Sei sulla pagina 1di 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kerangka kebijakan sosial (Social Policy), penegakan hukum


pidana antara lain dapat diwujudkan melalui Sistem Peradilan Pidana yang
sesuai dengan kebijakan criminal (Criminal Policy) yang dapat dipersamakan
dengan penanggulangan kejahatan dalam arti luas. Sedangkan dalam arti
sempit, penanggulangan kejahatan hanya sebagai usaha pencegahan kejahatan
tanpa menggunakan hukum pidana. Contohnya: Penyuluhan sadar hukum.
Oleh karena sistem peradilan pidana mencakup bahkan sebelum terjadinya
suatu kejahatan, maka Criminal Policy memusatkan diri pada kegiatan
pencegahan kejahatan dan penegakan hukum. Penegakan hukum pidana pada
akhirnya akan berbicara mengenai hukum pelaksanaan pidana (Penitensir).
Berkaitan dengan jenis pidana yang ada dalam pelaksanaan pidana ini, maka
kita sampai pada konsep Pemasyarakatan yang dianut di Indonesia sebagai
pengganti konsep Pidana Penjara.

Sistem pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana


yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Upaya
yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembinaan narapidana adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya pembangunan nasional, yaitu untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Dalam konsep pemasyarakatan ini terdapat pandangan futuristis agar si


Narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) akan
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana

1
sehingga dapat diterima kembali di masyarakat serta berperan aktif dalam
pembangunan nasional. Pandangan ini juga dilandasi dengan pemikiran
bahwa hilangnya kemerdekaan merupakan satu-satunya nestapa serta
mengedepankan kemanusiaan melalui penjaminan terhadap hak-hak
manusiawi Narapidana. Salah satu hak yang diatur dalam Pasal 14i Undang-
undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah hak untuk
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

Berkaitan dengan hak remisi ini dalam perkembangannya menuai pro dan
kontra. Pihak pro menyatakan bahwa remisi sebagai hak narapidan bekerja
sejalan dengan konsep Ticket of Leave (penjara sistem Irlandia) dimana
pembinaan dalam Pemasyarakatan berorientasi mengedepankan kesadaran
pribadi Narapidana untuk berbenah diri sehingga Remisi merupakan bentuk
reward atas prestasi kesadaran pribadi tersebut. Di sisi lain pihak yang kontra
menyatakan bahwa hal ini sangat tidak efektif karena akan cenderung kepada
disparitas pemidanaan terutama yang berpotensi memunculkan stigma
unequally before the law, hal ini terutama disoroti pada Extraordinary crime,
ditambah lagi dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Menkumham Nomor
MHH-07.PK.01.05.04 tentang kebijakan moratorium remisi (tentang
pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa) pada tanggal
16 November 2011. Isu lainnya adalah terkait dengan lembaga yang
berwenang mengeluarkan remisi dinilai sebagai bentuk dependensi lembaga
eksekutif terhadap yudikatif yang memunculkan ketimpangan kewenangan.

Ruang lingkup makalah yang berjudul “RELEVANSI FALSAFAH


PEMASYARAKATAN DENGAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP
NARAPIDANA” ini mencakup Latar Belakang yang memuat isu seputar
topik serta alasan pengangkatan topik, untuk mengantarkan pada Bagian Isi
yang akan memfokuskan diri pada pembahasan untuk menjawab Rumusan

2
Masalah. Sedangkan pada bagian akhir makalah ini akan dirangkum
mengenai Kesimpulan dan Saran.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pernyataan di atas, maka kami akan mengkaji beberapa


permasalahan, terkait dengan :

1. Apakah remisi ini merupakan suatu keharusan untuk diterapkan


dalam konsep Pemasyarakatan?

2. Bagaimanakah Praktik Remisi di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

3
A. Keniscayaan Pemberian Remisi terhadap Narapidana

a. Istilah dan Falsafah Pemasyarakatan

Sejak tahun 1946, penjara sudah berubah menjadi “Lembaga


Pemasyarakatan”. Prinsip-prinsip perlakuan terhadap para pelanggar hukum,
terpidana dan narapidana sudah berubah dari prinsip-prinsip kepenjaraan menjadi
prinsip-prinsip pemasyarakatan, yang kemudian disebut dengan Sistem
Pemasyarakatan. Apabila sistem kepenjaraan masih lebih menekankan pembalasan
kepada penjahat sebagai tujuan dari pemidanaan, maka sistem pemasyarakatan lebih
menonjolkan kepada “pemasyarakatan” yaitu membina dan mengembalikan
pelanggar hukum (narapidana, warga binaan) itu menjadi masyarakat yang baik
kembali seperti sediakala sebelum melanggar hukum.

Pemasyarakatn berarti kembali ke masyarakat menjadi warganegara yang


baik dan berguna bagi masyarakat. Sistem pemasyarakatan lebih menonjolkan sisi
pembinaan bukan pembalasan agar terpidana dapat menyadari kesalahannya
sehingga ketika dikembalikan kepada masyarakat tidak akan mengulangi kembali
perbuatannya. Oleh karena itu Sahardjo sebagai penggagas lembaga pemasyarakatan
sudah sejak tahun 1963 mengemukakan bahwa pelanggar hukum tidak lagi disebut
sebagai penjahat melainkan sebagai orang yang tersesat. 1 Jadi orang tersesat dibina di
dalam lembaga pemasyarakatannya supaya keluar dari ketersesatannya.

Warga binaan pemasyarakatan terdiri dari narapidana, anak didik


pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 butir 7 Undang-Undang
Pemasyarakatan2, narapaidana adalah terpidana yang menjalanai pidana hilang

1
Berlian Simarmata, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor dan Teroris, Mimbar Hukum
Volume 23, Nomor 3, Oktober 2013, hal 502
2
Undang-Undang Reppublik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

4
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Pasal 1 butir 8 menyatakan anak didik
pemasyarakatan terdiri atas:

a) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana
di lembaga pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun;

b) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada
Negara untuk dididik danditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak paling
lama sampai umur 18 tahun;

c) Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk dididik di lembaga pemasyarakatan anak paling
lama sampai berumur 18 tahun

Sedangkan menurut Pasal 1 butir 9 klien pemasyarakatan adalah seseorang


yang berada dalam bimbingan balai pemasyarakatan.

Pada prinsipnya, baik narapidana, anak didik pemasyarakatan, maupun klien


pemasyarakatan adalah orang-orang yang melanggar ketentuan pidana (narapidana)
hanya diberikan sebutan yang berbeda untuk menghindari adanya stigmatisasi yang
dapat berdampak negatif bagi perkembangan psikologis anak. Jadi, semua sebutan
untuk pelanggar hukum pidana tersebut mengandung makna yang dalam guna
menyelamatkan para pelanggar hukum tersebut pada masa yang akan datang, sebab
mereka juga adalah aset bangsa. Sebagaia aset bangsa, warga binaan harus
diperlakukan dengan baik dan manusiawi dan perlakuan terhadap warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan dipandang tidak sesuai lagi
sehingga diganti dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang lebih menekankan kepada pembinaan supaya menjadi baik
kembali, bukan pembalasan.

5
Pembinaan terhadap warga binaan (narapidana) oleh lembaga pemasyarakatan
merupakan suatu rangkaian dalam sistem peradilan pidana terpadu (the integral
criminal justice system). Sistem peradilan pidana dimulai dari penyidikan,
penuntutan, penjatuhan pidana oleh pengadilan dan pembinaan oleh lembaga
pemasyarkatan. Sebagai suatu sistem, kesemuanya sub sistem tersebut memiliki
hubungan yang erat dan saling terkait. Kesalahan satu sub sistem akan
mempengaruhi kinerja sub sistem lain, sehingga antar sub sistem tidak dapat
dipisahkan. Masing-masing bekerja berdasarkan kewenangan dan peraturan yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing, namun hasil pekerjaannya itu bermuara
pada satu tujuan yakni agar warga binaan pemasyarakatan menyadari
kesalahannya,memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembalioleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab. Tugas dan peran masing-masing sub sistem peradilan pidana ini
perlu dipahami, sehingga tanggapan terhadap masalah-masalah yang berkaitan
dengan sistem (dan sub sistem) peradilan pidana tersebut tidak keliru termasuk
pemberian remisi kepada narapidana.

Penyadaran dalam rangka pembinaan si pembuat kejahatan dilakukan dengan


berbagai cara di dalam lembaga pemasyarakatan. lembaga pemasyarakatan akan
melakukan pembinaan terhadap narapidana (warga binaan) sebelum dikembalikan ke
masyarakat. Menurut R. A Koesnoen, pidana penjara adalah pidana pencabutan
kemerdekaan dan perkataan penjara berasal dari kata ‘penjoro’ (Jawa) yang berarti
‘tobat’, sedangkan ‘dipenjara’ mengandung makna ‘dibuat menjadi tobat’. Pada awal
pemberlakuan sistem pemasyarakatan Sahardjo sebagai penggagas lembaga
pemasyarakatan telah mengemukakan beberapa kendala dalam pelaksanna
penggantian penjara menjadi lembaga pemasyarakatan yaitu:

6
a) Mengubah penjara sesuai dengan cita-cita pemasyarakatan memerlukan biaya
besar;

b) Petugas pemasyarakatan masi sedikit memahami tujuan pemasyarakatan;

c) Masalah biaya; dan

d) Masyarakat yang masih belum menerima narapidana setelah keluar dari


lembaga pemasyarakatan3

Namun kendala ini terjawab dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12


Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan beserta peraturan pelaksananya.

Sistem pemasyarakatan terdiri dari dua elemen pokok, yaitu re-sosialisasi sebagai
tujuan pokok dan proses pemasyarakatan sebagai metode pembinaannya.4 Ada dua
kepentingan yang berbeda dalam kehidupan lembaga pemasyarakatan sebagai
konsekuensi logis diterimanya konsep pemasyarakatan, yaitu kepentingan
prikemanusaiaan bagi narapidana yang diwajibkan untuk mengikuti re-edukasi dan
re-sosialisai demi masa depan narapidana sendiri, dan perlindungan masyarakat dan
Negara yang sudah dirugikan. Akibatnya, kepentingan keamanan dan pembinaan
harus berjalan secara berdamoingan walaupun terkadang berbenturan. Inti proses re-
sosialisai adalah mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat bebas pada umumnya dan sosialisai
merupakan proses interaksi bagi seseorang untuk menjadi warga Negara yang baik
dan patuh pada hukum.

Secara singkat periodisasi konsep Pemasyarakatan di Indonesia dapat


digambarkan sebagai berikut:

3
Berlian Simarmata, Op.cit., hal 506
4
Ibid, hal.507

7
1. Periode Kerja Paksa, pada masa ini terhadap inlanders (pribumi)
diterapkan sistem pidana kerja dengan jangka waktu yang variatif. Pidana
kerja terdiri dari kerja paksa (dwang arbeid), untuk jangka waktu lebih dari
lima tahun dan dipekerjakan (ter arbeid stellen), yaitu satu tahun ke bawah
2. Periode Kolonial Belanda, ditandai dengan kelahiran KUHP yang salah
satu pengaturannya adalah dihapuskannya istilah “pidana kerja” menjadi
“pidana hilang kemerdekaan” serta terjadinya penjara sebagai sarana
pelaksanaan pidana.
3. Periode Pendudukan Jepang, pada masa ini perlakuan terhadap terpidana
merupakan eksploitasi atas manusia yakni dengan memberdayakannya
pada pengutamaan hasil dari perusahaan-perusahaan di penjara, khususnya
untuk keperluan perang
4. Periode Kemerdekaan, pada tahun 1964 lahirlah konsep pemasyarakatan
dan pada tahun 1995 lahirlah Undang-undang Pemasyarakatan

b. Konsep Dasar Remisi

Menurut keterangan pemerintah dalam uji materi Undang-undang nomor 12


tahun1995 tentang Pemasyarakatan yakni pasal 14i yang diajukan Pemohon Asosiasi
Advokad Konstitusi, disebutkan beberapa dasar pemikiran keberadaan Remisi, yakni:
(1) Hal ini sesuai dengan nilai Grond norm yaitu ketuhanan, kemanusiaan dan
keadilan sosial, (2) tuntutan filosofi rehabilitasi dan reintegrasi sosial, (3) Remisi
sebagai sebuah reward akan memotivasi Narapidan untuk berkelakuan baik, (4)
melihat kondisi objektif LP sekarang, dimana populasi semakin meningkat tidak
diimbangi dengn daya dukung keuangan negara yang relative standar serta sumber
daya LP yang statis. Hal ini mengakibatkan remisi ini menjadi pilihan dalam
mengatasi Overcapacity LP.

Perbandingan Pelaksanaan remisi di berbagai negara5, yakni terlihat dari


konsep-konsep remisi yang telah dianut oleh negara-negara di dunia:
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-III/2005

8
1. Canada
Undang-Undang Negara Federal Canada memberikan secara otomatis
pengurangan masa pidana sebanyak satu pertiga dari masa pidananya.
Sebagai contoh: seorang narapidana yang mendapatkan pidana 90 (sembilan
puluh) hari penjara, secara otomatis mendapatkan pengurangan masa pidana
maksimum 30 (tiga puluh) hari. Narapidana tidak diberikan pengurangan
pidana/remisi apabila : (a) tidak mampu atau menolak untuk aktif
berpartisipasi dalam program pembinaan dan atau program kegiatan kerja;
(b) melanggar kebijakan nol pelanggaran (violete the zero tolerance policy)
terhadap petugas pemasyarakatan; atau (c) tidak mampu memenuhi standar
dalam berperilaku positif.
2.Afrika Selatan
Dalam merespon permasalahan overcrowding (kelebihan muat) dan
kurangnya anggaran, Departemen Pelayanan Pemasyarakatan telah beberapa
kali memberikan remisi khusus (special remission) kepada narapidana (tidak
termasuk pelaku dengan kategori kejahatan serius). Dalam kurun waktu 30
Maret 1990 dan 30 Juni 1994 remisi tersebut diberikan kepada 94.128
orang narapidana. Selain remisi tersebut diberikan juga remisi yang disebut
sebagai "Goodwill and Bursting Remission" yang juga diberikan pada bulan
Desember 1990, April 1991, Juli 1991 dan Januari 1993. Undang-undang
Pemasyarakatan Nomor 8 Tahun 1959 di Afrika Selatan diubah pada tahun
1993 untuk merancang kembali kebijakan-kebijakan menyangkut
pengurangan pidana maupun pelepasan narapidana. Kebijakan tersebut
adalah memberikan pengurangan pidana sebesar 1/3 remisi.
3.Maharasthra (Negara Bagian India)
Pemberian remisi di negara Maharasthra hanya diberikan kepada narapidana
yang menjalani pidana lama. Jenis remisi di negara ini antara lain : (a)
remisi biasa (ordinary remission); (b) remisi tahunan karena berkelakuan
baik (annual good conduct); (c) remisi khusus (special remission); (d)
remisi donor darah (bood donation); (e) remisi karena pekerjaan
perlindungan lingkungan hidup (conservancy work); (f) remisi untuk
pelatihan fisik (physical training).
Sebagai tambahan remisi negara bagian diberikan oleh pemerintah dalam
rangka memperingati kegembiraan rakyat (rejoicing public).
4.Irlandia
Di Irlandia, seseorang yang dipidana tidak harus menjalani sepenuhnya
masa pidana, misalkan seseorang mendapatkan pidana penjara 8 (delapan)
tahun maka dia akan bebas setelah menjalani 6 (enam) tahun. Dengan kata
lain 2 (dua) tahun sisanya diampuni (remitted). Berdasarkan Undang-undang
narapidana di Irlandia (Prison Rules 1947 dan diubah dengan 2005 Prison
Rules) mempunyai hak untuk mendapatkan remisi sebesar 1/4 (satu
perempat) dari masa pidananya. Namun begitu, sebagian dari pengurangan

9
pidana (remisi) tersebut dapat ditiadakan tergantung dari perilaku yang
bersangkutan selama didalam penjara.
5.Thailand
Remisi di Thailand diberikan berdasarkan Undang-undang Penitentiary
Tahun 1936 dan Peraturan Pemerintah Tahun 1978. Remisi diberikan kepada
narapidana dengan klasifikasi berkelakuan baik, sangat baik dan terbaik
(good, very good and exellent class). Pada klasifikasi baik, narapidana akan
mendapatkan pengurangan pidana 3 hari tiap bulannya. Klasifikasi sangat
baik akan mendapatkan 4 hari tiap bulannya dan pada klasifikasi terbaik
narapidana akan mendapatkan 5 hari tiap bulannya. Apabila seorang
narapidana ditugaskan untuk bekerja di luar selama 1 hari, masa pidana
mereka juga akan dikurangi sebesar 1 hari, ditambahkan dengan remisi
bulanannya. Bagi para praktisi pemasyarakatan di Thailand remisi harus
tetap diberikan karena merupakan salah satu hak dari narapidana.
Narapidana yang berkelakuan baik harus mendapatkan kesempatan bebas
sebelum waktunya. Dari pemberian remisi tersebut narapidana akan
terinspirasi serta terdorong untuk berkelakuan baik dan tidak akan
melanggar aturan selama di dalam lembaga pemasyarakatan. Pemberian
remisi juga merupakan solusi masalah over kapasitas yang sedang terjadi di
Thailand. Hampir lebih dari 66 (enam puluh enam) tahun, Undang-undang
Kepenjaraan Nomor B.E. 2479 (Tahun 1936) telah tiga kali dimodifikasi
yaitu pada Tahun 1977 dimana sistem penghargaan perilaku baik (Good
Time Allowance) atau remisi dikenalkan untuk mengurangi masalah
overcrowding. Kedua pada Tahun 1979 dan ketiga pada Tahun 1980.
6.Singapura
Dasar hukum pemberian remisi di Singapura adalah Prosedure `Hukum
Pidana (criminal procedure code). Narapidana yang menjalani pidana lebih
dari 1 (satu) bulan secara otomatis mendapatkan remisi sepertiga dan yang
kurang dari pidana tersebut / 1 (satu) bulan tidak mendapatkannya. Remisi
juga tidak diberikan kepada narapidana yang sedang menjalani hukuman
karena melanggar peraturan dalam penjara, sedang dirawat di rumah sakit
yang disebabkan perbuatannya sendiri, narapidana yang ditangkap kembali
setelah melarikan diri.
7.Queensland (Australia)
Dasar hukum pemberian remisi di Queensland adalah Undang-undang
Pemasyarakatan Tahun 2000 (Corrective Services Act 2000). Pada Pasal 75
mengatakan bahwa yang berhak mendapatkan remisi adalah : (a) seorang
narapidana mendapatkan remisi apabila masa pidana penjaranya 2 bulan
atau lebih; (b) seorang narapidana tidak berhak mendapatkan remisi jika
selama menjalani pidana, mereka tidak keluar untuk bekerja/mencari
pekerjaan, pidana rumah, sedang melaksanakan pidana bersyarat, pidana
percobaan.

10
8. Tasmania (Australia)
Pemberian remisi dilakukan oleh Kepala Lapas (Chief Executive) kepada
narapidana sebanyak satu pertiga dari masa pidananya dengan kondisi
bahwa: (1) Napi yang dituju bukan merupakan narapidana yang dapat
membahayakan masyarakat (Iihat the prisoner's discharge does not pose an
unacceptable risk to the community); dan (2) Napi tersebut berperilaku baik
dan rajin bekerja; dan (3) Hal ini yang diatur dalam undang-undang.

c. Ide Remisi di Indonesia

Sejalan dengan kebijakan perubahan penjara dengan sistem kepenjaraannya


menjadi lembaga pemasyarakatan dengan sistem pemasyaraktannya, pembuat
undang-undang telah menetapkan beberapa hak bagi seorang narapidana. Tujuan
akhir dari pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah untuk mengubah perilaku
narapidana (yang semula jahat, tersesat), menjadi orang yang baik. Ketika narapidana
telah dapat menunjukkan hasil perubahan perilaku menjadi baik, kepadanya
diberikan beberapa hak yang bertujuan untuk mengurangi penderitaannya. Semakin
cepat ditujukan perubahan perilaku sebagai hasil dari pembinaan itu, semakin cepat
pula diakhiri atau dikurangi penderitaannya.

Presiden Soekarno mempelopori pengaturan pemberian remisi melalui


Keppres Republik Indonesia Serikat No 156/1950. Oleh Soekarno, remisi diberikan
setiap peringatan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Pasca berlakunya
Undang-Undang Pemasyarakatan di tahun 1995, selanjtnya Presiden Habibie
mengeluarkan dua regulasi penting sebagai keran pembuka aliran remisi yang lebih
deras. Sedikit banyak terdapat pengaruh momentum reformasi 1998.

Di dalam mewujudkan visi dan misi bangsa Indonesia sesuai dengan yang
tercantum di dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, Pengaturan remisi
berhulu pada Undang-Undang No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan yang kemudian
diatur lebih lanjut dalam PP No. 32/1999 dan PP No. 28/2006 tentang Syarat dan Tata

11
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta Keppres No. 174 tahun
1999 tentang remisi. Kebijakan ”keringanan hukuman” sebenarnya bukan barang
baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah berlaku Ordonansi Pelepasan
Bersyarat (Staatblad 1917-749) dan Ordonansi Hukuman Bersyarat (Staatblad 1926-
487) sebelum dicabut tahun 1995, hingga ketentuan pelepasan bersyarat dalam Kitab
Undnag-Undang Hukum Pidana yang sampai saat ini masih berlaku.

Pengurangan masa menjalani pidana (remisi) bagi narapidana tidak dapat


dilepaskan dari model dan strategi kebijakan pemidanaan yang dianut oleh suatu
negara. Model dan Strategi Kebijakan Pemidanaan suatu negara tersebut tidak dapat
pula dilepaskan dari paradigma pemidanaan yang melatar belakanginya. Adapun
paradigma tersebut meliputi paradigma pembalasan (restraint), paradigma penjeraan
(deterence), paradigma reformasi (rehabilitasi dan resosialisasi) dan paradigma re-
integrasi.6

Berbeda dengan masa pemerintahan Hindia Belanda yang menganggap remisi


sebagai anugerah, dalam sistem pemasyarakatan remisi telah berubah menjadi hak
narapidana. Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka
mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Remisi tidak wajib diberikan kepada
setiap narapidana dan oemberian remisi harus memenuhi syarat tertentu. Secara
prinsip, remisi hanya diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan
melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasayarakatan selama
menjalani pidana.

Remisi menurut Kepres No. 174 Tahun 1999 tentang remisi pada Pasal 1 ayat
(1) remisi adalah: pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan
anak pidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana. Menurut pasal 34 ayat
(2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan

6
http://titispanawang.blogspot.com/2012/05/jika-anda-sebagai-napi-masihkah-anda.html di akses pada
hari Sabtu, 11 Mei 2013, Pkl. 14.33 Wib.

12
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana
apabila telah berkelakuan baik dan telah menjalani masa masa pidana lebih dari enam
bulan. Dalam Pasal 34 ayat (3), khusus bagi narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan Negara dan kejahatan Hak asasi manusia yang berat, dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, disamping berkelakuan baik,
narapidana harus telah menjalani satu pertiga masa pidananya.

Dalam PP ini pemerintah telah menyadari akan adanya pembedaan perlakuan


dan pembinaan terhdapa pelaku tindak pidana korupsi,mengingat sifat dan cirri
khasnya. Akibatnya, syarat untuk memperoleh remisi menjadi lebih ketat dan lebih
sulit daripada tindak pidana biasa. Apabila untuk tindak pidana biasa, seorang
narapidana telah berhak untuk memperoleh remisi setelah menjalani sepertiga dari
pidananya dan mendapat pertimbangan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang
Remisi,ada tiga macam remisi yaitu remisi umum, remisi khusus (termasuk remisi
khusus yang tertunda dan remisi khusus bersyarat7), dan remisi tambahan. Remisi
umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan remisi khusus
diberikan pada hari besar keagamaan (yang paling dimuliakan, misalnya idul fitri)
yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan. Remisi khusus
tertunda diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat subtantif namun
pada hari raya keagamaannya yang bersangkutan masih berstatus tahanan sehingga
yang bersangkutan tidak dapat diusulkan untuk memperoleh remisi. Oleh karena itu
diusulkan setelah yang bersangkutan berstatus narapidana. Besarnya remisi khusus
tertunda maksimal satu bulan. Remisi khusus bersyarat diberikan kepada narapidana

7
Diatur dalam Sutat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. M.01.HN.02.01
Tahun 2001 tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi
Tambahan.

13
dan anak pidana yang pada hari raya keagamaannya, belum cukup enam bulan
menjalani pidananya. Narapidana tetap dapat diusulkan remisi khusus bersyarat
apabila selama menjalani masa bersyarat enam bulan yang bersangkutan berkelakuan
baik, namun remisi tersebut diperhitungkan dalam ekspirasinya. Namun apabila
selama menjalani masa bersyarat tersebut yang bersangkutan melakukan pelanggaran
disiplin maka remisi khusus bersyarat akan dicabut atau dibatalkan. Remisi umum
dan remisi khusus masih dapat ditambah dengan remisi tambahan apabila selama
menjalani pidana, narapidana dn anak pidana : (a) berbuat jasa kepada Negara; (b)
melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan; (c) melakukan
perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.

B. Dinamika Praktik Remisi sebagai Hak Narapidana di Indonesia

a. Kontroversi Lembaga Negara Pemberi Remisi

Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah (terlepas dari ditolaknya
permohonan pemohon oleh MK), dimana Asosiasi Advokad Konstitusi sebagai dasar
permohonannya dalam mengujimateri Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menganggap bahwa hal pemberian Remisi yang diberikan
wewenang kepada Pemerintah (melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia)
merupakan pelanggaran (intervensi) terhadap upaya penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman (Lembaga Yudikatif) yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan
sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) dan (2). Hal mana bentuk
intervensi demikian tidak diatur secara limitative di dalam UUD 1945 sebagimana
Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi (wewenang Pseudo Yudisial).

14
Di samping sifat dari Freies Ermessen yang sangat subjektif, oleh karena
pemikiran bahwa keputusan Hakim yang telah inkracht van gewijde masih dapat
diganggu gugat dengan adanya Remisi ini, pemberian remisi serta merta juga telah
merubah substansi atau straftmaat putusan yang telah inkracht tersebut.

b. Penerapan Remisi terhadap Extreordinary crime

Extraordinary crime diartikan sebagai kejahatan luar biasa. Kejahatan luar


biasa merupakan suatu kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan suatu
keahlian khusus, terorganisir/sistematis serta memiliki dampak yang sangat luas. Jadi
berbeda dengan kejahatan konvensional seperti yang diatur dalam KUHP yang dapat
dilakukan dengan cara-cara konvensional dan dampak yang relatif terbatas.

Namun yang kemudian menjadi pertanyaan tepatkah apabila pemberian


remisi diberikan kepada Extraordinary crime di tengah semangat pemberantasannya
di Indonesia? Suara atau pendapat yang kontra terhadap pemberian remisi bagi tindak
pidana yang bersifat extraordinary crime disebabkan oleh pertama, tidak bekerjanya
sub-sub sistem peradilan pidana dengan baik. Contohnya : rasa keadilan masyarakat
menjadi terusik ketika seorang koruptor yang mengambil uang Negara (rakyat)
miliaran atau bahkan puluhan bahkan ratusan milyar hanya menjalani dua hingga tiga
tahun pidana penjaranya di lembaga pemasyarakatan. Pada umumnya para koruptor
hanya divonnis dengan pidana penjara tiga sampai empat tahun, yang berarti secara
riil hanya berada di lembaga pemasyarakatan sekitar dua tahun atau lebih,karena
setelah menjalani sepertiga masa masa pidananya sudah berhak atas remisi, dan
setelah menjalani dua pertiga masa pidananya akan memperoleh pembebasan
bersyarat. Menurut Sudarto, dalam menetapkan pidana (hakim) harus dipahami benar
apa makna dari kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana, tidak cukup hanya
mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dan seimbang dengan berat dan sifat

15
kejahatannya, dalam penjatuhan pidana, hakim harus menyadari makna dari
putusannya itu, apakah yang hendak dicapai dengan pidana yang dijatuhkannya itu.
Sebagai extraordinary crime ada harapan bahwa para koruptor di vonnis dengan
pidana yang maksimal atau setidak-tidaknya lebih dari separuh ancaman maksimum
pidana penjara yang diancamkan pada pasal undang-undang yang menjadi dasar
putusan hakim.

Kedua, kurangnya personil dan fasilitas pembinaan di lembaga


pemasyarakatan akan berakibat pada sulitnya penilaian, dan akibatnya kepala
lembaga pemasyaraktan cenderung untuk mengambil jalan pintas untuk selalu selalu
member dan seolah-olah menjadi kewajibannya untuk memberikan remisi kepada
narapidana dan anak pidana. Di samping itu, sulit untuk membantah bahwa remisi itu
sering dibangeri dengan pemberian suatu ‘harga’ tertentu. Keadaan ini akan mudah
dimanfaatkan oleh orang atau kelompok yang memiliki uang yang banyak seperti
para koruptor untuk memperoleh remisi yang maksimum. Bagi narapidan koruptor,
perilaku untuk memberikan uang di bawah tangan guna memperoleh remisi yang
maksimum di dukung oleh belum adanya kebijakan dan aturan untuk memiskinkan
para koruptor. Perilaku narapidana korptor ini bertolak belaknag dengan masyarakat
kecil dan lemah dari segi ekonomi, yang sulit untuk memperoleh remisi maksimum.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep pidana penjara sebagai sarana perampasan kemerdekaan atas


perbuatan amoral dengan tujuan Pembalasan diterobos oleh ide pembaharuan
Sahardjo dengan idenya Konsep Pemasyarakatan yang mengedepankan
paradigma penjeraan, reformasi dan reintegrasi sosial dengan tetap berada
pada koridor Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

2. Remisi sebagai sebuah konsekuensi atas perikelakuan baik, sifat kooperatif


ketika proses pembinaan dan menunjukkan penyesalan merupakan suatu
keniscayaan untuk diberikan dalam kerangka ide Pemasyarakatan tersebut.
konsep ini juga telah banyak diterapkan oleh negara-negara lain di dunia.
Konsep ini juga menandakan bahwa Pemidanaan menurut konsep

17
Pemasyarakatan melibatkan Pelaku, Pelaksana Pemasyarakatan dan juga
masyarakat.

3. Ide mengenai remisi yang awalnya hanya berupa anugerah ketika pertama
sekali diterapkan di Inggris dan Amerika Serikat dalam perkembangannya
diadopsi menjadi sebuah Hak yang dijamin kepastian hukumnya di Indonesia
berdasarkan Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

B. Saran

1. Konsep dasar remisi dalam kerangka Pemasyarakatan merupakan ide yang


rasional dalam menanggapi kejahatan, untuk itu dalam mengatasi dinamika
masyarakat yang semakin komplek maka sarana dan prasarana pendukung
dalam Lembaga Pemasyarakatan perlu ditingkatkan penanganannya. Artinya
pro kontra remisi ini tidak terjadi pada tataran ide, melainkan pada tataran
praktis, sehingga yang harus dibenahi pun adalah efektivitasnya di lapangan
praktis.

2. Karena masalah Pemasyarakatan sebagai bagian dari Politik hukum pidana ini
merupakan ranah hukum publik maka masalah pembinaan Narapidana juga
sudah saatnya diatasi sepenuhnya oleh negara

18
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,


Yogyakarta:Liberty, 1986
Chairul Huda, dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada
Pertanguungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta:Prenada Media, 2006
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2006
Marlina, Hukum Penitensier,Bandung:Refika Aditama,2011
Moh.Ekaputra dan Abul Khair, Pemidanaan,Medan:Usu Press, 2011
Moh.Ekaputra dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya
menurut Konsep KUHP Baru, Medan:Usu Press,2010
O.C Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, Bandung: Alumni, 2006

19
Petrus Irwan P. dan Pandapotan S, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif
Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1995

Makalah, Skripsi dan Disertasi

Berlian Simarmata, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor dan Teroris,


Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 3, Oktober 2013, hal 502
Diapari Sibatangkayu, Privatisasi Lemabaga Pemasyarakatan sebagai Alternatif
Pemberdayaan Narapidana, Depok: Tesis Universitas Indonesia, 2008
Muhammad Hafidh, Konsep Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan (Studi
Perbandingan antara Hukum Pidana Islam dengan Hukum Positif, Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,2009
Ridwan, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, Semarang: Universitas Diponegoro, 2010
Shelly Andria Rizky, Pembinaan Ketrampilan sebagai Salah Satu Program
Pembinaan Narapidana dalam Mencapai Tujuan Pemasyarakatan di Rumah
Tahanan kelas II B Batusangkar, Padang:Skripsi Universitas Andalas, 2011

Undang-undang

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945


Undang-Undang Reppublik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-III/2005
Diatur dalam Sutat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No.
M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi
Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
Undang-undang nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun
2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Keputusan Presiden nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi

20
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI nomor:M.01.HN.02.01
tahun 2001 tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi Khusus
Bersyarat serta Remisi Tambahan

Internet

Catur Nugroho Saputra, -Okezone, Dapat remisi HUT RI, 32 napi langsung bebas,
http://news.okezone.com/read/2012/08/17/339/679367/dapat-remisi-hut-ri-32-
napi-korupsi-langsung-bebas, diakses tanggal 10 Mei 2013
Titis Panawang, Jika Anda Sebagai Nap Masihkah Anda
http://titispanawang.blogspot.com/2012/05/jika-anda-sebagai-napi-masihkah-
anda.html di akses pada hari Sabtu, 11 Mei 2013,
Tribun, Moratorium Remisi bagi Koruptor,
http://makassar.tribunnews.com/2011/11/09/moratorium-remisi-bagi-koruptor,
diakses Senin 13 Mei 2013

21

Potrebbero piacerti anche