Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan
rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu
penyebab yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa
muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang
parah. Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering
mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya
kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu
lintas.1
Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui
dengan pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran
pada tahun 1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam
penyebab kebutaan lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional
yang berkisar 1,5%. Trauma okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata
yang menyebabkan kebutaan.2
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli
perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli
berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan
trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan
trauma kimia (bahan asam dan basa).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ga
mb
ar
2.1.
Ga
mb
ar
ana
to
mi bola mata
2
2.1.1 Klasifikasi Trauma Okuli
Menurut BETT klasifikasi trauma okuli dapat digambarkan menurut bagan
berikut:
3
Klasifikasi trauma okuli dapat dijabarkan dalam skema sebagai berikut:
Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua
yaitu trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi
menimbulkan ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil. Trauma tumpul
mampu menimbulkan trauma okuli non perforans yang dapat menimbulkan
komplikasi sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian
kornea hingga retina).
Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga
bisa diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:
Trauma tumpul (contusio okuli) (non perforans)
Trauma tajam (perforans)
Trauma Radiasi
- Trauma radiasi sinar inframerah, Trauma radiasi sinar ultraviolet,
Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi
Trauma Kimia
- Trauma asam, Trauma basa
Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut
dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu
menimbulkan efek atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata,
4
konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara
terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata.
2.1.2 PATOFISIOLOGI
Terdapat empat mekanisme yang menyebabkan terjadi trauma okuli yaitu
coup, countercoup,equatorial, global reposititioning : 4
Coup adalah kekuatan yang disebabkan langsung oleh trauma. Countercoup
merupakan gelombang getaran yang diberikan oleh cuop, dan diteruskan melalui
okuler dan struktur orbita. Akibat dari trauma ini, bagian equator dari bola mata
cenderung mengambang dan merubah arsitektur dari okuli normal. Pada akhirnya,
bola mata akan kembali ke bentuk normalnya, akan tetapi hal ini tidak selalu
seperti yang diharapkan.4
Trauma mata yang sering adalah yang mengenai kornea dan permukaan luar
bola mata (konjungtiva) yang disebabkan oleh benda asing. Meskipun demikian
kebanyakan trauma ini adalah kecil, seperti penetrasi pada kornea dan
pembetukan infeksi yang berasal dari terputusnya atau perlengketan pada kornea
yang mana hal ini dapat menjadi serius. Benda asing dan aberasi di kornea
menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewaktu mata dan kelopak
mata digerakkan. Defek epitel kornea dapat menimbulkan keruhan serupa.
Fluoresens akan mewarnai membran basal epitel yang terpajan dan dapat
memperjelas kebocoran cairan akibat luka tembus (uji Seidel positif)2
5
2.1.3 Manifestasi Trauma Okuli
Gejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain perdarahan
atau keluar cairan dari mata, memar pada sekitar mata, penurunan visus dalam
waktu yang mendadak, penglihatan ganda, mata bewarna merah, nyeri dan rasa
menyengat pada mata, sakit kepala, mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal
pada mata, dan fotopobia.6,7,8
Berikut ini dijelaskan lebih lanjut tentang beberapa manifestasi klinis yang
dapat muncul akibat trauma benda tumpul pada okuli diantaranya antara lain:
1. Trauma Tumpul Kelopak Mata
Hematoma palpebra
Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di
bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma
palpebra merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul okuli. Bila
perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk
seperti kacamata hitam (racoon eye) yang sedang dipakai, terjadi akibat pecahnya
arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri
oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita.
Penanganan pertama dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan
perdarahan. Selanjutnya untuk memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan
kompres hangat pada palpebra. 2,6,7
6
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik (edema)
pada setiap kelainan termasuk akibat trauma tumpul. Bila palpebra terbuka dan
konjungtiva secara langsung terekspose dengan dunia luar tanpa dapat mengedip
maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Edema
konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga
bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. 2,6,7
Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Pecahnya pembuluh darah ini bisa akibat dari batuk rejan, trauma tumpul atau
pada keadaan pembuluh darah yang mudah pecah. Bila tekanan bola mata rendah
dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma
subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari
kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli. 2,6,7
7
3. Trauma Tumpul pada Kornea
Edema kornea
Trauma tumpul dapat mengenai membran descement yang mengakibatkan
edema kornea. Edema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur
dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat.
Kornea dapat terlihat keruh. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan
masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma
kornea. 2,6,7
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa
cedera pada membran basal. Dalam waktu singkat epitel sekitar dapat bermigrasi
dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Erosi di kornea menyebabkan
nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewatu mata dan kelopak mata digerakkan.
Pola tanda goresan vertikal di kornea mengisyaratkan adanya benda asing
tertanam di permukaan konjungtiva tarsalis di kelopak mata atas. Pemakaian
berlebihan lensa kontak menimbulkan edema kornea.Pada erosi pasien akan
merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel
yang banyak, mata berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media
yang keruh. Pada kornea akan terlihat adanya defek epitel kornea yang bila diberi
fuorosein akan berwarna hijau . 2,3,6,7
4. Trauma Tumpul pada Uvea
Iridoplegia
Kelumpuhan otot sfingter pupil yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul
pada uvea sehingga menyebabkan pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan
sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena
gangguan pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar
atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak
bereaksi terhadap sinar. 3,6,7
Iridodialisis
8
Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga
bentuk pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita
berkontak dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak
mata dan mata memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling
sering terjadi adalah pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris
sering terlihat seperti peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka
iris perifer akan robek pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang
10
berwarna hitam tetapi reflek fundus masih dapat diobservasi. Hal ini mudah
terjadi karena bagian iris yang berdekatan dengan badan silier gampang robek.
Lubang pupil pada pangkal iris tersebut merupakan lubang permanen karena iris
tidak mempunyai kemampuan regenerasi. 1
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk pupil maupun perubahan ukuran
pupil akibat trauma tumpul tidak banyak mengganggu tajam penglihatan penderita.
Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat
pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya
hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. 1,3,4
Hifema
Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan (camera okuli anterior/COA)
yang dapat terjadi akibat trauma tumpul sehingga merobek pembuluh darah iris
atau badan siliar. Trauma tumpul sering merobek pembuluh-pembuluh darah iris
atau badan siliar dan merusak sudut kamera okuli anterior. Darah di dalam cairan
dapat membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut
terjadi apabila jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila
pembentukan bekuan darah menyebabkan sumbatan pupil. 1,3,4
Hifema dibagi dalam 4 grade berdasarkan tampilan klinisnya 11 :
1. grade I: menutupi < 1/3 COA (Camera Okuli Anterior)
2. grade II: menutupi 1/3-1/2 COA
3. grade III: menutupi 1/2-3/4 COA
4. grade IV: menutupi 3/4-seluruh COA
9
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan
terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh
ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.
Tanda-tanda klinis lain berupa tekanan intraokuli (TIO)
normal/meningkat/menurun, bentuk pupil normal/midriasis/lonjong, pelebaran
pembuluh darah perikornea, kadang diikuti erosi kornea. 6,7,11
Iridosiklitis
Yaitu radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea
pada post trauma. Pada mata akan terlihat mata merah, akbat adanya darah yang
berada di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil mata yang
mengecil yang mengakibatkan visus menurun. Sebaiknya pada mata diukur
tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika. 3
5. Trauma tumpul pada Lensa
Subluksasi Lensa
Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya
sebagian zonula zinii ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula
zinii yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh
penglihatan berkurang. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada, maka lensa
akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang cembung
akan membuat iris terdorong ke depan sehingga bisa mengakibatkan terjadinya
glaukoma sekunder. 3
Luksasi Lensa Anterior
Yaitu bila seluruh zonula zinii di sekitar ekuator putus akibat trauma
sehingga lensa masuk ke dalam bilik mata depan. Pasien akan mengeluh
penglihatan menurun mendadak. Muncul gejala-gejala glaukoma kongestif akut
yang disebabkan karena lensa terletak di bilik mata depan yang mengakibatkan
terjadinya gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata. Terdapat injeksi siliar
yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke
belakang dengan pupil yang lebar. 1,3
Luksasi Lensa Posterior
10
Yaitu bila seluruh zonula zinii di sekitar ekuator putus akibat trauma
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah fundus
okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya karena
lensa mengganggu kampus. Mata menunjukan gejala afakia, bilik mata depan
dalam dan iris tremulans.1,4
11
akan terlihat retina berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan
berkelok-kelok.
Ruptur Koroid
Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar
konsentris di sekitar papil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat
dari ruptur koroid. Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea
maka akan terjadi penurunan ketajaman penglihatan.
Avulsi papil saraf optik
Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa
diakibatkan karena trauma tumpul. Penderita akan mengalami penurunan tajam
penglihatan yang sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan. Penderita perlu dirujuk
untuk menilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya (Ilyas, 2003; Jack J, 2005).
12
keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya.
12
13
Setiap pasien trauma mata seharusnya mendapatkan pengobatan antitetanus
toksoid untuk mencegah terjadinya infeksi tetanus dikemudian hari terutama
trauma yang menyebabkan luka penetrasi. Apabila jelas tampak ruptur bola mata,
maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anastesi
umum. Sebelum pembedahan jangan diberi obat siklopegik ataupun antibiotic
topical karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan.
Berikan antibiotik sistemik spectrum luas dan upayakan memakai pelindung
mata(bebat mata). Analgetik dan antiemetik diberikan sesuai kebutuhan, dengan
retriksi makanan dan minum. Induksi anastesi umum dengan menggunakan obat-
obat penghambat depolarisasi neuron muscular, karena dapat meningkatkan
secara transient tekanan di dalam bola mata sehingga meningkatkan kecendrungan
herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan
anstetik umum yang bersifat singkat untuk memudahkan pemeriksaan. Pada
trauma yang berat, seorang dokter harus selalu mengingat kemungkinan
timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu
berusaha melakukan pemeriksaan bola mata lengkap. Yang tak kalah pentingnya
yaitu kesterilan bahan atau zat seperti anastetik topical, zat warna, dan obat lain
maupun alat pemeriksaan yang diberikan ke mata.1
Benda berbentuk partikel kecil harus dikeluarkan dari abrasi kelopak untuk
mengurangi resiko pembentukan tato kulit. Laserasi palpebra yang superfisial
hanya memerlukan jahitan pada kulit saja. Untuk mengelakkan terjadinya jaringan
parut yang tidak diinginkan, perlu dilakukan debridement konservatif,
menggunakan jahitan eversi yang berkaliber kecil dan membuka jahitan dengan
cepat.9,10
Sebagian dari trauma perforans sangat minimal sehingga ia sembuh
dengan sendirinya tanpa ada kerusakan intraokuler, maupan prolaps. Kasus-kasus
ini hanya memerlukan terapi antibiotik sistemik ataupun topikal dengan observasi
yang ketat.
14
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala.13
2.2.2. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan
lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.14
Trauma Jaringan lunak
15
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus
Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.
16
Trauma Jaringan keras
1. Fraktur sepertiga atas muka.
2. Fraktur sepertiga tengah muka.
a. Fraktur hidung (os nasale).
b. Fraktur maksila (os maxilla).
c. Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d. Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktur sepertiga bawah muka.
a. fraktur mandibula (os mandibula).
b. Gigi (dens).
c. Tulang alveolus (os alveolaris).
2.2.3 Fraktur orbital (os orbita)
Orbita terbagi dalam empat bagian: atap, dinding medial, dinding lateral dan
lantai (dinding inferior). Atap orbita hampir seluruhnya terdiri dari dataran orbital dari
tulang frontal, dan pada posteriornya terdiri dari greater wing of sphenoid. Dinding
medial, yaitu dinding yang paling tipis terbentuk dari prosesus frontal maksila dan
tulang lakrimal yang sama-sama membentuk lekuk lakrimal. Di belakang crest
lakrimal posterior adalah lamina papyracea tulang ethmoid yang sangat tipis dan
lesser wing of sphenoid dan foramen optik. Dinding inferior yang berbentuk segitiga
terdiri dari tulang zigomatik, prosesus orbita dari tulang palatinal dan sebagian besar
dari dataran orbita maksila yang terletak di anterior pada fisur orbita inferior. 15
Bagian dari maksila ini merupakan bagian yang paling sering terlibat di
fraktur blow-out pada dinding inferior orbita. Dinding lateral orbita pula terdiri dari
prosesus frontal dari zigoma dan tulang frontal pada anterior, serta greater wing of
sphenoid pada posterior.
1
Gambar 7. Dinding Medial Orbita (Robert, 1984)
Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan terjadinya fraktur dinding inferior
orbita, atau fraktur blow-out. Teori yang predominan mengatakan bahwa fraktur ini
disebabkan kenaikan tekanan intraorbita yang terjadi secara mendadak apabila suatu
2
objek yang lebih besar dari diameter orbita rim memukul. Teori yang kedua
menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras akan
mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya akan
merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana fraktur blow-
in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya bahwa penyebab
utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai orbita rim. Derajat
peningkatan tekanan orbital kemudiannya yang menentukan jaringan orbital didorong
ke dalam orbita atau ke sinus maksila. 15
Gambar 10A Fraktur Blow Out, 10B Fraktur Blow In (Robert 1984)
3
TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma
wajah. Kecelakaan sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak,
dan pembedahan endoskopi sinus merupakan penyebab TON. Luka tumpul umumnya
terjadi akibat deselerasi cedera pada region antefrontal kepala. Keparahan trauma
tidak selalu terkait dengan derajat penurunan penglihatan. 17
2.3.3 Klasifikasi
Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan tidak
langsung berdasarkan jenis cedera.17
a. Cedera Tidak Langsung Saraf Optik
Cedera tidak langsung terjadi pada trauma tertutup pada kepala, menyebabkan
timbulnya tekanan yang kemudian menekan saraf optik. Pada pemeriksaan, tidak
terdapat perubahan cepat pada pemeriksaan fundus. Diskus optik dapat normal
hingga 3-5 minggu setelahnya dan berubah pucat seiring atrofi diskus terjadi.
4
a. Primer
Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik
pada saat terjadinya cedera. Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan iskemia
dan edema lokal saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi neural dalam rongga
kanal optik. Abnormalitas axon fokal terangsang, dengan karakteristik gangguan
transpor aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan pada mikrovaskular dan
cedera akson menyebabkan terjadinya perdarahan dalam saraf optik dan
pembungkusnya.1,Error! Bookmark not defined.
b. Sekunder
Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi
cedera akut. Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik yang
ireversibel, melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan yang
menyebabkan kerusakan akson. Meskipun nantinya pembengkakan atau kontusio
pada saraf dapat membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan permanen.17
Mekanisme ini antara lain :
1. Iskemia dan cedera reperfusi - iskemia parsial oleh karena berkurangnya aliran
darah. Tetapi reperfusi pada area iskemik transien menyebabkan peroksidasi
lipid membran sel dan pelepasan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan
jaringan.
2. Bradikinin : diaktivasi setelah terjadinya trauma, dan menyebabkan pelepasan
asam arakhidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan dari metabolisme
asam arakhidonat, radikal bebas dan lipid peroksidase menyebabkan edema
pada kanal optik.
3. Ion kalsium : setelah terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium masuk ke
intraselular. Meningkatnya konsentrasi kalsium intrasel berperan menjadi
toksin metabolik dan menyebabkan kematian sel.
4. Proses inflamasi : sel polimorfonuklear (PMN) banyak pada 2 hari pertama
setelah trauma, kemudian digantikan oleh makrofag dalam 5-7 hari. PMN
menyebabkan kerusakan yang cepat, sementara makrofag menunda kerusakan
jaringan, demielinasi dan gliosis. 17
5
secepat mungkin, kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil pada pemeriksaan.
Defisit penglihatan bervariasi dari penglihatan normal dengan defek lapangan
pandang hingga kehilangan total terhadap persepsi cahaya. 18
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan wajah
yang menyebabkan gangguan penglihatan. Pasien mengalami kehilangan penglihatan
yang mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat bermanifestasi segera atau
dalam hitungan jam hingga hari setelah trauma. Riwayat penyakit perlu ditanyakan
apakah adanya defisit penglihatan sebelum trauma, riwayat penyakit sebelumnya,
obat-obatan dan alergi obat.
Pemeriksaan Klinis
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan penilaian
ketajaman penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis TON dapat
terhambat. Pada pasien sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk membantu
penegakan diagnosis , antara lain: 16
1. Ketajaman penglihatan. Diperiksa dengan menggunakan Snellen's chart atau
kartu baca jarak dekat. Angka kejadian tidak respon cahaya bervariasi
tergantung pada kejadian trauma. Harus diingat bahwa kurang dari 10% kasus
terjadi penurunan penglihatan akibat cedera saraf optik sekunder.
Bagaimanapun tajam penglihatan harus dinilai kembali setelah 24 jam.
6
dinilai pada pasien sadar dan kooperatif sebagai informasi kemungkinan lokasi
kerusakan saraf optik.
7
Gambar 2.4 Left optic nerve has a pinkish rim surrounding a white center. The right
optic nerve looks much paler in comparison
Pemeriksaan Penunjang
1. Visual evoked potential (VEP)
Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras visual
pada pasien cedera berat atau selama rekonstruksi kraniomaksilofasial, VEP
dan elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai metode elektrofisiologis untuk
mengumpulkan informasi apakah fungsi penglihatan intak ataupun patologis.
VEP juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien yang diduga cedera
saraf optik bilateral. 17
Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada
identifikasi segera pada trauma saraf optik. Hasil evaluasi memberikan
informasi apakah dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif
untuk mencegah kerusakan sekunder saraf optik. 17
2. Imaging
8
Pada pasien politrauma dengan penurunan kesadaran, CT-scan dengan
eksplorasi klinis merupakan metode penting untuk menilai TON pada keadaan
darurat yang akut. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan tanda patologi saraf
optik, berupa hematoma pembungkus saraf optik, fraktur pada greater atau
lesser wing sphenoid, hematoma superiosteal, perdarahan hingga apeks
orbital, sinus ethmoid dam sphenoid, dan pneumoencep halus. 16,17
2.3.7 Penatalaksanaan
Sebagian besar penanganan pada TON meliputi observasi, steroid dan
dekompresi bedah.16,17
1. Medikamentosa.
Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian
kortikosteroid, dosis awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV,
dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam kemudian, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika
terdapat perbaikan visual, dosis steroid dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian
diturunkan secara cepat. Jika tidak terdapat perbaikan dalam 48-72 jam, pemberian
steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera
kemungkinan dapat memperbaiki pembengkakan saraf optik. Namun,
Metilprednisolon belum terbukti efektif dibandingkan observasi pada terapi TON, dan
keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan penglihatan belum jelas
terbukti mempengaruhi prognosis.16,17
2. Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan sebagai
terapi TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk intervensi
optimum. Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan gangguan vaskular
dengan iskemia hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik secara teori
membebaskan strangulasi dan mengembalikan fungsi saraf. Prosedur ini ditambah
dengan pemberian steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema. Berbagai metode
bedah yang digunakan berupa kraniotomi trans nasalis, extra-nasal trans-ethmoidalis,
trans-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial, sublabial, dan endoskopi.18
9
Pada hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi
medial atau lateral tergantung pada letak hematoma. Kriteria intervensi bedah pada
pasien dengan TON antara lain :
1. Kontraindikasi absolut pembedahan
a. Adanya avulsi saraf optik pada pemeriksaan CT.
2. Kontraindikasi relative pembedahan
a. Pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri.
b. Hilang total fungsi penglihatan dan respon pupil.
3. Indikasi relative pembedahan
a. Jika penurunan fungsi penglihatan meskipun dengan terapi steroid.
b. Jika terjadi penurunan fungsi penglihatan pada pengurangan dosis
steroid.
c. Jika terdapat fraktur kanal optik disertai dengan adanya penekanan
oleh fragmen tulang.
d. Jika terdapat hematoma pada pembungkus saraf.
e. Jika respon visual evoked potential (VEP) memburuk seiring waktu.
Pada dasarnya, pencapaian penanganan TON dapat diurutkan sebagai berikut :
1. Pada keadaan tidak terdapat kontraindikasi, pasien dapat diberikan
kortikosteroid sistemik, metilprednisolone 30mg/kg sebagai loading dose,
5,4mg/kg/jam sebagai maintanance selama 48 jam.
2. Kegagalan perbaikan keadaan.
3. Pasien yang membaik dapat dilakukan pengurangan dosis yang bertahap.
4. Jika keadaan pasien relaps ketika kortiosteroid dihentikan, pertimbangkan
bedah dekompresi.
5. Pada umunya, pasien dengan ketajaman penglihatan 20/40 atau lebih buruk
membutuhkan dekompresi bedah.
6. Pasien tidak sadar tidak seharusnya dilakukan bedah dekompresi kecuali
bersangkutan dengan prosedur operasi lain.
7. Kombinasi steroid intervensi awal bedah dapat dipertimbangkan pada anak-
anak. Error! Bookmark not defined.,16
Perbaikan fungsi visual setelah TON dapat dinilai dengan penilaian
berkesinambungan fungsi visual. Follow up harian harus dilakukan selama fase akut
setelah trauma, segera setelah terapi bedahm dan selama periode pemberian terapi
10
kortikosteroid mega-dosis. Observasi jangka panjang dilakukan 3 bulan atau lebih
sejak terjadinya cedera untuk menilai keadaan final fungsi visual.
2.3.8 Prognosis
Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 4
variabel yang dianggap sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsi
visual, antara lain :
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid.,19
Selain itu, fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih buruk
dibandingkan dengan fraktur anterior. Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap
cahaya kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat.
Hingga saat ini, terdapat berbagai konsensus menyatakan pilihan terapi terbaik TON
adalah cukup observasi tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan dapat terjadi
meskipun dengan perbaikan yang minimal, dan rata-rata perbaikan secara spontan
berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.17,19
11