Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
http://www.bukti-rantau.blogspot.com
HOW TO
E-mail
mailto:buktirantau@gmail.com
CONTACT mailto:buktirantau@yahoo.com
MOBILE PHONE
ME? CDMA by FLEXI 0778 7009282
GSM by HALO 0811 7009282
GSM by XL 08199 7009282
BUKTIRANTAU, ST
Personal Data
Name: BUKTIRANTAU
Date of Birth: 6th Dec 1972
Sex: Male
Status: Married
Weight and Height: 175 cm 82 Kg
Physical: Health and No physical damaged
Integrated ISO 9001 – 14001 – OSHA 18001, NOVO ETS, Singapore 2004
Internal auditor training for ISO 9001:2000 , ISO 14001:1996 and OSHA
18001:1999 , QIS Technology Pte Ltd , Singapore 2004
(http://www.iso-asia.com/IAResult19Aug04.htm)
Menimbang:
a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c,
d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data
yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang
mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan
standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang
diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan
instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan
tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutu-
hannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,
yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari
unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat
buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di
luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan
dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara
lain meliputi:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.
Pasal 10
(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan
kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan
kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau
lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan
kerja.
Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1) nstansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di
dalam pelaksanaannya ternyata:
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama
6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara
pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang independen.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah
menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan
di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan
kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri.
Pasal 32
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga
kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari
pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan
kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri,
penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan
kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi istansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping
tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja
asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di
lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/
buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para
pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang- kurangnya
memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan
bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
Pasal 75
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah
penuh.
Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit dikitnya 75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak timbulnya hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem
pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan
Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilak-
sanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh
dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan
usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di
perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat
kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten / Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
a. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
b. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat
buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan
tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan
diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah
mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan
peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya
pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan
pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling
cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu
berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan
atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh
yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan
Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan
pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Pasal 135
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-
undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan
dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok
kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda
terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari
luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta
kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan
(lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan
normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi
dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar
upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud
dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua)orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari
upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus)
dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6
(enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-
turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh
pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh
yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3)
dan Pasal 168, kecuali Pasal 159, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pasal 172
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
Pasal 174
Pasal 175
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat
(5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal
139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76,
Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144,
dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 189
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal
15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal
87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan
Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja
Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang
Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-
kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
(3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598a);
(4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
(5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
(6) Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
(7) Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2912);
(8) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
(9) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998
Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
(10) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4042).
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
a. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
b. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
c. Kompensasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja TKA dengan
membayar sejumlah dana untuk pengembangan keahlian dan keterampilan yang
berupa penerimaan negara bukan pajak.
d. Izin mempekerjakan tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin
tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi
kerja TKA.
Pasal 2
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib membayar
kompensasi.
(2) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah
satu persyaratan untuk mendapatkan IMTA.
Pasal 3
a. instansi pemerintah;
c. badan-badan internasional;
d. lembaga sosial;
Pasal 4
a. TKA sebagai kepala sekolah dan guru di lembaga pendidikan yang dikelola kedutaan
negara asing;
b. TKA sebagai dosen dan atau peneliti di perguruan tinggi yang dipekerjakan sebagai
bentuk kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-02/MEN/1998 tentang Penyempurnaan Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 6
Ditetapkan di Jakarta
Menimbang:
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) Undang -undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan perlu ditetapkan tata cara memperoleh ijin mempekerjakan tenaga
kerja asing;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan.
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang berlakunya Undang-undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3201);
3. Undang-und ang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Ta hun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4279);
5. Peraturan pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 181, Tambahan Lemba ran Negara Republik
Indonesia Nomor 4009);
6. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tah un 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong
Royong;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No mor KEP-
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga n egara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
2. Tenaga Kerja Indonesia Pendamping yang selanjutnya disebut TKI Pendamping adalah
tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai pendamping dan atau calon
pengganti TKA.
3. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pemberi Kerja TKA adalah
Pengusaha, badan hukum atau badan -badan lainnya yang mempekerjakan TKA, dengan
membay ar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah renca na
penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibu at oleh pemberi kerja TKA untuk jangka
waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
5. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut IMTA adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA.
6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA kepada negara atas
penggunaan Tenaga Kerja Asing.
7. Alih status adalah p erubahan dari pemberi kerja lama ke pemberi kerja baru, perubahan
jabatan TKA dan perubahan lokasi kerja.
8. Direktur adalah Dir ektur Penyedia an d an Penggunaan Tenaga Kerja Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
9. Direktur Jenderal yang selanjutny a disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Ten aga Kerja Dalam Negeri Depa rtemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB II
PERSYARATAN TKA
Pasal 2
(1) TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyarata n sebagai berikut:
a. memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kur angnya 5 (lima) tahun
yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
b. bersedia membuat pernyataan mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Warga
Negara Indonesia Khususnya TKI pendampin g;
c. dapat berkomunikasi dalam bahas a Indonesia.
(2) Dalam hal jabatan yang akan diduduki TKA telah mempunyai standar kompetensi kerja
maka TKA yang akan dipekerjaka n harus memenuhi standar tersebut.
(3) TKI pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus memiliki latar
belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA.
BAB III
PERIJINAN
Pasal 3
(1) IMTA diberika n oleh Direktur.
(2) IMTA perpanjangan diberikan oleh Direktur atau Gubernur.
Pasal 4
(1) Pemberi kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi guna memperoleh visa
untuk bekerja dengan melampirkan:
a. copy surat keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
e. pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tig a) lembar.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi guna memperoleh visa untuk bekerja dan KITAS.
Pasal 5
Untuk memperoleh IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Pemberi Kerja TKA harus
menyampaikan permohon an dengan melampirkan:
a. copy Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) untuk bekerja atas nama TKA yang bersangkutan;
b. copy perjanjian kerja;
c. bukti pembayaran dana kompensasi,penggunaan TKA.
Pasal 6
(1) Dana kompensas i penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) huruf f
ditetapkan sebesar US $ 100 (seratus dollar Amerika) per bulan untuk setiap TKA dan
dibaya rkan di muka.
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu ) bula n wajib membayar dana
kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayara n dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan
oleh pemberi kerja, dan disetorkan pada rekening Dana Pengembangan Keahlian dan
Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 7
(1) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu) jabatan.
(2) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh pemberi kerja
yang lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan bagi TKA yang diangkat
untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di Perusahaan lain berdasarkan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pasal 8
Direktur harus menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja selak dilengkapinya
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
Pasal 9
(1) Jangka waktu berlakunya IMTA diberikan sama dengan masa berlaku ijin tinggal.
(2) Selama mengurus IMTA Direktur dapat menerbitkan IMTA sementara untuk jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
BAB IV
PERPANJANGAN IMTA
Pasal 10
(1) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.
(2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh:
a. Direk tur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah Provinsi.
b. Gubernur untuk TKA yang lokasi kerjanya wilayah Kabupaten/Kot a dalam 1 (satu)
Provinsi.
(3) Dalam penerbitan p erpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, Gubernur
dan dapat menunjuk pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
Pasal 11
(1) Pemberi kerja mengajukan permohonan perpanjangan IMTA kepada Direktur atau Gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir dengan melampirkan:
a. formulir perpanjangan IMTA yang telah diisi;
b. IMTA yang masih berlaku;
c. bukti pembayaran dana kompensasi;
d. laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan kepada TKI
pendamping;
e. copy surat keputusan RPTKA yang masih berlaku;
f. pas photo berwarna sebanyak 3 (tiga) lembar ukuran 4 x 6 cm.
(2) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu RPTKA dengan ketentuan setiap kali
perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.
(3) IMTA perpanjangan tidak dapat diterbitkan apabila masa berlaku IMTA berakhir.
Pasal 12
(1) Apabila permohonan perpanjangan IMTA telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) menerbitkan
IMTA perpanjangan.
(2) IMTA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai rekomendasi
untuk mendapatkan KITAS dan atau visa untuk bekerja.
BAB V
IMTA UNTUK PEKERJAAN MENDESAK
Pasal 13
(1) Pemberi Kerja yang akan mempekerjakan TKA untuk pekerjaan yang bersifat darurat atau
mendesak wajib mengajukan permohonan IMTA kepada Direktur.
(2) Pekerjaan yang bersifat darurat atau mendesak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pekerjaan -pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung dapat
mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih 60
(enam puluh) hari.
(3) Pekerjaan yang bersifat darurat atau m endesak ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
membidangi sektor us aha yang bersangkutan.
Pasal 14
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disampaikan kepada Direktur dengan
melampirkan:
a. rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3);
b. copy paspor TKA yang bersangk utan;
c. pas photo TKA ukuran 4 x 6 6m sebanyak 3 (tiga) lembar;
d. bukti pembayaran dana kompensasi;
e. bukti ijin keimigrasian untuk kunjungan usaha.
Pasa l 15
Direktur harus menerbitkan IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) kali 24 (dua p uluh empat) jam.
BAB VI
IMTA UNTUK PEMEGANG KARTU IJIN TINGGAL TETAP (KITAP)
Pasal 16
(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib
mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan:
a. copy RPTKA yang masih berlaku;
b. copy ijin tinggal tetap yang masih berlaku;
c. daftar riwayat hidup TKA yang akan di pekerjakan;
d. copy ijasah atau pengalaman kerja;
e. bukti pembayaran dana kompensasi pen ggunaan TKA;
f. pas photo berwarn a ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar,
(2) Apabila permohonan IMTA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetujui, Direktur
menerbitkan IMTA.
Pasa l 17
Jangka waktu IMTA untuk pemegang Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP) paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak diterbitkan IMTA dan dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA.
BAB VII
ALIH STATUS
Pasal 18
(1) Pemberi kerja TKA instansi Pemerintah/Lembaga Pemerintah, atau Badan Internasional
yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi Pemerintah/Lembaga
Pemerintah atau badan Internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi
alih status kepada Direktur.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal
Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP.
(3) KITAS/KITAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan sebagai dasar perubahan
IMTA atau penerbitan IMTA baru.
BAB VIII
PERUBAHAN NAMA PEMBERI KERJA
Pasa l 19
(1) Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, Direktur menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP.
(2) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan permohonan dengan
melampirkan:
a. copy RPTKA, yang masih berlaku;
b. copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
c. copy IMTA yang masih berlaku;
d. copy bukti perubahan nama perusa haan yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang.
(3) Sebelum rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitka n pemberi kerja
terlebih dahulu mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur.
(4) KITAS/KITAP yang baru digunakan sebagai dasar perubahan IMTA.
BAB IX
PERUBAHAN LOKASI KERJA
Pasal 20
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan
permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur dengan melampirkan copy RPTKA dan
IMTA yang masih berlaku.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 21
(1) Pemberi kerja wajib melaporka n penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan
secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur da n Gubernur dengan tembusan
kepada Dirjen.
(2) Direktur dan Gubernur wajib melaporkan semua IMTA yang diterbitkan secara periodik
setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri deng an tembusan kepada Di rjen.
BAB XI
PENCABUTAN IJIN
Pasal 22
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur
berwenang mencabut IMTA.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
Bentuk formulir permohonan IMTA dan formulir permohonan perpa njangan IMTA sebagaimana
tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Dengan ditetapkannya Keputusan ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1990 tentan g Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang, Keputus an Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-416/MEN/1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1990 tentang Pemberian Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dan Ketentuan-ketentuan lain yang
bertentangan dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak be rlaku lagi.
Pasa l 25
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPULIK INDONESIA
NOMOR KEP -20/MEN/III/2004
TANGGAL 1 MARET 2004
Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggung jawab akan
kebenarannya.
.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-
Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
Perpanjangan
.......................................
Tanda tangan dan nama terang penanggung jawab
Di atas materai Rp.6.000,-
Ditetapkan di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Maret 2004
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JACOB NUWA WEA
NOMOR : PER-07/MEN/IV/2006
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
PROSEDUR MEMPEROLEH
Pasal 2
Pasal 3
BAB III
PERPANJANGAN
Pasal 4
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 20/MEN/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6
Peraturan Menteri ini berlaku 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ERMAN SUPARNO
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 224 /MEN/2003
TENTANG
KEWAJIBAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN PEKERJA/BURUH PEREMPUAN
ANTARA PUKUL 23.00 SAMPAI DENGAN 07.00
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Pengusaha adalah :
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik persekutuan atau
badan hukum baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 2
Pasal 3
(1) Makanan dan minuman yang bergizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada
waktu istirahat antara jam kerja.
Pasal 4
(1) Penyediaan makanan dan minuman, peralatan, dan ruangan makan harus layak
serta memenuhi syarat higiene dan sanitasi.
(2) Penyajian menu makanan dan minuman yang diberikan kepada pekerja/buruh
harus secara bervariasi.
Pasal 5
Pasal 6
(1) Pengusaha wajib menyediakan antar jemput dimulai dari tempat penjemputan ke
tempat kerja dan sebaliknya;
(2) Penjemputan dilakukan dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Pasal 7
(1) Pengusaha harus menetapkan tempat penjemputan dan pengantaran pada lokasi
yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh perempuan.
(2) Kendaraan antar jemput harus dalam kondisi yang layak dan harus terdaftar di
perusahaan.
Pasal 8
Pasal 9
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
1. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
.
2. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
4. Bakat adalah kemampuan khusus yang dimiliki seorang anak yang dibawa sejak
lahir.
Pasal 2
Pasal 3
1. Pelibatan anak dalam pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat harus
memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak.
Pasal 4
2. Pengawasan langsung oleh orang tua/wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan :
a. mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan;
b. mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya;
c. menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan
pekerjaan;
Pasal 5
1. Pengusaha yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun untuk mengembangkan bakat dan minat, wajib.
a. membuat perjanjian kerja secara tertulis denan orang tua/wali yang
mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. mempekerjakan di laur waktu sekolah;
c. memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua
belas ) jam seminggu;
d. melibatkan orang tua/wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan
pengawasan langsung;
e. menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan
penggunaan narkotika, perjudian,minuman keras, prostitusi dan hal- hal
sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik,
mental dan sosial anak;
f. menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan
g. melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
2 Waktu tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f paling lama 1
(satu) jam.
3. Dalam hal waktu tunggu melebihi 1 (satu) jam, maka kelebihan waktu tersebut
termasuk di dalam waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
Pasal 6
1 Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat
harus melaporkan dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir.
Pasal 7
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2004.
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA
LAMPIRAN :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP-115/MEN/VII/2004
TANGGAL: 7 Juli 2004
LAPORAN PENGUSAHA
YANG MEMPEKERJAKAN ANAK DALAM RANGKA MENGEMBANGKAN
BAKAT DAN MINAT
TTD/CAP
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004
TENTANG
Pasal 1
1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
SYARAT-SYARAT
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa pekerjaan sebagai pemandu nyanyi/ karaoke dalam dunia hiburan dewasa ini
semakin berkembang ;
c. bahwa selama ini di masyarakat secara nyata terdapat pemandu nyanyi/ karaoke
asing tanpa pengaturan
yang jelas ;
d. bahwa sesuai pertimbangan huruf a, b dan c diatas, penggunaan tenaga kerja asing
sebagai pemandu
nyanyi/ karaoke perlu ditetapkan dengan keputusan Menteri ;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4009) ;
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja diwilayah Indonesia.
2. Pemberian Kerja Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA adalah pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah rencana penggunaan
TKA pada jabatan tertentu yang
dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
4. Direktur adalah Direktur yang bertanggung jawab di bidang Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
BAB II
PERIJINAN
Pasal 2
Pemberi kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib memiliki ijin
tertulis dari Direktur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara
mempekerjakan TKA.
Pasal 3
(1). Untuk mendapatkan ijin sebagaiman dimaksud dalam pasal 2, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan IMTA dengan
melampirkan :
(2) Direktur dapat membentuk tim untuk meneliti kelengkapan dan keabsahan dokumen sebagaimana
dimaksud ayat (1).
Pasal 4
(1) Dana kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c ditetapkan sebesar
US $ 100 (seratus dollar Amerika)
per bulan untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar dana kompensasi
sebagaiman dimaksud dalam ayat
(1) sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilakukan oleh pemberi
kerja yang disetorkan pada rekening
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) pada Bank Pemerintah yang ditunjuka
oleh Menteri.
Pasal 5
Jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke diberikan paling lama 6
(enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang.
Pasal 6
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke disatu tempat
kerja, harus mempekerjakan pemandu nyanyi/ karaoke Tenaga Kerja Warga Negara Indonesia yang
jumlahnya 5 (lima) kali jumlah pemndu nyanyi/ karaoke tenaga kerja asing.
Pasal 7
Pemberi kerja yang mendatangkan tenaga kerja asing sebagai pemandu nyanyi/ karaoke wajib
memulangkan TKA ke negara asal setelah jangka waktu ijin mempekerjakan TKA berakhir.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERLINDUNGAN UPAH
Menimbang : a. Bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun
suatu peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1969.
b. Bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai
pengupahan bagi buruh laki- laki dan wanita untuk pekerjaan yang
sama nilainya (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 171).
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Tenaga Kerja ( Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912).
M EM U T U S K A N :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh
untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut sutau persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri
maupun keluarganya.
b. Pengusaha ialah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan
milik sendiri.
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan termaksud pada angka 1 dan 2 diatas, yang berkedudukan di luar
Indonesia.
c. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
d. Menteri adalah Menteri yang betanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada
saat hubungan kerja putus.
Pasal 3
Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh
laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pasal 4
Pasal 5
1. Untuk 3 (tiga) bulan pertama, dibayar 100 % (seratus persen) dari upah;
2. Untuk 3 (tiga) bulan kedua, dibayar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari upah.
3. Untuk 3 (tiga) bulan ketiga, dibayar 50 % (lima puluh persen) dari upah;
4. Untuk 3 (tiga) bulan keempat, dibayar 25 % (dua puluh lima persen) dari
upah.
b. Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal- hal sebagaimana dimaksud dibawah
ini, dengan ketentuan sebagai berikut :
Pasal 6
1. Pengusaha wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak
dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban Negara,
jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak mendapatkan
upah atau tunjangan lainnya dari Pemerintah tetapi tidak melebihi 1 (satu) tahun.
2. Pengusaha wajib membayar kekurangan atas upah yang biasa dibayarkannya
kepada buruh yang dalam menjalankan kewajiban Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), bilamana jumlah upah yang diperolehnya kurang dari upah yang
biasa diterima dari perusahaan yang bersangkutan, tetapi tidak melebihi 1 (satu)
tahun.
3. Pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar upah, bilamana buruh yang dalam
menjalankan kewajiban Negara tersebut telah memperoleh upah serta tunjangan
lainnya yang besarnya sama atau lebih dari upah yang biasa ia terima dari
perusahaan yang bersangkutan.
4. Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
Pasal 7
Upah buruh selama sakit dapat diperhitungkan dengan suatu pembayaran yang diterima
oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan perundang- undangan atau peraturan
perusahaan atau sesuatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu
pertanggungan.
Pasal 8
Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya
dapat ia hindari.
Pasal 9
Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk menghitung upah
sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh
buruh.
Pasal 10
1. Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan perjanjian.
2. Pembayaran upah secara langsung kepada buruh yang belum dewasa dianggap
sah, apabila orang tua atau wali buruh tidak mengajukan keberatan yang
dinyatakan secara tertulis.
3. Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung.
4. Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk satu kali
pembayaran.
5. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 11
BAB II
BENTUK UPAH
Pasal 12
Pasal 13
1. Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah dari Negara
Republik Indonesai.
2. Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
Pasal 14
Setiap ketentuan yang menetapkan sebagian atau seluruh upah harus dipergunakan secara
tertentu, ataupun harus dibelikan barang, tidak diperbolehkan dan karenanya adalah batal
menurut hukum, kecuali jika penggunaan itu timbul dari suatu peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15
1. Bila diadakan perjanjian antara buruh dan pengusaha mengenai suatu ketentuan
yang merugikan buruh dan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan atau peraturan perundang-undangan lainnya dan
karenanya menjadi batal menurut hukum, maka buruh berhak menerima
pembayaran kembali dari bagian upah yang ditahan sebagai perhitungan terhadap
upahnya, dan dia tidak diwajibkan mengembalikan apa yang telah diberikan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi urusan perselisihan perburuhan dapat
membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kerugian
yang diderita oleh buruh.
BAB III
Pasal 16
Bila tempat pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan
perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat buruh biasa bekerja, atau di
kantor perusahaan.
Pasal 17
Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau
selambat- lambatnya sebulan sekali, kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari
satu minggu.
Pasal 18
Bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka pembayaran upah
disesuaikan dengan ketentuan pasal 17 dengan pengertian bahwa upah harus dibayar
sesuai dengan hasil pekerjaannya dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia
bekerja.
Pasal 19
1. Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut
ditambah dengan 5 % (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari
kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan,
dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi
50 % (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
2. Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit
perusahaan yang bersangkutan.
3. Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut
hukum.
BAB IV
Pasal 20
1. Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal itu diatur
secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan.
2. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditentukan dan dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia.
3. Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, pengusaha dilarang untuk
menuntut ganti rugi terhadap buruh yang bersangkutan.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 21
1. Denda yang dikenakan oleh pengusaha kepada buruh, baik langsung maupun
tidak langsung tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang
yang diberi wewenang untuk menjatuhkan denda tersebut.
2. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 22
1. Pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan
bilamana ada surat kuasa dari buruh.
2. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah semua kewajiban pembayaran oleh
buruh terhadap Negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
3. Setiap surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditarik kembali
pada setiap saat.
4. Setiap ketentuan yang bertentangan dengan pasal ini adalah batal menurut hukum.
Pasal 23
1. Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi kerusakan
barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun milik pihak ketiga
oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
2. Ganti rugi demikian harus diatur terlebih dahulu dalam suatu perjanjian tertulis
atau peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh melebihi 50 % (lima
puluh persen) dari upah.
BAB V
Pasal 24
Pasal 25
Bila uang yang disediakan oleh pengusaha untuk membayar upah disita oleh Juru Sita,
maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari jumlah upah
yang harus dibayarkan.
Pasal 26
1. Bila upah digadaikan atau dijadikan jaminan hutang, maka angsuran tiap bulan
daripada hutang itu tidak boleh melebihi 20 % (dua puluh persen) dari sebulan.
2. Ketentuan ayat (1) berlaku juga apabila penggadaian atau jaminan itu diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga.
Pasal 27
Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan hutang yang
didahulukan pembayarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan yang berlaku.
Pasal 28
Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan
ketentuan tidak melebihi dari 25 % (dua puluh lima persen).
Pasal 29
1. Bila upah baik untuk sebagian ataupun untuk seluruhnya, didasarkan pada
keterangan-keterangan yang hanya dapat diperoleh dari buku-buku pengusaha,
maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak untuk menerima keterangan dan
bukti-bukti yang diperlukan dari pengusaha.
2. Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhasil maka buruh atau kuasa yang ditunjuknya berhak meminta bantuan
kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya.
3. Segala sesuatu yang diketahui atas keterangan-keterangan serta bukti-bukti oleh
buruh atau kuasa yang ditunjuknya atau Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan, kecuali
bila keterangan tersebut dimintakan oleh badan yang diserahi urusan penyelesaian
perselisihan perburuhan.
Pasal 30
Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), ayat (2),
ayat (4), dan Pasal 8 dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 32
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, disamping
perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang dengan
sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 100.000,- (seratu ribu rupiah).
Pasal 34
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 adalah
pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pasal 36
Ditetapk
an di Jakarta
pada
tanggal 2 Maret 1981
SOEHARTO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, SH
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
PERLINDUNGAN UPAH
UMUM
Pengaturan pengupahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini masih tetap dipakai Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang jiwanya sudah tidak
sesuai lagi. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja,
maka pengaturan tentang perlindungan upah secara nasional dirasakan makin mendesak.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi yang diupayakan ke arah stabilitas yang makin
mantap maka pengaturan tentang perlindungan upah dalam Peraturan Pemerintah ini
diarahkan pula kepada sistim pembayaran upah secara keseluruhan Pengertian upah
secara keseluruhan dimaksudkan di sini tidak termasuk upah lembur. Pada pokoknya
sistim ini didasarkan atas prestasi seseorang buruh atau dengan perkataan lain bahwa
upah itu tidak lagi dipengaruhi oleh tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya
dengan prestasi kerja.
Pembayaran upah pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian
dalam Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi kemungkinan pemberian sebagian
upah dalam bentuk barang yang jumlahnya dibatasi.
Peraturan Pemerintah ini pada pokoknya mengatur perlindungan upah secara umum yang
berpangkal tolak kepada fungsi upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup
bagi buruh dan keluarganya.
Untuk menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh perlu ada pengaturan upah
minimum tetapi mengingat sifat kekhususannya belum diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 1.
Huruf a.
Yang dimaksud imbalan adalah termasuk juga sebutan honorarium yang diberikan oleh
pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus.
Huruf b.
Yang dimaksud orang adalah seorang manusia pribadi yang mengurus atau mengawasi
perusahaan secara langsung. Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu bentuk
usaha bersama yang bukan badan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan
misalnya CV, Firma, Maatschap dan lain- lain maupun yang tidak mencari keuntungan
misalnya Yayasan. Yang dimaksud dengan badan hukum adalah perseroan yang didaftar
menurut undang- undang tentang perseroan atau jenis badan hukum lainnya yang
didirikan dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya
perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang dijalankan dengan
tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara yang
mempekerjakan buruh, sedangkan usaha sosial dan usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan dipersamakan dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh,
misalnya Yayasan dan lain- lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d.
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan
tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk diterapkan secara mutlak.
Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan karena alasan tersebut
a dan b upah tersebut masih harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang
demikian tidak dapat dilakukan secara penuh dan terus menerus karena itu perlu
ditetapkan jumlah serta jangka waktunya.
Pengertian sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena
kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951
tentang kecelakaan kerja.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan untuk memikul tugas dan
kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah, misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan
dengan peraturan perundang- undangan.
Ayat (2)
Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak menjadi beban yang
berat bagi buruh dan keluarganya di satu pihak dan pengusaha di lain pihak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh yang menjalankan
ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha tidak diwajibkan membayar upahnya.
Pasal 7
Pasal 8
Halangan yang secara kebetulan dialami oleh pengusaha, tidak termasuk kehancuran atau
musnahnya perusahaan beserta peralatan yang dikarenakan oleh bencana alam, kebakaran
atau peperangan sehingga tidak memungkinkan lagi perusahaan tersebut berfungsi atau
menjalankan kegiatannya" Force mayeure".
Pasal 9
Maksud pasal ini adalah untuk mempermudah atau memberikan patokan dalam
menghitung upah sebulan dalam hal terjadi antara lain pemutusan hubungan kerja,
lembur dan sebagainya.
Pasal 10
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang
yang tidak berhak. Oleh karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan baik buruh
laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat belas) tahun akan tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Untuk menuju ke arah sistim pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam
bentuk uang, prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya
secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.
Penerapan prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang
mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Larangan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah belanja paksa ("enforced
shopping"). Buruh harus bebas dalam hal mempergunakan upah seperti yang
dikehendakinya. Sedang pengusaha tidak diperbolehkan mengikat buruh dalam
mempergunakan upahnya.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan dengan hasil
pekerjaannya.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan pelanggaran sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran
terhadap kewajiban-kewajiban buruh yang telah ditetapkan dengan perjanjian tertulis
antara pengusaha dan buruh.
Pasal 21
Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh untuk kepentingan pribadi pengusaha
baik langsung ataupun tidak, melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana
buruh. Cara penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian atau
peraturan perusahaan.
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Pasal 24
Pembatasan perhitungan tidak boleh lebih dari 50 % (lima puluh persen) dimaksudkan,
agar buruh tidak kehilangan semua upah yang diterimanya.
Kemungkinan perhitungan dengan upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti
rugi dan lain- lain.
Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka pengusaha harus
mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah perhitungan tersebut tidak melebihi 50
% (lima puluh persen).
Pasal 25
Cukup Jelas.
Pasal 26
Cukup Jelas.
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Kemungkinan seorang buruh akan dapat jatuh pailit yang disebabkan tidak terbayarnya
hutang kepada pihak lain, baik kepada pengusaha ataupun kepada orang lain. Untuk
menjamin kehidupan buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, maka perlu ada
jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya.
Oleh karena itu dalam pasal ini upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak buruh,
tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan pasal ini hanya dapat
dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25 % (dua puluh lima persen).
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Ketentuan pidana yang dikenakan dalam Pasal-Pasal tersebut adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang- undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang merupakan Undang-undang
Induk daripada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34
Penetapan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33
sebagai pelanggaran adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang- undang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang
merupakan Undang-undang Induk dari pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 35
Pasal 36
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3190
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
SURAT EDARAN
NO: SE-01/MEN/1982
TENTANG
Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran
Negara No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai
pedoman bagi para petugas di lapangan khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal
Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang
perlu diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :
Penjelasan :
Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang
berstatus non organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu
perusahaan. Yang dimaksud dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah
tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan secara tidak teratur dan secara
organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok dalam perusahaan tersebut, misalnya
: Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja
yang bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang
disebabkan karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar
muat.
2. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
" Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus".
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya
perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.
3. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
buruh laki- laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya"
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang sama nilainya dalam ketentuan ini adalah
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan uraian jabatan (Job discription) yang
sama pada suatu perusahaan.
4. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
" Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan "
Penjelasan :
Ketentuan ini merupakan suatu azas yang pada dasarnya berlaku terhadap semua
golongan buruh, kecuali bila buruh yang bersangkutan tidak dapat bekerja bukan
disebabkan oleh kesalahan buruh.
5. Pasal 5 ayat (1) huruf a berbunyi sebagai berikut :
Penjelasan :
Ketentuan pembayaran upah dengan bertahap berlaku bagi buruh yang sakit terus
menerus.
Termasuk sakit terus menerus adalah penyakit menahun atau berkepanjangan,
demikian pula apabila buruh yang setelah sakit lama mampu bekerja kembali
tetapi dalam waktu 4 Minggu sakit kembali.
Misalnya : pada 3 (tiga) bulan pertama buruh jatuh sakit dia berhak atas upah 100
%, kemudian masuk bekerja tetapi kurang dari 4 (empat) minggu buruh jatuh
sakit lagi dengan penyakit yang sama atau dengan komplikasi yang
ditimbulkannya maka dalam hal ini buruh berhak atas upah 75 % selama 3 (tiga)
bulan. Akan tetapi jika buruh setelah jatuh sakit, masuk bekerja kembali selama 4
(empat) minggu atau lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama
atau komplikasinya maka selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3
(tiga) bulan. Bulan yang dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan
atau waktu dimana buruh jatuh sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk
pelaksanaan pasal ini diperlukan surat keterangan dokter yang ditunjuk oleh
perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak
mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun
waktu 3 (tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal
5 tersebut.
Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti
tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.
6. Pasal 6 ayat (4) berbunyi sebagai berikut :
"Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut
agamanya selama waktu yang diperlukan tetapi tidak melebihi 3 ( tiga ) bulan. "
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan " Selama waktu yang diperlukan" dalam pasal ini adalah
lamanya waktu untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan ketentuan
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI dari waktu ke waktu.
Misalnya : pada tahun 1981 waktu yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah
haji adalah 40 (empat puluh) hari, dengan demikian pengusaha wajib membayar
upah buruh selama 40 hari.
7. Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
" Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan
pekerjaannya yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami
oleh pengusaha yang seharusnya dapat ia hindari".
Penjelasan :
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan
dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini
dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha
harus membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal
dimana kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi
karena sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar
upah buruh sesuai dengan perjanjian.
8. Pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut :
"Pembayaran upah melalui pihak ketiga hanya diperkenankan bila ada surat kuasa
dari buruh yang bersangkutan yang karena sesuatu hal tidak dapat menerimanya
secara langsung"
Penjelasan :
Apabila surat kuasa tersebut bersifat kolektif maka surat kuasa tersebut perlu
diketahui lebih dahulu oleh Kantor Direktorat Jenderal Binalindung Tenaga Kerja
setempat.
9. Pasal 12 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras,
obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh
melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.
Penjelasan :
Apabila selama ini suatu perusahaan memberikan upah dalam bentuk natura lebih
dari 25 % maka selanjutnya kelebihan prosentase tersebut harus diwujudkan
dalam bentuk uang.
Misalnya : Jika sebagian upah diberikan dalam bentuk natura 30 % maka yang
kelebihan 5 % tersebut harus diwujudkan dalam bentuk uang.
10. Pasal 13 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan
berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
Penjelasan :
Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia pada saat pembayaran upah.
11. Pasal 15 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), apabila ada permintaan dari
pengusaha atau buruh, badan yang diserahi tugas urusan perselisihan perburuhan
dapat membatasi pengembalian itu sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
kerugian yang diderita oleh buruh".
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan Badan yang diserahi urusan Perselisihan Perburuhan ialah
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tersebut dalam Undang-undang
No.22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 No.42
Tambahan Lembaran Negara No. 1227).
12. Pasal 19 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
" Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping
berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha
diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh Bank untuk
kredit perusahaan yang bersangkutan".
Penjelasan :
Penjelasan :
Denda yang dikenakan kepada buruh juga tidak dapat digunakan untuk
kepentingan perusahaan atau untuk kepentingan biaya operasional perusahaan.
14. Pasal 24 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
a. Denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan
hutang buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti
tertulis".
Penjelasan :
Penjelasan :
Kata "Ahli" dalam pasal ini seharusnya dibaca kuasa yang ditunjuk oleh buruh
seperti dimaksud pada Pasal 29.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 4 Februari 1982
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
HARUN ZAIN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: PER-15/MEN/VII/2005
TENTANG
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan pada suatu periode tertentu
2 Daerah operasi tertentu adalah lokasi tempat dilakukan eksplorasi,
eksplotasi dan atau pengapalan hasil tambang.
3 Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan
dengan mengabaikan hari- hari kalender.
4 Pekerj/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan lain dalam bentuk lain.
5 Perusahaan adalah :
a setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
6 Pengusaha adalah :
a orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7 Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang pertambangan umum termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat
enerapkan :
a waktu kerja dan istirahat sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
234/MEN/2003;
b periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja,
dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat dan setiap 2 (dua)
minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat.
(2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua
belas) jam sehari tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.
(3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib membayar upah kerja setelah 7 (tujuh) jam kerja
dengan perhitungan sebagai berikut:
a untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3,5 (tiga
setengah) x upah sejam;
b untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5,5 (lima tengah)
x upah sejam;
c untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7,5 (tujuh
setengah) x upah sejam;
d untuk waktu kerja 12 (dua belas) jam 1(satu) hari, wajib membayar
upah kerja lembur untuk setiap hari kerja sebesar 9,5 (sembilan
setengah) x upah sejam.
Pasal 3
Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan kegiatan dan atau waktu kerja dengan
memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha
kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pengusaha
memberitahukan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi.
Pasal 5
Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat
tinggal yang diakui oleh perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk
waktu kerja apablia perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat)
jam atau lebih.
Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau
beberapa waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan ternyata
pekerja/buruh dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka
perusahaan wajib membayar upah sesuai dengan waktu kerja yang dipilih
dan ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal libur resmi jatuh pada suatu periode yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, maka libur resmi tersebut dianggap hari kerja
biasa.
Pasal 8
Perhitungan upah dan upah kerja lembur tunduk kepada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/VI/2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga)
bulan sekali kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan serta waktu istirahat;
b jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan;
c daftar upah kerja lembur;
d perubahan pelaksanaan waktu kerja.
Pasal 10
Perusahaan harus menyesuaikan waktu kerja dan periode kerja sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini selambat- lambatnya 3
(tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya:
Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
KEPMEN NO. 235 TH 2003
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 2
(1) Anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau
dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral anak.
(2) Pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak
sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini.
(3) Jenis-jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau
kembali sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 3
Anak usia 15 (lima belas) tahun atau lebih dapat mengerjakan pekerjaan kecuali
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 4
Pasal 5
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
ttd
1. Mesin- mesin
a. mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin
bubut, mesin skrap;
b. mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak,
mesin pengisi botol.
2. Pesawat
e. pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat
pembangkit listrik.
1. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin
pancang.
a. pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan
sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik,
penyamakan kulit, pencucian getah/karet;
7. Pekerjaan di kapal.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Lembaga kerjasama bipartit yang selanjutnya disebut LKS Bipartit adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
2. Pengusaha adalah:
BAB II
Pasal 3
BAB III
Pasal 4
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh
atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit.
(2) LKS Bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh unsur pengusaha
dan unsur pekerja/buruh.
Pasal 5
Anggota LKS Bipartit dari unsur pekerja/buruh ditentukan sebagai berikut:
1. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan
semua pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh tersebut,
maka secara otomatis pengurus serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit.
2. Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah pekerja/buruh yang
dipilih secara demokratis.
3. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan seluruh pekerja/buruh menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka yang mewakili pekerja/buruh dalam LKS Bipartit adalah wakil masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh yang perwakilannya ditentukan secara
proporsional.
4. Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan ada
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka
serikat pekerja/serikat buruh tersebut menunjuk wakilnya dalam LKS Bipartit dan
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
menunjuk wakilnya yang dipilih secara demokratis.
5. Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan ada pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh, menunjuk wakilnya
dalam LKS Bipartit secara proporsional dan pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya yang dipilih secara
demokratis.
Pasal 6
Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 melaksanakan pertemuan untuk :
a. membentuk LKS Bipartit;
b. menetapkan anggota LKS Bipartit.
Pasal 7
Tata cara pembentukan LKS Bipartit dilaksanakan sebagai berikut:
a. pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil
pekerja/buruh mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan
menetapkan anggota LKS Bipartit di perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6;
b. anggota lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a menyepakati dan
menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
c. pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 8
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Untuk dapat dicatat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengurus LKS Bipartit
menyampaikan pemberitahuan tertulis baik langsung maupun tidak langsung
dengan dilampiri berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan,
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan nomor
bukti pencatatan.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 9
Keanggotaan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh
dengan komposisi perbandingan 1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 20 (dua puluh)
orang.
Pasal 10
(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua,
seorang sekretaris dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara wakil
pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
Pasal 11
Pasal 12
Masa jabatan keanggotaan LKS Bipartit berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
BAB VI
MEKANISME KERJA
Pasal 13
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 14
BAB VIII
Pasal 15
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS
Pasal 16
Kegiatan LKS Bipartit secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
BAB IX
PENUTU P
Pasal 17
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini, maka Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-328/MEN/1986 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 18
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
ttd
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
PENGERTIAN
Pasal 1
1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disebut LPTKS adalah
lembaga yang berbadan hukum yang memiliki ijin untuk melaksanakan pelayanan
penempatan tenaga kerja.
Pasal 2
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.
Pasal 3
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan tenaga kerja dapat merekrut sendiri
tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja baik
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan maupun
LPTKS.
Pasal 4
(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pemberi kerja.
(2) LPTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan tertentu.
Pasal 5
(1) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
adalah :
(2) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima upah
sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali upah minimum yang berlaku diwilayah setempat.
BAB II
BIAYA PENEMPATAN
Pasal 6
(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari pemberi kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan antara pemberi dan LPTKS.
Pasal 7
(1) Besarnya biaya penempatan tenaga kerja yang dipungut dari tenaga kerja
golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan LPTKS dan besarnya tidak
melebihi 1 (satu) bulan upah yang diterima.
(2) Biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangsur sekurang-
kurangnya 5 (lima) kali.
Pasal 8
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebelum selesainya angsuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), pekerja/buruh dibebaskan dari kewajiban membayar
kekurangan angsuran.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
ttd
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan,
perlu diatur mengenai perusahaan tertentu yang wajib melaksanakan istirahat
panjang ;
Pasal 1
1. Istirahat panjang adalah istirahat yang diberikan kepada pekerja/buruh setelah masa kerja 6 (enam)
tahun secara terus menerus
pada perusahaan yang sama.
2. Perusahaan yang sama adalah perusahaan yang berada dalam satu badan hukum.
Pasal 2
Perusahaan yang wajib melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang selama ini telah
melaksanakan istirahat
panjang sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini.
Pasal 3
(1) Pekerja/buruh yang melaksanakan hak istirahat panjang pada tahun ketujuh dan kedelapan, tidak
berhak atas istirahat tahunan
pada tahun tersebut;
?????
(2) Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada
pelaksanaan istirahat tahun
kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji.
(3) Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Pasal 4
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh tentang saat timbulnya hak
istirahat
panjang selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh) hari sebelum hak istirahat panjang timbul.
(2) Hak istirahat panjang gugur apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak hak atas istirahat panjang
tersebut
timbul pekerja/buruh tidak mempergunakan haknya.
(3) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak gugur apabila pekerja/buruh tidak
dapat
mempergunakan haknya.
Pasal 5
(1) Perusahaan dapat menunda pelaksanaan istirahat panjang untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak
timbulnya hak atas istirahat panjang dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh dan atau
perusahaan.
(2) Penundaan pelaksanaan istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 6
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi pekerja/buruh belum mempergunakan hak istirahat
panjangnya dan hak tersebut belum
gugur atau pengusaha menunda pelaksanaan istirahat panjang tersebut, maka pekerja/buruh berhak atas
suatu pembayaran upah dan
kompensansi hak istirahat panjang yang seharusnya diterima.
Pasal 7
(1) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang lebih baik dari ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan dalam Keputusan Menteri ini, maka perusahaan
tidak boleh mengurangi hal
tersebut.
(2) Dalam hal perusahaan telah memberikan hak istirahat panjang kepada pekerja/buruh tetapi lebih
rendah dari ketentuan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri ini, maka perusahaan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut.
Pasal 8
Pelaksanaan istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal 9
Menteri dapat menetapkan perubahan perusahaan yang wajib memberikan istirahat panjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan perkembangan ketenagakerjaan.
Pasal 10
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14, ayat (4) dan
Menteri;
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Program pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana
pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan
penetapan kelulusan peserta pelatihan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Pasal 2
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah atau lembaga
pelatihan kerja swasta atau perusahaan.
BAB II
Pasal 3
Pasal 4
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diterbitkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, wajib
mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang melakukan pelatihan kerja bagi
pekerjanya/buruhnya dan/atau melatih masyarakat umum tanpa memungut biaya,
wajib mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Izin dan tanda daftar lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (1) hanya berlaku di wilayah kerja instansi penerbit izin dan tanda
daftar.
BAB III
Pasal 7
(1) Badan hukum atau perorangan yang akan mendapatkan izin sebagai lembaga
pelatihan kerja, mengajukan permohonan dilampiri dengan:
a. copy surat pengesahan sebagai badan hukum atau kartu tanda penduduk
bagi pemohon perorangan;
e. copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan
program pelatihan yang akan diselenggarakan;
h. copy deposito atas nama penanggung jawab lembaga pelatihan kerja yang
besarnya sesuai dengan biaya program pelatihan kerja yang diajukan;
i. surat penunjukan sebagai cabang dari lembaga pelatihan kerja di luar negeri
bagi lembaga pelatihan kerja yang merupakan cabang dari lembaga
pelatihan kerja di luar negeri.
Pasal 8
Dalam hal persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) telah
dilengkapi, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota melakukan verifikasi untuk membuktikan kebenaran persyaratan.
Pasal 9
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Tim yang ditunjuk
oleh pejabat yang berwenang, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari unsur
organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang menangani pelatihan kerja dan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin lembaga pelatihan kerja dalam waktu paling lama 6 (enam) hari
kerja terhitung sejak tanggal selesainya verifikasi.
(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang
menerbitkan izin, membuat surat penolakan pemberian izin kepada pemohon
disertai dengan alasannya dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja terhitung
sejak tanggal selesainya verifikasi.
Pasal 10
(1) Izin lembaga pelatihan kerja dapat diberikan sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang sama.
(2) Instansi penerbit izin dapat memperpanjang izin lembaga pelatihan kerja apabila
lembaga pelatihan kerja tersebut mempunyai kinerja yang baik.
(3) Kriteria penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 11
(1) Bagi lembaga pelatihan kerja yang akan menambah jenis program pelatihan kerja
harus mendapat izin penambahan program pelatihan kerja dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.
b. daftar nama dan riwayat hidup instruktur pelatihan kerja bagi program yang
diusulkan;
e. copy saldo akhir rekening giro lembaga pelatihan kerja yang besarannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderar Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja
Dalam Negeri.
BAB IV
Pasal 12
Pasal 13
(2) Apabila setelah 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanda
daftar tidak atau belum diterbitkan, maka lembaga pelatihan kerja dapat
melaksanakan kegiatan pelatihan kerja.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja wajib melaporkan kegiatannya kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota setempat
secara periodik 6 (enam) bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada
instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Provinsi dan
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 15
c. sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program; atau
Pasal 16
(1) Dalam hal penyelenggara pelatihan kerja setelah 6 (enam) bulan masa
penghentian sementara masih belum memenuhi kewajiban yang diperintahkan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan program pelatihan kerja tersebut.
(2) Penyelenggara pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada peserta.
(3) Penyelenggara pelatihan kerja dapat mengajukan kembali program yang telah
dihentikan dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 17
(1) Apabila lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tetap
melaksanakan program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan,
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang bersangkutan.
(2) Penyelenggara program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada seluruh peserta pelatihan.
Pasal 18
Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama
kurun waktu 1 (satu) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang
bersangkutan.
Pasal 19
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 20
(2) Bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
terhadap program pelatihan kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, ketersediaan
dan kualitas tenaga kepelatihan, penerapan metode dan system pelaksanaan
pelatihan kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor KEP-149/MEN/2000 tentang Tata Cara Perizinan Lembaga
Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 22
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
ttd
KEPUTUSAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Pasal 1
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah:
4. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
Pasal 2
Pasal 3
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c,
dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 4
Pasal 5
Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan
yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh
pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak
sah.
Pasal 6
(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dikualifikasikan sebagai mangkir.
(2) Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.
(3) Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) maka dianggap mengundurkan diri.
Pasal 7
(1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dikualifikasikan sebagai mangkir.
(2) Dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan
dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
Pasal 8
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 233 /MEN/2003
TENTANG
JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 85 ayat (4) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu
ditetapkan mengenai jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan
secara terus menerus;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 31 Agustus 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit
Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA TENTANG JENIS DAN SIFAT PEKERJAAN
YANG DIJALANKAN SECARA TERUS MENERUS.
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut
jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau
dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha.
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 90 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai tata cara penangguhan
pelaksanaan upah minimum;
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah :
4. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pasal 2
(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.
(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Pasal 3
(2) Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat.
(3) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) Serikat Pekerja /Serikat Buruh yang
memiliki anggota lebih 50 % dari seluruh pekerja di perusahaan , maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan untuk
menyepakati penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki anggota lebih dari 50 % (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja /serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja / buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan dalam menyepakati
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) atau ayat (5) tidak
terpenuhi, maka para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan anggota masing masing serikat
pekerja/serikat buruh.
(7) Dalam hal di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
perundingan untuk menyepakati penangguhan pelaksanaan upah minimum dibuat
antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mendapat mandat untuk mewakili
lebih dari 50 % (lima puluh perseratus) penerima upah minimum di perusahaan.
(8) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
perundingan secara mendalam, jujur, dan terbuka.
Pasal 4
Pasal 5
b. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih
rendah dari upah minimum baru, atau;
Pasal 6
(1) Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
pengusaha, diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh Gubernur.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir dan
belum ada keputusan dari Gubernur, permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka
permohonan penangguhan dianggap telah disetujui.
Pasal 7
(2) Dalam hal permohonan penangguhan ditolak Gubernur, maka upah yang diberikan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, sekurang-kurangnya sama dengan upah
minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah
minimum yang baru.
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NOMOR : PER-01/MEN/I/2006
TENTANG
PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM
Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah Minimum Provinsi
ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah minimum;
MEMUTUSKAN :
Pasal1
Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2006.
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ERMAN SUPARNO
KEPMEN NO. 101 TH 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
NOMOR : KEP.101/MEN/VI/2004
TENTANG
Pasal 1
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan muliknya;
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudkan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurusan dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau nimbalan dalam
bentuk lain.
4. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam
kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di
perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Menteri adalah Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud
huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa
dengan pekerja/buruh yang dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan -enyedia jasa pekerja/buruh;
c. penegasan bahwa perusahaan penydia jasaja/burh bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk
jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
(1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah
daripada ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan
atau pekerjaan tertentu.
BAB II
Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah
PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun
karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat
dilakukan pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian.
BAB III
Pasal 4
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5
(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 6
Pasal 7
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
BAB IV
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali
paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
Pasal 9
BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS
Pasal 10
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian atau lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari
dalam 1 (satu)bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi PKWTT.
Pasal 11
Pasal 12
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara
tertulis dengan para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat :
BAB VI
PENCATATAN PKWT
Pasal 13
PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak penandatanganan.
Pasal 14
Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka
yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2).
BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT
Pasal 15
(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru menyimpang dari ketentua n Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 21 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 115 dan Pasal 133 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu dia
tentang tata cara pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan
Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 No
4) ;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomo
60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) ;
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) ;
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otono
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3959) ;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;
2. Hasil Sidang Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 23 Maret 2004 ;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CA
PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN
PERJANJIAN
KERJA BERSAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
2. Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/se
buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta mau
milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
BAB II
Pasal 2
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib memuat peraturan perusahaan.
(2) Isi dari peraturan perusahaan adalah syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan ketentuan dala
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebu
harus lebih baik dari ketentuan dalam peraturan perundang- undangan.
Pasal 3
(1) Peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan saran dan
pertimbangan terhadap wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan
terhadap peraturan perusahaan yang diajukan oleh pengusaha.
(3) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada
perusahaan.
(4) Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(5) Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusah
tersebut, maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus serikat pekerja/buruh harus juga mememperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 4
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) peraturan perusahaan yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat peraturan perusahaan induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta d
dibuat peraturan perusahaan turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.
(3) Peraturan perusahaan induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan peraturan perusahaan turunan
memuat pelaksanaan peraturan perusahaan induk, yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.
(4) Dalam hal peraturan perusahaan induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang perusahaa
maka selama peraturan perusahaan turunan belum disahkan, tetap berlaku peraturan perusahaan induk.
(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka peratu
perusahaan dibuat oleh masing- masing perusahaan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3.
Pasal 5
Pembuatan peraturan perusahaan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha, sedangkan masukan yang disampaikan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh bersifat saran dan pertimbangan, sehingga pembuatan peraturan perusahaan tidak dapat
diperselisihkan.
Pasal 6
(1) Pengusaha harus menyampaikan naskah rancangan peraturan perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk mendapa
saran dan pertimbangan.
(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan peraturan perusahaan sebagaima
dimaksud dalam ayat (1) harus sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal deterimanya naskah rancan
peraturan perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.
(3) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ay
(2), maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan serikat pekerja/serikat buruh dan atau wakil pekerja/buruh tersebut.
(4) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh tidak
memberikan saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan peraturan perusahaan disertai bukti bahwa pengusaha tela
meminta saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
BAB III
Pasal7
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilay
Kabupaten/Kota.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari
1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Provinsi.
Pasal 8
(1) Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melengkapi :
b. naskah peraturan perusahaan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang telah ditandatangani oleh pengusaha;
c. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
meneliti materi peraturan perusahaan yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu palin
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
(5) Dalam hal pengajuan pengesahan peraturan perusahaan tidak memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan/atau terdapat
materi peraturan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 mengembal
secara tertulis permohonan pengesahan peraturan kepada pengusaha dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan
permohonan pengesahan, untuk dilengkapi atau diperbaiki.
(6) Perusahaan wajib menyampaikan peraturan perusahaan yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya pengembalian peraturan perusahaan.
(7) Apabila pengusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 (lima) maka perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan
permohonan pengesahan peraturan perusahaan, sehingga dapat dianggap belum memiliki peraturan perusahaan.
(8) Peraturan perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 9
(1) Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerj
bersama atau disahkannya peraturan perusahaan yang baru.
(2) Dalam hal di perusahaan telah dilakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan, maka pengusah
wajib mengajukan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan.
Pasal 10
(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi peraturan perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya peraturan perusahaan, m
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Peraturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat pengesahan kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Apabila perusahaan tidak mengajukan permohonan pengesahan perubahan peraturan perusahaan, maka perubahan itu dianggap tidak ada.
Pasal 11
(1) Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan peraturan perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir masa
berlakunya peraturan perusahaan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.
(2) Pengajuan pengesahan pembaharuan peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Apabila dalam pembaharuan peraturan perusahaan terdapat perubahan materi dari peraturan perusahaan sebelumnya, maka perubahan materi
tersebut harus didasarkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh.
BAB IV
Pasal 12
(1) Perjanjian kera bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan kemaua n bebas kedua belah pihak.
(3) Perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan
dituangkan dalam tata tertib perundingan.
Pasal 13
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal perusahaan yang perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat perjanjian kerja bersama induk yang berlaku di semua
perusahaan serta
dapat dibuat perjanjian kerja bersama turunan yang berlaku di masing- masing cabang perusahaan.
(3) Perjanjian kerja bersama induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum diseluruh cabang perusahaan dan perjanjian kerja bersama tur
memuat pelaksanaan perjanjian kerja bersama induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing- masing.
(4) Dalam hal perjanjian kerja bersama induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya perjanjian kerja bersama turunan di cabang
perusahaan, maka selama perjanjian kerja bersama turunan belum disepakati tetap berlaku perjanjian kerja bersama induk.
Pasal 14
Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing- masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka perjanjian
bersama dibuat dan dirundingkan oleh masing- masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan.
Pasal 15
Pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dari serikat pekerja/serikat buruh apabila :
a. serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan peratur
pelaksanaannya ;
b. memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 16
(1) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persera
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuata
Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh da
wakil-wakil dari pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Panitia yang terbentuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengumumkan tanggal pemungutan suara selambat- lambatnya 24 (dua puluh emp
hari sebelum tanggal pemungutan suara.
(4) Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberitahukan tanggal pelaksanaan pemungutan suara kepada pejabat yang bertanggung jawab
bidang ketenagakerjaan dan pengusaha, untuk menyaksikan pelaksanaan pemungutan suara .
(5) Serikat pekerja/serikat buruh diberi kesempatan menjelaskan program pembuatan perjanjian kerja bersama dalam waktu 14 (empat belas) hari, d
dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah tanggal diumumkannya pemungutan suara.
(6) Pelaksanaan penjelasan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan diluar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh ser
pekerja/serikat
buruh dan pengusaha.
(7) Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum dilaksanakan pemungutan suara ternyata serikat pekerja/serikat buruh dapat
membuktikan keanggotaannya kepada pengusaha bahwa serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka pemungutan suara tidak perlu dilaksanakan.
(8) Panitia pemungutan suara harus menyesuaikan waktu pelaksanaan pemungutan suara dengan jadwal kerja para pekerja/buruh sehingga tidak
mengganggu proses produksi.
(9) Tempat pemungutan suara ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penitia dengan pengusaha.
(10) Hasil pemungutan suara sah, setelah ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi.
Pasal 17
(1) Tempat perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat
buruh atau ditempat lain sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
(2) Biaya perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.
Pasal 18
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal penentuan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui verifikasi keanggotaan serikat
pekerja/serkat buruh maka verifikasi dilakukan oleh panitia yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaa
dengan disaksikan oleh wakil instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
(3) Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan bukti kartu tanda anggota ses
Pasal 121 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan apabila terdapat kartu tanda anggota lebih dari 1 (satu), maka kartu tanda anggota yang sah adalah ka
tanda anggota yang terakhir.
(4) Hasil pelaksanaan verifikasi dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh panitia dan saksi-saksi sebagaimana dimaksud dala
ayat (2) yang hasilnya mengikat bagi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.
(5) Pelaksanaan verifikasi dilakukan di tempat-tempat kerja yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses produksi dalam waktu
(satu) hari kerja yang disepakati serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Pengusaha maupun serikat pekerja/serikat buruh dilarang melakukan tindakan yang mempengaruhi pelaksanaan verifikasi.
Pasal 19
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat :
Pasal 20
(1) Dalam menentukan tim perunding pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pih
serikat pekerja/serikat buruh menunjuk tim perunding sesuatu kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang
dengan kuasa penuh.
(2) Dalam hal terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang tidak terwakili dalam tim perunding, maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkuta
dapat menyampaikan aspirasinya secara tertulis kepada tim perunding sebelum dimulai perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Pasal 21
Pasal 22
Apabila pembuatan perjanjian kerja bersama ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada perjanjian kerja bersama
tersebut.
Pasal 23
(1) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, maka ke 2 (dua) belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
perundingan gagal.
(2) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwala
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada
waktunya yang memuat :
(3) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka salah sat
pihak atau kedua belah pihak melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama hanya
mencakup satu Kabupaten/Kota;
b. Instansi yang betanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi, apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu
Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
c. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersam
meliputi lebih dari satu Provinsi.
(5) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
Industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 .
Pasal 24
(1) Apabila penyelesaian pada instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pih
tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada Menteri untuk menetapkan lengkah- langkah
penyelesaian.
(3) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan Perjanjian Kerja Bersama .
(4) Dalam hal penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan
Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.
(5) Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan
Hubungan Industrial, maka gugatan diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan.
Pasal 25
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha hendak melakukan perubahan Perjanjian Kerja Bersama yang sedang berlaku, maka
perubahan tersebut harus berdasarkan kesepakatan.
(2) Perubahan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerja
Bersama yang sedang berlaku.
BAB V
Pasal 26
(1) Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerja bersama kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pendaftaran perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan :
a. sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan;
b. sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan perjanjian kerja bersama.
(3) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan naskah Perjanjian Kerja Bersama yan
dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 27
(1) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh :
a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu)
wilayah Kabupaten/Kota;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu)
Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1(satu) Provinsi.
(2) Pengajuan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan keterangan yang memuat :
(3) Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diteliti oleh Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam w
paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah terpenuhi dan tidak ada meteri yang bertentangan dengan peratu
perundangan, maka dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerbitkan surat keputusan pendaftaran perjanjian kerja bersama.
(6) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak terpenuhi dan atau terdapat materi perjanjian kerja bersama yang bertentang
dengan peraturan perundang- undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memberi catatan pada surat keputusan pendaftaran.
(7) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) memuat mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 28
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan perkerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
(1) Peraturan Perusahaan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER.02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan
dan Perundingan pembuatan Perjanjian Perburuhan masih berlaku sampai dengan berakhirnya peraturan perusahaan yang bersangkutan.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara
Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) masih berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja bersama yang bersangkutan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 30
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai denga
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dengan ditetapkannnya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga kerja, transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-02/MEN/1978 tentang
Peraturan Perusahaan dan perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1985 tentang
Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-97/MEN/1993 tentang
Pelimpahan Wewenang Pendaftaran Kesepakatan Kerja Bersama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 32
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMINGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
3. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja TKA
adalah pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
5. Pengusaha adalah :
7. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA adalah
rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja
TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
9. Direktur Jenderal yang selanjutnya disebut Dirjen adalah Dirjen Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 2
a. kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing atau kantor
perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia;
c. badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek bantuan luar negeri;
Pasal 3
(2) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk
mendapatkan ijin mempekerjakan TKA.
BAB II
Pasal 4
(1) Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) pemberi kerja harus mengajukan permohonan dilengkapi dengan alasan
penggunaan TKA secara tertulis serta melampirkan :
(2) Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :
b. jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang
bersangkutan;
d. jumlah TKA;
f. lokasi kerja;
h. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang
dipekerjakan;
(3) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana
tercantum dalam lampiran I Keputusan ini.
Pasal 5
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2)
huruf b, e, h dan huruf i tidak berlaku bagi usaha jasa impresariat.
(2) Bentuk formulir RPTKA untuk usaha jasa impresariat sebagaimana tercantum
dalam lampiran II Keputusan ini.
Pasal 6
Permohonan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5
disampaikan kepada Dirjen mela lui Direktur.
Pasal 7
(1) Dirjen atau Direktur harus melakukan penelitian kelengkapan dokumen permohonan
pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), apabila dokumen
permohonan belum lengkap Dirjen atau Direktur harus memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima.
(2) Dalam hal dokumen permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Dirjen atau Direktur melakukan penilaian kelayakan permohonan penggunaan TKA
dengan berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri dan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja nasional.
(3) Dalam melakukan penilaian kelayakan penggunaan TKA Dirjen atau Direktur dapat
memanggil pemberi kerja serta berkoordinasi dengan instansi terkait.
BAB III
PENGESAHAN RENCANA
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 8
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai dengan daftar
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Dirjen atau Direktur untuk
menerbitkan Surat Keputusan Pengesahan RPTKA.
Pasal 9
a. Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA 50 (lima puluh) orang atau lebih;
b. Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh)
orang.
Pasal 10
(1) Surat keputusan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat
:
c. besarnya upah;
d. jumlah TKA;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku untuk usaha
jasa impresariat.
Pasal 11
RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat diberikan untuk jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan
memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.
Pasal 12
(1) Perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diajukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6.
(2) Bentuk laporan pelaksanaan pendidikan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan Menteri ini.
Pasal 13
(1) Pemberi kerja dapat mengajukan permohonan perubahan sebelum berakhirnya jangka waktu
RPTKA.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan ditetapkan Keputusan Menteri ini, maka semua ketentuan yang bertentangan
dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi
atau dari yang tertinggi sampai yang terendah.
3. Skala upah adalah kisaran nilai nominal upah untuk setiap kelompok jabatan.
4. Jabatan adalah sekumpulan pekerjaan dalam organisasi perusahaan.
5. Analisa jabatan adalah proses metoda secara sistimatis untuk memperoleh data jabatan,
mengolahnya menjadi informasi jabatan yang dipergunakan untuk berbagai
kepentingan program kelembagaan, ketatalaksanaan dan Manajemen Sumber Daya
Manusia.
6. Uraian jabatan adalah ringkasan aktivitas-aktivitas yang terpenting dari suatu jabatan,
termasuk tugas dan tanggung jawab dan tingkat pelaksanaan jabatan tersebut;
7. Evaluasi jabatan adalah proses menganalisis dan menilai suatu jabatan secara
sistimatik untuk mengetahui nilai relatif bobot jabatan-jabatan dalam suatu organisasi.
8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya ;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
9.
dalam bentuk lain.
Pasal 2
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dalam penetapan upah pekerja/buruh
diperusahaan.
Pasal 3
Dalam penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dilaksanakan melalui :
a. analisa jabatan;
b. uraian jabatan;
c. evaluasi jabatan;
Pasal 4
Dalam melakukan analisa, uraian dan evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diperlukan data/informasi
a. bidang usaha dari perusahaan yang bersangkutan;
b. tingkat teknologi yang digunakan;
c. struktur organisasi;
d. manajemen perusahaan.
Pasal 5
(1) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, merumuskan jabatan-
jabatan baik tenaga pelaksana, non manajerial, maupun manajerial dalam suatu
perusahaan.
(2) Analisa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan menghasilakan uraian
jabatan dalam organisasi perusahaaan meliputi :
a. identifikasi jabatan;
b. ringkasan tugas;
c. rincian tugas;
d. spesifikasi jabatan termasuk didalamnya :
d.1. pendidikan;
d.2. pelatihan/kursus;
d.3. pengalaman kerja;
d.4. psikologi (bakat kerja, tempramen kerja dan minat kerja);
d.5. masa kerja;
e. hasil kerja;
f. tanggung jawab.
Pasal 6
(1) Evaluasi jabatan berfungsi untuk mengukur dan menilai jabatan yang tertulis dalam
uraian jabatan dengan metoda tertentu.
(2) Faktor-faktor yang diukur dan dinilai dalam evaluasi jabatan antara lain :
a. tanggung jawab;
b. andil jabatan terhadap perusahaan;
c. resiko jabatan;
d. tingkat kesulitan jabatan;
(3) Hasil evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan antara lain :
a. penetapan upah;
b. penilaian pekerjaan;
c. penetapan kebijakan pengembangan sumber daya manusia perusahaan.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(1) Skala ganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dapat berbentuk
skala ganda berurutan dan skala tumpang tindih.
(2) Dalam hal skala ganda berurutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), upah
tertinggi pada golongan jabatan dibawahnya lebih kecil dari upah terendah pada
golongan jabatan diatasnya.
Pasal 10
(1) Petunjuk teknis penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana terlampir
merupakan pedoman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
(2) Penyusunan struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi
dan mempertimbangkan kondisi perusahaan.
Pasal 11
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April
2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK
INDONESIA
Lampiran : Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah (format PDF)
KEPMEN NO. 102 TH 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1.
1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam
1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu
kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang
ditetapkan Pemerintah.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
4. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.
(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.
Pasal 3
(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari
libur resmi.
Pasal 4
Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi
perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 6
(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan
persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang
ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar
pelaksanaan kerja lemb ur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur
dan lamanya waktu kerja lembur.
Pasal 7
(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
tidak boleh diganti dengan uang.
Pasal 8
Pasal 9
(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan
besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi
pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau
dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah
sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3)Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata
selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah
minimum setempat.
Pasal 10
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar
perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak
tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh
puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75
% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.
Pasal 11
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang
nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur
tersebut tetap berlaku.
Pasal 13
(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka
yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu)
Provinsi yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur
adalah pengawas ketenagakerjaan Provinsi.
(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta
penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Pasal 14
Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada
perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang
menetapkan besarnya upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 15
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2004
MENTERI
TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Waktu Kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada satu
periode tertentu.
2. Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja.
3. Upah Kerja Lembur adalah upah yang harus dibayar kepada pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja.
4. Periode Kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan.
5. Daerah tertentu adalah daerah operasi kegiatan perusahaan sektor Energi dan
Sumber Daya Mineral di daerah terpencil dan atau lepas pantai.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
7. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
8. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
(1) Perusahaan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral termasuk perusahaan jasa
penunjang yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilih dan
menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan
operasional perusahaan sebagai berikut:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
waktu kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu;
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk waktu kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu;
c. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 45 (empat puluh lima) jam
dalam 5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
d. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 50 (lima puluh) jam dalam 5
(lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
e. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 55 (lima puluh lima) jam dalam
5 (lima) hari kerja untuk satu periode kerja;
f. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 63 (enam puluh tiga) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
g. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 70 (tujuh puluh) jam dalam 7
(tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
h. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 77 (tujuh puluh tujuh) jam
dalam 7 (tujuh) hari kerja untuk satu periode kerja;
i. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 90 (sembilan puluh) jam dalam
10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
j. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 100 (seratus) jam dalam 10
(sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
k. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 110 (seratus sepuluh) jam
dalam 10 (sepuluh) hari kerja untuk satu periode kerja;
l. 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan maksimum 126 (seratus dua puluh enam)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
m. 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari dan maksimum 140 (seratus empat puluh) jam
dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
n. 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari dan maksimum 154 (seratus lima puluh empat)
jam dalam 14 (empat belas) hari kerja untuk satu periode kerja;
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf n,
tidak termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya selama 1 (satu) jam.
(3) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n,
sudah termasuk waktu kerja lembur tetap sebagai kelebihan 7 (tujuh) jam 1 (satu)
hari.
Pasal 3
Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan dapat melakukan pergantian dan atau perubahan waktu kerja dengan
memilih dan menetapkan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1).
(2) Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) Dalam hal perusahaan akan melakukan perubahan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka Pengusaha memberitahukan secara tertulis atas
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, wajib memberikan waktu istirahat sebagai berikut:
a. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 6 (enam) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 1 (satu) hari
istirahat.
b. setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama 5 (lima) hari
dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1(satu) minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan 2
(dua) hari istirahat.
(2) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, harus menggunakan perbandingan waktu
kerja dengan waktu istirahat 2 (dua) banding 1 (satu) untuk 1 (satu) periode kerja
dengan ketentuan maksimum 14 (empat belas) hari terus menerus dan istirahat
minimum 5 (lima) hari dengan upah tetap dibayar.
(3) Waktu yang dipergunakan pekerja/buruh dalam perjalanan dari tempat tinggal
yang diakui oleh Perusahaan ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apabila
perjalanan memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih.
Pasal 6
Dalam hal perusahaan telah memilih dan menetapkan salah satu dan atau beberapa
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ternyata pekerja/buruh
dipekerjakan kurang dari waktu kerja tersebut, maka perusahaan wajib membayar upah
sesuai dengan waktu kerja yang dipilih dan ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal perusahaan memilih dan menetapkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b, dan mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, maka perusahaan
wajib membayar upah kerja lembur.
Pasal 8
Dalam hal hari libur resmi jatuh pada satu periode kerja yang telah dipilih dan
ditetapkan oleh Perusahaan berdasarkan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, maka hari libur resmi tersebut dianggap
hari kerja biasa.
Pasal 9
(1) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan b wajib membayar upah kerja lembur sebagai berikut :
a. apabila kerja lembur dilakukan pada hari biasa, maka :
a.1. Untuk jam kerja lembur pertama selebihnya 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja wajib dibayar upah kerja lembur
sebesar 1,5 (satu setengah) x upah sejam.
a.2. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, wajib dibayar upah kerja
lembur sebesar 2 (dua) X upah sejam.
b. apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan hari libur
resmi, maka:
b.1. untuk setiap jam dalam batas 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah kerja
lembur sekurang-kurangnya 2 (dua) x upah sejam;
b.2. untuk jam kerja pertama selebihnya 7 (tujuh) jam, wajib dibayar upah
kerja lembur sebesar 3 (tiga) x upah sejam;
b.3. untuk jam kerja kedua selebihnya 7 (tujuh) jam dan seterusnya, wajib
dibayar upah kerja lembur sebesar 4 (empat) x upah sejam.
Pasal 10
(1) Perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada upah bulanan.
(2) Upah sejam dihitung 1/173 (satu perseratus tujuh puluh tiga) dari upah sebulan.
Pasal 11
(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka dasar
perhitungan upah kerja lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.
(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak
tetap, maka perhitungan upah kerja lembur didasarkan pada hasil perhitungan
yang lebih besar antara 100% (seratus perseratus) upah pokok ditambah tunjangan
tetap, atau 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah keseluruhan.
Pasal 12
Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf c sampai dengan huruf n, wajib membayar upah kerja lembur setelah
a. untuk waktu kerja 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 3 ½ (tiga setengah) x upah sejam;
b. untuk waktu kerja 10 (sepuluh) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 5 ½ (lima setengah) x upah sejam;
c. untuk waktu kerja 11 (sebelas) jam 1 (satu) hari, wajib membayar upah kerja
lembur untuk setiap hari kerja sebesar 7 ½ (tujuh setengah) x upah sejam.
Pasal 13
(1) Perusahaan yang mengunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
harus melaporkan pelaksanaannya 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang
Pasal 14
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : KEP-64/MEN/1997 tentang Waktu Kerja Waktu Istirahat dan Perhitungan Upah
Lembur Pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi di
Daerah Lepas Pantai atau Daerah Operasi Tertentu dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JACOB NUWA WEA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2003
TENTANG
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
dan
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Juli 2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan
perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil
langkah-langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang
terjadi. Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan
ketenagakerjaaan harus terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan
dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan.
Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem
mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dapat ditegakkan.
12. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib memberikan
laporan terhadap pelaksanaan Konvensi tersebut.
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara terjemahan Konvensi dalam
bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya, maka yang berlaku adalah
salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.
TENTANG
Menimbang :
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan?ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327)
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
DAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah
Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih
dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya- upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial.
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7
(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan
oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan
Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di
setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka:
Pasal 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau
salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata
kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Pasal 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian
perselisihan hubungan industria l berdasarkan undang-undang ini, wajib
memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus
ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 23
Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak
atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Pasal 26
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri
atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Bagian Keempat
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti
ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran
arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing
pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih.
Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih
arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tungga l, maka para
pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis)
dalam jumlah gasal, masing- masing pihak berhak memilih seorang arbiter
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga
ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat- lambatnya
7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua
Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai
penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang
berselisih.
Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka
para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada
pihak yang memilih arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri
atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti
berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau
salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan
harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat- lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Pasal 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase
dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter
akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan.
Pasal 39
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter
yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali
perpanjangan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya
dengan surat kuasa khusus.
Pasal 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa
suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut,
maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan
arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu
pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk
itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa
perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau
kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau
majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak
dapat diminta kembali oleh para pihak.
Pasal 44
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka
arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis
arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
mengadakan perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan sebagai berikut :
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta
Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal,
arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal 45
Pasal 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau
seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing- masing.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada
pihak yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh
arbiter dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter
guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang- undang ini wajib memberikannya, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan
alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya
putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan, ditetapkan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
harus sudah dilaksanakan.
Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak
yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter
menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan
untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan
didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat- lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun
atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umu m
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hub ungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:
Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul
serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
?Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang- undang serta peraturan
lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan
akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku?.
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya tanpa alasan
yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi
pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas
Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada
Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sekurang-
kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis
perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan
Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita
Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya
yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub
Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada pengugat.
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan,
hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif
dengan memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan
Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Pasal 87
Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim
yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan
memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang
Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang
pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat
tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di
tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui
orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal,
maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di
bawah sumpah.
Pasal 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang
yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 92
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim
menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara
patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap
Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib
persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah
Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha
terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 155 ayat (3) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan
Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-
hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada
hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan
Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh
pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah
Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Paragraf 3
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang
cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak
dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa
melalui prosedur pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-
masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera
Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai
putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat
kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemo hon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang
jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus,
nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para
pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung
sejak sidang pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus
sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani,
Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan
perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Pasal 110
Bagian Kedua
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim
Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada
Mahkamah Agung selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
Pasal 117
Pasal 118
Pasal 119
Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai arbiter dalam hal:
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase
perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan
arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara
sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak
3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan
perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan
atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha- usaha sosial dan
usaha- usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya
diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-
undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja
yang telah diajukan kepada:
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-
lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga- lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak
dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan
tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaia n
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang- undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
Pasal 126
Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Perundang- undangan,
ttd/cap
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
TENTANG
I. UMUM
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh,
maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat
dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan
ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh
yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan dan
keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan
penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak
dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi,
karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk
menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai
dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur
penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif,
sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh
secara perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh
pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan
menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian bipartit ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak
tanpa dicampuri oleh pihak manapun.
Pasal 1
Angka 1 s.d 21
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif,
yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah
perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat
pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain
dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang
berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian
perselisihan yang mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-
syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang
mengatur tentang pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang
mempunyai keahlian khusus di bidangnya termasuk Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pasal 37
Yang dimaksud dengan menerima hasil- hasil yang telah dicapai bahwa
arbiter pengganti terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin
dalam risalah kegiatan penyelesaian perselisihan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang
diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada
seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan
perkaranya yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.
Pasal 43
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kata ?segera? dalam ayat ini adalah bahwa
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Huruf d.
Cukup jelas.
Huruf e.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan
salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak
merugikan hak para pihak.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah
Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
TENTANG
SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Menimbang :
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (2), pasal 27, dan pasal 28 Undang-
undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 mengenai Berlakunya
Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1050) ;
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);
Dengan Persetujuan
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan
buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh
yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di
satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
3. Serikat pekerja/serikat buruh diluar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat
buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang bekerja diluar perusahaan.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Konferensi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
7. Pengusaha adalah :
a. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
perusahaan milik sendiri;
b. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
8. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara, yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah atau
imbalan dalam bentuk yang lain.
9. Perselisihan antar serikat pekerja/antar serikat buruh, federasi dan konferensi
serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konferensi serikat pekerja/serikat buruh lain,
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan serta
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerja.
10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
PEMBENTUKAN
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan
kehendak pekerja/buruh.
Pasal 11
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 12
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus
terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa,
dan jenis kelamin.
Pasal 13
Pasal 14
1. Seorang pekerja /buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh disatu perusahaan.
2. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus
menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.
Pasal 15
Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu
menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak
boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh diperusahaan yang bersangkutan.
Pasal 16
1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu
federasi serikat pekerja/serikat buruh.
2. Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari
satu konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 17
BAB V
Pasal 18
Pasal 19
Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang akan diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan
lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah tercatat terlebih dahulu.
Pasal 20
Pasal 21
Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
memberitahukan kepada instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga tersebut.
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.
BAB VI
Pasal 25
1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional
dan/atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban :
BAB VII
Pasal 28
BAB VIII
Pasal 30
a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran
rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 31
1. Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c,
berasal dari luar negeri, pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan anggota.
Pasal 32
Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi
pengurus dan anggotanya.
Pasal 33
Permintaan atau pengalihan keuangan dan harta kekayaan kepada pihak lain serta
investasi dana dan usaha lain yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 34
BAB IX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 35
Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 36
BAB X
PEMBUBARAN
Pasal 37
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar
dalam hal :
Pasal 38
Pasal 39
BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Pasal 40
Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh
melaksanakan kegiatannnya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan
pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 41
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagekerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak
pidana.
BAB XII
SANKSI
Pasal 42
1. Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal
21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan nomor bukti
pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang dicabut nomor bukti pencatatan kehilangan haknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai dengan waktu serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal
7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31.
Pasal 43
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Pasal 46
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penetapannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
PERATURAN MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NO: PER-14/MEN/IV/2006
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
a. Pengusaha adalah :
1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
sesuatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
Pasal 3
Pasal 4
Dalam hal pada Kabupaten/Kota belum terdapat fasilitas yang dapat
mengakses data elektronik dari Basis Data Wajib Lapor
Ketenagakerjaan Di Perusahaan, maka laporan sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat (1) disampaikan kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan di kabupaten/kota tempat unit
perusahaan berada baik kantor pusat, cabang maupun bagian
perusahaan yang berdiri sendiri, dengan tembusan kepada pimpinan
instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Propinsi dan kepada
Menteri secara tertulis.
Pasal 5
Pasal 6
Perusahaan yang telah melaporkan keadaan ketenagakerjaan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I.
Nomor Per. 06/MEN/1995. tentang Tata Cara Pelaporan
Ketenagakerjaan, sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan
dinyatakan berlaku sampai dengan kewajiban melapor pada tahun
berikutnya.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 April 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ERMAN SUPARNO
Nomor Klasifikasi
I.L.O: ................
II. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ERMAN SUPARNO
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG TUNJANGAN
JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS
KETENAGAKERJAAN, PERANTARA HUBUNGAN
INDUSTRIAL, DAN PENGANTAR KERJA.
Pasal 1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengawas
Ketenagakerjaan adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Tunjangan Jabatan Fungsional Perantara Hubungan Industrial,
yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Perantara
Hubungan Industrial adalah tunjangan jabatan fungsional yang
diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perantara
Hubungan Industrial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Tunjangan Jabatan Fungsional Pengantar Kerja, yang
selanjutnya disebut dengan Tunjangan Pengantar Kerja adalah
tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam
Jabatan Fungsional Pengantar Kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengawas
Ketenagakerjaan, diberikan Tunjangan Pengawas
Ketenagakejaan setiap bulan.
(2) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Perantara Hubungan
Industrial, diberikan Tunjangan Perantara Hubungan Industrial
setiap bulan.
(3) Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan
secara penuh dalam Jabatan Fungsonal Pengantar Kerja,
diberikan Tunjangan Pengantar Kerja setiap bulan.
Pasal 3
(1) Besarnya Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden ini.
(2) Besarnya Tunjangan Perantara Hubungan Industrial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Presiden
ini.
(3) Besarnya Tunjangan Pengantar Kerja, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan Presiden ini.
Pasal 4
Pemberian Tunjangan Pengawas Ketenagakerjaan, Tunjangan
Perantara Hubungan Industrial, dan Tunjangan Pengantar Kerja
dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, diangkat dalam jabatan struktural atau dalam
jabatan fungsional lain atau karena hal lain yang mengakibatkan
pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan
Keputusan Presiden ini diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau
Kepala Badan Kepegawaian Negara, baik secara bersama-sama
maupun sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing- masing.
Pasal 6
Denga n berlakunya Keputusan Presiden ini, maka ketentuan yang
mengatur mengenai tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomr 31 Tahun 1993 tentang Tunjangan Penilai Pajak
Bumi dan Bangunan, Pemeriksa Bea dan Cukai, Pengawas
Ketenagakerjaan, Pengamat Meteorologi dan Geofisika, Penyuluh
Kehutanan, Juru Penerang, Pekerja Sosial, dan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Salinan sesuai dengan
aslinya
SEKRETARIAT
KABINET RI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN I
JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 400.000,00
Ahli Madya
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 300.000,00
Muda
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 200.000,00
Pertama
2 Pengawas Ketenagakerjaan Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 225.000,00
Terampil Penyelia
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 175.000,00
Pelaksana Lanjutan
Pengawas Ketenagakerjaan Rp. 125.000,00
Pelaksana
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN II
JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Perantara Hubungan Perantara Hubungan Rp. 400.000,00
Industrial Ahli Industrial Madya
Perantara Hubungan Rp. 200.000,00
Industrial Pertama
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN III
JABATAN BESAR
No JABATAN
FUNGSIONAL TUNJANGAN
1 2 3 4
1 Pengantar Kerja Ahli Pengantar Kerja Madya Rp. 400.000,00
Pengantar Kerja Muda Rp. 300.000,00
Pengantar Kerja Pertama Rp. 200.000,00
2 Pengantar Kerja Terampil Pengantar Kerja Penyelia Rp. 225.000,00
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 175.000,00
Lanjutan
Pengantar Kerja Pelaksana Rp. 125.000,00
Ditetapkan di Jakata
pada tanggal 24 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Edy Sudibyo
LAMPIRAN II
_________________________________________________________________
Tentang:PERLINDUNGAN UPAH
Menimbang :
a.bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu disusun suatu
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang- undang Nomor
14 Tahun 1969;
b.bahwa sebagai pelaksanaan tersebut huruf a dipandang perlu mengatur
perlindungan upah dalam suatu Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja putus.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
(4)Pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak
dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah
menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3
(tiga) bulan.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Bila upah tidak ditetapkan berdasarkan suatu jangka waktu, maka untuk
menghitung upah sebulan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 (tiga)
bulan terakhir diterima oleh buruh.
Pasal 10
(1)Upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang *19950
telah ditentukan sesuai dengan perjanjian.
(4)Surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya berlaku untuk
satu kali pembayaran.
Pasal 11
BAB II
BENTUK UPAH
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
BAB III
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
(1)Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai
hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar,
upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap
keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu
persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan
itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (limapuluh persen)
dari upah yang seharusnya dibayarkan.
BAB IV
Pasal 20
(1)Denda atas pelanggaran sesuatu hal hanya dapat dilakukan bila hal
itu diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan
perusahaan.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
(1)Ganti rugi dapat dimintakan oleh pengusaha dari buruh, bila terjadi
kerusakan barang atau kerugian lainnya baik milik pengusaha maupun
milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaian.
BAB V
Pasal 24
a.denda, potongan, dan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23;
b.sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan
perjanjian tertulis; *19953 c.uang muka atas upah, kelebiban upah yang
telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh kepada pengusaha, dengan
ketentuan harus ada tanda bukti tertulis.
Pasal 25
Pasal 27
Pasal 28
Bila buruh jatuh pailit, maka upah dan segala pembayaran yang timbul
dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan
lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (duapuluh lima
persen).
Pasal 29
Pasal 30
Tuntutan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 32
Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22,
disamping perbuatan tersebut batal menurut hukum juga dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 33
Buruh atau ahli yang ditunjuknya atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri yang dengan sengaja membocorkan rahasia yang harus disimpannya
sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah).
Pasal 34
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pisal 32, dan Pasal
33 adalah pelanggaran.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pasal 36
SOEHARTO
SUDHARMONO, SH
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1) Bahwa azas tidak bekerja tidak dibayar tidak sewajarnya untuk
diterapkan secara mutlak. Oleh karena itu bagi buruh yang tidak dapat
melakukan pekerjaan karena alasan tersebut a dan b upah tersebut masih
harus diberikan. Akan tetapi pembayaran upah yang demikian tidak dapat
dilakukan secara penuh dan terus menerus, karena itu perlu ditetapkan
jumlah serta jangka waktunya. Pengertian sakit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) a, tidak termasuk sakit karena kecelakaan kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang
Kecelakaan Kerja.
*19957 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1) Buruh sebagai warga negara tidak terlepas dari kemungkinan
untuk memikul tugas dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah,
misalnya wajib militer, tugas-tugas dalam penyelenggaraan Pemilihan
Umum, serta tugas dan kewajiban lainnya yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2). Pembayaran kekurangan gaji atau upah dimaksudkan agar tidak
menjadi beban yang berat bagi buruh dan keluarganya disatu pihak dan
pengusaha dilain pihak.
Ayat (4) Dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh
yang menjalankan ibadah menur ut agamanya lebih diri 3 (tiga) bulan dan
dalam menjalankan ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha
tidak diwajibkan membayar upahnya.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Ayat (1) sampai dengan ayat (5) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan
agar pembayaran upah tidak jatuh kepada orang yang tidak berhak. Oleh
*19958 karena itu pembayaran upah melalui pihak ketiga harus
menggunakan surat kuasa. Pengertian buruh yang belum dewasa diartikan
baik buruh laki- laki maupun perempuan yang telah berusia 14 (empat
belas) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1) dan ayat (2) Untuk menuju kearah sistim pembayaran upah
bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang. Prinsip tersebut
diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas
sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya. Penerapan prinsip
tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi
atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Jika upah ditetapkan menurut hasil pekerjaan maka pembayarannya sesuai
dengan ketentuan Pasal 17, dengan ketentuan besarnya upah disesuaikan
dengan hasil pekerjaannya.
Pasal 19
Pasal 20
Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Yang dimaksud dengan pelanggaran
sesuatu hal dalam ayat (1) adalah pelanggaran terhadap
kewajiban-kewajiban *19959 buruh yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tertulis antara pengusaha dan buruh.
Pasal 21
Ayat (1) dan ayat (2) Penggunaan uang denda sama sekali tidak boleh
untuk kepentingan pribadi pengusaha baik langsung ataupun tidak,
melainkan untuk kepentingan buruh, misalnya untuk dana buruh. Cara
penggunaan uang denda ini harus juga ditetapkan dalam surat perjanjian
atau peraturan perusahaan.
Pasal 22
Pasal 23
Ayat (1) dan ayat (2) Kerugian lainnya dapat terdiri dari kerugian
material atau ekonomis.
Pasal 24
Ayat (1) sampai dengan ayat (4) Pembatasan perhitungan tidak boleh
lebih dari 50% (limapuluh persen) dimaksudkan, agar buruh tidak
kehilangan semua upah yang diterimanya. Kemungkinan perhitungan dengan
upah buruh dapat terdiri dari denda, potongan, ganti rugi dan
lain- lain. Untuk menjamin kehidupan yang layak bagi buruh, maka
pengusaha harus mengusahakan sedemikian rupa sehingga jumlah
perhitungan tersebut tidak melebihi 50% (puluh persen).
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Pasal 29
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) *19960 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup
jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Cukup jelas.
--------------------------------
CATATAN
DICETAK ULANG
_________________________________________________________________
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.261/MEN/XI/2004
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak , milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha- usaha sosial dan usaha- usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
5. Progam pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara
sistematis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi
pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan,
persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan
peserta pelatihan.
6. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai denga standar yang
ditetapkan.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Biaya pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditanggung sepenuhnya oleh
perusahaan.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
FAHMI IDRIS
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005
TENTANG
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
ATAS HAK UJI MATERIL UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
TERHADAP UNDANG - UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
3. Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :
b. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat
melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal
160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.
4. Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak
memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh
upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Demikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
FAHMI IDRIS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN ISTIRAHAT BURUH
Menimbang:
bahwa antara istirahat tahunan tersebut dalam undang-undang kerja tahun 1948 Nomor 12 dari
Republik Indonesia, yang dengan undang-undang Nomor 1 tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) telah dinyatakan untuk beberapa perusahaan tertentu.
Mengingat:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang "Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja
Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia" (Lembaran Negara Tahun
1951 Nomor 2) serta pasal 98 Undang-Undang dasar Sementara Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN ISTIRAHAT TAHUNAN BAGI BURUH
Pasal 1
Antara istirahat tahunan tersebut dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang kerja tahun 1948 seperti
dimuat dalam Lembaran negara Tahun 1951 Nomor 2, berlaku bagi buruh yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan:
a. yang biasanya
1). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 3 PK akan tetapi kurang
dari 4 PK dan mempunyai buruh 20 orang atau lebih;
2). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan paling sedikit 4 PK akan tetapi kurang
dari 5 PK dan mempunyai buruh 10 orang atau lebih;
3). menggunakan tenaga mesin dengan kekuatan 5 PK lebih;
4). mempunyai buruh 50 orang atau lebih.
b. lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Perburuhan dengan menyimpang dari ketentuan sub.a.
1). Buruh berhak atas istirahat tahunan tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12
bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi
majikan;
2). Lamanya waktu istirahat tahunan dihitung untuk tiap-tiap 23 hari bekerja dalam masa
kerja termaksud pada ayat 1, satu hari istirahat sampai paling banyak 12 hari kerja;
3). Hak atas istirahat tahunan termaksud ayat 1 dan ayat 2 gugur, bilamana dalam waktu
6 bulan setelah lahirnya hak itu, buruh ternyata tidak mempergunakan haknya bukan
karena alasan-alasan yang diberikan oleh majikan atau bukan karena alasan-alasan
istimewa, hal mana ditentukan oleh Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan.,
Pasal 3
(1). Untuk menghitung, lamanya waktu istirahat tahunan, dianggap pula sebagai hari bekerja,
hari-hari buruh tidak menjalankan pekerjaan karena:
a). istirahat berdasarkan peraturan ini atau berdasarkan pasal 13 ayat 1, 2 dan 3 dari
undang-undang kerja ;
b). mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu;
c). sakit yang diberitahukan secara sah;
d). hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan;
e). pemogokan yang sah;
f). alasan-alasan lain yang sah.
(2). Tidak dianggap sebagai hari kerja, hari-hari istirahat mingguan termaksud pada pasal-pasal
10 ayat 3 undang -undang kerja serta hari-hari termaksud pada pasal 11 undang -undang
kerja.
Pasal 4
(1). Selama istirahat tahunan buruh berhak atas upah penuh;
(2). Bila upahnya tidak tentu, sebagai upah harian diambil upah rata-rata dalam 6 bulan yang
mendahului, terhitung dari saat dimulainya istirahat tahunan;
(3). Bagi buruh harian upah itu dibayarkan sebelum istirahat tahunan dimulai;
Pasa l 5
(1). Saat dimulainya istirahat tahunan ditetapkan oleh majikan dengan memperhatikan
kepentingan buruh;
(2). Atas pertimbangan majikan, berhubung dengan kepentingan perusahaan yang nyata,
istirahat tahunan dapat diundurkan untuk selama-lamanya 6 bulan terhitung mulai saat
buruh berhak atas istirahat tahunan.
Pasa l 6
(1). Istirahat tahunan harus terus-menerus;
(2). Dengan persetujuan antara buruh dan majikan istirahat tahunan dapat dibagi dalam
beberapa bagian;
(3). Dalam hal demikian harus ada satu bagian dari sedikitnya 6 hari terus-menerus.
Pasal 7
(1). Bila hubungan kerja diputuskan:
a). oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh;
b). oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan;
Buruh berhak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan bila pada saat
diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya 6 bulan
terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir;
(2). Dalam hal demikian jumlah hari istirahat dihitung menurut ukuran dari pasal 2 ayat 2 untuk
masa kerja termaksud pada ayat 1 pasal ini sedangkan jumlah pembayaran penggantian
sama dengan upah penuh untuk hari -hari itu.
Pasal 8
Majikan berwajib mengadakan dan memelihara daftar -daftar yang berhubungan dengan istirahat
tahunan menurut contoh/petunjuk yang akan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pengawasan
Perburuhan dari Kementrian Perburuhan.
Pasal 9
Bila perusahaan pindah tangan, maka dalam menjalankan peraturan ini, masa kerja pada majikan
lama dianggap sebagai masa kerja majikan baru.
Pasal 10
Peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja pada Pemerintah atau daerah otonomi.
Pasal 11
Peraturan ini tidak mengurangi perjanjian antara buruh dan majikan tentang istirahat tahunan yang
lebih menguntungkan buruh dari pada yang ditetapkan di sini.
Pasal 12
(1). Bila pada mulai berlakunya peraturan ini, buruh yang bersangkutan sudah mempunyai masa
kerja tertentu pada majikan yang sebelum peraturan ini berlaku, tidak memberikan istirahat
tahunan pada buruhnya, maka masa kerja itu dinilaikan menjadi 1/4 dan dibulatkan ke atas
menjadi bulan penuh sampai paling banyak 12 bulan dalam menghitung hak atas istirahat
tahunan;
(2). Dalam tiap-tiap bulan penuh dari masa kerja itu buruh dianggap telah bekerja 23 hari.
Pasal Penutup
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1954.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, m emerintahkan pengundangan Peraturan
pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 9 Maret 1954
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEKARNO
Diundangkan,
Pada Tanggal 16 Maret 1954
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODI GONDOKUSUMO
MENTERI PERBURUHAN,
Ttd.
S.M. ABIDIN
UMUM
Istirahat tahunan (dengan upah penuh) memegang peranan penting dalam memulihkan kesehatan
dan tenaga buruh setelah terus menerus bekerja untuk waktu yang lama.
Pada perusahaan -perusahaan besar istirahat tahunan ini sudah lama merupakan suatu kelaziman,
tetapi untuk sebagian dari perusahaan kecil yang kebanyakan masih "arbeidsintensief"
pembayaran upah penuh tetap merupakan beban yang terasa berat untuk dipikul.
Berdasarkan kenyataan ini Pemerintah berpendapat bahwa aturan istirahat tahunan baru dapat
dinyatakan berlaku (secara terbatas) setelah Pemerintah mempunyai pandangan yang jelas
tentang jenis-jenis perusahaan yang dapat atau tidak dapat memikul beban sebagai akibat
pemberian istirahat ini.
Untuk memperoleh pandangan ini diperlukan suatu tempat yang lama pula sehingga peraturan ini
baru sekarang dapat ditetapkan.
Dengan mengambil pandangan yang diperoleh itu sebagai pedoman, dalam peraturan ini
ditetapkan suatu ukuran menentukan perusahaan manakah yang harus dikecualikan.
Tentu ukuran demikian agaknya sedikit kasar dan berhubung dengan ini kepada Menteri
Perburuhan diberikan hak untuk menunjuk perusahaan-perusahaan lain untuk siapa per aturan ini
berlaku pula.
Pasal 1
Alam pikiran yang menjadi dasar pasal ini sudah diterangkan pada penjelasan umum.
Pasal 2
Pada pasal ini ditetapkan suatu "qualifying periode" dari 12 bulan. Syarat demikian dianggap perlu
sebagai faktor pendorong ke arah "stability of employment". Selain dari pada itu tidak ada alasan
untuk memberikan istirahat ini kepada buruh yang baru saja masuk kerja. Dalam peraturan ini yang
dimaksud dengan bulan ialah bulan kalender dan bukan "jangka waktu dari 30 hari". Dengan
organisasi majikan dimaksudkan majikan-majikan yang dipandang dari sudut bedrijfsorganisatoris
mempunyai perhubungan (samenhareg) satu sama lain; bentuk organisasi dalam hal ini tidak
menjadi soal.
Hal demi hal harus ditetapkan apakah kita berhadapan dengan organisasi majikan.
Oleh karena peraturan ini dimaksudkan agar buruh tiap-tiap tahun tetap mempergunakan
kesempatan istirahat tahunan yang disediakan baginya maka penumpukan (accumulative) istirahat
tahunan tidak pada tempatnya.
Pasal 3
Ayat (1)
sub c
Keadaan sakit itu supaya diberitahukan hingga dapat diterima kebenarannya.
Pada umumnya bagi keadaan sakit yang pendek pemberitahuan tadi tidak perlu
disertai surat keterangan dokter.
Bagi keadaan sakit yang agak lama, sedapat mungkin disertai dengan surat
keterangan dokter yang berhak, baik dokter perusahaan maupun dokter partikelir.
Sub d
Sebagai contoh dari hal-hal yang selayaknya menjadi tanggungan majikan dapat
disebut:
Majikan lalai dalam mendatangkan bahan-bahan mentah yang diperlukan, l ock-out
yang tidak sah, sangat kurangnya pesanan -pesanan dan sebagainya.
Dalam hal-hal yang menimbulkan kesangsian sebaiknya pihak yang
berkepentingan berhubungan dengan Jawatan Pengawasan Perburuhan yang
mengawasi ditaatinya peraturan ini.
Sub f
Sebagai contoh dari alasan-alasan lain yang sah dapat disebut:
Kejadian-kejadian dalam lingkungan keluarga seperti meninggal dunia atau
perkawinan dalam keluarga buruh, melakukan hak dipilih atau hak memilih, dan
sebagainya.
Apa yang dijelaskan sub d mengenai hal-h al yang dapat menimbulkan kesangsian,
berlaku sama terhadap sub f.
Pasal 4
Ayat (1)
Dengan upah penuh dimaksudkan jumlah upah biasa yang akan diterima oleh buruh untuk
jangka waktu yang sama bila ia dari pada beristirahat tetap melakukan pekerjaannya.
Petunjuk mengenai apa yang dimaksudkan dengan upah biasa diberikan oleh Jawaran
Pengawasan Perburuhan.
Ayat (2)
Jangka waktu untuk menentukan upah rata -rata, diambil angka panjang, untuk sedapat
mungkin meniadakan akibat-akibat dari kegoncangan dalam penghasilan.
Pasa l 5
Ayat (1)
Dalam penetapan saat dimulainya istirahat, sudah selayaknya majikan memperhatikan
kepentingan keinginan buruh yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dengan kepentingan perusahaan yang nyata dimaksudkan misalnya waktu musim di
perkebunan, pabrik gala dan sebagainya, waktu pekerjaan bertimbun-timbun yang harus
diselesaikan dan sebagainya.
Selanjutnya bila sebagian besar dari buruh hendak beristirahat pada waktu yang
bersamaan sehingga tidak terjamin lagi jalannya perusahaan dengan lancar, hal ini dapat
pula dianggap sebagai berlawanan dengan kepentingan perusahaan yang nyata.
Pasal 6
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 7
Dalam hal pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan sebagai termaksud pada pasal ini,
dianggap layak untuk merubah hak atas istirahat menjadi hak atas suatu penggantian kerugian
berupa uang.
Bila misalnya dalam masa kerja yang dihitung menurut ukuran pasal ini terdapat 8 kali 23 hari
bekerja dalam arti kata peraturan ini, jumlah kerugian sama dengan upah untuk 8 hari.
Pasal 8
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 9
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 10
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 11
Tidak memerlukan penjelasan
Pasal 12
Untuk jelasnya maksud dari pasal ini sebagai berikut:
Bila pada waktu mulai berlakunya peraturan ini buruh mempunyai, masa kerja 5 tahun, ini
dinilaikan menjadi 5/4 tahun = 15 bulan sehingga buruh sudah berhak atas istirahat dari 12 hari
kerja.
Bila masa kerjanya 2,5 tahun, ini dinilaikan menjadi 1/4 x 5/2 = 5/8 tahun = 60/8 bulan, dibulatkan
menjadi 8 bulan m asa kerja, sehingga buruh hanya memerlukan 4 bulan masa kerja dengan 4 x 23
hari bekerja lagi untuk memperoleh hak istirahat 12 hari kerja.
Dengan sendirinya peraturan pasal 12 ini hanya berlaku, bila majikan sebelum berlaku peraturan
ini, tidak memberikan istirahat tahunan pada buruhnya.
Diketahui,
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
DJODY GONDOKUSUMO
NOMOR : PER-01/MEN/I/2006
TENTANG
PELAKSANAAN PASAL 3
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR KEP-231/MEN/2003
TENTANG TATA CARA PENANGGUHAN PELAKSANAAN
UPAH UMUM
Menimbang :
a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan (5) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/MEN/2000, KetetapanUpah
Minimum Provinsi ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari dan upah
minimum;
Mengingat :
1 . Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
MEMUTUSKAN :
Pasal1
Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2006 berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2006.
Pasal 2
(1) Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.
(2) Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha
dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
(3) Permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi Tahun 2006 yang
penetapannya dilakukan sesudah bulan Oktober Tahun 2005, dan permohonan
penangguhan Upah Minimum dapat/Kota Tahun 2006 yang penetapannya
dilakukan sesudah tanggal 20 Nopember 2005 tetap dapat dilakukan paling lambat
50 hari sejak tanggal penetapan Upah Minimum Provinsi atau 30 hari sejak tanggal
penetapan UPah Minimum Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Syarat-syarat permohonan penagguhan pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2006
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.
KEP-231 /MEN/2003 kecuali yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI NO. 09 TH 2005
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.09/MEN/V/2005
TENTANG
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 179 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai Tata Cara Penyampaian Laporan
Pelaksanaan Pengawasan Ketenaga kerjaan dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4 ) ;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2819 ) ;
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) ;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention
Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce ( Konvensi ILO
Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan
Perdagangan) ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4309));
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
MEMUTUSKAN
Pasal 1
Pasal 2
(1). Instansi di Kabupaten/Kota mengumpulkan, mengolah, mencatat dan menyimpan serta menyajikan
data pengawasan ketenagakerjaan.
(2). Data pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
Pasal 3
(1). Pegawai pengawas ketenagakerjaan secara induvidual wajib membuat laporan setiap kegiatan
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
(2). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
(3). Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada atasan langsung pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang bersangkutan setiap selesai melaksanakan tugas atau setiap tahap penyelesaian
untuk kegiatan yang bersifat berkelanjutan.
Pasal 4
(1). Berdasarkan laporan individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) instansi di Kabupaten/Kota
menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi.
(2). Instansi di Provinsi menyusun rekapitulasi laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dari
instansi di masing- masing Kabupaten/Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(3). Instansi di Provinsi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Direktur
jenderal.
(4). Direktur Jenderal menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara nasional
kepada Menteri.
(5). Dalam hal unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tidak berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
instansi di Kabupaten/Kota atau di Provinsi maka unit kerja pengawasan tersebut menyampaikan
laporan pelaksanaan pengawasan kepada instansi di Provinsi atau Direktur Jenderal.
Pasal 5
(1). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2). Laporan unit pengawasan ketenagakerjaan Provinsi sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2)
menggunakan formulir sebagaimana terlampir dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
(1). Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka
pengambilan keputusan, peyusunan kebijakan pengawasan ketenagakerjaan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan.
(2). Dalam keputusan skorsing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi PPTKIS selama menjalani skorsing.
(3). Dalam hal masa telah berakhir dan PPTKIS belum juga melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mencabut SIPPTKI.
Pasal 7
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Mei 2005
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Myra M. Hanartani
NIP. 160.025.858
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
PERATURAN MENTERI NO. 17 TH 2007
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-17/MEN/VI/2007
TENTANG
TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PELATIHAN KERJA
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-229/MEN2003
tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sudah tidak
sesaui dengan perkembangan dan kebutuhan penyelenggaraan pelatihan kerja yang
dilaksanakan oleh lembaga pelatihan kerja, sehingga perlu disempurnakan ;
b. Bahwa Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (4) dan
Pasal 17 ayat (6) Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG TATA
CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran LPK dalam Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi
instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dalam
memberikan perizinan maupun pendaftaran kepada penyelenggara pelatihan kerja.
Pasal 3
BAB I I
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 4
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 6
(1). Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) LPK
swasta harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, dengan
melampirkan :.
a. copy akte pendirian dan/atau perubahan sebagai badan hukumdan tanda bukti
pengesahan dari insatansi yang berwenang;
b. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggungjawab LPK;
c. copy tanda bukti kepemilikan atau penguasaan sarana, prasarana dan fasilitas
pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program
pelatihan yang akan diselenggarakan;
d. program pelatihan kerja berbasis kompetensi;
e. profil LPK yang meliputi antara lain: struktur organisasi, alamat, telepon dan faximile;
f. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(2). Bagi LPK di luar negeri yang akan membuka cabang LPK di Indonesia, wajib
melampirkan surat penunjukan sebagai cabang dari LPK di luar negeri.
Pasal 7
Permohonan yag telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga kerjaan kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan verifikasi.
Pasal 8
(1). Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (7), dilakukan oleh Tim yang
dibentuk oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang - kurangnya
beranggotakan dari unsur organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang
menamgani pelatihan kerja dan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan di
kabupaten / kota dan mempunyai tugas melakukan verifikasi kelengkapan dan
keabsahan dokumen.
(3). Verifikasi dokumen yang dilakiukan oleh Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
sudah selesai dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan dan hasil verifikasi dilaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(4). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
( dua ) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(5). Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mengeluarkan surat keputusan penetapan perizinan yang
dilampiri dengan sertikat perizinan LPK dalam waktu paling lama 5 ( lima ) hari
kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 9
Bagian Kedua
Pendaftaran
Pasal 10
(1). LPK pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf a dan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) huruf c, yang
menyelenggarakan pelatihan kerja wajib mendaftar pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
Pasal 11
Untuk mendaftarkan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
LPK pemerintah dan / atau perusahaan harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten /kota, dengan melampirkan :
a. Surat keterangan keberadaan lembaga / unit pelatihan kerja dari instansi yang
membawahi / unit pelatihan kerja.
b. Struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;
c. Nama penanggung jawab;
d. Program pelatihan berbasis kompetensi;
e. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan;
f. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.
Pasal 12
Pasal 13
Dalam hal LPK pemerintah dan/atau perusahaan yang telah mendapatkan tanda
bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), terdapat
perubahan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, harus
mendaftarkan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
BAB III
PENAMBAHAN PROGRAM
Pasal 15
Penambahan program pelatihan kerja hanya diberikan kepada LPK yang tidak sedang
dihentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja.
Pasal 16
(1). LPK yang telah mendpatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), apabila
akan menambah program pelatihan kerja harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(2). Permohonan penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilengkapi dengan :
a. Copy izin dan/atau tanda daftar yang masih berlaku sebagai lembaga pelatihan kerja;
b. Realisasi pelaksanaan program pelatihan;
c. Program tambahan pelatihan kerja yang berbasis kopetensi;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan sesuai dengan program tambahan;
e. Daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja sesuai dengan program
tambahan;
f. Daftar nama penanggung jawab program sesuai dengan program tambahan.
Pasal 17
Permohonan yang telah diterima oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dilakukan verifikasi.
Pasal 18
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus sudah selesai dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan dan hasil verifikasi.
(2) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan pemohon dalam waktu paling lama 2
(dua) hari kerja terhitung sejak hasil verifikasi.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menerbitkan surat keputusan penambahan program dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 19
Jangka waktu berlakunya izin penambah program pelatihan tidak boleh melebihi jangka waktu
berlakunya izin LPK.
BAB IV
PERPANJANGAN IZIN
Pasal 20
(1). Perpanjangnan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota.
(2). Untuk mendapatkan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LPK harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga
puluh ) hari kerja sebelum izin berakhir dengan melampirkan :
a. Copy izin LPK yang masih berlaku ;
b. Copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasa prasarana dan fasilitas pelatihan
kerja untuk sekurang - kurangnya 3 ( tiga ) tahun sesuai dengan program pelatihan
yang akan diselenggarakan ;
c. Realisasi program pelatihan kerja yang telah dilaksanakan ;
d. Daftar instruktur dan tenaga kepelatihan.
(3). Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan melampaui
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 21
(1). Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) dinyatakan lengkap, kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota menerbitkan izin perpanjangan LPK.
(2). Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
diterbitkan dalam waktu selambat - lambatnya 12 ( dua belas ) hari kerja
sejak permohonan diterima.
Pasal 22
Perpanjangan izin LPK diberikan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten / kota, apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dengan mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.
BAB V
PENGHENTIAN SEMENTARA PELAKSANAAN PROGRAM,
PENGHENTIAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN PENCABUTAN
IZIN LEBAGA PELATIHAN
Pasal 23
(1). Kepala instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dapat
menghentikan sementara pelaksanaan program pelatihan kerja, apabila LPK :
a. Menggunakan instruktur dan tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program, atau
b. Melaksanakan pelatihan tidak sesuai dengan program, atau
c. Menggunakan sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program.
(2). Penghentian sementara pelaksanaan program pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh kepala instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota dalam bentuk surat keputusan
yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3). Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menetapkan
kewajiban yang harus dipenuhi LPK selama masa penghentian sementara.
(4). Selama dalam masa penghentian sementara LPK dilarang menerima peserta pelatihan
kerja baru untuk program pelatihan kerja yang dihentikan sementara.
Pasal 24
(1). Dalam hal LPK belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(3), maka kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat
menghentikan pelaksanaan program pelatihan kerja.
(2). Apabila LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap melaksanakan
program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan, maka
kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten / kota mencabut izin LPK yang bersangkutan.
(3). LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengembalikan biaya pelatihan kerja
kepada peserta.
Pasal 25
(1). Dalam hal LPK sudah selesai menjalani masa penghentian sementara dan telah
menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (3), LPK yang
bersangkutan wajib melaporkan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dinilai benar, kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaanwajib menerbitkan surat
pencabutan penghentian sementara, dan LPK dapat melanjutkan kembali program
pelatihan.
Pasal 26
Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama kurun
waktu 1 ( satu ) tahun terus menerus, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten /kota dapat mencabut izin LPK yang bersangkutan.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 27
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 28
(1). Pembinaan terhadap LPK dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten /kota.
(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap program pelatihan
kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, instruktur dan tenaga kepelatihan, penerapan
metode dan sistem pelatihan kerja serta manajemen LPK.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara penilaian kinerja LPK, formal tanda bukti
pendaftaran, surat keputusan penetapan perizinan, penambahan program, perpanjangan izin,
penghentian sementara pelaksanaan program, penghentian pelaksanaan program, pencabutan
izin dan sertifikat perizinan LPK, diatur oleh Direktur Jenderal.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 229/MEN/2003 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ERMAN SUPARNO
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
4. Laporan khusus adalah jenis naskah dinas yang dipersiapkan untuk Sidang Kabinet
(lengkap dan terbatas), Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian, Rapat Koordinasi
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan
Keamanan, Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR-RI,
Rapat Kerja dengan DPD-RI, dan bahan rapat rapat lainnya yang sejenis.
5. Penanggung jawab laporan adalah pejabat tertinggi pada unit kerja, instansi provinsi
dan instansi kabupaten/kota yang berkewajiban untuk melaporkan hasil
pelaksananaan tugas di lingkungan unit kerjanya.
6. Koordinator penyusun laporan adalah pejabat yang karena tugas dan fungsinya
berkewajiban dan bertanggungjawab melakukan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dengan sub unit kerja di lingkungan unit kerjanya atau unit kerja terkait.
7. Instansi Provinsi adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 2
Unit kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terdiri dari :
a. Sekretariat Jenderal;
b. Inspektorat Jenderal;
c. Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas;
d. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri;
e. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri;
f. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan;
g. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan;
h. Direktorat Jenderal Pembinaan Penyiapan Permukiman dan Penempatan
Transmigrasi;
i. Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi; dan
j. Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi.
BAB II
SISTEM PELAPORAN
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 3
(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. Laporan Departemen/Menteri;
3
b. Laporan Unit Kerja Eselon I;
c. Laporan Unit Kerja Eselon II;
d. Laporan Instansi Provinsi; dan
e. Laporan Instansi Kabupaten/Kota.
(3) Laporan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari:
a. Laporan Menteri pada Sidang Kabinet;
b. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian;
c. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat;
d. Laporan Menteri pada Rapat Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan;
dan
e. Laporan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Bagian Kedua
Materi
Pasal 4
(1) Materi laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf a, merupakan data dan informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di
bidang ketenagakerjaan dan/atau ketransmigrasian serta program kegiatan
pembangunan dan pelaksanaan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA),
dengan sumber dana dari APBN dan APBD, permasalahan dan upaya tindak
lanjut serta data lainnya yang diperlukan.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaporkan
merupakan data dan informasi yang sifatnya pokok sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini.
(3) Data dan informasi yang sifatnya lebih rinci diatur tersendiri oleh unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan
kebutuhan unit kerja yang bersangkutan.
Pasal 5
Materi laporan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b,
disesuaikan dengan agenda rapat koordinasi, sidang kabinet, rapat kerja, rapat dengar
pendapat, dan agenda lainnya sesuai kebutuhan.
Bagian Ketiga
Sistematika
Pasal 6
4
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.
b. Maksud dan Tujuan.
c. Sasaran.
d. Landasan Operasional.
BAB II : TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BAB III : RENCANA PROGRAM/KEGIATAN DAN ANGGARAN
a. Rencana Program/Kegiatan.
b. Pagu Anggaran.
BAB IV : PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN DAN HASIL-HASILNYA
a. Pelaksanaan Program/Kegiatan dan Hasilnya;
b. Realisasi Penyerapan Anggaran.
BAB V : PERMASALAHAN DAN UPAYA TINDAKLANJUT
BAB VI : HAL-HAL KHUSUS
BAB VII : PENUTUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
(2) Sistematika Laporan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
disesuaikan dengan agenda yang akan dibahas pada rapat koordinasi, sidang
kabinet, rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan DPR-RI dan/atau DPD-RI.
Bagian Keempat
Tata Cara dan Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 7
a. Laporan Departemen/Menteri
Menteri menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Presiden R.I
dengan tembusan kepada Wakil Presiden R.I, Menteri Koordinator dan Menteri
terkait dengan bidang tugas Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
5
d. Laporan Instansi Provinsi
Instansi Provinsi menyampaikan laporan pelaksanaan tugas setiap bulan/tahun
kepada gubernur yang bersangkutan dan Menteri, dengan tembusan kepada
Inspektur Jenderal, Ka.Balitfo dan Pejabat Eselon I terkait di lingkungan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
f. Laporan Khusus
Unit kerja Sekretariat Jenderal melakukan koordinasi dengan unit kerja eselon I
di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam penyiapan
bahan laporan khusus sesuai dengan agenda rapat koordinasi atau rapat kerja
dengan lembaga legislatif.
6
(3) Dalam keadaan tertentu rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf f dilakukan secara mendadak, dan waktu penyampaian laporan tergantung
permintaan dari Kantor Sekretaris Kabinet, Kantor Menko dan Sekretariat DPR-RI
atau DPD-RI.
Bagian Kelima
Koordinator dan Penyusun Laporan
Pasal 8
(1) Koordinator dan penyusun laporan pelaksanaan tugas diatur sebagai berikut :
a. Koordinator laporan Departemen/Menteri, yaitu Sekretaris Jenderal yang
penyusunannya dilaksanakan oleh Biro Perencanaan;
b. Koordinator laporan unit kerja Sekretariat Jenderal yaitu Kepala Biro
Perencanaan yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian
Evaluasi dan Pelaporan;
c. Koordinator laporan unit kerja Inspektorat Jenderal, yaitu Sekretaris Inspektorat
Jenderal, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program
Evaluasi dan Pelaporan;
d. Koordinator laporan unit kerja Direktorat Jenderal, yaitu Sekretaris Direktorat
Jenderal yang bersangkutan, yang penyusunannya dilaksanakan oleh unit
kerja Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan;
e. Koordinator laporan unit kerja Badan, yaitu Sekretaris Badan, yang
penyusunannya dilaksanakan oleh unit kerja Bagian Program Evaluasi dan
Pelaporan;
f. Koordinator laporan instansi provinsi, yaitu Kepala Bagian Tata Usaha instansi
provinsi yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk yang
penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan;
g. Koordinator laporan instansi kabupaten/kota adalah Kepala Bagian Tata Usaha
instansi kabupaten/kota yang bersangkutan atau pejabat lain yang ditunjuk
yang penyusunannya dilaksanakan oleh pejabat eselon IV yang melaksanakan
tugas dan fungsi di bidang pelaporan.
(2) Koordinator dan penyusun Laporan Khusus yaitu Sekretaris Jenderal dan/atau
pejabat lain yang setingkat di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi yang ditunjuk.
(3) Penyusun laporan di unit kerja Sekretariat Jenderal, yaitu unit kerja Biro
Perencanaan atau unit kerja eselon II di lingkungan Sekretariat Jenderal lainnya
yang ditunjuk.
(4) Penyusun laporan di unit kerja Inspektorat, Direktorat dan Badan, yaitu Sekretariat
Inspektorat Jenderal, Sekretariat Direktorat Jenderal, Sekretariat Badan atau
Pejabat Eselon II lainnya yang ditunjuk.
7
Bagian Keenam
Penanggungjawab
Pasal 9
BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 10
(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, dijadikan bahan evaluasi untuk melakukan penilaian terhadap instansi provinsi,
kabupaten/kota maupun unit kerja yang bersangkutan.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretaris Jenderal
dan hasilnya disampaikan kepada Menteri untuk tingkat departemen, gubernur
untuk laporan instansi provinsi, dan bupati/walikota untuk laporan instansi
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(5) Penilaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan salah satu
pertimbangan dalam penentuan program dan besarnya anggaran tahun
berikutnya.
8
BAB IV
PENUTUP
Pasal 11
(2) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
a, harus dilengkapi dengan data dan informasi perkembangan pelaksanaan
program/kegiatan dan data penting lainnya dalam periode waktu tertentu.
(3) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berpedoman
pada Lampiran Form Tabel-tabel beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.17/MEN/2002 tentang Sistem Pedoman Pelaporan
Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
ERMAN SUPARNO
9
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat tanggal 20
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen bulan berikutnya
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo
Ka.Badan) Pelaporan - Unit Kerja Eselon I
terkait
- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Eselon I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat tanggal 15
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen bulan berikutnya
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan
- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat tanggal 10
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo bulan berikutnya
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I
evaluasi dan terkait
pelaporan
- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat tanggal
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen 5 bulan berikutnya
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo
evaluasi dan - Unit Kerja Eselon I
pelaporan terkait
B. Tahunan
- Laporan Departemen/ - Menteri - Sekretaris Jenderal - Kepala Biro - Presiden - Menteri terkait - Paling lambat Minggu
Menteri Perencanaan - Unit Kerja Eselon I ke-2 bulan Maret pada
terkait tahun berikutnya
JANGKA PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
No. JENIS LAPORAN KOORDINATOR PENYUSUN TEMBUSAN
WAKTU JAWAB KEPADA PENYAMPAIAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
- Laporan unit kerja - Para Pejabat - Para Ses, Karocan - Kabag Evaluasi dan - Menteri - Sekjen - Paling lambat Minggu
eselon I eselon I (Dirjen, Pelaporan, Kabag - Itjen ke-4 bulan Februari
Sekjen, Irjen, Program Evaluasi dan - Balitfo pada tahun berikutnya
Ka.Badan) Pelaporan
- Unit Kerja Eselon I
terkait
- Laporan unit kerja - Pejabat eselon II - Para Kabag/Kabid - Kasubbag Tata - Pejabat Es I - Karocan, Sesditjen/ - Paling lambat Minggu
eselon II yang membawahi Usaha/Kasubbag Sesbadan/Sesitjen ke-2 bulan Februari
Subbag Tata Usaha/ Evaluasi dan pada tahun berikutnya
Subbag Evaluasi dan Pelaporan
Pelaporan
- Instansi Provinsi - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Menteri - Itjen - Paling lambat Minggu
Provinsi yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Gubernur - Balitfo ke-4 bulan Januari pada
fungsi di bidang - Unit Kerja Eselon I tahun berikutnya
evaluasi dan terkait
pelaporan
- Instansi Kabupaten/Kota - Kepala Instansi - Kabag TU/Pejabat - Pejabat eselon IV yang - Bupati/Walikota - Menteri - Paling lambat Minggu
Kabupaten/Kota yang ditunjuk mempunyai tugas dan - Kepala Instansi - Itjen ke-2 bulan Januari pada
fungsi di bidang Provinsi - Balitfo tahun berikutnya
evaluasi dan
- Unit Kerja Eselon I
pelaporan
terkait
II. Laporan Khusus - Sesuai agenda rapat - Menteri - Sekretaris Jenderal - Karocan/Para Ses - Presiden - Menko yang terkait Sesuai agenda rapat
- Menko
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MEKANISME LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS
P SEKJEN, PRESIDEN
U SES.DITJEN/DIREKTUR/
KASUBDIT/ DIRJEN, MENTERI
S KABAG KEPALA BIRO/KAPUS/
KEPALA BADAN, LAPORAN BULANAN/TAHUNAN
A SES.BADAN/SES.ITJEN
T IRJEN
SIDANG KABINET
RAKOR PEREKONOMIAN
D KEPALA INSTANSI RAKOR KESRA
GUBERNUR
A PROVINSI RAKOR POLHUKAM
E
Dana Dekonsentrasi + Tugas Pembantuan
R BAHAN RAKER DPR-RI
A
KEPALA INSTANSI BUPATI/WALIKOTA
H
KAB/KOTA
Dana Tugas Pembantuan
Ditetapkan di Jakarta
Keterangan: Pada tanggal 1 Desember 2006
Langsung MENTERI
Tembusan
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TTD
ERMAN SUPARNO
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER. 33A/MEN/XII/2006
TENTANG
SISTEM PELAPORAN
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
PETUNJUK PENGISIAN
FORM TABEL BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
1
3. Form Tabel A.3
2. Form Tabel B. 2
5
3. Form Tabel B.3
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2006
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
ERMAN SUPARNO
8
FORM : A.1
IZIN MEMPERKERJAKAN TENAGA ASING
MENURUT JABATAN, SUB SEKTOR, KEWARGANEGARAAN DAN LOKASI KERJA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
A. MENURUT JABATAN
1. Pimpinan
2. Profesional
3. Supervisor
4. Teknisi/Operator
5. Lain-lainnya
B. SUB SEKTOR
1. Perindustrian dan Perdagangan
- Industri Kimia
- Aneka Industri
- Industri Logam Mesin Elektro dan Aneka Perdagangan
2. Pertanian
- Pertanian
- Peternakan
3. Kehutanan
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
4. Kelautan dan Perikanan
- PBL Perikanan Tangkap
- PBL Perikanan Budidaya
5. Pertambangan dan Sumber Daya Mineral
- Pertambangan Umum
- Migas
- Listrik
6. Kesehatan
7. Perhubungan dan Telekomunikasi
- Perhubungan Darat
- Perhubungan Laut
- Perhubungan Udara
- Telekomunikasi
8. Pemukiman dan Prasarana Wilayah
9. Kebudayaan dan Pariwisata
- Hotel dan Rumah Makan
- Jasa Hiburan dan Kebudayaan
10. Agama
11. Keuangan
- Moneter
- Perbankan
- Asuransi
12. Sosial Kemasyarakatan
13. Pendidikan
14. Penerangan
15. Lembaga/Instansi Pemerintah
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
I Z I N
No. KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU S.D BULAN INI BULAN LALU S.D BULAN INI
1 2 3 4 5 6
C. KEWARGANEGARAAN
D. LOKASI KERJA
J U M L A H
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.2
KEBUTUHAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DIBUTUHKAN
NAMA PERUSAHAAN SEKTOR/ JABATAN YANG
No. DAERAH UMUM PENYANDANG CACAT JUMLAH
BADAN HUKUM SUB SEKTOR DIBUTUHKAN
ASAL TUJUAN L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JUMLAH
Keterangan : SPP : Surat Penerbitan Penempatan; L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.3
REALISASI PENEMPATAN TENAGA KERJA AKAD
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TENAGA KERJA YANG DITEMPATKAN
KABUPATEN/KOTA/ LOKASI DAERAH NAMA
No. SEKTOR UMUM PENYANDANG CACAT
KECAMATAN KERJA ASAL PERUSAHAAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 s.d. 6 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.4
TARGET DAN REALISASI PROGRAM PERLUASAN DAN
PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KEGIATAN PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KEGIATAN PENEMPATAN
KABUPATEN/KOTA/ KESEMPATAN KERJA TENAGA KERJA
No.
KECAMATAN TKPMP TKMT TKS WUB TTG PK JML AKAD AKL AKSUS JML
T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; TKPMP : Tenaga Kerja Mandiiri Profesional; TKMT : Tenaga Kerja Mandiri Terampil;
TKS : Tenaga Kerja Sukarela; WUB : Wira Usaha Baru; TTG : Teknologi Tepat Guna; PK : Padat Karya; .............., .................
AKAD : Antar Kerja Antar Daerah; AKL : Antar Kerja Lokal; AKSUS : Angkatan Kerja Khusus Kepala Dinas/Kantor/Instansi
(Penyandang Cacat atau Lanjut Usia); Data kumulatif dari bulan Januari Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.5
TARGET DAN REALISASI PELAKSANAAN KEGIATAN
PROGRAM PERLUASAN DAN PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA
MELALUI DANA DEKONSENTRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
F I S I K
No. K E G I A T A N TARGET REALISASI
(ORANG) (ORANG)
1 2 3 4
JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.6
DATA PELAKSANAAN REKRUT CALON TENAGA KERJA INDONESIA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
NEGARA DAERAH FORMAL NON FORMAL
No. TOTAL NAMA PPTKIS
PENEMPATAN ASAL TKI LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
JUMLAH
Keterangan : PPTKIS : Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 dan 5 tidak diisi (tanda blok); data rekrut calon TKI berarti pekerja belum ditempatkan namun sudah resmi terdaftar .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM A.7
LAPORAN KEBERANGKATAN DAN KEPULANGAN TKI
BULAN/TAHUN : …………
DINAS PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
FORMAL NON FORMAL
No. NEGARA PPTKIS JUMLAH JUMLAH TOTAL ALASAN KEPULANGAN
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
A. Keberangkatan
Jumlah Keberangkatan
B. Kepulangan
Jumlah Kepulangan
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan khusus pada kolom 3 dan 11, pada keberangkatan tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.8
LAPORAN TENAGA KERJA INDONESIA PURNA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KABUPATEN/KOTA NEGARA JENIS KELAMIN JENIS USAHA TKI PURNA
No. JUMLAH
DAERAH ASALTKI PENEMPATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN USAHA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda di blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.9
WAJIB LAPOR PERUSAHAAN DAN SYARAT-SYARAT KERJA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH PEKERJA SYARAT-SYARAT KERJA
SKALA JUMLAH
No. KAB/KOTA/KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH PP PKB
PERUSAHAAN PERUSAHAAN
SWASTA BUMN JUMLAH SWASTA BUMN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
JUMLAH
Keterangan : PP : Peraturan Perusahaan; BUMN : Badan Usaha Milik Negara; PKB : Perjanjian Kerja Bersama
Skala Usaha : Perusahaan Kecil : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 orang .............., .................
Perusahaan Menengah : jumlah tenaga kerja kurang dari 25 s.d. 49 orang Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Perusahaan Sedang : jumlah tenaga kerja kurang dari 50 s.d. 99 orang Provinsi/Kabupaten/Kota
Perusahaan Besar : jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang
Data kumulatif dari bulan Januari
Jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) ...................................
FORM : A.10
PEMOGOKAN/UNJUK RASA
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH
TUNTUTAN
KABUPATEN/KOTA/ YANG TERLIBAT JAM KERJA
No. SEKTOR KASUS
KECAMATAN YANG HILANG NON
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH NORMATIF
NORMATIF
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.11
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
KASUS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PROSES PENYELESAIAN MEDIATOR YANG MENANGANI
KECAMATAN KASUS
KASUS DALAM PROSES SELESAI
1 2 3 4 5 6 7
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari dan jumlah kolom 3 dan 7 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.12
PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
KABUPATEN/KOTA/
No. JUMLAH PEKERJA YANG TER PHK
KECAMATAN ALASAN PHK
PERKARA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7
JUMLAH
Keterangan : PHK : Pemutusan Hubungan Kerja; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.13
FEDERASI SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH SP/SB, FEDERASI SP/SB, KONFEDERASI SP/SB
No. KABUPATEN/KOTA/KECAMATAN
SP/SB FEDERASI SP/SB KONFEDERASI SP/SB
1 2 3 4 5
JUMLAH
Keterangan : SP : Serikat Pekerja; SB : Serikat Buruh; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : A.14
REALISASI KEGIATAN PELATIHAN DAN
PRODUKTIVITAS DI UPTP DAN UPTD
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH REALISASI REALISASI WIRAUSAHA (USAHA
No. UNIT KERJA JENIS PELATIHAN JENIS KEJURUAN PESERTA KELULUSAN PENEMPATAN MANDIRI)
TARGET REALISASI L P L P L P
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A. BLK/LLK - Institusional
- Non Institusional
B. BPPD - Institusional
- Non Institusional
C. BALATRANS
JUMLAH
Keterangan : L : Laki-laki; P : Perempuan; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 3 dan 4 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.1
PENGERAHAN DAN PENEMPATAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
JUMLAH
JUMLAH JUMLAH JUMLAH DAERAH TUJUAN PENEMPATAN
PENEMPATAN
No. KABUPATEN/KOTA ANIMO PENDAFTAR TERSELEKSI
KABUPATEN/KOTA
(KK) (KK) (KK) (KK) (JIWA) PROVINSI
NAMA *) KK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : KK : Kepala Keluarga; *) Nama Kabupaten/Kota; Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 8 dan 9 tidak diisi (tanda blok)
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.2
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PENYIAPAN PERMUKIMAN DAN SIAP TERIMA PENEMPATAN (STP)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI :
PEMBUKAAN LAHAN SARANA AIR FASILITAS SIAP TERIMA
RTJK
PROGRAM LP LU.I BERSIH UMUM PENEMPATAN
No. KABUPATEN/LOKASI POLA
(L/M/C) T R T R T R T R T R T R
(KK) (KK) (Ha) (Ha) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (UNIT) (KK) (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
JUMLAH
Keterangan : L : Luncuran; M : Murni; C : Cicilan; T : Target; R : Realisasi; LP : Lahan Pekarangan
LU.I : Lahan Usaha I; LU.II : Lahan Usaha II; RTJK : Rumah Trans dan Jamban Keluarga .............., .................
KK : Kepala Keluarga; Data kumulatif dari bulan Januari Kepala Dinas/Kantor/Instansi
jumlah pada kolom 4 tidak diisi (tanda blok) Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.3
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PRASARANA PERMUKIMAN
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI :
PEMBANGUNAN JALAN/GORONG-GORONG PEMBANGUNAN JEMBATAN
JALAN JALAN GORONG2 GORONG2 SEMI DRAINASE DERMAGA
KABUPATEN/ KAYU NON STANDAR
No. PHB/PRS DESA @ 80 Cm @ 60 Cm PERMANEN
LOKASI/UPT
T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(Km) (%) (Km) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (Unit) (%) (Unit) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
JUMLAH
Keterangan : T : Target; R : Realisasi; PHB/PRS: Penghubung/Poros; Data kumulatif dari bulan Januari
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.4
PERKEMBANGAN PENEMPATAN TRANSMIGRAN (PTB)
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET REALISASI PENEMPATAN (KK) JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI/UPT PENEMPATAN TPA PENEMPATAN
TPS
(KK) DKI JABAR BANTEN JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT LAIN-LAIN JUMLAH (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
JUMLAH
Keterangan : TPS : Transmigrasi Penduduk Setempat; TPA : Transmigrasi Penduduk Daerah Asal
Data kumulatif dari bulan Januari .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : B.5
DATA PERKEMBANGAN MASYARAKAT BINAAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
PTB PTA (KK)
POLA REALISASI T+2 T+3 T+4 T+5 T>5 JUMLAH
No. KABUPATEN/LOKASI TARGET
USAHA JIWA
(KK) KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK JIWA KK UPT
L P JML
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
JUMLAH
Keterangan : PTB : Pemukiman Transmigrasi Baru; PTA : Pemberdayaan Transmigran yang telah Ada
KK : Kepala Keluarga; UPT : Unit Pemukiman Transmigrasi; L : Laki-laki; P : Perempuan .............., .................
jumlah pada kolom 3 tidak diisi (tanda blok) Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : C.1
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. DEPARTEMEN/LEMBAGA :
B. UNIT ORGANISASI :
C. KANTOR/SATKER :
D. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A. APBN
1. Dekonsentrasi
- Program xx
- Program xy
2. Tugas Pembantuan
- Program xx
- Program xy
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran
...................................
FORM : C.2
LAPORAN REALISASI ANGGARAN DAN KEGIATAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
TAHUN ANGGARAN : ……………………
A. KANTOR/SATKER :
B. BULAN LAPORAN :
PAGU DIPA (Rp.) REALISASI S/D BULAN INI
PERMASALAHAN/
No. PROGRAM/KEGIATAN SETELAH VOLUME KEUANGAN FISIK
AWAL % % HAMBATAN
REVISI (Rp.) (SATUAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : Data kumulatif dari bulan Januari; jumlah pada kolom 5 tidak diisi (tanda blok)
Program xx dan xy adalah program yang terdapat pada DIPA .............., .................
Kuasa Pengguna Anggaran
...................................
FORM : C.3
KEMAJUAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG, PEMILIHAN LANGSUNG DAN PELELANGAN
TAHUN ANGGARAN : ……………………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
TARGET KEGIATAN REALISASI PENGADAAN
SESUAI DIPA JENIS
MEDIA
No. PAKET PEKERJAAN PENGADAAN BIAYA NAMA KUALIFIKASI
BIAYA PENGUMUMAN VOLUME
VOLUME P/PL (Rp.000) PIHAK III GOLONGAN
(Rp.000)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
JUMLAH
Keterangan : P : Pelelangan; PL : Penunjukan/Pemilihan Langsung; Data kumulatif dari bulan Januari
jumlah pada kolom 3, 5, 6, 7, 9, 10 tidak diisi (tanda blok) .............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
FORM : C.4
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
BULAN/TAHUN : …………
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA :
USULAN DAERAH
No. PROGRAM URAIAN MASALAH UPAYA TINDAK LANJUT
PENYELESAIAN DI PUSAT
1 2 3 4 5
7. Program Lainnya
.............., .................
Kepala Dinas/Kantor/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
...................................
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBIK INDONESIA
NOMOR : PER. 07/MEN/IV/2008
TENTANG
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Penempatan tenaga kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja untuk
memperoleh pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan kerja sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuan.
2. Antar Kerja adalah suatu sistem yang meliputi pelayanan informasi pasar kerja,
penyuluhan dan bimbingan jabatan, dan perantaraan kerja.
3. Antar Kerja Lokal yang selanjutnya disebut AKL adalah penempatan tenaga kerja
antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
4. Antar Kerja Antar Daerah yang selanjutnya disebut AKAD adalah penempatan
tenaga kerja antar p rovinsi dalam wilayah Republik Indonesia.
5. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disebut AKAN adalah penempatan
tenaga kerja di luar negeri.
6. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah.
2
7. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP adalah izin yang diberikan
Pemerintah kepada pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta untuk
merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu dan untuk
dipekerjakan pada calon pengguna/pemberi kerja tertentu dalam jangka waktu
tertentu.
9. Pencari kerja adalah angkatan kerja yang sedang menganggur dan mencari
pekerjaan maupun yang sudah bekerja tetapi ingin pindah atau alih pekerjaan
dengan mendaftarkan diri kepada pelaksana penempatan tenaga kerja atau secara
langsung melamar pekerjaan kepada pemberi kerja.
10. Informasi Pasar Kerja yang selanjutnya disebut IPK adalah keterangan mengenai
karakteristik kebutuhan dan persediaan tenaga kerja.
11. Penyuluhan Jabatan adalah kegiatan pemberian informasi tentang jabatan dan
dunia kerja kepada pencari kerja dan/atau masyarakat.
12. Bimbingan Jabatan adalah proses membantu seseorang untuk mengetahui dan
memahami gambaran tentang potensi diri dan dunia kerja, untuk memilih bidang
pekerjaan dan karir yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
13. Bursa kerja adalah tempat pelayanan kegiatan penempatan tenaga kerja .
14. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan melakukan
kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk .
15. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang antar kerja
dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan antar
kerja.
16. Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta yang selanjutnya disingkat LPTKS
adalah lembaga swasta berbadan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja.
17. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disingkat
PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh ijin tertulis dari Menteri untuk
menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi penempatan tenaga
kerja.
Pasal 2
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dalam satu kesatuan pasar kerja nasional.
3
BAB II
PELAKSANA PENEMPATAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Pelaksana
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a , terdiri dari:
a. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di pusat;
b. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi;
c. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. merumuskan kebijakan di bidang penempatan tenaga kerja AKL, AKAD dan
AKAN;
b. merumuskan kebijakan dan pemberian SIP ;
c. pemberian SPP lintas provinsi;
d. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian LPTKS lintas provinsi;
e. merumuskan kebijakan dan pemberian ijin pendirian PPTKIS ;
f. pencarian dan penyebarluasan lowongan pekerjaan di luar negeri;
g. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala nasional;
h. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja secara nasional
dan internasional;
i. pelayanan informasi pasar kerja skala nasional;
j. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala nasional;
k. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala nasional;
l. merumuskan kebijakan dan melaksanakan pengendalian penggunaan tenaga
kerja asing.
(3) Pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mempunyai
fungsi dan tugas meliputi:
a. pemberian ijin dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta skala
provinsi;
b. pemberian SPP lintas kabupaten/kota skala provinsi;
c. pembinaan pengantar kerja dan petugas antar kerja skala provinsi;
d. supervisi dan pengendalian pelaksanaan antar kerja skala provinsi;
e. penyebarluasan lowongan kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
4
f. bertindak sebagai pusat kliring permintaan dan penawaran tenaga kerja
dari/kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota di wilayah kerjanya;
g. mengolah dan menganalisis hasil kegiatan antar kerja skala provinsi;
h. pelayanan informasi pasar kerja skala provinsi;
i. pembinaan dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala provinsi;
j. menyusun proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala provinsi;
k. menyusun sistem dan penyebarluasan IPK skala provinsi;
l. melakukan pembinaan jabatan fungsional pengantar kerja dan petugas antar
kerja skala provinsi;
m. pengendalian penggunaan tenaga kerja asing.
Pasal 6
(1) Lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
adalah lembaga penempatan tenaga kerja swasta wajib memiliki ijin tertulis.
(2) Untuk memperoleh ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga swasta
berbadan hukum harus mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan:
a. copy akte pendirian dan/atau akte perubahan badan hukum yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. copy surat keterangan domisili perusahaan;
c. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun
1981 yang masih berlaku;
e. copy anggaran dasar yang memuat kegiatan yang bergerak di bidang jasa
penempatan tenaga kerja;
f. copy sertifikat hak kepemilikan tanah berikut bangunan kantor atau perjanjian
kontrak minimal 5 (lima) tahun yang dikuatkan dengan akte no taris;
g. bagan struktur organisasi dan personil;
h. rencana kerja lembaga penempatan tenaga kerja minimal 1 (satu) tahun;
i. pas foto pimpinan perusahaan berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga)
lembar;
j. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan.
Pasal 7
Pasal 8
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dilakukan verifikasi
oleh tim yang dibentuk oleh:
a. Direktur Jenderal untuk ijin yang berskala nasional;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
untuk ijin yang berskala provinsi;
c. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota .
(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
harus sudah selesai dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan.
(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota menolak permohonan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak hasil verifikasi.
(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, Direktur
Jenderal ata u kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, harus mengeluarkan surat ijin usaha LPTKS dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah selesainya verifikasi.
Pasal 9
Surat Ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), diberikan untuk jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun.
Pasal 10
(1) Permohona n perpanjangan surat ijin usaha LPTKS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir
masa berlakunya.
(2) Dalam hal LPTKS tidak memperpanjang surat ijin usahanya, maka LPTKS yang
bersangkutan wajib mengembalikan surat ijin tersebut kepada Direktur Jenderal
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
Pasal 11
(1) Permohonan perpanjangan surat ijin usaha LPTKS diajukan secara tertulis dan
bermaterai cukup dengan melampirkan:
a. copy surat ijin LPTKS yang masih berlaku; 6
b. bukti penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal atau kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam
bentuk rekapitulasi penempatan;
c. rencana penempatan tenaga kerja yang akan datang sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun;
d. copy bukti kepemilikan sarana dan prasarana kantor serta peralatan kantor,
atau bukti surat perjanjian sewa kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun;
e. pas foto penanggung jawab berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak 3 (tiga)
lembar.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Direktur Jenderal atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) LPTKS yang mengajukan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak dalam kondisi dijatuhi hukuman dan/atau kena sanksi.
Pasal 12
(1) Dalam hal permoho nan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dinyatakan lengkap maka ijin perpanjangan LPTKS diterbitkan oleh Direktur
Jenderal untuk skala nasional, atau kepala insta nsi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang berskala provinsi, atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk
ijin yang berskala kabupaten/kota.
(2) Ijin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima.
Pasal 13
Dalam hal terjadi perubahan nama perusahaan, alamat, dan direksi atau komisaris,
LPTKS harus menyampaikan perubahan surat ijin kepada Direktur Jenderal atau kepala
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan provinsi untuk ijin yang
berskala provinsi, atau kepala instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota untuk ijin yang berskala kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, dapat memungut biaya
penempatan dari pengguna dan dari tenaga kerja untuk golongan dan jabatan
tertentu.
(2) Golongan dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Selain pelayanan penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah dan
lembaga swasta berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
7
pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan di lembaga satuan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dan pelatihan.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pela yanan penempatan
khusus bagi para lulusan, para siswa yang putus sekolah dan siswa yang masih
aktif.
(3) Lembaga yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disebut bursa kerja khusus harus menyampaikan laporan kegiatan penempatan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
Pasal 16
Selain kegiatan pelayanan penempatan bagi pencari kerja dengan pemberi kerja yang
dilakukan oleh LPTKIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan bursa kerja khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, pameran kesempatan kerja antara pencari
kerja dan pemberi kerja dapat juga dilakukan oleh badan hukum lainnya.
Pasal 17
Pasal 18
Bagian Kedua
Fungsi dan Tugas Pelaksana Penempatan
Pasal 19
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta dapat melaksanakan sebagian fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 20
(1) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a , mempunyai tugas:
8
a. mengumpulkan, mengolah dan menyusun data IPK;
b. menganalisis pasar kerja;
c. menyajikan dan menyebarluaskan IPK.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b , mempunyai tugas:
d. melakukan penyuluhan jabatan;
e. memberikan bimbingan jabatan;
f. melaksanakan konseling kepada pencari kerja ;
g. melaksanakan analisis jabatan.
(3) Dalam melaksanakan fungsi pelayanan perantaraan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c, mempunyai tugas :
a. melaksanakan pelayanan kepada pencari kerja;
b. melaksanakan pelayanan kepada pemberi kerja;
c. melaksanakan pencarian lowongan pekerjaan;
d. melakukan pencocokan antara pencari kerja dengan lowongan pekerjaan;
e. melaksanakan penempatan tenaga kerja ;
f. melaksanakan tindak lanjut penempatan tenaga kerja ;
g. membuat dan melaporkan penempatan tenaga kerja secara berkala.
Bagian Ketiga
Petugas Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
BAB III
MEKANISME PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Pelayanan Kepada Pencari Kerja
Pasal 24
9
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja dapat dilakukan secara manual dan/atau
sistem daring (on-line system).
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja melalui sistem daring (on-line system)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terintegrasi dalam satu sistem
pelayanan penempatan tenaga kerja nasional.
Pasal 25
(1) Pencari kerja yang akan bekerja di dalam atau di luar negeri wajib dilayanani oleh
pengantar kerja di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(2) Pencari kerja yang dilayani sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
menyerahkan fas foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
memperlihatkan:
a. kartu tanda penduduk yang masih berlaku;
b. copy ijazah pendidikan terakhir bagi yang memiliki;
c. copy sertifikat keterampilan bagi yang memiliki; dan
d. copy surat keterangan pengalaman kerja bagi yang memiliki.
(3) Pencari kerja yang telah memperoleh pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I).
(4) Pengantar kerja wajib melakukan pengisian data pencari kerja (AK/II) melalui
wawancara langsung untuk mengetahui bakat, minat, dan kemampuannya.
(5) Kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), berlaku selama 2 (dua) tahun dengan keharusan melapor selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sekali terhitung sejak tanggal pendaftaran bagi pencari
kerja yang belum mendapat pekerjaan.
(6) Pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), yang telah mendapatkan
pekerjaan wajib melaporkan bahwa yang bersangkutan telah diterima bekerja
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
Pasal 26
(1) Dalam hal pencari kerja yang telah mendaftar melalui sistem daring (on-line
system) maka pencari kerja yang bersangkutan dapat memperoleh Kartu Tanda
Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) di instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dimana pencari kerja berada dengan
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan penempatan tenaga kerja melalui
sistem daring (on-line system ) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.
Pasal 27
Kartu Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) berlaku nasional.
10
Bagian Kedua
Pelayanan Kepada Pemberi Kerja
Pasal 28
(1) Pemberi kerja yang membutuhkan tenaga kerja wajib menyampaikan informasi
adanya lowongan pekerjaan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2) Informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat :
a. jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan;
b. jenis pekerjaan, jabatan dan syarat-syarat jabatan yang digolongkan dalam
jenis kelamin, usia, pendidikan, keterampilan/keahlian, pengalaman kerja, dan
syarat-syarat lain yang diperlukan.
(3) Pengantar kerja atau petugas antar kerja pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah mencari dan/atau menerima
informasi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
mencatat dalam daftar isian permintaan tenaga kerja (AK/III) dan menerbitkan bukti
lapor lowongan pekerjaan.
Pasal 29
(1) Untuk mengisi lowongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
wajib memenuhi lowongan pekerjaan sesuai data pencari kerja yang terdaftar
(AK/II).
(2) Dalam hal pencari kerja memenuhi persyaratan jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota wajib melakukan pemanggilan kepada pencari
kerja dengan menggunakan kartu antar kerja (AK/IV).
Pasal 30
Bentuk dan format kartu tanda bukti pendaftaran pencari kerja (AK/I), kartu data pencari
kerja (AK/II), kartu permintaan tenaga kerja (AK/III), kartu pemanggilan calon tenaga
kerja (AK/IV) dan surat pengantar dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kepada pemberi kerja (AK/V) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini.
BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
11
Pasal 31
(1) Pelayanan penempatan tenaga kerja menurut lokasi kerja di bagi berdasarkan :
a. Penempatan tenaga kerja lokal;
b. Penempatan tenaga kerja antar daerah;
c. Penempatan tenaga kerja antar negara.
(2) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.
(3) Tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 32
(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja yang akan menempatkan tenaga kerja melalui
AKAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, harus memiliki SPP
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
LPTKS harus mengajukan :
a. surat permintaan dan rencana kebutuhan tenaga kerja dari pemberi kerja;
b. rancangan perjanjian kerja antara calon tenaga kerja dengan pemberi kerja ;
c. perjanjian penempatan tenaga kerja antara calon tenaga kerja dengan LPTKS;
d. rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
di kabupaten/kota daerah penerima bagi penempatan tenaga kerja.
(4) Dalam hal penempatan tenaga kerja dilakukan oleh pemberi kerja, maka harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b dan
huruf d.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 33
(1) LPTKS dan/atau pemberi kerja, serta lembaga di satuan pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, dan pelatihan wajib menyampaikan laporan mengenai data
penempatan tenaga kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 35
Pasal 36
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 37
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 38
(1) Menteri atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
provinsi atau kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan
dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 33 ayat (1).
Pasal 39
Pasal 40
(1) LPTKS yang telah memiliki ijin penempatan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, paling
lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Apabila LPTKS dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan
Menteri ini, ijin LPTKS yang bersangkutan dicabut oleh Menteri.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pasal 42
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
14
KEPUTUSAN dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama ;
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
NOMOR; KEP.92/MEN /VI/2004
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TENTANG TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGANGKATAN DAN
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MEDIATOR PEMBERHENTIAN MEDIATOR SERTA TATA
SERTA TATA KERJA MEDIAS KERJA MEDIASI.
BAB II
SYARAT - SYARAT MEDIATOR 2). Pengajuan usul sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) dilengkapi dengan :
a. Copy ijazah pendidikan Strata Satu ( S1 ) ;
Pasal 3 b. Copy SK pangkat terakhir ;
1). Untuk menjadi mediator, seseorang harus memenuhi persyaratan yaitu :
c. Copy SK penempatan atau SK penugasan pada unit kerja yang
a. Pegawai Negeri Sipil pada instansi/dinas yang bertanggung jawab di membidangi hubungan industrial ;
bidang ketenagakerjaan ;
d. Copy sertifikat pendidikan tehnis hubungan industrial dan syarat kerja ;
b. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
e. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter ;
c. Warga negara Indonesia ;
f. Foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm 2 ( dua ) lembar ;
d. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter ;
g. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai 2 ( dua ) tahun terakhir.
e. Menguasai peraturan perundang - undangan dibidang ketenagakerjaan :
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela ; Pasal 5
g. Berpendidikan sekurang - kurangnya Strata Satu (S1) ; dan Di dalam kartu legitimasi dicantumkan wilayah kerja sesuai dengan wilayah
h. Memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. kerja instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
mengusulkan.
Pasal 10
BAB V
TUGAS KEWAJIBAN DAN WEWENANG MEDIATOR Mediator berkedudukan di :
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ;
Pasal 7 b. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk Provinsi ;
menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
c. Kantor / Dinas / Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
Kabupaten / Kota.
perusahaan.
Pasal 8 Pasal 11
(1). Mediator mempunyai kewajiban (1). Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
a. Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan Transmigrasi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang
yang diperlukan ; terjadi lebih dari satu wilayah Provinsi.
b. Mengatur dan memimpin mediasi ; (2). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
c. Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai
industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota.
d. Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan ;
(3). Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang
e. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan
f. Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota tempat
pekerja / buruh bekerja.
(2). Bentuk risalah, laporan dan tata cara pelaporan sebagaimanan dimaksud (4). Dalam hal satu wilayah kerja Kabupaten / Kota tidak mempunyai mediator
dalam ayat (1) huruf e dan huruf f diatur dengan Keputusan Direktur atau mediator yang ada tidak mencukupi jumlahnya, maka untuk
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, kepala instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang
bersangkutan dapat meminta bantuan tenaga mediator kepada kepala instansi telah ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang terdekat dalam 1 Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani
(satu) Provinsi. untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran ;
h. Membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan
Pasal 12 industrial.
Dalam hal perselisihan menimbulkan dampak yang mempengaruhi kepentingan (2). Dalam hal salah satu pihak atau para pihak mengunakan jasa kuasa hukum
nasional, maka Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mengambil langkah dalam sidang mediasi, maka pihak yang menggunakan jasa hukum tersebut
penyelesaian, berkordinasi dengan Kepala Daerah setempat. harus tetap hadir.
(3). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka permohonan
Pasal 13
tersebut dihapus dari buku perselisihan.
Dalam hal perselisihan hubungan industrial menyangkut mengenai perundingan
(4). Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu
Perjanjian Kerja Bersama yang tidak dapat mencapai kesepakatan pada tingkat
penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka mediator
mediasi di Kabupaten / Kota atau Provinsi, maka berdasarkan kesepakatan para
mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data - data yang ada.
pihak, perselisihan dapat disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk mendapatkan langkah - langkah penyelesaian. (5). Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis maka para
pihak dianggap menolak anjuran, mediator mencatat dalam buku
perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan
BAB VII melaporkan kepada pejabat yang memberi penugasan.
KEDUDUKAN MEDIATOR (6). Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya secara tertulis,
maka mediator membantu pembuatan perjanjian bersama secara tertulis
Pasal 14 selambat - lambatnya 3 (3) hari kerja sejak anjuran disetujui para pihak yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak dan mediator sebagai saksi.
(1). Segera setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator
harus : (7). Anjuran tertulis mediator memuat :
a. Melakukan penelitian berkas perselisihan; a. Keterangan pekerja / buruh atau keterangan serikat pekerja / serikat
buruh;
b. Melakukan sidang mediasi paling lambat 7 ( tujuh hari kerja setelah
menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ; b. Keterangan pengusaha ;
c. Mencapai para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang c. Keterangan saksi / saksi ahli apabila ada ;
denganmempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang mediasi d. Pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator ;
dapat dilaksanakan selambat - lambatnya 7 (hari) kerja sejak menerima e. Isi anjuran.
pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ;
(8). Dalam hal mediator mengeluarkan anjuran dengan mempertimbangkan
d. Melaksakan sidang mediasi dengan mengupayakan penyelesaian secara keterangan yang harus dirahasiakan menurut permintaan pemberi
musyawarah untuk mufakat ; keterangan, maka dalam anjuran mediator cukup menyatakan kesimpulan
e. Mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila berdasarkan keterangan yang harus dirahasiakan dalam pertimbangannya.
penyelesaian tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambat - (9). Dalam hal diperlukan, mediator dapat melakukan dengan pegawai pengawas
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang pertama ; ketenaga kerjaan.
f. Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai
kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh mediator ;
g. Memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersana yang
Pasal 15 diakibatkan dari kelalaian mediator maka atasan langsung mediator
Penyelesaian melalui mediasi sebagaina dimaksud dalam Pasal 14 harus sudah menjatuhkan lisan.
selesai dalam waktu selambat - lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya pelimpahan penyelesaian perselisihan. Pasal 19
(1). Teguran lisan dilakukan setiap kali mediator tidak dapat menyelesaikan
Pasal 16 tugas dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari kerja.
(1). Dalam hal instansi yang bertangung jawabdi bidang ketenagakerjaan (2). Teguran tertulis diberikan setelah melalui teguran lisan sebanyak 3 ( tiga )
menerima pemberitahuan pemogokan atau penutupan perusahaan, maka atas kali.
penunjukan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang (3). Pemberhentian sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis
ketenagakerjaan mediator segera mengupayakan penyelesaian dengan sebanyak 3 ( tiga ) kali.
mempertemukan para pihak untuk melakukan musyawarah agar tidak terjadi
pemogokan atau penutupan perusahaan.
Pasal 20
(2). Dalam hal musyawarah untuk menghentikan pemogokan atau penutupan
perusahaan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan mengacu kepada (1). Pemberhentian sementara sebagai mediator berlaku untuk jangka waktu
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14. selama 2 (dua) bulan.
(2). Pemberhentian sementara dilakukan dengan kartu legitimasi oleh kepala
instansi tempat kedudukan mediator yang bersangkutan.
BAB VIII
(3). Selama pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
PENCABUTAN LEGITIMASI MEDIATOR
mediator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan.
Pasal 17
Pasal 21
(1). Pemberhentian mediator dilakukan dengan pencabutan legitimasi oleh
(1). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara
Menteri.
pertama, maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian
(2). Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilakukan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan pemberhentian
karena : sementara yang kedua.
a. Meninggal dunia ; (2). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara kedua,
b. Permintaan sendiri ; maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali
c. Memasuki usia pensiun ; sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikenakan pemberhentian sementara
yang ketiga.
d. Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ;
e. Tidak bertugas lagi pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Pasal 22
f. Telah dikenakan pemberhetian sementara sebanyak 3 ( tiga ) kali. (1). Sebelum mediator dikenakan pemberhentian tetap, maka yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14 ( empat belas ) hari
kerja sejak tanggal penerimaan pemberhentian sementara yang ketiga.
Pasal 18
(2). Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai berikut :
(1). Dalam hal mediator dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 30 (tiga puluh )
a. Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan
hari kerja maka atasan langsung mediator harus meneliti sebab - sebab tidak
Transmigrasi pembelaan diri dilakukan dihadapan Direktur Jenderal
selesainya perselisihan.
Pembinaan Hubungan Industrial
(2). Dalam hal sebab - sebab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata
b. Mediator yang berkedudukan di Provinsi pembelaan diri dilakukan ini berlaku efektif sejak mulai berlakunya Undang - undang Nomor 2 Tahun
dihadapan Gubernur. 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
c. Mediator yang berkedudukan di Kabupaten / Kota pembelaan diri
dilakukan dihadapan Bupati /Walikota. BAB X
(3). Dalam hal mediator menggunakan kesempatan membela diri sebagaimana KETENTUAN PENUTUP
dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) membuat risalah tentang pembelaan diri mediator.
Pasal 24
(4). Risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan dilampiri dokumen
pendukung disampaikan kepada Menteri dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri
kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh mediator. Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER-02/MEN/1985 tentang Syarat
Penunjukan, Tugas, Kedudukan dan Wewenang Pegawai Perantara
(5). Risalah sekurang - sekurangnya memuat :
dinyatakan tidak berlaku lagi.
a. Keterangan mediator;
b. Keterangan saksi apabila ada ;
Pasal 25
c. Pendapat atasan langsung mediator ;
d. Pendapat pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ).
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(6). Apabila mediator tidak menggunakan kesempatan membela diri dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat
Ditetapkan di Jakarta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengusulkan kepada Menteri untuk
pada tanggal 4 Oktober 2004
mencabut legitimasi mediator yang bersangkutan.
(7). Dalam hal pembelaan mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat MENTERI
diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat sebagaimana TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
dimaksud dalam ayat (2) mengembalikan kartu legitimasi mediator. REPUBLIK INDONESIA
(8). Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri menerbitkan ttd
keputusan pencabutan legitimasi mediator yang bersangkutan.
JACOB NUWA WEA
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1). Pegawai perantara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
diangkat sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri ini dapat diberi
legitimasi sebagai mediator.
(2). Untuk mendapatkan legitimasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bupati / Walikota atau Gubernur atau Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial mengusulkan kepada Menteri.
(3). Pelaksanaan tugas mediator sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 5. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2005 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
NOMOR : PER -10/MEN/V/2005
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 ayat (1) huruf i, Pasal 28 dan MEMUTUSKAN
Pasal 121 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu menetapkan
syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian konsiliator serta tata Menetapkan PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
kerja konsiliasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial : REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGANGKATAN DAN
dengan Peraturan Menteri; PEMBERHENTIAN KONSILIATOR SERTA TATA KERJA KONSILIASI
5. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang a. penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai b. kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
c. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha;
6. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan d. konsultan hukum bidang hubungan industrial;
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya e. pengelola sumber daya manusia di perusahaan;
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
f. dosen, tenaga pengajar, dan peneliti di bidang hubungan
kewajiban keserikatanpekerja. industrial;
g. anggota P4D/P4P atau Panitera P4D/P4P;
7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi h. narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium
dan lain-lain di bidang hubungan industrial.
BAB II
SYARAT-SYARAT KONSILIATOR (3) Dalam hal calon konsiliator tidak memenuhi pengalaman 5 (lima)
tahun untuk salah satu kegiatan, maka pengalaman 5 (lima) tahun
dapat diperhitungkan dari penggabungan beberapa kegiatan
(1) Untuk menjadi konsiliator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
yaitu :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa; (4) Pengalaman 5 (lima) tahun atas perhitungan penggabungan
b. warga negara Indonesia; beberapa kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan
dengan surat keterangan Kepala Instansi yang bertanggung jawab di
c. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat.
Tim Seleksi yang dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 3
(6) Materi seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi konsiliator, calon konsiliator a. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
mengajukan pendaftaran dengan menyampaikan permohonan b. hubungan industrial dan sarananya;
tertuilis kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Bupati /Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di c. penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam maupun
bidang ketenagakerjaan setempat. di luar pengadilan hubungan industrial;
d. persyaratan kerja, kondisi kerja, pengupahan dan jaminan sosial
tenaga kerja;
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
melampirkan: e tehnik negosiasi.
a. surat pernyataan tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI/POLRI;
Pasal 4
b. daftar riwayat hidup calon konsiliator;
c. copy ijazah pendidikan minimal Strata Satu (S1) yang telah
(1) Calon konsiliator yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud
dilegalisir rangkap 2 (dua);
dalam Pasal 3, diusulkan oleh Bupati/Walikota daengan melampirkan
d. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; tanda lulus seleksi kepada Menteri untuk mendapatkan legitimasi
sebagai konsiliator.
e. surat berkelakuan baik dari kepolisian;
(2) Calon konsiliator yang diusulkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana
f. copy KTP yang masih berlaku; dimaksud pada ayat (1) diberi legitimasi sebagai konsiliator dengan
g. pas foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm, sebanyak 4 (empat) Keputusan Menteri.
lembar; (3) Konsiliator yang telah mendapat legitimasi sebagaimana dimaksud
h. surat keterangan telah memiliki pengalaman di bidang hubungan pada ayat (1), melapor kepada Bupati/Walikota untuk dicatat
industral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) sebagai konsiliator dan didaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota
setempat.
(3) Bupati/Walikota c.q. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di BAB III
bidang ketenagakerjaan setempat setelah menerima permohonan
TUGAS DAN WEWENANG KONSILIATOR
tertulis calon konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terlebih dahulu melakukan seleksi atas kelengkapan berkas Pasal 5
permohonan.
Konsiliator bertugas melakukan konsiliator kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
(4) Terhadap calon konsiliator yang telah memenuhi kelengkapan berkas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan seleksi tertulis. Pasal 6
Konsiliator mempunyai kewenangan :
(5) Seleksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh a. meminta keterangan kepada para pihak;
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kesepakatan;
kuasa; d. membuat anjuran tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
c. menolak melakukan konsiliasi bagi pra pihak yang belum melakukan penyelesaian;
perundingan secara bipartit; e. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; f. membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; ditangani;
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para g. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan
pihak instansi/lembaga terkait. industrial kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
BAB IV
KEWAJIBAN KONSILIATOR BAB V
PENDAFTARAN DAN KEDUDUKAN KONSILIATOR
Pasal 5
Pasal 8
KOnsiliator bertugas melakukan konsiliasi kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan Konsiliator terdaftar di instansi yang bertanggung jawab di bidang
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pasal 9
Pasal 6 (1) Konsiliator melakukan konsiliasi penyelesaian perselisihan hubungan
a. meminta keterangan kepada para pihak; industrial yang terjadi di Kabupaten/Kota tempat pekerja/buruh
bekerja.
b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat
kuasa; (2) Berdasarkan permintaan para pihak yang berselisih, konsiliator dapat
melakukan konsiliasi diluar wilayah konsiliator terdaftar dengan seijin
c. menolak melakukan konsiliasi bagi para pihak yang belum Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melakukan perundingan secara bipartit; di tempat konsiliator terdaftar.
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan; (3) Berdasarkan pertimbangan anggaran, Kepala Instansi yang
e. memanggil saksi atau saksi ahli; bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliator
terdaftar berwenang menolak permintaan para pihak sebagaimana
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para dimaksud pada ayat (2)
pihak dan instansi/lembaga terkait.
BAB VI
BAB IV TATA KERJA KONSILIATOR
KEWAJIBAN KONSILIATOR
Pasal 10
Pasal 7
(1) Setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara
Konsiliator mempunyai kewajiban : tertulis dari para pihak, kosiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh
a. memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar para pihak segera :
keterangan yang diperlukan; a mencatat dalam buku yang dibuat khusus untuk itu;
b. mengatur dan memimpin konsiliasi; b melakukan penelitian berkas perselisihan termasuk risalah
c. membantu membuat perjanian bersama apabila tercapai perundingan bipartit;
c melakukan sidang konsiliasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja (6) Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya
setelah menerima permintaan penyelesaian secara tertulis; secara tertulis, maka konsiliator membantu pembuatan perjanjian
bersama selambat-lambatnya 3 (t iga) hari kerja sejak anjuran
d memanggil para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang disetujui para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak
dengan mempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang
dan konsiliator sebagai saksi.
konsiliasi dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak menerima penyerahan penyelesaian perselisihan; (7) Anjuran tertulis konsiliator memuat :
e melaksanakan sidang konsiliasi dengan mengupayakan a keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat
penyelesaian perselisihan secara musyawarah untuk mufakat; buruh;
f mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila b keterangan pengusaha;
penyelesaian perselisihan tidak mencapai kesepakatan dalam
c keterangan saksi/saksi ahli apabila ada;
waktu selambat-lambatnya 10 (sepulh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama; d pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator;
g membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila e isi anjuran.
tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator; (8) Dalam hal konsiliator mengeluarkan anjuran dengan
mempertimbangkan keterangan yang harus dirahasiakan menurut
h memberitahukan para pihak untuk mendaftarkan perjanjian permintaan pemberi keterangan, maka dalam anjuran konsiliator
bersama yang telah ditandatangani ke Pengadilan Hubungan cukup menyatakan kesimpulan berdasarkan keterangan yang harus
Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian dirahasiakan dalam pertimbangannya.
bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran; Pasal 11
i membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan Penyelesaian di tingkat konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sudah
idustrial. selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permintaan penyelesaian perselisihan.
(2) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menggunakan jasa kuasa
hukum dalam sidang konsiliasi, maka pihak yang menggunakan jasa BAB VII
kuasa hukum tersebut harus tetap hadir. PEMBERHENTIAN KONSILIATOR
(3) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan Pasal 12
waktu penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka
(1) Pemberhentian konsiliator dilakukan dengan pencabutan legitimasi
konsiliator melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab oleh Menteri.
dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat untuk
dihapuskan dari buku perselisihan. (2) Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan karena :
(4) Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan
waktu penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka a meninggal dunia;
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data-data
b permintaan sendiri;
yang ada.
c terbukti telah melakukan tindak pidana kejahatan;
(5) Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak anjuran tertulis dikeluarkan, d menyalahgunakan jabatan;
maka para pihak dianggap menolak anjuran, selanjutnya konsiliator
e membocorkan keterangan yang seharusnya dirahasiakan;
mencatat dalam buku perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat
diselesaiakan melalui konsiliasi. f telah dikenakan pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga) kali.
(3) Sebelum dilakukan pencabutan legitimasi sementara sebagaimana bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliastor terdaftar.
dimaksud pada ayat (2) huruf f, terhadap konsiliator yang Pasal 15
bersangkutan diberikan teguran tertulis.
(1) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
Pasal 13 pertama, maka apbila konsiliator yang bersangkutan melakukan
(1) Teguran tertulis diberikan konsiliator apablia : kelalaian kembali sebagaiman dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
dikenakan pencabutan seme ntara yang kedua.
a tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dalam hal para pihak tidak (2) Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara
tercapai kesepakatan; kedua maka apabila konsiliator yang bersangkutan mealakukan
kelalaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
b tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam pencabutan sementara yang ketiga.
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja;
Pasal 16
c tidak menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 (tiga pulh) hari
kerja; aatau (1) Sebelum konsiliator dikanakan pencabutan tetap, maka yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14
d tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan pemberitahuan
Pasal 7 huruf g. pencabutan sementara yang ketiga.
(2) Dalam hal sebab-sebab sebagaiman dimaksud pada ayat (1) (2) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
ternyata diakibatkan dari kelalaian konsiliator maka Bupati/Walikota dihadapan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, menjatuhkan
menjatuhkan teguran tertulis kepada konsiliator yang teguran tertulis kepada konsiliator yang berkedudukan di
berkekdudukan di Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota.
(3) Pencabut an sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis (3) dalam hal konsiliator menggunakan kesempatan membela diri
sebanyak 3 (tiga) kali dalam waktu 2 (dua) bulan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pejabat sebagaimana
Pasal 14 dimaksud pada ayat (2) membuat risalah tentang pembelaan diri
konsiliator.
(1) Pencabutan sementara sebagai konsiliator berlaku untuk waktu
selama 3 (tiga) bulan. (4) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan dilampiri
dokumen pendukung, disamping kepada menteri dalam waktu 30
(2) Pencabutan sementara dilakukan dengan me narik legitimasi oleh (tiga puluh) hari kerja sejak selesainya dilakukan pembelaan diri oleh
Menteri. konsiliator.
(3) Menteri dapat mendelegasikan pencabutan sementara sebagaimana (5) Risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekuarng-kurangnya
dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pembinaan memuat :
Hubungan Industrial, Gubernur atau Bupati/Walikota.
a keterangan konsiliator;
(4) Selama pancabutan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
konsiliator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan b keterangan saksi apabila ada;
yang baru tetapi wajib menyelesaikan perselisihan yang sedang c pendapat pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
ditangani.
(6) Apabila konsiliator tidak menggunakan kesempatan membela diri
(5) Dalam hal Menteri atau Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan dalam tenggang waktu sebagaiman dimaksud ayat (1), maka
Industrial atau Gubernur atau Bupati/Walikota mencabut legitimasi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengusulkan kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pencabutan sementara Menteri untuk mencabut legitimasi konsiliator yang bersangkutan.
tersebut harus diumumkan, sekurang-kurangnya ditempatkan pada
papan pengumuman di kantor instansi yang bertanggung jawab di (7) Dalam hal pembelaan konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk mengembalikan kartu
legitimasi konsiliator.
(8) Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri
menerbitkan keputusan pencabutan legitimasi konsiliator yang
bersangkutan.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 17
Konsiliator wajib membuat laporan konsiliasi setiap 3 (tiga) bulan,
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dengan tembusan kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota setempat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Mei 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala biro hukum,
Myra M. Hanartani
NIP. 160025858
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
REPUBLIK INDONESIA 1. Dewan Pengupahan Nasional yang selanjutnya disebut Depenas adalah suatu lembaga non
struktural yang bersifat triparti.
NOMOR : PER-03/MEN/I/2005
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
TENTANG
mandiri, dan tanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN
DEWAN PENGUPAHAN NASIONAL 3. Organisasi pengusaha adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia(APINDO).
4. Perguruan Tinggi adalah Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA 5. Pakar adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan pengalaman di bidang pengupahan.
6. Menten adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor
107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, perlu diatur mengenai Cara BAB II
Pengusulan Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dengan Peraturan KEANGGOTAAN
Menteri; Bagian Pertama
Mengingat : Jumlah Anggota
1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 2
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39;
Anggota Dewan Pengupahan Nasional berjumlah 23 (dua puluh tiga) orang, yang terdiri dari :
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
a. unsur pemerintah sebanyak 10 (sepuluh) orang;
4279);
b. unsur serikat pekerja/serikat buruh sebanyak 5 (lima) orang;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 c. unsur organisasi pengusaha sebanyak 5 (lima) orang;dan
tentang Dewan Pengupahan; d. unsur perguruan tinggi dan pakar sebanyak 3 (tiga) orang.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; Bagian kedua
Keterwakilan Masing-masing Unsur
Memperhatikan- : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional Pasal 3
tanggal 2 Desember 2004;
(1) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dan unsur pemerintah terdiri dari :
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebanyak 3(tiga) orang;
tanggal 13 Desember 2004;
b. Kantor Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian 1(satu) orang;
c. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 1(satu) orang;
MEMUTUSKAN : d. Badan Pusat Statistik 1(satu) orang;
e. Departemen Perindustrian 1 (orang);
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK f. Departemen Perdagangan 1 (satu) orang;
INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGUSULAN KEANGGOTAAN DEWAN g. Departemen Pertanian 1(satu) orang;
PENGUPAHAN NASIONAL. h. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 1(satu) orang.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur organisasi pengusaha diwakili oleh
BAB I APINDO.
KETENTUAN UMUM (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat pekerja/serikat buruh ditetapkan
Pasal 1 sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.
16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencat atan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Pasal 8
Dalam Kelembagaan Hubungan Industrial.
(4) Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional dari unsur perguruan tinggi dan pakar terdiri dari : Susunan keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional yang diusulkan oleh Menteri kepada Presiden:
a. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
a. Akademis; sebagai Ketua merangkap anggota;
b. Pakar Ekonomi. b. satu orang wakil dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebagai wakil ketua merangkap
anggota;
BAB III c. satu orang wakil dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai wakil ketua merangkap anggota;
PROSEDUR PENGUSULAN KEANGGOTAAN
Bagian Kesatu d. Direktur Pengupahan, Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Departemen Tenaga Kerja dan
Unsur Pemerintah Transmigrasi sebagai sekretaris merangkap anggota ;
Pasal 4 e. anggota.
Calon anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Departemen Tenaga Kerja dan Trasnmigrasi,
Perguruan Tinggi dan Pakar ditunjuk oleh Menteri. Pasal 9
Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Permintaan nama calon anggota dari instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), huruf
b sampai dengan huruf h disampaikan oleh Menteri kepada Pimpinan Departemen atau Kementrian Ditetapkan di Jakarta
atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. pada tanggal 31-1-2005
Bagian Ketiga
Unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 7
(1) Permintaan nama calon anggota dari unsur serikat pekerja/serikat buruh disampaikan oleh
Menteri kepada serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan
Nasional.
(2) Penentuan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak duduk di Dewan Pengupahan Nasional
sebagaimana dimakdwsud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.16/MEN/2001 tentang Tata Cara
Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 201/MEN/2001 tentang Keterwakilan Dalam Kelembagaan Hubungan
Industrial.
BAB IV
SUSUNAN KEANGGOTAAN
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
NOMOR : PER. 02/MEN/XII/2004 Tahun' 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 4279);
TENTANG 4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
BAGI TENAGA KERJA ASING 3520);
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Menimbang : a. bahwa program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bertujuan
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja beserta
PER-05/MEN/1993 tent ang Petunjuk Teknis Pendaftaran
keluarganya;
Kepesertaan, Pembayaran luran, Pembayaran Santunan dan
b. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, mengamanatkan pelaksanaan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diberlakukan kepada 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
setiap tenaga kerja yang bekerja di Indonesia; PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik
c. bahwa sebagian tenaga kerja asing yang bekerja di Indouesia dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan
telah mendapatkan perlindungan melalui berbagai program Sosial Tenaga Kerja;
asuransi jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya;
MEMUTUSKAN :
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b dan c maka perlu diatur Jaminan Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
Sosial Bagi Tenaga Kerja Asing dengan Peraturan Menteri; TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan TENAGA
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun KERJA BAGI TENAGA KERJA ASING.
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Pasal 1
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951
Nomor 4); Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
Indonesia Nomor 3468): dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pasal 2
Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang telah memiliki perlindungan
melalui program jaminan sosial tenaga kerja di negara asalnya yang sejenis dengan
program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, tidak wajib mengikutsertakan
tenaga kerja asing yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga kerja di
Indonesia .
Pasal 3
Keikutsertaan Tenaga Kerja Asing pada program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dibuktikan denaan polis asuransi asli.
Pasal 4
Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31-12-2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
FAHMI IDRIS
KEPUTUSAN MEMUTUSKAN :
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
REPUBLIK INDONESIA TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA
NOMOR : KEP. 225 /MEN/2003 AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA.
TENTANG
BAB I
ORGANISASI DAN TATA KERJA
KETENTUAN UMUM
LEMBAGA AKREDITASI LEMBAGA PELATIHAN KERJA
Pasal 1
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu 1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
diatur tentang Organisasi dan tata kerja lembaga meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
akreditasi lembaga pelatihan kerja; sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang 2. Akreditasi pelatihan kerja adalah pengakuan status program pelatihan kerja
berbasis kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja melalui
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan penilaian yang dilakukan oleh lembaga akreditasi pelatihan kerja berdasarkan
kriteria standar yang ditetapkan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 3. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik BAB II
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUGAS
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
Pasal 2
4. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
(1) Lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja yang selanjutnya disebut lembaga
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama akreditasi merupakan lembaga yang bersifat independen dan ditetapkan oleh
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; Menteri.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdomisili di Jakarta.
Pasal 3
(3) Keanggotaan lembaga akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 11 (sebelas)
Lembaga akreditasi berfungsi mengembangkan sistem dan melaksanakan akreditasi orang.
lembaga pelatihan kerja.
(4) Menteri menetapkan keanggotaan lembaga akreditasi berdasarkan usulan dari
Pasal 4 instansi pemerintah terkait dan masyarakat.
(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 lembaga Pasal 7
akreditasi mempunyai tugas :
a. menyusun kebijakan akreditasi lembaga pelatihan kerja; Untuk melaksanakan akreditasi, lembaga akreditasi dapat membentuk komite akreditasi
b. mengembangkan sistem akreditasi lembaga pelatihan kerja; sesuai kebutuhan.
c. melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan sistem akreditasi lembaga
pelatihan kerja; Pasal 8
d. mengembangkan kerjasama internasional antar lembaga akreditasi pelatihan
kerja. Komite akreditasi mempunyai tugas :
a. menetapkan tim pelaksana akreditasi lembaga pelatihan kerja;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga b. melaksanakan bimbingan teknis akreditasi;
akreditasi harus berpedoman kepada standar nasional pelatihan kerja yang c. melaksanakan akreditasi lembaga pelatihan kerja;
ditetapkan oleh Menteri. d. membuat laporan pelaksanaan kegiatan akreditasi.
(1) Keanggotaan lembaga akreditasi lembaga pelatihan kerja terdiri dari unsur (2) Keanggotaan komite akreditasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
masyarakat yang dipilih berdasarkan keahlian dan profesionalisme serta unsur (1) terdiri dari tenaga profesional dan praktisi yang berasal dari unsur pemerintah,
pemerintah. asosiasi lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi dan pakar
di bidang pelatihan kerja.
(2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari asosiasi
lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi atau pakar di bidang (3) Komite akreditasi dibantu sekretariat yang berasal dari instansi pemerintah yang
pelatihan kerja. bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
(3) Pengurus lembaga akreditasi terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, Pasal 10
seorang wakil ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota
dan beberapa orang anggota. (1) Anggota Komite Akreditasi sebanyak-banyaknya berjumlah 7 (tujuh) orang.
Pasal 6 (2) Anggota Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh masing-
masing unsur kepada lembaga akreditasi melalui instansi yang bertanggung jawab
(1) Ketua dan wakil ketua lembaga akreditasi adalah seseorang yang memiliki di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
kompetensi dan pengalaman di bidang pelatihan kerja, dan dipilih dari unsur
masyarakat . Pasal 11
(2) Sekretaris lembaga akreditasi berasal dari instansi pemerintah yang bertanggung (1) Dalam melaksanakan tugasnya Komite Akreditasi dibantu oleh Tim yang dibentuk
jawab di bidang pelatihan kerja. sesuai dengan kebutuhan bidang akreditasi.
(2) Komite Akreditasi harus menyampaikan laporan kepada ketua Lembaga Akreditasi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Komite
Akreditasi. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat pelaksanaan kegiatan
akreditasi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat nama
dan alamat lembaga pelatihan kerja, dan program pelatihan kerja.
Pasal 12
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan secara
(1) Keanggotaan lembaga akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali setahun.
(2) Keanggotaan Komite Akreditasi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Lembaga (6) Bentuk laporan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan
Akreditasi. Tenaga Kerja Dalam Negeri.
(3) Masa tugas keanggotaan lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) BAB VII
kali masa jabatan. KETENTUAN PENUTUP
BAB V Pasal 16
PENDANAAN
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka segala ketentuan yang bertentangan
Pasal 13 dengan Keputusan Menteri ini dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta
BAB VI pada tanggal 31 Oktober 2003
PEMBINAAN DAN PELAPORAN
Pasal 14 MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
(1) Pembinaan lembaga akreditasi dilakukan oleh Menteri. REPUBLIK INDONESIA,
(3) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) meliputi JACOB NUWA WEA
aspek administrasi dan teknis.
Pasal 15
BAB I
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONES IA, KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 25 ayat
(3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara perizinan
penyelenggaraan program pemagangan di luar 1. Pemagangan di luar wilayah Indonesia adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
wilayah Indonesia; yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan bekerja secara langsung dibawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau
Menteri; pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau
jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai ketrampilan atau keahlian tertentu
Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang yang diselenggarakan di luar wilayah Indonesia.
Pernyataan Berlakunya Undang - undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik 2. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia pengetahuan, keterampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
Tahun 1951 Nomor 4); ditetapkan.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik 3. Lembaga Penyelenggara Program Pemagangan adalah Lembaga Pelatihan Kerja
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan yang telah mendapat izin atau telah terdaftar pada instansi yang bertanggung
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); jawab di bidang ketenagakerjaan untuk melaksanakan program pelatihan kerja.
3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001
4. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Pasal 2
Tripartit Nasional tanggal 10 Juli 2003;
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama (1) Pemagangan diselenggarakan berdasarkan kurikulum dan silabus.
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
(2) Kurikulum dan silabus pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
berdasarkan kompetensi kerja.
Pasal 3
Pasal 9
Penyelenggaraan program pemagangan di luar wilayah Indonesia mengikuti ketentuan
yang berlaku di negara penerima peserta program pemagangan. Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia wajib
menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta pemagangan selama berada di
Pasal 4 negara tempat pemagangan.
Pasal 5 Bagian 1
Peserta program pemagangan di luar wilayah Indonesia berhak untuk : Lembaga Pelatihan Kerja Yang Menyelenggarakan
a. mendapatkan sertifikat dari lembaga pelatihan kerja apabila yang bersangkutan Program Pemagangan Bagi Masyarakat Umum
telah menyelesaikan program pemagangan;
b. mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi kompetensi; Pasal 10
c. mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, kematian yang
preminya ditanggung oleh lembaga penerima peserta program pemagangan yang Lembaga pelatihan kerja yang akan menyelenggarakan program pemagangan di luar
besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara tempat dilaksanakannya wilayah Indonesia bagi masyarakat umum wajib mengajukan permohonan izin yang
program pemagangan; dilengkapi dengan :
d. mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti praktek a. copy izin lembaga pelatihan kerja yang masih berlaku;
kerja di perusahaan; b. copy dokumen perjanjian antara lembaga penyelenggara program pemagangan
e. mendapatkan uang saku dan transport sesuai perjanjian antara peserta magang dengan Lembaga Penerima Pemagang di wilayah Indonesia yang memuat tentang
dengan lembaga pelatihan kerja penyelenggara program pemagangan. tugas dan tanggung jawab para pihak termasuk pembebanan biaya;
c. contoh perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan lembaga pelatihan
BAB II kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
PERIZINAN d. contoh perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan penerima
peserta pemagangan di wilayah Indonesia yang memuat hak dan kewajiban para
Pasal 6 pihak;
e. kurikulum dan silabus yang sesuai dengan program pemagangan;
Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan wajib memiliki f. daftar tenaga instruktur program pemagangan.
izin penyelenggaraan program pemagangan.
Pasal 11
Pasal 7
(1) Dalam hal dokumen tidak lengkap maka Direktur Jenderal Pembinaan dan
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri menolak permohonan disertai dengan
dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri. alasan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan.
Pasal 8
(2) Dalam hal dokumen telah lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka
Izin lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
diberikan sekurang-kurangnya untuk waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk melakukan verifikasi tentang keabsahan dokumen dalam waktu paling lama 14
waktu yang sama. (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi
syarat, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
menerbitkan surat izin penyelenggara program pemagangan paling lama 30 (tiga Pasal 15
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(1) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui
Bagian 2 tahapan:
a. teguran lisan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga pelatihan
Lembaga Pelatihan Kerja kerja yang bersangkutan;
Yang Menyelenggarakan Program Pemagangan b. peringatan tertulis dilakukan apabila dalam waktu 24 (dua puluh empat)
Bagi Pekerjanya/Buruhnya hari kerja terhitung sejak dilakukan teguran lisan, lembaga yang
bersangkutan tetap melakukan pelanggaran yang sama;
Pasal 12 c. pemberhentian sementara pengiriman peserta pemagangan selama 6
(enam) bulan apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak
Lembaga pelatihan kerja milik perusahaan dan/atau perusahaan yang melaksanakan dilakukan teguran tertulis, lembaga penyelenggara program pemagangan
program pemagangan di luar wilayah Indonesia bagi pekerjanya/buruhnya masih melakukan pelanggaran yang sama;
menyampaikan permohonan izin dengan melampirkan : d. izin lembaga penyelenggaraan program pemagangan dicabut apabila dalam
a. perjanjian antara perusahaan penyelenggara program pemagangan dengan masa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c
lembaga penerima pemagang di wilayah Indonesia tentang penyelenggaraan lembaga penyelenggara program pemagangan tetap melaksanakan
program pemagangan; pelanggaran yang sama dan/atau mengirim peserta program pemagangan.
b. contoh perjanjian pemagangan antara peserta program pemagangan dengan
perusahaan penyelenggara program yang mengirim peserta yang memuat hak dan
kewajiban para pihak; (2) Lembaga penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia yang
c. tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pekerjanya/buruhnya setelah mengikuti pemagangan; program pemagangan di luar wilayah Indonesia dapat dicabut izin penyelenggara
d. rencana penempatan pekerja/buruh setelah menyelesaikan program pemagangan. program pemagangan.
BAB IV Pasal 16
PENCABUTAN IZIN
(1) Lembaga pelatihan kerja yang menyelenggarakan program pemagangan di luar
Pasal 14 wilayah Indonesia wajib melaporkan penyelenggaraan program kepada Direktur
Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dapat
mencabut izin penyelenggara program pemagangan di luar wilayah Indonesia dalam hal (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 6 (enam) bulan
penyelenggaraan program pemagangan tidak sesuai ketentuan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 sekali dan sekurang-kurangnya berisi tentang data peserta, program yang
huruf a, huruf c, huruf d dan huruf e. dilaksanakan dan lembaga penerima program pemagangan.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 17
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi program, sumber
daya manusia, fasilitas, metoda dan sistem penyelenggaraan program
pemagangan.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2003
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
TATA CARA PENETAPAN 1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
STANDARD KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standard yang
ditetapkan.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, 2. Standardisasi kompetensi kerja adalah proses merumuskan, menetapkan dan
menerapkan standard kompetensi kerja.
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 10 ayat 4 3. Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut SKKNI
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan tata cara kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu
penetapan standard kompetensi kerja nasional yang berlaku secara nasional.
Indonesia; 4. Penetapan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah kegiatan
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan menetapkan rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
Menteri. standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 5. Instansi Teknis adalah Departemen, Kantor Menteri Negara atau Lembaga
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Pemerintah lainnya, yang merupakan pembina teknis sektor yang bersangkutan.
Indonesai Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan 6. Konvensi SKKNI adalah forum untuk mencapai konsensus masyarakat sektor
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); profesi tentang rancangan standard kompetensi kerja nasional Indonesia menjadi
2. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 standard kompetensi kerja nasional Indonesia.
tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong; 7. Masyarakat profesi adalah lembaga sertifikasi profesi, asosiasi perusahaan,
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama asosiasi profesi, lembaga pendidikan dan pelatihan dan lembaga lain yang terkait.
Tripartit Nasional tanggal 31 Agustus 2003; 8. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama
Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003; Pasal 2
MEMUTUSKAN : Tata cara penetapan SKKNI bertujuan untuk memberikan acuan dalam penyusunan,
pembakuan dan penetapan SKKNI.
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
BAB II
TATA CARA PENETAPAN STANDARD KOMPETENSI
PENYUSUNAN RANCANGAN SKKNI
KERJA NASIONAL INDONESIA.
Pasal 3
(1) Rancangan SKKNI yang telah dibakukan dan dikodifikasi oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi ditetapkan oleh Menteri menjadi SKKNI. MENTERI
(2) SKKNI yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
secara nasional dan menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan dan REPUBLIK INDONESIA
pelatihan profesi serta uji kompetensi dan sertifikasi profesi.
ttd.
(3) SKKNI ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun atau sesuai dengan kebutuhan masing-
masing bidang profesi.
JACOB NUWA WEA
(4) SKKNI dikembangkan setara dengan standard kompetensi yang berlaku secara
internasional atau berlaku di negara lain.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 6
MEMUTUSKAN :
Pasal 2
Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
bersumber dari :
a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 3
(1) Pembayaran iuran anggota dapat dilakukan melalui pemotongan upah setiap bulan.
(2) Pemotongan upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha.
(3) Pelaksanaan pungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan
dilakukan oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh memutuskan untuk memungut iuran anggota melalui
pemungutan upah pekerja/buruh maka pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
melakukan sosialisasi rencana pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
melalui pemotongan upah dan pemanfaatan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
kepada anggotanya.
(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan rencana pemungutan iuran
anggota kepada pimpinan perusahaan secara tertulis dengan melampirkan:
Pasal 5
(1) Pengusaha hanya dapat melakukan pemungutan iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk
memotong upah pekerja/buruh.
(2) Pemungutan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dicatat secara khusus oleh
Pengusaha
(3) Dalam hal anggota serikat pekerja/serikat buruh berhenti dari keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh maka pekerja/buruh yang bersangkutan membuat pencabutan kuasa
pekerja/buruh yang bersangkutan kepada pengusaha untuk memotong upah.
Pasal 6
(1) Penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan kepada perangkat
organisasi serikat pekerja/serikat buruh, dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
(2) Pengurus serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan wajib menyalurkan iuran anggota
serikat pekerja/serikat buruh kepada perangkat organisasi sesuai peraturan organisasi yang
bersangkutan.
(3) Penyaluran iuran anggota dilakukan melalui transfer bank dan dilarang dalam bentuk uang
tunai.
(4) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat
mengatur jumlah minimum pengiriman iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(5) Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dapat meminta bukti transfer iuran anggota
kepada pengusaha.
Pasal 7
Besarnya iuran, pemanfaatan dan atau pendistribusian iuran untuk kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh,
diatur dalam anggaran dasar dan atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 8
(1) Dalam hal pemungutan dan penyaluran iuran anggota serikat pekerja/serikat buruh tidak
diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah rumah tangga, maka diatur dalam
peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Pembuatan peraturan organisasi serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh tidak bergabung dalam federasi serikat
pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh maka peraturan
organisasi dibuat oleh pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
b. dalam hal serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam federasi serikat pekerja/serikat
buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
c. dalam hal faderasi serikat pekerja/serikat buruh bergabung dalam konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh maka peraturan organisasi dibuat oleh pengurus konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
tentang . . .
- 2 -
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
sebagaimana . . .
-3-
6. Kebijakan . . .
- 4 -
BAB II
URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 2
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum . . .
- 5-
c. pekerjaan umum;
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y. komunikasi dan informatika;
z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
dd. perdagangan . . .
-6 -
Pasal 3
BAB III
Pasal 4
(2) Ketentuan . . .
- 7 -
Pasal 5
Bagian Kedua
Pasal 6
kabupaten . . .
- 8 -
Pasal 7
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;
m. ketahanan pangan . . .
- 9 -
m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan
z. perpustakaan.
f. industri . . .
- 10 -
f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.
Pasal 8
Pasal 9 . . .
- 11 -
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11 . . .
- 12 -
Pasal 11
Pasal 12
BAB IV
PENGELOLAAN URUSAN PEMERINTAHAN
LINTAS DAERAH
Pasal 13
(2) Tata . . .
- 13 -
BAB V
Pasal 14
Pasal 15
(2) Ketentuan . . .
- 14 -
BAB VI
Pasal 16
a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan . . .
- 15 -
Pasal 17
bertahap . . .
- 16 -
(5) Ketentuan . . .
- 17 -
BAB VII
PEMBINAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 18
BAB VIII . . .
- 18 -
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pasal 21 . . .
- 19 -
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Agar . . .
- 20 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat
dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan
atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Untuk . . .
-2-
bersangkutan . . .
-3-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan, yang disebut juga dengan
“urusan pemerintahan yang bersifat konkuren” adalah
urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang
diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, pemerintahan
daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Ayat (4) . . .
-4-
Ayat (4)
Ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan sebagaimana
diatur dalam pasal ini berkaitan langsung dengan otonomi
daerah.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup Jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul
sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas
kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan
pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan
provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi
dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan
Pemerintah.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban
Pemerintah, pemerintahan daerah Provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada
masyarakat. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal
(satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah
kabupaten/kota bertanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara
langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam
satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang
bersangkutan . . .
-5-
Ayat (2)
Rincian setiap bidang urusan pemerintahan dalam Peraturan
Pemerintah ini mencakup bidang, sub bidang sampai dengan
sub sub bidang. Rincian lebih lanjut dari sub bidang
dan/atau sub sub bidang diatur lebih lanjut dengan
peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non
departemen setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri guna dilakukan pembahasan bersama unsur-unsur
pemangku kepentingan terkait.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah” adalah urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6 . . .
-6-
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penentuan potensi unggulan mengacu pada produk domestik
regional bruto (PDRB), mata pencaharian penduduk, dan
pemanfaatan lahan yang ada di daerah.
Ayat (4)
Penentuan urusan pilihan sesuai dengan skala prioritas yang
ditetapkan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tetap
harus memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat meskipun pelayanan tersebut bukan berasal dari
urusan pilihan yang diprioritaskan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Mengingat kemampuan anggaran yang masih terbatas, maka
penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
bidang yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah
dilaksanakan secara bertahap dengan mendahulukan sub
sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
-7-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai
tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prosedur adalah metode atau tata cara untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keserasian hubungan adalah
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh
tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling
berhubungan (interkoneksi), saling tergantung
(interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan
kemanfaatan.
Ayat (3)
Pemangku kepentingan terdiri dari unsur
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait,
pemerintahan daerah, asosiasi profesi, dan perwakilan
masyarakat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
-8-
Pasal 13
Ayat (1)
Pengelolaan bersama dapat dilembagakan dalam bentuk
kerjasama antar daerah yang difasilitasi oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas
provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala
provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala
kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota.
Ayat (2)
Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dapat berbentuk
pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, monitoring dan
evaluasi, pendidikan dan latihan dan kegiatan pemberdayaan
lainnya yang diarahkan agar pemerintahan daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.
Ayat (2) . . .
-9-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
3. Pembinaan 1.a. Standarisasi kompetensi 1.a. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan dan penyelenggaraan
Pelatihan dan dan penyelenggaraan penyelenggaraan pelatihan kerja skala
Produktivitas pelatihan kerja skala pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
Tenaga Kerja nasional. provinsi.
2.a. Standarisasi, pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan 2.a. Pelaksanaan pelatihan dan
dan pelaksanaan dan pengukuran pengukuran produktivitas skala
pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.
- 394 -
4. Pembinaan dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyusunan sistem dan 1.a. Penyebarluasan informasi pasar
Penempatan penyebarluasan penyebarluasan kerja dan pendaftaran pencari
Tenaga Kerja informasi pasar kerja informasi pasar kerja di kerja (pencaker) dan lowongan
Dalam Negeri secara nasional. wilayah provinsi. kerja.
e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit e. Penilaian angka kredit jabatan
jabatan fungsional jabatan fungsional fungsional pengantar kerja di
pengantar kerja pengantar kerja tingkat wilayah kerja kabupaten/kota.
berskala nasional. provinsi.
2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan 2.a. Penerbitan dan pengendalian
pengendalian izin pengendalian izin izin pendirian Lembaga Bursa
pendirian Lembaga pendirian Lembaga Kerja/LPTKS dan Lembaga
Bursa Kerja/Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Penyuluhan dan Bimbingan
Penempatan Tenaga Lembaga Penyuluhan Jabatan skala kabupaten/kota.
Kerja Swasta (LPTKS) dan Bimbingan Jabatan
dan Lembaga skala provinsi.
Penyuluhan dan
Bimbingan Jabatan
lintas provinsi/berskala
nasional.
- 397 -
6.a. Penerbitan izin 6.a. Penerbitan rekomendasi 6.a. Penerbitan rekomendasi izin
operasional Tenaga izin operasional TKS operasional TKS Luar Negeri,
Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS TKS Indonesia, lembaga
Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan
Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang beroperasi pada 1 (satu)
sukarela luar negeri dan akan beroperasi lebih kabupaten/kota.
lembaga sukarela dari 1 (satu)
Indonesia. kabupaten/kota dalam
satu provinsi.
5. Pembinaan dan 1.a. Pembinaan, 1.a. Monitoring dan evaluasi 1.a. Pelaksanaan penyuluhan,
Penempatan pengendalian, dan penempatan TKI ke luar pendaftaran dan seleksi calon
Tenaga Kerja pengawasan negeri yang berasal dari TKI di wilayah kabupaten/kota.
Luar Negeri penempatan TKI ke luar wilayah provinsi.
negeri.
6.a. Penentuan standar 6.a. Sosialisasi substansi 6.a. Sosialisasi terhadap substansi
perjanjian kerja, perjanjian kerja perjanjian kerja penempatan TKI
penelitian terhadap penempatan TKI ke luar ke luar negeri skala
substansi perjanjian negeri skala provinsi. kabupaten/kota.
kerja serta pengesahan
perjanjian kerja.
6. Pembinaan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan 1.a. Fasilitasi penyusunan serta
Hubungan serta pengesahan serta pengesahan pengesahan peraturan
Industrial dan peraturan perusahaan peraturan perusahaan perusahaan yang skala
Jaminan Sosial yang skala berlakunya yang skala berlakunya berlakunya dalam satu wilayah
Tenaga Kerja lebih dari satu provinsi. lebih dari satu kabupaten/kota.
kabupaten/kota dalam
satu provinsi.
- 407 -
4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan 4. Pembinaan SDM dan lembaga
lembaga penyelesaian lembaga penyelesaian penyelesaian perselisihan di luar
perselisihan di luar perselisihan di luar pengadilan skala
pengadilan skala pengadilan skala kabupaten/kota.
nasional. provinsi.
7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi 7.a. Bimbingan aplikasi pengupahan
pengupahan skala pengupahan lintas di perusahaan skala
nasional. kabupaten/kota dalam kabupaten/kota.
satu provinsi.
8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Koordinasi pembinaan 8.a. Pembinaan kepesertaan jaminan
penyelenggaraan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah
jaminan sosial, sosial tenaga kerja skala kabupaten/kota.
fasilitas, dan provinsi.
kesejahtaraan tenaga
kerja/buruh skala
nasional.
12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi 12. Penetapan organisasi pengusaha
pengusaha dan pengusaha dan dan organisasi pekerja/buruh
organisasi organisasi untuk duduk dalam lembaga-
pekerja/buruh untuk pekerja/buruh skala lembaga ketenagakerjaan
duduk dalam lembaga- provinsi untuk duduk kabupaten/kota berdasarkan
lembaga dalam lembaga-lembaga hasil verifikasi.
ketenagakerjaan ketenagakerjaan
nasional berdasarkan provinsi berdasarkan
- 413 -
7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan 7. Pelayanan dan pelatihan serta
serta pengembangan serta pengembangan pengembangan bidang norma
bidang norma bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan
ketenagakerjaan, ketenagakerjaan, dan kesehatan kerja yang
hygiene perusahaan, keselamatan dan bersifat strategis skala
ergonomi, keselamatan kesehatan kerja yang kabupaten/kota.
dan kesehatan kerja bersifat strategis skala
yang bersifat strategis provinsi.
dan berskala nasional.
b. — b. Bekerjasama dengan b. —
pusat
menyelenggarakan
diklat teknis
- 417 -
13. Penerbitan kartu 13. Pengusulan penerbitan 13. Pengusulan penerbitan kartu
legitimasi bagi pengawas kartu legitimasi bagi legitimasi bagi pengawas
ketenagakerjaan. pengawas ketenagakerjaan skala
ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada
provinsi kepada pemerintah.
pemerintah.
14. Penerbitan kartu 14. Pengusulan kartu PPNS 14. Pengusulan kartu PPNS bidang
Penyidik Pegawai Negeri bidang ketenaga- ketenagakerjaan skala
Sipil (PPNS) bidang kerjaan skala provinsi kabupaten/kota kepada
ketenagakerjaan. kepada pemerintah. pemerintah.
- 418 -
2.a. Penyediaan tanah untuk 2.a. Koordinasi penyediaan 2.a. Penyelesaian legalitas tanah
pembangunan WPT atau tanah untuk untuk rencana pembangunan
LPT untuk kepentingan pembangunan WPT atau WPT atau LPT skala
nasional dan daerah. LPT skala provinsi. kabupaten/kota.
6.a. Pengembangan 6.a. Mediasi kerjasama antar 6.a. Penjajagan kerjasama dengan
kerjasama antar daerah daerah dalam daerah kabupaten/kota lain.
dalam perpindahan dan perpindahan dan
penempatan penempatan
transmigrasi skala transmigrasi skala
nasional. provinsi.
8.a. Penyiapan calon 8.a. Koordinasi pelaksanaan 8.a. Pendaftaran dan seleksi calon
transmigran skala penyiapan calon transmigran skala
nasional. transmigran skala kabupaten/kota.
provinsi.
- 427 -
10. Fasilitasi perpindahan 10. Koordinasi pelaksanaan 10. Pelayanan penampungan calon
dan penempatan pelayanan perpindahan transmigran skala
transmigran skala dan penempatan kabupaten/kota.
nasional. transmigran skala
provinsi.
6.a. Evaluasi dan 6.a. Koordinasi dan 6.a. Penyediaan data dan informasi
pengukuran tingkat sinkronisasi penyajian tentang perkembangan WPT dan
keberhasilan data dan informasi LPT skala kabupaten/kota.
pembangunan tentang perkembangan
transmigrasi dan WPT atau LPT skala
pengalihan provinsi.
- 430 -
5. Pengarahan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Fasilitasi, bimbingan 1.a. Pelaksanaan Komunikasi,
Dan Fasilitasi teknis, dan pelaksanaan teknis, dan pelaksanaan Informasi, dan Edukasi (KIE)
Perpindahan Komunikasi, Informasi, Komunikasi, Informasi, ketransmigrasian skala
Transmigrasi dan Edukasi (KIE) dan Edukasi (KIE) kabupaten/kota.
ketransmigrasian skala ketransmigrasian skala
nasional. provinsi.
c. — c. — c. Peningkatan motivasi
perpindahan transmigrasi skala
kabupaten/kota.
- 432 -
2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Fasilitasi, bimbingan 2.a. Identifikasi dan analisis
teknis, dan penyerasian teknis, penyusunan dan keserasian penduduk dengan
rencana pengarahan penyerasian rencana daya dukung alam dan daya
dan fasilitasi pengarahan dan tampung lingkungan skala
perpindahan fasilitasi perpindahan kabupaten/kota.
transmigrasi lintas transmigrasi skala
provinsi. provinsi.
4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Fasilitasi, bimbingan 4.a. Pelayanan pendaftaran dan
teknis, dan pelayanan teknis, dan pelayanan seleksi perpindahan
perpindahan perpindahan transmigrasi dan penataan
transmigrasi skala transmigrasi skala persebaran transmigrasi.
nasional. provinsi.
- 434 -
c. — c. — c. Pelayanan penampungan,
permakanan, kesehatan,
perbekalan, dan informasi
perpindahan transmigrasi.
NOMOR : KEP.12/DPHI/IV/2005
TENTANG
Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu.
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-16/MEN/2001
tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh ;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.06/MEN/IV/2005
tanggal 8 April 2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL, DEPARTEMEN TENAGA KERJA
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
MEKANINSME DAN WAKTU PELAKSANAAN PENDATAAN
DAN VERIFIKASI KEANGGOTAAN SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH.
Pasal 1.
Ruang lingkup, mekanisme dan waktu pendataan dan verifikasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dalam keputusan ini adalah untuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan
yang telah tercatat pada Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal 2
(3)
Pasal 3
Pelaksanaan pendataan dan verifikasi menggunakan tabel dan atau formulir isian
sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (3) dan (6) dan pasal 9 ayat (3) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.06/MEN/IV/2005 tanggal 8 April
2005.
Pasal 4
Pasal 5
1. Pelaksanaan seluruh kegiatan dilakukan sesuai tahapan sebagai berikut :
Pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat
perusahaan, rekapitulasi hasil pendataan dan verifikasi keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Kabupaten/Kota, rekapitulasi hasil pendataan
dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di tingkat Provinsi,
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga hasil rekapitulasi tingkat Provinsi sudah
diterima di Pusat Cq. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial selambat-
lambatnya tanggal 17 Juni 2005;
2. Penyampaian rekapitulasi hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud butir (1) dapat
menggunakan fax nomor (021)5203607/5269353 atau melalui Pos Kilat khusus.
Pasal 6
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 April 2005
DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MUZNI TAMBUSAI
---------------------------------------------
LAMPIRAN I
SURAT PERNYATAAN
KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
(PERORANGAN)
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari pihak
manapun.
..................................................200
( ...................................)
LAMPIRAN II
SURAT PERNYATAAN
DATA KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
DI PERUSAHAAN ...............................
(KOLEKTIF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----
4. dst
Dengan ini kami masing-masing untuk dan atas nama Pengurus Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di perusahaan menyatakan bahwa jumlah dan nama-nama pekerja yang tercantum
dalam lampiran Surat Pernyataan ini sebagai anggota Serikat Pekerja/serikat Buruh kami.
Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dan tidak ada
sangkalan dari pihak manapun.
Mengetahui
................................, ...................................200
Pimpinan Perusahaan
Yang membuat pernyataan,
1. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)
2. ................................... .......................
(Nama jelas) (ttd)
(..................................)
3. ................................... ........................
(Nama jelas) (ttd)
4. dst
LAMPIRAN III
Unit/Bagian/
No. Nama Umur L/P Tandatangan Keterangan
divisi
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI TENTANG TATA CARA PERIZINAN
DAN PENYELENGGARAAN PEMAGANGAN DI LUAR
NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
(2) LPK swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk masyarakat umum.
(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
menyelenggarakan pemagangan untuk pekerjanya.
(4) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu instansi yang
menyelenggarakan untuk masyarakat umum.
(5) Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan untuk siswa/mahasiswa.
Pasal 3
(1) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setelah
mendapat izin sebagai LPK dari instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota, wajib memiliki izin penyelenggaraan pemagangan
dari Direktur Jenderal.
(2) Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4)
dan ayat (5) yang menyelenggarakan pemagangan melebihi jangka waktu 3 (tiga)
bulan wajib memiliki tanda daftar sebagai penyelenggara pemagangan dari Direktur
Jenderal.
BAB II
PERSYARATAN LEMBAGA
Bagian Kesatu
LPK swasta
Pasal 4
Bagian Kedua
Perusahaan
Pasal 5
Bagian Ketiga
Instansi Pemerintah
Pasal 6
Bagian Keempat
Lembaga Pendidikan
Pasal 7
BAB III
PERSYARATAN PESERTA
Pasal 8
(1) Peserta pemagangan bagi LPK swasta dan instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA atau sederajat;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(2) Peserta pemagangan bagi perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan di luar
negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai pekerja di perusahaan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.
(3) Peserta pemagangan bagi lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemagangan
di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
(4) Peserta pemagangan pada lembaga pendidikan khusus milik instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan di luar negeri harus memenuhi persyaratan :
a. Berstatus sebagai siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan yang bersangkutan;
b. Persyaratan lain sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan.
Pasal 9
Peserta pemagangan yang berasal dari masyarakat umum dapat menanggung biaya sesuai
dengan perjanjian antara LPK dengan lembaga penerima pemagangan di luar negeri
yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal.
BAB IV
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 10
Pasal 11
(1) LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang akan
menyelenggarakan pemagangan harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Direktur Jenderal.
(3) Permohonan sebagaaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPK
swasta kepada Direktur Jenderal setelah mendapat rekomendasi dari instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
Pasal 12
(1) LPK swasta yang telah mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas antara lain
melakukan verifikasi tentang kelengkapan dan keabsahan dokumen.
(3) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(4) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(5) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim dinyatakan lengkap, tim
melakukan peninjauan ke lapangan dalam jangka waktu paling la 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak dokumen dinyatakan lengkap.
(6) Dalam hal hasil peninjauan lapangan tidak sesuai dengan dokumen yang
diajukan berdasarkan laporan tim, Direktur Jenderal menolak permohonan
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan peninjauan lapangan.
(7) Dalam hal hasil peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dinyatakan sesuai dengan dokumen yang diajukan, Direktur Jenderal
menerbitkan surat izin penyelenggara di luar negeri dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak peninjauan lapangan selesai dilakukan.
Bagian Kedua
Pendaftaran
Paragraf 1
Perusahaan
Pasal 13
Paragraf 2
Instansi Pemerintah
Pasal 14
a. Program pemagangan;
b. Copy perjanjian antara instansi pemerintah dengan lembaga penerima pemagang di
luar negeri;
c. Copy perjanjian pemagangan antara peserta pemagangan dengan instansi pemerintah
yang menyelenggarakan pemagangan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
Paragraf 3
Lembaga Pendidikan
Pasal 15
(1) Lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan bagi siswanya harus
mendaftarkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
a. Copy izin sebagai lembaga pendidikan yang masih berlaku;
b. Program pemagangan;
c. Copy surat perjanjian antara lembaga pendidikan dengan lembaga penerima
pemagang di luar negeri;
d. Copy perjanjian pemagangan antara siswa peserta pemagangan dengan lembaga
pendidikan tempat siswa belajar yang memuat hak dan kewajiban para pihak;
e. Tingkat pencapaian kualifikasi keterampilan atau keahlian yang akan diperoleh
siswa setelah mengikuti pemagangan.
(2) Siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelajar/mahasiswa yang belajar di
lembaga pendidikan yang akan menyelenggarakan pemagangan.
(3) Pendaftaran secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum
disampaikan kepada Direktur Jenderal terlebih dahulu harus diketahui oleh instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Paragraf 4
Jangka Waktu Penerbitan Tanda Daftar
Pasal 16
(1) Perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan yang telah mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15
dilakukan verifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
(2) Verifikasi dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus sudah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan dan hasilnya dilaporkan kepada
Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal dokumen yang telah diverifikasi oleh tim tidak lengkap, Direktur
Jenderal menolak permohonan pemohon dan harus sudah disampaikan kepada
pemohon dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung setelah
dilakukan verifikasi.
(4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan tanda daftar penyelenggara pemagangan
di luar negeri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
hasil verifikasi dinyatakan lengkap.
BAB V
PROGRAM PEMAGANGAN
Pasal 17
Pasal 18
(1) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan ayat (3) merupakan satu kesatuan yang utuh dan berkelanjutan.
(2) Program pemagangan LPK swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
ayat (3) dan ayat (7) harus mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
BAB VII
PELAKSANAAN
Pasal 22
Pasal 23
Penyelenggara pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a hanya
dapat merekrut peserta pemagangan dalam satu wilayah propinsi setelah memberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.
Pasal 24
(1) Rekrut dan seleksi calon peserta dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai
dengan kebutuhan tempat magang di perusahaan.
(2) Dalam hal rekrut dan seleksi yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum memenuhi kebutuhan tempat magang, penyelenggara pemagangan dapat
melakukan rekrut dan seleksi kembali untuk memenuhi kebutuhan tempat magang.
(3) Hasil rekrut dan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.
Pasal 25
Pasal 27
BAB VIII
PERPANJANGAN IZIN
Pasal 28
(5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bagi LPK
swasta yang tidak memiliki workshop, instruktur dan tenaga kepelatihan harus
melampirkan copy perjanjian kerjasama dengan LPK lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7).
(6) Perpanjangan izin tidak dapat diterbitkan apabila permohonan yang diajukan
telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 29
(1) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal menerbitkan
perpanjangan pemagangan.
(2) Izin perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterbitkan
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
peninjauan lapangan selesai dilakukan.
(3) Prosedur dan tata cara pemberian perpanjangan izin mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 12.
Pasal 30
Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (4) dan ayat (5) juga mempertimbangkan kinerja LPK yang bersangkutan.
BAB IX
PENCABUTAN IZIN
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Izin penyelenggaraan pemagangan di luar negeri tidak berlaku apabila izin LPK dicabut
oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf h.
Pasal 35
BAB X
PELAPORAN
Pasal 36
(1) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan setiap 6 (enam) bulan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Penyelenggara pemagangan di luar negeri dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam)
bulan, wajib melaporkan pelaksanaan pemagangan saat program pemagangan selesai
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada kepala instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaetn/kota.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
disampaikan secara manual atau media elektronik.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 37
Pasal 38
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pasal 42
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Mei 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TTD
Sunarno, SH,MH.
NIP. 730001630
KEPPRES NO.75 TH 1995
TENTANG
Menimbang : a. bahwa kemajuan yang dicapai dalam pembangunan, baik di bidang ekonomi maupun
bidang lainnya, telah meningkatkan kegiatan usaha dan semakin memperluas
lapangan kerja serta kesempatan kerja;
b. bahwa agar kesempatan kerja yang tersedia sebanyak mungkin dapat menyerap
Tenaga Kerja Indonesia, dipandang perlu mengadakan pengaturan kembali mengenai
penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dengan Keputusan
Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 1, diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam
Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3552);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin
Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3563);
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di
semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia.
(2). Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi
oleh Tenaga Kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP sampai
batas waktu tertentu.
Pasal 3
(1). Jabatan Direksi dan Komisaris pada perusahaan penanam modal yang didirikan dengan
seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum
asing, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia, terbuka bagi TKWNAP.
(2). abatan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan
penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia.
(3). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya
dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing, dapat menunjuk sendiri
TKWNAP sebagai Direksi dan Komisaris perusahaannya.
(4). Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dalam bentuk patungan
antara modal asing dengan modal Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh
modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia/dan atau badan hukum Indonesia,
penunjukan Direksi dan Komisaris sesuai kesepakatan para pihak.
Pasal 4
(1). Jabatan Direksi pada perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka Undang-undang
Penanaman Modal, terbuka bagi TKWNAP.
(2). Jabatan Komisaris pada perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya
terbuka bagi Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 5
Khusus untuk jabatan Direktur yang membidangi Personalia, perusahaan sebagaimana dalam
Pasal 3 dan Pasal 4, wajib menggunakan Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 6
(1). Daftar bidang dan jenis pekerjaan di bawah jabatan Direksi yang tertutup dan yang
terbuka bagi TKWNAP untuk batas waktu tertentu, diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga
Kerja dengan memperhatikan pendapat Menteri terkait.
(2). Daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau kembali selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Pasal 7
(1). Pengguna TKWNAP wajib memiliki Rencana Penggunaan TKWNAP termasuk Direksi
Komisaris yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(2). Izin mempekerjakan TKWNAP diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang
ditunjuk.
(3). TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Direksi/Komisaris
sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dan Pasal 4 memiliki Izin Kerja TKWNAP dari Menteri
Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.
(4). Tatacara untuk memperoleh pengesahan Rencana Pembangunan TKWNAP, Izin
Mempekerjakan TKWNAP dan Izin Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri terkait.
Pasal 8
(1). Setiap pengguna TKWNAP wajib melaksanakan program penggantian TKWNAP ke Tenaga
Kerja Indonesia.
(2). Dalam rangka pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengguna
TKWNAP wajib :
a. menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai Tenaga Pendamping pada jenis pekerjaan
yang dipegang oleh TKWNAP.
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Tenaga Kerja Indonesia
yang dipekerjakan, baik sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga.
(3). Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a harus tercantum
dengan jelas dalam Rencana Penggunaan TKWNAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan dalam struktur jabatan perusahaan.
(4). Biaya untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b dibebankan pada pengguna TKWNAP dan tidak dibebankan ulang pada
Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 9
Pasal 10
(1). Pengguna TKWNAP dikenakan pungutan pada setiap TKWNAP yang dipekerjakannya.
(2). Pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membantu
penyelenggaraan pelatihan Tenaga Kerja Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja.
(3). Besarnya pungutan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan
pendapat Menteri Keuangan.
Pasal 11
Dengan dikenakan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, maka terhadap Pengguna
TKWNAP tidak lagi dikenakan pungutan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan TKWNAP.
Pasal 12
(1). Pengguna TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Keputusan
Pengesahan Rencana Penggunaan TKWNAP dan/atau Izin Mempekerjakan TKWNAP.
(2). TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Izin Kerja TKWNAP.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini, diatur oleh
Menteri Tenaga Kerja dengan mendengar pendapat Menteri terkait.
Pasal 14
(1). Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun
1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang,
dinyatakan tidak berlaku.
(2). Semua peraturan pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1974 masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan atau belum diatur berdasarkan
Keputusan Presiden ini.
Pasal 15
ttd.
SOEHARTO
KEPMEN NO. 01 TAHUN 2008
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a Bahwa dengan memperhatikan situasi Nasional dan Daerah sebagai dampak
perkembangan ekonomi global serta kondisi alam memerlukan kesiapan dan
perhatian dari semua pihak, terutama jajaran aparatur negara.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a huruf b di
atas, perlu mengubah Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008;
Memperhatikan : Masukan yang sangat positif dari berbagai pihak, baik perorangan, kelompok,
maupun media massa tentang kebijakan dan pelaksanaan cuti bersama;
MEMUTUSKAN :
Kesatu : Mengubah Lampiran Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 55 Tahun
2007, Nomor : KEP.222/MEN/V/2007, Nomor : SKB/03/M.PAN/5/2007 tentang Hari-
hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2008 sehingga seluruhnya menjadi
sebagaimana Lampiran Keputusan Bersama ini.
Kedua : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008
MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA
---------------------------------------------------------------------------------------
TENTANG
11. 1-2 Oktober Rabu, Kamis Idul Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah
5. 29, 30 September Senin, Selasa dan Cuti bersama sebelum dan sesudah Hari Raya Idul
dan 3 Oktober Jumat Fitri 1 Syawal 1429 Hijriyah, Rabu dan Kamis tanggal
1-2 Oktober 2008
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2008
MENTERI NEGARA
MENTERI TENAGA KERJA DAN
MENTERI AGAMA PENDAYAGUNAAN
TRANSMIGRASI
APARATUR NEGARA
TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009
Kesatu : Menetapkan Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2009
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Had Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Kedua : 'dui Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Ramadhan 1430 H, 1 Syawal
1430 H, dan 10 Dzulhijjah 1430 H ditetapkan kemudian dengan
Keputusan Kenteri Agama.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
HARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2009
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 9 Juni 2008
I NEGARA
GUNAAN
NEGARA
KOMPILASI KETENTUAN PIDANA KETENAGAKERJAAN
(UU NO. 13/2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN,
UU NO. 3/1992 T ENTANG JAMSOSTEK, UU 21/2000 TENTANG SP/SB, UU 2/2004 TENTANG PPHI,
UU NO. 1/1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA & UU 7/1981 TENTANG WAJIB LAPOR
KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.00 0.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus ju ta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayata (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu)
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 1
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp, 10.000 .000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak -hak dan/atau ganti kerugian kepada te naga kerja atau
pekerja/buruh.
2. Pasal 35 ayat (2) dan (3) (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dim aksud pada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
penempatan tenaga kerja sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rupiah).
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental
maupun fisik tenaga kerja.
3. Pasal 37 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
ditunjuk rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
4. Pasal 38 ayat (2) (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga (lima puluh juta rupiah).
kerja golongan dan jabatan tertentu.
5. Pasal 42 ayat (1) & (2) (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 2
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
kerja asing. ratus juta rupiah).
6. Pasal 44 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
7. Pasal 45 ayat (1) (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja (seratus juta rupiah).
Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
8. Pasal 63 ayat (1) (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh yang bersangkutan. (lima puluh juta rupiah).
9. Pasal 67 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
kecacatannya. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
10. Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
11. Pasal 69 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a. izin tertulis dari orang tua atau wali; sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; ratus juta rupiah).
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 3
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
12. Pasal 71 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pada ayat (1) wajib memenuhi syarat: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, (seratus juta rupiah).
mental, sosial, dan waktu sekolah.
13. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
meliputi: juta rupiah).
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,
atau moral anak.
14. Pasal 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan (seratus juta rupiah).
dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 4
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Keputusan Menteri.
15. Pasal 78 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
syarat: (lima puluh juta rupiah).
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
16. Pasal 78 ayat (2) (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
lembur paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
17. Pasal 79 ayat (1) & (2) (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerja/buruh. paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
meliputi: (seratus juta rupiah).
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam
setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang -kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1
(satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam)
tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 5
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku
untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
18. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
agamanya. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
19. Pasal 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 paling lama 4 (empat) tahun dan/ata u denda paling
(satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dokter kandungan atau bidan. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan ratus juta rupiah).
berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
20. Pasal 85 ayat (3) (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
wajib membayar upah kerja lembur. paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
21. Pasal 90 ayat (1) (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
22. Pasal 93 ayat (2) (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan Pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
pengusaha wajib membayar upah apabila: paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
a pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
b pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; rupiah).
c pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia;
d pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalan kan kewajiban terhadap negara;
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 6
e pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kes alahan
sendiri maupun halangan yg seharusnya dpt dihindari pengusaha;
g pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh
atas persetujuan pengusaha; dan
i pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
23. Pasal 108 ayat (1) (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang- Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00
yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang (lima puluh juta rupiah).
ditunjuk.
24. Pasal 111 ayat (3) (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
25. Pasal 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta Pidana denda paling sedikit Rp 5 .000.000,00 (lima
memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
pekerja/buruh. (lima puluh juta rupiah).
26. Pasal 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang -halangi pekerja/buruh dan serikat Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
dilakukan secara sah, tertib, dan damai. sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan ratus juta rupiah).
terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
27. Pasal 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
lain dari luar perusahaan; atau rupiah) dan paling banyak Rp . 100.000.000,00
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun (seratus juta rupiah).
kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
28. Pasal 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 7
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (lima puluh juta rupiah).
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan
perusahaan (lock out) dilaksanakan.
29. Pasal 160 ayat (4) & (7) (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
(enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
mempekerjakan pekerja/buruh kembali. dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).
30. Pasal 167 ayat (5) (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
program pensiun maka pengusaha wajib membe rikan kepada sedikit Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah)
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 dan paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal juta rupiah).
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 8
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMSOSTEK
PASAL 29
Pasal 29
(1). Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir tela h memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan.
(3). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 9
(3). Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertmpa
kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai
memperoleh hak-haknya.
3. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (1). Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya,
(4), dan (5) daftar upah beserta perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan
kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
4. Pasal 19 ayat (2) (2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan
sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib idem
memberikan JaminanKecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya
sesuai dengan Undang -undang ini.
5. Pasal 22 ayat (1) (1) Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan
iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan
upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan idem
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 10
Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
1. Pasal 28 Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
pekerja/serikat buruh dengan cara : rupiah).
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 11
buruh.
UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)
PASAL 122
Pasal 122
(1). Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90
ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
sedikit Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
2. Pasal 22 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan. idem
(2) --
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yan g diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Pasal 47 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan
hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib
memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan
surat-surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 12
4. Pasal 90 ayat (2) (2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan idem
kesaksiannya di bawah sumpah.
5. Pasal 91 ayat (1) dan (3) (1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa
syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat yang diperlukan. idem
(2) --
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan
Peraturan-peraturan turunan dari UU 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (dalam bentuk Peraturan maupun Keputusana Menteri Tenaga Kerja), ancaman
pidananya mengacu pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) di atas.
Pasal 10
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 13
(1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal
13 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah).
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan
pidana kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.
Pasal 11
(1) Jika perbuatan sebagaitnana dimaksud dalarn Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana
dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum lain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana
dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia.
2. Pasal 7 ayat (1) (1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan setiap tahun
secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada Menteri atau Idem
pejabat yang ditunjuk.
3. Pasal 8 ayat (1) (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memind ahkan, Idem
menghentikan atau membubarkan perusahaan.
4. Pasal 13 (1). Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum
dikenakan wajib lapor berdasarkan Undang -undang Nomor 23
Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan
keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-
Idem
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 14
undang ini.
(2). Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan
berdasarkan Undang -undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha
atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di
perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
Kompilasi Ketentuan Mengenai Tindak Pidana Ketenagakerjaan Compilated by : Ali Sodikin – UILA APINDO 15
KEPPRES NO. 83 TH 1998
Tentang
Setelah memutuskan untuk menerima dalam bentuk Konvensi beberapa usul tertentu
tentang kebebasan untuk berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi
yang menjadi agenda sidang butir ketujuh,
Menerima pada tanggal 9 Juli 1948 Konvensi berikut yang disebut sebagai Konvensi
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi tahun 1948:
Bab I
Kebebasan Berserikat
Pasal 1
Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut.
Pasal 2
Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, menurut
aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka
sendiri tanpa pengaruh pihak lain.
Pasal 3
1. Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar dan peraturan -
peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola administrasi dan aktifitas, dan
merumuskan program.
2. Penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi
hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.
Pasal 4
Organisasi pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang kegiatannya oleh "penguasa
administratif".
Pasal 5
Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi-federasi
dan konfederasi-konfederasi dan organisasi sejenis, dan setiap federasi atau konfederasi tersebut
berhak untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha internasional.
Pasal 6
Pasal 7
"Akuisisi keabsahan" oleh organisasi-organisasi pekerja dan pengusaha, federasi dan konfederasi
tidak boleh dilakukan untuk maksud tertentu sehingga membatasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan
Pasal 2, 3 dan 4.
Pasal 8
1. Dalam melaksanakan hak-haknya berdasarkan Konvensi ini para pekerja dan pengusaha
serta organisasi mereka, sebagaimana halnya perseorangan atau organisasi perkumpulan
lainnya, harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku.
2. Hukum nasional yang berlaku tidak boleh memperlemah atau diterapkan untuk memperlemah
ketentuan-ketentuan yang dijamin dalam Konvensi.
Pasal 9
1. Ketentuan yang dijamin sebagaimana dinyatakan Konvensi yang diberlakukan untuk angkatan
bersenjata dan polisi harus diatur dengan hukum dan perundingan nasional.
Pasal 10
Dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan "organisasi" adalah organisasi pekerja dan pengusaha
yang didirikan untuk melanjutkan dan membela kepentingan pekerja dan pengusaha.
Bab II
Perlindungan Hak Berorganisasi
Pasal 11
Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional untuk mana Konvensi ini berlaku harus
mengambil langkah-langkah yang perlu dan tepat untuk menjamin bahwa para pekerja dan
pengusaha dapat melaksanakan secara bebas hak-hak berorganisasi.
Bab III
Ketentuan Lain-lain
Pasal 12
(c). wilayah yang bersangkutan tidak dapat menerapkan ketentuan Konvensi, dengan
menyertakan alasannya.
2. Langkah-langkah sebagaimana dimaksud sub - ayat (a) dan (b), ayat 1 Pasal ini
harus dianggap bagian integral daripada ratifikasi dan mempunyai kekuatan hukum ratifikasi.
3. Setiap Anggota dapat sewaktu-waktu dengan pernyataan berikutnya menunda seluruh atau
sebagian pertimbangan yang dibuat melalui naskah asli pernyataan dengan memperhatikan
ketentuan sub-ayat (b), (c) atau (d) ayat 1 Pasal ini.
4. Setiap Anggota dapat, sewaktu-waktu mencabut ratifikasi Konvensi ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 16, dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal mengenai maksud
perubahan atas syarat-syarat perubahan terdahulu dan menyatakan pendirian
sekarang sehubungan dengan wilayah-wilayah tersebut.
Pasal 13
1. Bilamana hal-hal pokok Konvensi dilaksanakan dalam suatu wilayah non - metropolitan yang
mempunyai kekuasaan mandiri, maka Anggota yang bertanggung jawab atas hubungan
internasional wilayah yang bersangkutan dapat, dengan persetujuan pemerintah wilayah
yang bersangkutan, menyampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional pernyataan menerima kewajiban-kewajiban Konvensi ini atas nama wilayah
yang bersangkutan.
(a). dua atau lebih Anggota organisasi sehubungan dengan wilayah yang berada dalam
kekuasaan gabungan ; atau
Bab IV
Ketentuan-Ketentuan Akhir
Pasal 14
Ratifikasi resmi Konvensi ini harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan
Internasional untuk didaftarkan.
Pasal 15
1. Konvensi ini mengikat hanya kepada Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang
ratifikasinya telah didaftarkan oleh Direktur Jenderal.
2. Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan sejak tanggal dimana ratifikasi oleh dua Anggota
Organisasi Perburuhan Internasional didaftarkan pada Direktur Jenderal.
3. Selanjutnya Konvensi ini akan mulai berlaku terhadap setiap Anggota setelah 12 bulan sejak
tanggal ratifikasi didaftarkan.
Pasal 16
1. Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini, setelah lewat waktu 10 tahun terhitung dari
tanggal Konvensi ini mulai berlaku, dapat membatalkannya dengan menyampaikan
suatu keterangan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk
didaftarkan. Pembatalan demikian baru akan mulai berlaku satu tahun sesudah tanggal
pendaftarannya.
2. Tiap-tiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan tidak menggunakan hak
pembatalan menurut ketentuan pada ayat satu tersebut di atas dalam tahun berikutnya
setelah lewat sepuluh tahun seperti termaksud pada ayat di atas, akan terikat untuk
10 tahun lagi dan sesudah itu dapat membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya
tiap - tiap masa 10 tahun menurut ketentuan yang tercantum pada Pasal ini.
Pasal 17
2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi tentang pendaftaran dan ratifikasi
kedua yang disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota
Organisasi tanggal mulai berlakunya Konvensi ini.
Pasal 18
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan, sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa hal ikwal mengenai semua ratifikasi, keterangan dan pembatalan yang
didaftarkannya menurut ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas.
Pasal 19
Pada waktu berakhirnya tiap-tiap masa sepuluh tahun setelah mulai berlakunya Konvensi ini Badan
Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi ini kepada Konperensi Umum dan harus mempertimbangkan apakah soal perubahan
Konvensi ini seluruhnya atau sebagian perlu ditempatkan dalam Agenda Konperensi.
Pasal 20
1. Jika Konperensi menerima Konvensi baru yang mengubah sebagian atau seluruh Konvensi ini,
kecuali Konvensi baru menentukan lain, maka :
(a). dengan menyimpang dari ketentuan pasal 11, ratifikasi Konvensi baru oleh Anggota
berarti pembatalan Konvensi ini pada saat itu juga karena hukum, jika dan pada waktu
Konvensi baru itu mulai berlaku;
(b). mulai pada tanggal Konvensi berlaku, Konvensi ini tidak dapat diratifikasi lagi oleh
Anggota.
2. Bagaimana juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi yang asli bagi Anggota
yang telah meratifikasinya, tetapi belum meratifikasi Konvensi baru.
Pasal 21
Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENGA KERJA R.I
NO.PER-04/MEN/1994
TENTANG
TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
BAGI PEKERJA DIPERUSAHAAN
M E M U T U S K A N :
Pasal 1
Dalam Peraturun Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menpekerjakan pekerja
dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak baik milik swasta
maupun milik Pemerintah
b. Pengusaha adalah :
1. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri
e. Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Iedul Fitri bagi pekerja yang
beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen
Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja yang beragama
Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.
Pasal 2
Pasal 3
2. Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah
pokok di tambah tunjangan-tunjangan tetap.
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
: J a k a r t a : 16 September 1994
PERMOHONAN IJIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
(IMTA)
Baru Perpanjangan Pindah Jabatan
1. Nama Perusahaan/Instansi :
a. nomor SK Pengesahan :
b. Tahun berlaku :
1. N a m a :
3. Alamat di Indonesia :
4. Kewarganegaraan :
5. Nomor Paspor :
Tanggal Berlaku :
6. Tempat Lahir :
Tanggal Lahir : Jenis Kelamin: L / P
8. Pendidikan Tertinggi *) :
9. Pengalaman Kerja *) : a.
b.
c.
d.
- Nomor :
- Tanggal :
a. Visa - Jenis :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
d. Surat Kartu Kependudukan :
- Nomor :
- Tanggal Dikeluarkan :
- Masa Berlaku :
1. Nama Jabatan :
a. Pendidikan :
b. Pengalaman Kerja :
4. Lokasi Penempatan di
a. Propinsi Pertama :
b. Propinsi Kedua :
c. Seluruh INDONESIA :
IV. KONDISI KERJA
Demikianlah permohonan ini kami isi dengan sesungguhnya dan kami bertanggungjawab akan
kebenarannya,
.............................................................
Pemohon,
R.P.T.K.A
1 2 3 4 5 6
NO NAMA JABATAN JUMLAH JUMLAH TKI SEBAGAI PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN TKI KETERANGAN
TKA PENDAMPING TKA PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA
1 2 3 4 5 6 7
Lampiran IV
URAIAN SINGKAT PEKERJAAN DAN PERSYARATAN MINIMUM
JABATAN TENAGA KERJA NEGARA ASING PENDATANG
PERSYARATAN MINIMUM
NO NAMA JABATAN URAIAN SINGKAT PEKERJAAN/JABATAN PENDIDIKAN PENGALAMAN KERJA
1 2 3 4 5
Lampiran : V
PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA KERJA INDONESIA
YANG DIPERSIAPKAN UNTUK PENGGANTIAN TENAGA KERJA ASING
NAMA JABATAN YANG PENDIDIKAN DAN TKI YANG AKAN DILATIH PELAKSANAAN RENCANA
NO YANG DIDUDUKI PELATIHAN YANG (SEBAGAI PENGGANTI) DIKLAT PENEMPATAN KETERANGAN
TKA YANG AKAN DILAKSANAKAN NAMA JABATAN DALAM LUAR (MULAI
DIGANTIKAN JENIS LAMANYA SEKARANG PERUSAHAAN PERUSAHAAN PENGGANTIAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
*) Kalau dilkat
dilaksanakan
di luar perusa-
haan harap
disebutkan
Lembaga Diklat
dan alamatnya.
Jakarta,
Pimpinan
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1990
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena
itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi
secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara;
b. bahwa pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk
mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang
tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjsama internasional;
c. bahwa di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah
Republik Indonesia telah menandatangani Convention on The Rights of The Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989);
d. bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut pada huruf c, sudah tercakup di
dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak;
e. bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan amanat Presiden Republik Indonesia
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus
1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu mengesahkan
konvensi tersebut danga n Keputusan Presiden;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang
telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat,
pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989 dengan pernyataan (declaration), yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden
ini.
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1960
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
Kepada yth :
Kepala Dinas yang Bertanggung jawab Jakarta, 26 Pebruari 2002.
Di bidang ketenagakerjaan
Di Propinsi dan Kabupaten/Kota
Di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Nomor : 01.KP.01.15.2002
TENTANG
Berdasarkan pasal 14 Undang – undang No. 04 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, dinyatakan bahwa
Perusahaan Wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk mempekerjakan penyandang cacat di
perusahaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya. Jumlah tenaga kerja
penyandang cacat disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan, sekurang-kurangnya 1
(satu) orang tenaga kerja penyandang cacat untuk setiap 100 (seratus ) orang yang dipekerjakan.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana kurungan selama – lamanya 6
(enam) bulan dan atau pidana denda setinggi – tingginya Rp. 200.000.000, - (dua ratus juta rupiah ).
Sehubungan dengan hal tersebut kami agar Saudara dapat melaksanakan hal – hal sebagai berikut :
1. Melakukan sosialisasi Undang – undang No 04 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1998 sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat di perusahaan – perusahaan.
2. Melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara berkala
setiap 3 (tiga) bulan sekali.
3. Melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang cacat
kepada Menteri tenaga erja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri termasuk
realisasi pelaksanaan Undang – undang No. 04 Tahun 1997.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia
ttd
Tembusan
TENTANG
PENYANDANG CACAT
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, manfaat , kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian
dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 4
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5
Setiap peyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
Pasal 6
Pasal 7
(1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuikan dengan
jenis dan derajat kecacatan,pendidikan, dan kemampuannya.
Pasal 8
BAB IV
KESAMAAN KESEMPATAN
Pasal 9
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan.
Pasal 10
(1) Kesamaan kesempatan bagi peyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan
yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pasal 11
Pasal 12
Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan,jalur,jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.
Pasal 13
Pasal 14
Perusahaan Negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
peyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai denga
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya , yang jumlahnya disesuikan
dengan jumlah karyawan dan / atau kualifikasi perusahaan.
Pasal 15
Ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
UPAYA
Pasal 16
Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya :
1 Rehabilitas ;
2 Bantuan social ;
3 Pemeliharaan taraf kesejahteraan social.
Pasal 17
Pasal 18
(1) Rehabilitasi dilaksanakan pada fasilitas yang diselengarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(2) Rehabilitasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi, medic,
pendidikan , pelatihan , dan social.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Bantuan social diarahkan untuk membantu peyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
BAB IV
PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
(1) Masyarakat melakukan pembinaan melalui berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan social penyandang cacat.
(2) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat.
Pasal 26
Ketentuan mengenai pembinaan dan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 dan Pasal 25 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
.
Pasal 27
Pasal 21
Sarana dan prasarana umum yang telah ada dan belum dilengkapi dengan aksesibilitas, wajib
dilengkapi dengan aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(2) Pengawasan dan pengendalian penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Kesamaan Kesempatan Dalam Pendidikan
Pasal 23
Setiap penyandang cacat memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh
pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 24
(1) Setiap penyelenggara satuan pendidikan bertanggung jawab atas pemberian
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada peyandang cacat untuk memperoleh
pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama
dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Pasal 25
(1) Penyandang cacat yang karena jenis dan derajat kecacatannya tidak dapat mengikuti
pendidikan yang diselenggarakan untuk peserta didik pada umumnya, diberikan
pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang meyandang cacat.
(2) Pelaksanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Kesamaan Kesempatan Dalam Ketenagakerjaan
Paragraf Kesatu
Tenaga Kerja Peyandang Cacat
Pasal 26
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang
cacact yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Pasal 27
Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat.
Pasal 28
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya
Pasal 29
Pasal 30
(1) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi penyandang cacat ditetapkan dengan
memperhatikan factor :
a Jenis dan derajat kecepatan;
b pendidikan
c Keterampilan dan/atau keahlian;
d Kesehatan;
e Formasi yang tersedia;
f Jenis atau bidang usaha;
g Factor lain.
(2) Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi peyandang cacat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
Pasal 31
Setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf Kedua
Iklim Usaha
Pasal 32
(1) Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi penyandang cacat yang mempunyai
keterampilan dan /atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau melalui kelompok
usaha bersama.
(2) Penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha
bagi penyandang cacat.
Pasal 34
(1) Dalam rangka mewujudkan iklim usaha bagi penyandang cacat, kepada penyandang
cacat yang mempunyai keterampilan dan/atau keahlian yang melakukan usaha sendiri
atau melalui kelompok usaha bersama dapat diberikan bantuan oleh Menteri.
(2) Bantuan bagi penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk :
a Permodalan;
b Fasilitas usaha;
c Jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan pemberian bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri .
BAB III
REHABILITASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
(1) Penyelenggaraan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu dalam satu atap oleh
masyarakat hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,tata cara perizinan,dan pelaksanaan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Menteri lain terkait sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-
masing.
Pasal 39
(1) Terhadap penyandang cacat yang tidak mampu dapat memperoleh keringanan
pembiyaan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Persyaratan ketidakmampuan seorang penyandang cacat ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 40
(1) Pelaksanaan rehabilitasi yang diperuntukan bagi anggota atau yang dipersamakan
dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan mengenai rehabilitasi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Ketentuan teknis pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung di bidang Pertahanan dan Keamanan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Medik
Pasal 41
Rehabilitasi madik melakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
tindakan medic yang berupa pelayanan:
a Dokter ;
b Psikologi ;
c Fisioterapi ;
d Okopasi terapi ;
e Terapi wicara ;
f Pemberian alat bantu atau alat pengganti ;
g Sosial medis ;
h Pelayanan medis lainnya ;
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi medic bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Rehabilitasi Pendidikan
Pasal 44
Rehabilitasi pendidikan dimaksud agar penyandang cacat dapat mengikuti pendidikan secara
optimal sesuai dengan bakat,minat,dan kemampuannya.
Pasal 45
Rehabilitasi pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan
terpadu melalui proses belajar mengajar.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pendidikan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Bagian Keempat
Rehabilitasi Pelatihan
Pasal 47
Rehabilitasi pelatihan dimaksud agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Pasal 48
Rehabilitasi pelatihan dilakukan dengan pemberian pelayanan secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan yang berupa :
a Asesmen pelatihan;
b Bimbingan dan penyuluhan jabatan;
c Latihan keterampilan dan pemagangan;
d Penempatan;
e Pembinaan lanjut.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi pelatihan bagi penyandang cacat
diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Rehabilitasi Sosial
Pasal 50
Pasal 51
Rehabilitasi sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan pendekatan fisik,mental dan sosial yang berupa :
a Motivasi dan diagnosapsikososial ;
b Bimbingan mental;
c Bimbingan fisik;
d Bimbingan social;
e Bimbingan keterampilan;
f Terapi penunjang;
g Bimbingan resosialisasi;
h Bimbingan dan pembinaan usaha;
i Bimbingan lanjut.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rehabilitasi social bagi penyandang cacat diatur
oleh Menteri.
BAB IV
BANTUAN SOSIAL
Pasal 53
Bantuan social diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha
meningkatkan taraf kesejahteraan sosianya.
Pasal 54
Bantuan social bagi penyandang cacat bertujuan untuk :
a Memenuhi kebutuhan hidup dasar penyandang cacat;
b Mengembangkan usaha dalam rangka kemandirian penyandang cacat;
c Mendapatkan kemudahan dalam memperoleh kesempatan berusaha.
Pasal 55
Pasal 56
Pasal 57
(1) Pemberian bantuan social dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 oleh
Menteri. Sifatnya tidak tetap dan dilaksanakan sesuai dengan arah dan tujuan bantuan
social.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bantuan social sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB V
PEMELIHARAAN TARAF KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 58
Pasal 59
Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diberikan kepada penyandang cacat yang derajat
kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada
bantuan orang lain.
Pasal 60
(1) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
diberikan dalam bentuk materiil,finansialdan pelayanan.
(2) Perlindungan dan pelayanan dalam rangka pemeliharaan taraf kesejahteraan social
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui keluarga pengganti dan
panti social yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 61
(1) Pemberian perlindungan dan pelayanan dalam bentuk materiil,financial dan pelayanan
dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada panti social
yang diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perlindungan dan pelayanan
dalam bentuk materiil dan financial diatur oleh Menteri.
Pasal 62
BAB VI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 63
Pasal 64
Peran masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan kelompok,badan hukum atau usaha, dan
lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang social.
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
(1) Menteri menyebarluaskan informasi mengenai peran masyarakat dalam rangka upaya
peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyebarluasan informasi sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 69
BAB VII
KOORDINASI
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 73
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
Pasal 81
Pasal 82
(1) Dalam rangka pembinaan,Menteri dapat melakukan kerja sama dengan badan atau
lembaga internasionaldan/atau instansi Pemerintah asing berkenan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 83
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 84
Pasal 85
Pasal 86
Segala ketentuan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan social bagi penyandang cacat
yang berupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang
Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat, sepanjang tidak bertentangan dan belum
di ganti/ diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 87
Pasal 88
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang
mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1998
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 1998
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
ttd
SAADILLAH MURSJID
ttd
Lambock V. Nahatands
TENTANG
PENJELASAN
ATAS
UPAYA PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT
UMUM.
Dalam pembangunan nasional penyandang cacat mempunyai kedudukan hak, kewajiban, dan peran yang
sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu peran penyandang cacat dalam pembangunan
nasional perlu untuk lebih ditingkatkan serta didayagunakan seoptimal mungkin.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat yang diundangkan pada tanggal 28 Februari
1997 merupakan suatu bentuk upaya dari Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat untuk meningkatkan
peran penyandang cacat dalam pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat tersebut menitik beratkan kepada upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang
cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan guna mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban,
dan peran penyandang cacat.
Untuk melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Undang-undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat mengamanatkan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Sehubungan dengan hal tersebut. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta
menjabarkan secara utuh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tersebut berkenaan dengan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat agar pelaksanaannya dapat memberikan hasil yang
optimal sehingga dapat terwujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
meliputi kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab bersama dari Pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan penyandang cacat sendiri.
Kesamaan kesempatan diwujudkan melalui penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat baik yang
berbentuk fisik maupun yang berbentuk non fisik pada sarana dan prasarana umum.
Pengaturan mengenai pembinaan dimaksudkan agar pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
kebijaksanaan Pemerintah.
Selain hal tersebut di atas, Peraturan Pemeritah ini juga mengatur mengenai pengawasan, lembaga
koordinasi, dan pengendalian peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3.
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Pasal 2.
Jenis kecacatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
adalah terdiri dari cacat fisik, cacat mental, dan cacat fisik dan mental.
Penentuan jenis dan tingkat derajat kecacatan yang dimaksud dalam Pasal ini dilakukan apabila terjadi
keragu-raguan tentang kecacatan yang disandang seseorang.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamaatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohaniah,
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi dan hak dan
kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila.
Penjelasan pengertian kesejahteraan sosial berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama, kecuali
ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5.
Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan meliputi antara lain aspek agama, kesehatan,
pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan
keamanan, olah raga, rekreasi, dan informasi.
Penjelasan pengertian aspek kehidupan dan penghidupan ini berlaku seterusnya untuk pengertian yang sama
kecuali ditentukan lain dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6.
Cukup jelas.
Pasal 7.
Cukup jelas.
Pasal 8.
Kewajiban penyediaan aksesibilitas yang dimaksud dalam Pasal ini tidak dikenakan sanksi pidana, namun
dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9.
Dengan adanya aksesibilitas, maka penyandang cacat dapat memperoleh dan memanfaatkan kesamaan
kesempatan seperti anggota masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan sehingga
dapat menunjang mobilitas dan kemandirian penyandang cacat.
Pasal 10.
Cukup jelas.
Pasal 11.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a.
Pelayanan informasi dapat diberikan melalui antara lain suara, bunyi, atau tulisan yang diperuntukkan bagi
penyandang cacat.
Huruf b.
Pelayanan khusus misalnya tempat tiket penjualan tiket angkutan umum yang diperuntukkan khusus bagi
penyandang cacat.
Pasal 12.
Cukup jelas.
Pasal 13.
Cukup jelas.
Pasal 14.
Cukup jelas.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16.
Cukup jelas.
Pasal 17.
Cukup jelas.
Pasal 18.
Yang dimaksud dengan Menteri lain adalah para Menteri selain Menteri yang bertanggungjawab di bidang
kesejahteraan sosial yang bidang tugas dan fungsinya terkait secara langsung dalam pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan penyandang cacat.
Penjelasan pengertian Menteri ini berlaku seharusnya untuk pengertian yang sama, kecuali ditentukan lain
dalam penjelasan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 19.
Cukup jelas.
Pasal 20.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan penyediaan aksesibilitas yang dilakukan secara bertahap adalah dengan
mempertimbangkan kemampuan Pemerintah dan masyarakat serta didasarkan kepada kebutuhan dan prioritas
penyandang cacat.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 21.
Penyediaan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum yang telah ada tersebut pelaksanaannya secara
bertahap serta memperhatikan prioritas aksesibilitas yang dibutuhkan penyandang cacat. Sekalipun secara
bertahap, penyediaan aksesibilitas tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara/pengelola sarana dan prasarana umum.
Pasal 22.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 23
Perlakuan yang sama dimaksudkan agar penyandang cacat sebagai peserta didik mendapatkan kesamaan
perlakuan sebagaimana peserta didik lainnya, termasuk didalamnya kesamaan perlakuan untuk mendapatkan
sarana dan prasarana pendidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 24.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelenggara satuan pendidikan adalah Pemerintah atau masyarakat yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang pendidikan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang cacat adalah pendidikan luar
biasa.
Yang dimaksud dengan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta
didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
Ayat (2).
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun
1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Pasal 26.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama sesuai dengan minat dan
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini termasuk tenaga kerja penyandang cacat.
Pasal 27.
Ketentuan dalam Pasal ini mempertegas kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal ini pengusaha wajib memberikan tanggungjawab dan hak-hak pekerja tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, dan agama. Hal ini termasuk pekerja penyandang cacat.
Pasal 28.
Keharusan mempekerjakan penyandang cacat pada perusahaan oleh pengusaha adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Pasal 29.
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 28.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d.
Setiap penyandang cacat yang boleh melakukan pekerjaan adalah penyandang cacat yang sehat jasmani dan
rohani.
Huruf e.
Cukup jelas.
Huruf f.
Cukup jelas.
Huruf g.
Cukup jelas
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 31.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 25
tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 32.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2).
Penumbuhan iklim usaha telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
Pemerintah antara lain Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Pelaksanaan penumbuhan iklim usaha bagi penyandang cacat didasarkan kepada peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan Pemerintah yang ada dan juga kondisi serta ketrampilan dan/atau keahlian
penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34.
Ayat (1).
Bantuan yang diberikan oleh Menteri merupakan stimulan untuk mendorong dan menggiatkan penyandang
cacat dalam menciptakan dan mengembangkan lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Cukup jelas
Pasal 35.
Yang dimaksud dengan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui
komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar.
Pasal 36.
Cukup jelas.
Pasal 37.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan fasilitas rehabilitasi adalah sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi, antara lain
pusat rehabilitasi, panti sosial, rumah sakit, lembaga pelatihan, dan unit rehabilitasi sosial keliling.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 38.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan rehabilitasi yang dilaksanakan secara terpadu adalah penanganan rehabilitasinya baik
medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial dilakukan sebagai satu kesatuan di dalam satu lembaga rehabilitasi.
Ayat (2).
Menteri ini terkait dalam Pasal ini adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan, pendidikan
dan ketenagakerjaan.
Pasal 39.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan tidak mampu adalah tidak mampu dari segi kondisi serta kejadian financial untuk
membiayai pelaksanaan rehabilitasi.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 40.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 41.
Yang dimaksud dengan kemampuan fungsional secara maksimal adalah dapat melaksanakan fungsi organ
tubuhnya dalam rangka melaksanakan kegiatan dengan selayaknya sesuai dengan kecacatan yang disandang.
Pasal 42.
Cukup jelas.
Pasal 43.
Ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 44.
Cukup jelas.
Pasal 45.
Cukup jelas.
Pasal 46.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 47.
Cukup jelas.
Pasal 48.
Huruf a.
Asesmen pelatihan dimaksudkan sebagai kegiatan pendaftaran bagi penyandang cacat dalam rangka
menemukenali bakat, minat untuk menentukan jenis keterampilan yang akan diberikan.
Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan jabatan dimaksudkan sebagai proses pemberian penerangan tentang potensi diri
yang meliputi intelegensia, bakat, minat, dan kepribadian.
Huruf c.
Latihan keterampilan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu/kualitas tenaga kerja penyandang
cacat agar pemakai jasa tenaga kerja penyandang cacat merasa saling membutuhkan dan ditangani secara
profesional.
Huruf d.
Penempatan disini dimaksudkan sebagai penggunaan tenaga kerja penyandang cacat secara optimal dan
produktif berdasarkan prinsip penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaannya.
Huruf e.
Pembinaan lanjut ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dan pengembangan kemampuan penyandang
cacat.
Pasal 49.
Cukup jelas.
Pasal 50.
Cukup jelas.
Pasal 51.
Huruf a.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan/mendorong penyandang cacat dalam mengikuti
program rehabilitasi sosial.
Huruf b.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kemauan dan kemampuan penerimaan pelayanan serta
pembinaan ketaqwaan.
Huruf c.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara kesehatan jasmani dan perkembangannya.
Huruf d.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan peserta latih secara perseorangan agar
dapat mengatasi segala permasalahan sosial yang dihadapi.
Huruf e.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial
penyandang cacat agar mau dan mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalamannya.
Huruf f.
Kegiatan ini ditujukan kepada penyandang cacat yang mempunyai kelainan tambahan agar dapat menunjang
dalam kegiatan lainnya.
Huruf g.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar
terjadi integrasi sosial dalam hidup bermasyarakat.
Huruf h.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar
usaha/kerja yang dilakukan dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Huruf i.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat
dalam hidup bermasyarakat.
Pasal 52.
Cukup jelas.
Pasal 53.
Cukup jelas.
Pasal 54.
Cukup jelas.
Pasal 55.
Cukup jelas.
Pasal 56.
Cukup jelas.
Pasal 57.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 58.
Cukup jelas.
Pasal 59.
Cukup jelas.
Pasal 60.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 61.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 62.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Huruf a.
Penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan oleh Menteri dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b.
Bimbingan dan penyuluhan dilakukan agar bagi yang merawat penyandang cacat yang bersangkutan dapat
memberikan perlindungan dan pelayanan sosial secara tepat dan benar sehingga dapat terwujud taraf hidup
yang wajar bagi penyandang cacat.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 63.
Cukup jelas.
Pasal 64.
Cukup jelas.
Pasal 65.
Cukup jelas.
Pasal 66.
Cukup jelas.
Pasal 67.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Peran masyarakat yang besifat wajib misalnya keharusan bagi pengusaha untuk mempekerjakan penyandang
cacat sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
Pasal 68
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 69.
Cukup jelas.
Pasal 70.
Cukup jelas.
Pasal 71.
Cukup jelas.
Pasal 72.
Cukup jelas.
Pasal 73.
Cukup jelas.
Pasal 74.
Cukup jelas.
Pasal 75,
Cukup jelas.
Pasal 76.
Cukup jelas.
Pasal 77.
Cukup jelas.
Pasal 78.
Cukup jelas.
Pasal 79.
Cukup jelas.
Pasal 80.
Cukup jelas.
Pasal 81.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 82.
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Pasal 83.
Ayat (1).
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan termasuk penyandang cacat, kelompok, badan hukum
atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang sosial.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 84.
Cukup jelas.
Pasal 85.
Cukup jelas.
Pasal 86.
Cukup jelas.
Pasal 87.
Cukup jelas.
Pasal 88.
Cukup jelas.
TENTANG
Menimbang : Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi.
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Sertifikasi kerja adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif
melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia/dan atau
internasional.
2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
PEMBENTUKAN DAN TUGAS
Pasal 2
1. Membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut
dengan BNSP.
2. BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 3
Pasal 4
1 . Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat
memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP.
BAB III
ORGANISASI
Bagian Pertama
Keanggotaan
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Untuk menjadi Anggota BNSP, Calon Anggota BNSP harus memenuhi persyaratan :
Pasal 8
1. Untuk menunjang pelaksanaan tugas, BNSP dapat membentuk Komisi sesuai dengan kebutuhan yang
keanggotaanya berasal dari anggota BNSP.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh BNSP.
Bagian Ketiga
Sekretariat
Pasal 9
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh Kepala Sekretariat BNSP yang
melaksanakan tugasnya secara fungsional bertanggung jawab kepada BNSP.
3. Kepala Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dijabat oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dalam jabatan struktural Eselon IIa.
Pasal 10
1. Sekretariat BNSP dibentuk dan berada di lingkungan instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
2. Sekretariat BNSP terdiri sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian dan masing-masing terdiri dari 2 (dua) Sub
Bagian.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat BNSP sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 11
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
Pasal 12
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 13
1. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan dari
jabatan organiknya.
2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat
lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
Selain karena berakhirnya masa jabatan, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP diberhentikan apabila yang
bersangkutan :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
d. sakit yang berkepanjangan lebih dari 6 (enam) bulan dan/atau tidak mampu lagi melaksanakan tugas; atau
e. tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana mestinya.
BAB V
TATA KERJA
Pasal 15
Dalam melaksanakan tugas, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BNSP wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, dan transparansi, baik secara internal maupun eksternal.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja BNSP diatur oleh BNSP.
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 17
Setelah pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas BNSP dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja yang telah dilakukkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau telah diakui oleh lembaga internasional tetap dilaksanakan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2004
ttd
BAMBANG KESOWO
ttd
Lanbock Nahattands
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan pembentukan Badan Nasional
Sertifikasi Profesi yang independen untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja, baik yang berasal
dari lulusan pelatihan kerja dan/tenaga kerja yang telah berpengalaman. Badan Nasional Sertifikasi Profesi tersebut
sangat diperlukan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan
sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Dengan demikian, maka akan dapat dibangun suatu sistem sertifikasi
kompetensi kerja nasional yang diakui oleh semua pihak.
Keberadaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud di atas juga sangat penting dalam kaitannya
dengan penyiapan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar kerja global. Disamping
itu, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi akan memudahkan kerja sama dengan institusi-institusi
sejenis di negara-negara lain dalam rangka membangun saling pengakuan (mutual recognition) terhadap
kompetensi tenaga kerja masing-masing negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas, organisasi, keanggotaan, tata kerja, dan pembiayaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Walaupun sertifikasi kompetensi kerja dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Badan Nasional Sertifikasi
Profesi, namun karena ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar di berbagai sektor, maka diperlukan
adanya lembaga sertifikasi profesi yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi
Profesi dalam melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Walaupun secara fungsional Sekretariat BNSP bertanggung jawab kepada BNSP, namun secara struktural dan
administratif merupakan unit organisasi di bawah unit Eselon I di lingkungan instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan/atau telah diakui oleh Lembaga Internasional misalnya Asosiasi-asosiasi Profesi atau Lembaga
Sertifikasi Profesi milik Pemerintah dan swasta yang telah diakui keberadaannya oleh Lembaga Internasional.
Lembaga Sertifikasi Profesi tersebut tetap melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan bidangnya
tanpa harus mendapatkan lisensi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya Lembaga Sertifikasi Profesi disini berkoordinasi dengan BNSP.
Pasal 19
Cukup jelas
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab
untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang
satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik
Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dalam rangka
melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31
Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia;
Dengan Persetujuan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan
atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap
bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik.
5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB II
ASAS - ASAS DASAR
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai
hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh
siapapun.
Pasal 5
1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak
berpihak.
3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6
1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman.
Pasal 7
1. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.
2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian Kesatu
Hak Untuk Hidup
Pasal 9
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagian Kedua
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Pasal 10
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Hak Mengembangkan Diri
Pasal 11
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Pasal 12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan
dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab,
berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia.
Pasal 14
1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan
bagi tersangka.
4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
1. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta
kekayaan milik yang bersalah.
2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Bagian Kelima
Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 20
Pasal 21
Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek
penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 22
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 23
Pasal 24
1. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan
tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
1. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.
2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang
bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Hak Atas Rasa Aman
Pasal 28
1. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.
2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 29
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik
tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 33
1. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang
menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang ini.
Hak Ketujuh
Hak Atas Kesejahteraan
Pasal 36
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 37
1. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian
yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak
diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti
kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 38
1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak
atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya
berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Pasal 39
Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi
melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 41
1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan
dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Bagian Kedelapan
Hak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 43
1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan
kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kesembilan
Hak Wanita
Pasal 45
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47
Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status
kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan.
Pasal 49
1. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan
peraturan perundang-undangan.
2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-
hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya.
Pasal 51
1. Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya
atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan
suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kesepuluh
Hak Anak
Pasal 52
1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum
bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 53
1. Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
2. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus
atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri,
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas
dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 56
1. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan
Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
1. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh
orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua
orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
orang tua.
3. Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua
yang sesungguhnya.
Pasal 58
1. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak
lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak
yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59
1. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri,
kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 60
1. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
2. Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya
demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61
Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan
fisik dan mental spiritualnya.
Pasal 63
Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan
peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang
membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental
spiritualnya.
Pasal 65
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.
Pasal 66
1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan
hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan
memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa,
kecuali demi kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan
Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IV
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum
tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 69
1. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak
asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya.
Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-
undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
BAB V
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia
yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72
Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
BAB VI
PEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang
lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-
undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 76
1. Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.
2. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesinal, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati
cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia.
3. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
4. Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 81
1. Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.
2. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.
3. Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.
4. Sekretariat Jenderal diusulkan oleh sidang paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
5. Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 82
Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas
HAM.
Pasal 83
1. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
2. Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
3. Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.
4. Masa jabatan keanggotaan Komnas Hak Asasi Manusia selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 84
Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah warga negara Indonesia yang :
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi
manusianya;
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;
c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara;
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 85
1. Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
2. Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1(satu) tahun
secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan
martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 87
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan
dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 89
1. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan
saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai
pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian dari penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik tingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
2. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan
non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
3. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar
keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan
bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam
proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 90
1. Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan
laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.
2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan
keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
3. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak
yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan
pertimbangan Komnas HAM.
4. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui
perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 91
1. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila :
a. tidak memiliki bukti awal yang memadai;
b. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;
c. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau
e. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 92
1. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau
terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan
identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau
pemantauan.
2. Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti
lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
3. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan
atau bukti lainnya tersebut dapat :
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan
Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu
perkara pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau
h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang;
Pasal 93
Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94
(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.
(2) (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan,
maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.
Pasal 95
Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM
dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 96
1. Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM
yang ditunjuk sebagai moderator.
2. Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh moderator.
3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara
hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
4. Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan
tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa".
5. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta
kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan
Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98
Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib Komans HAM.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas
HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
Pasal 103
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi,
lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama dengan Komnas
HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IX
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 104
1. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
Peradilan Umum.
2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun.
3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
BAB X
KETENTUAN
Pasal 105
1. Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.
2. Pada saat berlakunya Undang-undang ini :
a. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini.
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan
c. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan
Undang-undang ini.
3. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas
dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
ttd
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
ttd
MULADI
Edy
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG
UMUM
Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti
mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi
manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas
(bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap
orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap
organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara dan pemerintah
bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara
dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya
itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan,
jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun
horisontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang
berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan,
atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan,
penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama
beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang
seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa.
Untuk melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Negara Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyerbarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Disamping kedua sumber hukum di atas, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi internasional
mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. Pada dasarnya, manusia dianugerai jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh
Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya;
c. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya(homa homini lupus).
d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia lain,
sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di
dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur
negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak -hak Anak, dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau
tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan,
hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai
kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.
Di samping itu, Undang-undang ini mengatur mengenai Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai
lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang partisipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas
pelanggaran hak asasi manusia, pengajuan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia
dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Hak asasi manusia dan kebebasan tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara
Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan
moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan apapun" termasuk perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Yang dimaksud dengan "siapun" adalah Negara, Pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat yang rentan" antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Pasal 6
Ayat (1)
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk
membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti misalnya, oleh Komnas HAM atau
oleh pengadilan, termasuk upaya untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali
ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan negeri tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam Pasal ini
dimaksudkan bahwa mereka yang ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk
menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedics) sebelum
menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapatkan tanggapan dari
forum hukum nasional.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas
kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan
yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan
dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut masih dapat
diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perkawinan yang sah" adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau
tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "seluruh harta kekayaan milik yang bersalah" adalah harta yang bukan berasal dari pelanggaran
atau kejahatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "menjadi obyek penelitian" adalah kegiatan menempatkan seseorang sebagai pihak yang
dimintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadi serta direkam
gambar-gambar dan suaranya.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hak untuk bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya" adalah hak setiap orang untuk
beragama menurut keyakinannya sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari
suaka.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tidak boleh diganggu" adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam
tempat kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penghilangan paksa" dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan "penghilangan
nyawa" adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hak milik mempunyai fungsi sosial" adalah bahwa setiap penggunaan hak milik harus
memperhatikan kepentingan umum. Apabila kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar maka hak
milik dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "tidak boleh dihambat" adalah bahwa setiap orang atau pekerja tidak dapat dipaksa untuk
menjadi anggota atau untuk tidak menjadi anggota dari suatu serikat pekerja.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "berhak atas jaminan sosial" adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan " kemudahan dan perlakuan khusus" adalah pemberian pelayanan, jasa, atau penyediaan fasilitas
dan sarana demi kelancaran, keamanan, kesehatan, dan keselamatan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita
untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju
keadilan dan kesetaraan jender.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi" adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan
dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, dan bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanggung jawab yang sama" adalah pelayanan suatu kewajiban yang dibebankan kepada kedua
orang tua dalam hal pendidikan, biaya hidup, kasih sayang, serta pembinaan masa depan yang baik bagi anak.
Yang dimaksud dengan "kepentingan terbaik bagi anak" adalah sesuai dengan hak anak sebagaimana tercantum dalam
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "suatu nama" adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan
atau nama marga.
Pasal 54
Pelaksanaan hak anak yang cacat fisik dan atau mental atas biaya negara diutamakan bagi kalangan yang tidak mampu.
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Pasal ini berkaitan dengan perceraian orang tua anak, atau dalam hal kematian salah satu seorang dari orang tuanya, atau
dalam hal kuasa asuh orang tua dicabut, atau bila anak disiksa atau tidak dilindungi atau ketidakmampuan orang tuanya.
Pasal 60
Ayat (1)
Pendidikan dalam ayat ini mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produksi,
peredaran, dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Pembatasan yang dimaksud dalam Pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-
derogable lights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9. Yang dimaksud dengan "kepentingan bangsa"
adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Pasal 74
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau
mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan dalam Undang-undang ini, sehingga mengakibatkan
berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-undang ini.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "diresmikan oleh Presiden" adalah dalam bentuk Keputusan Presiden. Peresmian oleh Presiden
dikaitkan dengan kemandirian Komnas HAM. Usulan Komnas HAM yang dimaksud, harus menampung seluruh aspirasi
dari berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan, yang jumlahnya paling banyak 70 (tujuh
puluh) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Keputusan tentang pemberhentian dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan dan
diberikan hak untuk membela diri dalam Sidang Paripurna yang diadakan khusus untuk itu.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penyelidikan dan pemeriksaan" dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data,
informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik" antara lain mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mediasi" adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para
pihak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pengaduan melalui perwakilan" adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau
kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau dasar kesamaan
kepentingan hukumnya.
Pasal 91
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "itikad buruk" adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya
pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar, dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan
pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok, dan atau masyarakat. Yang dimaksud dengan "tidak ada
kesungguhan" adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah
3 (tiga) kali dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat 91)
dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar
Jawa dan Madura
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediatur kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Ayat (4)
Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekutif) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui
Komnas HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat
dilaksanakan oleh pengadilan, maka pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut.
Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini, maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan
mengajukan gugatan melalui pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judical killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimanation).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengadilan yang berwenang" meliputi empat lingkungan peradilan sesuai dengan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
TENTANG
MENGENAI
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang keempat puluh pada tanggal 5 Juni 1957, dan
Setelah mempertimbangkan masalah kerja paksa, yang tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan
Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perbudakan, 1926, mengatur bahwa semua tindakan yang diperlukan harus
diambil untuk mencegah kerja paksa atau kerja wajib berkembang menjadi keadaan yang sama dengan perbudakan
dan bahwa Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan dan Lembaga Perbudakan serta
praktek yang sama dengan Perbudakan, 1956, mengatur tentang penghapusan sepenuhnya atas perbudakan (karena
lilitan hutang dan pengolahan tanah), dan
Setelah memperhatikan bahwa Konvensi Perlindungan Upah, 1949, menentukan bahwa upah harus dibayar teratur
dan melarang cara pembayaran yang menghalangi pekerja dari kemungkinan yang murni untuk mengakhiri hubungan
kerjanya, dan
Setelah memutuskan tentang penerimaan usulan selanjutnya yang menyangkut penghapusan bentuk-bentuk tertentu
dari kerja paksa atau kerja wajib yang merupakan pelanggaran hak manusia sebagaimana tertera dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia, dan
Menerima pada tanggal 5 Juni tahun 1957 Konvensi berikut, yang dapat disebut sebagai Konvensi Penghapusan Kerja
Paksa, 1957:
Pasal 1
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan
menggunakan kerja paksa dalam bentuk apapun -
(a) Sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman atas pemahaman atau pernyataan
pandangan politik atau secara ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial dan ekonomi
yang sah;
(b) Sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja untuk maksud pembangunan ekonomi;
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini wajib mengambil tindakan efektif
untuk menjamin penghapusan segera dan sepenuhnya atas kerja paksa atau kerja wajib sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 1 Konvensi ini.
Pasal 3
Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.
Pasal 4
1. Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah
didaftarkan pada Direktur Jenderal.
2. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
3. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.
Pasal 5
1. Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya masa sepuluh tahun dari
tanggal Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur
Jenderal Kantor Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu
tahun setelah tanggal pendaftarannya.
2. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.
Pasal 6
1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran dari semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan
kepadanya oleh para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.
2. Pada saat memberitahukan para Anggota Organisasi tentang pendaftaran ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.
Pasal 7
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan rincian lengkap
tentang semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan Pasal-Pasal
sebelumnya.
Pasal 8
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.
Pasal 9
1. Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain –
(a) Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan
segera atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru
yang mengubah itu sudah berlaku;
(b) Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi
oleh para Anggota.
2. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.
Pasal 10
Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 1999
TENTANG
MENGENAI
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah bertemu dalam
sidangnya yang kelima puluh delapan pada tanggal 6 Juni 1973, dan
Setelah memutuskan untuk menerima beberapa usul mengenai usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja, yang
tercantum dalam butir keempat dari agenda sidang, dan
Memperhatikan syarat-syarat dari Konvensi Usia Minimum (industri) tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (laut)
tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (pertanian) tahun 1921, Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api) tahun
1921, Konvensi Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1932, Konvensi (revisi) Usia Minimum (laut) tahun
1936, Konvensi (revisi) Usia Minimum (pekerjaan non industri) tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (nelayan) tahun
1959 dan Konvensi Usia Minimum (kerja di bawah tanah) tahun 1965, dan
Menimbang bahwa telah tiba waktunya untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai hal itu, yang secara
berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas,
dengan tujuan untuk seluruhnya menghapus pekerja anak, dan
Setelah menetapkan bahwa naskah ini harus berbentuk Konvensi internasional ;
Menerima pada tanggal 26 Juni 1973 Konvensi di bawah ini yang dapat disebut Konvensi Usia Minimum tahun 1973:
Pasal 1
Setiap Anggota terhadap siapa Konvensi ini berlaku menanggung untuk menempuh suatu kebijaksanaan nasional yang
dibentuk untuk menjamin dihapuskannya kerja anak secara efektif dan untuk secara progresif menaikkan usia
minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari orang muda.
Pasal 2
1. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada ratifikasinya,
harus menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam wilayahnya dan pada alat
pengangkutan yang terdaftar dalam wilayahnya, tergantung pada Pasal 4 sampai 8 Konvensi ini, tidak seorang
pun di bawah umur yang ditetapkan di situ diperbolehkan masuk kerja atau bekerja dalam suatu jabatan;
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini selanjutnya dapat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional dengan pernyataan lebih lanjut, bahwa ia telah menetapkan usia minimum, yang
lebih tinggi dari yang telah ditetapkan sebelumnya;
3. Usia minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan ayat 1 Pasal ini, tidak boleh kurang dari usia tamat
sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari 15 tahun;
4. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 3 Pasal ini, suatu Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya
tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan jika
yang demikian itu ada, sebagai permulaan dapat menetapkan usia minimum 14 tahun;
5. Setiap Anggota yang telah menetapkan usia minimum 14 tahun sesuai dengan ketentuan ayat terdahulu, di dalam
laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi ini yang disampaikan berdasarkan pasal 22 Konstitusi Organisasi
Perburuhan Internasional, harus menyatakan :
a. bahwa alasan yang menyebabkan dia berbuat demikian masih terus ada;
b. bahwa ia melepaskan haknya untuk menggunakan ketentuan tersebut mulai suatu tanggal yang dinyatakan.
Pasal 3
Usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau karena
keadaan lingkungan dimana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau
moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun.
1. Jenis pekerjaan atau kerja terhadap mana ayat 1 Pasal ini berlaku, harus ditetapkan dengan undang-undang atau
peraturan nasional atau oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada.
2. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 Pasal ini, undang-undang atau peraturan nasional atau penguasa yang
berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian
itu ada, dapat memperbolehkan orang muda berusia 16 tahun ke atas bekerja, dengan syarat bahwa kesehatan,
keselamatan dan moral orang muda yang bersangkutan cukup dilindungi dan bahwa orang muda itu telah menerima
pelajaran atau latihan kejuruan khusus mengenai cabang kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 4
1. Sejauh mana diperlukan, maka penguasa yang berwenang setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan
buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dapat mengecualikan dari berlakunya Konvensi ini jenis
pekerjaan atau kerja yang terbatas, dalam hubungan mana berlakunya Konvensi ini menimbulkan masalah yang
khas dan berat.
2. Setiap Anggota yang meratifikasi Konvensi ini dalam laporannya yang pertama mengenai pelaksanaan Konvensi
yang disampaikan berdasarkan pasal 22 dari Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional, harus memberikan
daftar dari setiap jenis yang telah dikecualikan menurut Ketentuan ayat 1 Pasal ini, harus memberikan alasan
mengapa dikecualikan, dan dalam laporan berikutnya harus menyatakan kedudukan hukum dan praktek di
negerinya terhadap jenis yang dikecualikan itu, dan sampai berapa jauh Konvensi ini telah diberlakukan atau telah
diusulkan untuk diberlakukan terhadap jenis tersebut.
3. Pekerjaan atau kerja yang dicakup dalam Pasal 3 Konvensi ini tidak boleh dikecualikan dari pelaksanaan Konvensi
menurut Pasal ini.
Pasal 5
Anggota yang ekonomi dan fasilitas pemerintahannya tidak cukup berkembang, setelah berkonsultasi dengan
organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jka yang demikian itu ada, dapat pada permulaan membatasi
ruang lingkup berlakunya Konvensi ini.
1. Setiap Anggota yang mempergunakan ketentuan ayat 1 Pasal ini, dalam suatu pernyataan yang dilampirkan pada
ratifikasinya, harus memperinci cabang kegiatan ekonomi atau jenis perusahaan terhadap mana ketentuan Konvensi
ini akan diberlakukan olehnya.
2. Ketentuan Konvensi ini harus berlaku sebagai minimum bagi yang berikut : pertambangan dan penggalian; pabrik,
bangunan, listrik, gas dan air, jasa kebersihan, pengangkutan, pergudangan dan perhubungan, serta perkebunan dan
perusahaan pertanian lainnya yang terutama menghasilkan Unitika maksud perdagangan, akan tetapi megecualikan
perusahaan keluarga dan kecil yang menghasilkan untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempergunakan
tenaga bayaran.
3. Setiap Anggota yang membatasi ruang lingkup berlakunya Konvensi ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini :
a. harus menunjukkan dalam laporannya sesuai dengan pasal 22 Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional,
kedudukan umum tentang pekerjaan dan kerja orang muda dan anak-anak dalam cabang kegiatan yang dikecualikan
dari ruang lingkup berlakunya Konvensi ini dan setiap kemajuan yang mungkin telah dicapai ke arah pelaksanaan
yang lebih luas dari ketentuan Konvensi ini.
b. dapat setiap waktu secara formal memperluas ruang lingkup berlakunya itu dengan suatu pernyataan yang
dialamatkan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional.
Pasal 6
Konvensi ini tidak berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak dan orang muda di sekolah untuk pendidikan
umum, kejuruan atau teknik atau di lembaga pelatihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh orang muda yang
sekurang-kurangnya berusia 14 tahun dalam perusahaan, dimana pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang
bersangkutan, jika yang demikian itu ada, dan merupakan bagian integral dari :
a. suatu kursus pendidikan atau pelatihan yang penanggung jawab utamanya adalah suatu sekolah atau lembaga
pelatihan;
b. suatu program pelatihan yang untuk sebagian besar atau seluruhnya dilakukan dalam suatu perusahaan, yang
telah disetujui oleh penguasa yang berwenang; atau
c. suatu program bimbingan atau orientasi yang bertujuan untuk mempermudah pemilihan suatu jabatan atau suatu
jurusan pelatihan.
Pasal 7
Undang-Undang atau peraturan nasional dapat mengizinkan dipekerjakannya atau bekerjanya orang-orang berusia 13
sampai 15 tahun dalam pekerjan-pekerjaan yang ;
1. Undang-Undang atau peraturan nasional dapat juga mengizinkan dipekerjakannya atau diterimanya orang
yang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun, untuk bekerja akan tetapi belum menyelesaikan pendidikan
sekolah wajib dalam pekerjaan yang telah memenuhi pesyaratan yang ditetapkan dalam sub ayat (a) dan (b)
ayat 1 Pasal ini.
2. Penguasa yang berwenang harus menetapkan kegiatan dimana pekerja atau kerja dapat diizinkan berdasarkan
ayat 1 dan 2 Pasal ini dan harus menetapkan jumlah jam kerja selama mana dan dalam kondisi bagaimana
pekerjaan atau kerja semacam itu dapat dilakukan.
3. Tanpa mengindahkan ketentuan ayat 1 dan 2 Pasal ini, Anggota yang telah menyatakan mempergunakan
ketentuan ayat 4 Pasal 2, selama masih menghendaki terus melakukan demikian dapat menggantikan usia 12
dan 14 tahun untuk usia 13 dan 15 tahun dalam ayat 1 dan usia 14 tahun usia 15 tahun dalam ayat 2 Pasal ini.
Pasal 8
Setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan buruh yang bersangkutan, jika yang demikian itu ada,
penguasa yang berwenang dengan izin yang diberikan untuk tiap keadaan tersendiri, memperbolehkan pengecualian
larangan pekerjaan atas kerja sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi ini, untuk maksud seperti turut serta
dalam kegiatan kesenian.
1. Izin yang diberikan seperti itu harus membatasi lamanya jam kerja dan harus menetapkan kondisi dimana
pekerjaan atau kerja itu diperbolehkan.
Pasal 9
1. Segala tindakan yang perlu, termasuk penentuan hukuman yang setimpal, harus diambil oleh penguasa yang
berwenang untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari ketentuan Konvensi ini.
2. Undang-Undang atau peraturan nasional harus menetapkan orang-orang yang bertanggung jawab atas ditaatinya
ketentuan yang memberlakukan Konvensi ini.
3. Undang-Undang atau peraturan nasional atau penguasa yang berwenang harus menetapkan, daftar dan dokumen
lain yang harus dipelihara dan disediakan oleh pengusaha, daftar dan dokumen seperti itu harus memuat nama-
nama dan usia atau tanggal lahir, sedapat mungkin dibuat dengan keterangan yang sah, dari orang yang
dipekerjakan olehnya atau yang bekerja untuknya dan yang berusia kurang dari 18 tahun.
Pasal 10
Konvensi ini merevisi, menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal ini, Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun
1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia Minimum (Pertanian), tahun 1921, Konvensi Usia
Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, Konvensi Usia Minimum, (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1932,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri), tahun 1937,
Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, Konvensi Usia Minimum (Nelayan) tahun
1959, dan Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Di bawah Tanah) tahun 1965.
1. Mulai berlakunya Konvensi ini tidak menutup kemungkinan untuk diratifikasinya Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Laut), tahun 1936, Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, Konvensi (Revisi) Usia
Minimum (Nelayan), tahun 1959, Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Dibawah Tanah) tahun 1965.
2. Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, Konvensi Usia
Minimum (Pertanian), tahun 1921, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, akan
ditutup untuk ratifikasi selanjutnya, jika semua pihak yang telah meratifikasinya telah setuju untuk menutupnya
dengan jalan meratifikasi Konvensi ini atau dengan suatu pernyataan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal
Kantor Perburuhan Internasional.
3. Jika kewajiban Konvensi ini telah diterima :
a. oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum (Industri) tahun 1937, dan
telah menetapkan Usia Minimum tidak kurang dari 15 tahun menurut ketentuan Pasal 2 Konvensi ini, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
b. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan Non-
Indusri), tahun 1932, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, maka itu berarti pembatalan
Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
c. dalam hal pekerjaan non-industri sebagai yang ditetapkan dalam Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Pekerjaan Non-Industri), tahun 1937, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi itu, dan telah
menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini, maka itu berarti
pembatalan segera Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
d. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi (Revisi) Usia Minimum
(Laut), tahun 1936, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 12
Konvensi ini atau Anggota itu menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim, maka
itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
e. dalam hal pekerjaan maritim, oleh Anggota yang tadinya telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum
(Nelayan), tahun 1959, dan telah menetapkan usia minimum tidak kurang dari 15 tahun berdasarkan Pasal 2
Konvensi ini atau Anggota itu telah menetapkan bahwa Pasal 3 Konvensi ini berlaku bagi pekerjaan maritim,
maka itu berarti pembatalan Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum,
f. oleh Anggota yang telah meratifikasi Konvensi Usia Minimum (Pekerjaan di bawah Tanah), tahun 1965, dan
telah menetapkan usia minimum menurut Pasal 2 Konvensi yang tidak kurang dari usia minimum yang
ditetapkan berdasarkan Konvensi itu atau Anggota itu menetapkan bahwa usia itu berlaku bagi pekerjaan di
bawah tanah dalam pertambangan berdasarkan Pasal 3 Konvensi itu pada saat itu juga karena hukum, jika
dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.
a. berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Industri), tahun 1919, sesuai dengan Pasal 12 Konvensi itu;
b. dalam hal pertanian berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Pertanian) tahun 1921, sesuai dengan Pasal
9 Konvensi itu;
c. dalam hal pekerjaan maritim berarti pembatalan Konvensi Usia Minimum (Laut), tahun 1920, sesuai dengan
Pasal 10 Konvensi itu, dan Konvensi Usia Minimum (penghias dan juru api), tahun 1921, sesuai dengan Pasal
12 Konvensi itu; Jika dan pada waktu Konvensi ini mulai berlaku.
Pasal 11
Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.
Pasal 12
Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional, yang ratifikasinya telah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.
1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Selanjutnya, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah ratifikasinya terdaftar.
Pasal 13
1. Anggota yang telah merafitikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya sepuluh tahun sejak
tanggal mulai berlakunya Konvensi, dengan suatu ketentuan yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Kantor
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pembatalan itu tidak akan berlaku sebelum lewat satu tahun sesudah
tanggal pendaftarannya.
2. Setiap Anggota yang telah meratifikasi Konvensi ini dan, dalam tahun berikutnya setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun sebagai tersebut dalam ayat terdahulu, tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal ini, akan tetap terikat untuk masa sepuluh tahun lagi dan, sesudah itu, dapat
membatalkan Konvensi ini pada waktu berakhirnya setiap masa sepuluh tahun menurut ketentuan yang tercantum
dalam pasal ini.
Pasal 14
1. Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional mengenai pendaftaran semua ratifikasi dan pembatalan yang disampaikan kepadanya
oleh Anggota Organisasi.
2. Pada waktu memberitahukan kepada Anggota Organisasi mengenai pendaftaran ratifikasi kedua yang
disampaikan kepadanya, Direktur Jenderal harus memperingatkan Anggota Organisasi akan tanggal mulai
berlakunya Konvensi.
Pasal 15
Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk didaftarkan sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, keterangan
lengkap mengenai semua ratifikasi keterangan dan pembatalan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal yang terdahulu.
Pasal 16
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus menyampaikan
sebuah laporan mengenai pelaksanaan Konvensi ini kepada Konvensi Umum, dan harus meneliti apakah peninjauan
kembali seluruh atau sebagian Konvensi ini perlu dimasukkan dalam agenda Konperensi.
Pasal 17
1. Apabila Konperensi menerima sebuah Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian,
maka, kecuali Konvensi yang baru itu menetapkan lain ;
a. ratifikasi Konvensi revisi baru itu oleh Anggota berarti pembatalan Konperensi ini pada saat itu juga, karena
hukum tanpa mengindahkan ketentuan Pasal 13 di atas, jika dan pada waktu Konvensi revisi yang baru itu
mulai berlaku;
b. sejak tanggal mulai berlakunya Konvensi baru yang telah diubah itu Konvensi ini tidak akan terbuka lagi
untuk ratifikasi oleh Anggota.
1. Bagaimanapun juga Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isi seperti yang asli bagi Anggota yang
telah meratifikasinya dan tidak meratifikasi Konvensi yang baru.
Pasal 18
Bunyi naskah Konvensi ini dalam bahasa Inggris dan Perancis kedua-duanya adalah resmi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1999
TENTANG
MENGENAI
Setelah disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional dan yang mengadakan
sidangnya yang keempat puluh dua pada tanggal 4 Juni 1958, dan
Setelah memutuskan untuk menyetujui usul-usul tertentu tentang diskriminasi di bidang pekerjaan dan jabatan, yang
merupakan soal keempat dalam acara sidang, dan
Setelah menetapkan bahwa usul-usul itu harus dalam bentuk Konvensi internasional, dan
Dengan mempertimbangkan bahwa Deklarasi Philadelphia menyatakan bahwa manusia semuanya, tanpa memandang
ras, kepercayaan, jenis kelamin, berhak untuk mengejar baik kesejahteraan materil maupun kemajuan spirituil dalam
suasana bebas dan
terhormat, dan dalam suasana kemantapan ekonomis dan kesamaan kesempatan, dan
Dengan mempertimbangkan juga bahwa diskriminasi merupakan pelanggaran hak-hak yang dinyatakan dalam
Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia,
Pada tanggal 25 Juni tahun 1958 menyetujui Konvensi berikut ini, yang dapat disebut sebagai Konvensi tentang
Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) tahun 1958 :
Pasal 1
a. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan
politik, kebangsaan atau asal dalam masyarakat, yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi persamaan
kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan lainnya yang akibatnya menghilangkan atau mengurangi
persamaan kesempatan atau persamaan perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh
Anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan organisasi yang mewakili pengusaha dan pekerja,
jika organisasi itu ada, dan dengan badan lain yang sesuai.
1. Perbedaan, pengecualian atau pilihan bentuk apapun juga mengenai suatu tugas tertentu yang didasarkan
pada persyaratan khas tugas itu, tidak dianggap sebagai suatu diskriminasi.
2. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "pekerjaan" dan "jabatan" meliputi juga kesempatan pelatihan
ketrampilan, kesempatan memperoleh pekerjaan dan kesempatan memperoleh jabatan tertentu, serta
ketentuan dan syarat kerja.
Pasal 2
Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk tercapainya suatu kebijaksanaan nasional yang
bertujuan untuk mendorong, dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan kebiasaan nasional, persamaan kesempatan
dan perlakuan di bidang pekerjaan dan jabatan, dengan tujuan untuk menghilangkan setiap diskriminasi di bidang itu.
Pasal 3
Setiap Anggota yang memberlakukan Konvensi ini berupaya untuk dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan
kebiasaan nasional :
a. memperoleh kerjasama dari organisasi pengusaha dan pekerja serta badan terkait lainnya untuk mendorong
diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
b. mengadakan perundang-undangan serta menganjurkan program pendidikan yang dapat diperkirakan akan
menjamin diterimanya dan ditaatinya kebijaksanaan ini;
c. menolak semua ketentuan peraturan dan mengubah petunjuk dan kebiasaan administratif yang tidak sesuai dengan
kebijaksanaan ini;
d. mendorong diberlakunya kebijaksanaan ini bagi pekerjaan yang langsung diawasi oleh penguasa nasional;
e. menjamin ditaatinya kebijaksanaan ini dalam kegiatan bimbingan ketrampilan, latihan ketrampilan serta jawatan
penempatan yang dipimpin oleh penguasa nasional;
f. mencantumkan dalam laporan tahunan tentang penerapan Konvensi ini tindakan apa yang telah diambil untuk
melaksanakan kebijaksanaan ini serta hasil yang dicapai dengan tindakan tadi.
Pasal 4
Setiap tindakan terhadap seseorang yang diperkirakan atau benar-benar melakukan kegiatan yang mengancam
keselamatan Negara, tidak dianggap sebagai diskriminasi, asal yang bersangkutan diberi hak untuk membela diri
dalam suatu badan yang berwenang yang diadakan sesuai dengan kebiasaan nasional.
Pasal 5
1. Langkah-langkah khusus Unitika perlindungan atau bantuan yang telah diatur dalam Konvensi atau Rekomendasi
yang lain yang telah disetujui oleh Sidang Perburuhan Internasional, tidak dianggap sebagai diskriminasi.
2. Setiap Anggota dapat, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja, jika ada, menetapkan
bahwa harus diambil langkah-langkah khusus yang lain untuk memenuhi kebutuhan khas dari orang-orang, yang
karena jenis kelamin, usia, cacad, tanggung-jawab keluarga atau status sosial atau budaya, yang secara umum
diakui memerlukan lindungan atau bantuan khusus, dan langkah-langkah itu tidak dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal 6
Setiap Anggota yang menandatangani Konvensi ini akan berupaya menerapkannya di wilayah-wilayah non-
metropolitan, sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional.
Pasal 7
Ratifikasi formal dari Konvensi ini harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal Kantor Perburuhan Internasional
untuk didaftarkan.
Pasal 8
Konvensi ini mengikat hanya para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang ratifikasinya sudah didaftarkan
pada Direktur Jenderal.
1. Konvensi ini mulai berlaku duabelas bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua Anggota didaftarkan pada Direktur
Jenderal.
2. Setelah itu, Konvensi ini mulai berlaku untuk semua Anggota duabelas bulan setelah tanggal ratifikasinya
terdaftar.
Pasal 9
Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dapat mencabutnya setelah berakhirnya seputuh tahun dari tanggal
Konvensi ini pertama kali berlaku, dengan sebuah keterangan yang diberitahukan kepada Direktur Jenderal Organisasi
Perburuhan Internasional untuk didaftarkan. Pencabutan demikian tidak berlaku sebelum satu tahun setelah tanggal
pendaftarannya.
1. Tiap Anggota yang sudah meratifikasi Konvensi ini dan yang dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya masa
sepuluh tahun tersebut dalam ayat di atas tidak memberlakukan hak untuk mencabut sebagaimana ditentukan
dalam Pasal ini, akan terkait untuk masa sepuluh tahun lagi, dan setelah itu, dapat mencabut Konvensi ini pada
waktu berakhirnya tiap masa sepuluh tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini.
Pasal 10
Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada semua Anggota Organisasi
Perburuhan Internasional tentang pendaftaran semua ratifikasi dan pencabutan yang diberitahukan kepadanya oleh
para Anggota Organisasi Perburuhan Internasional.
1. Bila memberitahu kepada para Anggota Organisasi tentang pendaftaran dari ratifikasi kedua yang diberitahukan
kepadanya, maka Direktur Jenderal meminta perhatian para Anggota Organisasi tentang tanggal Konvensi ini
akan mulai berlaku.
Pasal 11
Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional akan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendaftaran rincian lengkap
semua ratifikasi dan peraturan pencabutan yang didaftarkannya sesuai dengan ketentuan dari Pasal-Pasal sebelumnya.
Pasal 12
Pada waktu-waktu yang dianggap perlu olehnya, Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional harus
menyampaikan kepada Konperensi Umum suatu laporan tentang perkembangan Konvensi ini dan akan memeriksa
apakah perlu untuk mencantumkan dalam agenda Konperensi pembahasan tentang perubahannya secara keseluruhan
atau sebagian.
Pasal 13
Bila Konperensi menetapkan suatu Konvensi baru yang mengubah Konvensi ini seluruhnya atau sebagian, maka,
kecuali Konvensi baru itu menentukan lain :
a. Ratifikasi oleh Anggota atas Konvensi baru yang mengubah itu akan secara hukum merupakan pencabutan segera
atas Konvensi ini, tanpa mengurangi ketentuan dari Pasal 5 di atas, jika dan bilamana Konvensi baru yang
mengubah itu sudah berlaku;
b. Sejak tanggal Konvensi baru yang mengubah itu berlaku, maka Konvensi ini tidak dapat lagi diratifikasi oleh para
Anggota.
1. Konvensi ini akan tetap berlaku dalam bentuk dan isinya yang sebenarnya untuk para Anggota yang sudah
meratifikasinya tetapi belum meratifikasi Konvensi yang mengubah itu.
Pasal 14
Versi bahasa Inggris dan bahasa Perancis dari Konvensi ini berlaku sama kuatnya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 2
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.
ttd
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juni 2008.
ttd
ANDI MATTALATTA
ttd
Wisnu Setiawan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan efektivitas, peran dan fungsi LKS Tripartit maka
dibutuhkan jumlah keanggotaan yang cukup, sehingga jumlah keanggotaan
LKS Tripartit perlu ditambah dengan tetap memperhatikan karakteristik
perekonomian serta kemampuan penganggaran. Dalam kenyataannnya tidak
semua unsur dapat memenuhi persyaratan administrasi keanggotaan khususnya
persyaratan pendidikan, sehingga diubah menjadi serendah-rendahnya Sekolah
Menengah Atas(SMA/sederajat.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas.
Yth.
Pimpinan Perusahaan
di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004
TENTANG
Pekerja / buruh di dalam proses produksi barang dan jasa, tidak saja merupakan
sumber daya tapi juga sekaligus merupakan asset yang dapat dipisahkan dari upaya untuk
menjamin kelangsungan usaha. Oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu
dipelihara secara berkelanjutan dalam suasana hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
Namun apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat
membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah
merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut :
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan
direktur ;
b. Mengurangi shift ;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
d. Mengurangi jam kerja ;
e. Mengurangi hari kerja ;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara
waktu ;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa
kontraknya ;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Pemilihan alternatife dari hal - hal sebagaimana tersebut di atas perlu dibahas
terlebih dahulu dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan wakil pekerja / buruh
dalam hal di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja / serikat buruh untuk
mendapatkan kesepakatan secara biparte sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
pemutusan hubungan kerja.
MENTERI
Ttd.
FAHMI IDRIS
1. Nama Perusahaan :
...........................................................................................
2. Alamat Perusahaan :
...........................................................................................
3. Nama Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
4. Alamat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
5. Tanggal dan Tempat Perundingan :
...........................................................................................
7. Pendapat Pekerja/Buruh/SP/SB :
...........................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
8. Pendapat Pengusaha :
............................................................................................
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
...........................................................................................
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
........................................................................................
...
Batam, .........................................20.............
Pihak Pengusaha Pihak Pekerja/Buruh/SP/SB
________________________ ________________________
DAFTAR H AD IR
P E R U N D I N G A N
HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG I, II, III
MASALAH :
PIHAK
PENGUSAHA/ TANDA
NO NAMA ALAMAT KETERANGAN
PEKERJA/BURUH/ TANGAN
SP/SB
PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT
Nomor : Batam,...........................20................
Lampiran : 1 (Satu) berkas Kepada
Hal. : Permintaan Perundingan Yth. Sdr ...........................................
Dengan hormat,
Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara Bipartit maka
kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada,
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
1. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
2. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
....................
3. .........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
.........................................................................................................................................................
........................
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.
Pihak
*) Pengusaha/Pekerja/Buruh/SP/SB
............................................
1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
2. Nama :
Jabatan :
Alamat :
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 2 tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak Ke I dan Pihak Ke II telah mengadakan perundingan secara Bipartit dan telah tercapai
kesepakatan sebagai berikut :
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
....................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
............
Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat da lam keadaan sadar tanpa paksaan dari
pihak manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.
---------------------------- ---------------------------------------
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :PER.24/MEN/XII/2008.
TENTANG
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perencanaan Tenaga Kerja, yang selanjutnya disingkat PTK, adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematisyang dijadikan dasar dan
acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program
pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
2. Persediaan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang tersedia, dengan berbagai
karakteristiknya.
3. Kebutuhan tenaga kerja, adalah angkatan kerja yang diperlukan untuk mengisi
kesempatan kerja yang tersedia, dengan berbagai karakteristiknya.
4. Neraca tenaga kerja, adalah kesempatan atau kesenjangan antara persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan tenaga kerja, dengan berbagai karakteristiknya.
5. Metode penghitungan persediaan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
angkatan kerja secara statistika.
6. Metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja, adalah cara memperkirakan jumlah
kesempatan kerja secara statistika.
7. Penduduk Usia Kerja, yang selanjutnya disingkat PUK, adalah penduduk yang
berumur 15 (lima belas) tahun dan lebih atau disebut tenaga kerja.
8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat TPAK, adalah rasio
antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja.
9. Angkatan Kerja, yang selanjutnya disingkat AK, adalah penduduk usia kerja yang
bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran
yang aktif mencari pekerjaan.
10. Bekerja, adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam tidak terputus dalam seminggu.
11. Penganggur Terbuka, adalah mereka yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan serta yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
12. Tingkat Penganggur Terbuka, yang selanjutnya disingkat TPT, adalah rasio antara
banyaknya penganggur terbuka dengan jumlah angkatan kerja.
13. Kesempatan kerja, adalah lowongan pekerjaan yang diisi oleh pencari kerja, dan
pekerja yang sudah ada.
14. Produk Domestik Regional Bruto, yang selanjutnya disingkat PDRB, adalah jumlah
nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di
wialayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
15. Produktivitas Tenaga Kerja, adalah rasio antara produk berupa barang dan jasa,
dengan tenaga kerja yang digunakan baik individu maupun kelompok dalam satuan
waktu tertentu, yang merupakan besaran kontribusi tenaga kerja dalam pembentukan
nilai tambah suatu produk, pada proses kegiatan ekonomi.
16. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini dipergunakan sebagai acuan bagi Kementrian, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, dan pemerintah daerah dalam melakukan penghitungan persediaan dan
kebutuhan tenaga kerja.
Pasal 3
Metode penghitungan persediaan, dan metode penghitungan kebutuhan tenaga kerja,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan contoh penghitungan persediaan dan
kebutuhan Tenaga Kerja tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini, dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Meneteri ini.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 18 Desember 2008.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
1
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
TUJUAN, FUNGSI, DAN TUGAS
Pasal 2
2
Pasal 3
LKS Bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha
dengan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dalam rangka
pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan
perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh.
Pasal 4
BAB III
TATA CARA PEMBENTUKAN
Pasal 5
(1) LKS Bipartit dibentuk oleh unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 6
3
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(1) LKS Bipartit yang sudah terbentuk harus diberitahukan untuk dicatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah pembentukan.
(2) Pengurus LKS Bipartit menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara tertulis, baik langsung maupun tidak langsung dengan
melampirkan berita acara pembentukan, susunan pengurus, dan alamat
perusahaan.
(3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pemberitahuan instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan memberikan bukti penerimaan
pemberitahuan.
(4) Pemberitahuan pembentukan LKS Bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3
tidak dikenakan biaya.
BAB IV
KEPENGURUSAN
Pasal 10
Kepengurusan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh dengan komposisi 1:1 yang jumlahnya sesuai kebutuhan
dengan ketentuan sekurang-kurangnya 6 (enam) orang.
Pasal 11
(1) Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, wakil ketua,
sekretaris, dan anggota.
(2) Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh.
4
Pasal 12
(2) Pergantian kepengurusan LKS Bipartit sebelum berakhirnya masa jabatan dapat
dilakukan atas usul dari unsur yang diwakilinya.
Pasal 13
BAB V
TATA KERJA
Pasal 14
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 15
(1) Pembinaan LKS Bipartit dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat
mengikutsertakan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
5
BAB VII
PEMBIAYAAN DAN PELAPORAN
Pasal 16
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS
Bipartit dibebankan pada Perusahaan.
Pasal 17
(1) Pengurus LKS Bipartit melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada
pimpinan perusahaan.
(2) Pimpinan perusahaan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi.
(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali melaporkan kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP-255/MEN/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan
Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 19
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
(2) Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2
(dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi
melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-
bukti permintaan perundingan.
Pasal 4
2
2) apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan
yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat
memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;
5) dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati
paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;
b. tahap perundingan :
1) kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
2) kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis
dan jadwal perundingan yang disepakati;
3) dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan
dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana
mestinya;
4) para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang
disepakati;
5) dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka
para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari
kerja;
6) setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat
dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
7) setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh
para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani,
maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
8) hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-
kurangnya memuat :
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan;
6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
9) rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak
bersedia menandatanganinya;
3
c. tahap setelah selesai perundingan :
1) dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama;
2) apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh
bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Contoh bentuk permintaan perundingan secara bipartit, daftar hadir perundingan,
risalah perundingan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara bipartit,
perjanjian bersama, dan contoh permohonan pencatatan perselisihan hubungan
industrial sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran V
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, para pihak melakukan
hal-hal sebagai berikut :
a. pihak pengusaha agar :
1) memenuhi hak-hak pekerja/buruh tepat pada waktunya; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pekerja/buruh.
b. pihak pekerja/buruh agar :
1) melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; dan
2) membangun komunikasi yang baik dengan pihak pengusaha maupun dengan
serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 6
Perundingan bipartit yang berkaitan dengan penyusunan Perjanjian Kerja Bersama,
mengikuti prosedur yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP. 48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 08/MEN/III/2006.
Pasal 7
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 4
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
Dengan hormat,
Pihak
*)Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ttd
(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630 5
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
HARI :
TANGGAL :
TEMPAT :
ACARA : SIDANG ( I, II, III )
MASALAH :
PIHAK
NO. NAMA ALAMAT PENGUSAHA/ TANDA KETERANGAN
PEKERJA/ TANGAN
BURUH/
SERIKAT
PEKERJA/SERI
KAT BURUH
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Sunarno, SH, MH
NIP 730001630
6
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
...................., ....................200.....
(Nama) (Nama)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Sunarno, SH, MH 7
NIP 730001630
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
PERJANJIAN BERSAMA
Pada hari ini................ tanggal ....... bulan ......... tahun....... kami yang bertanda tangan
di bawah ini :
1. Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-1 (Pengusaha)
2. Nama :
Jabatan :
Alamat :
Yang selanjutnya disebut Pihak ke-2 (Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat
Buruh)
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) antara
Pihak ke-1 dan Pihak ke-2 telah mengadakan perundingan secara bipartit dan telah
tercapai kesepakatan sebagai berikut :
............................................................................................................................................
Kesepakatan ini merupakan perjanjian bersama yang berlaku sejak ditandatangani di
atas materai cukup.
Demikian Perjanjian Bersama ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa paksaan dari pihak
manapun, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang didasari itikad
baik.
(Nama) (Nama)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH 8
NIP 730001630
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER. 31/MEN/XII/2008
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PERUNDINGAN BIPARTIT
PERMOHONAN PENCATATAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Nomor : (Tempat), (tanggal).................................
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal : Permohonan pencatatan perselisihan
Hubungan Industrial
Kepada Yth.
Sdr.....................................
(instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan)
di –
Dengan hormat,
Setelah dilakukan upaya secara maksimal untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial antara :
1. Nama Perusahaan :
2. Jenis Usaha :
3. Alamat :
dengan
1. Nama Pekerja/Buruh/Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
2. Alamat Pekerja/Buruh/ Serikat Pekerja/Serikat Buruh :
dengan duduk permasalahan sebagai berikut :
- .................................................................................................................................................
- .........................................................................................................................................dst.
Permasalahan di atas telah dirundingkan secara bipartit, namun tidak menghasiklan
kesepakatan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (1)
dengan ini kami mohon bantuan Saudara untuk mencatat dan membantu menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dimaksud (risalah perundingan terlampir).
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Pihak Pengusaha/Pekerja/Buruh/
Serikat Pekerja/Serikat Buruh*)
ttd
(Nama)
*) Coret yang tidak perlu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA. M.Si.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH 9
NIP 730001630
PERATURAN BERSAMA
NOMOR : PER.21/MEN/XI/2008
NOMOR : 53/2008
NOMOR : 97/M-IND/11/2008
NOMOR : 48/M-DAG/PER/11/2008
TENTANG
Menimbang : a. Bahwa dalam upaya penyamaan persepsi mengenai makna dan penetapan upah
minimum sebagai diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian,
Dan Menteri Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008,
Nomor : 922.1/M-IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008 perlu
melakukan perubahan atas Peraturan Bersama tersebut ;
Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3214) ;
5. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4866).
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, Dan Menteri
Perdagangan. Nomor : PER.16/MEN/X/2008, Nomor : 49/2008, Nomor : 922.1/M-
IND/10/2008, Nomor : 39/M-DAG/PER/10/2008, tentang Pemeliharaan Momentum
Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian
Global :
Pasal 2
- Upaya agar Gubernur dalam menetapkan Upah minimum dan segala kebijakan
ketenagakerjaan di wilayahnya senantiasa mendukung kelangsungan berusaha
dan ketenangan bekerja dengan memperhatikan kemampuan dunia usaha
khususnya usaha padat karya ;
- Upaya untuk memperkuat pasar dalam negeri dan promosi penggunaan produk
dalam negeri ;
Pasal 3
Pasal II
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Nopember 2008
ttd ttd
ttd ttd
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR: SE. 358/MEN/SJ-OKP/IX/2008
TENTANG
I. Pendahuluan
• Urusan Pemerintahan;
• Besaran Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah;
• Rumusan Nomenklatur.
IV. Penutup
Penyusunan tugas-tugas bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian pada
pedoman ini menggunakan prinsip pola minimal namun untuk pelaksanaannya
diberikan kesempatan yang luas bagi masing-masing daerah untuk menyusun
organisasi perangkat daerahnya sesuai dengan kondisi, karakteristik serta
kemampuan masing-masing daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan
organisasi perangkat daerah, antara lain faktor kemampuan keuangan dan sumber
daya manusia, sarana dan prasarana penunjang yang tersedia, serta sasaran tugas
yang harus diwujudkan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
II KETENAGAKERJAAN
SKPD Model 1 PROVINSI /KABUPATEN/KOTA
a. 3 (tiga) Bidang Ketenagakerjaan a. Bidang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja - Seluruh Indonesia
(Jika Dinas paling banyak 18 Dinas) - Seksi Perencanaan dan Informasi Pasar kerja
- Seksi Pelatihan dan Produktivitas
- Seksi Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja
III KETRANSMIGRASIAN
2) KABUPATEN/KOTA
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
TTD
III - 57
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 58
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS III-65
CHAPTER II
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES III-68
Section One : Settlement Through the Bipartite Mechanism
Section Two : Settlement Through Mediation
Section One : Settlement Through Conciliation
Section One : Settlement Through Arbritation
CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-89
Section One : General
Section Two : Judge, Ad-Hoc Judge and Supreme Court Judge
Section One : Sub-Registrar Office and Substitute Registrar
Section One : Settlement Through Arbritstion
CHAPTER IV
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT III-97
Section One : Settlement of Dispute by the Justice
Subsection 1 : Submission of Petition
Subsection 2 : Hearing with Ordinary Procedure
Subsection 3 : Hearing with Fast Procedure
Subsection 4 : Passing of Verdict
Section Two : Settlement of Dispute by Supreme Court Judge
III - 59
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTION AND
CRIMINAL PROVISIONS III-106
Section One : Administrative Sanction
Section Two : Criminal Provisions
CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS III-109
CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS III-109
III - 60
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES OF
ACT OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 2 OF THE YEAR 2004
CONCERNING
III - 61
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 62
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 63
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
mediation process.
7. In cases where Mediation or Conciliation do not achieve a settlement manifested
through a common agreement, then one of the parties can submit a legal action
case to the Industrial Relations Court.
8. Resolution of Industrial Relations Disputes through arbitration is conducted
through an agreement between the parties and cannot be submitted as a legal
action case to the Industrial Relations Court, as an arbitration decision is considered
final and permanent, except in special cases where a cancellation has been submitted
to the Supreme Court.
9. The Industrial Relations Court exists within the realm of the general judicial
system and is established at the District Court in a phased manner and at the
Supreme Court.
10.In order to guarantee a prompt, appropriate, just, and inexpensive settlement, the
resolution of industrial disputes through the Industrial Relations Court within the
general judicial system, is limited in its processes and stages by not providing an
opportunity for appeal to the High Court. The decision of the Industrial Relations
Court arriving at the District Court level, involving disputes over rights and
disputes over termination of work can be directly filed as a supreme court to the
Supreme Court. Whereas a decision of the Industrial Relations Court arriving at
the District Court, involving conflicts over interests and disputes between trade
unions within a corporation is a first-level and final decision that cannot be filed
as a supreme court to the Supreme Court.
11.The Industrial Relations Court that reviews and adjudicates industrial relations
disputes is composed of a Panel of Judges comprising 3 (three) members, namely
a District Court judge and 2 (two) Ad-Hoc Judges, whose appointments are
proposed by the employers organization and workers/labour organization.
12.The decision of the Industrial Relations Court arriving at the District Court level
concerning disputes of differing interests and disputes between trade unions within
one corporation cannot be filed as an appeal to the Supreme Court.
13.In order to uphold the law, sanctions are imposed in order to function as stronger
methods of coercion so that the stipulations within this Act may be obeyed.
III - 64
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1
ARTICLE 1
Numbers 1 through 21
Under this Act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear.
1. An Industrial Relations Dispute is a difference of opinion
resulting in a dispute between employers or an association
of employers with workers/labourers or trade unions due
to a disagreement on rights, conflicting interests, a dispute
over termination of employment, or a dispute among trade
unions within one company.
2. Dispute over rights is a dispute arising over the non-
fulfillment of rights, as a result of differences in
implementation or interpretation concerning the laws and
regulations, work agreements, company regulations, or
the collective labour agreement.
3. Dispute over interest is a dispute arises in the work
relationship due to non-convergence of opinions in the
drawing up of, and/or changes in the work requirements
as stipulated in the working agreement, or company
regulations, or collective labour agreement.
4. A dispute over termination of employment is a dispute
arising from the lack of convergence of opinions regarding
the termination of employment as conducted by one of
the parties.
5. A dispute among trade unions is dispute between one
trade union and another trade union within one company,
due to the fact there is non-convergence regarding
membership, implementation of rights, and obligations
to the union.
6. An entrepreneur is:
a. An individual, a partnership or a legal entity that
operates a self-owned enterprise;
b. An individual, a partnership or a legal entity that
independently operates a non-self-owned enterprise;
c. An individual, a partnership or a legal entity located
in Indonesia and representing an enterprise as
mentioned under point a and point b that is domiciled
outside the territory of Indonesia.
III - 65
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
7. An enterprise is:
a. Every form of business, which is either a legal entity
or not, which is owned by an individual, a partnership
or a legal entity that is either privately owned or state
owned, which employs workers/ labourers by paying
them wages or other forms of remuneration;
b. Social undertakings and other undertakings with
officials in charge and which employ people by paying
the wages or other forms of remuneration.
8. A trade union/labour union is an organization that is
formed from, by and for workers/ labourers either within
an enterprise or outside of an enterprise, which is free,
open, independent, democratic, and responsible in order
to strive for, defend and protect the rights and interests of
the worker/ labourer and increase the welfare of the worker/
labourer and their families.
9. A worker/labourer is any person who works and receives
wages or other forms of remuneration.
10. Bipartite bargaining is meeting between the workers/
labourers or trade unions and the employers to resolve
disputes in industrial relations.
11. Industrial Relations Mediation that hereinafter referred
as to mediation is the settlement of disputes over rights,
conflict over interests, disputes over termination of the
work relationship, and disputes between worker/labour
unions within one company only through deliberations
that are interceded by one or more mediators who are
neutral.
12. An Industrial Relations Mediator that hereinafter referred
as to a mediator is a government agency employee
responsible for the manpower field who meet the
requirements as a mediator, and is appointed by the
Minister for the duty of carrying out mediation and has
an obligation to provide a written recommendation to
the parties in dispute in order to resolve disagreements
over rights, conflict over interests, disputes over
termination of working relationships, and disputes
between trade unions within one company.
13. Industrial Relations Conciliation that hereinafter referred
as to conciliation is the settlement of disputes over interests,
III - 66
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 67
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
disputes.
21. Minister is the minister responsible for manpower affairs.
ARTICLE 2 Article 2
Letter a
The types of Industrial Relations Disputes cover: A dispute over rights is a disagreement
a. disputes of rights; concerning normative rights that has been
determined by a work agreement, company
b. disputes of interests; regulations, collective labour agreement, or
c. disputes over termination of employment; and laws and regulations.
Letter b
d. disputes among trade unions within one company. Sufficiently clear.
Letter c
Sufficiently clear.
CHAPTER II Letter d
PROCEDURES ON SETTLEMENT OF Sufficiently clear.
ARTICLE 3 ARTICLE 3
Subsection (1)
(1) Industrial relations disputes are required to be resolved The definition of bipartite bargaining
first through bipartite bargaining in deliberation to reach in this article is negotiations between the
consensus. employers or assemblage of employers with
the workers or trade unions, or among one
(2) Settlement of disputes through bipartite mechanism as trade union with another trade union within
stipulated in subsection (1) must be settled at the latest one corporation, who are in disagreement.
within 30 (thirty) working days from the commencement
of negotiations. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(3) In the event that within a time frame of 30 (thirty) days
as stipulated in subsection (2), one party refuses to Subsection (3)
continue negotiations or there had been bargaining which Sufficiently clear.
did not result in agreement, then the bipartite meetings
will be considered to have failed.
ARTICLE 4 ARTICLE 4
Subsection (1)
(1) In the event the bipartite bargaining failed as stipulated Sufficiently clear.
in Article 3 subsection (3), then one or both of the parties
can file their dispute to the local authorized manpower Subsection (2)
Sufficiently clear.
offices, and attaching proof that efforts to resolve the
dispute through bipartite bargaining have been Subsection (3)
conducted. The stipulations within this article
(2) In the event the proofs as stipulated in subsection (1) provide the freedom for the parties in dispute
to freely select the method of dispute settlement
were not attached, then the authorized manpower offices that they wish.
will return the dossier to be made complete at the latest
III - 68
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
within 7 (seven) working days from the date the dossier Subsection (4)
was returned. Sufficiently clear.
(3) After receiving a written report from one or both parties, Subsection (5)
the local authorized manpower offices is required to offer Sufficiently clear.
to both parties a Collective Agreement to select a
Subsection (6)
settlement through conciliation or arbitration. Sufficiently clear.
(4) In the event the parties do not select settlement through
conciliation or arbitration within 7 (seven) working days,
then the authorized manpower offices will transfer
settlement of the dispute to a mediator.
(5) Settlement through conciliation is conducted for resolution
of disputes over interests, disputes on termination of work
relationships, or disputes among trade unions.
(6) Settlement through arbitration is conducted for resolution
of disputes over interest or disputes among trade unions.
ARTICLE 5 ARTICLE 5
In cases where an attempt at settlement through Sufficiently clear.
conciliation or mediation does not result in agreement, then
one of the parties can file a legal petition to the Industrial
Relations Court.
SECTION ONE
SETTLEMENT THROUGH THE BIPARTITE MECHANISM
ARTICLE 6 ARTICLE 6
Sufficiently clear.
(1) Every bargaining as meant in Article 3 must be evidenced
by a minutes signed by the parties.
(2) The minutes of the bargaining as mentioned in subsection
(1) must at the least contain:
a. full names and addresses of the parties;
b. date and venue of the bargaining;
c. agenda or reasons underlying the dispute;
d. the positions of each party;
e. a summary or results of the bargaining; and
f. date and signatures of the parties involved in the
bargaining.
III - 69
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 7 ARTICLE 7
Sufficiently clear.
(1) In the event that the bargaining as stipulated in Article 3
reach an agreement for settlement, then a Collective
Agreement is drawn up and signed by the parties.
(2) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is binding and become the law and must be performed
by the parties.
(3) The Collective Agreement as stipulated in subsection (1)
is required to be registered by the parties to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
parties conducted the Collective Agreement.
(4) The Collective Agreement that has been registered as
mentioned in subsection (3) will be provided with a
Collective Agreement registration deed that will be an
inseparable part of the Collective Agreement.
(5) In the event that the Collective Agreement as mentioned
under subsection (3) and subsection (4) is not
implemented by one of the parties, then the party suffering
injury can file a petition for execution to the Industrial
Relations Court at the local District Court where the
Collective Agreement was registered, in order to obtain
an order for execution.
(6) In the case the petitioner for execution is domiciled outside
the jurisdiction of the District Court where the Collective
Agreement was registered as mentioned in subsection (3),
then the petitioner can submit a request for court order
through the Industrial Relations Court in the District
Court at the domicile of the petitioner to be forwarded to
an Industrial Relations Court in the District Court having
the competency to conduct the execution.
SECTION TWO
SETTLEMENT THROUGH MEDIATION
ARTICLE 8 ARTICLE 8
Settlement of a dispute through mediation is carried out Sufficiently clear.
by a mediator which present at each manpower office at the
District/City level.
III - 70
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 9 ARTICLE 9
As the mediator is a government civil
A mediator as meant by Article 8 must meet the following
servant, thus besides the requirements
requirements: mentioned in this article, there must also be
a. believe and subservient to God Almighty; some consideration of other stipulations that
cover civil servants in general.
b. Indonesia citizen;
c. physically healthy according to a doctor’s certificate;
d. mastering manpower laws and regulations;
e. has dignity, honesty, fair and good reputation;
f. has a level of education of at least university or bachelor
degree (S1); and
g. other requirements as determined by the Minister.
ARTICLE 10 ARTICLE 10
ARTICLE 11 ARTICLE 11
Subsection (1)
(1) The mediator may summon witnesses or expert witnesses The expert witness mentioned in this
to attend the mediation hearing to request and hear the Article is one with special expertise in his/her
information. field, including Labour Inspectors.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons Subsection (2)
has a right to receive compensation for transport and Sufficiently clear.
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.
ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the mediator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others the register of
including opening the books and showing necessary wages or orders for overtime work and other
documents. documents, carried out by persons named by
the mediator.
(2) In cases where the information needed by the mediator
has some connection with someone who due to his position Subsection (2)
must preserve confidentiality, then procedures must be As in certain positions, based on laws
and regulations, secrecy must be preserved,
undertaken as arranged under the prevailing laws and thus requests for information submitted to
regulations. persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
procedure
III - 71
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
(3) The mediator must preserve the confidentiality of all Example: In cases that concern someone
information requested as meant under subsection (1). making a request for information about
another party’s bank account details that
request will only be met by bank officials if
there is permission from the Bank Indonesia
or from the owner of the account himself/
herself (Act No. 10 of 1998 on Banking).
Likewise there is also the stipulation
under Act No. 7 of 1971 concerning the
Primary Regulations on Archival Materials
etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 13 ARTICLE 13
Subsection (1)
(1) In the event an agreement to settle industrial relations Sufficiently clear.
dispute through mediation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties Subsection (2)
and witnessed by the mediator, as well as being registered Letter a
What is meant by a written
at the Industrial Relations Court in the District Court recommendation is an opinion or suggestion
within the jurisdiction where the parties conducting the in writing that is proposed by the mediator to
Collective Agreement, in order to obtain a registration the parties involved as an effort to obtain a
deed. settlement of their dispute.
Letter b
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the Sufficiently clear.
industrial dispute through mediation, then: Letter c
a. the mediator will issue a written recommendation; Sufficiently clear.
Letter d
b. the written recommendation as mentioned under letter Sufficiently clear.
a, at the latest within 10 (ten) working days after the Letter e
first mediation session was held, must be conveyed to Sufficiently clear.
both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the mediator with the contents indicating whether they
accept or reject the written recommendation at the
latest within 10 (ten) working days after receiving the
written recommendation;
d. any party not providing an opinion as meant in letter
c, will be considered to have rejected the written
recommendation;
e. in the case of the parties accepting the written
recommendation as meant within letter a, then at the
latest within 3 (three) working days of the written
III - 72
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) In the case of the written recommendation as meant in Sufficiently clear.
Article 13, subsection (2), letter a, being rejected by one
or both of the parties, then the parties or one of the parties Subsection (2)
may continue to file settlement of the dispute to the The stipulation on taking legal action
as arranged under this subsection is in
Industrial Relations Court in the local District Court. accordance with the procedures for resolving
(2)The settlement of the dispute as mentioned in subsection civil cases at the general judiciary.
(1) is conducted through a petition by one of the parties
to the Industrial Relations Court in the local District
Court.
III - 73
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 15 ARTICLE 15
Sufficiently clear.
The mediator must complete his duties at the latest
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received, as
mentioned in Article 4 subsection (4).
ARTICLE 16 ARTICLE 16
SECTION THREE
SETTLEMENT THROUGH CONCILIATION
ARTICLE 17 ARTICLE 17
Settlement of a dispute through conciliation is conducted Sufficiently clear.
by a conciliator registered at the manpower offices at the
District/City level.
ARTICLE 18 ARTICLE 18
Sufficiently clear.
(1) Settlement of disputes over interests, disputes over
termination of employment or disputes between trade
unions within one company, through conciliation is
carried out by a conciliator whose work area covers the
place of work of the workers/labourers.
(2) Settlement by a conciliator as mentioned in subsection
(1) is conducted after the parties submit a request for
settlement in a written to a conciliator appointed and
agreed by the parties.
(3) The parties may know the name of the chosen and agreed
conciliator from a list of conciliators’ names posted and
announced at the local Government office responsible for
manpower affairs.
ARTICLE 19 ARTICLE 19
Subsection (1)
(1) The conciliator, as mentioned in Article 17, must meet Letter a
these requirements: Sufficiently clear.
Letter b
a. believe and subservient to God Almighty.
Sufficiently clear.
b. Indonesia citizen;
III - 74
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 20 ARTICLE 20
Sufficiently clear.
Within maximum of 7 (seven) working days after
receiving the request for dispute settlement in written, the
conciliator must have conducted an investigation regarding
the case and at the latest by the eighth working day, the first
conciliation session must have been held.
ARTICLE 21 ARTICLE 21
Sufficiently clear.
(1) The conciliator may summon witnesses or expert witnesses
to attend the mediation hearing to request and hear the
information.
(2) The witness or expert witness that fulfills the summons
has a right to receive compensation for transport and
accommodation costs with the amount to be determined
by a Ministerial Decision.
ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Any person who is asked for information by the conciliator What is meant by opening up the
for the purpose of settlement of an industrial dispute based company books and showing documents in
on this Act, has the obligation to provide information this Article is among others records of wages
including opening the books and showing necessary or orders for overtime work and other matters
III - 75
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 23 ARTICLE 23
Sufficiently clear.
(1) In the event an agreement to settle industrial relations
dispute through conciliation is reached, then a Collective
Agreement shall be drawn up and signed by the parties
and witnessed by the conciliator, as well as being registered
at the Industrial Relations Court in the District Court
within the jurisdiction where the parties conducting the
Collective Agreement, in order to obtain a registration
deed.
(2) In the event no agreement is reached on settlement of the
industrial dispute through conciliation, then:
a. the conciliator will issue a written recommendation;
b. the written recommendation as mentioned under letter
a, at the latest within 10 (ten) working days after the
first conciliation session was held, must be conveyed
to both parties;
c. the parties should have provided a written answer to
the conciliator with the contents indicating whether
they accept or reject the written recommendation at
the latest within 10 (ten) working days after receiving
III - 76
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
III - 77
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 24 ARTICLE 24
Sufficiently clear.
(1) in the case of the written recommendation as meant in
Article 23 subsection (2) letter a being rejected by one or
both of the parties, then one or both parties may continue
to settle the dispute to the Industrial Relations Court in
the local District Court.
(2) Settlement of the dispute as mentioned in subsection (1)
is implemented through a petition by one of the parties.
ARTICLE 25 ARTICLE 25
The conciliator must complete his duties at the latest Sufficiently clear.
within 30 (thirty) working days from the time the transfer of
responsibility for settlement of the dispute is received.
ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear.
(1) The conciliator is entitled to receive honorarium for services
rendered based on dispute settlement to be borne by the
state.
(2) The amount of honorarium as mentioned in subsection
(1) will be determined by the Minister.
ARTICLE 27 ARTICLE 27
Sufficiently clear.
The conciliator’s performance within a certain period will
be monitored and assessed by the Minister or government
official on manpower affairs.
ARTICLE 28 ARTICLE 28
The procedures for candidate registration, appointment Sufficiently clear.
and revocation of conciliator license, and work procedures of
conciliation will be regulated with a Ministerial Decision.
SECTION FOUR
SETTLEMENT THROUGH ARBITRATION
ARTICLE 29 ARTICLE 29
Settlement of industrial relations dispute through Sufficiently clear.
arbitration will include disputes over interests and disputes
among workers /labour unions within one company.
III - 78
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 30 ARTICLE 30
Subsection (1)
(1) The arbiter with authority to settle industrial relations The stipulation contained within this
disputes must be an arbiter who has been determined by Article is meant to protect the interests of society,
the Minister. and for that reason not every person can act as
an arbiter.
(2) Work area of the arbiter covers the entire territory of the
Republic of Indonesia. Subsection (2)
Sufficiently clear.
ARTICLE 31 ARTICLE 31
Subsection (1)
(1) In order to be appointed as arbiter as mentioned in Article Letter a
30 subsection (1) the person must meet the following Sufficiently clear.
requirements : Letter b
Sufficiently clear.
a. Believe and subservient to God Almighty; Letter c
b. Competent to do legal action; Sufficiently clear.
Letter d
c. Indonesia citizen; Sufficiently clear.
d. has a level of education of at least university or bachelor Letter e
degree (S1); Sufficiently clear.
Letter f
e. at least forty-five (45) years of age; Bearing in mind that the arbiter’s
f. physically healthy according to a doctor’s certificate; decision is binding to all parties and is final
and permanent in nature, the arbiters must
g. mastering manpower laws and regulations as proven be those competent in their field, so that the
by a certificate or proof of passing an arbitration trust given by the parties involved is not
examination; and meaningless.
Letter g
h. has at least five (5) years experience in the field of Sufficiently clear.
industrial relations.
(2) Provisions concerning examination and procedures for Subsection (2)
Sufficiently clear.
arbiter registration will be regulated with a Ministerial
Decision.
ARTICLE 32 ARTICLE 32
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute through
an arbiter will be performed on the basis of agreement by
the disputing parties.
(2) Agreement of the parties as meant in subsection (1) will
be declared in writing through a letter of arbitration
agreement, made in three (3) copies wherein each party
is to receive one (1) copy with the same legal power.
(3) The arbitration agreement as meant in subsection (2) at
III - 79
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear.
(1) In the event of the parties having signed the arbitration
agreement as mentioned in Article 32 subsection (3), the
parties are entitled to choose an arbiter from a list of arbiters
determined by the Minister.
(2) The disputing parties may designate a single arbiter or
several arbiters (council) of an odd number of at least three
(3) persons.
(3) In the event that the parties agree to designate a single
arbiter, the parties must reach an agreement at the latest
within seven (7) working days on the name of the arbiter.
(4) In the event that the parties agree to appoint several
arbiters (council) in odd number, each party is entitled
to choose an arbiter at the latest within three (3) days,
while the third arbiter will be decided by the designated
arbiters at the latest within seven (7) days to be appointed
chairman of the Arbitration Council.
(5) Appointment of the arbiters as mentioned in subsections
(3) and (4) will be performed in writing.
(6) In the event that the parties are not in agreement over the
appointment of an arbiter whether a single arbiter or
several arbiters (council) of odd number as meant in
subsection (2), then upon the request of one of the parties
the Head of the Court may appoint an arbiter from the
list of arbiters determined by the Minister.
(7) An arbiter, who is requested by the parties, is required to
notify the parties of any matter that might affect his
independence or may result in imbalance in any
III - 80
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
adjudication to be made.
(8) Any person who accepts appointment as arbiter as
mentioned in subsection (6) must notify the parties in
writing of his acceptance.
ARTICLE 34 ARTICLE 34
Sufficiently clear.
(1) An arbiter who is willing to be appointed as mentioned
in Article 33 subsection (8) will draw up an agreement of
arbiter appointment with the disputing parties.
(2) The agreement of arbiter appointment as mentioned in
subsection (1) shall at least contain the following:
a. full names and addresses or domiciles of the disputing
parties and arbiter;
b. main issues underlying the dispute and handed over
to the arbiter to settle and make the decision;
c. arbitration costs and arbiter honorarium;
d. a statement made by the disputing parties to abide by
and implement the arbitration decision;
e. place, date of drawing up the agreement letter and
signatures of the disputing parties and arbiter;
f. a statement by arbiter or arbiters that they will not go
beyond their authority in settlement of the case that
they are handling; and
g. no blood or marriage relationship up to the second
degree, with one of the disputing parties.
(3) The arbiter agreement as meant in subsection (2) will be
made in at least three (3) copies, in which each party and
the arbiter will receive one (1) copy having similar legal
power.
(4) In the event of arbitration being performed by several
arbiters, the original copy of the agreement will be
submitted to the Chairman of the Arbiter Council.
ARTICLE 35 ARTICLE 35
Sufficiently clear.
(1) In the event of the arbiter accepts his appointment and
sign an agreement as mentioned in Article 34 subsection
(1), then the concerned arbiter may not withdraw, unless
upon approval of the parties.
III - 81
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 36 ARTICLE 36
Subsection (1)
(1) In the event of a single arbiter withdraw or pass away, Sufficiently clear.
then the parties must appoint a replacement based on
the approval of both parties. Subsection (2)
Sufficiently clear.
(2) In the event of the arbiter designated by the parties
withdraw or pass away, appointment of a replacement will Subsection (3)
be left to the party designating the arbiter. Sufficiently clear.
(3) In the event of a third arbiter chosen by the arbiters Subsection (4)
withdraw or pass away, the arbiters must appoint a Sufficiently clear.
substitute arbiter based on agreement of arbiters.
Subsection (5)
(4) The parties or the arbiters as mentioned in subsection An arbiter appointed by the Court shall
(1), subsection (2) and subsection (3) must reach an not be an arbiter who in the past was rejected
agreement to designate a substitute arbiter at the latest by the parties or the arbiters, but instead must
within seven (7) working days. be a different arbiter.
ARTICLE 37 ARTICLE 37
What is meant by accepting the result
The substitute arbiter as mentioned in Article 36 shall
attained is that a replacement arbiter is bound
make a statement of willingness to accept the results that have by the result reached by the previous arbiter
been achieved and to continue settlement of the case. as reflected in the report of activities leading
to dispute settlement.
III - 82
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear.
(1) The arbiter appointed by the parties based on the
arbitration agreement may file objections to the District
Court if sufficient reasons and authentic proof exist that
raise doubt that the arbiter will not carry out his duties
independently and show imbalance making a decision.
(2) Claim of breach against the arbiter may also be filed when
sufficient proof exists that there is a family or work
relationship with one of the parties or their proxy.
(3) No appeal may be filed against adjudication of the District
Court on claim of breach.
ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear.
(1) Claim of breach against the arbiter that is appointed by
the Head of the Court shall be directed to the Head of
the Court.
(2) Claim of breach against a single arbiter agreed shall be
filed to the concerned arbiter.
(3) Claim of breach against a member of the approved arbiter
council shall be filed to the concerned arbiter council.
ARTICLE 40 ARTICLE 40
Subsection (1)
(1) The arbiter is required to settle industrial relations disputes In the event there is a change in arbiters,
at the latest within thirty (30) working days commencing then the time frame for the change to take
from the date of signing a letter of agreement for arbiter effect is 30 (thirty) working days from the
time the replacement arbiter signed the
appointment. arbitration agreement.
(2) Examination of disputes must commence within three
(3) working days at the latest after the date of signing a Subsection (2)
Sufficiently clear.
letter of agreement of arbiter appointment.
(3) Based on the agreement of the parties, the arbiter will Subsection (3)
have authority to extend the time period to settle the Sufficiently clear.
industrial relations dispute at the latest for one (1) period
of fourteen (14) working days.
ARTICLE 41 ARTICLE 41
Examination of industrial relations dispute by the arbiter Sufficiently clear.
or arbiter council will be made behind closed doors unless
otherwise preferred by the disputing parties.
III - 83
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 42 ARTICLE 42
What is meant by a special letter of
In the arbitration session, the disputing parties may be
authorization in this Article is the authority
represented by their authorized representatives with a special given by the parties in dispute as the powers
letter of authority. providing authority to someone, or more to
be their proxy in order to conduct legal actions
or other actions related to the case mentioned
specifically in the said letter of authorization.
ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) In the event that on the session is held, the disputing What is meant by “summoned in a
parties or their authorized representatives are not present reasonable manner” in this Subsection is that
without valid reason, despite proper summon has been the parties involved have been summoned 3
made, the arbiter or arbiter council may cancel the (three) times in succession, with each one
respectively lasting for a time span of 3 (three)
agreement of arbiter appointment, and the duties of the days.
arbiter or arbiter council are considered completed.
(2) In the event that on the first day of session and further Subsection (2)
Sufficiently clear.
session, one of the parties or their authorized
representatives is absent without valid reason, despite Subsection (3)
proper summon has been made, the arbiter or arbiter Sufficiently clear.
council may examine the case and issue an adjudication
without the presence of one party or their authorized
representative.
(3) In the event of costs being incurred with regard to the
agreement of arbiter appointment before cancellation of
the agreement by the arbiter or arbiter council as
mentioned in subsection (1), the parties can not request
the returning of the fee.
ARTICLE 44 ARTICLE 44
Sufficiently clear.
(1) The settlement of an industrial relations dispute by an
arbiter must commence with efforts to make peace
between the parties.
(2) In the event of the peaceful settlement as meant in
subsection (1) is achieved, the arbiter or arbiter council is
required to draw up a Settlement Deed signed by the
parties and arbiter or arbiter council.
(3) The Settlement Deed as mentioned in subsection (2) shall
be registered at the Industrial Relations Court in the local
District Court where the arbiter made the settlement
efforts.
III - 84
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 45 ARTICLE 45
Sufficiently clear.
(1) During the arbitration session the parties will be given
opportunities to explain in writing or verbally, their
respective opinions, and to submit evidence considered
necessary to reinforce their opinions within a period of
time determined by the arbiter or arbiter council.
(2) The arbiter or arbiter council is entitled to request the
parties to submit additional written explanation,
documents or other evidences deemed necessary within a
period of time determined by the arbiter or arbiter council.
ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear.
(1) The arbiter or arbiter council may summon one or more
witnesses or expert witnesses to provide information.
(2) Before giving information, the witness or expert witness
will be sworn in according to the respective religion and
faith.
III - 85
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Any person who is requested to provide information by What is meant by opening the company
the arbiter or arbiter council in examination for settlement books and showing documents in this Article
of an industrial relations dispute based on this Act is is for example, showing the register on wages
or the order for overtime work, and must be
required to give such information, including showing the
conducted by someone with expertise in
books and necessary letters. bookkeeping, appointed by the arbiter.
(2) In case the information required by the arbiter is related
to someone who because of his position must maintain Subsection (2)
Due to the fact that certain positions,
confidentiality, a procedure must be followed as regulated based on legal regulations, must preserve
in the prevailing legislation and regulations. secrecy, so any request for information from
(3) The arbiter is required to keep in confidence all information persons in those positions serving as expert
witnesses must follow a predetermined
requested as mentioned in subsection (1). procedure.
Example: In the case of someone
requesting information about any other party’s
bank account details that request will only be
met by bank officials if there is permission
from the Bank Indonesia or from the owner
of the account himself/herself (Act No. 10 of
1998 on Banking). The same applies to the
stipulations under Act No. 7 of 1971
concerning the Primary Regulations on
Archival Materials etc.
Subsection (3)
Sufficiently clear.
ARTICLE 48 ARTICLE 48
Sufficiently clear.
The activities undertaken during the examination and
arbitration session will be drawn up into an official report of
examination by the arbiter or arbiter council.
III - 86
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 49 ARTICLE 49
Sufficiently clear.
The adjudication of the arbitration session is made on
the basis of prevailing laws and regulations, agreements, mores,
justice and public interest.
ARTICLE 50 ARTICLE 50
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication shall contain the following:
a. head of adjudication stating “FOR JUSTICE BASED
ON THE ONE ALMIGHTY GOD”;
b. full name and address of the arbiter or arbiter council;
c. full names and addresses of the parties;
d. matters contained in the agreement made by the
disputing parties;
e. Summary of charges, replies, and further explanations
by the disputing parties.
f. considerations underlying the adjudication;
g. primary topic of adjudication;
h. place and date of adjudication;
i. effective date of adjudication; and
j. arbiter or arbiter council’s signature(s).
(2) The arbiter decision which is not signed by one of the
arbiters for reasons of illness or his decease will not affect
the power of the adjudication.
(3) The reason for no signature as mentioned in subsection
(2) must be included in the decision.
(4) The adjudication stipulates that at the latest fourteen (14)
working days, the adjudication must be implemented.
ARTICLE 51 ARTICLE 51
Sufficiently clear.
(1) The arbitration adjudication possesses binding legal force
to the disputing parties and constitutes final and
permanent in nature
(2) The arbitration adjudication as stipulated in subsection
(1) will be registered at the Industrial Relations Court in
the local District Court where the arbiter made the
decision.
(3) In the event of the arbitration adjudication as mentioned
in subsection (1) is not implemented by one of the parties,
III - 87
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) Any of the parties may file a petition of cancellation of A legal effort to request cancellation is
arbitration adjudication to the Supreme Court at the meant to provide a fair opportunity to the
latest within thirty (30) working days since the arbiter injured party in the dispute.
decision was made, if the decision is believed to include
Subsection (2)
the following : Sufficiently clear.
a. A letter or document that was submitted during
examination, after adjudication is made is admitted or Subsection (3)
Sufficiently clear.
stated to be false;
b. after adjudication, a document which is decisive in
nature is found that was concealed by the other party;
c. adjudication is made through deception by one of the
parties during the examination of dispute;
d. the adjudication is beyond the authority of the
industrial relations arbiter; or
e. the adjudication is contrary to laws and regulations.
(2) In the event of such petition as mentioned in subsection
(1) is granted, the Supreme Court will stipulate the
consequences of cancellation whether in whole or in part
of the arbitration decision.
(3) The Supreme Court will decide on the cancellation of
petition as stipulated in subsection (1) at the latest thirty
(30) working days commencing from the date of receipt
of cancellation petition.
III - 88
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 53 ARTICLE 53
The stipulations in this Article are for
Industrial relations disputes that are in progress or have
the purpose of providing legal certainty.
been settled through arbitration may not be filed to the
Industrial Relations Court.
ARTICLE 54 ARTICLE 54
Sufficiently clear.
The arbiter or panel of arbiters may not be held legally
responsible whatsoever on all actions taken during the session
in process, in order to perform their function as the arbiter or
panel of arbiters, except when it can be proven that the action
is not conducted in good faith.
CHAPTER III
INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 55 ARTICLE 55
The Industrial Relations Court is a special court within Sufficiently clear.
the general court.
ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear.
The Industrial Court is assigned and authorized to
investigate and adjudicate:
a. at the first level regarding disputes on rights;
b. at the first and final levels regarding disputes on interests;
c. at the first level regarding disputes on termination of
employment;
d. at the first and final levels regarding disputes between
workers unions / labor unions in one company.
ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear.
The prevailing legal proceeding in the Industrial Relations
Court is the Civil Law Proceeding prevails at the general court,
unless otherwise regulated under this act.
ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear.
The parties in the legal proceeding are not charged any
costs for the trial process at the Industrial Relations Court,
III - 89
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) For the first time, the Industrial Relations Court under - Bearing in mind that the Special
this act is established at each District Court in the Regency/ Capital City Territory of Jakarta is a provincial
City level, located in each Provincial Capital, which capital and simultaneously the capital city of
the Republic of Indonesia, and has more than
jurisdiction covers the concerned province. one District Court, the Industrial Relations
(2) The Industrial Relations Court should, with the Court established for the first time with this
Presidential Decree, immediately be established at the Act is the Industrial Relations Court at the
Central Jakarta District Courthouse.
local District Court.
- In the event that in any provincial
capital, there exist a Municipal District Court
and a District Court, then the Industrial
Relations Court will be a part of the District
Court.
Subsection (2)
What is meant by the term
“immediately” in this Subsection is the time
frame within 6 (six) months after this Act
takes effect.
ARTICLE 60 ARTICLE 60
Sufficiently clear.
(1) The composition of the Industrial Relations Court in the
District Court is as follows;
a. Judge;
b. Ad-Hoc Judge;
c. Junior Registrar; and
d. Substitute Registrar.
(2) The composition of the Industrial Relations Court in the
Supreme Court is as follows:
a. Supreme Judge;
b. Ad-Hoc Judge in the Supreme Court; and
c. Registrar.
III - 90
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 61
The Judge at the Industrial Relations Court is appointed
and discharged based on the Decree of the Head of the Supreme
Court.
ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear.
The appointment of the Judge as meant in Article 61 is
carried out in accordance with the prevailing laws and
regulations.
ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear.
(1) The Ad-hoc Judge in the Industrial Relations Court is
appointed with a Presidential Decree upon proposal of
the Head of the Supreme Court.
(2) The nomination of Ad-Hoc Judge as meant in subsection
(1) is proposed by the Head of the Supreme Court from
the names approved by the Minister upon proposal of
the workers union / labor union or employer’s
organization.
(3) The Head of the Supreme Court proposes the discharge
of the Ad-Hoc Judge of the Industrial Relations Court to
the President.
ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear.
The following requirements should be fulfilled in order
to be appointed as an Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations
Court and as an Ad-Hoc Judge in the Supreme Court:
a. Indonesian citizen;
b. devout to the Only God;
c. loyal to the Pancasila and the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia;
d. minimum age of 30 (thirty) years;
e. physically healthy based on a doctor’s certificate;
f. has an authoritative bearing, honest, just and has a non-
disgraceful behavior;
g. has a level of education of at least university degree (S1),
III - 91
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 65 ARTICLE 65
Subsection (1)
(1) Prior to the appointment, the Ad-Hoc Judge in the At the time the sacred oath/pledge is
Industrial Court should take an oath or promise according taken, certain words are spoken in accordance
to his/her religion/belief, which oath or promise is as with the person’s religion, for example for
adherents of Islam, “For God’s Sake” is said
follows:
before repeating the oath, and for Protestants/
“I swear/promise truthfully that to obtain this position, I Catholics the words “May God Help Me”
shall, directly or indirectly, by using whatever name or will be said after repeating the oath.
way, not give or promise anything to whomsoever. I swear/
Subsection (2)
promise that, for carrying out or for not carrying out Sufficiently clear.
something in this position, I shall not at all receive a
promise or gift, directly or indirectly from whomsoever.
I swear/promise that I shall be loyal to maintain and carry
out with devotion the Pancasila as the nation’s philosophy
of life, state principle and national ideology, and the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, and all laws
and regulations that apply for the Republic of Indonesia.
I swear/promise that I shall always carry out my function
honestly, thoroughly and without discriminating people,
and shall undertake my obligations, as good as possible
and as just as possible based on the prevailing laws and
regulations”.
(2) The taking of oath or promise of the Ad-Hoc Judge in the
Industrial Regulations Court is made by the Head of the
District Court or appointed official.
ARTICLE 66 ARTICLE 66
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge may not serve concurrently as:
a. member of the State High Institution;
III - 92
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court and Letter a
the Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court at Sufficiently clear.
the Supreme Court may be honorably discharged from Letter b
their positions due to the following reasons: Sufficiently clear.
Letter c
a. passed away; What is meant by continuous physical
b. upon own request; or mental illness is a disability that causes the
sufferer to be no longer capable of carrying
c. continuously ill, physically or mentally, during (12) out his tasks well.
months; Letter d
Sufficiently clear.
d. has reached the age of 62 (sixty two) years for the Ad-
Letter e
Hoc Judge in Industrial Relations Court, and has What is meant by not competent in
reached the age of 67 (sixty seven) years for the Ad- carrying out duties is for example, often
Hoc Judge in the Supreme Court: making mistakes in conducting tasks for
reasons of lack of ability.
e. not competent in carrying out his/her duties; Letter f
f. upon request of the employers organization or upon Sufficiently clear.
proposal of the Workers union / labor union; or Letter g
Sufficiently clear.
g. Has completed his / her office term.
(2) The office term of the Ad-Hoc Judge is 5 (five) years and Subsection (2)
Sufficiently clear.
he/she may be reappointed for another 1 (one) office term.
III - 93
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 68 ARTICLE 68
Sufficiently clear.
(1) The Ad-Hoc Judge in the Industrial Relations Court is
dishonorably discharged from his/her position due to the
following reasons:
a. condemned for being guilty of conducting criminal
acts;
b. neglects the obligation to carry out his/her work
assignments without valid reasons for 3 (three)
successive times during the period of 1 (one) month;
or
c. violates his/her oath or promise.
(2) The dishonorably discharge with the reasons as meant in
subsection (1) is carried out after the concerned is given
the opportunity to file his/her plea to the Supreme Court.
ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear.
(1) Prior to his/her dishonorably discharge as meant in Article
68 subsection (1), the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court may be temporary discharged from his/
her position.
(2) The stipulation as meant in Article 68 subsection (2) also
applies to the temporary discharged Ad-Hoc Judge as
meant in Article 68 subsection (1).
ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear.
(1) The appointment of the Ad-Hoc Judge in the Industrial
Relations Court is conducted by considering the need
and available resources.
(2) For the first time, the appointment of the Ad-Hoc Judge
in the Industrial Relations Court at the District Court is
at least 5 (five) persons from the workers union / labor
union and 5 (five) persons from the employers
organization.
ARTICLE 71 ARTICLE 71
Sufficiently clear.
(1) The Head of the District Court controls the
implementation of duties by the Judge, Ad-Hoc Judge,
Junior Registrar, and Substitute Registrar, and Substitute
Registrar of the Industrial Relations Court at the District
Court in accordance with his/her authority.
III - 94
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear.
The method of appointing, honorably discharging,
dishonorably discharging, and temporary discharge of the Ad-
Hoc Judge as meant in Article 67, Article 68, and Article 69 is
regulated with a Government Regulation.
ARTICLE 73 ARTICLE 73
What is meant by benefits and other
Allowances and other rights for the Ad-Hoc Judge in the rights are official benefits and employee rights
Industrial Relations Court are regulated with a Presidential related to their welfare.
Decree.
SECTION THREE
SUB-REGISTRAR OFFICE AND SUBSTITUTE REGISTRAR
ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear.
(1) A Sub-Registrar Office of the Industrial Relations Court
is formed at each District Court that has an Industrial
Relations Court, managed by a Junior Registrar.
(2) In carrying out his/her duties, the Junior Registrar as
meant in subsection (1) is assisted by several Substitute
Registrars.
III - 95
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 75 ARTICLE 75
Sufficiently clear.
(1) The Sub-Registrar Office as meant in Article 74 subsection
(1) is assigned to:
a. maintain the administration of the Industrial Relations
Court; and
b. make the list of all received disputes in the book of
cases.
(2) The book of cases as meant in subsection (1) letter b
contains at least the sequence number, names and addresses
of the parties, and types of disputes.
ARTICLE 76 ARTICLE 76
Sufficiently clear.
The Sub-Registrar Office is responsible for the delivery
of summons letters for trial, delivery of verdict notifications
and delivery of verdict copies.
ARTICLE 77 ARTICLE 77
Sufficiently clear.
(1) For the first, the Junior Registrars and Substitute Registrars
at the Industrial Relations Court are appointed from Civil
Servants of Government Agencies that are responsible in
the manpower sector.
(2) Provisions concerning the requirements, appointment and
discharge procedures of the Junior Registrars and
Substitute Registrars at the Industrial relations Court are
further regulated in accordance with the prevailing laws
and regulations.
ARTICLE 78 ARTICLE 78
Sufficiently clear.
The organization structure, tasks and work procedure of
the Sub-Registrar Office at the Industrial relations Court are
regulated with the Decree of the Head of the Supreme Court.
ARTICLE 79 ARTICLE 79
Sufficiently clear.
(1) The Substitute Registrar is assigned to record the trial
process in the Minutes.
(2) The Minutes as meant in subsection (1) is signed by the
Judge, the Ad-Hoc Judge and the Substitute Registrar.
III - 96
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 80 ARTICLE 80
Sufficiently clear.
(1) The Junior Registrar is responsible for the book of cases
and other documents that are kept in the Sub-Registrar
Office.
(2) All books of cases and other documents as meant in
subsection (1), either the originals or photocopies, may
not be taken out of the work room of the Sub-Registrar
Office, unless upon permission of the Junior Registrar.
CHAPTER 1V
SETTLEMENT OF DISPUTE THROUGH
THE INDUSTRIAL RELATIONS COURT
SECTION ONE
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE JUDGE
SUBSECTION 1
SUBMISSION OF PETITION
ARTICLE 81 ARTICLE 81
Sufficiently clear.
The Petition of the industrial relations dispute is
submitted to the Industrial Relations Court in the District
Court which jurisdiction covers the workplace of the worker/
laborer.
ARTICLE 82 ARTICLE 82
The petition which is filed by the worker/laborer as meant Sufficiently clear.
in Article 159 and Article 171 of Law Number 13 of 2003
concerning Manpower, may only be submitted within the grace
period of 1 (one) year after the decision of the employer is
received or informed.
ARTICLE 83
ARTICLE 83 Subsection (1)
Sufficiently clear.
(1) The petition submitted without attachment of the
minutes of settlement through mediation or conciliation, Subsection (2)
should be returned by the judge of the Industrial Relations During the process for completion of a
Court to the plaintiff. legal action, the Registrar or Alternate Registrar
may assist in drawing up/completing the legal
(2) The judge is required to examine the contents of the action. For that purpose the Registrar or
petition, and if there are shortages, then the judge should Alternate Registrar records in a special register
request the plaintiff to complete his/her petition. data that includes:
III - 97
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear.
Petitions that involve more than one plaintiff may be
submitted collectively by providing a special power of attorney.
ARTICLE 85 ARTICLE 85
Sufficiently clear.
(1) The plaintiff may at any time withdraw his/her petition
before the defendant gives his/her reply.
(2) If the defendant has given his/her reply on the petition,
then the withdrawal of the petition by the plaintiff shall
be agreed by the Industrial Relations Court upon approval
of the defendant.
ARTICLE 86 ARTICLE 86
In case the dispute on rights and/or dispute on interest Sufficiently clear.
are followed by a dispute on termination of employment, then
the Industrial Relations Court should first sentence the cases
of dispute on rights and/or dispute on interest.
ARTICLE 87 ARTICLE 87
What is meant by trade unions as
The workers union/labor union and employer’s mentioned under this Article cover the
organization may act as legal proxies in the court session at the management at the company level, the district/
Industrial Relations Court in order to represent their members. city level, the provincial level, and central
level, whether for trade unions, federation
members, or confederation members.
ARTICLE 88 ARTICLE 88
Sufficiently clear.
(1) Within the period of not later than 7 (seven) working
days after receiving the petition, the Chairman of the
District Court should have established the Council of
Judges, which consists of 1 (one) Judge as the Chairman
of Council and 2 (two) Ad-Hoc Judges as Council
III - 98
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SUBSECTION 2
HEARING WITH ORDINARY PROCEDURE
ARTICLE 89 ARTICLE 89
Sufficiently clear.
(1) The Chairman of the Council of Judges should have held
the first court session within the period of not later than
7 (seven) working days after the establishment of the
Council of Judges.
(2) The summons to appear before court is conducted legally
if it is submitted through a letter of summons to the parties
at their addresses of domicile or if their addresses of
domicile are not known, then it is submitted to their latest
addresses of domicile.
(3) If the summoned party is not at his/her address of domicile
or latest address of domicile, then the letter of summons
is submitted through the Head of Sub-district or Village
Chief whose jurisdiction covers the address of domicile or
latest address of domicile of the summoned party.
(4) The letter of summons which is received by the summoned
party himself/herself or through another party should be
given a receipt.
(5) If the address of domicile or latest address of domicile is
not known, then the letter of summons is placed on the
announcement board at the building in the Industrial
Relations Court that investigates the case.
ARTICLE 90 ARTICLE 90
Sufficiently clear.
(1) The Council of Judges may summon the witness or expert
witness to be present at the court session in order to request
or listen to his/her information.
(2) Anyone who is summoned to become a witness or expert
III - 99
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 91 ARTICLE 91
Subsection (1)
(1) Anyone who is requested by the Council of Judges to Sufficiently clear.
provide his/her information in order to conduct
investigation for settlement of the industrial relations Subsection (2)
As in certain positions, according to legal
dispute based on this act, should provide it provisions, secrecy must be maintained, any
unconditionally, including the opening of books and request for information from the person in
showing of necessary letters / documents. that position and serving as an expert witness,
must comply with a certain predetermined
(2) In case the information requested by the Council of Judges
procedure.
is related to someone who due to his/her position should
maintain the confidentiality, then the procedure to be Subsection (3)
followed should be as regulated in the prevailing laws and Sufficiently clear.
regulations.
(3) The judge should keep in confidence all requested
information as meant in subsection (1).
ARTICLE 92 ARTICLE 92
The court session is valid if it is held by the Council of The stipulation requiring the validity
of the court proceedings under this Article is
Judges, as is meant in Article 88 subsection (1). for the purpose of guaranteeing that every
session must be attended by the Judge and all
the Ad-Hoc Judges who have been appointed
to resolve the dispute.
ARTICLE 93 ARTICLE 93
Sufficiently clear.
(1) In case one of the parties or the parties are unable to be
present in the court session without any accountable
reasons, then the Chairman of the Council of Judges
determines the next session day.
(2) The next session day as meant in subsection (1) is
determined within the period of not later than 7 (seven)
working days as of the date of deferment.
(3) The deferment due to the absence of one of the parties or
the parties is maximum 2 (two) times.
ARTICLE 94 ARTICLE 94
Sufficiently clear.
(1) In case after being properly summoned as meant in Article
89, the plaintiff or his/her legal proxy is not appearing
before court at the last deferred session as meant in Article
III - 100
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 95 ARTICLE 95
Sufficiently clear.
(1) The session held by the Council of Judges is open for
public, unless otherwise determined by the Council of
Judges.
(2) Everyone present in the court session should respect the
court session order.
(3) Everyone who is not following the court session order as
meant in subsection (2) may be taken out of the room,
after obtaining an admonition from or upon order of the
Chairman of the Council of Judges.
ARTICLE 96 ARTICLE 96
Subsection (1)
(1) If in the first court session it is decidedly proven that the A request for a temporary verdict is
employer is not undertaking his/her obligations as meant submitted together with the legal action
in Article 155 subsection (3) of Law Number 13 of 2003 dossier.
concerning Manpower, then the Chairman of Judge of
Subsection (2)
the court session should immediately pass the Interval
Sufficiently clear.
Verdict in form of an order to pay the wage and other
rights that are normally received by the concerned worker/ Subsection (3)
laborer. Sufficiently clear.
(2) The Interval Verdict as meant in subsection (1) may be Subsection (4)
passed on the court session day or on the second court Sufficiently clear.
session day.
(3) In case during the dispute hearing, which is ongoing, the
Interval Verdict as meant in subsection (1) is not carried
out by the employer, then the Chairman of Judge of the
court session may order a Collateral Confiscation through
a Decree of the Industrial Relations Court.
(4) A resistance cannot be filed and/or legal efforts cannot be
used against the Interval Verdict as meant in subsection
III - 101
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 97 ARTICLE 97
Sufficiently clear.
The obligations that should be carried out and/or the rights
that should be received by the parties or by one of the
parties on each settlement of the industrial relations
dispute are determined in the verdict of the Industrial
Relations Court.
SUBSECTION 3
HEARING WITH FAST PROCEDURE
ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear.
(1) In case there are rather urgent interests of the parties and/
or of one of the parties, which should be able to be
concluded from the reasons of petition of the concerned,
then the concerned parties or one of the parties may request
the Industrial relations Court to speed up the hearing of
the dispute.
(2) Within the period of 7 (seven) working days after the
request as meant in subsection (1) is received, the
Chairman of the District Court issues the decision on
whether such request is granted or not.
(3) No legal efforts can be used against the decision as meant
in subsection (2).
ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear.
(1) In case the request as meant in Article 98 subsection (1)
is granted, then the Chairman of the District Court
determines the council of judges, day, place and time of
the court session without going through the examination
process, within the period of 7 (seven) working days after
the decision as meant in Article 98 subsection (2) is issued.
(2) The grace periods for reply and authentication by both
parties are respectively determined as not exceeding 14
(fourteen) working days.
III - 102
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SUBSECTION 4
PASSING OF VERDICT
III - 103
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
ARTICLE 107
ARTICLE 107
Sufficiently clear.
The Registrar of the District Court should have
dispatched the verdict copy to the parties within the period of
not later than 7 (seven) working days after such verdict copy is
produced.
III - 104
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SECTION TWO
SETTLEMENT OF DISPUTE BY THE SUPREME COURT JUDGE
III - 105
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
CHAPTER V
ADMINISTRATIVE SANCTIONS AND
CRIMINAL PROVISIONS
SECTION ONE
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
III - 106
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
as conciliator.
(3) The sanction as meant subsection (2) may only be passed
after the concerned has settled the dispute that is being
handled by him/her.
(4) The administrative sanction of temporary revocation as
conciliator is imposed for a period of maximum 3 (three)
months.
III - 107
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
SECTION TWO
CRIMINAL PROVISIONS
III - 108
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
(2) The act as meant in subsection (1) is a violation criminal ARTICLE 123
act. Sufficiently clear.
CHAPTER VI
OTHER PROVISIONS
ARTICLE 123
In case industrial relations disputes occur at social
operations and other operations that are not in form of
company operations, but have a management and employ other
people by paying wages, then such disputes are settled in
accordance with the stipulations of this act.
CHAPTER VII
TRANSITIONAL PROVISIONS
III - 109
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
Supreme Court;
c. Central Labor Dispute Settlement Committee or other
institutions of similar level that are settling those
industrial relations disputes or terminations of
employment which have not been adjudicated yet, are
settled by the Supreme Court;
d. Decisions of the Central Labor Dispute Settlement
Committee or other institutions as meant in letter c,
that are rejected and appealed by one of the parties or
the parties, and such decisions are received within the
grace period of 90 (ninety) days, are settled by the
Supreme Court.
CHAPTER VIII
CLOSING PROVISIONS
III - 110
Act No. 2 Year 2004 Explanatory Notes
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Promulgated in Jakarta
On 14 January 2004
BAMBANG KESOWO
III - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 93
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 94
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Contents
CHAPTER I
GENERAL PROVISIONS II-103
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, PRINCIPLES
AND OBJECTIVES II-106
CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES II-108
CHAPTER IV
MANPOWER PLANNING AND
MANPOWER INFORMATION II-108
CHAPTER V
JOB TRAINING II-109
CHAPTER VI
JOB PLACEMENT II-117
CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES II-119
CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER II-121
CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS II-123
II - 95
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE II-131
Section One : Protection
Subsection 1 : Disabled Person
Subsection 2 : Children
Subsection 3 : Women
Subsection 4 : Working Hours
Subsection 5 : Occupational Safety and Health
Section Two : Wages
Section Three : Welfare
CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS II-146
Section One : General
Section Two : Trade/Labour Union
Section Three : Entrepreneurs’ Organization
Section Four : Bipartite Cooperation Institution
Section Five : Tripartite Cooperation Institution
Section Six : Company Ragulations
Section Seven : Collective Labour Agreement
Section Eight : Institutions/Agencies for the Settlement of
Industrial Relation Disputes
Subsection 1 : Industrial Relations Disputes
Subsection 2 : Strike
Subsection 3 : Lock-Out
CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT II-163
CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT II-178
CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION II-179
CHAPTER XV
INVESTIGATION II-180
II - 96
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND
ADMINISTRATIVE SANCTIONS II-181
Section One : Criminal Provisions
Section Two : Administrative Sanctions
CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS II-184
CHAPTER XVIII
CLOSING PROVISIONS II-184
II - 97
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 98
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
EXPLANATORY NOTES
ON THE ACT OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 OF THE YEAR 2003
CONCERNING
MANPOWER AFFAIRS
ACT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
NUMBER 13 YEAR 2003
CONCERNING
I. GENERAL
MANPOWER Manpower development as an integral
part of the national development based on
the Pancasila and the 1945 Constitution shall
be carried out within the framework of
building up Indonesian as fully integrated
human beings and the overall, integrated
development of Indonesia’s society in order to
WITH THE GRACE OF GOD THE ALMIGHTY, enhance the dignity, values and status of
manpower and to create a prosperous, just
and well-off society in which material and
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF spiritual benefits are evenly distributed.
INDONESIA, Manpower development must be
regulated in such a way so as to fulfill the
Considering: rights of and to provide basic protection to
manpower and workers/ labourers and at the
a. That Indonesia’s national development shall be same time to be able to create conducive
implemented within the framework of building conditions for the development of the world
Indonesians as fully-integrated human beings and of of business.
building the whole Indonesian society in order to realize Manpower development has many
dimensions and interconnectivity. The
a society in which there shall be welfare, justice and
interconnectivity is not only related to the
prosperity based on equity both materially and spiritually interests of the workforce during, prior to and
with the Pancasila and the 1945 Constitution at its after the term of employment but also related
foundation. to the interests of the entrepreneur, the
government and the public. Therefore,
b. That in the implementation of national development, comprehensive and all-inclusive arrangements
workers have a very important role and position as actors are needed. And this shall include, among
of development as well as the goal of development itself; others, the development of human resources,
improvement of productivity and
c. That in accordance with the role and position of workers, competitiveness of Indonesian manpower,
manpower development is required to enhance the quality efforts to extend job opportunities, job
of workers as well as their role and participation in national placement service, and industrial relations
development and in improving protection for workers and development.
their families in respect to human dignity and values; Industrial relations development as part
of manpower development must be directed
d. That protection of workers is intended to safeguard the to keep on realizing industrial relations that
II - 99
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
fundamental rights of workers and to secure the are harmonious, dynamic and based on
implementation of equal opportunity and equal treatment justice. For this purpose, recognition and
appreciation of human rights as stated under
without discrimination on whatever basis in order to the Decree of the People’s Consultative
realize the welfare of workers/ labourers and their family Assembly Number XVII of 1998 (TAP MPR
by continuing to observe the development of progress NO. XVII/MPR/1998) must be realized. As
made by the world of business; far as manpower business is concerned, this
MPR decree serves as a chief milestone in
e. That several acts on manpower are considered no longer promoting and upholding democracy in the
relevant to the need and demand of manpower workplace. It is expected that the
development and hence, need to be abolished and/or implementation of democracy in the workplace
revoked; will encourage optimal participation from all
manpower and workers/ labourers of
f. That based on the considerations as mentioned under Indonesia to build the aspired State of
points a, b, c, d and e, it is necessary to establish an Act Indonesia.
concerning Manpower. Some prevailing laws and regulations
concerning manpower that has been ongoing
thus far, including parts that are of colonial
In view of: products, put workers in a less advantageous
Article 5 Subsection (1), Article 20 Subsection (2), Article 27 position especially when it comes to job
placement service and industrial relations
Subsection (2), Article 28 and Article 33 Subsection (1) of
system that put too much emphasis on
the 1945 Constitution. differences of positions and interests so that
they are no longer suitable for today’s needs as
well as for future demands. The said statutory
By the joint approval between
legislations are:
Ordinance concerning the Mobilization
THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF of Indonesian People To Perform Work
Outside of Indonesia (Staatsblad Year
THE REPUBLIC OF INDONESIA 1887 Number 8);
AND Ordinance dated December 17, 1925,
THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA which is a regulation concerning the
Imposition of Restriction on Child Labour
and Night Work for Women (Staatsblad
DECIDE: Year 1925 Number 647);
Ordinance Year 1926, which is a
To stipulate: regulation concerning Child and Youth
ACT CONCERNING MANPOWER AFFAIRS Labour on Board of A Ship (Staatsblad
Year 1926 Number 87);
Ordinance dated May 4, 1936
concerning Ordinance To Regulate
Activities To Recruit Candidates
(Staatsbald Year 1936 Number 208);
Ordinance concerning the Repatriation
of Labourers Who Come From or Are
Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
Ordinance Number 9 Year 1949
concerning Restriction of Child Labour
II - 100
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 101
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 102
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
GENERAL PROVISIONS
ARTICLE 1 ARTICLE 1
Under this act, the following definitions shall apply: Sufficiently clear
II - 103
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 104
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 105
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER II
STATUTORY BASIS, BASIC PRINCIPLES AND
OBJECTIVES
ARTICLE 2
ARTICLE 2
The National Development shall be
Manpower development shall have the Pancasila and the carried out in the framework of the whole,
1945 Constitution as its statutory basis. undivided development of Indonesian as a
human being. Therefore, manpower
development shall be carried out with the
aim to develop Indonesian and the
Indonesian society as a whole into a
prosperous, just, and well-off society in which
material and spiritual benefits are evenly
shared.
II - 106
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 3 ARTICLE 3
Manpower development shall be carried out based on The fundamental principle of
manpower development basically accords with
the basic principle of integration through functional, cross- the fundamental principle of national
sector, central, and provincial/municipal coordination. development, in particular with the
fundamental principle of democracy of the
Pancasila and the fundamental principles of
social justice and equity. Manpower
development has many dimensions and
interconnectivity with many stakeholders such
as the government, the entrepreneur and the
worker/ labourer. Therefore, manpower
development shall be carried out in an
integrated manner and in the form of a
mutually supportive cooperation.
ARTICLE 4 ARTICLE 4
Manpower development aims at: Point a
The empowerment and the effective
a. Empowering and making efficient use of manpower employment of manpower and the
optimally and humanely; development of their potentials shall go hand
in hand as an integrated activity aimed at
b. Creating equal opportunity and providing manpower providing as many job opportunities as possible
(supply of manpower) that suits the need of national and to Indonesian manpower. Through the
provincial/ municipal developments; empowerment and their employment/
potential development, Indonesian manpower
c. Providing protection to manpower for the realization of
shall be able to participate optimally in the
welfare; and national development but with keeping on
d. Improving the welfare of manpower and their family. upholding their values as human beings.
Point b
All efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities throughout
all the territory of the Unitary State of the
Republic of Indonesia as a unified job markets
by providing equal opportunities to all
Indonesian manpower to find job that is in
line with their talents, interest and capabilities.
All efforts must also be made to ensure equal
distribution of job placement in order to fulfill
the needs in all sectors and regions.
Point c
Sufficiently clear
Point d
Sufficiently clear
II - 107
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER III
EQUAL OPPORTUNITIES
ARTICLE 5 ARTICLE 5
Every person who is available for a job
Any manpower shall have the same opportunity to get a
shall have the same right and opportunity to
job without discrimination. find a decent job and to earn a decent living
without being discriminated against on
grounds of sex, ethnicity, race, religion, political
orientation, in accordance with the person’s
interest and capability, including the provision
of equal treatment to the disabled.
ARTICLE 6 ARTICLE 6
Every worker/ labourer has the right to receive equal Entrepreneurs are under an obligation
treatment without discrimination from their employer. to give the worker/ labourer equal rights and
responsibilities without discrimination based
on sex, ethnicity, race, religion, skin color,
CHAPTER IV and political orientation.
ARTICLE 7 ARTICLE 7
Subsection (1)
(1) For the sake of manpower development, the government Manpower planning that is formulated
shall establish manpower policy and develop manpower and established by the government shall be
planning. implemented through sector-based, regional
and national manpower planning
(2) Manpower planning shall include: approaches.
a. Macro manpower planning; and
Subsection (2)
b. Micro manpower planning. Point a
(3) In formulating policies, strategies, and implementation Macro manpower planning is a process
of sustainable manpower development program, the of systematically formulating manpower
planning, which makes effective, productive
government must use the manpower planning as and optimal use of workforce in order to
mentioned under subsection (1) as guidelines. support economic or social developments at
national, regional or sector-based level. In
this way as many as possible job opportunities
can be made available while job productivity
and workers/ labourers’ welfare can also be
increased.
Point b
Micro manpower planning is a process
of systematically formulating manpower
planning within an agency – either a
government agency or a private agency – in
order to enhance the effective, productive and
II - 108
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 8 ARTICLE 8
Subsection (1)
(1) Manpower planning shall be developed on the basis of Manpower information is collected and
manpower information, which, among others, includes processed according to the objectives of the
information concerning: formulation of national manpower planning
and provincial or district or city manpower
a. Population and manpower; planning.
b. Employment opportunity;
Subsection (2)
c. Job training including job competence; For the sake of manpower development,
d. Workers’ productivity; the participation of the private sector is expected
to provide information concerning manpower.
e. Industrial relations; The term “private sector” shall include
f. Working environment condition; enterprises/ companies, universities, and non-
government organizations at central level,
g. Wages system and workers’ welfare; and provincial or district/ city levels.
h. Social security for the employed. Subsection (3)
Sufficiently clear
(2) The manpower information as mentioned under
subsection (1) shall be obtained from all related parties,
including from government and private agencies.
(3) Provisions concerning procedures for acquiring manpower
information as well as procedures for the formulation and
implementation of manpower planning as mentioned
under subsection (1) shall be regulated with a Government
Regulation.
CHAPTER V
JOB TRAINING
ARTICLE 9 ARTICLE 9
Job training is provided and directed to instill, enhance, Welfare improvement as mentioned
under this Article shall mean the welfare
and develop job competence in order to improve ability, gained by manpower through the fulfillment
productivity and welfare. of work competence acquired by means of job
training.
ARTICLE 10 ARTICLE 10
Subsection (1)
(1) Job training shall be carried out by taking into account Sufficiently clear
II - 109
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
the need of the job market and the need of the business Subsection (2)
community, either within or outside the scope of Work competence standards shall be
established by Minister by including the
employment relations. sectors concerned.
Job training shall be provided on the basis of training Subsection (3)
programs that refer to job competence standards. Job training commonly comes in three
levels: elementary level, intermediate level and
(2) Job training may be administered step by step. advanced level.
(3) Provisions concerning procedures for establishing job Subsection (4)
Sufficiently clear
competence standards as mentioned under subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 11 ARTICLE 11
Manpower has the right to acquire and/or improve and/ Sufficiently clear
or develop job competence that is suitable to their talents,
interest and capability through job training.
ARTICLE 12 ARTICLE 12
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are responsible for improving and or Users of skilled manpower are
developing their workers’ competence through job entrepreneurs. Therefore, entrepreneurs are
training. responsible for organizing job training in
order to improve their workers’ competence.
Entrepreneurs who have meet the requirements stipulated
with a Ministerial Decision are under an obligation to Subsection (2)
improve and or develop the competence of their workers Entrepreneurs are obliged to enhance
and/or develop the competence of their
as mentioned under subsection (1)
workers/ labourers because it is the enterprise
(2) Every worker/ labourer shall have equal opportunity to that will benefit from the enhancement of
take part in a job training that is relevant to their field of their workers/ labourers’ job competence.
duty.
Subsection (3)
The administration of job training shall
be adjusted to the need of and the available
opportunity at the enterprise so that enterprise
activities are not disrupted.
ARTICLE 13 ARTICLE 13
(1) Job training shall be provided by government job-training Subsection (1)
institutes and/or private job-training institutes. Private job training shall also include
enterprise job training.
(2) Job training may be provided in a training place or in the
workplace. Subsection (2)
Sufficiently clear
(3) In providing job training, government job-training
institutes as mentioned under subsection (1) may work Subsection (3)
together with the private sector. Sufficiently clear
II - 110
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 14 ARTICLE 14
Subsection (1)
(1) A private job-training institute can take the form of an Sufficiently clear
Indonesian legal entity or individual proprietorship.
Subsection (2)
(2) Private job-training institutes as mentioned under
Sufficiently clear
subsection (1) are under an obligation to have a permit or
register with the agency responsible for manpower affairs Subsection (3)
in the local district/ city. The registration of training activities
administered by a government job-training
(3) A job-training institute run by a government agency shall institute at the government agency responsible
register its activities at the government agency responsible for manpower affairs in the district/ city is
for manpower affairs in the local district/ city. intended to get information for optimal
enhancement and development of the
(4) Provisions concerning procedures for acquiring a permit effectiveness of the training, training results,
from the authorities and registration procedures for job training structures and infrastructures.
training institutes as mentioned under subsection (2) and
subsection (3) shall be regulated with a Ministerial Subsection (4)
Sufficiently clear
Decision.
ARTICLE 15 ARTICLE 15
Job training providers are under an obligation to make Sufficiently clear
sure that the following requirements are met:
a. The availability of trainers;
b. The availability of a curriculum that is suitable to the
level of job training to be given;
c. The availability of structures and infrastructure for job
training; and
d. The availability of fund for the perpetuation of the activity
of providing job training.
ARTICLE 16 ARTICLE 16
Sufficiently clear
(1) Licensed private job training institutes and registered
government-sponsored job training institutes may obtain
accreditation from accrediting agencies.
(2) The accrediting agencies as mentioned under subsection
(1) shall be independent, consisting of community and
government constituents, and shall be established with a
Ministerial Decision.
(3) The organization and procedures of work of the accrediting
agencies as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision.
II - 111
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 17 ARTICLE 17
Sufficiently clear
(1) The government agency responsible for labour/ manpower
affairs in a district/ city may temporarily terminate
activities associated with the organization and
administration of a job training in the district/ city if it
turns out that the implementation of the job training:
a. Is not in accordance with the job training directions
as mentioned under Article 9; and/or
b. Does not fulfill the requirements as mentioned under
Article 15.
(2) The temporary termination of activities associated with
the organization and administration of job training as
mentioned under subsection (1) shall be accompanied
with the reasons for the temporary termination and
suggestions for corrective actions and shall apply for no
longer than 6 (six) months.
(3) The temporary termination of the implementation of the
administration of job training only applies to training
programs that do not fulfill the requirements as specified
under Article 9 and Article 15.
(4) Job training providers who, within a period of 6 months,
do not fulfill and complete the suggested corrective actions
as mentioned under subsection (2) shall be subjected to a
sanction that rules the termination of their training
programs.
(5) Job training providers who do not obey and continue to
carry out the training programs that have been ordered
for termination as mentioned under subsection (4) shall
be subjected to a sanction that revokes their licenses and
cancels their registrations as job training providers.
(6) Provisions concerning procedures for temporary
termination, termination, revocation of license, and
cancellation of registration shall be regulated with a
Ministerial Decision.
ARTICLE 18 ARTICLE 18
Subsection (1)
(1) Manpower shall be entitled to receive job competence Sufficiently clear
recognition after participating in job training provided
by government job training institutes, private job training Subsection (2)
institutes, or after participating in job training in the Certification of competence is a process
II - 112
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 19 ARTICLE 19
The provision of job training to people with disability Sufficiently clear
who are available for a job shall take into account the type and
severity of the disability and their ability.
ARTICLE 20 ARTICLE 20
Subsection (1)
(1) To support the improvement of job training for the sake The national job training system as
of manpower development, a national job-training system mentioned under this subsection is
that serves as a reference for the administration of job interconnectivity and integration of various
training in all fields of work and/or all sectors shall be job training elements/ aspects which include,
among others, participants, costs, structures
developed. and infrastructures, instructors, training
(2) Provisions concerning the form, mechanism and programs and methods and graduates. With
institutional arrangements of the national job-training the existence of the national job training
system, all elements and all resources of
system as mentioned under subsection (1) shall be national job training found in government
regulated with a Government Regulation. agencies, private agencies and companies can
be optimally used.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 21 ARTICLE 21
Job training may be administered by means of Sufficiently clear
apprenticeship systems.
ARTICLE 22 ARTICLE 22
Subsection (1)
(1) Apprenticeship shall be carried out based on an Sufficiently clear
apprenticeship agreement made in writing between the
II - 113
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (3)
An apprentice who has the status of a
worker/ labourer in the enterprise that employs
him or her as apprentice shall have the right
over everything that is regulated in the
company regulations or the collective labour
agreement.
ARTICLE 23 ARTICLE 23
Certification may be performed by a
Manpower that has completed an apprenticeship program
certification agency established by and or
is entitled to get their job competence and qualifications accredited by the government if the program
recognized by enterprises or by certification agency. is general, or by the enterprise if the program
is specific.
ARTICLE 24
ARTICLE 24
Sufficiently clear
Apprenticeship can take place within the enterprise or at
the place where job training is organized, or at another
II - 114
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 25 ARTICLE 25
Sufficiently clear
(1) The apprenticeship which is conducted outside of
Indonesia’s territory must obtain a license from Minister
or the appointed official.
(2) In order to obtain the license as mentioned under
subsection (1), the organizer of the apprenticeship must
be in the form of an Indonesian legal entity in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(3) Provisions concerning the procedures for obtaining license
for apprenticeship organized outside of Indonesia’s territory
as mentioned under subsection (1) and subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 26 ARTICLE 26
Sufficiently clear
(1) Any apprenticeship organized outside of the Indonesia’s
territory must take into account:
a. The dignity and standing of Indonesians as a nation;
b. Mastery of a higher level of competence; and
c. Protection and welfare of apprenticeship participants,
including their rights to perform religious obligations.
(2) The Minister or appointed official may order the
termination of any apprenticeship taking place outside of
the Indonesia’s territory if it turns out that its organization
is not pursuant to subsection (1).
ARTICLE 27 ARTICLE 27
Subsection (1)
(1) Minister may require qualified enterprises to organize Sufficiently clear
apprenticeship programs.
(2) In determining the requirements for organizing Subsection (2)
The phrase the interests of the enterprise
apprenticeship programs as mentioned under subsection under this subsection means to ensure the
(1), Minister must take into account the interests of the availability of skilled and expert manpower
enterprise, the society and the State. at certain competence levels such specialist
welders for performing welding underwater.
The phrase the interests of the society
shall refer to, for instance, the opening up of
opportunities for people to find a job in a
specific industry such as plant cultivation
technology with tissue culture.
The phrase the interests of the State shall
II - 115
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 28 ARTICLE 28
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendation and consideration
in the establishment of policies and coordination of job
training and apprenticeship activities, a national job
training coordinator institute shall be established.
(2) The formation, membership and procedures of work of
the national job training coordinator institute as
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a
Presidential Decision.
ARTICLE 29 ARTICLE 29
Sufficiently clear
(1) The Central Government and/or Regional Governments
shall develop job training and apprenticeship.
(2) The development of job training and apprenticeship shall
be directed to improve the relevance, quality, and
efficiency of job training administration and productivity.
(3) Efforts to improve productivity as mentioned under
subsection (2) shall be made through the development of
productive culture, work ethics, technology and efficiency
of economic activities directed towards the realization of
national productivity.
ARTICLE 30 ARTICLE 30
Sufficiently clear
(1) In order to enhance productivity as mentioned under
subsection (2) of Article 29, a national productivity
institute shall be established.
(2) The national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be in the form of an institutional
productivity enhancement service network, which
supports cross-sector and cross-regional activities/
programs.
(3) The formation, membership and procedures of work of
the national productivity institute as mentioned under
subsection (1) shall be regulated with a Presidential
Decision.
II - 116
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER VI
JOB PLACEMENT
ARTICLE 31 ARTICLE 31
Any manpower shall have equal rights and opportunities Sufficiently clear
to choose a job, get a job, or move to another job and earn
decent income irrespective of whether they are employed at
home or abroad.
ARTICLE 32 ARTICLE 32
Subsection (1)
(1) Job placement shall be carried out based on transparency,
The term transparency here refers to the
free, objectivity, fairness and equal opportunity without giving of clear information to jobseekers
discrimination. concerning the type of work, the amount
(2) Job placement shall be directed to place manpower in of wages, and working hours. This is
necessary to protect workers/ labourers and
the right job or position which best suits their skills, trade, to avoid disputes after the placement takes
capability, talents, interest and ability by observing their place.
dignity and rights as human beings as well as legal Free means that jobseekers are free to choose
protection. whatever job they like and employers are
also free to choose manpower/ jobseekers
(3) Job placement shall be carried out by taking into account
they like. Thus jobseekers must not be
the equal distribution of equal opportunity and the forced to accept a job and employers must
available supply of manpower in accordance with the needs not be forced to accept any manpower
of the national and regional development programs. offered to him.
The term objectivity here is intended to
encourage employers to offer to jobseekers
jobs that suit their abilities and
qualifications. In so doing, however,
employers have to consider the interests of
the public and must not take sides.
The phrase fairness and equal here shall
refer to placement purely based on the
ability of the manpower and not based
on the manpower’s race, sex, skin color,
religion, and political orientation.
Subsection (2)
Sufficiently clear
Subsection (3)
Efforts must be made to ensure equal
distribution of job opportunities in the whole
territory of the State of the Republic of
Indonesia as a unified national job market
by providing the whole manpower with the
same opportunity to get job according to their
II - 117
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 33 ARTICLE 33
Sufficiently clear
The placement of manpower consists of:
a. The placement of manpower at domestic level;
b. The placement of manpower in foreign countries.
ARTICLE 34 ARTICLE 34
Prior to the enactment of the act on the
Provisions concerning the placement of manpower in placement of manpower in foreign countries,
foreign countries as mentioned under Article 33 point b shall all laws and regulations that regulate
be regulated with an act. placement of manpower in foreign countries
shall remain valid.
ARTICLE 35 ARTICLE 35
Subsection (1)
(1) Employers who need workforce may recruit by themselves Employers under this subsection refer to
the workforce they need or have them recruited through domestic employers.
job placement agencies.
Subsection (2)
(2) Job placement agencies as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) are under an obligation to provide protection to
manpower that they try to find a placement for since their Subsection (3)
recruitment takes place until their placement is realized. Sufficiently clear
ARTICLE 36 ARTICLE 36
Sufficiently clear
(1) The placement of manpower by a job placement agency
as mentioned under subsection (1) of Article 35 shall be
carried out through the provision of job placement service.
(2) Job placement service as mentioned under subsection (2)
shall be provided/rendered in an integrated manner within
a job placement system to which the following elements
are part:
a. Job seekers;
b. Vacancies;
c. Job market information;
II - 118
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 37 ARTICLE 37
Subsection (1)
(1) Job placement agencies as mentioned under subsection Point a
(1) of Article 35 consist of: The establishment of government
a. Government agencies responsible for manpower affairs; agencies responsible for manpower affairs at
central and regional level shall be regulated
and according to prevailing laws and regulations.
b. Private agencies with legal status. Point b
Sufficiently clear
(2) In order to provide job placement service, the private
agency as mentioned under subsection (1) point b is under Subsection (2)
an obligation to possess a written permission from Minister Sufficiently clear
or another appointed official.
ARTICLE 38 ARTICLE 38
Sufficiently clear
(1) Job placement agencies as mentioned under point a
subsection (1) of Article 37 are prohibited from collecting
placement fees, either directly or indirectly, in part or in
whole, from people available for work whom they find a
placement for and their users.
(2) Private job placement agencies as mentioned under point
b subsection (1) of Article 37 may only collect placement
fees from users of their service and from workers of certain
ranks and occupation whom they have placed.
(3) The ranks and occupation as mentioned under subsection
(2) shall be regulated with a Ministerial Decision.
CHAPTER VII
EXTENSION OF JOB OPPORTUNITIES
ARTICLE 39 ARTICLE 39
Sufficiently clear
(1) The government is responsible for making efforts to extend
job opportunities either within or outside of employment
relationships.
II - 119
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(2) The government and the society shall jointly make efforts
to extend job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(3) All the government’s policies, at the central or regional
level and in each sector, shall be directed to realize the
extension of job opportunities either within or outside of
employment relationships.
(4) Financial institutions, either banks or non-banks, and the
business society need to help and facilitate each activity
of the society which can create or develop extension of job
opportunities.
ARTICLE 40 ARTICLE 40
Sufficiently clear
(1) Extension of employment opportunities outside of
employment relationships shall be undertaken through
the creation of productive and sustainable activities by
efficient use of natural resource potentials, human
resources, and effective practical technologies.
(2) Extension of employment opportunities as mentioned
under subsection (1) shall be undertaken through patterns
of formation and development for the self-employed, the
application of labour-intensive system, the application and
development of effective practical technology, and efficient
use of volunteers or other patterns that may encourage
the creation of job opportunity extension.
ARTICLE 41 ARTICLE 41
Because efforts to extend job
(1) The government shall determine manpower and job opportunities are of cross-sector coverage, a
opportunity extension policies. national policy must be made in all sectors to
absorb manpower optimally. In order to
(2) The government and the society shall jointly exercise properly implement the national policy, the
control over the implementation of the policies as government and society shall jointly and in a
mentioned under subsection (1). coordinated way monitor and control the
implementation of the policy.
(3) In implementing the duty as mentioned under subsection
(2), a coordinating body with government and society
constituents as its members may be established.
(4) Provisions concerning the extension of job opportunities
as mentioned under Article 39 and Article 40 and the
formation of a coordinating body as mentioned under
subsection (3) of this Article shall be regulated with a
Government Regulation.
II - 120
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER VIII
EMPLOYMENT OF FOREIGN WORKER
ARTICLE 42 ARTICLE 42
Subsection (1)
(1) Every employer that employs foreign worker is under an The requirement to obtain permission
obligation to obtain written permission from Minister. for the use of foreign worker is intended to
ensure selective employment of foreign worker
(2) An employer who is an individual person is prohibited so that Indonesian manpower can be used
from employing foreign worker. and developed optimally.
(3) The obligation to obtain permission from Minister as
Subsection (2)
mentioned under subsection (1) does not apply to
Sufficiently clear
representative offices of foreign countries in Indonesia that
employ foreign citizens as their diplomatic and consular Subsection (3)
employees. Sufficiently clear
(4) Foreign worker can be employed in Indonesia in Subsection (4)
employment relations for certain positions and for a Sufficiently clear
certain period of time only.
Subsection (5)
(5) Provisions concerning certain positions and certain periods Sufficiently clear
of time as mentioned under subsection (4) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (6)
Sufficiently clear
(6) Foreign workers as mentioned under subsection (4) whose
working period has expired and cannot be extended may
be replaced by other foreign workers.
ARTICLE 43 ARTICLE 43
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker must have plan concerning The plan for the utilization of foreign
the utilization of foreign worker that are legalized by the worker is a requirement to get working permit
Minister or appointed official. (IKTA).
(2) The plans for the utilization of foreign worker as Subsection (2)
mentioned under subsection (1) shall at least contain the Sufficiently clear
following information:
Subsection (3)
a. The reasons why the service of foreign worker is needed The “international agencies” under this
or required. subsection refer to non-profit international
b. The position and or occupation of the foreign worker organizations under the United Nations such
as the ILO, WHO or UNICEF.
within the organizational structure of the enterprise.
c. The timeframe set for the use of the foreign worker; Subsection (4)
and Sufficiently clear
II - 121
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 44 ARTICLE 44
Subsection (1)
(1) Employers of foreign worker are under an obligation to The competence standards here refer to
obey the prevailing regulations concerning occupations qualifications that must be owned by
and competence standards. manpower of foreign citizenship such as
knowledge, skills and expertise in certain fields
(2) The provisions concerning occupations and competence and understanding of Indonesian culture.
standards as mentioned under subsection (1) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (2)
ufficiently clear
ARTICLE 45 ARTICLE 45
Subsection (1)
(1) Employers who employ foreign worker are under Point a
obligations: Indonesian worker who accompany
foreign worker do not automatically replace
a. To appoint Indonesian worker as associate for foreign
or occupy the position of the foreign worker
worker whereby the foreign worker shall transfer that they accompany. The accompaniment is
technologies and his/her expertise to his/her emphasized on transfer of technology and
Indonesian associate; and transfer of expertise/ skills so that the
accompanying Indonesian workers may get
b. To educate and train Indonesian worker, as mentioned ability to replace the foreign worker that they
under point a, until he/she has the qualifications accompany in due time.
required to occupy the position currently occupied by Point b
foreign worker. Vocational education and training by
employers may be carried out either in the
(2) The provision as mentioned under subsection (1) does country home or by sending Indonesian
not apply to foreign worker who occupy the position of manpower to foreign countries for training.
director and/or commissioner.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 46 ARTICLE 46
Sufficiently clear
(1) Foreign worker is not allowed to occupy position that deal
with personnel and/or occupy certain positions.
(2) The certain positions as mentioned under subsection (1)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
II - 122
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 47 ARTICLE 47
Subsection (1)
(1) Employers are obliged to pay compensation for each of The obligation to pay compensation is
foreign worker that they employ. intended to support efforts to increase the
quality of Indonesian human resources.
(2) The obligation to pay compensation as mentioned under
subsection (1) does not apply to government agencies, Subsection (2)
international agencies, social and religious undertakings Sufficiently clear
and certain positions in educational institutions.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning certain positions in educational Sufficiently clear
institutions as mentioned under subsection (2) shall be
regulated with a Ministerial Decision. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the amount of compensation
and its utilization shall be regulated with a Government
Regulation.
ARTICLE 48 ARTICLE 48
Employers who employ foreign worker are under an Sufficiently clear
obligation to repatriate the foreign worker to their countries
of origin after their employment comes to an end.
ARTICLE 49
Provisions concerning the procedures for the utilization
of foreign workers and the implementation of education and
training for their Indonesian associate shall be regulated with ARTICLE 49
a Government Regulation. Sufficiently clear
CHAPTER IX
EMPLOYMENT RELATIONS
ARTICLE 50 ARTICLE 50
Employment relation exists because of the existence of a Sufficiently clear
work agreement between the entrepreneur and the worker/
labourer.
ARTICLE 51 ARTICLE 51
Subsection (1)
(1) Work agreements can be made either orally or in writing. Principally, work agreements shall be
(2) Work agreements that specify requirements in writing shall made in writing. However, given the various
be carried out in accordance with valid legislation. conditions in the society, oral work agreements
are possible.
II - 123
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (2)
Work agreements that specify work
requirements in writing must be in
accordance with the prevailing laws and
regulations, including work agreements for a
specified time, inter-work inter-region and
inter-work inter-country and maritime work
agreements.
ARTICLE 52 ARTICLE 52
Subsection (1)
(1) A work agreement shall be made based on: Point a
a. The agreement of the parties; Sufficiently clear
Point b
b. The capability or competence to take legal actions; The phrase capability or competence to
c. The availability/existence of the job which the parties take legal actions refers to parties who are
have agreed about; capable or competent by law to make
agreements. Work agreements for child labour
d. The notion that the job which the parties have agreed shall be signed by their parents or guardians.
about is not against public order, morality and what is Point c
prescribed in the prevailing laws and regulations. Sufficiently clear
Point d
(2) If a work agreement, which has been made by the parties, Sufficiently clear
turns out to be against what is prescribed under point a
and point b of subsection (1), the agreement may be Subsection (2)
abolished/cancelled. Sufficiently clear
(3) If a work agreement, which has been made by the parties, Subsection (3)
turns out to be against what is prescribed under point c Sufficiently clear
and point d of subsection (1), the agreement shall be
declared null and void by law.
ARTICLE 53 ARTICLE 53
Sufficiently clear
Everything associated with, and/or the costs needed for,
the making of a work agreement shall be borne by, and shall
be the responsibility of, the entrepreneur.
ARTICLE 54 ARTICLE 54
Subsection (1)
(1) A written work agreement shall at least include: Sufficiently clear
a. The name, address and line of business;
Subsection (2)
b. The name, sex, age and address of the worker/ labourer; What is meant by the phrase must not
c. The occupation or the type of job; against stated under this subsection is that if
the enterprise already has its rules and
d. The place, where the job is to be carried out; regulations or its collective labour agreement,
e. The amount of wages and how the wages shall be paid; then the content of the work agreement, both
in terms of quality and quantity, can not be
f. Job requirements stating the rights and obligations of
II - 124
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
both the entrepreneur and the worker/ labourer; lower than the provisions under the company
regulations or the collective labour agreement.
g. The date the work agreement starts to take effect and
the period during which it is effective; Subsection (3)
h. The place and the date where the work agreement is Sufficiently clear
made; and
i. The signatures of the parties involved in the work
agreement.
(2) The provisions in a work agreement as mentioned under
point e and point f of subsection (1) are concerned must
not against the company regulations, the collective labour
agreement and prevailing laws and regulations.
(3) A work agreement as mentioned under subsection (1) shall
be made in 2 (two) counterparts which have the same
legal force, 1 (one) copy of which shall be kept by the
entrepreneur and the other by the worker/ labourer.
ARTICLE 55 ARTICLE 55
A work agreement cannot be withdrawn and/or changed Sufficiently clear
unless the parties agreed otherwise.
ARTICLE 56 ARTICLE 56
Sufficiently clear
(1) A work agreement may be made for a specified time or for
an unspecified time.
(2) A work agreement for a specified time shall be made based
on:
a. A term; or
b. The completion of a certain job.
ARTICLE 57 ARTICLE 57
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time shall be made in
writing and must be written in the Indonesian language
with Latin alphabets.
(2) A work agreement for a specified time, if not made in
writing is against what is prescribed under subsection (1),
shall be regarded as a work agreement for an unspecified
time.
(3) If a work agreement is written in both the Indonesian
language and a foreign language and then differences in
interpretation arise, then the Indonesian version of the
agreement shall prevail.
II - 125
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 58 ARTICLE 58
Sufficiently clear
(1) A work agreement for a specified time cannot stipulate
probation.
(2) If a work agreement as mentioned under subsection (1)
stipulates the probation, it shall then be declared null
and void by law.
ARTICLE 59 ARTICLE 59
Subsection (1)
(1) A work agreement for a specified time can only be made The work agreement as mentioned
for a certain job, which, because of the type and nature of under this subsection shall be registered with
the job, will finish in a specified time, that is: the government agency responsible for
manpower affairs.
a. Work to be performed and completed at once or work
which is temporary by nature; Subsection (2)
b. Work whose completion is estimated time which is Jobs that are permanent by nature refer
to continuous, uninterrupted jobs that are
not too long and no longer than 3 (three) years; not confined by a timeframe and are part of
c. Seasonal work; or production process in an enterprise or jobs
that are not seasonal.
d. Work that is related to a new product, a new activity Jobs that are not seasonal are jobs that
or an additional product that is still in the experimental do not depend on the weather or certain
stage or try-out phase. conditions. If a job is a continuous,
uninterrupted job that is not confined by a
(2) A work agreement for a specified time cannot be made for
timeframe and part of a production process
jobs that are permanent by nature. but depends on the weather or the job is
(3) A work agreement for a specified time can be extended or needed because of the existence of a certain
renewed. condition, then the job is a seasonal job. The
job does not belong to permanent employment
(4) A work agreement for a specified time may be made for a and hence, can be subjected to a work
period of no longer than 2 (two) years and can only be agreement for a specified time.
extended one time that is not longer than 1 (one) year.
Subsection (3)
(5) Entrepreneurs who intend to extend work agreement for Sufficiently clear
a specified time shall notify the said workers/ labourers of
the intention in writing within a period of no later than 7 Subsection (4)
Sufficiently clear
(seven) days prior to the expiration of the work agreements.
(6) The renewal of a work agreement for a specified time can Subsection (5)
only be made after a grace period of 30 (thirty) days is Sufficiently clear
over since the work agreement for a specified period comes
Subsection (6)
to an end; the renewal of a work agreement for a specified Sufficiently clear
time can only be made once that is no longer than 2 (two)
years. Subsection (7)
Sufficiently clear
(7) Any work agreement for a specified time that does not
fulfill the requirements mentioned under subsection (1), Subsection (8)
subsection (2), subsection (4), subsection (5) and Sufficiently clear
II - 126
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 60 ARTICLE 60
Subsection (1)
(1) A work agreement for an unspecified time may require a A requirement for a probationary period
probation period for no longer than 3 (three) months. must be stated in a work agreement. If the
(2) During the probation period as mentioned under work agreement is made orally, the
requirement for a probationary period must
subsection (1), the entrepreneur is prohibited from paying be made known to the worker and stated in
wages less than the applicable minimum wage. the worker’s letter of appointment. If the work
agreement or the letter of appointment is silent
about probationary period, probationary
period shall be considered non-existent.
Subsection (2)
Sufficiently clear
ARTICLE 61 ARTICLE 61
Subsection (1)
(1) A work agreement comes to an end if: Point a
a. The worker dies; or Sufficiently clear
Point b
b. The work agreement expires; or Sufficiently clear
c. A court decision and/or a resolution or order of the Point c
industrial relations disputes settlement institution, Sufficiently clear
Point d
which has permanent legal force; or A certain situation or incident which
d. There is a certain situation or incident prescribed in may result in the termination of employment
the work agreement, the company regulations, or the refers to certain conditions such as natural
disasters, social upheavals/ unrest and security
collective labour agreement which may effectively
disturbances.
result in the termination of employment.
A work agreement does not end because the Subsection (2)
entrepreneur dies or because the ownership of the Sufficiently clear
company has been transferred because the company Subsection (3)
has been sold, bequeathed to an heir, or awarded as a Sufficiently clear
grant.
Subsection (4)
(2) In the event of a transfer of ownership of an enterprise, Sufficiently clear
the new entrepreneur shall bear the responsibility of
fulfilling the entitlements of the worker/ labourer unless Subsection (5)
otherwise stated in the transfer agreement, which must What is meant by the worker’s
entitlements that pursuant to the prevailing
not reduce the entitlements of the worker/ labourer.
laws and regulations or the entitlements that
has been prescribed in the work agreement,
II - 127
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(3) If the entrepreneur, individual, dies, his or her heir may the company regulations, or collective labour
terminate the work agreement after negotiating with the agreement are entitlements that must be given
that are better and more beneficial for the
worker/ labourer. worker/ labourer.
(4) If a worker/ labourer die, his or her heir has a rightful
claim to acquire the worker’s entitlements according to
the prevailing laws and regulations or to the entitlements
that has been prescribed in the work agreement, the
company regulations, or the collective labour agreement.
ARTICLE 62 ARTICLE 62
Sufficiently clear
If either party in a work agreement for a specified time
shall terminates the employment relations prior to the
expiration of the agreement, or if their work agreement has to
be ended for reasons other than what is given under subsection
(1) of Article 61, the party that terminates the relation is obliged
to pay compensation to the other party in the amount of the
worker’s/ labourer’s wages until the expiration of the agreement.
ARTICLE 63 ARTICLE 63
Sufficiently clear
(1) If a work agreement for an unspecified time is made orally,
the entrepreneur is under an obligation to issue a letter of
appointment for the relevant worker/ labourer.
The letter of appointment as mentioned under subsection
(1) shall at least contain information concerning:
a. The name and address of the worker/ labourer;
b. The date the worker starts to work;
c. The type of job or work; and
d. The amount of wages.
ARTICLE 64 ARTICLE 64
Sufficiently clear
An enterprise may subcontract part of its work to another
enterprise under a written agreement of contract of work or a
written agreement for the provision of worker/labour.
ARTICLE 65 ARTICLE 65
Sufficiently clear
(1) The subcontract of part of work to another enterprise shall
be performed under a written agreement of contract of
work.
(2) Work that may be subcontracted as mentioned under
subsection (1) must meet the following requirements:
II - 128
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 129
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 66 ARTICLE 66
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers from labour suppliers must not be If the job is related to the entrepreneur’s
utilized by employers to carry out their enterprises’ main core business activities or activities directly
activities or activities that are directly related to production connected with production process, the
process except for auxiliary service activities or activities entrepreneur is only allowed to employ
workers/ labourers under an employment/
that are indirectly related to production process. work agreement for a specified time and/or
(2) Labour suppliers which provide labour for auxiliary service under a work agreement for an unspecified
activities or activities indirectly related to production time.
What is meant by auxiliary service
process must fulfill the following requirements: activities or activities indirectly related to
a. There is employment relationship between the worker/ production process are activities outside of the
labourer and the labour provider; core business of the enterprise.
Such activities include, among others,
b. The applicable employment agreement in the activities associated with the provision of
employment relationship as mentioned under point a cleaning service, the provision of catering
above shall be employment agreement for a specified service the provision of a supply of security
guards, auxiliary business activities in the
time which fulfills the requirements under Article 59
mining and oil sectors, and the provision of
and/or work agreement for an unspecified time made transport for workers/ labourers.
in writing and signed by the parties;
c. The labour provider shall be responsible for wages and Subsection (2)
Point a
welfare protection, working conditions and disputes Sufficiently clear
that may arise; and Point b
d. The agreements between enterprises serving as labour Sufficiently clear
Point c
providers and enterprises using the labour they provide Issues concerning wage and welfare
shall be made in writing and shall include provisions protection, working requirements/ conditions
as mentioned under this act. and settlements of disputes between labour
providers/ suppliers and workers/ labourers
(3) Labour providers/ suppliers shall take the form of a legal
must be in accordance with the prevailing
entity business with license from a government agency laws and regulations.
responsible for manpower affairs. As far as wage and welfare protection,
(4) If what is stipulated under subsection (1), point a, point working conditions, and protection in the
event of a dispute are concerned, workers/
b, and point d of subsection (2), and subsection (3) is labourers who work at labour provider
not fulfilled, the enterprise that utilizes the service of the enterprises shall receive the same entitlements
labour provider shall be held legally responsible by law to as the ones provided in the enterprises that use
be the employer of workers/ labourers provided to it by their service in accordance with the work
agreements, company regulations or collective
the labour provider.
labour agreements.
Point d
Sufficiently clear
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
II - 130
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER X
PROTECTION, WAGES AND WELFARE
SECTION ONE
PROTECTION
SUBSECTION 1
DISABLED PERSONS
ARTICLE 67 ARTICLE 67
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who employ disabled workers are under The protection to disabled workers
an obligation to provide protection to the workers in according to the type and severity of the
accordance with the type and severity of their disability. disability as mentioned under this subsection
refers to, for instance, the provision of
(2) The protection for disabled workers as mentioned under accessibility, working tools, and personal
subsection (1) shall be administered in accordance with protective equipment that are adjusted to the
prevailing laws and regulations. type and severity of the worker’s disability.
Subsection (2)
SUBSECTION 2 Sufficiently clear
CHILDREN
ARTICLE 68 ARTICLE 68
Entrepreneurs are not allowed to employ children. Sufficiently clear
ARTICLE 69 ARTICLE 69
Sufficiently clear
(1) Exemption from what is stipulated under Article 68 may
be made for the employment of children aged between
13 (thirteen) years old and 15 (fifteen) years old for light
work to the extent that the job does not stunt or disrupt
their physical, mental and social developments.
(2) Entrepreneurs who employ children for light work as
mentioned under subsection (1) must meet the following
requirements:
a. The entrepreneurs must have written permission from
the parents or guardians of the children;
b. There must be a work agreement between the
entrepreneur and the parents or guardians;
c. Maximum working time 3 (three) hours a day;
d. Conducting during the day without disturbing school
time;
II - 131
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 70 ARTICLE 70
Sufficiently clear
(1) Children may work at a workplace as part of their school’s
education curriculum or training legalized by the
authorities.
(2) The children as mentioned under subsection (1) at least
14 (fourteen) years of age.
(3) The job as mentioned under subsection (1) can be
performed on the conditions:
a. given clear instructions on how to do the job as well as
guidance and supervision on how to carry out the work;
and
b. given the occupational safety and health.
ARTICLE 71 ARTICLE 71
Subsection (1)
(1) Children may work in order to develop their talents and What is stipulated under this subsection
interest. is intended to protect children in such a way
that the development of their talents and
(2) Entrepreneurs who employ children as mentioned under
interest – that commonly takes place at their
subsection (1) are under an obligation to meet the age – is not disrupted.
following requirements:
a. put under direct supervision of their parents or Subsection (2)
Sufficiently clear
guardians;
b. maximum working time 3 (three) hours a day; and Subsection (3)
Sufficiently clear
c. the working conditions and environment do not disrupt
their physical, mental and social developments as well
as school time;
(3) Provisions concerning children who work to develop their
talents and interest as mentioned under subsection (1)
and subsection (2) shall be regulated with a Ministerial
Decision.
II - 132
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 72 ARTICLE 72
Sufficiently clear
In case children are employed together with adult
workers/labourers, the children’s workplace must be separated
from the workplace for adult workers/labourers.
ARTICLE 73 ARTICLE 73
Children shall be assumed to be at work if they are found Sufficiently clear
in a workplace unless there is evidence to prove otherwise.
ARTICLE 74 ARTICLE 74
Sufficiently clear
(1) Anyone shall be prohibited from employing and involving
children in the worst forms of child labour.
(2) The worst forms of child labour as mentioned under
subsection (1) include:
a. All kinds of job in the form of slavery or practices similar
to slavery;
b. All kinds of job that make use of, procure, or offer
children for prostitution, the production of
pornography, pornographic performances or gambling;
c. All kinds of job that make use of, procure, or involve
children for the production and trade of alcoholic
beverages, narcotics, psychotropic substances and other
addictive substances; and/or
d. All kinds of job harmful to the health, safety and moral.
(3) The types of jobs that damage the health, safety or moral
of the child as mentioned under point d of subsection (2)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 75 ARTICLE 75
Subsection (1)
(1) The government is under an obligation to make efforts to Efforts to overcome problems associated
overcome problems concerning with children who work with children who work outside of employment
outside of employment relationship. relations are intended to ensure that no child
works outside of employment relations or to
(2) The efforts as mentioned under subsection (1) shall be reduce the number of children who work
regulated with a Government Regulation. outside of employment relations. These efforts
must be carried out in a well-planned, well-
integrated and well-coordinated manner with
related agencies.
Children who work outside of
employment relations are for instance shoeshine
boys or newspaper boys.
II - 133
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SUBSECTION 4
WORKING HOURS
ARTICLE 77 ARTICLE 77
Subsection (1)
(1) Every entrepreneur is under an obligation to observe the Sufficiently clear
provision concerning working hours.
(2) The working hours as mentioned under subsection (1) Subsection (2)
Sufficiently clear
cover:
a. 7 (seven) hours a day and 40 (forty) hours a week for 6 Subsection (3)
(six) workdays in a week; or Under this subsection, certain business
sectors or certain types of work refer to, for
b. 8 (eight) hours a day, 40 (forty) hours a week for 5 instance, work on offshore oil drilling rigs/
(five) workdays in a week; platforms, work involving long distance
driving of vehicles, work involving long
(3) The provisions concerning the working hours as mentioned
distance flight, work at sea (on a ship) or
under subsection (2) do not apply to certain business work involving the felling of trees.
II - 134
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 78 ARTICLE 78
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Employing workers beyond normal
longer than the working hours determined under working hours must be avoided because
subsection (2) of Article 77 must meet the following workers/ labourers must have enough time to
requirements: take a rest and recover their fitness. However,
in certain cases there are urgent needs in which
a. Approval of the relevant worker/labourer; work must be immediately and inevitably
b. Maximum overtime work of 3 (three) hours in a day done so that workers/ labourers have to work
beyond normal working hours.
and 14 (fourteen) hours in a week.
(2) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Subsection (2)
overtime as mentioned under subsection (1) are under an Sufficiently clear
obligation to pay overtime pay.
Subsection (3)
(3) The provisions concerning overtime as mentioned under Sufficiently clear
subsection (1) point b do not apply to certain business
sector or certain jobs. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning overtime and overtime wages
as mentioned under subsection (2) and subsection (3)
shall be regulated with a Ministerial Decision.
ARTICLE 79 ARTICLE 79
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are under an obligation to allow their Sufficiently clear
workers/ labourers to take a rest and leave. Subsection (2)
Point a
(2) The period of rest and leave as mentioned under subsection Sufficiently clear
(1) shall include: Point b
a. The period of rest between working hours at least half Sufficiently clear
Point c
an hour after working for 4 (four) hours consecutively
Sufficiently clear
and this period of rest shall not be inclusive of working Point d
hours; While taking a long period of rest,
The weekly period of rest is 1 (one) day after 6 (six) workers/ labourers are given compensation
pay for their entitlement to the eighth year’s
workdays in a week or 2 (two) days after 5 (five) annual leave amounting to half their monthly
workdays in a week; salary. Enterprises that have already applied a
b. The yearly period of rest is 12 (twelve) workdays after long period of rest that is better than the one
stipulated under this act are not allowed to
the worker/labourer works for 12 (twelve) months reduce it.
consecutively; and
II - 135
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 80 ARTICLE 80
Entrepreneurs are under an obligation to provide workers What is meant by the provision of
adequate opportunity shall refer to the
with adequate opportunity to perform their religious provision of a place for praying to and
obligations. worshipping God that enables workers/
labourers to properly perform their religious
obligations/ rituals, in which the enterprise’s
conditions and financial ability for the
provision of such a place shall be taken into
account.
ARTICLE 81 ARTICLE 81
(1) Female workers/labourers who feel pain during their Sufficiently clear
menstruation period and notify the entrepreneur about
this are not obliged to come to work on the first and second
day of menstruation.
(2) The implementation of what is stipulated under subsection
(1) shall be regulated in work agreements, the company
regulations or collective labour agreements.
ARTICLE 82 ARTICLE 82
Subsection (1)
(1) Female workers/ labourers are entitled to a 1.5 (one-and- The length of the period of rest may be
a-half ) month period of rest before the time at which extended if required as attested by a written
they are estimated by an obstetrician or a midwife to give statement from the obstetrician or midwife
II - 136
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
birth to a baby and another 1.5 (one-and-a-half ) month either prior to or after the delivery.
period of rest thereafter.
Subsection (2)
(2) A female worker/ labourer who has a miscarriage is entitled Sufficiently clear
to a period of rest of 1.5 (one-and-a-half ) months or a
period of rest as stated in the medical statement issued by
the obstetrician or midwife.
ARTICLE 83 ARTICLE 83
Entrepreneurs are under an obligation to provide proper What is meant by providing proper
opportunities to female workers/ labourers to
opportunities to female workers/ labourers whose babies still breast-feed their babies during working hours
need breastfeeding to breast-feed their babies if that must be are periods of time provided by the enterprise
performed during working hours. to the female workers/ labourers to breast-
feed their babies, by taking into account the
availability of a place/ room that can be used
for such a purpose according to the enterprise’s
conditions and financial ability, which shall
be regulated in the company regulations or
collective labour agreements.
ARTICLE 84 ARTICLE 84
Sufficiently clear
Every worker/ labourer who uses her right to take the
period of rest as specified under points b, c and d of subsection
(2) of Article 79, Article 80 and Article 82 shall receive her
wages in full.
ARTICLE 85 ARTICLE 85
Subsection (1)
(1) Workers/ labourers are not obliged to work on formal Sufficiently clear
public holidays. Subsection (2)
(2) Entrepreneurs may require their workers/ labourers to work What is stipulated under this subsection
is intended to serve the public interest and
during formal public holidays if the types and nature of public welfare. Moreover, there are works
their jobs must be conducted continuously or under other whose type and nature are such that it is
circumstances based on the agreement between the worker/ impossible to stop it.
labourer and the entrepreneur.
Subsection (3)
(3) Entrepreneurs who require their workers/ labourers to work Sufficiently clear
on formal public holidays as mentioned under subsection
(2) are under an obligation to pay overtime pay. Subsection (4)
Sufficiently clear
(4) The provisions concerning the types and nature of the
jobs mentioned under subsection (2) shall be regulated
with a Ministerial Decision.
II - 137
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SUBSECTION 5
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
ARTICLE 86 ARTICLE 86
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to receive protection Sufficiently clear
on:
a. Occupational safety and health; Subsection (2)
Occupational safety and health efforts
b. morality and decency; and are intended to provide guarantee of safety
c. Treatment that shows respect to human dignity and and increase the level of health of workers/
labourers by preventing occupational
religious values. accidents and diseases, controlling hazards in
(2) In order to protect the safety of workers/ labourers and to the workplace, promoting health, medical care
realize optimal productivity, an occupational health and and rehabilitation.
safety scheme shall be administered.
Subsection (3)
(3) The protection as mentioned under subsection (1) and Sufficiently clear
subsection (2) shall be given in accordance with prevailing
laws and regulations.
ARTICLE 87 ARTICLE 87
Subsection (1)
(1) Every enterprise is under an obligation to apply an The occupational safety and health
occupational safety and health management system that management system is part of the overall
shall be integrated into the enterprise’s management management system of the enterprise, which
system. includes organizational structure, planning,
implementation, responsibility, procedures,
(2) The provisions concerning the application of the processes, and resources that are needed for
occupational safety and health management system as the development, application, achievement,
mentioned under subsection (1) shall be regulated with a study and maintenance of the enterprise’s
occupational safety and health policy in order
Government Regulation.
to control the risks associated with working
activities for the creation of secure, efficient
and productive workplace.
SECTION TWO Subsection (2)
WAGES Sufficiently clear
ARTICLE 88 ARTICLE 88
Subsection (1)
(1) Every worker/ labourer has the right to earn a living that
Income that enables workers/ labourers
is decent from the viewpoint of humanity to properly meet their livelihood needs refers
(2) In order to enable the worker to earn a living that is decent to the amount of income or earning that
from the viewpoint of humanity as mentioned under workers/ labourers earns from their work so
that they can reasonably meet what they and
subsection (1), the Government shall establish a wages their families need for living, including the
policy that protects the worker/labourer. ability to meet the need for food and drinks,
II - 138
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(3) The wages policy that protects workers/labourers as clothes, housing, education, healthcare,
mentioned under subsection (2) shall include: recreation and old age benefit.
ARTICLE 89 ARTICLE 89
Subsection (1)
(1) The minimum wages as mentioned under point a of Point a
subsection (3) of Article 88 may consist of: Sufficiently clear
a. Provincial or district/city-based minimum wages;
Point b
b. Provincial or district/city-based sectoral minimum Sector-based minimum wages can be
wages. established for business groups by sector and
their breaking down according to business
(2) The establishment of minimum wages as mentioned under classification by sector nationwide (Indonesia),
subsection (1) shall be directed towards meeting the need by district/ city or province. Such sector-based
for decent living. minimum wages in any given area must not
be lower than the regional minimum wages
(3) The minimum wages as mentioned under subsection (1)
applicable to the area in question.
shall be determined by Governors after considering
recommendations from Provincial Wages Councils and/ Subsection (2)
or District Heads/Mayors. The phrase shall follow the guidance
for meeting the need for decent living as
(4) The components of and the implementation of the phases mentioned under this subsection shall mean
of achieving the needs for decent living as mentioned under that the setting of minimum wages must be
subsection (2) shall be regulated with a Ministerial adjusted to the level at which the minimum
Decision. wages are on par with the need for decent
living. The amount of such minimum wages
shall be determined by Minister.
II - 139
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
The meeting of the need for decent
living needs to be made gradually because
the need for decent living is an upgrade of the
need for minimum living that heavily
depends on the level of financial ability of the
world of business.
ARTICLE 90 ARTICLE 90
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs are prohibited from paying wages lower Sufficiently clear
than the minimum wages as mentioned under Article 89.
Subsection (2)
(2) Entrepreneurs who are unable to pay minimum wages as
The postponement of the payment of
mentioned under Article 89 may be allowed to make minimum wages by an enterprise that is
postponement. financially not able to pay minimum wages is
(3) Procedures for postponing paying minimum wages as intended to release the enterprise from having
to pay minimum wages for a certain period of
mentioned under subsection (2) shall be regulated with a time. If the postponement comes to an end,
Ministerial Decision. the enterprise is under an obligation to pay
minimum wages that are applicable at the
time but is not obliged to make up the
difference between the wages it actually paid
and the applicable minimum wages during
the period of time of the postponement.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 91 ARTICLE 91
Sufficiently clear
(1) The amount of wages set based on an agreement between
the entrepreneurs and the worker/ labourer or trade/
labour union must not be lower than the amount of wages
set under the prevailing laws and regulations.
(2) In case the agreement as mentioned under subsection (1)
sets a wages that is lower than the one that has to be set
under the prevailing laws and regulations or against
prevailing laws and regulations, the agreement shall be
declared null and void by law and the entrepreneur shall
be obliged to pay the worker/ labourer a wages according
to the prevailing laws and regulations.
II - 140
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 92 ARTICLE 92
Subsection (1)
(1) Entrepreneurs shall formulate the structure and scales of The formulation of wages structures and
wages by taking into account the level, position, years of scales is intended as a guideline for setting
work, education and competence of the worker/ labourer. wages so that the wages of each worker can be
determined with certainty. Such formulation
(2) Entrepreneurs shall review their workers/labourers’ wages is also intended to reduce the gap between the
periodically by taking into account their enterprise’s lowest wages and the highest wages in the
financial ability and productivity. enterprise.
(3) The provisions concerning the structure and scales of wages Subsection (2)
as mentioned under subsection (1) shall be regulated with The reviewing of wages shall be done to
a Ministerial Decision. adjust the wages to the consumer price index,
the worker’s performance, and the enterprise’s
development and financial ability.
Subsection (3)
Sufficiently clear
ARTICLE 93 ARTICLE 93
Subsection (1)
(1) No wages will be paid if workers/labourers do not perform What is stipulated under this subsection
work. is a fundamental principle that is basically
(2) However, the provision as mentioned under subsection applicable to every worker/ labourer, that is,
unless the worker/ labourer cannot perform
(1) shall not apply and the entrepreneur shall be obliged his/ her job because of mistakes that are not
to pay the worker/labourer’s wages if the worker/labourer his/ her.
does not perform work because of the following reasons:
Subsection (2)
a. The workers/labourers are ill so that they cannot Point a
perform their work; A worker/labourer are ill if there is a
b. The female workers/labourers are ill on the first and statement from the physician.
Point b
second day of their menstruation period so that they Sufficiently clear
cannot perform their work; Point c
c. The workers/labourers have to be absent from work Sufficiently clear
Point d
because they get married, marry of their children, have
Fulfilling one’s obligation to the State
their sons circumcised, have their children baptized, means fulfilling State obligation, which is
or because the worker/ labourer’s wife gives birth or stipulated under laws and regulations.
suffers from a miscarriage, or because the wife or The payment of wages to workers/
husband or children or children-in-law(s) or parent(s) labourers who have to be absent from work
because they are required to perform their
or parent-in-law(s) of the worker/labourer or a member obligations to the State shall be made if:
II - 141
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
of the worker/labourer’s household dies. a. The State does not pay the worker/
labourer; or
d. The workers/labourers cannot perform their work
b. The State pays worker/labourer less than
because they are carrying out or fulfilling their the amount of wages he/she usually
obligations to the State; receives. In this case the entrepreneur is
e. The workers/labourers cannot perform their work under an obligation to make up the
difference.
because they are performing religious obligations Point e
ordered by their religion; Practicing or observing religious duties
f. The workers/labourers are willing to do the job that ordered/ required by his/her religion means
practicing religious obligations according to
they have been promised to but the entrepreneur does
his/her religion requirement, which has been
not employ them, because of the entrepreneur’s own regulated with laws and regulations.
fault or because of impediments that the entrepreneur Point f
should have been able to avoid; Sufficiently clear
Point g
g. The workers/labourers are exercising their right to take Sufficiently clear
a rest; Point h
h. The workers/labourers are performing their trade union Sufficiently clear
Point i
duties with the permission from the entrepreneur; and Sufficiently clear
i. The workers/labourers are undergoing an education
program required by their enterprise. Subsection (3)
Sufficiently clear
(3) The amount of wages payable to workers who are taken
ill as mentioned under point a of subsection (2) shall be Subsection (4)
determined as follows: Sufficiently clear
a. For the first four months, they shall be entitled to Subsection (5)
receive 100 % (one hundred percent) of their wages; Sufficiently clear
b. For the second four months, they shall be entitled to
receive 75 % (seventy five percent) of their wages;
c. For the third four months, they shall be entitled to
receive 50 % (fifty percent) of their wages; and
d. For subsequent months, they shall be entitled to receive
25 % (twenty five percent) of their wages prior to the
termination of employment by the entrepreneur.
(4) The amount of wages payable to workers/ labourers during
the period in which they have to be absent from work for
reasons specified under point c of subsection (2) shall be
determined as follows,
a. If the workers/labourers are get married, shall be
entitled to receive a payment for 3 (three) days;
b. If the workers/labourers marry of their children, shall
be entitled to receive a payment for 2 (two) days;
c. If the workers/labourers’ child are circumcised, shall
II - 142
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 94 ARTICLE 94
What is meant by fixed allowance under
If a wages is composed of basic wage and fixed allowances, this subsection is payment to workers/ labourers
the amount of the basic wage must not be less than 75% that is made regularly and not commensurate
(seventy five percent) of the total amount of the basic wages with the attendance or certain achievement /
and fixed allowances. performance of the worker/ labourer.
ARTICLE 95 ARTICLE 95
Subsection (1)
(1) Violations by the worker/ labourer, either by willful Sufficiently clear
misconduct or negligence, may result in the imposition
of a fine. Subsection (2)
Sufficiently clear
(2) Entrepreneurs who pay their workers/ labourers’ wages
late either by willful misconduct or negligence shall be Subsection (3)
ordered to pay a fine whose amount shall correspond to a Sufficiently clear
certain percentage from the worker/labourer’s wages.
Subsection (4)
(3) The government shall regulate the imposition of fine on The payment of worker/ labourer’s
the entrepreneur and or the worker/ labourer in the wages shall take priority over the payment of
payment of wages. other debts. This means that workers/
labourers’ wages must be the first to be paid
(4) In case the enterprise is declared bankrupt or liquidated before other debts are paid.
based on the prevailing laws and regulations, the payment
of the enterprise’s workers/ labourers’ wages shall take
priority over the payment of other debts.
II - 143
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 96 ARTICLE 96
Sufficiently clear
Any claim for the payment of the worker/ labourer’s wages
and all other claims for payments that arise from an employment
relation shall expire after the lapse of 2 (two) years since such
the right is arose.
ARTICLE 97 ARTICLE 97
ARTICLE 98 ARTICLE 98
Sufficiently clear
(1) In order to provide recommendations and considerations
for the formulation of wages policies to be established by
the Government, and to develop a national wages system,
the National Wage Council, Provincial Wage Councils,
and District/ City Wage Councils shall be established.
(2) The councils as mentioned under subsection (1) shall have
representatives from the government, entrepreneurs’
organizations, trade/ labour unions, universities and experts
as their members.
(3) The members of the National-level Wage Council shall
be appointed and dismissed by the President while the
members of Provincial Wage Councils and District/ City
Wage Councils shall be appointed and dismissed by the
Governors/ District Heads/ Mayors of the respective
provinces, districts and cities.
(4) The provisions concerning the procedures for the formation
of, membership composition of, procedures for appointing
and dismissing members of and duties and working
procedures of wages system councils as mentioned under
subsection (1) and subsection (2) shall be regulated with
a Presidential Decision.
II - 144
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTIONTHREE
WELFARE
ARTICLE 99 ARTICLE 99
Sufficiently clear
(1) Workers/ labourers and their families shall each be entitled
to social security.
(2) The social security as mentioned under subsection (1)
shall be administered in accordance with the prevailing
laws and regulations.
II - 145
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XI
INDUSTRIAL RELATIONS
SECTION ONE
GENERAL
ARTICLE 102 ARTICLE 102
Sufficiently clear
(1) In conducting industrial relations, the government shall
perform the function of establishing policies, providing
services, taking control and taking actions against any
violations of statutory manpower laws and regulations.
(2) In conducting industrial relations, workers/ labourers and
their organizations unions shall perform the function of
performing their jobs/ work as obliged, working order to
ensure production, channeling their aspirations
democratically, enhancing their skills and expertise and
helping promote the business of the enterprise and fight
for the welfare of their members and families.
(3) In conducting industrial relations, entrepreneurs and their
associations shall perform the function of creating
partnership, developing business, diversifying employment
and providing welfare to workers/ labourers in a transparent
and democratic way and in a way that upholds justice.
II - 146
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION TWO
TRADE/LABOUR UNION
SECTION THREE
ENTREPRENEURS’ ORGANIZATION
SECTION FOUR
BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION
II - 147
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION FIVE
TRIPARTITE COOPERATION INSTITUTION
SECTION SIX
COMPANY REGULATIONS
II - 148
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 149
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
to reach an agreement, then the existing company laws and regulations. If proved otherwise,
regulations shall remain valid until its expiration. however, the stipulations of prevailing laws
and regulations shall apply.
Subsection (3)
Sufficiently clear
Subsection (4)
Sufficiently clear
Subsection (5)
Sufficiently clear
II - 150
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION SEVEN
COLLECTIVE LABOUR AGREEMENT
II - 151
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 152
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 153
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 154
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 155
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 156
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION EIGHT
INSTITUTIONS/ AGENCIES FOR THE SETTLEMENT OF
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTES
SUBSECTION 1
INDUSTRIAL RELATIONS DISPUTE
SUBSECTION 2
STRIKE
II - 157
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
deadlock.
The term peacefully and orderly means
that the strike must not disrupt security and
public order and/or threaten the life safety
and property of the entreprise, entrepreneur,
other people or other members of the general
public.
II - 158
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
a. The time (day, date and the hour) at which they will Point b
start and end the strike; Places for staging a strike refer to places
chosen by those responsible for the strike for
b. The venue of the strike; staging the strike in a way that will not prevent
c. Their reasons for the strike; and other workers/ labourers from performing
work.
d. The signatures of the chairperson and secretary of the Point c
striking union and/or the signature of each of the Sufficiently clear
chairpersons and secretaries of the unions participating Point d
Sufficiently clear
in the strike, who shall be held responsible for the
strike. Subsection (3)
(3) If the strike is staged by workers/ labourers who are not Sufficiently clear
members of any trade/labour union, the notification as
Subsection (4)
mentioned under subsection (2) shall be signed by Sufficiently clear
workers/ labourers’ representatives who have been
appointed to coordinate and/or responsible for the strike.
(4) If a strike is performed not pursuant to the requirements
as mentioned under subsection (1), then in order to save
production equipment and enterprise assets, the
entrepreneur may take temporary action by:
a. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at locations where production processes
normally take place; or
b. Prohibiting striking workers/labourers from being
present at the enterprise’s premise if necessary.
II - 159
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (2)
Sufficiently clear
II - 160
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 161
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
place.
(2) The lockout notification as mentioned under subsection
(1) shall at least contain:
a. The time (day, date and hour) will start and end the
lockout; and
b. The reason and cause for the lockout.
(3) The notification as mentioned under subsection (1) shall
be signed by the entrepreneur and/or the management of
the relevant enterprise.
II - 162
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XII
TERMINATION OF EMPLOYMENT
II - 163
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
request.
(2) The request for such a decision as mentioned under
subsection (1) may be accepted by the institution for
settlement of industrial relations disputes if it has been
negotiated as mentioned under subsection (2) of Article
151.
(3) The decision on the request for termination of
employment can only be made by the institution for the
settlement of industrial relations disputes if it turns out
that the intention to carry out the termination of
employment has been negotiated but that the negotiation
results in no agreement.
II - 164
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 165
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 166
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 167
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 168
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
working environment;
d. Committed immorality/indecency or gambled in the
working environment;
e. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or
her co-workers or the entrepreneur in the working
environment.
f. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to
do something that against laws and regulations.
g. Carelessly or intentionally destroyed or let the property
of the entrepreneur exposed to danger, which caused
the enterprise to incur losses;
h. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or
the entrepreneur exposed to danger in the workplace;
i. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is
supposed to keep secret unless otherwise required by
the State; or
j. Committed other wrongdoings within the working
environment, which call for imprisonment for 5 (five)
years or more.
(2) The grave wrongdoings as mentioned under subsection
(1) must be supported with the following evidence:
a. The worker/labourer is caught red-handed;
b. The worker/labourer admits committed a wrongdoing;
or
c. Other evidence in the form of reports of events made
by the authorities at the enterprises and confirmed by
no less than 2 (two) witnesses.
(3) Workers/ labourers whose employment is terminated
because of reasons as mentioned under subsection (1) may
receive compensation pay for entitlements as mentioned
under subsection (4) of Article 156.
(4) Workers/ labourers as mentioned under subsection (1)
whose duties and functions do not directly represent the
interest of the entrepreneur shall be given detachment
money whose amount and the procedures or methods
associated with its payment shall be determined and
stipulated in the work agreements, company regulations,
or collective labour agreements.
II - 169
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
ARTICLE 160
ARTICLE 160
(1) In case the worker/labourer is detained by the authorities Subsection (1)
because he or she is alleged to have committed a crime The members of the worker/ labourer’s
and this happens not because of the complaint filed by family that are his or her dependents are his
the entrepreneur, the entrepreneur is not obliged to pay wife or her husband, children or persons who
legally become the worker/ labourer’s
the worker/labourer’s wages but is obliged to provide dependents according to company regulations,
assistance to the family who are his or her dependents work agreements or collective labour
according to the following provisions: agreements.
a. For 1 (one) dependent, the entrepreneur is obliged to
Subsection (2)
pay 25% (twenty-five percent) of the worker/labourer’s Sufficiently clear
wages.
b. For 2 (two) dependents, the entrepreneur is obliged Subsection (3)
Sufficiently clear
to pay 35% (thirty-five percent) of the worker/
labourer’s wages. Subsection (4)
c. For 3 (three) dependents, the entrepreneur is obliged Sufficiently clear
to pay 45% (fourty-five percent) of the worker/ Subsection (5)
labourer’s wages. Sufficiently clear
d. For 4 (four) dependents or more, the entrepreneur is
Subsection (6)
obliged to pay 50% (fifty percent) of the worker/
Sufficiently clear
labourer’s wages.
(2) The assistance as mentioned under subsection (1) shall Subsection (7)
be provided for no longer than 6 (six) months of calendar Sufficiently clear
year starting from the first day the worker/labourer is
detained by the authorities.
(3) The entrepreneur may terminate the employment of the
worker/labourer who after the passing of 6 (six) months
are unable to perform his or her work as worker/labourer
because of the legal process associated with the legal
proceedings as mentioned under subsection (1).
(4) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months as mentioned under subsection (3) and the
worker/ labourer is declared not guilty, the entrepreneur
is obliged to reemploy the worker/labourer.
II - 170
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
(5) In case the court decides the case prior to the passing of 6
(six) months and the worker/labourer is declared guilty,
the entrepreneur may terminate the employment of the
worker/ labourer.
(6) The termination of employment as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) is carried out without
the decision of the institution for the settlement of
industrial relations disputes.
(7) The entrepreneur is obliged to pay to the worker/labourer
whose employment is terminated as mentioned under
subsection (3) and subsection (5) reward pay for service
rendered during his/her period of employment 1 (one)
time of what is stipulated under subsection (3) of Article
156 and compensation pay that the worker/ labourer
ought to have as mentioned under subsection (4) of Article
156.
II - 171
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Subsection (3)
Sufficiently clear
II - 172
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 173
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 174
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 175
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
obliged to pay them severance pay twice the amount of Rp2,400,000 (which is the benefit paid
severance pay as stipulated under subsection (2) of Article by the pension program administrator
which represents 40% of the total
156, reward pay for period of employment amounting to premiums which had been paid by the
1 (one) time the amount stipulated under subsection (3) worker/ labourer)
of Article 156 and compensation pay for entitlements
——————————————
according to subsection (4) of Article 156.
Total: Rp12,400,000 (twelve
(6) The worker/labourer’s entitlement to retirement benefit million four hundred thousand rupiah)
as mentioned under subsection (1), subsection (2) and
subsection (3) shall not eliminate their entitlement to Subsection (4)
the old age benefit that is compulsory according to Sufficiently clear
prevailing laws and regulations. Subsection (5)
Sufficiently clear
II - 176
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 177
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XIII
MANPOWER DEVELOPMENT
II - 178
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XIV
LABOUR INSPECTION
ARTICLE 178
ARTICLE 178
(1) Labour inspection shall be carried out by a separate Sufficiently clear
working unit of a government agency whose scope of duty
and responsibility are in the field of labour at the Central
Government, Provincial Governments and District/ City
Governments.
II - 179
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XV
INVESTIGATION
ARTICLE 182 ARTICLE 182
Sufficiently clear
(1) Special authority to act as civil servant investigators may
also be given, in addition to the one assigned to the
investigating officials of the Police of the State of the
Republic of Indonesia, to labour inspectors in accordance
with the prevailing laws and regulations.
(2) The civil servant investigators as mentioned under
subsection (1) shall have the authority:
a. To examine whether or not reports and explanation
about labour crimes are true;
II - 180
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XVI
CRIMINAL PROVISIONS AND ADMINISTRATIVE
SANCTIONS
SECTION ONE
CRIMINAL PROVISIONS
II - 181
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
II - 182
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
SECTION TWO
ADMINISTRATIVE SANCTIONS
II - 183
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
CHAPTER XVII
TRANSITIONAL PROVISIONS
II - 184
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
647);
3. Ordinance Year 1926, which is a regulation which
regulates the Employment of Child and Youth on Board
of A Ship (Staatsblad Year 1926 Number 87);
4. Ordinance dated May 4, 1936 concerning Ordinance To
Regulate Activities To Recruit Candidates/ Prospective
Workers (Staatsbald Year 1936 Number 208);
5. Ordinance concerning the Repatriation of Labourers Who
Come From or Are Mobilized From Outside of Indonesia
(Staatsblad Year 1939 Number 545);
6. Ordinance Number 9 Year 1949 concerning Restriction
of Child Labour (Staatsblad Year 1949 Number 8);
7. Act Number 1 Year 1951 concerning the Declaration of
the Enactment of Employment Act Year 1948 Number
12 From the Republic of Indonesia For All Indonesia (State
Gazette Year 1951 Number 2);
8. Act Number 21 Year 1954 concerning Labour Agreement
Between Labour Union and Employer (State Gazette Year
1954 Number 69, Supplement to State Gazette Number
598a);
9. Act Number 3 Year 1958 concerning the Placement of
Foreign Workers (State Gazette Year 1958 Number 8);
10. Act Number 8 Year 1961 concerning Compulsory Work
for University Graduates Holding Master’s Degree (State
Gazette Year 1961 Number 207, Supplement to State
Gazette Number 2270);
11. Act Number 7 Year 1963 Serving as the Presidential
Resolution on the Prevention of Strike and/or Lockout at
Vital Enterprises, Government Agencies In Charge of
Public Service and Agencies (State Gazette Year 1963
Number 67);
12. Act Number 14 Year 1969 concerning Fundamental
Provisions concerning Manpower (State Gazette Year 1969
Number 55, Supplement to State Gazette Number 2912);
13. Act Number 25 Year 1997 concerning Manpower (State
Gazette Year 1997 Number 73, Supplement to State
Gazette Number 3702);
14. Act Number 11 Year 1998 concerning the Change in the
Applicability of Act Number 25 Year 1997 concerning
II - 185
Act No. 13 Year 2003 Explanatory Notes
Legalized in Jakarta
On 25 March, 2003
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Promulgated in Jakarta:
On 25 March, 2003
STATE SECRETARY OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA
II - 186
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
e. bahwa . . .
- 2 -
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Agar . . .
- 4 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2005
ttd
HAMID AWALUDIN
I. UMUM
kepada . . .
- 2 -
kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak
asasi manusia: (1) Kove nan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga
menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus
memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat
pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri.
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah
memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat
penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan
(Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di
dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara
Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara
Indonesia . . .
- 3 -
Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);
hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28);
kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29
ayat (2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31
ayat (1) ).
Dalam . . .
- 4 -
Konsideran . . .
- 5 -
serta . . .
- 6 -
memperhatikan . . .
- 7 -
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok,
atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan
tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun
yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya
pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang
berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau
kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut
atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak
ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai
mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus
yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini
(Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat
pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).
Pasal 1
Ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling
terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun
1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak
asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi
dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini
harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan,
pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial,
dan pudaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman
hak-hak sipil dan politik.
Ayat (2) . . .
- 9 -
(Ayat 2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah
asli dalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 1 Kovenan ini.
Pasal 2
Cukup jelas.
MEMUTUSKAN :
Dengan membatalkan segala peraturan yang berlawanan dengan undang-undang ini
menetapkan :
PASAL 1
Menyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia undang-undang Pengawasan Perburuhan
tanggal 23 Juli 1948 Nr. 23 dari Republik Indonesia yang bunyinya sebagai berikut :
BAGIAN I
Tentang Pengawasan Perburuhan
Pasal 1
BAGIAN II
Hak Pegawai-pegawai Pengawasan Perburuhan untuk memperoleh Keterangan.
Pasal 2
1) Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk olehnya,
menunjuk pegawai-pegawai yang diberi kewajiban menjalankan pengawasan
perburuhan;
Pasal 3
1) Majikan atau wakilnya, demikian pula semua buruh yang bekerja pada majikan
itu, atas permintaan dan dalam waktu sepantasnya yang ditentukan oleh
pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1), wajib memberikan semua
keterangan-keterangan yang sejelas-jelasnya, baik dengan lisan maupun tertulis
yang dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat yang pasti tentang
hubungan kerja dan keadaan perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan
itu pada waktu itu atau/dan pada waktu yang telah lampau;
Pasal 4
Atas permintaan pegawai-pegawai tersebut dalam pasal 2 ayat (1) majikan atau
wakilnya wajib menunjuk seorang pengantar untuk memberi keterangan-keterangan
pada waktu diadakan pemeriksaan.
BAGIAN III
Menyimpan Rahasia.
Pasal 5
BAGIAN IV
Aturan Hukuman
Pasal 6
6) Hal-hal yang dikenakan hukuman tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dianggap
sebagai kejahatan, sedangkan yang tersebut dalam ayat(4) dan (5) dianggap
sebagai pelanggaran.
Pasal 7
1) Jikalau yang dikenakan hukuman tersebut dalam pasal 6 itu suatu badan
hukum, maka tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan
hukum itu;
2) Jikalau urusan badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain maka
tuntutan dan hukuman dilakukan terhadap pengurus badan hukum lain yang
mengurus itu.
BAGIAN V
Tentang Mengusut Pelanggaran dan Kejahatan.
Pasal 8
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Januari 1951.
SOEKARNO.
WONGSONEGORO. SOEROSO
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1948.
Tentang
PENGAWASAN PERBURUHAN TAHUN 1948
PEMANDANGAN UMUM
Pengawasan perburuhan adalah suatu institut yang sangat penting dalam penyelenggaraan
undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan.
Meskipun Kantor Pengawas Perburuhan itu di dalam zaman Belanda sudah ada, ialah
”Arbeidsinspectie”, akan tetapi kantor itu tidak begitu dikenal oleh dunia buruh (terutama
perusahaan-perusahaan yang besar-besar, kebu-kebun dan lain-lain), oleh karena pegawai
yang harus mengadakan pemeriksaan, seorang Arbeidsinspecteur tidak pernah
mengadakan perhubungan yang erat-eratnya dengan pihak buruh Indonesia. Oleh karena
itu sampai kinipun Kantor Pengawas Perburuhan yang sebetulnya telah ada dan bekerja
itu (lihat Penetapan Pemerintah Nr. 3 Tahun 1947 jo Keputusan Menteri Perhubungan
tanggal 30 Juli 1947 Nr. 364/P.V) masih saja belum dikenal sebaik-baiknya oleh
beberapa majikan dan buruh, sehingga telah beberapa kali terjadi seorang Ajun Inspektur
Pengawasan Perburuhan yang memasuki suatu tempat perusahaan untuk menjalankan
kewajibannya, mendapat rintangan dari atau ditolak oleh majikan yang berkepentingan.
Berhubungan dengan itu dan mengingat akan pentingnya pengawasan perburuhan, pula
untuk menyesuaikan sifatnya dengan aliran sekarang, maka Pemerintah menganggap
perlu untuk mengadakan undang-undang yang dengan tegas menetapkan tentang adanya
pengawasan perburuhan beserta aturan-aturannya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1) :
Dalam ayat ini disebut 3 macam kewajiban dari pengawasan perburuhan.
Ayat (2) :
Berhubungan dengan pentingnya pekerjaan pengawasan perburuhan ini, maka
tiap-tiap tahun Menteri yang diwajibkan mengurus perburuhan, berwajib memberi
laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 2
Ayat (1) :
Menteri yang diserahi urusan perburuhan dan pegawai yang ditunjuk olehnya,
akan menetapkan pegawai-pegawai mana yang diberi kewajiban untuk
menjalankan pengawasan perburuhan.
Ayat (2) :
Ayat (3) :
Pasal 3 dan 4
Dalam pasal-pasal ini disebut kewajiban majikan atau wakilnya dan buruh untuk
memberi segala bantuan agar pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dapat
memperoleh pendapat yang pasti tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan pada umumnya dalam perusahaan itu.
Pasal 5
Aturan-aturan dalam pasal ini menjaga jangan sampai rahasia-rahasia dalam suatu
perusahaan yang dalam sifatnya perlu disimpan betul-betul oleh perusahaan tadi,dapat
terbuka oleh pegawai-pegawai yang mengadakan pemeriksaan dalam perusahaan tadi
yang berhubungan dengan pekerjaan , tentu mengetahui tentang rahasia-rahasia dalam
perusahaan tadi.
Pasal 6
Dalam Pasal ini disebut aturan-aturan hukuman. Ancaman hukuman agak berat
berhubung dengan pentingnya tujuan undang-undang ini.
Pasal 7,8,9
Cukup Jelas
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
DEWAN PENGUPAHAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG DEWAN PENGUPAHAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartit;
2. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Organisasi pengusaha adalah organisasi pengusaha yang ditunjuk oleh Kamar
Dagang dan Industri untuk menangani masalah ketenagakerjaan.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
Bagian Pertama
Tugas
Pasal 4
Depenas bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan nasional.
Pasal 5
Dalam melaksanakan tugasnya, Depenas dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.
Bagian Kedua
Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan
Pasal 6
Pasal 7
Paragraf 2
Kesekretariatan
Pasal 8
Paragraf 3
Komisi
Pasal 9
1. Apabila dipandang perlu, Depenas dapat membentuk Komisi untuk melaksanakan
tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depenas.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.
Bagian Ketiga
Pasal 10
Anggota Depenas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri
Pasal 11
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depenas, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
Pasal 12
Anggota Depenas diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 13
Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depenas diberhentikan apabila yang
bersangkutan:
Pasal 15
Pasal 16
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 17
Pasal 19
Ketentuan mengenai tata kerja Depenas diatur lebih lanjut oleh Ketua Depenas.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 20
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depenas dibebankan kepada
Anggaran Belanja Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
BAB III
Bagian Pertama
Tugas
Pasal 21
Depeprov bertugas :
Pasal 22
Dalam melaksanakan tugasnya, Depeprov dapat bekerja sama baik dengan instansi
Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.
Bagian Kedua
Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan
Pasal 23
Pasal 24
Paragraf 2
Kesekretariatan
Pasal 25
Paragraf 3
Komisi
Pasal 26
Bagian Ketiga
Pasal 27
Anggota Depeprov diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Pimpinan Satuan
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depeprov, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
Pasal 29
Anggota Depeprov diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 30
Pasal 31
Selain karena berakhirnya masa jabatan, anggota Depeprov diberhentikan apabila yang
bersangkutan :
Pasal 32
Pasal 33
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Ketentuan mengenai tata kerja Depeprov diatur lebih lanjut oleh Ketua Depeprov.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 37
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Depeprov dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
BAB IV
Bagian Pertama
Tugas
Pasal 38
Depekab/Depeko bertugas :
Pasal 39
Bagian Kedua
Organisasi
Paragraf 1
Keanggotaan
Pasal 40
Pasal 41
Paragraf 2
Kesekretariatan
Pasal 42
Paragraf 3
Komisi
Pasal 43
1. Apabila dipandang perlu, Depekab/Depeko dapat membentuk Komisi untuk
melaksanakan tugas tertentu.
2. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Anggota
Depekab/Depeko.
3. Ketentuan mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Komisi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.
Bagian Ketiga
Pasal 44
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Depekab/Depeko, calon anggota harus memenuhi
persyaratan :
Pasal 46
Anggota Depekab/Depeko diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Ketentuan mengenai tata kerja Depekab/Depeko diatur lebih lanjut oleh Ketua
Depekab/Depeko.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 54
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Pasal 56
.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Faried Utomo.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: PER.01/MEN/I/2009.
TENTANG
PEDOMAN PENGGUNAAN
METODA STATISTIKA KETENAGAKERJAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
BAB II
PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
BAB III
PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 10
Pasal 12
BAB IV
PENGANALISISAN DATA DAN INFORMASI
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Data dan Informasi Ketenagakerjaan Umum
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Bagian Kedua
Data dan Informasi Pelatihan dan Produktivitas.
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Bagian Ketiga
Data dan Informasi Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Bagian Keempat
Data dan Informasi Pengembangan dan Perluasan
Kesempatan Kerja
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Bagian Kelima
Data Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Bagian Keenam
Data dan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan.
Pasal 41
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Bagian Ketujuh
Data dan Informasi dengan Teknik Lainnya.
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 51
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ttd
31 Maret 2009
Yth.
1. Para Gubernur
2. Para Bupati / Walikota
di seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.114/MEN/SJ-HK/III/2009
TENTANG
1. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2009 ditetapkan bahwa hari
Kamis, tanggal 9 April 2009 sebagai hari libur nasional untuk pemungutan suara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau hari dan tanggal lain yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum untuk pemilihan umum lanjutan dan/atau susulan.
3. Dalam hal pekerja/buruh harus bekerja pada hari pemungutan suara, maka pengusaha
harus mengatur waktu kerja sedemikian rupa agar pekerja/buruh dapat menggunakan
hak pilihnya.
4. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
angka 1, dan angka 2, berhak atas upah kerja lembur dan hak–hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh yang dipekerjakan pada hari libur resmi.
5. Sehubungan dengan angka 4 di atas, maka upah kerja lembur pada hari libur resmi
dihitung hanya pada saat pekerja/buruh melakukan pekerjaan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
Tembusan :
NOMOR : PER-04/MEN/II/2009.
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat
diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000.
Pasal 3
Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang akan memberikan
santunan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan hubungan kerja
perjanjian kerja waktu tertentu dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 4
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 20 Pebruari 2009.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ttd
Sunarno, SH,MH.
NIP. 195807261985031002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta.
Pada tanggal 6 Pebruari 2009.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ttd
TENTANG
KESATU : Hari-hari libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 adalah
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya
Idul Adha bagi umat Islam, maka tanggal 1 Syawal 1431 H dan 10
Dzulhijjah 1431 H, ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri
Agama.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009
TENTANG
HARI – HARI LIBUR NASIONAL DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2010
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Agustus 2009
NOMOR : PER-01/MEN/1999
Tentang
UPAH MINIMUM
Menimbang a. bahwa dalam rangka upaya mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja,perlu
ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan
pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan
serta perkembangan perekonomian pada umumnya;
b. bahwa untuk mewujudkan penetapan upah minimum yang lebih realistis sesuai
dengan kemampuan perusahaan secara sektoral,maka disamping penetapan Upah
Minimum Regioanal juga dilakukan penetapan Upah Minimum Sektoral Regional;
c. bahwa sehunngan dengan huruf a dan b,Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-
03/MEN/1997 tentang Upah Minimum Regional, dipandang sudah tidak sesuai
lagi,sehingga perlu diadakan penyempurnaan.
d. Bahwa untuk itu,perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Mengingat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Titel 7A pasal 1601.
2 Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Kerja Tahun 1946 No.12 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran
Negara No.2 Tahun 1951).
3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari republik Indonesia
untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Tahun 1951 Nomor 4 ).
4 Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama bagi buruh
laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lembaran Negara Nomor
171 Tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2153).
5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1961 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.106
tentang Istirahat Mingguan.
6 Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2912).
7 Undang-undang Nomor 5 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,Tambahan Lembaran Negara Nomor
3037).
8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1981 tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 39,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3201).
9 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3190).
10 Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1969 tentang Pembentukan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
11 Keputusan Presiden RI No. 122/M/Tahun 1995 tentang Kabinet Reformasi
Pembangunan.
12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1985 tentang Perlindungan
Pekerja Harian Lepas.
13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No Per-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu.
14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-06/MEN/1993 tentang Waktu Kerja 5(lima)
Hari Seminggu 8(delapan)Jam Sehari.
15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.05/MEN/1998 tentang Pendaftaran
Organisasi Pekerja.
Memperhatikan Surat Dewan Penelitian Pengupahan Nasional No.42/DPPN/1999 tanggal 11 Januari
1999 perihal Saran dan Pertimbangan Penetapan Upah Minimum.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN MENTERI T E N A G A K E R J A TENTANG UPAH MINIMUM
BAB I
PENGERTIAN
PASAL 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok
termasuk tunjangan tetap.
2 Upah Minimum Regional Tingkat 1 untuk selanjutnya disebut UMR Tk.1 adalah
upah minimum yang berlaku di satu propinsi.
3 Upah Minimum Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMR Tk.II adalah
upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kotamadya atau menurut
wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah
tertentu.
4 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.I adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu propinsi.
5 Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk selanjutnya disebut UMSR
Tk.II adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di daerah
Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah
atau karena kekhususan wilayah tertentu.
6 Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut
klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).
7 Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja para
pengusaha dengan menerima upah.
8 Pengusaha adalah :
a Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan,persekutuan,atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagai dimaksud dalam huruf (a)dan(b) yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9 Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang
mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak milik
orang perseorangan,persekutuan atau badan hukum,baik milik swasta maupun
milik negara.
10 Serikat pekerja adalah organisasi pekerja atas dasar lapangan pekerjaan yang
bersifat mandiri,demokratis,bebas,dan tanggung jawab yang di bentuk
dari,oleh dan untuk pekerja,untuk memperjuangkan hak dan kepentingan
kaum pekerja dan keluarganya.
11 Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
12 Kesepakatan Kerja Bersama adalah kesepakatan hasil perundingan yang di
selenggarakan oleh serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja dengan
pengusaha atau gabungan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja,untuk
mengatur dan melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
13 Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tertulis,baik,untuk waktu tertentu maupun untuk waktu
yang tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban para
pihak.
14 Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang berbentuk perusahaan diperlakukan
sama dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan pekerja.
Pasal 3
Upah Minimum terdiri dari UMR Tk.1,UMR Tk.II, UMSR,Tk.1 dan UMSR Tk.II.
BAB II
DASAR DAN WEWENANG PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 4
(1). Menteri menetapkan besarnya upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3.
(2). Dalam satu propinsi ditetapkan UMR Tk.1
(3). Selain UMR Tk. 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan UMR
Tk.II danatau UMSR Tk.II.
(4). Dalam hal di seluruh daerah Kabupaten/Kotamadya dalam satu propinsi sudah
ada penetapan UMR Tk.II ,ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),tidak berlaku.
(5). Besarnya upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan
peninjauan selambat-lambatnya 2(dua) tahun sekali.
(6). Ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan selambat-
lambatnya 40(empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya Upah Minimum.
Pasal 5
Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ditetepkan:
a. UMSR Tk.1 harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.1
b. UMSR TK.II harus lebih besar sekurang-kurangnya 5%(lima persen) dari UMR
Tk.II.
Pasal 6
(1). UMR Tk.1 dan UMR Tk.II ditetapkan dengan mempertimbangkan :
a. kebutuhan
b. indeks harga konsumen(IHK);
c. kemampuan,perkembangan dan kelangsungan perusahaan;
d. upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah ;
e. kondisi pasar kerja;
f. tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.
(2) UMSR Tk.1 dan UMSR Tk.II ditetapkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan mempertimbangkan kemampuan perusahaan
secara sektoral.
Pasal 7
(1). Upah Minimum wajib dibayar dengan upah bulanan kepada pekerja
(2) Berdasarkan kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha
upah dapat dibayarkan mingguan atau 2 mingguan dengan ketentuan
perhitungan upah didasarkan pada upah bulanan .
BAB III
TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM
Bagian Kesatu
Upah Minimum Regional
Pasal 8
(1). Usulan penetapan UMR Tk.1 dan UMR Tk.II dirumusakan oleh Komisi Penelitian
Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
(2). Dalam merumuskan usulan.Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial
Dewan Ketenagakerjaan Daerah dapat berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha,serikat pekerja dan instansi terkait ditingkat daerah.
(3). Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setelah memperoleh
rekomendasi persetujuan Gubernur Kepala Daerah tingkat 1.
(4). Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 menolak memberikan
rekomendasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) usulan tersebut
dikembalikan kepada Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan
Ketenagakerjaan Daerah disertai alasan penolakan untuk dikaji dan diusulkan
kembali.
(5). Berdasarkan usulan sebagaimana pada ayat (3),Menteri menetapkan upah
minimum setelah mendengar saran dan pertimbangan Dewan Penelitian
Pengupahan Nasional.
(6). Dalam memberikan saran dan pertimbangan,Dewan Penelitian Pengupahan
Nasional dapat berkonsultasi dengan organisasi pengusaha,serikat pekerja dan
instansi terkait ditingkat nasional.
Pasal 9
Menteri dapat menetapkan UMR Tk.I atau UMR Tk.II berbeda dari usulan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 setelah mendengarkan saran dan
pertimbangan Dewan Penelitian Pengupahan Nasional.
Bagian Kedua
Upah Minimum Sektoral Regional
Pasal 10
(1). Untuk menetapkan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,Komisi Penelitian
Pengupahan dan jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah,mengadakan
penelitian serta menghimpun data dan informasi mengenai:
(a). homogeneitas perusahaan;
(b). jumlah perusahaan;
(c). jumlah tenaga kerja;
(d). devisa yang dihasilkan;
(e). nilai tambah yang dihasilkan;
(f). kemampuan perusahaan;
(g). asosiasi perusahaan;
(h). seikat pekerja terkait;
(2). Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan
Daerah menentukan sector dan sub sector unggulan yang selanjutnya
disampaikan kepada masing-masing asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
Pasal 11
Usulan penetapan UMSR Tk.I dan UMSR Tk.II dirundingkan dan disepakati oleh
(1).
asosiasi perusahaan dan serikat pekerja.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan di
(2). sektor atau sub sektor yang bersangkutan bersama APINDO dengan serikat
pekerja terkait.
Dalam hal sektor atau sub sektor belum mempunyai asosiasi perusahaan dan
serikat pekerja,perundingan dan kesepakatan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II
(3).
dilakukan oleh APINDO dengan gabungan serikat pekerja yang terkait dengan
sektor atau sub sektor.
Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2) dan (3)dimintakan
(4). rekomendasi kepada Gubernur melalui Komisi Penelitian pengupahan dan
Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.
Kesepakatan yang telah memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
(5). ayat (4) , disampaikan kepada Menteri melalui Kantor Wilayah Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II .
Pasal 12
Asosiasi perusahaan dan serikat pekerja di luar sektor atau sub sektor yang
telah ditentukan oleh Komisi dapat mengajukan usulan penetapan UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II.
BAB IV
PELAKSANAAN KETETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 13
Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.I atau UMR Tk.II
(1).
atau UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal di daerah sudah ada penetapan UMR Tk.II perusahaan dilarang
(2).
membayar upah lebih rendah dari UMR Tk.II.
Dalam hal di suatu sektor uasaha telah ada penetapan UMSR Tk. II dan atau
(3). UMSR Tk.II perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari UMSR Tk.I
atau UMSR Tk.II tersebut.
Pasal 14
Bagi pekerja yang berstatus tetap, tidak tetap dan dalam masa
(1). percobaan,upah diberikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah
minimum.
Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang
(2).
dari 1(satun) tatun.
Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1(satu)
(3). tahun,dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja
dengan pengusaha.
Pasal 15
Bagi pekerja dengan sistim kerja borongan atau berdasarkan satuan hasil yang
(1). dilaksanakan 1 (satu) bulan atau lebih,upah rata-rata sebulan serendah-
rendahnya sebesar Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan.
Upah pekerja harian lepas,ditetapkan secara upah bulanan yang dibayarkan
(2).
berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 6(enam) hari dalam seminggu,upah
a.
bulanan dibagi 25(dua puluh lima).
bagi perusahaan dengan sistim waktu kerja 5(lima) hari dalam seminggu,upah
b.
bulanan dibagi 21 (dua puluh satu ).
Pasal 16
Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor atau sub sektor,maka
(1).
upah yang di berlakukan sesuai dengan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II.
Dalam hal satu perusahan mencakup beberapa saktor atau sub sektor yang satu
lebih belum ada penetapan UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II untuk sektor
(2).
tersebut diberlakukan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II tertinggi diperusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal perusahaan untuk menjalankan usahanya memerlukan pekerjaan
(3). jasa penunjang yang belum terdapat penetapan UMSR Tk.I atau UMSR Tk.II
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 17
Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum
yang berlaku,pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.
Pasal 18
Peninjauan besarnya upah bagi pekerja yang telah menerima upah lebih tinggi
dari upah minimum yang berlaku,dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Perjanjian Kerja .Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja
Bersama.
Pasal 19
Dengan kenaikan upah minimum,para pekerja harus memelihara prestasi kerja
(1). sehingga tidak lebih rendah dari prestasi kerja sehingga tidak lebih rendah dari
prestasi kerja sebelum kenaikan upah.
Ukuran prestasi kerja untuk masing-masing perusahaan dirumuskan bersama
(2). oleh pengusaha dan pekerja atau Lembaga Kerjasama Bipartit perusahaan yang
bersangkutan.
Dalam hal tingkat prestasi kerja tidak sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),pengusaha dapat mengambil tindakan kepada pekerja yang bersangkutan
(3).
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,Perjanjian
Kerja,Peraturan Perusahaan,atau Kesepakatan Kerja Bersama.
BAB V
TATA CARA PENANGGUHAN
Pasal 20
Pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 4,dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimanadimaksud
(2).
pada ayat (1) diajukan kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
Pasal 21
Permohonan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1)
didasarkan atas kesepakatan tertulis antara serikat pekerja yang terdaftar
pada Departemen Tenaga Kerja dan didukung oleh mayoritas pekerja di
(1). perusahaan yang bersangkutan dengan pengusaha,atau kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja yang mewakili lebih dari 50% pekerja penerima
upah minimum bagi perusahaan yang belum ada serikat pekerja,disertai
dengan:
a. salinan kesepakatan bersama;
b. salinan akte pendirian perusahaan;
laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca,perhitungan rugi/laba
c.
beserta penjelasan-penjelasan untuk 2(dua) tahun terakhir;
d. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2(dua) tahun terakhir;
e. data upah menurut jabatan pekerja;
jumlah pekerja seluruhnya dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan
f.
pelaksanaan upah minimum;
surat pernyataan kesediaan perusahaan untuk melaksanakan upah minimum
g.
yang baru setelah berakhirnya waktu penangguhan.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 91 Menteri atau
Pejabat yang ditunjuk,dapat meminta Akuntan Publik untuk memeriksa
(2).
keadaan keuangan guna pembuktian ketidak mampuan perusahaan tersebut
atas biaya perusahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b,huruf c dan ayat 2 tidak
(3). diwajibkan bagi perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sampai dengan
100(seratus) orang.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Menteri atau
(4). Pejabat yang ditunjuk menetapkan penolakkan atau persetujuan penangguhan
pelaksanaan upah minimum.
(5). Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 2 adalah:
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
a. Ketenagakerjaan untuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 500
(lima ratus) orang atau lebih.
Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat untuk perusahaan
b. yang memperkerjakan tenaga kerja 101 (sertaus satu) sampai dengan 500(lima
ratus) orang;
Kantor Departemen Tenaga Kerja/Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat untuk
c. perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sampai dengan 100(seratus)
orang.
Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang
(6). ditetapkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (5),berlaku untuk waktu paling lama 1(satu) tahun.
Pasal 22
Persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum sebagaimana dimaksud
(1).
dalam pasal 21 ayat (4) diberikan kepada pengusaha dalam bentuk:
membayar upah terendah,tetap sesuai ketetapan upah minimum yang lama
a.
atau
b. membayar lebih rendah dari upah minimum yang baru atau
c. menangguhkan pembayaran upah minimum yang baru secara bertahap
Besarnya UMSR Tk.I dan atau UMSR Tk.II,selama penangguhan tidak boleh lebih
(2).
rendah dari UMR Tk.I atau Tk.II yang berlaku.
Bagi perusahaan yang diberikan penangguhan sebagaimana dimaksud pada
(3). ayat(1) dan (2),pengusaha tidak diwajibkan membayar kekurangan upah
selama jangka waktu pelaksanaan penangguhan upah minimum.
Pasal 23
Permohonan penangguhan upah minimum diajukan oleh pengusaha paling lama
(1).
10 (sepuluh) hari sebelum berlakunya ketetapkan upah minimum.
Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh
(2). pengusaha,diberikan dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan terhitung
sejak diterima secara lengkap permohonan penangguhan upah minimum.
Apabila waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) telah
terlampaui dan belum ada keputusan dari pejabat sebagaimana dimaksud
(3). dalam pasal 21 ayat (4) dan(5),permohonan penangguhan yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1)
dianggap telah disetujui.
Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian
(4). perusahaan yang bersangkutan dapat membayar upah yang biasa diterima
pekerja.
Dalam hal permohonan penanggulangan ditolak,upah yang diberikan pengusaha
(5). kepada pekerja serendah-rendahnya sama dengan upah minimum yang berlaku
terhitunh tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.
BAB VI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini,rekomendasi Gubernur yang
belum sesuai dengan ketentuan pasal 5 tetap berlaku untuk penetapan UMSR
Tk.I dan atau UMSR Tk.II tahun 1999.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
Berdasarkan pasal 17 undang-undang No.14 tahun 1969 pengusaha yang
melanggar ketentuan pasal 7 dan pasal 13 atau tidak memenuhi pasal 14 ayat
(1).
(1) dan (2) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000;(seratus ribu rupiah).
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),hakim dapat
(2).
menjatuhkan putusan membayar upah pekerja.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 26
Selain dari pegawai penyidik pada umumnya,pegawai pengawas perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.3 tahun 1951 tentang
Pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948
No.23 berwenang melakukan pengawasan dan penyidaikan atas pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini,maka Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.Per.03/Men/1997 tentang Upah Minimum Regional,dan Keputusan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No.Kep.16/BW/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upah
minimum Regional bagi Perusahaan Padat Karya tertentu dan Perusahaan Kecil
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 28
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal :12 Januari 1999
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :PER.21/MEN/X/2007.
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
PERENCANAAN PENYUSUNAN RSKKNI
Pasal 4
BAB III
PENYUSUNAN RSKKNI
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
BAB IV
PEMBAKUAN RSKKNI
Pasal 12
BAB V
PENETAPAN SKKNI
Pasal 14
BAB VI
PEMBERLAKUAN SKKNI
Pasal 15
BAB VII
PENGEMBANGAN SKKNI DAN HARMONISASI SKKNI
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 22
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Oktober 2007
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
TENTANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
…………………….
B. Tujuan .
…………………….
C. Pengertian SKKNI.
…………………….
D. Penggunaan SKKNI.
………………………..
X X X X X 0 0 0 0 0 0 0
(1) (2) (3) (4) (5)
4. Elemen Kompetensi.
Elemen Kompetensi adalah merupakan bagian kecil dari unit kompetensi yang
mengindentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit
kompetensi tersebut. Elemen kompetensi ditulis menggunakan kalimat aktif dan
jumlah elemen kompetensi untuk setiap unit kompetensi terdiri dari 2 sampai 5
elemen kompetensi. Kandungan dari keseluruhan elemen kompetensi pada setiap
unit kompetensi harus mencerminkan unsur : ”merencanakan, menyiapkan,
melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan”.
6. Batasan Variabel.
Batasan variabel untuk unit kompetensi minimal dapat menjelaskan :
a. Kontek variabel yang dapat mendukung atau menambah kejelasan tentang isi
dari sejumlah elemen unit kompetensi pada satu unit kompetensi tertentu, dan
kondisi lainnya yang diperlukan dalam melaksanakan tugas.
b. Perlengkapan yang diperlukan seperti peralatan, bahan atau fasilitas dan
materi yang digunakan sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
melaksanakan unit kompetensi.
c. Tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi persyaratan unit kompetensi.
d. Peraturan-peraturan yang diperlukan sebagai dasar atau acuan dalam
melaksanakan tugas untuk memenuhi persyaratan kompetensi.
7. Panduan Penilaian.
Panduan penilaianini digunakan untuk membantu penilaian dalam melakukan
penilaian/pengujian pada unit kompetensi antara lain meliputi :
a. Penjelasan tentang hal-hal yang diperlukan dalam penilaian antara lain :
prosedur, alat, bahan dan tempat penilaian serta penguasaan unit kompetensi
tertentu, dan unit kompetensi yang harus dikuasai sebelumnya sebagai
persyaratan awal yang diperlukan dalam melanjutkan penguasaan unit
kompetensi yang sedang dinilai serta keterkaitannya dengan unit kompetensi
lain.
b. Kondisi pengujian merupakan suatu kondisi yang berpengaruh atas
tercapainya kompetensi kerja, dimana, apa dan bagaimana serta lingkup
penilaian mana yang seharusnya dilakukan, sebagai contoh pengujian
dilakukan dengan metode test tertulis, wawancara, demonstrasi, praktek di
tempat kerja dan menggunakan alat simulator.
c. Pengetahuan yang dibutuhkan, merupakan informasi pengetahuan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
d. Keterampilan yang dibutuhkan, merupakan informasi keterampilan yang
diperlukan untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk kerja pada unit
kompetensi tertentu.
e. Aspek kritis merupakan aspek atau kondisi yang harus dimiliki seseorang
untuk menemukenali sikap kerja untuk mendukung tercapainya kriteria unjuk
kerja pada unit kompetensi tertentu.
8. Kompetensi Kunci.
Kompetensi kunci merupakan persyaratan kemampuan yang harus dimiliki
seseorang untuk mencapai unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan
tugas pada unit kompetensi tertentu yang terdistribusi dalam 7 (tujuh) kriteria
kompetensi kunci antara lain :
a. Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi.
b. Mengkomunikasikan informasi dan ide-ide.
c. Merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan.
d. Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok.
e. Menggunakan gagasan secara matematis dan teknis.
f. Memecahkan masalah.
g. Menggunakan teknologi.
Dari Tabel Gradasi kompetensi kunci, setelah dilakukan analisa terhadap masing-
masing nilai kompetensi kunci, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
penjumlahan nilai setiap kompetensi kunci yang digunakan sebagai pedoman
penetapan tingkat/derajat kemudahan atau kesulitan dari unit kompetensi tertentu.
KUALIFIKASI PARAMETER
KEGIATAN PENGETAHUAN TANGGUNG JAWAB
Melaksanakan kegiatan : * Mengungkap kembali. * Terhadap kegiatan sesuai
1. Lingkup terbatas. * Menggunakan pengetahuan arahan.
*. Berulang dan sudah yang terbatas. * Dibawah pengawasan
I biasa. * Tidak memerlukan gagasan langsung.
* Dalam konteks yang baru. * Tidak ada tanggungjawab
terbatas. terhadap pekerjaan orang
lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan * Terhadap kegiatan sesuai
* Lingkup agak luas. dasar operasional. arahan.
* Mapan dan sudah * Memanfaatkan informasi * Dibawah pengawasan tidak
biasa. yang tersedia. langsung dan pengendalian
* Dengan pilihan-pilihan * Menerapkan pemecahan mutu.
II
yang terbatas terhadap masalah yang sudah baku. * Punya tanggungjawab
sejumlah tanggapan * Memerlukan sedikit terbatas terhadap kuantitas
rutin. gagasan baru. dan mutu.
* Dapat diberii tanggungjawab
membimbing orang lain.
Melaksanakan kegiatan : * Menggunakan * Terhadap kegiatan sesuai
* Dalam lingkup yang Pengetahuan –pengetahuan arahan dengan otonomi
luas dan memerlukan teoritis yang relevan. terbatas.
keterampilan yang * Menginteprestasikan * Dibawah pengawasan tidak
sudah baku. informasi yang tersedia. langsung dan pemeriksaan
* Dengan pilihan-pilihan * Menggunakan perhitungan mutu.
III.
terhadap sejumlah dan pertimbangan. * Bertanggungjawab secara
prosedur. * Menerapkan sejumlah memadai terhadap kuantitas
* Dalam sejumlah pemecahan masalah yang dan mutu hasil kerja.
konteks yang sudah sudah baku. * Dapat diberii tanggungjawab
biasa. terhadap hasil kerja orang
lain.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan basis * Terhadap kegiatan yang
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas direncanakan sendiri.
luas dan memerlukan dengan mengaitkan * Dibawah bimbingan dan
keterampilan penalaran sejumlah konsep teoritis. evaluasi yang luas.
teknis. * Membuat interpretasi * Bertanggung jawab penuh
* Dengan pilihan-pilihan analistis data yang tersedia. terhadap kuantitas dan mutu
yang banyak terhadap * Pengambilan keputusan hasil kerja.
IV sejumlah prosedur. berdasarkan kaidah-kaidah * Dapat diberi tanggung jawab
* Dalam berbagai yang berlaku. terhadap kuantitas dan mutu
konteks yang sudah * Menerapkan sejumlah hasil kerja orang lain.
biasa maupun yang pemecahan masalah yang
tidak biasa. bersifat inovatif terhadap
masalah-masalah yang
kongkrit dan kadang-
kadang tidak biasa.
Melakukan kegiatan : * Menerapkan basis Melakukan :
* Dalam lingkup yang pengetahuan yang luas * Kegiatan yang diarahkan
luas dan memerlukan dengan pendalaman yang sendiri dan kadang-kadang
keterampilan penalaran cukup dibeberapa area. memberikan arahan kepada
teknis khusus * Membuat interpretasi orang lain.
(spesialis). analitik terhadap sejumlah * Dengan pedoman atau fungsi
* Dengan pilihan-pilihan data yang tersedia yang umum yang luas.
yang sangat luas memiliki cakupan yang * Kegiatan yang memerlukan
terhadap sejumlah luas. tanggungjawab penuh baik
V
prosedur yang baku * Menentukan metoda – sifat, jumlah maupun mutu
dan tidak baku. metoda dan prosedur yang dari hasil kerja.
* Yang memerlukan tepat guna, dalam * Dapat diberi tanggungjawab
banyak pilihan pemecahan sejumlah terhadap pencapaian hasil.
prosedur standar masalah yang kongkrit yang
maupun non standar. mengandung unsur-unsur
* Dalam konteks yang teoritis.
rutin maupun tidak
rutin.
Melakukan kegiatan : * Menggunakan pengetahuan Melaksanakan :
* Dalam lingkup yang khusus yang mendalam * Pengelolaan kegiatan/proses
luas dan memerlukan pada beberapa bidang. kegiatan.
keterampilan penalaran * Melakukan analisis, mem- * Dengan parameter yang luas
teknis khusus. format ulang dan untuk kegiatan-kegiatan yang
* Dengan pilihan-pilihan mengevaluasi informasi- sudah tertentu.
yang sangat luas informasi yang cakupannya * Kegiatan dengan penuh
terhadap sejumlah luas. akuntabilitas untuk
VI
prosedur yang baku * Merumuskan langkah- menentukan tercapainya hasil
dan tidak baku serta langkah pemecahan yang kerja pribadi dan atau
kombinasi prosedur tepat, baik untuk masalah kelompok.
yang tidak baku. yang konkrit maupun * Dapat diberi tanggungjawab
* Dalam konteks rutin abstrak. terhadap pencapaian hasil
dan tidak rutin yang kerja organisasi.
berubah-ubah sangat
tajam.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VII * Menjelaskan kajian, penelitian dan kegiatan intelektual secara mandiri disuatu
bidang, menunjukkan kemandirian intelektual serta analisis yang tajam dan
komunikasi yang baik.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
VIII * Menunjukkan penguasaan suatu bidang dan,
* Merencanakan dan melaksanakan proyek penelitian dan kegiatan intelektual secara
original berdasarkan standar-standar yang diakui secara internasional.
Mencakup keterampilan, pengetahuan dan tanggungjawab yang memungkinkan seseorang
untuk :
IX
* Menyumbangkan pengetahuan original melalui penelitian dan kegiatan intelektual
yang dinilai oleh ahli independen berdasarkan standar internasional.
H Kelompok Kerja.
Untuk menetapkan kelompok kerja penyusun RSKKNI yang dibentuk oleh
Departemen Teknis Pembina Sektor menggunakan format sebagai contoh dibawah
ini.
1. Format Komite SKKNI.
Informasi yang dimasukka dalam pembentukan komite SKKNI terdiri dari Nomor,
Nama, Jabatan di instansi, Jabatan dalam tim dan keterangan.
Contoh format :
Keterangan :
Contoh format :
Keterangan :
Contoh format :
Keterangan :
Contoh Format :
Keterangan :
A. Kodifikasi Pekerjaan/Profesi.
Pemberian kode pada suatu kualifikasi pekerjaan/berdasarkan hasil kesepakatan
dalam pemaketan sejumlah unit kompetensi, diisi dan ditetapkan dengan mengacu
dengan “Format Kodifikasi Pekerjaan/Jabatan “ sebagai berikut :
X 00 00 00 00 00 0 Y 00
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
- Nomor (1) s/d (4) pada berpedoman pada UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik
dan mengacu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
- Nomor (5) s/d (9) pengisiannya berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari nomor 5 dan
ditetapkan/dibakukan melalui Forum Konvensi antar asosiasi profesi, pakar praktisi
dan stakeholder pada, sub sektor dan bidang yang bersangkutan.
Sektor : ...................
Sub Sektor : ............
Bidang :..................
Sub Bidang : .............
Keterangan :
*) kolom 2, 3 atau 4 diisi nama Pekerjaan/Profesi sesuai jenjang kualifikasi dan/atau jenjang
jabatan, sesuai dengan penggolongan jenjang/jabatan yang disepakati.
**) Kotak 1*, 2*, 3 * dan seterusnya diisi penggolongan level/jabatan pada jenjang kualifikasi
tertentu.
**) Diisi nama pekerjaan/Profesi tertentu sesuai dengan jumlah unit kompetensi yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan pekerjaan/profesi tertentu, yang tidak memiliki
atau tidak memerlukan jenjang pada KKNI, tetapi dibutuhkan oleh dunia kerja/masyarakat
pada kelompok kerja/kluster tertentu..
Sektor : .........................................
Sub Sektor : ...........................................
Nama Pekerjaan/Profesi : ...........................................
Area Pekerjaan : ...........................................
Jenjang KKNI : Sertifikat.................( ...)..........
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Sektor : ..............................................
Sub Sektor : .............................................
Nama Pekerjaan/Profesi : .............................................
Area Pekerjaan : .............................................
Kode Pekerjaan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
KELOMPOK KOMPETENSI UMUM
Keterangan :
Untuk jenis pekerjaan/jabatan berdasarkan kluster tidak memerlukan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam jenjang kualifikasi pekerjaan/jabatan berdasarkan KKNI,
tetapi masih dalam koridor SKKNI.
Keterangan :
Masing-masing kelompok kompetensi dimulai dari nomor urut unit kompetensi yang
terendah/terkecil s/d yang tertinggi/terbesar berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan
pekerjaan, sifat pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan.
E. Unit-unit Kompetensi.
BAB III
PENUTUP
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 25 Oktober 2007.
MENTERI
ttd
28 Agustus 2009
Di Tempat
SURAT EDARAN
Nomor : SE.314/MEN/PHIJSK-PKKAD/VIII/2009
TENTANG
PEMBAYARAN TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
a). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan upah.
b). Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan
secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan,
diberikan secara proporsional dengan menghitung masa kerja yang
sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
4. THR Keagamaan bagi pekerja/buruh tersebut diatas, diberikan satu kali
dalam setahun oleh pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan
Hari Raya Keagamaan masing-masing, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum Hari Raya Keagamaan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia
ttd
Tenbusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden RI;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
4. Ketua Umum DPN APINDO;
5. Ketua Umum DPP SP/SB;
6. Instansi yang bertanggungjawab di bidang
Ketenagakerjaan Provinsi se-Indonesia
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.22/MEN/IX/2009
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
4. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
2
6. Unit Pelatihan adalah satuan unit yang menyelenggarakan pelatihan di perusahaan
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat.
11. Perjanjian kerja sama penyelenggara pemagangan adalah perjanjian antara LPK
dengan perusahaan yang dibuat secara tertulis yang memuat teknis pelaksanaan
penyelenggaraan program pemagangan.
12. Tenaga pelatihan adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi
kompetensi untuk mendukung terlaksananya program pemagangan sesuai dengan
bidang tugasnya.
14. Jejaring Pemagangan adalah forum komunikasi atau wadah yang beranggotakan
dari unsur-unsur perusahaan, LPK, pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi LPK,
serta stakeholder, untuk memfasilitasi penyelenggaraan program pemagangan.
16. Dinas provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.
17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pelatihan kerja dan
produktivitas di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
3
(2) Dalam hal perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, perusahaan dapat melakukan
kerjasama dengan LPK dan/atau unit pelatihan lainnya.
Pasal 3
Pasal 4
Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari
jumlah karyawan.
BAB II
PERSYARATAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Peserta
Pasal 5
(2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikuti pemagangan
apabila telah memenuhi persyaratan:
a. usia minimal 18 (delapan belas) tahun;
b. memiliki bakat, minat, dan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan program
pemagangan; dan
c. menandatangani perjanjian pemagangan.
Bagian Kedua
Persyaratan Penyelenggara Pemagangan
Pasal 6
BAB III
PROGRAM PEMAGANGAN
Pasal 7
4
(2) Program Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama program;
b. tujuan program;
c. jenjang kualifikasi tertentu dan/atau kompetensi yang akan dicapai dalam
jabatan tertentu;
d. uraian pekerjaan atau unit kompetensi yang akan dipelajari;
e. jangka waktu pemagangan;
f. kurikulum dan silabus; dan
g. sertifikasi.
(3) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada:
a. SKKNI;
b. Standar Internasional; dan/atau
c. Standar Khusus.
(4) Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dibatasi
paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu
lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan
baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten/kota setempat.
(6) Program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diketahui dan
disahkan oleh dinas kabupaten/kota setempat.
Pasal 8
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan:
a. teori;
b. simulasi/praktik;
c. bekerja secara langsung di bawah bimbingan pekerja yang berpengalaman sesuai
dengan program pemagangan; dan
d. keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Pasal 9
Pasal 10
BAB IV
PERJANJIAN PEMAGANGAN
Pasal 11
5
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. hak dan kewajiban peserta;
b. hak dan kewajiban penyelenggara program; dan
c. jenis program dan kejuruan.
Pasal 12
(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
Pasal 13
Perjanjian Kerja sama Pemagangan antara LPK dengan perusahaan dilaksanakan atas
dasar perjanjian secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat:
a. hak dan kewajiban;
b. pembiayaan;
c. jangka waktu;
d. jenis program dan bidang kejuruan; dan
e. jumlah peserta pemagangan.
Pasal 14
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 15
6
Pasal 16
BAB VI
PELAKSANAAN
Pasal 17
Pasal 18
(3) Seleksi peserta program pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penyelenggara pemagangan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditetapkan.
Pasal 19
(2) Teori, simulasi, dan praktik di unit pelatihan/LPK dilaksanakan paling banyak 25%
dari komposisi program pemagangan, sedangkan praktik kerja secara langsung di
perusahaan dilaksanakan paling sedikit 75% dari komposisi program pemagangan.
7
(3) Waktu magang di perusahaan disesuaikan dengan jam kerja yang diberlakukan di
perusahaan.
Pasal 20
Pasal 21
(2) Peserta pemagangan yang telah dievaluasi dan dinyatakan memenuhi standar
kompetensi yang telah ditentukan oleh perusahaan diberikan sertifikat
pemagangan.
Pasal 22
BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 23
(1) Dinas kabupaten/kota melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik terhadap
penyelenggaraan pemagangan di wilayah kerjanya.
(2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
kepala dinas kabupaten/kota kepada kepala dinas provinsi dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 24
8
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. program;
b. tenaga pelatihan dan pembimbing pemagangan;
c. fasilitas; dan
d. sistem dan metode penyelenggaraan pemagangan.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas yang
membidangi pelatihan berkoordinasi dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dinas provinsi, dan dinas
kabupaten/kota setempat.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER. 21/MEN/X/2005 tentang Penyelenggaraan Pemagangan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
9
Pasal 29
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
Ttd
ANDI MATTALATTA
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
10
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.21/MEN/IX/2009
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Produktivitas adalah sikap mental yang selalu berusaha untuk melakukan perbaikan
mutu kehidupan secara berkelanjutan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, dan
kualitas.
5. Efektivitas adalah suatu ukuran tingkat pencapaian sasaran dari suatu proses
produksi barang atau jasa, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas.
Pasal 2
BAB II
PROMOSI PRODUKTIVITAS
Pasal 3
Pasal 4
(2) Promosi produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
melalui kegiatan seperti:
a. penyelenggaraan forum seminar, workshop, symposium, dialog, dan konvensi;
b. penyebarluasan informasi melalui media cetak/elektronik;
c. penyelenggaraan Bulan Mutu dan Produktivitas; dan/atau
d. pemberian anugerah produktivitas dan kualitas.
Pasal 5
Pasal 6
BAB III
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
BAB IV
PENGUKURAN DAN PEMELIHARAAN PRODUKTIVITAS
Pasal 11
(2) Pengukuran produktivitas individu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan pada orang per orang yang bekerja di perusahaan, instansi pemerintah,
atau kelompok masyarakat.
(3) Pengukuran produktivitas mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan pada skala perusahaan, instansi pemerintah, atau kelompok
masyarakat.
(4) Pengukuran produktivitas makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan pada skala nasional, sektoral, provinsi, atau kabupaten/kota.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
(1) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala nasional dilaksanakan oleh
Menteri.
(2) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala provinsi dilaksanakan oleh
Gubernur.
(3) Pengukuran dan pemeliharaan produktivitas pada skala Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 16
Biaya pelaksanaan pelayanan produktivitas bersumber dari APBN, APBD atau sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB VI
KETENTUAN LAIN –LAIN
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
Ttd
ANDI MATTALATTA
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
30 Desember 2009
Kepada Yth,
1. Para Gubernur
2. Para Bupati/Walikota
di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : SE.441/MEN/SJ-HK/XII/2009
TENTANG
PELAKSANAAN CUTI BERSAMA DI SEKTOR SWASTA TAHUN 2010
Sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia
Nomor : 1 Tahun 2009, Nomor : SKB/13/M.PAN/8/2009 dan Nomor : KEP.227/MEN/VIII/2009 tentang
Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010 (untuk selanjutnya disebut SKB), dipandang
perlu diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-
sama.
2. Pelaksanaan cuti bersama bersifat fakultatif/pilihan yang dikaitkan dengan cuti tahunan
pekerja/buruh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan
Peraturan Istirahat Buruh.
3. Pekerja/buruh yang bekerja pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti tahunannya tidak
berkurang dan kepadanya dibayarkan upah seperti hari kerja biasa.
4. Pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti yang
diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh yang
bersangkutan.
5. Oleh karena cuti bersama tersebut bersifat fakultatif/pilihan, pelaksanaannya diatur berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
TENTANG
Menimbang : a. Bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.
228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP. 20/MEN/III/2004 Tentang Tata Cara Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor. KEP.21/MEN/III/2004 Tentang Tata
Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu
Nyanyi/Karaoke perlu disesuaikan dengan perkembangan keadaan
ketenagakerjaan dan otonomi daerah.
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA, adalah warga Negara
asing pemegang visa kerja warga Negara Indonesia yang ditunjuk dan
dipersiapkan sebagai pendamping TKA.
3. Pemberi kerja tenaga kerja asing yang selanjutnya disebut pemberi kerja
TKA, adalah badan hokum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan
TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
6. Kompensasi adalah dana yang harus dibayar oleh pemberi kerja TKA
kepada Negara atas penggunaan YKA.
Pasal 2
Pasal 3
(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA.
(2) RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar
untuk mendapatkan IMTA.
Pasal 4
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN RPTKA
Pasal 5
(2) Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat :
(3) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
(2) Bentuk formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f, ayat (2)
huruf b huruf h, dan huruf i tidak berlaku bagi usaha jasa impresariat.
Pasal 8
Pasal 9
(3) Dalam hal dokumen permohonan telah lengkap, Dierjaen atau Direktur
melakukan penilaian kelayakan permohonan penggunaan TKA dengan
berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri dan
memperhatikan kebutuhan pasar kerja nasional.
(4) Dirjen atau Sirektur dapat memanggil pemberi kerja serta berkoordinasi
dengan instansi terkait dalam melakukan penilaian kelayakan penggunaan
TKA
BAB III
PENGESAHAAN RPTKA
Pasal 10
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai dengan
daftar jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Dirjen atau
Direktur harus menerbitkan keputusan pengesahan RPTKA.
Pasal 11
Pasal 12
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku untuk
usaha jasa impresariet.
Pasal 13
BAB IV
PERPANJANGAN RPTKA
Pasal 14
BAB V
PERUBAHAN RPTKA
Pasal 15
BAB VI
Bagian Kesatu
Tata Cara Memperoleh RPTKA untuk
Pekerjaan Yang Bersifat Darurat
Pasal 16
(2) Pekerjaan yang bersifat dadrurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor usaha yang
bersangkutan.
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
RPTKA dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
dan tidak dapat diperpanjang.
Bagian Kedua
Tata Cara Memperoleh RPTKA
Di Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 20
(2) Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari
ketentuan Pasal 11.
BAB VII
PERSYARATAN TKA
Pasal 21
(1) TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki ;
b. Bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan kahliannya kepada
tenaga kerja warga negara indonesia khususnya TKI pendamping ; dan
c. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal jabatan yang akan diduduki TKA telah mempunyai standar
kompetensi kerja, maka TKA yang akan dipekerjakan harus memenuhi
standar tersebut.
(3) TKI pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memiliki latar belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki TKA.
BAB VIII
PERIJINAN
Pasal 22
Pasal 23
(1) Pemberian kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi
visa (TA-01) dengan melampirkan :
a. Copy keputusan pengesahan RPTKA ;
b. Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan ;
c. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan ;
d. Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan
dipekerjakan ;
e. Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping ; dan
f. Pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
(2) Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (10, Direktur harus menerbitkan rekomendasi(TA-01) dan
menyampaikan kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim),
Direktorat Jenderal Imigrasi dalam waktu selambat-lambatnya pada hari
berikutnya dengan ditembuskan kepada pemberi kerja TKA.
(3) Rekomendasi visa (TA-01) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkan.
Pasal 24
(1) Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat
bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat
pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja
TKA mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
a. Copy draft perjanjian kerja ;
b. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
c. Copy polis asuransi ;
d. Copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa ; dan
e. Foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi,
Direktur menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja.
(3) Jangka waktu berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 25
(2) Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib
membayar dana kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan oleh pemberi kerja TKA dan disetorkan pada rekening
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan (DPKK) pada Bank
Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.
(4) Dana Kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Pemerintah Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pasal 26
(1) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu)
jabatan.
(2) Pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh
pemberi kerja lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi TKA
yang diangkat untuk menduduki jabatan Direktur atau komosaris bagi TKA
yang diangkat untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di
Perusahaan lain berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
BAB IX
PERPANJANGAN IMTA
Pasal 27
(1) Dalam hal pemberi kerja TKA akan memperpanjang IMTA, maka harus
mengajukan permohonan perpanjangan kepada Direktur atau Gubernur
atau Bupati / Walikota.
(2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh :
a. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah
provinsi.
b. Gubernur atau pejabat yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
c. Bupati/alikota atau pejabat yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota untuk TKA yang lokasi kerjanya
dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
(5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lengkap,
maka Direktur atau Gubernur atau Bupati atau walikota menerbitkan IMTA
paling lama 3 (tiga) hari kerja.
(1) IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA dengan
ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.
BAB X
IMTA UNTUK PEKERJAAN DARURAT
Pasal 29
(1) Pemberi kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA untuk pekerjaan yang
bersifat darurat wajib mengajukan permohonan IMTA kepada Direktur.
(2) Pekerjaan yang bersifat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Pekerjaan yang bersifat darurat dapat ditetapkan oleh instansi pemerintah
yang membidangi sektor usaha yang bersangkutan.
Pasal 30
Pasal 31
BAB XI
IMTA UNTUK KAWSAN EKONOMI KHUSUS
Pasal 32
(1) Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan ekonomi
khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus.
(2) Tata cara memperoleh IMTA di kawasan ekonomi khusus mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan
Pasal 26.
BAB XII
IMTA UNTUK PEMEGANG KARTU IJIN TINGGAL TETAP (KITAP)
Pasal 33
(1) Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap
wajib mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
a. Copy RPTKA yang masih berlaku ;
b. Copy ijin tinggal tetap yang masih berlaku ;
c. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan ;
d. Copy ijasah atau pengalaman kerja ;
e. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
f. Copy polis asuransi ; dan
g. Pas photo berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
(2)
BAB XIII
IMTA UNTUK PEMANDU NYANYIAN / KARAOKE
Pasal 34
Pasal 35
Untuk mendapatkan ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, pemberi kerja
TKA harus mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
a. Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke ;
b. RPTKA yang telah dishkan oleh Direktur ;
c. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank
yang ditunjuk oleh Menteri ;
d. Copy polis asuransi ; dan
e. Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.
Pasal 36
BAB XIV
ALIH STATUS
Pasal 38
(1) Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau
badan internasional yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya
ke instansi pemeritah atau lembaga pemerintah atau badan internasional
lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi alih status kepada
Direktur.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP.
(3) KITAS/KITAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan sebagai
dasar perubahan IMTA atau penerbitan IMTA baru.
BAB XV
PERUBAHAN NAMA PEMBERI KERJA
Pasal 39
(1) Dalam hal pemberian kerja TKA berganti nama, Direktur menerbitkan
rekomendasi kepada Direktur Jenderah Imigrasi untuk mengubah
KITAS/KITAP.
(2) Pemberi kerja TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
permohonan dengan melampirkan :
a. Copy RPTKA yang masih berlaku ;
b. Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku ;
c. Copy IMTA yang masih berlaku ;
d. Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh
instansi berwenang.
(4) KITAS / KITAP yang baru digunakan sebagai dasr perubahan IMTA.
BAB XVI
PERUBAHAN LOKASI KERJA
Pasal 40
Dalam hal pemberi kerja TKA melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi
kerja wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada
Direktur dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
BAB XVII
PELAPORAN
Pasal 41
(1) Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping
TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur
atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen.
(2) Direktur atau Gubernur atau Bupati / Walikota melaporkan IMTA yang
diterbitkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan
tembusan kepada Dirjen.
BAB XVIII
PENGAWASAN
Pasal 42
BAB XIX
PENCABUTAN IJIN
Pasal 43
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA,
Direktur atau Gubernur atau Bupati / Walikota berwenang mencabut IMTA.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pasal 45
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Maret 2008
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ttd
Sumarno, SH. MH
NIP. 730001630
Lampiran - lampiran
Peraturan Mernteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I
Nomor : PER.02/MEN/III/2008.
Tentang Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2010
TENTANG
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 178 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dipandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan;
5. Undang-Undang ...
- 2 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN.
BAB I ...
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
5. Pegawai ...
- 4 -
Pasal 2
BAB II
UNIT KERJA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 3
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Untuk ...
- 5 -
Pasal 4
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/
Kota dalam melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan didukung
dengan sarana dan prasarana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Pengawasan ketenagakerjaan oleh unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dilaksanakan secara terkoordinasi.
Pasal 6
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenaga-
kerjaan pada Pemerintah Pusat menyelenggarakan rapat
Koordinasi Tingkat Nasional yang dihadiri oleh seluruh unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Dalam rapat Koordinasi Tingkat Nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat, dapat
mengikutsertakan instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain
yang dipandang perlu.
Pasal 7
Hasil rapat Koordinasi Tingkat Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 menjadi pedoman pelaksanaan Koordinasi Tingkat
Provinsi.
Pasal 8 ...
- 7 -
Pasal 8
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenaga-
kerjaan pada Pemerintah Provinsi menyelenggarakan rapat
Koordinasi Tingkat Provinsi yang dihadiri seluruh unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan,
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Dalam rapat Koordinasi Tingkat Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi, dapat
mengikutsertakan instansi Pemerintah dan instansi Pemerintah
Daerah terkait dan/atau pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 9
(1) Hasil rapat Koordinasi Tingkat Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, menjadi pedoman pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/
Kota dapat melaksanakan rapat kerja teknis operasional.
Pasal 10 ...
- 8 -
Pasal 10
(1) Hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/
Kota dilaporkan kepada Bupati/Walikota.
(2) Bupati/Walikota melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan di wilayahnya kepada Gubernur.
Pasal 11
(1) Hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan di Provinsi
dilaporkan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenaga-
kerjaan di wilayahnya kepada Menteri dengan tembusan kepada
Menteri Dalam Negeri.
Pasal 12
Menteri melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan
secara nasional kepada Presiden.
Pasal 13
BAB III
PENGAWAS KETENAGAKERJAAN
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
(1) Dalam rangka memenuhi Pengawas Ketenagakerjaan yang
berdaya guna dan berhasil guna dilakukan peningkatan kualitas
Pengawas Ketenagakerjaan.
(2) Peningkatan kualitas Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 18
Instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat melakukan pembinaan
fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Pengawas Ketenagakerjaan bertugas melaksanakan pengawasan
ketenagakerjaan.
(2) Selain ...
- 11 -
Pasal 20
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengawas Ketenaga-
kerjaan wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Pasal 21
Ketentuan mengenai hak, kewajiban, tugas dan wewenang Pengawas
Ketenagakerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
Pasal 22
Pasal 23
(1) Dalam hal terjadi permasalahan atas pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota yang
berdampak nasional atau internasional, maka unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Pusat melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara berkoordinasi dengan instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota dimana
permasalahan tersebut terjadi.
BAB V
PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 24
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Pusat melakukan pembinaan pengawasan
ketenagakerjaan kepada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Dalam …
- 13 -
Pasal 25
Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dimaksudkan untuk mendukung kemampuan unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan pengawasan
ketenagakerjaan yang menjadi kewenangannya.
Pasal 26
Pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 meliputi bidang :
a. kelembagaan;
b. sumber daya manusia Pengawas Ketenagakerjaan;
c. sarana dan prasarana;
d. pendanaan;
e. administrasi;
f. sistem informasi pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 27…
- 14 -
Pasal 27
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengawasan ketenaga-
kerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
dan Pasal 27, diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Apabila unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota belum juga mampu
setelah dilakukan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan, maka
untuk sementara pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Pusat.
(2) Unit kerja …
- 15 -
BAB VI
JARINGAN INFORMASI PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN
Pasal 30
Dalam rangka pengawasan ketenagakerjaan dibentuk jaringan informasi
pengawasan ketenagakerjaan sebagai satu kesatuan sistem informasi
pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 31
Pasal 32 ...
- 16 -
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34 ...
- 17 -
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
(1) Pihak lain dapat menjadi anggota jaringan informasi
pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
menjadi anggota jaringan informasi pengawasan ketenaga-
kerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
Menteri.
Pasal 37 ...
- 18 -
Pasal 37
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 38
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Maret 2010
Ketenagakerjaan
Kotak Pos ·H172 Jak. 1204S Telp. 5255733 Pcs. 600, Fax (021) 5253913
Direktur Jendral
Pell1binaan , Ilihungan 'nduslrial
clan Pengawi\s<Jn Kelenagakcrjaan
DRS l.I W /\ RJ
l\: I P 1600' 1300
Kotak Pos 4872 Jak. 12048 Telp. 5255733 Pes. 600, Fax (021) 5253913
Dlrektor General of
Industrial Relations Fostering and
:v1anpovver Supervision
NIP. 160011300
NOMOR : PER.05/MEN/III/2010
TENTANG
BANTUAN KEUANGAN BAGI TENAGA KERJA
PESERTA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 1
Tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja yang mengalami pemutusan
hubungan kerja diberi bantuan keuangan dari PT. Jamsostek (Persero).
Pasal 2
2
Pasal 3
(1) Permohonan bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal
2 diajukan oleh tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja ke PT.
Jamsostek (Persero) di mana tenaga kerja yang bersangkutan terdaftar dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tenaga kerja memperoleh penetapan pemutusan
hubungan kerja.
(2) Penetapan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas putusan Pengadilan Hubungan Industrial atau adanya Perjanjian
Bersama yang telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.
(3) Permohonan bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tenaga kerja yang
bersangkutan memperoleh penetapan pemutusan hubungan kerja.
Pasal 4
(1) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar Rp.
500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(2) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan langsung
kepada tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja yang
bersangkutan.
(3) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan hanya 1 (satu)
kali selama tenaga kerja menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja.
(4) Dana bantuan keuangan pemutusan hubungan kerja dibebankan pada anggaran
Dana Peningkatan Kesejahteraan Pekerja (DPKP) PT. Jamsostek (Persero) sesuai
dengan anggaran tahun yang bersangkutan.
Pasal 5
Tata cara pembayaran bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Direksi PT. Jamsostek (Persero).
Pasal 6
PT. Jamsostek (Persero) wajib melaporkan pelaksanaan Peraturan Menteri ini setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 7
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER. 31/MEN/IX/2006 tentang Bantuan Keuangan Bagi Tenaga
Kerja Peserta Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Yang Mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
3
Pasal 8
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Maret 2010
ttd
PATRIALIS AKBAR
4
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 TAHUN 2002
TENTANG
RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Agustus 2002
ttd
Edy Sudibyo
LAMPIRAN
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 59 Tahun 2002
TANGGAL :13 Agustus 2002
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti.
Pekerja anak tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja
anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian,
perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan
keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan,
rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industri rumahan
atau industri keluarga) maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu
atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat
dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak jaman Pemerintahan
Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-
undangan yang mengatur soal pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun,
upaya -upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak
yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih
menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus
ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak.
1. 1. Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925 yang intinya melarang anak di bawah
umur 12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan:
1. 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang
pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis
pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak.
1. A. TUJUAN
Hakekat dan tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak adalah mencegah dan menghapus bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak yang ada di Indonesia.
Visi :
C. Kelompok Sasaran
D. Kebijakan Nasional
Mencegah dan menghapus bentuk -bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara
bertahap.
E. Strategi
BAB III
PROGRAM AKSI
Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih
menunjang pencapaian program-program aksi tersebut rencana aksi nasional dibagi dalam
beberapa tahapan. Tahapan program-program dimaksud yaitu:
a. tahap pertama, sasaran yang ingin dicapai setelah 5 (lima) tahun yang pertama;
b. tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun;
c. tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun.
1. A. Tahapan Program
1. Tahap Pertama
Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah:
1. a. data statistik mengenai pekerja anak yang dimulai dari usia 10 tahun keatas;
2. b. data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 tahun yang terlibat
dalam bentuk pekerjaan terburuk;
3. c. data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis
kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian.
6. 6. Penguatan Kapasitas
Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan sumber daya manusia dalam mengelola
program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
cara-cara pelarangan dan tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring
kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan, kerjasama teknis antar
instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga
swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan
masyarakat dan keluarga dilaksanakan pada tingkat Nasional, Propinsi,
Kabupaten/Kota.
Anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
memerlukan bimbingan dan dukungan sosial, pelayanan kesehatan maupun
keuangan agar kembali dalam masyarakat (keluarga dan lingkungannya).
Untuk itu membebaskan anak dari bentuk -bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
harus terintegrasi dengan upaya-upaya lain agar anak tidak kembali pada bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya integrasi dilakukan melalui :
Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap
pertama. Demikian pula kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang
dicapai dalam tahap kedua.
6.
7.
BAB IV
Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat
maupun daerah, lembaga swadaya masyarakat, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, organisasi
pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Peran dan tanggung jawab terdiri dari
bidang-bidang sebagai berikut :
BAB V
Dalam rangka menjaga kesinambungan kebijakan dan berbagai program nasional, maka
pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak perlu dinilai ulang secara ber kala.
Pemantauan dan evaluasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk -bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak dilaksanakan oleh Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2001. Pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan
pemantauan dan evaluasi, Komite Aksi Nasional dapat mengikutsertakan segenap lapisan
masyarakat maupun instansi terkait, se hingga dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.
3. 3. publikasi;
BAB VI
PENUTUP
Upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bukanlah hal yang
mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang sing kat, tetapi merupakan suatu proses
yang panjang dan berkelanjutan. Karena itu, upaya tersebut perlu dilakukan secara terus
menerus, berkelanjutan dan terpadu oleh semua pihak yakni pemerintah, organisasi sosial
dan kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat serta semua kalangan dan lapisan
masyarakat secara bersama -sama.
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
ttd
Edy Sudibyo
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang :
d. bahwa konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara
terus-menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34
Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
Mengesahkan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action
for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-undang ini.
Pasal 2
Disahkan di Jakarta
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
BONDAN GUNAWAN
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak
dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh
merampas hak tersebut. Hak asasi anak diakui secara universal
sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia,
Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB
tahun 1959 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1966 tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi PBB Tahun 1989
tentang Hak-Hak Anak. Dengan demikian semua negara di dunia secara
moral dituntut untuk menghormati, menegakkan, dan melindungi hak
tersebut.
Salah satu bentuk hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapat
perlindungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke
delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah
satu Konvensi yang melindungi hak asasi anak.
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas.
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja, hari libur dan cuti bersama
dipandang perlu menata kembali pelaksanaan hari libur nasional dan mengatur cuti
bersama tahun 2011;
b. bahwa penataan kembali hari libur dan pengaturan cuti bersama tahun 2011
sebagaimana dimaksud pada huruf a menjadi pedoman bagi instansi pemerintah dan
swasta sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2011.
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-Hari Libur sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1971;
2. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek;
3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara;
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun
Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
MEMUTUSKAN …
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2011 adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Untuk kepentingan pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul
Adha bagi umat Islam, tanggal 1 Ramadhan 1432 H, 1 Syawal 1432 H dan 10
Dzulhijjah 1432 H ditetapkan kemudian dengan Keputusan Menteri Agama.
KELIMA : Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU bagi
kalangan lembaga atau perusahaan diatur oleh lembaga atau perusahaan yang
bersangkutan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juni 2010
LAMPIRAN
LAMPIRAN
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Ketentuan Umum
2. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.
4. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak
dalam keadaan di budidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
8. Periode kerja adalah waktu tertentu bagi pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan lain dalam bentuk lain.
2
10. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mepekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Pasal 2
Ruang Lingkup
Peraturan Menteri ini meliputi pengaturan waktu kerja dan istirahat bagi pekerja/buruh
yang dipekerjakan oleh pengusaha yang berdomisili di Indonesia yang melakukan
usaha di sektor perikanan pada daerah operasi tertentu.
Pasal 3
(2) Dalam hal perusahaan menerapkan periode kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b maka waktu kerja paling lama 12 (dua belas) jam sehari
tidak termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.
(3) Perusahaan yang menggunakan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
wajib membayar upah kerja lembur setelah 7 (tujuh) jam kerja dengan perhitungan
sebagai berikut:
a. Hari kerja biasa:
1) untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 11/2 (satu
setengah) kali upah sejam;
2) untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 (dua)
kali upah sejam.
3
b. Hari libur resmi:
1) untuk setiap jam dalam batas 7 (tujuh) jam sedikit-dikitnya dibayar 2 (dua) kali
upah sejam;
2) untuk jam kerja pertama selebihnya 7 (tujuh) jam harus dibayar sebesar 3
(tiga) kali upah sejam;
3) untuk jam kerja kedua setelah 7 (tujuh) jam dan seterusnya dibayar sebesar 4
(empat) kali upah sejam.
Pasal 4
Pemilihan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3 lebih lanjut diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 5
(2) Pergantian dan/atau perubahan periode kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disepakati terlebih dahulu oleh pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pergantian dan/atau perubahan periode kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Dalam hal pekerja/buruh dan pengusaha telah memilih dan menetapkan periode kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ternyata pekerja/buruh dipekerjakan kurang
dari periode kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan, maka pengusaha wajib membayar
upah sesuai dengan periode kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan.
Pasal 7
Dalam hal pekerja/buruh dipekerjakan pada hari libur resmi yang jatuh pada periode
kerja yang telah dipilih dan/atau ditetapkan maka dihitung sebagai bekerja lembur.
Pasal 8
Waktu yang dipergunakan untuk perjalanan pekerja/buruh dari tempat tinggal yang
diakui oleh pengusaha ke tempat kerja adalah termasuk waktu kerja apabila perjalanan
tersebut memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih.
Pasal 9
Perhitungan upah dan upah kerja lembur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
4
Pasal 10
(1) Pengusaha menyampaikan laporan pelaksanaan waktu kerja dan waktu kerja
lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setiap 3 (tiga) bulan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat;
Pasal 11
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
5
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 27, Pasal
38 ayat (2), Pasal 39 ayat (5), Pasal 41 ayat (3), dan Pasal 43 ayat (3),
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Perencanaan Tenaga Kerja Mikro;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
11. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
12. Pegawai adalah pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
13. Pembinaan adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kemampuan dan
kapasitas sumber daya manusia dalam rangka penyusunan serta pelaksanaan RTK
Mikro.
20. Sekretariat Jenderal adalah unit Eselon I Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, yang tugas dan fungsinya melaksanakan koordinasi pelaksanaan
tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi dan dukungan teknis
lainnya.
21. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
PENYUSUNAN PTK MIKRO
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
4
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pelaksanaan penyusunan PTK Mikro dilakukan oleh unit kerja yang mempunyai tugas
dan fungsi di bidang kepegawaian atau unit lain di perusahaan yang diberikan tanggung
jawab untuk melaksanakan penyusunan PTK Mikro.
BAB III
PENYUSUNAN RTK MIKRO
Pasal 12
Pasal 13
(2) Penataan data kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disusun
berdasarkan:
a. klasifikasi data kepegawaian;
b. karakteristik data kepegawaian.
(3) Pengidentifikasian data kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan untuk menentukan karakteristik dan klasifikasi data pegawai yang
diperlukan dalam penyusunan rencana persediaan pegawai, rencana kebutuhan
pegawai, dan neraca pegawai.
5
(4) Penghitungan data kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan untuk mengetahui jumlah data pegawai yang diperlukan untuk
penyusunan rencana persediaan pegawai dan rencana kebutuhan pegawai.
Pasal 14
(1) Klasifikasi data kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf
a, antara lain meliputi bagian:
a. produksi barang dan/atau jasa;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. umum;
e. kepegawaian;
f. pengembangan usaha.
(2) Karakteristik data kepegawaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf b, meliputi:
a. jabatan;
b. status pegawai;
c. bidang pendidikan akhir;
d. usia;
e. jenis kelamin;
f. pelatihan/kompetensi;
g. pengalaman kerja.
Pasal 15
Pasal 16
(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan dengan
membandingkan antara jumlah volume kerja terhadap hasil perkalian antara
persentase masuk kerja dengan waktu penyelesaian pekerjaan.
(3) Volume kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditentukan dengan hasil kali
antara target beban kerja dalam skala waktu tertentu dengan norma waktu pada
setiap jabatan.
(4) Persentase masuk kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditentukan dengan
membandingkan antara jumlah hari masuk kerja dengan hari kerja yang tersedia
dikali seratus persen.
(5) Waktu penyelesaian pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan
waktu yang diperlukan oleh pemangku jabatan atau kelompok pemangku jabatan
untuk menghasilkan suatu barang dan/atau jasa.
6
Pasal 17
(2) Syarat jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat:
a. pendidikan;
b. pelatihan/kompetensi;
c. pengalaman kerja;
d. penggunaan fisik;
e. kondisi fisik;dan
f. psikologi.
(3) Penggunaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi duduk,
berdiri, berjalan dan berbicara.
(4) Kondisi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi jenis kelamin,
usia, tinggi dan berat.
(5) Psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, meliputi bakat, temperamen
dan minat.
Pasal 18
(1) Penghitungan beban kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2),
sekurang-kurangnya menggunakan unsur-unsur:
a. uraian tugas jabatan;
b. norma waktu;
c. target beban kerja.
(2) Uraian tugas jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
menggambarkan rincian kegiatan yang dilakukan pada jabatan tersebut.
(3) Norma waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan ukuran
waktu yang diperlukan seorang/sekelompok pegawai untuk melaksanakan tugas
pada setiap jabatan dengan maksud menghasilkan barang dan/atau jasa.
(4) Target beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan
jumlah satuan hasil barang dan/atau jasa yang harus dicapai pada suatu jabatan
dalam satuan waktu tertentu.
Pasal 19
Pasal 20
7
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
(2) Setiap tahun RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penilaian
untuk disesuaikan dengan perkembangan perusahaan.
Pasal 24
(1) Penyusunan PTK Mikro dilakukan oleh unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi
di bidang kepegawaian atau unit lain di perusahaan yang diberikan tanggung jawab
untuk menyusun PTK Mikro.
(2) PTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditandatangani oleh pimpinan
perusahaan.
Pasal 25
8
BAB IV
TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN
HASIL PELAKSANAAN RTK MIKRO
Pasal 26
(1) Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Perusahaan Swasta, dan
Lembaga Swasta lainnya menyampaikan laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro
kepada Dinas Kabupaten/Kota.
(2) Laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. perekrutan;
b. seleksi;
c. penempatan;
d. pemensiunan;
e. pola pembinaan karir;
f. pelatihan/kompetensi;
g. produktifitas kerja;
h. perlindungan;dan
i. pengupahan serta jaminan sosial pegawai.
(3) Laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disusun dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. hasil pelaksanaan;
c. penutup.
Pasal 27
Hasil pelaksanaan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, secara
berjenjang dilaporkan sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota, laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro disampaikan oleh
Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Provinsi;dan
b. Tingkat Provinsi, laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro disampaikan oleh Kepala
Dinas Provinsi kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
Pasal 28
Laporan hasil pelaksanaan RTK Mikro disampaikan selambat-lambatnya pada bulan
Januari tahun berikutnya.
BAB V
TATA CARA
PEMANTAUAN PENYUSUNAN DAN
PELAKSANAAN RTK MIKRO
Pasal 29
9
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara:
a. langsung;dan
b. tidak langsung.
(3) Laporan hasil pemantauan RTK Mikro baik langsung maupun tidak langsung dibuat
dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. hasil pemantauan;
c. penutup.
Pasal 30
(1) Pemantauan terhadap penyusunan RTK Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap penggunaan metoda penyusunan RTK
Mikro.
Pasal 31
(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
huruf a, dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota, oleh Dinas Kabupaten/Kota dengan cara melakukan
kunjungan langsung ke Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
Perusahaan Swasta, dan Lembaga Swasta Lainnya dan hasilnya dilaporkan
kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi;
b. Tingkat Provinsi, oleh Dinas Provinsi dengan cara melakukan kunjungan
langsung ke Dinas Kabupaten/Kota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri;dan
c. Tingkat Pusat, oleh Pusat Perencanaan Tenaga Kerja dengan cara melakukan
kunjungan langsung ke Dinas Provinsi dan hasilnya dilaporkan kepada Menteri
melalui Sekretaris Jenderal.
(2) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
huruf b, dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Kabupaten/Kota oleh Dinas Kabupaten/Kota dengan cara pengamatan
dan identifikasi laporan dari Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Perusahaan Swasta, dan Lembaga Swasta Lainnya dan hasilnya
dilaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Provinsi;
b. Tingkat Provinsi oleh Dinas Provinsi dengan cara pengamatan dan identifikasi
laporan dari Tingkat Kabupaten/Kota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri;dan
c. Tingkat Pusat oleh Pusat Perencanaan Tenaga Kerja dengan cara pengamatan
dan identifikasi laporan dari Tingkat Provinsi dan hasilnya dilaporkan kepada
Menteri melalui Sekretaris Jenderal.
Pasal 32
Pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dilakukan secara berkala baik
langsung maupun tidak langsung paling singkat 6 (enam) bulan sekali.
10
BAB VI
EVALUASI TERHADAP HASIL PEMANTAUAN
Pasal 33
(2) Evaluasi penyusunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. cara penghitungan persediaan pegawai, kebutuhan pegawai dan neraca
pegawai;
b. penyusunan program kepegawaian.
(3) Evaluasi pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. perekrutan;
b. seleksi;
c. penempatan;
d. pemensiunan;
e. pembinaan karir;
f. pelatihan/kompetensi;
g. produktifitas kerja;
h. perlindungan pegawai;
i. pengupahan pegawai;
j. jaminan sosial pegawai.
Pasal 34
Pasal 35
Evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dapat
dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.
11
BAB VII
PEMBINAAN TERHADAP
PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN RTK MIKRO
Pasal 36
Pasal 37
Pembinaan penyusunan dan pelaksanaan RTK Mikro dilakukan melalui kegiatan antara
lain:
a. konsultasi;
b. bimbingan;
c. pelatihan/kompetensi; dan
d. sosialisasi.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 38
(1) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
pada tingkat pusat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
pada tingkat provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi.
(3) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan
pada tingkat kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Biaya yang diperlukan untuk penyusunan dan pelaksanaan PTK Mikro pada Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga
Swasta Lainnya dibebankan pada anggaran Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga Swasta Lainnya yang
bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 39
Perencanaan untuk pegawai negeri pada instansi pemerintah mengacu pada Peraturan
Perundang-undangan tentang pegawai negeri.
12
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH
13
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (5), Pasal 15 ayat
(4), Pasal 34, Pasal 39 ayat (5), Pasal 41 ayat (3), dan Pasal 43 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta
Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Perencanaan Tenaga Kerja Makro;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Perencanaan Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disebut PTK Makro, adalah
proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat
pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif guna mendukung
pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral
sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan
produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.
7. Rencana Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat RTK, adalah hasil kegiatan PTK
yang memuat perkiraan dan rencana persediaan tenaga kerja, kebutuhan akan
tenaga kerja, serta neraca dan program pembangunan ketenagakerjaan.
8. Rencana Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disebut RTK Makro, adalah hasil
kegiatan PTK Makro yang meliputi seluruh sektoral atau satu sektoral/sub sektoral
di tingkat nasional, atau satu daerah.
2
9. Rencana Tenaga Kerja Nasional yang selanjutnya disebut RTK Nasional, adalah
hasil kegiatan PTK Nasional yang memuat perkiraan dan rencana persediaan
tenaga kerja, perkiraan dan rencana kebutuhan akan tenaga kerja, serta neraca dan
program pembangunan ketenagakerjaan di tingkat nasional.
10. Rencana Tenaga Kerja Provinsi yang selanjutnya disebut RTK Provinsi, adalah
hasil kegiatan PTK Provinsi yang memuat perkiraan dan rencana persediaan tenaga
kerja, perkiraan dan rencana kebutuhan akan tenaga kerja, serta neraca dan
program pembangunan ketenagakerjaan di tingkat provinsi.
13. Persediaan Tenaga Kerja adalah jumlah dan kualitas angkatan kerja yang tersedia
dengan berbagai karakteristiknya.
14. Kebutuhan akan tenaga kerja adalah jumlah dan kualitas angkatan kerja yang
diperlukan untuk mengisi kesempatan kerja yang tersedia dengan berbagai
karakteristiknya.
15. Neraca tenaga kerja adalah keseimbangan atau kesenjangan jumlah dan kualitas
antara persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan akan tenaga kerja dengan
berbagai karakteristiknya.
16. Metoda adalah cara kerja yang teratur dan sistematis untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
17. Metoda penghitungan persediaan tenaga kerja, adalah cara kerja yang teratur dan
sistematis untuk memperkirakan jumlah dan kualitas angkatan kerja.
18. Metoda penghitungan kebutuhan akan tenaga kerja adalah cara kerja yang teratur
dan sistematis untuk memperkirakan jumlah dan kualitas kesempatan kerja.
19. Penduduk Usia Kerja yang selanjutnya disingkat PUK, adalah jumlah penduduk
yang berumur 15 (lima belas) tahun atau lebih, yang disebut juga tenaga kerja.
20. Angkatan Kerja yang selanjutnya disingkat AK, adalah jumlah dan kualitas PUK
yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan
pengangguran.
21. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja yang selanjutnya disingkat TPAK, adalah rasio
antara jumlah AK dengan jumlah PUK.
22. Bekerja adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan ekonomi dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan sekurang-
kurangnya 1 (satu) jam tidak terputus dalam seminggu sebelum pencacahan.
23. Penganggur terbuka adalah mereka yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan
usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
3
24. Tingkat Penganggur Terbuka yang selanjutnya disingkat TPT, adalah rasio antara
jumlah penganggur terbuka dengan jumlah angkatan kerja.
25. Kesempatan kerja adalah lowongan pekerjaan yang belum diisi oleh pencari kerja
dan pekerja yang sudah ada.
26. Produktivitas tenaga kerja adalah rasio antara nilai produk domestik bruto dengan
jumlah penduduk yang bekerja yang digunakan baik individu maupun kelompok
dalam satuan waktu tertentu yang merupakan besaran kontribusi penduduk yang
bekerja dalam pembentukan nilai tambah suatu produk dari proses kegiatan
ekonomi pada suatu lapangan usaha secara nasional dan regional.
27. Instansi Sektoral adalah instansi yang membina sektor lapangan usaha di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
31. Laporan adalah penyampaian analisis hasil kegiatan yang dilakukan dalam
penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro.
33. Dinas Provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi.
34. Pusat PTK adalah unit Eselon II Sekretariat Jenderal Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi yang tugas dan fungsinya melakukan pembinaan, pemantauan,
evaluasi, penyusunan dan pelaksanaan PTK.
35. Sekretariat Jenderal adalah unit Eselon I Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, yang tugas dan fungsinya melaksanakan koordinasi pelaksanaan
tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi dan dukungan teknis
lainnya.
Pasal 2
4
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Kegiatan PTK Makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, menghasilkan RTK Makro.
Pasal 6
Pasal 7
RTK Makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, disusun dengan sistematika sebagai
berikut:
a. pendahuluan;
b. kondisi ketenagakerjaan;
c. perkiraan dan perencanaan persediaan tenaga kerja;
d. perkiraan dan perencanaan kebutuhan akan tenaga kerja;
e. perkiraan dan perencanaan keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan
tenaga kerja;
f. arah kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan;
g. penutup.
Pasal 8
5
BAB II
PENGHITUNGAN PERSEDIAAN
DAN KEBUTUHAN AKAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Penghitungan Persediaan Tenaga Kerja
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(1) Persediaan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan metoda:
a. metoda TPAK;
b. metoda Kohort;dan
c. metoda lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
(2) Metoda TPAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipergunakan untuk
menghitung jumlah persediaan tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja atau AK yang
siap memasuki pasar kerja melalui pendekatan perkembangan TPAK dengan
perkembangan penduduk dan tenaga kerja di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
(3) Metoda Kohort sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipergunakan untuk
menghitung jumlah persediaan tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja atau AK yang
siap memasuki pasar kerja melalui pendekatan luaran pendidikan setiap jenjang di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 12
Pasal 13
(1) Persediaan tenaga kerja lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf b, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas AK yang bekerja di
Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota.
6
(2) Persediaan tenaga kerja lingkup Sektoral/Sub Sektoral sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan
metoda regresi linier atau semi logaritma untuk menentukan jumlah dan kualitas
tenaga kerja yang bekerja di Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi, dan Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Penghitungan Kebutuhan Akan Tenaga Kerja
Pasal 14
Kebutuhan akan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, disusun
berdasarkan:
a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.
Pasal 15
Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf a, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
dibutuhkan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 16
(1) Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan:
a. metoda ekonometrik;
b. metoda elastisitas;
c. metoda input output (I-O).
(2) Metoda ekonometrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipergunakan
untuk memperkirakan dan merencanakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui penentuan
faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di setiap sektoral
atau lapangan usaha di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Metoda elastisitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipergunakan
untuk memperkirakan dan merencanakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan kesempatan kerja di setiap sektoral atau lapangan
usaha di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(4) Metoda input output (I-O) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dipergunakan untuk penghitungan perkiraan dan perencanaan jumlah dan kualitas
tenaga kerja yang akan dibutuhkan atau kesempatan kerja pada suatu kegiatan
atau lapangan usaha bahwa permintaan akhir efektif mempunyai pengaruh
terhadap penciptaan kesempatan kerja di berbagai sektoral atau lapangan usaha di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 17
7
Pasal 18
Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf b, dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja yang
dibutuhkan di tingkat Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi,
dan Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.
Pasal 19
(1) Kebutuhan akan tenaga kerja lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, penyusunan perkiraan dan perencanaannya mempergunakan:
a. metoda ekonometrik;
b. metoda elastisitas.
(2) Metoda ekonometrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipergunakan
untuk penghitungan perkiraan dan perencanaan jumlah dan kualitas tenaga kerja
yang akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui penentuan
faktor-faktor yang mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja di setiap sub sektor
di tingkat Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.
(3) Metoda elastisitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipergunakan
untuk penghitungan perkiraan dan perencanaan jumlah dan kualitas tenaga kerja
yang akan dibutuhkan pada suatu kegiatan atau lapangan usaha melalui
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kesempatan kerja di setiap sub sektor di
tingkat Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.
Pasal 20
Bagian Ketiga
Penghitungan Neraca Tenaga Kerja
Pasal 21
Pasal 22
(1) Keseimbangan atau kesenjangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga
kerja lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a,
dipergunakan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja dari hasil
keseimbangan atau kesenjangan antara jumlah dan kualitas persediaan tenaga
kerja dengan kebutuhan akan tenaga kerja atau kesempatan kerja di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
8
(2) Keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja lingkup sektoral
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dipergunakan untuk
memperkirakan jumlah dan kualitas tenaga kerja dari hasil keseimbangan atau
kesenjangan antara jumlah dan kualitas persediaan tenaga kerja dengan
kebutuhan akan tenaga kerja atau kesempatan kerja di sub sektor di tingkat
Sektoral/Sub Sektoral Nasional, Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan Sektoral/Sub
Sektoral Kabupaten/Kota.
Pasal 23
BAB III
PEDOMAN PEMBENTUKAN TIM PTK MAKRO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
(1) Untuk menjamin terlaksananya kegiatan PTK Makro yang sistematis dan
komprehensif perlu dibentuk Tim PTK Makro.
(2) Tim PTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi lingkup kewilayahan
dan lingkup sektoral.
Pasal 25
Tim PTK Makro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, terdiri atas:
a. Nasional;
b. Provinsi;
c. Kabupaten/Kota;
d. Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
e. Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
f. Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Tim PTK Nasional
Pasal 26
9
Pasal 27
Susunan keanggotaan Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf
a, terdiri atas:
a. Pembina : Menteri.
b. Ketua : Sekretaris Jenderal.
c. Sekretaris : Kepala Pusat PTK.
d. Anggota : terdiri dari unsur kementerian, lembaga non kementerian dan
instansi sektor terkait serta perguruan tinggi.
e. Sekretariat : Pusat PTK.
Pasal 28
Pembina Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
b. menyampaikan target pembangunan ketenagakerjaan secara periodik;
c. memberikan arahan agar RTK Nasional dilaksanakan.
Pasal 29
Ketua Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan nasional;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan nasional;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Nasional;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Nasional;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Nasional kepada Menteri.
Pasal 30
Sekretaris Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Nasional;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
c. mengkoordinasikan sekretariat penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Nasional kepada Ketua.
Pasal 31
Anggota Tim PTK Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Nasional;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Nasional kepada Sekretaris.
10
Pasal 32
Pasal 33
(2) Keanggotaan Tim PTK Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Tim PTK Provinsi
Pasal 34
Pasal 35
Susunan keanggotaan Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
a, terdiri atas:
a. Pembina : Gubernur.
b. Ketua : Kepala Dinas Provinsi.
c. Sekretaris : Sekretaris Pejabat Eselon III Dinas Provinsi.
d. Anggota : Kepala Bappeda Provinsi, Kepala Dinas yang membidangi
sektoral Provinsi, Kepala BPS Provinsi, Kepala BKPMD
Provinsi,Ketua APINDO, Ketua Kadin, Perguruan Tinggi, dan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
e. Sekretariat : Dinas Provinsi.
Pasal 36
Pembina Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian provinsi yang akan dicapai
dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Provinsi dilaksanakan.
Pasal 37
Ketua Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
11
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan provinsi;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan provinsi;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Provinsi;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Provinsi;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Provinsi kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri.
Pasal 38
Sekretaris Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Provinsi;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
c. mengkoordinasikan sekretariat penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Provinsi kepada Ketua.
Pasal 39
Anggota Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Provinsi;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Provinsi kepada Sekretaris.
Pasal 40
Sekretariat Tim PTK Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas dan dokumen PTK Provinsi, PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi, dan PTK Kabupaten/Kota;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Provinsi, dan Tim PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi.
Pasal 41
(2) Keanggotaan Tim PTK Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
Kepala Dinas Provinsi.
Bagian Keempat
Tim PTK Kabupaten/Kota
Pasal 42
12
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
13
Pasal 47
Pasal 48
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas dan dokumen PTK Kabupaten/Kota, PTK
Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Kabupaten/Kota, dan
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota.
Pasal 49
Bagian Kelima
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional
Pasal 50
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
d, meliputi:
a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.
Pasal 51
14
Pasal 52
Pembina Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian Sektoral/Sub Sektoral Nasional
yang akan dicapai dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional dilaksanakan.
Pasal 53
Ketua Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub Sektoral
Nasional;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional kepada Menteri/Kepala lembaga yang membidangi sektoral/sub sektoral
yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri.
Pasal 54
Pasal 55
Anggota Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektor dan Sub Sektor Nasional kepada Sekretaris.
15
Pasal 56
Sekretariat Tim PTK Sektoral/Sub Sektor Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf e, bertugas:
a. menyelenggarakan kegiatan administrasi, yang meliputi administrasi umum dan
keuangan;
b. menyiapkan data, memelihara data, berkas, dan dokumen PTK Sektoral/Sub
Sektoral Nasional;
c. menyiapkan bahan laporan pelaksanaan kegiatan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral
Nasional.
Pasal 57
(1) Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional bertugas selama 5 (lima) tahun.
(2) Keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Nasional diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri yang membidangi sektor yang bersangkutan.
Bagian Keenam
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi
Pasal 58
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
e, meliputi:
a. susunan keanggotaan;
b. tugas Tim.
Pasal 59
Pasal 60
Pembina Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 huruf a, bertugas:
a. memberikan arahan penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi;
b. menyampaikan target pembangunan perekonomian Sektoral/Sub Sektoral Provinsi
yang akan dicapai dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan;
c. memberikan arahan agar RTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi dilaksanakan.
16
Pasal 61
Ketua Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
huruf b, bertugas:
a. memimpin, mengorganisasikan dan mengendalikan anggota Tim dalam
penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
b. merumuskan target-target pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi;
c. merumuskan kebijakan dan program pembangunan ketenagakerjaan Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
d. memutuskan target yang harus dicapai dalam RTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
e. memonitor hasil pencapaian target yang telah ditetapkan dalam RTK Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
f. mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan RTK Sektoral/Sub Sektoral
Provinsi kepada Gubernur dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi.
Pasal 62
Sekretaris Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 huruf c, bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan teknis penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
b. memfasilitasi penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
c. mengkoordinasikan Sekretariat Penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub
Sektoral Provinsi;
d. melaporkan hasil penyusunan dan pelaksanaan PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi
kepada Ketua.
Pasal 63
Anggota Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 huruf d, bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penganalisaan atas target pembangunan perekonomian
dan ketenagakerjaan yang diarahkan oleh Pembina dan Ketua untuk dipergunakan
dalam penentuan RTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi;
b. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap perkiraan persediaan dan
kebutuhan akan tenaga kerja;
c. melakukan pengkajian dan penganalisaan terhadap konsep kebijakan dan program;
d. melaporkan hasil pengkajian dan penganalisaan penyusunan dan pelaksanaan PTK
Sektoral/Sub Sektoral Provinsi kepada Sekretaris.
Pasal 64
17
Pasal 65
(1) Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi bertugas selama 5 (lima) tahun.
(2) Keanggotaan Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Provinsi diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usulan Kepala Dinas Instansi Sektoral/Sub Sektoral yang
bersangkutan.
Bagian Ketujuh
Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
18
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 72
19
Pasal 73
(1) Tim PTK Sektoral/Sub Sektoral Kabupaten/Kota bertugas selama 5 (lima) tahun.
BAB IV
TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN
HASIL PELAKSANAAN RTK MAKRO
Pasal 74
(2) Laporan hasil pelaksanaan RTK Makro lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. pelaksanaan RTK Makro;
c. penutup.
(3) Laporan hasil pelaksanaan RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan selambat-lambatnya pada bulan Januari tahun berikutnya.
Pasal 75
(1) Hasil pelaksanaan RTK Makro lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 huruf a, dilaporkan oleh:
a. Menteri kepada Presiden untuk pelaksanaan RTK Makro tingkat Nasional;
b. Kepala Dinas Provinsi kepada Gubernur, dengan tembusan kepada Menteri
untuk pelaksanaan RTK Makro tingkat Provinsi;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
kepada Kepala Dinas Provinsi untuk pelaksanaan RTK Makro tingkat
Kabupaten/Kota.
(2) Hasil pelaksanaan RTK Makro lingkup sektoral sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 huruf b, dilaporkan oleh:
a. Sekretaris Jenderal Instansi Sektoral/Sub Sektoral kepada Menteri instansi
yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri untuk pelaksanaan RTK
Sektoral/Sub Sektoral tingkat Nasional;
b. Kepala Dinas Instansi Sektoral/Sub Sektoral kepada Gubernur dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi untuk pelaksanaan RTK Sektoral/Sub
Sektoral tingkat Provinsi;
c. Kepala Dinas Instansi Sektoral/Sub Sektoral kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi untuk pelaksanaan RTK Sektoral/Sub
Sektoral tingkat Kabupaten/Kota.
20
BAB V
TATA CARA PEMANTAUAN PENYUSUNAN
DAN PELAKSANAAN RTK MAKRO
Pasal 76
(3) Pemantauan lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral sebagaimana pada ayat (2)
dilakukan secara berjenjang dengan cara:
a. langsung;
b. tidak langsung.
Pasal 77
Pasal 78
(1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3)
huruf a, dilakukan secara berjenjang dengan cara:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK dengan melakukan kunjungan ke
Dinas Provinsi, yang hasilnya dilaporkan kepada Menteri;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi dengan melakukan kunjungan ke
Dinas Kabupaten/Kota, yang hasilnya dilaporkan kepada Gubernur dengan
tembusan kepada Menteri.
(2) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3)
huruf b, dilakukan secara berjenjang dengan cara:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK dengan melakukan pengamatan
dan identifikasi laporan hasil penyusunan RTK Provinsi yang hasilnya
dilaporkan kepada Menteri;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi dengan melakukan pengamatan
dan identifikasi laporan hasil penyusunan RTK Kabupaten/Kota yang hasilnya
dilaporkan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
21
Pasal 79
Laporan hasil pemantauan lingkup kewilayahan dan lingkup sektoral baik langsung
maupun tidak langsung dibuat dengan sistematika sebagai berikut:
a. pendahuluan;
b. hasil pemantauan;
c. penutup.
Pasal 80
Pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dilakukan secara berkala baik
langsung maupun tidak langsung paling singkat 6 (enam) bulan sekali.
BAB VI
EVALUASI TERHADAP HASIL PEMANTAUAN
Pasal 81
(2) Evaluasi penyusunan RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan terhadap:
a. tim PTK;
b. metoda penghitungan persediaan, kebutuhan akan tenaga kerja, dan neraca
tenaga kerja;
c. kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan.
(3) Evaluasi pelaksanaan RTK Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi kegiatan:
a. perluasan kesempatan kerja;
b. peningkatan pendayagunaan tenaga kerja;
c. peningkatan kualitas tenaga kerja;
d. peningkatan produktivitas tenaga kerja;
e. peningkatan perlindungan tenaga kerja;
f. peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Pasal 82
(1) Evaluasi terhadap hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81,
meliputi:
a. lingkup kewilayahan;
b. lingkup sektoral.
(2) Evaluasi lingkup kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK yang hasilnya dilaporkan kepada
Menteri melalui Sekretaris Jenderal;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi yang hasilnya dilaporkan kepada
Gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
22
(3) Evaluasi lingkup sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan
sebagai berikut:
a. Tingkat Nasional dilakukan oleh Pusat PTK yang hasilnya dilaporkan kepada
Menteri melalui Sekretaris Jenderal;
b. Tingkat Provinsi dilakukan oleh Dinas Provinsi yang hasilnya dilaporkan kepada
Gubernur dengan tembusan kepada Menteri;
c. Tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota yang hasilnya
dilaporkan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dinas Provinsi.
Pasal 83
Evaluasi terhadap hasil pemantauan penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro dapat
dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.
BAB VII
PEMBINAAN TERHADAP
PENYUSUNAN DAN PELAKSANAAN RTK MAKRO
Pasal 84
Pasal 85
Pasal 86
Pembinaan petugas penyusun dan pelaksana RTK Makro dilakukan melalui kegiatan,
antara lain:
a. konsultasi;
b. bimbingan;
c. pelatihan;dan
d. sosialisasi.
23
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 87
(4) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan pada
instansi sektoral/sub sektoral nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Instansi Pembina sektoral/sub sektoral nasional yang bersangkutan.
(5) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan pada
instansi sektoral/sub sektoral provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Instansi Pembina sektoral/sub sektoral provinsi yang bersangkutan.
(6) Biaya yang diperlukan dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan pada
instansi sektoral/sub sektoral kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Instansi Pembina sektoral/sub sektoral yang
kabupaten/kota bersangkutan
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
24
Pasal 89
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Nopember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH
25
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
28 Desember 2010
Kepada Yth,
1. Para Gubernur
2. Para Bupati/Walikota
di -
Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Nomor : SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010
TENTANG
PELAKSANAAN CUTI BERSAMA DI SEKTOR SWASTA TAHUN 2011
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
20 Agustus 2010
di Tempat
SURAT EDARAN
Nomor : SE.190/MEN/PHIJSK-PJSK/VIII/2010
TENTANG
a) Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan upah.
b) Bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus-
menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional
dengan perhitungan : jumlah bulan masa kerja x 1 bulan upah.
12
3. THR Keagamaan bagi pekerja/buruh diberikan satu kali dalam setahun oleh
pengusaha dan pembayarannya disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan
masing-masing, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya
Keagamaan.
Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik, kami ucapkan
terima kasih
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
Tembusan :
TENTANG
Menimbang
?3h*1 dalam rangka eflsiensi dan efektivitas hari kerja, hari libur dan cuti bersama
dipandang perlu menata kembali pelaksanaan hari libur
nasionai dan mengatur cuti
bersama tahun 2011;
bahwa penataan kembali hari ribur dan pengaturan cuti bersama tahun 2011
sebagaimana dimaksu.d pada huruf a menjadi peiom"n
o"gi in.i"n"i pemerintah dan
swasta sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas
t<erja;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
perlu ditetapkan Keputusan Bersama i4enteri Agama, huruf a dan huruf b,
n,|lnioi iun.g, K"riu lJn
Transmigrasi, dan Menteri Negara pendayagunaan Aparatur
ttegara dan Reformasi
Birokrasi tentang perubahan Kedua xepltusan Bersama
nlentirr Agama, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menieri Ne.gara
ello"yrgrra-an nparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Republik lndonesia N6mor: OZ
fanun ZO_10; Nomor: KEp.
110/MENA/r/2010; Nomor: sKB/07/M.pAN-R8/06/2010
Cuti Bersama Tahun 2011;
te;ta;g;"rliinw Nasionardan
Mengingat Keputusan presiden Nomor 3 Tahun 1 9g3 tentang perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 251 Tahun 1967 tentang Hari-Hari
rioi,r senagll,iun"
t"trn beberapa
kali diubah terakhir dengan Keputusan pr-esiden Nomor
t o ranrin gir
t ;
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Pasal ll
#
Ditetapkan di Jakarta
20 Mei 2011
4 r'-
{{
I
f*#q ARA
ARATUR NEGARA
BIROKRASI,
,9;
il
;1,\W
,rj."l!jea
aerfl
{I} 'R"',1x^,t]d
INDAAN
LAMPIRAN KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN
MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASl
BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Keterangan
Cuti Bersama Hari Raya WaisatrTinun ZSSS
Cuti Bersama Kenaikan Vesui KiistG
CutiBersama tdutFitri 1 Syad 1432@h
CutiBersama ldutF@
Cuti Bersama Hari Raya l'.latal
'f
r,r !li\ll P4,A,:';
/nXtn I /'lfc
--l**-\ "qrl"
,-3ffi
:t.-r''
'i:
?)W
ALI
s{{t{iil
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menangani urusan di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah provinsi
yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota
adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2
6. Pegawai pengawas ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut pengawas
ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam
jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB II
PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
3
(2) Pelaksanaan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. penyuluhan;
d. supervisi dan pemantauan;
e. sosialisasi;
f. pendidikan dan pelatihan;
g. pendampingan;
h. evaluasi.
Bagian Kedua
Kelembagaan
Pasal 5
Pasal 6
4
Pasal 7
Bagian Ketiga
Sumber Daya Manusia Pengawas Ketenagakerjaan
Pasal 8
Pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
b dilaksanakan untuk:
a. memenuhi kebutuhan sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan;
b. meningkatkan kualitas pengawas ketenagakerjaan;
c. penugasan dan penempatan.
Pasal 9
Pasal 10
5
d. penyebarluasan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. penyidikan di bidang ketenagakerjaan;
f. pengembangan di bidang pengawasan ketenagakerjaan;
g. kerjasama dan koordinasi dengan mitra kerja; dan/atau
h. pelaporan hasil pemeriksaan/pengujian.
Pasal 11
(2) Pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan serta ditempatkan
di unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Bagian Keempat
Sarana dan Prasarana
Pasal 13
(1) Pembinaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c dilakukan untuk meningkatkan kemampuan operasional unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengadaan dan penggunaan sarana dan prasarana.
(3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. kantor;
b. perlengkapan kantor;
c. fasilitas transportasi;
d. peralatan pemeriksaan dan pengujian;
e. seragam dan atribut pengawas ketenagakerjaan;
f. kartu legitimasi; dan
g. penunjang operasional lainnya.
Pasal 14
6
Bagian Kelima
Pendanaan
Pasal 15
(1) Pembinaan pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan biaya operasional pengawasan
ketenagakerjaan.
Pasal 16
Bagian Keenam
Administrasi
Pasal 17
(1) Pembinaan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e
dilaksanakan untuk menjamin terselenggaranya administrasi teknis pengawasan
ketenagakerjaan sesuai ketentuan yang ditetapkan.
7
(3) Dalam rangka penyelenggaraan administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pengadaan penyelenggara
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 18
Bagian Ketujuh
Sistem Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
8
BAB III
KOORDINASI UNIT KERJA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 22
(3) Koordinasi pada tingkat pemerintah kabupaten/kota dilakukan melalui rapat kerja
teknis operasional pengawasan ketenagakerjaan.
Bagian Kesatu
Koordinasi Tingkat Nasional
Pasal 23
Pasal 24
Rapat koordinasi tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
dihadiri oleh seluruh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain yang
dipandang perlu.
Pasal 25
9
Bagian Kedua
Koordinasi Tingkat Provinsi
Pasal 26
(2) Dalam rapat koordinasi tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibahas dan/atau disepakati hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi pengawasan ketenagakerjaan setempat;
b. kebutuhan lembaga, sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan,
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan dan penyelenggaraan jaringan
informasi pengawasan ketenagakerjaan;
c. koordinasi internal dan eksternal dalam pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan;
d. harmonisasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan antar pemerintah
kabupaten/kota;
e. keseimbangan program dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan antar
kabupaten/kota;
f. praktek dan/atau pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan disesuaikan
dengan kebutuhan daerah tanpa menyimpang dari kebijakan nasional;
g. tata cara penanganan dan penyelesaian kasus bidang ketenagakerjaan;
h. hasil pengawasan ketenagakerjaan di kabupaten/kota dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun terakhir.
Pasal 27
(2) Rapat koordinasi tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh
seluruh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
kabupaten/kota, instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain yang dipandang
perlu.
Pasal 28
Bagian Ketiga
Rapat Kerja Teknis Operasional
Pasal 29
10
(2) Rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membahas
dan menyepakati upaya-upaya melaksanakan hasil rapat koordinasi tingkat nasional
dan tingkat provinsi.
(3) Dalam rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas
dan/atau disepakati hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi pengawasan ketenagakerjaan setempat;
b. kebutuhan lembaga, sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan,
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan dan penyelenggaraan jaringan
informasi pengawasan ketenagakerjaan;
c. koordinasi internal dan eksternal dalam pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan;
d. harmonisasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dengan
lembaga/instansi di pemerintah kabupaten/kota;
e. praktek dan/atau pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan disesuaikan
dengan kebutuhan daerah tanpa menyimpang dari kebijakan nasional;
f. peran pengawasan ketenagakerjaan dalam pertumbuhan sosial ekonomi
setempat;
g. tata cara penanganan dan penyelesaian kasus bidang ketenagakerjaan;
h. hal-hal lain yang dipandang perlu dalam pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 30
(2) Rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh
seluruh pengawas ketenagakerjaan pada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota, instansi pemerintah terkait dan/atau pihak lain yang dipandang
perlu.
Pasal 31
Bagian Keempat
Pembiayaan
Pasal 32
(1) Biaya pelaksanaan koordinasi tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, dan sumber lain yang sah dan tidak
mengikat.
(2) Biaya koordinasi tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2)
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, dan sumber
lain yang sah dan tidak mengikat.
11
(3) Biaya rapat teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
kabupaten/kota, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB III
KETENTUAN LAIN
Pasal 33
Ketentuan yang belum diatur dalam peraturan ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
BAB IV
PENUTUP
Pasal 34
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
12
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/XI/2011
TENTANG
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34, Pasal 35, dan
Pasal 36 Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
TENTANG JARINGAN INFORMASI PENGAWASAN
KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menangani urusan di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi adalah unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah provinsi
yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota
adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Interoperabilitas adalah kemampuan dua sistem atau dua komponen atau lebih
untuk bertukar informasi dan untuk menggunakan informasi yang telah
dipertukarkan.
Pasal 2
Pasal 3
3
BAB II
BENTUK, ISI DAN KEANGGOTAAN
Pasal 4
(2) Jaringan informasi yang terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk mengintegrasikan informasi pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Jaringan Informasi yang tersebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk memberikan dan menyebarluaskan data dan informasi
pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 5
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. organisasi pengawasan ketenagakerjaan;
b. peraturan perundang-undangan bidang pengawasan ketenagakerjaan;
c. program dan strategi pengawasan ketenagakerjaan;
d. sumber daya manusia pengawasan ketenagakerjaan;
e. obyek pengawasan ketenagakerjaan;
f. kegiatan pengawas ketenagakerjaan;
g. perizinan, penetapan, rekomendasi, dan pengesahaan;
h. kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
i. kelembagaan dan mitra kerja pengawasan ketenagakerjaan; dan
j. hasil pemeriksaan, pengujian dan penyidikan pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses oleh pusat
jaringan dan anggota jaringan, kecuali hasil pemeriksaan, pengujian dan penyidikan
pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia.
Pasal 6
(2) Pusat jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh
Direktorat Jenderal.
(3) Anggota jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi;
4
b. unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
kabupaten/kota; atau
c. pihak lain.
(4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi:
a. Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3);
b. lembaga/organisasi/institusi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi
pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Untuk menjadi anggota jaringan, pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf c harus memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal.
Pasal 7
(1) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5),
pihak lain mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan
melampirkan:
a. daftar perangkat lunak dan perangkat keras;
b. riwayat hidup sumber daya manusia jaringan informasi; dan
c. surat pernyataan bersedia mematuhi ketentuan yang ditetapkan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kepala
Dinas pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat.
Pasal 8
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terpenuhi, maka
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja Direktur Jenderal menerbitkan
persetujuan atas permohonan keanggotaan Jaringan Informasi Pengawasan
Ketenagakerjaan.
BAB III
PENYELENGGARAAN
Pasal 9
5
(3) Untuk kepentingan pelayanan publik, informasi pengawasan ketenagakerjaan pada
sistem informasi kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses
melalui alamat situs website resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Bagian Kesatu
Tata Kelola Jaringan Informasi
Pasal 10
(1) Untuk pelaksanaan tata kelola jaringan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a:
a. Menteri atau Pejabat yang ditunjuk membangun, mengelola dan
mengembangkan Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan lingkup
nasional, yang dilaksanakan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada
instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada pemerintah pusat;
b. Gubernur membangun, mengelola dan mengembangkan Jaringan Informasi
Pengawasan Ketenagakerjaan lingkup provinsi, yang dilaksanakan oleh unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi;
c. Bupati/Walikota membangun, mengelola dan mengembangkan Jaringan
Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan lingkup kabupaten/kota, yang
dilaksanakan oleh unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada
pemerintah kabupaten/kota;
d. Anggota jaringan pihak lain membangun, mengelola dan mengembangkan
Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan sesuai kegiatan pada
lembaga/organisasi/institusinya.
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia Jaringan Informasi
Pasal 11
(1) Sumber daya manusia jaringan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b terdiri dari penyelenggara dan pengelola.
6
Bagian Ketiga
Infrastruktur Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Pasal 12
(2) Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan standar manual
peralatan, interoperabilitas, dan keamanan sistem informasi.
Bagian Keempat
Aplikasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Pasal 13
Bagian Kelima
Data dan Informasi Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Pasal 14
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada pusat jaringan
7
berasal dari anggota jaringan.
(4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada pemerintah provinsi
berdasarkan data dan informasi dari pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya.
(5) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada pemerintah
kabupaten/kota merupakan kondisi dan hasil pelaksanaan Pengawasan
Ketenagakerjaan pada lingkup kabupaten/kota.
(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada
lembaga/organisasi/institusi merupakan kondisi dan hasil kegiatan bidang
Pengawasan Ketenagakerjaan yang dilakukannya.
BAB IV
PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PEMANTAUAN JARINGAN
Pasal 15
(1) Unit kerja Pengawasan Ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Pengawasan Ketenagakerjaan pada pemerintah
pusat melakukan pembinaan, pengembangan dan pemantauan terhadap anggota
jaringan.
(2) Unit kerja Pengawasan Ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah
provinsi melakukan pembinaan, pengembangan dan pemantauan terhadap
anggota jaringan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah
kabupaten/kota.
Pasal 16
8
BAB V
PENUTUP
Pasal 17
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDDIN
9
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI,
DAN MENTERINEGARA PENDAYAGUNMN APARATUR NEGAM DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang : a' bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja, dipandang perlu menata kembali
pelaksanaan hari libur nasional dan mengatur cuti bersama tahun 2012;
b. bahwa penataan kembali hari liburdan pengaturan cuti bensama tahun 2012 sebagaimana
dimaksud dalam huruf a menjadi pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta sehingga
dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas keqa;
c, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
ditetapkan Keputusan Bensama Menteri Agama, Menteri Tenaga Ker;a dan Transmigrasi,
dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Hari
Libur Nasionaldan Cuti Bersama Tahun 2012.
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1976 tentang cuti pegawai Negeri sipil
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tbhun 2009 tentang Kabinet Indonesia Bersatu ll periode
2009-2014;
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun Baru
MEMUTUSMN...
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, MENTERI TENAGA KERJA DAN
TMNSMIGRASI, DAN MENTERI NEGAM PENDAYAGUNMN APARATUR
NEGAM DAN REFORMASI BIROKR,ASI TENTANG HARI LIBUR NASIONAL
DAN CUTI BERSAMA TAHUN 2012.
KESATU Hari Libur Nasionaldan Cuti Bersama Tahun 2012 adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA Untuk kepentingan pelaksanaan inaoan Hari Raya ldul Fitri dan Hari Raya ldul
Adha bagi umat lslam, tanggal 1 Ramadhan 1433 H, 1 syawar 1433 H dan 1
Dzulhijjah 1433 H ditetapkan dengan Keputusan MenteriAgama,
KELIMA Pelaksanaan cuti bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU bagi
kalangan lembaga atau perusahaan diatur oleh lembaga atau perusahaan yang
bersangkutan.
Ditetapkan diJakarta
pada tanggal 6 luri 2011
TENTANG
MENTERI NEGARA
PENDAYAGUNMN APARATUR NEGARA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Perjanjian Kerja Bersama yang selanjutnya disingkat PKB adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
3. Perusahaan adalah:
2
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
4. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
6. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
BAB II
PERATURAN PERUSAHAAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Pembuatan Peraturan Perusahaan
Pasal 2
(2) PP berisi syarat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
rincian pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal PP akan mengatur kembali materi dari peraturan perundang-undangan
maka PP tersebut mengatur lebih baik atau minimal sama dengan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PP yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PP induk yang
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PP turunan yang berlaku
di masing-masing cabang perusahaan.
3
(3) PP induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan dan PP turunan memuat pelaksanaan PP induk yang disesuaikan
dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.
(4) Dalam hal PP induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PP
turunan di cabang perusahaan, maka selama PP turunan belum disahkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, tetap
berlaku PP induk.
(5) Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup, maka PP dibuat oleh
masing-masing perusahaan.
Pasal 4
(1) PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak memberikan
saran dan pertimbangan terhadap PP yang diajukan oleh pengusaha.
(3) Wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh
pekerja/buruh secara demokratis mewakili dari setiap unit kerja yang ada di
perusahaan.
(4) Apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(5) Dalam hal di perusahaan sudah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh namun
keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusahaan tersebut,
maka pengusaha selain memperhatikan saran dan pertimbangan dari pengurus
serikat pekerja/serikat buruh harus juga memperhatikan saran dan pertimbangan
dari wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diperselisihkan.
Pasal 5
Pasal 6
(2) Saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh terhadap naskah rancangan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sudah diterima oleh pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal diterimanya naskah rancangan PP oleh wakil pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh telah
menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
4
maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan wakil pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh tersebut.
(4) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wakil pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh tidak memberikan
saran dan pertimbangan, maka pengusaha dapat mengajukan pengesahan PP
disertai bukti berupa surat permintaan saran dan pertimbangan dari pengusaha
kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
Bagian Kedua
Pengesahan Peraturan Perusahaan
Pasal 7
Pasal 8
(2) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a. naskah PP yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan ditandatangani oleh
pengusaha; dan
b. bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh
dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Bentuk permohonan pengesahan, bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan
dari serikat pekerja/serikat buruh, dan bukti tidak ada serikat pekerja/serikat buruh
di perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan Lampiran I,
Lampiran II, dan Lampiran III Peraturan Menteri ini.
5
Pasal 9
(1) Dalam hal di perusahaan sedang dilakukan perundingan pembuatan PKB dan
masa berlaku PP telah berakhir, maka pengusaha dapat mengajukan permohonan
perpanjangan masa berlaku PP.
(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu)
tahun.
Bagian Ketiga
Perubahan
Pasal 10
(1) Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi PP dalam tenggang waktu
masa berlakunya PP, maka dalam hal perubahan tersebut menjadi lebih rendah
dari PP sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka perubahan tersebut harus disepakati oleh serikat pekerja/serikat
buruh dan/atau wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan
kembali dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Bagian Keempat
Pembaharuan
Pasal 11
(1) Pengusaha wajib mengajukan pembaharuan PP paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sebelum berakhir masa berlakunya PP, kepada pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 untuk mendapat pengesahan.
BAB III
PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Bagian Kesatu
Persyaratan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 12
(1) PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
6
(2) Perundingan PKB harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah
pihak.
(3) Perundingan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Lamanya perundingan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan.
Pasal 13
(1) Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PKB induk yang
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PKB turunan yang berlaku
di masing-masing cabang perusahaan.
(3) PKB induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan
dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing.
(4) Dalam hal PKB induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PKB
turunan di cabang perusahaan, maka selama PKB turunan belum disepakati tetap
berlaku PKB induk.
Pasal 14
Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing-masing
perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka PKB dibuat dan
dirundingkan oleh masing-masing pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh masing-
masing perusahaan.
Pasal 15
Pasal 16
(1) Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, tetapi
tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha
apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat
dukungan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan melalui pemungutan suara.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan wakil-wakil dari
pekerja/buruh yang bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh.
7
(3) Dalam waktu 30 hari setelah pembentukannya, panitia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) telah mengumumkan hasil pemungutan suara.
(4) Pemungutan suara dapat dilakukan paling cepat 7 (tujuh) hari setelah
pemberitahuan pemungutan suara oleh panitia.
(6) Panitia harus memberi kesempatan kepada serikat pekerja/serikat buruh untuk
menjelaskan program kerjanya kepada pekerja/buruh di perusahaan untuk
mendapatkan dukungan dalam pembuatan PKB.
(7) Penjelasan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan di luar
jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh panitia pemungutan suara dan
pengusaha.
(8) Tempat dan waktu pemungutan suara ditetapkan oleh panitia dengan
mempertimbangkan jadwal kerja pekerja/buruh agar tidak mengganggu proses
produksi.
Pasal 17
(1) Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam
melakukan perundingan dengan pengusaha adalah maksimal 3 (tiga) serikat
pekerja/serikat buruh yang masing-masing anggotanya minimal 10% (sepuluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
(2) Jumlah 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan sesuai peringkat berdasarkan jumlah anggota yang terbanyak.
Pasal 18
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
mengajukan permintaan berunding dengan pengusaha, maka pengusaha dapat
meminta verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 19
Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. tujuan pembuatan tata tertib;
8
b. susunan tim perunding;
c. lamanya masa perundingan;
d. materi perundingan;
e. tempat perundingan;
f. tata cara perundingan;
g. cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
h. sahnya perundingan; dan
i. biaya perundingan.
Pasal 20
(1) Dalam menentukan tim perunding pembuatan PKB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf b pihak pengusaha dan pihak serikat pekerja/serikat buruh
menunjuk tim perunding sesuai kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling
banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh.
(2) Anggota tim perunding pembuatan PKB yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh
harus pekerja/buruh yang masih terikat dalam hubungan kerja di perusahaan
tersebut.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
(1) Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak selesai dalam waktu yang disepakati
dalam tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 maka kedua belah pihak
dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah perundingan gagal.
(2) Dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai dalam waktu yang
disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak
dapat diselesaikan pada waktunya, yang memuat:
a. materi PKB yang belum dicapai kesepakatan;
b. pendirian para pihak;
c. risalah perundingan; dan
d. tempat, tanggal, dan tanda tangan para pihak.
9
(3) Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
untuk dilakukan penyelesaian.
(5) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
(6) Instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c, menyelesaikan
perselisihan PKB tersebut berdasarkan kesepakatan tertulis dari serikat
pekerja/serikat buruh yang menjadi perunding dengan pengusaha.
(7) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memuat syarat:
a. pihak-pihak yang melakukan perundingan;
b. wilayah kerja perusahaan; dan
c. tempat, tanggal, dan tanda tangan para pihak.
Pasal 24
Apabila PKB ditandatangani oleh wakil, harus ada surat kuasa khusus yang dilampirkan
pada PKB tersebut.
Pasal 25
(1) Apabila penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4)
dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak menerima
anjuran mediator, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Dalam hal daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melebihi 1 (satu) daerah hukum Pengadilan Hubungan Industrial,
maka gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya
mencakup domisili perusahaan.
Pasal 26
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha akan melakukan perubahan
PKB yang sedang berlaku, maka perubahan tersebut harus berdasarkan
kesepakatan.
(2) Perubahan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku.
10
Bagian Kedua
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 27
(1) Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(3) Pengajuan pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
melampirkan naskah PKB yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup
yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 28
(1) Pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan oleh:
a. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota;
b. kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi
untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) provinsi.
(2) Pengajuan pendaftaran PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
Peraturan Menteri ini.
(4) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerbitkan surat keputusan
pendaftaran PKB dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan pendaftaran.
(5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi
dan/atau terdapat materi PKB yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi catatan pada
surat keputusan pendaftaran.
(6) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat mengenai pasal-pasal yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
11
Pasal 29
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi PKB atau
perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
BAB IV
SANKSI
Pasal 30
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dan
Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
(1) PP yang ada berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/III/2006, masih berlaku sampai dengan
berakhirnya PP yang bersangkutan.
(2) PKB yang ada berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/III/2006, masih berlaku sampai dengan
berakhirnya PKB yang bersangkutan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
12
Pasal 33
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDDIN
13
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
KOP PERUSAHAAN
No : Kepada
Hal : Permohonan Pengesahan ..........................................
Peraturan Perusahaan ...........................................
di ........................................
1. Nama Perusahaan :
2. Alamat Perusahaan :
3. Nomor Telepon :
4. Jenis/Bidang Usaha : (diisi sesuai KLUI)
5. Status Perusahaan : PT/CV/Firma/Perusahaan Perseorangan/Badan
Usaha Negara/Persero/PMA/PMDN/Joint Venture
(coret yang tidak perlu)
6. Surat Keputusan Izin Usaha : Nomor :
Tanggal :
7. Nama-nama Serikat Pekerja :
di Perusahaan (apabila ada)
8. Nomor Kepesertaan :
Jamsostek
9. Jumlah Pekerja Pusat : Laki-laki : ................ orang
Wanita : ................ orang
10. Jumlah Pekerja di Cabang : Laki-laki : ................ orang
Wanita : ................ orang
11. Konsep Peraturan : Baru/Pembaharuan yang ke ...... kali (sebutkan)
14
Perusahaan (coret yang tidak perlu)
12. Tanggal berlakunya :
Peraturan Perusahaan yang
baru
13. Upah Pekerja Bulanan : Minimum Rp. .....................
Maximum Rp. .....................
Upah Pekerja Harian : Minimum Rp. .....................
Maximum Rp. .....................
Lampiran :
1. Nama-nama cabang perusahaan masing-masing beserta alamat, jenis usaha dan
jumlah pekerja.
2. Konsep Peraturan Perusahaan yang akan disahkan (3 eksemplar).
3. Peraturan Perusahaan yang lama/terakhir beserta Surat Keputusannya.
4. Surat usul perbaikan/percobaan yang akan diadakan dengan memberi penjelasan-
penjelasannya bagi Peraturan Perusahaan yang akan diperbaharui.
5. Surat persetujuan dari Pimpinan Serikat Pekerja yang menyatakan belum
siap/mampu meningkatkan menjadi Perjanjian Kerja Bersama (jika sudah ada
Serikat Pekerja).
6. Fotocopy tanda keanggotaan dan fotocopy pembayaran terakhir Jamsostek.
Pimpinan Perusahaan,
...............................
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
15
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
KOP PERUSAHAAN
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini, kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sebagai berikut:
1. Perusahaan telah menyampaikan naskah Rancangan Peraturan Perusahaan
PT. .................. dengan surat tanggal ............, nomor .................. kepada Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dan/atau wakil pekerja/buruh dari setiap unit kerja di
perusahaan.
2. Untuk itu, kami telah memberikan saran dan pertimbangan terhadap naskah
Rancangan Peraturan Perusahaan tanggal ............... sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
3. Pengusaha dalam rangka menyusun naskah Peraturan Perusahaan, telah
memperhatikan saran dan pertimbangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/atau
wakil pekerja/buruh dan tidak lebih rendah dari Peraturan Perusahaan lama.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya.
16
..........
4 4.
.........
dst
Keterangan *):
- apabila di perusahaan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang
memberikan saran dan pertimbangan adalah wakil pekerja/buruh dari unit/divisi.
- apabila di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka yang
memberikan saran dan pertimbangan adalah serikat pekerja/serikat buruh.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
17
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
KOP PERUSAHAAN
SURAT PERNYATAAN
Nama : ..............................................
Alamat : ..............................................
..............................................
Jabatan : ..............................................
...........................
Direktur
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Nopember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
18
Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.16/MEN/XI/2011
TENTANG
TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN
PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN
PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
KOP PERUSAHAAN
No : Kepada
Hal : Pendaftaran Perjanjian ..........................................
Kerja Bersama ...........................................
di ........................................
Bersama ini kami ajukan permohonan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
sebagaimana yang diatur dalam pelaksanaan Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, dengan beberapa keterangan perusahaan sebagai berikut:
1. Nama Perusahaan :
2. Alamat Perusahaan / Telepon :
19
Pekerja/Serikat Buruh
11. Jumlah Anggota :
12. Upah
- Tertinggi :
- Terendah :
13. Waktu Berlaku PKB : Tanggal ............... s/d ...............
Pimpinan Perusahaan,
Tanda tangan
&
Stempel
...............................
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
20
PUTUSAN
Nomor 37/PUU-IX/2011
Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 5 Mei 2011 dan tanggal 12 Mei 2011
memberi kuasa kepada 1) Ecoline Situmorang, S.H., 2) Henry David Oliver Sitorus,
S.H., 3) Riando Tambunan, S.H., 4) B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., 5) M. Taufiqul
Mujib, S.H., 6) Ridwan Darmawan, S.H., 7) Janses E. Sihaloho, S.H., 8) M. Zaimul
Umam, S.H. M.H., 9) Anton Febrianto, S.H., 10) Dhona El Furqon, S.Hi., dan 11)
Priadi, S.H., seluruhnya para Advokat/Asisten Advokat, pada Kantor Indonesian
Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), memilih domisili di Jalan
Mampang Prapatan XV Nomor 8A Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa;
2. DUDUK PERKARA
221/PAN.MK/2011 dan diregister pada hari Senin, tanggal 13 Juni 2011 dengan
registrasi perkara Nomor 37/PUU-IX/2011, yang telah diperbaiki dan diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juli 2011, menguraikan hal-hal sebagai
berikut:
A. PENDAHULUAN
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin, melindungi,
serta memenuhi hak-hak warga negaranya melalui konstitusinya yaitu
Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa diantaranya adalah hak atas
kepastian hukum dan hak atas perlindungan yang layak dalam hubungan
kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum” dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Lebih lanjut,
pemerintah Republik Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap
Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi Dalam
Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999,
sebagai bagian dari perlindungan hak asasi tenaga kerja dan pekerja/buruh.
Untuk melaksanakan mandat konstitusi tentang hak atas pekerjaan
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 maupun hak-hak terkait lainnya dalam Pasal 28 Undang-
Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 25 Maret 2003 pemerintah Republik
Indonesia, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah
mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 39
Tahun 2003.
Bahwa tujuan dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan adalah sebagaimana disebut dalam
pertimbangannya :
a. Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
4
D. PARA PEMOHON
12. Bahwa Pemohon I adalah warga negara Republik Indonesia dan
merupakan pekerja di PT. Pertamina, yang mempunyai kepedulian yang
7
E. FAKTA HUKUM
18. Bahwa pada tanggal 25 Maret 2003 Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
8
28. Bahwa khusus untuk Pemohon III upah proses di tetapkan sampai dengan
keluarnya putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, seperti Putusan
dalam perkara Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
07/G/2008/PHI.Smda antara PT. Total E&P Indonesie dengan Ir. Rommel
Ginting menyatakan bahwa:
Mengadili:
Dalam Provisi:
‐ Mengabulkan tuntutan provisi dari Penggugat
‐ Memerintahkan kepada Penggugat untuk membayar upah beserta hak-
hak lainnya yang biasa diterima oleh Tergugat setiap bulan sebesat Rp
31.884.090,- (tiga puluh satu juta delapan ratus delapan puluh empat
ribu sembilan puluh rupiah) sejak bulan November 2007 sampai
putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
29. Bahwa merujuk pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, maka sepatutnya dan berdasarkan hukum
bahwa putusan tersebut di atas mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht) pada saat keluarnya Putusan Kasasi Nomor 839
K/PDT.SUS/2008 pada tanggal 11 Februari 2009 dalam perkara a quo.
Namun ternyata mengenai pengertian mempunyai kekuatan hukum tetap
pihak pengusaha dalam hal ini, pihak PT. Total E&P Indonesie belum juga
membayarkan hak-hak pekerja yang bersangkutan karena adanya
perbedaan penafsiran tentang putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Perusahaan beranggapan bahwa yang di maksud dengan inkracht adalah
saat keluarnya keputusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
07/G/2008/PHI.Smda, pada bulan April 2007;
30. Bahwa selain menafsirkan upah proses sampai mempunyai kekuatan
hukum tetap, ternyata banyak juga pihak bahkan Hakim berpendapat
bahwa upah proses hanya sampai keluarnya putusan tingkat pertama di
Pengadilan Hubungan Industrial dengan alasan, Hakim Kasasi hanya
berwenang untuk mengkaji penerapan hukum terhadap putusan
Pengadilan Hubungan Industrial itu saja bahkan Hakim ada yang
berpendapat bahwa alasan upah prosesnya pada tingkat pengadilan
hubungan Industrial disebabkan Hakim menilai tidak adil kalau selama
proses pemeriksaan perkara pengusaha dibebankan kewajiban untuk
11
Adapun Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa: Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah:
1) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan;
2) baik pengusaha;
3) maupun pekerja/buruh;
4) harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
dalam arti lain putusan tersebut ditetapkan sebagai putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van Gewijsde).
Bahwa Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Adapun Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa, Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
16
Bahwa akibat dari tidak jelasnya penafsiran Pasal 155 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berujung pada ketidakpastian hukum
sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dengan sendirinya juga
menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak karena tidak mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai
yang termaktub dalam konstitusi Negara kita pada Pasal 28D ayat (2).
G. KESIMPULAN
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa konstitusi negara Republik Indonesia menjamin hak warga
negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam
hubungan industrial, termasuk juga pranata-pranata yang wajib dipenuhi
dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial;
3. Bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
memiliki struktur yang bertingkat, mulai dari proses penyelesaian di
instansi yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan (disnakertrans)
sampai dengan pengadilan hubungan industrial;
4. Bahwa untuk perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja,
pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan tingkat pertama.
Artinya masih ada upaya hukum lainnya yaitu Kasasi Dan Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung;
17
H. PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang
Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan adalah konstitusional bersyarat dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sejauh frasa ”belum
ditetapkan” ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap (inkract van
gewisde);
18
5. Apabila, penafsiran secara gramatikal ada sesuatu yang belum/tidak jelas maka
dapat di lakukan penafsiran secara sistematis yaitu menafsirkan Pasal 155 ayat
(2) dengan ketentuan hukum terkait lainnya. Pasal 155 tentang upah proses
selama ada sengketa perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan
hubungan kerja apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pasal 56 yang
menyatakan pengadilan hubungan industrial memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
6. Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dihubungkan dengan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka upah proses
seharusnya di bayarkan sampai dengan putusan pengadilan hubungan industrial
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
7. Pembayaran upah proses merupakan norma yang bertujuan untuk melindungi
buruh (yang mempunyai posisi lebih lemah) dari tindakan pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang dilakukan oleh pengusaha;
8. Istilah upah proses tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003. Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenal istilah upah beserta hak-hak
lain yang biasa diterima. Dalam praktik ada yang menggunakan istilah upah
proses (Putusan MA Nomor 848 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 6 Mei 2010 juncto
Nomor 112/PHI.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 14 Juli 2009 antara PT Carrefour
Indonesia vs Riska Oktariana. Judex juris menguatkan judex factie dengan
menghukum PT Carrefour Indonesia membayar upah proses tmt Oktober 2008
sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan. Jumlahnya 10
bulan, upah yang biasa diterima (Putusan MA Nomor 051 PK/Pdt.Sus/2009
tanggal 11 November 2009 menghukum PT Bank Commonwealth membayar
upah yang biasa diterima pekerja (Theresia Adiwijaya) tmt April 2007 sampai
dengan Juli 2008. Juli 2008 saat Majelis Hakim di tingkat Kasasi memutus
permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Bank Commonwealth. Putusan
22
Pasal 151 ayat (3) menyatakan, “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara
tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat
(2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat
diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan,
tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.”
23
Pasal 155 ayat (1) “Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.”;
9. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu diperoleh suatu penafsiran yang
pasti dan berkekuatan hukum dari Mahkamah Konstitusi terhadap pemberlakuan
Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga para
pekerja yang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan
hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial mengenai
perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja;
10. Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah konstitusional bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang frasa belum ditetapkan ditafsirkan
sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Nomor 150 Tahun 2000 yang mengatur secara tegas adanya upah selama
skorsing, yang dibatasi enam bulan. Namun ada juga yang menyatakan sampai
putusan PHI dikeluarkan dan ada juga yang menyatakan sampai putusan
Mahkamah Agung, ketika proses kasasi terjadi. Oleh karena itu, menurut ahli,
frasa ’belum ditetapkan’ menimbulkan kerancuan penafsiran dari hakim,
khususnya yang selama ini bertanggung jawab memeriksa kasus-kasus terkait
perselisihan ketenagakerjaan, sehingga menurut ahli, frasa itu harus dipertegas
dengan menggunakan preseden yang sudah ada saja yaitu ketika P4, P4D
maupun P4 Pusat (P4P) ada, di mana upah proses itu sampai putusan yang
inkracht van gewijsde;
4. Memperjelas tafsiran dari frasa ’belum ditetapkan’ akan membantu hakim-
hakim di pengadilan hubungan industrial sehingga mempunyai pilihan yang
tegas.
5. Ahli juga mendukung keterangan juga yang tadi dikatakan oleh Prof. Dr. Anna
Erliyana, S.H., M.H., yaitu untuk kepastian hukum, khususnya dari pihak
pekerja yang secara sosiologis lemah walaupun secara hukum sama
kedudukannya,
6. Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) UU 13/2003 memberikan perlindungan pekerja
dari kemungkinan atau potensi arogansi pengusaha, khususnya ketika terjadi
PHK secara melawan hukum (unfair dismissal). Penegasan dari Mahkamah
Konstitusi menjadi penting karena praktiknya perselisihan hubungan industrial
tidak dapat selesai dalam waktu 6 bulan. Dengan demikian frasa ’belum
ditetapkan ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap merupakan satu
statement yang wajar, yang sah, dan sudah merupakan praktik sehari-hari di
dalam proses peradilan.
hukum tetap;
10. Proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial telah menentukan secara rinci batasan
waktu yang jelas dimasing-masing tahapan. Yaitu, pada proses
perundingan bipartit selama 30 (tiga puluh) hari, proses mediasi atau
konsiliasi selama 30 (tiga puluh) hari, proses Pengadilan Hubungan
Industrial selama 50 (lima puluh) hari dan apabila Kasasi ke Mahkamah
Agung, waktu yang dibutuhkan selama 30 (tiga puluh) hari. Sehingga dari
keseluruhan proses tersebut diatas memerlukan waktu selama 140 (seratus
empat puluh) hari.
Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 155 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial telah memberikan kepastian hukum terhadap
penyelesaian perselisihan hubungan kerja maupun jangka waktu upah
proses;
Karena itu, menurut pemerintah yang terjadi pada diri para Pemohon tidak
terkait dengan masalah konstitusionalitas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji, akan tetapi terkait dengan praktik pelaksanaan
penyelesaian di lembaga peradilan (dari mulai peradilan hubungan industrial
sampai Kasasi di Mahkamah Agung);
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dapat
memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2. Menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
31
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
32
”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;”
34
serta dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, menurut
Mahkamah:
• Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945,
khususnya Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan para Pemohon menganggap
hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
• Kerugian konstitusional para Pemohon bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
• Terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, serta ada
kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
[3.10] Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan ahli dari para
Pemohon, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon,
sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
[3.10.3] Lahirnya UU 2/2004 merupakan amanat dari Pasal 136 ayat (2) UU
13/2003 yang menyatakan, “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang”;
tetap? Pertanyaan ini muncul karena tidak semua putusan Pengadilan Hubungan
Industrial langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya putusan mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada
saat putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama sedangkan
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan
permohonan kasasi sehingga putusannya apabila dimohonkan kasasi baru
memperoleh kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan Mahkamah Agung
[vide Pasal 56 juncto Pasal 109 dan Pasal 110 UU 2/2004];
[3.10.4] Bahwa Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan:
”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja;”
Berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut,
menurut Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003, agar terdapat kepastian hukum
yang adil dalam pelaksanaan dari frasa “belum ditetapkan” a quo, sehingga para
pihak dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-
hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial. Menurut
Mahkamah, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 harus
dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena
putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial,
yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan mengenai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, serta putusan
mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi. Adapun
putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi harus
menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung terlebih dahulu baru
memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum
berkekuatan hukum tetap;
39
3. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
KETUA,
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA,
40
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd.
Muhammad Alim
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir
Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia
Nomor 92 Tahun 2004, Terbit Hari Rabu tanggal 17 Nopember 2004
PUTUSAN
Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
Alamat : Jl. Otista III No. 20, Bidara Cina, Jakarta Timur.
Dalam hal ini diwakili oleh Kuasanya : SURYA TJANDRA, SH., LLM; RITA OLIVIA
TAMBUNAN, SH, LLM; ASFINAWATI, SH; B. LUCKY ROSSINTHA, SH; Pengacara
Publik pada Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Jakarta, beralamat di Jl. Diponegoro
No. 74, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Juni 2003 dan
11 November 2003. Selanjutnya disebut sebagai ………...………….…PARA PEMOHON;
DUDUK PERKARA
I. PENDAHULUAN
"Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", sudah sejak
awal berdirinya negara ini ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara yang
secara khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional
negara ini. Dengan demikian pemerintah, selaku pelaksana utama konstitusi,
berkewajiban melaksanakan amanat ini dengan semaksimal mungkin
mengusahakan agar warga negara Indonesia bisa sungguh mendapatkan
pemenuhan hak asasinya ini. Amanat ini juga amat terkait dengan tujuan umum
bangsa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 untuk
"memajukan kesejahteraan umum" berdasarkan Pancasila, untuk terciptanya
"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"; -------------------------------------------------
Seperti negara-negara lain yang baru lepas dari kolonialisme pasca-Perang Dunia II,
Indonesia memilih industrialisasi dan pembangunan ekonomi sebagai salah satu
strategi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Amat disadari oleh para
pendiri negara (founding mothers and fathers) bahwa industrialisasi sendiri akan
menghasilkan manusia-manusia warga negara yang mencoba meraih
kesejahteraannya dari situ, yaitu mereka yang tidak punya apa-apa selain tenaganya
untuk dijual guna mendapatkan upah untuk hidup. Mereka inilah yang disebut
dengan buruh/pekerja. Negara, selaku pihak yang sejak awal memang merancang
ini, mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal perburuhan
dengan menjamin agar mereka dapat terlindungi hak-haknya dalam bingkai
konstitusi; --------------------------------------------------------------------------------------------------
Inilah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai "pekerjaan"
dan "penghidupan yang layak" tersebut, yang terkait amat erat dengan Pasal 28
mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul. Keduanya termuat di dalam
Bab X UUD 1945 yang bertajuk "Warganegara dan Penduduk". Keduanya sekaligus
menjadi jaminan konstitusional bagi warga negara umumnya dan buruh khususnya,
untuk mendapatkan hak konstitusional "penghidupan yang layak" yang dapat
7
Tidak ada penjelasan khusus mengenai "hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak" di dalam Penjelasan UUD 1945 yang mengatakan "cukup jelas". Namun
demikian, apabila melihat sejarah pembentukan hukum perburuhan di Indonesia
dapat ditemukan banyak bukti nuansa perlindungan (proteksi) terhadap buruh. Pada
tahun 1947, dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Perdana
Menteri Sjahrir mengeluarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang
Kecelakaan, yang merupakan produk hukum perburuhan pertama yang dibuat oleh
bangsa Indonesia sendiri. Undang-undang ini memberi sinyal baru perubahan
penting dari kebijakan dasar perburuhan di Indonesia, dengan antara lain
menggantikan sistem Pasal 1601-1603 BW yang lebih banyak mengacu kepada
hubungan "privat" antara para pihak (buruh dan majikan) dengan nuansa liberal
"no work no pay"; ----------------------------------------------------------------------------------------
Kemudian pada tahun 1948 dihasilkan dua undang-undang lain yaitu Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun
1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak aspek perlindungan
terhadap buruh. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 misalnya memuat larangan
terhadap diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu; kewajiban
pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja; termasuk
sebuah pasal yang melarang mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun. Selain
itu Undang-undang ini juga menjamin hak perempuan buruh untuk mengambil cuti
haid dua hari dalam sebulan, dan pembatasan kerja malam bagi perempuan.
Seorang pengamat Indonesia asal Australia, Chris Manning, di dalam buku
Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story ? (1998),
mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 adalah Undang-undang
Perburuhan yang paling maju di Asia Tenggara pada waktu itu dari segi
perlindungan terhadap buruh. Ketentuan kerja 40 jam seminggu misalnya, jauh lebih
baik dibanding negara-negara tetangga dengan 44 hingga 48 jam seminggu.
Demikian pula dengan ketentuan larangan buruh anak, yang relatif belum dikenal
di region ini pada waktu itu; ---------------------------------------------------------------------------
Kebijakan legislasi yang protektif seperti ini terus berlangsung hingga disahkannya
UU Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas akan menghapuskan nuansa protektif dalam
hukum perburuhan Indonesia, dan karenanya menjadikan undang-undang tersebut
bertentangan dengan amanat UUD 1945; --------------------------------------------------------
3. Bahwa para Pemohon adalah para pemimpin dan aktivis organisasi buruh/
pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja yang selama ini mempunyai kepedulian
dan menjalankan aktifitasnya dalam perlindungan dan penegakan hak-hak
buruh/pekerja di Indonesia maupun di dunia intemasional, yang mana sudah
teruji dan merupakan pengetahuan umum; --------------------------------------------------
4. Bahwa para Pemohon juga merupakan para pemimpin dari berbagai kelompok
masyarakat dan organisasi non-pemerintah (dalam hal ini organisasi buruh/
pekerja) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan
keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak dan didirikan atas dasar
kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan KEADILAN,
HUKUM dan HAK ASASI MANUSIA di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja
yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya; ------------------------------------------
jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian
amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja
Indonesia, dan karena buruh/pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat
Indonesia, pada akhimya juga akan menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya;-------------------------------------
Pada kenyataannya apa yang disebut dengan "Tim Kecil" ini tidak lebih
dari rekayasa DPR untuk memberi pembenaran terhadap upaya mereka
memaksakan golnya UU a quo. Ini terbukti dengan adanya bantahan
dari beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang dikatakan oleh DPR
"wakil"-nya duduk di "Tim Kecil" tersebut, dan menegaskan bahwa kalau
pun ada maka ia hanya mewakili pribadinya dan bukan mewakili
organisasi (lihat misalnya surat dari Ketua Umum dan Wakil Sekretaris
Jenderal DPP Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit
tanggal 13 Februari 2003 dan surat Sekretaris Jenderal Serikat Buruh
Maritim dan Nelayan Indonesia tanggal 14 Februari 2003); ------------------
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatakan: "segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya". UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (1) UUD 1945 ini karena telah bersifat diskriminatif secara
hukum, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 158 jo. Pasal 170
UU a quo; -------------------------------------------------------------------------------------
Pasal 158 ayat (2) mensyaratkan bukti untuk menuduh telah terjadi
kesalahan berat yaitu : ------------------------------------------------------------------
ILO secara tegas telah menyatakan bahwa "hak mogok adalah bagian
tak terpisahkan dari hak berorganisasi yang dilindungi dalam Konvensi
ILO No. 87." (dalam bahasa Inggris disebutkan "ILO is of the opinion
that the right to strike in an intrinsic corollary of the right to organize
protected by Convention No. 87. " dalam "Freedom of Association and
Collective Bargaining : General Survey of the Committee of Experts on
the Application of Conventions and Recommendation, 1994, hal. 66 -
67). Dengan kata lain, penerimaan Konvensi ILO No. 87 berarti juga
penghormatan terhadap hak mogok yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari hak berorganisasi buruh/pekerja. Untuk itu
pemerintah suatu negara tidak boleh menciptakan halangan apa pun
baik yang bersifat administratif maupun birokratis yang bisa
mengakibatkan buruh/pekerja tidak dapat menikmati hak mogok ; -------
Hak mogok adalah hak esensial bagi buruh dan organisasinya dalam
memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosial
buruh. Kepentingan-kepentingan ini bukan hanya berarti memperoleh
perbaikan kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan
kerja, tetapi juga termasuk kepentingan buruh dalam menuntut
23
- 5 Undang-Undang; --------------------------------------------------------------
- 12 Peraturan Pemerintah; ------------------------------------------------------
- 5 Keputusan Presiden, dan; --------------------------------------------------
- 30 Keputusan Menteri; -----------------------------------------------------------
Pasal 50 selain bisa diartikan sebagai pengulangan pasal yang tidak perlu
(karena Pasal 1 angka 15 juga sudah menyebut perjanjian kerja sebagai
dasar hubungan kerja) dapat juga diartikan sebagai inkonsistensi karena
hanya mengulang sebagian pengertian tentang hubungan kerja yang
sudah ada dalam pasal sebelumnya; -------------------------------------------------
Bagaimana posisi hukum bagi seorang "anak" yang berusia 16-17 tahun ?
UU jelas mempunyai standar perlindungan yang sangat aneh dan
membingungkan terhadap anak. Di mana anak berumur 13-15 tahun
dianggap lebih kuat tidak beresiko bila dipekerjakan bila dibandingkan
anak berumur 16 -17 atau sebelum 18 tahun; --------------------------------------
• Direncanakan; --------------------------------------------------------------------------
• Dilaksanakan bersama-sama dan/atau oleh serikat buruh; ------------------
• Untuk menghentikan/memperlambat pekerjaan; --------------------------------
Analisa : ------------------------------------------------------------------------------
Bila melihat definisi mogok dalam ketentuan umum Pasal 1, maka yang
dapat dikatakan sebagai mogok cukup memenuhi ketiga unsur di atas.
Tetapi bila melihat Pasal 137, maka bukan 3 unsur tersebut yang
menentukan tindakan buruh/serikat buruh dapat dikatakan sebagai mogok
kerja tetapi harus karena "gagalnya perundingan". Ini jelas membuat
rancu ketentuan mengenai mogok, dan cenderung menjadi upaya untuk
mempersulit penggunaan mogok yang dengan demikian melanggar hak
fundamental buruh; ------------------------------------------------------------------------
• Pelacuran; -------------------------------------------------------------------------------
• Produksi pornografi; -------------------------------------------------------------------
• Pertunjukan porn; ----------------------------------------------------------------------
• Perjudian; --------------------------------------------------------------------------------
Analisa : ------------------------------------------------------------------------------
Dengan melihat pada Pasal 52 ayat (1) d maka Pasal 74 ayat (2) a, b dan
c merupakan ketidakkonsistenan. Karena pengaturan Pasal 74 a, b dan c
sama saja dengan mengatakan bila jenis kegiatan yang disebutkan itu
dilakukan oleh orang dewasa maka tidak apa-apa. Padahal dari pekerjaan
yang disebutkan itu ada pula yang jelas-jelas dilarang oleh ketertiban
umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan, sehingga berarti
mengabaikan Pasal 52 ayat (1) d; -----------------------------------------------------
Analisa : ------------------------------------------------------------------------------
Berarti walaupun malam hari, asalkan sebelum pukul 23.00 tidak apa-
apa. Selain kontradiktif, pasal ini juga sangat diskriminatif karena lagi-
lagi hanya untuk buruh anak dan perempuan; ---------------------------------
Analisa : ----------------------------------------------------------------------------
• Pasal 106 ayat (3) tidak konsisten dengan ketentuan umum, karena
menghilangkan serikat buruh dari keanggotaan lembaga kerja sama
bipartit, hingga tinggal unsur buruh yang ada. Padahal Pasal 1 angka
18 jelas-jelas menyebutkan keanggotaan lembaga itu adalah serikat
buruh atau unsur buruh; --------------------------------------------------------------
Pasal 102 ayat (2) menyebutkan fungsi buruh dan serikat buruh yang
salah satunya adalah menyerukan aspirasi secara demokratis; -------------
Analisa : ----------------------------------------------------------------------------
Analisa : --------------------------------------------------------------------------
Kedua pasal ini tumpang tindih karena dalam Pasal 106, wakil buruh
adalah untuk mewakili dalam lembaga kerja sama bipartit yang
fungsinya sebagai forum komunikasi dan konsultasi tentang
ketenagakerjaan di perusahaan. Pembuatan peraturan perusahaan jelas
34
i. Pasal 1 angka 20 dan Pasal 108 ayat (2) dengan Pasal 1 angka
21.
• Perjanjian; -------------------------------------------------------------------------------
• Hasil perundingan serikat buruh dengan pengusaha; ------------------------
• Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua pihak; -------------
Analisa : ------------------------------------------------------------------------------------
Tetapi logika tersebut tidak konsisten dengan adanya Pasal 108 ayat (2)
yang menyatakan perusahaan "tidak wajib" (artinya bisa saja kalau
perusahaan mau) membuat peraturan perusahaan, maka bisa ditafsirkan
bisa tetap ada. Hal ini menimbulkan masalah tentang posisi kedua
aturan tersebut bila suatu perusahaan setelah adanya perjanjian kerja
bersama tetap membuat peraturan perusahaan; --------------------------------
j. Pasal 108 ayat (2) dengan Pasal 110 ayat (2) dan Pasal 116.
35
Pasal 110 ayat (2) berisi ketentuan dalam perusahaan yang telah
terbentuk serikat buruh maka wakil buruh untuk memberikan saran dan
pertimbangan dalam pembuatan peraturan perusahaan adalah pengurus
serikat buruh; ------------------------------------------------------------------------------
Analisa : ------------------------------------------------------------------------------------
Asasi Manusia Republik Indonesia YUSRIL IHZA MAHENDRA, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 8 Desember 2003, bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik
Indonesia, dan Mahkamah telah pula menerima keterangan tertulis dari pemerintah pada
tanggal 2 Januari 2004, yang pada pokoknya sebagai berikut : ------------------------------------
- Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja/buruh; ---------------
- Penggunaan tenaga kerja asing yang selektif sesuai dengan kompetensi yang
diperlukan; ------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan tidak dapat terwujud
tanpa adanya kepastian hukum yang selama ini menjadi keluhan semua pihak yang
terlibat dalam hubungan industrial terutama para pelaku proses produksi (pekerja/buruh
dan pengusaha) ; ---------------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa LBH Jakarta tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon
karena dalam perkara a quo Pemohon sebanyak 37 orang yang mengaku mewakili 37
organisasi ternyata yang memberi Surat Kuasa hanya 22 orang, (Bukti P-3); -----------------
Bahwa dalam Surat Kuasa tersebut terdapat cacat hukum antara lain karena
Pemohon atas nama Dingin M (Sekjen FSB Kikes) tidak ditandatangani oleh LBH Jakarta
selaku Kuasa Hukum Pemohon. Di samping itu status Sdr. Dingin M. tidak jelas karena
dalam Surat Kuasa mengaku sebagai Sekjen FSB Kikes tetapi dalam Permohonan Hak
Uji, Sdr. Dingin ditulis sebagai Sekjen SB Kimia dan Kesehatan SBSI; ------------------------
Dengan demikian Sdr. Dingin M. selaku Pemohon tidak jelas status hukumnya; -------------
a. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa "setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama "; ---------------------------------------------------------------------
a. pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; ------
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan Nasional dan daerah; ----------------------------------------
Contoh :
a. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 disebutkan bahwa anak yang boleh
bekerja adalah sekurang-kurang berusia 10 tahun. Sementara dalam UU
Ketenagakerjaan, anak yang diperbolehkan bekerja adalah anak yang telah
berusia 13 tahun ke atas dan terbatas untuk pekerjaan-pekerjaan ringan dengan
ketentuan dan syarat-syarat yang khusus. Dengan demikian, maka tidak benar
43
2. Bahwa asas yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) lebih dikukuhkan dalam pasal-
pasal UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai BAB tentang Pemutusan Hubungan
Kerja. UU Ketenagakerjaan Pasal 150 s/d Pasal 172 secara jelas memberikan
proteksi/perlindungan yang optimal bagi pekerja/buruh dalam hal PHK antara lain
sebagai berikut : --------------------------------------------------------------------------------------------
a. PHK pada prinsipnya merupakan sesuatu yang harus dihindarkan dan merupakan
jalan terakhir apabila upaya-upaya lain tidak dapat dihindari; -----------------------------
b. Apabila akan dilakukan PHK disyaratkan harus ada penetapan (sebagai pengganti
dari istilah "ijin") Lembaga Pengadilan sebelum pengusaha dapat mem-PHK
pekerjanya/buruhnya; --------------------------------------------------------------------------------
c. Apabila belum ada penetapan PHK, maka para pihak tetap melaksanakan
tugasnya artinya pengusaha harus tetap memenuhi kewajibannya membayar hak-
hak pekerja/buruh; ------------------------------------------------------------------------------------
44
contoh :
Dalam hal terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pekerja/buruh terhadap
majikannya sangat tidak adil apabila pekerja/buruh mendapatkan uang pesangon
dan uang penghargaan masa kerja; --------------------------------------------------------------
Dengan demikian, maka tidak relevan apabila ketentuan mengenai PHK dikaitkan
dengan standar perlindungan bagi pekerja/buruh; --------------------------------------------
3. Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak membatasi
kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan menganut
prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Apabila di
satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap
serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan pembuatan
45
Rumusan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu tanda anggota bagi
pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui kartu tanda anggota merupakan hal
yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa yang bersangkutan adalah anggotanya.
Pembuktian keanggotaan ini merupakan cara yang akurat untuk menentukan siapa
yang berhak mewakili organisasinya; -------------------------------------------------------------------
Dalam kasus PT. DHL dan PT. Tambun Kusuma yang disampaikan oleh Pemohon
ternyata pengurus serikat pekerja/serikat buruh tidak dapat membuktikan kebenaran
jumlah anggota sehingga perusahaan menolak melakukan perundingan perjanjian kerja
bersama. Penolakan oleh perusahaan dapat dimengerti karena tanpa adanya bukti
keanggotaan, terdapat keraguan apakah betul serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan mewakili pekerja/buruh yang dimaksud; ---------------------------------------------
Dalam hal pekerja/buruh berkeberatan atas PHK karena kesalahan berat, maka
dapat mengajukan keberatan kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial; ----------------------------------------------------------------------------------
Association and Collective Bargaining : General Survey; Report II (4B) Sidang ILO
ke-69") ; -------------------------------------------------------------------------------------------------------
The prohibition of strike pickets is justified only if the strike ceases to be peaceful
(Pickets, paragraf 584, hal 120, "Freedom of Association, Fourth (revised)
Edition, 1996); ---------------------------------------------------------------------------------------
The Committee has considered legitimate a legal provision that prohibited pickets
from disturbing public order and threatening workers who continued to work
(Pickets, paragraf 585, hal 120, "Freedom of Association; Fourth (revised)
Edition, 1996); ---------------------------------------------------------------------------------------
"Komite berpendapat bahwa merupakan ketentuan yang sah menurut hukum bila
larangan mogok ditujukan untuk mencegah gangguan atas ketertiban masyarakat
dan mengganggu pekerja/buruh lain yang terus melakukan pekerjaan"; ---------------
Rumusan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pada dasarnya tidak melarang
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang sedang mogok kerja
mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja. Namun ajakan mogok kerja
tersebut harus dilakukan dengan tidak melanggar hukum seperti : ----------------------
"the obligation to give prior notice to the employer before calling a strike may
be considered acceptable "; ---------------------------------------------------------------
Hak mogok pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh telah dijamin dalam
UU Ketenagakerjaan, namun dalam pelaksanaan hak mogok tersebut sudah
sewajarnya diatur agar tidak merugikan hak orang lain yang juga dijamin oleh
undang-undang; ---------------------------------------------------------------------------------------
Waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum dilaksanakan mogok kerja dimaksudkan untuk
memberi kesempatan yang cukup kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk mengupayakan penyelesaian;
3. Bahwa materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian UU Ketenagakerjaan tidak
bertentangan dengan UUD 1945; ----------------------------------------------------------------------
4. Bahwa Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya UU Ketenagakerjaan,
sehingga Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 51 Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; --------------------------------
1. Bukti P-1 : Surat Kuasa Khusus Presiden kepada Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi, dan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia tanggal
8 Desember 2003; -----------------------------------------------------------------------
3. Bukti P-3 : Surat Kuasa Khusus para Pemohon tertanggal 11 Nopember 2003; ------
4. Bukti P-4 : Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang; -----------------------------------
9. Bukti P-9 : Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
tentang Tata cara Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Lembaga
Kerjasama Bipartit; ----------------------------------------------------------------------
54
c. Bahwa berkaitan dengan legal standing, LBH Jakarta tidak berhak bertindak untuk
dan atas nama Pemohon karena dalam perkara a quo Pemohon sebanyak 37
orang yang mengaku mewakili 37 organisasi ternyata yang memberi Surat Kuasa
hanya 22 orang; ----------------------------------------------------------------------------------------
d. Bahwa dalam beberapa Surat Kuasa tersebut terdapat cacat hukum, antara lain,
karena Pemohon atas nama Dingin M (Sekjen FSB Kikes) tidak ditandatangani
oleh LBH Jakarta selaku Kuasa Hukum Pemohon. Disamping itu status Sdr. Dingin
M. tidak jelas karena dalam Surat Kuasa mengaku sebagai Sekjen FSB Kikes,
tetapi dalam Permohonan Hak Uji, Sdr. Dingin ditulis sebagai Sekjen SB Kimia dan
55
Kesehatan SBSI. Dengan demikian Sdr. Dingin M. selaku Pemohon tidak jelas
status hukumnya; --------------------------------------------------------------------------------------
serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk
dicatat dengan melaporkan daftar nama anggota pembentuk, anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, serta susunan dan nama pengurus; ----------------------------
a. Bahwa permohonan Pemohon tidak secara jelas menguraikan hal-hal yang tidak
memenuhi ketentuan dalam UUD 1945 mengenai pembentukan undang-undang
(Pasal 51 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ); ---------------------------------------------------------------------------
c. Bahwa permohonan Pemohon yang mengatakan bahwa Pasal 140 dan Pasal
141 UU Ketenagakerjaan secara substansial bertentangan dengan standar
perburuhan internasional (Konvensi dan Rekomendasi ILO), Undang-undang
Ketenagakerjaan sebagai 1 (satu) dari "Paket 3 UU Perburuhan " yang dibuat
karena tekanan kepentingan modal asing daripada kebutuhan nyata pekerja/
56
2. Bukti P-2 : Surat Dewan Pengurus Pusat Solidaritas Buruh Maritim dan Nelayan
tertanggal 14 Pebruari 2003 yang ditandatangani oleh Sekretaris
Jenderal; ---------------------------------------------------------------------------------
6. Bukti P-6.1 : Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gresik; --------------
7. Bukti P-6.2 : Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Barat; -----------
8. Bukti P-7 : Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari Organisasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang diwakili Oleh Para Pemohon; -----------------
10. Bukti P-9 : Data sejumlah buruh dari organisasi serikat buruh dan LSM
Perburuhan yang menjadi korban atas pemberlakuan Undang-Undang
Nomot 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sejak bulan April
2003; --------------------------------------------------------------------------------------
11. Bukti P-10 : Kliping Koran Kompas tanggal 10 Desember 2003 berisi artikel dengan
judul “ Mempertimbangkan Hak-hak Ekososbud, Penulis AI. Andang L.
Binawan, Pengajar di STF Driyarkara Jakarta; --------------------------------
12. Bukti P-11 : Kliping Koran Kompas tanggal 20 Desember 2003 berisi artikel dengan
judul “ Merawat Mimpi Globalisasi “, Penulis B. Herry Priyono Ketua
Program Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta; ------------------------------
60
13. Bukti P-12 : Buku berjudul “ Labour Flexibility “, Penulis Guy Standing, seorang
ekonom senior di Kantor Pusat ILO ( Organisasi Perburuhan
Internasional ); --------------------------------------------------------------------------
1. Prof. Dr. ALOYSIUS UWIYONO, Ahli Hukum Perburuhan dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, telah memberikan keterangan di bawah sumpah sesuai
dengan keahliannya, yang pada pokoknya sebagai berikut : -----------------------------------
- Bahwa salah satu substansi yang tidak berubah adalah ketentuan yang
menyangkut outsourcing, baik di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003; --------------------------------------------
- Bahwa salah satu pasal yang jelas inkonsisten adalah Pasal 1 ayat (15) yang
menyatakan: hubungan kerja adalah hubungan hukum yang timbul antara pekerja
61
dan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki ciri-ciri adanya upah,
adanya perintah, dan adanya pekerjaan; --------------------------------------------------------
Di dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa antara perusahaan penyedia
jasa pekerja dipersyaratkan harus ada hubungan kerja. Padahal antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja hubungan hukumnya tidak
memenuhi unsur perintah, pekerjaan dan upah. Tetapi dalam Pasal 66 ayat (2)
diharuskan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan penyedia jasa pekerja;
- Bahwa keberatan dari kalangan buruh dan akademisi pada waktu itu, pada
dasarnya adalah bahwa Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 meliberalisasi
hubungan kerja, karena mengatur pasal-pasal yang mengatur hak-hak pekerja,
tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada para pihak dalam bentuk perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau dalam bentuk Peraturan Kerja Bersama yang
dibuat antara serikat pekerja dengan pengusaha; --------------------------------------------
Jadi artinya, kalau cuti tahunan tidak diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, dalam perjanjian kerja bersama, maka cuti tahunan bukan menjadi
hak normatif pekerja. Inilah yang dimaksud salah satu contoh pasal yang
62
Dalam hal ini, lebih tepat Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 yang mengatur
secara limitatif hak cuti tahunan pekerja sekurang-kurangnya 12 hari kerja, pada
saat pekerja sampai pada masa kerja 1 tahun, maka timbul hak pekerja otomatis.
Hal itu merupakan kewajiban pengusaha untuk memberikan cuti tahunan kepada
pekerja yang punya hak; -----------------------------------------------------------------------------
- Bahwa konsep hukum perburuhan secara teoritis dalam era globalisasi dan situasi
ekonomi yang masih belum membaik, maka hubungan antara pekerja dan
pengusaha seharusnya didorong untuk mencapai suatu hubungan yang harmonis.
Artinya, Pemerintah melalui undang-undang seharusnya menciptakan situasi yang
kondusif bagi terciptanya hubungan harmonis, hubungan kemitraan antara pekerja
dan pengusaha; ----------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa dalam situasi ekonomi yang masih belum membaik ini, hukum perburuhan
seharusnya berdasarkan pada paradigma kemitraan supaya dapat menciptakan
situasi yang kondusif bagi hubungan yang harmonis, karena UU Ketenagakerjaan
63
tidak didahului oleh suatu academic draft, maka paradigma yang dianut atau
yang dijadikan dasar pembentukan UU Ketenagakerjaan menjadi tidak jelas dan
lebih mengarah pada paradigma konflik karena paradigma kemitraan tidak
dijadikan dasar; ----------------------------------------------------------------------------------------
Pemutusan hubungan kerja baru sah kalau mogok merupakan mogok yang
menyimpang dari aturan, mogok yang illegal right (mogok yang tidak sah). Tetapi
kalau mogok dilakukan secara sah, maka pengusaha tidak dapat mem-PHK
pekerja. Jadi ini merupakan hak legal right bukan sebagai tindak pidana; ------------
Dalam Keputusan Menteri Nomor 150 memang diatur skorsing sebelum pekerja
diproses PHK nya karena telah melakukan tindakan atau kesalah berat, misalnya
66
Mengenai mogok, kalau dikonsepkan sebagai hak, maka masalah itu harus diatur.
Pengaturannya memang harus tidak mengeliminir esensi dari hak mogok itu
sendiri. Yang namanya aturan pasti ada pembatasan-pembatasan dan tercermin
di dalam persyaratan-persyaratan. Sepanjang persyaratan-persyaratan itu tidak
mengeliminier esensi hak mogok, hal ini dapat dibenarkan. Jadi seharusnya kalau
mogok dilakukan secara tertib dan damai, karena mogok esensinya menghentikan
pekerjaan, dengan menghentikan pekerjaan hal itu sudah merupakan suatu
tekanan terhadap pengusaha supaya berunding kembali atau mengikuti tuntutan
pekerja. Jadi dalam hal ini koordinator pemogokan harus betul-betul bertanggung
jawab, jangan mogok dianggap dikonsepkan sebagai upaya untuk merusak
perusahaan, tetapi yang penting tujuannya untuk menghentikan pekerjaan, dengan
menghentikan pekerjaan maka produksi berhenti, berarti pengusaha akan
berkurang hasil produksinya, sehingga tuntutan pekerja dapat dikabulkan oleh
pihak pengusaha; --------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa perjanjian kerja mempunyai ciri khusus, mempunyai esensial yang berbeda
dengan perjanjian lainnya. Esensialnya adalah adanya pekerjaan, perintah, dan
upah. Kalau suatu perjanjian ada unsur pekerjaan tetapi tidak ada unsur upah dan
perintah, maka bukan perjanjian kerja. Dalam hubungan kerja antara buruh
dengan majikan atau dengan pengusaha harus memenuhi ketiga unsur tersebut,
kalau tidak memenuhi maka tidak ada hubungan kerja; -------------------------------------
- Bahwa di dalam Pasal 66 ayat (2) b dinyatakan : penyedia jasa pekerja buruh
untuk kegiatan jasa penunjang dan seterusnya yang tidak berhubungan langsung
dengan produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut, jadi syarat dari
perusahaan penyedia jasa pekerja adalah ayat a : “ adanya hubungan kerja antara
pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja ”. Hal itu salah, karena tidak
ada perintah; --------------------------------------------------------------------------------------------
68
- Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya
hubungan kerja antara penyedia jasa pekerja dengan buruhnya yang sebenarnya
tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan
upah, maka ini menunjukkan bahwa buruh hanya dianggap sebagai barang saja,
bukan sebagai subjek hukum; ----------------------------------------------------------------------
- Bahwa cuti tahunan yang diatur di dalam Pasal 79 ayat (3) dinyatakan bahwa
pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja
Bersama kalau pengusaha tidak memberikan cuti, maka dianggap melakukan
perbuatan yang melanggar hukum; ---------------------------------------------------------------
- Bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat seperti undang-undang.
Memang dalam Pasal 79 ayat (1) diwajibkan, tetapi mengapa ada ayat (3) yang
mengatakan pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja. Sebetulnya ini overbodig; -------------
- Bahwa di dalam Pasal 158 ayat (2) dikaitkan dengan ayat 1-nya, bahwa
pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang demikian,
kemudian kesalahan berat sebagaimana dimaksud harus didukung dengan bukti,
maka sebetulnya sebelum buruh/pekerja dinyatakan bersalah melakukan
penipuan, melakukan tindak pidana, maka asumsinya buruh belum bersalah; -------
Oleh karena itu, Pasal 158 ayat (1) dan (2) melanggar asas presumption of
innocence, maka sebelum seseorang dinyatakan salah oleh Majelis Hakim
melakukan tindak pidana, maka asumsinya yang bersangkutan belum bersalah; ---
- Bahwa Pasal 159 justru bukan keseimbangan. Tetapi malah memberatkan buruh,
karena di satu pihak sudah dituduh melakukan tindak pidana yaitu dalam Pasal
158 ayat (1). Di lain pihak untuk menyatakan tidak bersalah, maka harus
menggugat. Bukankah ini merupakan beban buat pekerja apalagi menggugat di
Pengadilan memerlukan biaya, waktu, dan seterusnya; ------------------------------------
- Bahwa pemerintah dalam hal hubungan kemitraan sama sekali tidak hands up
sebetulnya. Di Amerika pun juga sama sekali tidak diserahkan pada para pihak.
Artinya masih ada aturan-aturan, rambu-rambu yang dikeluarkan oleh pemerintah,
misalnya seperti yang mewajibkan kepada perusahaan yang mempekerjakan
buruh lebih dari 500 orang, membentuk wadah untuk hubungan kemitraan; ---------
70
- Bahwa konvensi boleh saja, tetapi yang jelas konvensi ILO ditetapkan oleh 3
pihak, di sana ada unsur pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Sehingga setiap
konvensi harus merupakan kesepakatan dari 3 unsur; --------------------------------------
Oleh karena itu ada ketidakpastian hukum. Di satu pihak menyatakan tidak ada
hubungan kerja, hubungan kerja hanya terjadi di sini. Tetapi secara yuridis
berdasarkan Pasal 1 ayat (15) antara perusahaan penyedia jasa pekerja tidak
mungkin terjadi hubungan kerja, hubungan kerja hanya terjadi antara user dengan
pekerja; ---------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Dr. ANDANG L. BINAWAN, Ahli Filsafat etika sosial, pengajar etika hukum dan
Human Rights dari kacamata filosofis di sekolah tinggi filsafat, mendapatkan
pendidikan untuk etika sosial dari Universitas Katolik Belgia, telah memberikan
keterangan di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya, yang pada pokoknya
sebagai berikut : --------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa konstitusi adalah suatu kontrak sosial dan sebenarnya bukan hanya
sekedar kontrak sosial yang netral di antara banyak pihak yang seimbang, tetapi
lebih-lebih melindungi mereka yang lemah pada tatanan yang ideal; -------------------
- Bahwa hak untuk mogok, misalnya ketika Pemohon diperlakukan secara tidak adil
dan hak-hak untuk mogok sangat dibatasi, memang ada jaminannya dalam hukum
tetapi ada banyak pembatasan, maka perlindungan atas hak menjadi minim,
sehingga Ahli sangat setuju dengan keinginan Pemohon untuk membatalkan UU
Ketenagakerjaan; --------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa Ahli dalam arti tertentu mengagumi Pasal 33 UUD 1945 di mana masalah
ekonomi adalah untuk kesejahteraan bersama, maka sebenarnya pembangunan
ekonomi atau dunia usaha adalah untuk kesejahteraan bersama bukan hanya
untuk keuntungan memperbanyak modal, perbesaran modal, atau keuntungan
pemilik modal. Dalam tataran inilah hubungan antara pengusaha dengan buruh
memang seharusnya adalah kerja sama dua pihak manusia bukan antara pemilik
modal dengan yang tidak memiliki modal, kalau kemudian ditarik pada tataran
ekonomi seperti ini maka ada sebuah reduksi kemanusiaan dari sudut pandang
etika, sehingga hak untuk direduksikannya atau dibatasinya hak-hak untuk mogok
sebenarnya adalah sebuah pembatasan hak kemanusiaan yang seharusnya
dimiliki oleh buruh; ------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa pada logika ekonomi atau logika pasar sekarang, logika sangat dominan,
salah satu logika pokok dari ekonomi adalah bagaimana mendapatkan input yang
sebanyak-banyaknya dan dengan output yang sekecil-kecilnya, maksimalisasi
keuntungan juga terjadi di dunia usaha menjadi sebuah paradigma atau logika
pokok dari dunia usaha, kalau itu yang dipakai maka para pengusaha hanya akan
memperhatikan keuntungannya sendiri, kemudian buruh atau pekerja akan
direduksi hanya sekedar sebagai kuda yang hanya tahu memakan rumput tetapi
tidak pernah bisa nonton bioskop; ----------------------------------------------------------------
- Bahwa dunia sekarang mempunyai tiga ciri yaitu bahwa pasar menjadi salah satu
kata kunci. Pertama adalah bahwa pasar menjadi sebuah sistem, pasar tidak
hanya sekedar menjadi arena tukar menukar barang beredar di pasar, tetapi tidak
bisa dilepaskan dengan sebuah mekanisme atau sistem yang ada di dunia ini; ------
73
Kedua adalah pasar menjadi global pasar menjadi sesuatu yang saling berkait dan
tidak dapat dilepaskan yang satu dengan yang lain. Ketiga adalah ciri neoliberal di
mana maksimalisme dari kapitalis begitu kuat dengan prinsip pasar sebaiknya
adalah pasar bebas dimana individu-individu adalah aktor yang bebas, hal ini
menjadi sesuatu yang sangat merugikan karena mereka yang lemah, tidak
mungkin individu-individu sungguh-sungguh bebas secara filosofis dan individu-
individu tidak mungkin sungguh-sungguh sederajat; -----------------------------------------
- Bahwa ketika hukum dikatakan sebagai kompromi dua pihak, maka dari konteks
filosofis menjadi sesuatu yang muskil, apakah sungguh-sungguh mereka yang
lemah dapat memperjuangkan keadilan kalau memang sungguh-sungguh tidak
ada kesederajatan dan tidak ada kebebasan, hal ini sebagai contoh kembali ke
dunia kebodohan, apakah mereka sungguh-sungguh bebas untuk mendapatkan
pekerjaan dan mengikat perjanjian dengan pengusaha, kalau tanpa itu mereka
menganggur dan kalau mereka menganggur berarti anak-anaknya menangis, tidak
ada kebebasan dan tidak ada kesederajatan lebih jauh lagi dengan logika
ekonomi, maka etika yang berlaku dalam konteks hukum atau etika yang berlaku
secara umum adalah etika utilitarian yang hanya mencari hasil, padahal banyak
etika yang juga seharusnya dihargai, etika teleologis, etika deontologis yang juga
menjadi bagian dari konstitusi kita; ---------------------------------------------------------------
Kalau kemudian ternyata yang berlaku adalah etika utilitarian yang sangat diwarnai
logika ekonomi, maka manusianya pun kalau dilihat hanya sekedar
homoekonomikus, makhluk ekonomis padahal ada yang namanya homoludens,
homoorans dan itu berkurang atau bahkan direduksi maknanya, maka dampaknya
bagi hukum menjadi sangat parah kalau dalam konteks ini negara yang pada
tataran idealnya seharusnya melindungi warganya tidak berperan cukup aktif,
sehingga yang lemah semakin akan tersingkir dan tertindas, dan potensi di dalam
hukum ketenagakerjaan yang baru cukup kuat, oleh karena itu Ahli mendukung
kalau UU Ketenagakerjaan akan dibatalkan; ---------------------------------------------------
buruh kalau yang satu 50% atau lebih, yang lain tidak mungkin akan bisa
mencapai 50% atau lebih, maka tidak ada jaminan untuk berserikat dan
berkumpul. Berserikat dan berkumpul adalah perlindungan haknya sebagai
manusia, kalau tidak dilindungi maka hukum juga harus sungguh dipertanyakan
keadilannya; --------------------------------------------------------------------------------------------
Inilah salah satu contoh dari Pasal 33, pasal yang sangat bagus karena dikatakan
bahwa ekonomi adalah untuk kesejahteraan bersama tetapi ketika logika ekonomi,
logika pasar, logika neoliberal yang lebih dominan maka persfektif keadilan yang
bukan sekedar distributif tetapi juga keadilan sosial semakin dipersempit dalam
keadilan komutatif artinya bahwa keadilan yang terjadi adalah keadilan hubungan
dua individu padahal negara sebagai republika urusan bersama menjadi semakin
jauh dari cita-cita Pasal 33; -------------------------------------------------------------------------
- Bahwa buruh adalah pihak yang lemah, maka tidak mungkin ada sebuah
kesepakatan atau perjanjian seperti diisyaratkan dalam UU Ketenagakerjaan yang
seimbang, adil dan sejajar, neoliberal jelas, pasar bebas semua mempunyai
kebebasan dan kesederajatan, tetapi tidak mungkin terjadi; -------------------------------
Bahwa buruh adalah pihak yang sangat dirugikan dan sangat lemah, maka negara
seharusnya berani turun tangan bukan sekedar hanya menjadi juri dari sebuah
peraturan yang dibuat, tetapi lebih proaktif untuk membela yang lemah, kalau kita
konsekwen dengan konstitusi sebagai perlindungan negara, dalam konteks PHK; -
Bahwa Ahli setuju misalnya dalam konteks perlindungan terhadap mereka yang
bersalah, Pasal 158 ayat (2) seorang pengusaha mem-PHK secara langsung
misalnya terjadi kesalahan berat karena tertangkap tangan, pengakuan buruh yang
bersangkutan, laporan kejadian yang dibuat oleh yang berwenang di perusahaan
dan didukung dua saksi, tidak ada peran negara di sana, karena tidak ada peran
negara yang cukup kuat maka seorang pengusaha dapat dengan sewenang-
wenang membuat dan mengusahakan dua saksi, dan ini tidak dikatakan aparat
yang berwenang di perusahaan menjadi sesuatu yang ambigu, dengan kata lain
Ahli setuju bahwa negara tidak cukup aktif atau bahkan menarik diri mengenai
dunia usaha ini; ----------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa ketika globalisasi dilihat dari kacamata WTO atau negara-negara maju
yang sekarang menguasai WTO seperti IMF, mereka mengatakan bahwa negara
tidak boleh mengambil peran hanya sekedar penjaga malam, tetapi ketika
75
- Sebagai ilustrasi, sebulan yang lalu Ahli bertemu dengan beberapa buruh
Indonesia yang bekerja di Korea, kemudian Ahli pergi ke Seoul dan bertemu
dengan mereka yang sekarang sedang mogok mendirikan tenda setelah hampir 11
bulan karena pasportnya tidak diberikan oleh pengusahanya dan kemudian lari,
ilustrasi ini menjadi penting karena bagaimana buruh Indonesia yang bekerja di
luar negeri, Ahli merasa sungguh-sungguh diperas dan negara tidak cukup
melindungi, sebagai contoh salah seorang pemuda bernama A yang lahir dan
besar di Ponorogo lulus SMP di sana dan ingin bekerja karena ditawari oleh salah
satu agen tenaga kerja Indonesia untuk Korea; -----------------------------------------------
Setelah dibuat sedemikian rupa akhirnya si A dicarikan ijazah SMA dan dapat,
umurnya yang seharusnya 17 dibuat menjadi 20 dan si A harus membayar 18 juta
untuk pergi ke Korea, namanya pun berubah, selain itu dalam satu tahun hanya
dianggap sebagai training yang jaminan hukumnya lemah, maka hanya
mendapatkan 50% upah padahal si A harus bekerja dari jam 8 pagi sampai
dengan jam 10 malam selama satu tahun, si A sungguh-sungguh merasa stres
dan tidak tahan sebenarnya, tetapi karena mengingat orang tuanya yang sudah
menjual sawahnya untuk pergi ke Korea maka si A bertahan; ----------------------------
Kemudian mereka juga yang tidak tahan dan lari tidak ada perlindungan dari
pemerintah Indonesia, keluhan mereka adalah pihak kedutaan Indonesia tidak
berbuat apa-apa, agen yang dulu berjanji melindungi bahkan lepas tangan, Ahli
sangat sanksi apakah ini ada perlindungan dari negara, padahal pada salah satu
pasal dikatakan bahwa para pekerja Indonesia di luar negeri pun mendapatkan
perlindungan dari negara, tetapi hanya satu ayat tidak ada penjelasan yang cukup
kuat untuk sungguh-sungguh melindungi mereka yang sungguh-sungguh terpaksa
bekerja membanting tulang untuk negeri ini; ---------------------------------------------------
- Bahwa pada tataran pertama, memang kita tidak mempunyai modal dari dalam
negeri, tetapi kita tidak perlu masuk ke dalam tataran ekonomi praktis, secara
hitungan-hitungan ekonomi kalau kita dapat sungguh-sungguh memberdayakan
negeri ini sebenarnya mampu dan tidak perlu sungguh-sungguh tergantung pada
modal luar negeri, memang boleh ada modal dari luar negeri tetapi bukan menjadi
variabel utama, pada tataran kedua jelas kompromi memang ada dan tidak
mungkin hidup tanpa kompromi. Demikian juga pada tataran hukum, hukum juga
bagian dari kompromi tetapi kompromi itupun seharusnya juga menghormati hak-
hak yang paling dasar dari pihak-pihak yang saling berkompromi; -----------------------
Teori Jhon Rolce menjadi sangat inspiratif, memang kalau ada dua pihak yang
mau berkompromi yang satu lebih kuat dari pada yang lain, maka yang kuat boleh
memanfaatkan kekuatannya tetapi untuk kesejahteraan bersama dan yang lemah
harus dijamin hak-hak sebagai manusia. Justru materi UU Ketenagakerjaan kurang
melindungi pada tataran yang esensial buruh sebagai manusia, bahwa
melunakkan sedikit perlindungan memang boleh tetapi yang mana, ini
komprominya, padahal yang sangat esensial untuk seorang buruh dan menjadi
tidak bisa ditolelir; -------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa bertolak dari pengalaman Ahli ketika belajar di Belgia, juga bekerja
sebagai pencuci piring di sebuah restoran dan haknya dijamin, karena ada
perjanjian yang jelas dan penggajian yang jelas, hal itu menjadi sesuatu yang
sangat berbeda dengan pengalaman Ahli pada tahun 1984 juga pernah menjadi
buruh di Semarang dengan gaji 700 rupiah sehari, kemudian ketika di Belgia satu
jam dibayar 240 Belgium Frank atau kalau dikurs sekarang sekitar 7,5 Euro; --------
Ahli sebagai pelajar memang hanya mendapatkan jatah selama satu bulan 20 jam,
tidak boleh lebih. Pengalaman ini dapat digaris bawahi bagaimana kesejahteraan
menjadi sesuatu yang sangat jauh dibanding dengan Indonesia, hitungan
Indonesia hanya perhari dan itu kalau di kurs tidak lebih dari 2 Dollar, padahal di
negara maju jelas perjam, dan perjamnya sekitar 7,5 sampai dengan 8 Dollar; ------
tetapi pihak restoran tetap mempekerjakan secara gelap dan suatu hari ada
seorang peninjau dari pemerintah dan tertangkap atau ketahuan bahwa pihak
restoran mempekerjakan pekerja asing atau pekerja gelap dan restoran kena
denda 200 ribu Belgium Frank, dengan kata lain perlindungan hukumnya jelas dan
kuat, sementara di Indonesia tidak ada perlindungan seperti itu; -------------------------
- Bahwa dalam konteks supply and demand memang ada demand dan ada supply,
sekarang di negara maju posisinya cukup seimbang, tetapi justru yang menjadi
masalah adalah bagaimana ketidakseimbangan yang sangat jauh dan ketidak
seimbangan ini dimanfaatkan untuk membuat buruh semakin tidak bebas di dalam
membuat negosiasi dan ketika kesempatan-kesempatan, perlindungan-
perlindungan untuk bernegosiasi salah satu kekuatan buruh adalah misalnya
mogok, dan itu sungguh-sungguh dikebiri maka buruh tidak punya kekuatan lagi; --
- Bahwa Ahli setuju bahwa setiap union bisa masuk, kalau hanya satu union atau
hanya satu serikat pekerja yang anggotanya satu atau dua yang langsung bisa
bargaining, tetapi masalahnya juga telah disinggung pada Pasal 120 jelas kalau
serikat pekerja yang membuat negosiasi syaratnya adalah 50% atau lebih, secara
logis matematis jelas bahwasanya akan ada satu serikat pekerja, kalau yang satu
50 % atau lebih, yang lain tidak akan bisa mencapai 50 % atau lebih. Kompromi
adalah misalnya kalau ada serikat buruh minimal hanya mempunyai 20 atau 30
orang mungkin akan menjadi kuat, tetapi kalau dikatakan 50 % atau lebih maka
sungguh-sungguh membatasi hak berserikat dan berkumpul dan itu adalah bagian
perlindungan dari para buruh, kalau perlindungan ini dikebiri maka hak sebagai
manusia juga dikebiri; --------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa demokrasi dalam konteks ini tidak hanya pada soal kuantitas, kalau
misalnya ada 50% plus satu dari seribu buruh berarti hanya 501, kemudian yang
499 orang apakah tidak akan didengarkan, dan hal ini salah; -----------------------------
adalah membatasi, jadi tiap hak tidak bisa absolut dipergunakan tentu ada
pembatasan; --------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa sebagai contoh lain misalnya Pasal 137 dikatakan mogok kerja adalah
sebagai hak dasar pekerja atau buruh dan serikat pekerja atau serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Arti sah,
damai, tertib adalah tidak jelas dan hal ini bisa dijadikan potensi apa yang bisa
dipakai oleh pengusaha untuk mengatakan tidak tertib, damai dan sah. Kemudian
ada klausul akibat adanya perundingan menjadi sesuatu yang tidak jelas juga; ----
- Bahwa peran negara pada Pasal 158 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tersebut,
adalah salah karena tidak lengkap, karena tidak ditulis bahwa ada peran negara,
peran polisi yang sungguh secara objektif untuk menilai, kalau ini tidak
dicantumkan akan menjadi potensi, tetapi apakah ada orang atau apakah semua
orang akan menggunakan potensi ini kalau hukum mempunyai potensi baik dan
buruk, sehingga potensi ini harus dibatasi, karena hal ini dapat menjadi potensi
kesewenang-wenangan pengusaha; ------------------------------------------------------------
- Bahwa mengenai Pasal 33 ayat (1), menurut Ahli perekonomian nasional kita
belum berdasarkan demokrasi ekonomi, yang namanya demokrasi ekonomi
bukanlah one dollar one food karena sering dipahami bahwa satu dolar adalah
satu suara, jadi yang memiliki satu juta US dollar berarti satu juta suara, bukan itu,
padahal yang sering terjadi adalah pemilik modal dengan kekuatan ekonominya
dapat memaksakan; ----------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa sehubungan dengan konstitusi sebagai kontrak sosial, maka Ahli tidak
setuju kalau mau direduksi individualisme bahwa dapat berpotensi tetapi harus
dilihat juga bahwa konstitusi adalah sebagai cita-cita bersama, jadi ada bagian
unsur komunitarian yang juga kental. Dalam konteks ini bahwa cita-cita sosial itu
pun kental dalam UUD 1945 juga yang di Amandemen, kalau kemudian UU
Ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur atau minimal potensi adanya
perlindungan yang lemah terhadap buruh, maka memang perlu digugat. Sebagai
79
contoh bahwa unsur-unsur atau variabel-variabel itu ada, yang menjadi masalah
bagaimana hal itu diformulasikan dan dirumuskan; ------------------------------------------
- Bahwa jelas, hukum adalah mempunyai cita-cita keadilan selain ketertiban, tetapi
keadilan pun memiliki banyak dimensi keadilan komutatif, distributif dan sosial.
Pancasila juga jelas-jelas mencantumkan keadilan sosial, tetapi ketika pemerintah
mencoba lepas tangan atau memberikan pekerja semua itu urusan antara pekerja
dan pengusaha, maka yang terjadi keadilan hanya direduksi keadilan komutatif,
bahkan keadilan distributif pun menjadi tidak terlalu dijamin karena keadilan
distributif seharusnya adalah dibagi tidak sama rata sama rasa tetapi dalam porsi
masing-masing di dalam kacamata keadilan, kalau itu pun belum dan juga jelas-
jelas keadilan sosial menjadi semakin jauh padahal sudah menjadi cita-cita kita
bersama yang tercantum juga secara inplisit di dalam UUD 1945, jadi dalam
seluruh alur logika UU Ketenagakerjaan ini dimensi komutatiflah yang menonjol
padahal sebagai jaminan pada individu maka keadilan distributif dan keadilan
sosial juga harus sungguh ditonjolkan; ----------------------------------------------------------
Dua prinsip yang diajukan adalah bahwa kesamaan kesederajatan di satu pihak
dijamin, tetapi pada prinsip kedua ketidaksamaan dalam kesederajatan juga
dijamin, dengan catatan yang pertama bahwa yang kuat, kekuatan, bagi mereka
yang mempunyai kelebihan dipakai dan diberikan kesempatan untuk tumbuh,
tetapi untuk kesejahteraan bersama dan dari kacamata sosial kita adalah itulah
keadilan sosial atau minimal keadilan distributif, tetapi itu tidak dijamin; ---------------
Yang kedua, bahwa negosiasi kompromi itu juga jangan lupa bahwa yang lemah
pun mempunyai standart minimum dan standart minimum adalah dari kacamata
Rolce adalah hak-hak asasi manusia, kalau langsung mengacu pada deklarasi
hak-hak asasi manusia universal misalnya, maka konstitusi kita kurang lebih sudah
menjamin tetapi undang-undang inilah yang menjadi masalah sehingga undang-
undang ini menjadi tidak adil; ----------------------------------------------------------------------
- Bahwa bertolak pada sebuah cita-cita yang dijamin pada undang-undang kita,
bahwa hak untuk bekerja adalah juga untuk kehidupan tetapi ketika ada
80
- Bahwa tentang kosmologi atau cara pandang dunia nyata, cara pandang
masyarakat terhadap UUD 1945, kalau kita bertolak pada faham keluarga
Soepomo misalnya, maka itu adalah paradigma komunitarian meskipun tidak
sangat kental tetapi memberikan dimensi, dengan kata lain bahwa di dalam UUD
1945 ada cita-cita bukan hanya sekedar keadilan komutatif tetapi ada keadilan
distributif, keadilan sosial, yang secara tegas juga dinyatakan UU Ketenagakerjaan
menjadi bermasalah karena hanya menjamin keadilan komutatif, keadilan
komutatif mengandaikan ada kesederajatan dan kebebasan pihak-pihak yang
bernegosiasi padahal jelas buruh tidak mempunyai kebebasan dan tidak sederajat
dengan pengusaha, maka dengan kata lain UU Ketenagakerjaan bertentangan
dengan konstitusi kita; --------------------------------------------------------------------------------
Menimbang bahwa Para Pemohon juga telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi
di persidangan, yaitu : -----------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa Saksi dahulu bekerja di PT. Chiquita yang beralamat Jalan Halim Perdana
Kusuma No. 88 Kebon Besar, Batu Ceper, Tangerang, Banten, produksinya
resluiting merk Chiq, untuk pasar dalam negeri dan eksport; ------------------------------
81
- Bahwa prosesnya, pada bulan Januari 2004 serikat buruh mengajukan surat ke
manajemen untuk melakukan negosiasi kenaikan upah Tahun 2004, tetapi sampai
hampir akhir Januari tidak ada pertemuan dan tidak ada tanggapan dari pihak
manajemen. Akhirnya serikat buruh membuat surat kembali supaya bisa bertemu
untuk berunding tentang kenaikan upah; --------------------------------------------------------
- Bahwa waktu itu ada pertemuan dengan semua Kepala Bagian, Manajer dan
semua Serikat Pekerja, tetapi bukan membicarakan tentang kenaikan upah,
melainkan membicarakan kondisi perusahaan yang lagi sulit, alasannya karena
ada beberapa hutang yang harus dibayar misalnya hutang bahan baku, hutang
pajak, hutang ke Pemerintah; ----------------------------------------------------------------------
- Bahwa akhirnya surat tersebut mendapat tanggapan, hanya ada 3 orang dari
sejumlah karyawan yang memang gajinya masih dibawah UMR, kemudian
dinaikkan sesuai dengan UMK Tangerang yaitu Rp 660.000,- selebihnya harus
menunggu setelah selesai Pemilu alasannya karena kondisi politik dan keamanan
yang tidak menentu; ----------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa pada pertemuan tersebut banyak dibantah oleh teman-teman serikat buruh
kalau kondisi perusahaan sangat buruk karena soal order, padahal serikat buruh
masih bekerja seperti biasa bahkan banyak bagian-bagian yang harus lembur; -----
- Bahwa sebenarnya pekerjaan dan order adalah biasa saja, tidak mengalami
penurunan karena kalau ada penurunan artinya tidak ada jam lembur. Tetapi
kenyataannya berbeda ketika berbicara kondisi pailit, mengapa justru banyak
teman-teman yang harus pulang pagi karena kerja 12 jam. Sebelumnya jam kerja
biasa, jam kerja normal tetapi soal lembur hampir tiap hari ada, sehingga ada
peningkatan jam kerja; -------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa kemudian serikat pekerja mencoba untuk mencari informasi orang yang
mau membeli perusahaan. Namun ketika mengajukan orang yang mau membeli
ternyata keputusannya jadi berbeda, karena oleh pemilik perusahaan
H. Mohammad Thaha (Direktur Utama) langsung mengatakan telah dijual kepada
Erik Wijaya dan keluarganya (salah satu Direksi PT. Chiquita); --------------------------
- Bahwa setelah berganti manajemen baru, tuntutan untuk meminta kenaikan gaji
tidak mendapat tanggapan bahkan mengatakan tidak bicara masalah kenaikan
gaji, tetapi bagaimana melakukan perubahan di dalam perusahaan PT. Chiquita; --
- Bahwa pada awalnya semua karyawan (502 orang) statusnya sebagai karyawan
tetap, dengan adanya manajemen baru karyawan terus melakukan perundingan,
tetapi intinya dari pihak manajemen hanya ingin menggunakan tenaga kerja 300
orang. Jadi selebihnya 200 orang harus di-PHK untuk efisiensi dan akan
mendapatkan dua kali PMTK, tetapi nasib teman-teman yang 300 orang bekerja
sudah mulai dihilangkan fasilitas-fasilitas yang lainnya, misalnya pengobatan dan
menurut informasi akan menggunakan jam kerja panjang yaitu 12 jam sehari.
Kemudian teman-teman berkumpul untuk berbicara, ternyata dari 502 orang telah
sepakat untuk tidak ikut bergabung atau bekerja kembali dengan manajemen
yang baru dengan imbalan kompensasi satu kali PMTK; -----------------------------------
- Bahwa dari 502 orang pekerja, hanya 230 orang yang bekerja kembali di
perusahaan tersebut, tidak termasuk Saksi, tetapi Saksi sering datang ke
perusahaan hanya ingin mencari informasi dari teman-teman sampai saat ini.
Ternyata dari 230 orang pekerja yang direkrut kembali oleh pihak perusahaan
statusnya menjadi karyawan kontrak, tidak ada surat perjanjian secara tertulis dari
pihak manajemen, jadi hanya secara lisan. Kemudian gajinya ada yang
Rp 880.000,- sebulan dan ada yang Rp 990.000,- dengan jam kerja 12 jam, tidak
ada tunjangan yang diberikan bahkan untuk fasilitas makanpun tidak diberikan.
Jadi gaji Rp 990.000,- dan Rp 880.000,- adalah menjadi penghasilan kotor; ----------
83
- Bahwa sampai dengan tanggal 23 Maret 2004, ada teman yang mengatakan
bahwa ada 180 orang yang masih bertahan karena mereka hanya ingin
mengetahui seperti apa sebenarnya. Kalau menurut mereka dengan gaji
Rp. 990.000,- memang tidak cukup karena mereka punya anak, biaya sekolah,
bayar kontrakan, bahkan untuk makan sehari-hari saja tidak cukup, karena anak
mereka ada yang sekolah di SMP, SMA, dan rata-rata suami istri bekerja di situ; ---
- Bahwa serikat pekerja menuntut kenaikan upah kepada perusahaan karena setiap
tahun kebutuhan ekonomi jelas semakin meningkat, semakin tinggi, harga-harga
semakin melambung, tetapi kalau dengan penghasilan yang seperti itu secara
otomatis juga tidak cukup. Kemudian karena teman-teman rata-rata sudah lama
bekerja disana sekitar 10 tahun sampai 20 tahun. Jadi sudah tidak sepantasnya
lagi harus mengikuti UMK gaji yang ditentukan untuk di bawah 1 tahun. ---------------
- Bahwa UMK maksudnya Upah Minimum Kota atau Provinsi, kalau di Tangerang
sebesar Rp 660.000,-; -------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa keuntungan Saksi mengundurkan diri, yang jelas akan mendapat satu kali
PMTK, tetapi kalau nanti dijadikan tenaga kontrak tidak akan mendapatkan apa-
apa. Hal ini dilakukan karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain, tetapi setelah itu
sebagian teman-teman memilih bekerja lagi karena jadi pengangguran tidak enak,
tidak dapat penghasilan, sementara kebutuhan terus bertambah, sehingga mau
tidak mau tawaran kerja kontrak akhirnya mereka terima; ----------------------------------
- Bahwa selain karena terpaksa oleh keadaan juga karena dari segi usia saja sudah
tidak mungkin bekerja di tempat lain, sementara pelamar-pelamar banyak yang
masih muda. Kemudian dari segi ekonomi yang jelas bagi suami istri yang bekerja
dan sekarang ter-PHK tidak mungkin mereka dua-duanya akan menganggur; -------
84
- Bahwa teman-teman yang bekerja lagi dengan kondisi yang baru keadaannya jadi
lebih buruk, justru yang dikeluhkan karena anak-anak mereka menjadi tidak
terawat karena bekerja seharian penuh bahkan sampai malam, berangkat pagi
pulang malam, dan akhirnya banyak yang memutuskan untuk mengundurkan diri
terutama bagi yang istrinya bekerja disitu, terpaksa istrinya mengundurkan diri
untuk mengurus anaknya; --------------------------------------------------------------------------
- Bahwa pengertian pailit adalah tidak ada order, tidak bisa bekerja, tidak produksi,
tetapi yang menyatakan pailit adalah pernyataan dari perusahaan sendiri,
sehingga perusahaan akan mengadakan efisiensi ; ------------------------------------------
- Bahwa dengan adanya efisiensi yang 200 orang, berarti masih ada 300 orang
teman-teman yang harus tetap bekerja dengan menggunakan sistem kerja baru
yaitu kerja kontrak, karena kalau hanya 300 orang saja yang dipakai kembali
dengan sistem kontrak tetapi tidak akan mendapatkan kompensasi apa-apa, masa
kerja hilang, kemudian yang 200 orang akan mendapatkan kompensasi satu kali
PMTK, pertimbangannya dari pada nanti 300 orang yang semakin tidak jelas
nasibnya, kemudian sepakat untuk tidak bergabung dengan pemilik baru dengan
kompensasi satu kali PMTK, akhirnya 502 orang semuanya mengundurkan diri; --
- Bahwa dengan diadakan PHK secara massal, dan semua telah sepakat waktu itu
untuk menerima kompensasi satu kali PMTK, dan kemudian dipenuhi pada
tanggal 4 April 2003 semua dibayar; -------------------------------------------------------------
- Bahwa Saksi mulai bekerja pertama pada umur 16 tahun dan menjadi Serikat
Pekerja; --------------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa masalah PHK sempat ditawarkan dari pihak manajemen, akhirnya kami
semua mengambil keputusan bahwa harus menerima dengan terpaksa, karena
sebenarnya masih ingin bekerja; ------------------------------------------------------------------
- Bahwa dari 502 orang karyawan yang sampai sekarang masih bekerja dengan
mengikuti sistem tenaga kerja kontrak adalah 180 orang, semua karyawan lama
ditawarkan untuk membuat lamaran baru, kemudian ada 230 orang yang bekerja
tetapi teman-teman Saksi ada 180 orang yang bekerja di sana; --------------------------
meskipun menerima tenaga kerja baru lagi, artinya mereka langsung pekerja tetap,
tidak ada perjanjian kerja kontrak hanya secara lisan; ---------------------------------------
- Bahwa Saksi adalah Ketua Organisasi Serikat Pekerja di PT. Chiquita, dari 502
orang dipimpin oleh serikat pekerja termasuk Saksi melakukan perundingan untuk
memutuskan lebih baik PHK dengan satu kali PMTK, tidak ada advokat atau
pengacara yang mendampingi. PMTK adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja,
mengenai pesangon; ---------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa Saksi tahu pada waktu memutuskan untuk PHK mengenai Pasal 156 ayat
(1), (2) dan (3) dan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan, tetapi itu tidak mutlak
keputusan Saksi, karena telah berunding dengan 502 orang teman-teman untuk
menerima, Saksi hanya menyampaikan hasil perundingan tersebut; --------------------
- Bahwa Saksi dan teman-teman yang 502 orang tidak merasa terprovokasi oleh
pihak-pihak tertentu; ----------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa pekerjaan Saksi adalah sebagai operator di bagian produksi di CV. Lengtat
yang beralamat di Sewan, Tangerang yang memproduksi penyamakan kulit, yaitu
kulit domba dan kulit kambing.; --------------------------------------------------------------------
- Bahwa Saksi telah bekerja kurang lebih 5 tahun dan sebagai Ketua Serikat Buruh
di perusahaan tersebut yang umurnya baru 1 tahun, tetapi sekarang Saksi sedang
mengalami proses PHK; -----------------------------------------------------------------------------
- Bahwa awal mulanya terjadi PHK tersebut sebenarnya sudah lama dirancang,
sejak setahun - dua tahun yang lalu telah ada indikasi untuk membuat seluruh
karyawan menjadi pekerja kontrak. Setahun yang lalu pekerjaan di tekan
sebanyak mungkin, orang dikeluarkan dengan PHK yang sangat kecil bahkan
orang hamil dikeluarkan hanya dianggap kurang efisien dalam kerja. Kemudian
serikat buruh melakukan demo, setelah demo kembali masuk dengan pemikiran
masuk kerja lagi; ---------------------------------------------------------------------------------------
88
Itulah awalnya ada serikat pekerja, dan meminta ke perusahaan seperti uang
makan, uang transport karena memang belum diberikan kemudian perusahaan
memberi penawaran, bagaimana kalau langsung membuat PKB. Serikat Pekerja
tahu bahwa itu adalah permainan tetapi diikuti dulu, jadi membuat PKB. Proses
PKB selama 3 bulan dan selama 3 bulan walaupun PKB belum ditandatangani,
perusahaan telah melakukan apa yang ada di dalam PKB yaitu uang makan dan
uang transport telah diberikan; ---------------------------------------------------------------------
Perusahaan menolak adanya penandatanganan isi PKB bahkan surat kuasa yang
diberikan kepada beberapa Manajer yang dipercaya untuk membuat PKB dicabut.
Dalam undang-undang hal itu tidak dibenarkan, sebab pencabutan surat kuasa
hanya bisa dilakukan pada saat proses bukan setelah semuanya selesai; ------------
Surat Kuasa dicabut, dalam pemikirannya bahwa kalau surat kuasa telah dicabut
maka semua isi PKB, semua perjanjian yang berkenaan dengan PKB menjadi
batal, maka saat itu juga perusahaan mem-PHK 60 orang tersebut pada saat
gajian. Jadi teman-teman 10 atau 5 menit sebelum bel diberikan 2 amplop, yaitu
satu amplop gaji dan satu amplop PHK. Saat itulah teman-teman marah karena
di-PHK tanpa diberi pesangon sama sekali; ---------------------------------------------------
Jadi inilah PHK pertama, adanya PKB yang dicabut surat kuasanya, adanya 60
orang yang di-PHK. Kemudian para pengurus diletakkan dalam satu lokasi
produksi, memproduksi 2 kulit yaitu kulit domba dan kambing. Kalau untuk kulit
yang dibuat tas, sepatu nilainya tinggi dibanding yang dibuat sarung tangan.
Memang ada rencana produksi sarung tangan mau dihapus, kami disatukan dalam
lokasi kerja tersebut selanjutnya adanya pencabutan uang makan dan uang
transport, adanya peraturan yang lebih diperberat misalnya kalau terlambat 5 menit
diberi surat peringatan 1, 2, 3. Jadi beberapa kesalahan kecil diperbesar dengan
suatu tindakan diberikan surat peringatan, adanya gejolak diantara teman-teman,
pada saat Ramadhan kalau sudah mendekati hari raya biasanya pekerjaan
sudah mau menipis, tetapi ini bahkan makin banyak mengambil kulit-kulit untuk
89
Jadi selama ini untuk THR kalau diatas Rp 1.000.000,- ada potongan untuk PPH,
kalau baru diberikan Rp 600.000,- juga sudah dipotong dengan PPH, belum lagi
gajian setiap bulannya cuma Rp 628.000,- di potong dengan PPH. Kemudian
meminta supaya PPH dihapuskan dan permintaan yang lain tentang THR yang
sesuai dengan undang-undang, tetapi bukan suatu permintaan yang besar; ---------
Dua hari setelah melakukan demo, perusahaan me-lock out, selama seminggu
perusahaan sama sekali tidak mau diajak bicara, walaupun hanya sekedar
menanyakan apa sikap perusahaan; -------------------------------------------------------------
- Bahwa demo telah dilakukan sesuai dengan prosedur yaitu seminggu sebelumnya
sudah membuat surat demo ke Perusahaan, ke Kepolisian dan juga serikat; ---------
- Bahwa Saksi statusnya pekerja tetap, prosentase karyawan sebelum demo adalah
70% kontrak yang sisanya adalah tetap dan sekarang hampir 90% kontrak, 10%
tetap, pekerjaannya sama tidak ada perbedaan; ----------------------------------------------
- Bahwa lock out dilakukan dua hari saat demo, lock out yang dilakukan oleh
perusahaan adalah lock out manusia, padahal hal itu tidak benar seharusnya lock
out produksi. Sebenarnya lock out manusia tidak ada, yang ada adalah mem PHK
manusia, tetapi perusahaan melakukan lock out manusia, sesuatu yang tidak bisa
sebenarnya; ---------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan yang sehat, saat demo 2 hari
kemudian di lock out, kami berusaha untuk masuk tetapi ditolak dengan keras
bahkan gerbang atau pintu ditutup. Beberapa teman kontrak yang kerja disuruh
tidur di pabrik, uang makan ditanggung oleh perusahaan. Kami sama sekali tidak
dapat masuk ke perusahaan, jangankan untuk masuk dan kerja, sebagai pengurus
untuk berbicara saja susah; ------------------------------------------------------------------------
- Bahwa tindakan serikat pekerja menanggapi lock out dari perusahaan adalah
minta penjelasan pada perusahaan, paling tidak dengan cara damai tetapi
perusahaan tidak mau tahu, akhirnya kita meminta bantuan pada serikat yaitu SPN
untuk menjembatani. Mungkin dengan orang luar perusahaan bisa terbuka,
90
nyatanya tidak bisa, kemudian Disnaker juga sudah turun tetapi malah tidak
dihiraukan, terus kita ke persidangan dan sekarang sudah sampai di P-4P; ---------
- Bahwa lock out diberikan oleh perusahaan dengan sebuah kertas, dan buktinya
juga ada. Perusahaan menyatakan me-lock out dan di belakangnya ada nama-
nama 182 orang, kemudian menyatakan 1 divisi ditutup termasuk di divisi Saksi
dan pengurus serikat yang lain; --------------------------------------------------------------------
- Bahwa dilapangan yang di divisi tersebut ada 3 orang masih kerja yang memang
orang-orang ahli, karena walaupun tanpa kami beberapa mesin masih bisa
diperbaiki. Dua minggu kemudian, perusahaan membuka lowongan sehingga
banyak yang masuk ke divisi tersebut dan lowongan bukan cuma siang atau pun
pagi bahkan malam hari perusahaan membuka lowongan tersebut; --------------------
- Bahwa yang divisinya ditutup tersebut kebanyakan memang yang pekerja tetap,
ada rotasi besar-besaran, jadi beberapa orang yang vocal, pengurus dan orang
yang memang sudah lama ditempatkan di divisi tersebut, sementara yang kontrak
di divisi yang lain. Dalam sehari ada mutasi 3 orang, 4 orang, karena tidak tahu isi
suratnya sehingga kami ke personalia tanya mau di pindahkan kemana; --------------
- Bahwa yang dirasakan Saksi di perusahaan CV. Lengtat Tangerang pada saat itu,
perusahaan tidak melihat tentang kerja orang tetapi melihat orangnya. Di saat
tidak suka orangnya bagaimana akan dikeluarkan, kalau dikeluarkan artinya
mem-PHK dan berarti uang, sehingga kami diletakkan di tempat-tempat yang tidak
kami sukai, misalnya saat ini di bagian packing, nanti di pindah ke suatu mesin
yang panas, baru berapa lama atau sebulan di pindah lagi ke bagian kebersihan,
setelah itu karena tidak masuk sehari atau ada kepentingan, di keluarkan. Hal-hal
yang sangat mudah seperti itu diberikan pada pekerja kontrak yang seharusnya
sudah menjadi pekerja tetap; -----------------------------------------------------------------------
- Bahwa beberapa hal yang buruk tentang kesehatan, misalnya di penyamakan kulit,
debunya banyak sekali dan tipis-tipis sekali, bahkan teman Saksi meninggal
karena ada debu masuk ke lubang otak sehingga ada penyumbatan dan ada juga
yang mengundurkan diri. Alat kesehatan yang diberikan oleh perusahaan cuma
masker dari kain, terlalu tipis sehingga ada debu yang masuk ke pernafasan,
itupun kalau diminta, kalau tidak diminta seminggu kemudian baru diberikan,
kemudian diberikan sapu tangan, padahal sapu tangan sama saja tidak bisa
menahan debu; ----------------------------------------------------------------------------------------
91
- Bahwa satu tahun yang lalu memang belum ada Serikat, yang dituntut adalah
uang makan, uang transport, dan biaya kesehatan, karena selama ini sakit apapun
hanya diganti Rp 15.000,-, seharusnya ada suatu sistem yang dibuat misalnya
kalau sakit di bayar sesuai dengan sakitnya; ---------------------------------------------------
- Bahwa memang ada Program Jamsostek tentang kematian, tetapi dapat diambil
setelah 5 tahun atau mungkin kalau ada kematian, tentang kesehatan dan
kecelakaan pada waktu itu tidak ada, setelah di demo barulah diberikan oleh
perusahaan, sehingga dari pengalaman itulah kami membuat serikat pekerja; ------
- Bahwa pada saat itu semua 100% mengundurkan diri dan meminta PHK, dan
memang perusahaan sudah siap mem-PHK semua. Kemudian Saksi berjuang
karena pengusaha ingin menghapus semua karyawan dan dijadikan sebagai
karyawan kontrak, teman-teman sudah tidak tahan akan keadaan pekerjaan
maupun cara kerja pengusaha, semuanya ingin di-PHK. Saksi yakinkan kepada
semua teman-teman bahwa kalau mengundurkan diri itu artinya pengecut, kalau
kerja lagi yang menderita cuma kami, tetapi kalau di-PHK yang menderita anak
dan istri. Biarlah kami yang menderita tetapi mereka masih terselamatkan. Saksi
berjuang di dalam, memang sangat sulit karena Saksi berjuang sendiri, tetapi
akhirnya mereka dapat masuk kerja lagi, itulah awalnya ada serikat; -------------------
- Bahwa pekerja di perusahaan tersebut ada yang kontrak dan tetap, kalau dalam
prosentase yang tetap 30 – 40 % yang lainnya adalah kontrak, pada awalnya
semuanya tetap hanya satu yang kontrak, kemudian memang ada penekanan-
penekanan bagi karyawan yang dikontrak, akhirnya mereka keluar dari
kepengurusan tetapi sebulan setelah pembentukan serikat, semuanya jadi
karyawan tetap dan menjadi pengurus; ----------------------------------------------------------
- Bahwa serikat pekerja terbentuk pada bulan Pebruari 2003, setelah itu ada
tawaran dari Manajer untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pada waktu
itu Saksi dipanggil oleh manajer di suatu tempat tertutup, dan mengatakan kepada
Saksi “tolong jangan bilang ini dari manajer”. Maksudnya adalah seolah-olah
serikat yang berjuang adanya PKB; --------------------------------------------------------------
- Bahwa sebetulnya hal itu tidak mungkin, karena kami minta uang makan dan uang
transport saja susah apalagi PKB. PKB isinya ada satu buku yang menyatakan
suatu perjanjian kerja bersama antara pengusaha dan karyawan, isinya bukan
92
sekedar uang makan, uang transport, tetapi semua ada aturannya. Misalnya cara
kerja, kapan masuk kerja, kapan pulang kerja, istirahat bagaimana, kalau si A itu
melakukan pelanggaran apa yang dilakukan, kalau si B cuti bagaimana, semua
ada aturannya. Apakah mereka mau diatur dengan cara seperti itu. Saksi juga
merasa curiga di situ, tetapi kalau menolak artinya menolak sesuatu permainan
yang sudah diketahui; --------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa selama PKB memang kami juga suka demo. Saksi berpikir kalau demo
terbuka artinya membuka aib sendiri, karena ini masalah rumah tangga sendiri,
cukup kami saja yang tahu. Akhirnya demo yang dilakukan di masa-masa PKB
hanya menempel-nempel saja untuk menyatakan perasaan kami, maksudnya
untuk menegur supaya pengusaha berundingnya yang benar. Hal ini sampai tiga
kali dilakukan; ------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa sebenarnya PKB adalah harga yang sudah sangat rendah. Kami
menginginkan semua pekerja di situ adalah tetap, tetapi pengusaha mengatakan
tidak bisa dan kami berpikir kalau semua minta tetap bisa menjadi tetap saat itu
juga dan PHK saat itu juga. Pengusaha menawarkan bagaimana kalau untuk
karyawan kontrak 30% dan kami setuju dari pada tidak sama sekali. Kemudian
disusun nama-namanya, dari apa, dicari yang punya keahlian, yang sudah lama,
yang kerjanya bagus. Kemudian yang 60 orang diambil dari pilihan antara
perwakilan pengusaha dengan karyawan, kemudian kami tulis nama-namanya
untuk dijadikan karyawan tetap; -------------------------------------------------------------------
- Bahwa masalah 60 orang yang dikontrak kemudian menjadi tetap dan akhirnya
di-PHK, pada waktu itu ada 4 orang teman datang dan mengatakan bagaimana ini,
Saksi dan serikat pekerja mengatakan tunggu dulu, namun ada lagi yang
mengadukan tentang PHK tersebut. Kemudian Saksi lihat di depan banyak
karyawan yang ramai dengan mata merah dan penuh emosi. Mereka mengatakan
ingin ke kantor. Pada waktu itu suasana sudah sangat sulit untuk dikendalikan,
kalau Saksi menahan mereka bahaya. Jadi Saksi memberi mereka kebebasan,
Saksi tahu mereka akan merusak tetapi kalau pun mereka merusak Saksi berada
di antara mereka dan bisa menahan. Kalau mereka marah dan Saksi menahan,
mereka akan merusak dan Saksi tidak bisa berbuat apa-apa; ----------------------------
- Bahwa saat itu tidak ada demo, setelah peristiwa tersebut baru ada rotasi
karyawan maksudnya perpindahan besar-besaran dan beberapa karyawan yang
baru sudah masuk dan yang ada berbagai gejolak, sehingga kami melakukan aksi
demo tersebut seminggu setelah Lebaran yaitu tanggal 18 Desember 2003; -------
- Bahwa kami ke P-4 untuk kasus PHK yang 180 orang, karena setelah demo 2
hari, kita di lock out yaitu di-PHK. Lock out adalah penutupan suatu divisi kerja
yaitu divisi sarung tangan, tetapi dalam pemahaman pengusaha, lock out adalah
bagaimana cara untuk mem-PHK orang, karena sampai saat ini juga masih
berpikiran bahwa kami mengundurkan diri, pengusaha tidak mem-PHK, pada saat
Disnaker menyuruh kami untuk kerja lagi tetapi ternyata pengusaha malah
merendahkan lembaga tersebut dengan menyatakan bahwa Disnaker terlalu cepat
mengambil keputusan, kurang jernih dalam memahami suatu permasalahan; -------
- Bahwa pengurus serikat pekerja saat ini ada 2 orang yang dipindah, lusanya ada
lagi yang dipindah bahkan bukan hanya pengurus, beberapa orang lama juga di
pindah, pemindahan-pemindahan tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; ------
- Bahwa lock out hanya 2 minggu, setelah itu banyak dan berjalan lagi. Kemudian
perusahaan merekrut orang baru untuk di divisi glove yang diambil di sekitar
perusahaan, Polisi dan orang-orang dalam yang bekerja disitu juga menjadi
penyalur, kemudian ada beberapa staf ke desa juga menjadi penyalur kerja; --------
- Bahwa UU Ketenagakerjaan dalam kaitan kasus yang Saksi alami, adanya suatu
aturan dari pekerja kontrak yang kurang jelas, terlalu umum, kurang terperinci,
sehingga membuat pengusaha dapat mengambil celah-celahnya. Disitulah
namanya penindasan, makanan dan kedholiman yang mereka lakukan dan
mengatakan sudah wajar-wajar saja karena di undang-undang ada; --------------------
- Bahwa orang yang baru direkrut untuk divisi glove itu dikontrak selama 3 bulan,
setelah itu diperpanjang lagi. Dikontrak-dikontrak-dilepas-dilepas-dikontrak, buruh
lepas. Masalahnya kalau dikontrak terus akan terkena undang-undang karenanya
harus menjadi orang tetap, jadi itu adalah permainan; --------------------------------------
- Bahwa masalah orang yang baru direkrut, yang membuat kami demo 1 tahun yang
lalu, karena semua teman-teman mengeluh kepada Saksi, waktu itu yang
membuat mogok kerja bukan Saksi pemicunya, mereka bersatu untuk mogok
kerja dan kalau sekarang mogok lagi, itu salah satu pemicunya; -------------------------
- Bahwa sebenarnya kalau Saksi di-PHK harus diberikan pesangon, Saksi sedang
dalam proses, mungkin bisa saja pengusaha tidak mau memberikan pesangon,
tetapi negara punya undang-undang; ------------------------------------------------------------
95
- Bahwa PKB adalah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat oleh karyawan dan
pengusaha, karyawan diwakilkan oleh serikat pekerja, sementara pengusaha
diwakilkan oleh manajer. Isi dari PKB adalah hak dan kewajiban dari pekerja dan
pengusaha; ---------------------------------------------------------------------------------------------
- Bahwa di perusahaan tempat Saksi bekerja ada satu serikat pekerja yaitu SPN,
pada waktu perundingan dari perjanjian tersebut ada hasilnya dan telah diketik rapi
dan ada notulennya, tetapi perjanjian tersebut belum dicatatkan di Menteri Tenaga
Kerja karena PKB sudah selesai semua tetapi belum ditanda tangan; ------------------
- Bahwa pengusaha kalau untuk berunding langsung dengan karyawan tidak punya
waktu, sehingga pengusaha memberi kuasa kepada 3 orang manajer dan 1 orang
personalia, tetapi sekarang surat kuasanya sudah dicabut; --------------------------------
- Bahwa demo disini dalam arti mogok kerja, kalau sebelumnya kami mengadakan
mogok kerja, tetapi di depan mesin. Pada saat yang ke depannya mogok kerja
terpaksa dengan cara langsung, sebab segala cara telah dilakukan, bahkan kami
sempat dilaporkan ke Kepolisian hanya karena seperti itu; --------------------------------
- Bahwa sebenarnya yang merisaukan Saksi adalah keadaan yang serba ditekan; --
- Bahwa tujuan mendirikan serikat pekerja, untuk Saksi pribadi adalah bahwa
serikat dilakukan karena sebenarnya antara perusahaan dan karyawan saling
membutuhkan. Kalau terjadi perselisihan karena kurang komunikasi. Jadi biarlah
kami jadi jembatan di mana mereka berkomunikasi; -----------------------------------------
- Bahwa di perusahaan Saksi bekerja, dilaksanakan dalam waktu tidak terbatas dan
bukan untuk waktu tertentu; ------------------------------------------------------------------------
- Bahwa untuk membela kepentingan pekerja, selama ini memang dibela oleh
seorang ahli hukum agar sesuai dengan hukum yang berlaku; ---------------------------
PERTIMBANGAN HUKUM
2. Apakah para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya
undang-undang dimaksud, sehingga para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk bertindak sebagai para Pemohon di hadapan Mahkamah; ----------------
1. Kewenangan Mahkamah.
Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan : Mahkamah
Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga
menyatakan bahwa Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar; ----------------------------------------------------------------------------------
Menimbang bahwa dengan demikian seseorang atau suatu pihak untuk dapat
diterima sebagai Pemohon yang memiliki legal standing di hadapan Mahkamah dalam
permohonan pengujian undang-undang harus terlebih dahulu menjelaskan : -------------
Pertama, kedudukannya dalam permohonan yang diajukan sesuai dengan kualifikasi
yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003; ------
Kedua, kerugian konstitusional yang diderita dalam kualifikasi dimaksud, akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya; ---------------------------------
Menimbang bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan berupa akta-akta pendirian
asosiasi, federasi atau organisasi buruh/pekerja, tidak ternyata bahwa organisasi
organisasi tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai badan hukum menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedang di lain pihak tidak ternyata pula
bahwa UU Ketenagakerjaan secara khusus memberikan kedudukan atau standing
bagi organisasi atau asosiasi-asosiasi serikat buruh untuk dapat mengajukan
permohonan di hadapan Mahkamah untuk membela kepentingan hukum dan hak
asasi para buruh sebagaimana dikenal dalam Undang-undang Lingkungan Hidup,
99
akan tetapi sebagai perorangan atau kumpulan perorangan yang bertindak untuk diri
sendiri maupun untuk para buruh yang tergabung dalam organisasi yang dipimpin
para Pemohon, maka para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki
kepentingan yang sama; ---------------------------------------------------------------------------------
Pokok Perkara
Menimbang bahwa di sisi lain, aturan dan kebijakan tersebut harus tetap
memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi pekerja dan melakukan usaha
peningkatan kesejahteraan. Penafsiran konstruktif demikian yang dapat mengedepankan
susunan dan menghilangkan hambatan argumen hukum secara seimbang hanya dapat
dilakukan jika dapat mengidentifikasi dan membedakan beragam dimensi kepentingan
dan nilai-nilai yang sering berbenturan, yang dijalin dalam penilain yang kompleks yang
diharapkan membuat undang-undang yang ditafsirkan menjadi lebih baik secara
keseluruhan; -----------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengujian Formil.
langsung. Kepentingan modal asing wajar dipertimbangkan secara bebas dan mandiri
oleh pembuat undang-undang dengan memperhatikan kepentingan nasional; ----------------
Pengujian Materil.
3. Pasal 158 ayat (1), (2), Pasal 170 UU Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : ”segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, hal dimaksud bersifat diskriminatif
secara hukum, karena pasal-pasal tersebut membenarkan PHK dengan alasan
melakukan kesalahan berat yang masuk kualifikasi tindak pidana, yang menurut Pasal
170 prosedurnya tidak perlu mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu bisa tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan ini
telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin di
dalam UUD 1945. Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat
pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang a quo
melegalisasi tindak pidana di luar pengadilan. Lebih jauh lagi ketentuan Pasal 159
yang menentukan bahwa : “apabila pekerja/buruh tidak menerima PHK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”,
sehingga dengan demikian mengalihkan/mencampuradukkan wewenang peradilan
pidana ke peradilan perdata, yang seharusnya diselesaikan melalui peradilan pidana; -
mogok” adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak berorganisasi yang
dilindungi konvensi ILO, dan dengan diterimanya konvensi tersebut berarti juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak berorganisasi buruh/pekerja,
dan pemerintah tidak boleh menciptakan halangan apapun yang bersifat
administratif maupun birokratis yang bisa mengakibatkan buruh/pekerja tidak dapat
menikmati hak mogok. Hak mogok adalah hak essensial bagi buruh dan
organisasinya dalam memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi dan
sosial buruh, dan kepentingan tersebut bukan hanya berarti memperoleh perbaikan
kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalam suatu hubungan kerja; -------------------------
a. Pasal 137 undang-undang a quo menyatakan “mogok kerja sebagai hak dasar
buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja dilakukan secara sah dan tertib dan
damai sebagai akibat gagalnya perundingan”; Pasal ini melanggar standar
perburuhan internasional, karena membatasi alasan mogok hanya akibat
“gagalnya suatu perundingan”, dan merupakan pembatasan terhadap hak
mogok itu sendiri yang merupakan hak fundamental buruh/pekerja dan serikat
buruh/serikat pekerja. Pembatasan hak mogok dalam Pasal 137 UU
Ketenagakerjaan tersebut tidak saja membatasi kebebasan buruh/pekerja
dan/atau serikat buruh/pekerja untuk menggunakan hak mogok sebagai bagian
dari hak kebebasan berserikat dan berorganisasi serta menjalankan aktivitas
serikat buruh dan organisasinya tetapi juga merupakan sebuah bentuk kontrol
terhadap peran dan fungsi serikat buruh/serikat pekerja sebagai instrumen
resmi buruh/pekerja untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraannya; ----
penjara dan/atau denda Rp. 400 juta amat berat dan merupakan upaya untuk
menghalangi dilaksanakannya hak asasi mogok kerja; ---------------------------------
Para Pemohon telah mengutip Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu
norma penguji terhadap UU Ketenagakerjaan, yang didalilkan memperlakukan buruh/
pekerja semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan yang dapat dibuang
apabila tidak menguntungkan lagi dengan menghapus nuansa protektif dan peran negara
sebagai pelindung; ---------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang bahwa sebagaimana diakui juga oleh para Pemohon bahwa UUD
1945 adalah juga merupakan cita-cita dan arah serta dasar kebijakan yang bersifat
normatif, sehingga apabila menilai perlindungan dan peran negara sebagai pelindung
dilihat tidak tegas tampak dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini disebabkan bahwa UU
a quo harus merujuk kepada UUD 1945 yang artinya memperhitungkan pula
keseimbangan berbagai kepentingan, khususnya kepentingan buruh dan kepentingan
pengusaha dalam mekanisme ekonomi pasar. Kepentingan pengusaha harus juga
diakomodasi karena ketiadaan investasi justru akan menyebabkan berkurangnya
lapangan kerja dan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya justru akan
merugikan pihak buruh sendiri. Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 33
UUD 1945 tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadap sistem
ekonomi pasar, yang berarti mengharuskan negara melakukan campur tangan tatkala
mekanisme ekonomi pasar mengalami distorsi; --------------------------------------------------------
karena dalam keseluruhan ketentuan undang-undang a quo tidak memuat aturan yang
menunjuk pada hal yang didalilkan, meskipun benar bahwa pola outsourcing telah diatur
secara khusus dalam Pasal 64 – 66 UU a quo; --------------------------------------------------------
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi;
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------------------------
a). Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; ----------------------------------------------------------------------------------------
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan; --
110
Menimbang bahwa Pasal 119, 120 dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan ada di
bawah Bab Ketujuh yang mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang dalam Pasal
118 secara logis ditentukan bahwa dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu)
Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan,
sehingga oleh karenanya juga cukup wajar jika mitra-runding pengusaha dalam
penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dimaksud sedapat-dapatnya mewakili
mayoritas buruh/pekerja yang hak dan kepentingannya diatur dalam Perjanjian Kerja
Bersama tersebut. Mahkamah berpendapat aturan yang mensyaratkan satu serikat
buruh/pekerja di perusahaan memperoleh hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama apabila memiliki jumlah anggota lebih
dari 50 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, dan
jikalau jumlah 50 % tidak tercapai, untuk dapat berunding serikat buruh/pekerja yang
bersangkutan memerlukan dukungan lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja,
yang akan dicapai oleh serikat buruh/pekerja melalui musyawarah dan mufakat di antara
sesama buruh/pekerja, sedang jika serikat buruh/pekerja lebih dari satu dan tidak
mencapai jumlah lebih dari 50%, dapat dilakukan koalisi di antara serikat buruh/pekerja di
perusahaan tersebut untuk mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha, dan
jika hal inipun tidak dicapai tim perunding ditentukan secara proporsional berdasarkan
jumlah anggota masing-masing serikat buruh/pekerja. Aturan tersebut dipandang cukup
wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3).
Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan
seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam
organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota, dan sama sekali
tidak cukup mendasar untuk dipandang bertentangan dengan UUD; ----------------------------
mempekerjakan 50 orang buruh atau lebih, yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan yang bersangkutan, tidak perlu
ditafsirkan meniadakan hak organisasi buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan buruh/pekerja, karena penunjukan unsur buruh/pekerja yang akan duduk
dalam forum tersebut dilakukan secara demokratis, yang dapat ditarik setiap saat jika
ternyata bukan kepentingan buruh yang dipertahankan dalam forum konsultasi dimaksud.
Oleh karenanya Mahkamah tidak melihat Pasal 106 tersebut bertentangan dengan UUD
1945; ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih
dibanding pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan
berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara
perdata secara tidak pada tempatnya; -------------------------------------------------------------------
Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan dari segi sistematika
dan prosedural terdapat kerancuan di antara pasal-pasal UU Ketenagakerjaan,
Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian merupakan tafsiran dari para Pemohon,
yang oleh Mahkamah tidak dilihat secara prinsipil mengandung inkonsistensi satu dengan
yang lain dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun oleh Pemohon diakui
bahwa undang-undang a quo memberi mandat kepada eksekutif untuk melaksanakan
undang-undang a quo melalui 5 Undang-undang, 12 Peratutan Pemerintah, 5 Keputusan
Presiden dan 30 Keputusan Menteri, yang dapat diartikan tidak lengkapnya undang-
undang dimaksud, keadaan tersebut tidak harus disimpulkan sebagai executive heavy,
karena setiap peraturan dapat diuji keabsahannya terhadap aturan yang lebih tinggi.
Meskipun Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 secara expresis verbiss tidak menyebut
Keputusan Menteri dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia, akan tetapi Pasal
4 ayat (2) Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut dan praktik ketatanegaraan di
Indonesia, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan untuk menjalankan undang-
undang, Keputusan Menteri yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang bersifat
umum telah diterima dan diakui keberadaannya. Walaupun Tap MPR Nomor III Tahun
2000 tersebut tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan pada tanggal 22 Juni
2004, Pasal 56 UU a quo, menyatakan, ”semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau Keputusan Pejabat lainnya
sebagaimana dimaksud Pasal 54 yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum
undang-undang ini berlaku harus dibaca peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini”;--------------------------------------------------------------------------------------------
yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR R.I tanggal 25 Februari 2003, oleh Mahkamah
dipandang tidak dapat dibuktikan secara sah oleh para Pemohon, sehingga harus
dikesampingkan; ------------------------------------------------------------------------------------------------
Memperhatikan Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi; ----------------------------------------------------------
MENGADILI:
Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai
anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang
mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang
menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang
mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat; ---------------------------------------------------------------------------------------------
116
• Kebijakan yang tercantum dalam Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, dan Pasal 106
UU Ketenagakerjaan yang intinya memperberat persyaratan untuk merundingkan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) bagi serikat buruh/serikat pekerja, merupakan
kebijakan terselubung guna mengurangi hak buruh/pekerja untuk memperjuangkan
117
3. Selain hal-hal yang bersifat substansial seperti tersebut di atas (uji materiil UU
Ketenagakerjaan), kiranya dari sudut pengujian formil perlu dipertimbangkan
kemungkinan untuk dikabulkan. UUD 1945 memang tidak memuat secara rinci
prosedur (tata cara) pembentukan sebuah undang-undang, karena akan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang (vide Pasal 22A UUD 1945). Undang-undang yang
dimaksud adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baru diundangkan pada tanggal 22 Juni 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389), sehingga belum dapat dijadikan dasar
hukum prosedur pembentukan UU Ketenagakerjaan yang diundangkan pada tahun
2003. Tetapi seyogyanya untuk menilai apakah prosedur pembentukan UU
Ketenegakerjaan sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945, perlu menyimak
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada pada waktu itu, seperti
ketentuan dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB, Stb.1847:
23), Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD
yang lahir atas perintah UUD 1945 yang kemudian juga memerintahkan pengaturan
lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPR (yang memuat ketentuan tentang
naskah akademik), dan Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 jo Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 1999. Selain itu, juga harus memperhatikan asas-asas
umum peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas tujuan yang jelas, asas
lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan, dan asas dapat dilaksanakan, yang
ternyata kemudian asas-asas tersebut diadopsi oleh Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 dan bahkan ditambah antara lain dengan asas keadilan dan pengayoman
(vide Pasal 5 dan Pasal 6); ------------------------------------------------------------------------------
118
K e t u a,
ttd
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Anggota-anggota,
ttd ttd
Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM.
ttd ttd
Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H.,MS. H. Achmad Roestandi, S.H.
ttd ttd
Dr. Harjono, S.H., MCL. I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.H.
119
Ttd ttd
Maruarar Siahaan, S.H. Soedarsono, S.H.
Panitera Pengganti,
ttd
Triyono Edy Budhiarto, S.H.
1
PUTUSAN
Nomor 115/PUU-VII/2009
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. N a m a : PUJI RAHMAT
Tempat tanggal lahir : Bojonegoro, 23 Februari 1981;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Karyawan Swasta;
Kewarganegaraan : Indonesia;
Alamat : Jalan Mustafa VI Nomor 3A RT. 004 RW.
005 Kelurahan Kukusan Kecamatan Beji
Kota Madya Jawa Barat 16425;
2
2. DUDUK PERKARA
d. lembaga negara.
6. Bahwa kedudukan hukum (legal standing) Pemohon adalah sebagai perorangan
warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 1 huruf a
UU MK beserta penjelasannya;
7. Sebagai persyaratan awal Pemohon telah menyiapkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
i. Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276010511720001 atas nama Ronald Ebenhard
Pattiasina (Lampiran 1a);
ii. Kartu Tanda Penduduk Nomor 32.77.72.1004/03445/72013012 atas nama Puji
Rahmat (Lampiran 1b);
iii. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga SP BCA Bersatu (Lampiran lc);
8. Pengesahan Pemohon sebagai sebuah organisasi serikat pekerja atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama adalah mengacu pada surat dari Suku
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 2744/-
1.838 tanggal 06 Juli 2007 perihal Pencatatan dan Pemberian Nomor Bukti
Pencatatan SP/SB di Perusahaan, SP/SB di luar Perusahaan, Federasi SP/SB,
Konfederasi SP/SB yang memberikan Konfirmasi Nomor Bukti Pencatatan
519/V/P/VIU2007 tanggal 6 Juli 2007 kepada Pemohon (Lampiran 2);
9. Berdasarkan Surat Ketetapan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) SP
BCA Bersatu di Tretes, Pasuruan pada tanggal 05 sampai dengan 07 Maret 2009
dengan Nomor Keputusan 009/MUNASLUB/SP BCA BERSATU/2009 tanggal 06
Maret 2009 perihal Penetapan Ketua Formatur (Ex Officio Ketua Umum DPP SP
BCA Bersatu), sehingga dalam posisinya tersebut, Ketua Umum Dewan Pengurus
Pusat (DPP) SP BCA Bersatu dalam hal ini adalah Ronald Ebenhard Pattiasina
dapat mewakili untuk atas nama organisasi SP BCA Bersatu yang
keanggotaannya terbentang dari Lhokseumawe sampai Papua (Jayapura) dengan
jumlah anggota lebih dari 1.280 orang untuk mengajukan permohonan uji materi
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi (Lampiran 3);
10. Berlandaskan pada Pasal 28 UUD 1945 yang memberikan jaminan perlindungan
dan hak dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi sebagaimana disebutkan
bahwa ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
5
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh tersebut, maka Pemohon pun mempunyai hak untuk turut
serta menjadi salah satu pihak dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) antara Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja dengan
Pengusaha yang diwakili oleh Manajemen (dalam hal ini adalah Manajemen PT
Bank Central Asia Tbk), dalam rangka menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi/
hak anggotanya;
16. Pertimbangan mendasar yang digunakan dalam permohonan ini adalah
bahwasanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan ketentuan yang berlaku
bagi seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan, maka dengan demikian dapat
ditarik sebuah analogi bahwa hakikat dari pada pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) adalah pembuatan Undang-Undang yang berlaku dan mengikat
bagi seluruh komponen yang ada di dalam perusahaan;
17. Pembuatan Undang-Undang yang berlaku dan mengikat bagi seluruh komponen
yang ada di dalam perusahaan, maka sudah barang tentu menjadi suatu
keharusan di dalam negara hukum yang berkeadilan bahwa pembuatan Undang-
Undang tersebut melibatkan pihak-pihak yang terkait di dalam perusahaan, yang
dalam hal ini adalah seluruh serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan;
18. Asas Keterwakilan di dalam Tim Perunding Perjanjian Kerja Bersama di dalam
perusahaan adalah sebuah hak asasi maupun hak konstitusional yang harus
dilindungi oleh Undang-Undang sebagai amanat dan pelaksanaan dari hak
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan sebagai
dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tersebut;
19. Jika kemudian terdapat suatu bantahan, argumentasi atau pandangan
bahwasanya akan terjadi kemungkinan begitu banyaknya perwakilan dari serikat
pekerja yang akan duduk dalam Tim Perunding Serikat Pekerja, maka dengan
mengacu asas keterwakilan sebagaimana dinyatakan dalam sila ke-4 Pancasila
yang berbunyi, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, serikat pekerja dengan keanggotaan lebih dari 2,5%
dari total seluruh pekerja yang ada di dalam perusahaan dapat duduk dalam Tim
Perunding Serikat Pekerja untuk merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
dengan Tim Perunding Manajemen perusahaan;
7
30. Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, maka secara jelas dan nyata
Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja, dan ketentuan lain di bawahnya yang hanya memberikan hak berunding
kepada hanya satu serikat pekerja dengan jumlah anggota lebih dari 50% dalam
perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di dalam perusahaan, telah secara
nyata mengandung materi muatan yang bersifat membatasi, menghambat,
menghilangkan dan mendiskriminasikan hak-hak Pemohon sesuai dengan fungsi dan
tujuan dibentuknya Serikat Pekerja di dalam perusahaan sehingga dengan
demikian, pasal tersebut telah memandulkan atau mengabaikan 49% suara di luar
serikat pekerja mayoritas tersebut. Hal ini, secara jelas telah bertentangan dengan
UUD 1945 Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2);
31. Pemohon mengajukan kembali permohonan uji materi Pasal 120 ayat (1)
UU 13/2003 kepada Mahkamah Konstitusi agar kiranya seluruh serikat pekerja yang
ada di dalam perusahaan diberikan kesempatan dan hak yang sama untuk secara
bersama-sama dengan serikat pekerja mayoritas untuk duduk dalam Tim Perunding
yang akan merumuskan dan menyepakati hanya satu Perjanjian Kerja Bersama
yang dibuat dan berlaku di dalam perusahaan dengan pengusaha yang diwakili
oleh Manajemen Perusahaan;
32. Penentuan komposisi Tim Perunding dapat dilakukan secara koalisi atau
proporsional berdasarkan jumlah anggota, sehingga asas keterwakilan dalam
perumusan dan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama di dalam perusahaan tetap
melibatkan seluruh komponen serikat pekerja yang ada di dalam perusahaan;
33. Asas keterwakilan atau yang dikenal dengan istilah proportional representative
dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan hal yang lazim
dilakukan di negara-negara maju, pendapat ini disampaikan oleh Bapak
Dr. Mochtar Pakpahan kepada Pemohon berdasarkan pengalaman dan keahliannya
baik sebagai aktivis serikat pekerja maupun sebagai pengacara dalam sebuah diskusi
dan konsultasi. Jika Mahkamah berkenan dan berpendapat perlu menghadirkan yang
bersangkutan sebagai saksi ahli, maka Pemohon dengan segala hormat
mempersilakan Mahkamah untuk memanggil yang bersangkutan dalam persidangan
berikutnya;
34. Selanjutnya, dalam buku yang berjudul “Makna Pemerintahan”, dengan pengarang
11
Oleh karena itu, secara umum, tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh
bidang pelayanan:
Mahkamah untuk kembali menguji materi yang tertuang dalam Pasal 120 ayat (1)
UU 13/2003 yang hanya memberikan kesempatan kepada serikat pekerja
mayoritas (yakni serikat pekerja yang jumlah anggotanya lebih dari 51%) dan
menghilangkan hak suara dari serikat pekerja minoritas. Pasal 120 ayat (1) secara
nyata mengandung materi muatan dominasi mayoritas yang membuat dan
menyebabkan peniadaan atau penghapusan hak dan kepentingan yang dimiliki
serikat pekerja minoritas, sehingga hal ini secara jelas bertentangan dengan UUD
1945. Hukum seharusnya dibuat untuk menegakkan keadilan bagi seluruh warga
negara, dan hukum dibuat untuk melindungi hak-hak minoritas dan kelompok yang
lemah sehingga tidak tertindas atau terzalimi oleh kekuatan mayoritas. Jikalau
hukum selalu membela yang kuat dan mayoritas, maka hukum yang berlaku
adalah hukum rimba, yakni hukum dimana yang kuat dan mayoritas yang selalu
berkuasa dan menguasai kepentingan minoritas;
36. Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menambahkan/menyempurnakan
klausul dalam Pasal 120 UU 13/2003 menjadi sebagai berikut:
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh, maka seluruh serikat pekerja/serikat buruh yang ada di dalam perusahaan
mempunyai hak yang sama untuk menjadi anggota Tim Perunding dan dapat
melakukan koalisi sehingga setidaknya tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili
dalam perundingan dengan pengusaha;
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka
para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh .
37. Dalam Pasal 121 UU 13/2003 menyatakan, “Keanggotaan serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu
tanda anggota;
38. Dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 121 UU 13/2003, Pemohon merasa
dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat menggunakan metode lain
yang dapat menunjukkan keanggotaan secara akurat dan dipercaya serta dapat
diandalkan dalam proses verifikasi keanggotaan serikat pekerja di dalam
13
klausul dalam Pasal 121 UU 13/2003 menjadi sebagai berikut “Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota atau formulir keanggotaan dengan mekanisme
yang transparan, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum”;
keberadaan anggotanya dengan mewajibkan adanya kartu tanda anggota. Hal ini
tentu saja amatlah merugikan serikat buruh/serikat pekerja. Dalam situasi serikat
buruh/serikat pekerja di Indonesia kini yang baru saja bertumbuh dan berkembang,
pembatasan cara pembuktian keanggotaan serikat buruh/serikat pekerja hanya
dengan adanya kartu tanda anggota tentulah akan juga membatasi keleluasaan
serikat buruh/serikat pekerja untuk mendapatkan hak untuk beraktivitas, termasuk hak
untuk melakukan perundingan PKB;
“Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak membatasi
kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan menganut
prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Apabila di
satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-
tiap serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan
tersebut akan terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama. Sehingga
dengan demikian kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal ini
bertentangan dengan prinsip anti diskriminasi yang dianut dalam Pasal 6 UU
Ketenagakerjaan. Oleh karena itu sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat
yang terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945, maka UU Ketenagakerjaan mengatur
sistem keterwakilan yang mayoritas yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh
dalam perundingan perjanjian kerja bersama. Itupun wakil dari masing-masing
serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam perusahaan tersebut masih
dimungkinkan untuk duduk dalam tim perunding sebagaimana diatur dalam Pasal
120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan;
16
Dalam kasus PT. DHL dan PT. Tambun Kusuma yang disampaikan oleh Pemohon
ternyata pengurus serikat pekerja/serikat buruh tidak dapat membuktikan
kebenaran jumlah anggota sehingga perusahaan menolak melakukan perundingan
perjanjian kerja bersama. Penolakan oleh perusahaan dapat dimengerti karena
tanpa adanya bukti keanggotaan, terdapat keraguan apakah betul serikat pekerja/
serikat buruh yang bersangkutan mewakili pekerja/buruh yang dimaksud”;
47. Selanjutnya, Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara
Nomor 012/PUU-I/2003 tersebut di atas menyatakan bahwa:
”Bahwa rumusan Pasal 119 dan Pasal 120 UU Ketenagakerjaan tidak membatasi
kebebasan berserikat tetapi mengatur tentang keterwakilan serikat pekerja/serikat
buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan menganut
prinsip bahwa di dalam 1 (satu) perusahaan hanya berlaku 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku untuk seluruh karyawan di perusahaan tersebut. Apabila di satu
perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tiap-tiap serikat
pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di perusahaan tersebut akan
terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama. Sehingga dengan demikian
kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal ini bertentangan dengan
prinsip anti diskriminasi yang dianut dalam Pasal 6 UU Ketenagakerjaan. Oleh karena
itu sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28
UUD 1945, maka UU Ketenagakerjaan mengatur sistem keterwakilan yang mayoritas
yang mewakili serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja
bersama. Itupun wakil dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam
perusahaan tersebut masih dimungkinkan untuk duduk dalam tim perunding sebagaimana
diatur dalam Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan;
17
Rumusan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan kartu tanda anggota bagi
pekerja/buruh sebagai bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh. Pembuktian melalui kartu tanda anggota merupakan hal
yang wajar bagi sebuah organisasi bahwa yang bersangkutan adalah anggotanya.
Pembuktian keanggotaan ini merupakan cara yang akurat untuk menentukan siapa yang
berhak mewakili organisasinya”;
48. Dalam keputusan tersebut, Mahkamah menilai bahwa serikat pekerja minoritas
(yang keanggotaannya kurang dari 51%) masih mempunyai hak untuk duduk
dalam tim perunding sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan. Namun dalam kenyataannya, keberadaan serikat pekerja
yang mengklaim dirinya sebagai serikat pekerja mayoritas hanya menggunakan
Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan tidak pernah mau menggunakan
Pasal 120 ayat (2) dan/atau ayat (3);
49. Dengan adanya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003, maka secara nyata dan jelas telah
mematikan hak suara atau aspirasi dari serikat pekerja yang bukan mayoritas, yang
seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang;
50. Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003 telah memperlakukan secara diskriminatif terhadap
serikat pekerja yang anggotanya lebih dari 50% dengan serikat pekerja yang
jumlah anggotanya kurang dari 50%. Asas keterwakilan seluruh komponen di
dalam perusahaan (seluruh serikat pekerja yang ada) menjadi terhambat dengan
adanya Pasal 120 ayat (1) UU 13/2003;
51. Dalam pertimbangan putusan berikutnya Mahkamah menilai bahwa pembuktian
keanggotaan melalui kartu anggota dipandang sebagai cara yang akurat untuk
menentukan siapa yang berhak mewakili organisasinya, namun dalam kenyataan
di lapangan bahwa tata cara pembuktian keanggotaan yang hanya dengan
menunjukkan fotokopi kartu tanda anggota telah menimbulkan potensi adanya
penggelembungan keanggotaan dengan cara mencetak kartu tanda anggota tanpa
adanya terlebih dahulu surat permohonan keanggotaan dan pekerja yang
bersangkutan;
52. Pemohon memandang perlu bahwa ketentuan perundang-undangan tidak boleh
membatasi mekanisme dan tata cara proses verifikasi keanggotaan hanya
berdasarkan kartu anggota saja, sehingga perlu diberikan kesempatan bahwa
18
V. Petitum
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional;
Oleh karena itu menurut UU 24/2003, agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) dan Penjelasan UU 24/2003 yang dianggapnya telah dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat dari
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1)
UU 24/2003, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)
21
dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon;
Bahwa walaupun Pemohon sudah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasannya UU 24/2003, namun berdasarkan batasan kerugian konstitusional
yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR berpendapat
bahwa pada kenyataannya tidak terdapat kerugian konstitusional ataupun berpotensi
menimbulkan kerugian terhadap Pemohon oleh berlakunya ketentuan Pasal 120
ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan adanya kerugian
konstitusional yang nyata-nyata telah terjadi ataupun kerugian potensial yang akan
dialami Pemohon, oleh karena justru pada kenyataannya Pemohon masih tetap
memperoleh kebebasan berserikat dan berorganisasi dalam serikat pekerja/serikat
buruh yang diwakilinya, sesuai Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945., sehingga ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo tidak
menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon dalam memperoleh
kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengeluarkan pendapat;
2. Bahwa ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo sebagaimana
didalilkan oleh Pemohon, menurut DPR tidak mencerminkan pengaturan yang
22
bersifat diskriminatif karena ketentuan a quo berlaku untuk semua serikat pekerja/
serikat buruh yang terdapat pada semua perusahaan. Hal ini justru sesuai dengan
maksud dan tujuan untuk melaksanakan prinsip anti diskriminasi sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang a quo yang berbunyi, "Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha", dan
penjelasannya menyatakan, "Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban
pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan
aliran politik";
5. Bahwa pengujian Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003, sebelumnya
pernah dilakukan pengujian dalam perkara Nomor 12/PUU-I/2003, dengan alasan
konstitusional yang pada pokoknya "membatasi kebebasan berserikat para
pekerja/buruh". Bahwa menurut ketentuan Pasal 60 UU 24/2003 yang menyatakan,
”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”;
ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana disyaratkan Pasal 51 ayat (1) UU
24/2003 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007 terdahulu;
Dengan demikian DPR memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang terhormat secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun jika
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan
Keterangan DPR mengenai materi pengujian UU 13/2003 terhadap UUD 1945;
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih
dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi yang terdahulu;
Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian, apabila
Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut disampaikan penjelasan Pemerintah
atas permohonan a quo, sebagai berikut:
2. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan dipertegas dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003) bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final, sehingga terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh;
29
2. Bahwa apabila di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan tiap-tiap serikat pekerja/serikat buruh secara sendiri-sendiri melakukan
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan maka di
31
perusahaan tersebut akan terdapat lebih dari 1 (satu) perjanjian kerja bersama.
Sehingga dengan demikian kemungkinan akan terjadi perbedaan syarat kerja dan hal
ini bertentangan dengan prinsip anti diskriminasi sebagaimana dianut dalam
ketentuan Pasal 6 UU 13/2003;
3. Karena itu, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 119 dan Pasal 120 UU 13/2003
yang mengatur sistem keterwakilan yang mayoritas yang mewakili serikat pekerja/
serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama, telah sejalan dengan
prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung dalam Pasal 28 UUD dan terhadap
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh yang tidak mewakili serikat
pekerja/serikat buruh dalam perundingan perjanjian kerja bersama, dapat/
dimungkinkan untuk duduk dalam tim perundingan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 120 ayat (3) UU 13/2003;
Kesimpulan
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka
segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya
disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076,
selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah
adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
34
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi;
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
- ... dst;
- Pasal 120 UU Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa apabila dalam satu
perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja, maka yang berhak
mewakili buruh/pekerja dalam melakukan perundingan PKB adalah yang memiliki
anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaan. Jikalau
tidak, maka serikat buruh/serikat pekerja dapat bergabung membentuk koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% dari seluruh jumlah buruh/pekerja di
perusahaan tersebut. Jikalau hal tersebut tidak terpenuhi juga, maka seluruh serikat
buruh/serikat pekerja bergabung membentuk tim yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
buruh/serikat pekerja;
- Pasal 121 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotaan serikat buruh/
serikat pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota;
- Ketentuan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28 UUD
1945 yang membatasi hak serikat buruh/serikat pekerja untuk membuktikan
43
keberadaan anggotanya dengan mewajibkan adanya kartu tanda anggota. Hal ini
tentu saja amatlah merugikan serikat buruh/serikat pekerja. Dalam situasi serikat
buruh/serikat pekerja di Indonesia kini yang baru saja bertumbuh dan berkembang,
pembatasan cara pembuktian keanggotaan serikat buruh/serikat pekerja hanya
dengan adanya kartu tanda anggota tentulah akan juga membatasi keleluasaan
serikat buruh/serikat pekerja untuk mendapatkan hak untuk beraktivitas, termasuk
hak untuk melakukan perundingan PKB”;
- ... dst;
[3.13.3] bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon memohon pengujian Pasal 120
ayat (1) dan Pasal 121 UU 13/2003 dengan dalil bertentangan dengan Pasal 28, Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
[3.13.5] bahwa Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005 menyatakan, “Permohonan pengujian
undang-undang terhadap muatan ayat, pasal dan atau bagian yang sama dengan
perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali
dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda”;
[3.13.6] bahwa pokok permohonan para Pemohon dalam Perkara Nomor 12/PUU-
I/2003, adalah pengujian formil dan pengujian materil atas UU 13/2003. Mengenai
pengujian formil para Pemohon tersebut mempersoalkan adanya pelanggaran prinsip-
prinsip dan prosedur penyusunan dan pembuatan sebuah Undang-Undang yang patut
dan Undang-Undang tersebut dibuat semata-mata karena tekanan kepentingan modal
asing daripada kebutuhan nyata buruh/pekerja Indonesia. Sedangkan mengenai
pengujian materiil, para Pemohon dalam Perkara Nomor 12/PUU-I/2003
mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 76, Pasal 106,
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 140, Pasal 141, Pasal
158, Pasal 170, dan Pasal 186 UU 13/2003 yang menurut para Pemohon bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, dan Pasal 33 UUD 1945. Khusus mengenai Pasal
120 dan Pasal 121 UU 13/2003, para Pemohon beralasan bahwa: (i) ketentuan
44
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”;
Tentang Pasal 121 UU 13/2003 yang menyatakan, “Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota”, merugikan hak konstitusional Pemohon
karena: (i) tidak dapat menggunakan metode lain yang dapat menunjukkan
keanggotaan secara akurat, dipercaya, dan dapat diandalkan dalam proses verifikasi
serikat pekerja dalam perusahaan; (ii) verifikasi berdasarkan fotokopi kartu tanda
anggota saja tanpa disertai adanya mekanisme yang terbuka dengan menggunakan
daftar dan hasil verifikasi keanggotaan serikat pekerja kepada seluruh pekerja yang
ada di dalam perusahaan; (iii) verifikasi dengan hanya menggunakan fotokopi kartu
tanda anggota, rentan akan adanya proses manipulasi atau penggelembungan jumlah
keanggotaan karena proses pembuatan kartu tanda anggota dapat dilakukan dengan
mudah; (iv) mekanisme verifikasi secara transparan dan terbuka, serta menggunakan
media yang ada di dalam perusahaan seperti e-mail, website, dan media komunikasi
yang sejenisnya untuk konfirmasi keanggotaan serikat pekerja lebih sesuai dengan
prinsip Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”;
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945).
Keberadaan sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam sebuah perusahaan menjadi tidak bermakna
dan tidak bisa mencapai tujuannya dalam sebuah perusahaan serta tidak dapat
memperjuangkan haknya secara kolektif sebagaimana tujuan pembentukannya,
apabila serikat pekerja/serikat buruh tersebut sama sekali tidak memiliki hak untuk
menyampaikan aspirasi, memperjuangkan hak, kepentingan serta melindungi
anggotanya karena tidak terlibat dalam menentukan PKB yang mengikat seluruh
pekerja/buruh dalam perusahaan. PKB adalah suatu perjanjian yang seharusnya
mewakili seluruh aspirasi dan kepentingan dari seluruh buruh/pekerja baik yang
tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota mayoritas
maupun serikat pekerja yang memiliki anggota tidak mayoritas. Mengabaikan aspirasi
minoritas karena dominasi mayoritas adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
negara berdasarkan konstitusi yang salah satu tujuannya justru untuk memberikan
persamaan perlindungan konstitusional, baik terhadap mayoritas maupun aspirasi
minoritas;
[3.15.4] bahwa sesuai ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang a quo, jika
dalam suatu perusahaan ada serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki lebih dari
50% anggota dari seluruh jumlah pekerja/buruh dalam perusahaan itu, maka hanya
serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% itu yang berhak
mewakili seluruh pekerja dalam perusahaan untuk melakukan perundingan dengan
pengusaha. Berdasarkan ketentuan tersebut, serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya kurang dari 50% (misalnya dengan jumlah 49% dari seluruh pekerja di
suatu perusahaan) dapat tidak terwakili hak dan kepentingannya dalam perundingan
dengan pengusaha untuk membuat PKB. Dengan demikian, keberadaan serikat
pekerja/serikat buruh yang anggotanya kurang dari 50% menjadi tidak bermakna dan
tidak dapat memperjuangkan hak dan kepentingan serta tidak dapat melindungi
pekerja/buruh yang menjadi anggotanya, yang justru berlawanan dengan tujuan
dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh yang keberadaannya dilindungi oleh
konstitusi. Demikian juga dengan ketentuan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang a quo
yang menentukan bahwa hanya gabungan dari serikat pekerja/serikat buruh yang
memiliki anggota lebih dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam suatu perusahaan
48
yang dapat melakukan perundingan dengan pengusaha jika tidak ada satu pun serikat
pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50%. Berdasarkan ketentuan
tersebut, sebuah atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota
kurang dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam suatu perusahaan (misalnya
memiliki anggota 49%) menjadi sama sekali tidak terwakili hak dan kepentingannya
dalam PKB;
[3.15.5] bahwa menurut Mahkamah ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang a quo, setidaknya dapat menimbulkan tiga persoalan konstitusional
yang terkait langsung dengan hak-hak konstitusional seseorang yang dijamin dan
dilindungi oleh konstitusi, yaitu: i) menghilangkan hak konstitusional serikat
pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan haknya secara kolektif mewakili
pekerja/buruh yang menjadi anggotanya dan tidak tergabung dalam serikat pekerja
mayoritas; ii) menimbulkan perlakuan hukum yang tidak adil dalam arti tidak
proporsional antara serikat pekerja/serikat buruh yang diakui eksistensinya menurut
peraturan perundang-undangan, dan iii) menghilangkan hak pekerja/buruh yang tidak
tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh mayoritas untuk mendapat perlindungan
dan perlakuan hukum yang adil dalam satu perusahaan. Hak dan kewenangan
konstitusional tersebut hanya akan terjamin jika seluruh serikat pekerja/serikat buruh
diberikan kesempatan yang sama secara adil dan proporsional untuk ikut melakukan
perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan;
pekerja yang anggotanya kurang dari 50% (lima puluh perseratus) menjadi tidak
terwakili;
maka Mahkamah juga harus menilai dan mempertimbangkan Pasal 120 ayat (3)
sebagai satu rangkaian dan kesatuan yang utuh dengan ketentuan Pasal 120 ayat (1)
dan ayat (2);
[3.22] Menimbang bahwa meskipun hak berserikat dan berkumpul dijamin oleh
ketentuan di dalam UUD 1945 dan para serikat perkerja/serikat buruh berhak terwakili
secara proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha serta
mengingat substansi dari PKB itu sendiri, tetapi agar tidak secara berkelebihan
mendorong timbulnya serikat pekerja/serikat buruh yang tidak proporsional yang dapat
menghambat terjadinya kesepakatan dalam perundingan antara serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha, Mahkamah berpendapat, jumlah serikat pekerja/serikat
53
buruh yang berhak mewakili dalam suatu perusahaan harus dibatasi secara wajar atau
proporsional yaitu maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari
seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan. Pembatasan tersebut dapat
dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang dalam konteks
ini Mahkamah membatasinya dalam bentuk negative legislature;
adalah salah satu bukti secara administrasi keanggotaan seseorang. Dalam sistem
administrasi, semua kegiatan dan bidang hukum menggunakan kartu tanda anggota.
Beberapa contoh di antaranya, Korps Pegawai Negeri Sipil (Korpri), kartu tanda
peserta asuransi kesehatan (Askes), kartu tanda anggota TNI atau anggota Kepolisian
RI (Polri) bahkan seluruh rakyat Indonesia yang sudah mencapai umur tertentu
menggunakan kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan pandangan tersebut,
Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 121 UU 13/2003 tidak cukup
mendasar dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945;
4. KONKLUSI
[4.3] Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
adalah bertentangan dengan UUD 1945;
[4.4] Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai
sebagaimana dalam amar putusan ini;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
• Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
• Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat
pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya
ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-
masing serikat pekerja/serikat buruh”, dan
ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan
terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat
pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan
dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat
pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah
anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang
ada dalam perusahaan”;
56
• Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat;
• Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
ii) ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih
dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang
berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
KETUA,
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi Hamdan Zoelva
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Sunardi
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
3 Nopember 2010
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : SE.246/MEN/PHIJSK-KPHI/XI/2010
TENTANG
PENCABUTAN SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA NOMOR : SE.304/MEN/PHI-KPHI/VII/2008 TENTANG
PELAKSANAAN PENGOPTIMALAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN WAKTU
KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA DAN BALI
1. Bagi perusahaan yang telah melakukan pengalihan waktu kerja dan istirahat mingguan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Perindustrian, Menteri Energi Dan
Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 47/M-IND/PER/7/2008,
Nomor 23 Tahun 2008, Nomor Per.13/MEN/VII/2008, Nomor 35 Tahun 2008,
Nomor PER-03/MBU/08 tentang Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu
Kerja pada Sektor Industri di Jawa-Bali dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor : SE.304/MEN/PHI-KPHI/VII/2008 dapat menerapkan kembali waktu
kerja dan waktu istirahat mingguan seperti semula.
2. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini maka
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : SE.304/MEN/PHI-
KPHI/VII/2008 tentang Pelaksanaan Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan
Waktu Kerja pada Sektor Industri di Jawa dan Bali dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama yang baik, kami ucapkan terima
kasih
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,
ttd
Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Wakil Presiden Republik Indonesia;
3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;
4. Ketua Umum DPN Apindo;
5. Ketua Umum DPP Konfederasi SP/SB.
PUTUSAN
Nomor 27/PUU-IX/2011
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini, bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas
Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML), jabatan: Ketua Umum Dewan Pimpinan
Pusat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 30 April 2011, memberi kuasa kepada
Dwi Hariyanti, S.H., Advokat dan Penasihat Hukum pada kantor Advokat dan Penasihat
Hukum “Dwi Hariyanti, S.H., & Rekan”, beralamat di Jalan Karangrejo VIII Nomor 20
Surabaya, bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
2. DUDUK PERKARA
1. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi
berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar” dan hal tersebut ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
2. Bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyatakan bahwa Undang-
Undang yang dapat diuji adalah Undang-Undang yang diundangkan setelah
perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober 1999.
diperolehnya dari pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang adil dan
Iayak yang harus diterima dalam hubungan kerja.
6. Dalam relasi perburuhan/ketenagakerjaan dan dalam hubungan kerja,
buruh/pekerja senantiasa berada pada posisi yang Iemah, karenanya
sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang harus dibangun di negara
ini adalah sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi
(protektif) terhadap buruh/pekerja.
7. Dalam hal ini pemerintah harus dapat memainkan peran untuk menjamin
perlindungan terhadap buruh/pekerja, dengan secara aktif terlibat dalam isu
perburuhan/ketenagakerjaan dan melalui Undang-Undang
Perburuhan/Ketenagakerjaan. Namun sayang, kenyataannya, kebijakan
legislasi yang protektif terhadap buruh/pekerja tidak tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama
Pasal 59 dan Pasal 64 bahkan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
8. Bahwa sudah berkali-kali ribuan aktivis buruh/pekerja, serikat buruh/
pekerja, organisasi non pemerintah perburuhan dan aliansi-aliansi
perburuhan di berbagai tempat di Indonesia melakukan aksi menolak
adanya perjanjian kerja untuk waktu tertentu pekerja kontrak (pekerja
kontrak) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dan penyerahan sebagaian pekerjaan kepada perusahaan lain
(outsourcing) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.
Kerja Waktu Tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak.
7. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan adanya dua macam
outsourcing, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh
pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh
perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan,
konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan
pada sub contractor. Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang di
subkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Disitulah sub
contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan
oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub
contractornya dengan pekerjanya.
8. Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal ini memaksakan adanya
hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan
pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja
yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa
pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum.
9. Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, karena di sini perusahaan
penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user.
Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual
manusia.
10 Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia yang harus
dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah
untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja
hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak yang
dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga
perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta alasan di atas, jelas bahwa permohonan ini
disampaikan secara menyakinkan dan patut, karena berangkat dari
keprihatinan nyata sebagian besar buruh/pekerja maupun, sehingga patut
9
Ayat (3): “Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum”.
Ayat (4): “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Ayat (5): “Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
diatur pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri”.
Ayat (6): “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis
antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya”.
Ayat (7): “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59”.
Ayat (8): “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan”.
Ayat (9): “Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan
kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7)”.
4. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ayat (1): “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”.
12
Ayat (2): “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Ayat (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan”.
Ayat (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
5. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan".
6. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
7. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
13
VI. PETITUM
[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah didengar
opening statement Pemerintah yang menerangkan sebagai berikut:
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing), atau tidak atas berlakunya Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, sebagaimana
yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu, dalam hal ini Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007.
Bahwa peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu tidak hanya
dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah bekerja, tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
Hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, yang umum dikenal
dengan outsourcing, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 serta Pasal 64 Undang-
Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi
seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, juga dalam rangka
memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam
hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang
dilaksanakannya.
Sehingga dengan diterapkannya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT), dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau
outsourcing adalah bagi pekerja outsourcing akan menggunakan seluruh
kemampuannya dalam bekerja. Dengan adanya outsourcing, maka mereka akan
mendapatkan suatu keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya. Dan jika
telah memiliki kemampuan tersebut, maka pekerja akan menambah kemampuan
mereka dengan bekerja di outsourcing. Pekerjaan tersebut akan menjadi lebih
16
bermanfaat, jika pekerjanya mampu menangkap ilmu yang mereka dapat dari
perusahaan penerima.
Kemudian, mereka mengembangkan keterampilan tersebut untuk
menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan. Sebelum mendapatkan
pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing akan membantu tenaga kerja yang
belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan-perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Selain hal
tersebut, Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur
jenis dan sifat pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala
aturan-aturan dalam menerapkan sebuah pekerjaan untuk waktu tertentu, dan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Terhadap anggapan
Pemohon yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon menurut Pemerintah
adalah tidak benar.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Majelis Mahkamah Konstitusi yang mengadili dapat memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima.
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
3. Menyatakan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
I. Pokok Permohonan
1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi
Nomor 547.27/PAN.MK/V/2011, para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65
17
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk
diuji tersebut di atas telah menimbulkan kekhawatiran, kecemasan terhadap
Pemohon dalam rangka memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang Iayak yang
pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi Pemohon, yang
berdampak pada pertumbuhan perekonomian yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Menurut Pemerintah adalah tidak tepat dan hanya berdasarkan
asumsi-asumsi semata yang berlebihan, karena pada kenyataannya pekerja/buruh
dalam melakukan hubungan kerja didasari oleh kesepakatan bersama yang
dilakukan secara sukarela berdasarkan perjanjian keperdataan. Apabila dalam
perjanjian keperdataan tersebut terdapat satu peristiwa hukum berupa mengingkari
atau wanprestasi, maka penyelesaiannya melalui lembaga peradilan yang
tersedia.
Menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah merupakan
rangkaian aturan yang mendasari mekanisme penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan Iainnya (dikenal dengari istilah outsourcing),
sehingga jika ketentuan yang dimohon untuk diuji tersebut dikabulkan, maka justru
akan menimbulkan kerugian konstitusionalitas terhadap seluruh pekerja/buruh
termasuk Pemohon itu sendiri.
Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah
terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak
terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, karena itu kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.
20
Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian, apabila Ketua/Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
berikut disampaikan penjelasan Pemerintah atas permohonan a quo, sebagai
berikut:
Sehubungan permohonan pengujian ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan:
Pasal 59 ayat (1)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan”.
Ayat (4)
“Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”
Ayat (5)
“Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan”.
Ayat (6)
“Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”.
Ayat (7)
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentt an
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.
Ayat (8)
“Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri”.
Pasal 64:
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
Pasal 65:
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
22
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud
pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perse!isihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Ketentuan pasal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945:
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan".
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945:
"Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
24
Pemohon tidak akan terjadi. Dengan perkataan lain menurut Pemerintah apa yang
dialami oleh Pemohon dengan pihak perusahaan tempat Pemohon bekerja
semata-mata terkait dengan praktik hubungan kerja dan bukan masalah
konstitusionalitas norma ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo tersebut.
Pemerintah dapat menyampaikan bahwa karakteristik dan sifat suatu pekerjaan
ada yang bersifat continue dan ada yang bersifat temporer, sehingga hubungan
kerjapun ada yang bersifat tetap (PKWTT) dan ada yang bersifat sementara
(PKWT), karenanya terhadap keduanya tidak dapat saling menghilangkan dan
tidak dapat dipersamakan satu dengan lainnya, sehingga menurut Pemerintah
apabila anggapan Pemohon tersebut dianggap benar adanya, quod non, dan
permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menurut Pemerintah
dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengaburkan sistem hubungan kerja yang selama ini telah dikenal dan
berjalan sesuai dengan karakteristik dan sifat pekerjaan (pekerjaan yang bersifat
permanen dan pekerjaan yang bersifat temporer).
2. Dapat mengganggu iklim dunia usaha dan investasi khususnya usaha
mikro, kecil dan menengah, karena pada umumnya jenis usaha ini sifatnya
musiman dan jangka pendek.
Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat konstitusi khususnya yang
terkait dengan hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang layak, karena itu ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, juga tidak
merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
2. Terhadap ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang a
quo, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa terhadap materi pengujian ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan, telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi
dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon (vide Putusan Nomor
012/PUU-I/2003, atas permohonan pengujian yang diajukan oleh Saepul Tavip,
dan kawan-kawan).
Sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, bahwa terhadap materi muatan, bagian pasal, maupun ayat
26
persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan
Putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
Pokok Permohonan
jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai buruh/pekerja tetap, yang dengan demikian amat
potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia,
sehingga bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti
tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan pada
persidangan tanggal 6 Juli 2011 telah menghadirkan saksi Pemohon yang
bernama Moh. Fadlil Alwi dan Moh. Yunus Budi Santoso, yang selengkapnya
termuat dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan bahwa
pekerjaan pembaca meteran yang dilakukan secara terus-menerus, dilakukan
dalam waktu tertentu dan berkesinambungan yang dulunya memakai sistem
kontrak (outsourcing), setelah pindah pekerjaan ke perusahaan lainnya
pengalaman kerjanya tidak dihitung sehingga gajinya menjadi turun;
Pendapat Mahkamah
Dalam praktik, ada beberapa jenis pekerjaan yang termasuk kriteria disebut di atas
dengan alasan efisiensi bagi suatu perusahaan dan keahlian suatu pekerjaan
tertentu lebih baik diserahkan untuk dikerjakan oleh perusahaan/pihak lain, antara
lain pekerjaan bangunan, buruh karet, penebang tebu (musiman), konsultan,
ataupun kontraktor. Terhadap jenis pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh
menghadapi resiko berakhir masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah
selesai, dan harus mencari pekerjaan baru. Pada sisi lain, bagi pengusaha pemilik
pekerjaan akan lebih efisien dan tidak membebani keuangan perusahaan apabila
jenis pekerjaan demikian tidak dikerjakan sendiri dan diserahkan kepada pihak lain
yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tersebut, sehingga perusahaan
hanya fokus pada jenis pekerjaan utamanya (core business). Bagi pengusaha atau
perusahaan yang mendapatkan pekerjaan yang memenuhi kriteria tersebut dari
perusahaan lain, juga menghadapi persoalan yang sama dalam hubungannya
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya dalam jenis pekerjaan yang sifatnya
sementara dan dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan jenis pekerjaan yang
demikian, wajar bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan pekerja/buruh,
karena tidak mungkin bagi pengusaha untuk terus memperkerjakan pekerja/buruh
tersebut dengan tetap membayar gajinya padahal pekerjaan sudah selesai
dilaksanakan. Dalam kondisi yang demikian pekerja/buruh tentu sudah harus
memahami jenis pekerjaan yang akan dikerjakannya dan menandatangani PKWT
yang mengikat para pihak. Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata, yang mewajibkan para pihak yang menyetujui dan
menandatangani perjanjian untuk menaati isi perjanjian dalam hal ini PKWT. Untuk
melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah karena
banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat penting
untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
a quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat
pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagi pula,
jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu
merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma
yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian
menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945;
39
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU 13/2003, suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu. Dalam praktik, jenis pekerjaan
demikian disebut “pekerjaan outsourcing”, dan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing disebut “perusahaan outsourcing” dan pekerja/buruh yang
melaksanakan pekerjaan demikian disebut “pekerja outsourcing”. Berdasarkan
UU 13/2003 a quo ada dua jenis pekerjaan outsourcing yaitu outsourcing
sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan
outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana permasalahan di atas.
Pasal 65 Undang-Undang a quo, mengatur syarat-syarat penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing dan Pasal 66 Undang-
Undang a quo mengatur outsourcing penyediaan jasa pekerja/buruh. Pekerjaan
yang diserahkan dengan cara outsourcing menurut Pasal 65 Undang-Undang
a quo harus memenuhi syarat: (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan; (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
dan (iv) tidak menghambat proses produksi secara langsung. Suatu perusahaan
hanya dapat menyerahkan pekerjaan yang demikian kepada perusahaan lain
yang berbentuk badan hukum dan harus dilakukan secara tertulis. Untuk
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh, Pasal 65 ayat (4) Undang-
Undang a quo menegaskan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan outsourcing sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan outsourcing dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya, baik berdasarkan PKWT apabila memenuhi persyaratan Pasal
59 Undang-Undang a quo maupun berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Jika syarat-syarat penyerahan sebagian pekerjaan tersebut tidak
terpenuhi maka status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
40
produksi”;
serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan
bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to
protect the workers/laborers terabaikan;
berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang
lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan
melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis
tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh
untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi
hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu
menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini
ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak
pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing
tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE)
yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing
berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-
haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing. Dalam praktik, prinsip tersebut telah diterapkan dalam
hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal suatu perusahaan diambil alih oleh
perusahaan lain. Untuk melindungi hak-hak para pekerja yang perusahaannya
diambil alih oleh perusahaan lain, hak-hak dari pekerja/buruh dari perusahaan
yang diambil alih tetap dilindungi. Pengalihan perlindungan pekerja/buruh
diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-
wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip
pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi
memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada
45
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
• Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa
“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam
47
KETUA,
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
td
Achmad Sodiki Hamdan Zoelva
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Eddy Purwanto
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
1 2
adilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara UNDANG-UNDANG DASAR
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan ber-
dasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan BAB I
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan BENTUK DAN KEDAULATAN
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusya-
waratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Ke- Pasal 1
adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berben-
tuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakil-
an Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan di-
atur lebih lanjut dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya
sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat dite-
tapkan dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
3 4
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
dan/atau Wakil Presiden./
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat member- Pasal 6A
hentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasang-
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar./ an secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
BAB III oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
Pasal 4 (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang men-
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pe- dapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
merintahan menurut Undang-Undang Dasar. suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
satu orang Wakil Presiden. lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 5 (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk men- umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
jalankan undang-undang sebagaimana mestinya. yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 6 (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehen- Pasal 7
daknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil
5 6
Pasal 7A pada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan
Presiden dan/atau Wakil Presiden. puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat
itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 7B (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden,
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Permusyawaratan Rakyat.
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menye-
Presiden dan/atau Wakil Presiden. lenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul
hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi tersebut.
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus
Perwakilan Rakyat. diambil dalam rapat paripurna Majelis
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat ke- Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-
7 8
kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat berakhir masa jabatannya.
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 9
Pasal 7C (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji
Dewan Perwakilan Rakyat. dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Pasal 8 Rakyat sebagai berikut :
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewa-
habis masa jabatannya. jiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat- Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
diusulkan oleh Presiden. Bangsa.”
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban- Janji Presiden (Wakil Presiden) :
nya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelak- “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan
sana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-
bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menye- Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang
lenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau (2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan
9 10
Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain
hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Per-
dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung. wakilan Rakyat.
Pasal 10 Pasal 14
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mem-
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. perhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memper-
Pasal 11 hatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanji- Pasal 15
an dengan negara lain. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan Pasal 16
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang
perubahan atau pembentukan undang-undang harus bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional undang.
diatur dengan undang-undang.
Pasal 12 BAB IV
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang- Dihapus.
undang.
Pasal 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
11 12
BAB V (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
KEMENTERIAN NEGARA luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pasal 17 Pusat.
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksana-
Presiden. kan otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
pemerintahan. daerah diatur dalam undang-undang.
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kemen-
terian negara diatur dalam undang-undang. Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
BAB VI pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
PEMERINTAHAN DAERAH atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan ke-
Pasal 18 khususan dan keragaman daerah.
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
diatur dengan undang-undang. undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerin- Pasal 18B
tahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang istimewa yang diatur dengan undang-undang.
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembang-
dipilih secara demokratis. an masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
13 14
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. diundangkan.
15 16
Pasal 22A ber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
undang-undang diatur dengan undang-undang. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
Pasal 22B hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
dalam undang-undang. perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
BAB VIIA Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
DEWAN PERWAKILAN DAERAH pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
Pasal 22C agama.
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan peng-
provinsi melalui pemilihan umum. awasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
dalam setahun. menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
diatur dengan undang-undang. ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan
Pasal 22D dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada diatur dalam undang-undang.
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pengga-
bungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sum-
17 18
BAB VIIB kemakmuran rakyat.
PEMILIHAN UMUM (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
Pasal 22E bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperha-
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, tikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
sekali. rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan lalu.
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Pasal 23A
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
Rakyat Daerah adalah partai politik. keperluan negara diatur dengan undang-undang.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Pasal 23B
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan undang.
mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur Pasal 23C
dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan
undang-undang.
BAB VIII
HAL KEUANGAN Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedu-
Pasal 23 dukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud diatur dengan undang-undang.
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
19 20
BAB VIIIA BAB IX
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
21 22
oleh hakim agung. pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara menurut Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
diatur dengan undang-undang. anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden,
yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Pasal 24B Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang meng- Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
usulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan dari dan oleh hakim konstitusi.
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepri-
hakim. badian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki merangkap sebagai pejabat negara.
integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial Pasal 25
diatur dengan undang-undang. Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan
sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada BAB IXA
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat WILAYAH NEGARA
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Pasal 25A
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan undang.
23 24
BAB XA
BAB X HAK ASASI MANUSIA
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Pasal 28A
Pasal 26 Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper-
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa tahankan hidup dan kehidupannya.
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pasal 28B
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
yang bertempat tinggal di Indonesia. melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dengan undang-undang. dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Pasal 28C
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui peme-
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan peng- pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
hidupan yang layak bagi kemanusiaan. pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejah-
upaya pembelaan negara. teraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
Pasal 28 memperjuangkan haknya secara kolektif untuk memba-
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan ngun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang. Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin-
dungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
25 26
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
hubungan kerja. atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
yang sama dalam pemerintahan. perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
27 28
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat BAB XI
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak AGAMA
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu. Pasal 29
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
peradaban. untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. BAB XII
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia PERTAHANAN
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, DAN KEAMANAN NEGARA
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,
dan dituangkan dalam peraturan perundang- Pasal 30
undangan. (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 28J (2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
berbangsa, dan bernegara. Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama,
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi keutuhan dan kedaulatan negara.
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
dalam suatu masyarakat demokratis. masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,
29 30
Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewe- Pasal 32
nangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta nilai-nilai budayanya.
hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
diatur dengan undang-undang. sebagai kekayaan budaya nasional.
31 32
Pasal 34 Pasal 36C
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan
oleh negara. Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi undang-undang.
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat BAB XVI
kemanusiaan. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang Pasal 37
layak. (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permu-
diatur dalam undang-undang. syawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permu-
BAB XV syawaratan Rakyat.
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang
SERTA Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan
LAGU KEBANGSAAN**) jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasan-
nya.
Pasal 35 (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar,
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Pasal 36 Permusyawaratan Rakyat.
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurang-
Pasal 36A nya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Bhinneka Tunggal Ika. (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
33 34
ATURAN PERALIHAN ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.
Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.
Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
ATURAN TAMBAHAN
Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan
pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun
2003.
Pasal II
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar
35 36
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Tentang
Kemerdekaan Meny
a mpaikan Pendapat
Di Muka Umum
Menetapkan: MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
2. Di muka umum adalah di hadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di
tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.
3. Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau
lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara
demonstratif dimuka umum.
6. Mimbar bebas adalah kegiatan peny a mpaian pendapat di muka umum yang
dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.
PASAL 2
(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 3
Pasal 4
a. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksana hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
BAB III
Pasal 5
Pasal 6
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.
Pasal 8
BAB IV
Pasal 9
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok.
4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. waktu dan lama;
d. bentuk;
e. penanggung jawab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta;
Pasal 12
(1) Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasa! 6, Pasal 9, dan
Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman,
tertib, dan damai;
(2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi
dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.
Pasal 13
Pasal 14
BAB V
SANKSI
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak
warga negara untuk menyampaikan pendapatdi muka umum yang telah memenuhi
ketentuan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tangga! diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Ttd
Diundangkan di Jakarta
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
AKBAR TANJUNG
Umum
Menyampaikan pendapat di muka umum mempak an salah satu hak asasi manusia yang
dijamin dalam Pasal 28 Undang-UndangDasar 1945 yang berbunyi: "Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".
Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara
lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan
kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan
atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari
proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakkan hukum sehingga tidak
menciptakan disintegrasi sosial, tetapi ju
s tru harus dapat menjamin rasa aman dalam
kehidupan masyarakat.
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata
pada pembatasan yang ditentukan oleh Undang Undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain,
dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta
kesejahteraan umum dalam suat u masyarakat yang demokratis;
3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan
dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur
hukum, sarana dan prasarana hukum, buday a hukum dan hak asasi manusia,
pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkannya dalam bentuk sikap politik
yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi
kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan :
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam
berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal2
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Adapun yang dimaksud dengan "dan sebagainya" antara lain: sikap membisu dan
mogok makan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala
kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh
warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika
individual, etika sosial, dan etika institusional.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Huruf a
Huruf b
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan "menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain" adalah ikut
memelihara dan menjaga hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan
damai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum" adalah
mengindahkan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam kehidupan
masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum"
adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya bahaya bagi ketentraman dan
keselamatan umum, baik yang meny
angkut orang, barang maupun kesehatan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa" adalah
perbuatan yang dapat mencegah timbulnya permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan dalam masyarakat.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pasal 8
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana
presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "instalasi militer" meliputi radius 150 meter dari pagar luar.
Pengecualian untuk "obyek-obyek vital nasional" meliputi radius 500 meter dari pagar
luar.
Huruf b
1. Tahun Baru;
4. Isra Mi'raj;
10. 1 Muharam;
12. 17Agustus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Polri setempat" adalah satuan Polri terdepan dimana kegiatan
penyampaian pendapat akan dilakukan apabila kegiatan dilaksanakan pada :
d. 2 (dua) propinsi atau lebih, pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tempat" dalam Pasal ini adalah tempat peserta berkumpul dan
berangkat ke lokasi.
Yang dimaksud dengan "lokasi" dalam Pasal ini adalah tempat penyampaian pendapat
di muka umum.
Yang dimaksud dengan "rute" dalam Pasal ini adalah jalan yang dilalui oleh peserta
penyampaian pendapatdi muka umum dari tempat berkumpul dan berangkat sampai di
lokasi yang dituju dan atau sebaliknya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bentuk" adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat
(1).
Huruf e
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal13
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Kewajiban dan tanggung jawab yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, b, d, dan e
adalah kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan "sanksi hukum" adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum
perdata, atau sanksi administrasi. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan
perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan "melakukan tindak pidana" dalam Pasal ini adalah termasuk
perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan
kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja
pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
2. Sistem . . .
- 2 -
2. Sistem Pelatihan Kerja Nasional yang selanjutnya disingkat
Sislatkernas, adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai
komponen pelatihan kerja untuk mencapai tujuan pelatihan
kerja nasional.
3. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan
hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja.
4. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap
kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
5. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif
melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia, Standar Internasional dan/atau Standar
Khusus.
7. Sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang
diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang
menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi
kerja tertentu sesuai dengan SKKNI.
8. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan di berbagai sektor.
9. Pelatihan berbasis kompetensi kerja adalah pelatihan kerja
yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja
yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai
dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
10. Akreditasi adalah proses pemberian pengakuan formal yang
menyatakan bahwa suatu lembaga telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan kerja.
11. Pemerintah . . .
- 3 -
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Sislatkernas bertujuan untuk :
a. mewujudkan pelatihan kerja nasional yang efektif dan efisien
dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga kerja;
b. memberikan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan,
pembinaan, dan pengendalian pelatihan kerja;
c. mengoptimalkan pendayagunaan dan pemberdayaan seluruh
sumber daya pelatihan kerja.
BAB III
PRINSIP DASAR PELATIHAN KERJA
Pasal 3
Prinsip dasar pelatihan kerja adalah :
a. berorientasi pada kebutuhan pasar kerja dan pengembangan
SDM;
b. berbasis pada kompetensi kerja;
c. tanggung jawab bersama antara dunia usaha, pemerintah,
dan masyarakat;
d. bagian dari pengembangan profesionalisme sepanjang hayat;
dan
e. diselenggarakan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif.
BAB IV . . .
- 4 -
BAB IV
PROGRAM PELATIHAN KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Program pelatihan kerja disusun berdasarkan SKKNI,
Standar Internasional dan/atau Standar Khusus.
(2) Program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat disusun secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Program pelatihan kerja yang disusun secara berjenjang
mengacu pada jenjang KKNI.
(4) Program pelatihan kerja yang tidak berjenjang disusun
berdasarkan unit kompetensi atau kelompok unit
kompetensi.
Bagian Kedua
KKNI
Pasal 5
(1) Dalam rangka pengembangan kualitas tenaga kerja
ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang
kualifikasi kompetensi kerja dari yang terendah sampai
yang tertinggi.
(2) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 9
(sembilan) jenjang yang dimulai dengan kualifikasi sertifikat
1 (satu) sampai dengan sertifikat 9 (sembilan).
(3) KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 6
Bagian Ketiga . . .
- 5 -
Bagian Ketiga
SKKNI
Pasal 7
(1) SKKNI disusun berdasarkan kebutuhan lapangan usaha
yang sekurang-kurangnya memuat kompetensi teknis,
pengetahuan, dan sikap kerja.
(2) SKKNI dikelompokkan ke dalam jenjang kualifikasi dengan
mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan.
(3) Pengelompokkan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan pekerjaan, sifat
pekerjaan, dan tanggung jawab pekerjaan.
(4) Rancangan SKKNI dibakukan melalui forum konvensi antar
asosiasi profesi, pakar dan praktisi untuk sektor, sub
sektor dan bidang tertentu dan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 8
SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) menjadi
acuan dalam penyusunan program pelatihan kerja dan
penyusunan materi uji kompetensi.
BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 9
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan dengan metode pelatihan
kerja yang relevan, efektif, dan efisien dalam rangka
mencapai standar kompetensi kerja.
(2) Metode pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pelatihan di tempat kerja dan/atau pelatihan
di lembaga pelatihan kerja.
(3) Metode pelatihan di tempat kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat diselenggarakan dengan pemagangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10 . . .
- 6 -
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan pelatihan kerja harus didukung dengan
sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk
menjamin tercapainya standar kompetensi kerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan pelatihan kerja harus didukung dengan
tenaga kepelatihan yang memenuhi persyaratan kualifikasi
kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Kualifikasi kompetensi tenaga kepelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup kompetensi teknis,
pengetahuan, dan sikap kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kualifikasi
kompetensi tenaga kepelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2)) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 12
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah memiliki tanda daftar atau
lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memiliki izin dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
(2) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi
pelatihan kerja setelah melalui proses akreditasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
lembaga pelatihan kerja pemerintah, perizinan lembaga
pelatihan kerja swasta dan akreditasi lembaga pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
PESERTA PELATIHAN KERJA
Pasal 13
(1) Setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.
(2) Untuk . . .
- 7 -
Pasal 14
(1) Peserta pelatihan yang telah menyelesaikan program
pelatihan berhak mendapatkan sertifikat pelatihan dan/atau
sertifikat kompetensi kerja.
(2) Sertifikat pelatihan kerja diberikan oleh lembaga pelatihan
kerja kepada peserta pelatihan yang dinyatakan lulus sesuai
dengan program pelatihan kerja yang diikuti.
(3) Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh BNSP kepada
lulusan pelatihan dan/atau tenaga kerja berpengalaman
setelah lulus uji kompetensi.
(4) BNSP dapat memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi
profesi yang memenuhi persyaratan akreditasi untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal lembaga sertifikasi profesi tertentu belum
terbentuk maka pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh BNSP.
(6) Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mengacu pada
pedoman sertifikasi kompetensi kerja yang ditetapkan oleh
BNSP.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 15
(1) Menteri mengembangkan sistem informasi pelatihan kerja
nasional untuk mendukung pelaksanaan Sislatkernas.
(2) Sistem . . .
-8-
Pasal 16
Kegiatan sistem informasi pelatihan kerja nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 meliputi pengumpulan, pengolahan,
penyajian, dan penyebarluasan data dan informasi.
Pasal 17
Sistem informasi pelatihan kerja nasional harus menjangkau
sasaran yang luas, murah, dan mudah diperoleh masyarakat.
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 18
(1) Pendanaan sistem pelatihan kerja baik yang menyangkut
pembinaan maupun penyelenggaraan dilaksanakan
berdasarkan prinsip efektif, efisien, akuntabilitas,
transparansi, dan berkelanjutan.
(2) Pendanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan/atau
penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendanaan
sistem pelatihan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X . . .
- 9 -
BAB X
PEMBINAAN
Pasal 19
(1) Pembinaan Sislatkernas diarahkan untuk meningkatkan
relevansi, kualitas, dan efisiensi pelatihan kerja serta
standardisasi sertifikasi kompetensi kerja.
(2) Pembinaan Sislatkernas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari pembinaan umum dan pembinaan teknis.
(3) Pembinaan umum terhadap Sislatkernas dilakukan oleh
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Pembinaan teknis terhadap pelaksanaan Sislatkernas di
masing-masing sektor dilakukan oleh instansi pemerintah
yang membidangi sektor yang bersangkutan.
(5) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan melalui perencanaan, bimbingan, konsultasi,
fasilitasi, koordinasi dan pengendalian.
BAB XI
KOORDINASI
Pasal 20
(1) Koordinasi pelatihan kerja dilakukan oleh lembaga
koordinasi pelatihan kerja nasional yang dibentuk dengan
Peraturan Presiden.
(2) Koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) antara lain meliputi koordinasi dalam perencanaan,
penyelenggaraan, pemberdayaan, dan pendanaan pelatihan
kerja.
BAB XII
PELAKSANAAN SISLATKERNAS DI DAERAH
Pasal 21
(1) Pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
Sislatkernas di daerahnya sesuai dengan tugas dan
wewenang penyelenggaraan otonomi daerah di bidang
ketenagakerjaan.
(2) Pelaksanaan . . .
- 10 -
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pelatihan kerja yang telah ditetapkan oleh instansi
teknis dan/atau lembaga lain dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah atau
diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Penyesuaian peraturan tentang pelatihan kerja yang
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, wajib
disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1991 tentang Latihan
Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Agar . . .
- 11 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ttd.
HAMID AWALUDIN
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Berdasarkan . . .
- 2 -
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan kualifikasi sertifikat 1 (satu) sampai dengan 9
(sembilan) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
masing-masing sektor .
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 3 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pelatihan di tempat kerja” adalah
pelatihan yang diselenggarakan dimana peserta pelatihan
dilibatkan secara langsung dalam proses produksi dengan
bimbingan instruktur dan/atau pekerja senior sesuai dengan
program pelatihan yang telah ditetapkan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pemagangan” adalah bagian dari
sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu
antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara
langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur
atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka
menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tenaga kepelatihan” dalam pasal ini
antara lain instruktur, tenaga perencana, penganalisis
kebutuhan pelatihan, pengembang kurikulum,
pengadministrasi, pemelihara sarana, pengelola pelatihan,
penyelia, dan pengelola lembaga pelatihan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14 . . .
- 4 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam ayat ini termasuk
penerimaan yang bersumber dari masyarakat yang dikelola
langsung oleh lembaga pelatihan swasta.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pembinaan umum” adalah
pembinaan yang bersifat nasional yang berlaku di semua
sektor dan daerah yang menjamin terlaksananya
Sislatkernas secara keseluruhan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pembinaan teknis” adalah
pembinaan yang bersifat sektoral yang menjamin
terlaksananya Sislatkernas di sektor yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional pada ayat ini sebagai
amanat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Pasal 21 . . .
- 5 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara
yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
mengingat:
1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
1
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB II
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 3
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Susunan
Pasal 4
2
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim
konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa
jabatan selama 3 (tiga) tahun.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5
Hakim konstitusi adalah pejabat negara.
Pasal 6
(1) Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota
hakim konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
pejabat negara.
(2) Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan kepolisian atas perintah
Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalam
hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Bagian Ketiga
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Pasal 7
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi
dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.
Pasal 8
Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.
Pasal 9
Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB III
3
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 10
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah,
atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas
Pasal 12
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan
bersih.
Pasal 13
(1) Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada
masyarakat secara terbuka mengenai:
4
a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala
yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 14
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM KONSTITUSI
Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 15
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi
syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berpendidikan sarjana hukum;
c. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
d. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
f. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun.
(2) Calon hakim konstitusi yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan
tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi.
Pasal 17
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara lainnya;
b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.
Pasal 18
5
(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah
Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima
Presiden.
Pasal 19
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim
konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara obyektif dan akuntabel.
Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah hakim konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim
konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji hakim konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
(2) Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di hadapan Presiden.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah
Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya
6
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Bagian Kedua
Masa Jabatan
Pasal 22
Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 23
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi;
c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;
d. telah berakhir masa jabatannya; atau
e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya
selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan
dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas
permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut oleh Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 24
7
(1) Hakim konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan
sementara dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua
Mahkamah Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
berakhir tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan
direhabilitasi dengan Keputusan Presiden.
(4) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dikeluarkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Sejak dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim konstitusi yang bersangkutan dilarang menangani perkara.
Pasal 25
(1) Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim
konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dituntut di
muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana meskipun tidak ditahan.
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(4) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
berakhir dan belum ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan
diberhentikan sebagai hakim konstitusi.
(5) Apabila di kemudian hari putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan
tidak bersalah, yang bersangkutan direhabilitasi.
Pasal 26
(1) Dalam hal terjadi kekosongan hakim konstitusi karena berhenti atau
diberhentikan, lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) mengajukan pengganti kepada Presiden dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadi kekosongan.
(2) Keputusan Presiden tentang pengangkatan pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja
sejak pengajuan diterima Presiden.
Pasal 27
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
BAB V
HUKUM ACARA
8
Bagian Pertama
Umum
Pasal 28
(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno
Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali
dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang
dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada
waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang
dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.
(4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang
hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
(5) Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakibat
putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan
Pasal 29
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon
atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.
Pasal 30
Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 31
9
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang
Pasal 32
(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi
melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan.
(2) Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat (2), wajib dilengkapi
oleh pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
Pasal 33
Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan tentang kelengkapan
administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan
berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.
Pasal 34
(1) Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama, setelah permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Penetapan hari sidang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat.
(3) Pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan menempelkan salinan pemberitahuan tersebut di papan
pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus digunakan untuk itu.
Pasal 35
(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama
pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Bagian Keempat
Alat Bukti
Pasal 36
(1) Alat bukti ialah:
10
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat
bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 37
Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan
memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Pasal 38
(1) Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah
Konstitusi.
(2) Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
(3) Para pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang
ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara
patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian
untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 39
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah
Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Persidangan
Pasal 40
(1) Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim.
11
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib
persidangan.
(3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pasal 41
(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti
yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi
keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis
kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permintaan hakim konstitusi diterima.
Pasal 42
Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan.
Pasal 43
Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi
atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.
Pasal 44
(1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di
dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat
keterangan yang khusus untuk itu.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan
diserahkan kepada hakim konstitusi di dalam persidangan.
Bagian Ketujuh
Putusan
Pasal 45
(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan
keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah
untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua
sidang.
(5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
12
(6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
(7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak.
(8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua
sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda
pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.
(10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat
dalam putusan.
Pasal 46
Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera.
Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Pasal 48
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Pasal 49
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Bagian Kedelapan
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Pasal 50
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
13
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 52
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 53
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya
permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 54
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
Pasal 55
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang
dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah
Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
14
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak putusan diucapkan.
Pasal 58
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 59
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada
DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Pasal 60
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Bagian Kesembilan
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh
Undang-Undang Dasar
Pasal 61
(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
15
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon.
Pasal 62
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 63
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 64
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.
(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
Pasal 65
Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.
Pasal 66
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan
yang dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.
(2) Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi
hukum.
Pasal 67
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan
kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden.
16
Bagian Kesepuluh
Pembubaran Partai Politik
Pasal 68
(1) Pemohon adalah Pemerintah.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan,
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 69
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 70
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 71
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik
wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 72
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik disampaikan
kepada partai politik yang bersangkutan.
Pasal 73
(1) Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Bagian Kesebelas
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Pasal 74
(1) Pemohon adalah:
a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah peserta pemilihan umum;
17
b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. partai politik peserta pemilihan umum.
(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum
yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
mempengaruhi:
a. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden;
c. perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan.
(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Pasal 75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas
tentang:
a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan
oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar menurut pemohon.
Pasal 76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
Pasal 77
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar.
(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
Pasal 78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil
pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu:
18
a. paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden;
b. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 79
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilihan umum
disampaikan kepada Presiden.
Pasal 80
(1) Pemohon adalah DPR.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai
dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai
pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau berita
acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 81
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
Pasal 82
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses
pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan
permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 83
(1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
19
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar
putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.
(3) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 84
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam
jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 85
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada
DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 86
Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang
diterima Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
20
Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 13 Agustus 2003
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 13 Agustus 2003
BAMBANG KESOWO
21
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk
menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan
koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 berwenang untuk:
22
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini
mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur
pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan
secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif
dan akuntabel.
Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara
di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik
masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi
kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini.
Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.
Dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya
pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung, sehingga Undang-Undang ini mengatur pula
peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah terbentuknya
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
23
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah:
a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;
b. meminta keterangan tentang tindak pidana;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan; dan/atau
f. penyitaan.
Pasal 7
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi,
sedangkan Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “keterangan” adalah segala keterangan lisan dan tertulis,
termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 12
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian dan kredibilitas Mahkamah
Konstitusi dalam mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan
sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
24
Kewajiban memberikan laporan berkala berdasarkan ketentuan ini tidak
mengurangi kewajiban membuat laporan keuangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat pernyataan yang dimaksud dalam ketentuan ini juga memuat tentang
telah terpenuhinya seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ketentuan ayat (1) dan surat pernyataan tersebut disimpan pada Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 17
Huruf a
Pejabat negara lainnya, misalnya anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hakim atau hakim agung,
menteri, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris
perusahaan.
Huruf d
Selama menjadi hakim konstitusi, advokat tidak boleh menjalankan profesinya.
Huruf e
Selama menjadi hakim konstitusi, status pegawai negeri yang bersangkutan
diberhentikan sementara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
Ayat (1)
Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini bersifat administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
25
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa
baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk
ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah perbuatan
yang dapat merendahkan martabat hakim konstitusi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persidangan” adalah persidangan dalam
pemeriksaan perkara.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
26
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dituntut di muka pengadilan” adalah pelimpahan
berkas perkara yang bersangkutan ke pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pengembalian hak-hak pribadi dan
nama baik yang bersangkutan tanpa mengembalikan kedudukannya sebagai
hakim konstitusi.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah meninggal dunia atau
terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban
sebagai hakim konstitusi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah keadaan luar biasa
sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan kelengkapan permohonan” adalah
bersifat administrasi.
27
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Petunjuk yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan barang bukti.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah alat bukti petunjuk.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
28
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi” dalam
ketentuan ini dikenal dengan istilah Contempt of Court.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keyakinan Hakim” adalah keyakinan Hakim
berdasarkan alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini dalam sidang permusyawaratan pengambilan
putusan tidak ada suara abstain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
29
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum yang menjadi dasar
putusan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.
Huruf b
30
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
31
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan” adalah tindakan baik tindakan
nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan.
Dalam mengeluarkan penetapan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dampak
yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penetapan hasil pemilihan umum” adalah jumlah
suara yang diperoleh peserta pemilihan umum.
32
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini pemohon menunjukkan dengan jelas tempat
penghitungan suara dan kesalahan dalam penjumlahan penghitungan suara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “risalah dan/atau berita acara rapat DPR” adalah
risalah dan/atau berita acara rapat alat kelengkapan DPR maupun rapat
paripurna DPR.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
33
Cukup jelas.
Pasal 86
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau
kekosongan dalam hukum acara berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
34
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.18/MEN/XII/2011
TENTANG
LAMPIRAN I
Matrik Mekanisme Penyusunan Laporan Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian 16
LAMPIRAN II
Mekanisme Laporan Pelaksanaan Tugas 19
LAMPIRAN III
Petunjuk Pengisian Formulir Tabel Bidang Ketenagakerjaan dan
Ketransmigrasian 21
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
BAB II
SISTEM PELAPORAN
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 3
Bagian Kedua
Materi
Pasal 4
(1) Materi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), adalah berupa
data dan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang ketenagakerjaan
dan ketransmigrasian, antara lain:
a. pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan serta pelaksanaan
daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang dananya bersumber dari
APBN dan APBD;
Pasal 5
Data dan informasi yang sifatnya lebih rinci diatur tersendiri oleh unit kerja
eselon I di lingkungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai dengan
kebutuhan unit kerja yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Sistematika
Pasal 6
Bagian Keempat
Tata Cara dan Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 7
Pasal 8
Matrik tata cara dan waktu penyampaian laporan pelaksanaan tugas bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.
Bagian Kelima
Koordinator dan Penyusun Laporan
Pasal 9
Pasal 10
BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.33A/MEN/XII/2006 tentang Sistem Pelaporan Bidang
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDDIN
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
A. Bulanan Kepala SKPD/ Sekretaris Dinas Pejabat Eselon IV - Menteri - Itjen Paling lambat
- SKPD/Instansi Kepala SKPD/ Sekretaris Dinas Pejabat Eselon IV - Bupati/ - Itjen Paling lambat
Kab/Kota Instansi Kab/Kota Kab/Kota yang mempunyai Walikota - Balitfo tanggal 5 bulan
tugas dan fungsi - Kepala SKPD/ - Unit Kerja berikutnya.
di bidang evaluasi Instansi Eselon I terkait
dan pelaporan Provinsi
B. Tahunan Kepala Instansi Kabag TU/Pejabat Pejabat Eselon IV - Menteri - Itjen Paling lambat
- SKPD/Instansi Provinsi yang ditunjuk yang mempunyai - Gubernur I - Balitfo Minggu ke-4
Provinsi tugas dan fungsi - Unit Kerja bulan Januari
di bidang evaluasi Eselon I terkait pada tahun
dan pelaporan berikutnya.
PENANGGUNG DITUJUKAN WAKTU
JANGKA WAKTU JAWAB KOORDINATOR PENYUSUN KEPADA TEMBUSAN PENYAMPAIAN
- SKPD/Instansi Kepala Instansi Kabag TU/ Pejabat Eselon IV - Bupati/ - Menteri Paling lambat
Kab/Kota Kabupaten/Kota Pejabat yang yang mempunyai Walikota - Itjen Minggu ke-2
ditunjuk tugas dan fungsi - Kepala - Balitfo bulan Januari
di bidang evaluasi Instansi - Unit Kerja pada tahun
dan pelaporan Provinsi Eselon I terkait berikutnya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
DIRJEN,
KEPALA INSTANSI KEPALA BADAN,
PROVINSI GUBERNUR MENAKERTRANS
IRJEN
ttd.
Sunarno, SH, MH
19
20 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 18/MEN/XII/2011
TENTANG
SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR TABEL BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN
KETRANSMIGRASIAN
A. Form Tabel Bidang Ketenagakerjaan
1. Form Tabel A.1. Pelaksanaan Kegiatan Pelatihan dan Produktivitas
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 : Diisi kejuruan/jenis pelatihan:
(1) Teknologi Mekanik; (2) Listrik; (3) Otomotif; (4)
Aneka Kejuruan; (5) Tata Niaga; (6) Bangunan; (7)
Pertanian; (8) Teknologi Informasi; (9) Produktivitas;
(10) Ketransmigrasian; (11) Pemagangan
Tanda Blok Tidak Diisi
Kolom 4 : Diisi sub kejuruan/jenis pelatihan :
(1.a): Las; (1.b): Mesin Produksi; dll; (1.c): Kerja Pelat, dll.
(2.a): Elektronika; (2.b): Pendingin; (2.c): Instalasi
Listrik, dll.
(3.a): Sepeda Motor; (3.b): Mobil Bensin; dll.
(4.a): Perhotelan; (4.b): Menjahit; (4.c): Bordir, dll.
(5.a): Bahasa; (5.b): Operator Komputer; (5.c):
Sekretaris, dll.
(6.a): Bangunan Kayu ; (6.b): Bangunan Batu, (6.c):
Gambar, dll.
2. Form Tabel A.2. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Menurut
Jabatan, Lapangan Pekerjaan Utama, Kewarganegaraan dan Lokasi Kerja
Kolom 1 : Cukup jelas.
Kolom 2 : Cukup jelas.
Kolom 3 s.d 11 : Diisi jumlah Ijin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA) yang diterbitkan bulan sebelumnya dan
sampai dengan bulan ini dan jumlah total IMTA yang
dterbitkan menurut Jabatan, Lapangan Pekerjaan
Utama, Kewarganegaraan dan Lokasi Kerja,
L: Laki-laki; P: Perempuan; JMH: Jumlah.
Kewarganegaraan diisi asal negara TKA;
Lokasi Kerja untuk memperoleh IMTA diisi kabupaten/
kota (Cukup Jelas).
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Sunarno, SH, MH
NIP. 19580726 198503 1 002
JUMLAH
(...................................)
FORM : A.2
IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)
MENURUT JABATAN, LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA, KEWARGANEGARAAN DAN LOKASI KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING (IMTA)
NO KLASIFIKASI DITERBITKAN (JUMLAH ORANG) MASIH BERLAKU (JUMLAH ORANG)
BULAN LALU BULAN INI JUMLAH TOTAL BULAN LALU BULAN INI JUMLAH TOTAL
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
A. JABATAN
1. Pimpinan
2. Profesional
3. Supervisor
4. Teknisi/Operator
5. Lain-lainnya
B. LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik, Gas dan Air
5. Bangunan
6. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel
7. Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi
8. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan,
Tanah dan Jasa Perusahaan
9. Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan
C. KEWARGANEGARAAN
1. USA
2. Jepang
3. Inggris
4. Jerman
5. dst.
D. LOKASI KERJA
1. Kabupaten/kota..............
2. Kabupaten/kota..............
3. Kabupaten/kota..............
4. Kabupaten/kota..............
5. dst.
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
PROVINSI :
KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA (ORANG)
NO KABUPATEN/KOTA/ TENAGA KERJA PEMUDA MANDIRI PROFESIONAL (TKPMP) TENAGA KERJA MANDIRI TRAMPIL (TKMT) TENAGA KERJA SUKARELA (TKS)
KECAMATAN TARGET REALISASI TARGET REALISASI TARGET REALISASI
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
(...................................)
FORM : A.3 LANJUTAN FORM A.3
PROVINSI :
KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA (ORANG)
NO KABUPATEN/KOTA/ WIRA USAHA BARU (WUB) TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG) PADAT KARYA (PK)
KECAMATAN TARGET REALISASI TARGET REALISASI TARGET REALISASI
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
JUMLAH
43
44
FORM : A.4
PELAKSANAAN KEGIATAN PENEMPATAN DAN PERLUASAN TENAGA KERJA MELALUI MEKANISME PENEMPATAN TENAGA KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
MEKANISME PENEMPATAN TENAGA KERJA (ORANG)
NO KABUPATEN/KOTA ANTAR KERJA ANTAR DAERAH (AKAD) ANTAR KERJA LOKAL (AKL) ANGKATAN KERJA SUKARELA (AKS)
TARGET REALISASI TARGET REALISASI TARGET REALISASI
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
(...................................)
FORM : A.5
PELAKSANAAN REKRUT CALON TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
JUMLAH
45
46
FORM : A.6
MONITORING KASUS/PEMOGOKAN/UNJUK RASA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
(...................................)
FORM : A.7
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PENYELESAIAN PERSELISIHAN (KASUS)
1. Hak
2. Kepentingan
3. PHK
4. Antar SP/SB
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
47
48
FORM : A.8
PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
KABUPATEN/KOTA/
NO KECAMATAN PEKERJA YANG TER PHK (ORANG
ALASAN PHK JUMLAH PERKARA
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7:(5+6)
(...................................)
FORM : A.9
SYARAT-SYARAT KERJA DAN PERANGKAT HUBUNGAN INDUSTRIAL
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
SARANA HUBUNGAN INDUSTRIAL (PERUSAHAAN/LEMBAGA)
NO KABUPATEN/KOTA
PERATURAN PERUSAHAAN (PP) PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
SP/SB FEDERASI KONFEDERASI LKS BIPARTIT LKS TRIPARTIT
BUMN SWASTA JUMLAH BUMN SWASTA JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
49
50
FORM : A.10
MONITORING JUMLAH
TENAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PERSONIL PENYELESAIAN PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (ORANG)
NO
KABUPATEN/KOTA MEDIATOR KONSILIATOR ARBITER
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
(...................................)
FORM : A.11
DATA PERUSAHAAN WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
KLASIFIKASI PERUSAHAAN
KECIL (Jumlah Tenaga Kerja < 25 orang) SEDANG (Jumlah Tenaga Kerja 26-99 orang) BESAR (Jumlah Tenaga Kerja > 100 orang)
STATUS PERUSAHAAN
NO KABUPATEN/KOTA TENAGA KERJA TENAGA KERJA TENAGA KERJA
WNI WNA JMH WNI WNA JMH WNI WNA JMH
JUMLAH
JUMLAH
JUMLAH
SWAS
PERUSAHAAN
PERUSAHAAN
PERUSAHAAN
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH TA
JOIN JMH
PMDN PMA VENTURA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
51
52
FORM : A.12
PEMERIKSAAN, PENGUJIAN DAN PENYIDIKAN
BULAN: ..................... TAHUN : ......................
PROVINSI :
JUMLAH PENGAWAS JUMLAH
KETENAGAKERJAAN KEGIATAN PENGAWASAN JUMLAH PENGHENTIAN PUTUSAN
NO PELANGGARAN PERUSAHAAN YANG PENYIDIKAN
KABUPATEN/KOTA
LAKI-LAKI PEREMPUAN PEMERIKSAAN PENGUJIAN DIAJUKAN BAP DENDA KURUNGAN
(orang) (orang) (kali) (kali) (perusahaan) (kasus) (perusahaan) (perusahaan) (Rp) (Bulan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(...................................)
FORM : A.13
MONITORING JUMLAH KASUS DAN KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
JUMLAH KASUS (ORANG)
AKIBAT KECELAKAAN
KABUPATEN/KOTA BIDANG USAHA KERJA
NO PERUSAHAAN JUMLAH
KECELAKAAN KERJA PENYAKIT AKIBAT KERJA (ORANG)
1 2 3 4 5 6 7:(5+6)
1. Sembuh
3. Cacat
4. Meninggal
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
53
54
FORM : A.14
KEPESERTAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
KEPESERTAAN PROGRAM (ORANG)
TK TERDAFTAR TK TERDAFTAR JAMINAN JAMINAN
JUMLAH PERUSAHAAN (WNI) (WNA) KECELAKAAN JAMINAN JAMINAN HARI PEMELIHARAAN
NO KABUPATEN/KOTA TERDAFTAR KERJA (JKK) KEMATIAN (JKM) TUA (JHT) KESEHATAN (JPK)
L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH L P JMH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
(...................................)
FORM
BIDANG
KETRANSMIGRASIAN
PROVINSI :
(...................................)
FORM : B.2
PEMBANGUNAN TRANSMIGRASI BARU (PTB)
PERKEMBANGAN PENYIAPAN PERMUKIMAN, SIAP TERIMA PENEMPATAN (STP) DAN PEMBERANGKATAN PENEMPATAN (SPP)
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
SIAP TERIMA SIAP
PEMBUKAAN PEMBANGUNAN PRASARANA SARANA FASILITAS PENEMPATAN PEMBERANGKATAN
PROGRAM LAHAN RTJK AIR BERSIH UMUM
JALAN JEMBATAN JEMBATAN NS GORONG2 DRAINASE (STP) PENEMPATAN (SPP)
(L/M/C) POLA
NO KABUPATEN/LOKASI T R
T R T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(KK) (Ha) (%) (Km) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (Km) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (KK) (KK) (KK) (KK)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
JUMLAH
57
58
FORM : B.3
PENGEMBANGAN PENEMPATAN TRANSMIGRAN BARU (PTB)
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
TARGET PENEMPATAN (KK) REALISASI PENEMPATAN (KK)
NO KABUPATEN/LOKASI
TPA JUMLAH
TPS TPA JUMLAH TPS
DKI JABAR BANTEN JATENG DIY JATIM BALI NTB NTT LAMPUNG JUMLAH PENEMPATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18=(6+17)
(...................................)
FORM : B.4
PENINGKATAN/REHABILITASI SARANA DAN PRASARANA
PERMUKIMAN TRANSMIGRASI (PTA)/KAWASAN
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PENGEMBANGAN PRASARANA PENGEMBANGAN SARANA
NO KABUPATEN/ JUMLAH RTJK
JALAN JEMBATAN JEMBATAN NS GORONG-2 DRAINASE DERMAGA SAB STANDAR SAB NS FASUM
LOKASI/UPT
T R T R T R T R T R T R T R T R T R
(KK) (UNIT) (KM) (%) (M) (%) (M) (%) (M) (%) (KM) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
SAB NS: Sarana Air Bersih Non Standar Kepala SKPD/Instansi
Fasum: Fasilitas Umum Provinsi/Kabupaten/Kota
59
60
FORM : B.5
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PENGEMBANGAN USAHA EKONOMI MASYARAKAT TRANSMIGRASI
PRODUKTIFITAS LAHAN KELEMBAGAAN EKONOMI
NO KABUPATEN/LOKASI TAHUN BINA JUMLAH KK PAKET A PAKET B PAKET C PEMBENTUKAN PENGEMBANGAN
T R T R JENIS T R T R
T R USAHA
(PAKET) (%) (PAKET) (%) (PAKET) (%) (UNIT) (%) (UNIT) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16
(...................................)
FORM : B.5 LANJUTAN FORM : B.5
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KAWASAN TRANSMIGRASI
BULAN: ............................TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PENINGKATAN KAPASITAS SDM DAN MASYARAKAT TRANSMIGRASI
BANTUAN PANGAN JUMLAH TENAGA PEMBINA
NO KABUPATEN/LOKASI BERAS NON BERAS TENAGA PEMBINA UPT TENAGA GURU TENAGA KESEHATAN ROHANIAWAN
T R T R L P JUMLAH L P JUMLAH L P JUMLAH L P JUMLAH
(Kg) (%) (PAKET) (%) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang) (Orang)
1 2 3 4 5 6 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari Bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
61
62 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
FORM
REALISASI ANGGARAN
DAN KEGIATAN,
PENGADAAN BARANG
DAN JASA SERTA
PERMASALAHAN
1. Dekonsentrasi
1. Program Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas
2. Program Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja
3. Program Pengembangan Hubungan Industrial dan
Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
(...................................)
FORM : C.2
REALISASI KEUANGAN DAN FISIK
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PAGU DIPA (Rp) REALISASI S/D BULAN INI
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
65
66
FORM : C.3
KEMAJUAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
MELALUI PENUNJUKAN/PEMILIHAN/SELEKSI LANGSUNG DAN PELELANGAN, SELEKSI, SAYEMBARA/KONTES
BULAN: ......................... TAHUN : ...........................
PROVINSI :
PAGU ANGGARAN PEMILIHAN PENYEDIA
HPS METODE
BIAYA (Rp) BARANG/JASA SUMBER DANA NILAI KONTRAK NAMA PENYEDIA KLASIFIKASI
NO PAKET PEKERJAAN VOLUME (Rp 000) (Non E-Proc/E-Proc) PENGADAAN (Rp 000) BARANG/JASA USAHA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1. APBN
2. APBD
JUMLAH
Keterangan: Data Kumulatif dari bulan Januari
Kepala SKPD/Instansi
Provinsi/Kabupaten/Kota
(...................................)
FORM : C.4
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
BULAN: ................... TAHUN : ........................
PROVINSI :
USULAN DAERAH
NO PROGRAM URAIAN MASALAH UPAYA TINDAK LANJUT PENYELESAIAN DI PUSAT
1 2 3 4 5
67
68 SISTEM PELAPORAN SKPD/INSTANSI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2012
TENTANG
NAMA JABATAN
NO. KODE
INDONESIA INGGRIS
ISCO
1. Direktur Personalia 1210 Personnel Director
2. Manajer Hubungan 1232 Industrial Relation Manager
Industrial
3. Manajer Personalia 1232 Human Resource Manager
4. Supervisor Pengembangan 1232 Personnel Development
Personalia Supervisor
5. Supervisor Perekrutan 1232 Personnel Recruitment
Personalia Supervisor
6. Supervisor Penempatan 1232 Personnel Placement
Personalia Supervisor
7. Supervisor Pembinaan 1232 Employee Career Development
Karir Pegawai Supervisor
8. Penata Usaha Personalia 4190 Personnel Declare
Administrator
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Pebruari 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
GUBERNUR KEPULAUAN RIAU
T'ENTANG
3. bahwa sesuai dengan pasal 11 ayat (1) Pera ran Mentf'"i Tenaga
Kerja Nomor : Pef-{)1/MEN/1999, Usulan Pen pan U~ Minimum
Sektoral, , Dlrundiogkan dan Disepakab oleh iasl Petusahaan I
Perus.ahaan dan Serilart: Peke.-ja ..., dalam hal ini d~ksudk3n
bahwa dalam penetapan Upah Minimum ral (U~) benar
benar didasati atas adanya - kesepakat3 berSarn.a
or antara
Pengusaha dengan Serikat Merja tanpa sa.latu
unsur
paksaan dan atau k.ewa1lban;
?
5. Undang-Undang Nomor 32 iahun 200·1 itentang Pemerin~hC3n
Oaerah (Lembaran Negara Republlk Lndone~la Tanun 2004 Nemor
125, Tambahan LemOaran Negara Republlk lndon~ia Nemor 4437) .. _
seba~imana telah diubah beberapa ksli teEkhir dengan Undang
Undang Nemer 12 Tahun 2008 tentang erubahan Kedua Atas
Und~ng-Undang Nomor 32 Tahun 2.004 ntang ~nw.rlntahan
Daerah (L.embaran Negara Republik Indone .Ia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Ne~ara Re;:;ubiil< Inponesia Nomor 4844j;
6, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 \tenmng Perimoongan
Keuangan antara Pemerintah Pusa~ da1
Pemerlntah Daerah
(Lembaran Negara Republlk Indonesia Ta~un 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nemor 4438);
I
7. Peraruran Pemerintah Nomer 8 Tahun 198~ tentang Perlindungan
Upah (L.embaran Negara Republik Indonesia \Tahun 1981 Nomer 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik It;denrsia Nomor 3190);
MEMUTUSKAN :
i'>lenetapkan
. \ . -
KESATU Penetapan Upan MinImum Sektor Industri Logar
Kota Batam Tahun
2012 adalah sebesar Rp. 1.480.000,- (Satu Juta Empat Raws Delapan
Puluh Rlbu ;:<,uplah) per bulan.
I
Besaran Penetapan Upah Minimum Sektor Logam Batam I~ «eta
Tahun 2012 seba.gaimana dimaksudkan pada dl urn KESAjU di atas,
meHputi Sektor(Sub 5eJctDr Industrf dengan Nang' P ~i Klasifikasi
&lku Lapangan Usaha Indonesia (KBU) 2005, i berirut : ;
L Industri pipa dan sambt..I'lgan pipe:! dart baja
27103);
2. Indt£bi ~ Iogam Ix.dcan best dan baja I<Bll i7320);
3. Industn mesin-me:sin l.I1tUk pertambangao, ~ koostruksi
(Kode KBlI 29240); I
4 IndustJi perl)aii:an dan pe.rnbuatan Icapa1 perahui - kecuali
pembuatao perahu dan kayu (t<ode ~ 3511); i
Kal Uti sesual deng.an Surat Walikota Batarn N : 063Ii;61/II12012
Tdflggal 20 Februari 2012 dan cfiberfaJa.:kan bagi pdcerja yang
mempunyal masa kerja k;urang dari SC3hl tahun. 1...lI1tUk pekesja
dengan masa kerja di atas saw tatum terlebih dahu u meIa.Iui rOusyawarah
dan peruncfingan bersama antara pengusaha dan . ~ sebaj)(
baiknya.
TENTANG
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja, hari
libur dan cuti bersama, perlu menetapkan tanggal 31
Desember 2012 sebagai hari cuti bersama tahun baru Masehi
2013;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut huruf a, perlu
menata kembali pelaksanaan cuti bersama tahun 2012;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan
Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi,dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Perubahan Atas
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Hari Libur
Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2012;
Mengingat: ...
-2–
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Pasal II ...
-3–
Pasal II
Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2012
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
4. Pengembangan SKKNI adalah serangkaian kegiatan yang sistematis dalam
rangka penyusunan dan kaji ulang SKKNI.
Pasal 2
BAB II
KELEMBAGAAN
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(5) Dalam hal Instansi Teknis telah memiliki satuan kerja yang tugas dan
fungsinya di bidang standardisasi, maka tugas dan fungsi Komite Standar
Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tugas satuan
kerja yang bersangkutan.
Pasal 6
Pasal 7
4
BAB III
PERSYARATAN UMUM
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
(1) Penyusunan SKKNI di setiap sektor atau lapangan usaha mengacu pada
peta kompetensi yang disusun dalam RIP SKKNI di sektor atau lapangan
usaha yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Pemetaan SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) disusun
dalam susunan fungsi pekerjaan yang mencakupi:
a. tujuan utama (main purpose);
b. fungsi kunci (key function) dari tujuan utama (main purpose);
c. fungsi utama (major function) dari fungsi kunci (key function); dan
d. fungsi dasar (basic function) dari fungsi utama (major function),
dari lapangan usaha pada klasifikasi kategori, golongan pokok, golongan
atau sub golongan usaha tertentu.
(2) Fungsi dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diidentifikasi
sebagai unit kompetensi.
5
Pasal 12
SKKNI pada setiap kategori, golongan pokok, atau golongan usaha tertentu
dapat disusun dalam kemasan sebagai berikut:
a. kualifikasi nasional, dengan mengacu pada jenjang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia;
b. jabatan atau okupasi nasional, dengan mengacu pada tugas dan fungsi
jabatan atau okupasi;
c. klaster kompetensi, dengan mengacu pada kebutuhan khusus kompetensi
tertentu sesuai kebutuhan industri atau organisasi.
Pasal 13
(2) Struktur dan format penulisan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) secara rinci tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
PERENCANAAN
Pasal 14
(1) Komite standar kompetensi menyusun RIP SKKNI sesuai sektor atau
lapangan usaha masing-masing untuk jangka waktu 3 (tiga) sampai 5
(lima) tahun.
(2) RIP SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain:
a. pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, tujuan, dan
ruang lingkup;
b. acuan normatif yang berisi standar dan regulasi teknis yang dipakai
sebagai dasar dan acuan dalam penyusunan RIP SKKNI;
c. metode yang digunakan dalam penyusunan RIP SKKNI;
d. deskripsi peta fungsi pekerjaan;
e. peta kompetensi yang ada atau yang diperlukan di setiap peta fungsi
dari sektor atau lapangan usaha, serta prioritas penyusunannya;
f. program, rencana anggaran dan jadwal pelaksanaannya.
(3) Prioritas penyusunan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
mempertimbangkan aspek:
a. keselamatan dan kesehatan;
b. potensi terjadinya perselisihan; dan/atau
c. peningkatan daya saing produk barang atau jasa tertentu dalam
persaingan global.
6
Pasal 15
(1) RIP SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, sebagai dasar untuk
menyusun rencana tahunan perumusan dan penetapan SKKNI.
BAB V
PERUMUSAN RANCANGAN SKKNI
Bagian Kesatu
Inisiasi Perumusan SKKNI
Pasal 16
(1) Inisiasi perumusan SKKNI dapat dilakukan oleh Instansi Teknis atau
pemangku kepentingan lainnya.
(3) Inisiasi perumusan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan adanya kebutuhan SKKNI baru
atau kebutuhan perbaikan atau pengembangan SKKNI yang telah ada.
(6) Dalam hal usulan perumusan SKKNI dinyatakan layak, maka Komite
Standar Kompetensi memasukkan usulan dimaksud ke dalam rencana
tahunan perumusan dan penetapan SKKNI dan mengusulkannya kepada
Instansi Teknis.
Bagian Kedua
Pembentukan Tim Penyusun SKKNI
Pasal 17
(1) Komite Standar Kompetensi membentuk Tim Perumus dan Tim Verifikasi
untuk jenis SKKNI yang telah diprogramkan dalam rencana tahunan
perumusan dan penetapan SKKNI di masing-masing kategori, golongan
pokok, golongan, atau sub golongan usaha tertentu.
7
(2) Tim Perumus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kompetensi:
a. metodologi perumusan standar kompetensi;
b. substansi teknis sesuai dengan bidang kerja yang relevan dengan
SKKNI yang akan disusun.
(3) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kompetensi:
a. metodologi verifikasi standar kompetensi;
b. substansi teknis sesuai dengan bidang kerja yang relevan dengan
SKKNI yang akan disusun.
(4) Tim Perumus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan
tugas, dapat dibantu narasumber.
Pasal 18
Bagian Ketiga
Perumusan Rancangan SKKNI
Pasal 19
(4) Dalam hal perumusan Rancangan SKKNI dilakukan dengan metode adopsi
atau adaptasi harus memperhatikan persyaratan:
a. hak cipta;
b. standar kompetensi yang diadopsi atau diadaptasi, telah diakui dan
diberlakukan secara luas pada tingkat nasional atau internasional;
c. struktur dan formatnya sama, setara atau sebanding dengan struktur
dan format RMCS;
d. identitas standar kompetensi yang diadopsi dinyatakan dengan jelas,
antara lain yang menyangkut nomor, judul, tanggal atau tahun
publikasi dan tingkat kesetaraannya dengan SKKNI.
(5) SKKNI hasil adopsi wajib diamandemen dengan segera apabila terjadi
perubahan atas standar kompetensi yang diadopsi atau diadaptasi.
Pasal 20
8
Pasal 21
Pasal 22
(3) Pra konvensi Rancangan SKKNI-1 diikuti oleh pakar dan/atau praktisi
antara lain dari unsur pemangku kepentingan industri, kelompok profesi,
lembaga pendidikan dan pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi, Intansi
Teknis, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional
Sertifikasi Profesi.
(4) Pra konvensi Rancangan SKKNI-1 dinyatakan sah apabila dihadiri oleh
paling sedikit 2/3 dari peserta yang diundang.
Pasal 23
9
(4) Rancangan SKKNI-1 yang telah memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diidentifikasi sebagai Rancangan SKKNI-2.
Pasal 24
(2) Konvensi Nasional diikuti oleh peserta dari unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3).
(6) Rancangan SKKNI-2 yang telah disepakati secara aklamasi dan telah
diperbaiki oleh Tim Perumus diidentifikasi menjadi Rancangan SKKNI-3.
Pasal 25
BAB VI
PENETAPAN
Pasal 26
(2) SKKNI ditetapkan dengan Keputusan Menteri dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari kerja.
BAB VII
KAJI ULANG SKKNI
Pasal 27
(1) Untuk memelihara SKKNI selalu bermanfaat bagi masyarakat, SKKNI yang
telah ditetapkan harus dikaji ulang paling lama 5 (lima) tahun.
10
(3) Hasil kaji ulang SKKNI dapat berupa rekomendasi:
a. perubahan;
b. pencabutan;
c. tanpa perubahan.
Pasal 28
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak melalui
Konvensi Nasional.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
dilaksanakan melalui Konvensi Nasional.
(4) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Instansi
Teknis kepada Menteri.
Pasal 29
(2) Pencabutan SKKNI diusulkan oleh Instansi Teknis kepada Menteri untuk
dicabut.
Pasal 30
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
(1) SKKNI yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara
Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia masih tetap
berlaku sampai dengan batasan waktu dilakukan kaji ulang.
(2) SKKNI yang dalam proses penyusunan sampai dengan tahap Konvensi
Nasional tetap dapat dilanjutkan dengan mengacu pada Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata
Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, sampai
dengan jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
11
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 32
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pasal 33
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
12
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012
TENTANG
A. STRUKTUR
1. Kode Unit
Berisi nomor kode unit kompetensi sesuai dengan kategori, golongan
pokok, golongan dan fungsi utama pekerjaan.
X . 0 0 0 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0
(1) (2) (7) (8)
(3)
(4)
(5)
(6)
(1) = Kode Kategori (A, B, C ... dst), diisi 1 huruf sesuai kode huruf
kategori pada KBLUI;
(2) = Kode Golongan Pokok, terdiri dari 2 angka;
(3) = Kode Golongan, terdiri dari 3 angka;
(4) = Kode Sub Golongan, terdiri dari 4 angka;
(5) = Kode Kelompok usaha, terdiri dari 5 angka;
(6) = Kode Penjabaran Kelompok usaha, terdiri dari 6 angka, jika tidak
ada penjabaran kelompok usaha angka terakhir diisi dengan
angka 0;
(7) = Nomor urut unit kompetensi dari SKKNI pada kelompok usaha
atau penjabaran kelompok usaha, terdiri dari 3 digit angka, mulai
dari angka 001, 002, 003 dan seterusnya;
(8) = Versi penerbitan SKKNI sebagai akibat dari adanya perubahan,
diisi dengan 2 digit angka, mulai dari angka 01, 02 dan
seterusnya. Versi merupakan urutan penomoran terhadap urutan
penyusunan atau penetapan unit kompetensi dalam penyusunan
standar kompetensi yang disepakati, apakah standar kompetensi
tersebut disusun merupakan yang pertama kali, hasil revisi dan
atau seterusnya.
2. Judul Unit
Judul unit kompetensi, merupakan bentuk pernyataan terhadap tugas
atau pekerjaan yang akan dilakukan. Judul unit kompetensi harus
menggunakan kalimat aktif yang diawali dengan kata kerja aktif atau
performatif yang terukur.
3. Deskripsi Unit
Berisi deskripsi tentang lingkup pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu secara
kompeten, dalam kaitannya dengan unit kompetensi. Dalam deskripsi,
dapat pula disebutkan keterkaitan unit kompetensi ini dengan unit
kompetensi lain yang memiliki kaitan erat.
4. Elemen Kompetensi
Berisi deskripsi tentang langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan
dalam melaksanakan unit kompetensi. Kegiatan dimaksud biasanya
disusun dengan mengacu pada proses pelaksanaan unit kompetensi,
yang dibuat dalam kata kerja aktif atau performatif.
6. Batasan Variabel
Berisi deskripsi tentang konteks pelaksanaan pekerjaan, yang berupa
lingkungan kerja, peralatan dan perlengkapan kerja yang digunakan,
norma dan standar, rentang pernyataan (range of statement) yang harus
diacu, serta peraturan dan ketentuan terkait yang harus diikuti.
Batasan variabel minimal dapat menjelaskan :
a. Kontek variabel
Berisi penjelasan kontek unit kompetensi untuk dapat dilaksanakan
pada kondisi lingkungan kerja yang diperlukan dalam melaksanakan
tugas.
7. Panduan Penilaian
Berisi deskripsi tentang berbagai kondisi atau keadaan yang dapat
dipergunakan sebagai panduan dalam asesmen kompetensi. Diantaranya
deskripsi tentang konteks penilaian, persyaratan kompetensi yang harus
dimiliki sebelumnya (bila diperlukan), pengetahuan dan keterampilan
yang harus dikuasai, sikap kerja yang harus ditampilkan, serta aspek
kritis yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.
2
Panduan penilaian ini digunakan untuk membantu penilai dalam
melakukan penilaian atau pengujian pada unit kompetensi baik pada
saat pelatihan maupun uji kompetensi, meliputi:
a. Konteks penilaian
Memberikan penjelasan tentang hal-hal yang diperlukan dalam
penilaian dan kondisi yang berpengaruh atas tercapainya kompetensi
kerja, serta dimana, apa dan bagaimana penilaian seharusnya
dilakukan.
b. Persyaratan kompetensi
Memberikan penjelasan tentang unit kompetensi yang harus dikuasai
sebelumnya (jika di perlukan) sebagai persyaratan awal yang
diperlukan dalam melanjutkan penguasaan unit kompetensi.
e. Aspek kritis
Memberikan penjelasan tentang aspek atau kondisi yang sangat
mempengaruhi atau menentukan pelaksanaan pekerjaan.
3
B. FORMAT PENULISAN STRUKTUR SKKNI UNTUK SETIAP UNIT
KOMPETENSI
KODE UNIT :
JUDUL UNIT :
DESKRIPSI UNIT :
1. 1.1
2. 2.1
3. Dst 3.1
3.2 dst.
BATASAN VARIABEL
PANDUAN PENILAIAN
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
4
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2012
TENTANG
TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA
NASIONAL INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berisi latar belakang kategori atau golongan terkait dengan isi SKKNI,
uraian proses perumusan serta hasil pemetaan unit kompetensi
berdasarkan kategori atau golongan.
B. Pengertian
Memberikan penjelasan tentang pengertian-pengertian yang bersifat teknis
substantif yang terkait dengan unit-unit kompetensi.
C. Penggunaan SKKNI
Memberikan penjelasan tentang pemanfaatan SKKNI pada lembaga
pendidikan atau pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi dan industri.
D. Komite Standar Kompetensi
Berisi daftar atau susunan komite standar kompetensi yang dibentuk oleh
Instansi Teknis serta susunan Tim Perumus dan Tim Verifikasi yang
dibentuk oleh Komite Standar Kompetensi.
BAB II
STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA
BAB III
PENUTUP
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
4. Pengguna BLK adalah lembaga swasta yang berbadan hukum atau unit
usaha maupun perorangan yang mampu melakukan ikatan hukum.
2
8. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah
seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Maksud ditetapkannya Peraturan Menteri ini sebagai pedoman bagi BLK dan
Pengguna BLK dalam rangka pelaksanaan kerjasama penggunaan BLK.
Pasal 3
BAB III
BENTUK KERJASAMA
Pasal 4
(5) Pemanfaatan fasilitas BLK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
merupakan pemanfaatan aula, asrama, laboratorium, workshop, atau
fasilitas lainnya yang dimiliki oleh BLK.
3
(6) Konsultasi pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
merupakan pemberian jasa konsultasi yang antara lain meliputi
pengembangan program pelatihan, peningkatan sarana dan prasarana,
manajemen, sertifikasi, pengembangan tenaga kepelatihan.
BAB IV
TATA CARA PELAKSANAAN KERJASAMA
Pasal 5
(2) Rancangan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang telah
disepakati oleh BLK dan Pengguna BLK dituangkan dalam bentuk Naskah
Perjanjian Kerjasama.
Pasal 6
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 7
4
Pasal 8
(2) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. administrasi latihan;
b. bahan latihan;
c. pengadaan diktat atau buku pegangan (hand out materials);
d. honorarium instruktur;
e. pengadaan suku cadang; dan
f. pakaian dan perlengkapan kerja siswa.
(3) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun sesuai
kejuruan pelatihan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pemakaian air;
b. pemakaian listrik;
c. pemakaian telepon;
d. perawatan mesin; dan
e. perawatan gedung.
(5) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan
antara 2 (dua) sampai dengan 10 (sepuluh) persen dari jumlah biaya
langsung dan biaya penunjang.
(6) Biaya penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. konsumsi dan asrama siswa;
b. pelayanan dan kebersihan;
c. kesehatan, olahraga dan rekreasi;
d. eksploitasi kendaraan;
e. pembukaan dan penutupan latihan;
f. widya wisata; dan
g. biaya lain-lain.
Pasal 9
(2) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. administrasi uji kompetensi;
b. bahan uji kompetensi; dan
c. biaya asesor.
(3) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun sesuai
kejuruan pelatihan atau unit kompetensi berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
5
(4) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pemakaian air
b. pemakaian listrik;
c. perawatan mesin; dan
d. perawatan gedung.
(5) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan
antara 2 (dua) sampai dengan 10 (sepuluh) persen dari jumlah biaya
langsung dan biaya penunjang.
(6) Biaya penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,meliputi:
a. konsumsi peserta uji kompetensi dan asesor; dan
b. pelayanan dan kebersihan.
Pasal 10
(2) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. administrasi pembuatan produk barang;
b. bahan baku pembuatan produk barang; dan
c. honorarium petugas pembuat produk barang.
(3) Biaya langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun sesuai
kejuruan pelatihan/unit kompetensi berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
(4) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. pemakaian air;
b. pemakaian listrik;
c. perawatan mesin; dan
d. perawatan gedung.
(5) Biaya tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3,) ditetapkan
antara 2 (dua) sampai dengan 10 (sepuluh) persen dari jumlah biaya
langsung dan biaya penunjang.
(6) Biaya penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. konsumsi petugas pembuat produk barang; dan
b. pelayanan dan kebersihan.
Pasal 11
6
Pasal 12
Pasal 13
BAB VI
PENGELOLAAN BIAYA
Pasal 14
(1) Pengelolaan biaya penggunaan fasilitas BLK yang bukan BLU mengacu
pada aturan PNBP.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 15
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 16
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
7
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
8
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
4. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI,
adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat
menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang
pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja, dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur
pekerjaan di berbagai sektor.
6. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
10. Instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan usaha, yang
selanjutnya disebut Instansi Teknis, adalah kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang memiliki otoritas teknis dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha
tertentu.
12. Dinas teknis provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di sektor
tertentu di provinsi.
Pasal 2
3
Pasal 3
BAB II
SUMBER DANA SISTEM PELATIHAN KERJA
Pasal 4
(2) Penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat berasal dari perusahaan dan masyarakat atau pihak lain dalam
bentuk iuran, bantuan, sponsorship atau bentuk lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PENGGUNAAN DANA SISTEM PELATIHAN KERJA
Bagian Kesatu
Pengunaan Dana Pembinaan Sistem Pelatihan Kerja
Pasal 5
4
(4) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. sistem standarisasi kompetensi;
b. sistem pelatihan berbasis kompetensi;
c. sistem sertifikasi kompetensi; dan
d. sistem pengakuan dan penghargaan kompetensi.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
5
(3) Pengembangan kredibilitas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi kualitas pelayanan dan akuntabilitas manajemen
kelembagaan.
Bagian Kedua
Penggunaan Dana Penyelenggaraan Sistem Pelatihan Kerja
Pasal 11
Pasal 12
BAB IV
TANGGUNG JAWAB, PENGELOLAAN, DAN KOORDINASI
PENDANAAN SISTEM PELATIHAN KERJA
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan Sistem Pelatihan Kerja
Pasal 13
Pasal 14
6
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Bagian Kedua
Pengelolaan Dana Sistem Pelatihan Kerja
Pasal 19
7
Bagian Ketiga
Koordinasi Pendanaan Sistem Pelatihan Kerja
Pasal 20
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Perusahaan, masyarakat, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelatihan
dapat mengalokasikan dan mengembangkan dana untuk penyelenggaraan
Sislatkernas sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 22
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012
8
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
9. Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi
sesuai SKKNI, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus.
10. Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan
digunakan oleh organisasi untuk memenuhi tujuan internal organisasinya
sendiri dan/atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi lain yang
memiliki ikatan kerja sama dengan organisasi yang bersangkutan atau
organisasi lain yang memerlukan.
13. Instansi pembina sektor atau instansi pembina lapangan usaha, yang
selanjutnya disebut Instansi Teknis, adalah kementerian atau lembaga
pemerintah nonkementerian yang memiliki otoritas teknis dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha
tertentu.
15. Komite Standar Kompetensi adalah lembaga yang dibentuk oleh Instansi
Teknis dalam rangka membantu pengembangan SKKNI di sektor atau
lapangan usaha yang menjadi tanggung jawabnya.
BAB II
PENGEMBANGAN SKKNI
Bagian Kesatu
Arah dan Kebijakan
Pasal 2
Bagian Kedua
Inisiasi dan Perumusan
Pasal 3
(2) Inisiasi pengembangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengacu pada peta kompetensi dan RIP SKKNI di sektor atau lapangan
usaha masing-masing.
(3) Inisiasi pengembangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan atas dasar usulan, rekomendasi, dan/atau permintaan
perbaikan SKKNI.
Pasal 4
Pasal 5
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite
Standar Kompetensi membentuk Tim Perumus dan Tim Verifikasi.
4
Pasal 6
(3) Rancangan SKKNI yang telah dirumuskan oleh Tim Perumus harus
diverifikasi oleh Tim Verifikasi.
Bagian Ketiga
Validasi dan Penetapan
Pasal 7
(4) Pra konvensi Rancangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Konvensi Nasional rancangan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan oleh Komite Standar Kompetensi.
Pasal 8
BAB III
PENERAPAN SKKNI
Pasal 9
(1) SKKNI yang telah ditetapkan oleh Menteri, penerapannya dilakukan oleh
Instansi Teknis yang mengusulkan.
(3) Pemberlakukan SKKNI secara wajib dapat dilakukan di bidang profesi atau
pekerjaan yang memiliki posisi strategis dalam meningkatkan daya saing
nasional.
5
Pasal 10
Pasal 11
(3) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disusun
dalam kemasan kualifikasi nasional, okupasi atau jabatan nasional,
klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi.
Pasal 12
Pasal 13
(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh
LALPK.
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh
BNSP.
Pasal 18
Pasal 19
BAB IV
KAJI ULANG SKKNI
Pasal 20
(1) Untuk memelihara validitas dan reliabilitas SKKNI yang telah diterapkan,
dilakukan kaji ulang SKKNI.
(2) Kaji ulang SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
kesesuaian dengan:
a. perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. perubahan cara kerja; dan
c. perubahan lingkungan kerja dan persyaratan kerja.
(3) Kaji ulang SKKNI dapat dilakukan dalam rangka harmonisasi dengan
standar kompetensi lain, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pasal 21
(1) Kaji ulang SKKNI dilakukan atas dasar hasil monitoring, evaluasi dan/atau
usulan pemangku kepentingan.
(2) Kaji ulang SKKNI dilakukan oleh Komite Standar Kompetensi sesuai
dengan sektor atau lapangan usaha, paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Hasil kaji ulang SKKNI digunakan untuk keperluan perubahan SKKNI.
7
BAB V
HARMONISASI STANDAR KOMPETENSI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
(2) Penerapan SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
tenaga kerja Indonesia maupun tenaga kerja asing yang bekerja di
Indonesia.
Bagian Kedua
Registrasi Standar Khusus dan Standar Internasional
Pasal 25
8
(2) Standar Khusus dan/atau Standar Internasional yang telah diregistrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan
skema sertifikasi kompetensi kerja.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL
Pasal 26
Pasal 27
9
Pasal 28
BAB VII
PENDANAAN SISTEM
STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL
Pasal 29
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
10
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2012
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
11
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
BAB II
TUGAS
Pasal 4
3
BAB III
KEDUDUKAN DAN KEANGGOTAAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
4
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 9
BAB V
PENUTUP
Pasal 10
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 2012
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
5
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang:
b. bahwa untuk mendapatkan data tersebut, setiap pengusaha atau pengurus perlu
melaporkan mengenai ketenaga kerjaan di perusahaannya masing-masing;
d. bahwa oleh karena itu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 perlu diganti.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN:
Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor
471);
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan buruh dengan tujuan
mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.
b. Pengusaha adalah:
2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
d. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah;
j. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenaga kerjaan.
Pasal 2
Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama
dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh.
BAB II
Pasal 3
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) merupakan
bahan informasi resmi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang ketenaga
kerjaan.
BAB III
Pasal 4
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan,
menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan
kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Jika suatu perusahaan mempunyai kantor cabang atau bagian yang berdiri sendiri,
kewajiban yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku terhadap masing-masing kantor
cabang atau bagian yang berdiri sendiri itu.
Pasal 5
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Menteri mengatur lebih lanjut tentang penahapan
perusahaan-perusahaan yang dikenakan wajib lapor.
Pasal 6
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan:
a. identitas perusahaan;
d. kesempatan kerja.
(3) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 7
(1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pengusaha atau
pengurus wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan
kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) berlaku pula untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 8
(1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum
memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan:
BAB IV
Pasal 9
Menteri mengatur tatacara laporan dan menetapkan bentuk laporan yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 8 ayat (2).
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 10
(2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang
terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan pidana
kurungan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pel anggaran.
Pasal 11
(1) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan oleh suatu
persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana
dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang
bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum l ain itu.
(3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan
ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana dilakukan dan
pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia.
Pasal 12
Selain dari pegawai penyidik umum, maka kepada pegawai pengawas perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, diberikan juga
wewenang untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-
undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum dikenakan wajib lapor
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib
melaporkan keadaan ketenagakerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam
waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(2) Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan berdasarkan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga
kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
mulai berlakunya Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pasal 15
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari ke 60 (enam puluh) sesudah hari
pengundangannya.
Ditetapkan Di Jakarta,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.
TENTANG
I. UMUM
Ketenaga kerjaan adalah hal ihwal mengenai keadaan tenaga kerja yang merupakan faktor
penting bagi terselenggaranya pembangunan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tidak meletakkan dasar kewajiban yang sama bagi
setiap perusahaan, hal ini tersirat dalam Pasal 5 yang mengecualikan jenis perusahaan lain
untuk tidak melapor.
Dari segi tuntutan pembangunan ketenaga kerjaan umumnya adanya pengecualian tidak
memungkinkan diperolehnya data yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh
mengenai ketenaga kerjaan yang semakin kompleks, sehingga mempersulit penanganan
masalah ketenaga kerjaan baik preventif maupun represif.
Demikian pula kewajiban melaporkan satu kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1953 kurang memberi jaminan kesinambungan gambaran kebenaran
atas perkembangan keadaan tenaga kerja, kurang memberikan gambaran tentang
kemungkinan perluasan kesempatan kerja maupun upaya peningkatan produktivitas kerja
dalam perusahaan, karena pada tahun-tahun berikutnya tentu telah banyak terjadi perubahan
keadaan di perusahaan bersangkutan yang tidak terjangkau lagi oleh pelaksanaan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1953 tersebut.
Sehubungan dengan itu maka diperlukan suatu pengaturan pelaporan yang lebih sesuai
dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, khususnya mengenai persamaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1).
Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum maka penggantian Undang-undang Nomor
23 Tahun 1953 lebih diarahkan agar mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat
kemajuan di segala bidang sehingga dapat diciptakan kepastian hukum dalam memperlancar
pelaksanaan pembangunan terutama di bidang hubungan ketenaga kerjaan, perlindungan
tenaga kerja dan kesempatan kerja, dengan demikian akan lebih menjamin kemantapan dan
keterbukaan serta hubungan yang serasi antar para pelaku proses produksi barang dan jasa
sesuai dengan tujuan pembudayaan Hubungan Perburuhan berdasarkan Pancasila, sehingga
dapat tercapai kehidupan yang layak, khususnya bagi tenaga kerja masyarakat pada umumnya
seperti yang diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Untuk dapat melaksanakan kebijaksanaan tersebut Pemerintah memerlukan data ketenaga
kerjaan dari semua perusahaan yang mencakup semua sektor melalui wajib lapor ketenaga
kerjaan secara berkala.
Untuk itu diperlukan suatu pengaturan yang materi nya meliputi antara lain:
2. Kewajiban melaporkan tidak dilakukan hanya sekali akan tetapi dilakukan secara berkala
atau setiap tahun, sehingga dapat diperoleh data keadaan tenaga kerja secara terus-
menerus;
3. Data yang wajib dilaporkan yang lebih diperluas antara lain mengenai identitas
perusahaan, hubungan ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan
kerja;
4. Peningkatan sanksi pidana baik secara kuantitatif, yaitu jumlah denda maupun kualitatif
yaitu penerapan pidana kurungan.
Dengan adanya pengaturan sebagaimana tersebut di atas maka akan diperolehnya data yang
sesuai dengan perkembangan tentang keadaan tenaga kerja pada setiap perusahaan yang
merupakan bahan informasi bagi Pemerintah untuk selanjutnya diolah sebagai bahan
menetapkan k ebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan
perusahaan adalah yayasan, badan-badan lembaga-lembaga ilmiah serta badan usaha l ainnya
dengan nama apapun yang mempunyai dan mempekerjakan buruh.
Pasal 3
Laporan yang diperoleh diolah sebagai bahan bagi Pemerintah untuk menetapkan
kebijaksanaan dalam peningkatan perluasan kesempatan kerja, pembinaan hubungan
ketenaga kerjaan dan perlindungan tenaga kerja.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri adalah pejabat yang diserahi
tugas pengawasan di bidang ketenaga kerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Pasal 6
Ayat (1)
Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal tertera pada stempel pos.
Ayat (2)
Yang dimaksud dalam ayat ini adalah keterangan yang berhubungan dengan antara lain
nama perusahaan, alamat perusahaan, kepengurusan perusahaan, permodalan
perusahaan, proses produksi, hubungan ketenaga kerjaan, syarat kerja, kondisi kerja,
rencana perluasan dan pengurangan kesempatan kerja serta rencana latihan kejuruan
bagi tenaga kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Laporan berkala setiap tahun ini terhitung mulai perusahaan itu dilaporkan pada laporan
pertama; contoh apabila perusahaan itu dilaporkan pada bulan Juli maka bulan Juli pada tahun
berikutnya laporan berkala itu disampaikan lagi, dan seterusnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal tertera pada stempel pos.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 yang dinyatakan tidak berlaku
lagi adalah:
Cukup jelas.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
Dengan . . .
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KAWASAN EKONOMI KHUSUS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK,
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian
dan memperoleh fasilitas tertentu.
2. Zona adalah area di dalam KEK dengan batas tertentu yang
pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya.
3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat
nasional untuk menyelenggarakan KEK.
4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat
provinsi untuk membantu Dewan Nasional dalam
penyelenggaraan KEK.
5. Administrator adalah bagian dari Dewan Kawasan yang
dibentuk untuk setiap KEK guna membantu Dewan
Kawasan dalam penyelenggaraan KEK.
6. Badan Usaha adalah perusahaan berbadan hukum yang
berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi, swasta, dan usaha patungan untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
7. Pelaku Usaha adalah perusahaan yang berbentuk badan
hukum, tidak berbadan hukum atau usaha orang
perseorangan yang melakukan kegiatan usaha di KEK.
BAB II . . .
-3-
BAB II
FUNGSI, BENTUK, DAN KRITERIA
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 2
KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki
keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan
ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya
saing internasional.
Bagian Kedua
Bentuk
Pasal 3
(1) KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona:
a. pengolahan ekspor;
b. logistik;
c. industri;
d. pengembangan teknologi;
e. pariwisata;
f. energi; dan/atau
g. ekonomi lain.
(2) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan
perumahan bagi pekerja.
(3) Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha
mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik
sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung
kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.
Bagian Ketiga
Kriteria
Pasal 4
Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus
memenuhi kriteria:
a. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak
berpotensi mengganggu kawasan lindung;
b. pemerintah . . .
-4-
BAB III
PEMBENTUKAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Bagian Kesatu
Pengusulan
Pasal 5
(1) Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional
oleh:
a. Badan Usaha;
b. pemerintah kabupaten/kota; atau
c. pemerintah provinsi.
(2) Dalam hal usulan diajukan oleh Badan Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, usulan
disampaikan melalui pemerintah provinsi setelah
memperoleh persetujuan pemerintah kabupaten/kota.
(3) Dalam hal usulan diajukan oleh pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, usulan disampaikan melalui pemerintah
provinsi.
(4) Dalam hal usulan diajukan oleh pemerintah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, usulan
disampaikan setelah mendapat persetujuan pemerintah
kabupaten/kota.
Pasal 6
(1) Usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
(2) Usulan . . .
-5-
Bagian Kedua
Proses Penetapan
Pasal 7
(1) Dewan Nasional dapat menyetujui atau menolak usulan
pembentukan KEK setelah melakukan pengkajian atas
usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Dalam hal Dewan Nasional menyetujui pembentukan
KEK, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi
pembentukan KEK kepada Presiden.
(3) Dalam hal Dewan Nasional menolak usulan
pembentukan KEK, penolakan disampaikan kepada
pengusul disertai dengan alasan.
(4) Pembentukan KEK ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 8
Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan suatu
wilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga . . .
-6-
Bagian Ketiga
Pembangunan dan Pengoperasian
Pasal 10
(1) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4), pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota menetapkan Badan Usaha untuk
membangun KEK sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh:
a. pemerintah provinsi dalam hal lokasi KEK berada
pada lintas kabupaten/kota; dan
b. pemerintah kabupaten/kota dalam hal lokasi KEK
berada pada satu kabupaten/kota.
Pasal 11
Dalam hal usulan berasal dari Badan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten/kota menunjuk langsung Badan
Usaha pengusul untuk membangun KEK.
Pasal 12
(1) KEK harus siap beroperasi dalam waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak ditetapkan.
(2) Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional melakukan
evaluasi setiap tahun.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada pengusul untuk ditindaklanjuti.
(4) Dalam hal setelah 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) KEK belum siap beroperasi, Dewan
Nasional:
a. melakukan perubahan atas usulan sebelumnya;
b. memberikan perpanjangan waktu paling lama 2 (dua)
tahun; dan/atau
c. mengambil langkah penyelesaian masalah
pembangunan KEK.
(5) Dalam . . .
-7-
Pasal 13
(1) Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur di dalam KEK dapat berasal dari:
a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
b. swasta;
c. kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dan swasta; atau
d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri
dalam kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah,
dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur di dalam KEK.
(3) Pengelolaan aset hasil kerja sama Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta dapat dilakukan sesuai
dengan analisis kelayakan ekonomi dan finansial.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
(1) Dalam menyelenggarakan pengembangan KEK, dibentuk
Dewan Nasional dan Dewan Kawasan.
(2) Dewan Nasional terdiri atas menteri dan kepala lembaga
pemerintah nonkementerian.
(3) Dewan . . .
-8-
Bagian Kedua
Dewan Nasional
Pasal 15
(1) Dewan Nasional KEK dibentuk dengan Keputusan
Presiden.
(2) Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 16
(1) Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menangani
urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan
beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian.
(2) Dalam melaksanakan tugas, Dewan Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk
Sekretariat Dewan Nasional.
(3) Ketentuan mengenai keanggotaan, tata kerja, dan
kesekretariatan Dewan Nasional diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 17
Dewan Nasional bertugas:
a. menyusun Rencana Induk Nasional KEK;
b. menetapkan kebijakan umum serta langkah strategis
untuk mempercepat pembentukan dan pengembangan
KEK;
c. menetapkan standar infrastruktur dan pelayanan
minimal dalam KEK;
d. melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk
dijadikan KEK;
e. memberikan rekomendasi pembentukan KEK;
f. mengkaji . . .
-9-
Pasal 18
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Dewan Nasional dapat:
a. meminta penjelasan Dewan Kawasan dan Administrator
mengenai pelaksanaan kegiatan;
b. meminta masukan dan/atau bantuan instansi
Pemerintah, pemerintah daerah, atau para ahli sesuai
dengan kebutuhan; dan/atau
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan
kebutuhan.
Bagian Ketiga
Dewan Kawasan
Pasal 19
(1) Dewan Kawasan dibentuk pada setiap provinsi yang
sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK.
(2) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Dewan Nasional.
Pasal 20
(1) Dewan Kawasan terdiri atas ketua, yaitu gubernur, wakil
ketua, yaitu bupati/walikota, dan anggota, yaitu unsur
Pemerintah di provinsi, unsur pemerintah provinsi, dan
unsur pemerintah kabupaten/kota.
(2) Dalam . . .
- 10 -
Pasal 21
Dewan Kawasan bertugas:
a. melaksanakan kebijakan umum yang telah ditetapkan
oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan
mengembangkan KEK di wilayah kerjanya;
b. membentuk Administrator KEK di setiap KEK;
c. mengawasi, mengendalikan, mengevaluasi, dan
mengoordinasikan pelaksanaan tugas Administrator KEK
dalam penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu satu
pintu dan operasionalisasi KEK;
d. menetapkan langkah strategis penyelesaian
permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di
wilayah kerjanya;
e. menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan
Nasional setiap akhir tahun; dan
f. menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat
permasalahan strategis kepada Dewan Nasional.
Pasal 22
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Dewan Kawasan dapat:
a. meminta penjelasan Administrator KEK mengenai
pelaksanaan sistem pelayanan terpadu satu pintu serta
pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK;
b. meminta masukan dan/atau bantuan kepada instansi
Pemerintah atau para ahli sesuai dengan kebutuhan;
dan/atau
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan
kebutuhan.
Bagian Keempat . . .
- 11 -
Bagian Keempat
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 23
(1) Administrator KEK bertugas:
a. melaksanakan pemberian izin usaha dan izin lain
yang diperlukan bagi Pelaku Usaha yang mendirikan,
menjalankan, dan mengembangkan usaha di KEK;
b. melakukan pengawasan dan pengendalian
operasionalisasi KEK; dan
c. menyampaikan laporan operasionalisasi KEK secara
berkala dan insidental kepada Dewan Kawasan.
(2) Pelaksanaan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan melalui pelayanan terpadu
satu pintu.
Pasal 24
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23, Administrator KEK:
a. memperoleh pendelegasian atau pelimpahan wewenang di
bidang perizinan dari Pemerintah dan pemerintah
daerah; dan
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan Usaha
dan/atau Pelaku Usaha di KEK mengenai kegiatan
usahanya.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 25
(1) Dewan Nasional, Dewan Kawasan, dan Administrator
KEK memperoleh pembiayaan yang berasal dari:
a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan
b. sumber lain yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam . . .
- 12 -
Bagian Keenam
Badan Usaha Pengelola
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan kegiatan usaha di KEK dilaksanakan
oleh Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pengelola
KEK.
(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik
Daerah;
b. Badan Usaha koperasi;
c. Badan Usaha swasta; atau
d. Badan Usaha patungan antara swasta dan/atau
koperasi dengan Pemerintah, dan/atau pemerintah
provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
BAB V
LALU LINTAS BARANG, KARANTINA, DAN DEVISA
Pasal 27
(1) Ketentuan larangan atau pembatasan impor dan ekspor
yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan
berlaku di KEK.
(2) Barang yang terkena ketentuan pembatasan impor dan
ekspor dapat diberikan pengecualian dan/atau
kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Lalu lintas barang ke KEK dan dari KEK berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Ketentuan mengenai karantina manusia, hewan, ikan, dan
tumbuh-tumbuhan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan tetap berlaku di KEK.
Pasal 29 . . .
- 13 -
Pasal 29
(1) Mata uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah
di KEK.
(2) Pemasukan dan pengeluaran mata uang rupiah antara
KEK dan luar negeri tunduk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Mata uang asing hanya dapat dijualbelikan di KEK
melalui bank atau pedagang valuta asing yang telah
mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Semua transaksi perdagangan internasional dalam valuta
asing di KEK yang dilakukan melalui bank hanya dapat
dilakukan oleh bank yang telah mendapat izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
FASILITAS DAN KEMUDAHAN
Bagian Kesatu
Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai
Pasal 30
(1) Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di
KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh).
(2) Selain fasilitas PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat diberikan tambahan fasilitas PPh sesuai dengan
karakteristik Zona.
(3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas PPh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 . . .
- 14 -
Pasal 31
Fasilitas perpajakan juga dapat diberikan dalam waktu
tertentu kepada penanam modal berupa pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Impor barang ke KEK dapat diberikan fasilitas berupa:
a. penangguhan bea masuk;
b. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut
merupakan bahan baku atau bahan penolong
produksi;
c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena
pajak; dan
d. tidak dipungut PPh impor.
(2) Penyerahan barang kena pajak dari tempat lain di dalam
daerah pabean ke KEK dapat diberikan fasilitas tidak
dipungut PPN dan PPnBM berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyerahan barang kena pajak dari KEK ke tempat lain
di dalam daerah pabean sepanjang tidak ditujukan
kepada pihak yang mendapatkan fasilitas PPN dikenakan
PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Barang asal impor yang dikeluarkan dari KEK dengan
tujuan diimpor untuk dipakai, sepanjang pengeluaran
tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh
fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk,
cukai, atau pajak dalam rangka impor:
a. dipungut bea masuk;
b. dilunasi . . .
- 15 -
Pasal 34
Barang yang dikeluarkan dari KEK dengan tujuan untuk
diekspor diberlakukan ketentuan ekspor berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 35
(1) Setiap wajib pajak yang melakukan usaha di KEK
diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan
pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah
dapat memberikan kemudahan lain.
Bagian Ketiga
Pertanahan, Perizinan, Keimigrasian, dan Investasi
Pasal 36
Di KEK diberikan kemudahan untuk memperoleh hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 37
Badan Usaha yang telah memperoleh tanah di lokasi yang
sudah ditetapkan sebagai KEK berdasarkan Peraturan
Pemerintah diberikan hak atas tanah.
Pasal 38 . . .
- 16 -
Pasal 38
(1) Di KEK diberikan kemudahan dan keringanan di bidang
perizinan usaha, kegiatan usaha, perindustrian,
perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang
asing pelaku bisnis, serta diberikan fasilitas keamanan.
(2) Kemudahan dan keringanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 39
Di KEK tidak diberlakukan ketentuan yang mengatur bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman
modal, kecuali yang dicadangkan untuk UMKM dan koperasi.
Bagian Keempat
Fasilitas dan Kemudahan Lain
Pasal 40
(1) Selain pemberian fasilitas dan kemudahan sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 39, Zona
yang berada di dalam KEK dapat diberikan fasilitas dan
kemudahan lain.
(2) Ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh instansi
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kelima
Ketenagakerjaan
Pasal 41
Izin mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) yang mempunyai
jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan
berlaku selama TKA yang bersangkutan menjadi direksi atau
komisaris.
Pasal 42 . . .
- 17 -
Pasal 42
Penggunaan tenaga kerja di KEK mengutamakan warga
negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Di KEK dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus
oleh gubernur yang mempunyai tugas:
a. melakukan komunikasi dan konsultasi mengenai
berbagai masalah ketenagakerjaan;
b. melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan
timbulnya permasalahan ketenagakerjaan; dan
c. memberikan saran dan pertimbangan mengenai
langkah penyelesaian permasalahan.
(2) Keanggotaan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemerintah
daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh, dan unsur
asosiasi pengusaha.
(3) Di dalam melakukan tugas dan fungsinya, lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan lembaga lain.
Pasal 44
(1) Di KEK dibentuk Dewan Pengupahan oleh gubernur yang
tugas dan fungsinya sebagai berikut:
a. memberikan masukan dan saran untuk penetapan
pengupahan; dan
b. membahas permasalahan pengupahan.
(2) Keanggotaan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemerintah
daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh, unsur
asosiasi pengusaha, tenaga ahli, dan perguruan tinggi.
(3) Di dalam melakukan tugas dan fungsinya, Dewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan lembaga lain.
Pasal 45 . . .
- 18 -
Pasal 45
(1) Penetapan dan pemberlakuan upah minimum ditetapkan
dan diatur oleh gubernur.
(2) Penetapan upah minimum mempertimbangkan paling
sedikit:
a. upah minimum sebagai jaring pengaman;
b. kemampuan UMKM dan koperasi; dan
c. kebutuhan hidup layak (KHL).
Pasal 46
(1) Untuk perusahaan yang mempunyai lebih dari 1 (satu)
serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk 1 (satu)
forum serikat pekerja/serikat buruh pada setiap
perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan forum serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menangani
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 47
(1) Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat
pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama
(PKB) antara serikat pekerja/serikat buruh dan
pengusaha.
(2) Dalam PKB disepakati:
a. jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain; dan
b. bentuk hubungan kerja yang didasarkan perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak
tertentu.
(3) Dalam hal perusahaan melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja
waktu tertentu untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun dan dapat diperpanjang untuk sekali paling lama 1
(satu) tahun.
(4) Perjanjian . . .
- 19 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yaitu Batam,
Bintan, dan Karimun, yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi
Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4775), sebelum atau sesudah jangka waktu yang
ditetapkan berakhir, dapat diusulkan menjadi KEK
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain.
(2) Dalam . . .
- 20 -
Pasal 49
Dengan beralihnya status Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat
(1) atau berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2), Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4775), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 50
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 21 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
I. UMUM
Untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu
dilaksanakan pembangunan perekonomian nasional berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
rangka demokrasi ekonomi, diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang
lebih memberikan kesempatan dan dukungan pada usaha mikro, kecil,
menengah (UMKM), dan koperasi dan sekaligus memberikan manfaat bagi
industri dalam negeri. Berkaitan dengan hal itu, dalam Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) disediakan lokasi bagi UMKM dan koperasi agar dapat
mendorong terjadinya keterkaitan dan sinergi hulu hilir dengan
perusahaan besar, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung
Pelaku Usaha lain.
Dalam rangka mempercepat pencapaian pembangunan ekonomi nasional,
diperlukan peningkatan penanaman modal melalui penyiapan kawasan
yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis. Kawasan tersebut
dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan
kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pengembangan
KEK bertujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai
model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi,
antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat
menciptakan lapangan pekerjaan.
Pasal 31 . . .
-2-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “geoekonomi” adalah kombinasi faktor
ekonomi dan geografi dalam perdagangan internasional.
Yang . . .
-4-
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Zona pengolahan ekspor” adalah
area yang diperuntukkan bagi kegiatan logistik dan industri
yang produksinya ditujukan untuk ekspor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Zona logistik” adalah area yang
diperuntukkan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan,
penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan, dan
perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari luar
negeri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Zona industri” adalah area yang
diperuntukkan bagi kegiatan industri yang mengolah bahan
mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang
jadi, serta agroindustri dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan
perekayasaan industri yang produksinya untuk ekspor
dan/atau untuk dalam negeri.
Huruf d . . .
-5-
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Zona pengembangan teknologi”
adalah area yang diperuntukkan bagi kegiatan riset dan
teknologi, rancang bangun dan rekayasa, teknologi terapan,
pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang
teknologi informasi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Zona pariwisata” adalah area yang
diperuntukkan bagi kegiatan usaha pariwisata untuk
mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi,
pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan
yang terkait.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Zona energi” adalah area yang
diperuntukkan antara lain untuk kegiatan pengembangan
energi alternatif, energi terbarukan, teknologi hemat energi,
dan pengolahan energi primer.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Zona ekonomi lain” antara lain
dapat berupa Zona industri kreatif dan Zona olahraga.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pendukung” antara lain fasilitas
ibadah, hotel, rumah sakit, pendidikan, dan pelatihan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kawasan lindung” adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
-6-
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jalur pelayaran internasional” adalah:
a. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI);
b. jaringan pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan
internasional hub di Indonesia dan pelabuhan internasional di
Indonesia; dan
c. jaringan pelayaran yang menghubungkan antara pelabuhan
internasional hub dan pelabuhan internasional dengan
pelabuhan internasional di negara lain.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mempunyai batas yang jelas” adalah batas
alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok).
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan
area baru atau perluasan KEK yang sudah ada.
Huruf b
Yang dimaksudkan dengan “peraturan zonasi” adalah
ketentuan yang mengatur persyaratan pemanfaatan ruang
dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
Zona peruntukkan yang penetapan Zonanya dilakukan
dengan rencana rinci tata ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
-7-
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan Pemerintah antara lain mengatur penetapan batas luar
kawasan, Zona yang ada di dalam KEK, dan luas area KEK.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah hal-hal yang
terkait dengan kepentingan nasional yang bersifat strategis bagi
pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah tertentu.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “harus siap beroperasi” adalah telah
dipenuhinya seluruh kelengkapan infrastruktur, sumber daya
manusia, dan perangkat pengendalian administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
-8-
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perubahan” antara lain mencakup
luas area yang diusulkan, Zona, dan sumber pembiayaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “langkah penyelesaian” antara lain
berupa penggantian Badan Usaha dan pengusulan
pembatalan lokasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu
kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari
Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta, serta hak
kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
-9-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “permasalahan strategis” antara lain
permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan
atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang
memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Dewan
Nasional/pengelola KEK negara lain, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia, asosiasi pengusaha, dan perguruan tinggi yang bersifat
nirlaba.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 . . .
- 10 -
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ke KEK dan dari KEK” termasuk juga
pemasukan dan pengeluaran barang antar-KEK.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33 . . .
- 11 -
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Kemudahan yang diberikan antara lain percepatan pelayanan
pengukuran, pendaftaran hak, dan penerbitan sertifikat hak atas
tanah.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Dengan ketentuan ini, ketentuan bidang usaha yang tertutup untuk
penanaman modal sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal tetap
berlaku di KEK.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan “jabatan direksi atau komisaris” adalah
jabatan direksi atau komisaris yang tercantum dalam akte pendirian
perusahaan atau perubahannya.
Pasal 42
Penggunaan tenaga kerja Indonesia menganut prinsip Indonesia
sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional yang didasarkan pada
kompetensi kerja.
Pengusaha mengutamakan tenaga kerja setempat dalam hal syarat
kompetensi kerja telah dipenuhi.
Pasal 43 . . .
- 12 -
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus”
adalah Lembaga Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Sesuai dengan prinsip kebebasan berserikat, forum tidak
mengurangi independensi serikat pekerja/serikat buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”perjanjian kerja bersama (PKB)” adalah
perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dalam PKB disepakati” apabila
perusahaan akan menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada
perusahaan lain dan/atau melaksanakan hubungan kerja dalam
bentuk perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu
tidak tertentu, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
merundingkannya untuk menyepakatinya dalam PKB.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 13 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
8. Nama : Abidin
Tempat, tanggal lahir : Bandung,13 Maret 1976
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : GG H. Munajat Nomor 97 Kiara Condong,
Bandung
2. DUDUK PERKARA
8. Berlandaskan pada Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang memberikan
jaminan atas pekerjaan sebagaimana disebutkan “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”; (Bukti P-1)
9. Para Pemohon adalah pihak yang dirugikan atas berlakunya pasal 164 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(selanjutnya disebut UU 13/2003) yang isinya adalah “Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”;
(Bukti P-4)
10. Kerugian yang dimaksud adalah para Pemohon diputus-hubungan kerjanya
karena tempat bekerjanya yaitu Hotel Papandayan Bandung melakukan
renovasi dan mempergunakan pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; (Bukti P-5)
11. Dampak dari pemutusan hubungan kerja tersebut adalah :
• Para Pemohon kini tidak lagi memiliki pekerjaan. Hal ini telah
membuat hilangnya kepercayaan dari tetangga, kerabat dan
lembaga-lembaga lain.
• Para Pemohon sudah tidak lagi memiliki penghasilan yang biasa
diterima dari upah bulanan. Hal ini sudah berlangsung selama 13
bulan.
• Para Pemohon sudah tidak memiliki jaminan sosial seperti kesehatan
untuk diri pemohon dan keluarganya apabila mengalami sakit.
• Para Pemohon kini sudah tidak memiliki kesanggupan untuk mencicil
rumah sangat sederhana. Akibatnya sebagian pemohon kini tidak
memiliki tempat tinggal karena telah disita oleh pihak bank.
• Semakin sulit mendapatkan pekerjaan baru karena telah memasuki
usia paruh baya dan tidak bekerja sehingga sangat sulit bersaing
dengan pekerja yang usianya lebih muda.
10
12. Pemutusan hubungan kerja yang diterima oleh para Pemohon dasar
hukumnya adalah PHK dengan alasan efisiensi yang diakibatkan Hotel
Papandayan Bandung melakukan renovasi.
13. Para Pemohon menilai pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi
karena adanya renovasi adalah tidak memberikan keadilan bagi para
Pemohon dalam hubungan kerja.
14. Renovasi yang dilakukan oleh pemilik Hotel Papandayan Bandung adalah
berdasarkan kemampuan finansial dan bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang semakin besar. Hal ini dapat dipastikan karena Hotel
Papandayan Bandung kini telah naik kelas yaitu dari bintang 4 (empat)
menjadi bintang 5 (lima).
15. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para Pemohon mempunyai
kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU 13/2003)
terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (2);
22. Para Pemohon adalah pihak yang telah dirugikan atas Pasal 164 ayat (3)
tersebut karena dijadikan oleh Pengusaha untuk diputus hubungan kerjanya
walaupun perusahaan tidak tutup dan semata karena melakukan
renovasi yang dapat diperkirakan jangka waktunya;
23. Renovasi bukanlah bentuk dari penutupan perusahaan karena tujuan
renovasi adalah untuk meningkatkan fasilitas dan akan dibuka kembali.
24. Tindakan ini sangat bertentangan dengan norma yang diatur Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945 yang memberikan jaminan atas pekerjaan sebagaimana
disebutkan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;
25. Renovasi di Hotel Papandayan Bandung (tempat para Pemohon bekerja)
bukanlah disebabkan perusahaan tutup. Renovasi dilakukan karena secara
financial, Pengusaha telah memiliki cadangan dana yang cukup dan telah
direncanakan sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari terus meningkatnya
pendapatan Pengusaha dan tidak memiliki hutang atau pinjaman apapun
pada pihak ketiga;
26. Kini telah terbukti renovasi hanya berlangsung singkat dan Hotel
Papandayan Bandung tempat pemohon bekerja telah dibuka kembali pada
tanggal 12 Maret 2011. Sementara Pemohon telah kehilangan pekerjaan
dan masa depannya untuk menghidupi keluarganya; (Bukti P-7)
27. Renovasi akhirnya menjadi cara dan alasan untuk melakukan PHK
kepada Pemohon. Bandingkan dengan kasus di Hotel Regent Jakarta
pada tahun 2001 yang tutup karena banjir selama hampir 2 tahun.
Walaupun merupakan force majeur dan tidak memiliki persiapan dan
cadangan dana namun tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Sebagian
pekerja dirumahkan dan pengusaha tetap membayarkan kewajibannya
walaupun hanya berupa hak-hak normatif sambil menunggu proses
renovasi selesai. Sebagian lagi diperbantukan dalam proyek renovasi.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 2001 sebelum munculnya Pasal 164
ayat (3) UU 13/2003;
28. Jaminan atas kesempatan tetap bekerja yang telah didapatkan oleh para
pekerja Hotel Regent Jakarta tersebut telah sejalan dengan amanat yang
dimuat oleh UU Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di perusahaan swasta.
13
IV. Petitum
Berdasarkan uraian di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal
28D ayat (2);
17
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono);
Selain itu, para Pemohon mengajukan satu orang ahli atas nama Indrasari
Tjandraningsih, M.A. dan dua orang saksi yaitu Yanri Syawal Silitonga dan
Dicky Irawan yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 9
Mei 2011, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Keterangan Ahli Indrasari Tjandraningsih, M.A.
• Secara umum, pemerintah memang ingin memperluas kesempatan kerja di
sektor formal melalui kebijakan memperbaiki iklim investasi, salah satunya
ditempuh dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
• Dalam kurun waktu 15 tahun, data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa kesempatan kerja di sektor formal
menunjukkan angka yang relatif stabil antara 28.000.000 sampai dengan
30.000.000 dan angka terakhir tahun 2010 adalah 30.000.000;
• Berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005 terkait dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menunjukkan kecenderungan
pengurangan kesempatan kerja akibat diterapkannya sistem kerja kontrak
dan outsourcing serta kemudahan untuk merekrut dan memecat tenaga
kerja;
• Terjadinya penurunan jumlah pekerja pada tahun 2001 sampai tahun 2006
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menaikan harga Bahan Bakar
Minyak dan tarif listrik yang membuat perusahaan kalang kabut, sehingga
terjadi banyak PHK.
• Penelitian yang dilakukan ahli memperlihatkan bahwa alasan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) bermacam-macam. Selain karena alasan efisiensi,
tetapi PHK terjadi karena perusahaan berkurang order pekerjaannya,
karena terjadi penutupan perusahaan, aksi-aksi anti serikat yang tidak
pernah dinyatakan secara langsung sebagai alasan PHK, dan pengalihan
status hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak, atau menggantikannya
dengan pekerja outsourcing;
• Persoalan ketenagakerjaan dan kesejahteraan pekerja, selain menjadi
tanggung jawab pengusaha juga merupakan tanggung jawab negara.
Negara bertanggung jawab melalui sistem jaminan sosial yang sudah
diundangkan.
19
I. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa berdasarkan salinan permohonan dari Mahkamah Konstitusi Nomor
464.19/PAN.MK/V/2011, para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Pasal
20
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian dan penjelasannya di atas, Pemerintah
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Para Pemohon dalam seluruh uraiannya tidak dapat menguraikan secara
jelas dan tegas serta kabur (obscuur libel), khususnya dalam
mengkonstruksikan adanya kerugian hak-hak konstitusional atas berlakunya
ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
2. Para Pemohon dalam mengkonstruksikan kerugian hak-hak
konstitusionalnya berdasarkan penerapan peraturan ketenagakerjaan yang
tidak sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan
31
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap permohonan para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam
permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
2. Pengujian UU Ketenagakerjaan
Terhadap permohonan pengujian Pasal Undang-Undang a quo yang
diajukan oleh para Pemohon, DPR menyampaikan keterangan sebagai
berikut :
1. Bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik
materiil maupun spiritual. Dan Undang-Undang a quo mengatur dan
mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan, dimana keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan
sesudah bekerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan
pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk kepentingan tenaga
kerja, dalam hal ini pekerja buruh, khususnya mengenai norma
pemutusan hubungan kerja. Pada dasarnya pengusaha, pekerja buruh,
serikat pekerja, serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya
mengusahakan agar jangan sampai terjadi pemutusan hubungan kerja.
2. Bahwa, menurut DPR untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas dan
guna memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah
pemutusan hubungan kerja yang semena-mena, maka melalui
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan telah mengatur
36
di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat yang secara
tegas menyatakan bahwa PHK dengan alasan renovasi tidak dapat
dibenarkan.
8. Dengan uraian fakta-fakta di atas sudah sangat jelas jika pemutusan
hubungan kerja kepada para Pemohon adalah tidak sah yang diakibatkan
dibukanya celah melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa adanya
pedoman dan pengaturan yang jelas sebagaimana isi Pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
adalah pekerja televisi Indosiar mengaku jika dirinya juga menjadi korban
akibat Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Keduanya diputus hubungan kerjanya akibat mendirikan serikat pekerja
yang bertujuan sangat mulia yaitu memperjuangan nasib para pekerja yang
hak-hak normatifnya dilanggar dan membuat perjanjian kerja bersama
(PKB) yang mengatur mengenai hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha.
15. Bahkan saksi fakta, Dicky Irawan, adalah pekerja terbaik di Indosiar pada
tahun 2007 yang mendapatkan hadiah mobil dari perusahaan namun
dikenakan PHK dengan alasan efisiensi.
16. Saksi fakta, Dicky Irawan telah menyampaikan bahwa 300 pekerja Indosiar
yang menjadi anggota serikat pekerja di PHK dengan alasan efisiensi dan
selanjutnya digantikan oleh pekerja outsourcing.
17. Fakta-fakta diatas telah membuktikan jika Pasal 164 ayat (3) pada akhirnya
menjadi celah kepada pihak Pengusaha untuk menghilangkan hak warga
negara untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak di antaranya karena :
a. Pengusaha tidak menghendaki adanya serikat pekerja di Perusahaan
dengan melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja kepada
pengurus serikat pekerja.
b. Pengusaha menghilangkan tanggung jawab pada masa depan pekerja
dan keluarganya dengan cara mengganti pekerja tetap dengan pekerja
kontrak, harian atau outsourcing.
c. Pengusaha mengganti pekerja yang masih jauh dari usia pensiun
dengan pekerja muda.
d. Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena unsur
agama, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik dan
status perkawinan;
18. Hal ini telah sesuai dengan keterangan Ahli, Indrasari Tjandraningsih, yang
menerangkan bahwa sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 telah terjadi kecendurangan pengurangan kesempatan kerja
akibat diterapkannya sistem kerja kontrak dan outsourcing.
19. Bahwa keterangan Pemerintah yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) telah
memberikan jaminan yang layak untuk pekerja yang diputus hubungan
43
kerjanya karena telah diberikan pesangon yang lebih baik menjadi bukti jika
Pemerintah membiarkan warga negara Indonesia untuk melanjutkan
hidupnya tanpa ada kepastian.
20. Ahli, Indrasari Tjandraningsih, dalam persidangan telah menyampaikan
penelitiannya yaitu :
Upah minimum yang diterima pekerja hanya mampu memenuhi 80%
kebutuhan hidupnya.
Pekerja menutupi kebutuhan hidupnya dengan cara berhutang atau
menurunkan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau menggabungkan
penghasilan dari suami dan istri apabila sudah menikah, mengandalkan
sumbangan dari orang tua dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
sampingan.
Hanya 27% persen pekerja formal yang mendapatkan jaminan sosial
tenaga kerja yang didalamnya termasuk kesehatan.
Bagi yang tidak memiliki pekerjaan apabila dirinya atau keluarganya
mengalami masalah kesehatan maka terpaksa berhutang atau menjual
aset yang dimiliki.
Kesempatan kerja di sektor formal terutama untuk yang mempunyai
keterampilan-keterampilan khusus sangat terbatas.
Kecendrungan perusahaan-perusahaan sekarang mencari pekerja-
pekerja muda dengan batas usia maksimal 30 tahun
Pekerja paruh baya yang terkena PHK teramat sangat sulit untuk
mendapatkan pekerjaan baru.
21. Keterangan Ahli, Indrasari Tjandraningsih, telah sesuai dengan kondisi yang
dialami oleh Pemohon dan saksi fakta yaitu sangat sulit untuk mencari
pekerjaan baru dan terpaksa menjual aset yang dimiliki untuk bertahan
hidup dan membayar biaya apabila mengalami sakit.
22. Dalih telah adanya pesangon yang lebih baik juga sangat tidak relevan
dengan tanggung jawab negara pada rakyatnya.
23. Ahli, Indrasari Tjandraningsih, melalui penelitiannya menyatakan pesangon
tidak memberikan jaminan apapun untuk pekerja. Hal ini berkaitan dengan
jumlah pesangon yang diterima, lamanya menggangur dan keterampilan
untuk berwiraswasta. Sehingga kemungkinan-kemungkinan menciptakan
44
Adanya faktor teknologi. Misalnya pintu masuk jalan tol. Jika dahulu
dijaga oleh pekerja untuk menyerahkan tiket tol, kini sudah digantikan
oleh mesin penjaga.
Kelebihan karyawan.
31. Untuk menyatakan sebuah perusahaan telah kelebihan karyawan,
syaratnya harus mendapatkan rekomendasi dari instansti yang berwenang
diantaranya melalui Departemen / Dinas Tenaga Kerja sebelum efesiensi itu
dilakukan.
32. Pemohon dan saksi fakta adalah pihak yang telah dirugikan atas Pasal 164
ayat (3) tersebut karena dijadikan oleh Pengusaha untuk diputus hubungan
kerjanya walaupun perusahaan tidak tutup dan tidak merugi.
33. Renovasi akhirnya menjadi cara dan alasan untuk melakukan PHK kepada
Pemohon. Bandingkan dengan kasus di Hotel Regent Jakarta pada tahun
2001 yang tutup karena banjir selama hampir 2 tahun. Walaupun
merupakan force major dan tidak memiliki persiapan dan cadangan dana
namun tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Sebagian pekerja
dirumahkan dan pengusaha tetap membayarkan kewajibannya walaupun
hanya berupa hak-hak normatif sambil menunggu proses renovasi selesai.
Sebagian lagi diperbantukan dalam proyek renovasi. Peristiwa itu terjadi
pada tahun 2001 sebelum munculnya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003;
34. Jaminan atas kesempatan tetap bekerja yang telah didapatkan oleh para
pekerja Hotel Regent Jakarta tersebut telah sejalan dengan amanat yang
dimuat oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di perusahaan swasta.
35. Sehingga UU ketenagakerjaan terdahulu lebih memberikan perlindungan
atas nasib pekerja dan keluarganya dibandingkan UU Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003.
36. Berikut adalah penjelasan dan pokok-pokok pikiran yang dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di perusahaan swasta:
Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa
pangangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin
kepastian ketenteraman hidup buruh seharusnya tidak ada pemutusan
hubungan kerja.
46
IV. PETITUM
Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, para Pemohon memohon agar
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal
28D ayat (2);
3. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memulihkan hak-hak konstitusional Pemohon yaitu mengembalikan hak
Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di Hotel Papandayan
Bandung;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono);
49
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara
Persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
50
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.7.1] Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 yang
menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” (vide bukti P-4);
[3.7.2] Bahwa para Pemohon telah diputus hubungan kerjanya karena tempat
bekerjanya yaitu Hotel Papandayan Bandung melakukan renovasi dengan dasar
Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 (vide bukti P-5);
dalam hubungan kerja” telah dilanggar dengan adanya Pasal 164 ayat (3) UU
13/2003 (vide bukti P-1);
Pokok Permohonan
• Pengusaha, dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan, tidak mematuhi secara
benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana
ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Apabila
dalam pelaksanaannya tidak sesuai, maka pekerja/buruh, termasuk para
Pemohon, dapat melakukan upaya hukum yang tersedia;
Pendapat Mahkamah
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua
merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan Harjono, masing-masing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Luthfi Widagdo Eddyono sebagai
Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah
atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd ttd
td
Achmad Sodiki M. Akil Mochtar
ttd ttd
ttd ttd
ttd
Harjono
PANITERA PENGGANTI,
ttd
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
Kategori Jasa Pendidikan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan Menteri ini.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 462 TAHUN 2012
TENTANG
2
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2310 Dosen Konseling Phsycology
Psikologi Counselling Lecturer
2310 Dosen Linguistik Linguistic Lecturer
3
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2320 Guru Bahasa Korea Korean Teacher
4
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2320 Guru Biologi Biology Teacher
5
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2444 Penutur Asli Italian Native
Bahasa Italia Speaker
2444 Penutur Asli Japanese Native
Bahasa Jepang Speaker
2444 Penutur Asli Deutsch Native
Bahasa Jerman Speaker
2444 Penutur Asli Korean Native
Bahasa Korea Speaker
2444 Penutur Asli Mandarin (Chinese)
Bahasa (China) Native Speaker
Mandarin
2444 Penutur Asli French Native
Bahasa Prancis Speaker
2444 Penutur Asli Spanish Native
Bahasa Spanyol Speaker
Pendidik di Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan
Khusus/Special and Services Education Teacher
Keterangan:
SI = Sekolah Internasional
ISCO = International Standard Classification of Occupations
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
6
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori industri pengolahan golongan pokok industri bahan
kimia dan barang dari bahan kimia sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Keputusan Menteri ini.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 463 TAHUN 2012
TENTANG
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori perdagangan besar dan eceran serta reparasi dan
perawatan mobil dan sepeda motor sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan Menteri ini.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 464 TAHUN 2012
TENTANG
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 464 TAHUN 2012
TENTANG
3
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
3113 Penasihat Electrical Advisor
Kelistrikan
2411 Penasihat Keuangan Financial Advisor
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
4
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 3
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 4
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 5
BAB III
AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Pasal 8
Bagian Kedua
Inisiasi Menyusu Dini
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 12
Bagian Keempat
Informasi dan Edukasi
Pasal 13
Bagian Kelima
Sanksi Administratif
Pasal 14
BAB IV
PENGGUNAAN SUSU FORMULA BAYI DAN
PRODUK BAYI LAINNYA
Pasal 15
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 29
BAB V
TEMPAT KERJA DAN TEMPAT SARANA UMUM
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
BAB VI
DUKUNGAN MASYARAKAT
Pasal 37
Pasal 38
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 39
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pasal 43
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2012
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
I. UMUM
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Kebijakan nasional dituangkan dalam bentuk norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.
Strategi program pemberian ASI Eksklusif dilakukan secara
terpadu, berjenjang, dan berkesinambungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Dalam melaksanakan kebijakan nasional, daerah provinsi dapat
menetapkan peraturan daerah atau peraturan gubernur dengan
mengacu pada kebijakan nasional.
Dalam menetapkan kebijakan program pemberian ASI Eksklusif di
daerah, pemerintah daerah provinsi dapat memperhatikan
kemampuan dan potensi sumber daya manusia, kemampuan dan
potensi sumber pendanaan, dan dukungan masyarakat. Strategi
program pemberian ASI Eksklusif dilakukan secara terpadu,
berjenjang, dan berkesinambungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Dalam melaksanakan kebijakan nasional, daerah kabupaten/kota
dapat menetapkan peraturan daerah atau peraturan bupati atau
peraturan walikota dengan mengacu pada kebijakan nasional dan
kebijakan pemerintah daerah provinsi.
Dalam menetapkan kebijakan program pemberian ASI Eksklusif di
daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memperhatikan
kemampuan dan potensi sumber daya manusia, kemampuan dan
potensi sumber pendanaan, dan dukungan masyarakat. Strategi
program pemberian ASI Eksklusif dilakukan secara terpadu,
berjenjang, dan berkesinambungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” adalah kondisi medis Bayi
dan/atau kondisi medis ibu yang tidak memungkinkan
dilakukannya pemberian ASI Eksklusif.
Kondisi medis Bayi yang tidak memungkinkan pemberian ASI
Ekslusif antara lain:
a. Bayi yang hanya dapat menerima susu dengan formula khusus,
yaitu Bayi dengan kriteria:
1. Bayi dengan galaktosemia klasik, diperlukan formula
khusus bebas galaktosa;
2. Bayi dengan penyakit kemih beraroma sirup maple (maple
syrup urine disease), diperlukan formula khusus bebas
leusin, isoleusin, dan valin; dan/atau
3. Bayi dengan fenilketonuria, dibutuhkan formula khusus
bebas fenilalanin, dan dimungkinkan beberapa kali
menyusui, di bawah pengawasan.
b. Bayi yang membutuhkan makanan lain selain ASI selama
jangka waktu terbatas, yaitu:
1. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari 1500 (seribu
lima ratus) gram (berat lahir sangat rendah);
2. Bayi lahir kurang dari 32 (tiga puluh dua) minggu dari usia
kehamilan yang sangat prematur; dan/atau
3. Bayi baru lahir yang berisiko hipoglikemia berdasarkan
gangguan adaptasi metabolisme atau peningkatan
kebutuhan glukosa seperti pada Bayi prematur, kecil untuk
umur kehamilan atau yang mengalami stress
iskemik/intrapartum hipoksia yang signifikan, Bayi yang
sakit dan Bayi yang memiliki ibu pengidap diabetes, jika
gula darahnya gagal merespon pemberian ASI baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kondisi medis ibu yang tidak dapat memberikan ASI Eksklusif
karena harus mendapat pengobatan sesuai dengan standar.
Kondisi ibu tersebut antara lain:
a. ibu yang dapat dibenarkan alasan tidak menyusui secara
permanen karena terinfeksi Human Immunodeficiency Virus.
Dalam kondisi tersebut, pengganti pemberian ASI harus
memenuhi kriteria, yaitu dapat diterima, layak, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman (acceptable, feasible, affordable,
sustainable, and safe). Kondisi tersebut bisa berubah jika
secara teknologi ASI Eksklusif dari ibu terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus dinyatakan aman bagi Bayi dan demi
untuk kepentingan terbaik Bayi. Kondisi tersebut juga dapat
diberlakukan bagi penyakit menular lainnya;
b. ibu yang dapat dibenarkan alasan menghentikan menyusui
sementara waktu karena:
1. penyakit parah yang menghalangi seorang ibu merawat
Bayi, misalnya sepsis (infeksi demam tinggi hingga tidak
sadarkan diri);
2. infeksi Virus Herpes Simplex tipe 1 (HSV-1) di payudara;
kontak langsung antara luka pada payudara ibu dan mulut
Bayi sebaiknya dihindari sampai semua lesi aktif telah
diterapi hingga tuntas;
3. pengobatan ibu:
a) obat–obatan psikoterapi jenis penenang, obat anti–
epilepsi dan opioid dan kombinasinya dapat
menyebabkan efek samping seperti mengantuk dan
depresi pernapasan dan lebih baik dihindari jika
alternatif yang lebih aman tersedia;
b) radioaktif iodine–131 lebih baik dihindari mengingat
bahwa alternatif yang lebih aman tersedia, seorang ibu
dapat melanjutkan menyusui sekitar 2 (dua) bulan
setelah menerima zat ini;
c) penggunaan yodium atau yodofor topikal misalnya
povidone–iodine secara berlebihan, terutama pada luka
terbuka atau membran mukosa, dapat menyebabkan
penekanan hormon tiroid atau kelainan elektrolit pada
Bayi yang mendapat ASI dan harus dihindari; dan
d) sitotoksik kemoterapi yang mensyaratkan seorang ibu
harus berhenti menyusui selama terapi.
Huruf b
Kondisi yang tidak memungkinkan Bayi mendapatkan ASI
Eksklusif karena ibu tidak ada atau terpisah dari Bayi dapat
dikarenakan ibu meninggal dunia, ibu tidak diketahui
keberadaaanya, ibu terpisah dari Bayi karena adanya bencana atau
kondisi lainnya dimana ibu terpisah dengan Bayinya sehingga ibu
tidak dapat memenuhi kewajibannya atau anak tidak memperoleh
haknya.
Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 7 huruf b.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menentukan ada atau tidaknya indikasi medis, bidan atau
perawat mengacu penjelasan Pasal 7.
Pasal 9
Ayat (1)
Inisiasi menyusu dini dilakukan dalam keadaan ibu dan Bayi stabil
dan tidak membutuhkan tindakan medis selama paling singkat 1
(satu) jam. Lama waktu inisiasi menyusu dini paling singkat selama
1 (satu) jam dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
Bayi agar dapat mencari puting susu ibu dan menyusu sendiri.
Dalam hal selama paling singkat 1 (satu) jam setelah melahirkan,
Bayi masih belum mau menyusu maka kegiatan inisiasi menyusu
dini harus tetap diupayakan oleh ibu, Tenaga Kesehatan, dan
penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) ruangan atau rawat gabung”
adalah ruang rawat inap dalam 1 (satu) ruangan dimana Bayi
berada dalam jangkauan ibu selama 24 (dua puluh empat) jam.
Indikasi medis didasarkan pada kondisi medis Bayi dan/atau
kondisi medis ibu yang tidak memungkinkan dilakukan rawat
gabung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pendonor ASI” adalah ibu yang
menyumbangkan ASI kepada Bayi yang bukan anaknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mutu dan keamanan ASI” meliputi
kebersihan, cara penyimpanan, cara pemberian, atau cara
memerah ASI.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ibu” dalam ketentuan ini adalah ibu yang
dapat memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pemberian
makanan botol secara parsial” adalah makanan/minuman
selain ASI yang diberikan kepada Bayi dengan
menggunakan botol.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kesulitan
untuk mengubah keputusan” adalah kondisi dimana ibu
sudah memutuskan untuk tidak memberikan ASI, maka
sulit untuk kembali lagi memberikan ASI.
Ayat (3)
Pendampingan dilakukan melalui pemberian dukungan moril,
bimbingan, bantuan, dan pengawasan ibu dan bayi selama
kegiatan inisiasi menyusu dini dan/atau selama awal menyusui.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tenaga terlatih” adalah tenaga yang
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan mengenai pemberian
ASI melalui pelatihan, antara lain konselor menyusui.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pemberian peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan penyajian
Susu Formula Bayi atau produk susu bayi lainnya hanya dapat
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan. Dengan demikian, tenaga non
kesehatan tidak dapat melakukan pemberian peragaan dan penjelasan
atas penggunaan dan penyajian Susu Formula Bayi atau produk susu
bayi lainnya.
Dalam hal ibu dari Bayi yang memerlukan Susu Formula Bayi atau
produk susu bayi lainnya tersebut telah meninggal dunia, sakit berat,
sedang menderita gangguan jiwa berat, dan/atau tidak diketahui
keberadaannya, peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan
penyajian Susu Formula Bayi atau produk susu bayi lainnya hanya
dapat dilakukan terbatas pada Keluarga yang akan mengurus dan
merawat Bayi tersebut.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “produk bayi lainnya” adalah produk bayi
yang terkait langsung dengan kegiatan menyusui meliputi segala
bentuk susu dan pangan bayi lainnya, botol susu, dot, dan
empeng.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dilarang
mempromosikan” termasuk memajang, memberikan potongan
harga, memberikan sampel Susu Formula Bayi, memberikan
hadiah, memberikan informasi melalui saluran telepon, media
cetak dan elektronik, memasang logo atau nama perusahaan pada
perlengkapan persalinan dan perawatan Bayi, membuat dan
menyebarkan brosur, leaflet, poster, atau yang sejenis lainnya.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengan “secara terbuka” adalah tidak ada konflik
kepentingan antara pemberi bantuan dan penerima bantuan, dan
diumumkan secara terbuka.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak bersifat mengikat” adalah tidak ada
kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh institusi penerima
bantuan berdasarkan keinginan pemberi bantuan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di
bidang keuangan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pengurus Tempat
Kerja” adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung
suatu Tempat Kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “fasilitas khusus”
adalah ruang menyusui dan/atau memerah ASI yang dinamai
dengan ruang ASI.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “perusahaan” adalah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perkantoran” termasuk lembaga
pemasyarakatan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “peraturan perundang-
undangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
Pasal 37
Ayat (1)
Pelaksanaan dukungan dari masyarakat dilakukan sesuai dengan
kemampuan sumber daya yang tersedia. Pelaksanaan dukungan
dari masyarakat dilakukan dengan berpedoman pada 10 (sepuluh)
langkah menuju keberhasilan menyusui untuk masyarakat, yaitu:
a. meminta hak untuk mendapatkan pelayanan inisiasi menyusu
dini ketika persalinan;
b. meminta hak untuk tidak memberikan asupan apapun selain
ASI kepada Bayi baru lahir;
c. meminta hak untuk Bayi tidak ditempatkan terpisah dari
ibunya;
d. melaporkan pelanggaran-pelanggaran kode etik pemasaran
pengganti ASI;
e. mendukung ibu menyusui dengan membuat Tempat Kerja yang
memiliki fasilitas ruang menyusui;
f. menciptakan kesempatan agar ibu dapat memerah ASI
dan/atau menyusui Bayinya di Tempat Kerja;
g. mendukung ibu untuk memberikan ASI kapanpun dan
dimanapun;
h. menghormati ibu menyusui di tempat umum;
i. memantau pemberian ASI di lingkungan sekitarnya; dan
j. memilih Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
yang menjalankan 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan
menyusui.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pemberian
ASI Eksklusif dilaksanakan pada situasi normal dan situasi bencana
atau darurat.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Pusat adalah
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada kementerian yang menangani
urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi adalah
unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
Provinsi yang menangani urusan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/ Kota yang menangani urusan di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 5
1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal yang mempunyai tugas pokok
dan fungsi di bidang Otonomi Daerah melakukan pembinaan umum terhadap
penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
2) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Direktur Jenderal yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pengawasan ketenagakerjaan
melakukan pembinaan teknis terhadap penyelenggaraan pengawasan
ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 6
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap
akhir tahun atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 7
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 8
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2012
ttd. ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:
3. Nama : Yulianti
Pekerjaan : Buruh PT. Megahbuana Citramasindo
Alamat : Jalan Kali Baru Barat IV RT.011, RW.07, Nomor 47,
Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta
Utara
Yang dalam hal ini, masing-masing adalah pengurus dan bertindak mewakili untuk
serta atas nama Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, yang beralamat di
Jalan Otto Iskandardinata (Gg. Setia), RT.008, RW.02, Nomor 23D, Kelurahan
Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, yang telah tercatat sebagai
2
Dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Andi Muhammad Asrun, S.H, M.H. dan
Merlina, S.H., keduanya Advokat & Konsultan Hukum pada “Muhammad Asrun
and Partners (MAP) Law Firm”, beralamat di Gedung PGRI, Jalan Tanah Abang III
Nomor 24 Jakarta Pusat,. Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus
bertanggal 20 September 2011, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
2. DUDUK PERKARA
tanggung jawab pekerja/buruh itu sendiri sebagai tabungan hari tua atau
akibat pemutusan hubungan kerja.
6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, agar ketentuan Pasal 4 ayat
(1) UU Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN, dapat memberikan
jaminan dan kepastian kepada pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan
sosial, maka kepada setiap pekerja/buruh secara perseorangan diberikan
hak untuk “dapat” mendaftarkan dirinya sendiri dan perusahaannya
menjadi peserta jaminan sosial.
Sehingga muatan materi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek
dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN, haruslah ditafsirkan menjadi, program
jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh, yang kepesertaannya
sebagai peserta jaminan sosial bersifat wajib, yang didaftarkan ke Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial oleh pemberi kerja atau perusahaan,
maupun oleh pekerja/buruh itu sendiri yang melakukan pekerjaan didalam
hubungan kerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
4. PETITUM
Atau, apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya.
Selain itu para Pemohon juga mengajukan satu orang saksi dan satu orang ahli
yang menyampaikan keterangan di dalam persidangan tanggal 21 Desember 2011
sebagai berikut:
1. Saksi Bakit
x Saksi adalah karyawan PT. Anugerah Setia Lestari, sebagai Driver dengan
penghasilan perbulan Rp. 640.000,-;
x Saksi pernah sakit kencing batu pada tahun 2010, dan untuk operasi, saksi
telah mengeluarkan biaya sebesar Rp. 13.000.000,- uang pribadi saksi; dari
perusahaan hanya membantu uang kesehatan yang pertahun senilai
Rp. 350.000,-;
x Saksi pernah mengajukan bantuan biaya ke perusahaan, dan malah diminta
mengundurkan diri dengan bantuan Rp. 5.000.000,-;
x Saksi mengetahui adanya Jamsostek dan tahu akan manfaat kepesertaan
Jamsostek, akan tetapi belum terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Saksi
sudah pernah mendaftar ke Jamsostek di Cikarang, akan tetapi ditolak
karena perorangan tidak dapat mendaftar, harus perusahaan;
12
penyelenggara jaminan sosial yang ada saat ini, dinilai kurang berhasil
menunjukkan kinerja yang diharapkan. Kepesertaan yang relatif kecil
dibanding jumlah buruh formal yang ada, perluasan kepesertaan yang relatif
sulit.
x Menurut ahli, hal ini terjadi karena memang PT Jamsostek dalam sistem
yang ada sekarang, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992, menghadapi beberapa masalah struktural, antara lain: mengapa dari
30-an juta buruh formal yang ada, hanya 9 juta yang menjadi peserta
Jamsostek? Mengapa juga PT Jamsostek praktis tidak mampu untuk
memperluas cakupan perlindungan jaminan sosial bagi sekitar 70 orang
yang bekerja di ekonomi informal yang ada di Indonesia ini? Ini tidak lepas
dari keterbatasan dari aturan pelaksanaan Undang-Undang Jamsostek itu
sendiri.
x Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993, yang kemudian digantikan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995, yang merupakan aturan
turunan dari Undang-Undang Jamsostek Nomor 3 Tahun 1992,
memungkinkan terjadinya opting out, atau memilih untuk tidak ikut
Jamsostek selama bisa memberi manfaat yang lebih, dan tidak bersifat
wajib, dan universal, atau menyeluruh. Jamsostek cuma untuk pekerja
formal. Tidak diberikan kesempatan, walaupun belakangan ada perubahan
sedikit kepada pekerja informal misalnya atau juga yang di antara itu.
x Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek hanya
mewajibkan buruh atau pekerja untuk menjadi peserta. Tapi tidak bagi
pemberi kerja atau majikan. Dalam konteks tadi cerita Pak Bakit, yang jadi
peserta itu adalah buruh. Tapi pemberi kerja tidak menjadi peserta atau
tidak diwajibkan menjadi peserta. Maupun dewan direksi dari perusahaan,
tidak wajib. Sehingga praktis tidak ada kontribusi dan saling keterkaitan
antara pekerja buruh dengan pemberi kerja dalam sistem jaminan sosial
yang dibangun. Padahal Undang-Undang Dasar 1945, khususnya 28H ayat
(3) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak
atas jaminan sosial.
x Alasan mengapa ada hambatan struktural dari PT Jamsostek dan Undang-
Undang Jamsostek adalah, bahwa sebagai Badan Usaha Milik Negara,
BUMN, PT Jamsostek juga terbebani kewajiban untuk mencari keuntungan
14
atau profit oriented, yang mana ada kewajiban untuk memberikan deviden
kepada pemerintah, bukan untuk sebesarnya kepada kepentingan peserta.
Lihat juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan
Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang PT, kedua, Undang-Undang ini
menjadi dasar pendirian PT Jamsostek dan beroperasinya PT Jamsostek.
x Menurut ahli, hal ini tidak sesuai dengan prinsip jaminan sosial yang nirlaba,
not for profit atau tidak bertujuan mencari keuntungan. Meski pengelolaan
sisa hasil usaha dimungkinkan selama kemudian digunakan untuk sebesar-
besarnya kepentingan peserta. Menurut estimasi Prof. H. Hasbullah
Tabrani, ahli jaminan sosial, setidaknya ada Rp12 triliun itu uang yang
harusnya menjadi uangnya buruh, itu masuk ke kantongnya pemerintah
sebagai pendapatan atau income di luar pajak dan karenanya menjadi
subjek bagi pajak pendapatan. Karena itu, PT Jamsostek dulu masih
dikenakan pajak untuk penghasilan atau keuntungan yang diperoleh dengan
hanya sedikit sekali yang kembali kepada pesertanya, terakhir itu ya bagi-
bagi duit saja, tetapi tidak secara sistematis, terserah pada direksi PT
Jamsostek.
x Sebagai sebuah badan hukum bersifat privat perseroan terbatas, PT
Jamsostek tidak bisa dan tidak boleh memiliki kemampuan atau
kewenangan memberi sanksi, juga ketika terjadi pelanggaran. Dalam
konteks yang terakhir inilah, tampaknya permohonan uji materiil seperti ini,
menaruh perhatian khusus para Pemohon dalam permohonan uji materiil
hari ini.
x Sesungguhnya, beberapa masalah struktural di atas, coba di atasi oleh
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan belakangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial atau BPJS.
x Undang-Undang SJSN menjadi dasar filosofis yang memberikan prinsip-
prinsip pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional yang menyeluruh bagi
seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali dan Undang-Undang BPJS
membentuk badan penyelenggara jaminan sosial berdasarkan Undang-
Undang ini. Jadi, dia bukan cuma mengatur bagaimana pembentukan
BPJS, tapi membentuk BPJS itu sendiri. Dengan kata lain, Undang-Undang
BPJS secara khusus, spesifik menyebutkan badan hukum yang dibentuk
15
masih tidak bisa membayar, tapi dia tidak bisa kemudian meminta penerima
bantuan iuran, juga diatur dalam aturan yang selanjutnya.
Selain keterangan lisan, Pemerintah juga mengajukan satu orang Ahli yang telah
menyampaikan keterangan di dalam persidangan tanggal 11 Januari 2012 yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa, menurut para Pemohon hak untuk mendapat jaminan sosial tanpa
terkecuali telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU
Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang mengatur bahwa untuk
dapat menjadi peserta jaminan sosial hanya merupakan kewajiban pemberi
kerja atau pengusaha untuk mendaftar ke badan penyelenggara jaminan
sosial, sehingga apabila pemberi kerja atau pengusaha tidak mendaftarkan
pekerja/buruh, termasuk pula buruh lainnya yang tidak tergabung dengan
Pemohon, untuk menjadi peserta jaminan sosial menjadi terbatasi. (vide
Permohonan a quo hal. 8).
2. Bahwa, para Pemohon beranggapan hak pekerja/buruh untuk mendapatkan
jaminan sosial tenaga kerja yang memberikan perlindungan atas
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia,
hanya didapatkan apabila pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja
mendaftarkan pekerja/buruh ke Badan Penyelenggara yaitu Jamsostek.
(vide Permohonan a quo hal. 9).
Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek dan Pasal
13 ayat (1) UU SJSN bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945,
yang berbunyi:
- Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”.
KETERANGAN DPR
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang
menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
32
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan dari permohonan para Pemohon
adalah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3468, selanjutnya disebut UU Jamsostek) dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
36
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
37
4358), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Pokok Permohonan
Pendapat Mahkamah
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini”, dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan, “Pemberi kerja
secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program jaminan
sosial yang diikuti”, bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Kedua
ketentuan tersebut meskipun sudah secara tegas membebankan kewajiban
kepada perusahaan dan pemberi kerja untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti, akan tetapi belum menjamin adanya hak
pekerja atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat. Apabila perusahaan atau pemberi kerja
tidak mendaftarkan diri dan tidak pula mendaftarkan pekerjanya untuk
mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja kepada penyelenggara sistem jaminan
sosial, dengan memenuhi kewajiban membayar iurannya, maka pekerja tidak akan
mendapatkan hak-haknya yang dijamin dalam UUD 1945 tersebut. Oleh karena
Undang-Undang hanya memberikan kewajiban kepada perusahaan atau pemberi
kerja untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya, padahal pada kenyataannya,
walaupun Undang-Undang tersebut memberikan sanksi pidana, masih banyak
perusahaan yang enggan melakukannya maka banyak pula pekerja yang
kehilangan hak-haknya atas jaminan sosial yang dilindungi konstitusi. Hal tersebut
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
pemerintah [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945] maka sudah seharusnya negara
melalui peraturan perundang-undangan memberikan jaminan ditegakkannya
kewajiban tersebut sehingga hak-hak pekerja dapat terpenuhi;
[3.13.1] Menimbang bahwa dalam petitum para Pemohon, kedua pasal yang
dimohonkan pengujian digabungkan menjadi satu. Menurut Mahkamah karena
pengujian terdiri dari dua norma dalam dua Undang-Undang yang berbeda, maka
akan dilakukan pemisahan dalam pertimbangan dan amar putusan;
[3.13.3] Menimbang bahwa demikian juga Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang
menyatakan, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD 1945 dan
oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai
meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta jaminan sosial
atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja nyata-nyata tidak
mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Oleh sebab
itu, pasal tersebut harus dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga
selengkapnya harus dibaca, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan
dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
42
Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak
untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan
pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan
pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”;
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) yang
menyatakan, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk
mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan
perusahaan apabila perusahaan telah nyata-nyata tidak mendaftarkan
pekerjanya pada penyelenggara jaminan sosial;
x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) yang
menyatakan, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika dimaknai
meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program
jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah nyata-
nyata tidak mendaftarkannya pada penyelenggara jaminan sosial;
x Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) selengkapnya
harus dibaca, “Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini dan pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta
44
KETUA
ttd
Moh. Mahfud MD
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd ttd
ttd ttd
ttd ttd
PANITERA PENGGANTI,
ttd
Fadzlun Budi SN
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA,
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI AGAMA,
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI, DAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja serta
memberikan pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta
dalam melaksanakan hari libur nasional dan cuti bersama tahun
2013, perlu menetapkan hari libur nasional dan cuti bersama
tahun 2013;
MEMUTUSKAN:
KESATU : Menetapkan Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Bersama ini,
merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari
Keputusan Bersama ini.
KEDUA : Penetapan tanggal 1 Ramadhan 1434 Hijriyah, Hari Raya Idul Fitri
1434 Hijriyah, dan Hari Raya Idul Adha 1434 Hijriyah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Agama.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2012
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk ijazah dan
sertifikat kompetensi.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 8
BAB III
PENERAPAN KKNI
Pasal 9
(1) Penerapan KKNI pada setiap sektor atau bidang profesi dite-tapkan
oleh kementerian atau lembaga yang membidangi sektor atau
bidang profesi yang bersangkutan sesuai dengan kewe-nangannya.
(2) Penerapan KKNI pada setiap sektor atau bidang profesi seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada deskripsi jenjang
kualifikasi KKNI sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Presiden ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan KKNI diatur oleh
Menteri yang membidangi ketenagakerjaan dan Menteri yang
membidangi pendidikan baik secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri sesuai bidang tugasnya masing-masing.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, penjenjangan
kualifikasi kompetensi pada sektor atau bidang profesi yang telah
ada dilakukan penyesuaian dengan mengacu pada Peraturan
Presiden ini dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Dalam hal penjenjangan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah terikat oleh perjanjian internasional atau telah diatur
dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi
dilakukan harmonisasi dan/atau konversi.
(3) Penyesuaian penjenjangan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan harmonisasi dan/atau konversi kualifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui forum
konvensi yang diinisiasi oleh kementerian yang membidangi
ketenagakerjaan dan kementerian yang membidangi pendidikan
dengan melibatkan pemangku kepentingan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
JENJANG
URAIAN
KUALIFIKASI
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 2012
ttd.
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Kebutuhan hidup layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan
seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1
(satu) bulan.
2. Dewan Pengupahan Provinsi adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat
tripartit, dibentuk dan anggotanya diangkat oleh Gubernur dengan tugas memberikan
saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penetapan upah minimum
dan penerapan sistem pengupahan ditingkat provinsi serta menyiapkan bahan
perumusan pengembangan sistem pengupahan nasional.
BAB II
KOMPONEN KHL
Pasal 2
KHL terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I Peraturan Menteri ini.
2
Pasal 3
(1) Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga yang
dilakukan secara berkala.
(2) Kualitas dan Spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan dan
ditetapkan oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota.
(3) Survei dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota dengan membentuk tim yang keanggotaannya terdiri dari anggota
Dewan Pengupahan dari unsur tripartit, unsur perguruan tinggi/pakar, dan dengan
mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.
(4) Hasil survei sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebagai nilai KHL oleh
Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
(5) Survei komponen dan jenis KHL dilakukan dengan menggunakan pedoman
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Dalam hal di Kabupaten/Kota belum terbentuk Dewan Pengupahan, maka survei
dilakukan oleh Tim Survei yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) keanggotaannya secara tripartit dan
dengan mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.
(3) Hasil survei yang diperoleh tim survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai nilai KHL.
Pasal 5
Nilai KHL yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 disampaikan kepada Gubernur secara
berkala.
BAB III
KHL DALAM PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 6
(1) Penetapan Upah Minimum oleh Gubernur berdasarkan KHL dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(2) Dalam penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur
harus membahas secara simultan dan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai
berikut:
3
d. kondisi pasar kerja merupakan perbandingan jumlah kesempatan kerja dengan
jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada periode yang sama;
e. kondisi usaha yang paling tidak mampu (marginal) yang ditunjukkan oleh
perkembangan keberadaan jumlah usaha marginal di daerah tertentu pada
periode tertentu.
(3) Dalam penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi dan
rekomendasi Bupati/Walikota.
Pasal 7
Upah Minimum Provinsi yang ditetapkan Gubernur didasarkan pada nilai KHL
Kabupaten/Kota terendah di Provinsi yang bersangkutan dengan mempertimbangkan
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak
mampu (marginal).
Pasal 8
Upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
BAB IV
PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KHL
Pasal 9
(2) Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diarahkan kepada
pencapaian KHL.
(3) Pencapaian KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan secara bertahap
dalam penetapan Upah Minimum oleh Gubernur.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
4
Pasal 11
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
5
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2012
TENTANG
KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN
KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
A. Kuisioner
Survei menggunakan kuisioner yang memuat hal-hal yang perlu
ditanyakan kepada responden untuk memperoleh informasi harga
barang/jasa sesuai dengan jenis-jenis kebutuhan dalam komponen KHL.
B. Pemilihan Tempat Survei
C. Waktu Survei
2
D. Responden
Data harga barang dan jasa diperoleh dengan cara menanyakan harga
barang seolah – olah petugas survei akan membeli barang, sehingga
dapat diperoleh harga yang sebenarnya (harus dilakukan tawar menawar)
Survei dilakukan terhadap tiga orang responden tetap yang telah
ditentukan sebelumnya.
1. Beras
Kualitas beras sedang adalah jenis beras yang biasa di konsumsi
oleh masyarakat setempat.
2. Sumber protein :
a. Daging yang dipilih adalah daging sapi atau daging kerbau atau
daging kambing atau daging ayam atau daging yang biasa di
konsumsi oleh masyarakat setempat dengan kualitas sedang.
b. Ikan segar adalah ikan air tawar atau ikan laut yang biasa
dikonsumsi masyarakat yang mudah didapat dan banyak dijual di
pasar tradisional dengan kualitas baik.
c. Telur ayam adalah telur ayam ras.
3
3. Kacangan-kacangan
Kacang-kacangan adalah jenis kacang yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat setempat termasuk hasil olahan, seperti tahu dan tempe.
Satuan harga dapat berupa harga per potong, per bungkus, per
satuan berat (gram), liter.
4. Susu bubuk
Susu bubuk adalah yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pada
umumnya. Jika di daerah setempat jarang ditemukan susu bubuk,
dapat diganti dengan susu cair yang setara.
5. Gula pasir
Gula pasir adalah gula pasir yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat.
6. Minyak goreng
Minyak goreng adalah minyak curah yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat setempat. Harga satuan dapat dalam bentuk kilogram
(kg) atau liter.
7. Sayuran
Sayuran yang mudah didapat dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat, seperti bayam, kangkung, kol, kacang panjang, sawi dan
lain – lain. Penetapan satuan dapat per kg atau per ikat.
8. Buah – buahan
Buah – buahan setara pisang dan pepaya adalah buah-buahan yang
biasa dikonsumsi dan mudah didapat oleh masyarakat setempat
seperti jeruk lokal, semangka, dan lain-lain, dengan satuan per kg,
per sisir atau per buah.
9. Karbohidrat lain
Sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
setempat dapat berupa mie instan atau mie kering, tepung terigu
atau tepung beras dengan satuan per bungkus atau per kg.
19. Sepatu
Sepatu dari bahan kulit sintetis untuk pria atau wanita yang biasa
digunakan oleh masyarakat setempat.
6
30. Lemari pakaian
Terbuat dari kayu dengan kualitas sedang yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.
31. Sapu
Sapu adalah sapu ijuk atau bahan lain yang biasa digunakan oleh
masyarakat setempat.
7
38. Kompor dengan perlengkapannya:
a. Kompor gas 1 tungku dengan kualitas Standar Nasional
Indonesia (SNI).
b. Selang dan regulator dengan kualitas Standar Nasional Indonesia
(SNI).
c. Tabung gas dengan kualitas standar Pertamina.
Dalam hal di suatu daerah belum mendapat distribusi kompor
gas dan kelengkapannya serta tabung gas, maka dapat
disepakati spesifikasi yang setara dengan kompor gas dan
segala kelengakapannya serta tabung gas.
42. Listrik
Listrik dengan daya 900 watt dengan 2 titik.
8
47. Seterika
Seterika yang digunakan adalah seterika dengan 250 watt yang
biasa digunakan masyarakat setempat.
50. Cermin
Cermin dengan ukuran 30 cm x 50 cm yang biasa digunakan
masyarakat setempat.
51. Bacaan/radio
Harga tabloid mingguan yang banyak beredar di daerah setempat,
atau harga radio 4 band dan yang biasa digunakan oleh masyarakat
setempat.
52. Ballpoint/pensil
Alat tulis ballpoint/pensil yang biasa digunakan masyarakat setempat.
57. Sisir
Alat untuk merapikan rambut dengan kualitas sedang.
59. Rekreasi
Nilai rekreasi diukur dengan harga tiket satu kali masuk (bukan tiket
terusan) ke arena tempat rekreasi/hiburan.
60. Tabungan
Dihitung 2 % dari total nilai jenis kebutuhan nomor 1 sampai dengan
nomor 59.
A. Tahap pertama adalah mengisi kolom rata – rata dan kolom penyesuaian
satuan pada lembaran kuisioner. Kolom rata – rata merupakan rata – rata
dari harga 3 (tiga) responden. Sedangkan kolom penyesuaian satuan
adalah untuk beberapa jenis barang kebutuhan yang satuannya tidak
sama, seperti :
10
1. Bayam/kangkung/kacang panjang
Bayam, kangkung dan kacang panjang yang biasa dijual dengan
satuan ikat. Jika harga 1 ikat = Rp. 500,- setelah ditimbang beratnya
0, 7 kg, maka harga per kg sama dengan Rp. 500,- : 0,7 = Rp. 714,-
2. Pisang
Pisang merupakan salah satu jenis buah – buahan yang biasa dijual
dalam satuan sisir. Untuk mendapatkan harga per kg, terlebih dahulu
ditimbang berat pisang per sisirnya. Sebagai contoh, jika satu sisir
pisang yang harganya Rp. 5.000, - dengan berat 1,2 kg, maka harga
pisang per kg adalah Rp. 5. 000, - : 1,2 = Rp. 4.166 ,-
3. Tempe
Jika satu potong tempe harganya Rp. 2.000,- dan beratnya 0,5 kg,
maka harga per kg adalah Rp. 2.000,- : 0,5 = Rp. 4.000,-
4. Tahu
Jika satu potong tahu harganya Rp.200,- dengan berat 0,5 ons (0,05
kg), maka harga per kg menjadi Rp 200,- : 0,05 = Rp. 4.000,-
5. Kasur
Harga kasur dengan bahan busa.
6. Bantal
Harga bantal dengan bahan busa.
11
No. Pria Wanita
1. Celana panjang/ Rok/pakaian muslim
pakaian muslim
2 Kemeja Blus
3 Kaos oblong BH
4 Celana dalam pria Celana dalam wanita
5 Sarung Kain panjang
6 Sepatu pria Sepatu wanita
7. Cukur rambut Salon
8. Alat cukur Pembalut
Untuk jenis kebutuhan tersebut, setelah diperoleh harga rata – rata dari
3 (tiga) responden, dicari lagi harga rata – rata kebutuhan pria dan
wanita.
Kemudian, harga celana panjang dijumlahkan dengan harga rok dan nilai
rata-rata pakaian muslim, yang selanjutnya dibagi 3 (tiga) ditetapkan
sebagai nilai rata-rata kebutuhan celana panjang/rok/pakaian muslim.
Untuk kebutuhan yang terdiri dari beberapa macam komoditi seperti
daging (yang terdiri dari daging ayam dan daging sapi) atau ikan segar
yang terdiri dari beberapa jenis ikan, setelah dihitung harga rata – rata
dari 3 responden, dihitung lagi rata – rata dari harga daging sapi dan
daging ayam, begitu juga untuk barang – barang kebutuhan lainnya
seperti ; ikan, kacang – kacangan, sayuran, buah – buahan dan sumber
karbohidrat.
12
B. Tahap kedua adalah mengolah data dari lembar kuisioner untuk
dimasukkan ke lembar form isian KHL sebagaimana Lampiran I Peraturan
Menteri ini. Angka yang terdapat pada kolom rata – rata di lembar
kuisioner dimasukkan ke kolom harga satuan pada lembar form isian KHL.
Komponen Sandang :
1. Celana panjang/rok/pakaian muslim, Kemeja lengan pendek/blus,
Kaos oblong/BH dan Celana dalam.
Jumlah kebutuhan masing –masing 6 potong untuk 1 tahun.
Nilai sebulan = harga x 6/12
2. Celana Pendek.
Nilai sebulan = harga x 2/12
3. Ikat pinggang bahan kulit sintetis, polos, tidak branded.
Nilai sebulan = harga x 1/12
4. Sarung/Kain panjang.
Nilai sebulan = harga x 3/24
5. Sepatu
Kebutuhan sepatu untuk 1 tahun 2 pasang.
Nilai sebulan = harga x 2/12
7. Sandal jepit
Nilai sebulan = harga x 2/12
13
8. Kaos kaki bahan katun, polyester, polos dengan kualitas sedang
Nilai sebulan = harga x 4/12
9. Handuk mandi
Kebutuhan handuk mandi untuk 1 tahun, sebanyak 1 potong.
Nilai sebulan = harga x 1/12
Komponen Perumahan :
1. Sewa kamar
Harga rata–rata pada kuisioner dapat langsung dimasukkan ke dalam
form isian KHL, pemakaian sewa kamar adalah untuk 1 bulan
3. Kasur busa
Kasur dipakai selama 4 tahun
Nilai sebulan = harga x 1/48
4. Bantal busa
Nilai sebulan = harga x 2/36
14
8. Sapu ijuk, kualitas sedang
Nilai sebulan = harga x 2/12
15
22. Sabun cuci pakaian
Kebutuhan sabun perbulan sebanyak 1,50 kg.
Nilai sebulan = harga x 1,5 kg
27. Cermin 30 x 50 cm
Nilai sebulan = harga x 1/36
Komponen Pendidikan
1. Bacaan/radio
Untuk mengetahui harga bacaan tabloid 4 eksemplar dalam sebulan
adalah 4 kali harga 1 eksemplar. Untuk mengetahui biaya kebutuhan
sebulan harga radio ukuran 4 band = harga x 1/48
2. Ballpoint/pensil
Nilai sebulan = harga x 6/12
Komponen Kesehatan
1. Sarana Kesehatan :
a. Pasta gigi, nilai sebulan = harga x 1
b. Sabun mandi, nilai sebulan = harga x 2
c. Sikat gigi, nilai sebulan = harga x 3/12
d. Shampoo 100 ml, nilai sebulan = harga x 1
e. Pembalut/alat cukur, nilai sebulan = harga x 1
16
Komponen Transportasi
Nilai transport kerja sebulan = harga x 30 PP
17
IV. PELAPORAN
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
18
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
RPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 disusun sebagai arah dan acuan
bagi:
a. penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi;
b. penyusunan rencana/program pembangunan bidang ketenagakerjaan dan
ketransmigrasian;
2
c. koordinasi perencanaan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
dengan sektor;
d. pengendalian kegiatan pembangunan lingkup Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Pasal 3
Pasal 4
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2012
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
3
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Landasan Hukum
D. Sistematika
BAB I PENDAHULUAN
BAB V PENUTUP
2
BAB II
KONDISI UMUM
A. Ketenagakerjaan
1. Kondisi Umum
3
2008 angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum sebesar
14,45 persen dan terus meningkat di tahun 2009 dan 2010
menjadi 15,18 persen dan 15,29 persen. Begitu pula halnya
dengan SMTA Kejuruan. Pada tahun 2008 sebesar 7,06
persen, tahun 2009 sebesar 7,50 persen, dan tahun 2010
sebesar 8,35 persen. Selain itu, angkatan kerja
berpendidikan Universitas juga meningkat. Dari sekitar 3,94
persen pada tahun 2008, menjadi 4,26 persen dan 4,96
persen pada tahun 2009 dan 2010.
Grafik 2.1.
Proporsi Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan
2008-2010 (%)
4
disebabkan adanya penundaan penduduk usia kerja untuk
memasuki lapangan pekerjaan karena masuk ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan semakin
meningkatnya angkatan kerja berpendidikan tinggi
sebagaimana seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Grafik 2.2.
Angkatan Kerja Menurut Golongan Umur
2008-2010 (dalam Juta)
Grafik 2.3.
Angkatan Kerja Menurut Desa Kota
2008-2010
5
Berdasarkan grafik di atas dapat dikatakan bahwa
sejak tahun 2008 hingga 2010 jumlah angkatan kerja secara
mayoritas masih berada di perdesaan dan memiliki tren
peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja di
desa sekitar 64,5 juta orang, meningkat pada tahun 2009
dan 2010 mencapai 65,5 juta dan 66,8 juta orang. Di sisi
lain, walaupun tidak sebesar perdesaan, namun jumlah
angkatan kerja yang berada di perkotaan juga memiliki tren
yang meningkat. Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja di
perkotaan sekitar 47,4 juta orang, meningkat menjadi 48,4
juta orang pada 2009 dan 49,7 juta orang pada 2010.
Tabel 2.1.
Angkatan Kerja Menurut Provinsi
2008-2010
6
Nusa Tenggara 2.073.397 2.040.174 2.126.618
Barat
Nusa Tenggara 2.210.876 2.343.191 2.388.096
Timur
Kalimantan 2.165.679 2.257.185 2.277.435
Barat
Kalimantan 1.077.831 1.080.826 1.101.012
Tengah
Kalimantan 1.713.134 1.753.583 1.847.111
Selatan
Kalimantan 1.249.488 1.488.456 1.535.040
Timur
Sulawesi Utara 1.046.665 1.077.155 1.074.256
Sulawesi Tengah 1.219.457 1.236.243 1.286.943
Sulawesi 3.276.857 3.391.924 3.560.893
Selatan
Sulawesi 963.338 986.096 1.033.568
Tenggara
Gorontalo 423.376 462.889 484.834
Sulawesi Barat 477.836 515.827 546.168
Maluku 554.348 589.703 624.943
Maluku Utara 417.451 440.655 422.166
Papua Barat 344.205 360.660 367.754
Papua 1.053.621 1.089.950 1.166.346
JUMLAH 109.695.9 113.744.4 115.998.0
57 08 62
Sumber: Sakernas, BPS.
7
b. Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Grafik 2.4.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
2008-2010 (%)
8
tahun 2010. Jika dilihat menurut jenis kelamin dalam
kurun waktu yang sama, komposisi penduduk yang bekerja
dengan jenis kelamin laki-laki lebih besar daripada
perempuan, yang masing-masing pada tahun 2008 sebesar
62,1% dan 37,9%, pada tahun 2009 sebesar 61,77% dan
38,23%, dan pada tahun 2010 sebesar 61,42% dan 38,58%.
Grafik 2.5.
Proprosi Penduduk yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin
2008-2010 (%)
9
penduduk bekerja yang berpendidikan SMTA Umum,
Kejuruan, dan Diploma.
Grafik 2.6.
Proporsi Penduduk yang Bekerja
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
2008-2010 (%)
10
banyaknya penduduk usia kerja yang masih mengikuti dan
melanjutkan ke pendidikan tinggi pada rentang usia
tersebut.
Grafik 2.7.
Penduduk yang Bekerja Menurut Golongan Umur
2008-2010
11
4) Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
Grafik 2.8.
Proporsi Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
2008-2011 (%)
12
Meskipun sektor-sektor yang lain tidak memiliki
fleksibilitas seperti halnya sektor pertanian dalam
penyerapan tenaga kerja, namun dalam perkembangannya
para pencari kerja cenderung lebih menunggu kesempatan
kerja di sektor non pertanian dari pada di sektor pertanian.
13
Grafik 2.9.
Proporsi Penduduk yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan
2008-2010 (%)
14
6) Penduduk Yang Bekerja Menurut Jabatan
Grafik 2.10.
Penduduk yang Bekerja menurut Jabatan
2008-2010
15
7) Penduduk Yang Bekerja Menurut Desa-Kota
Grafik.2.11.
Penduduk yang Bekerja menurut Desa-Kota
2008-2010
16
Berdasarkan hal tersebut dan melihat angka
penduduk yang bekerja menurut provinsi, dapat diketahui
bahwa beberapa daerah seperti; Provinsi Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
merupakan provinsi yang menyerap tenaga kerja untuk
bekerja dan mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Pada tahun 2008-2010 perkembangan tersebut terlihat dari
besarnya jumlah penduduk yang bekerja di daerah-daerah
tersebut jika dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain.
Salah satu contohnya seperti di Provinsi Jawa Timur yang
jumlah penduduk bekerjanya meningkat dari 18,86 juta
orang pada tahun 2008 menjadi 19,12 juta orang pada
tahun 2009 dan 19,61 juta orang pada tahun 2010.
Peningkatan juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dari 16,16
juta orang pada tahun 2008, menjadi 16,79 juta orang pada
tahun 2009 dan 17,18 juta orang pada tahun 2010. Di sisi
lain, provinsi dengan jumlah penduduk yang bekerja paling
kecil dalam periode yang sama adalah provinsi Papua Barat
dan Maluku Utara.
Tabel 2.2.
Penduduk yang Bekerja Menurut Provinsi
2008-2010
17
Kalimantan 1.106.982 1.323.369 1.374.563
Timur
Sulawesi Utara 917.363 962.627 961.648
Sulawesi Tengah 1.131.027 1.173.089 1.223.979
Sulawesi Selatan 2.933.093 3.095.365 3.276.523
Sulawesi 905.085 933.029 984.271
Tenggara
Gorontalo 393.567 439.460 460.355
Sulawesi Barat 450.687 490.434 523.760
Maluku 493.117 528.509 567.902
S
Maluku Utara 388.113 411.538 396.715
Papua Barat 312.205 332.796 339.195
Papua 1.002.492 1.044.927 1.118.779
S
JUMLAH
U 102.049.857 104.485.444 107.415.572
Sumber: Sakernas, BPS.
Grafik 2.12
TKI Menurut Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan
2008-2010
18
Berdasarkan grafik di atas dapat dikatakan beberapa
pola penempatan TKI sebagai berikut. Pertama, dalam
kurun waktu 2008-2010 TKI berjenis kelamin laki-laki lebih
memiliki kecenderungan untuk bekerja di sektor formal
dibandingkan dengan sektor informal, namun memiliki tren
yang fluktuatif. Pada tahun 2008 jumlah TKI laki-laki yang
bekerja di sektor formal ini mencapai 109.317 orang,
menurun sedikit pada tahun 2009 menjadi 78.926 orang,
dan meningkat menjadi 182.382 orang pada tahun 2010.
Kedua, berlawanan dengan tren dan kondisi yang terjadi
pada TKI berjenis kelamin laki-laki, TKI berjenis kelamin
perempuan justru lebih memiliki kecenderungan untuk
bekerja di sektor informal dan menunjukan tren yang terus
meningkat. Pada tahun 2008 jumlah TKI perempuan yang
bekerja di sektor informal mencapai 403.894 orang,
meningkat di tahun 2009 menjadi 504.035 orang dan
meningkat lagi di tahun 2010 hingga mencapai 507.785
orang.
Grafik 2.13.
TKI Menurut Regional Tujuan
2008-2010
19
Berdasarkan grafik di atas dapat terlihat bahwa
menurut regional tujuan, penempatan TKI lebih dominan
pada negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Pada tahun
2008, penempatan TKI di kawasan Timur Tengah dan Afrika
hanya 261.965 orang. Jumlah ini berada di bawah jumlah
penempatan di kawasan Asia Pasifik yang mencapai 311.271
orang. Namun pada tahun 2009 dan 2010 jumlah
penempatan di kawasan Timur Tengah dan Afrika ini
meningkat terus melampaui jumlah penempatan di kawasan
Asia Pasifik. Pada tahun 2009, jumlah penempatan di
kawasan Timur Tengah dan Afrika mencapai 375.366 orang
dan meningkat menjadi 516.036 orang pada tahun 2010.
Secara lebih spesifik, pada tahun 2010 Saudi Arabia tetap
menjadi tujuan dominan para TKI yang mencapai jumlah
367.719 orang. Di tahun 2010 pula, Malaysia tetap menjadi
Negara dominan penerimaan TKI untuk kawasan Asia
Pasifik yang mencapai jumlah 154.202 orang.
20
1) Penganggur Menurut Jenis Kelamin
Grafik 2.14
Jumlah Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin
2008-2010
21
Hal demikian memperkuat pernyataan pada alinea
sebelumnya bahwa perempuan lebih sulit mendapat
pekerjaan.
Grafik 2.15
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2008-2010 (%)
22
Grafik 2.16.
Jumlah Pengangguran Terbuka
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan,
2008-2010
23
Grafik 2.17
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Menurut Tingkat Pendidikan
2008-2010 (%)
24
Grafik 2.18
Jumlah Penganggur Menurut Golongan Umur
2008-2010 (dalam juta)
25
Grafik 2.19
Tingkat Penganggur Terbuka (TPT)
Menurut Golongan Umur
2008-2010 (%)
26
Tabel 2.3.
Jumlah dan Tingkat Penganggur Menurut Provinsi
2008-2010
2. Tantangan Ketenagakerjaan
27
dengan perkembangan tersebut. Tantangan ketenagakerjaan diuraikan
sebagai berikut:
Hingga saat ini, kebutuhan pasar kerja masih saja diwarnai oleh
ketidaksesuaian dengan tenaga kerja yang tersedia, baik dari segi
pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dll. Kondisi yang demikian,
tentu akan berakibat pada kurang baiknya kinerja kelembagaan
pasar kerja Indonesia sehingga menjadi salah satu hambatan bagi
proses penanaman investasi. Pada gilirannya, hal tersebut akan
mengakibatkan munculnya penggangguran, kurang meningkatnya
produktivitas tenaga kerja yang ada di Indonesia, rendahnya daya
saing dan kurangnya kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi
nasional. Berdasarkan keadaan yang seperti itu, maka tantangan
pembangunan bidang ketenagakerjaan pada masa mendatang adalah
bagaimana meningkatkan kinerja program pelatihan dan penempatan
tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
C. Globalisasi
28
Menghadapi hal tersebut, pemerintah dituntut untuk dapat
membuat kebijakan yang fleksibel yang mampu mengakomodasikan
keinginan-keinginan unsur pekerja dan pengusaha dalam rangka
menciptakan hubungan industrial yang kondusif bagi peningkatan
produktivitas kerja, kesejahteraan pekerja dan keluarganya, yang
pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan penghasilan masyarakat
secara berkesinambungan.
29
F. Rendahnya Pemahaman Terhadap Regulasi Ketenagakerjaan dan
Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
30
Dengan melihat permasalahan tersebut, selayaknya menjadi
perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
melakukan pembinaaan terhadap sumber daya manusia pelaksana
ketenagakerjaan.
B. Ketransmigrasian
1. Kondisi Umum
31
berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan seperti kawasan Metro
(sekarang Kota Metro) di Provinsi Lampung, kawasan bengkulu
bagian utara (sekarang kota Argamakmur menjadi ibukota
Kabupaten Bengkulu Utara) di Provinsi Bengkulu, dan beberapa
kawasan lain di seluruh Indonesia. Itu semua adalah salah satu
bukti sejarah, bahwa mobilitas penduduk diperlukan bagi Negara
Kepulauan seperti Indonesia ini.
32
Demikian strategisnya peran transmigrasi dalam pembangunan
Indonesia, maka sebagai landasan pijak dalam merumuskan arahan
jangka panjang yang visioner, perlu menemukenali dinamika proses
pelaksanaan transmigrasi selama ini serta berbagai kondisi umum
Indonesia saat ini, baik kondisi yang potensial menjadi kekuatan
maupun persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang.
Kondisi umum tersebut digambarkan sebagai berikut:
33
Atas UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian,
pengembangan transmigrasi dengan skema KTM dibakukan
menjadi bagian dari kawasan transmigrasi sebagai Kawasan
Perkotaan Baru (KPB) sejalan dengan PP Nomor 34 Tahun 2009
tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Sampai dengan akhir
tahun 2010, rintisan pembangunan kawasan perkotaan baru
melalui skema KTM telah dilaksanakan di 44 kawasan pada 22
provinsi, yang harus dilanjutkan pada periode berikutnya.
Sejumlah 44 KTM tersebut meliputi 14 kawasan di Pulau
Sumatera (Provinsi NAD, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu,
Sumsel, dan Lampung), 10 kawasan di pulau Kalimantan
(Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan), 12 kawasan pulau Sulawesi (Provinsi Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Tenggara), 1 kawasan di Provinsi Maluku Utara, 1
kawasan di Provinsi Maluku, 3 kawasan di Provinsi Papua, 1
kawasan di Provinsi NTT, dan 2 kawasan di Provinsi NTB.
34
“rancang-ulang” atas sistem, pendekatan, dan kebijakan
penyelenggaraan, serta strategi dan program-program
transmigrasi untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi
selama ini. Perubahan terjadi menyangkut 4 (empat) hal pokok.
Pertama, menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan
transmigrasi peran pemerintah daerah adalah sebagai
pemrakarsa dan pelaksana sesuai dengan regulasi dan
pembinaan pemerintah. Kedua, memberikan ruang yang lebih
luas bagi masyarakat dan badan usaha untuk berperan dalam
pelaksanaan transmigrasi. Ketiga, mempertegas gradasi
intervensi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan jenis-jenis transmigrasi, yaitu Transmigrasi Umum
(TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), dan
Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Keempat, menegaskan
bahwa pembangunan transmigrasi dilaksanakan berbasis
kawasan terintegrasi dengan penataan persebaran penduduk
yang serasi dan seimbang untuk mewujudkan kawasan
transmigrasi sebagai satu kesatuan sistem pengembangan.
35
Sejalan dengan makna filosofis penyelenggaraan
transmigrasi seiring dengan arah pembangunan jangka panjang
sebagaimana diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2007 dan
berbagai ketentuan perundangan yang terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan ruang, maka sistem
penyelenggaraan transmigrasi sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional telah disempurnakan melalui UU Nomor
29 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian yang mengharuskan
pelaksanaannya berbasis kewilayahan.
36
berpengaruh besar terhadap ketidak-seimbangan pengelolaan
dan pemanfaatan ruang.
d. Daerah Tertinggal
Kesenjangan antar-wilayah juga ditunjukkan oleh masih
tingginya disparitas kualitas sumber daya manusia antar-
wilayah, perbedaan kemampuan perekonomian antar-daerah,
serta belum meratanya ketersediaan infrastruktur antar-
wilayah. Tahun 2004, terdapat 199 Kabupaten sebagai
kabupaten tertinggal. Dengan berbagai upaya yang dilakukan
Pemerintah, pada tahun 2009 kabupaten yang masih dalam
kategori tertinggal berkurang menjadi 183 kabupaten. Jika
dilihat persentase kabupaten daerah tertinggal dari total
kabupaten di setiap provinsi dapat dilihat pada grafik 2.19.
Grafik 2.20
Persentase Kabupaten Tertinggal
dari Total Kabupaten di Setiap Provinsi Tahun 2009
37
(sebanyak 27 kabupaten), dan Provinsi Nusat Tenggara Timur
(sebanyak 21 kabupaten). Sementara provinsi yang tidak
memiliki kabupaten tertinggal adalah Provinsi Riau, Jambi, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Provinsi Bali.
e. Kawasan Perbatasan
38
berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu India,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia,
Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Secara keseluruhan
kawasan perbatasan dengan negara tetangga tersebar di 12 (dua
belas) provinsi. Kawasan perbatasan darat tersebar berada di 4
(empat) provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Garis batas negara antara RI-
Malaysia di Pulau Kalimantan terbentang sepanjang 2004 Km,
antara RI-PNG di Papua sepanjang 107 km, dan antara RI-Timor
Leste di Nusa Tenggara Timur sepanjang kurang lebih 263,8
km. Sementara itu, kawasan perbatasan laut berada di 11
(sebelas) provinsi yang meliputi provinsi-provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara,
Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Pada 12 (dua
belas) provinsi di kawasan perbatasan, terdapat 38
kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang diprioritaskan
pengembangannya.
Gambar 2.1.
Pusat Kegiatan Strategis Nasional
sebagai Kota Utama di Kawasan Perbatasan
berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2008.
39
Kawasan perbatasan memiliki posisi strategis karena
selain sebagai pintu gerbang untuk berinteraksi langsung
dengan negara tetangga, juga sebagai benteng pertahanan dan
keamanan bagi kedaulatan negara. Pengembangan kawasan
perbatasan perlu dilakukan dengan mengubah arah kebijakan
pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam
(inward looking) yang memandang kawasan perbatasan sebagai
wilayah pertahanan, menjadi berorientasi ke luar (outward
looking) yang menempatkan fungsi kawasan perbatasan sebagai
satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah sekaligus
pintu gerbang perdagangan dengan negara tetangga selain
sebagai wilayah pertahanan. Dengan demikian, pendekatan
pembangunan perlu mengedepankan pendekatan kesejahteraan
dan kebudayaan dengan tetap mempertimbangkan pendekatan
keamanan.
40
pengembangan kawasan perbatasan dalam kurun 25 (duapuluh
lima) tahun mendatang.
f. Pertanahan
Tanah merupakan sumber daya yang penting dan strategis
karena menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia
yang sangat mendasar. Pengelolaan pertanahan yang adil dan
memperhatikan kearifan lokal diperlukan untuk mendukung
keseluruhan elemen pelaksanaan pembangunan wilayah yang
berkelanjutan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Prinsip tersebut telah diakomodasikan
dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), yang antara lain menegaskan bahwa negara
menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan
pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada, termasuk hak
ulayat. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam juga telah
menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan
agraria serta pemanfaatan sumber daya alam secara
berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan
mandat kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan
pengelolaan pertanahan melalui penataan peraturan
perundang-undangan maupun penataan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagaimana
digariskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025.
41
g. Persebaran dan Mobilitas Penduduk
42
demikian upaya-upaya pengaranan mobilitas dan persebaran
penduduk diarahkan agar interaksi antara matra dan fungsi
ruang dengan penduduk diatasnya berada dalam kondisi
seimbang, selaras, dan serasi, yang direpresentasikan dengan
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungannya. Jika jumlah penduduk di
suatu daerah terlalu besar maka akan terjadi kemerosotan
lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas kehidupan
penduduk, tetapi jika jumlah penduduk disuatu daerah sangat
kurang, maka pemanfaatan sumber daya dan fasilitas publik
akan menjadi tidak efisien.
h. Perkotaan
Grafik 2.20.
Persentase jumlah penduduk perkotaan dan perdesaan di Indonesia
43
Sementara itu peranan perkotaan, khususnya kota-kota besar
dan metropolitan, sangat signifikan sebagai penghela
pertumbuhan ekonomi nasional atau dikatakan sebagai %
perekonomian nasional. Tahun 2007, kota-kota metropolitan
mampu menyumbangkan 23,19 %dari total PDRB Nasional, dan
kota-kota besar mampu menyumbangkan 8,83 %. Sementara
itu, kota-kota menengah yang merupakan jenis kota terbanyak
di Indonesia hanya mampu menyumbangkan 7,63 %.
Gambar 2.2.
Sebaran jenis kota di Indonesia
44
jumlahnya sekitar 3,3 miliyar jiwa tinggal di daerah urban.
Angka tersebut akan naik menjadi 5 milyar pada tahun 2030.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan
tingkat urbanisasi (persentase penduduk perkotaan Pulau Jawa)
di Indonesia pada tahun 2025 sekitar adalah 68% dari total
jumlah penduduk yang ada pada saat itu.
45
wilayah Indonesia yang terdiri dari 17 ribuan pulau dengan
potensi sumberdaya cukup besar pada umumnya merupakan
wilayah perdesaan.
i. Perdesaan
Tabel 2.4.
Peningkatan jumlah
Kabupaten, Kota, Kecamatan, Kelurahan dan Desa
Tahun 2005 dan Tahun 2008
Tahun Provinsi Kabupaten Kota Kecamatan Kelurahan Desa
46
Tabel 2.5.
Perkembangan Jumlah Desa Tahun 2005 dan Tahun 2008
Tabel 2.6.
Jumlah Penduduk Menurut Daerah Perdesaan
Tahun 2005 dan tahun 2008
D
a
r
47
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat 60,1 persen atau sebesar
37,05 juta pekerja produktif yang ada di perdesaan bekerja di
sektor pertanian (Sakernas–BPS, Agustus 2009), yang
merupakan kekuatan ekonomi perdesaan yang sangat potensial.
Sementara jumlah pengangguran terbuka (Sakernas 2009) pada
bulan Agustus 2009 mencapai 8,96 juta jiwa atau 7,9 persen
dari total angkatan kerja, dan 3,81 juta jiwa atau 5,8 persen di
antaranya bermukim di perdesaan. Jumlah total setengah
pengangguran mencapai 31,57 juta jiwa, yang 23,61 juta jiwa
tinggal di perdesaan, sedangkan jumlah pekerja di kegiatan
informal di perdesaan mencapai 46,87 juta (75,74 persen), jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang di perkotaan yang
mencapai 17,97 juta (42,18 persen). Dengan terbatasnya
kesempatan kerja di perdesaan, sementara kondisi
masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai buruh dengan
upah yang rendah, rata-rata pemilikan lahan yang sempit,
produktivitas pertanian rendah, dan terbatasnya akses
masyarakat perdesaan kepada pelayanan umum, kesemuanya
memberikan kontribusi pada masih tingginya angka kemiskinan
di perdesaan. Dari 32,53 juta (14,15 persen) orang miskin di
Indonesia (Maret tahun 2009) lebih dari separuhnya tinggal di
perdesaan (20,62 juta atau 17,35 persen).
48
tentang Ketransmigrasian melalui pengembangan WPT atau LPT
menjadi satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah.
Tabel 2.7.
Peringkat Indonesia dan bebeapa Negara Asia
dalam Doing Business Survey
T
a
h
u
n
2
0
0
7
-
2
49
dilaksanakan secara sektoral, berbagai upaya pembangunan
juga dilakukan secara terpadu dalam satu wilayah.
2. Tantangan Ketransmigrasian
Dalam 25 (dua puluh lima tahun) mendatang, transmigrasi
sebagai salah satu pendekatan pembangunan cukup potensial
untuk memberikan kontribusi positif dalam melaksanakan misi
“Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan” sebagaimana
diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN
2005-2025. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk
mewujudkan peran transmigrasi dengan melanjutkan hasil-hasil
pembangunan yang sudah dicapai, menyelesaikan permasalahan
yang sedang dihadapi, dan mengantisipasi segala tantangan yang
timbul, kedalam suatu konsep pembangunan jangka panjang yang
holistik dan komprehensif. Memperhatikan realitas pelaksanaan
transmigrasi selama ini dan realitas kondisi yang dihadapi bangsa
Indonesia kedepan, maka untuk dapat memberikan kontribusi
50
nyata dalam mewujudkan visi pembangunan nasional, minimal
terdapat 5 (lima) tantangan yang harus dihadapi dalam
penyelenggaraan transmigrasi sebagai berikut:
51
pendekatan pembangunan bangsa sejalan dengan amanat
pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui pemberian
akses bagi segenap bangsa untuk terlibat secara aktif dalam
mengelola dan mengembangkan seluruh potensi wilayah tumpah
darah Indonesia. Dengan demikian, pendekatan pembangunan
transmigrasi pada akhirnya harus dirasakan menjadi suatu
kebutuhan bersama untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kondisi tata ruang Indonesia saat ini masih jauh dari ideal,
karena pengaruh “keterlanjuran” dan lemahnya pengendalian
dalam pemanfaatan ruang. Penerapan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan peningkatan keseimbangan pembangunan
antar-fungsi dan antar-kegiatan belum dapat dilaksanakan
dengan baik. BPN mengidentifikasi bahwa tahun 2007 terdapat
sekitar 30,8 persen penggunaan lahan di Indonesia tidak sesuai
dengan RTRWP sebagaimana tabel 2.8. Akibatnya banjir dan
kekeringan seolah menjadi bagian dari tantangan kehidupan yang
harus dihadapi sehari-hari.
52
Tabel 2.8.
Tingkat kesesuaian penggunaan lahan terhadap RTRWP
53
kawasan transmigrasi, sekaligus merupakan ihktiar distribusi
tanah sebagai asset produksi bagi masyarakat. Kedua, Penataan
dan Penegakan Hukum Dalam Pengelolaan Pertanahan yang
kurang optimal. Ketidaksesuaian antar-peraturan perundangan
yang terkait dengan tanah masih menjadi kendala utama baik
dalam mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah maupun
dalam menyelesaikan serta mencegah kasus pertanahan.
Sementara itu, kelemahan penyelenggaraan transmigrasi masa lalu
juga masih menyisakan berbagai persoalan sehingga terdapat
sekitar 400 ribuan sertifikat hak atas tanah transmigran yang
belum dapat diselesaikan. Kondisi tersebut disebabkan oleh:
1) adanya bidang tanah transmigran di permukiman transmigrasi
yang berada pada kawasan hutan,
2) adanya okupasi berbagai kepentingan lain setelah permukiman
tumbuh dan berkembang, dan
3) adanya bidang tanah yang subyek dan obyeknya berbeda. Kedua
tantangan tersebut memerlukan terobosan atau upaya luar biasa
(bussines not as-usual) dengan langkah-langkah bertahap dan
realistis secara terkoordinasi antar Kementerian/Lembaga dan
pemerintah daerah.
54
daerah yang dikembangkan sejak tahun 2007 yang diharapkan
dapat mengubah persepsi masyarakat dan pemerintah daerah
tujuan, juga belum dilaksanakan secara optimal, dan cenderung
normatif dan formalitas.
55
transmigrasi merupakan upaya penumbuh-kembangan kawasan
sebagai satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi wilayah,
yang memerlukan dukungan investasi dari kalangan badan usaha.
3. Modal Dasar
56
a. Penduduk
Tabel 2.9.
Kondisi dan Proyeksi Penduduk 15+ (dalam juta)
57
dan jasa) yang dihasilkan memberikan nilai tambah. Secara
geografis, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagaisatu kesatuanwadah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara mencakup ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara yang memiliki nilai strategis karena dua hal. Pertama,
ruang terbesar wilayah NKRI tersebut merupakan ruang perairan
yang menjadi perekat pulau-pulau besar dan kecil dari Sabang
sampai Merauke hingga membentuk wilayah negara kepulauan.
Kedua, konstelasi geografis sebagai negara kepulauan dengan
posisi diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia, menempatkan Indonesia menjadi
daerah kepentingan bagi negara-negara dari berbagai kawasan.
Posisi ini menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan keamanan
ditingkat regional dan global menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap kondisi Indonesia. Selain itu, wilayah Indonesia juga
merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu
lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific yang
potensial menimbulkan bencana karena di sekitar lokasi
pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul
sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup
menahan tumpukan energi yang lepas berupa gempa bumi.
Indonesia juga memiliki keberagaman antarwilayah yang tinggi
seperti keberagaman sumber daya alam, keberagaman kondisi
geografi dan demografi, keberagaman agama, serta keberagaman
kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
58
c. Desentralisasi
59
BAB III
A. Visi
60
kondisi persaingan harus disikapi secara positif sebagai proses
pembangunan mental dan karakter. Dalam konteks globalisasi,
keterbukaan bangsa Indonesia di dalam arus globalisasi saat ini tentu
membawa implikasi tersendiri. Bangsa Indonesia harus memiliki daya
saing yang kuat di tengah kondisi persaingan ekonomi antar bangsa
yang semakin deras. Begitu pula halnya dengan tenaga kerja dan
masyarakat transmigrasi yang harus memiliki daya saing global di
tengah-tengah laju perekonomian dunia, agar tidak tertinggal dengan
bangsa lainnya.
B. Misi
a. Ketenagakerjaan
61
Berdasarkan hal tersebut maka yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kompetensi kerja adalah:
a) Pembinaan sumber daya manusia selama janin ada di rahim
ibunya melalui makanan bergizi, bekerjasama dengan
Kementerian Kesehatan dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
b) Pembinaan anak menyangkut etika, tata krama, disiplin,
kreativitas dan pengetahuan dasar.
c) Pendidikan formal yang diarahkan pada peningkatan
pengetahuan, tanggung jawab, fleksibilitas, selalu rajin
belajar, kesadaran tentang kualitas, mandiri, kemampuan
kerjasama, kompromi dan loyalitas, membuat keputusan,
pemahaman sistemik, kemampuan berkomunikasi dan rasa
kebersamaan.
d) Pelatihan kerja yang fleksibel dan mudah diterima terhadap
berbagai perubahan yang terjadi; responsif dalam
mengetahui dan memenuhi kebutuhan jenis tenaga kerja
yang dibutuhkan dalam proses produksi; serta mengadakan
Competency Based Training (CBT) yang mengikutsertakan
industri untuk merancang, membangun dan melaksanakan
pelatihan.
e) Pembinaan bekerja.
62
a) Pengawasan ketenagakerjaan merupakan fungsi dari negara,
oleh karena itu negara bertanggungjawab menyusun sistem
pengawasan ketenagakerjaan yang lengkap dan baik;
b) Pengawasan ketenagakerjaan harus bekerjasama secara erat
dengan pengusaha dan pekerja;
c) Pengawasan ketenagakerjaan harus bekerjasama dengan
institusi lain seperti lembaga riset, perguruan tinggi
maupun lembaga yang bertanggungjawab dalam jaminan
sosial;
d) Pengawasan ketenagakerjaan harus berorientasi pada
pendekatan pencegahan (prevention);
e) Cakupan inspeksi bersifat universal.
63
Di bidang pelayanan dan bantuan hukum, Biro Hukum
merupakan kuasa hukum pimpinan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dalam menangani perkara pada lembaga
peradilan (Peradilan TUN, Peradilan Umum, Pengujian di
Mahkamah Agung mengenai Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang serta pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi)
serta memberikan layanan konsultasi hukum bidang
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian kepada pekerja/buruh,
pengusaha, pelajar/mahasiswa, LSM/LBH dan organisasi
masyarakat lainnya maupun perorangan.
b. Ketransmigrasian
Pembangunan transmigrasi periode 2010-2015 diarahkan
untuk mengembangkan potensi sumberdaya wilayah terutama di
luar pulau Jawa menjadi kawasan transmigrasi yang berfungsi
sebagai klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi wilayah.
Dengan demikian, kawasan transmigrasi berperan sebagai motor
penggerak pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan daya
saing daerah. Sejalan dengan itu, misi pembangunan transmigrasi
periode 2010-2025 adalah sebagai berikut:
64
satu kesatuan sistem pengembangan dibangun dalam klaster-
klaster Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) yang terdiri atas
3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) Satuan Permukiman (SP). Salah
satu klaster SKP dalam WPT tersebut dirancang untuk
mewujudkan pusat pertumbuhan baru yang disiapkan menjadi
Kawasan Perkotaan Baru (KPB). Sementara itu, LPT dibangun
secara bertahap melalui pembangunan kawasan perdesaan
(termasuk permukiman penduduk yang ada) menjadi klaster-
klaster SKP yang terdiri atas 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam)
SP. Klaster-klaster SKP tersebut berfungsi sebagai daerah
belakang (hinterland) untuk mendukung percepatan pusat
pertumbuhan yang sudah ada atau yang sedang berkembang
menjadi KPB. Dengan demikian, KPB dalam WPT maupun LPT
merupakan pusat kegiatan industri, perdagangan, dan jasa
yang mempunyai fungsi sebagai Pusat Pelayanan Kawasan.
Untuk menciptakan keterkaitan antar SP dalam SKP dan antar
SKP sebagai daerah belakang (hinterland) dengan KPB sebagai
pusat pelayanan, maka di setiap WPT atau LPT dilengkapi
dengan jaringan infrastruktur dasar intra dan antar kawasan.
65
c) mendukung strategi urbanisasi secara terpadu. Penataan
persebaran penduduk di kawasan transmigrasi
dilaksanakan melalui penataan persebaran penduduk
setempat dan fasilitasi perpindahan transmigran dari
kawasan lain untuk mewujudkan persebaran penduduk
yang optimal berdasarkan pada keseimbangan antara
jumlah dan kualitas penduduk dengan daya dukung alam
dan daya tampung lingkungan. Penataan penduduk
setempat dan fasilitasi perpindahan transmigran tersebut
dilaksanakan secara terintegrasi dan saling memberikan
manfaat. Artinya, bahwa penataan penduduk setempat
harus berdampak pada tersedianya peluang bagi
pembangunan permukiman untuk menampung penempatan
transmigran, sedangkan fasilitasi perpindahan dan
penempatan transmigran dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan SDM yang diperlukan bagi pengembangan
sumberdaya alam yang tersedia di kawasan transmigrasi.
Agar dapat memenuhi kebutuhan SDM di kawasan
transmigrasi dan memberikan manfaat dalam mengatasi
dampak tekanan kependudukan bagi daerah asal, maka
fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran
dilaksanakan dengan mekanisme kerjasama antar daerah
yang dimediasi dan difasilitasi oleh Pemerintah
(Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).
66
3) Pemberian fasilitasi dan mediasi untuk mendorong
kerjasama kemitraan antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat transmigrasi dalam rangka pengembangan
ekonomi di kawasan transmigrasi.
4) Penyediaan sarana dan prasarana pendukung bagi
berkembangnya kegiatan ekonomi di kawasan transmigrasi.
67
miskin dan perempuan), struktur sosial masyarakat, serta
tatanan atau nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Pertimbangan utama dalam pengembangan kawasan
transmigrasi berkelanjutan adalah: (1) struktur sosial
masyarakat, yaitu kegiatan yang direncanakan diupayakan
mempertimbangkan struktur sosial masyarakat agar tidak
terjadi konflik dan benturan nilai yang tidak diinginkan, dan (2)
partisipasi masyarakat pelaku dan marjinal/minoritas, yaitu
kegiatan yang direncanakan telah memasukkan unsur
partisipasi masyarakat/pemangku kepentingan dan masyarakat
marjinal terutama dalam proses pengambilan keputusan serta
peran-peran lainnya.
68
BAB IV
ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN
A. Ketenagakerjaan
69
2. Tahapan dan Prioritas Pembangunan Ketenagakerjaan
Bagan 4.1.
Tahapan Pembangunan Ketenagakerjaan
70
menurunnya jumlah tenaga kerja yang berpendidikan sekolah
dasar pada fase ini. Sehingga dapat diproyeksikan bahwa
tenaga kerja yang berpendidikan Sekolah Menengah Tingkat
Pertama (SMTP) dan (SMTA) akan mengalami peningkatan.
71
3) mempercepat realisasi rencana penanaman modal
(investasi);
4) perbaikan sarana pendidikan;
5) angkatan kerja berpendidikan minimal SMTP
sebanyak 40-50 %;
6) tingkat Pengangguran Terbuka 5 - 7 %;
7) jumlah setengah penganggur 25 - 28 %;
8) jumlah pekerja informal 60 - 65 %;
9) jumlah pengusaha 3 - 3,5 %;
10) jumlah pekerja tak dibayar 14 – 16 %;
11) tidak adanya lagi biaya tidak resmi (pungutan liar)
yang dapat mengganggu produksi;
12) keadaan keamanan kondusif untuk investasi;
13) program sektoral sudah mendukung penciptaan
kesempatan kerja dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan;
14) Kebijakan Pemerintah Daerah sudah mengarah
kepada perluasan kesempatan kerja dan perbaikan
hubungan industrial.
72
d. Bidang Hubungan Industrial
1) serikat Pekerja secara umum sudah memberikan
kontribusi terhadap industrial harmony;
2) sudah terbentuk Serikat Pekerja/Buruh di sebagian
besar perusahaan;
3) sebagian besar pekerja di perusahaan diasuransikan;
4) sebagian pekerja mandiri dan pekerja di perusahaan
menengah kecil telah mengikuti program asuransi
Jamsostek;
5) PHK secara sepihak dan pemogokan semakin
berkurang;
6) perselisihan kerja semakin dapat dihindarkan;
7) sebagian besar Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK)
sudah mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL);
8) Meningkatkan pendayagunaan (utilization) tenaga
fungsional perantara di pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
9) Mempertahankan eksistensi perusahaan yang sudah
ada (agar tidak relokasi ke luar negeri dan tidak
gulung tikar).
73
Kedua, Consolidation and Recovery Phase (2015-2019).
Pembangunan ketenagakerjaan dalam fase ini masih berkaitan
dengan Bidang Ketenagakerjaan Umum, Bidang Pelatihan
Kerja, Bidang Penempatan Tenaga Kerja, Bidang Hubungan
Industrial, Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan dan
menyangkut Bidang Hukum Ketenagakerjaan. Namun
demikian, proyeksi yang dipergunakan sebagai asumsi
penentuan target pembangunan bidang ketenagakerjaan
memiliki karakter untuk mengkokohkan berbagai target yang
telah dicapai pada fase sebelumnya.
74
1) Bidang Ketenagakerjaan Umum
a) seluruh Kabupaten/Kota dan seluruh Instansi
Sektoral sudah menyusun Rencana Tenaga Kerja;
b) sebagian besar perusahaan sudah menyusun Rencana
Tenaga Kerja Makro;
c) angkatan Kerja berpendidikan minimal SMTP
sebanyak 45 – 55 %;
d) tingkat pengangguran terbuka 4 – 6 %;
e) jumlah setengah penganggur 20 – 25 %;
f) jumlah pekerja informal 55 – 60 %;
g) jumlah pengusaha 3,5 – 4 %;
h) jumlah pekerja tak dibayar 12 – 14 %;
i) terbentuk budaya anti pungutan liar;
j) tidak ada lagi gangguan keamanan yang
membahayakan investasi;
k) program sektoral sudah merupakan bagian utama
dalam penciptaan kesempatan kerja dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan;
l) perluasan kesempatan kerja dan hubungan industrial
yang harmonis sudah merupakan tujuan utama
kebijakan Pemerintah Daerah.
75
b) perusahaan menerima pembentukan serikat
pekerja/buruh;
c) tingginya kesadaran perusahaan untuk
mengasuransikan para pekerjanya;
d) pekerja mandiri menyadari perlunya mengikuti
program asuransi jamsostek;
e) perusahaan menghindari terjadinya PHK;
f) perselisihan kerja dapat diselesaikan dengan baik;
g) Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah sama
dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL);
h) terpenuhinya kebutuhan tenaga fungsional Perantara
di seluruh pemerintahan provinsi dan
kabupaten/kota;
i) perusahaan tidak melakukan relokasi ke luar negeri.
76
produktivitas tenaga kerja, hubungan industrial, kondisi
lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan pekerja, dan
jaminan sosial tenaga kerja, dengan dilihat melalui indeks
pembangunan ketenagakerjaan pada fase ini, diharapkan
indeksnya secara nasional telah mencapai 60 - 70.
77
2) Bidang Pelatihan Kerja
a) Lembaga pelatihan Kerja di seluruh Indonesia sudah
mampu menyelenggarakan pelatihan berdasarkan
standar kompetensi kerja;
b) tenaga fungsional ILK sudah professional,
tersertifikasi dan mencukupi;
c) Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mampu melayani
permintaan sertifikasi seluruh profesi;
d) seluruh keluaran lembaga pelatihan kerja
tersertifikasi;
78
6) Bidang Hukum Ketenagakerjaan
Peraturan perundangan menjadi solusi bagi operasional
bisnis perusahaan.
B. Ketransmigrasian
79
memprioritaskan pembangunan kawasan transmigrasi untuk
mempercepat pengembangan kabupaten daerah perbatasan
(termasuk pulau-pulau kecil terluar), dan kabupaten daerah
tertinggal, tanpa mengesampingkan kawasan strategis lain.
Keempat, lebih memerankan Pemerintah Daerah dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan transmigrasi
melalui peningkatan (1) kualitas sumberdaya manusia
pelaksana, dan (2) peran Bappeda sebagai koordinator
perencanaan dan pengendalian antar-kegiatan dan antar-
pelaku. Untuk itu, pelayanan dan mediasi antar-daerah terus
ditingkatkan dalam kerjasama antar-daerah yang konsisten dan
bertanggung jawab. Kelima, pembangunan dan pengembangan
kawasan transmigrasi dilaksanakan secara terintegrasi dengan
bidang-bidang pembangunan lain dalam koridor ekonomi sesuai
dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) menjadi embrio sistem
pengembangan ekonomi wilayah yang di dukung adanya
Kawasan Perkotaan Baru sebagai pusat Pelayanan Kawasan.
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan kawasan
transmigrasi bukan kegiatan yang berdiri sendiri melainkan
merupakan kegiatan bersama antar Kementerian/Lembaga
serta pemerintah daerah dan berbagai kalangan masyarakat.
Keenam, peningkatan kemandirian masyarakat di kawasan
transmigrasi melalui: (1) pelayanan informasi potensi produk
unggulan, (2) peningkatan pemahaman terhadap prospek
pengembangan investasi, (3) peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia masyarakat transmigrasi sebagai pelaku utama
pembangunan di kawasan transmigrasi, (4) peningkatan
kemampuan masyarakat dan stakeholder menghadapi dinamika
kerjasama kemitraan yang semakin kompleks. Ketujuh,
meningkatkan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk
membangun kesepakatan berbagai pihak bahwa “transmigrasi
adalah kebutuhan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama” melalui pengembangan potensi sumberdaya wilayah
sekaligus penataan persebaran penduduk. Keenam kebijakan
tersebut, harus menjadi komitmen bersama antar-pelaku untuk
mewujudkan pengembangan kawasan transmigrasi yang
berdaya saing dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat, percepatan pembangunan daerah
dan pertumbuhan wilayah dalam suatu sistem wilayah
pengembangan ekonomi, serta keutuhan NKRI.
80
transmigrasi harus: (1) berbasis kawasan yang sejak awal
dirancang inklusif, (2) mampu mendorong peningkatan peran
swasta dalam berinvestasi, (3) dilengkapi dengan sarana dan
prasarana, industri pengolahan hasil, serta industri jasa dan
perdagangan, dan (4) tersedia kawasan yang mempunyai fungsi
perkotaan sebagai pusat pelayanan kawasan. Dampak yang
diharapkan dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah
terbentuknya klaster-klaster sistem pengembangan ekonomi
yang mampu mempercepat tumbuh dan berkembangnya kota-
kota kecil dan menengah terutama di luar Jawa sehingga dapat
dicapai pemerataan pembangunan yang berkeadilan.
81
b. Penataan Persebaran Penduduk di Kawasan Transmigrasi
82
mengembangkan sarana dan prasarana kelembagaan
ekonomi kawasan transmigrasi; dan (f) melaksanakan
pemantauan dan evaluasi tata kelola ekonomi kawasan
transmigrasi termasuk melaksanakan pemantauan dan
evaluasi efisiensi dan efektivitas regulasi yang mendukung
pengembangan ekonomi daerah. Ketiga, peningkatan
kapasitas SDM pengelola ekonomi kawasan transmigrasi
melalui (a) peningkatan Kapasitas SDM Aparatur, terutama
di bidang kewirausahaan (entrepreneurship); (b)
meningkatkan Kompetensi SDM kawasan transmigrasi
dalam mengembangkan usaha ekonomi kawasan
transmigrasi; serta (c) meningkatkan partisipasi
stakeholder dalam upaya pengembangan ekonomi kawasan
transmigrasi. Keempat, peningkatan
fasilitasi/pendampingan dalam pengembangan ekonomi
kawasan transmigrasi melalui (a) pengembangan lembaga
fasilitasi pengembangan ekonomi yang terintegrasi secara
lintas stakeholder (pemerintah, dunia usaha, dan
akademisi), serta berkelanjutan, baik di pusat maupun di
daerah; serta (b) meningkatkan kapasitas fasilitasi
pengembangan ekonomi kawasan transmigrasi berbasis
Iptek dan keterampilan. Kelima, peningkatan kerjasama
dalam pengembangan ekonomi kawasan transmigrasi
melalui (a) meningkatkan kerjasama antar-daerah,
terutama di bidang ekonomi baik antara kawasan
transmigrasi sebagai daerah belakang (hinterland) dengan
kota-kota terdekat, maupun antara kawasan transmigrasi
dengan daerah lainnya; dan (b) meningkatkan kemitraan
Pemerintah-Swasta dalam Pengembangan Ekonomi
kawasan transmigrasi. Keenam, peningkatan akses
terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan
ekonomi kawasan transmigrasi melalui (a)
mengembangkan prasarana dan sarana kawasan
transmigrasi yang berpotensi menjadi pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah; dan (b)
membangun dan meningkatkan jaringan infrastruktur
pendidikan, kesehatan, perhubungan, telekomunikasi,
energi, dan lain-lain. Ketujuh, fasilitasi dan pelayanan
untuk menciptakan kemudahan dalam pengembangan
investasi, industri, perdagangan, dan jasa dalam rangka
mewujudkan perekonomian kawasan yang kompetitif,
berdaya saing, dan berkeadilan. Kedelapan, mendorong
transformasi bertahap dalam pembangunan ekonomi di
kawasan transmigrasi dari perekonomian berbasis SDA ke
perekonomian berbasis produk keunggulan yang kompetitif
dan komparatif. Tahapan transformasi ekonomi dilakukan
dengan meningkatkan output yang semula produk primer
menjadi produk sekunder dan tersier. Upaya transformasi
dilakukan dengan cara peningkatkan nilai tambahan
produk melalui kegiatan pengolahan hasil dan pemasaran
termasuk pemberian insentif kepada investor.
Meningkatnya efisiensi, modernisasi dan nilai tambahan
sektor primer, terutama pertanian dalam arti luas dan
kelautan merupakan prasyarat untuk mampu bersaing di
pasar lokal dan internasional serta memperkuat basis
produksi secara nasional. Kesembilan, pengelolaan sumber
83
daya yang diawali dari sub sistem input (saprotan),
subsistem produksi (budidaya), sub sistem teknologi
(pasca panen dan pengolahan ) serta sub sistem pemasaran
yang saling terkait, dan berjalan secara komplementer dan
didukung oleh permodalan, kelembangan dan didamping
teknologi. Pengolahan hasil sumber daya alam pertanian
diarahkan untuk menumbuhkan industri kecil dan
menengah yang dapat memberikan nilai tambah dan daya
saing kawasan transmigrasi.
84
f. Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik (good
governance and clean government)
85
pelaksanaan misi dan perwujudan visi yang telah ditetapkan.
Secara umum, tahapan dan prioritas pembangunan
transmigrasi seperti pada bagan 4.2.
Bagan 4.2.
Tahapan Pembangunan Ketransmigrasian
Tahapan 2010-2014
86
Simultan dengan penyempurnaan perangkat regulasi dan
proses komunikasi pembangunan transmigrasi tersebut, ada
dua kegiatan pokok yang dilaksanakan pada periode ini.
Pertama, memfungsikan 16 (enam belas) KTM dari 44 (empat
puluh empat) KTM yang dirintis pada periode 2005-2009
sehingga pada akhir periode ini 16 KTM tersebut sudah menjadi
klaster sistem pengembangan ekonomi yang didukung adanya
Kawasan Perkotaan Baru. Sedangkan sisanya 25 (duapuluh
lima) KTM lainnya dilanjutkan pengembangannya pada periode
2015-2019. Kedua, mempersiapkan pembangunan kawasan
transmigrasi melalui proses penyediaan tanah dan perencanaan
sehingga pada akhir periode ini tersedia rencana pembangunan
kawasan transmigrasi berupa WPT atau LPT sekurang-
kurangnya 25 (duapuluh lima) dokumen perencanaan yang
akan dilaksanakan pembangunannya pada periode 2015-2019.
Dokumen perencanaan tersebut meliputi: Rencana WPT atau
LPT, Rencana SKP, Rencana KPB, Rencana Teknis Pusat SKP,
Rencana Teknis SP, Rencana Teknis Sarana dan Prasarana, dan
Rencana Penataan Persebaran Penduduk di WPT atau LPT.
Berbagai perencanaan tersebut dilaksanakan secara tertib
dengan melibatkan masyarakat yang bersangkutan sehingga
akan lebih berkualitas yang dapat menjaga konsistensi
pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam
dokumen perencanaan pembangunan sektoral dan daerah.
Perencanaan kawasan transmigrasi dilaksanakan secara
inklusif dengan mempertimbangkan keberadaan desa/dusun
penduduk setempat dengan pendekatan pemugaran
permukiman sebagai suatu entitas kehidupan dalam batasan
fungsi kawasan. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya
Barat, perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang untuk
pembangunan kawasan transmigrasi diterapkan lebih khusus
sesuai dengan UU Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
menjadi UU beserta ketentuan pelaksanaannya.
Tahapan 2015-2019
87
transmigrasi serta memfasilitasi kerjasama perpindahan dan
penempatan transmigran dari daerah asal. Kedua,
mempersiapkan pembangunan kawasan transmigrasi melalui
proses penyediaan tanah dan perencanaan sehingga pada akhir
periode ini tersedia rencana pembangunan kawasan
transmigrasi berupa WPT atau LPT sebanyak 25 dokumen
perencanaan yang akan dilaksanakan pembangunannya pada
periode 2020-2025.
Tahapan 2020-2025
Pada periode ini kegiatan pembangunan transmigrasi
diarahkan untuk memfungsikan 25 (duapuluh lima) kawasan
transmigrasi di kabupaten daerah perbatasan dan daerah
tertinggal yang dibangun pada periode 2015-2019. Dengan
demikian, pada akhir periode ini 25 (duapuluh lima) kawasan
transmigrasi tersebut sudah berhasil menjadi klaster-klaster
sistem pengembangan ekonomi wilayah.
Selain itu pada periode ini ada dua kegiatan pokok yang
dilaksanakan. Pertama, melaksanakan pembangunan dan
pengembangan 25 (duapuluh lima) kawasan di kabupaten
daerah perbatasan dan daerah tertinggal yang perencanaannya
disusun pada periode tahun 2015-2019 sebagai embiro klaster
sistem pengembangan ekonomi wilayah. Pada periode tahapan
ini, sekurang-kuranya 50 % perpindahan transmigran dari
daerah asal diharapkan melalui jenis TSB dan TSM. Kedua,
mempersiapkan pembangunan kawasan transmigrasi melalui
proses penyediaan tanah dan perencanaan sehingga pada akhir
periode ini tersedia rencana pembangunan kawasan
transmigrasi berupa WPT atau LPT sebanyak 25 dokumen
perencanaan yang akan dilaksanakan pembangunannya pada
periode PJP berikutnya.
88
BAB V
PENUTUP
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
89
PUTUSAN
Nomor 58/PUU-IX/2011
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan yang sudah berdasarkan
hukum dan didukung oleh alat-alat bukti yang disampaikan ke Mahkamah
8
Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan seorang ahli dan seorang saksi
yang yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan
tanggal 3 November 2011, yang menerangkan sebagai berikut:
AHLI PEMOHON
Aloysius Uwiyono
Bahwa menurut Ahli Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang a quo mengatur hak
pekerja untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
Bahwa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada dasarnya
ada beberapa lembaga, misalnya mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan
hubungan industrial. Sehingga Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang a quo, pada
dasarnya adalah mengatur hak pekerja untuk mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga-lembaga tersebut yaitu mediasi,
konsiliasi, arbitrase, maupun pengadilan hubungan industrial;
Bahwa adapun terkait dengan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon untuk
mengajukan pemutusan hubungan kerja, disebutkan dari huruf a sampai huruf f
yang pada dasarnya adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengusaha
yang merugikan kepada pekerja, sehingga kemudian Pasal 169 memberikan
hak kepada pekerja diperlakukan secara tidak fair oleh pengusaha untuk
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada ke empat
lembaga tersebut;
Bahwa apabila pengusaha dalam kurun waktu tiga bulan tidak membayar upah
secara tepat, maka seharusnya lembaga penyelesaian hubungan industrial itu
mengabulkan gugatan dari penggugat untuk diputuskan hubungan kerja. Hal
tersebut dikarenakan setelah lahirnya Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang
Ketenegakerjaan, maka pengaturan pemutusan hubungan kerja tidak lagi
tunduk pada Hukum Administrasi Negara, tetapi tunduk pada Hukum Perdata.
Artinya baik buruh maupun pengusaha mempunyai hak untuk menggugat pada
10
Bahwa apabila gugatan tidak diajukan, maka dengan sendirinya hak tersebut
berlaku fakultatif sehingga apabila diajukan dikemudian hari, harus dikabulkan;
Bahwa menurut ahli adanya proses pembayaran tepat waktu pasca gugatan
tidak menghapuskan hak pekerja untuk mengajukan permohonan PHK pada
saat tiga bulan yang lalu, karena perlakuan tidak dibayar upah secara tepat
waktu karena perbuatannya sudah terjadi.
Bahwa perbuatan tidak membayar upah secara tidak tepat waktu, sudah terjadi
dan sudah dirasakan oleh pekerja sebagai sesuatu yang merugikan. Sehingga
oleh karena merugikan, maka Undang-Undang a quo memberikan
perlindungan kepada pekerja untuk mengajukan pemutusan hubungan kerja.
Bahwa pada intinya, apabila perusahaan sudah tidak mampu membayar upah
tepat waktu, seharusnya pekerja di PHK saja.
SAKSI PEMOHON
Ngadiono
Bahwa saksi mengetahui tentang adanya keterlambatan pemberian upah yang
dilakukan oleh PT Mega Buana sejak bulan Juni tahun 2009 sampai dengan
November 2010.
Bahwa Pemohon telah melaporkan keterlambatan upah tersebut, kepada
Kementrian Ketenagakerjaan dan Pengadilan Hubungan Indsutrial dan setelah
Pemohon melaporkan, maka pembayaran upah menjadi tepat waktu;
Bahwa meskipun perusahaan tersebut sampai saat ini masih aktif, tetapi
kegiatan perusahaan sudah tidak maksimal sejak tahun 2009 sampai dengan
sekarang dan saksi mengetahui apa yang dilakukan pihak perusahaan
terhadap Pemohon setelah Pemohon melaporkan hak kepada Pengadilan
Hubungan Industrial;
Bahwa hubungan Pemohon dengan perusahan sudah tidak harmonis,
sehingga Pemohon tidak diberikan pekerjaan, ruangannya pun harus
dikosongkan dan peralatan untuk bekerja pun ditiadakan;
Bahwa benar pada saat ini pembayaran upah telah tepat waktu, akan tetapi
hak Pemohon dan saksi sebagai security masih ada pembayaran uang makan
yang tidak tepat waktu sampai saat ini dan sudah dilakukan lebih hampir dua
bulan;
12
Selain itu terkait dengan masalah THR tahun 2009 yang harus dibayarkan
separuhnya menurut putusan pengadilan PHI, tetapi sampai saat ini pun belum
dibayarkan;
Bahwa di Pengadilan Hubungan Industrial, Pemohon telah mengajukan PHK,
tetapi gugatan Pemohon ditolak, sehingga Pemohon terus memperjuangkan
haknya sampai sekarang;
10. Selain itu, apabila ketentuan Pasal a quo dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi, maka menurut Pemerintah justru akan menimbulkan kerugian
bagi pekerja buruh karena tidak adanya kepastian hukum sampai kapan
dan seberapa lama pekerja buruh menunggu hak atau upahnya dibayarkan
oleh perusahaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut.
1) Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima.
2) Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.
3) Menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
UU 13/2003) terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan Mahkamah
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, yaitu:
17
Pokok Permohonan
terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
Saksi Ngadiono
Mengetahui adanya keterlambatan pemberian upah yang dilakukan oleh PT.
Megahbuana Citramasindo sejak bulan Juni 2009 sampai dengan November
2010;
Pemohon telah melaporkan keterlambatan upah tersebut kepada Depnaker dan
Pengadilan Hubungan Industrial, akan tetapi setelah Pemohon melaporkan,
maka pembayaran upah oleh perusahaan menjadi tepat waktu;
Meskipun perusahaan tersebut sampai saat ini masih aktif, tetapi kegiatan
perusahaan sudah tidak maksimal sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang
dan saksi mengetahui apa yang dilakukan pihak perusahaan terhadap Pemohon
setelah Pemohon melaporkan hak kepada Pengadilan Hubungan Industrial;
Di Pengadilan Hubungan Industrial, Pemohon telah mengajukan PHK, tetapi
gugatan Pemohon ditolak, sehingga Pemohon terus memperjuangkan haknya
sampai sekarang.
1964 tetapi tunduk pada Hukum Perdata. Artinya baik buruh maupun
pengusaha mempunyai hak untuk menggugat pada pengadilan atau lembaga
penyelesaian hubungan industrial untuk mengakhiri hubungan kerja;
Pendapat Mahkamah
tidak memberi kepastian apakah dengan pembayaran upah secara tepat waktu
oleh pengusaha kepada pekerja setelah pengusaha tidak membayar upah secara
tepat waktu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut menggugurkan alasan
pekerja untuk mendapatkan PHK? Dalam kasus yang dialami oleh Pemohon
ternyata di Pengadilan Hubungan Industrial, permohonan PHK dari Pemohon
ditolak oleh pengadilan karena pengusaha kembali membayar upah Pemohon
secara tepat waktu setelah sebelumnya tidak membayar secara tepat waktu lebih
dari tiga bulan berturut-turut. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun
Mahkamah tidak mengadili perkara konkret, telah cukup bukti bahwa ketentuan
pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak
konstitusional pekerja untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945] yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip konstitusi.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun
pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar
upah secara tepat waktu sesudah itu”;
tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal enam belas, bulan Juli,
tahun dua ribu dua belas, oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD.,
selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar
Usman, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera
Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. Ttd.
td
Achmad Sodiki Hamdan Zoelva
ttd. Ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
38786$1
1RPRU 388;
'(0,.($',/$1%(5'$6$5.$1.(78+$1$1<$1*0$+$(6$
0$+.$0$+.2167,786,5(38%/,.,1'21(6,$
>@ <DQJ PHQJDGLOL SHUNDUD NRQVWLWXVL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ WHUDNKLU
PHQMDWXKNDQSXWXVDQGDODPSHUNDUD3HQJXMLDQ 8QGDQJ8QGDQJ1RPRU 7DKXQ
WHQWDQJ %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO WHUKDGDS 8QGDQJ8QGDQJ
'DVDU1HJDUD5HSXEOLN,QGRQHVLD 7DKXQ \DQJGLDMXNDQROHK
1DPD 6XVL6DUWLND
3HNHUMDDQ %XUXK 6HNUHWDULV -HQGHUDO )HGHUDVL ,NDWDQ 6HULNDW
%XUXK,QGRQHVLD
$ODPDW -DODQ 5D\D -RQJJRO 57 5: .HOXUDKDQ
&LOHXQJVL .LGXO .HFDPDWDQ &LOHXQJVL .DEXSDWHQ
%RJRU
6HODQMXWQ\DGLVHEXW 3HPRKRQ,,
1DPD <XOLDQWL
3HNHUMDDQ 6WDII37 0HJDKEXDQD&LWUDPDVLQGR
$ODPDW -DODQ .DOLEDUX %DUDW ,9 57 5: 1RPRU
.HOXUDKDQ .DOLEDUX .HFDPDWDQ &LOLQFLQJ -DNDUWD
8WDUD
6HODQMXWQ\DGLVHEXW 3HPRKRQ,,,
'DODP KDO LQL EHUGDVDUNDQ 6XUDW .XDVD .KXVXV EHUWDQJJDO 6HSWHPEHU
PHPEHUL NXDVD NHSDGD 'U $QGL 0XKDPPDG $VUXQ 6+ 0+ 1XUXO $QLIDK
6+ GDQ 0 -RGL 6DQWRVR 6+ $GYRNDW GDQ $VLVWHQ $GYRNDW \DQJ WHUJDEXQJ
SDGD ³0XKDPPDG $VUXQ DQG 3DUWQHUV /DZ )LUP´ EHUDODPDW NDQWRU GL *HGXQJ
*XUX -DODQ 7DQDK $EDQJ ,,, 1RPRU -DNDUWD 3XVDW EHUWLQGDN XQWXN GDQ DWDV
QDPDSHPEHULNXDVD
'8'8.3(5.$5$
, .(:(1$1*$10$+.$0$+.2167,786,
, %DKZDEHUGDVDUNDQNHWHQWXDQ3DVDOD\DW88'EHUEXQ\L
³.HNXDVDDQ NHKDNLPDQ GLODNXNDQ ROHK VHEXDK 0DKNDPDK $JXQJ GDQ
EDGDQ SHUDGLODQ \DQJ EHUDGD GL EDZDKQ\D GDODP OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ
XPXP OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ DJDPD OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ PLOLWHU
OLQJNXQJDQ SHUDGLODQ WDWD XVDKD QHJDUD GDQ ROHK VHEXDK 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL´
, %DKZD NHWHQWXDQ3DVDO&D\DW88'PHQ\DWDNDQ
³0DKNDPDK .RQVWLWXVL EHUZHQDQJ PHQJDGLOL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ
WHUDNKLU \DQJ SXWXVDQQ\D EHUVLIDW ILQDO XQWXN PHQJXML XQGDQJXQGDQJ
WHUKDGDS8QGDQJ8QGDQJ'DVDUPHPXWXVVHQJNHWDNHZHQDQJDQOHPEDJD
QHJDUD \DQJ NHZHQDQJDQQ\D GLEHULNDQ ROHK 8QGDQJ8QGDQJ 'DVDU
PHPXWXVSHPEXEDUDQSDUWDLSROLWLNGDQPHPXWXVSHUVHOLVLKDQWHQWDQJKDVLO
SHPLOLKDQXPXP´
,,,$/$6$13(502+21$13(1*8-,$181'$1*81'$1*
,,, %DKZD MDPLQDQ VRVLDO PHUXSDNDQ KDN VHWLDS RUDQJ WDQSD WHUNHFXDOL
WHUPDVXN SHNHUMDEXUXK VHEDJDLPDQD NHWHQWXDQ 3DVDO + D\DW 88'
\DQJ EHUEXQ\L ³6HWLDS RUDQJ EHUKDN DWDV MDPLQDQ VRVLDO \DQJ
PHPXQJNLQNDQSHQJHPEDQJDQGLULQ\DVHFDUDXWXKVHEDJDLPDQXVLD\DQJ
EHUPDUWDEDW´ \DQJ NHPXGLDQ GLWXDQJNDQ GDODP .HWHWDSDQ 0DMHOLV
3HUPXV\DZDUDWDQ 5DN\DW 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU ;035 \DQJ
PHQXJDVNDQ 3UHVLGHQ XQWXN PHPEHQWXN 6LVWHP -DPLQDQ 6RVLDO 1DVLRQDO
GDODP UDQJND PHPEHULNDQ SHUOLQGXQJDQ VRVLDO \DQJ PHQ\HOXUXK GDQ
WHUSDGX
,,, %DKZD SDGD WDQJJDO 1RYHPEHU 3HPHULQWDK PHQJHVDKNDQ 88
XQWXN PHPEHULNDQ SHUOLQGXQJDQ NHSDGD VHWLDS SHNHUMDEXUXK
VHEDJDL KDN VHWLDS RUDQJ WDQSD WHUNHFXDOL 1DPXQ KDN SHNHUMDEXUXK
XQWXN PHQGDSDWNDQ MDPLQDQ VRVLDO \DQJ PHPEHULNDQ SHUOLQGXQJDQ DWDV
NHFHODNDDQ NHUMD VDNLW KDPLO EHUVDOLQ KDUL WXD GDQ PHQLQJJDO GXQLD
KDQ\D GLGDSDWNDQ DSDELOD SHPEHUL NHUMD PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDEXUXK
WHUVHEXW NH %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO VHEDJDLPDQD GLDWXU
GDODP NHWHQWXDQ 3DVDO D\DW 88 \DQJ EHUEXQ\L ³3HPEHUL
.HUMDVHFDUDEHUWDKDSZDMLEPHQGDIWDUNDQGLULQ\DGDQ3HNHUMDQ\DVHEDJDL
3HVHUWD NHSDGD %3-6 VHVXDL GHQJDQ SURJUDP -DPLQDQ 6RVLDO \DQJ
GLLNXWL´
,,, %DKZD WHODK PHQMDGL KDN GDVDU EDJL VHWLDS RUDQJ XQWXN PHQGDSDWNDQ
MDPLQDQ VRVLDO VHEDJDLPDQD DPDQDW NHWHQWXDQ 3DVDO + D\DW 88'
WDQSD WHUNHFXDOL WHUPDVXN VHWLDS PDVLQJPDVLQJ SHNHUMDEXUXK
1DPXQ KDN SHNHUMDEXUXK XQWXN PHQGDSDWNDQ MDPLQDQ VRVLDO GHQJDQ
PDQIDDWDWDVMDPLQDQNHFHODNDDQNHUMDVDNLWKDPLOEHUVDOLQKDULWXDGDQ
,9 3(7,780
%HUGDVDUNDQ VHOXUXK XUDLDQ GDQ DODVDQDODVDQ \DQJ VXGDK EHUGDVDUNDQ KXNXP
GDQGLGXNXQJROHKDODWDODWEXNWL\DQJGLVDPSDLNDQNH0DKNDPDK.RQVWLWXVL SDUD
3HPRKRQ PHPRKRQ NLUDQ\D <DQJ 0XOLD +DNLP .RQVWLWXVL SDGD 0DKNDPDK
.RQVWLWXVLEHUNHQDQPHPXWXV
0HQHULPDGDQ PHQJDEXONDQSHUPRKRQDQSDUD 3HPRKRQXQWXNVHOXUXKQ\D
0HQ\DWDNDQ 3DVDOD\DW8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQ WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ 1RPRU 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 1RPRU \DQJ
PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ
SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO
VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ
8QGDQJ 8QGDQJ 'DVDU 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ MLND GLPDNQDL
PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMDEXUXK XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD
WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD SHQ\HOHQJJDUD MDPLQDQ
VRVLDO
0HQ\DWDNDQ 3DVDOD\DW8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQWHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ 1RPRU 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 1RPRU \DQJ
PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ
SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO
VHVXDL GHQJDQ SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ GLQ\DWDNDQ WLGDN
PHPSXQ\DL NHNXDWDQ KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN
SHNHUMDEXUXK XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO
DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD WLGDN
PHQGDIWDUNDQSHNHUMDQ\DSDGDSHQ\HOHQJJDUDMDPLQDQVRVLDO
0HQ\DWDNDQ 3DVDOD\DW8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU7DKXQWHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
7DKXQ 1RPRU 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 1RPRU
VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD ³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE
PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ
388,;WHUWDQJJDO$JXVWXV
3(57,0%$1*$1+8.80
7HUKDGDSNHGXDKDOWHUVHEXW0DKNDPDKEHUSHQGDSDWVHEDJDLEHULNXW
.HZHQDQJDQ0DKNDPDK
VDODK VDWX NHZHQDQJDQ 0DKNDPDK DGDODK PHQJDGLOL SDGD WLQJNDW SHUWDPD GDQ
WHUDNKLU \DQJ SXWXVDQQ\D EHUVLIDW ILQDO XQWXN PHQJXML 8QGDQJ8QGDQJ WHUKDGDS
88'
>@ 0HQLPEDQJ EDKZD EHUGDVDUNDQ 3DVDO D\DW 88 0. \DQJ GDSDW
EHUWLQGDN VHEDJDL 3HPRKRQ GDODP SHQJXMLDQ VXDWX 8QGDQJ8QGDQJ WHUKDGDS
88' DGDODK PHUHND \DQJ PHQJDQJJDS KDN GDQDWDX NHZHQDQJDQ
NRQVWLWXVLRQDOQ\D GLUXJLNDQ ROHK EHUODNXQ\D 8QGDQJ8QGDQJ \DQJ GLPRKRQNDQ
SHQJXMLDQ\DLWX
D SHURUDQJDQ ZDUJD QHJDUD ,QGRQHVLD WHUPDVXN NHORPSRN RUDQJ \DQJ
PHPSXQ\DLNHSHQWLQJDQVDPD
E NHVDWXDQ PDV\DUDNDW KXNXP DGDW VHSDQMDQJ PDVLK KLGXS GDQ VHVXDL GHQJDQ
SHUNHPEDQJDQ PDV\DUDNDW GDQ SULQVLS 1HJDUD .HVDWXDQ 5HSXEOLN ,QGRQHVLD
\DQJGLDWXUGDODP8QGDQJ8QGDQJ
F EDGDQKXNXPSXEOLNDWDXSULYDWDWDX
G OHPEDJDQHJDUD
>@ 0HQLPEDQJSXODEDKZD0DKNDPDKVHMDN3XWXVDQ0DKNDPDK.RQVWLWXVL
1RPRU 388,,, EHUWDQJJDO 0HL GDQ 3XWXVDQ 0DKNDPDK
.RQVWLWXVL1RPRU3889EHUWDQJJDO6HSWHPEHUVHUWDSXWXVDQ
SXWXVDQ VHODQMXWQ\D EHUSHQGLULDQ EDKZD NHUXJLDQ KDN GDQDWDX NHZHQDQJDQ
3RNRN3HUPRKRQDQ
3HQGDSDW0DKNDPDK
>@ 0HQLPEDQJ EDKZD 3HPRKRQ , 0 .RPDUXGLQ GDQ 3HPRKRQ ,,, <XOLDQWL
GDODP SHUPRKRQDQ 1RPRU 388,; PHQJDMXNDQ SHQJXMLDQ PDWHULLO 3DVDO
D\DW8QGDQJ8QGDQJ1RPRU7DKXQWHQWDQJ6LVWHP-DPLQDQ6RVLDO
1DVLRQDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 7DKXQ 1RPRU
7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU VHODQMXWQ\D GL
VHEXW 88 6-61 \DQJ UHGDNVLQ\D SHUVLV VDPD GHQJDQ UHGDNVL 3DVDO D\DW
88 %3-6 \DQJ GLPRKRQNDQ SHQJXMLDQ PDWHULLO GDODP SHUPRKRQDQ D TXR DWDV
DODVDQEHUWHQWDQJDQGHQJDQ3DVDO+D\DW88'
>@ 0HQLPEDQJ EDKZD ROHK NDUHQD PDWHUL PXDWDQ QRUPD GDODP 3DVDO
D\DW88%3-6VDPDSHUVLVGHQJDQPDWHULPXDWDQQRUPDGDODP3DVDOD\DW
886-61GHPLNLDQSXODEDWXXMLQ\DVDPD\DNQL3DVDO+D\DW88'
PDNDSHUWLPEDQJDQGDQDPDUSXWXVDQ0DKNDPDKGDODP3XWXVDQ1RPRU388
,;WDQJJDO$JXVWXVVHSDQMDQJWHUKDGDS 3DVDOD\DW886-61
PXWDWLVPXWDQGLV PHQMDGLSHUWLPEDQJDQGDQDPDUSXWXVDQ DTXR
.21./86,
>@ 3HUPRKRQDQSDUD3HPRKRQEHUDODVDQKXNXP
$0$538786$1
0HQJDGLOL
0HQ\DWDNDQ
0HQJDEXONDQSHUPRKRQDQSDUD3HPRKRQXQWXNVHOXUXKQ\D
3DVDO D\DW 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU 7DKXQ WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ 1RPRU 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL
SHVHUWDNHSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDOVHVXDLGHQJDQ
3DVDO D\DW 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU 7DKXQ WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ 1RPRU 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU \DQJ PHQ\DWDNDQ ³3HPEHUL NHUMD
VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ SHNHUMDQ\D VHEDJDL
SHVHUWDNHSDGD%DGDQ3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDOVHVXDLGHQJDQ
SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO \DQJ GLLNXWL´ WLGDN PHPSXQ\DL NHNXDWDQ
KXNXP PHQJLNDW MLND GLPDNQDL PHQLDGDNDQ KDN SHNHUMD XQWXN
PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ VRVLDO DWDV
WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK Q\DWDQ\DWD
WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ
6RVLDO
3DVDO D\DW 8QGDQJ8QGDQJ 1RPRU 7DKXQ WHQWDQJ
%DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ 6RVLDO /HPEDUDQ 1HJDUD 5HSXEOLN
,QGRQHVLD 7DKXQ 1RPRU 7DPEDKDQ /HPEDUDQ 1HJDUD
5HSXEOLN ,QGRQHVLD 1RPRU VHOHQJNDSQ\D KDUXV GLEDFD
³3HPEHUL NHUMD VHFDUD EHUWDKDS ZDMLE PHQGDIWDUNDQ GLULQ\D GDQ
SHNHUMDQ\D VHEDJDL SHVHUWD NHSDGD %DGDQ 3HQ\HOHQJJDUD -DPLQDQ
6RVLDOVHVXDLGHQJDQSURJUDPMDPLQDQVRVLDO\DQJGLLNXWLGDQSHNHUMD
EHUKDN XQWXN PHQGDIWDUNDQ GLUL VHEDJDL SHVHUWD SURJUDP MDPLQDQ
VRVLDO DWDV WDQJJXQJDQ SHPEHUL NHUMD DSDELOD SHPEHUL NHUMD WHODK
Q\DWDQ\DWD WLGDN PHQGDIWDUNDQ SHNHUMDQ\D SDGD %DGDQ
3HQ\HOHQJJDUD-DPLQDQ6RVLDO´
.(78$
WWG
0RK0DKIXG0'
$1**27$$1**27$
WWG WWG
$FKPDG6RGLNL 0XKDPPDG$OLP
WWG WWG
0DULD)DULGD,QGUDWL $KPDG)DGOLO6XPDGL
WWG WWG
+DPGDQ=RHOYD $QZDU8VPDQ
WWG WWG
+DUMRQR 0$NLO0RFKWDU
3$1,7(5$3(1**$17,
WWG
+DQL$GKDQL
MENTER!
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Yth.:
1. Para Gubernur
2. Para BupatiNValikota
3. Para Kepala Instansi yang Membida,ngi Ketenagakerjaan
di -
Seluruh Indonesia
SURAT - EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TP.ANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA.
NOMOR .. Sll. OS/M8N/VIII/2012
TENTANG
Menteri
a Kerja dan Transmigrasi
. . . .-=:.=:=::.:::::::::,...: ublik Indonesia
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori
Konstruksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri
ini.
KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh Tenaga Kerja Asing
tidak terdapat di dalam Lampiran Keputusan Menteri ini, maka Menteri
dapat memberikan izin dengan terlebih dahulu meminta rekomendasi
dari Kementerian yang membidangi Konstruksi.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR KEP.247/MEN/X/2011
TENTANG
JABATAN YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH TENAGA KERJA ASING
PADA KATEGORI KONSTRUKSI
I. KOMISARIS
1210 Komisaris Commissioner
II. DIREKTUR/DIRECTOR
1210 Direktur Utama Executive Director
1210 Direktur Keuangan Finance Director
1210 Direktur Operasional Operational Director
III. MANAJER/MANAGER
1223 Manajer Proyek Project Manager
1223 Manajer Logistik Logistics Manager
1223 Manajer Operasional Operations Manager
1235 Manajer Pembelian Procurement
Manager
1231 Manajer Keuangan Finance Manager
1319 Manajer Teknik Technical Manager
1319 Manajer Quality Control
Pengendalian Manager
Kualitas
1223 Manajer Konstruksi Civil Construction
Sipil Manager
3
2142 Ahli Teknik Quality Assurance
Pengawasan Engineer
Kualitas
2142 Ahli Teknik Sipil Civil Engineer
2142 Ahli Gedung Building Scientist
4
3. Ahli Teknik Konstruksi Landasan Pacu Pesawat
2142 Ahli Teknik Air Strip Construction
Konstruksi Engineer
Landasan Udara
C. KONSTRUKSI KHUSUS
5
3112 Ahli Teknik Construction
Manajemen Management
Konstruksi Specialist
1313 Ahli Aset Asset Management
Manajemen Specialist
3113 Ahli Teknik Mesin Mechanical and
dan Elektrik Electrical Engineer
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
6
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat
untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi
pekerjaan.
4. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan
pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang
memuat hak dan kewajiban para pihak.
5. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan
penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh di perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban masing-
masing pihak.
8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
2
Pasal 2
BAB II
PEMBORONGAN PEKERJAAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Pemborongan Pekerjaan
Pasal 3
Pasal 4
(1) Asosiasi sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf c harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan
sesuai sektor usaha masing-masing.
(2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan proses
pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan
utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan sebagai dasar
bagi perusahaan pemberi pekerjaan dalam penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan.
3
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Bagian Kedua
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Pasal 9
4
Pasal 10
Pasal 11
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan
Pasal 12
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Pemborongan Pekerjaan
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
5
Pasal 16
BAB III
PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
Bagian Kesatu
Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 17
(3) Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
Pasal 18
Bagian Kedua
Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 19
6
c. hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 20
Pasal 21
(2) Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana pada ayat (1), maka pejabat yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat menolak
permohonan pendaftaran dengan memberi alasan penolakan.
Pasal 22
Pasal 23
7
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 24
Pasal 25
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di seluruh
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 26
8
(3) Berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi menyetujui atau menolak.
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 27
(2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatatkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(3) Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(4) Pencatatan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan biaya.
Pasal 28
Pasal 29
(2) Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu
tertentu yang objek kerjanya tetap ada sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sekurang-kurangnya harus memuat:
a. jaminan kelangsungan bekerja;
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
9
d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja;
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa
kerja yang telah dilalui; dan
g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
(2) Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan
diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 33
10
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara
Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2012
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
11
SE No.:01 Tahun 1982 Ttg Petunjuk Pelaksanaan PP No.8 Tahun 1981
Untuk keseragaman dalam menangani permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981- tentang Perlindungan Upah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara
No. 3190) perlu adanya satu kesatuan pengertian yang harus diperhatikan sebagai
pedoman bagi para petugas di lapangan khususnya dalam jajaran Direktorat Jenderal
Binalindung Tenaga Kerja. Terhadap beberapa ketentuan yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut masih diperlukan adanya penjelasan lebih lanjut yang perlu
diperhatikan yaitu antara lain sebagai berikut :
" Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah".
Penjelasan :
Dalam ketentuan ini pengertian "buruh" tidak termasuk tenaga kerja yang berstatus non
organik dan/atau yang bekerja secara insidentil pada suatu perusahaan. Yang dimaksud
dengan tenaga kerja berstatus non organik adalah tenaga kerja yang bekerja pada
perusahaan secara tidak teratur dan secara organisatoris tidak mempunyai fungsi pokok
dalam perusahaan tersebut, misalnya : Dokter perusahaan, Konsultan perusahaan.
Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang bekerja insidentil adalah tenaga kerja yang
bekerja pada perusahaan dengan tidak berkesinambungan baik yang disebabkan
karena waktu maupun sifat pekerjaan, misalnya tenaga kerja bongkar muat.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "pada saat adanya hubungan kerja" adalah sejak adanya
perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis antara pengusaha dan buruh.
lebih, kemudian jatuh sakit lagi dengan penyakit yang sama atau komplikasinya maka
selama sakit buruh berhak atas upah 100 % selama 3 (tiga) bulan. Bulan yang
dipakai untuk menghitung lamanya sakit adalah bulan atau waktu dimana buruh jatuh
sakit, jadi bukan bulan kalender. Untuk pelaksanaan pasal ini diperlukan surat
keterangan dokter yang ditunjuk oleh perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan terdapat perjanjian perburuhan atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja yang memuat ketentuan upah selama sakit tidak
mengikuti pertahapan sesuai pasal ini dapat dibenarkan apabila setiap kurun waktu 3
(tiga) bulan sekurang-kurangnya sama dengan besarnya prosentase pasal 5
tersebut.
Contoh yang dapat dibenarkan :
3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 75 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %
Contoh yang tidak dibenarkan :
3 (tiga) bulan pertama 100 %
3 (tiga) bulan kedua 60 %
6 (enam) bulan berikutnya 50 %
Bila dalam waktu sakit berkepanjangan tersebut timbul hak atas cuti ber upah(cuti
tahunan, cuti hamil) maka hari-hari cuti tersebut upahnya 100 %.
baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang
seharusnya dapat ia hindari".
Penjelasan :
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka pemberian uang tunggu, yang bukan
dalam kaitan dengan pemberhentian sementara (schorsing) yang selama ini
dilakukan oleh pengusaha tidak diperkenankan lagi oleh karenanya pengusaha harus
membayar upah penuh kepada buruh.
Misalnya : Buruh yang diperintahkan untuk menunggu kedatangan suatu kapal dimana
kalau kapal tersebut tiba, buruh akan membongkar muat barang, tetapi karena
sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka pengusaha harus membayar upah
buruh sesuai dengan perjanjian.
Penjelasan :
Yang dipakai untuk menghitung kurs resmi adalah kurs yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia pada saat pembayaran upah.
b. Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan perjanjian
tertulis;
c. Uang muka atas upah, kelebihann upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang
buruh kepada pengusaha, dengan ketentuan harus ada tanda bukti tertulis".
Penjelasan :
Untuk memperhitungkan hutang piutang buruh jika terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja selain dapat diperhitungkan dari upah juga dari uang pesangon.
Demikian beberapa petunjuk tersebut disampaikan kepada Saudara untuk diperhatikan dan
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 4 Februari 1982
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
HARUN ZAIN
PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.06/MEN/IV/2005
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, menerima serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
3. Anggota serikat pekerja/serikat buruh adalah pekerja/buruh yang menyatakan
diri secara tertulis menjadi anggota suatu serikat pekerja/serikat buruh.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
6. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
8. Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh adalah proses pembuktian
dan persahihan data keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
dan di luar perusahaan yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
10. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
BAB II
TUJUAN VERIFIKASI
Pasal 2.
Verifikasi keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh bertujuan untuk
memperoleh data anggota serikat pekerja/serikat buruh secara lengkap dan
akurat.
Pasal 3.
1. Untuk mendapatkan data anggota serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan pendataan keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Pendataan keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
BAB III
PENDATAAN
Pasal 4.
Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dilakukan
terhadap serikat pekerja/serikat buruh yang telah memiliki nomor bukti
pencatatan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-16/MEN/2001 tentang Tata Cara Pencatatan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pasal 5
BAB V
PELAKSANAAN VERIFIKASI
KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH
Pasal 6
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) dilaksanakan
sebagai berikut :
(2) Daftar tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dituangkan
dalam Berita Acara Verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
yang ditandatangani oleh pengurus dan pengusaha serta petugas dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 7.
BAB V
MEKANISME DAN WAKTU
PELAKSANAAN PENDATAAN DAN VERIFIKASI
Pasal 8
Mekanisme dan waktu pelaksanaan pendataan dan verifikasi keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 9
PASAL 10
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
1. Dibuat rangkap 3.
2. Data diperoleh dari serikat pekerja/serikat buruh di Perusahaan yang
bersangkutan.
3. Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh tidak berada di perusahaan maka nama
"perusahaan " diisi nama tempat/lokasi kerja.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2005
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ttd
FAHMI IDRIS
7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4594);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);
10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-
2014;
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah jenis pelayanan publik yang mendasar
dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan pemerintahan.
2
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan DPRD provinsi/kabupaten/kota
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
8. Indikator SPM Bidang Ketenagakerjaan adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak
dipenuhi dalam pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan bagi daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota, dapat berupa masukan, proses, keluaran, hasil, dan/atau
manfaat pelayanan dasar.
9. Batas waktu pencapaian SPM adalah kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai
SPM secara nasional.
11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
BAB II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KETENAGAKERJAAN
Pasal 2
(2) SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
standar pelayanan dasar bidang ketenagakerjaan yang meliputi jenis pelayanan
dasar, indikator SPM, nilai SPM, batas waktu pencapaian, dan satuan kerja/lembaga
penanggung jawab.
(3) Pelayanan dasar SPM bidang ketenagakerjaan, Panduan Operasional SPM bidang
ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota, dan Komponen Biaya SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan
Lampiran III yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
SPM bidang ketenagakerjaan menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk
menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3
BAB III
PELAKSANAAN
Pasal 4
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 5
(1) Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kepada Menteri.
(3) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tercantum
dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 6
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan provinsi.
(2) Gubernur melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipergunakan
sebagai bahan:
a. pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM bidang
ketenagakerjaan, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintahan daerah
yang berprestasi sangat baik;
b. pertimbangan dalam pemberian sanksi bagi pemerintahan daerah yang tidak
menerapkan SPM bidang ketenagakerjaan sesuai dengan kondisi khusus daerah
dan batas waktu yang ditetapkan.
(4) Penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan kepada
daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
4
BAB VI
PENGEMBANGAN KAPASITAS
Pasal 7
(1) Hasil monitoring dan evaluasi terhadap penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan oleh provinsi dan kabupaten/kota dapat dipakai sebagai bahan
pengembangan kapasitas.
(2) Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), difasilitasi oleh
Menteri melalui kegiatan peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, dan
personil.
(3) Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
berupa:
a. pemberian orientasi umum;
b. petunjuk teknis;
c. bimbingan teknis;
d. bantuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 8
(3) Menteri dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibantu oleh direktorat teknis terkait di lingkungan Kementerian.
(4) Gubernur dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dibantu oleh satuan kerja yang membidangi ketenagakerjaan provinsi.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 9
(1) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan monitoring dan evaluasi, pembinaan
dan pengawasan, pembangunan sistem informasi serta pengembangan kapasitas
lingkup nasional dibebankan pada anggaran Kementerian.
(2) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar bidang
ketenagakerjaan, pencapaian kinerja/pelaporan, monitoring dan evaluasi,
pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem informasi manajemen, serta
pengembangan kapasitas lingkup provinsi dan kabupaten/kota dibebankan pada
anggaran provinsi dan kabupaten/kota.
5
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH
6
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
1 3 4 5 6 7
1. Pelayanan Pelatihan 1. Besaran tenaga kerja yang 75% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Kerja mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
berbasis kompetensi Kab/Kota
2. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
berbasis masyarakat Kab/Kota
3. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Σ pendaftar pelatihan kewirausahaan
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov,
kewirausahaan Kab/Kota
2. Pelayanan Penempatan Besaran pencari kerja yang 70% 2016 Dinas/Unit Σ pencari kerja yang ditempatkan x 100%
Tenaga Kerja terdaftar yang ditempatkan Ketenagakerjaan Prov, Σ pencari kerja terdaftar
Kab/Kota
3. Pelayanan Penyelesaian Besaran Kasus yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Kasus yang diselesaikan dengan PB x 100 %
Perselisihan Hubungan diselesaikan dengan Perjanjian Ketenagakerjaan Prov ∑ Kasus yang dicatatkan
Industrial Bersama (PB)
7
BATAS WAKTU
STANDAR PELAYANAN SATUAN Keterangan
PELAYANAN PENCAPAIAN
MINIMAL KERJA/LEMBAGA
No. DASAR (TAHUN)
PENANGGUNG
INDIKATOR JAWAB
NILAI
1 3 4 5 6 7
4. Pelayanan Kepesertaan Besaran pekerja/buruh yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Pekerja/buruh peserta program jamsostek x 100 %
Jamsostek menjadi peserta program Ketenagakerjaan Prov, ∑ Pekerja/buruh
Jamsostek Kab/Kota
5. Pelayanan Pengawasan 1. Besaran Pemeriksaan 45 % 2016 Dinas/Unit Σ Perusahaan yang telah diperiksa x 100%
Ketenagakerjaan Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ perusahaan yang terdaftar
Kab/Kota
2. Besaran Pengujian 50% 2016 Dinas/Unit Σ Peralatan yang telah diuji x 100%
Peralatan di Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ Peralatan yang terdaftar
Kab/Kota
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
8
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
A. Dasar.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional;
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.22/MEN/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam
Negeri;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
B. Pengertian.
1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Pelatihan berbasis kompetensi adalah pelatihan yang menitikberatkan pada
penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
5. Pelatihan berbasis masyarakat adalah pelatihan yang didesain berdasarkan
kebutuhan masyarakat dan potensi daerah baik yang mengacu pada standar
kompetensi maupun non standar.
6. Pelatihan kewirausahaan adalah pelatihan yang membekali peserta secara
bertahap agar memiliki kompetensi kewirausahaan dan bisnis, sehingga
mampu menciptakan kesempatan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain
sesuai tuntutan pembangunan.
9
7. Besaran tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan adalah persentasi jumlah
tenaga kerja yang dilatih dalam waktu satu sampai lima tahun secara
kumulatif dibandingkan dengan jumlah orang yang mendaftar pelatihan.
Undang Nmor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator.
a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis kompetensi sebanyak 6500
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1250 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis kompetensi di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah:
1250 orang x 100% = 19%
6500 orang
artinya baru 19% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis kompetensi di wilayah tersebut yang telah dilatih.
a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis masyarakat sebanyak 5000
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1350 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis masyarakat di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah :
1350 orang x 100% = 27%
5000 orang
10
artinya baru 27% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis masyarakat di wilayah tersebut yang telah dilatih.
a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan kewirausahaan
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan sebanyak 7800
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 900 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan kewirausahaan di wilayah tersebut pada tahun berjalan adalah :
900 orang x 100% = 11.5%
7800 orang
artinya baru 11.5% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
kewirausahaan di wilayah tersebut yang telah dilatih.
D. Sumber Data.
Jenis pelatihan yang dilaksanakan bagi pencari kerja dan tenaga kerja meliputi:
1. pelatihan berbasis kompetensi, misal:
a. pelatihan otomotif;
b. pelatihan las;
c. pelatihan refrigeration/mesin pendingin;
d. pelatihan elektrik;
e. pelatihan mekatronik.
11
2. pelatihan berbasis masyarakat, misal:
a. pelatihan menjahit;
b. pelatihan pengolahan hasil pertanian;
c. pelatihan pengolahan hasil laut.
3. pelatihan kewirausahaan, misal:
a. pelatihan start up your business;
b. pelatihan desa produktif.
G. Langkah Kegiatan.
12
f. Assessment oleh assessor.
1) melaksanakan assessment kepada peserta pelatihan sesuai dengan
unit kompetensi yang ditentukan;
2) assessment dapat diikuti peserta pelatihan hasil dari keputusan RPL
dan hasil dari proses pelatihan.
g. Keputusan Penilaian oleh BLK UPTD.
1) peserta pelatihan yang dinyatakan memenuhi seluruh unjuk kerja yang
dipersyaratkan, dinyatakan lulus;
2) peserta pelatihan yang dinyatakan tidak memenuhi seluruh/sebagian
unjuk kerja yang dipersyaratkan, diharuskan mengikuti proses
pelatihan terhadap unjuk kerja yang dinyatakan belum lulus;
3) peserta pelatihan yang dinyatakan lulus akan diberikan sertifikat
pelatihan;
4) Sertifikat pelatihan diterbitkan oleh lembaga penyelenggara pelatihan
yang bersangkutan.
h. Dokumentasi oleh BLK UPTD
1) Dokumen peserta pelatihan diarsipkan;
2) Sertifikat peserta pelatihan teregistrasi di lembaga penyelenggara
pelatihan.
i. Uji Kompetensi oleh BLK UPTD dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
1) Peserta pelatihan yang dinyatakan lulus, diwajibkan untuk mengikuti
uji kompetensi;
2) Uji kompetensi dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi.
2. Pelatihan Kewirausahaan.
a. Seleksi;
b. Pelatihan teknis sesuai jenis usaha;
c. Pelatihan manajemen kewirausahaan:
1) Motivasi, pola pikir berusaha, semangat kewirausahaan;
2) Manajemen kewirausahaan:
a) Produksi;
b) Pemasaran;
c) Perhitungan biaya dan laba;
d) Pembukuan sederhana;
e) Kelayakan usaha;
3) Penyusunan rencana usaha.
d. Memulai usaha;
e. Bimbingan konsultasi produktivitas;
f. Pendampingan.
13
II. PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
A. Dasar.
B. Pengertian.
14
10. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disingkat AKAN adalah
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
11. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan
melakukan kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
12. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang
antar kerja dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
pelayanan antar kerja.
13. Konsorsium Asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota untuk
menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian
konsorsium.
14. Besaran pencari kerja yang terdaftar yang ditempatkan adalah persentasi
jumlah pencari kerja yang mendaftarkan dan tercatat pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan dan jumlah pencari
kerja yang diterima bekerja oleh pemberi kerja dalam hal ini perusahaan yang
mendaftarkan lowongan pekerjaannya pada dinas kabupaten/kota.
1. Rumus:
persentasi pencari kerja yang terdaftar dengan pencari kerja yang
ditempatkan:
2. Pembilang:
jumlah pencari kerja yang ditempatkan
3. Penyebut:
jumlah pencari kerja yang terdaftar
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)
5. Contoh Perhitungan:
misalkan pada wilayah kabupaten Bekasi, pencari kerja yang terdaftar
sebanyak 15.000 orang. Jumlah pencari kerja yang ditempatkan sebanyak
3000 orang, maka persentasi pencari kerja yang dapat ditempatkan di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah:
3000 orang x 100% = 20%
15000 orang
artinya baru 20% dari jumlah pencari kerja yang terdaftar di wilayah tersebut
yang telah ditempatkan.
D. Sumber Data.
Data jumlah pencari kerja yang terdaftar dan data jumlah pencari kerja yang
ditempatkan yang diperoleh dari :
1. dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan;
2. kantor perwakilan penempatan tenaga kerja;
3. perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan lowongan kerja pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan berdasarkan hasil
job canvasing, telepon, faksimili, email, maupun secara langsung melalui
bagian human resources development;
15
4. laporan dari perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
dan bursa kerja khusus mengenai penempatan tenaga kerja yang direkrut
melalui dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan.
Merntah Nom38 2007PemerintaPemerintahanDaerah
Tah
E. Target.
G. Langkah Kegiatan.
16
c. Prosedur penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh dinas
kabupaten/kota:
1) pencocokan AK/II dengan AK/III.
Sebelum dilakukan penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu
lowongan pekerjaan, terlebih dahulu diperiksa kartu pencari kerja
(AK/II) secara obyektif dengan tidak memihak.
2) penunjukkan sebagai calon untuk pengisian lowongan pekerjaan.
Pencari kerja yang telah terpilih untuk memenuhi lowongan
pekerjaan tersebut dilakukan pemanggilan dengan menggunakan
formulir surat panggilan (AK/IV).
Pencari kerja yang datang memenuhi panggilan ditawarkan untuk
mengisi lowongan pekerjaan tersebut dan diberitahu tentang syarat-
syarat kerja serta jaminan sosialnya. Apabila telah terdapat
kesesuaian, pencari kerja akan diberi surat pengantar (AK/V) setelah
terlebih dahulu ada kepastian bahwa lowongan pekerjaan tersebut
belum diisi.
Untuk setiap lowongan pekerjaan, ditunjuk sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang sebagai calon pencari kerja dengan maksud agar
pemberi kerja dapat melakukan pemilihan yang terbaik.
3) tindak lanjut penunjukkan calon pencari kerja.
Setiap penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu lowongan
pekerjaan, sebaiknya dilakukan tindaklanjut untuk mengetahui berhasil
atau tidaknya penunjukkan calon tersebut dalam mengisi lowongan
pekerjaan dan sebagai umpan balik untuk mengetahui apakah pemberi
kerja merasa puas dengan penunjukkan calon yang dilakukan oleh
dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan apakah
calon yang diterima tersebut puas dengan pekerjaan yang diterimanya.
17
h. pelaksanaan pelatihan dan uji kompetensi CTKI yang dilaksanakan oleh
dinas provinsi :
1) dinas provinsi memberikan rekomendasi izin Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP);
2) dinas provinsi diikutsertakan sebagai asesor.
i. penyelesaian asuransi perlindungan TKI yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
1) dinas provinsi memfasilitasi penyelesaian kasus Calon TKI dan TKI
serta dapat mengusulkan kepada Dirjen Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Kementerian Nakertrans dalam hal penjatuhan sanksi
administratif kepada konsorsium asuransi TKI;
2) dinas kabupaten/kota meneliti keabsahan bukti pembayaran asuransi
pra penempatan dan memfasilitasi (memberikan rekomendasi)
pengajuan klaim asuransi TKI kepada konsorsium asuransi.
j. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
tugas dinas provinsi dalam penyelenggaraan PAP melakukan:
1) penelitian persyaratan administrasi;
2) penelitian kelengkapan dokumen yaitu sertifikat kompetensi, perjanjian
kerja, paspor, dan visa kerja;
3) koordinasi dengan instansi terkait dan dinas kabupaten/kota;
4) melaksanakan PAP selama 20 (dua puluh) jam pelajaran dengan
materi PAP meliputi pembinaan mental kerohanian, pembinaan
kesehatan fisik, pembinaan mental dan kepribadian, bahaya
perdagangan perempuan dan anak, bahaya perdagangan narkoba,
obat terlarang dan kriminal lainnya, sosialisasi budaya, adat istiadat
dan kondisi negara penempatan, peraturan perundang-undangan
negara penempatan, tata cara keberangkatan dan kedatangan di
bandara negara penempatan, tata cara kepulangan di tanah air, peran
perwakilan Republik Indonesia dalam pembinaan dan perlindungan
WNI/TKI di luar negeri, program remittance tabungan dan asuransi
perlindungan TKI dan perjanjian penempatan TKI dan perjanjian kerja;
5) menerbitkan surat keterangan telah mengikuti PAP.
k. penandatangan Perjanjian Kerja yang dilakukan oleh dinas provinsi.
Penandatangan perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna dilakukan
dihadapan pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
l. pembinaan TKI Purna Penempatan di daerah asal yang dilakukan oleh
dinas provinsi dan kabupatan/kota.
dinas kabupaten/kota memfasilitasi pelaksanaan bimbingan wirausaha,
pengembangan usaha dan pendampingan terhadap TKI purna dalam
pembinaan usaha serta melakukan rehabilitasi mental bekerjasama
dengan instansi terkait.
18
III. PELAYANAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.
A. Dasar.
B. Pengertian.
1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
4. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.
5. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
6. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
8. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
19
9. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
10. Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
11. Mediator Hubungan Industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan. Mediator Hubungan Industrial
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pada unit organisasi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat dan
daerah.
12. Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
13. Konsiliator Hubungan Industrial adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
14. Perjanjian Bersama adalah persetujuan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau
lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.
15. Besaran Kasus Perselisihan Hubungan Industrial adalah jumlah kasus
perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan oleh Mediator Hubungan
Industrial yang berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
yang penyelesaiannya sampai pada tingkat perjanjian bersama (PB).
1. Rumus:
persentasi kasus yang diselesaikan di luar pengadilan hubungan industrial
melalui Perjanjian Bersama (PB) dengan jumlah kasus yang dicatatkan.
20
5. Contoh Perhitungan:
misalkan: berdasarkan data jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
yang dicatat pada tahun 2008 di Kabupaten Tangerang sebanyak 30 kasus,
Jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan dengan
perjanjian bersama sebanyak 13 kasus, maka persentasi penyelesaian kasus
perselisihan hubungan industrial melalui perjanjian bersama di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah :
13 x 100% = 34 %
38
artinya, baru 34 % dari jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang
diselesaikan dengan perjanjian bersama di wilayah tersebut.
D. Sumber Data.
E. Target.
F. Program Kegiatan.
G. Langkah Kegiatan.
21
b. peserta dari instansi pemerintah;
c. tujuannya untuk meningkatkan kemampuan teknis pegawai
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
A. Dasar.
B. Pengertian.
1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat JAMSOSTEK
adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santuan berupa
uang penggganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal
dunia.
4. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa
atau wajar dilalui.
5. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi angota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau
berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
6. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan.
7. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau
perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
22
8. Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
9. Besaran pekerja/buruh yang menjadi peserta JAMSOSTEK adalah jumlah
pekerja/buruh di perusahaan yang menjadi peserta JAMSOSTEK.Nomor
1Tahang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator:
1. Rumus:
persentasi pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK dengan jumlah pekerja/buruh
dalam hubungan kerja:
D. Sumber Data.
E. Target.
F. Program Kegiatan.
23
G. Langkah Kegiatan.
24
V. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
A. Dasar.
B. Pengertian.
1. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
3. Laporan Pelaksanaan Pengawasan adalah laporan yang memuat hasil
kegiatan dan evaluasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan baik
laporan individu pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun laporan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan.
4. Pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan
ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengawas
ketenagakerjaan dalam penerapan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang terdiri dari pemeriksaan pertama, pemeriksaan berkala,
pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan ulang.
6. Pengujian adalah kegiatan penilaian terhadap suatu obyek pengawasan
ketenagakerjaan melalui perhitungan, analisa dan pengetesan sesuai dengan
ketentuan atau standar yang berlaku.
25
7. Besaran pemeriksaan perusahaan adalah persentase jumlah perusahaan
yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani
bidang ketenagakerjaan dan jumlah perusahaan yang telah dilakukan
pemeriksaan.
8. Besaran pengujian peralatan di perusahaan adalah persentase jumlah
peralatan yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota dan jumlah
peralatan yang telah dilakukan pengujian.
1. Pemeriksaan Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah perusahaan yang telah diperiksa dibanding dengan
jumlah perusahaan yang terdaftar
2. Pengujian Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah peralatan yang telah diuji dibanding dengan jumlah
peralatan yang terdaftar
26
c. Penyebut:
jumlah peralatan yang terdaftar sesuai Wajib Lapor Ketenagakerjaan
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berada di provinsi dan
kabupaten/kota.
d. Satuan Indikator:
persentasi (%)
e. Contoh Perhitungan:
misalkan : provinsi dan kabupaten/kota jumlah peralatan yang terdaftar
sebanyak 1759 unit, yang diuji oleh pengawas ketenagakerjaan sebanyak
180 unit dengan catatan jumlah pengawas ketenagakerjaan spesialis
sebanyak 3 orang.
Jumlah peralatan yang telah diuji oleh pengawas ketenagakerjaan cara
perhitungannya adalah 3 orang pengawas ketenagakerjaan spesialis x 8
unit/bulan x 12 bulan = 288 unit (satu tahun), maka persentase pengujian
peralatan di provinsi dan kabupaten/kota pada tahun berjalan adalah:
288 unit x 100% = 24%
1759 unit
arti angka 24 % adalah kinerja pengawasan ketenagakerjaan dalam
melakukan pengujian peralatan di perusahaan pada provinsi dan
kabupaten/kota dalam tahun berjalan.
D. Sumber Data.
E. Target.
F. Program.
27
G. Langkah Kegiatan.
1. Pengawas Ketenagakerjaan;
2. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis;
3. Penyelenggara Administrasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
4. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
28
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
KOMPONEN BIAYA
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PELATIHAN UNTUK 1 (SATU) ORANG PESERTA
No Kegiatan Volume
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
29
c. PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN
1. Belanja Bahan
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PENEMPATAN TENAGA KERJA UNTUK 1 ORANG PESERTA
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
30
c. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA ANTAR NEGARA
1. Belanja Bahan
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
No Kegiatan Volume
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
31
D. PELAYANAN JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KEPESERTAAN JAMINAN
SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH
No Kegiatan Volume
a. SOSIALISASI PERATURAN TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
32
E. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
ANGGARAN BIAYA
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
33
d. PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Pengiriman laporan 1.00 PKT
Belanja Barang Operasional Lainnya
2. - Konsumsi 1.00 PKT
ANGGARAN BIAYA
PENGUJIAN PERALATAN DI PERUSAHAAN
No Kegiatan Volume
a. PENDATAAN OBYEK PENGUJIAN K3
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi
1.00 PKT
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT
34
d. PEMBERDAYAAN AHLI K3 SPESIALIS
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
35
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
SISTEMATIKA PENYUSUNAN
LAPORAN TEKNIS TAHUNAN PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. DASAR HUKUM
37
4. Alokasi Anggaran:
adalah jumlah belanja langsung dan tidak langsung yang ditetapkan
dalam APBD dalam rangka penerapan dan pencapaian SPM yang
bersumber dari:
A. APBD;
B. Sumber dana lain yang sah.
5. Dukungan Personil:
Jumlah personil atau pegawai yang terlibat dalam proses penerapan dan
pencapaian SPM:
A. PNS;
B. Non-PNS
6. Permasalahan dan Solusi:
Permasalahan dan solusi yang dihadapi dalam penerapan dan
pencapaian SPM, baik permasalahan eksternal maupun internal dan
langkah-langkah penyelesaian permasalahan yang ditempuh.
A. Pelayanan Pelatihan Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
B. Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
C. Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
D. Pelayanan Kepesertaan Jamsostek
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
E. Pelayanan Pengawasan Ketenagakerjaan
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
BAB III PENUTUP
KEPALA SKPD
YANG MENANGANI BIDANG
KETENAGAKERJAAN
…………………………………………
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
38
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.16/MEN/2001
TENTANG
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
TENTANG TATA CARA PENCATATAN SERIKAT PEKERJA/
SERIKAT BURUH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang
didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
3. Serikat pekerja/serikat buruh dalam perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh
yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan.
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh.
5. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Kep-16/MEN/2001 Halaman 1
BAB II
PEMBERITAHUAN
Pasal 2
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan domisili,
untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri
syarat-syarat sebagai berikut :
a. daftar nama anggota pembentuk
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
c. susunan dan nama pengurus
(3) Dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, sekurang-
kurangnya harus memuat :
a. nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh;
b. dasar negara, asas dan tujuan yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945;
c. tanggal pendirian
d. tempat kedudukan;
e. persyaratan menjadi anggota dan persyaratan pemberhentiannya;
f. hak dan kewajiban anggota;
g. persyaratan menjadi pengurus dan persyaratan pemberhentiannya;
h. hak dan kewajiban pengurus;
i. sumber, tata cara penggunaan dan pertanggung jawaban keuangan;
j. ketentuan perubahan anggaran dasar dan / atau anggaran rumah tangga.
(4) Pemberitahuan bagaimana dimaksud dalam ayat (1) menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 Keputusan Menteri ini.
BAB III
PENCATATAN
Pasal 3
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 wajib mencatat dan memberikan nomor bukti
pencatatan atau menangguhkan pencatatan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam buku pencatatan.
(3) Buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
memuat :
a. nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh;
b. nama anggota pembentuk;
c. susunan dan nama pengurus;
d. tanggal pembuatan dan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga;
e. nomor bukti pencatatan;
f. tanggal pencatatan.
Kep-16/MEN/2001 Halaman 2
(4) Tanggal pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan dilakukan selambat-
lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pemberitahuan dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
lampiran II Keputusan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri ini instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dapat
menangguhkan pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima
pemberitahuan dengan memberitahukan kelengkapan yang harus dipenuhi, dengan
emnggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran III Keputusan Menteri
ini.
(2) Apabila setelah lewat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberitahuan serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh belum
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan
Menteri ini, maka berkas pemberitahuan dikembalikan dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran IV Keputusan Menteri ini.
Pasal 5
Pengurus serikat pekeja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh setelah menerima nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis
kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatan organisasinya.
Pasal 6
(1) Dalam hal terjadi perpindahan domisili,pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan kepada
instansi yang bertanggung jawabdibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di domisili
baru dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran V
Keputusan Menteri ini.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dimana
serikat pekerja/serikat buruh tercatat sebelumnya. Setelah menerima pemberitahuan
pemindahan domisili harus menghapus nomor buku pencatatan serikat
pekerja/serikat buruh tersebut.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota domisili
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang baru. Setelah menerima pemberitahuan pemindahan domisili harus mencatat
permohonan pencatatan serikat pekerja/serikat buruh tersebut dan memberikan
nomor bukti pencatatan.
Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf b, pengurus harus
memberitahukan secara tertulis mengenai pasal-pasal perubahan anggaran
dasar/anggaran rumah tangga kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota dengan di lampiri anggaran dasar/anggaran rumah
tangga yang baru, dengan menggunakan formulir sebagaiman tercantum dalam
lampiran VI Keputusan Menteri ini.
Kep-16/MEN/2001 Halaman 3
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah
menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mencatat
perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga serikat pekerja atau serikat buruh
dalam buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan
Menteri ini.
Pasal 8
(1) Dalam hal pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh menerima bantuan keuangan dari luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 untuk kegiatan
organisasi,maka pengurus hasur memberitahukan secara tertulis kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sesuai dengan
domisili organisasinya sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari setelah bantuan
tersebut diterima, dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
lampiran VII Keputusan Menteri ini
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah
menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus membuat
tanda bukti pemberitahuan penerimaan bantuan keuangan dari luar negeri dengan
menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran VIII Keputusan
Menteri ini.
Pasal 9
(1) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh bubar sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 huruf a dan b
Undasng-undang Nomor. 21 Tahun 2000, pengurus memberitahukan secara tertulis
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran IX Keputusan
Menteri ini.
(2) Dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dinyatakan bubar dengan keputusan pengadilan sebagaimana
di maksud dalam pasal 37 huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, maka
setelah putusan pengasilan mempunyai kekuatan hukum tetap, instansi pemerintah
selaku penggugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang
Nomor 21 tahun 2000 memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dengan menggunakan
formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran IX Keputusan Menteri ini.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setelah
menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau (2) diatas
segera mencabut nomor bukti pencatatan dengan menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran X Keputusan Menteri ini
Pasal 10
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota harus
melaporkan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kegiatan pencatatan yang diatur dalam Keputusan Menteri ini secara berkala dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sekali, dengan menggunakan formulir sebagaimana
tercantum dalam lampiran XI Keputusan Menteri ini
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
Kep-16/MEN/2001 Halaman 4
(1) Serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah memberitahukan atau telah terdaftar berdasarkan Permenaker No Per.05
Men 1998 atau Kepmenaker No Kep.201/Men/1999 memberitahukan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten kota dan diberi nomor
bukti pencatatan baru selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2000 dengan melengkapi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri ini.
(2) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-undang Nomor 21
tahun 2000 mulai berlaku,serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang telah memberitahukan atau telah terdaftar
berdasarkan Permenaker No. Per. 05/Men/1998 atau Kepmenaker No. Kep.
201/Men/1999 tidak memberitahukan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sesuai dengan Keputusan Menteri ini.
Dianggap tidak mempunyai nomor bukti pencatatan
BAB V
PENUTUP
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
1/Perat. Tahun 1969 tentang Bantuan Luar Negeri bagi Organisasi
Buruh/Pekerja/Karyawan di Indonesia, dasn Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
Kep. 202/MEN/1999 tentang Bentuk-bentuk Formulir Pendaftaran Organisasi. Pekerja
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 13
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Apabila terdapat kekeliruan akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Februari 2001
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
ALHILAL HAMDI
Kep-16/MEN/2001 Halaman 5
Formulir Pemberitahuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
..................., ......................................
Nomor : Kepada
Lampiran : Yth. Kepala .......................................
Perihal : Pemberitahuan dan Permohonan
Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat di –
Buruh
---------------------------------------------- -----------------------------
Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.
16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, maka kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : ...................................................
Jabatan : ...................................................
2. Nama : ...................................................
Jabatan : ...................................................
Pemohon
Ketua Sekretaris
...................................... .........................................
( ............................ ) ( ............................ )
Kep-16/MEN/2001 Halaman 6
Formulir Bukti Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Kep. 16/Men/2001 tanggal 15 Februari 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
pekerja / Serikat Buruh. Telah diterima pemberitahuan pembentukan/pencatatan kembali
Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja / Serikat Buruh/Konfederasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh *) yang
bernama ............................
alamat ...........................
dengan suratnya No .............. tanggal ..................
..............., ..............................
Kepala,
.........................................
(..........................................)
Kep-16/MEN/2001 Halaman 7
Formulir Penangguhan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
................., ........................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Penangguhan Pencatatan Yth. Sdr .............................................
Serikat Pekerja/Serikat Buruh di –
--------------------------------------- ---------------------------------------
1 ...................................................................................................................
2 ...................................................................................................................
Kepala,
..................................
( ......................... )
Kep-16/MEN/2001 Halaman 8
Formulir Penolakan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
................, .........................................
Nomor :
Lampiran : 1 (satu) berkas Kepada
Perihal : Pengembalian Berkas Yth Sdr ..............................................
Permohonan Pencatatan
Serikat Pekerja / Serikat di –
Buruh
-------------------------------- ---------------------------------------
Kepala,
.....................................
(..................................)
Kep-16/MEN/2001 Halaman 9
Formulir Pemindahan Domisili Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
................., ........................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Pemindahan domisili Yth 1. Kepala ...................................
2. Kepala ...................................
di –
_________________
1. Nama .................
Jabatan .. ..............
2. Nama .................
Jabatan .................
Pemohon,
Ketua, Sekretaris,
................................. .........................................
( ........................... ) (..................................)
Tembusan
1. ..............
2. Arsip
Kep-16/MEN/2001 Halaman 10
Formulir Perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
....................., ....................................
Nomor :
Lampiran : 1 (satu) berkas Kepada
Perihal : Perubahan Anggaran Yth Kepala .......................................
Dasar/Anggaran Rumah
Tangga Serikat Pekerja/ di –
Serikat Buruh
-------------------------------- --------------------------------------
1. Anggaran Dasar
a. Pasal ............ tentang
b. Pasal ............ tentang
c. Pasal ............ tentang
Ketua,
(............................)
Kep-16/MEN/2001 Halaman 11
Formulir Pemberitahuan Penerimaan Bantuan Luar Negeri Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
......................, ...................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Pemberitahuan Penerimaan Yth Kepada .......................................
Bantuan Keuangan dari Luar
Negeri bagi Serikat Pekerja/ di –
Serikat Buruh
------------------------------------- ---------------------------------------
Ketua,
...................................
( ........................ )
Kep-16/MEN/2001 Halaman 12
Formulir Bukti Pemberitahuan Penerimaan Bantuan Luar Negeri Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Berdasarkan Pasal 8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.
16/Men/2001 tanggal 25 Februari 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, telah diterima pemberitahuan penerimaan bantuan keuangan Dari
Luar Negeri bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. *)........................
yang berasal dari ..........................................
sebesar ..........................................................
Kepala,
....................................
( ................................)
Kep-16/MEN/2001 Halaman 13
Formulir Pemberitahuan Pembubaran Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
......................., ..................................
Nomor :
Lampiran : Kepada
Perihal : Pembubaran Serikat Yth. Kepala ......................................
Pekerja/Serikat Buruh di –
----------------------------- --------------------------------------
Ketua/Kepala. *)
...............................
(..........................)
Kep-16/MEN/2001 Halaman 14
Formulir Pencabutan Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
..............., ....................
Kepala,
...................................
(.................................)
Kep-16/MEN/2001 Halaman 15
Formulir Perkembangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh/Federasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh/Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
......................., ..................................
Nomor :
Lampiran : 1 (satu)
Perihal : Data Perkembangan Serikat Kepada
Pekerja/Serikat Buruh Yth Menteri Tenaga Kerja dan
------------------------------------- Transmigrasi RI
di –
Jakarta
Kepala,
....................................
(..................................)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KABUPATEN/KOTA : ......................................................
PERIODE ................................. S/D ...............................
Penerimaan Penghapusan/
Nama dan Alamat Nomor Pemindahan Domisili Perubahan AD/ART
Bantuan LN Pencabutan
No. Serikat Pekerja/ Bukti
Pindah Pasal Tangg Pemberi Nomor Bukti
Serikat Buruh Pencatatan Tanggal Jumlah Pencatatan *)
ke Perubahan al Bantuan
Kep-16/MEN/2001 Halaman 16
0'1
/
K£:MENTERiAN TENAGA ~<ERJA DAN i NSMIGRASI R.I.
DIREKTORAT JENDER t..
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMiNA SOSIAL TENAG.~\. KERJA
.:alan Jend4!lral Qatot SLlbrol0 KaVelin;; 51, JaKarta S~latan 129M"!' e.pon 575573", Fa~,:;lil;',r;; 5255e69
~Valixo\a 88tan'
Di ..·
~ef'indaK!ar'1jJti sural Saudara l'~o B 1651/1' -4/V/;!O~2 targg;:>! :;;. rJ1er 20',,')
2005 periha: Upar: Mir",imum 8erdasarkar. Kelom k USaf:3, dengar. '::1 l~ami
sampalkan hal· hal. sebagai bEFlkut'
:> Selain pe;letapar; min,mum terse but, untl.ik sektor ktor usaha yang menJadi sektc'
unggwl~n dimungkinkan ur~tuk ditet~pk.an Lipatl r !nl'11L:nl sektora! y;,tr:g besarai,
nilalnya diatas upah minimum yang berlaku. Pe tapan UPdli ;Tnl11mUm sektcril
dilaksanakan 'jengan rnekanisme sebagai berikut:
Tembusan:
1. r..ienter; Tenaga Kerja d<.lit T,an.;;migrc:n'l;
2. Gubernur Provinsl Kepu!auan Riau;
j. Kepaia Din~s Tenaga Kerja oan Transmigrasi Provi i Kepulaua r f;;'al. .
.__ ,,4 Kepala Cjn;;.1~ Tenaga ~~eria Kota Batam.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
1
7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4594);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);
10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-
2014;
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah jenis pelayanan publik yang mendasar
dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan pemerintahan.
2
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan DPRD provinsi/kabupaten/kota
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
8. Indikator SPM Bidang Ketenagakerjaan adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak
dipenuhi dalam pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan bagi daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota, dapat berupa masukan, proses, keluaran, hasil, dan/atau
manfaat pelayanan dasar.
9. Batas waktu pencapaian SPM adalah kurun waktu yang ditentukan untuk mencapai
SPM secara nasional.
11. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
BAB II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KETENAGAKERJAAN
Pasal 2
(2) SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
standar pelayanan dasar bidang ketenagakerjaan yang meliputi jenis pelayanan
dasar, indikator SPM, nilai SPM, batas waktu pencapaian, dan satuan kerja/lembaga
penanggung jawab.
(3) Pelayanan dasar SPM bidang ketenagakerjaan, Panduan Operasional SPM bidang
ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota, dan Komponen Biaya SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan
Lampiran III yang tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
SPM bidang ketenagakerjaan menjadi salah satu acuan bagi pemerintah daerah untuk
menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3
BAB III
PELAKSANAAN
Pasal 4
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 5
(1) Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kepada Menteri.
(3) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tercantum
dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 6
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan provinsi.
(2) Gubernur melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipergunakan
sebagai bahan:
a. pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM bidang
ketenagakerjaan, termasuk pemberian penghargaan bagi pemerintahan daerah
yang berprestasi sangat baik;
b. pertimbangan dalam pemberian sanksi bagi pemerintahan daerah yang tidak
menerapkan SPM bidang ketenagakerjaan sesuai dengan kondisi khusus daerah
dan batas waktu yang ditetapkan.
(4) Penerapan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan kepada
daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
4
BAB VI
PENGEMBANGAN KAPASITAS
Pasal 7
(1) Hasil monitoring dan evaluasi terhadap penerapan dan pencapaian SPM bidang
ketenagakerjaan oleh provinsi dan kabupaten/kota dapat dipakai sebagai bahan
pengembangan kapasitas.
(2) Pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), difasilitasi oleh
Menteri melalui kegiatan peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, dan
personil.
(3) Fasilitasi pengembangan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
berupa:
a. pemberian orientasi umum;
b. petunjuk teknis;
c. bimbingan teknis;
d. bantuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 8
(3) Menteri dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibantu oleh direktorat teknis terkait di lingkungan Kementerian.
(4) Gubernur dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan dan
pencapaian SPM bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dibantu oleh satuan kerja yang membidangi ketenagakerjaan provinsi.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 9
(1) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan monitoring dan evaluasi, pembinaan
dan pengawasan, pembangunan sistem informasi serta pengembangan kapasitas
lingkup nasional dibebankan pada anggaran Kementerian.
(2) Biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar bidang
ketenagakerjaan, pencapaian kinerja/pelaporan, monitoring dan evaluasi,
pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem informasi manajemen, serta
pengembangan kapasitas lingkup provinsi dan kabupaten/kota dibebankan pada
anggaran provinsi dan kabupaten/kota.
5
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH
6
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
1 3 4 5 6 7
1. Pelayanan Pelatihan 1. Besaran tenaga kerja yang 75% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Kerja mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
berbasis kompetensi Kab/Kota
2. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov, Σ pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
berbasis masyarakat Kab/Kota
3. Besaran tenaga kerja yang 60% 2016 Dinas/Unit Σ tenaga kerja yang dilatih _____________x 100%
Σ pendaftar pelatihan kewirausahaan
mendapatkan pelatihan Ketenagakerjaan Prov,
kewirausahaan Kab/Kota
2. Pelayanan Penempatan Besaran pencari kerja yang 70% 2016 Dinas/Unit Σ pencari kerja yang ditempatkan x 100%
Tenaga Kerja terdaftar yang ditempatkan Ketenagakerjaan Prov, Σ pencari kerja terdaftar
Kab/Kota
3. Pelayanan Penyelesaian Besaran Kasus yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Kasus yang diselesaikan dengan PB x 100 %
Perselisihan Hubungan diselesaikan dengan Perjanjian Ketenagakerjaan Prov ∑ Kasus yang dicatatkan
Industrial Bersama (PB)
7
BATAS WAKTU
STANDAR PELAYANAN SATUAN Keterangan
PELAYANAN PENCAPAIAN
MINIMAL KERJA/LEMBAGA
No. DASAR (TAHUN)
PENANGGUNG
INDIKATOR JAWAB
NILAI
1 3 4 5 6 7
4. Pelayanan Kepesertaan Besaran pekerja/buruh yang 50 % 2016 Dinas/Unit ∑ Pekerja/buruh peserta program jamsostek x 100 %
Jamsostek menjadi peserta program Ketenagakerjaan Prov, ∑ Pekerja/buruh
Jamsostek Kab/Kota
5. Pelayanan Pengawasan 1. Besaran Pemeriksaan 45 % 2016 Dinas/Unit Σ Perusahaan yang telah diperiksa x 100%
Ketenagakerjaan Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ perusahaan yang terdaftar
Kab/Kota
2. Besaran Pengujian 50% 2016 Dinas/Unit Σ Peralatan yang telah diuji x 100%
Peralatan di Perusahaan Ketenagakerjaan Prov, Σ Peralatan yang terdaftar
Kab/Kota
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
8
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
A. Dasar.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional;
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.22/MEN/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam
Negeri;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
B. Pengertian.
1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar kompetensi yang ditetapkan.
4. Pelatihan berbasis kompetensi adalah pelatihan yang menitikberatkan pada
penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat
kerja.
5. Pelatihan berbasis masyarakat adalah pelatihan yang didesain berdasarkan
kebutuhan masyarakat dan potensi daerah baik yang mengacu pada standar
kompetensi maupun non standar.
6. Pelatihan kewirausahaan adalah pelatihan yang membekali peserta secara
bertahap agar memiliki kompetensi kewirausahaan dan bisnis, sehingga
mampu menciptakan kesempatan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain
sesuai tuntutan pembangunan.
9
7. Besaran tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan adalah persentasi jumlah
tenaga kerja yang dilatih dalam waktu satu sampai lima tahun secara
kumulatif dibandingkan dengan jumlah orang yang mendaftar pelatihan.
Undang Nmor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator.
a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis kompetensi
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis kompetensi sebanyak 6500
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1250 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis kompetensi di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah:
1250 orang x 100% = 19%
6500 orang
artinya baru 19% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis kompetensi di wilayah tersebut yang telah dilatih.
a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan berbasis masyarakat
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan berbasis masyarakat sebanyak 5000
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 1350 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan berbasis masyarakat di wilayah tersebut pada tahun berjalan
adalah :
1350 orang x 100% = 27%
5000 orang
10
artinya baru 27% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
berbasis masyarakat di wilayah tersebut yang telah dilatih.
a. pembilang:
jumlah tenaga kerja yang dilatih
b. penyebut:
jumlah pendaftar pelatihan kewirausahaan
c. satuan indikator:
persentasi (%)
d. contoh perhitungan:
misalkan suatu wilayah provinsi dan kabupaten/kota, tenaga kerja yang
mendaftar untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan sebanyak 7800
orang. Jumlah tenaga kerja yang dapat dilatih pada periode tersebut
sebanyak 900 orang, maka persentasi tenaga kerja yang mendapatkan
pelatihan kewirausahaan di wilayah tersebut pada tahun berjalan adalah :
900 orang x 100% = 11.5%
7800 orang
artinya baru 11.5% dari jumlah tenaga kerja yang mendaftar pelatihan
kewirausahaan di wilayah tersebut yang telah dilatih.
D. Sumber Data.
Jenis pelatihan yang dilaksanakan bagi pencari kerja dan tenaga kerja meliputi:
1. pelatihan berbasis kompetensi, misal:
a. pelatihan otomotif;
b. pelatihan las;
c. pelatihan refrigeration/mesin pendingin;
d. pelatihan elektrik;
e. pelatihan mekatronik.
11
2. pelatihan berbasis masyarakat, misal:
a. pelatihan menjahit;
b. pelatihan pengolahan hasil pertanian;
c. pelatihan pengolahan hasil laut.
3. pelatihan kewirausahaan, misal:
a. pelatihan start up your business;
b. pelatihan desa produktif.
G. Langkah Kegiatan.
12
f. Assessment oleh assessor.
1) melaksanakan assessment kepada peserta pelatihan sesuai dengan
unit kompetensi yang ditentukan;
2) assessment dapat diikuti peserta pelatihan hasil dari keputusan RPL
dan hasil dari proses pelatihan.
g. Keputusan Penilaian oleh BLK UPTD.
1) peserta pelatihan yang dinyatakan memenuhi seluruh unjuk kerja yang
dipersyaratkan, dinyatakan lulus;
2) peserta pelatihan yang dinyatakan tidak memenuhi seluruh/sebagian
unjuk kerja yang dipersyaratkan, diharuskan mengikuti proses
pelatihan terhadap unjuk kerja yang dinyatakan belum lulus;
3) peserta pelatihan yang dinyatakan lulus akan diberikan sertifikat
pelatihan;
4) Sertifikat pelatihan diterbitkan oleh lembaga penyelenggara pelatihan
yang bersangkutan.
h. Dokumentasi oleh BLK UPTD
1) Dokumen peserta pelatihan diarsipkan;
2) Sertifikat peserta pelatihan teregistrasi di lembaga penyelenggara
pelatihan.
i. Uji Kompetensi oleh BLK UPTD dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
1) Peserta pelatihan yang dinyatakan lulus, diwajibkan untuk mengikuti
uji kompetensi;
2) Uji kompetensi dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi.
2. Pelatihan Kewirausahaan.
a. Seleksi;
b. Pelatihan teknis sesuai jenis usaha;
c. Pelatihan manajemen kewirausahaan:
1) Motivasi, pola pikir berusaha, semangat kewirausahaan;
2) Manajemen kewirausahaan:
a) Produksi;
b) Pemasaran;
c) Perhitungan biaya dan laba;
d) Pembukuan sederhana;
e) Kelayakan usaha;
3) Penyusunan rencana usaha.
d. Memulai usaha;
e. Bimbingan konsultasi produktivitas;
f. Pendampingan.
13
II. PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
A. Dasar.
B. Pengertian.
14
10. Antar Kerja Antar Negara yang selanjutnya disingkat AKAN adalah
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
11. Pengantar kerja adalah pegawai negeri sipil yang memiliki keterampilan
melakukan kegiatan antar kerja dan diangkat dalam jabatan fungsional oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
12. Petugas antar kerja adalah petugas yang memiliki pengetahuan tentang
antar kerja dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
pelayanan antar kerja.
13. Konsorsium Asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota untuk
menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian
konsorsium.
14. Besaran pencari kerja yang terdaftar yang ditempatkan adalah persentasi
jumlah pencari kerja yang mendaftarkan dan tercatat pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan dan jumlah pencari
kerja yang diterima bekerja oleh pemberi kerja dalam hal ini perusahaan yang
mendaftarkan lowongan pekerjaannya pada dinas kabupaten/kota.
1. Rumus:
persentasi pencari kerja yang terdaftar dengan pencari kerja yang
ditempatkan:
2. Pembilang:
jumlah pencari kerja yang ditempatkan
3. Penyebut:
jumlah pencari kerja yang terdaftar
4. Satuan Indikator:
persentasi (%)
5. Contoh Perhitungan:
misalkan pada wilayah kabupaten Bekasi, pencari kerja yang terdaftar
sebanyak 15.000 orang. Jumlah pencari kerja yang ditempatkan sebanyak
3000 orang, maka persentasi pencari kerja yang dapat ditempatkan di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah:
3000 orang x 100% = 20%
15000 orang
artinya baru 20% dari jumlah pencari kerja yang terdaftar di wilayah tersebut
yang telah ditempatkan.
D. Sumber Data.
Data jumlah pencari kerja yang terdaftar dan data jumlah pencari kerja yang
ditempatkan yang diperoleh dari :
1. dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan;
2. kantor perwakilan penempatan tenaga kerja;
3. perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan lowongan kerja pada dinas
kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan berdasarkan hasil
job canvasing, telepon, faksimili, email, maupun secara langsung melalui
bagian human resources development;
15
4. laporan dari perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja
dan bursa kerja khusus mengenai penempatan tenaga kerja yang direkrut
melalui dinas kabupaten/kota yang menangani bidang ketenagakerjaan.
Merntah Nom38 2007PemerintaPemerintahanDaerah
Tah
E. Target.
G. Langkah Kegiatan.
16
c. Prosedur penempatan tenaga kerja yang dilakukan oleh dinas
kabupaten/kota:
1) pencocokan AK/II dengan AK/III.
Sebelum dilakukan penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu
lowongan pekerjaan, terlebih dahulu diperiksa kartu pencari kerja
(AK/II) secara obyektif dengan tidak memihak.
2) penunjukkan sebagai calon untuk pengisian lowongan pekerjaan.
Pencari kerja yang telah terpilih untuk memenuhi lowongan
pekerjaan tersebut dilakukan pemanggilan dengan menggunakan
formulir surat panggilan (AK/IV).
Pencari kerja yang datang memenuhi panggilan ditawarkan untuk
mengisi lowongan pekerjaan tersebut dan diberitahu tentang syarat-
syarat kerja serta jaminan sosialnya. Apabila telah terdapat
kesesuaian, pencari kerja akan diberi surat pengantar (AK/V) setelah
terlebih dahulu ada kepastian bahwa lowongan pekerjaan tersebut
belum diisi.
Untuk setiap lowongan pekerjaan, ditunjuk sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang sebagai calon pencari kerja dengan maksud agar
pemberi kerja dapat melakukan pemilihan yang terbaik.
3) tindak lanjut penunjukkan calon pencari kerja.
Setiap penunjukkan sebagai calon untuk mengisi suatu lowongan
pekerjaan, sebaiknya dilakukan tindaklanjut untuk mengetahui berhasil
atau tidaknya penunjukkan calon tersebut dalam mengisi lowongan
pekerjaan dan sebagai umpan balik untuk mengetahui apakah pemberi
kerja merasa puas dengan penunjukkan calon yang dilakukan oleh
dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan apakah
calon yang diterima tersebut puas dengan pekerjaan yang diterimanya.
17
h. pelaksanaan pelatihan dan uji kompetensi CTKI yang dilaksanakan oleh
dinas provinsi :
1) dinas provinsi memberikan rekomendasi izin Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP);
2) dinas provinsi diikutsertakan sebagai asesor.
i. penyelesaian asuransi perlindungan TKI yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
1) dinas provinsi memfasilitasi penyelesaian kasus Calon TKI dan TKI
serta dapat mengusulkan kepada Dirjen Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Kementerian Nakertrans dalam hal penjatuhan sanksi
administratif kepada konsorsium asuransi TKI;
2) dinas kabupaten/kota meneliti keabsahan bukti pembayaran asuransi
pra penempatan dan memfasilitasi (memberikan rekomendasi)
pengajuan klaim asuransi TKI kepada konsorsium asuransi.
j. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang dilakukan oleh dinas
provinsi dan kabupaten/kota:
tugas dinas provinsi dalam penyelenggaraan PAP melakukan:
1) penelitian persyaratan administrasi;
2) penelitian kelengkapan dokumen yaitu sertifikat kompetensi, perjanjian
kerja, paspor, dan visa kerja;
3) koordinasi dengan instansi terkait dan dinas kabupaten/kota;
4) melaksanakan PAP selama 20 (dua puluh) jam pelajaran dengan
materi PAP meliputi pembinaan mental kerohanian, pembinaan
kesehatan fisik, pembinaan mental dan kepribadian, bahaya
perdagangan perempuan dan anak, bahaya perdagangan narkoba,
obat terlarang dan kriminal lainnya, sosialisasi budaya, adat istiadat
dan kondisi negara penempatan, peraturan perundang-undangan
negara penempatan, tata cara keberangkatan dan kedatangan di
bandara negara penempatan, tata cara kepulangan di tanah air, peran
perwakilan Republik Indonesia dalam pembinaan dan perlindungan
WNI/TKI di luar negeri, program remittance tabungan dan asuransi
perlindungan TKI dan perjanjian penempatan TKI dan perjanjian kerja;
5) menerbitkan surat keterangan telah mengikuti PAP.
k. penandatangan Perjanjian Kerja yang dilakukan oleh dinas provinsi.
Penandatangan perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna dilakukan
dihadapan pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
l. pembinaan TKI Purna Penempatan di daerah asal yang dilakukan oleh
dinas provinsi dan kabupatan/kota.
dinas kabupaten/kota memfasilitasi pelaksanaan bimbingan wirausaha,
pengembangan usaha dan pendampingan terhadap TKI purna dalam
pembinaan usaha serta melakukan rehabilitasi mental bekerjasama
dengan instansi terkait.
18
III. PELAYANAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.
A. Dasar.
B. Pengertian.
1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
4. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.
5. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
6. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
7. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
8. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
19
9. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
10. Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
11. Mediator Hubungan Industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan. Mediator Hubungan Industrial
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pada unit organisasi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat dan
daerah.
12. Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah
yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
13. Konsiliator Hubungan Industrial adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
14. Perjanjian Bersama adalah persetujuan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau
lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.
15. Besaran Kasus Perselisihan Hubungan Industrial adalah jumlah kasus
perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan oleh Mediator Hubungan
Industrial yang berkedudukan di instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
yang penyelesaiannya sampai pada tingkat perjanjian bersama (PB).
1. Rumus:
persentasi kasus yang diselesaikan di luar pengadilan hubungan industrial
melalui Perjanjian Bersama (PB) dengan jumlah kasus yang dicatatkan.
20
5. Contoh Perhitungan:
misalkan: berdasarkan data jumlah kasus perselisihan hubungan industrial
yang dicatat pada tahun 2008 di Kabupaten Tangerang sebanyak 30 kasus,
Jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang diselesaikan dengan
perjanjian bersama sebanyak 13 kasus, maka persentasi penyelesaian kasus
perselisihan hubungan industrial melalui perjanjian bersama di wilayah
tersebut pada tahun berjalan adalah :
13 x 100% = 34 %
38
artinya, baru 34 % dari jumlah kasus perselisihan hubungan industrial yang
diselesaikan dengan perjanjian bersama di wilayah tersebut.
D. Sumber Data.
E. Target.
F. Program Kegiatan.
G. Langkah Kegiatan.
21
b. peserta dari instansi pemerintah;
c. tujuannya untuk meningkatkan kemampuan teknis pegawai
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
A. Dasar.
B. Pengertian.
1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
3. Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat JAMSOSTEK
adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santuan berupa
uang penggganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal
dunia.
4. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa
atau wajar dilalui.
5. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi angota badan yang
secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau
berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
6. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, dan/atau perawatan.
7. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau
perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
22
8. Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
9. Besaran pekerja/buruh yang menjadi peserta JAMSOSTEK adalah jumlah
pekerja/buruh di perusahaan yang menjadi peserta JAMSOSTEK.Nomor
1Tahang Ketenagakerjaan.
C. Cara Perhitungan Indikator:
1. Rumus:
persentasi pekerja/buruh peserta JAMSOSTEK dengan jumlah pekerja/buruh
dalam hubungan kerja:
D. Sumber Data.
E. Target.
F. Program Kegiatan.
23
G. Langkah Kegiatan.
24
V. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
A. Dasar.
B. Pengertian.
1. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
3. Laporan Pelaksanaan Pengawasan adalah laporan yang memuat hasil
kegiatan dan evaluasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan baik
laporan individu pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun laporan unit
kerja pengawasan ketenagakerjaan.
4. Pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan
ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengawas
ketenagakerjaan dalam penerapan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang terdiri dari pemeriksaan pertama, pemeriksaan berkala,
pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan ulang.
6. Pengujian adalah kegiatan penilaian terhadap suatu obyek pengawasan
ketenagakerjaan melalui perhitungan, analisa dan pengetesan sesuai dengan
ketentuan atau standar yang berlaku.
25
7. Besaran pemeriksaan perusahaan adalah persentase jumlah perusahaan
yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota yang menangani
bidang ketenagakerjaan dan jumlah perusahaan yang telah dilakukan
pemeriksaan.
8. Besaran pengujian peralatan di perusahaan adalah persentase jumlah
peralatan yang terdaftar pada dinas provinsi dan kabupaten/kota dan jumlah
peralatan yang telah dilakukan pengujian.
1. Pemeriksaan Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah perusahaan yang telah diperiksa dibanding dengan
jumlah perusahaan yang terdaftar
2. Pengujian Perusahaan.
a. Rumus:
persentase jumlah peralatan yang telah diuji dibanding dengan jumlah
peralatan yang terdaftar
26
c. Penyebut:
jumlah peralatan yang terdaftar sesuai Wajib Lapor Ketenagakerjaan
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berada di provinsi dan
kabupaten/kota.
d. Satuan Indikator:
persentasi (%)
e. Contoh Perhitungan:
misalkan : provinsi dan kabupaten/kota jumlah peralatan yang terdaftar
sebanyak 1759 unit, yang diuji oleh pengawas ketenagakerjaan sebanyak
180 unit dengan catatan jumlah pengawas ketenagakerjaan spesialis
sebanyak 3 orang.
Jumlah peralatan yang telah diuji oleh pengawas ketenagakerjaan cara
perhitungannya adalah 3 orang pengawas ketenagakerjaan spesialis x 8
unit/bulan x 12 bulan = 288 unit (satu tahun), maka persentase pengujian
peralatan di provinsi dan kabupaten/kota pada tahun berjalan adalah:
288 unit x 100% = 24%
1759 unit
arti angka 24 % adalah kinerja pengawasan ketenagakerjaan dalam
melakukan pengujian peralatan di perusahaan pada provinsi dan
kabupaten/kota dalam tahun berjalan.
D. Sumber Data.
E. Target.
F. Program.
27
G. Langkah Kegiatan.
1. Pengawas Ketenagakerjaan;
2. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis;
3. Penyelenggara Administrasi Pengawasan Ketenagakerjaan;
4. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
28
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
KOMPONEN BIAYA
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PELATIHAN UNTUK 1 (SATU) ORANG PESERTA
No Kegiatan Volume
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
29
c. PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN
1. Belanja Bahan
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PENEMPATAN TENAGA KERJA UNTUK 1 ORANG PESERTA
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
30
c. PENEMPATAN TENAGA KERJA ANTAR KERJA ANTAR NEGARA
1. Belanja Bahan
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
No Kegiatan Volume
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
31
D. PELAYANAN JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH
ANGGARAN BIAYA
PROGRAM PEMBINAAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KEPESERTAAN JAMINAN
SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH
No Kegiatan Volume
a. SOSIALISASI PERATURAN TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
32
E. PELAYANAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
ANGGARAN BIAYA
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
33
d. PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor 1.00 PKT
- Komputer supplies 1.00 PKT
- Pengiriman laporan 1.00 PKT
Belanja Barang Operasional Lainnya
2. - Konsumsi 1.00 PKT
ANGGARAN BIAYA
PENGUJIAN PERALATAN DI PERUSAHAAN
No Kegiatan Volume
a. PENDATAAN OBYEK PENGUJIAN K3
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi
1.00 PKT
1. Belanja Bahan
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
- Penggandaan bahan
1.00 PKT
- Pengiriman laporan
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT
34
d. PEMBERDAYAAN AHLI K3 SPESIALIS
1. Belanja Bahan
- Alat tulis kantor
1.00 PKT
- Komputer supplies
1.00 PKT
2. Belanja Barang Operasional Lainnya
- Konsumsi 1.00 PKT
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
35
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.15/MEN/X/2010
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETENAGAKERJAAN
SISTEMATIKA PENYUSUNAN
LAPORAN TEKNIS TAHUNAN PENERAPAN DAN PENCAPAIAN SPM
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. DASAR HUKUM
37
4. Alokasi Anggaran:
adalah jumlah belanja langsung dan tidak langsung yang ditetapkan
dalam APBD dalam rangka penerapan dan pencapaian SPM yang
bersumber dari:
A. APBD;
B. Sumber dana lain yang sah.
5. Dukungan Personil:
Jumlah personil atau pegawai yang terlibat dalam proses penerapan dan
pencapaian SPM:
A. PNS;
B. Non-PNS
6. Permasalahan dan Solusi:
Permasalahan dan solusi yang dihadapi dalam penerapan dan
pencapaian SPM, baik permasalahan eksternal maupun internal dan
langkah-langkah penyelesaian permasalahan yang ditempuh.
A. Pelayanan Pelatihan Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
B. Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
C. Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
D. Pelayanan Kepesertaan Jamsostek
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
E. Pelayanan Pengawasan Ketenagakerjaan
1) Uraian Masalah :
2) Upaya Tindak Lanjut :
3) Usulan Tindak Lanjut dari Pusat :
BAB III PENUTUP
KEPALA SKPD
YANG MENANGANI BIDANG
KETENAGAKERJAAN
…………………………………………
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2010
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
38
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori kesenian, hiburan, dan rekreasi golongan pokok
kegiatan hiburan, kesenian, dan kreativitas dan golongan
pokok olahraga dan rekreasi lainnya sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Dalam hal jabatan-jabatan yang akan diduduki oleh tenaga
kerja asing tidak terdapat di dalam Lampiran I dan Lampiran
II Keputusan Menteri ini, Menteri dapat memberikan izin
dengan terlebih dahulu meminta rekomendasi dari
kementerian yang membidangi hiburan, kesenian, dan
kreativitas dan kementerian yang membidangi olahraga dan
rekreasi.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 708 TAHUN 2012
TENTANG
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 708 TAHUN 2012
TENTANG
3
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
2412 Penasihat Wisata Water Tourism
Tirta Advisor
2412 Penasihat Wisata Marine Tourism
Bahari Advisor
3475 Konsultan Olahraga Sport Consultant Untuk
Olahraga
Prestasi
(Profesional
& Amatir)
3475 Promotor Tinju Boxing Promotor
3475 Wasit Referee
3475 Pelatih Sepak Bola Football Coach
3475 Pelatih Tenis Meja Table Tennis
Coach
3475 Pelatih Bola Basket Basketball Coach
3475 Pelatih Bola Voli Volleyball Coach
3475 Pelatih Sofbol Softball Coach
3475 Pelatih Polo Polo Coach
3475 Pelatih Dayung Paddle Coach
3475 Pelatih Bulutangkis Badminton Coach
3475 Pelatih Bowling Bowling Coach
3475 Pelatih Tinju Boxing Coach
3475 Pelatih Judo Judo Coach
3475 Pelatih Loncat Indah Platform Diving
Coach
3475 Pelatih Selam Diving Coach
3475 Pelatih Menembak Shooting Coach
3475 Pelatih Selancar Surfing Coach
3475 Pelatih Renang Swimming Coach
3475 Pelatih Renang Synchronized
Indah Swimming Coach
3475 Pelatih Taekwondo Taekwondo Coach
3475 Pelatih Atletik Athletic Coach
3475 Pelatih Wushu Wushu Coach
3475 Pelatih Karate Karate Coach
3475 Pelatih Golf Golf Coach
3475 Pemain Bola Voli Volleyball Player
3475 Pemain Sepak Bola Football Player
4
Kode Nama Jabatan
No. Golongan Pokok Ket.
ISCO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
1 2 3 4 5 6
3475 Pemain Bola Basket Basketball Player
3475 Petinju Boxer Untuk
Olahraga
Prestasi
(Profesional
& Amatir)
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
5
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU : Jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing pada
kategori transportasi dan pergudangan golongan pokok
angkutan udara sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan Menteri ini.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 707 TAHUN 2012
TENTANG
Keterangan:
ISCO = International Standard Classification of Occupations.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
2
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
26 Agustus 2013
SURAT EDARAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN
PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PEDOMAN PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN
SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
2
C. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Pedoman ini disusun dengan maksud sebagai acuan bagi para pihak
dalam melaksanakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
2. Tujuan
Tujuan disusunnya pedoman ini untuk menyamakan pemahaman
dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
D. Ruang Lingkup
Pedoman ini memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012
yang mencakup:
E. Pengertian
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
3
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat
untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi
pekerjaan.
BAB II
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
MELALUI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN
4
B. Persyaratan Pemborongan Pekerjaan
5
C. Alur Kegiatan Proses Pelaksanaan Pekerjaan
Asosiasi sektor usaha yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012,
yaitu:
1. Asosiasi sektor usaha yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia; atau
2. Asosiasi sektor usaha yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan
berada di bawah binaan Kementerian/Lembaga Pembina Sektor terkait
atau Instansi Teknis terkait di Pemerintah Daerah; atau
3. Asosiasi sektor usaha yang terdaftar di Kamar Dagang dan Industri baik
di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Yang dimaksud dengan asosiasi sektor usaha yang berada di bawah binaan
Kementerian/Lembaga Pembina Sektor terkait atau Instansi Teknis terkait
di Pemerintah Daerah, mencakup asosiasi sektor usaha yang
pendaftarannya atau pencatatannya teradministrasi dengan baik di
Kementerian/Lembaga Pembina Sektor terkait atau Instansi Teknis terkait
di Pemerintah Daerah.
6
Hal-hal lain yang terkait dengan asosiasi sektor usaha:
7
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota memeriksa pelaporan tersebut dan mengeluarkan
bukti pelaporan (Formulir 2);
c. perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis
setiap perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan
melalui pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan (Formulir 3); dan
d. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota memeriksa pelaporan perubahan jenis pekerjaan
penunjang tersebut dan mengeluarkan bukti pelaporan perubahan
(Formulir 4).
8
BAB III
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
MELALUI PERJANJIAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
9
pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
6. Memuat penjelasan mengenai hubungan kerja antara perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT).
10
pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran
perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh (Formulir 8).
d. Apabila tidak memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan dapat menolak pendaftaran (Formulir 9).
11
upah. Untuk itu perusahaan perlu membuat skala upah yang
disesuaikan dengan masa kerja pekerja/buruh.
D. Izin operasional
Beberapa bentuk formulir dalam pelaksanaan penyediaan jasa
pekerja/buruh:
1. Izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diajukan
permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
tempat pelaksanaan pekerjaan (Formulir 12).
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah
memenuhi persyaratan dan perpanjangan izin operasional tersebut
(Formulir 13).
3. Izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dapat dicabut
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (Formulir 14).
BAB IV
PENGAWASAN
12
melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam
batas waktu yang ditetapkan; dan
3. apabila dalam batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak
melaksanakan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan
penyelesaiannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
BAB V
SANKSI
13
pekerja/buruh tersebut tetap bertanggung jawab memenuhi hak-hak
pekerja/buruh.
BAB VI
PENUTUP
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
14
Formulir 1 : Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang Dalam Pemborongan Pekerjaan
KOP PERUSAHAAN
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pelaporan Jenis Pekerjaan Penunjang
dalam Pemborongan Pekerjaan
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama :
2. Jabatan :
3. Nama Perusahaan :
4. Alamat Perusahaan :
5. Status Badan Hukum :
6. Status Permodalan/Fasilitas : Modal Dalam Negeri/Modal Asing/
Modal Pemerintah Daerah/Lainnya *)
7. Jumlah Pekerja : WNI WNA TOTAL
L P JML L P JML L P JML
dengan ini melaporkan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan
penerima pemborongan sebagai berikut :
NO JENIS PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN
YANG DISERAHKAN PENERIMA PEMBORONGAN **)
1.
2.
3.
Jenis pekerjaan penunjang tersebut diatas sesuai dengan alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan oleh Asosiasi …..……………. sebagaimana terlampir.
Demikian pelaporan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pelaporan Jenis
Pekerjaan Penunjang. Terima kasih.
(Kab/Kota), (Tanggal)
Yang melaporkan,
(Perusahaan Pemberi Pekerjaan)
KOP DINAS
BUKTI PELAPORAN
JENIS PEKERJAAN PENUNJANG
Nomor :
(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas …………..…….
Kabupaten/Kota ……………
KOP PERUSAHAAN
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pelaporan Perubahan Jenis Pekerjaan
Penunjang dalam Pemborongan
Pekerjaan
Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama :
2. Jabatan :
3. Nama Perusahaan :
4. Alamat Perusahaan :
dengan ini melaporkan perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada
perusahaan penerima pemborongan sebagai berikut :
NO JENIS PEKERJAAN PENUNJANG PERUSAHAAN
YANG DISERAHKAN PENERIMA PEMBORONGAN**)
SEMULA MENJADI
1.
2.
3.
Perubahan jenis pekerjaan penunjang tersebut di atas sesuai dengan alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan oleh Asosiasi …..……………. sebagaimana terlampir.
Demikian pelaporan perubahan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pelaporan
Perubahan Jenis Pekerjaan Penunjang. Terima kasih.
(Kab/Kota), (Tanggal)
Yang melaporkan,
(Perusahaan Pemberi Pekerjaan)
KOP DINAS
BUKTI PELAPORAN
PERUBAHAN JENIS PEKERJAAN PENUNJANG
Nomor :
(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………
KOP PERUSAHAAN
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pendaftaran Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :
dengan ini mengajukan pendaftaran atas Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara perusahaan
…….. (selaku pemberi pekerjaan) dengan perusahaan …….. (selaku penerima pemborongan),
nomor …….. tanggal …………, untuk didaftarkan di Dinas ………..…. Kabupaten/Kota …………
tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan. Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan tersebut
sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain.
Demikian permohonan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pendaftaran Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan. Terima kasih.
(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penerima Pemborongan)
KOP DINAS
BUKTI PENDAFTARAN
PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN
Nomor :
(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………
KOP PERUSAHAAN
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pendaftaran Perjanjian
Penyediaan jasa Pekerja/buruh
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :
dengan ini mengajukan pendaftaran atas Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh antara
perusahaan …….. (selaku pemberi pekerjaan) dengan perusahaan …….. (selaku penyedia jasa
pekerja/buruh), nomor …….. tanggal …………, untuk didaftarkan di Dinas ………..….
Kabupaten/Kota ………… tempat pekerjaan dilaksanakan. Isi Perjanjian Penyediaan Jasa
Pekerja/Buruh tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Demikian permohonan ini kami ajukan untuk mendapatkan Bukti Pendaftaran Perjanjian
Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh. Terima kasih.
(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh)
KOP DINAS
BUKTI PENDAFTARAN
PERJANJIAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
Nomor :
(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………
KOP DINAS
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pengembalian dokumen
pendaftaran Perjanjian Penyediaan
Jasa Pekerja/buruh
(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………
KOP PERUSAHAAN
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Pencatatan Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :
dengan ini mengajukan pencatatan atas Perjanjian Kerja antara PT. …………. selaku
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh sebagaimana daftar terlampir,
untuk dicatat di Dinas ………..…. Kabupaten/Kota ………… tempat pekerjaan
dilaksanakan. Isi Perjanjian Kerja tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012.
(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh)
KOP DINAS
Perjanjian Kerja dan dokumen yang dilampirkan telah diteliti dan sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, serta telah kami catat.
(Kab/Kota), (Tanggal)
Kepala Dinas ……………….
Kabupaten/Kota ……………
KOP PERUSAHAAN
Nomor :
Lampiran :
Perihal : Permohonan Izin Operasional
Nama :
Jabatan :
Nama Perusahaan :
Alamat Perusahaan :
(Kab/Kota), (Tanggal)
Pemohon,
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh)
KOP DINAS
TENTANG
Menetapkan :
Ditetapkan di
pada tanggal
Tembusan :
1. Gubernur ..............
2. Kepala Dinas Bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota di Provinsi ……….
KOP DINAS
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KESATU : Mencabut izin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh nomor ..... tanggal ..... yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas ............. Provinsi .............., atas nama PT.
…………………, berkedudukan di …………. beralamat di
………………..
Ditetapkan di
pada tanggal
Tembusan :
1. Gubernur ..............
2. Kepala Dinas Bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota di Provinsi ……….
TENTANG
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas hari kerja serta
memberi pedoman bagi instansi pemerintah dan swasta dalam
melaksanakan hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2014,
perlu menetapkan hari libur nasional dan cuti bersama tahun
2014;
3. Keputusan ...
- 2 -
MEMUTUSKAN:
KESATU : Menetapkan Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Bersama ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan
Bersama ini.
KEDUA : Penetapan tanggal 1 Ramadhan 1435 Hijriyah, Hari Raya Idul Fitri
1435 Hijriyah, dan Hari Raya Idul Adha 1435 Hijriyah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Agama.
KEEMPAT: ...
- 3 -
Ditetapkan di Jakarta
TENTANG
TENTANG
2. Undang-Undang …
- 2 -
MEMUTUSKAN:
KEDUA: …
- 3 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2013
ttd.
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut
UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
5. Setelah berjalan 3 (tiga) tahun di-PHK, 2 Juli 2009 sampai dengan 11 Juni
2012, Pemohon, secara kronologis, mengalami hal-hal sebagai berikut:
Pemohon baru mengajukan tuntutan pembayaran uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak yang dimulai dari perundingan
bipartit dengan pihak PT SPM pada 11 Juni 2012, dilanjutkan dengan
mediasi di Kantor Suku Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Jakarta
Selatan, dan akan memasuki gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI), namun dengan adanya ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa, “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh
dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.”, mengakibatkan Pemohon dan kawan-kawan tidak
dapat melakukan tuntutan mengenai uang pesangon, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 163
5
ayat (2) juncto Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, Pemohon dan kawan-kawan
sedang maupun akan mengalami/merasakan secara langsung
dampak kerugian yang diakibatkan oleh/dari adanya ketentuan Pasal
96 UU Ketenagakerjaan;
dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;”
1. Uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) huruf h
juncto Pasal 163 ayat (2): 2 x Rp. 1.069.865 UMP x 8 (delapan)
bulan upah = Rp. 17.117.840;
3. Uang penggantian hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)
huruf c: 15% (lima belas perseratus) x Rp. 17.117.840 =
Rp. 2.567.676;
upah/gaji (bukti P-8) dari PT SPM di bawah standar upah minimum yang
ditetapkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta berdasarkan ketentuan Pasal 89
ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa upah minimum ditetapkan oleh
Gubernur, maupun ketentuan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang
melarang pengusaha/perusahaan membayar upah lebih rendah dari UMP
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan Pasal 91 UU
Ketenagakerjaan yang mengatur kesepakatan antara perusahaan dengan
pekerja mengenai upah tidak boleh lebih rendah dari UMP yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal kesepakatan mengenai
upah lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan perusahaan
wajib membayar upah/gaji pekerja menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam hal ini, dengan adanya Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan, PT Sandhy Putra Makmur, di satu pihak
diuntungkan karena lepas dari kewajiban membayar kekurangan
upah/gaji yang seharusnya dibayarkan kepada Pemohon dan kawan-
kawan berdasarkan ketentuan standar UMP DKI Jakarta, dan di lain
pihak, Pemohon dan kawan-kawan, setelah di-PHK, tidak dapat
menuntut. Dengan demikian, Pemohon dan kawan-kawan harus
menerima dampak kerugian atas diskriminasi dan perlakuan yang
tidak adil dari Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dengan perhitungan nilai
kerugian sebagai berikut:
a. Tahun 2005, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 711.843,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
671.550,- maka kekurangannya adalah Rp. 711.843 - Rp. 671.550 =
Rp. 40.293 x 12 (dua belas) bulan = Rp. 483.516;
b. Tahun 2007, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 900.560,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
819.100,- maka kekurangannya adalah Rp. 900.560 - Rp. 819.100 =
Rp. 81.460 x 12 (dua belas) bulan = Rp. 977.520;
c. Tahun 2008, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 972.604,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
819.100,- maka kekurangannya adalah Rp. 972.520 - Rp. 819.100 =
Rp. 153. 420 x 12 (dua belas) bulan = Rp. 1.841.040;
8
d. Tahun 2009, UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 1.069.865,-. Upah yang
diterima Pemohon dan kawan-kawan setiap bulan adalah sebesar Rp.
819.100,- maka kekurangannya adalah Rp. 1.069.865 - Rp. 819.100 =
Rp. 250.765 x 6 (enam) bulan = Rp. 1.504.590;
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”;
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.”;
A. Kronologis
3. Bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf b juncto ayat (4) dan ayat
(7) UU Ketenagakerjaan, PKWT hanya dibuat untuk paling lama 3
(tiga) tahun. Apabila PKWT tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka
demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Dari ketentuan ini maka jelas bahwa PKWT antara PT SPM dengan
Pemohon beserta kawan-kawan adalah batal demi hukum dan
berubah menjadi PKWTT, dan Pemohon beserta kawan-kawan berhak
atas uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak
sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (2) juncto Pasal 156 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan, dalam hal terjadi PHK;
B. Pokok-pokok alasan
a. upah pokok;
IV. KESIMPULAN
V. PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir,
dengan ini Pemohon memohon kepada para Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Panggilan Sidang Mediasi I, II, dan III dari
Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
Selain itu, Pemohon juga mengajukan dua orang saksi yaitu Mudini dan
Muhammad Abdul Basar serta dua orang ahli yaitu Prof. A. Masyhur Effendi,
S.H., M.S., dan Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. yang telah memberikan
keterangan pada persidangan hari Rabu, 5 Desember 2012, yang pada pokoknya
sebagai berikut:
Keterangan Saksi
1. Mudini
Saksi mulai bekerja di PT Sandhy Putra Makmur (PT SPM) pada tanggal
14 Mei 2002 sampai dengan 15 Mei 2008;
19
Saksi adalah rekan satu angkatan bersama Pemohon dan saksi Mudini.
Saksi bergabung di PT Sandi Putra Makmur sejak 15 Mei 2002 melalui
perekrutan dan pelatihan sekuriti untuk ditempatkan di PT Telkom
Regional II Jakarta. Selama periode 2002 sampai dengan berakhirnya
masa kerja pada 2009, terjadi, misalnya, pertama, ada upah yang
menggantung yaitu saksi tanda tangan perpanjangan kontrak melewati
tenggat waktu yang tertera dalam dokumen kontrak tersebut. Menurut
aturannya, hal itu akan dibayar dengan cara rapel, namun sampai dengan
habisnya kontrak, rapelan tersebut tidak pernah ada. Kedua, pengupahan
dilakukan tidak sesuai dengan aturan, karena, menurut pendapat saksi,
cuti itu dilindungi Undang-Undang, namun ketika saksi menerima upah,
20
Keterangan Ahli
Dalam ajaran filsafat hukum, keputusan yang baik adalah keputusan yang
adil, pasti, dan bermanfaat. Untuk itu, Ahli memohon kepada Mahkamah
supaya masalah keadilan lebih dulu diperhatikan daripada kepastian,
karena itu frasa “2 (dua) tahun” yang dituliskan dalam Pasal a quo
merupakan satu kondisi yang sangat memberatkan bagi buruh karena 2
(dua) tahun adalah singkat sekali. Minimal, menurut ahli, 6 (enam) tahun
dapat dipakai sebagai pertimbangan. Mengenai teori tentang keadilan,
yang terbaru, misalnya, keadilan progresif, di mana sang hakim
dimohonkan untuk dapat memberikan keadilan dalam rangka mewakili
suara rakyat yang unrepresented people sehingga benar-benar keputusan
dari Majelis Hakim dapat mewakili rakyat yang tidak dapat bicara,
khususnya para buruh yang kondisinya sangat memprihatinkan;
Dalam negara modern dan hukum modern tidak dikenal lagi adanya
hukum diskriminatif. Jadi, Ahli melihat bahwa Pasal a quo benar-benar
pasal diskriminasi karena yang sedang berperkara adalah para buruh yang
memang posisinya sangat lemah, sehingga jika ketentuan ini tidak diubah
atau tidak dikatakan bertentangan dengan ketentuan Hak Asasi Manusia
dalam UUD 1945, buruh akan dianggap sebagai pelengkap;
Dalam membahas Hak Asasi Manusia ini, terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan: pertama, Hak Asasi Manusia itu menyangkut biological need
dan spiritual need. Itu human need. Biological need: sandang, papan,
pangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Spiritual need:
kebutuhan batin dan kebebasan yang dijamin dalam UUD 1945.
dan layak kepada pekerja dalam satu hubungan kerja? Memang di Pasal
28D ayat (2) UUD 1945 tidak disebut “pekerja”, tapi dalam perkara a quo
harus dibaca pekerja. Kedua, kepastian hukum macam apakah yang ada
di balik konsep pekerja alih daya atau outsourcing? Bagaimana terminologi
waktu tertentu yang dimungkinkan digunakan oleh pemberi kerja dimaknai
atau ditafsir makna konstitusionalnya bila masyarakat kerja diserahkan
sepenuhnya pada pemberi kerja untuk diperjanjikan dengan pekerjaan?
Mengapa harus diatur di dalam Undang-Undang?
Perlakuan yang semena-mena terhadap pekerja itulah yang hendak
dihentikan dengan melalui norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal
28 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Perlindungan dari apa, oleh siapa, dan
kepada siapa, itulah logika di balik Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 yang saat ini dijadikan batu uji dalam perkara ini. Tidak akan ada
makna sama sekali bila Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 itu bila tidak ada
pekerja dan pemberi kerja. Sulit untuk tidak menyodorkan logika
perlindungan kepada pekerja dari kemungkinan tindakan semena-mena,
tidak layak, dan tidak adil dari pemberi kerja kepada mereka;
Mengenai kelayakan dan dalam hal apa serta apa gunanya, dapat
mengundang perdebatan panjang, tetapi hal itu sama sekali tidak dapat
menghapuskan perintah konstitusional dalam Pasal 28D ayat (2) UUD
1945 untuk memberi perlindungan kepada pekerja. Sekadar perbandingan,
gagasan ini diperdebatkan dalam konstituante, bahkan telah diatur dalam
UUD Sementara Tahun 1950;
Bukan saja karena diatur dalam Undang-Undang Dasar sehingga gagasan
mengenai perlindungan terhadap pekerja ini memiliki makna kemanusiaan
sebagai pengagungan terhadap harkat dan martabat manusia, tapi karena
konteks sosiohistorisnya memang berkenaan dengan perlakuan tidak
manusiawi sebagai satu gejala umum dalam dunia kerja di masa lalu. Kita
semua tahu bagaimana pekerja-pekerja di masa Hindia Belanda, bahkan
Marsinah, yang dengan sekuat keyakinannya, pada masanya,
memperjuangkan hak-haknya yang tampak seolah-olah hanya berkenaan
dengan upah, yang ternyata harus mati. Pengaturan mengenai
perlindungan terhadap pekerja dibuat agar negara ini benar-benar beradab
23
Sifat ruang dan waktu dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak dapat
dimaknai hanya hak yang berlaku pada suatu waktu tertentu menurut
Undang-Undang. Andai pembentuk Undang-Undang Dasar hendak
mendelegasikan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk
mengatur jangkauan waktu dari hak pekerja untuk memperoleh perlakuan
yang layak dan adil, maka frasa atau norma ayat (2) Pasal 28D UUD 1945
tidak akan berbunyi seperti itu. Tidak pantas juga membatasi hak untuk
memperoleh perlakuan yang adil dan layak. Pembatasan hak pekerja
untuk menutup pemenuhan kewajiban pemberi kerja sama maknanya
dengan merelatifkan sifat konstitusional dari pekerja yang dilindungi dalam
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Bukankah konsep hak hanya memiliki
makna karena di dalamnya terkandung konsekuensi atau terkandung
konsekuensi kewajiban bagi pihak lain? Bukankah pada konsep kewajiban
itu sesuatu yang sesuai sifatnya pula melekat tanggung jawab untuk
menunaikan kewajiban itu? Pihak yang dituju dengan hak itu yang dengan
sendirinya melahirkan kewajiban bagi pihak dan memikul tanggung jawab
untuk melakukan suatu perbuatan hukum dalam rangka memenuhi hak
pekerja. Hak mendapat perlakuan yang adil dan layak, dan kewajiban
untuk memenuhinya oleh pihak ketiga setelah sebelumnya terjalin suatu
24
OPENING STATEMENT
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada tiap-
tiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional. Pembangunan ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan antara berbagai pihak, yaitu
pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan pengaturan
yang menyeluruh, komprehensif, dan seimbang mengenai ketenagakerjaan
yang di antaranya mengatur tentang perlindungan pekerja atau buruh,
termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh. Terhadap
anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Ketenagakerjaan
menyatakan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu 2 tahun sejak timbulnya hak. Menurut
Pemerintah adanya ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum atas suatu keputusan atau penetapan sampai kapan
keputusan atau penetapan tersebut dapat digugat di pengadilan (vide
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-V/2007);
2. Bahwa dalam kaitannya dengan pembayaran upah dan hal-hal lain
dalam hubungan kerja, dan/atau hubungan hukum pekerjaan, selalu
diatur adanya ketentuan kedaluwarsa sama seperti ketentuan
kedaluwarsa dalam hubungan keperdataan lainnya, karena
kedaluwarsa adalah suatu alat untuk membebaskan diri dari suatu
27
IV. Kesimpulan
d. lembaga negara.
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 memberikan
hak kepada tiap-tiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. Untuk mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut
diperlukan adanya pembangunan di bidang ketenagakerjaan sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional yang salah satu implementasinya adalah
melalui pembentukan UU Ketenagakerjaan sehingga diharapkan dapat
mewujudkan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban pekerja/buruh dan
pengusaha.
Selain itu, Pemohon dalam permohonan dan petitumnya juga tidak secara
tegas menyatakan berapa lamakah jangka waktu yang diinginkan/dirasa
cukup oleh Pemohon dalam mengajukan tuntutan pembayaran upah.
1. Bahwa ahli Prof Masyhur Effendi yang pada pokoknya menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945
khususnya tentang HAM karena itu 2 (dua) tahun yang dituliskan di dalam
pasal ini merupakan satu kondisi yang sangat memberatkan bagi
pekerja/buruh karena 2 (dua) tahun ini sangat singkat sekali, ya. minimal
menurut ahli, 6 (enam) tahun itu dapat dipakai sebagai pertimbangan.
Dari keterangan APINDO tersebut di atas, nampak jelas bahwa para pelaku
usaha/ pengusaha juga sangat mendukung adanya batasan waktu untuk
memberikan kepastian hukum terhadap timbulnya hak atau hilangnya suatu
37
V. KESIMPULAN
“Hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.”;
a. Aspek Teknis
b. Aspek Ekonomis
Suatu aspek yang lebih melihat pada kondisi ekonomi, baik secara
secara makro maupun mikro, yang secara operasional kemudian
mempertimbangkan bagaimana kemampuan perusahaan pada saat
nilai upah akan ditetapkan, juga bagaimana implementasinya di
lapangan;
40
c. Aspek Hukum
Ketiga aspek ini saling terintegral satu sama lain dan dalam pelaksanaan
pemberian upah, salah satu aspek tidak dapat dihilangkan atau
dikesampingkan karena masing-masing akan memberikan konsekuensi
yang berbeda-beda;
8. Salah satu aspek hukum yang sangat penting dalam pemberian upah
adalah kepastian hukum bagi pekerja atau buruh dan pemberi kerja atau
pengusaha dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana
diatur dalam kesepakatan bersama maupun dalam peraturan perundang-
undangan;
berlipat-lipat. Pada sisi lain, hal tersebut tentu saja akan memberatkan
pemberi kerja untuk memenuhi tuntutan buruh atau pekerja a quo. Oleh
karenanya, pengaturan batas kedaluwarsa suatu tuntutan pembayaran
upah sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang a quo,
menurut pandangan DPR RI telah memiliki legal ratio yang cukup
beralasan;
11. Bahwa sebagai perbandingan, perlu juga melihat ketentuan Pasal 1946
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, “Kadaluwarsa
adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang.” Lebih lanjut, ketentuan
Pasal 1968 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan,
“Tuntutan para buruh yang upahnya dalam uang harus dibayar tiap-tiap
kali setelah lewatnya waktu yang kurang daripada satu triwulan untuk
mendapat pembayaran upah mereka beserta jumlah kenaikan upah itu
menurut Pasal 1602q; semua itu berkedaluwarsa dengan lewatnya waktu
satu tahun.” Ketentuan ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 1969
yang menyebutkan, “...tuntutan para buruh dengan kekecualian mereka
yang dimaksud dalam Pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka
beserta jumlah kenaikan upah itu, menurut Pasal 1602q; semua itu
berdaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun.”;
III. Petitum
5. Bagi pekerja/buruh yang tidak melakukan tuntutan dalam hal telah melampaui
batas waktu yang diberikan oleh undang-undang, dengan sendirinya dianggap
telah melepaskan haknya adalah suatu yang wajar demi adanya kepastian
hukum bagi para pihak;
6. Berkaitan dengan pembayaran upah dan hal-hal lain dalam hubungan kerja
selalu diatur adanya ketentuan kadaluwarsa;
7. Pasal 96 UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945.
APINDO berkesimpulan:
Dalam hal ini memberi kuasa kepada Advokat, berkantor di Jalan Siti Aisyah,
RT.16, RW.07, No.71, Samarinda, selaku para Pemohon Kasasi dahulu
Penggugat/para pekerja.
Melawan
Uang Cuti Tahunan 2003 dan 2004 sejumlah Rp. 16.500,00 berikut untuk
membayar secara tunai kelebihan jam kerja dan/atau upah lembur
kalender tahun 2003 = Rp. 8.366.896,00 dan kalender 2004 =
Rp. 8.366.806,00;
1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut, akan tetapi tidak hadir;
Para Pihak:
PT. Thiess Indonesia (dahulu PT. Thies Contractors Indonesia), selaku pihak
Pengusaha/Perusahaan beralamat di Gedung Ratu Prabu 2, Jalan TB.
Simatupang Kavling 18, Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 28 Oktober 2009, Pemohon Peninjauan Kembali
(dahulu Tergugat)
melawan
A. Keterangan Pemerintah
C. Keterangan APINDO
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
56
Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.”
Pasal 28I ayat (2) : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945;
Pokok Permohonan
Atau:
Pendapat Mahkamah
[3.10.1] Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945];
Bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan
perbuatan yang merugikan pemberi kerja. Oleh sebab itu upah dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya
lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai
prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan
maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya,
menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
63
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
KETUA,
ttd.
M. Akil Mochtar
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
Pada sisi lain, saya pun dapat memahami ketidakadilan yang dialami
Pemohon dalam kasus yang dihadapinya, yang disebabkan oleh keengganan
pengusaha untuk memenuhi hak-hak Pemohon atas segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja dengan pengusaha dengan alasan lewatnya waktu
untuk menuntut (kedaluwarsa). Dalam kasus yang dihadapi Pemohon, nampak
jelas bahwa pengusaha memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar hak-
hak pekerja termasuk hak yang timbul terkait dengan pemutusan hubungan
kerja, karena posisi Pemohon diambangkan oleh Pengusaha sampai batas
waktu lebih dari dua tahun. Menurut saya, untuk memberikan kepastian hukum
67
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
TENTANG
4. Menteri Perindustrian;
6. Para Gubernur;
7. Para Bupati/Walikota;
Untuk:
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing
secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk
menyelaraskan kebijakan upah minimum dengan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, guna
mewujudkan keberlangsungan usaha dan perkembangan
industri nasional serta peningkatan kesejahteraan
pekerja.
KEDUA …
-2-
3. Menteri …
-3-
5. Gubernur, untuk:
d. menetapkan ...
-4-
6. Bupati/Walikota, untuk:
Instruksi ...
-5-
Dikeluarkan di Jakarta
ttd.
SEKRETARIAT KABINET RI
Deputi Bidang Perekonomian,
ttd.
Ratih Nurdiati
PEDOMAN TINDAKAN
KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PADA
PENEGAKAN HUKUM
DAN KETERTIBAN
DALAM PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
1
2- Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
MARKAS BESAR
TENTANG
PEDOMAN TINDAKAN
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PADA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN
DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
3
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta.
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP.
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat Di Muka Umum.
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat
Buruh.
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
7. Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
5
Kepada Yth :
1. Kabareskrim Polri
2. Kababinkam Polri
3. Kabaintelkam
4. Kakorbrimob Polri
5. Para Kapolda
Tembusan :
1. Wakapolri
2. Irwasum Polri
3. Para Deputi Kapolri
4. Para Kadiv Polri
5. Kalemdiklat Polri
7
d. Agar pelaksanaan tindakan kepolisian
seperti dimaksud dalam huruf c. dapat
dilaksanakan secara profesional,
proporsional dan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, maka
dipandang perlu untuk menyusun
Panduan ini.
9
yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam
butir 1) dan 2) yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
c. Perusahaan adalah:
1) setiap bentuk usaha yang
berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
2) usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
d. Organisasi pengusaha adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh
dan untuk pengusaha, yang
ber wenang mewakili pengusaha
dalam masalah ketenagakerjaan dan
hubungan industrial.
e. Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
11
untuk mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan atau tulisan secara
demonstratif dengan aman dan tertib.
j. Penutupan perusahaan (lockout)
adalah tindakan pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh sebagian atau
seluruhnya untuk menjalankan
pekerjaan, dan dilakukan secara sah,
tertib dan damai.
13
untuk memberikan perlindungan dan
pelayanan dalam menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat serta
memungkinkan pekerja dan
pengusaha melaksanakan hak-hak
mereka untuk mogok kerja, unjuk rasa
atau menutup perusahaan secara sah,
tertib dan damai.
c. Anggota Kesatuan Polri yang
ditempatkan pada suatu area untuk
menghadapi perselisihan hubungan
industrial, pemogokan, unjuk rasa atau
penutupan perusahaan harus :
1) Selalu mengenakan seragam,
tanda kesatuan dan identitas
yang jelas;
2) Bersikap profesional dan
proporsional, serta menjunjung
tinggi hukum dan perundang-
undangan, dan hak asasi
manusia;
3) Tidak memihak kepada pihak-
pihak yang berselisih;
4) Berprinsip bahwa semua pihak
berkedudukan sama di depan
hukum (equality before the law);
5) Memposisikan para pihak
tersebut bukanlah lawan satu
sama lain tetapi mitra dalam
mencari ketenteraman industrial
dan keadilan sosial;
14 - Pedoman Tindakan Kepolisian Negara RI
6) Tidak melibatkan diri dalam
perundingan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
apapun.
d. Dalam menghadapi mogok kerja,
unjuk rasa atau penutupan perusahaan
yang belum mengganggu keamanan
dan ketertiban umum, anggota Polri
ditempatkan pada radius paling dekat
dua puluh lima (25) meter atau pada
jarak pandang maksimal dari para
pemogok kerja atau pengunjuk rasa.
15
7. Tindakan a. Apabila terdapat ancaman dan
Kepolisian gangguan nyata terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam
perselisihan hubungan industrial, dan
pada pelaksanaan mogok kerja, unjuk
rasa atau penutupan perusahaan,
maka anggota Polri wajib melakukan
tindakan kepolisian secara tegas dan
terukur, sesuai ketentuan dan
perundangan yang berlaku.
b. Tindakan Kepolisian seperti dimaksud
dalam huruf a. dilakukan untuk
menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat dalam rangka
menegakkan hukum serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
c. Polri dapat melakukan upaya paksa
melalui Pemanggilan, Penangkapan,
Penggeledahan, Penyitaan,
Pemeriksaan dan Penahanan
terhadap siapa saja yang diduga
melakukan tindak pidana pada saat
perselisihan hubungan industrial, dan
pada pelaksanaan mogok kerja, unjuk
rasa, serta penutupan perusahaan,
sesuai ketentuan dan perundangan
yang berlaku.
17
3) sesuai dengan Surat Telegram
Kapolri Nomor: STR/859/XII/
2003;
4) sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Polri lainnya yang
berlaku; dan
5) berdasarkan perintah Kepala
Kesatuan Polri yang
berwenang.
e. Senjata api dapat digunakan pada
situasi dimana terdapat ancaman
yang nyata dan serius terhadap
keselamatan jiwa dan harta benda,
kehormatan khususnya :
1) Dalam keadaan yang sangat
terpaksa (overmaacht dan
noodweer) untuk
mempertahankan diri atau
orang lain terhadap ancaman
yang nyata dari kematian atau
cedera serius;
2) Untuk mencegah tindak pidana
serius dan mengancam jiwa,
kehormatan; dan
3) Untuk melumpuhkan dan bukan
mematikan seseorang atau
sekelompok orang yang
memberikan ancaman tersebut.
f. Dalam menggunakan peralatan
pengendali massa dan senjata api,
19
III. PERTANGGUNGJA
PERTANGGUNGJAWABAN
ANGGUNGJAW
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Maret 2005
21
PERATURAN DAERAH KOTA BATAM
TENTANG
KERJA ASING
SALINAN
OLEH WALIKOTA BATAM
NOMOR 4 TAHUN 2013
TANG GAL 11 APRIL 2013
SUMBER LD 2013/4, TLD NO. 89
WALIKOTA BATAM,
dan
WALIKOTA BATAM
MEMUTUSKAN:
KETENTUAN UMUM
Pasal1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Batam.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Batam.
3. Walikota adalah Walikota Batam.·
4. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi,
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
5. Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing, yang selanjutnya disebut Retribusi
Perpanjangan IMTA, adalah pungutan atas
pemberian perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja
tenaga kerja asing.
6. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan
yang menurut Peraturan Perundang-undangan
retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
retribusi, terrnasuk pemungut atau pemotong
retribusi tertentu.
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi; perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga,
bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
8. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu
yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi
untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu
dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
9. Hari adalah hari kerja.
10. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya
disebut SKRD, adalah surat keputusan yang
menentukan besarnya retribusi yang terutang.
11. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya
disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan
tagihan retribusi dan/ atau sanksi administrasi
berupa bunga dan/ atau denda.
12. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang
selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat
ketetapan retribusi yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah
kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang
terhutang atau tidak seharusnya terutang.
13. SUrat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya
disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau
penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan
cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Walikota.
14. Kas Daerah adalah Kas Daerali Kota Batam atau
badan yang diserahi wewenang dan tanggung jawab
sebagai pemegang kas daerah Kota Batam.
15. Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PPNS, adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan terhadap pelanggaran
Peraturan Daerah.
BAB II
KETENTUAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi
Pasal2
Setiap badan yang mendapatkan pelayanan
perpanjangan IMTA, dipungut retribusi dengan nama
Retribusi Perpanjangan IMTA.
Pasa13
(1) Objek retribusi adalah pemberian perpanjangan
IMTA kepada pemberi kerja Tenaga Kerja Asing.
(2) Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk instansi
pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan,
danjabatan tertentu di lembaga pendidikan.
Pasal4
(1) Subjek Retribusi Perpanjangan IMTA meliputi
pemberi kerja Tenaga Kerja Asing yang
mendapatkan pelayanan Perpanjangan IMTA.
(2) Subjek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Wajib Retribusi, merupakan badan yang
menurut ketentuan Peraturan Daerah ini diwajibkan
untuk melakukan pembayaran retribusi.
Bagian Kedua
Golongan Retribusi
Pasal 5
Retribusi Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 digolongkan sebagai retribusi perizinan
tertentu.
Bagian Ketiga
Pasal6
Besarnya retribusi yang terhutang sebagairnana
dirnaksud dalam Pasal 2 dihitung berdasarkan perkalian
antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi.
Bagian Keempat
Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Tarif Retribusi
Pasal 7
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi
perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk
menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: penerbitan
dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan
hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif
dari pemberian izin.
Bagian Kelima
Pasal8
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Perpanjangan
IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
sebesar USD 100 (seratus dollar Amerika Serikat) per
orang per bulan.
Pasa19
(1) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dapat ditinjau kernbali paling lama 3 (tiga) tahun
sekali.
(2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam
Wilayah Pemungutan
Pasal 10
Retribusi yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
Bagian Ketujuh
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang
Pasal 11
(1) Masa retribusi perpanjangan IMTA adalah
ditetapkan berdasarkan jangka waktu izin yang
diberikan.
(2) Saat retribusi terutang adalah sejak saat
ditetapkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
Bagian Kedelapan
Pasal 12
(1) Pembayaran retribusi daerah dilakukan di kas
daerah atau di tempat lain yang ditunjuk Walikota
sesuai waktu yang ditentukan dengan
menggunakan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain:
karcis, kupon, dan kartu langganan.
(3) Dalam hal pembayaran dilakukan di tempat lain
yang ditunjuk, maka hasil penerimaan retribusi
harus disetor ke kas daerah paling lambat 1 X 24
(satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 13
(1) Pembayaran retribusi harus dilakukan secara tunai
dan lunas.
(2) Walikota atau pejabat yang ditunjuk dapat
memberi lZlU kepada wajib retribusi untuk
mengangsur retribusi terutang dalam jangka waktu
tertentu atau menunda pembayaran retribusi
sampai batas waktu tertentu dengan alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Tata cara pembayaran pengangsuran dan
penundaan retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.
Pasal14
(1) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (I) diberikan tanda bukti
pembayaran.
(2) Setiap pembayaran dicatat dalam buku
penerimaan.
(3) Bentuk tanda bukti pembayaran retribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 15
(1) Penagihan retribusi terutang dilaksanakan
menggunakan STRD dengan didahului Surat
Teguran.
(2) Pengeluaran surat teguran/ surat peringatan/ surat
lain yang sejenis sebagai awal tindakan
pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan
segera setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo
pembayaran.
(3) Dalam jangka 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat
teguran/ surat peringatan/ surat lain yang sejenis
diterima oleh wajib retribusi, wajib retribusi harus
melunasi retribusi yang terutang.
(4) Surat teguran /surat peringatan/surat lain yang
sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
(5) Tata cara pelaksanaan penagihan Retribusi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kesembilan
Pasal 16
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan
kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk
atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD
diterbitkan kecuali apabila wajib retribusi dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Keadaan diluar kekuasaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah suatu keadaan
yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan
Wajib Retribusi.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan
retribusi.
Pasal17
(1) Walikota atau pejabat yang ditunjuk dalam
jangka waktu paling lama 6 !enam) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Walikota atau pejabat yang ditunjuk
atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya retribusi yang terutang.
(3) Apabilajangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah lewat dan Walikota atau pejabat yang
ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
(4) Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 18
(1) Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua per seratus) sebulan untuk paling
lama 12 (dua betas) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya SKRDLB.
Bagian Kesepuluh
Tata Cara Pembetulan Ketetapan Retribusi
Pasal19
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan perrnohonan
pembetulan SKRD dan STRD yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung danl atau kekeliruan dalam penerapan
peraturan perundang-undangan retribusi daerah.
(2) Permohonan pembetulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hams disampaikan secara tertulis
oleh wajib retribusi kepada Walikota atau pejabat
yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluhl hari
kerja sejak tanggal diterimanya SKRD dan STRD
dengan memberikan alasan yang jelas dan
meyakinkan untuk mendukung permohonannya.
(3) Keputusan atas pennohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh Walikota
atau Pejabat yang ditunjuk paling lama 3 (tiga)
bulan sejak surat permohonan diterima.
(4) Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Walikota atau pejabat
yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, maka
permohonan pembetulan ketetapan dianggap
dikabulkan.
Bagian Kesebelas
Pasal20
(1) Wajib retribusi harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Walikota atau pejabat yang
ditunjuk, untuk perhitungan pengembalian
kelebihan pembayaran retribusi.
(2) Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), atas kelebihan pembayaran retribusi
dapat langsung diperhitungkan terlebih dahulu
dengan hutang retribusi danl atau sanksi
administrasi berupa bunga danl atau pembayaran
retribusi selanjutnya, oleh Walikota atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal21
(1) Dalam hal kelebihan pembayaran retribusi yang
masih tersisa setelah dilakukan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
diterbitkan SKRDLB paling lambat 2 (dua) bulan
sejak diterimanya permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran retribusi.
(2) Kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) dikembalikan kepada wajib
retribusi paling lambat 2 (dua) bulan sejak
diterbitkan SKRDLB.
(3) Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi
dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKRDLB, Walikota atau pejabat
yang ditunjuk memberikan imbalan bunga 2%
(dua per seratus) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan retribusi.
(4) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran
retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (I)
diatur lebih Ianjut dengan Peraturan Walikota.
Pasa122
(1) Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasa!
21 ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan surat
perintah membayar kelebihan retribusi.
(2) Atas perhitungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 diterbitkan bukti pemindahbukuan yang
berlaku juga sebagai bukti pembayaran.
Bagian Keduabelas
Tata Cara Pengurangan, Keringanan Dan Pembebasan Retribusi
Pasa123
(1) Walikota dapat memberikan pengurangan,
keringanan dan pembebasan retribusi.
(2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan
pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Walikota.
Bagian Ketigabelas
Kedaluwarsa Penagihan
Pasal24
(1) Hak untuk melakukan penagihan Retribusi
menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3
(tiga) tahun terhitung sejak saat terhutangnya
Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan
tindak pidana di bidang Retribusi.
(2) Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) tertangguh jika :
a. diterbitkan Surat Teguran; ataU
b. ada pengakuan hutang Retribusi dari Wajib
Retribusi, baik langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat
Teguran tersebut.
(4) Pengakuan hutang Retribusi secara langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurnf b
adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya
menyatakan masih mempunyai hutang retribusi
dan belum melunasinya kepada Pemerintah
Daerah.
(5) Pengakuan hutang Retribusi secara tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran dan permohonan
keberatan oleh Wajib Retribusi.
Pasa! 25
(1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi
karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan
Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang
sudah kedaluwarsa diatur Iebih Ianjut dengan
Peraturan Walikota.
Bagian Keempatbelas
Tata Cara Pemeriksaan Retribusi
Pasal26
(1) Walikota atau pejabat yang ditunjuk, berwenang
melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban Retribusi dalam rangka
melaksanakan Peraturan Daerah ini.
(2) Wajib Retribusi yang diperiksa berkewajiban :
a. memperlihatkan dan! atau meminjamkan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasamya
dan dokumen lain yang berhubungan dengan
objek retribusi yang terhutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberikan bantuan guna kelancaran
pemeriksaan; dan! atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih Ianjut mengenai tata cara
pemeriksaan retribusi diatur lebih Ianjut dengan
Peraturan Walikota.
BAB III
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal27
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan
retribusi dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu.
(2) Besaran insentif sebagaimana dimaksud pada ayat
(I) dapat diberikan sebanyak-banyaknya 5% (lima
per seratus) dari target pemungutan retribusi atau
sesuai kemampuan keuangan daerah dan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (I) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
(4) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diatur
dengan Peraturan Walikota.
BABIV
PEMANFAATAN
Pasa128
(1) Penerimaan Retribusi Perpanjangan IMTA
digunakan untuk mendanai penerbitan dokumen
izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum,
penatausahaan, biaya dampak negatif dari
perpanjangan IMTA, dan kegiatan pengembangan
keahlian dan ketrampilan tenaga kerja lokal.
(2) Untuk menjarnin peningkatan kemarnpuan tenaga
kerja loka! maka pemanfaatan penenmaan
Retribusi Perpanjangan IMTA sebagaimana
dimaksud pada ayat (I). sekurang-kurangnya 70%
(tujuh puluh per seratus) digunakan untuk
pelaksanaan pengembangan keahlian dan
keterarnpilan tenaga kerja lokal.
BABV
KETENTUAN PENYIDlKAN
Pasal29
(1) PejabatPegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah daerah diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk meiakukan
penyidikan tindak pidana di bidang retribusi
daerah sebagaimana dimaksud dalarn Undang
Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan
meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang retribusi
daerah agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan
keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana retribusi
daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari
orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana dibidang retribusi daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan
dokumen-dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang retribusi daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk
mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang retribusi daerah;
g. menyuruh berhenti danl atau melarang
seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang danl atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
dalam huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana retribusi daerah;
L memanggil orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
J. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
retribusi daerah menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik pejabat polisi
negara sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BABVI
KETENTUAN SANKSI
Pasal30
Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada
waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% {dua per
seratus} setiap bulan dari retribusi yang terhutang
yang tidak atau kurang bayar dan ditagih dengan
menggunakan STRD.
Pasal31
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan
kewajibannya· membayar retribusi sehingga
merugikan keuangan daerah diancam pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana
denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pengenaan pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban wajib
retribusi untuk membayar retribusinya.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pelanggaran.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disetor ke kas negara.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Pelaksanaan ketentuan Pasal28 ayat (2) dilaksanakan
paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya
Peraturan Daerah inL
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal33
Ditetapkan di Batam
pada tanggal 11 April 2013
WALIKOTA BATAM
dto
AHMAD DAHLAN
Diundangkan di Batam
pada tanggal 11 April 2013
dto
AGUSSAHIMAN
A,ist~l Pemerintahan
Ub_
~ ....
~
..,
KepaJa Bagi.... Hukurn
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Sesuai ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nornor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis retribusi daerah dapat
ditarnbah sepanjang rnernenuhi kriteria yang ditetapkan dalarn Undang
Undang. Penarnbahan jenis retribusi daerah tersebut sesuai Peraturan
Pernerintah Nornor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu
Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mernpekerjakan Tenaga Kerja
Asing, Retribusi Perpanjangan IMTA ditetapkan sebagai jenis Retribusi
Daerah yang barn.
Penetapan Retribusi Perpanjangan IMTA sebagai retribusi daerah
rnernberikan peluang kepada daerah untuk rnenarnbah surnber
pendapatan dalarn rangka rnendanai urusan yang rnenjadi
tanggungjawab Pernerintah Daerah.
Retribusi Perpanjangan IMTA rnerupakan pernbayaran atas pernberian
perpanjangan IMTA oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk kepada
Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing yang telah rnemiliki IMTA dari Menteri
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau Pejabat yang
ditunjuk.
Pernungutan Retribusi Perpanjangan IMTA relatif tidak rnenarnbah
beban bagi rnasyarakat. rnengingat Retribusi Perpanjangan IMTA
sebelurnnya rnerupakan pungutan Pemerintah Pusat berupa Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang kernudian rnenjadi retribusi daerah.
Tarif Retribusi Perpanjangan IMTA ditetapkan berdasarkan tingkat
penggunaan jasa dan tidak rnelebihi tarif PNBP Perpanjangan IMTA yang
berlaku pada kernenterian di bidang ketenagakerjaan.
Pernanfaatan penerirnaan Retribusi Perpanjangan IMTA diutarnakarn
digunakan untuk rnendanai kegiatan pengernbangan keahlian dan
ketrarnpilan tenaga kerja lokal yang alokasinya ditetapkan rnelalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Asisten Panmntahan
l.Jb.
TENTANG
KEGIATAN USAHA PENUNJANG MINYAK DAN GAS BUMI
Menimbang a. bahwa dalam rangka menciptakan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan
mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional, perlu
adanya dukungan bagi pelaku dan kegiatan usaha penunjang dalam
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. bahwa Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi ~omor
147/Kpts/M/Pertamb/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Perizinan
Usaha Perusahaan Asing Yang Bekerja di Bidang Jasa-jasa Usaha
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sudah tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Minyak dan Gas Bumi
serta tidak sesuai perkembangan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi;
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan P E R A T U R A NMENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINER AL
T E N T A N G K E GIATAN USAHA PENUNJANG MINYAK DAN GAS
BUMI.
BAB I
K E T E N T U AUNM U M
Pasal1
DalamPeraturan
Menteriiniyangdimaksud
dengan'
1. Kegiatan
UsahaHulu,KegiatanUsahaHilir,Badanusaha,Kontrak
Kerjasama, dan Menteriadalahsebagaimana dimaksuddalam
Undang-undangNomor22 Tahun 2oo1tentangMinyakdan Gas
Bumi.
10. Perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Swasta yang berbadan hukum
Indonesia yang bergerak dalam bidang Usaha Penunjang Migas.
12. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugas dan
tanggung jawabnya meliputi Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.
Pasal2
BAB II
USAHA PENUNJANG MIGAS
Pasal3
Pasal4
Pasal5
Pasal 6
BAB III
SURAT KETERANGAN TERDAFTAR
USAHA PENUNJANG MIGAS
Pasa/?
Pasal8
(2) Dalam hal hasil penelitian dan evaluasi atas persyaratan data
Perusahaan atau Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah lengkap dan benar, dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja Direktur Jenderal menerbitkan Surat Keterangan
Terdaftar bagi Perusahaan atau Perseorangan.
(3) Apabila dari hasil penelitian dan evaluasi atas persyaratan data
Perusahaan atau Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat:
(1) tidak lengkap dan/atau tidak benar, Direktur Jenderal
menyampaikan penolakan beserta alasannya.
Pasal9
Pasal 10
BAB IV
ASOSIASI USAHA PENUNJANG MIGAS
Pasal 11
(3) Peran Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah:
a. sebagai mitra Pemerintah dalam memantau implementasi
kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalarn upaya
peningkatan penggunaan produksi barang dan [asa- dalarn
negeri;
b. menampung dan menyalurkan asplrasi Perusahaan dan
Perseorangan;
c. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan
Usaha Penunjang Migas.
Pasal 12
Pasal13
BABV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
Pasal 15
Bagian Kedua
Pembinaan
Pasal 16
Pasal 17
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 19
RAB Vl
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal21
Pasal22
Pasal23
BABVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pasal 26
Ditetapkan di Jakarta
padatanggal 22 Agustus 2008
-.
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
UPAH MINIMUM
MEMUTUSKAN:
2
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
8. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
3
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
Pasal 2
BAB II
DASAR DAN WEWENANG PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 3
Pasal 4
Peta jalan pencapaian KHL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4)
disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. menentukan tahun pencapaian Upah Minimum sama dengan KHL;
b. memprediksi nilai KHL sampai akhir tahun pencapaian;
4
c. memprediksi besaran nilai Upah Minimum setiap tahun;
d. menetapkan prosentase pencapaian KHL dengan membandingkan prediksi
besaran Upah Minimum dengan prediksi nilai KHL setiap tahun.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
5
Pasal 9
Pasal 10
(1) Bagi daerah yang Upah Minimumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a di atas KHL dan nilai KHL untuk tahun berikutnya lebih besar
dari Upah Minimum tahun sebelumnya, gubernur menetapkan Upah
Minimum untuk tahun berikutnya mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4).
(2) Bagi daerah yang Upah Minimumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a sama atau di atas KHL dan nilai KHL untuk tahun berikutnya
tidak lebih besar dari Upah Minimum tahun sebelumnya, gubernur
menetapkan besarnya Upah Minimum harus didasarkan pada
rekomendasi dari Dewan Pengupahan.
Pasal 11
6
BAB III
TATA CARA PENETAPAN UPAH MINIMUM
Pasal 12
Pasal 13
7
Pasal 14
BAB IV
Pasal 15
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum
yang telah ditetapkan.
(2) Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 16
Pasal 17
(1) Bagi pekerja/buruh dengan sistem kerja borongan atau sistem harian
lepas yang dilaksanakan 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah
minimum yang dilaksanakan di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Upah pekerja/buruh harian lepas, ditetapkan secara bulanan yang
dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah
sehari:
a. bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam
seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima);
8
b. bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam
seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu).
Pasal 18
(1) Bagi perusahaan yang mencakup lebih dari satu sektor, Upah Minimum
yang berlaku sesuai dengan UMSP atau UMSK.
(2) Dalam hal satu perusahaan mencakup lebih dari satu sektor dan apabila
terdapat satu sektor atau lebih belum ada penetapan UMSP dan/atau
UMSK, maka upah terendah di perusahaan pada sektor yang
bersangkutan, disepakati secara bipartit.
Pasal 19
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 20
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana diubah
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8,
Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
9
Pasal 22
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2013
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2013
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
10
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN REGULATION OF THE MINISTER OF
TRANSMIGRASI MANPOWER AND TRANSMIGRATION OF THE
REPUBLIK INDONESIA REPUBLIC OF INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2012 NUMBER 19 OF 2012
TENTANG CONCERNNG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN REQUIREMENTS FOR OUTSOURCING (THE
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA CONTRACTING OUT OF PARTIAL WORK TO
PERUSAHAAN LAIN OTHER COMPANIES)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WITH THE BLESSING OF GOD ALMIGHTY
Menimbang: Considering:
a. bahwa pelaksanaan pemborongan pekerjaan a. that contracting of work and labor supply
dan penyediaan jasa pekerja/buruh are directed to create a harmonious,
diarahkan untuk menciptakan iklim dynamic and just climate of industrial
hubungan industrial yang harmonis, dinamis relations;
dan berkeadilan;
b. bahwa ketentuan yang diatur dalam b. that the provisions stated in Decision of the
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Minister of Manpower and Transmigration
Transmigrasi Nomor KEP. Number KEP. 101/MEN/VI/2004
101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara concerning Procedures for Licensing of
Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Labor Suppliers and Decision of the
Pekerja/Buruh dan Keputusan Menteri Minister of Manpower and Transmigration
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Number KEP.220/MEN/X/2004 concerning
KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat- Requirements for Outsourcing (The
Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Contracting Out of Partial Work to Other
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, sudah Companies) are no longer current with the
tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat present development, so that it is necessary
ini, sehingga perlu dilakukan to revise them;
penyempurnaan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan c. that in consideration of points (a) and (b), it
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, is necessary to issue Regulation of the
perlu ditetapkan Peraturan Menteri tentang Minister of Manpower and Transmigration
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian concerning Requirements for Outsourcing
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan (The Contracting Out of Partial Work to
Lain; Other Companies);
Menetapkan: To issue:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REGULATION OF THE MINISTER OF
DAN TRANSMIGRASI TENTANG SYARAT- MANPOWER AND TRANSMIGRATION
SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN CONCERNNG REQUIREMENTS FOR
PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA OUTSOURCING (THE CONTRACTING OUT
PERUSAHAAN LAIN. OF PARTIAL WORK TO OTHER
COMPANIES).
BAB I CHAPTER I
KETENTUAN UMUM GENERAL PROVISIONS
Pasal 1 Article 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud In this Regulation of the Minister:
dengan:
1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah 1. Outsourcer (a company providing work)
perusahaan yang menyerahkan sebagian means a company that contracts out partial
pelaksanaan pekerjaannya kepada work to a supplier/vendor or a labor
perusahaan penerima pemborongan atau supplier.
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2. Perusahaan penerima pemborongan adalah 2. Supplier/vendor means a company in the
perusahaan yang berbentuk badan hukum form of legal entity that is eligible to receive
yang memenuhi syarat untuk menerima partial work from an outsourcer.
pelaksanaan sebagian pekerjaan dari
perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh 3. Labor supplier means a company which is a
adalah perusahaan yang berbentuk badan legal entity in the form of Limited Liability
hukum Perseroan Terbatas (PT) yang Company (LLC) eligible to perform
2
memenuhi syarat untuk melaksanakan supporting services for an outsourcer.
kegiatan jasa penunjang perusahaan
pemberi pekerjaan.
4. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah 4. Supply agreement means an agreement
perjanjian antara perusahaan pemberi between an outsourcer and a
pekerjaan dengan perusahaan penerima supplier/vendor stating the rights and
pemborongan yang memuat hak dan obligations of the parties.
kewajiban para pihak.
5. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh 5. Labor supply agreement means an
adalah perjanjian antara perusahaan pemberi agreement between an outsourcer and a
pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa labor supplier stating the rights and
pekerja/buruh yang memuat hak dan obligations of the parties.
kewajiban para pihak.
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang 6. Worker means any person who works for a
bekerja pada perusahaan penerima supplier/vendor or a labor supplier and
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa receives the wage or compensation of other
pekerja/buruh yang menerima upah atau form.
imbalan dalam bentuk lain.
7. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara 7. Employment agreement means an
perusahaan penerima pemborongan atau agreement between a supplier/vendor or a
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh labor supplier and a worker of the
dengan pekerja/buruh di perusahaan supplier/vendor or of the labor supplier
penerima pemborongan atau perusahaan stating the rights and obligations of each
penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat party.
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
8. Menteri adalah Menteri yang bertanggung 8. Minister means the Minister in charge of
jawab di bidang ketenagakerjaan. manpower.
Pasal 2 Article 2
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan Outsourcing to another company may be
kepada perusahaan lain dapat dilakukan melalui performed by a supply agreement or a labor
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian supply agreement.
penyediaan jasa pekerja/buruh.
BAB II CHAPTER II
PEMBORONGAN PEKERJAAN CONTRACTING OF WORK
3
a. dilakukan secara terpisah dari a. that is performed separately from the
kegiatan utama baik manajemen core activity, both management and
maupun kegiatan pelaksanaan performance of work;
pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung b. that is performed by a direct or
atau tidak langsung dari pemberi indirect order of the outsourcer who
pekerjaan, dimaksudkan untuk briefs the way to perform the work in
memberi penjelasan tentang cara order to be consistent with the
melaksanakan pekerjaan agar sesuai standard set by the outsourcer;
dengan standar yang ditetapkan oleh
perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang c. which is a supporting activity of the
perusahaan secara keseluruhan, company/outsourcer as a whole,
artinya kegiatan tersebut merupakan meaning that the activity is one that
kegiatan yang mendukung dan supports and smooths the performance
memperlancar pelaksanaan kegiatan of the core activity within the
utama sesuai dengan alur kegiatan workflow as issued by the
proses pelaksanaan pekerjaan yang associations of the business sector that
ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha is formed under the laws and
yang dibentuk sesuai peraturan regulations; and
perundang-undangan; dan
d. tidak menghambat proses produksi d. that does not prevent the production
secara langsung, artinya kegiatan process directly, meaning that the
tersebut merupakan kegiatan activity is an additional one which if
tambahan yang apabila tidak not carried out by the outsourcer, the
dilakukan oleh perusahaan pemberi work process still remains in place
pekerjaan, proses pelaksanaan appropriately.
pekerjaan tetap berjalan sebagaimana
mestinya.
Pasal 4 Article 4
(1) Asosiasi sektor usaha sebagaimana (1) The associations of the business sector as
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c intended by Article 3 section (2) point (c)
harus membuat alur kegiatan proses must make workflow within their respective
pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha business sectors.
masing-masing.
(2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) The workflow as intended by section (1)
harus menggambarkan proses pelaksanaan must describe the work process from the
pekerjaan dari awal sampai akhir serta beginning to the end and reflect the core
memuat kegiatan utama dan kegiatan activity and supporting activities with due
penunjang dengan memperhatikan regard to the requirements as intended by
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Article 3 section (2).
Pasal 3 ayat (2).
(3) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (3) The workflow as intended by section (2)
dipergunakan sebagai dasar bagi perusahaan shall be adopted as a basis for an outsourcer
pemberi pekerjaan dalam penyerahan to outsource through the contracting of
sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui work.
pemborongan pekerjaan.
4
Pasal 5 Article 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan The types of supporting work to be outsourced to
kepada perusahaan penerima pemborongan harus a supplier/vendor must be reported by the
dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan outsourcer to the manpower agency of the
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang district/city where the contracting of work is
ketenagakerjaan kabupaten/ kota tempat performed.
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 6 Article 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang The manpower agency of the district/city as
ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana intended by Article 5 shall issue the proof of
dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti report on the types of supporting work to be
pelaporan jenis pekerjaan penunjang yang akan outsourced through the contracting of work within
diserahkan melalui pemborongan pekerjaan paling one (1) week of the reporting by the outsourcer.
lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan
dilaksanakan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 7 Article 7
(1) Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang (1) An outsourcer is prohibited from
menyerahkan sebagian pelaksanaan outsourcing to a supplier/vendor if not yet
pekerjaan kepada perusahaan penerima holding the proof of report as intended by
pemborongan apabila belum memiliki bukti Article 6.
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(2) Apabila perusahaan pemberi pekerjaan (2) If an outsourcer outsources to a
menyerahkan sebagian pelaksanaan supplier/vendor prior to holding the proof of
pekerjaan kepada perusahaan penerima report as intended by Article 6, the
pemborongan sebelum memiliki bukti employment relationship between the
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam worker and the supplier/vendor shall pass to
Pasal 6, maka hubungan kerja antara the outsourcer.
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih kepada perusahaan
pemberi pekerjaan.
Pasal 8 Article 8
Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan An outsourcer must report in writing every change
secara tertulis setiap perubahan jenis pekerjaan in the types of supporting work to be outsourced
penunjang yang akan diserahkan melalui through the contracting of work, to the manpower
pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang agency of the district/city where the contracting of
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan work is performed with due regard to the process
kabupaten/ kota tempat pemborongan pekerjaan as intended by Article 5.
dilaksanakan dengan tetap memperhatikan proses
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
5
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) shall be performed by a written supply
(1) dilaksanakan melalui perjanjian agreement.
pemborongan pekerjaan secara tertulis.
(2) Perjanjian pemborongan pekerjaan (2) A supply agreement as intended by section
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (1) must state at least:
sekurang-kurangnya harus memuat:
a. hak dan kewajiban masing-masing a. the rights and obligations of each
pihak; party;
b. menjamin terpenuhinya perlindungan b. guarantee that the employment
kerja dan syarat-syarat kerja bagi protection and requirements for
pekerja/buruh sesuai peraturan workers are fulfilled in accordance
perundang-undangan; dan with the laws and regulations; and
c. memiliki tenaga kerja yang c. employ workers who are competent in
mempunyai kompetensi di bidangnya. their field.
Pasal 10 Article 10
(1) Perjanjian pemborongan pekerjaan (1) A supply agreement as intended by Article 9
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus must be registered by the supplier/vendor
didaftarkan oleh perusahaan penerima with the manpower agency of the
pemborongan kepada instansi yang district/city where the contracting of work is
bertanggung jawab dibidang performed.
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
(2) Pendaftaran perjanjian pemborongan (2) Registration of a supply agreement as
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat intended by section (1) shall be made upon
(1) dilakukan setelah perjanjian tersebut the agreement being signed by the
ditandatangani oleh perusahaan pemberi outsourcer and the supplier/vendor within
pekerjaan dengan perusahaan penerima thirty (30) working days prior to the
pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) performance of work.
hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 11 Article 11
Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan Where a supply agreement has met the provisions
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud as intended by Article 9 and Article 10, the
dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang manpower agency of the district/city where the
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan work is performed shall issue the proof of
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan registration within five (5) working days of the
menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 5 receipt of the application documents for
(lima) hari kerja sejak berkas permohonan registration of agreement.
pendaftaran perjanjian diterima.
6
b. memiliki tanda daftar perusahaan; b. hold a company registration number;
c. memiliki izin usaha; dan c. hold a business license; and
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan d. hold the proof of mandatory report on
di perusahaan. manpower of the company.
Pasal 14 Article 14
Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan An employment agreement within the contracting
mengatur tentang hubungan kerja antara of work shall provide the employment between
perusahaan penerima pemborongan dengan the supplier/vendor and its worker which is made
pekerja/buruhnya yang dibuat secara tertulis. in writing.
Pasal 15 Article 15
Hubungan kerja antara perusahaan penerima The employment between the supplier/vendor and
pemborongan dengan pekerja/buruhnya its worker as intended by Article 14 may be based
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat on the employment agreement for indefinite
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak period of time or employment agreement for
tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu. definite period of time.
Pasal 16 Article 16
Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana dimaksud Reporting on the types of activity as intended by
dalam Pasal 5 dan pendaftaran perjanjian Article 5 and registration of supply agreements as
pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud intended by Article 10 shall not be charged a fee.
dalam Pasal 10 tidak dikenakan biaya.
7
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada (2) Work that may be outsourced to a labor
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh supplier as intended by section (1) must be
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus supporting services or activities not directly
merupakan kegiatan jasa penunjang atau associated with the production process.
yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang sebagaimana (3) Supporting services as intended by section
dimaksud pada ayat (2) meliputi: (2) shall include:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning a. cleaning services;
service);
b. usaha penyediaan makanan bagi b. labor catering services;