Sei sulla pagina 1di 11

Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No.

2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Potensi Jamur Entomopatogen untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura F. pada
Tanaman Tembakau In Vivo

Potency of Entomopathogenic Fungi to control Oriental Leafworm Spodoptera litura F. on Tobacco


In Vivo

Irna Masyitah*, Suzanna Fitriany Sitepu, Irda Safni

Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, USU, Medan 20155


*Corresponding author: irnamasyitah94@yahoo.com

ABSTRACT

Spodoptera litura is an important pest for tobacco. The objective of this study was to determine the
potency of entomopathogenic fungi at various conidia density against Spodoptera litura on tobacco.
This study was conducted in screen house, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara
from October until February 2016. This study was used a randomized block design (RBD) with two
factors and three replications. The first factor was the conidia density (106, 107, 108 conidia/ml), the
second factor was the type of fungi (Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, and
Lecanicillium lecanii) The result showed that: the highest larval mortality was at concentration of
108 conidia/ml (73.33%). The highest larval mortality was on M. anisopliae (57.78%) followed by
B. bassiana (51.11%) and L. lecanii (40.00%). The infected larvae showed slow movements, color
changes to paleness, decreased appitite, over time silent and die. The dead larva body hardened and
blackened. The highest intensity of fungal infection was at concentration of 106 conidia/ml
(42.22%).

Key words: entomopathogenic fungi, Spodoptera litura, tobacco

ABSTRAK

Spodoptera litura merupakan hama penting pada tanaman tembakau. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui potensi jamur entomopatogen pada kerapatan konidia dan jenis jamur yang berbeda
terhadap larva S. litura pada tanaman tembakau. Penelitian dilakukan di Rumah Kasa, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara mulai bulan Oktober sampai Februari 2016. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 2 faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama
adalah jenis jamur (Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, dan Lecanicillium lecanii) dan
faktor kedua adalah kerapatan konidia (106, 107, 108 konidia/ml). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jenis jamur dan kerapatan konidia berbeda nyata terhadap semua peubah amatan. Mortalitas
larva pada jenis jamur M. anisopliae (57,78%) tertinggi dibandingkan B. bassiana (51,11%) dan
terendah L. lecanii (40,00%). Persentase mortalitas larva tertinggi terdapat pada kerapatan 108
konidia/ml (73,33%). Gejala serangan jamur entomopatogen pada larva S. litura yaitu gerakannya
lamban, berubah warna menjadi kepucatan, nafsu makan berkurang, lama-kelamaan diam dan mati.
Larva yang mati tubuhnya mengeras dan berwarna kehitaman. Intensitas serangan tertinggi pada
jenis jamur L. lecanii kerapatan 106 konidia/ml (42,22%).

Kata kunci: jamur entomopatogen, Spodoptera litura, tembakau

484
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
PENDAHULUAN karena hama ini sangat menurunkan produksi
tanaman tembakau.
Hama-hama yang umum terdapat pada
tanaman tembakau Deli antara lain BAHAN DAN METODE
:Spodoptera litura (ulat grayak), Heliothis
assulta (ulat pupus), Plusia signata (ulat Penelitian ini dilaksanakan di
kilan), Cyrtopeltis tenuis (capsid), Laboratorium dan rumah kassa Fakultas
Lasioderma serricorne (hama gudang), Pertanian Universitas Sumatera Utara pada
Acridaturrita L. (belalang), Solenopsis bulan Oktober 2015 sampai Februari 2016.
geminata (semut), Mollusca sp. (keong), Bahan yang digunakan pada
Myzus persicae, Bemisia tabaci (kutu putih) penelitian ini antara lain, tanaman tembakau
(Erwin, 2000). Kerusakan yang di timbulkan varietas Deli-4, ulat grayak (S. litura), L.
oleh larva S. litura di pertanaman tembakau lecanii, M. anisopliae, dan B. bassiana, PDA
dapat mengakibatkan kehilangan hasil 57 %, (Potato Dextrose Agar), DOC-2 PDA,
bahkan gagal panen dapat terjadi utamanya di Bactopeptone, CuCl2, Crystal violet, HCl, air,
musim kemarau apabila tidak di lakukan kentang, dextrose, aquadest, cling wrap,
pengendalian (BPTD, 2011). kapas, dan alumunium foil, kertas stensil,
Pengendalian ulat grayak pada aquades, alkohol 96% sebagai bahan
tanaman tembakau ditingkat petani maupun sterilisasi, chlorox, polibeg ukuran 10 kg,
perusahaan perkebunan kebanyakan masih kertas label.
menggunakan insektisida kimia. Pengendalian Alat yang digunakan yaitu : autoklaf,
hama dengan insektisida kimia telah inkubator, erlenmeyer, gelas ukur, gembor,
menimbulkan banyak masalah lingkungan. mikroskop compound, cangkul, timbangan,
Salah satu alternatif untuk mengendalikan haemocytometer, alat tulis, gunting, counter
hama S. litura adalah dengan memanfaatkan hand , pH meter.
agens hayati seperti jamur entomopatogen Penelitian ini menggunakan metode
(Trizelia et al. 2011) antara lain : Beauveria rancangan acak kelompok (RAK) dengan dua
bassiana, Metarhizium anisopliae, Hirsutella faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama
thompsonii, Paecilomyces fumosoroceus, adalah jenis jamur (L. lecanii, M. anisopliae
Lecanicillium lecanii dan Spicaria sp dan B. bassiana) dan faktor kedua kerapatan
(Prayogo, 2005). konidia jamur (106, 107 dan 108 konidia/ml).
Suhairiyah et al. (2013) menyatakan Pelaksanaan penelitian dimulai dari
bahwa jamur entomopatogen L. lecanii sangat penyediaan jamur entomopatogen yang
efektif dan berpengaruh nyata dalam diisolasi dari larva S. litura yang terinfeksi
mengendalikan hama S. litura dengan jamur entomopatogen yang berasal dari lahan
persentase mortalitas sebesar 80% sampai pertanaman kubis Berastagi, lalu dilakukan
83% di laboratorium. Selain L. lecanii, identifikasi dan perbanyakan jamur.
M. anisopliae efektif membunuh serangga, Jamur entomopatogen ditumbuhkan
antara lain ordo Coleoptera (Gallegos et al. pada media tumbuh PDA setelah berusia 21
2003), Lepidoptera (Prayogo et al. 2005), hari cendawan yang ada di dalam cawan petri
Isoptera (Krutmuang dan Supamit, 2005), ditambahkan air 10 ml kemudian konidia
Thysanoptera (Thungrabeab et al. 2006), dan yang terbentuk diambil menggunakan kuas
Orthoptera (Tsakadze et al. 2003), Hemiptera halus dan digerus pada bagian permukaan
(Herlinda et al. 2006), Homoptera (Evi, koloni bagian atas lalu dicampurkan kedalam
2006), Orthoptera (Thompson, 2006) dan media cair DOC2.
Diptera (Bernardi et al. 2006). Koloni telur S. litura dikumpulkan
Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk dari lapangan, lalu dimasukkan ke dalam
menggali potensi jamur entomopatogen wadah plastik dengan ukuran 20x28 (diameter
(L. lecanii, M. anisopliae dan B. bassiana) x tinggi) telur S.litura diperbanyak dengan
dalam mengendalikan hama ulat grayak cara mengembang biakkan dilaboratorium.
pada tanaman tembakau di rumah kasa, Dimasukkan pakan segar yaitu daun

485
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
tembakau. Setelah telur menetas, dipisahkan S. litura instar 2 diintroduksikan
larva instar 1 ke wadah lain dan diberi pakan sebanyak 5 larva/ tanaman tembakau sesuai
daun tembakau. Makanan larva diganti dengan masing-masing perlakuan.
setelah habis atau sudah tidak segar lagi. Jamur entomopatogen yang telah
Kotoran larva yang terkumpul di dalam diformulasi dalam media cair diinokulasi
wadah harus dibersihkan setiap hari. Setelah sebanyak 50 ml ke seluruh permukaan
larva berganti kutikula sampai instar 2, tanaman tembakau.
diambil larva dan diinokulasikan pada Organisme pengganggu tanaman
tanaman tembakau sebanyak 5 ekor setiap (OPT) lain diamati dan dikendalikan secara
tanaman. mekanis dengan cara pengutipan langsung
Biakan murni jamur ditimbang dan memusnahkannya.
sebanyak 1 g. Kemudian dimasukkan ke Penyiraman dilakukan pada pagi dan
dalam tabung reaksi yang terlebih dahulu diisi sore hari dengan menggunakan gembor.
aquades sebanyak 9 ml. Kemudian larutan Penyiraman dilakukan dengan kondisi di
diaduk dengan menggunakan alat pengaduk. lapangan.
Selanjutnya diambil 1 ml larutan tersebut Peubah amatan yang pertama yaitu
dengan menggunakan mikropipet dan Pengamatan terhadap mortalitas larva
dimasukkan ke dalam tabung reaksi baru yang dilakukan setiap hari setelah aplikasi hingga
telah diisi 9 ml aquades dan diaduk. hama tersebut mati. Persentase mortalitas S.
Selanjutnya dilakukan hal sama sampai litura dihitung dengan rumus :
diperoleh kerapatan spora yang dibutuhkan.
Larutan hasil pengenceran diambil
menggunakan jarum suntik dan diteteskan di P = Persentase mortalitas S. litura
atas haemocytometer. Kemudian ditutup n = Jumlah larva yang mati
dengan deck glass. N= Jumlah awal dari larva yang diuji
Media tanam tembakau terdiri dari (Laoh et al. 2003).
topsoil kompos dan pasir (2:1:1). Media Peubah amatan yang kedua yaitu
tumbuh kemudian dimasukan ke dalam Pengamatan gejala serangan dilakukan setiap
plastik tahan panas dan disterilisai dalam hari pada sore hari sampai larva S. litura mati
autoklaf dengan suhu 1210 C selama 1 jam. terinfeksi jamur entompatogen.
Dimasukkan media tanam yakni Peubah amatan yang ketiga yaitu
topsoil, kompos dan pasir yang telah steril Perhitungan terhadap tingkat kerusakan
kedalam polibeg ukuran 10 kg. tanaman tembakau dilakukan dengan
Pemupukan dasar dilakukan 1 minggu menggunakan rumus:
sebelum tanam yaitu dengan menggunakan
pupuk ZA dan pupuk ZK dan TSP dengan
cara ditugalkan di sekitar lubang tanam. Dosis Keterangan
pupuk yang direkomendasikan yaitu ZA 7,85 IS = Intensitas serangan
g/tanaman, ZK 12,15 g/tanaman dan TSP 7,53 n = Daun rusak tiap kategori serangan
g/tanaman. v = Nilai skala tiap kategori serangan
Penanaman bibit kedalam polibeg Z = Nilai skala tertinggi kategori serangan
dilakukan setelah bibit tumbuh sempurna N = Jumlah daun yang diamati
yakni telah berumur 40 hari setelah disemai Nilai skala dapat dikategorikan sebagai
atau telah memiliki 5-6 helai daun sempurna. berikut:
Penanaman dilakukan dengan cara 0 = Daun sehat tidak ada serangan
memasukkan bibit ke dalam polibeg sebanyak 1 = > 0-25 %, 2 = > 25-50 %, 3 = > 50-75 %,
satu bibit per polibeg. Setelah itu, bibit 4 = > 75-100% (BPTD, 2011).
tembakau disungkup dengan menggunakan Untuk mengetahui pengaruh antar
plastik agar terhindar dari serangan opt perlakuan, maka data-data yang diperoleh
lainnya. diuji dengan analisis varian, dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT)
taraf 5 %
486
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
persentase infeksi terendah 40,00% berbeda
HASIL DAN PEMBAHASAN nyata dengan kedua jamur lainnya. Hal ini
dikarenakan rendahnya daya patogenisitas
Mortalitas Spodoptera litura F. jamur L. lecanii yang menginfeksi larva, tidak
Hasil analisis sidik ragam semua konidia jamur entomopatogen yang
menunjukkan bahwa jenis jamur L. lecanii, diaplikasikan berhasil mencapai sasaran
M. anisopliae dan B. bassiana berpengaruh sehingga kurang efektif apabila diaplikasikan
nyata terhadap persentase (%) mortalitas larva ke lapangan. Heryanto & Suharno (2008)
S. litura (Tabel 1 dan 2). Tabel 1 menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa perlakuan C2 (M. di laboratorium terkadang berbeda hasilnya
anisopliae) pada 4HSA-7HSA menghasilkan setelah dilakukan di lapangan, salah satu
mortalitas yang nyata lebih tinggi 57,78% alasannya disebabkan oleh turunnya daya
dibandingkan dengan C1 (L. lecanii) 40,00% patogenitas jamur karena tingkat patogenitas
tetapi tidak berbeda nyata dengan C3 (B. jamur ditentukan oleh berbagai faktor seperti
bassiana) 51,11%. Dapat diketahui bahwa faktor internal dan eksternal tergantung pada
jamur M. anisopliae paling efektif potensi serangga inang dan lingkungan
dibandingkan dengan jamur lainnya, disekelilingnya seperti. Tidak semua konidia
dikarenakan virulensi jamur tersebut lebih jamur entomopatogen yang diaplikasikan
tinggi. Hal ini erat kaitannya dengan beberapa berhasil karena mobilitas serangga yang
jenis toksin yang dihasilkan, kemampuan tinggi dan adanya peristiwa ganti kulit. Salah
jamur M. anisopliae untuk menginfeksi dan satu upaya mengatasi hal tersebut ialah
melakukan penetrasi pada tubuh serangga dengan menambahkan bahan pembawa
lebih cepat, menyebabkan kematian larva sebagai pengaman bagi konidia ketika
lebih tinggi.. Hal ini didukung dengan menempel pada integumen serangga
pernyataan Prayogo et al. (2005) bahwa (Prayogo, 2006).
media tumbuh, tingkat virulensi, vabilitas dan Persentase mortalitas larva S. litura
patogenitas jamur entomopatogen sangat terhadap cendawan entomopatogen 7 hari
menentukan keberhasilan cendawan dalam setelah aplikasi (HSA) menunjukkan hasil
proses menginfeksi inang. Kematian larva tidak berbeda nyata pada jenis jamur C2 (M.
S. litura terjadi karena konidia jamur anisopliae) 57,78% dan C3 (B. bassiana)
M. anisopliae memiliki aktivitas membunuh 51,11%. Hal ini dikarenakan senyawa enzim
larva karena menghasilkan cyclopeptida, yang dihasilkan kedua jenis jamur ini mampu
destruxin A, B, C, D, E dan desmethyl dan berpotensi dalam mengendalikan dan
destruxin (Widiyanti dan Muyadihardja, menginfeksi serangga dalam waktu yang
2004) . singkat, sehingga mengakibatkan serangga
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari sakit dan mengalami kematian dengan jumlah
ketiga jenis jamur entomopatogen yang diuji mortalita tinggi. Jamur menyebabkan
terlihat bahwa jamur C1 (L. lecanii) dengan
mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti: serangga dalam waktu yang singkat dan yang
defisiensi nutrisi, menyerang, dan merusak lainnya menghasilkan infeksi yang terjadi
jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa secara lambat dalam periode yang lama
diantaranya bersifat virulen dan membunuh (infeksi kronik) (Tanada & Kaya, 1993).

Tabel 1. Persentase mortalitas larva Spodoptera litura akibat aplikasi jamur entomopatogen yang
berbeda pada 1-7 hari setelah aplikasi (HSA).
mortalitas (%)
Jenis jamur
1HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HAS 7 HSA
Lecanicillium lecanii 0 0 0 11.11 c 22.22 b 33.33 b 40.00 b
Metarhizuim anisopliae 0 0 0 24.44 a 35.56 a 44.44 ab 57.78 a
Beauveria bassiana 0 0 0 17.77 b 33.33 a 48.89 a 51.11 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom 487
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf Duncan 5%
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Tabel 2 menunjukkan bahwa kematian hifa terlebih dahulu agar dapat menembus
larva mulai terjadi pada 3 HSA (Hari Setelah kutikula. Lama waktu yang dibutuhkan isolat
Aplikasi) pada K1 (kerapatan 106 konidia/ml) jamur entomopatogen mulai dari infeksi
2,22% hal ini tidak berbeda nyata dengan K2 jamur hingga larva dapat mati berkisar 2-10
(kerapatan 107 konidia/ml) 8,89%, namun hari (Herlinda et al. 2005).
berbeda nyata pada K3 (kerapataan 108 Pada pengamatan 7 HSA persentase
konidia/ml) 22,22%. Perbedaan tersebut mortalitas tertinggi terdapat pada perlakukan
dipengaruhi oleh tingkat kerapatan konidia (kerapatan 108 konidia/ml) mencapai 73,33%.
dan virulensi jamur entomopatogen yang Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
berbeda. Semakin meningkatnya konsentrasi konsentrasi dan racun yang menempel pada
jamur entomopatogen dan semakin banyak tubuh larva maka semakin cepat proses
konidia yang menempel pada tubuh serangga, infeksi dan degradasi kutikula larva S. litura
maka semakin cepat proses infeksi yang sehingga semakin tinggi mortalitas larva.
membuat sistem metabolisme terganggu pada Rustama et al. (2008) Semakin banyak
tubuh sehingga persentase kematian pada konidia yang melekat pada kutikula larva
larva S. litura semakin tinggi. Hal ini sesuai serangga, maka semakin banyak pula konidia
dengan penelitian Sibarani (2015) semakin yang melakukan penetrasi terhadap kutikula.
meningkatnya konsentrasi jamur dan jumlah Mengakibatkan banyak larva yang mati, maka
konidia semakin banyak serta semakin tinggi akan meningkatkan persentase tingkat
daya kecambah, maka akan membuat proses kematian.
infeksi berlangsung cepat, sehingga Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa
mempercepat kematian pada larva S. litura. persentasi mortalitas larva terendah pada K1
Hasil pengamatan menunjukkan (kerapatan 106 konidia/ml) 31,11%,
terjadinya kematian larva yang terinfeksi selanjutnya pada K2 (kerapatan konidia
jamur entomopatogen dimulai dari 3 HSA. 107/ml) 44,44%, dan persentase mortalitas
Hal ini mengindikasikan bahwa jamur tinggi dinyatakan pada K3 (kerapatan konidia
entomopatogen membutuhkan waktu untuk 108/ml) mencapai 73,33%. Hal ini
menginfeksi dan mematikan larva, karena dipengaruhi oleh daya tahan tubuh larva,
konidia jamur yang menempel pada kutikula tingkat patogenisitas jamur yang rendah,
larva terlebih dahulu berkecambah jumlah konidia yang juga rendah serta racun
membentuk hifa agar dapat menembus yang dihasilkan lebih sedikit mengakibatkan
kutikula. Wahyudi (2002) menyatakan bahwa persentase kematian menjadi lebih rendah.
jamur entomopatogen ini membutuhkan Menurut Castrillo et al. (2005) tingkat
waktu untuk mematikan serangg inangnya, patogenitas cendawan entomopatogen
dikarenakan konidia jamur yang menempel ditentukan potensi serangga inang dan
pada kutikula harus berkecambah membentuk lingkungan disekelilingnya. Serangga juga
mengembangkan sistem pertahanan menjadi tiga yaitu: patogenisitas tinggi
diri dengan cara mengeluarkan enzim, protein dengan persentase kematian lebih dari
untuk mendegradasi patogen enkapsulasi 64,49%, patogenisitas sedang dengan
dengan membentuk granuloma (Prayogo et al. persentase kematian 64,49–30,99% dan
2005). Thungrabeab et al. (2006) patogenisitas rendah dengan persentase
mengklasifikasikan tingkat patogenisitas kematian kurang dari 30,99 %.

Tabel 2. Mortalitas larva Spodoptera litura pada berbagai tingkat kerapatan konidia (%) pada 1-7
hari setelah aplikasi (HSA).
Mortalitas (%)
Kerapatan konidia
1HSA 2 HSA 3 HSA 4 HAS 5 HSA 6 HSA 7 HSA
6
10 /ml 0 0 2.22 b 4.44 c 11.11 c 24.44 b 31.11 c
107/ml 0 0 8.89 b 17.78 b 28.88 b 35.56 b 44.44 b
108/ml 0 0 22.22 a 31.11 a 51.11 a 66.67 a 73.33 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang
488
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf Duncan 5%
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Tingginya tingkat mortalitas yang bercak hitam yang menunjukkan tempat
terjadi pada penelitian ini dikarenakan larva penetrasi jamur.
yang digunakan adalah instar II yang Serangga yang terinfeksi jamur
memiliki kutikula yang sangat tipis. Proses entomopatogen melalui 4 tahap yaitu
infeksi jamur entomopatogen dimulai dari inokulasi, penetrasi infeksi dan invasi, setelah
bagian tubuh larva yang lunak pada bagian itu serangga berubah warna menjadi
kepala hingga torak selanjutnya miselium kehitaman. Menurut Freimoser et al. (2003)
jamur menutupi tubuh larva dan berkembang kutikula serangga yang telah mati akan
keseluruh tubuh larva. Semakin muda instar berubah warna menjadi gelap. Pertumbuhan
yang digunakan maka semakin tinggi tingkat konidia dalam tubuh larva melalui berbagai
mortalitas larva. Menurut Prayogo et al. tahap seperti inokulasi, invasi, penetrasi dan
(2005) keefektifan jamur disamping dekstruksi.
dipengaruhi oleh media tumbuh, tingkat Hasil pengamatan menunjukkan
virulensi dan frekuensi aplikasi, juga sangat bahwa serangga S. litura yang terinfeksi oleh
ditentukan oleh umur instar serangga tersebut jamur L. lecanii pada hari pertama belum
entomopatogen khususnya cendawan menunjukkan gejala, pada hari selanjutnya
umumnya mengadakan penetrasi integumen dimulai gerakan lambat, nafsu makan
pada bagian diantara kapsul kepala dengan berkurang, berubah warna menjadi kepucatan,
torak dan diantara ruas-ruas anggota badan. kemudian beberapa hari selanjutnya
kehitaman, akhirnya larva berubah warna dan
Gejala Kematian Spodoptera litura F. menjadi kaku, pada beberapa hari kemudian
Pada umumnya gejala kematian larva awal tubuh larva mengeluarkan miselium
sama, jamur masuk ke tubuh serangga melalui jamur berwarna putih lalu berubah menjadi
kutikula dimana konidia jamur menempel dan putih kepucatan. Jamur entomopatogen ini
berpenetrasi pada integumen S. litura, membutuhkan waktu untuk mematikan
selanjutnya terjadi perubahan fisiologi larva. serangga inangnya Wahyudi (2002) lama
Hal ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan waktu yang dibutuhkan isolat jamur
oleh jamur entomopatogen merusak jaringan entomopatogen mulai dari infeksi jamur
dan menyerap cairan tubuh larva, sehingga hingga larva dapat mati berkisar 2-10 hari
tubuh larva menjadi mengering. Kaur et al. (Herlinda et al. 2005).
(2011) menyatakan bahwa jamur Menurut Prayogo (2012) setiap
entomopatogen menyebabkan kematian cendawan memiliki patogenitas yang berbeda
serangga inang dengan menyerap nutrisi dan beda karena toksin yang dimiliki juga
menyebarkan racun pada hemolymph berbeda. Toksin merupakan salah satu hal
sehingga dapat mempengaruhi perkembangan yang paling berperan penting dalam
dan fisiologis serangga terutama reproduksi. peningkatan mortalitas larva ulat grayak dan
Gejala yang dialami oleh serangga aktifitas makannya. Jenis toksin yang
yang terinfeksi jamur entomopaogen yaitu dihasilkan oleh L. lecanii adalah Cyclosporin
nafsu makan berkurang, gerakan tubuh A., dipicolinic acid, hydroxycarboxylic acid,
menjadi lamban, bersembunyi dibalik daun, dan cyclodepsipeptide yang berfungsi
terjadi perubahan warna pada tubuh serangga mengganggu sistem syaraf.
menjadi kepucatan, bahkan sama sekali sulit M. anisopliae menyerang tubuh
untuk bergerak. Seperti yang dinyatakan inangnya dan menyerap cairan dari tubuh
Prayogo (2006) gejala yang timbul pada inangnya. Jamur tumbuh keluar dari tubuh
serangga terinfeksi jamur patogen adalah inangnya dan menghasilkan konidia sehingga
adanya miselia pada serangga. Pada infeksi tubuh inangnya menjadi keras (mumifikasi).
awal, serangga menunjukkan gejala sakit Hal ini diduga sebagai akibat dari mulai
yaitu tidak mau makan, lemah dan kurang bekerjanya toksin yang diproduksi oleh
orientasi. Seringkali serangga tersebut jamur. Toksin tersebut merusak jaringan dan
berubah warna dan pada kutikula terlihat menyerap cairan sel tubuh larva, sehingga
menyebabkan larva mengering dan mati.

489
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Menurut Kherb (2014) jamur hidup dan dan lubang lainnya. B. bassiana juga
tumbuh dengan memanfaatkan cairan di menghasilkan toksin seperti beauverisin,
dalam tubuh serangga dan menghasilkan beauverolit, bassianalit, isorolit, dan asam
racun yang dapat membunuh serangga. oksalat yang menyebabkan terjadinya
Setelah serangga mati, miselium akan tumbuh kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya
di tubuh serangga. peredaran darah serta merusak saluran
Larva S.litura yang mati terinfeksi pencernaan, otot, system syaraf, dan
M.anisopliae awalnya tidak mau makan, pernafasan (Mahr, 2003).
pergerakan lambat, mati kaku lalu kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Setelah larva mati muncul hifa jamur larva yang terinfeksi telah memperlihatkan
berwarna putih kehijauan. Hifa dari spora M. adanya gejala infeksi yaitu badan menjadi
anisoplae masuk ke rongga dalam tubuh kaku, berwarna hitam selanjutnya disertai
inang karena bantuan enzim dan tekanan tumbuhnya miselia jamur dipermukaan tubuh
mekanik, seluruh tubuh serangga inang penuh S. litura berwana putih seperti benang. Saleh
dengan propagul dan bagian yang lunak dari et al. (2000) menyatakan bahwa hasil
tubuhnya akan ditembus keluar dan pembedahan terhadap larva yang mati, yang
menampakan pertumbuhan hifa di luar tubuh memperlihatkan isi saluran percernaan larva
serangga inang. Pertumbuhan hifa eksternal yang kering dan berwarna hitam. Kulit larva
akan menghasilkan konidia, bila telah masak bagian dalam berwarna merah dengan warna
akan disebarkan ke lingkungan dan putih di sekitarnya. Gejala-gejala ini adalah
menginfeksi serangga hama yang sehat gejala yang ditunjukkan oleh zat pengurai
(Prayogo et al. 2005). khitin yang dikenal dengan nama
Hasil pengamatan menunjukkan Beauvericin, sebagai racun yamng dihasilkan
bahwa larva S. litura yang terinfeksi B. oleh konidia jamur tersebut.
bassiana terjadi melalui integumen yang Dari hasil pengamatan diketahui
merusak sistem kekebalan larva S. litura. bahwa serangga yang terinfeksi jamur
Konidia yang kontak dengan integumen entomopatogen sebagian tidak menunjukkan
segera berkecambah membentuk hifa dan gejala tumbuhnya miselia diatas permukaan
menyerap nutrisi yang ada di tubuh larva serta tubuh serangga. Hal ini diakibatkan jamur
mengeluarkan toksin yang dihasilkannya, B. entomopatogen tidak mampu menembus
bassiana menghancurkan struktur dalam integumen serangga. Jamur tidak selalu
tubuh larva S. litura dan mengakibatkan tumbuh ke luar menembus integumen
kematian larva tersebut. Konidia jamur B. serangga. Apabila keadaan kurang
bassiana masuk ke tubuh serangga inang mendukung perkembangan saprofit hanya
melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel
berlangsung di dalam jasad serangga tanpa Intensitas Serangan (%)
keluar menembus integumen sehingga larva Hasil analisis sidik ragam
yang terinfesi jamur tidak menunjukkan menunjukkan bahwa tingkat kerapatan
adanya hifa yang tumbuh di permukaan tubuh konidia larva S. litura yang terinfeksi jamur
serangga (Prayogo et al. 2005). entomopatogen berpengaruh nyata terhadap
intensitas serangan (%). Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Intensitas serangan (%) Spodoptera litura 7 hari setelah aplikasi (HSA)
Perlakuan Rataan
6 42.22%
10 /ml
7 33.06%
10 /ml
8 22.50%
10 /ml
Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf Duncan 5%

490
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Tabel 3. menunjukkan intensitas
serangan hama S. litura tertinggi mencapai SIMPULAN
42,22% yang menyebabkan terjadi banyak
kerusakan daun tanaman. Hal ini dikarenakan Jenis jamur dan kerapatan konidia
perlakuan yang digunakan dengan perlakuan berbeda nyata terhadap semua peubah
K1 (Kerapatan 106 konidia/ml) dimana amatan. Mortalitas larva pada jenis jamur M.
semakin rendah kerapatan konidia maka anisopliae 57,78% tertinggi dibandingkan B.
semakin tinggi intensitas serangan daun dan bassiana 51,11% dan terendah L. lecanii
semakin sedikit konidia yang menempel maka 40,00%. Persentase mortalitas larva tertinggi
semakin lama nafsu makan berhenti sehingga terdapat pada kerapatan 108 konidia/ml
intensitas serangan daun tinggi. Menurut 73,33%. Gejala serangan jamur
Wahyudi (2008) semakin sedikit konidia yang entomopatogen pada larva S. litura yaitu
menempel maka semakin lama nafsu makan gerakannya lamban, berubah warna menjadi
berhenti sehingga intensitas serangan daun kepucatan, nafsu makan berkurang, lama-
tinggi. kelamaan diam dan mati. Larva yang mati
Tabel 3 menunjukkan intensitas tubuhnya mengeras dan berwarna kehitaman.
serangan hama S. litura terendah 22,50% Intensitas serangan tertinggi pada jenis jamur
yang menyebabkan tidak terjadi banyak L. lecanii kerapatan 106 konidia/ml 42,22%.
kerusakan daun tanaman, hal ini dikarenakan
perlakuan yang digunakan dengan perlakuan DAFTAR PUSTAKA
K3 (kerapatan 108 konidia/ml). Hal ini
dikarenakan semakin tinggi kerapatan konidia Bernardi E., Pinto D M., do Nascimento J S.,
maka semakin cepat penetrasi jamur masuk Ribeiro P B & da Silva C I. 2006. Effect
kedalam tubuh serangga, sehingga of the entomopathogenic fungi
menyebabkan berkurangnya aktivitas makan Metarhizium anisopliae and Beauveria
dan kemampuan mengkonsumsi makanan. bassianaon the development of Musca
Menurut Saleh et al. (2000) berkurangnya domestica L. (Diptera: Muscidae) in the
aktivitas makan dan kemampuan laboratory. Arq. Inst. Biol. 73(1):127-
mengkonsumsi makanan dari larva-larva pada 129.
tanaman yang disemprot dengan konsentrasi BPTD. 2011. Strategi Pengendalian Hama
jamur yang lebih tinggi juga dapat dilihat dari Penyakit Tanaman Tembakau. BPTD
besarnya kerusakan tanaman. PTP Nusantara II. Medan.
Pada parameter pengamatan intensitas Castrillo L A., Roberts D W & Vandenberg J
serangan daun diketahui bahwa setelah larva D. 2005. The fungal past, present, and
terinfeksi dan nafsu makan berkurang future: germination, ramification and
selanjutnya terjadi gangguan pada reproduction. Journal of Invertebrate
metabolisme dan daya cerna larva sehingga Pathology 89: 46-56.
larva menjadi lemas dan menjahui daun Erwin M S. 2000. Hama dan Penyakit
sebagai sumber makanan. Kematian larva S. Tembakau Deli. Balai Penelitian
litura. yang terinfeksi cendawan terjadi akibat Tembakau Deli, PTPN II. Medan.
pertumbuhan dan perkembangan cendawan di Evi S Y. 2006. Beauveria bassiana
dalam tubuh larva yang berakibat pada pengendali hama tanaman. Warta
terjadinya gangguan pada metabolisme dan Penelitian dan Pengembangan
menurunkan daya konsumsi dan daya cerna Pertanian Vol. 28 No. 1. Pacet-Cianjur.
larva. Gangguan ini diawali oleh turunnya Freimoser F M., Screen S., Bagga S., Hu G &
nafsu makan, tubuh menjadi lemah, St Leger R J. 2003. Expressed sequence
gerakannya lambat, sehingga lama kelamaan tag (EST) analysis of two subspecies of
larva menjadi diam dan akhirnya mati Metarhizium anisopliae reveals a
(Wilyus & Yudiawati, 2005). plethora of secreted proteins with
potential activity in insect hosts.
Microbiol. 239-247.

491
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Gallegos R P., Cesar A., Roger W., Anibal M Prayogo Y. 2012. Bio-lec: Biopestisida untuk
& German A. 2003. Control of the pengendalian hama dan penyakit utama
larvae of the beetle Phyllophaga sp. kedelai. Disampaikan pada Seminar
with biological products(Metarhizium Internal Balitkabi, 7 Mei 2012.
anisopliae and Beauveria sp.) in the Prayogo Y. 2005. Jamur Entomopatogen
blackberry crop Rubus glaucus benth. Verticillium lecanii dan Paecilomyces
Ohio State University. fumosoroseus sebagai salah satu
Heriyanto & Suharno. 2008. Studi patogenitas alternatif untuk mengendalikan telur
Metarhizium anisopliae (Metch.) hasil hama penghisap polong kedelai. Berita
perbanyakan medium cair alami Puslitbangtan (32):10.
terhadap larva Oryctes rhinoceros. Prayogo Y., Wedanimbi T & Marwoto. 2005.
Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 4(1): 47-54. Prospek jamur entomopatogen
Herlinda S., Era M S., Yulia P., Suwandi., Metarhizium anisopliae untuk
Elisa N & Anung R. 2005. Variasi mengendalikan ulat grayak Spodoptera
virulensi strainstrain Beauveria litura pada kedelai. J. Litbang
bassiana (Bals.)Vuill. terhadap larva Pertanian, 24(1):19-26.
Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Prayogo Y. 2006. Upaya mempertahankan
Plutellidae). Agritrop 24(2):52-57. keefektifan cendawan entomopatogen
Kaur S., Harminder P K., Kirandeep K & untuk mengendalikan hama tanaman
Amarjeet K. 2011. Effect of different Pangan. J. Litbang Pertanian 24(1):19-
concentrations of Beauveria bassiana 26.
on development and reproductive Rustama M M., Melanie & Irawan B. 2008.
potential of Spodoptera litura Patogenisitas jamur entomopatogen
(Fabricius). J. Biopest. 4(2):161-168. Metarhizium anisopliae terhadap
Kherb W A A. 2014. Virulence Bio-Assay Crocidolomia pavonana fab. dalam
Efficiency of Beauveria bassiana and kegiatan studi pengendalian hama
Metarhizium anisopliae for the terpadu tanaman kubis dengan
biological control of Spodoptera exigua menggunakan agensia hayati. Laporan
Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) eggs akhir penelitian peneliti muda UNPAD
and the 1st instar larvae. Aust. J. Basic sumber dana DIPA UNPAD. Fakultas
& Appl. Sci. 8(3): 313-323. Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Krutmuang P & Supamit M. 2005. Alam. Universitas Padjadjaran.
Pathogenicity of entomopathogenic Saleh R M., Thalib R & Suprapti. 2000.
fungi Metarhizium anisopliae against. Pengaruh Pemberian (Beuveria
termites. In: conferenceon international bassiana Vuill) terhadap kematian dan
agricultural research for development. perkembangan larva (Spodoptera litura
Department of Entomology, Faculty of Fabricus) di rumah kaca. Jurnal Hama
Agriculture, Chiang Mai University. dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 1 (1):
Thailand, Oktober 11-13, 2005. 7-10.
Laoh J. 2003. Kerentanan larva Spodoptera Sibarani H S. 2015. Patogenisitas Beauveria
litura F. terhadap virus nuklear bassiana terhadap Spodoptera litura
polyhedrosis. Universitas Riau. Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae)
Pekanbaru. J. Natur Indonesia. Pada Tanaman Kelapa Sawit. Skripsi.
5(2):145-151pp. FP. USU.
Mahr S. 2003. The Entomophatogen Suhairiyah., Isnawati & Ratnasari E. 2013.
Beauveria bassiana. University of The Effect of Lecanicillium on
Winconsin, Madison. Diakses dari armyworms (Spodoptera litura)
http://www. Entomogy. Wisc. Mortality by In vitro assays. Lenterabio.
Edu/mbcn/kyF410.html. Tanggal 12 (2)3 : 253-257.
Oktober 2015.

492
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493
Tanada Y & Kaya H K. 1993. Insect
Pathology. Academic Press, Inc.,
California.666 pp.
Thompson S R. 2006. Enhancing the efficacy
of Beauveria bassiana for mole cricket
(Orthoptera : Gryllotalpida) control in
Turfgrass. Australia: North Carolina
State University. [Dissertation].
Thungrabeab M., Peter B & Cetin S. 2006.
Possibilities for biocontrol of the onion
Thrips Thrips tabaci Lindeman
(Thripidae) using different
entomopathogenic fungi from Thailand.
J. Mitt. Dtsch. Ges. Allg. Angew. Ent.
15:299-304.
Trizelia, Syahrawati M Y & Aina M. 2011.
Patogenesitas beberapa isolat jamur
entomopatogen Metarhizium anisopliae.
terhadap telur Spodoptera litura F
(Lepidoptera : Noctuidae). Jurnal
Entomologi Indonesia. 8(1): 45-54.
Tsakadze T., Abashidze E., Samadashvili D
& Odikadze K. 2003. Fungi of Genus
Metarhizium as Pathogens Attacking
Locust. L. Kanchaveli. Plant Protection
Institute, Georgian.
Wahyudi P .2002. Uji patogenitas kapang
entomopatogen Beauveria bassiana
Vuill. terhadap ulat grayak (Spodoptera
litura). Biosfera. 19:1-5.
Wahyudi. 2008. Jamur patogen serangga
sebagai bahan baku insektisida.
pemanfaatan mikroba dan parasitoid
dalam agroindustri tanaman rempah dan
obat. perkembangan teknologi Tanaman
Rempah dan Obat (XII): 21−28pp.
Widiyanti N L P M & Muyadihardja S. 2004.
Uji toksisitas jamur Metarhizium
anisopliae terhadap larva nyamuk Aedes
aegypti. Media Litbang Kesehatan 14
(3): 25-30.
Wilyus & Yudiawati E. 2005. Kemangkusan
Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin dalam menghambat
perkembangan Spodoptera litura
Fabricus (Lepidoptera:Noctuida).
Jurnal Agronomi: 9 (2): 103.

493
Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597
Vol.5.No.3, Agustus 2017 (63): 484- 493

494

Potrebbero piacerti anche