Sei sulla pagina 1di 14

Tn.

J, pria berusia 43 tahun dan memiliki riwayat varises esophagus


karena konsumsi alcohol jangka panjang, dirawat dirumah sakit karena
mengalami perdarahan gastrointestinal atas hebat. Untuk
mempertahankan stabilitas hemodinamik, penggantian volume intravena
mulai diberikan dan ia dipasangi infus vasopressin (Pitresin). Endoskopi
yang diprogramkan untuk mengevaluasi varises dan skleroterapi
berhasil dilakukan satu jam kemudian, Tn.J mengeluhkan adanya nyeri
dada yang terus menerus dan infus vasopressin yang diberikan
kepadanya dihentikan. Ia kemudian mengalami perdarahan berulang
yang berasal dari varises esofagusnya dan slang sengstaken Blakemore
berhasil dipasang, perdarahan terkendali dan stabilitas hemodinamik
kembali.

Pertanyaan:

1. Jelaskan keterkaitan antara konsumsi alcohol dalam jangka panjang


sebagai salah satu penyebab varises esophagus?
Hepatitis alkoholik adalah peradangan hati yang diakibatkan
karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Penyakit ini dapat
berkembang menjadi sirosis apabila pasien tetap mengonsumsi alkohol.
Sirosis tidak dapat disembukan. Saat terjadi sirosis, jaringan hati yang
normal akan rusak dan tergantikan oleh jaringan parut. Lambat laun
hati akan berhenti berfungsi.
Perdarahan varises gastro-esofageal, atau yang lebih dikenal
sebagai perdarahan varises esophagus (PVO), merupakan salah satu
komplikasi terbanyak hipertensi portal akibat sirosis.
Perdarahan varises esophagus merupakan proses yang panjang
dimulai dari peningkatan tekanan vena portal Akibat ketidakseimbangan
antara tekanan aliran darah dan kemampuan pembuluh darah maka
muncul lah pembesaran abnormal pada pembuluh darah vena di
esofagus bagian bawah. Varises esofagus terjadi jika aliran darah
menuju hati terhalang. Aliran tersebut akan mencari jalan lain, yaitu ke
pembuluh darah di esofagus, lambung, atau rektum yang lebih kecil dan
lebih mudah pecah. (Buku Ajar Patologi Vol. 2). Pembentukan kolateral
yang kemudian menjadi varises, dilatasi progresif dari varises, dan
berakhir dengan rupture dan pendarahan.

2. Pada kasus di atas Jelaskan alasan mengapa pasien diberikan atau di


pasang infus vasopressin?
vasopressin bekerja dengan menurunkan aliran darah portal, aliran
darah kolateral sistemik portal dan tekanan varises. Vasopressin menghentikan
perdarahan lewat efek vasokontriksi pembuluh-pembuluh darah splanknik.
Obat ini diberikan dalam dosis 0,1-1,0 unit/menit, meski dosis di atas 0,6
unit/menit masih diragukan efektifitasnya. Obat ini dapat menimbulkan
vasokonstriksi bermakna, seperti peningkatan resistensi perifer dan penurunan
curah jantung, denyut jantung dan aliran darah coroner, yang dapat
menyebabkan iskemi atau nekrosis organ. Pasien dengan penyakit pembuluh
darah koroner atau penyakit pembuluh darah perifer, merupakan kontra-
indikasi pemberian obat ini.

3. Apakah yang menyebabkan Tn. J mengeluhkan adanya nyeri dada yang


terus menerus setelah dilakukan endoskopi?
Endoskopi dianjurkan pada setiap pasien yang terbukti
mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas, akibat perdarahan
varises. Ligasi merupakan bentuk terapi endoskopi yang dianjurkan
pada perdarahan varises esofagus akut, meski pun skleroterapi boleh
juga dilakukan pada perdarahan akut, di mana ligasi secara tehnik sulit
dikerjakan
Terapi endoskopi dengan tissue adhesive (e.g. N-but
ylcyanoacrylate) dianjurkan pada perdarahan varises lambung akut.
Terapi endoskopi paling baik dikerjakan bersama dengan pemberian
terapi farmakologi, dan lebih baik bila pengobatan farmakologi diberikan
sebelum dilakukan endoskopi (la;A).
Endoskopi akan sulit dilakukan apabila perdarahan yang massif dan
terus berlangsung, Kondisi akan semakin sulit bila pada endoskopi juga
ditemukan varises gaster.
Komplikasi jarang terjadi, tetapi tidak ada prosedur yang menjamin
tidak ada risiko komplikasi yang mungkin terjadi :
- Menelan yang menyakitkan
- Pendarahan
- Kerusakan esophagus
- Infeksi.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko komplikasi:


- Alkoholisme;
- Pelanggaran pembekuan darah;
- Pendarahan aktif;
- Usia tua;
- Penyakit jantung atau paru-paru;
- Penggunaan obat-obatan tertentu;
- Merokok.

4. Seberapa efektif nya kah pemasangan slang sengstaken Blakemore pada


pasien Tn. J? apa resiko atau komplikasi yang akan di timbulkan?
Managemen penanganan pendarahan gastrointestinal bagian atas
adalah dengan segera membawa pasien ke rumah sakit. Setelah di
rumah sakit, prioritas utama adalah dengan memberi bantuan untuk
status sirkulasi pasien dan kemudian identifikasi sumber pendarahan
(Smith, 2004). Sedangkan untuk pendarahan akut varices, Bosch et all
(2007) mengatakan bahwa rekomendasi saat ini untuk mengatasi
pendarahan akut varices adalah dengan mengkombinasikan stabilisasi
hemodinamik, prophilaksis antibiotik, agen farmakologik dan
penatalaksanaan endoscopic.
Sayangnya, pada beberapa kasus bahkan dengan kombinasi dari
tindakan diatas dapat gagal untuk menghentikan pendarahan variceal.
Dan dalam situasi ini, baloon tamponade Sengstaken Blakemore Tube
(SBT) adalah jembatan sementara untuk strategi lain yang definitif dapat
digunakan. SGT dapat menghentikan pendarahan dengan kompresi
langsung dari varices melalui balon gastric dan esophageal yang
mengembang dan ini dapat sukses hingga 90% kasus (Pasquale, 1992).

Sengstaken Blakemore Tube (SBT) yang diperkenalkan pertama


pada tahun 1950 adalah tube plastik multi-lumen dengan dua balon
yang dapat dikembangkan (Gastric dan Esophageal balon) (Sengaskten
dalam Maufa, 2012). SB tube ini memiliki empat lumen dengan dua
balon tadi. Ini menyediakan gastric aspiration untuk mengijinkan
drainase dari cairan bawah balon gastric. Alat ini juga menyediakan
esophageal aspirasi, yang mana didapatkan oleh tube kedua. Perawat
memiliki peran penting dalam pemasukan dan observasi dari selang ini
(Christensen, 2004).
Bentuk terapi ini sangat efektif dalam mengatasi perdarahan akut
sampai 90% pasien meskipun sekitar 50 % nya mengalami perdarahan
ulang ketika balon dikempiskan. cara ini dapat menimbulkan
komplikasi potensial yang berat yang dapat mengancam nyawa. Ketika
aspirasi dari sekret menjadi masalah utama, obstuksi jalan nafas akut
dan esophageal rupture, ulseras esofagus dan pneumonia aspirasi pada
15-20% pasien. walau sangat jarang terjadi namun merupakan
komplikasi yang fatal (Seet E, 2008).
Meskipun begitu, cara ini mungkin dapat menjadi terapi
penyelamat pada perdarahan varises masif yang tak terkendali. Sebelum
dapat diberikan terapi lainnya. 15
Walaupun alat ini sangat efektif dalam mengontrol pendarahan
akut akibat varices esophagus sebagai jembatan atau terapi sementara
sementara masih direncakan terapi yang lebih definitif. Hasil
pembahasan menunjukkan pentingnya radiography dalam mencek
posisi selang sebelum dan setelah pengembangan penuh dari balon
gastric untuk mengkonfirmasi kebenaran dari posisi selang dan
mendeteksi pemindahan lokasi selang secepat mungkin. Seperti yang
dikatakan Nielsen (2012), kasus kami mengilustrasikan bahwa
penempatan yang benar dari SB Tube sebelum pengembangan balon
memegang peranan penting untuk mencegah adanya ruptur esophagus.
Pemasukan dengan penempatan yang benar dari selang walaupun
merupkan prosedur yang sulit harus tetap dilakukan dengan baik untuk
mencegah ruptur esophagus yang dapat mengakibatkan kematian
(Nielsen, 2012).
Oleh karena itulah, observasi yang terus berulang dengan x-ray
harus dilakukan. Pada keadaan yang darurat dan x-ray tidak bisa
secara jelas mengungkapkan posisi selang, maka penggunaan
ultrasonography dapat memberikan solusi yang menjanjikan.
5. Buatlah kesimpulan dari penatalaksanaan perdarahan varises
esophagus pada Tn. J di atas?
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran abnormal
pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Perdarahan varises merupakan keadaan
darurat medik, yang sering diikuti dengan angka kematian, sekitar 20% yang terjadi dalam
waktu 6 minggu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perdarahan varises esofagus
antara lain tekanan portal yang tinggi, besarnya varises, dinding dan tegangan
varises serta derajat keparahan sirosis hepatis. Penatalaksanaannya meliputi
profilaksis primer, penatalaksanaan perdarahan akut dan profilaksis sekunder.
Penatalaksanaan depat menggunakan terapi farmakologi, terapi endoskopi sebagai
tindakan definitif dan dipertimbangkan tindakan pembedahan
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsesus Nasional


PerkumpulanGastroenterologi Indonesia : Panduan Penatalaksanaan
Perdarahan Varises pada Sirosih Hati. Surabaya : 2007.

2. Nina, Dibb. Current management of the complications of portal


hypertension:variceal bleeding and ascites. CMAJ.May 9, 2006:174(10).

3. Sarin N, Monga N, Adams PC. Time to endoscopy and outcomes in upper


gastrointestinal bleeding. Can J Gastroenterol. Jul 2009;23(7):489-93.

4. Sarin SK, Nundy S. Balloon tamponade in the management of bleeding


oesophageal varices. Ann R Coll Surg Engl 1984;66:30-2.

5. Smith, G.D, 2010.. The management of upper gastrointestinal bleeding.


Nursing Times; 100: 26, 40-43.

6. Abraldes, J., and Bosch, J. (2007). The treatment of acute variceal bleeding.
Journal of Clinical Gastroenterology 41(10 Suppl 3): S312-S317.

7. Pasquale MD, Cerra FB. Sengstaken-Blakemore tupe placement. Use of balloon


tamponade to control bleeding varices. Crit Care Clin 1992;8:743-53.

8. Christensen, T. (2004) The treatment of oesophageal varices using a Sengstaken-


Blackmore tube: considerations for nursing practice. Nursing in Critical Care; 2:
58–64.

9. Seet E, Beevee S, Cheng A, et al. The Sengstaken-Blakemore tube: uses and


abuses. Singapore Med J 2008;49:195.

10. Nielsen, Trine Skov, 01. Lethal esophageal rupture following treatment with
Sengstaken–Blakemore Tube in management of variceal bleeding: A 10-year
autopsy study. Department of Forensic Medicine, Faculty of Health Sciences,
Aarhus University, Brendstrupgaardsvej 100, 8200 Aarhus N, Denmark
Analisa Literatur
Berbagai laporan penelitian menyebutkan bahwa penggunaan Sengstaken-
Blakemore tube merupakan cara yang efektif dan juga menjadi prosedur utama di
berbagai rumah sakit dalam menangani atau mengontrol pendarahan varices pada
saluran pencernaan atas untuk sementara sebelum ada terapi definiti lain. Sarin SK
dalam tulisannya berjudul “Balloon tamponade in the management of bleeding
oesophageal varices” mengatakan walaupun adanya teknik baru untuk mengatasi
pendarahan varices, masih ada tempat untuk Balloon Tamponade seperti Sengstaken-
Blakemore. Kateter ini adalah alat yang efektif dalam mengontrol pendarahan hingga
40-92% dari seluruh pasien (Sarin SK, 1984). Hal ini juga dikatakan oleh Panes yang
mengemukakan bahwa ST tube dapat mencapai haemostatis hingga 80-90% dari 10-15
persen kejadian pendarahan saluran cerna atas yang diatasi dengan SB-Tube (Panes,
1988).
Untuk menginvestigasi keefektivan dan keamanan dari Sengstaken-Blakemore
(SB) tube dibandingkan dengan Linton-Nachlas (LN) tubem sebuah randomized clinical
trial telah dilakukan diantara kedua alat ini. Tujuh puluh sembilan pasien yang
menderita pendarahan saluran cerna akibat esophagus varices dimasukkan dalam
penelitian ini. Hasilnya kedua alat ini menunjukkan keefektivan yang sangat baik dalam
mencapai hemostatis (86%), tapi ketika pendarahan berasal dari esopaghus varices,
SB-Tube mencapai permanen hemostatis lebih sering (52%) dibandingkan LN Tube
(30%). Toleransi yang lebih baik dan keefektian yang lebih besar dicapai SB Tube
ketika diaplikasikan tanpa ekternal traksi. Kegunaan dari esophagus tamponade untuk
pendarahan varices akan lebih tinggi jika digunakan dalam waktu 6 jam setelah
pendarahan (Teres J, 1978).
Lebih lanjut Pasquale dalam tulisannya berjudul ‘Use of balloon tamponade to
control bleeding varices’ mengatakan kompresi balon dari SBT adalah upaya yang
sangat efektif hingga 90% kasus dapat tertangani. SB-Tube adalah sebuah cara gawat-
darurat sementara yang bertujuan untuk menghentikan pendarahan dan mengijinkan
terjadinya pergantian volume cairan, dan mencegah lebih lanjut kehilangan darah untuk
mengoptimalkan kondisi pasien sebelum dilakukan managemen definitif yang lebih
terencana. SB-Tube akan lebih efektif pada pasien dengan gangguan fungsi hepar
yang lebih ringan dan pada pasien yang didahului dengan terapi endoskopy
(Ramasethu, 2004). Hasil serupa juga dipaparkan oleh Feinman & Haut (2014) yang
mengatakan bahwa walaupun intervensi SB-Tube walau hanya sementara ini telah
membuktikan dapat menghentikan pendarahan yang mengancam nyawa hingga 80%
dari semua pasien dengan pendarahan akut saluran cerna atas akibat esophageal
varices. Lebih lanjut Feinman mencatat SB-Tube digunakan sebagai jembatan utama
yang cepat untuk mengatasi pendarahan yang mengancam nyawa ini. Dan tidak hanya
untuk pendarahan saluran cerna, SB-Tube juga dapat digunakan untuk beberapa tujuan
lain. Pada Transplantasi liver, SB-Tube dapat digunakan untuk secara aman
mengkoreksi ‘graft torsion’, yang mana dapat dengan mudah diamati dengan
pemeriksaan Doppler (Steinburk, 2010).
Beberapa hal yang kemudian menjadi argumen bahwa SB Tube ini kemudian
menjadi tidak ‘viable’ untuk dipergunakan lagi adalah karena komplikasi yang
ditumbulkan cukup fatal. Resiko komplikasi yang ditimbulakan mengancam nyawa
seperti yang dilaporkan beberapa penelusuran berikut. Pasquale menyatakan walaupun
SB-Tube efektif, di lain sisi resiko kompilkasi yang dilaporkan mencapai angka 15%.
Aspirasi dari sekret adalah komplikasi utama dari alat ini. Obstruksi jalan naas, nekrosis
karena tekanan mukosa dan esophageal rupture walau jarang terjadi namun menjadi
komplikasi yang fatal (Pasquale, 1992). Hal senada juga dikatakan oleh Vlavianos yang
melaporkan SB-Tube diasosiakan dengan 10-35% komplikasi yang terjadi, terlebih lagi
ditangan mereka yang belum berpengalaman. Lebih lanjut telah dikemukakan bahwa
SB-Tube sebenarnya terbatas pada mereka yang sudah berpengalaman (Vlavianos,
1989). Kemudian Chong mengatakan bahwa SB-Tube seharusnya hanya digunakan
sebagai jembatan sementara untuk mengontrol pendarahan yang masif hingga terapi
definitif dapat dilakukan dalam 24 jam. Dan lebih lanjut seperti data sebelumnya Chong
juga mengatakan bahwa SB-Tube diasosiasikan dengan komplikasi fatal pada 6-20%
kasus yang mana komplikasi paling fatalnya adalah esophageal rupture (Chong, 2005).
Beberapa insiden mengenai fatalnya komplikasi yang disebabkan oleh ST Tube
dilaporkan dalam beberapa case report seperti dibawah ini.
Kasus 1 : Seorang perempuan berumur 71 tahun didiagnosis mengalami
cryptogenic cirrhosis dibawa ke pelayanan gawat darurat dengan
hematemesis dan hematochezia. Pengkajian fisik mengungkapkan
takipnea (22/min), hipotensi (80/55mmHg). Asites, hernia sclera dan
umbilical. Hasil lab menunjukkan Hb : 6,9mg/dl, Hematokrit 22,4%, WBC
10900/mm2, PTT 22,3 s dan INR 2.11. Hasil esophagogastroduode-
noscopy (EGD) menunjukkan grade 3-4 esophageal varices dengan spot
merah dan oozing. Karena pendarahan yang terus memburuk dibawah
penanganan vasopressor dan infus salin, SBT dimasukkan secara cepat
dengan kesulitan. Setelah dikonfirmasi melalui auskultasi, gstric balon
dikembangkan 300 ml, esophageal balon dikembangkan 40mmHg.
Radiografi dada kemudian mengungkapkan ternyata gastric baloon
berada di belakang bayangan jantung. Baloon kemudian dikempeskan
dan pasien mengalami pendarahan kembali. Karena akibat salah posisi
balon tadi, terjadi ulcer pada varices yang telah dilem dan adanya
‘deformed dilated esophagus wall’ sepanjang 30 cm. Pasien beberapa hari
kemudian mengalami demam dan hipotensi dan meninggal di hari ke 11 di
ruang ICU (Turkay, 2013).

Kasus 2 : Seorang pria berumur 44 tahun mengalami infeksi hepatitis B. Masuk ke


layanan emergency dengan hematemesis dan ‘tarry stool’. Pemeriksaan
endoscopic menunjukkan adanya 3 esophageal varices dengan warna
merah. Ligasi dilakukan pada lesi ini. Dua hari setelahnya hematemesis
kembali terjadi dan pasien mengalami syok hemoragik. SB-Tube
dimasukkan tanpa ada kesulitan. Epigastric auskultasi dilakukan dan
gastric buble dikonfirmasi oleh staf medis. Tapi kemudian “Subsequent
chest roentgenogram” dilakukan dan ternyata menunjukkan ‘malposisi’
gastric baloon pada area paru bagian kiri bawah. CT Scan menunjukkan
bahwa tube telah menembus dinding esophagus. Karena keadaan pasien
yang tidak stabil, operasi perbaikan tidak dapat dilakukan. Pasien
kemudian meninggal karena syok hemoragik dua jam setelahnya (Wang
et all, 2010).
Tapi kemudian bukan berarti bahwa ST-Tube telah gagal dalam
menangani pendarahan saluran cerna atas atau tidak baik untuk digunakan lagi
kedepannya. Komplikasi yang terjadi diakibatkan adanya prosedur yang
direkomendasikan dilakukan namun dilewati dan adanya faktor lain yang
berpengaruh. Hal ini diungkapkan dalam bagian diskusi dalam masing-masing
case report diatas.
Pada kasus pertama, SBT dimasukkan ke pasien dengan segera karena
adanya pendarahan yang parah. Karena kondisi pasien yang tidak stabil akibat
pendarahan, balon dikembangkan setelah konfirmasi selang menggunakan
auskultasi. Sebagai tambahan, pemasangan BT-Tube mengalami kesulitan dan
pasien memiliki ‘high Child-Pugh classification’ Semua faktor prespitasi ini
membuat rupturenya dinding esophagus. Diagnosis ini dikonirmasi oleh EGD
dan managemen yang konserfatif karena kondisi pasien yang buruk. Sayangnya
pasien meninggal karena infeksi yang bersumber kemungkinan besar dari
mediastinitis (Turkay, 2013). Demikian pula pada kasus ke-dua. Auskultasi
epigastric dilakukan untuk mengkonfirmasi posisi dari selang tersebut. Baru
kemudian setelah balon dikembangkan dilakukan Subsequent chest
roentgenogram yang ternyata menunjukkan adanya malposisi dari gastric balon
SB-Tube yang telah menembus dinding esophagus (Wang et all, 2010). Kedua
laporan kasus diatas dimana terjadi kegagalan penggunaan SB-Tube dalam
mengatasi pendarahan saluran cerna atas dikarenakan hanya digunakannya
metode auskultasi untuk konfirmasi posisi selang SB-Tube. Hal inilah yang
kemudian menjadi resiko terjadinya salah posisi yang menimbulkan dampak
perforasi dinding saluran cerna atas dan kemudian dengan komplikasi lain
mengakibatkan kematian.

Strategi penggunaan SB-Tube


Masih ada kelayakan untuk ST Tube tetap digunakan, walau dengan beberapa
catatan. Strategi dibawah ini menjadi rekomendasi berbagai penelitian untuk
penggunaan ST Tube yang efektif dan mengurangi resiko komplikasi yang mungkin
akan terjadi. Kesalahan yang paling sering terjadi yang membatasi efektifitas balon
tamponade adalah kegagalan pisisi dari gastric balon pada posisi gastroesophageal
junction. Sebenarnya jarang dilakukan untuk mengembangkan balon esophagus bila
gastric balon sudah beraa dalam posisi yang tepat (Vlavianos, 1989).
Oleh karena itu penggunaan metode tambahan selain auskultasi diperlukan
untuk mengkonfirmasi letak selang dengan benar. Hal ini dinyatakan oleh Kelly (1997)
bahwa setelah pemasangan SBT, auskultasi dan monitoring tekanan balon sendiri
tidak mencukupi. Sehingga dibutuhkan x-ray dada sebelum dan sesudah gastric balon
dikembangkan adalah sebuah tatalaksana untuk mengkonfirmasi posisi yang benar dari
selang dan mendeteksi adanya kesalahan tempat dari selang di esophagus secepat
mungkin. Dalam kasus posisi selang tidak dapat terdeteksi dengan x-ray, gastric balon
dapat iisi dengan cairan radiocontrasr terlebih dahulu untuk membuktikan posisi dari
selang tersebut. Hal serupa juga dikatakan oleh Chong (2005) dalam laporan kasusnya.
Diantara komplikasi yang ada, esophagus rupture karena kesalahan penempatan SB-
Tube mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi dari adanya hemothorax atai septic
mediastinitis. Sehingga untuk mencegah hal ini, konfirmasi yang benar dari
penempatan selang dengan auskultasi saja tidak mencukupi. Radiography secara rutin
perlu dilakukan setelah pengembangan yang sedikit dari gastric balon untuk
mengkonfirmasi bahwa selang terpasang pada posisi yang benar sangat
direkomendasikan.
Strategi berikutnya yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kebenaran letak
selang adalah dengan menggunakan USG. Seperti yang diungkapkan Guntam (1997)
bahwa konfirmasi Radilogical disrankan sebelum pengembangan penuh dari balon.
Tetapi, pengembangan sebagian dari gastric balon tidak selalu dapat dikonfirmasi
dengan chest roentgenogram. Sementara itu keterlambatan dalam mengembangkan
balon untuk menekan pendarahan akan berakibat buruk pada kondisi pasien yang bila
mengalami keadaan hemodinamik tidak stabil maka dapat menyebabkan konsekuensi
yang fatal. Ultrasonography, yang mana lebih siap digunakan pada ICU dapat
digunakan untuk mengidentifikasi posisi selang. Mengingat adanya kontras dari darah,
jel dari echogenic pada lambung, penggunaan ultrasonography untuk menentukan
posisi dari SB-Tube tampak menjanjikan (Guntram, 1997). Hal ini juga dikemukakan
oleh Lin (2006). Menurutnya, lokasi dari selang dapat dikonfirmasi dengan cepat
dengan USG jika tersedia dan ada dokter yang dapat menggunakannya. Sehingga,
mediastinitis dan infeksi lain karena adanya perorasi esophagus dapat dihindari.
Memang ada metode baru untuk mengontrol pendarahan varices yang baru-baru
ini dikemukakan menggunakan self-expanding stent sebagai alternatif dari SB-Tube.
Penatalaksanan ini telah menunjukkan angka kematian yang rendah dari komplikasi
yang terjadi. Tetapi, penatalaksanaan ini terbatas kepada pendarahan varices yang
berlokasi di esophagus sehingga adanya gastric varices tidak dapat tertampung oleh
alat ini. Sehingga tatalaksana dengan B-Tube akan tetap dilakukan dalam management
akut dari pendarahan varices dan diprediksi kematian akibat komplikasinya akan terus
terjadi (Nielsen, 2012).

Potrebbero piacerti anche