Sei sulla pagina 1di 16

PENGKAJIAN PEMERIKSAAN FISIK SISTEM

SENSORI PERSEPSI
Dosen Pembimbing : Ns. Sukarni, M. Kep

OLEH :

AGUNG NUR RASYID


I1031151010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul
Pengkajian Pemeriksaan Fisik. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas
perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah Sistem Persepsi dan
Sensori Tahun Akademik 2017/2018 di Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Ns. Sukarni,
M. Kep yang telah membimbing kami dan kami menyadari makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada pembaca dan
teman-teman agar memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Pontianak, 1 Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
LANDASAN TEORI .............................................................................................. 1
1.1 Pemeriksaan Fisik Penglihatan ................................................................. 1
1.2 Pemeriksaan Fisik Pendengaran ............................................................... 3
1.3 Pemeriksaan Fisik Penciuman .................................................................. 5
1.4 Pemeriksaan Fisik Perabaan ..................................................................... 5
1.5 Pemeriksaan Fisik Pengecapan................................................................. 6
BAB II ..................................................................................................................... 8
KASUS DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 8
2.1 Kasus ........................................................................................................ 8
2.2 Pembahasan .............................................................................................. 8
BAB III ................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................. 11
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 11
3.2 Saran ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

ii
BAB I
LANDASAN TEORI

1.1 Pemeriksaan Fisik Penglihatan


a. Pemeriksaan Penunjang
1. Oftalmoskop
Proses oftalmoskop menurut Chamberlains (2012):
a. Gunakap oftalmoskop yang biasa anda pakai dengan baterai penuh
b. Redupkan lampu ruangan
c. Jika memungkinkan gunakan tetes pelebar
d. Minta pasien memandang sedikit keatas dan ke kejauhan dan minta
izin saat anda akan meletakkan tangan ke bahu mereka supaya anda
bisa mendekati pasien tanpa bertubrukan dengan mereka.
e. Mata anda harus sejajar dengan mata pasien, gunakan mata kanan
anda untuk mata kanan pasien dan sebaliknya
f. Dekatilah pasien dari sudut 15 derajat dari garis pandang mereka,
dengan kata lain anda akan memandang lurus dan langsung diskus
optic.
g. Gunakan sosortan reflek merah untuk membandu anda mengamati
mata pasien. Dan detailnya harus difokuskan beberapa sentimeter
dari mata pasien.
h. Sesuaikan lensa oftalmoskop untuk memastikan semua bagian kecil
terfokus secara optimal. Jika pasien tidak mengalami kesalahan
refraksi (dan tidak memakai lena kontak) biasanya oftalmoskopi
akan terfokus pada nol. Jika pasien atau praktisi biasanya memakai
kaca mata untuk melihat jarak jauh, keuatan lensa oftalmoskopi
perlu disesuaikan. Kekuatan lensa yang dibutuhkan bisa
diperkirakan dengan menambahkan kesalahan refraksi pasien dan
praktisi (dengan berasumsi bahwa mereka tidak menggunakan kaca
mata saat pemeriksan).

1
i. Secara berurutan catat ciri-ciri diskus optik, pembuluh, dan fundus
perifer lalu amati macula (disamping diskus, namun tidak berada
diketinggian yang sama dengannya, catat macula hampir tidak bisa
dilihat melalui pupil yang tidak melebar).
2. Pengukuran tekanan okuler
Tonometri adalah teknik untuk mengukur tekanan intraokuler (TIO).
Penentuan umum TIO dapat dilakukan dengan memberikan tekanan
ringan jari pada sclera mata yang tertutup. Kedua ujung jari tengah
diletakkan pada kelopak atas yang tertutup. Salah satu jari menekan
dengan lembut kedlam sementara jari satunya merasakan tekanan yang
ditimbulkan melawannya. Beberapa pemeriksa kemudian
membandingkan tegangan yang dirasakan pada mata pasien dengan
tekanan matanya sendiri, bila dilakukan dengan baik manuver ini dapat
memberikan perkiraan kasar, dan memerlukan latihan (Brunner &
Suddarth's, 2013).
3. Pemeriksaan lampu slit
Pasien dipersilahkan duduk atau menyandarkan dahinya pada struktur
penyokong lampu slit. Pemeriksa menghidupkan lampu dan
mengarhakan pencahayaan dengan berbagai bentuk dan warna cahaya
ke permukaan depan mata. Instrument ini akan memperbesar kornea,
sclera, dan kamera anterior dan memberikan pandangan oblik kedalam
trakebulum dengan lensa khusus (Brunner & Suddarth's, 2013)
4. Prosedur pencitraan
Dapat menggunakan MRI (magnetic resonance imaging) dan CT scan
untuk melihat pertumbuhan dan anatomi intraokuler dan ekstraokuler
(Brunner & Suddarth's, 2013).
5. Ultrasonografi
Pada ultrasonografi grlombang dengan frekuensi tinggi dimensi dari
sebuah tranduser kecil seperti probe diletakkan depan mata setelah
menghantam jaringan okuler, gelombang suara kemudian memnatul dan
ditangkap oleh tranduser yang sama. Kemudian dikonversi menjadi pola

2
gelombang dan ditampilkan pada osilokop. Prosedur ini memerlukan
anatesi local. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien ditekankan untuk
tidak menggosokkan mata (Brunner & Suddarth's, 2013).

1.2 Pemeriksaan Fisik Pendengaran

a. Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan yang paling lazim dilaksanakan di klinik adalah audiometri
dan timfanometri. Kedua pemeriksaan ini biasanya dilakukan terutama pada
pasien yang ada memiliki riwayat penurunan fungsi pendengaran (Muttaqin,
2010).
1. Audiometri
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer adalah satu-
satunya instrumen diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada
dua macam: (1) Audiometri nada murni, dimana stimulus suara terdiri
atas nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum pasien bisa
mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengarannya), dan (2)
Audiometri wicara, dimana kata yang diucapkan digunakan untuk
menentukan kemampuan mendengar dan membedakan suara.
Audiogram dapat membedakan antara kehilangan pendengaran
konduktif dan kehilangan pendengaran sensorineural (Muttaqin, 2010).
Perawat yang melakukan uji dan pasien mengenakan earphone
dan sinyal mengenal nada yang didengarkan. Ketika nada dipakai secara
langsung pada meatus kanalis auditorius eksternus, kita mengukur
konduksi udara. Bila stimulus diberikan pada tulang mastoid, melintas
mekanisme konduksi (osikulus), langsung menguji konduksi saraf. Agar
hasilnya akurat, evaluasi audiometri dilakukan di ruangan yang kedap

3
suara. Respons yng dihasilkan kemudian dicatat dalam bentuk grafik
yang dinamakan audiogram (Muttaqin, 2010).
Frekuensi merujuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan
oleh sumber bunyi per detik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal
mampu mendengar suara dengan kisaran frekuensi dari 20 sampai 20.000
Hz. Frekuensi dari 500 sampai 2000 Hz yang paling penting untuk
memahami percakapan sehari-hari yang dikenal sebagai kisaran wicara.
Nada adalah istilah untuk menggambarkan frekuensi, nada dengan
frekuensi 100 Hz dianggap sebagai nada rendah, dan nada 10.000 Hz
dianggap sebagai nada tinggi. Unit untuk kerasnya bunyi (intensitas suara)
adalah desibel (dB) yaitu tekanan yang ditimbulkan oleh suara.
Kehilangan pendengaran diukur dalam desibel yang merupakan fungsi
logaritma intensitas dan tidak bisa dengan mudah dikonversikan ke
presentase. Ambang kritis kekerasan adalah sekitar 20 dB. Beberapa
contoh intensitas suara yang biasa termasuk gesekan kertas dalam
lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB, percakapan rendah 40
dB, dan kapal terbang jet sejauh 100 kaki, tercatat sekitar 150 dB. Suara
yang lebih keras dari 80 dB didengar telinga manusia sangat keras. Suara
yang terdengar tidak nyaman dapat merusak telinga dalam (Smeltzer &
Bare, 2002).
2. Timpanografi
Timpanogram atau audiometri impedans, mengukur refleks otot telinga
tengah terhadap stimulus suara, selain kelenturan membran timpani,
dengan mengubah tekanan udara dalam kanalis telinga yang tertutup.
Kelenturan akan brkurang pada penyakit telinga tengah (Smeltzer & Bare,
2002).

4
1.3 Pemeriksaan Fisik Penciuman
a. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Alergi
Jika anda menduga pasien mengalami rhinitis alergi, lakukan uji alergi
supaya pasien bisa menghindari alergennya. Banyak dokter THT
melakukan uji skin-prick sedikit alergen yang telah diketahui
disuntikkan ke dermis dan uji disebut positif jika kulit pasien memerah
sebagai reaksi terhadap alergen ini. Anda juga bisa melakukan uji darah:
RAST (radioallergosorbent test) mendeteksi antibody ige E khusus
yang bersirkulasi
2. Pemeriksaan Transiluminasi
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk
mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara melakukan
pemeriksaan transluminalis (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu
dengan menyinari dan menekan sinus frontalis ke mediasuperior.
Cahaya yang memancar kedepan wajah bisa ditutup dengan tangan kiri.
Hasil sinus frontalis normal jika dinding depan sinus frontalis tampak
terang.
3. Cara melakukan pemeriksaan transluminalis (diaphanoscopia) pada
sinus maksilaris yaitu minta pasien untuk membuka mulutnya lebar-
lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior orbita ke arah inferior.
Cahaya yang memancar kedepan wajah bisa ditutup dengan tangan kiri.
Hasilnya sinus maksilaris normal jika palatum durum homolateral
berwarna terang. Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai
psisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap
menunjukan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih
utuh ataukah tidak (Soedjak, 2000)

1.4 Pemeriksaan Fisik Perabaan


a. Pemeriksaan Penunjang
1. Biopsi Kulit

5
Biopsi kulit yang bertujuan untuk mendapatkan jaringan bagi
pemeriksa mikroskopik dilakukan lewat eksisi dengan skalpel atau
penusukan dengan alat khusus yang akan mengambil sedikit bagian tengah
jaringan. Biopsi dilakukan pada nodul kulit yang asalnya tidak jelas untuk
menyingkirkan kemungkinan malignitas dan terhadap plak dengan bentuk
serta warna yang tidak lazim. Biopsi kulit juga dilakukan untuk
memastikan diagnostik yang tepat pada pembentukan lepuh dan kelainan
kulit lainnya (Smeltzer & Bare, 2013).

1.5 Pemeriksaan Fisik Pengecapan


a. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Pengecapan
Siapkan beberapa larutan yang mewakili empat rasa utama (manis, asin,
asam, dan pahit). Larutan tersebut dapat mengandung: gula, garam meja,
cuka, kina. Minta pasien untuk menjulurkan lidahnya dan pegang ujung
lidah dengan menggunakan kasa steril. Teteskan larutan yang telah
disiapkan tadi pada tepi lateral dua pertiga anterior lidah. Minta pasien
untuk mengidentifikasi rasa yang di teteskan. Berikan pasien berkumur
sebentar, kemudian lanjutkan dengan larutan berikutnya (Pot05).
2. Pemeriksaan Kultur Bakteri
Pemeriksaan kultur bakteri tidak secara rutin dilakukan pada lesi-lesi
rongga mulut karena masalah kontaminasi silang. Kultur virus
dilakukan dengan frekuensi yang lebih, terutama pada pasien
imunosupresi dengan dugaan lesi oral yang disebabkan oleh virus. Tes
tzanck digunakan untuk melihat adanya akantolisis pada penyakit virus
(misalnya herpes labialis) dan penyakit mukokutan autoimun (pemhigus
vulgaris) biasanya digunakan
Kedua tes hanya memerlukan lesi yang kadang susah didapatkan pada
kasus, antigen virus spesifik dapat juga dideteksi pada spesimen biopsi
menggunakan teknik imunohistokimia yang bervariasi. Infeksi jamur juga

6
merupakan penemuan umum pada rongga mulut. Potasium hidroksida
sering digunakan untuk menegakkan diagnosis, kultur jamur mempunyai
nilai yang rendah pada kebanyakan kasus karena karakteristik jamur yang
tumbuh lama (Potter & Perry, 2005)

7
BAB II
KASUS DAN PEMBAHASAN

2.1 Kasus
Os mengeluh keluar cairan pada telinga kiri sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Cairan tersebut berwarna putih kekuningan dan berbau. Keluhan ini
baru pertama kali dirasakan. Os juga mengeluh adanya nyeri telinga bagian dalam
dan adanya penurunan fungsi pendengaran. Keluhan berupa telinga berdenging,
berdengung ataupun rasa penuh di telinga disangkal. Riwayat panas badan disertai
batuk pilek dirasakan sejak 1 minggu sebelum keluar cairan dari telinga. Nyeri
telinga dan panas badan dirasakan berkurang setelah keluar cairan dari telinga.
Tidak ada keluhan pada telinga kanan Os. Keluhan sakit tenggorokan, nyeri
menelan, suara sengau, benjolan di leher disangkal. Os tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya. Os sering menderita batuk & pilek. Riwayat trauma, keluar darah dari
hidung, suka mengorek telinga, dan sering berenang disangkal. Os mengaku tidak
ada keluarga yang pernah sakit seperti ini (Elmira, 2011)

2.2 Pembahasan
A. Identitas Pasien
Nama : An.R
Umur : 5 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Kiangroke 04/04 Banjaran Kab.Bandung
Tanggal datang : 24 Oktober 2011
No.RM : 316708

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluar cairan dari telinga kirinya sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit

8
2. Cairan berwarna putih kekuningan dan berbau
3. Keluhan baru pertama kali dirasakan
4. Nyeri telinga bagian dalam dan adanya penurunan fungsi pendengaran
5. Panas badan disertai batuk pilek dirasakan sejak 1 minggu sebelum
keluar cairan dari telinga
6. Nyeri telinga dan panas badan dirasakan berkurang setelah keluar cairan
dari telinga
7. Pasien sering mengalami batuk pilek

C. Etiologi
Penyebab yang mungkin sebagai pencetus otitis media pada pasien di atas
ialah rhinitis yang sudah lama dialami. Pasien mengalami batuk pilek sudah
lama. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan chonka nasalis
inferior & media mengalami edema & hiperemis yang disertai adanya cairan
mukus. Kemungkinan pasien mengalami rhinitis kronis. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penyebab dari otitis medianya ialah komplikasi dari
rhinitis kronis

D. Pemeriksaan Fisik
1. Aurikula
Inspeksi dan palpasi : kanan tampak hiperemi dan sakit bila digerakkan
dan belakang telinga bengkak, terdapat nyeri tekan , dan liang telinga
tampak penuh dengan cairan mukopurulen yang berbau tidak enak,
dinding kanal tampak mengalami hiperemi.
2. Saluran Telinga Eksternal dan Membrane Timpani
Membrana timpani mengalami perforasi total karena dengan sondasi
pada kavum timpani penuh dengan granuloma. Sedangkan telinga kiri
tidak tampak adanya kelainan. Membran tympani tidak tembus cahaya.
3. Respons klien terhadap bunyi suara normal
Bunyi suara normal tidak terlalu terdengar.
4. Uji detik jam

9
Pasien tidak mendengar suara detik jam.
Pasien Tidak dapat mendengar suara rendah.
5. Uji garpu tala
Pada Pemeriksaan Weber Positif lateralisasi kanan , Rinne negatif.

E. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis otitis media, perlu dilakukan pemeriksaan
otoskopi. Ditemukan adanya adanya pengeluaran cairan berwarna putih
pada canalis auditorius eksterna disertai perforasi sentral pada membran
timpani telinga kiri dan reflex cahaya (cone of light) telinga kiri negatif.
Kemungkinan stadium otitis medianya ialah stadium perforasi.

F. Penanganan
Pada kasus diatas penatalaksanaan adalah: Pembersihan liang telinga
dengan suction , Pemberian obat cuci telinga H2O2, Pemberian obat oral:
Clindamycin (Antibiotik), Metil prednisolon (Kotikosteroid),
Pseudoefedrin HCl. Sesuai dengan literatur Pada stadium perforasi,
diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang
adekuat.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari kasus diatas disimpulkan bahwa pasien mengalami Otitis media akut yaitu
infeksi akut telinga tengah stadium perforasi yang disebakan oleh rhinitis yang
sudah lama dialami. Pasien mengalami batuk pilek sudah lama. Dengan manifestasi
keluar cairan pada telinga kiri sejak 2 minggu adanya nyeri telinga bagian dalam
dan adanya penurunan fungsi pendengaran.
Data pemeriksaan fisik juga mendukung yaitu di bagian aurikula terdapat cairan
yang berbau tidak sedap, Membrana timpani mengalami perforasi total karena
dengan sondasi pada kavum timpani penuh dengan granuloma. Sedangkan telinga
kiri tidak tampak adanya kelainan. Membran tympani tidak tembus cahaya.
Dari manifestasi di atas penanganan yang tepat adalah Pembersihan liang
telinga dengan suction , Pemberian obat cuci telinga H2O2, Pemberian obat oral:
Clindamycin (Antibiotik), Metil prednisolon (Kotikosteroid), Pseudoefedrin HCl.
Sesuai dengan literatur Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2
3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat.

3.2 Saran
1. Perawat seharusnya lebih mengoptimalkan asuhan keperawatan pada
pasien otitis media akut
2. Masyarakat supaya lebih mengoptimalisasi kebersihan diri dan menjaga
kesehatan supaya bisa menghindari penyakit Otitis media akut

11
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, & Suddarth's. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Elmira, M. (2011). Laporan Kasus Otitis Media Akut. Soreang.
Kozier, B., & Erb, G. (2009). BUKU AJAR PRAKTIK KEPERAWATAN KLINIS.
Jakarta: EGC.
Lynch, D. (2006). Pemeriksaan Rongga Mulut. Millwauke: Marquette University.
Muttaqin, A. (2010). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (8 ed., Vol. 3). Jakarta: EGC.
SNYDER, S. J., KOZIER, B., & ERB, G. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan
Klinis edisi 5. Jakarta: EGC.

12
13

Potrebbero piacerti anche