Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Hubaybah1, Fadzlul2
1
Bagian Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
2
Bagian Psikologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
E-mail: beebeeideh@gmail.com
Abstract
Abstrak
PMTS (Pencegahan HIV-AIDS melalui Transmisi Seksual) merupakan program pencegahan HIV-
AIDS yang dicetuskan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), bertujuan untuk melakukan
pencegahan HIV secara komprehensif, integratif dan efektif pada populasi kunci yang salah satunya
adalah WPS, namun dalam perjalanannya diketahui bahwa tujuan dari program ini belum tercapai. Tujuan
penelitian adalah untuk melakukan evaluasi program PMTS bagi Wanita Pekerja Seks (WPS) lokasi Gang
Laler Kemayoran Jakarta Pusat tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, teknik
pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen, validasi data
menggunakan triangulasi sumber, data dan metode. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi yang
belum maksimal, kurangnya dana, sarana dan prasarana menjadi penyebab utama belum tercapainya
tujuan program PMTS ini, ditandai dengan tidak berjalannya Pokja Lokasi yang telah dibentuk. Pokja
Lokasi merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menjalankan seluruh kegiatan, sehingga saran
dari penelitian ini adalah meningkatkan koordinasi dari KPAK dengan LSM, SKPD, Pokja Lokasi dalam
bentuk pertemuan rutin, mengalokasikan dana rutin untuk Pokja Lokasi dan keseluruhan kegiatan, serta
menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan ini.
40
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
41
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
dilakukan dengan sengaja untuk melihat HIV-AIDS), pihak LSM JPC, Pokja
42
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
43
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
44
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
45
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
tetapi juga pada setiap kegiatan dalam dan komitmen untuk membuat program
2
program ini. berhasil.
Dari teori koordinasi dapat dilihat Permasalahan lain yang tidak kalah
bahwa salah satu permasalahan koordinasi penting dalam kegiatan ini adalah sarana
dalam program ini yaitu koordinasi yang dan prasarana, meliputi kantor dan
belum terpusat. Semestinya KPAK bisa perlengkapannya. Minimnya fasilitas sarana
mengkoordinir semua SKPD, LSM maupun dan prasarana yang dimiliki oleh Pokja lokasi
pokja lokasi sendiri. Namun nyatanya gang laler dalam menjalankan
masing-masing SKPD mempunyai atasan pekerjaannya bisa berakibat tidak
sendiri-sendiri, program kerja sendiri- maksimalnya Pokja lokasi gang Lelar
sendiri, sumber dana yang berbeda-beda, menjalankan program kerjanya dan dapat
begitu juga dengan LSM, mereka bekerja menghambat tercapainya kinerja yang baik.
berdasarkan target dari Global Fund. Hal ini Sarana dan prasarana tidak hanya sebagai
menyebabkan tugas sesama pemangku tempat Pokja Lokasi bekerja tetapi juga
kepentingan menjadi tumpang tindih. sebagai tempat untuk melakukan
Jika pokja lokasi diberikan dana sosialisasi secara rutin.
rutin seperti gaji setiap bulan, maka mereka
Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)
akan lebih termotivasi serta merasa
menjadi bagian penting dari program ini. KPP adalah berbagai macam
Pemberian gaji merupakan salah satu kegiatan komunikasi yang direncanakan
upaya untuk memotivasi Pokja lokasi agar dan dilakukan secara sistematis untuk
menjalankan program kerjanya dengan memenuhi kebutuhan WPS agar selalu
baik. Gaji adalah pemberian pembayaran berperilaku aman. KPP fokus pada pola
finansial kepada seseorang sebagai balas pikir, nilai-nilai yang dianut dan
jasa untuk pekerjaan yang dilaksanakan perilaku.KPP dilakukan melalui proses
dan sebagai motivasi pelaksanaan kegiatan interaktif yang melibatkan W PS untuk
9
di waktu yang akan datang. Permasalahan mempromosikan, mengembangakan dan
di atas menyebabkan komitmen dari Pokja memelihara perilaku aman. Tujuan KPP
lokasi rendah, sehingga program kerja adalah mengubah perilaku W PS secara
Pokja lokasi tidak berjalan. kolektif baik tingkat individu, kelompok dan
Dengan demikian jika Pokja lokasi komunitas sehingga kerentanan WPS
setelah dibentuk terus dibina dan diberi terhadap HIV akan berkurang.
dukungan, maka akan melahirkan Menurut hasil penelitian, baik Pokja
komitmen yang tinggi dalam menjalankan lokasi maupun pemangku kepentingan
program-program yang telah diberikan, lainnya telah melakukan komunikasi dalam
karena dukungan dan keterlibatan sosialisasi kepada WPS secara rutin di
pemangku kepentingan merupakan motor lokasi Gang Laler antara lain penyuluhan,
pendorong pelaksanaan program dan penyebaran media KIE, namun kegiatan
diwujudkan dalam bentuk kepemimpinan VCT mobile di lokasi Gang Laler tahun
46
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
2014 hanya dilakukan satu kali, hal ini penyampaian informasi saat melakukan
dikarenakan sulitnya LSM mendapatkan sosialisasi. Pada akhirnya dapat dilihat
izin dari Pokja lokasi untuk melakukan VCT apakah strategi komunikasi yang digunakan
mobile di lokasi tersebut. telah tepat sasaran atau tidak untuk mampu
Meskipun kegiatan pada komponen menyampaikan informasi pengetahuan
ini telah dilakukan, namun belum banyak tentang HIV-AIDS kepada masyarakat.
terlihat perubahan perilaku dari W PS. Faktor lain yang juga menjadi
Masih banyak WPS yang belum mau kendala dalam kegiatan ini adalah alokasi
memakai kondom setiap melakukan dana untuk Pokja Lokasi, pendidik sebaya
hubungan berisiko, disamping dan kader lokasi yang tidak rutin,
memeriksakan diri secara mandiri ke menyebabkan setiap hendak melakukan
puskesmas. Hal ini diketahui dari kegiatan apapun terkait program ini kepada
banyaknya penderita IMS saat pelaksanaan WPS di lokasi Gang Laler pihak Pokja Lokasi
VCT mobile dimana para W PS yang selalu meminta dana. Bahkan dari hasil
terinfeksi IMS diberi suntikan, namun ketika penelitian diketahui saat ingin mengajukan
harus kembali ke puskesmas untuk VCT mobile, pihak puskesmas atau LSM
pemeriksaan selanjutnya, kebanyakan dari harus membayar sejumlah uang kepada
mereka tidak datang. Pokja lokasi, selain itu juga menyiapkan
Faktor-faktor yang menjadi kendala konsumsi dan dana kebersihan. Hal ini bisa
dalam mencapai tujuan kegiatan ini antara terjadi karena faktor kekurangan dana bagi
lain dari segi SDM, dimana kurang mereka selama ini, bila sudah ada alokasi
efektifnya komunikasi dan sosialisasi yang dana rutin untuk mereka maka bisa jadi
dilakukan. Padahal dari kegiatan ini, KPAK mereka sendiri yang meminta VCT mobile di
dituntut mampu memberikan pengetahuan lokasi mereka sesuai program kerjanya.
dan pemahaman tentang HIV/AIDS, Seperti yang telah dijelaskan
sehingga masyarakat sadar dengan sebelumnya bahwa VCT mobile yang telah
sendirinya untuk berpola hidup sehat dan dilaksanakan pada tahun 2014 tidak tepat
penyebaran HIV/AIDS dapat dicegah. sasaran, mungkin salah satu solusinya
Oleh sebab itu, sosialisasi harus adalah dengan mengadakan VCT mobile
terintregasi dalam aktifitas pemberdayaan dimalam hari, saat semua WPS sedanga
dan dilakukan secara terus menerus untuk ada di lokasi, juga mengalokasikan dana
memampukan masyarakat menanggulangi khusus semacam uang lembur untuk
masalah-masalah secara mandiri dan petugas yang melakukan pemeriksaan IMS
berkesinambungan. Untuk tercapainya hal dan HIV-AIDS.
tersebut, tentunya diperlukan strategi Sarana dan prasarana untuk
komunikasi yang dirancang, dirumuskan, kegiatan ini didistribusikan oleh KPAK,
dan dipilih sebelum pelaksanaan Puskemas, dan LSM. Pelaksanaan
sosialisasi. Mengingat, strategi komunikasi pendistribusian antara KPAK dan LSM
memegang peranan penting dalam upaya
47
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
tumpang tindih, namun hal ini secara umum pelatihan dalam rangka peningkatan
tidak mengganggu pelakasanaan kegiatan kapasitas outlet kondom, namun belum
KPP. pernah ada pelatihan pengelola outlet di
lokasi Gang Laler. Di lokasi Gang Laler outlet
Manajemen Pasokan Kondom dan
kondom ada yang bersifat statis, salah
Pelicin
satunya di warung kopi dan yang mobile
Manajemen pasokan kondom dan dengan membagikan kondom dan pelicin
pelicin adalah kegiatan perumusan rantai kepada WPS oleh Pokja lokasi, pendidik
pasok kondom dan pelicin serta sebaya atau kader lokasi yang didapat dari
pembentukan outlet kondom dan pelicin LSM.
yang bertujuan untuk menjamin Outlet yang paling banyak di lokasi
ketersediaan serta akses kondom dan Gang Laler yaitu mobile, dengan
pelicin bagi W PS dalam jumlah yang cukup. pertimbangan kondom dan pelicin tidak
Kondom dan pelicin sendiri terdapat 2 jenis, bisa dijual bebas meskipun di lokasi,
yaitu kondom mandiri dan kondom subsidi, karena masih ada aturan-aturan yang
namun di lokasi Gang Laler hanya ada mengatur tempat penjualan kondom dan
kondom subsidi yang didapat dari KPAK pelicin, jadi untuk meminimalisir risiko,
ataupun LSM. maka memang lebih banyak outlet mobile.
Perumusan rantai pasok kondom Berdasarkan hasil penelitian
dan pelicin adalah sistem pengaturan diketahui bahwa dampak dari komponen ini
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran sudah tercapai. Akses kondom dan pelicin
kondom dan pelicin. Di lokasi Gang Laler di lokasi Gang laler cukup dan mudah
manajemen kondom belum berjalan, terlihat didapat, karena outlet kondom sudah
dari belum adanya pencatatan keluar banyak, namun perumusan rantai pasok
masuk kondom dari pihak lokasi. kondom belum berjalan. Banyak faktor
Berdasarkan pernyataan pihak pokja lokasi, yang menjadi kendala, dari segi SDM dapat
mereka selalu membuat pencatatan keluar dilihat bahwa dalam pendistribusian
masuk pasokan kondom dan pelicin, kondom dan pelicin ke lokasi peran KPAK
namun tidak ada dokumen yang dan LSM tumpang tindih. KPAK
mendukung pernyataan mereka. mendistribusikan kondom dan pelicin
Outlet kondom dan pelicin di lokasi langsung ke para W PS, pokja lokasi atau
Gang Laler sudah banyak. Pengertian PE dan kader lokasi namun tidak rutin,
outlet disini bukan dalam artian fisik sedangkan LSM mendapatkan stok
berbentuk toko atau lokasi untuk menjual kondom dan pelicin dari PKBI dan
barang, melainkan pengertian secara mendistribusikannya sendiri pula. LSM
“sistem” dimana di lokasi tersebut terjadi mendistribusikan kondom secara rutin
proses permintaan dan pemasokan karena bertepatan dengan kegiatan
kondom dan pelicin. Semestinya penjangkauan.
pembentukan outlet kondom diikuti dengan
48
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
Pokja Lokasi, pendidik sebaya Kemayoran terkait program ini sudah baik,
maupun kader lokasi tidak pernah akan tetapi belum banyak WPS yang mau
melakukan pencatatan ataupun melaporkan mengakses secara mandiri kesana,
berapa banyak pengadaan, penyimpanan alasannya antara lain tempat tinggal WPS
ataupun pengeluaran kondom dan pelicin di yang jauh dari puskesmas, atau juga sulitnya
lokasi Gang Laler. Hal ini bisa jadi karena menyesuaikan waktu antara jadwal
pokja sendiri tidak mempunyai tempat operasional puskesmas dengan jadwal
khusus untuk menyimpan stok kondom dan WPS. Jadwal VCT mobile pun sekarang
pelicin, selain itu mereka juga belum sudah tidak terlalu sering, karena hanya
mempunyai keahlian atau kemampuan berupa promosi agar para WPS mau
administratif. Semestinya pihak KPAK memeriksakan diri secara mandiri ke
memberikan sarana berupa tempat atau puskesmas. Para WPS biasanya mau
ruangan khusus untuk penyimpanan stok memeriksakan diri ke puskesmas secara
kondom dan pelicin. mandiri bila sudah ada keluhan, kadang
Pelatihan dalam rangka sudah ada keluhan pun mereka masih mau
peningkatan kapasitas outlet kondom juga untuk datang ke puskesmas. Kegiatan VCT
merupakan solusi yang bisa dilakukan oleh mobile memang mempunyai kekurangan
KPAK, sesuai pedoman PMTS KPAN dan kelebihan, namun tujuan dari program
(2014) yang bertujuan agar pengelola outlet ini sendiri adalah W PS mau datang secara
memiliki pemahaman dan keterampilan mandiri ke fasilitas kesehatan, sehingga
secara manajerial dalam mengelola outlet, tidak mungkin terus menerus dilakukan
mampu melakukan promosi dengan baik VCT mobile.
2
dan mampu berjejaring dengan mitra kerja. Penatalaksanaan IMS dan HIV-
Penatalaksanaan IMS dan HIV-AIDS AIDS pada program PMTS di puskesmas
Penatalaksanaan IMS dan HIV- kemayoran sudah cukup baik. Pelayanan
AIDS dengan menyediakan layanan dan yang dilakukan sesuai dengan acuan
pengobatan IMS, VCT/KTS, penapisan Permenkes Nomor 21 tahun (2013),
IMS rutin, profilaksis pasca pajanan (PPP), diantaranya memberikan konseling kepada
pencegahan penularan ibu ke anak siapa saja yang telah melakukan tes HIV.
(PPIA/PMTCT) dan ketersediaan dukungan SDM Puskesmas juga sudah diberi
kepada ODHA yang mengacu pada pelatihan IMS dan HIV-AIDS terlebih
Permenkes No. 21 tahun 2013 dan dahulu, baik dari dokter, bidan atau
4
tatalaksana IMS dan HIV serta SUFA perawat.
berbasis LKB yang dibuat oleh Kemenkes. Pelayanan di Puskesmas
Selain itu juga melakukan upaya agar Kemayoran bisa jadi sudah baik, tetapi
muncul kemandirian W PS untuk mencari tidak pada upaya promosi kesehatannya.
4
layanan kesehatan sendiri. Semestinya pihak Puskesmas juga ikut
Berdasarkan hasil penelitian, melakukan penyuluhan atau sosialisasi ke
pelayanan kesehatan di Puskesmas lokasi Gang Laler untuk mengajak para
49
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
50
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
51
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
52
JMJ, Volume 4, Nomor 1, Mei 2016, Hal: 39 – 53 Hubaybah, dkk. Transmisi Seksual
...
Daftar Pustaka
1. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2010). Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN)
Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014. Jakarta.
2. Komisi Penanggulangan AIDS. (2014). Pedoman PMTS Paripurna Kemitraan Pemerintah Swasta
dan Komunitas. Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
(2014). Laporan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia Tahun 2014. Jakarta.
4. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta.
5. Horsburgh, R.J.R., Larsen, A.S., Josephine, M., Fedorko, P.D., Spiegel, A.C., Levin, M.j., Michele, E.,
Fields, G.A.H. (1991). Laboratory Methods for the Diagnosis of Sexually Transmitted Diseases, Second
Edition, American Public Health Association.
6. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat & Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
(2003). Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Jakarta.
7. Arikunto, Suharsimi. (1993). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Kesembilan.
Jakarta: Rineka Cipta.
8. Leroy et al. (2009). Strategic Guidance for Evaluating HIV Prevention Programmes.
9. Arikunto, Suharsimi. (1993). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Kesembilan.
Jakarta: Rineka Cipta.
10. WHO. (1989) dalam UNFPA dan BKKBN. (2002).
53