Sei sulla pagina 1di 8

Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No.

2, 2014

PEMURNIAN GLISEROL HASIL SAMPING PRODUKSI BIODIESEL


BERBAHAN BAKU STEARIN SAWIT
Fatmayati1) and Hanifah Khairiah2)
1
Program Studi Teknik Pengolahan Sawit, Politeknik Kampar
email: fatmayati80@gmail.com
2
Program Studi Teknik Pengolahan Sawit, Politeknik Kampar

E-mail : fatmayati80@gmail.com and fatmayati@poltek-kampar.ac.id

ABSTRACT

Palm oil is the main raw material of cooking oil which is the basic needs of society. A byproduct of the
production of palm oil is palm stearin fatty acids (palm stearin fatty acids) that have free fatty acid
content is high and not fully utilized in the production of edible oils mini plant owned by the Polytechnic
Kampar. Production of biodiesel through esterification-transesterification reactions of palm stearin
produce byproducts such as glycerol with a low degree of purity, which is commonly referred to as crude
glycerol. This product is produced approximately 10-20% of the total volume of products. The aim of this
research was to determine the glycerol purification process results- esterification-transesterification
reactions and get glycerol in accordance with SNI 06-1564 - 1995. The early stages of research is
process-esterification-transesterification of palm stearin with methanol which produce crude biodiesel
and crude glycerol. Both stages are performed at 65oC temperature, stirring speed of 800 rpm for 60
minutes. After the separation between crude biodiesel and crude glycerol, crude glycerol further purified
by several stages. Early stages of purification in the form of acid phosphate addition to the crude glycerol
resulting pH variation namely 4,5,6 and 7. After the layers were separated impurities from crude
glycerol, crude glycerol immersion followed by activated carbon for 24 hours with the addition of
activated carbon as much as 5% and 10% of the weight of glycerol solution to be purified. Prior to the
soaking stage, into the crude glycerol is added to the water volume ratio of 2: 3. The water content and
the residual methanol is in glycerol purification results evaporated with a rotary evaporator.
Characteristics of glycerol which has been purified from 6 samples were produced, only two samples that
are in accordance with SNI 06-1564 - 1995 at the value of moisture content, ash content and purity
gliserolnya namely the addition of phosphate acid which produces crude glycerol pH of 6 with the use of
carbon adsorbent active as much as 5 and 10% of the weight of the purified glycerol.

Keywords : palm stearin, biodiesel, crude glycerol, glycerol purification

1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan minyak nabati sebagai Minyak sawit merupakan bahan
bahan baku sumber energi pada awalnya baku utama minyak goreng yang
dipandang sebagai salah satu solusi krisis merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
energi. Selain dapat diperoleh dari sumber Hasil samping dari produksi minyak goreng
terbarukan juga lebih ramah lingkungan. Dalam sawit adalah asam lemak stearin sawit
perkembangannya muncul perdebatan antara (palm stearin fatty acid) yang mempunyai
sisi positif dan negatif eksplorasi sumber daya kandungan asam lemak bebas yang tinggi dan
sebagai sumber energi. Penggunaan bahan baku belum dimanfaatkan secara maksimal
yang juga merupakan bahan pangan dipandang khususnya di mini plant produksi minyak
membahayakan ketahanan pangan. Persoalan goreng yang dimiliki oleh Politeknik
baru yang muncul adalah terjadinya persaingan Kampar. Adanya asam lemak bebas dalam
penggunaan sumber daya sehingga minyak merugikan secara kualitas dan
mengakibatkan naiknya harga bahan pangan itu fungsionalitas sehingga harga dari asam
sendiri. Solusi yang dinilai cukup baik adalah lemak stearin kelapa sawit ini lebih murah.
dengan memanfaatkan minyak limbah atau Biodiesel berbahan baku asam lemak
minyak yang bukan sumber pangan (Canakci & stearin sawit (palm stearin fatty acid)
Sanli 2008; Lim et al. 2009; Knothe 2010) atau dengan asam lemak bebas yang tinggi
pemanfaatan bahan baku dari minyak nabati diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak
dengan kualitas rendah. bebas dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi
trigliserida. Reaksi esterifikasi asam lemak bebas
dengan metanol yang menghasilkan metil ester

8
Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No. 2, 2014

dan air merupakan reaksi reversible yang ekonomis dan penggunaannya sangat luas.
berjalan cepat pada keadaan asam (Marchetti & Sejumlah besar pemrosesan tembakau dan
Errazu, 2008). Sifat reversible ini akan menjadi makanan juga menggunakan gliserol, baik
pembatas konversi maksimum apabila dalam bentuk gliserin ataupun gliseridanya.
kesetimbangan tercapai. Aspek yang dapat Gliserol dalam jumlah besar juga digunakan
menggeser posisi kesetimbangan adalah dalam pembuatan obat, kosmetik, pasta gigi,
mengambil produk yang terbentuk selama busa uretan, resin sintetis dan lain-lain. Oleh
reaksi. Tahapan selanjutnya proses produksi sebab itu pemurnian crude gliserol yang
biodiesel dengan reaksi transesterifikasi yang merupakan produk samping pembuatan
menghasilkan biodiesel dan gliserol. Produksi biodiesel perlu dilakukan. Selain dapat
biodiesel melalui reaksi transesterifikasi mereduksi limbah yang dihasilkan dari proses
menghasilkan produk samping berupa gliserol pembuatan biodiesel, juga akan menambah
dengan tingkat kemurnian yang rendah, yang income bagi industri biodiesel. Karena selain
biasa disebut dengan crude glycerol. Produk ini produk utama biodiesel, masih ada produk
dihasilkan sekitar 10 - 20 % dari total volume samping yang bernilai ekonomis.
produk (Darnoko and Cheryan, 2000) Atas dasar inilah, penulis tertarik untuk
Gliserol hasil samping produksi biodiesel melakukan penelitian tentang pemurnian
sampai sekarang masih belum dimanfaatkan gliserol hasil samping produksi biodisel dengan
maksimal dan masih menjadi produk samping memanfaatkan stearin hasil pengolahan minyak
yang terabaikan. Sementara itu, menurut sawit di mini plant Politeknik Kampar sebagai
Appleby (2005), industri penghasil biodiesel bahan baku produksi biodiesel tersebut. Tujuan
selama ini belum memanfaatkan crude glyserol yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
yang dihasilkan karena banyaknya zat pengotor untuk mengetahui proses pemurnian gliserol
yang terdapat dalam crude glyserol seperti hasil reaksi esterifikasi-transesterifikasi serta
senyawa lemak, sabun, katalis dan lain-lain. mendapatkan gliserol sesuai dengan SNI 06 -
Padahal gliserol ini juga sangat bernilai 1564 – 1995.

2. METODE PENELITIAN termometer, statif klem, corong pemisah, rotary


evaporator, buret dan piknometer.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian Pemurnian Gliserol Hasil Samping Produksi
ini adalah stearin yang diperoleh dari hasil Biodiesel Berbahan Baku Stearin Sawit
samping produksi minyak goreng di mini plant Pelaksanaan penelitian terdiri dari empat
Politeknik Kampar, metanol, asam sulfat, tahap, yaitu karaktersisasi bahan baku stearin
aqudest, NaOH, asam phosphat, karbon aktif sawit, produksi biodiesel dari stearin sawit
serta bahan-bahan kimia untuk analisa kadar melalui tahapan esterifikasi-transesterifikasi,
gliserol. pemurnian gliserol hasil samping produksi
Sedangkan peralatan yang digunakan biodiesel tersebut dan karakterisasi gliserol
yaitu cawan penimbang, gelas ukur, yang telah dimurnikan. Diagram alir tahapan
themometer, labu takar, labu didih, kondensor kerja penelitian dapat dilihat di Gambar 1.
spiral, beaker glass, heater, water bath,

9
Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No. 2, 2014

3.2 Produksi Biodiesel


A. Tahapan Esterifikasi Stearin Sawit
Reaksi esterifikasi adalah reaksi asam
lemak bebas dengan alkohol menghasilkan alkil
ester dan air. Reaksi ini dapat berjalan dengan
baik jika ditambahkan katalis asam. Proses
esterifikasi terhadap asam lemak bebas yang
terdapat dalam stearin sawit di lakukan dalam
labu leher tiga yang dilengkapi dengan
termometer dan pengaduk magnetik. Selama
pemrosesan reaktor dipanaskan dengan
menggunakan hot plate pada suhu didih metanol
yaitu 65 0C dan tekanan atmosferik dengan
kecepatan pengadukan 800 rpm. Untuk
mengendalikan suhu reaksi, dimanfaatkan
perilaku kondensasi uap dan tekanan uap jenuh
pelarut dalam reaktor.
Alkohol yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metanol. Pemilihan ini
didasarkan pada harganya yang lebih murah,
rantai paling pendek sehingga paling reaktif
untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi.
Metanol bukan pelarut yang baik untuk minyak
namun biodiesel yang dihasilkan memiliki
kemurnian paling tinggi dibandingkan
penggunaan alkohol lainnya seperti etanol,
propanol, iso-propanol dan butanol (Ozgul-
Yucel & Tukay 2003; Haas et al. 2004). Untuk
mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke
konversi yang sempurna pada temperatur
rendah (misalnya paling tinggi 120° C), reaktan
metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang
sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10
kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk
ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi,
Gambar 1 Diagram Alir Tahapan Kerja yaitu fasa minyak. Pada penelitian ini dilakukan
Penelitian esterifikasi dengan perbandingan mol methanol
terhadap asam lemak bebas dalam stearin yaitu
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 : 1. Penggunaan alkohol berlebih
3.1 Karakteristik Stearin Sawit dimaksudkan untuk mendorong reaksi ke arah
Pengolahan minyak sawit kasar (crude produk karena esterifikasi dan transesterifikasi
palm oil, CPO) menjadi minyak goreng merupakan reaksi reversible.
menghasilkan produk samping stearin. Katalis berfungsi untuk mempercepat
Politeknik Kampar sebagai suatu institusi reaksi dengan menurunkan energi aktivasi.
pendidikan vokasi memiliki suatu tempat Tanpa katalis reaksi esterifikasi baru berjalan
produksi minyak goreng tersebut. Produk pada suhu 250 0C (Kirk-Othmer 1980). Katalis
samping stearin belum dimanfaatkan dengan yang banyak digunakan adalah asam sulfat dan
ekonomis sehingga diperlukan suatu langkah asam klorida. Katalis yang digunakan untuk
kerja yang tepat. Sebelum stearin diolah lebih reaksi esterifikasi dalam penelitian ini adalah
lanjut, diperlukan suatu tahapan karakterisasi asam sulfat. Secara konvensional reaksi
untuk mengatahui kondisi awal stearin. Dari esterifikasi dengan katalis asam sulfat lebih
hasil analisa karakteristik stearin yang telah efektif dibanding asam klorida karena
dilakukan diketahui bahwa stearin memiliki menghasilkan konversi metil ester yang lebih
kadar asam lemak bebas 7,12 % dan kadar air tinggi (Choo 2004). Selain itu, asam klorida
0,27% lebih korosif dibandingkan asam sulfat.

10
Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No. 2, 2014

B. Tahapan Esterifikasi-transesterifikasi bawah berupa lapisan garam (garam K3PO4).


Stearin Sawit Menurut Prakoso (2007), lapisan asam lemak
bebas terjadi karena reaksi asam phosphat
Reaksi transesterifikasi merupakan dengan sabun yang terbentuk pada reaksi
reaksi antara trigliserida dengan alkohol pembuatan biodiesel. Sedangkan lapisan
menghasilkan alkil ester dan gliserol. Katalis garam terbentuk karena penambahan asam
yang biasa digunakan adalah natriun hidroksida phosphat pada crude gliserol mampu menarik
(NaOH) dan kalium hidroksida (KOH) (Choo ion kalium yang terdapat dalam crude gliserol
2004; Sharma et al. 2008). Untuk proses (Aziz dkk 2008). Reaksi pembentukan lapisan
transesterifikasi katalis NaOH lebih disukai garam dapat dilihat di Gambar 6.
karena lebih murah dibandingkan KOH. Dalam
penelitian ini untuk proses transesterifikasi
digunakan katalis NaOH. Jumlah katalis yang
ditambahkan adalah 1% (b/b) terhadap berat Gambar 6 Reaksi Pembentukan Lapisan Garam
stearin sisa hasil esterifikasi. Sedangkan didalam Crude Gliserol
methanol yang ditambahkan dengan
perbandingan molar terhadap molar stearin sisa Analisa karakteristik gliserol yang
hasil esterifikasi yaitu 6 : 1 telah dilakukan salah satunya analisa kadar air.
Data hasil analisa kadar air pada gliserol yang
3.3 Karakteristik Gliserol dari Stearin telah dimurnikan dapat dilihat di Gambar 3.
Sawit
Hasil reaksi esterifikasi-
transesterifikasi stearin sawit berupa crude
biodiesel dan crude gliserol dapat dilihat di
Gambar 2. Crude gliserol memiliki warna
jauh lebih gelap dibanding warna gliserol
murni. Hal ini disebabkan karena masih
terdapat terdapatnya sisa reaktan yang tidak
bereaksi (Aziz dkk 2008).

Gambar 3 Grafik Fungsi Variasi ph Crude


Gliserolterhadap Kadar Air Gliserol pada
Variasi Berat Karbon Aktif

Gambar 3 memperlihatkan bahwa nilai


kadar air gliserol yang telah dimurnikan terkecil
diperoleh 7,27% pada penambahan asam
phosphat yang menghasilkan pH crude gliserol
Gambar 2 Hasil Reaksi Esterifikasi –
sebesar 6 dengan penggunaan adsorben karbon
Transesterifikasi Stearin Sawit
aktif sebanyak 10% berat gliserol yang akan
dimurnikan. Sedangkan nilai kadar air terbesar
Penelitian ini melakukan tahapan
diperoleh 39,63% pada penambahan asam
pemurnian crude gliserol dengan variasi pH
phosphat yang menghasilkan pH crude gliserol
pada penambahan asam diawal proses
sebesar 4 dan penggunaan adsorben karbon aktif
pemurnian crude gliserol dan variasi
sebanyak 5% berat gliserol yang akan
penambahan karbon aktif pada proses adsorpsi
dimurnikan. Nilai kadar air dari gliserol yang
senyawa pengotor yang terdapat dalam crude
telah dimurnikan pada awalnya mengalami
gliserol. Penambahan asam phosphat pada crude
penurunan dari penambahan asam phosphat
gliserol yang dihasilkan pada tahapan
yang menghasilkan pH crude gliserol sebesar 4
esterifikasi-transesterifikasi menyebabkan
sampai ke pH 6. Namun pada saat pH crude
terbentuknya 3 lapisan, yaitu lapisan atas berupa
gliserol yang akan dimurnikan sebesar 7, nilai
asam lemak bebas (free fatty acid, FFA) ;
kadar air mengalami peningkatan. Setelah
lapisan tengah berupa gliserol dan lapisan
melalui berbagai tahapan pemurnian,

11
Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No. 2, 2014

kandungan air pada gliserol dapat berkurang.


Tetapi pada saat pH crude gliserol yang akan
dimurnikan sebesar 7, menyebabkan aktifnya
sifat hidroskopis pada gliserol sehingga kadar
air pada gliserol yang telah dimurnikan menjadi
meningkat.
Keberadaan air di dalam gliserol tidak
membahayakan bagi penggunanya tetapi dapat
menimbulkan suatu kerugian pada kuantitas dan
kualitas gliserol bagi industri yang
menggunakan gliserol sebagai bahan baku
karena akan berpengaruh pada kualitas produk
yang dihasilkan. Pemisahan air dari crude
gliserol tidak bisa dilakukan secara maksimal
Gambar 4 Grafik Fungsi Variasi ph Crude
sehingga dibuat standar maksimal kadar air
Gliserol terhadap Kadar Abu Gliserol pada
untuk menjaga kualitas gliserol yang akan
Variasi Berat Karbon Aktif
dipasarkan. Hasil analisa kadar air pada
pemurnian gliserol di penelitian ini sebagian
Gambar 4 memperlihatkan bahwa pada
besar belum sesuai SNI 06 - 1564 – 1995 yang
penambahan asam phosphat yang menghasilkan
mensyaratkan nilai maksimal kadar air pada
pH crude gliserol sebesar 4 dan penggunaan
gliserol sebesar 10. Data hasil analisa kadar air
adsorben karbon aktif sebanyak 10% berat
yang telah sesuai dengan SNI tersebut hanya
gliserol yang akan dimurnikan menghasilkan
pada penambahan asam phosphat yang
nilai kadar abu maksimal yaitu 31,21 % .
menghasilkan pH crude gliserol sebesar 6
Sedangkan nilai kadar abu terkecil diperoleh
dengan penggunaan adsorben karbon aktif
8,35% pada penambahan asam phosphat yang
sebanyak 5 dan 10% berat gliserol yang akan
menghasilkan pH crude gliserol sebesar 6 dan
dimurnikan serta pada penambahan asam
penggunaan adsorben karbon aktif sebanyak 5%
phosphat yang menghasilkan pH crude gliserol
berat gliserol yang akan dimurnikan. Nilai kadar
sebesar 6 dengan penggunaan adsorben karbon
abu pada gliserol yang telah dimurnikan pada
aktif sebanyak 10% berat gliserol yang akan
awalnya mengalami penurunan dari
dimurnikan yang menghasilkan nilai kadar
penambahan asam phosphat yang menghasilkan
berturut-turut sebesar 9,3% ; 7,27 % dan 8,06
pH crude gliserol sebesar 4 sampai ke pH 6.
%.
Namun pada saat pH crude gliserol yang akan
Adapun data hasil analisa kadar abu pada
dimurnikan sebesar 7, nilai kadar abu
gliserol yang telah dimurnikan dapat dilihat di
mengalami peningkatan pada penambahan
Gambar 4. Kandungan abu pada gliserol
adsorben karbon aktif 5 dan 10% dari berat
merupakan komponen anorganik yang tertinggal
gliserol yang akan dimurnikan. Sedangkan data
di dalam gliserol setelah dipanaskan sampai
hasil analisa kemurnian gliserol dapat dilihat di
pada suhu 600oC yang terdiri dari mineral yang
Gambar 5.
tidak dapat menguap atau hilang dan tetap
tinggal selama proses pengabuan (Budiono,
2011)

Gambar 5 Grafik Fungsi Variasi ph Crude


Gliserol terhadap Kemurnian Gliserol pada
Variasi Berat Karbon Aktif

12
Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No. 2, 2014

Gambar 5 memperlihatkan bahwa nilai 4. KESIMPULAN DAN SARAN


kadar kemurnian gliserol yang telah dimurnikan 4.1 Kesimpulan
terkecil diperoleh 58,51% pada penambahan Dari pelaksanaan kegiatan penelitian
asam phosphat yang menghasilkan pH crude pemurnian gliserol hasil samping produksi
gliserol sebesar 4 dan penggunaan adsorben biodiesel berbahan baku stearin sawit, didapat
karbon aktif sebanyak 10% dari berat gliserol beberapa kesimpulan bahwa proses pemurnian
yang akan dimurnikan. Sedangkan nilai kadar gliserol hasil samping tahapan esterifikasi-
kemurnian gliserol terbesar diperoleh 99,58% transestrifikasi stearin sawit dilakukan dengan
pada penambahan asam phosphat yang penambahan asam phosphat yang menghasilkan
menghasilkan pH crude gliserol sebesar 6 dan variasi pH pada crude gliserol sebesar 4,5,6 dan
penggunaan adsorben karbon aktif sebanyak 5% 7 serta penggunaan adsorben karbon aktif
dari berat gliserol yang akan dimurnikan. sebanyak 5 dan 10% dari berat gliserol yang
Peningkatan pH crude gliserol akan dimurnikan serta karakteristik gliserol
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar yang telah dimurnikan. Dari 6 sample yang
kemurnian gliserol pada penambahan adsorben dihasilkan, hanya 2 sample yang sudah sesuai
karbon aktif sebesar 5 dan 10% dari berat dengan SNI 06 - 1564 – 1995 pada nilai kadar
gliserol yang akan dimurnikan. Tetapi nilai air, kadar abu dan kemurnian gliserolnya yaitu
kadar kemurnian gliserol diperoleh maksimal pada penambahan asam phosphat yang
pada pH 6 untuk kedua variasi persentase menghasilkan pH crude gliserol sebesar 6
adsorben yang ditambahkan. Pada saat pH dengan penggunaan adsorben karbon aktif
crude gliserol yang akan dimurnikan sebesar 7 sebanyak 5 dan 10% berat gliserol yang
untuk kedua variasi persentase adsorben yang dimurnikan.
ditambahkan, nilai kadar kemurnian gliserol
mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena 4.2 Saran
pada penambahan asam phosphat yang Pada kesempatan ini, peneliti
menghasilkan pH crude gliserol sebesar 6 menyarankan perlu dilakukan kegiatan
merupakan saat terbaik terjadinya proses penelitian untuk mengetahui pengaruh variabel-
pengubahan sabun menjadi asam lemak bebas variabel proses dalam meningkatkan kualitas
serta proses penarikan ion kalium dari crude gliserol dengan melihat perubahan karakteristik
gliserol berjalan dengan sempurna (maksimal) sebelum dan sesudah proses pemurnian.
dibandingkan dengan pH lainnya sehingga
kadar gliserol yang didapatkan juga maksimal 5. REFERENSI
(Aziz dkk 2008). Kadar gliserol yang diperoleh
pada keadaan tersebut sudah sesuai dengan SNI Appleby, D.B. 2005. ” Gliserol on The
06 - 1564 – 1995 yang memberikan standar Biodiesel Handbook,” AOCS Press
minimal kadar kemurnian gliserol minimal 80
%. Sedangkan kadar kemurnian gliserol pada Aziz I, Nurbayti S dan Luthfiana F. 2008.
pH crude gliserol lainnya menghasilkan kadar Pemurnian Gliserol Hasil Samping
gliserol setelah dimurnikan masih belum sesuai Pembuatan Biodiesel Menggunakan
dengan SNI 06 - 1564 – 1995. Gambar hasil Bahan Baku Minyak Goreng Bekas. J
gliserol maksimal yang telah dihasilkan dari Valensi Vol. 1 No. 3 : 157 - 162
tahapan pemurnian tersebut dapat dilihat di
Gambar 6. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1987.
Standar Nasional Indonesia untuk Crude
Palm Stearin. SNI 01-0019-1987.
Jakarta: BSN

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1987.


Standar Nasional Indonesia untuk
Pretreated Palm Stearin. SNI 01-0020-
1987. Jakarta: BSN

Budiono dkk. 2011. Pengaruh Aktifasi Arang


Tempurung Kelapa dengan Asam Sulfat
dan Asam Phosphat untuk Adsorpsi
Fenol. Semarang : Jurusan Kimia,
Gambar 6 Gliserol Hasil Pemurnian Universitas Diponegoro

13
Jurnal Sawit Indonesia, Vol. 4. No. 2, 2014

Canakci M, Sanli H. 2008. Biodiesel production


from various feedstocks and their effects
on the fuel properties. J Ind Microbiol
Biotechnol. 35:431–441.
Choo YM. 2004. Transesterification of palm oil:
Effect of reaction parameters. J Oil Palm
Res. 16(2):1-11

Darnoko, D and Cheryan, M. 2000. “Kinetics of


Palm Oil Transeterification in a Batch
Reactor”, J. Am.Oil Chem.Soc., 77,
1263-1267.

Haas MJ, Scott KM, Marmer WN, Foglia TA.


2004. In situ alkaline transesterification:
An effective method for the production
of fatty acid ester from vegetable oils. J
Am Oil Chem Soc. 81:83-89.

Kirk-Othmer. 1980. Encyclopedia of chemical


technology. 3rd ed. Vol 11. New York.
NY: John Wiley and Sons.

Knothe G. 2010. Biodiesel: Current trends and


properties. Top Catal. 53:714-720.

Lim BP, Manian GP, Abd Hamid S. 2009.


Biodiesel from adsorbed oil on spent
leaching clay using CaO as a
heterogeneous catalyst. Europ J Sci Res.
33(2):347-357.

Ozgul-Yucel S, Turkay S. 2003. FA


Monoalkylesters from rice bran oil by in
situ esterification. J Am Oil Chem Soc.
80: 81-84.

Prakoso, T., H. Sirait., dan Bintaroe. 2007.


Pemurnian Hasil Samping Produksi
Biodiesel, Prosiding Konferensi Nasional
Pemanfaatan Hasil Samping Industri
Biodiesel dan Industri Etanol serta
Peluang Pengembangan Industri
Integratednya, Jakarta, hal 267 – 275

Sharma YC, Singh B, Upadhyay SN. 2008.


Advancements in development and
characterization of biodiesel : A review.
Fuel. 87(12):2355-2373.

14

Potrebbero piacerti anche