Sei sulla pagina 1di 11

TELAAH KRITIS ADOPSI IFRS DI INDONESIA

ARTIKEL
Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Standar Akuntansi
Dosen Pengampu : Dr. Jaka Isgiyarta, M.Si,Ak,CA

Disusun Oleh :
Suhita Whini Setyahuni
12030117420059
Angkatan XXXVIII Konsentrasi Korporat

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
TELAAH KRITIS ADOPSI IFRS DI INDONESIA

ABSTRACT
Capitalism is believed had the worse bad impact than its benefit. Capitalism drives people to get
profit as much as they can without considering the interest of others. In order to win a competition,
firms will behave opportunistically by exploiting resources that can be used to maximize wealth.
Accounting as part of a business process can be influenced by the value of capitalism. Exploitation
on the use of natural resources and labour bring a necessary to build a single set international
accounting standard. Adopting of IFRS as an Indonesian Financial Standard (SAK) implies the
penetration of capitalism value into the social system of Indonesia. On the process of IFRS
adoption, it should consider culture value including the moral and ethical value of Indonesia.
Therefore, before build a new Indonesian accounting standard, we should change the objective of
financial reporting. Accountability is the proper objective of financial reporting activities rather
than decision making. Accountability will drive firms and management to be responsible for both
humans and environments. Moreover, the assessment of corporate performance should be revised.
Activities that be assessed by profit indicator will bring to fraud behaviour. In this case, zakat as
welfare instrument is the right concept to measure corporate performance rather than financial
profit. By reading a financial report with Zakat as the main focus, Investor’s decision in investing
their fund will be driven by a willingness to contribute on social welfare as the whole.

Keywords: IFRS adoption, the trap of capitalism, culture value, financial accounting standard.

PENDAHULUAN
Akuntansi sebagai produk budaya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Akuntansi tidak mungkin bisa menjadi value free karena yang membentuk akuntansi
adalah manusia, yang mempunyai kepribadian dan kepentingan untuk tujuannya sendiri. Sebagai
value laden, akuntansi tentu saja akan mengusung nilai yang melekat di tubuhnya yang ikut tersaji
bersama konten informasi sebagai output dari akuntansi itu sendiri. Kandungan informasi dalam
akuntansi saat ini sarat dengan muatan nilai egoistik dan materialistik (Triyuwono : 2006). Hal ini
sangatlah wajar. Manusia sebagai pemilik sifat egois dan serakah, ketika diminta untuk mendesain
praktik akuntansi, maka sifat opportunistik itulah yang kemudian secara sadar maupun tidak sadar
masuk ke dalam tubuh akuntansi. Informasi yang telah mengandung nilai egoistik dan
opportunistik, apabila digunakan oleh penggunanya dan dijadikan dasar sebagai pengambilan
keputusan, akan menghasilkan keputusan yang sifatnya egoistik pula.

Berbicara struktur sosial masyarakat, ada dua aliran besar ekonomi dalam masyarakat,
yaitu sosialisme dan kapitalisme. Keduanya mengusung konsep yang kontradiktif. Dengan
digulirkannya isu globalisasi di seluruh dunia dan cita-cita untuk menjadikan dunia sebagai
boarderless merupakan usaha untuk menyemaikan benih kapitalisme agar tumbuh subur di
berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Kapitalisme dipercaya dapat membuat kehidupan
masyarakat lebih baik, meningkatkan daya saing dan memicu kreativitas individu masyarakat.
Menurut Nugrahanti (2016) beberapa dampak baik kapitalisme diantaranya adalah : a) mendorong
laju pertumbuhan perekonomian secara signifikan, b) mendorong tingkat harga ke tingkat wajar
dan rasional, c) memberikan motivasi bagi para pelaku ekonomi untuk bersaing menjadi yang
terbaik, karena jika tidak menjadi yang terbaik akan dengan sendirinya tersingkirkan oleh
mekanisme pasar bebas.

Namun, dampak buruk kapitalisme bagi kehidupan masyarakat juga tidak bisa dianggap
remeh. Bahkan mungkin lebih buruk daripada manfaat yang ditawarkan oleh kapitalisme. Lebih
lanjut, Nugrahanti (2016) menyatakan eberapa kelemahan dari sistem kapitalisme diantaranya
adalah : a) kapitalisme menimbulkan ketidakadilan. Hak kepemilikan dan kebebasan perseorangan
sangat dijunjung tinggi menyebabkan bencana ketidakadilan dan merugikan masyarakat, b)
kapitalisme menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Dengan digerakkan oleh motif keuntungan
sebesar-besarnya, kaum kapitalisme merasa diperbolehkan mengeksploitasi alam sesuka hati
asalkan dirinya dan kelompoknya mendapatkan keuntungan. Tidak ada yang peduli dampak
kerusakan lingkungan bagi msyarakat, c) kapitalisme menyebabkan kesenjangan dan melestarikan
kemiskinan. Dampak dari ketidakadilan ekonomi adalah yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin. Pertumbuhan ekonomi negara hanya dinikmati oleh segelintir kelompok. Sektor
produksi digenjot dengan target menghasilkan produk barang secepat mungkin, efisien, serta
dalam jumlah yang banyak. Jumlah barang melimpah tetapi daya beli masyarakat menurun akibat
ketidakseimbangan sistem buruh.

Akuntansi sebagai alat sosial dan merupakan bagian dari sistem perekonomian juga mau
tak mau mengalir darah kapitalisme di dalamnya. Proses dan output yang dihasilkan oleh akuntansi
hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhn pemilik modal terkait informasi kekayaan mereka.
Karena ruh akuntansi adalah kapitalisme, maka standar akuntansi yang lahir sebagai pedoman
penyusunan laporan keuangan juga mempunyai jiwa kapitalisme. Karena negara penyusun standar
akuntansi adalah negara yang menganut paham kapitalisme.
Lalu bagaimana roadmap standar akuntansi di Indonesia? Mengapa standar akuntansi yang
berlaku di Indonesia juga memiliki value kapitalisme? Dalam perkembangannya, standar
akuntansi Indonesia pada awalnya mengacu pada standar akuntansi Amerika (US GAAP), yang
mana kita tahu bahwa Amerika Serikat merupakan negara pengusung ideologi kapitalisme. Sejak
tahun 2008, Indonesia mulai melakukan konvergensi standar akuntansi ke arah IFRS. Konvergensi
standar akuntansi Indonesia ke dalam IFRS disebabkan karena tekanan dunia internasional agar
IFRS diterapkan secara global di seluruh negara di dunia. Alasan penerapan standar tunggal tidak
lain adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar modal. Berbicara pasar modal, tentu saja aktivitas
yang dilakukan adalah investasi. Singkatnya, penerapan standar tunggal di seluruh dunia
digunakan kebutuhan investor agar mudah melakukan investasi secara global di seluruh dunia.
Penerapan IFRS sebagai standar tunggal mengabaikan unsur nilai-nilai budaya yang berbeda antar
negara.

Kritik terhadap penerapan standar tunggal bukan merupakan hal yang baru. Gray (1983)
menyatakan bahwa perbedaan praktik pelaporan laporan keuangan disebabkan karena perbedaan
budaya yang memang tidak dapat disatukan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama
penyusun standar internasional. Fantl (1971) menyatakan standar internasional merupakan sebuah
solusi yang teramat sederhana untuk sebuah permasalahan yang demikian kompleks. Kritik lain
datang dari Choi dan Mueler (1998) yang menyatakan bahwa harmonisasi standar akuntansi
merupakan bentuk kolonialisme. IFRS yang dibidani oleh IASB memiliki penyandang dana
perusahaan raksasa dunia MNC group. MNC menjadikan akuntansi sebagai alat untuk
mewujudkan imperialisme global (Choi dan Mueller, 1998).

Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana pengadopsian IFRS yang dilakukan oleh IAI
telah berkontribusi dalam menginjeksi value kapitalisme di Indonesia. Pembahasan dalam tulisan
ini mencakup akuntansi dan kapitalisme, jebakan kapitalisme dalam IFRS, pengembangan standar
akuntansi yang sesuai nilai Indonesia, dan penutup. Metode yang digunakan dalam tulisan ini
adalah telaah literatur dengan pemikiran kritis yang bertujuan untuk mencari pola perbaikan atas
standar akuntansi di Indonesia.

AKUNTANSI DAN KAPITALISME

Beberapa tokoh ekonom dan peneliti menyatakan ada hubungan akuntansi dengan
kapitalisme. Chiapello (2007) menyatakan bahwa akuntansi memiliki peran penting dalam
melestarikan kapitalisme. Tinker dan Neimark (1988) melakukan serangkaian penelitian di
General Motor dalam kurun waktu 1917-1976. Mereka mengungkapkan bahwa fokus informasi
dalam laporan keuangan General Motor cenderung berubah-ubah sesuai kondisi struktur
kapitalisme yang cenderung tidak stabil. Pada saat gejala sistem kapitalisme menunjukkan
pelemahan permintaan atas produk oleh konsumen, laporan tahunan mengungkapkan informasi
untuk menimbulkan kesan bahwa pembelian mobil baru secara rutin adalah norma sosial yang
wajar dan dapat diterima. Pada saat yang berlainan, ketika gejala ekonomi menunjukkan
ketidakstabilan dan ada pergerakan buruh, laporan tahunan memberikan informasi bahwa pekerja
seharusnya bekerja sama dan menunjukkan sikap kooperatif dengan manajer dan bukan
menentang. Informasi yang disajikan dalam laporan tahunan perusahaan tidak mampu memotret
realita yang sebenarnya terjadi. Informasi dalam laporan tahunan hanya digunakan untuk
kepentingan pemilik perusahaan yang sejatinya adalah memberikan perlindungan terhadap
kekayaan pemilik.

Berkaitan dengan hal tersebut, Deegan (2007) menyatakan bahwa akuntansi telah gagal
menjalankan fungsinya sebagai social tool dan tidak mampu berperan tanpa memihak kepentingan
salah satu stakeholder. Akuntansi diharapkan mampu menjadi alat komunikasi untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat dan bukan sebagai alat untuk
melegitimasi kapitalisme. Disini, akuntansi justru berperan memberikan prioritas kepada
sekelompok orang yang mempunyai power untuk menguasai kehidupan ekonomi seluruh lapisan
masyarakat dengan pengendalian dan aturan-aturan yang dimilikinya.

Nilai kapitalisme juga tercermin dalam standar akuntansi yang dijadikan sebagai pedoman
untuk melakukan praktik akuntansi. Nuansa kapitalisme pertama kali dapat ditemukan dalam
kerangka konseptual baik kerangka konseptual milik FASB maupun IASB. FASB menyatakan
bahwa tujuan dari pelaporan keuangan adalah :

“The objective of general purpose external financial reporting is to provide information


that is useful to present and potential investors and creditors and others in making
investment, credit, and similar resource allocation decisions”.
Sedangkan kerangka konseptual IASB menyatakan tujuan pelaporan keuangan sebagai berikut :

“To provide financial information that is useful to users in making decisions relating to
providing resources to the entity. Users’ decisions involve decisions about buying, selling
or holding equity or debt instruments, providing or settling loans and other forms of credit,
voting, or otherwise influencing management’s actions”.
Dari uraian kerangka konseptual di atas dapat dinyatakan bahwa tujuan laporan keuangan
merupakan implementasi dari value kapitalisme (Adam, 2008). Dalam konteks ini, pengguna dari
laporan keuangan sebagian besar dimaknai sebagai pemegang saham dan kreditur. Pengambilan
keputusan terkait penggunaan sumber daya perusahaan erat kaitannya dengan efisiensi biaya dan
maksimalisasi laba. Dalam konsep ini, kepentingan pihak-pihak yang termarjinalkan belum dapat
diakomodasi oleh akuntansi. Akuntansi belum bisa menyajikan informasi untuk kepentingan
buruh ataupun masyarakat di lingkungan dimana perusahaan tersebut berdiri. Informasi mengenai
kesejahteraan SDM maupun informasi mengenai kontribusi perusahaan bagi kesejahteraan
masyarakat belum tersajikan dalam laporan keuangan.

Standar akuntansi berubah dari waktu ke waktu, tetapi nilai yang diusung di dalamnya
tetaplah nilai kapitalisme. Begitupun yang terjadi di Indonesia. Indonesia hanya berganti kiblat
dari GAAP ke IFRS, namun nilai yang ada di dalam kedua standar tersebut tetaplah kapitalisme.

JEBAKAN KAPITALISME DALAM IFRS

Penerapan IFRS di Indonesia pertama kali pada tahun 2008. Perubahan dari GAAP ke
IFRS dilakukan secara bertahap. Pengadopsian IFRS ke Indonesia membuat peran Dewan Standar
Akuntansi (DSAK) menjadi berubah. DSAK tidak lagi menyusun standar akuntansi, namun
menerjemahkan IFRS untuk bisa diterapkan di Indonesia. Proses adopsi IFRS secara penuh selesai
pada tahun 2012. Proses penerjemahan ke dalam SAK mungkin mempertimbangkan karakteristik
bisnis di Indonesia. Namun, ada yang terlewatkan dalam proses adopsi IFRS. Pertimbangan value
mungkin luput dari perhatian IAI pada saat proses pengadopsian IFRS. Value yang terkandung
dalam IFRS tidak sesuai dengan value yang dianut oleh Indonesia. Nilai kebersamaan dan
kesejahteraan bersama sama sekali tidak tercermin dalam IFRS yang mengusung nilai kapitalisme.

Selain pertimbangan biaya, desakan lingkungan bisnis memaksa Indonesia untuk


mengadopsi IFRS. Dari segi biaya, tentu lebih murah apabila menerjemahkan IFRS menjadi
standar akuntansi Indonesia daripada harus menyusun standar yang sesuai dengan karakteristik
Indonesia. Beberapa manfaat yang sering didengungkan ke publik di balik proses pengadopsian
IFRS diantaranya adalah : a) meningkatkan kualitas SAK, b) mengurangi biaya pembuatan
standar, c) meningkatkan kualitas laporan keuangan, d) meningkatkan keterbandingan laporan
keuangan dengan dunia internasional, e) meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
Manfaat lainnya dari pengadopsian IFRS yang sering dibanggakan oleh IAI adalah mendorong
masuknya arus investasi global. Namun, secara tidak sadar peningkatan arus investasi asing juga
merupakan jalan masuk bagi kapitalisme. Dengan masuknya investasi asing, berarti telah
mengijinkan pemodal asing mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja Indonesia.
Outcome peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan masih belum tercapai , jika
diukur dengan output ketersediaan lapangan kerja. Investasi asing memberikan peluang bagi
pemodal asing untuk memperkaya diri dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial yang
semakin melebar di Indonesia.

Pengadopsian IFRS yang ditujukan untuk meningkatkan laju investasi global pada
dasarnya bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, yang menyebutkan “Perekonomian
disusun atas dasar asas kekeluargaan”. Lebih lanjut, Pasal 33 ayat 2 menyebutkan bahwa
“Cabang-cabang industri yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”. Dalam Pasal 33 ayat 3 disebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan seluas-luasnya untuk
kepentingan rakyat”. Dari sini kita bisa menarik sebuah pola, bahwa IFRS telah menggiring
Indonesia untuk meninggalkan perekonomian yang berlandaskan pada asas kekeluargaan. Sumber
daya alam yang seharusnya dapat dikuasai oleh negara untuk dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat, dapat tersingkirkan dan dikuasai pemodal asing yang masuk
melalui pintu bernama IFRS.

Ditinjau dari sisi kontennya, IFRS mempunyai tiga karakteristik dasar yang membuatnya
berbeda dari GAAP. Pertama, IFRS menganut principal based, sementara GAAP menganut rule
based. Dalam principal based, yang diatur hanyalah pokok-pokoknya saja, tidak mengatur secara
rinci. Penerapan principal based membutuhkan judgement profesional dari akuntan. Kedua,
penggunaan nilai wajar dalam IFRS dianggap dapat meninngkatkan relevansi laporan keuangan
daripada historical cost seperti yang digunakan oleh GAAP. Ketiga, dalam IFRS disarankan
melakukan pengungkapan informasi dalam lingkup yang lebih luas, agar pengguna mendapatkan
informasi yang komprehensif untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Menurut Stojilkovic (2010) penilaian dengan menggunakan nilai wajar merupakan bentuk
neoliberalisme kapitalisme. Selain itu, akuntansi nilai wajar merupakan cara untuk mencari laba
dalam jumlah yang lebih besar. Penggunaan nilai wajar dianggap sebagai cara untuk meningkatkan
relevansi informasi akuntansi. Namun, ada hal yang terlupa di balik penerapan nilai wajar.
Penilaian seberapa tingkat nilai wajar akan sangat tergantung pada professional judgement dari
akuntan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu. Lebih lanjut, Stojilkovic (2010)
menyatakan bahwa semakin besar proporsi penilaian nilai wajar berdasarkan judgement, maka
akan semakin menurunkan tingkat validitas laporan keuangan disebabkan oleh tingginya peluang
terjadinya manipulasi. Hal ini karena judgement bersifat sangat subjektif.

Sebagai konsekuensi dari adanya penilaian nilai wajar, dalam IFRS timbul adanya
unrealized gain. Jika dicermati, unrealized gain ini merupakan upaya untuk memperbesar nilai
akumulasi laba. Maksimalisasi laba atau kekayaan (wealth maximization) merupakan ciri khas
utama kapitalisme. Menurut Nugrahanti (2016) penerapan IFRS akan menggiring suatu negara
masuk ke dalam jebakan kapitalisme liberalisasi financial market. Sulistyowati (2010)
menyatakan bahwa salah satu kepentingan IFRS adalah memastikan laporan arus kas dapat
dijadikan sebagai alat untuk memetakan kekuatan perusahaan, dengan tujuan menghasilkan uang
dalam jumlah besar. Mesin penggerak kapitalisme berupa pasar modal bukan merupakan alat
penggerak ekonomi masyarakat seperti yang selama ini kita pahami. Pasar modal diciptakan
dengan hanya satu tujuan, yaitu menjadi mesin yang menghasilkan banyak uang dan aliran uang
tidak terkontrol oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga keuangan. Ekonomi suatu negara
dapat dimainkan oleh segelintir kelompok orang melalui pasar modal. IFRS merupakan alat bantu
untuk mencapai misi kemudahan mengakses pasar modal secara global di seluruh dunia. Dengan
diterapkannya IFRS di Indonesia, telah mengantarkan Indonesia pada gerbang perangkap
kapitalisme yang sarat akan keserakahan dan mengabaikan nilai-nilai kebersamaan (Nugrahanti.
2016).

PENGEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI YANG SESUAI NILAI INDONESIA

Pengadopsian IFRS mungkin merupakan sebuah keniscayaan agar Indonesia tetap


dipertimbangkan dan dilibatkan dalam perekonomian dunia. Untuk membangun sebuah
perekonomian yang kokoh tidak selalu harus mengikuti arus utama perekonomian yang dianut
banyak negara. Mengembangkan kearifan lokal dan menggunakan nilai budaya sendiri yang lebih
baik akan mendorong ciri khas dalam tatanan perekonomian yang mungkin tidak dimiliki oleh
negara lain. Penerapan IFRS juga tidak harus dengan transliterasi penuh. Pertimbangan nilai
budaya harus dimasukkan dalam proses penyusunan standar akuntansi, termasuk dalam proses
pengadopsian IFRS.

Sebelum melakukan penyusunan standar akuntansi, ada baiknya melakukan perubahan


tujuan pelaporan keuangan terlebih dahulu. Tujuan menjadi hal yang penting, karena merupakan
alasan sekaligus titik awal mengapa sebuah laporan keuangan disusun. Apabila IFRS dan GAAP
sama-sama merumuskan tujuan yang memuat nilai kapitalisme. Indonesia seharusnya
menghilangkan nilai kapitalisme dalam perumusan tujuan itu sendiri. Menurut Hafizah (2004)
perlu adanya perubahan tujuan dari decision making menjadi accountability. Tujuan pengambilan
keputusan atau decision making, telah memasukkan adanya unsur kepentingan dari pihak-pihak
tertentu, yang pada akhirnya akan mengerucut pada pihak yang mempunyai power. Berbeda
dengan tujuan pelaporan keuangan untuk akuntabilitas. Akuntabilitas dimaknai sebagai bentuk
pertanggungjawaban perusahaan terhadap seluruh aktivitas operasionalnya. Perusahaan menyadari
bahwa untuk dapat beroperasional, perusahaan membutuhkan dukungan dan legitimasi termasuk
dukungan pendanaan dari masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan
pertanggungjawaban dengan mengungkapkan seluruh informasi apa adanya yang terjadi selama
siklus operasional perusahaan. Menurut Nugrahanti (2016) selain memberikan informasi
kuantitatif, akuntansi juga harus menyediakan informasi yang bersifat kualitatif, agar masyarakat
dapat memperoleh informasi yang komprehensif.

Berbicara tentang akuntabilitas, sebenarnya konsep ini dapat dijabarkan menjadi makna
yang lebih luas. Triyuwono (2006) menyebutkan bahwa akuntabilitas terbagi menjadi dua jenis,
yaitu : akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas horizontal berkaitan
dengan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada sesama manusia dan alam sekitarnya.
Sedangkan akuntabilitas vertikal berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada
Tuhannya. Dari substansi dari kedua bentuk akuntabilitas tersebut, jika dijabarkan dalam standar
akuntansi, maka dimensi yang digunakan bukan lagi ukuran laba ataupun rugi. Melainkan,
perusahaan juga harus melaporkan aktivitas kontribusinya dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan sesama manusia dan menjaga kelestarian alam (Triyuwono, 2006).

Hal selanjutnya yang perlu menjadi perhatian saat penyusunan standar adalah mengenai
konsep laba. Laba dalam akuntansi saat ini dijadikan indikator untuk pengukuran kinerja. Semakin
tinggi laba atau tingkat profitabilitas, semakin tinggi pula return untuk investor, kinerja perusahaan
tersebut akan dinilai semakin baik. Ketika penilaian baik-buruk sebuah perusahaan hanya dilihat
dari sudut pandang materi, maka akan terjadi banyak perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang
manajemen karena digerakkan oleh keserakahan yang secara implisit ada dalam orientasi
penyusunan laporan keuangan. Standar akuntansi harus dapat menjadi guide bagi praktik
penyusunan laporan keuangan dan harus mampu meminimalisasi efek materialistis dari dimensi
laba. Jika tadi disebutkan bahwa tujuan pelaporan keuangan adalah salah satunya untuk
akuntabilitas horizontal, maka kontribusi kepada masyarakat merupakan konsep yang lebih tepat
dalam menggantikan laba sebagai indikator kinerja. Zakat dapat dijadikan instrumen keuangan
yang memiliki nilai kontribusi kepada masyarakat (Triyuwono,2006). Zakat dapat dijadikan
indikator kinerja, bahwa semakin banyak zakat yang dikeluarkan, semakin banyak manfaat yang
diterima oleh masyarakat, kinerja perusahaan menjadi semakin baik. Format laporan yang ada
tidak lagi menyajikan laba rugi sebagai fokus utama, melainkan zakat sebagai instrumen
kesejahteraan masyarakat, yang akan dijadikan sebagai fokus laporan keuangan. Laba rugi hanya
disajikan sebagai dasar untuk perhitungan zakat. Dengan demikian, saat membaca laporan
keuangan perusahaan, keputusan yang dibuat oleh investor dalam menanamkan investasinya
bukan lagi digerakkan oleh ruh keserakahan yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya, melainkan digerakkan oleh semangat berkontribusi kepada masyarakat, berlomba
menjadi yang terbaik dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.

KESIMPULAN

Kapitalisme telah melekat pada proses bisnis dan sistem ekonomi di banyak negara di
dunia. Kebutuhan ekspansi bisnis dan upaya untuk mendapatkan sumber daya alam dan tenaga
kerja yang murah menuntut dilahirkannya standar internasional yang diterapkan tunggal di seluruh
dunia. Adopsi IFRS membawa implikasi pada internalisasi nilai budaya kapitalisme ke dalam
sistem sosial di Indonesia. IFRS membawa Indonesia masuk ke dalam pusaran arus kapitalisme
yang telah menggeser nilai-nilai kebaikan yang ada dalam budaya Indonesia. Akan lebih bijak jika
dalam mengembangkan standar akuntansi, nilai-nilai budaya tersebut dipertimbangkan. Dalam
proses penyusunan standar perlu terlebih dahulu merubah tujuan dari pelaporan keuangan dan juga
konsep pengukuran kinerja. Tujuan pelaporan keuangan bukan lagi digunakan untuk pengambilan
keputusan melainkan sebagi akuntabilitas atau bentuk pertanggungjawaban perusahaan baik
kepada sesama manusia,alam, dan Tuhan. Dalam mengukur kinerja, zakat dapat digunakan sebagai
pengganti konsep laba yang selama ini dijadikan sebagai indikator kinerja. Dengan menggunakan
zakat sebagai acuan penilaian kinerja, seluruh aktivitas yang melibatkan stakeholder, baik
investasi, operasional, maupun pendanaan akan digerakkan oleh semangat berkontribusi kepada
masyarakat demi menjaga dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

REFERENSI

Adam, Helmy. (2008). Akuntansi dan Kapitalisme. Iqtishoduna Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam
Vol 4 no 3.

Chiapello, E. (2007). Accounting and The Birth of The Notion of Capitalism. Critical
Perspective of Accounting 18, hal. 263-296.

Choi, Frederick D.S dan Gerhard G. Mueller. 1998. Akuntansi Internasional 2nd edition. Jakarta :
Salemba Empat
Deegan. 2007. Financial Accounting Theory 2nd Edition. New South Wales Australia : Mc Graw
Hill

Irving L. Fantl “The Case against International Uniformity” Management Accounting (N.A.A),
Mei 1971.
Nugrahanti, Yeterina. 2016. Perangkap Kapitalisme Dalam Adopsi International Financial
Reporting Standards (IFRS). Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Mei 2016,
Hal: 95- 105

S.J Gray. 1983. International Accounting and Transnational Decisions. London, United Kingdom
: Butterworth
Stojilkovic, Milorad. (2010). Fair Value Accounting-The Beginning of The End. Economics and
Organization Journal Vol 7, No.2, Hal. 163-177.

Sulistyowati, Wiwit Apit. (2010). Sekulerisasi dan Neoliberalisme Melalui Harmonisasi Standar
Akuntansi Internasional. Jurnal Permana Vol. 2, No.1.

Tony Tinker, Marilyn Neimark, (1988) "The Struggle Over Meaning in Accounting and Corporate
Research: A Comparative Evaluation of Conservative and Critical
Historiography", Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 1 Issue: 1, pp.55-
74. https://doi.org/10.1108/EUM0000000004620

Triyuwono. 2006. Akuntansi Syariah : Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling


Kawulo-Gusti. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya Malang.

Potrebbero piacerti anche