Sei sulla pagina 1di 82

PROPOSAL PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG ADA HUBUNGAN


DENGAN TERJADINYA PHLEBITIS PADA PASIEN
DENGAN INFUS DI RUANG PERAWATAN RSU
ANUTAPURA PALU TAHUN 2018

TEMA:
MANAGEMEN RUMAH SAKIT

Nama : Fauzia
No. Register : 14 777 017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018
ii
iii

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul I
Halaman Persetujuan Ii
Daftar Isi Iii
Daftar Tabel Vii
Daftar Gambar Viii
Daftar Singkatan Ix
BAB I. PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah 1
B Perumusan Masalah 2
C Pertanyaan Penelitian 2
E Tujuan Penelitian 4
A Tujuan Umum 4
B Tujuan Khusus 4
F Manfaat Penelitian 4
1 Manfaat Keilmuan 4
2 Manfaat Aplikasi 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Judul: FAKTOR-FAKTOR YANG ADA HUBUNGAN DENGAN TERJADINYA
PHLEBITIS PADA PASIEN DENGAN INFUS DI RUANG PERAWATAN RSU
ANUTAPURA TAHUN 2018
A Landasan Teori 6
1 Infus Intravena 6
a. Definisi 6
iv

Lanjutan Daftar Isi

Halaman
b. Epidemiologi 6
c. Keuntungan dan Kerugian 8
d. Indikasi dan Kontra Indikasi 8
e. Jenis Cairan 10
f. Lokasi Pemasangan 12
g. Alat dan Bahan 14
h. Prosedur Pemasangan 15
i. Lama Pemasangan 17
j. Pemantauan dan Perawatan 17
k. Pengendalian Infeksi 19
l. Akibat dari Pemasangan 20
2. Phlebitis akibat pemasangan infus intravena 22
a. Definisi 23
b. Epidemiologi 23
c. Etiologi 25
d. Faktor risiko 29
e. Gambaran Klinis 29
f. Pencegahan 31
3. Faktor-faktor yang ada hubungan dengan 33
terjadinya phlebitis akibat pemasangan infus
intravena
a. Status Gizi Host 33
b. Jenis Cairan Intravena 34
c. Jenis Kateter Intravena 35
d. Lama Pemasangan 35
e. Teknik Pemasangan 36
f. Perawatan Infus 37
v

g. Ukuran Kateter Intravena 37


h. Lokasi Pemasangan 37
i. Faktor Penyakit 38
B Kerangka Teori 38
C Kerangka Konseptual 39
D Definisi Operasional 40
DAFTAR PUSTAKA 44
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Design Penelitian 48
B. Waktu dan Tempat Penelitian 48
C. Populasi dan Subyek Penelitian 49
1.Populasi Penelitian 49
2. Subyek Penelitian 49
D. Kreteria Penelitian 49
1. Kriteria Inklusi 49
2. Kriteria Ekslusi 49
vi

Halaman
E. Besar Sampel 50
F. Cara Pengambilan Sampel 51
G. Alur Penelitian 52
H. Prosedur Penelitian 53
I. Instrumen Pengumpulan Data 55
J. Rencana Analisis Data 55
K Aspek Etika Penelitian 57
BAB IV. LAMPIRAN
A. Lampiran 1. Jadwal Penelitian 59
B. Lampiran 2. Naskah Penjelasan untuk Subyek 61
C. Lampiran 3. Daftar Tim dan Biodata Peneliti 66
D. Lampiran 4. Formulir-formulir 68
a. Formulir Kuesioner 68
b. Formulir Laporan Kasus (Case Report) 69
E. Lampiran 5. Daftar Alat 71
F. Lampiran 6. Rincian Anggaran dan Sumber Dana 72
vii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Tabel 1. Angka Pemasangan Infus di RSU 6
Anutapura Palu Tahun 2016
2. Tabel 2. Angka Pemasangan Infus di RSU 7
Anutapura Palu Tahun 2017
3. Tabel 3. Angka Kejadian Phlebitis di Dunia 24
4. Tabel 4. Angka Kejadian Phlebitis di Indonesia 24
5. Tabel 5. Angka Kejadian Phlebitis di Sulawesi 24
Tengah
6. Tabel 6. Angka Kejadian Phlebitis di RSU 25
Anutapura
7. Tabel 7. Skor Visual Phlebitis 31
8. Tabel 8. Chi Square Table 54
viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1 Gambar 1. Anatomi Vena Superficial Dorsal 13
Tangan
2 Gambar 2. Anatomi vena tangan atas 13
3 Gambar 3. Kerangka Teori 37
4 Gambar 4. Kerangka Konsep 38
6 Gambar 5. Alur Penelitian 51
ix

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Keterangan
WHO World Health Organization
INS Intravenous Nurses Society
DEPKES RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia
RSU Rumah Sakit Umum
PPI Pusat Pengendalian Infeksi
NaCl Natrium Clorida
SPO Standar Prosedur Operasional
IV Intravena
APD Alat Pelindung Diri
CC Celcius
LLA Lingkar Lengan Atas
TLK Tebal Lipatan Kulit
BB Berat Badan
TB Tinggi Badan
LK Lingkar Kepala
LD Lingkar Dada
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terapi intravena adalah salah satu teknologi yang paling sering


digunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Terapi ini
merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada pasien
yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok untuk
memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh manusia. (Hindley, 2004; WHO, 2005; Potter, 2005)
Infeksi yang paling sering terjadi akibat terapi intravena adalah health
care association infection. Menurut data surveilans World Health
Organisation (WHO) angka kejadian health care association infection yaitu
5% per tahun pada 9 juta orang dari 190 juta pasien yang dirawat di
rumah sakit dan juga dapat menyebabkan kematian 1,4 juta kematian
setiap hari diseluruh dunia. (Septiari, 2012; Agustini et al. 2013).
Persentasi health care association infection yang tertinggi di rumah
sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah pada tahun 2004 adalah
phlebitis dengan jumlah 2.168 pasien dari jumlah pasien yang beresiko
124.733 (1.7%) (Depkes, 2004). Phlebitis merupakan inflamasi pada
tunika intima pembuluh darah vena yang sering dilaporkan sebagai
komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan di dapatkan dari
mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan
perlekatan trombosit pada area tersebut. (INS, 2006; Ariyanto, 2011)
Phlebitis dapat disebabkan oleh iritasi kimia, iritasi mekanik dan juga iritas
bakterial. (Haskas, 2014; Purilinawati, 2014; Efitrianiza, 2013; Iradiyanti &
Kurnia, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Barruel, G. R., et al (2013) di Nasional
Healt and Medical Research Council (NHMRC) Centre for Research
2

Excellence in Nursing di Australia, ditemukan 23% kasus phlebitis dari 233


pasien. Menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat
inap, angka kejadian phlbittis di Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 744
orang (17,11%) (Depkes 2006). Angka kejadian phlebitis merupakan salah
satu indikator mutu asuhan keperawatan yang diperoleh dari
perbandingan jumlah kejadian phlebitis dengan jumlah pasien yang
mendapat terapi intravena dengan standar kejadian ≤1,5% (Depkes RI,
2008). Data Depkes RI Tahun 2013 angka kejadian phlebitis di Indonesia
sebesar 50,1% untuk rumah sakit pemerintah dan sedangkan rumah sakit
swasta sebesar 32,7. Infusion Nursing Standart of Practice (2006)
merekomendasikan bahwa level phlebitis yang harus di laporkan adalah
level 2 atau lebih. Sedangkan angka kejadian yang direkomendasikan
oleh Infusion Nurses Society (INS) adalah 5% atau kurang. Dan jika
ditemukan angka kejadian phlebitis lebih dari 5%, maka data harus
dianalisis kembali terhadap derajat phlebitis dan kemungkinan
penyebabnya untuk menyusun pengembangan rencana kinerja perawat.
(Alezander, et al., 2010).
Adapun hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Awal Bros
Pekanbaru pada tahun 2013, ditemukan 27 orang pasien atau sekitar
18,6%, yang sudah menampakan adanya tanda-tanda phlebitis seperti
bengkak disekitar tusukan jarum infus, kemerahan dan nyeri disepanjang
vena (Agustini et al, 2013). Penelitian lain yang dilakukan di RSU
Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 angka kejadian phlebitis mencapai
42,4%. (Kurnia, 2013).
Penelitian yang di lakukan oleh Istifani A.L pada tahun 2012 di RSU
Anutapura Palu dengan 41 responden menemukan angka kejadian
phlebitis pada pasien yang dirawat inap sebesar 36,6% (Mekarti B, 2017).
Sedangkan angka kejadian phlebitis di RSU Anutapura Palu mengalami
penurunan dari tahun 2016 yaitu dari 699 orang yang mengalami phlebitis
menjadi 365 orang pada tahun 2017. Insiden phlebitis akan meningkat
sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan
3

atau obat yang di infuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan


tempat kanula dimasukkan. Kejadian phlebitis yang terjadi pada pasien
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain prosedur tetap pemasangan
infus, jenis cairan intravena yang digunakan, lamanya pemasangan dan
perawatan infus setelah pemasangan (Lestari, D, Dwi., et al. 2016)

B. Rumusan Masalah

Kurangnya pengetahuan mengenai Standar Operasional Prosedur


tentang pemasangan infus yang menyebabkan tingginya angka kejadian
health care association infection yang berdampak dengan terjadinya
phlebitis, maka dirasa perlu untuk melakukan evaluasi terhadap faktor-
faktor penyebabnya sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
komplikasi yang dapat membahayakan pasien.
Dari pernyataan di atas maka bisa disimpulkan bahwa rumusan
masalah penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apa saja faktor-faktor
yang ada hubungan dengan terjadinya phlebitis pada pasien dengan
infus di ruang perawatan RSU Anutapura Palu Palu tahun 2018?

C. Pertanyaan penelitian

a. Apakah ada hubungan antara status gizi pasien dengan terjadinya


phlebitis?
b. Apakah ada hubungan antara jenis cairan infus intravena yang
digunakan dengan terjadinya phlebitis?
c. Apakah ada hubungan antara ukuran intravena yang digunakan
dengan terjadinya phlebitis?
d. Apakah ada hubungan antara lamanya pemasangan infus dengan
terjadinya phlebitis?
e. Apakah ada hubungan antara lokasi pemasangan dengan terjadinya
phlebitis?
4

D. Hipotesis Penelitian

a. Ada hubungan antara status gizi pasien dengan terjadinya phlebitis


b. Ada hubungan antara jenis cairan infus intravena yang digunakan
dengan terjadinya phlebitis
c. Ada hubungan antara ukuran kateter intravena yang digunakan
dengan terjadinya phlebitis
d. Ada hubungan antara lamanya pemasangan infus intravena dengan
terjadinya phlebitis
e. Ada hubungan antara lokasi pemasangan infus intravena dengan
terjadinya phlebitis

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Umum

Mengetahui kejadian phlebitis pada pasien dengan infus di ruang


perawatan RSU Anutapura Palu pada tahun 2018.
2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi pasien dengan


terjadinya phlebitis
b. Untuk mengetahui hubungan antara jenis cairan infus intravena yang
digunakan dengan terjadinya phlebitis
c. Untuk mengetahui hubungan antara ukuran kateter intravena yang
diguhnakan dengan terjadinya phlebitis
d. Untuk mengetahui hubungan antara lamanya pemasangan infus
intravena dengan terjadinya phlebitis
e. Untuk mengetahui hubungan antara lokasi pemasangan infus intravena
dengan terjadinya phlebitis
5

F. Manfaat penelitian

1. Manfaat Keilmuan

a. Sebagai dasar pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya


yang terkait dengan hasil penelitian ini.
b. Sebagai bahan bacaan dan bahan rujukan untuk institusi pendidikan
dan kesehatan.

2. Manfaat Aplikasi

a. Sebagai informasi bagi instansi pelayanan kesahatan bahwa betapa


pentingnya melakukan perawatan berdasarkan standar operasional
prosedur sehingga dapat menanggulagi terjadinya phlebitis.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI

1. Infus Intravena

a. Definisi

Terapi intravena adalah salah satu teknologi yang paling sering


digunakan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Terapi ini
merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada pasien
yang tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok untuk
memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh manusia. (Hindley, 2004; WHO, 2005; Potter & Perry, 2005)

b. Epidemiologi

Tabel 1. Angka pemasangan infus di RSU Anutapura Palu Tahun 2016


No. Bulan Pemasangan Infus
1. Januari 8.176
2. Februari 9.015
3. Maret 8.290
4. April 8.587
5. Mei 8.385
6. Juni 8.748
7. Juli 6.837
7

Lanjutan Tabel
8. Agustus 7.539
9. September 7.254
10. Oktober 7.687
11. November 7.536
12. Desember 6.897
(Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2017 )

Tabel 2. Angka pemasangan infus di RSU Anutapura Palu Tahun 2017


No. Bulan Pemasangan Infus
1. Januari 7.621
2. Februari 7.709
3. Maret 7.806
4. April 6.910
5. Mei 7.682
6. Juni 7.204
7. Juli 8.483
8. Agustus 6.991
9. September 7.877
10. Oktober 7.016
11. November 7.314
12. Desember 7.087
(Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2018 )

Angka kejadian pemasangan infus di RSU Anutapura Palu pada tahun


2016 yang tertinggi yaitu pada bulan Februari dan terendah yaitu pada
bulan juli. Sedangkan pada tahun 2017 angka kejadian yang tertinggi yaitu
pada bulan Juli dan yang terendah pada April. (RSU Anutapura Palu,
2018).
8

c. Keuntungan dan Kerugian

Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi


intravena adalah :
1) Keuntungan
Keuntungan terapi intravena antara lain efek terapeutik segera dapat
tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat,
absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat
diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik
dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat
tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai
untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul
yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.
2) Kerugian
Kerugian terapi intravena adalah tidak bisa dilakukan “drug recal’ dan
mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas
tinggi, kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speed
shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba
melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular,
misalnya phlebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari
berbagai obat tambahan.

d. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Terapi Intravena

Menurut Perry & Potter (2006) indikasi pada pemberian terapi


intravena: pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui
intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada
kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga
memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral.
Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya
diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis
9

ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui
mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi
bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan. Obat tersebut memiliki
bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui
mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena
(sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang
susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat
diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke
dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah
langsung. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang
tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada
keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain
seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah
kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot). Kesadaran menurun dan
berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke pernapasan), sehingga
pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam
darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang
mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita
diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian
antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak
antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai
kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi
intravena: Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi
pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal,
karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-
V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang
10

berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya


lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

e. Jenis Cairan Intravena

Cairan infus merupakan cairan yang berfungsi untuk memenuhi


kebutuhan tubuh dan mengganti cairan yang keluar. Pemberian cairan
infus merupakan tindakan memasukan cairan melalui intravena yang
dilakukan pada pasien dengan bantuan perangkat infus (Hignell P, 2012;
Guide Provider, 2005)
Cairan infus terbagi atas dua bentuk yang berbeda antara lain :
1) Koloid
Koloid mengandung komponen makro seperti protein dan molekul makro
lainnya.Protein dan molekul tersebut sangat besar sehingga
menyebabkan tidak mampu melewati kapiler dan masuk ke sel.
Berdasarkan hal tersebut koloid terakumulasi dalam pembuluh darah
dalam waktu yang lama mengakibatkan peningkatan volume intravaskular
yang signifikan.Protein juga memiliki kemampuan untuk menarik air dari
sel ke pembuluh darah.hal itu memberikan keuntungan hanya dalam
waktu yang singkat tetapi pemberian dalam waktu yang lama
menyababkan sel kekurangan cairan dan dehidrasi (Hignell P, 2012).
Koloid berfungsi untuk menjaga volume darah, tetapi pengunaannya di
batasi.Koloid merupakan sediaan yang mahal, sehingga di tempat
pelayanan biasanya memiliki tempat penyimpanan yang khusus.
Beberapa contoh cairan koloid seperti Albumin, HES (Hydroxyetyl
Starches), Gelatin, Plasma Protein Fraction, Salt Poor Albumin, Dextran,
dan Hetastarc.

2) Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan utama yang paling sering digunakan
dalam terapi intravena. Kristalaoid adalah larutan air dengan elektrolit
11

yang mengandung micro molekul. Kristaloid mengandung elektrolit


(contoh: sodium, potassium, calcium dan clorida). Sediaan kristaloid di
bedakan berdasarkan tonisitasnya.
Tonisitas kristaloid menggambarkan konsetrasi dari elektrolit yang larut
dalam air. Kristaloid yang menggandung tonisitas yang sama dengan
plasma maka di golongkan sebagai “ Isotonik”. Isotonis adalah larutan
yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan plasma. Plasma
merupakan komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang
menjadi medium sel-sel darah merah. Tonisitas adalah tekanan osmotik
yang di berikan oleh larutan atau padatan terlarut. Tekanan osmotik
adalah besanya tekanan yang harus diberikan pada suatu larutan untuk
mencegah mengalirnya molekul-molekul pelarut kedalam larutan melalui
membran semi permeabel. Jika kristaloid memiliki tonisitas yang lebih
tinggi maka di golongkan hipertonik dan kebalikannya adalah
hipotonik.Sedian yang paling sering digunakan adalah Ringer Lactat (RL),
Saline, Dextrosa 5% (Hignell P, 2012).
Kristaloid sangat erat hubungan dengan cairan tubuh manusia yang
terbagi atas cairan intraseluler, intravaskuler dan extraseluler. cairan
intraseluler merupakan cairan yang berada dalam sel. Cairan intraseluler
merupakan cairan yang memiliki frekuensi terbanyak dalam tubuh
manusia dimana mencapai 40%, sedangkan cairan ektraseluler terbagi
atas dua bagian yaitu cairan intertisiel dan intravasculer yakni keduanya
mengandung 20% dari cairan tubuh dengan frekuensi 15% cairan
intertisiel dan 5% intravaskuler (Hignell P, 2012).
Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Perry dan Potter, (2005) cairan
intravena (infus) dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Cairan Hipertonis
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan
dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
12

hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose


5%+Ringer-Lactate.

2) Cairan Hipotonis
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari
dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

3) Cairan Isotonis
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

f. Lokasi Pemasangan Infus Intravena

Lokasi vena perifer yang sering digunakan untuk pemasangan infus


adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subkutan
dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah
13

tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena


supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam
(vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan
bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus
dorsalis). (Potter, 2005; Provider Guide, 2005; Hignell, 2012; Barruel,
2013)

Gambar 1. Anatomi Vena Superficial Dorsal tangan

Gambar 2. Anatomi pembuluh darah vena tangan atas

Menurut Dougherty et al (2010), Pemilihan lokasi pemasangan terapi


intravana mempertimbangkan beberapa faktor yaitu :
1) Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat
penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir.
14

2) Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima


jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti
pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun
3) Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan
tingkat kesadaran
4) Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan
sering memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimentasi
adalah sangat mengiritasi vena-vena perifer)
5) Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan
pengukuran untuk memelihara vena, pilih vena yang akurat dan baik,
rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal
(misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan)
6) Ketersediaan vena perifer : bila sangat sedikit vena yang ada,
pemilihan sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting, jika
sedikit vena pengganti.
7) Terapi intravena sebelumnya : tromboflebitis sebelumnya membuat
vena menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering membuat
vena menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau sklerosis)
8) Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang terkena
pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat (misalnya pasien
mastektomi) tanpa izin dari dokter
9) Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada
pasien dengan stroke
10) Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami
pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.

g. Alat dan Bahan yang Digunakan

Alat dan bahan yang digunakan untuk pemasangan infus intravena


berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) di RSU Anutapura Palu
pada tahun 2017, yaitu :
15

1) Baksteril
2) Kapas alcohol
3) Abocath
4) Infuset tiang infus
5) Plester/hypafix
6) Cairan infus
7) Kasa steril
8) Betadin
9) manset

h. Prosedur Pemasangan Infus Intravena

Pemasangan infus adalah suatu tindakan dengan memasukkan cairan


elektrolit, nutrisi dan obat-obatan ke dalam vena (pembuluh darah) melalui
kanul. Teknik pemasangan infus intravena berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) di RSU Anutapura Palu pada tahun 2017, yaitu:
1) Mencuci tangan
2) Menyiapkan alat-alat
3) Memberikan salam
4) Menjelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada keluarga
5) Memberikan kesempatan klien bertanya sebelum kegiatan dilakukan
6) Menanyakan keluhan utama
7) Menjaga privacy pasien
8) Meletakkan pasien pada posisi semi fowler atau supine jika tidak
memungkinkan
9) Memakai sarung tangan
10) Menggulung baju/kemeja pasien ke arah atas
11) Meletakkan manset 5-15 cm di atas tempat tusukan
12) Menghubungkan cairan infus dengan infusset dan gantungkan
13) Meletakkan alat plastic di bawah lengan pasien
16

14) Memeriksa label pasien sesuai dengan instruksi cairan yang akan
diberikan
15) Mengalirkan cairan infus melalui selang infus sehingga tidak ada
udara di dalamnya
16) Mengencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan
kesterilan sampai pemasangan pada tangan disiapkan
17) Mengencangkan tourniquet/manset tensi meter (tekanan di bawah
sistolik)
18) Menganjurkan pasien untuk mengepal dan membukanya beberapa
kali, palpasi dan pastikan tekanan yang akan ditusuk
19) Membersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alcohol, arah
melingkar dari dalam keluar lokasi tusukan
20) Menggunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena di atas/di
bawah tusukan
21) Memegang pada posisi 30 derajat pada vena yang akan ditusuk,
setelah pasti masuk lalu tusuk perlahan dengan pasti
22) Merendahkan posisi jarum sejajar pada kulit dan tarik jarum sedikit
lalu teruskan plastic IV ke dalam vena
23) Menekan dengan ujung jari plastik IV
24) Menarik jarum infus keluar
25) Menyambungkan plastik IV kateter dengan ujung selang infus
26) Melepaskan manset
27) Membuka klem infus sampai cairan mengalir lancar
28) Mengoleskan dengan salep betadine di atas penusukan, kemudian
ditutup dengan kasa steril
29) Mengatur tetesan infus sesuai ketentuan, pasang stiket yang sudh
diberi tanggal
30) Melepas sarung tangan
31) Mencuci tangan/mendokumentasikan
17

i. Lama Pemasangan Infus Intravena

Lama pemasangan infus adalah dasar yang digunakan untuk


mengganti tempat pemasangan infus intravena yang telah direncanakan
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi seperti phlebitis.
Frekuensi rotasi tempat penusukan intravena tergantung pada bahan
kateter. Untuk rotasi tempat penusukan fungsi vena perlu diganti setiap 48
sampai 72 jam. Jika alat-alat tetap terpasang lebih dari 72 jam karena
terbatasnya pemilihan vena. Alasan tersebut harus didokumentasikam
dalam catatan perawat (Rocco dan Otto, 1998).
Frekuensi penggantian selang intravena merupakan kewaspadaan
klinik yang sesuai dengan rekomendasi dari pabrik pada situasi-situasi
berikut yang terdapat dalam pedoman centers for disease control and
intravenous nurses society :
1) Secara rutin setiap 72 jam rotasi tempat penusukan dilakukan
2) Jika ujung selang terkontaminasi akibat tersentuh
3) Jika darah menyumbat selang dan tidak dapat dibilas dengansegera
4) Setelah pemberian darah atau produk lipid

j. Pemantauan dan Perawatan Infus Intravena

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan


mengganti balutan/plester pada area insersi infus. Frekuensi penggantian
balutan ditentukan oleh kebijakan institusi. Dahulu penggantian balutan
dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah dikurangi menjadi setiap 48
sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan dengan penggantian daerah
pemasangan IV. Tujuan perawatan infus yaitu mempertahankan tehnik
steril, mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah,
pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi.
Prosedur perawatan infus yaitu (NHS, 2009; Lawenga, 2012; Perdana,
2016) :
18

1) Pakai sarung tangan sekali pakai


2) Lepaskan balutan trasparan searah dengan arah pertumbuhan rambut
klien atau lepaskan plester dan kasa balutan yang lama selapis demi
selapis. Untuk kedua balutan trasparan dan balutan kasa, biarkan
plester memfiksasi jarum IV atau kateter tetap di tempat
3) Hentikan infus jika terjadi phlebitis, infiltrasi, bekuan, atau ada
instruksi dokter untuk melepas
4) Apabila infus mengalir dengan baik, lepaskan plester yang memfiksasi
jarum dan kateter setalah itu stabilkan jarum dengan satu tangan
5) Gunakan pinset dan kasa untuk membersihkan dan mengangkat sisa
plester
6) Bersihkan tempat insersi dengan gerakan memutar dari dalam kearah
luar dengan menggunakan yodium povidon.
7) Pasang plester untuk fiksasi.
8) Oleskan salep atau yodium povidon di tempat insersi infus.
9) Letakkan kasa kecil diatas salep/yodium povidon.
10) Tutup kasa dengan plester.
11) Tulis tanggal dan waktu penggantian balutan.
12) Bereskan alat-alat yang telah digunakan.
13) Lepas sarung tangan dan cuci tangan.
14) Kaji kembali fungsi dan kepatenan infus.
15) Kaji respon klien.
16) Dokumentasikan waktu penggantian balutan, tipe balutan, kepatenan
sistem IV, kondisi daerah vena, respon klien.

Standar Prosedur Operasional (SPO) perawatan Infus di RSU Anutapura


Palu, tahun 2017 yaitu :
Tahapan kerja
1) Mengatur posisi pasien (tempat tusukan infus terlihat jelas)
2) Memakai sarung tangan
19

3) Membasahi plester dengan alkohol dan buka balutan dengan


menggunakan pinset
4) Membersihkan bekas plester
5) Membersihkan daerah tusukan dan sekitarnya dengan NaCl
6) Mengolesi tempat tusukan dengan iodin cair/salf
7) Menutup dengan kassa steril dengan rapi
8) Memasang plester penutup
9) Mengatur tetesan infus sesuai program

k. Pengendalian Infeksi Pada pemasangan Infus

Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan
untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien. Teknik
dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan
infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok
dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan
kuat dan ringkas yang kemudian di bilas di bawah aliran air. Tujuannnya
untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel di tangan.
Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan
infeksi. Cuci tangan merupakan sebagai salah satu kewaspadaan standar
yang harus dilakukan, sehingga penularan penyakit dari pasien melalui
perawat, ataupun penularan keperawat sendiri dapat dihindari jika setiap
perawat ataupun petugas kesehatan melakukan tindakan mencuci tangan
sebelum maupun sesudah kontak untuk meminimalkan terjadinyan infeksi
nosokomial.
Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan dipakai harus didahului
dengan penilaian risiko pajanan dan sejauh mana antisipasi kontak
dengan patogen dalam darah dan cairan tubuh. Penggunaan sarung
tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam
meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu
lingkungan bebas infeksi (Tietjen, 2004).
20

Selain itu, komponen yang sangat penting dalam kewaspadaan


standar adalah desinfeksi dan sterilisasi. Desinfeksi adalah suatu tindakan
untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan
sporanya pada alat perawatan atau permukaan jaringan (Tietjen, 2004).
Sedangkan, sterilisasi adalah suatu tindakan untuk membunuh kuman
patogen dan apatogen beserta sporanya pada alat perawatan (Thietjen,
2004).
Pada saat pemasangan infus harus menggunakan teknik sterilisasi.
Apabila ada saat melakukan pemasangan infus alat-alat yang akan
digunakan tidak menggunakan teknik sterilisasi akan mengakibatkan
tromboflebitis seperti pembengkakan, kemerahan, nyeri disepanjang vena.
Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena infus yang seharusnya
dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum waktunya karena
disebabkan oleh alat-alat bantu yang digunakan untuk memasang infus
tidak menggunakan teknik sterilisasi (Harry, 2006). Sesuai dengan
penjelasan sebelumnya bahwa kewaspadaan standar dapat menurunkan
resiko infeksi nosokomial diantaranya adalah resiko infeksi akibat
pemasangan jarum infus (phlebitis).

l. Akibat dari Pemasangan Infus

Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka


waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
komplikasi. Komplikasi dari pemasangan infus yaitu hematoma, infiltrasi,
tromboflebitis, emboli udara (Hinlay, 2006; Kaur P. et al, 2011).
1) Flebitis
Peradangan pada dinding pembuluh darah vena yang disebabkan oleh
iritasi kimia, mekanik dan bakterial. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan
adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah
insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area
insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
21

2) Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling
tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan
(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi
yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan
kecepatan aliran secara nyata.
Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada
tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih
dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket
di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan
mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran
vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti
terjadi infiltrasi.
3) Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi,
pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,
eritromycin, dan nafcillin)
4) Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar
area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan
yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau
kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis,
pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah
pada tempat penusukan.
5) Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan
dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang
terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area
insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa
22

tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat,


demam, malaise, dan leukositosis.
6) Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan
aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding
vena, pelekatan platelet.
7) Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV,
aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
8) Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar
vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme
vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin,
iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran
yang terlalu cepat.
9) Reaksi vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,
berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan
10) Kerusakan syaraf, tendon dan ligament
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstremitas, kebas/mati rasa, dan kontraksi
otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan
deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak
tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

2. Phlebitis Akibat Pemasangan Infus Intravena

b. Definisi
23

Phlebitis merupakan inflamasi pada tunika intima pembuluh darah vena


yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus.
Peradangan di dapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada
endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan trombosit pada area
tersebut. (INS, 2006; Ariyanto, 2011).

c. Epidemiologi

Menurut data surveilans World Health Organisation (WHO) angka


kejadian infeksi nosokomial yaitu 5% per tahun pada 9 juta orang dari 190
juta pasien yang dirawat di rumah sakit dan juga dapat menyebabkan
kematian 1,4 juta kematian setiap hari diseluruh dunia. Sedangkan
menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap,
angka kejadian phlebitis di Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 744
orang (17,11%) (Depkes RI, 2006; Leetari D. D., et al, 2016)
Angka kejadian phlebitis merupakan salah satu indikator mutu asuhan
keperawatan yang diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian phlebitis
dengan jumlah pasien yang mendapat terapi intravena dengan standar
kejadian ≤1,5% (Depkes RI, 2008). Data Depkes RI Tahun 2013 angka
kejadian phlebitis di Indonesia sebesar 50,1% untuk rumah sakit
pemerintah dan sedangkan rumah sakit swasta sebesar 32,7. Infusion
Nursing Standart of Practice (2006) merekomendasikan bahwa level
phlebitis yang harus di laporkan adalah level 2 atau lebih. Sedangkan
angka kejadian yang direkomendasikan oleh Infusion Nurses Society
(INS) adalah 5% atau kurang. Dan jika ditemukan angka kejadian phlebitis
lebih dari 5%, maka data harus dianalisis kembali terhadap derajat
phlebitis dan kemungkinan penyebabnya untuk menyusun pengembangan
rencana kinerja perawat. (Alezander, et al., 2010)
Penelitian yang dilakukan di Brasil oleh Gomes, A. C. R., et al (2011) di
Rumah Sakit Pro-Cardiaco, dari 36 pasien terdapat 16,7% kasus phlebitis.
Di Batala, Punjab dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaur, P., et al
24

(2011) di temukan 56,5% kasus phlebitis dari 200 pasien. Penelitian yang
dilakukan di National Healt and Medical Research Council (NHMRC)
Centre for Research Excellence in Nursing tahun 2013, didapatkan 23%
kasus phlebitis dari 233 pasien. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Zahedan, Iran pada tahun 2013 di dapatkan 44% kasus
phlebitis dari 300 pasien.

Tabel 3. Angka kejadian phlebitis di dunia

No. Penulis Lokasi Tahun Kejadian

Gomes, A. C. 16,7% kasus dari


1. Brasil 2011
R., et al 36 pasien

56,5% kasus dari


2. Kaur, P., et al Batala, Punjab 2011
200 pasien

Barruel, G. R., 23% kasus dari


3. Australia 2013
et al 233 orang

Abadi, S. A., et 44% kasus dari


4. Iran 2013
al 300 pasien

Tabel 4. Angka kejadian phlebitis di Indonesia

No. Penulis Lokasi Tahun Kejadian


1. Ince Maria dan Erlin Kediri 2012 2,9%
Kurnia
2. Lindayanti, N dan Semarang 2013 13,6%
Priyanto
3. Agustini Chandra, et al Pekanbaru 2013 21,7%
4. Irawati Nurma Wonogiri 2014 20,52%
25

Tabel 5. Angka Kejadian phlebitis di Sulawesi Tengah

No. Penulis Lokasi Tahun Kejadian


RSU Mokopido Toli-
1. Septiari 2006 42,4%
toli
2. Istifani, A. L RSU Anutapura Palu 2012 36,6%

Berikut adalah tabel angka kejadian phlebitis di RSU Anutapura Palu


yang diambil lima tahun terakhir yairu dari tahun 2013 sampai tahun 2017.
Angka kejadian phlebitis mengalami peningkatan dari tahun 2013 ke tahun
2014 dan dua tahun terakhir dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami
penurunan yang signifikan (PPI, 2018).

Tabel 6. Angka kejadian phlebitis di RSU Anutapura Palu

Angka Kejadian
Tahun
Phlebitis
2013 165
2014 605
2015 674
2016 699
2017 365

Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2018

d. Etiologi

Phlebitis disebabkan oleh iritasi kimia, mekanik dan bakterial. Selain


itu, juga disebabkan karena infeksi nosokomial yang didapatkan selama
perawatan di Rumah Sakit. (Haskas, 2014; Maria & Kurnia, 2012;
Purilinawati, 2014; Prastika et al, 2009; Efitrianiza, 2013; Iradiyanti &
Kurnia, 2013).
26

a) Iritasi Kimia
Biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan
yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan
osmolaritas tinggi, sebagai contoh adalah cairan dextrose hipertonik atau
cairan yang mengandung kalium klorida (Kaur P., et al, 2011; Barruel G.
Y., 2013).
1. Jenis cairan infus
PH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko
phlebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, di mana
keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama
proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam
amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih
flebitogenik dibandingkan normal saline (Lawenga I. A., 2012)
2. Jenis obat yang dimasukan melalui infus
Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat,
antara lain Kalium Klorida, Vancomycin, Amphotrecin B, Cephalosporins,
Diazepam, Midazolam dan banyak obat kemoterapi. Larutan infus dengan
osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna dalam
pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap phlebitis. Jadi,
jika diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan
filter sampai 5 μm (Pettit J dan Wyckoff M. M, 2007; Gomes A. C. R., et al
2011).
Jenis obat-obatan yang bisa di berikan melalui infus antara lain seperti:
Golongan antibiotik (Ampicicilin, amoxcicilin, clorampenicol, dll), anti
diuretic (furosemid, lasix dll) anti histamin atau setingkatnya (Adrenalin,
dexamethasone, dypenhydramin). Karena kadar puncak obat dalam darah
perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan
langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat
dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia
27

berat dan mengancam nyawa. Alasan ini juga sering digunakan untuk
pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa
banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu
mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri. Dalam
pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran
serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi
seperti phlebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara
baik. Biasanya untuk mencampur serbuk antibiotik/obat-obat yang lain
yang diberikan secara IV adala cairan aquades dengan perbandingan 4cc
larutan aquades berbanding 1 vial antibiotik atau 6cc larutan aquades
berbanding 1 vial serbuk antibiotik. Bila pencampuran obat terlalu pekat
maka aliran dalam infus terhambat dan dapat menyebabkan phlebitis
(Hankins, 2000)

b) Iritasi Mekanik
Terjadi karena faktor bahan kimia yang digunakan berdiameter besar,
sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah. Phlebitis dapat pula
terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau
pergelangan tangan
1. Lokasi pemasangan infus
Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan
bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >
500 mOsm/L. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 0,9%, produk darah,
dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin,
terutama pada pasien usia lanjut, karena akan menganggu
kemandirian lansia (NHS, 2007; Earhart A, 2013)
2. Ukuran kateter intravena
Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula
yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan iritasi
mekanik. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena
dan difiksasi dengan baik.
28

3. Jenis kateter infus


Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi
dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih
termoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk phlebitis dimiliki kateter yang
terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (Earhart A, 2013)

c) Iritasi Bakterial
Misalnya fiksasi kurang baik sehingga menyebabkan kanul bergerak-
gerak dalam pembuluh darah dan menyebabkan iritasi pada pembuluh
darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan phlebitis antara lain tindakan
pembersihan yang akan dilakukan, penusukan kateter intravena kurang
baik dan juga adanya bakteri. (Boker dan Ignaticus 1996) menyimpulkan
bahwa bakteri-bakteri yang terdapat pada kulit yang mempunyai potensi
menyebabkan phlebitis adalah Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus (Lawenga I. A, 2012; Earhart A, 2013; Sepvi F,
2015)
1. Teknik pencucian tangan yang buruk
Infeksi di rumah sakit dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal
dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Oleh karena itu perlu usaha
pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi yaitu dengan
meningkatkan perilaku cuci tangan yang baik
2. Teknik aseptik tidak baik
Faktor yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah
perawat, pada saat melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan
tindakan aseptik dengan baik dan sesuai dengan standar operasional
prosedur.
3. Teknik pemasangan kanula yang buruk
Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk, mengakibatkan pasien
akan terpapar pada resiko terkena infeksi nosokomial berupa phlebitis.
4. Lama pemasangan kanula
29

Kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena


sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian
yang terlalu lama. The Center for Disease Control and Prevention
menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi
potensi infeksi.
5. Perawatan infus
Perawatan infus bertujuan untuk mempertahankan tehnik steril,
mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah,
pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi
sehingga dapat mengurangi kejadian phlebitis.
6. Faktor pasien
Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka phlebitis mencakup
usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yaitu diabetes melitus, infeksi, luka
bakar).

a. Faktor resiko phlebitis

Banyak Faktor resiko phlebitis yang telah diidentifikasi antara lain


durasi atau lama pemasangan, cuci tangan, sterilisasi kateter, jenis cairan
dan ukuran kateter (Lawenga I. A, 2012; Sepvi F, 2015).
Faktor-faktor tertentu yang lebih spesifik adalah pemilihan vena perifer
(eksrimitas superior dan inferior), perawatan pasca pemasangan yang
baik, umur, dan keterampilan pemasangan.

e. Gambaran klinik

Phlebitis dikarekteristikan dengan adanya dua atau lebih tanda


inflamasi pada bagian vena dan sekitarnya. Tanda inflamasi dapat berupa
ditemukanya tumor (bengkak) , rubor (Kemerahan), kalor (panas), dolor
(nyeri) dan fungsio laesa (NPR, 2011; NHS, 2009)
30

1) Rubor (Kemerahan)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang
ditemukan di daerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi
peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut mengalami
pelebaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih
banyak.
2) Kalor (Hipertermi)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan.
Daerah sekitar peradangan menjadi lebih panas, karena darah yang
disalurkan ke daerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya
yang normal.
3) Tumor (Oedem)
Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi ke jaringan interstitiel, campuran antara sel yang tertimbun di
daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan ini reaksi peradangan
eksudatnya adalah cairan.
4) Dolor (Nyeri)
Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan
pH lokal ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung
saraf, selain itu juga pembengkakan yang terjadi dapat juga menyebabkan
peningkatan tekanan lokal yang dapat merangsang sakit.
5) Fungtio laesa (hilangnya fungsi)
Hilangnya fungsi dapat disebabkan oleh penumpukan cairan pada cidera
jaringan dan karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada
daerah yang terkena.

Penilaian tingkat keparahan phlebitis bisa dengan menggunakan skor


visual phlebitis yang telah di kembangkan oleh Andrew dan Jackson
sebagai berikut :
31

Tabel 7. Skor Visual phlebitis.

No Hasil Observasi Stadium Skor


0 Tempat suntikan tampak sehat Tidak ada 0
1 Salah satu tanda jelas : Mungkin tanda 1
- Nyeri pada tempat suntikan dini phlebitis
- Eritema tempat suntikan
2 Dua tanda jelas : Stadium dini 2
- Nyeri phlebitis
- Kemerahan
- Pembengkakan
3 Semua tanda jelas : Stadium 3
- Nyeri sepanjang kanula moderat
- Eritema phlebitis
- Indurasi
4 Semua tanda jelas : Stadium lanjut 4
- Nyeri sepanjang kanula dan awal
- Eritema thrombophlebitis
- Indurasi
- Teraba venous cord
5 Semua tanda jelas : Stadium lanjut 5
- Nyeri sepanjang kanula thrombophlebitis
- Eritema
- Indurasi
- Venous cord teraba
- Demam

f. Pencegahan Phlebitis

Phlebitis sering terjadi pada pemberian terapi cairan dan pemberian


obat melalui intravena. Pengetahuan merupakan faktor penting untuk
mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis (Lawenga I. A, 2012). Ada
32

banyak hal yang harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya phlebitis


antar lain:
1) Mencegah phlebitis bakterial
Tindakan pencegahan pada phlebitis ini adalah dengan mencuci tangan,
teknik aseptic, perawatan pada daerah yang terpasang infus serta anti
sepsis kulit. Antisepsis bisa menggunakan chlorhexedine 2%, yodium dan
alkohol 70 %.
2) Waspada dan tindakan aseptik.
Prinsip aseptik dalam setiap melaksanakan tindakan pemasangan infus
merupakan cara untuk mencegah terjadinya phlebitis. Pada tempat
pengambilan sampel darah dan stopcock (persambungan kateter dengan
selang infus) tempat masuknya bakteri.
3) Rotasi kateter.
Mengganti tempat rotasi kateter merupakan salah satu cara mengurangi
terjadinya phlebitis. Apabila tidak ada kontra indikasi penggantian kanula
kateter lebih dari 72 jam bila lebih dari 72 – 96 jam maka berisiko terjadi
infeksi salah satunya adalah phlebitis.
4) Aseptic dressing
Dressing (perawatan infus) adalah suatu upaya atau cara untuk
mencegah masuknya mikroorganisme pada vaskuler sehingga tidak
menimbulkan terjadinya infeksi saat terpasang infus. Dressing adalah
tindakan yang dilakukan dengan mengganti balutan/plester pada area
insersi.
5) Kecepatan pemberian cairan
Tingkat risiko phlebitis ini kecil apabila lambatnya cairan infus hipertonik
yang masuk mengaliri pembuluh darah vena dan penggunaan ukuran
kateter yang sesuai dengan ukuran vena. Semakin tingkat osmolaritasnya
tinggi dan laju kecepatan cairan yang masuk risiko terjadinya iritasi pada
pembuluh darah vena semakin besar maka dianjurkan dalam memberikan
terapi cairan benar benar memperhitungkan hitungan tetesan cairan yang
sesuai dengan kebutuhan.
33

6) Titrable acidity
Titrable acidity adalah mengukur jumlah alkali untuk menetralkan pH pada
larutan infus. Seperti larutan glucose 10 % mengandung pH 4,0 yang tidak
menyebabkan perubahan titrable aciditynya rendah 0,16 mEq/L maka
makin rendah titrable acidity larutan infus maskin rendah risiko terjadinya
phlebitis.
7) Heparin dan hidrokortison
Heparin merupakan cairan yang dapat menambah lama waktu
pemasangan kateter. Pemberian larutan seperti kalium clorida, lidocain
dan anti microbial dapat dikurangi dengan pemberian melalui intra vena.
Penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat
membentuk endapan kalsium sehingga terjadi penyumbatan pada kateter,
penyumbatan pada kateter dalam jangka waktu yang lama menimbulkan
risiko terjadinya phlebitis.

3. Faktor-faktor yang ada hubungan dengan terjadinya phlebitis


akibat pemasangan infus intravena

a. Status Gizi
Pada pasien dengan status gizi buruk mempunyai vena yang tipis
sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya
kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
Menurut Mustika (2012) status gizi adalah keadaan tubuh yang
merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke
dalam tubuh dan penggunaannya. Ada beberapa faktor yang sering
merupakan penyebab gangguan gizi, baik langsung maupun tidak
langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi khususnya
gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi yang
mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka.
Beberapa faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya
34

gangguan gizi terutama antara lain pengetahuan, prasangka buruk


terhadap makanan, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan
tertentu, jarak kelahiran yang terlalu rapat, tingkat pendapatan dan
penyakit infeksi (Hartanto,2014; Marimbi, 2010).

b. Jenis cairan yang digunakan


Cairan atau obat-obatan yang bersifat iritan mengakibatkan reaksi
peradangan di daerah tunika intima vena. Peradangan menyebabkan
terjadi pembentukan thrombus yang dapat menyebabkan penyumbatan
yang sempurna di daerah lumen pembuluh darah tempat pemasangan
infus.
Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan
tersebut yang akan digunakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan,
besar molekul suatu cairan atau dibedakan pada suatu komposisi atau
kandungan dalam suatu larutan infus. Pembagian cairan infus menurut
tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat
dalam larutan tersebut, antara lain larutan isotonik, larutan hipotonik dan
larutan hipertonik. (Potter dan Perry, 2006)
Osmolaritas dan pH cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko
phlebitis tinggi. pH darah normal terletak antara 7,35-7,45 dan cenderung
basa. pH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang
berarti adalah netral. Osmolaritas diartikan sebagai konsentrasi sebuah
larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang
sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H 2O.
Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik dan
hipertonik sesuai dengan osmolaritas larutan tersebut dibandingkan
dengan osmolaritas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki
osmolaritas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memiliki
osmolaritas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi
disebut larutan hipertonik (INS, 2006). Tonisitas suatu larutan tidak hanya
berpengaruh terhadap suatu fisik klien akan tetapi juga berpengaruh
35

terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan


mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmolar yang
mempunyai osmolaritas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada
pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan
isotonik akan menjadi lebih hiperosmolar apabila ditambah dengan obat,
elektrolit maupun nutrisi. Menurut Imam Subekti vena periver dapat
menerima osmolaritas sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi
osmolaritas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada
dinding vena perifer seperti phlebitis, thrombophlebitis dan thromboemboli.
Cairan yang bersifat hipertonis memiliki osmolaritas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari
jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah, misalnya: Dextrose 5%, NaCl
45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Laktat dan Manitol. Larutan-
larutan ini menarik air dari kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan
menyebabkan sel-sel mengkerut. Apabila diberikan dengan cepat dan
dalam jumlah besar dapat menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler
dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. (Potter dan
Perry, 2006)

c. Jenis kateter yang digunakan

Penggunaan material kateter juga berperan pada kejadian phlebitis.


Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (teflon)
mempunyai risiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang
terbuat dari silikon atau poliureten. (INS, 2006; Ariyanto, 2011)

d. Lama pemasangan infus

Lama pemasangan kateter infus sering dikaitkan dengan insiden


kejadian phlebitis. Menurut INS (2006) salah satu faktor yang berperan
dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain adalah pemasangan kateter
infus yang terlalu lama. Lama pemasangan kateter akan mengakibatkan
tumbuhnya bakteri pada area penusukan. Semakin lama pemasangan
tanpa dilakukan perawatan optimal maka bakteri akan mudah tumbuh dan
36

berkembang. Potter and Perry (2006), melaporkan hasil, dimana


mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada
15 pasien menyebabkan bebas phlebitis.
Menurut Fitriyanti (2015) dari hasil penelitian yang dilakukan,
menunjukkan bahwa paling banyak kejadian phlebitis terjadi pada pasien
yang mendapatkan infus lebig dari 3 hari (96-120 jam) yaitu tercatat pada
15 orang (22,1%) dan 6 orang lain (8,8%) tidak menderita phlebitis.
e. Teknik pemasangan infus
Pemasangan kateter intravena digunakan untuk memberikan cairan
ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk
memberikan garam yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme
atau untuk memberikan medikasi. Cuci tangan merupakan hal yang
penting untuk mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan dalam
tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan universal
petugas kesehatan yang melakukan tindakan invasif harus memakai
sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, teknik cuci
tangan yng baik harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan
sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang biak di lingkungan
sarung tangan yang basah dann hangat, terutama sarung tangan yang
robek (NIS, 2006)
Tujuan dari cuci tangan sendiri adalah menghilangkan kotoran dan
debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah
mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan sabun biasa dan
air, sama efektifnya dengan cuci tangan menggunkan sabun anti mikroba,
selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunkan teknik
aseptik. Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu
untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor
harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan
antiseptik.
f. Perawatan Infus intravena setelah pemasangan
37

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan


mengganti balutan/plester pada area insersi infus (Perry dan Potter,
2005). Frekuensi penggantian balutan ditentukan oleh kebijakan institusi.
Dahulu penggantian balutan dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah
dikurangi menjadi setiap 48 sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan
dengan penggantian daerah pemasangan IV (Gardner, 2006). Tujuan
perawatan infus yaitu mempertahankan tehnik steril, mencegah masuknya
bakteri kedalam aliran darah, pencegahan/meminimalkan timbulnya
infeksi, dan memantau area insersi.
g. Ukuran kateter intravena
Menurut Potter dan Perry (2006), ukuran jarum yang biasa digunakan
adalah ukuran 16, yang guna untuk dewasa, bedah mayor, trauma,
apabila sejumlah besar cairan perlu diinfuskan. Pertimbangkan perawatan
adalah sakit pada insersi, butuh vena besar. Sedangkan ukuran 18 guna
anak dan dewasa, untuk darah, komponen darah dan infus kental lainnya.
Pertimbangan perawat adalah sakit pada insersi, butuh vena besar.
Ukuran 20 guna untuk anak dan dewasa, sesuai untuk kebanyakan cairan
infus, darah, komponen darah, dan infus kental lainnya. Pertimbangan
perawatan adalah umum dipakai. Ukuran 22 guna bayi, anak dan dewasa
(terutama usia lanjut), cocok untuk sebagian besar cairan infus.
Pertimbangan perawatan adalah lebih muda untuk insersi ke vena yang
kecil, tipis dan rapuh, kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, sulit
insersi melalui kulit yang keras. Selain itu, ada ukuran 24 dan 26 guna
neonatus, bayi, anak, dewasa (terutama usia lanjut), sesuai untuk
sebagian besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat.
Penggunaan ukuran kateter yang besar pada vena yang kecil dapat
mengiritasi dinding vena.
h. Lokasi pemasangan infus intravena
Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau
penempatan kateter intravena. Penempatan kateter pada area fleksi lebih
sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas
38

digerakkan kateter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan


trauma pada dinding vena.
i. Faktor penyakit
Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya plebitis,
misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami
aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang
sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi.

B. KERANGKA TEORI

Gambar 3. Kerangka Teori

C. KERANGKA KONSEP
39

Variabel Independen Variabel Dependen

Jenis Cairan Intravena

Status Gizi

Ukuran Kateter
intravena

Lama pemasangan
infus

Lokasi pemasangan
infus

Perawatan infus
setelah pemasangan
Phlebitis

Teknik pemasangan
infus

Penyakit penyerta

Jenis kateter yang


digunakan

Keterangan:

Diteliti

Tidak ditelitti

Gambar 4. Kerangka Konsep

C. DEFINISI OPERASIONAL
40

1. Phlebitis
Penderita phlebitis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penderita
yang dipasang infus yang mempunyai dua dari lima tanda berikut dan
penderita yang dipasang infus tersebut sudah memenuhi kriteria objektif.
a. Nyeri pada tempat suntikan
b. Kemerahan
c. Pembengkakan
d. Kehilangan fungsi
e. Panas di sekitar tempat tusukan

Kriteria obyektif :
a. Phlebitis
b. Non phlebitis

2. Status Gizi Host


Status Gizi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan
kesehatan fisik responden yang akan ditentukan dengan penilaian secara
langsung memalui pemeriksaan antropometri. Secara umum antropometri
yaitu ukuran tubuh manusia. Berhubungan dengan berbagai macam
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi. Pemeriksaan antropometri dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, yaitu dengan menghitung Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB),
Lingkar Lengan Atas (LLA), Lingkar Kepala (LK), Lingkar Dada (LD), dan
Tebal Lipatan Kulit (TLK).
Pada umumnya pengukuran status gizi yang selalu di gunakan adalah
dengan menilai indeks massa tubuh menggunakan rumus index Massa
Tubuh, yaitu Berat Badan (dalan kg)/Tinggi badan (dalam m 2).

Kriteria penilaian:
Normal (18,5 s/d <23)
Underweight (<18,5)
Overweight (23 s/d <25)
41

Obesitas tipe 1 (25 s/d <30)


Obesitas tipe 2 (≥30)

Selain penilaian terhadap indeks massa tubuh, juga sering dilakukan


pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) menggunakan alat berupa pita
pengukur. Hasil pengukuran LLA kemudian diubah dalam bentuk
persentase dengan standar 29,3 cm untuk laki-laki dan 28,5 cm untuk
perempuan dan dihitung dengan rumus : hasil pengukuran LLA
(cm)/standar LLA laki-laki atau perempuan (cm)X100%.

Interpretasi status gizi berdasarkan %, yaitu:


Obesitas > 120%
Overweight 110-120%
Normal 90-110%
Underweight < 90%

Dalam penelitian ini, cara pengumpulan data dilakukan dengan


mengukur Lingkar Lengan Atas (LLA) responden. Jika memungkinkan
juga akan dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Adapun
kriteria objektif:
a. Kurus
b. Normal
c. Gemuk

3. Jenis cairan intravena


Jenis cairan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis cairan
yang digunakan untuk terapi yang memudahkan terjadinya phlebitis
seperti cairan isotonis dan hipertonis. Cairan isotonis adalah cairan yang
memiliki osmolaritas total sebesar 280-310 mOsm/L, cairan yang memiliki
osmolaritas yang lebih tinggi disebut cairan hipertonis. Yang dimaksud
dengan cairan isotonis yaitu cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal
saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) sedangkan cairan hipertonik
yaitu Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Laktat
42

(RL) dan Manitol. Data diperoleh dari hasil observasi dan dicatat pada
case report dengan kriteria objektif :
a. Isotonis
b. Hipertonis

4. Ukuran Kateter Intravena


Ukuran kateter intravena yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
ukuran kateter intravena yang digunakan untuk terapi infus intravena
apakah digunakan sesuai dengan usia dari responden atau tidak. Data
diperoleh dari hasil observasi dan dicatat pada case report dengan kriteria
objektif :
a. Sesuai Usia
b. Tidak sesuai Usia

5. Lama Pemasangan Infus


Lama Pemasangan infus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
durasi pemasangan infus yang awal sejak pasien dipasang infus hingga
saat dilakukan observasi pada lokasi yang tetap. Data diperoleh dari hasil
observasi dan dicatat dalam case report dengan kriteria objektif :
a. Lama Pemasangan ≥ 3 hari
b. Lama Pemasangan ≤ 3 hari

6. Lokasi Pemasangan Infus


Lokasi pemasangan infus yang dimaksud dalam penelian ini yaitu
lokasi dipasangnya jarum infus pada pasien. Infus yang dipasang di area
fleksi lebih mudah atau lebih berisiko menimbulkan kejadian phlebitis
karena pada saat ekstremitas digerakkan kateter yang terpasang ikut
bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Sedangkan
daerah tempat infus yang memungkinkan dan tidak beresiko phlebitis
adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena
basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena
43

sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena
radialis), dan permukaan dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis).
Data diperoleh dari hasil observasi dan dicatat pada case report dengan
kriteria objektif:
a. Berisiko ( Pergelangan tangan)
b. Tidak berisiko ( Selain pergelangan tangan)
44

DAFTAR PUSTAKA

1. Hindley, G. 2006. Infection control in peripheral cannulae. Nursing


Standard, 18 (27).
2. WHO, 2005. Word alliance of patient safety and, WHO Guidelines on
hand hygiene in health care advanced draft, Asummary cleans hands,
www.who.int/patient safety, 2011.
3. Perry, A.G. Potter, P.A. (2005). Pocket Guide to Basic Skills and
Procedures. St. Louis, Missouri, Alih Bahasa, Monica Ester, EGC,
Jakarta.
4. Haskas Yasir. 2014. Faktor yang berhubungan dengan kejadian
phlebitis di ruang perawatan interna Rumah Sakit Umum Daerah
Daya. Vol 4. Nomor 4.
5. Hidayat. 2006. Kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar
Operasional Pemasangan Infus terhadap flebitis. Jurnal STIKES
Volume 5, No. 1, 2006.
6. Wayunah. 2011. Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus
dengan kejadian flebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu. Tesis,
Universitas Indonesia Jakarta.
7. Lindayanti Ninik. 2013. Hubungan antara teknik insersi dan lokasi
pemasangan kateter intravena dengan kejadian flebitis di RSUD
Ambarawa. Jurnal Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1, No. 2, Nov
2013.
8. Alexander, M, Corrigan, A, Gorski, L., et al. 2010. Infusion Nursing
Society, Infusion Nursing : An Evidence-based Approach, Third
Edition.
9. Nursing Practice Review. Phlebitis- treatment, care and prevention.
Nursing Times 2011, Vol 107 No 36.
45

10. Kaur,P. et al. Assessment of risk factors of phlebitis amongst


intravenous cannulated patients. Nursing and Midwifery Research
Journal, Vol-7, No. 3, 2011.
11. Barruel, G.Y. Infusion phlebitis assessment measures: a systematic
review. Journal of Evaluation in Clinical Practice ISSN 1365-2753.
International journal of public health policy and health services
research, 22 November 2013..
12. Hartanto B, Alimansur M. 2014. Karateristik status gizi dengan
kejadian phlebitis pada pasien dewasa di Ruang Flamboyan RSUD
Gambiran Kota Kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol.3, No.1. Diunduh
tanggal 7 Februari 2018.
13. Hignell, P. Peripheral Intravenous Initiation. FH Vascular Access
Regional Shared Work Team Version 5 . 2012.
14. Intravenous (IV) cannulation. northerndeanery
15. Provider Guide. Intravenous Monitoring Program. Ontario Ministry of
Health 2005.
16. Irawati Nurma. 2014. Gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang
tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis di RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. STIKES Kusuma Husada
Surakarta.
17. Maria I, Kurnia E. 2012. Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan
Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus terhadap Phlebitis.
Volume 5, No.1. Di unduh tanggal 30 Juni 2015.
18. Darmadi (2008), Infeksi Nosokomial problematika dan
pengendaliannya, salemba Indonesia .
19. Centers for Disease Conlrol and Prevention (CDC), Guidelines for lhe
Prevenlion of Inlravascular Calheler Relaled Infeclions, 2002.
20. Nassaji-Zavareh M, Ghorbani R. Peripheral intravenous
catheterrelatedphlebitis and relatedrisk factors Management of
peripheral intravascular devicesSingapore Med J 2007; 48(8):733–
736.
46

21. Darmawan, I. 2008. Flebitis, apa penyebabnya dan


bagaimana cara mengatasinya. Edisi 2 Jakarta
Yayasan Bina Pustaka.
22. Salgueiro-Oliveira, A., Parreira, P., Veiga, P. Incidence of phlebitis in
patients with peripheral intravenous catheters. Australian Journal Of
Advanced Nursing Volume 30 Number 2.
23. Ince & Erlin. 2012. Jurnal STIKES Kepatuhan Perawat dalam
Melaksanakan Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus
terhadap Phlebitis.Volume 5 No.
24. Abadi, S.A., et al. Investigating Role of Mechanical and Chemical
Factors in the Creation of Peripheral vein inflammarion in
hospitalization Patients in hospital in zahedan , Iran. Life Science
Journal 2013; 10(1s).
25. NHS. Guidelines for the Insertion, Care and Removal of Peripheral
Intravenous Cannulae. NICE Guidelines, 2009.
26. Sarafzadeh, F., et al. Evaluation of the severity of peripheral
intravenous catheter related phlebitis during one year period in an
Iranian educational hospital, Kerman, Iran. Annals of Biological
Research, 2012, 3 (10):4741-4746.
27. Pattola, et all. 2013. Gambaran kejadian plebitis akibat pemasangan
infus pada pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Majene. Vol. 2, No.
4.
28. Hening Pujasari. 2002. Angka kejadian plebitis dan tingkat
keparahannya, Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol. 6, No. 1. Penerbit
FIK UI. Jakarta, Maret 2002.
29. Gomes, A.C.R., et al. Assessment of Phlebitis, Infiltration and
Extravasation Events in Neonates Submitted to Intravenous
Therapy.Esc Anna Nery (impr.) 2011 ; 15 (3):472-479.
30. Perdana A.B Faktor Yang Ada Hubungannya Dengan Terjadinya
Tromboflebitis Pasca Pemasangan Infus Pada Penderita Yang
Dirawat Di RSUD Undata Palu, Tahun 2016.
47

31. Lawenga I.A Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya


Thrombophlebitis Nasokomial pada Pasien yang Dirawat di RSU
Anutapura Palu Tahun 2012.
32. Chandra Agustin. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian PhlebitisPada Pasien Yang Terpasang Infus Di Ruang
Medikal ChrysantRumah Sakit Awal Bros Pekanbaru tahun 2013.
33. Mustofa. 2007. Hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat
mengenai kontrol infeksi terhadap perilaku pencegahan kejadian
flebitis di Ruang Rawat Inap RSD Sunan Kalijaga Demak. Skripsi,
Universitas Diponegoro Semarang.
34. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar konsep dasar keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
35. Dougherty, L, et all. 2010. Standars for Infusion therapy: The RNC IV
therapy forum.
36. Intravenous Nurses Society (INS). (2006). Setting The Standard for
Infusion Care.
37. Sepvi Fitriyanti. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis
DiRumah Sakit Bhayangkara Tk Ii. H.S. Samsoeri Mertojoso
Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 Mei 2015: 217–
229.
38. Wayunah. Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Infus Memengaruhi
Kejadian Plebitis Dan Kenyamanan Pasien. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 16 No.2, Juli 2013, hal 128-137pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203.
48

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional
dengan pendekatan case control dimana sampel yang diambil yaitu case
sebagai pasien yang mendapat perawatan infus lalu terjadi phlebitis,
sedangkan control sebagai pasien yang mendapat perawatan infus tetapi
tidak terjadi phlebitis.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


a. Waktu
Penelitian dilakukan pada tahun 2018, dimulai pada saat mendapatkan
persetujuan dari etik.
b. Tempat
49

Penelitian dilakukan di semua ruang perawatan Interna di RSU


Anutapura Palu.

C. Populasi dan Subyek


d. Populasi
Pada penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh pasien
yang mempunyai faktor risiko terhadap terjadinya phlebitis yang mendapat
perawatan infus di ruang perawatan RSU Anutapura pada tahun 2018
e. Subyek
Subyek pada penelitian ini, diambil dari pasien RSU Autapura Palu
yang memenuhi kriteria.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
a. Kriteria Inklusi Kasus

1. Penderita rawat inap yang dipasangi infus dan mengalami phlebitis


2. Setuju ikut penelitian tanpa paksaan
3. Usia 12 sampai 80 tahun
4. Laki-laki maupun perempuan
5. Sadar

b. Kriteria Inklusi Kontrol

1. Penderita rawat inap yang dipasangi infus dan tidak mengalami


phlebitis
2. Setuju ikut penelitian tanpa paksaan
3. Usia 12 sampai 80 tahun
4. Laki-laki maupun perempuan
5. Sadar

7. Kriteria Eksklusi
50

1. Menderita diabetes mellitus


2. Menderita kelainan imunitas
3. Demam sebelum pemasangan infus
4. Menderita kelainan kulit pada daerah pemasangan infus
5. Pasien dengan riwayat kelainan pembekuan darah

A. Besar Sampel

Besar jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunkan


analitik komparatif tidak berpasangan, dengan rumus besar sampel yaitu:

Z𝑎√2𝑃𝑄 +Zβ√P1Q1+P2Q2
𝑅𝑢𝑚𝑢𝑠: 𝑛 = P1−P2

Keterangan
N = besar sampel
Zα = deviat baku dari kesalahan tipe I
Zβ = deviat baku dari kesalahan tipe II
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 = 1-P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti
Q1 = 1-P1
P1-p2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total = (P1+P2)/2
Q = 1-P

Penyelesaian
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
P2 = Proporsi phlebitis 35% : 0.35
Q2 = 1 – P2 = 1 - 0,35 = 0.65
51

P1 - P2 = 0,3
P1 = 0,3 + 0,35 = 0.65
Q1 = 1 – P1 = 1- 0,65 = 0,35
P = (P1 + P2)/2 = (0,51 + 0,35) / 2 = 0,5
Q = 1 - P = 1 –0,5 = 0,5

Jadi,
2
Zα√2PQ + Zβ√P1 Q1 + P2Q2
n1 = n2 = ( )
P1 − P2
2
1,96√2x0,5x0,5 + 0,84√0,65x0,35 + 0,35x0,65
=( )
0,3

1,39 + 0,55 2
=( )
0,3
= (6,46)2
= 41,81(dibulatkan menjadi 42)

Jadi, berdasarakan perhitungan dengan rumus diatas jumlah sampel


yang menjadi kasus yaitu 42 orang dan sampel yang menjadi kontrol yaitu
42 orang sehingga besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini
adalah 84 orang.

B. Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah


secara consecutive sampling dengan mengumpulkan semua sampel
setiap hari yang memenuhi kriteria insklusi sebagai sampel penelitian
sampai sampel terpenuhi.

C. Alur Penelitian
52

Populasi Pasien yang


menerima perawatan
infus intravena

Cara Pengambilan
Sampel:

Consecutive Sampling

Memenuhi kriteria penelitian

Diberi penjelasan dan


dimintai persetujuan

Subjek penelitian

Pengambilan daya:

Pemeriksaan ditulis dalam


case report

Pengumpulan data

Analisis data

Penulisan hasil

Penyajian hasil

D. Prosedur Penelitian
53

a. Peneliti mengambil semua subjek pasien yang akan menerima

prosedur pemasangan infus di RSU Anutapura palu dengan teknik

Consecutive Sampling hingga mendapat calon subyek (populasi

penelitian) sesuai jumlah sampel yang dibutuhkan.

b. Calon subyek (populasi penelitian) diberi penjelasan mengenai latar

belakang, tujuan, cara dan manfaat penelitian, serta hak dan kewajiban

subjek penelitian, terutama hak untuk menolak menolak ikut tanpa

konsekuensi dan jaminan serta keamanan data dan penyediaan data yang

anonim. Kemudian meminta consent/izin populasi penelitian yang

bersangkutan.

c. Penjelasan kepada calon subyek penelitian:

1) Latar belakang: angka kejadian phlebitis masih cukup tinggi yang

menyebabkan waktu perawatan menjadi lebih lama. Diketahui banyak

faktor yang menyebabkan kejadian phlebitis.

2) Tujuan: Untuk mengatahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian phlebitis pada pasien yang mendapat perawatan infus.

3) Manfaat penelitian: apabila terbukti ada hubungan antara faktor-faktor

dengan kejadian phlebitis, maka dapat menjadi rekomendasi untuk

memperbaiki manajemen pemasangan infus serta sebagai acuan

untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit.

4) Kerahasiaan data serta keselamatan selama tindakan penelitian:

Setiap data yang didapat akan dijaga kerahasiaannya dengan menulis

data responden anonim.


54

5) Dijelaskan juga tentang hak-hak dari subyek, yaitu hak menolak dan

mengundurkan diri dari penelitian tanpa konsekuensi kehilangan hak

mendapat pelayanan kesehatan yang diperlukannya, hak untuk

bertanya dan mendapat penjelasan bila masih diperlukan. Subyek

juga diberitahu bahwa semua biaya yang dibutuhkan dalam penelitian

ini akan ditanggung oleh peneliti.

d. Setelah subyek mengerti dengan semua penjelasan, maka peneliti

akan meminta persetujuan untuk menjadi subyek penelitian dengan

menandatangani formulir persetujuan.

e. Setelah subyek penelitian setuju, subyek penelitian yang memenuhi

kriteria penelitian akan diikutkan dalam penelitian tanpa paksaan dan

bersifat suka rela.

f. Pengambilan data akan dilakukan dengan menilai umur, jenis kelamin,

lama pemasangan dan lokasi pemasangan infus menggunakan case

report dan kuesioner, Phlebitis di tentukan berdasarkan diagnosis

rekam medis dan menggunakan skor phlebitis.

g. Kemudian dilakukan pengumpulan data.

h. Setiap data diinput di komputer dan dimasukkan dalam tabel.

i. Pengolahan data menggunakan SPSS 17.0 for windows. Data yang

ada akan sangat dijaga kerahasiaannya.

j. Setelah semua data diolah, dilakukan penulisan hasil sebagai laporan.

k. Hasil penelitian kemudian disajikansecara lisan dalam ujian skripsidan

secara tulisan sebagai skripsi.


55

E. Instrumen Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitiaan ini


adalah lembar observasi dan lembar case report. Lembar observasi adalat
alat yang digunakan untul menggumpulkan data dengan melihat langsung
prosedur pemasangan infus pada sampel. Case report merupakan alat
yang digunakan dalam menggumpulkan data dari responden yang diambil
dengan melihat hasil pada rekam medik secara langsung kepada
responden yang memasang infus di RSU Anutapura Palu tahun 2018.

F. Rencana dan Analisa Data

a. Pengolahan data
Data pada penelitian ini diolah menggunkan perangkat lunak computer
program SPSS

b. Analisa data
1. Variabel jenis cairan intravena menggunakan chi square
2. Variabel ukuran kateter intravena menggunakan chi square
3. Variabel lama pemasangan menggunakan chi square
4. Variabel lokasi pemasangan menggunakan chi square
5. Variabel status gizi menggunakan chi square
56

Tabel 8. Chi Square Table

Kejadian Phlebitis
Variabel
(Status Gizi) Kasus Kontrol
Total p OR
n% n%
Kurus
Normal
Gemuk
Total N=

Kejadian Phlebitis
Variabel
(Jenis Cairan Intravena) Kasus Kontrol
Total p OR
n% n%
Isotonis
Hipertonis
Total N=

Kejadian Phlebitis
Variabel Kasus Kontrol
(Ukuran Kateter Intravena) Total p OR
n% n%
Sesuai Usia
Tidak Sesuai Usia
Total N=
57

Variabel Kejadian Phlebitis


(Lama Pemasangan Infus Kasus Kontrol
Intravena) Total p OR
n% n%
Lama Pemasangan ≥ 3 hari
Lama Pemasangan < 3 hari
Total N=

Variabel Kejadian Phlebitis


(Lokasi Pemasangan Infus Kasus Kontrol
Intravena) Total p OR
n% n%
Berisiko
Tidak Berisiko
Total N=

G. Aspek Etika Penelitian

Penelitian yang saya lakukan tidak mempunyai masalah yang dapat


melanggar etik penelitian, karena:
1) Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan secara lengkap
tentang tujuan, cara penelitian yang akan dilakukan dan dimintakan
persetujuan dari setiap subyek penelitian.
2) Subyek yang akan diteliti setuju dan mempunyai hak untuk bertanya
dan ikut ataupun menolak untuk mengikuti penelitian ini, tanpa ada
paksaan dan rasa takut untuk mengikuti penelitian.
3) Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian dan bahaya karena hanya
dengan melihat tanda-tanda infeksi lokal pada daerah pemasangan infus
58

dengan menggunakan skor ataupun bertanya langsung kepada subyek


penelitian.
4) Peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek penelitian pada
lembar pengumpulan data yang akan diisi oleh peneliti dan semua data
disimpan dengan aman dan disajikan secara lisan maupun tulisan secara
anonim.
5) Semua pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan penelitian
tidak memungut biaya.
59

BAB IV

LAMPIRAN

A. Lampiran 1
Jadwal Penelitian
2017 2018 2019
NO KEGIATAN 2015 2016
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
I Persiapan

1 Pembuatan
Proposal

2 Persiapan alat

3 Pengurusan Izin

4 Pengurusan
Rekomendasi
Etik
60

2017 2018 2019


NO KEGIATAN 2015 2016
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
II Pelaksanaan

1 Pengambilan
Data

2 Pemasukaan
Data

3 Analisis Data

4 Penulisan
Laporan

III Pelaporan

1 Progress Report

2 Seminar Hasil

3 Perbaikan
Laporan

4 Ujian Skripsi
61

Lampiran 2. Informed Concent

a. Naskah Penjelasan untuk Subyek

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK

Saya, Fauzia dari mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran


Universitas Alkhairaat Palu akan melakukan penelitian yang berjudul :

“FAKTOR-FAKTOR YANG ADA HUBUNGAN DENGAN TERJADINYA


PHLEBITIS PADA PASIEN DENGAN INFUS DI RUANG PERAWATAN
RSU ANUTAPURA PALU TAHUN 2018”

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya


faktor-faktor yang menyebabkan phlebitis dan hubungannya dengan
pemasangan infus pada pasien. Phlebitis adalah peradangan pada
dinding pembuluh darah yang ditandai dengan kemerahan, bengkak,
nyeri, panas dan kehilangan fungsi pada lokasi penusukan infus.
Peneliti meminta izin kepada bapak/ibu saudara/saudari untuk ikut
serta dalam penelitian ini. Penelitian ini membutuhkan semua pasien di
ruang perawatan interna RSU Anutapura Palu yang terpasang infus tetap
yang menderita phlebitis sebagai kasus dan pasien yang tidak menderita
phlebitis sebagai kontrol untuk subjek penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan cara terjadinya
penyakit ini dan diharapkan dapat dipakai untuk memperkirakan
kemungkinan faktor yang dapat menyebkan penyakit ini dapat diketahui.
Diharapkan upaya pencegahan, penanganan, dan pengendalian yang
tepat dapat pula dilakukan.
62

Kami sangat mengharapkan bapak/ibu/saudara bersedia untuk ikut


dalam penelitian ini, dan bila bersedia diharapkan dapat memberikan
persetujuan secara tertulis. Keikutsertaan bapak/ibu/saudara dalam
penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan, oleh karena itu
ibu/bapak/saudara berhak untuk menolak atau mengundurkan diri tanpa
resiko kehilangan hak untuk mendapat pelayanan kesehatan di rumah
sakit ini.
Apabila bapak/ibu/saudara bersedia untuk berpartisipasi, maka kami
akan menanyakan beberapa hal, antara lain data pribadi
bapak/ibu/saudara serta riwayat penyakit bapak/ibu/saudara. Kami juga
akan melakukan pemeriksaan mengenai status gizi dengan mengkur
lingkar lengan atas bapak/ibu/saudara.
Penelitian ini tidak menimbulkan efek apapun pada bapak/ibu/saudara
karena saya hanya melakukan pemeriksaan dengan mengukur lingkar
lengan atas bapak/ibu/saudara.
Keutungan mengikuti penelitian ini yaitu bapak/ibu/saudara dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu rumah sakit kedepannya
dan bagi pasien-pasien yang terinfeksi pada pembuluh darah dapat
dicegah dan dikendalikan, sehingga tidak ada lagi kesakitan yang
bertambah, biaya dan lamanya hari perawatan yang bertambah.
Bapak/ibu/saudara tidak dikenakan biaya apapun dalam mengikuti
penelitian ini. Sumua biaya yang ada hubungan dengan penelitian ini akan
ditanggung oleh peneliti.
Selain memberikan manfaat yang besar bagi ilmu pengetahuan, akan
diperoleh manfaat misalnya dengan diketahuinya pengaruh faktor yang
mempengaruhi terjadinya kejadian infeksi pada vena, karena itu kami
akan sangat menghargai keikutsertaan dan kepedulian bapak/ibu/saudara
terhadap pengembangan ilmu kedokteran.
Sekali lagi perlu bapak/ibu/saudara ketahui, bahwa keikutsertaan
bapak/ibu/saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa
paksaan, sehingga bapak/ibu/saudara mempunyai hak untuk menolak ikut
63

dalam penelitian ini. Demikian juga bila terjadi hal-hal yang tidak
memungkinkan bapak/ibu/saudara untuk terus ikut dalam penelitian ini,
atau merasa tidak bersedia lagi ikut, maka bapak/ibu/saudara berhak
untuk mengundurkan diri. Penolakan atau pengunduran diri
bapak/ibu/saudara tersebut tidak mempengaruhi pelayanan kesehatan
yang seharusnya bapak/ibu/saudara dapatkan.
Bila bapak/ibu/saudara merasa masih ada hal yang belum jelas atau
belum dimengerti dengan baik, maka bapak/ibu/saudara dapat
menanyakan atau minta penjelasan pada saya: Fauzia ( No Hp 0813 4278
0716).
Data penelitian ini akan dikumpulkan dan disimpan tanpa menyebutkan
nama bapak/ibu/saudara dalam arsip tertulis atau elektronik (komputer),
yang tidak bisa dilihat oleh orang lain selain peneliti atau tim dari komisi
Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Unisa. Kami meminta izin
pula menggunakan data bapak/ibu/saudara untuk secara tanpa nama
kami sajikan dalam:
1) Seminar ilmial Program studi pendidikan dokter (S1) Universitas
Alkhairaat.
2) Publikasi pada jurnal ilmiah dalam maupun luar negeri.
Jika bapak/ibu/saudara setuju untuk berpartisipasi, diharapkan
menanda tangani surat persetujuan mengikuti penelitian. Atas kesediaan
dan kerjasama diucapkan terima kasih.

Disetujui oleh
Identitas Peneliti

Komisi Etik Penelitian


Nama : Fauzia
Kesehatan Fakultas
Alamat : Jln. Lasoso, lorong 1,
Kedokteran Universitas
Kecamatan Palu Barat,
Alkhairaat
Kota Palu, Sulawesi Tengah
Tanggal......................2018
Telepon : 0813 4278 0716
64

b. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian Setelah Mendapat


Penjelasan

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN SETELAH


MENDAPAT PENJELASAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, subyek dengan nomor kode:

Setelah mendengar/membaca dan mengerti penjelasan yang diberikan


mengenai tujuan, manfaat, dan apa yang akan dilakukan pada penelitian
ini, dengan ini menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian ini. Saya
dengan ini juga menyetujui semua data yang saya hasilkan pada
penelitian ini disajikan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Saya mengerti bahwa dari semua hal yang dilakukan oleh saudari
Fauzia tidak akan menyebabkan masalah pada saya. Dan saya pun yakin
semua data saya akan disimpan dengan aman tanpa identitas saya.
Saya tahu bahwa keikutsertaan saya ini bersifat sukarela tanpa
paksaan, sehingga saya bisa menolak ikut atau mengundurkan diri dari
penelitian ini tanpa kehilangan hak saya untuk mendapat pelayanan
kesehatan. Juga saya berhak bertanya atau meminta penjelasan pada
peneliti bila masih ada hal yang belum jelas atau masih ada hal yang ingin
saya ketahui tentang penelitian ini.
Saya juga mengerti bahwa semua biaya yang dikeluarkan sehubungan
dengan penelitian ini, akan ditanggung oleh peneliti.
65

TANDA TANGAN TANGGAL/BULAN/TAHUN

Subyek
……………………. …………………….

Saksi 1
……………………. …………………….

Saksi 2
……………………. …………………….

Identitas Peneliti
Disetujui oleh
Nama : Fauzia
Alamat : Jln. Lasoso, lorong 1, Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Kecamatan Palu Barat, Fakultas Kedokteran Universitas

Kota Palu, Sulawesi Tengah Alkhairaat

Telepon : 0813 4278 0716


Tanggal......................2018
66

Lampiran 3. Daftar Tim Peneliti dan Biodata Peneliti Utama

SUSUNAN TIM PENELITI

Faktor-faktor yang ada hubungan dengan terjadinya phlebitis di ruang


perawatan RSU Anutapura Palu pada Tahun 2018

Kedudukan
Nama Dalam Keahlian
Penelitian
Belum ada keahlian,
masih status
Fauzia Peneliti utama
mahasiswa PSPD
Unisa Palu

dr. Nur Meity, M.Med.Ed Rekan peneliti Dokter umum

dr. Sakina Abdullah Rekan peneliti Dokter Umum

BIODATA PENELITI UTAMA

A. Identitas Diri

1 Nama Lengkap (dengan Fauzia


gelar)
2 Nomor Register 14 777 017
3 Tempat dan Tanggal Lahir Donggala, 9 April 1996
4 E-mail Ziafauzia006@gmail.com
5 Alamat Rumah Jl. Lasoso, Lorong 1, Palu Barat,
Kota Palu, Sulawesi Tengah
67

6 Nomor Telepon/HP 0813 4278 0716


7 Status Perkawinan Belum kawin

B. Riwayat Keluarga

Nama Ayah : Raikhul


Nama Ibu : Zaipa Pagaluma

C. Riwayat Pendidikan

Jenjang Lama
Nama Institusi Lokasi
Pendidikan Pendidikan
Kelurahan Kabonga
Kecil, Kecamatan
TK TK Aisiyah 2000-2001
Banawa, Kabupaten
Donggala
Kelurahan Kabonga
SDN Inpres Kecil, Kecamatan
SD 2001-2007
No.1 Banawa, Kabupaten
Donggala
Kelurahan Gunung
SMPN 1 Bale, Kecamatan
SMP 2007-2010
Banawa Banawa, Kabupaten
Donggala
Kelurahan Maleni,
SMAN 1
SMA Kecamatan Banawa, 2010-2013
Banawa
Kabupaten Donggala
Fakultas
Jl. Pangeran
Kedokteran 2014-
S1 Diponegoro No. 39,
Universitas sekarang
Palu Barat
Alkhairaat Palu

D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5


TahunTerakhir

No Judul Pengabdian
Tahun Pendanaan
. Kepada Masyarakat
Sumber Jumlah (Rp)
68

Pencarian
Baksos Kader BEM KBM Rp.
1. 2015 Dana dan
FK Unisa di Sirenja 50.000.000
POMD

Lampiran 4. Formulir-Formulir

KUISIONER PENELITIAN

Faktor-faktor yang Ada Hubungan dengan Terjadinya Phlebitis pada


Pasien dengan Infus yang di Ruang Perawatan RSU Anutapura Palu
Tahun 2018

Tanggal :

No. Kode Responden :

a. Apakah Bapak/Ibu/Saudara menderita penyakit kencing manis ?


1. Ya
2. Tidak
b. Apakah Bapak/Ibu/Saudara menderita penyakit infeksi lain ?
1. Ya
2. Tidak
c. Apakah ketika Bapak/Ibu/Saudara mengalami luka dan berdarah,
perdarahannya sukar berhenti atau perdarahannya lebih dari 6 menit?
1. Ya
2. Tidak
d. Apakah ada nyeri pada lokasi pemasangan infus?
1. Ya
2. Tidak
d. Apakah ada nyeri disepanjang kanula ?
69

1. Ya
2. Tidak

CASE REPORT/LAPORAN KASUS

Faktor-Faktor yang Ada Hubungan dengan Terjadinya Phlebitis pada


Pasien dengan Infus di Ruang Perawatan RSU Anutapura Palu
Tahun 2018

A. Registrasi
Tempat Yankes : RSU Anutapura Palu
Tanggal masuk RS : ………………………
Tanggal pemasangan infus : ………………………
Yang Memeriksa : ………………………

B. Data
- No. kode responden :

a. Usia :

b. Jenis kelamin :
1. Laki-laki
2. Perempuan

C. Hasil Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Status Gizi
Laki-laki
1. Gizi berlebih
2. Gizi normal
3. Gizi kurang
Perempuan
1. Gizi berlebih
70

2. Gizi normal
3. Gizi kurang
b. Tanda-tanda phlebitis
Eritema
1. Ya
2. Tidak
Pembengkakan
1. Ya
2. Tidak
Panas di lokasi penusukan
1. Ya
2. Tidak
c. Jenis Larutan Intravena
1. Isotonik
2. Hipertonis
d. Ukuran Kateter Intravena
1. Sesuai usia
2. Tidak sesuai usia
e. Lama pemasangan Infus Intravena
1. Lama pemasangan ≥ 3 hari
2. Lama pemasangan < 3 hari
f. Lokasi Pemasangan Infus Intravena
1. Berisiko
2. Tidak berisiko
71

Lampiran 5. Daftar Alat Yang Digunakan

DAFTAR ALAT YANG DIGUNAKAN

NO NAMA ALAT MERK JUMLAH SATUAN


.
1. Lembar anamnesis 100 Eksamplar
2. Lembar case report 100 Eksampler
3. Pita pengukur 1 Cm
72

Lampiran 6. Rincian Anggaran dan Sumber Dana

Rincian Anggaran dan Sumber Dana

No. Anggaran Jumlah Sumber


Dana
1 Biaya administrasi Rp. 250.000,-
rekomendasi etik
2 Biaya Pengambilan Data Rp. 100.000,-
Sekunder
3 Biaya Transportasi Rp. 100.000,-
4 Biaya untuk Alat tulis Rp. 150.000,-
5 Biaya Pengadaan Rp. 150.000,-
Mandiri
Formulir case report
6 Honorarium untuk Rp. 600.000,-
pembantu peneliti

@ Rp. 100.000 x 6 orang


7 Kompensasi Rp. 1000.000,-
8 Lain-lain Rp. 500.000,-
Total Rp. 2.850.000,-
i

Potrebbero piacerti anche