Sei sulla pagina 1di 9

Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Ibnu Batuta – Muslim Penjelajah Dunia

Anak muda dari Tangier ini merelakan hidupnya pada hembusan angin yang membawanya
kemana pun ia singgah. Napak tilas perjalanannya menempatkannya sebagai penjelajah dunia
terbesar yang dimiliki peradaban Islam dan dunia. Ia bernama Ibnu Battuta.

Di pagi hari yang dingin, bertahun 1349, seorang pria Arab berkuda lambat menuju gerbang
kota Tangier di pantai Afrika Utara. Bagi Ibnu Battuta, ini adalah akhir dari perjalanan jauhnya.
Ketika ia meninggalkan rumahnya di Tangier, dua puluh empat tahun yang lalu, ia tidak pernah
merencanakan sebuah perjalanan sedemikian jauh dan lamanya. Dari kejauhan, matanya
menyusuri lekuk putih atap-atap rumah dan kubah masjid yang berlatarkan laut Atlantik. Ia
mencoba menyusuri kembali ingatannya akan wajah kota yang telah ia tinggalkan selama
hampir seperapat abad lamanya.

Kilas balik berawal di tahun 1325. Ketika itu ia hanyalah seorang anak muda berusia 21 tahun,
enggan meninggalkan orang tuanya untuk melakukan ibadah haji pertamanya di kota Mekkah,
sekitar 3.000 mil ke arah timur. Ia lalui jarak sejauh 3000 mil tersebut, bahkan berlanjut pada
perjalanan panjang lainnya sejauh 72.000 mil! Biasanya peziarah haji pasti akan langsung
pulang ke kampung halaman mereka masing-masing. Apalagi saat itu tak lazim bagi siapapun
pergi dari rumahnya untuk kurun waktu yang sangat lama.

1/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Ketika Ibnu Battuta memulai penjelajahannya, barulah 125 tahun kemudian para penjelajah
Eropa seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama dan Magellan mulai berlayar. Tak heran
ketika saat ia pulang ke kampung halamannya, kedua orang tuanya telah wafat tanpa
kehadirannya. Namanya sendiri, dimata khalayak ramai telah terkenal sebagai penjelajah abad
ini sesampainya di Tangier.

Penjelajah bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al-Tanji ini lahir di
kota Tangiers, Maroko pada 24 Februari 1304. Dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga
tradisi Islam, Ibnu Battutah justru membenamkan diri pada ilmu-ilmu fikih dan sastra Arab.
Keilmuan yang mendukungnya untuk sebuah penjelajahan seperti astronomi ataupun kelautan
lainnya, bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Setiap penjelajah pasti memiliki alasan untuk berkelana menembus samudera dan daratan
luas. Marco Polo adalah seorang pedagang dan Columbus sejatinya seorang petualang. Ibnu
Battuta justru seorang teologis, sastrawan puisi dan cendekiawan, serta humanis. Perjalanan
haji pertamanya justru mendorongnya untuk memahami begitu luasnya dunia ciptaan-Nya.
Hatinya tergerak untuk memulai sebuah penjelajahan terbesar yang ada saat itu.

Sejarawan Barat, George Sarton, mengagumi jarak sejauh 72.000 mil melalui lautan dan
daratan yang dilakukan Ibnu Battuta. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marco
Polo dan penjelajah manapun sebelum datangnya teknologi mesin uap. Ahli sejarah lainnya
seperti Brockellman menyejajarkan namanya dengan Marcopolo, Hsien Tsieng, Drake dan
Magellan.

Seluruh kisah perjalanannya dikisahkan kembali oleh Ibnu Battuta dan ditulis oleh Ibnu Jauzi,
juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al Nuzzar fi Ghara’ib al Amsar
wa Ajaib al Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan
Mengagumkan).

2/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Perjalanan Penuh Kisah. Ibn Battuta jelas merupakan penjelajah yang luar biasa. Perjalanan
yang ditempuhnya meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, Cina dan negara muslim
lainnya. Ia selalu mendeskripsikan kondisi spiritual, politik dan sosial dari setiap negeri yang
disinggahinya. Ia berhasil merekam seperti apa wajah peradaban Timur Tengah pada abad
pertengahan.

Nyatanya, ia satu-satunya penjelajah besar yang mengilustrasikan tiap tempat yang


dikunjunginya dengan irama berpuisi. Sentuhan sastranya bisa dirasakan lewat deksripsinya
mengenai kota Kairo pada tahun 1326; “aku bertamu di Kairo, ibunda dari kota-kota dan kursi
Fir’aun sang tirani, sang nyonya empunya wilayah luas nan subur, bangunan-bangunan tak ada
batasnya, tak tertandingi akan kecantikan dan keanggunannya, tempat bertemu para
pendatang dan pulang, tempat perhentian yang lemah dan kuat, dimana berbondong-bondong
manusia menyerbu laiknya gelombang laut, dan semuanya tertampung dalam ukuran dan
kapasitasnya”.

Perjalanan perdana Ibnu Battuta dimulai ketika menunaikan ibadah hajinya yang pertama, tepat
pada tanggal 14 Juni 1325. Ia bersama jamaah Tangiers lainnya menempuh keringnya hawa
laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya
dengan berjalan kaki.

Kota Alexandria menjadi kota pertama yang disinggahinya. Tak lama ia mampir ke Kairo untuk
memulai perjalanan menuju Mekkah. Dari Kairo, Ibnu Battuta melewati rute yang melalui kota
Yerusalem, Aleppo dan Damaskus, bersama karavan rombongan haji menuju Mekkah.
Rombongan ini terdiri dari kaum Muslim, kaya dan miskin, terpelajar dan biasa saja, tentara,
pedagang dan cendekiawan. Semuanya pergi bersama-sama tanpa ada yang membanggakan
status sosialnya.

3/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Di setiap kota sepanjang perjalanan, mereka selalu dijamu, tempat berteduh dan
keramahtamahan penduduk kota. Kebaikan terhadap tamu Allah SWT yang telah mentradisi
dalam masyarakat Muslim Arab, memudahkan bagi Ibnu Battuta, untuk menempuh perjalanan
dengan bekal uang seadanya.

Ia tiba di Mekkah pada bulan Oktober 1326. Selama di kota suci, ia bertemu dengan jamaah
dari berbagai negeri. Setiap orang yang ditemui Ibnu Battuta selalu menarik perhatiannya.
Hingga, ia memutuskan untuk membatalkan kepulangannya ke Tangiers dan memulai
pengembaraannya menjelajahi dunia.

Pada tahun 1330, Ibnu Battuta memulai pelayaran pertamanya. Ia baru saja berumur 27 tahun
dan telah menjadi penjelajah yang cukup berpengalaman. Perahu yang dinaikinya adalah
Jalba, satu dari kapal laut melegenda di Laut Merah, terbuat dari bilahan papan yang diolesi
minyak ikan hiu agar anti air.

Ketika itu ia berada di Jeddah, bersiap untuk embarkasi menuju Yaman dan pelabuhan Gujarati
di India. Ia mendengar penguasa muslim di Delhi butuh orang-orang terpelajar untuk membantu
administrasi kesultanannya. Sahabatnya, Mansur, mengajak Ibnu Battuta untuk berada diatas
Jalba-nya, tetapi ia menolaknya, “berhubung kapalnya sudah dipenuhi dengan unta-unta, dan
sejak aku belum pernah bepergian di atas laut, hal ini membuatku khawatir”.

4/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Ia tepat untuk merasa khawatir. Baru dua hari berlayar, arah angin berubah dan kapal kecil ini
terombang-ambing oleh gelombang laut tiada hentinya. Badai kian mendekat, buritan kapal
mulai berdetam keras oleh gelombang laut, para pemunpang termasuk Ibnu Battuta mengalami
mabuk laut. Kapal Jalba akhirnya bersauh di pantai, namun bukannya di Yaman, melainkan di
arah seberangnya yaitu pesisir pantai Afrika di antara Aydhab dan Suakin.

Para musafir yang terdampar ini menyewa unta dan memulai perjalanan menuju arah selatan di
Suakin. Penguasa disana adalah Zayd ibn Abi Numayy, anak dari gubernur kota Mekkah, yang
ternyata saudara dari sahabatnya, Mansur. Perjalanan pulang mereka melewati Laut Merah
yang meski rute pendek, bisa sulit sekali karena angin kerap berubah-ubah.

Ibnu Battuta akhirnya sampai di Ta‘izz, ibukota Yaman yang dikuasai dinasti Islam Rasuliyah.
Dinasti ini terdiri dari elit militer Turki seperti dinasti Islam lainnya saat itu. Di kota Aden, ia
menyaksikan sebuah kota terbesar dan terkaya yang pernah ada di pesisir Laut Hindia.

Penjelajahannya berlanjut menuju Somalia, pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan
Mambasa. Kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Persia dan Pulau Dahrain. Di negeri
Persia, Ibnu Battuta berkesempatan bertamu di kota Baghdad. Di kota ini ia menyaksikan
sarana pemandian umum yang tak ada tandingannya di dunia. Setelah itu, Ibnu Battuta kembali
ke kota Mekkah pada tahun 1332. Menaiki sebuah kapal Genoa, ia berlayar ke kota Alaya di
pantai selatan Asia Kecil.

5/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Usai melakukan perjalanan laut, pada tahun 1333 Ibnu Battuta melanjutkan pengelanaan lewat
darat. Ia jelajahi stepa-stepa di Rusia Selatan hingga sampai ke istana Sultan Muhammad
Uzbegh Khan di tepi sungai Wolga. Ia melanjutkan penjelajahannya hingga ke Siberia. Bahkan,
ia sempat berniat menuju Kutub Utara, namun batal karena dingin cuaca daerah “Tanah
Gelap”, sebutan wilayah yang tak pernah ada sinar matahari tersebut.

Pada 12 September 1333, setelah perjalanan panjang melewati wilayah Iran, Anatolia dan Asia
Tengah, Ibn Battuta akhirnya singgah di tepi sungai Indus, tepi barat India yang dikuasai oleh
Muhammad Shah II, penguasa Islam di Delhi.

Ibn Battuta sudah diberi uang saku oleh pedagang Irak ketika ia transit di kota Tikrit dan
membawa 30 ekor kuda dan unta penuh dengan senjata panah untuk Sultan. Hadiah ini
ternyata diterima Sultan Muhammad Shah II untuk keperluan kampanye militernya. Ibnu Battuta
dihadiahi posisi sebagai Qadi di Delhi dengan gaji bulanan 12.000 dirham, dua rumah tinggal
dan bonus 12.000 dinar. Hanya semalam saja, anak Tangiers ini berubah menjadi orang kaya
mendadak.

Dua tahun kemudian, kekacauan mulai merebak di banyak wilayah. Tujuh tahun kemudian,
pemberontakan mulai merebak dimana-mana. Ibnu Battuta melihat kesultanan Delhi mulai tak
terkendali dan meminta ijin untuk berhaji ke kota Mekkah, satu-satunya cara halus untuk
mundur dari jabatan. Pada menit terakhir, sultan memintanya untuk memimpin 15 orang
perwakilan ke Cina dan beberapa kapal penuh hadiah kepada kaisar dinasti Yuan, Toghon
Temur. Ibnu Battuta mengambil kesempatan berharga ini sambil memperoleh kesempatan
mengunjungi negeri yang belum ia kunjungi ini.

6/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Rombongan diplomatik ini berangkat pada akhir musim panas di tahun 1341 menuju pelabuhan
Cambay. Namun mereka diserang dalam perjalanan oleh pemberontak Hindu yang menguasai
daerah pedesaan India. Ibnu Battuta tertangkap, namun berhasil melarikan diri dan bergabung
denga rombongan yang tersisa.

Kunjungannya ke negeri China begitu berkesan dalam dirinya. China ketika itu dikuasai oleh
dinasti Yuan dari Mongol. Walaupun tidak beragama Muslim, dinasti Yuan sangat bergantung
pada kemampuan pejabat dan penasehat militer Muslim dalam urusan perdagangan. Ibnu
Battuta mencatat, dibawah dinasti ini, para pedagang Muslim memperoleh keistimewaan di
sepanjang sungai-sungai dan kanal-kanal di seluruh wilayah kekaisaran Cina.

Ia akhirnya bertemu dengan kaisar Cina yang memiliki armada besar yang dibangun kekaisaran
tersebut. Beruntungnya, Ibnu Battuta mendapat kesempatan menikmati kapal pesiar milik
kaisar menuju kota Peking, ibukota kekaisaran. Meski begitu, walau ia begitu terpesona dengan
kain sutera dan porselennya, China adalah satu-satunya negeri yang dikunjunginya yang
membuat dirinya mengalami gegar budaya. Tetapi pada saat yang sama ia memuji China
sebagai negeri teraman dan ternyaman di dunia bagi para penjelajah.

Bertamu di Serambi Mekkah. Sebelum memulai perjalanan ke China, Ibnu Battuta sempat
mengunjungi wilayah Samudera Pasai atau Aceh. Dalam catatannya, ia menulis Samudera
Pasai sebagai negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya sebagai kota besar yang indah.
Dalam versi lainnya, ia menyebut pulau Sumatera sebagai “pulau Jawa yang menghijau”. Ia
disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani
dan ahli fiqih kesultanan.

7/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Menurut Ibnu Battuta, saat itu Samuder Pasai merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Sultan Mahmud Mallik Zahir, penguasa Samudera Pasai dimata Ibnu Battuta sebagai seorang
pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya pun sangat rendah hati dan
berangkat ke masjid untuk sholat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai sholat, kata Ibnu Battuta,
sang sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya

Selama 15 hari berada di Samudera Pasai, barulah ia melanjutkan perjalanan ke China.


Penjelajah Arab dari Tangier ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Ia menuju kota
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1348. Lalu ia berhenti
di kota Damaskus, menjenguk salah satu anaknya yang telah ia tinggalkan selama 20 tahun.
Ternyata ia mengetahui bahwa sang anak telah wafat mendahuluinya sejak 15 tahun lalu.

Selama ia berada dalam penjelajahan, epidemik mematikan, The Black Plague sedang
menyerang seluruh wilayah Timur Tengah. Di Kairo, Ibnu Battuta melaporkan korban tewas
mencapai jumlah 21.000 jiwa, data yang turut diamini para sejarawan modern. Ia melewati
kota-kota yang muram akibat wabah tersebut, namun ia selamat dari infeksi wabah ini.

Ketika ia sampai di Tangier pada tahun 1349, Ibnu Battuta mengetahui ibunya turut menjadi
korban wabah The Black Plaque. Hari-harinya pun diisi dengan mengisahkan kembali
perjalanan jauhnya bersama handai taulan dan teman dekatnya. Tak beberapa lama, ia mulai
berangkat ke Spanyol. Tiga tahun setelahnya, ia memulai perjalanan terakhirnya, yaitu menuju
kota Timbuktu, kota yang dianggap sebagai legenda oleh bangsa Eropa karena tak ada
satupun orang Eropa yang pernah kesana. Pada tahun 1354, sang penjelajah besar ini di minta
datang ke kota Fez oleh Sultan Abu Enan untuk membukukan kisah penjelajahan besarnya..

8/9
Ibnu Batuta

Written by Al-Faqir
Wednesday, 31 March 2010 17:39 - Last Updated Sunday, 06 June 2010 17:27

Anehnya, penjelajahan dunia Ibnu Battuta baru diketahui bangsa Barat setelah 300 tahun
kemudian. Kitabnya berjudul Rihla (Perjalanan) ditemukan di Aljazair. Marco Polo mendiktekan
pengalaman perjalanan bersama rekannya ketika berada di sel pada tahun 1296, kopi tulisan
dari kisahnya telah menyebar hingga ke Eropa pada abad ke-15. Jika saja Ibnu Battuta
memperoleh publisitas yang sama, namanya pasti sejajar, bahkan melebihi Marcopolo sebagai
seorang penjelajah dunia.

Peter A. Walandouw

Posted by Arif Perdana

9/9

Potrebbero piacerti anche