Narkoba Di Banyuasin

Potrebbero piacerti anche

Sei sulla pagina 1di 56
Dimana yang katanya”Negara Melindungi Segenap Bangsa dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia Seperti tertuangg dalam UUD,45 Dimana yang katanya”Negara Melindungi Segenap Bangsa dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia Seperti tertuangg dalam UUD,45 itu..? PENYALAGUNAAN WEWENANG DAN PERDAGANGAN NARKOBA OLEH OKNUM PENEGAK HUKUM 1. Penyalagunaan Wewenang dan Perdagangan Narkoba Oleh Oknum Penegak Hukum BAB I Latar Belakang Masalah MBM Masyarakat Banyuasin Menggugat “Seiring meningkatnya ke jahatan dengan beragam modus operandinya yang ditangani oleh aparat penegak hukum, meningkat pula ragam barang bukti yang disita dan dilaporkan untuk diproses lebih lanjut secara hukum, yaitu dimusnahkan. Sejumlah barang bukti hasil kejahatan yang diperoleh dari pelaku kejahatan atau tersangka tersebut, biasanya dimusnahkan oleh penyidik baik kepolisian maupun ke jaksaan, Pemusnahan di tingkat penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri, sedangkan pemusnahan di tingkat penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan setelah putusan pengadilan ditetapkan. Beragam barang bukti seperti narkotika, senjata, botol minuman keras (miras), barang selundupan, serta benda-benda lainnya yang disita sebagai barang bukti dari hasil kejahatan untuk keperluan proses pembuktian terhadap tersangka dan terdakwa, semakin banyak dimusnahkan oleh kepolisian dan ke jaksaan sebagaimana disajikan di dalam pemberitaan media cetak dan elektronik. Dalam realitas perkembangannya, sering muncul dalam pemberitaan media cetak maupun elektronik bahwa sejumlah barang bukti yang seharusnya disimpan, didaftarkan atau dicatat serta dimusnahkan sesuai mekanisme ketentuan yang diatur dalam Pasal 69, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 dan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, namun justru disalahgunakan oleh oknum aparat penegak hukum itu sendiri, Hal ini juga sejalan seperti dinyatakan Saldi Isra dimana tidak sedikit barang bukti yang disita penyidik (PPNS, polisi atau jaksa) tidak dilaporkan, tidak tercatat dalam pembukuan, bahkan hilang sehingga menyulitkan pembuktian pada saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Dalam hal penyimpanan barang bukti, telah diatur dalam KEPJA No. KEP-115/J.A/10/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Ker ja Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 639 huruf ¢ menyatakan Kepala Kejaksaan Negeri dalam hal ini dilaksanakan oleh Seksi PIDUM menyelenggarakan fungsi penyimpanan bahan pengendalian dan atau pelaksanaan penetapan hakim dan keputusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas 2 bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana umum serta pengadministrasiannya. Dalam melaksanakan tugasnya, khususnya memusnahkan barang bukti, pihak kepolisian dan ke jaksaan sudah didukung kebi jakan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia BAB I Pasal 2 menetapkan Ke jaksaan mempunyai tugas melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jamdatun) No. B-404/E/8/1994 tentang Pengisian Formulir Daftar Perkara Tilang dan Penyelesaian serta laporannya angka 1 huruf a, b,c dan angka 2 huruf a, serta angka 4 dan 5 menetapkan dengan penggunaan formulir tersebut, diharapkan beban administrasi akan semakin ringan, mengingat formulir-formulir tersebut mempunyai fungsi ganda dan diharapkan pula adanya kesamaan data antara Kepolisian RI, Kejaksaan dan Pengadilan. Dalam hal pengelolaan barang rampasan telah diatur dalam Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-112/JA/10/1989 tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti. paragraf 2 menyatakan : untuk menjaga agar supaya sifat, jumlah dan atau bentuk barang bukti tidak berubah, sehingga akan menyulitkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa, dan Bab II tentang Penyimpanan Barang Bukti point 5 b menyatakan bahwa barang bukti berbentuk logam 3 mulia, perhiasan, uang dan barang berharga lainnya yang nilainya diatas Rp. 10,00 juta harus dititipkan/disimpan pada Bank Milik Pemerintah atas barang bukti yang dititipkan harus ada Berita Acara Penitipan Barang Bukti (B-2)-nya. Khusus dalam barang bukti narkotika dan obat-obatan, yang memiliki bahaya dari mengkonsumsi bahan atau jenis narkotika harus ditanggulangi. Hal ini disebabkan karena dampak yang ditimbulkan sebagai akibat penyalahgunaannya akan merusak mental dan fisik bagi individu yang bersangkutan dan dapat meningkat terhadap hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kejahatan Narkoba di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang yang mengkhawatirkan bila tidak segera ditanggulangi. Dari data kejahatan yang dihimpun Badan Narkotika Nasional (BNN) dari Instansi terkait, khususnya instansi penegak hukum selama 5 tahun terakhir ini terdapat trend perkembangan yang cukup tajam dan dapat dijelaskan antara lain jumlah Perkara/Kasus. Tahun 2002-2003 dari 3.751 kasus menjadi 7,140, bertambah 3.389 kasus atau naik 90,3 %; Tahun 2003-2004 dari 7.140 menjadi 8.409, bertambah 1.269 kasus atau naik 17,77 % dan tahun 2004-2005 dari 8.409 menjadi 16.252, bertambah 7.843 kasus atau naik 93,27 % Situasi Indonesia Darurat Narkoba indonesia berada dalam kondisi darurat narkoba,betul-betul sudah berada dalam situasi darurat narkoba.Pertama, jumlah pengguna pada November 2015 mencapai 5,9 juta orang.Kedua, tren penggunanya terus meningkat sifnifikan. Menurut Data BNN seperti dikemukakan Kepala BNN Budi Waseso, pada Juni 2015 pengguna narkoba di Indonesia 4,2 juta orang. Pada bulan November tahun yang sama 4 meningkat menjadi 5,9 juta orang. Ini berarti jumlah penggunanya bertambah 1,7 juta dalam 5 bulan (Juli, Agustus, September, Okrober dan November). Atau bertambah 340.000 orang per bulan, atau bertambah 11.333 orang per hari. Sebuah angka pertambangan yang mengerikan. Ketiga, jenis narkoba yang sudah terdeteksi beredar di Indonesia tahun 2017 mencapai 68 jenis. Sebanyak 60 jenis narkoba baru sudah masuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan Undang-Undang Narkotika, sementara 8 jenis lainnya belum masuk kedalam ketentuan tersebut.Keempat, sekitar 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa, https://mykonlinedotblist.wordpress.com/2018/03/ O7/jadikan-bnn-super-body/?preview=true Pemaparan sejumlah aktivitas pemusnahan barang bukti dari beragam hasil kejahatan tersebut di atas di sejumlah wilayah hukum kepolisian daerah dan kejaksaan negeri di Indonesia, termasuk di wilayah hukum Polres Banyuasin Sumatera Selatan. dan Kejaksaan Negeri Banyuasin, semakin memper jelas bahwa pihak kepolisian maupun ke jaksaan Masi banyak yang harus di Evaluasi Ulang lagi dalam hal memusnahkan barang bukti yang disita atau ditemukan dari hasil penyidikan melalui penggeledahan yang dilakukan. Pihak kepolisian dan ke jaksaan semakin menghadapi tantangan dalam menemukan barang bukti hasil ke jahatan yang harus dimusnahkan agar tidak berdampak luas pada elemen masyarakat lainnya. Sejumlah barang bukti yang berhasil di Amankan tersebut juga mengindikasikan semakin kuat dan luasnya modus operandi ke jahatan dilakukan oleh pelaku kriminal dalam mencapai target 5 keuntungan mereka. Sejumlah oknum tersangka pelaku ke jahatan tampaknya semakin tidak perduli dengan jeratan hukum yang menantinya sehingga semakin berani melakukan praktik-praktik kejahatan dengan cara Menyalagunakan Wewenang mengkonsumsi narkotika Menjual Narkoba hasi! penangkapan Barang Bukti dan melakukan penyelundupan, dan lainnya. Di wilayah hukum Polres Banyuasin dan Kejaksaan Negeri Banyuasin, juga sering diisukan banyak ter jadi pemusnahan barang bukti sebagaimana juga sudah sering dilangsir media lokal. Sejumlah barang bukti yang disita oleh pihak penyidik dari Polres Banyuasin dan Kejaksaan Negeri Banyuasin, sebahagian dimusnahkan pada tahap penyidikan dan sebahagian lagi disimpan untuk digunakan pada proses pembuktian di tingkat pengadilan untuk memperoleh putusan pengadilan lebih lanjut. Sejumlah barang bukti yang banyak diisukan disita oleh pihak penyidik dari Polres Banyuasin dan Ke jaksaan Negeri Banyuasin, terdiri atas beragam jenis seperti narkotika (dengan beragam jenis seperti shabu-shabu,Extasi,ganja, dan lainnya), serta barang selundupan. Dalam realitas perkembangannya, sering pula muncul isu adanya perilaku sejumlah oknum aparat penegakan hukum di lembaga hukum tersebut terbiasa menyalahgunakan barang bukti untuk penggunaan lain yang dilarang. Isu yang kerap muncul seperti penjualan barang bukti berupa narkotika oleh oknum aparat penegak hukum dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. Akibat dari perilaku tidak terpuji itu, menyebabkan barang bukti yang seharusnya dimusnahkan atau digunakan untuk proses pembuktian perkara justru hilang di tempat penyimpanan. Isu lainnya yang kerap muncul adalah 6 ketidak jelasan usaha inventarisasi barang bukti menurut nama, jumlah, ukuran, bentuk dan jenis, serta keterangan Iain dan identitas barang bukti (sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Sejumlah barang bukti hasil sitaan penyidik terkadang tidak jelas berita acaranya (BAP) dan diisikan hilang di tempat penyimpanan dan tidak jelas pengaturan penyimpanannya, dan hampir tidak pernah memberikan akses kepada public untuk mengetahui keberadaan barang bukti sesuai yang disita semula. Pentingnya barang bukti yang disita pihak penyidik untuk diproses pemusnahannya sesuai dengan mekanisme ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mencegah meluasnya dampak penggunaan barang bukti tersebut kepada penggunaan lainnya. Pemusnahan barang bukti perlu diefektifkan pelaksanaan dan pengawasannya baik pada tahap penyidikan maupun setelah ada putusan pengadilan, agar dapat dihindarkan penyalahgunaan barang bukti tersebut oleh pihak- pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, upaya pemusnahan barang bukti perlu dilakukan secara konsisten, akuntabel, berkelanjutan, serta melibatkan berbagai pihak berkompeten dan masyarakat dalam rangka pembinaan dan sosialisasi. Rumusan Masalah : Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut, dapat di rumusan masalah Sebagai berikut Apakah Penegaan hukum Nerkoba di wilaya hukum Polres Banyuasin dan Kejaksaan Negeri Banyuasin Suda ber jalan dengan Sebagai mana mestinya Sesuai Dengan Azas dan PerUndang Undangan yang berlaku ??? Apakah proses pemusnahan barang bukti narkotika di wilayah hukum Polres Bayuasin dan Pengadilan Negeri Banyuasin Sumatera Selatan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku??? Faktor-faktor apakah yang menghambat proses pemusnahan barang bukti narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyuasin 2??? Adanya oknum Penegak hukum di Polres dan Ke jaksaan Negeri Banyuasin Aktor atau pun Bagian dari Kejahatan Penyalagunaan Narkotika di Wilaya Kabupaten Banyuasin itu sendiri...??? Kemungkinan feraktik feraktik jual beli hukum bisa kita sederhanakan lagi sebut saja Pungutan liar (PUNGLI) yang di lakukan Oleh oknum penegak hukum di Kepolisian,Kejaksaan Kabupaten Banyuasin yang di lakukan oknum penegak hukum itu sendiri ??? Bagaimana Pelaksanaan Pasal 27 (Ayat 1,2 dan 3) Tentang Hak Dan Kewajiban Warga Negara Serta Penjabarannya ini.. Banyak nya Rekayasah kasus yang di lakukan Oknum penegak hukum demi melindugi Cukong cukong Bandar Narkoba yang Sebenar benar nya ??? Banyak nya orang yang di jadi kan Korban di zolim oleh aparat penegak hukum di Kabupaten Banyuasin dengan bermacam macam modus Untuk jebak demi keuntungan oknum penegak hukum itu sendiri (di jadi kan Tumbal atau 86) Tujuan Penelitian : Berdasarkan uraian rumusan masalah tersebut, adapun tujuan penelitian ini adakah: Untuk mengetahui dan menjelaskan proses pemusnahan barang bukti narkotika dilaksanakan dalam pemeriksaan perkara pidana di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyuasin. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat proses pemusnahan barang bukti narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyuasin. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat atau berguna baik secara teoritis maupun praktis. Kegunaan Tiori : a. Menambah khazanah pengembangan ilmu pengetahuan ilmu hukum khususnya di bidang hukum pidana. b. Sebagai bahan input dan informasi dalam menambah referensi bagi kalangan akademisi atau calon peneliti yang akan mengkaji isu yang sama khususnya mengenai tinjauan yuridis terhadap proses pemusnahan barang bukti narkotika dalam pemeriksaan perkara pidana di Kejaksaan Negeri Banyuasin. 2. Kegunaan praktis a. Sebagai bahan informasi bagi aparat penegak hukum khususnya para penyidik di Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan pemusnahan barang bukti narkotika b. Sebagai bahan informasi bagi pejabat pemerintah/instansi terkait, pelaku usaha, auditor, tokoh masyarakat, stakeholder, dan komponen masyarakat lainnya mengenai pemusnahan barang bukti hasil ke jahatan yang disita pihak penyidik. BAB II Pengertian Pemusnahan Tstilah ‘pemusnahan’ berasal dari kata 'musnah’ yang biasa disinonimkan dengan kata hancur, rusak penuh. Poerwardaminta (2003:231) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pemusnahan sebagai proses penghancuran suatu benda hingga tidak ada yang tersisa lagi untuk digunakan atau dimanfaatkan. Dalam konteks hukum, pemusnahan berarti penghancuran barang bukti sitaan oleh petugas/aparat penegak hukum untuk mencegah dipergunakannya barang bukti kepada penggunaan lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses pemusnahan merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilakukan oleh pihak penyidik untuk melakukan pemusnahan barang bukti hasil sitaan di suatu lokasi, pada waktu tertentu, dengan menggunakan peralatan, tenaga dan sarana prasarana serta melibatkan pihak-pihak berkompeten (stakeholder) dan masyarakat. Proses pemusnahan barang bukti dilakukan setelah pihak penyidik membuat berita acara. Hal ini tercermin dalam Pasal 91 ayat (2) Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur bahwa : Barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Ke jaksaan Negeri setempat. 10 Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan narkotika dan prekursor narkotika, atau yang diduga narkotika dan prekursor narkotika, atau yang mengandung narkotika dan prekursor narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat: Nama, jenis, sifat, dan jumlah. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan barang sitaan oleh penyidik Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika dan prekursor narkotika, dan Tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan. Pengertian Barang Bukti dan Jenis-jenisnya Tstilah barang bukti terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), 45 ayat (2), dan 46 ayat (2) dan Pasal 181 KUHAP. Istilah barang bukti tersebut tidak terdapat dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 KUHAP yang berisi tafsir otentik. Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita (2003:99) bahwa barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan akurat untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Prima Pena, 2006:105), barang bukti adalah benda yang digunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepada seseorang. Jenis barang bukti yang berhubungan dengan perkara pidana sudah diatur dalam 11 KUHAP, dan ditentukan cara-cara untuk memperoleh barang bukti, yaitu melalui penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Apabila di dalam penggeledahan atau pemeriksaan surat terdapat barang-barang yang diperlukan untuk pembuktian suatu tindak pidana, maka terhadap barang-barang yang ditemukan tersebut dilakukan penyitaan. Jenis barang bukti tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP meliputi: Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Narkotika Secara umum yang dimaksud dengan narkotika ialah: Suatu kelompok zat yang bila dimasukkan dalam tubuh akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut dapat berupa: Menenangkan, Merangsang. Menimbulkan khayalan. Menurut Sudarto mengatakan bahwa: Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke" yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerika dapat dijumpai pengertian narcotic sebagai a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep and can produce addiction in 12 varying degrees". Sedang “drug" diartikan sebagai: Chemical agen that is used therapeutically to treat disease/morebroadly, drug maybe delined as any chemical agent attecis living protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan yang menimbulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya (DjokoPrakoso dkk. 1987:480). Smith Kline dan Freeh Clinical staff (DjokoPrakoso, dkk, 1987:48) mengemukakan bahwa: Narcotic are drugs which product incense ability orstupor due their depresaht offers on the central nervous system included in this difinition are opium-opium dirivatives (morphine, codein, methadone( Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat- zat tersebut beker ja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuatdari candu (morphin, codein, heroin) dan candu sintetis(meperidinx methadone). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa : Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hiiangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam goiongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Penyidikan Tstilah ‘penyidikan’ atau dalam bahasa Belanda disebut opsporing dan dalam bahasa Inggris disebut investigation mempunyai arti 13 yaitu serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 butir 2 KUHAP menguraikan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. M. Yahya Harahap (2000:109) menyatakan tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan" sesuatu “peristiwa" yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti" supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Pasal 109 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum dalam bentuk surat yang disebut Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Setelah itu, Kepala Kejaksaan Negeri segera menunjuk salah seorang Jaksa sebagai Jaksa Penuntut Umum melalui sebuah penetapan yang disebut “P-16". Sejak saat itu penuntut umum yang ditunjuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mempersiapkan penuntutan dan mestinya dapat mulai berkoordinasi dengan penyidik sebagai perwujudan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). 14 Pasal 110 ayat (4) KUHAP menetapkan bahwa penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik, Ini berarti bahwa penuntut umum mempunyai waktu 14 (empat betas) hari untuk meneliti berkas perkara hasil penyidikan, dan apabila ternyata menurut penuntut umum berkas tersebut belum lengkap, penuntut umum dalam waktu 14 hari masih bisa mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik untuk dilengkapi. Selanjutnya Pasal 138 ayat (1) KUHAP menetapkan bahwa “Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan mencitainya dan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Ketentuan ini juga mengindikasikan bahwa jangka waktu penelitian dan pengembalian hasil penyidikan dari penuntut umum kepada penyidik adalah 7 hari. Dalam praktik nya, penyidik sering mengeluhkan bahwa untuk kasus tertentu yang tingkat kesulitannya tinggi, jangka waktu penyampaian kembali berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum setelah prapenuntutan dengan batas waktu 14 hari dinilai belum cukup karena alasan tingkat kesulitannya tinggi. Demikian pula pada kasus lainnya karena dike jar jangka waktu 14 hari tersebut, maka penyidik terpaksa harus menyerahkan kembali hasil penyempurnaan berkas perkara seadanya kepada penuntut umum dan sudah pasti hasilnya dikembalikan lagi kepada penyidik dengan catatan kurang sempurna atau kurang lengkap. Hal itu berulang empat sampai dengan lima kali karena 15 memang dalam KUHAP tidak ada ketentuan yang membatasi berapa kali prapenuntutan boleh dilakukan Pasal 138 ayat (1) KUHAP menetapkan bahwa : “Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam kurun waktu tujuh hari wa jib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum". Pasal 138 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa jika ternyata hasil penyidikan belum lengkap, berkas perkara tersebut dikembalikan kepada penyidik, dan penyidik dalam waktu 14 (empat belas) hari sudah harus menyampaikan kembali berkas tersebut kepada penuntut umum. Ketentuan di atas nampak kurang sinkron dengan Pasal 110 ayat (4) KUHAP dimana dalam penafsiran batas waktu penuntut umum untuk meneliti berkas, mengembalikan ke penyidik, dan batas waktu penyidik untuk menyempurnakan adalah 14 (empat belas) hari, Olehnya itu, perlu dilakukan revisi agar ter jadi sinkronisasi serta diharapkan aturan dalam KUHAP memberikan kepastian dan keleluasaan waktu bagi penyidik untuk melengkapi berkas perkara dan menyerahkan kembali kepada penuntut umum. Pasal 138 ayat (2) KUHAP dikenal kode P-19, yaitu bahwa jika hasil penyidikan ternyata dinilai penuntut umum belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi. Dalam praktiknya, seringkali yang ter jadi pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik tidak disertai dengan P-19 sehingga menyulitkan bagi penyidik untuk mencari apa yang harus dilengkapi. Fenomena ini berakibat pada bolak baliknya berkas perkara dari penuntut umum ke penyidik sehingga menghambat proses penyelesaian perkara. Olehnya itu, 16 perlu adanya ketegasan aturan dalam KUHAP tentang konsekuensi yuridis jika prosedur pengembalian disertai P-19 tidak dilaksanakan, Demikian halnya ketegasan aturan dalam KUHAP mengenai konsekuensi yuridis jika dalam batas waktu yang ditentukan penyidik tidak menyerahkan kembali berkas hasil penyempurnaan kepada penuntut umum. Pasal 131 ayat (3) RUU KUHAP memuat kewenangan baru bagi penuntut umum yang berupa ‘penyidikan tambahan' bilamana pihak penyidik tidak mengembalikan/menyerahkan berkas hasil penyempurnaan untuk dilengkapi ke penuntut umum. Hal ini sejalan dengan prospek RUU Kejaksaan (Pengganti UU No.5 Tahun 1991) dimana dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e yang mana mengatur kewenangan JPU untuk melakukan ‘Penyidikan Lanjutan’. Ketentuan tersebut muncul sebagai solusi untuk mempertegas aturan pelimpahan perkara dari penyidik ke penuntut umum, khususnya untuk menghindari proses bolak baliknya berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik. Berdasarkan SEMA Nomor 14 Tahun 1983 bahwa dalam praperadiian terdapat subyek dan obyek praperadilan. Subyek praperadilan terdiri dari pihak yang dapat mengajukan praperadilan (penyidik, penuntut umum, tersangka atau ahii warisnya, dan pihak ketiga yang berkepentingan) dan pihak yang dapat dipraperadilankan (penyidik dan penuntut umum).Sedangkan obyek praperadilan (Pasal 82 ayat (3) huruf d dan Pasal 81 KUHAP) terdiri dari sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan; sah tidaknya penghentian penuntutan demi tegaknya hukum; dan permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan atau karena penangkapan atau penahanannya tidak sah. Ruang lingkup ini dinilai terlalu 17 sempit karena tidak menjangkau tidak sahnya upaya paksa lainnya yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum seperti tidak sahnya pemeriksaan, tidak sahnya penggeledahan dan Tain- Tain. Barang Bukti dalam Perkara Pidana Kedudukan dan Fungsi Barang Bukti dalam Perkara Pidana Barang bukti mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktek peradilan barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dari alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli, maupun keterangan terdakwa. Pasal 1 butir 16 KUHAP menyatakan bahwa benda yang disita/ benda sitaan yang dalam beberapa pasal KUHAP (Pasal 8 ayat (3) huruf b, Pasal 40, Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2), Pasal 197 ayat (1) huruf 1, Pasal 205 ayat (2) dinamakan juga sebagai barang bukti yang berfungsi untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Akan tetapi tidak ada ketentuan satupun yang menegaskan atau mengatur mengenai peran dan fungsi dari benda sitaan dalam kaitannya dengan pembuktian. Benda sitaan meskipun bukan alat bukti yang sah, tetapi dalam praktik penegakan hukum ternyata dapat dikembangkan dan mempunyai manfaat dalam upaya pembuktian dan atau setidak- tidaknya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan memperkuat keyakinan Hakim (Pasal 181 KUHAP). 18 Ratna N.A (1987:71) menyatakan bahwa : Apabila penyitaan hanya diperuntukkan bagi kepentingan pembuktian sebagaimana yang dimaksud KUHAP, berarti benda tersebut diperlukan hanya untuk memperkuat dakwaan penuntut umum dan untuk membentuk keyakinan hakim di persidangan atas salah satu tidaknya dakwaan, Padahal sebetulnya walaupun terdakwa diputus bebas oleh hakim karena kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau hakim memutuskan lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi berdasarkan Pasal 194 ayat (1) KUHAP barang bukti dapat dirampas untuk kepentingan hukum atau dimusnahkan atau dirusakkan dan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi". Perbedaan Barang Bukti dan Alat Bukti Barang bukti berbeda dengan alat bukti. Barang bukti merupakan benda-benda (materiil) yang menjadi alat bukti, sedangkan alat bukti dapat berupa materiil dan non materiil atau bukan real evidence. Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana di Indonesia (dan Belanda) yang bisa disebut “barang bukti". Barang bukti berupa ob jek materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan terdakwa).Misalnya saksi mengatakan peluru ini saya rampas dari tangan terdakwa, barulah bernilai untuk memperkuat keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti yang ada. Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah: Keterangan saksi. Keterangan ahli. Surat Petunjuk, dan 19 Keterangan terdakwa, termasuk keterangan ahli yang disebutkan dalam HIR. Penyusunan alat-alat bukti di negara-negara common law seperti Amerika Serikat lain daripada yang tercantum dalam KUHAP di Indonesia. Alat-alat bukti menurut Criminal Procedure Law Amerika Serikat yang disebut form of evidence terdiri dari: Real evidence (bukti sungguhan) Documentary evidence (bukti dokumenter) Testimonial evidence (bukti kesaksian) Judicial notice (pengamatan hakim). Tidak disebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Kesaksian ahli digabungkan dengan bukti kesaksian. Yang lain daripada yang tercantum dalam KUHAP, ialah real evidence yang berupa ob jek materiil (materiil object) yang meliputi tetapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi, dan Iain-Iain. Benda-benda ini berwujud. Real evidence ini biasa disebut bukti yang berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self). Bukti bentuk itu dipandang paling bernilai dibanding bukti yang lain. Benda yang Disita sebagai Barang Bukti Sejumlah benda yang dapat disita sebagai barang bukti pada dasarnya cukup beragam mulai dari tanaman, bahan makanan, barang narkotika, alat elektronik, amunisi, senjata, bahan peledak, produk industri - teknologi, uang hingga kepada dokumen atau surat-surat. Dengan perkataan lain bahwa benda yang dapat disita dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Dalam UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 Pasal 5 diatur bahwa : Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana atau terhadap mana sesuatu perbuatan yang terancam hukuman pada Pasal 1 20 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si tertuduh. Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat (1), harus dirusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain. Pasal 39 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa:Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya Benda yang di pergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata Pasal 40 Undang-Undang Darurat Pasal 12 Tahun1951 menyatakan bahwa :Dalam Hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat-atat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai alat bukti Pasal 41 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa :Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dan padanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau 21 pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan Pasal 42 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa :Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menyiasati benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan Surat atau tulisan Jain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana Pasal 43 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa : Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Pasal 44 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa :Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik- baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.Pasal 45 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa :Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka 22 atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat di amankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya; Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan maka benda tersebut dapat di amankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Pasal 46 UU Darurat Pasal 12 Tahun 1951 menyatakan bahwa : Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi: Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan 23 penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Menurut Darwin Prints (1998:69) bahwa penyitaan adalah : Suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik tersangka/terdakwa ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian. Pasal 1 butir 16 KUHAP diuraikan bahwa : Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Menurut A. Hamzah (1985:148) bahwa : Pengertian yang diberikan oleh KUHAP ini agak panjang, tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam Pasal 134 Ned.Sv. juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya, Ter jemahannya adalah: “Dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambil alihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana". Jadi tidak dibatasi hanya untuk pembuktian. Ketentuan Pasal 45 KUHAP menetapkan bahwa: Apabila benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan 24 sehingga tidak mungkin untuk disimpan terlalu lama, atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat dijual lelang; Hasil pelelangan tersebut dipakai sebagai barang bukti: Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil benda tersebut untuk pembuktian. Pasal 39 ayat (1) KUHAP Ayat (2) dinyatakan bahwa : “benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan". Pasal 40 KUHAP diuraikan bahwa : Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Pasal 41 KUHAP diuraikan bahwa : Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau sural atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada tersangka atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. Pasal 42 KUHAP diuraikan bahwa : Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda 25 penerimaan. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya, atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Pasal 44 KUHAP diuraikan bahwa : Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan Negara. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk diperuntukkan o/eh siapa pun juga. Sebelum mengadakan penyitaan penyidik harus mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Akan tetapi di dalam keadaan yang perlu dan mendesak dan tidak mungkin mendapat surat izin terlebih dahulu, maka penyitaan dapat dilakukan, tetapi hanya atas benda bergerak dan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat persetujuan (Pasal 38 KUHAP). Sama sekali hal ini tidak mengurangi kemungkinan akan adanya penyitaan pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan. Namun demikian pelaksanaan penyitaan “mesti diminta" kepada penyidik. Seandainya, dalam pemeriksaan sidang pengadilan berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan suatu barang, untuk itu hakim mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum agar penyidik melakukan penyitaan barang dimaksud. Dalam lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang 26 Bidang Penyidikan tercantum antara lain: “Guna melakukan penyitaan maka penyidik : Terlebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 38, 40, 41 KUHAP) Menunjukkan tanda pengenal kepada orang dari mana benda itu disita (Pasal 128 KUHAP). Berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita. Memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang lain (Pasal 129 ayat(1) KUHAP). Membuat berita acara penyitaan setelah dibaca diberi tanggal, ditandatangani oleh penyidik, orang yang bersangkutan/keluarganya, Kepala Desa/Ketua Lingkungan dan dua orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada atasan penyidik orang keluarga yang barangnya disita dan kepala desa (Pasal 129 ayat 2 KUHAP). Keputusan Menteri Kehakiman R.I. Nomor MA4 PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, antara lain : Penyitaan benda dalam keadaan tertangkap tangan tidak perlu mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri akan tetapi setelah penyitaan dilakukan wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) karena keadaan tertangkap tangan disamakan pengertiannya dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Jika penyitaan tersebut dilakukan dalam suatu razia tidak diperlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal tersebut didasarkan alasan bahwa tindakan polisi dalam mengadakan razia itu adalah merupakan tindakan preventif yang berada diluar jangkauan KUHAP. Adapun bentuk- bentuk penyitaan yang diatur dalam KUHAP, yang dilakukan oleh Penyidik (M.Yahya Harahap, 2005:266) sebagai berikut: 27 Penyitaan biasa, yaitu harus ada Surat Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri: memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal; memperlihatkan benda yang akan disita; penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh Kepala Desa atau Kepala Lingkungan; membuat Berita Acara Penyitaan; menyampaikan turunan Berita Acara Penyitaan; dan membungkus benda sitaan. Penyitaan dalam keadaan per/u dan mendesak, diperlukan untuk memberi kelonggaran kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan, yaitu penyidik dapat langsung menyita sesuatu benda dan alat yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda dan alat yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda fain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Penyitaan tidak langsung, yaitu penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang hendak disita dengan sukarela. Penyitaan surat atau tulisan lain. Surat atau tulisan yang disimpan atau dikuasai oleh orang tertentu, di mana orang tertentu yang menyimpan atau menguasai surat itu, diwajibkan merahasiakannya oleh undang-undang. Tata cara penyitaannya yaitu, hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh undang-undang untuk merahasiakan; dan atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri, jika tidak ada persetujuan dari mereka. Penyitaan minuta akta notaris. Dalam hal ini Ketua PN harus benar-benar mempertimbangkan relevansi dan urgensi penyitaan secara objektif berdasar Pasal 39 KUHAP. 28 Penatausahaan Barang Bukti di Lembaga Peradilan Barang bukti hasil sitaan pihak penyidik dari tersangka pelaku kejahatan sudah seharusnya dikelola dengan baik, dalam artian perlu dicatat, diregistrasi, disimpan, diamankan serta dilindungi dengan sebaik-baiknya agar tidak mudah disalahgunakan untuk kepentingan penggunaan lain oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk tujuan itu, maka dalam KEPJA No. KEP- 115/J.A/10/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 639 huruf c dinyatakan bahwa Kepala Kejaksaan Negeri dalam hal ini dilaksanakan oleh Seksi PIDUM menyelenggarakan fungsi penyimpanan bahan pengendalian dan atau pelaksanaan penetapan hakim dan keputusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana umum serta pengadministrasiannya. KEPJA No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 132/JA/11/1994 tanggal 7 Nopember 1994 pasal III ayat (1) menyatakan bentuk/model formulir yang merupakan lampiran tersebut adalah sebagai bahan acuan, sedangkan pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi/ kondisi di daerah masing-masing serta perkembangan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan. Penatausahaan dan pencatatan barang bukti pada Buku Register Barang Bukti (Rb-2) Tidak Tertib Sesuai KEPJA No- 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 buku Register Barang Bukti (RB-2) digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan yang berkaitan dengan barang bukti/rampasan. Dari ketentuan tersebut di atas maka seharusnya Seksi PIDUM melaksanakan secara tertib pengadministrasian buku-buku 29 register maupun pelaksanaan keputusan Pengadilan. Data perkara pada kolom buku RB-2 tersebut harus diisi karena menunjukkan keadaan suatu perkara yang sedang ditangani oleh Jaksa apakah sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, masih banding atau kasasi, sehingga dapat dengan mudah dan dimengerti oleh siapapun yang membaca (atasan langsung atau pemeriksa). Dalam berbagai isu, seringkali buku register tidak diisi dengan alasan karena kurang personil yang melaksanakan administrasi sehingga untuk urusan administrasi terabaikan. Selain itu berkas putusan Pengadilan Negeri masih belum diterima oleh petugas pencatat buku register sehingga petugas yang menger jakan administrasi tidak mengetahui apakah perkara dan barang bukti tersebut telah dieksekusi sesuai bunyi amar putusan atau belum. Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia BAB I Pasal 2 menetapkan Ke jaksaan mempunyai tugas melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jamdatun) No, B-404/E/6/1994 tentang Pengisian Formulir Daftar Perkara Tilang dan Penyelesaian serta laporannya angka 1 huruf a, b,c dan angka 2 huruf a, serta angka 4 dan 5 menetapkan dengan penggunaan formulir tersebut, diharapkan beban administrasi akan semakin ringan, mengingat formulir-formulir tersebut mempunyai fungsi ganda dan diharapkan pula adanya kesamaan data antara Kepolisian RI, Kejaksaan dan Pengadilan. Dalam ha! pengelolaan barang rampasan telah diatur dalam Keputusan Jaksa Agung RI No.KEP-112/JA/10/1989 tentang 30 Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti. paragraf 2 menyatakan : untuk menjaga agar supaya sifat, jumlah dan atau bentuk barang bukti tidak berubah, sehingga akan menyulitkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa, dan Bab II tentang Penyimpanan Barang Bukti point 5 b menyatakan bahwa barang bukti berbentuk logam mulia, perhiasan, uang dan barang berharga lainnya yang nilainya diatas Rp 10 juta hams dititipkan/disimpan pada Bank Milik Pemerintah atas barang bukti yang dititipkan harus ada Berita Acara Penitipan Barang Bukti (B-2)-nya. Proses yang ditempuh untuk menyita benda bergerak sebagai berikut (Pasal 128 - 130KUHAP): Penyidik menunjukkan tanda pengenalnya, dan juga surat izin Ketua Pengadilan Negeri jika ada; Benda yang akan disita diperlihatkan kepada orang yang bendanya disita itu atau keluarganya; dapat juga minta disaksikan oleh Kepala Desa/Ketua Lingkungan dengan dua saksi; Dibuat berita acara penyertaan dan dibacakan kepada orang tersebut pada b dan dimintakan tanda tangan kepada mereka itu; dalam hal yang bersangkutan, tidak bersedia menandatangari, hal itu dicatat dengan menyebutkan alasannya; Benda dicatat dengan cermat tentang beratnya, jumlahnya, ciri- cirinya, tempat dan hari penyertaan, dan sebagainya kemudian dibubuhi cap jabatan dan ditandatangani penyidik, kemudian dibungkus, dalam hal benda itu tidak dapat dibungkus maka catatan-catatan itu ditulis di atas label yang ditempatkan/dikaitkan pada benda tersebut. 31 Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa : Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan narkotika dan prekursor narkotika, atau yang diduga narkotika dan prekursor narkotika, atau yang mengandung narkotika dan prekursor narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat: Nama, jenis, sifat, dan jumlah. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan barang sitaan oleh penyidik Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika dan prekursor narkotika, dan Tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan. Penyidik sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu 32 paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala ke jaksaan negeri setempat, ketua pengadilan hegeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit ter jangkau karena faktor geografis atau transportasi. Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 90 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa : (1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadifan, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di Laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampei di laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33 Pemusnahan Barang Bukti Secara umum, ada dua proses atau tahap pemusnahan barang bukti yang diatur dalam KUHAP, yaitu : Pemusnahan barang bukti pada tahap penyidikan, dan Pemusnahan barang bukti berdasarkan putusan pengadilan. Pemusnahan barang bukti dalam tahap penyidikan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa: Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka, kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: Apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat di amankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya; Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat di amankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat(1). Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk 34 diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Pasal 91 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan. Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung se jak menerima penetapan pemusnahan dari kepala ke jaksaan negeri setempat, Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala ke jaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama. Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 35

Potrebbero piacerti anche