Sei sulla pagina 1di 7

ISSN : 0852-3681 Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2): 116 - 122

E-ISSN : 2443-0765 Available online at http://jiip.ub.ac.id/

Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah


Lili Zalizar

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian dan Peternakan


Universitas Muhammadiyah Malang

Corresponden author: lilizalizarthahir@yahoo.com

ABSTRACT: The purpose of this research was to find out prevalence and the rates of
helminths infection and the kind of the helmints on dairy cows that was belonging
KUBE Maju Mapan Cooperative in Jabung, Malang. A total of 123 dairy cows on farms
was investigated for the possibility of a worm infection. Indications of worm infections
was based on faecal worm egg discovery using floating method using saturated salt
solution for nematode and cestode worms and sedimentation methods for the
examination of worms trematodes. Examination of the number of worm’s eggs use Whit
lock chambers tool. Stool examination was done in the Laboratory of Animal Health
belong to the Department of Animal Husbandry East Java Province in the district of
Pakis Malang. The sample examination was done in 3 (three) times repetition.The
results showed there are 2 (two) types of worm eggs, nematode type Strongyloid sp and
Trematodes type Fasciola sp. The prevalence of Strongyloid infection in cattle is large
enough that is equal to 33.33 percent (41 of 123 dairy cows). While the prevalence of
the infected cattle Fasciola sp only 23.58 percent (29 of 123 dairy cows). The rate of
infection or mean number of eggs per gram of feces of Strongyloid and Fasciola sp are
only 2.43 and 1.88 per head of cattle. The efforts for worm medication regularly
conducted by the Cooperative has been able to reduce the prevalence of the disease and
the rates of infection.

Keywords : cooperative, cows, prevalence, worm infection

PENDAHULUAN penyumbatan atau obstruksi sehingga


Kerugian akibat infeksi parasit proses pencernaan makanan terganggu.
khususnya cacing pada ternak di Gangguan akibat cacing pada sapi
Indonesia sangat besar. Hal ini akibat perah dapat menyebabkan penurunan
cacing parasit menyerap zat-zat makanan, produksi susu pada ternak dewasa dan
menghisap darah /cairan tubuh, atau hambatan pertumbuhan pada ternak
makan jaringan tubuh ternak. Cacing muda. Selain itu akibat infeksi cacing
parasit juga menyebabkan kerusakan parasit menyebabkan kondisi tubuh
pada sel-sel epitel usus sehingga dapat ternak menurun sehingga dapat
menurunkan kemampuan usus dalam menggagalkan vaksinasi dan
proses pencernaan dan penyerapan zat-zat memungkinkan timbulnya berbagai
makanan serta produksi enzim-enzim penyakit lain seperti bakterial, viral
yang berperanan dalam proses maupun parasit lainnya.
pencernaan. Selain itu berkumpulnya Peternakan sapi perah umumnya
parasit dalam jumlah besar di usus atau tergabung dalam suatu koperasi.
lambung ternak dapat menyebabkan Perhatian dan pengetahuan koperasi

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 116


J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2):116 – 122

terhadap penyakit cacing (helminthiasis) tersebut. Satrija et al. (2003, berpendapat


saluran cerna akan mempengaruhi tinggi bahwa iklim tropis di Indonesia yang
rendahnya kasus infeksi cacing pada sapi hangat dan basah memberikan kondisi
perah di kelompok ternak di wilayah yang menguntungkan bagi perkembangan
koperasi tersebut. telur dan ketahanan hidup larva dan telur
Penelitian ini dilakukan untuk infektif cacing di alam. Faktor cuaca di
mengetahui seberapa besar prevalensi dan Kabupaten Malang cukup mendukung
derajat infeksi cacing yang menyerang di hidup cacing. Kabupaten Malang
peternakan sapi perah yang tergabung memiliki suhu berkisar antara 21-29ºC
dalam Koperasi Usaha Bersama (KUBE) dengan kelembaban antara 60-90 persen.
Maju Mapan di Kecamatan Jabung. Kondisi tersebut cocok dengan kebutuhan
hidup telur cacing dan larva di
MATERI DAN METODE lingkungan.
Sebanyak 123 ekor sapi perah di Pada Tabel 1 hasil pemeriksaan
peternakan yang tergabung di Koperasi terhadap feses memperlihatkan sapi perah
KUBE di Jabung Kabupaten Malang terinfeksi 2 jenis cacing yaitu cacing jenis
diteliti terhadap kemungkinan adanya nematoda (cacing gilig) dan trematoda
infeksi cacing. Indikasi adanya infeksi (cacing pipih). Kedua jenis cacing ini
cacing berdasarkan ditemukannya telur termasuk yang cukup sering ditemukan
cacing pada feses dengan memakai pada sapi baik sapi perah maupun sapi
metode apung untuk cacing nematoda potong. Hal tersebut sama dengan hasil
dan cestoda dengan menggunakan larutan penelitian Erwin, Kamal dan Rusdiana
garam jenuh dan metode sedimentasi (2010) di Rumah Potong Hewan (RPH)
untuk pemeriksaan cacing trematoda. di Palembang menunjukkan bahwa
Pemeriksaan jumlah telur cacing pengamatan pada 96 sampel feses sapi,
memakai alat hitung didapatkan telur cacing hanya yang
Whitlock.Pemeriksaan feses dilakukan di berasal dari dua kelompok cacing parasit
Laboratorium UPT Kesehatan Hewan tersebut. Penelitian Tantri dkk (2013) di
milik Dinas Peternakan Propinsi Jawa RPH Kota Pontianak Kalimantan Barat
Timur di Kecamatan Pakis menunjukkan bahwa infeksi nematoda
Malang.Pemeriksaan sampel dilakukan 3 dan trematoda lebih tinggi daripada
(tiga) kali ulangan. Variabel yang diamati cestoda.
dalam penelitian ini adalah prevalensi Tabel 1 memperlihatkan sapi
infeksi cacing dan derajat infeksi (dilihat perah terinfeksi cacing parasit anggota
dari jumlah telur cacing tiap gram ordo Strongyloid dari superfamili
tinja/TTGT). Metode penelitian ini Trichostrongyloidea. Cacing tersebut
menggunakan survei dengan porposive merupakan parasit paling penting pada
sampling dengan kriteria sapi yang sapi, domba dan ruminansia lainnya.
diambil sampel fesesnya adalah sapi Cacing dewasa anggota
betina laktasi 2. Ulangan pengamatan Trichostrongyloidea mengeluarkan telur
sampel 3 (tiga) kali. yang disebut “telur tipe Strongyloid”
yaitu telur dengan membran luar yang
HASIL DAN PEMBAHASAN tipis dan hanya beberapa saja sel nya
Menurut Ronohardjo & Nari yang telah mengalami pembelahan
(1977), mengingat kondisi lingkungan sebelum dikeluarkan dari tubuh, oleh
Indonesia menguntungkan bagi parasit karena itu disebut cacing Strongyloid
maka peternakan di Indonesia tidak dapat (Noble et al, 1989).
membebaskan diri dari infeksi mahluk

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 117


J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2):116 – 122

Anggota dari cacing dengan telur Prevalensi ternak yang terserang


jenis Strongyloid tersebut ini cukup infeksi Fasciola sp hanya 23,58 persen,
banyak. Cacing Haemonchus lebih kecil daripada Strongyloid. Hal ini
sp,Cooperia sp,Trichostrongylus sp dan kemungkinan besar karena siklus hidup
Ostertagia ostertagi merupakan contoh cacing Fasciola sp lebih rumit daripada
dari jenis cacing tersebut dengan dan Strongyloid. Cacing Fasciola sp
dapat menyebabkan produktivitas ternak memerlukan inang antara berupa siput.
menurun sehingga merugikan secara Telur cacing tersebut keluar bersama
ekonomi (Soulsby,1982). feses dan dari telur yang menetas keluar
Rata-rata prevalensi ternak yang mirasidium yang akan masuk ke dalam
terserang infeksi Strongyloid cukup besar tubuh siput.Mirasidium di dalam tubuh
yaitu sebesar 33,33 persen (41 dari 123 siput berkembang menjadi sporokista;
ekor). Siklus hidup cacing jenis ini yang sporokista akan menghasilkan redia dan
langsung dan tidak memerlukan inang redia akan berkembang dan menghasilkan
antara mempermudah keberlangsungan serkaria. Serkaria akan keluar dari siput
parasit tersebut di alam. Setelah telur dan merupakan fase infektif. Apabila
cacing dikeluarkan dari rektum bersama tidak segera termakan oleh sapi, maka
dengan feses maka telur akan serkaria akan mengkista dan menempel
berkembang menjadi larva di lingkungan. pada rumput/tanaman air. Infeksi terjadi
Setelah mencapai stadium larva infektif, pada waktu ternak minum air yang
apabila larva tersebut termakan karena mengandung metaserkaria atau memakan
menempel di rumput maka larva infektif rumput/tanaman air yang mengandung
akan menetas di saluran cerna dan metaserkaria (Kusumamihardja, 1992).
berkembang menjadi cacing dewasa di
dalam tubuh ternak sapi.

Tabel 1. Prevalensi (%) dan rataan jumlah telur cacing pada sapi perah*
Jumlah Sapi
Jumlah Rataan Jumlah
Jenis Telur yang Prevalensi
Sampel (n) Ulangan Telur Cacing
(Kelas) Terinfeksi (%)
(ekor) (butir/gr feses)
(ekor)
1 40 32,52 2,98
trongyloid
123 2 43 34,96 2,32
(Nematoda)
3 40 32,52 1,98
Rataan 41 33,33 2,43
1 32 26,01 3
Fasciola sp
123 2 29 23,58 1,63
(Trematoda)
3 26 21,14 1
Rataan 29 23,58 1,88
* Data diolah

Prevalensi ternak yang terserang 2009). Purwanta et al (2006), juga


Fasciola sp pada penelitian ini lebih melaporkan prevalensi Fasciola sp cukup
rendah dari prevalensi infeksi cacing tinggi yaitu mencapai 53,95% (41 dari 76
tersebut pada ternak sapi potong yang ekor) pada sapi Bali. Demikian juga
disembelih di RPH Samarinda yang menurut Molloy et al (2005), prevalensi
mencapai 44,44% (Jusmaldi dan Saputra, ternak yang terserang Fasciola sp pada

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 118


J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2):116 – 122

sapi potong di Australia mencapai 52,2%. Zalizar dan Satrija (2009), pada ternak
Perbedaan tersebut bisa disebabkan lain (ayam petelur) memperlihatkan
karena adanya perbedaan kekebalan bahwa efikasi piperazin dan albendazole
terhadap infeksi cacing tersebut, adanya hanya mencapai 69 persen (tidak efektif)
kebiasaan sapi potong digembalakan dan dan 76 persen (kurang efektif). Tidak
adanya perbedaan bangsa atau jenis tertutup kemungkinan bahwa suatu saat
ternak (Tasawar et al. 2007). Selain itu pada sapi perah di Indonesia juga dapat
daerah dataran rendah dengan banyak terjadi resistensi cacing terhadap
wilayah yang sering tergenang air dan antelmintik yang diberikan, mengingat
ditemukan siput yang merupakan sebagai pola pemberian obat dengan jenis yang
inang antara Fasciola sp memberi sama dalam jangka lama. Oleh karena itu
peluang yang lebih besar untuk terjadinya diperlukan metode lain dalam upaya
infeksi cacing tersebut. Faktor lain pada pengendalian penyakit kecacingan pada
kebiasaan peternak yang memberikan ternak selain antelmintik.
rumput yang masih basah di pagi hari Menurut da Silva et al (2012),
tanpa dilayukan terlebih dahulu untuk menangulangi infeksi cacing pada
mempertinggi kemungkinan terjadinya ternak yang digembalakan sebaiknya
infeksi cacing. dilakukan rotasi padang penggembalaan
Derajat infeksi atau rataan jumlah dan pemberian suplementasi nutrisi.
telur cacing per gram feses termasuk Peternakan sapi perah di Indonesia
rendah. Rataan jumlah telur cacing per umumnya dikandangkan tidak
gram tinja untuk cacing Strongyloid digembalakan, upaya pencegahan
hanya 2,43 per ekor ternak. Hal ini penyakit cacing dapat dilakukan dengan
karena Koperasi (KUBE) Maju Mapan memberikan rumput yang dipotong pada
Kecamatan Jabung Kabupaten Malang siang hari, karena apabila dipotong pada
rutin memberikan obat cacing setiap 3-6 pagi hari larva cacing masih berada di
bulan sekali dengan jenis obat cacing bagian atas (pucuk) rumput sehingga
(antelmintik) yang mengandung pada waktu rumput disabit larva tersebut
piperazin. Piperazin merupakan obat dapat terbawa ke kandang dan termakan
yang efektif untuk cacing Nematoda oleh sapi.Selain itu menjaga sanitasi
termasuk kelompok Strongyloid. kandang agar selalu dalam keadaan
Piperazin menyebabkan kelumpuhan otot bersih diharapkan dapat mengurangi
cacing sehingga cacing mudah infeksi cacing.
dikeluarkan oleh gerakan peristaltik usus Menurut Vercruysse et al. (2002),
(Bjørn, 1992). penggunaan antelmintik sebaiknya
Walaupun upaya Koperasi menggunakan obat yang mempunyai
tersebut sudah efektif dalam menurunkan efikasi 90 persen atau lebih. Pemakaian
derajat infeksi cacing, namun dalam antelmintik yang mempunyai efikasi yang
pemakaian antelmintik sebaiknya tidak rendah dapat memicu terjadinya
terus menerus menggunakan jenis obat resistensi.Adanya kemungkinan telah
yang sama karena akan merangsang terjadi resistensi tersebut sangat
terjadinya resistensi. Menurut Bjørn merugikan peternak karena berarti obat
(1992) dan Ridwan et al (2000), yang diberikan kurang efektif lagi dalam
frekuensi pemberian antelmintik dengan mengendalikan penyakit sehingga
jenis yang sama dalam jangka lama dapat produktivitas ternak tetap rendah dan
menyebabkan terjadinya resistensi cacing incomenya menurun.
terhadap antelmintik tersebut. Demikian
juga hasil penelitian Zalizar (2009) dan

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 119


J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2):116 – 122

Tabel 2. Prevalensi infeksi telur cacing tunggal dan campuran


Sample Sapi (n) Rataan Sapi Prevalensi
Infeksi Tunggal / Campuran
(ekor) Terinfeksi (ekor) (%)
Tunggal (Strongyloid atau
Fasciola saja) 68 55,28
Campuran (Strongyloid +
Fasciola) n=123 2 1,63
Tidak Terinfeksi 53 43,09
Jumlah 123 100

Antelmintik piperazin tidak KESIMPULAN


efektif untuk cacing Trematoda seperti Peternakan sapi perah anggota
Fasciola sp. Koperasi KUBE Maju Koperasi (KUBE) Maju Mapan di
Mapan memberikan antelmintik Kecamatan Jabung Kabupaten Malang
piperazin sehingga tidak dapat terinfeksi cacing jenis Strongyloid dan
membunuh cacing Fasciola sp. Namun Fasciola sp dengan prevalensi dan
prevalensi dan derajat infeksi cacing derajat infeksi yang ringan. Upaya
tersebut lebih rendah dari cacing jenis pengobatan yang rutin diberikan oleh
Stronyloid. Hal ini terutama akibat Koperasi telah mampu menurunkan
untuk melengkapi siklus hidupnya, prevalensi ternak yang terserang dan
cacing Fasciola memerlukan inang derajat infeksi cacing.
antara berupa siput. Sedangkan siput Diharapkan tidak menggunakan
tersebut umumnya hanya ditemukan jenis obat cacing yang sama terus
ditemukan di lahan yang ada airnya menerus dalam jangka yang lama untuk
misalnya di sawah atau di padang mencegah terjadinya resistensi.
rumput dekat sungai/kali yang sering
banjir. Wilayah Kabupaten Malang UCAPAN TERIMA KASIH
dengan dataran tinggi dan tempat Terima kasih yang sebesar-
menanam rumput yang umumnya jauh besarnya disampaikan kepada
dari selokan/sungai mengurangi peluang Universitas Muhammadiyah Malang
mirasidium untuk bertemu dengan siput. atas dana kompetitif Blockgrant
Hal tersebut menyebabkan infeksi Penelitian yang diberikan untuk
Fasciolosis di Kabupaten Malang lebih membiayai penelitian ini.
sedikit daripada Strongyloidosis. Pada
Tabel 2, terlihat bahwa jumlah ternak DAFTAR PUSTAKA
yang terinfeksi dengan telur cacing Da Silva, B. J.,CP Rangel, AH da
tunggal (Strongyloid atau Fasciola saja) Fonseca and JPG Soares.2012.
lebih banyak daripada infeksi Gastrointestinal Helminths in
campuran. Hal itu menunjukkan bahwa Calves and Cows in Organic
infeksi campuran antara cacing jenis Milk Production System.
Strongyloid dan Fasciola sp lebih sulit Rev.Bras. Parasitol.Vet.,
terjadi, kemungkinan besar akibat siklus Jaboticabal.Vol 2 (2):87-91
hidup Fasciola sp yang lebih kompleks. Erwin N., Kamal M, dan Rusdiana
A.,2010. Identitas Jenis Telur
Cacing Parasit Usus Pada
Ternak Sapi (Bos sp.) dan

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 120


J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2):116 – 122

Kerbau (Busbalus sp.) di Rumah Seminar of Soil Transmitted


Potong Hewan Palembang. Helminth dan Seminar Nasional
Jurnal Penelitian. Universitas Perkumpulan Pemberantasan
Sriwijaya. Sumatra Utara. Hal Penyakit Parasitik Indonesia,
06-11 Bali 21-24 Februari 2000.
Jusmaldi dan Saputra, Y. 2009. Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa
Prevalensi Infeksi Cacing Hati Masalah Penyakit Unggas di
(Fasciola hepatica) pada Sapi Indonesia. Di dalam: Ilmu dan
Potong di Rumah Potong Hewan Industri Perunggasan. Seminar
Samarinda. Jurusan Biologi Pertama, 30-31 Mei 1977,
FMIPA Universitas Cisarua, Bogor, Indonesia. Pusat
Mulawarman. Bioprospek. Vol. Penelitian dan Pengembangan
6 (2): 55-61 Peternakan. hlm 1-15.
Kusumamihardja S.1992. Parasit dan Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB. 2003.
Parasitosis pada Hewan Ternak Perbandingan Efikasi Berbagai
dan Hewan Piaraan di Bentuk Sediaan Obat Cacing
Indonesia. Bogor: Pusat Antar Albendazol terhadap Cacing
Universitas Bioteknologi Institut Haemonchus Contortus dan
Pertanian Bogor. Trichostrongylus spp pada
Molloy, J. B.,G.R. Anderson, T.I. Domba. Makalah Seminar
Flether, J. Landmann and Strategi Pemanfaatan
B.C.Knight. 2005. Evaluation of Antelmintik untuk Pengendalian
a commercially available Kecacingan pada Ternak, 11
enzym-linked immunosorbent Februari 2003. Bogor.
assay for detecting antibodies to Soulsby, EJL. 1982. Helminths,
Fasciola hepatica and Fasciola Arthropods and Protozoa of
gogantica in cattle, sheep and Domesticated Animals. 7th Ed.
buffaloes in Australia. Philadelpia: Lea and Febiger.
Vet.Parasitol., 130:207-212 Tantri N,Tri Rima S dan Siti Khotimah.
Noble ER., GA Noble., GA Schad, AJ 2013. Prevalensi dan Intensitas
MacInnes. 1989. Parasitology, Telur Cacing Parasit Pada Feses
The Biology of Animal Sapi (Bos sp) di Rumah Potong
Parasites. Hewan (RPH) kota Pontianak
6thEdition.Philadelphia: Lea & kalimantan Barat. Jurnal
Febiger.574pp. Protobiont Vol 2 (2): 102-106
Purwanta,Ismaya NRP dan Tasawar Z., U. Minir, C.S. Hayat and
Burhan.2006. Penyakit Cacing M.H. Lashari. 2007. The
Hati (Fasciolosis) pada Sapi Bali Prevalence of Fasciola hepatica
di Perusahaan Daerah Rumah in Goats Around Multan.
Potong Hewan (RPH) Kota Pakistan Vet. J.27(1): 5-7
Makasar. Jurnal Agrisistem Vol Vercruysse J, Holdsworth P, Letonja T,
5 (1): 10-21 Conder G, Hamamoto K, Okano
Ridwan Y., Satrija F, Novianti E, K, Rehbein. 2000. International
Retnani EB, Tiuria R. 2000. Harmonisation of Anthelmintic
Resistensi Haemonchus Efficacy guideline (Part2).
contortus terhadap Albendazol Veterinary Parasitology 103:
pada Peternakan Domba di 277-297
Bogor. Prosiding International

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 121


J. Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2):116 – 122

Zalizar L, Fadjar Satrija. 2009. Dampak


perbedaan Dosis Infeksi
Ascaridia galli dan
Pemberian Piperazine terhadap
Jumlah Cacing dan Berat Badan
Ayam Petelur. Animal
Production. Jurnal Produksi
Ternak (terakreditasi) 11(3):176-
182
Zalizar. L. 2009. Dampak Perbedaan
Dosis Infeksi Ascaridia galli
Dan Pemberian Albendazol
terhadap Jumlah Cacing Dan
Bobot Hidup Ayam Petelur.
Jurnal Saintek 6(1):29-33.ISSN
No 1693-8917

DOI : 10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01 122

Potrebbero piacerti anche