Sei sulla pagina 1di 2

Tanah dan lahan memiliki artian yang berbeda namun sama, tanah (berasal dari kata bahasa

Yunani : pedos dan atau Latin : solum) berarti salah satu bagian dari kerak bumi, yang tersusun
dari mineral dan bahan-bahan organik. Tentunya hal ini membuat tanah menjadi sesuatu yang
vital, yang menopang kehidupan diatas kerak bumi. Namun, lagi, lahan cenderung memiliki
artian berbeda tetapi sama. Lahan adalah : tanah terbuka; tanah garapan, jika dilihat secara luas,
lahan merupakan bidang-bidang tanah yang siap untuk diolah. Tetapi, jika dilihat dari perspektif
ekonomi dapat berarti sangat banyak. Misalnya saja pengertian Land (Economics)* berpengaruh
besar dalam perkembangan penggunaan lahan hingga saat ini. Dalam ekonomi klasik, ada tiga*
faktor utama dari produksi, yang salah satunya adalah lahan. Jadi, lahan merupakan faktor
penting dan vital bagi kehidupan manusia, karena lahan menyimpan semua kebutuhan alamiah,
termasuk mineral, hasil-hasil hutan, bahkan air dan juga hasil-hasil olahan tanah lainnya.
Jika lahan memiliki artian penting bagi kehidupan, yang mengaitkan satu aspek dengan yang
lainnya, bukan berarti lahan tidak memiliki masalahnya sendiri. Jika diatas kita melihat bahwa
artian sempit lahan adalah tanah garapan*, maka akan timbul masalah, dimana dengan begitu
banyak lahan dan diikuti dengan banyaknya penggarap. Hal-hal seperti ini akan diikuti juga oleh
konflik yang tentunya tak terbatas. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan Administrasi
Pertanahan. Namun konflik dalam Administrasi Pertanahan bukanlah hal yang sempit untuk
diolah dan dikaji. Empat pokok atau unsur utama Administrasi Pertanahan yang dapat dikaji
(yang tentunya memiliki konflik/permasalahan) adalah : Land Tenure, Land Use, Land
Development, Land Value. Dari keempat unsur tersebut, penulis sudah mensitasi beberapa
jurnal untuk diidentifikasi sesuai dengan justifikasi yang terdapat dalam masing-masing jurnal.
Secara umum* Land Tenure* merupakan faktor utama dari konflik/permasalahan yang terjadi
selama ini. Jika ditinjau lebih jauh, hak merupakan sesuatu yang sudah melekat pada manusia
sejak lahir, hak* secara sempit adalah sesuatu kewenangan untuk melakukan, dan mendapatkan,
sesuai dengan kebebasan manusia tersebut. Sehinggan permasalah akan mulai muncul ketika hak
tersebut beralih menjadi sebuah otoritas tak terbatas, yang mempengaruhi orang lain. Oleh
karena itu kepemilikan atas tanah akan berpengaruh besar bukan hanya terhadap pemilik namun
juga orang lain yang mungkin memiliki hubungan dengan tanah, kita katakan saja semua
khalayak umum. Contoh kepemilikan tanah yang berdampak pada tiga unsur Administrasi
Pertanahan lainnya adalah, "Konflik Tenurial dan Sengketa Tanah Kawasan Hutan yang Dikelola
oleh Perum Perhutani".
Jika kita berbicara masalah tenurial, terutama daerah hutan, sudah pasti kita akan berbicara
masalah hukum terhadap semua hal yang ada didalam hutan tersebut, dan soal status hukum dari
suatu penguasaan dan segala sesuatu tanam-tumbuh yang ada didalamnya* Negara menguasai
tanah mutlak sepenuhnya tanpa ada gangguan dari segala pihak. Hal demikian dibuat untuk
mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam Undang-Undang No 6 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Undang-Undang Pokok Agraria, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Ayat 3 Undang-
Undang Dasar*, dan hak menguasai tersebut termasuk dalam menguasai hutan. Menurut data
yang dikumpulkan oleh Perum Perhutani, telah teridentifikasi konflik SDH (Sumber Daya
Hutan) sebanyak 107.334 Ha pada 5.251 lokasi yang tersebar di berbagai daerah. Dari
keselurahan data tersebut, 13. 631 teridentifikasi sebagai strata A. 24.567 strata B, 45.839 starata
C, dan 23.268 strata D. Tentunya dapat kita lihat bahwa sengketa tenurial daerah kawasan hutan
memiliki konflik dengan kompleksitasnya sendiri. Dari banyaknya daerah tersebut, inilahbyang
menyebabkan lambatnya legitimasi daerah hutan juga melemahnya pengukuhan suatu daerah
hutan. Dan ini menyebabkan banyaknya lonjakan kasus perampasan tanah oleh pengelola berijin
dari masyarakat. Tentunya ini tak jauh dari use, developing, dan values dari tanah hutan tersebut.
Dari berbagai cara yang ditempuh oleh Perum Perhutani, salah satu cara penyelesaian
konflik/sengketa adalah dengan mengadakan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).
PHBM diambil untuk mengurangi tendensi negatif yang akan didapatkan oleh Perum Perhutani
jika membawa sengketa SDH ke jalur hukum. Kebisingan masalah yang tertangani oleh Perum
Perhutani berawal dari identifikasi pihak-pihak luar (instansi, badan hukum, masyarakat dan atau
perseorangan) sebagai tanah bekas hak-hak barat atau eigendom* dan atau hak erpacht*, atau hal
lain seperti tanah bekas hak-hak adat, atau "tanah negara bebas", yang akhirnya dirambah,
diduduki lalu diolah untuk kepentingan sendiri. Lalu berakhir dengan dimohonkannya tanah
tersebut (disertifikasi) untuk kepemilikan demi pengolahan lanjut dengan kekuasan oenuh tanpa
ada disturbansi dari pihak lain. Sesuau dengan pandangan Nader dan Todd (1978)*, tidak selalu
bahwa sengketa terjadi hanya antara perusahaan pemegang ijin pengolahan SDH terhadap
masyarakat, namun juga terkadang terhadap lembaga BUMN seperti Perum Perhutani itu sendiri.
Sebut saja kasus proyek pembuatan rumah di daerah Gübeldorf, di negara Swiss. Dimana konflik
terjadi

Potrebbero piacerti anche