Sei sulla pagina 1di 27

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
BAB I
PENDAHULUAN

A. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Hal –hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan,
dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis
dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory
sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu
kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat.
Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah
vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi
tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.

B. INDIKASI.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,
bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan
setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.

C. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri
punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan
dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.

D. PERSIAPAN PASIEN
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent)
meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan
fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan
adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.

E. PERLENGKAPAN
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan
resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai
dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar
dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis
yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau
Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil
banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
F. TEKNIK ANESTESI SPINAL
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah
untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada
kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus
lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata
lumbalis (interlumbal). Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah
punggung pasien. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.
Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikkan obat anestetik
local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk
memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan,
nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan
saraf, serta anestesi spinal total.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mioma Uteri
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot polos
rahim atau dapat disebut juga dengan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus
dan jaringan ikat yang menopangnya. Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui
secara pasti. Namun mioma uteri jarang sekali ditemukan sebelum usia pubertas
karena sangat dipengaruhi hormone reproduksi dan hanya bermanifestasi selama usia
reproduktif. Mioma tumbuh cepat saat penderita hamil atau terpapar esterogen dan
mengecil atau menghilang setelah menopause. Pada kehamilan mioma membesar saat
bulan-bulan pertama dan mengalami degenerasi merah yang diakibatkan oleh
thrombosis yang diikuti dengan terjadinya bendungan vena dan perdarahan sehingga
menyebabkan perubahan warna merah pada mioma, disebut dengan karneosa pada
masa hamil atau nifas serta torsio dengan akut abdomen.

B. Anatomi uterus
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di atas
penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur silindris di
bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri. Uterus adalah
organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan
ketebalan 2,5 cm. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah ligamentum broad
yang terletak diantara rektum dan kandung kemih, ligamentum tersebut menyangga
uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan dengan baik. Bagian korpus atau badan
hampir seluruhnya berbentuk datar pada permukaan anterior, dan terdiri dari bagian
yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian atas korpus, terdapat bagian
berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina disebut fundus. Serviks berada
pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan dengan korpus oleh ismus. Sebelum
masa pubertas, rasio perbandingan panjang serviks dan korpus kurang lebih
sebanding; namun setelah pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS

Gambar 2.1. Anatomi Uterus


C. Etiologi
Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui. Mioma jarang sekali ditemukan
sebelum usia ubertas, karena sangat dipengaruhi oleh hormon reproduksi dan hanya
bermanifestasi selama usia reproduksi. Ukuran rerata mioma uteri adalah 15 cm tetapi
cukup banyak yang melaporkan kasus mioma uteri dengan berat mencapai 45 kg.
Walaupun seringkali asimtomatik, gejala yang mungkin ditimbulkan sangat
bervariasi seperti metrorragia, nyeri, menorrhagia, hingga infertilitas. Tidak ada bukti
yang kuat bahwa esterogen menjadi penyebab mioma, meskipun telah diketahui
bahwa hormone menjadi prekusor pertumbuhan miomatosa. Konsentrasi reseptor
esterogen dalam jaringan mioma memang lebih tinggi dibanding myometrium
sekitarnya tetapi lebih rendah dibanding dengan endometrium. Mioma tumbuh cepat
saat penderita hamil atau terpapar esterogen dan mengecil atau menghilang setelah
menopause.

D. Klasifikasi
Mioma uteri berasal dari miometrium dan klasifikasinya dibuat berdasarkan
lokasinya, yaitu:
1. Mioma submukosa
Mioma submukosa menempati lapisan di bawah endometrium dan menonjol
ke dalam kavum. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
endometrium menyebabkan terjadinya perdarahan irregular. Mioma jenis ini dapat
bertangkai panjang sehingga dapat keluar melalui ostium serviks. Yang harus
diperhatikan dalam menangani mioma bertangkai adalah kemungkinan terjadi
torsi dan nekrosis sehingga resiko infeksi sangat tinggi.
2. Mioma intramural atau interstisiel
Mioma ini berkembang diantara serabut myometrium atau mioma yang
terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Sewaktu tumbuh, mioma
intramural dapat menghasilkan komponen subserosa atau submukosa atau
keduanya yang signifikan. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya
akan terdesak dan terbentuklah semacam simpai yang mengelilingi tumor. Bila di
dalam dinding Rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai
bentuk yang berbenjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak di
dinding depan uterus dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong
kandung kemih ke atas sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
3. Mioma subserosa
Mioma subserosa tumbuh di lapisan serosa uterus dan dapat tumbuh kearah
luar dan dapat bertangkai. Namun jika vaskularisasinya berasal dari pembuluh
darah omental maka tangkai yang menghubungkan mioma ini dengan uterus akan
mengalami atrofi dan diresorbsi dan selanjutnya disebut fibroma wandering/
parasitic.
4. Mioma servikal
Mioma ini terletak di dekat leher rahim dan dapat menjadi pedunkulatum atau
menonjol keluar dari serviks dan menjadi terinfeksi. Mioma ini dapat masuk lagi
kedalam uterus karena kehamilan.

Gambar 2.2. Lokasi Mioma Uteri


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS

E. Patogenesis
Faktor yang mengawali terjadinya mioma uteri tidak diketahui secara pasti,
namun diketahui bahwa hormon steroid ovarium sangat mempengaruhi
pertumbuhannya, Mioma uteri jarang terjadi sebelum menarche kecuali bila ada
stimulasi dari pemberian hormon secara eksogen. Mioma uteri dapat membesar secara
dramatik saat kehamilan.
Mioma uteri memiliki sejumlah reseptor esterogen dan progesteron yang lebih
banyak dibandingkan sel otot polos lain. Esterogen memicu proliferasi sel otot polos
dan progesteron meningkatkan produksi protein yang mengganggu proses apoptosis.
Mioma uteri juga memiliki kandungan “Growth Factor” yang lebih tinggi
sehingga mampu menstimulasi produksi fibronektin dan kolagen (komponen utama
matriks yang khas untuk mioma uteri).

F. Degenerasi
Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat
degenerasi. Perubahan sekunder tersebut antara lain:
1. Degenerasi jinak
a. Atrofi : ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah
persalinan atau menopause
b. Hialin : terjadi pada mioma yang telah matang, dimana bagian yang semula
aktif tumbuh kemudian terhenti akibat kehilangan pasokan nutrisi dan berubah
warnanya menjadi kekuningan, melunak atau melebur menjadi cairan gelatin
sebagai tanda terjadinya degenerasi hialin
c. Kistik : setelah proses hialinsasi, terjadi perubahan konsistensi mioma menjadi
kistik
d. Kalsifikasi : umumnya terjadi pada mioma subserosa yang rentan terhadap
deficit sirkulasi yang dapat menyebabkan pengendapan kalsium karbonat dan
fosfat di dalam tumor
e. Septik : bagian mioma yang mengalami nekrosis berlanjut dengan proses
infeksi yang ditandai dengan nyeri, kaku dinding perut dan demam akut
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
f. Kaneus : disebut juga degenerasi merah yang diakibatkan oleh thrombosis
yang diikuti dengan terjadinya bendungan vena dan perdarahan sehingga
menyebabkan perubahan warna mioma
g. Miksomatosa : disebut juga degenerasi lemak yang terjadi setelah proses
degenerasi hialin dan kistik.
2. Degenerasi ganas
a. Transformasi kearah keganasan (menjadi miosarkoma)

G. Manifestasi Klinik
Keluhan penderita tentang mioma uteri tergantung pula dari lokasi atau jenis
mioma yang diderita.
1. Perdarahan uterus abnormal
Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus haid yang
teratur dan tidak teratur. Menorrhagia atau metrorrhagia sering terjadi pada
penderita mioma uteri. Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia
defisiensi besi. Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh
hambatan pasokan darah endometrium, tekanan, dan bendungan pembuluh darah
di area tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium diatas tumor.
2. Nyeri

Nyeri lebih banyak terkait dengan proses degenerasi akibat oklusi


pembuluh darah, infeksi , torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus. Gejala
abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya infark atau
degenerasi merah yang mengiritasi selaput peritoneum. Mioma yang besar dapat
menekan rectum sehingga menimbulkan sensasi mengedan. Nyeri pinggang dapat
terjadi pada penderita mioma yang menekan persyarafan yang berjalan di atas
permukaan tulang pelvis.
3. Efek penekanan

Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan pada organ
sekitar. Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan berkemih, defekasi,
maupun dispareunia.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis

Diagnosis mioma uteri dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang


kemudian diperkuat dengan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis perlu ditanyakan
tentang riwayat perdarahan pada siklus haid, apakah didapatkan menorrhagia atau
metrorrhagia, dan ada tidaknya nyeri perut serta paritas.
2. Pemeriksaan abdomen

Pada pemeriksaan abdomen, akan terlihat massa yang menonjol atau bila
ukuran mioma besar maka akan teraba seperti bagian janin.
3. Pemeriksaan bimanual

Diagnosa akan lebih jelas bila dilakukan pemeriksaan dalam maka akan
teraba permukaan uterus yang berbenjol akibat penonjolan massa maupun adanya
pembesaran uterus.
4. Ultrasonografi abdominal atau transvaginal (USG abdominal atau transvaginal)

USG abdominal digunakan untuk memperkuat kecurigaan mioma


uteri.USG juga digunakan untuk menentukan lokasi mioma, ketebalan
endometrium dan keadaan adnexa dalam rongga pelvis.

I. Terapi
Pilihan terapi tergantung dari usia pasien, paritas, status kehamilan, harapan
pada kehamilan selanjutnya, keadaan umum, keluhan penderita, ukuran myoma,
lokasi dan derajat perkembangan myoma.
1. Penatalaksanaan emergensi
Transfusi darah diperlukan untuk penatalaksanaan anemia. PRC diberikan
pada pasien dengan anemia kronis sebab bila diberikan WB akan menyebabkan
gagal jantung akut. Penatalaksanaan bedah dilakukan jika kondisi hemodinamik
telah stabil. Namun demikian, penatalaksanaan bedah segera dilaksanakan pada
kasus infeksi, torsi akut dan obstruksi intestinal yang disebabkan oleh myoma
parasitik atau myoma bertangkai. Myomektomi merupakan kontraindikasi pada
kehamilan, kecuali terjadi torsi.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
2. Penatalaksanaan spesifik
a) Pada wanita yang tidak hamil
Pada beberapa instansi myoma tidak selalu memerlukan penatalaksanaan
jika asimtomatis atau penderita adalah wanita post menopause. Tetapi
pemeriksaan rutin tetap dilakukan tiap 6 bulan.
Walaupun belum ada terapi definitif untuk myoma namun agonis GnRH
terbukti dapat membatasi pertumbuhan myoma. Secara klinis agonis GnRH
berguna untuk mengendalikan perdarahan, kecuali pada myoma submukosa
yang polipoid (menjadi lebih buruk). Efek samping agonis GnRH adalah
menopause buatan sehingga hanya digunakan sementara. Pemberian agonis
GnRH (Leuprorelin acetate) seperti tapros atau endrolin tiap 4 minggu selama 6
bulan pada myoma uteri menghasilkan degenerasi hyalin sehingga myoma
menjadi relatif lebih kecil. Indikasi pemberian agonis GnRH adalah persiapan
preoperatif (myomektomi) pada wanita yang masih ingin punya anak dengan
myoma yang besar, penderita myoma dengan anemia dalam terapi sebelum
pembedahan, wanita yang akan menopause dan menolak pembedahan, penderita
dengan kontraindikasi penatalaksanaan bedah.
Beberapa ginekologis berpendapat bahwa jika pembesaran uterus
menyerupai uterus saat umur kehamilan lebih dari 12-14 minggu maka
diperlukan penatalaksanaan bedah. Myoma servikalis dengan diameter 3-4 cm
sudah harus diambil untuk menghindari kesulitan pada masa yang akan datang.
ekstirpasi myoma harus mempertimbangkan ukuran dan lokasi myoma serta
kemungkinan adanya penyakit pelvis yang lain, misalnya Pelvic Inflammatory
Disease (PID) dan endometriosis.
b) Pada wanita hamil
Pasien dengan riwayat myomektomi multipel biasanya mempunyai kavum
endometrium yang tidak mudah ruptur. Histerektomi yang dilakukan bersamaan
dengan Cesarian Section (SC) merupakan jalan keluar bagi wanita yang tidak
ingin punya anak lagi.
c) Pada wanita dalam masa nifas
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
Penatalaksanaan bedah dilakukan setelah minggu ke-12 post partum
sehingga vakularisasi uterus telah kembali seperti sebelum hamil, uterus telah
berinvolusi dan regresi dari tumor telah lengkap.
Semua pasien harus diperiksa Papanicolaou Smear servikal. Sebelum
penatalaksanaan bedah definitif dilaksanakan maka status hemodinamik harus
stabil, antibiotik profilaksis dan heparin harus sudah dipersiapkan.

3. Penatalaksanaan Bedah
Indikasi penatalaksanaan bedah adalah perdarahan uterus abnormal yang
menyebabkan anemia dan tidak responsif terhadap terapi hormonal, nyeri abdomen
yang berat dan berkelanjutan, gangguan sistem dan atau organ perkemihan,
infertilitas, serta ukuran uterus yang terus membesar.
Pemeriksaan radiologis harus diikuti biopsi endometrial untuk
menyingkirkan tumor pelvis yang lain. Biopsi endometrial dapat digantikan
histeroskopi pada kasus-kasus yang sulit. Kuretase fraksional dilakukan bila ada
kecurigaan kanker endometrial.
Myomektomi rutin dilakukan pada myoma yang simtomatis dan pasien
yang masih ingin punya anak. Pada myoma submukosa dilakukan dengan
histeroskopi, namun pada myoma subserosa dilakukan dengan laparoskopi.
Myoma geburt dapat dilakukan ekstirpasi per vaginam. Bila didapati kesulitan pada
metode ekstirasi tersebut maka dilakukan biopsi untuk menyingkirkan
leiomyosarcoma atau sarcoma mesodermal. Pada kasus ini diperlukan antibiotik
profilaksis.
Uterus dengan myoma yang relatif kecil dapat dilakukan penatalaksanaan
total vaginal histerektomi atau parsial vaginal histerektomi bila dikhawatirkan akan
adanya sistokel, rektokel atau enterokel. Namun bila ditemukan myoma yang besar
atau interligamenter maka penatalaksanaannya adalah total abdominal histerektomi
dan disertai oophorektomi jika ovarium mengalami gangguan vaskularisasi.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
J. Komplikasi
a. Myoma uteri dan kehamilan
Myomektomi telah terbukti meningkatkan kemungkinan terjadinya konsepsi
sebanyak 40% wanita infertil setelah melakukan eksklusi terhadap penyebab
infertilitas yang lain.
Myoma mengalami penambahan ukuran selama trimester ke-2 dan ke-3.
keluhan penderita berupa nyeri dan kekakuan perut yang terlokalisasi dan dapat
juga menginduksi persalinan preterm. Tirah baring dan narkotika digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri. Tokolitik digunakan untuk mengurangi kontraksi uterus.
Jika satu episode akut dapat terlewati maka pasien biasanya dapat melalui sisa
kehamilan tanpa komplikasi lebih lanjut.
Dalam persalinan myoma dapat menyebabkan inersia uteri, malpresentasi
janin, atau obstruksi jalan lahir. Seharusnya seiring dengan pertambahan ukuran
myoma terdorong ke kavum pelvis sehingga persalinan pervaginam mungkin
dilakukan. Namun jika hal tersebut tidak terjadi maka Cesarian Section (SC)
merupakan satu-satunya jalan keluar. Myoma uteri sangat mempengaruhi
kontraksi uterus sehingga pemantauan perdarahan post partum harus dilakukan
secara rutin.
b. Myoma pada pasien tanpa kehamilan
Perdarahan hebat yang disertai anemia adalah komplikasi yang paling sering
terjadi. Obstruksi intestinal maupun obstruksi urinaria sering terjadi pada myoma
yang besar atau parasitik. Transformasi menuju keganasan jarang terjadi.
Penggunaan estrogen pada wanita dengan myoma post menopause harus
dengan dosis yang lebih kecil untuk mengendalikan keluhan pada penderita.
Ukuran myoma pada pasien tersebut harus diperiksa dengan pemeriksaan pelvis
setiap 6 bulan dan dengan pemeriksaan radiologis bila perlu. Hal yang sama
berlaku pada pengguna kontrasepsi hormonal premenopause dengan myoma.

K. Prognosis
Pada histerektomi yang mengangkat semua mioma maka hal tersebut bersifat
kuratif. Rekurensi mioma pada miomektomi mencapai 15-40% dan sepertiga dari
jumlah ini membutuhkan penatalaksanaan bedah lebih lanjut.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
A. ANESTESI PADA HISTERECTOMY
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal /
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis
menderita mioma uteri dan akan dilakukan histerectomy dengan anestesi spinal.
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau
L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan , misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk kecil 27 G atau 29 G,
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa
semprit 10 cc. Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat
berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan
obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 900 biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6
cm.

Pada tindakan anestesi diberikan premedikasi berupa ondansetron 4 mg i.v ,


pada induksi anastesi disuntikan secara SAB pada vertebra lumbal 3-4 obat yang
digunakan adalah bupivacain 20mg, kemudian untuk menjaga oksigenasi diberikan
O2 3L/m. Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan
mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak
nyaman. Induksi anastesi pada kasus ini adalah dengan menggunakan anastesi lokal
yaitu bupivacain 20 mg , bupivacain merupakan obat anastesi lokal yang
mekanismenya adalah mencegah terjadinya depolarisasi pada membran sel saraf pada
tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan
asetil kolin sehingga membran tetap semipermeabel dan tidak terjadi perubahan
potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf tersebut berhenti
sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem saraf pusat. Hal
ini menimbulkan parestesia, sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblock. Pemberian O2 3 liter/menit
adalah untuk menjaga oksigenasi pasien.
Komplikasi tindakan pada analgesia spinal berupa hipotensi berat akibat blok
simpatis sehingga terjadi venous pooling, bradikardia, hipoventilasi akibat paralisis
saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas, trauma pembuluh darah

B. PENGAWASAN SELAMA DAN SETELAH PEMBEDAHAN


Kemajuan dalam bidang mikro-elektronik dan bio-enjinering memungkinkan
pengawasan lebih efektif dan dapat mengetahui peringatan awal dari masalah
potensial, sehingga dapat dengan cepat mengerjakan hal-hal yang perlu untuk
mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Pengawasan selama operasi
merupakan hal yang bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi efek samping dari
obat atau tindakan anestesi.
Selain itu, dengan melakukan pengawasan yang legeartis juga memiliki tujuan
untuk memperoleh informasi mengenai fungsi organ selama anestesi berlangsung.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
Pengawasan yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap
penderita, akan tetapi tidak menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Perlengkapan dalam
pengawasan minimal yaitu meliputi stetoskop, manset tekanan darah, EKG,
oksimeter, dan termometer.
Sedangkan hal-hal minimal yang harus diawasi antara lain meliputi:
1. Tekanan Darah
2. Nadi
3. Jantung
4. Keadaan cairan
5. Suhu tubuh
Pada pengawasan pasca operasi sebenarnya memiliki prinsip-prinsip:
 Mencegah kekurangan oksigen
 Memberikan antidotum, apabila ada kemungkinan masih adanya pengaruh obat-
obat relaksasi otot
 Pipa endotrakea masih terpasang apabila dinilai pernapasan masih belum cukup
baik
 Posisi penderita harus diperhatikan misalnya penderita dimiringkan untuk
mencegah terjadinya sumbatan oleh lidah atau muntahan
 Perdarahan selama operasi haru segera diganti terutama apabila perdarahan
melebihi 10%
 Usahakan menjaga temperatur penderita.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. Rohaeti
No CM : XXXXX
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
BB : 62 kg
Agama : Islam
Alamat : Singosaren Kidul, Wirobrajan, Yogyakarta
Tanggal masuk : 30 Oktober 2016

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit
1. Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir ±1 bulan disertai nyeri
2. Keluhan tambahan :-
3. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke Poli Obstetri dan Ginekologi RSUD
Jogja dengan keluhan terjadi perdarahan dari jalan lahir ±1 bulan disertai nyeri. Pasien
juga mengeluhkan selama 13 tahun menikah belum dikaruniai anak. Tidak ada gangguan
lain yang menyangkut keluhan pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat penyakit alergi obat disangkal
 Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat operasi dan pembiusan disangkal
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6
Vital sign : TD : 120/70 mmhg
Nadi : 86 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 24x/menit
Suhu : 36, 6 C
Antropometri : TB : 100
BB : 60

Primary survey :
A : clear, MP I
B : spontan, SD vesikuler Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 24x/menit
C : N : 86 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 120/70 mmHg, S1>S2
murmur (-) gallop (-)
D : GCS E4M6V5

2. Pemeriksaan kepala
Bentuk : : Mesochepal, simetris, rambut warna hitam, tersebar
merata, dan tidak mudah dicabut
Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-. RC +/+
Pupil isokor, Ǿ 3mm
Telinga : NCH ( - ), discharge ( - )
Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-).
Mulut : Sianosis ( - ), bibir kering (-),pembesaran tonsil (-)

3. Pemeriksaan leher : Simetris,tidak ada deviasi trakea, pembesaran KGB (-)


4. Pemeriksaan dada
Paru : SD.vesikuler , wheezing -/- , rhonki -/-
Jantung : S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )
Dinding dada : simetris , destruksi ( - )
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
5. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : Supel, datar
Hepar/lien : Tidak teraba
Usus : Bising usus ( + ) Normal

6. Pemeriksaan punggung
Columna vertebra : Tidak Ada Kelainan
Ginjal : Nyeri ketok ginjal (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Oktober 2016
PARAMETER HASIL NILAI UNIT
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Leukosit 8,3 4.0-10 10e3/ul
Eritrosit 3,16 4.00-5.50 10e3/ul
Hemoglobin 9,0 11.0-16.0 gr/dl
Hematokrit 30,1 32-44 %
MCV 74,1 81-99 Fl
MCH 20,9 27-31 Pg
MCHC 28,2 33-37 Gr/dl
Trombosit 312 150-450 10e3/ul
Differential Telling Mikroskopis
Neutrofil% 64,2 50-70 %
Lymposit% 12,7 20-40 %
Monosit% 2,0 3-12 %
Eosinofil% 0,9 0,5-5,0 %
Basofil% 0,2 0-1 %
Neutrofil# 7,11 2-7 10e3/ul
Lymposit# 1,07 0,8-4 10e3/ul
Monosit# 0,17 0,12-1,2 10e3/ul
Eosinofil# 0,09 0,02-0,50 10e3/ul
Basofil# 0,01 0-1 10e3/ul
Golongan Darah A
Rhesus Positif
Masa Perdarahan 2’30” <6
Masa Penjendalan 7’30” <12
KIMIA
Glukosa Darah 115 70-140 mg/dl
Sewaktu
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI
- Status fisik ASA I
- Acc. Anestesi

F. LAPORAN ANESTESI PASIEN


Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi
a) Diagnosis pra-bedah : Mioma Uteri
b) Diagnosis post-bedah : Mioma Uteri
c) Jenis pembedahan : Histerectomy
Persiapan Anestesi : Informed concent
Puasa ± 8 jam sebelum Operasi
Jenis anestesi : Regional Anestesi Sub Arakhnoid
Premedikasi anestesi : - (microgram)
Medikasi : Bupivacain Spinal 20 mg intratecal
Ketorolac 30mg intravena
Ondancetron 4mg intravena
Pemeliharaan anestesi : O2 2,0 L/mnt
Teknik anestesi : Spinal ; SAB L3 / L4
 Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk.
 Desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio
L3-L4.
 Blok dengan jarum spinal no.27 pada regio L3-L4.
 LCS keluar (+) jernih.
 Barbotage (+).
Respirasi : Spontan
Posisi : Supine
Infus durante operasi : RL ditangan kanan
Status fisik : ASA I
Induksi mulai : 08.00 WIB
Operasi mulai : 08.10 WIB
Operasi Selesai : 09.10 WIB
Berat Badan : 62 Kg
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
Lama Operasi : 1 jam
Pasien puasa : 8 jam
Input durante operasi
 Ringer Laktat = 1500 cc

Tekanan darah dan frekuensi nadi :


Pukul (WIB) Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)
08.00 130/70 80
08.05 134/74 74
08.10 128/78 73
08.15 128/78 73
08.20 130/80 71
08.25 134/85 70
08.30 125/72 72
08.35 128/78 73
08.40 125/72 75
08.45 125/72 75
08.50 128/78 80
08.55 125/72 83
09.00 120/68 82
09.05 128/78 85
09.10 125/72 85

Monitoring Post Operatif (Ruang Pemulihan)


Pukul (WIB) Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)
09.10 119/82 86
09.20 125/85 85
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
G. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN
Perawatan bangsal
Masuk Tanggal : 1 November 2016
Jam : 11.00 WIB
Airway : Clear
Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-
Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )
Disability : GCS ; E4 V5 M6
Instruksi post operasi  observasi : Selama 24 jam
1. Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan
2. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan kiri, tak
boleh duduk
3. Ukur TD dan N tiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD < 90 beri efedrin 10
mg, bila N<60 beri SA 0,25 mg
4. bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit
5. bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi
Prognosis : Dubia ad Bonam

H. PEMANTAUAN ANESTESI
1. Preoperatif
Pasien datang dengan keluhan keluhan terjadi perdarahan dari jalan lahir ±1
bulan disertai nyeri. Pasien diputuskan dirawat di bangsal Kenanga. Setelah keadaan
umum pasien membaik, pasien dipersiapkan untuk operasi tanggal 31 Oktober
2016.
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA I, serta ditentukan
rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik Sub
Arachnoid Block.
Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi
regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi L3-L4 memberikan
efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi Histerectomy.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
Dibanding dengan general anastesi, regional anastesi dapat menurunkan insidens
terjadinya post-operative venous trombosis.

2. Durante operatif
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan
operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian
tubuh inferior saja.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah Bupivacaine Hcl 20
mg. Bupivacaine spinal dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl
merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi
rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi
elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan
potensial aksi. Durasi analgetik pada L3-L4 selama 2-4 jam, dan Bupivakain Hcl
spinal menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama
2- 2,5 jam. Selain itu Bupivakain Hcl juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua
jaringan yang terkena.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac 30 mg/ml sebanyak 1 ampul (1 ml)
disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama
serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas
pada clinicaal trial pemberian ketorolac dosis pakai ketorolac untuk pasien giatri (>
65 tahun) adalah titik lebih dari 60 mg/hari dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30
mg mrp dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik.
Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara ketat 4
aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi, monitoring
lapangan operasi, dan monitoring lingkungan operasi.
3. Postoperatif
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih
dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien
dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
dengan 1 bantal, minum banyak air putih serta tetap diawasi vital sign selama 24
jam post operasi.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA I karena
penderita berusia 51 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
dan biokimia. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional dengan
blok spinal.
Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan
pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang
refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron
diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi.
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine
sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang
menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki
efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan
dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan
ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS)
bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesic yang
kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Mula kerja
efek analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang
dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek
analgesic adalah 4-6 jam.
Pada pengelolaan cairan selama 1 jam operasi, pasien diberikan cairan sebanyak 1500
cc yang terdiri dari 3 RL. Menurut perhitungan teoritis, pemberian cairan dilakukan
berdasarkan perhitungan pengeluaran cairan dan maintanance cairan. Berikut perincian pada
1 jam pertama :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 62 x 2 cc = 124 cc
2. Pengganti Puasa = 8 x 124 = 992 cc
3. Stress operasi 6 cc/kgBB/jam = 62 x 6 cc = 372 cc
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
Jadi kebutuhan cairan jam I : = ½x992 +124+372= 992 cc  2 flab RL
Operasi berlangsung selama 1 jam, sehingga kebutuhan cairan pasien adalah sebanyak
992 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu
sebanyak 500 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 20 % Estimated Blood
Volume (EBV) harus dilakukan tindakan pemberian transfusi darah. Pada pasien ini,
perkiraan perdarahan adalah 500 cc, dimana EBV-nya adalah 4340 cc.
EBV dewasa = 70 cc/kgBB
= 62 x 70 cc = 4340 cc
Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 11,5 %
% EBV = 500/4340 x 100 % = 11,5 %
Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak diperlukan
tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah cukup untuk
menangani banyaknya perdarahan.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 62 x 2 cc = 124 cc/jam
2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20 tetes adalah
124/60 x 20 tetes = 40 tetes/menit
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang berarti,
penderita kemudian dibawa ke bangsal Kenanga untuk dirawat dengan lebih baik. Yang harus
diperhatikan adalah :
a. Pasien berbaring dengan posisi terlentang selama minimal 12 jam pasca operasi
b. Jika pasien sadar penuh dan peristaltic (+) boleh minum / makan sedikit-sedikit setelah
operasi
c. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 1 jam
d. O2 2 liter/menit dengan menggunakan canul O2
e. Cairan infuse RL 30 tetes/menit
f. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
g. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
h. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
i. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
j. Monitor balance cairan
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
BAB V
KESIMPULAN

1. Penderita usia tahun 51 tahun dengan Mioma Uteri dan kondisi pasien tersebut sehat
organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia oleh karena itu digolongkan seagai ASA I.
2. Premedikasi yang digunakan adalah ondansentron 1 ampul untuk mencegah mual dan
muntah
3. Induksi anestesi menggunakan Regivell dengan dosis 1 ampul intratecal
4. Selama perjalanan anestesi, pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti nyeri
5. Pemberian cairan saat operasi berjumlah 992 cc dan cairan di bangsal diberikan 40
tetes/menit
6. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik
dan diberikan instruksi paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang
masih tersisa.
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2016
PRESENTASI KASUS
DAFTAR PUSTAKA

Soenarjo, prof, dkk. Anastesiologi : Bagian anastesiologi dan terappi intensif fakultas
kedokteran undip/ RSUP Dr. Kariadi, 2013. Semarang
Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-
264. 2000. Jakarta.
Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal
Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth
Analg 2003;96:1496-1503.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi
edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.
Latief, said. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI 2. Sari, Irma P. S. 2009.
Anestetika Lokal.
Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari:
http://emedicine.medcape.com
Hariyono, Siswo. 2006. Anetesi regional, aplikasi klinis dan manfaat. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id

Yogyakarta, November 2016


Preceptor,

dr. Aryono Hendrasto, M.Si, Sp.An

Potrebbero piacerti anche