Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Lukman Hakim1
1.
Loka Litbangkes Pangandaran
E - mail : elhakim1961@gmail.com
Abstract
The cities of Tasikmalaya and Cimahi are areas with high cases of dengue haemorhagic fever in the past 5
years. In addition, the government in both regions has a high commitment to reduce dengue in their area.
The Indonesian Ministry of Health has launched Movement 1 Rumah 1 Jumantik by emphasizing the
observation and eradication of Aedes spp mosquito larvae by family members in their homes. To analysis
the effectiveness the assisted families coaching by the Jumantik Coordinator in the G1RJ program, in the
cities of Tasikmalaya and Cimahi had been conducted a study entitled Strengthening the Family Based
Monitoring System in DHF Control. The output of this study is expected to be used as a basis for making
policies for intervention strategies to reduce dengue fever cases, especially for vector control, reporting
cases of dengue fever and early detection by involving community participation.
The study design was quasi-experimental with the intervention of the workshop at RW level and guidance
and observation by cadres. The study began with a workshop at city-level followed by cadre training and
assessment before intervention, implementation of interventions and assessments after the intervention. The
results of the data analysis were discussed in the dissemination of information to determine a DHF strategy
of intervention to to decrease of DHF cases.
The study sample in each city was 600 consisting of 400 in the intervention area and 200 in the controll
area. The results of data analysis showed that in Tasikmalaya and Cimahi, there were significant differences
in the status of community participation in PSN, the presence of DHF cases and the presence of Aedes spp
mosquito larvae between before and after the intervention. In the other hand, there are significant
differences in the status of community participation in PSN, the presence of DHF cases, the presence of
Aedes spp mosquito larvae and the implementation of vector surveillance by families in the intervention
area and controll area.
The results of the study concluded that the intervention is family coaching and also monitoring by the
Jumantik Coordinator were proven influential on the participation of the community for eradication of
mosquito breeding sites, to the decline of DHF cases, to the decrease of the presence of Aedes spp mosquito
larvae, and to the implementation of family vector surveillance.
Keywords: Community participation, DHF cases, Aedes spp mosquito larvae, Vector surveillance,
Movement 1 House 1 Jumantik.
Abstrak
Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi adalah wilayah dengan kasus demam berdarah dengue tinggi dalam 5
tahun terakhir. Selain itu, pemetintah di kedua wilayah memiliki komitmen tinggi untuk menurunkan DBD
di wilayahnya.
Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik dengan menekankan pada
pengamatan dan pemberantasan jentik nyamuk Aedes spp oleh anggota keluarga di rumah masing-masing.
Untuk mengetahui efektifitas pembinaan oleh Koordinator Jumantik terhadap keluarga binaannya dalam
G1RJ, di Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi, telah dilakukan penelitian berjudul Penguatan Sistem
Surveilans Berbasis Keluarga dalam Pengendalian DBD. Keluaran penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan bahan pengambil kebijakan untuk menentukan strategi dalam intervensi pemberantasan DBD
khususnya dalam mengendalikan vektor, pelaporan kasus dan deteksi dini dengan melibatkan partisipasi
masyarakat.
Desain penelitian adalah quasi eksperimen dengan adanya intervensi yaitu kalakarya tingkat RW serta
pembinaan dan pengamatan oleh kader. Penelitian diawali dengan kalakarya tingkat kota yang dilanjutkan
dengan pelatihan kader dan penilaian sebelum intervensi, pelaksanaan intervensi dan penilaian sesudah
intervensi. Hasil analisis data dibahas dalam diseminasi informasi untuk menentukan strategi intervensi
pemberantasan DBD.
Sampel penelitian di setiap kota adalah 600 terdiri dari 400 di daerah intervensi dan 200 di daerah
pembanding. Hasil analisis data menunjukan bahwa di Kota Tasikmalaya maupun Kota Cimahi, terdapat
perbedaan bermakna status peran serta masayarakat dalam PSN, keberadaan penderita DBD dan
keberadaan jentik nyamuk Aedes spp antara sebelum dan sesudah intervensi. Selain itu, terdapat perbedaan
bermakna status peran serta masayarakat dalam PSN, keberadaan penderita DBD, keberadaan jentik
nyamuk Aedes spp dan pelaksanaan surveilans vektor oleh keluarga di daerah intervensi dan daerah
pembanding.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa intervensi pembinaan keluarga serta pengamatan oleh Koordinator
Jumantik, terbukti berpengaruh terhadap partisisipasi masyarakat dalam PSN, terhadap penurunan
penderita DBD, terhadap peningkatan ABJ, serta terhadap pelaksanaan surveilans vektor oleh keluarga.
Kata kunci : Partisipasi masyarakat, Penderita DBD, Jentik nyamuk Aedes spp, Surveilans vektor oleh
keluarga, Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Ae. albopictus. Jumlah
kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik, bahkan terdapat kecen-
derungan terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak1. Di Indonesia, jumlah
penderita terus mening-kat, dan pada tahun 2015 dilaporkan 129.650 orang dengan kematian 1.071
orang di 446 kabupaten/kota yang terjangkit atau 86,77% dari jumlah kabupaten/kota yang ada di
Indonesia2. Selain merugikan dari aspek kesehatan, DBD juga merugikan secara ekonomi.
Soewarta Kosen, Peneliti yang juga Koordinator Unit Analisis Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan
Badan Litbangkes Kemenkes RI, pada tahun 2010 menganalisis bahwa total kerugian ekonomi
akibat DBD mencapai Rp 3,1 triliun dari jumlah penderita DBD yang mencapai 157.370 kasus
atau rata-rata Rp. 19.698.799 setiap penderita. Sumber kerugian bukan dari biaya perawatan saja
melainkan juga akibat hilangnya produktivitas si penderita DBD di bidang ekonomi, kerugian non
medisnya justru lebih besar. Dari kerugian tersebut, hanya di bawah 10% yang menjadi
tanggungan pemerintah, sisanya tanggungan masyarakat3. Sedangkan kerugian langsung yang
dikeluarkan untuk biaya peng-obatan di rumah sakit, berdasarkan hasil penelitian di Bandung
tahun 2015, menunjukkan setiap penderita DBD menghabiskan biaya rata-rata Rp. 4.700.0004.
Pada tahun 2015, Pemerintah Kota Tasikmalaya mencanangkan program GEMA ANTIK
yaitu program pengendalian vektor dengan melakukan pendekatan pemberdayaan kader jumantik.
Program ini di satu sisi mampu menurunkan jumlah kontainer positif jentik khususnya bak mandi
meskipun masih belum mampu menurunkan indeks entomologi secara keseluruhan karena belum
merata di semua wilayah. Program Gema Antik ini memiliki kekurangan, terutama dari fokus
pemeriksaan keberadaan jentik. Fokus Gema antik adalah menemukan jentik di bak mandi,
sehingga masyarakat lebih fokus untuk menguras bak mandi dan mengabaikan kontainer potensial
lain seperti dispenser dan kulkas5. Hal ini hampir sama dengan kondisi yang terjadi di Kota
Cimahi, tahun 2010, berhasil menurunkan angka kesakitan akibat DBD dibandingkan dengan
tahun sebelumnya sebagai dampak upaya maksimal pemerintah kota dalam menangani DBD. Kota
Cimahi menerapkan sistem pengendalian terpadu (Integrated Vector Management) dalam upaya
pengendalian vektor diantaranya dengan melakukan pemeriksaan jentik berkala, promosi
kesehatan dengan mengadakan lomba atau pertemuan terkait DBD dan melibatkan masyarakat,
lebih selektif dalam penggunaan insekisida, melakukan fogging fokus, dan melakukan monitoring
kasus DBD. Pemerintah Kota Cimahi juga memberlakukan sistem wilayah binaan oleh masing-
masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atas intruksi langsung dari Walikota. Pemberian
efek jera dengan menempelkan bendera hitam di rumah yang positif jentik, juga membuat aplikasi
untuk system kewaspadaan dini (SKD) sudah dicoba. Tapi upaya tersebut belum berhasil menekan
angka kesakitan DBD dari tahun ke tahun. Biaya fogging setiap tahun mencapai jumlah yang tidak
sedikit, dan menimbulkan risiko lain yaitu resistensi nyamuk6.
Pada saat ini, pelaksanaan program pemberantasan penyakit DBD (P2DBD) belum
berjalan sesuai harapan dikarenakan keterbatasan jumlah dan kemampuan tena-ga pelaksana, dana
serta prasarana. Pelaksanaan programnya lebih difokuskan pada saat terjadi peningkatan jumlah
pen-derita bukan pada saat sebelum musim penularan (SMP), sedangkan kerja sama lintas sektor
dan lintas program belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal melalui kerja sama tersebut dapat
memghasilkan nilai ungkit yang tinggi khususnya dalam menggerakkan peran serta masyarakat
dalam upaya pencegahan DBD7.
Lemahnya P2DBD, salah satunya disebabkan oleh kendala internal yang dihadapi oleh para
pengelola program di Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, akibatnya adalah upaya pengendalian
vektor belum berdasarkan data yang akurat karena data belum tersedia secara lengkap dan
berkesinambungan8. Karena itu, untuk intensifikasi kegiatan surveilans DBD, selain
penyempurnaan pelaksanaan sistem surveilans secara teknis, juga perlu dukungan dari pengambil
kebijakan. Padahal kasus serta KLB DBD dapat dihindari bila SKD dan pengendalian vektor
dengan tepat, terpadu dan berkesinambungan. Pengendalian vektor sudah diatur dalam Kepmenkes
Nomor 581 Tahun 1992, yang menggariskan bahwa PSN dilakukan secara periodik oleh
masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk pesan inti 3M-PLUS. Keberhasilan
kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan angka bebas jentik (ABJ) >95%9.
Pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan DBD selama ini dilakukan dalam wadah
kelompok kerja operasional (POKJANAL) DBD yang merupakan bagian dari 5 (lima) kegiatan
pokok kebijakan pengendalian DBD, disamping menemukan kasus secepatnya dan mengobati
sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan dengan pengendalian vektor (nyamuk
dewasa dan jentik), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan PSN 3M plus, serta peningkatan
profesionalisme pelaksana program10. Selain itu dalam Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik
pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pembinaan oleh Puskesmas dan lintas sektor
terhadap Supervisor dan Koordinator Jumantik di masing-masing RW melalui pelatihan dan
pembinaan lapangan. Sedangkan pembinaan terhadap masyarakat dilakukan oleh Koordinar
Jumantik terhadap Jumantik Rumah yang ada di setiap rumah penduduk serta Jumantik
Lingkungan di tempat-tempat umum (TTU) dan tempat-tempat institusi (TTI)11.
Untuk meningkat peran serta masyarakat dan kegiatan PSN melalui Program 3 M – Plus,
pada tahun 2018 di Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi, telah dilakukan penelitian intervensi
dengan judul “Penguatan Sistem Surveilans Berbasis Keluarga Dalam Pengendalian DBD” dengan
tujuan mengetahui pengaruh pemberdayaan keluarga oleh Koordinator Jumantik dalam
menurunkan kepadatan larva nyamuk Aedes spp, menurunkan keberadaan penderita DBD serta
meningkatkan peran serta keluarga dalam surveilans vektor.
Pemberdayaan Keluarga
Dilakukan rkrutmen dan pelatihan Koordinator Jumantik di daerah intervensi masing-
masing 30 orang setiap lokasi, atau 60 orang setiap kota atau 120 orang secara keseluruhan di Kota
Tasikmalaya dan Kota Cimahi. Selanjutnya setiap Koordinator Jumantik membina keluarga yang
menjadi binaan masing-masing yaitu 20-30 keluarga setiap Koordinator Jumantik.
Setiap 2 minggu, Koordinator Jumantik melakukan pembinaan kepada keluarga binaan
masing-masing dengan cara berkunjung ke rumah keluarga binaannya. Pada saat kunjungan
dilakukan penyuluhan tentang pemberantasan vektor serta program pemberantasan DBD. Selain
itu juga dianjurkan untuk melakukan pengamatan jentik dan PSN setiap minggu, serta tidak lupa
mencatat hasil pengamatan jentik pada kartu jentik yang sudah dipasang pada maing-masing
rumah. Selain itu, bersama dengan anggota keluarga, dilakukan pengamatan jentik nyamuk Aedes
spp pada kontainer air di dalam dan luar rumah. Data hasil pengamatan, selanjutnya dilaporkan
dan dianalisis oleh Supervisor Jumantik untuk menghitung ABJ, kemudian dilaporkan ke
Puskesmas. Dari analisis data, apabila ditemukan ABJ rendah yang berpeluang untuk terjadinya
penularan, maka dilakukan antisipasi kegiatan berupa penyuluhan dan kegiatan lain yang tepat
untuk mencegah supaya tidak terjadi penularan DBD.
Untuk menilai keberhasilan intervensi pemberdayaan keluarga, maka dilakukan survai
untuk mengukur tingkat pelaksanaan partisipasi keluarga dalam PSN, mengukur keberadaan jentik
nyamuk Aedes spp, mengukur keberadaan penderita DBD, serta megukur pelaksanaan surveilans
vektor oleh keluarga. Survai dilaksanakan daerah intervensi dan daerah pembanding, dilakukan
sebelum intervensi (pretest) dan sesudah intervensi (posttest), kecuali untuk megukur pelaksanaan
surveilans vektor oleh keluarga hanya dilakukan pada posttest.
HASIL
Sampel Penelitian
Pengumpulan data pretest dilakukan pada bulan Juni 2018, sedangkan pengumpulan data
posttest dilakukan pada bulan November 2018 dengan, sampel dan metodanya sama dengan pada
pengumpulan data pretest.
Jumlah sampel pretest di Kota Tasikmalaya adalah 600 sampel yaitu 400 sampel di daerah
intervensi dan 200 sampel di daerah pembanding. Sedangkan jumlah sampel pengumpulan data
posttest adalah 585 sampel yaitu 390 sampel di daerah intervensi dan 195 sampel di daerah
pembanding karena 15 sampel lainnya pada sampel pretest tidak bisa dikunjungi karena telah
pindah. Dari 585 sampel pada pengumpulan data posttest, terdapat 405 responden yang sama pada
pengumpulan data [restest dan posttest yaitu 269 responden di daerah intervensi dan 136 responden
di daerah pembanding.
Jumlah responden pengumpulan data pretest di Kota Cimahi adalah 600 sampel yaitu 400
sampel di daerah intervensi dan 200 sampel di daerah pembanding. Sedangkan jumlah sampel
pengumpulan data posttest adalah 592 sampel karena 8 sampel lainnya pada sampel pretest tidak
bisa dikunjungi karena telah pindah. Dari 592 sampel pada pengumpulan data posttest, terdapat
416 responden yang sama pada pengumpulan data [restest dan posttest yaitu 267 responden di
daerah intervensi dan 149 responden di daerah pembanding (Tabel 1).
Tabel 1
Jumlah Sampel Pada Pengumpulan Data Pretest dan Posttest
Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi Tahun 2018
Sampel Responden Yang
Sama Pada
Daerah
Kota Pretest Posttest Prestest dan
Penelitian
Posttest
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Tasikmalaya Intervensi 400 66,67 390 66,67 269 66,42
Pembanding 200 33,33 195 33,33 136 33,58
Jumlah 600 585 405
Cimahi Intervensi 400 66,67 395 66,72 267 64,18
Pembanding 200 33,33 197 33,28 149 35,82
Jumlah 600 592 416
Partisipasi keluarga dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) adalah hasil wawancara
dengan responden pada pretest dan posttest. Data yang dianalisis adalah hasil dari responden yang
sama pada pengumpulan data pretest dan posttest. Status partisipasi keluarga dalam PSN diperoleh
setelah dilakukan pembobotan dan penilaian, selanjutnya dibandingkan dengan peluang nilai
maksimal. Status baik apabila nilainya >80% dari nilai maksimal, sedangkan status buruk apabila
nilainya <80%. Kategori ini mengacu kepada analisis yang dilakukan Rachmadewi dan Ali
Khomsan, bahwa pengetahuan, sikap, dan praktek responden dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu kurang (persentase jawaban benar <60%), sedang (persentase jawaban benar 60-
80%), dan baik (persentase jawaban benar >80%)13. Karena partisipasi keluarga responden dalam
PSN pada penelitian ini dibuat menjadi 2 kategori, maka kategori kurang dan sedang digabung
menjadi kategori buruk yaitu responden dengan jawaban <80%, sedangkan kategori baik yaitu
untuk kader dengan jawaban benar >80%.
Hasil analisisi di Kota Tasikmalaya menunjukan bahwa status partisipasi dalam PSN pada
pengumpulan data pretest, dari 269 responden di daerah intervensi terdapat 140 responden
(52,04%) dalam status baik dan 129 responden (47,96%) dalam status buruk. Sedangkan dari 136
responden di daerah pembanding terdapat 67 responden (49,26%) dalam status baik dan 69
responden (50,74%) dalam status buruk. Status partisipasi dalam PSN pada pengumpulan data
posttest, di daerah intervensi terdapat 231 responden (85,87%) dalam status baik dan 38 responden
(14,13%) dalam status buruk. Sedangkan di daerah pembanding terdapat 76 rsponden (55,88%)
dalam status baik dan 60 responden (44,12%) dalam status buruk. Bila dibandingkan antara
posttest dan pretest, terdapat kenaikan status baik status partisipasi dalam PSN di daerah intervensi
yaitu 65,01% sedangkan di daerah pembanding 13,44%.
Hasil analisisi di Kota Cimahi menunjukan bahwa status partisipasi dalam PSN pada
pengumpulan data pretest, dari 267 responden di daerah intervensi terdapat 70 responden (26,22%)
dalam status baik dan 197 responden (73,78%) dalam status buruk. Sedangkan dari 149 responden
di daerah pembanding terdapat 40 rsponden (26,85%) dalam status baik dan 109 responden
(73,15%) dalam status buruk. Status partisipasi dalam PSN pada pengumpulan data posttest, di
daerah intervensi terdapat 158 responden (59,18%) dalam status baik dan 109 responden (40,82%)
dalam status buruk. Sedangkan di daerah pembanding terdapat 68 rsponden (45,64%) dalam status
baik dan 81 responden (54,36%) dalam status buruk. Bila dibandingkan antara posttest dan pretest,
terdapat kenaikan status baik status partisipasi dalam PSN di daerah intervensi yaitu 125,71%
sedangkan di daerah pembanding 69,98% (Tabel 2).
Tabel 2.
Perbandingan Status Partisipasi Dalam PSN Responden Yang Sama
Pada Pengumpulan Data Pretest dan Posttest Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi
Pretest Posttest
Daerah Jml Kecende-
Kota Baik Buruk Baik Baik
Penelitian Responden rungan Status
(%) (%) (%) (%)
Baik
Tasikmalaya Intervensi 269 52,04 47,96 85,87 14,13 Naik 65,01%
Pembanding 136 49,26 50,74 55,88 44,12 Naik 13,44%
Jumlah 405 51,11 48,89 75,80 24,20 Naik 48,31%
Cimahi Intervensi 267 26,22 73,78 59,18 40,82 Naik 125,71%
Pembanding 149 26,85 73,15 45,64 54,36 Naik 69,98%
Jumlah 416 26,44 73,56 54,33 45,67 Naik 105,78%
Analisis Data
Hasil pengolahan data partisipasi keluarga dalam PSN, keberadaan jentik nyamuk Aedses
spp, keberadaan penderita DBD dan pelaksanaan surveilans vektor oleh keluarga, dilakukan
analisis beda nyata dengan chi square untuk mengetahui perbedaannya antara data di daerah
intervensi pengumpulan data pretest dengan hasil posttest, serta antara data di daerah intervensi
dengan daerah pembanding. Hasil analisis menunjukan bahwa data hasil penelitian di Kota
Tasikmalaya, setiap variabelnya mempunyai perbedaan yang sama dengan yang dihasilkan di Kota
Cimahi; perbedaan itu masing-masing antara data pretest dengan data posttest, serta data di daerah
intervensi dengan di daerah pembanding.
Analisis data hasil penelitian di Kota Tasikmalaya, menunjukan bahwa data partisipasi
keluarga dalam PSN, berbeda nyata antara data posttest dengan pretest di daerah intervensi karena
menghasilkan P value 0,001; hasil analisis di daerah intervensi juga berbeda nyata dengan yang
dihasilkan di daerah pembanding dengan P value 0,000. Analisis data status keberadaan jentik
nyamuk Aedes spp di daerah intervensi, juga menunjukan hasil yang sama yaitu berbeda nyata
(signifikans) antara hasil pengumpulan data posttest dengan pretest karena menghasilkan P value
0,002. Analisis data status keberadaan jentik nyamuk Aedes spp di daerah intervensi, juga
menunjukan hasil yang sama yaitu berbeda nyata (signifikans) antara hasil pengumpulan data
posttest dengan pretest karena menghasilkan P value 0,002. Begitu juga di daerah intervensi
berbeda nyata (signifikans) dengan daerah pembanding karena menghasilkan P value 0,000.
Perbedaan status keberadaan penderita DBD antara hasil pretest dan posttest di daerah intervensi,
tidak bisa dihitung karena data posttest adalah konstan yaitu 0 (No statistics are computed be cause
“Nilai Keberadaan Penderita DBD Posttest” is a constant). Sedangkan status keberadaan
penderita DBD di daerah intervensi dan pembanding, adalah tidak berbeda nyata (tidak
signifikans) karena menghasilkan P value 0,333. Sedangkan hasil analisis nilai status pelaksanaan
surveilans vektor, menunjukan bahwa status pelaksanaan surveilans vektor berbeda nyata
(signifikans) antara di daerah intervensi dan di daerah pembanding karena menghasilkan P value
0,000.
Analisis data hasil penelitian di Kota Cimahi, menunjukan bahwa data partisipasi keluarga
dalam PSN, berbeda nyata antara data posttest dengan pretest di daerah intervensi karena
menghasilkan P value 0,034; hasil analisis di daerah intervensi juga berbeda nyata dengan yang
dihasilkan di daerah pembanding dengan P value 0,007. Analisis data status keberadaan jentik
nyamuk Aedes spp di daerah intervensi, juga menunjukan hasil yang sama yaitu berbeda nyata
(signifikans) antara hasil pengumpulan data posttest dengan pretest karena menghasilkan P value
0,002. Analisis data status keberadaan jentik nyamuk Aedes spp di daerah intervensi, juga
menunjukan hasil yang sama yaitu berbeda nyata (signifikans) antara hasil pengumpulan data
posttest dengan pretest karena menghasilkan P value 0,000. Begitu juga di daerah intervensi
berbeda nyata (signifikans) dengan daerah pembanding karena menghasilkan P value 0,002.
Perbedaan status keberadaan penderita DBD antara hasil pretest dan posttest di daerah intervensi,
tidak bisa dihitung karena data posttest adalah konstan yaitu 0 (No statistics are computed be cause
“Nilai Keberadaan Penderita DBD Posttest” is a constant). Sedangkan status keberadaan
penderita DBD di daerah intervensi dan pembanding, adalah tidak berbeda nyata (tidak
signifikans) karena menghasilkan P value 0,333. Sedangkan hasil analisis nilai status pelaksanaan
surveilans vektor, menunjukan bahwa status pelaksanaan surveilans vektor berbeda nyata
(signifikans) antara di daerah intervensi dan di daerah pembanding karena menghasilkan P value
0,001.
.
PEMBAHASAN
Antara Pengumpulan Data Posttest dan Pretest
Hasil penelitian di Kota Tasikmalaya, di daerah intervensi (Cibeureum dan Tawang),
menunjukan bahwa status baik partisipasi keluarga dalam PSN pada 269 responden, meningkat
65,01% dari 52,04% sebelum intervensi menjadi 87,73% sesudah intervensi (Tabel 2). Analisis
bivariabel menunjukkan bahwa intervensi berpengaruh terhadap status baik partisipasi keluarga
dalam PSN karena berbeda nyata (signifikans) antara data posttest dengan pretest karena
menghasilkan P value 0,000. Status baik (negatif) keberadaan jentik nyamuk Aedes spp pada 390
rumah sampel, meningkat 24,42% dari 66,15% sebelum intervensi menjadi 87,69% sesudah
intervensi (Tabel 3). Analisis bivariabel menunjukkan bahwa intervensi berpengaruh terhadap
status status baik keberadaan jentik nyamuk Aedes spp karena berbeda nyata (signifikans) antara
data posttest dengan pretest karena menghasilkan P value 0,000. Status buruk (ada penderita)
keberadaan penderita DBD, pada 390 ruta sampel yang ada di daerah intervensi, menurun 100%
dari 1,28% sebelum intervensi menjadi 0 sesudah intervensi (Tabel 3). Analisis bivariabel tidak
bisa menghitung perbedaan status keberadaan penderita DBD antara hasil pretest dengan hasil
posttest karena data hasil posttest adalah konstan yaitu 0 (No statistics are computed because
“Nilai Keberadaan Penderita DBD Posttest” is a constant).
Hasil penelitian di Kota Cimahi di daerah intervensi (Cipageran dan Citeureup),
menunjukan bahwa status baik partisipasi keluarga dalam PSN pada 267 responden, meningkat
105,78% dari 53,93% sebelum intervensi menjadi 59,18% sesudah intervensi (Tabel 2). Analisis
bivariabel menunjukkan bahwa intervensi berupa berpengaruh terhadap status partisipasi keluarga
dalam PSN karena berbeda nyata (signifikans) antara hasil pengumpulan data posttest dengan
pretest karena menghasilkan P value 0,034. Status baik (negatif) keberadaan jentik nyamuk Aedes
spp, pada 395 rumah sampel, meningkat 16,82% dari 78,23% sebelum intervensi menjadi 91,39%
sesudah intervensi (Tabel 4). Analisis bivariabel menunjukkan bahwa intervensi berpengaruh
terhadap status status baik keberadaan jentik nyamuk Aedes spp karena berbeda nyata (signifikans)
antara hasil pengumpulan data posttest dengan pretest karena menghasilkan P value 0,000. Status
buruk (ada penderita) keberadaan pendeiria DBD, pada 395 ruta sampel, menurun 100% dari
1,52% sebelum intervensi menjadi 0 sesudah intervensi (Tabel 4). Analisis bivariabel tidak bisa
menghitung perbedaan status keberadaan penderita DBD antara hasil pretest dengan hasil posttest
karena data hasil posttest adalah konstan yaitu 0 (No statistics are computed because “Nilai
Keberadaan Penderita DBD Posttest” is a constant).
KESIMPULAN
Disimpulkan bahwa pemberdayaan kelauraga melalui pembinaan oleh Koordinator
Jumantik dapat meningkatkan partisipasi keluarga dalam surveilans vektor dan pemberantasan
sarang nyamuk Aedes spp. Hal ini dapat dilihat dari peingkatan angka bebas jentik serta penurunan
angka kesakitan DBD.
SARAN
Selanjutnya disarankan bahwa pembinaan oleh Koordinator Jumantik dalam pelaksanaan
program pemberantasan DBD perlu diperluas secara bertahap dimulai dari daerah dengan IR DBD
tinggi. Selain itu, terhadap Koordinator Jumantik yang sudah ada perlu dilakukan pembinaan terus
menerus sehingga komunikasi dua arah antara Koordinator Jumantik dengan petugas kesehatan
dan lintas sektoral dapat terus terjaga.
Jumlah penderita DBD mulai tahun 2017 di Kota Tasikmalaya dan Cimahi juga secara
nasional, terjadi penurunan yang cukup signifikan. Dan karena penyakit DBD biasanya mengikuti
pola sembilan atau sepuluh tahunan, maka diperkirakan tahun 2019 atau 2020 akan terjadi lagi
peningkatan kasus. Intervensi dalam penelitian ini telah berhasil menurunkan penderita DBD di
daerah intervensi menjadi 0 meskipun tidak berbeda nyata dengan daerah pembanding. Karena itu,
untuk mencegah kenaikan kasus DBD mengikuti pola sembilan atau sepuluh tahunan, maka
intervensi kalakarya tingkat RW serta pembinaan dan monitoring oleh Koordinator Jumantik,
perlu segera diterapkan dimulai dari daerah dengan jumlah penderita DBD tinggi.
Setelah intervensi, ABJ di Kota Tasikmalaya adalah 87,69% dan di Kota Cimahi adalah
91,65%, sehingga meskipun berbeda nyata antara daerah intervensi dan daerah pembanding, maka
perlu dilakukan pembinaan lebih intensif lagi karena belum mencapai >95% yang berarti masih
memungkinkan terjadinya penularan DBD. Sehingga selain dengan terus menerus dilakukan
pembinaan, ketika ABJ masih rendah maka perlu dilakukan kegiatan tambahan (3M-Plus) yaitu
penggunaan kelambu berinsektisida terutama untuk anak dan bayi pada saat tidur pagi dan siang,
serta program larvasiding menggunakan larvasida yang masih efektif membunuh jentik nayamuk
Aedes spp. Larvasiding terutama dilakukan di wilayah yang sulit air bersih yang banyak
masyarakat menampung air.
Meskipun status pelaksanaan surveilans vektor oleh keluarga berbeda nyata antara daerah
intervensi dan daerah pembanding, tapi karena angkanya masih kecil yaitu 46,41% di daerah
intervensi dan 4,62% di daerah pembanding di Kota Tasikmalaya dan 53,67% di daerah intervensi
dan 8,12% di daerah pembanding di Kota Cimahi, maka perlu ada perhatian khusus pada
pembinaan keluarga untuk pelaksanaan surveilans vektor karena datanya akan digunakan dalam
kegiatan antisipasinya pencegahan penularan DBD. Akibatnya, apabila prosentase keluarga yang
berpartisipasi keluarga dan surveilans vaktor angkanya kecil, maka data yang dihasilkan tidak
dapat mewakili keadaan yang sebenarnya di masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
1. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition. Geneva. 2009.
2. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta. 2016.
3. Anonim. 2011. Kerugian akibat DBD Rp 3,1 triliun. http://nasional.kontan.co.id/news/ kerugian-akibat-dbd-rp-
31-triliun-1. [Accessed: 21 Desember 2018].
4. Anonim. Perumusan model pengendalian vektor demam berdarah dengue berbasis masyarakat. Laporan Loka
Litbang P2B2 Ciamis Tahun 2014. Pangandaran. 2014.
5. Riandi MU, Kesumawati H, Soviana US. Keberadaan Jentik nyamuk Aedes spp, dan Faktor-Faktor
Pendukungnya pada Dua Kelurahan di Kota Tasikmalaya http://repository,ipb,ac,id/ handle/ 123456789/87492.
2017. [Accessed: 19 Januari 2018]
6. Azmi E. Integrated Vektor Management Implementation in Cimahi. A Case Study, Inside, Volume X No 02.
Pangandaran. 2015.
7. Sitepu FY, Suprayogi A, Pramono D. Evaluasi dan Implementasi Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Artikel Vol. 8. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta. 2012.
8. Rahayu T. Evaluasi Pelaksanaan Program P2DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Ketapang 2. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Vol.1, No. 2. Semarang: FKM UNDIP. Semarang. 2012.
9. Anonim. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, Topik Utama.
Volume 2. Agustus 2010. Jakarta. 2010.
10. Ditjen P2PL. Depkes RI. Modul pelatihan bagi pelatih pengendalian sarang nyamuk demam berdarah dengue
(PSN-DBD) dengan pendekatan komunikasi perubahan perilaku (communication for behavioral impact).
Jakarta. 2008.
11. Diten P2P. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-Plus dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
Jakarta. 2016.
12. Atmaja. Populasi dan sampling. Binarupa Aksara. Jakarta. 2003.
13. Rachmadewi A, Khomsan A. Pengetahuan, Sikap, dan Praktek ASI Ekslusif Serta Status Gizi Bayi Usia 4-12
Bulan di Pedesaan Dan Perkotaan. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol 4 no 2: 83 – 90. Jakarta. 2009.
14. Mardikanto T. Konsep-konsep pemberdayaan masyarakat, UNS Press. Surakarta. 2010.
15. Prasetyowati H, RES RN, Nurindra RW. Motivasi Dan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengendalian Populasi
Aedes spp di Kota Sukabumi. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 14 No 2. Juni 2015: 106 — 115, Jakarta. 2015.
16. Kemenkes RI. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga. Jakarta. 2016.
17. Egger JR, Paul GC. Evaluation of Clinical and Administrative Data to Augment Public Health Surveillance,
ISDS, http://ojphi,org/ ojsindex,php/ojphi/article/view/4474/3515. 2012. [Accessed: 21 Desember 2018].
18. Lee LM, Steven MT, Stephen BT, Michael EL. Principles & Practice of Public Health Surveillance. Oxford
University Press. New York. 2010.