Sei sulla pagina 1di 7

Penanganan hipertensi, ‘silent killer’ yang dianggap sudah biasa

Khory Aurora Berty


G1A116029
Fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan Universitas Jambi
2018

Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang umum ditemui dimasyarakat.


Lebih dari setengah orang dewasa dengan umur >60 tahun mengalami hipertensi baik
ensensial atau primer maupun sekunder. Hipertensi esensial biasanya tidak diketahui
penyebabnya sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang ditimbulkan oleh
penyakit yang sudah dimiliki pasien seperti sindroma nefritik sindroma nefrotik, hipertiroid,
gagal ginjal kronik, phaeochromositoma, hiper aldosteronisme, termasuk disebabkan juga
oleh keadaan pre-eklampsia.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi
peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang
mempunyai tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg .1 Terdapat dua faktor resiko pada
penyakit hipertensi yaitu faktor yang tidak dapat diubah atau dikontrol dan faktor yang dapat
diubah atau dikendalikan. Faktor yang tidak dapat diubah adalah riwayat keluarga dengan
hipertensi, umur, ras dan etnik dan penyakit diabes mellitus. Sedangkan faktor yang dapat
diubah atau dikendalaikan adalah obesitas, mengkonsumsi garam, olah raga, mengkonsumsi
alkohol dan merokok .2
Tidak dapat dipungkiri bahwa menjamurnya penyakit tekanan darah tinggi ini
dianggap hal yang biasa bagi masyarakat sehingga banyaknya masyarakat yang acuh tak acuh
dengan kesehatan mereka setelah tau bahwa mereka memiliki penyakit hipertensi karena
tidak disertai dengan gejala gejala yang signifikan. Hal biasa inilah yang para medis sebut
dengan ‘silent killer’, mengapa ? karena sifatnya yang asimptomatik secara diam diam dapat
membahayakan nyawa pasien terlebih jika sudah mengenai organ target dan merusaknya.

Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES


III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya 31%
pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90 mmHg.
Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan kesehatan yang lebih rendah, jumlah pasien
yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi dan yang tidak mematuhi minum
obat kemungkinan lebih besar.3
Meskipun mekanisme regulasi tekanan darah belum diketahui sempurna, pada saat ini
diketahui ada tiga sistem yang sangat berperan dalam homeostasis tekanan darah. Ketiga
sistem tersebut adalah: sistem saraf simpatis, sistem RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone
System), dan keseimbangan natrium-cairan tubuh (ADH/aldosteron). Hal yang perlu diingat
dalam penatalaksanaan hipertensi adalah bahwa patofisiologi peningkatan tekanan darah pada
tiap pasien berbeda-beda.4
Faktor risiko kardiovaskular yang perlu mendapatkan perhatian dalam terapi
hipertensi, diantaranya adalah usia lanjut, kelebihan berat badan atau obesitas, dislipidemia
yang ditandai dengan peningkatan kadar LDL ≥ 130 mg/ dL, kadar kolesterol HDL < 40
mg/dL untuk pria dan < 50 mg/ dL untuk wanita, kadar trigliserida ≥ 150 mg/ dL,
peningkatan kadar gula darah puasa, dan resistensi insulin serta diabetes melitus, merokok,
riwayat kejadian kardiovaskular dini dalam keluarga (pria ≤ 50 tahun, wanita > 60 tahun),
gaya hidup tidak sehat (kurang berolah raga, sedentary).4
Para dokter sebaiknya juga mengetahui beberapa petanda awal/subklinis hipertensi
yang harus dideteksi sebelum terjadi kerusakan end-organ. Petanda awal ini umumnya
terjadi pada beberapa organ seperti jantung, vaskular, ginjal dan retina. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan tanda-tanda peningkatan pulse wave velocity, small artery stiff ness,
penebalan intima media (IMT) karotis, kalsifikasi koroner dan disfungsi endotel. Pada ginjal
dapat ditemukan tanda-tanda mikroalbuminuri, (albumin urin 30-300 mg sehari), peningkatan
kadar kreatinin serum serta penurunan eGFR (estimated glomerular fi ltration rate) antara
60- 90 mL/ menit. Pada funduskopi dapat dilihat perubahan pada fundus akibat hipertensi.
Pasien seringkali sudah mengalami kerusakan target organ saat datang berobat, karena
petanda awal hipertensi berlangsung asimptomatik.4
Kerusakan organ target yang perlu mendapatkan perhatian di antaranya pada jantung,
vaskular, ginjal dan otak. Kerusakan jantung seperti penebalan dinding ventrikel kiri (LVH,
left ventricular hypertrophy), disfungsi jantung sistolik dan diastolik, gagal jantung
simptomatik infark miokard, angina pektoris, serta penyakit jantung iskemik. Gangguan
vaskular yang dapat terjadi adalah penyakit arteri perifer, stenosis arteri karotis, serta
aneurisma aorta. Gangguan pada ginjal di antaranya adalah albuminuria (> 300 mg sehari)
dan CKD. Gangguan pada otak seperti riwayat stroke atau TIA (Transient Ischemic Attack).4
Dalam penanganan hipertensi para ahli pada umumnya mengacu pada guideline-
guideline yang sudah ada. Salah satu guideline terbaru dan dapat dijadikan acuan dalam
penanganan hipertensi di Indonesia adalah guideline Joint National Committee 8 (JNC 8)
yang dipublikasikan pada tahun 2008.
Guideline hipertensi evidence-based ini berfokus pada 3 pertanyaan ranking paling
tinggi dari panel yang diidentifikasi melalui teknik modifikasii Delphi yaitu : pada pasien
hipertensi dewasa, apakah memulai terapi farmakologis antihipertensi pada batas tekanan
darah spesifik memperbaiki outcome kesehatan ?, pada pasien hipertensi dewasa, apakah
terapi farmakologis antihipertensi dengan target tekanan darah spesifik memper baiki
outcome?, pada pasien hipertensi dewasa, apakah pemberian obat hipertensi dari kelas dan
jenis berbeda mempunyai outcome manfaat dan risiko yang berbeda ?
Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi berdasarkan
refleksi tiga pertanyaan diatas :5
1. pada populasi umum berusia ≥ 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg atau tekanan
darah Diastolik ≥ 90 mmHg dengan target sistolik < 150 mmHg dan target
diastolik < 90 mmHg. (Strong Recommendation Grade A).
pada populasi umum berusia ≥ 60 tahun, jika terapi farmakologis hipertensi
menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah (misalnya < 140 mmHg) dan
ditoleransi baik tanpa efek samping kesehatan dan kualitas hidup, dosis tidak perlu
disesuaikan. (Expert Opinion - Grade E).
2. Pada populasi umum < 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan
darah dimulai jika tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg dengan target tekanan
darah diastolik < 90 mmHg (untuk usia 30-59 tahun Strong Recommendation -
Grade A ; untuk usia 18-29 tahun Expert Opinion - Grade E).
3. Pada populasi umum < 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan
darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target tekanan darah
sistolik <140 mmHg.(Expert Opinion – GradeE).
4. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah
sistolik <140 mmHg dan target tekanan darah diastolik <90 mmHg ( Expert
Opinion- Grade E).
5. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik < 140
mmHg dan target tekanan darah diastolik < 90 mmHg (Expert Opinion - Grade
E).
6. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide, calcium channel
blocker ( CCB ), angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau
angiotensin receptor blocker (ARB). (Moderate Recommendation - GradeB).
7. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide atau CCB. (Untuk
populasi kulit hitam: Moderate Recommendation -Grade B, untuk kulit hitam
dengan diabetes: Weak Recommendation - Grade C).
8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau ARB untuk
meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien penyakit ginjal
kronik dengan hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes. (Moderate
Recommendation - Grade B).
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target
tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan,
tingkatkan dosis obat awal atau tambah-kan obat kedua dari salah satu kelas yang
direkomendasikan dalam rekomendasi 6 (thiazide-type diuretic, CCB, ACEI, atau
ARB). Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen
perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan darah tidak
dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang
tersedia. Jangangunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika
target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat di dalam rekomendasi
6 karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat
antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis hipertensi mungkin
diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat tercapai dengan strategi di atas
atau untuk penanganan pasien komplikasi yang membutuhkan konsultasi klinis
tambahan. (Expert Opinion - Grade A).
Kesembilan rekomendasi ini diringkas menjadi 1 algoritma penanganan hipertensi.
Golongan diuretik adalah pilihan pertama pada pengobatan hipertensi pada usia
lanjut, tetapi perlu pemantauan khusus dikarenakan sensitifitas mereka terhadap diuretik,
pilihan pertama lain yaitu golongan calcium channel blocker (CCB) , ACE inhibitor (ACE
I) , dan angiotensin II receptor blocker (ARB) .6
Beberapa studi menyeutkan bahwa golongan ARB memili efek yang lebih poten
untuk pasien hipertensi dibandingkan dengan golongan yang lain. Angitensinogen II
dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone
System) yang melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti
chymase. ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS,
dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaan ini,
ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II. ARB menghambat secara
langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II
yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik,
pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak
memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari
stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel)
tetap utuh dengan penggunaan ARB.6
Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target
jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh
ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan
tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis
diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis.
Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB.
Seperti ACEI, kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1
x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek
dan diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah. ARB
mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya.
Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI.
Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan
hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada penggunaan
ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi cross-reactivity telah
dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada perempuan hamil.6
Studi dengan candesartan yang merupakan salah satu obat golongan ARB pada
sukarelawan sehat dan pasien hipertensi telah menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik
dan diastolik yang signifikan dan berlangsung lama.Dalam studi dosis ganda dengan pasien
hipertensi, tidak ada perubahan fungsi metabolik yang signifikan secara klinis, termasuk
kadar kolesterol total, trigliserida, glukosa, atau asam urat. Observasi yang sama diamati
dalam penelitian 12 minggu terhadap 161 pasien dengan diabetes melitus dan hipertensi non-
insulin (tipe 2).7
Dosis awal yang dianjurkan dari Candesartan untuk sebagian besar hasil dengan
tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah Candesartan 16 mg sekali sehari. Berdasarkan
respons tekanan darah atau efek samping candesartan, dosisnya bisa meningkat atau
menurun. Dengan setiap perubahan dosis, diperlukan beberapa minggu untuk melihat efek
penuh Candesartan pada penurunan tekanan darah.7
Kebanyakan orang memerlukan dosis akhir Candesartan 2 mg sampai 32 mg baik
sebagai satu dosis harian atau dua dosis lebih kecil. Ini tersedia dalam 4 mg, 8 mg, 16 mg,
dan 32 mg.7
Sebuah studi dilakukan oleh Elmfeldt dkk8 untuk melihat kaitan antara dosis dan efek
antihipertensi dari 4 jenis ARB, dengan penilaian pada potensi dan efikasi. Studi ini
menggunakan data yang tidak dibiasa. Tujuan yang lebih spesifik adalah menilai
kemungkinan efek terbesar yang mungkin timbul dari masing-masing ARB, misalnya efek
dari dosis yang tidak terbatas (Emax) yang bisa diperkirakan melalui hubungan respon dan
dosis. Metaanalisis ini juga bertujuan untuk menguji hipotesa tentang superioritas
candersartan dalam mengurangi tekanan darah diastolik. Hipotesa ini muncul dari studi head-
to-head dengan losartan valsartan, dan secara tidak langsung dengan irbesartan.
Studi ini menggunakan data milik FDA, yakni dalam file New Drug Application (NDA).
Dalam proses regristasi obat baru, FDA akan melihat akan kembali semua studi yang tersedia
dengan aplikasi NDA. Dokumen hasil review dan persetujuan FDA bisa diperoleh melalui
Freedom of Information Officer, salah satu bagian FDA. Dokumen ini terdiri dari review dan
evaluasi dari semua studi yang masuk kedalam NDA. Masing-masing studi dilengkapi
dengan informasi tentang tujuan obyektif, desain studi, populasi pasien, metode, dan hasil
studi.9
Analisa tentang kaitan dosis dan efek antihipertensi dari 4 jenis ARB diperoleh dari
evaluasi FDA terhadap losartan, valsartan, irbesartan, dan candersartan. Semuanya
merupakan studi RCT. Semua studi memiliki populasi pasien yang mirip ( pria maupun
wanita dewasa dengan hipertensi diastolik primer skala ringan-sedang , dan DBP tipikal 95-
114 mmHg).9
Hanya ada satu studi yang langsung membandingkan losartan dan candersartan yang
tidak bisa menunjukkan perbedaan efek candersartan lebih signifikan dalam menekan tekanan
darah. Bahkan penelitian Colin dkk tidak menemukan perbedaan efek antara beberapa ARB.
Ini juga harus diberi catatan bahwa metaanalisis mereka hanya berdasarkan studi-studi yang
dipublikasikan sebelum waktu yang seharusnya. Dan memang hanya sedikit studi head-to-
head yang membandingkan beberapa jenis ARB. Termasuk belum pernah dilakukan studi
head-to-head antara candersartan dan irbesartan. Berdasarkan perbandingan head-to-head
antara candersartan dan losartan, maka dapat disimpulkan bahwa efek antihipertensi
candersartan lebih superior daripada losartan, pada dosis yang direkomendasikan.9

Jadi terapi hipertensi pada saat ini mengacu pada guideline yang sudah ada
sebelumnya, yaitu yang terbaru adalah JNC 8. Obat yang paling ampuh untuk hipertensi
berdasarkan penelitian-penelitian para ahli adalah dari golongan ARB yaitu candesartan
dimana obat ini memiliki efek samping minimal dan sangat poten jika diberikan dalam dosis
yang sesuai. Namun hal ini bukan berati obat ini dapat digunakan oleh semua golongan dan
berbagai kategori, untuk pasien yang memiliki komplikasi tertentu perlu dipertimbangkan
obat yang benar-benar cocok untuk kondisi pasien.

Sumber :

1.
Wolff, 2008, Hipertensi; Cara mendeteksi dan Mencegah Tekanan Darah Tinggi Sejak Dini
(Terjemahan), PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta
2.
William L, 2008, Understanding Medical Surgical Nursing, Third Edition F.A Davis Company,
America
3.
Muchsin, umar, chusun dkk. 2006. Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi. Direktorat bina
farmasi komunitas dan klinik,ditjen bina kefarmasian dan alat kesehatan ,departemen kesehatan.
4.
Tedjasukmana, Pradana.2012. Tatalaksana hipertensi. Departemen Kardiologi, RS Premier Jatinegara
dan RS Grha Kedoya, Jakarta, Indonesia
5.
Muhadi.2016. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi Dewasa. Divisi
Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta, Indonesia
6.
Gunawan, Yokebed Christina . Kajian interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi geriatri di
instalasi rawat jalan rumah sakit panti nugroho yogyakarta periode januari –juni 2016. Universitas
santa dharma. 2016
7.
Husain Asif, Md .2001. A Review on Candesartan: Pharmacological and Pharmaceutical Profile.
Department of Pharmaceutical Chemistry, Faculty of Pharmacy, Jamia Hamdard (Hamdard
University), Hamdard Nagar, New Delhi-110062, India.
8.
Karlson BW1, Zetterstrand S, Olofsson B, Elmfeldt D. 2009.A dose-response analysis of candesartan-
hydrochlorothiazide combination therapy in patients with hypertension.Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19462314 pada tanggal 11 februari 2018.
9.
Studi Metaanalisis: Candersartan Superior dibandingkan ARB lain. Majalah Farmacia. Agustus, 2008.
Diakses melalui
http://www.jantunghipertensi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=98&Itemid=27
pada tanggal 11 februari 2018.

Potrebbero piacerti anche