Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Ketika ada orang yang bertanya kepada kita, bagaimana jalan untuk menggapai surga, tentu kita akan
menjawabnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau telah memberikan beberapa penjelasan, yang akan menghantarkan kita menuju surga Allah
subhanahu wata‘ala. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad sebagaimana berikut:
Pertama, orang yang menghendaki untuk masuk surga adalah orang yang menebarkan salam,
perdamaian dan kasih sayang. Menebarkan perdamaian bisa diawali dengan member ucapan salam
kepada saudara kita, yaitu Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Yang artinya
keselamatan, rahmat, dan berkah Allah subhanahu wata‘ala semoga tercurahkan untukmu. Lazimnya
ucapan salam ini akan dijawab oleh saudara kita dengan jawaban wa’alaikumussalam warahmatullahi
wa barakatuh yang artinya bagimu keselamatan, rahmat dan berkah Allah subhanahu wata‘ala.
Ucapan tersebut tampak sepele, namun memiliki makna yang mendalam.
Imam an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa ucapan salam tidak sekadar kata-
kata, namun mengandung arti menebarkan perdamaian, kasih sayang dan kerukunan terhadap
sesama, baik kepada keluarga, tetangga, maupun terhadap sesama Muslim. Kata salam juga menjadi
kunci yang ampuh untuk menghilangkan permusuhan, kebencian, dan kerenggangan di antara
sesama. Karena itu, Islam sangat menganjurkan kita untuk saling mengucapkan salam, tujuannya
adalah mewujudkan kerukunan dan kedamaian, dan menghilangkan kerenggangan dan permusuhan
di antara sesama.
Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak diperkenankan bagi seorang Muslim
untuk membenci dan menghujat sesama Muslim, menyebarkan permusuhan, menebarkan ujaran
kebencian dan memutuskan tali persaudaraan. Karena menebarkan permusuhan adalah ciri-ciri dari
ajaran syaitan, sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 91, syaitan memiliki tujuan
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara sesama Muslim.
Kedua, jalan untuk menggapai surga adalah memberikan makanan, Selain kita diwajibkan untuk
mengeluarkan nafkah untuk keluarga, atau mengeluarkan zakat atas harta, Nabi menganjurkan
kepada kita untuk bersedekah, terutama bagi orang-orang yang membutuhkan. Mengapa
memberikan makanan dapat menghantarkan kita menuju surga? Karena orang yang senang
memberikan makanan adalah orang yang dekat dengan surga. Sebagaimana riwayat Imam Turmudzi
dalam sunan Turmudzi Juz 3 halaman 407 disebutkan:
Imam Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh kitab Faidlul Qadir karya Muhammad al-Munawi, juz 4
halaman 138 menjelaskan, bahwa sikap dermawan merupakan buah dari cinta akhirat, dan tidak
berlebihan dalam mencintai dunia fana. Sikap dermawan tumbuh dari penghayatan seseorang
tentang iman dan tauhid kepada Allah subhanahu wata‘ala. Sehingga muncul sikap tawakkal dan
berserah diri kepada Allah, secara otomatis muncul sikap percaya bahwa Allah adalah pemberi
rezeki. Seorang dermawan yakin bahwa orang berbuat baik dengan mensedekahkan sebagian
hartanya, Allah pasti akan menggantinya sepuluh kali lipat kebaikan. Berbeda dengan orang yang
bakhil, ia adalah orang yang terlalu cinta dunia dan ragu terhadap janji Allah . Karena itu, tempat
yang layak bagi seorang dermawan adalah surga, sebaliknya tempat yang layak bagi orang bakhil
adalah neraka.
Ketiga, menjalin silaturrahim dan persaudaraan, walaupun hanya dengan ucapan salam. Dalam
sebuah riwayat Imam Hakim dalam Kitab Mustadrok Ala Shohihain Juz 2 halaman 563, dengan
sanad yang shahih Nabi bersabda:
Mengenai pentingnya silaturrahim, terdapat sebuah cerita dari Imam Ashbihani yang termaktub
dalam kitab Irsyadul Ibad halaman 94, suatu ketika sahabat duduk di sisi Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Kemudian Nabi bersabda: tidak boleh duduk dengan kami
orang yang memutuskan silaturrahim, kemudian seorang pemuda keluar dari halaqoh, pemuda
tersebut mendatangi bibinya untuk menyelesaikan sesuatu masalah di antara keduanya, kemudian
bibinya meminta maaf terhadap pemuda tersebut. Setelah urusan selesai, pemuda kembali ke
halaqoh, kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya rahmat
Allah tidak akan turun pada suatu kaum, yang di dalamnya terdapat orang yang memutuskan
persaudaraan.
Keempat, menjalankan shalat malam ketika banyak orang telah tidur terlelap. Shalat malam
menjadi shalat yang spesial karena dilakukan di waktu banyak orang beristirahat dan lalai dari
berdzikir kepada Allah subhanahu wata‘ala. Shalat malam juga menjadi indikasi seseorang jauh dari
riya’ dan pamer dalam beribadah, karena di waktu ini banyak orang beristirahat. Sehingga bagi
orang yang menjalankan ibadah di waktu malam mendapatkan ganjaran yang lebih, terutama oleh
Nabi disabdakan sebagai orang yang akan masuk surga dengan tanpa kesulitan. Nabi juga
bersabda: “Seutama-utama puasa setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan
seutama-utama shalat sesudah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim No. 1163)
Menebarkan salam dan kedamaian, memberikan makanan, menjalin persaudaraan, dan shalat
malam adalah anjuran dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, agar kitadapat menggapai
surga dengan tanpa kesulitan dan tanpa banyak rintangan. Jika kita konsisten dan istiqamah
dengan anjuran Nabi tersebut, Allah akan memberikan kita pertolongan untuk mengerjakan
kebaikan dan menjauhi perbuatan yang kurang menyenangkan, sehingga di akhir hayat kita
mendapatkan kematian yang husnul khotimah. Allâhumma Âmîn.
Perlu diingat, Nabi yang telah dijamin masuk surga oleh Allah subhanahu wata‘ala selalu giat dalam
beribadah kepada Allah subhanahu wata‘ala. Dalam kehidupan di tengah masyarakat, Nabi selalu
baik hati, riang dan sopan terhadap semua orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu yang lebih
duluan memberikan salam, sekalipun kepada anak-anak dan para sahaya. Nabi selalu memberikan
apa yang dimiliki kepada para sahabatnya, walaupun beliau sendiri dalam keadaan kekurangan.
Nabi selalu bersilaturrahim dan memaafkan terhadap setiap orang, walaupun terhadap orang yang
pernah memusuhinya, dan Nabi selalu menjalankan shalat malam, hingga kedua telapak kaki beliau
membengkak. Semoga kita semua dapat mencontoh prilaku dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.
: َ َوأ ْد َخلَنَا و ِإيَّاكم فِي ُز ْم َرةِ ِعبَا ِد ِه ال ُمؤْ ِمنِيْن،اآلمنِينِ َج َعلَنا هللاُ َوإيَّاكم ِمنَ الفَائِ ِزين
َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا:الر ِحي ْم
َّ مان ِ الر ْح َّ ِ ِب ْس ِم هللا،الر ِجي ْم
َّ ْطان
ِ شي َّ عوذُ ِباهللِ ِمنَ ال ُ أ
َ َّللا َوقُولُوا قَ ْو ًل
سدِيدًا َ َّ
ُ إنّه.ت و ِذ ْك ِر ال َح ِكي ِْم
ِ َونَفَعَنِ ْي َوإِيّا ُك ْم بِاآليا،آن العَ ِظي ِْمِ با َ َر َك هللاُ ِل ْي َولك ْم فِي القُ ْر
ٌ تَعاَلَى َج ّوا ٌد َك ِر ْي ٌم َم ِل ٌك بَ ٌّر َرؤ ُْو
ف َر ِح ْي ٌم
I
أ َ ْش َه ُد،ريم ِ ي ال َك ّ ِ َوأ َ ْف َه َمنَا بِش َِر ْيعَ ِة النَّب،سالَ ِم
ّ سبُ َل الُ اْل َح ْم ُد هللِ اْل َح ْم ُد هللِ الّذي َه َدانَا
َ َوأ َ ْش َه ُد أ َ ّن، ذُو اْل َجال ِل َواإل ْكرام،أ َ ْن َل اِلَهَ ِإ َّل هللا َو ْح َدهُ ل ش َِريك لَه
سيِّ َدنَا
س ِيّدِنا ُم َح ّم ٍد وعلى َ بار ْك َعلَى ِ س ِلّ ْم َو َ ص ِّل و َ اللّ ُه َّم،َونَ ِبيَّنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسولُه
أوصيكم و، فيايها اإلخوان: أما بعد،سان إلَى َي ْو ِم ال ّدِين ِ إح ْ صحا ِب ِه َوالتَّا ِبعينَ ِب ْ اله وأ
أعوذ باهلل: قال هللا تعالى في القران الكريم،نفسي بتقوى هللا وطاعته لعلكم تفلحون
يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا اتَّقُوا هللا: بسم هللا الرحمان الرحيم،من الشيطان الرجيم
سولَهُ فَقَ ْد ُ ص ِل ْح لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َو َم ْن يُ ِطعِ هللا َو َر
ْ ُ ي،سدِيدًا َ َوقُولُوا قَ ْو ًل
َّفَازَ فَ ْو ًزا َع ِظي ًما وقال تعالى يَا اَيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُ ْوا اتَّقُ ْوا هللاَ َح َّق تُقَاتِ ِه َولَ ت َ ُم ْوت ُ َّن إِل
َوأ َ ْنت ُ ْم ُم ْس ِل ُم ْون.
َ
صدق هللا العظيم
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Allah subhânahu wata’âlâ memerintahkan agar kita semua bersyukur kepada-Nya. Perintah ini tidak
berarti bahwa Allah membutuhkan ungkapan syukur dari manusia. Tanpa manusia bersyukur
kepada-Nya, Allah tetaplah Tuhan yang Maha Kaya, Terpuji dan Berkuasa atas seluruh alam
ini. Perintah syukur itu sesungguhnya untuk kepentingan dan kebaikan manusia sendiri sebab
Allah akan menambah nikmat-Nya kepada manusia apabila manusia bersyukur kepada-Nya
sebagaimana ditegaskan dalam surat Ibrahim, ayat 7:
Jika kita ingkar atas nikmat-nimat-Nya, maka Allah akan memberikan adzab yang pedih atau sanksi
yang berat. Adzab dari Allah subhânahu wata’âlâ bisa berupa siksaan di neraka kelak. Bisa juga
berupa guncangan mental yang membuat hidup di dunia ini tidak tenang. Tentunya dapat kita
saksikan dan rasakan bagaimana orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allah. Mereka mudah
merasa iri atas nikmat yang diterima orang lain. Mengeluh dan merasa tak puas dengan apa yang
telah ada seringkali menghinggapi mereka. Hal seperti ini sudah pasti membuat mereka hidup
dalam ketidak tenteraman. Akibat selanjutnya mereka bisa mengalami stres berkepanjangan.
Bersyukur kepada Allah subhânahu wata’âlâ sesungguhnya tidak cukup kalau hanya mengucapkan
“alhamdulillah” saja sebab setidaknya ada tiga cara mengungkapkannya sebagai berikut:
1. Melalui Aktivitas Lisan
Dalam aktivitas lisan ini, ucapan “alhamdulillah” adalah hal minimal yang harus kita lakukan.
Aktivitas lain adalah berkata yang baik-baik. Orang yang bersyukur kepada Allah akan selalu
menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang tidak baik. Mereka akan selalu berhati-hati dan
berusaha untuk tidak mengatakan sesuatu yang membuat orang lain tersakiti hatinya. Orang-orang
yang bersyukur tidak berkeberatan untuk meminta maaf atas kesalahannya sendiri kepada orang
lain sebagaimana mereka juga tidak berkeberatan memaafkan kesalahan orang lain. Kepada Allah
SWT, mereka senantiasa bersegera memohon ampunan kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan
perintah Allah SWT dalam Surat Ali Imran, ayat 133:
Memohon ampun, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia memang tidak perlu
ditunda-tunda. Lebih cepat tentu lebih baik. Betapa banyak kerugian yang timbul akibat macetnya
hubungan atau silaturrahim antar sesama saudara, kawan dan relasi, gara-gara persoalan maaf-
memaafkan belum terselesaikan.
Dalam aktivitas hati ini, bagaimana mengelola hati menjadi hal sangat penting. Aktivitas hati terkait
dengan syukur bisa diwujudkan dalam bentuk perasaan senang, ikhlas dan rela dengan apa sudah
yang ada. Orang-orang bersyukur tentu lebih mudah mencapai bahagia dalam hidupnya terlepas
apakah mereka termasuk orang sukses atau belum sukses. Syukur tidak mensyaratkan sukses
dalam hidup ini sebab kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada manusia takkan pernah bisa
dihitung. Manusia takkan pernah mampu menghitung seluruh kenikmatan yang telah diberikan Allah
SWT kepada setiap hamba-Nya. Allah dalam surat Ar-Rahman, ayat 13, bertanya kepada manusia:
Ayat tersebut diulang berkali-kali dalam ayat-ayat berikutnya dalam surat yang sama, yakni Ar-
Rahman. Pengulangan ini tentu bukan tanpa maksud. Allah menantang kepada manusia untuk jujur
dalam membaca dang menghitung kenikmatan yang telah Dia berikan. Bagaimana kita bisa bisa
bernapas, bagaimana kita bisa melihat dan mendengar serta bagaimana kita bisa merasakan
dengan panca indera kita? Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu saja kita sudah tidak mampu
menghitung berapa kenimatan yang terlibat di dalamnya. Maka barangsiapa tidak bersyukur kepada
Allah, sesungguhnya dia telah kufur atau mengingkari kenikmatan-kenikmatan yang telah
diterimanya dari Allah SWT.
Orang-orang yang bersyukur kepada Allah tentu memiliki jiwa yang ikhlas dalam melakukan dan
menerima sesuatu. Orang-orang yang bersyukur tentu tidak suka berkeluh kesah atas kekurangan-
kekurangan atau hal-hal tidak menyenangkannya. Orang-orang bersyukur tentu lebih sabar
daripada mereka yang tidak bersyukur. Memang untuk bisa bersyukur kita perlu kesabaran. Untuk
bersabar kita perlu keikhlasan. Dengan kata lain, syukur, sabar dan ikhlas sesungguhnya saling
berkaitan. Maka dalam ilmu tasawuf, syukur adalah suatu maqom atau tingkatan yang sangat tinggi
yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah berhasil mencapai kompetensi tinggi dalam hal
spiritualitas. Dari sinilah kemudian muncul konsep kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini hanya bisa
dicapai melalui latihan-latihan yang sering disebut dengan riyadhah. Hal ini berbeda dengan
kecerdasan intelektual yang bisa diterima seseorang secara genetis tanpa melaui latihan-latihan
tertentu.
Aktivitas fisik atau perbuatan nyata terkait dengan syukur bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk,
baik melibatkan orang lain atau hanya melibatkan diri sendiri. Yang terkait dengan orang lain
misalnya seperti berbagi rejeki, ilmu pengetahuan, kegembiraan dan sebagainya.
Dalam hidup bermasyarakat, kita sering menerima udangan syukuran. Ini adalah contoh syukuran
dalam bentuk perbuatan nyata dimana yang punya hajat berbagi rejeki kepada para tamu dengan
memberikan jamuan makan dan minum. Jamuan ini menjadi sedekah yang tentu saja bernilai
pahala. Undangan-undangan semacam ini tentu memilki dasar yang kalau kita telusuri akan kita
temukan dalam Al Qur’an, Surat Adh-Dhuha, ayat 11:
Perintah berbagi kenikmatan dengan orang lain dapat ditelusur salah satunya melalui ayat ini
dengan maksud agar mereka juga ikut merasakan kebahagiaan yang kita rasakan. Ini sering disebut
dengan tahadduts binni’mah. Tentu saja tahadduts binni’mah ini baik. Hanya saja perlu diingatkan
agar pelaksanaannya tidak berlebihan dan harus dilakukan dengan niat ikhlas. Yang dimaksud
dengan ikhlas disini adalah tidak ada niat lain kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Niat-niat lain seperti keinginan untuk pamer atau riya’ atas apa yang telah dicapai sebagai
keberhasilan harus benar-benar dihindari sebab riya’ merupakan akhlak yang tercela yang justru
bisa menjauhkan kita dari Allah SWT.
Ungakapan syukur dalam bentuk perbuatan nyata dan hanya melibatkan diri sendiri bisa diwujudkan
dalam bentuk meningkatkan intensitas beribadah. Hal ini biasa dilakukan Nabi Muhammad SAW
secara istiqamah dalam kehidupan sehari-harinya. Walaupun beliau sudah dijamin masuk
surga, beliau tetap rajin beribadah melebihi siapapun di dunia ini hingga kedua kaki beliau bengkak-
bengkak. Semua ini beliau lakukan sebagai pengakuan dan ungkapan rasa syukur atas semua
kenikamatan yang beliau terima dari Allah SWT. Sekali lagi, Syukur memang sebuah tingkatan
yang sangat tinggi di sisi Allah SWT. Allah menyukai orang-orang yang senantiasa bersyukur
kepada-Nya.
Mudah-mudahan kita semua selalu diberi-Nya kemudahan untuk bersyukur kepada Allah SWT dan
dicatat sebagai hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Semoga pula kelak di akherat kita semua akan
dukumpulkan dengan para syakirin. Amin, amin ya rabbal alamin.
اآلمنِينَ ،وأ ْد َخلَنَا وإِيَّاكم فِي ُز ْم َرةِ ِعبَا ِد ِه ال ُمؤْ ِمنِيْنَ : َجعَلَنا هللاُ َوإيَّاكم ِمنَ الفَائِ ِزين ِ
أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم ،بسم هللا الرحمن الرحيم :يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا
س ِديدًاَّللا َوقُولُوا قَ ْو ًل َ
َّ َ
ت و ِذ ْك ِر ال َح ِكي ِْم .إنّهُ آن ال َع ِظي ِْمَ ،ونَفَ َعنِ ْي َو ِإيّا ُك ْم ِباآليا ِبا َ َر َك هللاُ ِل ْي َولك ْم فِي القُ ْر ِ
ف َر ِح ْي ٌمتَعاَلَى َج ّوا ٌد َك ِر ْي ٌم َم ِل ٌك َب ٌّر َرؤ ُْو ٌ
ُِلل ا َ ْل َح ْمد ُْ ن الَّذ
ُ لي ل ُْ علَ ْي لُه ت َ َو َّك َُل َم ُن َكفَاهُ نليَّةُ بل لصد ل
َ ْق َّ اعل إللَ ْي لُه ت َ َو
ُْ س َُل َو َم ُ ََوأ َ ْدنَاهُ قَ َّربَهُ ش لَر ْيعَتل لُه بلاتلب
ُص َرهُ َو َم لن ْ علَى ا
َ ست َ ْن َ س َدتل لُه أ َ ْعدَائل لُه َ َصالَةُ َوت َ َوالَّهُ ن
َ ص َرهُ َو َح َّ علَى َوال
َّ سالَمُ َوال َ ُعلَى م َح َّمد
َ س لي لدنَا ْ َ َوأ
َ ص َحا لب لُه آ لل لُه َو
ن َُ َي َو َجا َه َُد لد ْينَهُ َحاف
ُْ ظ َو َم ُْ س لب ْي لُل فل ُ (حنفاء الدين له مخلصين للا االليعبدوا أمروا وما تَعَالَى فَقَا َُل )بَ ْعدُ أ َ َّما
َ للال
القيمة دين وذلك الزكوة ويؤتوا الصلوة ويقيموا
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Marilah di hari ini kita mempertebal ketaqwaan kita kepada Allah dengan menghindarkan diri dari
kecurangan,kebohongan dan berbagai sifat tercela lainnya. Karena dengan demikian kita dapat
istiqamah berusaha menjadi orang yang saleh
Apa yang hendak disampaikan khatib pada khutbah kali ini sebenarnya berasal dari satu pertanyaan
asasi. Manakah sebenarnya yang lebih dulu ada di dunia ini, kegegelapan lantas disusul dengan
terang. Ataukah terang yang kemudian dinodai dengan kegegelapan?
Dalam sebuah perkataanya sahabat Ali Karaamallhu Wajhah pernah berkata “andaikan tidak ada lima
keburukan didunia ini, tentunya manusia menjadi orang saleh semua. Kelima keburukan itu adalah 1)
merasa senang dengan kebodohan. 2) tamak dengan dunia. 3) bakhil dengan kelebihan harta. 4) riya’
dalam beramal dan 5) membanggakan diri”. Dalam teks arabnya berbunyi demikian:
Pertama, merasa senang dengan kebodohan, artinya adalah membiarkan diri bahkan merasa
nyaman dengan ketidak tahuan dalam masalah agama. Sebagaimana banyak terjadi pada muslim
masa kini di perkotaan yang tiap harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bermacam pekerjaan
demi mencapai cita-citanya. Sedangkan masalah ke-islaman cukup dipasrahkan saja kepada para
ustadz yang dipanggil ketika dibutuhkan. Entah untuk berdoa, untuk ditanya ataupun sekedar
dijadikan teman curhatnya.
Tidak ada dalam dirinya keinginan belajar dengan sungguh-sungguh apa itu Islam dan bagaimana
seharusnya menjadi muslim yang baik. Tidak pernah ingin tahu cara shalat dan wudhu yang benar.
Mereka sudah puas dengan pengetahuan yang didapatnya dari teman atupun dari meniru tetangga.
Paling-paling belajar keislamannya didapat dari tayangan televisi pada kuliah subuh dan dalam
broadcast- broadcast semacamnya.
Memang itu tidak salah, tapi semua itu menunjukkan ketidak seriusan keislaman mereka
dibandingkan dengan keseriusannya belajar ilmu pengetahuan atupun kesibukannya mengurus
berbagai urusan dunia. Orang seperti ini seharusnya mengingat pesan Rasulullah saw:
ُالحاكم رواه لباْأل َ لخ َر لُة َجا لهلُ لبال ُّد ْنيَا عَا للمُ ك َُّل يَ ْبغَضُ للا
Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tetapi bodoh dalam urusan akhirat.
Ma’asyiral Mukminin Rahimakumullah
Kedua, tamak dengan dunia dan ketiga bakhil dengan kelebihan harta, kedunya merupakan
pasangan yang selalu terkait bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karena siapapun
yang tamak dan merasa kurang dengan berbagai kepemilikan hartanya pastilah dia akan berlaku
bakhil dan sangat sayang dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
Dalam kesempaatan lain Rasulullah saw pernah menyinggung tentang ketamakan. Beliau berkata
yang artinya bahwa mencintai harta adalah sumber segala kecelakaan dan keburukan. Baik
keburukan fisik maupun mental. Mari kita bersama-sama berintropeksi diri mengapa diri ini seringkali
masuk angin gara-gara terlalu sering di jalan demi mengejar satu pekerjaan. Betapa para pebisnis itu
sering kali keuar masuk rumah sakit berganti-ganti penyakit karena komplikasi yang disebabkan
kurangnya perhatian dalam mengurus diri dan lebih suka mengejar materi. Meskipun ini bukanlah
hukum universal yang dapat diterapkan pada semua orang, tetapi minimal menjadi pelajaan bagi kita
yang mengerti. Betapa kecintaan dan ketamakan dunia selalu membawa petaka. Belum lagi petaka
mental yang merusak negeri ini. Korupsi, kolusi dan juga kebiasaan berbohong demi citra diri semua
bermuara pada satu kata ‘tamak terhadap dunia’. Untuk hal ini khatib lebih baik tidak banyak komentar
karena semua jam’ah telah mafhum adanya.
Demikianlah bahwa kebakhilan ataupun kepelitan merupakan dampak sistemik yang tidak
terhindarkan dari ketamakan dunia. Dan kebakhilan pasti akan menjauhkan seseorang dari Allah,
surga dan sesama manusia. Itu artinya kesalehan bagi orang yang bakhil adalah angan-angan belaka.
Dan jikalau ada keselahan di sana pastilah itu hanya kesalehan yang semu. Karena hadits Rasulullah
tentang kebakhilan yang menjauhkan seseorang dari Allah dan surga serta manusia sesama adalah
hadits Shahih.
Keempat, riya dalam beramal. Riya adalah pamer yaitu melakukan satu amal ibadah (agama)
dengan maksud mendapatkan pujian dari manusia. Atau dengan bahasa yang agak kasar riya dapat
juga dikatakan dengan mengharapkan nilai dunia dengan pekerjaan akhirat. Rasulullah saw
menegaskan bahwa riya termasuk dalam kategori syirik kecil (as-syirikul asyghar) dalam salah satu
sabdanya “sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan atas dirimu adalah syirik kecil, yaitu
riya”(HR.Ahmad).
Disebut demikian karena perwujudan riya yang sangat halus dan tidak kentara. Adanya hanya dalam
hati. Tidak ketahuan di dalam tindakan diri. Para sufi mengibaratkan halusnya riya seperti semut hitam
yang merayap di atas batu keras warna hitam di tengah pekat malam. Begitu halusnya riya hingga
seringkali mereka yang terjangkit penyakit ini seringkali tidak sadar.
Fudhail bin Iyadh seorang sufi pernah mencoba menjabarkan tentang riya dengan bahasa keseharian
katanya: ”jika datang seorang pejabat kepadaku, kemudian aku merapikan jenggotku dengan kedua belah
tanganku, maka aku benar-benar merasa khawatir kalau dicatat dalam kategori orang-orang munafik”
Demikianlah hendaknya segala apa yang dilakukan manusia disandarkan kepada Allah swt. Tidak
hanya semata mempertimbangkan kepentingan manusia. Apalagi jika berhubungan dengan amal
ibadah murni seperti shalat, baca al-qur’an, zakat dan lainnya maka Allah swt mengancam mereka
yang mendustainya dengan neraka Rasulullah saw bersabda:
Dan kelima, adalah ujub atau membanggakan diri. Yaitu merasa diri paling sempurna dibandingkan
dengan yang lain. Ketidak bolehan perasaan ujub ini dikhawatirkan pada lahirnya kesombongan, dan
kesombongan itu sendiri merupakan sifat Allah yang tidak boleh ada dalam diri manusia.
Demikianlah lima hal yang menurut Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah dapat menghalangi seseorang
menjadai seorang yang saleh.
Demikianlah khutbah singkat kali ini, semoga hal ini dapat menjadi bahan renungan yang mendalam,
bagi kita semua amin.
Khutbah Pertama:
،س َل َواأل َ ْنبِيَا َء ُّ طفَى ِم ْن ِعبَا ِد ِه
ُ الر َ ص ْ َوا،ِي َخلَقَ ْالخ َْلقَ َوقَد ََّر األ َ ْشيَا َء ْ اَ ْل َح ْمدُ هللِ الَّذ
َس ْب َحانَهُ َوتَ َعالَى ِب َما ُه َو لَهُ أَ ْه ٌل ِمن ُ ُ أَ ْح َمدُه، َو ِب ُهدَا ُه ْم نَ ْهتَدِي،سى َونَ ْقتَدِي َّ َ ِب ِه ْم نَتَأ
ض َّل لَهُ َو َم ْن ِ ُ َوأ،علَ ْي ِه
َ وم ُن بِ ِه َوأَتَ َو َّك ُل
ِ َم ْن َي ْه ِد ِه هللاُ فَالَ ُم،علَ ْي ِه َ ال َح ْم ِد َوأُثْنِي
س ِيِّدَنَا َ ض ِل ْلهُ فَالَ هَاد
َ َوأ َ ْش َهدُ أَ َّن،ُ أَ ْش َهدُ أ َ ْن الَ إِلَهَ ِإالَّ هللاُ َو ْحدَهُ الَ ش َِري َْك لَه،ُِي لَه ْ ُي
ُهدًى, َعلَ ْي ِه َربُّهُ ْالقُ ْرآنَ ْال ُمبِيْن َ أَ ْنزَ َل،ُي بَ ْعدَه َّ ِس ْولُهُ الَ نَبُ ع ْبدُهُ َو َر
َ َونَبِيَّنَا ُم َح َّمدًا
علَى َ علَ ْي ِه َو َ سلَّ َم َ صلَّى هللاُ َو َ ، َسالَتَهُ َر ْح َمةً ِل ْل َعالَ ِميْن َ َو َج َع َل ِر، ََونُ ْو ًرا ِل ْل ُمؤْ ِمنِيْن
ان إِلَى يَ ْو ِم ٍّ س َ ص َحابَ ِة َوالتَّا ِب ِعيْنَ لَ ُه ْم ِبإِ ْح
َّ َوآ ِل ُك ٍِّّل َوال, َس ِليْنَ اء َو ْال ُم ْر
ِ َسائِ ِر األ َ ْن ِبي َ
. َعتِ ِه لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون
َ طا ِ فَيَا ِعبَادَ هللاِ أ ُ ْو,ُ أَ َّما بَ ْعد.ال ِدِّي ِْن
َ ص ِِ ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي بِتَ ْق َوى هللاِ َو
Hadirin Jama’ah Jum’at rahimakumullah,
Seiring roda kehidupan yang terus berputar, jumat demi jumat pun berlalu, seiring itu pula khutbah demi khutbah telah
sering kita dengarkan, sebagai satu ikhtiar bagi kita untuk menasehati diri agar senatiasa patuh dan tunduk kepada
Allah Sang Pencipta. Melalui khutbah-khutbah itu pula, kesadaran kita seringkali muncul seketika, disertai tekad untuk
menjadi hamba-Nya yang benar-benar taat. Namun, padatnya rutinitas dengan berbagai persoalan yang kita hadapi
sehari-hari, acap kali membuat kesadaran dan tekad itu pelan-pelan luntur bahkan sirna. Oleh sebab itulah, melalui
mimbar jumat ini, marilah kita berupaya secara lebih sungguh-sungguh memperbaharui iman dan ketaqwaan kita
kepada Allah, memperbaiki kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita nyatakan berulang kali namun jarang
diresapi, sebuah komitmen yang mestinya selalu menyertai setiap perjalanan hidup kita, sebagaimana yang selalu kita
lafalkan di dalam shalat:
الَ ش َِري َْك لَهُ َو ِبذَا ِل َك, َب ْال َعالَ ِميْن
ِ ِّ اي َو َم َما ِت ْي هللِ َر
َ س ِك ْي َو َم ْح َي ُ ُصالَ ِت ْي َونَ ِإ َّن
. َأ ُ ِم ْرتُ َوأَنَا ِمنَ ْال ُم ْس ِل ِميْن
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada satu pun
sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting, bahwa taqwa adalah kewaspadaan diri, rasa takut
kepada Allah, kesiapan diri, kehati-hatian agar tidak mudah terjebak dalam duri-duri syahwat dansyubhat di tengah
perjalanan menuju Allah, menghindarkan diri dari perbuatan syirik, dan sekuat tenaga meninggalkan perbuatan
maksiat dan dosa, serta berjuang sungguh-sungguh dalam mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah
dengan hati yang tunduk dan ikhlas.
َصي َب َك ِمنَ الدُّ ْن َيا َوأَ ْحس ِْن َك َما ِ سن َ اآلخ َرةَ َوال تَ ْن
ِ َّار َّ اك
َ َّللاُ الد َ ََوا ْبتَغِ فِي َما آت
َب ْال ُم ْف ِسدِين َّ ض ِإ َّن
ُّ َّللاَ ال يُ ِح ِ األر
ْ سادَ فِي َ ََّللاُ إِلَي َْك َوال تَبْغِ ْالف َ أَ ْح
َّ َسن
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu
melupakan nasibmu di dunia; berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash: 77).
Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan akherat. Prinsip ini menganjurkan kita agar dalam melaksanakan
urusan-urusan duniawi, hendaknya selalu dibarengi dengan mempertimbangkan nilai-nilai ukhrawi. Dalam hal ini,
penting dipahami bahwa mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti mengabaikan sama sekali persoalan
duniawi. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun di dunia ini, dalam pekerjaan dan profesi apapun, hendaknya
semua itu kita landasi atas dasar ibadah kepada Allah SWT demi meraih ridho-Nya dan berharap kebahagiaan kelak
di akhirat. Dengan prinsip ini, maka segala prilaku dan usaha kita di dunia, apapun bentuknya, akan senantiasa terarah
dan terjaga sekaligus bernilai ibadah, serta tidak mudah melakukan upaya-upaya kotor dengan menghalalkan segala
cara demi meraih ambisi-ambisi atau syahwat duniawi.
Kedua, prinsip yang dalam ayat di atas disebutkan dalam bentuk perintah (fi’il amr): ‘ahsin’, yakni agar kita senantiasa
berbuat kebaikan. Artinya, dalam melakukan aktifitas apapun, hendaknya selalu kita orientasikan untuk tujuan berbuat
baik terhadap sesama, tidak sebatas memaknai kebaikan hanya untuk diri atau kelompok kita sendiri. Dengan prinsip
ini, seseorang akan terhindar dari sikap ananiyah (egoisme), sebuah sikap yang sering menjadi sumber pertikaian dan
permusuhan antar sesama. Selain itu, prinsip ini akan menumbuhkan sikap selalu berprasangka baik (husnudzan)
kepada orang lain, serta memupuk sikaptasamuh (toleransi) dan saling menghargai.
Ketiga, prinsip “walaa tabghil fasada fil ardh’”, yaitu prinsip tidak berbuat keonaran dan kerusakan di muka bumi. Bila
prinsip ini dipegang secara teguh dan sungguh-sungguh, seseorang akan dapat dengan mantap mewujudkan prinsip
yang kedua, yakni kemampuan berbuat baik terhadap sesama dibarengi kemampuan menghindari kerusakan. Dalam
situasi tertentu, bahkan prinsip ketiga ini harus lebih diprioritaskan ketimbang prinsip yang kedua, yaitu apabila
misalnya kita dihadapkan pada 2 pilihan dalam situasi yang serba sulit dan dilematis: “antara berbuat baik (mengambil
mashlahat namun kontraproduktif) ataukah mencegah kerusakan?!”. Sebagaimana dalam sebuah kaidah ushul al-
fiqhiyah disebutkan: “dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih” (mencegah kerusakan, harus lebih
didahulukan dari pada mengambil mashlahah atau kebaikan). Untuk menerapkan prinsip ini dan membiasakannya
dalam prilaku kita sehari-hari, paling tidak, harus kita mulai dari hal-hal kecil, seperti: jika kita merasa tidak bisa berbuat
baik kepada orang lain, minimal kita jangan suka menyakiti orang lain; jika kita sulit untuk bertutur kata yang baik
kepada orang lain, minimal kita tidak perlu mencela atau melukai hati orang lain dengan perkataan kita, artinya kita
lebih baik diam” (qul khoiran aw liyashmut). Prinsip ini juga sangat penting dipahami dalam konteks upayaamar ma’ruf
nahi munkar, artinya, sebuah upaya amar ma’ruf (kebaikan) tidak boleh dilakukan dengan cara-cara
yang munkar (cara-cara yang merusak, anarkis, bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat). Karena
ketidakpahaman akan prinsip ini akan mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang dengan mudah melakukan
aksi-aksi brutal, anarkis, radikal, bahkan tindakan terorisme dengan mengatasnamakan “jihad” dan “agama”,
sebagaimana yang marak terjadi akhir-akhir ini. Prilaku semacam itu sesungguhnya amat bertentangan dengan
hakikat ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin(penebar kasih sayang dan kedamaian bagi alam semesta).
Sehingga tidak aneh, oleh kalangan guru-guru kita: para kiai dan ulama-ulama pesantren kharismatik yang lebih
mewarisi spirit dakwah Wali Songo, prilaku-prilaku kelompok tersebut sering dikatakan dengan bahasa sindirian: “amar
ma’ruf nyambi munkar”, bukan amar ma’ruf nahi munkar.
Meskipun konteks ayat ini menjelaskan tentang perbekalan dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ayat
itu juga menjelaskan gambaran ketika manusia akan menghadap Allah di padangmahsyar kelak. Di mana, ibadah haji
merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar seperti halnya mereka berkumpul
di padang Arafah. Maka, bekal utama yang dapat menyelamatkan manusia adalah taqwa.
Firman Allah di atas juga mengandung makna tersirat bahwa manusia memiliki 2 macam perjalanan, yakni perjalanan
di dunia dan perjalanan dari dunia menuju akherat. Perjalanan manusia di dunia memerlukan bekal, baik bekal berupa
makanan, minuman, harta, pangkat dan kedudukan, kendaraaan, dan sebagainya. Demikian pula perjalanan manusia
dari dunia menuju akherat, juga memerlukan bekal. Bahkan bekal perjalanan yang dibutuhkan dari dunia menuju
akhirat ini jauh lebih penting dari pada perbekalan di dunia.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan, at-Tamimi, al-Bakri, at-Thabaristani, ar-Rozi,
atau yang populer dengan nama Imam Fakhruddiin (Kebanggaan Islam), seorang mufassir dan ulama besar
bermadzhab Syafi’i di zamannya, dalam dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Kabir atau Mafaatih al-Ghaib,
menyebutkan 5 perbandingan antara perbekalan di dunia dan perbekalan di akherat:
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari ancaman penderitaan yang
BELUM TENTU terjadi. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan menyelamatkan manusia dari
penderitaan yang PASTI terjadi jika seseorang tidak membawa bekal.
Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan sementara. Tetapi bekal
perjalanan dari dunia menuju akherat, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan selama-lamanya yang tiada tara
dan tiada batasnya.
Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menghantarkan manusia pada kenikmatan sesaat, dan pada saat
yang sama ia juga mengalami rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara bekal perjalanan dari dunia menuju
akherat, akan membuat manusia terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.
Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia, pada saatnya akan kita lepaskan dan kita tinggalkan di tengah
perjalanan. Adapun bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, senantiasa akan kita bawa, dan kita akan lebih banyak
menerima bekal-bekal tambahan hingga kita sampai pada tujuan, yaitu akherat.
Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan mengantarkan manusia pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu
yang rendah. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akherat, akan semakin membawa manusia pada
kesucian dan kemuliaan karena yang ia bawa adalah sebaik-baik bekal. (Tafsir ar-Raazi 5/168)
ويستجيب الذين, الحمد هلل الذى يقبل التوبة عن عباده ويعفوا عن السيئات
عالم الغيب، أشهد أن ال اله اال هللا وحده ال شريك له. آمنوا وعملواالصالحات
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسله هللا بشيرا ونذيرا وهاديا الى. والشهادة
اللهم صل وسلم على عبدك ورسولك محمد وعلى.الحق بإذنه وسراجا منيرا
أيها الحاضرون الكرام أوصيكم ونفسي: أما بعد،آله وأصحابه والتابعين
يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا: قال هللا سبحانه وتعالى. بتقوى هللا وطاعته لعلكم تفلحون
ََّللاَ َح َّق تُقَا ِت ِه َو َال تَ ُموت ُ َّن ِإ َّال َوأَ ْنت ُ ْم ُم ْس ِل ُمون
َّ اتَّقُوا
HADIRIN SIDANG JUM’AT YANG KAMI MULIAKAN
Dalam al-Qur’an cerita seputar penciptaan manusia pertama, Nabi Adam as sampai beliau ditrunkan
ke bumi, disebutkan secara berulang-ulang oleh Allah SWT pada surat yang berbeda. Kadang bahkan
diceritakan secara detail bagaimana Iblis menolak perintah Allah ketika disuruh sujud kepada Adam,
bagaimana akhirnya Adam terbujuk sehingga akhirnya ikut terusir dari surga. Demikian pula kisah tentang
putra beliau Qabil yang membunuh Habil, adiknya sendiri.
Berulang-ulangnya kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an, sama sekali bukan tanpa maksud dan
hikmah. Demikian pula bukan karena Allah kekurangan bahan cerita, sebagaimana yang dituduhkan oleh
orang-orang barat yang tidak suka terhadap Islam. Tetapi ditampilkannya kisah tersebut secara berulang-
ulang, tidak lain agar kita ummat Islam benar-benar mau menghayatinya dan menjadikannya sebagai
pelajaran yang berharga. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah SWT pada surat Ali ‘Imran ayat 13;
إن فى ذلك لعبرة أللى األلباب
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”
Melalui peristiwa ini Allah SWT ingin menunjukkan kepada kita kaum muslimin tentang dua sifat
perusak yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan kehidupan seseorang maupun masyarakat secara luas.
Pertama : Sifat sombong. Sifat inilah yang sejak pertama menempel pada diri Iblis. Ketika ia
diperintah untuk sujud kepada Adam as, ia menolak mentah-mentah bahkan
dengan sangat angkuh dan sombongnya ia berdalih di hadapan Allah SWT :
HADIRINُSIDANGُJUM’ATُRAHIMAKUMULLAH !
Orang yang sombong, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bukanlah mereka yang selalu
berpakaian bagus dan mewah. Tetapi yang dimaksud orang yang sombong adalah mereka yang menolak
kebenaran, melihat dirinya lebih mulia dan terhormat, serta memandang orang lain lebih rendah dari
dirinya.
Sebuah rumah tangga akan berantakan jika salah satu dari suami isteri telah dihinggapi sifat
sombong ini. Bahkan sebuah lingkungan dan negara sekalipun akan kacau jika para pemimpinnya selalu
merasa lebih mulia dan lebih terhormat dibandingkan dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin yang sudah terjangkiti sifat sombong dan angkuh, akan sulit sekali menerima saran dan
nasihat, apalagi kritik dari orang lain. Ia selalu merasa diri paling hebat, paling benar, paling berjasa, dan
paling segala-galanya. Perasaan seperti inilah yang pernah hinggap pada diri seorang Fir’aun dan Namruz,
dua pemimpin yang tiran dan diktator. Hukum seolah ada di telunjuk mereka dan undang-undang ada di
mulut mereka. Apapun yang mereka perintahkan rakyat harus patuh dan taat tanpa ada pilihan lain.
Karena demikian besar bahaya yang ditimbulkan, maka Allah SWT mengancam tidak akan
memasukkan ke dalam surga siapapun yang memiliki sifat sombong sebelum ia bertobat dengan
sepenuhnya. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw
mengingatkan :
)َال يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ َم ْن َكانَ فِي قَ ْلبِ ِه ِمثْقَا ُل ذَ َّرةٍّ ِم ْن ِكب ٍّْر (رواه مسلم
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya bercokol sifat angkuh dan sombong sekecil apapun.”
HADIRINُSIDANGُJUM’ATُYANGُKAMIُMULIAKANُ!
Kedua : Sifat hasad, iri dan dengki . Sifat inilah yang telah menjerumuskan Qabil,
keturunan pertama Nabi Adam as, yang telah melakukan dosa dan
pelanggaran pertama di atas muka bumi ini. Ia telah begitu tega membunuh
adik kandungnya sendiri, Habil karena iri dan dengki. Karena ia tidak bisa
menerima isteri Habil lebih cantik dari isterinya sendiri.
Hadirin Rahimakumullah …! Sungguh tidak ada musibah yang lebih besar … tidak ada racun yang
lebih ganas … dibandingkan dengan sifat hasad, iri dan dengki ini. Siapapun yang terjangkit penyakit ini,
maka dijamin ia tidak akan pernah merasakan kenyamanan dan ketenangan. Setiap kali melihat orang lain
mendapat kemuliaan, hatinya menjadi perih dan sakit. Setiap kali menyaksikan orang lain mendapatkan
kebahagiaan, hatinya serasa terbakar dan teriris.
Dan akibat yang paling megerikan, sifat iri dan dengki ini dapat menyebabkan keimanan seseorang
secara perlahan menjadi luntur dari hatinya. Tak ubahnya seperti cairan yang menetes terus dari wadah
yang bocor. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda :
Karena demikian buruk akibat yang ditimbulkan oleh sifat hasad dan dengki ini, maka baginda Nabi
sa mengingatkan kepada kita :
ب (رواه
َ ط ُ َّت َك َما تَأ ْ ُك ُل الن
َ ار ْال َح َ سدَ يَأ ْ ُك ُل ْال َح
ِ سنَا َ سدَ فَإِ َّن ْال َح
َ ِإيِّا ُك ْم َو ْال َح
)البيهقي
“Jauhilah sifat hasad dan dengki ! karena sifat ini akan dapat menghilangkan kebaikan sebagaimana api
yang melahap kayu bakar.”
HADIRIN RAHIMAKUMULLAH !
Demikian khutbah singkat yang dapat kami sampaikan dan sebagai penutup kami ingin
mengakhirinya dengan sebuah dialog singkat antara Iblis –laknatullah- dengan Nabi Nuh as. Saat nabi Nuh
as menaiki perahunya, tiba-tiba beliau melihat seorang kakek tua yang tidak dikenal. Lalu Nabi Nuh
bertanya,”Mengapa engkau ikut naik di kapal ini?”
“Aku ingin memasang perangkap untuk para pengikutmu agar hati-hati mereka bersama aku,
walaupun tubuh mereka bersamamu.” Jawab sang kakek yang tidak lain adalah Iblis laknatullah.
“Aku akan membinasakan manusia dengan lima hal. Tiga akan aku beritahukan kepadamu dan dua
akan aku rahasiakan.”
Ketika itu Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Nuh as agar beliau meminta kepada Iblis
supaya memberitahukan dua perkara saja, dan merahasiakan tiga perkara lainnya. Sang Iblis lantas
bercerita, “Wahai Nuh, dulu di surga aku dengki kepada Adam sehingga aku dilaknat oleh Allah. Kemudian
aku sombong serta merendahkan Adam, maka akupun diusir dari dalam surga. Karena itu aku bertekad,
dengan kedua sifat ini, yaitu dengki dan sombong, aku pasti akan dapat membinasakan umat manusia.”
Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah …! Semoga khutbah yang sangat singkat ini mampu
menggugah kesadaran kita semua untuk senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap berbagai
perangkap yang telah dipasang oleh Iblis untuk menjerumuskan kita, terutama melalui kedua sifat yang
buruk ini, yaitu : sifat sombong dan hasad.
ع ْن ِعبَادَتِي َ َ ِإ َّن الَّذِينَ يَ ْستَ ْكبِ ُرون: الر ِجيْم َّ ان ِ ط َ ش ْيَّ عوذُ بِاهللاِ ِمنَ ال ُ أ
َونَفَعَ ِن ْي،آن ْالعَ ِظي ِْم ِ ار َك هللاُ ِل ْي َولَ ُك ْم ِفي ْالقُ ْر َ َب. َاخ ِرين ِ َس َي ْد ُخلُونَ َج َهنَّ َم د َ
،ُ َوتَقَ َب َّل هللاُ ِم ِنِّ ْي َو ِم ْن ُك ْم تِالَ َوتَه،ت َوال ِذِّ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم ِ َو ِإيَّا ُك ْم ِب َما فِ ْي ِه ِمنَ اْآل َيا
سائِ ِرَ أَقُ ْو ُل قَ ْو ِل ْي َهذَا َوأ َ ْستَ ْغ ِف ُر هللاَ ْالعَ ِظي َْم ِل ْي َولَ ُك ْم َو ِل.س ِم ْي ُع ْالعَ ِل ْي ُم
َّ ِإنَّهُ ُه َو ال
إِنَّهُ ُه َو ْالغَفُ ْو ُر،ُ فَا ْستَ ْغ ِف ُر ْوه.ِت َو ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ َو ْال ُمؤْ ِمنَات ِ ْال ُم ْس ِل ِميْنَ َو ْال ُم ْس ِل َما
.الر ِح ْي ُم
َّ
Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad SAW. Mudah-mudahan
dengan memperbanyak shalawat, dalam kehidupan kita diberikan istiqamah, dan di akhir hayat kita
ditutup dengan husnul khatimah, dan ketika menghadap Allah SWT kita mendapatkan syafaatnya, insya
Allah, Amin-Amin ya Rabbal Alamin.
Perjalanan yang singkat ini saja, orang perlu tahu begitu pasti dan yakin, di mana dan kemana rute
perjalanan. Tapi mengapa perjalanan kehidupan banyak orang yang tidak tahu. Dimana dia berada, akan
kemana dia pergi, dan apa yang perlu dia bawa dari tempat persiapan ini menuju tempat keabadian
(Kholidiina Fiiha Abadaa).
Ma’asyiral Muslimin sidang jama’ah jum’at rahimakumullah.
Pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh manusia adalah dari mana dia datang, mau kemana dia pergi,
dan untuk apa dia sekarang berada di sini. Ini tidak dapat ditangkap oleh akal dan tidak bisa dijawab oleh
hati. Yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, hanyalah dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yaitu dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Maka menurut yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits, kita ini semua berasal dari alam yang sangat
besar, yang disebut dengan alam arwah. Saat itu kita semuanya berkumpul. Apa kata Allah dalam al-
Qur’an:
ُ ( َو ِإ ْذ أ َ َخذَ ُربُّكَ مِ ْن َبنِى آ َد َم مِ ْنDan ingatlah – dikatakan di pangkal ayat ini “ = َو ِإ ْذdan ingatlah” –
ظ ُه ْو ِر ِه ْم ذُ ِ ّريَّت َ ُه ْم
ingatlah ketika Tuhanmu mengambil sumpah dari anak cucu keturunan Adam).
= أ َ ْن تَقُ ْو ُل يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِةTapi nanti pada hari kiamat kamu mengatakan: َع ْن َه َذا غَافِ ِليْن
َ = ِإ َّنا ُك َّناKami lalai, kami tidak
ingat, kami lupa bahwa kami pernah mengambil persaksian ketika berada di alam arwah.
Karena kita tidak ingat itulah mengapa di pangkal ayat itu disebutkan = َوإِ ْذdan ingatlah. Ingatlah ketika
Allah mengambil persaksian, mengambil perjanjian kepada semua anak cucu cicit keturunan Adam AS.
Ketika datang orang Yahudi kepada Nabi Muhammad, “Hai Muhammad, apa ruh itu? Bagaimana
bentuknya? Dimana dia berada? Berada lama di alam arwah?”. Nabi Muhammad diam, tidak menjawab.
Lalu turun wahyu, apa kata Allah:
ِالر ْوح َ َ = َي ْسأَلُ ْونَكYa Muhammad, kalau mereka bertanya kepadamu tentang ruh. الر ْو ُح مِ ْن أ َ ْم ِر َر ِبّي
ُّ ع ِن ُّ = قُ ِل
Katakan ruh itu urusan Tuhanku. ً = َو َما أ ُ ْوتِ ْيت ُ ْم مِ نَ ْالع ِْل ِم ِإلَّ قَ ِل ْيالTidaklah kamu diberikan ilmu tentang ruh. َِّإل
ً = قَ ِل ْيالKecuali hanya sedikit maklumat, sedikit informasi tentang ruh. Yang disebutkan itu hanyalah bahwa
kita dulu pernah berada di alam arwah, bersama ruh semua anak cucu keturunan Adam.
Lalu setelah dari alam arwah, alam yang pertama, kemana kita pergi? Masuklah kita ke alam yang kedua
yang disebut dengan alam rahim.
ًعالَقَة
َ ُ = ث ُ َّم يَ ُك ْونKemudian air tadi berubah dalam bentuk عالَقَة
َ (‘Alaqah artinya lengket menempel). Mengapa
disebut dia “lengket menempel”? Karena dia seperti lintah yang menempel di kulit. Dari mana lintah
makan? Dari sari pati darah yang ada di badan kita. Begitulah menempelnya darah yang ada di dinding
rahim.
Dari air, dirubah Allah SWT menjadi segumpal darah yang menempel. Setelah itu: َضغَ ًة مِ ثْ َل َذلِك
ْ = ث ُ َّم َي ُك ْونُ ُم
Kemudian berubah 40 hari dalam bentuk segumpal daging. 40 hari air, 40 hari darah, 40 hari daging
sama dengan 120 hari. 120 hari sama dengan 4 bulan.
Setelah 4 bulan umur janin dalam rahim, maka Allah mengirim satu Malaikat yang khusus membawa
pindah dari alam arwah masuk ke dalam alam rahim. Ketika itu berdetaklah jantung si cabang bayi.
Maka kalimat yang pertama dia ingat dan dengar bukan nama bapaknya, bukan nama ibunya, tapi nama
Allah SWT. Yaitu kalimat: ُ أَ ْش َه ُد أ َ ْن لَ ِإلَهَ ِإلَّ هللا.Karena kalimat itulah yang dulu dia ucapkan di alam arwah:
َ = بَلَىKami bersaksi Engkau adalah Tuhan kami ya Allah.
ش ِه ْدنَا
Dunia diambil juga dari kata “daniy” artinya hina. Mengapa disebut ini dengan alam yang hina? Karena
ada alam yang mulia, yaitu akhirat. = َولَألَخِ َرة ُ َخي ٌْر لَكَ مِ نَ اْْل ُ ْولَىAlam akhirat itu lebih baik bagi engkau dari
pada yang pertama.
Maka orang Islam yang paham hakikat hidup dia tidak merasa abadi di dalam kehidupan dunia ini.
Karena ini bukan stasiun terakhir, ini cuma tempat perhentian sementara. Tempat yang selamanya nanti
di sana, di alam berikutnya.
Berapa lama kita di alam yang ketiga, di alam dunia ini? Wallahu a’lam bish-shawab, hanya Allah yang
tahu. Kita semua punya ajal, batas umur masing-masing. Kalau ikut nabi, 63 tahun. Ada di antara kita
yang lebih dari itu, ada yang pas, ada juga yang kurang. Sesuai dengan qadha dan qadar, ketetapan
Allah SWT. = ِل ُك ِّل أ ُ َّم ٍة أ َ َج ٌلSetiap umat ada ajal, ada limit waktu.
Habis masanya, limit waktu pun datang, izra’il pun datang mencabut nyawa. Tidak semua kita yang
mendapatkan kebaikan saat kematian itu datang. Makanya di antara doa yang kita ucapkan: اختِ ْم لَنَا ْ اللَّ ُه َّم
س ْوءِ ْالخَاتِ َم ِة َ َولَ ت َْختِ ْم،ِ بِ ُحس ِْن ْالخَاتِ َمة. Su’ul khatimah adalah tidak sempat mulut kita mengucapkan “La ilaha
ُ ِع َل ْينَا ب
illa Allah”.
Ma’asyiral Muslimin sidang jama’ah jum’at rahimakumullah.
Saat lahirnya, sayup-sayup terdengar di pangkal telinganya suara azan. Namun saat mati nanti tidak lagi
ُ َّ= ِبـالَ ِإلَ َه ِإل
diazankan, tapi yang diajarkan adalah = لَ ِقّنُ ْوا َم ْوت َ ُك ْمTalqinkan orang yang mau sakaratul maut, هللا
dengan ucapan “La ilaha illa Allah”.
Kalaulah anak diajarkan agama, tahu dia hadits tentang talqin, maka dibisikkannya ke pangkal telinga
ayahnya “La ilaha illa Allah”. Supaya akhir kalamnya husnul khatimah. Itu yang diucapkan dulu di alam
arwah, itu juga yang diucapkan waktu lahir, itu juga yang dibisikkan waktu mati. Itu kalau anak dididik
agama. Tapi kalau tidak dididik agama, apa yang bisa kita harapkan darinya untuk menolong kita ketika
sakaratul maut?
Jadi mari kita jaga “La ilaha illa Allah” tidak keluar dari dalam badan. Dibawa dari alam arwah, masuk ke
alam rahim, masuk ke alam dunia, sampai ke garis finish, menjelang maut tiba, tetap dalam kalimat “La
ilaha illa Allah”.
Memangnya ada orang yang imannya keluar? Ada, iman itu bisa keluar. Kata nabi: Pencuri, pezina,
peminum khamar imannya lepas dan tanggal. Lalu kapan iman itu balik lagi? Ketika orang itu bertaubat,
masuk lagi iman ke dalam badan. Kalau sempatlah bertaubat nasuha, masuk iman ke dalam, baru
datang izra’il, alhamdulillah. Tapi kalau sempat iman masih di luar, datang izra’il mencabut nyawa,
na’udzubillah, mati dalam keadaan tidak beriman.
Barzakh maknanya pemisah. Ayat ini bercerita tentang pemisah antara air laut dan air sungai. Mengapa
alam itu disebut dengan alam barzakh? Karena dia pemisah antara akhirat dan dunia.
Berapa lama dia di sana? Wallahu a’lam bish-shawab, sampai ditiupkan sangkakala, lalu terjadilah
kiamat besar, itulah akhir kehidupan kita yaitu alam akhirat.
Inilah akhir dari kehidupan. Alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzakh dan alam akhirat. Di
sinilah kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita: ًص َر َو ْالفُ َؤا َد ُك ُّل أُولَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسؤ ُْول
َ = ِإ َّن الس َّْم َع َو ْال َب
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, bisikan hati, semuanya akan disoal, akan ditanya oleh Allah
SWT.
Sekecil apa perbuatan yang akan diperiksa nanti? = َف َم ْن َي ْع َم ْل مِ ثْ َقا َل َذ َّرةٍ َخي ًْراSebesar dzarrah perbuatan baik
yang kita lakukan, ُ = يَ َرهakan ditengok oleh mata. = َو َم ْن يَ ْع َم ْل مِ ثْقَا َل ذَ َّرةٍ ش ًَّراsebesar dzarrah pun yang tidak
baik yang kita lakukan, ُ = يَ َرهakan ditengok juga oleh mata.
Oleh sebab itu, kita semua akan menuju ke arah sana. Inilah akhir kehidupan kita. Maka lima perjalanan
ini, setengahnya sudah kita lewati. Alam arwah sudah, alam rahim sudah, sekarang kita berada di alam
dunia. Di alam dunia ini, ada yang sudah menghabiskan seperempat, ada yang sudah menghabiskan
setengah, ada yang sudah menghabiskan semua, ada yang hidup dalam bonus. Masing-masing kita
akan berakhir. Kemana kita ujungnya? Pindah ke alam barzakh, dan berakhir di alam akhirat.
Apa yang sudah kita persiapkan? Tidak perlu dijawab dengan lidah, tapi mari kita jawab dalam bentuk
amal nyata untuk mengisi sisa kehidupan kita.
ِإنَّهُ ه َُو السَّمِ ْي ُع ْال َع ِل ْي ُم،ُ َوتَقَ َب َّل هللاُ مِ نِّ ْي َومِ ْن ُك ْم تِالَ َوتَه،ت َوال ِذّ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم
ِ َو َنفَ َعنِ ْي َو ِإيَّا ُك ْم ِب َما فِ ْي ِه مِ نَ اْآل َيا،آن ْال َعظِ ي ِْم
ِ اركَ هللاُ ِل ْي َولَ ُك ْم فِي ْالقُ ْر
َ َب.