Sei sulla pagina 1di 10

Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No.

2 November 2015: 149-158______________________ISSN 2087-4871

POLA PEMANFAATAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN UNTUK MEREDUKSI


KONFLIK PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN UTARA ACEH

FISHING GROUND UTILIZATION PATTERN TO REDUCE CONFLICTS


IN CAPTURE FISHERIES IN NORTHEN ACEH

Nanda Rizki Purnama1, Domu Simbolon2, Mustaruddin2


1
Program Studi Teknologi Perikanan Laut
2
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Korespondensi : nandarizki.2008@gmail.com

ABSTRACT

Conflicts in fisheries sector started especially a few years ago between local and multi-national fishing companies in
Northen Aceh waters. This conflicts occur because unfair exploitation of fish resources have limited, so it make the
challenging of fishing ground. This study was aimed to analyze causing factors and the effects of conflicts in the
fisheries sector and how to reduce the conflicts. Analyze methods of this research use descriptive and AHP (Analytical
Hierarchy Process). Results showed that the main conflicts source in the fishing area was the fishing practices such as light
purse seine, fishing ground, bomb fishing, trawl, FAD’s and illegal fishing. Consequently, a destruction of fish habitat
may occur which affected to decreasing catches and income fishers when challenging fishing ground. The enhancement
of management patterns were giving the attention to biological aspects in the each exploitation, minimalizing the
breaking the FAD’s as a main conflict, applying the management startegy by priority serially (mediation, arbitrase,
negotiation, and compensation).

Keywords: Analytical Hierarchy Process, conflicts, fishing ground, utilization patterns

ABSTRAK

Konflik perikanan tangkap di perairan Utara Aceh merupakan persoalan konflik yang terjadi sejak tahun 2005-2015.
Konflik perikanan tangkap secara umum terjadi akibat sumberdaya ikan yang semakin berkurang sehingga terjadi
persaingan yang tidak sehat dalam memperebutkan sumberdaya pada daerah penangkapan ikan yang sama. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab dan dampak konflik perikanan tangkap serta menentukan pola
pemanfaatan daerah penangkapan ikan untuk mereduksi konflik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif dan AHP (Analitycal Hierarchy Process). Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab
konflik perikanan tangkapan di perairan Utara Aceh adalah penggunaan cahaya lampu pada purse seine, perebutan daerah
penangkapan ikan, penggunaan bom ikan, penggunaan trawl, pemutusan rumpon, dan illegal fishing. Dampak yang
dihasilkan dari konflik perikanan tangkap adalah tergganggunya habitat sumberdaya ikan, menurunnya hasil tangkapan
dan pendapatan nelayan tradisional serta pertikaian antar nelayan di daerah penangkapan ikan yang diperebutkan.
Pola pemanfaatan yang dapat dikembangkan adalah memberi perhatian dominan terhadap aspek biologi/SDI dalam
setiap tindakan pemanfaatan, meminimalkan terjadinya pemutusan rumpon (konflik utama), menerapkan strategi
penggelolaan dengan urutan prioritas: mediasi, arbitrase, negosiasi dan ganti rugi.

Kata kunci: Analytical Hierarchy Process , daerah penangkapan ikan, konflik, pola pemanfaatan

Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, IPB__________________________ E-mail: jurnalfpik.ipb@gmail.com


PENDAHULUAN unit penangkapan ikan pada daerah
penangkapan ikan pada waktu yang sama
Aceh merupakan provinsi yang terletak (Budiono 2005).
di ujung paling barat Indonesia. Luas wilayah Ada berbagai masalah dan jenis
perairan laut Aceh sekitar 295.370 km². konflik yang masih terjadi di perairan Utara
Ekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh Aceh. Hal ini disebabkan oleh pertahanan
sangat sesuai bagi kehidupan dan biota laut. keamanan yang kurang bagus di daerah
Kondisi yang demikian sangat strategi untuk perbatasan, sehingga banyak kapal asing
usaha perikanan, khususnya penangkapan atau kapal nelayan lokal dari provinsi lain
ikan di laut (DKP Aceh 2010). Kondisi yang masuk dan melakukan penangkapan
wilayah tersebut menjadikan Provinsi Aceh ikan di perairan Utara Aceh serta lemahnya
sebagai salah satu wilayah yang memiliki penegakan peraturan/otonomi daerah
potensi kelautan dan perikanan yang cukup dan rendahnya kualitas dari nelayan. Pola
besar. Sentuhan pada teknologi yang lebih pemanfaatan dalam pengelolaan daerah
modern dan tepat guna menggantikan penangkapan ikan perlu sebuah kajian yang
teknologi sederhana atau tradisional yang lebih lanjut agar dapat mereduksi konflik
masih ada, maka sektor ini mempunyai yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini
peluang besar dan dapat menjadi sektor adalah menganalisis faktor-faktor penyebab
dominan dan andalan untuk mengangkat dan dampak konflik perikanan tangkap
serta meningkatkan pendapatan (income serta menentukan pola pemanfaatan
generating) dan kesejahteraan masyarakat daerahpenangkapan ikan untuk mereduksi
Aceh di masa depan. konflik.
Sumberdaya ikan masih dianggap
memiliki sifat terbuka (open access) dan milik METODE PENELITIAN
bersama (common property), artinya setiap
orang mempunyai hak untuk memanfaatkan Penelitian ini dilaksanakan di perairan
sumberdaya tersebut. Persoalan hak Utara Provinsi Aceh dengan titik koordinat
pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu 950-960 BT dan 5.3-5.8 LU yang meliputi
pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh
tetapi juga pihak lain seperti pengusaha dan Sabang. Penelitian ini dilaksanakan
dan pemerintah. Berbagai pihak yang dalam dua tahap yaitu: tahap pertama
memiliki kepentingan dalam pengelolaan survei lapangan tempat lokasi penelitian
sumberdaya alam sering berbenturan pada bulan Desember 2014, tahap kedua
sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengumpulan data lapangan pada bulan
pengguna sumberdaya memiliki hak yang Januari-Maret 2015.
sama dalam memanfaatkan sumberdaya Data sekunder yang dikumpulkan
tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya dalam penelitian ini meliputi: jenis upaya
yang demikian akan mengakibatkan konflik penangkapan, kelembagaan panglima
antarpengguna sumberdaya, khususnya laôt, jumlah kapal penangkap ikan, dan
antarkelompok nelayan (Christy 1987). jumlah nelayan. Data primer diperoleh
Konflik perikanan tangkap secara melalui pengamatan langsung atau survei
umum terjadi akibat sumberdaya ikan di lapangan. Data dikumpulkan untuk
yang semakin berkurang sehingga terjadi mengetahui kondisi umum pemanfaatan
persaingan yang tidak sehat dalam daerah penangkapan ikan di perairan Utara
memperebutkan sumberdaya pada daerah Aceh, kasus konflik perikanan tangkap,
penangkapan ikan yang sama. Sisi lain persepsi dan tanggapan nelayan terhadap
unit pada penangkapan ikan cenderung konflik yang meliputi faktor-faktor penyebab
bertambah sehingga produktivitas nelayan konflik dan dampak konflik, solusi untuk
makin berkurang. Pihak-pihak yang terlibat menangani konflik, lokasi penangkapan
dalam konflik ini adalah kelompok nelayan ikan, aktor yang terlibat, sejarah/kronologis
tradisional dalam memperebutkan daerah terjadinya konflik, tempat kejadian, akar
penangkapan ikan yang sama. Keragaman masalah, peraturan perundang-undangan
jenis konflik ini banyak disebabkan oleh yang berlaku di daerah penelitian, serta
keragaman persepsi nelayan tentang kelembagaan panglima laôt.
pengelolaan sumberdaya ikan. Potensi
konflik dapat disebabkan oleh prinsip Analisis data
hunting di mana nelayan harus selalu
memburu ikan sehingga terjadi persaingan Faktor penyebab dan dampak konflik
yang mengakibatkan terjadinya akumulasi perikatan tangkap

150 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 149-158
ISSN 2087-4871

Faktor penyebab konflik dan dampak tersebut dikelompokkan dan disusun dalam
konflik perikanan tangkap dianalisis secara bentuk struktur bertingkat. Tahap analisis
deskriptif. Sebaran spasial lokasi konflik skala banding berpasangan, data disiapkan
perikanan tangkap disajikan dalam bentuk dengan dengan Mikrosoft Excel, sedangkan
peta tematik. Pengelolaan konflik biasanya penetapan skala banding berpasangan
memberikan pengaruh yang signifikan dan sistem pembobotannya mengacu
terhadap pengelolaan sumberdaya termasuk kepada Mustaruddin et al. (2011). Data
perikanan tangkap. Pengelolaan perikanan yang sudah lengkap selanjutnya dianalisis
tangkap, dalam pemanfaatan yang tanpa menggunakan AHP. Menguji kinerja hasil
batas tersebut sering diterapkan dan lebih analisis, maka dilakukan uji konsistensi dan
berorientasi pada keuntungan ekonomi. sensitivitas. Hasil uji konsistensi diharapkan
Namun demikian, pada kondisi tertentu, menunjukkan rasio inconsistency (RI) di
strategi yang tanpa batas tersebut terkadang bawah 0.10. Bila RI bernilai 0.10 atau lebih,
memperburuk kelangsungan suatu berarti data yang digunakan tidak konsisten
sumberdaya karena agregat dari strategi dan harus dilakukan pengambilan ulang.
yang besar dan melampaui daya dukung Uji analisis sensitivitas diharapkan hasil
kelangsungan sumberdaya tersebut. tidak terlalu sensitif.
Pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik adalah kelompok nelayan tradisional. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman jenis konflik perikanan tangkap
banyak disebabkan oleh keragaman persepsi Jenis dan lokasi terjadinya konflik
nelayan tentang pengelolaan sumberdaya
ikan. Potensi konflik perikanan tangkap Jenis konflik yang terjadi di perairan
dapat disebabkan oleh prinsip hutang di Utara Aceh dewasa ini terdiri dari konflik
mana nelayan harus selalu memburu ikan, alat tangkap dan konflik pengkalingan laut.
suatu persaingan yang mengakibatkan Kedua jenis konflik tersebut tercakup dalam
terjadinya akumulasi unit penangkapan enam jenis kasus yaitu penggunaan cahaya
ikan pada tempat dan waktu yang sama. lampu pada purse seine, perebutan daerah
penangkapan ikan, penggunaan bom ikan,
Strategi penyelesaian konflik perikanan penggunaan trawl, pemutusan rumpon, dan
tangkap illegal fishing. Kasus konflik tersebut telah
terjadi sejak tahun 2005 dan masih tetap
Analisis hierarki atau yang juga sering terjadi dewasa ini (Tabel 1).
dikenal dengan Analytical Hierarchy Process Konflik di perairan Utara Aceh
(AHP) ini digunakan untuk menentukan dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
prioritas berbagai opsi strategi resolusi aman, rawan, dan berbahaya. Potensi
konflik pemanfaatan daerah penangkapan konflik perikanan di perairan Utara Aceh
ikan. Prinsipnya, penentuan ini dilakukan menyebar merata di perairan, namun lebih
dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkonsetrasi di kawasan pesisir. Hasil
kesesuaian/kriteria yang ada dan beberapa survei menunjukkan bahwa konflik kategori
hal yang menjadi faktor pembatasnya di berbahaya lebih tinggi intensitasnya dan
perairan Utara Aceh. penyebarannya lebih luas dibandingkan
Tahap awal yang perlu dilakukan kategori rawan dan aman. Konflik kategori
dalam analisis hierarki ini adalah rawan dan aman relatif sama, yaitu lokasinya
pendefinisian masalah atau komponen. lebih jauh dari pesisir dibandingkan
Pendefinisian komponen yang menjadi dengan kategori berbahaya. Hal ini berarti
tujuan, kriteria, dan faktor pembatas dalam bahwa DPI bagi nelayan tradisional yang
penentuan opsi strategi resolusi konflik terkonsentrasi di sekitar pantai memiliki
pemanfaatan daerah penangkapan ikan potensi yang cukup tinggi untuk terjadi
di perairan Utara Aceh diidentifikasi dan konflik kategori berbahaya. Peta sebaran
ditetapkan. Selanjutnya komponen terpilih lokasi konflik dapat dilihat pada Gambar 1.

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan.............................................................................................(PURNAMA et al) 151


Tabel 1. Jenis dan waktu terjadinya konflik di perairan Utara Aceh
Tahun
No Jenis konflik
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1 Pengunaan √ √ √ √ √ √
cahaya lampu
pada purse
seine
2 Perebutan √ √ √ √ √
d a e r a h
penangkapan
ikan
3 Penggunaan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
bom ikan
4 Pengunaan √ √ √ √ √ √
trawl
5 Pemutusan √ √ √ √
rumpon
6 Illegal fishing √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Gambar 1. Peta sebaran lokasi konflik di perairan Utara Aceh

Faktor penyebab dan dampak konflik memiliki sifat fototaksis positif (tertarik pada
perikanan tangkap cahaya), sehingga berkumpul di sekitar
lampu. Lampu sebagai alat bantu untuk
Penggunaan cahaya lampu pada purse seine merangsang atau menarik perhatian ikan
agar berkumpul di bawah cahaya lampu.
Menurut Nedelec (2000), purse seine Penangkapan ikan di perairan
adalah suatu alat penangkap ikan yang Utara Aceh yang menggunakan purse
digolongkan dalam kelompok jaring lingkar seine dilengkapi alat bantu lampu.
(surrounding net) yang dilengkapi tali kerut Penggunaan lampu dengan intensitas
dan cincin untuk menguncupkan jaring cahaya berkapasitas tinggi (mencapai 350
bagian bawah pada saat dioperasikan. lux) oleh nelayan dari luar Aceh di wilayah
Cincin mempunyai fungsi ganda sebagai perairan Aceh merugikan nelayan tradisional
tempat lewat tali cincin dan juga berfungsi yang hanya menggunakan cahaya lampu
sebagai pemberat. Purse seine sampai saat dengan intensitas rendah (38 lux). Hal ini
ini merupakan alat penangkap ikan pelagis membuat ikan di DPI nelayan tradisional
kecil yang paling produktif. Peranan jaring berkurang karena ikan bermigrasi ke arah
adalah sebagai pengurung ikan agar tidak cahaya lampu intensitas tinggi sehingga
lari dari sergapan jaring ketika dilingkarkan. menyebabkan menurunnya hasil tangkapan
Menurut Rahman (2001) bahwa cahaya yang nelayan tradisional. Dampak lain yang
dihasilkan dari lampu dengan intensitas disebabkan oleh penggunaan purse seine
tinggi akan lebih cepat menarik ikan yang adalah overfishing, stok sumberdaya ikan

152 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 149-158
ISSN 2087-4871

menurun dan adanya perebutan DPI antarnelayan dengan petugas keamanan


antarnelayan. laut.
Konflik penggunaan bom ikan terjadi
Perebutan daerah penangkapan ikan antara nelayan pengguna dan bukan
pengguna bom ikan. Penyebab konflik
Alat tangkap yang digunakan oleh disebabkan nelayan pengguna bom ikan
nelayan asing di kawasan penangkapan telah melanggar UU No 45 Tahun 2009, revisi
nelayan tradisional adalah trawl. Alat UU No 31 Tahun 2004. Nelayan pengguna
tangkap tersebut dianggap nelayan bom ikan tentunya akan mendapatkan
tradisional sebagai pemicu terjadinya hasil yang lebih banyak dengan cara mudah
kerusakan habitat sumberdaya ikan. Hal dibandingkan nelayan bukan pengguna
tersebut menyebabkan terjadinya pertikaian bom ikan, namun cara tersebut tentunya
antarnelayan lokal dan asing. Nelayan akan merusak ekosistem terumbu karang
tradisional dan nelayan asing berlomba termasuk daerah pemijahan ikan dan
untuk mendapatkan hasil tangkapan terganggunya rantai makanan ikan. Hal
dalam jumlah besar, bahkan sering kali ini berdampak pada musnahnya biota dan
menimbulkan kegiatan penangkapan ikan rusaknya lingkungan, DPI terdegradasi,
yang destruktif. Menurut Agnet et al. (2009), serta hasil tangkapan dan pendapatan
kegiatan tersebut semata-mata hanya akan nelayan yang tidak menggunakan bom ikan
memberikan dampak yang kurang baik menurun drastis.
untuk ekosistem perairan, akan tetapi
memberikan keuntungan yang besar bagi Penggunaan trawl
nelayan.
Konflik perebutan daerah penang- Trawl merupakan pukat kantong
kapan ikan antara nelayan tradisional dan berbentuk kerucut dengan mulut lebar yang
nelayan asing di perairan Selat Malaka diberi pemberat pada tali ris bawah (ground
berada pada jarak kurang dari 12 mil rope) dan diberi pelampung pada tali ris
dari pantai dianggap sebagai hak properti atas (head rope). Pengoperasian trawl di
nelayan tradisional. Penyebab konflik ini perairan Aceh jelas dilarang, sesuai dengan
dikarenakan alat tangkap nelayan asing lebih aturan yang berlaku. Namum, aktivitas
modern dibandingkan nelayan tradisional penangkapan ikan dengan trawl masih
hal ini tidak adanya aturan baku/tertulis marak ditemukan di perairan ini, bahkan
dalam pengelolaan DPI. Dampak konflik nelayannya berasal dari Thailand. Trawl
ini tentunya akan menggangu habitat merupakan suatu alat penangkap ikan yang
sumberdaya ikan akibat penggunaan alat menarik untuk diteliti karena produktif dan
tangkap yang tidak ramah lingkungan, hasil tangkapan beraneka ragam jenisnya,
sehingga menurunnya hasil tangkapan namun alat tersebut tidak ramah lingkungan
dan pendapatan nelayan tradisional serta tidak selektif. Daerah penangkapan
dan pertikaian antarnelayan di daerah trawl relatif dangkal sampai kedalaman 25
penangkapan ikan yang diperebutkan. meter dengan dasar laut yang landai dan
rata terdiri dari pasir lumpur dan tidak
Penggunaan bom ikan berbatu atau berkarang serta bebas dari
bangkai kapal karam dan bangkai benda
Penangkapan ikan dengan menggunakan lainnya (Usemahu & Tosila 2003).
bahan peledak merupakan cara yang sering Hasil penelitian menunjukkan bahwa
digunakan oleh nelayan tradisional dalam penyebab terjadinya konflik pengunaan trawl
memanfaatkan sumberdaya perikanan adalah masih beroperasinya alat tangkap
khususnya saatmelakukan penangkapan ikan trawl yang dilarang penggunaannya oleh
karang. Menurut Suparmono (2002) bahwa pemerintah, pelanggaran jalur penangkapan
penggunaan bahan peledak seperti bom oleh nelayan asing, pengoperasian trawl
dapat memusnahkan biota dan merusak dapat merusak rumpon nelayan tradisional,
lingkungan, penggunaan bahan peledak kurang optimalnya fungsi dan peran
dalam penangkapan ikan di sekitar daerah kelembagaan atau institusi pemerintah
terumbu karang menimbulkan efek samping serta belum tegasnya pelaksanaan hukum
yang sangat besar. Menurut Charles (1992) dan peraturan perikanan. Penggunaan
konflik ini termasuk tipologi konflik alokasi trawl berdampak pada kerusakan habitat
internal karena biasanya terjadi di antara sehingga menurunkan ketersediaan
stakeholder yang berkaitan langsung sumberdaya ikan. Hal ini menyebabkan
dengan kegiatan perikanan tangkap, yaitu karena berkurangnya hasil tangkapan

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan.............................................................................................(PURNAMA et al) 153


nelayan. keuntungan menjadi meningkat.
Penggunaan rumpon untuk alat
Illegal fishing penangkapan memiliki keuntungan karena
ikan akan bergerombol di rumpon sehingga
Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan nelayan tidak perlu mencari DPI dengan
ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing begitu penggunaan BBM menjadi lebih
pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi hemat, namun nelayan pengguna rumpon
suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau akan membatasi sumberdaya ikan bagi
bertentangan dengan peraturan perundang- nelayan nonrumpon, karena migrasi ikan
undangan yang berlaku dan bertentangan terhalang rumpon sehingga menimbulkan
dengan peraturan nasional yang berlaku atau konflik. Selain itu, terdapat pula sistem kerja
kewajiban internasional (Nielsen et al. 2012). sama antara nelayan yang tidak memiliki
Kapal asing sering terlihat di perairan Utara rumpon dengan nelayan pemilik rumpon
Aceh sehingga mereka mengibarkan bendera dengan sistem bagi hasil, namun sistem yang
NKRI yang menjadi anggota organisasi tidak berjalan dengan baik menyebabkan
pengelolaan perikanan regional tetapi konflik yang berujung pemutusan rumpon.
beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan Dampak yang disebabkan oleh konflik ini
pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan adalah kerugian investasi bagi pemilik
oleh organisasi tersebut atau ketentuan rumpon, sisa rumpon menjadi DPI yang baru
hukum internasional yang berlaku. dan dapat digunakan oleh nelayan secara
Penyebab konflik illegal fishing bebas dan kualitas lingkungan menurun
berawal dari kebutuhan ikan dunia yang akibat pencemaran sisa-sisa rumpon yang
meningkat tetapi sumberdaya ikan di fishing berkarat.
ground negara tertentu sudah menipis,
kapal-kapal penangkapan dunia mulai Upaya penyelesaian konflik
melakukan penangkapan di luar wilayah
yang terbuka dan luas dengan pengawasan Konflik yang terjadi di perairan
yang tidak ketat, seperti Indonesia dalam Utara Aceh meliputi penggunaan cahaya
hal ini perairan Utara Aceh. Pengawasa lampu pada purse seine, perebutan daerah
yang tidak ketat di perairan Indonesia penangkapan ikan, penggunaan bom ikan,
karena terbatasnya sarana dan prasarana penggunaan trawl, pemutusan rumpon,
serta SDM. Dampak illegal fishing yaitu dan illegal fishing. Upaya penyelesaian
berkurangnya sumberdaya ikan bagi konflik dilakukan melalui jalur persidangan
nelayan lokal, luasan DPI bagi nelayan lokal yang dilakukan oleh panglima laôt Aceh.
menjadi terbatas sehingga mengurangi hasil Persidangan adat laôt ini mempunyai
tangkapan dan pendapatan nelayan lokal. kaidah hukum acara tersendiri. Berikut
ini merupakan beberapa ketentuan yang
Pemutusan rumpon dapat digolongkan sebagai kaidah hukum
acara persidangan adat laôt yaitu setiap
Rumpon adalah alat bantu orang/pawang yang mengajukan perkara
penangkapan ikan yang dipasang pada pada lembaga persidangan hukum adat laôt
perairan laut (SK Mentan No. 51/Kpts/ harus membayar uang meja (besarannya
TK. 250/1/97). Rumpon bisa disebut juga ditentukan oleh masing-masing Lhôk),
dengan Fish Aggregating Device (FAD), Pengajuan perkara dapat dilakukan
yaitu suatu alat untuk penangkapan ikan pada hari senin-kamis pada jam 09:00
yang berfungsi untuk memikat ikan agar WIB sampai dengan selesai, biaya sidang
berkumpul dalam suatu catchable area dipungut 10% dari uang hasil diperkarakan,
(Sudirman & Mallawa 2004). Kepadatan penggugat sudah harus menghadirkan
gerombolan ikan pada rumpon diketahui saksi-saksi pada saat sidang dibuka,
oleh nelayan berdasarkan buih atau saksi-saksi dari pihak yang penggugat
gelembung udara yang timpul di permukaan diisyaratkan harus mengangkat sumpah,
air, warna air yang gelap karena pengaruh sidang dapat dilaksanakan apabila dihadiri
gerombolan ikan atau banyaknya ikan kecil minimal 3 orang anggota sidang, dengan
yang bergerak di sekitar rumpon. Menurut 1 orang dari unsur Dinas Perikanan dan
Subani & Barus (1989) bahwa penggunaan Kelautan, apabila penggugat atau tergugat
rumpon memiliki beberapa keuntungan tidak menghadiri sidang sampai dengan
di antaranya: memudahkan mendapatkan 2 kali persidangan, maka majelis akan
gerombolan ikan, biaya eksplotasi terutama mengambil keputusan, apabila pada sidang
biaya BBM dapat dikurangi, sehingga ketiga penggugat atau tergugat tidak hadir,

154 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 149-158
ISSN 2087-4871

perkara dapat ditolak dan lembaga hukum yang diunggulkan (proritas I) untuk
akan mengambil biaya sidang 10 persen dari menyelesaikan konflik perikanan tangkap di
uang hasil perkara tersebut, dan penggugat perairan Utara Aceh adalah mediasi/MED
diberi waktu selama 2 x 24 jam untuk (RK 0.54). Konflik yang terjadi sebaiknya
membawa pengaduan kepada panglima laôt diupayakan terlebih dahulu mediasi di
sejak terjadinya perkara, lewat dari waktu antara pihak yang berkonflik. Mediasi dapat
2 x 24 jam pengaduan dari penggugat tidak ditengahi oleh panglima laôt. Pihak-pihak
dapat diterima atau batal. yang berkonflik ditanya apa keberatannya/
ketidak-senangan mereka terhadap yang
Penentuan kriteria penyelesaian konflik lain dan apa harapannya, untuk kemudian
dicari titik temu terbaik. Hal ini hendaknya
Hasil analisis vektor prioritas terus dilakukan setiap ada konflik/kasus
terkait kriteria yang perlu diakomodasi sehingga tidak berkepenjangan. Strategi
dalam resolusi konflik perikanan tangkap ARB dapat menjadi alternatif berikutnya
menunjukkan bahwa rasio kepentingan (prioritas II) untuk penyelesaian konflik
untuk kriteria teknologi (TEK) 0.13, kriteria perikanan tangkap. Strategi ini dapat dipilih
ekonomi (EKO) 0.30, kriteria sosial (SOS) bila upaya mediasi tidak dapat memberi
0.06, dan kriteria biologi (BIO) 0.51 dapat penyelesaian.
dilihat pada Gambar 2. Rasio kepentingan
tersebut menunjuk-kan urgensi setiap Pola pemanfaatan untuk mereduksi konflik
kriteria dalam penentuan program AHP perikanan tangkap
yang akan dijalankan. Kriteria biologi (BIO)
mempunyai rasio kepentingan dengan Mengacu pada hasil analisis
nilai terbesar, yang berarti bahwa kriteria sebelumnya ternyata ditemukan enam
tersebut memiliki peran penting dalam konflik perikanan tangkap yaitu pengunaan
menentukan program yang akan dijalankan cahaya lampu pada purse seine, perebutan
di perairan Utara Aceh. daerah penangkapan ikan, penggunaan
bom ikan, penggunaan trawl, pemutusan
Faktor-faktor pembatas dalam penyelesaian rumpon dan illegal fishing. Konflik tersebut
konflik menimbulkan dampak yang merugikan.
Supaya konflik tersebut dapat diselesaikan
Hasil analisis vektor prioritas maka harus dipilih beberapa kriteria yang
terkait faktor pembatas membantu untuk tepat untuk menyelesaikannya diantaranya
mengetahui pihak mana yang perlu kriteria teknologi, ekonomi, sosial dan biologi.
dibuatkan program untuk mendukung pihak Kriteria ini harus sesuai penerapannya
tersebut. Vektor prioritas pada tingkat ketiga dengan hal-hal yang bisa menjadi konflik.
diperoleh dari keenam pihak pengambil Secara diagram pola pemanfaatan DPI
kebijakan disajikan pada Gambar 3. Adapun untuk mereduksi konflik perikanan tangkap
rasio kepentingan (RK) untuk keenam dapat dilihat pada Gambar 5.
pihak yang terlibat dalam pengunaan Kriteria biologi menjadi kriteria yang
cahaya lampu pada purse seine (CLP) 0.19; paling penting. Hal ini diduga karena usaha
perebutan daerah penangkapan ikan (DPI) perikanan sangat tergantung pada kondisi
0.13; penggunaan bom ikan (BOM) 0.16; sumberdaya ikan secara berkelanjutan
pengunaan trawl (TRL) 0.11; pemutusan untuk pemanfaatan DPI. Supaya dapat
rumpon (PTR) 0.27; dan illegal fishing menimalkan terjadinya pemutusan rumpon,
(ILF) 0.14. Berdasarkan nilai RK tersebut, maka pemanfaatan DPI harus melihat jalur
diketahui bahwa PTR merupakan pihak migrasi ikan ke lokasi penangkapan ikan
yang paling penting untuk dipertimbangkan nelayan tradisional. Konflik tersebut dapat
dalam penentuan jenis program yang akan dieliminasi.
dijalankan di perairan Utara Aceh. Strategi mediasi paling penting untuk
dipertimbangkan pada pola pemanfaatan
Prioritas strategi penyelesaian konflik DPI. Terpilihnya mediasi sebagai solusi
paling penting, karena merupakan jalan
Alternatif strategi penyelesaian arternatif yang memberikan solusi terbaik,
adalah mediasi (MED), arbitrase (ARB), hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa
negosiasi (NEG) dan ganti rugi (GRI). Hasil konflik yang terselesaikan melalui jalan
analisis AHP terhadap keempat alternatif mediasi. Strategi arbitrase dapat menjadi
strategi tersebut disajikan pada Gambar alternatif berikutnya untuk penyelesaian
4. Berdasarkan Gambar 4, strategi konflik pola pemanfaatan DPI. Strategi

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan.............................................................................................(PURNAMA et al) 155


ini dapat dipilih bila mediasi tidak sesuai segera ditindak. Negosiasi dan ganti rugi
harapan nelayan yang berkonflik untuk menjadi strategi prioritas ketiga dan keempat
penyelesaian pola pemanfaatan DPI. terkait dengan upaya menimalkan konflik
Strategi arbitrase (hukum) yang perikanan tangkap. Maka kedua strategi ini
tegas terhadap pelanggaran yang terjadi merupakan strategi alternatif berikutnya
merupakan dianggap prioritas kedua untuk yang dapat dilakukan bila tindakan
menimalkan konflik perikanan tangkap di mediasi dan arbitrase mengalami hambatan
perairan Utara Aceh. Terpilihnya tindakan dalam implementasinya. Bila hal ini dapat
hukum yang tegas terhadap pelanggaran dilakukan, maka setiap konflik selalu dapat
yang terjadi (hukum) ini menunjukkan dieliminasi, interaksi stakeholders menjadi
bahwa penyelesaian konflik di perairan lebih berguna dan efisien, pengembangan
Utara Aceh perlu penegakan hukum tanpa kegiatan perikanan tangkap dapat terus
pandang bulu dan setiap pelanggaran harus dilakukan.

Gambar 2. Perbandingan kepentingan di antara kriteria pengolaan (Rasio RI 0.09)

Gambar 3. Perbandingan kepentingan di antara faktor pembatas (RI 0.09)

Gambar 4. Perbandingan kepentingan di antara alternatif strategi (RI 0.07)

156 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 149-158
ISSN 2087-4871

Gambar 5. Pola pemanfaatan DPI untuk mereduksi konflik

KESIMPULAN DAN SARAN rumpon (konflik utama), serta menerapkan


strategi penggelolaan dengan urutan
Kesimpulan prioritas: mediasi, arbitrase, negosiasi dan
ganti rugi.
Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini yaitu faktor-faktor penyebab Saran
konflik perikanan tangkap di perairan Utara
Aceh adalah penggunaan cahaya lampu pada Penambahan aparatur keamanan laut
purse seine, perebutan daerah penangkapan di perairan Utara Aceh perlu dilakukan,
ikan, penggunaan bom ikan, penggunaan untuk menghindari terjadinya konflik
trawl, pemutusan rumpon, dan illegal fishing. antarnelayan tradisional dan nelayan asing,
Dampak yang dihasilkan dari konflik maupun antarnelayan tradisional.
perikanan tangkap adalah tergganggunya
habitat sumberdaya ikan, menurunnya DAFTAR PUSTAKA
hasil tangkapan dan pendapatan nelayan
tradisional serta pertikaian antarnelayan Agnew DJ, Pearce J, Pramod G, Peatman T,
di daerah penangkapan ikan yang Watson R, Beddington JR, Pitcher TJ.
diperebutkan, pola pemanfaatan yang 2009. Estimating the worldwide extent
dapat dikembangkan adalah memberi of illegal fishing. Plos one. 4(2):e4570.
perhatian dominan terhadap aspek biologi/ Budiono A. 2005. Keefektifan pengelolaan
SDI dalam setiap tindakan pemanfaatan, konflik pada perikanan tangkap
dan meminimalkan terjadinya pemutusan di Perairan Selatan Jawa Timur

Pola Pemanfaatan Daerah Penangkapan.............................................................................................(PURNAMA et al) 157


[Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Undang-Undang Nomor 45 tahun
Bogor. 2009 tentang perubahan atas Undang-
Charles AT. 2001. Fishery Conflict and the Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Co-management Approach in Tony Perikanan. Jakarta: Pemerintah
J. Pitcher (ed). Sustainable Fishery Republik Indonesia.
Systems. Canada: University of British Rahman A. 2001. Perbandingan hasil
Columbia. tangkapan purse seine dengan
Christy FT. 1987. Hak Penggunaan Wilayah menggunakan alat bantu cahaya
pada Perikanan Laut: Definisi dan dan kombinasi cahaya rumpon di
Kondisi. Jakarta : Gramedia. perairan Kabupaten Barru. Skripsi
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2010. Makasar: Program Studi Pemanfaatan
Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sumberdaya Perikanan, Univesitas
Aceh. Banda Aceh. Hasanuddin Makassar.
Mustaruddin, Nurani TW, Wisudo SH, Wiyono Subani W, Barus HR. 1989. Alat
ES, Haluan J. 2011. Pendekatan penangkapan ikan dan udang laut
Kuantitatif untuk Pengembangan di Indonesia, Jurnal Penelitian dan
Operasi Industri Perikanan. Bandung: Perikanan Laut.
Penerbit Lubuk Agung Bandung. Surdirman H, Mallawa. 2004. Teknik
Nedelec C. 2000. Definisi dan Klasifikasi Penangkapan Ikan. Jakarta: Reneka
Alat Tangkap Ikan. Published by Cipta.
Arrangement with the Food and Suparmono M. 2002. Buku Pedoman
Agriculture Organization of The Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam
United Nation. Diterjemahkan oleh dan Lingkungan (Konsep dan Metode
Bagian Proyek Pengembangan Teknik Penghitungan). Yogyakarta: BPFE.
Penangkapan Ikan Semarang. Balai Usemahu AR, Tomasila L. 2003. Teknik
Pengembangan Penangkapan Ikan. Penangkapan Ikan. Jakarta:
Semarang. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Nielsen EE, Cariani A, Mac AE, Maes GE, Yusfiandayani R. 2004. Studi tentang
Milano I, Ogden R, Carvalho GR. mekanisme berkumpulan ikan
2012. Gene-associated markers pelagis kecil di sekitar rumpon dan
provide tools for tackling illegal fishing pengembangan perikanan di perairan
and false ecocertification. Nature pasauran propinsi Banten [Disertasi
Communications. tidak dipublikasi]. Bogor: Institut
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Pertanian Bogor.

158 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2 November 2015: 149-158

Potrebbero piacerti anche