Sei sulla pagina 1di 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai
dengan hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena
kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara adekuat atau
karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara
efektif atau kedua-duanya (wicaksono, 2011).
Ada beberapa jenis Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe
I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan
Diabetes Mellitus Tipe Lainnya. Jenis Diabetes Mellitus yang paling
banyak diderita adalah Diabetes Mellitus Tipe 2. Diabetes Mellitus
Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolic yang di tandai oleh
kenaikan gulah darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Depkes,
2005).
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin
sedikitmenurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin
tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe
II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus (Fatimah,
2015).
International Diabetes Federation(IDF) menyebutkan bahwa
prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah
menjadikan Diabetes Melitus sebagai penyebab kematian urutan ke
tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus
didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian
diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita
diabetes mellitus. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi Diabetes melitus di Indonesia membesar
sampai 57% (Fatimah,2015).
Penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus dilakukan dengan
menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih
khusus lagi dengan menghilangkan gejala,optimalisasi parameter
metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1
penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral
terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai
sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan
karbohidrat serta olahraga. Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi
menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat
atau kombinasi (Fatimah, 2015).
Salah satu obat antidiabetik oral adalah glibenklamid.
Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral golongan
sulfonilurea yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan
diabetes melitus tipe II. Obat golongan ini menstimulasi sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Mekanisme kerja
obat golongan sulfonilurea dengan cara menstimulasi penglepasan
insulin yang tersimpan (stored insulin) dan meningkatkan sekresi
insulin akibat rangsangan glukosa. Efek samping obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah,
antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat
(Novrial, dkk). Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk
mengetahui tentang efektivitas penggunaan glibenklamid pada pasien
diabetes mellitus tipe II.

B. Perumusan Masalah
Bagaimana efektivitas penggunaan glibenklamid pada pasien diabetes
mellitus tipe II ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui efektivitas penggunaan glibenklamid pada pasien
diabetes mellitus tipe II.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tentang obat glibenklamid.
b. Mengidentifikasi penyelidikan yang telah dilakukan terhadap
efektivitas penggunaan glibenklamid pada pasien diabetes
mellitus tipe II.
c. Menganalisis efektivitas penggunaan glibenklamid pada pasien
diabetes mellitus tipe II.
BAB II
ISI
A. Farmasi-Farmakologi
1. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia Glibenklamid
Glibenklamid adalah serbuk hablur putih atau hampir putih, tidak
berbau atau tidak hampir berbau. Nama ilmiah glibenklamind adalah
N-p-[2-(5-Kloro-2- metoksibenzamide) etil] benzenasulfonil-N-
sikloheksillurea. Mempunyai berat molekul sebesar 494,00. Titik
lelehnya 169,50C ( Prabowo 2016). Glibenklamind tidak larut dalam
air , agak sukar larut dalam metal klorida, sukar larut dalam etanol dan
methanol (Djurnako dan Butar 2012). Glibenklamin memiliki
kelarutan dalam air sebesar 0,00206 mg/ml (Hasanah, Martha, Aryanti
2016). Glibenklamind memiliki nilai pKa sebesar 5,3 ( Prabowo 2016).
Glibenklamid bersifat basa karena pengujian disolusi dalam buffer Ph
8,5 ( Prabowo 2016).

Gambar 2.1 struktur kimia glibenklamid ( Prabowo 2016).

2. Farmasi Umum
a. Dosis
Obat Glibenklamid adalah obat antidiabetes oral dengan dosis
awal 2,5mg/hari dan dosis selanjutnya 5mg/x satu kali sehari ( Kartijo,
dkk 2014).
b. Preparat-preparat Glibenklamid
Obat glibenklamind tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 2,5
mg dan 5 mg. Nama dagang obat glibenklamid yaitu : daonil, renabetic
dan condiabet (Nasif, dkk 2012).
c. Cara penggunaan Glibenklamid
Obat glibenklamind diberikan secara oral kepada penderita dengan
aturan pemberian 15-30 menit sebelum makan yang bertujuan agar
obat dapat merangsang keluarnya insulin sehingga dapat mengatasi
peningkatan gula darah setelah makan (Athiyah, dkk 2014), sedangkan
pemberian sesudah makan untuk mencegah terjadinya resiko
hipoglikemia terutama pada pasien lansia (Athiyah, dkk 2014).

3. Farmakologi Umum
a. Kegunaan Terapi atau Indikasi Glibenklamind
Glibenklamid merupakan senyawa obat golongan
sulfonilurea yang digunakan sebagai antidiabetik oral dan
merupakan pilihan pengobatan awal untuk diabetes melitus tipe 2
pada pasien dengan hiperglikemia (Nisa, dkk 2016).
b. Kontra Indikasi Glibenklamind
Penggunaan obat glibenklamind harus hati-hati pada pasien
usia lanjut, wanita hamil, pasien gangguan fungsi liver dan
gangguan fungsi ginjal, karena penggunaan obat ini dapat
menyebabkan hipoglikemi (Rina,dkk 2015).

B. Farmakodinamik
1. Mekanisme Kerja Glibenklamid
Glibenclamide (gol.sulfonilurea generasi ke II) kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel beta pulau langerhans
pancreas. Rangsangannya melalui interaksi dengan ATP-sensitive K-
channel pada membrane sel-sel beta , merangsang granula yang berisi
insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen
dengan peptida-C. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang
besar dapat menyebabkan hipoglikemia (Suherman, 2007).

C. Farmakokinetik
1. Pola ADME
a. Absorpsi
Absorpsi glibenklamid melalui saluran percernaan cukup
efektif. Namun, makanan dan keadaan hiperglikemia dapat
mengurangi absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma,
glibenklamid diabsorpsi dengan baik setelah administrasi oral dan
kadar gula dalam darah tertinggi tercapai dalam kurang lebih 2-4
jam. Glibenklamid dengan masa paruh pendek akan lebih efektif
bila diminum 30 menit sebelum makan lalu (FKUI, 2012).
b. Distribusi
Glibenklamid telah dilaporkan bahwa jumlah glibenklamid
dalam plasma sekitar 90-99% terikat protein plasma terutama
albumin (FKUI, 2012).
c. Metabolisme
Metabolisme glibenklamid terjadi di hepar, pada pemberian
dosis tunggal hanya 25% metabolismenya dieksresi melalui urin,
sisanya melalui empedu dan ke tinja (FKUI, 2012).
d. Eliminasi
Glibenklamid sebagian besar ekskresikan melalui urin dan
hepar. Merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab
itu hanya efektif apabila sel-sel beta Langerhans pancreas masih
dapat berproduksi. maka sebaiknya sediaan ini tidak boleh
diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat
(FKUI, 2012).

2. Waktu Paruh
Waktu paruh dari glibenklamid sekitar 4 jam. Meskipun waktu
paruhnya cukup pendek namun efek hipoglikemiknya berlangsung
selama 12-24 jam sehingga cukup diberikan satu kali sehari (FKUI,
2012).

D. Toksisitas
1. Efek Samping
Efek samping glibenclamide umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut,
dan hipersekresi asam lambung. Gangguan susunan syaraf pusat
berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.
Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu
ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.
Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral
dengan masa kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung
meningkatkan berat badan (Rubenstein, 2007).
2. Adverse Reaction
Hipoglikemik, CNS (asthenia, tremor, nyeri, insomnia, depresi,
konfusi), dermatologik (reaksi alergi kulit, eksema, pruritis, urtikaria),
GI (mual, rasa terbakar), hematologi (leukopenia, agranulositosis,
eosinofilia). Glibenklamid juga berpengaruh
a. Terhadap Kehamilan :
Faktor risiko kehamilan FDA : Kategori C
Penggunaan OHO golongan sulfonilurea tidak dianjurkan
pada wanita hamil. Glibenklamid tidak terbukti secara signifikan
dapat melintasi plasenta, namun sebuah penelitian retrospektif
menunjukkan bahwa risiko terjadinya eklampsia pada penggunaan
glibenklamid lebih tinggi dibandingkan penggunaan insulin, juga
meningkatkan insidensi fototerapi pada neonatus.

b. Terhadap Ibu Menyusui


Penggunaan OHO golongan sulfonilurea tidak dianjurkan
pada ibu menyusui, walaupun tidak terkumpul bukti signifikan
yang menunjukkan glibenklamid dapat memasuki ASI jika
diberikan pada ibu menyusui (Rubenstein, 2007).
3. Interaksi
a. Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik
b. Analgetika (azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain):
meningkatkan efek sulfonilurea.
c. Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang
mengganggu toleransi glukosa.
d. Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat
metabolisme OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin
dan OHO
e. Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik
f. Antibakteri (kloramfenikol, kotrimoksasol, 4-kuinolon,
sulfonamida dan trimetoprim): meningkatkan efek sulfonylurea
g. Antibakteri rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea
(mempercepat metabolisme)
h. Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik
i. Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar plasma
sulfonylurea
j. Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek hipoglikemik
sulfonylurea
k. Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral)
antagonis efek hipoglikemia
l. Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai
efek aditif terhadap OHO
m. Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik
dan menutupi gejala peringatan, misalnya tremor
n. Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik
o. Urikosurik: sulfinpirazona meningkatkan efek sulfonilurea.

E. Diabetes Melitus

1. Diabetes Mellitus Secara Umum

Diabetese mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (ADA,2010)

2. Klasifikasi Diabetes mellitus (PERKENI,2011) :

a. Diabetes Mellitus Type 1

Disebabkan oleh adanya proses autoimun sehingga memicu

terjadinya destruksi sel beta pancreas. Umumnya pada diabetes

mellitus type 1 ini terjadi penurunan insulin absolut sehingga

mutlak membutuhkan terapi insulin.

b. Diabetes Mellitus Type 2

Disebabkan oleh adanya resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif.

c. Diabetes Mellitus Gestational

d. Diabetes Mellitus Type lain

3. Etiologi Diabetes Mellitus Type 2

a. Hereditas

b. Lingkungan (infeksi,makanan,toksin,stress)

c. Perubahan gaya hidup


d. Kehamilan

4. Patofisiologi Diabetes Mellitus Type 2

Diabetes mellitus type 2 (DMT2) ini merupakan kondisi

multifactorial .Bisa karena kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa

yang tidak tepat di dalam hati, atau penurunan sensitivitas insulin

perifer. Sebagian besar pasien DMT2 adalah orang obesitas atau

dengan komponen minyak visceral yang menonjol.

Secara fisiologis, tubuh dapat mengatasi resistensi insulin yang

terjadi dengan meningkatkan jumlah sekresi insulin sehingga

hiperglikemia tidak terjadi.Namun, pada suatu saat bisa terjadi

gabungan defek sekresi insulin dan resistensi insulin yang

menyebabkan terjadinya hiperglikemia.

5. Tanda dan Gejala

a. Poliuria dan polydipsia yang disebabkan oleh osmolaritas

serum yang tinggi.

b. Anoreksia atau polifagia.

c. Penurunan berat badan (10-30%).

d. Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk, tenaga yang

berkurang, karena kadar glukosa intrasel yang rendah.

e. Kram otot,iritabilitas,dan emosi yang labil akibat

ketidakseimbangan elektrolit.

f. Gangguan penglihatan.

g. Patirasa(baal) atau kesemutan.


h. Mual,diare,konstipasi akibat dehidrasi dan ketidakseimbangan

elektrolit ataupun neuropati otonom.

i. Rasa gatal pada kulit.

j. Infeksi atau luka pada kulit yang lambat sembuhnya.

k. Infeksi candida yang rekuren pada vagina atau anus.

6. Komplikasi

a. Penyakit mikrovaskular ,retinopati,nefropati,neuropati.

b. Dislipidemia

c. Penyakit makrovaskuler, termasuk penyakit arteri coroner,arteri

perifer dan arteri cerebri.

d. Ketoasidosis diabetic.

e. Syndrome hiperosmoler hiperglikemik nonketorik

f. Kenaikan berat badan yang berlebihan

g. Ulserasi kulit

h. Gagal ginjal kronis.

7. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus

a. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma sewaktu > 200

mg/dL ( gula plasma sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat

pada satu waktu tanpa memperhatikan waktu makan terakhir).

b. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL

(puasa berarti tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam).


c. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO . 200 mg/dL ( TTGO

dilakukan sesuai standar WHO ,dg 75 gram glukosa anhidrat

yang dilarutkan dalam air).

d. HbA1c > 6.5%.

8. Penatalaksanaan

a. Minum obat antidiabetik oral untuk menstimulasi produksi

insulin endogen, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin

pada tingkat seluler, menekan gluconeogenesis hepar, dan

memperlambat absorpsi karbohidrat dalam GIT .

b. Pemantauan kadar gula darah secara berkala dan cermat.

c. Perencanaan makan yang dirancang secara perorangan untuk

memenuhi kebutuhan gizi, mengendalikan kadar glukosa serta

lipid darah, dan mencapai berat badan yang tepat serta

mempertahankannya (rencana makan harus diikuti secara

konsisten dan hidangan harus di konsumsi secara teratur).

d. Penurunan berat badan pada pasien obesitas.


BAB III

PENYELIDIKAN YANG TELAH DILAKUKAN

A. Clinical trial
Penelitian tentang Perbandingan Monoterapi dan Kombinasi Terapi Sulfonilurea-
Metformin terhadap Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang dilakukan oleh Rasmi Zakiah
Oktarlina Dan M. Panji Bintang Gumantara mengatakan bahwa penangan diabetes
melitus, khususnya DM Tipe 2, kini tersedia di masyarakat seperti penggunaan obat
hipoglikemia oral. Sulfonilurea dalam hal ini glibenklamid beraksi pada reseptor
sulfonilurea, berupa ATP-dependent potassium channel yang menstimulasi depolarisasi
dari sel B pankreas dan merangsang sekresi insulin via exositosis. Glibenklamid juga
mengaktivasi glikogen fosoforilase alfa dan meningkatkan fruktosa selular 2,6-bifosfat
liver, yang menghasilkan penurunan glukoneogenesis dan meningkatkan glikolisis hati.
Hal inilah yang mengakibatkan efek hipoglikemia setelah mengonsumsi glibenklamid.
Metformin adalah antihiperglikemia oral golongan biguanid. Mekanisme kerjanya adalah
menurunkan kadar glukosa guna menimbulkan penurunan glukoneogenesesis hati. Efek
samping tersering dalam penggunaan metformin adalah gangguan saluran cerna. Pada
studi ini ditemukan bahwa, 1 tablet metformin-gliburid/glibenklamid kombinasi lebih
efektif dalam mengontrol hiperglikemia dibandingkan dengan monoterapi pada pasien
dengan glukosa darah tidak terkontrol. Terapi kombinasi dengan dosis 2.5 mg/500 mg
menghasilkan penurunan lebih besar HbA1c dibandingkan monoterapi (-1.77%, p<0.001
dan -1.30%, p= 0.005) dan terapi kombinasi dengan dosisi 5 mg/500 mg menghasilkan
penurunan HbA1C secara signifikan (-1.73%, p<0.001 dan -1.30%, p= 0.005). Terapi
kombinasi metformin-sulfonilurea memang memiliki efikasi baik dalam pengontrolan
kadar glukosa darah puasa, namun dalam pemberian obat jangka panjang tanpa
memerhatikan asupan makanan pasien, pemberian terapi kombinasi ini pun dapat
menyebabkan keadaan hipoglikemia dan keluhan terkait saluran pencernaan.
Pemberian sulfonilurea saja dapat menyebabkan keadaan hipoglikemia pada pasien, hal
ini disebabkan mekanisme kerja obat yang meningkatkan sekresi insulin itu sendiri
sehingga pasien dapat jatuh dalam keadaan hipoglikemia. Sedangkan pemberian
metformin dalam dosis besar dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan
gastrointestinal, namun tidak ada laporan kematian pasien akibat kombinasi terapi
metformin-sulfonilurea ini. Disimpulkan bahwa kombinasi terapi pada pasien DM tipe 2
lebih bermanfaat dalam mengontrol gula darah pasien daripada monoterapi. Efek
Penurunan kadar gula darah dicapai lebih maksimal dengan kombinasi terapi
sulfonylurea-metformin, yang mana keduanya menurunkan kadar gula darah dan HbA1c
pasien. Efek samping obat yang ditimbulkan pada monoterapi lebih nyata dan lebih
berdampak pada pasien sehingga meningkatkan morbiditas pasien daripada terapi
kombinasi, walaupun pada penelitian dilaporkan tetap terjadi efek samping dalam
penggunaan terapi kombinasi dan tidak ada data yang menyatakan kematian pasien
akibat terapi kombinasi dari metformin-sulfonilurea.

b. Case History

Penelitian Faturahman pada tahun 2015 mengenai mekanisme kerja kombinasi


obat glibenklamid dan metformin yaitu kedua obat ini memiliki efek yang sinergis
karena kedua golongan obat ini memiliki efek sinergis terhadap sensitivitas
reseptor insulin. Solfonilurea (glibenklamid) akan mengawali dengan merangsang
sekresi pangkreas yang memberi kesempatan senyawa biguanida (metformin)
untuk bekerja efektif. Sehingga kedua obat ini akan bekerja dengan baik, agar
insulin yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan. Kombinasi glibenklamid dan
metformin lebih disukai karena dapat memperkecil efek samping dari masing-
masing obat sehingga meminamalisir efek samping obat bila dibuat obat dengan
bahan aktif yang tunggal.

c. Eksperimen Lain

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ilham Syah, Suwendar, Lanny


Mulqie(2015)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Muhammad ilham,dkk. Dengan judul


“Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Daun Mangga Arumanis (Mangifera
Indica L. “Arumanis”) pada Mencit Swiss Webster Jantan dengan Metode Tes
Toleransi Glukosa Oral (Ttgo)”. Dari hasil penelitian ini di dapatkan bahwa, hasil
yang diperoleh menunjukan bahwa glibenklamid mampu menurunkan kadar
glukosa darah pada menit 60, 90, 120, 150 dan kadar glukosa darah kembali
normal pada menit ke 180. Secara statistik juga adanya perbedaan signifikan
antara pembanding dengan kontrol positif yang ditunjukan pada menit ke 60, 90,
120, 150 dan 180 dengan persen kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa
pembanding yang digunakan menimbulkan efek dalam menurunkan kadar glukosa
darah, sekaligus juga menunjukkan bahwa metode tersebut valid dan prosedur
yang dilakukan telah dikerjakan dengan benar.Pada penentuan pengaruh ekstrak
daun mangga dengan dosis 2,1 mg/20g BB mencit, 4,2 mg/20g BB mencit dan 8,4
mg/20g BB mencit terhadap penurunan kadar glukosa darah menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok uji dengan kelompok
kontrol positif pada menit ke 60. Namun menurut hasil uji LSD (P = 0,05)
menunjukkan bahwa pada menit ke 90, 120, 150, dan 180 terjadi perbedaan
bermakna antara kelompok uji dengan kelompok kontrol positif (P<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak daun mangga berada dalam keadaan maksimal dalam
plasma darah pada menit ke 90 dan memiliki efek dalam menurunkan kadar
glukosa darah ke keadaan normal kembali pada menit ke 180.Jika dilihat dari rata-
rata penurunan kadar glukosa darah pada kelompok uji 2 dan uji 3 menunjukkan
bahwa pada menit ke 60 sediaan sudah dapat menurunkan kadar glukosa darah
lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif, sedangkan pada
kelompok uji 1 sediaan baru dapat menurunkan kadar glukosa darah pada menit
ke 90. Hal ini membuktikan bahwa masing -masing kelompok uji memiliki efek
dalam menurunkan kadar glukosa darah jika dibandingkan dengan kontrol
positif.Dari ketiga sediaan uji yang dapat menurunkan kadar glukosa darah lebih
besar adalah uji 3 dengan dosis 8,4 mg/20g BB mencit. Hal ini dapat terlihat dari
hasil rata-rata penurunan kadar glukosa darah dimana uji 3 mampu menurunkan
kadar glukosa darah hingga 104,4 mg/dl dibandingkan dengan uji 1 dan uji 2 yang
hanya dapat menurunkan kadar glukosa darah hingga 126,6 mg/dl dan 122 mg/dl.
Hal ini dapat membuktikan bahwa dosis efektif daun mangga dalam menurunkan
kadar glukosa darah adalah uji 3 dengan dosis 8,4 mg/20g BB mencit. Hal ini juga
membuktikan bahwa dengan adanya peningkatan dosis maka akan berpengaruh
pula pada peningkatkan efek antidiabetes yang dihasilkan. Jika dosis 8,4 mg/20g
BB mencit dibandingkan dengan pembanding glibenklamid menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan bermakna, hal ini dapat dilihat dari nilai (P>0,05).
BAB IV

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Glibenclamide merupakan golongan sulfonirurea generasi ke II yang sering di

gunakan sebagai control positif dalam berbagai penelitian yang berhubungan

dengan diabetes mellitus type 2. Penggunaan antara glibenclamide dengan ekstrak

daun mangga menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam menurunkan kadar

glukosa darah , hal ini disebabkan karena cara kerja ekstrak daun manga arumanis

dengan glibenclamide sama yaitu merangsang sekresi hormon insulin dari granul

sel-sel β Langerhans pancreas.

Kombinasi glibenclamide dengan methformin dapat membuat kerja kedua obat

ini menjadi lebih efektif dan sinergis hal ini disebabkan karena glibenclamide

dapat merangsang sekresi insulin di pancreas dan metformin mampu

meningkatkan sensitivas insulin. Sehingga, kombinasi kedua obat ini dikatakan

mampu mengatasi hyperglikemia pada penderita diabetes mellitus type 2.

Penggunaan kombinasi glibenclamide dengan methformin dalam jangka panjang

dapat menimbulkan efek samping,jika penderita tidak memperhatikan asupan gizi

nya. Glibenclamide dapat membuat pasien menjadi hypoglikemia sehingga pasien

bisa saja lemas sampai pingsan maka dari itu sebaiknya glibenclamide digunakan

setelah makan. Sedangkan methformin jika di berikan dalam dosis yang besar

memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan. Namun , Kombinasi antara

glibenclamide dengan methformin masih relative aman dibandingan dengan


monotherapi dari masing-masing obat, karena tidak ada data morbiditas yang

dilaporkan akibat penggunaan kombinasi antara glibenclamide dengan

methformin.

BAB V
KESIMPULAN
A. Ringkasan dan Kesimpulan
Dari beberapa jurnal yang dipelajari didapatkan bahwa
glibenklamid efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah sehingga
glibenklamid dapat digunakan dalam pengobatan diabetes mellitus tipe 2
untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita. Hal ini dibuktikan
dalam beberapa penelitian dari jurnal diatas yang menyebutkan bahwa
glibenklamid mampu merangsang sekresi hormon insulin dari granul sel-
sel β Langerhans pancreas sehingga menyebabkan kadar glukosa turun.
Mekanisme kerja dari glibenklamid adalah dengan cara menstimulasi
penglepasan insulin yang tersimpan (stored insulin) dan meningkatkan
sekresi insulin akibat rangsangan glukosa. Pada penggunaan glibenklamid
dalam jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemia

B. Summary
From several journal that we learned about, we found that
glibenklamid effective in lowering glucose blood levels, so glibenklamid
can be used in the treatment of diabetes mellitus type 2 to lower patients
blood glucose levels.This is proven in some research from the journal
above which states that glibenklamid able to attract insulin hormone
secretion from granule cells of langerhans pancreas so as to cause glucose
levels down. Mechanism action of glibenklamid is stimulate stored insulin
release and increase the secretion of insulin due to glucose stimuli. In the
use of glibenklamid in the long use or more dose can cause hypoglycemia
Daftar Pustaka

Suherman, suharti K.2007.Insulin dan Antidiabetik Oral : Farmakologi dan


Terapi Edisi 5 ; hal.490.Departeman Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alihbahasa oleh
Andry Hartono. Jakarta: EGC.
Chris tanto, et al., (2014), Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV jilid II. Jakarta :
Media Aeskulapius.
PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta: PB Perkeni;2011.
American Diabetes Association, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care Vol.33: 562-569.

Wicaksono, Radio. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Diabetes Melitus Tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam
Rumah Sakit Dr. Kariadi). Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes
Melitus.
Fatimah, Restyana. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2 : J Majority. Vol. 4 No. 5

Novrial,dkk. 2012. Perbandingan Efek Antidiabetik Madu, Glibenklamid,


Metformin dan Kombinasinya Pada Tikus yang Diinduksi
Streptozotocyn.Jurnal Kesehatan Masyarakat. Purwokerto.

Prabowo, Nugroho. 2016. Formulasi Sediaan Tablet Liquisolid Glibenklamind


Dengan Pelarut PEG400 Dan Laktosa Sebagai Carrier Material. Jurnal
Kesehatan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Butar, Yudi., Djurnako, Hasan., Hilda, Aprilia,. 2012. Analisis Kualitatif Bahan
Kimia Obat (BKO) Glibenklamid Dalam Sediaan Jamu Diabetes Yang
Beredar Dipasaran. Jurnal Penelitian. Fakultas Farmasi. Universitas
Islam Bandung.

Hasanah, Wijaya., Yudha, Martha., Aryanti Wido Agustina., 2016. Profil


Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Puskesmas
Wilayah Surabaya Timur. Jurnal Kesehatan. Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga Surabaya.

Kartijo, Nugroho., Nurahman, Dwi., Wisudyaningsih., 2014. Optimasi Kombinasi


Polietilen Glikol Dan Polivinilpirolidon Sebagai Bahan Pembawa Pada
Dispersi Padar Glibenklamid Dengan Desain Faktorial. Jurnal
Kesehatan. Fakultas Farmasi Universitas Jember.

Nasif, Santika., Septhi, Nugrahani,. 2012. Analisi Perbandingan Efektifitas


Ekstrak Akar, Batang, Dan Daun Herbal Meniran Dalam Menurunkan
Kadar Glukosa Darah Mencit. Jurnal Kesehatan. Fakultas Farmasi
Universitas Islam Indonesia.

Athiyah, Navrial., Sulistyo, Hidayat,. Setiawati. 2014. Comparison Of


Antidiabetic Effect Of Honey, Glibenclamide, Metformin And Their
Combination In The Streptozotocin Induced Diabetic Rat. Jurnal
Kesehatan. Laboraturium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.

Nisa, Michrun., Umar, Halim., Fatmawati, Aisyah,. 2016. Formulasi


Glibenklamind Dengan Metode Self Emulsifying Drug Delivery System
(SEDDS) Dan Uji Invitro Disolusi. Jurnal Penelitian. Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.

Rina, Srikayati., Suarsana, Nyoman,. 2016. The Water Extract Of Tapak Dara
Decreases Blood Glucose Concentration And Increases Insulin
Production By Pancreatic Beta-Cells On Hyperglycemic Rabbit. Jurnal
Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali.

Rubenstein David, dkk. 2007. Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Erlangga


Medical Series.
M. Panji Bintang Gumantaradan Rasmi Zakiah Oktarlina. 2017. Perbandingan
Monoterapi dan Kombinasi Terapi SulfonilureaMetformin terhadap Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2. Bagian Farmakologi dan Farmasi. Majority Jurnal, Volume 6. Nomor 1.
Februari 2017. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Daftar pustaka : Syah,Muhammad Ilham ,dkk.2015.Uji Aktivitas Antidiabetes

Ekstrak Etanol Daun Mangga Arumanis (Mangifera Indica L. “Arumanis”) pada

Mencit Swiss Webster Jantan dengan Metode Tes Toleransi Glukosa Oral (Ttgo).

Potrebbero piacerti anche