggunakan alasan konstitusional di dalam Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945 tersebut di atas, maka Pemohon dengan ini permohonan uji
materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 164 ayat (3) UU
13/2003.

IV. Petitum
Berdasarkan uraian di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal
28D ayat (2);
17

3. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memulihkan hak-hak konstitusional para Pemohon yaitu mengembalikan
hak para Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di Hotel
Papandayan Bandung;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono);

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon


telah menyampaikan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-10, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi UUD 1945;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Pemutusan Hubungan Kerja;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Iklan Pembukaan kembali Hotel Papandayan
Bandung;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Surat Edaran Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-
PPHI/X/2004 bertanggal 28 Oktober 2004 tentang
Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal;
10.Bukti P-10 : Fotokopi Kliping Berita Pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan
Trasnmigrasi Muhaimin Iskandar pada tanggal 5 Desember
2009;
18

Selain itu, para Pemohon mengajukan satu orang ahli atas nama Indrasari
Tjandraningsih, M.A. dan dua orang saksi yaitu Yanri Syawal Silitonga dan
Dicky Irawan yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 9
Mei 2011, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Keterangan Ahli Indrasari Tjandraningsih, M.A.
• Secara umum, pemerintah memang ingin memperluas kesempatan kerja di
sektor formal melalui kebijakan memperbaiki iklim investasi, salah satunya
ditempuh dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
• Dalam kurun waktu 15 tahun, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa kesempatan kerja di sektor formal
menunjukkan angka yang relatif stabil antara 28.000.000 sampai dengan
30.000.000 dan angka terakhir tahun 2010 adalah 30.000.000;
• Berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005 terkait dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menunjukkan kecenderungan
pengurangan kesempatan kerja akibat diterapkannya sistem kerja kontrak
dan outsourcing serta kemudahan untuk merekrut dan memecat tenaga
kerja;
• Terjadinya penurunan jumlah pekerja pada tahun 2001 sampai tahun 2006
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menaikan harga Bahan Bakar
Minyak dan tarif listrik yang membuat perusahaan kalang kabut, sehingga
terjadi banyak PHK.
• Penelitian yang dilakukan ahli memperlihatkan bahwa alasan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) bermacam-macam. Selain karena alasan efisiensi,
tetapi PHK terjadi karena perusahaan berkurang order pekerjaannya,
karena terjadi penutupan perusahaan, aksi-aksi anti serikat yang tidak
pernah dinyatakan secara langsung sebagai alasan PHK, dan pengalihan
status hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak, atau menggantikannya
dengan pekerja outsourcing;
• Persoalan ketenagakerjaan dan kesejahteraan pekerja, selain menjadi
tanggung jawab pengusaha juga merupakan tanggung jawab negara.
Negara bertanggung jawab melalui sistem jaminan sosial yang sudah
diundangkan.
19

2. Keterangan Saksi Yanri Syawal Silitonga


• Saksi bekerja di Indosiar sejak tahun 1996 di bagian news department.
• Pada tanggal 21 April 2008, saksi ikut mendirikan serikat pekerja Serikat
Karyawan Indosiar (Sekar Indosiar) yang bertujuan agar karyawan atau
pekerja di Indosiar mempunyai suatu wadah untuk menyampaikan aspirasi
kepada manajemen Indosiar;
• Pada Januari 2010, Sekar Indosiar menyampaikan aspirasi pembentukan
perjanjian kerja bersama kepada pihak pimpinan Indosiar dan sempat ada
mediasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan DPR;
• Pengurus Sekar Indosiar kemudian di-PHK. Saat ini masih dalam proses
kasasi ke Mahkamah Agung;
• Manajemen Indosiar memutus hubungan kerja dengan dasar Pasal 164
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dengan dasar bahwa perusahaan melakukan efisiensi padahal dalam dua
tahun berturut-turut Indosiar mendapat untung;
• Keahlian yang dimiliki oleh karyawan yang di-PHK oleh Indosiar sangat
khusus sehingga sangat sulit mencari pekerjaan baru;
3. Keterangan Saksi Dicky Irawan
• Saksi bekerja Indosiar sejak tanggal 15 Juli 1993;
• Saksi pernah terpilih sebagai karyawan terbaik tahun 2007;
• PHK yang dialami oleh saksi dilakukan atas dasar efisiensi sebagaimana
disampaikan pihak Indosiar dalam sidang di Pengadilan Hubungan
Industrial;
• Adanya PHK merupakan keputusan sepihak pada tahun 2010;

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah


menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 9 Mei 2011 dan
keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 Mei 2011 yang
pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi Nomor
464.19/PAN.MK/V/2011, para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal
20

28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.
2. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat menjadi
celah kepada pihak pengusaha untuk menghilangkan hak warga negara
untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan pelakuan yang adil dan layak
sehingga dianggap bertentangan dengan konstitusi.
3. Dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tersebut para Pemohon
merasa dirugikan karena ketentuan tersebut dijadikan dasar oleh
Pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja walaupun
perusahaan tidak tutup dan semata karena melakukan renovasi yang dapat
diperkirakan jangka waktunya.
4. Bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003, bertolak belakang dengan
sebuah amanat penting dari Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13
tahun 2003 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal tersebut
dimuat dalam Pasal 151 ayat (1) dan Penjelasannya yang isinya adalah
"pengusaha, pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah,
dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja".
5. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003,
menjadi ancaman paling menakutkan karena memberikan peluang sebesar-
besarnya kepada pengusaha untuk menghilangkan hak atas pekerjaan,
imbalan dan pelakuan yang adil dalam hubungan kerja sebagaimana
amanat Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pekerja dapat setiap saat diputuskan
hubungan kerjanya walau tanpa ada kesalahan apapun atau ketika kondisi
perusahaan dalam kondisi yang maju sekalipun.

II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON


Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu :
a. perorangan Warga Negara Indonesia;
21

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai


dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam Penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan
"hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terbih dahulu harus menjelaskan
dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul
karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide putusan Nomor
006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima)
syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
22

Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan


kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan untuk diuji.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, dan
dengan memperhatikan uraian penjelasan tentang kedudukan hukum para
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang yang bersifat tentatif dan
diputus bersamaan dengan pokok permohonan para Pemohon, maka terkait
dengan kedudukan hukum para Pemohon, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya
kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah
para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, atas
berlakunya ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tersebut, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide
Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor ll/PUU-V/2007).

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-


UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan lebih lanjut atas
permohonan pengujian ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terlebih dahulu disampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Bahwa Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan. Dimana keterkaitan itu tidak
hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah
bekerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah
dan masyarakat.
23

Untuk kepentingan tenaga kerja (pekerja/buruh), khususnya mengenai norma


pemutusan hubungan kerja pada dasarnya bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah dengan segala upaya
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan guna memberikan
kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah terjadinya pemutusan
hubungan kerja yang semena-mena, maka Pemerintah melalui Peraturan
Perundang-undangan Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha tidak
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa mendapat penetapan
sebelumnya dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial batal demi hukum.
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dan telah terbentuk di seluruh Indonesia.
Di samping hal tersebut, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga
mengatur larangan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan
kerja, alasan-alasan yang dapat digunakan pengusaha untuk mengadakan
pemutusan hubungan kerja beserta besaran hak-hak pekerja/buruh yang
terkena pemutusan hubungan kerja, serta proses penyelesaian Pemutusan
Hubungan Kerja.
2. Adapun larangan bagi pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja apabila Pemutusan Hubungan Kerja tersebut dilakukan terkait dengan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus
menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
24

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan


dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Sehingga apabila pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
berdasarkan hal tersebut, Pemutusan Hubungan Kerja tersebut batal demi
hukum dan Pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh.
3. Pengusaha, untuk mendapatkan penetapan Pemutusan Hubungan Kerja
dari Lembaga Penyelesaian Perselishan Hubungan Industrial, harus disertai
alasan pemutusan hubungan kerja. Alasan yang dapat digunakan Pengusaha
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja adalah:
a. pekerja telah melakukan kesalahan berat, sebagaimana diatur Pasal 158
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
b. pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib, sebagaimana diatur dalam Pasal
160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c. pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, sebagaimana
diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
d. pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri, sebagaimana diatur Pasal
162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
25

e. pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dalam hal terjadi


perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan, sebagaimana diatur Pasal 163 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
f. pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup, sebagaimana diatur
dalam Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
g. pemutusan hubungan kerja karena perusahaan pailit, sebagaiaman diatur
dalam Pasal 165 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
h. hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia,
sebagaimana diatur dalam Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
i. pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun, sebagaimana diatur dalam
Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
j. pekerja mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis, dikualisifikasikan mengundurkan diri,
sebagaimana diatur Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
k. pekerja mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja kepada
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana
diatur Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
l. pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat
akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya, dapat
mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja sesuai ketentuan Pasal 172
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menyangkut hak pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya, telah diatur
sesuai dengan alasan-alasan pemutusan hubungan kerjanya.
Sebelum Pengusaha mengajukan permohonan penetapan Pemutusan
Hubungan Kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
maksud Pemutusan Hubungan Kerja tersebut wajib dirunding oleh Pengusaha
26

dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau dengan pekerja/buruh apabila


pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh. Apabila dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan
(kesepakatan), maka Pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerjanya
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Selain uraian tersebut diatas, Pemerintah menjelaskan hal-hal sebagai
berikut:
1. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon yang
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28D
Undang-Undang 1945 dengan alasan:
Ketentuan Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan berbunyi selengkapnya:
Ayat (1): Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua)
tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);
Ayat (2): Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang
telah diaudit oleh akuntan public;
Ayat (3): Perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena
keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
pengganian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
27

Pemerintah berpendapat norma Pemutusan Hubungan Kerja telah


mengatur sedemikian rupa untuk memberikan perlindungan bagi
pekerja/buruh atas Pemutusan Hubungan Kerja yang semena-mena.
2. Ketentuan Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah mengatur Pemutusan Hubungan Kerja dengan
alasan :
1) perusahaan tutup;
2) tutupnya perusahaan disebabkan oleh Perusahaan mengalami kerugian
secara terus menerus selama 2 (dua) tahun yang harus dibuktikan
dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang diaudit oleh
akuntan publik atau keadaan memaksa (force majeur); atau
3) tutupnya Perusahaan bukan karena kerugian atau keadaan memaksa
(force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi.
Bahwa hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak, besarannya berbeda antara Perusahaan tutup karena
mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur) dengan
Perusahaan tutup bukan karena Perusahaan mengalami kerugian atau
keadaan memaksa (force majeur) tetapi Perusahaan melakukan efisiensi.
Pekerja/buruh yang di putuskan hubungan kerjanya dengan alasan
Perusahaan tutup, karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa
(force majeur), berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Sebaliknya bagi pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan
alasan perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian atau keadaan
memaksa (force majeur), berhak atas uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan
Apsal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Adanya perbedaan besaran hak uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak, ini dimaksud untuk memberikan keadilan
bagi pekerja/buruh yang diputus hubungan kerja karena perusahaan tutup
bukan karena perusahaan rugi atau keadaan memaksa (force majeur).
28

Pada saat renovasi Perusahaan (Hotel Papandayan) dapat dimungkinkan


operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan
tidaklah sama dengan perusahaan tutup, sehingga bila perusahaan
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan mendasarkan Pasal 164
ayat (3) adalah tidak tepat. Sesuai penjelasan para Pemohon bahwa
Perusahaan tempat para Pemohon bekerja, melakukan renovasi (Hotel
Papandayan) dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan
menggunakan ketentuan Pasal 164 ayat (3) yaitu perusahaan tutup bukan
karena perusahaan rugi atau keadaan memaksa (force majeur), tetapi
perusahaan melakukan efisiensi.
3. Terhadap anggapan para Pemohon yang menyatakan Pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, menimbulkan
kerugian konstitusional para Pemohon adalah tidak benar, tidak terbukti
bahkan mengada-ada. Oleh karena, para Pemohon mendalilkan peristiwa
Pemutusan Hubungan Kerja yang diakui para Pemohon dasar
penetapannya adalah tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 164 ayat (3).
Sehingga penerapan hukum yang tidak benar, tidak dapat digunakan untuk
pengujian norma dari suatu undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar.

IV. KLARIFIKASI PEMERINTAH TERHADAP SAKSI DAN/ATAU AHLI PARA


PEMOHON
Terhadap kesaksian para saksi yang dihadirkan oleh para Pemohon,
pemerintah dapat menyampaikan klarifikasi sebagai berikut:
a. Bahwa dari seluruh penjelasan para Saksi semakin jelas bahwa
permasalahan yang dialami oleh para Saksi para Pemohon (eks
karyawan Hotel Papandayan dan karyawan PT Indosiar) bahwa
peristiwa Pemutusan Hubungan Kerja penetapannya adalah tidak
memenuhi kriteria Pemutusan Hubungan Kerja karena perusahaan
tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut
atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) dengan demikian
peristiwa yang dialami bukan merupakan objek dari Pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
b. Selain hal tersebut, menurut Pemerintah, yang terjadi adalah kurang
maksimalnya Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui
29

perundingan Bipartit di perusahaan tersebut, dengan perkataan lain apa


yang dialami oleh saksi dari para Pemohon sama sekali tidak terkait
dengan masalah konstitusionalitas penerapan ketentuan Pasal 164 ayat
(3);
c. Terhadap keterangan Ahli (Indrasari Tjandraningsih), Pemerintah dapat
memberikan klarifikasi bahwa apa yang disampaikan oleh Ahli nampak
jelas hanya mendasarkan pada asumsi-asumsi semata (diakui oleh Ahli
dalam persidangan yang menyatakan bahwa belum pernah melakukan
penelitian secara seksama dan mendalam mengenai implementasi
pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan ketentuan Pasal
164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan). Dengan demikian menurut Pemerintah keterangan
Ahli yang demikian tidak relevan dan patut dinyatakan sebagai
keterangan yang bersifat ad informandum.

V. JAWABAN PEMERINTAH TERHADAP PERTANYAAN PARA HAKIM


KONSTITUSI:
1. Terhadap Hakim Konstitusi Dr. Harjono, yang pada intinya menanyakan:
a. bagaimana sikap Pemerintah apabila dalam implementasi norma tersebut
berbeda dengan yang dikehendaki oleh ketentuan dalamUndang-Undang
a quo?
b. apakah terhadap kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja pemerintah
sudah lepas tangan/tidak ikut campur lagi?
Terhadap pertanyaan tersebut Pemerintah memberikan penjelasan sebagai
berikut:
Jika terdapat perbedaan antara implementasi norma dengan Undang-
Undang a quo, menurut Pemerintah hal demikian disebabkan karena para
pihak (pengusaha dan pekerja/buruh) yang kurang memahami secara benar
dan komprehensif norma yang terkandung dalam Undang-Undang a quo.
Bahwa dalam perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara para Pemohon
dengan pengusaha, Pemerintah dalam hal ini mediator telah melakukan
upaya mediasi untuk mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja. Jika
anjuran mediator tidak diterima oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak
maka dapat dilanjutkan dengan mengajukan gugatan di Pengadilan
Hubungan Industrial.
30

2. Terhadap Hakim Konstitusi Dr. M. Akil Muchtar, yang pada intinya


menanyakan apakah penerapan ketentuan Pasal 164 ayat (3) undang-
undang a quo secara sekonyong-konyong digunakan tanpa adanya satu
tindakan pendahuluan?
Pemerintah menjelaskan bahwa penerapan Pasal 164 ayat (3) Undang-
Undang a quo tidak dapat dilakukan secara serta-merta (sekonyong-
konyong). Pada prinsipnya apabila terdapat satu situasi yang dapat
mendorong atau menimbulkan kemungkinan terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja (misalnya adanya kenaikan harga BBM, perusahaan merugi
secara terus-menerus) maka Pemerintah telah melakukan upaya agar tidak
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran, antara lain dengan
menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rl yang
terkait dengan pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (Nomor
SE.907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 dan Nomor SE.643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005).
Lebih lanjut perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial harus diawali dengan
perundingan secara Bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
memperoleh kesepakatan (Perjanjian Bersama) dan jika tidak tercapai
Perjanjian Bersama (gagal perundingan) maka Pemerintah (Kadisnaker)
memfasilitasi untuk memberikan pilihan (Konsiliasi atau Mediasi) dan sebagai
langkah terakhir penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Hubungan
Industrial.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian dan penjelasannya di atas, Pemerintah
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Para Pemohon dalam seluruh uraiannya tidak dapat menguraikan secara
jelas dan tegas serta kabur (obscuur libel), khususnya dalam
mengkonstruksikan adanya kerugian hak-hak konstitusional atas berlakunya
ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
2. Para Pemohon dalam mengkonstruksikan kerugian hak-hak
konstitusionalnya berdasarkan penerapan peraturan ketenagakerjaan yang
tidak sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan
31

Nomor 13 Tahun 2003, dijadikan sebagai alasan pengujian norma dari


suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga
apabila, Para Pemohon bila hak konstitusionalnya dirugikan, Pemohon
dapat melakukan upaya hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan
bukan mengajukan permohonan hak uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, pemerintah memohon kepada Mahkamah


yang mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, agar memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat
diterima (niet onvankelijk verklaard);
3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan ketentuan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-
adilnya (ex aequo etbono).

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan tertulis yang disampaikan ke
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Agustus 2011, yang pada pokoknya
menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG


KETENAGAKERJAAN (SELANJUTNYA DISEBUT UU
KETENAGAKERJAAN) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP
UUD TAHUN 1945.
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atas
Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terhadap UUD Tahun 1945 yang
menyatakan sebagai berikut:
32

“Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap


pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian
2(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force
majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).”

B. HAK KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN


OLEH BERLAKUNYA PASAL 164 AYAT (3) UU KETENAGAKERJAAN
Para Pemohon dalam permohonan a quo, mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
1. Pengusaha tempat para Pemohon bekerja melakukan renovasi Hotel
Papandayan Bandung, bukan disebabkan perusahaan tutup, tetapi
Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap para Pemohon
dengan menggunakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. (vide permohonan a quo halaman 9).
2. Para pemohon adalah pihak yang telah dirugikan atas Pasal 164 ayat (3)
tersebut, karena ketentuan tersebut dijadikan dasar oleh pengusaha untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja walaupun perusahaan tidak tutup
dan semata karena melakukan renovasi yang dapat diperkirakan jangka
waktunya. (vide permohonan a quo halaman 12).
3. Lebih lanjut para Pemohon menyatakan Pasal 164 ayat (3) pada akhirnya
menjadi celah kepada pihak Pengusaha untuk menghilangkan hak warga
negara untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak di antaranya karena:
a. Pengusaha tidak menghendaki adanya serikat pekerja di Perusahaan
dengan melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja kepada
pengurus Serikat Pekerja.
b. Pengusaha menghilangkan tanggung jawab pada masa depan pekerja
dan keluarganya dengan cara mengganti pekerja tetap dengan pekerja
kontrak, harian atau outsourscing.
33

c. Pengusaha mengganti pekerja yang masih jauh dari usia pensiun


dengan pekerja muda.
d. Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena unsur agama,
suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik dan status
perkawinan. (vide permohonan a quo halaman 14).
4. Kemudian, para Pemohon menyatakan Pasal 164 ayat (3) kini menjadi
ancaman paling menakutkan karena memberikan peluang sebesar-
besarnya kepada Pengusaha untuk menghilangkan hak-hak atas pekerjaan,
imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja sebagaimana
diamanatkan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pekerja
dapat setiap saat diputuskan hubungan kerjanya walau tanpa ada
kesalahan apapun atau kondisi perusahaan dalam kondisi yang maju
sekalipun. (vide permohonan a quo halaman 16).

C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap permohonan para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam
permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon


Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak
telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa “Para Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam Penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
34

secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 19455 saja yang termasuk “hak konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon
yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan
dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi
telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5
(lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut
dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-
Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
35

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon


dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka para Pemohon tidak
memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak
Pemohon.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007.

2. Pengujian UU Ketenagakerjaan
Terhadap permohonan pengujian Pasal Undang-Undang a quo yang
diajukan oleh para Pemohon, DPR menyampaikan keterangan sebagai
berikut :
1. Bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik
materiil maupun spiritual. Dan Undang-Undang a quo mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan
sesudah bekerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan
pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk kepentingan tenaga
kerja, dalam hal ini pekerja buruh, khususnya mengenai norma
pemutusan hubungan kerja. Pada dasarnya pengusaha, pekerja buruh,
serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya
mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja.
2. Bahwa, menurut DPR untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas dan
guna memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah
pemutusan hubungan kerja yang semena-mena, maka melalui
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan telah mengatur
36

pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa


mendapat penetapan sebelumnya dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan tanpa adanya penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial adalah batal demi hukum. Lernbaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, dan saat ini telah terbentuk di seluruh Indonesia.
Selain itu, Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan juga
mengatur tentang larangan bagi pengusaha untuk melakukan
pemutusan hubungan kerja. Alasan-alasan yang dapat digunakan
pengusaha untuk mengadakan pemutusan kerja beserta besaran hak-
hak pekerja buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja serta
proses penyelesaian hubungan kerja. Menurut DPR, sebelum
pengusaha mengajukan permohonan penetapan pemutusan hubungan
kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
maka maksud pemutusan hubungan kerja tersebut wajib dirunding oleh
pengusaha dengan serikat pekerja serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. Apabila dalam
perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan atau
kesepahaman, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan
kerjanya dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
3. Bahwa DPR berpandangan hak atas uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, besarannya
berbeda antara perusahaan tutup karena mengalami kerugian atau
keadaan memaksa atau force majeur dengan perusahaan tutup karena
perusahaan tersebut melakukan efisiensi. Pekerja buruh yang
diputuskan hubungan kerjanya dengan alasan perusahaan tutup karena
mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun atau
keadaan memaksa, maka pekerja buruh berhak atas uang pesangon
sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang pengharagaan
masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
37

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU


Ketenagakerjaan. Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan
dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik. Sebaliknya, bagi pekerja buruh yang diputuskan
hubungan kerjanya dengan alasan perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian atau keadaan memaksa atau force majeure, tetapi
perusahaan melakukan efiensi, maka berhak atas uang pesangon dua
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
4. Bahwa, DPR tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang
menyatakan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
dianggap telah menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon
adalah tidak benar, tidak tepat, dan tidak terbukti. Karena yang terjadi
adalah pengusaha, yang dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan, tidak
mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau
buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji tersebut. Dan apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai maka
pekerja buruh termasuk para Pemohon dapat melakukan upaya hukum
yang tersedia. Oleh karena, para Pemohon mendalilkan peristiwa
pemutusan kerja yang diakui para Pemohon dasar penetapannya
adalah tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 164 ayat (3). Sehingga
penerapan hukum yang tidak benar, tidak dapat digunakan untuk
pengujian norma dari suatu undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
5. Bahwa, DPR berpandangan dalam rangka melindungi kepentingan
Pekerja, UU Ketenagakerjaan telah mengatur larangan dan alasan-
alasan yang sah bagi Pengusaha untuk melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
Pengusaha dilarang melakukan PHK apabila pekerja mengalami hal-hal
sebagai berikut:
1. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus;
38

2. pekerja/uruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi


kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
4. pekerja/buruh menikah;
5. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
6. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
7. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
8. pekerja/buruh yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
9. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
10. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan
dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Dengan adanya larangan tersebut, maka jika pengusaha yang melakukan
PHK berdasarkan hal-hal tersebut di atas, akan berakibat pemutusan
hubungan kerja tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, DPR memohon kepada Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
39

1. Menyatakan para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal


standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima;
2. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menyatakan keterangan DPR dapat diterima untuk seluruhnya;
4. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun1945.
5. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tetap sah dan mengikat sebagai ketentuan hukum
yang berlaku.

[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon menyampaikan kesimpulan yang


diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Mei 2011 yang pada
pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. PEMOHON MEMILIKI KEDUDUKAN HUKUM YANG SAH UNTUK UJI


MATERI
1. Sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK menyatakan, “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat;atau
d. lembaga negara”.
2. Bahwa kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon adalah sebagai
perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat 1 huruf a UU MK beserta Penjelasannya dan para Pemohon telah
melengkapi dokumen-dokumen sebagai kelengkapan administrasinya.
3. Para Pemohon seluruhnya adalah warga negara Indonesia yang
sebelumnya bekerja di Hotel Papandayan Bandung namun kehilangan hak
untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja sebagaimana Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
40

akibat pemutusan hubungan kerja yang diakibatkan oleh renovasi hotel


dengan menggunakan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003.
4. Dengan uraian dan fakta-fakta diatas, sudah sangat jelas jika para
Pemohon memiliki kedudukan hukum yang sah untuk mengajukan uji materi
ke Mahkamah Konstitusi.

B. PEMERINTAH TELAH MENGAKUI PHK PADA PEMOHON ADALAH


BERTENTANGAN HUKUM
5. Pemohon diputus-hubungan kerjanya karena tempat bekerjanya yaitu Hotel
Papandayan Bandung melakukan renovasi dan mempergunakan Pasal 164
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dampak dari pemutusan hubungan kerja tersebut adalah :
• Para Pemohon kini tidak lagi memiliki pekerjaan. Hal ini telah
membuat hilangnya kepercayaan dari tetangga, kerabat dan
lembaga-lembaga lain.
• Para Pemohon sudah tidak lagi memiliki penghasilan yang biasa
diterima dari upah bulanan. Hal ini sudah berlangsung selama 13
bulan.
• Para Pemohon sudah tidak memiliki jaminan sosial seperti kesehatan
untuk diri pemohon dan keluarganya apabila mengalami sakit.
• Para Pemohon kini sudah tidak memiliki kesanggupan untuk mencicil
rumah sangat sederhana. Akibatnya sebagian pemohon kini tidak
memiliki tempat tinggal karena telah disita oleh pihak bank.
• Semakin sulit mendapatkan pekerjaan baru karena telah memasuki
usia paruh baya dan tidak bekerja sehingga sangat sulit bersaing
dengan pekerja yang usianya lebih muda.
6. Pemerintah dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi pada persidangan tanggal 9 Mei 2011 secara tegas telah
mengakui jika pemutusan hubungan kerja terhadap para Pemohon adalah
bertentangan dengan aturan hukum karena renovasi tidak dapat dijadikan
alasan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan menggunakan
alasan efisiensi.
7. Keterangan Pemerintah ini telah sesuai dengan pernyataan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar pada tanggal 5 Desember 2009
41

di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat yang secara
tegas menyatakan bahwa PHK dengan alasan renovasi tidak dapat
dibenarkan.
8. Dengan uraian fakta-fakta di atas sudah sangat jelas jika pemutusan
hubungan kerja kepada para Pemohon adalah tidak sah yang diakibatkan
dibukanya celah melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa adanya
pedoman dan pengaturan yang jelas sebagaimana isi Pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

C. UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 PASAL 164 AYAT (3)


BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28D AYAT (2) UUD 1945
9. Pemerintah dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi pada persidangan tanggal 9 Mei 2011 secara tegas telah
menyatakan jika pemutusan hubungan kerja terhadap para Pemohon
dengan alasan renovasi adalah tidak tepat karena renovasi bukanlah
penutupan perusahaan sehingga itu tidak termasuk dalam efisiensi.
10. Pemerintah juga menerangkan bahwa pemutusan hubungan kerja yang
dialami oleh para Pemohon adalah akibat implementasi pelaksanaan Pasal
164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan bukan masalah
konstitusionalitas.
11. Pemerintah dalam keterangannya menyatakan jika pelaksanaannya tidak
sesuai maka para Pemohon dapat melakukan upaya hukum yang tersedia.
12. Para Pemohon beranggapan jika Pemerintah tidak konsisten. Di satu pihak
telah mengakui jika pemutusan hubunga kerja yang dialami para Pemohon
tidak sesuai dengan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 namun di sisi lain melepaskan tanggung jawabnya dengan
membiarkan para Pemohon bertarung di pengadilan tanpa memberikan
perlindungan apapun.
13. Para Pemohon menilai hilangnya hak untuk bekerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
merupakan akibat Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 secara
konstitusionaitas. Jadi bukan karena implementasi pasal dimaksud.
14. Akibat pertentangan konstitusional tersebut, saksi fakta yang hadir dalam
persidangan yaitu Yanri Syawal Harahap dan Dicky Irawan, keduanya
42

adalah pekerja televisi Indosiar mengaku jika dirinya juga menjadi korban
akibat Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Keduanya diputus hubungan kerjanya akibat mendirikan serikat pekerja
yang bertujuan sangat mulia yaitu memperjuangan nasib para pekerja yang
hak-hak normatifnya dilanggar dan membuat perjanjian kerja bersama
(PKB) yang mengatur mengenai hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha.
15. Bahkan saksi fakta, Dicky Irawan, adalah pekerja terbaik di Indosiar pada
tahun 2007 yang mendapatkan hadiah mobil dari perusahaan namun
dikenakan PHK dengan alasan efisiensi.
16. Saksi fakta, Dicky Irawan telah menyampaikan bahwa 300 pekerja Indosiar
yang menjadi anggota serikat pekerja di PHK dengan alasan efisiensi dan
selanjutnya digantikan oleh pekerja outsourcing.
17. Fakta-fakta diatas telah membuktikan jika Pasal 164 ayat (3) pada akhirnya
menjadi celah kepada pihak Pengusaha untuk menghilangkan hak warga
negara untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak di antaranya karena :
a. Pengusaha tidak menghendaki adanya serikat pekerja di Perusahaan
dengan melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja kepada
pengurus serikat pekerja.
b. Pengusaha menghilangkan tanggung jawab pada masa depan pekerja
dan keluarganya dengan cara mengganti pekerja tetap dengan pekerja
kontrak, harian atau outsourcing.
c. Pengusaha mengganti pekerja yang masih jauh dari usia pensiun
dengan pekerja muda.
d. Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena unsur
agama, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik dan
status perkawinan;
18. Hal ini telah sesuai dengan keterangan Ahli, Indrasari Tjandraningsih, yang
menerangkan bahwa sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 telah terjadi kecendurangan pengurangan kesempatan kerja
akibat diterapkannya sistem kerja kontrak dan outsourcing.
19. Bahwa keterangan Pemerintah yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) telah
memberikan jaminan yang layak untuk pekerja yang diputus hubungan
43

kerjanya karena telah diberikan pesangon yang lebih baik menjadi bukti jika
Pemerintah membiarkan warga negara Indonesia untuk melanjutkan
hidupnya tanpa ada kepastian.
20. Ahli, Indrasari Tjandraningsih, dalam persidangan telah menyampaikan
penelitiannya yaitu :
ƒ Upah minimum yang diterima pekerja hanya mampu memenuhi 80%
kebutuhan hidupnya.
ƒ Pekerja menutupi kebutuhan hidupnya dengan cara berhutang atau
menurunkan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau menggabungkan
penghasilan dari suami dan istri apabila sudah menikah, mengandalkan
sumbangan dari orang tua dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
sampingan.
ƒ Hanya 27% persen pekerja formal yang mendapatkan jaminan sosial
tenaga kerja yang didalamnya termasuk kesehatan.
ƒ Bagi yang tidak memiliki pekerjaan apabila dirinya atau keluarganya
mengalami masalah kesehatan maka terpaksa berhutang atau menjual
aset yang dimiliki.
ƒ Kesempatan kerja di sektor formal terutama untuk yang mempunyai
keterampilan-keterampilan khusus sangat terbatas.
ƒ Kecendrungan perusahaan-perusahaan sekarang mencari pekerja-
pekerja muda dengan batas usia maksimal 30 tahun
ƒ Pekerja paruh baya yang terkena PHK teramat sangat sulit untuk
mendapatkan pekerjaan baru.
21. Keterangan Ahli, Indrasari Tjandraningsih, telah sesuai dengan kondisi yang
dialami oleh Pemohon dan saksi fakta yaitu sangat sulit untuk mencari
pekerjaan baru dan terpaksa menjual aset yang dimiliki untuk bertahan
hidup dan membayar biaya apabila mengalami sakit.
22. Dalih telah adanya pesangon yang lebih baik juga sangat tidak relevan
dengan tanggung jawab negara pada rakyatnya.
23. Ahli, Indrasari Tjandraningsih, melalui penelitiannya menyatakan pesangon
tidak memberikan jaminan apapun untuk pekerja. Hal ini berkaitan dengan
jumlah pesangon yang diterima, lamanya menggangur dan keterampilan
untuk berwiraswasta. Sehingga kemungkinan-kemungkinan menciptakan
44

peluang melakukan usaha dengan modal yang diperoleh dari pesangon


tidak dipastikan akan berhasil.
24. Ahli, Indrasari Tjandraningsih, juga telah menjelaskan bahwa jaminan sosial
di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, Vietnam,
Kamboja, Thailand, dan Filipina.
25. Dengan demikian, bagaimana mungkin pemerintah menyatakan pesangon
yang diberikan sudah memberikan keadilan untuk pekerja jika negara tidak
memberikan jaminan sosial untuk diri dan keluarga pekerja setelah di PHK?
26. Atas hilangnya hak bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja, Pemerintah tidak dapat memberikan
perlindungan apapun walaupun Pemerintah telah mengakui bahwa
pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut adalah salah dan
bertentangan dengan hukum.
27. Tindakan ini sangat bertentangan dengan norma yang diatur Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945 yang memberikan jaminan atas pekerjaan sebagaimana
disebutkan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
28. Secara keseluruhan Pasal 164 UU 13/2003, memberikan penekanan pada
klausul “perusahaan tutup”, karena pasal 164 ini sebenarnya mengatur
alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena
perusahaan tutup, bukan karena alasan lainnya.
29. Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3)
UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar
perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga
“mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK pekerja yang
ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan
apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk
efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan efisiensi, caranya
dengan menutup perusahaan".
30. Efisiensi harus memiliki alasan yang kuat di antaranya :
ƒ Jumlah alat kerja tidak sesuai jumlah pekerja. Contohnya di sebuah
pabrik garmen, jumlah mesin jahit hanya berjumlah 10 buah sementara
jumlah pekerjanya sebanyak 40 orang.
45

ƒ Adanya faktor teknologi. Misalnya pintu masuk jalan tol. Jika dahulu
dijaga oleh pekerja untuk menyerahkan tiket tol, kini sudah digantikan
oleh mesin penjaga.
ƒ Kelebihan karyawan.
31. Untuk menyatakan sebuah perusahaan telah kelebihan karyawan,
syaratnya harus mendapatkan rekomendasi dari instansti yang berwenang
diantaranya melalui Departemen / Dinas Tenaga Kerja sebelum efesiensi itu
dilakukan.
32. Pemohon dan saksi fakta adalah pihak yang telah dirugikan atas Pasal 164
ayat (3) tersebut karena dijadikan oleh Pengusaha untuk diputus hubungan
kerjanya walaupun perusahaan tidak tutup dan tidak merugi.
33. Renovasi akhirnya menjadi cara dan alasan untuk melakukan PHK kepada
Pemohon. Bandingkan dengan kasus di Hotel Regent Jakarta pada tahun
2001 yang tutup karena banjir selama hampir 2 tahun. Walaupun
merupakan force major dan tidak memiliki persiapan dan cadangan dana
namun tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Sebagian pekerja
dirumahkan dan pengusaha tetap membayarkan kewajibannya walaupun
hanya berupa hak-hak normatif sambil menunggu proses renovasi selesai.
Sebagian lagi diperbantukan dalam proyek renovasi. Peristiwa itu terjadi
pada tahun 2001 sebelum munculnya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003;
34. Jaminan atas kesempatan tetap bekerja yang telah didapatkan oleh para
pekerja Hotel Regent Jakarta tersebut telah sejalan dengan amanat yang
dimuat oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di perusahaan swasta.
35. Sehingga UU ketenagakerjaan terdahulu lebih memberikan perlindungan
atas nasib pekerja dan keluarganya dibandingkan UU Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003.
36. Berikut adalah penjelasan dan pokok-pokok pikiran yang dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di perusahaan swasta:
Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa
pangangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin
kepastian ketenteraman hidup buruh seharusnya tidak ada pemutusan
hubungan kerja.
46

Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan


kerja tidak dapat dicegah seluruhnya. Berbagai jalan dapat ditempuh untuk
memecahkan persoalannya. Setelah ditinjau masak-masak berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hemat pemerintah,
sistem yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepat bagi
negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-Undang ini garis
besarnya adalah sebagai berikut :
1) Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah
pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan
hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya bahkan
dalam beberapa hak dilarang.
2) Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-
pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang
bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah,
maka dalam sistem Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan
kewajiban, setelah daya dan upaya tersebut tidak memberikan hasil.
3) Bila jalan perundingan tidak berhasil mendekatkan kedua belah pihak,
haruslah Pemerintah tampil kemuka dan campur tangan dalam
pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha.
Bentuk campur tangan ini adalah pengawasan prepentif, yaitu untuk
tiap-tipa pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari
instansi Pemerintah.
4) Berdasarkan penglaman dalam menghadapi masalah pemutusan
hubungaan kerja maka sudah sepatutlah bila pengawasan prepentif ini
diserahkan kepada Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat.
5) Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat
formil tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap
penolakan banding terhadap permohonan izin dan seterusnya.
6) Disamping itu perlu dijelaskan bahwa bilamana terjadi pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat tidakan
pemerintah, maka pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban
47

kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada


perusahaaan/proyek yang lain.
7) Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena moderisasi,
otomatisasi, effisiensi dan rasionalisasi yang disetujui oleh pemerintah
mendapat perhatian pemerintah sepenuhnya dengan jalan
mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu ke
perusahaan/proyek lain.
37. Intisari dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tersebut adalah ”Untuk
menjamin kepastian ketenteraman hidup buruh seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja dan pemerintah menyalurkan buruh-buruh yang
terkena pemutusan hubungan kerja ke perusahaan/proyek lain”.
38. Amanat ini yang kemudian dihilangkan dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Melalui Pasal 164 ayat (3) itulah
hak konstitusional para Pemohon telah dirampas.
39. Pemutusan hubungan kerja tidak boleh dilakukan tanpa ada alasan yang
valid. Tidak boleh seorangpun di muka bumi ini dihilangkan hak
konstitutionalnya untuk bekerja dan mencari nafkah tanpa pernah
melakukan kesalahan dan alasan yang tepat.
40. Pasal 164 ayat (3) itu sendiri bertolak belakang dengan sebuah amanat
penting dari UU 13/ 2003 mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal
tersebut dimuat dalam pasal 151 ayat (1) dan Penjelasannya yang isinya
adalah “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja”;
41. Selain itu Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 bertentangan dengan Surat
Edaran Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28
Oktober 2004 yang isinya :
“….. Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang
dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan
hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan
upaya sebagai berikut :
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat
manager dan direktur;
b. Mengurangi shift;
48

c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;


d. Mengurangi jam kerja;
e. Mengurangi hari kerja;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk
sementara waktu;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis
masa kontraknya;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat”;
42. Pasal 164 ayat (3) kini menjadi ancaman paling menakutkan karena
memberikan peluang sebesar-besarnya untuk menghilangkan hak atas
pekerja, imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja
sebagaimana amanat UU Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pekerja dapat
setiap saat dapat diputus hubungan kerjanya walau tanpa ada kesalahan
apapun atau ketika kondisi perusahaan dalam kondisi yang maju sekalipun;
43. Dengan menggunakan alasan konstitusional di dalam Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945 tersebut di atas, maka para Pemohon dengan ini mengajukan
permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 164
ayat (3) UU 13/2003.

IV. PETITUM
Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, para Pemohon memohon agar
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal
28D ayat (2);
3. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memulihkan hak-hak konstitusional Pemohon yaitu mengembalikan hak
Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di Hotel Papandayan
Bandung;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono);
49

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara
Persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon


adalah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279, selanjutnya disebut UU 13/2003) terhadap Pasal 28D ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
50

Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah


pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, yaitu Pasal 164 ayat (3) UU
13/2003 terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menjadi salah satu
kewenangan Mahkamah, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007,
serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
51

kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK


harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada


paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
dalam permohonan a quo sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 yang
menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” (vide bukti P-4);

[3.7.2] Bahwa para Pemohon telah diputus hubungan kerjanya karena tempat
bekerjanya yaitu Hotel Papandayan Bandung melakukan renovasi dengan dasar
Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 (vide bukti P-5);

[3.7.3] Bahwa para Pemohon merasa hak konstitusionalnya sebagaimana


diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
52

dalam hubungan kerja” telah dilanggar dengan adanya Pasal 164 ayat (3) UU
13/2003 (vide bukti P-1);

[3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK


dan dikaitkan dengan putusan-putusan sebelumnya, serta dalil-dalil kerugian
konstitusional yang dialami oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, para
Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia, prima facie, mempunyai
hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat aktual, spesifik, dan terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing), maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok
permohonan;

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian


materiil Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD 1945;

[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon


mengajukan alat bukti surat dan tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-10 dan satu orang ahli atas nama Indrasari Tjandraningsih, M.A. serta
dua orang saksi yaitu Yanri Syawal Silitonga dan Dicky Irawan yang telah
didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 9 Mei 2011, pada pokoknya
menerangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Keterangan Ahli Indrasari Tjandraningsih, M.A.


• Berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005 terkait dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menunjukkan kecenderungan
pengurangan kesempatan kerja akibat diterapkannya sistem kerja kontrak
53

dan outsourcing serta kemudahan untuk merekrut dan memecat tenaga


kerja;
• Penelitian yang dilakukan ahli memperlihatkan bahwa alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK) bermacam-macam. Selain karena alasan efisiensi,
PHK terjadi karena perusahaan berkurang order pekerjaannya, terjadi
penutupan perusahaan, aksi-aksi serikat pekerja yang tidak pernah
dinyatakan secara langsung sebagai alasan PHK, dan pengalihan status
hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak, atau menggantikannya dengan
pekerja outsourcing;

2. Keterangan Saksi Yanri Syawal Silitonga


• Saksi bekerja di Indosiar sejak tahun 1996 di bagian news department.
• Pada tanggal 21 April 2008, saksi ikut mendirikan serikat pekerja Serikat
Karyawan Indosiar (Sekar Indosiar) yang bertujuan agar karyawan atau
pekerja di Indosiar mempunyai suatu wadah untuk menyampaikan aspirasi
kepada manajemen Indosiar;
• Pada Januari 2010, Sekar Indosiar menyampaikan aspirasi pembentukan
perjanjian kerja bersama kepada pihak pimpinan Indosiar dan sempat ada
mediasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan DPR. Pengurus Sekar Indosiar
kemudian di-PHK;
• Manajemen Indosiar memutus hubungan kerja dengan dasar Pasal 164
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dengan alasan bahwa perusahaan melakukan efisiensi, padahal dalam dua
tahun berturut-turut Indosiar mendapat untung;
• Permasalahan tersebut sedang menunggu putusan kasasi dari Mahkamah
Agung;

3. Keterangan Saksi Dicky Irawan


• Saksi bekerja di Indosiar sejak tanggal 15 Juli 1993;
• PHK yang dialami oleh saksi dilakukan atas dasar efisiensi sebagaimana
disampaikan pihak Indosiar dalam sidang di Pengadilan Hubungan
Industrial;

[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah


menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 9 Mei 2011 dan
54

keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 Mei 2011 yang


pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
• Norma Pemutusan Hubungan Kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur sedemikian rupa untuk
memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh atas PHK yang semena-mena;
• Pada saat renovasi perusahaan (Hotel Papandayan) dapat dimungkinkan
operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan
tidaklah sama dengan perusahaan tutup, sehingga bila perusahaan melakukan
PHK dengan mendasarkan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah tidak tepat;
• Jika terdapat perbedaan antara implementasi norma dengan Undang-Undang a
quo, menurut Pemerintah hal demikian disebabkan karena para pihak
(pengusaha dan pekerja/buruh) yang kurang memahami secara benar dan
komprehensif norma yang terkandung dalam Undang-Undang a quo.
• Bahwa dalam perselisihan PHK antara para Pemohon dengan pengusaha,
Pemerintah dalam hal ini Mediator telah melakukan upaya mediasi untuk
mencegah terjadinya PHK. Jika anjuran mediator tidak diterima oleh salah satu
pihak atau kedua belah pihak maka dapat dilanjutkan dengan mengajukan
gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial;
• Perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial harus diawali dengan perundingan secara bipartit antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk memperoleh kesepakatan (Perjanjian
Bersama) dan jika tidak tercapai perjanjian bersama (gagal perundingan) maka
Pemerintah (Kadisnaker) memfasilitasi untuk memberikan pilihan (Konsiliasi
atau Mediasi), dan sebagai langkah terakhir penyelesaiannya dilakukan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) mengajukan keterangan tertulis yang disampaikan ke Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 4 Agustus 2011, yang pada pokoknya menguraikan hal-
hal sebagai berikut:

• Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah


pemutusan hubungan kerja yang semena-mena, maka peraturan perundang-
55

undangan ketenagakerjaan telah mengatur pengusaha tidak dapat melakukan


pemutusan hubungan kerja tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

• Sebelum pengusaha mengajukan permohonan penetapan pemutusan


hubungan kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, maka maksud pemutusan hubungan kerja tersebut wajib dirunding
oleh pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. Apabila dalam
perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan atau kesepahaman,
maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;

• Pengusaha, dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan, tidak mematuhi secara
benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana
ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Apabila
dalam pelaksanaannya tidak sesuai, maka pekerja/buruh, termasuk para
Pemohon, dapat melakukan upaya hukum yang tersedia;

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan kesimpulan yang


diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Mei 2011, selengkapnya
termuat dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya tetap pada pendirian semula;

Pendapat Mahkamah

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan para Pemohon,


bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, keterangan lisan dan tertulis
Pemerintah, keterangan tertulis DPR, kesimpulan tertulis dari para Pemohon, serta
fakta yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah memberikan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan, norma


Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 yang menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup
bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena
56

keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi


dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4)” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;

[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan, kata “efisiensi” yang


terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal
tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau
juga “mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara memutuskan hubungan
kerja pekerja yang ada, namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan
perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai
bentuk efisiensi, atau dengan kata lain pengusaha melakukan efisiensi dengan
cara menutup perusahaan;

[3.18] Menimbang bahwa dalil permohonan para Pemohon didasarkan pada


kejadian yang menimpa mereka karena pengusaha in casu Hotel Papandayan
telah menafsirkan frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003
termasuk pada penutupan sementara untuk melakukan renovasi dalam rangka
melakukan efisiensi;

[3.19] Menimbang bahwa pemerintah dalam keterangannya menyatakan, pada


saat renovasi perusahaan (Hotel Papandayan) dapat dimungkinkan operasional
perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama
dengan perusahaan tutup, sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan
mendasarkan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 adalah tidak tepat;

[3.20] Menimbang bahwa DPR dalam keterangannya menyatakan,


pengusaha, dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan, tidak mematuhi secara
benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana ditentukan
oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji;
57

[3.21] Menimbang bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para Pemohon,


menurut Mahkamah, tidaklah dapat ditentukan semata-mata hanya karena
penerapan hukum belaka mengingat tidak ditemukan definisi yang jelas dan rigid
atas frasa “perusahaan tutup” dalam UU 13/2003 apakah perusahaan tutup yang
dimaksud adalah tutup secara permanen ataukah hanya tutup sementara.
Penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 hanya menyatakan “cukup jelas”. Dengan
demikian, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan
kepentingannya masing-masing misalnya menganggap penutupan perusahaan
sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan
menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK. Tafsiran yang berbeda-beda
tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam
penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan
saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti
sementara. Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
kelangsungan pekerjaan bagi pekerja/buruh di dalam menjalankan pekerjaannya,
yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja”;

[3.22] Menimbang bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya


untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-
upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum
menempuh upaya-upaya sebagai berikut: (a) mengurangi upah dan fasilitas
pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi
shift; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja;
(e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh
secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak
bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi
yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus
dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa
penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan
dalam paragraf [3.21] tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK;
58

[3.23] Menimbang bahwa dengan demikian, Mahkamah perlu menghilangkan


ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 ayat (3) UU
13/2003 guna menegakkan keadilan dengan menentukan bahwa frasa
“perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tetap konstitutional
sepanjang dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak
untuk sementara waktu”. Dengan kata lain frasa “perusahaan tutup” tersebut
adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “perusahaan
tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;

[3.24] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon agar


Mahkamah memulihkan hak-hak konstitusional para Pemohon dengan
mengembalikan hak para Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di
Hotel Papandayan, hal demikian bukanlah kewenangan Mahkamah untuk dapat
memutuskannya karena hal tersebut sudah termasuk kasus konkret;

[3.25] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dalil-dalil para


Pemohon beralasan sebagian menurut hukum;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk


mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Dalil-dalil para Pemohon beralasan sebagian menurut hukum;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
59

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

• Permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

• Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan
tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;

• Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup
tidak untuk sementara waktu”;

• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia


sebagaimana mestinya;

• Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi,
Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, dan Maria Farida Indrati, masing-masing
sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan Juni, tahun dua
ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka
untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh, bulan Juni, tahun dua ribu
60

dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan Harjono, masing-masing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Luthfi Widagdo Eddyono sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah
atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd ttd
td
Achmad Sodiki M. Akil Mochtar

ttd ttd

Muhammad Alim Ahmad Fadlil Sumadi

ttd ttd

Anwar Usman Hamdan Zoelva

ttd

Harjono

PANITERA PENGGANTI,

ttd

Luthfi Widagdo Eddyono


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 462 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING


PADA KATEGORI JASA PENDIDIKAN

DENGAN MAHA RAHMAT TUHAN YANG ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (5)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Keputusan Menteri
tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja
Asing pada Kategori Jasa Pendidikan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun


2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
Kategori Jasa Pendidikan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan Menteri ini.

KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh tenaga


kerja asing tidak terdapat di dalam Lampiran Keputusan
Menteri ini, Menteri dapat memberikan izin dengan terlebih
dahulu meminta rekomendasi dari kementerian yang
membidangi pendidikan.
KETIGA : Jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KESATU dapat diduduki oleh tenaga kerja asing paling lama
5 (lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang, kecuali jabatan
komisaris dan direktur sebagai pemilik modal.

KEEMPAT : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 462 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI JASA PENDIDIKAN

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Kode Nama Jabatan


No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6

Jasa Pendidikan Tenaga Kependidikan/Educational Personnel

1229 Kepala Sekolah Principal for Senior SI


Menengah Atas High School
1229 Wakil Kepala
Vice Principal for SI
Sekolah Menengah
Senior High School
Atas
1229 Kepala Sekolah Principal for Junior SI
Menengah Pertama High School
1229 Wakil Kepala
Vice Principal for SI
Sekolah Menengah
Junior High School
Pertama
1229 Kepala Sekolah Principal for SI
Dasar Elementary School
1229 Wakil Kepala Vice Principal for SI
Sekolah Dasar Elementary School
2351 Penasihat
Academic Advisor
Akademik
2351 Penasihat Management
Manajemen Advisor
2351 Penasihat Curriculum
Pengembangan Development
Kurikulum Advisor
2351 Spesialis Akademik Academic Specialist
Sekolah Dasar For Elementary
School
2351 Spesialis Akademik Academic Specialist
Sekolah Menengah For Junior High
Pertama School
2351 Spesialis Akademik Academic Specialist
Sekolah Menengah For Senior High
Atas School
Pendidik di Perguruan Tinggi/Educator For University

2310 Dosen Agama Islam Islamic Lecturer


Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2310 Dosen Etika Biblika Biblical Ethic
Lecturer
2310 Dosen Bahasa dan Korean Language
Kebudayaan Korea and Culture Lecturer
2310 Koordinator Academic
Akademik Coordinator
2310 Dosen Bahasa Arab Arabic Lecturer

2310 Dosen Bahasa Dutch Lecturer


Belanda
2310 Dosen Bahasa Mandarin (Chinese)
(China) Mandarin Lecturer
2310 Dosen Bahasa English Lecturer
Inggris
2310 Dosen Bahasa Itali Italian Lecturer

2310 Dosen Bahasa Japanese Lecturer


Jepang
2310 Dosen Bahasa Deutsch Lecturer
Jerman
2310 Dosen Bahasa Spanish Lecturer
Spanyol
2310 Dosen Bahasa Turkish Lecturer
Turki
2310 Dosen Manajemen Management
Lecture
2310 Dosen Biofisika Biophysics Lecturer

2310 Dosen Ekonomi International


Internasional Economic Lecturer
2310 Dosen Ilmu Computer Science
Komputer Lecturer
2310 Dosen Psikologi Psycologics Lecturer

2310 Dosen Filsafat Philosophy Lecturer

2310 Dosen Fisika Physic Lecturer

2310 Dosen Hubungan International


Internasional Relation Lecturer
2310 Dosen Sistem Information System
Informasi Lecturer
2310 Dosen Teknologi Information
Informasi Technology Lecturer
2310 Dosen Kimia Analytical
Analitik Chemistry Lecturer
2310 Dosen Kebudayaan Japanese Culture
dan Sastra Jepang and Literature
Lecturer
2310 Dosen Komputer Computer Lecturer

2
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2310 Dosen Konseling Phsycology
Psikologi Counselling Lecturer
2310 Dosen Linguistik Linguistic Lecturer

2310 Dosen Lintas Cross Culture


Budaya Lecturer
2310 Dosen Luar Biasa Spesial Needed
Lecturer
2310 Dosen Manajemen Business
Bisnis Management
Lecturer
2310 Dosen Manajemen Management
Lecturer
2310 Dosen Manajemen Strategic
Strategik Management
Lecturer
2310 Dosen Pemasaran Marketing Lecturer

2310 Dosen Matematika Mathematics


Lecturer
2310 Dosen Musik Music Lecturer

2310 Dosen Pengajar French Lecturer


Bahasa Prancis
2310 Dosen Peneliti Research Lecturer

2310 Dosen Sastra English Literature


Inggris Lecturer
2310 Dosen Teknik Informatic Lecturer
Informatika
2310 Dosen Teknik Electrical
Elektro Engineering Lecturer
2310 Dosen Teknik Industrial
Industri Engineering Lecturer
2310 Dosen Teknologi Information Lecturer
Informasi
2310 Dosen Teologi Theology Lecturer

Pendidik di Sekolah Menengah Atas/Senior High School


Teacher

2320 Guru Bahasa Arab Arabic Teacher

2320 Guru Studi Islam Islamic Study


Teacher
2320 Guru Bahasa Dutch Teacher
Belanda
2320 Guru Bahasa Mandarin (Chinese)
(China) Mandarin Teacher
2320 Guru Bahasa Japanese Teacher
Jepang

3
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2320 Guru Bahasa Korea Korean Teacher

2320 Guru Bahasa Deutsch Teacher


Jerman
2320 Guru Bahasa French Teacher
Prancis
2320 Guru Bahasa Turki Turkish Teacher

2320 Guru Bahasa Hindi Hindi Teacher

2320 Guru Fisika Physic Teacher

2320 Guru Biologi Biology Teacher

2320 Guru Matematika Mathematics


Teacher
2320 Guru Studi Bisnis Business Study
Teacher
2320 Guru Ekonomi Economics Teacher

2320 Guru Musik Music Teacher

2320 Guru Geografi Geography Teacher

2320 Guru Ilmu Science Teacher


Pengetahuan Alam
2320 Guru Seni Art Teacher

Pendidik di Sekolah Menengah Pertama/Junior High School


Teacher

2320 Guru Bahasa Arab Arabic Teacher

2320 Guru Bahasa English Teacher


Inggris
2320 Guru Bahasa Japanese Teacher
Jepang
2320 Guru Bahasa Deutsch Teacher
Jerman
2320 Guru Bahasa Korea Korean Teacher

2320 Guru Bahasa Mandarin (Chinese)


(China) Mandarin Teacher
2320 Guru Bahasa French Teacher
Prancis
2320 Guru Bahasa Turki Turkish Teacher

2320 Guru Bahasa Hindi Hindi Teacher

4
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2320 Guru Biologi Biology Teacher

2320 Guru Fisika Physic Teacher

2320 Guru Matematika Mathematics


Teacher
2320 Guru Ekonomi Economics Teacher

2320 Guru Musik Music Teacher

2320 Guru Geografi Geography Teacher


SI
2320 Guru Ilmu Science Teacher
Pengetahuan Alam

Pendidik di Sekolah Dasar/ Elementary School Teacher

2331 Guru Kesehatan Health Teacher


2331 Guru Kesenian dan Art and Music
Musik Teacher
2331 Guru Keterampilan Skills Teacher
2331 Guru Komputer Computer Teacher SI
2331 Guru Musik Music Teacher SI
2331 Guru Olahraga Physical Education
SI
Teacher
2331 Guru Etika Moral Moral Ethic Teacher SI
2331 Guru Kelas 6 6 th Grade Teacher SI
2331 Guru Kelas 5 5 th Grade Teacher SI
2331 Guru Kelas 4 4 th Grade Teacher SI
2331 Guru Kelas 3 3 rd Grade Teacher SI
2331 Guru Kelas 2 2 nd Grade Teacher SI
2331 Guru Kelas 1 1st Grade Teacher SI

Pendidik di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)/Early


Childhood Education Teacher

2332 Guru Kelompok Play Group Teacher


Bermain
2332 Guru TK Kindergarten
Teacher
Pendidik di Pendidikan Nonformal /Nonformal Education
Teacher

2444 Penutur Asli English Native


Bahasa Inggris Speaker

5
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2444 Penutur Asli Italian Native
Bahasa Italia Speaker
2444 Penutur Asli Japanese Native
Bahasa Jepang Speaker
2444 Penutur Asli Deutsch Native
Bahasa Jerman Speaker
2444 Penutur Asli Korean Native
Bahasa Korea Speaker
2444 Penutur Asli Mandarin (Chinese)
Bahasa (China) Native Speaker
Mandarin
2444 Penutur Asli French Native
Bahasa Prancis Speaker
2444 Penutur Asli Spanish Native
Bahasa Spanyol Speaker
Pendidik di Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan
Khusus/Special and Services Education Teacher

2340 Guru Anak Special Needs


Berkebutuhan Teacher
Khusus

Keterangan:
SI = Sekolah Internasional
ISCO = International Standard Classification of Occupations

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

6
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 463 TAHUN 2012
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI INDUSTRI PENGOLAHAN GOLONGAN POKOK INDUSTRI
BAHAN KIMIA DAN BARANG DARI BAHAN KIMIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 42 ayat


(5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Keputusan Menteri
tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja
Asing pada Kategori Industri Pengolahan Golongan Pokok
Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun


2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori industri pengolahan golongan pokok industri bahan
kimia dan barang dari bahan kimia sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Keputusan Menteri ini.

KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh tenaga


kerja asing tidak terdapat di dalam Lampiran Keputusan
Menteri ini, Menteri dapat memberikan izin dengan terlebih
dahulu meminta rekomendasi dari kementerian yang
membidangi perindustrian.
KETIGA : Jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KESATU dapat diduduki oleh tenaga kerja asing paling lama
5 (lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang, kecuali jabatan
komisaris dan direktur sebagai pemilik modal.

KEEMPAT : Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing


dengan jabatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP-99/MEN/1978 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
pada Sektor Perindustrian Sub Sektor Industri Kimia tetap
berlaku sampai berakhirnya izin mempekerjakan tenaga
kerja asing.

KELIMA : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, Keputusan


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
99/MEN/1978 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
pada Sektor Perindustrian Sub Sektor Industri Kimia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEENAM : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 463 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI INDUSTRI PENGOLAHAN
GOLONGAN POKOK INDUSTRI BAHAN KIMIA DAN BARANG
DARI BAHAN KIMIA

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Kode Nama Jabatan


No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
Industri Bahan 1210 Presiden Komisaris President
Kimia dan Barang Commissioner
dari Bahan Kimia
1210 Komisaris Commissioner

1210 Presiden Direktur President Director

1210 Direktur Keuangan Finance Director

1210 Direktur Pemasaran Marketing Director

1210 Direktur Produksi Production Director

1210 Direktur Teknik Technical Director

1210 Direktur Komersial Commercial Director

1312 Manajer Umum General Manager

1229 Manajer Produksi Production Manager

1319 Manajer Quality Control


Pengendalian Mutu Manager

2146 Perekayasa Chemical


Formulasi Kimia Formulation
Engineer

2146 Perekayasa Chemical Process


Instrumentasi Instrumentation
Proses Kimia Engineer
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2113 Perekayasa Proses Chemical Process
Kimia Engineer

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 464 TAHUN 2012
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN SERTA REPARASI
DAN PERAWATAN MOBIL DAN SEPEDA MOTOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 42 ayat


(5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Keputusan Menteri
tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja
Asing pada Kategori Perdagangan Besar dan Eceran serta
Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun


2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori perdagangan besar dan eceran serta reparasi dan
perawatan mobil dan sepeda motor sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan Menteri ini.

KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh tenaga


kerja asing tidak terdapat di dalam Lampiran I dan Lampiran
II Keputusan Menteri ini, Menteri dapat memberikan izin
dengan terlebih dahulu meminta rekomendasi dari
kementerian yang membidangi perdagangan.
KETIGA : Jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KESATU dapat diduduki oleh tenaga kerja asing paling lama
5 (lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang, kecuali tenaga
kerja asing yang menduduki jabatan komisaris dan direktur
sebagai pemilik modal.

KEEMPAT : Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing


dengan jabatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP-682/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
pada Sektor Perdagangan tetap berlaku sampai berakhirnya
izin mempekerjakan tenaga kerja asing.

KELIMA : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, Keputusan


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
682/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
pada Sektor Perdagangan, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

KEENAM : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 464 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI PERDAGANGAN BESAR DAN
ECERAN SERTA REPARASI DAN PERAWATAN MOBIL DAN
SEPEDA MOTOR

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Kode Nama Jabatan


No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
Perdagangan 1210 Komisaris Commissioner
serta Reparasi
dan Perawatan 1210 Direktur Director
Mobil dan
Sepeda Motor 1233 Manajer Pemasaran Marketing
Manager
1231 Manajer Keuangan Finance Manager

1233 Kepala Perwakilan Chief of


Representative
1233 Asisten Kepala Assistant to Chief
Perwakilan Representative
1233 Kepala Cabang Chief of Branch
Perwakilan Representative
1233 Asisten Kepala Assistant to Chief
Cabang Perwakilan Branch
Representative
2441 Penasihat Marketing Advisor
Pemasaran
2441 Penasihat Quality Control
Pengendali Kualitas Advisor
2441 Penasihat Riset dan Research and
Pengembangan Development
Advisor
2441 Penasihat Layanan After Sales Service
Purnajual Advisor
2441 Penasihat Riset Market Research
Pasar Advisor

3115 Penasihat Mechanical


Permesinan Advisor
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
3115 Penasihat Perawatan Machine
Mesin Maintenance
Advisor
3113 Penasihat Electrical Advisor
Kelistrikan
2411 Penasihat Keuangan Financial Advisor

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 464 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI PERDAGANGAN BESAR DAN
ECERAN SERTA REPARASI DAN PERAWATAN MOBIL DAN
SEPEDA MOTOR

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Kode Nama Jabatan


No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
Perdagangan 1210 Komisaris Commissioner
Besar (Bukan
Mobil dan 1210 Direktur Director
Sepeda Motor)
1233 Manajer Pemasaran Marketing
Manager
1231 Manajer Keuangan Finance Manager

1233 Kepala Perwakilan Chief of


Representative
1233 Asisten Kepala Assistant to Chief
Perwakilan Representative
1233 Kepala Cabang Chief of Branch
Perwakilan Representative
1233 Asisten Kepala Assistant to Chief
Cabang Perwakilan Branch
Representative
2441 Penasihat Marketing Advisor
Pemasaran
2441 Penasihat Quality Control
Pengendali Mutu Advisor
2441 Penasihat Business
Pengembangan Development
Usaha Advisor
2441 Penasihat Layanan After Sales Service
Purnajual Advisor
2441 Penasihat Market Research
Pengembangan Development
Penelitian Pasar Advisor
3115 Penasihat Mechanical
Permesinan Advisor
3115 Penasihat Perawatan Machine
Mesin Maintenance
Advisor

3
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
3113 Penasihat Electrical Advisor
Kelistrikan
2411 Penasihat Keuangan Financial Advisor

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

4
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN AIR


SUSU IBU EKSKLUSIF.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan
hasil sekresi kelenjar payudara ibu.
2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI
Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada Bayi sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan
dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.
3. Bayi adalah anak dari baru lahir sampai berusia 12 (dua
belas) bulan.
4. Keluarga adalah suami, anak, atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas dan ke bawah sampai dengan
derajat ketiga.
5. Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus
diformulasikan sebagai pengganti ASI untuk Bayi sampai
berusia 6 (enam) bulan.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
7. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
8. Tempat Kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja,
atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan
suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-
sumber bahaya.
9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2

Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk:


a. menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI
Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam)
bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya;
b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan
ASI Eksklusif kepada bayinya; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian
ASI Eksklusif.
BAB II
TANGGUNG JAWAB

Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pemerintah

Pasal 3

Tanggung jawab Pemerintah dalam program pemberian ASI


Eksklusif meliputi:
a. menetapkan kebijakan nasional terkait program
pemberian ASI Eksklusif;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program
pemberian ASI Eksklusif;
c. memberikan pelatihan mengenai program pemberian ASI
Eksklusif dan penyediaan tenaga konselor menyusui di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum
lainnya;
d. mengintegrasikan materi mengenai ASI Eksklusif pada
kurikulum pendidikan formal dan nonformal bagi Tenaga
Kesehatan;
e. membina, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan
dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan
kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum, dan
kegiatan di masyarakat;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkaitan dengan ASI Eksklusif;
g. mengembangkan kerja sama mengenai program ASI
Eksklusif dengan pihak lain di dalam dan/atau luar
negeri; dan
h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan
edukasi atas penyelenggaraan program pemberian ASI
Eksklusif.

Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 4

Tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam program


pemberian ASI Eksklusif meliputi:
a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program
pemberian ASI Eksklusif;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian
ASI Eksklusif dalam skala provinsi;
c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam
skala provinsi;
d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum lainnya
dalam skala provinsi;
e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi
pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI
Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan
pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana
umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala provinsi;
f. menyelenggarakan, memanfaatkan, dan memantau
penelitian dan pengembangan program pemberian ASI
Eksklusif yang mendukung perumusan kebijakan provinsi;
g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan
edukasi atas penyelenggaraan pemberian ASI Eksklusif
dalam skala provinsi.

Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 5

Tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam


program pemberian ASI Eksklusif meliputi:
a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program
pemberian ASI Eksklusif;
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program
pemberian ASI Eksklusif dalam skala kabupaten/kota;
c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam
skala kabupaten/kota;
d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum lainnya
dalam skala kabupaten/kota;
e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi
pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI
Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan
pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana
umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala
kabupaten/kota;
f. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan program
pemberian ASI Eksklusif yang mendukung perumusan
kebijakan kabupaten/kota;
g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan
edukasi atas penyelenggaraan pemberian ASI Eksklusif
dalam skala kabupaten/kota.

BAB III
AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif


kepada Bayi yang dilahirkannya.
Pasal 7

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak


berlaku dalam hal terdapat:
a. indikasi medis:
b. ibu tidak ada; atau
c. ibu terpisah dari Bayi.

Pasal 8

(1) Penentuan indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 huruf a dilakukan oleh dokter.

(2) Dokter dalam menentukan indikasi medis sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.

(3) Dalam hal di daerah tertentu tidak terdapat dokter,


penentuan ada atau tidaknya indikasi medis dapat
dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Inisiasi Menyusu Dini

Pasal 9

(1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan


Kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini
terhadap Bayi yang baru lahir kepada ibunya paling
singkat selama 1 (satu) jam.

(2) Inisiasi menyusu dini sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan dengan cara meletakkan Bayi secara
tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit Bayi
melekat pada kulit ibu.

Pasal 10

(1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan


Kesehatan wajib menempatkan ibu dan Bayi dalam 1
(satu) ruangan atau rawat gabung kecuali atas indikasi
medis yang ditetapkan oleh dokter.

(2) Penempatan dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan
untuk memudahkan ibu setiap saat memberikan ASI
Eksklusif kepada Bayi.
Bagian Ketiga
Pendonor Air Susu Ibu
Pasal 11
(1) Dalam hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI
Eksklusif bagi bayinya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan oleh
pendonor ASI.

(2) Pemberian ASI Eksklusif oleh pendonor ASI sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan:
a. permintaan ibu kandung atau Keluarga Bayi yang
bersangkutan;
b. identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui
dengan jelas oleh ibu atau Keluarga dari Bayi
penerima ASI;
c. persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui
identitas Bayi yang diberi ASI;
d. pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak
mempunyai indikasi medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7; dan
e. ASI tidak diperjualbelikan.

(3) Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan


ayat (2) wajib dilaksanakan berdasarkan norma agama
dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan
keamanan ASI.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ASI Eksklusif


dari pendonor ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12

(1) Setiap ibu yang melahirkan Bayi harus menolak


pemberian Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi
lainnya.
(2) Dalam hal ibu yang melahirkan Bayi meninggal dunia
atau oleh sebab lain sehingga tidak dapat melakukan
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penolakan dapat dilakukan oleh Keluarga.

Bagian Keempat
Informasi dan Edukasi
Pasal 13

(1) Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI Eksklusif


secara optimal, Tenaga Kesehatan dan penyelenggara
Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan
informasi dan edukasi ASI Eksklusif kepada ibu
dan/atau anggota Keluarga dari Bayi yang bersangkutan
sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode
pemberian ASI Eksklusif selesai.
(2) Informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
a. keuntungan dan keunggulan pemberian ASI;
b. gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui;
c. akibat negatif dari pemberian makanan botol secara
parsial terhadap pemberian ASI; dan
d. kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak
memberikan ASI.

(3) Pemberian informasi dan edukasi ASI Eksklusif


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan
pendampingan.

(4) Pemberian informasi dan edukasi ASI Eksklusif


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh tenaga terlatih.

Bagian Kelima
Sanksi Administratif

Pasal 14

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
Pasal 10 ayat (1), atau Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin.

(2) Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang


tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), atau Pasal 13
ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang
berwenang berupa:
a. teguran lisan; dan/atau
b. teguran tertulis.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi


administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
PENGGUNAAN SUSU FORMULA BAYI DAN
PRODUK BAYI LAINNYA

Pasal 15

Dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak dimungkinkan


berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, Bayi dapat diberikan Susu Formula Bayi.
Pasal 16

Dalam memberikan Susu Formula Bayi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 15, Tenaga Kesehatan harus
memberikan peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan
penyajian Susu Formula Bayi kepada ibu dan/atau Keluarga
yang memerlukan Susu Formula Bayi.

Pasal 17

(1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu


Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif kecuali
dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.

(2) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang menerima dan/atau


mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk
bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian
ASI Eksklusif.

Pasal 18

(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang


memberikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi
lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI
Eksklusif kepada ibu Bayi dan/atau keluarganya, kecuali
dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.

(2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang


menerima dan/atau mempromosikan Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat
program pemberian ASI Eksklusif.

(3) Dalam hal terjadi bencana atau darurat, penyelenggara


Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menerima bantuan
Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya untuk
tujuan kemanusiaan setelah mendapat persetujuan dari
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

(4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang


menyediakan pelayanan di bidang kesehatan atas biaya
yang disediakan oleh produsen atau distributor Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya.

Pasal 19

Produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau


produk bayi lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif berupa:
a. pemberian contoh produk Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya secara cuma-cuma atau bentuk
apapun kepada penyelenggara Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, Tenaga Kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang
baru melahirkan;
b. penawaran atau penjualan langsung Susu Formula Bayi
ke rumah-rumah;
c. pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu
dalam bentuk apapun atas pembelian Susu Formula Bayi
sebagai daya tarik dari penjual;
d. penggunaan Tenaga Kesehatan untuk memberikan
informasi tentang Susu Formula Bayi kepada
masyarakat; dan/atau
e. pengiklanan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam
media massa, baik cetak maupun elektronik, dan media
luar ruang.

Pasal 20

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf


e dikecualikan jika dilakukan pada media cetak khusus
tentang kesehatan.

(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan setelah memenuhi persyaratan:
a. mendapat persetujuan Menteri; dan
b. memuat keterangan bahwa Susu Formula Bayi bukan
sebagai pengganti ASI.

Pasal 21

(1) Setiap Tenaga Kesehatan, penyelenggara Fasilitas


Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan
kesehatan, organisasi profesi di bidang kesehatan dan
termasuk keluarganya dilarang menerima hadiah
dan/atau bantuan dari produsen atau distributor Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat keberhasilan program pemberian ASI
Eksklusif.

(2) Bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula


Bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima
hanya untuk tujuan membiayai kegiatan pelatihan,
penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah,
dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis.

Pasal 22

Pemberian bantuan untuk biaya pelatihan, penelitian dan


pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya
yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. secara terbuka;
b. tidak bersifat mengikat;
c. hanya melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, dan/atau
organisasi profesi di bidang kesehatan; dan
d. tidak menampilkan logo dan nama produk Susu Formula
Bayi dan/atau produk bayi lainnya pada saat dan selama
kegiatan berlangsung yang dapat menghambat program
pemberian ASI Eksklusif.

Pasal 23

(1) Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan
pernyataan tertulis kepada atasannya bahwa bantuan
tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

(2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang


menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada
Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan
tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI
Eksklusif.

(3) Penyelenggara satuan pendidikan kesehatan yang


menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan bahwa bantuan tersebut tidak
mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif.

(4) Pengurus organisasi profesi di bidang kesehatan yang


menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada
Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan
tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI
Eksklusif.

Pasal 24

Dalam hal Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah


menerima bantuan biaya pelatihan, penelitian dan
pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya
yang sejenis maka penggunaannya harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25

(1) Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi


dan/atau produk bayi lainnya dilarang memberikan
hadiah dan/atau bantuan kepada Tenaga Kesehatan,
penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, dan
organisasi profesi di bidang kesehatan termasuk
keluarganya yang dapat menghambat keberhasilan
program pemberian ASI Eksklusif, kecuali diberikan
untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2).

(2) Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi


dan/atau produk bayi lainnya yang melakukan
pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling


sedikit memuat:
a. nama penerima dan pemberi bantuan;
b. tujuan diberikan bantuan;
c. jumlah dan jenis bantuan; dan
d. jangka waktu pemberian bantuan.

Pasal 26

(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan,


penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, dan/atau
organisasi profesi di bidang kesehatan yang menerima
bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c
wajib memberikan laporan kepada Menteri, menteri
terkait, atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling


sedikit memuat:
a. nama pemberi dan penerima bantuan;
b. tujuan diberikan bantuan;
c. jumlah dan jenis bantuan; dan
d. jangka waktu pemberian bantuan.

Pasal 27

Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26


disampaikan kepada Menteri, menteri terkait, atau pejabat
yang ditunjuk paling singkat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal penerimaan bantuan.
Pasal 28

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Susu


Formula Bayi dan produk bayi lainnya diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 29

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal
17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (1), dikenakan
sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin.

(2) Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan,


penyelenggara satuan pendidikan, pengurus organisasi
profesi di bidang kesehatan serta produsen dan
distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi
lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4), Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 26 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
oleh pejabat yang berwenang berupa:
a. teguran lisan; dan/atau
b. teguran tertulis.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi


administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

BAB V
TEMPAT KERJA DAN TEMPAT SARANA UMUM

Pasal 30

(1) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana


umum harus mendukung program ASI Eksklusif.

(2) Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di


Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan
antara pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui
perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha.

(3) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana


umum harus menyediakan fasilitas khusus untuk
menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi
kemampuan perusahaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan
fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 31

Tempat Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri


atas:
a. perusahaan; dan
b. perkantoran milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
swasta.

Pasal 32

Tempat sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30


terdiri atas:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. hotel dan penginapan;
c. tempat rekreasi;
d. terminal angkutan darat;
e. stasiun kereta api;
f. bandar udara;
g. pelabuhan laut;
h. pusat-pusat perbelanjaan;
i. gedung olahraga;
j. lokasi penampungan pengungsi; dan
k. tempat sarana umum lainnya.

Pasal 33

Penyelenggara tempat sarana umum berupa Fasilitas


Pelayanan Kesehatan harus mendukung keberhasilan
program pemberian ASI Eksklusif dengan berpedoman pada
10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui sebagai
berikut:
a. membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan
dikomunikasikan kepada semua staf pelayanan
kesehatan;
b. melatih semua staf pelayanan a. dalam membuatketerampilan
...
menerapkan kebijakan menyusui tersebut;
c. menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang
manfaat dan manajemen menyusui;
d. membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam
puluh) menit pertama persalinan;
e. membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan
menyusui meskipun ibu dipisah dari bayinya;
f. memberikan ASI saja kepada Bayi baru lahir kecuali ada
indikasi medis;
g. menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang
waktu 24 (dua puluh empat) jam;
h. menganjurkan menyusui sesuai permintaan Bayi;
i. tidak memberi dot kepada Bayi; dan
j. mendorong pembentukan kelompok pendukung
menyusui dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut
setelah keluar dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Pasal 34

Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan


kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif
kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di Tempat
Kerja.

Pasal 35

Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana


umum wajib membuat peraturan internal yang mendukung
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

Pasal 36

Setiap pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara


tempat sarana umum yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3),
atau Pasal 34, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB VI
DUKUNGAN MASYARAKAT

Pasal 37

(1) Masyarakat harus mendukung keberhasilan program


pemberian ASI Eksklusif baik secara perorangan,
kelompok, maupun organisasi.

(2) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilaksanakan melalui :
a. pemberian sumbangan pemikiran terkait dengan
penentuan kebijakan dan/atau pelaksanaan program
pemberian ASI Eksklusif;
b. penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas
terkait dengan pemberian ASI Eksklusif;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program
pemberian ASI Eksklusif; dan/atau
d. penyediaan waktu dan tempat bagi ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif.

(3) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENDANAAN

Pasal 38

Pendanaan program pemberian ASI Eksklusif dapat


bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau sumber lain
yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 39

(1) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non


kementerian, gubernur, dan bupati/walikota melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
program pemberian ASI Eksklusif sesuai dengan tugas,
fungsi, dan kewenangan masing-masing.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) ditujukan untuk:
a. meningkatkan peran sumber daya manusia di bidang
kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan
satuan pendidikan kesehatan dalam mendukung
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif;
b. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga dan
masyarakat untuk keberhasilan program pemberian
ASI Eksklusif; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan pengurus Tempat
Kerja dan penyelenggara sarana umum untuk
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian ASI
Eksklusif;
b. pelatihan dan peningkatan kualitas Tenaga Kesehatan
dan tenaga terlatih; dan/atau
c. monitoring dan evaluasi.

(4) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non


kementerian, gubernur, dan bupati/walikota dalam
melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat mengikutsertakan
masyarakat.
Pasal 40

(1) Pengawasan terhadap produsen atau distributor Susu


Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang
melakukan kegiatan pengiklanan Susu Formula Bayi
yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun
elektronik, dan media luar ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf e dilaksanakan oleh badan yang
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap


produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan kepala badan yang
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pengurus


Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum,
wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
ini paling lama 1 (satu) tahun.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua


ketentuan yang mengatur tentang pemberian ASI Eksklusif
dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 43

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 58


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF

I. UMUM

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional


diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan dilaksanakan
guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan antara lain adalah
penurunan angka kematian Bayi dan peningkatan status gizi masyarakat.
Indonesia saat ini masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu kondisi dimana
disatu sisi masih banyaknya jumlah penderita gizi kurang, sementara disisi
lain jumlah masyarakat yang mengalami gizi lebih cenderung meningkat.
Masalah gizi ganda ini sangat erat kaitannya dengan gaya hidup masyarakat
dan perilaku gizi. Status gizi masyarakat akan baik apabila perilaku gizi yang
baik dilakukan pada setiap tahap kehidupan termasuk pada Bayi.
Pola pemberian makan terbaik untuk Bayi sejak lahir sampai anak
berumur 2 (dua) tahun meliputi: (a) memberikan ASI kepada Bayi segera dalam
waktu 1 (satu) jam setelah lahir; (b) memberikan hanya ASI saja sejak lahir
sampai umur 6 (enam) bulan. Hampir semua ibu dapat dengan sukses
menyusui diukur dari permulaan pemberian ASI dalam jam pertama
kehidupan Bayi. Menyusui menurunkan risiko infeksi akut seperti diare,
pnemonia, infeksi telinga, haemophilus influenza, meningitis dan infeksi
saluran kemih. Menyusui juga melindungi Bayi dari penyakit kronis masa
depan seperti diabetes tipe 1. Menyusui selama masa Bayi berhubungan
dengan penurunan tekanan darah dan kolesterol serum total, berhubungan
dengan prevalensi diabetes tipe 2 yang lebih rendah, serta kelebihan berat
badan dan obesitas pada masa remaja dan dewasa.
Menyusui menunda kembalinya kesuburan seorang wanita dan mengurangi
risiko perdarahan pasca melahirkan, kanker payudara, pra menopause dan
kanker ovarium; (c) memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang
tepat sejak genap umur 6 (enam) bulan; dan (d) meneruskan
pemberian ASI sampai anak berumur 2 (dua) tahun. Penerapan pola
pemberian makan ini akan meningkatkan status gizi Bayi dan anak serta
mempengaruhi derajat kesehatan selanjutnya.
Namun demikian, saat ini penerapan pola pemberian makan terbaik
untuk Bayi sejak lahir sampai anak berumur 2 (dua) tahun tersebut belum
dilaksanakan dengan baik khususnya dalam hal pemberian ASI Eksklusif.
Beberapa kendala dalam hal pemberian ASI Eksklusif karena ibu tidak percaya
diri bahwa dirinya mampu menyusui dengan baik sehingga mencukupi seluruh
kebutuhan gizi Bayi. Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya
pengetahuan ibu, kurangnya dukungan Keluarga serta rendahnya kesadaran
masyarakat tentang manfaat pemberian ASI Eksklusif. Selain itu kurangnya
dukungan Tenaga Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan produsen
makanan bayi untuk keberhasilan ibu dalam menyusui bayinya.
Dalam rangka melindungi, mendukung dan mempromosikan pemberian
ASI Eksklusif perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan dukungan dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga
Kesehatan, masyarakat serta Keluarga agar ibu dapat memberikan ASI
Eksklusif kepada Bayi. Untuk maksud tersebut, maka diperlukan Peraturan
Pemerintah tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur:
1. tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota;
2. Air Susu Ibu Eksklusif;
3. penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya;
4. tempat kerja dan tempat sarana umum;
5. dukungan masyarakat;
6. pendanaan; dan
7. pembinaan dan pengawasan.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Huruf a
Kebijakan nasional dituangkan dalam bentuk norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.
Strategi program pemberian ASI Eksklusif dilakukan secara
terpadu, berjenjang, dan berkesinambungan.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Dalam melaksanakan kebijakan nasional, daerah provinsi dapat
menetapkan peraturan daerah atau peraturan gubernur dengan
mengacu pada kebijakan nasional.
Dalam menetapkan kebijakan program pemberian ASI Eksklusif di
daerah, pemerintah daerah provinsi dapat memperhatikan
kemampuan dan potensi sumber daya manusia, kemampuan dan
potensi sumber pendanaan, dan dukungan masyarakat. Strategi
program pemberian ASI Eksklusif dilakukan secara terpadu,
berjenjang, dan berkesinambungan.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 5
Huruf a
Dalam melaksanakan kebijakan nasional, daerah kabupaten/kota
dapat menetapkan peraturan daerah atau peraturan bupati atau
peraturan walikota dengan mengacu pada kebijakan nasional dan
kebijakan pemerintah daerah provinsi.
Dalam menetapkan kebijakan program pemberian ASI Eksklusif di
daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memperhatikan
kemampuan dan potensi sumber daya manusia, kemampuan dan
potensi sumber pendanaan, dan dukungan masyarakat. Strategi
program pemberian ASI Eksklusif dilakukan secara terpadu,
berjenjang, dan berkesinambungan.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” adalah kondisi medis Bayi
dan/atau kondisi medis ibu yang tidak memungkinkan
dilakukannya pemberian ASI Eksklusif.
Kondisi medis Bayi yang tidak memungkinkan pemberian ASI
Ekslusif antara lain:
a. Bayi yang hanya dapat menerima susu dengan formula khusus,
yaitu Bayi dengan kriteria:
1. Bayi dengan galaktosemia klasik, diperlukan formula
khusus bebas galaktosa;
2. Bayi dengan penyakit kemih beraroma sirup maple (maple
syrup urine disease), diperlukan formula khusus bebas
leusin, isoleusin, dan valin; dan/atau
3. Bayi dengan fenilketonuria, dibutuhkan formula khusus
bebas fenilalanin, dan dimungkinkan beberapa kali
menyusui, di bawah pengawasan.
b. Bayi yang membutuhkan makanan lain selain ASI selama
jangka waktu terbatas, yaitu:
1. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari 1500 (seribu
lima ratus) gram (berat lahir sangat rendah);
2. Bayi lahir kurang dari 32 (tiga puluh dua) minggu dari usia
kehamilan yang sangat prematur; dan/atau
3. Bayi baru lahir yang berisiko hipoglikemia berdasarkan
gangguan adaptasi metabolisme atau peningkatan
kebutuhan glukosa seperti pada Bayi prematur, kecil untuk
umur kehamilan atau yang mengalami stress
iskemik/intrapartum hipoksia yang signifikan, Bayi yang
sakit dan Bayi yang memiliki ibu pengidap diabetes, jika
gula darahnya gagal merespon pemberian ASI baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kondisi medis ibu yang tidak dapat memberikan ASI Eksklusif
karena harus mendapat pengobatan sesuai dengan standar.
Kondisi ibu tersebut antara lain:
a. ibu yang dapat dibenarkan alasan tidak menyusui secara
permanen karena terinfeksi Human Immunodeficiency Virus.
Dalam kondisi tersebut, pengganti pemberian ASI harus
memenuhi kriteria, yaitu dapat diterima, layak, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable,
sustainable, and safe). Kondisi tersebut bisa berubah jika
secara teknologi ASI Eksklusif dari ibu terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus dinyatakan aman bagi Bayi dan demi
untuk kepentingan terbaik Bayi. Kondisi tersebut juga dapat
diberlakukan bagi penyakit menular lainnya;
b. ibu yang dapat dibenarkan alasan menghentikan menyusui
sementara waktu karena:
1. penyakit parah yang menghalangi seorang ibu merawat
Bayi, misalnya sepsis (infeksi demam tinggi hingga tidak
sadarkan diri);
2. infeksi Virus Herpes Simplex tipe 1 (HSV-1) di payudara;
kontak langsung antara luka pada payudara ibu dan mulut
Bayi sebaiknya dihindari sampai semua lesi aktif telah
diterapi hingga tuntas;
3. pengobatan ibu:
a) obat–obatan psikoterapi jenis penenang, obat anti–
epilepsi dan opioid dan kombinasinya dapat
menyebabkan efek samping seperti mengantuk dan
depresi pernapasan dan lebih baik dihindari jika
alternatif yang lebih aman tersedia;
b) radioaktif iodine–131 lebih baik dihindari mengingat
bahwa alternatif yang lebih aman tersedia, seorang ibu
dapat melanjutkan menyusui sekitar 2 (dua) bulan
setelah menerima zat ini;
c) penggunaan yodium atau yodofor topikal misalnya
povidone–iodine secara berlebihan, terutama pada luka
terbuka atau membran mukosa, dapat menyebabkan
penekanan hormon tiroid atau kelainan elektrolit pada
Bayi yang mendapat ASI dan harus dihindari; dan
d) sitotoksik kemoterapi yang mensyaratkan seorang ibu
harus berhenti menyusui selama terapi.

Huruf b
Kondisi yang tidak memungkinkan Bayi mendapatkan ASI
Eksklusif karena ibu tidak ada atau terpisah dari Bayi dapat
dikarenakan ibu meninggal dunia, ibu tidak diketahui
keberadaaanya, ibu terpisah dari Bayi karena adanya bencana atau
kondisi lainnya dimana ibu terpisah dengan Bayinya sehingga ibu
tidak dapat memenuhi kewajibannya atau anak tidak memperoleh
haknya.

Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 7 huruf b.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Dalam menentukan ada atau tidaknya indikasi medis, bidan atau
perawat mengacu penjelasan Pasal 7.
Pasal 9
Ayat (1)
Inisiasi menyusu dini dilakukan dalam keadaan ibu dan Bayi stabil
dan tidak membutuhkan tindakan medis selama paling singkat 1
(satu) jam. Lama waktu inisiasi menyusu dini paling singkat selama
1 (satu) jam dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
Bayi agar dapat mencari puting susu ibu dan menyusu sendiri.
Dalam hal selama paling singkat 1 (satu) jam setelah melahirkan,
Bayi masih belum mau menyusu maka kegiatan inisiasi menyusu
dini harus tetap diupayakan oleh ibu, Tenaga Kesehatan, dan
penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) ruangan atau rawat gabung”
adalah ruang rawat inap dalam 1 (satu) ruangan dimana Bayi
berada dalam jangkauan ibu selama 24 (dua puluh empat) jam.
Indikasi medis didasarkan pada kondisi medis Bayi dan/atau
kondisi medis ibu yang tidak memungkinkan dilakukan rawat
gabung.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pendonor ASI” adalah ibu yang
menyumbangkan ASI kepada Bayi yang bukan anaknya.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mutu dan keamanan ASI” meliputi
kebersihan, cara penyimpanan, cara pemberian, atau cara
memerah ASI.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ibu” dalam ketentuan ini adalah ibu yang
dapat memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pemberian
makanan botol secara parsial” adalah makanan/minuman
selain ASI yang diberikan kepada Bayi dengan
menggunakan botol.

Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kesulitan
untuk mengubah keputusan” adalah kondisi dimana ibu
sudah memutuskan untuk tidak memberikan ASI, maka
sulit untuk kembali lagi memberikan ASI.

Ayat (3)
Pendampingan dilakukan melalui pemberian dukungan moril,
bimbingan, bantuan, dan pengawasan ibu dan bayi selama
kegiatan inisiasi menyusu dini dan/atau selama awal menyusui.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tenaga terlatih” adalah tenaga yang
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan mengenai pemberian
ASI melalui pelatihan, antara lain konselor menyusui.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Pemberian peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan penyajian
Susu Formula Bayi atau produk susu bayi lainnya hanya dapat
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan. Dengan demikian, tenaga non
kesehatan tidak dapat melakukan pemberian peragaan dan penjelasan
atas penggunaan dan penyajian Susu Formula Bayi atau produk susu
bayi lainnya.
Dalam hal ibu dari Bayi yang memerlukan Susu Formula Bayi atau
produk susu bayi lainnya tersebut telah meninggal dunia, sakit berat,
sedang menderita gangguan jiwa berat, dan/atau tidak diketahui
keberadaannya, peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan
penyajian Susu Formula Bayi atau produk susu bayi lainnya hanya
dapat dilakukan terbatas pada Keluarga yang akan mengurus dan
merawat Bayi tersebut.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “produk bayi lainnya” adalah produk bayi
yang terkait langsung dengan kegiatan menyusui meliputi segala
bentuk susu dan pangan bayi lainnya, botol susu, dot, dan
empeng.

Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dilarang
mempromosikan” termasuk memajang, memberikan potongan
harga, memberikan sampel Susu Formula Bayi, memberikan
hadiah, memberikan informasi melalui saluran telepon, media
cetak dan elektronik, memasang logo atau nama perusahaan pada
perlengkapan persalinan dan perawatan Bayi, membuat dan
menyebarkan brosur, leaflet, poster, atau yang sejenis lainnya.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengan “secara terbuka” adalah tidak ada konflik
kepentingan antara pemberi bantuan dan penerima bantuan, dan
diumumkan secara terbuka.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak bersifat mengikat” adalah tidak ada
kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh institusi penerima
bantuan berdasarkan keinginan pemberi bantuan.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di
bidang keuangan.
Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pengurus Tempat
Kerja” adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung
suatu Tempat Kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “fasilitas khusus”
adalah ruang menyusui dan/atau memerah ASI yang dinamai
dengan ruang ASI.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 31
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “perusahaan” adalah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “perkantoran” termasuk lembaga
pemasyarakatan.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “peraturan perundang-
undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.

Pasal 37
Ayat (1)
Pelaksanaan dukungan dari masyarakat dilakukan sesuai dengan
kemampuan sumber daya yang tersedia. Pelaksanaan dukungan
dari masyarakat dilakukan dengan berpedoman pada 10 (sepuluh)
langkah menuju keberhasilan menyusui untuk masyarakat, yaitu:
a. meminta hak untuk mendapatkan pelayanan inisiasi menyusu
dini ketika persalinan;
b. meminta hak untuk tidak memberikan asupan apapun selain
ASI kepada Bayi baru lahir;
c. meminta hak untuk Bayi tidak ditempatkan terpisah dari
ibunya;
d. melaporkan pelanggaran-pelanggaran kode etik pemasaran
pengganti ASI;
e. mendukung ibu menyusui dengan membuat Tempat Kerja yang
memiliki fasilitas ruang menyusui;
f. menciptakan kesempatan agar ibu dapat memerah ASI
dan/atau menyusui Bayinya di Tempat Kerja;
g. mendukung ibu untuk memberikan ASI kapanpun dan
dimanapun;
h. menghormati ibu menyusui di tempat umum;
i. memantau pemberian ASI di lingkungan sekitarnya; dan
j. memilih Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
yang menjalankan 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan
menyusui.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pemberian
ASI Eksklusif dilaksanakan pada situasi normal dan situasi bencana
atau darurat.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5291


PERATURAN BERSAMA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA


DAN
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2012
NOMOR 51 TAHUN 2012

TENTANG

OPTIMALISASI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN


DI PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA


DAN
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pengawasan ketenagakerjaan merupakan fungsi


negara guna mengawasi dan menegakkan peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan masih
mengalami hambatan antara lain di beberapa Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota belum tersedia unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan, penempatan pengawas
ketenagakerjaan diluar unit pengawasan ketenagakerjaan dan
keterbatasan sarana dan prasarana;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu dilakukan optimalisasi
pengawasan ketenagakerjaan melalui Peraturan Bersama
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang
Optimalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan di Provinsi dan
Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan


Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 1951);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2918);
-2-

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan
ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection in Industry
and Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4848);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4741);
8. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5109);
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER. 02/MEN/I/2011 tentang Pembinaan
Koordinasi Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA DAN MENTERI DALAM
NEGERI REPUBLIK INDONESIA TENTANG OPTIMALISASI
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI DAN
KABUPATEN/KOTA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bersama Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
-3-

2. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat adalah
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menangani
urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi adalah
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
Provinsi yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/ Kota yang menangani urusan di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, yang selanjutnya disebut Pengawas


Ketenagakerjaan, adalah Pegawai Negeri Sipil yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi dan diangkat dalam jabatan fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB II
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Pasal 2

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dalam satu kesatuan sistem pengawasan


ketenagakerjaan yang terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi yang terdiri dari unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan, pengawas ketenagakerjaan, dan tata cara
pengawasan ketenagakerjaan.

Pasal 3

Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh pengawas ketenagakerjaan sesuai


peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

(1) Dalam penyelenggaraan Pengawasan Ketenagakerjaan Pemerintah Provinsi dan


Kabupaten/Kota memfasilitasi penguatan unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan.

(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi


penyediaan:
a. Pengawas Ketenagakerjaan;
b. tenaga administrasi pengawasan ketenagakerjaan; dan
c. pembiayaan, sarana dan prasarana.
-4-

BAB III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 5

1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal yang mempunyai tugas pokok
dan fungsi di bidang Otonomi Daerah melakukan pembinaan umum terhadap
penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Direktur Jenderal yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pengawasan ketenagakerjaan
melakukan pembinaan teknis terhadap penyelenggaraan pengawasan
ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

3) Pembinaan umum penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan oleh Menteri


Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk mendorong
gubernur dan bupati/walikota:
a. membentuk dan/atau meningkatkan unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan sesuai beban kerja;
b. menempatkan pejabat pada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan pengawas
ketenagakerjaan;
c. menempatkan pengawas ketenagakerjaan pada unit kerja pengawas
ketenagakerjaan;
d. mengangkat pengawas ketenagakerjaan ke dalam jabatan fungsional;
e. menyediakan tenaga penyelenggara administrasi teknis pengawasan
ketenagakerjaan;
f. menyediakan tenaga pengumpul dan pengolah data pengawasan
ketenagakerjaan;
g. mengusulkan rencana kebutuhan pengawas ketenagakerjaan setiap tahun;
h. menyediakan anggaran pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan; dan
i. menyediakan sarana dan prasarana pelaksanaan pengawas
ketenagakerjaan.

4) Pembinaan teknis penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan oleh Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan melalui:
a. pendidikan dan pelatihan pengawas ketenagakerjaan;
b. penetapan pengangkatan pengawas ketenagakerjaan;
c. peningkatan kapasitas pengawas ketenagakerjaan antara lain melalui
bimbingan teknis, supervisi, dan monitoring pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan;
d. pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan;
e. peningkatan kapasitas pengawas ketenagakerjaan dalam bidang penegakan
hukum;
f. penyelenggaraan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan;
g. penyelenggaraan pelaporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di
provinsi dan di kabupaten/kota;
-5-

h. penyelenggaraan rapat koordinasi daerah di provinsi dan rapat kerja teknis


di kabupaten/kota;
i. peningkatan kerjasama internasional dalam pengembangan pengawasan
ketenagakerjaan; dan
j. pengendalian pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.

BAB IV
PELAPORAN

Pasal 6

(1) Bupati/walikota melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan


di kabupaten/kota kepada gubernur.

(2) Gubernur melaporkan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Provinsi


kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan tembusan kepada
Menteri Dalam Negeri.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap
akhir tahun atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 7

Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 digunakan oleh Kementerian Tenaga


Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri sebagai bahan monitoring
dan evaluasi.

BAB VI
PENDANAAN

Pasal 8

Pendanaan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dibebankan pada:


a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
c. Lain-lain sumber pendapatan yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
-6-

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9

Peraturan Bersama Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Bersama


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2012

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA, REPUBLIK INDONESIA,

ttd. ttd.

MUHAIMIN ISKANDAR GAMAWAN FAUZI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 743


PUTUSAN
Nomor 70/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : M. Komarudin


Pekerjaan : Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia
Alamat : Koleang RT.06, RW.01, Desa Koleang, Kecamatan
Jasinga, Kabupaten Bogor

2. Nama : Muhammad Hafidz


Pekerjaan : Kepala Kesekretariatan Federasi Ikatan Serikat Buruh
Indonesia
Alamat : Jalan Kapuk Kamal Rawa Melati, RT.05, RW.01,
Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta
Barat

3. Nama : Yulianti
Pekerjaan : Buruh PT. Megahbuana Citramasindo
Alamat : Jalan Kali Baru Barat IV RT.011, RW.07, Nomor 47,
Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta
Utara
Yang dalam hal ini, masing-masing adalah pengurus dan bertindak mewakili untuk
serta atas nama Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, yang beralamat di
Jalan Otto Iskandardinata (Gg. Setia), RT.008, RW.02, Nomor 23D, Kelurahan
Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, yang telah tercatat sebagai
2

Serikat Pekerja/Serikat Buruh di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Timur, dengan Tanda Bukti Pencatatan
Nomor 700/IV/P/III/2011.

Dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Andi Muhammad Asrun, S.H, M.H. dan
Merlina, S.H., keduanya Advokat & Konsultan Hukum pada “Muhammad Asrun
and Partners (MAP) Law Firm”, beralamat di Gedung PGRI, Jalan Tanah Abang III
Nomor 24 Jakarta Pusat,. Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus
bertanggal 20 September 2011, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;


Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar keterangan Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan DPR;
Mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon;
Mendengar keterangan saksi dan ahli Pemerintah;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Pemerintah;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan dengan


surat bertanggal 26 September 2011 yang terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
27 September 2011 dengan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
337/PAN.MK/2011 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada
tanggal 6 Oktober 2011 dengan Nomor 70/PUU-IX/2011 dan telah diperbaiki
dengan permohonan bertanggal 26 Oktober 2011, sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berbunyi,
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
3

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah


Konstitusi”.
2. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”.
3. Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
(selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi, Bukti P-4), yang berbunyi,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. memutus pembubaran partai politik; dan
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
4. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap UUD 1945.

2. KEDUDUKAN HUKUM (legal standing) PARA PEMOHON

1. Pengakuan hak setiap warga negara Republik Indonesia untuk mengajukan


permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan
salah satu inidikator kemajuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan manifestasi
4

jaminan konstitusional terhadap pelaksanaan hak-hak dasar setiap warga


negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan badan judicial yang
menjaga hak asasi manusia sebagai manifestasi peran the guardian of the
constitution (pengawal konstitusi) dan the sole interpreter of the constitution
(penafsir tunggal konstitusi).
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi
menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang dan/atau kewajiban
konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan Warga Negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara”.
2. Doktrin “organization standing” ternyata tidak hanya dikenal sebagai doktrin,
tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Namun demikian tidak semua organisasi dapat bertindak
mewakili kepentingan umum/publik, karena hanya organisasi yang
memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana ditentukan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan; dalam Anggaran Dasar organisasi yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya
organisasi tersebut; telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
3. Bahwa para Pemohon dengan merujuk pada Pasal 28C ayat (2) dan Pasal
28E ayat (3) UUD 1945, yaitu sebagai perorangan warga negara Indonesia,
serta sekaligus selaku kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama,
yang selama ini mempunyai kepedulian serta menjalankan aktifitasnya
dalam perlindungan dan penegakkan hak-hak buruh di Indonesia, yang
tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
perlindungan, pembelaan dan penegakkan keadilan terhadap hak-hak
konstitusi buruh di Indonesia, tanpa membedakan jenis kelamin, suku
bangsa, ras, dan agama di dalam serikat buruh bernama Federasi Ikatan
5

Serikat Buruh Indonesia, yang memiliki tujuan untuk menggalang persatuan


kaum buruh dalam mewujudkan hubungan perburuhan yang adil, dengan
melakukan protes terhadap segala kebijakan pengusaha, maupun kebijakan
pemerintah yang tidak menjamin hak-hak konstitusional kaum buruh,
sebagaimana diperlihatkan dalam Anggaran Dasar Pemohon (Bukti P-5).
Pengakuan Mahkamah Konstitusi atas kedudukan hukum Federasi Ikatan
Serikat Buruh Indonesia dalam beracara dihadapan Mahkamah Konstitusi,
setidaknya diperlihatkan melalui Putusan Perkara Nomor 2/PUU-VI/2008,
18/PUU-VI/2008, dan 19/PUU-VII/2009, yang telah memberikan kedudukan
hukum kepada Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia dengan kualifikasi
sebagai perseorangan atau kumpulan perseorangan.
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, yang harus memenuhi
syarat diantaranya sebagai berikut:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu hak untuk mendapatkan jaminan sosial tanpa
terkecuali berdasarkan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945;
bahwa hak konstitusional para Pemohon untuk mendapat jaminan sosial
tanpa terkecuali telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 4 ayat
(1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN, yang mengatur untuk
dapat menjadi peserta jaminan sosial hanya merupakan kewajiban pemberi
kerja atau pengusaha untuk mendaftar ke badan penyelenggara jaminan
sosial, sehingga apabila pemberi kerja atau pengusaha tidak mendaftarkan
pekerja/buruh, termasuk pula buruh lainnya yang tidak tergabung dengan
Pemohon, untuk menjadi peserta jaminan sosial menjadi terbatasi, sehingga
kerugian konstitusionalnya telah bersifat spesifik dan aktual terjadi di PT.
Anugerah Setia Lestari dan di PT. Megahbuana Citramasindo (Bukti P-6,
Bukti P-6A) serta di banyak perusahaan lainnya, sehingga buruh kehilangan
perlindungan atas kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia.
6

5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, para Pemohon berpendapat bahwa


Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.

3. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

1. Bahwa jaminan sosial merupakan hak setiap orang tanpa terkecuali,


termasuk pekerja/buruh sebagaimana ketentuan Pasal 28H ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”, serta amanat dari Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1948 tentang Hak Asasi
Manusia, dan telah pula ditegaskan dalam Konvensi International Labor
Organization (ILO) Nomor 102 Tahun 1952, yang menganjurkan agar
semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap
tenaga kerja, yang kemudian dituangkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001, yang
menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional
dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan
terpadu.
2. Bahwa pada tanggal 17 Februari 1992, Pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468), untuk memberikan
perlindungan kepada setiap pekerja/buruh sebagai hak setiap orang tanpa
terkecuali.
Namun, hak pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja
yang memberikan perlindungan atas kecelakaan kerja, sakit, hamil,
bersalin, hari tua dan meninggal dunia, hanya didapatkan apabila
pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja, mendaftarkan pekerja/buruh
tersebut ke Badan Penyelenggara yaitu PT. Jamsostek, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1), yang menyatakan, “Program
jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan
7

pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-


undang ini”.
3. Bahwa pada tanggal 19 Oktober 2004, Pemerintah mengesahkan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), yang
bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan
hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Namun, lagi-lagi hak pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan sosial
hanya apabila pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja mendaftarkan
pekerja/buruh tersebut ke Badan Penyelenggara, sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1), yang menyatakan, “Pemberi kerja
secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai
peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti”.
4. Bahwa telah menjadi hak dasar bagi setiap orang untuk mendapatkan
jaminan sosial sebagaimana amanat ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD
1945, tanpa terkecuali termasuk setiap masing-masing pekerja/buruh yang
berhak atas jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana amanat ketentuan
Pasal 3 ayat (2) UU Jamsostek. Namun, senyatanya hak pekerja/buruh
untuk mendapatkan jaminan sosial, hanya dapat terlaksana apabila
pengusaha di tempat pekerja/buruh bekerja mendaftarkan pekerja/buruh
tersebut ke Badan Penyelenggara dengan membayar iuran sebesar 4,24%
sampai dengan 11,74% dari upah pekerja/buruh sebulan, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat
(1) UU SJSN (http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_artikel/72).
Sehingga, ketentuan a quo telah membatasi hak setiap pekerja/buruh
untuk mendaftarkan dirinya sendiri menjadi Peserta Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
Akibat pemberlakuan ketentuan a quo, dari 30,72 juta pekerja/buruh yang
berstatus pekerja/buruh tetap (Bukti P-7), hanya 9,12 juta pekerja/buruh
(Bukti P-8) yang didaftarkan oleh pengusaha menjadi Peserta Jamsostek.
8

Bahkan di Ibukota DKI Jakarta, ada sebanyak 5.361 perusahaan dengan


jumlah pekerja/buruh sebanyak 5,6 juta orang yang belum menjadi Peserta
Jamsostek (Bukti P-9).
Senyatanya, ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
kepada pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi
peserta jaminan sosial, berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU
Jamsostek, tidak dapat menjadi “alat paksa” bagi pemberi kerja atau
perusahaan untuk mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi peserta
jaminan sosial.
Bahkan, akibat ketentuan a quo telah banyak menimbulkan konflik norma
dan mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial atas tidak
diikut-sertakannya pekerja/buruh yang bekerja di sebuah perusahaan
menjadi peserta jaminan sosial, seperti yang terjadi pada buruh salah satu
provider seluler, yang mengadakan aksi mogok kerja menuntut untuk
didaftar menjadi peserta jaminan sosial (http://www.batamtimes.com/
batam/3761-tuntut-jamsostek-buruh-telkomsel-demo.html),namun berujung
pada pemutusan hubungan kerja.
Upaya mengajukan gugatan oleh Dinas Tenaga Kerja atas Perbuatan
Melawan Hukum yang dilakukan oleh pengusaha yang tidak mendaftarkan
pekerja/buruhnya menjadi peserta jaminan sosial ke Pengadilan Negeri,
(http://www.waspada.co.id/Index.php?option=com_content&view=article&i
d=124928:disnaker-tuntut-ptmjm&catid=14:medan&Itemid=27), tidaklah
serta merta menjadi shock terapy dan alat paksa. Sehingga, dibutuhkan
penafsiran khusus atas ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan
Pasal 13 ayat (1) UU SJSN.
5. Bahwa hak atas jaminan sosial merupakan milik setiap orang,
sebagaimana ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945.
Sehingga, setiap orang tanpa terkecuali seorang pekerja/buruh,
seharusnya “dapat” mendaftarkan dirinya sendiri menjadi peserta jaminan
sosial, dengan kewajiban iuran yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja,
kematian dan pemeliharaan kesehatan sebesar 4,24% sampai dengan
11,74% menjadi tanggung jawab pengusaha, dan iuran hari tua menjadi
9

tanggung jawab pekerja/buruh itu sendiri sebagai tabungan hari tua atau
akibat pemutusan hubungan kerja.
6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, agar ketentuan Pasal 4 ayat
(1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN, dapat memberikan
jaminan dan kepastian kepada pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan
sosial, maka kepada setiap pekerja/buruh secara perseorangan diberikan
hak untuk “dapat” mendaftarkan dirinya sendiri dan perusahaannya
menjadi peserta jaminan sosial.
Sehingga muatan materi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek
dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN, haruslah ditafsirkan menjadi, program
jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh, yang kepesertaannya
sebagai peserta jaminan sosial bersifat wajib, yang didaftarkan ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial oleh pemberi kerja atau perusahaan,
maupun oleh pekerja/buruh itu sendiri yang melakukan pekerjaan didalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

4. PETITUM

Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan yang sudah berdasarkan


hukum dan didukung oleh alat-alat bukti yang disampaikan ke Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, para Pemohon memohon kiranya Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berkenan memutus:
1. Menerima dan Mengabulkan Permohonan Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) dan ketentuan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4456) telah bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak
ditafsirkan program jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh,
yang kepesertaannya sebagai peserta jaminan sosial bersifat wajib,
yang didaftarkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial oleh
10

pemberi kerja atau perusahaan, maupun oleh pekerja/buruh itu sendiri


yang melakukan pekerjaan didalam hubungan kerja sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembara Negara Republik
Indonesia Nomor 3468) dan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak ditafsirkan
program jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh, yang
kepesertaannya sebagai peserta jaminan sosial bersifat wajib, yang
didaftarkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial oleh pemberi
kerja atau perusahaan, maupun oleh pekerja/buruh itu sendiri yang
melakukan pekerjaan didalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para


Pemohon mengajukan bukti berupa surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1
sampai dengan bukti P-9, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang


Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
11

5. Bukti P-4A : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
6. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Pemberitahuan Mahkamah Agung Nomor
10297/297K/ PDT/ 2010;
7. Bukti P-6 : Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia;
8. Bukti P-6A : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Yulianti;
9. Bukti P-7 : Fotokopi Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik Nomor
33/05/Th.XIII, tanggal 10 Mei 2010 berjudul Keadaan
Ketenagakerjaan Indonesia, Februari 2010;
10. Bukti P-8 : Fotokopi Harian Pelita edisi Senin, 25 Oktober 2010, Rubrik
Ekonomi dan Keuangan berjudul “Jumlah Peserta Aktif
Jamsostek”;
11. Bukti P-9 : Fotokopi Berita tentang “5.361 Perusahaan di Jakarta Belum
Anggota Jamsostek”, sumber: www.jamsostek.co.id;

Selain itu para Pemohon juga mengajukan satu orang saksi dan satu orang ahli
yang menyampaikan keterangan di dalam persidangan tanggal 21 Desember 2011
sebagai berikut:

1. Saksi Bakit
x Saksi adalah karyawan PT. Anugerah Setia Lestari, sebagai Driver dengan
penghasilan perbulan Rp. 640.000,-;
x Saksi pernah sakit kencing batu pada tahun 2010, dan untuk operasi, saksi
telah mengeluarkan biaya sebesar Rp. 13.000.000,- uang pribadi saksi; dari
perusahaan hanya membantu uang kesehatan yang pertahun senilai
Rp. 350.000,-;
x Saksi pernah mengajukan bantuan biaya ke perusahaan, dan malah diminta
mengundurkan diri dengan bantuan Rp. 5.000.000,-;
x Saksi mengetahui adanya Jamsostek dan tahu akan manfaat kepesertaan
Jamsostek, akan tetapi belum terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Saksi
sudah pernah mendaftar ke Jamsostek di Cikarang, akan tetapi ditolak
karena perorangan tidak dapat mendaftar, harus perusahaan;
12

2. Ahli Surya Tjandra


x Pada pokoknya, permohonan uji materiil ini adalah untuk meminta
penafsiran khusus pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
terhadap Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) menyatakan, “Program jaminan sosial
tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib dilakukan oleh
setiap perusahaan, bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”
x Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyatakan, “Pemberi kerja secara
bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta
kepada badan penyelenggara jaminan sosial, sesuai dengan program
jaminan sosial yang diikuti.”
x Ketentuan dari kedua Undang-Undang tesebut, dinilai para Pemohon telah
menimbulkan beberapa kerugian bagi masyarakat, khususnya buruh,
terbukti dengan fakta-fakta sebagai berikut. Masih relatif sedikitnya buruh
formal yang jadi peserta Jamsostek, hanya sekitar 9.000.000 dari
30.000.000 buruh formal yang tercatat. Masih banyaknya perusahaan yang
tidak menyertakan buruhnya ke dalam Jamsostek dan cenderung menjadi
sumber konflik perburuhan yang cukup serius.
x Untuk itu, menurut para Pemohon perlu penafsiran khusus pada kedua
pasal tersebut menjadi program jaminan sosial merupakan hak setiap
pekerja atau buruh yang kepesertaannya sebagai peserta jaminan sosial
bersifat wajib, yang didaftarkan ke badan penyelenggara jaminan sosial
oleh pemberi kerja atau perusahaan maupun oleh pekerja atau buruh itu
sendiri, yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
x Permohonan seperti ini bagi yang banyak terlibat dalam memperjuangkan
hak buruh, khususnya yang bekerja di sektor formal adalah sesuatu yang
wajar. Mengingat pada praktiknya memang PT Jamsostek sebagai badan
13

penyelenggara jaminan sosial yang ada saat ini, dinilai kurang berhasil
menunjukkan kinerja yang diharapkan. Kepesertaan yang relatif kecil
dibanding jumlah buruh formal yang ada, perluasan kepesertaan yang relatif
sulit.
x Menurut ahli, hal ini terjadi karena memang PT Jamsostek dalam sistem
yang ada sekarang, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992, menghadapi beberapa masalah struktural, antara lain: mengapa dari
30-an juta buruh formal yang ada, hanya 9 juta yang menjadi peserta
Jamsostek? Mengapa juga PT Jamsostek praktis tidak mampu untuk
memperluas cakupan perlindungan jaminan sosial bagi sekitar 70 orang
yang bekerja di ekonomi informal yang ada di Indonesia ini? Ini tidak lepas
dari keterbatasan dari aturan pelaksanaan Undang-Undang Jamsostek itu
sendiri.
x Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993, yang kemudian digantikan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995, yang merupakan aturan
turunan dari Undang-Undang Jamsostek Nomor 3 Tahun 1992,
memungkinkan terjadinya opting out, atau memilih untuk tidak ikut
Jamsostek selama bisa memberi manfaat yang lebih, dan tidak bersifat
wajib, dan universal, atau menyeluruh. Jamsostek cuma untuk pekerja
formal. Tidak diberikan kesempatan, walaupun belakangan ada perubahan
sedikit kepada pekerja informal misalnya atau juga yang di antara itu.
x Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek hanya
mewajibkan buruh atau pekerja untuk menjadi peserta. Tapi tidak bagi
pemberi kerja atau majikan. Dalam konteks tadi cerita Pak Bakit, yang jadi
peserta itu adalah buruh. Tapi pemberi kerja tidak menjadi peserta atau
tidak diwajibkan menjadi peserta. Maupun dewan direksi dari perusahaan,
tidak wajib. Sehingga praktis tidak ada kontribusi dan saling keterkaitan
antara pekerja buruh dengan pemberi kerja dalam sistem jaminan sosial
yang dibangun. Padahal Undang-Undang Dasar 1945, khususnya 28H ayat
(3) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak
atas jaminan sosial.
x Alasan mengapa ada hambatan struktural dari PT Jamsostek dan Undang-
Undang Jamsostek adalah, bahwa sebagai Badan Usaha Milik Negara,
BUMN, PT Jamsostek juga terbebani kewajiban untuk mencari keuntungan
14

atau profit oriented, yang mana ada kewajiban untuk memberikan deviden
kepada pemerintah, bukan untuk sebesarnya kepada kepentingan peserta.
Lihat juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan
Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang PT, kedua, Undang-Undang ini
menjadi dasar pendirian PT Jamsostek dan beroperasinya PT Jamsostek.
x Menurut ahli, hal ini tidak sesuai dengan prinsip jaminan sosial yang nirlaba,
not for profit atau tidak bertujuan mencari keuntungan. Meski pengelolaan
sisa hasil usaha dimungkinkan selama kemudian digunakan untuk sebesar-
besarnya kepentingan peserta. Menurut estimasi Prof. H. Hasbullah
Tabrani, ahli jaminan sosial, setidaknya ada Rp12 triliun itu uang yang
harusnya menjadi uangnya buruh, itu masuk ke kantongnya pemerintah
sebagai pendapatan atau income di luar pajak dan karenanya menjadi
subjek bagi pajak pendapatan. Karena itu, PT Jamsostek dulu masih
dikenakan pajak untuk penghasilan atau keuntungan yang diperoleh dengan
hanya sedikit sekali yang kembali kepada pesertanya, terakhir itu ya bagi-
bagi duit saja, tetapi tidak secara sistematis, terserah pada direksi PT
Jamsostek.
x Sebagai sebuah badan hukum bersifat privat perseroan terbatas, PT
Jamsostek tidak bisa dan tidak boleh memiliki kemampuan atau
kewenangan memberi sanksi, juga ketika terjadi pelanggaran. Dalam
konteks yang terakhir inilah, tampaknya permohonan uji materiil seperti ini,
menaruh perhatian khusus para Pemohon dalam permohonan uji materiil
hari ini.
x Sesungguhnya, beberapa masalah struktural di atas, coba di atasi oleh
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan belakangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial atau BPJS.
x Undang-Undang SJSN menjadi dasar filosofis yang memberikan prinsip-
prinsip pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional yang menyeluruh bagi
seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali dan Undang-Undang BPJS
membentuk badan penyelenggara jaminan sosial berdasarkan Undang-
Undang ini. Jadi, dia bukan cuma mengatur bagaimana pembentukan
BPJS, tapi membentuk BPJS itu sendiri. Dengan kata lain, Undang-Undang
BPJS secara khusus, spesifik menyebutkan badan hukum yang dibentuk
15

apa? Dan bagaimana ia akan dioperasionalkan? Jadi, tidak hanya mengatur


pembentukannya seperti Undang-Undang BUMN atau Undang-Undang PT.
x Bandingkan juga dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Bank Indonesia, itu juga bentuk Bank Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Bank Indonesia. Juga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009
tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang senada dengan Undang-
Undang BPJS, terkait hal pembentukan badan khusus dengan dan bukan
dalam Undang-Undang tersebut.
x Tugas dari BPJS adalah menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional
berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia berdasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba,
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, sportabilitas, kepesertaan bersifat
wajib dan amanat, dan hasil pengelolaan seluruhnya untuk sebesar-
besarnya kepentingan peserta.
x Untuk itu, BPJS diberikan kewajiban dan kewenangan tertentu yang intinya
adalah untuk memperbaiki persoalan dan masalah yang terjadi sebelumnya.
Undang-Undang SJSN yang memberikan asas-asas dan prinsip-prinsip
penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan Undang-Undang
BPJS yang membentuk badan penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan
asas-asas dan prinsip-prinsip sistem jaminan sosial nasional dalam
Undang-Undang SJSN, membawa beberapa konsekuensi struktural.
x Bahwa persoalan struktural, dicoba dijawab oleh kedua Undang-Undang
yang terakhir ini, Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS. BPJS
yang dibentuk adalah badan hukum publik yang tugas utamanya adalah
untuk menyediakan manfaat pasti, manfaat secara pasti. Artinya, besar dan
kualitas manfaat berlaku sama secara menyeluruh dan komprehensif, lepas
dari berapa pun besar iuran. Kalau iuran misalnya kita hitung dari
persentase upah sebulan, itu kan ada yang bisa besar ada yang kecil
tergantung besaran upah. Namanya iuran pasti, jadi hasilnya pun
tergantung iurannya. Tetapi kalau sistem yang dibangun dalam Undang-
Undang SJSN adalah manfaat yang pasti. Berapa pun besar iuran, manfaat
sama semua. Dan ini menyeluruh untuk seluruh penyakit, bersifat
komprehensif, berlaku untuk seluruh rakyat tanpa kecuali, baik itu buruh
maupun pemberi kerja. Dan dengan melalui pengelolaan dana amanat yang
16

adalah dana publik, bertanggung jawab kepada publik. Untuk melaksanakan


sistem jaminan sosial nasional yang menyeluruh dan komprehensif ini,
dibentuklah dua BPJS. BPJS Kesehatan, mulai beroperasi tanggal 1
Januari 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan, mulai beroperasi tanggal 1 Juli
2015.
x Tugas pemungut iuran kepesertaan yang bersifat wajib sesuai dengan
prinsip jaminan sosial menyeluruh, dilakukan oleh BPJS dan karenanya
diperkenalkan melalui Undang-Udang untuk bersifat monopolistik. Kalau PT,
tidak bisa monopolistik. Kemampuan menentukan harga dasar, berapa
harga untuk membeli pelayanan dan rekanan, siapa yang dipilih gitu, yang
dilakukan secara monopsoni. Monopolistik dan monopsoni ini dua prinsip
penting dalam sistem jaminan sosial atau asuransi sosial, dimana ada satu
suara dalam negosiasi dengan rekanan penyedia pelayanan, baik itu
asosiasi rumah sakit maupun organisasi profesi dokter, misalnya dalam
konteks jaminan kesehatan. Sebagaimana diargumenkan oleh Pemohon uji
materiil ini, tantangan terbesar dari badan penyelenggara jaminan sosial
adalah memperluas kepersertaan. Tadi kita melihat bahwa PT Jamsostek
cuma ada 9.000.000 dari seharusnya 30.000.000. Sekarang data terakhir
Rp 33.000.000,00 sektor formal itu. Untuk menjawab itu sesuai dengan
Undang-Undang BPJS, BPJS diberi kewenangan. Jadi berbeda dengan PT
Jamsostek, BPJS nanti, BPJS ketenagakerjaan diberi kewenangan untuk
memberi sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya, Pasal 11 huruf f dalam Undang-Undang BPJS.
Maupun melaporkan kepada aparat penegak hukum, terkait ketidakpatuhan
pemberi kerja dalam membayar iuran maupun memenuhi kewajiban
lainnya, Pasal 11 huruf g.
x Sampai sekarang tidak pernah ada yang ahli ketahui, pengusaha misalnya
atau pemberi kerja di hokum, karena tidak menyertakan buruhnya atau
pekerjanya ke Jamsostek. Dalam sistem asuransi sosial wajib dengan
manfaat wajib seperti ini, hanya akan efektif kalau semua pihak, baik badan
penyelenggara, maupun pemberi kerja, dan lebih khususnya lagi peserta,
memang sungguh melihatnya sebagai kebutuhan dan manfaatnya memang
sungguh dirasakan dalam cerita Pak Bakit. Kalau ditanya, apakah dia
bersedia, katakanlah bergabung, dia pasti mau bergabung. Apakah
17

bersedia membayar iuran, pasti mau membayar iuran, selama memang


manfaatnya dirasakan. Pak Bakit ini tidak miskin karena dia bekerja,
walaupun gajinya di bawah upah minimum DKI yang dulu Rp. 1.300.000,00
tahun lalu dan gajinya Rp. 650.000,00, tapi tidak termasuk kriteria miskin.
Jadi tidak berhak menikmati yang kita sebut jaminan kesehatan masyarakat.
Seperti halnya saksi Pak Bakit, dia memperoleh SKTM (Surat Keterangan
Tidak Mampu) yang dikeluarkan dari anggaran Pemda biasanya untuk
jaminan kesehatan warga di wilayah tersebut., masalahnya cuma
berlangsung 1 bulan. Setelah itu dia harus aplikasi lagi, masih diperiksa lagi,
apakah memang benar tidak mampu dan seterusnya.
x Hal ini tidak bisa dilakukan, tidak bisa dilakukan semata dengan upaya
represif, tetapi juga mensyaratkan upaya persuasif, melalui penyadaran dan
terutama partisipasi aktif dari peserta sendiri. Dalam konteks inilah
penafsiran yang lebih tegas terkait hal tersebut dalam aturan Undang-
Undang, khususnya partisipasi peserta atau hak partisipasi dari para
peserta menjadi relevan.
x Kesimpulan. Terkait dengan uji materiil penafsiran Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek, beserta seluruh aturan pelaksanaannya, secara
otomatis menjadi tidak berlaku lagi. Badan penyelenggaranya, PT.
Jamsostek pun wajib menyesuaikan diri dan bertransformasi menjadi BPJS
ketenagakerjaan. Terhitung tanggal 1 Januari 2014 dan mulai beroperasi
1 Juli 2015. Melaksanakan program-program jaminan sosial, khususnya
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian, paling
lambat 1 Juli 2015. Sementara dengan beroperasinya BPJS Kesehatan
tanggal 1 Januari 2014, PT Jamsostek tidak lagi menyelenggarakan
program jaminan pemeliharaan kesehatan. Yang Bapak Bakit harapkan
sebetulnya JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan). Tapi dengan adanya
Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS, ini akan masuk menjadi
bagian BPJS Kesehatan, yang merupakan transformasi dari PT Askes.
Mekanisme kerja kurang lebih mirip, cuma penanggungjawabnya dan
penyelenggaranya beda, yaitu BPJS Kesehatan.
18

x Terkait dengan uji materiil penafsiran Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, dengan catatan bahwa pentahapan
memang logis pasal tersebut terkait pentahapan dalam kepesertaan,
memang logis dan biasa dilakukan di banyak negara lain, yang memulai
membangun sistem jaminan sosial menyeluruh. Misalnya mulai dengan
mewajibkan peserta pemberi kerja dengan jumlah buruh yang besar duluan.
Kalau di Korea itu yang mulai dengan perusahaan yang punya buruh di atas
500, terus berlanjut di atas 300, terus turun sampai tinggal 1 pun wajib
mendaftarkan buruhnya atau pekerjanya.
x Kami menilai yang dimohonkan oleh Pemohon uji materiil ini tidak
bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN, maupun kemudian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang BPJS. Dan bisa membantu memperkuat tafsiran hukum terhadap
pasal tersebut, khususnya terkait hak partisipasi buruh/pekerja untuk ikut
secara aktif mendaftarakan dirinya sendiri. Khususnya ketika pemberi
kerja/majikan lalai atau lambat melaksanakan kewajibannya mendaftarkan
dirinya dan buruh pekerjanya.
x Dalam kasus Pak Bakit, kita lihat bahwa perusahaan memang lalai tidak
mendaftarkan. Dia punya kewajiban pekerja di perusahaan tersebut, kalau
tidak salah saya juga sempat diskusi ada 60-an, orang. Itu artinya kalau di
Undang-Undang Jamsostek di atas 10, wajib menyertakan. Problem
kemudian memang tidak ada sanksi yang tegas. Sanksi pun tidak bisa juga
terlalu represif, kalau menurut saya. Karena itu perlu ada sanksi yang sifat
persuasif, dalam artian kita dorong, bagaimana para peserta ini tertarik
untuk bergabung. Apakah dia tertarik dengan manfaatnya atau dia
merasakan manfaat itu, maupun juga karena memang merasa ini penting.
x Kemudian Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang SJSN juga
mewajibkan pemberi kerja pun sebagai peserta wajib. Jadi akan tersedia
jaminan kesehatan secara dasar, menyeluruh, sama bagi semua orang,
sesuai dengan kebutuhan medis. Kalau Jamsostek itu cuma terbatas, Pak,
jadi tidak semua penyakit bisa di-cover. Kalau dalam sistem yang baru,
mudah-mudahan seluruh penyakit bisa ter-cover. Dan yang mampu,
menyumbang pada yang tidak mampu. Yang tidak mampu, kemudian kalau
19

masih tidak bisa membayar, tapi dia tidak bisa kemudian meminta penerima
bantuan iuran, juga diatur dalam aturan yang selanjutnya.

[2.3] Menimbang bahwa atas permohonan para Pemohon tersebut,


Pemerintah juga telah menyampaikan keterangan berupa opening statement yang
disampaikan di dalam persidangan tanggal 6 Desember 2011 sebagai berikut:

Opening statement Pemerintah atas permohonan Pengujian Undang-


Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehubungan dengan permohonan pengujian Undang-Undang konstitusional
review Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Jamsostek. Dan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, untuk
selanjutnya disebut Undang-Undang SJSN. Terhadap Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimohonkan oleh Dr. Andi Muhammad
Asrun, S.H., M.H., dan kawan-kawan selaku kuasa hukum dari M. Komarudin, dan
kawan-kawan, untuk selanjutnya disebut para Pemohon.
Sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-
IX/2011, tanggal 6 Oktober 2011, dengan perbaikan permohonan tanggal 27
Oktober 2011. Perkenankanlah Pemerintah menyampaikan penjelasan singkat
opening statement sebagai berikut.
1. Pokok permohonan para Pemohon.
1) Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang SJSN yang hanya memberikan kesempatan kepada
pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya menyebabkan hak
pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan sosial hanya dapat terlaksana
apabila pengusaha mendaftarkan pekerja/buruh kepada badan
penyelenggara, sehingga bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Menurut para Pemohon, agar Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang SJSN dapat
memberikan jaminan dan kepastian kepada pekerja/buruh. Seharusnya
setiap orang tanpa terkecuali seorang pekerja/buruh dapat mendaftarkan
dirinya menjadi peserta jaminan sosial.
20

3) Sehingga menurut para Pemohon, muatan materi dalam ketentuan Pasal 4


ayat (1) Undang-Undang Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang SJSN haruslah ditafsirkan menjadi program jaminan sosial
merupakan hak setiap pekerja atau buruh yang kepesertaannya sebagai
peserta jaminan sosial yang bersifat wajib yang didaftarkan ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial oleh pemberi kerja, atau perusahaan,
maupun oleh pekerja atau buruh itu sendiri yang melakukan pekerjaan di
dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, dan
dengan memperhatikan uraian penjelasan tentang kedudukan hukum para
Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang yang bersifat tentatif,
dan diputus bersama dengan pokok permohonan para Pemohon, maka uraian
penjelasan tentang kedudukan hukum para Pemohon akan dijelaskan dalam
keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan diserahkan pada
persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya
apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing atau
tidak atas berlakunya ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jamsostek
dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang SJSN, sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu, vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Putusan Nomor 9/PUU-V/2007.
3. Penjelasan Pemerintah terhadap materi yang dimohonkan untuk diuji oleh para
Pemohon.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebelum Pemerintah
menyampaikan penjelasan Pemerintah terhadap materi yang dimohonkan
untuk diuji oleh para Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan
menyampaikan beberapa hal.
21

1) Bahwa sistem jaminan sosial nasional adalah program negara yang


bertujuan memberikan kepastian, perlindungan, dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia yang diharapkan setiap penduduk dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang
dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena
menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan yang
bertujuan untuk melaksanakan amanat Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengamanatkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat.
2) Bahwa program sistem jaminan sosial nasional dengan sistem asuransi
sosial merupakan suatu pilihan dari kebijakan hukum yang bersifat terbuka
yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana dijelaskan bahwa Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 tanggal 31 Agustus 2005
dan dikuatkan kembali pada Putusan 50/PUU-VIII/2010, tanggal 21
November 2011 dengan mempertimbangkan sebagai berikut.
Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang SJSN telah cukup
memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dalam
arti bahwa sistem jaminan sosial yang dipilih Undang-Undang SJSN telah
cukup menjabarkan maksud Undang-Undang Dasar yang menghendaki
agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat
dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3) Bahwa program sistem jaminan sosial nasional memiliki prinsip
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
yaitu setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajiban, dan membayarkan iuran
tersebut kepada badan penyelenggara jaminan sosial secara berkala.
Kemudian, besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
22

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka merupakan kewajiban dari pemberi


kerja untuk memungut iuran, dan pekerjaannya menambahkan iuran yang menjadi
kewajiban, dan membayarkan iuran tersebut kepada badan penyelenggara
jaminan sosial. Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang SJSN ini telah sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VIII/2010 tanggal
21 November 2011.
Terhadap materi muatan norma yang dimohonkan untuk diuji oleh para
Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai
berikut.
1) Tahapan anggapan permohonan bahwa hak pekerja/buruh untuk
mendapatkan jaminan sosial tidak dapat terlaksana apabila hanya pengusaha
yang dapat mendaftarkan pekerja/buruh kepada badan penyelenggara.
a. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jamsostek dan Ketentuan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang SJSN telah secara konsisten
menggunakan kata wajib bagi setiap perusahaan/pemberi kerja untuk
mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan didalam hubungan kerja kepada badan
penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti.
b. Dalam angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan,
“Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,
gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak terpenuhi, yang
bersangkutan dijatuhi sanksi.
c. Implikasi terhadap penggunaan kata wajib dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Jamsostek dapat dilihat dari Ketentuan Pasal 29 Undang-Undang
Jamsostek yang menyatakan, “Barang siapa tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),
kemudian Pasal 19 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 26, diancam
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 50.000.000,00.”
23

d. Sehingga berdasarkan penjelasan di atas, menurut pemerintah, ketentuan-


ketentuan a quo telah memberikan perlindungan kepada buruh atau
pekerja karena ketentuan a quo telah mewajibkan pemberi kerja,
pengusaha untuk mendaftarkan buruh atau pekerja yang menjadi
tanggung jawabnya dalam program jaminan sosial tenaga kerja melalui
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Apabila dalam implementasinya
masih terdapat pemberi kerja atau pengusaha yang tidak melaksanakan
kewajiban tersebut, kepada pemberi kerja atau pengusaha akan tercantum
sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Jamsostek.

Berdasarkan uraian di atas, pemerintah tidak sependapat dengan anggapan


para Pemohon yang menyatakan ketentuan a quo dapat menimbulkan terjadinya
perselisihan hubungan industrial atas tidak diikutsertakannya buruh atau pekerja
menjadi peserta jaminan sosial. Karena menurut pemerintah, anggapan para
Pemohon tersebut terkait erat dengan masalah implementasi dalam tatanan
praktik. Dengan perkataan lain, anggapan para Pemohon tersebut tidak terkait
sama sekali dengan masalah konstitusionalitas berlakunya ketentuan a quo.
2) Terhadap anggapan para Pemohon bahwa sebelumnya setiap orang tanpa
terkecuali seorang pekerja atau buruh dapat mendaftarkan dirinya sendiri
menjadi peserta jaminan sosial, pemerintah dapat memberikan penjelasan
sebagai berikut.
a. Bahwa pemerintah sependapat dengan pertimbangan Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010 tanggal 21 November
2011 yang menyatakan bahwa dalam Undang-Undang SJSN, kepesertaan
asuransi diwajibkan untuk setiap orang yang memenuhi syarat yang
ditentukan dalam Undang-Undang SJSN, sehingga menjadi peserta
asuransi bersifat impreratif. Oleh karena itu, Undang-Undang mewajibkan
kepada mereka yang telah memenuhi syarat untuk menjadi peserta.
Dengan demikian, seseorang yang mendapatkan jaminan sosial harus
menjadi peserta program jaminan sosial. Dengan kata lain, perikatan
antara tertanggung atau peserta dengan penanggung BPJS dalam
jaminan sosial juga timbul karena Undang-Undang yang kepesertaannya
dimulai setelah yang bersangkutan membayar iuran dan/atau iurannya
dibayar oleh pemberi kerja. Bagi mereka yang tergolong fakir miskin atau
orang yang tidak mampu, maka iurannya dibayar oleh pemerintah.
24

b. Hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja adalah hubungan kerja


yang berdasarkan atas perjanjian kerja dalam hubungan hukum perjanjian
kerja tersebut adalah merupakan perjanjian yang bertimbal balik. Maka
kewajiban pihak A1 atau pengusaha secara contrario adalah merupakan
hak bagi pihak lainnya atau pekerja atau buruh. Dengan demikian,
walaupun dalam Undang-Undang hanya disebutkan kewajiban pengusaha
untuk mengikutsertakan dalam program jaminan sosial sudah dapat
diartikan adalah merupakan hak pekerja untuk menjadi peserta jamsostek.
c. Namun demikian menurut pemerintah, walaupun sebagaimana diuraikan
dalam huruf b di atas, bukan berarti setiap pekerja atau buruh dapat
secara bebas mendaftarkan diri menjadi peserta program jaminan sosial
tenaga kerja. Karena jika setiap pekerja atau buruh mendaftarkan diri
sendiri menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja, dapat
menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian mengenai siapa yang
bertanggung jawab pada pendaftaran kepesertaan.

Selain hal tersebut di atas, pemerintah dapat menyampaikan bahwa


kewajiban pendaftaran kepesertaan oleh pengusaha tersebut juga dimaknai
adanya kewajiban yang melekat untuk membayar iuran oleh pengusaha
khususnya untuk program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan
jaminan pemeliharaan kesehatan, dan melaporkan apabila terjadi kecelakaan kerja
atau kematian vide Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 juncto
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Tata Cara
Pendaftaran Kepesertaan.
Dalam uraian di atas, menurut pemerintah, adanya ketentuan yang
menyebutkan bahwa hanya pengusaha yang memiliki kewajiban untuk
mendaftarkan adalah sebagai perwujudan kepastian hukum dan sekaligus
merupakan perwujudan tanggung jawab pengusaha dalam memberikan
perlindungan kepada pekerja yang dilaksanakan melalui program jaminan sosial
tenaga kerja. Dengan perkataan antara lain ketentuan a quo telah sejalan dengan
amanat ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. Terhadap anggapan Pemohon bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang SJSN haruslah
ditafsirkan menjadi program jaminan sosial, merupakan hak setiap pekerja atau
buruh yang kepesertaannya sebagai peserta jaminan sosial bersifat wajib yang
25

didaftarkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial oleh pemberi kerja atau


perusahaan. Walaupun oleh pekerja atau buruh itu sendiri yang melakukan
pekerjaannya di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah dapat memberikan penjelasan
sebagai berikut.
1) Bahwa para Pemohon petitumnya tidak menguraikan secara jelas dan tegas
utamanya dalam mempertentangkan antara ketentuan dalam Undang-Undang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang SJSN dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai batu ujian. Dengan perkataan
lain, menurut Pemerintah, permohonan para Pemohon kabur.
2) Bahwa kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap pekerjaannya
adalah menjadi tanggung jawab pengusaha sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang SJSN, sehingga ketentuan yang dimohonkan untuk diuji menurut
Pemerintah tidak memerlukan penafsiran lain atau Mahkamah Konstitusi tidak
perlu memberikan tafsir kembali, baik yang bersifat kondisioner, konstitusional,
baik maupun yang bersifat constitutionally and unconstitutional, karena
menurut Pemerintah, ketentuan a quo telah jelas, tegas, dan limitatif.
Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan a quo telah
memenuhi prinsip-prinsip adanya ketegasan maupun adanya kepastian, dengan
perkataan lain, ketentuan a quo telah sejalan dengan amanat konstitusi guna
memberikan perlindungan kepada setiap orang yang dalam hal ini memberikan
perlindungan kepada pekerja atau buruh.
4. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Ketua
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut.
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon untuk seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima.
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
26

3. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja


dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang SJSN tidak bertentangan dengan
Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Selain keterangan lisan, Pemerintah juga mengajukan satu orang Ahli yang telah
menyampaikan keterangan di dalam persidangan tanggal 11 Januari 2012 yang
pada pokoknya sebagai berikut:

Ahli Basani Situmorang

x PT JAMSOSTEK (Persero) adalah penyelenggara jaminan sosial yang


didirikan sesuai dengan amanah UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi tenaga kerja di sektor swasta. Dalam
menjalankan visi dan misinya, PT.Jamsostek (Persero) selalu berusaha untuk
mengedepankan kepentingan dan hak tenaga kerja di Indonesia. Sesuai
dengan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1992, PT. Jamsostek (Persero)
menyelenggarakan 4 (empat) program jaminan sosial yaitu: Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT),
Jaminan Pemeliharan Kesehatan (JPK). Apabila dibandingkan dengan 5
(lima) program yang diamanahkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional maka hanya 1 (satu) program yang belum
dikelola oleh PT. Jamsostek (Persero) yaitu Jaminan Pensiun (JP).

x Di dalam ketertuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 telah disebutkan


dengan jelas bahwa pengusaha dan tenaga kerja wajib diikutsertakan dalam
program Jamsostek. Hal yang sama juga diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional. Pasal 13 ayat 1 UU
Nomor 40 Tahun 2004 menyebutkan bahwa "Pemberi kerja secara bertahap
wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti. Kedua peraturan tersebut mempunyai kedudukan yang setara di
dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, sehingga mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa yang sama pula.
x Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, PT. Jamsostek (Persero) telah
27

melaksanakan prinsip-prinsip yang diamanatkan oleh Undang-Undang


tersebut, khususnya prinsip nirlaba. Meskipun badan hukum PT. Jamsostek
(Persero) adalah BUMN yang mencari keuntungan, tetapi pemegang saham
tidak lagi menerapkan prinsip tersebut karena bertentangan dengan prinsip
nirlaba yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.
x Untuk menyelaraskan prinsip SJSN tersebut, maka pemegang saham PT.
Jamsostek (Persero) sejak tahun 2008 tidak memungut deviden dari PT.
Jamsostek (Persero), tetapi deviden tersebut dikembalikan kepada peserta.
Hal ini dapat kita lihat dari Perubahan Anggaran Dasar dengan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU.
61869.AH.01.02.Tahun 2008 tentang Persetujuan Akta Perubahan Anggaran
Dasar Perseroan, khususnya Pasal 26 yang berbunyi, "Penggunaan laba
bersih termasuk jumlah penyisihan untuk cadangan kerugian diputuskan oleh
Rapat Umum Pemegang Saham. Seluruh laba bersih setelah dikurangi
penyisihan untuk cadangan kerugian dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan peserta dan penggunaan lain yang ditetapkan oleh RUPS."
x Dengan adanya perubahan Anggaran Dasar tersebut di atas maka PT.
Jamsostek (Persero) melaksanakan prinsip penggunaan hasil pengelolaan
untuk peserta sebagai berikut:
1. Hasil pengembangan dana dan sisa hasil usaha dikembalikan seluruhnya
kepada peserta dalam bentuk peningkatan manfaat program dan
peningkatan kesejahteraan peserta. Hasil pengembangan dana Jaminan
Hari Tua selalu diatas rata-rata bunga bank pemerintah.
2. Peningkatan manfaat jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian
secara berkala
3. Peningkatan manfaat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Sejak tahun 2011, berdasarkan Keputusan Direksi PT. Jamsostek (Persero)
Nomor KEP/310/102011 tanggal 31 Oktober 2011 tentang Pemberian
Manfaat Tambahan Bagi Perserta Jamsostek, berupa pemberian
pelayanan: Haemodialsa (cuci darah), Operasi jantung, Pengobatan
penyakit kanker dan pengobataih penyakit HIV/AIDS.
4. Peningkatan peranan peningkatan kualitas hidup peserta melalui program
Kesejahteraan Peserta seperti:
4.1 Program DPKP
28

Investasi Jangka Panjang berupa rumah susun sewa


Pinjaman berupa uang muka KPR, koperasi karyawan dan provider
jasa kesehatan, hibah berupa ambulance, kesehatan gratis,
beasiswa, pelatihan, rehab BLK dan bantuan PHK.
4.2 Program Kemitraan
Pirjaman berupa Unit Usaha kecil, Diktat dan Penelitian dan
pejngembangan
4.3 Program Bina Lingkungan berupa bencana alam, pendidikan dan
latihan, sarana umum, sarana ibadah, pelestarian alam, dan BUMN
peduli.
x Selain penjelasan di atas, program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang
bersifat dasar dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan dan
gotong royong sebagaimana terkandung di dalam jiwa dan semangat
Pancasila dan UUD 1945, menekankan pada perlindungan bagi tenaga
kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu
pengusaha memikul tanggung jawab utama dan secara moral pengusaha
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan
tenaga kerja. Disamping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja
berperan aktif dan ikut bertanggungjwab atas pelaksanaan program jaminan
sosial tenaga kerja demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan
keluarganya dengan baik.
x Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari
penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat
peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan
kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Jaminan sosial
merupakan hak tenaga kerja dan sebaliknya menjadi kewajian pengusaha
untuk mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jamsostek.
x Berdasarkan prinsip tersebut, maka Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun
1992 berbunyi: "Program jaminan sosial tenaga kerja wajib dilakukan oleh
setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-undang ini". Demikian juga
Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2604 tentang SJSN berbunyi,
"Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
29

sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai


dengan program jaminan sosial yang diikuti".
x Kedua ketentuan tersebut di atas tidak merugikan pekerja karena apabila
pengusaha tida mendaftarkan seluruh pekerjanya sebagai peserta program
Jamsostek kepada badan penyelenggara, pengusaha tersebut akan
dikenakan sanksi pidana (Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1992). Untuk
mengimplementasikan Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1992 tersebut di atas,
serikat pekerja di perusahaan dapat mengutarakan kepada pengusaha
bahwa pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya yang dapat dikenakan
sanksi pidana. Apabila pengusaha tetap tidak mengindahkan Ieinginan
serikat pekerja, maka pengurus serikat pekerja dapat melaporkan
perusahaan tersebut kepada pengawai pengawas ketenagakerjaan
setempat. Hal ini sesuai dengan tujuan dibentuknya serikat pekerja
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh adalah untuk memperjuangkan membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Federasi Ikatan Serikat
Buruh Indonesia seharusnya duduk bersama dengan pengusaha yang
bersangkutan untuk memperjuangkan hak pekerja untuk mendapatkan
jaminan sosial. Permohonan uji materiil Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dimana para Pemohon menginginkan disamping pemberi
kerja mendaftakan, diberikan juga kesempatan kepada tenaga kerja untuk
mendaftarkan dirinya sebagai peserta kepada badan penyelenggara.
Ketentuan ini bisa menimbuIkan permasalahan karena untuk menjadi
peserta Jamsostek ada kewajiban pengusaha dan tenaga kerja secara
bersama-sama untuk membayar iuran sesuai deingan program yang diikuti.
Apabila tenaga kerja mendaftarkan dirinya ke badan penyelenggara akan
tetapi pengusaha tidak membayar iuran, maka tenaga kerja tersebut belum
menjadi peserta makna Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
adalah pengusaha mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan tenaga
kerjanya ke badan penyelenggara. Apabila tenaga kerjanya mengalami
kecelakaan kerja, meninggal dunia, sakit dan sebagainya, pengusaha tetap
30

harus bertanggungjawab. Dengan demikian tenaga kerja tetap mendapatkan


hak dan perlindungan dari perusahaan.
Kesimpulan:
x PT. Jamsostek (Persero) pada prinsipnya telah melaksanakan prinsip-prinsip
SJSN. Namun demikian, khusus untuk prinsip kepesertaan yang bersifat
wajib, PT Jamsostek menibutuhkan dukungan dari instansi yang berwenang
untuk law enforcement untuk mendorong pemberi kerja mendaftarkan
karyawannya menjadi peserta Jamsostek. Walaupun demikian, PT.
Jamsostek (Persero) akan terus mengoptimalkan implementasi prinsip-
prinsip SJSN yang telah dilaksanakan

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut,


Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis sebagai
berikut:

A. Ketentuan UU Jamsostek dan UU SJSN yang dimohonkan Pengujian


Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 4 ayat (1)
UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN.
- Adapun bunyi Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek yaitu: “Program jaminan
sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di
dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”.
- Adapun bunyi Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yaitu:“Pemberi kerja secara
bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program
jaminan sosial yang diikuti”.
B. Hak dan/atau Kewenangan Konstitusional Yang Dianggap Para Pemohon
Telah Dirugikan Oleh Berlakunya UU Jamsostek dan UU SJSN.

Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak


konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh
berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN
yang pada pokoknya sebagai berikut:
31

1. Bahwa, menurut para Pemohon hak untuk mendapat jaminan sosial tanpa
terkecuali telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU
Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang mengatur bahwa untuk
dapat menjadi peserta jaminan sosial hanya merupakan kewajiban pemberi
kerja atau pengusaha untuk mendaftar ke badan penyelenggara jaminan
sosial, sehingga apabila pemberi kerja atau pengusaha tidak mendaftarkan
pekerja/buruh, termasuk pula buruh lainnya yang tidak tergabung dengan
Pemohon, untuk menjadi peserta jaminan sosial menjadi terbatasi. (vide
Permohonan a quo hal. 8).
2. Bahwa, para Pemohon beranggapan hak pekerja/buruh untuk mendapatkan
jaminan sosial tenaga kerja yang memberikan perlindungan atas
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia,
hanya didapatkan apabila pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja
mendaftarkan pekerja/buruh ke Badan Penyelenggara yaitu Jamsostek.
(vide Permohonan a quo hal. 9).
Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal
13 ayat (1) UU SJSN bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945,
yang berbunyi:
- Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”.

KETERANGAN DPR

Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan


a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang
menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
32

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai


dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak
konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang
atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang.

Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi


telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5
(lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang
yang diuji;
33

c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon


yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon
dalam perkara pengujian UU a quo, maka para Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Pemohon.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menilai apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana
diisyaratkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

2. Pengujian UU Jamsostek dan UU SJSN

Terhadap permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal


13 ayat (1) UU SJSN, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR perlu memberikan
pandangan mengenai kedudukan perusahaan dan tenaga kerja.
Perusahaan merupakan salah satu unsur penting dalam kegiatan
perekonomian, begitu juga halnya tenaga kerja memiliki peran dalam
menggerakkan perusahaan. Meskipun perusahaan dan tenaga kerja
merupakan dua subjek yang berbeda namun memiliki interdepensi
atau saling ketergantungan. Perusahaan selain sebagai prinsipal juga
sebagai administrator dalam hubungan kerja. Dalam pola hubungan
seperti tersebut di atas tenaga kerja memiliki hak administrasi terhadap
perusahaan.
2. Perusahaan tidak semata-mata mempunyai kewenangan tetapi
mempunyai kewajiban terhadap tenaga kerja yaitu memberikan upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, memberikan pesangon,
34

memberikan cuti, memberikan kesempatan untuk mendirikan serikat


buruh, memberikan pelatihan kerja dan memberikan perlindungan
jaminan sosial tenaga kerja. Di dalam perlindungan tenaga kerja
perusahaan dibebankan kewajiban menyelenggarakan jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan
pemeliharaan kesehatan, serta wajib menanggung iuran jaminan
kecelakaan kerja, iuran jaminan kematian dan iuran pemeliharaan
kesehatan serta jaminan hari tua yang ditanggung bersama oleh
pengusaha dan tenaga kerja.
3. Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN
mengatur mengenai kewajiban perusahaan untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial tenaga kerja dan mendaftarkan perusahaan
dan pekerjanya sebagai peserta program Jamsostek pada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Ketentuan ini berkaitan dengan
kewajiban administrasi dan tanggung jawab perusahaan dalam
pelaksanaan program Jamsostek yaitu memberikan perlindungan
jaminan sosial dan menanggung iuran Jamsostek serta memungut
iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja, dan membayarkannya
kepada Badan Penyelenggara sebagaimana diatur dalam Pasal 20
dan Pasal 22 UU Jamsostek.
4. Bahwa mengingat kewajiban dan tanggung jawab penyelenggaraan
Jamsostek ada pada perusahaan maka yang berkewajiban untuk
mendaftarkan peserta Jamsostek pada Badan Penyelenggara adalah
perusahaan bukan tenaga kerja itu sendiri. Jika perusahaan tidak
menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya, tenaga kerja dapat
menuntut perusahaan, dan jika perusahaan tidak memenuhi tuntutan
tenaga kerja, pengusaha dapat dikenakan hukuman. Ketentuan ini
secara tegas diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Jamsostek. Selain
sanksi pidana, dalam hal pengusaha tidak menjalankan kewajibanya
dapat juga dikenakan sanksi administrasi. Oleh karena itu pendaftaran
bukan semata-mata bersifat administrasi belaka tetapi terdapat
kewajiban dan tanggung jawab yang melekat pada pengusaha yang
tidak mungkin dialihkan kepada pekerja.
35

5. Berdasarkan uraian di atas sesungguhnya tidak terdapat kerugian


konstitusional para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal 4
ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN. Oleh karena
itu DPR berpendapat bahwa tidak terdapat pertentangan Pasal a quo
dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945.

Demikian keterangan DPR kami sampaikan untuk menjadi bahan


pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
2. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU
SJSN tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945.
3. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU
SJSN tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat;

[2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Pemerintah telah menyampaikan


kesimpulan yang diserahkan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 25
Januari 2012 dan tanggal 26 Januari 2012 yang pada pokoknya tetap pada
pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala


sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara
Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
Putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan dari permohonan para Pemohon
adalah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3468, selanjutnya disebut UU Jamsostek) dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
36

Republik Indonesia Nomor 4456, selanjutnya disebut sebagai UU SJSN), yang


menyatakan:

– Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek: “Program jaminan sosial tenaga kerja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan
bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai
dengan ketentuan undang-undang ini”;

– Pasal 13 ayat (1) UU SJSN: “Pemberi kerja secara bertahap wajib


mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti”;

Norma UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji, yaitu:


– Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat”, dengan alasan sebagaimana yang tertera dalam bagian Duduk
Perkara;

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
37

4358), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian


konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan
Pasal 13 ayat (1) UU SJSN terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang
untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu
Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat


(1) UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/


2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20
September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
38

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh


UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-


syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan
di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal
standing) para Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon adalah perseorangan warga negara


Indonesia yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 4
ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN. Kerugian konstitusional
yang dimaksud menurut Pemohon sebagai seorang buruh kehilangan
perlindungan atas kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal
dunia karena hak atas jaminan sosial yang terbatasi akibat kewenangan menjadi
peserta jaminan sosial hanya kewenangan pemberi kerja atau perusahaan;

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dalam paragraf [3.7], dan


paragraf [3.8] di atas, serta dihubungkan dengan kerugian para Pemohon selaku
perseorangan warga negara Indonesia, para Pemohon mempunyai hak
konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian. Kerugian tersebut bersifat spesifik dan terdapat hubungan sebab akibat
(causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian menurut Mahkamah, para
Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo;
39

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai pokok
permohonan;

Pokok Permohonan

Pendapat Mahkamah

[3.11] Menimbang bahwa pokok permasalahan yang diajukan para Pemohon


adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13
ayat (1) UU SJSN terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 4 ayat


(1) UU Jamsostek telah merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena
perlindungan atas kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal
dunia hanya dapat diperoleh apabila pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja
mendaftarkan pekerja/buruh tersebut ke badan penyelenggara yaitu PT.
Jamsostek sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek, sedangkan
kewajiban pemberi kerja untuk secara bertahap wajib mendaftarkan pekerjanya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) UU SJSN demi memenuhi hak konstitusionalitas yang dijamin dalam Pasal 28H
ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat”, tidak terlaksana karena apabila pemberi kerja tidak mendaftarkan
pekerjanya, maka pekerja tidak mendapatkan perlindungan sehingga menurut para
Pemohon, Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan, “Program jaminan
sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh, yang kepesertaannya sebagai peserta
jaminan sosial bersifat wajib yang didaftarkan ke Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial oleh pemberi kerja atau perusahaan maupun oleh pekerja atau buruh itu
sendiri yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku”;

[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek


yang menyatakan, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
40

dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini”, dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan, “Pemberi kerja
secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program jaminan
sosial yang diikuti”, bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Kedua
ketentuan tersebut meskipun sudah secara tegas membebankan kewajiban
kepada perusahaan dan pemberi kerja untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti, akan tetapi belum menjamin adanya hak
pekerja atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat. Apabila perusahaan atau pemberi kerja
tidak mendaftarkan diri dan tidak pula mendaftarkan pekerjanya untuk
mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja kepada penyelenggara sistem jaminan
sosial, dengan memenuhi kewajiban membayar iurannya, maka pekerja tidak akan
mendapatkan hak-haknya yang dijamin dalam UUD 1945 tersebut. Oleh karena
Undang-Undang hanya memberikan kewajiban kepada perusahaan atau pemberi
kerja untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya, padahal pada kenyataannya,
walaupun Undang-Undang tersebut memberikan sanksi pidana, masih banyak
perusahaan yang enggan melakukannya maka banyak pula pekerja yang
kehilangan hak-haknya atas jaminan sosial yang dilindungi konstitusi. Hal tersebut
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

Walaupun ada sanksi pidana atas kelalaian perusahaan atau pemberi


kerja mendaftarkan keikutsertaan pekerjanya dalam jaminan sosial tenaga kerja
(Jamsostek) atau penyelenggara Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan
tetapi hal tersebut hanya untuk memberi sanksi pidana bagi perusahaan atau
pemberi kerja, sedangkan hak-hak pekerja atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat, belum diperoleh. Terlebih lagi, untuk perlindungan, pemajuan, dan
penegakan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
41

pemerintah [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945] maka sudah seharusnya negara
melalui peraturan perundang-undangan memberikan jaminan ditegakkannya
kewajiban tersebut sehingga hak-hak pekerja dapat terpenuhi;

[3.13.1] Menimbang bahwa dalam petitum para Pemohon, kedua pasal yang
dimohonkan pengujian digabungkan menjadi satu. Menurut Mahkamah karena
pengujian terdiri dari dua norma dalam dua Undang-Undang yang berbeda, maka
akan dilakukan pemisahan dalam pertimbangan dan amar putusan;

[3.13.2] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas,


menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek yang menyatakan, “Program
jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan
oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-undang ini” bertentangan
dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
apabila dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta
program jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah
nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada penyelenggara Jaminan Sosial.
Oleh sebab itu, pasal tersebut harus dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga
selengkapnya harus dibaca, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini dan pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta program
jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah nyata-nyata
tidak mendaftarkannya pada penyelenggara jaminan sosial”;

[3.13.3] Menimbang bahwa demikian juga Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang
menyatakan, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD 1945 dan
oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai
meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta jaminan sosial
atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja nyata-nyata tidak
mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Oleh sebab
itu, pasal tersebut harus dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga
selengkapnya harus dibaca, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan
dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
42

Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak
untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan
pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan
pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”;

[3.13.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut


Mahkamah, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU
SJSN tidak secara tegas memberikan jaminan hak-hak pekerja atas jaminan
sosial. Untuk memenuhi hak pekerja atas jaminan sosial, maka kedua pasal yang
dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, harus dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat. Menurut Mahkamah, permohonan para
Pemohon beralasan menurut hukum;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk


mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Permohonan para Pemohon beralasan hukum;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076).
43

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

x Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) yang
menyatakan, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk
mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan
perusahaan apabila perusahaan telah nyata-nyata tidak mendaftarkan
pekerjanya pada penyelenggara jaminan sosial;

x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) yang
menyatakan, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika dimaknai
meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program
jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah nyata-
nyata tidak mendaftarkannya pada penyelenggara jaminan sosial;

x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) selengkapnya
harus dibaca, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini dan pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta
44

program jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah


nyata-nyata tidak mendaftarkannya pada penyelenggara jaminan sosial”;

x Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
yang menyatakan, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya
dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika dimaknai
meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program
jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah
nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;

x Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
yang menyatakan, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya
dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri
sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila
pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;

x Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
selengkapnya harus dibaca, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan
dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak
untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas
tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak
mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”;
45

x Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia


sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang


dihadiri tujuh Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil
Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota,
pada hari Kamis, tanggal dua, bulan Agustus, tahun dua ribu dua belas, dan
diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Rabu, tanggal delapan, bulan Agustus, tahun dua ribu dua belas, oleh
tujuh Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota,
Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad
Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Fadzlun Budi SN sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para
Pemohon/kuasanya dan Pemerintah atau yang mewakili, tanpa dihadiri Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA

ttd

Moh. Mahfud MD

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd ttd

Achmad Sodiki Muhammad Alim

ttd ttd

Maria Farida Indrati M. Akil Mochtar

ttd ttd

Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman


46

PANITERA PENGGANTI,

ttd

Fadzlun Budi SN
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA,
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 2012


NOMOR SKB.06/MEN/VII/2012
NOMOR 02 TAHUN 2012
TENTANG
HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA,
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja serta
memberikan pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta
dalam melaksanakan hari libur nasional dan cuti bersama tahun
2013, perlu menetapkan hari libur nasional dan cuti bersama
tahun 2013;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a, perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang
Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013;

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti


Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1976 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3093);

2. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun


Baru Imlek;

3. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-
Hari Libur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1971;
- 2 -

4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan


dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI TENTANG HARI
LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2013.

KESATU : Menetapkan Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Bersama ini,
merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari
Keputusan Bersama ini.

KEDUA : Penetapan tanggal 1 Ramadhan 1434 Hijriyah, Hari Raya Idul Fitri
1434 Hijriyah, dan Hari Raya Idul Adha 1434 Hijriyah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Agama.

KETIGA : Unit kerja/satuan organisasi/lembaga/perusahaan yang berfungsi


memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat di tingkat
pusat dan/atau daerah yang mencakup kepentingan masyarakat
luas, seperti rumah sakit/puskesmas, lembaga yang memberikan
pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum, pemadam kebakaran,
keamanan dan ketertiban, perbankan, perhubungan, dan unit
kerja/satuan organisasi/lembaga/perusahaan lain yang sejenis, agar
mengatur penugasan pegawai/karyawan/pekerja pada hari libur
nasional dan cuti bersama tahun 2013 sebagaimana dimaksud
dalam Diktum KESATU sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

KEEMPAT : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU mengurangi hak cuti tahunan pegawai/karyawan/pekerja
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan yang berlaku pada setiap unit kerja/satuan
organisasi/lembaga/perusahaan.

KELIMA : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum


Pertama bagi lembaga/instansi swasta diatur oleh pimpinan masing-
masing.
- 3 -

KEENAM : Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2012

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA MENTERI PENDAYAGUNAAN


DAN TRANSMIGRASI, APARATUR NEGARA DAN
REFORMASI BIROKRASI,

ttd. ttd. ttd.

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR AZWAR ABUBAKAR


-4–

LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI


TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2012
NOMOR SKB.06/MEN/VII/2012
NOMOR 02 TAHUN 2012
TENTANG
HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2013

A. HARI LIBUR NASIONAL TAHUN 2013

N0. TANGGAL HARI KETERANGAN


1. 1 Januari Selasa Tahun Baru 2013
2. 24 Januari Kamis Maulid Nabi Muhammad SAW
3. 10 Februari Minggu Tahun Baru Imlek 2564
4. 12 Maret Selasa Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935
5. 29 Maret Jumat Wafat Isa Almasih
6. 9 Mei Kamis Kenaikan Isa Almasih
7. 25 Mei Sabtu Hari Raya Waisak 2557
8. 6 Juni Kamis Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW
9. 8 dan 9 Kamis dan Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriyah
Agustus Jumat
10. 17 Agustus Sabtu Hari Kemerdekaan RI
11. 15 Oktober Selasa Hari Raya Idul Adha 1434 Hijriyah
12. 5 November Selasa Tahun Baru 1435 Hijriyah
13. 25 Desember Rabu Hari Raya Natal

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2013

NO. TANGGAL HARI KETERANGAN


1. 5, 6, dan 7 Senin, Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriyah
Agustus Selasa, dan
Rabu
2. 14 Oktober Senin Hari Raya Idul Adha 1434 Hijriyah
3. 26 Desember Kamis Hari Raya Natal

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA MENTERI PENDAYAGUNAAN


DAN TRANSMIGRASI, APARATUR NEGARA DAN
REFORMASI BIROKRASI,

ttd. ttd. ttd.

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR AZWAR ABUBAKAR


PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012
TENTANG
KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan


Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem


Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4637);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL


INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya di-singkat


KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang
dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara
bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja
dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan di berbagai sektor.

2. Capaian pembelajaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui


internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan, kompetensi, dan
akumulasi pengalaman kerja.

3. Penyetaraan adalah proses penyandingan dan pengintegrasian capaian


pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan
pengalaman kerja.

4. Kualifikasi adalah penguasaan capaian pembelajaran yang


menyatakan kedudukannya dalam KKNI.

5. Pengalaman kerja adalah pengalaman melakukan pekerjaan dalam


bidang tertentu dan jangka waktu tertentu secara intensif yang
menghasilkan kompetensi.

6. Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat


kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji
kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia,
Standar Internasional, dan/atau Standar Khusus.
7. Sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang menerangkan bahwa
seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu sesuai dengan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
8. Profesi adalah bidang pekerjaan yang memiliki kompetensi tertentu
yang diakui oleh masyarakat.
BAB II
JENJANG DAN PENYETARAAN

Pasal 2

(1) KKNI terdiri atas 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari


jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai dengan jenjang 9
(sembilan) sebagai jenjang tertinggi.
(2) Jenjang kualifikasi KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam
jabatan operator;
b. jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam
jabatan teknisi atau analis;
c. jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam
jabatan ahli.

(3) Setiap jenjang kualifikasi pada KKNI mencakup nilai-nilai sesuai


deskripsi umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Presiden ini.

Pasal 3

Setiap jenjang kualifikasi pada KKNI memiliki kesetaraan dengan capaian


pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan, pelatihan kerja atau
pengalaman kerja.

Pasal 4

(1) Capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan atau


pelatihan kerja dinyatakan dalam bentuk sertifikat.

(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk ijazah dan
sertifikat kompetensi.

(3) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk


pengakuan atas capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan.
(4) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bentuk pengakuan atas capaian pembelajaran yang
diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan kerja.
(5) Capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pengalaman kerja
dinyatakan dalam bentuk keterangan yang dikeluarkan oleh tempat
yang bersangkutan bekerja.

Pasal 5

Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pen-didikan


dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas:

a. lulusan pendidikan dasar setara dengan jenjang 1;

b. lulusan pendidikan menengah paling rendah setara dengan jenjang


2;

c. lulusan Diploma 1 paling rendah setara dengan jenjang 3;

d. lulusan Diploma 2 paling rendah setara dengan jenjang 4;

e. lulusan Diploma 3 paling rendah setara dengan jenjang 5;

f. lulusan Diploma 4 atau Sarjana Terapan dan Sarjana paling rendah


setara dengan jenjang 6;
g. lulusan Magister Terapan dan Magister paling rendah setara dengan
jenjang 8;
h. lulusan Doktor Terapan dan Doktor setara dengan jenjang 9;
i. lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8;
j. lulusan pendidikan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9.

Pasal 6

(1) Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pelatihan


kerja dengan jenjang kualifikasi pada KKNI terdiri atas:
a. lulusan pelatihan kerja tingkat operator setara dengan jenjang 1,
2, dan 3;
b. lulusan pelatihan kerja tingkat teknisi/analis setara dengan
jenjang 4, 5, dan 6;
c. lulusan pelatihan kerja tingkat ahli setara dengan jenjang 7, 8,
dan 9.

(2) Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pelatihan


kerja dengan jenjang kualifikasi pada KKNI dilakukan dengan
sertifikasi kompetensi.
Pasal 7

(1) Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui


pengalaman kerja dengan jenjang kualifikasi pada KKNI mem-
pertimbangkan bidang dan lama pengalaman kerja, tingkat
pendidikan serta pelatihan kerja yang telah diperoleh.
(2) Lama pengalaman kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan oleh masing-masing sektor atau subsektor.

(3) Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui


pengalaman kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan sertifikasi kompetensi.

Pasal 8

(1) Pengakuan dan penyetaraan kualifikasi pada KKNI dengan


kerangka kualifikasi negara lain atau sebaliknya, baik secara
bilateral maupun multilateral dilakukan atas dasar perjanjian kerja
sama saling pengakuan yang diatur sesuai dengan keten-tuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Perjanjian kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diatur oleh lembaga yang berwenang menge-luarkan
notifikasi dan perjanjian kerja sama saling pengakuan.

BAB III
PENERAPAN KKNI

Pasal 9

(1) Penerapan KKNI pada setiap sektor atau bidang profesi dite-tapkan
oleh kementerian atau lembaga yang membidangi sektor atau
bidang profesi yang bersangkutan sesuai dengan kewe-nangannya.
(2) Penerapan KKNI pada setiap sektor atau bidang profesi seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada deskripsi jenjang
kualifikasi KKNI sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Presiden ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan KKNI diatur oleh
Menteri yang membidangi ketenagakerjaan dan Menteri yang
membidangi pendidikan baik secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri sesuai bidang tugasnya masing-masing.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, penjenjangan
kualifikasi kompetensi pada sektor atau bidang profesi yang telah
ada dilakukan penyesuaian dengan mengacu pada Peraturan
Presiden ini dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Dalam hal penjenjangan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah terikat oleh perjanjian internasional atau telah diatur
dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi
dilakukan harmonisasi dan/atau konversi.
(3) Penyesuaian penjenjangan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan harmonisasi dan/atau konversi kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui forum
konvensi yang diinisiasi oleh kementerian yang membidangi
ketenagakerjaan dan kementerian yang membidangi pendidikan
dengan melibatkan pemangku kepentingan.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 11

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 24
LAMPIRAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012
TANGGAL 17 Januari 2012

DESKRIPSI JENJANG KUALIFIKASI KKNI

JENJANG
URAIAN
KUALIFIKASI

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


b. Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di dalam
menyelesaikan tugasnya.
c. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta
Deskripsi mendukung perdamaian dunia.
umum d. Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian
yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya.
e. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan
agama serta pendapat/temuan original orang lain.
f. Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk
mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas.
Mampu melaksanakan tugas sederhana, terbatas, bersifat rutin, dengan
menggunakan alat, aturan, dan proses yang telah ditetapkan, serta di
bawah bimbingan, pengawasan, dan tanggung jawab atasannya.
1
Memiliki pengetahuan faktual.
Bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri dan tidak bertanggung jawab
atas pekerjaan orang lain.
Mampu melaksanakan satu tugas spesifik, dengan menggunakan alat, dan
informasi, dan prosedur kerja yang lazim dilakukan, serta menunjukkan
kinerja dengan mutu yang terukur, di bawah pengawasan langsung
atasannya.
2 Memiliki pengetahuan operasional dasar dan pengetahuan faktual bidang
kerja yang spesifik, sehingga mampu memilih penyelesaian yang tersedia
terhadap masalah yang lazim timbul.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung
jawab membimbing orang lain.
JENJANG URAIAN
KUALIFIKASI

Mampu melaksanakan serangkaian tugas spesifik, dengan menerjemahkan


informasi dan menggunakan alat, berdasarkan sejumlah pilihan prosedur
kerja, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang
terukur, yang sebagian merupakan hasil kerja sendiri dengan pengawasan
tidak langsung.

3 Memiliki pengetahuan operasional yang lengkap, prinsip-prinsip serta


konsep umum yang terkait dengan fakta bidang keahlian tertentu, sehingga
mampu menyelesaikan berbagai masalah yang lazim dengan metode yang
sesuai.
Mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi dalam lingkup kerjanya.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung
jawab atas kuantitas dan mutu hasil kerja orang lain.
Mampu menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus spesifik dengan
menganalisis informasi secara terbatas, memilih metode yang sesuai dari
beberapa pilihan yang baku, serta mampu menunjukkan kinerja dengan
mutu dan kuantitas yang terukur.
Menguasai beberapa prinsip dasar bidang keahlian tertentu dan mampu
4 menyelaraskan dengan permasalahan faktual di bidang kerjanya.
Mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi, menyusun laporan
tertulis dalam lingkup terbatas, dan memiliki inisiatif.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung
jawab atas hasil kerja orang lain.
Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang
sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan
menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan
kuantitas yang terukur.
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta
5 mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
Mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara
komprehensif.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung
jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok.
Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu
6 pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian
masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi.
JENJANG URAIAN
KUALIFIKASI

Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan


konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara
mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah
prosedural.
Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi
dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai
alternatif solusi secara mandiri dan kelompok.
Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung
jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.
Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung
jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni untuk
menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi.
Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi,
7
dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan
monodisipliner.
Mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan
akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di
bawah tanggung jawab bidang keahliannya.
Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam
bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga
menghasilkan karya inovatif dan teruji.
Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi,
8 dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau
multidisipliner.
Mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi
masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan
internasional.
Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di
dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset,
hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji.
9
Mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/
atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter, multi,
dan transdisipliner.
JENJANG URAIAN
KUALIFIKASI
Mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan
pengembangan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, serta
mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2012
TENTANG

KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN


KEBUTUHAN HIDUP LAYAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian


kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak sebagai
pelaksanaan ketentuan Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah tidak
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan sehingga
perlu disempurnakan;

b. bahwa perubahan, penyesuaian, dan peningkatan kebutuhan


hidup layak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, telah
memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan
Nasional dan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang komponen dan pelaksanaan tahapan
pencapaian kebutuhan hidup layak;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952);

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun


2004 tentang Dewan Pengupahan;

5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/ 1999


tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP. 226/MEN/2000;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN
PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan
seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1
(satu) bulan.

2. Dewan Pengupahan Provinsi adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat
tripartit, dibentuk dan anggotanya diangkat oleh Gubernur dengan tugas memberikan
saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan upah minimum
dan penerapan sistem pengupahan ditingkat provinsi serta menyiapkan bahan
perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.

3. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota adalah suatu lembaga non struktural yang


bersifat tripartit, dibentuk dan anggotanya diangkat oleh Bupati/Walikota yang bertugas
memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota dalam rangka
pengusulan upah minimum dan penerapan sistem pengupahan di tingkat
Kabupaten/Kota serta menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem
pengupahan nasional.

BAB II
KOMPONEN KHL

Pasal 2

KHL terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I Peraturan Menteri ini.

2
Pasal 3

(1) Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga yang
dilakukan secara berkala.

(2) Kualitas dan Spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan dan
ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota.

(3) Survei dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota dengan membentuk tim yang keanggotaannya terdiri dari anggota
Dewan Pengupahan dari unsur tripartit, unsur perguruan tinggi/pakar, dan dengan
mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.

(4) Hasil survei sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebagai nilai KHL oleh
Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.

(5) Survei komponen dan jenis KHL dilakukan dengan menggunakan pedoman
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

Pasal 4

(1) Dalam hal di Kabupaten/Kota belum terbentuk Dewan Pengupahan, maka survei
dilakukan oleh Tim Survei yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) keanggotaannya secara tripartit dan
dengan mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.

(3) Hasil survei yang diperoleh tim survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai nilai KHL.

Pasal 5

Nilai KHL yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 disampaikan kepada Gubernur secara
berkala.

BAB III
KHL DALAM PENETAPAN UPAH MINIMUM

Pasal 6

(1) Penetapan Upah Minimum oleh Gubernur berdasarkan KHL dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

(2) Dalam penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur
harus membahas secara simultan dan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai
berikut:

a. nilai KHL yang diperoleh dan ditetapkan dari hasil survei;


b. produktivitas makro yang merupakan hasil perbandingan antara jumlah Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang
sama;
c. pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan nilai PDRB;

3
d. kondisi pasar kerja merupakan perbandingan jumlah kesempatan kerja dengan
jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada periode yang sama;
e. kondisi usaha yang paling tidak mampu (marginal) yang ditunjukkan oleh
perkembangan keberadaan jumlah usaha marginal di daerah tertentu pada
periode tertentu.

(3) Dalam penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi dan
rekomendasi Bupati/Walikota.

Pasal 7

Upah Minimum Provinsi yang ditetapkan Gubernur didasarkan pada nilai KHL
Kabupaten/Kota terendah di Provinsi yang bersangkutan dengan mempertimbangkan
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak
mampu (marginal).

Pasal 8

Upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

BAB IV
PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KHL

Pasal 9

(1) Pencapaian KHL dalam penetapan upah minimum merupakan perbandingan


besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama.

(2) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diarahkan kepada
pencapaian KHL.

(3) Pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan secara bertahap
dalam penetapan Upah Minimum oleh Gubernur.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

4
Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 707

5
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2012
TENTANG
KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN
KEBUTUHAN HIDUP LAYAK

KOMPONEN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK UNTUK PEKERJA LAJANG


DALAM SEBULAN DENGAN 3.000 K KALORI PER HARI
KUALITAS/ JUMLAH HARGA SATUAN NILAI SEBULAN
NO KOMPONEN DAN JENIS KEBUTUHAN SATUAN
KRITERIA KEBUTUHAN (Rp) (Rp)
I. MAKANAN DAN MINUMAN
1 Beras Sedang 10.00 Kg
2 Sumber Protein :
a. Daging Sedang 0.75 Kg
b. Ikan Segar Baik 1.20 Kg
c. Telur ayam Telur ayam ras 1.00 Kg
3 Kacang-kacangan :
Tempe/tahu Baik 4.50 Kg
4 Susu bubuk Sedang 0.90 Kg
5 Gula pasir Sedang 3.00 Kg
6 Minyak goreng Curah 2.00 Kg
7 Sayuran Baik 7.20 Kg
8 Buah-buahan (setara pisang/pepaya) Baik 7.50 Kg
9 Karbohidrat lain (setara tepung terigu) sedang 3.00 Kg
10 Teh atau Celup 1.00 Dus isi 25
kopi Sachet 4.00 75 gr
11 Bumbu-bumbuan (nilai 1 s/d 10) 15.00 %
JUMLAH
II. SANDANG
12 Celana panjang/rok/Pakaian Muslim katun Sedang 6/12 Potong
13 Celana pendek katun sedang 2/12 potong
14 Ikat Pinggang Kulit sintetis, Polos, 1/12 Buah
Tidak Branded

15 Kemeja lengan pendek/blus setara katun 6/12 Potong


16 Kaos oblong /BH Sedang 6/12 Potong
17 Celana dalam Sedang 6/12 Potong
18 Sarung/kain panjang Sedang 3/24 Helai
19 Sepatu kulit sintetis 2/12 Pasang
20 Kaos Kaki Katun,Polyester, 4/12 Pasang
Polos, Sedang
21 Perlengkapan pembersih sepatu :
a. Semir Sepatu Sedang 6/12 Buah
b. Sikat Sepatu Sedang 1/12 Buah
22 Sandal jepit karet 2/12 Pasang
23 Handuk mandi 100 cm x 60 cm 1/12 Potong
24 Perlengkapan Ibadah :
a. Sajadah sedang 1/12 Potong
b. Mukenah sedang 1/12 Potong
c. Peci, dll sedang 1/12 Potong
JUMLAH
III. PERUMAHAN
25 Sewa kamar dapat menampung 1.00 Bulan
jenis KHL lainnya

26 Dipan/tempat tidur No.3, polos 1/48 Buah


27 Perlengkapan tidur :
a. Kasur Busa busa 1/48 Buah
b. Bantal Busa busa 2/36 Buah
28 Seprei dan sarung bantal katun 2/12 Set
29 Meja dan kursi 1 meja/4 kursi 1/48 Set
30 Lemari pakaian Kayu Sedang 1/48 Buah
31 Sapu Ijuk Sedang 2/12 Buah
32 Perlengkapan makan :
a. Piring makan polos 3/12 Buah
b. Gelas minum polos 3/12 Buah
c. Sendok dan garpu Sedang 3/12 Pasang
33 Ceret almunium ukuran 25cm 1/24 Buah
34 Wajan almunium ukuran 32cm 1/24 Buah
35 Panci almunium ukuran 32cm 2/12 Buah
36 Sendok masak almunium 1/12 Buah
37 Rice Cooker ukuran 1/2 liter 350 watt 1/48 Buah
38 Kompor dan Perlengkapannya :
a. Kompor Gas 1 tungku SNI 1/24 Buah
b. Selang dan regulator SNI 1/24 Set
c. Tabung Gas 3 kg Pertamina 1/60 Buah
39 Gas Elpiji @ 3 kg 2.00 tabung
40 Ember plastik isi 20 liter 2/12 Buah
41 Gayung Plastik sedang 1/12 Buah
42 Listrik 900 watt 1.00 Bulan
43 Bola Lampu hemat energi 14 watt 3/12 Buah
44 Air bersih standar PAM 2.00 Meter Kubik

45 Sabun cuci pakaian cream/ 1.50 Kg


deterjen
46 Sabun cuci piring (colek) 500 gr 1.00 buah
47 Seterika 250 Watt 1/48 buah
48 Rak Piring Portable plastik Sedang 1/24 buah
49 Pisau dapur Sedang 1/36 buah
50 Cermin 30 x 50 cm 1/36 Buah
JUMLAH
IV. PENDIDIKAN
51 Bacaan/ Tabloid/ 4 atau Eks atau
radio 4 band 1/48 buah
52 Ballpoint/pensil Sedang 6/12 buah
JUMLAH
V. KESEHATAN
53 Sarana kesehatan :
a. Pasta gigi 80 gram 1.00 Tube
b. Sabun mandi 80 gram 2.00 Buah
c. Sikat gigi produk lokal 3/12 Buah
d. Shampoo produk lokal 1.00 Botol 100
ml
e. Pembalut atau isi 10 1.00 Dus
alat cukur 1.00 set
54 Deodorant 100 ml/g 6/12 Botol
55 Obat anti nyamuk Bakar 3.00 Dus
56 Potong rambut ditukang 6/12 Kali
cukur/salon
57 Sisir biasa 2/12 Buah
JUMLAH
VI. TRANSPORTASI
58 Transport kerja dan lainnya Angkutan Umum 30 Hari (PP)
JUMLAH
VII. REKREASI DAN TABUNGAN
59 Rekreasi daerah sekitar 2/12 Kali
60 Tabungan (2% dari nilai 1 s.d 59) 2 %
JUMLAH
JUMLAH (I + II + III + IV + V + VI + VII)

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si


LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2012
TENTANG
KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN
KEBUTUHAN HIDUP LAYAK

PEDOMAN SURVEI HARGA


PENETAPAN NILAI KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL)

I. Pembentukan Tim Survei KHL oleh Ketua Dewan atau Bupati/Walikota

A. Pada daerah yang telah terbentuk Dewan Pengupahan Provinsi atau


Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota, maka anggota tim berasal dari
anggota Dewan Pengupahan dan dengan mengikutsertakan BPS
setempat.
B. Jumlah Tim Survei yang dibentuk disesuaikan dengan kebutuhan.
Anggota masing-masing Tim Survei di daerah yang telah terbentuk Dewan
Pengupahan sebanyak 5 (lima) orang, yang terdiri dari 4 (empat) orang
anggota Dewan Pengupahan yang keanggotaannya terdiri dari unsur
Pemerintah, Organisasi Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
Perguruan Tinggi dan Pakar, dan 1 (satu) orang dari BPS setempat.
C. Pada daerah yang belum terbentuk Dewan Pengupahan, maka Tim
survey yang keanggotaannya secara tripartit dibentuk oleh
Bupati/Walikota.
D. Jumlah Tim Survei yang dibentuk disesuaikan dengan kebutuhan.
Anggota masing-masing Tim Survei di daerah yang belum terbentuk
Dewan Pengupahan sebanyak 4 (empat) orang, yang terdiri dari 1 (satu)
orang unsur pengusaha, 1 (satu) orang unsur pekerja/buruh, 1 (satu)
orang unsur Pemerintah, dan 1 (satu) orang dari BPS setempat.

II. Pelaksanaan Survei

A. Kuisioner
Survei menggunakan kuisioner yang memuat hal-hal yang perlu
ditanyakan kepada responden untuk memperoleh informasi harga
barang/jasa sesuai dengan jenis-jenis kebutuhan dalam komponen KHL.
B. Pemilihan Tempat Survei

1. Survei harga dilakukan di pasar tradisional yang menjual barang


secara eceran, bukan pasar induk dan bukan pasar swalayan atau
sejenisnya.

Untuk jenis kebutuhan tertentu, survei harga dapat dilakukan di tempat


lain di tempat jenis kebutuhan tersebut berada/dijual.
Kriteria pasar tradisional tempat survei harga :
a. Bangunan fisik pasar relatif besar.
b. Terletak pada daerah yang biasa dikunjungi pekerja/buruh.
c. Komoditas yang dijual beragam.
d. Banyak pembeli.
e. Waktu keramaian berbelanja relatif panjang

2. Survei kebutuhan yang dapat dilakukan bukan di pasar tradisional


sebagai berikut :
a. Listrik : yang disurvei adalah nilai rekening listrik tempat tinggal
pekerja berupa satu kamar sederhana yang memakai daya listrik
sebesar 900 watt
b. Air : survei dilakukan di PDAM, tarif rumah tangga yang
menkonsumsi air bersih sebanyak 2.000 liter per bulan.
c. Transport : tarif angkutan dalam kota pulang pergi di daerah yang
bersangkutan.
d. Harga tiket rekreasi disurvei di tempat rekreasi.
e. Potong rambut : di tukang cukur untuk pria dan salon untuk
wanita.
f. Sewa kamar : Survei dilakukan untuk 1 (satu) kamar yang mampu
menampung semua jenis KHL yang disepakati, dalam kondisi
kamar kosong.

C. Waktu Survei

1. Survei dilakukan pada minggu I (pertama) setiap bulan.


2. Waktu survei ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpengaruh
oleh fluktuasi harga akibat perubahan kondisi pasar, misalnya antara
lain saat menjelang bulan puasa dan hari raya keagamaan.

2
D. Responden

Responden yang dipilih adalah :


1. Pedagang yang menjual barang – barang kebutuhan secara eceran.
Untuk jenis-jenis barang tertentu, dimungkinkan memilih responden
yang tidak berlokasi di pasar tradisional, seperti meja/kursi, tempat
tidur, kasur dan lain-lain.
2. Penyedia jasa seperti tukang cukur / salon, listrik, air dan angkutan
umum.
3. Pemilihan responden perlu memperhatikan kondisi sebagai berikut:
a. Apakah yang bersangkutan berdagang pada tempat yang tetap /
permanen / tidak berpindah – pindah;
b. Apakah yang bersangkutan menjual barang secara eceran;
c. Apakah yang bersangkutan mudah diwawancarai, jujur dan;
d. Responden harus tetap / tidak berganti – ganti.

E. Metode Survei Harga

Data harga barang dan jasa diperoleh dengan cara menanyakan harga
barang seolah – olah petugas survei akan membeli barang, sehingga
dapat diperoleh harga yang sebenarnya (harus dilakukan tawar menawar)
Survei dilakukan terhadap tiga orang responden tetap yang telah
ditentukan sebelumnya.

F. Penetapan Spesifikasi Jenis Kebutuhan (Parameter Harga)

1. Beras
Kualitas beras sedang adalah jenis beras yang biasa di konsumsi
oleh masyarakat setempat.

2. Sumber protein :
a. Daging yang dipilih adalah daging sapi atau daging kerbau atau
daging kambing atau daging ayam atau daging yang biasa di
konsumsi oleh masyarakat setempat dengan kualitas sedang.
b. Ikan segar adalah ikan air tawar atau ikan laut yang biasa
dikonsumsi masyarakat yang mudah didapat dan banyak dijual di
pasar tradisional dengan kualitas baik.
c. Telur ayam adalah telur ayam ras.

3
3. Kacangan-kacangan
Kacang-kacangan adalah jenis kacang yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat setempat termasuk hasil olahan, seperti tahu dan tempe.
Satuan harga dapat berupa harga per potong, per bungkus, per
satuan berat (gram), liter.

4. Susu bubuk
Susu bubuk adalah yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pada
umumnya. Jika di daerah setempat jarang ditemukan susu bubuk,
dapat diganti dengan susu cair yang setara.

5. Gula pasir
Gula pasir adalah gula pasir yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat.

6. Minyak goreng
Minyak goreng adalah minyak curah yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat setempat. Harga satuan dapat dalam bentuk kilogram
(kg) atau liter.

7. Sayuran
Sayuran yang mudah didapat dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat, seperti bayam, kangkung, kol, kacang panjang, sawi dan
lain – lain. Penetapan satuan dapat per kg atau per ikat.

8. Buah – buahan
Buah – buahan setara pisang dan pepaya adalah buah-buahan yang
biasa dikonsumsi dan mudah didapat oleh masyarakat setempat
seperti jeruk lokal, semangka, dan lain-lain, dengan satuan per kg,
per sisir atau per buah.

9. Karbohidrat lain
Sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat dapat berupa mie instan atau mie kering, tepung terigu
atau tepung beras dengan satuan per bungkus atau per kg.

10. Teh atau kopi


Teh celup yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Dalam
hal di suatu daerah tidak terdapat teh celup, dapat diganti dengan teh
yang biasa digunakan di daerah setempat dengan jumlah kebutuhan
yang setara atau kopi bubuk yang dijual dalam bentuk sachet yang
biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
4
11. Bumbu – bumbuan
Harga bumbu – bumbuan tidak perlu disurvei, cukup mengacu pada
total nilai komponen makanan dan minuman, yaitu sebesar 15 % dari
nilai komponen makanan dan minuman.

12. Celana panjang/rok/pakaian muslim


Bahan setara katun yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.

13. Celana pendek


Bahan setara katun kualitas sedang yang biasa dipakai sehari-hari di
rumah.

14. Ikat pinggang


Bahan dari kulit sintetis, polos dan tidak branded.

15. Kemeja lengan pendek/blus


Kemeja lengan pendek untuk pria dan blus untuk wanita, bahan
setara katun yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.

16. Kaos oblong/BH


Kaos oblong untuk kebutuhan pekerja pria, dan BH untuk pekerja
wanita. Dipilih kaos oblong/ BH yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

17. Celana dalam


Terdiri dari celana dalam pria atau wanita dengan kualitas sedang
yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.

18. Sarung /kain panjang


Merk yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.

19. Sepatu
Sepatu dari bahan kulit sintetis untuk pria atau wanita yang biasa
digunakan oleh masyarakat setempat.

20. Kaos kaki


Bahan dari katun, polyester, polos dengan kualitas sedang.

21. Perlengkapan pembersih sepatu :


a. Semir sepatu
Bahan padat yang digunakan untuk merapikan warna sepatu.
b. Sikat sepatu
Alat yang digunakan untuk merapikan warna sepatu.
5
22. Sandal jepit
Sandal jepit yang terbuat dari bahan karet yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

23. Handuk mandi


Ukuran 100 cm x 60 cm yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.

24. Perlengkapan ibadah :


a. Sajadah atau setara dengan harga sajadah, kualitas sedang
yang biasa digunakan oleh masyarakat.
b. Mukenah atau setara dengan harga mukenah, kualitas sedang
yang biasa digunakan oleh masyarakat.
c. Peci dan lain-lain sebagai penutup kepala yang digunakan untuk
ibadah.
Kebutuhan perlengkapan ibadah disesuaikan dengan kebutuhan
ibadah pekerja/buruh di wilayah setempat.

25. Sewa kamar


Harga sewa kamar dalam kondisi kosong sederhana yang biasa
ditempati oleh satu orang pekerja/buruh untuk satu bulan yang dapat
menampung jenis KHL lainnya.

26. Dipan /tempat tidur


Dipan ukuran No. 3 (90 cm x 200 cm) polos dan diplitur, terbuat dari
bahan kayu yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.

27. Perlengkapan tidur:


a. Kasur terbuat dari bahan busa ukuran single bed dengan kualitas
sedang yang biasa dipakai oleh masyarakat setempat.
b. Bantal terbuat dari bahan busa dengan kualitas sedang yang
biasa dipakai oleh masyarakat setempat.

28. Seprei dan sarung bantal


Seprei dan sarung bantal yang terbuat dari bahan katun yang biasa
digunakan oleh masyarakat setempat.

29. Meja dan kursi


1 meja dengan 4 kursi, terbuat dari bahan plastik atau bahan kayu
yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.

6
30. Lemari pakaian
Terbuat dari kayu dengan kualitas sedang yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

31. Sapu
Sapu adalah sapu ijuk atau bahan lain yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

32. Perlengkapan makan:


a. Piring makan
Piring makan polos terbuat dari kaca yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.
b. Gelas minum
Gelas minum putih polos yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.
c. Sendok dan garpu
Dari bahan stainless yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.

33. Ceret almunium


Ceret almunium ukuran diameter 25 cm yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

34. Wajan almunium


Wajan almunium ukuran diameter 32 cm yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

35. Panci almunium


Panci almunium ukuran diameter 32 cm yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

36. Sendok masak


Sendok dari bahan almunium yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.

37. Rice cooker


Rice cooker 350 watt ukuran ½ liter yang digunakan untuk memasak
beras menjadi nasi dengan kualitas sedang.

7
38. Kompor dengan perlengkapannya:
a. Kompor gas 1 tungku dengan kualitas Standar Nasional
Indonesia (SNI).
b. Selang dan regulator dengan kualitas Standar Nasional Indonesia
(SNI).
c. Tabung gas dengan kualitas standar Pertamina.
Dalam hal di suatu daerah belum mendapat distribusi kompor
gas dan kelengkapannya serta tabung gas, maka dapat
disepakati spesifikasi yang setara dengan kompor gas dan
segala kelengakapannya serta tabung gas.

39. Gas Elpiji


Gas elpiji ukuran berat 3 kg dengan kualitas Standar Nasional
Indonesia (SNI) sebanyak 2 tabung per bulan.
Dalam hal di suatu daerah belum mendapat distribusi gas elpiji, maka
dapat disepakati spesifikasi yang setara dengan gas elpiji.

40. Ember plastik


Ember plastik dengan ukuran 20 liter yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.

41. Gayung plastik


Bahan plastik dengan ukuran dan kualitas sedang.

42. Listrik
Listrik dengan daya 900 watt dengan 2 titik.

43. Bola lampu hemat energi


Bola lampu yang digunakan adalah bola hemat energi (LHE) atau 14
watt atau yang setara.

44. Air bersih


Standar PAM, biaya rekening PAM untuk pemakaian 2 meter kubik
air untuk 1 bulan.

45. Sabun cuci pakaian


Sabun cream atau deterjen yang pada umumnya dipakai untuk
mencuci pakaian yang biasa digunakan di daerah setempat.

46. Sabun cuci piring (sabun colek)


Sabun digunakan untuk mencuci peralatan masak dan makan adalah
sabun colek atau yang biasa digunakan di daerah setempat.

8
47. Seterika
Seterika yang digunakan adalah seterika dengan 250 watt yang
biasa digunakan masyarakat setempat.

48. Rak piring portable plastik


Rak piring portable terbuat dari plastik, digunakan untuk
meletakkan/menyusun piring, gelas, dan sendok yang biasa
digunakan masyarakat setempat.

49. Pisau dapur


Pisau dapur terbuat dari bahan stainless, yang biasa digunakan
masyarakat setempat.

50. Cermin
Cermin dengan ukuran 30 cm x 50 cm yang biasa digunakan
masyarakat setempat.

51. Bacaan/radio
Harga tabloid mingguan yang banyak beredar di daerah setempat,
atau harga radio 4 band dan yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.

52. Ballpoint/pensil
Alat tulis ballpoint/pensil yang biasa digunakan masyarakat setempat.

53. Sarana kesehatan :


a. Pasta gigi
Produk lokal (tube 80 gram) yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.
b. Sabun mandi
Produk lokal (ukuran 80 gram) yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.
c. Sikat gigi
Produk lokal yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
d. Shampoo
Produk lokal (ukuran 100 ml) yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.
e. Pembalut atau alat cukur
Pembalut dengan ukuran bungkus isi 10 atau 1 set alat cukur
yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
54. Deodorant
Deodorant yang digunakan dengan kualitas 100 ml/g sesuai
kebutuhan pekerja di daerah yang bersangkutan.
9
55. Obat anti nyamuk
Obat anti nyamuk bakar yang dijual dalam satuan dus dan yang
biasa digunakan oleh masyarakat setempat.

56. Potong rambut


Untuk pria di tempat tukang cukur, dan untuk wanita di salon yang
sederhana/kecil.

57. Sisir
Alat untuk merapikan rambut dengan kualitas sedang.

58. Transport kerja dan lainnya


Angkutan umum yang biasa digunakan di daerah setempat, dengan
tarif pulang pergi.

59. Rekreasi
Nilai rekreasi diukur dengan harga tiket satu kali masuk (bukan tiket
terusan) ke arena tempat rekreasi/hiburan.

60. Tabungan
Dihitung 2 % dari total nilai jenis kebutuhan nomor 1 sampai dengan
nomor 59.

G. Penentuan Kualitas / Merk Setiap Jenis Barang dan Jasa

Untuk jenis barang kebutuhan yang kualitas dan harganya sangat


bervariasi, seperti pakaian dalam, celana panjang/rok, kemeja, blus,
handuk, sarung dan lain – lain, maka yang dipilih adalah kualitas sedang
sesuai dengan kesepakatan tim survei.

III. PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data dilakukan secara bertahap sebagai berikut :

A. Tahap pertama adalah mengisi kolom rata – rata dan kolom penyesuaian
satuan pada lembaran kuisioner. Kolom rata – rata merupakan rata – rata
dari harga 3 (tiga) responden. Sedangkan kolom penyesuaian satuan
adalah untuk beberapa jenis barang kebutuhan yang satuannya tidak
sama, seperti :

10
1. Bayam/kangkung/kacang panjang
Bayam, kangkung dan kacang panjang yang biasa dijual dengan
satuan ikat. Jika harga 1 ikat = Rp. 500,- setelah ditimbang beratnya
0, 7 kg, maka harga per kg sama dengan Rp. 500,- : 0,7 = Rp. 714,-

2. Pisang
Pisang merupakan salah satu jenis buah – buahan yang biasa dijual
dalam satuan sisir. Untuk mendapatkan harga per kg, terlebih dahulu
ditimbang berat pisang per sisirnya. Sebagai contoh, jika satu sisir
pisang yang harganya Rp. 5.000, - dengan berat 1,2 kg, maka harga
pisang per kg adalah Rp. 5. 000, - : 1,2 = Rp. 4.166 ,-

3. Tempe
Jika satu potong tempe harganya Rp. 2.000,- dan beratnya 0,5 kg,
maka harga per kg adalah Rp. 2.000,- : 0,5 = Rp. 4.000,-

4. Tahu
Jika satu potong tahu harganya Rp.200,- dengan berat 0,5 ons (0,05
kg), maka harga per kg menjadi Rp 200,- : 0,05 = Rp. 4.000,-

5. Kasur
Harga kasur dengan bahan busa.

6. Bantal
Harga bantal dengan bahan busa.

7. Sendok dan garpu


Harga 1 buah sendok ditambah harga 1 buah garpu merupakan harga
1 pasang.

8. Kebutuhan pria dan wanita


Ada beberapa jenis kebutuhan yang berbeda untuk pria dan wanita,
sebagaimana dalam tabel dibawah ini :

11
No. Pria Wanita
1. Celana panjang/ Rok/pakaian muslim
pakaian muslim
2 Kemeja Blus
3 Kaos oblong BH
4 Celana dalam pria Celana dalam wanita
5 Sarung Kain panjang
6 Sepatu pria Sepatu wanita
7. Cukur rambut Salon
8. Alat cukur Pembalut

Untuk jenis kebutuhan tersebut, setelah diperoleh harga rata – rata dari
3 (tiga) responden, dicari lagi harga rata – rata kebutuhan pria dan
wanita.

Khusus jenis kebutuhan pria dan wanita berupa celana panjang/rok/


pakaian muslim, dihitung sebagai berikut:
- Ditetapkan terlebih dahulu nilai pakaian muslim bagi wanita, yaitu
harga gamis dijumlahkan dengan harga jilbab;
- Harga baju koko dipakai sebagai nilai pakaian muslim pria;
Selanjutnya nilai pakaian muslim bagi wanita dijumlahkan dengan nilai
pakaian muslim bagi pria dan dibagi 2 (dua), ditetapkan sebagai nilai
rata-rata pakaian muslim.

Kemudian, harga celana panjang dijumlahkan dengan harga rok dan nilai
rata-rata pakaian muslim, yang selanjutnya dibagi 3 (tiga) ditetapkan
sebagai nilai rata-rata kebutuhan celana panjang/rok/pakaian muslim.
Untuk kebutuhan yang terdiri dari beberapa macam komoditi seperti
daging (yang terdiri dari daging ayam dan daging sapi) atau ikan segar
yang terdiri dari beberapa jenis ikan, setelah dihitung harga rata – rata
dari 3 responden, dihitung lagi rata – rata dari harga daging sapi dan
daging ayam, begitu juga untuk barang – barang kebutuhan lainnya
seperti ; ikan, kacang – kacangan, sayuran, buah – buahan dan sumber
karbohidrat.

Untuk mendapatkan biaya transport pergi pulang (PP) maka biaya


transport dikalikan 2.

12
B. Tahap kedua adalah mengolah data dari lembar kuisioner untuk
dimasukkan ke lembar form isian KHL sebagaimana Lampiran I Peraturan
Menteri ini. Angka yang terdapat pada kolom rata – rata di lembar
kuisioner dimasukkan ke kolom harga satuan pada lembar form isian KHL.

C. Tahap ketiga adalah pengolahan data untuk mendapatkan angka nilai


sebulan pada form isian KHL (kolom terakhir). Untuk mencari nilai sebulan
komponen makanan dan minuman relatif mudah, cukup dengan
mengalikan angka yang terdapat pada kolom “jumlah kebutuhan“ dengan
angka yang terdapat pada kolom harga per satuan. Sebagai contoh, jika
harga beras per kg adalah sebesar Rp. 3.000, -, maka nilai sebulan
adalah 10 x Rp. 3.000, - = Rp. 30.000, -.

Nilai sebulan untuk bumbu – bumbuan adalah 15 % dari total nilai


komponen makanan dan minuman nomor 1 s/d 10.

Pengolahan data untuk komponen Sandang, Perumahan, Pendidikan,


Kesehatan, Transportasi serta Rekreasi dan Tabungan dilakukan sebagai
berikut :

Komponen Sandang :
1. Celana panjang/rok/pakaian muslim, Kemeja lengan pendek/blus,
Kaos oblong/BH dan Celana dalam.
Jumlah kebutuhan masing –masing 6 potong untuk 1 tahun.
Nilai sebulan = harga x 6/12

2. Celana Pendek.
Nilai sebulan = harga x 2/12
3. Ikat pinggang bahan kulit sintetis, polos, tidak branded.
Nilai sebulan = harga x 1/12

4. Sarung/Kain panjang.
Nilai sebulan = harga x 3/24

5. Sepatu
Kebutuhan sepatu untuk 1 tahun 2 pasang.
Nilai sebulan = harga x 2/12

6. Perlengkapan pembersih sepatu :


a. Semir Sepatu
Nilai sebulan = harga x 6/12
b. Sikat sepatu
Nilai sebulan = harga x 1/12

7. Sandal jepit
Nilai sebulan = harga x 2/12
13
8. Kaos kaki bahan katun, polyester, polos dengan kualitas sedang
Nilai sebulan = harga x 4/12

9. Handuk mandi
Kebutuhan handuk mandi untuk 1 tahun, sebanyak 1 potong.
Nilai sebulan = harga x 1/12

10. Perlengkapan ibadah :


a. Sajadah
Nilai sebulan = harga x 1/12
b. Mukenah
Nilai sebulan = harga x 1/12
c. Peci, dll
Nilai sebulan = harga x 1/12

Komponen Perumahan :
1. Sewa kamar
Harga rata–rata pada kuisioner dapat langsung dimasukkan ke dalam
form isian KHL, pemakaian sewa kamar adalah untuk 1 bulan

2. Dipan/tempat tidur, no. 3, polos


Kebutuhan dipan selama 4 tahun diperlukan 1 buah.
Nilai sebulan = harga x 1/48

3. Kasur busa
Kasur dipakai selama 4 tahun
Nilai sebulan = harga x 1/48

4. Bantal busa
Nilai sebulan = harga x 2/36

5. Seprei dan Sarung bantal


Kebutuhan seprei dan sarung bantal sebanyak 2 set untuk satu tahun.
Nilai sebulan = harga x 2/12

6. Meja dan Kursi


Kebutuhan meja dan kursi 1 set untuk pemakaian selama 4 tahun
Nilai sebulan = harga 1 set x 1/48

7. Lemari pakaian bahan kayu, kualitas sedang.


Nilai sebulan = harga x 1/48

14
8. Sapu ijuk, kualitas sedang
Nilai sebulan = harga x 2/12

9. Perlengkapan makan : Piring Makan, Gelas minum serta Sendok dan


Garpu
Kebutuhan masing–masing sebanyak 3 buah untuk 1 tahun
Nilai sebulan = harga x 3/12

10. Ceret almunium


Kebutuhan ceret adalah1 buah untuk 2 tahun
Nilai sebulan = harga x 1/24

11. Wajan almunium


Kebutuhan wajan adalah1 buah untuk 2 tahun
Nilai sebulan = harga x 1/24

12. Panci almunium


Nilai sebulan = harga x 2/12

13. Sendok masak


Nilai sebulan = harga x 1/12

14. Rice cooker ukuran ½ liter


Nilai sebulan = harga x 1/48

15. Kompor Gas 1 tungku dan selang regulator , kualitas SNI


Nilai sebulan = harga x 1/24

16. Tabung Gas 3 kg, kualitas Pertamina


Nilai sebulan = harga x 1/60

17. Gas Elpiji @ 3 kg


Nilai sebulan = harga x 2

18. Ember plastik


Kebutuhan untuk 1 tahun sebanyak 2 buah.
Nilai sebulan = harga x 2/12

19. Gayung plastik


Nilai sebulan = harga x 1/12

20. Listrik dan Air


Untuk menghitung nilai listrik sebulan adalah biaya standard rekening
listrik dengan daya 900 watt.
Untuk menghitung nilai air sebulan adalah biaya standard rekening
PAM untuk pemakaian 2 meter kubik.

21. Bola Lampu Hemat Energi (LHE)


Nilai sebulan = Harga x 3/12

15
22. Sabun cuci pakaian
Kebutuhan sabun perbulan sebanyak 1,50 kg.
Nilai sebulan = harga x 1,5 kg

23. Sabun cuci piring


Nilai sebulan = harga x 1 bungkus kemasan 500 gr

24. Seterika 250 Watt


Nilai sebulan = harga x 1/48

25. Rak piring portable plastik


Nilai sebulan = harga x 1/24

26. Pisau dapur


Nilai sebulan = harga x 1/36

27. Cermin 30 x 50 cm
Nilai sebulan = harga x 1/36

Komponen Pendidikan
1. Bacaan/radio
Untuk mengetahui harga bacaan tabloid 4 eksemplar dalam sebulan
adalah 4 kali harga 1 eksemplar. Untuk mengetahui biaya kebutuhan
sebulan harga radio ukuran 4 band = harga x 1/48
2. Ballpoint/pensil
Nilai sebulan = harga x 6/12

Komponen Kesehatan
1. Sarana Kesehatan :
a. Pasta gigi, nilai sebulan = harga x 1
b. Sabun mandi, nilai sebulan = harga x 2
c. Sikat gigi, nilai sebulan = harga x 3/12
d. Shampoo 100 ml, nilai sebulan = harga x 1
e. Pembalut/alat cukur, nilai sebulan = harga x 1

2. Deodorant 100 ml/g, nilai sebulan = harga x 6/12

3. Obat anti nyamuk bakar, nilai sebulan = harga x 3

4. Potong rambut, nilai sebulan = harga x 6/12

5. Sisir, nilai sebulan = harga x 2/12

16
Komponen Transportasi
Nilai transport kerja sebulan = harga x 30 PP

Komponen Rekreasi dan Tabungan


Rekreasi, nilai sebulan = harga x 2/12
Tabungan, nilai sebulan = 2 % x (jumlah nomor 1 s/d 60)

D. Tahap keempat adalah menghitung jumlah nilai komponen Kelompok I


s/d Kelompok VII

1. Nilai komponen Makanan dan Minuman merupakan jumlah dari nilai


jenis kebutuhan nomor 1 s/d 11.

2. Nilai komponen Sandang merupakan penjumlahan dari nilai jenis


kebutuhan nomor 12 s/d 24.

3. Nilai komponen Perumahan merupakan penjumlahan dari nilai jenis


kebutuhan nomor 25 s/d 50.

4. Nilai komponen Pendidikan adalah nilai jenis kebutuhan nomor 51


dan 52.

5. Nilai komponen Kesehatan merupakan penjumlahan nilai jenis


kebutuhan nomor 53 s/d 57.

6. Nilai komponen Transportasi adalah nilai jenis kebutuhan nomor 58.

7. Nilai komponen Rekreasi dan Tabungan merupakan penjumlahan nilai


jenis kebutuhan nomor 59 dan 60.

E. Tahap Kelima adalah menghitung total nilai KHL dengan cara


menjumlahkan nilai Komponen I + Komponen II + Komponen III +
Komponen IV + Komponen V + Komponen VI + Komponen VII.

17
IV. PELAPORAN

A. Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota menyampaikan


laporan hasil survei berupa form isian KHL kepada Dewan Pengupahan
Provinsi setiap bulan.

B. Dewan Pengupahan Provinsi menyampaikan rekapitulasi nilai KHL


seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan kepada Dewan
Pengupahan Nasional secara periodik setiap bulan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

18
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2012
TENTANG

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG


BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN TAHUN 2010-2025

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun


2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional, kementerian/lembaga perlu menyusun dan
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Tahun
2010-2025;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang


Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3682) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009
tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5050);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4700);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);

6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang


Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

7. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.07/MEN/IV/2011 tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 253)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/IV/2011 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di
Lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
227);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN
KETRANSMIGRASIAN TAHUN 2010-2025.

Pasal 1

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Ketenagakerjaan dan


Ketransmigrasian Tahun 2010-2025 yang selanjutnya disingkat RPJP, yang
penjabarannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri
ini.
Pasal 2

RPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 disusun sebagai arah dan acuan
bagi:
a. penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi;
b. penyusunan rencana/program pembangunan bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian;

2
c. koordinasi perencanaan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
dengan sektor;
d. pengendalian kegiatan pembangunan lingkup Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

Pasal 3

RPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 dipergunakan


sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian dalam kurun waktu 2010-2025 untuk mewujudkan cita-
cita dan tujuan pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.

Pasal 4

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 706

3
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 12 TAHUN 2012

TENTANG

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG BIDANG


KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
TAHUN 2010-2025

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan sebagai upaya perubahan yang terencana


mengandung pemahaman mengenai kebutuhan akan waktu yang cukup
panjang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebutuhan akan
waktu tersebut disebabkan karena tingginya kompleksitas kondisi yang
mesti dihadapi dalam suatu proses pembangunan sehingga kecil
kemungkinan dapat dilakukan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Pembangunan tersebut mesti dilakukan melalui serangkaian tahapan
yang disusun secara sistematis dalam jangka panjang. Oleh karena itu,
dalam suatu proses pembangunan diperlukan RPJP yang berfungsi
sebagai guidance dalam mengarahkan berbagai kebijakan, strategi, dan
program untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai.

Begitu pula halnya dengan pembangunan jangka panjang bidang


ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Untuk mencapai tujuan
pembangunan jangka panjangnya, maka Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (selaku otoritas pembangunan bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian) memerlukan RPJP. Rencana ini dibutuhkan untuk
memberikan arahan mengenai kebijakan, strategi, dan tahapan-tahapan
program yang perlu ditetapkan untuk mencapai tujuan jangka panjang
sampai dengan tahun 2025. Dengan adanya RPJP bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, maka tujuan pembangunan
jangka panjang bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian akan
ditempuh secara lebih sistematis, terukur, efektif, efisien dan tepat
sasaran.

B. Pengertian, Maksud, dan Tujuan

RPJP Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah


dokumen perencanaan pembangunan bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan di
bidang tersebut, selama kurun waktu 15 (lima belas) tahun, mulai dari
Tahun 2010 hingga 2025. Dokumen ini merupakan penjabaran dari
amanah pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
yang tertuang di dalam RPJP Nasional 2005-2025.
RPJP Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang
selanjutnya disebut RPJP Nakertrans, ditetapkan dengan maksud
memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh unit kerja di
dalam struktur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan bidang ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian yang sesuai dengan visi, misi dan arah
pembangunan dalam kurun waktu 2010-2025.

C. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian


sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1997 tentang Ketransmigrasian.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional.

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

D. Sistematika

RPJP Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2010-


2025 disusun dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

BAB II KONDISI UMUM

BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KETENAGAKERJAAN DAN


KETRANSMIGRASIAN 2010-2025

BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA


PANJANG BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN
KETRANSMIGRASIAN

BAB V PENUTUP

2
BAB II
KONDISI UMUM

A. Ketenagakerjaan

1. Kondisi Umum

Kondisi ketenagakerjaan secara umum mengalami peningkatan,


baik secara kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas, jumlah
tenaga kerja bertambah seiring dengan pertambahan penduduk.
Secara kualitas, tenaga kerja Indonesia juga mengalami
peningkatan. Pada tahun 2009, proporsi angkatan kerja yang
berpendidikan SMTA ke atas sebesar 30,01 persen, pada tahun
2010 meningkat menjadi sebesar 32,23 persen. Penduduk yang
bekerja di sektor formal juga mengalami peningkatan. Pada tahun
2009, proporsinya hanya sebesar 30,65 persen. Proporsi ini
meningkat menjadi 33,07 persen pada tahun 2010. Secara rinci
dibahas sebagai berikut.

a. Perkembangan Angkatan Kerja

Secara struktural angkatan kerja merupakan bagian dari


penduduk usia kerja, sehingga jumlah angkatan kerja sangat
tergantung pada jumlah penduduk usia kerja yang masuk ke
dalam angkatan kerja. Jumlah angkatan setiap tahunnya terus
mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk usia kerja. Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja
sebanyak 113,744 juta meningkat menjadi 116,000 juta pada
tahun 2009 dan menjadi 119,40 juta pada tahun 2010.

1) Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan

Secara umum komposisi angkatan kerja menurut


tingkat pendidikan selama tahun 2008-2010 masih
didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD meskipun
menunjukkan tren yang terus menurun, yakni sebesar
52,35 persen pada tahun 2008, 51,04 persen pada tahun
2009, dan 49,52 persen pada tahun 2010. Sejalan dengan
tren tingkat pendidikan SD, tren penurunan juga terjadi
pada tingkat pendidikan SMTP. Pada tahun 2008 angkatan
kerja dengan tingkat pendidikan ini sebesar 19,34 persen.
Persentase ini terus menurun pada tahun 2009 dan 2010
yang masing-masing mencapai 19,25 persen dan 18,93
persen. Komposisi angkatan kerja terkecil berada pada
tingkat pendidikan diploma meskipun menunjukkan tren
yang fluktuatif. Pada tahun 2008, angkatan kerja
berpendidikan diploma sebesar 2,85 persen. Angka ini
menurun pada tahun 2009 menjadi 2,78 persen, namun
meningkat pada tahun 2010 menjadi 2,95 persen.

Sebaliknya, angkatan kerja yang memiliki tingkat


pendidikan SMTA Umum dan Kejuruan serta Universitas
memperlihatkan tren yang terus meningkat. Pada tahun

3
2008 angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum sebesar
14,45 persen dan terus meningkat di tahun 2009 dan 2010
menjadi 15,18 persen dan 15,29 persen. Begitu pula halnya
dengan SMTA Kejuruan. Pada tahun 2008 sebesar 7,06
persen, tahun 2009 sebesar 7,50 persen, dan tahun 2010
sebesar 8,35 persen. Selain itu, angkatan kerja
berpendidikan Universitas juga meningkat. Dari sekitar 3,94
persen pada tahun 2008, menjadi 4,26 persen dan 4,96
persen pada tahun 2009 dan 2010.

Sejalan dengan diterapkan sistem pendidikan melalui


program pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun serta semakin
mudahnya akses pendidikan, maka jumlah angkatan kerja
berpendidikan SD dan SMTP dari tahun ke tahun
diprediksikan akan terus menurun. Sebaliknya angkatan
kerja berpendidikan SMTA ke atas diharapkan akan terus
mengalami peningkatan, sehingga struktur angkatan kerja
beberapa tahun ke depan diperkirakan akan mengalami
perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Grafik 2.1.
Proporsi Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan
2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

2) Angkatan Kerja Menurut Golongan Umur

Komposisi angkatan kerja menurut golongan umur


selama tahun 2008-2010 secara umum didominasi oleh
golongan umur 20-49 tahun yang masing-masing jumlahnya
berada di atas angka 10 juta orang. Secara spesifik hingga
tahun 2010, jumlah mayoritas berada pada golongan umur
25-29 dan 30-34 yang mencapai angka 15,62 juta orang.
Sedangkan untuk golongan umur 15-19, 50-54, 55-59 dan
60+, masing-masing masih berada di bawah angka 10 juta
orang. Rendahnya angkatan kerja golongan umur 15-19 ini

4
disebabkan adanya penundaan penduduk usia kerja untuk
memasuki lapangan pekerjaan karena masuk ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan semakin
meningkatnya angkatan kerja berpendidikan tinggi
sebagaimana seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

Grafik 2.2.
Angkatan Kerja Menurut Golongan Umur
2008-2010 (dalam Juta)

Sumber: Sakernas, BPS.

3) Angkatan Kerja Menurut Desa-Kota

Grafik 2.3.
Angkatan Kerja Menurut Desa Kota
2008-2010

Sumber: Kemnakertrans. 2011

5
Berdasarkan grafik di atas dapat dikatakan bahwa
sejak tahun 2008 hingga 2010 jumlah angkatan kerja secara
mayoritas masih berada di perdesaan dan memiliki tren
peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja di
desa sekitar 64,5 juta orang, meningkat pada tahun 2009
dan 2010 mencapai 65,5 juta dan 66,8 juta orang. Di sisi
lain, walaupun tidak sebesar perdesaan, namun jumlah
angkatan kerja yang berada di perkotaan juga memiliki tren
yang meningkat. Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja di
perkotaan sekitar 47,4 juta orang, meningkat menjadi 48,4
juta orang pada 2009 dan 49,7 juta orang pada 2010.

4) Angkatan Kerja Menurut Provinsi

Dalam tabel persebaran angkatan kerja menurut


provinsi selama tahun 2008-2010, terlihat bahwa angkatan
kerja di Provinsi Jawa Timur merupakan jumlah yang
terbesar jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja di
provinsi lainnya. Selama periode tersebut jumlah angkatan
kerjanya mengalami perubahan secara berfluktuasi. Secara
kuantitas, pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja di
Provinsi Jawa Timur sebesar 20,12 juta orang, meningkat
pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 20,32 juta orang dan
20,62 juta orang.

Tabel 2.1.
Angkatan Kerja Menurut Provinsi
2008-2010

Provinsi 2008 2009 2010


NAD 1.781.490 1.865.208 1.932.945
Sumatera Utara 5.930.892 6.322.414 6.402.891
Sumatera Barat 2.125.784 2.180.966 2.273.111
Riau 2.234.315 2.304.426 2.347.567
Jambi 1.256.895 1.342.377 1.350.761
Sumatera 3.454.311 3.487.999 3.619.177
Selatan
Bengkulu 836.248 867.760 878.505
Lampung 3.659.172 3.738.337 3.753.656
Bangka Belitung 501.386 556.132 550.716
Kepulauan Riau 652.537 668.510 703.741
DKI Jakarta 4.559.108 4.757.518 4.746.373
Jawa Barat 18.427.242 19.045.124 19.214.357
Jawa Tengah 17.340.673 16.610.167 17.130.931
D.I. Yogyakarta 1.983.532 2.048.602 2.067.143
Jawa Timur 20.117.245 20.316.773 20.623.490
Banten 4.254.361 4.456.720 4.442.543
Bali 2.094.697 2.060.858 2.116.972

6
Nusa Tenggara 2.073.397 2.040.174 2.126.618
Barat
Nusa Tenggara 2.210.876 2.343.191 2.388.096
Timur
Kalimantan 2.165.679 2.257.185 2.277.435
Barat
Kalimantan 1.077.831 1.080.826 1.101.012
Tengah
Kalimantan 1.713.134 1.753.583 1.847.111
Selatan
Kalimantan 1.249.488 1.488.456 1.535.040
Timur
Sulawesi Utara 1.046.665 1.077.155 1.074.256
Sulawesi Tengah 1.219.457 1.236.243 1.286.943
Sulawesi 3.276.857 3.391.924 3.560.893
Selatan
Sulawesi 963.338 986.096 1.033.568
Tenggara
Gorontalo 423.376 462.889 484.834
Sulawesi Barat 477.836 515.827 546.168
Maluku 554.348 589.703 624.943
Maluku Utara 417.451 440.655 422.166
Papua Barat 344.205 360.660 367.754
Papua 1.053.621 1.089.950 1.166.346
JUMLAH 109.695.9 113.744.4 115.998.0
57 08 62
Sumber: Sakernas, BPS.

Jumlah angkatan kerja terbesar kedua dalam periode


yang sama, adalah provinsi Jawa Barat dan jumlahnya
cenderung terus meningkat, yakni sebanyak 18,43 juta
orang pada tahun 2008, meningkat menjadi 19,05 juta
orang pada tahun 2009 dan 19,21 juta orang pada tahun
2010. Sedangkan jumlah angkatan kerja terbesar ketiga
berada di Provinsi Jawa Tengah dan perubahannya
cenderung berfluktuasi yakni sebanyak 17,34 juta orang
pada tahun 2008, menurun menjadi 16,61 juta orang pada
tahun 2009 dan meningkat lagi menjadi 17,13 juta orang
pada tahun 2010.

Angka-angka ini menunjukan bahwa secara kuantitas


konsentrasi angkatan kerja masih berada di Pulau Jawa.
Namun demikian, perubahan jumlah angkatan kerja selama
tahun 2008-2010 yang cenderung berfluktuasi di 16
provinsi, mencerminkan bahwa tingkat mobilitas angkatan
kerja antar provinsi sesungguhnya menjadi semakin cair,
meski Pulau Jawa masih menjadi titik konsentris dari pola
mobilitasnya.

7
b. Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Indonesia pada


tahun 2008, 2009 dan 2010 secara umum cenderung
meningkat. Pada tahun 2008 tingkat partisipasi angkatan kerja
sebesar 67,33% dan pada tahun 2009 meningkat menjadi
67,60%. Tren peningkatan ini terus berlanjut pada tahun 2010
yang mencapi 67,63%.

Grafik 2.4.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

Meningkatnya TPAK tersebut salah satunya disebabkan oleh


kesempatan kerja yang semakin meluas dan kebutuhan hidup
yang semakin meningkat. Hal tersebut tampaknya memberikan
pengaruh yang cukup berarti terhadap meningkatnya laju
partisipasi angkatan kerja. Selain itu, peningkatan TPAK ini
juga dipengaruhi oleh peningkatan TPAK perempuan.

c. Perkembangan Penduduk yang Bekerja


Jumlah penduduk yang bekerja selama tahun 2008-2010
terus mengalami peningkatan. Peningkatan penduduk yang
bekerja ini sejalan dengan pertambahan angkatan kerja dan
pertambahan kesempatan kerja. Kesempatan kerja pada tahun
2009 bertambah sebanyak 2,32 juta sehingga penduduk yang
bekerja menjadi 104,87 juta. Pada tahun 2010, kesempatan
kerja bertambah sebanyak 3,34 juta sehingga penduduk yang
bekerja meningkat menjadi 108,21 juta orang. Perkembangan
penduduk yang bekerja diuraikan sebagai berikut:

1) Penduduk Yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin

Sesuai data, jumlah penduduk yang bekerja selama


tiga tahun (2008-2010) cenderung terus meningkat yakni
dari 102,01 juta orang pada tahun 2008 menjadi 104,49
juta orang pada tahun 2009 dan 107,41 juta orang pada

8
tahun 2010. Jika dilihat menurut jenis kelamin dalam
kurun waktu yang sama, komposisi penduduk yang bekerja
dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar daripada
perempuan, yang masing-masing pada tahun 2008 sebesar
62,1% dan 37,9%, pada tahun 2009 sebesar 61,77% dan
38,23%, dan pada tahun 2010 sebesar 61,42% dan 38,58%.

Grafik 2.5.
Proprosi Penduduk yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin
2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

Namun demikian, dari data tersebut juga dapat


terlihat bahwa persentase perempuan yang bekerja terus
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kesempatan
bekerja untuk perempuan terus meningkat, sehingga laki-
laki dan perempuan semakin memiliki kesempatan yang
sama untuk mengakses pekerjaan. Selain itu, semakin
banyak pula perempuan yang bukan angkatan kerja
(sekolah dan rumah tangga) masuk ke dalam kelompok
angkatan kerja untuk bekerja. Melihat kecenderungan yang
seperti ini, diprediksikan jumlah persentase perempuan
yang bekerja akan mengalami peningkatan pada masa-masa
mendatang.

2) Penduduk Yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan

Kualitas sumberdaya manusia salah satunya dapat


ditinjau dari tingkat pendidikan yang ditamatkan. Untuk
kondisi di Indonesia sendiri dan dalam konteks
ketenagakerjaan, dengan membaiknya perekonomian, maka
hal ini memberikan dampak positif terhadap tingkat
pendidikan penduduk yang bekerja. Kondisi tersebut di satu
sisi tercermin dari komposisi penduduk yang bekerja
berpendidikan Universitas selama tahun 2008-2010
cenderung terus meningkat yakni dari 3,67 persen pada
tahun 2008 menjadi 4,04 % pada tahun 2009 dan 4,60 %
pada tahun 2010. Peningkatan ini juga terjadi pada

9
penduduk bekerja yang berpendidikan SMTA Umum,
Kejuruan, dan Diploma.

Grafik 2.6.
Proporsi Penduduk yang Bekerja
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

Sebaliknya, dalam periode yang sama, penduduk


bekerja yang berpendidikan maksimal SD jumlahnya
semakin menurun. Pada tahun 2008 sebesar 55,65%,
menurun menjadi 53,43% pada tahun 2009 dan 51,49%
pada tahun 2010. Selain itu, penduduk bekerja yang
berpendidikan SMTP juga terus menurun %tasenya. Dari
19,01% pada tahun 2008 menjadi 19,00% pada tahun 2009
dan 18,89% pada tahun 2010. Berdasarkan tren yang
seperti itu, diprediksikan penduduk yang bekerja
berpendidikan SMTA ke atas akan terus meningkat
jumlahnya.

3) Penduduk Yang Bekerja Menurut Golongan Umur


Komposisi penduduk yang bekerja selama periode
2008-2010 secara umum didominasi oleh golongan umur
25-29 tahun, 30-34 tahun, 35-39 tahun, 40-44 tahun, dan
45-49 tahun yang jumlah masing-masingnya berada di atas
10 juta. Penduduk yang bekerja menurut golongan umur
dengan jumlah terbesar sejak tahun 2008 hingga 2010
berada pada golongan 30-34. Pada tahun 2008 jumlah
golongan umur ini mencapai 13,57 juta orang. Jumlah
tersebut naik pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing
menjadi 13,97 dan 14,70 juta orang. Sementara itu,
penduduk yang bekerja menurut golongan umur dengan
jumlah terkecil berada pada golongan umur 15-19 dengan
tren yang semakin meningkat, mulai dari 5,74 juta orang
pada tahun 2008 menjadi 5,75 dan 6,03 juta orang pada
tahun 2009 dan 2010. Kecilnya jumlah penduduk yang
bekerja di golongan umur 15-19 disebabkan karena

10
banyaknya penduduk usia kerja yang masih mengikuti dan
melanjutkan ke pendidikan tinggi pada rentang usia
tersebut.
Grafik 2.7.
Penduduk yang Bekerja Menurut Golongan Umur
2008-2010

Sumber: Sakernas, BPS.

Dari struktur data tersebut, terlihat bahwa penduduk


yang bekerja pada golongan umur 50-54, 55-59 dan 60+
cenderung terus meningkat. Kondisi seperti ini sangat
dimungkinkan sebagai akibat adanya kecenderungan bahwa
mereka yang akan dan sudah habis masa kerjanya, tetap
menjalankan kegiatan (aktifitas) yang memiliki nilai
ekonomi, baik dalam hubungan kerja (kegiatan ekonomi
formal) maupun di luar hubungan kerja (kegiatan ekonomi
informal).

11
4) Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha

Grafik 2.8.
Proporsi Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
2008-2011 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

Meskipun komposisi penduduk yang bekerja menurut


lapangan usaha menunjukan jumlah penduduk yang
bekerja di sektor angkutan, perdagangan, jasa dari tahun ke
tahun menunjukan peningkatan, namun karakter negara
Indonesia masih tergolong negara agraris. Keadaan tersebut
dapat terlihat dari komposisi penduduk yang bekerja di
sektor pertanian selama tahun 2008-2010 masih cukup
mendominasi dalam penyerapan tenaga kerja dibandingkan
dengan sektor yang lain, meskipun jumlahnya cenderung
terus menurun. Komposisi tersebut menunjukan bahwa
pada tahun 2008 persentase penduduk yang bekerja di
sektor pertanian adalah sebesar 41,83%, menurun menjadi
41,18% pada tahun 2009 dan 39,87% pada tahun 2010.

Menurunnya proporsi jumlah penduduk yang bekerja


di sektor pertanian diduga karena para pencari kerja lebih
memilih untuk bekerja di sektor non pertanian. Fenomena
ini mencerminkan bahwa pekerjaan di sektor pertanian
bukan merupakan pilihan akhir bagi sebagian pencari kerja,
terlebih mereka yang memiliki latar belakang pendidikan
SLTP ke atas dan berdomisili di daerah perkotaan. Salah
satu hal yang cukup menarik, pekerja di sektor pertanian
yang berdomisili di daerah penyangga ibu kota provinsi
seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan sebagainya, jika musim senggang mereka menjadi
pekerja di sektor yang lain seperti sebagai buruh bangunan,
penggalian dan sebagainya.

12
Meskipun sektor-sektor yang lain tidak memiliki
fleksibilitas seperti halnya sektor pertanian dalam
penyerapan tenaga kerja, namun dalam perkembangannya
para pencari kerja cenderung lebih menunggu kesempatan
kerja di sektor non pertanian dari pada di sektor pertanian.

5) Penduduk Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama

Secara umum status pekerjaan utama dapat


dikelompokan menjadi 2 (dua) besaran yakni sektor formal
(kegiatan ekonomi formal) dan sektor informal (kegiatan
ekonomi informal). Berusaha dengan buruh tetap dan
sebagian dari pekerja/buruh/karyawan merupakan bagian
dari sektor formal. Sedangkan berusaha sendiri tanpa
bantuan, berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap,
pekerja bebas di sektor pertanian, pekerja bebas di sektor
non pertanian, pekerja tak dibayar dan sebagian dari
pekerja/buruh/karyawan merupakan bagian dari sektor
informal. Meskipun berbagai indikator perekonomian
nasional menunjukan perbaikan seperti pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi, tingkat inflasi tidak terlalu tinggi,
stabilnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar, rendahnya
tingkat bunga dan sebagainya, namun sementara ini belum
mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan
produksi di sektor formal. Bahkan selama tahun 2008-2010,
komposisi penduduk yang bekerja di sektor informal
proporsinya terus dominan yakni dari 69,14% pada tahun
2008 menjadi 69,49% pada tahun 2009 dan 68,59% pada
tahun 2010.

Kondisi ini mencerminkan bahwa investasi baik dalam


dan luar negeri pada sektor formal lebih ke arah investasi
padat modal sehingga kurang menyerap tenaga kerja. Selain
itu, pada periode 2008-2009 juga tengah terjadi krisis
ekonomi global, sehingga angka tenaga kerja di sektor
informal cenderung meningkat, di mana sektor ini berfungsi
menjadi katup pengaman bagi tenaga kerja pada saat-saat
krisis.

13
Grafik 2.9.
Proporsi Penduduk yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan
2008-2010 (%)

Sektor Informal Sektor Formal


(dalam juta) (dalam juta)

Sumber: Sakernas, BPS.

14
6) Penduduk Yang Bekerja Menurut Jabatan

Grafik 2.10.
Penduduk yang Bekerja menurut Jabatan
2008-2010

Sumber: Kemnakertrans. 2011.

Jumlah penduduk yang bekerja menurut jabatan di


Indonesia secara berturut-turut di-dominasi oleh kelompok
tenaga usaha pertanian, tenaga produksi dan pekerja kasar,
dan tenaga usaha penjualan, namun dengan tren yang
fluktuatif. Pada kelompok tenaga usaha pertanian, di tahun
2008 jumlah pekerja sebanyak 40,78 juta orang. Jumlah ini
menurun menjadi 35,36 juta orang pada tahun 2009,
namun meningkat kembali menjadi 39,70 juta orang. Tren
fluktuatif ini juga dijumpai pada kelompok tenaga kerja
produksi dan pekerja kasar. Di tahun 2008 jumlahnya
sebanyak 26,74 juta orang, meningkat menjadi 38,22 juta
orang pada tahun 2009, lalu menurun pada tahun 2010
menjadi 33,91 juta orang.

Penduduk yang bekerja sebagai kelompok teknisi


profesional dan tenaga kepemimpinan-ketatalaksanaan
menunjukkan tren yang terus meningkat. Pada tahun 2008
jumlah teknisi profesional sebanyak 5,19 juta orang,
meningkat terus pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 5,91
juta orang dan 7,63 juta orang. Hal serupa juga terjadi pada
kelompok tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan yang
meningkat dari 0,95 juta orang pada tahun 2008 menjadi
1,57 juta orang dan 1,66 juta orang pada tahun 2009 dan
2010.

15
7) Penduduk Yang Bekerja Menurut Desa-Kota

Grafik.2.11.
Penduduk yang Bekerja menurut Desa-Kota
2008-2010

Sumber: Kemnakertrans. 2011

Pada tahun 2008-2010 penduduk yang bekerja


mayoritas berada pada wilayah pedesaan dan memiliki tren
yang meningkat. Dari sebesar 60,30 juta orang pada tahun
2008, meningkatkan menjadi 61,70 dan 63,20 juta orang
pada tahun 2009 dan 2010. Di sisi lain, meskipun tidak
sebanyak di pedesaan, jumlah penduduk yang bekerja di
perkotaan juga terus meningkat. Dari 42,30 juta orang di
tahun 2008, menjadi 43,20 juta orang dan 45 juta orang di
tahun 2009 dan 2010.

Melalui kondisi yang seperti ini, dapat dikatakan


bahwa jumlah kesempatan kerja di desa dan di kota
sesungguhnya tumbuh secara proporsional sehingga jumlah
penduduk yang bekerja di desa dan di kota sama-sama
bertumbuh. Kondisi seperti ini dapat berkontribusi dalam
menekan laju urbanisasi, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Jika pembangunan perekonomian pada
masa mendatang dilakukan secara seimbang dan
proporsional, maka penduduk bekerja yang di desa dan kota
juga terus bertumbuh.

8) Penduduk Yang Bekerja Menurut Provinsi

Perkembangan suatu daerah sangat bergantung pada


keberhasilan daerah tersebut dalam mengelola potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia.
Salah satu indikator untuk menilai berkembang atau
tidaknya suatu daerah adalah peningkatan kegiatan-
kegiatan produksi yang memiliki nilai ekonomi serta
kemampuan daerah tersebut dalam menciptakan
kesempatan kerja.

16
Berdasarkan hal tersebut dan melihat angka
penduduk yang bekerja menurut provinsi, dapat diketahui
bahwa beberapa daerah seperti; Provinsi Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
merupakan provinsi yang menyerap tenaga kerja untuk
bekerja dan mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Pada tahun 2008-2010 perkembangan tersebut terlihat dari
besarnya jumlah penduduk yang bekerja di daerah-daerah
tersebut jika dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain.
Salah satu contohnya seperti di Provinsi Jawa Timur yang
jumlah penduduk bekerjanya meningkat dari 18,86 juta
orang pada tahun 2008 menjadi 19,12 juta orang pada
tahun 2009 dan 19,61 juta orang pada tahun 2010.
Peningkatan juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dari 16,16
juta orang pada tahun 2008, menjadi 16,79 juta orang pada
tahun 2009 dan 17,18 juta orang pada tahun 2010. Di sisi
lain, provinsi dengan jumlah penduduk yang bekerja paling
kecil dalam periode yang sama adalah provinsi Papua Barat
dan Maluku Utara.

Tabel 2.2.
Penduduk yang Bekerja Menurut Provinsi
2008-2010

Provinsi 2008 2009 2010


NAD 1.617.622 1.691.584 1.776.670
Sumatera Utara 5.364.414 5.800.771 5.890.066
Sumatera Barat 1.919.044 2.008.713 2.101.027
Riau 2.025.384 2.097.955 2.178.403
Jambi 1.182.673 1.272.520 1.290.706
Sumatera Selatan 3.162.257 3.195.765 3.382.059
Bengkulu 802.963 821.706 842.828
Lampung 3.428.784 3.507.395 3.530.170
Bangka Belitung 472.369 529.315 527.392
Kepulauan Riau 597.159 616.273 653.012
DKI Jakarta 4.054.976 4.186.956 4.208.905
Jawa Barat 16.164.835 16.787.464 17.182.807
Jawa Tengah 16.106.028 15.401.496 15.956.034
D.I. Yogyakarta 1.863.747 1.925.630 1.942.764
Jawa Timur 18.861.360 19.123.221 19.611.540
Banten 3.652.525 3.792.825 3.814.715
Bali 1.999.185 2.000.453 2.041.337
Nusa Tenggara 1.965.602 1.915.234 2.003.781
Barat
Nusa Tenggara 2.129.110 2.278.031 2.304.772
Timur
Kalimantan Barat 2.025.118 2.129.999 2.152.247
Kalimantan 1.026.211 1.031.818 1.058.281
Tengah
Kalimantan 1.594.760 1.635.177 1.738.366
Selatan

17
Kalimantan 1.106.982 1.323.369 1.374.563
Timur
Sulawesi Utara 917.363 962.627 961.648
Sulawesi Tengah 1.131.027 1.173.089 1.223.979
Sulawesi Selatan 2.933.093 3.095.365 3.276.523
Sulawesi 905.085 933.029 984.271
Tenggara
Gorontalo 393.567 439.460 460.355
Sulawesi Barat 450.687 490.434 523.760
Maluku 493.117 528.509 567.902
S
Maluku Utara 388.113 411.538 396.715
Papua Barat 312.205 332.796 339.195
Papua 1.002.492 1.044.927 1.118.779
S
JUMLAH
U 102.049.857 104.485.444 107.415.572
Sumber: Sakernas, BPS.

d. Perkembangan Tenaga Kerja Indonesia Yang Bekerja di Luar


Negeri

Seiring terbukanya kesempatan kerja di luar negeri serta


belum proporsionalnya kesempatan kerja dengan jumlah
angkatan kerja di dalam negeri, mendorong penduduk Indonesia
untuk bekerja di luar negeri. Banyaknya penduduk Indonesia
yang bekerja di luar negeri ini disamping adanya faktor
kesempatan kerja yang terbuka, juga adanya peluang untuk
memperoleh upah/imbalan yang relative besar, kesempatan
memperoleh pengalaman yang tidak ada di dalam negeri, dapat
menjalankan ibadah haji dan lain sebagainya. Perkembangan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ditempatkan di luar negeri
diuraikan sebagai berikut.

1) Perkembangan TKI Menurut Jenis Kelamin dan Status


Pekerjaan

Grafik 2.12
TKI Menurut Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan
2008-2010

Sumber: Kemnakertrans 2011

18
Berdasarkan grafik di atas dapat dikatakan beberapa
pola penempatan TKI sebagai berikut. Pertama, dalam
kurun waktu 2008-2010 TKI berjenis kelamin laki-laki lebih
memiliki kecenderungan untuk bekerja di sektor formal
dibandingkan dengan sektor informal, namun memiliki tren
yang fluktuatif. Pada tahun 2008 jumlah TKI laki-laki yang
bekerja di sektor formal ini mencapai 109.317 orang,
menurun sedikit pada tahun 2009 menjadi 78.926 orang,
dan meningkat menjadi 182.382 orang pada tahun 2010.
Kedua, berlawanan dengan tren dan kondisi yang terjadi
pada TKI berjenis kelamin laki-laki, TKI berjenis kelamin
perempuan justru lebih memiliki kecenderungan untuk
bekerja di sektor informal dan menunjukan tren yang terus
meningkat. Pada tahun 2008 jumlah TKI perempuan yang
bekerja di sektor informal mencapai 403.894 orang,
meningkat di tahun 2009 menjadi 504.035 orang dan
meningkat lagi di tahun 2010 hingga mencapai 507.785
orang.

Kecenderungan yang seperti ini menunjukan bahwa


mekanisme pasar kerja global di sektor formal lebih
akomodatif terhadap TKI laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Atau dengan kata lain, mekanisme pasar kerja
global lebih menyerap TKI perempuan untuk bekerja di
sektor informal. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena:
(a) belum kompetennya TKI perempuan asal Indonesia
untuk bekerja pada sektor formal di luar negeri;
(b) rendahnya kesempatan kerja untuk sektor informal di
dalam negeri bagi calon TKI perempuan, sehingga
mereka mencari pekerjaan sektor informal di luar
negeri;
(c) dari sisi demand, hal ini didorong pula oleh tingginya
kebutuhan akan pekerja untuk bekerja pada sektor
informal di negara tujuan.

2) Perkembangan TKI Menurut Regional Tujuan

Grafik 2.13.
TKI Menurut Regional Tujuan
2008-2010

Sumber: Kemnakertrans 2011

19
Berdasarkan grafik di atas dapat terlihat bahwa
menurut regional tujuan, penempatan TKI lebih dominan
pada negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Pada tahun
2008, penempatan TKI di kawasan Timur Tengah dan Afrika
hanya 261.965 orang. Jumlah ini berada di bawah jumlah
penempatan di kawasan Asia Pasifik yang mencapai 311.271
orang. Namun pada tahun 2009 dan 2010 jumlah
penempatan di kawasan Timur Tengah dan Afrika ini
meningkat terus melampaui jumlah penempatan di kawasan
Asia Pasifik. Pada tahun 2009, jumlah penempatan di
kawasan Timur Tengah dan Afrika mencapai 375.366 orang
dan meningkat menjadi 516.036 orang pada tahun 2010.
Secara lebih spesifik, pada tahun 2010 Saudi Arabia tetap
menjadi tujuan dominan para TKI yang mencapai jumlah
367.719 orang. Di tahun 2010 pula, Malaysia tetap menjadi
Negara dominan penerimaan TKI untuk kawasan Asia
Pasifik yang mencapai jumlah 154.202 orang.

Dikaitkan dengan data TKI menurut jenis kelamin dan


status pekerjaaan seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka dapat terlihat sebuah pola bahwa pasca
krisis keuangan global pada tahun 2008, kinerja pasar kerja
global untuk menyerap TKI di kawasan Asia Pasifik
cenderung menurun sedangkan penyerapan TKI di kawasan
Timur Tengah dan Afrika tetap meningkat. Namun
demikian, peningkatan penyerapan ini hanya terjadi secara
signifikan pada TKI berjenis kelamin perempuan yang
bekerja di sektor informal. Singkat kata, sektor yang
memiliki daya tahan cukup kuat bagi penyerapan tenaga
kerja dalam kondisi krisis global adalah sektor informal,
khususnya bagi pekerja perempuan.

e. Perkembangan Penganggur Terbuka

Penganggur terbuka menurut data BPS terdiri atas mereka


yang mencari pekerjaan, mereka yang mempersiapkan usaha,
mereka yang tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang sudah punya
pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Secara umum, tingkat
penganggur terbuka selama tahun 2008-2010 secara umum
cenderung terus menurun yakni dari 9,39 persen pada tahun
2008 menjadi 8,96 persen pada tahun 2009 dan 8,32 persen
pada tahun 2010. Ditinjau dari beberapa segi, tingkat
pengangguran terbuka memiliki karakteristik sebagai berikut.

20
1) Penganggur Menurut Jenis Kelamin

Grafik 2.14
Jumlah Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin
2008-2010

Sumber: Sakernas, BPS.

Jika dilihat menurut jenis kelamin, selama tahun


2008-2010 perubahan jumlah penganggur laki-laki dan
perempuan memiliki pola yang sama dengan perubahan
penganggur yang pada umumnya cenderung menurun.
Secara kuantitas jumlah penganggur laki-laki dibanding
penganggur perempuan tidak menunjukan perbedaan yang
mencolok, meskipun jumlah penganggur laki-laki lebih
dominan daripada penganggur perempuan. Pada tahun
2008 penganggur laki-laki sebesar 5,47 juta orang. Jumlah
ini menurun menjadi 4,87 juta orang pada tahun 2010.

Namun demikian, jika dilihat secara persentase dan


dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya mencapai
42,02 persen, maka persentase penganggur perempuan
cenderung meningkat di tahun 2010 yang mencapai 43,27
persen. Ini menggambarkan bahwa angkatan kerja
perempuan sedikit lebih sulit mendapatkan pekerjaan jika
dibandingkan dengan laki-laki.

Tingkat penganggur terbuka (TPT) menurut jenis


kelamin tahun 2008-2010 menunjukkan angka penurunan
setiap tahun, namun yang paling besar penurunan jumlah
tingkat penganggur terbuka pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Tahun 2009 TPT yang
berjenis kelamin laki-laki sebesar 7,51% dan dan yang
berjenis kelamin perempuan sebesar 8,47 %. TPT tahun
2010 mengalami penurunan, sehinggan menjadi 7,14 %,
TPT perempuan mengalami sedikit peningkatan sehingga
menjadi 8,74 %, sedangkan TPT laki-laki menurun menjadi
6,15 %.

21
Hal demikian memperkuat pernyataan pada alinea
sebelumnya bahwa perempuan lebih sulit mendapat
pekerjaan.

Grafik 2.15
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

2) Penganggur Menurut Tingkat Pendidikan

Dari tahun 2008-2010, pengangguran terbuka


menurut tingkat pendidikan secara umum dan berturut-
turut berada pada tingkat pendidikan SD, SMA, SLTP, SMK,
Universitas dan Diploma. Dari tahun 2008 hingga 2010,
pengangguran terbuka untuk tingkat pendidikan SD
cenderung paling besar dibandingkan dengan tingkat
pendidikan lain, namun memiliki tren yang terus menurun.
Pada tahun 2008, pengangguran terbuka untuk tingkat
pendidikan SD sebanyak 2,74 juta orang. Jumlah ini
menurun menjadi 2,62 juta orang pada tahun 2009 dan
2,13 juta orang pada tahun 2010. Tren pengangguran
terbuka yang terus menurun ini juga dimiliki oleh tingkat
pendidikan SLTP.

22
Grafik 2.16.
Jumlah Pengangguran Terbuka
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan,
2008-2010

Sumber: Sakernas, BPS.

Sementara itu di sisi lain, jumlah pengangguran


terbuka paling rendah dari tahun 2008 hingga 2010 tetap
berada pada tingkat pendidikan diploma dan dengan tren
yang fluktuatif. Pada tahun 2008, jumlah pengangguran
terbuka untuk tingkat pendidikan diploma sebanyak 0,52
juta orang. Jumlah ini menurun menjadi 0,49 juta orang
pada tahun 2009 dan naik kembali menjadi 0,54 juta orang
pada tahun 2010. Data-data ini menunjukkan fenomena
bahwa lapangan kerja yang tersedia pada periode tersebut,
cukup akomodatif untuk menyerap tenaga kerja dengan
latar belakang pendidikan Sekolah Dasar, SLTP dan SMA.
Namun di sisi lain, untuk tingkat pendidikan SMK dan
Universitas masih belum atau kurang akomodatif.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurut tingkat


pendidikan tahun 2008-2010 menunjukkan angka
penurunan berfluktuasi mulai dari pendidikan SD sampai
dengan pendidikan tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan
meningkatnya kualitas dan ketrampilan angkatan kerja.
Pada tahun 2009 TPT yang berpendidikan SD sebesar 3,78
%naik menjadi sebesar 3,81 %pada tahun 2010. Pada tahun
tersebut terlihat bahwa TPT yang paling tinggi adalah SMTA
Kejuruan. TPT selama tahun 2009-2010 seluruh tingkat
pendidikan mengalami penurunan, namun TPT yang
terbesar bergeser dari SMTA kejuruan ke lulusan Diploma,
yakni mencapai sebesar 12,78 %, selain lulusan Diploma,
lulusan Universitas merupakan TPT terbesar kedua, yakni
mencapai sebesar 11,92 %.

23
Grafik 2.17
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Menurut Tingkat Pendidikan
2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

3) Penganggur Menurut Golongan Umur

Secara umum, komposisi penganggur terbuka selama


periode 2008-2010 didominasi oleh golongan umur muda,
yakni umur 15-19 tahun, 20-24 tahun dan 25-29 tahun. Di
antara kelompok umur tersebut, golongan 20-24 tahun
adalah yang paling besar jumlahnya, namun memiliki tren
yang terus menurun. Pada tahun 2008, jumlah golongan
umur ini mencapai 2,76 juta orang. Angka ini menurun
pada tahun 2009 dan 2010 yang masing-masing berada
pada kisaran 2,69 dan 2,42 juta orang.

Penurunan angka pengangguran ini secara umum


juga meliputi semua kelompok umur. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa seiring pertumbuhan ekonomi yang
cukup baik pada periode tersebut, maka penyerapan tenaga
kerja juga semakin meningkat. Dengan semakin
membaiknya kondisi perekonomian di masa-masa
mendatang, maka diperkirakan angka pengangguran ini
akan terus menurun.

24
Grafik 2.18
Jumlah Penganggur Menurut Golongan Umur
2008-2010 (dalam juta)

Sumber: Sakernas, BPS.

Berdasarkan golongan umur, kecenderungannya


adalah semakin tinggi umur angkatan kerja semakin rendah
pula TPTnya. Dilihat dari tingkat pengangguran terbuka
secara nasional dari tahun 2008-2010 pada golongan umur
15-24 tahun merupakan penduduk usia sekolah yang
selayaknya melakukan kegiatan pendidikan menengah
sampai pendidikan tinggi, serta pada dasarnya bahwa
golongan umur tersebut memang masih harus menempuh
dunia pendidikan yang belum siap untuk memasuki pasar
kerja.

TPT tahun 2008-2010 mengalami penurunan setiap


tahun antara, 15-24 tahun dan 25-34 tahun, sedangkan
pada golongan umur antara 55-60+ tahun mengalami
kenaikkan yang cukup signifikan. Dari kondisi tersebut
terlihat bahwa golongan usia produktif menunjukkan
kecenderungan jumlah TPT nya diperkirakan akan terus
mengalami penurunan yang mungkin disebabkan oleh
membaiknya kondisi perekonomian nasional, sehingga
investasi terus mengalami pertambahan yang membutuhkan
tenaga kerja, serta mempunyai dampak terhadap
menurunnya tingkat pengangguran.

25
Grafik 2.19
Tingkat Penganggur Terbuka (TPT)
Menurut Golongan Umur
2008-2010 (%)

Sumber: Sakernas, BPS.

4) Penganggur Menurut Provinsi

Persebaran penganggur menurut provinsi memiliki


pola yang hampir sama dengan persebaran penduduk usia
kerja, angkatan kerja dan penduduk yang bekerja, yakni
terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di beberapa provinsi
seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah
penganggur di Provinsi Jawa Barat merupakan yang
terbesar di Indonesia selama tahun 2008-2010, meskipun
jumlahnya cenderung menurun. Pada tahun 2008
penganggur di provinsi ini mencapai 2,26 juta orang lebih.
Angka ini menurun pada tahun 2009 dan 2010 menjadi
2,26 juta orang dan 2,03 juta orang.

Di sisi lain, Provinsi Sulawesi Barat merupakan


provinsi dengan jumlah pengganggur paling kecil dan
memiliki tren yang terus menurun. Pada tahun 2008
jumlahnya hanya sebanyak 27,15 ribu orang. Jumlah ini
menurun menjadi 25,39 ribu orang pada tahun 2009 dan
22,41 ribu orang pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 Tingkat penganggur terbuka (TPT)


paling besar terdapat di Provinsi Banten, yakni mencapai
14,15 persen, paling besar ke dua DKI Jakarta, yakni
mencapai sebesar 11,32 persen, dan paling besar ke tiga
adalah Provinsi Jawa Barat, yakni mencapai sebesar 10,57
persen. Sedangkan TPT terendah pada tahun 2010 adalah
Provinsi Nusa Tenggara Timur (3,49 %).

26
Tabel 2.3.
Jumlah dan Tingkat Penganggur Menurut Provinsi
2008-2010

Provinsi 2008 2009 2010


Nomoinal TPT( %) Nomoinal TPT( %) Nomoinal TPT( %)
NAD 163.868 9,20 173.624 9,31 166.275 8,56
Sumatera Utara 566.478 9,55 521.643 8,25 512.825 8,01
Sumatera Barat 206.740 9,73 172.253 7,90 172.084 7,57
Riau 208.931 9,35 206.471 8,96 169.164 7,21
Jambi 74.222 5,91 69.857 5,20 60.055 4,45
Sumatera Selatan 292.054 8,45 292.234 8,38 237.118 6,55
Bengkulu 33.285 3,98 46.054 5,31 35.677 4,06
Lampung 230.388 6,30 230.942 6,18 223.486 5,95
Bangka Belitung 29.017 5,79 26.817 4,82 23.324 4,24
Kepulauan Riau 55.378 8,49 52.237 7,81 50.729 7,21
DKI Jakarta 504.132 11,06 570.562 11,99 537.468 11,32
Jawa Barat 2.262.407 12,28 2.257.660 11,85 2.031.550 10,57
Jawa Tengah 1.234.645 7,12 1.208.671 7,28 1.174.897 6,86
D.I. Yogyakarta 119.785 6,04 122.972 6,00 124.379 6,02
Jawa Timur 1.255.885 6,24 1.193.552 5,87 1.011.950 4,91
Banten 601.836 14,15 663.895 14,90 627.828 14,13
Bali 95.512 4,56 60.405 2,93 75.635 3,57
Nusa Tenggara Barat 107.795 5,20 124.940 6,12 122.837 5,78
Nusa Tenggara Timur 81.766 3,70 65.160 2,78 83.324 3,49
Kalimantan Barat 140.561 6,49 127.186 5,63 125.188 5,50
Kalimantan Tengah 51.620 4,79 49.008 4,53 42.731 3,88
Kalimantan Selatan 118.374 6,91 118.406 6,75 108.745 5,89
Kalimantan Timur 142.506 11,41 165.087 11,09 160.477 10,45
Sulawesi Utara 129.302 12,35 114.528 10,63 112.608 10,48
Sulawesi Tengah 88.430 7,25 63.154 5,11 62.964 4,89
Sulawesi Selatan 343.764 10,49 296.559 8,74 284.370 7,99
Sulawesi Tenggara 58.253 6,05 53.067 5,38 49.297 4,77
Gorontalo 29.809 7,04 23.429 5,06 24.479 5,05
Sulawesi Barat 27.149 5,68 25.393 4,92 22.408 4,10
Maluku 61.231 11,05 61.194 10,38 57.041 9,13
Maluku Utara 29.338 7,03 29.117 6,61 25.451 6,03
Papua Barat 32.000 9,30 27.864 7,73 28.559 7,77
Papua 51.129 4,85 45.023 4,13 47.567 4,08
JUMLAH 9.427.590 8,46 9.258.964 8,14 8.592.490 7,41
Sumber: Sakernas, BPS.

2. Tantangan Ketenagakerjaan

Tantangan ketenagakerjaan ke depan diperkirakan semakin


berat dan kompleks. Kualitas angkatan kerja diperkirakan semakin
meningkat sehingga menuntut adanya pelayanan pasar kerja yang
mudah dan murah, serta tersedianya kesempatan kerja yang sesuai
dengan tingkat pendidikan tenaga kerja yang ada. Selain itu, dengan
semakin terbukanya pasar bebas maka upaya peningkatan kualitas agar
mampu bersaing di pasar internasional maupun pasar dalam negeri
menjadi hal yang wajib dilakukan. Industrialisasi ke depan juga
diperkirakan akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi. Untuk itu, perlindungan tenaga kerja dituntut untuk sesuai

27
dengan perkembangan tersebut. Tantangan ketenagakerjaan diuraikan
sebagai berikut:

A. Pendidikan Angkatan Kerja

Komposisi pendidikan angkatan kerja yang berpendidikan


setingkat SD pada tahun 2008 sekitar 50 persen. Dalam 20 tahun ke
depan, berkat program pemerintah dalam bidang pendidikan, maka
angkatan kerja yang berpendidikan SMP hingga SMU diperkirakan
akan lebih dominan. Perubahan latar belakang pendidikan tenaga
kerja ini tentu akan mengakibatkan perubahan pada pola-pola
pembangunan bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian,
pembangunan bidang ketenagakerjaan pada masa depan dituntut
untuk mampu tumbuh dan berkembang agar mampu menyediakan
lapangan kerja yang layak dan sesuai dengan perkembangan
angkatan kerja.

B. Link And Match di Dunia Kerja

Hingga saat ini, kebutuhan pasar kerja masih saja diwarnai oleh
ketidaksesuaian dengan tenaga kerja yang tersedia, baik dari segi
pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dll. Kondisi yang demikian,
tentu akan berakibat pada kurang baiknya kinerja kelembagaan
pasar kerja Indonesia sehingga menjadi salah satu hambatan bagi
proses penanaman investasi. Pada gilirannya, hal tersebut akan
mengakibatkan munculnya penggangguran, kurang meningkatnya
produktivitas tenaga kerja yang ada di Indonesia, rendahnya daya
saing dan kurangnya kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi
nasional. Berdasarkan keadaan yang seperti itu, maka tantangan
pembangunan bidang ketenagakerjaan pada masa mendatang adalah
bagaimana meningkatkan kinerja program pelatihan dan penempatan
tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

C. Globalisasi

Dengan semakin derasnya arus globalisasi, standar


ketenagakerjaan yang bersifat universal yang menghargai hak-hak
dasar pekerja sebagaimana tercantum dalam Konvensi International
Labour Organization (ILO) maupun berbagai lembaga internasional
lainnya semestinya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan
nasional. Selain itu, hambatan bebas tarif yang diberlakukan bagi
semua negara anggota ASEAN dalam era globalisasi ini telah memicu
persaingan yang sangat kompetitif di antara negara-negara tersebut.

Dalam konteks yang demikian, kondisi hubungan industrial


tidak statis melainkan berkembang dari waktu ke waktu. Arus
globalisasi menuntut hadirnya paradigma baru dalam pelaksanaan
hubungan industrial dan jaminan sosial, kesiapan dunia usaha,
kesiapan pihak pekerja/buruh dan pemerintah sendiri. Untuk dapat
bersaing di pasar global, pengusaha harus dapat beradaptasi dengan
cepat terhadap perubahan-perubahan dunia usaha yang terkadang
dapat merugikan pekerja. Sementara itu, pekerja juga menginginkan
peningkatan dan perlindungan tenaga kerja serta perbaikan syarat-
syarat kerja. Namun, apabila tuntutan tersebut berlebihan maka hal
tersebut dapat mengancam kelangsungan usaha dan menurunkan
daya saing perusahaan.

28
Menghadapi hal tersebut, pemerintah dituntut untuk dapat
membuat kebijakan yang fleksibel yang mampu mengakomodasikan
keinginan-keinginan unsur pekerja dan pengusaha dalam rangka
menciptakan hubungan industrial yang kondusif bagi peningkatan
produktivitas kerja, kesejahteraan pekerja dan keluarganya, yang
pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan penghasilan masyarakat
secara berkesinambungan.

Dalam hal penempatan serta pelatihan dan produktivitas, pada


konteks globalisasi ini diperlukan pembinaan yang mampu
mendorong pembangunan ketenagakerjaan yang berdaya saing
global, dan mendorong penempatan Tenaga Kerja Indonesia di sektor
formal dalam perekonomian global.

D. Penduduk Usia Produktif Yang Relatif Besar

Dalam 20 tahun mendatang, Indonesia menghadapi tekanan


jumlah penduduk yang makin besar. Jumlah penduduk yang pada
tahun 2008 sebesar 226,7 Juta orang, diperkirakan meningkat
mencapai sekitar 274 juta orang pada tahun 2025 (Bappenas, 2008).
Dalam periode tersebut, angkatan kerja diperkirakan meningkat
hampir dua kali lipat jumlahnya dari kondisi saat ini. Meskipun
demikian, pengendalian kuantitas dan laju pertumbuhan penduduk
penting untuk diperhatikan demi menciptakan penduduk tumbuh
dengan seimbang, yang ditandai dengan jumlah penduduk usia
produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non-produktif.
Besarnya penduduk usia produktif tersebut perlu dimanfaatkan
secara optimal untuk meningkatkan kualitas, daya saing, dan
kesejahteraan tenaga kerja.

E. Belum Kondusifnya Lingkungan Usaha

Ketenangan dalam berusaha tentu akan membawa dampak


yang baik bagi perekonomian Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini
masih terdapat berbagai permasalahan dalam upaya penciptaan
lingkungan usaha yang kondusif, terutama persoalan hubungan
industrial. Perselisihan antara pengusaha dan pekerja dalam hal
pengupahan, kondisi kerja, jaminan sosial, berbagai pungutan tidak
resmi, dll, masih kerap terjadi. Hal ini tentu akan membawa implikasi
negatif bagi upaya untuk meningkatkan kondusifitas lingkungan
usaha. Padahal dalam era sekarang ini, lingkungan usaha yang
kondusif wajib diciptakan untuk meningkatkan daya saing dengan
negara-negara lain dalam menarik investasi, sehingga dapat memacu
pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan kondisi yang
demikian, maka yang menjadi tantangan ke depan bagi
pembangunan bidang ketenagakerjaan adalah bagaimana
memantapkan upaya dialog dan kerjasama diantara para pelaku
industrial melalui mekanisme kelembagaan bipartit dan tripartit.

29
F. Rendahnya Pemahaman Terhadap Regulasi Ketenagakerjaan dan
Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Penerapan dan penegakkan hukum ketenagakerjaan di


Indonesia sampai saat ini masih tergolong lemah. Hal ini dapat
diindikasikan dari masih tingginya angka pelanggaran normatif
ketenagakerjaan, meliputi pelanggaran Norma Pelatihan, pelanggaran
Norma Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, pelanggaran
penerapan norma-norma kerja, pelanggaran norma kerja perempuan
dan anak, pelanggaran norma pengupahan, pelanggaran norma
hubungan kerja, pelanggaran norma keselamatan dan kesehatan
kerja, belum optimalnya pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja dan
masih tingginya angka kecelakaan kerja.

Kompleksitas masalah juga semakin diperumit lemahnya


pemahaman implementasi otonomi daerah dalam konteks regulasi
ketenagakerjaan sehingga menyebabkan arus komunikasi dan
rentang kendali antara pusat dan daerah kurang optimal. Selain itu,
lemahnya sistem informasi dan pelaporan pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan juga menghambat mekanisme komunikasi untuk
meningkatkan pemahaman terhadap regulasi ketenagakerjaan dan
penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Berdasarkan hal tersebut, maka tantangan pembangunan


bidang ketenagakerjaan adalah bagaimana menanamkan
pemahaman akan pentingnya penegakkan dan implementasi regulasi
ketenagakerjaan dan K3. Hal tersebut, selain meningkatkan harkat,
martabat dan hak-hak pekerja, pada gilirannya juga akan membantu
menciptakan hubungan industrial yang harmonis serta iklim usaha
yang kondusif.

G. Sumber Daya Manusia Pelaksana Ketenagakerjaan

Sumber daya manusia pelaksana ketenagakerjaan merupakan


pegawai instansi pemerintah yang bertugas menegakan peraturan
perUndang-Undangan ketenagakerjaan, pendorong dan pencipta
kesempatan kerja baru, meningkatkan kualitas pencari kerja,
menempatkan tenaga kerja, melindungi tenaga kerja dan lain
sebagainya, ke depan akan mengalami permasalahan-permasalahan.
Permasalahan ini timbul karena:
1) tingginya perputaran pegawai (labor turn over) baik dari
lingkungan kerja maupun dari luar lingkungan kerja;
2) banyaknya penempatan pegawai tidak sesuai dengan keahlianya;
3) lambatnya pembinaan pejabat yang bersifat teknis;
4) banyaknya jabatan yang bersifat teknis dibiarkan kosong dan
sebagainya.

Hal ini semua akan berdampak pada kualitas pekerjaan


ketenagakerjaan, karena memerlukan waktu untuk belajar pegawai
yang baru masuk dilingkungan ketenagakerjaan atau malah salah
satu fungsi tidak dikerjakan sama sekali akibat tidak adanya pegawai
yang bersifat teknis.

30
Dengan melihat permasalahan tersebut, selayaknya menjadi
perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
melakukan pembinaaan terhadap sumber daya manusia pelaksana
ketenagakerjaan.

B. Ketransmigrasian

1. Kondisi Umum

Bagi bangsa Indonesia, perpindahan (mobilitas) penduduk


untuk menetap di suatu tempat yang baru telah lama dikenal.
Namun demikian, perpindahan tersebut masih bersifat alamiah dan
reaktif sehingga belum terdapat konsep dan perencanaan yang
jelas. Awal mula terjadinya perpindahan penduduk secara
terencana dan teroganisir terjadi pada Bulan November 1905.
Berdasarkan catatan M. Amral Sjamsu dalam buku Dari Kolonisasi
Ke Transmigrasi (1960), pada waktu itu sekitar 155 Keluarga dari
Pulau Jawa didatangkan di desa Gedong Tataan Karesidenan
Lampung. Saat itu perpindahan penduduk dilaksanakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda, sehingga jelas dilatar-belakangi oleh
kepentingan mereka. Istilah yang digunakan terhadap fenomena
perpindahan penduduk ini adalah Kolonisasi, suatu konotasi yang
dekat dengan konteks penjajahan.

Kolonisasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Hindia


Belanda dari tahun 1905-1941 berhasil memindah-tempatkan
kolonis sejumlah 173.959 jiwa. Terdapat berbagai sistem
penyelenggaran kolonis ini. Pertama, pada tahun 1905-1911
diterapkan sistem cuma-cuma. Dalam sistem ini setiap kolonis
diberikan bantuan berbagai keperluan secara cuma-cuma. Namun,
Pemerintah Hindia Belanda merasakan keborosan pendanaan
dalam penyelenggaraan sistem tersebut. Oleh karena itu, kedua,
mulai tahun 1912 sistem yang diterapkan berubah dengan sistim
pinjam. Pada masa ini para kolonis tidak lagi mendapat bantuan
cuma-cuma dari Pemerintah, tetapi mereka harus membayar
kembali biaya yang diperlukan kepada Bank Rakyat di Lampung
yang selanjutnya dikenal dengan Bank Kolonisasi. Penyelenggaraan
kolonisasi dengan sistem utang yang berlangsung sampai tahun
1922 namun tidak berjalan lancar. Sistem ini dimulai lagi tahun
1928 dan akhirnya berhenti kembali. Pada tahun 1932 pinjaman
tidak lagi diberikan, bahkan Bank Rakyat Lampung (Bank
Kolonisasi) ditutup pada tahun 1929 karena defisit.

Ketiga, Mulai tahun 1932 kolonisasi harus mengusahakan


sendiri semua biaya yang diperlukan dengan sistim bawon. Pada
masa ini, para kolonis membiayai keperluannya dengan bekerja
pada para kolonis lama. Mereka sama sekali tidak diberikan
bantuan oleh Pemerintah, bahkan bantuan obat akibat serangan
malaria pun tidak boleh dibantu. Akibatnya, tahun 1929 tidak
kurang dari 662 orang meninggal akibat serangan malaria. Sejak itu
tak terdengar lagi bagaimana perkembangan kolonisasi itu. Tidak
banyak data dan tulisan menyangkut kolonisasi, baik di Lampung
maupun di daerah lain. Namun yang jelas, dampak positif memang
dirasakan setelah kolonisasi itu hampir dua generasi. Sisa-sisa
kolonisasi itu saat ini masih tampak jelas, yaitu tumbuh dan

31
berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan seperti kawasan Metro
(sekarang Kota Metro) di Provinsi Lampung, kawasan bengkulu
bagian utara (sekarang kota Argamakmur menjadi ibukota
Kabupaten Bengkulu Utara) di Provinsi Bengkulu, dan beberapa
kawasan lain di seluruh Indonesia. Itu semua adalah salah satu
bukti sejarah, bahwa mobilitas penduduk diperlukan bagi Negara
Kepulauan seperti Indonesia ini.

Memperhatikan sejarah perkembangannya di Indonesia, diakui


atau tidak, transmigrasi adalah metamorphose dari kolonisasi yang
dirancang dan dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
ketika menjajah Indonesia. Namun falsafah yang melatarbelakangi,
landasan, dan tujuannya berbeda. Kolonisasi dilatar-belakangi oleh
niat mencari buruh murah untuk kepentingan perusahaan
perkebunan milik penjajah. Dalam perjalanan selanjutnya,
Kolonisasi dikemas ke dalam Politik Etik (emigrasi, edukasi, dan
irigasi) sebagai balas budi Pemerintah Hindia Belanda kepada
Bumiputera. Sementara transmigrasi didasarkan kepada suatu
kesadaran atas besarnya potensi dan keragaman sumberdaya
bangsa sebagai modal dasar untuk memajukan kesejahteran umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu,
perpindahan penduduk yang melatarbelakangi pembangunan
transmigrasi pada awal kemerdekaan sebenarnya merupakan suatu
kesadaran bersama untuk memanfaatkan, mengolah, dan
mengembangkan seluruh potensi sumberdaya bangsa sebagai
pengamalan Pancasila. Artinya, sejak awal gagasan besar
transmigrasi sebenarnya telah diarahkan pada upaya pemanfaatan,
pengolahan, dan pengembangan dua potensi besar sumberdaya,
yaitu:
a. potensi sumberdaya alam; dan
b. potensi sumberdaya manusia.

Itu semua adalah cita-cita jauh ke depan yang


melatarbelakangi gagasan transmigrasi sebagai salah satu
pendekatan pembangunan dalam kerangka “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”
sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945. Bentuk perlindungan
kepada segenap bangsa diwujudkan melalui penataan persebaran
penduduk yang serasi dan seimbang sesuai dengan daya dukung
alam dan daya tampung lingkungan dengan mengakui hak setiap
orang untuk bermigrasi. Melalui penataan persebaran penduduk,
masyarakat memperoleh akses untuk mendapatkan ruang tempat
tinggal, tempat bekerja dan berusaha di seluruh wilayah Indonesia
secara berkeadilan. Sedangkan bentuk perlindungan kepada
seluruh tumpah darah diwujudkan melalui pengembangan potensi
sumberdaya wilayah di seluruh tanah tumpah darah Indonesia
dengan membangun kawasan transmigrasi menjadi klaster-klaster
sistem pengembangan ekonomi wilayah (terutama di luar pulau
Jawa). Terbentuknya klaster-klaster pengembangan ekonomi
wilayah yang merata ke seluruh tanah air diharapkan dapat
menjadi motor penggerak pembangunan daerah untuk
meningkatkan daya saing daerah. Sejalan dengan makna filosofis
transmigrasi tersebut, maka UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara menegaskan bahwa transmigrasi merupakan
salah satu urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan
dalam UUD 1945.

32
Demikian strategisnya peran transmigrasi dalam pembangunan
Indonesia, maka sebagai landasan pijak dalam merumuskan arahan
jangka panjang yang visioner, perlu menemukenali dinamika proses
pelaksanaan transmigrasi selama ini serta berbagai kondisi umum
Indonesia saat ini, baik kondisi yang potensial menjadi kekuatan
maupun persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang.
Kondisi umum tersebut digambarkan sebagai berikut:

a. Pelaksanaan Transmigrasi sd. Tahun 2010

Sejak dikembangkan tahun 1950 sampai dengan tahun


2010, transmigrasi dirasakan sebagai salah satu program
unggulan yang telah memberikan kontribusi cukup besar dalam
pembangunan Indonesia. Sampai dengan tahun 2010, melalui
transmigrasi berhasil dibangun dan dikembangkan sekitar
3.325 permukiman menjadi Desa baru yang telah memberikan
kontribusi bagi tumbuh dan berkembangnya 235 Kecamatan
baru dan 89 Kabupaten baru. Jika kondisi ini dikaitkan dengan
maraknya pemekaran daerah otonom akhir-akhir ini, kiranya
dapat diyakini bahwa hal itu terjadi antara lain atas dukungan
kinerja pembangunan transmigrasi. Selain itu, transmigrasi
juga telah memberikan ruang tempat tinggal, tempat bekerja
dan berusaha secara langsung bagi lebih dari 2,9 juta keluarga
penduduk Indonesia, baik penduduk setempat yang wilayah
tempat tinggalnya dikembangkan melalui transmigrasi, maupun
penduduk yang pindah dari daerah-daerah yang menghadapi
beban tekanan kependudukan. Perpindahan penduduk tersebut
telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya penataan
lingkungan di daerah asal transmigran, seperti pembangunan
waduk Gajah Mungkur di Wonogiri dan waduk Mrica di Jawa
Tengah, waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah, waduk
Saguling di Jawa Barat, penananganan daerah bencana Gunung
Galunggung di Jawa Barat, Gunung Semeru di Jawa Timur,
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta dan
sebagainya. Persoalannya, berbagai bukti adanya kontribusi
transmigrasi itu baru dirasakan dalam kurun waktu yang
cukup lama (antara 25-30 tahun) karena transmigrasi
merupakan proses investasi jangka panjang dengan basis usaha
SDA yang tergolong slow yielding project.

Dalam upaya “mempersingkat” waktu terbentuknya pusat


pertumbuhan, mulai tahun 2007 dikembangkan konsep
transmigrasi dengan skema Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang
umumnya diarahkan untuk revitalisasi kawasan transmigrasi
yang pertumbuhannya dianggap lambat. Konsep transmigrasi
dengan skema KTM tersebut merupakan upaya menggerakkan
pengembangan ekonomi daerah yang diawali dengan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan yang bersifat lokal,
yang diharapkan akan berkembang ke skala regional maupun
nasional dan internasional, melalui tahapan-tahapan yang
dimulai dengan pusat pertumbuhan lokal, pengembangan
klaster komoditas/industri sampai akhirnya terjadi proses
aglomerasi di satu wilayah, yang selanjutnya memberikan efek
pengganda bagi perkembangan daerah sekitarnya. Dengan
diundangkannya UU No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan

33
Atas UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian,
pengembangan transmigrasi dengan skema KTM dibakukan
menjadi bagian dari kawasan transmigrasi sebagai Kawasan
Perkotaan Baru (KPB) sejalan dengan PP Nomor 34 Tahun 2009
tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Sampai dengan akhir
tahun 2010, rintisan pembangunan kawasan perkotaan baru
melalui skema KTM telah dilaksanakan di 44 kawasan pada 22
provinsi, yang harus dilanjutkan pada periode berikutnya.
Sejumlah 44 KTM tersebut meliputi 14 kawasan di Pulau
Sumatera (Provinsi NAD, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu,
Sumsel, dan Lampung), 10 kawasan di pulau Kalimantan
(Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan), 12 kawasan pulau Sulawesi (Provinsi Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Tenggara), 1 kawasan di Provinsi Maluku Utara, 1
kawasan di Provinsi Maluku, 3 kawasan di Provinsi Papua, 1
kawasan di Provinsi NTT, dan 2 kawasan di Provinsi NTB.

Dibalik berbagai keberhasilan itu, juga terdapat berbagai


kelemahan yang seringkali menimbulkan persepsi negatif yang
berdampak pada munculnya kritik dan (bahkan) penolakan dari
berbagai kalangan masyarakat. Bahkan sejak reformasi tahun
1999, polemik tentang keberadaan transmigrasi terus
berkembang dan seringkali semakin frontal. Ada sebagian pihak
yang menolak dan karenanya menghendaki transmigrasi
dihentikan, tetapi tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa
transmigrasi merupakan suatu keharusan bagi Indonesia,
sebuah negara kepulauan dengan penduduk yang timpang.
Perbedaan pendapat dan cara pandang demikian adalah wajar,
sepanjang memiliki alasan pembenar yang realistik, dapat
dipertanggungjawabkan dan berorientasi pada pemenuhan
kepentingan masyarakat. Sayangnya, polemik penolakan dan
dukungan yang berkembang seringkali bersifat parsial,
subyektif, dan cenderung sarat dengan kepentingan sesaat yang
emosional sehingga kurang memberikan gambaran secara
holistik dan komprehensif.

Terlepas dari polemik yang berkembang, harus diakui


bahwa transmigrasi adalah pendekatan pembangunan yang
“unik dan khas Indonesia” dengan spektrum sangat luas dan
kompleks. Luasnya spektrum itu seringkali mewarnai
pandangan berbagai kalangan (akademisi, peneliti, pemerhati,
dan berbagai organisasi kemasyarakatan) dengan sudut
pandang yang beragam, walaupun pada umumnya mereka
sependapat bahwa dalam batas-batas tertentu pembangunan
transmigrasi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap
pembangunan nasional. Di sisi lain, banyak kalangan juga
sependapat bahwa munculnya ketidakpercayaan terhadap
pembangunan transmigrasi selama ini akibat dari “kelemahan
pada tataran pelaksanaan” yang seringkali menyimpang dari
filosofi dasarnya. Menyikapi polemik yang berkembang dan
realitas adanya kelemahan pada masa sebelumnya, UU Nomor
15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian di-amandemen
dengan UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU
No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian tanpa mengubah
filosofi dasarnya. Perubahan UU itu merupakan upaya

34
“rancang-ulang” atas sistem, pendekatan, dan kebijakan
penyelenggaraan, serta strategi dan program-program
transmigrasi untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi
selama ini. Perubahan terjadi menyangkut 4 (empat) hal pokok.
Pertama, menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan
transmigrasi peran pemerintah daerah adalah sebagai
pemrakarsa dan pelaksana sesuai dengan regulasi dan
pembinaan pemerintah. Kedua, memberikan ruang yang lebih
luas bagi masyarakat dan badan usaha untuk berperan dalam
pelaksanaan transmigrasi. Ketiga, mempertegas gradasi
intervensi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan jenis-jenis transmigrasi, yaitu Transmigrasi Umum
(TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), dan
Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Keempat, menegaskan
bahwa pembangunan transmigrasi dilaksanakan berbasis
kawasan terintegrasi dengan penataan persebaran penduduk
yang serasi dan seimbang untuk mewujudkan kawasan
transmigrasi sebagai satu kesatuan sistem pengembangan.

b. Wilayah dan Tata Ruang

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)


sebagai satu kesatuan wadah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara mencakup ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara yang memiliki nilai strategis karena dua hal.
Pertama, ruang terbesar wilayah NKRI merupakan ruang
perairan yang menjadi perekat pulau-pulau besar dan kecil dari
Sabang sampai Merauke membentuk negara kepulauan. Kedua,
konstelasi geografis negara kepulauan dengan posisi diantara
benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia, menempatkan Indonesia menjadi daerah
kepentingan bagi negara-negara dari berbagai kawasan. Posisi
ini mengakibatkan kondisi politik, ekonomi, dan keamanan
ditingkat regional dan global menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap kondisi Indonesia. Selain itu, wilayah Indonesia juga
merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar,
yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik yang
potensial menimbulkan bencana gempa bumi, tsunami, dan
serangkaian ikutannya. Indonesia juga memiliki keberagaman
antar-wilayah yang tinggi seperti keberagaman sumber daya
alam, keberagaman kondisi geografi dan demografi,
keberagaman agama, serta keberagaman kehidupan sosial,
ekonomi, dan budaya. Memahami realitas kondisi wilayah NKRI
tersebut, UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025
menegaskan bahwa aspek spasial haruslah diintegrasikan ke
dalam kerangka perencanaan pembangunan di berbagai bidang.
Sedangkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengamanatkan pentingnya integrasi dan keterpaduan antara
Rencana Pembangunan dengan Rencana Tata Ruang di semua
tingkatan pemerintahan. Kebijakan tersebut menunjukkan
bahwa pembangunan nasional Indonesia dilaksanakan
berdasarkan dimensi kewilayahan dalam rangka
mengoptimalkan pengelolaan “bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya” untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.

35
Sejalan dengan makna filosofis penyelenggaraan
transmigrasi seiring dengan arah pembangunan jangka panjang
sebagaimana diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2007 dan
berbagai ketentuan perundangan yang terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan ruang, maka sistem
penyelenggaraan transmigrasi sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional telah disempurnakan melalui UU Nomor
29 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian yang mengharuskan
pelaksanaannya berbasis kewilayahan.

c. Kesenjangan antar Wilayah

Kesenjangan antar-wilayah diprediksikan masih akan


merupakan isu strategis dalam percaturan politik pembangunan
Indonesia ke depan. Walaupun laju pertumbuhan ekonomi
nasional tahun 2005-2008 cukup signifikan, yaitu dari sebesar
5,6 persen pada tahun 2005 menjadi 6,36 persen pada tahun
2008, namun kesenjangan antar-wilayah masih terlihat dari
intensitas kegiatan ekonomi yang terpusat di pulau Jawa dan
Bali. Kontribusi provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali
terhadap total perekonomian nasional (termasuk migas)
mencapai 64,78 persen, sementara wilayah Sumatera 20,44
persen, Sulawesi 6 persen, Kalimantan 6 persen, dan Papua,
Kepulauan Maluku serta Kepulauan Nusa Tenggara masing-
masing kurang dari 2 persen. Kesenjangan antarwilayah juga
terlihat dari aspek sosial. Nilai indeks pembangunan manusia
(IPM) tertinggi adalah provinsi-provinsi di Pulau Jawa-Bali, yaitu
Provinsi DKI Jakarta (76.3), sedangkan terendah adalah
provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa, yaitu Provinsi Papua
(62,8). Selain itu, masyarakat di luar Pulau Jawa, terutama
wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Kalimantan masih menghadapi permasalahan dalam
pemenuhan hak-hak dasar rakyat terutama pangan dan gizi,
serta layanan kesehatan dan pendidikan.

Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa wilayah


Pulau Jawa tetap saja akan lebih pesat pertumbuhannya
dibanding pulau lain-nya sehingga akan lebih atraktif bagi
investasi dan mobilitas penduduk, utamanya mobilitas tenaga
kerja produktif dan tenaga terampil. Sementara di luar wilayah
Pulau Jawa masih saja akan tertinggal karena semua proses
pengolahan produk setengah jadi dan jadi akan mengalir keluar,
sehingga daerah yang ditinggalkan hanya akan menghasilkan
produk mentah dengan nilai tambah yang cenderung rendah.
Kondisi ini umumnya diakibatkan oleh kesenjangan sarana dan
prasarana, serta tidak tersebarnya investasi industri pengolahan
secara seimbang. Hal ini berimbas pula bagi pergerakan tenaga
kerja dan penduduk yang cenderung terkonsentrasi di Pulau
Jawa. Kondisi tersebut potensial mengakibatkan terjadi
ketimpangan pembangunan, baik antar-desa, antar desa-kota,
dan antar-regional (jawa-luar Jawa). Kesenjangan antar wilayah
tersebut, baik langsung maupun tidak langsung juga

36
berpengaruh besar terhadap ketidak-seimbangan pengelolaan
dan pemanfaatan ruang.

Menghadapi realitas tersebut, maka kedepan


pengembangan perekonomian dituntut untuk lebih proporsional
di seluruh wilayah tanah air dengan mendorong tumbuh dan
berkembangnya pusat-pusat pengembangan ekonomi wilayah
baru yang mampu mendorong percepatan kota-kota kecil di luar
pulau Jawa untuk meningkatkan perannya sebagai motor
penggerak pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan
daya saing daerah. Dengan demikian, selain akan bermanfaat
untuk menjaga keseimbangan lingkungan, juga akan
memperkuat ekonomi lokal yang dilakukan melalui diversifikasi
perekonomian sekaligus menciptakan peluang berusaha dan
kesempatan kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan
pemerataan pendapatan masyarakat secara nasional.

d. Daerah Tertinggal
Kesenjangan antar-wilayah juga ditunjukkan oleh masih
tingginya disparitas kualitas sumber daya manusia antar-
wilayah, perbedaan kemampuan perekonomian antar-daerah,
serta belum meratanya ketersediaan infrastruktur antar-
wilayah. Tahun 2004, terdapat 199 Kabupaten sebagai
kabupaten tertinggal. Dengan berbagai upaya yang dilakukan
Pemerintah, pada tahun 2009 kabupaten yang masih dalam
kategori tertinggal berkurang menjadi 183 kabupaten. Jika
dilihat persentase kabupaten daerah tertinggal dari total
kabupaten di setiap provinsi dapat dilihat pada grafik 2.19.

Grafik 2.20
Persentase Kabupaten Tertinggal
dari Total Kabupaten di Setiap Provinsi Tahun 2009

Gambar tersebut menunjukkan bahwa provinsi yang


seluruh kabupatennya termasuk daerah tertinggal adalah
Provinsi Nusa Tenggara Timur (21 kabupaten), Provinsi Sulawesi
Tengah (10 kabupaten), Sulawesi Barat (5 kabupaten), dan
Maluku Utara (7 kabupaten). Sedangkan provinsi yang memiliki
jumlah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Provinsi Papua

37
(sebanyak 27 kabupaten), dan Provinsi Nusat Tenggara Timur
(sebanyak 21 kabupaten). Sementara provinsi yang tidak
memiliki kabupaten tertinggal adalah Provinsi Riau, Jambi, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Provinsi Bali.

Daerah-daerah kabupaten tertinggal tersebut umumnya


memiliki indeks kemajuan pembangunan ekonomi dan
sumberdaya manusia di bawah rata-rata indeks nasional dan
menjadi konsentrasi keberadaan penduduk miskin. Rendahnya
kualitas sumberdaya manusia dan kemiskinan tersebut, di
antaranya berkaitan dengan permasalahan rendahnya akses
masyarakat terhadap pelayanan dasar khususnya pendidikan
dan kesehatan, serta rendahnya akses terhadap sumber
perekonomian yang dapat mendukung daya beli masyarakat.
Rendahnya akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan diindikasikan dengan tingkat kemudahan mengakses
sarana kesehatan berupa Puskesmas.

Umumnya daerah tertinggal juga menghadapi persoalan


dalam mengakses pelayanan sekolah lanjutan (SLTP).
Rendahnya akses terhadap pelayanan SLTP tersebut,
diindikasikan oleh adanya 94 kabupaten (54% dari seluruh
kabupaten tertinggal), yang lebih 25 persen dari total desanya
tidak memiliki SLTP dan berjarak di atas 5 Km menuju SLTP
terdekat. Bahkan, wilayah Papua umumnya memiliki persentase
desa yang sulit mengakses pelayanan pendidikan (khususnya
SLTP) dan pelayanan puskesmas di atas 50 pesen dari total desa
di setiap kabupaten. Kondisi ini memberikan gambaran adanya
persoalan penyediaan infrastruktur pelayanan dasar yang
belum merata, khususnya di kabupaten daerah tertinggal.

Berdasarkan ukuran PDRB perkapita nonmigas pada


tahun 2007, daerah tertinggal baru mencapai rata-rata sebesar
Rp 7,6 juta, sedangkan rata-rata PDRB perkapita seluruh
kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai Rp. 12,5 juta. Hal
ini mengindikasikan pentingnya akselerasi laju pertumbuhan
ekonomi di daerah tertinggal, agar mampu mengurangi
kesenjangan dengan daerah yang telah maju. Permasalahan
dari berbagai aspek tersebut, umumnya dihadapi daerah-daerah
yang belum berkembang dan secara geografis terisolir dan
terpencil, termasuk daerah perbatasan antarnegara, pulau-
pulau kecil terluar (terdepan), daerah pedalaman, serta kawasan
rawan bencana alam dan bencana sosial.

e. Kawasan Perbatasan

Kawasan perbatasan adalah wiyalah kabupaten/kota yang


secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan
negara tetangga dan/atau laut lepas. Ada 2 (dua) kelompok
yang membedakan kawasan perbatasan, yaitu:
1) kawasan perbatasan darat; dan
2) kawasan perbatasan laut.

Dilihat tipologinya, kawasan perbatasan sangat beragam,


mulai dari kawasan transmigrasi yang berada di pedalaman
hingga pulau-pulau kecil terdepan (terluar). Wilayah NKRI

38
berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu India,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia,
Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Secara keseluruhan
kawasan perbatasan dengan negara tetangga tersebar di 12 (dua
belas) provinsi. Kawasan perbatasan darat tersebar berada di 4
(empat) provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Garis batas negara antara RI-
Malaysia di Pulau Kalimantan terbentang sepanjang 2004 Km,
antara RI-PNG di Papua sepanjang 107 km, dan antara RI-Timor
Leste di Nusa Tenggara Timur sepanjang kurang lebih 263,8
km. Sementara itu, kawasan perbatasan laut berada di 11
(sebelas) provinsi yang meliputi provinsi-provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara,
Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Pada 12 (dua
belas) provinsi di kawasan perbatasan, terdapat 38
kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang diprioritaskan
pengembangannya.

UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah


menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis
dari sudut pandang pertahanan dan keamanan yang meliputi
10 kawasan perbatasan dengan negara tetangga, termasuk 92
(sembilan puluh dua) pulau kecil terdepan (terluar) yang
memiliki nilai strategis sebagai lokasi penempatan titik dasar
yang berperan penting dalam penentuan garis batas negara.
Dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) juga ditetapkan 26 Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN) sebagai kota utama di kawasan
perbatasan seperti gambar 2.1.

Gambar 2.1.
Pusat Kegiatan Strategis Nasional
sebagai Kota Utama di Kawasan Perbatasan
berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2008.

39
Kawasan perbatasan memiliki posisi strategis karena
selain sebagai pintu gerbang untuk berinteraksi langsung
dengan negara tetangga, juga sebagai benteng pertahanan dan
keamanan bagi kedaulatan negara. Pengembangan kawasan
perbatasan perlu dilakukan dengan mengubah arah kebijakan
pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam
(inward looking) yang memandang kawasan perbatasan sebagai
wilayah pertahanan, menjadi berorientasi ke luar (outward
looking) yang menempatkan fungsi kawasan perbatasan sebagai
satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah sekaligus
pintu gerbang perdagangan dengan negara tetangga selain
sebagai wilayah pertahanan. Dengan demikian, pendekatan
pembangunan perlu mengedepankan pendekatan kesejahteraan
dan kebudayaan dengan tetap mempertimbangkan pendekatan
keamanan.

Selama 5 (lima) tahun terakhir, berbagai upaya telah


dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan pembangunan
kawasan perbatasan, baik yang berkaitan dengan aspek regulasi
maupun kegiatan fisik. Dari sisi pertahanan dan keamanan,
pemerintah telah melakukan pembangunan pos-pos
pengamanan perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan
(terluar). Namun demikian, dengan jarak antarpos perbatasan
yang rata-rata mencapai 50-an km dan pembangunan pos
pulau terdepan (terluar) yang baru difokuskan di 12 (dua belas)
pulau, tingkat kerawanan di wilayah perbatasan dan pulau
terdepan (terluar) lainnya masih relatif tinggi. Gangguan
keamanan yang masih terjadi terutama dalam bentuk aktivitas
ilegal berupa pencurian sumber daya alam dan perpindahan
patok-patok batas. Keterbatasan ekonomi masyarakat wilayah
perbatasan dan pulau terdepan (terluar) juga seringkali
dimanfaatkan oleh pihak asing untuk mengeruk sumber daya
alam secara ilegal.

Sementara itu, dari sisi peningkatan kesejahteraan


masyarakat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
menyediakan sarana dan prasarana wilayah, pengembangan
perekonomian setempat, serta peningkatan kualitas
sumberdaya manusia, walaupun dengan jumlah yang belum
memadai. Di bidang infrastruktur, telah dilakukan
pembangunan jalan di kawasan perbatasan, pembangunan
jalan di pulau terdepan (terluar), pengoperasian kapal
penyeberangan perintis, penyediaan listrik di kecamatan
perbatasan, pengembangan bandar udara, pembangunan
pemancar TVRI, prasarana perdagangan, dan berbagai jenis
infrastruktur lainnya untuk menunjang kehidupan masyarakat
di kawasan perbatasan. Namun demikian, kondisi umum
pembangunan di sebagian besar wilayah kabupaten di kawasan
perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan
pembangunan wilayah lain, lebih-lebih jika dibandingkan
dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah negara
tetangga, khususnya di perbatasan Kalimantan. Jika ditinjau
status ketertinggalan wilayah, 27 (dua puluh tujuh) kabupaten
di kawasan perbatasan masih merupakan daerah tertinggal.
Kondisi ini merupakan tantangan utama bagi upaya

40
pengembangan kawasan perbatasan dalam kurun 25 (duapuluh
lima) tahun mendatang.

f. Pertanahan
Tanah merupakan sumber daya yang penting dan strategis
karena menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia
yang sangat mendasar. Pengelolaan pertanahan yang adil dan
memperhatikan kearifan lokal diperlukan untuk mendukung
keseluruhan elemen pelaksanaan pembangunan wilayah yang
berkelanjutan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Prinsip tersebut telah diakomodasikan
dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), yang antara lain menegaskan bahwa negara
menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan
pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada, termasuk hak
ulayat. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam juga telah
menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan
agraria serta pemanfaatan sumber daya alam secara
berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan
mandat kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan
pengelolaan pertanahan melalui penataan peraturan
perundang-undangan maupun penataan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagaimana
digariskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025.

Realitas menunjukkan bahwa pada tahun 2010 terdapat


tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki (yang sudah ada
hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan
tanah), namun banyak tanah-tanah dalam keadaan terlantar
yang tidak produktif, sehingga cita-cita luhur untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Menghadapi
persoalan tanah terlantar ini, telah diterbitkan PP Nomor 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
terlantar sebagai upaya untuk mewujudkan kehidupan yang
lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat
harmoni sosial. Dalam peraturan pemerintah tersebut
ditegaskan bahwa optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan
pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia perlu diarahkan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi
kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan energi. Hal tersebut
sejalan dengan arah kebijakan pembangunan kawasan
transmigrasi yang sekaligus untuk mengoptimalkan
pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi
satu kesatuan sistem pengembangan. Oleh karena itu, kedepan
diperlukan upaya terpadu dari berbagai Kementerian/Lembaga
dan pemerintah daerah untuk menertibkan dan mengotimalkan
pemanfaatan tanah terlantar sekaligus memberikan akses
kepada masyarakat melalui pembangunan dan pengembangan
ekonomi kawasan.

41
g. Persebaran dan Mobilitas Penduduk

Dalam 15 sampai dengan 25 tahun ke depan, penduduk


Indonesia diprediksikan belum mencapai tingkat keseimbangan
dengan tata ruang, sumberdaya alam, dan lingkungan yang
memadai. Bahkan tekanan kependudukan dengan berbagai
implikasinya masih cukup potensial menjadi isu strategis yang
perlu diantisipasi. Pertumbuhan penduduk Indonesia (SP 2010)
sebesar 1,49% per tahun menyebabkan jumlah penduduk
dalam 10 tahun terakhir bertambah 32 juta jiwa menjadi 237,6
juta jiwa. Penduduk tersebut terkonsentrasi tinggal di Pulau
Jawa 136,6 juta jiwa (57,49%) dengan sebaran terbesar berada
di Jakarta (9,58 juta jiwa) dan wilayah sekitar Jakarta seperti
Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (17,02 juta jiwa) yang
meliputi12,46% dari penduduk Pulau Jawa atau 7,16% dari
penduduk Indonesia). Kepadatan kota Jakarta yang jauh
melebihi ambang batas (over-populated) akan menyebabkan
suatu kota menuju pada kecenderungan dinamika
kependudukan yang tidak sehat. Kondisi ini disebabkan antara
lain karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan migrasi
masuk yang tidak dapat dikendalikan. Akibat kepadatan
penduduk yang melebihi ambang batas, menyebabkan kualitas
penduduk rendah yang potensial menyebabkan terganggunya
nir-fisik seperti meningkatnya jumlah kasus sakit jiwa, emosi
warga yang mudah tersulut (tawuran antar-warga), dan
berbagai jenis penyakit masyarakat lainnya. Persebaran dan
Mobilitas Penduduk yang tidak seimbang menyebabkan banyak
penduduk yang bertempat tinggal pada ruang yang tidak sesuai
dengan peruntukannya sehingga menimbulkan kawasan-
kawasan kumuh perkotaan.

Memperhatikan realitas tersebut, maka langkah-langkah


pengaturan mobilitas dan persebaran penduduk sesuai amanat
dalam UU Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga perlu dilakukan
secara terkoordinasi sejalan dengan upaya penataan ruang
sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Salah satu implementasi penatan
persebaran dan pengaturan mobilitas penduduk sejalan dengan
upaya penataan ruang tersebut adalah transmigrasi
sebagaimana diamanatkan UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian sebagaimana diubah dengan UU Nomor 29
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian. Pengertian persebaran penduduk
dalam kontek ini adalah keberadaan penduduk pada unsur
ruang (dimensi ruang) yang dapat diterjemahkan ke dalam
berbagai matra, antara lain matra desa-kota, matra wilayah
administratif, matra Jawa-luar Jawa, matra fungsi kawasan
budidaya-kawasan non budidaya, matra bentang alam daratan-
bentang alam pegunungan, serta matra-matra lainnya.

Kebijakan pengarahan mobilitas dan penataan persebaran


penduduk perlu diarahkan pada tercapainya sebaran penduduk
yang serasi dan seimbang dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan pada ruang-ruang tersebut. Dengan

42
demikian upaya-upaya pengaranan mobilitas dan persebaran
penduduk diarahkan agar interaksi antara matra dan fungsi
ruang dengan penduduk diatasnya berada dalam kondisi
seimbang, selaras, dan serasi, yang direpresentasikan dengan
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungannya. Jika jumlah penduduk di
suatu daerah terlalu besar maka akan terjadi kemerosotan
lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas kehidupan
penduduk, tetapi jika jumlah penduduk disuatu daerah sangat
kurang, maka pemanfaatan sumber daya dan fasilitas publik
akan menjadi tidak efisien.

h. Perkotaan

Pola urbanisasi dan aktivitas perkotaan Indonesia


menunjukkan bahwa pertumbuhan kota dan kawasan
perkotaan masih terpusat di pulau Jawa-Bali dan Sumatera,
serta Sulawesi Selatan. Jumlah kota di Indonesia saat ini
adalah 98 kota, dengan 34 kota di antaranya adalah daerah
otonom baru yang terbentuk dalam kurun waktu tahun 1999-
2009. Pada kurun waktu 1990—2000, laju pertumbuhan
penduduk di kota inti metropolitan (Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, dan Semarang) berkisar antara 0,16 persen
hingga 0,9 persen per tahun, tetapi laju pertumbuhan
penduduk di wilayah sekitarnya mencapai 3 persen hingga 4,13
persen per tahun. Dengan terus bertambahnya jumlah kota dan
jumlah penduduk kota tersebut, persentase jumlah penduduk
perkotaan pada tahun 2025 diperkirakan akan menjadi 67,5
persen dari total penduduk Indonesia (Proyeksi Penduduk
Indonesia 2005-2025, BPS 2008), seperti dapat dilihat pada
grafik 2.20.

Grafik 2.20.
Persentase jumlah penduduk perkotaan dan perdesaan di Indonesia

Dari 98 (sembilanpuluh delapan) kota yang ada di


Indonesia, persentase tipologi kota terbanyak adalah kota
menengah (60,2 %), diikuti oleh kota besar (16,3 %), kota
metropolitan (13,2 persen), kota kecil (9,2 %), dan 1 kota yang
jumlah penduduknya belum memenuhi kualifikasi sebagai kota.

43
Sementara itu peranan perkotaan, khususnya kota-kota besar
dan metropolitan, sangat signifikan sebagai penghela
pertumbuhan ekonomi nasional atau dikatakan sebagai %
perekonomian nasional. Tahun 2007, kota-kota metropolitan
mampu menyumbangkan 23,19 %dari total PDRB Nasional, dan
kota-kota besar mampu menyumbangkan 8,83 %. Sementara
itu, kota-kota menengah yang merupakan jenis kota terbanyak
di Indonesia hanya mampu menyumbangkan 7,63 %.

Peran kota-kota besar sebagai engine of growth tidak dapat


lepas dari keberadaan sektor-sektor perdagangan besar (formal)
dan sektor-sektor informal yang ada di kota-kota besar dan
metropolitan. Kota menengah yang merupakan kelompok kota
terbanyak di Indonesia bersama dengan kota-kota kecil memiliki
keterbatasan sumber pendanaan pemerintah daerah sehingga
belum berkembang secara menjadi pusat pemasaran bagi
produk kawasan perdesaan. Kondisi tersebut semakin
memperluas kesenjangan kesejahteraan antara wilayah
perkotaan dan perdesaan. Gambaran tentang jenis kota di
Indonesia seperti pada gambar 2.2.

Gambar 2.2.
Sebaran jenis kota di Indonesia

Sementara itu, tingginya perpindahan penduduk dari desa


ke kota menyebabkan pemadatan penduduk dan kegiatan di
kota serta meluasnya kawasan pinggiran kota (urban sprawl).
Perkembangan perkotaan yang ekstensif tersebut menyebabkan
besarnya persentase perubahan lahan sawah menjadi nonsawah
dan perumahan. Dari tahun 2005 hingga tahun 2007, sebesar
58,7 % lahan sawah di pulau Jawa berubah menjadi
perumahan dan 21,8 % berubah menjadi lahan non sawah,
sedangkan di luar Pulau Jawa, sebesar 16,1 % lahan sawah
berubah jadi perumahan dan 48,6 % berubah menjadi lahan
nonsawah (Kementerian PU, 2008). Hal lain yang perlu
dipertimbangkan dalam penataan kawasan perkotaan adalah
laporan lembaga kependudukan dunia (state of world
population, UNFPA) tahun 2007 yang menyatakan bahwa pada
tahun 2008, lebih dari separuh penduduk dunia yang

44
jumlahnya sekitar 3,3 miliyar jiwa tinggal di daerah urban.
Angka tersebut akan naik menjadi 5 milyar pada tahun 2030.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan
tingkat urbanisasi (persentase penduduk perkotaan Pulau Jawa)
di Indonesia pada tahun 2025 sekitar adalah 68% dari total
jumlah penduduk yang ada pada saat itu.

Kecenderungan migrasi penduduk ke daerah perkotaan


sebenarnya wajar, manusiawi dan realistis, karena kota lebih
menjanjikan kesempatan ekonomi dan perubahan yang
dirasakan dapat menjawab persoalan kemiskinan yang diderita
di perdesaan tempat asalnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
“kota” masih menjadi ikon kehidupan modern dan sentral
pembangunan sehingga menarik bagi migrasi. Salah satu bias
urbanisasi yang tidak mampu diantisipasi di Indonesia adalah
pemahaman bahwa urbanisasi semata-mata arus migrasi
penduduk dari desa ke kota, dan bukan “mengkotanya”
kawasan perdesaan dengan penyediaan berbagai fasilitas. Jika
solusi yang ditempuh justru ”mencegah migrasi dari desa ke
kota”, maka sangat potensial melanggar hak asasi manusia,
sementara desa tetap menanggung stigma terbelakang dan
semakin tidak menarik. Mobilitas penduduk dari perdesaan ke
perkotaan juga berpotensi menciptakan masalah jika tidak
diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki, kesiapan infrastruktur,
perumahan dan layanan publik yang memadai. Namun realitas
justru menunjukkan hal sebaliknya, daerah urban seringkali
tidak menyediakan ruang dan infrastruktur yang memadai
sehingga pertumbuhan sektor ekonomi informal tak
terhindarkan karena sektor formal tidak dapat menampung
tenaga kerja yang ada. Akibatnya justru menambah
kompleksitas masalah sosial, kesehatan, lingkungan hidup, lalu
lintas, keamanan, dan pada gilirannya juga berpengaruh
terhadap pelaksanaan pembangunan nasional secara umum.

Menghadapi kecenderungan tersebut, UNFPA (2007)


menyerukan kepada semua pemangku kepentingan untuk
mengambil tindakan segera dengan tiga alternatif. Pertama,
mengakui hak orang untuk bermigrasi. Seruan ini mengandung
pesan agar dampak negatif urbanisasi tidak mendorong adanya
larangan bermigrasi. Alasannya, pindah, menetap, atau pindah
lagi adalah hak asasi manusia yang perlu dihormati dan
memperoleh perlindungan. Kedua, mengadopsi visi jangka
panjang untuk tata ruang urban demi perencanaan penggunaan
lahan yang lestari. Seruan ini mengandung pesan bahwa dalam
menghadapi migrasi penduduk diperlukan upaya-upaya
berencana dan berjangka panjang dalam pengelolaan ruang dan
lahan secara berkesinambungan. Ketiga, memulai upaya
terpadu untuk mendukung stategi urbanisasi ke depan, yang
mengandung pesan bahwa persoalan migrasi dan langkah
terpadu dari berbagai aspek pembangunan. Dalam pada itu,
studi yang dilakukan Puslitbang Ketransmigrasian
Depnakertrans (2006) menyatakan bahwa kemiskinan dan
keterbatasan infrastruktur, sumber daya manusia produktif,
akses terhadap modal dan teknologi, merupakan stigma umum
yang selama ini melekat pada kawasan perdesaan. Padahal,

45
wilayah Indonesia yang terdiri dari 17 ribuan pulau dengan
potensi sumberdaya cukup besar pada umumnya merupakan
wilayah perdesaan.

Memahami realitas tersebut, maka untuk


mengakomodasikan fenomena masyarakat, kebijakan
penyelenggaraan transmigrasi perlu diarahkan untuk
melakukan penataan dan penggunaan lahan secara lestari
dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya kawasan
perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan Baru sebagai kota
penyangga yang mampu memberikan ruang bagi masyarakat
untuk meningkatkan aktivitas perekonomian yang memadai.
Penataan dan penggunaan lahan secara lestari tersebut juga
mengandung makna untuk membangun dan mengembangkan
Desa sebagai unit terkecil dari Satuan Wilayah Ekonomi melalui
pemugaran permukiman terhadap desa-desa potensial yang
diimplementasikan dalam bentuk pembangunan kawasan
transmigrasi sebagai satu kesatuan sistem pengembangan
ekonomi wilayah. Oleh karena itu, maka upaya pengendalian
urbanisasi melalui pengembangan kawasan perdesaan menjadi
kawasan perkotaan baru melalui pengembangan kawasan
transmigrasi berpotensi dapat memberikan kontribusi dalam
penguatan sistem perkotaan nasional sebagaimana tertuang
dalam RTRWN.

i. Perdesaan

Sejak dilaksanakannya kebijakan desentralisasi dan


otonomi daerah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang terakhir diubah dengan UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah
kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan dan desa terus
bertambah (lihat Tabel 2.4 dan 2.5).

Tabel 2.4.
Peningkatan jumlah
Kabupaten, Kota, Kecamatan, Kelurahan dan Desa
Tahun 2005 dan Tahun 2008
Tahun Provinsi Kabupaten Kota Kecamatan Kelurahan Desa

2005 33 349 91 5.263 7.365 61.409


2008 33 370 95 6.093 7.895 67.211
+ 0 39 4 1.230 530 5.802

46
Tabel 2.5.
Perkembangan Jumlah Desa Tahun 2005 dan Tahun 2008

Cakupan kawasan perdesaan hampir sekitar 82 persen


wilayah Indonesia, yang di dalamnya sekitar 131,8 juta jiwa
atau lebih dari 56,86 persen penduduk di Indonesia bertempat
tinggal dan menggantungkan hidup di perdesaan (2009). Dari
aspek kependudukan, kawasan perdesaan menghadapi masalah
persebaran penduduk yang tidak merata. Salah satu yang
terkait dengan hal tersebut adalah terkonsentrasinya sebagian
besar sumberdaya ekonomi di wilayah Jawa-Bali yang
kemudian menyebabkan penduduk juga terkonsentrasi di
wilayah ini. Wilayah Jawa-Bali yang luas wilayahnya kurang
dari 7 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia, dihuni oleh
59,82 persen penduduk. Tingkat kepadatan penduduk yang
cukup tinggi di pulau Jawa tidak hanya terkonsentrasi di
perkotaan, tetapi juga di perdesaan seperti yang terlihat dalam
Tabel 2.6.

Tabel 2.6.
Jumlah Penduduk Menurut Daerah Perdesaan
Tahun 2005 dan tahun 2008

D
a
r

47
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat 60,1 persen atau sebesar
37,05 juta pekerja produktif yang ada di perdesaan bekerja di
sektor pertanian (Sakernas–BPS, Agustus 2009), yang
merupakan kekuatan ekonomi perdesaan yang sangat potensial.
Sementara jumlah pengangguran terbuka (Sakernas 2009) pada
bulan Agustus 2009 mencapai 8,96 juta jiwa atau 7,9 persen
dari total angkatan kerja, dan 3,81 juta jiwa atau 5,8 persen di
antaranya bermukim di perdesaan. Jumlah total setengah
pengangguran mencapai 31,57 juta jiwa, yang 23,61 juta jiwa
tinggal di perdesaan, sedangkan jumlah pekerja di kegiatan
informal di perdesaan mencapai 46,87 juta (75,74 persen), jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang di perkotaan yang
mencapai 17,97 juta (42,18 persen). Dengan terbatasnya
kesempatan kerja di perdesaan, sementara kondisi
masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai buruh dengan
upah yang rendah, rata-rata pemilikan lahan yang sempit,
produktivitas pertanian rendah, dan terbatasnya akses
masyarakat perdesaan kepada pelayanan umum, kesemuanya
memberikan kontribusi pada masih tingginya angka kemiskinan
di perdesaan. Dari 32,53 juta (14,15 persen) orang miskin di
Indonesia (Maret tahun 2009) lebih dari separuhnya tinggal di
perdesaan (20,62 juta atau 17,35 persen).

Desa bukan sekedar unit administratif, atau hanya


permukiman penduduk, melainkan juga merupakan basis
sumberdaya ekonomi (tanah, sawah, sungai, ladang, kebun,
hutan dan sebagainya), basis komunitas yang memiliki
keragaman nilai-nilai lokal dan ikatan-ikatan sosial, ataupun
basis kepemerintahan yang mengatur dan mengurus
sumberdaya dan komunitas tersebut. Di Indonesia, masyarakat
hukum adat dilindungi dan diakui keberadaannya. Masyarakat
hukum adat menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian
dan sektor-sektor lain yang terkait dengan hak ulayat atau
tanah adat, yang didalamnya terdapat sumber-sumber daya
alam yang menjadi bagian sangat penting bagi kehidupan
mereka. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya, telah dinyatakan melalui Pasal 18B
ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945. Pembangunan desa
yang berorientasi pada kebutuhan lokal perlu dijalankan secara
mandiri oleh desa dengan menggerakkan potensi modal sosial,
kearifan lokal, dan sumberdaya lokal, misalnya pengaturan tata
ruang, pola bercocok tanam, konservasi lingkungan, ataupun
distribusi hasil alam kepada masyarakat yang semakin
berkembang dengan orientasi pada perbaikan infrastruktur desa
sampai kepada perbaikan dan pemerataan pelayanan publik.
Skema tersebut dilaksanakan melalui berbagai agenda
pembangunan perdesaan, antara lain Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) yang berbasis pada
pengembangan desa mandiri, serta agenda afirmasi dan
akselerasi desa-desa tertinggal yang berjumlah sekitar 40
persen dari total desa di Indonesia. Konsep pembangunan dan
pengembangan kawasan perdesaan juga secara tegas
diamanatkan dalam UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian sebagaimana diubah dengan UU Nomor 29
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997

48
tentang Ketransmigrasian melalui pengembangan WPT atau LPT
menjadi satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah.

j. Ekonomi Lokal dan Daerah

Upaya pengembangan ekonomi local dan daerah, selain


bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam
rangka peningkatan daya saing daerah juga untuk
memeratakan pembangunan ekonomi antar-wilayah (Jawa-luar
Jawa, antar-provinsi, antar-kabupaten/kota, dan antar desa-
kota) secara berkeadilan melalui peningkatan daya saing
daerah. Daya saing daerah secara agregat dicerminkan dengan
daya saing nasional dibandingkan dengan negara lain, seperti
yang digambarkan di dalam Tabel 2.7.

Tabel 2.7.
Peringkat Indonesia dan bebeapa Negara Asia
dalam Doing Business Survey
T
a
h
u
n

2
0
0
7
-
2

Dalam tabel tersebut terlihat bahwa daya saing Indonesia


masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara
tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Laporan dari
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan
World Economic Forum menunjukkan bahwa daya saing
Indonesia dipengaruhi oleh oleh (1) kondisi infrastruktur yang
belum memadai, (2) iklim dunia usaha yang belum mendukung
dan kualitas sumber daya manusia yang rendah, kelembagaan,
wawasan pengembangan usaha dan (3) kemitraan publik dan
dunia usaha. Keterbatasan penyediaan dan pemeliharaan
infrastruktur dan ketersediaan energi di daerah yang terbatas,
merupakan masalah utama yang perlu menjadi perhatian
semua pihak.

Untuk meningkatkan daya saing daerah dan nasional,


pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, seperti upaya
mendorong kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam
penyediaan infrastruktur melalui Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005, pengembangan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) yang terintegrasi
antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan
Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan perizinan
terkait dengan investasi, selain upaya pembangunan yang

49
dilaksanakan secara sektoral, berbagai upaya pembangunan
juga dilakukan secara terpadu dalam satu wilayah.

Proses pembangunan daerah yang digerakkan oleh


pengembangan ekonomi daerah umumnya diawali dengan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan yang bersifat lokal
dan berkembang ke skala regional maupun nasional dan
internasional, melalui tahapan-tahapan yang dimulai dengan
pusat pertumbuhan lokal, pengembangan klaster
komoditas/industri sampai akhirnya terjadi proses aglomerasi
di satu wilayah, yang selanjutnya memberikan efek pengganda
bagi perkembangan daerah sekitarnya. Beberapa
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah lokal dalam
kerangka pengembangan keterkaitan desa-kota telah dilakukan,
baik dengan membangun pusat pertumbuhan lokal baru
maupun dengan mengembangkan pusat pertumbuhan lokal
yang telah ada, melalui pengembangan kawasan agropolitan
dan minapolitan, kawasan sentra produksi, kawasan industri
berbasis kompetensi inti industri daerah, dan juga dilakukan
melalui pengembangan kawasan transmigrasi dengan skema
Kota Terpadu Mandiri yang selanjutnya dibakukan dalam UU
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15
Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian menjadi bagian dari
kawasan transmigrasi. Kawasan transmigrasi merupakan
kawasan budidaya yang memiliki fungsi sebagai permukiman
dan tempat usaha masyarakat dalam satu sistem
pengembangan berupa wilayah pengembangan transmigrasi
(WPT) atau lokasi permukiman transmigrasi (LPT).

Sampai dengan tahun 2008, rintisan pembangunan


kawasan transmigrasi melalui skema KTM telah dilaksanakan di
44 kawasan pada 22 provinsi, yaitu 14 kawasan di Pulau
Sumatera (Provinsi NAD, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu,
Sumsel, dan Lampung), 10 kawasan di pulau Kalimantan
(Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan), 12 kawasan pulau Sulawesi (Provinsi Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Tenggara), 1 kawasan di Provinsi Maluku Utara, 1
kawasan di Provinsi Maluku, 3 kawasan di Provinsi Papua, 1
kawasan di Provinsi NTT, dan 2 kawasan di Provinsi NTB.

2. Tantangan Ketransmigrasian
Dalam 25 (dua puluh lima tahun) mendatang, transmigrasi
sebagai salah satu pendekatan pembangunan cukup potensial
untuk memberikan kontribusi positif dalam melaksanakan misi
“Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan” sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN
2005-2025. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk
mewujudkan peran transmigrasi dengan melanjutkan hasil-hasil
pembangunan yang sudah dicapai, menyelesaikan permasalahan
yang sedang dihadapi, dan mengantisipasi segala tantangan yang
timbul, kedalam suatu konsep pembangunan jangka panjang yang
holistik dan komprehensif. Memperhatikan realitas pelaksanaan
transmigrasi selama ini dan realitas kondisi yang dihadapi bangsa
Indonesia kedepan, maka untuk dapat memberikan kontribusi

50
nyata dalam mewujudkan visi pembangunan nasional, minimal
terdapat 5 (lima) tantangan yang harus dihadapi dalam
penyelenggaraan transmigrasi sebagai berikut:

a. Resistensi Sebagian Kalangan Masyarakat Terhadap Transmigrasi

Ada dua tantangan yang dihadapi oleh penyelenggaran dan


pelaksana transmigrasi kedepan berkenaan dengan adanya
resistensi sebagian kalangan masyarakat terhadap transmigrasi.
Pertama, dampak “trauma” akibat kelemahan masa lalu yang
memunculkan kritik dan (bahkan) penolakan oleh berbagai
kalangan, yang seringkali berkembang semakin frontal. Kedua,
perubahan mendasar yang melatarbelakangi amandemen UU
Ketransmigrasian yang sebenarnya merupakan jawaban atas
kelemahan masa lalu, tetapi belum sepenuhnya difahami secara
utuh, baik oleh masyarakat sebagai pelaku utamanya maupun
aparat pemerintah sebagai penyelenggara dan pelaksananya.

Dalam menghadapi suatu perubahan lebih-lebih dengan


adanya stigma negatif dan trauma masa lalu, diprediksi akan
banyak masalah yang bisa terjadi. Masalah yang paling sering dan
menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri” atau
resistensi perubahan (resistance to change). Sebenarnya,
penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru
karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa
dilakukan secara sembarangan. Penolakan atas perubahan tidak
selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar, tetapi
bisa tampak jelas (eksplisit) dan segera seperti protes demonstrasi,
dan sejenisnya, atau bisa juga tersirat (implisit) dan lambat laun
seperti berkurangnya loyalitas pada pemerintahan, terganggunya
proses pembangunan, dan lain sebagainya yang cenderung
menghambat pelaksanaan kebijakan. Paling tidak ada dua
kategori sumber penolakan atas perubahan atau kebijakan, yaitu
penolakan yang dilakukan oleh individu (pihak yang secara
langsung terlibat, tokoh masyarakat, dan bahkan aparatur
pemerintahan) dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi
(masyarakat atau komunitas di suatu kawasan, Organisasi
Kemasyarakatan, dan bahkan Kementerian/Lembaga serta
pemerintah daerah).

Menyadari kompleksnya persoalan dan demikian cepatnya


dinamika yang dihadapi, maka keberhasilan penyelenggaraan
transmigrasi di masa mendatang sangat ditentukan oleh
kemampuan para penyelenggara dan pelaksana diberbagai
tingkatan untuk melaksanakan komunikasi pembangunan
transmigrasi yang mampu meyakinkan berbagai pihak sesuai
dengan ketentuan perundangan, kebijakan, dan program yang
dikembangkan. Peranan komunikasi pembangunan transmigrasi
diyakini mempunyai andil penting bagi berhasil/tidaknya
penyelenggaraan transmigrasi, karena komunikasi merupakan
dasar dari perubahan sosial. Peranan komunikasi dalam
pembangunan transmigrasi harus mampu mengantisipasi gerak
pembangunan transmigrasi kedepan sebagai suatu cara pandang
baru yang visioner dengan menempatkan transmigrasi tidak
hanya sebagai program pemerintah, melainkan sebagai salah satu

51
pendekatan pembangunan bangsa sejalan dengan amanat
pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui pemberian
akses bagi segenap bangsa untuk terlibat secara aktif dalam
mengelola dan mengembangkan seluruh potensi wilayah tumpah
darah Indonesia. Dengan demikian, pendekatan pembangunan
transmigrasi pada akhirnya harus dirasakan menjadi suatu
kebutuhan bersama untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.

b. Regulasi Pelaksanaan Transmigrasi

Perubahan demi perubahan yang dihadapi dalam pelaksanaan


transmigrasi sejak terjadinya sistem penyelenggaraan
pemerintahan Negara dari sentralistik ke desentralisasi bergerak
cukup dinamis. Kondisi tersebut sangat besar pengaruhnya
terhadap regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan transmigrasi
yang sebelumnya cenderung sentralistik. UU Nomor 15 Tahun
1997 tentang Ketransmigrasian sebagai pengganti UU Nomor 3
Tahun 1972 dan PP Nomor 2 Tahun 1999 sebagai peraturan
pelaksanaan yang lahir bersamaan dengan maraknya tuntutan
reformasi belum ditindaklanjuti dengan pedoman teknis berupa
peraturan Menteri. Oleh karena itu, pelaksanaan transmigrasi
sejak tahun 2009 masih dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 3
Tahun 1972 dan PP Nomor 42 Tahun 1973 yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan masyarakat. Akibatnya, berbagai kebijakan
dan program transmigrasi yang sebelumnya dirasakan cukup
memadai, dianggap sebagai kelemahan yang berdampak pada
resistensi. Dalam pada itu, UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian diamandemen dengan UU Nomor 29 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian memerintahkan secara langsung penerbitan 7
(tujuh) Peraturan Pemerintah dan 6 (enam) Peraturan Menteri,
yang sampai dengan tahun 2010 belum ada yang selesai. Selain
itu, juga harus menyesuaikan berbagai peraturan teknis
pelaksanaan yang telah ada sejalan dengan peraturan
perundagnan baru. Kondisi tersebut merupakan tantangan
mendesak yang harus dapat diselesaikan paling lambat pada
tahun 2013.

c. Pemanfaatan Ruang dan Pertanahan

Kondisi tata ruang Indonesia saat ini masih jauh dari ideal,
karena pengaruh “keterlanjuran” dan lemahnya pengendalian
dalam pemanfaatan ruang. Penerapan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan peningkatan keseimbangan pembangunan
antar-fungsi dan antar-kegiatan belum dapat dilaksanakan
dengan baik. BPN mengidentifikasi bahwa tahun 2007 terdapat
sekitar 30,8 persen penggunaan lahan di Indonesia tidak sesuai
dengan RTRWP sebagaimana tabel 2.8. Akibatnya banjir dan
kekeringan seolah menjadi bagian dari tantangan kehidupan yang
harus dihadapi sehari-hari.

52
Tabel 2.8.
Tingkat kesesuaian penggunaan lahan terhadap RTRWP

Ada 2 (dua) tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan


transmigrasi yang terkait dengan penataan ruang. Pertama, belum
semua daerah menyelesaikan peraturan daerah tentang tata ruang
sebagaimana diamanatkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, sementara penyelenggaraan transmigrasi
diwajibkan mengacu pada RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kedua, sinkronisasi peraturan dari berbagai
Kementerian/Lembaga dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 belum
seluruhnya selesai, seperti misalnya sektor kehutanan, pertanian,
pertambangan, transportasi, pengairan, penanaman modal,
pertanahan, dan transmigrasi.

Sementara itu, dalam penyelenggaraan transmigrasi berbasis


kawasan tentu memerlukan dukungan penerapan sistem
pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta penegakan
hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-
prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi yang berbasis RTRW.
Namun terdapat beberapa masalah yang membutuhkan perhatian
dan penanganan semua pihak untuk menjadikan tanah sebagai
salah satu sumber perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Setidaknya ada dua persoalan yang menjadi tantangan di bidang
pertanahan dalam penyelenggaraan transmigrasi kedepan. Pertama,
ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (P4T). Tahun 2011, BPN mengindikasikan
adanya tanah terlantar seluas sekitar 7,3 juta hektar, tetapi di sisi
lain, banyak petani yang hanya memiliki tanah kurang dari 0,5
hektar per rumah tangga petani yang jauh dari memadai untuk
mencapai skala usaha pertanian. Dengan demikian, perlu
dilakukan penataan yang arif untuk mengurangi kesenjangan
penguasaan tanah, memperkecil resiko sengketa tanah, serta
menanggulangi kemiskinan, terutama di perdesaan. Selain itu,
upaya redistribusi tanah perlu dilakukan dengan memperhatikan
tata ruang yang efisien melalui persiapan yang matang sebelum
tahap sertipikasi. Dengan demikian akan diperoleh adanya jaminan
akses terhadap sumber daya produksi setelah diperolehnya
sertipikat tanah. Dalam konteks ini upaya penertiban dan
pendayagunaan tanah dapat diintegrasikan dengan pembangunan

53
kawasan transmigrasi, sekaligus merupakan ihktiar distribusi
tanah sebagai asset produksi bagi masyarakat. Kedua, Penataan
dan Penegakan Hukum Dalam Pengelolaan Pertanahan yang
kurang optimal. Ketidaksesuaian antar-peraturan perundangan
yang terkait dengan tanah masih menjadi kendala utama baik
dalam mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah maupun
dalam menyelesaikan serta mencegah kasus pertanahan.
Sementara itu, kelemahan penyelenggaraan transmigrasi masa lalu
juga masih menyisakan berbagai persoalan sehingga terdapat
sekitar 400 ribuan sertifikat hak atas tanah transmigran yang
belum dapat diselesaikan. Kondisi tersebut disebabkan oleh:
1) adanya bidang tanah transmigran di permukiman transmigrasi
yang berada pada kawasan hutan,
2) adanya okupasi berbagai kepentingan lain setelah permukiman
tumbuh dan berkembang, dan
3) adanya bidang tanah yang subyek dan obyeknya berbeda. Kedua
tantangan tersebut memerlukan terobosan atau upaya luar biasa
(bussines not as-usual) dengan langkah-langkah bertahap dan
realistis secara terkoordinasi antar Kementerian/Lembaga dan
pemerintah daerah.

d. Sinergitas Pembangunan antar Daerah

Dalam menghadapi kesenjangan pembangunan antar wilayah,


sinergitas kebijakan dan program antar-daerah merupakan suatu
keharusan. Hal tersebut dimaksudkan untuk membangun
kebersamaan antar-daerah dalam mengembangkan perekonomian
secara lebih proporsional di seluruh wilayah tanah air dengan
mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat aktivitas
ekonomi, terutama di luar Pulau Jawa yang relatif tertinggal.
Dengan demikian, selain akan bermanfaat untuk menjaga
keseimbangan lingkungan, juga akan memperkuat ekonomi lokal
melalui diversifikasi kegiatan ekonomi sekaligus membuka
peluang berusaha dan kesempatan bekerja bagi penduduk di
daerah-daerah yang menghadapi beban tekanan kependudukan
sehingga pada gilirannya akan terwujud pemerataan pendapatan
masyarakat secara nasional. Untuk mensinergikan kebijakan dan
program antar daerah tersebut diperlukan adanya pemahaman
yang utuh terhadap filosofi dasar penyelenggaraan transmigrasi
sebagai pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan
kepentingan antar-daerah dalam mengelola sumberdaya bangsa
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Bagi daerah tujuan
transmigrasi pengelolaan sumberdaya diarahkan untuk
mempermudah bagi masyarakat yang terpaksa miskin akibat
ruang yang dimiliki terisolasi sehingga terkendala oleh akses,
distribusi, dan pasar, sementara bagi daerah asal akan
memberikan aset produksi bagi masyarakat yang miskin akibat
tidak tersedia ruang dan sumberdaya alam.

Persoalannya, dampak kelemahan pelaksanaan transmigrasi


masa lalu yang menimbulkan persepsi negatif (terutama
masyarakat dan pemerintah daerah tujuan) terhadap transmigrasi
dan masih adanya bias pelaksanaan otonomi daerah,
primoldialisme dan ego kedaerahan, ditengarai masih akan
menjadi tantangan cukup berat dalam penyelenggaraan
transmigrasi kedepan. Sementara itu, mekanisme kerjasama antar

54
daerah yang dikembangkan sejak tahun 2007 yang diharapkan
dapat mengubah persepsi masyarakat dan pemerintah daerah
tujuan, juga belum dilaksanakan secara optimal, dan cenderung
normatif dan formalitas.

Menghadapi tantangan tersebut, maka penyelenggara dan


pelaksana transmigrasi di berbagai tingkatan dituntut untuk
mampu mensinergikan kepentingan antar-daerah melalui
kerjasama yang mampu memberikan manfaat yang berimbang,
proporsional, adil, dan berkelanjutan.

e. Sinergitas Pembangunan Lintas Bidang

Penyelenggaraan transmigrasi merupakan pendekatan


pembangunan lintas pemerintah daerah, lintas institusi
Pemerintah (Kementerian/Lembaga), lintas disiplin ilmu, lintas-
budaya, dan lintas kepentingan yang pelaksanaannya melibatkan
hampir seluruh tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan
pemerintah daerah. Menteri yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan transmigrasi bukanlah institusi yang memiliki
kewenangan keseluruhan kegiatan pelaksanaan transmigrasi,
sehingga tercapai/tidaknya sasaran pembangunan kawasan
transmigrasi sangat tergantung kinerja dan program
Kementerian/Lembaga lain dan pemerintah daerah. Sementara
itu, masing-masing Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah
juga memiliki kepentingan yang potensial tidak/kurang saling
terkait. Oleh karena itu, sinergitas kebijakan, regulasi, dan
program lintas bidang dalam pelaksanaan transmigrasi
merupakan tantangan yang menuntut kemampuan mediasi dan
koordinasi bagi penyelenggara dan pelaksana di berbagai
tingkatan. Hal tersebut sejalan dengan amanat UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
menekankan pada 5 (lima) tujuan sistem perencanaan
pembangunan nasional, yaitu:
1) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar-
daerah, antar-ruang, antar-waktu, dan antar-fungsi
pemerintah, maupun antarpusat dan daerah;
3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
5) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien,
efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

f. Pengembangan Investasi di Kawasan Transmigrasi


Salah satu tantangan Indonesia saat ini dan ke depan adalah
lemahnya industri berbasis sumberdaya alam, terutama
pertanian, yang mengakibatkan Negara agraris ini seolah tak
pernah henti mengimport bahan pangan. Hal tersebut antara
disebabkan oleh rendahnya minat kalangan dunia usaha untuk
menanamkan modalnya di sektor pertanian. Alasannya, sektor
pertanian memiliki Internal Rate of Return (IRR) yang rendah, high
risk, kurang kompetitif dan oleh karenanya kurang menarik.
Sementara itu, pembangunan dan pengembangan kawasan

55
transmigrasi merupakan upaya penumbuh-kembangan kawasan
sebagai satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah,
yang memerlukan dukungan investasi dari kalangan badan usaha.

Oleh karena itu tantangan pemerintah yang sangat essensial


dalam penyelenggaraan transmigrasi adalah bagaimana
mengintegrasikan kawasan transmigrasi dengan pembangunan
koridor ekonomi sesuai dengan MP3EI sebagai salah satu bentuk
strategi pembangunan pro poor dan pro employment. Hal tersebut
diperlukan untuk menciptakan iklim investasi dan iklim usaha di
kawasan transmigrasi yang menarik bagi badan usaha. Tantangan
lain dalam mendorong investasi di kawasan transmigrasi adalah
belum terintegrasikannya ketentuan pelaksanan transmigrasi
dengan ketentuan yang mengatur investasi, lemahnya sistem
birokrasi, dan rendahnya kemampuan aparat dalam melakukan
mediasi, fasilitasi, dan memberikan pelayanan.

3. Modal Dasar

Modal dasar pembangunan bidang ketenagakerjaan dan


ketransmigrasian adalah seluruh sumber kekuatan
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, baik yang efektif maupun
potensial, yang dimiliki dan didayagunakan dalam pembangunan
bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.

56
a. Penduduk

Tabel 2.9.
Kondisi dan Proyeksi Penduduk 15+ (dalam juta)

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah

2006 79.767,30 80.585,00 160.352,30


2007 81.327,20 82.260,90 163.588,10
2008 82.667,40 83.627,40 166.294,80
2009 84.007,80 84.988,00 168.995,80
2010 85.350,80 86.340,50 171.691,30
2011 86.670,70 87.700,70 174.371,40
2012 87.983,90 89.051,70 177.035,60
2013 89.175,40 90.282,20 179.457,60
2014 90.343,50 91.526,80 181.870,30
2015 91.497,90 92.698,10 184.196,00
2016 92.630,40 93.880,00 186.510,40
2017 93.746,90 95.041,50 188.788,40
2018 94.939,80 96.260,60 191.200,40
2019 94.105,80 97.445,80 191.551,60
2020 97.245,80 98.595,00 195.840,80
2021 98.390,40 99.808,40 198.198,80
2022 99.535,40 101.023,00 200.558,40
2023 100.684,30 102.230,40 202.914,70
2024 101.838,90 103.426,20 205.265,10
2025 102.993,40 104.616,90 207.610,30

Sumber: Bappenas. 2008.

Berdasarkan tabel di atas maka diproyeksikan jumlah


penduduk usia 15+ akan terus bertambah. Dari 171,693 Juta
pada tahun 2010, menjadi 184,196 Juta pada tahun 2015,
195,840 Juta pada tahun 2020 dan 207,610 juta pada tahun
2025. Jumlah penduduk usia produktif yang cukup besar tersebut
merupakan elemen yang signifikan bagi proses pembangunan
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Dalam bidang
ketenagakerjaan, modal dasar dalam segi jumlah penduduk
semakin ditopang dengan perhatian pemerintah kepada dunia
pendidikan beserta pelatihan yang diberikan, sehingga penduduk
tersebut diprediksikan memiliki kompetensi yang memadai dalam
menyingsing era globalisasi. Dalam bidang ketransmigrasian,
jumlah penduduk tersebut tidak akan optimal jika
terdistribusikan secara tidak merata, sehingga perlu
didistribusikan dengan basis pengembangan potensi daerah yang
belum tergali.

b. Kekayaan Alam dan Keanekaragaman Hayati

Kekayaan alam dan hayati yang terdapat di darat, laut dan


udara terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan yang efektif dan efisien melalui kompetensi dan
produktivitas tenaga kerja yang memadai sehingga output (barang

57
dan jasa) yang dihasilkan memberikan nilai tambah. Secara
geografis, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagaisatu kesatuanwadah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara mencakup ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara yang memiliki nilai strategis karena dua hal. Pertama,
ruang terbesar wilayah NKRI tersebut merupakan ruang perairan
yang menjadi perekat pulau-pulau besar dan kecil dari Sabang
sampai Merauke hingga membentuk wilayah negara kepulauan.
Kedua, konstelasi geografis sebagai negara kepulauan dengan
posisi diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia, menempatkan Indonesia menjadi
daerah kepentingan bagi negara-negara dari berbagai kawasan.
Posisi ini menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan keamanan
ditingkat regional dan global menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap kondisi Indonesia. Selain itu, wilayah Indonesia juga
merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu
lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific yang
potensial menimbulkan bencana karena di sekitar lokasi
pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul
sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup
menahan tumpukan energi yang lepas berupa gempa bumi.
Indonesia juga memiliki keberagaman antarwilayah yang tinggi
seperti keberagaman sumber daya alam, keberagaman kondisi
geografi dan demografi, keberagaman agama, serta keberagaman
kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Memahami kondisi wilayah NKRI tersebut, UU Nomor 17


Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 menegaskan bahwa aspek
spasial haruslah diintegrasikan ke dalam kerangka perencanaan
pembangunan. Sedangkan UU Nomor 26 Tahun 2007
tentangPenataan Ruang mengamanatkan pentingnya integrasi
dan keterpaduan antara Rencana Pembangunan dengan Rencana
Tata Ruang di semua tingkatan pemerintahan. Kedua Undang-
Undang tersebut mengamanatkan bahwa pembangunan nasional
Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan dimensi kewilayahan
dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan potensi sumberdaya
wilayah untukmendorong peningkatan daya saing daerah dalam
kerangka peningkatan daya saing bangsa.

Sejalan dengan kedua UU tersebut, UU Nomor 15 Tahun 1997


tentang Ketransmigrasian diubah dengan UU Nomor 29 Tahun
2009 untuk menegaskan bahwa pembangunan transmigrasi harus
dilaksanakan berbasis kawasan yang memiliki keterkaitan
fungsional dan hierarki keruangan dengan pusat pertumbuhan
dalam satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi
wilayah.Konsekuensi dari perubahan tersebut, pelaksanaan
transmigrasi di tingkat daerah merupakan sub-sistem dari sistem
pembangunan daerah yang secara spesifik merupakan upaya:
1) pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan
terintegrasi dengan kawasan perkotaan,
2) pengarahan mobilitas dan penataan persebaran penduduk di
kawasan transmigrasi, dan
3) pengembangan ekonomi lokal dalam rangka meningkatkan
daya saing daerah.

58
c. Desentralisasi

Era keterbukaan yang datang seiring dengan proses reformasi


memberikan perubahan yang mendasar. Demokratisasi membuat
keterlibatan masyarakat luas meningkat di dalam proses ber-
negara, sedangkan Desentralisasi mampu mengakomodir peran
aktif dari daerah. Terkait dengan hal tersebut, maka
pembangunan ketenagakerjaan akan lebih transparan dan
akuntabel, terutama dalam hal-hal pengaturan hak dan kewajiban
dari para stakeholder yang terkait, jaminan sosial, upah dan
berserikat bagi pekerja, ketenangan berusaha, rambu-rambu
hukum ketenagakerjaan, dll. Dalam bidang ketransmigrasian,
Desentralisasi yang meningkatkan peran aktif daerah diharapkan
akan mampu menciptakan program ketransmigrasian yang sesuai
dengan kebutuhan nyata daerah, sehingga memberikan kontribusi
yang nyata pula.

59
BAB III

VISI DAN MISI


PEMBANGUNAN KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
TAHUN 2010-2025

A. Visi

Berdasarkan kondisi umum bidang ketenagakerjaan dan


ketransmigrasian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka visi
pembangunan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian 2025 adalah:

“TERWUJUDNYA TENAGA KERJA DAN MASYARAKAT TRANSMIGRASI


YANG MANDIRI DAN SEJAHTERA”

Visi pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian


tersebut mengarah pada kerangka Pembangunan Jangka Panjang
Nasional. Dalam rangka turut memenuhi amanah yang tertuang dalam
Pembangunan Jangka Panjang Nasional, maka visi pembangunan
bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian harus dapat dipahami
dan diukur dengan jelas untuk mengetahui kontribusi nyatanya dalam
mencapai produktivitas, kemandirian, daya saing dan kesejahteraan
tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi.

Kemandirian merupakan hakikat kemerdekaan sebuah bangsa, di


mana setiap bangsa berhak menentukan sendiri langkah yang terbaik
bagi proses pembangunan bangsanya. Namun demikian, dalam konteks
semakin besarnya kondisi saling ketergantungan antar bangsa dalam
era globalisasi ini, kemandirian tidaklah dipahami sebagai
keterisolasian, defensif dan reaktif melainkan proaktif. Pemahaman
kemandirian ini merupakan pemahaman yang dinamis karena
mengenali betul perubahan zaman dengan berbagai tuntutan yang
dibawanya, sehingga bersifat fleksibel namun kokoh. Tenaga kerja dan
masyarakat transmigrasi yang mandiri adalah tenaga kerja dan
masyarakat transmigrasi yang dalam proses kekaryaannya mampu
mengenali, menggali dan mengembangkan potensi yang dimilikinya di
tengah-tengah arus perubahan.

Kemandirian tersebut tidak akan dapat dicapai tanpa adanya


produktivitas yang baik. Dalam hal ini, produktivitas merupakan
hakikat kekaryaan manusia di dalam hidupnya. Oleh karena itu, dalam
konteks kehidupan berbangsa, karakter yang produktif merupakan
elemen vital bagi proses pembangunan. Tanpa sumber daya manusia
yang produktif, keberhasilan pembangunan suatu bangsa tentu tak
akan dapat diraih. Begitu pula halnya dengan tenaga kerja dan
masyarakat transmigrasi. Terciptanya tenaga kerja dan masyarakat
transmigrasi yang memiliki karakter produktif tentu akan menjadi
fundamen yang kokoh bagi proses pembangunan bangsa Indonesia
secara keseluruhan.

Produktivitas yang baik tentunya akan meningkatkan daya saing.


Dalam era sekarang ini persaingan merupakan suatu kondisi yang
harus ditempuh manusia dan tak dapat terelakkan. Dengan adanya
persaingan, maka proses kemajuan dalam kehidupan manusia
sesungguhnya dapat ditempuh secara lebih cepat. Oleh karena itu,

60
kondisi persaingan harus disikapi secara positif sebagai proses
pembangunan mental dan karakter. Dalam konteks globalisasi,
keterbukaan bangsa Indonesia di dalam arus globalisasi saat ini tentu
membawa implikasi tersendiri. Bangsa Indonesia harus memiliki daya
saing yang kuat di tengah kondisi persaingan ekonomi antar bangsa
yang semakin deras. Begitu pula halnya dengan tenaga kerja dan
masyarakat transmigrasi yang harus memiliki daya saing global di
tengah-tengah laju perekonomian dunia, agar tidak tertinggal dengan
bangsa lainnya.

Seluruh hal tersebut akan bermuara pada kesejahteraan.


Kesejahteraan merupakan cita-cita besar bagi pembangunan suatu
bangsa. Dalam hal ini, kesejahteraan tidak hanya mencakup dimensi
material, namun juga spiritual. Di bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian, terwujudnya tenaga kerja dan masyarakat
transmigrasi yang mampu memenuhi kebutuhan fisik dan rohani sesuai
dengan perkembangan zaman, merupakan tujuan utama.

Produktivitas, Kemandirian, Daya Saing yang bermuara pada


Kesejahteraan Tenaga Kerja dan Masyarakat Transmigrasi merupakan
sesuatu yang holistik dan saling terkait satu sama lain. Tanpa adanya
produktivitas dan kemandirian, tak mungkin tercipta daya saing dan
kesejahteraan. Begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya daya saing dan
kesejahteraan, tak mungkin ada produktivitas dan kemandirian.
Keempat aspek tersebut harus dipandang secara komprehensif sebagai
visi yang membimbing langkah-langkah pembangunan bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dalam jangka panjang.

B. Misi

a. Ketenagakerjaan

Untuk mendukung terwujudnya tenaga kerja yang produktif,


mandiri, berdaya saing dan sejahtera, langkah yang ditempuh
antara lain:

1. Meningkatkan Kompetensi Angkatan Kerja

Pendapat baru yang sekarang menjadi suatu dogma adalah


jika kita ingin memenangkan persaingan maka kualitas dan
kompetensi kerja merupakan persyaratan utama yang harus
dimiliki oleh sumber daya manusia. Perubahan dunia kerja
pada abad 21 akan berorientasi pada Post Taylorist. Era ini
menuntut sistem pengembangan sumber daya manusia yang
bersifat multi-skiling, retrainable dan kompetensi
entrepreneurship hingga technopreneurship, serta life-long
education. Studi JICA tahun 1996 tentang Engineering
Manpower Planning, menyatakan bahwa dunia industri akan
membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
kerja adalah pengetahuan (21 %), keahlian (27 %), kualitas
pendidikan (10 %), rekomendasi (2 %) dan sikap (38 %).

61
Berdasarkan hal tersebut maka yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kompetensi kerja adalah:
a) Pembinaan sumber daya manusia selama janin ada di rahim
ibunya melalui makanan bergizi, bekerjasama dengan
Kementerian Kesehatan dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
b) Pembinaan anak menyangkut etika, tata krama, disiplin,
kreativitas dan pengetahuan dasar.
c) Pendidikan formal yang diarahkan pada peningkatan
pengetahuan, tanggung jawab, fleksibilitas, selalu rajin
belajar, kesadaran tentang kualitas, mandiri, kemampuan
kerjasama, kompromi dan loyalitas, membuat keputusan,
pemahaman sistemik, kemampuan berkomunikasi dan rasa
kebersamaan.
d) Pelatihan kerja yang fleksibel dan mudah diterima terhadap
berbagai perubahan yang terjadi; responsif dalam
mengetahui dan memenuhi kebutuhan jenis tenaga kerja
yang dibutuhkan dalam proses produksi; serta mengadakan
Competency Based Training (CBT) yang mengikutsertakan
industri untuk merancang, membangun dan melaksanakan
pelatihan.
e) Pembinaan bekerja.

2. Menciptakan Hubungan Industrial yang Harmonis

Untuk membangun hubungan industrial yang harmonis,


demokratis dan bermartabat diperlukan para pelaku hubungan
industrial yang berkualitas dan professional. Upaya-upaya yang
harus dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas para
pelaku hubungan industrial adalah:
a) Sosialisasi peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan, khususnya bidang Hubungan Industrial
dan Jamsos.
b) Bimbingan teknis di bidang Hubungan Industrial dan
jaminan sosial.
c) Pendidikan pelatihan di bidang hubungan industrial dan
jaminan sosial.
d) Sosialisasi dan bimbingan teknis tentang standar
ketenagakerjaan internasional.
e) Dialog sosial tentang hubungan industrial terkait dengan
pemberdayaan LKS Bipartit, LKS Tripartit dan lembaga
ketenagakerjaan yang berunsur tripartit serta perundingan
PKB.

3. Menegakkan Norma Ketenagakerjaan

Secara universal, maksud dan tujuan utama


dilaksanakannya pengawasan ketenagakerjaan adalah untuk
menciptakan keadilan sosial. Dengan demikian, wilayah kerja
pengawasan ketenagakerjaan masuk dalam bidang
kemanusiaan. Agar pengawasan ketenagakerjaan dapat
dilaksanakan secara maksimal, terdapat 5 (lima) prinsip dasar
yang harus dipenuhi:

62
a) Pengawasan ketenagakerjaan merupakan fungsi dari negara,
oleh karena itu negara bertanggungjawab menyusun sistem
pengawasan ketenagakerjaan yang lengkap dan baik;
b) Pengawasan ketenagakerjaan harus bekerjasama secara erat
dengan pengusaha dan pekerja;
c) Pengawasan ketenagakerjaan harus bekerjasama dengan
institusi lain seperti lembaga riset, perguruan tinggi
maupun lembaga yang bertanggungjawab dalam jaminan
sosial;
d) Pengawasan ketenagakerjaan harus berorientasi pada
pendekatan pencegahan (prevention);
e) Cakupan inspeksi bersifat universal.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka hal yang perlu


dilakukan adalah:
a) Penyusunan perencanaan yang meliputi kebijakan,
pembinaan, operasionalisasi, pembangunan jangka pendek,
menengah dan panjang di bidang pengawasan
ketenagakerjaan;
b) Pengorganisasian pengawasan ketenagakerjaan pusat dan
daerah;
c) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan yang dilakukan
terhadap objek pengawasan mulai dari pra sampai dengan
pasca penempatan tenaga kerja di sejumlah perusahaan,
baik besar, sedang maupun kecil;
d) Evaluasi dan supervisi pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan yang dilakukan melalui monitoring dan
pelaporan.

4. Mengembangkan Hukum Ketenagakerjaan

Pasca diberlakukannya otonomi daerah, maka dalam rangka


memberikan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
dalam melakukan pekerjaan serta meningkatkan produksi dan
produktivitas bagi pengusaha dan pekerja/buruh di
perusahaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
merencanakan Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Perubahan Atas UU
Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU
Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, dan
Perubahan Atas UU Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonantie 1930,
Stb Nomor 225 Tahun 1930), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

Sedangkan dalam rangka perlindungan dan penempatan


Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, dengan tujuan
memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja di
luar negeri, memberikan kemudahan untuk persyaratan bagi
TKI agar dapat bekerja di luar negeri serta memberikan
perlindungan yang optimal bagi TKI dalam bekerja, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi merencanakan Perubahan Atas
UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.

63
Di bidang pelayanan dan bantuan hukum, Biro Hukum
merupakan kuasa hukum pimpinan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dalam menangani perkara pada lembaga
peradilan (Peradilan TUN, Peradilan Umum, Pengujian di
Mahkamah Agung mengenai Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang serta pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi)
serta memberikan layanan konsultasi hukum bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian kepada pekerja/buruh,
pengusaha, pelajar/mahasiswa, LSM/LBH dan organisasi
masyarakat lainnya maupun perorangan.

5. Mengembangkan Sumber Daya Manusia Aparatur


Ketenagakerjaan

Sejalan dengan pendidikan dan pelatihan yang berbasis


kompetensi dan tantangan perekonomian global, maka
penyusunan dan pengembangan standar kompetensi diklat
menjadi sangat penting untuk terus dilakukan. Standar
kompetensi sangat dibutuhkan oleh lembaga diklat sehingga
mempunyai standar global dan regional. Oleh karena itu,
seluruh program diklat (standar kurikulum, tenaga
pengajar/widyaiswara, tenaga pengelola diklat dan sarana dan
prasarana diklat dan tukar menukar informasi) perlu
dikembangkan secara global pula sehingga diperoleh lulusan
diklat yang memiliki kompetensi global.

b. Ketransmigrasian
Pembangunan transmigrasi periode 2010-2015 diarahkan
untuk mengembangkan potensi sumberdaya wilayah terutama di
luar pulau Jawa menjadi kawasan transmigrasi yang berfungsi
sebagai klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi wilayah.
Dengan demikian, kawasan transmigrasi berperan sebagai motor
penggerak pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan daya
saing daerah. Sejalan dengan itu, misi pembangunan transmigrasi
periode 2010-2025 adalah sebagai berikut:

1). Membangun Kawasan Transmigrasi


Pembangunan kawasan transmigrasi diarahkan untuk
mendorong terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi secara
sinergis dalam suatu “sistem wilayah pengembangan ekonomi”
melalui diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan
(nonpertanian) di kawasan pedesaan yang terkait dengan
kegiatan industri, perdagangan, dan jasa di kawasan perkotaan.
Oleh karena itu, pembangunan kawasan transmigrasi
diarahkan untuk mengembangkan kawasan perdesaan menjadi
sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam
yang memiliki keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan
dengan pusat pertumbuhan membentuk satu kesatuan sistem
pengembangan ekonomi wilayah. Pembangunan kawasan
transmigrasi dirancang secara holistik dan komprehensif sesuai
dengan RTRW berupa Wilayah Pengembangan Ttransmigrasi
(WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT). WPT sebagai

64
satu kesatuan sistem pengembangan dibangun dalam klaster-
klaster Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) yang terdiri atas
3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) Satuan Permukiman (SP). Salah
satu klaster SKP dalam WPT tersebut dirancang untuk
mewujudkan pusat pertumbuhan baru yang disiapkan menjadi
Kawasan Perkotaan Baru (KPB). Sementara itu, LPT dibangun
secara bertahap melalui pembangunan kawasan perdesaan
(termasuk permukiman penduduk yang ada) menjadi klaster-
klaster SKP yang terdiri atas 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam)
SP. Klaster-klaster SKP tersebut berfungsi sebagai daerah
belakang (hinterland) untuk mendukung percepatan pusat
pertumbuhan yang sudah ada atau yang sedang berkembang
menjadi KPB. Dengan demikian, KPB dalam WPT maupun LPT
merupakan pusat kegiatan industri, perdagangan, dan jasa
yang mempunyai fungsi sebagai Pusat Pelayanan Kawasan.
Untuk menciptakan keterkaitan antar SP dalam SKP dan antar
SKP sebagai daerah belakang (hinterland) dengan KPB sebagai
pusat pelayanan, maka di setiap WPT atau LPT dilengkapi
dengan jaringan infrastruktur dasar intra dan antar kawasan.

Pembangunan kawasan transmigrasi di suatu


Kabupaten/Kota, baik berupa WPT maupun LPT, dilaksanakan
secara terintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan jaringan
antar kawasan pengembangan dalam rangka mendorong bagi
tumbuh dan berkembangnya kota-kota kecil di luar pulau Jawa
untuk meningkatkan perannya sebagai motor penggerak
pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan daya saing
daerah. Dengan demikian pembangunan kawasan transmigrasi
akan mampu:
a) mengurangi lebarnya kesenjangan pembangunan
antarwilayah, terutama antara kawasan perdesaan-
perkotaan, kawasan pedalaman-pesisir, Jawa-luar Jawa,
dan antara kawasan Timur-Barat, dan
b) menciptakan keterkaitan antara pusat pertumbuhan dengan
daerah belakang (hinterland), termasuk antara kawasan
perkotaan dan perdesaan. Dalam rangka mengurangi
kesenjangan antar wilayah tersebut, pembangunan kawasan
transmigrasi diprirotitaskan pada Kabupaten/kota daerah
perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar dan
Kabupaten/kota daerah tertinggal, walaupun tidak
mengesampingkan kemungkinan pengembangannya di
kawasan strategis lainya.

2). Melaksanakan Penataan Persebaran Penduduk di Kawasan


Transmigrasi
Pembangunan kawasan transmigrasi sekaligus
dilaksanakan untuk mewujudkan persebaran penduduk yang
serasi dan seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan daya
tampung lingkungan dengan:
a) mengakui hak orang untuk bermigrasi,
b) mengadopsi visi jangka panjang untuk tata ruang urban
demi perencanaan penggunaan lahan yang lestari, dan

65
c) mendukung strategi urbanisasi secara terpadu. Penataan
persebaran penduduk di kawasan transmigrasi
dilaksanakan melalui penataan persebaran penduduk
setempat dan fasilitasi perpindahan transmigran dari
kawasan lain untuk mewujudkan persebaran penduduk
yang optimal berdasarkan pada keseimbangan antara
jumlah dan kualitas penduduk dengan daya dukung alam
dan daya tampung lingkungan. Penataan penduduk
setempat dan fasilitasi perpindahan transmigran tersebut
dilaksanakan secara terintegrasi dan saling memberikan
manfaat. Artinya, bahwa penataan penduduk setempat
harus berdampak pada tersedianya peluang bagi
pembangunan permukiman untuk menampung penempatan
transmigran, sedangkan fasilitasi perpindahan dan
penempatan transmigran dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan SDM yang diperlukan bagi pengembangan
sumberdaya alam yang tersedia di kawasan transmigrasi.
Agar dapat memenuhi kebutuhan SDM di kawasan
transmigrasi dan memberikan manfaat dalam mengatasi
dampak tekanan kependudukan bagi daerah asal, maka
fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran
dilaksanakan dengan mekanisme kerjasama antar daerah
yang dimediasi dan difasilitasi oleh Pemerintah
(Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).

3). Mendorong Tumbuh dan Berkembangnya Ekonomi Lokal


Kawasan Transmigrasi Yang Berdaya Saing

Pengembangan kawasan transmigrasi dilaksanakan melalui


peningkatan keterkaitan ekonomi antara kawasan perdesaan
dengan kawasan perkotaan atau antara wilayah pusat
pertumbuhan dengan wilayah produksi (hulu-hilir). Oleh
karena itu, pengembangan kawasan transmigrasi dilaksanakan
berdasarkan beberapa prinsip sebagai berikut: (1) Berorientasi
pada pengembangan rantai nilai komoditas, mulai dari tahap
input, proses produksi, output, sampai dengan pemasaran; (2)
Dilakukan berdasarkan pengembangan sektor/komoditas
unggulan berbasis karakteristik dan kebutuhan serta aspirasi
lokal (locality), dengan didukung oleh industri pengolahan
sebagai sektor pendorong, dan sektor pendukung lainnya; serta
(3) Memfokuskan kegiatan pada pengembangan sistem pasar.

Untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi


lokal kawasan transmigrasi dilaksanakan melalui:
a) Peningkatan kualitas tata kelola ekonomi kawasan
transmigrasi sebagai bagian dari tata kelola ekonomi daerah.
b) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia masyarakat
transmigrasi untuk meningkatkan kemampuannya dalam
pengelolaan aktivitas ekonomi di kawasan transmigrasi, baik
secara lintas sektor maupun lintas wilayah.
c) Peningkatan kapasitas lembaga dan fasilitasi dalam
mendukung percepatan pengembangan ekonomi di kawasan
transmigrasi, baik secara lintas sector maupun lintas
wilayah.

66
3) Pemberian fasilitasi dan mediasi untuk mendorong
kerjasama kemitraan antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat transmigrasi dalam rangka pengembangan
ekonomi di kawasan transmigrasi.
4) Penyediaan sarana dan prasarana pendukung bagi
berkembangnya kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi.

4). Mengembangkan Kawasan Transmigrasi Secara Berkelanjutan

Pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan adalah


proses pembangunan yang berprinsip untuk memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan. Untuk mencapai
keberlanjutan kawasan transmigrasi yang menyeluruh, maka
keterpaduan antara 3 (tiga) pilar pembangunan merupakan
keharusan, yaitu keberlanjutan dalam aspek sosial, ekonomi,
dan lingkungan. Tiga pilar utama tersebut saling terintegrasi
dan saling memperkuat satu dengan yang lain. Untuk itu tiga
aspek tersebut diintegrasikan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan agar tercapai pembangunan
berkelanjutan yang dapat menjaga lingkungan hidup/ekologi
dari kehancuran atau penurunan kualitas, juga dapat menjaga
keadilan sosial dengan tidak mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi.

Pembangunan kawasan transmigrasi semaksimal mugkin


diupayakan agar tidak menurunkan daya serap lahan terhadap
air yang mengalir di atasnya dan tidak menambah tingkat aliran
air permukaan (run off) yang ada di atasnya sehingga
ketersediaan sumber daya air dapat terus dipertahankan dan
erosi lahan tidak terjadi. Upaya ini dilakasanakan dengan
mempertahankan tutupan lahan, bentang alam, dan kualitas
lahan, serta dengan bantuan teknologi. Kegiatan pembangunan
kawasan transmigrasi juga diupayakan tidak mengakibatkan
terjadinya degradasi lahan yang ada. Untuk itu, diupayakan
pelestarian kualitas lahan yang meliputi pelestarian struktur
tanah, bahan kimiawi tanah, air dan unsur hara, serta proses
aerasi yang ada. Lebih lanjut, kegiatan pembangunan
diupayakan tidak menurunkan luas tutupan lahan yang ada
karena penting untuk mempertahankan kualitas dan daya serap
air dari lahan itu sendiri.

Selanjutnya, kegiatan pembangunan kawasan transmigrasi


dilaksanakan dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek
utama, dalam arti bahwa keberlanjutannya sangat tergantung
pada masyarakat dan semua pemangku kepentingan sebagai
pelakunya. Oleh karena itu, pembangunan kawasan
transmigrasi diarahkan agar memberikan manfaat sosial kepada
masyarakat dan juga dapat melibatkan semua pelaku
kepentingan demi menjamin keberlanjutannya. Untuk itu,
pembangunan harus memperhatikan aspek sosial agar dapat
berlangsung secara berkelanjutan. Aspek sosial penting dalam
pembangunan berkelanjutan, antara lain adalah bahwa
pembangunan harus memperhatikan: partisipasi masyarakat
pelaku, partisipasi masyarakat marjinal/minoritas (kaum

67
miskin dan perempuan), struktur sosial masyarakat, serta
tatanan atau nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Pertimbangan utama dalam pengembangan kawasan
transmigrasi berkelanjutan adalah: (1) struktur sosial
masyarakat, yaitu kegiatan yang direncanakan diupayakan
mempertimbangkan struktur sosial masyarakat agar tidak
terjadi konflik dan benturan nilai yang tidak diinginkan, dan (2)
partisipasi masyarakat pelaku dan marjinal/minoritas, yaitu
kegiatan yang direncanakan telah memasukkan unsur
partisipasi masyarakat/pemangku kepentingan dan masyarakat
marjinal terutama dalam proses pengambilan keputusan serta
peran-peran lainnya.

5). Menciptakan Iklim Kondusif Bagi Terwujudnya Integrasi


Masyarakat Di Kawasan Transmigrasi

Salah satu tujuan penyelenggaraan transmigrasi


sebagaimana diamanatkan UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang
Ketransmigrasian sebagaimana diubah dengan UU Nomor 29
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian adalah memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Sementara itu, masyarakat transmigrasi
setidaknya terdiri atas tiga kelompok, yaitu (1) penduduk
tempatan, yaitu penduduk yang tinggal di perkampungan
setempat dan masuk dalam deliniasi kawasan transmigrasi, (2)
penduduk setempat yang memperoleh perlakuan sebagai
transmigran, dan (3) transmigran yang berasal dari berbagai
daerah lain. Kondisi demikian cukup potensial terjadinya
gesekan budaya karena masing-masing kelompok memiliki latar
belakang tradisi, adat, dan budaya yang berbeda, walaupun
juga berpotensi berkembang menjadi kekuatan budaya berciri
Indonesia yang khas karena akan terjadi proses asimilasi dan
akulturasi.

Oleh karena itu, dalam pembangunan kawasan transmigrasi


yang mencakup berbagai bidang pembangunan diperlukan
“pendekatan kebudayaan” yang bersumber pada budaya
Pancasila. Pendekatan kebudayaan tersebut diarahkan pada
terbentuknya masyarakat “bhineka tunggal ika”, yaitu
masyarakat yang memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola
tindak masyarakat di kawasan transmigrasi yang saling
memahami, saling pengertian dan saling menghargai terhadap
adat-istiadat, tradisi, dan budaya masing-masing kelompok
sehingga dapat menjadi kekuatan dalam membangun kawasan
milik bersama untuk kesejahteraan bersama. Proses ini akan
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, yang akan
menjadikan bangsa Indonesia memiliki kekuatan sinergi dalam
melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan, meningkatkan dan memeratakan pembangunan
daerah, serta memantapkan Ketahanan Nasional yang
didasarkan pada Wawasan Nusantara.

68
BAB IV
ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN

A. Ketenagakerjaan

1. Arah Pembangunan Ketenagakerjaan 2010-2025


Sesuai dengan Visi dan Misi Pembangungan
Ketransmigrasian 2010-2025, maka pembangunan
Ketenagakerjaan dalam periode tersebut diarahkan untuk
mengatasi pengangguran yang diakibatkan oleh angkatan
kerja yang belum mendapatkan pekerjaan ditambah dengan
angkatan kerja baru hasil keluaran pendidikan dan pelatihan
kerja. Untuk mengatasi masalah ini, maka perlu diciptakan
lapangan kerja baru dari penciptaan investasi di berbagai
bidang usaha sesuai dengan potensi unggulan yang terdapat
di berbagai daerah.

Untuk mendukung terciptanya kemampuan dan kualitas


kerja tenaga kerja, maka konsep link and match antara
pendidikan formal dan pelatihan kerja dengan tuntutan
persyaratan kerja dari kesempatan kerja perlu diperhatikan,
sehingga kesempatan kerja dan pemenuhan lowongan kerja
dapat dipenuhi. Hal ini merupakan hubungan yang sinergis
antara sistem pendidikan nasional dengan sistem
ketenagakerjaan nasional.

Di lain pihak, penciptaan hubungan industrial yang


harmonis melalui peningkatan kualitas pekerja dan peran aktif
LKS Bipartit untuk mendukung dinamika hubungan industrial
di tingkat perusahaan akan mampu mendeteksi secara dini
permasalahan-permasalahan yang terjadi di perusahaan,
sehingga dapat mengatasi masalah unjuk rasa, mogok kerja
dan pemutusan hubungan kerja.

Agar perusahaan dapat melaksanakan usahanya secara


terarah sesuai dengan visi dan misi perusahaan tersebut,
maka pengawasan ketenagakerjaan perlu diarahkan kepada
penegakan norma ketenagakerjaan dan
terimplementasikannya aturan ketenagakerjaan secara
konsisten di perusahaan. Penegakan hukum ketenagakerjaan
merupakan prasyarat di dalam menciptakan keadilan dalam
hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja.

Dukungan hukum ketenagakerjaan yang dinamis dan


berkeadilan sangat diperlukan untuk memayungi berbagai
aktivitas usaha, sehingga usaha dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, hubungan antar subyek hukum ketenagakerjaan
dimaksud juga diharapkan dapat berjalan dengan harmonis,
sinergis dan konstruktif.

69
2. Tahapan dan Prioritas Pembangunan Ketenagakerjaan

Bagan 4.1.
Tahapan Pembangunan Ketenagakerjaan

Penanganan permasalahan ketenagakerjaan tentunya


berkaitan dengan berbagai bidang. Sebagai konsekuensi dari
hal tersebut, maka diperlukan pula koordinasi dengan sektor
(Kementerian dan Non Kementerian) lain. Selain itu dan
mengingat kompleksitas masalah yang ada, maka penanganan
permasalahan tersebut dapat dilaksanakan secara bertahap
dan menetapkan target dari berbagai aspek yang harus
dilaksanakan. Pentahapan serta pentargetan tersebut dapat
dibagi dalam 3 (tiga) fase.

Pertama, Survival Phase tahun 2010-2014. Fase ini


menunjukkan suatu kondisi di mana masalah
ketenagakerjaan diusahakan tidak bertambah buruk. Dalam
kurun waktu lima tahun ini, target permasalahan
ketenagakerjaan yang harus diselesaikan berkaitan dengan
Bidang Ketenagakerjaan Umum, Bidang Pelatihan,
Penempatan Tenaga Kerja, Hubungan Industrial, Pengawasan
Ketenagakerjaan dan Hukum Ketenagakerjaan. Sebelum
menetapkan berbagai target tersebut, maka diperlukan
berbagai proyeksi terhadap kondisi-kondisi yang dapat
mempengaruhi pembangunan ketenagakerjaan sehingga dapat
dipergunakan sebagai dasar untuk penetapan target pada fase
ini.

Pembangunan ketenagakerjaan secara keseluruhan, baik


dari sisi perencanaan tenaga kerja, penduduk dan tenaga
kerja, kesempatan kerja, pelatihan dan kompetensi kerja,
produktivitas tenaga kerja, hubungan industrial, kondisi
lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan pekerja, dan
jaminan sosial tenaga kerja, dengan dilihat melalui indeks
pembangunan ketenagakerjaan pada fase ini, diharapkan
indeksnya secara nasional telah mencapai 47,5 - 57,5.

Dalam hal pendidikan tenaga kerja dan sebagaimana yang


tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014, kebijakan dan program
pendidikan nasional untuk meningkatkan pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi akan mengakibatkan

70
menurunnya jumlah tenaga kerja yang berpendidikan sekolah
dasar pada fase ini. Sehingga dapat diproyeksikan bahwa
tenaga kerja yang berpendidikan Sekolah Menengah Tingkat
Pertama (SMTP) dan (SMTA) akan mengalami peningkatan.

Dalam hal kewirausahaan dan dengan adanya usaha


Pemerintah untuk meningkatkan kewirausahaan dan
pemberantasan korupsi serta pungutan liar, maka
diperkirakan jumlah pengusaha dan nilai investasi akan
mengalami peningkatan. Dengan demikian, tingkat
pengangguran diprediksi akan menurun. Sejalan dengan hal
tersebut, dalam hal peningkatan kualitas angkatan kerja yang
dilakukan dengan pelatihan kerja akan diarahkan untuk
meningkatkan kompetensi kerja dan menyesuaikan
perkembangan pasar kerja. Oleh sebab itu, pelatihan kerja
akan mengarah pada penentuan standar-standar pelatihan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
Dalam hal penempatan tenaga kerja, pelayanan informasi
pasar kerja akan semakin meningkat seiring dengan
peningkatan teknologi komunikasi yang berhubungan dengan
jaringan informasi pasar kerja. Sebagai langkah untuk
semakin memantapkan pelayanan informasi pasar kerja
tersebut, juga perlu dilakukan peningkatan kualitas dan
kuantitas tenaga fungsional pengantar kerja, baik di tingkat
kabupaten maupun kota.

Dalam hal perkembangan hubungan industrial, lembaga


serikat pekerja diproyeksikan sudah mulai mengerti arti
penting industrial harmony sehingga pengusaha tidak lagi
mempersoalkan pendirian lembaga serikat pekerja. Kondisi ini
akan menunjang peningkatan kesejahteraan pekerja,
menghindari pemutusan hubungan kerja, pemogokan dan
perselisihan kerja. Untuk mencapai hal tersebut, tentu
diperlukan kualitas dan kuantitas tenaga perantara hubungan
industrial yang baik.

Selain itu, dengan meningkatnya Ilmu pengetahuan dan


Teknologi, maka perusahaan-perusahaan seharusnya sudah
menerapkan sistem dan manajemen K3 serta kaidah-kaidah
higiene perusahaan dan ergonomi di tempat kerja. Dengan
kondisi ini, maka penggunaan tenaga kerja anak semakin
dihindari, termasuk perlakukan-perlakuan yang bersifat
diskriminatif dan kasus-kasus pelecehan seksual, intelektual
dan sarcastic.

Berdasarkan asumsi yang diletakkan dalam kerangka


proyeksi diatas, maka target pembangunan ketenagakerjaan
yang akan dicapai dalam Survival Phase adalah:

a. Bidang Ketenagakerjaan Umum


1) seluruh Pemerintah Provinsi dan sebagian besar
Kabupaten/Kota, serta sebagian instansi sektoral
sudah menyusun Rencana Tenaga Kerja;
2) sebagian perusahaan sudah menyusun Rencana
Tenaga Kerja Mikro;

71
3) mempercepat realisasi rencana penanaman modal
(investasi);
4) perbaikan sarana pendidikan;
5) angkatan kerja berpendidikan minimal SMTP
sebanyak 40-50 %;
6) tingkat Pengangguran Terbuka 5 - 7 %;
7) jumlah setengah penganggur 25 - 28 %;
8) jumlah pekerja informal 60 - 65 %;
9) jumlah pengusaha 3 - 3,5 %;
10) jumlah pekerja tak dibayar 14 – 16 %;
11) tidak adanya lagi biaya tidak resmi (pungutan liar)
yang dapat mengganggu produksi;
12) keadaan keamanan kondusif untuk investasi;
13) program sektoral sudah mendukung penciptaan
kesempatan kerja dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan;
14) Kebijakan Pemerintah Daerah sudah mengarah
kepada perluasan kesempatan kerja dan perbaikan
hubungan industrial.

b. Bidang Pelatihan Kerja


1) tersedia sarana pelatihan kerja untuk melatih
angkatan kerja baru dan korban PHK melalui program
revitalisasi lembaga pelatihan kerja;
2) memfungsikan kembali lembaga pelatihan kerja yang
telah beralih fungsi atau tidak berfungsi;
3) meningkatkan pendayagunaan tenaga fungsional
Instruktur Latihan Kerja (ILK) di pemerintahan
provinsi dan kabupaten/kota, perusahaan maupun
masyarakat;
4) jenis pelatihan kerja diarahkan kepada kebutuhan
pasar kerja;
5) tersedianya Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan
Tempat Uji Kompetensi (TUK) di seluruh Indonesia
untuk berbagai profesi yang sesuai kebutuhan pasar
kerja;
6) tersedianya standar yang komprehensif bagi pelatihan
kerja;
7) tersedianya mekanisme akreditasi yang tepat bagi
lembaga pelatihan kerja;
8) tersedianya mekanisme sertifikasi bagi keluaran
pelatihan kerja.

c. Bidang Penempatan Tenaga Kerja


1) meningkatnya fungsi lembaga pasar kerja di setiap
kabupaten/kota (IPK);
2) meningkatkan pendayagunaan tenaga fungsional
pengantar kerja di pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
3) pemberian ijin penggunaan Tenaga Kerja Asing yang
sudah sesuai dengan kebutuhan nyata;
4) program penempatan TKLN sudah mulai bergeser dari
jabatan informal kepada jabatan formal;
5) program padat karya (pekerjaan sementara) sudah
mulai bergeser kepada padat karya produktif
(pekerjaan berkelanjutan dan permanen).

72
d. Bidang Hubungan Industrial
1) serikat Pekerja secara umum sudah memberikan
kontribusi terhadap industrial harmony;
2) sudah terbentuk Serikat Pekerja/Buruh di sebagian
besar perusahaan;
3) sebagian besar pekerja di perusahaan diasuransikan;
4) sebagian pekerja mandiri dan pekerja di perusahaan
menengah kecil telah mengikuti program asuransi
Jamsostek;
5) PHK secara sepihak dan pemogokan semakin
berkurang;
6) perselisihan kerja semakin dapat dihindarkan;
7) sebagian besar Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK)
sudah mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL);
8) Meningkatkan pendayagunaan (utilization) tenaga
fungsional perantara di pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
9) Mempertahankan eksistensi perusahaan yang sudah
ada (agar tidak relokasi ke luar negeri dan tidak
gulung tikar).

e. Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan


1) perusahaan-perusahaan besar sudah mempunyai
sistem dan manajemen K3;
2) perusahaan melaksanakan peraturan ketenagakerjaan
yang menyangkut penghargaan terhadap harkat,
martabat, dan hak-hak pekerja;
3) kaidah-kaidah Higiene Perusahaan, Ergonomi, dan K3
sudah diterapkan dengan baik di sebagian besar
tempat kerja;
4) jumlah Pekerja anak semakin berkurang;
5) meningkatkan pendayagunaan (utilization) tenaga
fungsional pengawas ketenagakerjaan di
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota;
6) menurunnya tindakan/perlakuan diskriminatif di
pasar kerja (menyangkut upah, jabatan, penempatan,
dikaitkan dengan ras dan kewarganegaraan);
7) menurunnya jumlah kasus pelecehan dalam
hubungan kerja (misal: seksual, intelektual, sarcastic);
8) penerapan mekanisme outsourcing sudah sesuai
dengan aturan.

f. Bidang Hukum Ketenagakerjaan


1) tidak adanya lagi peraturan perundangan yang tidak
selaras dengan penciptaan kesempatan kerja dan
situasi hubungan industrial;
2) tersedianya peraturan-peraturan yang diamanatkan
oleh undang-undang dan peraturan pemerintah di
bidang ketenagakerjaan.

73
Kedua, Consolidation and Recovery Phase (2015-2019).
Pembangunan ketenagakerjaan dalam fase ini masih berkaitan
dengan Bidang Ketenagakerjaan Umum, Bidang Pelatihan
Kerja, Bidang Penempatan Tenaga Kerja, Bidang Hubungan
Industrial, Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan dan
menyangkut Bidang Hukum Ketenagakerjaan. Namun
demikian, proyeksi yang dipergunakan sebagai asumsi
penentuan target pembangunan bidang ketenagakerjaan
memiliki karakter untuk mengkokohkan berbagai target yang
telah dicapai pada fase sebelumnya.

Pembangunan ketenagakerjaan secara keseluruhan,


baik dari sisi perencanaan tenaga kerja, penduduk dan tenaga
kerja, kesempatan kerja, pelatihan dan kompetensi kerja,
produktivitas tenaga kerja, hubungan industrial, kondisi
lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan pekerja, dan
jaminan sosial tenaga kerja, dengan dilihat melalui indeks
pembangunan ketenagakerjaan pada fase ini, diharapkan
indeksnya secara nasional telah mencapai 55 - 65.

Pada fase ini, tenaga kerja yang berpendidikan SMTP,


SMTA, Diploma, dan pendidikan tinggi terus meningkat
jumlahnya. Selain itu, dengan meningkatnya intensitas iklim
investasi serta kewirausahaan, maka dukungan terhadap
peningkatan kualitas kerja (berupa peningkatan kualitas dan
kualitas lembaga-lembaga pelatihan yang berstandar pasar
kerja global) juga harus dipersiapkan pemerintah. Dengan
meningkatnya pendidikan dan pelatihan kerja tersebut, serta
didukung dengan pelayanan informasi pasar kerja yang baik,
maka pelayanan penempatan tenaga kerja juga semakin
meningkat. Dengan demikian, pencari kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi kerja.

Begitu pula halnya dengan kondisi Hubungan


Industrial, dimana Serikat Pekerja dan Pengusaha sudah bisa
bekerjasama dalam menciptakan hubungan yang harmonis.
Kondisi ini akan meningkatkan kesejahteraan pekerja dalam
hal pengupahan, perlindungan maupun pelayanan lainnya.
Selain itu, upah minimum Kabupaten/Kota juga sudah sesuai
dengan kebutuhan layak pekerja, bahkan pekerja mandiri
sudah menyadari perlunya program asuransi.

Dalam fase ini pula, pengawas ketenagakerjaan juga


meningkat peranannya dalam penerapan hukum
ketenagakerjaan di perusahaan. Lebih jauh, dengan adanya
kesadaran atas hukum ketenagakerjaan, maka perusahaan
juga semakin menerapkan sistem dan manajemen K3 serta
kaidah-kaidah higiene perusahaan dan ergonomi di tempat
kerja.

Berdasarkan asumsi yang diletakkan dalam kerangka


proyeksi diatas, maka target pembangunan ketenagakerjaan
yang akan dicapai dalam Consolidation and Recovery Phase
adalah:

74
1) Bidang Ketenagakerjaan Umum
a) seluruh Kabupaten/Kota dan seluruh Instansi
Sektoral sudah menyusun Rencana Tenaga Kerja;
b) sebagian besar perusahaan sudah menyusun Rencana
Tenaga Kerja Makro;
c) angkatan Kerja berpendidikan minimal SMTP
sebanyak 45 – 55 %;
d) tingkat pengangguran terbuka 4 – 6 %;
e) jumlah setengah penganggur 20 – 25 %;
f) jumlah pekerja informal 55 – 60 %;
g) jumlah pengusaha 3,5 – 4 %;
h) jumlah pekerja tak dibayar 12 – 14 %;
i) terbentuk budaya anti pungutan liar;
j) tidak ada lagi gangguan keamanan yang
membahayakan investasi;
k) program sektoral sudah merupakan bagian utama
dalam penciptaan kesempatan kerja dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan;
l) perluasan kesempatan kerja dan hubungan industrial
yang harmonis sudah merupakan tujuan utama
kebijakan Pemerintah Daerah.

2) Bidang Pelatihan Kerja


a) lembaga pelatihan kerja sudah representatif bagi para
angkatan kerja baru maupun korban PHK dalam
mendapatkan pekerjaan yang layak dan remuneratif;
b) lembaga pelatihan kerja berfungsi sesuai dengan
maksud dan tujuan pendiriannya;
c) terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja fungsional ILK
di seluruh pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
d) jenis pelatihan kerja berorientasi kepada kebutuhan
pasar kerja;
e) Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mampu melayani
permintaan sertifikasi berbagai profesi;
f) pelatihan kerja sesuai dengan standar, terakreditasi
dan keluarannya tersertifikasi.

3) Bidang Penempatan Tenaga Kerja


a) lembaga pasar kerja di setiap kabupaten/kota sudah
berfungsi secara optimal;
b) terpenuhinya kebutuhan tenaga fungsional pengantar
kerja di seluruh pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
c) tidak ada lagi penempatan TKA yang tidak sesuai
dengan kebutuhan nyata;
d) program penempatan TKLN sudah berorientasi kepada
jabatan formal;
e) program padat karya sudah berorientasi kepada padat
karya produktif (pekerjaan berkelanjutan dan
permanen).

4) Bidang Hubungan Industrial


a) serikat Pekerja telah berperan dalam menciptakan
industrial harmony;

75
b) perusahaan menerima pembentukan serikat
pekerja/buruh;
c) tingginya kesadaran perusahaan untuk
mengasuransikan para pekerjanya;
d) pekerja mandiri menyadari perlunya mengikuti
program asuransi jamsostek;
e) perusahaan menghindari terjadinya PHK;
f) perselisihan kerja dapat diselesaikan dengan baik;
g) Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah sama
dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL);
h) terpenuhinya kebutuhan tenaga fungsional Perantara
di seluruh pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
i) perusahaan tidak melakukan relokasi ke luar negeri.

5) Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan


a) sistem dan manajemen K3 sudah diterapkan oleh
perusahaan;
b) kaidah-kaidah Higiene Perusahaan, Ergonomi, dan K3
sudah diterapkan dengan baik di tempat kerja;
c) pekerja anak semakin sedikit;
d) terpenuhinya kebutuhan tenaga fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan di seluruh pemerintahan provinsi
dan kabupaten/kota;
e) tindakan/perlakuan diskriminatif di dunia kerja
semakin sedikit;
f) kasus pelecehan dalam hubungan kerja semakin
sedikit;
g) penerapan outsourcing tidak menimbulkan masalah;
h) perusahaan mematuhi peraturan ketenagakerjaan.

6) Bidang Hukum Ketenagakerjaan


a) peraturan perundangan memiliki signifikansi terhadap
penciptaan kesempatan kerja dan situasi hubungan
industrial;
b) tersedianya peraturan-peraturan yang diamanatkan
oleh undang-undang dan peraturan pemerintah di
bidang ketenagakerjaan.

Ketiga, Expansion and Development Phase (2020-


2025). Fase ini merupakan tahap dimana kondisi
perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi
sehingga membawa Indonesia menjadi salah satu negara yang
fundamen perekonomiannya kuat. Dorongan industrialisasi
dan implementasi teknologi semakin memadai. Di samping itu,
pertumbuhan sektor industri secara signifikan mendorong
perekonomian dan juga mendorong pertumbuhan sektor
lainnya, terutama sektor jasa. Hal ini berimplikasi pada
kesejahteraan masyarakat dan pada gilirannya berimplikasi
pada tingkat pendidikan angkatan kerja, dimana yang
berpendidikan menengah meningkat drastis.

Pembangunan ketenagakerjaan secara keseluruhan,


baik dari sisi perencanaan tenaga kerja, penduduk dan tenaga
kerja, kesempatan kerja, pelatihan dan kompetensi kerja,

76
produktivitas tenaga kerja, hubungan industrial, kondisi
lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan pekerja, dan
jaminan sosial tenaga kerja, dengan dilihat melalui indeks
pembangunan ketenagakerjaan pada fase ini, diharapkan
indeksnya secara nasional telah mencapai 60 - 70.

Keberhasilan pemerintah dalam menciptakan budaya


anti pungli dan anti korupsi dalam fase Consolidation and
Recovery membawa dampak positif terhadap pertumbuhan
investasi sehingga menciptakan banyak kesempatan kerja.
Selain itu, dengan terakreditasinya lembaga pelatihan kerja
yang sesuai dengan standar global, maka level kompetensi dari
keluaran pelatihan tersebut diakui pula secara global. Kondisi
ini beriringan dengan pelayanan sistem informasi pasar kerja
yang sudah semakin canggih sehingga dapat memberikan
pelayanan yang mampu mengatasi hambatan waktu dan
tempat.

Dalam fase Expansion and Development ini pula,


serikat pekerja dan pengusaha bermitra secara konstruktif dan
sinergis dalam mengembangkan bisnis perusahaan. Hal ini
berimplikasi pada kenyamanan dalam bekerja dan berusaha,
peningkatan kesejahteraan pekerja dan peningkatan
keikutsertaan pekerja dalam asuransi. Seluruh kondisi ini
akan bermuara pada budaya patuh hukum ketenagakerjaan
sehingga sebagian besar telah mengikuti norma-norma
ketenagakerjaan dan ketiadaan pekerja anak.

Berdasarkan asumsi yang diletakkan dalam kerangka


proyeksi diatas, maka target pembangunan ketenagakerjaan
yang akan dicapai dalam Expansion and Development Phase
adalah:

1) Bidang Ketenagakerjaan Umum


a) Rencana Tenaga Kerja dipergunakan sebagai acuan
dalam pembangunan ketenagakerjaan;
b) Rencana Tenaga Kerja Mikro digunakan dalam
pembinaan kepegawaian/pekerja;
c) angkatan kerja berpendidikan minimal SMTP
sebanyak 55 – 65 %;
d) tingkat Pengangguran Terbuka 3 – 5 %;
e) jumlah setengah penganggur 15 – 20 %;
f) jumlah pekerja informal 40 – 50 %;
g) jumlah pengusaha 4 – 5 %;
h) jumlah pekerja tak dibayar 10 – 12 %;
i) investasi mengalami penurunan;
j) program sektoral menciptakan kesempatan kerja;
k) perluasan kesempatan kerja dan hubungan industrial
yang harmonis merupakan kebijakan Pemerintah
Daerah;
l) cakupan lembaga pendidikan formal merata di
seluruh Indonesia.

77
2) Bidang Pelatihan Kerja
a) Lembaga pelatihan Kerja di seluruh Indonesia sudah
mampu menyelenggarakan pelatihan berdasarkan
standar kompetensi kerja;
b) tenaga fungsional ILK sudah professional,
tersertifikasi dan mencukupi;
c) Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mampu melayani
permintaan sertifikasi seluruh profesi;
d) seluruh keluaran lembaga pelatihan kerja
tersertifikasi;

3) Bidang Penempatan Tenaga Kerja


a) lembaga pasar kerja tersebar di seluruh tempat-
tempat strategis dan termanfaatkan secara optimal
oleh masyarakat;
b) tenaga fungsional pengantar kerja sudah professional;
c) tercapainya persamaan antara TKA dan angkatan
kerja Indonesia;
d) penempatan tenaga kerja luar negeri untuk jabatan
formal;
e) program padat karya produktif semakin luas.

4) Bidang Hubungan Industrial


a) Industrial Harmony tercipta di perusahaan;
b) serikat Pekerja/Buruh merupakan mitra perusahaan
dalam pengembangan bisnis perusahaan;
c) seluruh pekerja sudah mendapatkan jaminan
jamsostek;
d) pekerja mandiri mengikuti program asuransi
jamsostek;
e) PHK sudah tidak lagi menimbulkan masalah (sesuai
kesepakatan kedua belah pihak);
f) perselisihan kerja dapat diselesaikan dalam
perusahaan (secara bipartit);
g) Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) lebih tinggi
dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL);
h) tenaga fungsional perantara sudah professional;
i) perusahaan sudah melakukan ekspansi baik di dalam
maupun luar negeri.

5) Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan


a) sistem dan manajemen K3 sudah menjadi budaya
perusahaan;
b) kaidah-kaidah higiene Perusahaan, Ergonomi, dan K3
sudah menjadi budaya di tempat kerja;
c) tidak ada lagi Pekerja Anak.
d) tenaga fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sudah
tercukupi dan professional;
e) tidak ada tindakan/perlakuan diskriminatif di pasar
kerja;
f) tidak ada kasus pelecehan dalam hubungan kerja;
g) penerapan outsourcing menguntungkan kedua belah
pihak;
h) peraturan ketenagakerjaan merupakan kebutuhan
perusahaan.

78
6) Bidang Hukum Ketenagakerjaan
Peraturan perundangan menjadi solusi bagi operasional
bisnis perusahaan.

B. Ketransmigrasian

1. Arah Pembangunan Ketransmigrasian 2010-2025


Pembangunan transmigrasi dalam periode 2010-2015
diarahkan untuk memberikan kontribusi nyata dalam
mewujudkan “Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan”
melalui pembangunan kawasan transmigrasi menjadi klaster-
klaster sistem pengembangan ekonomi wilayah. Kawasan
transmigrasi yang dikembangkan tersebut harus mampu
menghasilkan produk barang dan jasa secara efisien sesuai
dengan kebutuhan pasar sebagai bagian dari upaya bangsa
Indonesia untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
Artinya, setiap kawasan transmigrasi harus siap menghadapi
tantangan regional, nasional, dan global serta mampu
mengembangkan produk-produk unggulan yang kompetitif.
Pembangunan transmigrasi dilaksanakan dengan: (1)
mengedepankan pembangunan dan pengembangan sumber
daya manusia masyarakat transmigrasi menjadi lebih
berkualitas sebagai modal dasar menghadapi persaingan yang
semakin ketat, (2) memperkuat perekonomian kawasan berbasis
keunggulan lokal menuju keunggulan kompetitif dengan
membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pasar,
(3) mempertegas penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan
tanah berdasarkan ketentuan perundang-undangan sebagai
asset sosial, ekonomi, dan budaya yang berkedailan, (4)
meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan
pengetahuan dan teknologi tepat guna, (5) membangun
infrastruktur yang memadai, serta (6) melakukan
penyempurnaan sistem perencanaan, pemrograman, dan
pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi terintegrasi
dengan pemugaran permukiman penduduk setempat dalam
satu kesatuan, serta sistem pelayanan dan pengendalian dan
pengawasan.

Untuk melaksanakan arah pembangunan transmigrasi, ada


tujuh kebijakan penyelenggaraan transmigrasi yang perlu
dikembangkan secara konsisten dan menjadi komitmen
bersama. Pertama, memberikan perhatian khusus pada unsur-
unsur pengembangan daya saing kawasan dengan: (1)
mengutamakan keterkaitan produksi, pengolahan, dan pasar
atau hulu-hilir dalam bentuk keterkaitan antar-kawasan
berdasarkan produk unggulan setempat, (2) memprioritaskan
wilayah tujuan berbasis kemampuan sumberdaya dan prospek
pengembangan kawasan secara terintegrasi, dan (3)
memprioritaskan wilayah sasaran sumber calon transmigran
berbasis kebutuhan penyelesaian masalah kependudukan
dalam rekruitmen calon transmigran. Kedua,
mengarusutamakan Kawasan Perkotaan Baru sejak dari proses
perencanaan hingga pengembangan kawasan, baik dalam
kerangka revitalisasi permukiman penduduk yang ada maupun
pembangunan kawasan baru. Ketiga, memfokuskan dan

79
memprioritaskan pembangunan kawasan transmigrasi untuk
mempercepat pengembangan kabupaten daerah perbatasan
(termasuk pulau-pulau kecil terluar), dan kabupaten daerah
tertinggal, tanpa mengesampingkan kawasan strategis lain.
Keempat, lebih memerankan Pemerintah Daerah dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan transmigrasi
melalui peningkatan (1) kualitas sumberdaya manusia
pelaksana, dan (2) peran Bappeda sebagai koordinator
perencanaan dan pengendalian antar-kegiatan dan antar-
pelaku. Untuk itu, pelayanan dan mediasi antar-daerah terus
ditingkatkan dalam kerjasama antar-daerah yang konsisten dan
bertanggung jawab. Kelima, pembangunan dan pengembangan
kawasan transmigrasi dilaksanakan secara terintegrasi dengan
bidang-bidang pembangunan lain dalam koridor ekonomi sesuai
dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) menjadi embrio sistem
pengembangan ekonomi wilayah yang di dukung adanya
Kawasan Perkotaan Baru sebagai pusat Pelayanan Kawasan.
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan kawasan
transmigrasi bukan kegiatan yang berdiri sendiri melainkan
merupakan kegiatan bersama antar Kementerian/Lembaga
serta pemerintah daerah dan berbagai kalangan masyarakat.
Keenam, peningkatan kemandirian masyarakat di kawasan
transmigrasi melalui: (1) pelayanan informasi potensi produk
unggulan, (2) peningkatan pemahaman terhadap prospek
pengembangan investasi, (3) peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia masyarakat transmigrasi sebagai pelaku utama
pembangunan di kawasan transmigrasi, (4) peningkatan
kemampuan masyarakat dan stakeholder menghadapi dinamika
kerjasama kemitraan yang semakin kompleks. Ketujuh,
meningkatkan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk
membangun kesepakatan berbagai pihak bahwa “transmigrasi
adalah kebutuhan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama” melalui pengembangan potensi sumberdaya wilayah
sekaligus penataan persebaran penduduk. Keenam kebijakan
tersebut, harus menjadi komitmen bersama antar-pelaku untuk
mewujudkan pengembangan kawasan transmigrasi yang
berdaya saing dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat, percepatan pembangunan daerah
dan pertumbuhan wilayah dalam suatu sistem wilayah
pengembangan ekonomi, serta keutuhan NKRI.

Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, perlu didukung


dengan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan, pembentukan dan penguatan kelembagaan,
peningkatan akses terhadap permodalan, pendampingan
pengembangan usaha secara profesional, serta peningkatan
kerjasama antar-daerah dan keterpaduan kegiatan dalam
memanfaatkan keunggulan komparatif maupun kompetitif
setiap daerah. Semua itu dilakukan dengan cara pemberdayaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien oleh
sumberdaya manusia yang berkualitas. Pengalaman
pelaksanaan pembangunan transmigrasi berbasis lokasi yang
eksklusif selama ini ternyata tidak efisien dan memerlukan
waktu lebih dari 25 tahun untuk berkembang menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi baru. Oleh karena itu, pembangunan

80
transmigrasi harus: (1) berbasis kawasan yang sejak awal
dirancang inklusif, (2) mampu mendorong peningkatan peran
swasta dalam berinvestasi, (3) dilengkapi dengan sarana dan
prasarana, industri pengolahan hasil, serta industri jasa dan
perdagangan, dan (4) tersedia kawasan yang mempunyai fungsi
perkotaan sebagai pusat pelayanan kawasan. Dampak yang
diharapkan dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah
terbentuknya klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi
yang mampu mempercepat tumbuh dan berkembangnya kota-
kota kecil dan menengah terutama di luar Jawa sehingga dapat
dicapai pemerataan pembangunan yang berkeadilan.

Berdasarkan asumsi yang diletakkan dalam kerangka arah


pembangunan transmigrasi tersebut, maka pembangunan
transmigrasi dilaksanakan secara bertahap dan konsisten
melalui 7 (tujuh) kegiatan utama dalam satu kesatuan sebagai
berikut:

a. Pembangunan Kawasan Transmigrasi

Pembangunan kawasan transmigrasi diarahkan untuk


mengembangkan klaster-klaster sistem pengembangan
ekonomi wilayah yang didukung adanya Kawasan
Perkotaan Baru. Oleh karena itu, pembangunan kawasan
transmigrasi dilaksanakan dengan mengintegrasikan
pengembangan kawasan perdesaan menjadi sistem
produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam yang
berfungsi sebagai daerah belakang (hinterland) dari pusat
pertumbuhan yang disiapkan menjadi Kawasan Perkotaan
Baru dalam satu kesatuan sistem pengembangan.
Pembangunan kawasan transmigrasi setidaknya
dilaksanakan melalui 4 (empat) pendekatan. Pertama,
restrukturisasi dan revitalisasi kawasan perdesaan sebagai
kawasan ekonomi produktif untuk mengoptimalkan
produktivitas lahan yang kurang produktif menjadi sistem
produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam.
Restrukturisasi dan revitalisasi kawasan perdesaan
dilaksanakan dengan melakukan pemugaran permukiman
penduduk setempat sebagai bagian kawasan transmigrasi
menjadi satu kesatuan sistem pengembangan. Kedua,
membangun pusat pertumbuhan baru atau
mengembangkan pusat pertumbuhan yang sudah ada atau
yang sedang berkembang menjadi Kawasan Perkotaan Baru
yang berfungsi sebagai Pusat Pelayanan Kawasan. Ketiga,
mendororong, memfasilitasi, memediasi, dan melayani
investasi badan usaha bermitra dengan masyarakat
transmigrasi untuk mengembangkan komoditas unggulan
yang kompettitif dan berdaya saing. Keempat, membangun
dan mengembangkan infrastruktur dan fasilitas dasar
kawasan yang mampu mewujudkan keterkaitan fungsional
intra-kawasan dan antar-kawasan serta mengoptimalkan
pemanfaatan ruang secara konsisten guna mendukung
pengembangan komoditas unggulan dengan pendekatan
agroindustri dan agribisnis.

81
b. Penataan Persebaran Penduduk di Kawasan Transmigrasi

Penataan persebaran penduduk diarahkan untuk


mewujudkan persebaran penduduk di kawasan
transmigrasi yang optimal berdasarkan pada
keseimbangan antara jumlah dan kualitas penduduk
dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan
dengan mengakui hak orang untuk bermigrasi serta
mewujudkan harmonisasi hubungan sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat sebagai satu kesatuan masyarakat
transmigrasi. Penataan persebaran penduduk di kawasan
transmigrasi setidaknya dilaksanakan melalui 2 (dua)
pendekatan. Pertama, penataan penduduk setempat yang
mencakup penataan tempat tinggal, penataan bidang
tanah termasuk hak atas tanah dan atau penggunaan
tanahnya, serta penataan sarana dan prasarana
permukiman. Kedua, fasilitasi perpindahan dan
penempatan transmigran dari daerah atau kawasan lain
untuk memenuhi kebutuhan SDM yang diperlukan dalam
pendayagunaan potensi sumberdaya yang tersedia di
kawasan transmigrasi melalui jenis transmigrasi TU
dan/atau TSB dan/atau TSM. Fasilitasi perpindahan dan
penempatan transmigran diarahkan untuk memberikan
kesempatan kepada penduduk dari daerah lain untuk
memanfaatkan peluang berusaha dan kesempatan bekerja
yang tersedia di kawasan transmigrasi;

c. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah

Pengembangan ekonomi lokal diarahkan pada


terwujudnya peningkatan kemampuan, peningkatan
produktivitas dan kemandirian masyarakat transmigrasi
sebagai prasyarat terwujudnya kawasan transmigrasi
menjadi satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi
yang berdaya saing. Pengembangan ekonomi lokal di
kawasan transmigrasi setidaknya dilaksanakan melalui 9
(sembilan) pendekatan. Pertama, peningkatan kapasitas
sumber daya manusia masyarakat transmigrasi menuju
masyarakat yang kreatif dan inovatif dalam mengelola dan
mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia,
baik melalui pelayanan informasi, motivasi, pelatihan,
pengembangan focus group discussion, dan pendampingan
maupun dengan memperkuat kelembagaan masyarakat.
Kedua, peningkatan kualitas tata kelola ekonomi kawasan
transmigrasi melalui (a) penyusunan kebijakan/regulasi
yang mendukung pengembangan ekonomi kawasan
transmigrasi; (b) penyusunan rencana tata ruang dan
masterplan kawasan transmigrasi yang berpotensi menjadi
Kawasan Perkotaan Baru; (c) meningkatkan peran dan
fungsi kelembagaan usaha ekonomi kawasan transmigrasi,
terutama di bidang permodalan dan perizinan usaha; (d)
mengembangkan penelitian dan sistem data dan informasi
potensi kawasan transmigrasi yang menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah; (e)

82
mengembangkan sarana dan prasarana kelembagaan
ekonomi kawasan transmigrasi; dan (f) melaksanakan
pemantauan dan evaluasi tata kelola ekonomi kawasan
transmigrasi termasuk melaksanakan pemantauan dan
evaluasi efisiensi dan efektivitas regulasi yang mendukung
pengembangan ekonomi daerah. Ketiga, peningkatan
kapasitas SDM pengelola ekonomi kawasan transmigrasi
melalui (a) peningkatan Kapasitas SDM Aparatur, terutama
di bidang kewirausahaan (entrepreneurship); (b)
meningkatkan Kompetensi SDM kawasan transmigrasi
dalam mengembangkan usaha ekonomi kawasan
transmigrasi; serta (c) meningkatkan partisipasi
stakeholder dalam upaya pengembangan ekonomi kawasan
transmigrasi. Keempat, peningkatan
fasilitasi/pendampingan dalam pengembangan ekonomi
kawasan transmigrasi melalui (a) pengembangan lembaga
fasilitasi pengembangan ekonomi yang terintegrasi secara
lintas stakeholder (pemerintah, dunia usaha, dan
akademisi), serta berkelanjutan, baik di pusat maupun di
daerah; serta (b) meningkatkan kapasitas fasilitasi
pengembangan ekonomi kawasan transmigrasi berbasis
Iptek dan keterampilan. Kelima, peningkatan kerjasama
dalam pengembangan ekonomi kawasan transmigrasi
melalui (a) meningkatkan kerjasama antar-daerah,
terutama di bidang ekonomi baik antara kawasan
transmigrasi sebagai daerah belakang (hinterland) dengan
kota-kota terdekat, maupun antara kawasan transmigrasi
dengan daerah lainnya; dan (b) meningkatkan kemitraan
Pemerintah-Swasta dalam Pengembangan Ekonomi
kawasan transmigrasi. Keenam, peningkatan akses
terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan
ekonomi kawasan transmigrasi melalui (a)
mengembangkan prasarana dan sarana kawasan
transmigrasi yang berpotensi menjadi pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah; dan (b)
membangun dan meningkatkan jaringan infrastruktur
pendidikan, kesehatan, perhubungan, telekomunikasi,
energi, dan lain-lain. Ketujuh, fasilitasi dan pelayanan
untuk menciptakan kemudahan dalam pengembangan
investasi, industri, perdagangan, dan jasa dalam rangka
mewujudkan perekonomian kawasan yang kompetitif,
berdaya saing, dan berkeadilan. Kedelapan, mendorong
transformasi bertahap dalam pembangunan ekonomi di
kawasan transmigrasi dari perekonomian berbasis SDA ke
perekonomian berbasis produk keunggulan yang kompetitif
dan komparatif. Tahapan transformasi ekonomi dilakukan
dengan meningkatkan output yang semula produk primer
menjadi produk sekunder dan tersier. Upaya transformasi
dilakukan dengan cara peningkatkan nilai tambahan
produk melalui kegiatan pengolahan hasil dan pemasaran
termasuk pemberian insentif kepada investor.
Meningkatnya efisiensi, modernisasi dan nilai tambahan
sektor primer, terutama pertanian dalam arti luas dan
kelautan merupakan prasyarat untuk mampu bersaing di
pasar lokal dan internasional serta memperkuat basis
produksi secara nasional. Kesembilan, pengelolaan sumber

83
daya yang diawali dari sub sistem input (saprotan),
subsistem produksi (budidaya), sub sistem teknologi
(pasca panen dan pengolahan ) serta sub sistem pemasaran
yang saling terkait, dan berjalan secara komplementer dan
didukung oleh permodalan, kelembangan dan didamping
teknologi. Pengolahan hasil sumber daya alam pertanian
diarahkan untuk menumbuhkan industri kecil dan
menengah yang dapat memberikan nilai tambah dan daya
saing kawasan transmigrasi.

d. Pengendalian Lingkungan Kawasan Transmigrasi

Pengendalian lingkungan di kawasan transmigrasi


diarahkan untuk menjaga lingkungan hidup/ekologi dari
kehancuran atau penurunan kualitas dan menjaga
keadilan sosial dengan tidak mengorbankan kebutuhan
pembangunan ekonomi. Pengendalian lingkungan di
kawasan transmigrasi setidaknya dilaksanakan melalui 5
(lima) pendekatan. Pertama, bimbingan dan penyuluhan
untuk membangun kesadaran masyarakat dan
mewujudkan kehidupan masyarakat yang berwawasan
lingkungan. Kedua, fasilitasi, bimbingan, dan
pendampingan pengendalian hama. Ketiga, fasilitasi,
bimbingan, dan pendampingan rehabilitasi lahan serta
konservasi tanah dan air. Keempat, Pengendalian dna
pengawasan pemanfaatan ruang. Kelima, pengembangan
lembaga masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan.

e. Pengembangan Integrasi Masyarakat

Pengembangan integrasi masyarakat diarahkan pada


terwujudnya masyarakat “bhineka tunggal ika”, yaitu
masyarakat di kawasan transmigrasi yang memiliki pola
pikir, pola sikap, dan pola tindak yang saling memahami,
saling pengertian dan saling menghargai terhadap adat-
istiadat, tradisi, dan budaya masing-masing kelompok
sehingga dapat menjadi kekuatan dalam membangun
kawasan milik bersama untuk kesejahteraan bersama.
Pengembangan integrasi masyarakat setidaknya
dilaksanakan melalui 4 (empat) pendekatan. Pertama,
menumbuhkembangan nilai-nilai kearifan lokal dengan
mengembangkan komunikasi budaya, pendidikan,
pelatihan dan pedampingan serta memperkenalkan
teknologi ramah lingkungan. Kedua, pengembangan
kualitas kehidupan beragama dan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiga, fasilitasi
komunikasi, temu budaya, dan konsultasi budaya berbasis
budaya bangsa Pancasila dan bhineka tunggal ika.
Keempat, pengembangan kerukunan kehidupan beragama
dan pengembangan masyarakat madani. Kelima,
pengembangan budi pekerti, etos kerja, dan moralitas yang
profesional.

84
f. Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik (good
governance and clean government)

Penerapan Tata Kepemerintahan yang baik diarahkan


pada terwujudnya birokrasi penyelenggara dan pelaksana
transmigrasi yang professional dan berintegritas, efektif
dan efisien, dan mampu memberikan pelayanan prima bagi
masyarakat. Penerapan Tata Kepemerintahan yang baik
setidaknya dilaksanakan dengan 6 (enam) pendekatan.
Pertama, penataan ulang proses birokrasi penyelenggara
dan pelaksana transmigrasi dari tingkat (level) tertinggi
hingga terendah dan melakukan terobosan baru (innovation
breakthrough) dengan langkah-langkah bertahap, konkret,
realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar
kebiasaan/rutinitas yang ada (out of the box thinking),
perubahan paradigma (a new paradigm shift), dan dengan
upaya luar biasa (business not as usual). Kedua,
penyempurnaan dan/atau pembangunan berbagai regulasi,
memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen
penyelenggaraan transmigrasi, dan menyesuaikan tugas
fungsi instansi pemangku urusan pemerintahan dibidang
transmigrasi sesuai dengan UU Nomor 15 tahun 1997
tentang ketransmigrasian sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor
15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Ketiga,
penyempurnaan dan/atau penyusunan Norma, Standar,
Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pelaksanaan transmigrasi
yang lebih aplikatif, rasional, dan efisien. Keempat,
peningkatan kapasitas SDM dan mendorong perubahan
mind set dan culture set pada setiap aparatur birokrasi
penyelenggara dan pelaksana transmigrasi ke arah budaya
kerja yang lebih profesional, produktif, dan akuntabel.
Kelima, pengembangan partisipasi aktif seluruh pemangku
kepentingan dalam penyelenggaraan transmigrasi untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih dan konflik
kepentingan. Dalam konteks ini, langkah-langkah
koordinasi dan integrasi pembangunan transmigrasi
dengan Kementerian/Lembaga lain merupakan keharusan,
dan karenanya harus ditingkatkan. Kelima, peningkatan
kualitas pengendalian dan pengawasan pelaksanaan
transmigrasi menggunakan kriteria yang rasional, terukur,
dan obyektif.

2. Tahapan dan Prioritas Pembangunan Ketransmigrasian

Menyadari kompleksnya masalah dan tantangan yang


dihadapi, maka tahapan pembangunan transmigrasi pada
periode tahun 2009-2025 dilaksanakan dengan
mempertimbangkan pencapaian pembangunan pada tahapan
sebelumnya, penyelesaian masalah yang berpengaruh besar
terhadap pencapaian kinerja, dan potensi kekuatan, kelemahan,
tantangan, dan ancaman pada setiap periode. Oleh karena itu,
prioritas sasaran yang akan dicapai pada setiap tahapan
memungkinkan berbeda, namun tetap menuju kepada

85
pelaksanaan misi dan perwujudan visi yang telah ditetapkan.
Secara umum, tahapan dan prioritas pembangunan
transmigrasi seperti pada bagan 4.2.

Bagan 4.2.
Tahapan Pembangunan Ketransmigrasian

Hasil Revitalisasi 28 kawasan transmigrasi


Revitalisasi 28 kawasan transmigrasi dengan skema KTM menjadi WPT/LPT
dengan skema KTM yang dibangun yang dilaksanakan periode 2015-2019
periode 2007-2010 menjadi WPT/LPT. menjadi klaster sistem pengembangan
ekonomi dan telah terintegrasi dengan
wilayah sekitar.

Hasil Revitalisasi 16 kawasan transmigrasi


Revitalisasi 16 kawasan transmigrasi dengan skema KTM menjadi WPT/LPT yang
dengan skema KTM yang dibangun dilaksanakan periode 2009-2014 menjadi
periode 2007-2010 menjadi WPT atau klaster sistem pengembangan ekonomi dan
LPT. telah terintegrasi dengan wilayah sekitar.

Tahapan 2010-2014

Sasaran yang akan dicapai pada tahap ini adalah


penyesuaian sistem tata kelola penyelenggaraan transmigrasi
berbasis kawasan sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15
Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, baik dalam bentuk
Peraturan Pemerintah maupun ketentuan teknis pelaksanaan
berupa Peraturan Menteri maupun Norma, Starndar, Prosedur,
dan Kriteria (NSPK). Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut
UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian
sudah selesai seluruhnya pada tahun 2012, sedangkan berbagai
peraturan Menteri dan NSPK sudah selesai seluruhnya tahun
2013. Berdasarkan berbagai regulasi yang ada sekaligus
menghadapi masih adanya resistensi dari berbagai kalangan
terhadap transmigrasi, pada periode ini dilaksanakan juga
komunikasi pembangunan transmigrasi secara intensif,
sehingga pada akhir periode ini transmigrasi sudah dirasakan
menjadi kebutuhan bersama untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

86
Simultan dengan penyempurnaan perangkat regulasi dan
proses komunikasi pembangunan transmigrasi tersebut, ada
dua kegiatan pokok yang dilaksanakan pada periode ini.
Pertama, memfungsikan 16 (enam belas) KTM dari 44 (empat
puluh empat) KTM yang dirintis pada periode 2005-2009
sehingga pada akhir periode ini 16 KTM tersebut sudah menjadi
klaster sistem pengembangan ekonomi yang didukung adanya
Kawasan Perkotaan Baru. Sedangkan sisanya 25 (duapuluh
lima) KTM lainnya dilanjutkan pengembangannya pada periode
2015-2019. Kedua, mempersiapkan pembangunan kawasan
transmigrasi melalui proses penyediaan tanah dan perencanaan
sehingga pada akhir periode ini tersedia rencana pembangunan
kawasan transmigrasi berupa WPT atau LPT sekurang-
kurangnya 25 (duapuluh lima) dokumen perencanaan yang
akan dilaksanakan pembangunannya pada periode 2015-2019.
Dokumen perencanaan tersebut meliputi: Rencana WPT atau
LPT, Rencana SKP, Rencana KPB, Rencana Teknis Pusat SKP,
Rencana Teknis SP, Rencana Teknis Sarana dan Prasarana, dan
Rencana Penataan Persebaran Penduduk di WPT atau LPT.
Berbagai perencanaan tersebut dilaksanakan secara tertib
dengan melibatkan masyarakat yang bersangkutan sehingga
akan lebih berkualitas yang dapat menjaga konsistensi
pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam
dokumen perencanaan pembangunan sektoral dan daerah.
Perencanaan kawasan transmigrasi dilaksanakan secara
inklusif dengan mempertimbangkan keberadaan desa/dusun
penduduk setempat dengan pendekatan pemugaran
permukiman sebagai suatu entitas kehidupan dalam batasan
fungsi kawasan. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya
Barat, perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang untuk
pembangunan kawasan transmigrasi diterapkan lebih khusus
sesuai dengan UU Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
menjadi UU beserta ketentuan pelaksanaannya.

Tahapan 2015-2019

Memperhatikan perkembangan pelaksanaan, kemampuan


pencapaian sasaran, dan sebagai keberlanjutan dari periode
tahap 2009-2014, maka penyelenggaraan transmigrasi periode
2015-2019 ditujukan untuk memfungsikan kawasan yang
dibangun tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, 28 (dua
puluh delapan) KTM dari sisa 44 (empat puluh empat) KTM
yang dirintis pembangunannya pada periode 2005-2009 sudah
berhasil menjadi klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi
wilayah.

Simultan dengan itu, pada periode ini ada dua kegiatan


pokok yang dilaksanakan. Pertama, melaksanakan
pembangunan dan pengembangan sekurang-kurangnya 25 (dua
puluh lima) kawasan transmigrasi di kabupaten daerah
perbatasan dan daerah tertinggal yang perencanaannya disusun
pada periode tahun 2009-2014 sebagai embiro klaster sistem
pengembangan ekonomi wilayah. Bersamaan dengan itu,
dilaksanakan pula penataan penduduk setempat di 25 kawasan

87
transmigrasi serta memfasilitasi kerjasama perpindahan dan
penempatan transmigran dari daerah asal. Kedua,
mempersiapkan pembangunan kawasan transmigrasi melalui
proses penyediaan tanah dan perencanaan sehingga pada akhir
periode ini tersedia rencana pembangunan kawasan
transmigrasi berupa WPT atau LPT sebanyak 25 dokumen
perencanaan yang akan dilaksanakan pembangunannya pada
periode 2020-2025.

Dengan telah dibangunnnya 25 kawasan transmigrasi baru


di kabupaten daerah tertinggal dan daerah perbatasan tersebut,
peran transmigrasi dalam mengembangkan potensi sumberdaya
wilayah yang selama ini kurang produktif semakin jelas, selain
dapat mempercepat pembangunan daerah dalam rangka
meningkatkan daya saing daerah.

Tahapan 2020-2025
Pada periode ini kegiatan pembangunan transmigrasi
diarahkan untuk memfungsikan 25 (duapuluh lima) kawasan
transmigrasi di kabupaten daerah perbatasan dan daerah
tertinggal yang dibangun pada periode 2015-2019. Dengan
demikian, pada akhir periode ini 25 (duapuluh lima) kawasan
transmigrasi tersebut sudah berhasil menjadi klaster-klaster
sistem pengembangan ekonomi wilayah.

Selain itu pada periode ini ada dua kegiatan pokok yang
dilaksanakan. Pertama, melaksanakan pembangunan dan
pengembangan 25 (duapuluh lima) kawasan di kabupaten
daerah perbatasan dan daerah tertinggal yang perencanaannya
disusun pada periode tahun 2015-2019 sebagai embiro klaster
sistem pengembangan ekonomi wilayah. Pada periode tahapan
ini, sekurang-kuranya 50 % perpindahan transmigran dari
daerah asal diharapkan melalui jenis TSB dan TSM. Kedua,
mempersiapkan pembangunan kawasan transmigrasi melalui
proses penyediaan tanah dan perencanaan sehingga pada akhir
periode ini tersedia rencana pembangunan kawasan
transmigrasi berupa WPT atau LPT sebanyak 25 dokumen
perencanaan yang akan dilaksanakan pembangunannya pada
periode PJP berikutnya.

Dengan telah berfungsinya 69 kawasan transmigrasi


menjadi klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi wilayah,
yaitu 16 kawasan hasil fungsionalisasi pada periode 2009-2014,
28 kawasan pada periode 2015-2019, dan 25 pada periode
2020-2025 serta tersedianya 25 kawasan hasil pembangunan
periode 2020-2025 sebagai embrio klaster sistem
pengembangan ekonomi wilayah, pada awal PJP 2025-2050
diharapkan antar pemerintah daerah sudah dapat menjalin
kerjasama pembangunan kawasan transmigrasi berdasarkan
regulasi Pemerintah.

88
BAB V
PENUTUP

Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang ketenagakerjaan dan


ketransmigrasian tahun 2010-2025 ini, merupakan arahan pembangunan
bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dalam kurun waktu 15
tahun. Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian ini merupakan acauan penyusunan kebijakan dan
program pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
yang perlu dilaksanakan oleh seluruh stakeholder untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
1945.

Dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya perubahan-


perubahan, maka dokumen ini dirancang untuk mampu mengakomodir
kemungkinan penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi di masa
depan. Oleh karena itu, Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian dapat di-review secara berkala
untuk menyelaraskan berbagai rencana aksi, kebijakan dan program yang
ada terhadap perubahan dan perkembangan baru, sehingga tetap relevan
dengan kebutuhan pembangunan saat itu.

Akhirnya, perlu digarisbawahi bahwa keberhasilan melaksanakan


Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian ini sangat bergantung pada komitmen, integritas dan
dedikasi seluruh stakeholder, sehingga tujuan pembangunan bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, yaitu untuk pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya dalam rangka meningkatkan harkat, martabat dan harga diri
tenaga kerja dan transmigran serta mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur dan merata (baik materil maupun spiritual), dapat
terwujud.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

89
PUTUSAN
Nomor 58/PUU-IX/2011

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : Andriyani

Pekerjaan : Buruh PT. Megahbuana Citramasindo

Alamat : Jalan Mawar II Nomor 22, RT 006, RW 011, Tugu Utara,

Koja, Jakarta Utara

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis
Pemerintah;
Mendengar keterangan Ahli dan Saksi Pemohon;
Membaca kesimpulan tertulis Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan


surat permohonan bertanggal 19 Agustus 2011, yang kemudian diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)
pada hari Selasa tanggal 19 Agustus 2011 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 311/PAN.MK/2011 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 58/PUU-IX/2011 pada 6 September 2011, yang telah
2

diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29 September


2011, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berbunyi,
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.
2. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”.
3. Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (vide Bukti P-3), sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU MK,
vide Bukti P-3A), yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
1. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. memutus pembubaran partai politik, dan
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
4. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan
Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, maka Pemohon
berpendapat, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian
atas Undang-Undang dengan UUD 1945.
3

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan
“Pemohon adalah pihak yang dan/atau kewajiban konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara”.
2. Bahwa Pemohon adalah perseorangan warganegara Indonesia (vide Bukti
P-4), yang bekerja sebagai buruh di PT. Megahbuana Citramasindo.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pemohon sebagai warga negara
Indonesia yang diberikan hak konsitusional untuk untuk memajukan dirinya
demi membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul, karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, yang harus memenuhi
syarat di antaranya sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu hak atas
kepastian hukum dan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian
hukum dan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja, telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal
169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur
hak Pemohon untuk dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja
karena adanya tindakan pengusaha yang membayar upah tidak tepat
waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, namun tidak
disertai dengan penjelasan bagaimana hak pekerja/buruh untuk
4

mengajukan pemutusan hubungan kerja karena alasan a quo, apabila


pengusaha membayarkan kembali upah yang semula dibayar tidak
tepat waktu menjadi dibayar tepat waktu.
5. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon berpendapat bahwa
Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG


1. Bahwa dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
menegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
2. Bahwa kepastian hukum merupakan sebuah aturan yang mengatur secara
jelas (tidak menimbulkan keragu-raguan) dan secara logis (tidak
menimbulkan konflik norma). Kepastian hukum terhadap hak-hak
pekerja/buruh dalam hubungan industrial adalah hak-hak bersifat normatif
yang dituangkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, termasuk hak
untuk mendapatkan imbalan (upah) layak yang tidak hanya mengatur
ketentuan besaran upah, tetapi juga mengatur waktu pembayaran upah
yang diatur dalam BAB X, Bagian Kedua, Pasal 88 ayat (3) huruf f Undang-
Undang Ketenagakerjaan, untuk menghindari tindakan sewenang-wenang
pembayaran upah yang dapat dilakukan pengusaha, agar sesuai dengan
asas kepatutan.
3. Bahwa pada umumnya, pemberian upah (imbalan) kepada pekerja/buruh
oleh pengusaha, diberikan paling lambat 1 (satu) bulan sekali, yang
diberikan pada akhir atau awal bulan berikutnya. Akibat hukum dari
terlambatnya pembayaran upah kepada pekerja/buruh, dapat menimbulkan
penghukuman kepada pengusaha berupa denda sesuai dengan
persentase upah pekerja/buruh, sebagaimana yang dimaksud Pasal 95
ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
4. Bahwa dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, secara hukum
pengusaha diberikan hak untuk dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh karena:
a. pekerja/buruh melakukan kesalahan berat in casu Pasal 158 ayat (1);
5

b. melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan


atau perjanjian kerja bersama in casu Pasal 161 ayat (1);
c. terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan in casu Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2);
d. perusahaan tutup akibat rugi atau keadaan memaksa in casu Pasal 164
ayat (1);
e. perusahaan tutup karena efisiensi in casu Pasal 164 ayat (3);
f. perusahaan pailit in casu Pasal 165;
g. pekerja/buruh memasuki usia pensiun in casu Pasal 167 ayat (1);
h. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut atau lebih
tanpa keterangan yang sah in casu Pasal 168;
Sedangkan, pekerja/buruh secara hukum diberikan hak untuk dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pengusaha karena:
a. pengusaha melakukan perbuatan menganiaya, menghina, mengancam,
membujuk dan/atau menyuruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan perundang-undangan, tidak membayar upah
tepat waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh,
memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar
yang diperjanjikan memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan in casu Pasal 169 ayat (1);
b. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan dan cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaan setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan in casu Pasal 172;
5. Bahwa Pemohon adalah pekerja/buruh yang bekerja di PT. Megahbuana
Citramasindo sebagai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI)
sejak tanggal 2 Januari 1998, sebagai staff pengadaan tenaga kerja yang
akan dikirim ke luar negeri, dengan upah terakhir sebesar Rp. 2.500.000,-
per bulan. Sejak bulan Juni 2009, upah Pemohon tidak lagi dibayarkan
tepat waktu yaitu setiap tanggal 1 bulan berikutnya, yaitu dibayarkan
sebanyak 2-3 kali, antara tanggal 10 hingga tanggal 20 bulan berikutnya,
yang selalu berulang-ulang terjadi setiap bulan sampai dengan bulan
November 2010 atau selama 18 bulan. Atas kejadian tersebut, Pemohon
berpendapat telah terjadi perselisihan antara Pemohon selaku
6

pekerja/buruh dengan pengusaha PT. Megahubana Citramasindo.


Sehingga berdasarkan kewenangan yang diberikan ketentuan Pasal 169
ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pemohon mengajukan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Setelah Pemohon
mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
PT. Megahbuana Citramasindo membayarkan upah tepat pada waktunya,
setelah membayar upah tidak tepat waktu kepada Pemohon selama 18
(delapan belas) bulan. Namun, Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengeluarkan Putusan menolak gugatan
Pemohon, pada tanggal 13 Juni 2011, dengan Nomor
61/PHI.G/2011/PN.JKT.PST, yang amar pertimbangannya karena upah
Pemohon yang semula dibayarkan tidak tepat waktu, senyatanya kini telah
dibayarkan tepat waktu (vide Bukti P-5).
6. Bahwa bunyi ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Ketenagakerjaan, selengkapnya: “Pekerja/buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan sebagai berikut : (c) tidak membayar upah tepat pada waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih”.
Ketentuan a quo telah mengandung keragu-raguan karena penerapannya,
apakah permohonan PHK yang diajukan pekerja/buruh dapat dikabulkan
setelah pengusaha membayarkan kembali upah yang semula tidak tepat
waktu menjadi tepat waktu seketika adanya permohonan PHK yang
diajukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial? Ataukah dengan telah dibayarkannya upah yang semula tidak
tepat waktu menjadi tepat waktu akan membatalkan hak pekerja/buruh
untuk mengajukan permohonan PHK?
Ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan,
telah berupaya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi
pekerja/buruh, dengan memberikan hak kepada pekerja/buruh untuk
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja akibat adanya
7

tindakan pengusaha yang membayar upah tidak tepat waktu selama 3


(tiga) bulan berturut-turut atau lebih.
Namun dalam prakteknya, ketidakpastian hukum justru timbul manakala
pekerja/buruh menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja, karena alasan upah pekerja/buruh yang
dibayar tidak tepat waktu selama lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut,
menjadi kembali dibayar tepat pada waktunya oleh pengusaha, setelah
pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Akibat dari tidak jelasnya penafsiran ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi Pemohon, maka dengan sendirinya telah mengakibatkan
ketidakadilan terhadap Pemohon, karena tidak mendapatkan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja, akibat gugurnya hak
mengajukan permohonan PHK, karena pembayaran upah yang semula
tidak tepat waktu menjadi tepat waktu setelah diajukan penyelesaiannya
melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
7. Bahwa agar ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Ketenagakerjaan berkepastian hukum, maka sepanjang kalimat,
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: (c) tidak membayar
upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih harus dimaknai, pekerja/buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja karena tindakan pengusaha yang
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, yang keterlambatan upah dimaksud
pernah terjadi sebelum pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial”.

IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan yang sudah berdasarkan
hukum dan didukung oleh alat-alat bukti yang disampaikan ke Mahkamah
8

Konstitusi, Pemohon memohon kiranya Mahkamah Konstitusi berkenan


memutus:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai
pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
karena tindakan pengusaha yang tidak membayar upah tepat pada waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, yang
keterlambatan upah dimaksud pernah terjadi sebelum pekerja/buruh
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
3. Menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak berkekuatan hukum tetap, sepanjang
tidak dimaknai pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja karena tindakan pengusaha yang tidak membayar upah
tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
atau lebih, yang keterlambatan upah dimaksud pernah terjadi sebelum
pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan
Bukti P-5, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
9

4. Bukti P-4 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon;


5. Bukti P-5 : Fotokopi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor
61/PHI.G/2011/PN.JKT.PST tanggal 13 Juni 2011.

Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan seorang ahli dan seorang saksi
yang yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan
tanggal 3 November 2011, yang menerangkan sebagai berikut:

AHLI PEMOHON
Aloysius Uwiyono
ƒ Bahwa menurut Ahli Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang a quo mengatur hak
pekerja untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
ƒ Bahwa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada dasarnya
ada beberapa lembaga, misalnya mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan
hubungan industrial. Sehingga Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang a quo, pada
dasarnya adalah mengatur hak pekerja untuk mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga-lembaga tersebut yaitu mediasi,
konsiliasi, arbitrase, maupun pengadilan hubungan industrial;
ƒ Bahwa adapun terkait dengan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon untuk
mengajukan pemutusan hubungan kerja, disebutkan dari huruf a sampai huruf f
yang pada dasarnya adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengusaha
yang merugikan kepada pekerja, sehingga kemudian Pasal 169 memberikan
hak kepada pekerja diperlakukan secara tidak fair oleh pengusaha untuk
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada ke empat
lembaga tersebut;
ƒ Bahwa apabila pengusaha dalam kurun waktu tiga bulan tidak membayar upah
secara tepat, maka seharusnya lembaga penyelesaian hubungan industrial itu
mengabulkan gugatan dari penggugat untuk diputuskan hubungan kerja. Hal
tersebut dikarenakan setelah lahirnya Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang
Ketenegakerjaan, maka pengaturan pemutusan hubungan kerja tidak lagi
tunduk pada Hukum Administrasi Negara, tetapi tunduk pada Hukum Perdata.
Artinya baik buruh maupun pengusaha mempunyai hak untuk menggugat pada
10

pengadilan atau lembaga penyelesaian hubungan industrial untuk mengakhiri


hubungan kerja.
ƒ Bahwa hal tersebut berbeda sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan lahir, yaitu pada saat Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1964 juncto Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, sahnya pemutusan
hubungan kerja setelah mendapatkan izin dari P4D, P4P, yang notabene ini
adalah Pemerintah, karena secara ex officio Ketua P4 Pusat adalah Menteri
Tenaga Kerja, sehingga keputusan sah tidaknya PHK ada di tangan P4D dan
P4P, sehingga tidak ada proses gugat-menggugat, tetapi prosesnya adalah
pengajuan permohonan izin yang diajukan oleh pihak pengusaha;
ƒ Bahwa setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, maka terjadilah pergeseran hukum ketenagakerjaan,
khususnya yang mengatur pemutusan hubungan kerja, tidak lagi tunduk pada
hukum administrasi negara, tetapi tunduk pada hukum keperdataan. Oleh
karena itu, kemudian diberikan hak-hak kepada masing-masing untuk
mengakhiri hubungan kerja.
ƒ Bahwa Pasal 169 Undang-Undang a quo adalah memberikan keseimbangan
antara kedua belah pihak, dimana pekerja atau buruh diberikan hak untuk
mengajukan permohonan untuk diputuskan hubungan kerja dalam hal kriteria
a, kriteria b, kriteria c, kriteria d, kriteria e, kriteria f, dan kriteria g, terpenuhi.
Sehingga menurut ahli, apbila memang ada pekerja tidak dibayar tepat waktu
dalam kurun waktu tiga bulan, maka seharusnya pekerja punya hak untuk
mengajukan pada pengadilan hubungan industrial;
ƒ Bahwa seharusnya hakim memutuskan atau mengabulkan gugatan dari
pekerja tersebut, sehingga tidak memutuskan bahwa apa yang sudah terjadi
kemudian seolah-olah diputihkan ataupu hapus.
ƒ Bahwa karena sudah terjadi pelanggaran, maka seharusnya pelanggaran
tersebut juga dikenakan sanksi, dalam hal ini memberikan hak kepada pekerja
untuk di-PHK berdasarkan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo.
ƒ Bahwa apabila pekerja dapat membuktikan selama tiga bulan berturut-turut
tidak dibayar upah tepat waktu, maka pekerja mempunyai hak untuk di-PHK.
Oleh karena itu, apabila mengajukan permohonan ke pengadilan, seharusnya
pengadilan mengabulkan permohonan atau gugatan dari pihak pekerja
tersebut.
11

ƒ Bahwa apabila gugatan tidak diajukan, maka dengan sendirinya hak tersebut
berlaku fakultatif sehingga apabila diajukan dikemudian hari, harus dikabulkan;
ƒ Bahwa menurut ahli adanya proses pembayaran tepat waktu pasca gugatan
tidak menghapuskan hak pekerja untuk mengajukan permohonan PHK pada
saat tiga bulan yang lalu, karena perlakuan tidak dibayar upah secara tepat
waktu karena perbuatannya sudah terjadi.
ƒ Bahwa perbuatan tidak membayar upah secara tidak tepat waktu, sudah terjadi
dan sudah dirasakan oleh pekerja sebagai sesuatu yang merugikan. Sehingga
oleh karena merugikan, maka Undang-Undang a quo memberikan
perlindungan kepada pekerja untuk mengajukan pemutusan hubungan kerja.
ƒ Bahwa pada intinya, apabila perusahaan sudah tidak mampu membayar upah
tepat waktu, seharusnya pekerja di PHK saja.

SAKSI PEMOHON
Ngadiono
ƒ Bahwa saksi mengetahui tentang adanya keterlambatan pemberian upah yang
dilakukan oleh PT Mega Buana sejak bulan Juni tahun 2009 sampai dengan
November 2010.
ƒ Bahwa Pemohon telah melaporkan keterlambatan upah tersebut, kepada
Kementrian Ketenagakerjaan dan Pengadilan Hubungan Indsutrial dan setelah
Pemohon melaporkan, maka pembayaran upah menjadi tepat waktu;
ƒ Bahwa meskipun perusahaan tersebut sampai saat ini masih aktif, tetapi
kegiatan perusahaan sudah tidak maksimal sejak tahun 2009 sampai dengan
sekarang dan saksi mengetahui apa yang dilakukan pihak perusahaan
terhadap Pemohon setelah Pemohon melaporkan hak kepada Pengadilan
Hubungan Industrial;
ƒ Bahwa hubungan Pemohon dengan perusahan sudah tidak harmonis,
sehingga Pemohon tidak diberikan pekerjaan, ruangannya pun harus
dikosongkan dan peralatan untuk bekerja pun ditiadakan;
ƒ Bahwa benar pada saat ini pembayaran upah telah tepat waktu, akan tetapi
hak Pemohon dan saksi sebagai security masih ada pembayaran uang makan
yang tidak tepat waktu sampai saat ini dan sudah dilakukan lebih hampir dua
bulan;
12

ƒ Selain itu terkait dengan masalah THR tahun 2009 yang harus dibayarkan
separuhnya menurut putusan pengadilan PHI, tetapi sampai saat ini pun belum
dibayarkan;
ƒ Bahwa di Pengadilan Hubungan Industrial, Pemohon telah mengajukan PHK,
tetapi gugatan Pemohon ditolak, sehingga Pemohon terus memperjuangkan
haknya sampai sekarang;

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah


memberikan keterangan sebagai berikut:
ƒ Bahwa menurut Pemerintah, mohon kiranya Pemohon dapat membuktikan
terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakuknya ketentuan Pasal 169
ayat (1) huruf c Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, serta berdasarkan
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, sejak Putusan Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-IV/2007.
ƒ Bahwa menurut Pemerintah, norma ketentuan undang-undang a quo justru
memberikan keseimbangan terhadap pekerja dan pengusaha. Sedangkan
argumentasi Pemohon lebih terkait dengan implementasi pelaksanaan
ketentuan a quo pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dan bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas keberlakuan suatu
norma.
ƒ Bahwa terhadap anggapan Pemohon bahwa ketentuan Pasal 169 ayat (1) uruf
c Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut.
1. Materi muatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur berbagai
kepentingan, baik kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah
bekerja, maupun kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat.
Berbagai kepentingan tersebut saling memiliki keterkaitan antara satu
dengan yang lain.
2. Undang-Undang Ketenagakerjaan mendorong pengusaha, pekerja buruh,
serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upayanya
13

untuk mengusahakan agar tidak terjadi perselisihan antara para pihak,


sehingga pemutusan hubungan kerja dapat dihindari.
3. Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan keseimbangan antara hak
dan kewajiban, baik untuk pekerja maupun pengusaha. Keseimbangan
dimaksud dapat dilihat dari ketentuan Pasal 158 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yaitu mengenai alasan pemutusan hubungan kerja oleh
pengusaha. Di sisi lain, pekerja juga dapat mengajukan pemutusan
hubungan sebagaimana diatur dalam Pasal 169 Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
4. Ketentuan Pasal 169 Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan
keseimbangan antara pekerja dan pengusaha dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, dimana Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan sebagai berikut.
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja buruh
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
bulan berturut-turut atau lebih
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja buruh
e. Memerintahkan pekerja buruh untuk melakukan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan, atau
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja buruh, sedangkan pekerja tersebut
tidak dicantum… pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian
kerja.
Terhadap pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
diterangkan di atas, pekerja buruh berhak mendapatkan uang pesangon
sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan uang penggantian hak
sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13
14

Tahun 2003. Sebaliknya, dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan


perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja tanpa penetapan lembaga perselisihan hubungan industrial dan
pekerja buruh tersebut tidak berhak atas uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku (vide Pasal 169 ayat (3) Undang-Undang
Ketenagakerjaan).
5. Ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan
pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada
pekerja buruh dalam hal pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya
untuk membayar upah tepat pada waktu yang ditentukan, sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian kerja maupun berdasarkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
6. Menurut Pemerintah, tindakan Pemohon yang mengajukan permasalahan
yang dialaminya kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mekanisme pengadilan hubungan industrial karena
merasa upahnya tidak dibayarkan tepat pada waktu yang ditentukan adalah
telah sesuai dengan Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
7. Adapun terhadap putusan pengadilan hubungan industrial yang pada
akhirnya menolak gugatan Pemohon, menurut Pemerintah lebih merupakan
permasalahan penerapan atau implementasi keberadaan dan keberlakuan
ketentuan norma yang diuji dan bukan merupakan permasalahan
konstitusional keberlakuan suatu norma.
8. Untuk itu, yang semestinya dilakukan oleh Pemohon adalah melakukan
upaya hukum atas putusan pengadilan hubungan industrial ke Mahkamah
Agung disertai dengan bukti-bukti yang ada, atau pun mengajukan tuntutan
denda atas keterlambatan pembayaran upah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan bukan
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo ke Mahkamah
Konstitusi.
9. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Ketenagakerjaan merupakan norma yang jelas dan tidak memerlukan
penafsiran lain dari apa yang tertera dalam teks.
15

10. Selain itu, apabila ketentuan Pasal a quo dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi, maka menurut Pemerintah justru akan menimbulkan kerugian
bagi pekerja buruh karena tidak adanya kepastian hukum sampai kapan
dan seberapa lama pekerja buruh menunggu hak atau upahnya dibayarkan
oleh perusahaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut.
1) Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima.
2) Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
3) Menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan


Rakyat tidak memberikan keterangan lisan ataupun tertulis;

[2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan pada


tanggal Rabu, 9 November 2011 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian


materiil Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut
16

UU 13/2003) terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah), terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan Mahkamah
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon mengenai


pengujian materiil Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 terhadap UUD 1945
maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, yaitu:
17

a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang


mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007,
serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
18

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara


Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya Pasal 169 ayat
(1) huruf c UU 13/2003;
Bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk
memperoleh perlindungan dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum dan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Secara konkret kerugian tersebut diakibatkan
karena Pemohon sebagai pekerja tidak mendapatkan upah sebagai pekerja dari
perusahaan tempat Pemohon bekerja secara tepat waktu selama 3 bulan berturut-
turut atau lebih. Atas dasar itu Pemohon mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja ke pengadilan hubungan industrial sesuai dengan pasal a quo,
akan tetapi permohonan tersebut ditolak, karena pengusaha kembali membayar
upah secara tepat waktu setelah lalai membayar upah tepat waktu selama lebih
dari 3 bulan berturut-turut (yaitu selama 18 bulan). Menurut pengusaha,
berdasarkan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 tidak ada alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Berdasarkan fakta tersebut, Pemohon menganggap hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan perlakuan hukum yang adil dan hak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja menurut Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dirugikan;

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon tersebut, menurut


Mahkamah, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sehingga Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo;

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya memohon pengujian


konstitusionalitas Pasal169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 yang menyatakan:
19

“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja


kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
...
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih”;

terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

Pasal 28D ayat (1):


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

Pasal 28D ayat (2):


“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja”.

[3.11] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa Pasal


169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 mengandung ketidakpastian hukum yang
merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon selaku karyawan PT. Megahbuana Citramasindo telah tidak dibayar
upahnya oleh perusahaan tersebut selama lebih dari 3 bulan berturut-turut yaitu
selama 18 bulan (dari bulan Juni 2009 sampai dengan November 2010) yang
seharusnya telah cukup alasan bagi Pemohon untuk mengajukan pemutusan
hubunan kerja (PHK). Akan tetapi setelah Pemohon mengajukan PHK ke
Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut PHI) ternyata ditolak oleh
PHI karena perusahaan kembali membayar upah kepada Pemohon secara rutin.
Menurut Pemohon, Pasal 169 ayat (1) huruf c tersebut tidak memberikan
kepastian hukum apakah dengan pembayaran upah secara rutin oleh pengusaha
setelah pengusaha lalai membayar upah secara tepat waktu lebih dari tiga bulan
menggugurkan hak Pemohon untuk mengajukan PHK, atau dengan adanya
pembayaran rutin oleh pengusaha setelah pengusaha lalai membayar upah secara
tepat waktu lebih dari tiga bulan adalah cukup beralasan bagi Pemohon untuk
mengajukan PHK, sehingga menurut Pemohon Pasal 169 ayat (1) huruf c UU
13/2003 bertentangan dengan UUD 1945;
20

[3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon


mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-5, dan saksi Ngadiono serta ahli Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H.,
M.H. yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 3
November 2011, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:

Saksi Ngadiono
ƒ Mengetahui adanya keterlambatan pemberian upah yang dilakukan oleh PT.
Megahbuana Citramasindo sejak bulan Juni 2009 sampai dengan November
2010;
ƒ Pemohon telah melaporkan keterlambatan upah tersebut kepada Depnaker dan
Pengadilan Hubungan Industrial, akan tetapi setelah Pemohon melaporkan,
maka pembayaran upah oleh perusahaan menjadi tepat waktu;
ƒ Meskipun perusahaan tersebut sampai saat ini masih aktif, tetapi kegiatan
perusahaan sudah tidak maksimal sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang
dan saksi mengetahui apa yang dilakukan pihak perusahaan terhadap Pemohon
setelah Pemohon melaporkan hak kepada Pengadilan Hubungan Industrial;
ƒ Di Pengadilan Hubungan Industrial, Pemohon telah mengajukan PHK, tetapi
gugatan Pemohon ditolak, sehingga Pemohon terus memperjuangkan haknya
sampai sekarang.

Ahli Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H.


ƒ Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang a quo, pada dasarnya adalah mengatur hak
pekerja untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga-lembaga penyelesaian sengketa hubungan industrial yaitu mediasi,
konsiliasi, arbitrase, maupun pengadilan hubungan industrial. Pasal tersebut
memberikan hak kepada pekerja yang diperlakukan secara tidak fair oleh
pengusaha untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
keempat lembaga tersebut;
ƒ Apabila pengusaha dalam kurun waktu tiga bulan tidak membayar upah secara
tepat, dan hal itu terbukti dalam persidangan, seharusnya lembaga
penyelesaian hubungan industrial mengabulkan gugatan dari penggugat untuk
diputuskan hubungan kerjanya. Hal tersebut dikarenakan setelah lahirnya UU
13/2003, pengaturan pemutusan hubungan kerja tidak lagi tunduk pada Hukum
Administrasi Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 12 Tahun
21

1964 tetapi tunduk pada Hukum Perdata. Artinya baik buruh maupun
pengusaha mempunyai hak untuk menggugat pada pengadilan atau lembaga
penyelesaian hubungan industrial untuk mengakhiri hubungan kerja;

[3.13] Menimbang, terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah memberikan


keterangan secara lisan pada tanggal 3 November 2011 dan keterangan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29 November 2011,
(selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara), yang pada pokoknya
menerangkan bahwa pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena
ketentuan a quo justru memberikan keseimbangan terhadap pekerja dan
pengusaha. Adapun argumentasi Pemohon lebih terkait dengan implementasi
pelaksanaan ketentuan a quo pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dan bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas keberlakuan
suatu norma. Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 pada dasarnya dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dalam hal pengusaha tidak
melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah tepat pada waktu yang
ditentukan, sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kerja maupun berdasarkan
UU 13/2003. Menurut Pemerintah, Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003
merupakan norma yang jelas dan tidak memerlukan penafsiran lain dari apa yang
tertera dalam teks. Selain itu, menurut Pemerintah, apabila ketentuan a quo
dikabulkan oleh Mahkamah maka justru akan menimbulkan kerugian bagi
pekerja/buruh karena tidak adanya kepastian hukum sampai kapan dan seberapa
lama pekerja/buruh menunggu hak atau upahnya dibayarkan oleh perusahaan.

Pendapat Mahkamah

[3.14] Menimbang bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah


apakah Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 mengandung ketidakpastian hukum
yang menciderai hak-hak konstitusional pekerja untuk mendapatkan kepastian
hukum yang adil dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945?

[3.15] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, membayar upah pekerja


merupakan kewajiban hukum bagi pengusaha. Upah merupakan balasan atas
prestasi pekerja/buruh yang diberikan oleh pengusaha yang secara seimbang
22

merupakan kewajiban pengusaha untuk membayarnya. Kelalaian pengusaha


membayar upah pekerja/buruh dapat menimbulkan hak bagi pekerja/buruh untuk
menuntut pengusaha memenuhi kewajibannya, dan jika tidak, pekerja/buruh dapat
meminta PHK sebagaimana diatur pasal a quo. Tidak membayar upah pekerja tiga
bulan berturut-turut adalah pelanggaran serius atas hak-hak pekerja/buruh yang
berimplikasi luas bagi kehidupan seseorang pekerja terutama hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan wajar
dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945]. Upah bagi pekerja
adalah penopang bagi kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Menurut
Mahkamah, dengan lewatnya waktu tiga bulan berturut-turut pengusaha tidak
membayar upah secara tepat waktu kepada pekerja, sudah cukup alasan menurut
hukum bagi pekerja untuk meminta PHK. Hak ini tidak hapus ketika pengusaha
kembali memberi upah secara tepat waktu setelah pelanggaran tersebut terjadi;

[3.16] Menimbang bahwa dalam hukum ketenagakerjaan hak pekerja untuk


memutuskan hubungan kerja dengan alasan tertentu yang dapat dibenarkan
adalah sesuatu yang lazim yang dikenal dengan istilah constructive dismissal,
yaitu digunakan dalam situasi ketika seorang pekerja dipaksa untuk meninggalkan
pekerjaan karena perilaku pengusaha itu sendiri yang tidak dapat diterima oleh
pekerja. Constructive dismissal juga mencakup pengunduran diri pekerja karena
pelanggaran serius yang dilakukan pengusaha terhadap ketentuan kontrak kerja.
Alasan untuk meninggalkan pekerjaan haruslah merupakan pelanggaran
fundamental terhadap kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha, seperti :
ƒ Tidak membayar upah pekerja atau tiba-tiba menahan dan mengurangi upah
pekerja secara tidak adil di luar persetujuan pekerja;
ƒ Memaksa pekerja untuk menyetujui perubahan dalam kondisi bekerja yang tidak
ditetapkan dalam kontrak kerja seperti tiba-tiba memberitahukan bahwa pekerja
yang bersangkutan harus bekerja di kota lain atau membuat pekerja memiliki
giliran bekerja malam padahal dalam kontrak pekerja hanya bekerja siang hari;
ƒ Adanya intimidasi, penindasan, dan penyerangan dari orang lain di tempat kerja;
ƒ Membuat pekerja, bekerja di tempat berbahaya yang tidak disebutkan dalam
kontrak kerja;
ƒ Menuduh pekerja secara tidak berdasar.
23

Berdasarkan prinsip constructive dismissal, pekerja mempunyai hak untuk


meninggalkan pekerjaannya sesegera mungkin tanpa harus memberikan
pemberitahuan kepada pengusaha dan tindakan tersebut (bila terbukti menurut
hukum) dianggap sebagai pemberhentian oleh pengusaha dengan syarat pekerja
tersebut harus membuktikan tiga unsur yaitu: 1) Pengusaha melakukan
pelanggaran serius atas kontrak kerja, 2) Pelanggaran tersebut harus menjadi
alasan mengapa pekerja tersebut dipaksa untuk berhenti, 3) Pekerja tidak
melakukan apapun yang menunjukkan diterimanya pelanggaran atau perubahan
dalam kondisi pekerjaan, yang berarti mereka tidak melakukan apapun yang
membuat kontrak tersebut dilanggar oleh pengusaha melalui penerimaan secara
implisit atau secara tersirat atas pelanggaran kontrak tersebut;

[3.17] Menimbang bahwa dengan merujuk kasus ketenagakerjaan yang


dialami oleh Pemohon dan praktik dalam hukum ketenagakerjaan sebagaimana
diuraikan di atas, menurut Mahkamah, pembayaran upah tepat waktu merupakan
hal yang sangat penting bagi buruh/pekerja Indonesia karena upah tersebut
seringkali merupakan satu-satunya penghasilan yang dijadikan tumpuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sehari-hari. Hukum sudah
seharusnya memberikan kepastian bagi pekerja atas pembayaran upahnya.
Apabila kepastian dalam pembayaran upah tidak dapat diwujudkan oleh
pengusaha, dalam hal ini pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang
telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja sesuai dengan
ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU 13/2003 dan pekerja berhak menerima
hak-haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 169 ayat (2) UU 13/2003.
Menurut Mahkamah, hak pekerja untuk mendapatkan PHK tidak
terhalang oleh adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja
secara tepat waktu setelah adanya permohonan PHK oleh pekerja ke Pengadilan,
dengan ketentuan bahwa pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk
mendapatkan haknya agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak
diindahkan oleh pengusaha. Hal itu untuk melindungi hak-hak pekerja untuk
mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang adil dan hak pekerja untuk
mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah menilai ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo
24

tidak memberi kepastian apakah dengan pembayaran upah secara tepat waktu
oleh pengusaha kepada pekerja setelah pengusaha tidak membayar upah secara
tepat waktu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut menggugurkan alasan
pekerja untuk mendapatkan PHK? Dalam kasus yang dialami oleh Pemohon
ternyata di Pengadilan Hubungan Industrial, permohonan PHK dari Pemohon
ditolak oleh pengadilan karena pengusaha kembali membayar upah Pemohon
secara tepat waktu setelah sebelumnya tidak membayar secara tepat waktu lebih
dari tiga bulan berturut-turut. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun
Mahkamah tidak mengadili perkara konkret, telah cukup bukti bahwa ketentuan
pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak
konstitusional pekerja untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip konstitusi.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut


di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut
hukum;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan


permohonan a quo;
[4.3] Dalil-dalil Pemohon berdasar dan beralasan menurut hukum;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
25

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

ƒ Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

ƒ Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun
pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;

ƒ Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar
upah secara tepat waktu sesudah itu”;

ƒ Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia


sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, M. Akil Mochtar,
Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan Ahmad Fadlil Sumadi,
masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal sembilan, bulan Juli,
26

tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal enam belas, bulan Juli,
tahun dua ribu dua belas, oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD.,
selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar
Usman, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera
Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. Ttd.
td
Achmad Sodiki Hamdan Zoelva

ttd. Ttd.

Anwar Usman M. Akil Mochtar

ttd. ttd.

Maria Farida Indrati Ahmad Fadlil Sumadi

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Hani Adhani
38786$1
1RPRU 388;

'(0,.($',/$1%(5'$6$5.$1.(78+$1$1<$1*0$+$(6$

0$+.$0$+.2167,786,5(38%/,.,1'21(6,$

>@ <DQJ PHQJDGLOL SHUNDUD NRQVWLWXVL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ WHUDNKLU
PHQMDWXKNDQSXWXVDQGDODPSHUNDUD3HQJXMLDQ 8QGDQJ8QGDQJ1RPRU  7DKXQ
 WHQWDQJ %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO WHUKDGDS 8QGDQJ8QGDQJ
'DVDU1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD 7DKXQ \DQJGLDMXNDQROHK

>@  1DPD  0.RPDUXGLQ


3HNHUMDDQ  %XUXK .HWXD 8PXP )HGHUDVL ,NDWDQ 6HULNDW %XUXK
,QGRQHVLD
$ODPDW  .ROHDQJ 57  5:  'HVD .ROHDQJ .HFDPDWDQ
-DVLQJD.DEXSDWHQ%RJRU
6HODQMXWQ\DGLVHEXW  3HPRKRQ,

 1DPD  6XVL6DUWLND
3HNHUMDDQ  %XUXK 6HNUHWDULV -HQGHUDO )HGHUDVL ,NDWDQ 6HULNDW
%XUXK,QGRQHVLD
$ODPDW  -DODQ 5D\D -RQJJRO 57  5:  .HOXUDKDQ
&LOHXQJVL .LGXO .HFDPDWDQ &LOHXQJVL .DEXSDWHQ
%RJRU
6HODQMXWQ\DGLVHEXW  3HPRKRQ,,

 1DPD  <XOLDQWL
3HNHUMDDQ  6WDII37 0HJDKEXDQD&LWUDPDVLQGR
$ODPDW  -DODQ .DOLEDUX %DUDW ,9 57  5:  1RPRU 
.HOXUDKDQ .DOLEDUX .HFDPDWDQ &LOLQFLQJ -DNDUWD
8WDUD
6HODQMXWQ\DGLVHEXW  3HPRKRQ,,,

'DODP KDO LQL EHUGDVDUNDQ 6XUDW .XDVD .KXVXV EHUWDQJJDO  6HSWHPEHU 
PHPEHUL NXDVD NHSDGD 'U $QGL 0XKDPPDG $VUXQ 6+ 0+ 1XUXO $QLIDK


6+ GDQ 0 -RGL 6DQWRVR 6+ $GYRNDW GDQ $VLVWHQ $GYRNDW \DQJ WHUJDEXQJ
SDGD ³0XKDPPDG $VUXQ DQG 3DUWQHUV /DZ )LUP´ EHUDODPDW NDQWRU GL *HGXQJ
*XUX -DODQ 7DQDK $EDQJ ,,, 1RPRU  -DNDUWD 3XVDW EHUWLQGDN XQWXN GDQ DWDV
QDPDSHPEHULNXDVD

6HODQMXWQ\DGLVHEXWVHEDJDL  SDUD 3HPRKRQ

>@ 0HPEDFDSHUPRKRQDQ SDUD 3HPRKRQ


0HQGHQJDUNHWHUDQJDQ SDUD 3HPRKRQ
0HPHULNVD EXNWLEXNWL SDUD 3HPRKRQ

 '8'8.3(5.$5$

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD SDUD 3HPRKRQ WHODK PHQJDMXNDQ SHUPRKRQDQ


GHQJDQ VXUDW SHUPRKRQDQ EHUWDQJJDO  $JXVWXV  \DQJ GLWHULPD GL
.HSDQLWHUDDQ0DKNDPDK.RQVWLWXVL VHODQMXWQ\DGLVHEXW.HSDQLWHUDDQ0DKNDPDK
SDGD KDUL 6HQLQ WDQJJDO  $JXVWXV  EHUGDVDUNDQ $NWD 3HQHULPDDQ %HUNDV
3HUPRKRQDQ1RPRU 3$10. GDQGLFDWDWGDODP%XNX5HJLVWUDVL3HUNDUD
.RQVWLWXVL GHQJDQ 1RPRU 388; SDGD KDUL 5DEX WDQJJDO  $JXVWXV
\DQJWHODK GLSHUEDLNLGDQGLWHULPDGL.HSDQLWHUDDQ0DKNDPDKSDGDWDQJJDO
6HSWHPEHU\DQJSDGDSRNRNQ\DPHQJXUDLNDQKDOKDOVHEDJDLEHULNXW

, .(:(1$1*$10$+.$0$+.2167,786,
, %DKZDEHUGDVDUNDQNHWHQWXDQ3DVDOD\DW  88'EHUEXQ\L
³.HNXDVDDQ NHKDNLPDQ GLODNXNDQ ROHK VHEXDK 0DKNDPDK $JXQJ GDQ
EDGDQ SHUDGLODQ \DQJ EHUDGD GL EDZDKQ\D GDODP OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ
XPXP OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ DJDPD OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ PLOLWHU
OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ WDWD XVDKD QHJDUD GDQ ROHK VHEXDK 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL´
, %DKZD NHWHQWXDQ3DVDO&D\DW  88'PHQ\DWDNDQ
³0DKNDPDK .RQVWLWXVL EHUZHQDQJ PHQJDGLOL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ
WHUDNKLU \DQJ SXWXVDQQ\D EHUVLIDW ILQDO XQWXN PHQJXML XQGDQJXQGDQJ
WHUKDGDS8QGDQJ8QGDQJ'DVDUPHPXWXVVHQJNHWDNHZHQDQJDQOHPEDJD
QHJDUD \DQJ NHZHQDQJDQQ\D GLEHULNDQ ROHK 8QGDQJ8QGDQJ 'DVDU
PHPXWXVSHPEXEDUDQSDUWDLSROLWLNGDQPHPXWXVSHUVHOLVLKDQWHQWDQJKDVLO
SHPLOLKDQXPXP´


, %DKZDNHWHQWXDQ3DVDOD\DW  8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQ


WHQWDQJ0DKNDPDK.RQVWLWXVL /HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD7DKXQ
 1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU
 VHODQMXWQ\DGLVHEXW88 %XNWL3@VHEDJDLPDQD\DQJWHODK
GLXEDK GHQJDQ 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 3HUXEDKDQ
$WDV 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 1RPRU  VHODQMXWQ\D GLVHEXW 88  %XNWL 3  \DQJ
EHUEXQ\L
³0DKNDPDK .RQVWLWXVL EHUZHQDQJ PHQJDGLOL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ
WHUDNKLU \DQJ SXWXVDQQ\D EHUVLIDW ILQDO XQWXN   PHQJXML XQGDQJXQGDQJ
WHUKDGDS 8QGDQJ8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ 
 PHPXWXVVHQJNHWDNHZHQDQJDQOHPEDJDQHJDUD\DQJNHZHQDQJDQQ\D
GLEHULNDQ ROHK 8QGDQJ8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ
  PHPXWXVSHPEXEDUDQSDUWDLSROLWLNGDQ  PHPXWXVSHUVHOLVLKDQ
WHQWDQJKDVLOSHPLOLKDQXPXP´
, %DKZD ROHK NDUHQD REMHN SHUPRKRQDQ SHQJXMLDQ LQL DGDODK PXDWDQ PDWHUL
8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD
-DPLQDQ 6RVLDO WHUKDGDS 8QGDQJ 8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD7DKXQPDND 0DKNDPDK.RQVWLWXVL EHUZHQDQJPHPHULNVD
GDQPHQJDGLOLSHQJXMLDQDWDV 8QGDQJ8QGDQJ DTXR WHUKDGDS88'

,, .('8'8.$1+8.80 /(*$/67$1',1* 3(02+21


,, %DKZD VHEDJDLPDQD GLQ\DWDNDQ GDODP 3DVDO  D\DW   88 
PHQ\DWDNDQ ³3HPRKRQ DGDODK SLKDN \DQJ GDQDWDX NHZDMLEDQ
NRQVWLWXVLRQDOQ\D GLUXJLNDQ GHQJDQ EHUODNXQ\D 8QGDQJXQGDQJ \DLWX D
SHURUDQJDQ:DUJD1HJDUD,QGRQHVLD E .HVDWXDQPDV\DUDNDWKXNXPDGDW
VHSDQMDQJPDVLKKLGXSGDQVHVXDLGHQJDQSHUNHPEDQJDQPDV\DUDNDWGDQ
SULQVLS 1HJDUD .HVDWXDQ 5HSXEOLN ,QGRQHVLD \DQJ GLDWXU GDODP XQGDQJ
XQGDQJ F %DGDQKXNXPSXEOLNDWDXSULYDW G /HPEDJD1HJDUD´
,, %DKZD SDUD 3HPRKRQ\DQJWHUGLULGDULVHULNDWSHNHUMDEXUXK\DQJWXJDVGDQ
SHUDQDQQ\D DGDODK PHODNVDQDNDQ NHJLDWDQNHJLDWDQ SHUOLQGXQJDQ
SHPEHODDQ VHUWD SHQHJDNNDQ KDNKDN NRQVWLWXVLRQDO EXUXK GL ,QGRQHVLD
VHEDJDLPDQD WHUPXDW GDODP $QJJDUDQ 'DVDU >%XNWL 3@ GDQ MXJD WHUGLUL
GDUL SHUVHRUDQJDQ \DQJ EHNHUMD VHEDJDL SHNHUMDEXUXK \DQJ WLGDN


GLLNXWVHUWDNDQ PHQMDGL SHVHUWD -DPLQDQ 6RVLDO 7HQDJD .HUMD ROHK SHPEHUL


NHUMD WHPSDWQ\D EHNHUMD PDND EHUGDVDUNDQ NHWHQWXDQ 3DVDO & D\DW 
GDQ3DVDO(D\DW  88'VHUWD3DVDOD\DW  88 SDUD
3HPRKRQ PHPSXQ\DL NHGXGXNDQ VHEDJDL 3HPRKRQ GDODP SHQJXMLDQ
8QGDQJ8QGDQJ DTXR
,, %DKZD VHODLQ LWX 0DKNDPDK .RQVWLWXVL WHODK PHPEHULNDQ SHQJHUWLDQ GDQ
EDWDVDQ NXPXODWLI WHQWDQJ NHUXJLDQ KDN NRQVWLWXVLRQDO \DQJ WLPEXO NDUHQD
EHUODNXQ\D VXDWX 8QGDQJ8QGDQJ \DQJ GLDWXU GDODP 3XWXVDQ 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL 1RPRU 388,,, EHUWDQJJDO  0HL  \DQJ KDUXV
PHPHQXKL OLPD V\DUDW\DLWX
D DGDQ\DKDNNRQVWLWXVLRQDO3HPRKRQ\DQJGLEHULNDQROHK88'
E EDKZD KDN NRQVWLWXVLRQDO 3HPRKRQ WHUVHEXW GLDQJJDS ROHK 3HPRKRQ
WHODKGLUXJLNDQROHK VXDWX 8QGDQJ8QGDQJ \DQJGLXML
F EDKZD NHUXJLDQ NRQVWLWXVLRQDO SHPRKRQ \DQJ GLPDNVXG EHUVLIDW VSHVLILN
NKXVXV GDQDNWXDODWDXVHWLGDNWLGDNQ\DEHUVLIDWSRWHQVLDO\DQJPHQXUXW
SHQDODUDQ\DQJZDMDUGDSDWGLSDVWLNDQDNDQWHUMDGL
G DGDQ\D KXEXQJDQ VHEDE DNLEDW FDXVDO YHUEDQG  DQWDUD NHUXJLDQ GDQ
EHUODNXQ\DXQGDQJXQGDQJ\DQJGLPRKRQNDQXQWXNGLXML
H DGDQ\D NHPXQJNLQDQ EDKZD GHQJDQ GLNDEXONDQQ\D SHUPRKRQDQ PDND
NHUXJLDQNRQVWLWXVLRQDO\DQJGLGDOLONDQWLGDNDNDQDWDXWLGDNWHUMDGLODJL
,, %DKZD EHUGDVDUNDQ3DVDO+D\DW  88'PHQ\DWDNDQ
³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ
SHQJHPEDQJDQGLULQ\DVHFDUDXWXKVHEDJDLPDQXVLD\DQJEHUPDUWDEDW´
3HQ\HOHQJJDUDDQ MDPLQDQ VRVLDO EDJL WHQDJD NHUMD WHODK GLDWXU GDODP
EHEHUDSD NHWHQWXDQ SHUXQGDQJXQGDQJDQ GLDQWDUDQ\D ROHK 8QGDQJ
8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ
6RVLDO 88   \DQJ PHQJDWXU WDWD FDUD NHSHVHUWDDQ XQWXN PHQMDGL
SHVHUWDMDPLQDQVRVLDO\DQJKDQ\DGDSDWGLGDIWDUNDQROHKSHPEHULNHUMD
.HWHQWXDQ \DQJ KDQ\D PHPEHULNDQ NHZHQDQJDQ NHSDGD SHPEHUL NHUMD
XQWXNGDSDWPHQGDIWDUNDQWHQDJDNHUMDQ\DPHQMDGLSHVHUWDMDPLQDQVRVLDO
WHODK PHPEDWDVL KDN NRQVWLWXVLRQDO DQJJRWD SDUD 3HPRKRQ VHUWD
SHNHUMDEXUXK SDGD XPXPQ\D DWDV KDN MDPLQDQ VRVLDO NDUHQD SHPEHUL
NHUMD EDQ\DN \DQJ GHQJDQ VHQJDMD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDEXUXKQ\D
PHQMDGL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO VHKLQJJD DQJJRWD SDUD 3HPRKRQ PDXSXQ


SHNHUMDEXUXK \DQJ WLGDN GLGDIWDUNDQ PHQMDGL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO DNDQ


NHKLODQJDQ SHUOLQGXQJDQ DWDV NHFHODNDDQ NHUMD VDNLW KDPLO EHUVDOLQ KDUL
WXDGDQPHQLQJJDOGXQLDVHEDJDLPDQIDDWGDULSURJUDPMDPLQDQVRVLDO
$SDELOD SHUPRKRQDQ SDUD 3HPRKRQ GLNDEXONDQ PDND SHNHUMDEXUXK \DQJ
PHQMDGL DQJJRWD SDUD 3HPRKRQ DWDX EXNDQ GDQ Q\DWDQ\DWD EHOXP
GLGDIWDUNDQ PHQMDGL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO NDUHQD SHPEHUL NHUMD DWDX
SHUXVDKDDQ \DQJ WLGDN EHUVHGLD PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDEXUXKQ\D NH GDODP
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO PDND SHNHUMDEXUXK \DQJ EHUVDQJNXWDQ GDSDW
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D PHQMDGL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO VHKLQJJD GDSDW
GLSDVWLNDQ SHNHUMDEXUXK DNDQ PHQGDSDWNDQ KDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO
GLDQWDUDQ\D SHUOLQGXQJDQ DWDVNHFHODNDDQ NHUMDVDNLWKDPLOEHUVDOLQKDUL
WXDGDQPHQLQJJDOGXQLDVHEDJDLPDQIDDWGDULSURJUDPMDPLQDQVRVLDO
,, %DKZD VHODLQ EHUGDVDUNDQ XUDLDQ GDODP SDUDJUDI ,, GDQ SDUDJUDI ,,
WHUVHEXW GL DWDV GDODP KDO NHGXGXNDQ KXNXP OHJDO VWDQGLQJ SDUD
3HPRKRQ \DQJ MXJD VDPD GHQJDQ 3HPRKRQ GDODP 3HUNDUD 1RPRU
388,;0DKNDPDK.RQVWLWXVLGDODP3XWXVDQQ\D1RPRU 388
,;WHUWDQJJDO$JXVWXVGDODPSHUWLPEDQJDQQ\DSDGDSDUDJUDI
>@ KDODPDQ  PHQ\DWDNDQ SDUD 3HPRKRQ PHPLOLNL NHGXGXNDQ KXNXP
OHJDOVWDQGLQJ GDODPPHQJDMXNDQSHUPRKRQDQSHQJXMLDQ3DVDOD\DW 
8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ -DPLQDQ 6RVLDO 7HQDJD
.HUMD /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU 
7DPEDKDQ/HPEDUDQ 1HJDUD1RPRU VHODQMXWQ\DGLVHEXW88 
>%XNWL 3@ \DQJ EHUEXQ\L ³3URJUDP MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD
VHEDJDLPDQD GLPDNVXG GDODP 3DVDO  ZDMLE GLODNXNDQ ROHK VHWLDS
SHUXVDKDDQ EDJL WHQDJD NHUMD \DQJ PHODNXNDQ SHNHUMDDQ GL GDODP
KXEXQJDQNHUMDVHVXDLGHQJDQNHWHQWXDQXQGDQJXQGDQJLQL´GDQ3DVDO
D\DW   8QGDQJXQGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 6LVWHP -DPLQDQ
6RVLDO1DVLRQDO /HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD7DKXQ1RPRU
 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU 
VHODQMXWQ\DGLVHEXW88  >%XNWL3@ \DQJEHUEXQ\L ³3HPEHULNHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL
SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ .HWHQWXDQ 3DVDO  D\DW   88
PHPSXQ\DLDQDNNDOLPDW\DQJVHUXSDGHQJDQNHWHQWXDQ3DVDO


D\DW   88  \DQJ SHUQDK GLSHULNVD GDQ GLDGLOL 0DKNDPDK


.RQVWLWXVL GDODP 3HUNDUD 1RPRU 388,; \DQJ WHUGDIWDU GL
.HSDQLWHUDDQ 0DKNDPDK .RQVWLWXVL 1R 3$10.,; WDQJJDO 
6HSWHPEHU\DQJVXGDKGLSXWXVWDQJJDO$JXVWXV
,, %DKZDEHUGDVDUNDQXUDLDQWHUVHEXWGLDWDV EDKZD SDUD 3HPRKRQ>%XNWL3
 %XNWL 3 GDQ %XNWL 3@ PHPLOLNL NHGXGXNDQ KXNXP OHJDO VWDQGLQJ
VHEDJDL 3HPRKRQ GDODP SHUPRKRQDQ SHQJXMLDQ 8QGDQJ8QGDQJ D TXR
WHUKDGDS88'

,,,$/$6$13(502+21$13(1*8-,$181'$1*81'$1*
,,, %DKZD MDPLQDQ VRVLDO PHUXSDNDQ KDN VHWLDS RUDQJ WDQSD WHUNHFXDOL
WHUPDVXN SHNHUMDEXUXK VHEDJDLPDQD NHWHQWXDQ 3DVDO + D\DW   88'
 \DQJ EHUEXQ\L ³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ
PHPXQJNLQNDQSHQJHPEDQJDQGLULQ\DVHFDUDXWXKVHEDJDLPDQXVLD\DQJ
EHUPDUWDEDW´ \DQJ NHPXGLDQ GLWXDQJNDQ GDODP .HWHWDSDQ 0DMHOLV
3HUPXV\DZDUDWDQ 5DN\DW 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU ;035 \DQJ
PHQXJDVNDQ 3UHVLGHQ XQWXN PHPEHQWXN 6LVWHP -DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO
GDODP UDQJND PHPEHULNDQ SHUOLQGXQJDQ VRVLDO \DQJ PHQ\HOXUXK GDQ
WHUSDGX
,,, %DKZD SDGD WDQJJDO  1RYHPEHU  3HPHULQWDK PHQJHVDKNDQ 88
 XQWXN PHPEHULNDQ SHUOLQGXQJDQ NHSDGD VHWLDS SHNHUMDEXUXK
VHEDJDL KDN VHWLDS RUDQJ WDQSD WHUNHFXDOL 1DPXQ KDN SHNHUMDEXUXK
XQWXN PHQGDSDWNDQ MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPEHULNDQ SHUOLQGXQJDQ DWDV
NHFHODNDDQ NHUMD VDNLW KDPLO EHUVDOLQ KDUL WXD GDQ PHQLQJJDO GXQLD
KDQ\D GLGDSDWNDQ DSDELOD SHPEHUL NHUMD PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDEXUXK
WHUVHEXW NH %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHEDJDLPDQD GLDWXU
GDODP NHWHQWXDQ 3DVDO  D\DW   88  \DQJ EHUEXQ\L ³3HPEHUL
.HUMDVHFDUDEHUWDKDSZDMLEPHQGDIWDUNDQGLULQ\DGDQ3HNHUMDQ\DVHEDJDL
3HVHUWD NHSDGD %3-6 VHVXDL GHQJDQ SURJUDP -DPLQDQ 6RVLDO \DQJ
GLLNXWL´
,,, %DKZD WHODK PHQMDGL KDN GDVDU EDJL VHWLDS RUDQJ XQWXN PHQGDSDWNDQ
MDPLQDQ VRVLDO VHEDJDLPDQD DPDQDW NHWHQWXDQ 3DVDO + D\DW   88'
 WDQSD WHUNHFXDOL WHUPDVXN VHWLDS PDVLQJPDVLQJ SHNHUMDEXUXK
1DPXQ KDN SHNHUMDEXUXK XQWXN PHQGDSDWNDQ MDPLQDQ VRVLDO GHQJDQ
PDQIDDWDWDVMDPLQDQNHFHODNDDQNHUMDVDNLWKDPLOEHUVDOLQKDULWXDGDQ


PHQLQJJDO GXQLD KDQ\DGDSDWWHUZXMXGDSDELODSHPEHULNHUMDPHQGDIWDUNDQ


SHNHUMDEXUXKWHUVHEXWNH%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO
,,, %DKZD KDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO PHUXSDNDQ PLOLN VHWLDS RUDQJ
VHEDJDLPDQD NHWHQWXDQ 3DVDO + D\DW   88'  \DQJ EHUEXQ\L
³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ
SHQJHPEDQJDQGLULQ\DVHFDUDXWXKVHEDJDLPDQXVLD\DQJEHUPDUWDEDW´
,,, %DKZD SDUD 3HPRKRQ GDODP SHUNDUD D TXR GDQ MXJD 3HPRKRQ GDODP
3HUNDUD 1RPRU 388,; \DQJ GLGDIWDUNDQ SDGD WDQJJDO 
6HSWHPEHU  WHODK PHQJDMXNDQ SHQJXMLDQ WHUKDGDS 3DVDO  D\DW 
88  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
\DQJGLLNXWL´
%HUGDVDUNDQ 3XWXVDQ 0DKNDPDK .RQVWLWXVL GDODP 3HUNDUD 1RPRU
388,; WHUWDQJJDO  $JXVWXV  >%XNWL 3@ \DQJ DPDU
SHUWLPEDQJDQQ\D SDGD SDUDJUDI  >@ VDPSDL GHQJDQ SDUDJUDI >@
PHQ\DWDNDQ >@ 0HQLPEDQJ EDKZD SDUD 3HPRKRQ PHQGDOLONDQ
NHWHQWXDQ 3DVDO  D\DW   88 -DPVRVWHN WHODK PHUXJLNDQ KDN
NRQVWLWXVLRQDO SDUD3HPRKRQNDUHQD SHUOLQGXQJDQ DWDVNHFHODNDDQNHUMD
VDNLWKDPLOEHUVDOLQKDULWXDGDQPHQLQJJDOGXQLDKDQ\DGDSDWGLSHUROHK
DSDELOD SHQJXVDKD WHPSDW SHNHUMDEXUXK EHNHUMD PHQGDIWDUNDQ
SHNHUMDEXUXK WHUVHEXW NH EDGDQ SHQ\HOHQJJDUD \DLWX 37 -DPVRVWHN
VHEDJDLPDQD GLDWXU GDODP 3DVDO  D\DW   88 -DPVRVWHN VHGDQJNDQ
NHZDMLEDQ SHPEHUL NHUMD XQWXN VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ
SHNHUMDQ\DVHEDJDLSHVHUWDNHSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO
VHVXDLGHQJDQSURJUDPMDPLQDQVRVLDO\DQJGLLNXWLVHEDJDLPDQDGLPDNVXG
GDODP 3DVDO  D\DW   88 6-61 GHPL PHPHQXKL KDN NRQVWLWXVLRQDOLWDV
\DQJ GLMDPLQ GDODP 3DVDO + D\DW   88'  \DQJ PHQ\DWDNDQ
³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ
SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK VHEDJDL PDQXVLD \DQJ EHUPDUWDEDW´
WLGDN WHUODNVDQD NDUHQD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WLGDN PHQGDIWDUNDQ
SHNHUMDQ\D PDND SHNHUMD WLGDN PHQGDSDWNDQ SHUOLQGXQJDQ VHKLQJJD
PHQXUXWSDUD3HPRKRQ3DVDOD\DW  88-DPVRVWHNGDQ3DVDOD\DW
 886-61EHUWHQWDQJDQGHQJDQ88'VHSDQMDQJWLGDNGLWDIVLUNDQ


³3URJUDP MDPLQDQ VRVLDO PHUXSDNDQ KDN VHWLDS SHNHUMDEXUXK \DQJ


NHSHVHUWDDQQ\D VHEDJDL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO EHUVLIDW ZDMLE \DQJ
GLGDIWDUNDQ NH %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO ROHK SHPEHUL NHUMD
DWDX SHUXVDKDDQ PDXSXQ ROHK SHNHUMD DWDX EXUXK LWX VHQGLUL \DQJ
PHODNXNDQ SHNHUMDDQ GL GDODP KXEXQJDQ NHUMD VHVXDL GHQJDQ NHWHQWXDQ
SHUXQGDQJXQGDQJDQ\DQJEHUODNX´
>@ 0HQLPEDQJ EDKZD PHQXUXW 0DKNDPDK 3DVDO  D\DW   88
-DPVRVWHN \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3URJUDP MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD
VHEDJDLPDQD GLPDNVXG GDODP 3DVDO  ZDMLE GLODNXNDQ ROHK VHWLDS
SHUXVDKDDQ EDJL WHQDJD NHUMD \DQJ PHODNXNDQ SHNHUMDDQ GL GDODP
KXEXQJDQ NHUMD VHVXDL GHQJDQ NHWHQWXDQ 8QGDQJ8QGDQJ LQL´ GDQ 3DVDO
 D\DW   88 6-61 \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS
ZDMLEPHQGDIWDUNDQGLULQ\DGDQSHNHUMDQ\DVHEDJDLSHVHUWDNHSDGD%DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
\DQJ GLLNXWL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 3DVDO + D\DW   88'  \DQJ
PHQ\DWDNDQ ³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ
PHPXQJNLQNDQSHQJHPEDQJDQGLULQ\DVHFDUDXWXKVHEDJDLPDQXVLD\DQJ
EHUPDUWDEDW´ .HGXD NHWHQWXDQ WHUVHEXW PHVNLSXQ VXGDK VHFDUD WHJDV
PHPEHEDQNDQ NHZDMLEDQ NHSDGD SHUXVDKDDQ GDQ SHPEHUL NHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
\DQJGLLNXWLDNDQWHWDSLEHOXPPHQMDPLQDGDQ\DKDNSHNHUMDDWDVMDPLQDQ
VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK VHEDJDL
PDQXVLD \DQJ EHUPDUWDEDW $SDELOD SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD WLGDN
PHQGDIWDUNDQ GLUL GDQ WLGDN SXOD PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D XQWXN
PHQGDSDWNDQ MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD NHSDGD SHQ\HOHQJJDUD VLVWHP
MDPLQDQ VRVLDO GHQJDQ PHPHQXKL NHZDMLEDQ PHPED\DU LXUDQQ\D PDND
SHNHUMD WLGDN DNDQ PHQGDSDWNDQ KDNKDNQ\D \DQJ GLMDPLQ GDODP 88'
WHUVHEXW2OHKNDUHQD8QGDQJ8QGDQJKDQ\DPHPEHULNDQNHZDMLEDQ
NHSDGD SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL GDQ
SHNHUMDQ\D SDGDKDO SDGD NHQ\DWDDQQ\D ZDODXSXQ 8QGDQJ8QGDQJ
WHUVHEXW PHPEHULNDQ VDQNVL SLGDQD PDVLK EDQ\DN SHUXVDKDDQ \DQJ
HQJJDQ PHODNXNDQQ\D PDND EDQ\DN SXOD SHNHUMD \DQJ NHKLODQJDQ KDN
KDNQ\D DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLOLQGXQJL NRQVWLWXVL +DO WHUVHEXW


EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 3DVDO ' D\DW   88'  \DQJ PHQ\DWDNDQ


³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV SHQJDNXDQ MDPLQDQ SHUOLQGXQJDQ GDQ
NHSDVWLDQKXNXP\DQJDGLOVHUWDSHUODNXDQ\DQJVDPDGLKDGDSDQKXNXP´
:DODXSXQDGDVDQNVLSLGDQDDWDVNHODODLDQSHUXVDKDDQDWDXSHPEHULNHUMD
PHQGDIWDUNDQNHLNXWVHUWDDQSHNHUMDQ\DGDODPMDPLQDQVRVLDOWHQDJDNHUMD
-DPVRVWHN  DWDX SHQ\HOHQJJDUD 6LVWHP -DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO 6-61
DNDQ WHWDSL KDO WHUVHEXW KDQ\D XQWXN PHPEHUL VDQNVL SLGDQD EDJL
SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD VHGDQJNDQ KDNKDN SHNHUMD DWDV MDPLQDQ
VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK VHEDJDL
PDQXVLD \DQJ EHUPDUWDEDW EHOXP GLSHUROHK 7HUOHELK ODJL XQWXN
SHUOLQGXQJDQ SHPDMXDQ GDQ SHQHJDNDQ KDN DVDVL PDQXVLD DGDODK
WDQJJXQJMDZDEQHJDUDWHUXWDPD 3HPHULQWDK >YLGH3DVDO, D\DW  88'
@ PDND VXGDK VHKDUXVQ\D QHJDUD PHODOXL SHUDWXUDQ SHUXQGDQJ
XQGDQJDQ PHPEHULNDQ MDPLQDQ GLWHJDNNDQQ\D NHZDMLEDQ WHUVHEXW
VHKLQJJDKDNKDNSHNHUMDGDSDWWHUSHQXKL
%HUGDVDUNDQ SHUWLPEDQJDQ KXNXP WHUVHEXW 0DKNDPDK .RQVWLWXVL GDODP
3HUNDUD 1RPRU 388,;WHUWDQJJDO$JXVWXV PHPXWXVNDQ
0HQ\DWDNDQ
x 0HQJDEXONDQSHUPRKRQDQSDUD3HPRKRQXQWXNVHOXUXKQ\D
x 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ -DPLQDQ
6RVLDO 7HQDJD .HUMD /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ 
1RPRU 7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU
\DQJ PHQ\DWDNDQ ³3URJUDP MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD VHEDJDLPDQD
GLPDNVXG GDODP 3DVDO  ZDMLE GLODNXNDQ ROHK VHWLDS SHUXVDKDDQ EDJL
WHQDJD NHUMD \DQJ PHODNXNDQ SHNHUMDDQ GL GDODP KXEXQJDQ NHUMD VHVXDL
GHQJDQ NHWHQWXDQ XQGDQJXQGDQJ LQL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 8QGDQJ
8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  MLND GLPDNQDL
PHQLDGDNDQKDNSHNHUMDXQWXNPHQGDIWDUNDQGLULVHEDJDLSHVHUWDSURJUDP
MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHUXVDKDDQ DSDELOD SHUXVDKDDQ WHODK
Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD SHQ\HOHQJJDUD MDPLQDQ
VRVLDO
x 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ -DPLQDQ
6RVLDO 7HQDJD .HUMD /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ 
1RPRU7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU


\DQJ PHQ\DWDNDQ ³3URJUDP MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD VHEDJDLPDQD


GLPDNVXG GDODP 3DVDO  ZDMLE GLODNXNDQ ROHK VHWLDS SHUXVDKDDQ EDJL
WHQDJD NHUMD \DQJ PHODNXNDQ SHNHUMDDQ GL GDODP KXEXQJDQ NHUMD VHVXDL
GHQJDQ NHWHQWXDQ XQGDQJXQGDQJ LQL´ WLGDN PHPSXQ\DL NHNXDWDQ KXNXP
PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL
VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHUXVDKDDQ
DSDELOD SHUXVDKDDQ WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQQ\D SDGD
SHQ\HOHQJJDUDMDPLQDQVRVLDO
x 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ -DPLQDQ
6RVLDO 7HQDJD .HUMD /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ 
1RPRU7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU
VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD ³3URJUDP MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD
VHEDJDLPDQD GLPDNVXG GDODP 3DVDO  ZDMLE GLODNXNDQ ROHK VHWLDS
SHUXVDKDDQ EDJL WHQDJD NHUMD \DQJ PHODNXNDQ SHNHUMDDQ GL GDODP
KXEXQJDQ NHUMD VHVXDL GHQJDQ NHWHQWXDQ XQGDQJXQGDQJ LQL GDQ SHNHUMD
EHUKDN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV
WDQJJXQJDQ SHUXVDKDDQ DSDELOD SHUXVDKDDQ WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN
PHQGDIWDUNDQQ\DSDGDSHQ\HOHQJJDUDMDPLQDQVRVLDO´
x 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 6LVWHP
-DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ
1RPRU7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU
  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
\DQJGLLNXWL´EHUWHQWDQJDQGHQJDQ8QGDQJ8QGDQJ'DVDU1HJDUD5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ  MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQGLULVHEDJDLSHVHUWDSURJUDPMDPLQDQVRVLDODWDVWDQJJXQJDQ
SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ
SHNHUMDQ\DSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO
x 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 6LVWHP
-DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ
1RPRU 7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU
  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ


3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO


\DQJ GLLNXWL´ WLGDN PHPSXQ\DL NHNXDWDQ KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL
PHQLDGDNDQKDNSHNHUMDXQWXNPHQGDIWDUNDQGLULVHEDJDLSHVHUWDSURJUDP
MDPLQDQVRVLDODWDVWDQJJXQJDQSHPEHULNHUMDDSDELODSHPEHULNHUMDWHODK
Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD
-DPLQDQ6RVLDO
x 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 6LVWHP
-DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ
1RPRU7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU
  VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
\DQJ GLLNXWL GDQ SHNHUMD EHUKDN XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL
NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO´
x 0HPHULQWDKNDQ SHPXDWDQ SXWXVDQ LQL GDODP %HULWD 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLDVHEDJDLPDQDPHVWLQ\D
,,, %DKZD EHUGDVDUNDQ XUDLDQ WHUVHEXW GL DWDV PDND PXDWDQ PDWHUL GDODP
NHWHQWXDQ 3DVDO  D\DW   88  \DQJ PHPSXQ\DL IUDVD VDPD
GHQJDQ3DVDOD\DW  88\DQJWHODKGLQ\DWDNDQ NRQVWLWXVLRQDO
EHUV\DUDW PDND 3DUD 3HPRKRQ PHPRKRQ NHSDGD <DQJ 0XOLD 0DMHOLV
+DNLP.RQVWLWXVLXQWXNPHQ\DWDNDQ3DVDOD\DW  88KDUXVODK
MXJD GLQ\DWDNDQ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 88'  GDQ WLGDN PHPSXQ\DL
NHNXDWDQ KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQGLULVHEDJDLSHVHUWDSURJUDPMDPLQDQVRVLDODWDVWDQJJXQJDQ
SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ
SHNHUMDQ\DSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO VHKLQJJD3DVDO
D\DW   88  VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD PHQMDGL ³3HPEHUL NHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL
SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL GDQ SHNHUMD EHUKDN XQWXN
PHQGDIWDUNDQGLULVHEDJDLSHVHUWDSURJUDPMDPLQDQVRVLDODWDVWDQJJXQJDQ


SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ


SHNHUMDQ\DSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO´

,9 3(7,780
%HUGDVDUNDQ VHOXUXK XUDLDQ GDQ DODVDQDODVDQ \DQJ VXGDK EHUGDVDUNDQ KXNXP
GDQGLGXNXQJROHKDODWDODWEXNWL\DQJGLVDPSDLNDQNH0DKNDPDK.RQVWLWXVL SDUD
3HPRKRQ PHPRKRQ NLUDQ\D <DQJ 0XOLD +DNLP .RQVWLWXVL SDGD 0DKNDPDK
.RQVWLWXVLEHUNHQDQPHPXWXV
 0HQHULPDGDQ PHQJDEXONDQSHUPRKRQDQSDUD 3HPRKRQXQWXNVHOXUXKQ\D
 0HQ\DWDNDQ 3DVDOD\DW  8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQ WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 1RPRU   \DQJ
PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ
SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO
VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ
8QGDQJ 8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  MLND GLPDNQDL
PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMDEXUXK XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD
WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD SHQ\HOHQJJDUD MDPLQDQ
VRVLDO
 0HQ\DWDNDQ 3DVDOD\DW  8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQWHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 1RPRU   \DQJ
PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ
SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO
VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ GLQ\DWDNDQ WLGDN
PHPSXQ\DL NHNXDWDQ KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN
SHNHUMDEXUXK XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN
PHQGDIWDUNDQSHNHUMDQ\DSDGDSHQ\HOHQJJDUDMDPLQDQVRVLDO
 0HQ\DWDNDQ 3DVDOD\DW  8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQWHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 1RPRU 
VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ


3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ


GLLNXWL GDQ SHNHUMD EHUKDN XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP
MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK
Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD
-DPLQDQ6RVLDO´
 0HPHULQWDKNDQSHPXDWDQSXWXVDQLQLGDODP%HULWD1HJDUD5HSXEOLN ,QGRQHVLD
VHEDJDLPDQDPHVWLQ\D $WDX DSDELOD0DMHOLV+DNLP.RQVWLWXVLEHUSHQGDSDWODLQ
PRKRQSXWXVDQ\DQJVHDGLODGLOQ\D

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD XQWXN PHPEXNWLNDQ GDOLOGDOLOQ\D SDUD 3HPRKRQ


WHODK PHQJDMXNDQ DODW EXNWL VXUDWWXOLVDQ \DQJ GLEHUL WDQGD %XNWL 3 VDPSDL
GHQJDQ%XNWL3 VHEDJDLEHULNXW
 %XNWL3 )RWRNRSL 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQWHQWDQJ %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO
 %XNWL3 )RWRNRSL 8QGDQJ 8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ
 %XNWL3 )RWRNRSL 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
0DKNDPDK.RQVWLWXVL
 %XNWL3 )RWRNRSL 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
3HUXEDKDQ $WDV 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQ WHQWDQJ
0DKNDPDK.RQVWLWXVL
 %XNWL3 )RWRNRSL $QJJDUDQ 'DVDU )HGHUDVL ,NDWDQ 6HULNDW %XUXK
,QGRQHVLD ),6%, 
 %XNWL3 )RWRNRSL 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
-DPLQDQ6RVLDO7HQDJD.HUMD
 %XNWL3 )RWRNRSL 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQWHQWDQJ6LVWHP
-DPLQDQ6RVLDO1DVLRQDO
 %XNWL3 )RWRNRSL .DUWX 7DQGD 3HQGXGXN .73  DWDV QDPD 0
.RPDUXGLQ
 %XNWL3 )RWRNRSL .DUWX 7DQGD 3HQGXGXN .73  DWDV QDPD 0XKDPPDG
+DILG]
 %XNWL3 )RWRNRSL .DUWX7DQGD3HQGXGXN .73 DWDVQDPD 6XVL6DUWLND
 %XNWL3 )RWRNRSL .DUWX7DQGD3HQGXGXN .73 DWDVQDPD <XOLDQWL
 %XNWL3 )RWRNRSL 3XWXVDQ 0DKNDPDK .RQVWLWXVL 3HUNDUD 1RPRU


388,;WHUWDQJJDO$JXVWXV

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD XQWXN PHPSHUVLQJNDW XUDLDQ GDODP SXWXVDQ LQL


VHJDOD VHVXDWX \DQJ WHUMDGL GL SHUVLGDQJDQ FXNXS GLWXQMXN GDODP EHULWD DFDUD
SHUVLGDQJDQ \DQJ PHUXSDNDQ VDWX NHVDWXDQ \DQJ WLGDN WHUSLVDKNDQ GHQJDQ
SXWXVDQLQL

3(57,0%$1*$1+8.80

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD LVX KXNXP XWDPD SHUPRKRQDQ SDUD 3HPRKRQ


DGDODKPHQJHQDLSHQJXMLDQPDWHULLO 3DVDOD\DW  8QGDQJ8QGDQJ1RPRU
7DKXQ  WHQWDQJ %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRUVHODQMXWQ\DGLVHEXW88%3-6 WHUKDGDS8QGDQJ
8QGDQJ'DVDU1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD7DKXQ  VHODQMXWQ\DGLVHEXW88'
 

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD VHEHOXP PHPSHUWLPEDQJNDQ SRNRN SHUPRKRQDQ


0DKNDPDK .RQVWLWXVL VHODQMXWQ\D GLVHEXW 0DKNDPDK  DNDQ PHPSHUWLPEDQJNDQ
WHUOHELKGDKXOXKDOKDOEHULNXW
D NHZHQDQJDQ0DKNDPDKXQWXN PHQJDGLOL SHUPRKRQDQ DTXR
E NHGXGXNDQKXNXP OHJDOVWDQGLQJ SDUD 3HPRKRQ

7HUKDGDSNHGXDKDOWHUVHEXW0DKNDPDKEHUSHQGDSDWVHEDJDLEHULNXW

.HZHQDQJDQ0DKNDPDK

>@ 0HQLPEDQJEDKZDEHUGDVDUNDQ3DVDO&D\DW  88' 3DVDO


D\DW  KXUXI D 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL VHEDJDLPDQD WHODK GLXEDK GHQJDQ 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ
 WHQWDQJ 3HUXEDKDQ $WDV 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
0DKNDPDK .RQVWLWXVL /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU
 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  VHODQMXWQ\D
GLVHEXW880.  3DVDO  D\DW  KXUXID8QGDQJ8QGDQJ1RPRU  7DKXQ
WHQWDQJ .HNXDVDDQ .HKDNLPDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ
 1RPRU 7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  


VDODK VDWX NHZHQDQJDQ 0DKNDPDK DGDODK PHQJDGLOL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ
WHUDNKLU \DQJ SXWXVDQQ\D EHUVLIDW ILQDO XQWXN PHQJXML 8QGDQJ8QGDQJ WHUKDGDS
88'

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD ROHK NDUHQD SHUPRKRQDQ SDUD 3HPRKRQ PHQJHQDL


SHQJXMLDQ PDWHULLO 8QGDQJ8QGDQJ LQ FDVX 88 %3-6 WHUKDGDS 88'  PDND
0DKNDPDKEHUZHQDQJPHQJDGLOL SHUPRKRQDQ DTXR

.HGXGXNDQKXNXP OHJDOVWDQGLQJ SDUD 3HPRKRQ

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD EHUGDVDUNDQ 3DVDO  D\DW   88 0. \DQJ GDSDW
EHUWLQGDN VHEDJDL 3HPRKRQ GDODP SHQJXMLDQ VXDWX 8QGDQJ8QGDQJ WHUKDGDS
88'  DGDODK PHUHND \DQJ PHQJDQJJDS KDN GDQDWDX NHZHQDQJDQ
NRQVWLWXVLRQDOQ\D GLUXJLNDQ ROHK EHUODNXQ\D 8QGDQJ8QGDQJ \DQJ GLPRKRQNDQ
SHQJXMLDQ\DLWX
D SHURUDQJDQ ZDUJD QHJDUD ,QGRQHVLD WHUPDVXN NHORPSRN RUDQJ \DQJ
PHPSXQ\DLNHSHQWLQJDQVDPD
E NHVDWXDQ PDV\DUDNDW KXNXP DGDW VHSDQMDQJ PDVLK KLGXS GDQ VHVXDL GHQJDQ
SHUNHPEDQJDQ PDV\DUDNDW GDQ SULQVLS 1HJDUD .HVDWXDQ 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
\DQJGLDWXUGDODP8QGDQJ8QGDQJ
F EDGDQKXNXPSXEOLNDWDXSULYDWDWDX
G OHPEDJDQHJDUD

'HQJDQ GHPLNLDQ 3HPRKRQ GDODP SHQJXMLDQ 8QGDQJ8QGDQJ WHUKDGDS 88'


KDUXVPHQMHODVNDQGDQPHPEXNWLNDQWHUOHELKGDKXOX
D NHGXGXNDQQ\DVHEDJDL3HPRKRQVHEDJDLPDQDGLPDNVXG GDODP 3DVDOD\DW
 880.
E NHUXJLDQ KDN GDQDWDX NHZHQDQJDQ NRQVWLWXVLRQDO \DQJ GLEHULNDQ ROHK 88'
 \DQJ GLDNLEDWNDQ ROHK EHUODNXQ\D 8QGDQJ8QGDQJ \DQJ GLPRKRQNDQ
SHQJXMLDQ

>@ 0HQLPEDQJSXODEDKZD0DKNDPDKVHMDN3XWXVDQ0DKNDPDK.RQVWLWXVL
1RPRU 388,,, EHUWDQJJDO  0HL  GDQ 3XWXVDQ 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL1RPRU3889EHUWDQJJDO6HSWHPEHUVHUWDSXWXVDQ
SXWXVDQ VHODQMXWQ\D EHUSHQGLULDQ EDKZD NHUXJLDQ KDN GDQDWDX NHZHQDQJDQ


NRQVWLWXVLRQDOVHEDJDLPDQDGLPDNVXG3DVDOD\DW  88 0.KDUXVPHPHQXKL


OLPDV\DUDW\DLWX
D DGDQ\DKDNGDQDWDXNHZHQDQJDQNRQVWLWXVLRQDO3HPRKRQ\DQJGLEHULNDQROHK
88'
E KDN GDQDWDX NHZHQDQJDQ NRQVWLWXVLRQDO WHUVHEXW ROHK 3HPRKRQ GLDQJJDS
GLUXJLNDQROHKEHUODNXQ\D8QGDQJ8QGDQJ\DQJGLPRKRQNDQSHQJXMLDQ
F NHUXJLDQNRQVWLWXVLRQDOWHUVHEXWKDUXV EHUVLIDWVSHVLILN NKXVXV GDQDNWXDODWDX
VHWLGDNWLGDNQ\DSRWHQVLDO\DQJPHQXUXWSHQDODUDQ\DQJZDMDUGDSDWGLSDVWLNDQ
DNDQWHUMDGL
G DGDQ\D KXEXQJDQ VHEDEDNLEDW FDXVDO YHUEDQG DQWDUD NHUXJLDQ GLPDNVXG
GDQEHUODNXQ\D8QGDQJ8QGDQJ\DQJGLPRKRQNDQSHQJXMLDQ
H DGDQ\D NHPXQJNLQDQ EDKZD GHQJDQ GLNDEXONDQQ\D SHUPRKRQDQ PDND
NHUXJLDQNRQVWLWXVLRQDOVHSHUWL\DQJGLGDOLONDQWLGDNDNDQDWDXWLGDNODJLWHUMDGL

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD SDUD 3HPRKRQ DGDODK SHUVHRUDQJDQ ZDUJD QHJDUD


,QGRQHVLD\DQJPHUDVDGLUXJLNDQKDNNRQVWLWXVLRQDOQ\DNDUHQDEHUODNXQ\D3DVDO
D\DW  88%3-6
%DKZD 3HPRKRQ GLUXJLNDQ KDN NRQVWLWXVLRQDOQ\D XQWXN PHQGDSDWNDQ
KDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLUL VHFDUD XWXK
VHEDJDL PDQXVLD \DQJ EHUPDUWDEDW VHEDJDLPDQD GLMDPLQ GDODP 3DVDO + D\DW
 88'  6HFDUD NRQNUHW NHUXJLDQ WHUVHEXW GLDNLEDWNDQ NDUHQD SDUD
3HPRKRQ VHEDJDL SHNHUMDEXUXK NHKLODQJDQ SHUOLQGXQJDQ DWDV NHFHODNDDQ NHUMD
VDNLWKDPLOEHUVDOLQKDULWXDGDQPHQLQJJDOGXQLDNDUHQDKDNDWDVMDPLQDQVRVLDO
\DQJ WHUEDWDVL DNLEDW NHZHQDQJDQ PHQMDGL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO KDQ\D
NHZHQDQJDQSHPEHULNHUMDDWDXSHUXVDKDDQ

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD EHUGDVDUNDQ GDOLO SDUD 3HPRKRQ WHUVHEXW PHQXUXW


0DKNDPDK SDUD 3HPRKRQ PHPHQXKL V\DUDW NHGXGXNDQ KXNXP OHJDO VWDQGLQJ
XQWXNPHQJDMXNDQSHUPRKRQDQ DTXR

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD ROHK NDUHQD 0DKNDPDK EHUZHQDQJ PHQJDGLOL


SHUPRKRQDQ D TXR VHUWD SDUD 3HPRKRQ PHPLOLNL NHGXGXNDQ KXNXP OHJDO
VWDQGLQJ  XQWXN PHQJDMXNDQ SHUPRKRQDQ D TXR PDND VHODQMXWQ\D 0DKNDPDK
DNDQPHPSHUWLPEDQJNDQSRNRNSHUPRKRQDQ


>@ 0HQLPEDQJ EDKZD VHEHOXP PHPSHUWLPEDQJNDQ SRNRN SHUPRKRQDQ


0DKNDPDK SHUOX PHQJXWLS 3DVDO  88 0. \DQJ PHQ\DWDNDQ ³0DKNDPDK
NRQVWLWXVL GDSDW PHPLQWD NHWHUDQJDQ GDQDWDX ULVDODK UDSDW \DQJ EHUNHQDDQ
GHQJDQ SHUPRKRQDQ \DQJ VHGDQJ GLSHULNVD NHSDGD 0DMHOLV 3HUPXV\DZDUDWDQ
5DN\DW '35 'HZDQ 3HUZDNLODQ 'DHUDK GDQDWDX 3UHVLGHQ´ 2OHK NDUHQD SDVDO
WHUVHEXW PHPSHUJXQDNDQ NDWD ³GDSDW´ PDND 0DKNDPDK WLGDN KDUXV PHQGHQJDU
NHWHUDQJDQ 0DMHOLV 3HUPXV\DZDUDWDQ 5DN\DW 'HZDQ 3HUZDNLODQ 5DN\DW 'HZDQ
3HUZDNLODQ 'DHUDK GDQDWDX 3UHVLGHQ GDODP PHODNXNDQ SHQJXMLDQ DWDV VXDWX
8QGDQJ8QGDQJ'HQJDQNDWDODLQ0DKNDPDKGDSDWPHPLQWDDWDXWLGDNPHPLQWD
NHWHUDQJDQ GDQDWDX ULVDODK UDSDW \DQJ EHUNHQDDQ GHQJDQ SHUPRKRQDQ \DQJ
VHGDQJ GLSHULNVD NHSDGD 0DMHOLV 3HUPXV\DZDUDWDQ 5DN\DW 'HZDQ 3HUZDNLODQ
5DN\DW 'HZDQ 3HUZDNLODQ 'DHUDK GDQDWDX 3UHVLGHQ WHUJDQWXQJ SDGD XUJHQVL
GDQ UHOHYDQVLQ\D 2OHK NDUHQD SHUPDVDODKDQ KXNXP GDODP SHUPRKRQDQ D TXR
VXGDK MHODV 0DKNDPDK PHPDQGDQJ WLGDN DGD XUJHQVL GDQ UHOHYDQVLQ\D XQWXN
PHPLQWDNHWHUDQJDQGDQDWDXULVDODKUDSDWGDUL0DMHOLV3HUPXV\DZDUDWDQ5DN\DW
'HZDQ 3HUZDNLODQ 5DN\DW 'HZDQ 3HUZDNLODQ 'DHUDK GDQDWDX 3UHVLGHQ
VHKLQJJD 0DKNDPDK ODQJVXQJ PHPSHUWLPEDQJNDQ GDQ NHPXGLDQ PHPXWXV
SHUPRKRQDQ DTXR

3RNRN3HUPRKRQDQ

3HQGDSDW0DKNDPDK

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD SDUD 3HPRKRQ PHQJDMXNDQ SHQJXMLDQ


NRQVWLWXVLRQDOLWDV 3DVDO  D\DW   88 %3-6 \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL .HUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ 3HNHUMDQ\D VHEDJDL 3HVHUWD
NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP -DPLQDQ
6RVLDO \DQJ GLLNXWL´ 0HQXUXW SDUD 3HPRKRQ SDVDO D TXR EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ
3DVDO + D\DW   88'  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV
MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK VHEDJDL
PDQXVLD \DQJ EHUPDUWDEDW´ GDQ NDUHQD LWX KDUXV GLQ\DWDNDQ WLGDN PHPSXQ\DL
NHNXDWDQ KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN EXUXKSHNHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ
SHPEHUL NHUMD 2OHK NDUHQD LWX 3DVDO  D\DW   88 %3-6 VHOHQJNDSQ\D KDUXV
GLEDFD ³3HPEHULNHUMDVHFDUDEHUWDKDSZDMLEPHQGDIWDUNDQGLULQ\DGDQSHNHUMDQ\D


VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ


SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL GDQ SHNHUMD EHUKDN XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL
VHEDJDL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL
NHUMDWHODKQ\DWDQ\DWDWLGDNPHQGDIWDUNDQSHNHUMDQ\DSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD
-DPLQDQ6RVLDO´

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD 3HPRKRQ , 0 .RPDUXGLQ GDQ 3HPRKRQ ,,, <XOLDQWL
GDODP SHUPRKRQDQ 1RPRU 388,; PHQJDMXNDQ SHQJXMLDQ PDWHULLO 3DVDO
D\DW  8QGDQJ8QGDQJ1RPRU7DKXQWHQWDQJ6LVWHP-DPLQDQ6RVLDO
1DVLRQDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU 
7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  VHODQMXWQ\D GL
VHEXW 88 6-61 \DQJ UHGDNVLQ\D SHUVLV VDPD GHQJDQ UHGDNVL 3DVDO  D\DW 
88 %3-6 \DQJ GLPRKRQNDQ SHQJXMLDQ PDWHULLO GDODP SHUPRKRQDQ D TXR DWDV
DODVDQEHUWHQWDQJDQGHQJDQ3DVDO+D\DW  88' 

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD PHVNLSXQ SXWXVDQ 0DKNDPDK .RQVWLWXVL GDODP


SHQJXMLDQ8QGDQJ8QGDQJEHUODNXVHFDUDXPXP HUJDRPQHV GDQ3DVDOD\DW
 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 0DKNDPDK .RQVWLWXVL
VHEDJDLPDQDWHODKGLXEDKGHQJDQ8QGDQJ8QGDQJ1RPRU7DKXQWHQWDQJ
3HUXEDKDQ $WDV 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU 
7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  PHQ\DWDNDQ
³7HUKDGDS PDWHUL PXDWDQ D\DW SDVDO GDQDWDX EDJLDQ GDODP XQGDQJXQGDQJ
\DQJWHODKGLXMLWLGDNGDSDWGLPRKRQNDQSHQJXMLDQNHPEDOL´ GHQJDQSHQJHFXDOLDQ
SDGDD\DW  \DQJPHQ\DWDNDQ ³.HWHQWXDQVHEDJDLPDQDGLPDNVXGSDGDD\DW 
GDSDW GLNHFXDOLNDQ MLND PDWHUL PXDWDQ GDODP 8QGDQJ8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  \DQJ GLMDGLNDQ GDVDU SHQJXMLDQ EHUEHGD´ GDQ
GDODP SHUPRKRQDQ D TXR VHODLQ UHGDNVL SDVDO \DQJ GLXML \DNQL 3DVDO  D\DW 
88%3-6VDPDSHUVLVGHQJDQ3DVDOD\DW  886-61GHPLNLDQSXODGHQJDQ
EDWX XMLQ\D MXJD VDPD \DNQL 3DVDO + D\DW   88'  DNDQ WHWDSL NDUHQD
EHUDGD GDODP GXD 8QGDQJ8QGDQJ \DQJ EHUEHGD PDND 0DKNDPDK WHWDS
PHQJDGLOLSRNRNSHUPRKRQDQQ\D


>@ 0HQLPEDQJ EDKZD ROHK NDUHQD PDWHUL PXDWDQ QRUPD GDODP 3DVDO 
D\DW  88%3-6VDPDSHUVLVGHQJDQPDWHULPXDWDQQRUPDGDODP3DVDOD\DW
 886-61GHPLNLDQSXODEDWXXMLQ\DVDPD\DNQL3DVDO+D\DW  88'
PDNDSHUWLPEDQJDQGDQDPDUSXWXVDQ0DKNDPDKGDODP3XWXVDQ1RPRU388
,;WDQJJDO$JXVWXVVHSDQMDQJWHUKDGDS 3DVDOD\DW  886-61
PXWDWLVPXWDQGLV PHQMDGLSHUWLPEDQJDQGDQDPDUSXWXVDQ DTXR

>@ 0HQLPEDQJEDKZDGDODPSDUDJUDI >@ SXWXVDQ0DKNDPDK.RQVWLWXVL


1RPRU 388,; WDQJJDO  $JXVWXV  0DKNDPDK DQWDUD ODLQ
PHPSHUWLPEDQJNDQ ³ GDQ 3DVDO  D\DW   88 6-61 \DQJ PHQ\DWDNDQ
³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D
VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 3DVDO + D\DW 
88'  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ
PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK VHEDJDL PDQXVLD \DQJ
EHUPDUWDEDW´ .HGXD NHWHQWXDQ WHUVHEXW PHVNLSXQ VXGDK VHFDUD WHJDV
PHPEHEDQNDQ NHZDMLEDQ NHSDGD SHUXVDKDDQ GDQ SHPEHUL NHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDOVHVXDLGHQJDQSURJUDPMDPLQDQVRVLDO\DQJGLLNXWL
DNDQ WHWDSL EHOXP PHQMDPLQ DGDQ\D KDN SHNHUMD DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ
PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK VHEDJDL PDQXVLD \DQJ
EHUPDUWDEDW $SDELOD SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD WLGDN PHQGDIWDUNDQ GLUL GDQ
WLGDN SXOD PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D XQWXN PHQGDSDWNDQ MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD
NHUMD NHSDGD SHQ\HOHQJJDUD VLVWHP MDPLQDQ VRVLDO GHQJDQ PHPHQXKL NHZDMLEDQ
PHPED\DU LXUDQQ\D PDND SHNHUMD WLGDN DNDQ PHQGDSDWNDQ KDNKDNQ\D \DQJ
GLMDPLQ GDODP 88'  WHUVHEXW 2OHK NDUHQD 8QGDQJ8QGDQJ KDQ\D
PHPEHULNDQ NHZDMLEDQ NHSDGD SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLUL GDQ SHNHUMDQ\D SDGDKDO SDGD NHQ\DWDDQQ\D ZDODXSXQ
8QGDQJ8QGDQJ WHUVHEXW PHPEHULNDQ VDQNVL SLGDQD PDVLK EDQ\DN SHUXVDKDDQ
\DQJ HQJJDQ PHODNXNDQQ\D PDND EDQ\DN SXOD SHNHUMD \DQJ NHKLODQJDQ KDN
KDNQ\DDWDVMDPLQDQVRVLDO\DQJGLOLQGXQJLNRQVWLWXVL ´

6HODQMXWQ\D 0DKNDPDK PHPSHUWLPEDQJNDQ ³:DODXSXQ DGD VDQNVL SLGDQD DWDV


NHODODLDQ SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD PHQGDIWDUNDQ NHLNXWVHUWDDQ SHNHUMDQ\D


GDODP MDPLQDQ VRVLDO WHQDJD NHUMD -DPVRVWHN  DWDX SHQ\HOHQJJDUD 6LVWHP


-DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO 6-61  DNDQ WHWDSL KDO WHUVHEXW KDQ\D XQWXN PHPEHUL
VDQNVL SLGDQD EDJL SHUXVDKDDQ DWDX SHPEHUL NHUMD VHGDQJNDQ KDNKDN SHNHUMD
DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPXQJNLQNDQ SHQJHPEDQJDQ GLULQ\D VHFDUD XWXK
VHEDJDL PDQXVLD \DQJ EHUPDUWDEDW EHOXP GLSHUROHK 7HUOHELK ODJL XQWXN
SHUOLQGXQJDQ SHPDMXDQ GDQ SHQHJDNDQ KDN DVDVL PDQXVLD DGDODK WDQJJXQJ
MDZDE QHJDUD WHUXWDPD SHPHULQWDK >YLGH 3DVDO , D\DW   88' @ PDND
VXGDK VHKDUXVQ\D QHJDUD PHODOXL SHUDWXUDQ SHUXQGDQJXQGDQJDQ PHPEHULNDQ
MDPLQDQ GLWHJDNNDQQ\D NHZDMLEDQ WHUVHEXW VHKLQJJD KDNKDN SHNHUMD GDSDW
WHUSHQXKL´

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD GDODP SDUDJUDI >@ 3XWXVDQ 0DKNDPDK


.RQVWLWXVL 1RPRU 388,; 0DKNDPDK DQWDUD ODLQ PHPSHUWLPEDQJNDQ
³3DVDOD\DW  886-61\DQJPHQ\DWDNDQ³3HPEHULNHUMDVHFDUDEHUWDKDS
ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ
GLLNXWL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 88'  GDQ ROHK VHEDE LWX WLGDN PHPSXQ\DL
NHNXDWDQ KXNXP PHQJLNDW ELOD GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD
DSDELOD SHPEHUL NHUMD Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO 2OHK VHEDE LWX SDVDO WHUVHEXW KDUXV GLQ\DWDNDQ
NRQVWLWXVLRQDO EHUV\DUDW VHKLQJJD VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD ³3HPEHUL NHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD
NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ
VRVLDO \DQJ GLLNXWL GDQ SHNHUMD EHUKDN XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD
SURJUDPMDPLQDQVRVLDODWDVWDQJJXQJDQSHPEHULNHUMDDSDELODSHPEHULNHUMDWHODK
Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ
6RVLDO´

>@ 0HQLPEDQJ EDKZD EHUGDVDUNDQ SHUWLPEDQJDQ GL DWDV PHQXUXW


0DKNDPDK 3DVDO  D\DW   88 %3-6 \DQJ WLGDN VHFDUD WHJDV PHPEHULNDQ
MDPLQDQ KDNKDN SHNHUMD DWDV MDPLQDQ VRVLDO KDUXV GLQ\DWDNDQ EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ 88'  VHFDUD EHUV\DUDW 'HQJDQ GHPLNLDQ SHUPRKRQDQ SDUD
3HPRKRQEHUDODVDQPHQXUXW KXNXP


.21./86,

%HUGDVDUNDQ SHQLODLDQ DWDV IDNWD GDQ KXNXP VHEDJDLPDQD GLXUDLNDQ GL


DWDV0DKNDPDKEHUNHVLPSXODQ

>@ 0DKNDPDKEHUZHQDQJXQWXN PHQJDGLOL SHUPRKRQDQ DTXR

>@ 3DUD 3HPRKRQ PHPLOLNL NHGXGXNDQ KXNXP OHJDO VWDQGLQJ  XQWXN


PHQJDMXNDQ SHUPRKRQDQ DTXR

>@ 3HUPRKRQDQSDUD3HPRKRQEHUDODVDQKXNXP

%HUGDVDUNDQ 8QGDQJ8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD


7DKXQ  8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL VHEDJDLPDQD WHODK GLXEDK GHQJDQ 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ
 WHQWDQJ 3HUXEDKDQ $WDV 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
0DKNDPDK .RQVWLWXVL /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU
7DPEDKDQ/HPEDUDQ1HJDUD5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU   GDQ 8QGDQJ
8QGDQJ1RPRU7DKXQWHQWDQJ.HNXDVDDQ.HKDNLPDQ /HPEDUDQ1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN,QGRQHVLD1RPRU 

 $0$538786$1

0HQJDGLOL

0HQ\DWDNDQ

 0HQJDEXONDQSHUPRKRQDQSDUD3HPRKRQXQWXNVHOXUXKQ\D

 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL
SHVHUWDNHSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDOVHVXDLGHQJDQ


SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ 8QGDQJ


8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ  MLND GLPDNQDL
PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD
SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD
%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO

 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL
SHVHUWDNHSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDOVHVXDLGHQJDQ
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ WLGDN PHPSXQ\DL NHNXDWDQ
KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV
WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD
WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ
6RVLDO

 3DVDO  D\DW   8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU  7DKXQ  WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ  1RPRU  7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU  VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD
³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ
SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ
6RVLDOVHVXDLGHQJDQSURJUDPMDPLQDQVRVLDO\DQJGLLNXWLGDQSHNHUMD
EHUKDN XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ
VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK
Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO´


 0HPHULQWDKNDQ SHPXDWDQ SXWXVDQ LQL GDODP %HULWD 1HJDUD 5HSXEOLN


,QGRQHVLDVHEDJDLPDQDPHVWLQ\D

'HPLNLDQ GLSXWXVNDQ GDODP 5DSDW 3HUPXV\DZDUDWDQ +DNLP ROHK


VHPELODQ +DNLP .RQVWLWXVL \DLWX 0RK 0DKIXG 0' VHODNX .HWXD PHUDQJNDS
$QJJRWD $FKPDG 6RGLNL 0XKDPPDG $OLP 0DULD )DULGD ,QGUDWL $KPDG )DGOLO
6XPDGL +DPGDQ =RHOYD $QZDU 8VPDQ +DUMRQR GDQ 0 $NLO 0RFKWDU PDVLQJ
PDVLQJ VHEDJDL $QJJRWD SDGD KDUL 6HQLQ WDQJJDO GHODSDQ EXODQ 2NWREHU
WDKXQ GXD ULEX GXD EHODV GDQ GLXFDSNDQ GDODP VLGDQJ SOHQR 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL WHUEXND XQWXN XPXP SDGD KDUL 6HQLQ WDQJJDO OLPD EHODV EXODQ
2NWREHUWDKXQGXDULEXGXDEHODV ROHK VHPELODQ+DNLP.RQVWLWXVL \DLWX 0RK
0DKIXG0'VHODNX.HWXDPHUDQJNDS$QJJRWD $FKPDG6RGLNL 0XKDPPDG$OLP
0DULD )DULGD ,QGUDWL $KPDG )DGOLO 6XPDGL +DPGDQ =RHOYD $QZDU 8VPDQ
+DUMRQR GDQ 0 $NLO 0RFKWDU PDVLQJPDVLQJ VHEDJDL $QJJRWD GHQJDQ
GLGDPSLQJL ROHK +DQL $GKDQL VHEDJDL 3DQLWHUD 3HQJJDQWL GLKDGLUL ROHK SDUD
3HPRKRQNXDVDQ\D 3HPHULQWDK DWDX \DQJ PHZDNLOL GDQ 'HZDQ 3HUZDNLODQ
5DN\DWDWDX\DQJPHZDNLOL

.(78$

WWG

0RK0DKIXG0'

$1**27$$1**27$

WWG WWG

$FKPDG6RGLNL 0XKDPPDG$OLP

WWG WWG

0DULD)DULGD,QGUDWL $KPDG)DGOLO6XPDGL


WWG WWG

+DPGDQ=RHOYD $QZDU8VPDQ

WWG WWG

+DUMRQR 0$NLO0RFKWDU

3$1,7(5$3(1**$17,

WWG

+DQL$GKDQL
MENTER!
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

31' Agustus 2012

Yth.:
1. Para Gubernur
2. Para BupatiNValikota
3. Para Kepala Instansi yang Membida,ngi Ketenagakerjaan

Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota

di -

Seluruh Indonesia

SURAT - EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TP.ANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA.
NOMOR .. Sll. OS/M8N/VIII/2012

TENTANG

PENGAWASAN PENERAPAN NORMA PENYERAHAN SEBAGIAN

PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAINNYA

Bahwa akhir-akhir ini penerapan norma penyerahan sebagian pelaksanaan


pekerjaan kepada perusahaan lainnya, menjadi sorotan di media masa maupun di
masyarakat industri dengan permasalahannya yang semakin kompleks, sehingga
perlu dilakukan langkah-Iangkah untuk mengantisipasi hal tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan Undang~Undang Nomor 13' Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang - Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemeril')tah No. 38 Tahun 2007 tentang Pem~agian Urusan Pemerintah
entara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan, Pemerintah Daerah'
Kabupaten/Kota dan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan, bersama ini diminta kepada Gubemur, Bupati dan Walikota
seluruh Indonesia untuk memerintahkan Kepa\a Instansi yang membidangi
Ketenagakerjaan guna mengoptimalkan Pengawasan terhadap penerapan norma
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan.kepada perusahaan lainnya.
Langkah-Iang~ah yangperlu dilakukan pengawas ketenagakerjaan antara lain:

1. Melakukan pemeriksaan'·, dengan menitikberatkan· pada penerapan norma


penyerahan s~bagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya dan
~emastikan serta meneliti har--hal sebagai' berikut: .
a. setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib memiliki ijin operasional
dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan sesuai
dcmisili perusahaan dan mendaftarkan perjanjian tertulis antara pemberi
pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lainnya wajib membllat alur
kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan dan menetapkan jenis-jenis
peke~aan yang utama dan penunjang serta melaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan;
c. terpenuhinya syarat-syarat pasal 59, pasal 64, pasal 65 dan pasal 66 Undang­
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
d. perusahaan pemberi pekerjaan wajib mengawasi perusahaan pemborongan
pekerjaan dan/atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam
terselenggaranya keberlanjutan pekerjaan bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lainnya walaupun perusahaan lainnya tersebut berganti-ganti
sepanjang obyek pekerjaan tetap ada serta masa ,kerja pekerjalburuh
perusahaan lainnya tersebut dianggap ada dan diperhitungkan dalam
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kesejahteraan lainnya bagi
peke~a/buruh perusahaan lainnya tersebut.

2. Tindak lanjut hasil pemeriksaan pengawas ketenagake~aan terhadap penerapan


norma penyerahan sebagian pelaksanaan peke~aan kepada perusahaan lainnya,
dilakukan denga'n :
a. mengeluarkan Nota Pemeriksaan yang memuat agar perusahaan pemborong
peke~aan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mematuhi ketentuan
pasal 59, pasal 64, pasal 65 dan pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan;
b. merekomendasikan pencabutan ijin operasional perusahaan penyedia jasa
peke~alburuh dalam hal perusahaan penyedia jasa peke~a/buruh tidak
melaksanakan persyaratan sebagaimana dimaksud pada pasal 64 dan pasal
66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagake~aan serta
peraturan pelaksanaannya;
c. pengawas Ketenagake~aan dapat menjadi saksi ahU dalam hal permasalahan
ditindaklanjuti ke Pengadilan Hubungan Industrial oleh salah satu pihak.
sedangkan nota pemeriksaan pengawas ketenagake~aan dapat dijadikan
salah satu alat bukti;
d. pengawasan penerapan norma penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lainnya, Pengawas Ketenagake~aan lebih
mengedepankan tindakan preventif dan represif non yustisial; .
· e: selanjutnya unit kerja pengawasan ketenagakerjaan dapat menjalin koordinasi
dengan instansi terkait lainnya dalam menganalisa permasalahan yang
berkaitan dengan penerapan norma penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain.

Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan.

Menteri
a Kerja dan Transmigrasi
. . . .-=:.=:=::.:::::::::,...: ublik Indonesia

haimin Iskandar, M.Si


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP.247/MEN/X/2011
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI KONSTRUKSI

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (5) Undang-


Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
menetapkan Keputusan Menteri tentang Jabatan yang dapat diduduki
oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Konstruksi;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing;

4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009


tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori
Konstruksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri
ini.

KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh Tenaga Kerja Asing
tidak terdapat di dalam Lampiran Keputusan Menteri ini, maka Menteri
dapat memberikan izin dengan terlebih dahulu meminta rekomendasi
dari Kementerian yang membidangi Konstruksi.

KETIGA : Jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU dapat


diduduki oleh Tenaga Kerja Asing paling lama 5 (lima) tahun dan tidak
dapat diperpanjang, kecuali jabatan Komisaris dan Direktur sebagai
pemilik modal.

KEEMPAT : Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing berdasarkan


Lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP-03/MEN/1982 tetap berlaku sampai berakhirnya izin
mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dan tidak dapat diperpanjang.
KELIMA : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-03/MEN/1982 tentang
Pelaksanaan Pembatasan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang pada Sektor Pekerjaan Umum (Meliputi Sub Sektor
Binamarga, Sub Sektor Pengairan, Sub Sektor Cipta Karya) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

KEENAM : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP.247/MEN/X/2011
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI KONSTRUKSI

KLASIFIKASI DAN NAMA JABATAN

KLASIFIKASI NAMA JABATAN


NO. KODE
JABATAN INDONESIA INGGRIS

I. KOMISARIS
1210 Komisaris Commissioner

II. DIREKTUR/DIRECTOR
1210 Direktur Utama Executive Director
1210 Direktur Keuangan Finance Director
1210 Direktur Operasional Operational Director

III. MANAJER/MANAGER
1223 Manajer Proyek Project Manager
1223 Manajer Logistik Logistics Manager
1223 Manajer Operasional Operations Manager
1235 Manajer Pembelian Procurement
Manager
1231 Manajer Keuangan Finance Manager
1319 Manajer Teknik Technical Manager
1319 Manajer Quality Control
Pengendalian Manager
Kualitas
1223 Manajer Konstruksi Civil Construction
Sipil Manager

IV. AHLI TEKNIK/ENGINEER

A. KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG


2142 Ahli Teknik Proyek Project Engineer
2142 Ahli Teknik Construction Engineer
Konstruksi
2142 Ahli Teknik Design Engineer
Perancangan
2142 Ahli Teknik Utilitas Utility Automation
Otomatis Engineer
2142 Ahli teknik Project Planning
Perencanaan Engineer
Proyek
2141 Arsitek Architect

3
2142 Ahli Teknik Quality Assurance
Pengawasan Engineer
Kualitas
2142 Ahli Teknik Sipil Civil Engineer
2142 Ahli Gedung Building Scientist

B. KONSTRUKSI BANGUNAN SIPIL

1. Ahli Teknik Konstruksi Jalan Raya


2142 Ahli Teknik Highway Engineer
Bangunan Jalan
Raya
2142 Ahli Teknik Ahli Construction
Konstruksi Jalan Construction Engineer
Raya
2142 Ahli Pengerasan Pavement Engineer
Jalan
2142 Ahli Jalan Raya Highway Engineer
2141 Ahli Lingkungan Evironmental
Engineer
2141 Ahli Keselamatan Road Safety Engineer
Jalan
3119 Ahli Geoteknik Geotechnic Engineer
2149 Ahli Teknik Site Engineer
Pengawas
Lapangan
2149 Ahli Teknik General
Penanggungjawab Superintendent
Pelaksana Umum
2149 Ahli Dokumen Contract Document
Kontrak Spesialist
2149 Ahli Kualitas Mutu Quality / Spec
Pekerjaan Spesialist
2141 Ahli Pengaturan Transport Engineer
Transportasi
2142 Ahli Manajemen Construction
Konstruksi Management
Engineer

2. Ahli Teknik Konstruksi Jembatan


2142 Ahli Teknik Bridge Construction
Konstruksi Engineer
Jembatan
2142 Ahli Penulangan Reinforced Concrete
Beton Expert
2142 Ahli Teknik Tunnel Engineer
Terowongan
2142 Ahli Teknik Bridge Engineer
Jembatan
2149 Ahli Teknik Beton Concrete Engineer
Bertulang
2142 Ahli Jembatan Baja Steel Bridge Engineer
2142 Ahli Terowongan Tunneling Engineer
2142 Ahli Pengawasan Construction Control
Konstruksi Engineer

4
3. Ahli Teknik Konstruksi Landasan Pacu Pesawat
2142 Ahli Teknik Air Strip Construction
Konstruksi Engineer
Landasan Udara

4. Ahli Teknik Konstruksi Waduk


2149 Ahli Pengelasan Underwater Welding
Bawah Air Engineer
2142 Ahli Teknik Sungai River Engineer
2142 Ahli Teknik Waduk Dam Engineer
Umum

5. Ahli Teknik Konstruksi Pantai


2142 Ahli Teknik Pantai Coastal Engineer
2149 Ahli Pengelasan Underwater Welding
Bawah Air Engineer

6. Ahli Teknik Konstruksi Bangunan Irigasi


2142 Ahli Teknik Irrigation Building
Bangunan Engineer
Pengairan
2142 Ahli Teknik Irrigation Engineer
Pengairan
3112 Ahli Teknik Pipeline Installation
Pemasangan Pipa Engineer
2149 Ahli Pengelasan Underwater Welding
Bawah Air Engineer
2142 Ahli Teknik Irigasi Irrigation Engineer

7. Ahli Teknik Konstruksi Rawa


3112 Ahli Teknik Sumber Water Resource
Daya Air Engineer
2149 Ahli Teknik Swamp Construction
Konstruksi Rawa Engineer
2149 Ahli Teknik Drilling Mud Engineer
Pengeboran Lumpur

C. KONSTRUKSI KHUSUS

Tenaga Ahli/Profesional Lainnya


2149 Spesialis Welding Specialist
Pengelasan
3141 Ahli Teknik Vessel 2nd Engineer
Konstruksi Kapal
2142 Ahli Teknik Environment Engineer
Lingkungan
2148 Ahli Teknik Geodetic Engineer
Pengukuran
2148 Ahli Teknik Soil Mechanic
Mekanika Tanah Engineer
2114 Ahli Teknik Geologi Geologist Engineer
3112 Ahli Teknik Construction Engineer
Konstruksi

5
3112 Ahli Teknik Construction
Manajemen Management
Konstruksi Specialist
1313 Ahli Aset Asset Management
Manajemen Specialist
3113 Ahli Teknik Mesin Mechanical and
dan Elektrik Electrical Engineer

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

6
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan


penyediaan jasa pekerja/buruh diarahkan untuk
menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan;

b. bahwa ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain, sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan saat ini, sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud pada huruf a dan b, perlu ditetapkan
Peraturan Menteri tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang


Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356);

4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN
SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA
PERUSAHAAN LAIN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat
untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi
pekerjaan.
4. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan
pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang
memuat hak dan kewajiban para pihak.
5. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan
penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh di perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

2
Pasal 2

Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dapat


dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh.

BAB II
PEMBORONGAN PEKERJAAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Pemborongan Pekerjaan

Pasal 3

(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan


pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima


pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen
maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara
melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan
memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur
kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi
sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan;
dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan
tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan
oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan
tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 4

(1) Asosiasi sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf c harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan
sesuai sektor usaha masing-masing.

(2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan proses
pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan
utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).

(3) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan sebagai dasar
bagi perusahaan pemberi pekerjaan dalam penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan.

3
Pasal 5

Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan


penerima pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.

Pasal 6

Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti pelaporan jenis
pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan
paling lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan
pemberi pekerjaan.

Pasal 7

(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang menyerahkan sebagian


pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan
apabila belum memiliki bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.

(2) Apabila perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian


pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan
sebelum memiliki bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 8

Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis setiap


perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui
pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan
dilaksanakan dengan tetap memperhatikan proses sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.

Bagian Kedua
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Pasal 9

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan secara tertulis.

(2) Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


sekurang-kurangnya harus memuat:
a. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b. menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan; dan
c. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya.

4
Pasal 10

(1) Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9


harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan kepada
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.

(2) Pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani oleh
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima
pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pekerjaan
dilaksanakan.

Pasal 11

Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 5 (lima)
hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima.

Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan

Pasal 12

Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan:


a. berbentuk badan hukum;
b. memiliki tanda daftar perusahaan;
c. memiliki izin usaha; dan
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.

Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Pemborongan Pekerjaan

Pasal 13

Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat


ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam
hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang hubungan


kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya
yang dibuat secara tertulis.

Pasal 15

Hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan


pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

5
Pasal 16

Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan


pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 tidak dikenakan biaya.

BAB III
PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH

Bagian Kesatu
Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 17

(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan


pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa


pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan
kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.

(3) Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Pasal 18

Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan pelaksanaan


sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh lain.

Bagian Kedua
Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 19

Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal


17 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia
menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan
pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan

6
c. hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

Pasal 20

(1) Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi


pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus
didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

(2) Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak ditandatangani dengan melampirkan:
a. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang masih
berlaku; dan
b. draft perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(3) Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.

Pasal 21

(1) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh telah memenuhi


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti
pendaftaran paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak berkas permohonan
pendaftaran perjanjian diterima.

(2) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana pada ayat (1), maka pejabat yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat menolak
permohonan pendaftaran dengan memberi alasan penolakan.

Pasal 22

Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dapat melakukan operasional


pekerjaannya sebelum mendapatkan bukti pendaftaran perjanjian penyediaan
jasa pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

Pasal 23

(1) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak didaftarkan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin
operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(2) Dalam hal izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh


dicabut, pemenuhan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.

7
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 24

Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan:


a. berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b. memiliki tanda daftar perusahaan;
c. memiliki izin usaha;
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
e. memiliki izin operasional;
f. mempunyai kantor dan alamat tetap; dan
g. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.

Pasal 25

(1) Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e diajukan


permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
tempat pelaksanaan pekerjaan, dengan melampirkan:
a. copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha
penyediaan jasa pekerja/buruh;
b. copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
c. copy surat ijin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
d. copy tanda daftar perusahaan;
e. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
f. copy pernyataan kepemilikan kantor atau bukti penyewaan kantor
yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan; dan
g. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan izin operasional
terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.

(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di seluruh
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

Pasal 26

(1) Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 berlaku untuk


jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang sama.

(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan


berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dan
hasil evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

8
(3) Berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi menyetujui atau menolak.

Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 27

(1) Setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat


perjanjian kerja secara tertulis dengan pekerja/buruh.

(2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatatkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

(3) Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(4) Pencatatan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan biaya.

Pasal 28

Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat


ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam
hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

(1) Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan


pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu.

(2) Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu
tertentu yang objek kerjanya tetap ada sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sekurang-kurangnya harus memuat:
a. jaminan kelangsungan bekerja;
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.

(3) Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b


meliputi:
a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b. hak atas jaminan sosial;
c. hak atas tunjangan hari raya;

9
d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja;
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa
kerja yang telah dilalui; dan
g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

Pasal 30

Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, maka hubungan kerja
antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh
berubah menjadi hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu
tidak tertentu sejak ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi
persyaratan.

Pasal 31

Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja,


maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial.

Pasal 32

(1) Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian


penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan
jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru,
harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa
mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah
disepakati.

(2) Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan
diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 33

Pengawasan pelaksanaan peraturan ini dilakukan oleh Pengawas


Ketenagakerjaan.

10
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34

(1) Setiap perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima


pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.

(2) Dalam hal perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau


perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak menyesuaikan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perusahaan
penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tetap bertanggung jawab terhadap hak-hak
pekerja/buruh sesuai perjanjian kerja.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara
Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2012
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1138

11
SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3190


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
SURAT EDARAN
NO: SE-01/MEN/1982
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara
No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai
pedoman bagi para petugas di lapangan khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal
Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang perlu
diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Pasal 1 huruf c berbunyi sebagai berikut :

" Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah".
Penjelasan :

Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang berstatus non
organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu perusahaan. Yang dimaksud
dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah tenaga kerja yang bekerja pada
perusahaan secara tidak teratur dan secara organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok
dalam perusahaan tersebut, misalnya : Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.

Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja yang
bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang disebabkan
karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar muat.

2. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :


" Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus".

http://kartu-kuning.blogspot.com Page 1 of 6 SE No.: 01 Tahun 1982


SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981

Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya
perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.

3. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :


" Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya"
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang sama nilainya dalam ketentuan ini adalah
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan uraian jabatan (Job discription) yang
sama pada suatu perusahaan.

4. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :


" Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan "
Penjelasan :
Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua
golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan
disebabkan oleh kesalahan buruh.

5. Pasal 5 ayat (1) huruf a berbunyi sebagai berikut :


" Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pengusaha wajib
membayar upah buruh".
a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah.
2. untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari upah.
3. untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah.
4. untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari upah.
Penjelasan :
Ketentuan pembayaran upah dengan bertahap berlaku bagi buruh yang sakit terus
menerus.Termasuk sakit terus menerus adalah penyakit menahun atau
berkepanjangan, demikian pula apabila buruh yang setelah sakit lama mampu
bekerja kembali tetapi dalam waktu 4 Minggu sakit kembali.
Misalnya : pada 3 (tiga) bulan pertama buruh jatuh sakit dia berhak atas upah 100 %,
kemudian masuk bekerja tetapi kurang dari 4 (empat) minggu buruh jatuh sakit lagi
dengan penyakit yang sama atau dengan komplikasi yang ditimbulkannya maka
dalam hal ini buruh berhak atas upah 75 % selama 3 (tiga) bulan. Akan tetapi jika
buruh setelah jatuh sakit, masuk bekerja kembali selama 4 (empat) minggu atau

http://kartu-kuning.blogspot.com Page 2 of 6 SE No.: 01 Tahun 1982


SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981

lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama atau komplikasinya maka
selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3 (tiga) bulan. Bulan yang
dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan atau waktu dimana buruh jatuh
sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk pelaksanaan pasal ini diperlukan surat
keterangan dokter yang ditunjuk oleh perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak
mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun waktu 3
(tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal 5
tersebut.
Contoh yang dapat dibenarkan :
3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 75 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %
Contoh yang tidak dibenarkan :
3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 60 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %
Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti
tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.

6. Pasal 6 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :


" Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya
selama waktu yang diperlukan tetapi tidak melebihi 3 ( tiga ) bulan. "
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan " Selama waktu yang diperlukan" dalam pasal ini adalah
lamanya waktu untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan ketentuan
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI dari waktu ke waktu.
Misalnya : pada tahun 1981 waktu yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah haji
adalah 40 (empat puluh) hari, dengan demikian pengusaha wajib membayar upah
buruh selama 40 hari.

7. Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :


" Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaannya yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya

http://kartu-kuning.blogspot.com Page 3 of 6 SE No.: 01 Tahun 1982


SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981

baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang
seharusnya dapat ia hindari".
Penjelasan :
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan
dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini
dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha harus
membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal dimana
kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi karena
sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar upah
buruh sesuai dengan perjanjian.

8. Pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut :


" Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung"
Penjelasan :
Apabila surat kuasa tersebut bersifat kolektif maka surat kuasa tersebut perlu
diketahui lebih dahulu oleh Kantor Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja
setempat.

9. Pasal 12 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :


" Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-
obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25 %
(dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.
Penjelasan :
Apabila selama ini suatu perusahaan memberikan upah dalam bentuk natura lebih
dari 25 % maka selanjutnya kelebihan prosentase tersebut harus diwujudkan dalam
bentuk uang.
Misalnya : Jika sebagian upah diberikan dalam bentuk natura 30 % maka yang
kelebihan 5 % tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.

10. Pasal 13 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :


" Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
http://kartu-kuning.blogspot.com Page 4 of 6 SE No.: 01 Tahun 1982
SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981

Penjelasan :
Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia pada saat pembayaran upah.

11. Pasal 15 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :


" Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari pengusaha
atau buruh, badan yang diserahi tugas urusan perselisihan perburuhan dapat
membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian
yang diderita oleh buruh".
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan Badan yang diserahi urusan Perselisihan Perburuhan ialah
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tersebut dalam Undang-undang No.22
Tahun 1957 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 No.42 Tambahan
Lembaran Negara No. 1227).

12. Pasal 19 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :


" Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban
untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha diwajibkan pula
membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh Bank untuk kredit perusahaan
yang bersangkutan".
Penjelasan :
Untuk menentukan besarnya prosentase bunga karena keterlambatan membayar
upah buruh adalah : Apabila di perusahaan tersebut terdapat beberapa jenis kredit,
maka yang dipakai untuk menentukan besarnya diambil bunga kredit yang paling
menguntungkan buruh.

13. Pasal 21 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :


" Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun tidak
langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang yang
diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut".
Penjelasan :
Denda yang dikenakan kepada buruh juga tidak dapat digunakan untuk kepentingan
perusahaan atau untuk kepentingan biaya operasional perusahaan.

14. Pasal 24 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :


a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23;

http://kartu-kuning.blogspot.com Page 5 of 6 SE No.: 01 Tahun 1982


SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981

b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang
buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis".
Penjelasan :
Untuk memperhitungkan hutang piutang buruh jika terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja selain dapat diperhitungkan dari upah juga dari uang pesangon.

15. Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :


" Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri dengan
sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal 29
ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus ribu rupiah)"
Penjelasan :
Kata "Ahli" dalam pasal ini seharusnya dibaca kuasa yang ditunjuk oleh buruh seperti
dimaksud pada Pasal 29.

Demikian beberapa petunjuk tersebut disampaikan kepada Saudara untuk diperhatikan dan
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 4 Februari 1982

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

HARUN ZAIN

http://kartu-kuning.blogspot.com Page 6 of 6 SE No.: 01 Tahun 1982


MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : PER.06/MEN/IV/2005

TENTANG

PEDOMAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN


SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa untuk memperoleh data keanggotaan serikat pekerja/serikat


buruh secara lengkap dan akurat, maka perlu dilakukan verifikasi
keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
b. bahwa agar verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh
dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar, perlu diatur pedoman
pelaksanaan verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000


tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3989).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279).
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu.
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat
Buruh.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PEDOMAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, menerima serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
3. Anggota serikat pekerja/serikat buruh adalah pekerja/buruh yang menyatakan
diri secara tertulis menjadi anggota suatu serikat pekerja/serikat buruh.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
6. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
8. Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh adalah proses pembuktian
dan persahihan data keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
dan di luar perusahaan yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

BAB II
TUJUAN VERIFIKASI
Pasal 2.
Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh bertujuan untuk
memperoleh data anggota serikat pekerja/serikat buruh secara lengkap dan
akurat.
Pasal 3.
1. Untuk mendapatkan data anggota serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan pendataan keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Pendataan keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

BAB III
PENDATAAN
Pasal 4.
Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dilakukan
terhadap serikat pekerja/serikat buruh yang telah memiliki nomor bukti
pencatatan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencatatan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pasal 5

1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


menyusun data serikat pekerja/serikat buruh beserta jumlah anggotanya yang
tercatat di wilayahnya.
2. Berdasarkan data serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota melakukan pengecekan data serikat pekerja/serikat buruh.
3. Hasil pengecekan data serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disusun dalam bentuk tabel sebagaimana terlampir dalam
lampiran I Peraturan ini.
4. Tabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditandatangani oleh
pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha yang bersangkutan.
5. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh berada di luar perusahaan, tabel
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dan badan/instansi yang mempunyai
otoritas pada lokasi kerja tersebut.
6. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
menyusun rekapitulasi data keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh di
wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan menggunakan bentuk
formulir isian sebagaimana terlampir dalam Lampiran II Peraturan ini.
7. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menolak menandatangani hasil pengecekan data
serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan maka instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota melakukan verifikasi.

BAB V
PELAKSANAAN VERIFIKASI
KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Pasal 6
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) dilaksanakan
sebagai berikut :

a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan verifikasi.
b. seluruh kegiatan verifikasi diselesaikan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari kerja.
c. pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat dilakukan di
perusahaan atau tempat lain yang ditentukan.
d. meneliti kartu tanda anggota serikat pekerja/serikat buruh atau pernyataan
tertulis dari pekerja/buruh yang tidak memiliki kartu tanda anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
e. pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dibuat baik
secara perorangan atau kolektif.
f. pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf d sekurang-kurangnya
memuat :
f.1. nama pekerja/buruh.
f.2. bagian/unit/divisi tempat bekerja.
f.3. pernyataan bahwa pekerja/buruh yang bersangkutan tidak memilki kartu
tanda anggota serikat pekerja/serikat buruh.
f.4. pernyataan pekerja/buruh bahwa yang bersangkutan menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh tertentu.
g. Setelah meneliti kartu anggota serikat pekerja/serikat buruh dan pernyataan
tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf d, instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota menyusun nama-nama anggota
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu daftar sementara dan harus
diumumkan dengan cara ditempelkan di papan pengumuman lingkungan
perusahaan yang dapat dilihat dan dibaca oleh semua pihak.
h. Para pekerja/buruh yang nama-namanya tercantum dalam daftar sementara
sebagaimana dimaksud pada huruf g dapat mengajukan keberatan secara
tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
apabila yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana tercantum dalam daftar sementara tersebut.
i. Berdasarkan kartu anggota atau pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud
dalam huruf g, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota melakukan koreksi terhadap susunan nama-nama anggota
serikat pekerja/serikat buruh yang tercantum dalam daftar sementara dan
menetapkan daftar tetap.

(2) Daftar tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dituangkan
dalam Berita Acara Verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
yang ditandatangani oleh pengurus dan pengusaha serta petugas dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 7.

1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di


Kabupaten/Kota melakukan rekapitulasi hasil pengecekan dan verifikasi
keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
2. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh menjadi anggota afiliasi federasi
serikat pekerja/serikat buruh tertentu maka rekapitulasi hasil pengecekan dan
verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuat berdasarkan afiliasi dimaksud.
3. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
4. Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dengan
cara ditempelkan pada papan pengumuman di kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

BAB V
MEKANISME DAN WAKTU
PELAKSANAAN PENDATAAN DAN VERIFIKASI
Pasal 8
Mekanisme dan waktu pelaksanaan pendataan dan verifikasi keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.

BAB VI
PELAPORAN
Pasal 9

1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota


melaporkan hasil rekapitulasi kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Provinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal.
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan rekapitulasi hasil laporan
seluruh Kabupaten/Kota.
3. Rekapitulasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggunakan tabel sebagaimana terlampir dalam
Lampiran III Peraturan ini.
4. Rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dengan cara
ditempelkan di papan pengumuman yang dapat dilihat dan dibaca oleh semua
pihak.
5. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi
melaporkan hasil verifikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) kepada
Direktur Jenderal.
6. Setelah menerima hasil rekapitulasi dari Provinsi, Direktur Jenderal
melakukan rekapitulasi dari seluruh tingkat provinsi sebagai hasil rekapitulasi
tingkat nasional.
7. Menteri menyampaikan hasil verifikasi kepada para pengurus serikat
pekerja/serikat buruh tingkat nasional dan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO)

PASAL 10
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Biro Hukum
Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
Lampiran I : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : PER-06/MEN/IV/2005
Tanggal : 8 April 2005

FORMULIR ISIAN DATA


SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :
Jumlah Tenaga Kerja :
Bidang Usaha Perusahaan :
NAMA DAN
JUMLAH TANDATANGAN
NAMA
ANGGOTA NOMOR BUKTI PENGURUS BERAFILIASI
SERIKAT PENCATATAN
SERIKAT SERIKAT PADA FEDERASI
NO. PEKERJA/ SERIKAT
PEKERJA/ PEKERJA/ SERIKATPEKERJA/
SERIKAT
SERIKAT PEKERJA/ SERIKAT
SERIKAT SERIKAT BURUH
BURUH BURUH
BURUH BURUH

Mengetahui, Mengetahui, ......................., .............,........


Pimpinan Kepala Dinas/Suku Dinas/Kantor yang Pengurus
Perusahaan, bertanggung Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Jawab di bidang ketenagakerjaan 1............................
............................ Kabupaten/Kota. 2. ..........................
................................................
Keterangan :

1. Dibuat rangkap 3.
2. Data diperoleh dari serikat pekerja/serikat buruh di Perusahaan yang
bersangkutan.
3. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh tidak berada di perusahaan maka nama
"perusahaan " diisi nama tempat/lokasi kerja.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4594);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);
10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-
2014;
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG
KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut SPM
Bidang Ketenagakerjaan, adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan
dasar bidang ketenagakerjaan yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal.

2. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah jenis pelayanan publik yang mendasar
dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan pemerintahan.

2
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan DPRD provinsi/kabupaten/kota
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah


sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.

6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

7. Jenis pelayanan adalah pelayanan bidang ketenagakerjaan.

8. Indikator SPM Bidang Ketenagakerjaan adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak
dipenuhi dalam pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan bagi daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota, dapat berupa masukan, proses, keluaran, hasil, dan/atau
manfaat pelayanan dasar.

9. Batas waktu pencapaian SPM adalah kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai
SPM secara nasional.

10. Kementerian adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

BAB II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KETENAGAKERJAAN

Pasal 2

(1) Pemerintah daerah menyelenggarakan pelayanan dasar bidang ketenagakerjaan


berdasarkan SPM bidang ketenagakerjaan.

(2) SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
standar pelayanan dasar bidang ketenagakerjaan yang meliputi jenis pelayanan
dasar, indikator SPM, nilai SPM, batas waktu pencapaian, dan satuan kerja/lembaga
penanggung jawab.

(3) Pelayanan dasar SPM bidang ketenagakerjaan, Panduan Operasional SPM bidang
ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota, dan Komponen Biaya SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan
Lampiran III yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

SPM bidang ketenagakerjaan menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk
menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3
BAB III
PELAKSANAAN

Pasal 4

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan


pelayanan bidang ketenagakerjaan sesuai dengan SPM bidang ketenagakerjaan
yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Penyelenggaraan pelayanan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan SPM


bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), secara operasional
dikoordinasikan oleh dinas/instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.

(3) Penyelenggaraan pelayanan bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dilakukan oleh aparat yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi yang
dipersyaratkan sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PELAPORAN
Pasal 5
(1) Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kepada Menteri.

(2) Bupati/Walikota menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kinerja penerapan


dan pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kepada Menteri melalui Gubernur.

(3) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tercantum
dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 6
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan provinsi.

(2) Gubernur melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(3) Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipergunakan
sebagai bahan:
a. pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM bidang
ketenagakerjaan, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintahan daerah
yang berprestasi sangat baik;
b. pertimbangan dalam pemberian sanksi bagi pemerintahan daerah yang tidak
menerapkan SPM bidang ketenagakerjaan sesuai dengan kondisi khusus daerah
dan batas waktu yang ditetapkan.

(4) Penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan kepada
daerah sesuai peraturan perundang-undangan.

4
BAB VI
PENGEMBANGAN KAPASITAS

Pasal 7

(1) Hasil monitoring dan evaluasi terhadap penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan oleh provinsi dan kabupaten/kota dapat dipakai sebagai bahan
pengembangan kapasitas.

(2) Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), difasilitasi oleh
Menteri melalui kegiatan peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, dan
personil.

(3) Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
berupa:
a. pemberian orientasi umum;
b. petunjuk teknis;
c. bimbingan teknis;
d. bantuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil, dan keuangan daerah.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 8

(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan


pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan provinsi.

(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan


pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(3) Menteri dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibantu oleh direktorat teknis terkait di lingkungan Kementerian.

(4) Gubernur dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dibantu oleh satuan kerja yang membidangi ketenagakerjaan provinsi.

BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 9

(1) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan monitoring dan evaluasi, pembinaan
dan pengawasan, pembangunan sistem informasi serta pengembangan kapasitas
lingkup nasional dibebankan pada anggaran Kementerian.
(2) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar bidang
ketenagakerjaan, pencapaian kinerja/pelaporan, monitoring dan evaluasi,
pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem informasi manajemen, serta
pengembangan kapasitas lingkup provinsi dan kabupaten/kota dibebankan pada
anggaran provinsi dan kabupaten/kota.
5
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Nopember 2010

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR, SH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 541

6
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

PELAYANAN DASAR STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

KEMENTERIAN : TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


URUSAN WAJIB : PELAYANAN BIDANG KETENAGAKERJAAN
BATAS WAKTU
STANDAR PELAYANAN SATUAN Keterangan
PELAYANAN PENCAPAIAN
MINIMAL KERJA/LEMBAGA
No. DASAR (TAHUN)
PENANGGUNG
INDIKATOR JAWAB
NILAI

1 3 4 5 6 7

1. Pelayanan Pelatihan 1. Besaran tenaga kerja yang 75% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Kerja mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
berbasis kompetensi Kab/Kota
2. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
berbasis masyarakat Kab/Kota
3. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Σ pendaftar pelatihan kewirausahaan
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov,
kewirausahaan Kab/Kota

2. Pelayanan Penempatan Besaran pencari kerja yang 70% 2016 Dinas/Unit Σ pencari kerja yang ditempatkan x 100%
Tenaga Kerja terdaftar yang ditempatkan Ketenagakerjaan Prov, Σ pencari kerja terdaftar
Kab/Kota
3. Pelayanan Penyelesaian Besaran Kasus yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Kasus yang diselesaikan dengan PB x 100 %
Perselisihan Hubungan diselesaikan dengan Perjanjian Ketenagakerjaan Prov ∑ Kasus yang dicatatkan
Industrial Bersama (PB)
7
BATAS WAKTU
STANDAR PELAYANAN SATUAN Keterangan
PELAYANAN PENCAPAIAN
MINIMAL KERJA/LEMBAGA
No. DASAR (TAHUN)
PENANGGUNG
INDIKATOR JAWAB
NILAI

1 3 4 5 6 7

4. Pelayanan Kepesertaan Besaran pekerja/buruh yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Pekerja/buruh peserta program jamsostek x 100 %
Jamsostek menjadi peserta program Ketenagakerjaan Prov, ∑ Pekerja/buruh
Jamsostek Kab/Kota

5. Pelayanan Pengawasan 1. Besaran Pemeriksaan 45 % 2016 Dinas/Unit Σ Perusahaan yang telah diperiksa x 100%
Ketenagakerjaan Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ perusahaan yang terdaftar
Kab/Kota

2. Besaran Pengujian 50% 2016 Dinas/Unit Σ Peralatan yang telah diuji x 100%
Peralatan di Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ Peralatan yang terdaftar
Kab/Kota

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

8
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

PANDUAN OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL


BIDANG KETENAGAKERJAAN

I. PELAYANAN PELATIHAN KERJA.

A. Dasar.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional;
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.22/MEN/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam
Negeri;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

B. Pengertian.

1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Pelatihan berbasis kompetensi adalah pelatihan yang menitikberatkan pada
penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
5. Pelatihan berbasis masyarakat adalah pelatihan yang didesain berdasarkan
kebutuhan masyarakat dan potensi daerah baik yang mengacu pada standar
kompetensi maupun non standar.
6. Pelatihan kewirausahaan adalah pelatihan yang membekali peserta secara
bertahap agar memiliki kompetensi kewirausahaan dan bisnis, sehingga
mampu menciptakan kesempatan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain
sesuai tuntutan pembangunan.

9
7. Besaran tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan adalah persentasi jumlah
tenaga kerja yang dilatih dalam waktu satu sampai lima tahun secara
kumulatif dibandingkan dengan jumlah orang yang mendaftar pelatihan.
Undang Nmor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Rumus pelatihan berbasis kompetensi:


Persentasi pendaftar pelatihan berbasis kompetensi dengan tenaga kerja
yang dilatih:
= ∑ tenaga kerja yang dilatih x 100%
∑ pendaftar pelatihan berbasis kompetensi

a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis kompetensi sebanyak 6500
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1250 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis kompetensi di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah:
1250 orang x 100% = 19%
6500 orang
artinya baru 19% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis kompetensi di wilayah tersebut yang telah dilatih.

2. Rumus pelatihan berbasis masyarakat.

Persentasi pendaftar pelatihan berbasis masyarakat dengan tenaga kerja


yang dilatih:

∑ tenaga kerja yang dilatih


= x 100%
∑ pendaftar pelatihan berbasis masyarakat

a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis masyarakat sebanyak 5000
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1350 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis masyarakat di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah :
1350 orang x 100% = 27%
5000 orang

10
artinya baru 27% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis masyarakat di wilayah tersebut yang telah dilatih.

3. Rumus pelatihan kewirausahaan.

Persentasi pendaftar pelatihan kewirausahaan dengan tenaga kerja yang


dilatih:

∑ tenaga kerja yang dilatih


= x 100%
∑ pendaftar pelatihan kewirausahaan

a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan kewirausahaan

c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan sebanyak 7800
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 900 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan kewirausahaan di wilayah tersebut pada tahun berjalan adalah :
900 orang x 100% = 11.5%
7800 orang
artinya baru 11.5% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
kewirausahaan di wilayah tersebut yang telah dilatih.

D. Sumber Data.

Sumber data pelatihan berbasis kompetensi, pelatihan berbasis masyarakat, dan


pelatihan kewirausahaan berasal dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan di
provinsi, dan kabupaten/kota.ah
un 2007 tentang Pembagian
E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan pelatihan kerja ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2016 yaitu:
1. pelatihan berbasis kompetensi sebesar 75%;
2. pelatihan berbasis masyarakat sebesar 60%;
3. pelatihan kewirausahaan sebesar 60%.

F. Program Pelatihan Kerja.

Jenis pelatihan yang dilaksanakan bagi pencari kerja dan tenaga kerja meliputi:
1. pelatihan berbasis kompetensi, misal:
a. pelatihan otomotif;
b. pelatihan las;
c. pelatihan refrigeration/mesin pendingin;
d. pelatihan elektrik;
e. pelatihan mekatronik.

11
2. pelatihan berbasis masyarakat, misal:
a. pelatihan menjahit;
b. pelatihan pengolahan hasil pertanian;
c. pelatihan pengolahan hasil laut.
3. pelatihan kewirausahaan, misal:
a. pelatihan start up your business;
b. pelatihan desa produktif.

G. Langkah Kegiatan.

1. Pelatihan Berbasis Kompetensi dan Pelatihan Berbasis Masyarakat.


a. Dinas yang membidangi ketenagakerjaan melakukan rekrutmen:
1) pendaftaran calon peserta pelatihan;
2) seleksi calon peserta pelatihan;
3) pengumuman hasil seleksi calon peserta pelatihan.
4) menetapkan peserta pelatihan dan diserahkan ke Balai Latihan Kerja
Unit Pelaksana Teknis Daerah (BLK UPTD)
b. Verifikasi kompetensi dan keputusan verifikasi.
1) verifikasi dilaksanakan oleh instruktur;
2) pelaksanaan verifikasi pengumpulan dokumen-dokumen pendukung
(dokumen pelatihan yang pernah diikuti, pengalaman kerja dan
pengalaman lain yang relevan dengan unit kompetensi yang akan
dilatih);
3) keputusan verifikasi dilaksanakan oleh instruktur dan kepala BLK
UPTD;
4) peserta pelatihan yang harus mengikuti pelatihan berbasis kompetensi
seluruh unit kompetensi;
5) peserta pelatihan yang telah menguasai sebagian unit kompetensi
masuk proses Proses Pengakuan Hasil Belajar/Recognition of Prior
Learning (RPL).
c. Proses RPL oleh instruktur dan kepala BLK UPTD.
1) wawancara/interview peserta pelatihan tentang kompetensi yang telah
dikuasai sesuai dokumen pendukung yang ada;
2) untuk memastikan kompetensi yang dikuasai peserta pelatihan, bila
perlu dibuktikan melalui metode lain yang sesuai, antara lain tes
tertulis, demonstrasi, dan sebagainya.
d. Keputusan RPL oleh instruktur dan assessor.
1) dari hasil RPL, unit kompetensi yang dinyatakan belum memenuhi
persyaratan, harus mengikuti proses pelatihan berbasis kompetensi;
2) dari hasil RPL, unit kompetensi yang dinyatakan memenuhi
persyaratan, langsung mengikuti assessment oleh asessor.
e. Pelaksanaan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan di BLK UPTD.
Proses pelaksanaan pelatihan dimulai dengan:
1) menyiapkan program pelatihan sesuai dengan unit kompetensi yang
ditetapkan;
2) menetapkan instruktur dan mentor;
3) menyediakan sarana dan fasilitas pelatihan off the job dan on the job;
4) menetapkan metode pelatihan yang dianggap paling tepat untuk
bidang kompetensi tertentu;
5) memonitor pelaksanaan kegiatan pelatihan off dan on the job yang
sedang dilaksanakan.

12
f. Assessment oleh assessor.
1) melaksanakan assessment kepada peserta pelatihan sesuai dengan
unit kompetensi yang ditentukan;
2) assessment dapat diikuti peserta pelatihan hasil dari keputusan RPL
dan hasil dari proses pelatihan.
g. Keputusan Penilaian oleh BLK UPTD.
1) peserta pelatihan yang dinyatakan memenuhi seluruh unjuk kerja yang
dipersyaratkan, dinyatakan lulus;
2) peserta pelatihan yang dinyatakan tidak memenuhi seluruh/sebagian
unjuk kerja yang dipersyaratkan, diharuskan mengikuti proses
pelatihan terhadap unjuk kerja yang dinyatakan belum lulus;
3) peserta pelatihan yang dinyatakan lulus akan diberikan sertifikat
pelatihan;
4) Sertifikat pelatihan diterbitkan oleh lembaga penyelenggara pelatihan
yang bersangkutan.
h. Dokumentasi oleh BLK UPTD
1) Dokumen peserta pelatihan diarsipkan;
2) Sertifikat peserta pelatihan teregistrasi di lembaga penyelenggara
pelatihan.
i. Uji Kompetensi oleh BLK UPTD dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
1) Peserta pelatihan yang dinyatakan lulus, diwajibkan untuk mengikuti
uji kompetensi;
2) Uji kompetensi dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi.

2. Pelatihan Kewirausahaan.
a. Seleksi;
b. Pelatihan teknis sesuai jenis usaha;
c. Pelatihan manajemen kewirausahaan:
1) Motivasi, pola pikir berusaha, semangat kewirausahaan;
2) Manajemen kewirausahaan:
a) Produksi;
b) Pemasaran;
c) Perhitungan biaya dan laba;
d) Pembukuan sederhana;
e) Kelayakan usaha;
3) Penyusunan rencana usaha.
d. Memulai usaha;
e. Bimbingan konsultasi produktivitas;
f. Pendampingan.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Petugas informasi dan pendaftaran;


2. Petugas pelaksana administrasi;
3. Petugas operator komputer;
4. Pengelola pelatihan;
5. Instruktur.

I. Penanggung jawab Kegiatan.


Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang
ketenagakerjaan.

13
II. PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

A. Dasar.

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.


2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib
Lapor Lowongan Pekerjaan di Perusahaan.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang
Konvensi ILO Nomor 88 Mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.07/MEN/IV/2008 tentang Penempatan Tenaga Kerja.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.08/MEN/V/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan
Pemagangan di Luar Negeri.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Calon
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

B. Pengertian.

1. Penempatan tenaga kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja


untuk memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan
kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan.
2. Pencari kerja adalah angkatan kerja yang sedang menganggur dan mencari
pekerjaan maupun yang sudah bekerja tetapi ingin pindah atau alih pekerjaan
dengan mendaftarkan diri kepada pelaksana penempatan tenaga kerja atau
secara langsung melamar pekerjaan kepada pemberi kerja.
3. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah.
4. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat CTKI adalah setiap
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan.
5. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat TKI adalah setiap warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam
hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
6. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya
disingkat PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis
dari Menteri untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar
negeri.
7. Lowongan pekerjaan adalah lapangan kerja yang tersedia dalam pasar kerja
yang belum terisi.
8. Antar Kerja Lokal yang selanjutnya disingkat AKL adalah penempatan tenaga
kerja antar provinsi dan kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi .
9. Antar Kerja Antar Daerah yang selanjutnya disingkat AKAD adalah
penempatan tenaga kerja antar provinsi dalam wilayah Republik Indonesia.

14
10. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disingkat AKAN adalah
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
11. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan
melakukan kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
12. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang
antar kerja dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
pelayanan antar kerja.
13. Konsorsium Asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota untuk
menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian
konsorsium.
14. Besaran pencari kerja yang terdaftar yang ditempatkan adalah persentasi
jumlah pencari kerja yang mendaftarkan dan tercatat pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan dan jumlah pencari
kerja yang diterima bekerja oleh pemberi kerja dalam hal ini perusahaan yang
mendaftarkan lowongan pekerjaannya pada dinas kabupaten/kota.

C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Rumus:
persentasi pencari kerja yang terdaftar dengan pencari kerja yang
ditempatkan:

∑ pencari kerja yang ditempatkan


= x 100%
∑ pencari kerja yang terdaftar

2. Pembilang:
jumlah pencari kerja yang ditempatkan
3. Penyebut:
jumlah pencari kerja yang terdaftar
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)
5. Contoh Perhitungan:
misalkan pada wilayah kabupaten Bekasi, pencari kerja yang terdaftar
sebanyak 15.000 orang. Jumlah pencari kerja yang ditempatkan sebanyak
3000 orang, maka persentasi pencari kerja yang dapat ditempatkan di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah:
3000 orang x 100% = 20%
15000 orang
artinya baru 20% dari jumlah pencari kerja yang terdaftar di wilayah tersebut
yang telah ditempatkan.

D. Sumber Data.

Data jumlah pencari kerja yang terdaftar dan data jumlah pencari kerja yang
ditempatkan yang diperoleh dari :
1. dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan;
2. kantor perwakilan penempatan tenaga kerja;
3. perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan lowongan kerja pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan berdasarkan hasil
job canvasing, telepon, faksimili, email, maupun secara langsung melalui
bagian human resources development;

15
4. laporan dari perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
dan bursa kerja khusus mengenai penempatan tenaga kerja yang direkrut
melalui dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan.
Merntah Nom38 2007PemerintaPemerintahanDaerah
Tah

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan penempatan tenaga kerja sebesar 70% ditargetkan dapat dicapai
pada tahun 2016.

F. Program Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.

1. Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui mekanisme AKL;


2. Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui mekanisme AKAD;
3. Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri : pelayanan penempatan
tenaga kerja melalui mekanisme AKAN.

G. Langkah Kegiatan.

1. Penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan di luar negeri:


a. Pelayanan kepada pencari kerja yang dilakukan oleh dinas kabupaten/kota:
1) mengisi formulir AK/II melalui wawancara langsung untuk mengetahui
bakat, minat, dan kemampuan oleh pengantar kerja/petugas antar
kerja;
2) pencari kerja diberikan kartu AK/I sebagai tanda bukti bahwa pencari
kerja sudah terdaftar mencari pekerjaan di dinas kabupaten/kota
dengan menyiapkan persyaratan berupa foto kopi ijasah, foto kopi KTP
atau surat keterangan tempat tinggal/domisili, pas foto, sertifikat
lainnya;
3) melakukan rekruitmen sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja;
4) melakukan seleksi kepada pencari kerja;
5) melakukan pencocokan (job matching) antara pencari kerja terdaftar
dengan lowongan;
6) pemanggilan pencari kerja yang terdaftar untuk mengisi lowongan
pekerjaan dengan menggunakan form AK/IV;
7) melakukan pengiriman calon tenaga kerja berdasarkan hasil
pencocokkan (job matching) dengan menggunakan form AK/V;
8) melaksanakan kegiatan pembekalan (orientasi) pra penempatan.
9) melaksanakan penempatan tenaga kerja;
10) melakukan tindak lanjut (follow up) penempatan tenaga kerja;
11) melakukan monitoring dan evaluasi kepada pemberi kerja.
b. Pelayanan kepada pemberi kerja yang dilakukan oleh dinas
kabupaten/kota:
1) melaksanakan pelayanan kepada pemberi kerja yang membutuhkan
calon tenaga kerja;
2) melaksanakan pencarian lowongan pekerjaan (job canvasing);
3) menerima dan mencatat informasi lowongan kerja dan dituangkan
pada kartu AK/III kemudian menyerahkan kepada pengantar kerja atau
petugas antar kerja;
4) membuat komitmen dengan pemberi kerja/pengguna jasa tenaga kerja
dalam hal pemenuhan lowongan yang menyangkut batas waktu untuk
pengisian lowongan yang dibutuhkan;
5) mengirimkan calon tenaga kerja kepada pemberi kerja sesuai
kualifikasi calon tenaga kerja yang dibutuhkan.

16
c. Prosedur penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh dinas
kabupaten/kota:
1) pencocokan AK/II dengan AK/III.
Sebelum dilakukan penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu
lowongan pekerjaan, terlebih dahulu diperiksa kartu pencari kerja
(AK/II) secara obyektif dengan tidak memihak.
2) penunjukkan sebagai calon untuk pengisian lowongan pekerjaan.
Pencari kerja yang telah terpilih untuk memenuhi lowongan
pekerjaan tersebut dilakukan pemanggilan dengan menggunakan
formulir surat panggilan (AK/IV).
Pencari kerja yang datang memenuhi panggilan ditawarkan untuk
mengisi lowongan pekerjaan tersebut dan diberitahu tentang syarat-
syarat kerja serta jaminan sosialnya. Apabila telah terdapat
kesesuaian, pencari kerja akan diberi surat pengantar (AK/V) setelah
terlebih dahulu ada kepastian bahwa lowongan pekerjaan tersebut
belum diisi.
Untuk setiap lowongan pekerjaan, ditunjuk sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang sebagai calon pencari kerja dengan maksud agar
pemberi kerja dapat melakukan pemilihan yang terbaik.
3) tindak lanjut penunjukkan calon pencari kerja.
Setiap penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu lowongan
pekerjaan, sebaiknya dilakukan tindaklanjut untuk mengetahui berhasil
atau tidaknya penunjukkan calon tersebut dalam mengisi lowongan
pekerjaan dan sebagai umpan balik untuk mengetahui apakah pemberi
kerja merasa puas dengan penunjukkan calon yang dilakukan oleh
dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan apakah
calon yang diterima tersebut puas dengan pekerjaan yang diterimanya.

2. khusus untuk pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri


terdapat beberapa langkah kegiatan tambahan yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota yaitu:
a. penerbitan rekomendasi rekrut yang dilakukan oleh dinas provinsi:
1) meneliti dokumen Surat Izin Pengerahan (SIP) yang diterbitkan oleh
Menteri;
2) meneliti keabsahan PPTKIS;
3) menerbitkan Surat Pengantar Rekrut (SPR);
Pelayanan penyelesaian penerbitan SPR maksimal 1 (satu) hari
setelah dokumen dinyatakan lengkap.
b. pendataan pencari kerja (pencaker) yang dilaksanakan oleh dinas provinsi
dan kabupaten/kota dilakukan oleh pengantar kerja/petugas antar kerja
dengan mendata pencaker yang terdaftar di dinas kabupaten/kota
setempat;
c. pendaftaran CTKI dilakukan oleh dinas kabupaten/kota;
d. seleksi CTKI dilakukan oleh dinas kabupaten/kota bersama-sama dengan
PPTKIS;
e. penandatangan Perjanjian Penempatan CTKI oleh PPTKIS dan CTKI yang
diketahui dan disahkan oleh dinas kabupaten/kota;
f. pemberian Rekomendasi paspor TKI oleh dinas kabupaten/kota yang
ditujukan kepada kantor imigrasi setempat;
Pemeriksaan kesehatan dan psikologi serta rekomendasi kelayakan lokasi
sarana kesehatan yang dilakukan oleh dinas provinsi .
g. rekomendasi izin penampungan CTKI yang dilakukan oleh dinas provinsi;

17
h. pelaksanaan pelatihan dan uji kompetensi CTKI yang dilaksanakan oleh
dinas provinsi :
1) dinas provinsi memberikan rekomendasi izin Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP);
2) dinas provinsi diikutsertakan sebagai asesor.
i. penyelesaian asuransi perlindungan TKI yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
1) dinas provinsi memfasilitasi penyelesaian kasus Calon TKI dan TKI
serta dapat mengusulkan kepada Dirjen Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Kementerian Nakertrans dalam hal penjatuhan sanksi
administratif kepada konsorsium asuransi TKI;
2) dinas kabupaten/kota meneliti keabsahan bukti pembayaran asuransi
pra penempatan dan memfasilitasi (memberikan rekomendasi)
pengajuan klaim asuransi TKI kepada konsorsium asuransi.
j. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
tugas dinas provinsi dalam penyelenggaraan PAP melakukan:
1) penelitian persyaratan administrasi;
2) penelitian kelengkapan dokumen yaitu sertifikat kompetensi, perjanjian
kerja, paspor, dan visa kerja;
3) koordinasi dengan instansi terkait dan dinas kabupaten/kota;
4) melaksanakan PAP selama 20 (dua puluh) jam pelajaran dengan
materi PAP meliputi pembinaan mental kerohanian, pembinaan
kesehatan fisik, pembinaan mental dan kepribadian, bahaya
perdagangan perempuan dan anak, bahaya perdagangan narkoba,
obat terlarang dan kriminal lainnya, sosialisasi budaya, adat istiadat
dan kondisi negara penempatan, peraturan perundang-undangan
negara penempatan, tata cara keberangkatan dan kedatangan di
bandara negara penempatan, tata cara kepulangan di tanah air, peran
perwakilan Republik Indonesia dalam pembinaan dan perlindungan
WNI/TKI di luar negeri, program remittance tabungan dan asuransi
perlindungan TKI dan perjanjian penempatan TKI dan perjanjian kerja;
5) menerbitkan surat keterangan telah mengikuti PAP.
k. penandatangan Perjanjian Kerja yang dilakukan oleh dinas provinsi.
Penandatangan perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna dilakukan
dihadapan pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
l. pembinaan TKI Purna Penempatan di daerah asal yang dilakukan oleh
dinas provinsi dan kabupatan/kota.
dinas kabupaten/kota memfasilitasi pelaksanaan bimbingan wirausaha,
pengembangan usaha dan pendampingan terhadap TKI purna dalam
pembinaan usaha serta melakukan rehabilitasi mental bekerjasama
dengan instansi terkait.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Pengantar kerja/petugas antar kerja;


2. Petugas operator komputer.

I. Penanggung jawab Kegiatan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang


ketenagakerjaan.

18
III. PELAYANAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.

A. Dasar.

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;


2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial;
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.92/MEN/VI/2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator
serta Tata Kerja Mediasi;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Melalui Perundingan Bipartit;
5. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 06 Tahun
2009 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial dan Angka
Kreditnya.

B. Pengertian.

1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
4. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.
5. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
6. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
8. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

19
9. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
10. Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
11. Mediator Hubungan Industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan. Mediator Hubungan Industrial
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pada unit organisasi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat dan
daerah.
12. Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
13. Konsiliator Hubungan Industrial adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
14. Perjanjian Bersama adalah persetujuan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau
lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.
15. Besaran Kasus Perselisihan Hubungan Industrial adalah jumlah kasus
perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan oleh Mediator Hubungan
Industrial yang berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
yang penyelesaiannya sampai pada tingkat perjanjian bersama (PB).

C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Rumus:
persentasi kasus yang diselesaikan di luar pengadilan hubungan industrial
melalui Perjanjian Bersama (PB) dengan jumlah kasus yang dicatatkan.

= ∑ kasus yang diselesaikan melalui Perjanjian Bersama (PB) x 100%


∑ kasus yang dicatatkan
2. Pembilang:
jumlah kasus yang diselesaikan dengan perjanjian bersama (PB) baik
perjanjian bersama yang dibuat secara perseorangan/individual atau
perjanjian bersama massal.
3. Penyebut:
jumlah kasus yang dicatatkan di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)

20
5. Contoh Perhitungan:
misalkan: berdasarkan data jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
yang dicatat pada tahun 2008 di Kabupaten Tangerang sebanyak 30 kasus,
Jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan dengan
perjanjian bersama sebanyak 13 kasus, maka persentasi penyelesaian kasus
perselisihan hubungan industrial melalui perjanjian bersama di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah :
13 x 100% = 34 %
38
artinya, baru 34 % dari jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang
diselesaikan dengan perjanjian bersama di wilayah tersebut.

D. Sumber Data.

Data jumlah kasus yang diselesaikan di luar Pengadilan Hubungan Industrial


melalui Perjanjian Bersama (PB) dan data jumlah kasus yang dicatatkan
diperoleh dari dinas provinsi, kabupaten/kota yang menangani bidang
ketenagakerjaan.

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebesar 50% dapat
dicapai pada tahun 2016.

F. Program Kegiatan.

Program Pembinaan dalam Rangka Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial.
1. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
2. Bimbingan Teknis tentang tata cara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

G. Langkah Kegiatan.

1. Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Dan


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan
sosialisasi peraturan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu antara lain:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi substansi di bidang hubungan
industrial berasal dari akademisi, praktisi hubungan industrial, pakar dan
instansi pemerintah;
b. peserta dari kalangan masyarakat industrial, pekerja/buruh, SP/SB,
pengusaha/organisasi pengusaha dan pemerintah.
2. Bimbingan Teknis Tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Dalam melaksanakan Bimbingan Teknis, instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota, sekurang-
kurangnya memperhatikan:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi substansi di bidang
ketenagakerjaan, menguasai peraturan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, hukum acara perdata, teknik komunikasi dan
negosiasi;

21
b. peserta dari instansi pemerintah;
c. tujuannya untuk meningkatkan kemampuan teknis pegawai
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Mediator Hubungan Industrial.


2. Pegawai Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi dan kabupaten/kota khususnya yang membidangi hubungan
industrial.

I. Penanggung jawab Kegiatan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang


ketenagakerjaan.

IV. PELAYANAN KEPESERTAAN JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

A. Dasar.

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;


2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

B. Pengertian.

1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat JAMSOSTEK
adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santuan berupa
uang penggganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal
dunia.
4. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa
atau wajar dilalui.
5. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi angota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau
berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
6. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan.
7. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau
perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.

22
8. Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
9. Besaran pekerja/buruh yang menjadi peserta JAMSOSTEK adalah jumlah
pekerja/buruh di perusahaan yang menjadi peserta JAMSOSTEK.Nomor
1Tahang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator:

1. Rumus:
persentasi pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK dengan jumlah pekerja/buruh
dalam hubungan kerja:

= ∑pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK x 100%


∑ pekerja/buruh
2. Pembilang:
jumlah pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK.
3. Penyebut:
jumlah pekerja/buruh
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)
5. Contoh Perhitungan:
misalkan: berdasarkan data jumlah pekerja/buruh tahun 2008 di Kabupaten
Pasuruan sebanyak 211.586 orang. Jumlah pekerja/buruh yang telah menjadi
peserta JAMSOSTEK sebanyak 94.305 orang, maka persentasi pekerja/buruh
peserta JAMSOSTEK di wilayah tersebut pada tahun berjalan adalah :
94.305 orang x 100% = 44.57 %
211.586 orang
artinya, baru 44.57 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh yang telah menjadi
peserta JAMSOSTEK di wilayah tersebut.

D. Sumber Data.

Data jumlah pekerja/buruh dan jumlah pekerja/buruh yang menjadi peserta


JAMSOSTEK yang diperoleh dari :
1. dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan;
2. Badan Pusat Statistik (BPS);
3. PT JAMSOSTEK (Persero).

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan jaminan sosial bagi pekerja/buruh sebesar 50% ditargetkan dapat
dicapai pada tahun 2016.

F. Program Kegiatan.

Program Pembinaan Dalam Rangka Peningkatan Kepesertaan JAMSOSTEK


bagi Pekerja/Buruh.
1. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
2. Bimbingan Teknis tentang Tata Cara Peningkatan dan Pembinaan
Kepesertaan JAMSOSTEK bagi Pekerja/Buruh;
3. Penegakkan Hukum terkait dengan kepesertaan JAMSOSTEK.

23
G. Langkah Kegiatan.

1. Sosialisasi Peraturan tentang JAMSOSTEK


Dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan
sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang jaminan sosial tenaga
kerja, yaitu antara lain:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi substansi di bidang
ketenagakerjaan dan memahami Peraturan Perundang-undangan
JAMSOSTEK;
b. narasumber berasal dari akademisi, praktisi, pakar, pemerintah dan PT
JAMSOSTEK;
c. peserta dari kalangan masyarakat industri, pengusaha/organisasi
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah;
d. tujuannya memberikan pemahaman tentang perlindungan bagi tenaga
kerja;

2. Bimbingan Teknis dalam rangka Peningkatan dan Pembinaan Kepesertaan


JAMSOSTEK bagi pekerja/buruh.
Dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan
bimbingan teknis dalam rangka peningkatan dan pembinaan kepesertaan
JAMSOSTEK bagi pekerja/buruh, yaitu antara lain:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi di bidang ketenagakerjaan dan
memahami perundang-undangan JAMSOSTEK;
b. narasumber berasal dari pakar, akademisi, praktisi hubungan industrial,
pemerintah, dan PT JAMSOSTEK;
c. peserta dari Pekerja/Buruh, SP/SB, Pengusaha dan Organisasi
Pengusaha, Pemerintah;
d. tujuannya untuk meningkatkan kepesertaan dan perluasan cakupan
kepesertaan JAMSOSTEK;

3. Penegakan hukum terkait dengan kepesertaan JAMSOSTEK.


Dinas tenaga kerja di kabupaten/kota di provinsi melaksanakan kegiatan
penegakan hukum terkait dengan kepesertaan JAMSOSTEK, yaitu antara
lain:
a. melaksanakan kegiatan koordinasi fungsional tingkat kabupaten/kota di
provinsi dan melaksanakan pengawasan terpadu di wilayah
kabupaten/kota di provinsi;
b. tim Koordinasi Fungsional terdiri dari dinas yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di provinsi dengan cabang PT.
JAMSOSTEK setempat.

H. Sumber Daya Manusia.


1. Pegawai teknis dinas provinsi dan kabupaten/kota;
2. Pegawai Badan Pusat Statistik (BPS).

I. Penanggung jawab Kegiatan.


Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang
ketenagakerjaan.

24
V. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

A. Dasar.

1. Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie) dan Peraturan Uap


Tahun 1930 (Stoom Verordening);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia;
3. Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan
di Perusahaan;
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
6. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
Nomor 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce
(Konvensi) ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam
Industri dan Perdagangan;
7. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 03/MEN/1984 tentang
Pengawasan Terpadu;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
09/MEN/V/2005 tentang Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

B. Pengertian.

1. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
3. Laporan Pelaksanaan Pengawasan adalah laporan yang memuat hasil
kegiatan dan evaluasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan baik
laporan individu pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun laporan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan.
4. Pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan
ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengawas
ketenagakerjaan dalam penerapan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang terdiri dari pemeriksaan pertama, pemeriksaan berkala,
pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan ulang.
6. Pengujian adalah kegiatan penilaian terhadap suatu obyek pengawasan
ketenagakerjaan melalui perhitungan, analisa dan pengetesan sesuai dengan
ketentuan atau standar yang berlaku.

25
7. Besaran pemeriksaan perusahaan adalah persentase jumlah perusahaan
yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani
bidang ketenagakerjaan dan jumlah perusahaan yang telah dilakukan
pemeriksaan.
8. Besaran pengujian peralatan di perusahaan adalah persentase jumlah
peralatan yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota dan jumlah
peralatan yang telah dilakukan pengujian.

C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Pemeriksaan Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah perusahaan yang telah diperiksa dibanding dengan
jumlah perusahaan yang terdaftar

∑ perusahaan yang telah diperiksa x 100%


=
∑ perusahaan yang terdaftar
b. Pembilang:
jumlah perusahaan yang telah diperiksa oleh pengawas ketenagakerjaan.
c. Penyebut:
jumlah perusahaan yang terdaftar sesuai Wajib Lapor Ketenagakerjaan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berada di provinsi dan
kabupaten/kota.
d. Satuan Indikator:
persentasi (%)
e. Contoh Perhitungan:
misalkan : di provinsi dan kabupaten/kota perusahaan yang terdaftar
sebanyak 1200 perusahaan, yang diperiksa oleh pengawas
ketenagakerjaan sebanyak 180 perusahaan dengan catatan jumlah
pengawas ketenagakerjaan sebanyak 3 orang.
Jumlah perusahaan yang telah diperiksa oleh pengawas ketenagakerjaan
cara perhitungannya adalah: 3 orang pengawas ketenagakerjaan x 5
perusahaan/bulan x 12 bulan = 180 perusahaan (satu tahun), maka
persentase pemeriksaan perusahaan di provinsi dan kabupaten/kota pada
tahun berjalan adalah :
180 perusahaan x100% = 15%
1200 perusahaan
arti angka 15 % adalah kinerja pengawasan ketenagakerjaan dalam
melakukan pemeriksaan perusahaan di provinsi dan kabupaten/kota
dalam tahun berjalan.

2. Pengujian Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah peralatan yang telah diuji dibanding dengan jumlah
peralatan yang terdaftar

∑ peralatan yang telah diuji x 100%


=
∑ peralatan yang terdaftar
b. Pembilang:
jumlah peralatan yang telah diuji oleh pengawas ketenagakerjaan

26
c. Penyebut:
jumlah peralatan yang terdaftar sesuai Wajib Lapor Ketenagakerjaan
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berada di provinsi dan
kabupaten/kota.
d. Satuan Indikator:
persentasi (%)
e. Contoh Perhitungan:
misalkan : provinsi dan kabupaten/kota jumlah peralatan yang terdaftar
sebanyak 1759 unit, yang diuji oleh pengawas ketenagakerjaan sebanyak
180 unit dengan catatan jumlah pengawas ketenagakerjaan spesialis
sebanyak 3 orang.
Jumlah peralatan yang telah diuji oleh pengawas ketenagakerjaan cara
perhitungannya adalah 3 orang pengawas ketenagakerjaan spesialis x 8
unit/bulan x 12 bulan = 288 unit (satu tahun), maka persentase pengujian
peralatan di provinsi dan kabupaten/kota pada tahun berjalan adalah:
288 unit x 100% = 24%
1759 unit
arti angka 24 % adalah kinerja pengawasan ketenagakerjaan dalam
melakukan pengujian peralatan di perusahaan pada provinsi dan
kabupaten/kota dalam tahun berjalan.

D. Sumber Data.

Dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan.

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan pengawasan ketenagakerjaan ditargetkan dapat dicapai pada tahun
2016 yaitu:
1. pemeriksaaan perusahaan sebesar 45%;
2. pengujian peralatan sebesar 50%.

F. Program.

1. Program yang dilakukan dalam pelaksanaan pemeriksaan perusahaan yaitu:


a. pembinaan penerapan norma ketenagakerjaan di perusahaan;
b. pembinaan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja di
perusahaan;
c. peningkatan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan;
d. peningkatan sarana dan prasarana pengawasan ketenagakerjaan.

2. Program yang dilakukan dalam pelaksanaan pengujian peralatan di


perusahaan yaitu:
a. pendataan obyek pengujian K3;
b. peningkatan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan spesialis;
c. peningkatan sarana dan prasarana pengujian;
d. pemberdayaan Ahli K3 Spesialis.

27
G. Langkah Kegiatan.

1. Pemeriksaan perusahaan yang meliputi pemeriksaan norma ketenagakerjaan,


norma keselamatan dan kesehatan kerja.
a. Dinas provinsi dan kabupaten/kota membuat rencana kerja pengawasan
ketenagakerjaan;
b. Pengawas ketenagakerjaan:
1) membuat rencana kerja pengawasan ketenagakerjaan;
2) melakukan pemeriksaan kondisi ketenagakerjaan di perusahaan;
3) menganalisa kondisi ketenagakerjaan di perusahaan;
4) membuat nota pemeriksaan atas hasil pemeriksaan di perusahaan;
5) menyampaikan nota pemeriksaan atas hasil pemeriksaan kepada
perusahaan;
6) membuat laporan atas hasil pemeriksaan di perusahaan kepada
pimpinan;
7) melakukan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut atas nota
pemeriksaan;
8) mengadministrasikan hasil pemeriksaan perusahaan.
2. Pengujian perusahaan dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan spesialis:
a. membuat rencana kerja pengujian peralatan;
b. menyiapkan pelaksanaan pengujian peralatan;
c. melakukan pengujian peralatan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan standar teknis;
d. menganalisa hasil pengujian peralatan;
e. membuat laporan pengujian peralatan kepada pimpinan unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan untuk dilakukan tindak lanjut;
f. mengadministrasikan hasil pengujian peralatan.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Pengawas Ketenagakerjaan;
2. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis;
3. Penyelenggara Administrasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
4. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

I. Penanggung jawab Kegiatan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang


ketenagakerjaan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

28
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

KOMPONEN BIAYA

A. PELAYANAN PELATIHAN KERJA

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PELATIHAN UNTUK 1 (SATU) ORANG PESERTA

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume

a. PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI

1. Belanja Bahan

- Pembuatan sertifikat 1.00 LBR


- Dokumentasi, pelaporan, pengiriman 1.00 PKT
- Penggandaan 1.00 OK
- Bahan praktek pelatihan dan uji kompetensi 1.00 OK
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Rapat persiapan 1.00 PKT

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Rekruitmen peserta 1.00 PKT

b. PELATIHAN BERBASIS MASYARAKAT

1. Belanja Bahan

- Pembuatan sertifikat 1.00 LBR


- Dokumentasi, pelaporan, pengiriman 1.00 PKT
- Penggandaan 1.00 OK
- Bahan praktek pelatihan dan uji kompetensi 1.00 OK
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Rapat persiapan 1.00 PKT

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Rekruitmen peserta 1.00 PKT

29
c. PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN

1. Belanja Bahan

- Pembuatan sertifikat 1.00 LBR


- Dokumentasi, pelaporan, pengiriman 1.00 PKT
- Penggandaan 1.00 OK
- Bahan praktek pelatihan 1.00 OK
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Rapat persiapan 1.00 PKT

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Rekruitmen peserta 1.00. PKT

B. PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PENEMPATAN TENAGA KERJA UNTUK 1 ORANG PESERTA

DINAS KETENAGAKERJAAN: PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :
No Kegiatan Volume

a. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA LOKAL (AKL)

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan rekruitmen dan seleksi 1.00 PKT
- Pencetakan Kartu AK I s/d IV 1.00 LBR
- Pencetakan buku pedoman dan Juknis AKL 1.00 BK

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Konsumsi seleksi 1.00 PKT

b. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA ANTAR DAERAH (AKAD)

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan Bahan Orientasi 1.00 PKT
- Pencetakan Formulir AKAD 1.00 LBR
- Penggandaan buku Pedoman dan Juknis AKAD 1.00 BK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi seleksi 1.00 PKT

30
c. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA ANTAR NEGARA

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan Bahan Orientasi 1.00 PKT
- Pencetakan Formulir 1.00 LBR
- Penggandaan buku Pedoman dan Juknis AKAN 1.00 BK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi seleksi 1.00 PKT

C. PELAYANAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume

a. SOSIALISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN DAN


PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

b. BIMBINGAN TEKNIS TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

31
D. PELAYANAN JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KEPESERTAAN JAMINAN
SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

DINAS KETENAGAKERJAAN: PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume
a. SOSIALISASI PERATURAN TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

b. BIMBINGAN TEKNIS DALAM RANGKA PEMBINAAN KEPESERTAAN KEPESERTAAN


JAMSOSTEK BAGI PEKERJA/BURUH

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

c. PENEGAKAN HUKUM TERKAIT DENGAN KEPESERTAAN JAMSOSTEK

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

32
E. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

ANGGARAN BIAYA
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :
No Kegiatan Volume
a. PEMBINAAN PENERAPAN NORMA KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

b. PEMBINAAN PENERAPAN NORMA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

c. PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

33
d. PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Pengiriman laporan 1.00 PKT
Belanja Barang Operasional Lainnya
2. - Konsumsi 1.00 PKT

ANGGARAN BIAYA
PENGUJIAN PERALATAN DI PERUSAHAAN

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume
a. PENDATAAN OBYEK PENGUJIAN K3

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi
1.00 PKT

b. PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN


SPESIALIS

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Pengiriman laporan 1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT

c. PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA PENGUJIAN

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT

34
d. PEMBERDAYAAN AHLI K3 SPESIALIS

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

35
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010

TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

SISTEMATIKA PENYUSUNAN
LAPORAN TEKNIS TAHUNAN PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. DASAR HUKUM

BAB II PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM


1. Uraian Kegiatan:
adalah langkah-langkah kegiatan yang dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan pelayanan dasar.
2. Target Pencapaian SPM oleh Daerah:
adalah target yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah dalam mencapai
SPM selama kurun waktu satu tahun.
3. Realisasi:
adalah target yang dapat dicapai atau direalisasikan oleh pemerintahan
daerah selama satu tahun anggaran.

REALISASI PENCAPAIAN SPM BIDANG KETENAGAKERJAAN


PROVINSI/KABUPATEN/KOTA………………..
TAHUN……………………………………………..
No. Uraian Kegiatan Target Realisasi Alokasi Dukungan Personil
Anggaran
A. Pelayanan Pelatihan Kerja - APBD PNS :
1. - Lain-lain Non PNS :
2.
dst...
B. Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja
1.
2.
dst..
C. Pelayanan Penyelesaian
Perselisihan Hubungan
Industrial
1.
2.
dst...
D. Pelayanan Kepesertaan
Jamsostek
1.
2.
dst...
E. Pelayanan Pengawasan
Ketenagakerjaan
1.
2.
dst

37
4. Alokasi Anggaran:
adalah jumlah belanja langsung dan tidak langsung yang ditetapkan
dalam APBD dalam rangka penerapan dan pencapaian SPM yang
bersumber dari:
A. APBD;
B. Sumber dana lain yang sah.
5. Dukungan Personil:
Jumlah personil atau pegawai yang terlibat dalam proses penerapan dan
pencapaian SPM:
A. PNS;
B. Non-PNS
6. Permasalahan dan Solusi:
Permasalahan dan solusi yang dihadapi dalam penerapan dan
pencapaian SPM, baik permasalahan eksternal maupun internal dan
langkah-langkah penyelesaian permasalahan yang ditempuh.
A. Pelayanan Pelatihan Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
B. Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
C. Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
D. Pelayanan Kepesertaan Jamsostek
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
E. Pelayanan Pengawasan Ketenagakerjaan
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
BAB III PENUTUP
KEPALA SKPD
YANG MENANGANI BIDANG
KETENAGAKERJAAN

…………………………………………

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.SI

38
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.16/MEN/2001

TENTANG

TATA CARA PENCATATAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

MENTERI TENAGA KERJA TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 24 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat/Serikat Buruh, perlu ditetapkan Tata
Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 Tahun
1949 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari pada Hak untuk
Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (Lembaran Negara
Tahun 1956 Nomor 42. Tambahan Lembaran Negara Nomor
1950);
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131.
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1998
tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
TENTANG TATA CARA PENCATATAN SERIKAT PEKERJA/
SERIKAT BURUH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang
didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
3. Serikat pekerja/serikat buruh dalam perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh
yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh.
5. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.

Kep-16/MEN/2001 Halaman 1
BAB II
PEMBERITAHUAN
Pasal 2
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan domisili,
untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri
syarat-syarat sebagai berikut :
a. daftar nama anggota pembentuk
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
c. susunan dan nama pengurus
(3) Dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, sekurang-
kurangnya harus memuat :
a. nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh;
b. dasar negara, asas dan tujuan yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945;
c. tanggal pendirian
d. tempat kedudukan;
e. persyaratan menjadi anggota dan persyaratan pemberhentiannya;
f. hak dan kewajiban anggota;
g. persyaratan menjadi pengurus dan persyaratan pemberhentiannya;
h. hak dan kewajiban pengurus;
i. sumber, tata cara penggunaan dan pertanggung jawaban keuangan;
j. ketentuan perubahan anggaran dasar dan / atau anggaran rumah tangga.
(4) Pemberitahuan bagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 Keputusan Menteri ini.

BAB III
PENCATATAN
Pasal 3
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 wajib mencatat dan memberikan nomor bukti
pencatatan atau menangguhkan pencatatan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam buku pencatatan.
(3) Buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
memuat :
a. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh;
b. nama anggota pembentuk;
c. susunan dan nama pengurus;
d. tanggal pembuatan dan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga;
e. nomor bukti pencatatan;
f. tanggal pencatatan.

Kep-16/MEN/2001 Halaman 2
(4) Tanggal pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan dilakukan selambat-
lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pemberitahuan dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
lampiran II Keputusan Menteri ini.

Pasal 4
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri ini instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dapat
menangguhkan pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima
pemberitahuan dengan memberitahukan kelengkapan yang harus dipenuhi, dengan
emnggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran III Keputusan Menteri
ini.
(2) Apabila setelah lewat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberitahuan serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh belum
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan
Menteri ini, maka berkas pemberitahuan dikembalikan dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran IV Keputusan Menteri ini.

Pasal 5
Pengurus serikat pekeja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh setelah menerima nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis
kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatan organisasinya.

Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi perpindahan domisili,pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan kepada
instansi yang bertanggung jawabdibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di domisili
baru dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran V
Keputusan Menteri ini.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dimana
serikat pekerja/serikat buruh tercatat sebelumnya. Setelah menerima pemberitahuan
pemindahan domisili harus menghapus nomor buku pencatatan serikat
pekerja/serikat buruh tersebut.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota domisili
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang baru. Setelah menerima pemberitahuan pemindahan domisili harus mencatat
permohonan pencatatan serikat pekerja/serikat buruh tersebut dan memberikan
nomor bukti pencatatan.

Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf b, pengurus harus
memberitahukan secara tertulis mengenai pasal-pasal perubahan anggaran
dasar/anggaran rumah tangga kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota dengan di lampiri anggaran dasar/anggaran rumah
tangga yang baru, dengan menggunakan formulir sebagaiman tercantum dalam
lampiran VI Keputusan Menteri ini.

Kep-16/MEN/2001 Halaman 3
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah
menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mencatat
perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga serikat pekerja atau serikat buruh
dalam buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan
Menteri ini.

Pasal 8
(1) Dalam hal pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh menerima bantuan keuangan dari luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 untuk kegiatan
organisasi,maka pengurus hasur memberitahukan secara tertulis kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sesuai dengan
domisili organisasinya sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari setelah bantuan
tersebut diterima, dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
lampiran VII Keputusan Menteri ini
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah
menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus membuat
tanda bukti pemberitahuan penerimaan bantuan keuangan dari luar negeri dengan
menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran VIII Keputusan
Menteri ini.

Pasal 9
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh bubar sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 huruf a dan b
Undasng-undang Nomor. 21 Tahun 2000, pengurus memberitahukan secara tertulis
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran IX Keputusan
Menteri ini.
(2) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dinyatakan bubar dengan keputusan pengadilan sebagaimana
di maksud dalam pasal 37 huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, maka
setelah putusan pengasilan mempunyai kekuatan hukum tetap, instansi pemerintah
selaku penggugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang
Nomor 21 tahun 2000 memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dengan menggunakan
formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran IX Keputusan Menteri ini.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah
menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau (2) diatas
segera mencabut nomor bukti pencatatan dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran X Keputusan Menteri ini

Pasal 10
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota harus
melaporkan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kegiatan pencatatan yang diatur dalam Keputusan Menteri ini secara berkala dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sekali, dengan menggunakan formulir sebagaimana
tercantum dalam lampiran XI Keputusan Menteri ini

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11

Kep-16/MEN/2001 Halaman 4
(1) Serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah memberitahukan atau telah terdaftar berdasarkan Permenaker No Per.05
Men 1998 atau Kepmenaker No Kep.201/Men/1999 memberitahukan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota dan diberi nomor
bukti pencatatan baru selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2000 dengan melengkapi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri ini.
(2) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-undang Nomor 21
tahun 2000 mulai berlaku,serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang telah memberitahukan atau telah terdaftar
berdasarkan Permenaker No. Per. 05/Men/1998 atau Kepmenaker No. Kep.
201/Men/1999 tidak memberitahukan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sesuai dengan Keputusan Menteri ini.
Dianggap tidak mempunyai nomor bukti pencatatan

BAB V
PENUTUP
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
1/Perat. Tahun 1969 tentang Bantuan Luar Negeri bagi Organisasi
Buruh/Pekerja/Karyawan di Indonesia, dasn Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
Kep. 202/MEN/1999 tentang Bentuk-bentuk Formulir Pendaftaran Organisasi. Pekerja
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 13
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Apabila terdapat kekeliruan akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Februari 2001

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ALHILAL HAMDI

Kep-16/MEN/2001 Halaman 5
Formulir Pemberitahuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran I : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

..................., ......................................

Nomor : Kepada
Lampiran : Yth. Kepala .......................................
Perihal : Pemberitahuan dan Permohonan
Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat di –
Buruh
---------------------------------------------- -----------------------------

Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.
16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, maka kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : ...................................................
Jabatan : ...................................................
2. Nama : ...................................................
Jabatan : ...................................................

dengan ini memberitahukan telah terbentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh Federasi


Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh *) kami
Bernama ....................
Berkedudukan di ..................
Alamat .................................
dan mohon untuk dicatat guna memenuhi ketentuan Undang-Undang No 21 tahun 2000

Sebagai kelengkapan pemberitahuan tersebut, maka bersama ini kami lampirkan:


a) daftar nama anggota pembentuk
b) anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
c) susunan dan nama pengurus

Demikian pemberitahuan ini kami ajukan untuk mendapatkan Nomor Bukti


Pencatatan dengan ucapan terima kasih.

Pemohon
Ketua Sekretaris
...................................... .........................................

( ............................ ) ( ............................ )

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 6
Formulir Bukti Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran II : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

Tanda Bukti Pencatatan

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Kep. 16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
pekerja / Serikat Buruh. Telah diterima pemberitahuan pembentukan/pencatatan kembali
Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja / Serikat Buruh/Konfederasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh *) yang
bernama ............................
alamat ...........................
dengan suratnya No .............. tanggal ..................

Kelengkapan persyaratan sesuai Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 16/Men/2001 telah dipenuhi, dan telah kami catat
dengan Nomor Bukti Pencatatan ................................. tanggal.......................................

..............., ..............................

Kepala,
.........................................

(..........................................)

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 7
Formulir Penangguhan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran III : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

................., ........................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Penangguhan Pencatatan Yth. Sdr .............................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh di –
--------------------------------------- ---------------------------------------

Berdasarkan surat pemberitahuan Saudara


No................. tanggal ............. dengan ini di beritahukan bahwa
permohonan Saudara belum memenuhi persyaratan Pasal 2 ayat (2)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep 16 Men 2001.

Sehubungan dengan hal tersebut,dalam waktu 14 (empat belas)


hari kerja, diminta agar Saudara melengkapi persyaratan sebagai berikut

1 ...................................................................................................................

2 ...................................................................................................................

Demikian pemberitahuan ini di sampaikan untuk dapat dipenuhi


kelengkapan persyaratan.

Kepala,

..................................

( ......................... )

Kep-16/MEN/2001 Halaman 8
Formulir Penolakan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran IV: Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

................, .........................................
Nomor :
Lampiran : 1 (satu) berkas Kepada
Perihal : Pengembalian Berkas Yth Sdr ..............................................
Permohonan Pencatatan
Serikat Pekerja / Serikat di –
Buruh
-------------------------------- ---------------------------------------

Menunjuk surat kami No ................................. Tanggal..............


tentang Penanggahan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dengan
ini diberitahukan bahwa setelah lewat 14 (empat belas) hari kerja Saudara
belum melengkapi keterangan persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal
2 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep
16/Men/2001

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Keputusan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep 16/Men/2001. berkas
permohonan pencatatan ................................. kami kembalikan.

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan

Kepala,

.....................................

(..................................)

Kep-16/MEN/2001 Halaman 9
Formulir Pemindahan Domisili Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran V : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

................., ........................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Pemindahan domisili Yth 1. Kepala ...................................
2. Kepala ...................................

di –
_________________

Sehubungan dengan pemindahan domisili Serikat Pekerja/Serikat


Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh *) kami yang bernama................
alamat .................
ke alamat ...............
dengan ini kami yang bertanda tangan :

1. Nama .................
Jabatan .. ..............

2. Nama .................
Jabatan .................

bermaksud mengajukan pemindahan pencatatan organisasi kami


ke ..............................................................

Demikian permohonan ini kami ajukan dengan ucapan terima


kasih.

Pemohon,
Ketua, Sekretaris,

................................. .........................................

( ........................... ) (..................................)

Tembusan
1. ..............
2. Arsip

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 10
Formulir Perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran VI: Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

....................., ....................................
Nomor :
Lampiran : 1 (satu) berkas Kepada
Perihal : Perubahan Anggaran Yth Kepala .......................................
Dasar/Anggaran Rumah
Tangga Serikat Pekerja/ di –
Serikat Buruh
-------------------------------- --------------------------------------

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja


dan Transmigrasi No Kep 16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang
Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, bersama ini kami
Sampaikan perubahan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Serikat
Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/
Konfederasi Serikat Pekaerja/Serikat Buruh *) .................................
sebagai berikut:

1. Anggaran Dasar
a. Pasal ............ tentang
b. Pasal ............ tentang
c. Pasal ............ tentang

2. Anggaran Rumah Tangga


a. Pasal ............. tentang
b. Pasal ............. tentang
c. Pasal ............ tentang

Bersama ini kami lampirkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah


Tangga yang baru.

Demikian pemberitahuan ini di sampaikan

Ketua,

(............................)

Kep-16/MEN/2001 Halaman 11
Formulir Pemberitahuan Penerimaan Bantuan Luar Negeri Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran VII : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

......................, ...................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Pemberitahuan Penerimaan Yth Kepada .......................................
Bantuan Keuangan dari Luar
Negeri bagi Serikat Pekerja/ di –
Serikat Buruh
------------------------------------- ---------------------------------------

Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi No. Kep 16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang Tata
Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bersama ini kami
beritahukan bahwa Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh *) kami
yang bernama ..............................
telah menerima bantuan keuangan dari ....................
sebesar ..........................................

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan.

Ketua,
...................................

( ........................ )

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 12
Formulir Bukti Pemberitahuan Penerimaan Bantuan Luar Negeri Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran VIII : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

Tanda Bukti Pemberitahuan Penerimaan Bantuan Keuangan dari Luar Negeri

Berdasarkan Pasal 8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.
16/Men/2001 tanggal 25 Februari 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, telah diterima pemberitahuan penerimaan bantuan keuangan Dari
Luar Negeri bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. *)........................
yang berasal dari ..........................................
sebesar ..........................................................

Kepala,
....................................

( ................................)

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 13
Formulir Pemberitahuan Pembubaran Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran IX: Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

......................., ..................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Pembubaran Serikat Yth. Kepala ......................................
Pekerja/Serikat Buruh di –
----------------------------- --------------------------------------

Berdasarkan Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi No, Kep. 16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang
Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bersama ini kami
Beritahukan pembubaran Serikat Pekerja/Serikat Buruh *).........
yang bernama .......................
alamat ...................................
berdasarkan keinginan anggota/ penutupan perusahaan / putusan
Pengadilan No ................................. tanggal ........................*)

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan.

Ketua/Kepala. *)
...............................

(..........................)

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 14
Formulir Pencabutan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran X : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

Tanda Bukti Pencabutan Pencatatan

Berdasarkan pemberitahuan Pengurus Serikat Pekerja Serikat Buruh/Federasi


Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh *) yang
bernama ............................................................atau instansi Pemerintah
.................................... *) tentang pembubaran Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka
pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh *)......................................................
dengan Nomor Bukti Pencatatan tanggal ................................dicabut.

..............., ....................

Kepala,
...................................

(.................................)

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 15
Formulir Perkembangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lampiran XI: Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi tentang


Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Nomor : Kep.16/Men/2001 Tanggal : 15 Februari 2001
----------------------------------------------------------------------------

......................., ..................................
Nomor :
Lampiran : 1 (satu)
Perihal : Data Perkembangan Serikat Kepada
Pekerja/Serikat Buruh Yth Menteri Tenaga Kerja dan
------------------------------------- Transmigrasi RI

di –
Jakarta

Berdasarkan Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi No. Kep. 16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang
Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Bersama ini kami
laporkan data perkembangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di
Kabupaten/Kota .........................................selama periode .................
s/d......................................... sebagaimaan terlampir.

Kepala,
....................................

(..................................)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

LAPORAN PERKEMBANGAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

KABUPATEN/KOTA : ......................................................
PERIODE ................................. S/D ...............................

Penerimaan Penghapusan/
Nama dan Alamat Nomor Pemindahan Domisili Perubahan AD/ART
Bantuan LN Pencabutan
No. Serikat Pekerja/ Bukti
Pindah Pasal Tangg Pemberi Nomor Bukti
Serikat Buruh Pencatatan Tanggal Jumlah Pencatatan *)
ke Perubahan al Bantuan

*) Pilih salah satu

Kep-16/MEN/2001 Halaman 16
0'1

/
K£:MENTERiAN TENAGA ~<ERJA DAN i NSMIGRASI R.I.
DIREKTORAT JENDER t..
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMiNA SOSIAL TENAG.~\. KERJA
.:alan Jend4!lral Qatot SLlbrol0 KaVelin;; 51, JaKarta S~latan 129M"!' e.pon 575573", Fa~,:;lil;',r;; 5255e69

Nomcr B.5~~ l/ o HIJSK1X/2012


Ld'lpire ,
Hal Upah Mir,imum Berdasarkan
Kel0m!2.QLVSah q

~Valixo\a 88tan'
Di ..·

~ef'indaK!ar'1jJti sural Saudara l'~o B 1651/1' -4/V/;!O~2 targg;:>! :;;. rJ1er 20',,')
2005 periha: Upar: Mir",imum 8erdasarkar. Kelom k USaf:3, dengar. '::1 l~ami
sampalkan hal· hal. sebagai bEFlkut'

1, Dalai; ~;err er~af{ertrans No. 1 TahL:n Uoah Minimum, d:-J:>Jr :::JahwZl


Upar) MlnirnJfn terd:ri dari:Upah Minimum K buuater~!Kota, Upah Mlfli!1:;l~
Sektora Kacu:.;;:,t@rliKota, Upah Minimum p,OV!r). i dan IJpah Mir::mt:m Sektoral
Provinsi

2. Penetapan :.Jpall minimlim diiaksanakan dengan memperf"latikan 5 iyma.l faktor


pertirnoang::In yait.;: Kebutuhan Hldup Layak (KHL), Prodt..!ktivi,~~ Makl~;
PertJrrbuhof; ~k.onomi, Usaha yang paling tidak m rnpu dan KQ[l(j[SI Tenaga Ke'je
ijpah ,ninirnum berfungsi sebaga.i jarlng peng man (saretl net) dan bu~.an
merupak.an upall standar yang berlaku oi peru saba n

:> Selain pe;letapar; min,mum terse but, untl.ik sektor­ ktor usaha yang menJadi sektc'
unggwl~n dimungkinkan ur~tuk ditet~pk.an Lipatl r !nl'11L:nl sektora! y;,tr:g besarai,
nilalnya diatas upah minimum yang berlaku. Pe tapan UPdli ;Tnl11mUm sektcril
dilaksanakan 'jengan rnekanisme sebagai berikut:

d, [ ' n r.m'engupahan Provir,si/Kabupaten!Kota mei()KUkan pene::tian :e~had8p


keberadaan/kondlSI suatu sektorlsub sektor/su .. sub sel<.torfjeris usaha :er:entu
r.mtuK mer'lgetahul kondisi e.ektcr yang cers::lf\ kutan u!:,akah ·"12r.'C:1L.Jr!, sy,1ra:
atau marrpu melak!.lkan penetapan upuh rolf lmum sCktorul Untu~, ':u cltel!l,
mengcnai: ~lomogcnit::lS perl.lsar,aan, Jumlnh 'rusahaar!, jUr:i",! i ~e"'laga kef,a
de·../isa yang dih8GiH~an, nila; tambah yang dlh Ilkan, Kerl~ampuan pErusaha2P
asosiasl perusahaan, ser:kat pekerjais8f1kat b'J uh.
:). Hz. p~71eHtlnn Dew;;;(1 Per:gupahan men nell Se~.lor/sLib sektol seSUJ!
I<lasiflkasi Lapangan Usarla IndoneSia (KL i) yang rnemF.rUhi syarat dan
rranlpu diS3mpaikdli kepada Assosias Peru;;,ahaa~ oa:~ Se~'!kat
Pek~rJaISeni<.at Buruh .j' sektor tt"!fsebu, untu melaku~ar, pembahasc(i dalarn
P8iundir:s;an peneti'lpar Upah Minimum Seh.1or ,I di ~f:ktor yarg bersangkut8iJ
/ i

1-1:-,':! K;:'sepakat9rl antara Asosiasl Per:.Jsahaan engall Ser:kat PekefjalSerikat


bu: ",.t'l -.:,~;amoa!kan kepada Gubernl.ir melalui in tansi yang bert<.'!nggung Jawab
di bidang ketenagakerjaan unt.~Jk dilelapkall m njadi Uparl Minimum Sektoral
Propinsi <:1t3W Upah Minimum Sektoral Kab paten/Kata O!ell karen a itL.:
Gubernur tidak dapat menatapakan UMS a abtla tidak ada kesepakatan
antai8 Asosiasi Pengllsaha dengan Sa kat Pekerja/Serikat Buruh
mengena! besarnya UMS di ssktor yang bers ngk,utan,

Ll ;::,><)IQ'~' Menteri Tenag'


6tf r tuan pasai 1 Peraturan Keqa Nomor 01 Tahu·, :999
;ent,,;-,.:; up.;h Minimum disebutkan bahwa Uparl inirnlJm adalah uPdh Gulanan
terendah terdir, dan upah pokok termasuh tunjang n yang ber'aKU bag, peke~a
!ajang '11aSa karja kurang dari 1 (sa:u) t hun. Dengan cemikan, upah
minilnUrTi bukan merupaka r , upah sia!"lc1at yang berl 'U di perusahaan

5 SerdasarKa.n ::<ETnjelasan tersebwt dl atas. mak. perlu karri t~iJ3skan bahwa


penetapan upah minimum berd<:!sarkan ke!om ok usaha tldak: dl8tur dalam
Pera' '''I' !'}?nten Tenaga f<erja dan Transmigl'asi I) ~ T~ihLlr 1999 !e:lt::ng Uoah
Miniflufl,

Demik!an dlsampaiK:::.n, llntl",;k diketahl.li oar. ten

Tembusan:
1. r..ienter; Tenaga Kerja d<.lit T,an.;;migrc:n'l;
2. Gubernur Provinsl Kepu!auan Riau;
j. Kepaia Din~s Tenaga Kerja oan Transmigrasi Provi i Kepulaua r f;;'al. .
.__ ,,4 Kepala Cjn;;.1~ Tenaga ~~eria Kota Batam.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan


Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Ketenagakerjaan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4356);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor, 150
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585);

1
7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4594);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);
10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-
2014;
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG
KETENAGAKERJAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut SPM
Bidang Ketenagakerjaan, adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan
dasar bidang ketenagakerjaan yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal.

2. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah jenis pelayanan publik yang mendasar
dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan pemerintahan.

2
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan DPRD provinsi/kabupaten/kota
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah


sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.

6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

7. Jenis pelayanan adalah pelayanan bidang ketenagakerjaan.

8. Indikator SPM Bidang Ketenagakerjaan adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak
dipenuhi dalam pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan bagi daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota, dapat berupa masukan, proses, keluaran, hasil, dan/atau
manfaat pelayanan dasar.

9. Batas waktu pencapaian SPM adalah kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai
SPM secara nasional.

10. Kementerian adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

BAB II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KETENAGAKERJAAN

Pasal 2

(1) Pemerintah daerah menyelenggarakan pelayanan dasar bidang ketenagakerjaan


berdasarkan SPM bidang ketenagakerjaan.

(2) SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
standar pelayanan dasar bidang ketenagakerjaan yang meliputi jenis pelayanan
dasar, indikator SPM, nilai SPM, batas waktu pencapaian, dan satuan kerja/lembaga
penanggung jawab.

(3) Pelayanan dasar SPM bidang ketenagakerjaan, Panduan Operasional SPM bidang
ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota, dan Komponen Biaya SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan
Lampiran III yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

SPM bidang ketenagakerjaan menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk
menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3
BAB III
PELAKSANAAN

Pasal 4

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota bertanggung jawab dalam penyelenggaraan


pelayanan bidang ketenagakerjaan sesuai dengan SPM bidang ketenagakerjaan
yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Penyelenggaraan pelayanan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan SPM


bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), secara operasional
dikoordinasikan oleh dinas/instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.

(3) Penyelenggaraan pelayanan bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dilakukan oleh aparat yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi yang
dipersyaratkan sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PELAPORAN
Pasal 5
(1) Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kepada Menteri.

(2) Bupati/Walikota menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kinerja penerapan


dan pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kepada Menteri melalui Gubernur.

(3) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tercantum
dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 6
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan provinsi.

(2) Gubernur melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(3) Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipergunakan
sebagai bahan:
a. pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM bidang
ketenagakerjaan, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintahan daerah
yang berprestasi sangat baik;
b. pertimbangan dalam pemberian sanksi bagi pemerintahan daerah yang tidak
menerapkan SPM bidang ketenagakerjaan sesuai dengan kondisi khusus daerah
dan batas waktu yang ditetapkan.

(4) Penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan kepada
daerah sesuai peraturan perundang-undangan.

4
BAB VI
PENGEMBANGAN KAPASITAS

Pasal 7

(1) Hasil monitoring dan evaluasi terhadap penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan oleh provinsi dan kabupaten/kota dapat dipakai sebagai bahan
pengembangan kapasitas.

(2) Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), difasilitasi oleh
Menteri melalui kegiatan peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, dan
personil.

(3) Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
berupa:
a. pemberian orientasi umum;
b. petunjuk teknis;
c. bimbingan teknis;
d. bantuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil, dan keuangan daerah.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 8

(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan


pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan provinsi.

(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan


pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

(3) Menteri dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibantu oleh direktorat teknis terkait di lingkungan Kementerian.

(4) Gubernur dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dibantu oleh satuan kerja yang membidangi ketenagakerjaan provinsi.

BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 9

(1) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan monitoring dan evaluasi, pembinaan
dan pengawasan, pembangunan sistem informasi serta pengembangan kapasitas
lingkup nasional dibebankan pada anggaran Kementerian.
(2) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar bidang
ketenagakerjaan, pencapaian kinerja/pelaporan, monitoring dan evaluasi,
pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem informasi manajemen, serta
pengembangan kapasitas lingkup provinsi dan kabupaten/kota dibebankan pada
anggaran provinsi dan kabupaten/kota.
5
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan


penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Nopember 2010

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR, SH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 541

6
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

PELAYANAN DASAR STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

KEMENTERIAN : TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


URUSAN WAJIB : PELAYANAN BIDANG KETENAGAKERJAAN
BATAS WAKTU
STANDAR PELAYANAN SATUAN Keterangan
PELAYANAN PENCAPAIAN
MINIMAL KERJA/LEMBAGA
No. DASAR (TAHUN)
PENANGGUNG
INDIKATOR JAWAB
NILAI

1 3 4 5 6 7

1. Pelayanan Pelatihan 1. Besaran tenaga kerja yang 75% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Kerja mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
berbasis kompetensi Kab/Kota
2. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
berbasis masyarakat Kab/Kota
3. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Σ pendaftar pelatihan kewirausahaan
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov,
kewirausahaan Kab/Kota

2. Pelayanan Penempatan Besaran pencari kerja yang 70% 2016 Dinas/Unit Σ pencari kerja yang ditempatkan x 100%
Tenaga Kerja terdaftar yang ditempatkan Ketenagakerjaan Prov, Σ pencari kerja terdaftar
Kab/Kota
3. Pelayanan Penyelesaian Besaran Kasus yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Kasus yang diselesaikan dengan PB x 100 %
Perselisihan Hubungan diselesaikan dengan Perjanjian Ketenagakerjaan Prov ∑ Kasus yang dicatatkan
Industrial Bersama (PB)
7
BATAS WAKTU
STANDAR PELAYANAN SATUAN Keterangan
PELAYANAN PENCAPAIAN
MINIMAL KERJA/LEMBAGA
No. DASAR (TAHUN)
PENANGGUNG
INDIKATOR JAWAB
NILAI

1 3 4 5 6 7

4. Pelayanan Kepesertaan Besaran pekerja/buruh yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Pekerja/buruh peserta program jamsostek x 100 %
Jamsostek menjadi peserta program Ketenagakerjaan Prov, ∑ Pekerja/buruh
Jamsostek Kab/Kota

5. Pelayanan Pengawasan 1. Besaran Pemeriksaan 45 % 2016 Dinas/Unit Σ Perusahaan yang telah diperiksa x 100%
Ketenagakerjaan Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ perusahaan yang terdaftar
Kab/Kota

2. Besaran Pengujian 50% 2016 Dinas/Unit Σ Peralatan yang telah diuji x 100%
Peralatan di Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ Peralatan yang terdaftar
Kab/Kota

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

8
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

PANDUAN OPERASIONAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL


BIDANG KETENAGAKERJAAN

I. PELAYANAN PELATIHAN KERJA.

A. Dasar.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional;
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.22/MEN/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam
Negeri;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

B. Pengertian.

1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Pelatihan berbasis kompetensi adalah pelatihan yang menitikberatkan pada
penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
5. Pelatihan berbasis masyarakat adalah pelatihan yang didesain berdasarkan
kebutuhan masyarakat dan potensi daerah baik yang mengacu pada standar
kompetensi maupun non standar.
6. Pelatihan kewirausahaan adalah pelatihan yang membekali peserta secara
bertahap agar memiliki kompetensi kewirausahaan dan bisnis, sehingga
mampu menciptakan kesempatan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain
sesuai tuntutan pembangunan.

9
7. Besaran tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan adalah persentasi jumlah
tenaga kerja yang dilatih dalam waktu satu sampai lima tahun secara
kumulatif dibandingkan dengan jumlah orang yang mendaftar pelatihan.
Undang Nmor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Rumus pelatihan berbasis kompetensi:


Persentasi pendaftar pelatihan berbasis kompetensi dengan tenaga kerja
yang dilatih:
= ∑ tenaga kerja yang dilatih x 100%
∑ pendaftar pelatihan berbasis kompetensi

a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis kompetensi sebanyak 6500
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1250 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis kompetensi di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah:
1250 orang x 100% = 19%
6500 orang
artinya baru 19% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis kompetensi di wilayah tersebut yang telah dilatih.

2. Rumus pelatihan berbasis masyarakat.

Persentasi pendaftar pelatihan berbasis masyarakat dengan tenaga kerja


yang dilatih:

∑ tenaga kerja yang dilatih


= x 100%
∑ pendaftar pelatihan berbasis masyarakat

a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis masyarakat sebanyak 5000
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1350 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis masyarakat di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah :
1350 orang x 100% = 27%
5000 orang

10
artinya baru 27% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis masyarakat di wilayah tersebut yang telah dilatih.

3. Rumus pelatihan kewirausahaan.

Persentasi pendaftar pelatihan kewirausahaan dengan tenaga kerja yang


dilatih:

∑ tenaga kerja yang dilatih


= x 100%
∑ pendaftar pelatihan kewirausahaan

a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan kewirausahaan

c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan sebanyak 7800
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 900 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan kewirausahaan di wilayah tersebut pada tahun berjalan adalah :
900 orang x 100% = 11.5%
7800 orang
artinya baru 11.5% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
kewirausahaan di wilayah tersebut yang telah dilatih.

D. Sumber Data.

Sumber data pelatihan berbasis kompetensi, pelatihan berbasis masyarakat, dan


pelatihan kewirausahaan berasal dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan di
provinsi, dan kabupaten/kota.ah
un 2007 tentang Pembagian
E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan pelatihan kerja ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2016 yaitu:
1. pelatihan berbasis kompetensi sebesar 75%;
2. pelatihan berbasis masyarakat sebesar 60%;
3. pelatihan kewirausahaan sebesar 60%.

F. Program Pelatihan Kerja.

Jenis pelatihan yang dilaksanakan bagi pencari kerja dan tenaga kerja meliputi:
1. pelatihan berbasis kompetensi, misal:
a. pelatihan otomotif;
b. pelatihan las;
c. pelatihan refrigeration/mesin pendingin;
d. pelatihan elektrik;
e. pelatihan mekatronik.

11
2. pelatihan berbasis masyarakat, misal:
a. pelatihan menjahit;
b. pelatihan pengolahan hasil pertanian;
c. pelatihan pengolahan hasil laut.
3. pelatihan kewirausahaan, misal:
a. pelatihan start up your business;
b. pelatihan desa produktif.

G. Langkah Kegiatan.

1. Pelatihan Berbasis Kompetensi dan Pelatihan Berbasis Masyarakat.


a. Dinas yang membidangi ketenagakerjaan melakukan rekrutmen:
1) pendaftaran calon peserta pelatihan;
2) seleksi calon peserta pelatihan;
3) pengumuman hasil seleksi calon peserta pelatihan.
4) menetapkan peserta pelatihan dan diserahkan ke Balai Latihan Kerja
Unit Pelaksana Teknis Daerah (BLK UPTD)
b. Verifikasi kompetensi dan keputusan verifikasi.
1) verifikasi dilaksanakan oleh instruktur;
2) pelaksanaan verifikasi pengumpulan dokumen-dokumen pendukung
(dokumen pelatihan yang pernah diikuti, pengalaman kerja dan
pengalaman lain yang relevan dengan unit kompetensi yang akan
dilatih);
3) keputusan verifikasi dilaksanakan oleh instruktur dan kepala BLK
UPTD;
4) peserta pelatihan yang harus mengikuti pelatihan berbasis kompetensi
seluruh unit kompetensi;
5) peserta pelatihan yang telah menguasai sebagian unit kompetensi
masuk proses Proses Pengakuan Hasil Belajar/Recognition of Prior
Learning (RPL).
c. Proses RPL oleh instruktur dan kepala BLK UPTD.
1) wawancara/interview peserta pelatihan tentang kompetensi yang telah
dikuasai sesuai dokumen pendukung yang ada;
2) untuk memastikan kompetensi yang dikuasai peserta pelatihan, bila
perlu dibuktikan melalui metode lain yang sesuai, antara lain tes
tertulis, demonstrasi, dan sebagainya.
d. Keputusan RPL oleh instruktur dan assessor.
1) dari hasil RPL, unit kompetensi yang dinyatakan belum memenuhi
persyaratan, harus mengikuti proses pelatihan berbasis kompetensi;
2) dari hasil RPL, unit kompetensi yang dinyatakan memenuhi
persyaratan, langsung mengikuti assessment oleh asessor.
e. Pelaksanaan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan di BLK UPTD.
Proses pelaksanaan pelatihan dimulai dengan:
1) menyiapkan program pelatihan sesuai dengan unit kompetensi yang
ditetapkan;
2) menetapkan instruktur dan mentor;
3) menyediakan sarana dan fasilitas pelatihan off the job dan on the job;
4) menetapkan metode pelatihan yang dianggap paling tepat untuk
bidang kompetensi tertentu;
5) memonitor pelaksanaan kegiatan pelatihan off dan on the job yang
sedang dilaksanakan.

12
f. Assessment oleh assessor.
1) melaksanakan assessment kepada peserta pelatihan sesuai dengan
unit kompetensi yang ditentukan;
2) assessment dapat diikuti peserta pelatihan hasil dari keputusan RPL
dan hasil dari proses pelatihan.
g. Keputusan Penilaian oleh BLK UPTD.
1) peserta pelatihan yang dinyatakan memenuhi seluruh unjuk kerja yang
dipersyaratkan, dinyatakan lulus;
2) peserta pelatihan yang dinyatakan tidak memenuhi seluruh/sebagian
unjuk kerja yang dipersyaratkan, diharuskan mengikuti proses
pelatihan terhadap unjuk kerja yang dinyatakan belum lulus;
3) peserta pelatihan yang dinyatakan lulus akan diberikan sertifikat
pelatihan;
4) Sertifikat pelatihan diterbitkan oleh lembaga penyelenggara pelatihan
yang bersangkutan.
h. Dokumentasi oleh BLK UPTD
1) Dokumen peserta pelatihan diarsipkan;
2) Sertifikat peserta pelatihan teregistrasi di lembaga penyelenggara
pelatihan.
i. Uji Kompetensi oleh BLK UPTD dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
1) Peserta pelatihan yang dinyatakan lulus, diwajibkan untuk mengikuti
uji kompetensi;
2) Uji kompetensi dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi.

2. Pelatihan Kewirausahaan.
a. Seleksi;
b. Pelatihan teknis sesuai jenis usaha;
c. Pelatihan manajemen kewirausahaan:
1) Motivasi, pola pikir berusaha, semangat kewirausahaan;
2) Manajemen kewirausahaan:
a) Produksi;
b) Pemasaran;
c) Perhitungan biaya dan laba;
d) Pembukuan sederhana;
e) Kelayakan usaha;
3) Penyusunan rencana usaha.
d. Memulai usaha;
e. Bimbingan konsultasi produktivitas;
f. Pendampingan.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Petugas informasi dan pendaftaran;


2. Petugas pelaksana administrasi;
3. Petugas operator komputer;
4. Pengelola pelatihan;
5. Instruktur.

I. Penanggung jawab Kegiatan.


Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang
ketenagakerjaan.

13
II. PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

A. Dasar.

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.


2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib
Lapor Lowongan Pekerjaan di Perusahaan.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang
Konvensi ILO Nomor 88 Mengenai Lembaga Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.07/MEN/IV/2008 tentang Penempatan Tenaga Kerja.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.08/MEN/V/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan
Pemagangan di Luar Negeri.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Calon
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

B. Pengertian.

1. Penempatan tenaga kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja


untuk memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan
kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan.
2. Pencari kerja adalah angkatan kerja yang sedang menganggur dan mencari
pekerjaan maupun yang sudah bekerja tetapi ingin pindah atau alih pekerjaan
dengan mendaftarkan diri kepada pelaksana penempatan tenaga kerja atau
secara langsung melamar pekerjaan kepada pemberi kerja.
3. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah.
4. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat CTKI adalah setiap
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan.
5. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat TKI adalah setiap warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam
hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
6. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya
disingkat PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis
dari Menteri untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar
negeri.
7. Lowongan pekerjaan adalah lapangan kerja yang tersedia dalam pasar kerja
yang belum terisi.
8. Antar Kerja Lokal yang selanjutnya disingkat AKL adalah penempatan tenaga
kerja antar provinsi dan kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi .
9. Antar Kerja Antar Daerah yang selanjutnya disingkat AKAD adalah
penempatan tenaga kerja antar provinsi dalam wilayah Republik Indonesia.

14
10. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disingkat AKAN adalah
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
11. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan
melakukan kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
12. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang
antar kerja dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
pelayanan antar kerja.
13. Konsorsium Asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota untuk
menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian
konsorsium.
14. Besaran pencari kerja yang terdaftar yang ditempatkan adalah persentasi
jumlah pencari kerja yang mendaftarkan dan tercatat pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan dan jumlah pencari
kerja yang diterima bekerja oleh pemberi kerja dalam hal ini perusahaan yang
mendaftarkan lowongan pekerjaannya pada dinas kabupaten/kota.

C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Rumus:
persentasi pencari kerja yang terdaftar dengan pencari kerja yang
ditempatkan:

∑ pencari kerja yang ditempatkan


= x 100%
∑ pencari kerja yang terdaftar

2. Pembilang:
jumlah pencari kerja yang ditempatkan
3. Penyebut:
jumlah pencari kerja yang terdaftar
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)
5. Contoh Perhitungan:
misalkan pada wilayah kabupaten Bekasi, pencari kerja yang terdaftar
sebanyak 15.000 orang. Jumlah pencari kerja yang ditempatkan sebanyak
3000 orang, maka persentasi pencari kerja yang dapat ditempatkan di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah:
3000 orang x 100% = 20%
15000 orang
artinya baru 20% dari jumlah pencari kerja yang terdaftar di wilayah tersebut
yang telah ditempatkan.

D. Sumber Data.

Data jumlah pencari kerja yang terdaftar dan data jumlah pencari kerja yang
ditempatkan yang diperoleh dari :
1. dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan;
2. kantor perwakilan penempatan tenaga kerja;
3. perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan lowongan kerja pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan berdasarkan hasil
job canvasing, telepon, faksimili, email, maupun secara langsung melalui
bagian human resources development;

15
4. laporan dari perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
dan bursa kerja khusus mengenai penempatan tenaga kerja yang direkrut
melalui dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan.
Merntah Nom38 2007PemerintaPemerintahanDaerah
Tah

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan penempatan tenaga kerja sebesar 70% ditargetkan dapat dicapai
pada tahun 2016.

F. Program Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.

1. Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui mekanisme AKL;


2. Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui mekanisme AKAD;
3. Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri : pelayanan penempatan
tenaga kerja melalui mekanisme AKAN.

G. Langkah Kegiatan.

1. Penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan di luar negeri:


a. Pelayanan kepada pencari kerja yang dilakukan oleh dinas kabupaten/kota:
1) mengisi formulir AK/II melalui wawancara langsung untuk mengetahui
bakat, minat, dan kemampuan oleh pengantar kerja/petugas antar
kerja;
2) pencari kerja diberikan kartu AK/I sebagai tanda bukti bahwa pencari
kerja sudah terdaftar mencari pekerjaan di dinas kabupaten/kota
dengan menyiapkan persyaratan berupa foto kopi ijasah, foto kopi KTP
atau surat keterangan tempat tinggal/domisili, pas foto, sertifikat
lainnya;
3) melakukan rekruitmen sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja;
4) melakukan seleksi kepada pencari kerja;
5) melakukan pencocokan (job matching) antara pencari kerja terdaftar
dengan lowongan;
6) pemanggilan pencari kerja yang terdaftar untuk mengisi lowongan
pekerjaan dengan menggunakan form AK/IV;
7) melakukan pengiriman calon tenaga kerja berdasarkan hasil
pencocokkan (job matching) dengan menggunakan form AK/V;
8) melaksanakan kegiatan pembekalan (orientasi) pra penempatan.
9) melaksanakan penempatan tenaga kerja;
10) melakukan tindak lanjut (follow up) penempatan tenaga kerja;
11) melakukan monitoring dan evaluasi kepada pemberi kerja.
b. Pelayanan kepada pemberi kerja yang dilakukan oleh dinas
kabupaten/kota:
1) melaksanakan pelayanan kepada pemberi kerja yang membutuhkan
calon tenaga kerja;
2) melaksanakan pencarian lowongan pekerjaan (job canvasing);
3) menerima dan mencatat informasi lowongan kerja dan dituangkan
pada kartu AK/III kemudian menyerahkan kepada pengantar kerja atau
petugas antar kerja;
4) membuat komitmen dengan pemberi kerja/pengguna jasa tenaga kerja
dalam hal pemenuhan lowongan yang menyangkut batas waktu untuk
pengisian lowongan yang dibutuhkan;
5) mengirimkan calon tenaga kerja kepada pemberi kerja sesuai
kualifikasi calon tenaga kerja yang dibutuhkan.

16
c. Prosedur penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh dinas
kabupaten/kota:
1) pencocokan AK/II dengan AK/III.
Sebelum dilakukan penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu
lowongan pekerjaan, terlebih dahulu diperiksa kartu pencari kerja
(AK/II) secara obyektif dengan tidak memihak.
2) penunjukkan sebagai calon untuk pengisian lowongan pekerjaan.
Pencari kerja yang telah terpilih untuk memenuhi lowongan
pekerjaan tersebut dilakukan pemanggilan dengan menggunakan
formulir surat panggilan (AK/IV).
Pencari kerja yang datang memenuhi panggilan ditawarkan untuk
mengisi lowongan pekerjaan tersebut dan diberitahu tentang syarat-
syarat kerja serta jaminan sosialnya. Apabila telah terdapat
kesesuaian, pencari kerja akan diberi surat pengantar (AK/V) setelah
terlebih dahulu ada kepastian bahwa lowongan pekerjaan tersebut
belum diisi.
Untuk setiap lowongan pekerjaan, ditunjuk sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang sebagai calon pencari kerja dengan maksud agar
pemberi kerja dapat melakukan pemilihan yang terbaik.
3) tindak lanjut penunjukkan calon pencari kerja.
Setiap penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu lowongan
pekerjaan, sebaiknya dilakukan tindaklanjut untuk mengetahui berhasil
atau tidaknya penunjukkan calon tersebut dalam mengisi lowongan
pekerjaan dan sebagai umpan balik untuk mengetahui apakah pemberi
kerja merasa puas dengan penunjukkan calon yang dilakukan oleh
dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan apakah
calon yang diterima tersebut puas dengan pekerjaan yang diterimanya.

2. khusus untuk pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri


terdapat beberapa langkah kegiatan tambahan yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota yaitu:
a. penerbitan rekomendasi rekrut yang dilakukan oleh dinas provinsi:
1) meneliti dokumen Surat Izin Pengerahan (SIP) yang diterbitkan oleh
Menteri;
2) meneliti keabsahan PPTKIS;
3) menerbitkan Surat Pengantar Rekrut (SPR);
Pelayanan penyelesaian penerbitan SPR maksimal 1 (satu) hari
setelah dokumen dinyatakan lengkap.
b. pendataan pencari kerja (pencaker) yang dilaksanakan oleh dinas provinsi
dan kabupaten/kota dilakukan oleh pengantar kerja/petugas antar kerja
dengan mendata pencaker yang terdaftar di dinas kabupaten/kota
setempat;
c. pendaftaran CTKI dilakukan oleh dinas kabupaten/kota;
d. seleksi CTKI dilakukan oleh dinas kabupaten/kota bersama-sama dengan
PPTKIS;
e. penandatangan Perjanjian Penempatan CTKI oleh PPTKIS dan CTKI yang
diketahui dan disahkan oleh dinas kabupaten/kota;
f. pemberian Rekomendasi paspor TKI oleh dinas kabupaten/kota yang
ditujukan kepada kantor imigrasi setempat;
Pemeriksaan kesehatan dan psikologi serta rekomendasi kelayakan lokasi
sarana kesehatan yang dilakukan oleh dinas provinsi .
g. rekomendasi izin penampungan CTKI yang dilakukan oleh dinas provinsi;

17
h. pelaksanaan pelatihan dan uji kompetensi CTKI yang dilaksanakan oleh
dinas provinsi :
1) dinas provinsi memberikan rekomendasi izin Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP);
2) dinas provinsi diikutsertakan sebagai asesor.
i. penyelesaian asuransi perlindungan TKI yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
1) dinas provinsi memfasilitasi penyelesaian kasus Calon TKI dan TKI
serta dapat mengusulkan kepada Dirjen Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Kementerian Nakertrans dalam hal penjatuhan sanksi
administratif kepada konsorsium asuransi TKI;
2) dinas kabupaten/kota meneliti keabsahan bukti pembayaran asuransi
pra penempatan dan memfasilitasi (memberikan rekomendasi)
pengajuan klaim asuransi TKI kepada konsorsium asuransi.
j. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
tugas dinas provinsi dalam penyelenggaraan PAP melakukan:
1) penelitian persyaratan administrasi;
2) penelitian kelengkapan dokumen yaitu sertifikat kompetensi, perjanjian
kerja, paspor, dan visa kerja;
3) koordinasi dengan instansi terkait dan dinas kabupaten/kota;
4) melaksanakan PAP selama 20 (dua puluh) jam pelajaran dengan
materi PAP meliputi pembinaan mental kerohanian, pembinaan
kesehatan fisik, pembinaan mental dan kepribadian, bahaya
perdagangan perempuan dan anak, bahaya perdagangan narkoba,
obat terlarang dan kriminal lainnya, sosialisasi budaya, adat istiadat
dan kondisi negara penempatan, peraturan perundang-undangan
negara penempatan, tata cara keberangkatan dan kedatangan di
bandara negara penempatan, tata cara kepulangan di tanah air, peran
perwakilan Republik Indonesia dalam pembinaan dan perlindungan
WNI/TKI di luar negeri, program remittance tabungan dan asuransi
perlindungan TKI dan perjanjian penempatan TKI dan perjanjian kerja;
5) menerbitkan surat keterangan telah mengikuti PAP.
k. penandatangan Perjanjian Kerja yang dilakukan oleh dinas provinsi.
Penandatangan perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna dilakukan
dihadapan pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
l. pembinaan TKI Purna Penempatan di daerah asal yang dilakukan oleh
dinas provinsi dan kabupatan/kota.
dinas kabupaten/kota memfasilitasi pelaksanaan bimbingan wirausaha,
pengembangan usaha dan pendampingan terhadap TKI purna dalam
pembinaan usaha serta melakukan rehabilitasi mental bekerjasama
dengan instansi terkait.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Pengantar kerja/petugas antar kerja;


2. Petugas operator komputer.

I. Penanggung jawab Kegiatan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang


ketenagakerjaan.

18
III. PELAYANAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.

A. Dasar.

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;


2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial;
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.92/MEN/VI/2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator
serta Tata Kerja Mediasi;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Melalui Perundingan Bipartit;
5. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 06 Tahun
2009 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial dan Angka
Kreditnya.

B. Pengertian.

1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
4. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.
5. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
6. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
8. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

19
9. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
10. Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
11. Mediator Hubungan Industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan. Mediator Hubungan Industrial
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pada unit organisasi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat dan
daerah.
12. Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
13. Konsiliator Hubungan Industrial adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
14. Perjanjian Bersama adalah persetujuan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau
lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.
15. Besaran Kasus Perselisihan Hubungan Industrial adalah jumlah kasus
perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan oleh Mediator Hubungan
Industrial yang berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
yang penyelesaiannya sampai pada tingkat perjanjian bersama (PB).

C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Rumus:
persentasi kasus yang diselesaikan di luar pengadilan hubungan industrial
melalui Perjanjian Bersama (PB) dengan jumlah kasus yang dicatatkan.

= ∑ kasus yang diselesaikan melalui Perjanjian Bersama (PB) x 100%


∑ kasus yang dicatatkan
2. Pembilang:
jumlah kasus yang diselesaikan dengan perjanjian bersama (PB) baik
perjanjian bersama yang dibuat secara perseorangan/individual atau
perjanjian bersama massal.
3. Penyebut:
jumlah kasus yang dicatatkan di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)

20
5. Contoh Perhitungan:
misalkan: berdasarkan data jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
yang dicatat pada tahun 2008 di Kabupaten Tangerang sebanyak 30 kasus,
Jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan dengan
perjanjian bersama sebanyak 13 kasus, maka persentasi penyelesaian kasus
perselisihan hubungan industrial melalui perjanjian bersama di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah :
13 x 100% = 34 %
38
artinya, baru 34 % dari jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang
diselesaikan dengan perjanjian bersama di wilayah tersebut.

D. Sumber Data.

Data jumlah kasus yang diselesaikan di luar Pengadilan Hubungan Industrial


melalui Perjanjian Bersama (PB) dan data jumlah kasus yang dicatatkan
diperoleh dari dinas provinsi, kabupaten/kota yang menangani bidang
ketenagakerjaan.

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebesar 50% dapat
dicapai pada tahun 2016.

F. Program Kegiatan.

Program Pembinaan dalam Rangka Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial.
1. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
2. Bimbingan Teknis tentang tata cara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

G. Langkah Kegiatan.

1. Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Dan


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan
sosialisasi peraturan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu antara lain:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi substansi di bidang hubungan
industrial berasal dari akademisi, praktisi hubungan industrial, pakar dan
instansi pemerintah;
b. peserta dari kalangan masyarakat industrial, pekerja/buruh, SP/SB,
pengusaha/organisasi pengusaha dan pemerintah.
2. Bimbingan Teknis Tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Dalam melaksanakan Bimbingan Teknis, instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota, sekurang-
kurangnya memperhatikan:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi substansi di bidang
ketenagakerjaan, menguasai peraturan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, hukum acara perdata, teknik komunikasi dan
negosiasi;

21
b. peserta dari instansi pemerintah;
c. tujuannya untuk meningkatkan kemampuan teknis pegawai
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Mediator Hubungan Industrial.


2. Pegawai Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi dan kabupaten/kota khususnya yang membidangi hubungan
industrial.

I. Penanggung jawab Kegiatan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang


ketenagakerjaan.

IV. PELAYANAN KEPESERTAAN JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

A. Dasar.

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;


2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

B. Pengertian.

1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat JAMSOSTEK
adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santuan berupa
uang penggganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal
dunia.
4. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa
atau wajar dilalui.
5. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi angota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau
berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
6. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan.
7. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau
perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.

22
8. Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
9. Besaran pekerja/buruh yang menjadi peserta JAMSOSTEK adalah jumlah
pekerja/buruh di perusahaan yang menjadi peserta JAMSOSTEK.Nomor
1Tahang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator:

1. Rumus:
persentasi pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK dengan jumlah pekerja/buruh
dalam hubungan kerja:

= ∑pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK x 100%


∑ pekerja/buruh
2. Pembilang:
jumlah pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK.
3. Penyebut:
jumlah pekerja/buruh
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)
5. Contoh Perhitungan:
misalkan: berdasarkan data jumlah pekerja/buruh tahun 2008 di Kabupaten
Pasuruan sebanyak 211.586 orang. Jumlah pekerja/buruh yang telah menjadi
peserta JAMSOSTEK sebanyak 94.305 orang, maka persentasi pekerja/buruh
peserta JAMSOSTEK di wilayah tersebut pada tahun berjalan adalah :
94.305 orang x 100% = 44.57 %
211.586 orang
artinya, baru 44.57 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh yang telah menjadi
peserta JAMSOSTEK di wilayah tersebut.

D. Sumber Data.

Data jumlah pekerja/buruh dan jumlah pekerja/buruh yang menjadi peserta


JAMSOSTEK yang diperoleh dari :
1. dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan;
2. Badan Pusat Statistik (BPS);
3. PT JAMSOSTEK (Persero).

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan jaminan sosial bagi pekerja/buruh sebesar 50% ditargetkan dapat
dicapai pada tahun 2016.

F. Program Kegiatan.

Program Pembinaan Dalam Rangka Peningkatan Kepesertaan JAMSOSTEK


bagi Pekerja/Buruh.
1. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
2. Bimbingan Teknis tentang Tata Cara Peningkatan dan Pembinaan
Kepesertaan JAMSOSTEK bagi Pekerja/Buruh;
3. Penegakkan Hukum terkait dengan kepesertaan JAMSOSTEK.

23
G. Langkah Kegiatan.

1. Sosialisasi Peraturan tentang JAMSOSTEK


Dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan
sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang jaminan sosial tenaga
kerja, yaitu antara lain:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi substansi di bidang
ketenagakerjaan dan memahami Peraturan Perundang-undangan
JAMSOSTEK;
b. narasumber berasal dari akademisi, praktisi, pakar, pemerintah dan PT
JAMSOSTEK;
c. peserta dari kalangan masyarakat industri, pengusaha/organisasi
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah;
d. tujuannya memberikan pemahaman tentang perlindungan bagi tenaga
kerja;

2. Bimbingan Teknis dalam rangka Peningkatan dan Pembinaan Kepesertaan


JAMSOSTEK bagi pekerja/buruh.
Dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan kegiatan
bimbingan teknis dalam rangka peningkatan dan pembinaan kepesertaan
JAMSOSTEK bagi pekerja/buruh, yaitu antara lain:
a. narasumber yang mempunyai kompetensi di bidang ketenagakerjaan dan
memahami perundang-undangan JAMSOSTEK;
b. narasumber berasal dari pakar, akademisi, praktisi hubungan industrial,
pemerintah, dan PT JAMSOSTEK;
c. peserta dari Pekerja/Buruh, SP/SB, Pengusaha dan Organisasi
Pengusaha, Pemerintah;
d. tujuannya untuk meningkatkan kepesertaan dan perluasan cakupan
kepesertaan JAMSOSTEK;

3. Penegakan hukum terkait dengan kepesertaan JAMSOSTEK.


Dinas tenaga kerja di kabupaten/kota di provinsi melaksanakan kegiatan
penegakan hukum terkait dengan kepesertaan JAMSOSTEK, yaitu antara
lain:
a. melaksanakan kegiatan koordinasi fungsional tingkat kabupaten/kota di
provinsi dan melaksanakan pengawasan terpadu di wilayah
kabupaten/kota di provinsi;
b. tim Koordinasi Fungsional terdiri dari dinas yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di provinsi dengan cabang PT.
JAMSOSTEK setempat.

H. Sumber Daya Manusia.


1. Pegawai teknis dinas provinsi dan kabupaten/kota;
2. Pegawai Badan Pusat Statistik (BPS).

I. Penanggung jawab Kegiatan.


Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang
ketenagakerjaan.

24
V. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

A. Dasar.

1. Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie) dan Peraturan Uap


Tahun 1930 (Stoom Verordening);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia;
3. Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan
di Perusahaan;
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
6. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
Nomor 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce
(Konvensi) ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam
Industri dan Perdagangan;
7. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 03/MEN/1984 tentang
Pengawasan Terpadu;
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
09/MEN/V/2005 tentang Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Pengawasan
Ketenagakerjaan.

B. Pengertian.

1. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
3. Laporan Pelaksanaan Pengawasan adalah laporan yang memuat hasil
kegiatan dan evaluasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan baik
laporan individu pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun laporan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan.
4. Pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan
ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengawas
ketenagakerjaan dalam penerapan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang terdiri dari pemeriksaan pertama, pemeriksaan berkala,
pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan ulang.
6. Pengujian adalah kegiatan penilaian terhadap suatu obyek pengawasan
ketenagakerjaan melalui perhitungan, analisa dan pengetesan sesuai dengan
ketentuan atau standar yang berlaku.

25
7. Besaran pemeriksaan perusahaan adalah persentase jumlah perusahaan
yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani
bidang ketenagakerjaan dan jumlah perusahaan yang telah dilakukan
pemeriksaan.
8. Besaran pengujian peralatan di perusahaan adalah persentase jumlah
peralatan yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota dan jumlah
peralatan yang telah dilakukan pengujian.

C. Cara Perhitungan Indikator.

1. Pemeriksaan Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah perusahaan yang telah diperiksa dibanding dengan
jumlah perusahaan yang terdaftar

∑ perusahaan yang telah diperiksa x 100%


=
∑ perusahaan yang terdaftar
b. Pembilang:
jumlah perusahaan yang telah diperiksa oleh pengawas ketenagakerjaan.
c. Penyebut:
jumlah perusahaan yang terdaftar sesuai Wajib Lapor Ketenagakerjaan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berada di provinsi dan
kabupaten/kota.
d. Satuan Indikator:
persentasi (%)
e. Contoh Perhitungan:
misalkan : di provinsi dan kabupaten/kota perusahaan yang terdaftar
sebanyak 1200 perusahaan, yang diperiksa oleh pengawas
ketenagakerjaan sebanyak 180 perusahaan dengan catatan jumlah
pengawas ketenagakerjaan sebanyak 3 orang.
Jumlah perusahaan yang telah diperiksa oleh pengawas ketenagakerjaan
cara perhitungannya adalah: 3 orang pengawas ketenagakerjaan x 5
perusahaan/bulan x 12 bulan = 180 perusahaan (satu tahun), maka
persentase pemeriksaan perusahaan di provinsi dan kabupaten/kota pada
tahun berjalan adalah :
180 perusahaan x100% = 15%
1200 perusahaan
arti angka 15 % adalah kinerja pengawasan ketenagakerjaan dalam
melakukan pemeriksaan perusahaan di provinsi dan kabupaten/kota
dalam tahun berjalan.

2. Pengujian Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah peralatan yang telah diuji dibanding dengan jumlah
peralatan yang terdaftar

∑ peralatan yang telah diuji x 100%


=
∑ peralatan yang terdaftar
b. Pembilang:
jumlah peralatan yang telah diuji oleh pengawas ketenagakerjaan

26
c. Penyebut:
jumlah peralatan yang terdaftar sesuai Wajib Lapor Ketenagakerjaan
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berada di provinsi dan
kabupaten/kota.
d. Satuan Indikator:
persentasi (%)
e. Contoh Perhitungan:
misalkan : provinsi dan kabupaten/kota jumlah peralatan yang terdaftar
sebanyak 1759 unit, yang diuji oleh pengawas ketenagakerjaan sebanyak
180 unit dengan catatan jumlah pengawas ketenagakerjaan spesialis
sebanyak 3 orang.
Jumlah peralatan yang telah diuji oleh pengawas ketenagakerjaan cara
perhitungannya adalah 3 orang pengawas ketenagakerjaan spesialis x 8
unit/bulan x 12 bulan = 288 unit (satu tahun), maka persentase pengujian
peralatan di provinsi dan kabupaten/kota pada tahun berjalan adalah:
288 unit x 100% = 24%
1759 unit
arti angka 24 % adalah kinerja pengawasan ketenagakerjaan dalam
melakukan pengujian peralatan di perusahaan pada provinsi dan
kabupaten/kota dalam tahun berjalan.

D. Sumber Data.

Dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan.

E. Target.

Target Standar Pelayanan Minimal bidang ketenagakerjaan untuk jenis


pelayanan pengawasan ketenagakerjaan ditargetkan dapat dicapai pada tahun
2016 yaitu:
1. pemeriksaaan perusahaan sebesar 45%;
2. pengujian peralatan sebesar 50%.

F. Program.

1. Program yang dilakukan dalam pelaksanaan pemeriksaan perusahaan yaitu:


a. pembinaan penerapan norma ketenagakerjaan di perusahaan;
b. pembinaan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja di
perusahaan;
c. peningkatan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan;
d. peningkatan sarana dan prasarana pengawasan ketenagakerjaan.

2. Program yang dilakukan dalam pelaksanaan pengujian peralatan di


perusahaan yaitu:
a. pendataan obyek pengujian K3;
b. peningkatan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan spesialis;
c. peningkatan sarana dan prasarana pengujian;
d. pemberdayaan Ahli K3 Spesialis.

27
G. Langkah Kegiatan.

1. Pemeriksaan perusahaan yang meliputi pemeriksaan norma ketenagakerjaan,


norma keselamatan dan kesehatan kerja.
a. Dinas provinsi dan kabupaten/kota membuat rencana kerja pengawasan
ketenagakerjaan;
b. Pengawas ketenagakerjaan:
1) membuat rencana kerja pengawasan ketenagakerjaan;
2) melakukan pemeriksaan kondisi ketenagakerjaan di perusahaan;
3) menganalisa kondisi ketenagakerjaan di perusahaan;
4) membuat nota pemeriksaan atas hasil pemeriksaan di perusahaan;
5) menyampaikan nota pemeriksaan atas hasil pemeriksaan kepada
perusahaan;
6) membuat laporan atas hasil pemeriksaan di perusahaan kepada
pimpinan;
7) melakukan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut atas nota
pemeriksaan;
8) mengadministrasikan hasil pemeriksaan perusahaan.
2. Pengujian perusahaan dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan spesialis:
a. membuat rencana kerja pengujian peralatan;
b. menyiapkan pelaksanaan pengujian peralatan;
c. melakukan pengujian peralatan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan standar teknis;
d. menganalisa hasil pengujian peralatan;
e. membuat laporan pengujian peralatan kepada pimpinan unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan untuk dilakukan tindak lanjut;
f. mengadministrasikan hasil pengujian peralatan.

H. Sumber Daya Manusia.

1. Pengawas Ketenagakerjaan;
2. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis;
3. Penyelenggara Administrasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
4. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

I. Penanggung jawab Kegiatan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang


ketenagakerjaan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

28
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

KOMPONEN BIAYA

A. PELAYANAN PELATIHAN KERJA

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PELATIHAN UNTUK 1 (SATU) ORANG PESERTA

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume

a. PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI

1. Belanja Bahan

- Pembuatan sertifikat 1.00 LBR


- Dokumentasi, pelaporan, pengiriman 1.00 PKT
- Penggandaan 1.00 OK
- Bahan praktek pelatihan dan uji kompetensi 1.00 OK
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Rapat persiapan 1.00 PKT

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Rekruitmen peserta 1.00 PKT

b. PELATIHAN BERBASIS MASYARAKAT

1. Belanja Bahan

- Pembuatan sertifikat 1.00 LBR


- Dokumentasi, pelaporan, pengiriman 1.00 PKT
- Penggandaan 1.00 OK
- Bahan praktek pelatihan dan uji kompetensi 1.00 OK
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Rapat persiapan 1.00 PKT

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Rekruitmen peserta 1.00 PKT

29
c. PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN

1. Belanja Bahan

- Pembuatan sertifikat 1.00 LBR


- Dokumentasi, pelaporan, pengiriman 1.00 PKT
- Penggandaan 1.00 OK
- Bahan praktek pelatihan 1.00 OK
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Rapat persiapan 1.00 PKT

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Rekruitmen peserta 1.00. PKT

B. PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PENEMPATAN TENAGA KERJA UNTUK 1 ORANG PESERTA

DINAS KETENAGAKERJAAN: PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :
No Kegiatan Volume

a. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA LOKAL (AKL)

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan rekruitmen dan seleksi 1.00 PKT
- Pencetakan Kartu AK I s/d IV 1.00 LBR
- Pencetakan buku pedoman dan Juknis AKL 1.00 BK

Belanja Barang Operasional Lainnya

2. - Konsumsi seleksi 1.00 PKT

b. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA ANTAR DAERAH (AKAD)

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan Bahan Orientasi 1.00 PKT
- Pencetakan Formulir AKAD 1.00 LBR
- Penggandaan buku Pedoman dan Juknis AKAD 1.00 BK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi seleksi 1.00 PKT

30
c. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA ANTAR NEGARA

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan Bahan Orientasi 1.00 PKT
- Pencetakan Formulir 1.00 LBR
- Penggandaan buku Pedoman dan Juknis AKAN 1.00 BK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi seleksi 1.00 PKT

C. PELAYANAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume

a. SOSIALISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN DAN


PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

b. BIMBINGAN TEKNIS TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

31
D. PELAYANAN JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KEPESERTAAN JAMINAN
SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH

DINAS KETENAGAKERJAAN: PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume
a. SOSIALISASI PERATURAN TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

b. BIMBINGAN TEKNIS DALAM RANGKA PEMBINAAN KEPESERTAAN KEPESERTAAN


JAMSOSTEK BAGI PEKERJA/BURUH

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

c. PENEGAKAN HUKUM TERKAIT DENGAN KEPESERTAAN JAMSOSTEK

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Perlengkapan peserta 1.00 OK

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

32
E. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

ANGGARAN BIAYA
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :
No Kegiatan Volume
a. PEMBINAAN PENERAPAN NORMA KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

b. PEMBINAAN PENERAPAN NORMA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

c. PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT

2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi 1.00 PKT

33
d. PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Pengiriman laporan 1.00 PKT
Belanja Barang Operasional Lainnya
2. - Konsumsi 1.00 PKT

ANGGARAN BIAYA
PENGUJIAN PERALATAN DI PERUSAHAAN

DINAS KETENAGAKERJAAN : PROVINSI/KABUPATEN/KOTA


TAHUN ANGGARAN :

No Kegiatan Volume
a. PENDATAAN OBYEK PENGUJIAN K3

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya

- Konsumsi
1.00 PKT

b. PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN


SPESIALIS

1. Belanja Bahan

- Alat tulis kantor 1.00 PKT


- Komputer supplies 1.00 PKT
- Penggandaan bahan 1.00 PKT
- Pengiriman laporan 1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT

c. PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA PENGUJIAN

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT

34
d. PEMBERDAYAAN AHLI K3 SPESIALIS

1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

35
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010

TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN

SISTEMATIKA PENYUSUNAN
LAPORAN TEKNIS TAHUNAN PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. DASAR HUKUM

BAB II PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM


1. Uraian Kegiatan:
adalah langkah-langkah kegiatan yang dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan pelayanan dasar.
2. Target Pencapaian SPM oleh Daerah:
adalah target yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah dalam mencapai
SPM selama kurun waktu satu tahun.
3. Realisasi:
adalah target yang dapat dicapai atau direalisasikan oleh pemerintahan
daerah selama satu tahun anggaran.

REALISASI PENCAPAIAN SPM BIDANG KETENAGAKERJAAN


PROVINSI/KABUPATEN/KOTA………………..
TAHUN……………………………………………..
No. Uraian Kegiatan Target Realisasi Alokasi Dukungan Personil
Anggaran
A. Pelayanan Pelatihan Kerja - APBD PNS :
1. - Lain-lain Non PNS :
2.
dst...
B. Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja
1.
2.
dst..
C. Pelayanan Penyelesaian
Perselisihan Hubungan
Industrial
1.
2.
dst...
D. Pelayanan Kepesertaan
Jamsostek
1.
2.
dst...
E. Pelayanan Pengawasan
Ketenagakerjaan
1.
2.
dst

37
4. Alokasi Anggaran:
adalah jumlah belanja langsung dan tidak langsung yang ditetapkan
dalam APBD dalam rangka penerapan dan pencapaian SPM yang
bersumber dari:
A. APBD;
B. Sumber dana lain yang sah.
5. Dukungan Personil:
Jumlah personil atau pegawai yang terlibat dalam proses penerapan dan
pencapaian SPM:
A. PNS;
B. Non-PNS
6. Permasalahan dan Solusi:
Permasalahan dan solusi yang dihadapi dalam penerapan dan
pencapaian SPM, baik permasalahan eksternal maupun internal dan
langkah-langkah penyelesaian permasalahan yang ditempuh.
A. Pelayanan Pelatihan Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
B. Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
C. Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
D. Pelayanan Kepesertaan Jamsostek
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
E. Pelayanan Pengawasan Ketenagakerjaan
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
BAB III PENUTUP
KEPALA SKPD
YANG MENANGANI BIDANG
KETENAGAKERJAAN

…………………………………………

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.SI

38
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 708 TAHUN 2012
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI KESENIAN, HIBURAN, DAN REKREASI
GOLONGAN POKOK KEGIATAN HIBURAN, KESENIAN, DAN KREATIVITAS
DAN GOLONGAN POKOK OLAHRAGA DAN REKREASI LAINNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (5)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Keputusan Menteri
tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja
Asing pada Kategori Kesenian, Hiburan, dan Rekreasi
Golongan Pokok Kegiatan Hiburan, Kesenian, dan Kreativitas
dan Golongan Pokok Olahraga dan Rekreasi Lainnya;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun


2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori kesenian, hiburan, dan rekreasi golongan pokok
kegiatan hiburan, kesenian, dan kreativitas dan golongan
pokok olahraga dan rekreasi lainnya sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh tenaga
kerja asing tidak terdapat di dalam Lampiran I dan Lampiran
II Keputusan Menteri ini, Menteri dapat memberikan izin
dengan terlebih dahulu meminta rekomendasi dari
kementerian yang membidangi hiburan, kesenian, dan
kreativitas dan kementerian yang membidangi olahraga dan
rekreasi.

KETIGA : Jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU dapat diduduki oleh tenaga kerja asing paling lama
5 (lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang, kecuali tenaga
kerja asing yang menduduki jabatan komisaris dan direktur
sebagai pemilik modal.

KEEMPAT : Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing


dengan jabatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP-337/MEN/1986 tentang Pelaksanaan
Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang di Sektor Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi
Sub Sektor Pariwisata tetap berlaku sampai berakhirnya izin
mempekerjakan tenaga kerja asing.

KELIMA : Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
337/MEN/1986 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di
Sektor Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Sub Sektor
Pariwisata, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEENAM : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 708 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI KESENIAN, HIBURAN, DAN
REKREASI GOLONGAN POKOK KEGIATAN HIBURAN,
KESENIAN, DAN KREATIVITAS DAN GOLONGAN POKOK
OLAHRAGA DAN REKREASI LAINNYA

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Golongan Kode Nama Jabatan


No. Ket.
Pokok ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
Kegiatan 1210 Komisaris Commissioner
Hiburan,
Kesenian, 1210 Direktur President Director
dan Utama/Presiden
Kreativitas Direktur
1210 Wakil Direktur Vice President
Utama/Wakil Director
Presiden Direktur
1210 Direktur Keuangan Finance Director

1210 Direktur Marketing Director


Pemasaran
1210 Direktur Operational
Operasional Director
2453 Pengarah Seni Art Director

2453 Pengarah Musik Music Director

2453 Musisi Musician

2453 Penyanyi Singer

2453 Disjoki Disc Jockey

2455 Manajer Show Manager


Pertunjukan
2455 Sutradara Film Film Director

2455 Aktris/Aktor Actress/Actor

2455 Pengarah Lampu Light Director

3473 Penari Dancer

3474 Pemandu Karaoke Karaoke Guide


Golongan Kode Nama Jabatan
No. Ket.
Pokok ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
3474 Pemain Akrobat Acrobatic

3474 Pemain Sirkus Circus Player

3474 Pemain Sirkus Circus Player

3474 Pesulap Magician

5149 Pengawal Pribadi Bodyguard

5210 Model Iklan Ad Model

5210 Peraga Busana Fashion Model

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 708 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI KESENIAN, HIBURAN, DAN
REKREASI GOLONGAN POKOK KEGIATAN HIBURAN,
KESENIAN, DAN KREATIVITAS DAN GOLONGAN POKOK
OLAH RAGA DAN REKREASI LAINNYA

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Kode Nama Jabatan


No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
Olahraga dan 1210 Komisaris Commissioner
Rekreasi Lainnya
1210 Presiden President Director
Direktur/Direktur
Utama
1210 Wakil Presiden Vice President
Direktur/Wakil Director
Direktur Utama
1210 Direktur Keuangan Finance Director

1210 Direktur Pemasaran Marketing Director

1210 Direktur Operational


Operasional Director
1229 Manajer Operasional Operational
Manager
1233 Manajer Pemasaran Marketing
Manager
1239 Manajer Selam Diving Manager

1239 Manajer Pelayaran Cruise Manager

1239 Manajer Sarana Tourism


Wisata FacilityManager
1239 Manajer Wisata Tour Manager

1239 Manajer Ilmu Sport Science


Keolahragaan Manager
1316 Manajer Armada Fleet Manager
1319 Manajer Umum General Manager
2412 Penasihat Riset dan Research and
Pengembangan Development
Advisor
2412 Penasihat Marketing Advisor
Pemasaran

3
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2412 Penasihat Wisata Water Tourism
Tirta Advisor
2412 Penasihat Wisata Marine Tourism
Bahari Advisor
3475 Konsultan Olahraga Sport Consultant Untuk
Olahraga
Prestasi
(Profesional
& Amatir)
3475 Promotor Tinju Boxing Promotor
3475 Wasit Referee
3475 Pelatih Sepak Bola Football Coach
3475 Pelatih Tenis Meja Table Tennis
Coach
3475 Pelatih Bola Basket Basketball Coach
3475 Pelatih Bola Voli Volleyball Coach
3475 Pelatih Sofbol Softball Coach
3475 Pelatih Polo Polo Coach
3475 Pelatih Dayung Paddle Coach
3475 Pelatih Bulutangkis Badminton Coach
3475 Pelatih Bowling Bowling Coach
3475 Pelatih Tinju Boxing Coach
3475 Pelatih Judo Judo Coach
3475 Pelatih Loncat Indah Platform Diving
Coach
3475 Pelatih Selam Diving Coach
3475 Pelatih Menembak Shooting Coach
3475 Pelatih Selancar Surfing Coach
3475 Pelatih Renang Swimming Coach
3475 Pelatih Renang Synchronized
Indah Swimming Coach
3475 Pelatih Taekwondo Taekwondo Coach
3475 Pelatih Atletik Athletic Coach
3475 Pelatih Wushu Wushu Coach
3475 Pelatih Karate Karate Coach
3475 Pelatih Golf Golf Coach
3475 Pemain Bola Voli Volleyball Player
3475 Pemain Sepak Bola Football Player

4
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
3475 Pemain Bola Basket Basketball Player
3475 Petinju Boxer Untuk
Olahraga
Prestasi
(Profesional
& Amatir)

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

5
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 707 TAHUN 2012
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI TRANSPORTASI DAN PERGUDANGAN
GOLONGAN POKOK ANGKUTAN UDARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (5)


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Keputusan Menteri
tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja
Asing pada Kategori Transportasi dan Pergudangan Golongan
Pokok Angkutan Udara;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;

4. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun


2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori transportasi dan pergudangan golongan pokok
angkutan udara sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri ini.

KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh tenaga


kerja asing tidak terdapat di dalam Lampiran Keputusan
Menteri ini, Menteri dapat memberikan izin dengan terlebih
dahulu meminta rekomendasi dari kementerian yang
membidangi transportasi.
KETIGA : Jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud dalam Diktum
KESATU dapat diduduki oleh tenaga kerja asing paling lama
5 (lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang, kecuali tenaga
kerja asing yang menduduki jabatan komisaris dan direktur
sebagai pemilik modal.

KEEMPAT : Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing


dengan jabatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Nomor KEP-55/MEN/1981 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di
Sektor Perhubungan (meliputi Sub Sektor Perhubungan
Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara, Pos dan
Telekomunikasi) tetap berlaku sampai berakhirnya izin
mempekerjakan tenaga kerja asing.

KELIMA : Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan


mengenai pelaksanaan pembatasan penggunaan tenaga
kerja warga negara asing pendatang di sektor perhubungan
sub sektor perhubungan udara sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP-55/MEN/1981 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di
Sektor Perhubungan (meliputi Sub Sektor Perhubungan
Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara, Pos dan
Telekomunikasi), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEENAM : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 707 TAHUN 2012

TENTANG

JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA


ASING PADA KATEGORI TRANSPORTASI DAN
PERGUDANGAN GOLONGAN POKOK ANGKUTAN UDARA

GOLONGAN POKOK DAN NAMA JABATAN

Kode Nama Jabatan


No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
Angkutan Udara 1210 Komisaris Commissioner

1210 Direktur utama President


Director
1210 Direktur Wilayah Regional Director

1210 Asisten Direktur Assistant


Wilayah Regional Director
1120 Manajer Negara Country Manager

1229 Manajer Wilayah Regional


Manager
1229 Manajer Pangkalan Station Manager
1229 Manajer Lalu Lintas Traffic Manager

1229 Manajer Operasional Flight


Penerbangan Operational
Manager
1229 Manajer Teknik Engineering
Mesin Manager
1229 Manajer Perawatan Aircraft
Pesawat Maintenance
Manager
1229 Manajer Kargo Cargo Manager

1229 Manajer Penumpang Passenger


Manager
1229 Manajer Riset dan Research and
Pengembangan Development
Manager
1231 Manajer Keuangan Finance Manager

1233 Manajer Pemasaran Marketing


Manager
1233 Manajer Penjualan Sales Manager

1233 Manajer Niaga Commercial


Manager
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
1239 Asisten Manajer Assistant
Manager
1239 Manajer Mutu Quality Service
Pelayanan Manager of
Penerbangan Aviation
1316 Manajer Umum General Manager

2419 Penasihat Teknis Technical


Manajemen Management
Advisor
2149 Ahli Teknik Flight Engineer
Penerbang
2149 Ahli Mesin Pesawat Aircraft Engineer
2149 Ahli Teknik Engineer
3142 Navigator Navigator

3143 Pilot Pilot


3143 Kopilot Copilot
3340 Instruktur Pilot Pilot Instructor
3340 Instruktur Simulator Simulator
Instructor
3340 Instruktur Teknik Engineering
Instructor
5111 Awak Kabin Flight Attendant Penerbangan
Internasional

Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.

2
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

26 Agustus 2013

SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN
PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun


2013 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Untuk
mengoptimalkan pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012, Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi memandang perlu menerbitkan pedoman
pelaksanaan, yang isinya memuat penjelasan sebagaimana terlampir dalam
Lampiran Surat Edaran ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Surat Edaran.
Pedoman pelaksanaan ini dimaksudkan untuk dapat digunakan
sebagai acuan dalam melaksanakan penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain untuk dipedomani.
Demikian, untuk dilaksanakan.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si


LAMPIRAN
SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-
SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA
PERUSAHAAN LAIN

PEDOMAN PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN
SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu


cepat berdampak pada timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan
terjadi hampir di semua sektor. Lingkungan yang sangat kompetitif ini
menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang
memerlukan tanggapan yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan
pelayanan kepada pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan
struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali
manajemen sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.
Dalam kaitan ini dapat dimengerti apabila kemudian muncul
kecenderungan perusahaan untuk menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain, satu bagian atau beberapa bagian
kegiatan perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.

Ketentuan pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 b Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut belum
diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan
melalui pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa pekerja/buruh.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain.

Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan permohonan


judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 yang mengamanatkan adanya jaminan
kelangsungan kerja serta syarat-syarat perlindungan bagi pekerja/buruh
yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan maupun
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, Pemerintah menyempurnakan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/2004
tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain menjadi Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain.

Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan penyerahan sebagian


pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012
tersebut, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-
Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain ini.

B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
2
C. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Pedoman ini disusun dengan maksud sebagai acuan bagi para pihak
dalam melaksanakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

2. Tujuan
Tujuan disusunnya pedoman ini untuk menyamakan pemahaman
dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

D. Ruang Lingkup
Pedoman ini memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012
yang mencakup:

1. Penetapan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan


oleh asosiasi sektor usaha sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2. Peran instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dalam pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
pekerja/buruh.

E. Pengertian
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

2. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk


badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.

3
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat
untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi
pekerjaan.

4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan


penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

5. Asosiasi sektor usaha adalah perkumpulan beberapa perusahaan yang


mempunyai bidang usaha yang sama dan sejenis, dan dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

6. Alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan adalah serangkaian


pekerjaan yang menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari
awal sampai akhir serta memuat mengenai pekerjaan atau kegiatan
utama dan penunjang.

BAB II
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
MELALUI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN

A. Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan

1. Berbadan hukum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang


berlaku yaitu perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, Yayasan atau
Koperasi.
2. Memiliki tanda daftar perusahaan sesuai peraturan perundang-
undangan.
3. Memiliki izin usaha sesuai peraturan perundang-undangan.
4. Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

4
B. Persyaratan Pemborongan Pekerjaan

Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima


pemborongan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen


maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.

Maksud manajemen terpisah antara perusahaan pemberi pekerjaan


dengan perusahaan penerima pemborongan, bukan merupakan satu
kesatuan dan merupakan badan hukum yang berbeda. Kegiatan
pelaksanaan pekerjaan yang terpisah, maksudnya adalah bukan
lokasinya yang terpisah tetapi pelaksanaan pekerjaannya yang terpisah.
Hal ini disebabkan ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan di luar lokasi perusahaan pemberi
pekerjaan.

2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari


perusahaan pemberi pekerjaan.

Maksudnya adalah untuk memberi penjelasan tentang cara


melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh perusahaan pemberi pekerjaan. Adanya perintah langsung dari
perusahaan pemberi pekerjaan bukan berarti status hubungan kerja
antara pekerja/buruh dari perusahaan penerima pemborongan beralih
kepada perusahaan pemberi pekerjaan.

3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan pemberi pekerjaan secara


keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang
mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai
dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan
oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-
undangan.

4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan


tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan
oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan
tetap berjalan sebagaimana mestinya.

5
C. Alur Kegiatan Proses Pelaksanaan Pekerjaan

Tahapan pembuatan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan:


1. Masing-masing perusahaan yang tergabung dalam asosiasi sektor usaha
mengajukan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan kepada
asosiasi sektor usaha.
2. Berdasarkan pengajuan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan
dari masing-masing perusahaan tersebut, asosiasi sektor usaha
membahas secara bersama-sama dengan para anggotanya.
3. Hasil pembahasan dijadikan bahan masukan asosiasi sektor usaha
dalam menetapkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan untuk
sektor usaha yang bersangkutan.
4. Alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan ditetapkan oleh asosiasi
sektor usaha. Dalam menetapkan alur tersebut, asosiasi sektor usaha
dapat membuat lebih dari satu alur sesuai dengan kondisi bidang usaha
(contoh: bila ada perbedaan dalam proses produksi antara yang
menggunakan teknologi tinggi dengan yang manual).

Asosiasi sektor usaha yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012,
yaitu:
1. Asosiasi sektor usaha yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia; atau
2. Asosiasi sektor usaha yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan
berada di bawah binaan Kementerian/Lembaga Pembina Sektor terkait
atau Instansi Teknis terkait di Pemerintah Daerah; atau
3. Asosiasi sektor usaha yang terdaftar di Kamar Dagang dan Industri baik
di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.

Yang dimaksud dengan asosiasi sektor usaha yang berada di bawah binaan
Kementerian/Lembaga Pembina Sektor terkait atau Instansi Teknis terkait
di Pemerintah Daerah, mencakup asosiasi sektor usaha yang
pendaftarannya atau pencatatannya teradministrasi dengan baik di
Kementerian/Lembaga Pembina Sektor terkait atau Instansi Teknis terkait
di Pemerintah Daerah.

6
Hal-hal lain yang terkait dengan asosiasi sektor usaha:

1. Asosiasi sektor usaha belum terbentuk.


Dalam hal asosiasi sektor usaha belum terbentuk, maka perusahaan
wajib membentuk asosiasi sektor usaha bersama perusahaan lain pada
sektor usaha yang sejenis, dengan mengacu pada ketentuan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain dan Pedoman ini.

2. Bisnis sektor bersifat tunggal.


Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) perusahaan pada sektor usaha,
sehingga tidak memungkinkan untuk membentuk asosiasi sektor
usaha, maka perusahaan membuat alur kegiatan proses pelaksanaan
pekerjaan yang selanjutnya disampaikan kepada Kementrian/Lembaga
Pembina Sektor untuk ditetapkan sebagai alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan.

3. Asosiasi sektor usaha lebih dari 1 (satu) asosiasi.


Dalam hal asosiasi sektor usaha lebih dari 1 (satu), maka perusahaan
hanya dapat menggunakan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan
dari 1 (satu) asosiasi sektor usaha saja dimana yang bersangkutan
menjadi anggota.

D. Peran instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan


kabupaten/kota dalam pelaksanaan pemborongan pekerjaan.

1. Pelaporan jenis pekerjaan yang akan diserahkan.


a. perusahaan pemberi pekerjaan berdasarkan alur proses pelaksanaan
pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha, melaporkan
jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan untuk mendapatkan
bukti pelaporan (Formulir 1);

7
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota memeriksa pelaporan tersebut dan mengeluarkan
bukti pelaporan (Formulir 2);
c. perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis
setiap perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan
melalui pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan (Formulir 3); dan
d. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota memeriksa pelaporan perubahan jenis pekerjaan
penunjang tersebut dan mengeluarkan bukti pelaporan perubahan
(Formulir 4).

2. Pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan.


a. perusahaan penerima pemborongan mendaftarkan perjanjian
pemborongan pekerjaan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan
pekerjaan dilaksanakan (Formulir 5).
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota meneliti isi perjanjian pemborongan pekerjaan, yang
sekurang-kurangnya harus memuat:
1) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
2) menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan;
3) memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
c. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan
mengeluarkan bukti pendaftaran (Formulir 6).

8
BAB III
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
MELALUI PERJANJIAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH

A. Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

1. Berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan


berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Memiliki tanda daftar perusahaan sesuai peraturan perundang-
undangan.
3. Memiliki surat izin usaha sesuai peraturan perundang-undangan.
4. Memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
5. Memiliki izin operasional yang dikeluarkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
6. Mempunyai kantor dan alamat tetap.
7. Memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama perusahaan.

B. Persyaratan Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh


1. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di larang menyerahkan
pelaksanaan sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikannya
kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain.
4. Memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
5. Memuat penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa

9
pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
6. Memuat penjelasan mengenai hubungan kerja antara perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT).

C. Peran Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan


kabupaten/kota dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja/buruh.
1. Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.
a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mendaftarkan perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan (Formulir 7).
b. berdasarkan pengajuan tersebut, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota meneliti isi perjanjian
penyedia jasa pekerja/buruh, meliputi:

1) kelengkapan persyaratan perusahaan dalam bentuk Perseroan


Terbatas (PT).

2) jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari


perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

3) penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh


bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus
menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

4) hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh


dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan
perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.

c. apabila telah memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung


jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat

10
pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran
perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh (Formulir 8).
d. Apabila tidak memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan dapat menolak pendaftaran (Formulir 9).

2. Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT):


a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mencatatkan perjanjian
kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruhnya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan (Formulir 10);
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota meneliti isi perjanjian kerja, meliputi:

1) jaminan kelangsungan bekerja;

2) jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan


peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan, yaitu:
a) hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b) hak atas jaminan sosial;
c) hak atas tunjangan hari raya;
d) hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu)
minggu;
e) hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri
oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena
kesalahan pekerja;
f) hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari
akumulasi masa kerja yang telah dilalui; dan
g) hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

3) jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian


perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan

11
upah. Untuk itu perusahaan perlu membuat skala upah yang
disesuaikan dengan masa kerja pekerja/buruh.

c. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan


kabupaten/kota mengeluarkan bukti pencatatan perjanjian kerja
tersebut (Formulir 11).

D. Izin operasional
Beberapa bentuk formulir dalam pelaksanaan penyediaan jasa
pekerja/buruh:
1. Izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diajukan
permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
tempat pelaksanaan pekerjaan (Formulir 12).
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah
memenuhi persyaratan dan perpanjangan izin operasional tersebut
(Formulir 13).
3. Izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dapat dicabut
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (Formulir 14).

BAB IV
PENGAWASAN

Pengawasan terhadap pelaksanaan penyerahan sebagian pelaksanaan


pekerjaan kepada perusahaan lain dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan
dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan ke perusahaan;
2. dalam hal ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain, maka pengawas ketenagakerjaan
menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahkan perusahaan untuk

12
melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam
batas waktu yang ditetapkan; dan
3. apabila dalam batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak
melaksanakan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan
penyelesaiannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

BAB V
SANKSI

Pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dikenakan sanksi
berupa:
1. beralihnya hubungan kerja pekerja/buruh dari perusahaan penerima
pemborongan kepada perusahaan pemberi pekerjaan, dalam hal
perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain tanpa bukti pelaporan dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan mengenai jenis pekerjaan
penunjang yang akan diserahkan.

2. pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh oleh


instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
berdasarkan rekomendasi dari kabupaten/kota, dalam hal:
a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan;
b. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mencatatkan perjanjian
kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
Dalam hal pelanggaran sebagaimana angka 2, maka operasional
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di wilayah kerja kabupaten/kota
yang bersangkutan, dihentikan. Namun, perusahaan penyedia jasa

13
pekerja/buruh tersebut tetap bertanggung jawab memenuhi hak-hak
pekerja/buruh.

3. perubahan hubungan kerja dari PKWT menjadi PKWTT antara perusahaan


penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh sejak
ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan
Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

BAB VI
PENUTUP

Demikian Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain ini disusun untuk
digunakan sebagai acuan bagi para pelaku hubungan industrial dalam
melaksanakan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain. Dengan adanya pedoman ini diharapkan akan terdapat
kesamaan persepsi dalam pelaksanaan di lapangan sehingga akan tercipta
hubungan industrial yang harmonis.

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

14
Formulir 1 : Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang Dalam Pemborongan Pekerjaan

KOP PERUSAHAAN

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang
dalam Pemborongan Pekerjaan

Yth. Kepala Dinas ……….......


Kabupaten/Kota …...............
di .........................................

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama :
2. Jabatan :
3. Nama Perusahaan :
4. Alamat Perusahaan :
5. Status Badan Hukum :
6. Status Permodalan/Fasilitas : Modal Dalam Negeri/Modal Asing/
Modal Pemerintah Daerah/Lainnya *)
7. Jumlah Pekerja : WNI WNA TOTAL
L P JML L P JML L P JML

8. Hubungan Kerja dengan : PKWT PKWTT TOTAL


Pekerja/Buruh L P JML L P JML L P JML

9. Sektor/Jenis Usaha (KBLUI) :


10. a. Anggota asosiasi sektor usaha :
b. Nomor anggota :

dengan ini melaporkan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan
penerima pemborongan sebagai berikut :
NO JENIS PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN
YANG DISERAHKAN PENERIMA PEMBORONGAN **)
1.
2.
3.

Jenis pekerjaan penunjang tersebut diatas sesuai dengan alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan oleh Asosiasi …..……………. sebagaimana terlampir.

Demikian pelaporan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pelaporan Jenis
Pekerjaan Penunjang. Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Yang melaporkan,
(Perusahaan Pemberi Pekerjaan)

tanda tangan dan


stempel

Nama dan Jabatan

*) Pilih salah satu


**) Bila perush penerima pemborongan sdh ditentukan
Formulir 2 : Bukti Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang

KOP DINAS

Yth. Pimpinan ...................


...........................................
...........................................
di .......................................

BUKTI PELAPORAN
JENIS PEKERJAAN PENUNJANG
Nomor :

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, telah diterima laporan jenis pekerjaan
penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan, dari PT.
......................................... beralamat di ............................................... sesuai
dengan surat nomor ........................... tanggal .......................

Pelaporan jenis pekerjaan penunjang tersebut telah diperiksa dan sesuai


dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan oleh
Asosiasi …..……………. sebagaimana yang dilampirkan.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas …………..…….
Kabupaten/Kota ……………

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP


Formulir 3 : Pelaporan Perubahan Jenis Pekerjaan Penunjang
dalam Pemborongan Pekerjaan

KOP PERUSAHAAN

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pelaporan Perubahan Jenis Pekerjaan
Penunjang dalam Pemborongan
Pekerjaan

Yth. Kepala Dinas ………..


Kabupaten/Kota …..........
di ....................................

Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama :
2. Jabatan :
3. Nama Perusahaan :
4. Alamat Perusahaan :

5. Status Badan Hukum :


6. Status Permodalan/Fasilitas : Modal Dalam Negeri/Modal Asing/
Modal Pemerintah Daerah/Lainnya *)
7. Jumlah Pekerja : WNI WNA TOTAL
L P JML L P JML L P JML

8. Hubungan Kerja dengan : PKWT PKWTT TOTAL


Pekerja/Buruh L P JML L P JML L P JML

9. Sektor/Jenis Usaha (KBLUI) :


10. a. Anggota asosiasi sektor usaha :
b. Nomor anggota :

dengan ini melaporkan perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada
perusahaan penerima pemborongan sebagai berikut :
NO JENIS PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN
YANG DISERAHKAN PENERIMA PEMBORONGAN**)
SEMULA MENJADI
1.
2.
3.

Perubahan jenis pekerjaan penunjang tersebut di atas sesuai dengan alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan oleh Asosiasi …..……………. sebagaimana terlampir.

Demikian pelaporan perubahan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pelaporan
Perubahan Jenis Pekerjaan Penunjang. Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Yang melaporkan,
(Perusahaan Pemberi Pekerjaan)

tanda tangan dan


stempel

Nama dan Jabatan


*) Pilih salah satu
**) Bila perush penerima pemborongan sdh ditentukan
Formulir 4 : Bukti Pelaporan Perubahan Jenis Pekerjaan Penunjang

KOP DINAS

Yth. Pimpinan ....................


............................................
...........................................
di .......................................

BUKTI PELAPORAN
PERUBAHAN JENIS PEKERJAAN PENUNJANG
Nomor :

Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, telah diterima laporan perubahan jenis
pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan,
dari PT. .................................. beralamat di ..................................... sesuai
dengan surat nomor ............................. tanggal ................................

Pelaporan perubahan jenis pekerjaan penunjang tersebut telah diperiksa


dan sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan
oleh Asosiasi …..……………. sebagaimana yang dilampirkan.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP


Formulir 5 : Pendaftaran Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

KOP PERUSAHAAN

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pendaftaran Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan

Yth. Kepala Dinas ………..


Kabupaten/Kota …..........
di ....................................

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :

dengan ini mengajukan pendaftaran atas Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara perusahaan
…….. (selaku pemberi pekerjaan) dengan perusahaan …….. (selaku penerima pemborongan),
nomor …….. tanggal …………, untuk didaftarkan di Dinas ………..…. Kabupaten/Kota …………
tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan. Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan tersebut
sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain.

Berkaitan dengan hal tersebut, bersama ini kami lampirkan dokumen :


1. Fotocopy Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang telah ditandatangani para pihak diatas
meterai (dan asli Perjanjian Pemborongan Pekerjaan untuk ditunjukkan);
2. Fotocopy surat Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang dalam Pemborongan Pekerjaan nomor
….. tanggal ….. dan/atau surat Pelaporan Perubahan Jenis Pekerjaan Penunjang dalam
Pemborongan Pekerjaan nomor …… tanggal …..;*)
3. Fotocopy Bukti Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang nomor ….. tanggal ….. dan/atau Bukti
Pelaporan Perubahan Jenis Pekerjaan Penunjang nomor …… tanggal ……*)
4. Fotocopy akta pendirian dan anggaran dasar perusahaan nomor ….. tanggal …… dibuat
dihadapan Notaris …….. di …….
5. Fotocopy bukti pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas yang dikeluarkan oleh
Menteri Hukum dan HAM nomor ….. tanggal ……;
6. Fotocopy tanda daftar perusahaan yang dikeluarkan oleh ……….. nomor …….. tanggal ……;
7. Fotocopy surat izin usaha yang dikeluarkan oleh …….. nomor …….. tanggal ………..;
8. Fotocopy bukti wajib lapor perusahaan yang dikeluarkan oleh …… nomor ….. tanggal ……….;

Demikian permohonan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pendaftaran Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan. Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penerima Pemborongan)

tanda tangan dan


stempel

Nama dan Jabatan

*) Coret yang tidak ada


Formulir 6 : Bukti Pendaftaran Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

KOP DINAS

Yth. Pimpinan ...................


...........................................
...........................................
di .......................................

BUKTI PENDAFTARAN
PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN
Nomor :

Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, telah diterima pengajuan pendaftaran atas
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara perusahaan …….. (selaku pemberi
pekerjaan) dengan perusahaan …….. (selaku penerima pemborongan) nomor
………… tanggal …………., sesuai dengan surat nomor ........... tanggal
.....................

Perjanjian Pemborongan Pekerjaan tersebut dan dokumen yang


dilampirkan telah diteliti dan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain, serta telah kami daftarkan.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP


Formulir 7 : Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

KOP PERUSAHAAN

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pendaftaran Perjanjian
Penyediaan jasa Pekerja/buruh

Yth. Kepala Dinas ………..


Kabupaten/Kota ….........
di ...................................

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :

dengan ini mengajukan pendaftaran atas Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh antara
perusahaan …….. (selaku pemberi pekerjaan) dengan perusahaan …….. (selaku penyedia jasa
pekerja/buruh), nomor …….. tanggal …………, untuk didaftarkan di Dinas ………..….
Kabupaten/Kota ………… tempat pekerjaan dilaksanakan. Isi Perjanjian Penyediaan Jasa
Pekerja/Buruh tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Berkaitan dengan hal tersebut, bersama ini kami lampirkan dokumen :


1. Fotocopy Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh yang telah ditandatangani para pihak
diatas meterai (dan asli Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh untuk ditunjukkan);
2. Fotocopy surat izin usaha yang dikeluarkan oleh …….. nomor …….. tanggal ………..;
3. Draft Perjanjian Kerja yang akan dibuat antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan;
4. Fotocopy akta pendirian dan anggaran dasar perusahaan nomor ….. tanggal ……, dibuat
dihadapan Notaris …….. di …….
5. Fotocopy bukti pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas yang dikeluarkan oleh
Menteri Hukum dan HAM nomor ….. tanggal ……;
6. Fotocopy tanda daftar perusahaan yang dikeluarkan oleh ……….. nomor …….. tanggal ……;
7. Fotocopy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh ………… nomor …….
tanggal ……….;
8. Fotocopy surat izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang dikeluarkan
oleh Dinas ……….. Provinsi ……… nomor ………. tanggal …………;
9. Fotocopy surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh ……… nomor ….… tanggal ………..;
10. Fotocopy kartu nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang dikeluarkan oleh …………. nomor ……..

Demikian permohonan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pendaftaran Perjanjian
Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh. Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh)

tanda tangan dan


stempel

Nama dan Jabatan


Formulir 8 : Bukti Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

KOP DINAS

Yth. Pimpinan ...................


...........................................
...........................................
di .......................................

BUKTI PENDAFTARAN
PERJANJIAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
Nomor :

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, telah diterima pengajuan
pendaftaran atas Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh antara perusahaan
…….. (selaku pemberi pekerjaan) dengan perusahaan …….. (selaku penyedia jasa
pekerja/buruh) nomor ………… tanggal …………., sesuai dengan surat nomor
.......................... tanggal ..................

Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh tersebut dan dokumen yang


dilampirkan telah diteliti dan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain, serta telah kami daftarkan.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP


Formulir 9 : Penolakan Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

KOP DINAS

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pengembalian dokumen
pendaftaran Perjanjian Penyediaan
Jasa Pekerja/buruh

Yth. Pimpinan ...................


..........................................
..........................................
di ......................................

Memperhatikan surat Saudara nomor ……… tanggal ……… perihal


Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh yang kami terima pada
tanggal ……….. dan setelah dilakukan penelitian terhadap Perjanjian Penyediaan
Jasa Pekerja/Buruh nomor ……. tanggal …… beserta dokumen lainnya yang
dilampirkan, dengan ini disampaikan bahwa Perjanjian Penyediaan Jasa
Pekerja/Buruh dan/atau dokumen-dokumen yang dilampirkan*) tidak
sesuai/tidak lengkap*) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Sehubungan hal tersebut, berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012, maka dengan ini
Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan dokumen-dokumen yang
Saudara sampaikan, kami kembalikan untuk disesuaikan dan/atau dilengkapi*).

Demikian disampaikan. Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP

*) coret yang tidak perlu


Formulir 10 : Pencatatan Perjanjian Kerja dalam Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

KOP PERUSAHAAN

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pencatatan Perjanjian Kerja

Yth. Kepala Dinas ………..


Kabupaten/Kota …..........
di ....................................

Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :

dengan ini mengajukan pencatatan atas Perjanjian Kerja antara PT. …………. selaku
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh sebagaimana daftar terlampir,
untuk dicatat di Dinas ………..…. Kabupaten/Kota ………… tempat pekerjaan
dilaksanakan. Isi Perjanjian Kerja tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012.

Berkaitan dengan hal tersebut, bersama ini kami lampirkan dokumen :


1. Fotocopy Perjanjian Kerja yang telah ditandatangani para pihak di atas meterai (dan
asli Perjanjian Kerja untuk ditunjukkan);
2. Rekap nama dan jabatan pekerja/buruh yang menandatangani Perjanjian Kerja;
3. Draft Perjanjian Kerja yang dilampirkan dalam permohonan pendaftaran Perjanjian
Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh;
4. Fotocopy Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh nomor …. tanggal …….;
5. Fotocopy Bukti Pendaftaran Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh yang
dikeluarkan oleh Kepala Dinas ………. nomor ….. tanggal ……

Demikian permohonan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pencatatan


Perjanjian Kerja dalam Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh.
Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh)

tanda tangan dan


stempel

Nama dan Jabatan


Formulir 11 : Bukti Pencatatan Perjanjian Kerja dalam Penyediaan Jasa
Pekerja/Buruh

KOP DINAS

Yth. Pimpinan ...................


...........................................
...........................................
di .......................................

BUKTI PENCATATAN PERJANJIAN KERJA


DALAM PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
Nomor :

Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, telah diterima pengajuan
pencatatan atas Perjanjian Kerja antara PT. ................... (selaku penyedia jasa
pekerja/buruh) dengan pekerja/buruhnya sebagaimana daftar yang dilampirkan
dalam surat nomor .................. tanggal ................

Perjanjian Kerja dan dokumen yang dilampirkan telah diteliti dan sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, serta telah kami catat.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP


Formulir 12 : Permohonan Izin Operasional Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

KOP PERUSAHAAN

Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Izin Operasional

Yth. Kepala Dinas ………..


Kabupaten/Kota ….........
di ...................................

Berdasarkan Pasal 25 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :

dengan ini mengajukan permohonan izin operasional perusahaan penyedia jasa


pekerja/buruh : baru/perpanjangan*) atas nama PT ……………… berkedudukan di
……….. untuk dapat melaksanakan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh yang
dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di wilayah Provinsi …………….

Berkaitan dengan hal tersebut, bersama ini kami lampirkan dokumen :


1. Fotocopy akta pendirian dan anggaran dasar perusahaan nomor ….. tanggal ……,
dibuat dihadapan Notaris …….. di …….
2. Fotocopy bukti pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas yang
dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM nomor ….. tanggal ……;
3. Fotocopy surat izin usaha yang dikeluarkan oleh …….. nomor …….. tanggal ………..;
4. Fotocopy tanda daftar perusahaan yang dikeluarkan oleh ……….. nomor ……..
tanggal ……;
5. Fotocopy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh …… nomor …….
tanggal ……….;
6. Fotocopy surat pernyataan kepemilikan kantor dan/atau bukti penyewaan kantor
yang dikeluarkan oleh …………….. nomor ………. tanggal …………;
7. Fotocopy kartu nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang dikeluarkan oleh ………….
nomor …………….

Demikian permohonan ini kami ajukan. Terima kasih.

(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh)

tanda tangan dan


stempel

Nama dan Jabatan


*) Pilih salah satu
Formulir 13 : Izin Operasional Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
(Baru/Perpanjangan)

KOP DINAS

KEPUTUSAN KEPALA DINAS ................


PROVINSI .........................
NOMOR :

TENTANG

IZIN OPERASIONAL PERUSAHAAN PENYEDIA JASA


PEKERJA/BURUH PT. ..................................
(Baru/Perpanjangan) *)

KEPALA DINAS .................. PROVINSI ............................,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (1) (juncto Pasal 26 ayat


(2) -- bila izin operasional merupakan perpanjangan--)*)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, PT.
……….… yang berkedudukan di ……….. mengajukan
permohonan izin operasional sesuai surat nomor .....
tanggal ..... untuk dapat melaksanakan pekerjaan
penyediaan jasa pekerja/buruh di wilayah Propinsi ……….;

b. bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Peraturan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012,
permohonan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, telah memenuhi persyaratan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan
Kepala Dinas …………….. Provinsi ……………….

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1138);

3. …………………… (SK Pengangkatan sebagai Kepala Dinas)


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KESATU : Menerbitkan Izin operasional perusahaan penyedia jasa


pekerja/buruh baru/perpanjangan*) atas nama PT.
…………………, berkedudukan di …………. beralamat di
……………….., yang anggaran dasarnya sebagaimana dimuat
dalam akta pendirian nomor ….. tanggal ….. yang dibuat
dihadapan Notaris ................. di ............, yang telah
mendapat pengesahan sesuai dengan Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor …… tanggal ……

KEDUA : Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU :*)
a. berlaku pertama kalinya, untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun, mulai tanggal …..…. sampai dengan tanggal ……..
b. diperpanjang untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, mulai
tanggal ……. sampai dengan tanggal ……..

KETIGA : Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU berlaku di seluruh kabupaten/kota di wilayah
Provinsi ……………..

KEEMPAT Izin operasional ini sewaktu-waktu dapat dicabut apabila tidak


sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012.

KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di
pada tanggal

Kepala Dinas ………………………,


Provinsi ………………………….

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP

Tembusan :
1. Gubernur ..............
2. Kepala Dinas Bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota di Provinsi ……….

*) Pilih salah satu


Formulir 14 : Pencabutan Izin Operasional Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh

KOP DINAS

KEPUTUSAN KEPALA DINAS ................


PROVINSI .........................
NOMOR :

TENTANG

PENCABUTAN IZIN OPERASIONAL PERUSAHAAN


PENYEDIA JASA PEKERJA/BURUH PT. ..................................

KEPALA DINAS .................. PROVINSI ............................,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas ……….


Kabupaten/Kota ……………. sebagaimana surat nomor
………… tanggal ………., izin operasional perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh atas nama PT. …………….,
nomor ……….. tanggal ……………, diusulkan untuk dicabut
karena tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012;

b. bahwa usulan pencabutan sebagaimana dimaksud pada


huruf a, perlu diputuskan dan ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Dinas …………….. Provinsi ……………….

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1138);

3. …………………… (SK Pengangkatan sebagai Kepala Dinas)

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KESATU : Mencabut izin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh nomor ..... tanggal ..... yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas ............. Provinsi .............., atas nama PT.
…………………, berkedudukan di …………. beralamat di
………………..

KEDUA : Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU dinyatakan tidak berlaku sehingga PT. …………,
berkedudukan di …… tidak diperbolehkan melaksanakan
pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh di wilayah Provinsi
………………

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di
pada tanggal

Kepala Dinas ………………………,


Provinsi ………………………….

tanda tangan dan


stempel

Nama dan NIP

Tembusan :
1. Gubernur ..............
2. Kepala Dinas Bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota di Provinsi ……….

*) Pilih salah satu


KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 2013


NOMOR 225 TAHUN 2013
NOMOR 05/SKB/MENPAN-RB/08/2013

TENTANG

HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,


DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI
BIROKRASI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja serta
memberi pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta dalam
melaksanakan hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2014,
perlu menetapkan hari libur nasional dan cuti bersama tahun
2014;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri
Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014;

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti


Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1976 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3093);

2. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-
Hari Libur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1971;

3. Keputusan ...
- 2 -

3. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun


Baru Imlek;

4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang


Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana
telah diubah, dengan Peraturan Presiden Nomor Nomor 91
Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara;

5. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 tentang Penetapan


Tanggal 1 Mei Sebagai Hari Libur.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA


KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI TENTANG
HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2014.

KESATU : Menetapkan Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Bersama ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan
Bersama ini.

KEDUA : Penetapan tanggal 1 Ramadhan 1435 Hijriyah, Hari Raya Idul Fitri
1435 Hijriyah, dan Hari Raya Idul Adha 1435 Hijriyah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Agama.

KETIGA : Unit kerja/satuan organisasi/lembaga/perusahaan yang berfungsi


memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat di tingkat
pusat dan/atau daerah yang mencakup kepentingan masyarakat
luas, seperti rumah sakit, puskesmas, lembaga yang memberikan
pelayanan telekomunikasi, listrik, air minum, pemadam kebakaran,
keamanan dan ketertiban, perbankan, perhubungan, dan unit
kerja/satuan organisasi/lembaga/ perusahaan lain yang sejenis,
agar mengatur penugasan pegawai/karyawan/pekerja pada Hari
Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014 sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KESATU sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

KEEMPAT: ...
- 3 -

KEEMPAT : Pelaksanaan Cuti Bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU mengurangi hak cuti tahunan pegawai/karyawan/pekerja
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang
berlaku pada setiap unit kerja/satuan organisasi/lembaga/
perusahaan.

KELIMA : Pelaksanaan Cuti Bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum


KESATU bagi lembaga/instansi swasta diatur oleh pimpinan
masing-masing.

KEENAM : Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 21 Agustus 2013

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA MENTERI PENDAYAGUNAAN


DAN TRANSMIGRASI, APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI,
ttd. ttd. ttd.

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR AZWAR ABUBAKAR


LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA,
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN
REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 2013


NOMOR 225 TAHUN 2013
NOMOR 05/SKB/MENPAN-RB/08/2013

TENTANG

HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2014

A. HARI LIBUR NASIONAL TAHUN 2014

NO. TANGGAL HARI KETERANGAN


1. 1 Januari Rabu Tahun Baru 2014
2. 14 Januari Selasa Maulid Nabi Muhammad SAW
3. 31 Januari Jumat Tahun Baru Imlek 2565 Kongzili
4. 31 Maret Senin Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1936
5. 18 April Jumat Wafat Isa Almasih
6. 1 Mei Kamis Memperingati Hari Buruh Internasional
7. 15 Mei Kamis Hari Raya Waisak 2558
8. 27 Mei Selasa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW
9. 29 Mei Kamis Kenaikan Isa Almasih
10. 28-29 Juli Senin-Selasa Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriyah
11. 17 Agustus Minggu Hari Kemerdekaan RI
12. 5 Oktober Minggu Hari Raya Idul Adha 1435 Hijriyah
13. 25 Oktober Sabtu Tahun Baru 1436 Hijriyah
14. 25 Desember Kamis Hari Raya Natal

B. CUTI BERSAMA TAHUN 2014

NO. TANGGAL HARI KETERANGAN


1. 30-31 Juli dan Rabu, Kamis Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriyah
1 Agustus dan Jumat
2. 26 Desember Jumat Hari Raya Natal

MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA MENTERI PENDAYAGUNAAN


DAN TRANSMIGRASI, APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI,
ttd. ttd. ttd.

SURYADHARMA ALI MUHAIMIN ISKANDAR AZWAR ABUBAKAR


PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2013

TENTANG

PENETAPAN TANGGAL 1 MEI SEBAGAI HARI LIBUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei, diperingati


secara rutin oleh para pekerja/buruh di berbagai wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. bahwa peringatan Hari Buruh Internasional sebagaimana


dimaksud pada huruf a, berguna untuk membangun
kebersamaan antar pelaku hubungan industrial agar lebih
harmonis secara nasional;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan
Presiden tentang Penetapan Tanggal 1 Mei Sebagai Hari
Libur;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang …
- 2 -

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat


Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3989);

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

4. Keputusan Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-


Hari Libur, sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun
1983;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENETAPAN TANGGAL 1


MEI SEBAGAI HARI LIBUR.

KESATU : Menetapkan Tanggal 1 Mei sebagai Hari Libur untuk


memperingati Hari Buruh Internasional.

KEDUA: …
- 3 -

KEDUA : Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal


ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


PUTUSAN
Nomor 100/PUU-X/2012

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Nama : Marten Boiliu

Tempat/Tanggal Lahir : Kupang, 11 November 1974

Pekerjaan : Ex SATPAM PT. Sandhy Putra Makmur

Alamat Kediaman : Jalan Wibawa Mukti RT 01/RW 18 Nomor


137 Kelurahan Jatimekar, Kecamatan
Jatiasih, Kota Bekasi
Alamat Surat : Jalan Mawar Merah III Gg. 3 Nomor 74
RT.08/ RW.12, Kelurahan Malaka Jaya,
Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO);
Mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Membaca kesimpulan Pemohon dan Pemerintah;
2

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal


26 September 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 28 September 2012
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 354/PAN.MK/2012 dan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 100/PUU-X/2012
pada tanggal 3 Oktober 2012, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 30 Oktober 2012, yang pada pokoknya menguraikan hal-
hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut


UUD 1945) menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.”;

2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut
UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara
hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh
karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang
3

bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat


dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang;

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang


untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya menyatakan,


Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.

2. Bahwa di dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK dinyatakan bahwa


yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam
UUD 1945;

3. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PUU-III/2005 telah


menentukan 5 (lima) syarat mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat
spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang
dimohonkan pengujian;
4

e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka


kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;

4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas Pemohon merupakan


warga negara Republik Indonesia berdasarkan bukti Kartu Tanda
Penduduk (bukti P-3) serta bekerja pada PT Sandhy Putra Makmur (PT
SPM) sebagai SATPAM dan telah di-PHK sejak tanggal 2 Juli 2009
berdasarkan “Surat Keterangan” berakhirnya Hubungan Kerja Nomor
760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009 bertanggal 2 Juli 2009 (bukti P-4) yang
isinya menyatakan Pemohon (Marten Boiliu) adalah karyawan PT SPM
yang bekerja sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan tanggal 30 Juni
2009. Atas PHK dimaksud, pihak PT SPM tidak/belum membayarkan
kepada Pemohon uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (2) juncto
Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan)
mengenai kewajiban Pengusaha/Perusahaan membayar uang pesangon,
uang penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal terjadi PHK;

5. Setelah berjalan 3 (tiga) tahun di-PHK, 2 Juli 2009 sampai dengan 11 Juni
2012, Pemohon, secara kronologis, mengalami hal-hal sebagai berikut:
Pemohon baru mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak yang dimulai dari perundingan
bipartit dengan pihak PT SPM pada 11 Juni 2012, dilanjutkan dengan
mediasi di Kantor Suku Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Jakarta
Selatan, dan akan memasuki gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI), namun dengan adanya ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh
dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.”, mengakibatkan Pemohon dan kawan-kawan tidak
dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 163
5

ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, Pemohon dan kawan-kawan
sedang maupun akan mengalami/merasakan secara langsung
dampak kerugian yang diakibatkan oleh/dari adanya ketentuan Pasal
96 UU Ketenagakerjaan;

6. Bahwa kerugian Pemohon sebagaimana didalilkan di atas secara spesifik


perhitungannya adalah sebagai berikut:

a. Pemohon telah bekerja di PT SPM sejak 15 Mei 2002 sampai dengan


di-PHK pada 2 Juli 2009 dengan masa kerja 7 (tujuh) tahun lebih 1
(satu) bulan dan 17 (tujuh belas) hari;

b. Pasal 163 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa


Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena “perubahan status”, penggabungan, atau
peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156
ayat (4);

Pasal 156 ayat (2):

“Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


paling sedikit sebagai berikut: ... h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, (8) delapan bulan upah;”

Pasal 156 ayat (3):

“Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: ... b. masa kerja 6 (enam)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;”

Pasal 156 ayat (4):

“Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) meliputi: ... c. penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus)
6

dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;”

c. Pasal 89 ayat (1) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyatakan


bahwa upah minimum provinsi dan upah minimum sektoral ditetapkan
oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota;

d. Pasal 1 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 101 Tahun


2008 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2009 menyatakan bahwa
Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2009 di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebesar Rp. 1.069.865,00 (satu juta enam puluh
sembilan ribu delapan ratus enam puluh lima rupiah) per bulan.
(bukti P-7);

e. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka perhitungan


nilai nominal dari kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagai akibat
dari adanya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

1. Uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) huruf h
juncto Pasal 163 ayat (2): 2 x Rp. 1.069.865 UMP x 8 (delapan)
bulan upah = Rp. 17.117.840;

2. Uang penghargaan 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)


huruf b: Rp. 1.069.865 UMP x 3 (tiga) bulan upah =
Rp. 3.209.595;

3. Uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)
huruf c: 15% (lima belas perseratus) x Rp. 17.117.840 =
Rp. 2.567.676;

4. Total nilai kerugian adalah: Rp. 22.895.111 (dua puluh dua


juta delapan ratus sembilan puluh lima ribu seratus sebelas
rupiah).

7. Bahwa di samping kerugian tersebut di atas, norma/kaidah/ketentuan yang


terkandung di dalam Pasal 96 mencerminkan diskriminasi dan perlakuan
yang tidak adil terhadap Pemohon dan kawan-kawan. Diskriminasi dan
perlakuan yang tidak adil sebagaimana dimaksud dalam konkret/secara
spesifik yaitu selama Pemohon dan kawan-kawan bekerja dan menerima
7

upah/gaji (bukti P-8) dari PT SPM di bawah standar upah minimum yang
ditetapkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta berdasarkan ketentuan Pasal 89
ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa upah minimum ditetapkan oleh
Gubernur, maupun ketentuan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang
melarang pengusaha/perusahaan membayar upah lebih rendah dari UMP
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan Pasal 91 UU
Ketenagakerjaan yang mengatur kesepakatan antara perusahaan dengan
pekerja mengenai upah tidak boleh lebih rendah dari UMP yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal kesepakatan mengenai
upah lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan perusahaan
wajib membayar upah/gaji pekerja menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam hal ini, dengan adanya Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan, PT Sandhy Putra Makmur, di satu pihak
diuntungkan karena lepas dari kewajiban membayar kekurangan
upah/gaji yang seharusnya dibayarkan kepada Pemohon dan kawan-
kawan berdasarkan ketentuan standar UMP DKI Jakarta, dan di lain
pihak, Pemohon dan kawan-kawan, setelah di-PHK, tidak dapat
menuntut. Dengan demikian, Pemohon dan kawan-kawan harus
menerima dampak kerugian atas diskriminasi dan perlakuan yang
tidak adil dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dengan perhitungan nilai
kerugian sebagai berikut:

a. Tahun 2005, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 711.843,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
671.550,- maka kekurangannya adalah Rp. 711.843 - Rp. 671.550 =
Rp. 40.293 x 12 (dua belas) bulan = Rp. 483.516;

b. Tahun 2007, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 900.560,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
819.100,- maka kekurangannya adalah Rp. 900.560 - Rp. 819.100 =
Rp. 81.460 x 12 (dua belas) bulan = Rp. 977.520;

c. Tahun 2008, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 972.604,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
819.100,- maka kekurangannya adalah Rp. 972.520 - Rp. 819.100 =
Rp. 153. 420 x 12 (dua belas) bulan = Rp. 1.841.040;
8

d. Tahun 2009, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 1.069.865,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
819.100,- maka kekurangannya adalah Rp. 1.069.865 - Rp. 819.100 =
Rp. 250.765 x 6 (enam) bulan = Rp. 1.504.590;

e. Total kerugian adalah Rp. 483.516 + Rp. 977.520 + Rp. 1.841.040 +


Rp. 1.504.590 = Rp. 4.806.666;

8. Bahwa beberapa pasal dalam UUD 1945 yang merupakan hak-hak


konstitusional Pemohon, yaitu:

Pasal 28D ayat (1):

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

Pasal 28D ayat (2):

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”;

Pasal 28I ayat (2):

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.”;

9. Berdasarkan seluruh uraian dan argumentasi tersebut di atas, Pemohon


memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) dan memiliki
kepentingan untuk mengajukan hak pengujian Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/
buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.” terhadap UUD 1945 sebagaimana disebutkan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 juncto Pasal 51 UU MK karena Pemohon
mempunyai kepentingan secara langsung dan akan menerima dampak
kerugian secara langsung dari ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan.
9

III. ALASAN-ALASAN PEMOHON

A. Kronologis

1. Bahwa pada 15 Mei 2002, setelah menandatangani Perjanjian Kerja


Waktu Tertentu (PKWT), Pemohon diterima dan dipekerjakan PT SPM
sebagai SATPAM yang ditugaskan bersama-sama dengan kurang
lebih 2.000 anggota SATPAM yang tersebar di berbagai lokasi kerja
PT Telkom Divisi Regional II Jakarta meliputi Jakarta, Bogor,
Tangerang, Depok, Bekasi, Karawang, dan Serang Banten, di mana
Pemohon dan kawan-kawan 65 orang ditempatkan di lokasi kerja
Kantor Pusat PT Telkom Divre II Jakarta. PKWT ke-1 selama 1 (satu)
tahun terhitung 15 Mei 2002 sampai dengan 14 Mei 2003, selanjutnya
memasuki PKWT ke-2 selama 1 (satu) tahun terhitung 15 Mei 2003
sampai dengan 14 Mei 2004, dan berikutnya PKWT ke-3 selama 2
(dua) tahun terhitung 15 Mei 2004 sampai dengan 14 Mei 2006, dan
dilanjutkan lagi PKWT ke-4, ke-5, dan ke-6, dari 15 Mei 2008 sampai
dengan 31 Agustus 2008, serta PKWT ke-7 pada 1 September 2008
yang berakhir pada 30 Juni 2009 ditandai dengan keluarnya Surat
Keterangan berakhirnya Hubungan Kerja antara PT SPM dengan
Pemohon, Nomor 760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009, bertanggal 2 Juli
2009, yang isinya menyatakan Pemohon (Marten Boiliu) adalah
karyawan PT SPM yang bekerja sejak tanggal 15 Mei 2002 sampai
dengan tanggal 30 Juni 2009. Atas hubungan kerja tersebut, Pemohon
menerima upah/gaji setiap bulan mulai awal bekerja dengan upah/gaji
Rp 671.550 dan terakhir di-PHK dengan menerima upah/gaji Rp.
819.100 dan uang Transport + makan Rp 8.000 setiap hari (apabila
tidak masuk kerja karena sakit, izin, cuti, dan sebagainya, dipotong Rp.
8.000 per satu hari);

2. Berdasarkan berita acara pelaksanaan pekerjaan bulanan jasa dan


lembur tenaga satuan pengamanan (SATPAM) yang dibuat antara
pihak PT Telkom sebagai perusahaan pengguna tenaga kerja
SATPAM dengan PT SPM sebagai perusahaan jasa penyedia tenaga
SATPAM (bukti P-9) diketahui bahwa harga tenaga SATPAM per
orang setiap bulan adalah berkisar Rp. 2.040.442 (dua juta empat
puluh ribu empat ratur empat puluh dua rupiah). Apabila dibandingkan
10

dengan upah/gaji Rp. 819.100 yang diterima Pemohon dan kawan-


kawan setiap bulan terdapat selisih angka cukup banyak yang tidak
tahu ke mana larinya? Artinya dengan penghasilan Rp. 819.100 di
tengah tuntutan kebutuhan hidup di kota Jakarta yang cukup tinggi,
Pemohon dan kawan-kawan setiap kali masuk kerja harus berusaha
menahan rasa lapar untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarga di
rumah sedang sebagian besar hasilnya dinikmati oleh orang lain. Oleh
karenanya, cocok kalau keadaan yang dialami Pemohon selama
bekerja tak ubahnya dengan bentuk perbudakan zaman modern atau
penjajahan masa kini;

3. Bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf b juncto ayat (4) dan ayat
(7) UU Ketenagakerjaan, PKWT hanya dibuat untuk paling lama 3
(tiga) tahun. Apabila PKWT tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka
demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Dari ketentuan ini maka jelas bahwa PKWT antara PT SPM dengan
Pemohon beserta kawan-kawan adalah batal demi hukum dan
berubah menjadi PKWTT, dan Pemohon beserta kawan-kawan berhak
atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak
sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan, dalam hal terjadi PHK;

4. Selama 3 (tiga) Tahun di-PHK terhitung sejak berakhirnya hubungan


kerja antara PT SPM dengan Pemohon pada 2 Juli 2009 sampai
dengan 11 Juni 2012, Pemohon baru mengajukan tuntutan kepada
pihak PT SPM dimulai dari perundingan bipartit namun gagal yang
kemudian didaftarkan perselisihan tersebut ke Kantor Suku Dinas
Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Jakarta Selatan untuk dimediasi (bukti
P-5) namun pihak PT. SPM tidak pernah datang menghadirinya. Oleh
karenanya, Pemohon bersama kawan-kawan akan mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri
setempat. Selama kurun waktu tersebut Pemohon bersama kawan-
kawan sejumlah 65 orang tidak berdaya melakukan tuntutan karena
dihinggapi rasa takut dan cemas akan risiko tidak dipekerjakan lagi
kalau menuntut PT. SPM yang juga mengikuti tender pengadaan
barang dan jasa pengelolaan jasa pengamanan di PT Telkom. Apabila
11

PT SPM kembali menang tender di saat Pemohon dan kawan-kawan


menuntut uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian
hak atas PHK yang dialami pasti risiko tidak dipekerjakan lagi tidak
terhindarkan dan akibatnya pasti dirasakan pula keluarga, istri, dan
anak-anak;

5. Bahwa dari informasi yang diperoleh Pemohon dan kawan-kawan, PT


SPM tidak lagi mengikuti tender pengadaan barang dan jasa untuk
pengelolaan jasa tenaga pengamanan di lokasi kerja PT Telkom Divre
II terhitung Tahun 2012, maka terlepas dari benar-tidaknya informasi
tersebut, Pemohon dan kawan-kawan mulai bertekad untuk menuntut
uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak atas
PHK bahkan kekurangan pembayaran upah/gaji setiap bulan yang
dibayarkan oleh PT SPM kepada Pemohon dan kawan-kawan di
bawah standar UMP Provinsi DKI Jakarta selama beberapa tahun;

6. Bahwa Putusan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut Putusan MA)


Nomor 183 K/Pdt.Sus/2012 (bukti P-6) mengenai Perselisihan
Hubungan Industrial dalam perkara Zaenal sebagai Pemohon Kasasi,
dahulu Penggugat, melawan PT. Kramat Jati Asri Sejati, di mana
dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi, Zaenal, karena tuntutan pembayaran upah yang
diajukan Pemohon Kasasi telah melampaui waktu 2 (dua) tahun
sebagaimana ditentukan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan;

7. Bahwa Putusan MA Nomor 183 K/Pdt.Sus/2012 yang berpijak kepada


Pasal 96 UU Ketenagakerjaan sebagai dasar pertimbangan telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan tidak ada upaya hukum lagi
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4468, selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan) sehingga dengan adanya Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan di samping merugikan Zaenal selaku Pemohon
Kasasi juga merugikan Pemohon beserta 65 orang SATPAM lainnya
yang telah di-PHK PT SPM dan hendak mengajukan gugatan terhadap
kasus yang sama kadaluwarsanya karena putusan hakim yang telah
12

berkekuatan hukum tetap akan diikuti oleh hakim-hakim lainnya di


kemudian dalam perkara yang sama kadaluwarsanya;

8. Bahwa terjadinya PHK yang dilakukan PT SPM terhadap Pemohon


dan kawan-kawan pada 2 Juli 2009 bukan karena PT SPM bangkrut
atau merugi melainkan karena perubahan status, yaitu tidak lagi
memiliki hubungan kerja dengan PT Telkom akan tetapi masih tetap
beroperasi di perusahaan-perusahaan pemberi kerja yang lain namun
tidak mau mempekerjakan Pemohon dan kawan-kawan. Dengan
demikian, jelas kalau Pemohon dan kawan-kawan menuntut uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam hal
telah terjadi PHK;

B. Pokok-pokok alasan

1. Bahwa hukum ketenagakerjaan pada dasarnya menganut dua sumber


hukum yaitu sumber hukum otonom meliputi kesepakatan-
kesepakatan yang lahir menurut ketentuan-ketentuan di dalam
KUHPerdata dan sumber hukum heteronom meliputi UU
Ketenagakerjaan maupun peraturan perundang-undangan yang
memerlukan campur tangan Pemerintah. Maka terhadap KUHPerdata
dan UU Ketenagakerjaan berlaku asas hukum lex specialis derogat lex
generalis yaitu Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan
Undang-Undang yang bersifat umum. Terhadap hal-hal yang tidak
diatur di dalam lex specialis berlaku pula ketentuan-ketentuan di dalam
lex generalis;

2. Bahwa Pasal 1967 KUHPerdata (Prof. R. Subekti, S.H. & R.


Tjitrosudibio) menyatakan, “Segala tuntutan hukum baik yang bersifat
perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena
daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, ....”;

3. Bahwa Pasal 499 KUHPerdata memberikan pengertian tentang benda


ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak
milik;
13

4. Bahwa Pasal 500 KUHPerdata menyatakan, “Segala apa yang karena


hukum perlekatan termasuk dalam suatu kebendaan, seperti pun
segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam, maupun hasil
karena pekerjaan orang, selama yang akhir-akhir ini melekat pada
kebendaan itu laksana dahan dan akar terpaut pada tanahnya,
kesemuanya itu adalah bagian dari kebendaan tadi.”;

5. Bahwa Pasal 503 KUHPerdata menyatakan, “Tiap-tiap kebendaan


adalah bertubuh atau tak bertubuh.”;

6. Bahwa Pasal 156 UU Ketenagakerjaan telah meletakkan hak atas


sesuatu benda yaitu sejumlah uang pesangon, uang penghargaan,
uang penggantian hak dalam hal telah terjadi PHK, maupun hak atas
kekurangan pembayaran upah/gaji di bawah UMP Provinsi DKI Jakarta
yang diterima Pemohon dan kawan-kawan dari PT SPM setiap bulan
selama bekerja;

7. Bahwa Penjelasan Umum UU Ketenagakerjaan menyatakan,


“Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa
sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi
tenaga kerja dan pekerja/buruh ...”;

Hak-hak dan perlindungan dari pernyataan tersebut apabila dikaitkan


dengan norma/ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan di satu pihak
dengan Pasal 499, Pasal 500, Pasal 503, dan Pasal 1961 [sic!],
KUHPerdata, di lain pihak nampak sangat jelas bahwa semangat dari
UU Ketenagakerjaan untuk melindungi pekerja/buruh adalah sia-sia
atau tidak ada. Adanya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menunjukkan
suatu kecenderungan lebih menguntungkan kepentingan pengusaha
yang dibungkus rapih dengan perlindungan kepada pekerja/buruh,
ibaratnya “lain di bibir lain di hati”, artinya di bibir UU Ketenagakerjaan
menyatakan melindungi pekerja/buruh tetapi di dalam tindakan
merugikan pekerja/buruh dengan adanya norma/ketentuan Pasal 96
UU Ketenagakerjaan;

8. Bahwa ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dapat dikaitkan


dengan tuntutan Pemohon dan kawan-kawan mengenai uang
pesangon, uang penghargaan, uang penggantian hak, dan uang
14

kekurangan pembayaran selama menerima upah/gaji di bawah standar


UMP Provinsi DKI Jakarta dari PT SPM. Dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan tuntutan pembayaran upah dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja adalah berdasarkan Pasal 88 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan yaitu, “Kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi: a. upah
minimum; ... j. upah untuk pembayaran pesangon; ...”

Upah minimum adalah upah minimum Provinsi DKI Jakarta yang


ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan;

Upah pembayaran pesangon adalah upah berdasarkan Pasal 156 ayat


(1) UU Ketenagakerjaan yaitu dalam hal terjadi PHK, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima dengan
penghitungannya adalah sebagaimana diuraikan dalam bagian legal
standing Pemohon;

9. Bahwa Pasal 157 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan,


“Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak
yang seharusnya diterima yang tertunda terdiri atas:

a. upah pokok;

b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan


kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian
dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma,
yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi,
maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa upah yang


pembayarannya dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh tidak
termasuk ke dalam komponen upah yang digunakan sebagai dasar
pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak. Dalam kaitannya dengan tuntutan Pemohon dan
kawan-kawan atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
15

penggantian hak di mana uang makan/transport dibayarkan oleh PT


SPM dikaitkan dengan kehadiran Pemohon dan kawan-kawan atau
upah tersebut tidak dibayarkan apabila Pemohon dan kawan-kawan
tidak masuk kerja, tidak termasuk ke dalam komponen upah yang
dimaksud oleh Undang-Undang yang dapat dijadikan sebagai dasar
pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak. Sehubungan dengan upah yang diterima oleh
Pemohon dan kawan-kawan selama bekerja di PT SPM di bawah
standar UMP yang ditetapkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta,
maka dalam keadaan demikian patokan upah yang dapat dijadikan
sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak maupun gaji setiap bulan adalah upah/gaji yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yaitu peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta tentang UMP Provinsi DKI Jakarta. Di
samping itu, kekurangan pembayaran upah/gaji yang diterima setiap
bulan selama Pemohon dan kawan-kawan bekerja di PT SPM dihitung
oleh Pemohon berdasarkan upah/gaji yang ditetapkan dalam
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta;

10. Bahwa Pasal 91 UU Ketenagakerjaan menyatakan:

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan


antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-
uandangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11. Bahwa Pasal 1320 KUHPerdata memuat ketentuan tentang syarat-


syarat sahnya suatu kesepakatan yaitu: (a) kata sepakat, (b)
kecakapan, (c) hal tertentu, (d) sebab yang halal. Yang dimaksud
sebab yang halal adalah tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang atau norma-norma kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata).
16

Apabila suatu kesepakatan yang dibuat oleh para pihak bertentangan


dengan Undang-Undang dan norma kesusilaan, maka kesepakatan
tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada
kesepakatan. Dengan demikian segala kesepakatan yang dibuat oleh
PT SPM dengan Pemohon terkait upah/gaji dan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
ketenagakerjaan tersebut batal demi hukum atau dianggap tidak
pernah ada kesepakatan.

IV. KESIMPULAN

1. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan mengakibatkan Pemohon tidak dapat


melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal
156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Oleh karenanya,
Pemohon mengalami dampak kerugian sebesar Rp. 22.895.111 (dua
puluh dua juta delapan ratus sembilan puluh lima ribu seratus
sebelas rupiah) dan kerugian ini sebagai akibat dari adanya
norma/ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan;

2. Bahwa di samping kerugian tersebut di atas, norma/kaidah/ketentuan yang


terkandung dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan mencerminkan
diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil terhadap Pemohon dan kawan-
kawan. Diskriminasi tersebut, konkretnya, selama Pemohon dan kawan-
kawan bekerja, menerima upah/gaji dari PT SPM di bawah UMP yang
ditetapkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Dengan adanya Pasal 96
UU Ketenagakerjaan, PT SPM, di satu pihak, diuntungkan karena lepas
dari kewajiban membayar kekurangan upah/gaji yang dibayarkan kepada
Pemohon dan kawan-kawan di bawah ketentuan standar UMP DKI
Jakarta, dan di lain pihak, Pemohon dan kawan-kawan setelah di-PHK
tidak dapat menuntut karena adanya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, Pemohon dan kawan-kawan harus menerima dampak
kerugian atas diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan dengan perhitungan nilai kerugian adalah Rp. 4.806.666
(empat juta delapan ratus enam ribu enam ratus enam puluh enam
rupiah), dan kerugian ini sebagai akibat dari adanya Pasal 96 UU
17

Ketenagakerjaan yang mencerminkan diskriminasi dan perlakuan yang


tidak adil terhadap Pemohon dan kawan-kawan.

V. PETITUM

Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini Pemohon memohon kepada para Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 96 Undang-


Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Menyatakan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan
segala akibat hukumnya;

4. Atau apabila para Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat dan


menganggap Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan
berlaku, mohon agar Yang Mulia para Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap norma yang terkandung
di dalamnya demi mencegah dampak kerugian yang sedang dan akan
dialami Pemohon dan kawan-kawan;

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon


kiranya menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon telah


mengajukan bukti-bukti surat atau bukti tertulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-9 yang telah disahkan pada persidangan hari Senin, 5 November
2012, dan tanggal 5 Desember 2013 sebagai berikut:
18

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);

4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Keterangan PHK Nomor 760/SEKR/01/SPM-


02/VII/2009;

5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Panggilan Sidang Mediasi I, II, dan III dari
Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 183 K/Pdt.Sus/2012;

7. Bukti P-7 : Fotokopi Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor


101 Tahun 2008 tentang UMP Provinsi DKI Jakarta sebesar
Rp. 1.069.865;

Fotokopi daftar perhitungan kerugian akibat dari tidak adanya


pembayaran kepada Pemohon dan kawan-kawan atas
pemutusan hubungan kerja;

8. Bukti P-8 : Fotokopi bukti slip gaji;

9. Bukti P-9 : Fotokopi berita acara pelaksanaan pekerjaan bulanan antara


PT Telkom dengan PT Sandhy Putra Makmur;

Selain itu, Pemohon juga mengajukan dua orang saksi yaitu Mudini dan
Muhammad Abdul Basar serta dua orang ahli yaitu Prof. A. Masyhur Effendi,
S.H., M.S., dan Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. yang telah memberikan
keterangan pada persidangan hari Rabu, 5 Desember 2012, yang pada pokoknya
sebagai berikut:

Keterangan Saksi

1. Mudini

 Saksi mulai bekerja di PT Sandhy Putra Makmur (PT SPM) pada tanggal
14 Mei 2002 sampai dengan 15 Mei 2008;
19

 Saat pertama mulai bekerja di PT SPM, saksi memperoleh gaji sebesar Rp


671.150,00 dan terakhir menerima gaji sebesar Rp 819.100,00;

 Semenjak awal mula bekerja di PT SPM, setiap tahunnya, saksi menerima


perpanjangan Perjanjian Kerja yaitu sebagai berikut:

1. 14 Mei 2002 sampai dengan 15 Mei 2003;

2. 14 Mei 2003 sampai dengan 15 Mei 2004;

3. 14 Mei 2004 sampai dengan 15 Mei 2006 (dua tahun);

4. 14 Mei 2006 sampai dengan 15 Mei 2007;

5. 14 Mei 2007 sampai 14 Mei 2008;

6. 14 Mei 2008 sampai dengan 15 Mei 2009.

 Sampai dengan saat memberikan keterangan dalam perkara a quo, saksi


menyatakan belum memperoleh tunjangan PHK yang besarannya sesuai
dengan nilai yang tercantum dalam kontrak kerja. Saksi sebenarnya sudah
pernah mengupayakan untuk mendapatkan haknya tersebut dengan cara
menuntut langsung kepada pihak PT SPM dan memperoleh jawaban
bahwa hak-hak tersebut sudah tidak ada lagi karena sudah sesuai dengan
kontrak. PHK terjadi karena kontrak sudah habis. Atas dasar ini saksi
menuntut diberikannya tunjangan PHK;

 Saksi lupa kapan tuntutan tersebut dilaksanakan.

2. Muhammad Abdul Basar

 Saksi adalah rekan satu angkatan bersama Pemohon dan saksi Mudini.
Saksi bergabung di PT Sandi Putra Makmur sejak 15 Mei 2002 melalui
perekrutan dan pelatihan sekuriti untuk ditempatkan di PT Telkom
Regional II Jakarta. Selama periode 2002 sampai dengan berakhirnya
masa kerja pada 2009, terjadi, misalnya, pertama, ada upah yang
menggantung yaitu saksi tanda tangan perpanjangan kontrak melewati
tenggat waktu yang tertera dalam dokumen kontrak tersebut. Menurut
aturannya, hal itu akan dibayar dengan cara rapel, namun sampai dengan
habisnya kontrak, rapelan tersebut tidak pernah ada. Kedua, pengupahan
dilakukan tidak sesuai dengan aturan, karena, menurut pendapat saksi,
cuti itu dilindungi Undang-Undang, namun ketika saksi menerima upah,
20

penghasilan saksi berkurang karena dipotong masa cuti. Terakhir saksi


menerima gaji sebesar Rp 819.xxx,00 dengan tambahan Rp 8.000,00 itu
pun jika saksi masuk kerja penuh, jika cuti, maka penghasilan berkurang.

Keterangan Ahli

1. Prof. A. Masyhur Effendi, S.H., M.S.

 Konsiderans Menimbang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan)
merupakan aspek filosofis atau legal spirit yang harus dihormati dalam
pasal-pasal UU Ketenagakerjaan;

 Konsiderans menimbang huruf a UU Ketenagakerjaan menyatakan, “...


mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, ...” Artinya, aspek
kesejahteraan khususnya bagi buruh yang kondisinya lemah, mendapat
perhatian;

 Konsiderans menimbang huruf b UU Ketenagakerjaan menyatakan,


“bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku
dan tujuan pembangunan.” Artinya, tenaga kerja menempati posisi yang
superlatif sehingga hak-hak asasinya harus dihormati;

 Konsiderans menimbang huruf c UU Ketenagakerjaan menyatakan, “...


meningkatkan kualitas tenaga kerja ...” Artinya, pengusaha harus
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan perlindungan tenaga kerja beserta
keluarganya;

 Konsiderans menimbang huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan,


“bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya ...”;

 Jika Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tersebut dikaitkan dengan legal spirit di


atas, menurut Ahli, Pasal 96 a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
21

yang sama di hadapan hukum.” Apalagi sebagaimana diketahui, keadilan


yang diharapkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah keadilan substantif,
bukan keadilan struktural;

 Dalam ajaran filsafat hukum, keputusan yang baik adalah keputusan yang
adil, pasti, dan bermanfaat. Untuk itu, Ahli memohon kepada Mahkamah
supaya masalah keadilan lebih dulu diperhatikan daripada kepastian,
karena itu frasa “2 (dua) tahun” yang dituliskan dalam Pasal a quo
merupakan satu kondisi yang sangat memberatkan bagi buruh karena 2
(dua) tahun adalah singkat sekali. Minimal, menurut ahli, 6 (enam) tahun
dapat dipakai sebagai pertimbangan. Mengenai teori tentang keadilan,
yang terbaru, misalnya, keadilan progresif, di mana sang hakim
dimohonkan untuk dapat memberikan keadilan dalam rangka mewakili
suara rakyat yang unrepresented people sehingga benar-benar keputusan
dari Majelis Hakim dapat mewakili rakyat yang tidak dapat bicara,
khususnya para buruh yang kondisinya sangat memprihatinkan;

 Dalam negara modern dan hukum modern tidak dikenal lagi adanya
hukum diskriminatif. Jadi, Ahli melihat bahwa Pasal a quo benar-benar
pasal diskriminasi karena yang sedang berperkara adalah para buruh yang
memang posisinya sangat lemah, sehingga jika ketentuan ini tidak diubah
atau tidak dikatakan bertentangan dengan ketentuan Hak Asasi Manusia
dalam UUD 1945, buruh akan dianggap sebagai pelengkap;

 Dalam membahas Hak Asasi Manusia ini, terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan: pertama, Hak Asasi Manusia itu menyangkut biological need
dan spiritual need. Itu human need. Biological need: sandang, papan,
pangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Spiritual need:
kebutuhan batin dan kebebasan yang dijamin dalam UUD 1945.

2. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H.


 Dalam perkara a quo terdapat dua isu hukum yang harus dijawab:
pertama, apakah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui, menjamin,
melindungi dan memberi kepastian hukum kepada setiap orang, termasuk
mereka yang kebetulan saja berstatus sebagai pekerja, dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara? Dan untuk apa pulakah Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945 memerintahkan pemberian imbalan dan perlakuan yang adil
22

dan layak kepada pekerja dalam satu hubungan kerja? Memang di Pasal
28D ayat (2) UUD 1945 tidak disebut “pekerja”, tapi dalam perkara a quo
harus dibaca pekerja. Kedua, kepastian hukum macam apakah yang ada
di balik konsep pekerja alih daya atau outsourcing? Bagaimana terminologi
waktu tertentu yang dimungkinkan digunakan oleh pemberi kerja dimaknai
atau ditafsir makna konstitusionalnya bila masyarakat kerja diserahkan
sepenuhnya pada pemberi kerja untuk diperjanjikan dengan pekerjaan?
Mengapa harus diatur di dalam Undang-Undang?
 Perlakuan yang semena-mena terhadap pekerja itulah yang hendak
dihentikan dengan melalui norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal
28 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Perlindungan dari apa, oleh siapa, dan
kepada siapa, itulah logika di balik Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 yang saat ini dijadikan batu uji dalam perkara ini. Tidak akan ada
makna sama sekali bila Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 itu bila tidak ada
pekerja dan pemberi kerja. Sulit untuk tidak menyodorkan logika
perlindungan kepada pekerja dari kemungkinan tindakan semena-mena,
tidak layak, dan tidak adil dari pemberi kerja kepada mereka;
 Mengenai kelayakan dan dalam hal apa serta apa gunanya, dapat
mengundang perdebatan panjang, tetapi hal itu sama sekali tidak dapat
menghapuskan perintah konstitusional dalam Pasal 28D ayat (2) UUD
1945 untuk memberi perlindungan kepada pekerja. Sekadar perbandingan,
gagasan ini diperdebatkan dalam konstituante, bahkan telah diatur dalam
UUD Sementara Tahun 1950;
 Bukan saja karena diatur dalam Undang-Undang Dasar sehingga gagasan
mengenai perlindungan terhadap pekerja ini memiliki makna kemanusiaan
sebagai pengagungan terhadap harkat dan martabat manusia, tapi karena
konteks sosiohistorisnya memang berkenaan dengan perlakuan tidak
manusiawi sebagai satu gejala umum dalam dunia kerja di masa lalu. Kita
semua tahu bagaimana pekerja-pekerja di masa Hindia Belanda, bahkan
Marsinah, yang dengan sekuat keyakinannya, pada masanya,
memperjuangkan hak-haknya yang tampak seolah-olah hanya berkenaan
dengan upah, yang ternyata harus mati. Pengaturan mengenai
perlindungan terhadap pekerja dibuat agar negara ini benar-benar beradab
23

dengan cara memastikan perlindungan, tidak saja hukum melainkan juga


sosial, kepada pekerja atau buruh itu;
 Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 berbasis sosiologis pada peristiwa-peristiwa
ini. Kesemena-menaan inilah yang hendak disudahi dengan norma ini.
Memberi pesangon kepada pekerja yang diberhentikan setelah bertahun-
tahun bekerja tentulah merupakan pemaknaan dan/atau perwujudan dari
perintah konstitusional yang terekam dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
tersebut. Menolak memberi pesangon, atau apapun istilahnya, kepada
pekerja yang diberhentikan setelah bertahun-tahun bekerja kepada
pemberi kerja, jelas inkonstitusional terhadap perintah Undang-Undang
Dasar ini. Norma memang memiliki konsekuensi ruang dan waktu, ia valid
dalam satu ruang tertentu dan pada satu waktu tertentu. Tapi
persoalannya adalah memberi batas waktu secara limitatif untuk hak yang
oleh konstitusi diperintahkan untuk dipenuhi secara pasti, adil, dan layak,
jelas inkonstitusional;

 Sifat ruang dan waktu dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak dapat
dimaknai hanya hak yang berlaku pada suatu waktu tertentu menurut
Undang-Undang. Andai pembentuk Undang-Undang Dasar hendak
mendelegasikan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk
mengatur jangkauan waktu dari hak pekerja untuk memperoleh perlakuan
yang layak dan adil, maka frasa atau norma ayat (2) Pasal 28D UUD 1945
tidak akan berbunyi seperti itu. Tidak pantas juga membatasi hak untuk
memperoleh perlakuan yang adil dan layak. Pembatasan hak pekerja
untuk menutup pemenuhan kewajiban pemberi kerja sama maknanya
dengan merelatifkan sifat konstitusional dari pekerja yang dilindungi dalam
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Bukankah konsep hak hanya memiliki
makna karena di dalamnya terkandung konsekuensi atau terkandung
konsekuensi kewajiban bagi pihak lain? Bukankah pada konsep kewajiban
itu sesuatu yang sesuai sifatnya pula melekat tanggung jawab untuk
menunaikan kewajiban itu? Pihak yang dituju dengan hak itu yang dengan
sendirinya melahirkan kewajiban bagi pihak dan memikul tanggung jawab
untuk melakukan suatu perbuatan hukum dalam rangka memenuhi hak
pekerja. Hak mendapat perlakuan yang adil dan layak, dan kewajiban
untuk memenuhinya oleh pihak ketiga setelah sebelumnya terjalin suatu
24

hubungan hukum, sungguh tak pantas dibatasi. Pembatasan terhadapnya


dengan sendirinya sekali lagi mengingkari makna konstitusional norma
dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang sekarang dijadikan batu uji
karena dua hal: 1) Selain bukan pembatasan itu yang dimungkinkan oleh
konstitusi, hak dan perlakuan yang adil serta layak yang menjadi norma
konstitusi tak dapat dibatasi dengan argumen teknis alih daya karena
buruh itu buruh kontrak, outsourcing misalnya, atau buruh musiman, atau
pekerja paruh waktu, misalnya; 2) Lampau waktu yang disebabkan oleh
proses perundingan dan/atau perundingan yang berlarut-larut karena
ketidaksepahaman kedua belah pihak tidak pantas digunakan untuk
menyudahi penggunaan pihak yang berhak dan menyudahi kewajiban
pihak yang dibebani tanggung jawab menunaikan kewajiban itu. 8
(delapan) tahun bekerja tetapi tetap saja dikualifikasi sebagai pekerja alih
daya atau outsourcing adalah pengingkaran terhadap perintah Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945. Tidak ada kepastian hukum bagi setiap pekerja untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dan layak, bila waktu untuk
memperjuangkannya dibatasi tanpa argumen konstitusional yang layak
pula. Membaca 2 (dua) tahun syarat lampau waktu yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang diperdebatkan di sini jelas
tidak sinkron dan harmonis dengan norma dan jiwa dari Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945.

[2.3] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon,


Pemerintah telah menyampaikan opening statement dalam persidangan hari Rabu,
tanggal 5 Desember 2012 dan telah pula menyerahkan keterangan dan
kesimpulan tertulis melalui Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 Februari
2013, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

OPENING STATEMENT

I. Pokok Permohonan Pemohon

1) Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang


telah diputus hubungan kerjanya oleh PT Sandi Putra Makmur.
Pemohon merasa bahwa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan
berlakunya Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
25

Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Tuntutan bayaran upah


pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 tahun sejak
timbulnya hak.” Ketentuan a quo mengakibatkan Pemohon tidak dapat
melakukan tuntutan mengenai upah pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak akibat pemutusan hubungan kerja yang
dialaminya;
2) Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 96 Undang-Undang
Ketenagakerjaan mencerminkan diskriminasi dan perlakuan yang tidak
adil terhadap Pemohon, dan kawan-kawan karena tidak dapat lagi
menuntut haknya karena adanya norma atau masa daluwarsa yang
terkandung di dalam Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang
lebih menguntungkan kepentingan pengusaha dan merugikan
pekerja/buruh dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Menurut Pemerintah, permohonan Pemohon kabur karena Pemohon


dalam mengkonstruksikan kerugian yang didalilkan, dialaminya berdasarkan
kasus Mahkamah Agung Nomor 183K/Pdt.Sus/2012 yang merupakan kasus
yang berbeda dengan yang dialami oleh Pemohon, dan tidak dapat
diterapkan secara serta merta dalam kasus yang dialami oleh Pemohon.
Sehingga menurut Pemerintah, Pemohon tidak mengalami kerugian
konstitusional secara langsung atas keberlakuan ketentuan Pasal 96
Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan oleh karenanya menurut Pemerintah
adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika Ketua Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima. Uraian kedudukan hukum (legal standing) Pemohon akan dijelaskan
secara lebih rinci dalam keterangan Pemerintah secara lengkap yang akan
disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, Pemerintah memohon kepada Yang
Mulia Ketua atau Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan menilai,
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak,
sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
26

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun putusan-putusan


Mahkamah Konstitusi terdahulu, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, dan
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.

III. Penjelasan Pemerintah terhadap materi yang dimohonkan oleh


Pemohon

Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada tiap-
tiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional. Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan antara berbagai pihak, yaitu
pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan pengaturan
yang menyeluruh, komprehensif, dan seimbang mengenai ketenagakerjaan
yang di antaranya mengatur tentang perlindungan pekerja atau buruh,
termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh. Terhadap
anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan
menyatakan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu 2 tahun sejak timbulnya hak. Menurut
Pemerintah adanya ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum atas suatu keputusan atau penetapan sampai kapan
keputusan atau penetapan tersebut dapat digugat di pengadilan (vide
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-V/2007);
2. Bahwa dalam kaitannya dengan pembayaran upah dan hal-hal lain
dalam hubungan kerja, dan/atau hubungan hukum pekerjaan, selalu
diatur adanya ketentuan kedaluwarsa sama seperti ketentuan
kedaluwarsa dalam hubungan keperdataan lainnya, karena
kedaluwarsa adalah suatu alat untuk membebaskan diri dari suatu
27

perikatan atau perjanjian, termasuk perjanjian kerja (vide Pasal 1946


KUH Perdata);
3. Bahwa kedaluwarsa yang terkait dengan hubungan kerja atau
hubungan hukum melakukan pekerjaan sejak dulu diatur dalam
hubungan keperdataan, baik dalam hukum perdata adat maupun yang
tidak tertulis dalam hukum perdata barat, yang diatur kasus per kasus
dan pasal per pasal, antara lain:
a. Tuntutan para buruh untuk mendapatkan pembayaran upah
mereka beserta jumlah kenaikan upah itu kedaluwarsa dengan
lewat waktu satu tahun (vide Pasal 1968 KUH Perdata);
b. Tuntutan para buruh untuk pembayaran upah mereka beserta
jumlah kenaikan upah itu dalam kaitannya dengan lewatnya waktu
dua tahun (vide Pasal 1969 KUH Perdata);
c. Tuntutan tukang-tukang kayu, tukang-tukang batu untuk
pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah
mereka kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun (vide
Pasal 1971);
4. Bahwa tenggang waktu dua tahun sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan
aturan yang di-adopt dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981
khususnya Pasal 30 yang menyatakan bahwa tuntutan upah dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu dua tahun dan berdasarkan hukum
perdata. Sebagaimana disebut dalam poin 3, apabila ketentuan
mengenai kedaluwarsa tidak diatur, justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum;
5. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan tidak menuntut atau
meminta pertanggungjawaban PT. Sandi Putra Makmur dikarenakan
adanya keadaan psikologis rasa takut dan cemas tidak dipekerjakan
lagi, menurut Pemerintah, hal tersebut sudah menjadi materi pokok
perkara tersendiri atas perselisihan hubungan industrial yang menjadi
kewenangan pengadilan hubungan industrial untuk menilai apakah
alasan demikian dapat dijadikan alasan pemaaf untuk tidak mengajukan
tuntutan.
28

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah, ketentuan


Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan justru untuk memberikan
kepastian hukum pembayaran upah pekerja buruh dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja, dan ketentuan demikian tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada


Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan
mengadili Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menolak pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya


menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

KETERANGAN DAN KESIMPULAN PEMERINTAH

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON

1. Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang telah


diputus hubungan kerjanya oleh PT. Sandhy Putra Makmur. Pemohon
merasa bahwa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya
Pasal 96 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Tuntutan pembayaran
upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.” Ketentuan a quo mengakibatkan Pemohon tidak
dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang penghargaan,
dan uang penggantian hak akibat pemutusan hubungan kerja yang
dialaminya;
29

2. Menurut Pemohon ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan


mencerminkan diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil terhadap
Pemohon dan kawan-kawan karena tidak dapat lagi menuntut (haknya)
karena adanya norma (masa daluarsa) yang terkandung di dalam Pasal 96
UU Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut lebih menguntungkan
kepentingan pengusaha dan merugikan pekerja/buruh dan oleh karenanya
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut UUD 1945.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK),
menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai


dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud


dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal


51 ayat (1) UU MK;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam kualifikasi dimaksud yang


dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diujinya;
30

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai


akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan


Putusan Nomor ll/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah
memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya undang-
undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat,
yaitu:

a. adanya hak Konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD


1945;

b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap para


Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;

c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat


spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya


Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka


kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan


kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal
96 UU Ketenagakerjaan, juga apakah terdapat kerugian konstitusional
Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 51 ayat (1) UU MK;
31

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan


oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian.

Terhadap kedudukan hukum Pemohon, menurut Pemerintah, permohonan


Pemohon kabur (obscuur libels) karena Pemohon dalam mengkonstruksikan
kerugian yang didalilkan tidak dapat dijadikan alasan bahwa telah terjadi atau
telah timbul kerugian konstitusionalitas atas berlakunya norma yang
dimohonkan untuk diuji tersebut, karena pada kenyataannya Pemohon secara
sadar telah mengetahui bahwa setelah ada Pemutusan Hubungan Kerja telah
diberikan waktu yang cukup panjang untuk mengajukan tuntutan terhadap hak-
hak Pemohon. Terbukti, Pemohon dalam uraian permohonannya menyatakan
bahwa alasan untuk tidak mengajukan tuntutan terhadap hak-haknya didasari
oleh adanya rasa ketakutan dan harapan untuk dipekerjakan kembali.

Dengan perkataan lain, Pemohon telah melepaskan haknya untuk tidak


melakukan upaya hukum untuk memperoleh hak-haknya sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan.

Sehingga menurut Pemerintah, hal tersebut bukan merupakan isu


konstitusionalitas keberlakuan undang-undang terhadap UUD 1945, namun
merupakan isu penerapan/implementasi norma Undang-Undang. Selain itu
Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional secara langsung atas
keberlakuan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dan oleh karenanya
menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon


dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksudkan dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu.

Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia


Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak,
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, maupun
32

berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan


Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor ll/PUU-V/2007).

III. PENJELASAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG


DIMOHONKAN OLEH PEMOHON

Bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan


keterkaitan antara berbagai pihak yaitu Pemerintah, pengusaha dan
pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh,
komprehensif dan seimbang mengenai ketenagakerjaan yang di antaranya
mengatur tentang perlindungan pekerja/buruh termasuk perlindungan atas
hak-hak dasar pekerja/buruh.

Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 memberikan
hak kepada tiap-tiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. Untuk mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut
diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional yang salah satu implementasinya adalah
melalui pembentukan UU Ketenagakerjaan sehingga diharapkan dapat
mewujudkan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban pekerja/buruh dan
pengusaha.

Terhadap anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 96 UU


Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Bahwa ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan menyatakan: Tuntutan


pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2
(dua) tahun sejak timbulnya hak.

Menurut Pemerintah adanya ketentuan tersebut di atas dimaksudkan


untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) kepada
pekerja/buruh mengenai jangka waktu mengajukan tuntutan pembayaran
upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja. Sehingga, apabila tidak ditentukan jangka waktu tersebut justru akan
menimbulkan ketidakjelasan dan/atau ketidakpastian tentang batas waktu
33

pengajuan tuntutan, apakah 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun atau 10


(sepuluh) tahun sejak timbulnya hak, lebih-lebih jika tidak ditentukan
sampai kapan waktunya.

Dengan demikian, adanya ketentuan batasan waktu sebagaimana diatur


dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, selain telah memberikan kepastian
hukum, juga ketentuan yang demikian merupakan kebijakan yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang yang merupakan kepastian.

Selain itu, Pemohon dalam permohonan dan petitumnya juga tidak secara
tegas menyatakan berapa lamakah jangka waktu yang diinginkan/dirasa
cukup oleh Pemohon dalam mengajukan tuntutan pembayaran upah.

Sehingga menurut Pemerintah, apabila permohonan Pemohon dikabulkan


justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum baik kepada pekerja
maupun kepada pengusaha.

2. Bahwa dalam peraturan perundang-undangan ketentuan yang mengatur


mengenai daluarsa adalah merupakan hal yang lazim untuk mengatur
batasan daluarsa tentang timbulnya hak atau hilangnya suatu hak (vide
Pasal 1946 KUH Perdata), hal ini dibuktikan dengan adanya pengaturan
daluarsa dalam hubungan keperdataan maupun dalam ranah hukum
pidana. Sebagai contoh:

a. Tuntutan para buruh untuk mendapatkan pembayaran upah


mereka, beserta jumlah kenaikan upah itu, daluarsa dengan
lewatnya waktu 1 (satu) tahun (vide Pasal 1968 KUH Perdata).

b. Tuntutan para buruh untuk pembayaran upah mereka beserta


jumlah kenaikan upah itu, dalam kaitannya dengan lewatnya
waktu 2 (dua) tahun (Pasal 969 KUH Perdata).

c. Tuntutan tukang-tukang kayu, tukang-tukang batu untuk


pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah
mereka daluarsa dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun (vide
Pasal 1971 KUH Perdata).

d. Daluarsa penuntutan pidana mengenai semua pelanggaran dan


kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, daluarsa sesudah
1 (satu) tahun [Pasal 78 ayat (1) KUHP].
34

e. Daluarsa mengenai kejahatan yang diancam dengan denda,


kurungan, pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, daluarsa
sesudah 6 (enam) tahun [Pasal 78 ayat (2) KUHP].

f. Daluarsa mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara


lebih dari 3 (tiga) tahun, daluarsa sesudah 12 (dua belas) tahun [Pasal
78 ayat (3) KUHP].

g. Daluarsa mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau


pidana seumur hidup, daluarsa setelah 18 (delapan belas) tahun
[Pasal 78 ayat (4) KUHP].

3. Bahwa tenggang waktu 2 (dua) tahun sebagaimana diatur dalam


ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, merupakan aturan yang diambil
dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah, khususnya Pasal 30 yang menyatakan, bahwa tuntutan upah dan
segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja, menjadi daluarsa
setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.

Lebih lanjut terkait jangka waktu 2 tahun sebagaimana diatur dalam


ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan merupakan pilihan kebijakan
(legal policy) pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden). Jangka
waktu tersebut merupakan jangka waktu yang wajar, cukup, dan rasional
bagi para pihak apabila ingin mengajukan tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja.

Pilihan kebijakan tersebut tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah


Konstitusi sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang
melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang (willeliur), tidak
merupakan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir),
serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 (vide Putusan
Mahkamah Konstitusi 26/PUU-VII/2009).

4. Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan tidak menuntut/meminta


pertanggungjawaban PT. Sandhy Putra Makmur dikarenakan adanya
keadaan psikologis rasa takut dan cemas yang berakibat Pemohon tidak
dipekerjakan lagi. Menurut Pemerintah hal demikian sudah menjadi materi
pokok perkara tersendiri dalam gugatan perselisihan hubungan industrial
yang menjadi kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial untuk menilai
35

apakah alasan demikian dapat dijadikan alasan pemaaf (ignorantia iuris


neminem excusat) untuk tidak mengajukan tuntutan. Dengan demikian,
rasa takut dan cemas yang dialami oleh Pemohon, tidak terkait dengan
masalah konstitusionalitas keberlakuan Pasal a quo.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal


96 UU Ketenagakerjaan justru untuk memberikan kejelasan rentang waktu dan
kepastian hukum pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja dan karenanya, menurut Pemerintah,
ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal
28D ayat (2) UUD 1945.

IV. TANGGAPAN/KLARIFIKASI DARI PEMERINTAH ATAS KETERANGAN


AHLI DAN/ATAU SAKSI PEMOHON

Bahwa dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Desember 2012


Pemohon mengajukan dua orang ahli yaitu Prof. Masyhur Effendi dan Dr.
Margarito Kamis dan dua orang saksi yaitu Mudini dan Muhammad Abdul
Basar. Terhadap keterangan ahli dan saksi tersebut, Pemerintah dapat
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa ahli Prof Masyhur Effendi yang pada pokoknya menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945
khususnya tentang HAM karena itu 2 (dua) tahun yang dituliskan di dalam
pasal ini merupakan satu kondisi yang sangat memberatkan bagi
pekerja/buruh karena 2 (dua) tahun ini sangat singkat sekali, ya. minimal
menurut ahli, 6 (enam) tahun itu dapat dipakai sebagai pertimbangan.

Terhadap keterangan ahli tersebut, menurut Pemerintah pilihan jangka


waktu apakah 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun, atau 6 (enam) tahun
sebagaimana diusulkan oleh ahli Pemohon di atas, sejatinya adalah tepat
jika usulan demikian disampaikan kepada pembentuk Undang-Undang
untuk melakukan perubahan Undang-Undang Ketenagakerjaan melalui
mekanisme legislative review dan bukan melalui uji materiil di Mahkamah
Konstitusi.

2. Bahwa ahli Dr.Margarito Kamis, pada pokoknya menyatakan lampau waktu


yang disebabkan oleh proses perundingan dan/atau perundingan yang
36

berlarut-larut karena ketidaksepahaman kedua belah pihak tidak pantas


digunakan untuk menyudahi hak penggunaan hak pihak yang berhak dan
menyudahi kewajiban pihak yang dibebani tanggung jawab menunaikan
kewajiban dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD
1945.

Pemerintah tidak sependapat dengan keterangan ahli tersebut di atas,


karena ahli Pemohon tidak memberikan argumentasi yang jelas dan tegas
tentang isu konstitusionalitas keberlakuan ketentuan Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan, apakah merugikan hak konstitusional Pemohon atau
tidak. Dengan perkataan lain, keterangan ahli Pemohon tersebut di atas
tidak relevan dan out of context.

3. Pemerintah tidak memberikan klarifikasi secara khusus terhadap


keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon (Sdr. Mudini dan Sdr.
Muhammad Abdul basar), karena keterangan saksi Pemohon tersebut
memiliki materi yang sama persis dengan argumentasi Pemohon dalam
seluruh uraian permohonan Pemohon yang disampaikan ke Mahkamah
Konstitusi. Dengan perkataan lain, seluruh keterangan Pemerintah
tersebut di atas mutatis mutandis merupakan jawaban Pemerintah
terhadap keterangan saksi Pemohon tersebut.

Dalam persidangan tanggal 28 Januari 2013, Mahkamah Konstitusi telah


mendengarkan keterangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang
pada pokoknya menyampaikan bahwa perlu adanya kepastian hukum
mengenai jangka waktu pengajuan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh
dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja dan oleh karenanya
pihak terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar ketentuan Pasal 96
UU Ketenagakerjaan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk melengkapi keterangannya, Pihak Terkait juga menyampaikan 2 (dua)
putusan pengadilan terkait penerapan ketentuan Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan.

Dari keterangan APINDO tersebut di atas, nampak jelas bahwa para pelaku
usaha/ pengusaha juga sangat mendukung adanya batasan waktu untuk
memberikan kepastian hukum terhadap timbulnya hak atau hilangnya suatu
37

hak untuk menuntut sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 96 UU


Ketenagakerjaan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada


Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan
sebagai berikut:

1. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal


standing).

2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-


tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat
diterima (niet onvtankelijk verklaard).

3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan.

4. Menyatakan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan


dengan ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

[2.4] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon,


Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan pada persidangan hari
Rabu, 5 Desember 2012, dan menyerahkan keterangan tertulis melalui
Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 8 Januari 2013, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:

I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon


sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji khususnya
dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Mengenai kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua atau
Majelis Hakim Mahkamah Konstiusi untuk mempertimbangkan dan menilai
38

apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak sebagaimana diatur


oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007.

II. Pengujian Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan

Terhadap permohonan pengujian Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan


DPR RI menyampaikan keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan merupakan salah satu upaya negara dalam
mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

2. Bahwa khusus mengenai tujuan yang kedua yaitu “...memajukan


kesejahteraan umum”, apabila tujuan ini dikristalisasi maka akan dapat
dimaknai bahwa negara bertanggung jawab untuk meningkatkan
kesejahteraan yang salah satunya diwujudkan dalam ketentuan Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”;

3. Bahwa untuk menjalankan amanat dalam Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 di bidang kesejahteraan rakyat tersebut
pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-
hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau
buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi pengembangan dunia usaha;

4. Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin


hak-hak dasar tenaga kerja atau buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
39

5. Bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dari


keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja
selama, sebelum, dan sesudah masa kerja. Tetapi juga keterkaitan
dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,
diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain
mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan
produktivitas, dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan
hubungan industrial. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari
pembangunan ketenagakerjaan, harus diarahkan untuk terus
mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan;

6. Bahwa Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengertian


telah memberikan definisi upah yaitu:

“Hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.”;

7. Bahwa pemberian upah dari suatu pengusaha kepada pekerja atau


buruh, pada dasarnya harus memperhatikan tiga aspek yakni:

a. Aspek Teknis

Merupakan aspek yang tidak hanya sebatas bagaimana perhitungan


dan pembayaran upah dilakukan, tetapi menyangkut juga bagaimana
proses upah ditetapkan;

b. Aspek Ekonomis

Suatu aspek yang lebih melihat pada kondisi ekonomi, baik secara
secara makro maupun mikro, yang secara operasional kemudian
mempertimbangkan bagaimana kemampuan perusahaan pada saat
nilai upah akan ditetapkan, juga bagaimana implementasinya di
lapangan;
40

c. Aspek Hukum

Meliputi proses dan kewenangan penetapan upah, pelaksanaan


upah, perhitungan dan pembayaran upah, serta pengawasan
pelaksanaan ketentuan upah.

Ketiga aspek ini saling terintegral satu sama lain dan dalam pelaksanaan
pemberian upah, salah satu aspek tidak dapat dihilangkan atau
dikesampingkan karena masing-masing akan memberikan konsekuensi
yang berbeda-beda;

8. Salah satu aspek hukum yang sangat penting dalam pemberian upah
adalah kepastian hukum bagi pekerja atau buruh dan pemberi kerja atau
pengusaha dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana
diatur dalam kesepakatan bersama maupun dalam peraturan perundang-
undangan;

9. Ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan norma


hukum yang mengatur mengenai kedaluwarsanya suatu tuntutan
pembayaran upah. Ketentuan norma yang mengatur kedaluwarsa
menurut pandangan DPR adalah merupakan suatu norma yang sudah
lazim untuk menciptakan adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan hak
dan kewajiban seseorang. Salah satu contoh misalnya, ketentuan Pasal
55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang menyebutkan, “Gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”;

10. Keberadaan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan sama sekali


tidak akan menghilangkan hak buruh atau pekerja untuk dapat menuntut
upah yang menjadi haknya. DPR-RI berpandangan, pemberian waktu
selama dua tahun kepada buruh atau pekerja untuk dapat menuntut
haknya sudah lebih dari cukup. Dapat dibayangkan jika tidak ada
ketentuan masa kedaluwarsanya suatu tuntutan, maka tidak ada
kepastian hukum, baik bagi buruh atau pekerja, maupun bagi pengusaha.
Dapat saja terjadi tuntutan baru, dilakukan setelah sepuluh atau dua
puluh tahun kemudian, maka akan kesulitan untuk menghitung jumlah
kerugian yang diderita pekerja atau buruh karena jumlahnya dapat
41

berlipat-lipat. Pada sisi lain, hal tersebut tentu saja akan memberatkan
pemberi kerja untuk memenuhi tuntutan buruh atau pekerja a quo. Oleh
karenanya, pengaturan batas kedaluwarsa suatu tuntutan pembayaran
upah sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang a quo,
menurut pandangan DPR RI telah memiliki legal ratio yang cukup
beralasan;

11. Bahwa sebagai perbandingan, perlu juga melihat ketentuan Pasal 1946
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, “Kadaluwarsa
adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang.” Lebih lanjut, ketentuan
Pasal 1968 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan,
“Tuntutan para buruh yang upahnya dalam uang harus dibayar tiap-tiap
kali setelah lewatnya waktu yang kurang daripada satu triwulan untuk
mendapat pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu
menurut Pasal 1602q; semua itu berkedaluwarsa dengan lewatnya waktu
satu tahun.” Ketentuan ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 1969
yang menyebutkan, “...tuntutan para buruh dengan kekecualian mereka
yang dimaksud dalam Pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka
beserta jumlah kenaikan upah itu, menurut Pasal 1602q; semua itu
berdaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun.”;

12. Dengan demikian, ketentuan Pasal 96 yang menyatakan tuntutan


pembayaran upah pekerja atau buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui
jangka waktu dua tahun tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.

III. Petitum

1. Menyatakan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

2. Menyatakan keterangan DPR diterima secara seluruhnya;


42

3. Menyatakan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Menyatakan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

[2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak


Terkait Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dalam persidangan hari Senin,
28 Januari 2013, dan membaca keterangan Pihak Terkait yang diserahkan melalui
Kepaniteraan pada hari Kamis, 31 Januari 2013, yang menyatakan sebagai
berikut:
Perumusan masa kadaluwarsa selama waktu 2 tahun, pada dasarnya,
merupakan kebutuhan hukum atas keadilan dan kepastian serta dijamin di dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Waktu dua tahun kiranya adalah waktu yang cukup
bagi seorang pekerja/buruh untuk menggunakan haknya saat ketika haknya yang
timbul dari hubungan kerja sudah dapat dilakukan penagihan. Namun, saat
pekerja/buruh tidak menggunakan waktu tersebut, memberikan pengertian bahwa
pekerja/buruh sudah melepaskan segala haknya dan kelalaian pekerja/buruh untuk
menggunakan haknya. Menjadi sangat tidak adil untuk dibebankan kepada
pengusaha dan tidak pula adil seorang pengusaha dibebani kewajiban-kewajiban
tanpa ada batasan waktu, tentu akan membebani pengusaha sepanjang masa. Hal
ini tentu akan menimbulkan hukum yang tidak berkeadilan dan menyampingkan
kepastian;
1. Hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh harus ada kepastian hukum;
2. Untuk memperoleh kepastian hukum, perlu ditetapkan hak dan kewajiban yang
timbul akibat hubungan kerja;
3. Ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 untuk
memberikan kepastian hukum atas segala keputusan atau penetapan, sampai
kapan keputusan atau penetapan tersebut dapat digugat di pengadilan;
4. Pemberian kesempatan bagi pekerja buruh untuk menolak atau melakukan
gugatan terhadap perlakuan yang dirasakan tidak fair, tidak adil, apabila terjadi
PHK yang menimpa dirinya, sebagaimana diatur Pasal 96 UU a quo, adalah
jaminan bahwa hak-hak mendasar pekerja/buruh di tempat bekerja dilindungi
oleh negara;
43

5. Bagi pekerja/buruh yang tidak melakukan tuntutan dalam hal telah melampaui
batas waktu yang diberikan oleh undang-undang, dengan sendirinya dianggap
telah melepaskan haknya adalah suatu yang wajar demi adanya kepastian
hukum bagi para pihak;
6. Berkaitan dengan pembayaran upah dan hal-hal lain dalam hubungan kerja
selalu diatur adanya ketentuan kadaluwarsa;
7. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945.

APINDO berkesimpulan:

1. Permohonan pengujan Pemohon seluruhnya atau sebagian tidak dapat


diterima;

2. Menyatakan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaaan tidak bertentangan


dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945;

APINDO juga menyertakan contoh putusan perkara kadaluwarsa, sebagai berikut:

1. Putusan Nomor 67K/Pdt.Sus/2010

I. Yosep Seboy, bertempat tinggal di Kelian-Long Iram, Kutai Barat;

II. Martinus Gadun, bertempat tinggal di Jalan A. Yani Got 1 Nomor36,


Temindung, Samarinda;

Dalam hal ini memberi kuasa kepada Advokat, berkantor di Jalan Siti Aisyah,
RT.16, RW.07, No.71, Samarinda, selaku para Pemohon Kasasi dahulu
Penggugat/para pekerja.

Melawan

PT. HACIENDAWOOD NUSANTARA INDUSTRIES, Base Camp-Long Iram,


Kutai Barat, berkedudukan di Jl. P. Antasari, Nomor1, Samarinda.

Para Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/para pekerja, di muka persidangan


Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda,
memohon kepada PHI pada PN Samarinda supaya memberikan putusan
antara lain sebagai berikut:

1. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai kepada Penggugat


(Yoseph Seboy) kompensasi PHK (Uang Pesangon/UP, Uang
Penghargaan Masa Kerja/UPMK, dan Uang Penggantian Hak/UPH, serta
44

Uang Cuti Tahunan 2003 dan 2004 sejumlah Rp. 16.500,00 berikut untuk
membayar secara tunai kelebihan jam kerja dan/atau upah lembur
kalender tahun 2003 = Rp. 8.366.896,00 dan kalender 2004 =
Rp. 8.366.806,00;

2. Menghukum Tergugat untuk membayar tunai kepada Penggugat (Martinus


Gadun): kekurangan bayar UMSP 2002, 2003, 2004, 2005, sejumlah Rp.
5.160.000,00 serta untuk membayar tunai cuti kalender tahun 2003 =
Rp. 288.000,00 cuti kalender tahun 2004 = Rp. 290.400,00;

3. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara subsidair


dalam peradilan yang baik, mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aequo
et bono).

Bahwa terhadap gugatan tersebut, PHI pada PN Samarinda telah


mengeluarkan Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.Smda, bertanggal 8 Juni 2009,
yang amarnya sebagai berikut:

1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut, akan tetapi tidak hadir;

2. Menjatuhkan putusan terhadap perkara ini dengan verstek (bi verstek);

3. Menyatakan gugatan Penggugat terhadap uang pesangon sebagai akibat


PHK, kekurangan pembayaran upah, dan pembayaran uang lembur tidak
dapat diterima karena kedaluwarsa;

4. Membebankan biaya perkara ini kepada negara.

Terhadap alasan-alasan para Pemohon Kasasi yang tidak sependapat dan


sangat keberatan dengan Putusan Nomor 12/G/2009/PHI.Smda, bertanggal 8
Januari 2009, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan
gugatan Yosep Seboy dan Martinus Gadun tersebut harus ditolak, biaya
perkara dibebankan kepada negara. Dalam perkara ini, pekerja/buruh
terhadap masa tenggang waktu tidak ditanggapi oleh MA, yang berarti MA
mengukuhkan Putusan PN Samarinda Nomor 12/G/29/PHI.Smda.

2. Putusan Nomor 37K/Pdt.Sus/2010

Perkara Perselisihan Hubungan Industrial dalam Peninjauan Kembali telah


memutuskan sebagai berikut:
45

Para Pihak:

PT. Thiess Indonesia (dahulu PT. Thies Contractors Indonesia), selaku pihak
Pengusaha/Perusahaan beralamat di Gedung Ratu Prabu 2, Jalan TB.
Simatupang Kavling 18, Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 28 Oktober 2009, Pemohon Peninjauan Kembali
(dahulu Tergugat)

melawan

1. Faisal Boy Piliang. Bertempat tinggal di Perum Indah Lestari Nomor 5


RT.003, RW.09, Kelurahan Kramat Jati Makmur, Jakarta;
2. Risman Sidan. Bertempat di Jalan Kuber Ulu Nomor 19 RT.005, RW.09,
Kelurahan Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur;
3. Muchlis Yatim. Bertempat tinggal di Kampung Cipayung, Jalan H. Imran
Nomor 27 RT.004, RW.01, Pondok Timur. Para Pemohon Peninjauan
Kembali (dahulu Para Penggugat).

PT. Thiess Indonesia selaku Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu sebagai


Penggugat) telah melakukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 609 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 5 November
2008, dalam perkaranya melawan para Termohon Peninjauan Kembali (dahulu
sebagai Para Penggugat) dengan posita perkara sebagai berikut:

a. Tergugat telah mempekerjakan para Penggugat melebihi waktu kerja


lembur yang ditetapkan (delapan poin keterangan-penjelasan);
b. Tergugat tidak membayar dan menolak membayar upah lembur (13
keterangan/penjelasan plus huruf a1, a2, memuat rincian perhitungan
upah lembur yang belum terbayar, serta lima poin keterangan/penjelasan);
c. 10 poin keterangan/penjelasan pertimbangan Mahkamah Agung berikut
diktum MENGADILI yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oleh PT Thiess Indonesia ditolak dan menghukum
Pemohon Peninjauan Kembali/Tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
46

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis


melalui Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin, tanggal 4 Februari 2013, yang
menyatakan sebagai berikut:

I. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)

1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan


Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang memenuhi kualifikasi sebagai
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24
Tahun 2003. Pemohon telah bekerja di PT. SPM sejak 15 Mei 2002 dan
telah di-PHK pada tanggal 30 Juni 2009 yang dibuktikan dengan Surat
Keterangan berakhirnya hubungan kerja yang dikeluarkan oleh PT. SPM
yang isinya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1602 z KUHPer yang
menyatakan bahwa si majikan diwajibkan pada waktu berakhirnya
perhubungan kerja atas permintaan si buruh memberikan kepadanya
sepucuk surat yang ditandatangani olehnya. Surat itu memuat suatu
keterangan yang sesungguhnya tentang sifat pekerjaan yang telah
dilakukan serta lamanya perhubungan kerja,.... Ketentuan ini sebagai lex
generalis berlaku karena hal demikian tidak diatur di dalam UU Nomor13
Tahun 2003 sebagai lex specialis;

2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai warga


negara Indonesia yang diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 telah dirugikan dengan berlakunya
ketentuan Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan konstruksinya
sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PUU-III/2005 juncto Pasal
51 ayat (1) UU Nomor24 Tahun 2003 mengenai syarat-syarat kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945 antara lain:
 Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
 Hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja;
 Hak untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif.
47

b. Hak dan/atau kewenangan Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya


UU yang dimohonkan pengujian
 Ketentuan Pasal 96 UU 13 Tahun 2003 menentukan kadaluwarsa
2 tahun untuk menuntut upah dan segala pembayaran yang timbul
dalam hubungan kerja;
 Kadaluwarsa 2 tahun tersebut Pemohon tidak dapat melakukan
tuntutan pembayaran uang pesangon, penghargaan, dan
penggantian hak (Pasal 163 juncto Pasal 156 UU 13 Tahun 2003);
 Akibat dari itu hak Pemohon untuk mendapat pengakuan, jaminan,
perlindungan, hak untuk menerima imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak serta hak untuk tidak diperlakukan secara
diskriminatif dirugikan seiring dengan adanya ketentuan Pasal 96
UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebabkan Pemohon tidak
dapat menuntut imbalan pembayaran uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak atas PHK yang dialami
oleh Pemohon.
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat
spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi antara lain sebagai
berikut:
 Hak untuk menuntut imbalan masa kerja berupa pembayaran uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak setelah
di-PHK sesuai Pasal 163 juncto Pasal156 UU Nomor13 Tahun
2003 hapus dengan ketentuan Pasal 96 UU Nomor13 Tahun 2003
sehingga Pemohon mengalami kerugian secara normatif untuk
masa kerja 7 tahun lebih 1 bulan 17 hari dengan spesifikasi
sebagai berikut: uang pesangon 2 x Rp. 1.069.865 x 8 bulan upah
= Rp. 17.117.840,00 dan uang penghargaan Rp. 1.069.865,00 x 3
bulan upah = Rp. 3.209.595,00 serta uang penggantian hak
15/100 x Rp. 17.117.840,00 = Rp. 2.567.676,00. TOTAL: Rp.
22.895.111,00 [Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (1), (2),
(3), (4) juncto Pergub DKI Jakarta Nomor101 tentang UMP Tahun
2009];
48

 Hak untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, hak untuk


menerima imbalan dan perlakuan yang adil dan layak serta hak
untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dirugikan seiring
dengan ketentuan Pasal 96 UU 13 Tahun 2003 yang
menyebabkan Pemohon tidak dapat melakukan tuntutan
pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak setelah Pemohon di-PHK yang telah dihitung
Pemohon sebesar Rp. 22.895.111,00;
d. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan UU yang dimohonkan pengujian;
 Ketentuan Pasal 96 UU Nomor13 Tahun 2003 tentang
kadaluwarsa 2 tahun menyebabkan Pemohon tidak dapat
menuntut pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak setelah Pemohon di-PHK, akibatnya
Pemohon mengalami kerugian sebesar Rp. 22.895.111,00;
 Bahwa hak Pemohon untuk mendapat pengakuan, jaminan,
perlindungan, hak untuk menerima imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak serta hak untuk tidak diperlakukan secara
diskriminatif dirugikan seiring kerugian Pemohon dalam bentuk hak
normatif uang pesangon, uang penghargaan, uang penggantian
hak setelah di-PHK sebesar Rp. 22.895.111,00 sebagai akibat
yang ditimbulkan oleh berlakunya Pasal 96 UU Nomor13 Tahun
2003 yang dimohonkan pengujian.
e. Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh
Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi;
 Bahwa UU Nomor2 Tahun 2004 menentukan sengketa hubungan
industrial mengenai perselisihan PHK dan perselisihan hak dapat
diselesaikan di luar dan di dalam Pengadilan Hubungan Industrial;
 Bahwa Pemohon telah menempuh penyelesaian di luar
Pengadilan Hubungan Industrial namun gagal dan untuk
selanjutnya Pemohon belum melakukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial sehingga apabila Mahkamah mengabulkan
permohonan Pemohon ada kemungkinan kerugian hak dan/atau
49

kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak


akan atau tidak lagi terjadi ketika Pemohon mengajukan gugatan
ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat;

3. Berdasarkan konstruksi uraian tentang kedudukan hukum Pemohon


tersebut di atas maka Pemohon memiliki kepentingan serta memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian
Pasal 96 UU Nomor13 Tahun 2003 terhadap UUD 1945, sesuai syarat-
syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang terdapat
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.

II. KETERANGAN PEMERINTAH, DPR, DAN APINDO

A. Keterangan Pemerintah

1. Bahwa keterangan Pemerintah yang menyatakan, “permohonan


Pemohon kabur” merupakan keterangan yang diberikan tanpa
membaca dan memperhatikan secara utuh kerugian-kerugian yang
dialami dan diuraikan dalam permohonan Pemohon terkait
keberlakuan pasal yang dimohonkan pengujian yang mengandung
unsur kadaluwarsa selama 2 tahun, unsur kerugian, unsur hak
dan/atau kewenangan yang diberikan oleh konstitusi yang sama pula
terdapat dalam kasus sebagaimana Putusan Kasasi MA RI Nomor 183
K/Pdt.Sus/2012;

2. Bahwa penjelasan Pemerintah yang menyatakan, “adanya ketentuan


Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2003 dimaksudkan untuk memberikan
suatu kepastian hukum”, menurut Pemohon, keterangan Pemerintah
tersebut menjadi suatu bukti yang sangat jelas dan terang benderang
bahwa ketentuan Pasal 96 yang dibentuk oleh Pemerintah bersama
DPR sebagai pembentuk UU hanya mengejar kepastian hukum dan
mengabaikan keadilan serta pengakuan, jaminan, dan perlindungan
yang diamanatkan Konstitusi UUD 1945. Selain dari itu penjelasan
Pemerintah menjadi jelas pula bahwa materi muatan ketentuan Pasal
96 yang dimohonkan pengujian ini tidak mencerminkan asas
50

pengayoman dan asas keadilan sebagaimana asas-asas yang


terdapat dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

3. Bahwa penjelasan Pemerintah terhadap Pasal 96 yang dimohonkan


pengujian dengan mengutip ketentuan Pasal 1946, 1968, 1969, dan
1971 KUHPer, menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut yang dimaksud
oleh Pemerintah memuat ketentuan daluarsa terhadap upah dan/atau
jasa dan/atau honorarium “yang timbul pada saat berlangsungnya
hubungan kerja yang lahir dari suatu perikatan di mana perikatan
tersebut melahirkan hak dan kewajiban secara timbal balik di antara
para pihak” atau dengan kata lain, pasal-pasal tersebut di atas yang
dimaksudkan oleh Pemerintah dalam penjelasannya adalah pasal-
pasal yang memuat daluarsa tentang perbuatan-perbuatan yang murni
tergolong prestasi dan wanprestasi. Sedangkan tuntutan Pemohon
atas pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan uang
penggantian hak setelah di-PHK atau setelah berakhirnya hubungan
kerja merupakan ketentuan Undang-Undang yang diatur di dalam
Pasal 156 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU Nomor 13 Tahun
2003 yang mewajibkan majikan/pengusaha/perusahaan untuk
membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian
hak dalam hal melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana
pelanggaran terhadap ketentuan ini tergolong perbuatan melawan
hukum. Dan untuk Perjanjian Kerja Waktu Tak Tentu (PKWTT) pada
umumnya terhadap ketentuan Pasal 156 tersebut menjadi keharusan
untuk menyesuaikan berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPer
tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Oleh karena itu
keterangan/penjelasan Pemerintah dapat dinyatakan kabur dan/atau
tidak ada hubungannya dengan permohonan Pemohon dan layak
untuk dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

4. Bahwa Pemerintah dalam keterangannya yang diberikan di depan


persidangan Mahkamah tidak terdapat alasan-alasan yang kuat yang
menyangkal hal-hal yang didalilkan Pemohon mengenai ketiadaan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang tidak
adil, perlakuan yang tidak sama, tidak mendapat imbalan dan
51

perlakuan yang adil serta perlakuan diskriminatif yang dialami


Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal 96 yang dimohonkan
pengujian. Dengan demikian Pemerintah mengakui dan menerima hal-
hal yang didalilkan oleh Pemohon atas keberlakuan Pasal 96 yang
dimohonkan pengujian. Oleh karena itu layak untuk dinyatakan
ketentuan Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan
UUD 1945.

B. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat

1. DPR dalam keterangannya menyatakan bahwa pembentukan UU


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah
satu upaya negara dalam mewujudkan tujuan nasional Indonesia
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Menurut
Pemohon, DPR tidak dapat menjelaskan tujuan nasional yang
dimaksudnya. Namun demikian, di dalam Pembukaan UUD 1945
alinea ke-4 dapat kita temui tujuan nasional yang menekankan pada 3
aspek yaitu aspek kesejahteraan, adil, dan makmur;

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi sebagai berikut:


Sejahtera yaitu aman sentosa atau terlepas dari segala macam
ganguan, adil yaitu sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak,
dan makmur yaitu banyak hasil; serba kecukupan; tidak kekurangan;

Apabila ketentuan Pasal 96 yang dimohonkan pengujian dihubungkan


dengan terminologi kata adil dan makmur yang tertuang di dalam
Pembukaan UUD 1945, terjadi kontra atau disharmonisasi Pasal 96
UU 13 Tahun 2003 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan
demikian tujuan nasional yang dimaksudkan oleh DPR di dalam
penjelasannya mengandung makna secara tidak langsung DPR
mengakui bahwa ketentuan Pasal 96 bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam keadaan yang sudah sangat jelas terjadi disharmonisasi UU
terhadap UUD 1945 merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan pengujian;

2. Bahwa DPR di dalam keterangannya menyatakan bahwa Pasal 1 ayat


(3) UU Ketenagakerjaan, pengertian telah memberi definisi upah yaitu
hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
52

imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh


yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan. Selain itu, DPR di dalam keterangannya menyatakan
bahwa sebagai perbandingan perlu juga melihat ketentuan Pasal 1946,
1968, 1969 KUHPer. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut yang
dimaksud oleh DPR memuat ketentuan daluarsa terhadap upah
dan/atau jasa dan/atau honorarium “yang timbul pada saat
berlangsungnya hubungan kerja yang lahir dari suatu perikatan di
mana perikatan tersebut melahirkan hak dan kewajiban secara timbal
balik di antara para pihak” atau dengan kata lain pasal-pasal tersebut
di atas yang dimaksudkan oleh DPR dalam penjelasannya adalah
pasal-pasal yang memuat daluarsa tentang paerbuatan-perbuatan
yang murni tergolong prestasi dan wanprestasi. Sedangkan tuntutan
Pemohon atas pembayaran uang pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak setelah di-PHK atau setelah berakhirnya
hubungan kerja merupakan ketentuan undang-undang yang diatur di
dalam Pasal 156 ayat (1), (2), (3), (4) UU Nomor13 Tahun 2003 yang
mewajiban majikan/pengusaha/perusahaan untuk membayar uang
pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana pengingkaran
terhadap ketentuan ini tergolong perbuatan melawan hukum. Dan
untuk perjanjian kerja waktu tak tentu (PKWTT) pada umumnya
menjadi suatu keharusan untuk menyesuaikan dengan ketentuan
Pasal 156 UU 13 Tahun 2003 berdasarkan ketentuan Pasal 1320
KUHPer tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Oleh karena
itu keterangan/penjelasan DPR dapat dinyatakan tidak ada
hubungannya dengan permohonan pemohon atau kabur dan layak
untuk dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

3. DPR di dalam keterangannya menyatakan bahwa pembangunan


ketenagakerjaan banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak
hanya dengan kepetingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah
masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah. Menurut Pemohon, keterangan DPR sebagaimana
disebutkan di atas apabila dihubungkan dengan Pasal 96 yang
53

dimohonkan pengujian dengan melihat kedudukan pekerja/buruh yang


lemah dan berada di bawah pengusaha/perusahaan, dapat dimaknai
bahwa dalam keadaan demikian sebagaimana keterangan DPR,
Konstitusi UUD1945 boleh dilanggar. Tentu saja hal ini merupakan
suatu pelecehan terhadap UUD 1945. Kalau sudah demikian di
manakah supremasi hukum itu? Di samping itu juga hukum bukan lagi
menjadi panglima melainkan kepentingan menggeser hukum dan
menjadi panglima. Dalam keadaan ini Pemohon menyerahkan
sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menilai apakah konstitusi perlu
dipertahankan dan ditegakan atau dibiarkan dilecehkan;

4. Penjelasan DPR bahwa ketentuan norma yang mengatur kadaluwarsa


menurut DPR adalah merupakan suatu norma yang sudah lazim untuk
menciptakan adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan hak dan
kewajiban seseorang. Menurut Pemohon, keterangan DPR tersebut
menjadi suatu bukti yang sangat jelas dan terang benderang bahwa
ketentuan/norma yang dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah
sebagai pembentuk UU hanya mengejar kepastian hukum dan
mengabaikan keadilan serta pengakuan, jaminan, dan perlindungan
yang diamanatkan konstitusi UUD 1945. Selain dari itu penjelasan
DPR menjadi jelas pula bahwa materi muatan ketentuan Pasal 96
yang dimohonkan pengujian ini tidak mencerminkan asas pengayoman
dan asas keadilan sebagaimana asas-asas yang terdapat dalam Pasal
6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;

5. Keterangan DPR yang mana di dalam penjelasannya mengambil


contoh Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang
menyebutkan gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90
hari terhitung sejak saat diterimanya. Menurut Pemohon, contoh
tersebut di atas tidak dapat dihubungkan dan dipersamakan dengan
ketentuan Pasal 156 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur pembayaran
uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak
setelah Pemohon di-PHK yang hapus dengan keberlakuan Pasal 96
yang dimohonkan pengujian oleh karena ketentuan Pasal 156
merupakan hak dalam bentuk uang yang berkaitan langsung dengan
54

kehidupan dan penghidupan Pemohon dalam mencukupi kebutuhan


sehari-hari yang asasi seperti makanan, minuman, pakaian, dan
tempat tinggal. Oleh karena itu penjelasan DPR dalam keterangannya
di depan sidang Mahkamah dinyatakan kabur dan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard).

C. Keterangan APINDO

Terkait keterangan APINDO. Menurut Pemohon, keterangan APINDO


tersebut merupakan keterangan yang sangat subjektif yaitu hanya melihat
dari kacamata kepentingan Pengusaha/Perusahaan yang memiliki power
dalam hal finansial dan tidak disertai/tidak terdapat alasan-alasan yang
dapat menyangkal hak dan/atau kewenangan konsitusional Pemohon yang
hilang atau dirugikan dengan keberlakuan Pasal 96 yang dimohonkan
pengujian. Oleh karena itu, untuk menjunjung tinggi dengan menegakan,
melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia yang tertuang
dalam UUD 1945, Pemohon memohon kepada yang Mulia para Majelis
Hakim Mahkamah untuk menilai keterangan APINDO;

Dari seluruh uraian kesimpulan tersebut di atas, pokok kesimpulan Pemohon


sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dimohonkan pengujian


mengandung pelecehan, inkonsistensi, dan disharmonisasi terhadap
ketentuan UUD 1945 khususnya ketentuan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan
Pasal 28I ayat (2), yang memuat hak-hak konsitusional Pemohon dan
karenanya layak untuk dinyatakan ketentuan Pasal 96 UU 13 Tahun 2003
bertentangan dengan UUD 1945;
2. Keterangan Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan APINDO
sebagaimana diuraikan tersebut di atas tidak terdapat hubungan dengan dalil-
dalil Pemohon mengenai ketentuan Pasal 96 yang dimohonkan pengujian atau
dapat dinyatakan kabur dan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Berdasarkan seluruh uraian kesimpulan tersebut di atas mohon kepada Majelis


Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan
Pemohon seluruhnya serta berkenan mengeluarkan putusan sebagai berikut:
55

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 96 Undang-Undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945;
3. Menyatakan Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon kiranya
menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam berita acara
persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan
putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah


menguji konstitusionalitas Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279,
selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menyatakan,

“Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul


dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak timbulnya hak.”

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


(selanjutnya disebut UUD 1945) khususnya pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
56

Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.”

Pasal 28I ayat (2) : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:

a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;

b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian


Undang-Undang in casu UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, sehingga
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
57

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu
Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-


III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal
20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
58

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud


dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah warga negara Republik Indonesia


berdasarkan bukti Kartu Tanda Penduduk (bukti P-3) serta bekerja pada PT
Sandhy Putra Makmur (PT. SPM) sebagai SATPAM dan telah di-PHK sejak
tanggal 2 Juli 2009 berdasarkan Surat Keterangan berakhirnya hubungan kerja
Nomor 760/SEKR/01/SPM-02/VII/2009 bertanggal 2 Juli 2009 (bukti P-4) yang
isinya menyatakan Pemohon adalah karyawan PT SPM yang bekerja sejak
tanggal 15 Mei 2002 sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Atas PHK dimaksud,
pihak PT SPM tidak/belum membayarkan kepada Pemohon uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 163
ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan
mengenai kewajiban Pengusaha/Perusahaan membayar uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak dalam hal terjadi PHK;

Setelah berjalan 3 (tiga) tahun di-PHK, 2 Juli 2009 sampai dengan 11


Juni 2012, Pemohon, secara kronologis, mengalami hal-hal sebagai berikut:
Pemohon baru mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak yang dimulai dari perundingan bipartit
dengan pihak PT SPM pada 11 Juni 2012, dilanjutkan dengan mediasi di Kantor
Suku Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan, dan akan memasuki
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun dengan adanya
ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo, mengakibatkan Pemohon tidak
dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan a quo. Oleh karenanya, Pemohon
sedang maupun akan mengalami/merasakan secara langsung dampak kerugian
yang diakibatkan ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo;

Bahwa di samping kerugian tersebut di atas, Pasal 96 UU


Ketenagakerjaan mencerminkan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil
terhadap Pemohon yaitu menerima upah/gaji (bukti P-8) dari PT SPM di bawah
59

standar upah minimum yang ditetapkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta


berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa upah
minimum ditetapkan oleh Gubernur, maupun ketentuan Pasal 90 UU
Ketenagakerjaan yang melarang pengusaha/perusahaan membayar upah lebih
rendah dari UMP yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan
Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang mengatur kesepakatan antara perusahaan
dengan pekerja mengenai upah tidak boleh lebih rendah dari UMP yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal kesepakatan mengenai upah
lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka
kesepakatan tersebut batal demi hukum dan perusahaan wajib membayar
upah/gaji pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya
Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, menguntungkan PT SPM karena lepas dari
kewajiban membayar kekurangan upah/gaji yang seharusnya dibayarkan kepada
Pemohon berdasarkan ketentuan standar UMP DKI Jakarta. Di lain pihak,
Pemohon, setelah di-PHK, tidak dapat menuntut. Oleh karenanya, Pemohon harus
menerima dampak kerugian atas diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari
Pasal 96 UU Ketenagakerjaan a quo;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-


syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan
di atas, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 yang oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU
Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian. Kerugian hak konstitusional
tersebut bersifat spesifik dan aktual yang terdapat hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya UU Ketenagakerjaan yang
dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian hak konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah selanjutnya akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
60

Pokok Permohonan

[3.9] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon pada pokoknya


mendalilkan bahwa Pasal 96 UU Ketenagakerjaan mengakibatkan Pemohon tidak
dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang penghargaan, dan
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal
156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan juga mendiskriminasi dan memperlakukan Pemohon secara tidak
adil yaitu Pemohon menerima upah/gaji dari PT SPM di bawah UMP yang
ditetapkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
menguntungkan PT SPM karena lepas dari kewajiban membayar kekurangan
upah/gaji yang dibayarkan kepada Pemohon. Di lain pihak, Pemohon, setelah di-
PHK, tidak dapat menuntut karena adanya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan;

Oleh karenanya, dalam petitum, Pemohon pada pokoknya memohon


Mahkamah untuk:
1. Menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya;
2. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat dan menganggap
Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat
dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat
memberikan tafsir konstitusional terhadap norma yang terkandung di
dalamnya demi mencegah dampak kerugian yang sedang dan akan dialami
Pemohon;

Atau:

Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon kiranya


menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pendapat Mahkamah

[3.10] Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama


permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan
Pihak Terkait Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), keterangan saksi dan ahli
yang diajukan oleh Pemohon, dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh
61

Pemohon, serta Kesimpulan Pemohon dan Kesimpulan Pemerintah, sebagaimana


selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945];

Bahwa konsiderans (Menimbang) huruf d UU Ketenagakerjaan


menyatakan, “... perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan
kemajuan dunia usaha”;

[3.10.2] Bahwa Pemohon pada pokoknya menganggap Pasal 96 UU


Ketenagakerjaan telah menghalang-halangi hak konstitusionalnya untuk
melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja karena adanya ketentuan kadaluwarsa yaitu
penuntutan tersebut tidak dapat dilakukan setelah melampaui jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak timbulnya hak;

[3.10.3] Bahwa hubungan ketenagakerjaan bukan semata-mata merupakan


hubungan keperdataan karena hubungan tersebut telah menyangkut kepentingan
yang lebih luas (ribuan buruh) artinya kepentingan publik, bahkan kepentingan
negara, sehingga terdapat perbedaan yang tipis antara kepentingan privat dan
kepentingan publik yang mengharuskan adanya pengaturan dan perlindungan
secara adil oleh negara;

Bahwa ketentuan kedaluwarsa adalah terkait dengan penggunaan hak


untuk menggunakan upaya hukum dan kehilangan hak untuk menggunakan upaya
hukum;

Bahwa contoh kedaluwarsa penggunaan hak untuk menggunakan


upaya hukum adalah adanya ketentuan mengenai batas waktu pengajuan upaya
hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa dalam suatu proses pengadilan
yang biasanya dihitung sejak pemberitahuan amar putusan. Adapun kepastian
62

hukum terkait kedaluwarsa dalam proses peradilan adalah untuk mengetahui


kepastian atau kejelasan dari pelaksanaan amar putusan, atau di sisi lain, bagi
kepentingan para pihak yang berperkara, kedaluwarsa merupakan kesempatan
untuk melakukan atau tidak melakukan upaya hukum lanjutan;

Bahwa contoh kedaluwarsa kehilangan hak untuk menggunakan upaya


hukum, misalnya, dalam hukum waris, kepemilikan hak waris hanya dapat
dilepaskan apabila ada pernyataan positif dari si pemilik hak untuk melepaskan
haknya. Artinya, sejak dilakukannya pernyataan pelepasan hak tersebut, maka
sejak saat itu seseorang tidak memiliki upaya hukum untuk menuntut haknya. Hal
yang sama juga berlaku kepada hak milik terhadap benda. Di sinilah letak
kepastian hukumnya, bahwa selama tidak ada pernyataan pelepasan hak maka
hak kepemilikan itu tetap melekat kepada yang bersangkutan dan negara
berkewajiban untuk melindungi hak tersebut;

Bahwa hak Pemohon untuk menuntut pembayaran upah pekerja/buruh


dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah hak yang timbul
karena Pemohon telah melakukan pengorbanan berupa adanya prestatie kerja
sehingga hubungan antara hak tersebut dengan Pemohon adalah sebagai pemilik
hak. Sama halnya perlakuannya dengan hak kepemilikan terhadap benda yang
dalam perkara a quo, hak kebendaan tersebut berwujud pekerjaan yang sudah
dilakukan sehingga memerlukan adanya perlindungan terhadap hak tersebut
selama si pemilik hak tidak menyatakan melepaskan haknya tersebut;

Bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan
perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya
lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai
prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan
maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya,
menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
63

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas,


Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk
seluruhnya.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk


mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk


seluruhnya;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5076).

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

1.1. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
64

1.2. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia


sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, M. Akil Mochtar,
Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman,
masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam,
bulan Maret, tahun dua ribu tiga belas, yang diucapkan dalam sidang pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal sembilan
belas, bulan September, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul
11.17 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua
merangkap Anggota, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad
Alim, Arief Hidayat, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, dan Patrialis Akbar,
masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Wiwik Budi Wasito
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Terhadap putusan
Mahkamah ini, terdapat seorang Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda
(dissenting opinion).

KETUA,

ttd.

M. Akil Mochtar

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Hamdan Zoelva Harjono


65

ttd. ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi Muhammad Alim

ttd. ttd.

Arief Hidayat Maria Farida Indrati

ttd. ttd.

Anwar Usman Patrialis Akbar

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Terhadap Putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memiliki


pendapat berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:

Pokok permohonan Pemohon dalam permohonan a quo adalah


hilangnya hak Pemohon untuk menuntut pembayaran uang pesangon, uang
penghargaan dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 163
ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan,
karena adanya ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan yang membatasi hak
untuk menuntut pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja sampai dengan 2 (dua) tahun setelah timbulnya hak;

Menurut saya, pembatasan hak untuk menuntut karena lewatnya


waktu (kedaluwarsa) adalah lazim dalam sistem hukum Indonesia baik dalam
sistem hukum perdata maupun dalam sistem hukum pidana Indonesia. Dalam
hukum perdata, misalnya diatur dalam Pasal 1967 sampai dengan Pasal 1977
KUH Perdata, khusus mengenai perburuhan diatur dalam Pasal 1968, Pasal
1969, dan Pasal 1971 KUH Perdata, yaitu batas kedaluwarsa untuk menuntut
hak upah bagi buruh atau pekerja atau tukang. Dalam hukum pidana, misalnya
yang diatur dalam Pasal 78 ayat (1) angka ke-1, angka ke-2, angka ke-3 dan
angka ke-4, serta ayat (2) KUH Pidana, yaitu batas kedaluwarsa untuk menuntut
pidana. Sampai batas kapan masa kedaluwarsa untuk mengajukan tuntutan, hal
itu adalah kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang untuk
66

menentukannya, sepanjang tidak melampaui wewenang serta tidak


bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Penentuan masa kedaluwarsa
sangat diperlukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum baik bagi yang
menuntut haknya maupun pihak yang akan dituntut memenuhi kewajibannya.
Menurut saya, hukum ketenagakerjaan tidak saja melindungi pekerja, tetapi juga
melindungi baik pihak pengusaha maupun melindungi kepentingan
keberlanjutan dunia usaha itu sendiri. Pengusaha dan dunia usaha adalah
tempat bagi pekerja/buruh untuk bekerja mencari nafkah bagi kelangsungan
hidupnya. Terganggunya pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha atau
matinya usaha juga akan mempengaruhi kondisi kehidupan pekerja atau buruh
yang bekerja pada perusahaan. Jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan adalah jangka waktu yang
wajar bahkan lebih dari cukup bagi pekerja/buruh untuk mengambil keputusan
untuk menuntut pengusaha memenuhi pembayaran hak-haknya sebagai
pekerja/buruh. Tidak adanya masa kedaluwarsa dalam mengajukan tuntutan
khususnya dalam hubungan kerja mengakibatkan hilangnya kepastian hukum
bagi pengusaha sampai kapan akan menghadapi tuntutan hak dari pekerjanya
yang juga dapat mengganggu kelangsungan usahanya. Tentu, tidak akan
mengganggu jalannya perusahaan kalau hanya untuk satu dua kasus saja,
tetapi jika menyangkut ribuan kasus, ketidakpastian adanya tuntutan hak
pekerja/buruh pasti akan mengganggu jalannya perusahaan. Dengan tidak
berlakunya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan berdasarkan putusan Mahkamah
dalam perkara a quo, akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan oleh konstitusi yang
menghendaki adanya kepastian hukum;

Pada sisi lain, saya pun dapat memahami ketidakadilan yang dialami
Pemohon dalam kasus yang dihadapinya, yang disebabkan oleh keengganan
pengusaha untuk memenuhi hak-hak Pemohon atas segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja dengan pengusaha dengan alasan lewatnya waktu
untuk menuntut (kedaluwarsa). Dalam kasus yang dihadapi Pemohon, nampak
jelas bahwa pengusaha memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar hak-
hak pekerja termasuk hak yang timbul terkait dengan pemutusan hubungan
kerja, karena posisi Pemohon diambangkan oleh Pengusaha sampai batas
waktu lebih dari dua tahun. Menurut saya, untuk memberikan kepastian hukum
67

yang adil, seharusnya Mahkamah tidak menyatakan ketentuan Pasal 96 UU


Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan karena hal itu akan
menimbulkan ketidakpastian hukum baru dalam hukum ketenagakerjaan,
sehingga tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya untuk memberikan
keadilan dalam kasus seperti yang dihadapi Pemohon, Mahkamah hanya
mengabulkan permohonan Pemohon dengan menentukan syarat keberlakuan
Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, yaitu bertentangan dengan konstitusi
sepanjang tidak dikecualikan bagi pengusaha yang tidak membayar
seluruh hak pekerjanya karena itikad buruk. Dengan adanya persyaratan
yang demikian, bagi pekerja yang mengajukan tuntutan hak setelah lewatnya
masa kedaluwarsa 2 (dua) tahun tetap dibenarkan untuk menuntut sepanjang
dibuktikan lewatnya waktu tersebut karena adanya itikad buruk dari pengusaha
yang sengaja mengundur-undur waktu dan enggan membayar hak-hak
pekerjanya.

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Wiwik Budi Wasito


INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9 TAHUN 2013

TENTANG

KEBIJAKAN PENETAPAN UPAH MINIMUM


DALAM RANGKA KEBERLANGSUNGAN USAHA
DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PEKERJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dalam upaya untuk menyelaraskan kebijakan upah minimum dengan


memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional serta
untuk mewujudkan keberlangsungan usaha dan peningkatan
kesejahteraan pekerja, dengan ini menginstruksikan:

Kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

2. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

3. Menteri Dalam Negeri;

4. Menteri Perindustrian;

5. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;

6. Para Gubernur;

7. Para Bupati/Walikota;

Untuk:
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing
secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk
menyelaraskan kebijakan upah minimum dengan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, guna
mewujudkan keberlangsungan usaha dan perkembangan
industri nasional serta peningkatan kesejahteraan
pekerja.
KEDUA …
-2-

KEDUA : Khusus kepada:

1. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan


pengupahan dan pengembangan sistem
pengupahan nasional dengan ketentuan:

1) Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan


Hidup Layak (KHL), produktivitas, dan
pertumbuhan ekonomi;

2) Upah Minimum provinsi/kabupaten/kota


diarahkan kepada pencapaian KHL;

3) untuk daerah yang Upah Minimumnya masih


berada di bawah nilai KHL, kenaikan Upah
Minimum dibedakan antara Industri Padat
Karya tertentu dengan industri lainnya;

4) besaran kenaikan upah pada provinsi dan/atau


kabupaten/kota yang upah minimumnya telah
mencapai KHL atau lebih, ditetapkan secara
bipartit antara pemberi kerja dan pekerja dalam
perusahaan masing-masing;

b. melakukan koordinasi dengan menteri terkait


dalam rangka mengklasifikasikan kenaikan Upah
Minimum sebagaimana dimaksud pada huruf a
angka 3).

2. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan


pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
penetapan Upah Minimum oleh pemerintah daerah.

3. Menteri …
-3-

3. Menteri Perindustrian, untuk:

a. menetapkan definisi dan batasan serta klasifikasi


industri padat karya tertentu; dan
b. melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha
industri mengenai kebijakan penetapan Upah
Minimum.

4. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk:

a. memantau proses penentuan dan pelaksanaan


kebijakan penetapan Upah Minimum; dan

b. menjaga dan menjamin terciptanya situasi


keamanan serta ketertiban masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Gubernur, untuk:

a. menetapkan Upah Minimum dengan berdasarkan


kepada kebijakan pengupahan dan pengembangan
sistem pengupahan nasional sebagaimana
dimaksud pada angka 1, serta memperhatikan
rekomendasi Dewan Pengupahan di daerahnya
masing-masing;

b. menetapkan dan mengumumkan Upah Minimum


Provinsi yang dilakukan secara serentak di seluruh
provinsi setiap tanggal 1 November;

c. menetapkan dan mengumumkan Upah Minimum


Kabupaten/Kota setelah Upah Minimum Provinsi
ditetapkan, dalam hal Kabupaten/Kota yang
bersangkutan menetapkan Upah Minimum;

d. menetapkan ...
-4-

d. menetapkan tahapan pencapaian KHL di


daerahnya masing-masing dengan
mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia
usaha;

e. mengalokasikan anggaran untuk kegiatan Dewan


Pengupahan Provinsi; dan

f. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap


pelaksanaan kebijakan penetapan Upah Minimum.

6. Bupati/Walikota, untuk:

a. menyampaikan rekomendasi Upah Minimum


Kabupaten/Kota kepada Gubernur setelah Upah
Minimum Provinsi ditetapkan; dan

b. mengalokasikan anggaran untuk kegiatan Dewan


Pengupahan Kabupaten/Kota.

KETIGA : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian


mengoordinasikan pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan
melaporkan secara berkala kepada Presiden.

KEEMPAT : Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh


tanggung jawab.

Instruksi ...
-5-

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta

pada tanggal 27 September 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI
Deputi Bidang Perekonomian,
ttd.
Ratih Nurdiati
PEDOMAN TINDAKAN
KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PADA
PENEGAKAN HUKUM
DAN KETERTIBAN
DALAM PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL

1
2- Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
MARKAS BESAR

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK


INDONESIA
NO. POL.: 1 TAHUN 2005

TENTANG
PEDOMAN TINDAKAN
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PADA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN
DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: Bahwa dalam rangka melengkapi


petunjuk-petunjuk terkait di lingkungan
Polri serta sebagai pedoman resmi yang
digunakan untuk mengatur tindakan Polri
terhadap pelaksanaan penegakan hukum
dan ketertiban dalam perselisihan
hubungan industrial, dipandang perlu
menetapkan Peraturan Kapolri.
Mengingat: 1. Undang –undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.

3
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta.
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP.
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum.
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat
Buruh.
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
7. Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.

Memperhatikan: 1. Hasil Koordinasi Polri dengan instansi


yang bertanggung jawab di bidang
ketenegakerjaan, organisasi
pengusaha dan serikat pekerja.
2. Saran dan pertimbangan Staff di
lingkungan Mabes Polri serta hasil
seminar lintas fungsi dan Departement
terkait.

4- Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


MEMUTUSKAN

Menetapkan: 1. Pedoman Tindakan Polri tentang


Penegakan Hukum dan Ketertiban Dalam
Perselisihan Hubungan Industrial,
sebagaimana naskah terlampir.
2. Peraturan ini agar dijadikan pedoman
dalam pelaksanaan tugas Polri di
lapangan.
3. Hal – hal lain yang belum tercantum dalam
peraturan ini akan di atur kemudian.
4. Apabila dikemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam Peraturan ini,
akan diadakan pembetulan seperlunya.
5. Peraturan Kapolri ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal: 24 Maret 2005

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK


INDONESIA

Drs. DA’I BACHTIAR, S.H.


JENDERAL POLISI

5
Kepada Yth :
1. Kabareskrim Polri
2. Kababinkam Polri
3. Kabaintelkam
4. Kakorbrimob Polri
5. Para Kapolda

Tembusan :
1. Wakapolri
2. Irwasum Polri
3. Para Deputi Kapolri
4. Para Kadiv Polri
5. Kalemdiklat Polri

6- Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


I. PENDAHULU
PENDAHULU AN
AHULUAN

1. Umum a. Perselisihan hubungan industrial yang


tidak dapat diselesaikan melalui
mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang ditetapkan
dengan undang-undang dapat
berakibat pada pelaksanaan aksi
mogok kerja dan unjuk rasa oleh
pekerja, atau penutupan perusahaan
oleh pengusaha.
b. Setiap aksi mogok kerja, unjuk rasa
pekerja atau penutupan perusahaan
pada umumnya dapat menimbulkan
gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban masyarakat.
c. Dalam situasi seperti dimaksud dalam
huruf b. dan dalam perselisihan
hubungan industrial secara umum,
diperlukan tindakan Polri yang tepat
untuk menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memungkinkan
pelaksanaan hak pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh serta
pengusaha untuk mogok kerja, unjuk
rasa, serta penutupan perusahaan.

7
d. Agar pelaksanaan tindakan kepolisian
seperti dimaksud dalam huruf c. dapat
dilaksanakan secara profesional,
proporsional dan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, maka
dipandang perlu untuk menyusun
Panduan ini.

2. Dasar a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957


tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
b. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta.
c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP.
d. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum.
e. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja / Serikat
Buruh.
f. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
g. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.

8- Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


h. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.

3. Ketentuan a. Perselisihan hubungan industrial


Umum adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan dan
perselisihan pemutusan hubungan
kerja serta perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan.
b. Pengusaha adalah:
1) Orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum
yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
2) Orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan
miliknya;
3) Orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum

9
yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
butir 1) dan 2) yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
c. Perusahaan adalah:
1) setiap bentuk usaha yang
berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
2) usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
d. Organisasi pengusaha adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh
dan untuk pengusaha, yang
ber wenang mewakili pengusaha
dalam masalah ketenagakerjaan dan
hubungan industrial.
e. Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.

10 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


f. Serikat pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab untuk
memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
g. Mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan
sesuai dengan peraturan
perundangan nasional yang berlaku.
Pelaksanaannya dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan serta instansi
lain seperti disebutkan dalam
peraturan perundangan tersebut.
h. Mogok kerja adalah tindakan
pekerja/buruh yang direncanakan
dan dilaksanakan secara bersama-
sama dan/atau oleh serikat pekerja/
serikat buruh untuk menghentikan atau
memperlambat pekerjaan, yang
dilakukan secara sah, tertib dan
damai.
i. Unjuk rasa adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seorang atau lebih

11
untuk mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan atau tulisan secara
demonstratif dengan aman dan tertib.
j. Penutupan perusahaan (lockout)
adalah tindakan pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh sebagian atau
seluruhnya untuk menjalankan
pekerjaan, dan dilakukan secara sah,
tertib dan damai.

4. Tujuan a. Panduan ini ditetapkan untuk mengatur


secara resmi tindakan anggota Polri
dalam menjaga keamanan dan
keter tiban masyarakat, serta
menegakkan hukum pada saat dan
akibat dari perselisihan hubungan
industrial, dan pelaksanaan mogok
kerja, unjuk rasa dan penutupan
perusahaan.

12 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


II. PROSEDUR TINDAK
TINDAKAN
AKAN

5. Koordinasi a. Kepolisian setempat melakukan


koordinasi dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau organisasi
pengusaha dan serikat pekerja di
wilayahnya masing-masing agar
dapat mengetahui perselisihan
hubungan industrial, rencana
pelaksanaan mogok kerja, unjuk rasa
atau penutupan perusahaan.

6. Penempatan a. Kesatuan Polri dapat di tempatkan


Kesatuan pada area perselisihan hubungan
Polri industrial, pemogokan, unjuk rasa atau
penutupan perusahaan atas
permintaan dari Instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, pekerja atau serikat
pekerja, ser ta pengusaha atau
organisasi pengusaha, atau atas
penilaian Polri.
b. Penempatan Kesatuan Polri seperti
dimaksud dalam huruf a. bertujuan

13
untuk memberikan perlindungan dan
pelayanan dalam menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat serta
memungkinkan pekerja dan
pengusaha melaksanakan hak-hak
mereka untuk mogok kerja, unjuk rasa
atau menutup perusahaan secara sah,
tertib dan damai.
c. Anggota Kesatuan Polri yang
ditempatkan pada suatu area untuk
menghadapi perselisihan hubungan
industrial, pemogokan, unjuk rasa atau
penutupan perusahaan harus :
1) Selalu mengenakan seragam,
tanda kesatuan dan identitas
yang jelas;
2) Bersikap profesional dan
proporsional, serta menjunjung
tinggi hukum dan perundang-
undangan, dan hak asasi
manusia;
3) Tidak memihak kepada pihak-
pihak yang berselisih;
4) Berprinsip bahwa semua pihak
berkedudukan sama di depan
hukum (equality before the law);
5) Memposisikan para pihak
tersebut bukanlah lawan satu
sama lain tetapi mitra dalam
mencari ketenteraman industrial
dan keadilan sosial;
14 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI
6) Tidak melibatkan diri dalam
perundingan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
apapun.
d. Dalam menghadapi mogok kerja,
unjuk rasa atau penutupan perusahaan
yang belum mengganggu keamanan
dan ketertiban umum, anggota Polri
ditempatkan pada radius paling dekat
dua puluh lima (25) meter atau pada
jarak pandang maksimal dari para
pemogok kerja atau pengunjuk rasa.

e. Permintaan untuk memperoleh bantuan


Polri seperti dimaksud dalam huruf a.
dapat disampaikan secara tertulis
maupun lisan, dengan diser tai
penjelasan singkat secara kronologis
terhadap kemungkinan pelanggaran
hukum. Permintaan tersebut harus
disampaikan kepada Kantor
Kepolisian setempat. Apabila
permintaan dilakukan dengan lisan,
disusulkan dengan permintaan tertulis
paling lama 1 X 24 jam.

15
7. Tindakan a. Apabila terdapat ancaman dan
Kepolisian gangguan nyata terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam
perselisihan hubungan industrial, dan
pada pelaksanaan mogok kerja, unjuk
rasa atau penutupan perusahaan,
maka anggota Polri wajib melakukan
tindakan kepolisian secara tegas dan
terukur, sesuai ketentuan dan
perundangan yang berlaku.
b. Tindakan Kepolisian seperti dimaksud
dalam huruf a. dilakukan untuk
menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat dalam rangka
menegakkan hukum serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
c. Polri dapat melakukan upaya paksa
melalui Pemanggilan, Penangkapan,
Penggeledahan, Penyitaan,
Pemeriksaan dan Penahanan
terhadap siapa saja yang diduga
melakukan tindak pidana pada saat
perselisihan hubungan industrial, dan
pada pelaksanaan mogok kerja, unjuk
rasa, serta penutupan perusahaan,
sesuai ketentuan dan perundangan
yang berlaku.

16 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


8. Penggunaan a. Sesuai dengan ancaman terhadap
Peralatan keamanan dan ketertiban dalam
dan Senjata perselisihan hubungan industrial
Api secara umum, dan pada pelaksanaan
mogok kerja, unjuk rasa atau
penutupan perusahaan, peralatan
yang dapat digunakan adalah
tameng, tongkat Polisi ”T”,
megaphone, gas air mata, pemadam
api, handycam dan kamera.
b. Amunisi senjata api yang digunakan
dalam menghadapi mogok kerja,
unjuk rasa atau penutupan perusahaan
adalah peluru hampa dan peluru
karet.
c. Penggunaan amunisi dengan jenis
peluru tajam pada situasi ini tidak
dibenarkan.
d. Penggunaan peralatan dan senjata
api seperti dimaksud dalam huruf a.,
b. dan c. dalam menghadapi mogok
kerja, unjuk rasa atau penutupan
perusahaan harus:
1) sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang
berlaku;
2) sesuai dengan Prosedur Tetap
Polri Nomor: Protap/01/V/
2001 tentang Penggunaan
Senjata Api;

17
3) sesuai dengan Surat Telegram
Kapolri Nomor: STR/859/XII/
2003;
4) sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Polri lainnya yang
berlaku; dan
5) berdasarkan perintah Kepala
Kesatuan Polri yang
berwenang.
e. Senjata api dapat digunakan pada
situasi dimana terdapat ancaman
yang nyata dan serius terhadap
keselamatan jiwa dan harta benda,
kehormatan khususnya :
1) Dalam keadaan yang sangat
terpaksa (overmaacht dan
noodweer) untuk
mempertahankan diri atau
orang lain terhadap ancaman
yang nyata dari kematian atau
cedera serius;
2) Untuk mencegah tindak pidana
serius dan mengancam jiwa,
kehormatan; dan
3) Untuk melumpuhkan dan bukan
mematikan seseorang atau
sekelompok orang yang
memberikan ancaman tersebut.
f. Dalam menggunakan peralatan
pengendali massa dan senjata api,

18 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


anggota Polri harus memastikan
bahwa bantuan dan pertolongan
medis diberikan kepada setiap orang
yang membutuhkan sebagai akibat
dari penggunaan peralatan tersebut.

19
III. PERTANGGUNGJA
PERTANGGUNGJAWABAN
ANGGUNGJAW

9. Anggota Polri yang melampaui


kewenangannya dalam melakukan
tindakan kepolisian, menggunakan
peralatan pengendali massa dan
senjata api dalam perselisihan
hubungan industrial, dan pelaksanaan
mogok kerja, unjuk rasa atau
penutupan perusahaan dapat
dikenakan sanksi disiplin, kode etik
profesi Kepolisian maupun sanksi
pidana sesuai tingkat
pelanggarannya.

10. Semua pengaduan atau laporan


tentang pelanggaran wewenang yang
dilakukan oleh anggota Polri dalam
perselisihan hubungan industrial dan
pelaksanaan mogok kerja, unjuk rasa
atau penutupan perusahaan harus
diproses dan diputuskan sesuai
dengan hukum, peraturan dan
prosedur yang berlaku.

20 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI


IV
IV.. PENUTUP

11. Panduan ini berlaku sejak tanggal


ditetapkan.

12. Panduan ini disusun untuk melengkapi


petunjuk-petunjuk terkait yang sudah
berlaku.

13. Panduan ini agar dijadikan pedoman


dan dilaksanakan oleh seluruh
anggota Kesatuan Polri.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Maret 2005

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK


INDONESIA

Drs. DA’I BACHTIAR, S.H.


JENDERAL POLISI

21
PERATURAN DAERAH KOTA BATAM

NOMOR 4 TAHUN 2013

TENTANG

RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA

KERJA ASING

SALINAN
OLEH WALIKOTA BATAM
NOMOR 4 TAHUN 2013
TANG GAL 11 APRIL 2013
SUMBER LD 2013/4, TLD NO. 89

WALIKOTA BATAM,

Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat


(2) Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012
tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing, maka perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing;

Mengingat 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten
Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3902), sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999
tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4880);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang­
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007


tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012
tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 216);
8. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun
2010 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi
Kewenangan Pemerintahan Daerah Kota Batam
(Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2010 Nomor
1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor
7).

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BATAM

dan

WALIKOTA BATAM

MEMUTUSKAN:

Menetapkan PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI


PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA
KERJA ASING.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Batam.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Batam.
3. Walikota adalah Walikota Batam.·
4. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi,
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
5. Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing, yang selanjutnya disebut Retribusi
Perpanjangan IMTA, adalah pungutan atas
pemberian perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja
tenaga kerja asing.
6. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan
yang menurut Peraturan Perundang-undangan
retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
retribusi, terrnasuk pemungut atau pemotong
retribusi tertentu.
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi; perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga,
bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
8. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu
yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi
untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu
dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
9. Hari adalah hari kerja.
10. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya
disebut SKRD, adalah surat keputusan yang
menentukan besarnya retribusi yang terutang.
11. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya
disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan
tagihan retribusi dan/ atau sanksi administrasi
berupa bunga dan/ atau denda.
12. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang
selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat
ketetapan retribusi yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah
kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang
terhutang atau tidak seharusnya terutang.
13. SUrat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya
disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau
penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan
cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Walikota.
14. Kas Daerah adalah Kas Daerali Kota Batam atau
badan yang diserahi wewenang dan tanggung jawab
sebagai pemegang kas daerah Kota Batam.
15. Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PPNS, adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan terhadap pelanggaran
Peraturan Daerah.

BAB II
KETENTUAN RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi

Pasal2
Setiap badan yang mendapatkan pelayanan
perpanjangan IMTA, dipungut retribusi dengan nama
Retribusi Perpanjangan IMTA.

Pasa13
(1) Objek retribusi adalah pemberian perpanjangan
IMTA kepada pemberi kerja Tenaga Kerja Asing.
(2) Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk instansi
pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan,
danjabatan tertentu di lembaga pendidikan.

Pasal4
(1) Subjek Retribusi Perpanjangan IMTA meliputi
pemberi kerja Tenaga Kerja Asing yang
mendapatkan pelayanan Perpanjangan IMTA.
(2) Subjek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Wajib Retribusi, merupakan badan yang
menurut ketentuan Peraturan Daerah ini diwajibkan
untuk melakukan pembayaran retribusi.
Bagian Kedua
Golongan Retribusi

Pasal 5
Retribusi Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 digolongkan sebagai retribusi perizinan
tertentu.

Bagian Ketiga

Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa

Pasal6
Besarnya retribusi yang terhutang sebagairnana
dirnaksud dalam Pasal 2 dihitung berdasarkan perkalian
antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.

Bagian Keempat
Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Tarif Retribusi

Pasal 7
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi
perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk
menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: penerbitan
dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan
hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif
dari pemberian izin.

Bagian Kelima

Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi

Pasal8
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Perpanjangan
IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
sebesar USD 100 (seratus dollar Amerika Serikat) per
orang per bulan.

Pasa19
(1) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dapat ditinjau kernbali paling lama 3 (tiga) tahun
sekali.
(2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam

Wilayah Pemungutan

Pasal 10
Retribusi yang terutang dipungut di wilayah Daerah.

Bagian Ketujuh
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang

Pasal 11
(1) Masa retribusi perpanjangan IMTA adalah
ditetapkan berdasarkan jangka waktu izin yang
diberikan.
(2) Saat retribusi terutang adalah sejak saat
ditetapkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.

Bagian Kedelapan

Tata. Cara Pembayaran Retribusi

Pasal 12
(1) Pembayaran retribusi daerah dilakukan di kas
daerah atau di tempat lain yang ditunjuk Walikota
sesuai waktu yang ditentukan dengan
menggunakan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain:
karcis, kupon, dan kartu langganan.
(3) Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain
yang ditunjuk, maka hasil penerimaan retribusi
harus disetor ke kas daerah paling lambat 1 X 24
(satu kali dua puluh empat) jam.

Pasal 13
(1) Pembayaran retribusi harus dilakukan secara tunai
dan lunas.
(2) Walikota atau pejabat yang ditunjuk dapat
memberi lZlU kepada wajib retribusi untuk
mengangsur retribusi terutang dalam jangka waktu
tertentu atau menunda pembayaran retribusi
sampai batas waktu tertentu dengan alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Tata cara pembayaran pengangsuran dan
penundaan retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.
Pasal14
(1) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (I) diberikan tanda bukti
pembayaran.
(2) Setiap pembayaran dicatat dalam buku
penerimaan.
(3) Bentuk tanda bukti pembayaran retribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 15
(1) Penagihan retribusi terutang dilaksanakan
menggunakan STRD dengan didahului Surat
Teguran.
(2) Pengeluaran surat teguran/ surat peringatan/ surat
lain yang sejenis sebagai awal tindakan
pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan
segera setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo
pembayaran.
(3) Dalam jangka 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat
teguran/ surat peringatan/ surat lain yang sejenis
diterima oleh wajib retribusi, wajib retribusi harus
melunasi retribusi yang terutang.
(4) Surat teguran /surat peringatan/surat lain yang
sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
(5) Tata cara pelaksanaan penagihan Retribusi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Bagian Kesembilan

Tata Cara Penyelesaian Keberatan

Pasal 16
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan
kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk
atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD
diterbitkan kecuali apabila wajib retribusi dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Keadaan diluar kekuasaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah suatu keadaan
yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan
Wajib Retribusi.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan
retribusi.

Pasal17
(1) Walikota atau pejabat yang ditunjuk dalam
jangka waktu paling lama 6 !enam) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Walikota atau pejabat yang ditunjuk
atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya retribusi yang terutang.
(3) Apabilajangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah lewat dan Walikota atau pejabat yang
ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
(4) Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.

Pasal 18
(1) Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua per seratus) sebulan untuk paling
lama 12 (dua betas) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya SKRDLB.

Bagian Kesepuluh
Tata Cara Pembetulan Ketetapan Retribusi

Pasal19
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan perrnohonan
pembetulan SKRD dan STRD yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung danl atau kekeliruan dalam penerapan
peraturan perundang-undangan retribusi daerah.
(2) Permohonan pembetulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hams disampaikan secara tertulis
oleh wajib retribusi kepada Walikota atau pejabat
yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluhl hari
kerja sejak tanggal diterimanya SKRD dan STRD
dengan memberikan alasan yang jelas dan
meyakinkan untuk mendukung permohonannya.
(3) Keputusan atas pennohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh Walikota
atau Pejabat yang ditunjuk paling lama 3 (tiga)
bulan sejak surat permohonan diterima.
(4) Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Walikota atau pejabat
yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, maka
permohonan pembetulan ketetapan dianggap
dikabulkan.

Bagian Kesebelas

Tata Cara Perhitungan Pengembalian

Kelebihan Pembayaran Retribusi

Pasal20
(1) Wajib retribusi harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Walikota atau pejabat yang
ditunjuk, untuk perhitungan pengembalian
kelebihan pembayaran retribusi.
(2) Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), atas kelebihan pembayaran retribusi
dapat langsung diperhitungkan terlebih dahulu
dengan hutang retribusi danl atau sanksi
administrasi berupa bunga danl atau pembayaran
retribusi selanjutnya, oleh Walikota atau pejabat
yang ditunjuk.

Pasal21
(1) Dalam hal kelebihan pembayaran retribusi yang
masih tersisa setelah dilakukan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
diterbitkan SKRDLB paling lambat 2 (dua) bulan
sejak diterimanya permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran retribusi.
(2) Kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) dikembalikan kepada wajib
retribusi paling lambat 2 (dua) bulan sejak
diterbitkan SKRDLB.
(3) Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi
dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKRDLB, Walikota atau pejabat
yang ditunjuk memberikan imbalan bunga 2%
(dua per seratus) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan retribusi.
(4) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran
retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (I)
diatur lebih Ianjut dengan Peraturan Walikota.
Pasa122
(1) Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasa!
21 ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan surat
perintah membayar kelebihan retribusi.
(2) Atas perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 diterbitkan bukti pemindahbukuan yang
berlaku juga sebagai bukti pembayaran.

Bagian Keduabelas
Tata Cara Pengurangan, Keringanan Dan Pembebasan Retribusi

Pasa123
(1) Walikota dapat memberikan pengurangan,
keringanan dan pembebasan retribusi.
(2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan
pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Walikota.

Bagian Ketigabelas
Kedaluwarsa Penagihan

Pasal24
(1) Hak untuk melakukan penagihan Retribusi
menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3
(tiga) tahun terhitung sejak saat terhutangnya
Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan
tindak pidana di bidang Retribusi.
(2) Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) tertangguh jika :
a. diterbitkan Surat Teguran; ataU
b. ada pengakuan hutang Retribusi dari Wajib
Retribusi, baik langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat
Teguran tersebut.
(4) Pengakuan hutang Retribusi secara langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurnf b
adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya
menyatakan masih mempunyai hutang retribusi
dan belum melunasinya kepada Pemerintah
Daerah.
(5) Pengakuan hutang Retribusi secara tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran dan permohonan
keberatan oleh Wajib Retribusi.
Pasa! 25
(1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi
karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan
Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang
sudah kedaluwarsa diatur Iebih Ianjut dengan
Peraturan Walikota.

Bagian Keempatbelas
Tata Cara Pemeriksaan Retribusi

Pasal26
(1) Walikota atau pejabat yang ditunjuk, berwenang
melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban Retribusi dalam rangka
melaksanakan Peraturan Daerah ini.
(2) Wajib Retribusi yang diperiksa berkewajiban :
a. memperlihatkan dan! atau meminjamkan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasamya
dan dokumen lain yang berhubungan dengan
objek retribusi yang terhutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberikan bantuan guna kelancaran
pemeriksaan; dan! atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih Ianjut mengenai tata cara
pemeriksaan retribusi diatur lebih Ianjut dengan
Peraturan Walikota.

BAB III
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal27
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan
retribusi dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu.
(2) Besaran insentif sebagaimana dimaksud pada ayat
(I) dapat diberikan sebanyak-banyaknya 5% (lima
per seratus) dari target pemungutan retribusi atau
sesuai kemampuan keuangan daerah dan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (I) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
(4) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diatur
dengan Peraturan Walikota.

BABIV
PEMANFAATAN

Pasa128
(1) Penerimaan Retribusi Perpanjangan IMTA
digunakan untuk mendanai penerbitan dokumen
izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum,
penatausahaan, biaya dampak negatif dari
perpanjangan IMTA, dan kegiatan pengembangan
keahlian dan ketrampilan tenaga kerja lokal.
(2) Untuk menjarnin peningkatan kemarnpuan tenaga
kerja loka! maka pemanfaatan penenmaan
Retribusi Perpanjangan IMTA sebagaimana
dimaksud pada ayat (I). sekurang-kurangnya 70%
(tujuh puluh per seratus) digunakan untuk
pelaksanaan pengembangan keahlian dan
keterarnpilan tenaga kerja lokal.

BABV
KETENTUAN PENYIDlKAN

Pasal29
(1) PejabatPegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah daerah diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk meiakukan
penyidikan tindak pidana di bidang retribusi
daerah sebagaimana dimaksud dalarn Undang­
Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan
meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang retribusi
daerah agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan
keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana retribusi
daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari
orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana dibidang retribusi daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan
dokumen-dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang retribusi daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk
mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang retribusi daerah;
g. menyuruh berhenti danl atau melarang
seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang danl atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
dalam huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana retribusi daerah;
L memanggil orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
J. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
retribusi daerah menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik pejabat polisi
negara sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BABVI

KETENTUAN SANKSI

Pasal30
Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada
waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% {dua per
seratus} setiap bulan dari retribusi yang terhutang
yang tidak atau kurang bayar dan ditagih dengan
menggunakan STRD.
Pasal31
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan
kewajibannya· membayar retribusi sehingga
merugikan keuangan daerah diancam pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana
denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pengenaan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban wajib
retribusi untuk membayar retribusinya.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pelanggaran.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetor ke kas negara.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32
Pelaksanaan ketentuan Pasal28 ayat (2) dilaksanakan
paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya
Peraturan Daerah inL
BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal33

Peraturan Daerah In1 mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah Inl dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Batam.

Ditetapkan di Batam
pada tanggal 11 April 2013

WALIKOTA BATAM

dto

AHMAD DAHLAN

Diundangkan di Batam
pada tanggal 11 April 2013

SEKRETARIS DAERAH KOTA BATAM

dto

AGUSSAHIMAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BATAM


TAHUN 2013 NOMOR 4

Salinan sesuai dengan as11Ilya.

all_ Sekretaris Daerah Kota Batam

A,ist~l Pemerintahan

Ub_

~ ....
~
..,
KepaJa Bagi.... Hukurn

DEM! HASfINUL NST SH. M.Si

NIP_ 19671224 199403 1009

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA BATAM


NOMOR 4 TAHUN 2013

TENTANG

RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN

TENAGA KERJA ASING

I. UMUM
Sesuai ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nornor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis retribusi daerah dapat
ditarnbah sepanjang rnernenuhi kriteria yang ditetapkan dalarn Undang­
Undang. Penarnbahan jenis retribusi daerah tersebut sesuai Peraturan
Pernerintah Nornor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu
Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mernpekerjakan Tenaga Kerja
Asing, Retribusi Perpanjangan IMTA ditetapkan sebagai jenis Retribusi
Daerah yang barn.
Penetapan Retribusi Perpanjangan IMTA sebagai retribusi daerah
rnernberikan peluang kepada daerah untuk rnenarnbah surnber
pendapatan dalarn rangka rnendanai urusan yang rnenjadi
tanggungjawab Pernerintah Daerah.
Retribusi Perpanjangan IMTA rnerupakan pernbayaran atas pernberian
perpanjangan IMTA oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk kepada
Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang telah rnemiliki IMTA dari Menteri
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau Pejabat yang
ditunjuk.
Pernungutan Retribusi Perpanjangan IMTA relatif tidak rnenarnbah
beban bagi rnasyarakat. rnengingat Retribusi Perpanjangan IMTA
sebelurnnya rnerupakan pungutan Pemerintah Pusat berupa Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang kernudian rnenjadi retribusi daerah.
Tarif Retribusi Perpanjangan IMTA ditetapkan berdasarkan tingkat
penggunaan jasa dan tidak rnelebihi tarif PNBP Perpanjangan IMTA yang
berlaku pada kernenterian di bidang ketenagakerjaan.
Pernanfaatan penerirnaan Retribusi Perpanjangan IMTA diutarnakarn
digunakan untuk rnendanai kegiatan pengernbangan keahlian dan
ketrarnpilan tenaga kerja lokal yang alokasinya ditetapkan rnelalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal2
Cukupjelas
Pasal3
Ayat (1)
Cukupjelas
Ayat (2)
Yang dimaksud "jabatan tertentu di lembaga pendidikan" adalah
Tenaga KeIja Asing sebagai kepala sekolah dan guru di lembaga
pendidikan yang dikelala kedutaan negara asing, serta dasen
dan/atau peneliti di perguruan tinggi yang dipekerjakan sebagai
bentuk kerja sarna dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Pasal4
Cukup jelas
Pasal5
Cukup jelas
Pasal6
Cukupjelas
Pasal 7
Cukupjelas
Pasal8
Cukupjelas
Pasa19
Cukup jelas
Pasall0
Cukupjelas
Pasal 11
Cukupjelas
Pasal12
Cukupjelas
Pasa! 13
Cukup jelas
Pasal14
Cukupjelas
Pasal15
CUkupjelas
Pasal 16
Cukupjelas
Pasa! 17
Cukup jela.s
Pa.sal 18
Cukup jelas
Pasa! 19
Cukupjelas
Pasal20
Cukupjelas
Pasal21
CUkupjelas
Pasal22
Cukupjelas
Pasa123
Cukupjelas
Pasa124
Cukupjelas
Pasal25
Cukup jelas
Pasal26
Cukup jelas
Pasal27
Cukupjelas
Pasa128
Ayat (1)
Yang dimaksud "tenaga kerja loka!" adalah Tenaga Kerja Indonesia.
Ayat (2)
Cukupjelas
Pasa!29
Cukup jelas
Pasal30
Cukupjelas
Pasa131
Cukupjelas
Pasal32
Yang dimaksud "dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Daerah ini" adalah pengalokasian
anggaran untuk kegiatan pengembangan keahlian dan ketrampilan
tenaga kerja lokal bersifat progresif.
Pasal33
Cukupjelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 89

Salinan Selina i dengan adinya.

an. Sdcretaris Daer.1t Kola Batam

Asisten Panmntahan

l.Jb.

DEMI HASFINQL NST SH MSi


NIP. 19671224 199403 1009
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


NOMOR 27 TAHUN 2008

TENTANG
KEGIATAN USAHA PENUNJANG MINYAK DAN GAS BUMI

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

Menimbang a. bahwa dalam rangka menciptakan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan
mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional, perlu
adanya dukungan bagi pelaku dan kegiatan usaha penunjang dalam
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. bahwa Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi ~omor
147/Kpts/M/Pertamb/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Perizinan
Usaha Perusahaan Asing Yang Bekerja di Bidang Jasa-jasa Usaha
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sudah tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Minyak dan Gas Bumi
serta tidak sesuai perkembangan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud da/am


huruf a dan huruf b dan dalarn rangka pengaturan, pembinaan dan
pengawasan atas Pe/aku dan kegiatan usaha penunjang Minyak
dan Gas Bumi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak
dan Gas Bumi;

Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun '1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 3274);
2. Undang-Undang Nornor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);
3. Undang-Undang Nornor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4152); .

4. Peraturan Pemerintah Nemer 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan


Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nornor 123, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nemer 4435) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan
Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4530);
5 . PeraturanPemerintahNomor 36 Tahun 2oo4 tentangKegiatan
UsahaHilir Minyakdan Gas Bumi (LembaranNegaraRepublik
lndonesiaTahun2004Nomor124,TambahanLembaranNegara
Republik
IndonesiaNornor
a436);
6 . PeraturanPemerintah
Nomor38 Tahun 2007tentangpembagian
Urusan PemerintahAntara pemerintah,pemerinlah Daerah
Provinsi,dan PemerintahDaerah Kabupaten/Kota(Lembaran
NegaraRepublikIndonesia Tahun 2oo7 Nomorg2, Tambahan
Lembaran NegaraRepublik
Indonesia NomoraZ37);
7 . Keputusan
PresidenNomor1B7lMTahun2oo4tanggal20 oktober
2004 sebagaimana telah beberapakali diubahterranirdengan
KeputusanPresidenNomorTTrprahun 2007tanggal2g AguJtus
2007;
B . PeraturanMenteriEnergidan sumberDaya MineralNomor0030
Tahun2005 tanggal20 Juri2005 tentangorganisasidan Tata
KerjaDepartemen
EnergidanSumberDayaMineial;

MEMUTUSKAN
:
Menetapkan P E R A T U R A NMENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINER AL
T E N T A N G K E GIATAN USAHA PENUNJANG MINYAK DAN GAS
BUMI.

BAB I
K E T E N T U AUNM U M

Pasal1

DalamPeraturan
Menteriiniyangdimaksud
dengan'
1. Kegiatan
UsahaHulu,KegiatanUsahaHilir,Badanusaha,Kontrak
Kerjasama, dan Menteriadalahsebagaimana dimaksuddalam
Undang-undangNomor22 Tahun 2oo1tentangMinyakdan Gas
Bumi.

2 . Usaha.PenunjangMinyakdan Gas Bumi selanjutnyadisebutusaha


PenunjangMigasadalahkegiatanusahay"ng menunjangkegiatan
u sa h aMi n ya kdan Gas Bur ni.

3 . u sa h a Ja sa P enunjangMigasadalahkegiatanusahajasa lay anan


d a l a m K e g i atan Usaha Hur u yang m eliputi eksplor as i dan
eksploitasi/produksidan Kegiatan usaha Hilir yang meliputi
p e n g o l a h a np, engangkutan,
penyim panan
dan niaga.
4 . U sa h a In d u striPenunjangMigas adalah kegiatanusaha r ndus tr i
yang menghasilkanbarang, material dan/atau peralatan yang
d i g u n a ka nte rk ait sebagai penunjanglangsungdalam kegi atai
_
u sa h aMi n ya kdan Gas Bum i.
- 3-

5. Usaha Jasa Konstruksi Migas adalah kegiatan usaha jasa layanan


untuk penanganan pekerjaan bangunan atau konstruksi atau wujud
fisik lainnya dalam menunjang kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi.

6. Usaha Jasa Non-Konstruksi Migas adalah kegiatan usaha jasa


layanan pekerjaan dalam menunjang kegiatan Usaha Minyak dan
Gas Bumi selain Usaha Jasa Konstruksi Migas dan Usaha Industri
Penunjang Migas.

7. Industri material adalah kegiatan Usaha Industri Penunjang Migas


yang menghasilkan benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang
meliputi bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi.

8. Industri Peralatan adalah kegiatan Usaha Indust.ri Penunjang Migas


yang menghasilkan benda-benda dalam berbagai bentuk, yang
dirakit menjadi satu kesatuan yang mempunyai fungsi untuk tujuan
tertentu.

9. Industri Pemanfaat Migas adalah kegiatan usaha yang


menghasilkan benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang
meliputi bahan baku, barang setengah jadi dan/atau barang jadi
dengan spesifikasi tertentu yang menggunakan hasil atau produk
dari kegiatan usaha minyak dan gas bumi. ..

10. Perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Swasta yang berbadan hukum
Indonesia yang bergerak dalam bidang Usaha Penunjang Migas.

11. Surat Keterangan Terdaftar Usaha Penunjang Migas, selanjutnya


disebut Surat Keterangan Terdaftar adalah surat yang diberikan·
kepada Perusahaan atau Perseorangan yang melaksanakan Usaha
Penunjang Migas berdasarkan klasifikasi usaha penunjang sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki.

12. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan
tanggung jawabnya meliputi Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.

13. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugas


dan tanggung jawabnya meliputi Kegiatan Usaha Minyak dan Gas
Bumi.

Pasal2

(1) Penyelenggaraan Usaha Penunjang Migas bertujuan untuk :


a. menunjang usaha penyediaan dan pemanfaatan barang dan
jasa Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan Usaha Penunjang Migas
yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna dan
penyedia barang dan jasa dalam hak dan kewajiban serta
rneningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-
undangan;
- 4··

c. mewujudkan keqiatan Usaha Penunjang Migas yang mandiri,


andal, transparan, berdaya saing, efisien dan mendorong
perl<embangan potensi dan kemampuan nasional;
d. membina dan rnenqarahkan Usaha Penunjang Migas menjadi
Usaha Penunjang Migas nasional.

(2) Penyelenggaraan Usaha Penunjang Migas sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan di bidang Minyak dan Gas Bumi, keselamatan
dan kesehatan kerja, serta pengelolaan lingkungan hidup.

BAB II
USAHA PENUNJANG MIGAS

Pasal3

(1) Usaha Penunjang Migas dapat dilakukan oleh Perusahaan atau


Perseorangan.

(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi


a. Perusahaan Usaha Penunjang Migas Nasional;
b. Perusahaan Usaha Penunjang Migas Dalam Negeri;
c. Perusahaan Usaha Penunjang Migas Transn~sional/
Multinasional.

(3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi CV,


Firma dan Perseorangan yang mempunyai keahlian untuk
memberikan pelayanan usaha [asa konsultasi non konstruksi migas.

Pasal4

Usaha Penunjang Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


diklasifikasikan sebaqal berikut :
a. Usaha Jasa Penunjang Migas;
b. Usaha Industri Penunjang Migas.

Pasal5

(1) Usaha Jasa Penunjang Migas sebagaimana dimaksud dalarn Pasal


4 huruf a terdiri dari:
a. Bidang Usaha Jasa Konstruksi Migas;
b. Bidang Usaha Jasa Non-Konstruksi Migas;

(2) Bidang Usaha Jasa Konstruksi Migas sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. Usaha Jasa Perencanaan Konstruksi termasuk rancang bangun
dan rekayasa (design engineering);
b. Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi termasuk E.ngineering,
Procurement, and Construction (EPC), usaha instalasi, dan
komisioning;
- 5-

c. Usaha Jasa Pengawasan Konstruksi,


yang pelaksanaannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.

(3) Bidang Usaha Jasa Non-Konstruksi Migas sebaqaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b terdlri dari :
a. survei seismik:
b. survei non seismik;
c. geologi dan geofisika;
d. pemboran;
e. operasi sumur pemboran;
f. pekerjaan bawah air;
g. pengelolaan bahan peledak, radio aktif, dan bahan berbahaya;
h. pangkalan logistik (shore/offshore base);
i. pengoperasian dan pemeliharaan;
j. inspeksi teknis;
k. pengujian teknis;
I. pekerjaan paska operasi (decommisioning);
m. penelitian dan pengembangan;
n. pendidikan dan pelatihan;
o. pengelolaan Iimbah pemboran dan produksi; dan/atau -.
p. jasa lainnya.

Pasal 6

Usaha Industri Penunjang Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


huruf b terdiri dari :
a. industri material;
b. industri peralatan (equipment); dan
c. industri pemanfaat migas.

BAB III
SURAT KETERANGAN TERDAFTAR
USAHA PENUNJANG MIGAS

Pasa/?

(1) Perusahaan dan perseorangan dapat melaksanakan kegiatan Usaha


Penunjang Migas sesuai dengan klasifikasi bidang usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.

(2) Perusahaan dan perseorangan untuk dapat melaksanakan kegiatan


Usaha Penunjang Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memiliki Surat Keterangan Terdaftar.

(3) Kewajiban memiliki Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi industri pemanfaat migas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c.
- 6-

(4) Untuk mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana


dimaksud pada ayat (2), Perusahaan atau Perseorangan
mengajukan pendaftaran secara tertulis kepada Direktur Jenderal
dengan melampirkan data Perusahaan atau Perseorangan.

(5) Data Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:


a. tenaga kerja termasuk tenaga teknik dalam [urnlah yang cukup;
b. memiliki peralatan kerja yang dibutuhkan;
c. memiliki penguasaan teknologi;
d. memiliki modal kerja yang cukup; dan
e. unjuk kerja (performance) Perusahaan.

(6) Data Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi


sertifikasi Perseorangan sesual bidang keahlian dan pengalaman.

Pasal8

(1) Direktur Jenderal melakukan penelitian dan evaluasi terhadap data


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(2) Dalam hal hasil penelitian dan evaluasi atas persyaratan data
Perusahaan atau Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah lengkap dan benar, dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja Direktur Jenderal menerbitkan Surat Keterangan
Terdaftar bagi Perusahaan atau Perseorangan.

(3) Apabila dari hasil penelitian dan evaluasi atas persyaratan data
Perusahaan atau Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat:
(1) tidak lengkap dan/atau tidak benar, Direktur Jenderal
menyampaikan penolakan beserta alasannya.

Pasal9

(1) Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ayat (2) diberikan untuk jangka waktu selama 3 tahun.

(2) Dalam hal jangka waktu Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana


dirnaksud pada ayat (1) telah berakhir, Perusahaan atau
Perseorangan dapat mengajukan Surat Keterangan Terdaftar
kembali.

Pasal 10

Perusahaan atau Perseorangan pemegang Surat Keterangan Terdaftar


yang te/ah me/akukan kontrak pengadaan/penyediaan Usaha
Penunjang Migas dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sarna atau Badan
Usaha wajib memenuhi:
a. tingkat komponen dalam negeri (TKDN);
b. penerapan kaedah keteknikan yang baik;
- 7-

c. keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan Iingkungan


hidup; dan
d. pengembangan tenaga kerja Indonesia.

BAB IV
ASOSIASI USAHA PENUNJANG MIGAS

Pasal 11

(1) Perusahaan yang melaksanakan Usaha Penunjang Migas dapat


membentuk Asosiasi Perusahaan Usaha Penunjang Migas.

(2) Perseorangan yang melaksanakan Usaha Penunjang Migas dapat


membentuk Asosiasi Protesi Migas.

(3) Peran Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah:
a. sebagai mitra Pemerintah dalam memantau implementasi
kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalarn upaya
peningkatan penggunaan produksi barang dan [asa- dalarn
negeri;
b. menampung dan menyalurkan asplrasi Perusahaan dan
Perseorangan;
c. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan
Usaha Penunjang Migas.

Pasal 12

(1) Asosiasi Perusahaan Usaha Penunjang Migas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 11 adalah:
a. perhimpunan organisasi usaha jasa penunjang migas dalam
bidang usaha tertentu sejenis yang dldirikan oleh anggota
Usaha Jasa Penunjang Migas dan Usaha Industri Penunjang
Migas;
b. wadah untuk mengurus dan menampung aspirasi, konsultasi,
koordinasi dan advokasi para anggotanya untuk kepentingan
bersama atau organisasi;

(2) Asosiasi Perusahaan Usaha Penunjang Migas sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) wajib :
a. terdaftar sebagai anggota KADIN sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. mempunyai badan sertitikasi yang diakreditasi oleh Badan
Registrasi dan Akreditasi Kadin Indonesia (BARKI) atau asosiasi
yang terakreditasi dari badan sertifikasi lain yang dapat
rnensertifikasi anggota sesual denqan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
· 8-

Pasal13

Asosiasi Protesi Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 adalah:


a. perhimpunan perseorangan Usaha Jasa Penunjang Migas da/am
keahlian tertentu yang didirikan oleh anggota Usaha Jasa
Penunjang Migas;
b. wadah untuk mengurus dan rnenarnpung aspirasi, konsultasi,
koordinasi dan advokasi para anggotanya untuk kepentingan
bersama atau organisasi;
c. keanggotaan berdasarkan keahlian tertentu di bidang migas.

BABV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 14

(1) Pembinaan dan pengawasan Usaha Penunjang Migas dllaksanakan


oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal.

(2) Pembinaan dan pengawasan Usaha Penunjang Migas bertujuan


dalam mewujudkan Perusahaan dan Perseorangan yang
berkualitikasi dan kompeten.

(3) Menteri c.q. Direktur Jenderal berkewajiban untuk meningkatkan


kemampuan (capacity bUilding) Perusahaan atau Perseoranqan
yang melaksanakan Usaha Penunjang Migas mencakup kompetensi
tenaga kerja, mutu, perrnodalan, pemasaran dan manajemen.

Pasal 15

Pembinaan dan pengawasan Usaha Penunjang Migas untuk Industri


Pemanfaat Migas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan berkoordinasi dengan instansi terkait.

Bagian Kedua
Pembinaan

Pasal 16

(1) Dalam rangka pembinaan dan peningkatan kemampuan Usaha


Penunjang Migas, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Kemampuan
Usaha Penunjang Migas terhadap Perusahaan dan Perseorangan
yang te/ah memiliki Surat Keterangan Terdaftar.

(2) Direktur Jenderal dalarn menerbitkan Surat Kemampuan Usaha


Penunjang Migas wajib memperhatikan kemampuan nyata yang
telah dibuktikan dengan penetapan peringkat Kernampuan Usaha
Penunjang Migas.
- 9-

(3) Dalam Surat Kemampuan Usaha Penunjang Migas ~ebagai~an~


dimaksud pada ayat (1) mernuat peringkat untuk setlap klasiflkasi
Usaha Penunjang Migas sebagai berikut :
a. Untuk kemampuan Usaha Jasa Penunjang Migas didasarkan
pada:
1. status usaha dan financial, dengan bobot nilai maksimal 10;
2. kemampuan/kapasitas jasa, dengan bobot nilai maksimal
55;
3. sistem manajernen mutu, dengan bobot nilai maksimal 15;
4. penerapan keselamatan dan kesehatan kerja serta
pengelalaan lingkungan hidup, dengan bobot nilai
maksimal 10;
5. jaringan pemasaran, dengan bobot nilai maksimal 5;
6. jaringan puma jual, dengan bobot nilai maksimal 5.

b. Untuk kemampuan Usaha Industri Penunjang Migas didasarkan


pada:
1. status usaha dan financial, dengan bobot nilai maksimal 10;
2. kemampuan/kapasitas praduksi, dengan bobot nilai
maksimal 35;
3. sistem manajemen mutu, dengan bobot nilai maksimal 15;
4. spesifikasi/standar mutu produk, dengan bobot nilai
maksirnal 20; _,
5. penerapan keselamatan dan kesehatan kerja serta
pengelalaan Iingkungan hidup, dengan bobot nilai
maksimal '10;
6. jaringan pemasaran, dengan bobot nilai maksimal 5;
7. jaringan puma jual, dengan bobot nilai maksimal 5.

(4) Berdasarkan penilaian kemampuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (3) huruf a dan huruf b, kepada Perusahaan atau
Persearangan ditetapkan peringkat dengan kategari sebagai
berikut:
a. apabila jumlah bobot nilal perusahaan kurang dari 40,
dikategarikan tidak mampu;
b. apabila jumlah bobot nilai perusahaan lebih dari 40 sampai
dengan 60, diberikan kategari bintang satu (*);
c. apabila jumlah bobot nilai perusahaan lebih dari 60 sampai
dengan 80, diberikan kategari bintang dua (**);
d. apabila jumlah bobot nilai perusahaan lebih dari 80, diberikan
kategari bintang tiga C**).

(5) Dalam rangka penilaian dan penetapan kategari sebagaimana


dimaksud pada ayat (4), apabiia dianggap perlu Direktarat Jenderal
melakukan klarifikasi terhadap fasilitas produksi Perusahaan.

Pasal 17

Dalam rangka memberikan informasi keberadaan Perusahaan atau


Persearangan, Direktarat Jenderal mengeluarkan daftar Perusahaan
yang telah mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar dan Surat
Kemarnpuan Usaha Penunjang Migas melalu! media cetak dan/atau
media elektranik.
Pasal 18

( I ) Perusahaan atau Perseorangan yang telah mendapat Surat


Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(2) wajib menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan kegiatan
Usaha Penunjang Migas setiap 6 (enam) bulan sekali kepada
Direktur Jenderal.

(2) Direktur Jenderal melakukan svaluasi atas laporan yang


disampaikan Perusahaan atau Perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

(3) Berdasarkan hasil evaluasi sebagairnana dimaksud pada ayat (2),


Direktur Jenderal dapat melakukan perubahan alas kemampuan
Pernsahaan atau Parseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (3).

Bagian Ketiga
Pengawasan

Pasal 19

(1) Direktur Jenderal melaksariakan pengawasan terhadap Perusahaan


dan Perseorangar~ pemegang Surat Keterangan Terdaftar yang
telah melakukan Kontrak PenyadaanlPenyediaan Usaha Penunjang
Migas dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau Badan Usaha.

(2) Pengawasan terhadap Perusahaan sebagairnana dimaksud pada


ayat (1) dalam rangka peningkatan kernampuan Perusahan
Perlunjang Migas antara lain :
a. tingkat komponen dalan~negeri (TKDN);
5. penerapan kaedah keteknikan yang baik;
c. keselamatan dan kesehatan kerja serta pangelolaan lingkungan
hidup; dan
d. pengembangan tenaga kerja nasional.

(3) Pengawasan terhadap Perseorangan sebagaimana dimaksud pada


ayat ( I ) dalam rangka peningkatan bidang keahlian dan
kemampuan Perseorangan.

RAB Vl
SANKSI ADMINISTRATIF

(1) Direktur Jenderal memberikan sanksi administratif kepada


Perusahaan atau Perseorangan yany melanggar ketentuan Fasal 7
dan Pasal 10 Peraturan Menteri ini.
k
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. teguran tertulis; danlatau
b. pencabutan Surat Keterangan Terdaftar
- 11 -

Pasal21

(1) Teguran tertulis diberikan kepada Perusahaan atau Perseorangan


apabila melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal7 dan Pasal 10.

(2) Teguran tertulis sebaqaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan


paling banyak 3 (tiga) kali, dengan jangka waktu peringatan
masing-masing 1 (satu) bulan.

Pasal22

Dalam hal Perusahaan atau Perseorangan setelah mendapat teguran


tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tetap tidak memperbaiki
kesalahan atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan, Direktur
Jenderal dapat mencabut Sural Keterangan Terdaftar.

Pasal23

Dalam hal dikemudian hari diketahui bahwa data yang disampaikan


Perusahaan atau Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
tidak benar, Direktur Jenderal dapat mencabut Surat Keterangan
Terdaftar. .. '

BABVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 24

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini :

a. terhadap Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Keterangan


Terdaftar Perusahaan Jasa Penunjang dan Surat Keterangan
Kernampuan Produksi Da/am Negeri yang telah diberikan sebe/um
ditetapkan Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya masa ber/aku Surat Keterangan tersebut.

b. terhadap Izin Usaha Jasa Asing yang telah diberikan sebe/um


ditetapkan Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap ber/aku sampai
dengan berakhirnya masa berlaku Izin Usaha Jasa Asing tersebut.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku :


a. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
147/Kpts/M/Pertamb/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Perizinan
Usaha Perusahaan Asing Yang Bekerja di Bidang Jasa-jasa Usaha
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
- 12-

b. peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan usaha penunjang


migas dan ketentuan yang berkaitan dengan persetujuan Surat
Keterangan Terdaftar Jasa Penunjang,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 26

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
padatanggal 22 Agustus 2008

NTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

-.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


NOMOR 7 TAHUN 2013
TENTANG

UPAH MINIMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melindungi upah pekerja/buruh agar


tidak merosot pada tingkat yang paling rendah sebagai
akibat ketidakseimbangan pasar kerja, perlu
penyelarasan kebijakan upah minimum dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi guna mewujudkan keberlangsungan usaha
dan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, perlu diatur upah minimum
provinsi atau kabupaten/kota, upah minimum sektoral
provinsi atau kabupaten/kota, dan upah minimum bagi
perusahaan industri padat karya tertentu;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang


Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);

5. Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 tentang


Dewan Pengupahan;

6. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN


TRANSMIGRASI TENTANG UPAH MINIMUM.

2
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah
pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai
jaring pengaman.

2. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP adalah Upah


Minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.

3. Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah


Upah Minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.

4. Upah Minimum Sektoral Provinsi yang selanjutnya disingkat UMSP


adalah Upah Minimum yang berlaku secara sektoral di satu provinsi.

5. Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat


UMSK adalah Upah Minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah
kabupaten/kota.

6. Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya


menurut Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI).

7. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah


atau imbalan dalam bentuk lain.

8. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

9. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

3
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.

10. Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu adalah perusahaan yang


memenuhi kriteria industri padat karya sebagaimana diatur oleh Menteri
Perindustrian.

11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

Upah Minimum terdiri atas:


a. UMP atau UMK;
b. UMSP atau UMSK.

BAB II
DASAR DAN WEWENANG PENETAPAN UPAH MINIMUM

Pasal 3

(1) Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak


(KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(2) Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada
pencapaian KHL.
(3) Pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
perbandingan besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode
yang sama.
(4) Untuk pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur
menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk peta jalan
pencapaian KHL bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu dan bagi
perusahaan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan
dunia usaha.

Pasal 4

Peta jalan pencapaian KHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4)
disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. menentukan tahun pencapaian Upah Minimum sama dengan KHL;
b. memprediksi nilai KHL sampai akhir tahun pencapaian;

4
c. memprediksi besaran nilai Upah Minimum setiap tahun;
d. menetapkan prosentase pencapaian KHL dengan membandingkan prediksi
besaran Upah Minimum dengan prediksi nilai KHL setiap tahun.

Pasal 5

Dalam hal kondisi perekonomian pada tahun tertentu mengakibatkan


pencapaian KHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) tidak dapat
terpenuhi, gubernur dapat melakukan penyesuaian tahapan pencapaian KHL.

Pasal 6

(1) Gubernur menetapkan UMP.


(2) UMP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dan diumumkan
oleh masing-masing gubernur secara serentak setiap tanggal 1 November.

Pasal 7

(1) Selain UMP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, gubernur dapat


menetapkan UMK atas rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan
rekomendasi bupati/walikota.
(2) UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dan diumumkan
oleh gubernur selambat-lambatnya tanggal 21 November setelah
penetapan UMP.
(3) Besaran UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari UMP.

Pasal 8

(1) Upah Minimum yang ditetapkan oleh gubernur sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 dan Pasal 7 berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari
tahun berikutnya.
(2) Peninjauan besaran Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan 1 (satu) tahun sekali.

5
Pasal 9

Bagi daerah yang Upah Minimumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf a masih berada di bawah nilai KHL, besarnya Upah Minimum yang
berlaku bagi Perusahaan Industri Padat Karya tertentu dan Upah Minimum
yang berlaku bagi perusahaan lainnya mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4).

Pasal 10

(1) Bagi daerah yang Upah Minimumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a di atas KHL dan nilai KHL untuk tahun berikutnya lebih besar
dari Upah Minimum tahun sebelumnya, gubernur menetapkan Upah
Minimum untuk tahun berikutnya mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4).
(2) Bagi daerah yang Upah Minimumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a sama atau di atas KHL dan nilai KHL untuk tahun berikutnya
tidak lebih besar dari Upah Minimum tahun sebelumnya, gubernur
menetapkan besarnya Upah Minimum harus didasarkan pada
rekomendasi dari Dewan Pengupahan.

Pasal 11

(1) Selain Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,


gubernur dapat menetapkan UMSP dan/atau UMSK atas kesepakatan
organisasi perusahaan dengan serikat pekerja/serikat buruh di sektor
yang bersangkutan.
(2) UMSP dan/atau UMSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sejak ditetapkan oleh gubernur.
(3) Besaran UMSP dan/atau UMSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut:
a. UMSP tidak boleh lebih rendah dari UMP;
b. UMSK tidak boleh lebih rendah dari UMK.

6
BAB III
TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM

Pasal 12

(1) Gubernur dalam menetapkan UMP memperhatikan rekomendasi Dewan


Pengupahan Provinsi.
(2) Gubernur dalam menetapkan UMK memperhatikan rekomendasi Dewan
Pengupahan Provinsi dan rekomendasi bupati/walikota.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan kepada gubernur oleh Dewan Pengupahan Provinsi
dan/atau bupati/walikota, melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah
Provinsi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Rekomendasi bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berdasarkan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan
kabupaten/kota apabila telah terbentuk.

Pasal 13

(1) Untuk menetapkan UMSP dan/atau UMSK, Dewan Pengupahan Provinsi


atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota melakukan penelitian serta
menghimpun data dan informasi mengenai:
a. homogenitas perusahaan;
b. jumlah perusahaan;
c. jumlah tenaga kerja;
d. devisa yang dihasilkan;
e. nilai tambah yang dihasilkan;
f. kemampuan perusahaan;
g. asosiasi perusahaan; dan
h. serikat pekerja/serikat buruh terkait.
(2) Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
penelitian untuk menentukan sektor unggulan yang selanjutnya
disampaikan kepada asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat
buruh di sektor yang bersangkutan untuk dirundingkan.

7
Pasal 14

(1) Besaran UMSP dan/atau UMSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


ayat (3) disepakati oleh asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat
buruh di sektor yang bersangkutan.
(2) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada gubernur melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai dasar penetapan
UMSP dan/atau UMSK.

BAB IV

PELAKSANAAN PENETAPAN UPAH MINIMUM

Pasal 15

(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum
yang telah ditetapkan.
(2) Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Pasal 16

(1) Upah Minimum wajib dibayar bulanan kepada pekerja/buruh.


(2) Berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha, Upah Minimum dapat
dibayarkan mingguan atau 2 (dua) mingguan dengan ketentuan
perhitungan Upah Minimum didasarkan pada upah bulanan.

Pasal 17

(1) Bagi pekerja/buruh dengan sistem kerja borongan atau sistem harian
lepas yang dilaksanakan 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah
minimum yang dilaksanakan di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Upah pekerja/buruh harian lepas, ditetapkan secara bulanan yang
dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah
sehari:
a. bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam
seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima);

8
b. bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam
seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu).

Pasal 18

(1) Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor, Upah Minimum
yang berlaku sesuai dengan UMSP atau UMSK.
(2) Dalam hal satu perusahaan mencakup lebih dari satu sektor dan apabila
terdapat satu sektor atau lebih belum ada penetapan UMSP dan/atau
UMSK, maka upah terendah di perusahaan pada sektor yang
bersangkutan, disepakati secara bipartit.

Pasal 19

Besaran kenaikan upah di perusahaan yang Upah Minimumnya telah


mencapai KHL atau lebih, ditetapkan secara bipartit di perusahaan masing-
masing.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 20

Pengawasan pelaksanaan Upah Minimum sebagaimana diatur dalam


Peraturan Menteri ini dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana diubah
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8,
Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

9
Pasal 22

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2013

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2013

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1239

10
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN REGULATION OF THE MINISTER OF
TRANSMIGRASI MANPOWER AND TRANSMIGRATION OF THE
REPUBLIK INDONESIA REPUBLIC OF INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2012 NUMBER 19 OF 2012
TENTANG CONCERNNG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN REQUIREMENTS FOR OUTSOURCING (THE
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA CONTRACTING OUT OF PARTIAL WORK TO
PERUSAHAAN LAIN OTHER COMPANIES)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WITH THE BLESSING OF GOD ALMIGHTY

MENTERI TENAGA KERJA DAN THE MINISTER OF MANPOWER AND


TRANSMIGRASI TRANSMIGRATION OF
REPUBLIK INDONESIA, THE REPUBLIC OF INDONESIA,

Menimbang: Considering:
a. bahwa pelaksanaan pemborongan pekerjaan a. that contracting of work and labor supply
dan penyediaan jasa pekerja/buruh are directed to create a harmonious,
diarahkan untuk menciptakan iklim dynamic and just climate of industrial
hubungan industrial yang harmonis, dinamis relations;
dan berkeadilan;
b. bahwa ketentuan yang diatur dalam b. that the provisions stated in Decision of the
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Minister of Manpower and Transmigration
Transmigrasi Nomor KEP. Number KEP. 101/MEN/VI/2004
101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara concerning Procedures for Licensing of
Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Labor Suppliers and Decision of the
Pekerja/Buruh dan Keputusan Menteri Minister of Manpower and Transmigration
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Number KEP.220/MEN/X/2004 concerning
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat- Requirements for Outsourcing (The
Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Contracting Out of Partial Work to Other
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, sudah Companies) are no longer current with the
tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat present development, so that it is necessary
ini, sehingga perlu dilakukan to revise them;
penyempurnaan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan c. that in consideration of points (a) and (b), it
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, is necessary to issue Regulation of the
perlu ditetapkan Peraturan Menteri tentang Minister of Manpower and Transmigration
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian concerning Requirements for Outsourcing
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan (The Contracting Out of Partial Work to
Lain; Other Companies);

Mengingat: Bearing in Mind:


1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 1. Law Number 3 of 1951 concerning The
Translated by: Wishnu Basuki
wbasuki@wishnubasuki.com
tentang Pernyataan Berlakunya Undang- Declaration of the Operation of Law of the
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun Republic of Indonesia Number 23 of 1948
1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia concerning Labor Supervision Throughout
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Indonesia (State Gazette of the Republic of
Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Indonesia Number 4 of 1951);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 2. Law Number 13 of 2003 concerning Labor
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara (State Gazette of the Republic of Indonesia
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Number 39 of 2003, Supplement to State
Tambahan Lembaran Negara Republik Gazette of the Republic of Indonesia
Indonesia Nomor 4279); Number 4279);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 3. Law Number 2 of 2004 concerning
tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial Relations Dispute Settlement
Hubungan Industrial (Lembaran Negara (State Gazette of the Republic of Indonesia
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Number 6 of 2004, Supplement to State
Tambahan Lembaran Negara Republik Gazette of the Republic of Indonesia
Indonesia Nomor 4356); Number 4356);
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 4. Decision of the President Number 84/P of
2009; 2009;

MEMUTUSKAN: HAS DICEDED:

Menetapkan: To issue:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REGULATION OF THE MINISTER OF
DAN TRANSMIGRASI TENTANG SYARAT- MANPOWER AND TRANSMIGRATION
SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN CONCERNNG REQUIREMENTS FOR
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA OUTSOURCING (THE CONTRACTING OUT
PERUSAHAAN LAIN. OF PARTIAL WORK TO OTHER
COMPANIES).

BAB I CHAPTER I
KETENTUAN UMUM GENERAL PROVISIONS
Pasal 1 Article 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud In this Regulation of the Minister:
dengan:
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah 1. Outsourcer (a company providing work)
perusahaan yang menyerahkan sebagian means a company that contracts out partial
pelaksanaan pekerjaannya kepada work to a supplier/vendor or a labor
perusahaan penerima pemborongan atau supplier.
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Perusahaan penerima pemborongan adalah 2. Supplier/vendor means a company in the
perusahaan yang berbentuk badan hukum form of legal entity that is eligible to receive
yang memenuhi syarat untuk menerima partial work from an outsourcer.
pelaksanaan sebagian pekerjaan dari
perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh 3. Labor supplier means a company which is a
adalah perusahaan yang berbentuk badan legal entity in the form of Limited Liability
hukum Perseroan Terbatas (PT) yang Company (LLC) eligible to perform

2
memenuhi syarat untuk melaksanakan supporting services for an outsourcer.
kegiatan jasa penunjang perusahaan
pemberi pekerjaan.
4. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah 4. Supply agreement means an agreement
perjanjian antara perusahaan pemberi between an outsourcer and a
pekerjaan dengan perusahaan penerima supplier/vendor stating the rights and
pemborongan yang memuat hak dan obligations of the parties.
kewajiban para pihak.
5. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh 5. Labor supply agreement means an
adalah perjanjian antara perusahaan pemberi agreement between an outsourcer and a
pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa labor supplier stating the rights and
pekerja/buruh yang memuat hak dan obligations of the parties.
kewajiban para pihak.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang 6. Worker means any person who works for a
bekerja pada perusahaan penerima supplier/vendor or a labor supplier and
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa receives the wage or compensation of other
pekerja/buruh yang menerima upah atau form.
imbalan dalam bentuk lain.
7. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara 7. Employment agreement means an
perusahaan penerima pemborongan atau agreement between a supplier/vendor or a
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh labor supplier and a worker of the
dengan pekerja/buruh di perusahaan supplier/vendor or of the labor supplier
penerima pemborongan atau perusahaan stating the rights and obligations of each
penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat party.
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung 8. Minister means the Minister in charge of
jawab di bidang ketenagakerjaan. manpower.

Pasal 2 Article 2
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan Outsourcing to another company may be
kepada perusahaan lain dapat dilakukan melalui performed by a supply agreement or a labor
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian supply agreement.
penyediaan jasa pekerja/buruh.

BAB II CHAPTER II
PEMBORONGAN PEKERJAAN CONTRACTING OF WORK

Bagian Kesatu Part One


Persyaratan Pemborongan Pekerjaan Requirements for Contracting of Work
Pasal 3 Article 3
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat (1) An outsourcer may outsource to a
menyerahkan sebagian pelaksanaan supplier/vendor.
pekerjaan kepada perusahaan penerima
pemborongan.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada (2) Work that may be outsourced to a
perusahaan penerima pemborongan supplier/vendor as intended by section (1)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus must meet the following requirements:
memenuhi syarat sebagai berikut:

3
a. dilakukan secara terpisah dari a. that is performed separately from the
kegiatan utama baik manajemen core activity, both management and
maupun kegiatan pelaksanaan performance of work;
pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung b. that is performed by a direct or
atau tidak langsung dari pemberi indirect order of the outsourcer who
pekerjaan, dimaksudkan untuk briefs the way to perform the work in
memberi penjelasan tentang cara order to be consistent with the
melaksanakan pekerjaan agar sesuai standard set by the outsourcer;
dengan standar yang ditetapkan oleh
perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang c. which is a supporting activity of the
perusahaan secara keseluruhan, company/outsourcer as a whole,
artinya kegiatan tersebut merupakan meaning that the activity is one that
kegiatan yang mendukung dan supports and smooths the performance
memperlancar pelaksanaan kegiatan of the core activity within the
utama sesuai dengan alur kegiatan workflow as issued by the
proses pelaksanaan pekerjaan yang associations of the business sector that
ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha is formed under the laws and
yang dibentuk sesuai peraturan regulations; and
perundang-undangan; dan
d. tidak menghambat proses produksi d. that does not prevent the production
secara langsung, artinya kegiatan process directly, meaning that the
tersebut merupakan kegiatan activity is an additional one which if
tambahan yang apabila tidak not carried out by the outsourcer, the
dilakukan oleh perusahaan pemberi work process still remains in place
pekerjaan, proses pelaksanaan appropriately.
pekerjaan tetap berjalan sebagaimana
mestinya.

Pasal 4 Article 4
(1) Asosiasi sektor usaha sebagaimana (1) The associations of the business sector as
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c intended by Article 3 section (2) point (c)
harus membuat alur kegiatan proses must make workflow within their respective
pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha business sectors.
masing-masing.
(2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) The workflow as intended by section (1)
harus menggambarkan proses pelaksanaan must describe the work process from the
pekerjaan dari awal sampai akhir serta beginning to the end and reflect the core
memuat kegiatan utama dan kegiatan activity and supporting activities with due
penunjang dengan memperhatikan regard to the requirements as intended by
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Article 3 section (2).
Pasal 3 ayat (2).
(3) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (3) The workflow as intended by section (2)
dipergunakan sebagai dasar bagi perusahaan shall be adopted as a basis for an outsourcer
pemberi pekerjaan dalam penyerahan to outsource through the contracting of
sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui work.
pemborongan pekerjaan.

4
Pasal 5 Article 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan The types of supporting work to be outsourced to
kepada perusahaan penerima pemborongan harus a supplier/vendor must be reported by the
dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan outsourcer to the manpower agency of the
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang district/city where the contracting of work is
ketenagakerjaan kabupaten/ kota tempat performed.
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.

Pasal 6 Article 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang The manpower agency of the district/city as
ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana intended by Article 5 shall issue the proof of
dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti report on the types of supporting work to be
pelaporan jenis pekerjaan penunjang yang akan outsourced through the contracting of work within
diserahkan melalui pemborongan pekerjaan paling one (1) week of the reporting by the outsourcer.
lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan
dilaksanakan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 7 Article 7
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang (1) An outsourcer is prohibited from
menyerahkan sebagian pelaksanaan outsourcing to a supplier/vendor if not yet
pekerjaan kepada perusahaan penerima holding the proof of report as intended by
pemborongan apabila belum memiliki bukti Article 6.
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(2) Apabila perusahaan pemberi pekerjaan (2) If an outsourcer outsources to a
menyerahkan sebagian pelaksanaan supplier/vendor prior to holding the proof of
pekerjaan kepada perusahaan penerima report as intended by Article 6, the
pemborongan sebelum memiliki bukti employment relationship between the
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam worker and the supplier/vendor shall pass to
Pasal 6, maka hubungan kerja antara the outsourcer.
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih kepada perusahaan
pemberi pekerjaan.

Pasal 8 Article 8
Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan An outsourcer must report in writing every change
secara tertulis setiap perubahan jenis pekerjaan in the types of supporting work to be outsourced
penunjang yang akan diserahkan melalui through the contracting of work, to the manpower
pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang agency of the district/city where the contracting of
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan work is performed with due regard to the process
kabupaten/ kota tempat pemborongan pekerjaan as intended by Article 5.
dilaksanakan dengan tetap memperhatikan proses
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Bagian Kedua Part Two


Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Supply Agreements
Pasal 9 Article 9
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan (1) Outsourcing as intended by Article 3 section

5
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) shall be performed by a written supply
(1) dilaksanakan melalui perjanjian agreement.
pemborongan pekerjaan secara tertulis.
(2) Perjanjian pemborongan pekerjaan (2) A supply agreement as intended by section
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (1) must state at least:
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. hak dan kewajiban masing-masing a. the rights and obligations of each
pihak; party;
b. menjamin terpenuhinya perlindungan b. guarantee that the employment
kerja dan syarat-syarat kerja bagi protection and requirements for
pekerja/buruh sesuai peraturan workers are fulfilled in accordance
perundang-undangan; dan with the laws and regulations; and
c. memiliki tenaga kerja yang c. employ workers who are competent in
mempunyai kompetensi di bidangnya. their field.

Pasal 10 Article 10
(1) Perjanjian pemborongan pekerjaan (1) A supply agreement as intended by Article 9
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus must be registered by the supplier/vendor
didaftarkan oleh perusahaan penerima with the manpower agency of the
pemborongan kepada instansi yang district/city where the contracting of work is
bertanggung jawab dibidang performed.
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
(2) Pendaftaran perjanjian pemborongan (2) Registration of a supply agreement as
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat intended by section (1) shall be made upon
(1) dilakukan setelah perjanjian tersebut the agreement being signed by the
ditandatangani oleh perusahaan pemberi outsourcer and the supplier/vendor within
pekerjaan dengan perusahaan penerima thirty (30) working days prior to the
pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) performance of work.
hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.

Pasal 11 Article 11
Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan Where a supply agreement has met the provisions
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud as intended by Article 9 and Article 10, the
dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang manpower agency of the district/city where the
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan work is performed shall issue the proof of
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan registration within five (5) working days of the
menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 5 receipt of the application documents for
(lima) hari kerja sejak berkas permohonan registration of agreement.
pendaftaran perjanjian diterima.

Bagian Ketiga Part Three


Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan Requirements for Suppliers/Vendors
Pasal 12 Article 12
Perusahaan penerima pemborongan harus A supplier/vendor must meet the following
memenuhi persyaratan: requirements:
a. berbentuk badan hukum; a. be a legal entity;

6
b. memiliki tanda daftar perusahaan; b. hold a company registration number;
c. memiliki izin usaha; dan c. hold a business license; and
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan d. hold the proof of mandatory report on
di perusahaan. manpower of the company.

Bagian Keempat Part Four


Perjanjian Kerja Pemborongan Pekerjaan Employment Agreements for Contracting of Work
Pasal 13 Article 13
Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan Any employment agreement for the contracting of
pekerjaan wajib memuat ketentuan yang work must state the provisions that guarantee the
menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh employment entitlement of the workers as
dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam governed by the laws and regulations.
peraturan perundang-undangan.

Pasal 14 Article 14
Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan An employment agreement within the contracting
mengatur tentang hubungan kerja antara of work shall provide the employment between
perusahaan penerima pemborongan dengan the supplier/vendor and its worker which is made
pekerja/buruhnya yang dibuat secara tertulis. in writing.

Pasal 15 Article 15
Hubungan kerja antara perusahaan penerima The employment between the supplier/vendor and
pemborongan dengan pekerja/buruhnya its worker as intended by Article 14 may be based
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat on the employment agreement for indefinite
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak period of time or employment agreement for
tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu. definite period of time.

Pasal 16 Article 16
Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana dimaksud Reporting on the types of activity as intended by
dalam Pasal 5 dan pendaftaran perjanjian Article 5 and registration of supply agreements as
pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud intended by Article 10 shall not be charged a fee.
dalam Pasal 10 tidak dikenakan biaya.

BAB III CHAPTER III


PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH LABOR SUPPLY

Bagian Kesatu Part One


Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/ Buruh Requirements for Labor Supply
Pasal 17 Article 17
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat (1) An outsourcer may outsource to a labor
menyerahkan sebagian pelaksanaan supplier by a labor supply agreement which
pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa is made in writing.
pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.

7
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada (2) Work that may be outsourced to a labor
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh supplier as intended by section (1) must be
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus supporting services or activities not directly
merupakan kegiatan jasa penunjang atau associated with the production process.
yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang sebagaimana (3) Supporting services as intended by section
dimaksud pada ayat (2) meliputi: (2) shall include:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning a. cleaning services;
service);
b. usaha penyediaan makanan bagi b. labor catering services;

Potrebbero piacerti anche