Sei sulla pagina 1di 22

Identitas Minahasa:

Sebuah Praktik Kuliner1

Gabriele Weichart

(University of Heidelberg)

Abstract

The geographic area I will focus on is the Minahasa region in North Sulawesi. There, in the
eighteenth century the eight ‘tribes’ inhabiting the area were united into a single ‘ethnic
group’ known as ‘Minahasa’ until today. Not only the Dutch colonial government but also the
Protestant church put great efforts into this unifying and homogenising process that was
supposed to create a common identity for all Minahasan people. The effectiveness of those
efforts can hardly be denied. Nevertheless, internal differences have continued to exist and
they are based not only on ‘traditional’ concepts that divided the ‘original’ Minahasan tribes
but also on the local population’s experiences with immigrants from other parts of Indonesia
and overseas (e.g. the Philippines and China). Although this is not a recent phenomenon,
political and socio—economic developments during the last few years have had further im-
pacts on demographic conditions and relations between different ethnic and religious ‘groups’.
Thus, the Minahasa—like other ‘ethnic groups’ in Indonesia—are confronted with a double
binding of supposed needs and requests for diversity under a unifying umbrella—on the re-
gional as well as national level. The paper will address the ‘problem’ from the perspective of
a rural community in the south-eastern part of the region. Hence, local concepts of identity,
their constructions and markers in everyday life, as being manifested in food and clothing for
instance, will be given special consideration. It will also be taken into account that the media
(esp. television) plays an important role in the formation and representation of ethnic and
religious identity. The paper aims at showing how ‘unity’ and ‘diversity’ in this context are
produced and reproduced on the village level and its relation to the national discourse.

Latar belakang Pertanyaan tersebut diajukan kepada saya usai


’Kenapa Anda memilih melakukan penelitian memberi ceramah di Universitas Kristen Indo-
tentang makanan, sebuah topik yang nesia di Tomohon. Saat itu tahun 2002 dan
sederhana, dan tidak memilih isu-isu yang lebih tenggat waktu masa penelitian lapangan saya
penting dalam masyarakat Minahasa?’ makin mendekat. Munculnya pertanyaan yang

Regional Autonomy in East Indonesia’ pada


1
Tulisan ini adalah penyempurnaan dan terjemahan Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI IN-
dari makalah berjudul ‘Minahasa Identity: A Culinary DONESIA ke-3: ‘Rebuilding Indonesia, a Nation of
Practice’ yang dipresentasikan dalam panel ’How will “Unity in Diversity”: Towards a Multicultural Soci-
Eastern Indonesia Maintain “Unity in Diversity”? ety’, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali,
Responses to Religious-Ethnic Discord, Refugees and 16–19 Juli 2002.

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 59


seperti itu tidak mengejutkan saya karena mereka menekankan adanya perbedaan dari
sarjana-sarjana Barat pun terkadang mengalami orang Muslim secara umum. Kedua, perbedaan
kesulitan menerima dan melihat adanya sesuatu dari masyarakat di daerah lain Indonesia, dan
yang berharga dalam preokupasi akademis ketiga, di tingkat politis, dari pemerintah pusat
dengan kehidupan sehari-hari. Dari sudut di Jakarta.
pandang saya, sikap demikian lebih Dalam tulisan ini pertama-tama saya akan
mencerminkan ciri-ciri tertentu dalam tradisi mengulas sejarah identitas suku Minahasa.
intelektual Barat daripada relevansi penelitian Akan jelas terlihat bahwa beberapa variabel
itu sendiri. Tradisi intelektual Barat (yang juga memiliki peran penting dalam proses
dapat ditemukan di Indonesia) lebih pembentukan dan pemeliharaan identitas.
mendahulukan pikiran (mind) di atas tubuh Kebiasaan-kebiasaan seputar makanan, yang
(body) dan tidak memasukkan urusan sehari- telah dikenal di luar batas wilayah Minahasa,
hari dalam agenda penelitian. ’remeh-temeh’ hanyalah salah satu, walaupun penting,
macam itu, yang kerap dikategorikan sebagai kategori yang telah berfungsi sebagai
bagian dari ‘ranah domestik’, dianggap sebagai kendaraan untuk menemukan (invent),
bidang penelitian para perempuan peneliti. membentuk, mewakili, dan membenarkan
Melalui makalah ini saya akan menunjukkan identitas mereka dan batas-batas dengan Yang
bahwa makanan tidak harus dan tidak semata Lain (Others). Tradisi dan kebiasaan masa kini
merupakan bagian ranah ’pribadi’, ’domestik’ sehubungan dengan makanan dan kegiatan
atau ’perempuan’. Justru sebaliknya, proses makan dapat dikaitkan dengan penanda utama
produksi, distribusi, dan konsumsi bahan dari identitas Minahasa seperti tanah, nenek
makanan adalah bagian dari kehidupan ’publik’ moyang, sejarah pascakolonial, dan agama.
(jika ingin bertahan dengan dikotomi klasik ini) Dalam artikel ini argumen-argumen saya akan
dan dengan demikian memiliki arti sosial, didukung oleh contoh-contoh spesifik
ekonomis, dan politis. Meski saya tidak pernah makanan yang digemari dan kerap disantap
meragukan hal ini, bahkan sebelum memulai masyarakat Minahasa, yang dengan demikian
penelitian lapangan di Minahasa, saya tetap menunjukkan kompleksitas identifikasi dalam
terkejut melihat penekanan yang diberikan or- kaitannya dengan kegiatan keseharian. Saya
ang daerah tersebut pada makanan dan nutrisi juga akan menunjukkan bahwa dalam konteks
sebagai determinan utama kehidupan sosial dan desentralisasi politik, konflik, dan kekerasan,
identitas. ketika gagasan tentang ’identitas’ dan
Kesukuan biasanya digunakan sebagai latar ’perbedaan’ menjadi isu sentral dalam wacana
depan dalam wacana-wacana mengenai publik maupun pribadi, tradisi makanan dan
identitas kolektif di Minahasa. Ketegangan kebiasaan makan memainkan peranan penting
politis dan agama, bahkan aksi-aksi kekerasan dalam mendefinisikan dan memperkuat
yang terjadi di provinsi-provinsi tetangga dan ’kesamaan’ dan ’perbedaan’ antara populasi
di daerah-daerah lain Indonesia menambah Kristen dengan Muslim.
pengidentifikasian dan pembedaan berdasar-
kan suku. Berada di daerah kantong Kristen Menjadi Minahasa: sebuah sejarah
dalam negara dengan penduduk mayoritas singkat
Muslim, masyarakat Minahasa menekankan Jika bicara tentang Minahasa, kita dapat
berbagai tingkat, yang juga saling tumpang mengacu pada daerah geografis tertentu,
tindih, dalam wacana-wacana mereka. Pertama, kesatuan politik atau kelompok suku yang

60 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


mendominasi wilayah tertentu. Secara keseharian, dalam proses pengambilan
geografis, wilayah Minahasa berada di ujung keputusan, dan sebagainya. Walak-walak
utara Pulau Sulawesi. Untuk tujuan politis dan adalah kesatuan yang terdiri dari beberapa
administratif, Provinsi Sulawesi Utara desa. Sebagai unit yang endogamis dan dapat
selanjutnya dibagi menjadi kabupaten- memenuhi kebutuhan sendiri, berbagai walak
kabupaten dan kotamadya. Di saat penulisan hidup saling berdampingan dan saling
makalah ini, Kabupaten Minahasa berada dalam bersaing. Kekerasan dan perang antarwalak
proses pemecahan menjadi tiga kabupaten tidak jarang terjadi dan dengan demikian
lebih kecil (Minahasa Utara, Minahasa Tengah, hubungan sosial antarwalak tersebut terbatas
dan Minahasa Selatan) dan kotamadya ketiga dan penghuni walak yang berbeda kerap saling
(Tomohon) ditambahkan pada dua kotamadya mencurigai. Perjanjian yang ditandatangani
yang sudah ada (Manado dan Bitung). Robertus Padtbrugge di tahun 1679, gubernur
Kecenderungan untuk membagi kesatuan- VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
kesatuan yang sudah kecil menjadi lebih kecil di Maluku, dengan kepala-kepala walak
lagi adalah hasil jangka panjang kebijakan Minahasa, yang juga menjamin perlindungan
otonomisasi, yaitu untuk meningkatkan walak dari tetangga mereka, raja Bolaang,
otonomi daerah.2 Tujuan politis yang secara merupakan tindakan komunal pertama yang
resmi disebarluaskan adalah untuk dilakukan di luar tingkat walak , setidaknya
meningkatkan efisiensi administrasi di tingkat tindakan pertama yang didokumentasikan.3
daerah, dengan lebih diperhatikannya isu-isu Istilah ’Minahasa’, bagaimanapun juga,
lokal. Lebih lanjut diharapkan bahwa perubahan tidak digunakan saat itu. Istilah ini pertama kali
macam itu akan menambah rasa tanggung muncul di catatan Belanda pada tahun 1789 dan
jawab politisi lokal terhadap distrik politik dan hanya mengacu pada dewan kepala desa
penduduknya serta membuat mereka lebih dekat (landraad). Baru sekitar tahun 1820 istilah
dengan penduduk. Keuntungan-keutungan tersebut mengandung arti geografis atau etnis
yang diharapkan tersebut, dan masa depan saat digunakan dalam masa kolonial, landstreek
akan membuktikan apakah memang dapat van Manado (Henley 1992:69). Asal etimologis
terwujud, paling mungkin dicapai dengan kata ’minahasa’ tidak benar-benar jelas, tetapi
mengorbankan kesatuan politis. Bagaimana hal ada kesepakatan di antara ilmuwan dan orang
ini akan mempengaruhi persepsi masyarakat awam bahwa berbagai sumber linguistik, antara
mengenai diri mereka, identifikasi mereka lain, mina-esa , ma-esa , maha-esa , semua
tentang ’Minahasa’ dan rasa ’kesatuan’ (unity) mengacu pada penyatuan kelompok-kelompok
sulit untuk diprediksi. yang sebelumnya terpisah secara kultural dan
Kesatuan Minahasa tidak memiliki sejarah linguistik, pada proses ’menjadi satu’ (lihat
panjang. Misionaris-misionaris dan pegawai Godee Molsbergen 1928:7; Graafland 1991:9–
pemerintah pertama melaporkan bahwa 10; Schwarz 1908:46). Hal ini terjadi dalam masa
Minahasa tidak memiliki organisasi politis atau kolonial Belanda dan pihak Belanda jelas tidak
kepemimpinan yang menguasai seluruh daerah. menjauhkan diri dari proses ini. Sebaliknya,
Walak adalah unit politis, ritual, dan sosial administrasi kolonial berusaha sekuat tenaga
terbesar yang berfungsi secara efektif dalam
3
Lihat Schouten (1998) untuk penjabaran mendetil
2
Keseluruhan wilayah, termasuk kota-kota besarnya tentang perkembangan struktur politis dan
dihuni oleh tidak lebih dari sekitar 1.300.000 penduduk. kepemimpinan di Minahasa.

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 61


untuk mendukung dan mempercepat proses Minahasa. Legenda-legenda, seperti tentang
penyatuan tersebut karena hal itu sesuai Lumimuut dan Toar, nenek moyang orang
kepentingan pengurus administrasi Belanda Minahasa, dan cerita tentang pembagian
dan para misionaris. Mereka ingin menyatukan wilayah Minahasa di Watu Pinawetengan,
semua ’suku’ agar dapat membentuk keduanya simbol dari kesatuan Minahasa,
pemerintahan pusat supaya wilayah tersebut menjadi alat-alat sempurna dalam usaha
dapat ’tenang’ dan lebih mudah ’diatur’. Mereka tersebut.
juga tahu bahwa untuk berhasil dan dapat Sekolah-sekolah juga merupakan institusi-
dipertahankan, proyek tersebut harus didukung institusi yang berguna dalam usaha mengatasi
penduduk setempat. Pengidentifikasian dengan rintangan bahasa, disebabkan oleh banyaknya
tujuan penjajah dapat dibentuk jika tujuan bahasa yang digunakan di Minahasa.5 Sebagai
tersebut sesuai dengan identifikasi masyarakat bahasa yang digunakan dalam mengajar,
tentang diri mereka sendiri.4 Melayu Manado, selain bahasa Belanda,
Sejak awal abad ke-19, misi Protestan NZG dengan cepat dan efektif menduduki status
(Nederlandsch Zendeling Genootschap ) sebagai lingua franca daerah dan hingga hari
memainkan peranan penting dalam proses ini. ini tetap mempertahankan kedudukannya
Usaha-usaha besar dilakukan, antara lain, untuk (Henley 1992:103–111; Schouten 1998:112–121).
mendirikan sekolah-sekolah di Minahasa. Meskipun demikian, dampak eksternal yang
Meskipun pada awalnya mereka tidak selalu paling kuat dalam proses pembentukan
diterima dengan antusias oleh penduduk lokal, identitas Minahasa datang dari Gereja Protestan
dengan berjalannya waktu mereka terbukti seiring dengan usaha mereka untuk
berhasil dan berperan banyak dalam menyebarluaskan agama Kristen. Saat ini,
menempatkan Minahasa sebagai perkecualian mayoritas penduduk Minahasa beragama
di daerah jajahan Hindia Timur (Riedel 1836; Kristen dan di antara berbagai kongregasi yang
Schouten 1998:112–125). Kurang dari 100 tahun ada, GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa)
setelah dibukanya sekolah pertama, jumlah or- adalah yang terbesar. Konstruksi identitas, baik
ang Minahasa yang berpartisipasi aktif dalam di tingkat individu maupun kolektif, adalah
administrasi, perdagangan, dan militer Belanda proses dialektik antara mengenali kesamaan
semakin banyak. Tingkat buta huruf menurun dan perbedaan, dan sebagai akibatnya, antara
dan Minahasa dikenal sebagai salah satu inklusi dan eksklusi (lihat Jenkins 1996). Hal ini
daerah Hindia Timur dengan tingkat pendidikan juga terjadi di Minahasa, ’orang luar’ seperti
tertinggi di seluruh populasi. Meskipun pegawai asing dan misionaris dan perlahan juga
demikian, Minahasa juga memperoleh reputasi ’orang dalam’, seperti pemimpin politik lokal,
sebagai pihak yang bekerja sama dengan para berusaha menyatukan Minahasa melalui proses
’penindas’ atau para penjajah. Sekolah-sekolah homogenisasi dan pembedaan dari Yang Lain
menyediakan forum tidak hanya untuk melatih (Others) (Kosel 1998; Schouten 1998). Agama
keterampilan yang berguna, tetapi juga untuk telah memainkan peran yang besar dalam
membentuk kesadaran kolonial. Penekanan proses ini karena Minahasa menjadi kantong
dilakukan pada kebudayaan dan sejarah daerah Kristen di negara yang didominasi

5
4
Lihat Henley (1992) untuk penjabaran tentang Hingga saat ini ada delapan bahasa yang berbeda dan
perkembangan struktur politik dan kepemimpinan di lebih banyak lagi dialek lokal yang digunakan di
Minahasa. Minahasa.

62 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


Muslim. Meskipun penduduk Muslim sebagai dipadukan dan dihidupkan kembali dalam
minoritas telah ada di wilayah Minahasa selama bentuk teks tertulis maupun lisan serta
beberapa abad, mereka tetap dianggap ’orang pertunjukan-pertunjukan, sangat vital dalam
asing’, orang ’non-Minahasa’, dan tak selalu menyediakan persepsi kedalaman waktu bagi
diterima dengan tangan terbuka. Selain kesatuan kolektif. Periode yang berarti dalam
pedagang-pedagang Muslim yang datang ke sejarah Minahasa, yang masih dikenang oleh
Minahasa dan bermukim di daerah pesisir, banyak orang, adalah tahun-tahun Permesta
tentara VOC yang Muslim dari Ternate datang (1958–1961). Saat itu Minahasa melawan
ke Minahasa di abad ke-17. Dua ratus tahun pemerintah nasional negara Republik Indone-
kemudian, Imam Bonjol yang berasal dari sia yang masih muda dan berjuang untuk
Sumatera Utara dan Pangeran Diponegoro dari memperoleh otonomi yang lebih besar atau
Jawa mengungsi ke Minahasa. Kejadian- bahkan kemerdekaan. Meskipun akhirnya para
kejadian tersebut dan dampak yang tetap ’pemberontak’ dikalahkan, Permesta dilihat
membekas masih merupakan bagian dari sejarah sebagai masa ketika pahlawan-pahlawan
lokal Minahasa dan ingatan kolektif. Meskipun Minahasa bersatu untuk melawan musuh dari
pengikut pemimpin-pemimpin politik tersebut luar. Walau Permesta kerap digunakan sebagai
tak banyak, keturunan mereka hingga hari ini contoh kesatuan Minahasa dan perjuangannya
masih mempertahankan masa lalu yang ’heroik’ untuk kemerdekaan, populasi lokal sesungguh-
dan identitas mereka serta mengekspresi- nya tidak benar-benar menyatu saat itu.
kannya dengan tetap teguh memeluk Islam. Mereka terpecah-pecah, terdiri atas pengikut
Dalam usaha mereka untuk menyatukan dan mereka yang menolak gerakan politik dan
Minahasa, orang Belanda mencari kesamaan- militer tersebut (Harvey 1977).
kesamaan dalam sejarah, kebudayaan, dan Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
tradisi. Strategi ini berhasil dan perbedaan lokal pada tahun 1945, musuh bersama yang berasal
dalam daerah menjadi kurang penting atau ‘dari luar’ Minahasa adalah pemerintah nasional
bahkan dikorbankan agar mendapat identitas di Jakarta. Hal ini juga dirasakan oleh daerah-
baru yang lebih besar. Meskipun demikian, daerah lain di nusantara, yang masyarakatnya
seperti yang telah dinyatakan di atas, identitas mengalami pemusatan politik yang dikaitkan
dibangun atas dasar eksklusi dan inklusi dan— dengan eksploitasi secara ekonomis dan
meskipun terbentuknya identitas Minahasa hegemoni budaya. Karena kekuasaan dan
telah membantu mengurangi konflik lokal yang kekayaan dianggap berpusat semata pada pulau
disebabkan perbedaan, baik yang secara nyata Jawa, ketakutan dan ketidaksukaan tersebut
memang ada maupun yang tidak—sikap ditujukan pada ’semua orang Jawa’. Kenyataan
memisahkan diri dari Yang Lain tetap ada. bahwa mayoritas penduduk Jawa beragama
Dari dulu hingga kini, yang dianggap non- Islam menambah sikap dan perasaan negatif
Minahasa adalah orang-orang yang tidak itu. Ketidakpercayaan yang umum dirasakan
memiliki penanda utama identitas Minahasa. komunitas Kristen terhadap Islam dipupuk oleh
Secara luas, penanda utama identitas tersebut peran dominan Islam di kebanyakan wilayah
adalah sejarah, leluhur, teritorial, agama, nusantara. Perkembangan keadaan politik
bahasa, dan budaya. Kategori pembeda macam dewasa ini di Indonesia, antara lain konflik
itu tidak hanya milik Minahasa saja, tetapi juga berdarah di Maluku dan Sulawesi Tengah,
terdapat pada suku-suku bangsa yang lain. ataupun yang terjadi di luar negeri seperti di
Sejarah, yaitu masa lalu kolektif yang ditangkap, Timur Tengah, membawa fundamentalisme Is-

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 63


lam kembali ke latar depan dan meningkatkan ’ke-Minahasa-an’ mencerminkan pemisahan
ketegangan yang sebelumnya bersifat laten dan penyatuan sekaligus.
antara orang Muslim dengan Kristen. Meskipun para sejarawan menyatakan
Mayoritas pemimpin politik di tingkat nasional bahwa ’Minahasa’ yang menyatu secara politis
adalah Muslim dan beberapa dari mereka dan sosial belum berusia tua (kurang dari 200
bahkan mendukung gagasan menggunakan tahun), cerita rakyat mengklaim bahwa semua
Islam sebagai agama resmi negara. Komunitas orang Minahasa ’asli’ merupakan keturunan
Kristen dan kelompok agama minoritas lainnya dari pasangan leluhur mitologis, Toar dan
merasa terancam oleh adanya prospek negara Lumimuut. Lumimuut tidak hanya bertanggung
Islam. Dapat disimpulkan bahwa sentimen anti- jawab atas kelahiran fisik orang-orang
Jawa dan anti-Islam saling terkait satu dengan Minahasa pertama tetapi juga atas terbaginya
yang lain. Jika sentimen anti-Jawa meningkat mereka menjadi beberapa kelompok bahasa
seiring dengan meningkatnya aktivitas yang menempati wilayah-wilayah berbeda.
kelompok Islam sementara Islam diidentifikasi Menurut berbagai variasi legenda klasik ini,
sebagai agama dominan di Jawa, sentimen anti- Lumimuut membagi seluruh wilayah Minahasa
Islam hingga tingkat tertentu disebabkan oleh menjadi tiga atau empat bagian dan memberikan-
hegemoni Jawa yang berlangsung lama. nya pada keturunannya. Terpisah satu sama
Mengidentifikasi diri sebagai kelompok lain, keturunan Lumimuut membentuk ’suku’
suku Indonesia Timur dan beragama Kristen, mereka sendiri dengan bahasa dan budaya
Minahasa di satu sisi membedakan diri mereka yang berbeda-beda. Meskipun ada keragaman
dari Indonesia Barat secara umum serta dari bahasa dan budaya, diyakini bahwa pada
Jawa secara khusus, dan di sisi lain dari semua intinya Minahasa memiliki asal yang sama,
masyarakat beragama Islam, termasuk yang secara fisik terwujud dalam figur ’ibu’
berada di belahan Timur Indonesia. Jika semasa Lumimuut.6 Karena itulah usaha penyatuan
zaman kolonial kesediaan Minahasa untuk yang dilakukan oleh Belanda dan masyarakat
beragama Kristen membuat mereka menduduki Minahasa bahkan dibenarkan oleh sejarah.
posisi khusus dalam administrasi pemerintah Mereka dapat mengaku telah memperkenalkan
Belanda, setelah masa kemerdekaan hal kembali ’keadaan asli’, sekalipun dalam kondisi
tersebut menjadi kurang menguntungkan. yang sangat berbeda dan juga melibatkan para
Sikap Minahasa yang pro-Barat memancing pendatang. Di masa penjajahan Belanda,
kecurigaan. Hingga saat ini ada kecenderungan wilayah Minahasa didiami oleh delapan
untuk mengidentifikasi dan mencari hubungan kelompok bahasa. Beberapa berasal dari ’suku’
dengan negara Barat, bukan dengan daerah dan Minahasa yang memang sudah besar dari dulu,
provinsi sekitar yang didominasi agama Islam.
Pisahnya Gorontalo dari Sulawesi Utara di 6
Ada berbagai versi mengenai apakah penduduk asli
tahun 2001 adalah bukan saja tetapi juga akibat Minahasa terbagi atas 3, 4, atau 5 ’kelompok bahasa’.
dari kecenderungan saling menghindar yang Istilah ini problematis dalam konteks Minahasa, seperti
yang kerap terjadi dalam konteks-konteks lain, karena
dilakukan oleh penduduk maupun politisi dalam ’kelompok’ di sini tidak mengacu pada sejumlah orang
provinsi yang didominasi agama Kristen yang berkegiatan bersama. Meskipun demikian, karena
tersebut. Dengan demikian kolonialisme dan konvensi dan tidak tersedianya alternatif yang lebih
sesuai, saya tetap menggunakan istilah ini jika dirasa
institusi-institusinya tidak hanya berperan sesuai. Lihat Eeuijwik (1999:273–275) dan Tauchmann
sebagai kekuatan yang mengintegrasikan, (1968:31–56) untuk ringkasan mengenai berbagai versi
tetapi yang juga memisahkan. Penekanan pada dan interpretasi tentang mitos tersebut.

64 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


sementara lainnya berasal dari wilayah-wilayah antarorang Kristen dan Islam, sangat tidak
tetangga seperti Bolaang-Mongondow atau disukai. Akibatnya, kebanyakan orang Muslim
kepulauan Sanghir-Talaud. Para pendatang tidak dapat mengakui bahwa mereka keturunan
tersebut tiba di Minahasa dan mengambil Minahasa, warisan tanah, pengetahuan bahasa
daerah-daerah tertentu. Meskipun para daerah dan tradisi budaya lokal. Dengan
pendatang telah sepenuhnya berintegrasi dan demikian mereka tidak dapat dianggap sebagai
dalam pemahaman populer maupun catatan orang Minahasa. Lebih dari pendatang-
resmi mereka diakui sebagai bagian dari kategori pendatang lain dan bahkan setelah beberapa
’Minahasa’, dalam diskusi-diskusi spesifik generasi tinggal di Minahasa, pendatang Mus-
mengenai asal suku, sejarah, identitas, dan lim tetap dilihat sebagai ’orang luar’ yang tidak
ingatan kolektif, orang masih membedakan patut memiliki hak kewargaan yang sama
antara Minahasa ’asli’ dan mereka yang berasal ataupun akses pada sumber-sumber seperti
dari nenek moyang berbeda. yang dimiliki orang Minahasa atau bahkan
Saat para pendatang pertama tiba di pendatang-pendatang Kristen.
Minahasa, masih tersedia tanah kosong untuk
dihuni dan diolah oleh mereka. Bersama-sama ’Sejarah’ budaya
dengan orang-orang Minahasa ’asli’ pertama, Seperti yang telah saya coba jabarkan,
mereka memilih berorientasi pada daerah identitas kesukuan Minahasa terkait erat dengan
pegunungan di pedalaman pulau dan sejarah dan masa lalu, kesamaan leluhur, dan
menghindari pesisir. Daerah pesisir ’disediakan’ wilayah tertentu. Meskipun demikian, ’benda-
bagi pendatang-pendatang lain. Seringkali benda budaya’-lah, sebagaimana hal itu disebut,
kelompok Muslim (meskipun tidak secara yang mengisi baik kategori-kategori tentang
eksklusif), yang mengandalkan penangkapan maupun identifikasi mengenai orang-orang,
ikan dan perdagangan juga membutuhkan akses tempat-tempat dan peristiwa-peristiwa di masa
ke laut. Hunian di pesisir terbentuk sebagian lalu dan masa kini, dengan suatu makna. ’Benda-
karena tanah kosong menjadi langka dan benda budaya’ juga mendorong orang
mereka yang datang kemudian tidak dapat atau menghayati identitas mereka keterikatan ( belong-
tidak diizinkan untuk membeli tanah. Hingga ing), dan perbedaan. Dengan demikian,
saat ini, dan kemungkinan meningkat di tahun- kebudayaan adalah salah satu penanda yang
tahun terakhir sebagai wujud sikap anti-Islam, mendasari kesukuan, di Minahasa maupun di
penduduk Muslim mengalami kesulitan memiliki tempat lain. Waktu dan juga tempat merupakan
tanah. faktor penting dalam melegitimasi identitas
Setelah berabad-abad, semakin banyak kesukuan dan semakin panjang sejarah yang
orang Minahasa pindah dari pedalaman menuju dimiliki suku tertentu, keberadaan suku tersebut
pesisir. Banyak kota memiliki populasi yang tampak semakin meyakinkan dan dapat
terdiri atas orang dari berbagai suku bangsa dibenarkan. Mewakili kelompok suku tertentu,
dan agama. Walaupun demikian, pemisahan kebudayaan suku tersebut juga harus sama
ruang dan kehidupan sosial tetap ada. tuanya dan, meskipun proses modifikasi dan
Kelompok Muslim menempati wilayah yang modernisasi selama bertahun-tahun atau bahkan
berbeda dari kelompok Kristen dan kontak berabad-abad terjadi, harus tetap dapat ditelusuri
sosial menyeberangi batas fisik, suku, dan jejaknya kembali ke zaman lampau. Kebudayaan
agama tidak sering terjadi. Tidak mengherankan dan tradisi, dalam pengertian populer diartikan
bahwa perkawinan antaragama, terutama sebagai lamanya keberadaan, kesinambungan

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 65


dan kelengkapan, yang masing-masing saling dan identitas Minahasa, baik dalam bidang
berkelindan. politik maupun budaya. Ini tidak berarti bahwa
Keadaan di Minahasa bukanlah suatu masyarakat Minahasa tidak membedakan
perkecualian. Kisah sejarah dan legenda maupun antara berbagai jenis, tingkat dan asal-usul
sejarah keluarga yang kerap mengacu pada tradisi, dan tanpa memilah-milah menggabung-
orangtua mitologis suku Minahasa, Toar dan kan semua pengaruh modern dalam kebudaya-
Lumumuut atau leluhur-leluhur lain, menunjuk- an yang sudah ada. Sebaliknya, faktor-faktor
kan signifikansi silsilah yang berpadu dengan yang membedakan masyarakat pedesaan dan
kedalaman historis. Tidak menjadi masalah masyarakat kota, dan bahkan di dalam
apakah para leluhur tersebut merupakan tokoh masyarakat pedesaan itu sendiri, adalah tingkat
historis ataupun mitologis, bagaimanapun juga dan kualitas ’tradisi otentik’ yang masih hidup
mereka telah membentuk sejarah politik dan sosial dan dipraktikkan di daerah tersebut. Walaupun
Minahasa serta menjadi dasar kebudayaan secara umum masyarakat menerima budaya dan
Minahasa. Walaupun demikian, pemerintah pengaruh asing, dan dengan demikian
kolonial Portugis, Spanyol, dan terutama menimbulkan perubahan dalam masyarakat
Belanda, dengan intensitas dan keberhasilan Minahasa selama 150 tahun terakhir ini,
yang semakin meningkat memerintah negara dan penghargaan utama diberikan pada kelanggeng-
mendidik penduduknya selama lebih dari 400 an dan kesinambungan dalam manifestasi
tahun, berpartisipasi cukup banyak dalam kebudayaan, yaitu ’tradisi’. Untuk dapat
penenunan pola tradisi Minahasa. Baik adat lokal mengilustrasikannya lebih jelas, saya akan
maupun kebudayaan Minahasa yang lebih luas memfokuskan pembahasan pada aspek-aspek
merupakan produk pengaruh Barat dan yang terdapat dalam konsumsi makanan dan
kebiasaan nenek moyang sebelum masa kolonial. kaitannya dengan identitas kesukuan dalam
Akibat kedalaman waktu, gelombang penjajahan konteks tertentu pada bagian berikut ini.
yang menyapu dari berbagai arah dan membawa
produk sampingan kebudayaan mereka, Makanan khas Minahasa
masyarakat Minahasa dengan mudah meng- Makanan, bahan makanan, dan cara makan
gabungkan kebudayaan dari luar dengan ’benda memegang posisi penting dalam wacana
kebudayaan’ mereka sendiri. Hal ini tampak dalam mengenai kebudayaan Minahasa dan adat lokal.
kebiasaan seputar pernikahan. Dalam upacara Meskipun saya tahu bahwa makanan dan
gereja dan pesta pernikahan dapat ditelusuri jejak- aktivitas makan juga relevan dalam semua
jejak pernikahan Eropa sementara beberapa masyarakat dan tradisi kebudayaan, saya
upacara lainnya, seperti negosiasi dan antar berpendapat bahwa keadaan Minahasa
harta nikah serta bantuan timbal balik dari berbeda. Di sana, makanan menjadi penanda
saudara dan tetangga dalam menyediakan utama kebudayaan dan identitas.
hidangan untuk para tamu, disebut mapalus, Kebanyakan orang di Minahasa dan di
berasal dari Minahasa sendiri. wilayah-wilayah lain Indonesia mengakui
Meskipun pengaruh Eropa pada perayaan keberadaan sesuatu yang dapat disebut
pernikahan dan berbagai peristiwa kebudayaan ’makanan Minahasa’: bumbu dan hidangan
lainnya tampak jelas di mata orang luar, orang yang dianggap merupakan kekhasan dan
Minahasa melihatnya sebagai bagian tradisi mewakili keseluruhan wilayah dan karenanya
Minahasa dan adat lokal. Sejarah kolonial dan mengandung elemen ’kebudayaan Minahasa’.
misi (mission) merupakan bagian dari sejarah Namun jika dilihat lebih jeli lagi, terlihat adanya

66 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


perbedaan antardaerah. Selain itu, tidak semua dan pesisir, antara wilayah tepi pantai dan
hidangan yang digolongkan sebagai ’khas pedalaman. Seperti sudah dapat diduga,
Minahasa’ dikonsumsi dengan cara yang sama makanan penghuni daerah pesisir, selain nasi,
di tiap-tiap wilayah Kabupaten Minahasa. hampir seluruhnya terdiri atas ikan air asin.
Perayaan ulang tahun fiktif Minahasa tanggal Sementara makanan penghuni wilayah
5 November menjadi ajang untuk menyoroti pedalaman terdiri atas daging dan terkadang
perbedaan kebudayaan lokal dan hidangan ikan air tawar. Meskipun demikian, bahkan di
khas tiap kecamatan disajikan bagi tamu-tamu wilayah pedalaman, ikan laut mudah dijumpai
terhormat. Hidangan-hidangan yang ada di pasar dengan harga yang seringkali lebih
menunjukkan bahwa selain bumbu-bumbu murah daripada harga daging. Ikan air asin pun
yang merupakan karakteristik tiap daerah, cara menjadi bahan yang kerap digunakan dalam
memasak yang tidak sama juga menimbulkan kegiatan memasak sehari-hari. Walaupun
besarnya variasi masakan. Hal ini terutama makanan sehari-hari sebagian besar terdiri atas
terlihat pada kue dan makanan manis . Peristiwa nasi dan ikan serta adanya preokupasi untuk
seperti perayaan tersebut bertujuan menggaris- mendapatkan ikan yang cukup untuk seluruh
bawahi semboyan Indonesia ’Bhinneka keluarga, entah dari pasar lokal, penjual keliling
Tunggal Ika’ dalam skala regional dengan atau hasil penangkapan pribadi, beragam
menyoroti keragaman daerah yang ada dalam hidangan dengan bahan mentah ikan yang
kebudayaan Minahasa. diperoleh dari penduduk pesisir Minahasa
Berlawanan dengan kedaerahan tersebut, dianggap sebagai kekhasan daerah, dan bukan
yang sekilas tampak merupakan akibat ’makanan khas Minahasa’.
keragaman budaya dalam Minahasa, perbedaan Kenyataan ini membawa kita kembali pada
dan batas antarkelompok bahasa Minahasa pertanyaan berikut: apakah makanan (khas)
relatif tidak relevan dalam konteks makanan. Hal Minahasa di mata orang Minahasa sendiri dan
ini dapat dijelaskan dari dua sisi: pertama, orang luar? Menarik bahwa ternyata kedua
kelompok-kelompok bahasa ini bukanlah pihak tersebut memiliki pendapat yang sama,
kesatuan yang terikat secara kultural karena setidaknya untuk penggolongan yang tidak
persamaan dan perbedaan kultural tidak selalu terlalu mendalam. Tiga hal yang paling sering
tunduk pada batasan linguistik. Argumentasi disebut sebagai ciri makanan Minahasa adalah
kedua, dan mungkin paling meyakinkan, adalah sebagai berikut ini:
karena kebanyakan bahan makanan yang • penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang
digunakan sehari-hari diproduksi secara lokal. sangat banyak;
Perekonomian dan ekologi daerah berperan • kegemaran pada daging anjing atau daging
banyak dalam ketersediaan, distribusi, dan akses binatang hasil buruan;
pada sumber-sumber makanan.7 • rebusan sayuran yang disebut tinutuan.
Pengelompokan yang umum tetapi tetap
Mari kita mulai dengan ciri pertama:
berguna, adalah antara daerah pegunungan
penggunaan cabai dalam jumlah banyak
7
Karena saya hanya menyoroti keadaan di pedesaan memang dilakukan di seluruh Indonesia, tetapi
dan daerah semi-urban, saya tidak akan membahas masyarakat Minahasa menggunakannya lebih
kebiasaan seputar makanan di kota-kota besar seperti
Manado dan Bitung. Di sana, tersedianya hidangan
sering dan lebih banyak daripada masyarakat
cepat saji dan hidangan Barat serta gaya hidup yang lain. Makanan Minahasa dikenal karena
berbeda menimbulkan kebiasaan konsumsi makanan kepedasannya sehingga para pengunjung yang
dengan keragaman yang tinggi.

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 67


datang dari luar dan diundang untuk bersantap daging tersebut. Rasa cabai telah mengalahkan
bersama—dan karena orang Minahasa rasa asli daging binatang-binatang itu.
tampaknya menyukai makanan lebih dari apa Meskipun kaitan antara cabai dan daging
pun juga, pengunjung sulit sekali ‘mengelak’ binatang buruan serta anjing jelas, tetap
dari undangan semacam ini—dinilai berdasar- terdapat perbedaan mendasar antara dua jenis
kan kemampuan mereka mengatasi rasa bahan makanan tersebut sebagai makanan
tersebut. Pertanyaan yang sering ditanyakan Minahasa saat ini. Cabai adalah salah satu
adalah ’sudah bisa tahan makan makanan bumbu paling penting dalam masakan
Minahasa?’ Jika jawabannya adalah ’ya’, Minahasa yang digunakan dalam hampir
orang tersebut dianggap cocok hidup di semua hidangan (kecuali hidangan manis tentu
Minahasa. saja). Memang cabai terutama ditemukan dalam
Banyak orang Indonesia menganggap masakan yang berbahan daging anjing atau
penggunaan cabai yang berlebihan (tentu dari binatang buruan, tetapi cabai juga digunakan
sudut pandang mereka) oleh orang Minahasa untuk memasak hidangan daging atau sayuran
sebagai bukti kesombongan dan kecenderungan jenis lain yang disantap sehari-hari. Dengan
untuk pamer. Karakteristik kedua lebih sulit mudah cabai dapat dijumpai di pasar-pasar,
diterima orang di luar Minahasa: dihidangkan- gerai penjualan bahan makanan, atau di kebun
nya potongan daging anjing, tikus, atau sayur mayur milik pribadi. Namun demikian,
kelelawar di meja makan. Semakin Yang Lain panen lokal tergantung pada iklim dan musim
(Others) terlihat terkejut dengan menu yang sehingga harga rica sepanjang tahun dapat
’aneh’ tersebut dan semakin mereka menjauhi mengalami lonjakan-lonjakan yang cukup
kebiasaan tersebut—bahkan secara fisik—, berarti (misalnya antara Rp 4000 dan Rp 14000
semakin tuan rumah Minahasa mereka per liter di tahun 2002). Di luar musim cabai,
menawarkan hidangan tersebut sebagai saat harga-harga melonjak tinggi, jumlah cabai
’kekhasan’ dan mendesak para tamu untuk juga yang digunakan dalam santapan sehari-hari
menyantapnya. Hal yang membuat hidangan- dikurangi tetapi tetap tidak menghilang sama
hidangan daging ini makin spesial dan ’khas sekali. Seperti halnya nasi, cabai merupakan
Minahasa’ adalah kenyataan bahwa hidangan bumbu dasar yang harus ada di setiap waktu
tersebut dimasak dengan porsi cabai yang makan. Tidak mengherankan bahwa harga cabai
sangat banyak. Orang Minahasa, bahkan para dan beras merupakan topik diskusi favorit kaum
penggemar berat daging binatang buruan dan perempuan yang bertanggung jawab atas
anjing, menjelaskan kebiasaan ini dengan tersedianya makanan untuk seluruh keluarga.
menyatakan bahwa daging-daging tersebut Berbeda dengan cabai, anjing dan hewan
memiliki rasa asli yang ’sangat kuat’ sehingga hutan (terutama babi hutan, ular, monyet,
perlu diimbangi rempah-rempah. Hal ini kelelawar, dan tikus besar—semua orang
menyebabkan ditambahkannya cabai dalam menegaskan bahwa tidak ada tikus rumah yang
jumlah yang berlebihan sehingga orang yang menemukan ajalnya di atas kompor) telah
menyantapnya tidak dapat merasakan hal lain menghilang dari menu harian keluarga
selain kepedasan yang amat sangat. Karena itu, Minahasa. Menghilangnya daging-daging
ketika teman-teman di Eropa bertanya kepada tersebut adalah akibat ketersediaannya yang
saya tentang rasa daging tikus, anjing, dan makin menipis. Hewan-hewan ini, atau
sebagainya itu, saya menjawab dengan ragu potongan-potongannya, tidak selalu dan tidak
karena saya tidak dapat mengecap rasa asli mudah didapatkan. Umumnya lebih mudah

68 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


membeli daging tersebut di daerah pedalaman sama sekali berbeda. Bahan-bahan yang
daripada di pesisir sebab di tempat itu tanah digunakan relatif murah, mudah ditemukan dan
digunakan hampir seluruhnya untuk bercocok mudah dimasak sehingga tinutuan pun sering
tanam dan kebun-kebun mereka bersentuhan dikonsumsi. Hidangan ini juga dikenal sebagai
dengan laut. makanan yang biasanya dimakan menjelang
Hutan di daerah pedalaman pun semakin siang di warung-warung. Akan tetapi jika kita
lama semakin menyempit. Akibat perburuan membandingkan tinutuan atau yang juga
yang intensif, diiringi berkurangnya habitat disebut bubur Manado dengan jenis makanan
mereka, hewan-hewan ’liar‘ semakin sulit yang termasuk dalam karakteristik makanan
ditemukan sehingga menjadi jarang disajikan Minahasa yang pertama dan kedua, ada sedikit
lagi. Beberapa orang Minahasa senang kebingungan. Tinutuan tidak memenuhi syarat
mengadu keberuntungan dan pergi berburu sebagai makanan ’luar biasa’. Sebaliknya,
menggunakan senapan dan jebakan di kebun- dilihat dari konteks pengkonsumsiannya,
kebun dan hutan di sekitar mereka. Menemukan bersamaan dengan berbagai jenis sup di
anjing untuk disembelih bahkan menjadi warung-warung kecil dan murah, terkesan
kegiatan yang dilakukan secara sembunyi- bahwa tinutuan merupakan hidangan yang
sembunyi, karena jumlah anjing yang secara biasa dan dapat ditemukan di berbagai wilayah
khusus diternakkan untuk konsumsi tampaknya lain Indonesia. Seperti semua jenis rebusan dan
tidak mencukupi. Pemburu anjing kerap sup, tinutuan dimasak dengan cara yang sangat
memasuki desa-desa di malam hari, untuk ringan dan si penyantap kemudian dapat
mencari mangsa. Meskipun menggemari daging menambahkan bumbu-bumbu sendiri sesuai
anjing, banyak orang Minahasa yang tidak seleranya, seperti sambal atau cabai, saus tomat,
bersedia mengorbankan anjing mereka untuk cuka, atau garam.
dijadikan santapan dan mereka melakukan
berbagai upaya agar anjing mereka tidak dicuri. Makanan dari bumi
Kenyataan bahwa daging anjing dan hewan Pada tahap ini kita dapat bertanya, dan
hutan menjadi langka memperkuat citra mereka memang sudah sewajarnya, bagaimana
sebagai makanan ’istimewa’. Akibatnya, kumpulan bahan makanan yang terkesan acak
hidangan-hidangan tersebut saat ini hanya ini dapat mewakili ’tradisi‘ dan ’kebudayaan‘
disajikan dalam acara-acara spesial seperti Minahasa, lebih dari bahan makanan lainnya—
ulang tahun, pesta, ataupun resepsi. Rumah- setidaknya di mata mereka yang menggunakan
rumah makan juga telah merespons dilema bentuk penggolongan tersebut? Jika memang
antara keinginan dan ketersediaan itu dengan demikian halnya, apakah ada kesamaan yang
menyajikan masakan-masakan langka tersebut. tersembunyi antara ketiga ’kategori’ yang
Kebanyakan restoran ini berlokasi di daerah sekilas terlihat cukup beragam tersebut?
perbukitan dan dataran tinggi yang mengelilingi Saya tidak akan membandingkan kategori-
Danau Tondano. Beberapa dari restoran kategori tersebut dengan kebiasaan makan masa
tersebut bahkan dikenal di seluruh kabupaten kini, yang jelas tidak akan membuahkan banyak
karena menyediakan masakan ’tradisional’ dan hasil, dan memilih untuk menelusuri asal-usul
’khas’ Minahasa. beragam bahan makanan tersebut. Bersama
Tinutuan, rebusan yang terdiri atas jagung, bahan yang dibutuhkan untuk tinutuan, cabai
beras, dan ubi manis ditambah dengan sayur- tumbuh baik di kebun milik pribadi maupun di
mayur lainnya merupakan jenis makanan yang pertanian-pertanian komersial di seluruh

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 69


Minahasa. Meskipun demikian, dipengaruhi mayur, sejumlah kecil beras, telur, terkadang
faktor tanah dan iklim, daerah penanaman ayam, anjing, atau hewan hasil buruan lainnya.
utama sayur-mayur adalah daerah pegunungan. Ikan asin terkadang tersedia juga, tetapi ikan
Kebun-kebun dan hutan-hutan di daerah itu segar disimpan untuk hari Minggu. Perubahan
juga merupakan tempat berburu hewan pola kerja, tempat, dan gaya hidup juga
sehingga dibandingkan mereka yang bermukim menimbulkan perubahan dalam kebiasaan
di pesisir, penduduk pegunungan memproduksi makan. Saat ini, makanan yang terdiri atas ikan
lebih banyak bahan dasar hidangan tradisional. dan nasi, diperoleh dengan membeli, telah
Hal ini bukan kebetulan. Pedalaman adalah menggantikan kebiasaan lama dalam cara
tempat yang dihuni oleh orang Minahasa ’asli’ makan. Umbi-umbian, jagung dan sayur-mayur
dan dianggap pusat tradisi terkuno dan ditambahkan dalam jumlah sedikit dan hanya
terkokoh. Daerah pedalaman adalah tanah mereka yang kurang berkecukupan saja yang
nenek moyang masyarakat yang kini ada serta masih menanam sendiri bahan-bahan tersebut.
tanah para leluhur terhormat yang makanannya Tinutuan, salah satu makanan Minahasa yang
terdiri atas sayur-mayur, umbi-umbian, serta paling terkenal, dianggap ’makanan orang
binatang buruan, dan bukan ikan air asin. miskin’. Hasil berkebun yang dicampur dan
Definisi ’pedalaman’ lebih ditentukan oleh dijadikan bubur konon ’ditemukan’ semasa
morfologi tanah yang cocok untuk pertanian penjajahan Jepang saat makanan sulit diperoleh.
dan bukan pada jarak aktual suatu tempat dari Selain itu, tinutuan mudah dimasak dan
laut. disiapkan saat orang tinggal di kebun karena
Contoh yang mewakili hal tersebut adalah semua bahan sudah tersedia. Jika zaman dahulu
desa Waleo dan sekitarnya yang terletak di tinutuan dimasak sesuai kebutuhan para petani,
pantai Timur Laut Minahasa. Meskipun desa penduduk kota perlahan-lahan menganggap-
tersebut letaknya hanya beberapa menit nya sebagai hidangan lezat yang sesuai untuk
berjalan kaki dari pantai, mayoritas penduduk- sarapan kedua. Dengan begitu, status tinutuan
nya merupakan petani yang bekerja di kebun- meningkat menjadi hidangan khas daerah.
kebun. Generasi muda zaman sekarang semakin Secara singkat, kesamaan berbagai bahan
banyak yang memilih mencari mata pencaharian makanan ini (cabai—hewan buruan—tinutuan)
di kota dan menghabiskan makin sedikit waktu adalah identik dengan asal-usul mereka. Bahan-
dan energi untuk bercocok tanam. Namun bahan tersebut atau bumbu-bumbu yang
demikian, kepemilikan tanah masih merupakan diperlukan bukanlah hasil laut melainkan hasil
sumber identitas dan kebanggaan. Mereka bumi atau binatang yang diburu, dikumpulkan
yang kini berusia 30–40-an senang mengenang atau dipanen di kebun dan hutan daerah
masa muda mereka (sekitar 20 tahun lalu) saat pedalaman. Sebagai pemburu, pengumpul
kehidupan di desa sangat berbeda dari makanan, dan petani, orang Minahasa
sekarang. Indikator yang digunakan adalah meneruskan tradisi (kuliner) nenek moyang
jumlah waktu yang mereka habiskan di kebun mereka, yang juga menempati daerah
dan intensitas pekerjaan bercocok tanam. pegunungan. Dengan demikian, mereka
Kebanyakan keluarga berada di kebun mereka memenuhi syarat sebagai keturunan ’asli’
dari hari Senin hingga Sabtu, hidup dan bekerja orang Minahasa. Sebagai pemilik dan pengolah
di sana. Mereka kembali ke desa di hari Minggu. tanah, dan dengan menunjukkan pemahaman
Selama seminggu itu, mereka hidup dari hasil mereka tentang wilayah dan daerah tertentu,
kebun, antara lain umbi-umbian, jagung, sayur- orang Minahasa membuktikan keterikatan pada

70 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


dan kepemilikan sah atas tanah. Para leluhur di pemukiman nelayan dan bekerja sebagai
terikat pada tanah dan juga berlaku sebaliknya, nelayan. Perpecahan antara petani dan nelayan,
keduanya dikaitkan dalam mitos-mitos dan meskipun tidak selalu dan sama di semua tempat,
’sejarah’. Meskipun penduduk daerah adalah perpecahan antara orang tradisional ver-
pegunungan memiliki ’kehormatan’ untuk diakui sus non-tradisional, pemilik tanah versus yang
sebagai orang Minahasa ’asli’, penduduk tak memiliki tanah, Minahasa versus non-
pesisir juga dapat meraih status yang hampir Minahasa serta Kristen versus Muslim.
sama jika mereka dapat membuktikan akar dan
posisi mereka dalam sejarah Minahasa serta ’KAMI makan babi sementara
kaitan pada tradisi yang, hingga taraf tertentu, MEREKA makan sapi’
ditentukan oleh lanskap. Jadi dengan Pada bagian sebelumnya saya telah
memproduksi dan mengkonsumsi jenis membahas tentang apa yang disebut makanan
makanan tertentu, orang Minahasa membuat ’khas’ Minahasa, yaitu hidangan yang
pernyataan tentang status sosial, posisi dalam menggunakan bahan dasar yang merupakan
masyarakat, dan identitas budaya mereka. Jika kekhasan daerah tersebut dan masih terkait
mereka memilih hasil kebun dan hutan sebagai pada cara produksi dan konsumsi tradisional.
representasi budaya dan masyarakat mereka, Menurut penduduk lokal, pesta merupakan
mereka tidak hanya menegaskan ikatan dengan ajang istimewa untuk menampilkan berbagai
para leluhur dan tanah yang pernah dihuni tradisi kebudayaan, tetapi anehnya makanan
nenek moyang, tetapi sekaligus juga khas tidak disajikan. Meskipun terdapat variasi
menciptakan jarak dengan Yang Lain, baik yang antardaerah, pada umumnya di saat pesta, yang
hidup di dalam maupun di luar wilayah disajikan adalah hidangan yang menggunakan
Minahasa. daging babi sebagai bahan dasar. Hal yang
Meskipun dewasa ini makanan pokok sehari- lebih menarik lagi adalah kenyataan bahwa
hari adalah ikan (di samping nasi) dan jumlah hidangan daging babi tersebut diolah dengan
orang Minahasa yang bekerja sebagai nelayan hanya sedikit cabai dan bumbu lain. Dengan
cukup banyak, status kegiatan menangkap ikan cara itu, rasanya menjadi lembut dan bahkan
tidak setinggi bertani dan bercocok tanam. ’hambar’ jika dibandingkan dengan hidangan-
Komunitas petani menjaga jarak mereka dari hidangan daging lain yang biasa disajikan di
komunitas nelayan untuk sejumlah alasan. Hak rumah-rumah dan restoran.
atas tradisi mempunyai ikatan dengan leluhur dan Selera untuk daging hewan buruan, ayam,
kepemilikan tanah. Memancing bukan saja atau ikan air tawar masih ada, babi tetap
pekerjaan yang ’tidak tradisional’ (dengan menempati urutan pertama dalam daftar hewan
demikian ikan tidak dianggap sebagai makanan yang dapat dimakan dan daging babi adalah jenis
khas Minahasa) tetapi juga biasanya dilakukan daging yang paling digemari. Daging babi (baik
oleh mereka dengan luas tanah yang tidak direbus, digoreng, maupun dipanggang) pasti
seberapa atau bahkan tidak memiliki tanah sama disajikan dalam tiap acara istimewa. Arti ekonomis
sekali.8 Lebih lanjut lagi, mayoritas orang Mus- babi tidak mengejutkan karena, pertama-tama, babi
lim di Minahasa menempati daerah pesisir, tinggal mengandung lebih banyak daging dan lemak
dibandingkan jenis binatang lain dan dengan
8
Komunitas nelayan sering, tetapi tidak ekslusif, demikian menunjukkan kekayaan si pemilik
terdiri dari ’orang luar’ yaitu keturunan non-Minahasa
yang memiliki keterbatasan akses ke tanah dan sumber ataupun mereka yang dapat membeli dan
daya lainnya. menyembelihnya. Tersajinya satu babi utuh, atau

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 71


bahkan beberapa hewan adalah tanda cepat setelah misionaris NZG serta didikan
keistimewaan acara karena tuan rumah bersedia mereka hadir di Minahasa. Saat ini, para
membuat pengorbanan yang berarti. Dewasa ini, penjajah telah digantikan oleh komunitas ’dunia
hal tersebut biasa terjadi dalam rangka Kristen’ dan identifikasi dengan dunia Barat
pernikahan, pembaptisan, pemakaman, dan menjadi sikap yang menyatakan oposisi
terkadang saat perayaan ulang tahun yang besar. Minahasa terhadap Islam.
Babi juga bernilai tinggi karena merupakan Dengan demikian, babi menjadi hewan ideal
tokoh penting dalam mitos dan kosmologi or- ketika identitas Minahasa dipertaruhkan.
ang Minahasa. Menurut mitos, seekor babi Banyaknya peternakan babi, popularitas
kuno yang besar membawa dunia di atas dagingnya dan sebagai konsekuensi, di-
punggungnya sementara versi lain mengatakan konsumsinya daging babi dalam jumlah besar
bahwa babi dikorbankan dalam upacara yang dapat dipahami karena babi memiliki makna
dilakukan dewa-dewa penghuni dunia besar secara tradisional dan dalam agama serta
kejahatan (Tauchmann 1968:121). Hingga masyarakat Kristen (moderen). Tidak seperti
beberapa dekade lalu, meramalkan masa depan daging hewan lain yang tidak selalu disajikan
dengan mempelajari hati babi yang baru saat pesta, daging babi dipastikan selalu
disembelih merupakan sesuatu yang biasa dihidangkan. Proses persiapannya, yaitu
dilakukan (Pusung 1994). Lebih dari binatang penyembelihan babi, pemotongan dan
lain, babi mewakili tradisi Minahasa dan pemasakan daging hampir merupakan kegiatan
mempunyai ikatan dengan leluhur dan wilayah. ritual yang memiliki beberapa aturan sesuai
Walaupun demikian, kegemaran memakan tradisi Minahasa. Dengan mengunggulkan babi
daging babi bukan sesuatu yang ditemui semata dan mengikuti persiapan masakan secara
pada orang Minahasa melainkan juga pada tradisional, penyelenggara maupun peserta
komunitas-komunitas non-Muslim di seluruh pesta membuktikan keberlangsungan dan
Indonesia. Dengan demikian kegemaran pemahaman mereka tentang budaya dan adat
memakan daging babi kurang tepat jika tradisional Minahasa dan dengan sendirinya,
dianggap sebagai indikator identitas Minahasa membuktikan identitas mereka sebagai orang
yang membedakan mereka dari kelompok Yang Minahasa. Dalam kehidupan dan interaksi
Lain (Others ). Kebiasaan tersebut justru sehari-hari, orang Minahasa kerap menggaris-
menyatakan penyatuan yang lebih luas dan bawahi kebiasaan memakan babi sebagai
melampaui batas wilayah Minahasa. Sebagai penanda dominan perbedaan mereka dengan
’pemakan babi’, orang Minahasa menempatkan komunitas Muslim. ’Kami, orang Minahasa,
diri mereka dalam satu kategori dengan Yang makan babi sementara mereka, orang Muslim,
Lain (Others) yang dikenal sebagai orang makan sapi’ adalah ucapan yang kerap
Kristen, orang Hindu, dan orang Buddha. diutarakan. Orang, tempat, dan peristiwa
Dengan memperluas kesamaan dengan orang diidentifikasi sebagai Kristen atau Muslim
luar (outsiders) tersebut, perbedaan dengan berdasarkan jenis daging yang disajikan.
kelompok Muslim makin mencolok. Hal ini tidak Karena larangan agama, orang Muslim
hanya terjadi di tingkat daerah saja tetapi juga biasanya tidak makan daging babi, anjing, atau
di tingkat nasional dan bahkan internasional. hewan hutan. Mereka memilih menyantap
Minahasa menekankan kesetiaan mereka pada daging sapi dan kambing, baik di pesta, di
agama Kristen yang, walau berakar pada masa restoran, atau di rumah.
awal kolonisasi Eropa, baru menyebar dengan

72 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


Dalam hal ini, kebiasaan makan masyarakat Kesukaan dan ketidaksukaan sehubungan
Muslim yang tinggal di Minahasa tidak berbeda dengan makanan dan minuman, seperti banyak
dengan kebanyakan orang Indonesia. Di acara- hal lainnya, dibentuk oleh pengalaman dalam
acara umum dan pesta-pesta pribadi yang lingkungan sosial tertentu. Makna dan asosiasi
diadakan di kota-kota besar dengan populasi sosial dan kultural yang terkait pada berbagai
heterogen (termasuk Muslim), dua jenis jenis makanan sangat mempengaruhi sikap
makanan disediakan: ’makanan Minahasa’ dan ’pribadi’ terhadap sumber makanan dan,
’makanan nasional’. Dengan begitu, hidangan dengan demikian, selera. Hal-hal tersebut
yang disediakan bagi orang Muslim yang tidak adalah determinan penting dalam pemilihan
memakan babi dikategorikan sebagai ’hidangan tentang apa yang dapat dimakan dan tidak
nasional’ meskipun masakan tersebut masih dapat dimakan, atau makanan lezat versus
memiliki karakteristik masakan Minahasa dan makanan tidak enak.
perbedaannya hanya terletak di jenis daging Para antropolog telah menyatakan bahwa
yang digunakan. Label ini memberi kesan bahwa makanan, lebih dari fenomena lain, merupakan
Islam diakui nyaris sebagai agama nasional penanda ideal untuk ’kebudayaan’ atau ’tradisi’
yang, bagaimana pun juga, berlawanan dengan, tertentu (antara lain Counihan dan Esterik 1997).
dalam kondisi lain, dukungan pada pluralitas Memasak dan makan tampaknya merupakan
agama dan penolakan dominasi Muslim. tindakan yang relatif aman dan tidak provokatif
Dalam konteks sehari-hari, pemisahan antara guna menunjukkan keterlibatan ( embeddedness)
makanan Muslim dan Kristen serta konsumen dan identitas seseorang dalam kebudayaan
mereka tidak sekaku yang dikesankan. Ada or- tertentu. Walaupun begitu, jika kita menguak
ang-orang Muslim yang juga memakan daging lapisan permukaan asumsi ini, kita menyadari
babi atau hewan buruan, setidaknya sesekali dan bahwa pemilihan dan pengkonsumsian bahan
diam-diam, dan restoran serta warung yang makanan adalah, seperti halnya bentuk lain
menyajikan ’hidangan Muslim’ juga dikunjungi konsumsi, tindakan sosial dan bahkan
oleh orang Kristen dan orang Muslim dalam terkadang tindakan politis, yang signifikan.
jumlah yang hampir sama banyaknya. Meskipun Saya akan memperjelas hal ini dengan
demikian, banyak orang Kristen Minahasa yang kembali pada ketiga kategori makanan ’khas’
saya jumpai, terutama wanita, menyatakan Minahasa. Seperti yang sudah diutarakan
ketidaksukaan mereka pada daging sapi dan sebelumnya, kedua kategori pertama, yaitu
kambing dan menjelaskan bahwa karena rasanya cabai dan daging anjing/hewan buruan,
yang aneh, jenis-jenis daging tersebut berada di menunjukkan pertalian simbolis yang spesial,
urutan terbawah daftar daging yang mereka meskipun dari segi biologi dan nutrisi, kedua
sukai. hal tersebut sangat berbeda. Jenis daging yang
disebut di atas biasanya diolah dengan jumlah
Rasa perbedaan-rasa penolakan-rasa cabai yang ’berlebihan’ dan karenanya, tidak
kekuasaan mengherankan, dianggap makanan ’panas’ dan
Secara antropologis diakui bahwa ’rasa’ selanjutnya, ’jantan’. Pengkonsumsian makanan
bukan hanya tergantung pada indera berempah, ’panas’ dan mengandung bahaya
pengecapan dan kemampuan yang diperoleh merupakan kesempatan bagi pria Minahasa
sejak lahir, tetapi merupakan sesuatu yang untuk menunjukkan keberanian dan kekuatan
diperoleh melalui proses sosialisasi (antara lain mereka, tidak hanya terhadap orang Minahasa
Caplan 1997; Macbeth 1997; Scholliers 2001). sendiri, tetapi juga terhadap Yang Lain.

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 73


Kualitas-kualitas tersebut terutama diberi hidangan sayur yang lebih ’lembut’ (seperti
penekanan saat orang Minahasa membanding- tinutuan), meskipun ini bukan aturan baku. Dalam
kan diri dengan orang Indonesia lain dan kenyataannya, pengkonsumsian makanan
mengidentifikasi diri dengan nenek moyang dilakukan tanpa mempertimbangkan batas-batas
yang berani dan, menurut narasi lokal, tidak gender. Perempuan, seperti halnya laki-laki, dapat
gentar menghadapi tetangga yang menunjuk- menikmati hidangan ’laki-laki’, dan juga laki-laki
kan sikap permusuhan ataupun terhadap dapat menikmati makanan ’perempuan’ tanpa
ancaman serbuan dari luar. ragu. Praktik konsumsi yang fleksibel ini sesuai
Karena rasanya yang lembut, tinutuan tidak dengan gambaran serta peran tentang kedua
masuk dalam kategori makanan ’gagah’ tetapi, gender yang diharapkan Minahasa, yaitu
mungkin lebih menarik lagi, tetap memiliki tumpang tindih dan tidak bertolak-belakang satu
tempat dalam ruang lingkup heroisme sama lain.
Minahasa. Tinutuan adalah makanan per- Dengan demikian saya berpendapat bahwa
lawanan semasa perang-perang terpenting tradisi makanan Minahasa mencerminkan sifat
dalam sejarah belakangan ini (pendudukan luhur ’laki-laki’ dan ’perempuan’ yang diasosiasi-
Jepang dan Permesta). Dalam dua kesempatan kan dengan orang Minahasa, dan para pejuang
tersebut, rakyat Minahasa melawan dan serta ’pahlawan daerah’ di pertengahan abad ke-
menolak penyerbuan serta penjajahan dari luar, 20. Masa-masa perjuangan dan penjajahan
baik yang dilakukan oleh pihak Jepang dan tersebut ’diingat’ jelas oleh generasi tua, bahkan
dilanjutkan oleh pihak Indonesia sendiri. mereka yang lahir setelah tahun 1960-an. Berbagai
Walaupun hal tersebut tidak berlangsung bentuk perlawanan politik dan kebudayaan yang
dengan tingkat keberhasilan yang mereka ingin ada masih dalam batas strategi penanggulangan
orang lain percayai, dalam ingatan kolektifnya masalah yang dapat diterima, bahkan lebih dipilih,
masa itu mengisahkan tentang ketangguhan, dalam konteks ’penjajahan internal’ Jawa. Sikap
keberanian, dan patriotisme kepahlawanan. tersebut mungkin memang yang paling tepat
Karenanya, jika menyantap cabai dan daging dilakukan oleh kelompok minoritas yang
anjing/hewan buruan dianggap mewakili sifat ’terancam’, setidaknya menurut interpretasi
’lelaki’ yang impulsif dan berani (berhubungan subyektif mereka dan terlebih bila menghindari
dengan nenek moyang tradisional), kualitas konflik terbuka.
’perempuan’, yaitu daya tahan dan perlawanan, Di provinsi Sulawesi Utara, kalangan
yang dihargai baik oleh laki-laki maupun Kristen adalah kelompok mayoritas yang
perempuan dalam konteks sejarah Minahasa, memegang kendali atas kekayaan, sumber daya,
digarisbawahi saat memuji nilai tinutuan. dan kekuasaan. Sebagai akibatnya, pengendalian
Walaupun sangat menggoda, dan dalam sosial dari pihak mereka tidak terlalu dibutuhkan
pandangan saya dapat dibenarkan, untuk melihat di tingkat lokal. Orang Minahasa bertindak dan
makanan Minahasa sebagai sesuatu yang bereaksi berhadap penduduk Muslim yang
bersifat gender, kita tidak dapat begitu saja minoritas dengan percaya diri, asertif, dan
mengasumsikan perluasan pengelompokan terkadang bahkan dengan agresif. Meskipun
tersebut benar-benar berlaku pada kelompok laki- hal ini bukan fenomena baru, iklim politik dan
laki dan perempuan. Memang lebih banyak laki- ketegangan sosial sehubungan dengan konflik
laki daripada perempuan yang mengkonsumsi berdarah, yang sering terjadi belakangan ini di
makanan ’panas’ dan pedas dalam jumlah besar. Indonesia dan di dunia luar, meningkatkan rasa
Sementara kaum perempuan sering memilih tidak aman dan rasa sensitif berkaitan dengan

74 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


pengekspresian identitas suku dan agama dari simpatisan lokal yang berpotensi mengusik
kedua pihak. Karenanya, masyarakat Minahasa kedamaian dan stabilitas wilayah tersebut.
membenarkan tindakan anti-Muslim, baik Kedua, waktu adalah faktor penting dalam
dilakukan secara individual maupun kolektif, proses-proses identifikasi, penerimaan
sebagai bentuk perlindungan diri. Tujuan penggabungan, dan pemberian hak-hak lokal.
jangka panjang tindakan tersebut adalah Jadi, penduduk Muslim yang telah lama
pencegahan pengambilalihan Minahasa oleh menghuni Minahasa menikmati tingkat integrasi
mayoritas di tingkat nasional, yaitu kelompok dan kepercayaan yang lebih tinggi dari
Muslim. Desentralisasi, yang menambah pemerintah daerah dan penduduk umumnya
kekuasaan otoritas dan pemerintah lokal, daripada pendatang baru. Di Minahasa, tidak
membuka lebih banyak kesempatan untuk ubahnya di tempat lain, ’bahaya’ dianggap
’kedaerahan’ dan seiring dengannya, tindakan datang dari ’luar’ dan antara lain dibawa oleh
berlatar belakang suku maupun agama. pedagang jalanan Gorontalo. Ketiga, sebagai
Seperti telah berulangkali dicontohkan dalam pedagang usaha kecil yang mandiri dan lemah
sejarah, lebih mudah dan lebih nyaman untuk secara ekonomis, para penjual tersebut tidak
menyalahkan dan memerangi mereka yang lemah memiliki kekuasaan ekonomis maupun sosial
daripada mereka yang kuat. Dalam konteks untuk mempertahankan posisi mereka terhadap
perpecahan suku/agama di Minahasa, penjual agresor, terlebih terhadap polisi dan otoritas
keliling makanan siap saji Muslim ’terpilih’ berwajib lainnya. Mereka juga bukan kelompok
sebagai kambing hitam untuk masalah ekonomi minoritas yang memiliki banyak sumber daya
dan/atau sosial. Penyerangan yang kasar dan kekuatan ekonomis yang dapat meng-
dilakukan oleh polisi dan paramiliter untuk untungkan kota, para pemimpin, dan penduduk-
mengusir pedagang kaki lima di kota Bitung di nya. Penggusuran pedagang jalanan dan
tahun 2002. Kejadian tersebut menjadi contoh gerobak mereka dilihat sebagai inisiatif untuk
bahwa tindakan itu dirasionalisasi menjadi aksi ’membersihkan’ kota, sebuah gagasan yang
yang diperlukan untuk menanggulangi dampak dengan mudah dapat dipahami, mungkin secara
negatif kios-kios kecil pada lalu lintas kota.9 Di simbolis, sebagai bentuk ’pembersihan suku/
sebuah negara yang aturan lalu lintasnya nyaris agama’ yang tidak akan memancing reaksi kuat
tidak berlaku, wajar jika orang mencurigai alasan dari kelompok sosial atau politik tertentu.
sesungguhnya di balik tindakan keras tersebut. Selain faktor-faktor tersebut, saya ingin
Bukanlah sebuah kebetulan bahwa kebanyakan menambahkan alasan keempat. Agresi publik
’subyek-subyek tak diinginkan’ ini diidentifikasi terhadap pedagang kaki lima dapat dikaitkan
sebagai orang Gorontalo yang baru tiba di dengan fungsi spesifik gerobak-gerobak
Minahasa dan dicurigai oleh pemerintah dan sebagai tempat meletakkan makanan, yang
penduduk lokal. seringkali ’asing’ dan ’tidak diinginkan’, dijual,
Beberapa alasan dapat digunakan untuk dan dikonsumsi. Pedagang-pedagang itu
menjelaskan hal ini. Pertama, sebagai provinsi merupakan mediator antara produk-produk
Muslim di Sulawesi Utara, Gorontalo dianggap tersebut dan pembeli sehingga berpotensi
salah satu kantung aktivis Muslim dan/atau menjadi ’penggoda’ masyarakat (Kristen).
Makanan dan makan merupakan elemen
9
Sama seperti ibu kota provinsi, Manado (dan sangat penting dalam proses perayuan, hal ini telah
berlawanan dengan daerah pedesaan), populasi Mus-
lim di kota kedua terbesar, Bitung, mencapai lebih dari
ditunjukkan baik dalam interpretasi dan teori
25% dalam sensus terbaru di tahun 2001. populer, seperti yang dilakukan seniman dan

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 75


penulis maupun oleh ilmuwan sosial (lihat praktik konsumsi merupakan penanda populer
antara lain Davidson 1999; Probyn 2000). dari identitas suku dan agama seseorang
Perayuan secara umum dapat didefinisikan (Brubaker dan Laitin 1998:440; Laitin 1995). Karena
sebagai tindakan yang bertujuan membimbing diasosiasikan dengan identitas-identitas tertentu,
seseorang agar menjauh dari jalan mereka obyek dan kegiatan semakin ’disukukan’
sebelumnya (seducer) dan, dengan menjanjikan (ethnicized). Dengan begitu, kebiasaan konsumsi
imbalan yang menarik, menyebabkan mereka makanan yang sebelumnya ’netral’ (dalam
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak konteks etnis) menjadi penanda kesukuan.
ingin mereka lakukan. Karena pemuasan oral Walaupun ketentuan-ketentuan budaya
menimbulkan dorongan primer atau dorongan hingga taraf tertentu berlaku untuk semua
dasar manusia, hidangan kuliner menjadi obyek bentuk konsumsi dan manifestasi lainnya,
imbalan yang ideal. makan/minum merupakan kategori terpisah
Gerobak-gerobak penjual makanan Muslim karena kegiatan tersebut tidak hanya mewakili
di Bitung menawarkan makanan murah dan lezat, identitas secara simbolis, tetapi juga secara
baik pada pembeli Muslim mapun Kristen. Dalam fisik—kita adalah apa yang kita makan (lihat
diskusi publik di kalangan Kristen Minahasa, Brillat-Savarin 1825/26). Zat-zat dalam makanan
ketertarikan pada makanan Muslim seringkali memelihara tubuh kita dengan cara larut di
diingkari atau diredam. Saya, dengan demikian, dalam tubuh, membangun dan membentuk
berpendapat hal ini lebih merupakan wacana tubuh; zat-zat tersebut menjadi bagian tubuh
tentang preferensi atau tabu selera dan kuliner dan pikiran. Jadi, identifikasi dengan zat-zat
yang lebih ditentukan oleh pengkondisian sosial tersebut adalah fenomena budaya yang
daripada rasa maupun preferensi itu sendiri. mendasarkan diri pada kenyataan fisik.
Seperti kita ketahui dari pengalaman pribadi dan Menyantap makanan orang lain tidak hanya
penelitian psikologis, perasaan dan dorongan berarti bahwa kita menjadi seperti mereka, tetapi
terdalam kita tidak selalu, meskipun sering, sesuai bahwa kita menjadi orang lain, konsititusi fisik
dengan tindakan dan ekspresi verbal yang kita kita akan berubah dan begitu pula diri kita.
tampilkan pada publik. Meskipun demikian, Bahkan jika kebanyakan makanan terdiri
justru yang terakhir inilah, perilaku kita, yang atas bahan ’alami’, banyak bahan makanan
menentukan apakah kita tergabung atau tidak dapat diklasifikasikan sebagai ’produk
dalam kelompok sosial tertentu. Identifikasi kebudayaan’ karena mereka diproduksi,
sebagai orang Kristen Minahasa, contohnya, didistribusi, diolah, dan dikonsumsi oleh
tidak hanya didasarkan pada keturunan, tempat, manusia sesuai peraturan dan kesepakatan
dan agama, tetapi juga pada tradisi, praktik, dan sosial atau ekonomi, tradisi, dan kebiasaan
nilai yang dimiliki bersama dengan publik. budaya serta preferensi individual. Setelah
Kebiasaan makan memegang peran besar dalam dikonsumsi, makanan terurai dan dikeluarkan
kehidupan sehari-hari. Untuk menyantap atau diserap oleh berbagai bagian tubuh—
makanan yang ’tak pantas’ merupakan bentuk mereka jadi bahan ’alami’ kembali. Jadi makanan,
penyimpangan, seolah orang tersebut berada di atau komponennya, berpindah dari ranah ’alam’
’jalur yang salah’, yang dapat menghilangkan ke dalam ranah ’budaya’ dan kemudian kembali
identitasnya sebagai orang Minahasa ’yang ke ranah ’alam’ lagi. Makanan mentransformasi
sesungguhnya’. produk kebudayaan manusia menjadi
Seperti yang dapat ditemukan di daerah- organisme alami.
daerah lain dengan konflik suku dan agama,

76 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


Memandang dari sudut ini pada kebiasaan proses fisiologis; selera adalah kemampuan dan
konsumsi di Minahasa, ketidaksukaan kalangan kualitas fisik, menambahkan ’rasa’ pada proses
Kristen pada makanan Muslim mengambil ini dan hal tersebut memunculkan reaksi
dimensi yang berbeda dan lebih relevan dari emosional seperti kenikmatan atau ketidak-
dugaan awal. Kebiasaan konsumsi tidak hanya sukaan; dan hanya bahan yang dapat
mengekspresikan tradisi budaya dan dikonsumsi serta diurai tubuh diberi label
pemisahan sosial, tetapi juga keinginan fisik ’makanan’. Jadi, kebiasaan makan tidak
tertentu dan jarak fisik terhadap tetangga- sepenuhnya ’tidak alami’—hal ini berlaku
tetangga Muslim mereka. Orang Kristen setidaknya bagi mereka yang tubuhnya telah
Minahasa sering tidak melihat ketidaksukaan terkondisi pada ketentuan dan preferensi
mereka terhadap makanan tertentu sebagai kuliner tertentu.
masalah selera atau preferensi tetapi sebagai Tubuh Minahasa, contohnya, telah terbiasa
sesuatu yang secara fisik sudah dikondisikan, pada rasa babi, tikus dan anjing—jenis daging
sesuatu yang di luar kontrol mereka; mereka yang tidak akan disentuh tetangga Muslim
tidak dapat makan jenis makanan tertentu, mereka. Lebih lanjut lagi, penggunaan cabai
bahkan jika menginginkannya, karena akan dalam jumlah besar dalam masakan Minahasa
membuat mereka mual atau bahkan sakit parah. menuntut fisik yang mampu menanggung rasa
’Batas-batas makanan’ bukan saja batas etnis, pedas. Jika makanan Minahasa merupakan
budaya, dan keagamaan tetapi juga biologis. tantangan bagi pendatang baru, penduduk lokal
Meskipun dapat ditembus dan memungkinkan telah menikmati kelezatan-kelezatan yang
adanya ’migrasi’ dari satu sisi ke sisi lain, menjaga tubuh mereka tersebut selama
penerimaan pertukaran tersebut terbatas, bertahun-tahun. Orang luar akan dinilai
situasional, dan dapat dinegosiasikan, seperti berdasarkan kemampuan mereka menyantap
yang ditunjukkan pihak berwajib kota dalam makanan Minahasa dan walau adaptasi yang
reaksi terhadap pedagang jalanan yang berasal bertahap diinginkan, integrasi sepenuhnya
dari Gorontalo. Ketika ’Yang Lain’—dalam tidak diharapkan. Selera cenderung konservatif
wujud makanan—memasuki tubuh kita, kita dan para ilmuwan telah menunjukkan bahwa
menjadi sangat rentan dan berisiko tinggi untuk preferensi makanan adalah salah satu kebiasaan
’terpolusi’ (Douglas 1966). Pengkonsumsian yang paling bertahan; meskipun tidak sekaku
makanan Muslim yang ’berlebihan’ seperti yang tampak sekilas (lihat Bourdieu
mengandung ancaman macam itu pada orang 1986) dan dapat berubah bahkan di tahap-tahap
Minahasa. Lebih jauh, hal tersebut tidak hanya akhir hidup.
mencemari tubuh Minahasa, dan mungkin juga Walaupun fleksibilitas dan kemampuan
pikiran mereka, tetapi dengan begitu juga adaptasi selera para pengunjung umumnya
membuat orang Kristen makin menyerupai or- ditanggapi dengan gembira oleh orang
ang Muslim. Kualitas identitas Minahasa yang Minahasa, dalam hal makanan ’khas’ Muslim
unik dan ’berbeda’ menjadi diragukan—sesuatu dan daya tariknya pada umat Kristen, kualitas-
yang sangat tidak dikehendaki rakyat maupun kualitas tersebut pada sesama orang Minahasa
politisi lokal Minahasa. akan dilihat dengan penuh curiga. Daya tarik
makanan Muslim dianggap ancaman bagi
Kesimpulan komponen identitas Minahasa. ’Ke-Minahasa-
Makanan, makan, dan selera, berhubungan an’ sebagai identitas umum mayoritas
dengan organ dan fungsi tubuh. Makan adalah penduduk Minahasa didasarkan baik pada

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 77


kategori sosial seperti kesukuan, agama, dan Minahasa terhadap orang Muslim secara umum.
kebudayaan maupun wilayah yang dihuni Meskipun hubungan antara kedua kelompok
bersama, bahasa, dan sejarah. Kekuatan dicirikan oleh dijaganya jarak dan sikap
eksternal seperti kolonialisme, penyebaran menghindar dari kedua kubu, ketegangan tak
agama, dan hegemoni Jawa pasca-kolonialisme diragukan lagi telah meningkat dan dipupuk
memiliki pengaruh penting pada konstruksi oleh stereotipe dan prasangka (negatif)
identitas tersebut. Sekalipun faktor keturunan terhadap kubu lain.
memainkan peran besar dalam transmisi Perbedaan dalam kebiasaan seputar makanan
identitas Minahasa, identitas senantiasa tetap per se tidak cukup untuk memancing perseteruan
harus diperbaharui kembali dan dinyatakan serius antara umat Kristen dan Muslim. Meskipun
ulang melalui praktik sosial. Aktivitas makan, demikian, makanan adalah penanda primer
sebagai contoh, adalah kegiatan yang sesuai identitas Minahasa dan dengan begitu
untuk mengokohkan identitas biologis dan memisahkan mereka dari Yang Lain, yang tidak
sosial dengan menunjukkan keterikatan orang memiliki tradisi yang sama, seperti misalnya umat
Minahasa pada leluhur dan tanah tempat Muslim. Ideologi dan praktik pembedaan menjadi
tinggal mereka serta tergabungnya mereka sangat relevan di masa kekisruhan politik dan
dalam ’komunitas’ Kristen. Seperti semua sosial. Makanan adalah elemen sentral, baik
identitas sosial, ke-Minahasa-an didefinisikan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
secara negatif dan positif dan sering kejadian-kejadian penting, dan karenanya
menggunakan perbedaan dengan identitas memberi banyak kesempatan untuk mengisi
Muslim sebagai dasar. Di tingkat lokal, identitas Kristen dan Muslim dengan makna dan
masyarakat Kristen Minahasa membedakan diri sekaligus menggarisbawahi perbedaan ’alami’.
mereka dari ’tetangga’ Muslim mereka yang, Dihidupkannya kembali aturan, tabu, dan
meskipun telah tinggal lama di Minahasa, tidak rekomendasi seputar makanan adalah salah satu
diakui sebagai orang Minahasa. Di tingkat cara yang cukup efektif untuk menampilkan
nasional, penekanan dilakukan pada perbedaan batas-batas sebagai sesuatu yang normal dan
mereka dengan wilayah dan provinsi lain di tak terhindarkan. Makan adalah kegiatan sosial
Indonesia yang mayoritas penduduknya yang fundamental dan menciptakan atau
beragama Islam. mendefinisikan hubungan sosial; kedekatan dan
Di tahun-tahun belakangan ini, perubahan jarak. Jadi, menyantap secara teratur hidangan
dalam struktur politik dan pengalihan Muslim, terlebih di ’lingkungan’ Muslim dapat
kompetensi dan tanggung jawab pada otoritas membuat batas suku atau budaya dan persepsi
daerah memberi tidak sekadar otonomi dan tentang perbedaan, dipertanyakan kembali.
kebebasan daerah yang lebih besar tetapi juga Meskipun hubungan semacam itu antara
peningkatan instabilitas dan perasaan tidak kelompok Kristen dan Muslim merupakan
aman, terlebih karena reformasi politik berjalan keadaan ideal di mata orang luar, masyarakat
diiringi berbagai konflik kekerasan di berbagai Minahasa sendiri cenderung skeptis. Jarak sosial
daerah di nusantara. Orang Minahasa, seperti adalah syarat untuk mereproduksi citra Minahasa
umat Kristen lain di Indonesia, menganggap dan interpretasi tentang agresi Muslim. Citra
fundamentalisme Islam berada di balik konflik- tersebut dibutuhkan untuk membenarkan
konflik dan dampak negatif konflik di seluruh diskriminasi politik dan sosial serta untuk
Indonesia. Sebagai akibatnya, tumbuh sikap memelihara ’budaya perbedaan’ (culture of dif-
penolakan dan ketidakpercayaan masyarakat ference).

78 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004


Referensi
Bourdieu, P.
1986 Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. London: Routledge.
Brillat-Savarin, J.A.
1825/26 The Physiology of Taste. (2 vols.) New York: Liveright.
Brubaker, R. dan D.D. Laitin
1998 ‘Ethnic and Nationalist Violence’, Annual Review of Sociology 24:423–452.
Caplan, P. (peny.)
1997 Food, Health and Identity. London: Routledge.
Counihan, C. dan P. van Esterik (peny.)
1997 Food and Culture: A Reader. London: Routledge.
Davidson, J.
1999 Kurtisanen und Meeresfrüchte: Die verzehrenden Leidenschaften im klassischen
Athen. Berlin: W.J. Siedler.
Douglas, M.
1966 Purity and Danger. London: Routledge and Kegan Paul.
van Eeuijwik, P.
1999 Diese Krankheit passt nicht zum Doktor: Medizinethnologische Untersuchungen
bei den Minahasa (Nord-Sulawesi, Indonesien). Basel: Wepf (Basler Beiträge zur
Ethnologie, vol. 41).
Godée Molsbergen, E.C.
1928 Geschiedenis van de Minahassa tot 1829. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Graafland, N.
1991 (1898) Minahasa: Negri, Rakyat, dan Budayanya. Jakarta: Yayasan Parahita.
Harvey, B.
1977 Permesta: Half a Rebellion. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press (Monograph Se-
ries, Publication no.57).
Henley, D.
1992 Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East
Indies. Tesis Ph.D., Canberra: ANU.
Jenkins, R.
1996 Social Identity. London: Routledge.
Kosel, S.
1998 ‘Die zu eins gemacht wurden’: Gruppenidentitäten bei den Minahasa Nordsulawesis
(Indonesien). Tesis MA tidak diterbitkan. Frankfurt/Main: Johann Wolfgang Goethe-
Universität.
Macbeth, H. (peny.)
1997 Food Preferences and Taste: Continuity and Change. Oxford: Berghahn.

ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004 79


Pusung, D.
1994 Teologi hati babi dalam upacara-upacara adat di jemaat Waleo. Tesis BA tidak
diterbitkan. Tomohon: Fakultas Pendidikan Agama Kristen, UKIT.
Riedel, J.F.
1836 Maandberigt van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, no. 4. Rotterdam: Wijt
& Zonen.
Scholliers, P. (peny.)
2001 Food, Drink and Identity: Cooking, Eating and Drinking in Europe since the Middle
Ages. Oxford, N.Y.: Berg.
Schouten, M.
1998 Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society: Minahasa, 1677–
1983. Leiden: KITLV Press.
Schwarz, J.G.
1908 Tontemboansch-Nederlandch woordenboek met Nederlandsch-Tontemboansch reg-
ister. Leiden: E.J. Brill.
Tauchmann, K.
1968 Die Religion der Minahasa-Stämme (Nordost-Celebes/Sulawesi). Tesis Ph.D. tidak
diterbitkan. University of Cologne.

80 ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004

Potrebbero piacerti anche