Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Pruritus, atau gatal, adalah sensasi yang menimbulkan keinginan kuat untuk
melakukan penggarukan. Gatal dicetuskan oleh senyawa tertentu yang menjadi mediator
gatal. Senyawa terpenting adalah histamin. Histamin merupakan produk degranulasi sel mast
dan basofil, selain dapat dihasilkan oleh makrofag dan limfosit. Jenis histamin H1 ditemukan
menyebabkan gatal. Histamin banyak dilepaskan setelah terjadi cidera yang melibatkan
dermal. Sementara itu, reseptor H3 terlibat dalam modulasi gatal, dan bekerja antagonis
dengan H1. H4 juga dapat menyebabkan gatal. Serotonin terutama terlibat dalam gatal pusat,
dan mungkin berperan dalam gatal neurogenik pada pasien uremia (gagal ginjal). Keduanya
merupakan golongan amina. 1
Eikosanoid dilepaskan oleh infiltrat leukosit dan sel mast, dan bekerja dengan
mengaktifkan TRPV1 dan TRPV4. Prostaglandin mengurangi ambang letup gatal akibat
eikosanoid (memudahkan tiimbulnya gatal). Sebagai contoh, endovanniloid mengaktifkan
TRPV1 dengan memengaruhi kanal ion kalsium terutama di sel neuron dan non-neuronal
(termasuk keratinosit), sehingga meningkatkan kecenderungan untuk gatal. Aktivasi TRPV1
keratinosit menyebabkan pelepasan mediator pruritogenik. Penggunaan vanniloid topikal
(seperti capsaicin) mendesensitisasi TRPV1 baik neuronal maupun non-neuronal, sehingga
melawan aktivitas pruritogenik dan mencegah timbulnya gatal. 1
Sitokin, seperti IL-2 dan IL-31 terlibat dalam pruritus. IL-2 terutama adalah
penginduksi yang poten, sementara IL-31 ditemukan menyebabkan pruritus di individu
atopik yang overekspresi IL-31. 1
Neuropeptida yang terpenting adalah substansi P (SP) yang dihasilkan akibat aktivasi
serabut saraf C (disebut dengan refleks aksonal), selain juga akan melepaskan mediator
eikosanoid inflamasi dan histamin. Substansi P akan meningkat jumlahnya apabila terjadi
inflamasi, sehingga zat ini adalah salah satu mediator terpenting yang berperan dalam gatal
akibat inflamasi. Substansi P secara selektif menyebabkan pelepasan histamin oleh sel mast.
Aktivitasnya menurun akibat stress, serta meningkat akibat penuaan dan keadaan malam.
CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) juga neurotransmiter golongan péptida utama,
disamping neuropeptida lain seperti VIP (Vasoactive intestinal peptide), endothelin,
neurotensin, dan neurotrophin, serta neurokinin A (NKA). Neurotrophin, seperti NGF bekerja
dengan menurunkan ambang gatal, meningkatkan regulasi reseptor vanilloid, serta
meningkatkan produksi substansi P. Berperan terutama pada gatl akibat dermatitis atopik.1
Apabila gatal bersifat terlokalisasi, penggunaan capsaicin secara topikal dapat
meredakan gatal. Selain itu, penggunaan terapi dengan transepidermal electrical nerve
stimulation (TENS) sangatlah efektif. 1
Antagonis opioid, seperti naltrexone dapat sangat efektif di beberapa pasien, terutama
gatal akibat kolestasis. Namun perlu diingat bahwa obat-obatan antagonis opioid banyak
memiliki kontraindikasi, terutama bagi pasien dengan penyakit hati. Selain itu, analgesik
opioid menimbulkan efek ketergantungan (withdrawal symptoms). Butorfanol, kombinasi
antagonis miu dan kappa diberikan sebagai semprotan (nasal spray). 1
Secara ringkas, obat-obat yang bekerja secara perifer antara lain antagonis H1, agonis H3,
antagonis SP, antagonis TRPV1, agonis CB1, antagonis PAR-2. Sementara yang bekerja
secara sentral adalah gabapentin (untuk gatal neuropati), talidomit (mensupresi persarafan),
mirtazapin, inhibitor uptake serotonin, dan opioid miu antagonis atau agonis kappa.1
1. Antagonis histamin H1
Pada urtikaria, dengan histamin adalah mediator utama, antagonis H1
merupakan obat pilihan dan sering cukup efektif jika diberikan sebelum pajanan.
Namun, pada asma bronkus, yang melibatkan beberapa mediator, antagonis H1
umumnya kurang efektif. Angioedema dapat dipicu oleh pelepasan histamin tetapi
tampaknya dipertahankan oleh peptida kinin yang tidak terpengaruh oleh obat
antihistamin. Untuk dermatitis atopik, obat antihistamin seperti difenhidramin
digunakan terutama karena efek samping sedatifnya, yang mengurangi perasaan
gatal.2
Farmakokinetik :
Antagonis h1 biasanya dibagi menjadi obat generasi pertama dan generasi
kedua. Keduanya dibedakan oleh efek sedatif yang relatif kuat pada sebagian besar
obat generasi pertama. Obat generasi pertama juga lebih besar kemungkinan
menghambat reseptor autonom. Penghambat h1 generasi ke 2 kurang sedatif, karena
distribusinya yang lebih sedikit pada susunan saraf pusat.2
Obat obat ini cepat diserap setelah pemberian oral, dengan konsentrasi puncak
pada 1-2 jam. Mereka tersebar luas pada tubuh, dan obat geberasi pertama cepat
masuk ke susunan saraf pusat. Sebagian dari mereka mengalami metabolissasi
ekstensif, terutama oleh sistem mikrosom di hati. Beberapa dari obat generasi ke 2
dimetabolisasi oleh sistem CYP3A4 dan karenanya dapat berinteraksi dengan obat
lain (misalnya katekonazol) yang menghambat subtipe enzim P450 ini. Sebagian
besar obat memiliki masa kerja efektif 4-6 jam setelah satu dosis, tetapi meklizine
dan beberapa obat generasi kedua bekerja lebih lama, dengan masa kerja 12-24 jam.
Obat-obat yang lebih baru jauh kurang larut dalam lemak dibandingakn obat generasi
pertama serta merupakan substrat dari prngangkut glikoprotein P di sawar darah otak,
akibatnya mereka sulit atau sama sekali tidak dapat masuk ke susunan saraf pusat.
Banyak antagonis h1 memiliki metabolit aktif. 2
Farmakodinamik :
Antagonis H1 mengurangi atau menghambat kerja histamin dengan secara
reversibel dan kompetitif mengikat reseptor h1. Obat-obat ini hampir tidak berefek
pada reseptor h2 dan sedikit pada reseptor h3. Sebgai contoh, kontraksi otot polos
bronkiolus atau saluran cerna akibat histamin dapat dihambat secara total oleh obat-
obat ini tetapi efek terhadap asam lambung dan jantung tidak terpengaruh.2
Antagonis reseptor h1 generasi pertama memiliki efek selain blokade
histamin. Sejumlah besar dari efek ini mungkin terjadi karena kemiripan struktur
umum dengan struktur obat yang memilliki efek pada kolinoseptor muskarinik,
adrenoreseptor alfa, serotonin, dan reseptor anestetik lokal. Sebagian efek ini
memiliki nilai terapeutik dan sebagian tidak diinginkan.2
Toksisitas :
Spektrum efek nonantihistamin yang luas dari antihistamin H1 telah
dijelaskan. Beberapa dari efek ini (mengantuk, efek antimuskarinik) telah digunakan
untuk tujuan terapeutik, khususnya dalam sediaan obat tanpa resep. Bagaimanapun,
kedua efek ini merupakan efek yang paling tidak disukai ketika obat-obat ini
digunakan untuk menghambat reseptor histamin. Efek toksik pemakaian sistemik
yang lebih jarang adalah eksitasi dan kejang pada anak, hipotensi postural, dan
respons alergik. Alergi obat relatif sering setelah pemakaian topikal antagonis H1.
Efek kelebihan dosis sistemik obat lama yang parah mirip dengan kelebihan dosis
atropin dan diterapi dengan cara yang sama. Kelebihan dosis astemizol atau terfenadin
dapat menyebabkan aritmia jantung; efek yang sama dapat timbul pada dosis sama
akibat interaksi dengan inhibitor enzim. 2
2. Antagonis serotonin
Siproheptadin mirip dengan obat antihistamin fenotiazin dalam struktur
kimianya serta memiliki efek menghambat reseptor H1 dan reseptor 5-HT2. Efek
siproheptadin dapat diperkirakan dari afinitasnya terhadap reseptor histamin H1 dan
5-HT. Obat ini mencegah efek kedua amina pada otot polos, tetapi tidak berefek pada
sekresi lambung yang dirangsang oleh histamin. Obat ini juga memiliki efek
antimuskarinik yang signifikan clan menyebabkan sedasi.2
Aplikasi klinis utama siproheptadin adalah dalam mengobati manifestasi otot
polos tumor karsinoid dan pada urtikaria imbasdingin. Dosis lazim pada dewasa
adalah 12-16 mg/hari dalam tiga atau empat dosis. Obat ini berguna pada sindrom
serotonin, tetapi karena hanya tersedia dalam bentuk tablet, siproheptadin harus
digerus dan diberikan melalui selang lambung pada pasien yang tidak sadar.2
3. Kortikosteroid
Dosis :2
Efikasi relatif beberapa kortikosteroid topikal dalam berbagai sediaan:2
Toksisitas :
Dua kategori efek toksik penguanaan terapeutik kortikosteroid adalah hasil dari
‘withdrawal effect’ dan penggunaan dosis tinggi dalam waktu yang lama.2,3
Efek samping :
Efek samping lokal kortikosteroid topikal antara lain adalah atrofi, yang
mungkin bermanifestasi sebagai kulit yang mencekung, berkilap, sering mengeriput
seperti "kertas rokok" disertai telangiektasis yang mencolok dan kecenderungan
mengalami purpura dan ekimosis; rosasea kortikosteroid, dengan eritema persisten,
telangiektasia pembuluh, pustul, dan papul di bagian tengah wajah; dermatitis
perioral, akne steroid, perubahan infeksi kulit, hipopigmentasi, hipertrikosis;
meningkatnya tekanan intraokular; dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak
alergik dapat dikonfirmasi dengan uji tempel menggunakan kortikosteroid konsentrasi
tinggi, yaitu 1% dalam vaselin, karena kortikosteroid topikal tidak mengiritasi.
Pemeriksaan penyaring untuk kemungkinan dermatitis kontak alergik dilakukan
dengan tiksokortol pivalat, budesonid, dan hidrokortison valerat atau butirat.
Kortikosteroid topikal dikontraindikasikan pada orang yang memperlihatkan
hipersensitivitas terhadap obat-obat tersebut. Beberapa orang yang sensitif mengalami
kekambuhan generalisata ketika diberikan hormon adrenokortikotropik atau prednison
oral.2
DAFTAR PUSTAKA