Sei sulla pagina 1di 145

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Gayo
Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan


dan Pemberdayaan Masyarakat
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
2012
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam i
Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012
Etnik Gayo
Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Penulis :
1. Yunita Fitrianti
2. Fahmi Ichwansyah
3. Ari Wahyudi
4. Saifullah
5. Niniek Lely Pratiwi

Editor :
1. Niniek Lely Pratiwi

Disain sampul : Agung Dwi Laksono


Setting dan layout isi : Sutopo (Kanisius)
Indah Sri Utami (Kanisius)
Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-234-1
Katalog :
No. Publikasi :
Ukuran Buku :
Diterbitkan oleh :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh : Percetakan Kanisius

Isi diluar tanggungjawab Percetakan

ii Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi
Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan
susunan tim sebagai berikut:

Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­


hatan Kemkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH)
Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Sekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKes
Anggota Mardiyah SE, MM
Drie Subianto, SE
Mabaroch, SSos
Ketua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes
Anggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA
Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM
Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes
Sugeng Rahanto, MPH, MPHM
Ketua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSi
Anggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi
Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum
Drs. FX Sri Sadewo, MSi
Koordinator wilayah
1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,
MScPH
2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,
MSPH, PhD
3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,
MKes
4. Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, Bali : Drs. Kasnodihardjo


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam iii
iv Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­
kukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di
Indo­nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional,
sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan
rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan,
maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.
Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan
berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous
knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan
inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan
demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan
meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan
di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar
dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan.
Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah
pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih
kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam v
penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian
Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora
untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012,
sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Desember 2012

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan


Masyarakat
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
SAMBUTAN
kepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan
rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012
ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian
etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk-
rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis
ilmiah.
Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama
Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian
masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai
target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi
102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan,
sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap
status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.
Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi
budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu,
sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak-
sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya
guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing-masing etnik
merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai
permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula.
Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema-
hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai
dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.
Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak
terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas,


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam vii
tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan
Litbangkes.
Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2012

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Kementerian Kesehatan RI

DR. dr. Trihono, MSc.

viii Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih paling pertama kami ucapkan kepada seluruh


masyarakat Desa Tetingi yang telah menerima kami menjadi bagian dari
mereka sehingga kami belajar banyak dan memperoleh informasi tentang
mereka dari mereka. Tanpa mereka, buku ini tidak dapat ditulis dan berada
di tangan pembaca seperti saat ini. Selain itu, kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama
penelitian berlangsung sampai dengan selesainya penyusunan buku ini.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. dr. Trihono, M.Sc. sebagai Kepala Badan Penelitian
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;
2. Bapak drg. Agus Suprapto, M.Kes. sebagai kepala Pusat Huma­
niora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat,
Ba­dan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI;
3. Ibu dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc. sebagai Ketua Pelaksana Riset
Khusus Budaya KIA, sementara riset etnografi Kesehatan Ibu dan
Anak ini merupakan bagian dari Riset Khusus Budaya KIA 2012;
4. Ibu drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes. sebagai supervisor sekaligus
reviewer penelitian sampai dengan selesainya penulisan buku;
5. Para pakar di bidang Antropologi Kesehatan dan Kesehatan Ibu
dan Anak dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
dan universitas sebagai tempat tim peneliti berkonsultasi;
6. Bapak Kepala Dinas Kesehatan, Sekretaris Dinas Kesehatan, dan
staf bagian Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten
Gayo Lues;
7. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues;
8. Bapak Camat Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues beserta staf
kecamatan;


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ix
9. Bapak Kepala Desa Tetingi, sekretaris desa, tokoh masyarakat,
kader kesehatan, bidan kampung, dukun kampung, dan seluruh
masyarakat Desa Tetingi yang telah memberikan banyak infor­masi
dan menjadikan kami “keluarga” selama penelitian berlangsung;
10. Bidan Desa Tetingi yang telah sangat membantu dalam melan­
carkan proses penelitian;
11. Ibu Siti Luksitasari sebagai penanggung jawab administrasi dan
birokrasi; serta
12. Bapak, ibu, dan handai taulan lain yang tidak dapat kami sebut­
kan satu per satu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang sesuai


dengan sumbangsih yang telah bapak dan ibu berikan.

Tim peneliti

x Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Daftar Isi

KATA PENGANTAR. ................................................................................................................................................ v


SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN . .................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................................................................. ix
Daftar Isi.................................................................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................................... xiii
DAFTAR GRAFIK........................................................................................................................................................ xiv
DAFTAR BAGAN........................................................................................................................................................ xv
DAFTAR TABEL............................................................................................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................................... 1
BAB II GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT.................................................... 7
2.1 Sekilas Tentang Gayo Lues dan Orang Gayo........................................... 7
2.2 Desa Tetingi, Desa di Bawah Kaki Bur Gajah. ........................................ 11
2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan.................................................. 13
2.4 Sistem Mata Pencarian..................................................................................................... 21
2.5 Agama dan Sistem Kepercayaan........................................................................... 26
2.6 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial.................................... 30
2.7 Bahasa Sebagai Alat Komunikasi.......................................................................... 33
2.8 Kesenian: Tari Saman, Tari Bines, dan Didong..................................... 34
2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit dalam
Kacamata Masya­rakat Tetingi................................................................................... 35
BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI
DI BALIK BARA...................................................................................................................................... 45
3.1 Remaja Gayo Lues; Beberu dan Bebujang................................................ 45
3.2 Sistem Perkawinan. ............................................................................................................... 49
3.3 Perempuan Gayo pada Masa Hamil................................................................. 53
3.4 Persalinan: Bidan Kampung (Masih) Menjadi Idola..................... 63
3.5 Nite Ibu Nifas, 44 Hari Bersama Api dan Ramuan Gayo.......... 78


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam xi
3.6 Perawatan Bayi........................................................................................................................... 94
3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui.................................................................. 99
3.8 Balita dan Anak.......................................................................................................................... 102
3.9 Health Seeking Behavior dalam Kesehatan
Ibu dan Anak................................................................................................................................. 108
BAB IV TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT DESA TETINGI..... 111
BAB V POTENSI DAN KENDALA DALAM PEMBANGUNAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA TETINGI............................................ 115
5.1 Masa Hamil..................................................................................................................................... 116
5.2 Persalinan. ........................................................................................................................................ 118
5.3 Pasca-persalinan....................................................................................................................... 120
5.4 Intisari.................................................................................................................................................... 121
BAB VI SIMPULAN................................................................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................................... 125
Glosarium............................................................................................................................................................... 127

xii Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Gayo Lues. ............................................................................................................ 9


Gambar 2.2. Kondisi jalan Desa Tetingi . ............................................................................... 12
Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi.................................................................................................... 14
Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi . ....................................... 16
Gambar 2.5. Kondisi MCK Desa Tetingi ................................................................................. 17
Gambar 2.6 Hasil perkebunan yang siap dipasarkan. ......................................... 23
Gambar 2.7. Penyembuhan peneni’an dengan cara
semburan sirih ............................................................................................................... 42
Gambar 3.1. Seorang Ibu hamil sedang bejangkat kayu bakar................ 56
Gambar 3.2. Daun sirih yang dicampur dengan rempah lainnya ......... 62
Gambar 3.3 Semilu untuk memotong tali pusar bayi ....................................... 74
Gambar 3.4 Seorang ibu sedang bedaring di dapur
pasca-persalinan ......................................................................................................... 80
Gambar 3.5 Seorang ibu sedang bedaring sambil menggendong
bayinya .................................................................................................................................... 81
Gambar 3.6 Bedak matah yang digiling dengan menggunakan
gelas dengan alas piring kaca ...................................................................... 83
Gambar 3.7 Tampal yang telah dicairkan dengan air jeruk
purut dioleskan pada dahi, bawah daun telinga,
dan bawah mata kaki ibu nifas selama 44 hari ..................... 84
Gambar 3.8 Bedak param yang belum dikeringkan. ............................................ 86
Gambar 3.9 Abu dapur dicampur dengan kunyahan sirih............................ 89
Gambar 3.10 Asam kuyun dikupas kulitnya dan dibelah
menjadi dua ...................................................................................................................... 89


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam xiii
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat


di Kabupaten Gayo Lues .............................................................................................. 3
Grafik 2.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan
Kelompok Umur ................................................................................................................... 20
Grafik 2.2. Jumlah Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang
Melek Huruf Di Desa ...................................................................................................... 21

xiv Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Sistem Pemerintahan Desa Tetingi ............................................................... 29


Bagan 2.2. Pohon Kekerabatan dalam Hubungan Kekerabatan .............. 33
Bagan 3.1. Pohon Kekerabatan antara Ibu Hamil atau Ibu Bersalin
dengan Dukun Kampung dalam Beberapa Keluarga
di Desa Tetingi ....................................................................................................................... 65


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan


Kabupaten Gayo ................................................................................................................... 2
Tabel 2.1. Beberapa Perbedaan Istilah Bahasa Gayo Lues
dan Gayo Takengon .......................................................................................................... 34

xvi Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang masih


mempunyai banyak permasalahan kesehatan. Salah satu kabupaten di
Indonesia yang (masih) mempunyai permasalahan kesehatan yang cukup
tinggi adalah Kabupaten Gayo Lues, yang terletak di Provinsi Aceh. Secara
umum kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Gayo Lues salah
satunya dapat diketahui dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas),
yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) Kabupaten Gayo Lues berada pada posisi 439 dari 440 kabupaten
dan kota di Indonesia. Keadaan ini menjadi bahan pemikiran, indikator
apa saja yang menyebabkan peringkat ini menjadi sangat rendah.
Salah satu indikator IPKM tersebut adalah cakupan pemeriksaan ke­
hamilan atau antenatal care (ANC). Menurut data Riskesdas 2007, cakupan
pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues adalah 25%. Cakupan ini
adalah cakupan terendah di Provinsi Aceh, yang secara umum mempunyai
cakupan pemeriksaan kehamilan sebesar 72% (Depkes, 2008:64). Dengan
kata lain, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues paling
rendah di antara 21 kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh.
Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010, angka kematian
ibu di Aceh adalah 193/100.000 kelahiran hidup/LH. Bila ditelusuri per
kabupaten maka ditemukan beberapa kabupaten yang memberikan
kontribusi kematian ibu paling banyak, salah satunya adalah Kabupaten
Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut informasi dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 angka kematian balita
berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan bayi
9 orang. Data-data inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa kajian
kesehatan ibu dan anak dilakukan di Kabupaten Gayo Lues.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 1
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara holistik
aspek sejarah, geografi, dan sosial budaya yang terkait dengan kesehatan
ibu dan anak pada etnis Gayo di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon,
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Untuk mencapai tujuan tersebut,
penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Dalam metode
penelitian etnografi peneliti secara langsung terjun ke lapangan mencari
fenomena dan informasi dari informan, melalui observasi partisipatori
(Ratna, 2010:88). Menurut LeCompte dan Schensul (1999 dalam Emzir,
2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat
untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya
dan komunitas. Oleh sebab itulah, metode etnografi digunakan dalam
penelitian ini, untuk mengungkapkan dan menemukan pengetahuan yang
tersembunyi dalam budaya masyarakat DesaTetingi, khususnya penge­
tahuan tentang kesehatan ibu dan anak.

Tabel 1.1 Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten


Gayo Lues Tahun 2011

Pemeriksaan Tempat
Jumlah Persalinan Persalinan
Kehamilan
No. Puskesmas Ibu oleh Tenaga
(ANC) Non-
Bersalin Kesehatan Faskes
K1 Faskes
1. Kuta Panjang 90,05% 201 89,55% 180 0
2. Blang Jerango 93,60% 165 88,48% 146 0
3. Blang Kejeren 95,10% 641 86,12% 552 0
4. Gumpang 100% 177 97,18% 171 1
5. Dabun Gelang 93,98% 127 91,34% 116 0
6. Pining 90,91% 74 81,08% 60 0
7. Pintu Rime 97,56% 39 84,62% 28 0
8. Cinta Maju 82,14% 134 79,10% 106 0
9. Rikit Gaib 100% 103 85,44% 88 0
10. Kenyaran 94,34% 102 87,25% 88 1
11. Terangun 96,73% 204 83,33% 170 0
12. Rerebe 100% 132 80,30% 106 0
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues

Penelitian ini dilakukan di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon.


Desa Tetingi merupakan salah satu desa yang menjadi wilayah Puskesmas
Cinta Maju yang berada di Kecamatan Blang Pegayon. Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues 2012, dari 12 puskesmas yang ter-

2 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
dapat di Kabupaten Gayo Lues, Puskesmas Cinta Maju mempunyai caku-
pan pemeriksaan kehamilan dan persalinan oleh tenaga kesehatan paling
rendah dibandingkan dengan puskesmas lain. Hal ini tentu menjadi tanda
tanya besar, mengapa Puskesmas Cinta Maju mempunyai cakupan peme­
riksaan kehamilan dan persalinan oleh tenaga kesehatan paling rendah
dibandingkan dengan puskesmas lain. Hal ini terlihat pada tabel 1.1.
Selain data cakupan pemeriksaan kehamilan dan persalinan oleh te­
naga kesehatan paling rendah, Puskesmas Cinta Maju juga masih memiliki
banyak dukun. Namun jumlah dukun yang terdapat di wilayah Puskesmas
Cinta Maju lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bidan. Hal ini ber-
beda dengan puskesmas lain yang memiliki jumlah dukun lebih banyak
daripada jumlah bidan, seperti di Puskesmas Dabun Gelang. Hal ini tentu
menarik perhatian, mengapa Puskesmas Cinta Maju yang memiliki bidan
lebih banyak daripada dukun, mempunyai data cakupan ANC dan persali-
nan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskes-
mas lain. Hal ini justru berbanding terbalik dengan Puskesmas Dabun
Gelang yang memiliki jumlah dukun lebih banyak daripada bidan, tetapi
cakupan ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih baik daripada
Puskesmas Cinta Maju.

Grafik 1.1 Jumlah bidan dan jumlah dukun yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues
menurut puskesmas tahun 2011.
(Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues)


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 3
Puskesmas Cinta Maju yang terdapat di Kecamatan Blang Pegayon
memiliki 12 desa yang menjadi wilayah kerjanya. Salah satu desa tersebut
adalah Desa Tetingi. Desa ini dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah ibu
hamil yang terdapat di desa tersebut pada bulan Mei-Juni tahun 2012 lebih
banyak daripada di desa lain. Banyaknya jumlah ibu hamil di lokasi peneli-
tian diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai kesehatan
ibu dan anak dan peneliti dapat melihat secara langsung akti­vitas ibu hamil
dan bagaimana persalinan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi partisi­
pasi, yaitu peneliti mengalami hidup bersama dengan objek penelitian dan
menjadi bagian keluarga dari masyarakat di suatu etnis (Ratna, 2010:218).
Oleh sebab itu, pada saat pengumpulan data, tim peneliti tinggal bersama
(live in) dengan masyarakat Desa Tetingi untuk mengamati perilaku masya­
rakat, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak.
Live in ini dilakukan selama kurang lebih dua bulan untuk mendapatkan
informasi, khususnya informasi yang tersembunyi tentang kesehatan ibu
dan anak.
Selain melakukan pengamatan atau observasi, pada saat tinggal ber­
sama dengan masyarakat, peneliti juga melakukan wawancara dengan
beberapa warga masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi
yang lebih mendalam. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan infor­
man yang mengetahui materi yang ingin ditanyakan. Misalnya, perta­
nya­an mengenai sejarah desa ditanyakan kepada tetua masyarakat
setempat; pertanyaan tentang metode persalinan oleh dukun kampung
ditanyakan kepada dukun kampung atau pasiennya; pertanyaan tentang
remaja ditanyakan kepada orang tua remaja dan remaja itu sendiri; dan
pertanyaan tentang kehamilan dan persalinan ditanyakan kepada ibu
hamil, ibu bersalin, bidan desa, kader kesehatan, dukun kampung, dan
keluarganya. Pada intinya, wawancara dilakukan dengan informan yang
dianggap mengetahui materi atau konteks yang ingin ditanyakan.
Penentuan informan dilakukan secara snowball sampling, yaitu
men­cari suatu informasi dari satu informan ke informan lain sampai akh-
irnya key informant (informan kunci) tersebut ditemukan. Wawancara
de­ngan key informant bukan hanya dilakukan sekali, tetapi berulang kali
untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan lengkap. Peneliti juga
melakukan teknik probing dalam wawancara untuk mengeksplorasi infor-
masi yang diperoleh.
Demi validitas data, dilakukan triangulasi, yaitu proses penguatan
bukti dari individu-individu yang berbeda, jenis data (misalnya catatan

4 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
lapangan observasi dan wawancara) dalam deskripsi, dan tema-tema
dalam penelitian kualitatif (Emzir, 2011:82). Triangulasi ini dilakukan ke­­
pada informan yang berbeda. Sebagai contoh, pertanyaan tentang per­
salinan ditanyakan kepada ibu bersalin, dukun kampung, bidan desa,
kelu­arga ibu bersalin, dan tetangganya. Selain itu, triangulasi juga dil­a­
kukan dalam metode pengumpulan data, yaitu antara hasil observasi,
wawancara, dan telaah dokumen yang diperoleh dari poskesdes, kantor
kecamatan, dinas kesehatan kabupaten, dinas pariwisata kabupaten, dan
Badan Pusat Statistik Gayo Lues.
Hasil observasi dan wawancara dengan informan tersebut ditulis di
atas kertas yang disebut “catatan harian”. Dalam catatan harian tersebut
segala temuan dan informasi yang diperoleh peneliti ditulis. Catatan
harian ini sangat penting sebagai instrumen analisis data. Setelah ditulis,
catatan harian tersebut dibaca lagi oleh peneliti untuk mengeksplorasi
informasi dari informasi yang telah diperoleh. Seorang peneliti etnografi
perlu menganalisis catatan-catatan lapangan untuk mengetahui apa yang
akan dicari dalam periode berikutnya dalam observasi partisipasi (Emzir,
2011:209).
Setelah ditulis dan dianalisis, langkah selanjutnya adalah peneliti
melakukan pengkodean (coding) dalam catatan harian tersebut. Coding ini
dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam menemukan pola. Semua
analisis etnografis akan melibatkan pencarian melalui catatan lapangan
untuk menemukan pola-pola budaya (Spradley, 1980:85 dalam Emzir,
2011:211). Dengan kata lain, pola-pola budaya tersebut akan ditemukan
dengan cara menganilisis catatan harian. Melalui catatan harian tersebut
akan ditemukan keterulangan dan kesamaan peristiwa dan informasi.
Setelah pengkodean dilakukan, langkah selanjutnya adalah menge­
lom­pokkan hasil pengkodean untuk melakukan kategorisasi sesuai dengan
tema yang telah ditentukan. Setelah kategorisasi tersebut ditentukan,
langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan hasil temuan sesuai dengan
kategori atau tema yang telah ditetapkan. Dalam kategori atau tema
yang telah ditetapkan tersebut, peneliti akan melakukan thick description
berdasarkan catatan harian. Setelah thick description yang dilakukan pada
setiap tema, selanjutnya peneliti melakukan analisis holistik, yaitu analisis
menyeluruh. Analisis ini dilakukan untuk mencari ”benang merah” antara
satu tema dengan tema yang lain. Dengan kata lain, analisis holistik ini
dilakukan untuk mencari keterkaitan antara satu tema dengan tema yang
lain.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 5
6 Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
BAB II
GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT

2.1 Sekilas Tentang Gayo Lues dan Orang Gayo


Gayo Lues merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Pro­
vinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan kabupaten hasil pemekaran dari
Kabupaten Aceh Tenggara. Secara administratif Kabupaten ini dibentuk
pada tahun 2002, namun sistem pemerintahan baru berjalan pada tahun
2005. Jarak Kabupaten Gayo Lues dengan Kota Banda Aceh (ibukota Provinsi
Aceh) kurang lebih sekitar 475 kilometer. Perjalanan menuju kabupaten
ini hanya dapat dilalui dengan perjalanan darat karena belum ada bandar
udara yang dibangun di sana. Perjalanan darat yang biasa ditempuh dapat
melalui dua rute. Rute pertama dimulai dari Medan melewati Kutacane
(Aceh Tenggara), dengan waktu tempuh kurang lebih 12 jam, sedangkan
rute kedua dimulai dari Banda Aceh melewati Takengon (Aceh Tengah),
dengan waktu tempuh kurang lebih 14 jam. Sepanjang perjalanan, hutan
belantara yang berbukit-bukit dengan curamnya tebing di kiri-kanan ruas
jalan yang berliku-liku menjadi irama dan nada dalam perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 12 jam sampai 14
jam, tibalah di Kabupaten Gayo Lues yang dijuluki “Negeri Seribu Bukit”.
Kabupaten ini dijuluki “Negeri Seribu Bukit” karena adanya hamparan
per­bukitan pohon pinus dan lahan pertanian masyarakat yang begitu
luas di antara kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Untuk
itu, UNESCO pun memberi Gayo Lues julukan sebagai “paru-paru dunia”
karena pesona alam Gayo Lues yang masih hijau dan alami. Berada di
Gayo Lues bak berada dalam sebuah wajan. Pegunungan dan perbukitan
menghijau memagari Gayo Lues sehingga ke mana pun mata memandang
hanya bukit dan gunung yang menghijau yang ada dalam pandangan.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 7
Banyak tulisan menceritakan tentang sejarah Kabupaten Gayo Lues
baik dipublikasikan melalui dunia internet maupun dalam bentuk cetak,
seperti profil kabupaten, BPS, dan sebagainya. Sejarah yang diceritakan
hampir sama, yaitu sejarah Gayo Lues dari zaman Kerajaan Aceh, zaman
Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, sampai terbentuknya
Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Namun, tulisan ini hanya akan
menceritakan tentang sejarah terbentuknya Kabupaten Gayo Lues karena
menceritakan sejarah Gayo Lues dari zaman Ke rajaan Aceh sampai ter­
bentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap terlalu panjang. Cerita me­
ngenai terbentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap penting dalam
tulisan ini karena peneliti ingin menggambarkan bagaimana kondisi
Kabupaten Gayo Lues sebagai kabupaten yang baru lahir di Provinsi Aceh
berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan sistem sosial, termasuk
sistem kesehatan.
Sebelum menjadi kabupaten sendiri, Gayo Lues termasuk dalam
wilayah administratif Kabupaten Aceh Tenggara. Karena luasnya daerah
yang harus dikoordinasi dan minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Aceh Tenggara, muncul kesan bahwa kemajuan pembangunan Gayo
Lues dianaktirikan (BPS Gayo Lues, 2005). Untuk itu, pada akhir tahun
1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk mem­
perjuangkan Gayo Lues menjadi kabupaten administratif (BPS Gayo Lues,
2005). Melalui proses dan perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun
2002 Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Kabupaten Gayo Lues dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 20021 yang diresmikan pada
tanggal 2 Juli 2002 oleh Menteri Dalam Negeri (BPS Gayo Lues, 2005).
Namun, menurut pemerintah setempat, sistem pemerintahan Gayo Lues
baru berjalan pada tahun 2005. Jadi, terhitung pada tahun 2012, Kabu­
paten Gayo Lues berusia 10 tahun. Dalam usia 10 tahun tersebut masih
banyak permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Gayo Lues, termasuk
masalah kesehatan, terutama kesehatan ibu dan anak.
Orang Gayo. Penduduk Gayo Lues berasal dari etnis yang beragam,
seperti etnis Gayo, Batak, Jawa, Karo, Aceh, dan sebagainya. Namun,
tidak ada data statistik yang dapat menjelaskan jumlah penduduk
Gayo Lues berdasarkan etnis. Namun menurut perkiraan salah seorang
pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues yang juga merupakan
orang Gayo, hampir 80% penduduk Gayo Lues berasal dari etnis Gayo,

Sumber: www.gayolueskab.go.id diakses tanggal 3 Oktober 2012.


1

8 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Gambar 2.1. Peta Gayo Lues.
(Sumber:www.gayolueskab.go.id)

sedangkan 20% lagi berasal dari etnis lain, seperti Jawa, Batak, Karo, Aceh,
dan sebagainya.
Sebelum melanjutkan ke pembahasan selanjutnya, deskripsi menge­
nai orang Gayo akan dijelaskan terlebih dulu agar orang Gayo yang di­
maksud dapat dimengerti. Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan siapa
yang dimaksud dengan orang Gayo, terutama orang Gayo yang ada di
Kabupaten Gayo Lues. Penjelasan ini berdasarkan pada cerita masyarakat
setempat (folklore) dan berdasarkan beberapa literatur tentang Gayo.
Namun, literatur atau dokumen yang menjelaskan tentang orang Gayo
masih sangat terbatas.
Berdasarkan cerita tetua masyarakat setempat (folklore), seperti
Empun (kakek) Za dan Empun (kakek) Sa, kata gayo berasal dari bahasa Karo
yang berarti “kepiting besar”. Menurut sejarah atau dongeng masyarakat
setempat (folklore), dulu terdapat lubang kepiting besar yang terletak
tidak jauh dari Desa Porang (sebuah desa di Kabupaten Gayo Lues). Oleh
sebab itu, orang Karo yang pada saat itu juga merupakan penghuni Tanah
Gayo menyebut orang yang tinggal di sekitar lubang kepiting tersebut
sebagai orang Gayo. Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat M.Z.
Abidin (1969:1 dalam Tantawi, 2011:1) yang mengatakan bahwa dalam
bahasa Batak Karo kata gayo berarti “kepiting”. Sementara itu, kata karo


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 9
sendiri juga berasal dari bahasa Gayo, yaitu ikaro yang berarti diburu atau
dikejar. Menurut cerita masyarakat setempat (folklore), orang Karo dulu
berasal dari Tanah Gayo. Namun karena mereka tidak mau masuk Islam,
mereka ikaro atau diburu. Oleh sebab itu, mereka pindah ke suatu tempat
yang sekarang diberi nama Tanah Karo yang terdapat di Sumatera Utara.
Namun cerita tersebut di atas berbeda dengan versi yang diungkapkan
oleh Melalatoa dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Gayo. Menurut
Melalatoa (1982:35), dalam berbagai tulisan dikatakan bahwa orang Gayo
adalah sekelompok orang di daerah pantai yang tidak mau masuk Islam,
karena itu mereka melarikan diri ke pedalaman. Kata gayo itu berasal dari
kata kayo yang berarti “takut” atau “melarikan diri” (lihat Said, 1961:17;
Zainuddin, 1961:26 dan 99; Team Monografi Daerah, 1975:59-60; dan
lain-lain, dalam Melalatoa, 1982:35). Berdasarkan penjelasan tersebut,
terdapat perbedaan dengan versi folklore masyarakat setempat. Menurut
folklore, orang Karo adalah orang yang tidak mau masuk Islam, sedang­
kan menurut berbagai literatur seperti yang dijelaskan oleh Melalatoa,
orang Gayo-lah yang tidak mau masuk Islam. Namun, dua versi pendapat
tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena masih kurangnya
literatur yang kami temukan untuk mengungkapkan tabir sejarah orang
Gayo. Namun terlepas dari perbedaan tersebut dapat diasumsikan bahwa
orang Gayo dan orang Karo mempunyai hubungan dan keterkaitan dalam
sejarah, meskipun pada saat ini terlihat berbeda.
Orang Gayo mendiami Tanah Gayo yang meliputi pusat Pegunungan
Bukit Barisan bagian utara, yang merupakan dataran tinggi dengan keting­
gian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (Wiradnyana, 2011:4).
Pegunungan Bukit Barisan yang sangat luas tersebut membuat orang Ga­
yo terbagi menjadi beberapa kelompok masyarakat. Secara tradisional,
wilayah Tanah Gayo terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah Lut Tawar,
wilayah Deret (daerah Jambu Aye), wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo,
serta wilayah Serbejadi (Hurgronje, 1996:2-7 dalam Wiradnyana, 2011:4).
Sementara itu, Melalatoa (1982:34) membagi kelompok masyarakat orang
Gayo menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang terdapat di Daerah
Tingkat II (Kabupaten) Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Timur
(Gayo, 1975:1 dalam Melalatoa, 1982:34).
Orang yang berdiam di Kabupaten Aceh Tengah masih terbagi men­
jadi Orang Gayo Lut dan Orang Gayo Deret, kelompok yang mendiami
Kabupaten Aceh Timur terbagi menjadi Gayo Serbejadi dan Gayo Kalul,
sedangkan kelompok yang mendiami Aceh Tenggara adalah orang Gayo

10 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Lues (Melalatoa, 1982:34). Kelompok orang Gayo yang terakhir inilah
yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Pada saat ini Gayo Lues sudah
berpisah dengan Aceh Tenggara dan menjadi kabupaten sendiri, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Orang Gayo yang berdiam di sekitar
Danau Lut Tawar kadang-kadang menyebut orang Gayo Lues dengan orang
Belang atau orang Gayo saja (Melalatoa, 1982:24). Untuk itu, tulisan ini
akan menggunakan kata “orang Gayo” untuk menyebut orang Gayo Lues.

2.2 Desa Tetingi, Desa di Bawah Kaki Bur Gajah


Salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues adalah Desa
Tetingi yang terletak di Kecamatan Blang Pegayon. Jarak antara Desa
Tetingi dengan Desa Cinta Maju (ibukota Kecamatan Blang Pegayon) se­
kitar 2 kilometer, sedangkan jaraknya dengan Kecamatan Blang Kejeren
(pusat pemerintahan Kabupaten Gayo Lues) sekitar 6 kilometer. Tidak ada
kendaraan umum yang menuju desa ini. Ada bentor (becak motor) yang
tersedia, tetapi hanya bisa mencapai Desa Cinta Maju. Di sebelah barat
SD Cinta Maju terdapat gang kecil dengan jalan berbatu. Di pintu jalan
inilah titik terakhir bentor bisa mengantarkan penumpangnya menuju
Desa Tetingi. Selanjutnya perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, kira-
kira sepanjang 1,5 kilometer. Batu-batu kecil di sepanjang jalan selalu
ada, menemani perjalanan menuju Desa Tetingi. Jalan ini belum diaspal.
Jalanan yang menanjak tak urung membuat keringat bercucuran dan
napas tersengal-sengal bagi sebagian orang yang belum terbiasa dengan
kondisi jalan.
Jalan menuju Desa Tetingi kira-kira selebar 4 meter sehingga ken­
daraan roda dua dan roda empat bisa melewatinya. Namun, kondisi jalan
yang berbatu, kadang kala tanah yang tergenang air jika musim hujan, dan
banyaknya tanjakan menyebabkan beberapa kendaraan, seperti bentor,
tak berani mengambil risiko untuk melewati jalan tersebut.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, tibalah di
sebuah desa tepat di kaki bukit yang bernama Bur Gajah. Bur dalam ba­
hasa Gayo berarti “gunung”. Apabila musim tanam padi telah lewat satu
bulan, hamparan sawah yang menghijau menjadi penyegar mata. Tanaman
jagung pun ikut menghiasi. Jika musim panen akan tiba, sawah nan hijau
tersebut berubah menjadi kuning dan tumbuhan jagung pun mengering.
Namun pohon-pohon nan rindang dan tumbuhan lain tetap menghijau di
Bur Gajah sehingga mata tetap segar memandangnya.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 11
Gambar 2.2.Kondisi jalan Desa Tetingi.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Tetingi berasal dari kata kutetingi yang berarti kampung yang ting­
gi. Mendengar namanya saja sudah dapat dibayangkan bahwa desa ini
terletak di dataran yang tinggi. Desa Tetingi terletak pada ketinggian
1.205 m dpl. Letak Desa Tetingi di dataran tinggi menyebabkan cuaca yang
dingin, tetapi surga bagi tanaman pangan sehingga hamparan sawah dan
perkebunan membentang luas di Desa Tetingi.
Adapun batasan wilayah Desa Tetingi adalah sebagai berikut. Di
sebelah timur, Desa Tetingi berbatasan dengan Desa Tebukit, di sebelah
barat berbatasan dengan Desa Kong Bur, di sebelah selatan berbatasan
dengan pengunungan, dan di sebelah utara berbatasan dengan Desa
Cinta Maju.
Sejarah Desa Tetingi. Tidak ada dokumen atau tulisan yang men­
jelaskan tentang sejarah Desa Tetingi. Namun, berdasarkan cerita tetua
di Desa Tetingi yang telah hidup berpuluh-puluh tahun di sana, seperti
Empun (Kakek) Mn, Empun (Kakek) Za, dan Empun (Nenek) Ar, sebelum
menjadi sebuah desa, Tetingi adalah sebuah perladangan dan persawahan
tempat orang bekerja. Mulanya perladangan dan persawahan tersebut
hanya menjadi tempat bekerja pada siang hari, dan menjelang malam
pemilik sawah atau ladang tersebut kembali ke kampungnya yang mayo­

12 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
ritas terletak di Desa Kong. Namun dari waktu ke waktu, para pemilik
sawah dan ladang tersebut mendirikan rumah di sekitar sawah dan
ladang mereka. Pada tahun 1970-an, hanya ada sekitar tujuh rumah
yang berdiri di Tetingi. Lima rumah di antaranya terdapat di daerah yang
sekarang bernama Dusun Arul Sirep dan dua rumah terdapat di daerah
yang sekarang bernama Dusun Tamak Nunang yang dikenal juga dengan
nama Dusun Blang Papan. Saat itu, masih banyak hewan buas berkeliaran
di sekitar alam Tetingi, seperti harimau dan beruang, sehingga tak ada
orang yang berani pergi seorang diri. Hewan buas tersebut pada saat ini
sudah jarang ditemukan, bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pada tahun 1980-an terjadi gempa bumi yang dahsyat mengguncang
Aceh, termasuk Gayo Lues. Dalam satu hari bisa terjadi 30 kali guncangan.
Gempa bumi tersebut melanda Gayo Lues selama sekitar satu bulan. Tentu
saja gempa bumi tersebut membuat masyarakat menjadi takut, termasuk
beberapa orang yang berada di sekitar Tetingi, seperti di Tebukit dan Bur
Gajah. Selain di Tetingi, perladangan dan persawahan juga ada di Tebukit
dan Bur Gajah yang terletak kira-kira satu atau dua kilometer dari Tetingi.
Pemilik sawah dan ladang tersebut juga ada yang mendirikan rumah di
Tebukit dan Bur Gajah pada waktu itu. Pada saat gempa mengguncang
Gayo Lues, penduduk yang mendirikan rumah di Tebukit dan Bur Gajah
tersebut pindah ke Tetingi untuk berkumpul bersama dengan warga yang
lain. Pada saat itu, bukan hanya gempa yang membuat takut masyarakat
setempat, tetapi juga perampokan yang dilakukan oleh orang yang tak
dikenal. Mulai saat itu, penduduk Tetingi semakin bertambah dari waktu
ke waktu hingga Tetingi menjadi sebuah dusun dalam wilayah Desa Kong,
Kecamatan Kuta Panjang.
Pada tahun 2000, Desa Kong direncanakan untuk pemekaran karena
wilayahnya yang sangat luas. Pada tahun 2001, pemekaran Desa Kong
tersebut disetujui dan disahkan. Desa Kong dipecah menjadi empat desa,
yaitu Desa Kong Bur, Desa Kong Palu, Desa Cinta Maju, dan Desa Tetingi.
Desa Kong Bur, Desa Cinta Maju, dan Desa Tetingi termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Blang Pegayon, sedangkan Desa Kong Palu termasuk
ke dalam wilayah Kecamatan Kuta Panjang. Sejak itu, Tetingi menjadi
sebuah desa yang dipimpin oleh seorang guechik (kepala desa).

2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan


Di Desa Tetingi terdapat dua dua dusun, yaitu Dusun Arul Sirep dan
Dusun Tamak Nunang yang dikenal juga dengan nama Dusun Blang Papan.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 13
Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi.
(Sumber: Desain Tim Peneliti, Juni 2012)

Dua dusun ini dipisahkan oleh Sungai Aih Sekat. Namun, sejak tahun 2008
terdapat titih (jembatan) yang menghubungkan dua dusun tersebut.
Jembatan tersebut dibangun oleh pemerintah melalui PNPM. Keberadaan
jembatan tersebut memudahkan masyarakat Dusun Arul Sirep untuk
bertandang ke Dusun Tamak Nunang, begitu pula sebaliknya.
Panjang jembatan tersebut kurang lebih 40 meter, dengan lebar
1,5 meter. Di bawah jembatan tersebut mengalir Sungai Aih Sekat yang
digunakan oleh masyarakat setempat untuk memandikan jenazah. Oleh
sebab itu, sungai tersebut tidak digunakan untuk MCK karena diyakini
akan berpengaruh pada kesehatan, seperti sakit perut, sakit mata, dan
sebagainya. Hal ini seperti yang terjadi pada Je, seorang bocah laki-laki
yang berumur sekitar 10 tahun yang mengalami kebutaan pada mata
kirinya. Menurut ibunya, kebutaan yang dialami oleh Je terjadi pada saat
Je berumur sekitar 6 tahun karena mandi di bawah jembatan setelah dua
hari orang memandikan mayat di sana.
“... jangan mandi di sungai itu, apalagi di bawah jembatannya.
Kalau mau (mandi) juga, tempatnya agak ke atas sedikit. Di
bawah jembatan itu tempat orang mandiin mayat. Nanti kena

14 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
kontaknya. Sakit perut nanti. Liat mata Je itu kan sakit. Itu gara-
garanya waktu sebelum sekolah dia suka mandi di sungai di
bawah jembatan itu. Itulah matanya sakit (tidak dapat melihat
sebelah). Padahal dulu bagus matanya …,” jelas Inen Je.

2.3.1 Keadaan Pola Pemukiman


Terdapat perbedaan antara pola pemukiman Dusun Arul Sirep dengan
Dusun Tamak Nunang. Sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep berada di
sebelah timur jalan karena di sebelah barat jalan kondisi tanah berjurang
dan terdapat sungai. Rumah penduduk di Dusun Arul Sirep menghadap ke
timur sehingga sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep membelakangi
jalan desa. Hal ini berbeda dengan rumah yang terdapat di Dusun Tamak
Nunang. Di Dusun Tamak Nunang, rumah penduduk berdiri di sepanjang
barat dan timur jalan desa. Selain itu, rumah penduduk tersebut berdiri
menghadap jalan desa. Hal ini disebabkan karena kondisi alam Dusun
Tamak Nunang lebih datar daripada kondisi alam di Dusun Arul Sirep.
Pada umumnya rumah penduduk Desa Tetingi terbuat dari kayu yang
berdindingkan papan kayu, beratapkan seng, dan beralaskan kayu atau se-
men plester, kecuali rumah bantuan dari pemerintah, masjid, dan poskes-
des. Kayu-kayu tersebut dibeli di kota atau di pemotong kayu yang oleh
masyarakat setempat biasa dikenal dengan istilah sinso. Berdasarkan penu-
turan salah seorang warga Tetingi, harga kayu per lima meter kurang leb-
ih Rp27.000,00. Keadaan rumah kayu yang dimiliki oleh masyarakat Desa
Tetingi berkaitan dengan sejarah Desa Tetingi yang pernah dilanda gempa
bumi yang dahsyat. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih rumah kayu dari-
pada rumah semen atau beton sebagai tempat bernaung mereka.
“... di sini tidak ada rumah dari batu bata karena salah satunya
kebiasaan dari nenek moyang dulu, jadi tidak terbiasa, lagian
kalau dari beton jika ada musibah seperti gempa rumah kita
gak akan roboh ...,” sapa Empun (Kakek) Mn.

Dulu sebelum menggunakan kayu sebagai bahan untuk membangun


rumah, warga Tetingi menggunakan bambu sebagai bahan utama membuat
rumah dan sangi sebagai bahan untuk atap rumah. Sangi adalah sejenis
dedaunan pandan yang sudah dikeringkan sehingga berwarna cokelat dan
kering. Perpindahan dari bambu menjadi kayu terjadi sekitar tahun 1980-
an.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 15
“... kira-kira tahun 70 ke bawah, kebanyakan sebagian bambu
dan 80-an ke atas, udah mulai ada sinso ..,.” jelas Aman MID.

Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi.


(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Setiap rumah di Desa Tetingi sudah mempunyai listrik sebagai sarana


penerangan. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat telah memiliki televisi
sebagai sarana hiburan dan sarana informasi. Membeli televisi sepertinya
lebih menggiurkan daripada membangun MCK di dalam rumah. Hal ini
terlihat dari sedikitnya masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di
dalam rumah, sedangkan televisi lengkap dengan parabolanya dimiliki
oleh “hampir” seluruh masyarakat Desa Tetingi. Menurut pengamatan
kami, sebagian masyarakat Desa Tetingi telah memiliki televisi, namun
hanya ada satu rumah yang mempunyai MCK lengkap di dalam rumahnya.
Pemilik rumah tersebut adalah seorang pemilik tanah, kolam, dan kebun
yang luas di Desa Tetingi. Dia adalah Empun (kakek) Mn.
Selain Empun (kakek) Mn, tidak ada lagi masyarakat Desa Tetingi
yang memiliki MCK di dalam rumah, kecuali poskesdes. Sebagian besar
masyarakat Tetingi menggunakan parit sebagai MCK. Beberapa warga Desa
Tetingi ada juga yang membangun bak penampungan air yang diletakkan di
luar rumah. Air yang mengalir ke bak tersebut adalah air yang bersumber
dari mata air di pegunungan, yang mengalir ke pipa-pipa kecil yang dibuat

16 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
oleh masyarakat setempat. Berhubung bak penampungan air tersebut
terletak di luar rumah, tetangga yang terletak di sekitar rumah pemilik
juga ikut menggunakan bak penampungan air tersebut untuk keperluan
mencuci dan mandi.
Selain parit dan bak penampungan air, masyarakat Desa Tetingi
menggunakan MCK umum yang dibuat oleh PNPM pada tahun 2008.
MCK umum tersebut dibagi menjadi dua, yaitu untuk laki-laki dan untuk
perempuan. MCK tersebut terdiri atas tiga bak penampungan air dan lima
jamban. Salah satu bak penampungan air digunakan oleh perempuan
untuk mandi dan mencuci, sedangkan yang dua lagi digunakan untuk laki-
laki. Sementara itu, satu dari empat jamban digunakan untuk perempuan,
dua digunakan untuk laki-laki, dan satu jamban lagi telah rusak.
Meskipun telah dibangun MCK umum oleh pemerintah, tetapi MCK
tersebut tidak dirawat baik oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari keadaan
MCK yang tidak terawat dan kadang kala masih ada kotoran manusia.
Keadaan MCK yang tidak terawat inilah yang menyebabkan masyarakat
masih membuang air besar di parit atau di kolam. Meskipun jamban dan
bak penampungan air telah tersedia, tetapi masih banyak masyarakat
setempat yang lebih suka membuang air besar di parit. Hal ini seperti

Gambar 2.5. Kondisi MCK Desa Tetingi.


(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 17
yang dilakukan oleh Kak Se, yang sempat menjadi pengasuh anak tenaga
kesehatan yang ada di sana. Meskipun tinggal di poskesdes yang telah
memiliki jamban di dalam rumah, Kak Se tetap memilih membuang air
besar di parit yang ada di depan poskesdes. Menurutnya, ada kepuasan
tersendiri ketika membuang air besar di parit.
Selain rumah penduduk, terdapat juga bangunan lain yang berdiri
di antara pemukiman penduduk. Bangunan tersebut antara lain masjid,
pos­kesdes, poskamling, meunasah, dan rangkang. Meunasah adalah ba­
ngunan tinggi berbentuk rumah panggung yang digunakan untuk kegiatan
keagamaan, seperti tempat anak-anak mengaji, tempat merayakan Isra’
Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Acara keagamaan
tersebut dilakukan di meunasah agar semua warga masyarakat dapat
hadir, termasuk perempuan yang sedang haid. Jika acara diselenggarakan
di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk sehingga
tidak dapat mengikuti acara keagamaan tersebut. Oleh sebab itu, aca­ra
keagamaan sering kali dilakukan di meunasah, sedangkan masjid digu­
nakan hanya untuk shalat jumat dan shalat ied.
Di samping meunasah terdapat rangkang. Rangkang adalah ba­
ngunan memanjang yang dibentuk bilik-bilik berukuran kira-kira 2 meter
x 3 meter. Terdapat enam bilik di bangunan rangkang tersebut. Salah satu
bilik rangkang tersebut dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Pada mulanya
rangkang tersebut didirikan untuk anak laki-laki yang belajar mengaji di
meunasah. Namun, rangkang tersebut tidak lagi dihuni oleh anak laki-laki
sejak ada pesantren di Desa Cinta Maju. Di pesantren tersebut sebagian
anak laki-laki dan anak perempuan Desa Tetingi yang duduk di bangku
SMP belajar mengaji dan menimba ilmu agama, sepulang sekolah pada
siang hari sampai usai shalat Isya. Sementara itu, anak laki-laki dan juga
anak perempuan yang sedang duduk di bangku SD belajar mengaji di
meunasah setelah sholat magrib usai. Anak laki-laki dan anak perempuan
yang duduk di bangku SMP dan tidak nyantri di pesantren Cinta Maju, juga
ikut belajar mengaji di meunasah. Kadang kala mereka juga ikut mengajar
anak-anak yang baru belajar mengaji.
Selain meunasah, rangkang, dan masjid, juga terdapat poskesdes di
Desa Tetingi. Poskesdes tersebut terletak di “pojok” pemukiman warga.
Di poskesdes tersebut terdapat satu bidan desa yang tinggal bersama
dengan keluarga kecilnya. Di poskesdes inilah masyarakat Desa Tetingi
bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

18 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
2.3.2 Kondisi Persawahan, Perladangan, dan Peternakan
Hamparan sawah yang luas menjadi pemandangan indah yang ter­
dapat di Desa Tetingi ini. Sawah yang terdapat di sekitar pemukiman warga
menjadi salah satu lahan bagi masyarakat setempat untuk menghidupi
diri dan keluarganya. Selain sawah, perkebunan pun menjadi salah satu
keindahan alam yang terdapat di desa Tetingi, seperti perkebunan daun
serai wangi, tembakau, dan sebagainya. Selain sawah dan perkebunan,
ladang juga menjadi tempat bagi warga Tetingi untuk bekerja. Istilah
ladang dalam bahasa Gayo bermakna sebuah lahan luas yang ditanami
berbagai jenis tanaman dan terletak jauh dari rumah, sedangkan lahan
yang tidak terlalu luas dan berada di dekat rumah atau di belakang rumah
dikenal dengan istilah empus. Ladang dan empus tersebut ditanami
berbagai jenis tanaman, seperti kacang panjang, jagung, cabai, bawang
merah, dan sebagainya.
Selain persawahan, perkebunan, dan perladangan, juga tampak
ko­lam ikan yang dibangun di sekitar pemukiman warga atau di sekitar
per­sawahan. Di kolam tersebut terdapat berbagai jenis ikan air tawar,
seperti ikan mas, ikan mujahir, dan sebagainya. Ikan tersebut dikonsumsi
sendiri oleh pemiliknya atau dijual apabila hasilnya tidak habis dikonsumsi
sendiri. Selain peternakan ikan, juga tampak hewan ternak lain, seperti
sapi, ayam, dan itik. Ayam dan itik dipelihara oleh sebagian masyarakat
untuk dikonsumsi sendiri apabila waktunya telah tiba untuk dikonsumsi,
sedangkan sapi dipelihara untuk tabungan dan dijual apabila ada kebutuh­
an keuangan yang mendesak.

2.3.3 Kependudukan
Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di poskesdes pada
tahun 2011, jumlah penduduk Desa Tetingi adalah 305 jiwa, yang terdiri
atas 164 laki-laki dan 141 perempuan. Mereka menghuni area pemukiman
yang terdapat di Dusun Arul Sirep dan Dusun Tamak Nunang. Tidak ada
data yang tersedia di monografi desa atau di poskesdes yang menyatakan
luas pemukiman penduduk yang dihuni oleh masyarakat Desa Tetingi.
Namun, berdasarkan perkiraan hasil observasi dan pernyataan masyarakat
setempat, hanya seperempat dari luas Desa Tetingi yang dijadikan lahan
pemukiman penduduk, sedangkan tiga per empat lainnya merupakan
lahan persawahan, perkebunan, perladangan, dan lahan kosong yang
ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan pohon-pohon yang menjulang
tinggi


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 19
Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur
Desa Tetingi tahun 2011.
(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu
yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang
menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun
di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari
129 laki-laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya
ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa
Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari
SD sampai SMA. Anak-anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju
yang jaraknya kira-kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka
buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi
promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di
tempat-tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.
Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis
Gayo. Mereka datang dari desa-desa yang terdapat di Kabupaten Gayo
Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan
sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas
pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen
dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan
pada bab berikutnya. Selain etnis Gayo, ada juga etnis lain yang menghuni

20 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Grafik 2.2 Jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang melek huruf di Desa Tetingi tahun 2011.
(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Desa Tetingi, seperti etnis Alas yang berasal dari Kabupaten Aceh Teng­
gara dan etnis Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Etnis Alas datang ke
Desa Tetingi karena adanya perkawinan dengan masyarakat setempat,
sedangkan etnis Sunda datang ke Desa Tetingi karena sengaja merantau
ke Gayo Lues. Berdasarkan pengamatan kami dan pernyataan masyarakat
setempat, hanya ada dua orang yang berasal dari etnis Sunda tersebut.

2.4 Sistem Mata Pencarian


Berdasarkan data di poskesdes tahun 2011, 99% masyarakat Desa
Tetingi bekerja sebagai petani. Tanaman yang ditanam kebanyakan tanam­
an palawija, yang merupakan tanaman berusia pendek, seperti padi,
jagung, bawang merah, cabai, dan sebagainya. Selain tanaman berusia
pendek, ada juga masyarakat yang menanam avokad dan tembakau, tetapi
tidak banyak masyarakat yang mau menanam jenis tanaman tersebut.
Menurut mereka, seperti yang diungkapkan oleh Empun (Kakek) Ar, Aman
Bd, Bang Su, dan Bang Al, jenis tanaman keras kurang cocok ditanam di
area perkebunan desa Tetingi, sudah dicoba beberapa kali tetapi hasilnya
tidak seperti yang diharapkan.

2.4.1 Pertanian
Berbagai jenis tanaman ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi dalam
pertanian mereka. Jenis tanaman tersebut dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu tanaman pangan dan tanaman non-pangan. Tanaman pangan
adalah tanaman yang dapat dimakan oleh masyarakat sebagai pangan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 21
mereka, seperti padi, jagung, bawang merah, kacang panjang, kacang
tanah, dan cabai. Sementara itu, tanaman non-pangan adalah tanaman
yang tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pangan mereka,
seperti tembakau dan serai wangi.
Sebagian tanaman pangan, seperti padi, jagung, bawang merah,
kacang panjang, kacang tanah, dan cabai dikonsumsi dan disimpan untuk
kebutuhan keluarga, dan sebagian lagi dijual ke peukan dan pajak pagi.
Peukan adalah pasar mingguan yang diadakan pada hari Sabtu di Desa
Cinta Maju, sedangkan pajak pagi adalah pasar yang diadakan setiap hari
di Blang Kejeren (ibukota Kabupaten Gayo Lues).
Hasil tanaman pangan tersebut biasanya dijual oleh ibu-ibu. Apabila
ada hasil tanaman pangan, ibu-ibu berangkat ke puekan atau pajak pagi
pada pukul 06.00 pagi hari sampai siang hari. Setelah berjualan, mereka
kembali ke rumah sambil membawa bahan makanan lain yang dapat di­
konsumsi, seperti ikan, daging, ayam, telur, dan buah-buahan. Bahan
makanan tersebut dibeli dari hasil penjualan tanaman pangan. Selain
membeli bahan makanan, uang hasil penjualan sebagian juga digunakan
untuk membeli kebutuhan rumah tangga lainnya, dan sebagian lain di­
tabung untuk biaya hidup lainnya serta untuk memenuhi kebutuhan
sekolah anak-anak. Mereka biasanya menginvestasikan hasil kebun ke
dalam bentuk lain, seperti emas atau sapi.
“... kalau di sini kebanyakan kerja kayak gitu ya kan, uang hasil
kebun. Itulah kalo udah dapat hasil kebunnya, sebagian kalo
ada beras, ada dia nanam padi, itu kemungkinan disimpan
ataupun dibelikannya benda atau emas, kayak sapi, supaya
disimpan, apabila keperluan dijual …,” jelas Aman Mi.

Selain dijual, hasil tanaman pangan tersebut ada yang disimpan un­
tuk kebutuhan keluarga, apalagi hasil tanaman yang bisa disimpan dalam
jangka waktu lama, seperti padi. Selain disimpan, hasil tanaman pangan
tersebut juga ada yang dikeringkan untuk dijadikan bibit agar bisa ditanam
lagi, seperti bawang merah, kacang panjang, cabai, dan kacang tanah.
Berbeda dengan tanaman pangan, tanaman non-pangan ditanam
un­tuk dijual, seperti serai wangi dan tembakau. Serai wangi adalah salah
satu tanaman yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi. Setelah ber­
usia 6 bulan dan menua, daun serai wangi tersebut dipotong dengan
menggunakan sabit. Orang yang memotong serai wangi tersebut adalah

22 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Gambar 2.6 Hasil perkebunan yang siap dipasarkan.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

pemilik dan petani upahan. Petani upahan diberi upah per hari sebesar
Rp40.000.00. Setelah dipotong, daun serai tersebut dibiarkan satu
atau dua hari untuk menghilangkan air embun yang menempel di daun
serai. Lama waktu untuk menghilangkan air embun tersebut tergantung
pada panas matahari. Air embun yang menempel di daun serai harus
dihilangkan. Jika daun serai masih dalam keadaan basah, minyak yang
dihasilkan hanya sedikit.
Setelah daun-daun serai tersebut kering dari tetesan air embun,
selanjutnya dikukus. Untuk itu, para petani serai harus menyiapkan banyak
kayu bakar untuk mengukus serai. Setelah dua jam dikukus, minyak serai
wangi tersebut akan keluar dari pipa yang mengalir dari “pucuk” drum
ke wadah yang telah disiapkan di ujung pipa. Dua drum serai yang di­
kukus dapat menghasilkan satu kilogram minyak serai wangi. Minyak
tersebut dijual ke pengepul dengan harga sekitar Rp150.000,00 sampai
Rp160.000,00 per kilogram. Jika seorang petani memiliki lahan pertanian
serai sekitar dua hektar, minyak yang dihasilkan dapat mencapai 40
kilogram atau senilai sekitar Rp6.000.000,00. Namun, ketika ditanyakan
mengenai kegunaan minyak serai, para petani tersebut tidak tahu. Hal
yang terpenting bagi mereka adalah menghasilkan minyak serai lalu dijual
kepada pengepul minyak serai dan mendapatkan uang.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 23
Selai serai, tanaman non-pangan lain yang ditanam oleh masyarakat
Desa Tetingi adalah tembakau. Setelah menua dan menguning, daun-
daun tembakau tersebut dipetik lalu digulung, beberapa helai daun tem-
bakau digulung menjadi satu. Setelah digulung, daun tembakau dijepit
pada jangka. Jangka adalah alat penjepit daun tembakau yang terbuat
dari bambu. Jangka tersebut sengaja dibuat oleh petani tembakau agar
mudah memotong gulungan daun tembakau. Setelah dijepit dengan
jangka, gulungan tembakau tersebut lalu dipotong dengan menggunakan
parang yang tajam. Namun, menurut Aman So, tidak semua petani tem-
bakau pandai memotong daun tembakau, termasuk dirinya. Menurutnya,
memotong daun tembakau membutuhkan keahlian.
Setelah daun tembakau dipotong halus, selanjutnya dijemur di ba­
wah sinar matahari selama kurang lebih dua atau tiga hari, tergantung
pa­da sinar matahari. Harga tembakau pada saat ini (bulan Juni 2012)
sekitar Rp20.000,00 per kilogram. Menurut Aman So, harga tersebut
termasuk rendah karena harga tembakau pernah mencapai Rp50.000,00
per kilogram. Satu kali panen, petani tembakau bisa menghasilkan sekitar
500 kilogram tembakau, bahkan bisa sampai berton-ton, tergantung
pada luasnya kebun tembakau. Setelah dijemur, tembakau tersebut dijual
kepada pengepul tembakau atau dijual sendiri ke pasar. Bagi perokok
rokokulung, tembakau tersebut dapat dikonsumsi bersama daun nipah.
Rokokulung adalah rokok daun nipah yang di dalamnya terdapat tembakau
yang digulung sendiri oleh si perokok.
Selain jenis tanaman tersebut di atas, ada juga buah-buahan yang
ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi, seperti avokad dan terung belanda.
Buah-buahan tersebut ada yang dikonsumsi oleh keluarga dan ada pula
yang dijual ke pasar atau pengepul buah-buahan.

2.4.2 Peternakan
Selain pertanian, masyarakat Desa Tetingi juga memiliki ternak, se­
perti ikan air tawar, sapi, ayam, dan bebek. Ternak tersebut dibeli dari hasil
penjualan tanaman pangan dan non-pangan. Hewan ternak dirawat oleh
mereka sendiri, seperti ikan air tawar di dalam kolam ikan. Di Desa Tetingi
ada banyak kolam ikan yang terbentang luas di sekitar area pemukiman
penduduk. Ikan tersebut ada yang dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemilik
kolam dan ada pula yang dijual ke pasar atau pengepul ikan.
Selain ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara sapi.
Sapi biasanya dimasukkan di kandang di belakang rumah pada malam

24 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
hari. Namun, pada pagi hari dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 18.00 sore
hari, sapi-sapi tersebut diikat di tengah padang rumput liar yang menjadi
santapannya. Sapi tersebut sengaja dibeli pada saat penjualan hasil
ladang sebagai tabungan masa depan dan persiapan jika ada keperluan
yang mendesak.
Selain sapi dan ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara
ayam dan bebek di dalam kandang di belakang atau depan rumah mereka.
Ayam dan bebek tersebut dipelihara untuk dikonsumsi, pada saat ayam
dan bebek tersebut dianggap sudah tua atau jika ada acara keluarga atau
kegiatan masyarakat, seperti Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, dan sebagainya.

2.4.3 Pembuat Parang


Selain pertanian dan peternakan, ada juga masyarakat Desa Tetingi
yang mempunyai mata pencarian lain, seperti membuat parang, pisau,
dan cangkul. Parang, pisau, dan cangkul tersebut dibuat di “bengkel” yang
terletak di dekat rumah mereka. Setelah selesai dibuat, parang, pisau, dan
cangkul tersebut lalu dijual ke pasar. Kadang kala ada juga konsumen yang
memesan parang, pisau, dan cangkul tersebut langsung kepada pem­
buatnya.

2.4.4 Pembagian Peran dalam Mata Pencaharian


Dalam sistem mata pencarian, terutama dalam pertanian, ada pem­
bagian peran antara perempuan dan laki-laki, seperti dalam pertanian padi.
Dalam pertanian padi, seorang perempuan biasanya bertugas menanam
dan memotong padi, sedangkan para laki-laki bertugas membajak sawah
dan mengangkat padi yang sudah dipotong ke tempat penggilingan padi.
Jarang ditemukan laki-laki, bahkan bisa dikatakan tidak pernah, me­
nanam atau memotong padi karena pekerjaan tersebut dianggap pe­
ker­jaan perempuan sehingga para laki-laki merasa malu dan tidak mau
melakukannya. Oleh sebab itu, pada saat menanam atau memanen padi,
hanya perempuan saja yang bisa dijumpai di tengah hamparan sawah.
Para petani di Desa Tetingi berangkat ke sawah, kebun, atau ladang
setiap hari, kecuali ada acara sosial, seperti perkawinan dan acara ke­
agamaan. Namun, ada juga petani yang meliburkan diri dari pekerjaan
pertanian pada hari Jumat. Sebelum berangkat menuju sawah, kebun, atau
ladang, para perempuan memasak terlebih dulu untuk bekal bagi yang
berangkat ke sawah dan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan di rumah.
Menjelang sore hari, para perempuan tersebut kembali ke rumah dengan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 25
membawa hasil ladang, seperti cabai, kacang panjang, dan sebagainya.
Selain membawa hasil ladang, para perempuan juga membawa kayu bakar
yang digunakan untuk memasak. Mayoritas masyarakat Desa Tetingi masih
menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Pada saat
tiba di rumah, dapur adalah ruang aktivitas mereka untuk memasak bagi
anggota keluarga.
Masyarakat Desa Tetingi memiliki sistem kerja sama atau gotong
royong dalam pekerjaan pertanian. Mereka menyebutnya dengan istilah
pang lo. Geuchik dan Aman MID memberikan penjelasan yang tidak jauh
berbeda mengenai pang lo tersebut. Menurut mereka, pang lo adalah
sebuah bentuk kerja sama dalam melaksanakan pekerjaan di sawah atau
di kebun, yang dilakukan secara bergantian. Misalnya, pada suatu hari kel-
uarga A membantu keluarga B memanen padi maka pada hari lain keluarga
B akan membantu keluarga A, jika keluarga A membutuhkan orang untuk
menyelesaikan pekerjaan di sawah atau di kebun. Namun, berbeda halnya
jika orang yang membantu tidak mempunyai sawah atau kebun. Misalnya,
Ibu A tidak mempunyai sawah, tetapi dia membantu Ibu B memanen padi.
Dalam hal ini Ibu A akan mendapat upah dari Ibu B atau mendapat pem-
bagian hasil panen sebagaimana yang telah disepakati bersama.

2.5 Agama dan Sistem Kepercayaan


Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat Desa Tetingi, seratus
persen masyarakat Desa Tetingi beragama Islam. Terdapat masjid dan
meunasah sebagai tempat ibadah masyarakat Desa Tetingi. Namun ada
perbedaan penggunaan masjid dan meunasah. Masjid digunakan untuk
shalat Jumat dan shlat Ied, sedangkan meunasah digunakan untuk shalat
Magrib dan Isya, pengajian, dan acara keagamaan lain, seperti Isra’ Mi’raj
dan sebagainya. Setelah usai shalat Magrib, meunasah digunakan untuk
pengajian anak-anak yang dibimbing oleh Aman Ti, yang juga berperan
sebagai kepala dusun di Desa Tetingi. Aman Ti membimbing dan mengajar
mengaji sekitar 20 orang anak seorang diri. Oleh sebab itu, anak-anak
yang sudah mahir mengaji dan membaca Al Qur’an ikut membantu Aman
Ti membimbing anak-anak yang baru belajar mengaji dan membaca Iqra’.
Selain digunakan untuk ibadah shalat Magrib dan pengajian anak-
anak, meunasah juga digunakan untuk kegiatan ibadah lainnya, seperti
Isra’ Mi’raj. Menjelang Isra’ Mi’raj, masyarakat setempat memasak ber­
bagai jenis makanan yang akan disantap pada hari Isra’ Mi’raj. Makanan
yang dimasak berbagai macam, mulai dari makanan ringan seperti

26 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
lemang2, lepat,3 dan sebagainya sampai lauk-pauk, seperti gulai ayam dan
sebagainya.
Pada hari pelaksanaan perayaan Isra’ Mi’raj, masyarakat berkumpul
di meunasah. Menurut masyarakat setempat, meunasah dijadikan tem­
pat pelaksanaan acara Isra’ Mi’raj supaya semua masyarakat, baik tua
maupun muda, baik laki-laki maupun perempuan, bisa datang dalam
acara tersebut, terutama perempuan yang sedang haid pun bisa datang
ke muenasah untuk mengikuti acara Isra’ Mi’raj. Sementara itu, jika
dilaksanakan di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk
ke dalam masjid karena dikhawatirkan dapat mengotori masjid.
Acara Isra’ Mi’raj dimulai pada pukul 09.00 pagi hari. Acara diawali
dengan sambutan dari tokoh agama. Kemudian acara dilanjutkan dengan
ceramah Isra’ dan Mi’raj oleh seorang santri dari pesantren yang terdapat
di Desa Cinta Maju, yang juga merupakan warga Desa Tetingi. Menurut
salah seorang tokoh masyarakat setempat, hal ini dimaksudkan agar anak-
anak berani dan mampu berdiri di depan forum. Usai ceramah, acara
selanjutnya adalah istirahat dengan minum dan makan makanan ringan
yang telah disiapkan, seperti lemang, lepat, buah-buahan, dan kue.
Masing-masing keluarga membawa makanan dan minuman dari rumah
masing-masing lalu dihidangkan kepada anggota keluarga yang berada di
meunasah. Ada juga beberapa keluarga yang saling bertukar makanan dan
minuman. Usai makan bersama, acara selanjutnya adalah ceramah yang
disampaikan oleh seorang penceramah yang sengaja diundang ke Desa
Tetingi. Ceramah yang disampaikan menggunakan bahasa Gayo sehingga
masyarakat mudah memahaminya. Setelah ceramah dari penceramah
tersebut usai, acara selanjutnya adalah makan nasi bersama dengan lauk-
pauk yang telah disiapkan oleh keluarga masing-masing. Acara makan
bersama tersebut juga dilakukan di muenasah.
Meskipun mayoritas masyarakat Desa Tetingi beragama Islam, namun
kepercayaan kepada hal-hal yang gaib masih ada. Hal ini terlihat dari pe­
nanganan masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat, misalnya
apabila ada seorang bayi menangis terus-menerus tanpa berhenti, di­

2
Lemang adalah makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari beras ketan. Beras ketan tersebut
dimasukkan ke dalam bambu yang di dalamnya sudah ada daun pisang sebagai pembungkusnya.
Bambu yang sudah diisi ketan dibakar dengan menggunakan api dari kayu bakar.
3
Lepat adalah nama makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari tepung beras. Tepung beras
tersebut dibentuk dan diisi parutan kelapa yang telah dicampur dengan gula merah. Setelah itu,
tepung beras tersebut dibungkus dengan menggunakan daun pisang, kemudian dikukus.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 27
percaya bahwa hal tersebut disebabkan oleh pengaruh hal gaib, seperti
blis (setan). Hal ini seperti yang dialami dan diceritakan oleh seorang
warga setempat yang berperan sebagai tenaga kesehatan berikut ini.
“Suatu ketika, anaknya selalu menangis pada saat menjelang
magrib hingga larut malam. Ia menangis sambil melihat ke
atas. Melihat kejadian tersebut, lalu bidan kampung pun da­
tang dan memberikan benang pancorana yang diikat ke ping­
gang anaknya. Sebelum diikat ke pinggang anaknya, benang
pancarona terlebih dulu didoakan oleh bidan kampung. Menurut
bidan kampung, ada jin yang mengganggu anaknya sehingga
ia selalu menangis pada saat menjelang magrib hingga larut
malam. ‘Memang katanya di sini (poskesdes) dulu angker se­
belum dibangun,’ cerita bidan desa. Setelah diberi benang pan­
corana tersebut, anaknya pun berhenti menangis. Hal ini tentu
di luar dugaan dan kepercayaan bidan desa. Menurut bidan
kampung, benang yang diikat di pinggang anaknya tidak boleh
dilepas hingga anaknya berumur dua tahun. Benang tersebut
dirancang dengan pelonggar dan pengencang tali sehingga
bisa menyesuaikan bentuk tubuh si anak.”

Sistem kepercayaan kepada hal-hal yang gaib juga terlihat pada


peletakan botol yang berisi air di atas pintu masuk rumah atau digantungkan
di dinding rumah. Menurut masyarakat setempat, keberadaan botol di
dalam rumah tersebut dapat membawa rasa aman, sehat, selamat, dan
dihindarkan dari masalah rumah tangga. Namun, tidak semua rumah di
Desa Tetingi masih terdapat botol air tersebut karena sudah hilang atau
dibuang karena airnya sudah keruh dan ada ulatnya di dalamnya. Aman
Mi juga mengutarakan bahwa botol tersebut dimaksudkan agar para
penggunanya mendapatkan rasa tenang, sehat, dan tidak masuk setan.
Pandangan lain juga diutarakan oleh Bang Hs, bahwa botol tersebut
dijadikan jimat yang berguna untuk memberi semangat, rasa aman, dan
tidak ada rasa takut untuk tinggal di rumah tersebut.

2.6 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial

2.6.1 Sistem Pemerintahan Desa Tetingi


Desa Tetingi dipimpin oleh seorang geuchik (kepala desa). Guechik
dipilih oleh masyarakat secara langsung setiap lima tahun sekali. Geuchik

28 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
mempunyai peran penting dalam menyelesaikan urusan desa, baik yang
bersifat administratif maupun non-administratif, seperti menyelesaikan
masalah masyarakat yang berkaitan dengan pembangunan dan pene­
rapan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam men-
jalankan tugasnya sebagai kepala desa, geuchik dibantu oleh seorang se­
kretaris desa, kepala dusun, imam, kepala urusan pembangunan, kepala
urusan pe­merintah, kepala urusan umum, dan tokoh-tokoh masyarakat
se­tempat.
Dasar pengorganisasian desa berpedoman pada Qanun nomor 9
tahun 2004 tentang Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Gayo Lues.
Menurut geuchik, sekretaris desa, dan beberapa pegawai kantordi keca­
matan, struktur pemerintahan desa yang berjalan sekarang ini adalah
seperti skema berikut ini.

BPK Desa Imam


Geuchik
Tetingi
Desa Tetingi
Sekdes

Kadus Arul Kadus Tamak


Kaur Kaur Kaur
Sirep Nunang
Pembangunan Umum Pemerintah
n
Ormas Pemuda

Masyarakat
Bagan 2.1 Sistem pemerintahan Desa Tetingi.

Pemerintahan desa yang diterbitkan SK-nya oleh Bupati adalah


kepala desa, sekdes, imam desa, dan BPK (Badan Pengawas Kampung),
sedangkan yang lain ditetapkan oleh pimpinan kampung melalui kepala
desa. Sementara itu, di atas geuchik ada seorang mukim yang dipilih oleh
geuchik-geuchik yang akan berada dalam mukim tersebut. Mukim berada
pada level kecamatan. Dalam Kecamatan Blang Pegayon, terdapat dua
orang mukim. Satu mukim membawahi enam desa. Mukim dibantu oleh
sekretaris dan bendahara mukim. Peran mukim adalah menyelesaikan
masalah antardesa dan membantu camat dalam pembangunan desa.
Untuk itu, segala aktivitas mukim dilakukan di kantor kecamatan.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 29
Menurut beberapa tokoh masyarakat setempat, walaupun struktur
desa telah ditetapkan dengan Qanun dan Surat Keputusan Bupati, tetapi
budaya kepemimpinan desa masih tetap menggunakan sistem dalam
budaya Gayo yang biasa disebut jema opat. Jema opat pada masa sekarang
sudah disesuaikan dengan struktur baru, seperti reje disamakan dengan
geuchik, pegawe disamakan dengan sekdes, kaur, dan kadus, orang tue
disamakan dengan imam dan BPK, dan saudere disamakan dengan cerdik
pandai dan tokoh masyarakat.
Pendapat ini dipertegas juga oleh Pak Am yang merupakan salah
seorang pegawai BPS Kabupaten Gayo Lues, yang juga menulis tentang
sejarah Gayo Lues dalam skripsinya. Beliau menambahkan bahwa gelar
pejabat disebut kejuron. Istilah kejuron berbeda dalam setiap masyarakat.
Dalam masyarakat Gayo Lues dinamakan kejuron pejabah, dalam
masyarakat Takengon (Aceh Tengah) disebut kejuron sibanyak linge, dalam
masyarakat Lokop disebut kejuron nabok, dan dalam masyarakat Kutacane
(Aceh Tenggara) disebut kejuron nampak. Pak Am juga menjelaskan
tentang semboyan jema opat yang mempunyai makna sebagai berikut.

1. Saudere
“Saudere pong mupakat, lepas berule taring beraing, salah ber­
tegak benar berpapah.” Artinya, saudara merupakan tempat bermu­
syawarah, tempat meminta, dan saling membantu.

2. Urang tue
“Urang tue musidik sasat.” Artinya, orang tua akan menganggap anak
sendiri apabila menemukan ada anak yang salah. Untuk itu, mereka
akan menyelidiki dan memberi nasihat, kemudian dikembalikan pada
orang tuanya.

3. Pegawe
“Pegawe mu perlu sunet.” Artinya, orang yang mengetahui hukum
adat, pemerintahan, haram, halal, dan lain-lain.

4. Reje
Fungsi reje adalah mengawasi, berlaku adil, kasih, benar, dan suci.

30 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
2.6.2 Kelompok Sosial
Menurut informasi dari masyarakat, tidak ada kelompok sosial dalam
masyarakat Desa Tetingi, seperti arisan, PKK, kelompok pengajian, atau
kelompok-kelompok sosial lainnya. Menurut mereka, hanya ada kelompok
pengajian ibu-ibu yang diadakan setiap malam Jumat, tetapi kelompok
tersebut sudah tidak aktif lagi karena tidak ada yang memeloporinya.
Sementara itu, kelompok sosial pemuda hanya ada jika ada kegiatan Tari
Saman atau Tari Bines yang akan dipentaskan di Desa Tetingi, di desa lain,
atau di tempat lain. Jika ada kegiatan Tari Saman dan Tari Bines, para
pemuda tersebut berkumpul untuk latihan bersama dan menyiapkan
segala perlengkapan yang dibutuhkan.

2.6.3 Organisasi Sosial (Sistem Kekerabatan)


Dalam masyarakat Gayo terdapat beberapa terminologi kekerabatan
yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah kekerabatan
tersebut menunjukkan peran dan status sosial seseorang. Keluarga inti
(nuclear family) yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak mempunyai pang­
gilan tersendiri dalam keluarga. Misalnya, seorang bapak dipanggil apak
oleh anaknya, sedangkan seorang ibu dipanggil amak oleh anaknya. Anak
laki-laki akan dipanggil win oleh orang yang lebih tua, sedangkan anak
perempuan akan dipanggil etek oleh orang yang lebih tua. Seorang adik
akan memanggil aka untuk kakak perempuannya dan abang untuk kakak
laki-lakinya.
Panggilan win untuk anak laki-laki dan etek untuk anak perempuan
akan berubah jika sudah menikah. Apabila sudah menikah dan belum
mempunyai anak, panggilan etek akan berubah menjadi inen mayak dan
win menjadi aman mayak. Panggilan inen mayak dan aman mayak akan
berubah lagi jika mereka sudah mempunyai anak. Nama anak pertama
akan mengikuti nama panggilan mereka, misalnya nama anak pertama
mereka adalah Dewi maka inen mayak akan dipanggil menjadi Inen Dewi
dan aman mayak menjadi Aman Dewi. Jadi, melalui panggilan tersebut
dapat diketahui pasangan suami istri yang belum mempunyai anak dan
siapa nama anak pertama mereka.
Panggilan Inen Dewi dan Aman Dewi akan berubah lagi ketika anak­
nya menikah dan mempunyai seorang anak. Misalnya, nama anak Dewi
adalah Sultan. Sultan adalah cucu pertama bagi Inen Dewi dan Aman
Dewi. Maka itu, Inen Dewi dan Aman Dewi akan dipanggil Empun Sultan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 31
oleh masyarakat setempat, yang berarti kakek atau nenek Sultan. Namun,
panggilan Inen Mayak, Aman Mayak, Inen Dewi, Aman Dewi, atau Empun
Sultan hanya boleh dilakukan oleh orang yang lebih tua daripada mereka.
Apabila ada orang yang lebih muda memanggil dengan istilah tersebut
maka dianggap tidak sopan oleh masyarakat setempat. Namun, panggilan
tersebut sering digunakan dalam penyebutan secara tidak langsung (bu­
kan panggilan) oleh masyarakat setempat, meskipun usianya lebih muda.
Berdasarkan istilah tersebut dapat diketahui warga masyarakat yang sudah
mempunyai anak atau cucu dan yang belum mempunyai anak atau cucu.
Selain panggilan dalam keluarga inti (nuclear family), juga ada pang­
gilan dalam keluarga luas (extended family) yang terdiri atas adik dan kakak
bapak dan ibu. Adik perempuan ibu dipanggil yu dan suami yu dipangil
pakcik, sedangkan adik laki-laki ibu dipanggil pun dan istri pun dipanggil
inepun. Kakak perempuan ibu dipanggil we’ dan suami we’ dipanggil we’,
sedangkan kakak laki-laki ibu dipanggil pun dan istri pun dipanggil inepun.
Adik perempuan bapak dipanggil ebik dan suami ebik dipanggil kail,
sedangkan adik laki-laki bapak dipanggil ujang dan istri ujang dipanggil
makcik. Kakak perempuan bapak dipanggil ebik dan suami ebik dipanggil
kail. Kakak laki-laki bapak dipanggil we’ dan istri we’ dipanggil we’.
Selain terminologi panggilan dalam hubungan kekerabatan, juga
ada terminologi status dalam hubungan kekerabatan, misalnya hubung­
an kakak-adik yang mempunyai jenis kelamin yang sama disebut se­
rinen, sedangkan jika berbeda jenis kelamin disebut impal. Serinen juga
merupakan istilah untuk menyebutkan hubungan sepupu yang mempunyai
jenis kelamin yang sama, sedangkan hubungan jenis kelamin yang berbeda
disebut dengan.
Dalam sistem perkawinan, anak dari hubungan impal boleh menikah.
Perkawinan tersebut disebut perkawinan impal. Sebagai contoh, Ardi
mempunyai seorang adik perempuan bernama Dewi. Hubungan Ardi
dan Dewi tersebut disebut impal. Setelah dewasa, Ardi menikah dengan
pasangannya dan Dewi pun menikah dengan pasangannya. Setelah me­
nikah, Ardi dan istrinya mempunyai anak laki-laki, dan Dewi dan suaminya
mempunyai anak perempuan. Hubungan anak Dewi dan anak Ardi disebut
dengan. Anak Dewi dan Ardi tersebut boleh menikah, disebut perkawinan
impal. Untuk lebih lanjut, sistem perkawinan akan dibahas pada bab
selanjutnya.

32 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
serinen impal serinen

serinen dengan serinen

tidakboleh

Bagan 2.2 Pohon kekerabatan dalam hubungan menikah


keluarga.

Keterangan:
: Laki-laki : Perempuan

2.7 Bahasa Sebagai Alat Komunikasi


Masyarakat Desa Tetingi menggunakan bahasa Gayo Lues dalam
percakapan sehari-hari. Penggunaan bahasa Indonesia hanya bisa dilakukan
oleh anak-anak, remaja, dan sebagian orang dewasa, sedangkan sebagian
besar mereka yang sudah lanjut usia tidak bisa berbahasa Indonesia.
Menurut Melalatoa (1982:53), bahasa orang Gayo dapat dikelompokkan
menjadi dua dialek. Dialek pertama adalah dialek Gayo Lut, yang terbagi
pula ke dalam paling sedikit tiga sub-dialek, yaitu sub-dialek Bukit, Cik,
dan Deret. Sementara itu, dialek yang kedua adalah dialek Gayo Lues yang
terbagi pula ke dalam sub-dialek Serbejadi, Tampur, dan Lukup (Tamiang)
(lihat Hazeu, 1907:vii, Banta, 1977:1-2).
Orang Gayo Lut yang mayoritas menghuni wilayah Aceh Tengah sering
kali disebut orang Takengon oleh masyarakat Gayo Lues. Takengon adalah
nama ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Menurut masyarakat setempat,
bahasa Gayo Lues pada umumnya hampir sama dengan bahasa Gayo
yang berada di daerah lain, seperti di Aceh Tengah (Takengon). Namun,
beberapa kosakata mempunyai dialek dan istilah yang berbeda, sebagai
contoh seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 berikut ini.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 33
Tabel 2.1 Beberapa Perbedaan Istilah Bahasa Gayo Lues
dan Gayo Takengon

Gayo Lues Gayo Takengon Arti


Gaib Gib Jauh
Bur Baur Bukit
Sejuk Bengi Dingin
Etek Ipak Anak perempuan
Apak Ama Bapak

2.8 Kesenian: Tari Saman, Tari Bines, dan Didong


Kesenian Gayo Lues yang terkenal adalah Tari Saman dan Tari Bines.
Tari Saman telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO tahun 2011
sebagai warisan budaya dunia bukan benda yang wajib dilestarikan.4
Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, asal usul dan sejarah tari
Saman dan tari Bines tidak diketahui secara jelas. Sejarah tari Saman dan
tari Bines hanya diterima ceritanya saja secara turun-temurun. Menurut
cerita tersebut, kata Saman berasal dari bahasa Arab yang artinya delapan,
tetapi formasi tarinya ganjil.
Setiap penari di dalam tari Saman mempunyai istilah sendiri. Penari
yang di tengah disebut penangkat, yang diapit oleh dua orang pengapit
dan dua orang penyepit, sedangkan dua orang penari yang berada di paling
ujung disebut penupang. Fungsi penari paling ujung adalah menahan
gerakan agar tidak jatuh, penangkat memberikan komando, dan pengapit
yang mengingatkan penangkat bila lupa syair atau gerakan.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, tari Saman
mempunyai tujuan untuk 1) syiar Islam, 2) media komunikasi pemerintah
dan masyarakat, 3) hiburan, 4) media komunikasi muda-mudi, dan 5)
pengikat tali persaudaraan antardesa sirinen sehingga menjadi sumap
sepangkalan. Lafal syairnya diawali dengan birsemilah, yang sebenarnya
berasal dari kata bismillah, yang berarti dengan menyebut nama Allah.
Menurut Pak Sa, salah seorang tetua di Desa Tetingi, tari Saman
dibawa oleh Syech Syaman yang datang ke tanah Gayo untuk mensyiarkan
agama Islam. Pernyataan ini sejalan dengan tulisan Tantawi Isma yang
menyebutkan Syech Syaman mengajarkan agama Islam sambil mengge­
rakkan tangan ke kiri, ke kanan dan ke atas, ke bawah atau sambil bertepuk

4
Sumber: http://www.bbc.co.uk diunduh pada tanggal 6 November 2012.

34 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
tangan dan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim. Oleh karena itu, tari
tersebut diberi nama Saman (Tantawi Isma, 2011). Sementara itu, sumber
yang lain mengatakan bahwa tari Saman sudah ada sejak abad ke-14 yang
kemudian oleh Syech Syaman dikembangkan untuk menyampaikan pesan
keagamaan (Dinas Pariwisata Kabupaten Gayo Lues, 2011).Tari Saman ini
dilakukan oleh laki-laki.
Selain tari Saman, ada juga tari lainnya yang disebut tari Bines, yang
dilakukan para kaum perempuan. Selain tari Saman dan tari Bines, ada juga
kesenian Gayo Lues lainnya yang disebut tari Didong, yang diatraksikan
pada waktu acara perayaan tertentu di Gayo Lues, seperti perkawinan,
sunatan, dan lainnya. Seniman didong melalui puisinya memberikan pe­
nerangan kepada masyarakat tentang sejarah daerah dan nasional, tentang
revolusi fisik, dan tentang Pancasila (Melalatoa, 1982:141). Didong juga
menyampaikan kritik-kritik terhadap penguasa, kepincangan di dalam
masyarakat, dan lain-lain, dan juga memberikan pandangan hidup (Kadir,
1971 a: 14-17; Gobal 1971 a, dsb dalam Melalatoa, 1982:141).
Masyarakat Desa Tetingi, terutama anak-anak dan kaum muda, sering
berlatih tari Saman dan Bines, apalagi jika ada kegiatan dalam masyarakat.
Tari Saman biasanya dilakukan oleh laki-laki dan ditampilkan dalam acara
adat atau dipentaskan untuk penyambutan tamu, sedangkan tari Bines,
yaitu tarian yang diperankan oleh perempuan berbentuk grup, satu grup
terdiri atas minimal sebelas orang, ditampilkan dalam acara adat dan
penyambutan tamu.

2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit dalam Kacamata Masya­


rakat Tetingi
Setiap masyarakat mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai
sehat dan sakit. Pemahaman tersebut kadang kala bertentangan dengan
pemahaman dalam dunia medis. Sebagai contoh, dalam dunia medis
seseorang yang menderita flu atau batuk dikatakan bahwa orang tersebut
sedang sakit. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat, seperti
pandangan Empun (kakek) Ar yang berpendapat bahwa sakit adalah ke­
tika dia tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan hanya bisa tidur di
rumah. Menurutnya, selama dia masih bisa melakukan aktivitas sehari-
hari, meskipun dalam keadaan flu atau batuk, dia menganggap bahwa
dirinya sehat atau tidak sakit. Pendapat lain seperti yang diungkapkan
oleh Aman Mi, sehat itu mencakup kesehatan jasmani dan rohani.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 35
“... orang dapat dikatakan sehat dia itu ya, bisa dia melakukan
segala aktivitas dengan lancar, terlihat segar, misal dia itu sakit,
entah flu ato batuk dia, tapi dia masih berangkat ke sawah atau
kerja walaupun jalan dia pelan-pelan, masih bisa itu dikatakan
sehat. Kalo dia di rumah tiduran, tambah sakit dia. Kalau dia itu
di rumah hanya tiduran tidak bisa bergerak, baru sakit dia ...,”
jelas Empun (Kakek) Ar, suami bidan kampung di Desa Tetingi.

“... dikatakan orang yang sehat, dia ga rasa sakit badannya, ga


sakit-sakit, kebutuhan sehari-hari cukup, termasuk orang sehat
itu.Kalo orang sakit walaupun dia banyak uang tapi hidup tidak
enak, badan sakit, itu masih tidak sehat. Orang yang dikatakan
sehat itu, sehat jasmani sehat rohani, ...” jelas Aman Mi, salah
seorang penduduk di Desa Tetingi.

“... tambah sakit gitu terus, lantaran apa, lantaran kalo orang
kayak gitu ya kan, kemungkinan pikirannya itu di rumah itu gak
cukup tambah parah penyakitnya. Kayak aku kalo aku sakit, kalo
udah tidur aku, itu dah parah. Kalo ga pergi lagi aku ke kebun,
itu dah parah.Tapi kalo bisa, bawa parang lagi, bawa cangkul
lagi, itu sedang saja.Tapi kalo orang yang sehat, dikatakan
orang yang sehat jasmani, rohani baru dikatakan orang sehat.
Walaupun banyak uang dia, kalo ga sehat jasmani atau rohani,
itu ga dikatakan sehat ...,” ungkap Aman Mi.

Perbedaan pandangan mengenai sehat dan sakit antara kacamata


medis dan kacamata masyarakat dapat dikategorikan dalam dua kategori,
yaitu sehat dan sakit yang dilihat dari faktor gejala dan sehat dan sakit
dilihat dari faktor penyebab. Bagi masyarakat, selama bisa melakukan
aktivitas sehari-hari meskipun dalam keadaan batuk dan flu, mereka
meng­anggap bahwa mereka sehat. Sementara itu, dalam kacamata medis
gangguan fisik seperti batuk dan flu dianggap sakit, meskipun penderita
masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Perbedaan dua kacamata tersebut juga terlihat pada faktor penye­
bab sakit. Jika dalam pandangan medis, sakit disebabkan oleh adanya
bakteri, virus, atau psikis yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi
sakit. Namun, hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat yang ber­
anggapan bahwa sakit bisa disebabkan oleh faktor lain. Faktor tersebut
kami kategorikan menjadi empat, yaitu (1) faktor psikologis, (2) faktor

36 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
pelanggaran terhadap norma atau aturan yang berlaku, (3) faktor ulah
alam gaib atau blis dalam istilah setempat, dan (4) faktor ulah manusia
yang sengaja membuat seseorang sakit, yang dikenal dengan istilah tube
dalam masyarakat setempat, yang artinya diguna-guna.
Faktor psikologis berhubungan dengan pemahaman mengenai bersih
dan kotor. Menurut beberapa warga masyarakat setempat, jika seseorang
merasa jijik atau kotor pada suatu keadaan makanan atau minuman, bisa
mendatangkan penyakit. Namun, jika dia merasa bahwa makanan dan
minuman tersebut bersih dan tidak mendatangkan penyakit, minuman
dan makanan tersebut tetap disantap meskipun dalam kacamata orang
lain, misalnya dalam kacamata medis, makanan dan minuman tersebut
sebenarnya dalam keadaaan kotor atau tidak steril. Pemahaman mengenai
penyebab penyakit inilah yang menyebabkan banyak masyarakat di Desa
Tetingi minum air mentah tanpa dimasak terlebih dulu.
“... kalo di sini orang minum, itu masalah kebersihan airnya,
kalo orang di sini orang kalo dia melihat sungai air itu, mau
dia minum itu. Kalau orang luar itu dianggap kotor dan bisa
menyebabkan datang penyakit. Sebab datangnya penyakit itu
karena kejijikan itu kalo jijik, apa pun kita makan sering datang
penyakit itu. Kalo di sungai itu ya kan, kalo orang jijik minumnya
kalo diminum, pasti sakit perut. Karena ga nerima di dalam itu,
tapi kalo ga jijik, dia walau bagaimanapun, pasti ga ada sakit
itu ...,” jelas Aman Mi.

Faktor yang kedua adalah faktor pelanggaran terhadap norma atau


aturan yang berlaku. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Gayo Lues ada
larangan tidak boleh keluar rumah pada pukul 12.00 siang hari atau pada
saat sinar mentari bersinar dengan teriknya. Menurut mereka, saat itu
merupakan saat blis atau setan sedang berkeliaran. Blis atau setan tersebut
dapat mengganggu manusia sehingga dapat menyebabkan sakit. Namun,
ada juga yang beranggapan bahwa aturan tidak boleh keluar rumah pada
pukul 12.00 karena pada saat itu matahari sedang bersinar tepat di atas
kepala sehingga dapat menyebabkan sakit kepala.
“... jangan keluar jam 12 siang. Nanti sakit. Banyak jin dan hantu
yang keluar ...,” jelas Empun (Nenek) Za memperingatkan salah
seorang tim peneliti yang pada saat itu ingin keluar rumah.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 37
Faktor yang ketiga adalah ulah alam gaib. Faktor ini mempunyai
persamaan dengan faktor yang kedua, yaitu sama-sama disebabkan oleh
ulah makhluk di alam gaib atau blis dalam istilah masyarakat setempat.
Namun, ada perbedaan dalam dua katergori ini. Pada faktor kedua suatu
penyakit disebabkan oleh pelanggaran suatu aturan yang dapat me­nye­
babkan datangnya setan, sedangkan dalam faktor ketiga seseorang sakit
karena adanya gangguan dari alam gaib tanpa melanggar suatu aturan
yang ada. Sebagai contoh adalah penyakit peneni’an yang diderita oleh
Empun (nenek) Za. Peneni’an dalam bahasa Gayo Lues diartikan ditusuk
oleh setan pada bagian punggung belakang hingga menembus bagian
dada.
Selain peneni’an ada juga penyakit yang disebabkan oleh kelamun
(pelangi). Menurut masyarakat setempat, jika ada kelamun yang menghiasi
langit dengan warna-warninya, berarti pada saat itu ada makhluk gaib
yang sedang minum di suatu tempat yang tidak dapat dilihat secara kasat
mata. Menurut mitos masyarakat setempat, makhluk gaib tersebut dapat
berbentuk apa saja, seperti ular atau makhluk lain. Jika makhluk gaib
tersebut sedang minum di suatu tempat dan ada seseorang yang berada di
dekatnya pada saat dia minum, orang tersebut dapat menderita penyakit
gatal pada tubuhnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (kakek) Za
pada cerita berikut ini.
Pada suatu malam, ketika usai makan malam bersama keluarga
Empun (kakek) Za, Empun (kakek) Za mengeluh sakit gatal-gatal pada
badannya.
“Ini badan saya gatal semua. Kenapa ya, Nak?” tanya Empun
(kakek) Za salah seorang peneliti.
“Gatalnya di bagian mana, Pak?” tanya peneliti kepada Empun
(kakek) Za.
“Rasanya gatal semua.Tadi saya sudah berobat ke Mentri
(mantri) di Cinta Maju, terus disuntik, dikasih obat dan salep,”
lanjut Empun (kakek) Za.

Lalu, Inen Za (putri pertama Empun Za) yang berada di sebelah


Empun (kakek) Za menimpali, “Kata orang sini itu kena kelamun,” jelas
Inen Za.
“Kelamun? Apa itu, Kak?” tanya peneliti heran.

38 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
“Itu yang kita lihat kemarin sore, yang ada warna merah hijau
di langit itu. Apa kata adik itu? Ngi …,” jelas Inen Za.

Peneliti itu pun mencoba mengingat kembali apa yang dilihatnya


kemarin sore bersama Inen Za, “Oh, pelangi,” tebak peneliti setelah ingat­
annya kembali pada peristiwa kemarin.
“Oh. Iya pelangi,” jelas Inen Za.

Kemudian Inen Za pun melanjutkan penjelasannya, “Kata orang sini


kalau ada kelamun, itu ada yang sedang minum, entah di air kolam, sungai.
Itu sejenis makhluk halus. Jin, tapi enggak tampak,” jelasnya.
Empun (kakek) Za pun ikut menambahkan penjelasan Inen Za,
“Kadang ia berbentuk ular, seperti buaya itu,” jelasnya.
“Kalau kita berada di dekat dia waktu dia minum, gatal-gatal
sudah badan kita,” tambah Inen Za.
“Tapi kita tidak tahu kalau kita sudah dekat dia itu. Biasanya
rumputnya itu berwarna merah. Kalau sudah kena itu, gatal
sekali. Ingin rasanya menggitar terus (menggaruk terus),” jelas
Empun (kakek)Za.
“Lama itu sembuhnya,” Inen Za ikut menambahi.

Kemudian suami Inen Za yang juga ikut dalam percakapan tersebut


juga ikut bersuara, “Obatnya pakai daun sirih yang disemburin ke badan,”
jelasnya.
Empun (kakek) Za pun ikut menambahi, “Itu pakai dukun. Pakai
kemenyan. Daun sirih dikunyah kayak nyirih itu. Terus disemburih ke
badan kita (orang yang sakit),” jelasnya.
“Pakai kemenyan untuk ngusir jinnya,” jelas Inen Za.

Kemudian suami Inen Za menimpali lagi, “Itu kena miang. Bapak kan
kerjanya di bawah pohon tembakau. Itu kan banyak miangnya. Kalau udah
kena miangnya itu gatal sekali,” jelasnya.
Selain tiga faktor seperti yang dijelaskan di atas, ada juga faktor
ulah manusia yang sengaja menyebabkan seseorang menjadi sakit. Hal
ini disebut tube oleh masyarakat setempat, yang artinya diguna-guna.
Tube dapat dilakukan oleh manusia melalui makanan atau minuman
yang disajikan khusus untuknya. Selain itu, tube juga dapat terjadi tanpa
media apa pun, yaitu hanya dengan mengingat wajah yang ingin disakiti.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 39
Penyakit yang disebabkan oleh tube ini seperti yang dialami oleh saudara
Kak S. Pada saat itu, saudara Kak S mempunyai penyakit pada kelaminnya.
Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, saudara Kak S dibawa ke rumah
sakit, tetapi tak kunjung sembuh. Menurut Kak S, pihak rumah sakit
menyatakan bahwa saudara Kak S terkena penyakit kampung dan harus
diobati dengan cara kampung. Akhirnya, saudara Kak S tersebut dibawa
ke pengobat tradisional untuk mendapatkan penyembuhan. Pada saat ini,
kondisi saudara Kak S sudah membaik meskipun secara psikologis masih
belum sembuh total seperti keadaan sebelum dia sakit.

2.10 Health Seeking Behaviour; Pengobatan Tradisional vs Medis. Me­


nurut Winkelman (2009:2):
… culture also affects behaviors that expose us to disease and
the reasons prompting us to seek care, how we describe our
symptoms, and our compliance with treatments ….

Dengan kata lain, budaya berpengaruh pada pencarian pengobatan


terhadap suatu penyakit dan bagaimana seseorang mendeskripsikan
penyakit tersebut. Pemahaman masyarakat mengenai penyebab sehat
dan sakit seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat mempengaruhi
perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Seperti yang
telah dijelaskan, sakit dipahami oleh masyarakat Tetingi karena disebabkan
oleh ilmu gaib atau magis. Hal ini berpengaruh pada perilaku pencarian
pengobatan yang terlihat pada pemilihan pengobatan tradisional yang
masih sering dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menyembuhkan
penyakit yang dialaminya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (nenek)
Za yang menderita penyakit peneni’an.
Penderita penyakit peneni’an mengalami rasa sakit pada bagian
punggung belakang hingga menembus dadanya. Pada saat itu, Empun
(nenek) Za mengalami rasa sakit pada punggung sebelah kirinya menembus
sampai dada kirinya. Menurutnya rasa sakit itu bagaikan ditusuk oleh
benda tajam. Peneni’an tersebut dalam masyarakat setempat dipahami
sebagai penyakit ditusuk setan. Untuk itu, pengobatan yang dilakukan
adalah dengan cara pengobatan tradisional untuk mengusir setannya.
Pada saat Empun (nenek) Za menderita penyakit peneni’an, kelu­
ar­ganya memanggil Aman Yu yang juga merupakan menantunya un­
tuk menyembuhkan penyakit peneni’an yang dideritanya. Aman Yu di­
kenal sebagai dukun kampung oleh masyarakat setempat, terutama

40 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
oleh masyarakat Desa Porang tempat Aman Yu berdomisili. Aman Yu
memberikan pengobatan peneni’an pada Empun (nenek) Za dengan
semburan sirih.
Pengobatan semburan sirih dilakukan karena penyakit peneni’an
yang diderita oleh Empun (nenek) Za dianggap disebabkan oleh setan.
Oleh sebab itu, pengobatan yang dilakukan pun melalui dukun kampung
dengan segala peralatannya yang dianggap mampu untuk mengusir
setan yang menyebabkan Empun (nenek) Za menjadi sakit. Sebelum
disemburkan kepada bagian yang sakit, daun sirih dan beberapa bahan-
bahan lainnya, seperti jih (batang ilalang), kacu (gambir) , tekur (kencur),
jerango, kapur sirih, pinang yang telah dibelah, dan bungli, didoakan
terlebih dulu oleh Aman Yu. Pada saat Aman Yu mendoakan daun sirih dan
bahan-bahan tersebut, sayup-sayup terdengar kalimat syahadat, tauhid,
dan beberapa kalimat lain yang sulit dipahami. Pada saat itu, Aman Yu
seolah-olah sedang berdialog dengan seseorang dan memintanya untuk
tidak mengangggu Empun (nenek) Za yang sedang sakit.
Setelah selesai didoakan, daun sirih dan bahan-bahan tersebut
dikunyah oleh Aman Yu sampai halus. Sambil terus mengunyah daun
sirih di mulutnya, Aman Yu mendekati Empun (nenek) Za yang berbaring
lemah di atas kasur. Aman Yu pun meminta Empun (nenek) Za untuk
membalikkan badannya sehingga posisi Empun (nenek) Za menjadi
tengkurap. Kemudian Aman Yu menyuruh Inen Yu (istrinya sekaligus anak
Empun (nenek) Za) untuk menyibakkan baju Empun (nenek) Za sampai
punggung belakangnya terlihat. Aman Yu pun mulai berkomat-kamit
membacakan doa sambil mengunyah sirih. Lalu, Aman Yu menulis huruf
Arab yang terdiri atas tiga huruf, yaitu Alif, Lam, dan Ha, pada punggung
Empun (nenek) Za. Setelah menulis huruf-huruf tersebut, Aman Yu mulai
menyemburkan sirih yang ada di mulutnya ke punggung Empun (nenek)
Za. Setelah disemburkan, lalu punggung Empun (nenek) Za ditutup dengan
kain agar tidak mengotori bajunya. Setelah disembur dengan sirih, Aman
Yu memberikan segelas air putih mentah yang sebelumnya didoakan oleh
Aman Yu.
Setelah pengobatan sembur sirih dilakukan, seorang peneliti ber­
tanya kepada Inen Yu mengapa Empun (nenek) Za tidak dibawa ke pus­
kesmas atau rumah sakit. Namun, Inen Yu, putri kedua Empun (nenek)
Za berkata, “Enggak bisa kata orang kontener.5 Ini penyakit kampung.”

5
Kontener adalah istilah dalam masyarakat Gayo Lues untuk menyebutkan rumah sakit.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 41
Akhirnya, Empun (nenek) Za diobati dengan cara tradisional, yaitu dengan
semburan sirih oleh dukun kampung yang juga menantu Empun (nenek) Za.
Keesokan hari, seorang peneliti menjenguk keadaan Empun (nenek) Za dan
dia tampak lebih sehat daripada hari sebelumnya dan sudah melakukan
aktivitas sehari-hari seperti membuat tikar dari daun pandan duri.

Gambar 2.7. Penyembuhan peneni’an dengan cara semburan sirih.


(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Selain Empun (nenek) Za, ada juga Empun (kakek) Ar yang mengalami
penyakit benjolan besar pada pantatnya yang mirip dengan bisul. Untuk
menyembuhkan penyakitnya tersebut, Empun (kakek) Ar berobat ke
dukun kampung karena dianggap merupakan penyakit kampung yang
disebabkan oleh blis atau setan. Menurutnya, penyakit yang demikian
tidak dapat disembuhkan oleh tenaga medis di pelayanan kesehatan.
“… bawa ke kontener, enggak cocok. Enggak sembuh-sembuh. Kan
gitu-gitu aja. Enggak tau sakitnya. Kalau di kontener kan cuma diinfus …,”
jelas Empun (Kakek) Ar.
Selain dengan semburan sirih, pengobatan tradisional Gayo juga ada
dengan cara mengunjungi makam orang yang dulu adalah seorang dukun
kampung. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar kepada
pasiennya yang meminta pengobatannya. Empun (nenek) Ar seorang
bidan kampung, dia mengajak pasiennya untuk melakukan pengobatan
di makam ibunya yang dulu juga merupakan seorang dukun kampung.
Berikut cerita Empun (nenek) Ar dengan pasiennya.

42 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Pada suatu hari, ada beberapa orang datang ke rumah Empun
(nenek) Ar, seorang bidan kampung. Mereka mau mengucapkan terima
kasih kepada Empun (nenek) Ar yang telah menyembuhkan anak mereka
hingga saat ini bisa berjalan. Sebelum berobat ke Empun (nenek) Ar,
anaknya belum bisa berjalan padahal usianya sudah menginjak 5 tahun.
Kemudian orang tuanya membawakannya ke Empun (nenek) Ar untuk
mendapatkan pengobatan. Setiba di rumah Empun (nenek) Ar, lalu Em­
pun (nenek) Ar memandikan anak tersebut di kuburan ibunya bidan
kampung yang juga dulu adalah seorang bidan kampung. Anak tersebut
dimandikan di kuburan ibunya dengan menggunakan jeruk purut. Selain
jeruk purut, ada juga kemenyan yang dibakar di sekitar kuburan tersebut.
Menurutnya, setelah dua kali anak tersebut dimandikan di kuburan dengan
menggunakan jeruk purut, anak tersebut sembuh dan bisa berjalan. Untuk
itu, orang tuanya datang ke rumah Empun (Nenek) Ar untuk mengucapkan
terima kasih kepada Empun (Nenek) Ar dengan memberikan uang sebesar
Rp300.000,00 agar kubur ibunya disemen dan uang Rp50.000,00 untuk
Empun (Nenek) Ar. Orang tua anak kecil tersebut sudah lama mengenal
Empun (Nenek) Ar sehingga mereka sudah tampak seperti keluarga. Dulu,
nenek anak tersebut juga berobat di ibu Empun (Nenek) Ar. Pada saat itu,
ibunya menginginkan seorang anak laki-laki. Setelah berobat kepada ibu
Empun (Nenek) Ar, ibunya berhasil mendapatkan anak laki-laki, dan anak
laki-laki tersebut adalah bapak si anak kecil tadi.
Selain dengan cara datang ke dukun kampung, pengobatan juga
dapat dilakukan dengan cara pengobatan mereka sendiri, yaitu melalui
tanaman yang ada di sekitar mereka. Tanaman yang bisa dijadikan obat
tersebut mereka ketahui dari nenek moyang mereka. Sebagai contoh, obat
batuk dalam masyarakat Gayo Lues salah satunya adalah daun ruwi, yaitu
daun berduri. Daun ruwi tersebut direbus dengan menggunakan garam.
Air rebusannya kemudian diminum sebagai obat batuk. Selain daun ruwi,
ada juga getah geloah geger yang digunakan sebagai obat sakit gigit dan
bibir pecah-pecah, dan masih banyak lagi tanaman yang biasa dijadikan
obat oleh masyarakat Desa Tetingi.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 43
44 Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
BAB III
PEREMPUAN GAYO,
DARI REMAJA SAMPAI DI BALIK BARA

3.1 Remaja Gayo Lues; Beberu dan Bebujang


Dalam masyarakat Gayo, seorang anak laki-laki yang sudah meng-
injak masa remaja disebut sudah bujang, dan anak perempuan disebut
beru. Sementara itu, para remaja laki-laki disebut bebujang dan para
remaja perempuan disebut beberu (Melalatoa, 1982:94). Seorang anak
laki-laki sudah bisa disebut bujang apabila dia sudah dikhitan dan ber­usia
sekitar 13 tahun, sedangkan anak perempuan sudah bisa disebut beru
apabila dia sudah mengalami menstruasi dan berusia sekitar 13 tahun.
Namun, istilah beru dan bujang ini digunakan untuk menyebut seorang
anak yang tidak sekolah dan belum menikah. Untuk itu, meskipun seorang
anak telah berusia 13 tahun dan sudah dikhitan untuk laki-laki dan sudah
mengalami menstruasi untuk perempuan tetapi dia masih sekolah, maka
dia tidak disebut bujang atau beru. Oleh sebab itu, jika ada seorang anak
berhenti sekolah, maka dia akan ditanya oleh masyarakat setempat “Hana
ti sekolah ko? Male jadi seberu ke? (Mengapa kamu tidak sekolah? Mau
jadi beru kampungkah kamu?).
“… seberu dan sebujang itu bisa dikatakan mulai umur 13 itu
saya bilang. Kalau enggak sekolah dia. Kalau sekolah, nggak
bilang orang seberu. Nah, itu anak pelajar…,” jelas Empun
(kakek) Mn, seorang tokoh masyarakat di Desa Tetingi.

Para beberu dan bebujang ini mempunyai kegiatan sendiri dalam


masyarakat, misalnya bebujang menari tari Saman, sedangkan beberu
menari tari Bines. Tarian tersebut ditarikan pada acara tertentu, misalnya
acara silaturahmi antarkampung. Tari Saman dan tari Bines memang


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 45
dikhususkan dan diutamakan untuk beberu dan bebujang. Oleh sebab itu,
apabila ada seberu atau sebujang tidak bisa mengikuti tari Saman atau tari
Bines pada suatu acara, dia akan didenda sesuai dengan jumlah yang telah
disepakati bersama. Namun karena jumlah beberu dan bebujang di Desa
Tetingi semakin sedikit, para pelajar yang sudah remaja pun diajak untuk
menari tari Saman dan tari Bines apabila penarinya kurang.
“… tapi kalau seperti adikmu tadi yang kuliah di Jogja, misalnya
dia pulang kemari, dia kan tinggal di desa ini. Itu dicatat orang
ini menjadi sebujang dia dalam buku saja. Kalau misalnya pigi
(pergi) ke daerah mana untuk tari saman, kalau bisa dia ikut,
ikutlah. Kalau nggak, nggak apa-apa. Kalau nggak sekolah itu,
kalau nggak ikut, didenda itu …,” jelas Empun (kakek) Mn.

3.11 Interaksi Sosial Remaja Gayo Lues.


Menurut masyarakat setempat, seorang laki-laki yang belum menikah
(perjaka) dilarang untuk berkunjung ke rumah seorang perempuan yang
masih gadis, meskipun hanya sekadar “bermain” atau bertandang, begitu
pula sebaliknya. Apabila ada seorang perjaka datang ke rumah seorang
gadis dengan maksud hanya untuk bertandang bukan untuk melamar, akan
menjadi “omongan” bagi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, orang tua si
gadis pun akan melarangnya. “Omongan” yang muncul dalam masyarakat
tersebut secara tidak langsung menjadi social control bagi masyarakat
setempat yang menjadi aturan tata-kelakuan (mores). Mores atau tata-
kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia
yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar atau tidak sadar,
oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya (Soekanto, 1990:221).
Aturan yang “melarang” seorang perjaka untuk datang ke rumah
seorang gadis menyebabkan seorang gadis di Desa Tetingi sering kali dilamar
oleh seorang perjaka yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Hal
ini seperti yang dialami oleh Tr, seorang gadis berusia 15 tahun dan pada
saat ini sedang duduk di bangku kelas 2 SMP. Menurut Tr, pada saat dia
duduk di bangku kelas 6 SD, dia pernah dilamar oleh seorang laki-laki. Laki-
laki tersebut langsung datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya.
Namun lamaran tersebut ditolak Tr karena masih ingin bersekolah.
Cerita yang sama juga dialami oleh Ay, seberu di Desa Tetingi berusia
17 tahun. Pada pertengahan Juni 2012, ada sebujang yang datang
melamarnya, padahal dia belum pernah bertemu sama sekali dengan
sebujang tersebut. Namun, Ay menolak lamaran sebujang dengan cara

46 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
yang halus agar sebujang tidak sakit hati. Untuk menolak sebujang
tersebut, Ay berkata bahwa dia belum siap menikah dan dia akan me­
nikah 3 tahun lagi. Menurut Ay, peristiwa lamaran pada pertengahan
Juni tersebut bukan peristiwa pertama baginya. Pada usianya yang ke-17
tahun, dia sudah tujuh kali didatangi oleh sebujang untuk melamarnya.
Lamaran pertama datang pada saat dia duduk di bangku kelas 2 SMP. Pada
saat itu, usianya 14 tahun. Menurut pengakuan Ay, sebenarnya alasannya
untuk menolak sebujang tersebut bukan karena dia ingin menikah 3 tahun
lagi, tetapi karena dia sudah mempunyai seorang kekasih. Dia sudah dua
bulan berpacaran (bebiak) dengan pacarnya. Selama dua bulan tersebut
komunikasi dengan pacarnya dilakukan melalui handphone.
Kehadiran handphone telah mempermudah remaja Desa Tetingi
untuk berkomunikasi dengan teman-temannya, termasuk dengan keka­
sihnya. Handphone tersebut ada yang dibelikan oleh orang tuanya, ada
pula yang membeli sendiri dari hasil pentas tari Saman atau tari Bines.
Sekali pentas, biasanya para penari tersebut mendapat uang sekitar
Rp50.000,00-Rp100.000,00. Uang tersebut dikumpulkan untuk membeli
handphone. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Tr. Menurut Tr, dia
membeli handphone dari uang yang dia peroleh dari pentas tari Bines.
Melalui handphone tersebut dia dapat berkomunikasi dengan teman-
temannya, termasuk kekasihnya. Meskipun handphone tersebut adalah
miliknya, tetapi adiknya dan teman-teman yang ada di sekitarnya juga ikut
menggunakannya untuk berkomunikasi dengan teman-temannya.
Komunikasi melalui handphone bukan hanya dialami oleh Ay dan
Tr. Kak My dan Kak Se yang sekarang sudah menjadi inen mayak juga
mengaku bahwa dia berkomunikasi dengan pacarnya, yang sekarang telah
menjadi suaminya, melalui handphone. Kemajuan teknologi komunikasi
seperti kehadiran handphone di tengah masyarakat desa menyebabkan
sistem gaya pacaran di kalangan remaja semakin mudah. Melalui short
message service atau SMS atau telepon, para remaja tersebut bisa menjalin
hubungan dengan kekasihnya. Menurut Aman Mi (tokoh masyarakat
setempat) kehadiran handphone di tengah masyarakat menjadi faktor
banyaknya kawin lari yang dilakukan oleh para remaja yang kadang kala
umurnya masih di bawah 15 tahun, padahal menurut aturan adat yang
terdapat di Desa Tetingi, seseorang dapat diperbolehkan menikah sekitar
umur 17 sampai 20 tahun.
“… pake hp atau sms dia, kalo pacaran, itulah yang biasanya
terjadi di desa kita ni, pake hp dia semua …,” jelas Aman Rk.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 47
“… alasannya kebanyakan dia kawin lari, itu penyebabnya
terutama ya kan, dia punya hp. Kalau menurut aturan, dari
umur dia sekitar 18, 17, 20 sampai ke atas. Yang kebanyakan
kalo di sini sekarang ya kan, itu ga sampe pun 14, 12, kan gitu
…,” jelas Aman Mi.

Selain faktor globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi, faktor


lingkungan juga menjadi penyebab banyaknya pernikahan dini yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Banyaknya masyarakat yang menikah
pada usia muda menyebabkan umur di atas 19 atau 20 tahun menjadikan
usia yang tua untuk menikah atau sudah dikatakan “terlambat” untuk
menikah. Hal ini seperti yang telah diutarakan oleh salah seorang pemuda
Desa Tetingi berikut ini.
“… aku pun ni udah dibilang tua, ga nikah-nikah bang. Umurku
21 aku bang …,” kata Bang Ja.

Tidak ada dokumen atau arsip desa yang menjelaskan tentang rata-
rata usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan peng­
amatan dan wawancara mendalam dengan beberapa warga masyarakat
setempat, dapat diketahui usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi
berkisar dari umur 14 tahun sampai 20 tahun, yaitu pada saat seorang
anak duduk di bangku SMP atau SMA.
Usia pernikahan yang masih dikatakan sangat muda menyebabkan
mereka (yang menikah) masih hidup bersama orang tuanya atau berada
dalam satu atap dengan orang tua mereka. Orang tua pun secara tidak
langsung bertanggung jawab untuk mengajari mereka untuk menjadi
keluarga yang mandiri. Misalnya, orang tua mengajak mereka untuk
turun ke sawah bersama, bekerja bersama dengan bapak dan ibunya, dan
memasak bersama. Untuk itu, dalam satu rumah di Desa Tetingi dapat
dihuni oleh beberapa rumah tangga. Apabila rumah tangga anak sudah
dianggap mampu untuk berdiri sendiri, orang tua akan men-jawe-kan
(memisahkan) mereka dengan cara mendirikan rumah bagi anaknya dan
menyerahkan sebagian tanah sawahnya untuk dikelola oleh anaknya.
“… itulah makanya dia kalo sekarang kayak umur gitu kawin,
itu harus tanggung jawab orang tua, kenapa-kenapa pasti
anak itu belum dapat mendirikan apanya itu, orang tua harus
tanggung jawab apa yang kekurangannya harus diapakan, ya
kan, dan lakinya itu harus cepat dia suruh mencari pekerjaan,

48 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
kalau tidak cepat kita dukung, cerai dia itu …,” tutur Aman Mi,
seorang tokoh masyarakat setempat.
“… sudah dipisahkan sama orang tuanya, dibikin rumahnya,
ditunjukkan sawahnya. Kalian sudah saya pisahkan dari rumah,
itu rumah, saya bikin kecil. Itu sawah kalian, itu kebun kalian.
Apa kalian mu tanam, tanam terus, kalo ga ada modal minta
dari saya, berapa dapat saya kasih. Gitu …,” lanjut Aman Mi.

3.2 Sistem Perkawinan


Dalam masyarakat Gayo Lues terdapat berbagai macam jenis
per­ka­winan. Menurut hemat kami, jenis perkawinan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu (1) berdasarkan status pe­
ngantin yang berkaitan dengan unyuk (maskawin), dan (2) berdasarkan
cara laki-laki mempersunting pengantin perempuan. Kategori pertama
terdapat dua jenis, yaitu juelen dan angkap, sedangkan kategori yang
kedua juga terdapat dua jenis yaitu bejejeroh dan naik.
Berdasarkan status pengantin perempuan atau laki-laki terdapat dua
jenis perkawinan, yaitu juelen dan angkap. Juelen berasal dari kata juel
yang artinya jual. Sesuai dengan artinya tersebut, pengantin perempuan
diibaratkan dijual kepada pihak keluarga laki-laki. Setelah menikah, pe­
ngantin perempuan akan tinggal dengan kerabat suaminya (virilokal). Jika
seorang perempuan dengan status juelen masih sering bergaul dengan
kerabat pihak orang tuanya, secara langsung atau tidak dia akan dicela
oleh kerabat suaminya (Melalatoa,1982:80)
Dalam perkawinan juelen, ada unyuk (maskawin) yang harus dipe­
nuhi oleh pihak laki-laki. Unyuk tersebut dapat berupa uang, emas, hewan
ternak, atau sawah. Namun, pada umumnya unyuk yang diberikan pada
saat ini adalah emas dalam hitungan mayam. Satu mayam setara dengan
3 gram emas. Menurut Inen Je, rata-rata unyuk yang diberikan oleh pihak
laki-laki kepada perempuan adalah 3 mayam. Besarnya unyuk yang
diberikan kepada pihak keluarga perempuan tergantung pada status sosial
pengantin perempuan. Semakin tinggi status sosial seorang perempuan,
semakin tinggi pula nilai unyuk yang ditawarkan. Misalnya, ada seorang
perempuan mempunyai pendidikan yang tinggi sampai sarjana, unyuk
yang diberikan dapat mencapat 25 mayam emas dan uang sebesar
Rp25.000.000,00.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 49
“… kalau makin tinggi pangkatnya, makin tinggi pula maharnya.
Kayak di bawah itu kana da pangkatnya udah tinggi. Udah
bidan. Itu diminta 25 juta dan 25 mayam …,” jelas Inen Je.

Selain unyuk, ada juga istilah teniron dalam perkawinan juelen. Dua
istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Unyuk adalah permintaan
keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki, sedangkan teniron adalan
permintaan khusus dari pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki.
Dalam masyarakat Desa Tetingi, teniron biasanya berbentuk emas atau
benda lain yang diinginkan oleh pengantin perempuan.
“… kalau mahar untuk walinya, kalau teniron untuk yang ber­
sangkutan (pengantin perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar.

Dalam masyarakat Desa Tetingi, perkawinan dengan cara juelen


ini sering terjadi. Oleh sebab itu, banyak ibu di Desa Tetingi merupakan
pendatang dari desa lain yang ada di Kabupaten Gayo Lues, seperti Kuta
Panjang, Terangon, Pining, dan sebagainya, bahkan ada yang datang dari
kabupaten lain, seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan sebagainya.
Untuk itu, dalam sistem perkawinan juelen ini, pihak keluarga laki-laki
mempunyai peran penting dalam kehidupan keluarga anak laki-lakinya,
termasuk dalam kehamilan dan proses persalinan menantunya.
Selain perkawinan juelen, ada juga perkawinan angkap, yaitu pe­
ngantin laki-laki yang menyerahkan diri kepada pihak keluarga pengantin
perempuan. Dengan status ini seolah-olah pihak laki-laki tidak mampu
membayar mahar atau teniron sehingga tidak dapat mengambil seorang
perempuan masuk ke dalam lingkungannya (Melalatoa, 1982:82). Oleh
sebab itu, setelah menikah, sepasang pengantin tersebut akan tinggal
dalam pihak keluarga perempuan (uxorilokal) karena pihak laki-laki tidak
mampu “membeli” perempuannya. Dengan kata lain, dalam sistem
perkawinan angkap ini laki-laki “menjual” dirinya kepada pihak perempuan
dengan cara menyerahkan dirinya kepada keluarga perempuan.
“… enggak ada lagi mungkin sapinya, kerbaunya. Enggak bisa
bayar. Diangkapkannya dia. Enggak dikasih pigi (pergi) anak
perempuan itu tadi ke tempat yang laki-laki. Netap dia di situ
(di lingkungan perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar.

Menurut Melalatoa (1982:82), banyak latar belakang yang menyebab­


kan terjadinya perkawinan dengan sistem angkap, di antaranya (1) kadang-

50 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
kadang karena pihak keluarga perempuan hanya mempunyai anak tunggal
perempuan, oleh karena itu orang tuanya sangat berat melepaskan anak
tunggalnya itu dari lingkungannya, (2) ada pula seorang perjaka yang orang
tuanya tidak mampu memenuhi mahar dan teniron dari pihak perempuan,
(3) ada lagi kenyataan seorang gadis itu memang tidak ada orang yang
melamarnya sehingga harus diambil laki-laki pendatang yang memang
mencari induk semang di rantau orang (Djauhari, 1973:40-42 dalam
Melalatoa, 1982:82), dan (4) ada pula seorang perjaka yang memang
senang dengan status angkap ini, justru orang tua yang mempunyai anak
tunggal ini adalah orang memiliki harta kekayaan dan terpandang.
Selain jenis perkawinan berdasarkan status pengantin yang berkaitan
dengan unyuk (maskawin), ada juga jenis perkawinan berdasarkan cara
laki-laki mempersunting pengantin perempuan. Seorang laki-laki dapat
mempersunting seorang perempuan pujaan hatinya dengan dua cara,
yaitu (1) dengan cara “baik-baik” menghadap keluarga perempuan untuk
“meminta” anak perempuannya untuk menjadi istrinya, dan (2) dengan
cara “belakang”, yaitu langsung mengajak perempuan ke rumah penghulu,
imam, geuchik, atau tokoh masyarakat setempat untuk menikah tanpa
meminta “izin” dari keluarga perempuan. Cara pertama tersebut dalam
masyarakat Gayo disebut kerje bejejeroh dan cara kedua disebut kerje
naik atau kawin lari.
Kerje bejejeroh melewati proses yang panjang, dimulai dari lamaran
kepada keluarga perempuan sampai terjadi kesepakatan antara pihak
laki-laki dan pihak perempuan. Pada saat lamaran, keluarga laki-laki
datang ke rumah keluarga perempuan untuk menanyakan kesediaan dan
kesepakatan mengenai unyuk. Apabila disepakati, selanjutnya akan dilihat
kecocokan antara calon pengantin perempuan dan laki-laki oleh orang tua.
Apabila sudah ditemukan kecocokan antara keduanya, akan ditentukan
“hari baik” oleh orang tua untuk melangsungkan pernikahan.
Berbeda dengan kerje bejejeroh yang melewati proses lamaran,
dalam kerje naik tidak ada proses lamaran yang dilakukan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan. Kerje naik terjadi karena sama-sama
suka, namun mendapat hambatan dari salah satu atau kedua keluarga,
sehingga laki-laki mengajak perempuan pergi ke rumah imam, geuchik,
atau tokoh masyarakat setempat untuk menikah. Cara ini juga terkadang
dimanfaatkan laki-laki untuk “memaksa” perempuan pujaan hatinya untuk
menikah, misalnya dengan sengaja dia mengajak perempuan pujaannya
datang ke rumah imam. Dalam masyarakat Desa Tetingi, apabila ada


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 51
seorang pemuda mengajak seorang perempuan ke rumah imam atau
tokoh masyarakat setempat, biasanya si pemuda bermaksud menikahi
perempuan tersebut tanpa izin dari pihak keluarga perempuan terlebih
dulu. Apabila hal ini terjadi dan perempuan tersebut menolak untuk
dinikahkan, nama baik perempuan tersebut sudah tidak ada lagi karena
dianggap telah melakukan hubungan suami istri. Dalam masyarakat Desa
Tetingi, sistem perkawinan kerje naik sering terjadi di Desa Tetingi karena
dianggap lebih murah dan lebih mudah, tidak harus melalui proses yang
panjang seperti pinangan dan pertunangan.
“… kawin lari itu cepat prosesnya. Enggak ada acara pinang
meminang, tunangan. Kalau kawin biasa (bejejeroh) kan lama,
ada pinangan, tunangan. Itu kan perlu banyak biaya. Kalau
kawin lari kan murah. Sekarang itu udah banyak yang kawin
lari. Udah biasa. Sekarang itu udah enggak sekuno dulu lagi …,”
jelas Inen Je yang merupakan pendatang dari desa tetangga.

Kepada setiap pasangan yang melakukan kerje naik akan diajukan


pertanyaan “Apakah sudah melakukan hubungan suami istri atau belum”.
Apabila mereka tidak mau mengaku bahwa mereka sudah melakukan
hubungan suami istri, mereka akan ditakut-takuti dengan pisau atau
dengan kata-kata yang bernada “ancaman”, seperti mereka tidak boleh
masuk rumah dan makanan yang mereka masak hukumnya haram. Apabila
ada sepasang calon pengantin yang melakukan kerje naik mengaku bahwa
mereka sudah melakukan hubungan seks sebelum menikah, dia akan
dimandikan dengan menggunakan tanah merah dan mungkur (jeruk purut)
sebelum dinikahkan. Orang yang memandikan mereka adalah orang yang
bisa membacakan doa sebelum dimandikan, seperti bidan kampung atau
dukun kampung lainnya.
Tanah merah yang digunakan untuk mandi sebanyak dua genggam
orang dewasa. Setelah dimandikan dengan tanah merah tersebut,
kemudian dua sejoli tersebut akan disiram dengan air. Setelah tanah
merahnya hilang dari tubuhnya, kemudian akan dimandikan lagi dengan
jeruk purut sebanyak tiga buah. Apabila dua sejoli tersebut sudah di­
mandikan, mereka sudah dianggap suci dan makanan yang mereka ma­
sak pun sudah halal untuk dimakan. Namun, jika dua sejoli tersebut
belum dimandikan dengan tanah merah dan jeruk purut, mereka tidak
boleh masuk rumah karena tubuhnya dianggap najis (kotor). Selain itu,
makanan yang mereka masak pun tidak boleh atau haram untuk dimakan.

52 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Pernikahan mereka pun dianggap tidak sempurna dan tidak sah.
“…sebelum diresmikan dia ditanya dulu, masih suci enggak.
Bagaimana kalian sudah suka, betul-betul mau kawin sama dia. Bagaimana
kalian sudah melalui batas. Kalau enggak, bisa masak. Kalo udah melewati
batas, enggak bisa masak, kalian harus dimandikan dulu, disucikan dulu
baru bisa masak. Ditaruh di dalam baskom, ditaruh tanah, air dikasih jeruk
purut (hanya dipotong). Ada doa, cuma syarat aja …,” jelas seorang imam
di Desa Tetingi.
“…kalau nggak dimandikan, nggak sempurna nikahnya ya.
Sama dengan nikah sama anjing …,” jelas Empun (nenek) Ar.

Setelah dinikahkan, kedua mempelai tersebut akan tinggal bersama


keluarga perempuan (uxorilokal) atau keluarga laki-laki (virilokal) sesuai
dengan unyuk yang dibayarkan. Apabila dalam kerje naik ini, pihak laki-
laki membayar unyuk kepada pihak perempuan sesuai dengan permin­
taan, kedua mempelai tersebut akan tinggal di lingkungan laki-laki
(virilokal). Namun apabila pihak laki-laki tidak membayar unyuk kepada
keluarga perempuan, kedua mempelai akan tinggal di lingkungan perem­
puan (uxorilokal). Besarnya unyuk yang dibayarkan tersebut dapat mem­
pengaruhi peran keluarga besar dalam keluarga inti, termasuk pada masa
kehamilan dan pengambilan keputusan dalam persalinan.

3.3 Perempuan Gayo pada Masa Hamil


Kehamilan merupakan suatu kebahagiaan bagi seorang perempuan,
apalagi jika itu adalah anak pertama baginya. Kebahagiaan tersebut sering
kali ditunjukkan kepada orang lain dengan berbagai cara. Salah satu cara
tersebut misalnya dengan mengadakan sebuah pesta atau upacara yang
mengundang banyak orang, seperti upacara mitoni6 dalam masyarakat
Jawa. Namun, dalam masyarakat Gayo, khususnya di Desa Tetingi, tidak ada
upacara pada masa kehamilan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan
oleh Melalatoa (1982:89) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Gayo
bahwa tidak ada upacara dalam rangka kehamilan seseorang, seperti pada
masyarakat tertentu yang lain.

6
Mitoni adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan saat usia kehamilan seseorang
berusia 7 bulan dan pada kehamilan pertama kali. Maknanya adalah bahwa pendidikan bukan
saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim sang ibu (Bratawidjaja,
1988:21).


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 53
Tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo
tentu disebabkan oleh suatu faktor. Menurut hemat kami, faktor tersebut
berkaitan dengan pengetahuan masyarakat setempat bahwa kehamilan
seseorang harus ditutupi atau dirahasiakan agar tidak diketahui oleh orang
lain. “Merahasiakan kehamilan” inilah yang menyebabkan tidak adanya
upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo.
“Merahasiakan kehamilan” dalam masyarakat Gayo dilaku­
kan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah me­
lalui pakaian. Pada saat hamil, si ibu akan menggunakan
sarung sebagai rok. Selain itu, ada sehelai kain panjang yang
dilingkarkan pada leher dan menjulur sampai ke perut. Hal ini
senada dengan pendapat Melalatoa (1982:89), bahwa dalam
masyarakat Gayo ada kebiasaan menyelimuti bagian tubuh
sedemikian rupa sehingga bagian perut tidak mudah dilihat
orang. Namun, menurut hemat kami, kebiasaan menyelimuti
bagian tubuh sedemikian rupa tersebut sudah mulai pudar,
khususnya dalam masyarakat Desa Tetingi. Di Desa Tetingi,
sebagian besar ibu hamil tidak lagi menyelimuti tubuhnya
sedemikian rupa untuk menutupi kehamilannya. Mereka juga
mengenakan pakaian layaknya yang dikenakan oleh kaum
perempuan pada umumnya, seperti daster, celana panjang,
dan rok sehingga kehamilan mereka pun terlihat.

Meskipun kehamilan mereka terlihat oleh orang lain, tetapi mera­


hasiakan usia kehamilan dari orang lain, khususnya dari orang yang tidak
dikenal baik olehnya atau “orang asing” masih dilakukan oleh ibu hamil di
Desa Tetingi. Apabila ada orang asing yang bertanya tentang kehamilannya,
ibu hamil tersebut cenderung tidak memberi jawaban bahkan menghindar
dari orang tersebut. Apabila ibu hamil tersebut memberi jawaban tentang
usia kehamilannya, jawaban tersebut belum tentu benar karena mereka
kadang kala menambahkan atau mengurangi usia kehamilan mereka
kepada orang lain. Sebagai contoh, jika seorang ibu hamil 7 bulan ditanya
oleh seseorang tentang usia kehamilannya, ia dianjurkan untuk menjawab
5 atau 9 bulan.
“… kalau ada orang asing yang tanya berapa bulan hamilnya,
kadang-kadang dia nggak mau jawab, kecuali bidan yang tanya
baru dia jawab, karena kalau sudah di atas tiga bulan itu, itu

54 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
rawan jin katanya. Takut kemasukan jin katanya. Katanya kalau
sudah tiga bulan itu jin nanti masuk …,” jelas Inen Je.

Seorang ibu hamil di Desa Tetingi akan merahasiakan usia kehamilan


dari orang yang tidak dikenal baik olehnya, kecuali keluarganya, bidan
kampung, atau bidan desa, karena adanya kepercayaan masyarakat se­
tempat bahwa masa hamil merupakan masa yang sangat rentan bagi ibu
hamil untuk dimasuki jin atau setan. Jin atau setan tersebut dapat berasal
dari setan itu sendiri atau berasal dari kesengajaan yang dilakukan oleh
manusia, yang disebut tube oleh masyarakat setempat. Jadi, seorang
ibu hamil dan keluarganya berusaha untuk menutupi atau merahasiakan
kehamilan itu untuk melindungi ibu hamil dan janinnya dari gangguan
setan.
Selain karena adanya ketakutan pada setan yang dapat masuk ke
dalam tubuh ibu hamil, merahasiakan kehamilan dilakukan karena ada rasa
malu yang dirasakan oleh ibu hamil ketika orang lain mengetahui bahwa
dia sedang hamil. Seorang wanita merasa malu diketahui orang bahwa
dirinya sedang hamil (Melalatoa, 1982:89). Hal ini seperti pengakuan Kak
My, seorang wanita hamil yang berusia 20 tahun.
“… rasanya itu semua orang melihat saya. Misalnya kalau ada
yang main voli di lapangan itu, mereka pada ketawa, rasanya
itu mereka menertawakan saya, padahal belum tentu juga ya
…,” jelas Kak My kepada salah seorang tim peneliti.

3.3.1 Aktivitas Ibu Hamil


Seorang ibu hamil di Desa Tetingi masih melakukan pekerjaan se­
perti yang dilakukan oleh perempuan lain pada umumnya, seperti
bekerja di ladang, di sawah, dan menyelesaikan urusan rumah tangga
seperti memasak dan mencuci. Pekerjaan tersebut tetap mereka lakukan,
meskipun dalam keadaan hamil. Seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah petani.
Dalam pertanian ini ada pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan bertugas menanam dan memotong padi, sedangkan laki-laki
bertugas membajak sawah dan mengangkat padi yang telah dipotong
oleh kaum perempuan ke tempat penggilingan padi. Tugas perempuan
menanam dan memotong padi juga dilakukan oleh ibu hamil.
Lahan pertanian masyarakat Desa Tetingi ada yang terletak di sekitar
pemukiman warga dan ada pula yang terletak di Bur (Bukit) Gajah. Bur


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 55
Gajah dapat dilihat dari pemukiman penduduk, tetapi untuk mencapai
area tersebut harus melewati tanjakan, turunan, dan kadang kala jalan
yang licin jika musim hujan. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama 30
menit sampai 2 jam. Keadaan jalan yang demikian juga harus dilewati oleh
ibu hamil. Meskipun dalam keadaan hamil, si ibu tetap berangkat bekerja
ke ladang atau sawah yang ada di Bur Gajah. Hal ini seperti yang dilakukan
oleh Inen Ar. Meskipun kehamilannya sudah masuk bulan kedelapan,
tetapi Inen Ar tetap berangkat ke ladangnya yang terletak di Bur Gajah.
Dia berangkat pada pagi hari sekitar pukul 07.00 dan pulang pada sore
hari sekitar pukul 17.30. Pada saat pulang ke rumah, Inen Ar tidak kembali
dengan tangan hampa. Dia membawa kayu bakar dari kebunnya untuk
keperluan memasak.

Gambar 3.1. Seorang Ibu hamil sedang bejangkat kayu bakar. Hal ini dipercaya
oleh masyarakat setempat dapat melancarkan proses persalinan.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Selain Inen Ar, ada juga Kak Fa, seorang inen mayak yang sedang
hamil. Kak Fa berusia 20 tahun. Sama halnya dengan Inen Ar, Kak Fa juga
bekerja di ladang atau sawah untuk menanam atau memanen padi dan
tanaman lainnya. Pada sore hari, Kak Fa pulang dengan menggendong kayu
bakar di belakang punggungnya, yang dikenal dengan istilah bejangkat
dalam bahasa Gayo. Menurut Inen Mi yang juga berperan sebagai kader
kesehatan di Desa Tetingi, ketika usia kehamilan menginjak delapan bulan,
ibu hamil disarankan untuk bejangkat agar mudah melahirkan. Jika dia
tidak bisa melakukan jangkat, bisa dijunjung, yaitu kayu bakar diletakkan
di atas kepalanya.

56 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
“… kata orang tua, bawa kayu itu dengan jangkat itu supaya dia
melahirkan nggak terlalu lama dia …,” jelas Inen Mi, seorang
Kader Kesehatan.

Apabila ibu hamil tersebut tidak pergi ke ladang atau ke sawah,


banyak aktivitas yang dilakukan oleh ibu hamil di rumah, seperti membuat
ramuan yang akan digunakan setelah melahirkan nanti, seperti bedak
param, tampal, dan wak kuning. Ramuan-ramuan tersebut dibuat ketika
usia kehamilan menginjak delapan bulan. Selain itu, mereka juga membuat
tikar atau tas dari daun bengkuang (pandan berduri) bersama dengan ibu-
ibu yang lain.

3.3.2 Masalah Kehamilan: Penyebab, Pencegahan, dan Pengobatannya


Dalam pengetahuan masyarakat Desa Tetingi, apabila ada masalah
selama kehamilan, seperti ada bercak darah keluar, sakit pinggang, sakit
perut, dan penyakit-penyakit lainnya, dianggap bahwa hal tersebut
disebabkan oleh blis (setan). Blis masuk ke dalam tubuh ibu hamil dan
mengganggu ibu hamil dan janinnya. Masuknya blis ke dalam tubuh ibu
hamil tersebut dikenal dengan istilah rampat.
Rampat terjadi karena dua faktor, yaitu (1) tube atau diguna-guna
oleh manusia, dan (2) melanggar pantangan yang telah ditetapkan bagi
ibu hamil, seperti tidak boleh keluar pada saat magrib dan jam 12 siang,
tidak boleh terkena hujan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ibu hamil di
Desa Tetingi cenderung menutupi usia kehamilannya untuk menghindari
tube yang dapat menyebabkan rampat.
Selain faktor tube, rampat juga dapat terjadi karena adanya pelang­
garan yang dilakukan oleh ibu hamil terhadap pantangan-pantangan
yang telah ditetapkan. Banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan
oleh ibu hamil, terutama pantangan dalam perbuatan. Menurut hemat
kami, pantangan tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu ber­
dasarkan waktu, tempat, dan objek. Berdasarkan waktu, (1) ibu hamil
tidak boleh terkena panas matahari tepat pada saat matahari berada di
atas kepala, yaitu sekitar jam 12 siang, (2) tidak boleh keluar pada saat
magrib menjelang, (3) tidak boleh terkena air hujan, dan (4) tidak boleh
tidur siang dalam waktu yang lama. Berdasarkan tempat, (1) seorang ibu
hamil tidak boleh duduk di tanah, (2) tidak boleh berdiri di depan pintu,
(3) tidak boleh duduk di bawah pohon asam, dan (4) tidak boleh duduk
di pintu atau di jendela rumah. Sementara itu berdasarkan objek seorang


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 57
ibu hamil tidak boleh menyakiti orang lain selama hamil dan tidak boleh
melihat burung sedang terbang.
“… ibu hamil itu nti berates lo (jangan main panas hari), nti
beriyo (jangan main senja), niri nti yoyo (jangan mandi pada
waktu senja), nti beruren (jangan bermain hujan) …,” jelas
Empun (nenek) Ar, seorang bidan kampung di Desa Tetingi.

Apabila pantangan tersebut dilanggar, ada kepercayaan dalam ma­


sya­rakat Gayo Lues bahwa ibu hamil tersebut akan menerima akibatnya,
misalnya (1) apabila ibu hamil tidur lama pada siang hari maka anaknya
akan besar sehingga sulit keluar pada saat dilahirkan, (2) apabila ibu hamil
duduk di tanah maka pantat anaknya akan hitam atau anaknya akan susah
berbicara, (3) apabila duduk di depan pintu atau di jendela rumah maka
akan mengalami kesulitan pada waktu melahirkan, (4) apabila melihat
burung terbang maka anak yang dilahirkan akan cepat menderita sakit
mata, (5) jika duduk di bawah pohon asam maka anaknya selalu menangis.
Selain pantangan-pantangan di atas, masih banyak lagi pantangan ibu
hamil di Desa Tetingi.
Dalam pengetahuan masyarakat setempat, banyaknya pantangan
bagi ibu hamil bertujuan untuk menjaga ibu hamil dan janinnya dari
gangguan blis (setan). Menurut mereka, masa hamil merupakan masa
yang rentan untuk diganggu oleh setan sehingga dapat berakibat buruk
pada ibu hamil dan janinnya. Sebagai contoh, tidak boleh keluar pada jam
12 siang karena pada saat itu dianggap banyak blis yang berkeliaran. Blis
tersebut dianggap dapat mengganggu kehamilan.
Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka ibu hamil dianjurkan un­
tuk menggunakan jimat yang disebut benang pancarona, yang diikat di
pinggangnya agar blis tidak mengganggu ibu hamil dan janinnya. Benang
pancarona digunakan sejak usia kehamilan 2 bulan atau 3 bulan sampai
melahirkan. Benang pancarona terdiri atas lima warna, yaitu hijau, merah,
kuning, putih, dan hitam. Pada kelima benang tersebut ditusukkan kunyit,
kencur, jahe, kemenyan, dan jeruk purut. Setelah rempah-rempah tersebut
terikat di dalam benang lima warna tersebut, kemudian diikatkan ke
pinggang ibu hamil. Sebelum diikat, benang dan rempah-rempah tersebut
didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung atau dukun kampung. Benang
pancarona dipahami sebagai penangkal setan sehingga ibu yang hamil
tidak diganggu oleh setan.

58 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
“… sejak 3 bulan 2 bulan ya heba (sebagian) taulah apa
namanya dikasih mamak obatku. Tos anue tangkalnya (buat
penangkalnya itu) benang pancarona, ijo (hijau), ilang (merah),
using (kuning), putih, hitam. Lima bangsa. Nti masuk blis (agar
tidak dimasuk setan). Dipakai pada saat dua bulan hamil. Diikat
di sini (sambil menunjukan pinggangnya). Oya (itu ada) kunyit,
tekur (kencur), baing (jahe), kemenyan, mungkur (jeruk purut).
Mungkur-nya kecil-kecil begini (sebesar ibu jari orang dewasa).
Taruh di dalam benangnya. Cucuklah (tusuklah) jarumnya.
Pujuk (gulung) di dalam benang. Diikat terus di sini (sambil
pegang pinggangnya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain Empun (Nenek) Ar, masih ada lagi bidan kampung atau dukun
kampung yang biasa mengatasi permasalahan kehamilan dan menolong
persalinan seorang ibu di Desa Tetingi, misalnya Aman Yu. Aman Yu ada­
lah seorang dukun kampung berjenis kelamin laki-laki yang juga sering
membantu persalinan dan menangani masalah kehamilan. Aman Yu
bukan warga Desa Tetingi, tetapi dia sering datang ke Desa Tetingi karena
keluarga mertuanya berasal dari Desa Tetingi dan masih menetap di Desa
Tetingi. Aman Yu juga sering dipanggil oleh keluarga mertuanya untuk
menyembuhkan penyakit jika ada keluarganya yang sakit, termasuk mem­
beri benang penangkal setan kepada Kak Se, adik iparnya yang sedang
hamil. Menurut Kak Se, dia diberi benang penangkal oleh Aman Yu sejak
usia kehamilannya menginjak dua bulan.
Berbeda dengan Empun (Nenek) Ar yang menggunakan benang lima
warna (pancarona), Aman Yu hanya menggunakan satu benang putih
saja. Bahan-bahan yang digunakan pun berbeda dengan yang digunakan
oleh Empun Ar. Aman Yu menggunakan rempah bungli, kencur, jerango,
kulit buah mungkur (jeruk purut), dan bungkusan kemenyan. Sama halnya
dengan Empun Ar, rempah-rempah tersebut juga dirangkai dengan benang,
kemudian diikatkan di pinggang ibu hamil. Sebelum diikat, benang anti-
hantu tersebut didoakan terlebih dulu agar setan tidak mengganggu ibu
hamil dan janinnya.
Benang pancarona atau benang anti-hantu yang digunakan oleh
ibu hamil diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penangkal blis
(se­tan) yang dapat mengganggu kehamilan seorang ibu dan janinnya.
Namun kadang kala gangguan kehamilan tersebut masih terjadi, seperti
keluar darah sebelum melahirkan, sakit perut yang tak tertahankan,


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 59
dan sebagainya, padahal si ibu sudah menggunakan benang pancarona
atau benang anti-hantu. Hal ini seperti yang dialami oleh Kak Se. Pada
saat kehamilan Kak Se berusia 7 bulan, ada darah yang keluar pada saat
Kak Se buang air kecil, padahal Kak Se sudah menggunakan benang anti-
hantu di pinggangnya. Selain itu, pada usia kehamilan delapan bulan, Kak
Se juga sering mengalami sakit perut. Penyakit yang diderita oleh Kak Se
tersebut disebut rampat oleh masyarakat setempat, yaitu ada setan yang
mengganggu kehamilan Kak Se. Untuk itu, keluarga Kak Se memanggil
Aman Yu untuk mengobati Kak Se, bukannya memanggil tenaga kesehatan,
meskipun ada tenaga kesehatan di Desa Tetingi.
Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Kak Se tersebut
adalah obat tradisional Gayo yang dianggap dapat mengusir setan. Ada
dua macam obat rampat yang digunakan oleh masyarakat Gayo Lues, yaitu
obat air rampat dan daun kayu atau dirin kayu. Obat air rampat terdiri
atas kerpih rampat atau sesampih, air jeruk nipis, kulit pinang masak,
dan kilat jih (pucuk batang ilalang). Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke
dalam air mendidih. Setelah itu didoakan oleh bidan kampung atau dukun
kampung, kemudian diminumkan kepada ibu hamil yang sedang terkena
rampat.
Selain air rampat, obat rampat lainnya adalah daun kayu. Daun
kayu adalah sekumpulan daun-daun yang terdiri atas daun bebesi, daun
dedingin, rumput batang teguh, daun pelulut, rumput jejerun, rumput
sesampih, dan kulit batang pisang abu. Bahan-bahan tersebut dicuci dan
diikat, kemudian dimasukkan ke dalam teko. Di dalam teko tersebut sudah
ada air dan beras sebanyak setengah genggam. Teko yang berisikan daun
kayu tersebut diletakkan di atas kemenyan yang sudah dibakar. Asap yang
keluar dari kemenyan dan daun kayu tersebut diusapkan ke wajah ibu
hamil yang kena rampat sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan agar setannya
hilang. Selanjutnya air yang ada di dalam teko diusapkan ke perut ibu
hamil.

3.3.3 Makanan Pantangan bagi Ibu Hamil


Selain pantangan dalam perbuatan seperti yang telah dijelaskan se­
belumnya, ada juga pantangan makanan bagi seorang ibu hamil, antara
lain tidak boleh makan tape, nanas, dan durian secara berlebihan. Na­
mun, menurut Empun (Nenek) Ar, seorang bidan kampung di Desa Te­
tingi, pantangan tersebut bukanlah pantangan yang mutlak tidak boleh
dilakukan. Apabila seorang ibu benar-benar sedang menginginkan ma­

60 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
kanan tersebut atau sedang ngidam, makanan tersebut boleh dimakan,
asalkan tidak berlebihan. Menurutnya, sebenarnya tidak ada makanan
yang dilarang dimakan oleh seorang ibu hamil. Selama ibu hamil tersebut
mau memakannya, makanan apa pun boleh dimakan.
Berbeda dengan Empun (Nenek) Ar, Empun (Nenek) Ma yang juga
berperan sebagai bidan kampung di Desa Tetingi mengungkapkan bahwa
banyak pantangan makanan bagi ibu hamil, di antaranya tidak boleh
makan cabai dan telur. Menurutnya, cabai dapat menyebabkan luka pada
bagian peranakan. Apabila ibu hamil memakannya, akan terjadi gegalan,
yaitu pintu tempat anak lahir akan keluar.

3.3.4 Pemeriksaan Kehamilan


Poskesdes di Desa Tetingi berada di “pojok” pemukiman penduduk,
namun fasilitas kesehatan tersebut belum dimanfaatkan dengan baik
oleh sebagian masyarakat setempat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, termasuk pemeriksaan kehamilan. Hal ini dapat dilihat dari
masih adanya ibu hamil yang enggan memeriksakan kehamilannya kepada
tenaga kesehatan, seperti yang dilakukan oleh Inen So. Inen So yang baru
melahirkan anak keempatnya pertengahan bulan Mei 2012 mengaku
bahwa selama dia mengandung anaknya tersebut, dia tidak pernah
memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan.
“… untuk apa diperiksa, nanti lahir sendiri …,” ujar Inen So.

Berdasarkan ungkapan Inen So tersebut dapat dilihat bahwa faktor


keengganan Inen So memeriksakan kehamilannya karena adanya rasa
aman, nyaman, dan mudah dalam setiap persalinan yang telah dilakukan
sebelumnya. Kemudahan melahirkan dirasakan oleh Inen So pada saat
melahirkan anak pertama sampai anak ketiga, bahkan pada saat melahirkan
anak ketiga, Inen So tidak dibantu oleh bidan kampung maupun bidan
desa. Dia hanya dibantu oleh tetangganya, Inen Nur, untuk memotong
tali pusar anaknya. Rasa mudah melahirkan sejak kehamilan pertama
inilah yang menyebabkan Inen So tidak mau memeriksakan kehamilannya
kepada tenaga kesehatan.
Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan oleh bidan desa di Pos­
kesdes, tetapi ibu hamil di Desa Tetingi pada umumnya memeriksakan
kehamilannya pada saat ada posyandu, setiap bulan pada tanggal 5 di
poskesdes Desa Tetingi. Sementara itu, bidan kampung tidak melakukan
pemeriksaan kehamilan, kecuali jika ibu hamil mengalami gangguan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 61
kehamilan seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Apabila seorang
ibu hamil mengalami gangguan kehamilan, mereka cenderung datang
ke bidan kampung daripada bidan desa. Hal ini berhubungan dengan
kepercayaan mereka bahwa ada setan yang mengganggu ibu hamil dan
janinnya, dan hanya bidan kampung yang dianggap bisa menghilangkan
setan dari tubuh ibu hamil tersebut.

3.3.5 Ramuan Tradisional Gayo pada Masa Hamil


Pada masa hamil, terutama pada saat usia kehamilan 7 bulan
sampai menjelang persalinan, ibu hamil di Gayo Lues dianjurkan untuk
mengonsumsi ramuan tradisional agar mudah melahirkan. Ramuan
tradisional tersebut beragam, seperti (1) mungkur (jeruk purut) yang
dicampur dengan air beras, (2) air hangat dicampur dengan ketumbar
yang langsung dikunyah dan diminum oleh ibu hamil, dan (3) daun sirih
yang dicampur dengan rempah-rempah, seperti kapur sirih, kacu (gambir),
konyel, tekur (kencur), pinang, bungli, ketumbar, dan kulit manis.
Kak Se, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan, mengonsumsi daun
sirih dan rempah-rempah sejak usia kehamilan 7 bulan ini. Daun sirih dan
rempah-rempah tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung
sebelum dikonsumsi oleh ibu hamil. Dalam satu hari, Kak Se mengonsum-
si sirih dan rempah-rempah tersebut sebanyak tiga kali atau lebih, ter-
gantung pada seleranya. Caranya, sirih dikunyah seperti mengunyah sirih
pada umumnya. Daun sirih tersebut dikonsumsi sampai ibu hamil terse-
but melahirkan.

Gambar 3.2. Daun sirih yang dicampur dengan rempah lainnya


yang dikonsumsi oleh ibu hamil untu melancarkan proses persalinan.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

62 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
3.4 Persalinan: Bidan Kampung (Masih) Menjadi Idola
Bidan kampung adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat se­
tempat untuk menyebut dukun kampung perempuan, sedangkan dukun
kampung laki-laki tetap disebut dengan istilah dukun kampung. Oleh sebab
itu, apabila masyarakat berbicara mengenai bidan, hal tersebut perlu
dicerna kembali, bidan siapa yang dimaksud dalam pembicaraan tersebut,
apakah bidan kampung atau bidan desa. Namun, bidan desa disebut oleh
masyarakat setempat dengan sebutan mentri atau doktor. Dalam tulisan
ini akan digunakan istilah bidan kampung untuk menjelaskan dukun
kampung, sedangkan bidan desa tetap menggunakan istilah bidan desa.
Sementara itu, dukun kampung pria dan pengobat tradisional lainnya
tetap menggunakan istilah dukun kampung.
Di Desa Tetingi terdapat dua orang bidan kampung yang terkenal,
satu bidan kampung terdapat di Dusun Arul Sirep, sedangkan satu bidan
kampung lagi terdapat di Dusun Tamak Nunang. Namun sebenarnya,
selain dua bidan kampung tersebut, masih ada perempuan Gayo yang bisa
melakukan tindakan seperti bidan kampung, termasuk membaca mantra.
Salah satu contohnya adalah Inen Ti. Namun, Inen Ti tidak mau dipanggil
bidan kampung, sebab menurutnya masih ada Empun (Nenek) Ar yang
lebih senior daripada dirinya. Oleh sebab itu, jarang ada masyarakat yang
mengetahui bahwa Inen Ti juga bisa bertindak sebagai bidan kampung,
kecuali orang-orang terdekatnya.
Selain bidan kampung yang berasal dari Desa Tetingi itu sendiri,
masyarakat setempat juga memanggil bidan kampung yang berada di desa
lain untuk menolong persalinan. Biasanya bidan kampung yang berasal dari
desa tetangga dan dipanggil untuk menolong persalinan atau mengatasi
masalah kehamilan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu
hamil atau ibu bersalin. Jadi, bidan kampung yang menolong persalinan di
Desa Tetingi bukan hanya berasal dari Desa Tetingi, melainkan juga berasal
dari desa lain.
Masyarakat Desa Tetingi lebih cenderung memilih bidan kampung
daripada bidan desa untuk menolong persalinan. Hal ini terlihat pada
saat penelitian selama dua bulan di Desa Tetingi, terdapat lima ibu yang
melakukan persalinan dan semuanya memanggil bidan kampong untuk
menolong persalinan, baik bidan kampung yang berasal dari Desa Te­
tingi maupun bidan kampung dari desa lain. Bidan kampung dipilih oleh
masyarakat setempat untuk menolong persalinan karena adanya hubung­
an kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung. Sebagai contoh,


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 63
Inen Ar ditolong oleh bidan kampung yang adalah ibu kandungnya sendiri.
Meskipun jarak rumah Inen Ar dengan poskesdes sama dekatnya dengan
jarak rumahnya dengan rumah ibunya, namun Inen Ar lebih memilih dito-
long oleh ibunya karena ibunya adalah seorang bidan kampung yang telah
menolong persalinan selama bertahun-tahun. Demikian pula dengan Inen
So. Dia ditolong oleh bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur yang jaraknya
kira-kira tiga kilometer dari rumahnya, padahal jarak poskesdes dengan
rumahnya jauh lebih dekat, hanya sekitar 500 meter. Selain Inen Ar dan
Inen So, ada juga Inen Sa, Kak My, dan Ka Su yang ditolong oleh bidan
kampung. Mereka memanggil bidan kampung untuk menolong persali-
nan karena masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka.
Hubungan kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung ini­
lah tampaknya yang menjadi faktor utama mengapa bidan kampung atau
dukun kampung dipilih oleh masyarakat sebagai penolong persalinan
daripada bidan desa. Hal ini berbeda dengan bidan desa yang notabene
adalah seorang pendatang di Desa Tetingi dan tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan masyarakat Desa Tetingi. Hampir setiap keluarga luas
(extended family) di Desa Tetingi mempunyai bidan kampung atau dukun
kampung. Sebagai contoh, berikut akan ditampilkan pohon kekerabatan
antara ibu bersalin dan bidan kampung dalam beberapa keluarga berikut
ini.

Keterangan :
: Laki-laki : Dukun/Dukun kampung : Balita
: Perempuan : Ibu Hamil/Bersalin

Bagan 3.1. Pohon kekerabatan antara ibu hamil atau ibu bersalin dengan dukun kampung dalam
beberapa keluarga di Desa Tetingi.

64 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Selain faktor hubungan kekerabatan, faktor lain yang menyebabkan
mengapa masyarakat lebih memilih bidan kampung untuk menolong
persalinan daripada bidan desa adalah karena sistem kepercayaan. Se­
perti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya pada bagian sistem
kepercayaan, meskipun mayoritas masyarakat Desa Tetingi beragama
Islam, tetapi kepercayaan pada hal-hal yang gaib dan magis masih ada. Hal
yang gaib dan magis tersebut juga dapat mengganggu ibu hamil dan ibu
bersalin. Oleh sebab itu, bidan kampung atau dukun kampung membaca
mantra untuk menghilangkan hal yang gaib dan magis tersebut. Mantra
inilah yang menjadi daya tarik bidan kampung dan dukun kampung
sehingga masih menjadi “idola” untuk menangani masalah kehamilan
dan menolong persalinan. Sementara itu, bidan desa dianggap tidak bisa
mengusir setan dan magis yang terdapat pada ibu hamil dan ibu bersalin.
“… kalau di sini melahirkan masih banyak dengan bidan
kampung, Dik. Karena kalau bidan kampung ada mantra-man­
tranya, kalau di mentri (bidan) itu enggak ada mantranya …,”
jelas Inen Je.
“… bidan kampung masih dipanggil karena dia tahu ada setan­
nya atau nggak. Kalau doktor kan nggak tau …,” kata Kak Se.

3.4.1 Pengetahuan Ibu Bersalin Mengenai Tanda-tanda Persalinan


Masih ada ibu hamil di Desa Tetingi yang belum mengetahui tanda-
tanda persalinan sehingga terjadi persalinan tanpa ditolong oleh bidan
kampung atau bidan desa. Hal ini seperti yang dialami oleh Inen Ar yang
mengira bahwa sakit perut yang dialaminya karena masuk angin, seperti
yang diceritakan pada cerita berikut ini.
Pada suatu malam, pada pertengahan bulan Juni 2012, saat
semua orang tengah tidur lelap, Inen Ar mengalami sakit
perut. Pada saat itu, jam menunjukkan pukul 00.00 malam
hari. Inen Ar menduga sakit perut yang dideritanya disebabkan
masuk angin karena menurut perkiraannya dia tidak mungkin
melahirkan pada malam itu. Sebab, berdasarkan pada peng­
alaman persalinan anak sebelumnya, dia melahirkan pada
saat usia kehamilannya sepuluh bulan, padahal pada saat
itu usia kehamilannya sembilan bulan. Oleh sebab itu, Inen
Ar beranggapan bahwa sakit perut yang dideritanya karena
masuk angin, bukan karena ingin melahirkan.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 65
Untuk mengurangi rasa sakit itu, Inen Ar pun mengambil
balsam untuk dioleskan ke perutnya yang sudah membesar
agar rasa sakit itu berkurang. Namun, ternyata rasa sakit itu
tetap terasa. Inen Ar pun mengambil air hangat yang ditaruh di
dalam botol. Botol air hangat tersebut ditaruh di atas perutnya
untuk mengurangi rasa sakit. Namun, rasa sakit itu tetap belum
berkurang. Akhirnya, dia pun membangunkan suaminya yang
sedang tidur lelap. Melihat istrinya mengeluh sakit di bagian
perut, suaminya pergi ke rumah Empun (Nenek) Ar, seorang
bidan kampung yang juga ibu kandung Inen Ar. Pada saat
suaminya pergi ke rumah ibunya tersebut, Inen Ar berjuang
sendiri untuk melawan rasa sakit itu. Tak lama berselang
setelah suaminya pergi memanggil ibunya, lahirlah seorang
bayi mungil dari rahim Inen Ar. Untungnya, tak lama setelah
bayi tersebut lahir, Empun (Nenek) Ar pun datang bersama
suaminya. Melihat si bayi telah lahir, Empun (Nenek) Ar pun
segera memotong tali pusar bayi tersebut dengan semilu
(sebilah bambu).
Keesokan harinya, salah satu anggota keluarga Inen Ar da­
tang ke poskesdes yang letaknya tak jauh dari rumah Inen
Ar, kira-kira 100 me­ter, untuk memberitahukan kepada bidan
desa bahwa Inen Ar telah melahirkan. Setelah mendapatkan
informasi mengenai kelahiran anak ke­empat Inen Ar, bidan
desa pun bergegas datang ke rumah Inen Ar untuk memeriksa
keadaan Inen Ar dan menimbang bayinya. Berat bayi Inen Ar
yang berjenis kelamin perempuan tersebut adalah 3,4 kilogram.
Setelah menimbang bayinya, bidan desa pun menyuntik bagian
paha Inen Ar dan memberikan obat dan kassa untuk pusar si
bayi kepada Inen Ar. Kemudian bidan desa pun pamit untuk
pulang.

Selain Inen Ar, ada juga Inen So yang melakukan persalinan sendiri
tanpa dibantu oleh bidan kampung atau bidan desa. Pada saat itu dia
mengira anak yang dikandungnya belum tiba waktunya untuk lahir, karena
menurut perhitungannya, usia kandungannya baru berusia tujuh bulan.
Hal ini seperti yang diceritakan pada cerita berikut ini.
Inen So yang berusia sekitar 30-an tahun telah melahirkan anak
keempatnya pada bulan Mei 2012. Ia tidak menyangka anaknya akan lahir

66 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
pada bulan itu. Menurut perkiraannya, dia akan melahirkan dua bulan
lagi, karena menurut perhitungannya, usia kandungannya pada saat itu
masih tujuh bulan. Namun, pagi yang cerah pada bulan Mei 2012 telah
memberinya seorang anak laki-laki. Pada saat itu waktu menunjukkan
pukul 07.00 pagi hari, waktu yang tepat bagi ibu-ibu di Desa Tetingi untuk
melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci baju, membersihkan
rumah, dan sebagainya. Pada saat itu, Inen So baru selesai mencuci pakaian
di sumur yang terletak kira-kira 100 meter dari rumah Inen So. Setelah
mencuci pakaian, Inen So mengalami sakit perut. Dia pun segera pulang
untuk istrihat sejenak. Namun, rasa sakit itu semakin terasa. Melihat sang
istri mengalami kesakitan, suami Inen So yang pada saat itu masih berada
di rumah, segera memanggil bibinya yang juga seorang bidan kampung
di Desa Kong (sekarang berganti nama Kong Bur). Jarak Desa Kong Bur
dengan Desa Tetingi sekitar tiga kilometer. Bibinya tersebut adalah adik
kandung bapak suami Inen So.
Ketika suaminya memanggil bibinya, rasa sakit perut yang dialami
oleh Inen So semakin terasa. Tak lama berselang setalah suaminya pergi
memanggil bibinya, rasa sakit di perut yang dialami Inen So semakin
terasa. Tak lama kemudian, keluarlah seorang bayi lucu dari rahim Inen So.
Untung tak disangka, tak lama kemudian bibi dan suaminya pun datang.
Melihat sang bayi telah keluar dari rahim Inen So, bibinya pun langsung
memotong tali pusar anaknya dengan semilu dan memandikannya dengan
air dingin.
Kabar kelahiran putra keempat Inen So tidak diketahui oleh sebagian
masyarakat Desa Tetingi, bahkan ada yang tidak tahu akan kehamilan Inen
So. Hal ini seperti yang dialami oleh seorang anggota tim peneliti ketika
memastikan informasi kepada salah satu warga bahwa Inen So telah
melahirkan, warga tersebut berkata “O, yah? Banyak yang enggak tahu
kalau dia itu hamil. Badannya juga kecil, nggak keliatan,” jelas salah satu
warga tersebut dengan ekspresi sedikit kaget. Tim peneliti mengetahui
bahwa Inen So telah melahirkan seorang anak laki-laki dari Empun (Nenek)
Ar, seorang dukun kampung yang dekat dengan salah satu anggota tim
peneliti. Empun (Nenek) Ar memberitahukan kepada salah seorang
anggota tim peneliti tersebut pada hari kedua setelah Inen So melahirkan,
pada saat mereka bertemu di MCK milik Empun (Nenek) Ar. Meskipun
Empun (Nenek) Ar dikenal sebagai bidan kampung di Desa Tetingi, tetapi
Inen So tidak memanggilnya, karena Inen So mempunyai bibi yang juga
seorang bidan kampung. Berdasarkan sistem kekerabatan, Inen So dengan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 67
bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur mempunyai hubungan kekerabtan
lebih dekat daripada dengan Empun (Nenek) Ar, meskipun rumah Empun
(Nenek) Ar lebih dekat daripada rumah bibinya.
Keesokan harinya atau pada hari ketiga setelah Inen So melahirkan,
salah satu anggota tim peneliti bertandang ke poskesdes untuk mena­
nyakan keadaan Inen So kepada bidan desa. Namun rupanya Bidan desa
tidak mengetahui bahwa Inen So telah melahirkan tiga hari yang lalu,
bahkan dia baru mendapatkan kabar tentang Inen So dari tim peneliti pada
saat itu. Setelah mendapat informasi mengenai kelahiran anak Inen So
dari tim peneliti, bidan desa tersebut pun datang ke rumah Inen So untuk
memeriksa Inen So dan anaknya. Ketika tiba di rumah Inen So, bidan desa
memeriksa Inen So, menyuntiknya, dan memberinya obat-obatan. Selain
itu, bidan desa juga menimbang anak Inen So. Setelah ditimbang, berat
bayi Inen So 2,8 kilogram. Bidan desa tersebut hanya menimbang bayi
Inen So, karena menurutnya pada saat dia ingin merawat tali pusar bayi
tersebut dan memberinya kassa, Inen So berkata bahwa anaknya sedang
buang air besar. Akhirnya, bidan desa tersebut mengurungkan niatnya
untuk memeriksa bayi dan memberi kassa pada pusar bayi Inen So. Oleh
sebab itu, bidan desa tersebut hanya memberikan perlengkapan kassa
untuk pusar bayi dan menjelaskan pada Inen So cara menggunakan kassa
tersebut.
Setiba di poskesdes, peneliti pun bertanya kepada bidan desa apa­
kah benar usia kehamilan Inen So belum mencapai 7 bulan seperti yang
telah dijelaskan oleh Inen So sebelumnya pada peneliti. Bidan desa
tersebut menjawab bahwa usia kehamilan Inen So tersebut sudah 9
bulan dan memang sudah waktunya melahirkan. Menurut bidan desa
tersebut, memang masih banyak ibu hamil yang salah menghitung usia
kehamilannya. Untuk itu, pada saat pemeriksaan pertama atau pada saat
bertemu dengan ibu hamil, bidan desa bertanya kapan terakhir kali si ibu
mengalami menstruasi.
Inen So telah melahirkan empat orang anak. Menurutnya, empat
orang anaknya tersebut tidak ada yang dilahirkan dengan bantuan bidan
desa, bahkan anaknya yang ketiga yang sekarang berumur 6 tahun tidak
dibantu oleh bidan desa maupun bidan kampung, melainkan dibantu
oleh tetangganya, karena pada saat itu bibinya yang berada di Desa Kong
terlambat datang untuk memotong tali pusar anaknya. Tetangga Inen So
yang membantu persalinan anak ketiganya adalah Inen NA yang rumahnya
di depan rumah Inen So. Inen NA bukanlah seorang bidan kampung dan

68 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
juga bukan seorang bidan desa, namun karena hal itu harus dilakukan,
Inen NA akhirnya memotong tali pusar anak Inen So. Menurut Inen So, dia
tidak mau memanggil bidan desa untuk membantu persalinannya karena
takut dibedah. “Nggak ah, nanti dibedah. Masih bisa sendiri,” ujar Ibu So
ketika salah seorang peneliti menanyakan mengapa dia tidak memanggil
bidan desa untuk membantu persalinannya.
Berdasarkan dua cerita dari ibu bersalin di atas, dapat diketahui bahwa
masih ada ibu hamil di Desa Tetingi yang tidak mengetahui tanda-tanda
persalinan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya (1) adanya
kesalahan dalam menghitung bulan kehamilan, (2) adanya kesalahan
dalam memprediksi persalinan karena berdasarkan pada pengalaman
persalinan sebelumnya, dan (3) masih ada ibu hamil yang tidak melakukan
pemeriksaan kehamilan kepada tenaga kesehatan, seperti yang diceritakan
sebelumnya. Ketidaktahuan ibu hamil akan tanda-tanda persalinan dapat
menyebabkan ketidaksiapan seorang ibu untuk menghadapi persalinan
sehingga terjadi persalinan yang dilakukan sendiri oleh ibu hamil seperti
dalam cerita Inen Ar dan Inen So.
Selain Inen Ar dan Inen So, ada juga Inen Ti yang melakukan per­
salinan sendiri di tengah persawahan. Menurut cerita Inen Ti yang telah
mempunyai tujuh orang anak, tiga orang anaknya, yaitu anak kelima,
keenam, dan ketujuh dilahirkan di tengah sawah tanpa pertolongan bidan
kampung maupun bidan desa. Pada saat itu, Inen Ti sedang bekerja di
sawah. Pada saat bekerja, dia mengalami kesakitan pada perutnya. Me­
lihat sang istri mengalami sakit perut, sang suami yang pada saat itu
sedang bekerja segera pergi ke pemukiman penduduk untuk mencari
pertolongan bidan kampung atau bidan desa. Namun, untung tak dapat
diraih. Bidan kampung dan bidan desa tidak ada di tempat. Kemudian,
suami Inen Ti pun memanggil bibinya yang bukan seorang bidan kampung
untuk menolong Inen Ti yang sedang mengalami kesakitan.
Ketika suami Inen Ti pergi ke pemukiman penduduk untuk mencari
pertolongan, Inen Ti berjuang sendiri melawan rasa sakit. Tak lama waktu
berselang, Inen Ti melahirkan seorang bayi perempuan yang lucu, sebelum
suaminya datang membawa bibinya untuk menolong. Tak lama kemudian,
suaminya datang bersama bibinya. Melihat Inen Ti telah melahirkan
seorang bayi, bibinya yang bukan seorang bidan kampung maupun bidan
desa segera memotong tali pusar dan merawat bayinya. Menurut Inen Ti,
dia sudah tiga kali mengalami persalinan sendiri di tengah sawah tanpa
bantuan seorang bidan kampung maupun bidan desa.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 69
3.4.2 Metode Bidan Kampung Menolong Persalinan
Bidan kampung di Desa Tetingi mempunyai cara atau metode tersendiri
untuk menolong persalinan. Cara atau metode tersebut dipelajari secara
turun-temurun dari ibunya, neneknya, dan nenek moyangnya, seperti
menggunakan kunyit dan minyak goreng untuk mengurut atau memijat
perut ibu hamil, menggunakan semilu untuk memotong tali pusar bayi,
dan sebagainya. Namun, kadang kala cara pertolongan persalinan satu
bidan kampung dengan bidan kampung yang lain berbeda, begitu pula
antara bidan kampung dan dukun kampung.
Menurut Empun (Nenek) Ma, salah seorang bidan kampung
yang terkenal di Desa Tetingi, apabila ibu hamil sudah sering sakit dan
diperkirakan sudah tiba waktunya untuk melahirkan, ia diberi air kopi yang
dicampur kuning telur untuk diminum. Air kopi dan kuning telur tersebut
merupakan “suntikan pemanas” atau perangsang agar cepat melahirkan.
Pendapat Empun (Nenek) Ma tersebut sama dengan yang disampaikan
oleh Empun (Kakek) Sn pada saat istrinya akan melahirkan anak-anaknya
yang kini telah dewasa. Pada saat itu, istrinya diberi air kopi yang telah
dicampur kuning telur oleh dukun kampung.
Selain kopi dan kuning telur sebagai perangsang agar cepat me­
lahirkan, Empun (Nenek) Ma juga menjelaskan bahwa ada bawang
putih, mungkur (jeruk perut), dan minyak goreng yang dioleskan pada
lubang pintu lahir (vagina). Sebelum dioleskan, bahan-bahan tersebut
dicampur terlebih dulu. Ramuan ini diberikan agar vagina cepat melebar
sehingga bayi dapat keluar dengan mudah. Setelah mengoleskan bawang
putih, mungkur, dan minyak goreng tersebut, Empun (Nenek) Ma akan
menggoyang-goyangkan pinggang ibu yang akan melahirkan dengan kain
panjang agar bayi cepat keluar.
Berbeda dengan Empun (Nenek) Ma, Empun (Nenek) Ar, seorang
bidan kampung terkenal di Desa Tetingi, mempunyai cara yang berbeda
untuk membantu persalinan. Pada saat seorang ibu hamil akan mela­
hirkan, Empun (Nenek) Ar akan mengurut perut ibu tersebut dengan
menggunakan minyak goreng dan bawang putih yang sudah didoakan
terlebih dulu, kemudian dioleskan ke perut ibu hamil yang akan melahirkan.
Minyak goreng dan bawang putih digunakan sebagai minyak urut untuk
membantu persalinan karena diyakini dapat menghilangkan blis (setan)
yang dapat masuk ke dalam tubuh ibu bersalin. Oleh sebab itu, menurut
Empun (Nenek) Ar, minyak goreng tidak bisa diganti dengan minyak yang
lain, seperti minyak telon dan minyak kayu putih, karena minyak-minyak

70 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
tersebut tidak bisa menghilangkan atau mengusir setan yang akan masuk
ke dalam tubuh ibu bersalin. Minyak goreng yang digunakan bisa minyak
goreng yang sudah dipakai untuk menggoreng atau yang belum dipakai
untuk menggoreng.
Apabila mengurut dengan minyak goreng dan putih tidak mampu
membantu ibu bersalin melahirkan anaknya, Empun (Nenek) Ar masih
mempunyai cara lain. Kedua kaki ibu bidan kampung akan masuk di antara
kedua paha ibu bersalin sampai ujung kaki bidan kampung menyentuh
pangkal paha ibu yang akan melahirkan. Dua kaki bidan kampung ter­
sebut akan membuka dua paha ibu yang melahirkan secara perlahan.
Sementara itu, bidan kampung akan memasukkan tangannya ke dalam
vagina ibu bersalin untuk mengambil si bayi. Sebelum dimasukkan, tangan
bidan kampung terlebih dulu diolesi dengan minyak goreng dan tidak
menggunakan sarung tangan seperti tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan
agar lebih mudah mengambil si bayi yang berada di dalam perut. Selain
itu, meskipun ibu bersalin sulit melahirkan dan lubang vagina belum
terbuka lebar, bidan kampung tidak akan merobek atau menggunting
lubang vagina ibu bersalin. Untuk memperlebar lubang vagina ibu bersalin
tersebut, bidan kampung akan memperlebar pintu antara dua paha
ibu bersalin dengan menggunakan kakinya. Sementara itu, tangannya
berusaha untuk meraih bayi yang berada di dalam rahim ibu bersalin.
Empun (Nenek) Ma melakukan cara yang berbeda. Untuk memperlebar
jalan lahir, ia menggunakan campuran bawang putih, mungkur (jeruk
purut), dan minyak makan, kemudian dioleskan secara perlahan-lahan di
pintu jalan lahir.
Apabila ada seorang ibu bersalin mengalami kesulitan melahirkan,
masyarakat menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan dia mempunyai
kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku kepada orang di seki­
tarnya, misalnya kepada suaminya, ibunya, bapaknya, mertuanya, dan
orang lain. Untuk itu, pada saat melahirkan dia dilangkahi oleh orang yang
pernah dia sakiti. Misalnya, dia pernah menjelek-jelekkan ibunya, maka
ibunya akan melangkahi tubuh ibu bersalin tersebut sebanyak tiga kali
pada saat melahirkan. Apabila ibunya atau orang yang disakitinya sudah
melangkahinya, berarti dia sudah mendapat izin dari orang tersebut untuk
melahirkan “nge ku ijinen cerakku ku aku” (sudah saya izinkan omonganmu
tentang aku).
Apabila si bayi telah keluar dari rahim sang ibu, namun tembuni (ari-
ari) belum keluar, bidan kampung akan mengeluarkan tembuni terlebih


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 71
dulu dari perut ibu sebelum tali pusar si bayi dipotong. Jadi, tali pusar si
bayi tidak akan dipotong sebelum tembuni keluar. Hal ini dilakukan karena
menurut bidan kampung, bayi dan tembuni mempunyai satu kesatuan
nyawa. Oleh karena itu, jika tembuni belum keluar maka tali pusar bayi
belum bisa dipotong karena nyawa si bayi baru ada satu, sedangkan yang
satu lagi berada di tembuni yang masih di dalam perut sang ibu. Tali pusar
bayi akan dipotong setelah tembuni keluar.
“… keluar dulu (ari-ari) baru dipotong tali pusatnya. Kalau
belum keluar nggak dipotong. Satu napasnya kalau tembuni
belum keluar, satu napasnya …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Apabila tembuni belum keluar, bidan kampung akan memijat perut


ibu hamil agar tembuni itu keluar. Apabila tembuni tetap belum keluar,
tangan bidan kampung akan masuk ke dalam vagina ibu yang melahirkan
untuk mengambil tembuni. Pengambilan tembuni dengan menggunakan
tangan bidan kampung dikenal dengan istilah rai dalam masyarakat Gayo
Lues. Sebelum dimasukkan ke dalam vagina, tangan bidan kampung
diolesi dengan minyak goreng terlebih dulu. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan mengeluarkan tembuni dari perut si ibu.
“… kalau berhenti tembuninya minyak gorenglah, rai terus
(ambil terus). Ini pencet terus (tangan kanannya memegang
perutnya), ini masuk terus (sambil menunjukkan tangan kirinya
masuk ke dalam lubang vagina) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
“… supaya licin dia kalau pakai minyak goreng. Kalau nggak kan
payah (sulit). Kan payah (sulit) masukkan tangan ini ke dalam
perut kalau nggak ditaruh minyak. Kalau udah ditaruh minyak,
dia kan udah licin, jadi dimasukkan ini (tangan) ketemu dengan
tembuni itu, ditangkap. Ditarik ke luar …,” jelas Empun (Kakek)
Ar yang berada di sebelah istrinya pada saat wawancara.

Untuk memotong tali pusat, bidan kampung di Desa Tetingi meng­


gunakan semilu. Semilu adalah potongan kulit bambu yang mempunyai
sisi yang tajam. Panjangnya kurang lebih 20 cm dan tebalnya kurang lebih
setebal pisau. Penggunaan semilu sebagai alat pemotong tali pusar bayi
merupakan ajaran nenek moyang, yang diajarkan secara turun-temurun.
Menurut ajaran nenek moyang mereka, penggunaan semilu untuk
memotong tali pusar bayi merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu
nabi dalam agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang dianut

72 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
oleh mayoritas masyarakat Desa Tetingi. Selain itu, menurut Empun (Ne­
nek) Ma, pemotongan tali pusat menggunakan semilu tidak langsung
putus sehingga bidan kampung bisa memotong tali pusar tersebut secara
perlahan sambil membaca doa. Hal ini tentu berbeda dengan gunting
yang bisa memotong tali pusar hanya dalam satu kali potong.
“... gi (enggak) pakai gunting. Keturunanlah saya. Dari datu
(buyut). Dari nenek. Dari datu ke nenek, nenek ke mamak (ibu),
mamak ke saya. Itu keturunan Nabi Muhammad. Enggak usah
kata nenek pakai gunting. Nggak pakai gunting katanya, pakai
semilu. Iya, nggak usah kata nenek. Nggak usah pakai gunting.
Gunting tajam ya. Srep, udah. Gecep (potong) terus ya …,” jelas
Empun (Nenek) Ma.

Sebelum memotong tali pusar, semilu didoakan terlebih dulu oleh


bidan kampung. Doa yang dibacakan juga doa yang diajarkan oleh nenek
moyangnya secara turun-temurun. Setelah didoakan, barulah semilu
tersebut digunakan untuk memotong tali pusar yang telah diikat dengan
benang godang, yaitu benang yang digunakan untuk mengikat karung,
agar tidak putus. Ada tujuh ikatan benang godang yang diikatkan pada
tali pusar. Empat ikatan diikat pada tali pusar yang dekat dengan bayi,
sedangkan tiga ikatan diikat dekat dengan tembuni. Setelah diikat, ikatan
bagian tengah dipotong dengan menggunakan semilu. Sebelum dipotong
putus, semilu akan memotong atau mengiris tali pusar tersebut sebanyak
tujuh kali. Pada saat memotong tali pusar secara perlahan tersebut, bidan
kampung membaca doa. Tali pusar akan putus pada irisan atau hitungan
ketujuh. Oleh sebab itulah bidan kampung masih menggunakan semilu
untuk memotong tali pusar. Jika menggunakan gunting maka tali pusar
akan langsung terpotong hanya dalam sekali potongan.
“… empat di anak bayi, tiga di tembuni (ari-ari). Potong tengah
…,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Pada saat memotong tali pusar, di bawah tali pusar diletakkan


arang dan kunyit. Arang dan kunyit tersebut berfungsi sebagai alas atau
sangkal, dalam bahasa Gayo Lues, untuk memotong tali pusar dengan
menggunakan semilu. Selain berfungsi sebagai alas atau sangkal, kunyit
juga dapat mengusir setan. Jadi, kunyit tidak bisa diganti dengan benda
yang lain, misalnya lengkuas dan sebagainya. Penggunaan kunyit sebagai
sangkal merupakan ajaran nenek moyang yang diperoleh secara turun-


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 73
temurun. Semua yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar sama dengan
yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ma, hanya saja kunyit dan arang dialas
dengan kapas. Pada saat pemotongan, bidan kampung mengucap doa
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad sampai tali pusar tersebut
putus terpotong.

Gambar 3.3 Semilu untuk memotong tali pusar bayi. Di bawah semilu terdapat arang dan kunyit
sebagai penyanggah dan juga dipercaya oleh masyarakat setempat untuk mencegah datangnya
setan yang dapat mengganggu ibu bersalin dan bayinya.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Setelah tali pusar terpotong, tali pusar yang tersisa pada ari-ari akan
dioleskan ke bagian ketiak kiri dan kanan, pusar, dan pangkal paha kiri
dan kanan si bayi dengan tujuan agar bayi tersebut tidak mempunyai
napas yang tidak sedap, tidak ingusan, tidak ada kotoran pada matanya,
dan tidak terjadi infeksi pada telinganya. Setelah itu, bayi dimandikan
oleh bidan kampung dengan menggunakan mungkur (jeruk purut) dan air
dingin yang mengalir. Hal ini dilakukan karena menurut bidan kampung,
memandikan bayi dengan menggunakan air dingin merupakan ajaran
Nabi Muhammad yang telah diajarkan secara turun-temurun.
Setelah si bayi dimandikan, sisa potongan tali pusar yang masih
melekat pada tubuh bayi disembur dengan sirih. Caranya, sirih dan
rempah-rempah, seperti tekur (kencur), bunge lawang (bunga cengkeh),

74 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
kulit manis, kacu (gambir), pinang, kapur sirih, dan konyel dikunyah terlebih
dulu oleh dukun kampung, kemudian disemburkan ke tali pusar bayi. Hal
ini dilakukan karena adanya pengetahuan dalam masyarakat setempat
bahwa semburan sirih dapat mengeringkan dan melepaskan tali pusar
dengan cepat. Pada hari keempat, menurut Empun (Nenek) Ma, ujung
tali pusar tersebut dibakar dan apabila menonjol ditekan agar masuk ke
dalam perut.
Setelah pusarnya disembur dengan sirih, si bayi dibalut dengan kain
panjang, kemudian dibacakan adzan dan iqomah bagi anak laki-laki dan
iqomah saja bagi anak perempuan. Adzan dan iqomah tersebut dibacakan
oleh ayah atau kakek si bayi dengan cara dibisikkan pada telinga si bayi.
Jika bayi sudah diadzankan dan diiqomahkan berarti bayi tersebut sudah
beragama Islam, agama yang dianut oleh seluruh warga masyarakat
setempat.
Sementara itu, tembuni juga akan dimandikan dengan menggunakan
mungkur (jeruk purut). Setelah dimandikan, tembuni dimasukkan ke
dalam sumpit atau tape, yakni wadah yang dibentuk seperti tas, yang
terbuat dari daun pandan.
“… budak (bayi) dimandikan pakai mungkur (jeruk purut).
Tembuni (ari-ari) pun dimandikan. Bersihlah semuanya. Baru
ditanam. Masuk di dalam sumpit ya, baru ditanam …,” jelas
Empun (Nenek) Ar.

Setelah tembuni dimasukkan, tape lalu diikat dengan tali. Semilu,


kunyit, dan arang yang digunakan pada saat memotong tali pusar di­
selipkan di tali yang digunakan untuk mengikat tape tersebut. Kemudian
tape tersebut dibawa ke bukit atau gunung untuk ditanam oleh bidan
kampung. Sebelum menanamnya, bidan kampung akan berkata pada
tembuni tersebut, “Ti ko ngenali adikmu ni, adikmu ni ngali ko (jangan
kamu cari adikmu, adikmu yang akan cari kamu).” Menurut masyarakat
Gayo Lues, tembuni ditanam di bukit atau di gunung agar suara anaknya
nanti bagus. Selain itu, ada kepercayaan dalam masyarakat Gayo Lues
bahwa jika tembuni ditanam di bukit, si bayi nantinya akan menjadi orang
baik dan mendengar nasihat orang tuanya.
“… kene jema kati jeroh we. Pengenne penejer ni mamak rum
bapak. Jeroh we. (kata orang biar dia baik. Mendengarkan
nasihat bapak dan ibunya) …,” kata Empun (Nenek) Ar.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 75
Tidak semua ibu bersalin mengalami kemudahan dalam melahirkan
seperti Inen Ar dan Inen So pada cerita sebelumnya. Apabila ibu bersalin
mengalami masalah dalam persalinan, seperti bayi sesak (sungsang), ibu
mengeluarkan banyak darah sebelum bayi keluar, ketuban belum pecah,
dan persalinan lama, bidan kampung mempunyai cara dan obat tersendiri
untuk menanganinya.
Apabila bidan kampung mengetahui bahwa bayi di dalam perut ibu
bersalin dalam keadaan sungsang atau sesak dalam bahasa Gayo, dia akan
menggoncang-goncangkan perut ibu hamil untuk memindahkan letak
kepala si bayi. Perut ibu bersalin tersebut digoncangkan atau digoyang dari
pinggul belakang menuju ke perut depan. Hal ini dilakukan agar kepala
bayi berada di posisi bawah.
Apabila ibu bersalin mengeluarkan banyak darah tetapi bayinya
belum keluar, bidan kampung akan memberikan air beras dan air mungkur
(jeruk purut) kepada ibu yang akan melahirkan. Setelah mungkur tersebut
diperas dan mengeluarkan air, kemudian disatukan dalam sebuah wadah
dengan air beras. Air beras dan air mungkur tersebut kemudian diminum
oleh ibu bersalin, setelah didoakan terlebih dulu oleh dukun kampung.
Berdasarkan pengetahuan bidan kampung, air beras dan mungkur
tersebut berfungsi untuk menghilangkan blis (setan) yang dianggap sedang
masuk di dalam tubuh ibu bersalin atau dengan kata lain “burung sedang
bela”. Blis (setan) yang masuk ke dalam tubuh ibu bersalin tersebutlah
yang menyebabkan banyak darah yang keluar dari rahim ibu bersalin,
sedangkan si bayi belum keluar.
Selain air beras dan mungkur, ada juga obat lain yang digunakan
oleh bidan kampung untuk mengatasi pendarahan. Obat tersebut adalah
beras, kunyit, mungkur (jeruk purut), bawang putih, lebe, baing (jahe), dan
bungli. Bahan-bahan tersebut diremas-remas sampai mengeluarkan air.
Setelah itu, airnya diminum oleh ibu bersalin. Sebelum diminum, bahan-
bahan tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Setelah
airnya diminum, bahan-bahan tersebut diusapkan ke wajah dan seluruh
badan ibu bersalin. Fungsi obat tersebut adalah agar darah berhenti dan
setan keluar sehingga ibu yang akan melahirkan menjadi sehat.
“… kati (agar) berhenti darahnya. Beluh blis (keluar setannya).
Sehat we (sehat dia) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain dua macam obat tersebut di atas, ada obat lain lagi yang dapat
digunakan untuk menghentikan perdarahan ibu bersalin, yaitu semburan

76 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
mangas (sirih) dicampur dengan awasacih7, pinang, kacu (kapur), konyel,
kulit manis, dan bunge lawang (bunga cengkeh). Daun sirih dan rempah-
rempah tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung, kemudian
dikunyah oleh bidan kampung. Kemudian, sirih dan rempah-rempah
tersebut disemburkan ke perut ibu bersalin. Hal ini dilakukan agar setan
yang ada dalam tubuh ibu bersalin tersebut keluar.
“… itu dia melahirkan sebelum waktunya. Ada darah yang
keluar waktu melahirkan. Itu katanya ada jin …,” jelas Inen
Lani.

Apabila ketuban ibu bersalin belum pecah pada saat akan melahirkan,
dukun kampung akan menusuk selaput dengan menggunakan biji padi.
“… beginilah, padi beginilah (sambil menunjukan kukunya),
ma­suklah ke dalam puset (vagina) itu, sunteklah rum rom
(suntiklan dengan menggunakan padi) …,” jelas Empun (Nenek)
Ar.

Namun apabila ketuban sudah pecah tetapi usia kehamilan ibu kurang
dari sembilan bulan, sang ibu dianggap terkena setan atau rampat. Apabila
hal ini terjadi maka si ibu hamil akan diberi obat ujung jih (pucuk ilalang)
dan kilet (tunas ilalang) dengan jumlah masing-masing tujuh buah. Obat
tersebut akan didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Sementara itu
anak yang ada di dalam kandungan si ibu harus segera dilahirkan.
Pada saat persalinan, sang suami tidak boleh masuk ke dalam ruang
bersalin, meskipun hanya untuk sekadar menemani istrinya melahirkan.
Menurut masyarakat setempat, persalinan merupakan urusan vagina,
sehingga laki-laki akan merasa malu menemani istrinya melahirkan. Oleh
sebab itu, pada saat proses persalinan, seorang suami tidak boleh me­
nemani istrinya.

3.4.3 Dukun Kampung Pria


Selain bidan kampung, ada juga bidan kampung laki-laki di Desa
Tetingi, yang disebut dukun kampung. Dukun kampung laki-laki ini kadang
kala juga membantu proses persalinan, seperti Aman Yu. Aman Yu adalah

7
Awasacih berasal dari kata “awas Aceh”. Awas dalam bahasa Gayo Lues berarti rempah-rempah.
Jadi awasacih adalah rempah-rempah aceh yang terdiri dari sapu laga, cengkeh keling, ketumbar,
merica, dan buah pala.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 77
seorang warga Desa Porang Ayu yang menikah dengan salah seorang
perempuan Desa Tetingi. Aman Yu sering mengobati orang sakit dan
orang yang melahirkan, contohnya Inen An, adik iparnya sendiri. Pada saat
melahirkan An, Inen An ditolong oleh Aman Yu. Namun, cara pertolongan
persalinan Aman Yu berbeda dengan bidan kampung. Bidan kampung bisa
leluasa membantu membuka vagina ibu bersalin dan mengambil bayinya
dari lubang vaginanya, namun dukun laki-laki hanya bisa membantu
dengan doa atau gerakan secara simbolik saja. Sementara itu, mengambil
bayi dan memotong tali pusar tetap dilakukan oleh perempuan yang ada
pada saat ibu itu bersalin, seperti ibunya atau ibu mertuanya.
Menurut Aman Yu, ada dua cara yang dilakukannya untuk membantu
proses persalinan seorang ibu, yaitu (1) dukun kampung akan mendoakan
kepala tepat pada ubun-ubun ibu bersalin, kemudian meniupnya, dan
(2) dukun kampung akan meletakkan kain panjang menyelimuti perut
sampai bawah lutut ibu bersalin, kemudian dukun kampung tersebut
akan mendoakan kain tersebut. Setelah didoakan, kain tersebut akan
ditarik cepat oleh dukun kampung sebagai simbol agar bayinya cepat
keluar. Sementara itu, perempuan yang ada di sekitar ibu bersalin akan
membantu mengurut perut ibu bersalin dan membuka lubang vagina agar
bayinya cepat keluar.
Berdasarkan penjelasan Aman Yu tersebut, dukun kampung hanya
bisa membantu proses persalinan dengan doa-doa dan gerakan simbolik,
sedangkan urusan perut dan vagina dilakukan oleh perempuan yang ada
di sana saat persalinan. Hal serupa juga dikatakan oleh Empun (Kakek)
Ar yang juga bisa membantu persalinan. Namun, berhubung istrinya juga
seorang bidan kampung, Empun (Kakek) Ar jarang membantu persalinan.
Menurut Empun (Kakek) Ar, seorang dukun laki-laki membantu persalinan
hanya dengan doa-doa saja, misalnya jika seorang ibu bersalin sulit
melahirkan, dukun kampung tersebut akan mendoakan segelas air putih
atau ramuan lain di luar ruangan persalinan. Kemudian air putih atau
ramuan tersebut diminum oleh ibu bersalin agar mudah bersalin.

3.5 Nite Ibu Nifas, 44 Hari Bersama Api dan Ramuan Gayo
Setelah melahirkan, ibu nifas di Desa Tetingi akan melaksanakan
prosesi nite. Dalam kamus umum Bahasa Gayo-Indonesia (Bahry, 2009:258),
nite adalah istirahat setelah melahirkan. Pada masa nite, seorang ibu nifas
akan duduk di dekat api dengan posisi duduk membelakangi api selama
44 hari. Duduk di dekat api ini disebut bedaring, dalam istilah masyarakat

78 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
setempat. Selain duduk di dekat api, pada masa nite ibu nifas juga meng­
gunakan ramuan-ramuan tradisional Gayo, baik yang digunakan di luar
tubuh maupun di dalam tubuh. Jadi, nite adalah seluruh aktivitas ibu nifas
mulai dari bedaring sampai menggunakan ramuan tradisional Gayo.
Nite dikenal juga dengan istilah bedapur dalam masyarakat setempat.
Bedapur berasal dari kata dapur. Pengertian dapur dalam penjelasan ini
bukan ruang untuk memasak, seperti yang dipahami oleh masyarakat
pada umumnya, melainkan alat atau media untuk memasak. Mayoritas
masyarakat Desa Tetingi mempunyai dapur yang terbuat dari kotak
kayu yang diisi tanah untuk membakar kayu bakar, sebagai alat untuk
memasak. Dapur inilah yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat
untuk bedaring. Apabila ibu bersalin tersebut tidak mempunyai dapur
yang terbuat dari kotak kayu yang diisi tanah, misalnya dia menggunakan
kompor gas atau kompor minyak untuk memasak, suami atau keluarganya
yang lain akan membuatkan dapur, atau dapat juga meminjam dapur
tetangga yang mempunyai dapur yang tidak dipakai.
Dapur terbuat dari papan kayu yang mempunyai ukuran panjang
kurang lebih 100 cm, lebar 70 cm, dan tinggi 20 cm. Papan tersebut di­
bentuk kotak, lalu diisi dengan tanah sampai penuh. Di atas tanah inilah
diletakkan kayu bakar yang digunakan untuk menyalakan api pada masa
nite. Ada perbedaan antara dapur yang baru digunakan untuk nite dengan
dapur lama (dapur yang pernah digunakan untuk nite). Pada dapur baru
akan ditanam teteguh di keempat sudut kotak kayu dapur. Batang teguh
ini tidak digunakan atau ditanam lagi apabila dapur tersebut sudah pernah
digunakan untuk nite. Tujuan penanaman teteguh pada kotak kayu dapur
yang baru adalah untuk menjaga ibu nifas dan bayi agar tidak diganggu
blis (setan).
Ada empat jenis kayu bakar yang digunakan untuk nite, yaitu kayu
temung, delime (jambu), geluni, dan bengkuang (pandan duri). Selain
empat jenis kayu tersebut, kayu lain tidak bisa digunakan untuk bedapur,
termasuk alat pemanas atau pemasak lainnya, seperti kompor gas atau
kompor minyak. Menurut Empun (Kakek) Ar, apabila salah satu dari empat
jenis kayu bakar tersebut diganti dengan kayu lain atau diganti dengan
alat pemanas atau pemasak lain, ada kepercayaan dalam masyarakat
setempat akan datang suatu penyakit pada anaknya dan penyakit tersebut
sulit disembuhkan.
“… kalau datang penyakit kalau besar anak itu, nggak mau
sembuh. Itulah pantangannya …,” jelas Empun (Kakek) Ar.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 79
Setelah siap digunakan untuk nite, dapur diletakkan di dalam ruangan
yang disepakati oleh keluarga untuk nite. Ada yang menggunakan kamar,
ada juga yang menggunakan dapur (ruang untuk memasak) untuk tempat
nite. Apabila dapur (ruang untuk memasak) disepakati sebagai tempat
nite, ibu nifas tersebut akan pindah ke dapur dan melakukan nite selama
44 hari di dapur tersebut. Namun apabila kamar disepakati sebagai ruang
untuk nite, dapur tersebut akan diangkat ke dalam ruang kamar.

Gambar 3.4 Seorang ibu sedang bedaring di dapur pasca-persalinan.


(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Jendela yang ada di ruang nite ditutup sehingga tidak ada udara
atau angin yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Namun, udara ma­
sih bisa masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah dinding papan
rumah. Menurut masyarakat setempat, jendela ditutup pada saat nite
agar blis tidak masuk ke dalam ruang nite, yang dapat mengganggu ibu
nifas dan bayinya. Selain itu, jendela ditutup karena kondisi alam Desa
Tetingi, biasanya angin bertiup kencang. Angin kencang dapat meniup api
nite sehingga dapat menyambar ibu nifas dan benda-benda yang ada di
sekitarnya.
Semakin dingin suhu udara di Desa Tetingi, semakin besar pula api
yang menyala. Hal ini biasanya terjadi pada malam hari atau pada saat
menjelang fajar. Begitu pula sebaliknya, apabila suhu udara di Desa
Tetingi panas, hanya baranya saja yang menyala, bahkan kadang kala tidak

80 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
menyala sama sekali. Hal ini biasanya terjadi pada siang hari. Si bayi pun
ikut merasakan bedaring dan tidur bersama ibunya. Menurut masyarakat
setempat, tujuan bedaring pada saat nite adalah untuk mengeluarkan
darah kotor, menghilangkan sakit badan setelah melahirkan, agar badan
tidak bungkuk, dan kuat bekerja di sawah serta di ladang.
“… habis melahirkan pakai dapur ya, nti (tidak) sakit awak
(badan). Bungkuk. Pakai dapur timbang (lurus) ya. Keluar
da­rah kotornya sini (sambil menunjukan punggungnya). Da­
rah kotor yang lekat di sini, tulen uduk (tulang punggung).
Darah gumpalnya dekat di sini (sambil memegang tulang
belakangnya). Daring (didekatkan dengan api) sama ini, beres
we keluar (selesai itu, keluar) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
“… kalau nggak pakai itu, katanya nanti nggak kuat nyangkul,
motong (padi atau serai) …,” jelas Inen Ti.

Gambar 3.5 Seorang ibu sedang bedaring sambil menggendong bayinya.


(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

3.5.1 Ramuan Gayo Pasca-Persalinan


Selain bedaring pada masa nite, ibu nifas juga akan menggunakan
ramuan-ramuan tradisional Gayo yang dibuat sendiri oleh masyarakat
setempat, seperti bedak matah, tampal, bedak param, wak kuning, dan
wak tuyuh atau wak kunul. Biasanya ramuan-ramuan tersebut akan dibuat
pada masa hamil, biasanya pada saat usia kehamilan delapan bulan.
Menurut masyarakat setempat, ramuan-ramuan tradisional tersebut lebih


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 81
bagus daripada obat dokter. Menurut mereka, obat dokter bisa mengobati
rasa sakit pada saat itu saja, sementara ramuan-ramuan tradisional
tersebut dapat menyehatkan badan sehingga dapat memberikan kekuatan
pada seorang ibu untuk bekerja, apalagi pekerjaan mayoritas masyarakat
setempat adalah berkebun yang harus menyangkul, memotong padi,
mengangkat kayu, dan sebagainya.
“… lebih jeroh wak kampung daripada wak dokter. Kene jema
tue, sebab e kite bebuet, nyangkul, bekebun, jangkat. Memang
obat dokter peh tir sehat, tapi sijep we dang idapure (Lebih
bagus obat kampung daripada obat dokter. Kata orang tua,
karena kita bekerja, menyangkul, berkebun, membawa kayu
bakar di atas punggung. Memang obat dokter juga cepat sem­
buhnya, tapi sebentar Cuma waktu bedapur saja (masa nifas
saja) …,” jelas Kak Se.

Salah satu ramuan tradisional Gayo tersebut adalah bedak matah.


Bedak matah digunakan pada hari pertama setelah melahirkan sampai hari
ketiga. Bedak matah ini dioleskan ke seluruh badan ibu nifas, mulai dari
ujung kaki sampai ke wajah. Menurut masyarakat setempat, fungsi bedak
matah ini adalah untuk menyehatkan badan ibu nifas dan menghilangkan
rasa pegal pasca-persalinan. Selain itu, bedak matah ini juga mempunyai
fungsi untuk melancarkan ASI (Air Susu Ibu).
Berbeda dengan ramuan lainnya yang biasanya dibuat pada saat
hamil, bedak matah dibuat pada hari pertama melahirkan. Bahan-bahan
untuk membuat bedak matah terdiri atas rempah-rempah, yaitu beras,
kunyit, baing (jahe), bawang putih, bungle, lebe, lempuyang, awasacih,
mungkur (jeruk purut), dan minyak goreng. Cara membuat bedak matah
adalah sebagai berikut. Pertama-tama, beras direndam terlebih dulu sela-
ma kurang lebih setengah jam dan semua rempah dipotong, lalu dimasuk-
kan ke dalam piring kaca dan ditambah air secukupnya agar mudah digi­
ling. Rempah-rempah tersebut kemudian digiling dengan menggunakan
gelas kaca. Menurut Inen Zaki, alat penggiling hanya boleh menggunakan
gelas kaca yang digilingkan di atas piring kaca. Penggiling batu atau peng-
giling lain tidak boleh digunakan untuk menggiling bedak matah. Namun,
ketika ditanyakan pada Inen Za mengapa tidak boleh menggunakan peng-
giling lain, Inen Za pun tidak tahu alasannya. Pendapat Inen Za tersebut
selaras dengan observasi yang dilakukan ketika mertua Kak My menggi­
ling bedak matah dengan gelas dan piring untuk Kak My. Namun ketika

82 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
ditanyakan kepada mertua Kak My dan Kak My, mereka pun tidak tahu
alasannya mengapa menggunakan gelas kaca dan piring sebagai penggil-
ing bedak matah.
“… entahlah. Aturan jema jehmen (leluhur) seperti itu …,” jelas
Inen Za dan Kak My.

Gambar 3.6 Bedak matah yang digiling dengan menggunakan gelas dengan alas piring kaca.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Namun pendapat yang diutarakan oleh Inen Za dan Kak My tersebut


berbeda dengan yang dilakukan oleh Inen So. Inen So menggunakan
tempurung kelapa dan piring kaca untuk menggiling bedak matah. Na­
mun, ketika ditanyakan alasan menggunakan tempurung dan piring kaca,
Inen So pun tidak tahu alasannya. Setelah rempah-rempah tersebut
digiling, lalu dioleskan pada seluruh tubuh ibu nifas pada pagi dan sore
hari setelah mandi. Setelah tiga hari menggunakan bedak matah, ibu nifas
akan menggunakan bedak param sebagai penerus fungsi bedak matah.
Selain bedak matah, ada juga ramuan yang digunakan sejak hari
pertama pasca-persalinan. Ramuan tersebut disebut tampal. Berbeda
dengan bedak matah yang dioleskan ke seluruh badan ibu nifas, tampal
hanya dioleskan pada bagian tubuh tertentu seperti seliben (dahi)), tuyuh
kemiring (di bawah daun telinga), dan tuyuh mata gong (di bawah mata
kaki). Tampal ini berwarna hitam sehingga jika digunakan ibu nifas seolah-
olah sedang memakai pengikat kepala. Tampal terbuat dari rempah-


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 83
rempah yang terdiri atas tepung beras atau tepung ketan, kunyit, baing
(jahe), mungkur (jeruk purut), bungle, dan jire item.
Biasanya tampal dibuat pada masa hamil. Semua bahan digoreng
sangrai sampai berwarna hitam. Setelah itu, bahan-bahan tersebut di­
haluskan sampai berbentuk seperti kopi. Pada hari pertama pasca-
persalinan, ibu nifas sudah menggunakan tampal. Bubuk tampal tersebut
dicairkan dengan menggunakan air atau air mungkur (jeruk purut). Setelah
cair, tampal tersebut dioleskan pada seliben (dahi), tuyuh kemiring (di
bawah daun telinga), dan di bawah mata kaki. Sama halnya dengan bedak
matah, tampal digunakan setiap pagi dan sore hari setelah mandi. Menurut
pengetahuan masyarakat setempat, tampal ini mempunyai fungsi untuk
mencegah sakit kepala pada saat bekerja di kebun, mencegah masuk
angin, dan menghambat sakit pinggang.
“… fungsi tampal nanti kalau kita kerja di kebun biar gak mudah
sakit kepala, gak masuk angin, gak cepat sakit pinggang …,”
jelas Inen NA.

Gambar 3.7 Tampal yang telah dicairkan dengan air jeruk purut dioleskan pada dahi,
bawah daun telinga, dan bawah mata kaki ibu nifas selama 44 hari. Fungsi tampal ini
adalah untuk menghilangkan rasa sakit kepala dan mencegah masuk angin.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Selain bedak matah dan tampal, ada juga ramuan lain yang digunakan
ibu nifas, yaitu bedak param. Berbeda dengan bedak matah dan tampal
yang digunakan sejak hari pertama pasca-persalinan, bedak param
digunakan pada hari ketiga pasca-persalinan. Bedak param ini menjadi

84 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
pengganti atau penerus bedak matah yang hanya digunakan selama tiga
hari setelah melahirkan. Bedak param juga terbuat dari rempah-rempah
yang terdiri atas tepung beras, kunyit, baing (jahe), lada pedih (merica),
awasacih, bungle, lebe, mungkur (jeruk purut), dan jire manis.
Sama halnya dengan tampal, bedak param biasanya dibuat pada saat
usia kehamilan sekitar delapan bulan. Pertama-tama, bahan-bahan seperti
kunyit, jahe, merica, awasacih, bungli, lebe, jeruk purut, dan jire manis di-
giling sampai halus. Setelah dihaluskan, bahan-bahan tersebut lalu dicam-
pur dengan air secukupnya, lalu diperas seperti memeras kelapa dan disar-
ing dengan menggunakan saringan untuk mengambil airnya. Pengo­lahan
ini sama dengan mengolah kelapa. Air perasan rempah-rempah tersebut
lalu dicampur dengan tepung beras, diaduk sampai merata se­perti mem-
buat adonan kue. Selanjutnya, adonan dibentuk bulat-bulat kecil seperti
kue kering, lalu dijemur di bawah atap rumah selama kurang lebih satu
minggu sampai mengering. Penjemuran tidak boleh dilakukan di bawah
matahari. Menurut masyarakat setempat, apabila bedak param dijemur di
bawah matahari, ibu yang memakai bedak param tersebut nantinya tidak
sehat dan tampak pucat. Pengeringan bedak param dilakukan di bawah
atap rumah atau di langit-langit rumah kurang lebih selama satu minggu.
Setelah bedak param tersebut mengering, kemudian disimpan di dalam
sebuah wadah, seperti toples. Apabila tidak tahu, bedak param tersebut
dapat dikira kue karena bentuknya sama dengan kue kering.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bedak param digunakan
pada hari ketiga setelah melahirkan. Pada hari ketiga setelah melahirkan,
bedak param yang sudah mengering dan berbentuk bulat lempeng dicairkan
dengan air, lalu dioleskan ke seluruh tubuh ibu nifas pada pagi dan sore
hari setelah mandi. Bedak param juga dapat digunakan pada siang hari
atau malam hari, jika diperlukan. Bedak param dioles dari tubuh bagian
bawah (kaki) menuju ke atas (wajah). Menurut masyarakat setempat, cara
mengoleskan bedak param dari bawah ke atas ini dilakukan agar tubuh
menjadi sehat dan tidak pucat. Selain itu, bedak param diketahui oleh
masyarakat setempat mempunyai fungsi untuk menghangatkan badan
dan menyehatkan badan agar tidak sakit dan tidak masuk angin.
“… biar gak cepat kedinginan, biar gak masuk angin badan kita
selalu hangat gitu …,” jelas Inen Je.

Selain ramuan yang dioleskan pada bagian luar tubuh seperti yang
disebutkan sebelumnya, ada juga ramuan yang dikonsumsi oleh ibu nifas


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 85
Gambar 3.8 Bedak param yang belum dikeringkan.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

untuk mengobati luka dalam. Salah satu obat tersebut dikenal dengan
nama wak kuning. Wak dalam bahasa Gayo Lues berarti “obat”, dan
kuning berarti “kunyit”. Jadi, wak kuning adalah obat yang terbuat dari
kunyit. Meskipun namanya wak kuning, bukan hanya kunyit yang terdapat
dalam ramuan wak kuning, melainkan ada juga rempah-rempah lain.
Bahan-bahan untuk membuat wak kuning terdiri atas kunyit, baing (jahe),
lempuyang, tekur (kencur), kulit manis, gule ilang (gula merah), awasacih,
lada pedih (merica), bunga lawang, jire manis, asam jawa, dan serai.
Ada dua cara untuk membuat wak kuning, yaitu dengan cara
dikeringkan atau direbus. Apabila ingin membuat wak kuning dengan cara
dikeringkan, bahan-bahan tersebut dipotong halus lalu dijemur, kecuali
gula merah, asam jawa, dan serai. Ketiga bahan tersebut tidak digunakan
dalam pembuatan wak kuning yang dikeringkan. Setelah dijemur, lalu
bahan-bahan tersebut ditumbuk halus seperti membuat serbuk mi­nu­
man instan, misalnya serbuk jahe. Pembuatan wak kuning dengan cara
dikeringkan biasanya dilakukan pada usia kehamilan delapan bulan.
Setelah melahirkan, wak kuning diminum dengan cara dicairkan dengan
air panas, dicampur dengan gula.
Cara yang kedua adalah rempah-rempah tersebut direbus tanpa
dike­ringkan terlebih dulu. Sebelum direbus, rempah-rempah tersebut
dihaluskan. Gula merah, asam jawa, dan serai kemudian ditambahkan ke
dalam rebusan rempah-rempah tersebut. Pembuatan wak kuning dengan

86 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
cara direbus biasanya dilakukan setelah melahirkan karena wak kuning
yang direbus tidak dapat bertahan lama. Wak kuning yang direbus hanya
dapat bertahan selama dua atau tiga hari. Apabila wak kuning tersebut
sudah tidak baik untuk dikonsumsi atau sudah habis, wak kuning akan
dibuat lagi. Meskipun wak kuning dengan cara direbus lebih rumit karena
harus memasak lagi, namun ibu nifas di Desa Tetingi lebih menyukai
mengonsumsi wak kuning dengan cara direbus.
Wak kuning dikonsumsi oleh ibu nifas selama 44 hari sebanyak tiga
gelas atau lebih setiap hari sesuai dengan selera ibu bersalin. Berdasarkan
pengetahuan masyarakat setempat, wak kuning dikonsumsi oleh ibu nifas
karena mempunyai fungsi untuk menyehatkan badan dan menyembuhkan
luka dalam pasca-persalinan.
Selain minum wak kuning, seorang ibu yang baru melahirkan juga
minum air soda yang dicampur dengan susu kental manis. Soda dan
susu kental manis tersebut diminum sejak hari pertama setelah me­
lahirkan sampai tiga atau tujuh hari. Air soda yang dicampur dengan
susu kental manis tersebut dipahami oleh masyarakat setempat dapat
melancarkan ASI. Selain melancarkan ASI, soda dan susu kental manis
juga dapat melancarkan gumpalan darah yang terdapat dalam perut ibu
pascamelahirkan.
“… sakitlah di dalam perut. Ginilah darah gumpalnya. Besarlah.
Teger (keras) …,” jelas bidan kampung pada saat peneliti
bertanya apa fungsi dari soda dan susu.
Selain wak kuning yang berbentuk minuman, ada juga wak kuning
yang digiling halus. Ramuan tersebut terbuat dari kunyit dicampur dengan
garam dan air jeruk nipis (asam kuyun). Kunyit dan garam tersebut
dihaluskan terlebih dulu, lalu dicampur dengan air asam kuyun. Setelah
itu dimakan langsung oleh ibu nifas dari hari pertama pasca-persalinan
sampai waktu ibu nifas merasa bahwa lukanya telah sembuh, biasanya
sampai satu minggu setelah melahirkan. Menurut masyarakat setempat,
fungsi wak kuning yang digiling ini adalah untuk mengeluarkan darah
kotor pasca-persalinan dan menyehatkan badan ibu nifas.
“… kati bersih was (biar bersih dalam). Dimakan mamaknya ya
terus. Mamak si besalin …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
Selain wak kuning yang diminum atau dimakan oleh ibu nifas untuk
menyembuhkan luka dalam, ada juga obat yang langsung dioleskan pada
vagina atau dimasukkan ke dalam lubang vagina ibu nifas, yang dianggap


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 87
juga berfungsi untuk menyembuhkan luka dalam. Obat tersebut dikenal
dengan istilah wak tuyuh atau wak kunul dalam bahasa Gayo. Wak me­
rupakan bahasa Gayo Lues yang berarti “obat”, sedangkan tu­yuh berarti
“bawah”. Jadi, wak tuyuh berarti “obat bawah”. Istilah “obat bawah” ini
digunakan untuk menyebutkan vagina agar terdengar lebih sopan. Se-
mentara itu, kunul mempunyai arti “duduk”. Dengan kata lain, wak kunul
berarti “obat duduk”. Istilah “obat duduk” ini digunakan karena setelah
melahirkan ibu nifas disarankan untuk duduk dengan cara merapatkan
kedua pahanya agar luka yang terdapat pada vagina cepat sembuh.
Ada dua jenis wak tuyuh atau wak kunul, yaitu obat yang digunakan
di luar vagina dan obat yang dimasukkan ke dalam vagina. Obat yang
digunakan di luar vagina adalah kunyit yang dicampur dengan minyak
goreng. Kunyit tersebut ingengal (dikunyah) terlebih dulu oleh ibu nifas,
kemudian dicampurkan dengan minyak goreng. Setelah kunyit dan minyak
goreng tersebut sudah tercampur rata, kemudian dioleskan di bagian luar
vagina ibu nifas. Menurut masyarakat setempat, fungsi kunyit dan minyak
goreng tersebut adalah untuk membuat vagina menjadi sempit kembali
dan menyehatkan badan ibu nifas. Hal ini dilakukan karena bidan kampung
tidak melakukan hecting atau penjahitan pada luka yang terdapat di luar
vagina setelah melahirkan. Selain dioleskan di bagian luar vagina, kunyit
dan minyak goreng tersebut juga bisa dimasukkan ke dalam vagina sesuai
dengan keiginan ibu nifas itu sendiri.
“… ngengalnye halus (kunyah halus). Begini (diludahkan).
Dituang minyak goreng, sapu terus (ke vagina). Kati sempit
pusete (agar sempit vaginanya). Kati temas badannya ya (biar
enak badannya ya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Selain kunyit dan minyak goreng, ada juga yang menggunakan ra­
muan lain yang dimasukkan ke dalam vagina. Ramuan tersebut meliputi
berbagai macam jenis. Setiap bidan kampung mempunyai jenis wak tuyuh
yang berbeda. Namun, menurut informasi dari dua bidan kampung yang
terkenal di Desa Tetingi, terdapat enam jenis wak tuyuh, yaitu (1) asam
kuyun yang dibelah menjadi dua, kemudian di tengah belahan tersebut
diberi garam, (2) awasacih yang dihaluskan, (3) sirih yang dikunyah
dicampur dengan abu dapur, (4) daun keruku yang diberi garam, (5)
minyak kayu putih yang dibasahkan pada kapas, dan (6) kapur barus.
Masing-masing bahan tersebut dibungkus dengan kapas, lalu dimasukkan
ke dalam vagina sedalam 5 cm.

88 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
“… asam kuyun (jeruk nipis) kupas di sini ya, kupas di sini
kulitnya, nye kerat (terus dipotong) di sini, masuklah garam
di sini (di dalam asam kuyun). Adalah kapas, dibalut dengan
kapas. Oyalah bun (letakkan), wak kunul. Wak kunul wak tuyuh
sama …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
“… awasacih digiling halus. Masukkan ke dalam kapas.
Masukkan ke dalam anunya (vagina) biar cepat sembuh …,”
jelas Inen Mi.

Gambar 3.9 Abu dapur dicampur dengan kunyahan sirih.

Setelah itu dibungkus dengan kapas, lalu dimasukkan ke dalam vagina ibu bersalin.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Gambar 3.10 Asam kuyun dikupas kulitnya dan dibelah menjadi dua.
Belahan bagian tengah tersebut diberi garam, kemudian dibungkus
dengan kapas dan dimasukkan ke dalam vagina ibu bersalin.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 89
Tidak semua bidan kampung menggunakan kapur barus sebagai
wak tuyuh, misalnya Empun (Nenek) Ar yang tidak menyarankan ibu nifas
untuk menggunakan kapur barus sebagai wak tuyuh. Menurutnya, meng­
gunakan kapur barus sebagai wak tuyuh dapat menyebabkan daya tahan
tubuh ibu nifas menjadi lemah. Misalnya, apabila setelah melewati masa
nifas ibu tersebut terkena hujan, badannya akan mudah menggigil. Selain
itu, dia juga akan mengalami sakit perut. Untuk itu, Empun (Nenek) Ar
tidak menyarankan ibu nifas untuk menggunakan kapur barus sebagai
wak tuyuh. Jenis wak tuyuh yang disarankan Empun (Nenek) Ar adalah
asam kuyun dan kunyahan sirih yang dicampur dengan abu dapur.
“… iyalah. Kecutlah. Sawah (sampai) 44 hari ya, jatuh hujannya
ya, begini dia (memperagakan badannya menggigil). Sakit
perutnya kalau pakai kapur barus. Kalau ini (sambil pegang
jeruk nipis), nggak. Tegaplah badannya. Mari oya tangkuh ari
dapur, kecut ya, using ya, bak mayat, nggak cantik ya. Kurus
(habis itu berhenti dari dapur, kering dan kuning dia, seperti
mayat, nggak cantik lagi. Kurus) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

Pemakaian wak tuyuh dimulai pada hari pertama setelah melahirkan


sampai seminggu atau dua minggu setelah melahirkan, bahkan ada yang
sampai 44 hari. Lama waktu penggunaan wak tuyuh tergantung pada
“kesadaran” si ibu, apakah dia merasa bahwa luka di dalam vaginanya sudah
sembuh atau belum. Apabila si ibu sudah merasa sembuh, penggunaan
wak tuyuh tersebut dihentikan. Wak tuyuh tersebut tidak dikeluarkan oleh
ibu nifas, melainkan keluar sendiri dari vagina bersama dengan keluarnya
darah kotor pasca-persalinan. Apabila wak tuyuh tersebut telah keluar,
wak tuyuh yang baru akan dimasukkan kembali ke dalam vagina.
“… pakai terus. Sini keluarlah sendirinya. Nggak bisa berai
(nggak bisa diambil). Keluar sendirinya. Sawah-sawah waktu
keluar (sampai-sampai sudah keluar). Tambah, keluar, tambah.
Keluarlah sendirinya …,” jelas Empun (Nenek) Ma.

Ibu nifas dapat memilih dari berbagai jenis wak tuyuh tersebut di atas,
sesuai dengan saran bidan kampung yang menolong persalinannya dan
sesuai dengan kecocokan yang dirasakan oleh ibu nifas saat menggunakan
wak tuyuh tersebut. Apabila si ibu merasa tidak cocok dengan salah satu
jenis wak tuyuh, dia bisa mencoba jenis wak tuyuh yang lain. Namun,
apabila semua jenis wak tuyuh telah dicobanya namun dia merasa tidak

90 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
ada yang cocok, ibu tersebut tidak dianjurkan untuk menggunakannya.
Menurut Inen Mi, rasa tidak cocok atau tidak serasi yang dirasakan oleh
seorang ibu ketika menggunakan wak tuyuh adalah apabila ibu merasa
sakit pinggang atau merasa kurang nyaman pada vaginanya. Apabila si ibu
merasakan hal tersebut, dia akan mengganti wak tuyuh dengan jenis yang
lain. Namun apabila rasa itu tetap sama, si ibu tersebut tidak menggunakan
wak tuyuh lagi.
“… sebagian ada dipakai, sebagian gak. Itu menurut serasi tu
…,” kata Inen Je.

Menurut pengetahuan masyarakat setempat, fungsi wak tuyuh


adalah untuk mengeluarkan darah kotor yang terdapat di dalam perut ibu
nifas pasca-persalinan. Apabila seorang ibu nifas tidak menggunakan wak
tuyuh maka badannya terlihat pucat, berjalan tidak tegap, dan bekerja
tidak kuat. Oleh sebab itu, seorang ibu nifas di Desa Tetingi disarankan
untuk menggunakan wak tuyuh.
“… nggak tegap badannya, Nak. Kurus mungkung se ye sakit
(bungkuk gini terus sakit). Mungkung lah (bungkuklah). Bekerja
nggak sanggup. Kalau pakai wak tuyuh, tegep beh (tegap
sekali). Kena hujan nggak apa-apa,” jelas Empun (Nenek) Ma.
“… mukanya kuning, pinggangnya sakit kalau kerja. Kalau kami
ini, kalau siap besar kan, kerja terus. Kalau nggak pakai obat
itu bilang orang tua gak bisa kerja keras dia. Kalau kerja keras
sudah sakit pinggang. Mau pun mukanya kuning-kuning kan.
Nggak seperti biasa …,” jelas Inen Mi.
“… darah kotor keluarlah. Masuk sini. Keluarlah darah kotor,
darah using, darah putih. Tangkuh ari dapur pening (setelah
berhenti dari bedapur, pusing), deba using salak e (sebagian
kuning wajahnya), dak mayat (seperti mayat) …,” jelas Empun
(Nenek) M.
“… biar cepat lukanya sembuh, melancarkan darah putih itu
keluar …,” jelas Inen Je

3.5.2 Pantangan Ibu Nifas


Pada suatu pagi yang cerah, pada saat sang mentari baru ingin me­
nampakkan sinarnya, tim peneliti mendapat kabar bahwa Kak My, seorang
ibu hamil, telah melahirkan seorang anak laki-laki. Pada saat itu pula salah


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 91
seorang tim peneliti datang ke rumah Kak My untuk melihat keadaannya.
Sesampainya di rumah Kak My, dia melihat Kak My sedang makan nasi
hanya dengan lauk bawang. Melihat Kak My hanya makan dengan lauk
bawang goreng, peneliti tersebut bertanya “Kok nggak ada lauknya, Kak?
Nggak ada sayurnya? Kenapa, Kak? Nggak boleh makan sayur?” Kak My
pun menjawab “Boleh, tapi jangan pedas.”
Keesokan harinya peneliti tersebut pun datang lagi pada jam yang
sama. Untuk kedua kalinya peneliti menemukan Kak My sedang ma­
kan. Namun, pada saat itu Kak My makan dengan lauk ayam goreng
dicampurkan dengan bawang goreng tanpa sayur. Keesokan harinya lagi,
peneliti datang lagi, tetapi pada jam yang berbeda, yaitu jam 11.00 siang
hari. Pada saat berkunjung ke sana, lagi-lagi peneliti menemukan Kak My
sedang makan dengan lauk ayam dan bawang goreng tanpa sayur. Pada
saat itu, peneliti tersebut bertanya lagi mengapa Kak My hanya makan
dengan lauk ayam goreng tanpa sayur. Kak My pun menjawab “Ini nggak
boleh kita makan sayur, soalnya dia (bayi) lagi ada bintik-bintik merah di
badannya,” jelas Kak My. Sakit bintik-bintik merah di badan dikenal dengan
istilah uris dalam masyarakat Gayo Lues.
Menurut Kak My dan bibinya, pada masa nifas ada makanan yang
tidak boleh dimakan oleh ibu nifas, seperti buah-buahan, kecuali buah
labu. Menurutnya, ibu nifas dilarang makan buah-buahan karena khawatir
nanti anaknya mengalami sakit perut.
“… kalau pakai obat kampung itu nggak boleh makan buah,
nanti anaknya sakit perut. Kalau obat dokter kan boleh …,”
jelas bibi Kak My.
Menurut bidan kampung, sebenarnya semua makanan boleh
dimakan oleh ibu nifas, kecuali makanan tersebut merupakan
pantangan baginya untuk dimakan, seperti anaknya sedang
menderita sakit uris di badannya. Maka pada saat itu, ibunya
tidak boleh makan sayur-sayuran.
“… enti pantang, berarti tan keluar peh, nguk nye pan meh
(tidak ada pantangan, berarti waktu bayinya telah keluar lang­
sung boleh makan semuanya). Neba ha pantangie, gi nguk pan
nggih (sebagian memang dilarang, gak bisa makan). Kakakmu
gere mupantang ya (kakakmu nggak ada pantangan) …,” kata
Empun (Nenek) Ar.

92 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Selain pantangan makan beberapa jenis makanan, ada juga pan-
tangan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu nifas. Salah satu
pantangan tersebut adalah memasak untuk suami dan keluarganya. Pada
masa nifas, seorang ibu tidak boleh memasak untuk suami dan keluargan-
ya. Namun, dia boleh memasak untuk dirinya sendiri. Menurut masyarakat
setempat, dosa hukumnya jika seorang ibu nifas memasak makanan un-
tuk suaminya dan makanan tersebut dimakan oleh suaminya, sebab pada
masa nifas seorang ibu dianggap masih dalam keadaan “kotor” karena
darah nifas. Untuk itu, ibu nifas tidak boleh memasak untuk suami dan
keluarganya. Selain itu, seorang ibu nifas tidak boleh berhubungan intim
dengan suaminya.
“… apabila istri itu kalau tidak bersih, memasak nasi lakinya
(suaminya) dia kan berdosa, karena dia belum bersih dari
haidnya itu. Sebelum dia bersih, ga bisa pun dia bersetubuh,
karena darah yang keluar itu masih ada di sana bisa bahaya,
bisa jadi penyakit. Penyakit kusta. Dan apabila melahirkan anak
akan sakit itu anaknya, dan istrinya pun sering sakit. Selama 44
hari itu, tidak dibenarkan istri bekerja, dimanjakanlah istri kita
itu. Kemudian suami boleh lihat, gendong tapi ga boleh tidur
dia di samping itu, ga bisa dilanggarnya. Karena istri belum
suci dia. Dan setelah 44 hari, mandilah dia, sucilah …,” jelas
Aman Mi, salah satu tokoh masyarakat di Desa Tetingi.

Pendapat yang serupa pun diutarakan oleh Aman So, seorang laki-laki
warga Tetingi yang istrinya baru saja melahirkan pada pertengahan Mei
2012. Aman So mengatakan bahwa pascamelahirkan seorang suami tidak
dapat bersetubuh dengan istrinya selama 44 hari lamanya. Istri memasak
nasi untuk suaminya pun tidak diperbolehkan. Hal yang serupa juga di­
katakan oleh Kak My, seorang wanita nifas. Selama nifas, Kak My tidak
memasak untuk suaminya,karena jika dia memasak untuk suaminya, dia
akan berdosa. Untuk itu, suaminya memasak sendiri untuk makanannya
selama Kak My dalam keadaan nifas, bahkan kadang kala suaminya yang
memasak makanan untuk Kak My.
Berhubung ibu nifas tidak boleh memasak untuk suaminya, peran ibu
di dapur kadang kala digantikan oleh ibu atau ibu mertuanya. Ibu mertua
mempunyai peran yang penting bagi ibu nifas. Hal ini berhubungan dengan
sistem perkawinan juelen yang terdapat dalam masyarakat Gayo. Dalam
pernikahan juelen, pengantin perempuan akan tinggal bersama dengan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 93
keluarga suaminya. Untuk itu, ibu mertua mempunyai peran dalam ke­
hamilan sampai masa nifas seorang ibu, misalnya memasak untuk ibu
nifas, suami, dan anak-anaknya.
3.5.3 Pasca-nite
Setelah 44 hari melewati masa nite, seorang ibu nifas akan mandi
suci dengan menggunakan mungkur (jeruk purut). Sementara itu, anak­
nya akan dicukur rambutnya oleh bidan kampung, bapaknya, atau keluar­
ganya. Namun, ada juga bidan kampung yang mempunyai ritual yang
berbeda untuk pasca-nite selain mandi dan mencukur rambutnya, seperti
Empun (Nenek) Ma. Menurut Empun (Nenek) Ma, pada hari ke 44, daun
geluni dibakar di dapur dan ibu nifas diminta untuk berdiri di sekitar dapur
tersebut. Asap yang keluar akan mengenai seluruh tubuh ibu nifas sampai
mengalami malak (keluar keringat). Setelah keringatnya keluar, barulah ibu
nifas tersebut diperbolehkan mandi. Namun, Empun (Nenek) Ar sebagai
bidan kampung tidak melakukan ritual ini. Menurutnya, setelah 44 hari,
ibu nifas hanya dimandikan dengan mungkur.
Pada saat usai nite, bidan kampung akan diberi seperangkat alat
shalat, seperti mukena, oleh ibu yang melahirkan, sebagai ucapan terima
kasih. Namun, apabila proses persalinannya dulu dengan rai (bayi atau
tembuninya diambil dari perut si ibu dengan menggunakan tangan bidan
kampung), ibu yang melahirkan akan memberikan piring, gelas, dan
sendok sebagai tambahan.
Setelah mandi suci pasca-nite, segala pantangan untuk ibu nifas boleh
dilakukan lagi, seperti memasak untuk suami dan keluarganya. Setelah nite,
si ibu sudah boleh bekerja, namun pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
seorang istri setelah dia melewati masa 44 harinya hanyalah pekerjaan
yang ringan-ringan saja, seperti mencuci piring atau baju.
“… itupun kerja ga terus berat, misal biasanya bisa dia dua
kaleng, ini setengah, baru satu, baru satu setengah. Kalu gak,
itu bisa apa itu bilang orang tua zaman, bisa putus urat-urat
yang kecil itu, karena dia terlalu bekerja, itu termasuk adat …,”
jelas Aman Mi, salah seorang tokoh masyarakat setempat.
3.6 Perawatan Bayi
3.6.1 Perawatan Tali Pusar
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah dipotong dengan meng­
guna­kan semilu, tali pusar yang masih melekat pada tubuh si bayi diberi

94 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
semburan kunyahan sirih oleh bidan kampung agar tali pusar tersebut
cepat lepas. Apabila tali pusar sudah lepas, pusar bayi akan diberi lada
pedih (merica) atau kacu (gambir). Berdasarkan pengetahuan masyarakat
setempat, lada pedih dan kacu dapat mempercepat kering pusar bayi.
“… udah lepas tali pusok e (tali pusarnya), lada pedih (merica)
kalau bahasa gayonya, dimasukkan di sini (di pusar bati).
Udah lepas ya, dimasukkan lada pedih (merica) …,” jelas
Empun(Nenek) Ar.

Sementara itu, tali pusar yang sudah lepas dari tubuh bayi akan
disimpan di dinding rumah atau di tempat lain. Tali pusar tersebut sengaja
disimpan karena suatu saat bisa menjadi obat bagi si bayi apabila bayinya
sakit, misalnya si bayi mengalami sakit mata. Pada saat mata si bayi sakit,
tali pusar tersebut direndam dengan air, kemudian air rendaman tali pusar
tersebut diteteskan ke mata si bayi agar cepat sembuh. Selain sakit mata,
sakit pada telinga juga dapat diobati dengan menggunakan air rendaman
tali pusar. Tali pusar tersebut dapat digunakan sampai waktu tak terhingga,
bahkan sampai usia puluhan tahun.
“… disimpan di sini, di rering pik anu dapur e (di antara dinding
dapur). Apa namanya, sakit mata, berair mata ya, rendam di
sini tetes kone (diteteskan ke situ),” jelas Empun (Nenek) Ar.
“… iya, tali pusok tadi (tali pusar tadi). Sakit mata ya. Apa
namanya sebangsa maih kemiringe (berair telinganya). Tep
kone (diteteskan di situ) (tangannya sambil memperagakan
seolah-olah menetes air ke telinga). Oya gune e (itulah gunanya)
…,” jelas Empun (Nenek) Ar.

3.6.2 Upacara Turun Mani


Upacara turun mani adalah upacara memandikan bayi di luar rumah.
Sebelum upacara ini dilakukan, bayi tidak boleh dimandikan di luar rumah
dan dibawa bermain ke luar rumah. Bayi hanya boleh berada di dalam
rumah. Hari upacara turun mani ini ditentukan oleh bidan kampung atau
dukun kampung berdasarkan perhitungan hari baik menurutnya, sebelum
masa nite berakhir. Jadi, upacara turun mani ini akan dilakukan pada
masa nite, yaitu pada masa 44 hari setelah melahirkan. Biasanya upacara
turun mani dilakukan pada minggu pertama, kedua, atau ketiga setelah
melahirkan. Dengan kata lain, biasanya upacara turun mani dilakukan


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 95
pada saat bayi berusia sekitar 7 sampai 28 hari. Selain itu, upacara turun
mani biasanya dilakukan pada pagi hari, yaitu sekitar pukul 07.00 atau
08.00, pada saat matahari mulai menampakkan sinarnya.
Pada saat turun mani, banyak bahan dan peralatan yang disiapkan
oleh dukun kampung. Peralatan pertama yang dibuat oleh bidan kampung
adalah benang yang akan dikenakan di beberapa bagian tubuh bayi. Be­
nang tersebut terdiri atas lima warna, yaitu merah, hitam, putih, kuning,
dan hijau. Lima warna benang tersebut disatukan dalam satu ikatan. Ada
lima ikatan benang lima warna yang dibuat oleh dukun kampung. Empat
ikatan mempunyai ukuran yang sama, yaitu kira-kira sepanjang 15 cm,
sedangkan satu ikatan lagi mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu sekitar
25 cm.
Setelah menyelesaikan ikatan benang lima warna tersebut, kemudian
bidan kampung menyiapkan bahan-bahan dan peralatan yang akan
dibawa dan dibutuhkan pada saat berada di tempat pemandian si bayi.
Bahan-bahan tersebut terdiri atas beras satu bambu (2 liter), mungkur
(jeruk purut) sebanyak dua buah, kacu (gambir), pinang, sisir, cermin, sirih,
konyel, sabun mandi, kerenem (kapur sirih), dubang (parang), dan kelapa
yang sudah dikupas (tanpa serabut). Bahan-bahan tersebut diletakkan dan
ditata rapi di dalam sebuah wadah, seperti baskom kecil. Bahan-bahan
tersebut diletakkan di depan bidan kampung.
Pada saat bahan-bahan tersebut diletakkan di depan bidan kampung,
bidan kampung mengambil lima ikatan benang yang telah dibuatnya. Lima
ikatan benang tersebut lalu didoakan olehnya. Setelah didoakan, satu
ikatan yang paling panjang yang berukuran kira-kira 25 cm, diikatkan pada
pinggang si bayi yang pada saat itu telah berada di pangkuan neneknya
yang duduk di sebelah bidan kampung. Empat ikatan benang yang lain
diikatkan pada bagian pergelangan kaki kanan, kaki kiri, tangan kanan, dan
tangan kiri si bayi.
Setelah mengikat benang-benang tersebut di beberapa bagian tubuh
si bayi, bidan kampung mengambil sirih yang telah disiapkan sebelumnya.
Sirih tersebut dioles dengan kapur sirih, setelah itu dibentuk seperti
kerucut. Setelah sirih dibentuk menjadi kerucut, lalu ditaruh konyel dan
pinang yang sudah dibelah kecil. Ada dua kerucut sirih yang dibuat oleh
bidan kampung. Setelah itu, kerucut sirih tersebut diletakkan kembali di
atas beras yang berada di dalam baskom bersama dengan bahan-bahan
yang lain.

96 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Setelah membentuk kerucut sirih, bidan kampung mengambil ke­
menyan, didoakan, lalu dibakar di atas bara api. Bara api yang membakar
kemenyan tersebut lalu membakar demi yang telah disiapkan oleh bidan
kampung. Demi adalah sebuah gulungan kain. Ketika dibakar, demi
tersebut mengeluarkan asap. Demi inilah yang akan dibawa oleh bidan
kampung ke tempat pemandian bayi.
Setelah semua perlengkapan dan peralatan turun mani dirasa telah
lengkap, bidan kampung lalu menggendong bayi yang akan melakukan
upacara turun mani. Bayi tersebut digendong dengan menggunakan kain
baru. Hal ini dilakukan karena upacara turun mani dianggap mengantarkan
bayi kepada kehidupan yang baru. Ketika bayi berada dalam gendongan
bidan kampung, ada seorang perempuan yang memegang demi untuk
dikelilingkan ke sekitar badan bidan kampung yang sedang menggendong
bayi. Demi dikelilingkan tiga kali.
Setelah dikelilingkan ke sekitar badan bidan kampung, demi tersebut
dipegang kembali oleh bidan kampung. Jadi, sambil menggendong bayi,
bidan kampung memegang demi dan membawa tikar. Sementara itu,
bahan-bahan yang berada di dalam baskom dibawa oleh nenek si bayi.
Perjalanan keluar rumah pun di mulai. Sebelum keluar rumah, yaitu ketika
berada di teras rumah, bidan kampung berdoa sambil menengadahkan
tangannya ke atas. Setelah berdoa, bidan kampung pun melanjutkan
perjalanannya keluar rumah. Pada saat menginjak tanah pertama kali di
halaman rumah, bidan kampung mengambil satu kerucut sirih dan me­
letakannya di atas tanah. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan
dalam masyarakat setempat bahwa ada nabi bumi yang bernama Ke­
namat. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih di atas tanah sebagai tan­
da izin kepada nabi bumi. Sebelum meletakkannya di atas tanah, bidan
kampung terlebih dulu mendoakan kerucut sirih tersebut. Setelah mele­
takkan kerucut sirih, bidan kampung melanjutkan perjalanannya lagi
menuju tempat pemandian bayi.
Tempat pemandian bayi tidak jauh dari rumah si bayi, bahkan berada
tepat di depan rumahnya. Tempat pemandian bayi dapat di mana saja,
dengan syarat air yang terdapat di tempat tersebut merupakan air yang
mengalir. Untuk itu, biasanya tempat pemandian turun mani dilakukan
di MCK keluarga, di parit, atau di sungai. Rata-rata MCK di Desa Tetingi
terbuat dari parit atau ada bak penampungan air yang memiliki pancuran
air yang bersumber dari sungai. Ketika tiba di tempat pemandian, dukun
kampung mengambil kerucut sirih untuk didoakan. Setelah didoakan,


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 97
kerucut sirih tersebut diletakkan di pinggir air. Hal ini dilakukan karena
adanya pengetahuan masyarakat setempat bahwa ada nabi air yang
bernama Khairil. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih tersebut sebagai
bentuk izin kepada nabi air. Selain nabi bumi dan nabi air, ada juga nabi
kayu dan nabi batu dalam pengetahuan masyarakat setempat. Nabi kayu
bernama Gusut, sedangkan nabi batu bernama Yati.
Setelah meletakkan kerucut sirih tersebut di pinggir parit, bidan
kampung membelah mungkur yang telah disediakan. Air mungkur (jeruk
purut) dimasukkan di dalam sebuah wadah yang telah berisikan cairan
tepung dan kunyit. Ramuan tersebut dikenal dengan istilah pangir. Setelah
membelah mungkur, bidan kampung meletakkan dubang (parang) di
dalam air, sambil diinjak. Ritual memandikan bayi pun dimulai. Pertama-
tama bidan kampung akan mengusap bagian kepala bayi dengan pangir.
Selanjutnya seluruh tubuh bayi diusap dengan pangir. Setelah itu, bayi
langsung dicelupkan ke dalam air dingin yang mengalir.
Setelah dicelupkan ke dalam air yang dingin, si bayi akan diangkat lagi.
Pada saat diangkat, buah kelapa yang telah disediakan dipecahkan dengan
menggunakan dubang (parang) oleh seorang ibu. Air kelapa yang keluar
dari buah kelapa tersebut disiramkan ke seluruh badan bayi. Pemecahan
buah kelapa di dekat si bayi dilakukan agar bayi tidak takut petir pada saat
sudah besar nanti. Sementara itu, memandikan bayi dengan air kelapa
juga dipercaya agar bayi tidak takut air hujan.
Setelah selesai mandi, si bayi akan dibalut dengan kain baru. Kain
baru yang membalut si bayi melambangkan semangat baru bagi si bayi.
Sebelum dibalut dengan kain, si bayi disisir rambutnya dan disuruh
mengaca pada cermin yang telah disediakan. Pada saat mengaca, ibu-ibu
dan orang-orang yang ada di sekitarnya berkata “biar gagah nanti”. Sambil
mengaca, si bayi dibedaki dengan bedak yang telah disediakan dan bidan
kampung mencumbunya bahwa dia adalah laki-laki yang tampan. Setelah
itu, bayi dibalut dengan kain baru, lalu digendong kembali oleh bidan
kampung untuk dibawa ke rumah.
Pada saat tiba di rumah, si bayi masih tetap dalam pangkuan bidan
kampung. Tak lama kemudian, ibu si bayi datang mendekati bidan kampung
sambil membawa beras penebus yang telah disiapkan sebelumnya.
Beras penebus tersebut diberikan kepada bidan kampung. Pada saat
memberikan beras penebus tersebut, si ibu bayi berkata kepada bidan
kampung “Ini bi, oros ku bibi, win ke aku (Ini bi, beras untuk bibi, bayinya
untukku).” Hal tersebut melambangkan bahwa sebelum upacara turun

98 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
mani dan sebelum beras penebus diserahkan, si bayi seolah-olah menjadi
anak bidan kampung. Untuk itu, ibu si bayi memberikan beras penebus
untuk bidan kampung. Sebelum menyerahkan anak tersebut pada ibunya,
bidan kampung akan mendoakan anak tersebut terlebih dulu.
Beras penebus tersebut sebanyak satu bambu atau dua liter, di­
simpan di dalam tapih. Selain beras juga terdapat bahan-bahan lain yang
diletakkan di dalam tapih beras penebus. Bahan-bahan tersebut meli­
puti kemiri 3 buah dan pinang 2 buah. Selain beras penebus, bidan kam­
pung juga menerima satu tapih lagi yang berisi beras satu bambu, sirih,
konyel, pinang, dan kacu (gambir). Beras dalam tapih tersebut sengaja
disiapkan sebagai ucapan terima kasih kepada bidan kampung karena
telah membantu persalinan. Selain itu, beras satu bambu yang disediakan
pada saat turun mani yang ditempatkan di dalam baskom kecil juga
diperuntukkan bagi bidan kampung. Di dalam baskom kecil tersebut sudah
tersedia uang sebanyak Rp100.000,00. Setelah si bayi diserahkan kepada
ibunya dan bidan kampung telah mendapatkan berasnya, si ibu bayi akan
membasuh tangan bidan kampung dengan menggunakan air dan sabun.
Hal ini dilakukan sebagai simbol terima kasih karena bidan kampung telah
membantunya melahirkan anaknya.

3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui

3.7.1 Makanan Pertama Bayi Baru Lahir


Pada saat baru lahir, bayi diberi sedikit garam yang dimasukkan ke
dalam mulutnya oleh dukun kampung. Hal ini dilakukan karena adanya
pengetahuan masyarakat setempat bahwa pemberian garam pada mulut
si bayi bertujuan agar si bayi pada saat besar nanti dapat berbicara santun
kepada orang lain. Selain garam, bayi baru lahir tidak boleh diberi makanan
lain, misalnya madu. Menurut Kak Mya, jika seorang bayi baru lahir diberi
madu, pada saat besar nanti dia bisa melawan perkataan orang tuanya.
Pada saat memberikan garam ke mulut bayi, dukun kampung berkata
kepada si bayi “Be se kemasin poa ini, bese jerohmu becerak rum saudare
(begitu asinnya garam, begitu sopanmu berbicara pada saudara). Pengen
manat jahman kah (dengar nasihat orang tua ya).”
“… kati jeroh cerak e (agar bagus bicaranya). Kati jeroh ko
becerak urum saudere (agar bagus berbicara dengan saudara).
Kati pengen jema cerak e (agar orang lain mendengar perka­
taannya). Kasihlah garam …,” jelas Empun (Nenek) Ar.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 99
“… kalau manis tawon kata orang nanti melawan orang tuanya
…,” jelas Kak My.

3.7.2 Pemberian ASI


Setelah diberi garam sebagai makanan pertamanya, bayi diberi ASI
oleh ibunya sampai usia kurang lebih dua tahun. ASI pertama (kolostrum)
atau susu basi dalam bahasa setempat dibuang oleh si ibu. Menurut
masyarakat setempat, memberikan susu basi pada bayi dapat membuat si
bayi sakit perut. Berdasarkan pengetahuan tersebut, susu basi (kolostrum)
dibuang oleh si ibu.
ASI eksklusif sampai usia enam bulan masih belum diterapkan oleh
beberapa, bahkan mayoritas ibu di Desa Tetingi. Pada saat menginjak usia
dua atau tiga bulan, bayi diberi bubur nasi oleh ibunya. Hal ini dilakukan
karena adanya pemahaman dan kekhawatiran sang ibu bahwa ASI tidak
dapat mengenyangkan si bayi. Untuk itu, bayi diberi makanan tambahan,
seperti bubur instan atau bubur nasi yang dibuat sendiri oleh ibunya. Nasi
dicampur dengan aneka sayuran dimasak sampai matang. Setelah itu,
dilumatkan sampai halus dan diberikan pada si bayi yang baru berusia
tiga bulan.

3.7.3 Masalah ASI dan Menyusui


Jika air susu ibu menyusui belum keluar, bayi diberi madu, teh manis,
atau air gula sebagai pengganti ASI. Hal ini seperti yang dilakukan Inen
Ofi. Sejak hari pertama sampai hari ketiga setelah melahirkan, ASI Inen Ofi
hanya keluar sedikit. Oleh karena itu, bayinya diberi madu, teh manis, atau
air gula sebagai pengganti ASI. Jika lebih dari tiga hari ASI sang ibu belum
juga keluar, bayi diberi susu formula. Hal ini seperti yang dilakukan oleh
Kak My. Kak My yang baru melahirkan anak pertamanya hanya mempunyai
sedikit ASI pada payudaranya yang sebelah kiri, sedangkan payudaranya
yang sebelah kanan mengalami pembengkakan. Sedikitnya ASI yang ke­
luar dan terjadinya pembengkakan pada payudara menyebabkan Kak My
mengambil keputusan untuk memberikan susu formula kepada anaknya
yang baru berusia dua minggu. Kak My masih berusaha untuk memberikan
ASI kepada anaknya, meskipun keluarnya sedikit. Tetapi, setelah diberi
susu formula, anaknya tidak mau lagi minum ASI. “Mungkin karena nggak
seenak susu ini kali ya?” cerita Kak My sambil menunjukkan kotak susu
formula yang dibeli oleh suaminya di sebuah toko.

100 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Untuk mengatasi kurangnya ASI yang keluar dari payudara ibu me­
nyusui, orang Gayo Lues mempunyai obat tradisional sendiri. Salah satu
obat tersebut adalah bedak matah. Berdasarkan pengetahuan masyarakat
setempat, bedak matah selain berfungsi sebagai penyegar badan setelah
melahirkan, juga berfungsi sebagai pelancar ASI. Untuk melancarkan
ASI, bedak matah tersebut dioleskan pada payudara ibu menyusui.
Selain dioles, bedak matah juga dapat diminum agar ASI sang ibu lancar.
Selain bedak matah, soda dan susu kental manis dipahami juga dapat
melancarkan ASI. Ada pula cara lain untuk melancarkan ASI, yaitu dengan
cara membersihkan puting susu dan payudara dengan air hangat atau
jeruk nipis. Setelah dibersihkan, payudara disisirkan satu arah, yaitu dari
pangkal menuju puting susu.
Memakai bedak matah dan meminum air soda dicampur dengan
susu kental manis telah dilakukan oleh Kak My, namun ASI yang keluar
tetap sedikit dan payudaranya pun masih mengalami pembengkakan lebih
dari satu minggu. Selain mencoba obat tradisional Gayo Lues, Kak My juga
sudah mencoba memanggil tenaga kesehatan yang ada di desanya. Pada
saat itu, suami Kak My yang datang memanggil dan menceritakan kondisi
Kak My kepada tenaga kesehatan. Namun, menurut tenaga kesehatan
tersebut, pembengkakan pada payudara pada saat menyusui biasa ter­
jadi. Tenaga kesehatan tersebut menyarankan untuk mengoleskan ASI
ke payudara Kak My sebagai obatnya. Setelah mendapatkan saran dari
tenaga kesehatan tersebut, suami Kak My pun pulang ke rumahnya tanpa
membawa obat atau membawa tenaga kesehatan untuk memeriksa
payudara istrinya. Sementara itu, payudara Kak My semakin membengkak
dari hari ke hari dan badan Kak My pun menjadi panas. “Mungkin karena
bengkak ini kali ya, makanya panas,” cerita Kak My pada seorang peneliti.
Berhubung Kak My tidak mendapatkan pengobatan atau pemeriksaan
apa pun dari tenaga kesehatan, akhirnya Kak My berusaha dengan cara lain
untuk mengobati pembengkakan pada payudaranya. Dia pun memanggil
dukun kampung dari desa tetangga yang juga masih mempunyai hubungan
kekerabatan dengannya. Dukun kampung tersebut memberikan obat
tradisional yang terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) tai ketol (kotoran cacing
tanah) dicampur dengan air beras yang mendidih, (2) abu bengkoang
(pandan duri) kering dioles dengan minyak goreng, dan (3) rumput kukur
dicampur dengan kapur sirih. Tiga jenis obat tersebut dioleskan pada
payudara yang bengkak secara bersamaan. Obat yang pertama dioles
adalah daun kukur. Daun kukur diremas-remas terlebih dulu, setelah itu


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 101
getah yang berbentuk busa yang keluar dari daun tersebut dioleskan pada
payudara yang bengkak. Setelah itu, tai ketol yang telah dicampur dengan
air beras dioleskan pada payudara yang bengkak. Terakhir, abu bengkoang
kering dioles bersama minyak goreng. Menurut Kak My, melalui pengobat­
an tradisional tersebut, rasa sakit pada payudaranya agar berkurang. “Ada
kurang sikit (sedikit). Kurang sakitnya pun,” jelas Kak My. Sementara itu,
untuk mengobati sakit panas yang diderita oleh Kak My, dukun kampung
memberikan dedingin (sejenis cocor bebek) yang dicampur dengan beras,
kemudian diremas. Setelah diremas, air dedingin dan beras tersebut di­
minum oleh ibu nifas dan dioleskan ke seluruh badannya.

3.7.4 Tradisi Ulangan


Dalam masyarakat Gayo Lues, ada cara untuk melepas seorang anak
untuk tidak menetek lagi. Apabila anak sudah berusia sekitar dua tahun,
dia akan dibawa ke bidan kampung untuk melaksanakan ulangan, yaitu
sebuah tradisi untuk melepaskan anak dari menyusui. Pada saat dibawa
ke rumah bidan kampung, ibunya telah membawa perlengkapan untuk
ulangan, seperti bertih (padi yang disangrai), satu butir telur yang sudah
direbus, dan empat buah pisang mas. Bahan-bahan tersebut ditaruh di
depan si anak dan anak duduk dalam posisi membelakangi si ibu. Pada
saat itu, bidan kampung memberikan doa, mantra, dan nasihat kepada
si anak agar dia tidak menyusui lagi. Selain bahan-bahan tersebut, ada
juga air yang disediakan sebagai minum si anak, yaitu aih mulih (air yang
berputar di sungai) atau air mengalir. Apabila pada hari pertama si anak
tetap mau menyusu pada ibunya, si ibu akan membawanya lagi ke bidan
kampung sampai si anak tidak ingin menetek lagi. Namun, biasanya
setelah dilakukan ulangan, si anak sudah tidak mau menetek lagi dengan
ibunya. Bertih, pisang emas, dan telur yang disediakan pada saat ulangan
merupakan makanan yang disediakan untuk anaknya. Apabila si anak
tidak mau makan makanan tersebut, ibunya akan memberinya makanan
lain, seperti kue.

3.8 Balita dan Anak

3.8.1 Imunisasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di Desa Tetingi sudah ada
poskesdes yang berdiri di tengah pemukiman penduduk. Di Poskesdes
inilah imunisasi melalui posyandu dilakukan. Posyandu di Desa Tetingi

102 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
dilakukan setiap bulan pada tanggal 5. Namun, jika pada tanggal tersebut
terdapat kegiatan masyarakat, seperti pernikahan, Isra’ Mi’raj, atau hari
pasar, posyandu diundur pada hari selanjutnya. Jika hal tersebut terjadi
maka kader kesehatan bertindak mengumumkan kepada masyarakat yang
hendak mengikuti posyandu. Di Desa Tetingi terdapat tiga orang wanita
yang berperan sebagai kader kesehatan. Peran kader kesehatan ini adalah
membantu tenaga kesehatan dalam melaksanakan program kesehatan
atau membantu mengatasi masalah kesehatan, salah satunya adalah
posyandu.
Pada saat hari posyandu akan tiba, kader kesehatan menyiapkan
makanan, seperti bubur kacang hijau atau kue untuk konsumsi pengunjung
posyandu. Makanan tersebut kadang kala dimasak sendiri oleh kader
kesehatan, namun kadang kala pula dibeli di pasar atau di toko-toko
terdekat. Penyediaan makanan merupakan daya penarik agar masyarakat
mau datang ke posyandu. Menurut bidan desa setempat, jika tidak ada
makanan, masyarakat setempat tidak mau datang ke posyandu. “Kalau
nggak ada makanannya, nggak mau datang mereka kak,” jelas bidan desa
saat seorang peneliti bertanya mengapa ada makanan pada saat posyandu.
Untuk itu, bidan desa dan kader kesehatan berusaha untuk menyediakan
makanan ketika posyandu dilaksanakan, untuk menarik pengunjung.
Makanan tersebut diberikan kepada balita yang sudah ditimbang dan
diperiksa oleh tenaga kesehatan. Biasanya makanan tersebut dibungkus
dalam plastik dan langsung diberikan kepada balita untuk dimakan.
Hal ini menyebabkan kacang hijau yang dimakan oleh anak balita tidak
terkonsumsi dengan baik, bahkan ada yang hanya menjadi mainan dan
dibuang oleh anak balita tersebut.
Pada saat posyandu, bukan hanya anak balita yang diperiksa, tetapi
ibu hamil juga diperiksa. Namun, ada beberapa ibu hamil yang mau
diperiksa ketika pengunjung yang lain sudah pulang, karena dia tidak ingin
dilihat oleh orang lain pada saat pemeriksaan. Selain ibu hamil, ibu-ibu
yang merasa tidak enak badan, seperti sakit pinggang, kepala pusing,
lemas, batuk, dan sebagainya juga ikut mengantre untuk mendapatkan
pemeriksaan dan pengobatan.

3.8.2 Sunat Anak


Dalam masyarakat Gayo Lues, seorang anak baik laki-laki maupun
perempuan akan mengalami sunat yang dikenal dengan sunet atau khatam
dalam istilah setempat. Ada perbedaan antara sunat laki-laki dan sunat


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 103
perempuan dalam masyarakat Gayo Lues. Sunat perempuan dilakukan
pada saat anak berusia sekitar 7 bulan sampai 1 tahun, atau pada saat si
anak sudah bisa duduk. Sementara itu, sunat laki-laki dilakukan pada saat
anak berusia sekitar 8 tahun sampai 12 tahun. Selain itu, seorang anak
perempuan hanya boleh disunat oleh perempuan dan anak laki-laki oleh
seorang laki-laki pula.
Seorang anak perempuan disunat pada usia sekitar 7 bulan sampai
satu tahun. Anak perempuan disunat oleh seorang perempuan pula, baik
oleh bidan kampung maupun tenaga kesehatan, seperti bidan atau dokter.
Alasan bidan kampung masih dipilih sebagai orang untuk menyunat
anaknya karena bidan kampung dianggap mempunyai mantra, sedangkan
tenaga kesehatan tidak memilikinya. Namun, ada juga masyarakat Desa
Tetingi yang menyunatkan anak perempuan ke bidan desa yang tinggal di
desa tetangga. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Inen Je. Alasan Inen Je
memilih tenaga kesehatan tersebut karena menurutnya, meskipun orang
tersebut adalah bidan desa (tenaga kesehatan), ia juga bisa mengucapkan
mantra layaknya bidan kampung sebelum menyunat seorang anak
perempuan. Selain itu, adat sebelum menyunatkan anak perempuan tetap
dilakukan oleh bidan desa tersebut, misalnya dia menyarankan agar anak
perempuan dimandikan terlebih dulu oleh neneknya sebelum disunat.
Selain faktor mantra dan adat yang juga bisa dilakukan oleh tenaga
kesehatan, alasan lain yang menyebabkan seorang ibu menyunatkan anak
perempuannya ke tenaga kesehatan adalah keamanan dan keselamatan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Inen Wa yang akan menyunatkan
anak perempuannya yang berusia delapan bulan. Inen Wa berencana
menyunatkan anak perempuannya kepada tenaga kesehatan yang ada
di desa tetangga karena dia merasa nyaman dan aman, sebab tenaga
kesehatan tersebut muda dan penglihatannya lebih tajam daripada bidan
kampung.
“… kalau bidan kampung kan udah tua. Takutnya udah nggak
keliatan,” jelas Inen Wa.

Sebelum seorang anak perempuan disunat, dia akan dimandikan


terlebih dulu oleh neneknya atau dukun kampung dengan menggunakan
mungkur, di air sungai. Setelah dimandikan, dukun kampung mulai beraksi
untuk menyunatnya. Bagian yang dipotong oleh dukun kampung adalah
ujung klitoris, dengan menggunakan pisau. Pada saat mencuil ujung klito­
ris tersebut, ada kapas yang menjadi alasnya.

104 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Sebelum ada tenaga kesehatan, sunat laki-laki dilakukan oleh se-
orang mudim. Mudim adalah seorang dukun kampung yang berperan me-
nyunat anak laki-laki. Namun sekarang sudah tidak ada lagi mudim di Desa
Tetingi, bahkan menurut Empun (kakek) Mn, seorang tokoh masyarakat
setempat yang berusia sekitar 60-an tahun, keberadaan mudim di Gayo
Lues bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Empun (kakek) Mn juga bercerita
bahwa anak pertamanya adalah seorang laki-laki yang sekarang berusia
sekitar 30-an tahun, disunat oleh tenaga kesehatan yang ada di Gayo Lues
pada saat itu. Menurutnya, seorang anak disunat oleh tenaga kesehatan
lebih aman daripada disunat oleh seorang mudim. Selain itu, banyak per-
syaratan dan perlengkapan yang harus disiapkan untuk seorang mudim
ketika ingin menyunatkan anak kepadanya, seperti beras satu karung dan
satu bambu dan ayam jantan satu ekor. Beras dan ayam jantan tersebut
diantarkan ke rumah mudim tersebut. Menurut Empun (kakek) Mn, hal
ini tentu merepotkan masyarakat. Sementara itu, jika menyunatkan anak
kepada seorang tenaga kesehatan hanya membawa uang saja.
Selain banyaknya persyaratan yang perlengkapan yang harus dipe­
nuhi, menurut Empun (kakek) Mn, menyunatkan anak kepada seorang
mudim belum tentu terjamin keselamatan dan keamanannya karena
menggunakan pisau dan tidak dijahit.
“… kalau di mentri (mantra) uangnya kan disiapkan, udah.
Makan pun dia nggak mau. Ada juga yang mau makan. Itulah
orang milih mentri. Semuanya pun terjamin. Kalau di mudim
enggak pakai jahit, terus dibalutkannya terus pakai kain putih.
Berdarah mau lama. Takut kita pun dengan dia, dipantannya
(dihentikan). Ada juga yang nggak berdarah, ada juga sampai
sore nggak berhenti darahnya …,” jelas Empun (Kakek) Mn.

3.8.3 Aktivitas Anak


Pada saat sang mentari mulai menampakkan sinarnya, anak-anak SD
dan SMP di Desa Tetingi memulai harinya dengan berangkat ke sekolah
dengan berjalan kaki. Tidak ada SD atau SMP di Desa Tetingi. Jadi, anak-
anak harus berjalan kaki dari Desa Tetingi ke Desa Cinta Maju untuk
mengenyam pendidikan. Meskipun mereka harus menempuh jalan yang
berbatu, tanjakan, dan turunan yang panjangnya kira-kira 2-3 kilometer,
tetapi semangat anak-anak tersebut tetap menyala. Hal ini terlihat dengan
senyum dan gelak tawa mereka saat berangkat sekolah bersama-sama.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 105
Pukul 11.00 siang hari saat matahari menyinari bumi dengan ter-
iknya, anak-anak tersebut kembali ke rumah mereka di Desa Tetingi. Terik
matahari dan tanjakan jalan harus mereka lalui. Kadang-kadang mereka
berhenti sejenak di bawah pohon yang rindang untuk melepaskan lelah.
Keringat pun mengucur di wajah mereka. Baju mereka pun tampak basah
oleh keringat. Perjalanan tersebut harus mereka lalui tiap hari.
Setiba di rumah, mereka langsung mengganti baju seragam mereka.
Rasa lapar pun sudah mulai menyerang. Piring yang bertengger di rak
piring pun segera diambil. Nasi putih dan lauk yang tersedia di atas
meja pun langsung diambil. Setelah makan, mereka langsung bermain
dengan teman-teman mereka. Banyak permainan yang sering dimainkan
oleh anak-anak di Desa Tetingi. Salah satu permainan tradisional yang
dimainkan oleh anak-anak di Desa Tetingi adalah permainan simang.
Simang dalam bahasa Gayo berarti “batu”. Permainan simang ini adalah
permainan menghitung batu. Bila dihitung, ada sekitar ratusan batu yang
disiapkan untuk bermain simang. Batu tersebut diletakkan di atas lantai.
Masing-masing anak mengambil sekitar tiga puluhan batu yang diletakkan
di depannya. Satu batu dijadikan patakon untuk mengambil batu yang lain,
dengan cara batu tersebut dilemparkan ke atas. Setelah batu tersebut
dilempar ke atas dengan menggunakan tangan kanan, tangan kanan
dengan sigap mengambil batu-batu lain yang berserakan di lantai, sebelum
batu yang dilemparkan ke atas tadi jatuh. Batu yang dilemparkan ke atas
tidak boleh jatuh menyentuh tanah sehingga setelah mengambil batu di
lantai, tangan kanan dengan sigap pula mengambil batu yang dilemparkan
ke atas agar tidak jatuh ke bawah. Anak-anak tersebut mengambil batu
di atas lantai sambil berhitung “sara (satu), rowa (dua), tulu (tiga), opat
(empat), lime (lima), onom (enam), pitu (tujuh), walu (delapan), siwa
(sembilan), sepuluh, dan seterusnya”.
Selain simang, masih banyak lagi permainan lain yang dimainkan
oleh anak-anak di Desa Tetingi, di antaranya batok kelapa yang dijadikan
alas kaki yang bertali, permainan tali karet, permainan tutup limun,
dan sebagainya. Permainan tersebut dimainkan oleh anak-anak setelah
pulang sekolah sampai sore hari. Tidak ada perbedaan antara permainan
anak laki-laki dan anak perempuan. Setiap permainan selalu ada anak
perempuan dan anak laki-laki, bahkan permainan lompat karet yang di
daerah lain, seperti Bengkulu, menjadi permainan anak perempuan, di
Desa Tetingi anak laki-laki pun ikut bermain.

106 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Namun, tidak semua anak tersebut bermain. Ada juga anak yang
pergi ke ladang untuk membantu orang tuanya. Meskipun baru duduk di
bangku SD, anak-anak tersebut sudah pandai mengerjakan pekerjaan di
ladang dan di sawah. Kadang kala bukan hanya kebun milik orang tuanya
yang mereka bantu, melainkan juga ladang atau sawah milik orang lain,
dengan sistem upahan. Sal, contohnya, memanfaatkan musim libur seko­lah
untuk bekerja. Dia membantu memetik jagung milik tetangganya dengan
upah Rp7.000,00 per karung. Dalam satu hari Sal dapat memperoleh
5-6 karung. Dia bekerja selama 4 hari. Dalam waktu 4 hari tersebut Sal
dapat mengumpulkan uang sebanyak Rp130.000,00. Uang tersebut
dibelikannya sepatu sekolah dengan harga Rp50.000,00 dan Rp50.000,00
lagi diberikannya kepada neneknya yang hidup sebatang kara. Masih ada
sisa Rp30.000,00 yang dimanfaatkannya untuk membeli buku atau jajan.
Setelah lelah melakukan aktivitas seharian, pada sore hari anak-
anak tersebut pulang ke rumah masing-masing. Setiba di rumah, anak
perempuan membantu ibunya memasak. Mayoritas anak perempuan di
Desa Tetingi sudah pandai memasak sejak usia delapan tahun. Setelah
selesai memasak, mereka makan bersama dengan keluarga mereka se­
belum atau setelah shalat Magrib. Selesai shalat Magrib, mereka per­
gi ke meunasah untuk belajar mengaji. Di meunasah mereka diajar oleh
seorang guru mengaji. Berhubung guru mengaji hanya ada satu sedangkan
muridnya berjumlah 30-an orang, murid yang senior yang sudah pandai
membaca Alquran ikut membantu guru tersebut mengajar murid-
muridnya membaca Iqra’ dan huruf hijaiyah.
Setelah selesai mengaji, anak-anak tersebut kembali ke rumah ma­
sing-masing atau ke rumah saudaranya tempat dia tidur. Dalam masya­
rakat Gayo Lues, ada sebuah tradisi bagi seorang anak, yaitu ketika
seorang anak sudah menginjak usia sekitar delapan tahun atau sekitar
kelas 4 SD, biasanya pada malam hari mereka tidak tidur di rumah mereka
lagi, melainkan tidur bersama dengan teman-temannya di sebuah rumah
di desa tersebut. Jika seorang anak sudah menginjak usia delapan tahun
dan masih tidur di rumah orang tuanya, dia akan merasa malu karena
dianggap masih menetek atau menyusu oleh teman-temannya, kecuali
jika ia adalah anak perempuan satu-satunya di rumah tersebut dan ibunya
hanya sendiri di rumah. Hal ini terlihat pada saat tim peneliti bertanya
mengapa Asmi, seorang anak perempuan berusia 10 tahun, tidak tidur
bersama dengan teman-temannya di rumah Inen Li. Teman-temannya
tersebut dengan kompak berkata “Masih netek pada ibunya,” jawab
mereka sambil tertawa.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 107
Terdapat perbedaan dalam tradisi tidur ini antara anak laki-laki dan
anak perempuan. Anak perempuan tidur di rumah tetangganya pada
saat usianya menginjak 8 tahun, sedangkan anak laki-laki menginjak usia
12 tahun. Selain itu, tempat tidur anak perempuan adalah rumah salah
satu penduduk setempat, sedangkan anak laki-laki biasanya di rangkang.
Rangkang adalah sebuah bangunan yang dibangun untuk anak laki-
laki yang mengaji di meunasah. Usai mengaji, mereka tidur bersama di
rangkang tersebut. Namun sekarang rangkang di Desa Tetingi tidak di­
fungsikan lagi untuk anak laki-laki yang mengaji. Beberapa ruangan
rangkang dipakai oleh sebuah keluarga kecil, sedangkan ruangan yang lain
dibiarkan terbengkalai. Oleh sebab itu, anak laki-laki di Desa Tetingi pada
saat ini tidak tidur di rangkang lagi, tetapi tidur di rumah temannya atau
di rumahnya sendiri.
Sekarang anak laki-laki dan anak perempuan di Desa Tetingi pada
saat duduk di bangku SMP tinggal di sebuah pesantren yang terdapat
di Desa Cinta Maju. Setelah pulang dari SMP pada siang hari, anak-anak
tersebut pergi ke pesantren untuk mengaji dan belajar ilmu agama hingga
larut malam.
Namun, tidak semua orang tua di Desa Tetingi menyetujui anaknya
untuk tidur di rumah orang lain, meskipun di rumah bibinya. Hal ini seperti
yang dilakukan Inen NA. Inen NA tidak menyuruh anak-anaknya untuk
tidur di rumah orang lain karena dia ingin lebih dekat dengan anaknya dan
dapat mengontrol belajar anaknya pada malam hari. Bukan hanya Inen
NA, salah seorang tokoh masyarakat pun tidak menyetujui anaknya tidur
di rumah tetangganya karena dapat mengganggu sekolah dan belajar
anaknya.
“… itulah masalahnya orang tua, kalau dia mau disekolahkan,
jangan pun dibiarkan tidur kayak itu dia ya kan, tidur di situ,
tidur di sana, dia kan ga belajar. Kalau ga sekolah, ya enggak
papa, tidur sana, kalau sekolah susah dia, gimana dia mau
belajar …,” jelasnya.

3.9 Health Seeking Behavior dalam Kesehatan Ibu dan Anak


Peran bidan kampung terhadap seorang ibu bersalin bukan hanya
sebatas pada pertolongan persalinan, melainkan juga menjadi “rujukan”
apabila seorang ibu pasca-persalinan mengalami sakit. Misalnya, apa­
bila seorang ibu nifas mengalami panas badan, dia lebih cenderung

108 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
memanggil bidan kampung untuk mengobatinya daripada bidan desa. Hal
ini berhubungan dengan kepercayaan yang dia miliki bahwa sakit yang dia
alami disebabkan karena pengaruh setan. Oleh sebab itu, dia memanggil
bidan kampung untuk mengobatinya, karena menurutnya hanya bidan
kampung yang bisa mengusir setan tersebut. Hal ini seperti yang dialami
oleh Kak My. Pada saat nifas, Kak My menderita sakit panas. Pada saat itu,
Kak My memanggil Empun (Nenek) Ar untuk memberinya pengobatan.
Kemudian Empun (Nenek) Ar memberikan daun dedingin yang dicampur
dengan beras, kemudian diremas. Setelah diremas, lalu air dedingin dan
beras tersebut diminum oleh Kak My dan dioleskan ke seluruh badannya.
Pengobatan oleh bidan kampung tersebut juga dilakukan kepada
bayi. Pada saat bayi panas, si ibu akan memanggil bidan kampung untuk
mengobatinya. Hal ini dialami oleh Kak My pada saat anaknya sakit panas.
Pada saat itu Kak My memanggil Empun (Nenek) Ar untuk mengobati
anaknya. Empun (Nenek) Ar memberikan daun bebesi dicampur keruh
sejuk (nasi dingin) yang dioleskan ke seluruh badan si bayi. Daun bebesi
dan keruh sejuk tersebut diremas dan didoakan terlebih dulu sebelum
dioleskan ke seluruh badan bayi yang sakit.
Selain panas, sakit uris atau bintik-bintik merah pada badan bayi
juga sering terjadi. Apabila bayi menderita sakit uris, bidan kampung akan
mengobatinya dengan semburan sirih. Sirih tersebut dikunyah terlebih
dulu lalu disemburkan pada bagian kaki, tangan, hati, dan ubun-ubun si
bayi. Pada saat sedang sakit uris, ibu si bayi tidak boleh makan sayur dan
terkena uap sayur rebus. Selain itu, jika sedang sakit uris, si bayi tidak
boleh dimandikan.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 109
110 Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
BAB IV
TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT
DESA TETINGI

Di DesaTetingi terdapat seorang bidan desa yang tinggal bersama


keluarga kecilnya di Poskesdes. Poskesdes yang dibangun pada tahun
2010 berdiri di sudut pemukiman warga Desa Tetingi dan ditempati oleh
bidan desa pada pertengahan tahun 2010. Bidan desa tersebut berasal
dari Kota Langsa, sebuah kota yang terdapat di Provinsi Aceh. Dia datang
ke Gayo Lues karena ikut suaminya yang bertugas di sana. Oleh karena
itu, dia pun mencoba melamar untuk bekerja sebagai bidan desa sesuai
dengan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Setelah diterima, dia
pun ditempatkan di Poskesdes Tetingi.
Bidan desa tersebut tergolong masih muda. Usianya pada saat itu
menginjak 26 tahun. Desa Tetingi adalah desa pertama baginya untuk
mengabdi kepada masyarakat setelah dia menyelesaikan kuliahnya di
tingkat D3 Kebidanan tiga tahun silam. Hal ini tentu menjadi pengalaman
pertama baginya untuk menjadi seorang bidan desa, apalagi Desa Tetingi
belum memiliki seorang bidan desa sebelumnya. Dengan kata lain, bidan
desa tersebut adalah yang pertama bagi masyarakat Desa Tetingi, dan Desa
Tetingi adalah yang pertama bagi bidan desa tersebut untuk mengabdi
kepada masyarakat.
Kehadiran seorang bidan desa di Desa Tetingi belum mampu meng­
geser peran bidan kampung, khususnya dalam pemeriksaan kehamilan
dan pertolongan persalinan. Hal ini terlihat masih banyaknya ibu hamil
yang meminta pertolongan persalinan kepada bidan kampung, seperti
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Sebelum kedatangannya, masyarakat Desa Tetingi pergi ke bidan
desa yang tinggal di Desa Cinta Maju untuk mendapatkan pengobatan
atau memeriksakan kehamilan. Jarak antara Desa Cinta Maju dengan Desa


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 111
Tetingi sekitar 2 kilometer. Tidak ada transportasi umum yang tersedia dari
Desa Tetingi menuju Desa Cinta Maju. Masyarakat setempat harus berjalan
kaki dan melewati jalanan yang berbatu dan menanjak. Namun, hanya di
Desa Cinta Maju itulah masyarakat bisa mendapatkan pengobatan oleh
tenaga kesehatan pada saat itu. Pengobatan kepada tenaga kesehatan
yang terdapat di desa tersebut masih dilakukan oleh sebagian masyarakat
Desa Tetingi hingga saat ini, meskipun sudah ada bidan desa di Desa Tetingi.
Menurut masyarakat setempat, hal ini dilakukan karena faktor kecocokan
dan kenyamanan yang mereka alami sendiri, seperti yang diungkapkan
oleh Aman Mrw berikut ini.
“… serasi kalau berobat ke sana. Udah biasa berobat di sana
…,” jelas Aman Mrw.

Sebelum mendapatkan pengobatan dari tenaga kesehatan, masyarakat


Desa Tetingi mencoba untuk mengobati sakit yang dideritanya dengan
cara pengobatan yang mereka ketahui, misalnya mencari pengobatan dari
alam. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Aman Na yang mencari getah
geloah (getah pohon jarak) untuk mengobati sakit gigi pada anaknya.
Se­lain Aman Na, ada juga Inen Ri yang mengobati batuk anaknya yang
berumur delapan bulan dengan air yang ada di pohon pelu, yaitu pohon
yang mirip dan menyerupai pohon bambu, tetapi batangnya lebih kecil
daripada pohon bambu. Selain mencari pengobatan dari alam, masyarakat
setempat juga mencari pengobatan ke dukun kampung untuk mengobati
sakit yang dideritanya. Hal ini berhubungan dengan pengetahuan mereka
tentang penyebab sakit, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa penyebab
masyarakat Desa Tetingi belum memanfaatkan tenaga kesehatan yang ada
di Desa Tetingi meliputi dua faktor. Faktor pertama yaitu faktor kenyamanan
dengan tenaga kesehatan yang ada di desa lain yang menjadi tempat
pengobatan mereka sebelum tenaga kesehatan di Desa Tetingi tersebut
datang. Sementara, faktor yang kedua adalah faktor pengetahuan mereka
tentang penyebab sakit dan pengobatan dari alam yang mereka ketahui.
Selain faktor dari masyarakat, kekurangpercayaan masyarakat ter­
hadap tenaga kesehatan yang ada di Desa Tetingi juga disebabkan oleh
karena faktor bidan desa itu sendiri. Bidan desa yang masih muda dan
belum berpengalaman dianggap oleh masyarakat setempat belum mampu
melakukan penyembuhan dengan baik, termasuk persalinan.

112 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Kurang bermasyarakatnya bidan desa dengan masyarakat setempat
karena ada kendala bahasa. Bidan desa yang bukan berasal dari Desa
Tetingi dan bukan orang Gayo tidak bisa berbahasa Gayo. Hal ini tentu
menjadi kendala bagi bidan desa untuk berkomunikasi dengan masyarakat
setempat, padahal unsur yang paling penting dalam komunikasi adalah
bahasa.
“… mungkin karena aku nggak bisa bahasa Gayo, ya, Kak …,”
jelas bidan desa.

Selain faktor bahasa, kurangnya bermasyarakat bidan desa dengan


masyarakat setempat juga didukung oleh letak poskesdes yang berada di
sudut pemukiman warga. Posisi tersebut menyebabkan kurang intensifnya
komunikasi yang terjalin antara bidan desa dengan masyarakat setempat.
Meskipun demikian, bidan desa sudah mempunyai hubungan yang baik
dengan masyarakat setempat, khususnya dengan bidan kampung. Hal
ini terlihat dari adanya hubungan sosial di antara mereka, termasuk da­
lam pengobatan. Apabila bidan kampung menderita sakit, seperti sakit
pinggang, bidan kampung datang ke bidan desa untuk mendapatkan
pengobatan. Begitu pula sebaliknya. Benang pancorana yang ada di
pinggang anak bidan desa juga dipasang oleh bidan kampung karena pada
saat itu anaknya sering menangis saat Magrib menjelang. Menurut bidan
kampung, hal tersebut karena ada setan yang mengganggunya. Oleh sebab
itu, bidan kampung pun memasang benang pancarona untuk mengusir
setan tersebut agar anak bidan desa tersebut tidak menangis lagi.
Selain letak poskesdes yang berada di sudut pemukiman warga
yang menyebabkan kurangnya interaksi sosial antara bidan desa dengan
masyarakat setempat, juga karena keadaan pintu poskesdes yang selalu
tertutup. Menurut masyarakat setempat, bidan desa sering menutup pintu
poskesdes sehingga mereka merasa sungkan untuk datang ke poskesdes
untuk mendapatkan pengobatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
masyarakat setempat berikut ini.
“… bidan desa sering menutup pintu poskesdes, sehingga kami
tidak berani datang ….”

Menurut bidan desa, pintu poskesdes ditutup bukan karena bi­dan


desa tersebut “melarang” masyarakat setempat untuk datang ke pos­
kesdes, namun karena kondisi alam Desa Tetingi. Secara geografis letak
poskesdes yang juga sebagai tempat tinggal bidan desa berada di sisi bukit


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 113
bagian yang tinggi dari dusun Arul Sirep. Di depan poskesdes membentang
lembah persawahan yang luas. Apabila angin bertiup dari arah lembah
menuju Dusun Arul Sirep, laju angin yang kencang akan langsung ke arah
poskesdes dan masuk ke dalam rumah bila pintu terbuka sehingga pasir
dan debu yang ada di depan poskesdes juga ikut masuk ke dalam. Hal inilah
yang menyebabkan pintu poskesdes selalu tertutup. Berikut penuturan
bidan desa
“… di sini anginnya kencang, apabila angin bertiup, maka pasir
dan debu akan masuk ke dalam rumah .…”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa faktor bahasa


dan letak fasilitas kesehatan mempunyai pengaruh dalam komunikasi
dan interaksi sosial antara bidan desa dengan masyarakat setempat
sehingga masyarakat melakukan pengobatan ke tenaga kesehatan yang
berada di desa lain atau pengobatan dengan cara mereka sendiri yang
telah mereka ketahui selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, sebelum
mendirikan poskesdes di sebuah desa, hendaknya pemerintah setempat
mempertimbangkan aspek kehidupan sosial tenaga kesehatan nantinya
terhadap masyarakat setempat.

114 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
BAB V
POTENSI DAN KENDALA DALAM
PEMBANGUNAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
DI DESA TETINGI

Program untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak telah sering


dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Namun perma­
salahan kesehatan tersebut masih ada, seperti masih banyaknya kasus
kematian ibu dan bayi. Oleh sebab itu, perlu adanya kacamata lain untuk
mengungkapkan misteri di balik itu. Salah satunya dengan menggunakan
kacamata kebudayaan.
E.B. Tylor (1871 dalam Seokanto, 1990:188-189) memberi definisi
bah­wa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keper­
cayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kemudian
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super organik,
karena kebudayaan turun-temurun dari generasi ke generasi (Soekanto,
1990:188). Sementara itu, Merville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan cultural determinism yang berarti segala sesuatu yang
ter­dapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut (Soekanto, 1990:187), termasuk kese­
hatan.
Kesehatan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh kebudayaan
yang dimilikinya. Dengan kata lain, pemahaman kesehatan dalam suatu
masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan yang telah mereka pelajari
se­cara turun-temurun dari generasi ke generasi. Sementara itu, setiap
masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat
yang lain. Perbedaan kebudayaan antara suatu masyarakat dengan masya­
rakat yang lain tentu menyebabkan pemahaman kesehatan yang berbeda


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 115
pula. Sebagai contoh, masyarakat di Hulu Lembah Mississippi tidak
menganggap malaria sebagai suatu penyakit yang dapat mengganggu
kesehatan (Foster, 2011:51). Hal ini tentu berbeda dalam dunia medis yang
menganggap bahwa malaria merupakan suatu penyakit yang berdampak
pada kesehatan manusia.
Perbedaan pemahaman kesehatan antara dunia medis dengan suatu
masyarakat juga terlihat dalam masyarakat Gayo di Desa Tetingi. Dalam
masyarakat Gayo, permasalahan kesehatan pada umumnya dipercaya
karena adanya pengaruh setan atau magis. Hal ini berbeda dengan dunia
medis yang melihat permasalahan kesehatan berkaitan dengan bakteri,
virus, dan mental seseorang atau masyarakat.
Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan tersebut berpengaruh
pada cara pengobatan yang dilakukan, yaitu dengan magis juga untuk
mengusir setan. Oleh sebab itu, dukun kampung masih mempunyai
peranan penting dalam pengobatan suatu penyakit, termasuk dalam
kesehatan ibu dan anak, seperti pengobatan pada masa kehamilan sampai
pasca-persalinan.

5.1 Masa Hamil


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ibu hamil di Desa Te­
tingi cenderung merahasiakan usia kehamilannya dari orang lain, apa­
lagi orang yang belum dikenalnya dengan baik. Merahasiakan usia ke­
hamilan ini berkaitan dengan sistem kepercayaan yang dimiliki oleh
masyarakat setempat, yang mempercayai bahwa kehamilan merupakan
masa yang rentan untuk diganggu oleh setan dan magis sehingga dapat
membahayakan ibu hamil dan janinnya.
Alasan merahasiakan usia kehamilan dari orang lain tersebut sekilas
terdengar “aneh” bagi sebagian orang di luar masyarakat Desa Tetingi
(outsider), namun hal tersebut menunjukkan kepedulian seorang ibu
dan keluarganya untuk menjaga dan melindungi ibu hamil dan janinnya
dari hal-hal yang dapat membahayakan keduanya. Di sisi lain, hal ini
tentu menjadi kendala bagi tenaga kesehatan untuk mengidentifikasikan
ibu hamil sehingga terjadi persalinan yang tidak diketahui oleh tenaga
kesehatan, seperti yang telah diceritakan pada bab sebelumnya.
Apabila ada permasalahan atau gangguan kehamilan, seperti penda­
rahan sebelum waktu persalinan, hal tersebut dipahami oleh masyarakat
setempat disebabkan oleh karena ada setan atau magis yang mengganggu
ibu hamil. Pemahaman tersebut berpengaruh pada perilaku pencarian

116 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
pengobatan, sehingga bidan kampung atau dukun kampung dipilih untuk
mengobati ibu hamil yang sedang mengalami permasalahan kehamilan.
Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan pada mantra yang dimiliki
oleh bidan kampung atau dukun kampung yang dapat mengusir setan yang
mengganggu ibu hamil. Tenaga kesehatan dianggap tidak bisa mengusir
setan tersebut. Padahal, masyarakat setempat juga tidak mengetahui
mantra yang dibaca oleh bidan kampung atau dukun kampung tersebut.
Pemahaman tersebut tentu menjadi kendala bagi tenaga kesehatan
untuk memberikan pengobatan dan mengatasi masalah kehamilan yang
dialami oleh ibu hamil. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan yang dianggap
oleh masyarakat setempat tidak mampu mengusir setan karena tidak
memiliki mantra seperti bidan kampung, hendaknya mempunyai strategi
untuk membangun kepercayaan masyarakat. Salah satu strategi tersebut
adalah “meniru” atau mengadopsi mantra bidan kampung atau dukun
kampung, dengan cara membaca mantra pula, meskipun mantra yang
dibaca adalah doa yang diajarkan oleh agamanya.
Mantra atau doa yang dibacakan oleh penyembuh dipercaya oleh
masyarakat setempat dapat mengusir setan dan magis yang meng­
ganggu ibu hamil. Ketika penyembuh membacakan mantra atau doa,
ada ketenangan yang dialami oleh ibu hamil. Hubungan antara mantra
atau doa dengan ketenangan jiwa ibu hamil tersebut dapat dipahami
dalam psikoneuroimunologi. Menurut Ader dan Cohen (1993), psiko­
neuroimunologi merupakan kaitan ataupun interaksi antara jiwa, kerja
saraf, fungsi endokrin, dan proses kekebalan tubuh8. Martin (1938)9 menge­
mukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi, yaitu (1) status emosi
menentukan fungsi sistem kekebalan dan (2) stres dapat meningkatkan
kerentanan tubuh. Berdasarkan teori tersebut dapat dipahami bahwa
mantra atau doa yang dibacakan oleh penyembuh mempengaruhi emosi,
jiwa, dan saraf seseorang. Oleh sebab itu, mengadopsi cara bidan kampung
atau dukun kampung adalah salah satu strategi untuk membangun
kepercayaan masyarakat.
Selain merahasiakan usia kehamilan dari orang lain, sebagian ibu
hamil di Desa Tetingi juga mengonsumsi ramuan tradisional, seperti sirih

8
Sumber: http://johana.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/buletin-psikologi.pdfdiunduh pada
tanggal 28 Juni 2011.
9
Sumber:http://dennyhendrata.wordpress.com/2007/07/30/stres-dan-sistem-imun-tubuhsuatu-
pendekatan-psikoneuroimunologi-2/. diunduh pada tanggal 28 Juni 2011.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 117
yang telah didoakan oleh bidan kampung. Mengonsumsi sirih ini diyakini
oleh masyarakat setempat dapat melancarkan persalinan. Namun, hal
ini belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Selama ini sirih diketahui hanya
sebagai obat hidung berdarah, obat bisul, obat batuk, obat sariawan,
dan obat sakit mata (Syamsuhidayat, 1991:454). Oleh sebab itu, perlu
adanya penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan misteri sirih dalam
melancarkan persalinan.
Terlepas dari itu, mengonsumsi sirih yang dianjurkan oleh masya­
rakat setempat kepada ibu hamil merupakan bentuk kepedulian mereka
terhadap persiapan persalinan. Selain itu, mengonsumsi sirih juga meru­
pakan tindakan preventif yang dilakukan oleh ibu hamil dalam menghadapi
permasalahan persalinan. Nilai memakan sirih tersebut dapat “ditiru” dan
diadopsi oleh tenaga kesehatan dalam menanamkan nilai mengonsumsi
vitamin bagi ibu hamil.
Selain mengonsumsi ramuan tradisional untuk melancarkan per­
salinan, ibu hamil di Desa Tetingi juga dianjurkan untuk bekerja di sa­
wah, kebun, dan ladang, serta bejangkat (mengangkat kayu). Menurut
pemahaman masyarakat setempat, aktivitas tersebut dapat melancarkan
proses persalinan. Namun, apabila pekerjaan tersebut terlalu “berat” bagi
ibu hamil, dikhawatirkan dapat berdampak kurang baik bagi kehamilan
dan rahim seorang ibu sehingga berisiko pada kehamilannya. Oleh sebab
itu, peran tenaga kesehatan untuk mengontrol ibu hamil tersebut sangat
diperlukan agar kehamilan dan persalinan berisiko dapat dihindari.

5.2 Persalinan
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, masih ada ibu
bersalin di Desa Tetingi yang belum mengetahui tanda-tanda persalinan
sehingga masih banyak ibu bersalin yang melakukan persalinan sendiri
tanpa pertolongan bidan desa atau bidan kampung. Hal ini tentu mem­
punyai dampak yang kurang baik bagi ibu bersalin tersebut, apalagi
persalinan tersebut adalah persalinan berisiko tinggi dan bermasalah.
Oleh sebab itu, peran tenaga kesehatan dan pemerintah setempat sangat
diperlukan untuk menanamkan pengetahuan tanda-tanda persalinan
kepada ibu sejak kehamilan.
Menjelang persalinan, masih banyak ibu di Desa Tetingi yang mencari
pertolongan persalinan ke bidan kampung atau dukun kampung, seperti
yang telah diceritakan pada bab sebelumnya. Hal ini terjadi karena karena
adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Hal ini tentu menjadi

118 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan yang ada di sana untuk
meyakinkan dan mendekati masyarakat agar melakukan persalinan dengan
bantuan tenaga kesehatan, apalagi tenaga kesehatan bukan berasal dari
masyarakat setempat dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan de­
ngan salah satu individu masyarakat setempat. Ditambah lagi tenaga
kesehatan tersebut tidak bisa berbahasa Gayo, yang merupakan bahasa
sehari-hari masyarakat setempat.
Untuk mengatasi kendala tersebut, dapat ditempuh dua strategi, yaitu
(1) tenaga kesehatan hendaknya membangun “hubungan kekerabatan”
secara sosiologis kepada masyarakat setempat, meskipun tidak mempunyai
hubungan biologis, dan (2) pemerintah setempat menyiapkan generasi
yang akan berkiprah membangun kesehatan di desa tersebut yang berasal
dari masyarakat itu sendiri. Strategi pertama merupakan strategi jangka
pendek, sedangkan strategi kedua merupakan strategi jangka panjang.
Selain adanya hubungan kekerabatan, bidan kampung atau dukun
kampung masih dicari oleh masyarakat setempat untuk menolong per­
sa­linan karena adanya kepercayaan masyarakat setempat terhadap “ke­
kuatan” mantra yang dimiliki oleh bidan kampung atau dukun kampung.
Mantra yang dimiliki oleh bidan kampung atau dukun kampung tersebut
dipercaya oleh masyarakat setempat dapat mengusir setan atau magis
yang dapat mengganggu ibu bersalin. Oleh sebab itu, mantra yang dimiliki
oleh bidan kampung atau dukun kampung pada pertolongan persalinan
juga dapat diadopsi oleh tenaga kesehatan, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Masyarakat Desa Tetingi lebih percaya kepada bidan kampung untuk
menolong persalinan daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, peluang
bidan kampung untuk menolong persalinan lebih banyak daripada tenaga
kesehatan. Oleh sebab itu, bidan kampung hendaknya mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah setempat. Perhatian tersebut mungkin
dapat dilakukan dengan cara membina dan merangkul bidan kampung
untuk bekerja sama dalam mengatasi permasalahan kehamilan seorang ibu
sampai pasca-persalinan. Menurut pengakuan seorang bidan kampung, dia
belum pernah mendapatkan pembinaan, khususnya tentang persalinan,
dari pemerintah setempat. “Ilmu” pertolongan persalinan dia peroleh dari
nenek moyangnya secara turun-temurun. Oleh sebab itu, peran peme­
rintah sangat diperlukan untuk merangkul para bidan kampung dan dukun
kampung selaku orang yang dipercaya oleh masyarakat setempat untuk
menyembuhkan suatu penyakit dan menolong persalinan.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 119
5.3 Pasca-persalinan
Setelah persalinan, ibu nifas di Desa Tetingi menggunakan api yang
diletakkan di belakang punggung yang dikenal dengan istilah bedapur atau
nite. Penggunaan api tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat
melancarkan darah kotor yang terdapat di punggung ibu hamil.
Penggunaan api pasca-persalinan tersebut sama dengan masyarakat
di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang
melakukan sei pasca-persalinan. Sei merupakan tradisi memanaskan ibu
nifas dalam rumah adat dengan asap selama 40 hari (Soerachman, 2009:3).
Pembakaran kayu bakar biasanya mengeluarkan bahan pencemar berupa
partikel debu (supended particulate matter) dan gas berupa karbon
dioksida (CO2), formaldehid (HCHO), oksida nitrogen (NOx), dan oksida
belerang (SOx). Terhirupnya bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan
gangguan kesehatan, berupa iritasi saluran pernapasan sampai gangguan
paru-paru (Soerachman, 2011:8-9). Akibat tersebut juga dapat terjadi
pada ibu nifas dan bayi di Desa Tetingi pada saat melakukan nite. Oleh
sebab itu, perlu adanya penelitian tindak lanjut untuk membangun ruang
nite yang sehat, seperti yang telah dilakukan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
Selain menggunakan api, pada saat nite ibu nifas di Desa Tetingi
juga menggunakan ramuan tradisional yang digunakan di seluruh tubuh,
dimasukkan ke dalam vagina, dimakan, dan diminum. Ramuan-ramuan
ter­sebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat menyehatkan ba­
dan, menyembuhkan luka dalam, dan memberi “kekuatan” pada saat
bekerja nantinya. Penggunaan ramuan tersebut menunjukkan bagaimana
kepedulian masyarakat setempat terhadap kesehatan seorang ibu dalam
masa nifas.
Ramuan yang digunakan pada umumnya adalah rempah-rempah
dapur, seperti kunyit dan sirih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
sirih biasanya digunakan sebagai obat hidung berdarah, obat bisul, obat
batuk, obat sariawan, dan obat sakit mata, sedangkan kunyit berkhasiat
sebagai obat demam, obat mencret, obat sesak napas, obat radang
hidung, dan penurun panas. Selain itu, kunyit juga mengandung saponin,
flavonoida, dan polifenol, selain minyak asiri (Syamsuhidayat, 1991:189).
Ramuan-ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas merupakan
ramuan yang dipelajari secara turun-temurun dalam masyarakat Gayo di
Desa Tetingi. Tanaman obat dan obat tradisional tersebut bermanfaat dan
aman jika digunakan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya

120 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
enam aspek ketepatan, yaitu tepat takaran, tepat waktu dan cara peng­
gunaan, tepat pemilihan bahan dan telaah informasi, serta sesuai dengan
indikasi penyakit tertentu (Katno, 2008:5). Namun, belum ada penelitian
yang mampu menjelaskan apakah ramuan-ramuan tersebut sudah sesuai
dengan enam aspek tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian
tindak lanjut untuk melihat apakah enam aspek tersebut sudah terpenuhi
dalam ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas di Desa Tetingi.

5.4 Intisari
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil sebuah intisari bahwa
pembangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi dapat melibatkan
empat unsur, yaitu (1) bidan desa selaku tenaga kesehatan, (2) bidan
kampung selaku penyembuh dan penolong persalinan yang dipercaya
oleh masyarakat setempat, (3) pemerintah setempat selaku pemegang
kebijakan, dan (4) masyarakat Desa Tetingi sebagai sasaran pembangunan
kesehatan ibu dan anak. Empat unsur tersebut saling berkaitan.
Bidan desa yang mempunyai peran sebagai tenaga kesehatan ber­
ada di posisi yang belum dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat se­
bagai penyembuh dan penolong persalinan. Oleh sebab itu, bidan desa
hendaknya memahami dan mengikuti budaya dan kearifan lokal setempat,
misalnya mengikuti cara pengobatan yang dilakukan oleh bidan kampung.
Sebab, cara pengobatan yang dilakukan oleh bidan kampung telah
dipercaya oleh masyarakat setempat selama bertahun-tahun, karena
hal tersebut sesuai dengan pengetahuan masyarakat setempat tentang
konsep sehat dan sakit.
Selain bidan desa, ada juga bidan kampung yang mempunyai pe­
ngaruh yang besar terhadap pembangunan kesehatan ibu dan anak di
Desa Tetingi. Bidan kampung yang lahir dan besar di Desa Tetingi telah
bertahun-tahun menjadi penyembuh dan penolong persalinan masyarakat
setempat. Hal ini tentu tidak mengherankan apabila bidan kampung lebih
dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penyembuh atau penolong
persalinan daripada tenaga kesehatan yang baru dua tahun berada di Desa
Tetingi. Oleh sebab itu, bidan kampung hendaknya dibina dan dirangkul
oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak
di Desa Tetingi. Pemerintah juga merupakan elemen penting dalam pem­
bangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi.
Elemen yang terakhir yang berpengaruh dalam kesehatan ibu dan
anak adalah masyarakat. Masyarakat sebagai suatu sistem yang mempu-


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 121
nyai kebudayaan dan kearifan lokal mempunyai peran dan pengaruh ter-
hadap kesehatan ibu dan anak.Sebagai contoh, dalam persalinan seorang
ibu, masyarakat yang ada di sekitar ibu bersalin tersebut juga ikut ber-
peran, seperti menjenguk ibu bersalin, bahkan ada juga yang ikut mem-
bantu pada saat persalinan. Hal ini menunjukkan kontribusi masyarakat
terhadap kesehatan ibu dan anak. Oleh sebab itu, masyarakat sebagai
suatu sistem perlu mendapatkan perhatian pula dari pemerintah setem-
pat selaku “penggerak” sistem masyarakat Desa Tetingi. Potensi yang baik
dalam masyarakat bisa menjadi media untuk melibatkan masyarakat da-
lam pembangunan kesehatan ibu dan anak, misalnya membuat kelom-
pok-kelompok sosial yang membuat tikar atau tape dari daun pandan
duri, yang umumnya dilakukan oleh perempuan di Desa Tetingi di rumah
masing-masing. Kelompok sosial tersebut bisa menjadi kelompok belajar
masyarakat untuk memahami kesehatan ibu dan anak, yang dibimbing
oleh tenaga kesehatan dan kader kesehatan setempat.

122 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
BAB VI
SIMPULAN

Kesehatan dan kebudayaan merupakan dua elemen yang terintegral.


Dalam memahami kesehatan suatu masyarakat perlu adanya pemaha-
man tentang kebudayaan masyarakat tersebut, karena setiap masyarakat
mempunyai kebudayaan sendiri, termasuk “cara” mereka untuk bisa men-
jadi sehat, terlepas cara mereka itu dianggap salah atau benar dalam ka-
camata kebudayaan lain, termasuk dalam kacamata dunia medis.
Etnis Gayo merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia mem­
punyai “cara sehat” sendiri yang berbeda dengan kebudayaan lain, khu­
susnya dalam kesehatan ibu dan anak. Seperti yang telah dijelaskan se­
belumnya, etnis Gayo mempunyai cara mereka untuk sehat sejak masa
kehamilan sampai pasca-persalinan. Cara tersebut sudah mereka pelajari
secara turun-temurun sebelum dunia medis datang dan mengenalkan “cara
sehat” yang baru kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka lebih meyakini
“cara sehat” mereka sendiri daripada “cara sehat” yang dikenalkan oleh
dunia medis, seperti menggunakan ramuan tradisional Gayo pada masa
nite.
Ada dua faktor yang menyebabkan kebudayaan tersebut masih dila­
kukan hingga saat ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor masyarakat
Gayo itu sendiri dan elemen-elemen yang terkait di dalamnya, seperti
kondisi alam, kebudayaan, dan pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat
Gayo. Sementara itu, faktor eksternal adalah faktor tenaga kesehatan
sebagai provider pelayanan kesehatan. Dari dua faktor tersebut, faktor
eksternal-lah yang bisa menjadi “agen perubahan kesehatan” karena
faktor eksternal adalah pelaku perubahan kesehatan.
Ketika provider pelayanan kesehatan menjadi agent of change, me­
reka harus memahami faktor internal (masyarakat dan kebudayaannya)


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 123
agar mengetahui permasalahan kesehatan yang ada dalam masyarakat
tersebut. Selain itu, provider pelayanan kesehatan hendaknya bisa ber­
bahasa masyarakat setempat agar mudah dalam berkomunikasi dan
berinteraksi. Apabila tenaga kesehatan tersebut dapat berbahasa lokal,
dia dapat “bersahabat” dan “belajar” bersama masyarakat setempat,
termasuk dengan bidan kampung, sehingga “rahasia” pengobatan bidan
kampung yang diyakini oleh masyarakat dapat diketahui dan diadopsi
oleh tenaga kesehatan. Harapannya, hal itu bisa menjadi media penarik
masyarakat untuk melakukan pengobatan dan meminta pertolongan
persalinan kepada tenaga kesehatan.
Selain faktor provider pelayanan kesehatan, perubahan juga dilakukan
dari dalam diri masyarakat itu sendiri, seperti peningkatan pendidikan
melalui pemberantasan buta aksara yang dilakukan oleh dinas terkait.
Pemberantasan buta aksara ini perlu dilakukan untuk memudahkan pro­
mosi kesehatan yang sering kali menggunakan bahasa tulis, termasuk buku
KIA yang harus dimiliki oleh ibu hamil. Apabila ibu hamil tersebut tidak bisa
bahasa tulis, pesan-pesan kesehatan tersebut tidak dapat tersampaikan
dengan baik dan mereka tidak dapat membaca buku KIA tersebut.
Pembangunan infrastruktur juga perlu dilakukan, seperti jalan yang
menjadi media untuk mengakses pelayanan kesehatan. Apabila jalan
sudah diperbaiki, kendaraan umum untuk menuju Desa Tetingi dapat
ma­suk sehingga masyarakat tidak perlu berjalan kaki untuk mengakses
pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, atau pelayanan
kesehatan lainnya.
Dua faktor tersebut, provider pelayanan kesehatan dan masyarakat,
harus berjalan secara sinergis untuk mencapai tujuan peningkatan kese­
hatan ibu dan anak. Ibaratnya, provider pelayanan kesehatan adalah
magnet dan masyarakat adalah besi. Magnet dan besi harus berjalan ke
satu arah, yaitu peningkatan kesehatan ibu dan anak agar target yang
diinginkan dapat tercapai.

124 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, 2005. “Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial


Budaya.” dalam: Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial
Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.
Bahry R., 2009. Kamus Umum Bahasa Gayo-Indonesia. Blangkejeren:
Pemerintah Kabupaten Gayo Lues.
Dennyhendrata, 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekat­
an Psikoneuroimunologi. http://dennyhendrata.wordpress.
com/2007/07/30/stres-dan-sistem-imun-tubuhsuatu-pendekat­
an-psikoneuroimunologi-2/ Posted: Juli 30, 2007. (Di­unduh pada
tanggal 28 Juni 2011).
Emzir, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi.
Malang: YA3
Foster, dan Anderson, 2011. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Kalangie, Nico S., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: PT Kesaint
Blanc Indah Corp.
Katno, 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan Efektivitas Tanaman Obat
dan Obat Tradisional. Jawa Tengah: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Badan Pene-
litian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
Koentjaraningrat, 2011. Pengantar Ilmu Antropologi I. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Ilmu Antropologi II. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Mariyah, Emiliana, dkk., 2005. “Hambatan Budaya dalam Interakasi
Bidan–Ibu Hamil; Studi Ketaatan untuk Meningkatkan Suplemen
dan Status Besi di Puskesmas Banyuurip, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah.” dalam: Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial
Budaya. Yogyakarta: Kepel Press.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 125
Melalatoa, 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Prawitasari, Johana E., 1997. “Psikoneuroimunologi: Penelitian Antar Di­
siplin Psikologi, Neurologi, dan Imunologi” dalam Buletin Psikologi,
Tahun V, Nomor 2.
http://johana.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/buletin-psikologi.pdf
(diunduh pada tanggal 28 Juni 2011).
Ratna, Nyoman Kutha, 2010. Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Il­
mu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Soerachman, Rachmalina, 2009. Studi Kejadian Kesakitan dan Kematian
Pada Ibu dan Bayi yang Melakukan Budaya Sei di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (belum dipublikasikan).
Syamsuhidayat, Sri Sugati, dkk., 1991. Inventaris Tanaman Obat Indo­
nesia (I). Jakarta: Departemen Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Tantawi I, S. Buniyamin, 2011. Pilar-Pilar Kebudayaan Gayo Lues, Medan:
Usupress.
Winkelman, Michael, 2009. Culture and Health; Applying Medical Anthro­
pology. San Fransisco: Jossey-Bass.
Wiradnyana, Ketut, dan Taufikurrahman Setiawan, 2011. Merangkai
Identitas Gayo. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________., 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
_____________, 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
_____________, 2011. Gayo Lues dalam Angka 2011. Gayo Lues: Badan
Pusat Statistik (BPS).
_____________, 2005. Gayo Lues dalam Angka 2005. Gayo Lues: Badan
Pusat Statistik (BPS).
_____________, 2011. Blang Pegayon dalam Angka 2011. Gayo Lues:
Badan Pusat Statistik (BPS).
_____________, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Aceh. Banda Aceh: Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh.

126 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012
Glosarium

Aman : Sebutan untuk laki-laki yang sudah menikah. Apabila belum


mempunyai anak, laki-laki tersebut dipanggil aman mayak,
dan apabila sudah mempunyai anak, nama anak pertama
akan mengikuti kata aman, misalnya Aman Dewi.
Aih : Air.
Beberu : Perempuan yang belum menikah.
Bebujang : Laki-laki yang belum menikah.
Bur : Gunung.
Dubang : Golok.
Blis : Jin/hantu.
Empus : Kebun.
Etek : Panggilan kepada perempuan yang lebih kecil dari pe­
nyapa.
Empun : Nenek atau kakek.
Geucik : Kepala desa.
Inen : Sebutan untuk perempuan yang sudah menikah. Apabila
belum mempunyai anak, perempuan tersebut dipanggil
inen mayak, dan apabila sudah mempunyai anak, nama
anak pertama akan mengikuti kata inen, misalnya Inen
Dewi.
Jeroh : Cantik.
Jema tue : Orang tua.
Jehmen : Orang dulu, leluhur.
Jangkat : Tali untuk membawa barang yang bisa disangkutkan di
bahu.
Jih : Ilalang.
Kelamun : Pelangi.
Kemiring : Kuping.
Kerje : Nikah.


Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 127
Kuning : Kunyit.
Kunul : Duduk.
Meunasah : Bangunan tinggi yang berbentuk rumah panggung yang
digunakan untuk kegiatan keagamaan
Mungkur : Jeruk purut.
Matah : Mentah.
Nite : Istirahat setelah melahirkan.
Peukan : Pasar yang diadakan seminggu sekali.
Pajak : Pasar yang diadakan setiap hari.
Panglo : Pekerjaan yang dilakukan dengan cara bergantian atau de­
ngan saling menolong.
Pancarona : Ikatan benang yang terdiri atas lima warna, yaitu hijau,
merah, kuning, putih, dan hitam.
Peneni’an : Tusukan pada bagian perut yang disebabkan oleh setan.
Param : Bedak yang dioleskan pada tubuh ibu yang baru mela­
hirkan.
Rangkang : bangunan memanjang yang dibentuk bilik-bilik berukuran
kira-kira 2 x 3 meter.
Rai : Jemput.
Rampat : Jenis penyakit yang disebabkan oleh jin, bisa menimpa
hewan dan manusia.
Semilu : Sembilu.
Sangkal : Benda tumpuan untuk memotong benda lain.
Tape : Sumpit, wadah yang berbentuk tas terbuat dari daun
pandan duri.
Titih, titi : Jembatan.
Tube : Racun (biasanya disebabkan oleh guna-guna).
Tembuni : Ari-ari.
Tampal : Bedak hitam (yang dioleskan pada pada dahi ibu
pascamelahirkan).
Tuyuh : Bawah.
Teniron : Permintaan.
Tangkuh : Berhenti, keluar.
Ulung : Daun.
Unyuk : Maskawin.
Win : Sapaan kepada anak laki-laki yang lebih muda daripada
penyapa.
Wak : Obat.

128 Buku Seri Etnografi Kesehatan


Ibu dan Anak 2012

Potrebbero piacerti anche