Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Mauly Purba
(Universitas Sumatera Utara)
Abstract
From the 1860’s up to the 1940’s, German missionaries under the leadership of Dr. I.L.
Nommensen succeeded in converting many of the Batak Toba to Christianity, and along with
the Dutch colonial government developed a Western education system in the Batak homeland.
Following this, educational improvement among the Batak Toba helped foster the develop-
ment of Christianity and the Church. As a further development, the Church has extended its
reach from matters of personal life to the collective life of the Batak Toba. While introducing
new values to the people, the Church seeks to eradicate traditional cultural values that are
not in accord with its own, such as the gondang sabangunan and tortor (the ceremonial music
and dance of the Batak Toba) and a number of ritual ceremonies. The Church’s desire is today
reflected in the book Hukum Siasat Gereja, which deals with the norms of Christian social life.
Several articles in the book place restrict the musical activity of Christian Batak Toba, espe-
cially the performance of gondang sabangunan and tortor in the context of ritual ceremonies.
Through an ethnohistorical approach, this article examines change in the functions and
dynamics of gondang sabangunan and tortor performances among the Christian Batak Toba
of North Sumatera. The study covers the period between the 1860’s and the 1990’s. Aside from
discussing a number of social and cultural factors that have led to changes in the function of
the ceremonial music and dance, several rulings on the performance of gondang sabangunan
and tortor in the Hukum Siasat Gereja will also be discussed. The purpose of this last discus-
sion is to show the extend of the Church’s influence in the context of this change. The article
also provides a discussion on the response of the Christian Batak Toba toward these rulings.
Pendahuluan dan Tortor. 2 Akan dikaji pula beberapa
Tulisan ini mengulas respons orang Batak 2
Kata gondang mempunyai banyak pengertian, bisa
Toba beragama Kristen Protestan di Sumatera berarti instrumen, ensambel musik, judul komposisi
Utara terhadap kebijakan gereja yang mengatur tunggal, judul komposisi kolektif, dan upacara. Kata
dan membatasi kegiatan musik dan tari gondang yang digunakan pada kalimat dan konteks
yang berbeda memiliki arti yang berbeda pula. Gondang
seremonial mereka, yaitu gondang sabangunan sabangunan adalah ensembel musikal yang
instrumentasinya terdiri dari lima buah taganing
1
Naskah asli dari tulisan ini berjudul: ‘Pengaruh (gendang bersisi satu dan dilaras), sebuah gordang
Kebijakan Gereja terhadap Cara Penyajian Gondang (gendang bersisi satu, tidak dilaras), satu buah sarune
Sabangunan dan Tortor dalam Konteks Upacara Adat (alat tiup berlidah ganda), empat buah gong berpencu
pada Masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen yang digantung, ogung oloan, ogung ihutan, ogung
Protestan’, yang disajikan dalam Sesi ‘Karya panggora dan ogung doal, dan sebuah hesek, yaitu
Antropologi dalam Seni dan Dokumentasi’ pada Semi- botol kosong, atau kadang-kadang lempengan besi yang
nar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia dipukul. Tortor adalah tarian seremonial yang
menghadapi Krisis Budaya Bangsa’, 6-8 Mei 1999, mendampingi penyajian. Keduanya seperti dua sisi
Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, berbeda pada sebuah uang logam.
Depok.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000 25
kebijakan gereja yang dimuat dalam delapan Adat adalah rangkaian atau tatanan norma-
buku Hukum Siasat Gereja.3 norma sosial dan religius yang mengatur
Harnish (1992:29-58) seorang etno- kehidupan sosial, hubungan manusia dengan
musikolog mengatakan bahwa pada saat leluhurnya, hubungan vertikal kepada sang
orientasi agama atau politik suatu masyarakat Pencipta, serta pelaksanaan upacara-upacara
berubah, para anggota masyarakat tersebut ritual keagamaan. Perubahan itu selanjutnya
akan menginterpretasikan kembali struktur, isi mempengaruhi sikap mereka terhadap berbagai
dan konteks seni pertunjukan mereka. praktek adat dan konteks penggunaan
Pendapat ini relevan dengan situasi musikal gondang sabangunan dan tortor, serta cara
orang Batak Toba di Sumatera Utara yang mulai atau prosedur penyajiannya. Perubahan itu juga
mengalami perubahan orientasi agama sejak mempengaruhi jumlah energi musikal yang
1860-an. Masuknya agama Kristen dan sistem dipakai untuk menyajikan tradisi itu.
pendidikan gaya Eropa ke Tanah Batak di paruh Sejak intervensi agama Kristen di tahun
kedua abad ke-19 mengubah banyak sendi 1960-an hingga sekarang, tradisi gondang
kehidupan sosial dan religius orang Batak sabangunan dan tortor mengalami ‘proses
Toba. Misi ini dibawa misionaris, yaitu penyesuaian’ (process of appropriation).
mengKristenkan orang Batak, ternyata Proses ‘penyesuaian’ yang dalam hal ini
berdampak negatif terhadap adat pra-Kristen diimplementasikan oleh gereja melalui
dan kelangsungan kebudayaan musikal orang penerbitan kebijakan, adalah suatu strategi
Batak Toba. Salah satu dampaknya—sesudah untuk mengatur suatu sistem pengetahuan atau
sebagian besar orang Batak Toba menganut kepercayaan setelah lebih dulu sistem itu
agama Kristen—adalah berubahnya konsepsi dilepaskan dari asalnya (kebudayaan), yakni
atau pemahaman mereka tentang tradisi mendekontekstualisaikannya, dan akhirnya
gondang sabangunan, Tortor dan adat. merekontekstualisasikannya pada tujuan atau
situasi baru (Kartomi 1993:513). Di dalam
3
Orang Batak Toba yang beragama Kristen— konteks tradisi godang sabangunan dan tortor,
selanjutnya akan disebut Batak Toba—adalah anggota ‘mendekontekstualisasi’ adalah melepaskan
dua institusi gereja Protestan terbesar di Sumatra Utara,
yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan GKPI tradisi itu secara sistematis dari sumber aslinya,
(Gereja Kristen Protestan Indonseia). Kedua institusi yaitu praktek adat dan kepercayaan pra-Kristen
gereja ini semula adalah satu. Pada tahun 1964, sebagian (hasipelebeguan), sementara ‘merekonteks-
anggota jemaat HKBP memisahkan diri dan
membentuk institusi gereja sendiri yang bernama GKPI 4
(Pedersen 1970:177-178). Hingga saat ini GKPI adalah Proses penyesuaian seperti itu bukanlah suatu hal
gereja yang mandiri. Pimpinan tertinggi gereja beserta yang baru di Indonesia. Situasi musikal orang Ternate
pejabat gereja lainnya, seperti pendeta, guru jemaat di Maluku Utara seperti didiskusikan oleh Kartomi
adalah orang yang menjalankan pelayanan kerohanian. dan situasi musikal orang Tobaku di Sulawesi Tengah
Dalam tulisan ini mereka disebut sebagai ‘gereja’. Kitab seperti yang didiskusikan oleh Aragon merupakan dua
Hukum Siasat Gereja adalah buku yang berisikan norma- contoh kongkret yang perlu disebutkan di sini. Kartomi
norma yang bersumber dari Alkitab yang harus melaporkan bahwa pemerintah daerah Ternate
diteladani oleh orang Batak Toba untuk menjaga mengubah penggunaan dan fungsi sosial beberapa jenis
kesucian gereja dan untuk membimbing kehidupan musik dan tarian lokal, memisahkan mereka dari
rohani serta kehidupan sosial mereka. Kebijakan gereja lingkungan kolektif pedesaan dan merekonstruksi seni
adalah bagian dari norma-norma yang terdapat dalam pertunjukan itu untuk menyampaikan pesan-pesan
Hukum Siasat Gereja yang mengatur hal-hal tertentu, politik baru (Kartomi 1993:513-521). Aragon
misalnya tentang pernikahan atau penyajian musik (1996:413-414) melaporkan bahwa petunjukan ‘raego
dan tari tradisional. (nyanyian dan tarian seremonial orang Tobaku di
Sulawesi Tengah) merupakan bagian integral dari ritual
keagamaan pra-kolonial, dan berhubungan erat dengan
Manjujur
A2
gondang
penghormatan kepada
(BNG); memohon izin
c) Panjujuran (m) mempersembahkan sipitu
A gondang gondang (tanpa tortor )
memainkan gondang
sabangunan ; memohon
lindungan (BNG)
'mengambil' berkah dari
- (S) menyampaikan pidato a d a t ,
penyajian gondang
meminta (m) memainkan
Mambuat tua sabangunan dan tortor yang
A3 gondang (struktur tiga serangkai)
ni gondang pertama sekali
- (M) memainkan gondang
- (S) m a n o t o r
Tabel 4
Kebijakan Gereja
Sumber: Schreiner (1994:52-53), Vergouwen (1986:86, 115), Tobing (1963:27), lihat juga Siahaan
(1964:43).
• Kebijakan tahun 1924, oleh Misionaris Jerman dan pejabat gereja lokal
• Target : Jemaat Batak Toba Kristen
• Isi kebijakan : Jemaat Batak Toba Kristen dilarang:
- menyembah roh nenek moyang,
- menari mengelilingi mayat atau tulang-belulang,
- berkonsultasi dengan dukun,
- mengadakan upacara adat bagi orang yang meninggal pada usia uzur,
- trans/kemasukan roh,
- membuat ramuan magis,
- menyajikan gondang sabangunan dan tortor, kecuali mendapat izin
dari pejabat gereja,
- mengadakan upacara penggalian tulang-belulang.
Sumber: Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan (1987)
Kebijakan-kebijakan gereja yang berlaku sesudah tahun 1952. Kebijakan gereja yang
dewasa ini adalah kebijakan yang sama, seperti dikeluarkan sejak 1952 mengandung misi atau
yang diterbitkan tahun 1987 (untuk HKBP) dan usaha mengubah orientasi arti dan fungsi
tahun 1982 (untuk GKPI). Ditekankan dalam gondang sabangunan dan tortor, yaitu dari
kebijakan itu, seperti juga pada msa-masa orientasi religius ke orientasi sosial-budaya.
sebelumnya, bahwa anggota jemaat yang Pada awalnya pihak gereja tidak mempunyai
melanggar kebijakan akan mendapat hukum rasa toleransi, sebab gereja berasumsi bahwa
administratif dari gereja. Misalnya, keanggota- penggunaan gondang sabangunan dan tortor
annya di gereja dicabut. Hukuman disiplin itu sewaktu-waktu dapat membuka kembali
tidak akan dicabut oleh gereja, kecuali pihak gerbang ke dunia pemujaan roh-roh leluhur.
gereja melihat bahwa anggota jemaat yang Namun, pihak gereja akhirnya memahami bahwa
melanggar kebijakan itu menyadari kesalahan- bagi orang Batak Toba, praktek adat dan
nya. Sebelum mereka yang terkena hukuman penyajian gondang sabangunan serta tortor
diterima kembali sebagai anggota gereja, mereka mempunyai nilai budaya yang tinggi. Karena
juga harus mengakui kesalahannya di depan itu, dengan memberikan toleransi, dan pada saat
pejabat dan jemaat gereja. yang bersamaan membimbing jemaat melalui
Namun, terdapat perbedaan antara peraturan yang lebih bijaksana, gereja berusaha
kebijakan yang dikeluarkan sebelum dan mengesampingkan hegemoni adat pra-Kristen
Manggalang r r r r
g A1 r r
pargonsi
Manjujur r r r
g A2 r a r
gondang:
a) Demban r r r r a r
Panjujuran V
b) Tonggo-
r r r r a r
tonggo
V
c) Panjujuran r r r r a r
A
V
r a a r a r
Mambuat tua
g A3 V V V
ni gondang
p
a a a a a a
Gondang
v v v n v n
B dalihan
na tolu p p p p
V V V V
Manutup r a a r a r
C gondang V V V
Keterangan:
r : tidak ada 1994 C : Perkawinan di Medan
a : ada 1998 A : Mangongkal Holi di Pematang Siantar
1991 : Saurmatua di Medan 1998 B : Upacara Saurmatua di Muara
1994 A : Mangongkal Holi di Medan
1994 B : Mangongkal Holi di Hutaraja,
Sipoholon
Kepustakaan
Aragon, L.V.
1996 ‘Suppressed and Revised Performances:‘Raego Songs of Central Sulawesi’,Ethnomusicology
40(3):413-439.
Aritonang, J.S.
1988 Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
1970 Hukum Siasat Gereja . Pematang Siantar: Kantor Pusat GKPI.
1982 Hukum Siasat Gereja . Pematang Siantar: Kantor Pusat GKPI.
Gultom, H.
1991 Penggalian Tulang-belulang Leluhur (Mangokol Holi) Tinjauan dari Segi Iman Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia .
Harnish, D.D.
1992 ‘The Performance, Context, and Meaning of Balinese Music in Lombok’, Forum
Ethnomusicologicum (4):29-58.
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)
1907 Aturan ni Ruhut di Angka Huria na di Tonga-tonga ni Halak Batak.Siantar-Toba:
Pangrongkoman Mission.
1924 Ohoem Parhoeriaon Siingoton ni Angka Hoeria Kristen Batak(tanpa penerbit).
1952 Ruhut Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan. Tarutung: Kantor Pusat HKBP.
1968 Ruhut Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan. Tarutung: Kantor Pusat HKBP.
1987 Ruhut Parmahanon dohot Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan.Tarutung: Kantor
Pusat HKBP.
Kartomi, M.J.
1993 ‘Revival of Feudal Music Dance and Ritual in the Former “Spice Island” of Ternate and
Tidore’, dalam Hookor (peny.) Cultures and Society in New Order Indonesia . Singapore:
OUP.
Lumbantobing, A.
1992 Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Pardede, J.
1987 ‘The Question of Christianity, Islam and Batak Culture in North Sumatra’, dalam R. Carle
(peny.) Cultures and Societies of North Sumatra . Berlin: Dietrich Reimer. Hal. 235-251.