Sei sulla pagina 1di 12

BAB II.

PEMBELAJARAN AKTIF
A. Tujuan Pembelajaran:
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini, Peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan konsep pembelajaran aktif beserta karakteristiknya
2. Menjelaskan pentingnya refleksi pembelajaran aktif
3. Menjelaskan proses internalisasi dan eksternalisasi dalam pembelajaran aktif
4. Mengimplementasikan Pembelajaran Aktif dengan strategi literasi dalam IPS.

B. POKOK-POKOK MATERI PEMBELAJARAN


1. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Aktif
2. Pentingnya Refleksi dalam Pembelajaran Aktif
3. Internalisasi dan Eksternalisasi dalam Pembelajaran Aktif
4. Pembelajaran Aktif dalam IPS
5. Penggunaan Pengatur grafis (Graphic Organizer) dalam pembelajaran IPS

C. URAIAN MATERI PEMBELAJARAN


“Teaching and learning are not synonymous; we can
teach- and teach well- without having students
learn” (George Bodner).
1. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif sendiri adalah istilah payung atau istilah umum. Artinya, segala macam
metode atau strategi pembelajaran, kecuali gaya mengajar cermah satu arah untuk
memindahkan materi dari guru ke siswa. Oleh karena itu semua metode pembelajaran yang
pernah dibukukan oleh Direktorat PSMP dan dikemas dalam judul “Panduan Pembelajaran
untuk Sekolah Menengah Pertama” (2016) adalah pembelajaran aktif.
Buku “Active Learning: Creating Excitement in the Classroom” karya Bonwell dan Eison
(1991) dipandang sebagai karya perintis yang memaparkan prinsip-prinsip pembelajaran aktif
dan salah satu karya yang paling sering dikutip, bahkan sampai hari ini. Namun demikian
Bonwell dan Eison pun mengakui betapa sulit menentukan makna kata “aktif” dalam
pembelajaran aktif. Siswa yang mendengarkan ceramah (transmisi pengetahuan satu arah)
seorang guru, dipandang sebagai proses pembelajaran pasif. Mengapa? Jawabannya adalah
pergeseran paradigma dari pengajaran/mengajar (teaching) ke pembelajaran (learning).
Pembelajaran aktif ditawarkan sebagai paradigma pembelajaran (learning) yang berlawanan
dengan paradigma pengajaran (teaching). Pengajaran lebih mengandalkan transmisi
pengetahuan satu arah, seperti mendengarkan ceramah yang berpusat pada guru. Dalam hal ini
pembelajaran aktif kemudian dipahami dan dioperasionalkan sebagai "keterlibatan siswa
dalam berbagai kegiatan (menulis, diskusi, dan presentasi) dan mengeksternalisasi proses
kognitif dalam aktivitas." Menulis, diskusi, dan presentasi adalah contoh spesifik pembelajaran
aktif, yang menunjukkan pergeseran paradigma dari pengajaran ke pembalajaran.
Atas dasar paparan di atas, Bonwell dan Eison merumuskan serangkaian karakteristik umum
pembelajaran aktif seperti yang dikutip oleh Kayo Matsushita ( 2018: 15) sebagai berikut:
a. Siswa dilibatkan lebih aktif daripada sekedar hanya mendengarkan.
b. Kegiatan pembelajaran lebih ditekankan pada pengembangan pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan siswa daripada sekedar kegiatan transmisi informasi.
c. Siswa dilibatkan dalam proses atau kegiatan yang menumbuh-kembangkan penalaran atau
kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) seperti menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta (menurut taksonomi Bloom yang direvisi), atau berpikir kritis,
dan berpikir kreatif.
d. Siswa dilibatkan dalam kegiatan (mis., membaca, membahas, menulis).
e. Penekanan yang lebih besar ditempatkan pada eksplorasi siswa terhadap nilai-nilai (values)
dan sikap mereka.
Phrasa "mengeksternalisasi proses kognitif dalam aktivitas" merupakan salah satu fitur
penting dalam definisi di atas yang harus kita dalami dan kita operasionalkan dalam kegiatan
siswa. Proses kognitif adalah proses pengolahan informasi pada representasi mental dengan
menggunakan kognisi seperti persepsi, ingatan, bahasa, dan pemikiran logis (penalaran), kritis,
kreatif, penilaian, pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan sebagainya. Oleh karena
itu Mizokami (2018: 79) merasa perlu menambahkan satu ciri lagi ke dalam 5 ciri yang dikutip
Matsushita di atas dengan (6) “Hal ini membutuhkan eksternalisasi proses kognitif dalam
aktivitas”.
Dengan kata lain, pembelajaran aktif adalah masalah tindakan belajar yang disusul dengan
merefleksikan tindakan tersebut. Eric Mazur dari Universitas Harvard mengatakan, "Sama
seperti Anda tidak bisa menjadi pelari maraton dengan hanya menonton maraton di TV,
demikian juga untuk sains, Anda harus melalui proses berpikir dalam melakukan sains dan
tidak hanya melihat instruktur Anda melakukannya." (Matsushita, 2018: 16).
Pembelajaran aktif mengedepankan berbagai metode pembelajaran untuk memperoleh
berbagai pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Format pembelajaran aktif - "pembelajaran
berbasis masalah, pembelajaran pengalaman, dan pembelajaran investigatif" serta "diskusi
kelompok, debat, dan kerja kelompok" - memberikan tata letak yang mudah dipahami untuk
mendorong dan mengembangkan keterampilan seperti keterampilan berkomunikasi
(communicating), berkolaborasi (collaborating), dan pemecahan masalah (problem solving),
serta sikap dan disposisi, seperti kerja tim dan kepemimpinan (Matsushita, 2018: 6).
Pembelajaran aktif menempatkan siswa pada posisi subjek. Misalnya, dalam pembelajaran
berbasis masalah atau Problem-based Learning (PBL), objek adalah masalahnya, dan masalah
itu berkaitan dengan nilai-nilai dan kenyataan yang dihadapi siswa (kontekstual). Instrumen
yang dibutuhkan siswa untuk memecahkan masalah bisa mereka pelajari sendiri dengan
mencari pengetahuan di luar kelas atau pelajaran yang diberikan kepada mereka melalui
ceramah di kelas. Selain itu, PBL memiliki peraturan yang jelas tentang pembagian kerja. Ada
tahap di mana siswa belajar berkelompok dengan guru sebagai fasilitator, dan ada waktu di
mana siswa belajar di luar kelas mereka sendiri, yang sejalan dengan proses pembelajaran di
kelas. Jadi, jika siswa dapat memecahkan masalah dengan dukungan guru mereka, mereka akan
mencapai hasil. Demikian juga ketika seorang guru menjalankan pembelajaran
Inquiry/Discovery, yang ciri utamanya sama dengan PBL yakni bermula dari sebuah masalah
atau pertanyaan.
Definisi pembelajaran aktif yang diberikan oleh Bonwell dan Eison di atas, "melibatkan siswa
dalam melakukan sesuatu dan merefleksikan hal-hal yang mereka lakukan," atau berfokus
pada kegiatan refleksi. Atau perhatikan ciri ke enam pembelajaran aktif yang ditambahkan
Mizokami di atas. "... memerlukan eksternalisasi proses kognitif dalam aktivitas". Pada dua
definisi di atas terdapat dua fitur yang penting yakni refleksi dan eksternalitas.

2. Refleksi dalam Pembelajaran Aktif

Kata refleksi berasal dari reflectere (Latin) yang berarti “menekuk” atau “memutar kembali
kebelakang”. Akar kata tersebut baru menjelaskan sebagian dari makna refleksi. Sebab, kecuali
melihat kebelakang, refleksi juga mengarahkan individu menatap ke depan, yakni membangun
kerangka baru dalam bersikap, berpikir, dan berperilaku. Refleksi berarti tindakan
mempertimbangkan kembali setiap pengalaman demi perkembangan diri lebih lanjut. Dalam
arti tertentu refleksi merupakan tindakan memperhatikan cermin diri untuk mencermati
keadaan diri senyatanya, melihat retak dan noda, mengafirmasi aspek-aspek diri yang
mengagumkan, kemudian mengkonstruksikannya dengan yang lebih baik.
Tujuan umum refleksi dalam proses pembelajaran adalah membantu para siswa membangun
pengetahuan yang mendalam dan menangkap maknanya secara utuh. Kemudian, berdasarkan
pengetahuan tersebut, para siswa dibantu untuk mengembangkan sikap, cara pandang, dan
perilaku baru demi perkembangan dirinya dan kebaikan masyarakat. Refleksi merupakan usaha
memperlancar perkembangan aspek pengetahuan, sikap dan kecenderungan perilaku, serta
ketrampilan.
Paparan berikut disarikan dari tulisan Y. Triyono, S., yang dimuat dalam Majalah Pendidikan
“Educare” (2010). Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa dalam kegiatan pembelajaran,
refleksi dapat diartikan sebagai upaya untuk mendayakan budi (cipta), kehendak (karsa), rasa,
dan ingatan dengan tujuan untuk:
a. Menangkap makna dan nilai dari materi yang sedang dipelajari.
b. Bermakna terjadi ketika siswa mampu memberikan arti bagi kehidupan (pribadi dan sosial)
dalam membangun kesadaran, menumbuhkan perilaku, memberikan kekuatan evaluatif.
Bernilai, berarti apa yang dipelajari itu penting, patut diperjuangkan, dan menarik untuk
dimiliki.
c. Menemukan kaitan (=linking menurut John Loughran) materi yang dipelajari dengan aspek
pengetahuan yang lain.
d. Membantu pembelajar menggunakan informasi sebagai perangkat untuk menganalisis,
menilai, dan mengkronstruksi atau me-rekonstruksi pengetahuan baru. Pengetahuan
meningkat dari yang bersifat “tersedia saja” menjadi “pengetahuan yang terintegrasi”.
Ini berlawanan dengan belajar membentuk pengetahuan “ensiklopedis” atau pengetahuan
yang dibangun atas dasar informasi terpisah-pisah, hafalan, dan tidak saling memiliki kaitan.
e. Memahami sumber perasaan atau reaksi yang dialami. Contoh: aspek-aspek apa saja yang
menarik dari materi yang dipelajari ini? Mengapa menarik? Apa yang membingungkan?
Mengapa? Apa yang tidak saya setujui? Mengapa?
f. Menyadari implikasi atas kebenaran yang dipelajari bagi siswa sendiri dan dan bagi orang
lain: proses refleksi diharapkan menghasilkan insight personal yang menggerakkan orang
untuk membangun atau melakukan tindakan baru.
g. Memahami identitas dan pola relasi diri siswa dengan orang lain.
h. Membentuk suara hati. Melalui refleksi siswa diberi jalan untuk mengolah dan
memperdalam kepercayaan, nilai, sikap, dan cara berpikir yang semakin dewasa.
Tantangan dan hambatan bagi guru saat mendampingi siswa dalam proses refleksi:
a. Tidak mudah merumuskan pertanyaan (reflektif) untuk membantu siswa bagi guru yang
belum biasa berrefleksi.
b. Menghindarkan diri dari godaan memaksakan pandangan sendiri yang bisa mengarah ke
indoktrinasi. Refleksi dilaksanakan dengan menghormati kebebasan siswa. Ini sulit
dilakukan. Sebab, tidak mustahil bahwa setelah refleksi siswa tetap tidak menyadari aspek-
aspek diri yang harus diubah. (tetap menjalani gaya belajar yang sama pada hal terbukti
tidak efektif; tetap egois sekalipun tahu bahwa itu tidak benar), tetap menunda-nunda
pengerjaan tugas walaupun tahu bahwa hal itu sangat merugikan diri sendiri, dan
sebagainya.
c. Berbagi refleksi bersama dengan diri siswa. Proses refleksi dapat diperluas apabila guru
dan yang siswa berbagi refleksi sehingga mereka dapat tumbuh bersama.

3. Internalisasi dan Eksternalisasi dalam Pembelajaran Aktif


Eksternasisasi adalah fitur penting yang kedua di samping refleksi. Di kelas ceramah transmisi
pengetahuan satu arah (pembelajaran pasif), sebagian besar waktu dihabiskan untuk
menginternalisasi pengetahuan (internalisasi = memperoleh dan memahami pengetahuan).
Satu-satunya elemen eksternalisasi adalah, siswa menghafalkan semua pengetahuan dan
mereproduksikannya ketika menjawab soal-soal penilaian harian dan/atau jenis penilaian yang
lain.
Dalam pembelajaran aktif, setelah siswa menginternalisasi pengetahuan (informasi atau data),
mereka merekonstruksinya, mengoneksikan berbagai informasi atau data (menalar), dan
melanjutkannya dengan kegiatan eksternalisasi seperti menggunakan pengetahuannya itu
untuk memecahkan masalah, mengajukan pertanyaan kritis, berbicara atau wawancara dengan
orang lain, mengomunikasikan, menulis, dan menciptakan sesuatu sehingga hasilnya justru
lebih memperdalam pemahaman mereka.
Kecakapan berpikir tingkat tinggi (HOTS) dan eksternalisasi proses kognitif pada siswa
merupakan karakteristik dasar yang harus dipelajarinya secara aktif. Namun prasyarat penting
untuk itu adalah perolehan dan pemahaman pengetahuan (internalisasi). Ceramah dan belajar
aktif tidak bertentangan. Sebaliknya, mereka saling melengkapi. Mereka berbeda dalam hal
tingkat penekanan, apakah pada internalisasi (perolehan pengetahuan) atau eksternalisasi
(pemikiran tingkat tinggi dengan memanfaatkan pengetahuan) dalam keseluruhan siklus
belajar.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa internalisasi tanpa eksternalisasi pembelajaran
tidak akan berjalan dengan baik. Hal yang sama berlaku untuk eksternalisasi tanpa internalisasi.
Eksternalisasi tanpa internalisasi menjadi buta. Internalisasi tanpa eksternalisasi berarti
kosong, tidak bermakna. Jadi masalah dalam pembelajaran aktif adalah bagaimana
menggabungkan proses internalisasi dan eksternalisasi.
4. Pembelajaran Aktif dalam IPS.
Pada mulanya, Social Studies atau IPS dipahami sebagai pengintegrasian ilmu-ilmu sosial dan
budaya untuk tujuan kewarganegaraan. Para perintis studi ini lebih menekankan konsep-
konsep ilmu-ilmu sosial, budaya, dan kewarganegaraan yang dipadukan. Karena itu IPS
bukanlah bidang studi tunggal seperti Bahasa Indonesia, Sosiologi, atau Matematika, tetapi
merupakan sekelompok bidang studi yang saling terkoneksi yang meliputi Ilmu Politik,
Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Antropologi, Psikologi, dan Sejarah.
Tentu saja harus diakui bahwa guru tidak mungkin mengajarkan semua bidang studi itu secara
simultan. Guru harus memilah dan memilihnya sesuai dengan tujuan dan kebijakan sekolah
atau tujuan pendidikan pada umumnya (nasional). Maka tepatlah kalau Muhammad Numan
Somantri (2001) merumuskan IPS sebagai suatu pemaduan dan penyederhanaan disiplin ilmu-
ilmu sosial, ideologi negara, dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait,
yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Dengan cara yang berbeda, Suyanto menjelaskan pengertian IPS dengan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan reflektif sebagai berikut (2005):
 Siapa diri saya di tengah dan di hadapan orang lain dan masyarakat?
 Pada masyarakat apa saya berada?
 Persyaratan-peryaratan apa yang saya perlukan untuk menjadi anggota suatu kelompok
masyarakat dan bangsa?
 Apakah artinya menjadi anggota masyarakat, bangsa, dan dunia?
 Bagaimana kehidupan manusia dan masyarakat berubah dari waktu ke waktu
berikutnya?
Atas dasar serangkaian pertanyaan di atas, kita dituntun untuk melihat bahwa pembelajaran
IPS merupakan sebuah upaya untuk memahami, menelaah atau menganalisis, dan menilai
sebuah fenomena kehidupan ekonomi sosial budaya politik yang dimulai dari peristiwa atau
situasi kehidupan kita sehari-hari yang nyata, konkrit, dan kontekstual. Hal ini dapat dimulai
dari tingkat keluarga, lingkungan tempat tinggal (lokal), regional, sampai dengan fenomena
global. Untuk dapat menganalisis atau menilai memang diperlukan seperangkat konsep-konsep
kunci pada setiap subbidang studi IPS. Akan tetapi, kendati penting, penguasaan siswa atas
konsep-konsep dan teori bukanlah tujuan utama dan pertama IPS, melainkan bagaimana siswa
dapat, minimal, menjelaskan mengapa sebuah fenomena terjadi. Penguasaan konsep lalu
menjadi sarana bukan tujuan.

5. Tujuan Pembelajaran IPS dan Metode Pembelajarannya


Dalam pengertian IPS menurut Numan Somantri, dikatakan bahwa penyederhanaan berbagai
disiplin ilmu sosial dimaksudkan untuk kepentingan mewujudkan tujuan pendidikan pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Tujuan ini tentu saja mencakup aspek pemahaman
dan penalaran, aspek sikap dan nilai-nilai (karakter), dan aspek ketrampilan.

Aspek pemahaman dan penalaran mencakup kegiatan memahami dan menalar sejarah dan
kebudayaan sendiri dan umat manusia, lingkungan geografis, cara manusia memerintah
bangsanya, struktur kebudayaan dan cara hidup manusia, pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terhadap peningkatan taraf hidup manusia, dan pengaruh
pertambahan penduduk terhadap lingkungan fisik dan sumber daya alam, dan sebagainya.

Aspek nilai dan sikap, meliputi bermacam-macam norma sosial dan nilai-nilai universal yang
bertumpu pada ideologi Pancasila dalam kehidupan masyarakat yang plural dan beragam.
Sementara aspek ketrampilan meliputi ketrampilan-ketrampilan yang berhubungan dengan
kesanggupan peserta didik untuk mewujudkan pengetahuan dan pemahamannya ke dalam
tindakan konkrit dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat (ketrampilan sosial). Termasuk
di dalamnya adalah ketrampilan berpikir kritis, memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh
lingkungannya, mengambil keputusan, memperoleh dan mengolah informasi, ketrampilan
menjalin komunikasi dan berkolaborasi dengan siapa pun tanpa membeda-bedakan latar
belakangnya, dan sebagainya (baca ketrampilan abad ke-21).

Pada dokumen Kurikulum 2013, tujuan-tujuan tersebut tersurat maupun tersirat dalam
serangkaian SKL, KI, dan KD. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara mencapai tujuan
pembelajaran IPS sejauh yang tertuang dalam serangkaian KI, KD?

Setelah menentukan serangkaian KD mana yang akan dicapai, guru mesti mengembangkannya
menjadi serangkaian indikator pencapaian kompetensi (IPK). IPK inilah yang semestinya
menjadi kriteria pertama untuk menentukan metode atau strategi pembelajaran aktif apa yang
harus kita gunakan beserta tekniknya.

Tentang metode atau strategi pembelajaran, guru dapat menggunakan buku “Panduan
Pembelajaran untuk Sekolah Menengah Pertama” yang diterbitkan oleh Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (PSMP). Dalam buku ini dipaparkan 6 macam metode
pembelajaran yakni Metode Saintifik, Inquiry/Discovery, Pembelajaran Berbasis Masalah,
Pembelajaran Berbasis Projek, Pembelajaran berbasis Teks, Pembelajaran Kooperatif, dan
pemaduan dari beberapa metode pembelajaran atau metode pembelajaran eklektik (PSMP,
2016).

Setiap metode di atas memiliki serangkaian langkah-langkah atau kegiatan yang juga
dijelaskan secara rinci. Karena itu guru perlu terampil menetapkan metode mana (saja) yang
efektif. Ada beberapa metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan tujuan
pembelajaran IPS, misalnya Pembelajaran berbasis masalah atau Problem-based Learning
(PBL), berbasis proyek atau Project-based Learning, dan Inquiry/Discovery. Mengapa?
Karena ketiganya selalu berangkat dari masalah konkrit yang terjadi dalam kehidupan lokal,
regional, sampai global. Secara teknis, masalah-masalah di atas bisa dimunculkan oleh guru.

Sampai di titik ini menjadi penting juga bagi guru untuk memiliki ketrampilan mengidentifikasi
terlebih dahulu beberapa masalah sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Misalnya, masalah
tawuran antar siswa sekolah, aksi corat coret tembok/dinding, vandalisme, sopan santun berlalu
lintas, trotoar yang diokupasi untuk berjualan, kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok,
prasangka dan konflik antar anggota masyarakat, dan masih banyak lagi. Inilah berbagai
masalah yang dapat digunakan sebagai titik pijak untuk melaksanakan pembelajaran aktif mata
pelajaran IPS. Idealnya pembelajaran IPS mestinya berisi tentang bagaimana siswa dapat
menjelaskan sampai dengan menganalisis berbagai permasalahan sosial ekonomi budaya
politik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya menghafalkan serangkaian
informasi atau fakta, konsep, dan teori untuk dihafalkan.

6. Pengatur Grafis (Graphic Organizer) sebagai Teknik Pembelajaran


Sejak tahun 2016 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah
mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai salah satu alternatif untuk
menumbuhkembangkan budi pekerti siswa melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah.
GLS sendiri merupakan salah satu perwujudan dari Gerakan Literasi Nasional (GLN). Dalam
GLN makna dan cakupan literasi meliputi: :”(a) literasi sebagai rangkaian kecakapan
membaca, menulis, berbicara, kecakapan berhitung, dan kecakapan dalam mengakses dan
menggunakan informasi; (b) literasi sebagai praktik sosial yang penerapannya dipengaruhi oleh
konteks; (c) literasi sebagai proses pembelajaran dengan kegiatan membaca dan menulis
sebagai medium untuk merenungkan, menyelidik, menanyakan , dan mengkritisi ilmu dan
gagasan yang dipelajari, (d) literasi sebagai teks yang bervariasi menurut subjek, genre, dan
tingkat kompleksitas bahasa” (Satgas GLS Ditjen Dikdasmen, 2018: 6).

Butir (c) di atas, yakni literasi sebagai proses pembelajaran menjadi relevan jika dikaitkan
dengan proses pembelajaran aktif. Literasi sebagai proses pembelajaran menekankan pada
peningkatan keterampilan mengelola pembelajaran dengan strategi literasi untuk
meningkatkan kecakapan literasi siswa dan mengembangkan keterampilan abad ke-21,
termasuk keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran yang menerapkan strategi literasi
penting untuk menumbuhkan pembaca yang baik dan kritis dalam bidang apapun.

Salah satu bagian dari modul pelatihan GLS tentang “Strategi Literasi dalam Pembelajaran di
Sekolah Menengah Pertama” (Satgas GLS Ditjen Dikdasmen, 2018: 17) menyatakan bahwa
terdapat beberapa karakteristik pembelajaran yang menerapkan strategi literasi yang dapat
mengembangkan kemampuan metakognitif, antara lain:
1. Pemantauan pemahaman teks (siswa merekam pemahamannya sebelum, ketika, dan
setelah membaca).
2. Penggunaan berbagai moda selama pembelajaran (literasi multimoda)
3. Instruksi yang jelas dan eksplisit.
4. Pemanfaatan alat bantu seperti pengatur grafis dan daftar cek.
5. Respon terhadap berbagai jenis pertanyaan.
6. Membuat pertanyaan.
7. Analisis, sintesis, dan evaluasi teks.
8. Meringkas isi teks.

Fokus uraian berikut akan diletakkan pada karakteristik nomor 4 yakni Pemanfaatan alat bantu
seperti pengatur grafis (graphic organizer) yang untuk selanjutnya akan disingkat menjadi GO.
Berikut adalah contoh-contoh GO yang beberapa di antaranya dapat juga digunakan dalam
pembelajaran IPS (Satgas GLS Ditjen Dikdasmen, 2018: 24).

NO PENGATUR GRAFIS KEGIATAN PEMBELAJARAN


1 Aktivasi Pengetahuan Menggali pengetahuan latar belakang untuk
Latar Belakang memahami teks nonfiksi.
2 Tabel Prediksi Membuat prediksi tentang teks nonfiksi.
3 Tahu-Ingin-Pelajari Menuliskan hal yang sudah diketahui, yang ingin
diketahui (di awal pembelajaran) dan yang telah
dipelajari (di akhir pembelajaran)
4 Tahu-Ingin-Bagaimana Menuliskan hal yang sudah diketahui, yang ingin
diketahui, dan bagaimana cara mengetahuinya.
5 Tahu-Ingin- Menuliskan hal yang sudah diketahui, yang ingin
Bagaimana-Pelajari diketahui, bagaimana cara mengetahuinya (di awal
pembelajaran) dan yang telah dipelajari (di akhir
pembelajaran)
6 Rantai Peristiwa Mengurutkan kejadian dalam teks nonfliksi secara
kronologis.
7 Siklus Mengurutkan siklus kejadian/peristiwa
8 Adik Simba Mengidentifikasi informasi penting dengan
menggunakan kata tanya.
9 Berpikir-Berpasangan- Memikirkan sebuah pertanyaan/isu penting, bekerja
Berbagi berpasangan, dan membagikan hasil diskusi.
10 Diagram Venn Membandingkan antara 2 hal/fenomena/tokoh dll
11 Hubungan Tanya Membuat pertanyaan tentang fakta di dalam teks,
Jawab informasi tersirat, keterkaitan antara teks dengan diri,
dan dengan penulis/dunia luar.
12 Tabel Fakta dan Opini Mengidentifikasi fakta dan opini dalam teks nonfiksi.
13 Tabel Lima Indra Mengindentifikasi lima indra dan bagaimana
pengaruhnya terhadap pengalaman orang dalam
sebuah teks.
14 Caption Menulis caption untuk gambar/ilustrasi yang ada di
dalam teks
15 Gambar dengan Menggambar dan menulis caption baru berdasarkan
Caption informasi dalam teks.
16 Peta Gagasan Utama Mengidentifikasi gagasan utama dan gagasan penjelas
dan Penjelas dalam teks.
17 Sebab-Akibat Menentukan sebab dan akibat sebuah peristiwa dalam
teks.
18 Masalah-Solusi Membuat ringkasan sebuah teks.
19 SQ3R Mencatat informasi penting, membuat pertanyaan,
jawaban, dan singkasan teks.

Catatan:
Kata “Teks” perlu dipahami secara lebih luas. Teks tidak hanya berarti tulisan melainkan
semua sumber informasi yang mengandung makna. Maka teks dapat berupa guntingan berita
atau artikel di koran, iklan, video klip, gambar, grafik, chart, dan sebagainya.
7. Contoh penggunaan GO
Berikut ini adalah contoh penggunaan GO untuk mata pelajaran IPS kelas VIII dengan KD
sebagi berikut:
KD 3.1. Menelaah perubahan keruangan dan interaksi antarruang di Indonesia dan negara-
negara ASEAN yang diakibatkan oleh faktor alam dan manusia (teknologi, ekonomi,
pemanfaatan lahan, politik) dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan kehidupan ekonomi,
sosial, budaya, dan politik.
KD 4.1. Menyajikan hasil telaah tentang perubahan keruangan dan interaksi antarruang di
Indonesia dan negara-negara ASEAN yang diakibatkan oleh faktor alam dan manusia
(teknologi, ekonomi, pemanfaatan lahan, politik) dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan
kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Salah satu materi dalam KD tersebut adalah masalah kelangkaan sumber daya alam dan enerji.

Langkah-langkah Pembelajaran:
1. Disajikan teks berupa berita dari surat kabar, atau video klip, atau gambar tentang
kelangkaan sumber daya. Misalnya gambar di bawah ini:

Sejumlah warga membawa kendi dan ember berisi air yang diambil dari
lubang endapan aliran sungai Kalimati, Juwangi, Boyolali, Jawa Tengah, 25
Juli 2017. Akibat sumber air sumur mulai kering karena memasuki musim
kemarau, warga terpaksa mencari dan memanfaatkan sisa air endapan aliran
sungai Kalimati untuk digunakan kebutuhan hidup sehari-hari meskipun air
tidak begitu bagus dan berbau kurang sedap. ANTARA/Aloysius Jarot
Nugroho
Sumber: https://tekno.tempo.co/read/909107/musim-kemarau-bnpb

Dengan teks (=gambar) di atas guru dapat membuat beberapa alternatif kegiatan sebagai
berikut:
a. Menggunakan GO nomor 8: Adik Simba (=Apa, di mana, kapan, Siapa, mengapa, dan
bagaimana. Kepada peserta diajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk ditemukan
jawabannya lewat kegiatan diskusi. Guru dapat mengembangkan sebuah tabel dengan
kolom-kolom berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
b. Menggunakan GO nomor 17 yang bertajuk sebab akibat. Di sini guru mengembangkan
GO sebagai berikut:

MASALAH – SEBAB - AKIBAT

MASALAH

SEBAB

AKIBAT

SOLUSI

c. Mengaitkan gambar dengan pengalaman hidup sehari-hari untuk berhemat energi.


Setiap siswa diminta untuk menuliskan pengalaman diri sendiri atau pengalaman
orangtua sejauh yang didengar dari kata-kata atau ungakapan orangtua atas kelangkaan
sumber daya berikut dan tindakan-tindakan untuk berhemat energi (Robb, 2003: 169)

ENERGI AIR Daur ulang


“Bensin tinggal sedikit...” “Boros uang karena selalu “Menggunakan tas
membeli air minum dalam “kresek” (plastik) setiap
kemasan” kali belanja.

Upaya berhemat: Upaya berhemat: Upaya berhemat (=


Jalan kaki untuk pergi ke Membawa botol atau mengurngi sampah
tempat-tempat berjarak tempat minum yang bisa plastik) :
dekat diisi ulang Selalu membawa tas kain
atau kertas ketika belanja
di supermarket atau mini
market

Jadi di samping menngunakan atau memodifikasi daftar GO di atas, guru sebaiknya jugga
mampu mengembangkan atau merancang sendiri GO yang sesuai dengan kebutuhan
pencapaian KD tertentu.
D. RANGKUMAN
1. Pembelajaran aktif ditawarkan sebagai paradigma pembelajaran (learning) yang
dilawankan dengan paradigma pengajaran (teaching), yang lebih mengandalkan transmisi
satu arah pengetahuan melalui pembelajaran pasif, seperti mendengarkan ceramah yang
berpusat pada guru. Pembelajaran aktif juga dipahami sebagai “melibatkan siswa dalam
melakukan sesuatu dan merefleksikan hal-hal yang mereka lakukan”. Pembelajaran aktif
merupakan "keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan (menulis, diskusi, dan presentasi)
dan mengeksternalisasi proses kognitif dalam aktivitas."
2. Karakteristik pembelajaran aktif, antara lain siswa dilibatkan dalam proses atau kegiatan
yang menumbuh-kembangkan kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking)
seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Di samping itu pendalaman karakter dan
nilai-nilai juga diberi tekanan yang lebih besar.
3. Refleksi menjadi fitur yang penting dalam definisi pembelajaran aktif. Tujuan umum
refleksi dalam proses pembelajaran adalah membantu para siswa membangun pengetahuan
yang mendalam dan menangkap maknanya secara utuh. Kemudian, berdasarkan
pengetahuan tersebut, para siswa dibantu untuk mengembangkan sikap, cara pandang, dan
perilaku baru demi perkembangan dirinya dan kebaikan masyarakat. Refleksi merupakan
usaha memperlancar perkembangan aspek pengetahuan, sikap dan kecenderungan
perilaku, serta ketrampilan.
4. Dalam pembelajaran aktif, setelah siswa menginternalisasi pengetahuan, mereka
merekonstruksinya, mengoneksikan berbagai informasi atau data, dan melanjutkannya
dengan kegiatan eksternalisasi seperti menggunakan pengetahuannya itu untuk
memecahkan masalah, mengajukan pertanyaan kritis, berbicara atau wawancara dengan
orang lain, mengomunikasikan, menulis, dan menciptakan sesuatu sehingga hasilnya justru
lebih memperdalam pemahaman mereka
5. Pembelajaran aktif dalam mata pelajaran IPS lebih tepat kalau dilaksanakan dengan metode
PBL, Project-based Learning, Inquiry/Discovery, tanpa mengesampingkan metode-metode
lain. Implikasinya guru mesti memiliki kecakapan untuk menetapkan metode mana yang
tepat berdasarkan KD dan IPK yang dikembangkan.
6. Kegiatan-kegiatan atau teknik pembelajaran dalam metode yang dipilih dapat
dikembangkan dengan menggunakan berbagai teknik dan alat bantu (media) pengatur
gambar atau graphic organizer (GO) yang diselaraskan dengan IPK/tujuan pembelajaran
dan karakteristik materi pembelajaran. Guru diharapkan dapat memodifikasi dan
menerapkan contoh-contoh penggunaan GO dalam pembelajaran IPS.

REFERENSI:

Direktorat PSMP (2016), Panduan Pembelajaran untuk Sekolah Menengah Pertama,


Jakarta, Kemdikbud.
Matsushita K., The Theoretical Foundation of Deep Active Learning, dalam Matsushita K.
(Ed), 2018, Deep Active Learning, Singapore, Springer

Mizokami S., Deep Active Learning from the Perspective of Active Learning Theory, dalam
Matsushita K. (Ed), 2018, Deep Active Learning, Singapore, Springer

Robb L., 2003, Teaching Reading in Social Studies, Science, and Math, Scholastic, New
York.

Satgas GLS Ditjen Dikdasmen, 2018, Strategi Literasi dalam Pembelajaran di Sekolah
Menengah Pertama, Jakarta, Kemdikbud

Supriadi D, & Rohmat Mulyana, (Eds.), 2001, Prof. Muhammad Numan Somantri, M.Sc. :
Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Suyanto, Prof. Ph.D., , 2005, Tantangan Pendidikan IPS dalam Era Global, (makalah
Seminar) “Kebijakan dan Implementasi Pendidikan IPS Dalam Menghadapi Era
Global”, Program Studi PIPS PPS UPI, 19 Desember 2005

Triyono Y.S., (2010), Peran Refleksi dalam Paradigma Pendidikan Reflektif, , Jakarta,
Jurnal Pendidikan Educare.

Potrebbero piacerti anche