Sei sulla pagina 1di 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/289516850

Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf

Article · June 2014


DOI: 10.18784/analisa.v21i1.29

CITATIONS READS

0 5,932

1 author:

Sulaiman Sulaiman
state Islamic University Walisongo, Semarang
4 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sulaiman Sulaiman on 14 February 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

AJARAN TASAWUF DALAM NASKAH SIRR AL-LATHĪF

The sufism teaching in the Sirr Al-Lathīf

SULAIMAN

Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo


Semarang
ABSTRACT
Kampus II, Jl. Prof. Dr. Hamka Km.1, The manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufism text at early XX century, that proven the
Ngaliyan-Semarang existence and dynamic of Sufism thought at Kalimantan, and Nusantara in general.
Telp. (024) 7601294 The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics
e-mail:alkumayi97@yahoo.co.id
analysis. The result of the researchs are: firstly, the way verses of the Fatiha are believed
Naskah diterima: 21 Januari 2014
Naskah direvisi: 19-31 Mei 2014 in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human
Naskah disetujui: 18 Juni 2014 being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly,
the elaboration of the prayer (sembahyang) in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt
be found in fiqh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave.
And thirdly, elaboration of insānkāmil (the perfect man) as representation of the perfect
man, not different from concepts of mainstreamsufi.The script tend to use symbolization
toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala veryintimaterelationship.
Keywords: Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān kāmil.

ABSTRAK
Naskah Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti
eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya.
Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi filologis dengan analisis
hermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah: pertama, ayat-ayat surat al-
Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa
ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah
tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang (salat) dalam
naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fikih.
Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba.
Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna,
tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini
lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata
verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut.
Kata kunci: Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil.

77
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

PENDAHULUAN Deskripsi Naskah


Naskah tulisan tangan (manuscript) Penulis menemukan naskah Sirr al-Lathīf
merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, pada 30 Juli 2008, dari seorang guru bernama
yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai Dimansyah, di Kecamatan Kumai, Kabupaten
pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan Menurut pengakuan Dimansyah, naskah ini
dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya diperolehnya dari Martapura (Kalimantan
material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, Selatan). Secara fisik, naskah ini berbentuk
istana, masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan persegi panjang dan berwarna putih. Berbahan
budaya dalam bentuk naskah jelas jauh lebih dasar dari kertas dengan ukuran 16 cm x 21 cm.
besar (Fathurahman, 2008: 17; Ikram, 1997: 24). Teks ditulis tangan dengan memakai tinta dawat
Naskah—yang sejauh ini masih sering diabaikan (biasa dikenal sebagai tinta Cina) warna hitam
keberadaannya, dan hanya mendapatkan dan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi),
perhatian dari kelompok orang tertentu saja, dengan tebal 52 halaman.
khususnya para filolog dan pustakawan— Di bagian sampul tertera nama penulis naskah,
sesungguhnya menyimpan makna dan dimensi dan penyelesaian penulisannya pada tahun 1913.
yang sangat luas karena merupakan produk dari Naskah ini kemudian disalin oleh Bahrun bin
sebuah tradisi panjang yang melibatkan berbagai Muhammad Dhaman, yang diselesaikannya pada
sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu 18 Rabi‘ al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983. Di
(Fathurahman, 2008: 17). Melalui naskah inilah, bagian pendahuluan tertulis sebagai berikut:
kita dapat menguak sejumlah informasi masa
“Bism Allāh al-Rahmān al-Rahīm. Inilah Kitāb
lampau mengenai berbagai segi kehidupan
Risālah Sirr al-Lathīf, pasuratan al-Haj Yahya
keagamaan, termasuk ajaran tasawuf (Baried, bin al-Marhum al-Haj Muhammad Thahir
1994: 11), yang merefleksikan pemikiran yang Banjari yang disurat oleh beliau dalam bentuk
sangat orisinil (Hadi WM, 2001: 3). pasuratan pada tahun 1913 M. Disalin dari Kitab
aslinya kepunyaan cunda Hatta Jiddin bin Yahya.
Naskah-naskah lama yang berisi ajaran Tabuh Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan
tasawuf tersebut menginformasikan bahwa yang menyalin faqīr lagi haqīr Allāh Bahun bin
kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia Muhammad Dhaman. 18 Rabi‘ al-Awwal 1402
H/3 Januari 1983.”
hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan
hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia Selain itu, dijelaskan pula alasan penulisan
dengan peradaban Islam (Sedyawati, 2000). naskah.
Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke-13,
“....setelah menukil dari beberapa persuratan
bangsa Indonesia telah didatangi oleh para ulama yang hampir-hampir sudah lanyap karena
sufi yang dalam proses penyebaran Islam banyak kurang gamarnya para saudara-saudaraku kaum
pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini Muslimin muslimat mempelajarinya. Selain
daripada itu sesudah hamba mempelajarinya
tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut
kepada guru kami yaitu Abdul Karim al-Hadi
ajaran-ajaran tasawuf yang mereka sampaikan mulanya hal-hal hakikat dan ma‘rifat, maka
kepada masyarakat setempat (Fathurahman, hamba buatlah kesimpulan sebagaimana termuat
2008: 18; Azra, 1994: 32). Salah satu naskah dalam risalah ini yang kami namai Sirr al-Lathīf
yakni risalah rahasia yang halus-halus. Harapan
yang berisi ajaran tasawuf itu adalah Sirr al-
hamba semoga bermanfaat bagi ahlinya yang
Lathīf karya al-Haj Muhammad Yahya bin al- gemar mempelajari jalan syariat dan ma‘rifat.”
Haj Muhammad Thahir al-Banjari. Kehadiran
naskah ini sekaligus menjadi bukti eksistensi dan Dengan menganalisis kata-kata “maka
dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan. hamba buatlah kesimpulan” dari pernyataan di
atas, dapat dipastikan bahwa naskah ini memang

78
Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

merupakan ringkasan dari beberapa kitab yang dan menguraikan tentang penjelasan mistis
dibaca oleh penulisnya. Karena itu, tidaklah empat surah pokok: QS. al-Fatihah, al-Ikhlas,
mengherankan jika dalam uraiannya penulis al-Falaq, dan al-Nas (h. 1-5); bagian kedua
sering kali menggunakan kata-kata yang ringkas membahas tentang Nur Muhammad dan hakikat
dan kadang-kadang menggunakan simbol- sembahyang. Di bagian ini uraiannya singkat dan
simbol, sehingga perlu interpretasi agar dipahami penuh dengan gambar-gambar simbolik (h. 6-11);
maksud yang terkandung di dalamnya. bagian ketiga membahas tentang rahasia zikir (h.
12-14); dan bagian keempat membahas tentang
Sebagaimana dikatakan oleh penulisnya,
‘amal ma‘rifat yang di dalamnya berisi tentang
naskah ini ditujukan kepada mereka yang “gemar”;
hakikat diri dan Tuhan serta hubungan hamba
maka yang dimaksud di sini adalah mereka yang
dengan Tuhan, dan kemudian ditutup dengan
berkemampuan khusus dalam jalan spiritual
uraian tentang al-haqīqah Muhamadiyah (insān
(tasawuf). Bisa diduga bahwa mereka yang
kāmil).
mempelajari naskah ini memang mereka yang
sudah menjalankan syariat dengan benar, dan Kajian terhadap naskah-naskah dengan
kemudian melanjutkan pencarian spiritual untuk tema sejenis dengan naskah Sirr al-Lathīf dapat
menemukan hakikat diri dan Tuhan; atau mereka dijumpai dari beberapa penelitian sebelumnya,
yang sudah mempunyai pemahaman yang baik antara lain: Nurbini (1999) yang meneliti naskah
tentang tasawuf dan sudah mempraktikkannya Ajaran Ma’rifatullah Panglima Utar; lalu disusul
sehingga ajaran yang terkandung di dalamnya oleh Sulaiman (2001) dengan naskah yang sama
akan dengan mudah dipahami dan dijalankan. namun dengan analisis yang lebih mendalam.
Dari segi isinya naskah Panglima Utar ini berbeda
Penulis mencantumkan sejumlah nama
jauh dengan naskah Sirr al-Lathīf. Karena itu,
yang menjadi rujukan dalam penyusunan
kajian terhadap kandungan naskah ini memang
naskahnya. Mereka adalah: (1) Haji Muhammad
perlu dilakukan sehingga terkuak ajaran-ajaran
Arsyad (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari),
yang ada di dalamnya.
(2) Haji Abdul Hamid (Syekh Abdul Hamid
Abulung), (3) Haji Muhammadullah, (4) Haji
METODE PENELITIAN
Abdul Ghafur, (5) Tuan Syarif Karim, yang telah
Membaca Naskah Sirr al-Lathīf
mu‘tamad-kan dengan Imam Syafi‘i rahmatullah
dimusyawarahkan bersama dengan sebagaimana Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
tercantum namanya di bawah ini: Syekh naskah tunggal, yakni Sirr al-Lathīf dengan
Abdullah, Syekh ‘Alassalam, Imam Ibnu Hajar, meminjam teknik semi filologis. Merujuk
Imam Rahmadi, Imam Ghazali, Imam Nawawi, pendapat Prof. Dr. Mudjahirin Thohir (2013),
Imam Syafi‘i, Imam Subaqti, Imam Asy‘ari, Imam naskah ini haruslah dipahami sebagai sebuah
Zurkani, Haji Muhammad Nur, dan Haji Jamal produk budaya yang di dalamnya penuh
(penghulu di Tenggarong pada tahun 1902). dengan makna-makna simbolik yang perlu
Tampaknya dengan memaparkan sejumlah nama ditafsirkan untuk memahami makna-makna
tokoh—yang sebagian merupakan ulama-ulama yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan
yang sudah dikenal di dunia Islam—penulis ingin ini, ketika tahapan dalam filologi itu terlampaui,
menegaskan bahwa ajaran yang terkandung atau zaman telah berubah, serta perhatian para
dalam naskahnya ini bukanlah karangannya, filolog telah berkembang jauh, maka ilmu filologi
melainkan bersumber dari para ulama otoritatif juga diarahkan kepada bagaimana memahami
tersebut. isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti ini,
maka untuk memahami kandungan-kandungan
Sistematika penulisan ajaran tasawuf dalam teks dibutuhkan disiplin ilmu-ilmu lain,
naskah ini dibagi dalam empat bagian; bagian seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi,
pertama terdiri dari cover, kata pengantar, semiotika, dan lain-lain.

79
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

Dalam menangani naskah Sirr al-Lathīf ini, hubung dengan teks-teks lain (intertektualitas)
peneliti mengikuti saran Nabilah Lubis (1996: dan selalu berproses. Dari proses tanpa akhir dan
88-89). Nabilah Lubis menyarankan dalam tanpa tujuan inilah teleology dipahami sebagai
menangani naskah tunggal, peneliti yang ingin teks yang mengarah ke depan yang tak terbatas
mengedit naskah memiliki dua pilihan, yaitu dan tak mungkin untuk direalisasikan sepenuh-
mengadakan edisi diplomatik atau edisi standar. nya sekarang ini; teks yang bergerak dalam lin-
Edisi diplomatik ialah suatu cara mereproduksi tasan struktur yang terbuka pada masa depan dan
teks sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan menolak dihadirkan pada masa kini (in prasen-
atau perubahan dari editor. Model yang paling tia); teks yang menunda dan mendeferensiasi ke-
sesuai dengan ini adalah naskah direproduksi hadiran (Al-Fayyad, 2005: 68).
secara fotografis. Hal ini penting, jika peneliti
Teknik analisis teks yang dipakai dalam
ingin menampilkan teks yang diperoleh persis
penelitian ini menggunakan analisis hermeneutik,
sebagaimana adanya. Tetapi bagi pembaca
yakni “studi pemahaman” atau “teori tentang
modern, metode ini tidak memberikan informasi
filsafat interpretasi makna” (Wollf, 1991:
yang membantu dalam upaya memahami teks
188). Menurut Hans-Georg Gadamer, maksud
tersebut. Sedangkan dalam edisi standar, ada
sebuah teks harus dibedakan dari maksud
suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks
pengarangnya. Teks bersifat otonom, teks
sehingga terhindar dari berbagai kesalahan
mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis
dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul
dan pembacanya (Baried, 1994: 20). Interpretasi
ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk
teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak
menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai
berarti pemberian makna sesuai dengan situasi
dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat,
si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan
misalnya, dengan mengadakan pembagian
Horizontverschnelzung atau pembauran
alenia-alenia, pungtuasi, huruf besar dan kecil,
cakrawala (Wollf, 1991: 189), yakni dalam proses
membuat penafsiran (interpretation) setiap
pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung
bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan,
pembauran cakrawala, perpaduan antara
sehingga teks tampak mudah dipahami oleh
cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan
pembaca modern. Sungguh pun demikian yang
cakrawala masa kini si pembaca (Teeuw, 1984:
harus diingat bahwa editor harus bertanggung
174). Berkaitan dengan ini, untuk menggali isi
jawab terhadap semua perbaikan atau penafsiran
teks diperlukan interpretasi. Menurut Gadamer,
yang diadakan, dan harus menyebut sumbernya;
interpretasi, selalu merupakan interpretasi
apakah berdasarkan kaedah gramatika, atau fakta
sirkuler. Manusia hanya dapat memahami (masa
sejarah, dan sebagainya.
lalu, teks, orang lain) dari pusat pandangan
Berdasarkan saran Nabilah Lubis tersebut, pe- manusia itu dan dari sejarahnya sendiri.
nelitian ini memilih edisi standar yang memung- Interpretasi selalu bersifat perspektival karena
kinkan peneliti untuk melakukan penafsiran terh- interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau
adap isi naskah Sirr al-Lathīf. Untuk melakukan cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang.
penafsiran, peneliti merujuk pendapat Jacques Interpretasi tidak akan pernah sampai pada
Derrida. Dengan merujuk Derrida ini, naskah Sirr interpretasi yang menyeluruh, karena perhatian
al-Lathīf diposisikan bukan bentuk artefak yang peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen
mati. Teks diposisikan sebagai sebuah proses yang berkaitan dengan interest kontemporer si
yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Teks peneliti. Hasil maksimal dari interpretasi adalah
yang terhenti pada sebuah pemaknaan tidak akan fusion of horizons atau bertemunya cakrawala
terbuka dan berkembang, karena ada kekuatan masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini
yang ada dalam sebuah teks, yaitu teks mempu- saat teks ditafsirkan (Wollf, 1991: 189).
nyai watak yang terbuka dan jalin-menjalin, ter-

80
Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

Berdasarkan kerangka teoritis hermeneu- memiliki kaitan yang erat dengan persebaran
tik Gadamer, maka dapat ditetapkan kerangka dan pengaruh ajaran Islam abad XIV M. Abad ini
penafsiran naskah Sirr al-Lathīf sebagai berikut: jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar
Pertama, dilakukan transliterasi naskah Sirr al- dengan raja pertamanya Sultan Suriansyah. Hal
Lathīf dari huruf Arab ke huruf Latin dan alih tersebut karena ada dua abad sebelum Kerajaan
bahasa dari teks berbahasa Melayu ke teks ber- Banjar berdiri di sekitar Kuwin sudah terdapat
bahasa Indonesia. Alih bahasa teks ini penting pemukiman penduduk yang beragama Islam.
karena bahasa merupakan jembatan pengalaman Barangkali kelompok penduduk yang dikenal
hermeneutik dan interpretasi. Kedua, upaya un- sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang
tuk membangun pra-anggapan (prejudice) adalah tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama
dengan cara melakukan penelitian kepustakaan Islam, atau mungkin sudah beragama Islam
yang berkaitan dengan subject matter penelitian (Masfiah, 2009: 3).
ini. Ketiga, interpretasi dapat terjadi apabila ber-
Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan
langsung fusion of horizons. Upaya untuk menca-
lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar
pai hal itu adalah dengan cara membandingkan
yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai
pokok-pokok pemikiran dalam naskah Sirr al-
raja pertama yang memeluk Islam sekitar abad
Lathīf dengan karya penulis lain yang memba-
XVII. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan
has pokok-pokok pemikiran sejenis dan mewakili
hubungan Islam dengan pantai utara Jawa Timur,
cakrawala pemikiran saat ini. Melalui cara seperti
Gresik, Tuban, dan Surabaya mempercepat proses
ini, akan terjadi pembauran cakrawala pemikiran
penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Pada
pada masa ketika naskah Sirr al-Lathīf diciptakan
abad XVII ini pula dalam wilayah Kerajaan Banjar
dan cakrawala pemikiran pada masa teks ini di-
di Kalimantan Selatan mendapat pengaruh dari
tafsirkan sehingga dapat dirumuskan suatu rele-
ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Kegiatan
vansi kandungan nilai-nilai budaya dalam naskah
para ulama dan para juru dakwah dari Kerajaan
tersebut dengan tata kehidupan sosial masyarakat
Aceh telah merambah ke mana-mana termasuk
dewasa ini (setting). Untuk itu perlu ada pengeta-
dalam wilayah Kerajaan Banjar, di samping
huan tentang setting naskah.
Sumatra sendiri dan Malaysia. Kedudukan
Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh
Setting Naskah
merupakan terminal bagi jamaah haji yang akan
Sosok pengarang Sirr al-Lathīf memang
berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang
tidak terungkap. Satu-satunya petunjuk yang
kembali ke Tanah Air. Sebelum munculnya kapal
dapat membantu adalah mengenai tempat dan
api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan
tanggal penulisan naskah. Tempatnya adalah
belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa
Tabuh, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan
lama menunggu angin baik untuk melanjutkan
Selatan; sedangkan penanggalannya juga jelas,
pelayaran, begitu pula bagi mereka yang akan
penulis menyelesaikannya pada tahun 1913,
pulang ke Tanah Air, khususnya daerah bagian
kemudian naskah tersebut disalin oleh cucunya
timur dari kepulauan Nusantara ini.
dan selesai pada tahun 1983. Dengan merujuk
keadaan ini dapat diperkirakan bahwa pemikiran Selama berada di Aceh, mereka mengikuti
tasawuf yang terdapat di dalam naskah ini sangat kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan
dipengaruhi oleh dinamika pemikiran yang atau mengikuti pengajian-pengajian, yang pada
terjadi di Kalimantan Selatan pada saat itu, dan gilirannya akan mempengaruhi pemikiran
Nusantara di awal abad XX. mereka. Perkembangan pemikiran keagamaan
yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami
Kalimantan Selatan sebagai bagian dari
beberapa tahap pekembangan, yaitu: (a) paham
tradisi budaya Melayu memiliki kekayaan
dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran
naskah yang tidak sedikit, dan keberadaannya

81
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah menghadiahkannya kepada Sultan Tajul Alam
yang berasal dari Jawa, yaitu Demak atau Giri Syafiatuddin yang memerintah di Aceh. Meskipun
yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar pada masa pemerintahan Sulthanah Seri Tajul
sesuai dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah Alam Syafiatuddin Johan Berdaulat puteri dari
dalam akidah dan paham Syafi‘iyah dalam Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan
bidang hukum, serta tasawuf akhlak. Di sini Aceh pada tahun 1050-1085 H/1641-1675 M,
tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran kejawen seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran
turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar; (b). wujudiyah yang berkembang di sana yang semula
Paham mistik/sufisme yang berasal dari Hamzah mendapat banyak tekanan. Maka, dirikimkannya
Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di naskah yang ditulis oleh Syamsuddin kepada
dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu, menunjukkan
penduduk memeluk agama Islam dan sudah hubungan timbal balik yang dengan dua kerajaan
ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka (Banjar dan Aceh). Hal ini mungkin disebabkan
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Paham oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh, seperti
ini tampaknya dominan sebagaimana terlihat Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, di
pada Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari yang satu sisi yang dianggap penyebar wujudiyah, dan
ternyata sudah menggeluti persoalan tentang Nuruddin al-Raniri di sisi lain yang menentang
kejadian Nur Muhammad, salah satu prinsip wujudiyah. Dua kelompok tasawuf ini mempunyai
dasar sari ajaran tasawuf wahdah al-wujud; pengaruh yang sangat besar di wilayah Kerajaan
dan (c) sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu Aceh, dan keduanya pun sempat terlibat dalam
berkembangnya faham sufisme dari Hamzah konflik berdarah. Meskipun demikian, pengaruh
Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sudah
al-Raniri yang menentangnya juga mendapat masuk ke wilayah Kerajaan Banjar dibuktikan
simpati dari rakyat Kerajaan Banjar (Masfiah, dengan munculnya dua tokoh tasawuf penting:
2009: 4-5; Abdurrahman, 1989). Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari (abad XVII)
dan Syekh Abdul Hamid Abulung (abad XVIII)
Pada abad ke-17 ini pula terdapat peristiwa
(Zamzam, 1979; Suriadi, 1998 dan 2007).
yang menandai adanya hubungan yang harmonis
antara Aceh dan Banjar. Pada waktu itu seorang Setelah masa Syekh Ahmad Syamsuddin,
yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura muncullah tokoh ulama sufi selanjutnya, yaitu
telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Beliau
tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang termasyhur dengan karyanya al-Durr al-Nafis
dipengaruhi ajaran Ibn ‘Arabi, aliran wahdah al- Bayan Wahdat al-Af‘al wa al-Asma’ wa al-Shifat
wujud. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke- wa al-Zat al-Taqdis. Syekh Nafis dilahirkan
17 wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan pada 1148 H/1735 M di Martapura dari keluarga
berkembangnya aliran tasawuf secara dominan bangsawan Banjar. Ia hidup sezaman dengan
sampai melahirkan seorang ulama terkemuka di Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Azra,
bidang tersebut dan mampu mengarang sebuah 1994: 255). Disusul tokoh sufi lainnya, Syekh
kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf tersebut Abdul Hamid Abulung. Hingga saat ini tidak
dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh diketahui tanggal kelahirannya, tetapi ia sezaman
(Masfiah, 2009: 5). dengan Syekh Nafis dan Syekh Arsyad. Syekh
Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang
Merujuk penelitian R.O. Winstedt
dikenal dengan ajaran Ilmu Sabuku. Pemikiran
menyebutkan bahwa pembicaraan tentang
tasawufnya tentang Tuhan dan manusia lebih
Nur Muhammad telah dibahas oleh
mengarah kepada wahdah al-wujud-nya Ibnu
seorang ulama Banjar, Syamsuddin, yang
‘Arabi, bukan pada pemikiran tasawuf al-Ghazali
menyelesaikan tulisannya pada tahun 1688 dan
(Sahriansyah, 2009).

82
Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

Pemikirann ketiga tokoh sufi (Syekh sehingga muncul kesan bahwa tasawuf falsafi
Syamsuddin, Syekh Abdul Hamid, dan Syekh sudah ditinggalkan. Padahal anggapan ini tidak
Nafis), telah membuktikan adanya keragaman semuanya benar, karena bersamaan dengan
corak pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan gerakan pen-sunni-an tasawuf, tasawuf falsafi juga
yang seakan-akan “mondar-mandir” antara tetap melakukan gerakan yang sama meskipun
tasawuf falsafi dan tasawuf sunni. Syekh dilakukan secara diam-diam dan cenderung
Syamsuddin dan Syekh Abdul Hamid mengusung bergeser ke tempat-tempat yang jauh dari pusat
corak pemikiran tasawuf falsafi, sedangkan kekuasaan, terutama pedalaman Kalimantan.
Syekh Nafis mengedepankan pemikiran tasawuf Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah
sunni. Meskipun sesungguhnya Syekh Nafis juga Sirr al-Lathīf ini.
cenderung ke tasawuf falsafi.
Dengan mengetahui setting yang meling-
Dalam sejarah pemikiran tasawuf di kari lahirnya naskah Sirr al-Lathīf di atas akan
Kalimantan Selatan memang sudah ada upaya diketahui sebab-sebab pemikiran yang ada di da-
“penjinakan” terhadap tasawuf falsafi model lamnya dan kemudian mencoba “membaca” dan
Syekh Abdul Hamid pada masa Syekh Arsyad menganalisisnya agar diketahui kandungannya.
pada abad ke-18, yang kemudian memunculkan Dalam artikel ini, kami akan memaparkan kan-
apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai dungan naskah dengan bertumpu pada tiga per-
neo-sufisme di Kalimantan Selatan yang memiliki tanyaan penelitian: (1) bagaimanakah konstruk
perhatian tinggi terhadap syariah (Azra, 1994: mistisisasi surah al-Fatihah dalam naskah terse-
266). Menurut Rahmadi, pada abad ke-19, corak but?; (2) bagaimanakah relasi puji memuji Tuhan
pemikiran Islam hampir sepenuhnya diwarnai dan hamba yang dilambangkan dalam sembahy-
oleh ajarah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah. ang?; dan (3) bagaimanakah deskripsi tentang
Kecenderungan ini kemudian diperkokoh pada manusia sempurna (insān kāmil)?
masa berikutnya, di mana sejumlah referensi dan
produk pemikiran yang bermunculan pada abad HASIL DAN PEMBAHASAN
ke-20 digunakan untuk terus memperkokoh corak Konstruk Mistisisasi surat al-Fatihah:
tersebut dan mempertahankannya sebagai arus Built in Dalam Tubuh
utama pemikiran Islam di Kalimantan Selatan Surat al-Fatihah dalam naskah Sirr al-Lathīf
(Rahmadi, 2012: 1). Namun, pada abad ke-20 juga ditempatkan di bagian awal setelah halaman
gelombang pembaruan yang melanda wilayah sampul. Penempatan ini tentunya ada maksud-
ini menjadi ujian berat terhadap pemikiran maksud tertentu, misalnya, untuk menyatakan
arus utama (mainstream) ketika para “kaum bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan al-
muda” bermunculan dan organisasi keagamaan Fatihah, atau mungkin juga ada pemahaman
berhaluan reformis mulai menggugat corak bahwa al-Fatihah itu adalah induk segala surat.
pemikiran Islam yang sudah mapan. Gugatan ini Berkaitan dengan surat ini, penjelasan yang
tentu saja mendapat perlawanan dari para ulama diberikan memang bukanlah merupakan sebuah
Banjar ‘arus utama’ sehingga terjadilah polemik tafsir sebagaimana lazimnya, tetapi cenderung
pemikiran di kalangan mereka. Beberapa literatur mengarah pada pemahaman mistik dan berujung
keagamaan yang ditulis oleh ulama Banjar yang pada pengalaman mistik. Dengan kata lain,
muncul sepanjang abad ke-20 bahkan pada penjelasan surat ini lebih tepat dipandang sebagai
awal abad ke-21 merupakan wujud nyata dari ekspresi dari pengalaman mistik seorang sufi.
“perlawanan” terhadap gugatan itu (Rahmadi, Inilah yang disebut mistisisasi surat al-Fatihah.
2012: 1-2).
Annemarie Schimmel (1975) membagi pe-
Khusus di abad ke-20, sufisme al-Ghazali ngalaman mistik itu menjadi dua jenis yaitu yang
tampak lebih dominan di Kalimanta Selatan berupa mistisisme ketakterhinggaan (mysticism of

83
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

Infinity) dan mistisisme kepribadian (mysticism of Tabel 7.1. Letak Ayat-ayat dalam Surat Al-Fatihah
Personality). Pengalaman pertama dapat dijumpai pada Bagian-bagian Tubuh Tertentu
pada model ajaran Plotinus atau Upanishad dan AYAT LETAKNYA DALAM TUBUH
dalam Islam dapat kita temui pada ajaran Ibn Bism Allāh ar-Rahmān ar-Rahīm otak/ruh
Arabi. Pengalaman ini kerap digambarkan sebagai al-Hamdu li Allāh muka
lautan tak bertepi dimana manusia diibaratkan rabb al-‘ālamīn telinga kanan
sebagai tetesan air yang tenggelam di dalamnya. ar-Rahmān telinga kiri
Ar-Rahīm tangan kanan dan kiri
Kerap juga digunakan perumpamaan bagai gurun
mālik yawm ad-dīn belakang
luas dimana manusia ibarat debu di dalamnya.
iyyāka na’budu Leher
Bentuk pengalaman semacam ini kerap menuju
wa iyyāka nasta’īn Dada
pada suatu paham yang biasa mendapat sebutan ihdinā ash-shirāth al-mustaqīm urat dan lidah
pantheisme atau monisme yang kerap mendapat shirāth al-ladzīna Pusat
serangan akibat hancurnya pertanggungjawaban an’amta ‘alaihim kaki kanan dan kiri
individu pada pemahaman seperti itu. Bentuk gair al-maghdūbi Empedu
pengalaman kedua dapat dijumpai pada banyak ‘alaihim Kura
sufi dimana hubu-ngan antara manusia dengan walā adh-dhāllīn Hati
Tuhan digambarkan sebagai hubungan antara āmīn Jantung

ciptaan dengan Penciptanya, hubungan antara


budak dengan Tuannya dan antara pecinta dengan Dengan pemahaman tersebut, surat ini sudah
yang dicintainya. ada di dalam (built in) diri manusia. Di tingkat
Dalam puncak pengalaman mistiknya, para lokal memang muncul kata-kata “al-Fatihah da-
sufi sering mengalami situasi yang mereka percaya lam diri”, yang merefleksikan pemahaman (kog-
pada saat itu mereka sedang berjumpa dengan nisi) masyarakat lokal bahwa surah ini sudah ter-
Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang tak lazim tanam dalam diri manusia, dan karenanya kewa-
kadang keluar pada saat puncak pengalaman jiban bagi manusia untuk mengetahui dan meng-
tersebut. Suatu keadaan yang kerap disebut sebagai hayatinya. Dengan demikian, Yahya tidak berbi-
keadaan syath. Meskipun mengundang banyak cara tentang penafsiran surat al-Fatihah, tetapi ia
hujatan, para sufi dapat mencari pembenaran berbicara tentang mistisasi surat tersebut.
dengan menyandarkan pada pengalaman Nabi Selain ayat-ayat al-Fatihah yang terletak di
dalam mengungkapkan hadis qudsi sebagai bagian tubuh tertentu, di Kalimantan ditemukan
pengalaman serupa dengan shath tersebut (Ernst, juga kepercayaan huruf-huruf hijaiyah terletak
2003: 29). Ekspresi ekstase (shath) tersebut di bagian-bagian tubuh tertentu. Kepercayaan
merupakan salah satu kunci penting dalam ini dikenal dengan sebutan Ilmu Alif. Dipercayai
memahami ajaran sufisme. Bagi mereka yang bahwa manusia di alam akhirat akan wujud
mendukung, syatiyat dianggap sebagai jalan dalam berbagai keadaan. Supaya badan manusia
memahami wahyu Tuhan sedangkan bagi mereka berwujud seperti keadaannya di dunia, maka
yang menolak menganggap hal itu sebagai parodi diamalkanlah Ilmu Alif tersebut. Ilmu ini
kitab suci yang mengumpat Tuhan. diamalkan setiap salat. Jika seseorang tidak
Bertolak dari penjelasan di atas, maka mengingatnya, maka ia akan kehilangan anggota
dipahami jika ayat-ayat al-Fatihah ditempatkan tubuh di akhirat.
di bagian-bagian tubuh tertentu, sebagaimana Alif antara dua keningku baitullah di badanku; Bā
dijelaskan pada tabel berikut ini. kening kananku; Tā kening kiriku; Tsā dahiku; Jīm
ubun-ubunku pintu Ka’bah di badanku; Hā bahu
kananku; Khā bahu kiriku; Dāl kaki kananku;
dzāl kaki kiriku; Rā rusuk kananku; Zai rusuk
kiriku; Sīn susu kananku; Syīn susu kiriku; Shād

84
Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

telinga kananku; Dhād telinga kiriku; Thā mata pun ada di dalam Dia. Ketika kita bersaksi akan
kananku; Zhā mata kiriku; ‘ain tangan kananku; Ketuhanan-Nya sebagaimana yang dimaksud
Ghīn tangan kiriku; Fā pinggang kananku; Qāf
pinggang kiriku; Kāf belakang kananku; Lām
dalam ayat al-Quran, “Bukankah Aku ini
belakang kiriku; Mīm mukaku; Nūn otakku; Tuhanmu?” (QS. al-A’raf [7]: 172), dunia dan
Wawu pusatku, batu bergantung di badanku; segala yang ada di dalamnya masih belum dicipta.
Hā hatiku Ka’bah di badanku; Lām alif sulbiku Bahkan sekarang kita memiliki keberadaan
‘arsy dan kursi di badanku; Hamzah jantungku;
Yā nyawaku utama Muhammad rahasia Allah di
pra-abadi kita di Hadirat Ilahi, dan kita telah
badanku (Hermansyah, 2010: 119). membuat perjanjian kekal dengan Tuhan, yang
tetap mengikat melampaui kesementaraan
Kembali kepada Naskah Sirr al-Lathīf. kehidupan duniawi kita dan di luar bidang ruang
Dengan mistisisasi surat al-Fatihah seperti dan waktu tempat kita sekarang menemukan diri
disebutkan di atas, Yahya juga menambahkan kita sendiri (Nasr, 2007: 5).
penjelasannya bahwa saat membaca surah ini
dalam sembahyang berarti memuji diri sendiri. Selain ‘mengenal diri sendiri’ tersebut, Yahya
Karena itu, tegas Yahya: juga menyatakan bahwa dalam surah al-Fatihah
ini, Allah membuka rahasia-Nya kepada hamba-
“Jadi kita berdiri sembahyang itu membaca al- Nya, yaitu Muhammad s.a.w. Atas dasar ini, Yahya
Fatihah adalah sebenarnya memuji diri sendiri.
Apabila tidak sembahyang berarti orang itu mengatakan bahwa antara Allah dan Muhammad
durhaka kepada ibu bapaknya, kepada Nabinya, itu tidak bercerai. Hal ini dinyatakan di bagian
kepada Datu Adam. Alamat neraka yang akan akhir ulasannya terhadap surah al-Fatihah: “Ya
didapat.” (Sirr al-Lathīf: 2). Muhammad, jika tiada engkau tiada rahasia-
Mereka yang mendirikan sembahyang Ku dan sekalian umatmu” (Sirr al-Lathīf: 4)
dengan membaca surah al-Fatihah, maka Maksudnya, kalau tidak ada Muhammad niscaya
pada esensinya ia sedang mengenal dirinya Allah tidak akan pernah membuka rahasia-
sendiri yang berarti akan mengenal Tuhannya Nya kepada siapa pun. Rahasia-Nya tetap Dia
sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis sembunyikan untuk selama-lamanya (Sells,
terkenal: “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa 2004: 31).
rabbahu” (“barangsiapa mengenal dirinya, Dari paparan di atas, tampak sekali Yahya
maka ia telah mengenal Tuhannya”). Hadis memahami al-Fatihah dalam konteks mistik
ini difahami oleh para sufi sebagai bagian yang bukan berdasarkan penafsiran sebagaimana
sangat penting (al-Kurdī, 1995: 483). Menurut lazimnya. Dengan cara baca seperti ini, dapat
Seyyed Hossen Nasr (2007: 5), pengetahuan diri dipahami jika surah tersebut dijelaskan dengan
akan mengantarkan pada pengetahuan tentang “menyalahi” metode penafsiran yang sudah
Tuhan. Tasawuf memandang serius hadis ini mapan dalam studi al-Qur’an. Tentu saja tidak adil
dan juga menempatkannya ke dalam amalan. Ia jika yang dilakukan Yahya di atas sebagai sebuah
memberikan, di dalam semesta spiritual tradisi tindakan “pelecehan” terhadap al-Qur’an. Ia
Islam, cahaya yang diperlukan untuk menerangi tidak melecehkan al-Qur’an, tetapi ia memahami
sudut gelap jiwa kita dan kunci untuk membuka Kitab Suci ini dengan cara yang mistik, yakni
pintu ke relung-relung tersembunyi dari wujud dengan memahami dimensi-dimensi batin dari
kita sehingga kita bisa berziarah ke dalam diri firman-firman Allah itu.
dan mengenal diri kita sendiri, dan pengetahuan
ini pada akhirnya mengantarkan kepada Puji-Memuji Tuhan dan Hamba: Sembahyang
pengetahuan tentang Tuhan, yang bersemayam Bagian lain yang diuraikan dalam naskah
di jantung/pusat/diri kita. Sirr al-Lathīf adalah “puji memuji antara
Tuhan dan hamba” dalam sembahyang, yang
Bukan hanya kita ini diciptakan oleh Tuhan,
digambarkannya dengan al-Hamdu. Dalam
akar keberadaan kita di sini dan pada saat ini
al-Hamdu ini terjadi hubungan timbal balik

85
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

saling memuji antara Tuhan dan hamba. Yahya pengabdian seorang Nabi kekasih Allah, dan
menyatakan bahwa sembahyang lima waktu pelakunya (umat Nabi Muhammad) pun akan
keluar dari al-Hamdu, dan al-Hamdu itu adalah merasakan hal yang sama sebagaimana dirasakan
kepala al-Qur’an. Kemudian dijelaskan lebih oleh Nabi.
lanjut tentang hubungan sembahyang lima waktu
dengan al-Hamdu. Pencapaian Manusia Sempurna: Insān Kāmil
Bagian akhir dari kandungan naskah Sirr
Adapun sembahyang zhuhur itu keluar dari
alif, empat raka‘at yaitu dua telinga dan dua al-Lathīf adalah konsep insān kāmil (manusia
mata, keluar dari cahaya manikam yang kuning; sempurna). Yang dimaksud insān kāmil adalah
adapun hurufnya cahayanya yaitu paru-paru manusia yang telah memiliki dalam dirinya hakikat
pada kita. Adapun sembahyang ashar itu keluar
Muhammad, atau disebut juga nur Muhammad
dari lam, empat raka‘at yaitu dua tangan dan
dua kaki; keluar dari cahaya manikam yang atau ruh Muhammad yang merupakan makhluk
merah; hurufnya cahayanya yaitu jantung pada yang mula-mula dijadikan Allah, dan juga sebagai
kita. Adapun sembahyang maghrib itu keluar sebab bagi diciptakannya alam ini. Beberapa
dari ha tiga raka‘at, dua lubang hidung dan satu
hadis yang mendukung ajaran ini, antara lain:
tulang mulut, keluar dari cahaya manikam yang
hijau, hurufnya cahayanya yaitu empedu pada (1) “Pertama-pertama dijadikan Allah Ta‘ala
kita. Adapun sembahyang isya itu keluar dari cahayaku, dan pada riwayat lain, ruhku.” (ar-
huruf mim, empat raka‘at, dua susu, satu pusat, Raniri, 1961: 147); (2) “Adalah aku Nabi, dan
dan satu sulbi, keluar dari cahya manikam yang
Adam antara air dan tanah.” (ar-Raniri, tth:
hitam; adapun huruf cahayanya limpa pada kita.
Adapun sembahyang subuh itu keluar dari huruf 115); (3) Aku dari Allah dan alam dariku.”; (ar-
dal, dua raka‘at, satu tubuh dan satu nyawa (ruh Raniri, tth: 159); dan (4) “Jikalau tiada engkau,
dan jasad), keluar dari cahaya manikam yang ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala
putih; adapun huruf cahayanya yaitu hati pada
alam ini.” (ar-Raniri, tth: 125-126).
kita (Sirr al-Lathīf: 7-8).
Jalāl ad-Dīn Rūmī dalam sebuah syairnya
Selanjutnya Yahya menambahkan uraiannya
juga menyatakan alasan Tuhan menciptakan
berkaitan gerakan (postur) sembahyang yang
alam semesta ini karena Nabi Muhammad. Rūmī
berkaitan dengan Ahmad. Berdiri tegak keluar
menyatakan:
dari alif (‫ )ﺍ‬yang melambangkan sifat api. Ruku‘
keluar dari ha (‫ )ﺡ‬melambangkan sifat angin. Tuhan tidaklah mencipta di bumi atau di langit
yang tinggi sesuatu yang lebih gaib daripada ruh
Sujud keluar dari mim (‫ )ﻡ‬yang melambangkan manusia.
sifat air. Duduk antara dua sujud keluar dari
Dia telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu,
dal (‫ )ﺩ‬yang melambangkan sifat tanah. Jadi, baik yang basah maupun yang kering, namun
yang dinamakan sembahyang itu adalah Ahmad Dia menutup rahasia ruh: “ia masuk urusan
( ΩϣΣ΍) yang representasikan oleh tubuh kasar, Tuhanku.”
yang menyampaikan sembahyang adalah Nur Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat
Muhammad, sedangkan yang dituju sembahyang ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi
adalah Allāh al-Shamad (Sirr al-Lathīf: 8). Melalui daripadanya.
uraiannya ini, Yahya ingin menegaskan bahwa Tuhan yang disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi
secara lahiriah sembahyang yang dilaksanakan itu milik-Nya: Saksi yang adil itu adalah mata
Sang Kekasih.
itu adalah Ahmad, dan Ahmad itu adalah nama
lain untuk Nabi Muhammad saw. Mungkin Sasaran Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah
kesucian hati: tatapan Sang Raja tertuju pada
yang dimaksud di sini adalah sembahyang itu orang yang terkasih.
hendaknya mengikuti Nabi Muhammad termasuk
Rahasia cinta kasih-Nya yang bermain-main
gerakan, perkataan, dan kekhusyuan beliau saat dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh
melaksanakan sembahyang. Di sini, sembahyang tabir yang telah Dia ciptakan.
itu pada hakikatnya merupakan manifestasi dari Oleh karena itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih

86
Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

berfirman kepada Nabi pada malam mi‘raj: “Kalau ini merupakan kaca yang belum terasah, sehingga
bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan tidak dapat berperan sebagai cermin bagi Allah
alam.” (Dikutip dari Nicholson, 2002:. 104).
untuk melihat kesempurnaan-Nya. Adapun dari
segi hubungannya dengan manusia, maka nur
Uraian di atas menyatakan dengan jelas
Muhammad juga disebut hakikat manusia atau
bahwa Nabi Muhammad atau nur Muhammad
Insān Kāmil. Dalam dirinya mengandung segala
telah dijadikan sebelum alam ini, sebelum
hakikat wujud. Karena itu Insān Kāmil merupakan
adanya dalam bentuk seorang Nabi insani.
wadah tajalli Allah yang paling lengkap, sehingga
Nur tersebut qadim lagi azali. Nur Muhammad
dapat berperan sepenuhnya sebagai cermin-
inilah yang selalu berpindah dari generasi ke
Nya untuk melihat diri-Nya dalam wujud yang
generasi berikutnya dalam berbagai bentuk
lengkap dan sempurna (Daudy, 1983: 185-186).
para nabi: Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan lain-
lain, kemudian dalam bentuk Nabi penutup, Ajaran yang berasal dari Ibn ‘Arabi ini
Muhammad saw. Selanjutnya, ia berpindah kemudian dikembangkan Abd al-Karīm al-Jīlī
kepada para imam, dalam kalangan Syi‘ah dalam sebuah karya pentingnya, al-Insān al-
Imamiyah, dan berakhir pada Imam Mahdi. Kāmil fī Ma‘rifah al-Awākhir wa al-Awaāil.
Di kalangan para sufi, nur tersebut berpindah Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh para
kepada para wali dan berakhir pada wali penutup sufi di Aceh lewat Hamzah Fansuri, Syamsuddin
(khatam auliyā), yakni Nabi Isa yang akan turun Sumatrani, dan Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari
pada akhir zaman (al-Jīlī, 1975: 84). Aceh, ajaran insān kāmil masuk ke Kalimantan
lewat dua tokoh utamanya, Syaikh Muhammad
Nur atau ruh Muhammad, dalam tasawuf Ibn
Nafīs al-Banjarī dan Syaikh Abdul Hamid Abulung
‘Arabi, adalah merupakan wadah tajalli Ilahi yang
(Mansur, 1990). Dari Kalimantan Selatan, ajaran
paling sempurna, dan karena itu ia dipandang
insān kāmil kemudian masuk ke seluruh wilayah
sebagai khalifah Ilahi atau Insān Kāmil dalam
Kalimantan (Sulaiman, 2001).
arti yang paling khas. Ketika bagian-bagian
tertentu dari alam ini merupakan wadah tajalli Insān Kāmil dalam naskah Sirr al-Lathīf
dan sebagian tertentu dari asma dan sifat Allah, dinyatakan bahwa ia ada dalam sosok Nabi
maka Insan Kamil itu merupakan satu-satunya Muhammad yang dilukiskan dalam sebuah
wadah tajalli bagi ism al-Jalālah, yakni Allah, simbolisme huruf. Simbolisme huruf tidak
yang dipandang sebagai pengikat semua nama sekedar seni menulis, tetapi di balik itu semua
dan sifat-Nya. ada pesan-pesan mistik yang terkandung
di dalamnya. Sebagaimana diingatkan oleh
Selain dari itu, hakikat Muhammad
Littlejohn (1989: 134) bahwa tindakan personal
mempunyai dua jalur hubungan: hubungannya
atau teks sebenarnya mengandung pesan-
dengan alam sebagai asas penciptaan dan
pesan tertentu yang perlu diinterpretasi untuk
hubungannya dengan manusia sebagai hakikat
menemukan makna-makna yang terkandung
manusia. Dari segi hubungannya dengan alam,
di dalamnya. Pendapat senada dikemukakan
maka nur Muhammad seperti tersebut dalam
oleh Atmosuwito, yang mengatakan bahwa
hadis, adalah nur yang mula-mula dijadikan Allah
simbol merupakan suatu pola yang mengandung
dan yang darinya dijadikan alam semesta ini: alam
kenyataan yang tidak terlihat (invisible reality)
jasmani dan alam ruhani. Jadi, nur Muhammad
yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan
mengandung dalam dirinya apa yang disebut al-
batin. Karena contoh gambar dari alam syahādah
a‘yan al-mumkinah (kenyataan yang mungkin),
digunakan dalam menyatakan realitas yang tidak
dan dengan firman Kun, segala yang berwujud
terlihat, maka dalam simbol dua kenyataan yang
potensial itu beralih kepada wujud aktual
berbeda, yaitu kenyataan dalam dan kenyataan
dalam bentuk alam empiris ini. Namun, tujuan
luar, disatukan (Atmosuwito, 1989: 68). Dalam
penciptaan alam belum lagi tercapai, karena alam

87
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

teorinya tentang strata simbol, Ermatinger simbol atau citra-citra simbolik yang terdapat
(dalam Hinderer, 1972) menyatakan bahwa di dalam khazanah sastra sufi memilikt sejarah,
bentuk-bentuk simbol berkaitan langsung latar belakang dan akar tersendiri yang khusus,
dengan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar
batin manusia. Pendek kata, manusia tidak belakang budaya di mana tasawuf mula-mula
dapat membebaskan diri dari simbol apabila tumbuh dan berkembang. Selain diambil dari
memikirkan perkara-perkara yang tidak dapat al-Qur’an, Hadis Nabi dan sejarah Islam, simbol-
dilihat dengan mata. Di sini simbol bukan simbol dalam puisi sufistik juga diambil dan
hanya sekadar tanda yang membawa seseorang dimodifikasi dari tradisi lokal. Seorang ahli sufi
mengenali sesuatu, tetapi juga-khususnya dalam yang terkenal pada abad ke-11 al-Qusyairī di dalam
kaitannya dengan pengalaman keagamaan dan kitabnya Risālah al-Qusyairiyah mengatakan
mistikal, berfungsi membawa seseorang mencapai bahwa lahirnya simbol-simbol di dalam tasawuf,
pemahaman tentang wujud suci yang lebih tinggi dan penggunaannya dalam pengucapan puisi
dan tersembunyi (Hadi WM, 2001: 90). sufi, berhubungan erat dengan tradisi esoterik
mereka. Penggunaan simbol dimaksud agar
Gambar 7.1. (Judul gambar belum ada) gagasan-gagasan esoterik mereka terlindung dari
pengetahuan golongan masyarakat yang tidak
sepaham dengan pemikiran mereka (Taftazani,
1985: 134).
Di dalam Kitab al-Luma` at-Thūsī mengatakan
bahwa simbol-simbol adalah pengertian samar
yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan
lahir, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang
menguasainya. Menurut at-Thūsī, dalam simbol,
terdapat dua jenis makna: (1) makna lahir dari kata-
kata yaitu arti harfiahnya; (2) makna keruhanian
yang tersembunyi yang memerlukan telaah dan
kajian mendalam (Taftazani, 1985: 134).
Cara menangkap makna tersembunyi itu ialah
dengan menelaahnya menurut metode takwil
atau tafsir keruhanian. At-Taftazani mengatakan
bahwa pada dasarnya penggunaan simbol untuk
mengungkapkan kenyataan dan pengalaman
keruhanian seorang ahli sufi; yang menjadi ciri
dari sufi-sufi abad ke-10 dan sesudahnya, timbul
dari usaha untuk mengalihkan pengalaman
kejiwaan mereka yang luar biasa kepada orang
Sosok Insān Kāmil dalam Naskah Sirr al-Lathīf lain dengan bahasa yang dapat diindra, yaitu
Dalam tradisi sufi penggunaan simbol bahasa figuratif (majāz) puisi. Simbol-simbol
berhubungan dengan tradisi esoterik mereka yang dalam puisi para sufi hendaknya tidak dipandang
menekankan pentingnya makna dalam. Lebih sebagai kata-kata biasa, karena setiap simbol
jauh penyair-penyair sufi memandang bahwa memiliki titik pendakian ke arah pengartian luas
puisi merupakan simbol-simbol dari kebenaran (mathla). Simbol-simbol tersebut menunjukkan
dan keindahan jiwa manusia. Sebagaimana dalam pengartian yang dicipta dalam keadaan jiwa yang
tradisi besar sastra dunia yang lain, simbol- dinamis atau bergelora dan menggambarkan

88
Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-Lathīf
Sulaiman

secara hidup kecenderungan perasaan, pikiran Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam.
dan kalbu seorang sufi yang dilimpahi gairah
Atmosuwito, Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan
ketuhanan. Pernyataan senada dikemukakan
Religiusitas Dalam Sastra. Bandung: CV.
oleh Annemarie Schimmel, yang menemukan
Sinar Baru.
adanya pesan-pesan mistik dalam pemakaian
huruf-huruf Arab yang digunakan secara luas di Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur
kalangan sufi (Schimmel, 1970). Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
PENUTUP Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar
Setelah diuraikan panjang lebar hasil kajian Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Peneliti
terhadap naskah Sirr al-Lathīf, dapat disimpulkan dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra
sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat surat al- Universitas Gadjah Mada.
Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ
Fathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah
tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa
di Minangkabau. Jakarta: PPIM UIN
ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan
Syarif Hidayatullah-KITLV-École française
demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir,
d’Extrême-Orient-Prenada Media Group.
melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua,
penjelasan sembahyang (salat) dalam naskah Fayyad, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta:
Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak LKiS.
ditemukan dalam penjelasan fikih. Ia mencoba Hadi W.M., Abdul. 2001. Tasawuf Yang
menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap
antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta:
insān kāmil sebagai representasi dari manusia Paramadina.
yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan
Hermansyah. 2010. Ilmu Gaib di Kalimantan
konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun,
Barat,Jakarta:KPG-Écolefrançaised’Extrême-
naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi
Orient-KITLV dan STAIN Pontianak.
untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata
verbal untuk mengungkapkan hubungan yang Hinderer, Walter. 1972. “Theory, Conception
sangat intim tersebut. and Interpretation of the Symbol”, dalam
Joseph Strelka (ed.), Perspectives in Literary
Dari tiga kesimpulan di atas, dapat
Symbolism. University Park and London:
digarisbawahi bahwa naskah ini tidaklah
Pennsylvania State University.
independen dari pemikiran-pemikiran yang
sudah ada sebelumnya. Ia merupakan ringkasan Jīlī, Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm. 1975. Al-Insān al-
ajaran tasawuf yang sudah berkembang pada Kāmil fī Ma‘rifat al-Awākhir wa al-Awā’il.
masa itu, dan jika dirunut ke belakang tetap ada Beirut: Dār al-Fikr.
hubungan yang erat dengan ajaran wahdah al- Littlejohn, Stephen W. 1989. Theories of Human
wujūd, yang memang sudah mengakar kuat di Communication. California: Wadsworth
Nusantara. Wallāhu a’lam bi ash-shawāb. Publishing Company.

DAFTAR PUSTAKA Lubis, Nabilah. 1996. Naskah, Teks, dan Metode


Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian
Abdurrahman, 1989. “Studi tentang Undang-
Bahasa dan sastra Arab, Fak. Adab IAIN
Undang Sultan Adam 1835: Suatu Tinjauan
Syarif Hidayatullah.
tentang Perkembangan Hukum Dalam
Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Mansur, H.M. Laily. 1982. Kitab ad-Durrun
Pertengahan Abad ke-19”. Banjarmasin: Nafis: Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf.
Banjarmasin: Hasanu.

89
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014
halaman 77-90

Masfiah, Umi. 2009. Naskah Melayu Bernuansa Sedyawati, Edi. “Menyikapi Warisan Budaya”,
Keagamaan Islam di Kalimantan Barat dan Media Indonesia, 25 Maret 2000.
Kalimantan Selatan: Kajian Naskah Kitab
Sells, Michael A. 2004. Terbakar Cinta Tuhan:
Tahqiq di Kalimantan Selatan (Laporan
Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal,
Penelitian). Semarang: Balai Penelitian dan
penerj. Alfati. Bandung: Mizan.
Pengembangan Agama, Dep. Agama RI.
Sulaiman. 2001. Wahdah Al-Wujūd di
Nasr, Seyyed Hossein. 2007. The Garden of
Kotawaringin: Studi Naskah Tasawuf
Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Muhtar ibn `Abd al-Rahīm. Tesis S2.
Islam’s Mystical Tradition. New York:
Semarang: Pascarsajana IAIN Walisongo.
Harper Collins.
Suriadi, Ahmad. 1998. Ulama Banjar: Posisi
Nicholson, Reynold A. 2002. Jalaluddin Rumi: dan Peranannya pada Akhir Abad XVIII.
Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Drs. Semarang: Puslit IAIN Walisongo.
Sutejo. Jakarta: Pustaka Firdaus. Taftazani, Abu al-Wafa. 1985. Sufi dari Zaman ke
Rahmadi. “Dinamika Intelektual Islam di Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung:
Kalimantan Selatan: Studi Genealogi, Pustaka, 1985.
Referensi, dan Produk Pemikiran”, Jurnal Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Ilmu Ushuluddin, Vo. 11, No. 1, Januari Dunia Pustaka Jaya.
2012.
Thohir, Mudjahirin. “Filologi dan Kebudayaan”,
Raniri, Syekh Nuruddin. Asrār al-Insān fī http://staff.undip.ac.id/, diakses 23 April
Ma‘rifah ar-Rūh ar-Rahmā, ed. Tujumah. 2013).
Jakarta: tp.
Wollf, Janet. 1991. “Hermeneutic and Sociology”
Sahriansyah. 2009. Pemikiran Ilmu Sabuku dalam Henry Etkowitz dan Ronald M.
Syekh Abdul Hamid Ambulung. Semarang: Glassman [ed.], The Renaissance of
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Sociological Theory. Itaca, Illinois: F. E.
Departemen Agama RI. Peacock Publisher, Inc.
Schimmel, Annemarie. 1970. Islamic Calligraphy, Zamzam, Zafri. 1979. Syekh Muhammad Arsyad
Leiden. al-Banjari. Banjarmasin: tp.

90

View publication stats

Potrebbero piacerti anche