Sei sulla pagina 1di 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tinea korporis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superfisial golongan dermatofita yang biasanya terdapat pada kulit tubuh yang
tidak berambut. Penyakit ini disebabkan oleh jamur dermatofita yang umumnya
berupa Microsporum, Trycophyton atau Epidermophyton. Penyebab infeksi
dermatofita yang paling dominan adalah Tricophyton diikuti Epidermophyton dan
Microsporum, dimana yang paling banyak adalah spesies Tricophyton rubrum
diikuti T.mentagrophytes, M. canis dan T.tonsurans (Verma dan Heffernan,2008).
Dermatofita merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk
melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang
memungkinkan jamur tersebut untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung
keratin, seperti stratum korneum epidermis, rambut dan kuku. Penyakit ini dapat
menyerang semua umur tetapi lebih sering menyerang anak-anak (Havlickova et
al,2008).
Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di
Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan
tinggi.1 Jamur bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air,
pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup
parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis yang menyerang
langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada
dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur
beracun.
Hal-hal tersebut menggabarkan betapa pentingnya mengetahui banyak hal
terkait penyakit tinea korporis. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk
menulis mengenai tinea korporis.
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 63 tahun
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Purbadana 02/02 Kembaran
No. CM : 00936627

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 27 Juni 2018 di Bangsal Kemuning RSUD
Margono Soekarjo pada pukul 11.00 WIB.

Keluhan utama:
Gatal pada bagian perut

Keluhan tambahan:
Gatal meningkat ketika berkeringat

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien bangsal Kemuning dengan diagnosis stroke mengeluhkan gatal di
perut sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya muncul gelembung kecil, berwarna putih
bening seperti jerawat di bagian perut yang terasa sangat gatal dan kemudian
oleh pasien digaruk, kemudian pecah dan meluas sampai seluruh perut dan
tangan. Pasien belum pernah berobat untuk keluhan gatalnya ke dokter manapun.
Rasa gatal akan bertambah bila terkena keringat dan akan berkurang ketika
diberikan bedak yang ada di rumah pasien. Kemudian oleh pasien didiamkan saja,
sehingga lama kelamaan bertambah l uas dan berwarna merah. Pasien bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Pasien mengaku jarang mandi sehari harinya ataupun
setelah melakukan aktivitas. Tidak ada keluarga pasien yang mengalami sakit
seperti ini. Sakit seperti ini sebelumnya (-), riwayat alergi (-), riwayat kencing
manis di keluarga (-), pemakaian sarung tangan dan sepatu bot (+) sewaktu
bekerja.

Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
 Riwayat penyakit kronis lainnya : disangkal
 Riwayat konsumsi imunosupresan jangka panjang : disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal

Riwayat sosial dan ekonomi


Pasien tingal bersama suami dan anaknya. Pasien sehari-hari bekerja sebagai
ibu rumah tangga, suami pasien bekerja sebagai buruh lepas.
C. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36° C
BB/TB : 51 kg/155 cm
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Ottorhea (-)
Hidung : Napas cuping hidung (-) secret (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Dalam batas normal
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

D. Status Dermatologis
1. Lokasi
Regio abdomen
2. Efloresensi
Makula eritema, anular, tersebar difus, berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik
dan agak meninggi, dengan papul dan vesikel di tepi. Daerah tengah relatif
lebih tenang, kuama (+), likenifikasi (+).
Gambar 2.1. Gambaran Klinis Pasien

E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

F. Diagnosis Banding
1. eksema nummular
2. Granuloma anulare
3. Psoriasis

G. Diagnosis Kerja
Tinea Corporis

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Pemeriksaan mikroskopis
2. Kultur
3. Pemeriksaan lampu wood
I. Resume
Pasien Ny. T, usia 63 tahun di bangsal Kemuning dengan diagnosis stroke
mengeluhkan gatal di perut sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya muncul gelembung
kecil, berwarna putih bening seperti jerawat di bagian perut yang terasa sangat
gatal dan kemudian oleh pasien digaruk, kemudian pecah dan meluas sampai
seluruh perut dan tangan. Pasien belum pernah berobat untuk keluhan gatalnya ke
dokter manapun. Rasa gatal akan bertambah bila terkena keringat dan akan
berkurang ketika diberikan bedak yang ada di rumah pasien. Kemudian oleh
pasien didiamkan saja, sehingga lama kelamaan bertambah l uas dan berwarna
merah. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien mengaku jarang mandi
sehari harinya ataupun setelah melakukan aktivitas. Tidak ada keluarga pasien
yang mengalami sakit seperti ini. Sakit seperti ini sebelumnya (-), riwayat alergi
(-), riwayat encing manis di keluarga (-), pemakaian sarung tangan dan sepatu
bot (+) sewaktu bekerja.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 51 kg dan
TB 155 cm. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis
didapatkan makula eritema, anular, tersebar difus, berbatas tegas, pinggir lesi
polisiklik dan agak meninggi, dengan papul dan vesikel di tepi, daerah tengah
relatif lebih tenang, kuama (+), likenifikasi (+).

J. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Cefixime cream 2 x 1
2. Miconazol cream 2 x 1
3. Desoximethasone 0,25%

Edukasi kepada pasien:


1. Menjelaskan tentan penyakit pemfigus vulgaris (penyebab, tanda dan gejala,
komplikasi, pengobatan, serta prognosis)
2. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan
sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
3. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang
dapat menghambat sirkulasi udara.

K. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad komestikum : dubia ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous
skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Verma dan
Heffernan,2008).
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita
yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40
spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit
yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea korporis (Verma dan
Heffernan,2008).
Menurut Arnold et al (1990) berdasarkan pada pejamunya, jamur penyebab
dermatofita diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, dimana pembagian ini juga
mempengaruhi cara penularan penyakit akibat dermatofita ini.
Pengelompokannya yaitu:
 Geofilik yaitu transmisi dari tanah ke manusia
 Zoofilik yaitu transmisi dari hewan ke manusia, contoh Trycophyton simii
(monyet), Trycophyton mentagrophytes (tikus), Microsporum canis (kucing),
Trycophyton equinum (kuda) dan Microsporum nannum (babi).
 Antrofilik yaitu transmisi dari manusia ke manusia.

B. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang
20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering
(Rezvani dan Sefidgar,2010). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat
menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini
relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi)
dan sering terjadi eksaserbasi (Havlickova et al,2008)
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika
Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Universitas Sumatera
Utara Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton
tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton
rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab
terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di Asia penyebab
terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagropytes dan
Tricophyton violaceum (Verma dan Heffernan,2008).
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta adalah T.
rubrum 57,6%, E. floccosum 17,5%, M. canis 9,2%, T.mentagrophytes var.
granulare 9,0%, M. gypseum 3,2%, T. concentricum 0,5% (Made,2001).
Di RSU Adam malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab adalah
dermatofita yaitu: T.rubrum 43%, E.floccosum 12,1%, T.mentagrophytes 4,4%,
dan M.canis 2%,serta nondermatofita 18,5%, ragi 19,1% (C. albicans 17,3%,
Candida lain 1,8%) (Made,2001).

C. Etiologi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita
yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40
spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit
yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea korporis (Verma dan
Heffernan,2008).

D. Patogenesis
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri
dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik
utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen
disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus,
mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan
sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila
bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium (Ryan,2004).
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk
spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang
dibentuk hifa, besarnya antara 1-3µ, biasanya bentuknya bulat, segi empat,
kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan
memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan) (Hay dan Moore,2004).
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang
dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan,
jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi
temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam
lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi
memudahkan masuknya jamur ke epidermis (Verma dan Heffernan,2008).
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik
respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik
merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat
dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus
seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan
respons radang. Respons radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik
terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi
radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat
toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah
lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua
merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama
fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam
respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk respons radang nonspesifik
ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer).
Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur
(Cholis,2001).
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah
jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan
sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai
mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi
amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap
adanya presentasi dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan
dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada
infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara
limfosit dengan antigen (Cholis,2001).

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif
dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya
memberi gambaran yang polisiklik,arsinar,dan sirsinar. Pada bagian pinggir
ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul atau
vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Tinea korporis
yang menahun, tandatanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya
meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja (Verma dan Heffernan,2008). Gejala
subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat
erosi dan krusta akibat garukan (Fransisca,2000).
Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan
binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan
mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi
melalui benda misalnya pakaian, perabot dan sebagainya (M.Goedadi dan
H.Suwito,2001).

F. Penegakan Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk
mendiagnosis tine korporis. Berdasarkan hasil anamnesis, biasanya pasien merasa
gatal pada bagian kulit yang tidak berambut. Rasa gatal akan meningkat jika
berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan
(Fransisca,2000).
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kelainan yang dilihat dalam penampakan
klinis merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya
biasanya tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Leso pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula terlihat sebagai lesi lesi dengan pinggir yang polikistik, karena
beberapa bagian lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang
lebih nyata, lebih sering terlihat pada anak-anak daripada dewasa.
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur,
pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi, dan
pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari
kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit
atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop.
Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang)
yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil
sebesar 1-3µ (Hay dan Moore,2004).
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25-
30⁰C),kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur.
Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk
spora (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak Universitas
Sumatera Utara dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami
infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat
dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang memberikan
fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii. (Hay
dan Moore2004).

G. Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding tinea korporis, antara lain eritema anulare
sentrifugum, eksema numular, granuloma anulare, psoriasis, dermatitis seboroik,
pitiriasis rosea, liken planus dan dermatitis kontak (Verma dan Heffernan,2008).

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan
sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat
topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat.
Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas
atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate
imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur
pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu
dilakukan dengan kompres basah secara terbuka (Vermam dan
Heffernan,2008).
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi
antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan
klinis dan mengurangi keluhan pasien (Verma dan Heffernan,2008).
a. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal
dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas
formulasi obat tersebut. Selain obat-obat klasik, obatobat derivate
imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea
korporis ini. Efektivitas obat yang Universitas Sumatera Utara termasuk
golongan imidaol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama
3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan juga
untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan
klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan (Verma
dan Heffernan,2008).
b. Pengobatan Sistemik
Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang
dapat diberikan pada tinea korporis adalah:
 Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis
untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000
mg/hari
 Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang
resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200
mg/hari selama 3 minggu.
 Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin
dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.

2. Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non
medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet

I. Prognosis
Untuk tinea corporis lokal, prognosisnya sangat baik, dengan tingkat
penyembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allylamines
atau antifungi sistemik jangka pendek. Infeksi dermatofit tidak menghasilkan
mortalitas yang signifikan, tetapi mereka dapat sangat mempengaruhi kualitas
hidup.
IV. PEMBAHASAN

Tinea Corporis mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah kulit halus
tanpa rambut, kecuali telapak tangan, telapak kaki. Dinamakan Tinea Corporis karena
berdasarkan bagian tubuh yang terkena, yaitu di badan dan anggota badan disebabkan
oleh golongan jamur pidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum.4 Infeksi
dimulai dengan kolonisasi hifa dan cabang- cabangnya di dalam jaringan keratin yang
mati, hifa melepaskan keratinase serta enzim lainnya guna menginvasi lebih dalam
stratum korneum dan menimbulkan peradangan, walaupun umumnya, infeksi terbatas
pada epidermis, karena adanya mekanisme pertahanan tubuh non spesifik, seperti
komplemen, PMN, aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor)
namun adang-kadang dapat bertambah/meluas. Masa inkubasinya sekitar 1-3
minggu. Tinea Corporis erupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan
iklim hangat, lembab; sekitar 47% isebabkan oleh Trichophyton Rubrum.
Infeksi dermatofitosis jarang menimbulkan kematian, akan tetapi dapat
memberikan efek yang esar terhadap kualitas hidup.3 Diagnosis dermatofitosis
memerlukan gabungan data klinis, gambaran status lokalis dan pemeriksaan
penunjang. Manifestasi klinis berupa pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam
stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit sirsinar engan batas jelas dan
meninggi yang disebut ringworm, tepi polisiklik, daerah tepi tampak vesikel- esikel
kecil dengan skuama halus dan aktif. Dijumpai daerah penyembuhan sentral.
Biasanya asa atal bertambah jika berkeringat.
Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut
dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan mikroskopis akan
terlihat elemen jamur dalam entuk hifa panjang, spora dan artospora (spora berderet).
Dengan pembiakan, bertujuan untuk engetahui spesies jamur penyebab; bahan
sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud ekstrose, untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan antibiotika (contoh; hloramfenicol) ke
dalam media tersebut. Perbenihan pada suhu 24- 30°C. Pembacaan diakukan alam
waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh diperhatikan mengenai warna, bentuk,
permukaan an ada atau tidaknya hifa. Pada pasien dengan lesi dermatofitosis yang
luas, perlu dipikirkan emungkinan infeksi HIV, riwayat atopik, serta pengobatan
jangka panjang dengan steroid.
V. KESIMPULAN

Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut


(glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (Verma dan
Heffernan,2008). Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia
diperkirakan menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk
infeksi kulit tersering (Rezvani dan Sefidgar,2010). Gambaran klinis dimulai
dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan
kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang
polisiklik,arsinar,dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang
ditandai dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian
tengah lesi relatif lebih tenang. Berdasarkan hasil anamnesis, biasanya pasien
merasa gatal pada bagian kulit yang tidak berambut. Rasa gatal akan meningkat
jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan
(Fransisca,2000). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kelainan yang dilihat
dalam penampakan klinis merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi.
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan
sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal.
Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral
atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik
rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole,
toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang
meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres
basah secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).

Potrebbero piacerti anche