Sei sulla pagina 1di 18

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

DALAM TEORI KELEMBAGAAN NEGARA (STUDI KASUS PUTUSAN MK NOMOR


36/PUU-XV/2017)

NASKAH PUBLIKASI

Oleh :

GALANG BRILLIAN PUTRA


NPM. 1571010075

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
2019
KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
DALAM TEORI KELEMBAGAAN NEGARA (STUDI KASUS PUTUSAN MK NOMOR
36/PUU-XV/2017)

Galang Brillian Putra

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Jalan Raya Rungkut Madya, Gunung
Anyar, Surabaya, Jawa Timur.

Correspondent Author :

Ekowahyudi@yahoo.com
ABSTRACT
In this paper aims to determine the position or position of an independent state
institution of the Corruption Eradication Commission (KPK) based on state institutional theory
after the issuance of Constitutional Court Decision Number 36 / PUU-XV / 2017. This study uses
a normative juridical method with a conceptual approach to get institutional concepts country and
case approach regarding the Constitutional Court's decision. The position of the Corruption
Eradication Commission according to Article 3 of Act No. 32 of 2002 concerning the Corruption
Eradication Commission can be regarded as an independent state institution. But in the end the
Constitutional Court interpreted the KPK as part of an executive branch of power and could be
the object of DPR inquiry rights. MK Decision Number 36 / PUU-XV / 2017. So it needs to be
clarified again because the doctrine of the trias politica itself is not relevant to the conditions of
modern state administration. The dynamics of modern state administration gave rise to state
institutional theory, namely state supporting organs (auxiliary state organs) and in other
institutional theories presented by Yves and Andrew Knapp regarding the Independent State
Commission in the United States known as the "fourth branch of the government" which linked
to the KPK it is ideal for the independence of state institutions without being in the three
contemporary branches so as not to tend to political nuances.

Keywords: Auxiliary State Organs, Corruption Eradication Commission, State Institution


Theory.

Dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui posisi atau kedudukan bagi lembaga negara
independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan teori kelembagaan negara pasca
dikeluarkannya Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/ 2017. Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan pendekatan conceptual approach untuk mendapatkan konsep lembaga
negara dan case approach terkait putusan MK. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
bisa dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat independen .Namun pada akhirnya
Mahkamah Konstitusi menafsirkan KPK bagian dari cabang kekuasaan eksektuif dan dapat
menjadi objek hak angket DPR hal ini tertuang pada Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017.
Sehingga perlu diperjelas kembali karena doktrin trias politica sendiri tidak relevan dengan
kondisi ketatanegaraan modern. Dinamisasi ketatanegaraan modern memunculkan teori
1
kelembagaan negara yaitu organ penunjang negara (auxiliary state organs) dan dalam teori
kelembagaan lain yang dipaparkan oleh Yves dan Andrew Knapp mengenai Komisi Negara
Independen di Amerika Serikat yang dikenal dengan teori “the fourth branch of the government”
yang mana apabila dikaitkan dengan KPK sangat ideal untuk independensi lembaga negara
antirasuah dengan tidak berada pada ketiga cabang kontemporer agar tidak cenderung pada
nuansa politis.

Kata Kunci : Auxiliary State Organs, Komisi Pemberantasan Korupsi, Teori Lembaga Negara

2
I. PENDAHULUAN
Praktik korupsi sudah seperti hal yang lumrah dan bahkan sudah menjadi jalan hidup
(way of live) oleh para penguasa. Lahir dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kiprah
KPK sangat menonjol dalam memberantas korupsi di Indonesia. Banyak kasus-kasus yang
sudah ditangani oleh lembaga ini seperti kasus E-KTP yang sangat merugikan negara dan
yang terbaru adalah kasus dugaan penyuapan 41 anggota DPRD Kota Malang yang berhasil
diselidiki oleh KPK. Kewenangan KPK yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK menimbulkan tafsir tersendiri di masyarakat khususnya kalangan
politisi. Karena dianggap mengambil alih kewenangan atas lembaga-lembaga lainnya
sehingga KPK mendapat julukan lembaga “superbody”. Tidak hanya disitu kemelut tentang
KPK kembali dipersoalkan yaitu mengenai kedudukan KPK hingga DPR yang akan
mengenakan hak angketnya ke KPK. Tentu kita tidak dapat memungkiri dibalik agenda DPR
dalam melaksanakan hak pengawasan terhadap KPK ada suatu maksud tersendiri dibalik
agenda tersebut. Mengingat kondisi perpolitikan Indonesia tidak dalam persaingan yang
sehat. Sehingga perlu kewaspadaan adanya agenda pelemahan terhadap KPK termasuk
nantinya menempatkan KPK bagian dari eksekutif. Yang menarik disini adalah dimana
sebenarnya posisi atau kedudukan lembaga ini dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Merujuk Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 KPK adalah lembaga negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun.
Pada akhirnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
menjatuhkan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD (MD3) dalam putusan pokok permohonanya pada intinya adalah dalam
pandangan Mahkamah Konstitusi, KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif,
yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan. KPK jelas bukan diranah yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang
berwenang mengadili dan memutus perkara. KPK juga bukan merupakan badan legislatif,
karena bukan organ pembentuk undang-undang. Benar bahwa KPK merupakan lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti
membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan

3
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan,
independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Menilik dari putusan Mahkamah Kontitusi dalam putusan tersebut terdapat dissenting
opinion di hakim Mahkamah Konstitusi. Perbedaan Pendapat atau Dissenting Opinion di
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menunjukan ketidakbulatan
kesepakatan di hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Legitimasi kedudukan KPK
seharusnya tak serta merta dalam kekuasaan pemerintah (eksekutif) dalam beberapa teori
kelembagaan negara semestinya KPK bukan dari ketiga bagian cabang kekasaan baik
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Konsep penempatan lembaga negara bisa mengacu
pada lembaga negara utama (main state‟s organ) dan lembaga negara penunjang (auxiliary
state organ) maupun pada teori yang lain.
Menurut Sri Soemantri, tujuan negara dewasa ini semakin kompleks. Untuk mencapai
tujuan tersebut tidak hanya dapat dicapai dengan lembaga utama (main state`s organ), tetapi
diperlukan lembaga-lembaga penunjang (auxiliary state`s organ). Hal ini berarti auxiliary
state`s bodies merupakan bagian dari struktur ketatanegaraan. Keberadaannya dalam struktur
ketatanegaraan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, lembaga negara pembantu dapat
berupa bagian dari fungsi-fungsi kekuasaan negara yang ada (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif) atau dibentuk di luar bagian fungsi kekuasaan negara tersebut. Kedua, sifat
kekuasaan yang dapat dimiliki oleh lembaga pembantu dapat berbentuk quasi atau semi
pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal atau kadang-kadang fungsi campuran, seperti di satu
pihak sebagai pengatur, tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan
legislatif. Ketiga, lembaga-lembaga tersebut ada yang bersifat permanen dan tidak permanen
(ad hoc). Keempat, sumber hukum pembentukannya dapat bersumber pada konstitusi atau
undang-undang. Terdapat pula teori kelembagaan lain yang dipaparkan oleh Yves dan
Andrew Knapp mengenai Komisi Negara Independen di Amerika Serikat yang dikenal
dengan teori “the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat)” yang
apabila dikaitkan dengan KPK sangat cocok untuk diterapkan.1

1
Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen Dinamika Perkembangan dan Urgensi
Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016, hlm. 25.
4
II. METODELOGI PENELITIAN
Penulisan hukum ini menggunakan metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif
merupakan studi penulisan dokumen baik itu kajian terhadap norma dan asas yang ada di
dalam tersebut. Metode penelitian hukum ini mengkaji hukum normatif yaitu difokuskan
pada teori kelembagaan negara atau organ negara penunjang yang dikaitkan dengan
kedudukan yang ideal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pasca Putusan MK Nomor
36/PUU-XV/2017 baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun referensi
lainnya. Penelitian hukum ini pada dasarnya adalah studi kepustakaan dengan bahan-bahan
kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan. Sedangkan pendekatan lain
yang digunakan adalah argumentasi hakim dalam putusan (case approach) dan dokrin-
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat
deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data
primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu
suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum
yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian.2 Metode perolehan data primer (pendapat stakeholder) dan data sekunder, data
sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer dari studi kepustakaan, bahan hukum sekunder
dari peraturan perundang-undangan, dan data tersier dari sumber tambahan kamus mauun
literatur lain.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Mencermati adanya isu konstitualitas pasca adanya kewenangan DPR dalam hak
pengawasan yaitu hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hal yang
menjadi perdebatan adalah kedudukan lembaga negara Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) itu sendiri. Kedudukan KPK pada awal dibentuk memang sudah menjadi perdebatan
panjang mengenai kedudukan lembaga ini, lembaga yang dibentuk berdasar Undnag-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

2
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan kedelapan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hlm. 107.

5
merupakan lembaga negara independen yang secara khusus menangani kasus-kasus korupsi.
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/3017 memang sudah
ada Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang berkaitan dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara implisit dalam Putusan tersebut yang menjadi
perdebatan adalah kedudukan Lembaga Negara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 bahwa
terdapat poin-poin penting yang patut untuk dielaborasi sejauh mana hakim memutus perkara
yang berkaitan dengan posisi atau kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan. Untuk
menganalisa reasoning atau alasan hakim dapat dilihat bagian dasar pertimbangan hukum
dalam putusan tersebut. Bila dicermati pertimbangan hakim dalam putusan tersebut terlepas
adanya dissenting opinion menandakan para hakim konstitusi tidak sepenuhnya sependapat
bahwa KPK menjadi bagian dari cabang eksekutif dan dapat dikenakan hak angket oleh
DPR. Hak angket sebenarnya adalah hal yang wajar dalam sistem pemerintahan untuk
mengawasi atau menginvestigasi jalanya pemerintahan dalam hal ini Presiden dan Wakil
Presiden. Hak angket (enquette) ialah hak mengadakan penelitian terhadap suatu hal atau
khusus. Penelitian atau penyidikan diadakan dengan tidak ikut campurnya pemerintah.3
Ujung jalannya hak angket adalah hak menyatakan pendapat oleh DPR berdasar angket
tersebut yang menurut historis adalah untuk menyatakan pendapat dan berujung pada
impeachment pemerintah.
Dalam poin [3.15] terlihat bahwa Mahkamah tidak menelaah secara dalam mengenai
hak angket. Mahkamah tidak melakukan interpretasi historis secara komprehensif hanya
memandang sistem pemerintahan di Indonesia yang terdapat hak angket, jauh berbeda
dengan apa yang menjadi pertimbangan hukum para hakim dalam dissenting opinion, yang
mana seharusnya Mahakmah juga melihat secara tekstual dan original inten maksud dari hak
angket yang terkandung dalam penjelasan baik dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Selanjutnya secara sederhana
original hak pengawasan tersebut ketika pembahasan amandemen konstitusi ditujukan untuk
pemerintah dalam hal ini eksekutif bukan ditujukan untuk auxiliary state organs. Dapat
dilihat apa yang juga dikemukakan pertimbangan hakim dissenting opinion bahwa proses

3
M.Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 87.
6
perumusan Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ketika terjadi amandemen
juga membahas hal ikhwal hak angket, yang secara eksplisit penggunaan hak angket
ditujukan kepada eksekutif yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Lebih jauh jika melihat
perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 semangat yang dibawa adalah semangat
reformasi dan membatasi otoritarian yang berkuasa. Sejalan apa yang juga dikemukakan juru
bicara F-Reformasi, Zirlyrosa Jamil “Sidang Umum ini, haruslah bersungguh-sungguh,
berhati-hati sehingga menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang betul
mencerminkan demokrasi sejati, mengandung prinsip saling kontrol, menjadikan
pelaksanaan pemerintahan yang bersih, terpercaya, dan jauh dari praktek-praktek kolusi,
korupsi, dan nepotisme”.4
Bila melakukan penafsiran struktural apa yang terkandung dalam konstitusi dengan
turunannya yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 harus memiliki maksud dan tujuan
yang sama. Memang secara konteks sejarah kala itu untuk eksekutif mengingat pada saat itu
belum ada organ atau lembaga penunjang. Lebih lanjut dalam Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bila diurai secara sistematis
norma a quo yang terkandung dalam pasal tersebut dimulai dengan uraian yang telah
dijelaskan mengenai hak-hak yang dimiliki DPR yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat sebagaimana termuat dari ayat (1) sampai ayat selanjutnya, diuraikan
pengertian dari masing-masing hak tersebut secara koheren merujuk pada pemerintah
sebagai objeknya.5 Sesuai paparan dissenting opinion hakim diatas dalam konteks hukum
tata negara peruntukan objek hak angket bukan ditujukan kepada cabang selain eksekutif dan
bukan pula ditujukan kepada organ atau lembaga cabang kekuasaan keempat.
Perlu diketahui juga Mahkamah Konstitusi sebelumnya juga pernah menguji
Undang-Undang KPK dengan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa KPK adalah
lembaga independen bahkan di Putusan 012-016-019/PUU-IV/2006 Mahkamah
berpandangan pembentukan lembaga negara seperti KPK dapat dianggap penting secara
konstitusional (constitutional important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman sesuai dengan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun

4
Naskah Komprehensif Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Buku 3 Jilid II, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm.890.
5
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, hlm. 199.
7
1945. Bila ditarik ke dalam sistem ketatanegaraan mengacu pada konsep trias politika
bahwasanya kekuasaan kehakiman adalah salah satu fungsi cabang kekuasaan yudikatif.
Disini dapat dilihat tidak terjadi kesinambungan atau kontradiksi antara putusan 012-016-
019/PUU-IV/2006 dengan Putusan 36/PUU-XV/2017 dalam menentukan posisi KPK.
Hakim Mahkamah seharusnya juga tetap berkaca pada putusan sebelumnya dalam
memutuskan suatu pokok perkara atau menggunakan yurisprudensi. Selain itu putusan
sebuah peradilan terrmasuk putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai asas erga omnes
yaitu sebuah putusan yang harus ditaati oleh siapapun.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya juga tidak menafikan adanya organ
cabang kekuasaan keempat (the fourth branch government). Artinya secara teoritis dalam
pertimbangan sudah jelas dan mengakui sangat perlu adanya cabang kekuasaan keempat.
Tetapi hakim Mahkamah dalam pertimbangan diluar dissenting opinion masuk terlalu jauh
dalam perdebatan normatifnya. Mahkamah Konstitusi melihat bahwa lembaga negara KPK
ini adalah trigger mechanism polisi dan kejaksaan, walaupun independen KPK tidak
bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi secara fungsional masuk ke ranah eksekutif.
Karena KPK menambal kebobrokan lembaga yang sudah ada dalam menangani tindak
pidana korupsi yaitu Kepolisan dan Kejaksaan. Sementara Kepolisian dan Kejaksaan adalah
lembaga yang masuk dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif. Argumen tersebut yang
akhirnya membuat Mahkamah memutuskan bahwa KPK adalah lembaga yang berada dalam
ranah eksekutif juga dan akhirnya bisa dikenakan angket oleh DPR. Secara gamblangnya
dipertimbangan hukum ada argumen yang lompat ketika hakim mengakui cabang kekuasaan
keempat tetapi tidak berpegangan pada teori yang sebelumnya juga sudah dijelaskan.
Terlepas pertimbangan hukum kelima hakim yang memutuskan KPK berada di ranah
eksekutif. Ada hal menarik pada dissenting opinion hakim yang lebih elaboratif dalam
mempertimbangkan pokok perkara. Meski ada perbedaan pendapat di pertimbangan
dissenting opinion yaitu hakim Maria Farida yang menganggap KPK adalah lembaga dalam
ranah eksekutif tetapi tidak bisa dikenakan hak angket oleh DPR karena tidak bertanggung
jawab kepada Presiden. Melihat pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung
jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara
terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat

8
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”. Ada logika yang cacat pada argumen
tersebut kalaupun KPK berada dalam ranah eksekutif tetapi KPK tidak bertanggung jawab
kepada Presiden melainkan kepada publik selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Padahal
pemegang kekuasaan Primus Interpares adalah Presiden bukan kepada publik. Pasal 1 huruf
C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyebutkan bahwa Presiden adalah Kepala
Pemerintahan artinya semua tanggung jawab kekuasaan eksekutif harus ke Presiden. Apabila
di bandingkan secara normatif lembaga KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan jelas berbeda
karena lembaga tersebut baik pucuk pimpinan maupun kelembagaan bertanggung jawab ke
Presiden. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Pasal 8 ayat (1) “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di
bawah Presiden” dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan “Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Inilah yang disebut
lembaga independen yang memiliki ciri khusus dibandingkan dengan lembaga pada
umumnya sebagaimana diungkapkan oleh teori Bruce Ackerman desaign kekuasaan modern
ialah menerima kekuasaan yang telah ada atau dengan kekuasaan yang baru. Seperti apa
yang dikemukakan Yves and Andrew Knapp mengenai the fourth branch of the government
yaitu “Regulatory and monitoring bodies a new type autonomous administration which has
been most widely developed in the United States (which is sometimes referred to as the
„headless fourth branch‟ of the government. It take the form of what are generally as
independent regualotry commissions.”6 Pada tataran praktik ketatanegaran sebagai prasyarat
dikatakannya sebagai lembaga independen, dapat dikategorikan sebagai berikut:7
1. Dasar hukum pembentukannya menyatakan secara tegas kemandirian atau
independensi dari komisi negara independen terkait dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
2. Independen, dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak, ataupun kontrol dari
cabang kekuasaan eksekutif.

6
Yves Many and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy,
rd
Germany, 3 edition, Oxford University Press, 1998, hlm. 281; dikutip dari Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, hlm. 340.
7
Gunawan. A Tauda, Kedudukan Komisi Negara Independen Dalam Struktur Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Pranata Hukum Volume 6, 2011, hlm 174.

9
3. Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan mekanisme
tertentu yang diatur secara khusus, bukan semata-mata kehendak Presiden
(political appointee).
4. Kepemimpinan komisi bersifat kolektif kolegial, jumlah anggota atau komisioner
bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara.
5. Kepemimpinan komisi tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai
politik tertentu.
6. Masa jabatan para pemimpin komisi definitif, habis secara bersamaan dan dapat
diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.
7. Keanggotaan lembaga negara ini terkadang ditujukan untuk menjaga
keseimbangan perwakilan yang bersifat non partisan.
Lembaga atau organ seperti KPK jika dikaitkan dengan kriteria diatas telah terpenuhi
sebagai lembaga independen. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 “Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun” telah jelas
ke-independenan lembaga KPK termuat dalam aturan tersebut dan terdapat kata “bebas dari
pengaruh kekuasan manapun”. Makna kata tersebut bahwa lemabaga atau organ KPK tidak
bisa dicampur tangani oleh kekuasaan manapun baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Urgensi pembentukan lembaga independen seperti KPK adalah sebagai langkah
progresif mengingat pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan oleh lembaga konvensional.
Maka perlu organ penunjang (auxiliary state organs) yang secara kelembagaan diidealkan
berada diluar ketiga cabang kekuasaan trias politika. Dewasa ini, di Amerika Serikat
lembaga-lembaga independen yang serupa itu ditingkat federal dan dengan fungsi yang
bersifat regulative, pengawasan, dan pemantauan lebih dari 30 banyaknya. Misalnya di
Amerika Serikat dikenal. Federan Trade Commision (FTC), Federal Communication
Commision (FCC) dan banyak lagi. 8 Semua lembaga-lembaga atau organ tersebut bukan dan
tidak dapat diperlakukan sebagai organsisasi swasta atau lembaga non-pemerintahan (ornop)
atau NGO’s (non government organizations). Namun, keberadaannya tidak berada dalam

8
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta:
Ditjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006, hlm, 8.

10
ranah cabang kekuasaan legislatif (legislature), eksekutif, ataupun cabang kekuasaan
kehakiman (judiciary). Ada yang bersifat independen dan ada pula yang semi atau quasi
independent agencies, corporations, commitess, commissions.9
Senada apa yang dikatakan Jimly Asshidiqie, perkembangan yang timbul di berbagai
negara, dapat dikatakan bahwa untuk memahami konsepsi dan pengertian lembaga negara
secara tepat, kita tidak dapat lagi menggunakan kacamata Montesquieu. Banyak sekali hal–
hal yang sudah berubah sehingga fungsi-fungsi kekuasaan negara tidak lagi bersifat
trikotomis antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif semata. Ragam struktur organisasi sangat
bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya
terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18.10
Pasca diputuskanya KPK bagian dari cabang kekuasaan eksekutif yang kemudian
dapat di kenakan hak angket adalah sebuah pandangan ketatanegaraan kontemporer. Putusan
Mahkamah Konstitusi dari 5 berbanding 4 hakim dissenting opinion memiliki kekuatan
hukum final dan mengikat. Berikut adalah bagan kedudukan lembaga independen KPK pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017.

LEMBAGA NEGARA

LEGISLATIF YUDIKATIF
EKSEKUTIF

KEPOLISIAN KEJAKSAAN KPK

Gambar 2.
Struktur KPK Dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca Putusan MK

Bagan struktur ketatanegaran menujukan garis tidak putus-putus secara fungsional


KPK berada dibawah eksekutif dengan menjalankan kewenangan yang sama dengan
Kepolisan dan Kejaksaan. Dan secara langsung akan mendapat legitimisasi pengawasan dari
ekskutif dan legislatif. Perkembangan lembaga di AS “...Af-ter all, the American system
contains (at least) five branches: House, Sen-ate, President, Court, and independent
agencies such as the Federal Re-serve Board. Complexity is compounded by the bewildering

9
Ibid, hlm.9.
10
Ibid, 29.

11
institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is not
complexity, but whether we Americans are separating power for the right reasons”.11
Dengan pertimbangan tersebut harus dipandang sebagai paradigma ketatanegaraan
modern. Kedepan perlu pembenahan kembali konstruksi sistem ketatanegaraan Indonesia
khususnya eksistensi keberadaan auxiliary state organs. Begitupun pengaturan lembaga
independen KPK perlu dipertegas dalam konstitusional agar tidak terjadi perdebatan
dikemudian hari. Melihat kontribusi lembaga independen seperti KPK sangat mendorong
perbaikan birokrasi dan perwujudan clean and good government dalam rangka mencapai cita
negara.
Berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 secara sederhana
peneliti akan menganalisa kelebihan dan kelemahan lembaga KPK dalam cabang kekuasaan
eksekutif. Kelebihan lembaga independen KPK dalam cabang kekuasaan eksekutif :
 Koordinasi antar lembaga akan lebih efektif khususnya dengan Kepolisian dan
Kejaksaan. Karena secara bersamaan lembaga tersebut mempunyai tugas yang
sama dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
 Mendorong terciptanya checks and balances antar lembaga dengan melalukan
perimbangan dan pengawasan kekuasaan.
 Proses controlling dapat dilakukan oleh pemerintah secara langsung, sehingga
proses koreksi dapat dilakukan dengan menyesuaikan program kerja pemerintah.
Kelemahan lembaga independen KPK dalam cabang kekuasaan eksekutif :
 Ketika berada dicabang kekuaaan eksekutif secara langsung akan berada dibawah
pemerintah, intervensi pemerintah baik secara anggaran serta tugas dan fungsi
yang dimiliki KPK dapat mengganggu jalannya pencegahan tindak pidana korupsi
di Indonesia terutama ketika menangani kasus yang sedang dijalankan oleh
pemerintah.
 Disisi pengawasan, posisi KPK berada di cabang kekuasaan eksekutif jelas
membuat kekhawatiran pelemahan KPK. Karena pengawasan tidak hanya
dilakukan secara internal kelembagaan. Tetapi secara langsung akan diawasi oleh

11
Bruce Ackerman, The New Separations Of Power, Harvard Law Review, 2000, hlm. 724.

12
kekuasaan lain baik pemerintah maupun DPR. Yang pada akhirnya akan
menghambat proses penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK.
 Kewenangan yang sama mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dengan Kepolisian dan Kejaksaan membuat asumsi terjadinya konflik antar
lembaga sebagaimana pernah terjadi pada kasus Cicak vs Buaya. Maka sangat
ideal jika berada diluar cabang kontemporer untuk menghindari konflik atau
sengketa kelembagaan.
 Akuntabilitas sebuah lembaga independen dijalankan secara tersendiri tidak
melalui akuntabilitas secara politik. Artinya jika berada di cabang eksekutif akan
ada campur tangan baik dari pemerintah maupun DPR.
 Proses negara demokrasi ditandai dengan adanya pergantian kepemimpinan
(Presiden dan Wakil Presiden) dengan begitu juga program kerja yang
direncanakan juga akan berubah terutama terkait pencegahan tindak pidana
korupsi. Secara otomatis organ dibawah pemerintah juga mengikuti kebijakan
yang dikeluarkan nantinya maka hal tersebut dapat menganggu kestabilan ditubuh
KPK.

IV. KESIMPULAN
1. Bahwa dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
XV/2017 telah memutuskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang berada diranah
cabang kekuasaan eksekutif dan dapat menjadi subyek hak angket DPR. Terlepas dari
dissenting opinion, secara garis besar hakim Mahkamah Konstitusi melalui dasar
pertimbangan hukumnya KPK adalah trigger mechanism dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Mahkamah berpandangan melalui karakteristik fungsi kedua lembaga tersebut yang
akhirnya menempatkan KPK bagian dari cabang kekuasaan eksekutif. Kemudian ketika
KPK berada dicabang kekuasaan eksekutif maka dapat dikenakan hak angket oleh DPR.
Menelisik pertimbangan tersebut sebenarnya Mahkamah Konstitusi masuk terlalu jauh
perdebatan normatifnya. Melalui putusan 012-16-19/PUU-IV/2006 terdapat kontradiksi
dengan putusan 36/PUU-XV/2017 karena melaui putusan sebelumnya tersebut MK
menyatakan KPK melaksankan fungsi kekuasaan kehakiman artinya berada dicabang

13
yudikatif. Kalaupun KPK berada dicabang kekuasaan eksekutif, KPK tidak bertanggung
jawab kepada presiden padahal pemegang kekuasaan Primus Interpares adalah Presiden.
Inilah karakteristik auxiliary state organs memiliki fungsi campuran dengan tidak berada
dalam ketiga cabang kekuasaan kontemporer.
2. Pasca putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 secara normatif telah ditetapkannya
lembaga KPK bagian dari cabang kekuasaan eksekutif dengan begitu DPR dapat
mengenakan hak angketnya ke KPK. Pola hubungan akan dibawah kekuasaan eksekutif
yang mana Presiden menjadi kapala pemerintahan. Persoalan check and balance sebagai
lembaga antirasuah tidak lagi dijalankan murni pada satu kontrol pengawasan internal
melainkan muatan politis akan terlihat karena DPR juga dapat mengenakan hak-haknya
tidak hanya berkaitan hak angket. Tetapi sebaliknya jika KPK sebagai auxiliary state
organs dengan ditempatkan diluar ketiga cabang kekuasaan kontemporer sesuai dengan
teori the fourth branch of government akan terlihat berbeda baik dari segi pola hubungan
dan check and balances. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bagir Manan maupun Jimly
Asshidiqie. Implikasi pasca putusan tersebut terlihat bahwa kelebihan lembaga KPK
berada di cabang kekuasaan eksekutif hanya pada persoalan koordinasi dan controlling
akan lebih mudah baik kepada eksekutif maupun legislatif. Selanjutnya jika dilihat dari
segi kelemahan secara pengawasan, pelakasanaan tugas, dan akuntabilitas sebagai
lembaga independen akan sangat berpengaruh karena berada dibawah kontrol pemerintah
selain itu secara langsung pengawasan juga dilakukan oleh legislatif.

14
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Dr.H.Sutrisno,S.H.,M.Hum.Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Mas Anienda Tien F, S.H., M.H. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Ec. Nurjanti Takarini, M.Si. Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Fauzul Aliwarman, SHI., M.Hum. Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Bapak Eko Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing dan Koordinator Program Studi
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran“ Jawa Timur.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur. Terutama Dosen Pengajar Konsentrasi Hukum Tata Negara Bu. Proborini Hastuti,
S.H., M.H. dan Bu. Adhitya Widya Kartika S.H., M.H.
7. Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum beserta Staf Tata Usaha Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
8. Bapak Haidar Adam SH., LLM selaku Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Airlangga yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya kepada
peneliti.
9. Terima kasih kepada kedua orang tua saya Prasetyo Sumarno dan Laminem serta kepada
kakak-kakak saya yang telah memberikan dukungan moril serta doa dan restunya selama ini.
10. Terima kasih kepada Yoga S. Bintara, Rafik Al Hariri, Rizal Maula, Nasroatin, Maimunah,
serta sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Bela Negara UPN
“Veteran” Jawa Timur yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat kepada penulis
agar dapat menyelesaikan laporan Skripsi ini dengan teliti dan baik.
11. Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum angakatan 2015 dan khususnya kepada teman-teman
konsentrasi Hukum Tata Negara.
12. Serta para pihak yang telah memberikan pandangan terhadap penelitian ini.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Ali, Zainudin. 2016. Metode Penelitian Hukum. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar
Grafika.

Arifin Mochtar, Zainal. 2016. Lembaga Negara Independen Dinamika Perkembangan


dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Jakarta: Ditjen dan Kepaniteraan MK RI.

Lubis, M. Solly. 2008. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Maju.

2010. Naskah Komprehensif Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Buku 3 Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah


diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-


Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017

3. JURNAL
Ackerman, Bruce. 2000. The New Separations Of Power. Harvard Law Review.

A Tauda, Gunawan, 2011, Kedudukan Komisi Negara Independen Dalam Struktur


Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pranata Hukum Volume 6.

16

Potrebbero piacerti anche