Sei sulla pagina 1di 18
FENOMENA PERUBAHAN IKLIM INDONESIA Akhmad Fagih dan Rizaldl Boer Pemanasan global disinyalir sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Meningkatnya suhu global diperkirakan sebagai akibat dari meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari berbagai sumber emisi, Khususnya dari pemanfaatan energi fossil oleh berbagai aktivites manusia. Sejak revolusi industri, emisi GRK mengalami peningkatan yang sangat cepet, khususnya gas karbondioksida (CO,), metana (CH,), nitrous oksida (N,O). Gas-gas ini memiliki sifat seperti kaca sehingga adanya gas ini di atmosfer akan menimbulkan efek rumah kaca. Radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh GRK, sehingga suhu bumi semakin panas. Kelompok peneliti dari berbagai Negara yang tergabung dalam Pane! antar Pemerintah Untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) telah merils laporan penilaian ilmiah tentang perubahan iklim yang keempat (Fourth ‘Assessment Report). Laporan tersebutmenunjukkan berbagai bukti ilmiah tentang ontribusi kegiatan manusia (faktor antropogenik) dalam meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmasfer sehingga mempercepat laju peningkatan suhu rata~ rata global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Dilaporkan bahwa selama 100 tahun (periode 1906-2005) peningkatan suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 0,74°C + 0,18°C ° C[IPCC, 2007]. Peningkatan suhu rata-rata global selama periode tersebut telah mendorong terjadinya perubahan dalam sistem ikim global dan mempengaruhi berbagai unsur ikiim dan faktor lainnya yang terkait. Peningkatan suhu global dan perubahan iklim memiliki pengaruh Iuas namun cukup bervariasi antar wilayah. Oleh karena itu dibutuhkan kajian yang berorientasi wilayah baik regional maupun lokal sehingga memberikan informasi yang detil tentang bagaimana kondisi tersebut terjadi di masa yang lalu dan kemungkinan keberlanjutannya di masa ‘yang akan datang di wilayah bersangkutan. Pengetzhuan tentang hal ini sangat penting untuk memahami potensi dampak yang akan ditimbulkan oleh perubahan iklim pada berbagal sektor. Tulisan ini mengulas secara singkat fenomena perubahan iklim di Indonesia. PERUBAHAN IKLIM HISTORIS Peningkatan suhu global sudah terjadi akibat terjadinya peningkatan Konsentrasi GRK yang sangat cepat sejak dimulainya era pra industri, Walaupun banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya suhu global, namun demikian gas rumah kace ditemukan sebagai penyebab utamanya. Penelitian dengan menggunakan model iklim dinamik untuk melihat pengaruh berbagai faktor yang dapat menyebabkan pemanasan global menunjukkan dengan jelas bahwa kenaikan konsentrasi Gas rumah kaca sangat dominan dalam menaikkan suhu global (Gambar 1). Hasil penelitian tersebut sesual dengan suhu observasi selama 125 tahun terakhir. nu Fenomena Perubahan ikiim Indonesia .Gambar 1 (2) Anomalisubu glabal dai 1880-2006 dan (b) perbedaan suhu permukaan rata-ata tahun 2001-2005 dibanding dengan suhu rata-rata permukean tahun 1951-1980 (Hansen etal, 2006) Berdasarkan data hasil pengukuran suhu permukaan yang diambil dari stasiun yang ada dan suhu permukaan laut hasil pengukuran satelit dan kapel, kenaikan suhu ermukaan sangat beragam dan kenaikan suhu terbesar terjadi di wilayah kutub Utara (Gambar 2). Peningkatan suhu rata-rata global selama periode tersebut telah mendorong terjadinya perubahan dalam sistem ikim global dan mempengaruhi berbagai unsur iklim dan faktor lainnya yang terkait. (Gambar 2. (2) Anomall sunu global dari 1880-2006 dan (b) persedaan subu permukaan rata-ata tahun 2001-2005 dibending dengan suf rata-rate permukan tahun 1951-1980 (Hansen etal, 2006) Kenaikan Suhu Historis di Indonesia IPCC [2007] mengungkapkan bahwa lajy peningkatan suhu global selama periode 1906-2005 mencapai 0,74 °C + 0,18 °C. Hasil analisis yang dilakukan terhadap data suhu observasi global yang disusun oleh Climate Research Unit dari University of East ‘Anglia [CRU, 2008] sebagaimana disajikan pada Gambar 3 menunjukkan dalam jangka panjang (1900-2010), rata-rata kenaikan suhu di Indonesia ialah sekitar 0,002 °C per tahun. Dalam periode 50 tahun terakhir (1965-2009) terjadi peningkatan suhu yang lebih cepat yaitu sebesar 0,016 °C /tahun. Bila dilihat pada skala waktu yang lebih pendek (skala 10 tahunan atau dekade), ditemukan adanya periode dimana terjadi enurunan suhu. Pada satu dekade terakhir (1998-2009) misalnya telah terjadi tren enurunan dengan laju sebesar -0,031 °C/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa disamping tren jangka panjang yang menunjukkan laju peningkatan suhu terdapat pula keragaman 2 Fenomena Perubahen kim indonesia ll dalam dekade dan antar dekade yang mempengaruhi variasi perubahan tren dalam. jangka waktu yang lebih pendek. onus Mes Temperate) CGembar 3. Ten suhu rate-reta tahunan untuk wilayah daratan dl Indonesia (6°LU - 11°08'S dan 95°ST - 141°45BT) berdacarkan data dari CRU TS3.1 (CRU, 2008) Pengujian Konsistensi laju penurunan suhu yang ditemukan dari data iklim global tersebut (Gambar 3) perlu dibandingkan dengan menggunakan data iklim dari engamatan langsung yang dimilki oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hal ini sangat penting untuk mempelajari respon dan kaitan tren suhu regional dan lokal terhadap peningkatan suhu rata-rata global. Jika memang terjadi penurunan suhu maka kemungkinan hal ini konsisten dengan beberapa hasil studi terbaru yang mengemukakan bahwa peran keragaman alami sistem ikiim berpengaruh terhadap peredaman dampak perubahan iklim akibat faktor antropogenik dalam beberapa tahun/beberapa puluh tahun mendatang (Wood, 2008). Oleh karena itu, pengetahuan tentang keragaman iklim pada skala dekade dan antar dekade akan memiliki peran kunci dalam memahami Kondisi perubahan ikim dalam jangka waktu 10 hingga 30 tahun mendatang. Kenaikan Tinggi Muka Laut (TML) Berlangsungnya pemanasan global diduga sebagai penyebab utama mencaimya es di kutub dan memuainya air laut sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan muka air laut. Namun demikian peningkatan TML dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain baik pada skala global, regional maupun lokal. IPCC (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen utama yang menentukan TML relatif, diantaranya: 1) Laju peningkatan TML rata-rata global, 2) Faktor meteo-oseanograff regional, dan 3) pergerakan tanah secara vertikal. Penentuan ketiga faktor tersebut tidak memasukkan adanya pengaruh kejadian peningkatan TML berfrekuensi tinggi seperti gelombang laut dan pasang. Berdasarkan hasil pengukuran beberapa satelit altimetri dengan periode rentang waktu ‘yang berbeda, ditemukan adanya perbedaan laju perubahan TML antara satu satelit dengan satelit lainnya. Namun, terdapat kesepahaman bahwa untuk wilayah Indonesia terdapat kecenderungan peningkatan laju tinggi muka laut khususnya di sekitar bagian tengah dan timur Indonesia. Berdasarkan kombinasi dari beberapa satelit sebagalmana B HEBD erormons perusshan iki indonesia ditampitkan pada Gambar 4d (Satelit Multi-mission), laju peningkatan TML di wilayah Indonesia berada pada kisaran 0 hingga 9 mm/tahun, Hasil kajian ICCSR (Bappenas, 2010a) menunjukkan pembahasan yang lebih detil berkaitan dengan kondisi kenaikan TML dan proyeksinya untuk Indonesia. Kajian tersebut menunjukkan bahwa selama periode 2001-2008 telah terjadi rata-rata peningkatan TML di Indonesia sebesar 6 cm dengan variasi antara 2-12 cm dibandingkan periode sebelumnya selama 1983-2000 (Bappenas, 20102). im ne i = — Gambar 4. Tren kenaikan TNL (dalam mytahun) di perairan Indonesia berdasarkan pengukuran dari altimetry satel, a) Satelit Envisat, b) Satelit Jason-L,c) Satelit Topex-Poseidon, dan d) Satelit Mult-Mission. ‘Data tren dari masing-masing satet memiliki entang waktu yang berbada (Envisat (Des 2003-)un 2010), Jason-1 (Jan 2002Jul 2010), Topex-Poseidon (Dec 1982-Oct 200), dan Mult-mision (le 1992-Nov 2009}) (Sumber data: http://www. aviso.oceanobs com). Perubahan Curah hujan Hasil analisis curah hujan rataan 30 tahunan dengan jarak interval setiap 10 tahunan antar periode rataan (dekade) dalam periode 1901-2010 menunjukkan adanya keragaman antar dekade, dan keragaman pola perubahan antar wilayah (Gambar 5). Di Pulau Sumatera dalam empat dekade awal abad 19an teriihat adanya tren kenaikan curah hujan dan kemudian terjadi trend penurunan dan kemudian menaik lagi pada tiga dekade terakhir. Namun secara umium jika diambil tren dari keseluruhan periode, terlihat adanya tren peningkatan curah hujan dekadal secara signifkan. Di Sulawesi tren perubahan curah hujan berbeda dengan yang terjadi ci Sumatra, dimana secara umum terjadi tren penurunan, Bila dilihat rata-rata seluruh Indonesia, secara umum ‘ren perubahan tidak begitu nyata, walaupun antar dekade terjadi perubahan tren yang ssangat besar. Terjadinya tren peningkatan atau penurunan curah hujan secara umum disinyalir merupakan bagian dari dampak pemanasan global. 4 Fenomena Perubanan kim indonesta ll Pie.eee GGambar 5. Tien perubahan cureh hujan histors rata-rata tahunan 1901-2010 ai Pulzu Sumatera, Pulau Sulawes! dan Indonesia. Keragaman ikim antar dekade dikendalikan oleh banyak faktor baik oleh kejadian iklim monson maupun non-monson. Kejadian iklim non-monsun berskala sub-musiman dengan frekuensi kejadien lebih tinggi dibandingkan dengan monsun diantaranya fenomena Madden-Julian Oscillation (M30) dengan periode ulang 30-60 harian (MIO; Madden and Julian, 1994; Zhang, 2005). Variasi intra-musim yang disebabkan oleh MIO tidak jarang dikaitkan dengan kejadian cuaca ekstrem seperti hujan sangat lebat sepanjang Januari-Februari 2002 di P. Jawa (Wheeler, 2002), begitu pula dengan kejadian cold surge yang dikaitkan dengan banjir besar di Jakarta tahun 2007 (Wu et al, 2007; Trilaksono et al, 2011). Dalam frekuensi yang lebih rendah, iklim di Indonesia dikendalikan oleh keragaman antar-tahun dari kejadian ET Nino-Southern Oscilation (ENSO) (contoh: Aldrian et al, 2003; R Boer and Fagih, 2004; Chang et al, 2004; Kirono et al, 1999) dan Indian Ocean Dipole (10D), serta keragaman antar dasawarsa dari kejadian Pacific Interdecadal Oscillation (PDO; Mantua and Hare, 2002; Mantua et al,, 1997) dan Interdecadal Pacific Oscillation (IPO; Folland et al,, 1999; Power et al, 1999). Menurut Chiew and Leahy (2003), selama terjadi fase negative dari IPO (1948- 76), jumlah kejadian La Nina (SOI positif) lebih banyak cibandingkan jumiah kejadian EI Nino (SOT negatif), sebaliknya, pada saat terjadi fase positif (1977-1998), jumlah kejadian El Nino menjadi lebih banyak dibandingkan La Nina. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian ENSO akhir-akhir ini merupakan pengaruh dari pemanasan global (Hansen et al, 2007, Timmerman 1999). Gambar 6 menunjukkan variasi temporal dan rataan zonal wilayah Indonesia (diagram time-atitude) untuk anomali curah hujan tahunan, Dari gambar ini dapat dilinat adanya penyimpangan curah hujan yang semakin besar dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini berkaitan erat dengan meningkatnya frekuensi kejadian ENSO. Seperti yang dijelaskan di atas faktor pengendaliiklim lainnya seperti Indian Ocean Dipole (JOD) dan Madden Julian Oscillation juga berpengaruh terhadap 6 HEB cerorons peruanan im indonesia meningkatnya kejadian iklim ekstrim tersebut. Tercatat bahwa kejadian iklim esktrim tahun 1997/98 berkaitan dengan kejadian yang bersamaan antara EL Nino dan 10D Positif sehingga memberikan dampak kekeringan yang cukup luar biasa di Indonesia, "920 1930 1980" 1950." 1860" "1970 "1980" 1890. "2000 ‘Gamber 6. Anomalicurah hujan tahunan di Indonesia (6°LU - 119081 den 95°BT - 141°45°BT) dsajkan ‘alam grafik time series (atas) dan graf: hubungan lintang-waktu dari rataan zonal wilayah Indonesia (95eBT -141°45T; bawah), Data cureh hujan Giambi dari data CRU-TS3.1 (CRU 2008), Anomall chitung ‘dengan menggunakan retaan curah hujan tahunan periade 1970-2009. Telah diketahui dari banyak studi, kejadian iklim ekstrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO (e.g. Aldrian et al,, 2003; R Boer and Fagih, 2004; Chang et al, 2004; Kirono et a/,, 1999). Pada saat kejadian episode ENSO hangat atau biasa dikenal dengan EI Nifio, curah hujan di Indonesia akan turun di bawah normal, sementara saat episode ENSO dingin atau dikenal dengan istilah La Nifia, curah hujan di Indonesia akan berada di atas normal. Dari analisis data hujan periode 1901-1998 menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan antara anomali suhu muka laut (ASPL) di wilayah Nino-3.4 dengan keragaman curah hujan antar-tahun di sebagian besar wilayah Indonesia (Gambar 7a). Peningkatan (penurunan) ASPL. sebesar 1°C di wilayah tersebut yang terkait dengan fenomena El Nino (La Nina) dapat menyebabkan penurunan (peningkatan) curah hujan lebih dari 20 mm/bulan di luar pengaruh Monsun dan faktor pengendall ikiim lainnya (Gambar 7b). Wilayah yang paling banyak terpengaruh sebagian besar berada wilayah Indonesia bagian tengah, timur dan sebagain wilayah barat. WE 100 10SE “HOE HOE TRE T2He HOE HOSE Tae 956 1006 105E 1908 (SE 1206 1296 1306 195E 1400 ‘Gambar 7, Hubungan ENSO dengan keragaman curah hujan di Indonesia berdasarkan a) koefsien korelasi ‘asia dan b)koefsien regres! near antara data anomaly suhu permukaan laut ENSO impacts on rainfall Variability in Indonesia represented ay significant a) corelations Coefficients, and b) regression coefficients between rainfall and sea surface temperature anomaly in Nino-3.4 region, Perubahan tinggi hujan bulanan atau musim ditentukan oleh perubahan intensitas harian dan banyak kejadian hujan yang terjadi dalam periode tersebut. Dari analisis data seri hujan harian hesil pendugaan satelit (TRMM) tahun 1999-2010, juga ditemukan adanya tren peningkatan intensitas hujan harian di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di sebagian besar wilayah Pulau Jawa, Kalimantan dan Papua. Sementara itu sebagian wilayah pesisir di Pulau Sumatra, sebagian besar wilayah Sulawesi dan Maluku terlihat dominasi terjadinya penurunan tren curah hujan maksimum arian selama kurun waktu tersebut (Gambar 8). te, Roe (Gembar 8. Tren linear spasial eurah hujan maximum tahunan di Indonesia untuk akumulas kefaian hujan '2) Pharian, 6) 2-harian c) S-harin, d) 4-harian, e) Scharian dan f) 10-harien berdasarkan data TRMM period 1999-2010 (unit dalaen mmrytahun). Ww Perubahan Awal Musim dan Panjang Musim Perubahan pola hujan yang terjadi secara langsung mempengaruhi awal musim dan panjang musim. BMKG (2004) telah mengevaluasi perubahan awal musim yang terjadi dalam dua decade terkahir, ditemukan bahwa pada beberapa wilayah Indonesia wal musim hujan sudah mundur dan ada juga yang maju. Di Sumatra, pada sebagian besar wilayah awal musim hujan mundur antara 1 sampai 2 dasarian (1 dasarian 10 hari), sementara awal musim kemarau maju antara 1 sampai 6 dasariankecuali pada beberapa wilayeh di bagian Timur Sumatra (Gambar 8). Hal yang sama juga terjaci di wilayah Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa panjang musim hujan juga sudah mengalami erubahan. Perubahan panjang musim akan memberikan implikasi yang besar terhadap pola tanam dan upaya peningkatan intensitas tanam. GGambar 9. Perubahan awl musim hujan dan awel musim kemarau gi Sumatera (BMG,2004) Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia Pengaruh dari meningkatnya Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer terhadap perubahan iklim masa depan dilekukan dengan menggunakan model ikim dinammik, yaitu model yang mampu mensimulasikan interaksi berbagai proses fisik antasa sistem daratan, lautan dan atmosfer. Terjadinya pemanasan global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca akan merubah proses-proses fisik tersebut tersebut menyangkut transfer energi, transfer uap dan lainnya sehingga pada akhimya merubah kondisi cuaca dan iklim, Perubahan tingkat emisi gas rumah kaca ke depan sangat sulit diprediksi karena sangat ditentukan oleh pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, kerjasama antara Negara dan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, untuk proyeksi iklim ke ‘masa depan yang digunakan bukan prediksi emisi akan tetapi skenario emisi. Skenario Emisi GRK dan Kenaikan Suhu Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah menyusun berbagai ‘skenario emisi gas rumah kaca yang dikenal dengan SRES. SRES disusun berdasarkan ‘asumsi bahwa laju emisi ditentukan oleh (i) perubahan orientasi pembangunan dari yang hanya mementingan pembangunan ekonomi ke arah yang juga memperhatikan lingkungan, dan (ii) perubahan kerjasama antar Negara dari yang lebih independen ke 18 Fenomena Peruoahan iim indonesia [ill arah yang lebih saling tergantung sama lainnya. Skenario emisi tinggi (SRES-A2) terjadi apabila orientasi pembangunan hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi saja dan kerjasama antar negara sangat rendah (SRES-B1), sementara skenario emisi yang rendah terjadi apabila arah pembangunan tidak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga lingkungan serta meningkatnya kerjasama antar berbagai Negara sehingga difusi teknologi berjalan lebih cepat. Skenario emisi antara yang rendah dan tinggi dinataranya ialah skenario SRES A1B. Hasil kajian ilmiah terkini menyatakan bahwa kenaikan suhu global melebihi 2°C pada tahun 2050 akan menimbulkan masalah perubahan iklim yang semakin sulit dikendalikan. Oleh karena itu, IPCC menyusun skenario emisi yang disebut skenario RCP (Representatuve Carbon Pathhway) dimana skenario disusun berdasarkan target konsentrasi GRK yang ingin dicapai. ‘Ada empat scenario RCP yaitu RCP2.6, RCP4.5, RCPS.5 dan RCPB.S (Moss et al, 2008). Kondisi ideal yang diharapkan jalah scenario RCP2.6 dimana pada skenario ini melalui upaya mitigasi yang dilakukan akan mampu menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat 450 ppm yaitu Konsentrasi GRK yang peluang untuk terjadinya kenalkan suhu di atas 2 °C di bawah 50%. Namun melihat pertumbuhan emisi yang ada dan ‘mempertimbangkan berbagai kondisi Negara, target emisi yang mengikuti scenario RCP2.6 sulit dicapai, skenario yang diharapkan terjadi ialah skenario RCP4.5. Kalau upaya mitigasi tidak dilakukan maka skenario aken terjadi mengikuti scenario RCP 6.5 atau RCPB.S. Hasil proyeksi suhu diambil dari rataan banyak model GCM yang diekstraksi untuk wilayah Indionesia menunjukkan bahwa peningkatan suhu rata-rata tahunan tidak terlalu. banyak berubah hingga periode 2030-an, dimana nilai perubahannya tidak sampai melebihi 1°C pada berbagai skenario perubahan iklim. Pada akhir abad ke-21, proyeksi suhu rata-rata di Indonesia menunjukkan peningkatan_ mencapai kisaran 2,5°C berdasarkan scenario SRES AIB. Proyeksi tersebut berada pada rentang perubahan suhu yang diproyeksikan oleh scenario RCP, dimana nilainya lebih rendah dari perubahan suhu pada skenario RCP-8.5 yang berada pada kisaran 3,5°C, namun lebih tinggi dibandingkan proyeksi RCP-2.6, RCP-4.5 dan RCP-6.0 yang masing-masing berada pada nilai mendekati 0,7 C, 1,5°C dan 1,9°C. Nilai peningkatan suhu rata-rata untuk wilayah Indonesia tersebut dihitung relatif terhadap nilai anomali suhu rata-rata pada periode 1981-2010 (Gambar 10). GGambar 10. Proyeks! rata-rata mult-model ensemble dari anomali suhu udara permukean rate-ata bulanan (siklus musiman dilangkan) di Indonesia (11 °LS ~ 6 °LU, 95 °BT ~ 141 ®BT) berdasarkan proyeksi |AR4 (skenario SRES-ALB) dan proyeksi ARS (skenario RCP-2.6, RCP-4.5, RCP-6.0 dan RCP-8.5) (Diolan ‘menggunakan data: CMIP3 dan CMIPS). 19 HE coroners persbehan tdi indonesia. Proyeksi kenaikan TML Beberapa kajian memproyeksikan kenaikan tinggi muka laut yang berpotensi ‘mencapai lebih dari 1m pada tahun 2100. Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan proyeksi yang dilakukan oleh IPCC, dimana dengan scenario yang paling pesimis kenaikan TML global diperkirakan mencapai 60 cm (IPCC, 2007). Hasil proyeksi untuk wilayah Indonesia memperkirakan adanya kenaikan TML rata-rata sekitar 175 cm pada tahun 2100 jika faktor pencairan es dinamis (dynamic ice melting) ditambahkan dalam perhitungan proyeksi TML (Bappenas, 2010).. Proyeksi curah hujan Proyeksi perubahan iklim ke depan dari berbagai model dapat memberikan hasil yang berbeda antar model. Oleh karena itu dalam kajian proyeksi, sangat disarankan menggunakan banyak model (multi model). Laporan Second National Communication SNC; MoE, 2010] menunjukkan kecenderungan 14 model GCM terhadap perubahan ‘curah hujan musiman di Indonesia berdasarkan dua scenario emisi yaitu SRES A2 dan B1 untuk periode 2025 dan 2050. Secara lebih lengkap, Gambar 11-14 menunjukkan peluang perubahan curah hujan musiman masing-masing untuk Desember-Janueri- Februari (DJF), Maret-April-Mel (MAM), Juni-JulAgustus (JJA) dan September-Oktober- November (SON). Berdasarkan scenario SRES A2 dan B1, proyeksi perubahan curah hujan pada periode DJF menunjukkan bahwa sebagian besar model sepakat adanya penurunan curah hujan di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan, sementara untuk wilayah yang mengalami musi penghujan akibat pengaruh Monsun Australia seperti sebagian besar Jawa, Nusa “Tenggara dan Papua menunjukkan adanya peningkatan pada tahun 2025. Wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan pada musim DJF tersebut akan semakin meluas pada periode tahun 2050 sebagaimana ditunjukkan oleh kedua scenario (Gambar 11). Peningkatan curah hujan pada musim penghujan berpotensi meningkatkan peluang kejadian cureh hujan ekstrim yang akan menyebabkan meningkatnya bencana terkait iklim di masa yang akan datang. Pada periode musim MAM di masa yang akan datang, kondisinya tidak terlalu Jauh beda dengan yang terjadi pada musim penghujan, dimana wilayah yang sama yang disebutkan sebelumnya mengalami peningkatan curah hujan sementara wilayah lain mengalami penurunan. Pada periode 2050 wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan sesuai dengan kesepakatan sebagian besar GCM juga semakin meluas, ‘meliputi sebagian besar Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera (Gambar 12). Peningkatan curah hujan pada musim peraihian (MAM) mengindikasikan kemungkinan semakin panjangnya musim penghujan di Indonesia akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim juga diprediksi akan mempengaruhi curah hujan musiman di musim kemarau (JJA) dan musim peralihan (MAM). Proyeksi iklim menggunakan 14 model GCM 20 Fenomena Perubahan iki indonesia ll menunjukkan adanya kesepakatan model tentang kemungkinan terjadinya peningakatan ‘curah hujan pada periode JJA dan SON di sebagian besar wilayah Indonesia (Gambar 13). Akan tetapi kondisi tersebut tidak berlaku untuk sebagian wilayah Jawa dan Nusa ‘Tenggara yang diproyeksi akan mengalami penurunan curah hujan pada tahun 2025 berdasarkan scenario B1 dan pada tahun 2050 berdasarkan kedua scenario khusunya pada musim peralinan di SON (Gambar 14). Penurunan curah hujan di musim peralihan Untuk wilayah tersebut mengindikasikan kemungkinan semakinlambatnya awaw! musim hujan yang berpotensi mempengaruhi waktu dan pola tanam di bidang pertanian. Berdasarkan kajian SREX [IPCC, 2012] disebutkan bahwa proyeksi perubahan ‘curah hujan khususnya curah hujan ekstrim mengalami kendala dengan adanya tingkat ketidakpastian yang cukup besar yang salah satu merupakan ketidakpastian yang berkaitan dengan model yang digunakan baik GCM maupun RCM dan juga berbagai teknik statistical downscaling yang digunkan. Sleain itu faktor keragama alami dari sistem iklim juga berkontribusi besar dalam dinamika dan ketidakpastian dalam proyeksi erubahan curah hujan ekstrim di masa mendatang. 4 ‘Gambar 11. Peluang perubahan cura hujan musiman (musim JF) dl Indonesia berdasarkan proyekst 14 model GCM dengan skenario SRES A2 dan BL pada periode tahun 2025 dan 2050 [Sumber: MoE, 2010] GGambar 12. Peluang perubahan curah hujan musiman (musi MAM) ci Indonesia berdasarkan | proyekst 14 model GCM dengan skenario SRES A2 dan B1 pada pertode tahun 2025 dan 2050, Sumber: MoE, 2010} a GGambar 13. Peluang perubahan curah hujan musiman (musim 31) di Indonesia berdasarkan proyeksi 14 model GCM dengan skenario SRES A2 dan Bt pada periode tahun 2025 dan 2050 [Sumber: MoE, 2010}, Eine Garber 14, Peluang perubahan curah hujan musiman (musim SON) dl Indonesia berdasarkan proyeks! 14 model GCM dengan skenario SRES A2 dan B1 pada periode tahun 2025 dan 2050, [Sumber: MoE, 2010). Berdasarkan analisis terhadap data global skenario Representative Concentration Pathways (RCP2.6) dari berbagai model ikim gobal (GCM) yang berasal dari database CMIPS, diperoleh hasil proyeksi iklim yang agak sedikit berbeda dari yang dinasilkan oleh scenario SRES namun Konsisten dalam beberapa hal.. Skenario RCP 2.6 merupakan scenario yang paling optimistik dimana upaya mitigasi global dilakukan untuk mencapai ‘tingkat stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer sebesar 490 ppm (sebelum 2100 konsentrasi akan menurun kembali). Dari skenario ini peluang terjadinya peningkatan suhu global melebihi batas bahaya (2 °C) sekitar 50%. Curah hujan musiman untuk DJF dan MAM diperkirakan akan naik dibandingkan rata-rata tahun 1981-2010 (baseline) hampir di semua wilayah Indonesia, sedangkan untuk JJA dan SON cenderung akan ‘turun. Proyeks! ini mengindikasikan bahwa awal musim hujan diperkirakan agar bergeser (mundur dari kondisi seat ini) dan intensitas hujan pada musim hujan akan meningkat, sedangkan hujan musim kemarau cenderung semakin rendah. Hasil ini secara konsisten ditunjukkan oleh scenario RCP lainnya yang lebih pesimistik (RCP-4.5, RCP-6.0 dan RCP- 8.5). Hanya saja lebih banyak model yang sepakat menunjukkan terjadinya peningkatan curah hujan pada musim MAM dan JJA di bagian utara Indonesia. 2 Fenomena Perubahan kim indoness [ll Proyeksi ENSO Meskipun terdapat tren yang cukup jelas berkaitan dengan peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ENSO pada akhir abad ke-20 dan adanya incikasi yang kuat bahwa kondisi ini akan semakin kuat di masa mendatang, hasil kajian IPCC [2007] menunjukkan hal yang berbeda. Dengan bersandar pada hasil keluaran dari berbagal model iklim global, IPCC menemukan tidak adanya konsistensi yang kuat antar model dalam memprediksi ENSO. Ketidakcocokan preciksi antar model tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah dalam proyeksi ENSO di masa mendatang [IPCC, 2007; 2012). Analisis perbandingan pola statistik hasil luaran model berkaitan dengan ENSO antara kondisi saat ini dan mendatang dengan berdasarkan pada beberapa asumsi berkaitan dengan definisi penentuan kejadian ENSO berpotensi memberikan informasi yang bermanfaat berkaitan dengan kemungkinan perubahan jumlah kejadian ENSO di masa mendatang. Akan tetapi, hal ini harus dilakukan dengan memanfaatkan banyak model dan tidak hanya bergantung pada satu model tertentu walaupun model yang dipilih tersebut memiliki siklus musiman yang mirip dengan data observasl. Bappenas [2010] menyajikan hasil analisis proyeksi ENSO di masa mendatang yang ‘menunjukkan adanya indikasi peningkatan frekuensi ENSO yang biasanya terjadi setiap 3-7 tahun sekali menjadi setiap 2 tahun sekali. Akan tetapi, Karena analisis proyeksi yang dilakukan hanya bersandar pada satu model GCM (MRI-CGCM), maka informasi yang diberikan dalam laporan ini harus digunakan dengan hati-hati ager tidak terjadi kesalahan interpretasi, khususnya jika informasi tersebut digunakan sebagal landasan bagi pengambilan kebijakan. Sebagai tambahan kritisasi, laporan ICCSR [Bappenas, 2010a] juga menampilkan tabel time series yang mengindikasikan perubahan episode ENSO (EI Nino dan La Nina) dari waktu ke waktu selama abad ke-21 dari satu model yang sama yaitu MRI-CGCM. Penyajian seperti ini berpotensi memberikan tambahan ruang untuk kesalahan dalam interpretasi. Perlu dipahami bahwa kebanyakan model GCM yang digunakan dalam proyeksi iklim oleh IPCC tidak didesain untuk memberikan informasi detil dalam mensimulasi waktu demi waktu atau tahun demi tahun dari keragaman iklim yang sesuai dengan observasi. Gambar 15 memberikan contoh hasil proyeksi berupa plot data time series ASPL dari ENSO index di kawasan Nino-4 berdasarkan luaran dari beberapa model ‘menggunakan salah satu skenario emisi (SRES A1B) yang digunakan dalam IPCC AR4. Sebagai informasi, wilayah Nino-4 merupakan kawasan yang biasa digunakan sebagal indikator ENSO di kawasan tengah Samudera Pasifk Tropis. Wilayahnya mencakup 160 °E hingga 150 °W dan 5 °S hingga 5 °N. Pada Gambar 16 tersebut terlihat jelas bahwa proyeksi ENSO yang dihasilkan oleh masing-masing model cukup beragam dari ssegi frekuensi kejadian ENSO (jika diasumsikan ambang batas kejadian ENSO ielah sebesar #5 °C, yaitu >+5 °C untuk El Nino dan <-5 °C untuk La Nina) dan dari segi ‘amplitudo (Intensitas) kejadiannya, sehingga menghasikan ketidaksepahaman hasil. Ketidakcocokan antar model dalam memproyeksikan ENSO jnilah yang menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan (low confidence) berkaitan dengan proyeksi ENSO di masa mendatang sebagaimana disimpulkan oleh IPCC (2007). Hasil yang sama 2B HEB encmens Perubahan sim Indonesia i cfrnareit juga dlindikasikan kembaii dalam laporan SREX yang menyebutkan bahwa terdapat ketidakkonsistenan dalam frekuensi dan perubahan fenomena ENSO [JPCC, 2012]. Gambar 15, SST ENSO indies from Nino-4 region calculated -from eight ARS GCMs under SRES AIB scenario, Selain itu, dalam konteks skenario jangka panjang yang digunakan IPCC, kajian lebih lanjut juga perlu dilakukan Karena pendekatan yang dilakukan dalam scenario ‘yang baru relatifjauh berbeda dengan scenario SRES sebelumnya. Skenario perubahan iklim jangka panjang IPCC menggunakan istilah yang disebut dengan Representative ‘Concentration Pathways (RCP) [R Moss et a, 2008; RH Moss et al, 2010). RCP memiliki pendekatan yang relatif berbeda dengan scenario SRES dimana pada scenario tersebut memiliki alur yang sekuensial, sedangkan RCP memilki alur yang paralel. Representasi alur RCP dianggap lebih dinamis dibandingkan dengan SRES yang cenderung bersifat satu arah, dimana proses parallel memungkinkan antara model iklim dan integrated assessment models (IAMs) bekerja secara bersamaan. Kajian proyeksi iklim jangka Panjang untuk Indonesia berkaitan dengan scenario RCP juga sangat penting untuk i tingkatkan guna mengetahui kemungkinan perubahan iklim dan dampaknya di Indonesia dan untuk melakukan evaluasi terhadap kajian-kajian proyeksi sebelumnya yang banyak menggunakan scenario SRES. Selain itu scenario yang baru juga dapat digunakan sebagai landasan upaya stabilisasi GRK di tingkat nasional yang berkaitan dengan kegiatan mitigasi perubahan iklim. Implikasi Perubahan Iklim Pada Sektor Pertanian Produksi pangan dan komocitas pertanian lainnya pada umumnya dipengaruhi ‘oleh Kondisi iklim, Perubahan ikim yang dirangsang oleh pemanasan global dapat 24 Fenomene Perubahan kim indonesia. [ae ‘menimbulkan dampak terhadap produksi pertanian balk secara langsung maupun tidak langsung, Naiknya temperatur dan salinitas tanah di kawasan pesisir langsung ‘akan mempengaruhi produktivitas tanaman di kawasan tersebut. Kondisi iklim ekstrim seperti musim kemarau panjang secara langsung berpengaruh terhadap luas tanaman ‘yang gagal panen. Sedangkan dampak yang tidak langsung dapat meliputi munculnya hama dan penyakit baru, berkurangnya pasokan air irigasi, berkurangnya luas lahan pertanian potensial di kawasan pesisir akibat terjadinya rob, dan sebagainya. Dampak perubahan ikim dapat positip atau negatip dan tergantung pada karakterisitik perubahan iklim yang terjadi dan karakteristik tanaman pertanian yang diusahakan petani. Apabila perubahan iklim yang berlangsung mengarah pada kondisi iklim yang semakin kondusif bagi komoditas pertanian tertentu maka dampak yang ditimbulkan dapat bersifat positip dan sebaliknya pada komoditas pertanian lainnya. Sebagal contoh, musim hujan yang berkepanjangan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap produktivitas dan produksi mangga dan buah-buahan lainnya tetap! dapat pula menimbulkan dampak positip pada produksi padi akibat meningkatnya luas panen pada musim kemarau di lahan sawah tadah hujan, Sebaliknya musim kemarau yang berkepanjangan akan berdampak pada penurunan produksi padi di lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan tetapi dapat menimbulkan dampak positip pada lahan sawah pasang surut dan rawa akibat turunnya genangan air. Salah satu gejala yang muncul dengan berlangsungnya perubahan iklim adalah naiknya permukaan laut. Gejala tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi pertanian di kawasan pesisir akibat terjadinya rob dan meningkatnya salinitas tanah sehingga mengurangi luas lahan pertanian yang potensial di kawasan tersebut. Akibat terjadinya rob sekitar 4900 hektar lahan sawah di kawasan pantura Jawa Barat tenggelam permanen sedalam 0,5 meter dan sekitar 12000 hektar lahan sawah tenggelam sedalam 1,0 meter (Boer et al 2010). Sedangkan di kawasan pantura Jawa ‘Tengah dan Jawa Timur luas lahan sawah yang tenggelam akibat terjadinya rob relatif kecil yaitu sekitar 50 hektar dan 200 hektar untuk lahan sawah yang tenggelam sedalam 0,5 meter dan sekitar 100 hektar dan 2400 hektar untuk lahan sawah yang tenggelam sedalam 1,0 meter. Gejala lain yang muncul akibat perubahan ikiim adalah terjadinya iklim ekstrim yaitu kondisi ikim yang jauh berbeda dengan kondisi iklim normal. Pada kondisi iklim ekstrim parameter iklim seperti temperatur dan curah hujan dapat naik atau turun secara signifikan dibanding pada kondisiiklim normal. Di wilayah DAS Brantas terjadinya iklim ekstrim menyebabkan penurunan produktivitas padi sekitar 2% dan penurunan produktivitas tersebut lebih besar pada musim kemarau daripada musim hujan (Boer et al, 2010). Jika tidak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang memadai produktivitas padi di wilayah tersebut pada tahun 2025-2050 diperkirakan turun sekitar 5,2%. Pada sektor peternakan perubahan iklim juga dapat memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap sektor peternakan dapat terjadi melalui pengaruhnya terhadap produksi dan kualitas pakan. Keterbatasan produksi dan kualitas pakan lebih lanjut dapat menyebabkan 25 HEBD cenomens Perubahan iim Indonesia rendahnya produktivitas, turunnya kesuburan teak dan meningkatnya laju kematian ternak. Sedangkan dampak langsung dapat meliputi turunnya kemampuan reproduksi ‘temak dan turunnya laju pertambahan berat badan akibat naiknya temperatur. Pada ternak sapi perah apabila suhu udara meningkat melebihi 22 °C dapat menyebabkan ‘urunnya produksi susu, kandungan lemak, kandungan protein dan penurunan tersebut ‘semakin cepat apabila suhu meningkat di atas 26 °C (Rohman dan Boer, 2001). Perubahan iklim dapat menyebabkan implikasi yang luas pada sektor pertanian. Dalam rangka meningkatkan ketahanan sektor pertanian terhadap resiko iklim perlu dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang memadal. Terkait dengan hal tersebut perlu dilakukan revitalisasi kebijakan dan perencanaan jangka panjang sektor pertanian dengan memperhatikan kemungkinan perubahan iklim (Boer, 2008). Pada tahap operasional hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melembagakan pemanfaatan informasi iklim dalam pembangunan pertanian, mengembangkan asuransi iklim, mengembangkan varitas tahan kekeringan, banjir dan salinitas serta mengembangkan kawasan pertanian baru. Penutup kajian perubahan iklim dan dampaknya di Indonesia telah memasuki dimensi baru dengan munculnya berbagai hal baru yang menjadi perhatian seperti berkaitan dengan kejadian iklim ekstrim, integrasi penanggulangan resiko bencana dan adaptasi perubahan ikim, scenario baru IPCC ARS yang berkaitan dengan pentingnya prediksi dekadal hingga interdekadal serta adanya representative concentration pathways (RCP) yang memiliki sudut pandang dan alur berbeda dengan scenario SRES yang digunakan sebelumnya dalam proyeksi perubahan iklim jangka panjang. Perhatian terhadap berbagai hal tersebut khususnya berkaitan dengan kajlan prediksi iklim baik jangka endek maupun jangka panjang menjadi sangat penting untuk dilakukan ke depannya dan perlu mendapatkan dukungan lebih dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kajian dalam topik tersebut masih sangat terbatas di Indonesia dan nantinya akan sangat berguna dalam proses perencanaan di berbagai sektor yang mempertimbangkan dampak perubahan iklim di massa mendatang. Selain itu, level kajian dampak dan adaptasi perubahan iklim juga harus di tingkatkan dalam konteks pembangunan ‘ekonomi nasional terutama yang berkaitan dengan dampak penurunan produksi tingkat rrasional pada ketahanan pangan, dan pengeluaran negara untuk impor pangan, atau enurunan income dari kegiatan ekspor (khususnya komoditi perkebunan).. Daftar Pustaka ‘Aldrian, E,, and R. D. Susanto (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of Climatology, 23, 1435-1452. Aldrian, E,,L. D. Gates, and F. H. Widodo (2003). Variability of Indonesian rainfall and the influence of ENSO and resolution in ECHAM4 simulations and in the reanalysisRep. 26 Fenomena Perubananikim Indonesia sl 346, Max-Planck-Institut fiir Meteorologie, Hamburg, Germany. Bappenas (2010a). Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR: Basis ‘Saintifik: Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim, edited by Bappenas, Republik Indonesia. Bappenas (2010b). Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap - ICCSR: Sektor Pertanian, edited by Bappenas, Republik Indonesia. Boer, R,, and A. Fagih (2004). Global climate forcing factors and rainfall variability jn West Java: case study in Bandung district, Indonesian Journal of Agricultural Meteorology, 18(2), 1-12. Boer, R. et al. (2007). Indonesian Country Report: Climate Variability and Climate Change ‘and Their Implications, edited by G. 0. Indonesia, Jakarta, Republik of Indonesia. Boerema, J. (1938). Rainfall Types in Nederlands Indie, Verhandelingen, No. 18. Chang, C. P,, Z. Wang, J. H. Ju, and T. Li (2004). On the relationship between western maritime continent monsoon rainfall and ENSO during northern winter, Journal of Climate, 17(3), 665-672. Chiew, F, and M. Leahy (2003). Inter-decadal Pacific Oscillation modulation of the impact of EI Nifio/Southern Oscillation on Australian rainfall and streamflow, paper presented at Proceedings of the International Congress on Modelling and Simulation (MODSIM 2003), July 2003, Townsville. ‘CRU (2008). CRU Time Series (TS) high resolution gridded datasets, [Internet]. NCAS British Atmospheric Data Centre, edited by I. H. [Phil Jones. Folland, C. K,, D. E, Parker, A. Colman, and R. Washington (1999), Large scale modes Of ocean surface temperature since the late nineteenth century, in Beyond El Nino: Decadal and Interdecadal Climate Variability, edited by A. Navarra, pp. 73- 102, Springer-Verlag, Bertin, IPCC (2007). Climate Change 2007: The physical science basis. Contribution of Working ‘Group Ito the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate ‘ChangeRep., 996 pp pp, Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. IPCC (2012). Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change AdaptationRep., 582 pp pp, Cambridge University Press, Cambridge, UK, and New York, NY, USA. ISDR (2005). Hyogo Framework for Action 2005-2015: ISDR International Strategy for Disaster Reduction International Strategy for Disaster Reduction, paper presented ‘at World Conference on Disaster Reduction, Kobe, Hyogo, Japan, 18-22 January 27 HERIIET eromena perunanan sim indonesia 2005. kKirono, D. G. C., N. J. Tapper, and J. L. McBride (1999). Documenting Indonesian rainfall in the 1997/1998 EI Nino event, Physical Geography, 20(5), 422-435, Mantua, N. J, and S. R. Hare (2002). The pacific decadal oscillation, Journal of Oceanography, 58, 35-44. Mantua, N. J., S. R. Hare, ¥. Zhang, J. M. Wallace, and R. C. Francis (1997). A pacific interdecadal climate oscillation with impacts on salmon production, Bull. Amer. ‘Meteor. Soc., 78, 1069-1079. Mitchell, T. D., and P, D. Jones (2005). An improved method of constructing a database of monthly climate observations and associated high-resolution grids, International Journal of Climatology, 25(6), 693-712. MoE (2010). Indonesia Second National Communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), edited by M. 0. Environment, Republic of Indonesia. Moss, R., et al. (2008). Towards New Scenarios for Analysis of Emissions, Climate Change, Impacts, and Response StrategiesRep., 132 pp pp, Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva. Moss, R. H., et al. (2010). The next generation of scenarios for climate change research and assessment, 463. Power, S, T. Casey, C. Folland, A. Colman, and \. Mehta (1999). Inter-decadal modulation of the impact of ENSO on Australia, Climate Dynamics, 15(5), 319-324. The Copenhagen Diagnosis (2009). Updating the world on the Latest Climate ScienceRep., 60pp pp, The University of New South Wales Climate Change Research Centre (CCRC), Sydney, Austral White, W. B,, and D. R. Cayan (2000). A global EI Nifio-Southern Oscillation wave in surface temperature and pressure and its interdecadal modulation from 1900 to 1997, Journal of Geophysical Research, 105, 11223-11242, Wolter, K., and M.S, Timlin (2011). El Nifio/Southern Oscillation behaviour since 1871 as diagnosed in an extended multivariate ENSO index (MEI.ext), Intl. 3. Climatology, 31, 14pp. Wood, R. (2008). Climiate change: Natural ups and downs, Nature, 453, 43-45. 2B

Potrebbero piacerti anche