Sei sulla pagina 1di 3

Resensi Film

Identitas Film : Rumah Tanpa Jendela


Sutradara : Aditya Gumay
Ide Cerita : Asma Nadia
Penulis Skenario : Adenin Adlan dan Aditya Gumay
Produser : Adenin Adlan dan DR. Seto Mulyadi
Produksi : Smaradhana Pro

Durasi :1 jam 40 m

Tanggal rilis awal : 3 Februari 2011

Sumber Cerita : Dari Novel

Diperankan oleh :

Dwi Tasya ( Rara ) , Ingrid Widjanarko ( si Mbok ) ,Ozan Ruz ( Adam ) , Rafi Ahmad ( Raga,
ayah Rara ) , Yuni Shara ( budenya Rara bernama Asih ) , Varissa Camelia ( bu Alya ) , Emir
Mahira ( Aldo) , Aswin Fabanyo ( pak Syahri ) , Alicia Djohar ( nyonya Ratna ) , Atie Kanser (
nek Aisyah )

Film ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Rara dari keluarga yang
kurang mampu. Rara bekerja sebagai tukang ojek payung . ia sangat menginginkan mempunyai
sebuah jendela rumah, ia sangat menginginkan rumahnya mempunyai jendela untuk melihat
kedunia luar. Hanya satu, ia menginginkan rumahnya mempunyai jendela walaupun hanya satu.
Karena satu jendela pun sampai saat ini belum bisa ia dapatkan. Keinginan Rara itu menjadi
virus yang menularkan keteman-temannya agar bisa mempunyai jendela rumah juga.

Suatu hari saat Rara sedang mengojek payung, ia tertabrak oleh mobil yang dikendarai
oleh supirnya Aldo saat pulang dari sanggar lukis. Supir Aldo tidak melihat bahwa Rara sedang
berada dibelakang mobil, sehingga saat mobilnya mundur Rara tertabrak dari belakang. Saat
kejadian itu Rara menjadi kenal dan dekat dengan Aldo. Sampai Aldo mau menyumbangkan
buku-buku bekas yang sudah tidak terpakai kesebuah perkampungan kumuh. Adam ikut
mengantarkan Aldo menyumbangkan buku, disitu tidak sengaja Adam bertemu dengan ibu Alya
dan lama kelamaan Adam menyukainya.

Raga, ayah Rara yang seorang penjual ikan hias dan tukang sol sepatu berusaha untuk
mewujudkan impian anaknya untuk mempunyai jendela rumah. Karena ketiadaan biaya, Raga
membuatkan jendela rumah hanya dalam bentuk lukisan. Rara sangat kecewa, karena jendela itu
palsu. Hanya sebuah lukisan dan tidak bisa dibuka untuk melihat ke luar. Akhirnya Raga tetap
berusaha untuk membahagiakan anaknya, ia menukarkan sebuah ikan ketukang kusen untuk
ditukarkan dengan sebuah kusen jendela seperti apa yang Rara mau. Tetapi apa daya, kebakaran
telah merenggut semuanya.
Bersamaan dengan kebakaran yang terjadi di Kampung Pulo tempat kediaman Rara dan
ayahnya, Rara dan teman-temannya merayakan ulang tahun kakaknya Aldo yang bernama
Andini. Kejutan dari Rara, teman-temannya dan nenek Aisyah justru membuat Andini marah
besar. Ia tak menyukai itu semua.Setelah kejadian itu, masalah muncul bertubi-tubi. Kepedihan
yang mendalam dialami Rara, karena ayahnya meninggal dunia, Si Mbok masih koma dirumah
sakit karena menderita TBC, Aldo pergi dari rumah karen ia tidak suka kepada ibunya yang telah
menuduh Rara dan teman-temannya yang telah mencuri berlian ibunya. begitulah yang dialami
para pemainnya. Semua berakhir sangat dramatis. Film ini benar-benar mengharukan dan penuh
dengan air mata.

Awal film ini biasa-biasa saja menurut saya. Tak ada sesuatu yang langsung menggugah, bahkan
saya sempat memprediksi akan sangat membosankan dan sedikit menyesal sudah mengeluarkan
uang untuk membeli tiket menonton film ini.

Film ini bercerita tentang dua keluarga. Keluarga pertama adalah keluarga yang sangat
sederhana. Hidup di gubuk-gubuk kawasan pemulung, dengan satu kepala keluarga, satu nenek
(yang disebut simbok), dan satu gadis kecil bernama Rara. Keluarga sederhana dengan impian
yang tentu saja sederhana pula. Rara bermimpi ingin memiliki jendela, karena ia selama ini
hidup dalam rumah tanpa jendela.

Keluarga ke dua adalah keluarga yang kaya raya nan sempurna. Kaya, anggota keluarganya
lengkap, ada ayah, ibu, nenek, dan tiga orang anak. Anak terakhir dari keluarga ini adalah Aldo,
seorang anak laki-laki yang memiliki kelainan. Tak jelas memang kelainannya apa, tapi
tergambar dalam film itu Aldo begitu rapuh, kadang bicara dengan nada dan gestur tubuh yang
patah-patah. Rara dan Aldo inilah yang menjadi cerita utama dalam film ini.

Film ini tidak mempertentangkan antara kekayaan dan kemiskinan, seperti prediksi saya pada
awalnya. Tidak pula mempersalahkan si kaya kemudian memperpahlawankan si miskin, atau
membuat si miskin seakan teraniaya seperti kebanyakan film dan sinetron yang kita temui. Film
ini film keluarga, yang mengajari penontonnya untuk tak takut bermimpi untuk orang-orang
seperti Rara dan keluarganya, sekaligus memberi pelajaran kepada keluarga-keluarga mapan
untuk menghargai orang lain, meski ia miskin, meski penuh kekurangan.

Film Tanpa Tokoh Antagonis

Kalau tadi saya menulis bahwa awal film ini tak begitu istimewa, saya buru-buru meralat
anggapan saya setelah 10 menit pertama film ini diputar. Kekuatan film ini ada pada cerita yang
begitu natural dan dahsyat. Berbeda dengan film-film lainnya yang menjual konflik,
mempertontonkan kemarahan, mempertentangkan antara kebaikan dan kejahatan, film ini
bahkan tak ada tokoh antagonis-nya. Keluarga Rara, meski sederhana tapi merupakan keluarga
bahagia, ayahnya begitu menyayanginya, ibunya yang sudah meninggal juga digambarkan begitu
sayang, juga nenek atau simboknya. Keluarga Aldo yang kaya raya juga digambarkan
merupakan keluarga yang hangat. Kalaupun ibu dan kakak perempuan Aldo dalam cerita
digambarkan tak begitu bijak dan malu dalam menerima kehadiran Aldo yang ‘tidak normal’,
tapi itu merupakan reaksi yang sangat alami dan sangat mungkin dilakukan oleh semua orang
yang menerima kejadian serupa. Pada akhirnya mereka juga digambarkan menyadari ketidak
bijakan-nya dan menerima Aldo apa adanya.

Alur cerita dalam film ini membuat penontonnya begitu nyaman mengikuti alur demi alur. Kalau
Anda normal, saya yakin akan berurai air mata dalam beberapa adegan. Bahkan ketika tokohnya
tak menangis, kita yang menangis. Kata seorang penonton seusai keluar studio, “Kok aku jadi
pilek ya?”, kebanyakan nangis kali ya mbak.

Maka akan bijak kalau sebelum menonton siapkan tissue agar tak repot-repot untuk
menyeka air mata yang akan menetes. Akting Emir Mahira yang sangat natural sebagai Aldo,
patut diacungi jempol dan menjadi salah satu kekuatan penting hidupnya film ini. Dwi Tasya
yang berperan sebagai Rara pun terlihat sangat prima dan mampu memberikan ‘chemistry’ yang
sangat dalam ketika beradu peran dengan Emir Mahira.Selain itu juga terdapat sedert bintang,
seperti Raffy Ahmad sebagai bapaknya Rara, Inggrid Wijanarko sebagai simbok-nya Rara,
Alicia Johar sebagai ibu Aldo, dan Aty Kanser sebagai nenek Aldo.Kalaupun ada catatan dalam
film ini, mungkin Raffy Ahmad yang tidak begitu pantas menjadi seorang pemulung yang
harusnya miskin dan tidak ganteng. Tapi kekurangan itu tertutupi oleh akting yang bagus dan
sedikit make-up brewok untuk memberi kesan lebih dewasa.Anyway, film ini layak dan sangat
layak ditonton untuk para keluarga, untuk yang ingin punya anak, atau yang sudah punya anak.
Wajib ditonton untuk mereka yang dekat dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Keunggulan :

Dalam hubungan organisasi novel ini ,hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain
harmonis dan dapat menimbulkan rasa penasaran pembaca . Karena dalam pembacan isi novel
tidak berbelit - belit .

Kita dapat mengetahui arti perjuangan hidup dalam kemiskinan yang berbelit - belit , juga arti
saling menghargai hidup

Kelemaha:

Alur ceritanya yang sedikit melompat-lompat sehingga pembaca merasa agak bingung untuk
memahaminya.

Andai saja ceritanya dikemas dalam bentuk tulisan yang mengalir tanpa harus tiba-tiba
membahas satu orang atau kejadian berbeda di tengah cerita pati akan leih bagus.

Pendapat tentang film tersebut:

Menurut pendapat saya tentang film ini sangat menarik yang patut untuk di tonton,karena di
dalam film ini banyak terdapat nilai-nilai moral yang tinggi.

Potrebbero piacerti anche