Sei sulla pagina 1di 25

BAB I

PENDAHULUAN

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi


neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah
satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah
suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia
Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang
mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah.
Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan
juga dapat terserang1,5.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis
sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet
adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang
berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat 3.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan
fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan
sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi
neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh5.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-
beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru
diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat
kurang5.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
No. RM : 166955
Nama : Ny. FR
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal lahir : 02 November 1987
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : Sarjana (S1)
Agama : Islam
Status perkawinan : menikah
Alamat : Menteng dalam 011/011 tebet Jakarta selatan

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 02 Mei 2018

Keluhan Utama : sesak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSP Persahabatan dengan keluhan sesak sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kedua kelopak mata terasa berat terutama yang sebelah kiri tangan dan
kaki terasa sulit untuk digerakan dan pasien mengatakan rahangnya tidak dapat di tutup hal
tersebut dialami terutama saat banyak beraktivitas baik berat maupun ringan, pasien juga
mengelukan pandangan menjadi berbayang, keluhan akan membaik saat istirahat dan
minum obat. Pasien mengatakan ketika sedang parah seperti saat ini istirahat dan obat hanya
dapat memulihkan kondisinya sesaat karena sebelum waktu minum obat selanjutnya gejala
sudah keluar. Pusing, mual dan muntah di sangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan
dan minum seperti biasa. BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnnya. Pasien
memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak sekitar 5 tahun
yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat Hipertensi. Riwayat kencing manis atau DM dan
batuk-batuk lama disangkal. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan disangkal. Penyakit
Asma juga di sangkal oleh pasien.

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan seperti ini. Riwayat darah tinggi dan
kencing manis dalam keluarga disangkal. Tidak ada riwayat Hipertensi , diabetes dan asma
pada keluarga pasien.
Riwayat Sosial :
Pasien tidak merokok, pasien tidak mengkonsumsi alkohol dan pasien jarang
melakukan berolahraga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 02 Mei 2018 pada pukul 08.00 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran :Compos Mentis
Sikap : Berbaring
Koperasi : Kooperatif
Keadaan Gizi : Baik
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 20 x/menit
Keadaan Lokal
Trauma Stigmata :-
Perdarahan perifer : Capilary refill time < 2 detik
KGB : Tidak teraba membesar
Columna vertebralis : Letak ditengah, skoliosis ( - ), lordosis ( - )
Kulit : Warna sawo matang, sianosis ( - ), ikterik ( - )
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut, jejas ( - ), nyeri tekan perikranial ( - )
Mata : Konjungtiva anemis - / -, sklera ikterik - / -, ptosis + / +,
lagoftalmus - / -, pupil bulat isokor, diameter 5mm/5mm,
refleks cahaya langsung + / +, refleks cahaya tidak
langsung + / +
Telinga : Normotia + / +, perdarahan - / -
Hidung : Deviasi septum - / -, perdarahan - / -

3
Mulut : Bibir sianosis ( - ), lidah kotor ( - ),
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
pembesaran KGB dan tiroid
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V 2 jari medial linea midklavikularis
sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2 jari medial linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra, batas kanan ICS
IV linea sternalis dextra, batas kiri ICS V5 2 jari medial linea
midklavikularis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler + / +, ronkhi - / -, wheezing - / -
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus ( + ), 3x/menit
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Akral hangat + / +, edema - / -
Inferior : Akral hangat + / +, edema - / -

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


GCS : E4V5M6 = 15
Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Kerniq :-
Brudzinsky I :-
Brudzinsky II :-
Nervus Kranialis
4
N. I (Olfaktorius)
Normosmia :+/+
N. II (Optikus)
Acies visus : Baik / baik
Visus campus : Baik / baik
Lihat warna : Baik / baik
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Kedudukkan bola mata : Ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : Baik ke segala arah

Oculi Dextra Oculi Sinistra

Lagofthalmus :-/-
Ptosis :+/+
Nystagmus :-/-
Pupil
Bentuk : Pupil Bulat, isokor, diameter 4mm/4mm
Reflek cahaya langsung :+/+
Reflek cahaya tidak langsung :+/+
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang : Terganggu
Menggigit : Terganggu
Cabang sensorik
Ophtalmicus : Baik / baik
Maksilaris : Baik / baik
Mandibularis : Baik / baik
Refleks
Kornea :+/+
Jaw reflex :-/-

5
N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah : Kesan mencong tidak ada
Angkat alis : Baik / baik
Mengerutkan dahi : Baik / baik
Menutup mata : Baik / baik
Menyeringai : Baik / baik
Plika nasolabialis : Tidak ada bagian yang lebih mendatar
Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan : Baik
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo :-
Nistagmus :-
Koklearis : Baik / baik
N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik
Kedudukan uvula : Berada di tengah
Kedudukan arcus faring : Tidak ada deviasi
Menelan : Baik
Sensorik : Baik
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : Baik / baik
Menoleh : Baik / baik
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : Baik
Menjulurkan lidah : Lurus ke depan
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot :

6
Ekstremitas superior : 3333/3333
Ekstremitas inferior : 3333/3333
Gerakkan involunter :
Tremor :-/-
Chorea :-/-
Atetose :-/-
Miokloni :-/-
Tics :-/-
Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : Baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : Baik / baik
Suhu : Tidak dilakukan
Raba : Baik / baik
Refleks Fisiologis
Kornea :+
Biseps : +/+
Triseps : +/+
KPR : +/+
APR : +/+
Dinding perut : +/+
Refleks Patologis
Hoffman Tromer :-/-
Babinsky :-/-
Chaddok :-/-
Gordon :-/-
Schaefer :-/-
Klonus patella :-/-
Klonus achilles :-/-
Fungsi Serebelar
Ataxia :-
Tes Romberg : Tidak di lakukan

7
Disdiadokokinesia : Baik
Jari-jari : Baik
Jari-hidung : Baik
Tumit-lutut : Baik
Rebound phenomenon : Tidak dapat dinilai
Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
25 April 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi
Hb 13,8 12,0 – 14 g/dL
Hematokrit 39.6 37-43 %
Leukosit 7.650 5000-10.000/uL
Trombosit 319 150-400 ribu/uL
Eritrosit 7.65 4,00-5,00 juta/uL

Fungsi Ginjal
Ureum darah 17 15-40 mg/dL
Kreatinin darah 0,5 L 0,6-1,2

Diabetes
Gula Darah Sewaktu 101 70-200 mg/dL

Elektrolit Darah
Natrium 139 135-145 mmol/L
Kalium 3,50 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 109 H 95-107 mmol/L

8
VI. RESUME
Pasien datang ke IGD RSP persahabatan dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu.
Kedua kelopak mata turun dan terasa berat terutama sebelah kiri sejak dua hari yang lalu
pasien juga mengeluhkan pandangan berbayang, dan rahang tidak dapat di tutup jika tidak
di bantu hal tersebut dialami terutama saat banyak beraktivitas dan membaik saat istirahat
dan minum obat,. Kedua lengan dan tungkai terasa lemas dan sulit untuk digerakan, Pusing,
mual dan muntah disangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan dan minum seperti biasa.
BAB dan BAK normal. Pasien memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di
diagnosis sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik Tekanan darah : 110/80 ,
nadi: 86 x/menit , RR: 20x/m, suhu : 36,5˚C. kondisi umum baik dan pada pemeriksaan
neurologis didapatkan adanya kelemahan kekuatan otot motorik, ptosis dan kelemahan
pada nervus V cabang motorik. Pada pemeriksaan laboratorium terkahir didapatkan
hiperkloremia.

VII. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis klinis : General weakness, ptosis dextra dan sinistra, Diplopia, Dispnea
Diagnosis etiologis : Myastenia gravis
Diagnosis topis : Neuromuscular Junction(motor end plate)
VIII. PENATALAKSANAAN
Non-medikaMentosa :
- Asering 500CC / 8 jam (I.V)
MedikaMentosa :
Parenteral ( Injeksi)
- Metylprednisolon 1x 125 mg (I.V)
- Ranitidin 2x50 mg (I.V)
- Neurobion 5000 1x1 dalam Nacl 0,9% 100 cc (I.V)
Non Parenteral (Oral):
- Mestinon (pyridostigmine) 4 x 60 mg (P.O)
- Sucralfate 3x1 cth (P.O)

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas 4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction,2,4.

2. Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang
ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan
suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-
10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat
sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang,
artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak
dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG
pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria.
Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita
muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat karena memiliki
thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin 5.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di
Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi
Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum
dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling
umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria.
Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria
lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya tanda-tanda biasanya
setelah usia 505.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari
ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi
adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu

10
setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular.
Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang
sama5.

3. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction


a. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat
saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa
ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular9.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction9.
b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,
yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh
cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.

11
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-
KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan
peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi
kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na + akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot
di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut
saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps

12
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran


yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post
sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada
membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng
akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot

4. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik5,8.

13
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.
Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang
reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan
yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis8.

5. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat 4. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain4,5 :
 Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh,
namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala4.
14
 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas4.
 Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu
bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya 4.

6. Klasifikasi Miastenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut 7:
a. Kelompok I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan
otot-otot lain normal.
b. Kelompok II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Kelompok IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan
otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Kelompok IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Kelompok III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Kelompok IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Kelompok IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.

15
h. Kelompok IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Kelompok IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Kelompok IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi.
k. Kelompok V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak
pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan
tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini
:
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

7. Diagnosis Miastenia Gravis


a. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal 4,8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.

16
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher 8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi
panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki8.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan
retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan
otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan8.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu
mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi 8.

17
b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7
1. Pemeriksaan Laboratorium
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody
 Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.
 Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
2. Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk

18
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.

4. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia
gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka
disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan
kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis,
lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya
kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika
diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia
gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik
mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya
ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan

19
keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor
pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom
miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang
kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.

5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang
kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena
menunjukkan ptosis.

6. Tes prostigmin

Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg sulfas atropin disuntikkan


intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang
dan tenaga membaik.

c. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain8:
- Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
 Paralisis pasca difteri
 Pseudoptosis pada trachoma
 Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
 Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik

20
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik
tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

8. Penatalaksanaan4,5,7
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat.
Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan,
neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg
per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian
atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan
kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot
dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan
semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk
menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang
diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis
kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek
muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti
bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek

21
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan
tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon
secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat
bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu
hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

22
BAB III
PEMBAHASAN

Miastenia Gravis (MG) merupakan suatu gangguan pada bagian pertautan saraf otot
(Neuro Muscular Junction), yang ditandai dengan adanya kelemahan subakut dan fluktuatif
tanpa disertai gangguan sensorik. Gejala Miastenia Gravis dapat berupa disatria, disfagia,
ptosis, disfungsi okular dan kelemahan otot-otot leher dan otot-otot proksimal. Miastenia
Gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara
cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya proses pemulihan. Diagnosis
Miastenia Gravis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, tes
tensilon atau prostigmin dan pemeriksaan elektromiografi.
Pada kasus diatas, berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, penderita mengalami
gejala klinis yang berupa sesak nafas, kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah pada kedua
sisi. Pada perjalanan penyakitnya, pasien sudah merasakan keluhan ini sejak kurang lebih 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lain yang ada pada pasien yaitu kedua kelopak mata
terasa berat dan semakin sulit untuk diangkat, dan pandangan menjadi berbayang, selain itu
pasien mengatakan kesulitan dalam berkomunikasi Karena rahang pasien sulit untuk di
rapatkan.
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat melakukan aktivitas. Karakteristik Miastenia gravis terutama
ditunjukkan dengan adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini
cenderung meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat4. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction5.
Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, didapatkan pasien berada dalam keadaan
sadar penuh . Tanda vital pasien didapatkan masih dalam batas normal. Kedua kelopak mata
pasien dalam keadaan ptosis atau sulit diangkat. Pada ekstremitas didapatkan tonus keempat
ekstremitas pasien lemah tetapi masih dapat di angkat dalam jangka waktu yang tidak lama
selain itu selama berkomunikasi dengan pasien, pasien untuk menutup rahang iya membatu
menggunakan tangannya.

23
Gangguan autoimun pada miastenia gravis menyebabkan rusaknya reseptor asetilkolin
pada neuromuscularjunction. Hal ini menyebabkan menurunnya kadar reseptor asetilkolin pada
membran postsinaps. Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot ini
mengakibatkan penurunan depolarisasi pada neuromuscular junction. Akibat penurunan
depolarisasi ini, maka terjadi kelemahan pada otot-otot tubuh. Manifestasi klinis yang timbul
tergantung pada neuromuscular junction otot yang terkena. Umumnya pada miastenia gravis,
kelemahan otot ini dimulai dari cranio-caudal. Saat mengenai otot okular, gangguan ini dapat
menyebabkan terjadinya ptosis dan diplopia, pada otot wajah laring dan faring akan
mengakibatkan disfagia dan disartria, pada otot volunter akan mengakibatkan parese
ekstremitas, sedangkan pada otot pernafasan akan terjadi ketidakmampuan pasien untuk
melaukan refleks batuk serta kesulitan untuk bernafas.
Antibodi anti-reseptor asetilkolin bersifat spesifik untuk Miastenia Gravis dengan
demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90%
penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi
ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
Tatalaksana Miastenia Gravis bergantung pada beratnya gejala. Secara garis besar
pengobatan Miastenia Gravis terdiri dari pengobatan simptomatik dan immunosupresif.
Pengobatan simptomatik dengan memberikan antikolinesterase seperti neostigmin dan
pyridostigmin. Obat ini mencegah destruksi Ach dan meningkatkan akumulasi Ach pada NMJ,
serta memperbaiki kemampuan kontraksi otot. Pengobatan immunosupresif, seperti
kortikosteroid, Azathioprine, plasmapharesis, Intravenous Immunoglobulin (IVIG).
Kortikosteroid menekan antibodi yang memblokir AchR pada NMJ dan dapat digunakan
bersamaan dengan antikolinesterase. Kortikosteroid memperbaiki keadaan dalam beberapa
minggu dan jika pemulihan sudah stabil, dosis sebaiknya dikurangi secara perlahan (tappering
off). Azathioprined dapat digunakan untuk menagani MG umum jika pengobatan lain gagal
mengurangi gejala.

Pada kasus Ny. FT ini, penderita diberikan Pyridostigmin (mestinon 60 mg) 4 x 1 tab
Metylprednisolon 1x 125 mg (I.V), Ranitidin 2x50 mg (I.V), Neurobion 5000 1x1 dalam Nacl
0,9% 100 cc (I.V), Sucralfate 3x1 cth (P.O)

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:

http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses pada tanggal 08

April, 2013.

2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi,

Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.

3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.

Diakses pada tanggal 08 April, 2013.

4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.

5. Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myasthenia-gravis.html.

Diakses pada tanggal 08 April 2013.

6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia

Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. ssEdisi 29. EGC. Jakarta.

7. Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.

8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.

25

Potrebbero piacerti anche