Sei sulla pagina 1di 9

More Next Blog samsungadva@gmail.

com Dashboard Sign Out

geohistori
Geography, History, Social, Education and Local Tradition

Senin, 18 April 2011 Laman


Beranda
BRAGA SEBAGAI PUSAT
PERDAGANGAN BANDUNG TEMPO KBBI Online
DULU
Kata yang dicari:
Iwan Hermawan

(Diterbitkan dalam buku "Perdagangan dan Pertukaran : Masa Prasejarah - Kolonial" Penerbit : Cari definisi
Alqaprint - Jatinangor, 2010).

KamusBahasaIndonesia.org

KBBI
(Persimpangan Jalan Braga - Naripan, 2010)

Abstract
Amazon SearchBox
De groote postweg and the railway has made Bandung in strategic positions in the
Netherland East Indies. The growth of Population and Economic were moving up from
time to time, including the number of population of European descent.

The increasing number of people of European descent had encourage governments of


Gemeente Bandung to make the Braga road as a special shopping area for the
residents of European descent in other to they were not mix with the indigenous
population. For this reason, the construction of shops on the Braga street arranged to
resemble a shopping area in the Netherlands. Braga's face changed from street carts
had being a face of Bandung.

Kata Kunci :
Pengikut
Bragaweg, Karrenweg, Pusat Komersial, Bandung.
Followers (4)
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Follow
Perkembangan perekonomian Bandung telah dimulai sejak awal abad ke-18, jauh
sebelum Gubernur Jenderal H. W. Daendels (1808-1811) memimpin Pemerintahan
Kolonial di Hindia Belanda dan membangun Jalan Raya Pos yang membentang Arsip Blog
sepanjang Pesisir Utara Pulau Jawa dari Anyer hingga Panarukan. Dimulai pada
2012 (1)
tahun 1712, Abraham van Riebeek mendarat di Pelabuhanratu (Wijnkoopsbaai)
dengan membawa benih tanaman Kopi untuk dibudidayakan. Selain itu, pada tahun 2011 (2)
1713 van Riebeek juga mendaki Gunung Papandayan dan Gunung Tangkubanparahu April (2)
guna mencari belerang (Sulphur) yang merupakan bahan baku bubuk mesiu, usaha
yang ditekuninya disamping perkebunan kopi. Baru pada tahun 1742 tiga orang BRAGA SEBAGAI PUSAT
bangsa kulit putih secara resmi datang dan menetap di Bandung setelah sebelumnya PERDAGANGAN BANDUNG
TEMPO DULU...
pada tahun 1741 Belanda secara resmi menugaskan Kopral Arie Top sebagai
pengurus keamanan di Tatar Ukur. Ketiga orang tersebut, adalah kakak beradik Taman Ganeca, Taman
Ronde dan Jan Geysbergen serta seorang tentara buangan dari Batavia. Dalam Monumen di kota Bandung
waktu singkat mereka menjadi orang sukses di tanah pembuangan, karena mereka
berhasil membuka hutan dan berkebun serta mengelola penggergajian kayu (Kunto, 2010 (11)
1984:9-11). Keberhasilan tersebut telah mendorong orang-orang untuk datang dan
melakukan usaha di Bandung.
Mengenai Saya
Pembangunan Jalan Raya Pos pada awalnya ditujukan untuk kepentingan militer, Socius
pada perkembangan berikutnya semakin memperkuat posisi perekonomian kota-kota Bandung, Jawa Barat,
yang dilaluinya, termasuk Bandung. Dampak positif dirasakan Bandung dari Indonesia
keberadaan jalan Raya Pos tersebut. Secara geografis, posisi Bandung semakin
IWAN HERMAWAN,
strategis di mata pemerintah kolonial Belanda pasca diresmikannya Jalan Raya Pos. Doktor Pendidikan
Posisi tersebut semakin kuat menyusul dibukanya jalur kereta api BataviaBandung bidang Pendidikan IPS lulusan
melalui BogorSukabumi-Cianjur dan jalur kereta api BataviaBandung melalui Universitas Pendidikan Indonesia
Purwakarta yang dibuka kemudian. (UPI). Dilahirkan di Bandung
merupakan anak ke dua dari lima
Pembukaan jalur transportasi BandungBatavia semakin memudahkan hubungan bersaudara. Bekerja di Balai Arkeologi
kedua kota dan kondisi ini mendorong semakin cepatnya pergerakan roda Bandung dan ngajar di UIN Ciputat
perekonomian di Bandung. Sampai pertengahan abad ke-18, perjalanan dari Batavia Lihat profil lengkapku
ke pedalaman Priangan dilakukan dengan menggunakan rakit atau perahu melewati
Sungai Citarum atau Cimanuk. Menurut catatan perjalanan yang ditemukan E.C.G.
Molsbergen (1935), baru pada tahun 1786 jalan setapak yang dapat dilewati kuda
mulai menghubungkan BataviaBogorCianjurBandung. Jalur tersebut memiliki arti
penting bagi kepentingan perekonomian kompeni Belanda, sebab pada tahun 1789
Pieter Engelhard telah membuka perkebunan kopi di lereng selatan Gunung
Tangkubanparahu. Hasil tanaman kopi tersebut memberi panen yang sangat
memuaskan pada tahun 1807 (Kunto, 1984:11).

Pesatnya pembangunan Bandung telah mendorong perubahan dalam pengelolaan


wilayah. Pada tahun 1864 selain sebagai kabupaten, Bandung secara resmi menjadi
Ibukota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur. Peningkatan status
pemerintahan Bandung kembali terjadi yaitu menjadi Kotapraja (Gemeente) pada
tanggal 1 April 1906 dan terus meningkat hingga menjadi Stadsgemeente pada
tanggal 1 Oktober 1926. Dengan status baru tersebut, Bandung diberi wewenang
mengelola dan mengurus pemerintahannya sendiri (Kunto, 1986:122; Hardjasaputra,
2000:128).

Keberadaan Jalan Braga tidak terlepas dari keberhasilan pengembangan tanaman


kopi di Dataran Tinggi Bandung pada masa tanam paksa (1830-1870). Ruas jalan
yang panjangnya sekitar 700 meter ini merupakan akses penghubung antara Jalan
Raya Pos dengan Gudang Kopi milik Andries de Wilde yang kemudian ditingkatkan
fungsinya menjadi tempat pelelangan kopi (coffe per house). Setiap transaksi yang
berlangsung di rumah pelelangan, barangnya akan langsung dikirim melalui Kantor
Pos yang letaknya di tepi jalan raya Pos, tidak jauh dari Tempat Pelelanagn Kopi.
Karena ruas jalan ini hanya dapat dilalui oleh pedati, maka jalan ini terkenal dengan
nama Jalan Pedati atau Karrenweg (Sunarwiboro, 2010).

Semenjak akhir abad ke-19, Kawasan Karrenweg berkembang menjadi kawasan


komersial paling bergengsi di Bandung. Hal ini tidak terlepas dari aktifitas para
pengusaha perkebunan (preangerplanter) yang datang dari berbagai perkebunan di
sekitar Bandung. Pada akhir pekan para Preangerplanter datang ke Bandung untuk
berbelanja kebutuhan sehari-hari dan mencari hiburan (Kunto, 1984; Suganda, 2008;
Harastoeti, 2010; Sunarwibowo, 2010). Kondisi ini mendorong tumbuh suburnya
pertokoan, sarana hiburan, dan penginapan di sekitar alun-alun, termasuk di ruas
Karrenweg. Karena dianggap sudah tidak tepat lagi, lambat laun nama Karrenweg
menghilang dan nama Jalan Braga (Bragaweg) pun muncul sebagai penunjuk
Karrenweg sesuai dengan nama Tonil Braga yang didirikan oleh Pieter Sijthoff pada
tanggal 18 Juni 1882 (Kunto, 1984:295).

Sejak dicabutnya aturan pembatasan terhadap para pendatang yang akan berkunjung
ke Bandung pada tahun 1852, suasana Bandung menjadi semakin ramai dan
pergerakan roda perekonomian pun semakin cepat berputar. Kondisi ini jelas menjadi
salah satu faktor penarik bagi kaum migran untuk datang dan mengadu nasib. Jumlah
penduduk berkebangsaan Eropa di Bandung yang terus meningkat serta terus
naiknya angka kedatangan wisatawan berkebangsaan Eropa mendorong Pemerintah
Kotapraja (gemeente) Bandung dibawah pimpinan Walikota (Burgemeester) B. Coops
(1917-1928) untuk membangun kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda atau De
meest Europeesche Winkelstraat van Indie. Tujuannya, adalah menyediakan fasilitas
belanja representatif khusus bagi warga Bandung keturunan Eropa yang tidak bersatu
dengan penduduk pribumi serta sebagai kawasan wisata belanja yang diharapkan
mampu menarik wisatawan datang ke Bandung (Kunto, 1984; Kunto, 1986; Suganda,
2008).

Pemerintah Gemeente Bandung memilih ruas Jalan Braga (Bragaweg) sebagai


Kawasan Komersial. Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah Gemeente
Bandung mengeluarkan aturan pembangunan di kawasan Braga yang merupakan
bagian dari rencana penataan kawasan Cikapundung atau Tjikapoendoengplan.

Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah
bagaimanakah perkembangan kawasan Braga, dari Karrenweg (Jalan Pedati) hingga
menjadi ikon perdagangan kota Bandung tempo dulu serta mengapa Kawasan Braga
yang dipilih pemerintah Kotapraja Bandung sebagai kawasan belanja bergengsi di
Hindia Belanda (De meest Europeesche Winkelstraat van Indie), bukan kawasan
lainnya di Bandung.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada tulisan ini diuraikan perjalanan


Kawasan Braga sebagai ikon perdagangan kota Bandung tempo dulu. Selain itu,
diuraikan pula hasil analisis keruangan terhadap kawasan Braga sebagai kawasan
strategis untuk mengetahui alasan pemerintah kotapraja Bandung menetapkan
kawasan tersebut sebagai kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda (De meest
Europeesche Winkelstraat van Indie).

KARRENWEG KE BRAGAWEG

Sampai pada tahun 1920, kota Bandung masih sunyi sepi sehingga belum pantas
disebut Paris Van Java. Kehidupan di kota ini belum berdenyut 24 jam, hanya ramai
di pagi hingga siang hari, sedikit lewat Ashar orang sudah bergegas pulang ke rumah
(Kunto, 1996:21). Demikian pula halnya dengan jalan Braga yang menghubungkan
Gudang Kopi milik Andries de Wilde (Gedung Papak) dengan Jalan Raya Pos masih
sepi, karena rumah dan bangunan belum banyak berdiri. Di kiri kanan jalan, pohon-
pohon besar tegak berdiri. Kondisi jalannya masih berupa jalan tanah yang berlumpur
di musim penghujan dan berdebu di musim kemarau. Kendaraan yang selalu melewati
jalan ini secara rutin adalah pedati atau gerobak penarik hasil perkebunan yang ditarik
oleh kerbau. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa jalan ini dinamakan
Karrenweg atau Jalan Pedati. Pada malam hari, suasananya menyeramkan dan tidak
ada seorang pun yang berani melewatinya karena takut menjadi korban perampokan
atau pembegalan. Karena dianggap menyeramkan tersebut, Karrenweg juga dikenal
dengan sebutan Jalan Culik. Namun, seiring dengan perkembangan kota dan
meningkatnya peran serta fungsi Karrenweg dalam perekonomian masyarakat
Bandung, sebutan Jalan Culik pun lambat laun ikut menghilang (Kunto, 1984;
Suganda, 2008).

Sejak dibangunnya Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels, ujung selatan Karrenweg
merupakan titik pertemuannya dengan Jalan Raya Pos. Hal ini menjadikan fungsi dan
peran Karrenweg semakin meningkat, karena menjadi penghubung Jalan Raya Pos
dengan Gedung Papak. Kondisi ini mendorong perekonomian di kawasan tersebut
mulai berdenyut, toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan warga Bandung mulai
didirikan dan terus meningkat ketika Residen Priangan, yaitu Residen Van der Moore
memindahkan pusat pemerintahan Keresidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung
pada tahun 1864 bersamaan dengan meletusnya gunung Gede.

Nama Karrenweg lama kelamaan dianggap tidak cocok sehingga diganti menjadi
Bragaweg. Nama ini menurut catatan Haryoto Kunto (1984, 1986) diambil dari nama
perkumpulan Tonil Braga (Toneelvereeniging Braga) yang didirikan oleh Asisten
Residen Pieter Sijthoff pada tanggal 18 Juni 1882. Tonil Braga bermarkas dan
melakukan pementasan rutinnya di Societet Concordia (sekarang Gedung Merdeka)
dan sejak itu Karrenweg lebih dikenal dengan sebutan Bragaweg. Namun Her
Suganda (2008) mencatat bahwa nama Bragaweg berasal dari kata Bragaderm yang
artinya tempat melakukan pawai atau iring-iringan. Hal ini dikarenakan Bragaweg
merupakan tempat orang Belanda dan Eropa lainnya berkumpul menikmati hiburan
sambil memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Bagi orang Sunda, nama Braga
berasal dari kata Ngabaraga artinya berjalan-jalan atau pelesir karena sepanjang jalan
Braga merupakan tempatnya orang-orang Belanda dan Eropa lainnya berjalan-jalan
sambil berbelanja barang-barang mewah yang dipajang di etalase toko berderet
sepanjang jalan dari selatan ke utara.

Sebagai tempat belanja dan pelesir, kawasan Braga sudah dikenal sejak akhir abad
ke 19. Para preangerplanter datang ke Bandung untuk berbelanja segala kebutuhan
sehari-hari yang tidak ada di pedalaman sekaligus bersantai dan mencari hiburan
menghabiskan akhir pekan.

Salah satu toko yang paling terkenal di kalangan preangerplanter, adalah toko de
Vries. Toko ini didirikan oleh tuan M. Klass de Vries pada akhir abad ke 19 di tepi
Jalan Raya Pos sebelah utara Alun-alun, kemudian pindah ke sebelah barat Hotel
Homann tepat di mulut jalan Braga sebelah selatan. Hingga dekade pertama abad ke
20, Toko De Vries adalah yang terbesar dan terlengkap di antara toko-toko yang ada.
Bangunan toko mengalami perubahan pada tahun 1909 yang dilakukan secara
bertahap oleh Arsitek Edward Cuypers. Sejak didirikan Toko De Vries menjual aneka
macam kebutuhan sehari-hari yang menjadi kebutuhan warga Bandung. Pelanggan
utama toko ini adalah para pengusaha perkebunan di sekitar Bandung
(Preangerplanter) yang selalu berbelanja di setiap akhir pekan. Selain itu, sampai
tahun 1902, toko ini adalah satu-satunya toko yang menjual obat-obatan dengan
pelanggan utama dokter Schattenker, satu-satunya dokter yang praktek di Bandung
pada masa itu (Hutagalung dan Nugraha, 2008; Kunto, 1986).

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk keturunan Belanda dan


Eropa lainnya di kota Bandung mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk
menyediakan fasilitas belanja dan hiburan yang dikhususkan bagi mereka dan tidak
bercampur dengan kaum pribumi. Fasilitas tersebut disediakan agar para keturunan
Belanda dan Eropa tersebut betah tinggal di Bandung karena seolah berada di
negerinya sendiri. Sekat antara pribumi dengan warga keturunan Belanda dan Eropa
sebenarnya sudah tampak dalam pembangunan kota Bandung di awal
pembentukannya sebagai ibukota kabupaten, kemudian meningkat menjadi Ibukota
Karesidenan dan kemudian menjadi Gementee. Pembangunan untuk pemukiman
warga keturunan Belanda dan Eropa ditempatkan bagian utara Bandung dengan
batas Jalan Raya Pos, sedangkan kaum pribumi ditempatkan di wilayah bagian
selatan kota Bandung.

Kawasan yang dipilih menjadi kawasan komersial khusus bagi warga kota keturunan
Eropa, adalah kawasan Bragaweg. Sebagai bukti bahwa fasilitas hiburan dan belanja
di kawasan Braga khusus bagi orang-orang keturunan Eropa adalah papan larangan
di pintu masuk Bioskop Majestic yang berbunyi verboden voor honden en inlander
(anjing dan orang pribumi dilarang masuk). Hal ini menunjukkan politik Apharteid
dalam bentuk lain juga pernah terjadi di kota Bandung.

Gagasan membangun Braga menjadi kawasan De meest Europeesche Winkelstraat


van Indie atau kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda berasal dari ambisi
Burgemeester (Walikota) Bandung, yaitu B. Coops (1917-1928). Gagasan tersebut
direalisasikan oleh dua teknisi di Gemeente Bandung, yaitu Ir. J.P. Thysse dan Ir E.H.
de Roo. Hasilnya adalah penerapan aturan berkenaan dengan pembangunan
bangunan toko di Bragaweg. Aturan tersebut menyebutkan bahwa setiap bangunan
toko yang didirikan di kawasan Bragaweg harus berarsitektur gaya barat (Eropa)
dengan sempadan jalan Nol.

Untuk membangun lingkungan yang serasi sebagai pusat kota, perancang Ir. H.
Maclaine Pont pada tahun 1928 membuat rencana perbaikan kawasan di sekitar
Sungai Cikapundung atau yang dikenal dengan nama Tjikapoendoengplan. Kawasan
tersebut meliputi daerah yang dikelilingi oleh Groote postweg, Bragaweg, dan
Banceuyweg. Kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan pertokoan dan
perkantoran. Namun dengan berbagai alasan rencana tersebut terhenti dan baru
dilanjutkan oleh Ir. Thomas Kartsen pada tahun 1938 yang pengerjaannya dapat
diselesaikan dalam waktu satu tahun. Selain itu, dibangun pula jalan yang
menghubungkan Oude Hospitalweg dengan Bragaweg, terus menuju arah barat
sampai berakhir di pertigaan ujung Banceuyweg (sekarang jalan Suniaraja). Jalan-
jalan tersebut merupakan penggalan dari rencana Gemeente Bandung membangun
Tjikapoendoeng-boulevard yang bertujuan untuk membebaskan Bragaweg dari lalu
lintas kendaraan. Tjikapoendoeng-boulevard letaknya sejajar Sungai Cikapundung
menghubungkan Groote postweg dengan Landraadweg. Jalan ini merupakan
penghubung bagian selatan dengan bagian utara Kota Bandung tanpa harus melewati
jalan Braga atau Jalan Banceuy. Sayang, rencana prestisius tersebut tidak sampai
terwujud, pemerintah kolonial Belanda baru menyelesaikan empat jembatan beton
bertulang yang melintasi Sungai Cikapundung serta dua jalur jalan di bawah Viaduct
kereta api dan dua ruas jalan yang menghubungkan Grootepostweg dengan ABC
Straat. Setelah Indonesia merdeka, proyek tersebut tidak pernah mengemuka kembali
padahal jika terwujud maka dapat mengatasi permasalahan lalu lintas di sekitar
kawasan Braga.

SARANA PEREKONOMIAN DAN PERDAGANGAN DI KAWASAN BRAGA

Semenjak ditetapkan sebagai kawasan De meest Europeesche Winkelstraat van Indie


atau kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda, Bragaweg mulai dipenuhi
bangunan toko megah dan indah karya arsitek terkenal masa itu. Sesuai dengan
kebijakan pemerintah, semua bangunan toko dibangun dengan arsitektur gaya Eropa.
Sepanjang Jalan Braga berdiri gedung-gedung karya perancang terkenal, seperti
Schoemaker bersaudara (RLA Schoemaker dan CP Wolf Schoemaker), AF Aalbers,
Ed Cuypers dan sebagainya. Berdasarkan peruntukkannya, bangunan yang dibangun
di Bragaweg tidak semuanya diperuntukkan sebagai toko atau ruang pamer, karena di
antaranya diperuntukkan untuk bank dan kantor perusahaan dagang milik pemerintah
atau swasta.

Hasil rancangan Schoemaker bersaudara di kawasan Braga, adalah Bioskop Majestic,


Gedung Landmark, Gedung Center Point, Gedung Perusahaan Gas Negara dan
Gedung Perusahaan Minyak Insulinde. Bangunan rancangan Ed Cuypers adalah
bangunan Javasche Bank (sekarang gedung Bank Indonesia), bangunan baru toko de
Vries. Bangunan hasil rancangan AF Aalbers, adalah gedung LKBN Antara dan
gedung Bank De Ferste Neanderlandsch-Indie Spaarkas en Hypotheekbank (DENIS),
kini gedung Bank Jabar Banten.

Masing-masing arsitek menampilkan ciri khas masing-masing pada gedung


rancangannya. AF Aalbers menampilkan gaya arsitektur bangunan yang khas, yaitu
dibangun dengan pola garis-garis dan sudut yang melingkar serta sebagai penanda
atau penunjuk bangunan, AF. Aalbers juga menambahkan menara pada bangunan
rancangannya. Gedung Bank DENIS atau sekarang gedung Bank Jabar Banten, sisi
timur Societet Concordia atau sekarang Gedung Museum KAA, Gedung LKBN Antara,
dan Hotel Savoy Homann merupakan gedung-gedung yang dirancang oleh arsitek AF.
Aalbers. Gedung-gedung tersebut memiliki kemiripan bentuk, yaitu melingkar
mengikuti sudut jalan di depannya.

Schoemaker bersaudara yang banyak merancang bangunan di Kota Bandung,


termasuk bangunan toko dan kantor di Jalan Braga. Bangunan yang dirancangnya
mempunyai kekhasan karena menggabungkan gaya arsitektur Eropa dengan corak
bangunan tradisional Nusantara atau Indo-Europeeschen architectuur stij. Pada
bangunan Bioskop Majestic, CP. Wolff Schoemaker memasang ornamen hias berupa
kepala Batara Kala dalam ukuran besar dan dipasang di atas pintu masuk utama
gedung Bioskop. Tidak jauh berbeda dengan Bioskop Majestic, bangunan toko buku
dan percetakan Van Dorp & Co atau sekarang dikenal sebagai gedung Landmark
merupakan gedung yang dilengkapi dengan ornamen kepala Batara Kala sebagai
hiasan pada interior dan eksteriornya.

Bioskop Majestic, merupakan gedung bisokop yang terletak berdampingan dengan


Museum Konferensi Asia Afrika (KAA). Bangunan ini dibangun pada tahun 1924 oleh
Biro Arsitek Soenda berdasarkan rancangan Wolff Schoemaker. Awalnya bangunan
ini bernama Concordia Bioscoop, baru pada tahun 1937 berganti nama menjadi
Majestic Theatre. Pada zaman Belanda, Bioskop ini sangat terkenal dan merupakan
Bioskop paling elit dan paling eksklusif di Kota Bandung karena hanya orang-orang
keturunan Eropa yang boleh masuk. Hal ini terlihat dari tulisan verboden voor honden
en inlander (dilarang masuk bagi anjing dan orang pribumi) di pintu masuk ruang
pertunjukan. Bagian luar gedung Majestic berbeda dengan gedung lain di sekitarnya,
bagian atasnya tampak mirip kaleng biskuit sehingga orang-orang menyebutnya
blikken trommel. Keunikan lainnya dari gedung Bioskop Majestic, adalah terdapatnya
simbol lokal pada bangunan tersebut, yaitu ornamen penghias gedung berbentuk
kepala Batara Kala dengan ukuran cukup besar yang dipasang di atas pintu masuk
utama. Pada masyarakat Indonesia, Batara kala dipercaya dapat mengusir pengaruh
buruk yang mungkin datang atau sebagai tolak bala.

Bangunan lainnya di Jalan Braga hasil rancangan Schoemaker bersaudara adalah


Gedung Perusahaan Gas Negara atau Nederlandsch Indische Gas Maatschappij
(NIGM) dan Gedung Perusahaan Minyak Insulinde. Gedung Gas Negara hingga tahun
1920-an sempat dipergunakan sebagai Societeit Harmonie, sedang Perusahaan Gas
Negara menempati gedung ini pada awal tahun 1930. Gedung Perusahaan minyak
NV. Insulinde, adalah gedung yang letaknya persis di seberang barat Gedung
Javasche Bank, tepat di pinggir utara rel kereta ppi. Pada awalnya gedung ini
merupakan gedung Perusahaan Minyak NV. Insulinde, namun pada tahun 1927
gedung ini dibeli oleh Gemeente Bandung dan pada tahun 1928 diperluas dengan
membuat bangunan tambahan dengan bentuk yang sama persis dengan bangunan
lama. Setelah selesai, pada tahun 1930-an gedung ini dipergunakan sebagai kantor
Karesidenan Priangan yang sebelumnya berkantor di Grootepostweg samping timur
Hotel Homann.

Arsitek lainnya, yaitu Ed Cuypers merancang gedung Javasche Bank yang sekarang
dipergunakan sebagai gedung Bank Indonesia. Posisinya berada di ujung utara Jalan
Braga dan berseberangan dengan Gedung NV. Insulinde. Saat pertama kali dibangun
pada tahun 1909, gedung Javasche Bank masih berupa bangunan sederhana dan
menghadap ke arah utara, yaitu ke Kerklaan (sekarang jalan Perintis Kemerdekaan).
Ketika Ed Cuypers menyelesaikan bangunan ini pada tahun 1918, Bangunan
Javasche Bank jauh lebih besar dan lebih megah dibanding sebelumnya. Selain itu,
gedung ini menghadap ke arah Jalan Braga. Arsitektur Gedung Javasche Bank
merupakan arsitektur yang unik, karena merupakan arsitektur perpaduan gaya Eropa
dengan gaya tradisional Indonesia. Ukiran yang merupakan ornamen tradisional
dipadu-padankan dengan pilar penyangga yang besar dan kekar sehingga
menjadikan bangunan ini indah dan megah (Hutagalung dan Nugraha, 2008:144-146).

POSISI STRATEGIS BRAGAWEG SEBAGAI KAWASAN KOMERSIAL

Secara geografis, suatu tempat di muka bumi disebut strategis jika mudah dijangkau,
baik secara waktu tempuh maupun jarak untuk mencapai lokasi tersebut. Selain itu,
strategis tidaknya suatu kawasan juga dilihat dari daya dukung wilayah sekitar
terhadap kawasan tersebut dan sebaliknya pengaruhnya terhadap kawasan sekitar.
Bagi lokasi perdagangan, keterjangkauan wilayah akan menentukan tingkat
keberhasilan lokasi tersebut sebagai lokasi strategis secara ekonomi. Sebuah lokasi
perdagangan yang strategis, adalah mudah dijangkau oleh semua pelaku
perdagangan, yaitu pedagang dan pembeli.

Berdasarkan konsep lokasi strategis tersebut, penataan kawasan di sekitar Alun-alun


Bandung dan stasiun kereta api ditetapkan sebagai kawasan bisnis atau
perdagangan, termasuk di dalamnya kawasan Braga yang ditetapkan sebagai
kawasan De meest Europeesche Winkelstraat van Indie oleh pemerintah kotapraja
(Gemeente) Bandung. Bila melihat kondisi tersebut, maka penetapan kawasan Braga
sebagai kawasan perdagangan khusus bagi keturunan Eropa didasarkan atas
beberapa faktor pendukung, yaitu :

1. Kawasan Braga berada di pusat Kota Bandung, dimana kawasan tersebut


menghubungkan Jalan Raya Pos dengan wilayah Bandung bagian utara yang
merupakan kawasan permukiman warga keturunan Eropa. Sehingga mereka
dapat dengan mudah mencapainya.

2. Keberadaan kawasan Braga di tengah kota juga memudahkan para


preangerplanter (pengusaha perkebunan) yang tersebar di berbagai
perkebunan sekitar Bandung untuk mencapainya. Mereka biasanya datang ke
Kawasan Braga untuk berbelanja barang kebutuhan sehari-hari dan mencari
hiburan.
3. Jauh sebelum ditetapkannya Braga sebagai kawasan pelesir khusus, kawasan
ini sudah menjadi tempat berkumpulnya para para Preangerplanter (pengusaha
perkebunan). Mereka biasanya berkumpul di Societet Concordia (gedung
Merdeka, sekarang).
4. Kawasan Braga lokasinya tidak jauh dari stasiun kereta api dan Jalan Raya Pos
yang merupakan akses penting bagi lalu lintas barang dan jasa, serta para
pelancong yang datang dari luar kota.

Lokasi strategis Braga juga didukung oleh jaminan keamanan dan kenyamanan bari
pengunjungnya. Posisinya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten
Bandung di Selatan dan Kotapraja Bandung di Utara menjadikan kawasan ini
terlindungi dari segala gangguan keamanan yang mungkin muncul karena konsentrasi
pihak keamanan akan difokuskan untuk menjaga keamanan di sekitar dua kantor
pemerintahan Bandung.

Sepanjang Jalan Braga banyak terdapat toko-toko yang menyediakan semua barang-
barang kebutuhan masyarakat Eropa di Bandung, berupa sandang, pangan, dan
kebutuhan lainnya yang bersifat tersier seperti toko perhiasan, kamera, perlengkapan
kereta kuda, dan agen kendaraan bermotor. Toko-toko tersebut menjual hasil produk
sendiri, dan sebagai cabang atau perwakilan toko sejenis yang berpusat di Eropa. Hal
ini menunjukkan bahwa segaa kebutuhan warga kota dapat diperoleh di Braga.

Toko yang pertama didirikan di Kawasan Braga, adalah toko senjata api milik C.A.
Hellerman yang didirikan pada tahun 1894. Selain menjual senjata, toko ini juga
menjual bermacam-macam kereta kuda, sepeda dan sebagai bengkel perbaikan
senjata. Toko berikutnya, adalah toko milik NV. Handelmy-C.M. Luyks yang didirikan
pada tahun 1898 yang menjual kamera, alat kantor, gramophones, meja bilyar dan
terakhir menjadi Toko Provisien en Dranken (P en D) terbesar di Bandung. Agen mobil
dan pusat perawatannya yang terbesar di Bandung, yaitu Fuch & Rens didirikan
pada tahun 1919 di Kawasan Braga. Perusahaan ini merakit mobil merk Packard,
Chrysler, De Soto, Plymouth, Renault dan vracht-auto merek Fargo. Ruang pamer
mobil ini menjadi tujuan utama para Prangerplanter yang bermaksud mengganti mobil
lama dengan yang lebih baru (Kunto, 1984: 306-307).

Toko busana yang terkenal di jalan Braga adalah Toko Mode Au Bon Marche
Modemagazijn. Toko Au Bon Marche dibuka oleh A. Makkinga pada tahun 1913. Pada
masa kejayaannya, toko ini merupakan butik bagi busana-busana terbaru dari pusat
mode Paris. Toko busana lainnya yang terkenal, adalah NV. Onderling Belang yang
merupakan cabang ke dua dari toko sentra mode di Amsterdam, cabang pertama
dibuka di Surabaya. Toko ini berada persis di seberang Toko Mode Au Bon Marche
yang dibuka pada tahun 1910-an dan menjadi pesaing utama toko Au Bon Marche.
Berbeda dengan Au Bon Marche yang menawarkan busana terbaru asal Paris, NV.
Onderling Belang menawarkan mode busana asal Amsterdam dengan harga yang
relatif lebih murah dibanding dengan harga Au Bon Marche (Hutagalung dan Nugraha,
2008: 68-75). Setelah kemerdekaan, toko mode NV. Orderling Belang berganti nama
menjadi toko Sarinah dengan barang dagangan utamanya adalah busana dan kain
Batik. Dewasa ini, kondisi kedua bangunan bekas toko mode tersebut tidak terawat
dan rusak berat yang jika dibiarkan akan semakin merusak struktur bangunan.

PENUTUP

Ketika Daendels membangun Jalan Raya Pos, Bandung hanyalah sebuah kampung
kecil di tengah belantara tropik pulau Jawa dan Daendels memiliki harapan besar
terhadap kota ini, Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd ! (Usahakan,
bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun). Keinginan Daendels
tersebut mendorong para pengambil kebijakan di tatar Bandung masa itu untuk
melakukan pembangunan berbagai fasilitas pendukung perkotaan dan gedung-
gedung dengan berbagai gaya arsitektur berdiri megah menghiasi wajah Kota
Bandung.

Penentuan Braga sebagai kawasan belanja khusus bagi warga keturunan Eropa telah
merubah wajah Karrenweg dari sebuah jalan tanah yang becek di musim penghujan
menjadi kawasan belanja paling terkenal di Bandung tempo dulu, terutama akan
kualitas barang yang dijajakannya. Selain itu, gedung perkantoran serta ruang usaha
dengan berbagai gaya arsitektur barat berdiri megah menghiasi kiri kanan jalan dan
sebagian di antaranya masih bisa dinikmati hingga saat ini.

Keberadaan gedung-gedung tua di sepanjang Jalan Braga merupakan peninggalan


yang sangat bernilai bagi generasi berikut, karena gedung-gedung tersebut
merupakan bukti perjalanan sejarah bangsa. Banyak cerita suka dan duka perjalanan
bangsa ini yang tersimpan di balik megahnya gedung tua. Selain itu, keberadaan
gedung-gedung tua dengan berbagai gaya arsitektur yang menawan dan
memperlihatkan keindahan serta kemegahan dapat menjadi oase di tengah
seragamnya gaya arsitektur bangunan di perkotaan.

Kawasan Braga dengan sebagian besar bangunannya masih merupakan bangunan


lama dan kebesaran nama yang pernah disandangnya merupakan potensi yang dapat
mendatangkan wisatawan, terutama wisatawan dengan minat khusus yaitu wisata
nostalgia atau wisata sejarah, wisata belanja, wisata kuliner dan wisata pendidikan.
Banyak wisatawan yang datang ke Braga, baik wisatawan lokal maupun wisatawan
asing tujuannya ingin menikmati keindahan dan kemegahan bangunan di kawasan
yang dahulunya pernah menyandang nama besar sebagai kawasan belanja eksklusif
khusus bagi warga kota keturunan Eropa. Selain itu, tidak sedikit mahasiswa dan
pelajar yang datang ke Kawasan Braga untuk mempelajari arsitektur gedung tua di
sepanjang jalan tersebut. Kondisi ini merupakan potensi yang dimiliki Kawasan Braga
dan tidak dimiliki kawasan lainnya di Bandung, sehingga perlu pemeliharaan
bangunan-bangunan tua agar tidak hancur dimakan usia serta perlunya penggalian
berbagai ide kreatif yang sesuai dengan kondisi Braga.

Sebagai akses ke utara Bandung dari kawasan pusat kota menjadikan ruas jalan
Braga sebagai kawasan yang padat. Penataan tata lalu lintas di kawasan ini perlu
mendapat perhatian sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan Pedestarian yang
memberi kenyamanan kepada pejalan kaki dalam menikmati keindahan dan
kemegahan gedung-gedung tua sepanjang Braga yang berdiri kokoh menjadi saksi
bisu perjalanan sejarah Bandung. Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk datang ke Braga. Jika harapan tersebut
dapat terwujud maka julukan sebagai Jalan Intelek (Jalan Kelas Utama) akan kembali
melekat pada Jalan Braga serta kembali menjadi ikon bagi wisata belanja dan wisata
kota tua kebanggan Bandung.

Daftar Pustaka

Affandie, R.M.A., 1969. Bandung Baheula 1-2. Bandung : Guna Utama

Daldjoeni, N. 1988. Geografi Kota dan Desa. Bandung : Alumni.

Harastoeti DH. 2010. Braga dan Permasalahannya Makalah pada Seminar


Pelestarian Kawasan Kota Lama Braga. Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata. Bandung (20-04-2010)

Hardjasaputra, A.Sobana. 2000. Bandung dalam : Lubis, N.H., dkk. (2000) Sejarah
Kota-kota lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint.

Hutagalung, Ridwan dan Nugraha, T. 2008. Braga, Jantung Parijs van Java. Jakarta :
Ka Bandung.

Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandung Tempo Doeloe. Bandung : Granesia

Kunto, Haryotio 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung : Granesia

Kunto, Haryoto. 1996. Ramadhan di Priangan tempo doeleoe. Bandung : Granesia

Padmadinata, Tjetje. H. 2010. Identitas Bandung. Bandung : Rumah Baca Buku


Sunda

Rosidi, Ajip. ed. 2000. Ensiklopedi Sunda . Jakarta : Pustaka Jaya

Suganda, Her. 2008. Jendela Bandung, pengalaman bersama Kompas. Jakarta :


Kompas.

Sumaatmadja, Nursid. 1988. Studi Geografi, Suatu pendekatan dan Analisa


Keruangan.. Bandung : Alumni.

Sunarwibowo, Anton. 2010. Revitalisasi Kawasan Jalan Braga sebagai Kawasan


Strategis Kota Bandung. Makalah pada Seminar Pelestarian Kawasan Kota
Lama Braga. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Bandung (20-04-2010)

Diposting oleh Socius di 11.37


Label: Bandung, braga, perdagangan
1 komentar:
pusat judi bola 19 Februari 2013 14.51

ane baru tau ternyata braga pusatnya perdagangan

Balas

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: Balong Gede (Google) Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya

Link ke posting ini


Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Beranda Posting Lama

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Tema Tanda Air. Diberdayakan oleh Blogger.

Potrebbero piacerti anche