Sei sulla pagina 1di 15

1

UPAYA KONSERVASI AIRTANAH


Ardian Saksono Ajie
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
e-mail: hsarsaiena@gmail.com
No. Tlp: 0857-43366-3138
ABSTRACT
Groundwater is the source of water used by the community, including in Gunung Gajah village and The Surrounding. Groundwater quantity
continues to decline as population growth and poor management. It is based on transfers of land use that also increase the occurance of surface run-off
and reduce water infiltration into groundwater. The research objective are determining the availability of groundwater and groundwater efforts.
Research on groundwater conservation is done by focusing the study through mathematical methods such as estimation of water balance
approach in determining the availability of groundwater. Availability of groundwater is compared with the environmental conditions include rainfall,
soil type, geology and lithologies, landform and slope and land use are obtained based on observation and mapping in the field. It is a barometer of
determination of groundwater conservation efforts.
Based on result achieved of this research, found that the availability of groundwater in village of Gunung Gajah and The Surrounding in 2003 to
2012 respectively are: 2010211.8; 2148258.1; 2025066.3; 1823381.7; 1989659.7; 2918901.3; 1488262.6; 2396617.3; 1868711.2 dan 953533.9
(m /year). While the needs of groundwater in 2012 was 340555.950 m3/year or 36% of the availability of groundwater. The direction of the
3

management or conservation of groundwater can be done by applying the bench terraces ducts, gulud terrace ducts, alley cropping, infiltration wells,
biopori and inhibating the flow of surface water drainage as well as government policies and regulations of the society.
Keywords: Groundwater, Groundwater Availability, Groundwater Conservation Zones, Groundwater Conservation Efforts.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Airtanah merupakan air yang terdapat dalam lapisan tanah atau berada di bawah permukaan
tanah. Airtanah tidak dapat terlihat potensi keberadaannya secara kasat mata. Keadaan inilah
yang mendorong manusia untuk cenderung mempergunakan airtanah secara besar-besaran demi
memenuhi kebutuhan hidup dalam kesehariaanya.
Pengelolaan airtanah yang baik sangat mutlak diperlukan, mengingat besarnya potensi
airtanah yang harus dijaga kelestariannya. Salah satu kegiatan pengelolaan airtanah yang dapat
dilakukan adalah dengan konservasi. Pada dasarnya konservasi tidak hanya menyimpan di kala
berlebihan dan hemat di kala keterbatasan, namun juga mengurangi tingkat erosi dan aliran
permukaan. Sehingga air dapat dioptimalkan untuk masuk ke dalam tanah menjadi cadangan
airtanah.

1.2. Tujuan.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memperkirakan ketersediaan airtanah di Desa Gunung Gajah dan sekitarnya.
2. Mengetahui upaya konservasi airtanah di Desa Gunung Gajah dan sekitarnya.

II. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian mengenai Upaya konservasiAirtanah di Desa Gunung
Gajah dan Sekitarnya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah terdiri dari metode survei
lapangan, metode matematis, evaluasi, dan metode tumpang susunparameter-parameter pendukung
untuk menentukan upaya konservasi airtanah.

2.1. Metode Pengumpulan Data


2.1.1. Metode survei
Tahap survei dilakukan terhadap parameter-parameter yang mempengaruhi konservasi
airtanah untuk mengetahui bentuk dan kondisi eksistingnya, yaitu: bentuklahan dan
kemiringan lereng, jenis tanah, satuan batuan dan struktur geologi, penggunaan lahan, flora
dan fauna, kondisi fisik daerah penelitian dan sosial. Tahap survei juga termasuk melakukan
pengukuran terhadap ketebalan tanah untuk identifikasi jenis tanah, pengukuran kedudukan
batuan dan struktur geologi, kemiringan lereng, dan tinggi muka airtanah untuk estimasi arah
aliran airtanah. Data yang dikumpulkan dari survei lapangan inilah yang selanjutnya akan
tersaji dalam rona lingkungan hidup.
2

2.2. Analisis Data


2.2.1 Metode Matematis
Estimasi ketersediaan airtanah dilakukan dengan menggunakan analisis neraca air.
Estimasi ketersediaan airtanah didasarkan oleh data curah hujan, suhu, evapotranspirasi,
limpasan permukaan dan luas wilayah dari tiap penggunaan lahan. Ketersediaan airtanah
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
Masukan Airtanah (recharge) = Volume Curah Hujan – Volume Evapotranspirasi – Volume Limpasan
Permukaan (run-off)

dimana:
Volume Curah Hujan (m3/tahun) = Rerata Curah Hujan (m/hari) x Luas Wilayah Penelitian (m2) x 365
Hari/Tahun

Run-off = Curah Hujan (m/hari) x Nilai C (Penggunaan lahan) x Luas Wilayah (m2)

Sedangkan untuk evapotranspirasi, diestimasikan dengan menggunakan persamaan


Thornthwaite Matter berikut.
10𝑇 𝑎
𝑃𝐸𝑇 = 1.6 ( )
𝐼
−9 (𝐼 3 )
𝑎 = (675 𝑥 10 − (771 𝑥 10−7 (𝐼 2 ) + (1792 𝑥 105 𝑥 𝐼) + 0.49239
𝑠 𝑥 𝑇𝑧
𝑃𝐸 = 𝑃𝐸𝑇
30 𝑥 12
Keterangan:
PET : Evapotranspirasi Potensial
T : Temperatur Udara Bulan ke-n (oC)
I : Indeks Panas Tahunan
a : Koefisien yang Tergantung dari Tempat
S : Jumlah Hari dalam Bulan
Tz : Jumlah Jam Penyinaran Rerata per Hari.

Setelah ketersediaan airtanah diestimasikan, selanjutnya adalah dibandingkan dengan


kebutuhan airtanah di daerah penelitian. Kebutuhan airtanah diestimasi berdasarkan pada
kebutuhan dasar akan airtanah di desa yaitu 60 liter/orang dan akan dikalikan dengan jumlah
penduduk pada masing-masing desa. Rumusnya adalah sebagai berikut.
Kebutuhan Air Tanah (m3/tahun) = Jumlah Penduduk x Pemakaian Air Tanah per Hari x 365 Hari/Tahun
Hasil perbandingan jumlah ketersediaan airtanah dan kebutuhan airtanah selanjutnya yang
dimaksud dengan kekritisan airtanah.

2.2.2 Metode Evaluasi


Konservasi airtanah dilakukan dengan menimbang beberapa hal, yaitu: zona imbuhan dan
luahan airtanah dan zona konservasi airtanah. Zona imbuhan dan luahan airtanah diestimasi
dengan menggunakan pendekatan karakteristik akuifer, bentuklahan dan arah aliran airtanah.
Karakteristik akuifer merupakan bentuk telaahan data satuan batuan dan struktur geologi yang
menjelaskan mengenai tingkat porositas dan permeabilitas yang pada umumnya terjadi.
Bentuklahan menggambarkan daerah pada topografi tinggi, topografi rendah dan daerah tekuk
lereng atau perbatasan topografi tinggi dan topografi rendah. Zona imbuhan airtanah dengan
zona luahan airtanah dapat diinterpretasikan berdasarkan keberadaan daerah tekuk lereng.
Artinya airtanah selalu bergerak dari topografi yang tinggi ke topografi yang rendah dengan
menuruni lereng. Daerah dengan topografi yang tinggi selanjutnya dinamakan zona imbuhan
airtanah, sedangkan daerah dengan topografi rendah dinamakan zona luahan airtanah dengan
3

batas zona yaitu daerah tekuk lereng.Arah aliran airtanah diperoleh berdasarkan data
pengukuran ketinggian muka airtanah. Kembali pada sifat dasar air, yakni mengalir dari
topografi yang tinggi ke topografi yang rendah, maka estimasi arah aliran airtanah dapat
ditentukan. Untuk lebih mengetahui dimana batas zona imbuhan dan luahan airtanah, maka
dapat dibuat pula penampang profil yang menggambarkan kondisi keitinggian airtanah
melalui sayatan melintang secara horizontal.
Zona konservasi airtanah ditentukan dengan analisis terhadap kondisi zona imbuhan dan
luahan airtanah dan penggunaan lahan di daerah penelitian. Analisis terhadap zona imbuhan
dan luahan airtanah adalah dengan memprioritaskan zona imbuhan sebagai zona yang patut
untuk dikonservasi karena sumber masuknya air ke dalam tanah berawal dari daerah dengan
topografi yang tinggi terlebih dahulu kemudian barulah menuruni lereng hingga mengalir pula
pada daerah dengan topografi yang lebih rendah. Sedangkan analisis yang dilakukan terhadap
penggunaan lahan adalah dengan pendekatan kondisi ekonomi dan pangan. Artinya
penggunaan lahan berupa sawah tidak perlu dikonservasi demi menjaga kestabilan kondisi
ekonomi dan pangan daerah penelitian. Sedangkan penggunaan lahan lainnya dapat dilakukan
konservasi dengan beberapa teknik konservasi yang cocok untuk daerah tersebut.

2.2.3 Metode Tumpangsusun


Upaya konservasi airtanah dilakukan dengan metode-metode konservasi airtanah. Metode
konservasi airtanah ini memiliki syarat-syarat tertentu, sehingga penerapannya dapat
berlangsung optimal. Syarat-syarat ini meliputi: kemiringan lereng, penggunaan lahan dan
zona konservasi airtanah. Syarat-syarat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Syarat-Syarat Teknik Konservasi Airtanah
Syarat-Syarat
Teknik Konservasi Airtanah
Kemiringan Lereng Penggunaan Lahan
Teras Bangku Bersaluran Curam Tegalan
Teras Gulud Bersaluran Miring - Agak Curam Tegalan
Pertanaman Lorong Datar - Agak Miring Tegalan dan Kebun
Sumur Resapan; Biopori; Drainase
Datar - Curam Permukiman
Penghambat Aliran Air
Regulasi Pemerintah (Konservasi Sosial) - Hutan
Sumber: Arsyad (2010) dengan Modifikasi, Kodoatie (2012) dengan Modifikasi,
Suripin (2002) dengan Modifikasi, SNI No: 03-2453-2002, biopori.com.
Metode yang dipilih untuk konservasi airtanah adalah teras bangku bersaluran, teras gulud
bersaluran, pertanaman lorong (alley cropping), sumur resapan, biopori dan drainase
penghambat aliran air permukaan serta kebijakan dan regulasi pemerintah terhadap
masyarakat. Dengan demikian, tumpangsusun yang dimaksudkan untuk mendapatkan zona
tiap metode konservasi yang akan dibuat adalah tumpangsusun terhadap Peta Zona
Konservasi Airtanah, Peta Kemiringan Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Ketersediaan Airtanah
Masukan Airtanah adalah ketersediaan airtanah yang dihitung dengan mencari selisih
antara volume curah hujan dengan volume evapotranspirasi dan limpasan permukaan (lihat
Tabel 1.2). Sedangkan secara visual, dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Tabel 1.2 Volume Masukan Airtanah Desa Gunung Gajah dan sekitarnya Tahun 2003-2012
Volume CH Volume Run-off Volume Masukan Airtanah
Tahun
(m3/tahun) (m3/tahun) Evapotranspirasi(m3/tahun) (m3/tahun)
2003 4.835.039,121 2.404.965,8 419.861,5 2.010.211,8
2004 5.118.352,635 2.545.887,0 424.207,5 2.148.258,1
2005 4.859.094,042 2.416.930,8 417.096,9 2.025.066,3
2006 4.519.652,379 2.248.091,3 448.179,4 1.823.381,7
4

Volume CH Volume Run-off Volume Masukan Airtanah


Tahun
(m3/tahun) (m3/tahun) Evapotranspirasi(m3/tahun) (m3/tahun)
2007 4.845.730,197 2.410.283,6 445.786,9 1.989.659,7
2008 6.652.522,041 3.308.988,4 424.632,4 2.918.901,3
2009 3.822.059,67 1.901.106,2 432.690,8 1.488.262,6
2010 5.762.489,964 2.866.283,2 499.589,4 2.396.617,3
2011 4.706.746,209 2.341.152,5 496.882,5 1.868.711,2
2012 2.790.370,836 1.279.448,5 448.896,4 953.533,9

3500000
Masukan Air Tanah
3000000 (m3/tahun)
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 5.6 Diagram Masukan


Dari Tabel 1.2 dan Gambar 1.1, diketahui
Airtanahbahwasanya semakin besar curah hujan, maka
akan semakin besar pula evapotranspirasi. Semakin besar curah hujan, maka akan semakin
besar pula limpasan permukaan. Dan, semakin besar curah hujan, maka akan semakin besar
pula masukan (ketersediaan) airtanah.

3.2. Kebutuhan Airtanah


Kebutuhan airtanah dihitung pada kebutuhan domestik dan non domestik. Nilai dari
kebutuhan airtanah non domestik adalah 20 % dari kebutuhan domestik. Sedangkan
kebutuhan airtanah domestik selain pemenuhan rata-rata kebutuhan domestik per kapita, juga
mengandung fluktuasi pemakaian. Fluktuasi pemakaian airtanah diinterpretasikan diantaranya
adalah dengan pertimbangan hari makasimum dan hari puncak. Hari maksimum yang
dimaksudkan disini adalah asumsi mengenai hari-hari tertentu dimana pemakaian air lebih
tinggi dari pemakaian air per hari rata-rata. Dengan demikian diasumsikan bahwa nilainya
adalah 1,15 kali kebutuhan airtanah rata-rata. Sedangkan fluktuasi pemakaian airtanah pada
jam puncak yang dimaskudkan adalah jam-jam tertentu dimana penggunaan airtanah lebih
tinggi dari pemakaian per jam rata-rata. Jam puncak dinyatakan bernilai 1,75 kali kebutuhan
airtanah rata-rata. Adapun untuk pedesaan, standar pemakaian (kebutuhan) airtanah adalah 60
liter/hari per kapita. Hasil perhitungan kebutuhan airtanah berdasarkan kebutuhan domestik
dan non domestik dapat dilihat pada Tabel 1.3.

3.3. Kekritisan Airtanah


Kekritisan airtanah dihitung dengan menggunakan perbandingan antara masukan airtanah
dan kebutuhan airtanah. Kekritisan airtanah yang diestimasikan adalah pada tahun 2012,
yakni kondisi terkini pada saat penelitian. Hasil perhitungan menyatakan bahwa pada tahun
2012, estimasi volume ketersediaan airtanah adalah 953.533,9 m3/tahun atau apabila
dikonversikan dalam liter menjadi 953.533.900 liter/tahun, sedangkan volume kebutuhan air
pada tahun 2012 adalah 340.555.950 liter/tahun. Apabila dibandingkan antara keduanya,
kebutuhan airtanah besarnya hanya 36 % dari volume ketersediaan airtanah. Kebutuhan
airtanah yang sudah mencapai 36 % dari total ketersediaan airtanah ini apabila dikaitkan
5

dengan kekritisan airtanah menurut Notodiharjo (1982) masih dikategorikan belum kritis,
karena dianggap kritis apabila persentasenya sudah mencapai 50 % keatas.

Tabel 1.3 Kebutuhan Airtanah Desa Gunung Gajah dan Sekitarnya


JUMLAH KEBUTUHAN AIRTANAH STANDAR KEBUTUHAN AIRTANAH
HAL DESA
PENDUDUK (LITER/HARI) (LITER/TAHUN)
POIN Gunung
Kebutuhan 3.223 60 70.583.700
A Gajah
Airtanah
Standar untuk Tawangrejo 4.182 60 91.585.800
Domestik JUMLAH 162.169.500

KEBUTUHAN KEBUTUHAN 0.15 x KEBUTUHAN


JUMLAH
HAL DESA AIRTANAH STANDAR AIRTANAH AIRTANAH
PENDUDUK
(LITER/HARI) (LITER/TAHUN) (LITER/TAHUN)
POIN Gunung
Fluktuasi 3.223 60 70.583.700 10.587.555
B Gajah
Pemakaian
Hari Tawangrejo 4.182 60 91.585.800 13.737.870
Maksimum JUMLAH 24.325.425

KEBUTUHAN 0.75 x KEB.


JUMLAH KEBUTUHAN AIRTANAH
HAL DESA AIRTANAH STANDAR STANDAR
PENDUDUK (LITER/TAHUN)
(LITER/HARI) (LITER/HARI)
POIN Gunung
3.223 60 45 52.937.775
C Fluktuasi Gajah
Pemakaian Tawangrejo 4.182 60 45 68.689.350
Jam Puncak
JUMLAH 121.627.125

0.2 x KEB.
KEBUTUHAN
JUMLAH STANDAR KEBUTUHAN AIRTANAH
HAL DESA AIRTANAH STANDAR
PENDUDUK DOMESTIK (LITER/TAHUN)
(LITER/HARI)
(LITER/HARI)
POIN
D Kebutuhan Gunung
3.223 60 12 14.116.740
Airtanah Gajah
Standar untuk Tawangrejo 4.182 60 12 18.317.160
Non
Demestik JUMLAH 32.433.900

TOTAL KEBUTUHAN AIRTANAH (LITER/TAHUN) = POIN A + POIN B + POIN C + POIN D = 340.555.950

3.4. Kondisi Batuan untuk Menentukan Karakteristik Akuifer


Satuan batuan yang ditemukan melalui survei lapangan di daerah penelitian adalah batuan
metamorf (sekis mika), batugamping (kalkarenit, napal), batuan beku (diorit), batugamping
nummulites dan endapan aluvial.
Batuan metamorf merupakan tipe batuan yang mempunyai porositas batuan yang sangat
rendah karena adanya saling kunci antara kristal penyusun batuan (Davis, 1969 dalam
Kodoatie 2012). Davis (1969) dalam Kodoatie (2012) menambahkan bahwasanya pelapukan
kimiawi (menjadi dekomposisi) dan pelapukan mekanis (menjadi rekahan) dapat
meningkatkan porositas batuan, sehingga sulit dalam meloloskan air. Namun, kekar-kekar
yang ditemukan pada batuan metamorf mampu mempermudah masuknya air melalui batuan
ini, sehingga potensi airtanahnya berkisar sangat kecil hingga sedang.
Menurut Kodoatie (2012), formasi batuan beku relatif kedap atau tidak lulus air dan oleh
sebab itu tidak dapat menyimpan dan melalukan air, sehingga disebut sebagai akuifug atau
perkebal (aquifuge). Namun, apabila formasi batuan ini mempunyai banyak rongga, celahan
dan rekahan akibat proses pembentukan dan akibat gaya geologi, maka formasi batuan ini
dapat bertindak sebagai formasi batuan pembawa air atau akuifer (Kodoatie, 2012).
Batugamping pada umumnya memiliki kerapatan, porositas, dan permeabilitas yang tinggi
tergantung derajat konsolidasi dan perkembangan lajur permeabilitasnya setelah mengendap
(Kodoatie, 2012). Akuifer yang terbentuk oleh proses tektonik dan pelarutan merupakan suatu
6

akuifer produktif. Menurut Todd (1959) dalam Kodoatie (2012) aliran Airtanah dalam akuifer
karst mengalir pada jaringan rekahan.Sehingga produktifitas akuifernya adalah tinggi dengan
tipe akuifer yang mengalir melalui rekahan.
Endapan aluvial merupakan bentuk transportasi dari material-material batuan sehingga
memiliki beraneka ragam ukuran butir. Material penyusun kelompok akuifer pada endapan
aluvial ini memiliki ukuran butir lempung, lanau, pasir, kerikil, sampai kerakal. Karena belum
padu, umumnya aluvial mempunyai porositas dan permeabilitas sedang hingga tinggi
(Kodoatie, 2012).

3.5. Bentuklahan dan Tinggi Muka Air Tanah untuk Menentukan Zona Imbuhan & Luahan
Dari Peta Imbuhan dan Luahan Airtanah, kita dapati bahwasanya daerah imbuhan letaknya
adalah pada Bukit Pendul dan Semangu. Porositas dan permeabilitas batuan beku dan
metamorf yang kecil mengakibatkan air yang masuk melaluinya sangatlah sedikit bahkan
hingga langka. Namun, karena kondisi kedua batuan dengan ditemukannya banyak kekar,
membuat potensi masuknya air hujan menjadi Airtanah menjadi lebih baik. Air hujan akan
meresap sebagian kecil, kemudian mengalami perkolasi menuju muka airtanah. Sebagian kecil
lagi mengalir sesuai gaya grafitasi menuju batuan dasar yang lain (throughflow) atau dalam
peta mengalir kepada dataran aluvial. Sedangkan sebagian besar mengalami aliran permukaan
menuruni lereng menuju ke dataran rendah atau tepatnya pada dataran aluvial dan bermuara di
Sungai Dengkeng.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi pada bukit batugamping di bagian utara daerah
penelitian. Batugamping yang memiliki porositas dan permeabilitas tinggi dapat meluluskan
dan mengalirkan air dengan baik, sehingga sebagian besar hujan yang jatuh ke permukaan
akan terinfiltrasi dan mengalami perkolasi hingga menuju muka airtanah, sedangkan sebagian
kecilnya mengalir secara throughflow ataupun mengalir berupa aliran permukaan.
Dari Peta Aliran Airtanah, terlihat bahwasanya titik tertinggi muka airtanah terdapat
pada puncak Bukit Pendul dan Bukit Semangu serta Bukit Gamping. Sedangkan titik muka
airtanah terendah terdapat pada daerah yang merupakan tekuk lereng dari Bukit Semangu dan
Bukit Gamping. Arah aliran relatif beragam, baik mengalir dari utara ke selatan, maupun
selatan ke utara atau bahkan timur ke barat. Untuk zona imbuhan, dapat ditandai dengan muka
airtanah tertinggi. Sedangkan zona luahan dapat ditandai dengan batas antara muka airtanah
yang turun secara drastis dan muka airtanah terendah.

3.5. Kondisi Lingkungan untuk Menentukan Upaya Konservasi Airtanah


Penggunaan lahan menjadi bahan rujukan dalam penentuan arahan konservasi airtanah.
Pengaruhnya sangat besar terhadap kemampuan dalam meresapkan airtanah dan kejadian
limpasan permukaan. Nilai C yang merupakan nilai pengaruh penggunaan lahan terhadap
limpasan permukaan yang apabila semakin mendekati angka 1, maka akan semakin besar pula
pengaruhnya terhadapterjadinya limpasan permukaan. Begitu pula sebaliknnya, apabila
mendekati angka 0, maka pengaruhnya terhadap terjadinya limpasan permukaan adalah kecil.
Merujuk kepada konservasi airtanah, penulis membagi zona yang perlu dikonservasi, serta
zona yang tidak perlu dikonservasi. Pembagian zona ini didasarkan pada penggunaan lahan,
zona imbuhan dan luahan airtanah dan arah aliran airtanah. Tidak semua penggunaan lahan
perlu dikonservasi. Aspek penggunaan lahan seperti pengaruhnya terhadap limpasan
permukaan dan degradasi lingkungan hidup menjadi dasar, perlu atau tidaknya konservasi
airtanah dilakukan di daerah tersebut. Zona yang perlu dikonservasi, diartikan sebagai zona
yang dalam pengelolaannya masih dapat ditingkatkan untuk sekaligus menjadi upaya
mempertahankan kondisi lingkungan hidup.
Berdasarkan Peta Zona Imbuhan dan Luahan Airtanah dan Peta Arah Aliran
Airtanah, area imbuhan terletak di perbukitan bagian barat, selatan hingga timur daerah
penelitian, yang termasuk dalam Desa Gunung Gajah. Area imbuhan airtanah juga terletak di
7

bukit yang terletak di bagian utara daerah penelitian, yang termasuk dalam Desa Tawangrejo.
Maka, area imbuhan airtanah ini patut untuk dilakukan konservasi sesuai dengan arahan
pengelolaan (lihat Peta Zona Konservasi Airtanah).

IV. ARAHAN PENGELOLAAN


Arahan konservasi airtanah dilakukan dengan menggunakan pendekatan antara parameter-
parameter yaitu penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan zona yang perlu dan tidak perlu
dikonservasi.Upaya konservasi airtanah akan diakhiri dengan hasil berupa peta upaya konservasi
airtanah yang merupakan bentuk tumpang susun dari peta penggunaan lahan, kemiringan lereng dan
zona konservasi airtanah. Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut.

4.1. Pendekatan Teknologi


4.1.1 Teras Bangku Bersaluran
Teras dapat diterapkan pada kemiringan lereng 20% - 50% (curam) dan pada lahan
yang digunakan sebagai area pertanian atau tegalan. Namun, untuk lebih efisiennya, teras
bangku diterapkan pada lahan dengan kemiringan tidak lebih dari 40%. Dimensi teras pun
menyesuaikan pada kemiringan lereng. Berdasarkan hubungan kemiringan lereng dengan
lebar teras, dan luas areal yang dapat ditanami (Constantinesco, 1987 dalam Suripin, 2002
dalam Kodoatie, 2012), maka dengan kemiringan lereng rata-rata 30%, maka lebar areal yang
dapat ditanami adalah 1,83 meter dengan lebar teras sebesar 3,33 meter dan jarak vertikal
sebesar 1 meter. Arah kemiringan luasan areal yang ditamani diterapkan sedikit ke belakang
sebesar 2% atau lebih umumnya disebut backslope.

4.1.2 Saluran Pembuangan Air


Saluran pembuangan air dimaksudkan untuk memusatkan aliran permukaan sehingga
tidak terkonsentrasi di sembarang tempat. Saluran pembuangan air dapat dipadukan dengan
teras bangku maupun teras gulud, karena pada umumnya teras belum efisien apabila tidak
dilengkapi dengan saluran pembuangan air. Saluran pembuangan air juga tergantung pada
kemiringan lereng. Apabila kemiringan lereng 0 – 11%, saluran air dapat ditanami rumput.
Sedangkan pada kemiringan lereng lebih terjal sampai 15%, saluran pembuangan air dapat
dilapisi batu, pasangan, atau beton. Dan apabila kemiringan lereng terjal hingga sangat terjal,
saluran pembungan air perlu dilengkapi dengan terjunan (Kodoatie, 2012).

4.1.3 Teras Gulud Bersaluran


Teras gulud berfungsi untuk menahan laju limpasan permukaan dan dapat diterapkan
padi lahan dengan kemiringan lereng 7% sampai 25% (agak curam). Secara sederhana
guludan diterapkan dengan menumpukkan tanah pada ujung lereng untuk menahan aliran
permukaan, kemudian dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) sehingga dapat
dialirkan dengan lebih terarah dan sistematis. Teras gulud cocok bila diterapkan pada
penggunaan lahan berupa tegalan.

4.1.4 Sumur Resapan Air Hujan


Menurut SNI No: 03-2453-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air
Hujan untuk Lahan Pekarangan, persyaratan umum yang harus dipenuhi dalam pembuatan
sumur resapan air diantaranya adalah sumur resapan ditempatkan pada lahan yang datar.
Meskipun demikian, tidak berarti pada permukiman yang berlereng miring sampai terjal tidak
dapat diterapkan sumur resapan, karena sumur resapan dapat diterapkan di samping rumah
sekalipun.
8

4.1.5 Biopori
Biopori berfungsi untuk meningkatkan kemampuan lahan untuk meresapkan air ke
dalam tanah dan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah. Secara teknis,
biopori merupakan lubang dengan diameter 10-15 cm dengan kedalaman vertikal ke dalam
tanah sekitar 80-100 cm. Biopori dapat diterapkan di daerah dengan topografi yang relatif
datar dan di dekat permukiman.

4.1.6 Pertanaman Lorong (Alley Cropping)


Sistem pertanaman lorong adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada
lorong antara barisan tanaman pagar.Umumnya, tanaman yang digunakan sebagai tanaman
pagar antara lain lamtoro (Leucaena leucocephala), glirisidia/ gamal (Gliricidia sepium),
kaliandra (Caliandra calothyrsus) dan flemingia (Flemingia congesta). Pertanaman lorong
dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan yang datar maupun berlereng.Selain itu,
pertanaman lorong juga lebih diutamakan untuk diterapkan pada penggunaan lahan tegalan
dan kebun.

4.1.7 Drainase Penghambat Aliran Air


Drainase penghambat aliran air merupakan metode konservasi airtanah yang
konsepnya adalah mengalirkan air permukaan dengan terlebih dahulu memperlambatnya agar
memiliki kesempatan yang lebih lama untuk meresap ke dalam tanah.Jadi, secara konsep
drainase harus memiliki pola detensi dan retensi.Pola detensi yaitu menampung dan menahan
air limpasan permukaan sementara untuk kemudian mengalirkannya ke badan air.Sedangkan
pola retensi yaitu menampung dan menahan air limpasan permukaan sementara sembari
memberikan kesempatan air tersebut untuk dapat meresap ke dalam tanah secara alami.
Dalam pelaksanaan teknisnya, drainase dapat diterapkan di daerah dengan topografi
miring hingga curam pada penggunaan lahan permukiman.Pada dasarnya, drainase
penghambat aliran air permukaan ditanami rumput pada bagian dasarnya. Rumput ini akan
membantu menghambat laju aliran air permukaan sehingga dapat meminimalisir limpasan
permukaan. Drainase ini juga dilengkapi dengan lubang resapan yang berbentuk balok dengan
dimensi 30 cm x 30 cm x 100 cm. Pada bagian dasar diberi kerikil (gravel) untuk membantu
peresapan air. Sedangkan bagian atasnya dapat diisi oleh sampah organik seperti yang
digunakan pada lubang resapan biopori. Lihat arahan pengelolaan pada Peta Upaya
Konservasi Airtanah.

4.2. Pendekatan Sosial Ekonomi


 Mengurangi tingkat konsumsi air dari airtanah, dengan mengajarkan kesadaran akan
semakin berkurangnya kuantitas ataupun kualitas airtanah dimulai dari tingkat sekolah
hingga masyarakat.
 Melakukan konservasi airtanah secara gotong royong. Misalnya dengan melakukan
perbaikan lahan di daerah imbuhan airtanah dan melakukan kerjasama kepada pemerintah
atau lembaga swadaya masyarakat dalam membangun beberapa instrumen konservasi
airtanah.
 Berpartisipasi dalam membuat dan menaati regulasi yang mengatur mengenai konservasi
airtanah di desa setempat.
 Ikut berpartisipasi dalam merelakan lahan miliknya dipakai untuk keperluan konservasi
dengan bekerjasama kepada pemerintah, sehingga lahan dapat diganti dengan uang ganti
rugi atau semacamnya.
9

4.3. Pendekatan Institusi


 Melakukan sosialisasi konservasi airtanah berupa pembentukan regulasi yang mengatur
masyarakat dalam menjaga kondisi dan kulitas hutan, serta mencegah terjadinya
pengrusakan atau pengalihfungsian hutan menjadi penggunaan lahan lainnya.
 Melakukan kampanye konservasi airtanah kepada masyarakat.
 Melakukan pendanaan dalam membangun instrumen konservasi airtanah.
 Melakukan pengawasan, auditifikasi, dan evaluasi terhadap kebijakan ataupun regulasi
yang telah disepakati/ ditetapkan.
 Pemerintah perlu memiliki sikap transparan, akuntabilitas dan kapabilitas tinggi dalam
melakukan segala upaya dalam mengelola lingkungan hidup, termasuk konservasi
airtanah.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Upaya Konservasi Airtanah di Desa Gunung Gajah dan
Sekitarnya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Ketersediaan airtanah di Desa Gunung Gajah dan Sekitarnya pada tahun 2003 sampai
2012 secara berturut-turut adalah: 2010211.8; 2148258.1; 2025066.3; 1823381.7;
1989659.7; 2918901.3; 1488262.6; 2396617.3; 1868711.2 dan 953533.9 (m3/tahun).
Sedangkan kebutuhan air tanah pada tahun 2012 adalah 340555.950 m3/tahun atau 36%
dari ketersediaan airtanah.
2. Arahan pengelolaan atau upaya konservasi airtanah menyesuaikan dengan kondisi lahan.
Pada daerah dengan penggunaan lahan berupa sawah, tidak perlu dilakukan konservasi
airtanah. Pada zona curam-tegalan upaya konservasinya adalah dengan penerapan teras
bangku bersaluran. Pada zona miring-tegalan dan zona agak curam-tegalan upaya
konservasinya adalah dengan penerapan teras gulud bersaluran. Pada zona datar hingga
agak miring-tegalan dan zona datar hingga agak miring-kebun upaya konservasinya adalah
dengan penerapan pertanaman lorong (alley cropping). Pada zona datar hingga agak
miring-permukiman upaya konservasinya adalah dengan penerapan sumur resapan dan
biopori. Pada zona miring-permukiman dan zona curam-permukiman upaya konservasinya
adalah dengan penerapan sumur resapan, biopori dan drainase penghambat aliran air
permukaan. Sedangkan pada penggunaan lahan berupa hutan, baik pada lahan agak curam
maupun curam, konservasi dilakukan dalam bentuk kebijakan dan regulasi Pemerintah
terhadap masyarakat.

5.2. Saran
Saran yang dapat diambil dari penelitian mengenai upaya konservasi airtanah di Desa
Gunung Gajah dan Sekitarnya adalah sebagai berikut:
1. Perlunya studi lebih lanjut mengenai ketersediaan airtanah atau bahkan potensi airtanah di
Desa Gunung Gajah dan Sekitarnya, seperti dengan menggunakan teknik geofisika berupa
alat geolistrik dan atau pumping test demi memperoleh data underground atau
hidrogeologi yang rinci dan akurat. Apabila ketersediaan airtanah dihitung dengan
menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini, maka diperlukan data penggunaan
lahan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, karena data penggunaan lahan berkaitan
dengan besar atau kecilnya estimasi limpasan permukaan.
2. Perlunya tinjauan lebih rinci mengenai upaya konservasi airtanah, yaitu pada teknik-teknik
instrumentasi konservasi. Misalnya pada teras bangku, teras gulud, sumur resapan, saluran
pembuangan air, biopori, pertanaman lorong, tanaman penutup dan drainase penghambat
10

aliran air permukaan, dimana masing-masing metode konservasi airtanah di atas


memerlukan parameter-parameter khusus dalam rancangan penerapannya.
3. Perlunya kepedulian dan keseriusan dari berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan atau
stakeholder) dalam mengelola lingkungan dan menggalakkan upaya konservasi airtanah
secak dini dan mulai saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1987. Manuals and Reports on Engineering Practice. ASCE.
Anonim, 2002. SNI No: 03-2453-2002 Tentang Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan, Jakarta.
Anonim, 2002. SNI No: 19-6728.1-2002 Tentang Penyusunan Neraca Sumber Daya- Bagian 1:
Sumber Daya Air Spasial, Jakarta.
Anonim, 2003. Stratigrafi dan Paleontologi. Departemen Pendidikan HMG UNPAD, Bandung.
Anonim, 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Anonim, 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, Jakarta.
Anonim, 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Pengelolaan Sumber Daya Air,
Jakarta.
Anonim, 2009. Dokumen Rencana Penataan Permukiman Desa Gununggajah Kecamatan Bayat
Kabupaten Klaten, District Management Consultant (DMC).
Anonim, 2011. Bayat Dalam Angka Tahun 2011, Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten.
Anonim, 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Klaten Tahun 2011 – 2031. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Klaten.
Anonim, 2012. Modul Praktikum Geomorfologi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, Yogyakarta.
Anonim, 2013. Buku Panduan Pemetaan Lahan dan Ekskursi Biogeofisik. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Anonim, 2013. Suhu di Daerah Surakarta dan Sekitarnya tahun 2003-2012. Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika Pabelan Surakarta, Surakarta.
Anonim, 2014. Curah Hujan Rerata di Stasiun Bayat Tahun 2003-2012. Dinas Pekerjaan Umum
Bidang Sumber Daya Air Kabupaten Klaten, Klaten.
Anonim, 2014. Resapan Air Hujan Menjadi Air Tanah. www.biopori.com/ (diakses tanggal 9
Desember 2014). Tim Biopori IPB, Bogor.
Adi, Rahadryan Nugroho dan Setiawan, O., 2010. Penentuan Zonasi Tataguna Air Tanah di
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai Penelitian Kehutanan, Solo.
Agus, F. dkk., 2002. Pilihan Teknologi Agroforestri/ Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian
Berbasis Kopi di Sumber Jaya, Lampung Barat. International Centre for Research in
Agroforestry, Australia.
Arsyad, S., 2010, Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Jakarta.
Bahagiarti, S. dkk., 2012. Perencanaan Konservasi. LPPM Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Bear J., 1979. Hydraulics of Groundwater. McGraw-Hill, Inc., New York.
Danaryanto dkk, 2005. Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya. Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral, Jakarta.
Freeze, R Allan & Cherry John, A, 1979. Groundwater. Prentice-Hall, Inc., United States of
America.
Gustave, I.P., 2012. Standar Kebutuhan Air dan Komponen Unit SPAM.
Irham, M. dkk., 2006. Pengaruh Ukuran Butir terhadap Porositas dan Permeabilitas pada Batu
Pasir. Universitas Diponegoro, Semarang.
Kodoatie, R.J., 1996. Pengantar Hidrogeologi. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kodoatie, R.J., 2012. Tata Ruang Air Tanah. Penerbit Andi, Yogyakarta.
11

Lidinillah. M, 2013. Kajian Tingkat Kesesuaian Lahan untuk Permukiman dan Kemampuan Lahan
untuk Pertanian di Desa Gunung Gajah dan Sekitarnya Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,
Yogyakarta.
Pemerintah Desa Gunung Gajah, 2013. Data Monografi Desa Gunung Gajah, Klaten.
Pemerintah Desa Tawangrejo, 2013. Data Monografi Desa Tawangrejo, Klaten.
Prasetyadi, C. dan Indranadi, 2007. Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung, Yogyakarta.
Pratiwi, Ira Mughni, 2013. Upaya Konservasi Mataair Berdasarkan Tingkat Kerentanan Mataair di
Sub-DAS Celeng, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Riastika, M., 2011. Pengelolaan Airtanah Berbasis Konservasi di Recharge Area Boyolali (Studi
Kasus Recharge Area Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah). Universitas Diponegoro, Semarang.
Schmidt FH., Ferguson JHA. 1951. Rainfall type based on wet and dry period ratio for Indonesia
with Western New Guinea. Kementerian Perhubungan, Jakarta.
Sjarief, R. dan Kodoatie, R.J., 2005. Permasalahan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Soepraptohardjo, 1961. Klasifikasi Tanah.
Subagyo, A.L., 2014. Pengaruh Kondisi Geologi terhadap Karakteristik Airtanah Daerah Panjatan
dan Sekitarnya, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulom Progo, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Sungkowo, A., 2014, Buku Panduan Penulisan Skripsi, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Suriani, Lilis, 2009. Perencanaan Penerapan Sumur Imbuhan air Hujan untuk Daerah
Permukiman sebagai Usaha Konservasi Airtanah di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, Yogyakarta.
Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Umakaapa, R., 2012. Perencanaan Konservasi Airtanah berdasarkan Kekritisan Airtanah di DAS
Kedunglarangan, Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur. Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Yudistira, A., 2012. Kajian Potensi dan Arahan Penggunaan Airtanah untuk Kebutuhan Domestik
di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1
2
3
4

Potrebbero piacerti anche