Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
PMK 213/PMK.03/2016
Indonesia has been issued regulation about Transfer Pricing Documentation through
Regulation Of The Finance Minister Of The Republic Of Indonesia Number
213/PMK.03/2016 Concerning Type Of Documents And/Or Additional Information Which
Must Be Advised By Taxpayer That Doing Transaction With Related Party And The
Procedures Of Management. This regulation is needed to avoid BEPS (Base Erosion and
Profit Shifting) that usually play by multinational company that associated in group company
which operate around the world. The regulation is applying for fiscal year 2016 and required
taxpayer to make 3 files that consist of:
1. Master File
2. Local File
3. CbCR (Country by Country Report)
Master file must be contain about Business Group Structure that consist of Geographic
Location of Business, Share Information and Ownership Scheme. The master file could make
once for the attached of annual corporate income tax return for some fiscal year. Then, local
file must be contain about Management Structure, Business Strategy, Operational Aspect, and
Background of Business for identification and business operation explanation. This local file
explain too about affiliated and non affiliated transaction information, and arm’s length
principle information of company transaction with 5 these method:
Transfer Pricing Documentation (or called TP Doc) must be contain the explanation of using
one of some arm’s length principle method. Here is the simple ilustration of using fair price
for affiliated or non affiliated transaction.
There’s not all of company must be provide Transfer Pricing documentation. Here’s the
criteria of company that doesn’t need to make transfer pricing documentation by observe this
points:
Beberapa poin di atas merupakan sumber informasi yang dapat diakses oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk mengetahui Wajib Pajak yang belum patuh melaporkan kewajiban
perpajakannya pada SPT Tahunan Orang Pribadi maupun Badan. Berdasarkan Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 17 ayat (1) PMK No. 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, lembaga keuangan yang menjalankan
usaha sebagai:
Lembaga Kustodian
LembagaSimpanan
Perusahaan Asuransi
Entitas Investasi
diwajibkan untuk melakukan pelaporan berupa informasi dari Wajib Pajak secara otomatis.
Rekening keuangan Wajib Pajak yang wajib dilaporkan berdasarkan pada pasal 19 ayat (4)
PMK No. 70 Tahun 2017 adalah sebagai berikut.
1. Sektor Perbankan : bagi orang pribadi adalah agregat saldo paling sedikit 1 miliar dan
bagi badan tanpa adanya saldo minimum untuk dilaporkan (semua badan wajib
dilaporkan tanpa memandang jumlah dari saldo badan di perbankan).
2. Sektor Perasuransian : paling sedikit pertanggungan 1 miliar.
3. Sektor Perkoperasian : paling sedikit agregat saldo 1 miliar.
4. Sektor Pasar Modal : tanpa batasan saldo minimum (semua wajib dilaporkan)
Kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan harta dari Wajib Pajak tersebut menyulitkan
Wajib Pajak untuk menyembunyikan harta dan melakukan penghindaran pajak atas
penghasilan yang diterima, tidak dikenakan pajak dan tidak dilaporkan di dalam SPT
Tahunan. Mendukung akses informasi keuangan Wajib Pajak tersebut, perkembangan
implementasi FATCA (Foreign Account Tax Compliance Act) Amerika Serikat untuk
mengatasi upaya penghindaran dan pengelakan pajak yang menyembunyikan harta pada
offshore financial center mendorong OECD untuk menerbitkan peraturan Common
Reporting Standard (CRS) untuk mengatasi hal yang serupa. Perbedaannya, CRS lebih
bersifat umum dibanding FATCA karena disesuaikan dengan kebutuhan setiap negara
partisipan. Keterbukaan informasi Wajib Pajak dari sisi peraturan nasional maupun
internasional telah mempersempit ruang gerak Wajib Pajak untuk menyembunyikan harta
maupun penghasilannya di negara lain untuk tidak dikenakan pajak, sehingga saat ini era
keterbukaan informasi Wajib Pajak untuk kepentingan perpajakan telah dimulai.
Cross border transaction (transaksi lintas batas) yang melibatkan banyak negara umumnya
sangat sulit untuk disentuh oleh Kantor Pajak, khususnya untuk melakukan pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh perusahaan grup. Perbedaan hukum perpajakan setiap negara
menjadi salah satu kesulitan bagi aparat pajak untuk mengidentifikasi penghindaran pajak
(tax avoidance) atau pengelakan pajak (tax evasion), sehingga masing-masing negara
mengatur mengenai Transfer Pricing Documentation dan Controlled Foreign Company Rules
(CFC Rules) bagi transaksi pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa seperti
perusahaan grup.
Transformation of Taxation in Indonesia
Indonesia has been started transformation of tax policy in this year. After Tax Amnesty
program, Indonesia made new regulation for prevent tax avoidance and increase tax
compliance of taxpayer in transfer pricing, controlled foreign company and treaty shopping
with these regulation:
According to all the new regulation, Indonesia has been used the performance of the
regulation to increase the extra effort of Directorate General of Tax. Tax revenue of
Indonesia’s state is the main point of the extra effort. The government using implementation
all of new regulation that enacted recently for fulfill the target.
Automatic Exchange of Information is one of the regulation that can be support tax amnesty
for assests declaration. It will be one system to increase compliance of taxpayer in Indonesia
that the most of rich people in Indonesia invest or save their current and non current assets
overseas. Thus, the income of Indonesia’s Taxpayers can be taxable in Indonesia. The
reasons of the non compliance system of taxpayers always related to the tax tariff in
Indonesia. Meanwhile the comparison of the tax tariff in Indonesia and the other country is
sufficient significant. For example is tax tariff in ASEAN country, Indonesia is the one that
have high tax tariff than the other country, such as Singapore, Thailand and Hongkong.
In the classical bureaucrat, without contraprestation to the taxpayers which paying tax, here
some factor the taxpayers don’t want to pay tax to the government:
Seiring perkembangan dunia digital, transaksi yang berkaitan dengan transaksi bawah tanah
sangat mudah untuk dilakukan saat ini. Transaksi yang melibatkan negara-negara tax haven
yang memberikan perlindungan informasi dan tarif pajak yang sangat rendah bahkan
sebagian besar tax haven tersebut memberikan tariff 0% bagi pihak-pihak yang berinvestasi
di negara tersebut. Beberapa di antaranya adalah Caymand Island, British Virgin Island,
Bermuda dan Hongkong. Dana yang diinvestasikan ke beberapa negara tax haven tersebut
dialirkan pada investasi offshore (menaruh uang di luar negara asalnya untuk memperoleh
berbagai keuntungan) company untuk mendapatkan keuntungan insentif pajak, jaminan
kerahasiaan dan perlindungan asset melalui perusahaan yang dibangun secara legal di sana.
Berdasarkan berbagai pertimbangan pada tanggal 7 Juni 2017, dikeluarkan Siaran Pers No.
21/KLI/2017 bahwa Pemerintah Merevisi Batas Minimum Saldo Rekening yang Wajib
Dilaporkan Lembaga Keuangan Secara Otomatis kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
untuk Orang Pribadi dari nilai awal minimum saldo sebesar Rp. 200 juta berubah menjadi Rp.
1 miliar, sehingga terdapat sekitar 496 ribu rekening atau 0,25% dari keseluruhan rekening
yang ada di perbankan saat ini yang wajib melaporkan rekening Wajib Pajak tersebut kepada
DJP.
Bagi Orang Pribadi atau Entitas yang memiliki rekening keuangan di luar negeri, petunjuk
teknis mengenai akses informasi secara otomatis diatur berdasarkan perjanjian internasional
berupa:
Penurunan tarif pajak artinya sama dengan mengurangi potensi pemajakan pada satu Wajib
Pajak (WP). Sementara jika tarif pajak Indonesia tetap tinggi, maka dana WP Indonesia yang
tertanam di luar negeri, khususnya negara Tax Haven akan terus meningkat. Jika penurunan
tarif pajak akan dilaksanakan, maka pemerintah perlu melakukan penguatan basis pajak dan
reformasi administrasi perpajakan. Data dari World Bank pada tahun 2015 membuktikan
bahwa reformasi administrasi perpajakan berdampak pada peningkatan investasi di dalam
negeri dengan persentase peningkatan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, diperlukan
adanya perbaikan sarana dan prasarana dalam negeri untuk menarik investor dan reformasi
administrasi perpajakan yang didukung dengan penguatan basis pajak untuk mengimbangi
penurunan tarif pajak agar target APBN dari penerimaan pajak dapat tercapai.
Bila dibandingkan keadaan Indonesia saat ini dengan negara-negara Tax Haven yang lebih
dulu menurunkan tarif pajak mereka menjadi sangat rendah atau bahkan nol, Indonesia
memiliki kesempatan yang sangat besar untuk mendapatkan investasi jika terdapat penurunan
tarif. Namun, hal tersebut dapat terealisasi jika penurunan tarif diimbangi dengan realisasi
perbaikan sarana dan prasarana serta reformasi administrasi perpajakan. Selain itu,
pemerintah juga dapat memberikan fasilitas bagi WP yang membayar pajak seperti fasilitas
pendidikan atau kesehatan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan begitu, maka manfaat
dari pembayaran pajak dapat dirasakan oleh WP. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat
khususnya WP kepada pemerintah dalam mengelola dana dapat meningkat. Peningkatan
kepercayaan ini dapat menimbulkan keinginan untuk membayar pajak. Menimbang bahwa
kurangnya kepercayaan masyarakat kepada negara dalam mengelola uang negara
dikarenakan banyaknya kasus korupsi yang menimpa elite politik negara beberapa waktu
yang lalu.
Tax Haven terlihat menjadi ancaman bagi negara yang memerlukan dana investasi.
Kompetensi dengan negara Tax Haven bukan satu-satunya masalah yang menyebabkan
kurangnya aliran dana investasi yang masuk ke dalam negeri. Ada begitu banyak faktor. Dari
semua faktor yang ada, kemudahan berbisnis adalah salah satu penunjang paling besar dalam
menarik dana investasi. Untuk itu diperlukan sinergi dan hamornisasi antar kementerian
negara untuk merealisasikan kemudahan berbisnis di dalam negeri. Semuanya bergantung
pada strategi, konsistensi dan kesinambungan suatu program pemerintah.
Tax Planning dalam Transfer Pricing Versi
Perusahaan Starbucks
Di bawah ini adalah salah satu tax planning yang dilakukan oleh perusahaan Starbucks terkait
dengan Transfer Pricing dan pengalihan penghasilan ke negara Tax Haven.
Skema Analisis Tax Planning Starbucks dan Pemanfaatan Tax Haven (Sumber: data diolah)
Teknis:
Starbucks Inggris memanfaatkan celah hukum dan tax haven di Belanda melalui cabang
starbucks yang berada di Belanda. Penghasilan starbuck Inggris ditransfer ke starbucks
Belanda bernama Stabucks Coffee EMEA BV sebagai biaya lisensi dan royalti bagi
Starbucks Coffee EMEA BV di Belanda. Jika menggunakan pola anti-transfer pricing yang
benar, starbucks Inggris seharusnya menstransfer biaya itu pada cabang terdekat Stabucks
Coffee EMEA BV yang berada di Inggris. Untuk meyakinkan bahwa kerugian yang didapat
starbucks Inggris adalah benar, operasi Starbucks Inggris dibiayai melalui utang dari cabang-
cabang Starbucks lainnya di negara lain. Sehingga, biaya pembayaran utang dan bunga akan
mengurangi penghasilan dari starbucks Inggris, sementara keuntungannya ditransfer ke
negara Belanda yang tarif pajaknya sangat kecil.
Agar lebih meyakinkan lagi, pembelian biji kopi starbucks dibeli dari starbucks di Swiss.
Meski sebenarnya biji kopi itu tidak dibeli dari starbucks Inggris, melainkan dari banyak
negara lain. Poin celah yang digunakan adalah karena starbucks di Swiss yang memiliki hak
hukum atas biji kopi tersebut, sehingga seakan-akan starbucks Inggris membeli biji kopi dari
starbucks Swiss yang pajak penjualannya rendah, hanya sebesar 2% dari nilai penjualan. Hal
utama dari pemanfaatan tax haven oleh starbucks adalah larinya penghasilan starbucks di
Inggris ke luar negeri, yaitu ke Belanda sebagai negara tax haven. Dalam kurun waktu 3
tahun, dengan berbagai praktik yang dilakukan, starbucks Inggris mengakui kerugian dan
tidak dikenakan pajak selama itu juga di Inggris.
Kaitan kasus starbucks dengan etika bisnis internasional adalah etika bisnis internasional ada
untuk mengurangi tindak kecurangan-kecurangan yang dilakukan perusaahaan dan
menghindari eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh pihak perusahaan, dalam kasus
starbucks, eksploitasi yang dilakukan adalah eksploitasi keuntungan. Bila mengacu kepada
De George Rule, yaitu 10 aturan internasional yang mengatur keberlangsungan korporasi
multinasional, starbucks Inggris telah melanggar aturan pertama dan keenam dalam etika
bisnis internasional, yaitu (1) korporasi multinasional tidak boleh dengan sengajak
mengakibatkan kerugian langsung dan (6) korporasi internasional harus membayar pajak
dengan fair (adil). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa starbucks Inggris telah melanggar
etika bisnis internasional dan bertindak amoral seperti yang dikatakan oleh salah satu
perwakilan otoritas pajak Inggris yang mengintrogasi CFO starbucks Inggris.
Jenis fasilitas yang diberikan bagi wajib pajak ada dua jenis dalam draft Undang-Undang Tax
Amnesty, yaitu pelaporan harta di luar negeri yang sebelumnya tidak dilaporkan di SPT
(Surat Pemberitahuan) pajak dan repatriasi (memulangkan kembali dana yang sebelumnya
diparkir di luar negeri). Masing-masing fasilitas tersebut memiliki tarif terbusan sebesar
persentase tertentu yang disesuaikan dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-
Undang. Untuk pelaporan harta di luar negeri, jumlah harta bersih yang dilaporkan di luar
negeri akan dikurangkan dengan yang telah dilaporkan di dalam SPT wajib pajak. Dari hasil
pengurangan atau selisih harta tersebut, berdasarkan Undang-Undang Tax Amnesty yang
akan berlaku nanti dikalikan dengan persentase tarif tebusan yang ditentukan. Sementara ini,
berdasarkan draft Undang-Undang, tarif yang dikenakan berbeda-beda dengan rincian:
Tax Amnesty merupakan program yang digunakan untuk mendapatkan dana yang seharusnya
dikenakan pajak di dalam negeri, tetapi tidak dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan pajak
terutang dan disimpan di luar negeri, sehingga negara tidak dapat mengenakan pajak atas
penghasilan dari wajib pajak. Pengampunan pajak atau yang umum disebut dengan Tax
Amnesty ini adalah salah satu cara pemerintah untuk mengembalikan potensi pajak yang
sempat hilang tersebut. Umumnya, keberhasilan program Tax Amnesty berkaitan dengan
realisasi target yang diharapkan sampai jangka waktu pemberlakuan Tax Amnesty habis.
Undang-Undang Tax Amnesty Indonesia akan menjadi pedoman baru bagi negara untuk
melaksanakan program Tax Amnesty. Bila dibandingkan dengan negara lain yang telah
menerapkan Tax Amnesty sejak lama, ada beberapa negara yang berhasil dan ada juga yang
gagal dalam menerapkan Tax Amnesty, salah satunya India pada tahun 1981 yang gagal
memperluas basis pajaknya. Indonesia dapat mempelajari Tax Amnesty yang pernah sukses
dilakukan oleh negara lain sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di Indonesia.
Pada dasarnya Tax Amnesty harus menyesuaikan kebutuhan dan keadaan dari masyarakat
maupun negara. Tidak hanya melihat dari aspek bisnis dan potensi saja, tetapi juga dari
pandangan, perilaku dan gaya hidup masyarakat untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam
menentukan arah suatu kebijakan Tax Amnesty. Karena dengan memperhatikan setiap aspek,
tingkat keberhasilan suatu program termasuk Tax Amnesty akan cenderung lebih besar.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa SKD merupakan gerbang
masuk pengenaan pajak WP OP yang menentukan pengenaan pajak WP OP berada di dalam
negeri atau luar negeri.
Beberapa buku Pajak Internasional menyebutkan bahwa ruang lingkup pajak internasional
ditinjau dari Subjek dan Objek dikategorikan menjadi 2 (dua) perspektif yaitu :
1. Taxing Inbound Income, pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)
memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2. Taxing Outbound Income. Pemajakan atas SPLN (SPLN) yang memperoleh
penghasilan dari dalam negeri.
Apakah negara sumber (Source Country) memiliki hak yang lebih tinggi untuk memajaki
suatu penghasilan?
Tidak, dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD yang memiliki hak
pemajakan adalah negara domisili (residence country) karena hak pemajakan atas suatu
penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yaitu kepada negara di mana subjek pajak
tersebut terdafatar sebagai subjek pajak dalam negeri yaitu “shall be taxable only in…”.
Maka, isu pajak berganda atas suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi
ini seharusnya tidak akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara
domisili dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.
Terdapat terminologi yang menyatakan hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara
negara domisli dan negara sumber yaitu “may be taxed in…”. Dalam terminologi ini negara
sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak untuk
mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Negara domisili adalah
negara asal orang atau badan yang melakukan usaha di negara lain sedangkan negara sumber
adalah tempat timbulnya suatu jenis penghasilan. Apabila penghasilan tersebut dikenai pajak
di negara sumber dan negara domisili, pengenaan pajak berganda akan terjadi, jadi prinsip
domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua atau lebih negara dapat
menimbulkan pajak berganda internasional baik yuridis maupun ekonomis.
Bagaimana cara mengatasi pajak berganda?
Karena masing-masing negara mengenakan pajak maka timbulah isu pemajakan berganda,
untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan untuk
memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit method atau income
exemption method (tergantung kepada ketentuan domestik negara domisili).
Pasal 2 UU PPh dijelaskan bahwa Subjek Pajak dibedakan menjadi Subjek Pajak Dalam
Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Status Wajib Pajak Dalam Negeri
disamakan dengan istilah penduduk/residen yang dipakai negara lain dengan indikator tempat
tinggal (domisili), keberadaan (presensi), niat untuk tinggal di Indonesia. Sementara Subjek
Pajak Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia; dan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Maka berdasarkan pasal ini Indonesia berhak memajaki negara domisili
(Residence Country) dan negara sumber (Source Country).
Seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh terkait perbedaan pemajakan
SPDN dan SPLN semata-mata adalah alasan keadilan dimana untuk SPLN menggunakan tax
treaty sebagai dasar pemajakan yang sudah disepakati dalam rangka penghindaran pajak
berganda.
Penentuan “niat” bersifat subjektif kualitatif sehingga tidak ada pengukuran yang pasti untuk
kategori tersebut. Namun petunjuk dari “niat” bisa saja dilihat dari pernikahan dengan WNI,
status kekayaan, pembukaan rekening bank, membeli rumah/menyewa dan lain-lain, atau
dengan melihat dokumen visa bekerja (Kitas/Kitab). (referensi PER 43/PJ/2011 tanggal 28
Desember 2011).
Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan tempat usaha yang bersifat permanen yang
dipergunakan oleh SPLN baik Orang Pribadi atau Badan untuk menjalankan kegiatan atau
usaha di Indonesia berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaa dan lain-lain
sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (5) UU PPh). Sementara SPLN adalah yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Apakah peraturan perpajakan Indonesia mengatur tentang kedudukan manajemen pada saat
penentuan Subjek Pajak Badan Luar Negeri?
Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa tempat
kedudukan manajemen (Pasal 2 ayat 5 huruf a), tempat kedudukan manajemen sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 ayat (3) PER-43/PJ/2011 adalah melakukan pengendalian atas seluruh
perusahaan atau tempat membuat keputusan yang bersifat strategis.
Sebutkan beberapa pasal yang mengatur Anti-Avoidance? Serta apa yang dimaksud Thin
Capitalization?
Pasal 18 ayat (1) UU PPh, Pasal 9 (tentang associated enterprise), Pasal 26 ( tentang
exchange of information) dalam tax treaty sebagaimana diimplementasikan dalam PER-
24/PJ2010 tentang perubahan PER nomor 61/PJ/2009 tentang tata cara penerpan persetujuan
penghindaran pajak berganda. Thin capitalization adalah struktur permodalan suatu
perusahaan dengan proporsi utang jauh lebih besaer dari modal, hal ini timbul akibat aturan
perpajakan yang memperbolehkan biaya bunga sebagai unsur pengurang dalam menghitung
penghasilan kena pajak (kebalikan dari dividen).
Dengan “time test” untuk memastikan status dan pemajakannya, Untuk SPDN dijelaskan
dalam pasal 2 ayat (3) UU PPh menyatakan orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Dan
sebaliknya untuk SPLN dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU PPh.
Pasal 26 ayat (1a) mendefinisikan sebagai berikut : Negara domisili dari Wajib Pajak luar
negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).
Dalam hal untuk memperkecil pajak dengan cara menggeser harga atau laba perusahaan
dalam satu grup, hal ini umumnya dilakukan karena :
Salah satu pihak afiliasi memiliki fasilitas perpajakan baik tarif pajak lebih rendah
maupun fasilitas perpajakan PPh Lainnya;
Transaksi afiliasi tersebut berupa transaksi yang dikenakan PPh bersifat final;
dan/atau
Salah satu pihak afiliasi memiliki kompensasi kerugian
Dalam pasal 18 ayat 3b dijelaskan “Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian
(special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan
harga.” Dalam memori penjelasan dikatakan “Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah
penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada
suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan
khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).”
Melalui pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi WPLN yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib
membayar WPLN lainnya. Jenis-jenis Penghasilan yang wajib pemotongan digolongkan
dalam :
1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan
sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
6. keuntungan karena pembebasan utang.
Apakah Pasal 24 UU PPh hanya membolehkan KPLN yang berasal dari negara mitra P3B?
Tidak, Pasal 24 ayat (1) UU PPh menyebutkan “Pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam
tahun pajak yang sama.” Demikian pula pada Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri yang menyatakan “WPDN
terutang pajak atas PKP yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri”.
Karena P3B hanya mengatur prinsip-prinsip pemajakan yang hanya dapat diterapkan di
kedua negara maka pelaksanaan prinsip-prinsip pemajakan tergantung kepada ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan pajak masing-masing negara.
Tidak, karena tujuannya adalah guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat
perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan
dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. P3B
hanya mengatur pembagian hak pemajakan sehingga nantinya atas beberapa jenis
penghasilan, hak pemajakan suatu negara akan dilimitasi oleh P3B.
Karena form DGT/SKD diterbitkan untuk menerangkan bahwa yang bersangkutan adalah
Subjek Pajak yang memperoleh manfaat P3B yaitu tarif yang sesuai dengan P3B. Sehingga
apabila tidak dapat menyediakan maka akan dikenakan sesuai dengan tarif negara
bersangkutan. Dasar hukum Pasal 5 ayat (1) dan (2) PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan
PER-61/PJ/2009.
Apakah perbedaan istilah “shall be taxable only in…. & May be taxed in …”?
Perbedaan terletak dalam hal hak pemajakan, “Shall be taxable only in…) menyatakan bahwa
hak pemajakan hanya kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar (Residence
Country). Sementara “May be taxed in...” menyatakan bahwa hak pemajakan dibagi antara
negara domisili dan negara sumber.
Apa yang dimaksud dengan Commentary, Reservation, Observation, dan Position pada
OECD Model?
Commentary, Reservation, Observation dan position pada OECD Model adalah istilah dalam
menyatakan pendapat atau tanggapan terkait rumusan Perjanjian Penghindaran Paja Berganda
(P3B).
Ditinjau dari segi perpajakan tentu aturannya jelas bahwa setiap penghasilan adalah
merupakan objek pajak dan pasti dikenakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi wajib
pajak dalam suatu negara. Namun adakalanya pemilik dana tersebut menginvestasikannya di
Luar Negeri atau bahkan Orang Luar Negeri menginvestasikannya di Dalam Negeri
(Indonesia). Pemilik dana tersebut sudah tentu adalah pemanfaat sesungguhnya atas
penghasilan atau dikenal dengan istilah Beneficial Owner (BO), dan atas penghasilan
tersebut dikenakan tarif pajak sesuai dengan tax treaty masing-masing negara.
Jadi secara umum beneficial owner adalah orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak
dalam negeri suatu negara yang merupakan pemilik sebenarnya dari penghasilan berupa
bunga, dividend dan royalty yang bersumber dari Indonesia sehingga orang pribadi atau
badan tersebut berhak untuk menikmati ketentuan P3B antara Indonesia dengan Negara
tempat orang pribadi atau badan tersebut berdomisili.
Motivasi penulisan ini adalah mengingat kembali serta mengarsipkan beberapa pengertian
sehubungan dengan istilah yang berhubungan dalam Perpajakan Internasional.
Beneficial Owner
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Istilah “Beneficial Owner” dimuat dalam
Pasal 26 ayat (1a) Undang-undang tersebut. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut
: Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri
yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Istilah benefical owner pertama kali diperkenalkan dalam SE-04/PJ.34/2005 tentang petunjuk
penetapan kriteria “beneficial owner” sebagaimana tercantum dalam persetujuan
penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan negara lainnya. Penegasan ini
dikeluarkan akibat beberapa poin yaitu :
Masih adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah Wajib Pajak luar negeri yang
menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang paripurna dengan Indonesia,
maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif.
Sementara menurut P3B yang bersangkutan, Wajib Pajak dalam negeri dari negara
mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila Wajib Pajak tersebut
adalah “beneficial owner” dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan Royalti, yang
berkenaan.
Pada poin pertama yang dimaksud dengan “beneficial owner” adalah pemilik yang
sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak
Perorangan maupun Wajib Pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara
langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
Pada poin kedua dipertegas bahwa hal-hal yang bukan merupakan pengertian dari beneficial
owner walaupun secara formal memiliki Surat Keterangan Domisili, yaitu :
1. Special Purpose Vehicles (SPV), sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang
terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas
khusus atau bersifat sementara. Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu,
dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. Contoh
Bank, Lembaga Keuangan, Investor, pemerintah.
2. Conduit Company, suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B
sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat
ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang
tidak akan memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima
langsung.
3. Paper Box Company atau pass-through company, suatu perusahaan yang tidak
memiliki asset namun bersifat legal atau resmi yang memiliki sertifikasi (Non-
operating but properly constituted and formed firm that exists only as a registration
or incorporation certificate and has nominal or zero assets).
4. serta usaha yang sejenis lainnya
1. Bertindak tidak sebagai agen, orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai
perantara dan melakukan tindakan untuk dan atas nama pihak lain.
2. Bertindak tidak sebagai Nominee, rang atau badan yang secara hokum memiliki
(legal owner) suatu harta dan/atau penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan
amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta atau pihak yang sebenarnya
menikmati manfaat atas penghasilan.
3. Bukan Perusahaan Conduit, suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu
P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Negara lain, sementara manfaat
ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di Negara lain yang
tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut
diterima langsung.
Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan “beneficial owner” tersebut, yang
menerima pembayaran Deviden, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia,
maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan
melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia
dengan tarif 20% (Dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.
Terminologi beneficial owner dikenal pertama kali dalam English Trust Law Dalam hukum
Inggris tersebut, beneficial owner didefinisikan sebagai pihak yang memenuhi kriteria
sebagai pemilik tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum
(legal title).
Dalam sejarah OECD Model, istilah beneficial owner diperkenalkan pertama kali pada tahun
1977. Istilah beneficial owner muncul pada pasal 10 (dividend), 11 (Interest), dan 12
(Royalty), dalam upaya memberikan batasan yang jelas tentang pihak yang dianggap sebagai
penerima fasilitas tarif pajak yang lebih rendah di negara sumber atas penghasilan deviden,
bunga dan royalty. Dalam paragraph 12 OECD diberikan penegasan bahwa terminology
beneficial owner tidak meliputi agen maupun nominee. Secara spesifik disebutkan bahwa
fasilitas pengurangan tarif di negara sumber tidak dapat diberikan apabila dalam transaksi
pembayaran penghasilan dividend, bunga, royalty tersebut terdapat pihak perantara seperti
agen dan nominee, kecuali beneficial owner tersebut merupakan penduduk (resident) dari
negara lain dalam perjanjian.
Dalam penjelasan Artikel 11, OECD Model menyebutkan bahwa conduit companies tidak
dapat dianggap sebagai beneficial owner. Selanjutnya Commentary dari OECD menjelaskan
istilah beneficial owner tidak boleh diartikan secara sempit, tetapi harus diartikan dalam
konteks tujuan dari tax treaty yaitu mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
International Tax Glossary, (IBFD Publication BV) memberi definisi beneficial owner adalah
orang yang memang berhak menikmati suatu aktiva. Jadi apabila seseorang atau badan secara
hukum pemilik suatu aktiva, belum tentu yang bersangkutan adalah beneficial owner dari
aktiva tersebut.
Passive Income
Setelah memahami istilah beneficial owner, ada baiknya kita juga memahami beberapa
pengertian atas penggolongan penghasilan dalam rangka Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yaitu :
Active Income, merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan
pekerjaan. Jenis-jenis yang di atur yaitu Penghasilan dari kegiatan bisnis, transportasi
baik laut, sungai dan udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan
oleh individu (Independent Personal Service), gaji pegawai (Dependent Personal
Service), penghasilan direktur, artis, dan olahragawan, gaji PNS, dan penghasilan
yang diterima pelajar.
Pasive Income, merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk
tangibel maupun intangibel properties. Jenis-jenis yang di atur yaitu : penghasilan dari
harta tidak gerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalty, capital gain serta pensiun.
Other Income, merupakan penghasilan yang tidak dapat
digolongkan berdasarkan penggolongan tersebut di atas.
Namun yang akan coba dijelaskan secara komprehensive kali ini adalah yang bersumber dari
jenis passive income.
Banyak yang mengatakan bahwa istilah pasive income populer berkat seorang penulis
keturunan Jepang-Amerika yang bernama Robert T. Kiyosaki, Menurutnya, passive income
adalah penghasilan yang didapat dari aset yang dimilikinya tanpa harus bekerja secara aktif
didalamnya. Dengan kata lain, penghasilan yang didapat tanpa melalui proses kerja.
Beberapa jenis passive income diantaranya adalah Dividen, Bunga, Royalty, Sewa. Dalam
tulisan kali ini saya tuliskan kembali unsur perpajakan atas passive income tersebut yang
terkandung dalam UU Pajak Penghasilan yaitu :
1. Dividen, merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4. pembagian laba dalam bentuk saham;
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
yang bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter)
yang dilakukan secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.
Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan
diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
3. Royalty, adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan
atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
4. Sewa, termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya
sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas “beneficial owner” adalah pemilik yang sebenarnya dari
penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti (passive income) baik Wajib Pajak
Perorangan maupun Wajib Pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara
langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian, apabila penerimaan
penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner maka sesuai dengan
ketentuan P3B, negara tempat penghasilan bersumber dapat mengenakan pajak sesuai
ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.
Artikel Terkait
Ditinjau dari segi perpajakan tentu aturannya jelas bahwa setiap penghasilan adalah
merupakan objek pajak dan pasti dikenakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi wajib
pajak dalam suatu negara. Namun adakalanya pemilik dana tersebut menginvestasikannya di
Luar Negeri atau bahkan Orang Luar Negeri menginvestasikannya di Dalam Negeri
(Indonesia). Pemilik dana tersebut sudah tentu adalah pemanfaat sesungguhnya atas
penghasilan atau dikenal dengan istilah Beneficial Owner (BO), dan atas penghasilan
tersebut dikenakan tarif pajak sesuai dengan tax treaty masing-masing negara.
Jadi secara umum beneficial owner adalah orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak
dalam negeri suatu negara yang merupakan pemilik sebenarnya dari penghasilan berupa
bunga, dividend dan royalty yang bersumber dari Indonesia sehingga orang pribadi atau
badan tersebut berhak untuk menikmati ketentuan P3B antara Indonesia dengan Negara
tempat orang pribadi atau badan tersebut berdomisili.
Motivasi penulisan ini adalah mengingat kembali serta mengarsipkan beberapa pengertian
sehubungan dengan istilah yang berhubungan dalam Perpajakan Internasional.
Beneficial Owner
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Istilah “Beneficial Owner” dimuat dalam
Pasal 26 ayat (1a) Undang-undang tersebut. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut
: Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri
yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Istilah benefical owner pertama kali diperkenalkan dalam SE-04/PJ.34/2005 tentang petunjuk
penetapan kriteria “beneficial owner” sebagaimana tercantum dalam persetujuan
penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan negara lainnya. Penegasan ini
dikeluarkan akibat beberapa poin yaitu :
Masih adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah Wajib Pajak luar negeri yang
menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang paripurna dengan Indonesia,
maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif.
Sementara menurut P3B yang bersangkutan, Wajib Pajak dalam negeri dari negara
mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila Wajib Pajak tersebut
adalah “beneficial owner” dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan Royalti, yang
berkenaan.
Pada poin pertama yang dimaksud dengan “beneficial owner” adalah pemilik yang
sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak
Perorangan maupun Wajib Pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara
langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
Pada poin kedua dipertegas bahwa hal-hal yang bukan merupakan pengertian dari beneficial
owner walaupun secara formal memiliki Surat Keterangan Domisili, yaitu :
1. Special Purpose Vehicles (SPV), sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang
terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas
khusus atau bersifat sementara. Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu,
dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. Contoh
Bank, Lembaga Keuangan, Investor, pemerintah.
2. Conduit Company, suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu P3B
sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfaat
ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang
tidak akan memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima
langsung.
3. Paper Box Company atau pass-through company, suatu perusahaan yang tidak
memiliki asset namun bersifat legal atau resmi yang memiliki sertifikasi (Non-
operating but properly constituted and formed firm that exists only as a registration
or incorporation certificate and has nominal or zero assets).
4. serta usaha yang sejenis lainnya
Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan “beneficial owner” tersebut, yang
menerima pembayaran Deviden, Bunga dan atau Royalti yang bersumber dari Indonesia,
maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan
melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia
dengan tarif 20% (Dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan.
Terminologi beneficial owner dikenal pertama kali dalam English Trust Law Dalam hukum
Inggris tersebut, beneficial owner didefinisikan sebagai pihak yang memenuhi kriteria
sebagai pemilik tanpa adanya keharusan pengakuan kepemilikan dari sudut pandang hukum
(legal title).
Dalam sejarah OECD Model, istilah beneficial owner diperkenalkan pertama kali pada tahun
1977. Istilah beneficial owner muncul pada pasal 10 (dividend), 11 (Interest), dan 12
(Royalty), dalam upaya memberikan batasan yang jelas tentang pihak yang dianggap sebagai
penerima fasilitas tarif pajak yang lebih rendah di negara sumber atas penghasilan deviden,
bunga dan royalty. Dalam paragraph 12 OECD diberikan penegasan bahwa terminology
beneficial owner tidak meliputi agen maupun nominee. Secara spesifik disebutkan bahwa
fasilitas pengurangan tarif di negara sumber tidak dapat diberikan apabila dalam transaksi
pembayaran penghasilan dividend, bunga, royalty tersebut terdapat pihak perantara seperti
agen dan nominee, kecuali beneficial owner tersebut merupakan penduduk (resident) dari
negara lain dalam perjanjian.
Dalam penjelasan Artikel 11, OECD Model menyebutkan bahwa conduit companies tidak
dapat dianggap sebagai beneficial owner. Selanjutnya Commentary dari OECD menjelaskan
istilah beneficial owner tidak boleh diartikan secara sempit, tetapi harus diartikan dalam
konteks tujuan dari tax treaty yaitu mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
International Tax Glossary, (IBFD Publication BV) memberi definisi beneficial owner adalah
orang yang memang berhak menikmati suatu aktiva. Jadi apabila seseorang atau badan secara
hukum pemilik suatu aktiva, belum tentu yang bersangkutan adalah beneficial owner dari
aktiva tersebut.
Passive Income
Setelah memahami istilah beneficial owner, ada baiknya kita juga memahami beberapa
pengertian atas penggolongan penghasilan dalam rangka Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yaitu :
Active Income, merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan
pekerjaan. Jenis-jenis yang di atur yaitu Penghasilan dari kegiatan bisnis, transportasi
baik laut, sungai dan udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan
oleh individu (Independent Personal Service), gaji pegawai (Dependent Personal
Service), penghasilan direktur, artis, dan olahragawan, gaji PNS, dan penghasilan
yang diterima pelajar.
Pasive Income, merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk
tangibel maupun intangibel properties. Jenis-jenis yang di atur yaitu : penghasilan dari
harta tidak gerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalty, capital gain serta pensiun.
Other Income, merupakan penghasilan yang tidak dapat
digolongkan berdasarkan penggolongan tersebut di atas.
Namun yang akan coba dijelaskan secara komprehensive kali ini adalah yang bersumber dari
jenis passive income.
Banyak yang mengatakan bahwa istilah pasive income populer berkat seorang penulis
keturunan Jepang-Amerika yang bernama Robert T. Kiyosaki, Menurutnya, passive income
adalah penghasilan yang didapat dari aset yang dimilikinya tanpa harus bekerja secara aktif
didalamnya. Dengan kata lain, penghasilan yang didapat tanpa melalui proses kerja.
Beberapa jenis passive income diantaranya adalah Dividen, Bunga, Royalty, Sewa. Dalam
tulisan kali ini saya tuliskan kembali unsur perpajakan atas passive income tersebut yang
terkandung dalam UU Pajak Penghasilan yaitu :
1. Dividen, merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4. pembagian laba dalam bentuk saham;
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
yang bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter)
yang dilakukan secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.
Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan
diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
3. Royalty, adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan
atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
4. Sewa, termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya
sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas “beneficial owner” adalah pemilik yang sebenarnya dari
penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti (passive income) baik Wajib Pajak
Perorangan maupun Wajib Pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara
langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian, apabila penerimaan
penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner maka sesuai dengan
ketentuan P3B, negara tempat penghasilan bersumber dapat mengenakan pajak sesuai
ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.
Mendengar kata Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) pikiran akan terbayang
tentang perusahaan asing yang beroperasi di dalam negeri. Namun yang sering kita lupa
adalah bahwa perlakuan perpajakannya sama dengan perusahaan badan hukum dalam negeri.
Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disebut BUT dalam tulisan ini) adalah subjek pajak luar
negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak badan
dalam negeri lainnya (baik formal maupun material). Perbedaan mendasar dibandingkan
dengan wajib pajak dalam negeri adalah BUT tidak dapat menikmati tax treaty antara
Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena bukan penduduk Indonesia dan atas
laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh BUT dikenakan branch profit tax.
Efek globalisasi yang diwarnai dengan tumbuhnya kawasan bebas perdagangan, jasa dan
modal maka transaksi internasional di dalam negeri pun bertumbuh dengan pesatnya . Tak
dapat dipungkiri dan dibendung dengan masuknya banyak investasi asing baik dalam bentuk
portfolio investment dan foreign direct investment yang berimplikasi luas bagi suatu negara
termasuk Indonesia.
Dalam melakukan investasi, investor asing dapat melakukannya dalam bentuk joint venture
(investasi dalam bentuk pembiayaan) yang pada umumnya perusahaan berbentuk penanaman
modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga merupakan wajib pajak dalam negeri
(resident taxpayer). Disamping itu perusahaan asing dapat menjalankan usaha di Indonesia
melalui BUT dimana bukan merupakan badan hukum Indonesia yang artinya BUT adalah
bukan wajib pajak dalam negeri.
Suatu Pengertian
Dalam Pasal 5 OECD Model (2003) BUT atau Permanent Establishment (selanjutnya
disebut PE dalam tulisan ini) dalam ayat 1 dikatakan : For the purposes of this Convention,
the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the
business of an enterprise is wholly or partly carried on. Ayat 2 dikatakan : The term
“permanent establishment” includes especially: a) a place of management; b) a branch; c)
an office; d) a factory; e) a workshop, and f) a mine, an oil or gas well, a quarry or any other
place of extraction of natural resources. Ayat 3 dikatakan : A building site or construction or
installation project constitutes a permanent establishment only if it lasts more than twelve
months.
Sejalan dengan pengertian tersebut, berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat 5 UU No 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan dijelaskan bahwa Suatu bentuk usaha tetap mengandung
pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa
tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen
elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha
melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi (nature person) yang tidak bertempat
tinggal atau badan (legal person) yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan
yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang
pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen
atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
Dalam tax treaty model OECD, pengecualian BUT yaitu sebagai berikut :
1. Apabila perusahaan suatu negara dari suatu negara treaty partner menjalankan
kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya
adalah sebagai berikut : 1). Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan
untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik
perusahaan. 2). Pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik
perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih
lanjut oleh perusahaan lain. 3). Pengurusan tempat usaha tetap semata-mata
dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan , mengumpulkan
informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan perikalanan, memberikan
informasi atau untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun
penunjang bagi perusahaan.
2. Apabila perusahaan tersebut menjalankan melalui agen yang bertindak bebas tanpa
adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri semisal makelar, komisioner umum.
3. Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang
menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty
partner lainnya atau menjalankan usaha di negara treaty lainnya.
Cakupan penghasilan BUT di Indonesia sesuai pasal 5 ayat (1) Undang undang Pajak
Penghasilan, meliputi :
1. Atribusi Faktual: penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai (Pasal 5 ayat (1) huruf a).
2. “Force of Attraction”: penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (Pasal 5 ayat (1) huruf b).
3. Atribusi karena hubungan efektif: penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. (Pasal 5
ayat (1) huruf c).
Time Test
BUT merupakan cabang perusahaan, atau tempat kedudukan manajemen, kantor, pabrik,
tempat kerja atau suatu hak penambangan dan kekayaan alam lainnya. Dalam pengertian ini
juga termasuk proyek pembuatan gedung atau konstruksi yang dilakukan dan melewati tes
waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang di negara domisili, di Indonesia diatur dalam
Pasal 2 ayat 5 bahwa untuk dianggap BUT, apabila mereka melakukan kegiatan di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, sedangkan untuk pemberian jasa,
waktu tes yang diberikan untuk menjadi BUT apabila jasa yang diberikan lebih dari 60 hari
dalam jangka waktu 12 bulan.
Sedangkan, untuk penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara Pihak pada
Persetujuan sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya hanya
akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali dalam hal dibawah ini, dimana penghasilan itu
dapat juga dikenai pajak di Negara pada persetujuan lainnya :
1. Jika ia mempunyai suatu tempat tertentu yang tersedia secara teratur dipergunakan
untuk menjalankan pekerjaan di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan itu,
penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara Pihak lainnya itu tetapi hanya
bagian penghasilan yang dianggap berasal dari tempat tertentu itu ; atau
2. Jika ia tinggal di Negara Pihak lainnya itu selama suatu masa atau masa masa yang
tidak melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai atau berakhir pada satu
tahun pajak, dalam hal ini hanya penghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di Negara lain itulah yang akan dikenakan pajak di Negara Pihak
lainnya itu.
Dengan demikian suatu usaha yang dilakukan oleh penduduk asing di Negara Indonesia harus
ditentukan saat kapan mereka menjadi Bentuk Usaha Tetap atau Tempat Usaha Tetap.
Kewajiban Pajak Subjektif : Dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha
atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap. Berakhir pada saat orang pribadi atau badan
tidak lagi menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap (Pasal 2A ayat
(3) UU PPh).
BUT merupakan perusahaan yang memiliki pusat di luar negeri, namun untuk BUT nya
sendiri diperlakukan sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri. Sebagaimana perusahaan pada
umumnya di dalam negeri, setiap penghasilan yang diterima BUT tidak selamanya Obyek
Pajak. Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai;
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap di Indonesia;
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-undang PPh yang diterima
atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan yang dimaksud.
Atas penghasilan kantor pusat yang digabung ke BUT Indonesia, jika telah dilakukan
pemotongan oleh pihak lain, maka PPh Pasal 26 yang telah dipotong tersebut dapat
dikreditkan atau menjadi tidak final. (berdasarkan atas pasal 26 ayat 5 huruf a Undang-
undang PPh). Sedangkan biaya yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto
atas obyek BUT adalah sebagai berikut :
Dengan demikian dibutuhkan laporan keuangan konsolidasi yang meliputi seluruh usaha
atau kegiatan diseluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan dan harus diaudit oleh
Akuntan Publik yang mengungkapkan rincian peredaran usaha perusahaan serta jenis dan
besarnya biaya administrasi yang dibebankan pada masing-masing BUT di negara tempat
BUT tersebut berada.
Pembayaran kantor pusat yang tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto
adalah :
1. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-
hak lainnya;
2. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3. Bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
4. Berdasarkan atas SE-08/PJ.42/2000, tanggal 18 April 2000 menegaskan bahwa
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi
nilai rupiah pada perkiraan hutang kepada kantor pusat suatu Bentuk Usaha Tetap
tidak diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya atau diakui sebagai penghasilan
bagi BUT yang bersangkutan;
5. Pembayaran yang diterima atas Imbalan, Bunga dan Royalti yang diterima oleh
Kantor Pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan.
Berdasarkan uraian diatas, katagori penghasilan yang dimasukkan ke dalam BUT adalah
sebagai berikut :
Hal ini dilakukan, agar pembayaran dividen, royalti, bunga dan imbalan jasa lainnya, tidak
dimanfaatkan sebagai dividen terselubung, sehingga tetap dikenakan PPh Pasal 26, namun
bukan merupakan obyek BUT di Indonesia. Untuk usaha perbankan karena terdapat
hubungan efektif antara obyek bunga dengan usaha perbankan, maka atas PPh Pasal 26 yang
telah dipotong dan disetor oleh BUT Indonesia dapat dikreditkan pada PPh terutang akhir
tahun dalam BUT-nya, sedangkan penghasilan bunga tersebut menjadi obyek pajak di BUT
Indonesia.
Penggabungan atau konsolidasi dari usaha BUT dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut (accrual basis). (Kep-DJP No.62/PJ./1995). Penghitungan laba bersih
setelah pajak diperlakukan berbeda dengan usaha dalam negeri, karena masih terkait dengan
Subyek Pajak Luar Negeri. Penghasilan setelah pajak apabila di transfer ke luar negeri
diterapkan tarif 20% x Penghasilan bruto, atau mengacu ketentuan P3B.
Atas Penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh Badan usaha BUT pada akhir tahun pajak
yang ditanamkan kembali di Indonesia, tidak dikenakan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat 4 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK. 03/2011.
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak PT. ABC. INC (BUT) di Indonesia Tahun 2009 adalah sebesar Rp
17.500.000.000,-
Perhitungan PPh Terutang:
28% x Rp 17.500.000.000 = Rp 4.900.000.000
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak adalah
Rp 12.600.000.000,- (Rp 17.500.000.000-Rp 4.900.000.000)
PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp 12.600.000.000 = Rp 2.520.000.000,-
Bubble Gum Corp adalah perusahaan yang didirikan di Amerika karena perkembangan di
Indonesia cukup baik maka yang sebelumnya hanya Representative Office (2009 s.d 2010)
dimana dalam melakukan penjualan hanya melalui distributor resmi maka ingin diubah
menjadi cabang (Branch). Pada Bulan Juli 2010 perusahaan mengirimkan 2 (dua) Karyawan
untuk mempersiapkan kantor cabang baru. Kedua karyawan tinggal di Indonesia sampai
dengan Desember 2010. Pada awal 2011 Bubble Gum Corp resmi dibuka.
Pada awal 2011 Bubble Gum Corp resmi membuka cabang di Indonesia dengan
membukukan omset sbb: 1). Penjualan Rp. 170.000.000.000, 2). HPP Rp.
140.000.000.000, 3). Biaya Umum Rp. 110.000.000.000,-.
1. Di dalam Biaya Umum dan Administrasi terdapat gaji dua orang karyawan
kantor pusat yang mengawasi pendirian perusahaan dan operasi perusahaan pada
tahun pertama. Gaji kedua karyawan tersebut adalah sebesar Rp 100 Juta.
2. Terdapat pembayaran bunga kepada kantor pusat atas sejumlah dana
yang dipinjamkan kepada Bubble Gum Corp. Besarnya pembayaran bunga adalah
sebesar Rp 500.000.000.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam contoh kasus tersebut di atas adalah sebagai berikut :
Melihat Tax Treaty dengan negara Amerika Serikat. Berdasarkan Tax Treaty antara
Indonesia dengan Amerika Serikat article 5 ayat 3(e), yang berbunyi:
“Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat (1) dan (2) , suatu bentuk usaha tetap
tidak dianggap ada sehubungan dengan hal-hal berikut: pengurusan suatu tempat
usaha tetap semata- mata untuk tujuan periklanan, penyediaan informasi,
riset ilmiah, atau untuk kegiatan-kegiatan serupa yang bersifat sebagai
kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang, bagi keperluan penduduk.
Antara tahun 2009 s.d 2010, Bubble Gum Corp bertindak sebagai representative yang
tidak melakukan kegiatan penjualan dan hanya melakukan kegiatan untuk tujuan
periklanan seperti menyediakan brosur, display barang-barang hasil produksi
perusahaan. Maka saat itu , Bubble Gum Corp belum memiliki BUT di Indonesia.
Walaupun 2 (dua) orang karyawan yang tinggal di Indonesia sejak Juli s.d Desember
2010 tetap belum bisa dikatakan sebagai BUT karena tujuan kedua karyawan tersebut
adalah dalam rangka persiapan pembukaan cabang.
Pada Tahun 2011, Bubble Gum Corp secara resmi membuka cabang di
Indonesia. Berdasarkan Tax Treaty Indonesia Amerika article 5 ayat 2 (b), yang
berbunyi : Istilah BUT meliputi dan tidak terbatas pada : Cabang. Maka Bubble Gum
Corp sejak 2011 adalah BUT di Indonesia.
Berdasarkan tax treaty Indonesia dengan Amerika pasal 8 ayat 3 mengatakan
; Dalam menentukan besarnya laba BUT, dapat dikurangkan biaya-biaya yang
berkaitan dengan laba termasuk biaya –biaya pimpinan dan administrasi umum….
Tidak diperkenankan untuk dikurangkan dengan biaya-biaya , jika ada, yang
dibayarkan (selain pengganti biaya-biaya yang benar-benar terjadi) oleh BUT kepada
kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya, dalam bentuk royalty,
ongkos atau pembayaran serupa lainnya sehubungan dengan penggunaan paten atau
hak-hak lain atau dalam bentuk komisi untuk jasa-jasa tertentu atau untuk
manajemen atau dalam bentuk bunga atas uang yang dipinjamkan kepada BUT
tersebut.
Berdasarkan tax treaty tersebut maka akan terlihat sebagai berikut : 1). Peredaran
usaha Rp. 170.000.000.000, 2). HPP (Rp. 140.000.000.000), 3). Biaya Umum (Rp.
109.500.000.000). Karena BGC mengalami kerugian maka tidak ada pemotongan
PPh pada tahun 2011. Kerugian dapat dikompensasikan selama 5 tahun yang
kompensasi mulai berlaku tahun 2012.
Negara lain yang merupakan negara sumber penghasilan akan mengenakan tarif sessuai P3B
jika orang atau badan tersebut dapat menunjukkan SKD dari negara mitra P3B nya.
Penerbit SKD
SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili
berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak
orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap. Formulir SKD yang diterbitkan adalah
form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PER-35/PJ/2010 atau menggunakan
formulir khusus yang digunakan oleh negara mitra P3B.
Form DGT adalah salah satu pertanda yang menyatakan bahwa adanya kesepakatan dalam
pajak internasional diantaranya dalam rangka Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B), masa berlaku form tersebut adalah 1 (satu) tahun. Adapun bentuk dan fungsi form
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Form-DGT 1
Form-DGT 1 dipergunakan untuk setiap Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemotong pajak
(umum), dimana lembar kesatu yang berisi pernyataan WPLN dan otorisasi pejabat yang
berwenang di luar negeri, dan lembar kedua yang berisi pernyataan WPLN dan
ditandatangani oleh WPLN yang dapat dipakai untuk melaporkan penghasilan dalam periode
1 bulan (Masa Pajak) dengan dilampiri rincian penghasilan.
2. Form-DGT 2
Form-DGT 2 dipergunakan untuk setiap Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemotong pajak
(khusus) yaitu bank, WPLN yang menerima penghasilan melalui Kustodian dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di
Indonesia, selain bunga dan dividen, WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B Indonesia dan merupakan
subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
3. Form-DGT 3
Form-DGT 3 dipergunakan untuk setiap Wajib Pajak (WPLN) yang meminta pengembalian
kelebihan pajak akibat Kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yang mengakibatkan
pajak yang dipotong atau dipungut oleh Pemotong / Pemungut Pajak lebih besar daripada
pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk
P3B, Pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang bukan objek pajak, atau
Pemotongan atau pemungutan pajak yang lebih besar daripada yang seharusnya berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan Kesepakatan Dalam Rangka MAP ( Mutual
Agreement Procedure).
4. Form-DGT 4
Form DGT 4 digunakan untuk setiap Wajib Pajak (WP LN) yang mengkuasakan permintaan
pengembalian perjakan (Surat Kuasa) dengan memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam
PER-40/PJ/2010 yang salah satunya adalah mencantumkan pernyataan pemberian kuasa
kepada Pemotong/Pemungut Pajak untuk menyampaikan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang beserta kelengkapannya ke
KPP dan bertindak mewakili WPLN untuk menerima pengembalian kelebihan pembayaran
Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.
Form DGT 5 digunakan untuk setiap Wajib Pajak (WPLN) sebagai Surat Keterangan
Domisili dalam rangka permintaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, yaitu sebagai pendukung permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran tersebut .
6. Form-DGT 6
Form DGT 6 digunakan untuk setiap Wajib Pajak (WPDN) berstatus subjek pajak dalam
negeri Indonesia dalam rangka pengajuan permohonan Surat Keterangan Domisili
dimana diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili.
7. Form-DGT 7
Form DGT 6 digunakan untuk setiap Wajib Pajak (WPDN) berstatus subjek pajak dalam
negeri Indonesia sebagai SKD yang diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak
melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Permohonan SKD
Wajib Pajak yang dapat memperoleh SKD adalah Wajib Pajak yang memenuhi tiga
kualifikasi berikut :
1. berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) Undang-Undang PPh;
2. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
3. bukan berstatus subjek pajak luar negeri, termasuk bentuk usaha tetap, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang PPh.
Permohonan Ditolak
Permohonan Wajib Pajak ditolak jika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diuraikan di
atas. Permohonan juga dapat ditolak jika Wajib Pajak belum menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
meskipun batas waktu penyampaian telah terlewati dan Wajib Pajak tidak menyampaikan
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sesuai ketentuan perundang-undangan.
Penolakan atas permohonan Wajib Pajak harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib
Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan Wajib Pajak diterima.
Masa berlaku SKD yang diterbitkan oleh KPP Domisili adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal
diterbitkan kecuali bagi Wajib Pajak bank sepanjang Wajib Pajak bank tersebut mempunyai
alamat yang sama dengan SKD yang telah diterbitkan.
Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri
dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing
negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut. Adalah merupakan suatu tujuan ekonomi dalam negara untuk memajukan
perdagangan di tiap dan antar negara serta mendorong laju investasi. Dan setiap pemerintah
suatu negara berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan investasi
dimana salah satunya adalah dengan melakukan penghindaran pajak berganda. Sehingga
yang melatar belakangi suatu pajak internasional dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Indonesia adalah bagian dari dunia Internasional; dalam era globalisasi Indonesia
perlu menjalin hubungan dengan negara lain, mengadakan transaksi-transaksi lintas
batas yang saling menguntungkan dan mengizinkan entitas asing untuk melakukan
kegiatan ekonomi dan memperoleh penghasilan di Indonesia.
2. Penghasilan entitas asing di dalam negeri bisa menjadi sumber pendapatan pajak
bagi Indonesia; Menurut benefit theory of taxation, pemajakan ini bisa dilakukan
karena terdapat hubungan (economic attachment) antara Indonesia sebagai negara
sumber (Source State) dengan aktivitas yang memberikan penghasilan tersebut.
3. Penghasilan entitas asing di Indonesia bisa menjadi sumber pendapatan perpajakan
bagi negara domisili entitas asing tersebut; negara yang menjadi domisili
entitas asing (residence state) juga berhak atas pajak penghasilan yang bersumber dari
luar negaranya karena terdapat keterkaitan antara negara negara dengan subjek pajak
dalam negerinya (personal attachment).
4. Maka diperlukan adanya perjanjian perpajakan internasional
yang mengatur pemajakan penghasilan entitas asing didalam negeri dan penghasilan
entitas dalam negeri dari luar negeri; Yang bertujuan adalah untuk
menghindari terjadinya pemajakan berganda yang memberatkan wajib pajak masing-
masing negara.
Sehingga berbicara perpajakan internasional adalah berbicara suatu permasalahan yang rumit
dan complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena
masing-masing negara sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional
yang baik yang dipilih oleh PBB maupun OECD (Organisation for Economic Co-operation
and Development). Hal ini disebabkan karena dalam menyusun Perjanjian Penghindaraan
Pajak Berganda (Tax Treaty), maupun kebijakan Perpajakan Internasional dalam UU
Domestik, ada 2 (dua) ‘kiblat’ yaitu :
Untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional khususnya ditinjau dari
Subjek dan Objek Pajak, maka dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) pandangan yaitu :
1. Taxing Inbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
2. Taxing Outbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri
Kita mengetahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap setiap
penghasilan setiap individu dan terdapat “connecting factors” antara Negara dengan suatu
transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Dalam Undang- Undang pajak
menerapkan dua prinsip berdasarkan “connecting factors” tersebut yaitu :
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya dikemukakan oleh
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan
perpajakan internasional, yaitu :
Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya
prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana
penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen
(negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi
wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang
bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu
penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber
Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh
fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri
lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentrokan klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-
sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang
menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia
lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr.
A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan
membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
1. Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke
perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih
rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah
dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar,
thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba).
Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak
perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang
tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar,
sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif
pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down)
barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia,
transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak
mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt
Equity Ratio).
2. Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak
berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan
pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak.
Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat)
dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax
treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara
yang menandatangani tax treaty.
3. Tax Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara
agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat
penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven
yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain,
Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven
sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak)
di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven
beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara
dengan tax treaty
(Dikutip dan disarikan dari berbagai sumber diantaranya, Pajak Internasional oleh Prof
Gunadi, catatan Danny Darusalam, dll… disalin kembali sebagai pembelajaran dan arsip ogut
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dikenal dengan beberapa istilah yaitu
Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty), Tax Convention, Double Tax Agreement atau Double
Tax Treaty.
1. Memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain
dengan cara :
1. Menghindarkan pengenaan pajak berganda
2. Memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas penghasilan
tertentu, Pembagian Hak Pemajakan.
2. Alat untuk lebih dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya, tentang: anti tax
avoidance (Pengelakan Pajak) , EoI (Exchange Of Information), Mutual Agreement
Procedure (MAP).
Seperti kita ketahui bahwa pajak berganda timbul karena dua negara mengenakan pajak atas
penghasilan yang sama. Maka ketentuan-ketentuan dalam P3B yang dimaksudkan untuk
mencegah pengenaan pajak berganda ini misalnya :
Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence di mana seseorang atau
badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua negara
yang berbeda. Aturan ini dikenal dengan istilah Tie Breaker Rule yang dicantumkan
dalam Pasal 4 ayat (2) P3B.
Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21
P3B untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pembagian hak pemajakan ini ada yang
bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu negara dan ada juga yang berupa
pembatasan kepada suatu negara untuk mengenakan pajak.
Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di
suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib Pajak
yang melakukan transfer pricing.
Adanya ketentuan tentang penerapan metode penghindaran pajak berganda yang
diatur dalam Pasal 23 P3B.
Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu
Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka
Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya
melalui MAP ini.
Maka dengan motivasi tersebut di atas pada UU PPh nomor 17 tahun 2000 tentang
perubahan ketiga tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 32 dikatakan bahwa “Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
Hal ini menegaskan bahwa dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis)
yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian
hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak.
Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya
serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Adapun tujuan P3B terkait
dengan Pasal 32A tersebut adalah :
P3B (Tax Treaty) merupakan kesepakatan bilateral dua negara tentang bagaimana mengatur
pengenaan pajak yang memiliki dimensi internasional dari dua negara yang melakukan
kesepakatan itu agar tidak terjadi pengenaan pajak secara berganda. Pengaturan ini menjadi
penting karena beban pajak yang ditanggung oleh orang atau badan yang memiliki kaitan di
dua negara tersebut akan mempengaruhi keputusan investasi dan permodalan di antara kedua
negara tersebut. Lalu bagaimana kedudukan UU domestik suatu negara terkait P3B ini,
khususnya di Indonesia?
Sesuai dengan penjelasan UU PPh Pasal 32 A disebutkan bahwa kedudukan P3B adalah lex
spesialis dari UU PPh, artinya bila terjadi perbedaan pengaturan antara UU PPh dan Tax
Treaty, maka ketentuan dalam tax treaty yang diberlakukan.
Sampai dengan pertengahan tahun 2012 sudah ada sekitar 60 P3B Indonesia dengan negara
lain yang sudah berlaku efektif. Jumlah ini akan terus bertambah karena ada beberapa P3B
lagi yang belum berlaku efektif tetapi masih dalam proses perundingan, penandatanganan,
ratifikasi atau proses pemberlakuan. P3B lebih banyak meliputi perjanjian yang menyangkut
pembagian kewenangan perpajakan atas pajak yang menyangkut pembayaran bunga, royalti,
deviden, dan pajak atas laba cabang. Ke 60 negara tersebut seperti tampak pada tabel di
bawah :
Interaksi UU PPh Dan P3B
Apabila dalam suatu transaksi internasional terjadi maka perlu dilakukan proses identifikasi
terlebih dahulu tentang Subjek dan Objek Pajaknya lalu ditentukan perlakuan perpajakan
menurut ketentuan UU Pajak Penghasilan. Apabila diketahui bahwa atas transaksi tersebut
ada Pajak Penghasilan yang terutang maka perlu dicermati apakah antara Indonesia dengan
Subjek Pajak Luar Negeri tersebut memiliki P3B. Hal ini sering terjadi dalam 2 (dua) kondisi
yaitu :
1. Apabila memiliki P3B, dimana Indonesia memiliki P3B dengan negara residen maka
WP Luar Negeri tersebut adalah mitra P3B Indonesia. Diperlukan syarat SKD yang
sah untuk selanjutnya diterapkan tarif pajak sesuai P3B tersebut.
2. Apabila P3B berkonflik dengan UU PPh, maka diperlukan permintaan MAP (Mutual
Agreement Procedure) untuk memberi kepastian hukum dan panduan dalam prosedur
administratif MAP dalam P3B, konlik terjadi semisal :
1. Status Subjek Pajak Dalam Negeri
2. Keberadaan BUT
3. Hak Pemajakan
4. Besarnya penghasilan (tax base)
5. Besarnya tarif pajak
6. Definisi penghasilan/harta
7. Sumber penghasilan,
Terdapat 2 (dua) model P3B, yaitu OEC Model dan United Nations Model, kedua model ini
digunakan sebagai referensi bagi para negara dalam membuat P3B. Atau sebagai acuan kedua
negara dalam menyamakan bentuk P3B yang hendak dirundingkan. Bagi Indonesia dalam hal
ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kedua model digunakan sesuai dengan kondisi dalam
perundingan, dengan landasan dasar adalah kepentingan nasional. Adapun kedua model P3B
tersebut memiliki karakteristik masing-masing yaitu :
Pasal- pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat dikelompokan
menjadi :
Teknik yang digunakan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam
rangka menghindari adanya pemajakan berganda adalah dengan menggolongkan suatu
penghasilan berdasarkan suatu penggolongan tertentu dan menentukan hak pemajakan suatu
negara atas jenis-jenis penghasilan yang dihasilkan dari penggolongan penghasilan tersebut.
Penentuan jenis penghasilan merupakan hal penting karena akan menentukan negara mana
yang berhak untuk memajaki penghasilan tersebut. Secara umum penggolongan penghasilan
dalam pasal-pasal (lihat substansi dalam pengelompokan di atas) yang disebut sebagai
distributive rules, yaitu :
1. Active Income, merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan
pekerjaan. Jenis-jenis yang di atur yaitu Penghasilan dari kegiatan bisnis, transportasi
baik laut, sungai dan udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan
oleh individu (Independent Personal Service), gaji pegawai (Dependent Personal
Service), penghasilan direktur, artis, dan olahragawan, gaji PNS, dan penghasilan
yang diterima pelajar.
2. Pasive Income, merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk
tangibel maupun intangibel properties. Jenis-jenis yang di atur yaitu : penghasilan dari
harta tidak gerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalty, capital gain serta pensiun.
3. Other Income, pasal ini mengatur penghasilan yang tidak dapat
digolongkan berdasarkan penggolongan tersebut di atas.
Hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive rules yang di atur dalam P3B pada
dasarnya adalah sebegai berikut :
Hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada salah satu negara. Umumnya kepada
negara dimana Subjek Pajak terdaftar sebagai SPDN (Resident State).
Hak pemajakan dibagi antara negara domisili dan negara sumber penghasilan
Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, P3B yang dikembangkan oleh OECD
model cenderung memberikan hak pemungutan pajak sebanyak mungkin kepada negara
domisili. Artinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk
membatasi hak pemajakan negara sumber.
Penutup
Seperti kita ketahui bahwa pajak berganda timbul karena dua negara mengenakan pajak atas
penghasilan yang sama. Maka dilakukanlah perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) antara dua negara tersebut, dimana objek perjanjian perpajakan adalah jenis-
jenis pajak yang ada di masing-masing negara yang tercakup oleh perjanjian perpajakan, dan
jenis-jenis penghasilan yang diperoleh dan yang diterima oleh orang atau badan yang
tercakup perjanjian perpajakan, serta bagaimana perlakuan perpajakan atas jenis-jenis
penghasilan tersebut.
Pajak Internasional
Jan2
Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminsai gejala pajak ganda, hal ini
dapat dilakukan dengan 3 cara :
1) Dengan cara unilateral, dimana negara yang bersangkuatan memasukkan dalam
perundang-undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti :
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial
principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious
tax credit/tax sparing
2) Dengan cara bilateral, dilakukan denga melakukan perjanjian pajak antar negara yang
dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk
negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty denagn 57 negara.
3) Perjanjian multilateral, misalnya Igeneral Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang
mengatut tarif douane secara multilateral.
3. Metode Pembebasan
Metode ini adalah dengan cara memberikan pembebasan terhadap penghasilan yang diterima
atau diperoleh dariluar negeri, cara pembebasan ini ada dua cara yang ditempuh yakni :
Memberikan pembebasan sepenuhnya terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari negara sumber. Artinya penghasilan dari negara sumber tidak dimasukkan dalam
peghitungan pajak di Negara Domisili. Metode ini juga sering disebut dengan pembebasan
penuh atau full examption.
Cara pembebasan perhitungan pajak yang terhutang hanya atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh didalam negeri, tetapi menerapkan tarif rata-rata atas seluruh penghasilan baik
dari dalam negeri atau luar negeri atau disebut dengan Metode pembebasan dengan Progresi
atau exemption with proression.
Metode pembebasan ini dianggap metode yang paling praktis sebab Negara Domisili tidak
perlu mengetahui bagaimana suatu penghasilan dikenakan pajak di Negara Sumber.
Objek pajak dalan tax treaty pada umumnya dibagi dalam 15 jenis penghasilan :
1) Penghasilan dari harta tetap atau barang tak bergerak (income from immovable property)
2) penghsilan dari usaha (business income atau business profit)
3) penghasilan sari usaha perkapalan atau angkutan udara (income from shipping and air
transport)
4) deviden
5) bunga
6) royalty
7) keuntungan dari penjualan harta (capital gain)
8) penghasilan dari pekerjaan bebas (income from independent personal service)
9) penghasilan dari pekerjaan (income from dependent personal service)
10) gaji untuk direktur (director fees)
11) penghasilan seniman, artis dan atlit (income earned by entertainers and athletes)
12) uang pensiun dan jaminan social tenaga kerja (pension and social security payment)
13) penghasilan pegawai negeri (income in respect of government service)
14) penghasilan pelajar atau mahasiswa (income received by students and apprentices)
15) penghasilan lain-lain (other income)
Teori
Perpajakan Internasional merupakan alat untuk mengetahui perbedaan pajak dalam negeri
dan memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing
negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut. Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam Perpajakan
Internasional menurut Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi
dalam kebijakan perpajakan internasional yaitu Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar
Domestik), Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional) dan National Neutrality.
Sumber
http://natanedan.wordpress.com/2009/12/08/sekilas-tentang-pemajakan-internasional-oleh-
nany-ariany/
http://adithpurnama04.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false.html
Pajak Internasional atau lebih tepatnya Perpajakan Internasional adalah tata cara dan hukum
pemajakan yang terdiri atas kaidah-kaidah, baik kaidah perpajakan nasional maupun kaidah
yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh negara-
negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur-
unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai objeknya.
1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di luar negeri
2. Sunjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di dalam negeri
1. Hukum pajak nasional yaitu peraturan pajak sepihak yang tidak ditujukan kepada pihak lain.
2. Traktat yaitu perjanjian pajak dengan negara lain
3. Untuk menghindari pajak berganda
4. Untuk mengatur perlakuan fiskal terhadap orang asing
5. Untuk mengatur mengenai laba Badan Usaha Tetap (BUT)
6. Untuk memberantas penyelundupan pajak
7. Untuk menetapkan tarif douane
8. Putusan hakim (nasional maupun internasional)
Darta Consulting adalah kantor konsultan pajak jakarta atau jasa konsultan pajak jakarta yang
juga menyediakan jasa konsultan hukum, akuntan publik dan IT solution. Darta Consulting
melayani jasa perpajakan yang lengkap dan telah dipercaya oleh ratusan klien sejak tahun
2003.
Darta Consulting menyediakan layanan jasa konsultan pajak jakarta dan jasa konsultan
hukum untuk seluruh wilayah di Indonesia seperti sebagian besar di wilayah Pulau Jawa,
yaitu :
Bandung, Banjar, Batu, Bekasi, Blitar, Bogor, Cilegon, Cimahi, Cirebon, Depok, DKI
Jakarta, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Kediri,
Madiun, Magelang, Malang, Mojokerto, Pasuruan, Pekalongan, Probolinggo, Salatiga,
Semarang, Serang, Sukabumi, Surabaya, Surakarta, Tasikmalaya, Tangerang, Tegal,
Yogyakarta.
Selain itu, Darta Consulting juga melayani jasa konsultan pajak dan jasa konsultan hukum
untuk wilayah lain di pulau Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku,
hingga Papua.