Sei sulla pagina 1di 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah B3 adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung B3 sedangkan pengolahan limbah B3 adalah proses
untuk mengurangi dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun. Pengolahan
limbah B3 dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi. Untuk pembahasan kali ini akan
lebih difokuskan pada pengolahan limbah B3 secara biologi. Proses pengolahan limbah B3
secara biologi yang berkembang saat ini dikenal dengan istilah bioremediasi. Bioremediasi
merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah berbahaya yang relatif lebih ekonomis,
mudah dan ramah lingkungan. Teknologi ini memanfaatkan aktivitas mikroba untuk mengolah
limbah berbahaya tadi menjadi lebih rendah bahayanya atau bahkan tidak berbahaya sama
sekali.
Bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di
lingkungan. Bioremediasi menjadi salah satu pilihan untuk mengembalikan kondisi lingkungan
yang terkontaminasi limbah B3. Bioremediasi meminimalisasi kontaminan, yaitu mengubah
senyawa kimia berbahaya menjadi kurang berbahaya seperti karbondioksida atau beberapa
gas lain, senyawa organik, air dan materi yang dibutuhkan oleh mikroba pendegradasi.
Bioremediasi dilakukan melalui dua metode yaitu biostimulasi dan bioaugmentasi. Biostimulasi
adalah proses yang dilakukan melalui penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa agar mikroorganisme
tumbuh dan beraktivitas lebih baik, di mana pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli
lingkungan tersebut dirangsang dengan cara menambahkan nutrien dan/atau mengubah
habitat. Bioaugmentasi yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih
mikroorganisme baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat, dimana
mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada.
Teknik bioremediasi yang sering digunakan dalam skala industri ialah teknik lumpur
aktif. Lumpur aktif (activated sludge) merupakan proses pertumbuhan mikroba tersuspensi
yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu proses ini diadopsi seluruh
dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder secara biologi. Proses ini pada
dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi
CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused)
atau melalui aerasi mekanik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat di tarik rumusan masalah yakni :
1. Bagaimana proses pengolahan limbah B3 secara biologi dengan menggunakan
lumpur aktif?
2. Bagaimana penerapan proses pengolahan limbah B3 secara biologi dengan
menggunakan lumpur aktif?

1.3 Tujuan Penulisan

Dari latar belakang diatas, dapat dituliskan tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
1 Untuk mengetahui proses pengolahan limbah B3 secara biologi dengan
menggunakan lumpur aktif.
1
2 Untuk mengetahui penerapan proses pengolahan limbah B3 secara biologi dengan
menggunakan lumpur aktif.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Lumpur Aktif (Activated Sludge)

Pada dasarnya sistem lumpur aktif terdiri atas dua unit proses utama, yaitu bioreaktor
(tangki aerasi) dan tangki sedimentasi. Dalam sistem lumpur aktif, limbah cair dan biomassa
dicampur secara sempurna dalam suatu reaktor dan diaerasi. Pada umumnya, aerasi ini juga
berfungsi sebagai sarana pengadukan suspensi tersebut. Suspensi biomassa dalam limbah
cair kemudian dialirkan ke tangki sedimentasi, dimana biomassa dipisahkan dari air yang telah
diolah. Sebagian biomassa yang terendapkan dikembalikan ke bioreaktor dan air yang telah
terolah dibuang ke lingkungan. Agar konsentrasi biomassa di dalam reaktor konstan (MLSS =
3 - 5 gfL), sebagian biomassa dikeluarkan dari sistem tersebut sebagai excess sludge.

Pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif konvensional (standar) secara
umum terdiri dari bak pengendap awal, bak aerasi dan bak pengendap akhir, serta bak
khlorinasi untuk membunuh bakteri patogen. Secara umum proses pengolahannya adalah
sebagai berikut. Air limbah yang berasal dari sumber pencemar ditampung ke dalam bak
penampung air limbah. Bak penampung ini berfimgsi sebagai bak pengatu debit air limbah
serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran yang besar. Kemudian air
limbah didalam bak penampung di pompa ke bak pengendap awal.

Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi (Suspended


Solids) sekitar 30 - 40 %, serta, BOD sekitar 25 %. Air limpasan dari bak pengendap awal
dialirkan ke bak aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan
udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air
limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat organik tersebut digunakan oleh
mikrorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan demikian didalam bak aerasi tersebut
akan tumbuh dan berkembang biomasa dalam jumlah cukup besar. Biomasa atau
mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah.

Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif
yang massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi
dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow) dai bak pengendap akhir dialirkan
ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa
khlor untuk membunuh micro-organisme patogen. Skema proses dasar sistem lumpur aktif
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses Lumpur Aktif (Sumber :Departemen Perindustrian, 2007)

3
Pada semua sistem lumpur aktif, pengadukan memegang peranan yang penting dalam
menjaga keseragaman dan kestabilan kelarutan bahan organik, oksigen, dan mencegah
pengendapan lumpur aktif. Penyisihan bahan organik pada sistem ini bisa mencapai 85 – 95%
(Gonzales, 1996). Menurut (Metcalf dan Eddy, 1991), dalam bioreaktor, mikroorganisme
mendegradasi bahan-bahan organik dengan persamaan stoikiometri pada reaksi di bawah ini:

a) Proses Oksidasi dan Sintesis:


Bakteri
CHONS + O2 + Nutrien CO2 + NH3 + C5H7NO2 + sel bakteri baru

b) Proses Respirasi Endogenus:

C5H7NO2 + 5O2 5CO2 + 2H2O + NH3 + energi sel

Variabel perencanan (design variabel) yang umum digunakan dalam proses


pengolahan ah limbah dengan sistem lumpur aktif (Davis dan Cornweell, 1985; Yerstraete dan
van Yaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:

1) Beban BOD (BOD Loading rate atau Volumetry Loading Rate). Beban BOD adalah
jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi dengan
volume reaktor.
2) Mixed liqour suspended solids (MLSS). Isi di dalam bak aerasi pada proses
pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour
yang merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme
serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dan padatan
tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya
adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur
campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada
temperatur 105 oC, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
3) Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada
MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba
hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lowrence, 1980). MLVSS diukur
dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 – 6500oC,
dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
4) Food - to - microorganism ratio atau Food - to – mass ratio disingkat F/M Ratio.
Parameter ini menujukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan dibagi
dengan jumlah massa mikrorganisme di dalam bak aerasi atau reaktor. Besamya
nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kilogram BOD per kilogram MLLSS per
hari (Curds dan Hautkes, 1983; Nathanson, 1986).
Rasio F/IvI dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif dari
bak pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi. lebih tinggi laju sirkulasi
lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air limbah dengan
sistem lumpur aktif konvensiooal atau standar, rasio F/M adalah 02 - 0,5 kg
BOD5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan
oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah menunjukkan bahwa
mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio
F/M pengolah limbah semakin efisien.

5) Hidraulic retention fitae (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-
rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk

4
proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran
(dilution rate, D) (Sterritt dan Lester, 1988).
6) Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle Ratio, HRT). Ratio sirkulasi lumpur
adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke bak aerasi
dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi.
7) Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal rata-rala cel (mean
cell residence time). Parameter ini menujukkan waktu tinggal rata-rata
mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam
jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan
hari. Pararneter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur
lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hanmer, 1986; Curds dan
Hawkes, 1983).

Meski memiliki presentase keberhasilan yang tinggi, pengolahan menggunakan lumpur


aktif dipengaruhi oleh beberapa faktor krusial yang jika tidak diperhatikan akan mengakibatkan
kegagalan. Berdasarkan berbagai penelitian telah banyak dilakukan, dapat diketahui bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi optimalnya sistem lumpur aktif antara lain kelarutan oksigen
(DO), rasio Food/Microorganism (rasio F/M), serta interaksi kandungan mineral dan lumpur
dalam pengendapan lumpur (Argaman, 1981; Casey dkk., 1992; Piirtola dkk., 1999). Pohan
(2008) menambahkan, proses ini juga sangat peka terhadap faktor suhu, pH, dan zat-zat
inhibitor terutama zat-zat beracun.

Kelebihan dari sistem lumpur aktif adalah dapat diterapkan untuk hampir semua jenis
limbah cair, baik untuk oksidasi karbon, nitrifikasi, denitrifikasi, maupun eliminasi fosfor secara
biologis. Kendala yang mungkin dihadapi oleh dalam pengolahan limbah cair dengan sistem
ini kemungkinan adalah besarnya biaya investasi maupun biaya operasi karena sistem ini
memerlukan peralatan mekanis seperti pompa dan blower. Biaya operasi umumnya berkaitan
dengan pemakaian energi listrik.

Menurut William (1999), pengolahan limbah dengan aerobic activated sludge (lumpur
aktif) merupakan proses biologis dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasi
bahan-bahan organik yang terkandung dalam limbah cair. Prinsip dasar proses pengolahan
secara lumpur aktif adalah pemutusan molekul kompleks menjadi molekul sederhana dengan
memanfaatkan populasi mikroorganisme aerobik yang mampu merombak senyawa organik
(molekul kompleks) menjadi gas CO2, H2O, dan sel biomassa baru (molekul sederhana)
(Pohan, 2008; Klopping dkk., 1995; Herlambang dan Wahjono, 1999). Pemutusan rantai
senyawa organik kompleks yang terkandung dalam air limbah menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana akan meningkatkan proses biodegradasi aerobik dalam sistem lumpur
aktif (Damasceno dkk., 2008).

Seperti mikroorganisme pada umumnya, mikroorganisme dalam lumpur aktif


memerlukan sumber nutrisi seperti karbon, nitrogen, fosfor, sulfur, dan unsur-unsur mikro
lainnya yang digunakan dalam proses metabolisme. Semua nutrisi yang dibutuhkan tersebut
dapat diperoleh dari limbah cair (Buchari dkk., 2001). Mikroorganisme yang umumnya
digunakan untuk pengolahan limbah adalah bakteri, algae, atau protozoa (Pohan, 2008).
Pertumbuhan mikroorganisme dapat membentuk gumpalan massa yang dapat dipertahankan
dalam suspense bila lumpur aktif diaduk. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan
mempertimbangkan sifat mikroorganisme perlu diperhatikan kondisi agar mikroorgansime
dapat berkembang dengan baik sesuai dengan lingkungannya (Buchari dkk., 2001).

5
Bakteri merupakan komponen utama dari flok lumpur aktif, terdapat lebih dari 300 jenis
bakteri hidup dalam sistem lumpur aktif. Bakteri-bakteri tersebut mendegradasi bahan-bahan
organik dan mentransformasi nutrien. Jenis umum yang sering ditemukan dalam lumpur aktif
adalah Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alkaligenes, Bacillus, Achromobacter,
Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acenetobactes juga Sphaerotillus,
seperti Beggiatoa, dan Vitreoscilla (Sutapa, 1999).

Menurut Metcalf dan Eddy (2003), mikroorganisme ditemukan dalam jumlah yang
sangat bervariasi hampir dalam semua bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-
108 sel/ml. Kebanyakan merupakan sel tunggal yang bebas ataupun berkelompok dan mampu
melakukan proses-proses kehidupan baik itu tumbuh, bermetabolisme, dan bereproduksi.
Dalam siklus hidupnya, mikroorganisme mengalami 4 fase kehidupan, yaitu:

1. Fase Lag
Merupakan fase adaptasi bagi mikroorganisme untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru. Biasanya fase ini terjadi pada bak equalisasi.
2. Fase Pertumbuhan
Dalam fase ini mikroorganisme tumbuh dan berkembang secara eksponensial apabila
fase lag dapat dilalui dengan berhasil. Fase pertumbuhan ini terjadi pada bak aerasi.
3. Fase Stasioner
Pada fase ini mikroorganisme tidak mengalami perkembangbiakkan karena
persediaan nutrien sudah hampir habis digunakan pada fase pertumbuhan. Fase ini
terjadi pada tangki aerasi.
4. Fase Kematian
Setelah nutrien benar-benar habis, mikroorganisme akan mengoksidasi diri sendiri dan
tidak menghasilkan sel baru dan akhirnya mikroorganisme tersebut mati. Fase ini
terjadi pada bak clarifier.

Berikut adalah modifikasi dari proses lumpur aktif konvensional :


a) Sistem Aerasi Berlanjut (Extended Aeratian System)
Proses ini biasanya dipakai untuk pengolahan air limbah dengan sistem paket
(package treatment) dengan beberapa ketentuan antara lain :
 Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem
konvensional. Usia lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang
sampai 15 hari.
 Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam
pengendapan primer.
 Sistem beroperasi dengan F/M ratio yang lebih rendah (umumnya < 0,1
kg BOD/ per kg MLSS per hari) dengan sistem lumpur aktif konvensional
(0,2 - 0,5 kg BOD per kg MLSS per hari).
 Sistem ini membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan
pengolahan konvensional dan terutama cocok untuk
 komunitas yang kecil yang menggunakan paket pengolahan.
b) Proses dengan Sistem Oksidasi Parit (Oxidation Ditch)
Sistem oksidasi parit terdiri dari bak aerasi berupa parit atau saluran yang
berbentuk oval yang dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi
limbah. Saluran atau parit tersebut menerima limbah yang telah disaring dan
mempunyai waktu tinggal hidraulik (hiraulic retention time) mendekati 24 jam.
Proses ini umumnya digunakan untuk pengolahan air limbah domestik untuk
komuditas yang relatif tecil dan memerlukan lahan yang cukup besar.
6
Cara Kerja :
Air limbah diskrin dulu dengan coarse screen dan dikominusi dengan
comminutor agar ranting dan sampah menjadi berukuran kecil dan dapat
disisihkan. Setelah itu air limbah dialirkan ke dalam grit chamber untuk
menyisihkan pasirnya.
Tahap selanjutnya adalah primary settling tank yang berfungsi mengendapkan
partikel yang lolos dari grit chamber. Efluen settling tank ini selanjutnya masuk
ke parit oksidasi. Pada setiap unitnya, air limbah selalu mengalami
pengenceran (dilusi) otomatis ketika kembali mengalir melewati bagian inlet.
Faktor dilusi ini bisa mencapai nilai 20 s.d 30 sehingga nyaris teraduk sempurna
meskipun bentuk baknya mendukung aliran plug flow, yakni hanya teraduk
pada arah radial saja dengan aliran yang searah (unidirectional). Influennya
serta merta bercampur dengan air limbah yang sudah dioksigenasi dan
mengalami fase kekurangan oksigen. Pengulangan ini berlangsung terus-
menerus selama pengoperasian parit oksidasi.
Kelebihan : Biaya rendah
Kekurangan :
- Membutuhkan lahan yang luas
- Efisiensi penurunan zat organik sangat terbatas, (influen + 200 mg/lt BOD,
efluen + 50 mg/l BOD) dan masih mengandung zat padat tersuspensi yang
tinggi dari adanya algae (100 – 200 mg/l). Efisiensi tidak stabil (menurun
pada malam hari) karena proses photosyntesa terhenti.
c) Rotating Biological Contactors (RBC)
Rotating Biological Contactor (RBC) adalah suatu proses perngolahan air
limbah secara biologis yang terdiri atas didsc melingkar yang diputar oleh poros
dengan kecepatan tertentu. Unit pengolahan ini berotasi dengan pusat pada
sumbu atau as yang digerakkan oleh motor drive system dari diffuser yang
dibenam dalam air limbah, dibawah media.
Cara Kerja :
Mekanisme aerasi terjadi ketika mikroba terpapar oksigen di luar air limbah
sehingga terjadi pelarutan oksigen akibat difusi. Sesaat kemudian, mikroba ini
tercelup lagi ke dalam air limbah sekaligus memberikan oksigen kepada
mikroba yang tersuspensi di dalam bak. Bersamaan dengan itu terjadi juga
reintake material organik dan anorganik yang merekat didalam biofilm. Tetesan
air berbutir-butir yang jatuh dari media plastik dan bagian biofilm yang merekat
dipermukaan plastik juga memberikan peluang reaerasi. Begitu seterusnya
secara kontinyu 24jam sehari, ada yang bagian terendam, ada bagian yang
terpapar oksigen.
Kelebihan :
Mudah dioperasikan, Mudah dalam perawatan. Tidak membutuhkan banyak
lahan. Beberapa variasi parameter dapat di kontrol seperti kecepatan putaran
disc, resirkulasi, dan waktu detensi.
Kekurangan :
Kerusakan pada materialnya seoerti as, coupling, bearing, rantai, gear box,
motor listrik, dll. Biaya kapital dan pemasangan mahal Biaya investasi mahal
jika debit airnya besar.
d) Trickling Filter (Saringan Menetes)
Trickling Filter merupakan salah satu aplikasi pengolahan air limbah dengan
memanfaatkan teknologi Biofilm. Trickling filter ini terdiri dari suatu bak dengan

7
media fermiabel untuk pertumbuhan organisme yang tersusun oleh materi
lapisan yang kasar, keras, tajam dan kedap air.
Kegunaannya adalah untuk mengolah air limbah dengan dengan mekanisme
air yang jatuh mengalir perlahan-lahan melalui melalui lapisan batu untuk
kemudian tersaring.
Cara Kerja :
Air limbah dialirkan ke bak pengendapan awal untuk mengendapakan padatan
tersuspensi. Selanjutnya Air limbah dialirkan ke bak Trickling Filter melalui pipa
berlubang yang berputar, kemudian keluar melalui pipa under-drain yang ada
didasar bak dan keluar melalui saluran efluen.
Air limbah dialirkan ke bak pengendapan akhir dan limpasan dari bak
pengendapan akhir merupakan air olahan. Lumpur yang mengendap
selanjutnya disirkulasikan ke inlet bak pengendapan awal.
Kelebihan :
Tidak membutuhkan lahan yang luas. Operator tidak perlu terampil
Kekurangan :
Sering timbul lalat dan bau yang timbul dari reaktor, karena suplai oksigen tidak
merata. Sering terjadi pengelupasan biofilm. Timbul sumbatan. Hanya untuk
mengolah limbah encer dengan beban BOD rendah
e) Sistem Aerasi Bertingkat (Stq Aeration)
Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki
aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkankan disribusi
dalam tangki aerasi dan membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen.
Proses ini dapat meningkafkan kapasitas sistem pengolahan.
f) Sistem Stabilisasi Kontak (Contact Stabilization)
Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk waktu
yang singkat (40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan 16 tangki penjernih
dan lumpur dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 – 8 jam.
Sistem ini menghasilkan sedikit lumpur.

Masalah yang sering terjadi pada proses pengolahan air limbah dengan sistem
lumpur aktif maupun proses biologis lainnya adalah "Sludge Bulking' (Sykes,I989).
Bulking adalah fenomena di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur
aktif di mana lumpur aktif (sludge) berubah menjadi keputih-putihan dan sulit mengendap,
sehingga sulit mengendap. Hal ini mengakibatkan cairan supernatan yang dihasilkan
masih memiliki kekeruhan yang cukup tinggi.

Di dalam proses lumpur aktif yang beroperasi dengan baik, bakteria yang tidak
bergabung dalam bentuk flok biasanya dikonsumsi oleh protozoa. Adanya bakteria dalam
bentuk dispersi sel yang tidak bergabung dalam betuk flok dalam jumlah yang besar akan
mengakibatkan efluen yang keruh. Fenonema pertumbuhan terdispersi ini berhubungan
dengan kurang berfungsinya bakteria pembentuk flok (Flocforming bacteria) dan hal ini
disebabkan karena beban Organik (BOD) yang tinggi dan kurangnya suplay udara atau
oksigen. Selain itu senyawa racun misalnya logam berat juga dapat menyebabkan
pertumbuhan terdispersi (dispersed growth) di dalam proses lumpur aktif.

2.2 Penerapan Lumpur Aktif dalam Pengolahan Limbah

8
PT. Sukun Tekstil adalah pabrik tekstil finishing bleaching yang mengelola air limbahnya
dengan unit pengolahan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Pada pelaksanaannya,
unit pengolahan air limbah pada PT. Sukun Tekstil menggunakan metode pengaktifan lumpur
kembali yang terjadi pada kolam atau bak aerasi. PT Sukun Tekstil sendiri hanya melakukan
kegiatan produksi pemintalan, pertenunan, penyempurnaan, tidak sampai pada tahap pakaian
jadi atau (garmen). Pada dasarnya kegiatan produksi industri tekstil pada PT Sukun Tekstil
yang menghasilkan air limbah adalah kegiatan produksi penenunan dan kegiatan produksi
penyempurnaan (finishing). Berikut adalah diagram dari proses finishing pada PT Sukun
Tekstil (Gambar 2)

Gambar 2. Diagram Proses Finishing pad PT. Sukun Tekstil

2.3 Sistem Pengolahan Air Limbah PT. Sukun Tekstil

Teknologi yang digunakan pada PT Sukun tekstil untuk mengolah air limbahnya adalah
dengan menggunakan proses lumpur aktif (activated sludge). Pengolahan limbah cair
dilakukan dengan mengkombinasikan antara metode fisika dan biologi. Metode fisika itu
sendiri terdiri dari berbagai tahap meliputi: penyaringan, pengendapan, dan pendinginan.
Sedangkan metode biologi dilakukan dengan cara pengembangan lumpur aktif dan lagoon.

Proses lumpur aktif adalah proses pengembalian sebagian lumpur dari bak
pengendapan menuju bak aerasi sebagai bahan tambah pemakan yang akan menguraikan
mikroorganisme yang terkandung pada air limbah. Di dalam praktiknya, unit lumpur aktif
dioperasikan dengan cara diaduk dengan menggunakan mesin aerator agar pertumbuhan
mikroorganisme akan membentuk gumpalan massa yang dapat dipertahankan dalam
suspensi.

Pada PT Sukun Tekstil, penambahan oksigen yang dilakukan di bak aerasi adalah
dengan cara memaksa air ke atas untuk berkontak dengan oksigen. Cara mengontakkan air

9
limbah dengan oksigen adalah melalui pemutaran baling-baling mesin aerator yang diletakkan
pada permukaan air limbah. Akibat dari pemutaran ini, air limbah akan terangkat ke atas dan
dengan terangkatnya maka air limbah akan mengadakan kontak langsung dengan udara
sekitarnya.

Untuk penanganan optimum, PT Sukun Tekstil menambahkan nutrient berupa urea. Hal
ini dilakukan sebagai makanan tambahan untuk bakteri selain dari pengembalian lumpur dari
bak pengendapan. Hal tersebut dilakukan agar bakteri terhindar dari fase endogeneus dimana
jumlah kematian akan lebih besar daripada jumlah pertumbuhannya akibat dari jumlah
makanan yang habis dipergunakan. Berikut adalah skema pengolahan air limbah PT. Sukun
Tekstil Kudus (Gambar 3).

Gambar 3. Skema Pengolahan Air Limbah Pada PT. Sukun Tekstil

Berikut ini merupakan gambar dari Proses Lumpur Aktif pada PT. Sukun Tekstil (Gambar 4).

Gambar 4. Diagram Alir Proses Lumpur Aktif

Hasil uji air limbah PT Sukun Tekstil akan dibandingkan dengan baku mutu air limbah.
Pengujian air limbah dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Semarang. Uji sampel
dilakukan pada bagian inlet dan outlet dari IPAL. Standar baku mutu yang digunakan penulis
adalah yang dikeluarkan oleh KLH 1995 dan Perda Propinsi Jawa Tengah tahun 2004. Berikut
adalah hasil uji air limbah antara inlet dan outletnya (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Uji Limbah Pada PT. Sukun Tekstil

10
Dari tabel diatas, terlihat adanya penurunan kadar kandungan parameter air limbah pada PT
Sukun Tekstil. Berikut adalah hasil perbandingan uji air limbah (outlet) terhadap standar
baku mutu air limbah dari KLH 1995 (Tabel 2).

Tabel 2. Perbandingan Hasil Uji Terhhadap Standar Baku Mutu (KLH 1995)

Dari hasil perbandingan diatas, secara umum hasil pengolahan limbah cair yang
dilakukan PT Sukun Tekstil Kudus sesuai dengan standar baku mutu yang ditetapkan KLH.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pengolahan limbah B3 dapat


dilakukan secara fisika, kimia, dan biologi. Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yakni
bioremediasi. Bioremediasi merupakan salah satu alternatif pengolahan limbah berbahaya
yang relatif lebih ekonomis, mudah dan ramah lingkungan. Teknologi ini memanfaatkan
aktivitas mikroba untuk mengolah limbah berbahaya menjadi lebih rendah bahayanya atau
bahkan tidak berbahaya sama sekali.

Teknik bioremediasi yang sering digunakan dalam skala industri ialah teknik lumpur
aktif. Teknologi yang digunakan pada PT. Sukun Tekstil untuk mengolahan air limbah adalah
dengan cara lumpur aktif. Penambahan nutrient berupa urea sebagai makanan tambahan
untuk bakteri sehingga bakteri terhindar dari fase endogeneus merupakan pilihan yang tepat
dalam pengolahan limbah cair di PT Sukun Tekstil Kudus karena teruji bahwa hasil
pengolahan limbah cair telah sesuai dengan standar baku mutu yang ditetapkan KLH.

12

Potrebbero piacerti anche