Sei sulla pagina 1di 104

ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PRODUKSI SUSU DI INDONESIA

RIA ASMARA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya saing dan
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi Susu di Indonesia adalah karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Ria Asmara
NRP. H151080181
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
RIA ASMARA. Analysis of Competitiveness and the Factors that affect Milk
Production in Indonesia. Under the supervision of SRI MULATSIH and ALLA
ASMARA.

The aims of this study are (1) to analyze the development of milk industry in
Indonesia, (2) to analyze the competitiveness of Indonesian milk, and (3) to
analyze the factors that affect milk production in Indonesia. Data was from the
Central Statistics Agency (BPS), the Directorate General of Animal Husbandry,
Joint Cooperative Milk Indonesia (GKSI), International Financial Statistics (IFS)
and Commodity Trade Statistics Database (Comtrade). This study used time
series yearly data 2002 to 2010 of volume of milk production, domestic milk
prices, corn prices and the number of cows. The method to analyze the
competitiveness of Indonesian milk is Porter's Diamond approaches. Porter's
Diamond analysis indicates a fundamental weakness of domestic milk
competitiveness lies in the condition factor, supporting and related industries,
government intervention, strategy structure and rivalry. Conversely, factors
thought to contribute greatly to the condition competitiveness is demand
conditions. The method to determine the factors that affect milk production in
Indonesia is the panel data regression. The result that milk production is
significantly affected by number of cows and not significantly affected by price of
domestic milk and price of corn.

Keywords: Competitiveness, Dairy Production


Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN
RIA ASMARA. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Susu di Indonesia. Dibawah bimbingan SRI MULATSIH and ALLA
ASMARA.

Subsektor peternakan merupakan salah satu sub sektor yang berkontribusi


besar terhadap sektor pertanian. Pada tahun 2009, Badan Pusat Statistik mencatat
bahwa subsektor peternakan menyumbang Rp 36.743.60 Milyar (12.39 persen)
dari jumlah total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian secara nasional.
Hal tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan
kebutuhan protein hewani, jumlah penduduk yang selalu bertambah dan
peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang mendorong
peningkatan kebutuhan produk ternak. Konsumsi susu di Indonesia masih
tergolong rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Konsumsi rata-rata
susu di Indonesia pada tahun 2009 hanya sekitar 10.47 liter per kapita per tahun,
sedangkan Philipina 20 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, Thailand
20-25 kg/kapita/tahun, dan Singapura 32 kg/kapita/tahun liter per kapita per
tahun, sehingga masih ada potensi permintaan susu di Indonesia akan tumbuh.
Meskipun konsumsi susu masih sangat rendah, namun produksi susu dalam
negeri belum mampu memenuhi konsumsi yang rendah ini, sehingga untuk
memenuhi konsumsi susu dalam negeri dilakukan dengan mengimpor susu dari
luar negeri lebih kurang sebesar 70 persen dari kebutuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis perkembangan industri
persusuan di Indonesia, (2) Menganalisis bagaimana daya saing produksi susu
Indonesia, (3) Menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi
susu di empat sentra utama produksi susu Indonesia (Jawa Timur, Jawa Tengah
Jawa Barat dan Yogyakarta). Penelitian ini menggunakan data primer dan
sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan analisis Porters Diamond untuk mengetahui daya saing susu
domestik. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
Produksi susu di Indonesia menggunakan panel data.
Analisis Porters Diamond menunjukkan kelemahan mendasar daya saing
susu domestik terletak pada kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis
dengan bentuk usaha perseorangan, rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga
sampai dengan empat ekor dan teknologi yang bersifat konvensional. Industri
pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi dan IPS (Industri Pengolahan
Susu) dimana ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining
position koperasi susu (KPS) sebagai representasi peternak sapi perah menjadi
lemah dalam menetapkan harga susu domestik. Intervensi pemerintah melalui
penghapusan kebijakan rasio impor memperburuk kondisi persusuan nasional.
Sedangkan untuk Kondisi strategi, struktur dan persaingan antara susu domestik
dan susu impor belum kondusif. Hal ini dikarenakan harga susu impor lebih
kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang lebih unggul
Sebaliknya, faktor yang diduga berkontribusi besar terhadap kondisi daya
saing adalah kondisi permintaan. Permintaan akan susu domestik sebagai
permintaan turunan atas produk susu olahan distimulasi oleh peningkatan
pendapatan perkapita masyarakat, peningkatan jumlah penduduk dan awareness
akan manfaat susu. Tingginya nilai impor susu Indonesia merupakan faktor
kesempatan untuk meningkatkan produksi susu Indonesia.
Hasil analisis menggunakan metode regresi data panel menunjukkan
bahwa variable jumlah sapi perah (COW) berpengaruh signifikan pada taraf
nyata () 1 persen. Untuk variable harga susu sapi domestik (PRICEDOM) dan
variable harga jagung (PCORN) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
produksi susu. Nilai Adjusted R square pada model sebesar 0.9935 yang artinya
variasi variabel jumlah produksi susu sapi (PROD) dijelaskan 99.35 persen oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pr
oduksi susu sapi domestik (PROD) di Indonesia, dan sebesar 0.65 persen
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

Kata Kunci: Daya saing, Produksi Susu


Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PRODUKSI SUSU DI INDONESIA

RIA ASMARA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ratna Winandi, M.S
Judul Tesis : Analisis Daya saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Susu di Indonesia.

Nama : Ria Asmara

NRP : H151080181

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Dr. Alla Asmara, S.Pt,M.Si


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 25 Juli 2012 Tanggal Lulus:


PRAKATA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji hanya untuk Allah SWT, pencipta dan pemelihara alam
semesta beserta isinya. Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun
tesis ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rosulullah SAW, yang
telah mengajarkan Islam sebagai jalan hidup sehingga membawa keselamatan
bagi manusia sejagad raya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
kepada: Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing
dan Bapak Dr. Alla Asmara S.Pt., M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP,
M.Si. selaku wakil program studi dan Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, M.S. selaku
dosen penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk
perbaikan tesis ini.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung
Nuryartono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi. Kepada para dosen
di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala didikan dan pengajarannya. Kepada
seluruh staf di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala bantuannya. Kepada
seluruh rekan-rekan di Program Studi Ilmu Ekonomi atas semangat dan
kebersamaannya.
Ucapan terimakasih yang tak terkira penulis sampaikan kepada kedua
orang tua, suami dan anak-anak serta seluruh keluarga atas doa dan
pengorbanannya yang telah memberikan kekuatan yang luar biasa kepada penulis.
Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat bermanfaat dan
memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, Agustus 2012

Ria Asmara
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung, pada tanggal 19 Oktober 1977, dari pasangan


Bapak Subroto dan Ibu Srilukito Wardani. Penulis merupakan putri pertama dari dua
bersaudara.
Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri-I Metro pada tahun
1996. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Unila (Universitas
Lampung) melalui jalur UMPTN pada Program Studi Ilmu Ekonomi Studi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi Unila. Penulis menyelesaikan kuliah sarjana pada
tahun 2001.
Tahun 2002 menikah dengan Darmayulis Putra, dan dikaruniai tiga putra:
Izzah Aisyah Yulis (2003), Muhammad Jundi Khilafah Yulis (2005), dan Najmah
Mujahidah Yulis (2007). Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB pada mayor Ilmu Ekonomi.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xxiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xx
DAFTAR GAMBAR............................................................................................. xxii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xxiv
1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 7
2.1. Usaha Ternak Sapi Perah............................................................................. 7
2.2. Produksi Susu .............................................................................................. 7
2.2.1. Teori Produksi ................................................................................. 8
2.2.2. Fungsi Produksi ............................................................................... 10
2.2.3. Fungsi Penawaran Susu Sapi ........................................................... 10
2.3. Struktur Pasar Susu Segar di Indonesia ..................................................... 12
2.4. Konsep Daya Saing .................................................................................... 13
2.5. Teori Keunggulan Kompetitif ..................................................................... 14
2.6. Panel Data .................................................................................................. 17
2.7. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 24
2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................................. 28
2.9. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 30
III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 31
3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................................... 31
3.2. Metode Analisis ......................................................................................... 31
3.2.1. Porters Diamond............................................................................. 32
3.2.2. Model Panel Data ............................................................................ 32
3.3. Uji Asumsi ................................................................................................. 33
3.3.1. Uji Homoskedastisitas ..................................................................... 33
3.3.2. Uji Autokorelasi .............................................................................. 33
3.4.3. Uji Multikolinearitas ....................................................................... 34

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL .................. 35


4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia ....................... 35
4.2. Produksi Susu Nasional ............................................................................. 39
4.3. Produksi Susu Sapi di Pulau Jawa ............................................................. 43
4.4. Perkembangan Konsumsi Susu di Indonesia ............................................. 45
4.5. Perkembangan Impor Susu di Indonesia .................................................... 46
4.6. Harga Susu ................................................................................................. 49
4.7. Industri Pengolahan Susu ........................................................................... 52
4.8.Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu di Indonesia ................. 54
4.9. Kebijakan Negara Maju Dibidang Persususan .......................................... 55

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 57


5.1. Analisi Daya saing Susu Domestik (Pendekatan Porters Diamond) ........ 57
5.1.1. Kondisi Faktor................................................................................. 57
5.1.1.1. Sumberdaya Alam ............................................................. 57
5.1.1.2. Sumberdaya Manusia ........................................................ 59
5.1.1.3. Sumberdaya Modal ........................................................... 60
5.1.2. Kondisi Permintaan ........................................................................ 60
5.1.3. Industri Terkait dan Pendukung ..................................................... 60
5.1.4. Setrategi, Struktur dan Persaingan ................................................ 61
5.1.5. Pemerintah ..................................................................................... 62
5.1.6. Kesempatan .................................................................................... 62
5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi
Indonesia .................................................................................................... 64

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 67


6.1. Kesimpulan ................................................................................................ 67
6.2. Saran .......................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 69


LAMPIRAN ........................................................................................................... 73
DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Kontribusi Subsektor Pertanian Terhadap PDB Tahun 2006-2010 .............. 1
2. Volume Impor Susu Indonesia Tahun 2005-2010 ........................................ 3
3. Kerangka Identifikasi Autokorelasi .............................................................. 34
4. Sebaran Populasi Sapi Perah di Indonesia Tahun 2006-2010....................... 38
5. Produksi Susu Berdasarkan Jenis Sapi ......................................................... 41
6. Standarisasi Bahan Baku Susu Menurut Total Kandungan Bakteri (TPC)
Pada Industri Pengolahan Susu ..................................................................... 42
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu di Indonesia ................ 64
8. Hasil Perhitungan Intersep Per Provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Yogyakarta) ................................................................................ 65
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Produksi dan Konsumsi Susu Indonesia Tahun 2005-2009 ........................ 2
2. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata dan Produk Marjinal ...................... 9
3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif Nasional Porters Diamond .... 14
4. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ......................... 18
5. Kerangka Pemikiran Penelitian..................................................................... 30
6. Perkembangan Populasi Sapi Tahun 1998 - 2010 ........................................ 36
7. Perkembangan Produksi Susu Nasional Tahun 1991-2010 .......................... 40
8. Produksi Susu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja ........... 43
9. Populasi sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja ... 44
10. Perkembangan Impor Susu Indonesia Tahun 1989-2010 ............................. 48
11. Trade Balance Komoditas Susu .................................................................... 48
12. Harga Susu Internasional (Oceania Area) ..................................................... 49
13. Harga Susu Olahan Dalam Negeri ................................................................ 49
14. Harga Susu Peternak, IPS dan Disparitas Harga........................................... 50
15. Saluran Pemasaran Susu ............................................................................... 51
16. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah ......................................................... 53
17. Pohon Industri Susu ...................................................................................... 54
18. Jumlah Sapi Perah dan Produksi Susu Tahun 2007 - 2010 .......................... 57
19. Ringkasan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya saing
Susu Domestik dengan Pendekatan Porters Diamond ................................. 63
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Kompilasi Data Penduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Indonesia Periode 2002-2010 (dalam Bentuk Logaritma Natural) ................ 75
2. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
di Indonesia: Regresi Data Panel .................................................................... 76
3. Uji Multikolinearitas ....................................................................................... 76
4. Uji Heteroskedastisitas.................................................................................... 77
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Subsektor peternakan merupakan salah satu sub sektor yang berkontribusi
besar terhadap sektor pertanian. Tabel 1 menujukkan bahwa pada tahun 2010,
subsektor peternakan menyumbang Rp 38,135.2 Milyar (16.11 persen) dari
jumlah total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian secara nasional.
Kontribusi subsektor peternakan pada periode 2006-2010 menunjukkan trend
yang terus meningkat. Hal tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan peningkatan kebutuhan protein hewani, jumlah penduduk yang selalu
bertambah dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang
mendorong peningkatan kebutuhan produk ternak.

Tabel 1. Kontribusi Subsektor Pertanian Terhadap PDB Tahun 2006 - 2010


Subsektor Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Bahan 129,548.6 133,888.5 142,000.4 149,057.8 151,749.5
Makanan
Perkebunan 41,318.0 43,199.2 44,783.9 45,608.3 46,750.9
Peternakan 33,430.2 34,220.7 35,425.3 36,648.9 38,135.2
Kehutanan 16,686.9 16,548.1 16,543.3 1 6,843.6 1 7,192.5
Perikanan 41,419.1 43,652.8 45,866.2 47,775.1 50,578.1
Jumlah 262,402.8 211,308.4 222,209.6 231,315.0 236,635.6
Pertanian
PDB 1,847,126.7 1,964,327.3 2,082,456.1 2,177,741.7 2,310,689.8
Nasional
Sumber: Statistik Peternakan, Ditjennak 2011
Catatan: Kontibusi setiap subsektor pertanian dinyatakan dalam satuan Milyar
Rupiah berdasarkan harga kostan tahun 2010

Salah satu dari subsektor peternakan yang memiliki banyak manfaat dan
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis persusuan.
Konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara
Asia lainnya. Pada tahun 2009, konsumsi susu di Indonesia rata-rata baru
mencapai 10,47 kg/kapita/tahun, masih jauh dibawah negara ASEAN yaitu
Philipina 20 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, Thailand 20-25
kg/kapita/tahun, dan Singapura 32 kg/kapita/tahun (Departemen Perindustrian,
2009). Sehingga masih ada potensi permintaan susu akan tumbuh. Meskipun
2

konsumsi susu di Indonesia masih rendah namun produksi susu di Indonesia


belum mampu memenuhi konsumsi susu yang rendah ini.

2500
2,324.3 2,345.3 2,374.3
2000 2,068.80 2,046.10

1500

1000
536 583.5 567.7 574.4 647
500

0
2005 2006 2007 2008 2009

produksi (000 ton) konsumsi (000 ton)

Sumber: Kementrian pertanian, 2010


Gambar 1. Produksi dan konsumsi Susu Indonesia Tahun 2005-2009

Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi gap yang sangat luas antara


produksi dan konsumsi susu di Indonesia. Dimana, trend produksi sebesar 3,67
persen dan trend konsumsi sebesar 4,21 persen. Besaran trend tersebut
mengindikasikan bahwa peningkatan konsumsi lebih besar dibandingkan dengan
peningkatan produksi.
Untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, Indonesia mengimpor
susu dari beberapa negara mitra dagang seperti New Zealand, Australia, Amerika
Serikat, Belanda, Singapura, Denmark, Jerman, Kanada dan Belgia. Di satu sisi
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia yang memiliki potensi besar sebagai negara penghasil pangan termasuk
susu, tetapi di sisi lain Indonesia justru menjadi negara pengimpor untuk
pemenuhan kebutuhan susu. Tahun 2012 produksi susu dalam negeri baru bisa
memasok tidak lebih dari 30 persen dari permintaan nasional, sisanya 70 persen
berasal dari impor.
Tabel 2 menunjukkan bahwa volume impor susu Indonesia berfluktuasi
dari tahun ketahun dan memiliki trend yang cenderung meningkat. Meningkatnya
impor dari tahun ketahun akibat dari semakin luasnya gap antara produksi susu
dengan konsumsi susu, dimana peningkatan produksi lebih rendah jika
dibandingkan dengan peningkatan konsumsi.
3

Tabel 2. Volume Impor Susu Indonesia Tahun 2005-2010


Tahun Impor (Kg) Trend %

2005 86,761,070 -
2006 86,361,898 -0.46
2007 90,767,131 5.10
2008 277,102,311 -15.05
2009 103,800,916 34.63
2010 132,227,142 27.38
Keterangan: Hanya jenis milk powder, fat < 1,5 persen
Sumber: COMTRADE (2010)

Pengembangan sapi perah merupakan salah satu alternatif untuk


meningkatkan produksi susu domestik, dimana hal ini diharapkan akan
mengurangi tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu. Hanya saja,
pengembangan usaha sapi perah di sentra populasi sapi perah banyak mengalami
kendala dan hambatan.
Adanya era perdagangan bebas menyebabkan produk susu segar impor dapat
memasuki pasaran Indonesia dengan mudah. Disatu sisi, hal ini dapat memberikan
kesempatan pada konsumen untuk memilih produk susu yang mereka inginkan sesuai
dengan kualitas dan harga yang dapat mereka jangkau. Tapi di sisi lain, hal ini dapat
menyebabkan keterpurukan para peternak sapi perah karena tidak mampu untuk
bersaing dalam hal harga dan kualitas. Kondisi ini dikwatirkan akan menyebabkan
para peternak sapi perah tidak bergairah untuk meneruskan usaha peternakan sapi
perahnya.

1.2. Perumusan Masalah


Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta
merupakan sentra pruduksi susu di Indonesia. Jawa timur merupakan sentra
populasi sapi perah terbesar di Indonesia, selanjutnya adalah Provinsi Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta. Populasi sapi perah Jawa Timur awal tahun
2010 mencapai 221.743 ekor, Jawa Tengah 120.677 ekor, Jawa Barat 117.337
ekor dan Yogyakarta 5.495 ekor. Sebagai sentra produksi susu, saat ini Jawa
Timur masih kekurangan stok susu. Kebutuhan susu di provinsi ini mencapai
sekitar 1.600 ton/ hari, sementara baru terpenuhi sekitar 1.035 ton/hari. Artinya
4

masih ada kekurangan susu sekitar 500 ton lebih per hari. Begitu juga dengan
provinsi yang lain, stok susu masih sangat kurang. Sehingga untuk memenuhi
konsumsi susu, lebih kurang 70 persennya diimpor dari luar negeri.
Besarnya jumlah impor susu nasional menjadikan Indonesia menjadi net
importir dan juga menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha
peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi
impor. Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa
wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan
agribisnis persusuan maka terdapat kerugian yang diperoleh Indonesia akibat
dilakukannya impor susu.
Bentuk kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya
kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau
tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan
agribisnis persususan, dan hilangnya potensi revenue yang seharusnya diperoleh
pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik
(Daryanto, 2007).
Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya peran pemerintah melalui
kebijakan yang digulirkan. Namun instrument kebijakan yang diharapkan bisa
mendorong produksi susu dalam negeri justru dikurangi. Sejak ditandatanganinya
kesepakatan antara pemerintah RI dengan International Monetery Fund (IMF)
pada Januari 1998 tentang penghapuasan tataniaga SSDN (Susu Segar Dalam
Negeri), sistem rasio BUSEP (Bukti Serap) telah dihapus. Ketentuan tersebut
menjadikan komoditas susu telah memasuki era pasar bebas meskipun seharusnya
kesepakatan pasar bebas baru dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa
komoditas susu memasuki pasar bebas lebih awal dari kesepakatan waktu yang
telah ditetapkan.
Demikian juga dengan kebijakan bea masuk susu impor yang relatif
rendah. Pada November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya
Supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah
melakukan program pemberian insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk
atas impor barang dan bahan oleh industri pengolahan susu (permenkeu No.
145/PMK.011/2008). Hal tersebut juga diperparah dengan dikeluarkannya
5

kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari lima persen
menjadi nol persen berdasarkan permenkeu No. 19/PMK.011/2009.
Kebijakan-kebijakan tersebut semakin menguatkan IPS dalam menekan
harga beli susu kepada peternak, dan memperburuk kondisi peternak sapi perah,
karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.
Rendahnya harga ini tentunya tidak akan memicu peternak sapi perah domestik
untuk mengembangkan usaha ternaknya. Kondisi ini akan semakin memperburuk
kondisi persusuan nasional, karena Indonesia akan semakin tergantung dengan
susu impor.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, usaha ternak sapi
perah banyak menghadapi tantangan dan kendala. Kendala-kendala tersebut,
menjadi penyebab rendahnya produksi susu dalam negeri sehingga IPS harus
mengimpor susu untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Oleh karena itu,
untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri yang meningkat maka perlu
dilakukan kajian tentang kondisi agribisnis persusuan di Indonesia. Mengingat
kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah, Indonesia
memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan agar
Indonesia tidak menjadi net importir untuk produk susu.
Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan industri persusuan di Indonesia?
2. Bagaimana kondisi daya saing produksi susu di Indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi susu di empat sentra
utama produksi susu Indonesia (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Yogyakarta)?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan maka yang menjadi tujuan penelitian adalah:
1. Menganalisis perkembangan industri persusuan di Indonesia
2. Menganalisis bagaimana daya saing produksi susu Indonesia.
6

3. Menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi susu di


empat senta utama produksi susu Indonesia ( Jawa Timur, Jawa Tengah
Jawa Barat dan Yogyakarta).

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah, selaku
pengambil kebijakan terutama menyangkut masalah persusuan yang merupakan
sub sektor penyedia bahan pangan sekaligus penyerap tenaga kerja. Manfaat lain,
sebagai bahan literatur untuk penelitian selanjutnya.
7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Ternak Sapi Perah


Usaha ternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan
sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai
usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi
(dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah
campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi
perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki
lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih
dari 20 ekor sapi perah campuran.
Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006), usaha ternak sapi perah di
Indonesia berdasarkan tipologinya dapat diklasifikasikan menjadi: (1) usaha
ternak sebagai usaha sampingan, dengan tingkat pedapatan kurang dari 30 persen;
(2) usaha ternak sebagai mix farming dengan tingkat pendapatan sebesar 30
sampai dengan 70 persen; dan (3) usahaternak sebagai usaha pokok dimana
tingkat pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak.
Usaha sapi perah memerlukan persyaratan tertentu sehingga tidak semua
daerah di Indonesia dapat diusahakan. Faktor biologis sapi perah memerlukan
kondisi lingkungan tertentu dan dukungan sarana dan prasarana yang ada
terutama Industri Pengolahan Susu (IPS) serta adanya pasar konsumen yang
cukup mendukung (Simatupang et al., 1993).

2.2. Produksi Susu


Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006), susu adalah hasil
pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat
digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi
komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah
dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui
kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing. Produksi air susu ini
8

dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein
yang tinggi.
Produksi susu adalah hasil produksi ternak betina berupa susu segar dalam
waktu tertentu dan wilayah tertentu termasuk diberikan kepada anaknya, rusak,
diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan kepada orang lain (Ditjennak 2010).
Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik,
lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar
sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan
menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi
yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85
persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun akan menghasilkan susu 92
persen sampai 98 persen (Schmidt et al., 1998)

2.2.1. Teori Produksi


Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan
diantara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang
digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi tersebut. Dalam analisis
tersebut dimisalkan bahwa faktor-faktor produksi lainnya adalah tetap jumlahnya,
yaitu modal dan tanah jumlahnya dianggap tidak mengalami perubahan. Satu-
satunya faktor produksi yang dapat diubah adalah tenaga kerja (Sukirno, 2004).
Produksi merupakan konsep arus (flow concept), dimana produksi
merupakan kegiatan yang diukur sebagai tingkat-tingkat output per unit
periode/waktu. Sedangkan outputnya sendiri senantiasa diasumsikan konstan
kualitasnya. Jadi jika kita berbicara mengenai peningkatan produksi, itu berarti
peningkatan tingkat output dengan mengasumsikan faktor-faktor lain yang
sekiranya berpengaruh tidak berubah sama sekali (konstan) (Miller dan
Meiner,1999).
9

Titik Maksimum

Produktivitas
Rata-rata
Produk Total Maksimum

Titik Balik

0 qi

(i) Kurva Produk Total


Produk Per Unit

AP
MP
0 qi

(ii) Kurva Produk Rata-rata dan


Kurva Produk Marjinal

Sumber: Lipsey et al. (1995)


Gambar 2. Kurva Produk Total, Produk rata-rata dan Poduk Marjinal

Gambar 2 menggambarkan kurva produk rata-rata dan produk marjinal.


Meskipun produk total, produk rata-rata dan produk marjinal digambarkan
menjadi tiga kurva yang berlainan, tetapi semuanya merupakan aspek hubungan
tunggal yang sama, yang diuraikan oleh fungsi produksi. Dengan perubahan
tenaga kerja pada kapital yang tetap, menyebabkan perubahan output.
10

2.2.2. Fungsi Produksi


Fungsi produksi adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antara
tingkat output dan tingkat persamaan input-input. Setiap produsen dalam teori
dianggap mempunyai satu fungsi produksi, yaitu:
Q = f (x1, x2, x3,...Xn) (2.1)
X1,x2,x3,...Xn = beberapa input yang digunakan (2.2)

Fungsi produksi menggambarkan kombinasi persamaan input dan


teknologi yang dipakai oleh suatu perusahaan. Pada keadaan teknologi tertentu,
hubungan antara input dan output tercermin pada fungsi produksinya. Suatu
fungsi produksi menggambarkan kombinasi input yang dipakai dalam proses
produksi, yang menghasilkan output tertentu dalam jumlah yang sama dapat
digambarkan dengan kurva isokuan (isoquant), yaitu kurva yang menggambarkan
berbagai kombinasi faktor produksi yang menghasilkan produksi yang sama
(Joestan dan Fathoorozi 2003)
Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan diantara faktor-faktor
produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi dikenal
pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut output. Fungsi
produksi selalu dinyatakan dalam bentuk rumus, seperti berikut:
Q = f(K,T,M,L) (2.3)
dimana K adalah jumlah stok modal, L jumlah tenaga kerja dan ini meliputi
berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian keusahawanan, M adalah kekayaan alam,
dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan. Sedangkan Q adalah jumlah
produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis faktor-faktor produksi tersebut, yaitu
secara bersama digunakan untuk memproduksi barang yang sedang dianalisis sifat
produksinya (Sukirno 2004).

2.2.3. Fungsi Penawaran Susu Sapi


Fungsi penawaran dapat diturunkan dengan memaksimumkan fungsi
keuntungan (Henderson and Quandt 1980). Dengan menggunakan teknologi
tertentu, fungsi produksi susu sapi dapat di formulasikan sebagai berikut:
Q = f (S, P, O) (2.4)
11

dimana:
Q = jumlah produksi susu
S = jumlah sapi
P = jumlah pakan
O = faktor produksi lain
Jika P , P , dan PO masing-masing harga faktor produksi S, P, dan O, maka fungsi
S P

biaya dirumuskan sebagai berikut:

C = PS*S + PP*P + PO* O + CO (2.5)

dimana:
C = biaya total
CO = biaya tetap

Dari persamaan (2.4) dan (2.5) dapat dirumuskan fungsi keuntungan:

= PQ*f (S, P, O) (PS* S + PP* P + PO* O + CO) (2.6)

dimana:
= keuntungan
Q
P = harga susu sapi
Dengan memaksimumkan persamaan (2.6) didapat:

PQ*S = PS (2.7)
PQ * P = P P (2.8)
PQ * O = P O (2.9)
Artinya saat keuntungan maksimum, nilai produk marginal masing-masing faktor
produksi sama dengan harga faktor produksi itu sendiri. Dari persamaan (2.7),
(2.8), dan (2.9) diketahui bahwa S, P, dan O merupakan peubah endogen,
sedangkan PQ, PS, PP, dan PO peubah eksogen. Oleh karena itu fungsi
permintaan faktor produksi diformulasikan sebagi berikut:
SD = f (PQ, PS, PP, PO) (2.10)
PD = f (PQ, PP, PS, PO) (2.11)
OD= f (PQ, PO, PS, PP) (2.12)
dimana SD, PDdan ODmasing-masing merupakan permintaan terhadap sapi perah,
pakan ternak dan faktor produksi lain.
Dengan mensubtitusi persamaan (2.10), (2.11) dan (2.12) ke dalam
persamaan(2.4), maka di dapatkan fungsi penawaran susu sapi sebagai berikut:
QS = f(PQ, PS, PP, PO) (2.13)
12

Selain harga pokok dan harga faktor produksi, penawaran juga


dipengaruhi oleh teknologi (Koutsoyiannis, 1979). Namun karena keterbatasan
data, teknologi tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam penelitian ini.

2.3. Struktur Pasar Susu Segar di Indonesia


Saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada
impor bahan baku. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun
sebuah sistem agribisnis berbasis peternakan yang baik, maka Indonesia akan
terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi (Daryanto,
2009). Permasalahan yang dihadapi oleh usaha ternak sapi perah, tidak hanya
akibat ketidakmampuan usaha ternak untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Setidaknya menurut Ilham dan Swatika (2001) konsumsi susu segar masyarakat
masih sangat terbatas sehingga pemasaran susu segar tergantung pada IPS.
Diperkirakan sekitar 88 sampai 91 persen produksi susu usaha ternak sapi
perah rakyat dipasarkan ke IPS. Harga jual tersebut ditentukan berdasarkan syarat
teknis atau kualitas susu yang dicerminkan oleh kandungan total solid susu (11-
12,5 persen). Fakta di lapangan menyebutkan hal tersebut dilakukan dengan
mengukur Berat Jenis (BJ), kandungan lemak susu, dan kandungan bakteri
(dibawah satu juta). Mekanisme penentuan harga dilakukan secar sepihak oleh
IPS. Peternak hanya menerima yang telah ditentukan oleh IPS, berdasarkan
kriteria yang disebutkan di atas, bahkan koperasi primer maupun GKSI tidak
mempunyai kekuatan dalam menentukan harga susu, karena keberadaannya hanya
bersifat sebagai perantara yang memperoleh fee untuk setiap liter susu yang
dipasarkan ke IPS. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga SSDN lebih
murah dari bahan baku impor. Bila terjadi sebaliknya, dengan dicabutnya sistem
rasio, diduga IPS akan lebih memilih untuk menggunakan bahan baku asal impor.
Hingga saat ini belum ada upaya IPS menjalin kemitraan agar produksi SSDN
dapat bersaing dengan produk impor. Hal ini disebabkan masih ada keterkaitan
antara IPS sebagai usaha multinasional dengan industri persusuan di masing-
masing negara investor/produsen (Ilham dan Swastika 2001)
13

2.4. Konsep Daya saing

Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing dapat diidentikkan dengan


produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang
digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang
digunakan, dan peningkatan teknologi (total factor productivity).
National Competitiveness Council mendefinisikan daya saing sebagai
kemampuan untuk menerima keberhasilan sebagai pemimpin pasar untuk
memberikan standar kehidupan yang lebih baik untuk setiap orang. Definisi ini
kemudian diterangkan melalui sebelas kriteria yang harus dipenuhi dalam
membangun daya saing, yaitu performa ekonomi (economic performance),
internasionalisasi (internationalization), modal (capital), pendidikan (education),
produktivitas, kompensasi tenaga kerja, dan biaya tenaga kerja per unit
(productivity, labour compensation, and unit labour cost), perpajakan (taxation),
ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology), informasi
kemasyarakatan (information Society), infrastruktur transportasi (transport
infrastructure), serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
(environmental protection and management). Kesebelas kriteria tersebut
kemudian dilengkapi dengan dua kriteria krusial lainnya yaitu kondisi regulasi
dalam suatu negara (regulatory environment), dan kualitas kehidupan (quality of
life).
Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan
pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara yang memproduksi
menjual dan menyediakan barang-barang kepada pasar. Daya saing diterapkan
pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing
bisa juga bisa diterapkan pada suatu komoditi, sektoral atau bidang, wilayah dan
negara. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi
suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang
terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan
(Simanjuntak, 1992)
14

2.5. Teori Keunggulan Kompetitif


Porter (1990) menyatakan empat atribut yang merupakan faktor penentu
keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor (factor condisions),
kondisi permintaan (demand conditions), industri terkait dan pendukung (related
and supporting industries), serta setrategi, struktur, dan persaingan (firm strategy,
structure, and rivalry). Sementara itu atribut determinan eksternal dikategorikan
menjadi pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events).
Komprehensivitas determinan baik secara internal maupun eksternal ini secara
sistemik dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengidentifikasian daya saing
(competitiveness) nasional.

Firm Strategy,
Chance
structure
And rivalry

Factor Demand
conditions condition

Related Goverment
And supporting
industries

Sumber: Porter (1990)


Gambar 3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif National Porters
Diamond

Penjelasan lebih spesifik mengenai determinan keunggulan kompetitif


national Porters Diamond dijelaskan sebagai berikut:
a. Kondisi Faktor (factor conditions)
Kondisi faktor direpresentasikan dengan factor sumberdaya yang dimiliki
suatu negara yang berhubungan dengan proses produksi. Kontribusi sumberdaya
sebagai modal dasar dalam membangun keunggulan kompetitif merupakan suatu
hal yang tidak dapat dipungkiri.
15

Porter (1990) mengklasifikasikan kondisi faktor produksi tersebut


berdasarkan teori ekonomi klasik menjadi lima kelompok meliputi tenaga kerja,
tanah, sumberdaya alam, kapital, dan infrastruktur. Tingkat signifikansi faktor
produksi terhadap keunggulan kompetitif didasarkan pada kemampuan faktor
produksi untuk menghasilkan manfaat yang spesifik dan berkesinambungan.
b. Kondisi Permintaan (Demand Conditions)
Kondisi permintaan domestik sangatlah mempengaruhi penentuan daya
saing nasional. Suatu Negara dikatakan memperoleh benefit dari kondisi
permintaan ketika permintaan domestik mampu memberikan gambaran yang
representative mengenai preferensi konsumen. Konsumen lokal dapat membantu
perusahaan nasional dengan cara memberikan sinyal early warning system
sehingga perusahaan dapat melakukan tindakan antisipatif untuk bersaing di pasar
domestik maupun global. Secara umum, konsumen dapat menekan perusahaan
untuk melakukan inovasi dan membangun daya saing terhadap produk asing.
Besarnya permintaan domestik menurut Porter (1990) mempunyai pengaruh yang
kurang siknifikan dibandingkan dengan karakter dari permintaan domestik itu
sendiri.
c. Industri Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industries)
Eksistensi industri terkait dan pendukung sebagai sebuah sistem akan
mempengaruhi daya saing secara global. Struktur industri hulu dan hilir yang kuat
akan memberikan kemudahan bagi upaya pencapaian peningkatan daya saing.
Diantaranya adalah: (1) aliran informasi dan perubahan teknologi akan
meningkatkan tingkat inovasi dan improvisasi. (2) keterkaitan industri akan
menghasilkan banyak keahlian baru dan menyedikan potensi bagi perusahaan lain
untuk masuk kedalam industri untuk meningkatkan persaingan.
d. Strategi, struktur, dan Persaingan (Firm Strategy, Structure and Rivalry)
Tingkat persaingan domestik dapat menghasilkan tuntutan kepada
perusahaan untuk mengadopsi inovasi dan perbaikan (improvement) dari segi
kualitas. Pesaing domestik memberikan tekanan satu sama lainnya untuk
meminimumkan biaya, meningkatkan kualitas dan pelayanan, dan menstimulasi
penemuan-penemuan baru. Karakteristik persaingan domestik juga dicirikan
16

dengan diversifikasi motif yang mendasari persaingan itu sendiri. Persaingan


dalam memperebutkan market share dan teknologi.
e. Pemerintah (government)
Pemerintah berperan sebagai katalisator untuk mendorong perusahaan untuk
mengarahkan kinerjanya pada taraf yang lebih baik. Pemerintah tidak dapat secara
langsung meningkatkan daya saing perusahaan, melalui instrument kebijakan
yang kondusif perusahaan dapat menerima efek positif dari tindakan fasilitas
pemerintah tersebut.
Permasalahan yang terjadi dalam penetapan kebijakan pemerintah adalah
seringkali kebijakan-kebijakan tersebut secara orientatif ditujukan untuk jangka
pendek. Deregulasi terhadap kebijakan yang menghambat inovasi dan faktor
dinamis lainnya, seperti halnya proteksi diperlukan untuk menciptakan manfaat
yang berkesinambungan.
Prinsip dasar yang perlu dikembangkan oleh pemerintah dalam membuat
kebijakan suportif diantaranya dengan sikap pro perubahan, mendukung
persaingan domestik, dan menstimulasi inovasi. Pendekatan kebijakan pemerintah
dengan prinsip tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing nasional
secara keseluruhan (Porter, 1990).
f. Kesempatan (Chance Events)
Kesempatan, seperti halnya pemerintah berada diluar perusahaan dalam
menentukan daya saing. Beberapa hal yang dianggap sebagai suatu keberuntungan
merupakan suatu bentuk dari kesempatan. Sebagai ilustrasi, pergerakan nilai tukar
(exchange rate) merupakan determinan penting dalam kegiatan ekspor-impor di
pasar internasional. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik dapat dianggap
sebagai suatu indikator yang membuka kesempatan lebih luas kepada para negara
importir untuk mengurangi kegiatan impor dan menyerap produk domestik.
Faktor non ekonomi seperti stabilitas politik disinyalir mempunyai
pengaruh yang besar terhadap perekonomian suatu negara. Lingkungan yang
kondusif memberikan kenyamanan bagi pelaku usaha untuk membangun daya
saing.
17

2.6. Panel Data


Panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan data dari time
series dan cross section. Dalam teori ekonometrika, bentuk panel data dapat
mengatasi masalah pengestimasian yang kurang baik akibat sedikitnya jumlah
observasi jika hanya menggunakan data time series atau cross section saja.
Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel
memberikan banyak keuntungan, antara lain:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang
dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.
2. Dengan mengkombinasikan data time series dan cross section, data panel
dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antarpeubah,
meningkatkan derajat kebebasan dan lebih efisien.
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan
observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam
mempelajari perubahan dinamis.
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana
tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
Kendati demikian, analisis data panel data juga memiliki keterbatasan di
antaranya adalah:
1. Masalah dalam disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data.
Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse,
kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara.
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors
umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
a. Self-selectivity. Permasalahan ini muncul karena data yang dikumpulkan
untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang
ada.
b. Nonresponse. Permasalahan ini muncul dalam panel data ketika ada
ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden.
18

c. Attrition, yaitu jumlah responden yang cenderung berkurang pada survey


lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia
atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi.
4. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan
unitanalisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang
mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan kesimpulan
yang tidak tepat (misleading inference).
Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu
dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk
memperoleh dugaan yang efisien. Namun demikian, ada pendapat yang
mengatakan bahwa penggunaan pendekatan Pooled Least Square dirasakan
kurang sesuai dengan tujuan digunakannya data panel.

FIXED
EFFECT

Hausman
Test

Chow Test RANDOM


EFFECT

LM Test

POOLED
LEAST
SQUARE

Gambar 4. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel


19

Penjelasan Gambar 4:

1. Chow Test

Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F Statistics adalah


pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau
Fixed Effect. Terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku
yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit
cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan
dengan hipotesa sebagai berikut:

H0: Model PLS (Restricted)


H1: Model Fixed Effect (Unrestricted).
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-Statistik
seperti yang dirumuskan oleh Chow:
( RRSS URSS ) /( N 1) (2.14)
CHOW
URSS /( NT N K )

Dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square
URSS = Unrestricted Residual Sum Square
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas,
Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai CHOW
Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang
digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut
sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk
menguji stabilitas dari parameter (stability test).

2. Hausman Test

Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan


dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect.
Penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya
derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan
20

metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi


dari setiap komponen galat.
Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0: Random Effects Model
H1: Fixed Effects Model.
Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan statistik hausman dan
membandingkannya dengan chi square.
Statistik hausman dirumuskan dengan:

m
'
b M0 M1
1
b ~ X2 K (2.15)

Dimana adalah vektor untuk statistik variabel fix effect, b adalah vektor statistik
variabel random effect, ( M 0 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan

( M 1 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan REM.

3. LM Test

LM Test atau lengkapnya The Breusch Pagan LM Test digunakan


sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect versus
Pooled Least Square.
H0: PLS
H1: Random Effect.
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang
mengikuti distribusi dari Chi Squre .
Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari
hasil estimasi model pooled.
Strategi Pengujian
Secara umum, dalam pengujian estimasi model-model data panel diperlukan
sebuah strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menguji:
a) RE vs FE (Hausman Test),
b) PLS vs FE (Chow Test).
Kerangka pengambilan keputusan dalam memilih sebuah model yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Jika (b) tidak signifikan maka kita menggunakan Pooled Least Square.
21

Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka kita menggunakan
Random Effect Model .
Jika keduanya signifikan, maka kita menggunakan Fixed Effect Model.
Penggunaan data panel memberikan banyak manfaat bagi dunia statistik dan
perkembangan ilmu ekonomi. Beberapa manfaat penggunaan panel data:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Panel data memberi peluang
perlakuan bahwa unit-unit ekonomi yang dianalisis seperti individu, rumah
tangga, perusahaan hingga negara adalah heterogen.
2. Memberi informasi yang lebih banyak, lebih beragam, mengurangi
kolinearitas (collinearity), meningkatkan derajat bebas (degree of freedom)
dan lebih efisien. Data time series memiliki kecenderungan tingkat
kolinearitas yang tinggi. Variabel seperti harga dan pendapatan dalam model
permintaan rokok memiliki tingkat kolineritas yang tinggi. Dengan
menggunakan panel data, penambahan dimensi cross-section dapat
memperkaya keragaman dan informasi pada dua variabel tersebut (harga dan
pendapatan), sehingga akan menghasilkan estimasi yang lebih akurat.
3. Panel data lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Salah satu
kekurangan apabila menggunakan pendekatan cross section adalah tidak dapat
menggambarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. Penelitian tentang
kondisi perekonomian seperti pengangguran, mobilitas pendapatan, dan
kemiskinan lebih baik jika menggunakan panel. Apabila data-data yang
berkaitan dengan isu tersebut diatas tersedia dalam rentang waktu yang relatif
panjang, akan dapat diperoleh informasi yang berhubungan dengan kecepatan
penyesuaian terhadap perubahan kebijakan ekonomi. Dengan panel data, dapat
diketahui apakah kondisi seperti pengangguran dan kemiskinan merupakan
kondisi yang temporer atau permanen.
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat
dideteksi oleh pure cross section atau pure time series.
5. Dapat membangun dan menguji model perilaku (behavioral models) yang
lebih kompleks dibanding pure cross section atau data time series. Sebagai
contoh, studi mengenai efisiensi tehnik (technical efficiency) lebih baik jika di
lakukan dengan metode panel data. Restriksi yang lebih sedikit juga dapat
22

diberlakukan dalam panel (distributed lag model) dibandingkan purely time


series.
6. Micro panel data merupakan pengukuran yang lebih akurat dibanding variabel
yang sama yang diukur pada tingkat makro. Dengan metode panel. bias yang
berasal dari agregasi data-data invidu maupun perusahaan dapat dikurangi
atau bahkan dihilangkan.
7. Macro panel data mempunyai deret waktu (time series) yang lebih panjang
dan tidak seperti masalah nonstandard distribution dari unit root test dalam
metode time series. Panel unit root test memiliki standard asymptotic
distribution.
Model regresi data panel yang umum digunakan diantaranya:
a. Common Effect Model
Model ini mengasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai
kurun waktu.
Persamaan regresinya dapat ditulis sebagai berikut:
Yit = + Xit+it (2.16)
Untuk i = 1,.., N
t = 1..T
dimana N adalah jumlah unit cross section dan T adalah jumlah periode
waktunya. Implikasinya akan diperoleh sebanyak T persamaan deret lintang
(cross section) yang sama. Selain itu diperoleh persamaan deret waktu (time
series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Untuk
mendapatkan parameter dan yang konstan dan efisien, dapat diperoleh dalam
bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N x T observasi.

b. Fixed Effect Model (FEM)


FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat
komponen eror dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intercept.
Untuk one way komponen eror:
yit = i +i+Xit+u it (2.17)
Sedangkan untuk two way komponen eror :
yit = i +i+t+Xit+u it (2.18)
23

Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least
Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy varibel (LSDV), dan
two way error component fixed effect model.

c. Random Effect Model (REM)


REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat
komponen eror dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam eror.
Untuk one way komponen eror
yit = i +Xit+u it+i (2.19)
Untuk two way komponen eror
yit = i +Xit+u it+i+t (2.20)

Asumsi yang digunakan dalam REM adalah:


E =0
E =
E = 0 untuk semua i dan t
E = untuk semua i dan t
Dimana untuk one way eror component: =
E = 0 untuk semua i, t dan j
E = 0 untuk i j dan t s
E = 0 untuk i j
Dari semua asusmi di atas, yang paling penting adalah E = 0.
Pengujian asumsi ini menggunakan hausmant test. Uji hipotesis yang digunakan
adalah
Ho : = 0 tidak ada korelasi antara komponen eror dengan peubah
bebas
H1 : 0 ada korelasi antara komponen eror dengan peubah bebas
H=( )( )-1 ( ) x2 (k)
Dimana: M = matriks kovarians untuk parameter
k = derajat bebas
24

Jika H > maka komponen eror mempunyai korelasi dengan peubah bebas
dan artinya model yang valid digunakan adalah REM
Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan between
estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS)

2.7. Penelitian Terdahulu


Wang et. al. (2010) mengkaji pertumbuhan dan kesenjangan regional dari
pasar susu China sejak tahun 1980, meneliti permintaan konsumen perkotaan
untuk tiga produk susu utama (susu cair, yogurt, dan susu bubuk), menganalisis
pola impor produk susu utama China sejak tahun 1995, dan mendiskusikan
potensi peran China di pasar susu dunia dan implikasinya untuk perdagangan.
Penelitian ini menggunakan data time-series dan cross-sectional untuk
menganalisis trend, perbedaan produksi susu China dan konsumsi produk susu
melalui analisa grafis dan regresi. Sedangkan untuk menganalisis kecendrungan
dan pola produk susu China impor menggunakan data tahun 1995-2008. Hasil dari
penelitian ini adalah bahwa pasar susu China telah berkembang pesat dalam dua
dekade terakhir tetapi ada kesenjangan yang signifikan antar daerah dan kelompok
pendapatan. Hasil estimasi elastisitas penghasilan menunjukkan bahwa
pendapatan per kapita terus meningkat, permintaan produk susu, terutama yoghurt
dan susu cair, diharapkan tumbuh pada tingkat yang signifikan. Kecenderungan
impor dan analisis pola menunjukkan bahwa impor susu China kemungkinan akan
terus tumbuh dan memberikan kesempatan untuk eksportir produk susu besar
seperti Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia.
Du Toit et. al. (2010) mengkaji faktor yang mempengaruhi daya saing
jangka panjang dari 11 produsen susu komersial dari Timur Griqualand, Afrika
Selatan menggunakan panel data periode 1990 2006. Hasil dari regresi
menunjukkan bahwa jumlah sapi, skala produksi, produksi tahunan per ekor,
teknologi dan perubahan kebijakan dari waktu kewaktu, dan rasio pendapatan
terhadap perdagangan total susu mempengaruhi daya saing jangka panjang dari
produsen susu. Untuk meningkatkan daya saing di pasar susu, produsen harus
mempertimbangkan untuk meningkatkan jumlah sapi, produsen harus
mempertimbangkan pemanfaatan padang rumput dan hijauan berbasis sistem
25

produksi untuk menurunkan biaya pakan dan memilih sapi dengan seliksi yang
unggul.
Buxton (1985) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
susu di Amerika Serikat selama 4 tahun pada 48 negara bagian. Penelitian ini
menguji elastisitas supply susu (yaitu, persentase perubahan jumlah susu yang
dihasilkan karena perubahan faktor utama produksi susu). Faktor-faktor utama
yang mempengaruhi produksi susu adalah: (1) Harga susu, peningkatan 1 persen
harga susu yang diterima peternak, meningkatkan produksi susu nasional sekitar
setengah persen selama 4 tahun. Dampak terbesar terjadi pada tahun pertama
(0.175) dan tahun kedua (0.182) setelah harga berubah. Dampak pada tahun
perubahan harga relatif kecil (0.036). (2) Biaya input. Dimana biaya input
diwakili oleh harga pakan (jerami alfalfa dan jagung). Peningkatan 1 persen harga
jerami alfalfa per ton menurunkan produksi susu nasional sebesar 0.164 persen
selama periode 4 tahun, dan peningkatan harga jagung per bushel (gantang)
menurunkan produksi susu sebesar 0.075 persen. Harga jerami alfalfa
berpengaruh signifikan di 28 negara bagian. Harga jagung berpengaruh signifikan
terhadap supply susu di 14 negara bagian, terutama di bagian utara. (3) Laba
dalam suatu perusahaan pertanian alternatif. Faktor ini diukur oleh harga daging
sapi. Penurunan 1 persen pada perubahan harga daging sapi meningkatkan
produksi susu nasional sebesar 0.056 persen selama periode 4 tahun. (4) Kondisi
ekonomi umum. Kondisi ini diukur dengan tingkat pengangguran. Pengangguran
mempengaruhi produksi susu nasional sebesar 0.085 persen. Dampak dari tingkat
penganguran pada produksi susu signifikan pada 16 negara bagian.
Amalia (2008) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
dan impor susu Indonesia. Metode penelitian yang digunakan terdiri atas:
pertama, metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan Porters diamond
untuk menganalisis kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu
domestik ditengah serbuan impor susu pasca penghapusan kebijakan ratio impor.
Kedua, metode Engle-Grenger Cointegration dan Error Correction Model (ECM),
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu baik dalam
jangka panjang maupun jangka pendek.
26

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu


domestik melalui pendekatan Porters Diamond menghasilkan implikasi
penelitian bahwa kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada
kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha
perseorangan dan rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai empat
ekor, komposisi ketenagakerjaan yang didominasi pekerja harian dengan tingkat
pendidikan rendah, dan teknologi yang bersifat konvensional berkontribusi
terhadap rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Sebaliknya, faktor yang
diduga berkontribusi besar terhadap kondisi daya saing adalah kondisi
permintaan. Permintaan akan susu domestik sebagai permintaan turunan atas
produk susu olahan distimulasi oleh peningkatan pendapatan perkapita
masyarakat, peningkatan populasi dari urbanisasi, peningkatan awareness akan
manfaat susu, dan peningkatan persaingan antar IPS untuk menghasilkan produk
susu olahan yang terdiferensiasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
konsumen.
Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi primer
peternak dihadapkan pada permasalahan mismanajemen dan pemborosan akibat
diversifikasi usaha yang tidak relevan dan menjadi biaya yang besar bagi
koperasi. Kondisi strategi, struktur, dan persaingan antar susu domestik dan
impor belum kondusif untuk meningkatkan daya saing susu domestik. Hal ini
dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang
lebih unggul. Ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining
position GKSI sebagai representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam
menetapkan harga susu domestik.
Intervensi pemerintah melalui penghapusan kebijakan rasio impor
memberikan pengaruh yang beragam bagi setiap determinan. Implikaasi yang
menarik dalam penelitian ini adalah peningkatan persaingan menyebabkan
keluarnya usaha yang tidak mampu bersaing meningkatkan efisiensi agregat usaha
peternakan sapi perah. Determinan kesempatan dengan indikator pergerakan nilai
tukar riil rupiah mempengaruhi daya saing susu domestik.
Impor susu Indonesia dari sisi permintaan (impor demand) dalam jangka
panjang dipengaruhi secara signifikan oleh harga riil susu impor, harga riil susu
27

domestik, nilai tukar riil rupiah, dan pendapatan perkapita. Produksi susu
domestik tidak mempengaruhi impor susu pada jangka panjang. Hal ini diduga
karena terdapat variabel antara yang tidak mampu dijelaskan oleh model
persamaan yang dibangun. Impor susu dalam jangka pendek dipengaruhi secara
signifikan oleh produksi susu domestik, harga riil susu impor lag pertama,
pendapatan perkapita saat ini dan lag ketiga, nilai tukar riil rupiah pada lag kedua
serta dummy penghapusan kebijakan rasio impor. Penghapusan kebijakan rasio
diterapkan pada waktu yang relatif bersamaan dengan krisis ekonomi 1997, oleh
karena itu efek netto peningkatan impor susu yang terjadi relatif kecil dalam
jangka pendek. Harga riil susu domestik tidak berpengaruh terhadap impor susu
karena bargaining position GKSI masih lemah dalam negosiasi penetapan harga
dengan IPS.
Feryanto (2010) menganalisis daya saing dan dampak kebijakan
pemerintah terhadap komoditas susu sapi lokal di Jawa Barat. Tujuan penelitian
ini adalah untuk: (1) menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usaha
ternak yang memproduksi susu sapi segar di daerah sentra sapi perah Jawa Barat,
(2) menganalisis dam mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
susu sapi di daerah sentra sapi perah Jawa Barat, (3) Menganalisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap daya saing peternakan sapi perah di sentra sapi
perah Jawa Barat, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga output dan
input terhadap daya saing peternakan sapi perah di daerah sentra sapi perah Jawa
Barat. Harga bayangan susu impor didasarkan pada harga satu kilogram full
Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan delapan susu segar dalam negeri
berdasarkan harga bordernya (cif) di pelabuhan impor (Tanjung Priuk).
Sedangkan, harga susu privat disesuaikan dengan harga aktual yang riil diterima
peternak. Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, peternak di ketiga lokasi
penelitian (Kecamatan Lembang, Kecamatan Pengalengan dan Kecamatan
Cikajang) memiliki keuntungan privat dan ekonomi, hal ini ditunjukkan
keuntungan privat dan ekonomi yang lebih besar dari nol untuk ketiga lokasi.
Berdasarkan nilai private cost ratio (PCR) dan Domestic Resource Cost Ratio
(DRC) yang diperoleh, ketiga lokasi memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1),
yang menunjukkan masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan
28

kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator
keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai DRC<1. Indikator DRC ini
menunjukkan bahwa produk susu sapi segar akan lebih menguntungkan
diproduksi di sentra produksi susu Provinsi Jawa Barat daripada harus
mengimpornya.
Analisis dampak kebijakan dalam tabel PAM ditunjukkan oleh hasil
pengusahaan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian yakni nilai trasfer output
(OT) bernilai negatif atau mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan harga
domestik susu lebih rendah dari harga internasionalnya, yang mengidikasikan
adanya desintensif terhadap output susu. Hasil trasfer input (IT) usahaternak sapi
perah menunjukkan nilai yang positif, dan nilai koefisien proteksi input nominal
(NPCI) untuk ketiga lokasi yang lebih besar dari satu, hal ini mengkondisikan
bahwa peternak yang menggunakan input tersebut mengalami kerugian, karena
menanggung biaya input yang lebih mahal. Hasil analisis dampak kebijakan
pemerintah terhadap input-output menunjukkan nilai trasfer bersih (TB), yang
negatif untuk ketiga lokasi penelitian yang berbeda. Indikator ini memberikan
informasi kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan kerugian bagi
pengusahaan susu sapi perah. Sedangkan dilihat dari nilai koefisien proteksi
efektif (EPC) sebesar 0,80 (Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pengalengan),
dan sebesar 0,74 (Kecamatan Cikajang) menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan insentif kepada
peternak sapi perah, karena nilai tambah keuntungan peternak menjadi lebih
rendah dari yang seharusnya.
Berdasarkan analisis sensitivitas yang dilakukan, asumsi sekenario yang
digunakan yakni perubahan harga susu akibat penurunan tarif impor dan kenaikan
harga pakan ternak secara umum pengusahaan susu sapi perah ternyata akan
menurunkan daya saing pengusahaan sapi perah di provinsi Jawa Barat. Sehingga
untuk tetap memberikan keuntungan dan insentif bagi peternak, sebaiknya
pemerintah mengambil kebijakan untuk menetapkan tarif impor susu lebih besar
dari lima persen (kondisi sekarang), yakni 15 persen.
29

2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian


Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan diatas, maka penelitian ini
dilakukan dengan dilatarbelakangi oleh realitas yang terjadi dimana konsumsi
susu di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara Asia
lainnya. Meskipun konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah, namun
produksi susu domestik belum mampu memenuhi konsumsi, untuk memenuhi
konsumsi susu domestik adalah dengan impor susu.
Impor susu yang masuk ke Indonesia sangat besar yaitu lebih kurang 70
persen dari total konsumsi, artinya produksi susu di Indonesia hanya mampu
memenuhi lebih kurang 30 persen dari konsumsi susu. Mengingat kondisi
geografis, ekologi dan sumberdaya alam Indonesia yang sangat mendukung untuk
pengembangan persusuan nasional, maka banyak sekali kerugian Indonesia
dengan dilakukannya impor susu ini. Sehingga perlu adanya upaya untuk
pengembangan agribisnis persususan di Indonesia.
Upaya pengembangan agribisnis persusuan nasional banyak mengalami
kendala dan hambatan, diantaranya dengan adanya liberalisasi perdagangan.
Adopsi liberalisasi perdagangan pada komoditas susu telah menyebabkan
pergerakan harga susu domestik relatif lebih tinggi dibandingkan dengan susu
impor yang faktanya unggul dari segi kualitas. Hal ini memberikan tantangan
yang lebih besar bagi produsen untuk mengembangkan produksi susu nasional
karena secara implikatif telah meningkatkan preferensi konsumen susu untuk
melakukan impor susu.
Isu krusial yang menjadi benang merah menghadapi fenomena
peningkatan impor susu tersebut adalah daya saing (competitiveness). Rendahnya
kualitas susu domestik merefleksikan lemahnya daya saing susu domestik.
Metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan Porter,s Diamond dijadikan
alat analisis untuk menganalisa kondisi daya saing susu domestik. Sementara itu,
analisa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu Indonesia diestimasi
dengan panel data dengan model regresi linier.
30

Pemenuhan Kebutuhan Susu


Domestik Indonesia

Impor Domestik

Produksi susu domestik


rendah
70 % konsumsi susu dari
impor

Faktor-faktor yang mempengaruhi Analisis Daya saing


produsi susu

Metode panel Porters diamond

Rekomendasi
kebijakan

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian

2.9. Hipotesis Penelitian


Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori-
teori yang ada dalam penelitian terdahulu yaitu bahwa produksi susu
diopengaruhi oleh harga susu domestik (berhubungan positif), harga jagung
sebagia proksi harga pakan, (berhubungan negatif), jumlah sapi (berhubungan
positif).
31

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Adapun data primer
digunakan untuk menjawab analisis Porters Diamond yaitu berupa data tentang
kondisi sosial peternak sapi perah rakyat dengan mengambil sampel dua lokasi
peternakan sapi perah rakyat yang terletak di Jawa Barat yaitu wilayah Kebon
Pedes Bogor dan Pengalengan Bandung. Pengambilan sampel pada dua wilayah
ini diharapkan dapat mewakili kondisi peternak sapi perah rakyat pada wilayah
dataran tinggi dan dataran rendah. Data primer diperoleh dengan melakukan
kegiatan wawancara langsung dengan peternak.
Sedangkan data sekunder digunakan untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi susu di Indonesia. Adapun data yang digunakan
adalah data tahun 2002-2010, berupa data volume produksi susu, harga susu
domestik, harga jagung dan jumlah sapi perah pada empat provinsi di Jawa, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengan, Jawa Timur dan Yogyakarta. Pemilihan keempat
provinsi sentra tersebut berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan, yang
menyatakan bahwa Pulau Jawa merupakan sentra utama produksi susu. Namun
karena adanya keterbatasan data maka, dari lima provinsi yang ada di Pulau Jawa,
hanya empat provinsi yang digunakan dalam penelitian ini.
Data sekunder tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti, Badan
Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Peternakan, GKSI (Gabungan Komperasi
Susu Indonesia), International Financial Statistics (IFS) dan COMTRADE
(Commodity Trade Statistics Database).

3.2. Metode Analisis


Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: pertama,
metode deskriptif untuk menjelaskan fenomena yang terjadi berkaitan dengan
kondisi daya saing susu domestik sebagai bahan baku susu domestik pasca
penghapusan kebijakan rasio impor dengan menggunakan pendekatan Porters
Diamond. Kedua, metode kuantitatif menggunakan panel data untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu Indonesia.
32

3.2.1. Porters Diamond


Analisis deskriptif faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing
susu domestik dilakukan dengan menggunakan pendekatan Porters Diamond
berdasarkan referensi terkait dan data-data publikasi statistik sebagai pendukung.
Kondisi faktor secara fokus menganalisis kondisi produksi susu domestik,
komposisi ketenagakerjaan (sumberdaya manusia), pemodalan, dan infrastruktur
pada subsistem usaha peternakan sapi perah. Kondisi permintaan menyoroti
konsumsi produk susu olahan yang digerakkan diantaranya oleh peningkatan
pendapatan perkapita masyarakat dan populasi. Koperasi dan industri pakan
dijadikan sebagai objek penganalisisan determinan industri terkait dan
pendukung. Sementara strategi, struktur, dan persaingan lebih dalam menganalisis
kondisi persaingan antara susu domestik dan impor sebagai input IPS.
Pemerintah sebagai faktor eksternal melakukan intervensi melalui
penghapusan kebijakan rasio impor yang memiliki dampak beragam terhadap
determinan kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung,
serta setrategi, struktur, dan persaingan. Determinan kesempatan dipresentasikan
oleh pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

3.2.2. Model Panel Data


Model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi susu di Indonesia dalam penelitian ini adalah:
PROD = f (PDOM, PCORN, COW)
Persamaan diatas menunjukkan produksi susu Indonesia merupakan
fungsi dari PDOM , PCORN, COW dengan:
PDOM = Harga Susu Domestik (Rupiah)/kg
PCORN = Harga Jagung (Rupiah)/kg
COW = Jumlah Sapi (Ekor)
Fungsi tersebut secara ekonometrika dapat dituliskan dalam bentuk fungsi
persamaan regresi yaitu:
PRODt= 0 + 1PDOM + 2 PCORN + 3 COW + 1
33

dimana: 0 = intersep
1 = nilai dugaan besaran parameter (n = 1,2,3,...)
1 = unsur sisa (galat)

3.3. Uji Asumsi

3.3.1. Uji Homoskedastisitas


Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah
bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best linier
Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan (konstan), atau semua
residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan
homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-rubah
disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas
dapat menggunakan metode General Least Square (Cross Section weights) yaitu
dengan membandingkan sum square resid pada weighted statistics dengan sum
square resid unweighted statistics. Jika sum square resid pada weighted statistic
lebih kecil dari sum square resid unweighted statistics maka terjadi
heteroskedastisitas.

3.3.2. Uji Autokorelasi


Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah
atau korelasi antar eror masa lalu dengan eror masa sekarang. Uji autokorelasi
yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan.
Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi
adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Untuk
mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan
membandingkan DW statistiknya dengan DW tabel. Adapun kerangka identifikasi
autokorelasi terangkum dalam Tabel 3. Korelasi serial ditemukan jika eror dari
periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan
melihat pola random eror dari hasil regresi.
34

Tabel 3. Kerangka Identifikasi Autokorelasi


Nilai DW Hasil
4-DL<DW<4 terdapat korelasi serial negatif
4-DU<DW<4-DL hasil tidak dapat ditentukan
2<DW<4-DU tidak ada korelasi serial
DU < DW < 2 tidak ada korelasi serial
DL < DW < DU hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < DL terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati (2006)

3.4.3. Uji Multikolinearitas


Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier yang sempurna diantara
beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Untuk regresi
k variabel, meliputi variabel yang menjelaskan X1, X2,Xk (dimana X1=1
untuk semua pengamatan yang memungkinkan unsur intersep). Suatu hubungan
linier yang sempurna dikatakan ada apabila kondisi berikut ini dipenuhi:
+ +. =0(12)
Dimana i,2,k adalah konstanta sedemikian rupa sehingga tidak
semuanya secara simultan sama dengan nol.
35

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL

4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia


Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu
dengan mengimpor sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari
Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi
Fries-Holland (FH) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di
Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi
dibandingkan sapi jenis lainnya (Sudono, 1999). Kondisi peternakan sapi perah di
Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil (dua sampai lima ekor) dilakukan
sebagai usaha sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta
didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah
(Erwidodo,1993).
Yusdja (2005) memaparkan bahwa usaha sapi perah telah berkembang
sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha usaha swasta dalam
usaha sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mulai
tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi perah ditandai
dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB ini merumuskan
kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia.
Setidaknya terdapat dua dasar yang digunakan yakni agribisnis sapi perah
dikembangkan melalui koperasi/KUD sapi perah dan pemasaran susu diatur oleh
koperasi dan Industri Pengolahan Susu.
Selain itu Yusdja (2005) juga memperlihatkan bahwa industri sapi perah di
Indonesia mempunyai struktur relatif lengkap yakni peternak, pabrik pakan, dan
pengolahan susu yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi, dan
tersedianya kelembagaan peternak yakni Gabungan Koperasi Susu Indonesia
(GKSI). Sementara itu struktur produksi susu sapi perah terdiri atas UB (usaha
besar) dengan kepemilikan sapi lebih dari 100 ekor. UM (usaha menengah)
dengan kepemilikan sapi 30 100 ekor. UK (usaha kecil) dengan kepemilikan
sapi 10 30 ekor dan UR (usaha rakyat) dengan kepemilikan sapi 1 9 ekor. UR
pada umumnya merupakan anggota koperasi. UK berkembang di Sumatera Utara,
sedangkan UB dan UM berkembang di Pulau Jawa. Situasi kontribusi produksi
36

peternakan sapi perah sekarang adalah US, UM, UK dan UR masing-masing 1, 5,


7, 90 persen. Selanjutnya kelompok US, UM, UK disebut sebagai pihak swasta
atau US.
Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia ditunjukkan dari
perkembangan populasi sapi yang terus meningkat. Gambar 6 menunjukkan
bahwa sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2010, populasi sapi perah
meningkat dari sekitar 52,000 ekor menjadi 488,448 ekor.
Gambar 6 juga menunjukkan bahwa peningkatan populasi yang terjadi
pada tahun 1997 diikuti dengan penurunan pada tahun 1998. Hal ini tidak
terlepas dari sifat komoditi ternak yang sangat liquid. Pada saat peternak
membutuhkan uang, maka dengan mudahnya ternak dijual. Apalagi pada saat
krisis ekonomi, harga daging sapi sangat menggairahkan. Namun sejak tahun
1999 usaha ternak sapi perah ini sudah kembali meningkat mendekati jumlah pada
tahun 1997 (Pradana, 2010)
Peningkatan jumlah populasi sapi perah ini tidak terlepas dari campur
tangan pemerintah dengan disediakannya paket kredit sapi perah yang disalurkan
lewat koperasi sapi perah maupun KUD yang mempunyai unit usaha sapi perah.
Namun program kredit sapi perah cenderung mengutamakan aspek pemerataan
dan kurang sekali mempertimbangkan efisiensi dan kesesuaian wilayah.
Akibatnya usaha sapi perah yang dirintis menghadapi banyak masalah dan pada
ahirnya terjadi kemacetan dalam pelunasan kredit (Erwidodo, 1993 dan Taryoto et
al., 1993).

600,000
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
0
2001
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999

2003
2005
2007
2009

populasi (ekor/head)

Sumber: Statistik Peternakan, Ditjenak 1998 - 2011


Gambar 6. Perkembangan Populasi Sapi Tahun 1998 - 2010
37

Dalam usaha meningkatkan populasi sapi perah, pemerintah telah


mengimpor bibit unggul sapi perah dari New Zeland, Australia dan USA. Tahun
1979 sapi perah yang diimpor berjumlah 3,467 ekor, tahun 1982 meningkat
30,725 ekor. Tahun 1987 dan 1989 kembali dilakukan impor masing-masing
5,000 ekor dan 14,065 ekor. (CIC dalam Suhartini, 2001).
Kemudian untuk meningkatkan produktifitas peternak sapi, pemerintah
memprogramkan bantuan pengadaan satu juta ekor bibit sapi dalam lima tahun.
Program bantuan pengadaan satu juta ekor bibit sapi tersebut dilakukan melalui
mekanisme kredit usaha pembibitan sapi terpadu. Kebijakan ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 131/PMK.05/2009 Tentang
Kredit Usaha Pembibitan Sapi yang berlaku mulai 18 Agustus 2009.
Dalam Permenkeu tersebut dijelaskan bahwa Kredit Usaha Pembibitan
Sapi (KUPS), adalah kredit yang diberikan bank pelaksana kepada Pelaku Usaha
pembibitan sapi yang memperoleh subsidi bunga dari Pemerintah. Pelaku Usaha
pembibitan sapi yang dimaksudkan adalah perusahaan pembibitan, koperasi,
kelompok/gabungan kelompok peternak yang melakukan usaha pembibitan sapi.
KUPS untuk pelaku usaha yang berbentuk Perusahaan Pembibitan
diberikan selama 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Permenkeu Nomor
131/PMK.05/2009, dengan subsidi bunga sesuai dengan jangka waktu kredit
paling lama 6 (enam) tahun. KUPS untuk pelaku usaha yang berbentuk Koperasi
dan Kelompok/Gabungan Kelompok Peternak diberikan sampai dengan tahun
2014, dengan subsidi bunga berakhir paling lambat tahun 2020.
Tingkat bunga KUPS ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku
untuk kredit sejenis, dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku bunga
penjaminan simpanan pada Bank Umum yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan ditambah 6 persen. Sedangkan, beban bunga KUPS kepada Pelaku
Usaha ditetapkan sebesar 5 persen. Dengan demikian, selisih tingkat bunga KUPS
dengan beban bunga pada Pelaku Usaha merupakan subsidi Pemerintah.
Sementara itu, ketentuan penetapan tingkat bunga KUPS berlaku selama jangka
waktu kredit (Kementrian Keuangan, 2009)
38

Usaha peternakan sapi perah masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.


Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 lebih kurang 98.5
persen populasi sapi perah nasional berada di Pulau Jawa.

Tabel 4. Sebaran Populasi Sapi Perah di Indonesia Tahun 2006-2010 (Ekor)

Tahun
Wilayah
Share 2010
2006 2007 2008 2009 2010 (%)
Aceh 28 26 32 35 42 0.0085
Sumut 6,526 2,093 2,290 2,301 2,642 0.5408
Sumbar 608 688 768 826 857 0.1754
Riau 27 49 82 122 110 0.0225
Sumsel 188 109 59 51 86 0.0176
Bengkulu 128 189 599 688 783 0.1603
Lampung 198 230 263 221 140 0.0286
Babel 0 40 73 99 109 0.0223
DKI Jkt 3,343 3,685 3,355 2,920 3,238 0.6629
Jabar 97,367 103,489 111,250 117,337 120,475 24.664
Jateng 115,158 116,260 118,423 120,677 122,489 25.077
Yogya 7,231 5,811 5,652 5,495 3,466 0.709
Jatim 136,497 139,277 212,322 221,743 231,408 47.376
Banten 0 7 14 15 28 0.0057
Bali 70 105 126 134 127 0.0260
Kalbar 33 33 173 84 72 0.0147
Kalsel 133 135 124 96 112 0.0229
Kaltim 0 0 0 6 24 0.0049
Sulut 0 0 0 0 17 0.0034
Sulsel 1,398 1,784 1,919 1,826 2,198 0.4499
Gorontalo 0 12 17 17 21 0.0042
Sulbar 0 0 5 8 5 0.0010
Indonesia 369,008 374,069 457,577 474,701 488.448 100
Sumber: Statistik Peternakan, Ditjennak 2011
39

Berkaitan dengan pengkonsentrasian usaha peternakan sapi perah tersebut,


Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia
terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu (1) wilayah yang memiliki kondisi fisik
alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan (2)
wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial
ekonomi yang rendah. Pada dasarnya, tipe wilayah (1) merupakan dataran rendah
yang terletak disekitar kota besar dan bersuhu panas; dan tipe wilayah (2)
menggambarkan perdesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk.
Wilayah yang cocok untuk pengembangan usaha peternakan sapi perah di
Indonesia adalah daerah pegunungan dengan ketinggian minimum 800 meter di
atas permukaan laut.

4.2. Produksi Susu Nasional


Peternak sapi perah yang memproduksi susu menurut BPS (2009) terdiri
dari 12 perusahaan pembibitan, 341 perusahaan peternakan sapi perah skala
menengah dan besar serta 127.211 orang peternak rakyat. Peternak rakyat
tergabung dalam 95 koperasi sapi perah (KPS) dibawah naungan GKSI
(Gabungan Koperasi Susu Indonesia) sebagai koperasi sekundernya.
Peternak rakyat yang memelihara 2 sampai 4 ekor, menghasilkan produki
susu rata-rata 11 liter/ekor/hari. Sementara peternak skala menengah dan besar
yang memelihara lebih dari 50 ekor sampai 2.000 ekor, produktivitas susunya bisa
mencapai 25 liter/ekor/hari.
Secara nasional produksi susu yang 90% berasal dari peternakan rakyat,
perkembangannya berjalan lamban, bahkan cenderung berfluktuasi (Gambar 7).
Pada tahun 2007 ketika harga susu dunia rendah, produksi susu nasional turun.
Beberapa peternak tidak bisa menutupi biaya produksinya karena harga beli IPS
ikut turun, sehingga banyak yang bangkrut dan menjual sapi perahnya.
Peternak skala menengah dan besar yang memelihara diatas 50 ekor
jumlahnya tidak lebih dari 10%. Perusahaan peternakan besar umumnya
merupakan anak perusahaan dari IPS (industri pengolahan susu). Lokasi peternak
peternak rakyat anggota koperasi sapi perah dan peternak besar sebagian besar di
40

daerah pegunungan yang dingin pada ketinggian diatas 700m diatas permukaan
laut.
Peternak skala menengah umumnya mengolah susu sendiri dalam bentuk
susu pasteurisasi dan menjual ke konsumen melalui pedagang loper. Umumnya
lokasi peternak skala menengah di pinggir kota, dekat dengan konsumen.
(Mulatsih dan Boediyana. 2010)

1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2001
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000

2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (ton)

Sumber: Ditjenak (2011)


Gambar 7. Perkembangan Produksi Susu Nasional Tahun 1991-2010

Berfluktuasinya produksi susu nasional diantaranya disebabkan oleh


peningkatan populasi sapi perah yang ditempuh melalui impor sapi perah bibit,
pengembangan teknologi inseminasi buatan, dan kemudahan akses kredit yang
diberikan oleh pemerintah pada usaha peternakan sapi perah. Injeksi modal usaha
melalui kredit koperasi ini secara operasional memiliki kelemahan. Program sapi
perah cenderung mengutamakan aspek pemerataan dan kurang
mempertimbangkan efisiensi dan kesesuaian wilayah. Akibatnya usaha ternak
sapi perah menghadapi banyak masalah dan pada ahirnya terjadi kemacetan dalam
pelunasan kredit (Taryoto et al., 1993).
Produksi susu nasional yang cenderung meningkat ini, masih belum
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional. Lebih kurang 70 persen
konsumsi susu dipenuhi dari impor. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih
terbuka lebar peluang untuk pengembangan agribisnis persususan.
41

Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor


genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering,
masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Suhartini (2001),
menyebutkan bahwa 30 persen kemampuan berproduksi sapi perah dipengaruhi
oleh kemampuan genetiknya, sementara 70 persen lainnya dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan, tata laksana, iklim, penyakit, dan sebagainya. Tabel 5
menunjukkan bahwa, masing-masing genetik sapi perah menghasilkan produksi
susu yang berbeda-beda.

Tabel 5. Produksi Susu Berdasarkan Jenis Sapi


No Bangsa Sapi Produksi Susu Persentase
Perah (kg/tahun) Lemak Susu (%)
1 Ayshire 5000 4,0
2 Brown Swiss 5000 5500 4,0
3 Guernsey 4500 4,7
4 Fries Holland 5750 3,7
5 Jersey 4000 5,0
Sumber: Blakely dan Bade (1991)

Susu segar mempunyai sifat fisik yang spesifik. Susu segar merupakan komoditi
peternakan yang paling mudah rusak (perishable) dibandingkan dengan komoditi
peternakan lainnya. Selain itu, wujudnya yang berbentuk cair dan memakan
banyak tempat (voluminous) mengakibatkan penanganan pasca panen harus
dilakukan dengan penuh kehati-hatian (Departemen Pertanian dalam Karliyenna,
1990)
Beberapa kualifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh susu segar terlebih
pada fungsinya sebagai input Industri Pengolahan Susu (IPS), adalah:
(1) Warna, bau, rasa, kekentalan: tidak ada perubahan
(2) Berat Jenis (BJ) pada suhu 27.50 sekurang-kurangnya 1.0280
(3) Kadar lemak (fat)
(4) Kadar bahan kering tanpa lemak (SNF) sekurang-kurangnya 8.0
persen
(5) Derajat asam: 4.5 70 SH
(6) Uji alkohol 70 persen: negatif
42

(7) Uji didih: negatif


(8) Katalase setinggi-tingginya 3 cc
(9) Titik beku -0.5200 C sampai -0.5600 C
(10) Angka refraksi 34.0
(11) Kadar protein sekurang-kurangnya 2.7 persen
(12) Angka reduktase dua sampai dengan lima jam, dan
(13) Jumlah kuman yang dapat dibiakkan tiap cc setinggi-tingginya tiga
Juta

Seluruh kriteria kualitas susu tersebut dirujuk berdasarkan standar SK


Direktorat Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/1983. Tidak semua
kriteria tersebut dapat diaplikasikan melalui serangkaian pengujian pada usaha
peternakan. Keterbatasan pengetahuan dan fasilitas menjadi sebuah kendala dalam
mengukur kualitas. Kualitas merupakan dasar penetapan harga susu segar sebagai
bahan baku industri. Berat (BJ) atau Total Solid (TS) dan kandungan lemak (fat)
merupakan kriteria yang digunakan oleh Industri Pengolahan Susu (IPS). Kriteria
penting lainnya adalah Total Plate Cone (TPC). Tabel 6 berikut ini menyajikan
standarisasi bahan baku susu menurut total kandungan bakteri (TPC) (Nurdin
dalam Amalia, 2008).

Tabel 6. Standarisasi Bahan Baku Susu Menurut Tolal Kandungan Bakteri (TPC)
pada Industri Pengolahan Susu (IPS)
Standar Total Kandungan Bakteri per cc
Grade I 1 500,000
Grade II 500,000 1,000,000
Grade III 1,000,000 3,000,000
Grade IV 3,000,000 5,000,000
Grade V 5,000,000 10,000,000
Grade VI 10,000,000 15,000,000
Grade VII 15,000,000 20,000,000
Grade VII > 20,000,000
Sumber: Nurdin dalam Amalia 2008
43

4.3. Produksi Susu Sapi di Pulau Jawa


Berdasarkan catatan statistik Derektorat Jendral Peternakan tahun 2010,
tidak semua provinsi di Indonesia memiliki sapi perah, konsentrasi terbesar dari
populasi sapi perah terdapat di Pulau Jawa. Perkembangan populasi ternak yang
cukup besar tersebut didukung oleh keberadaan sarana dan prasarana yang
menunjang usaha ternak sapi perah seperti IPS, Balai Inseminasi Buatan,
lingkungan geografis dan para peternak yang telah lama bergelut dengan sapi
perah. Disamping itu, faktor positif yang menunjang perkembangan populasi sapi
perah di Pulau Jawa adalah karena di pulau ini merupakan sumber pasar yang
potensial untuk produksi susu dengan jumlah populasi penduduk yang lebih
banyak dibandingkan dengan daerah lain (Firman, 2007).
Produksi susu di Pulau Jawa memegang peranan penting dalam
menentukan total produksi susu nasional. Berdasarkan data statistik peternakan
2010, menunjukkan bahwa Pulau Jawa menyumbang 99,1 persen produksi susu
nasinal yaitu sebesar 919.495 ton dan sisanya 8.343 ton dari beberapa provinsi di
luar Pulau Jawa.

600
528
Produksi Susu (Ribu Liter)

500
462
400

300 312
244 249 255 262
236 238 240 225 225
200 199
197 208 215 202 212

131
100 90 92 100
80 83 78 71 70
0 5 6 7 9 11 7 7 5 5
Tahun

Jabar Jateng Jatim yogja

Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan 2011


Gambar 8. Produksi Susu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan yogja
44

250
populasi sapi (ribu ekor)

200

150

100

50

0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

_JABAR _JATENG _JATIM _YOGJA

Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan 2011


Gambar 9. Populasi sapi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja

Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa Jawa Timur merupakan sentra


penghasil susu terbesar di Indonesia. Sekitar 58.06 persen susu dari total produksi
susu Indonesia tahun 2010 dihasilkan oleh Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan
Statistik Peternakan 2010, jumlah sapi perah di Jawa Timur mencapai 232,001
ekor yang menghasilkan 528,100 ton susu segar, dan terus meningkat dengan rata-
rata pertumbuhan dari tahun 2002-2010 sebesar 14,07 persen, dengan sentra
utama di Kabupaten Malang dan Pasuruan.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah
terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur. Berdasarkan Statistik Peternakan 2011,
jumlah sapi perah di Jawa Barat mencapai 124,792 ekor yang menghasilkan
262,177 ton susu segar, dan cenderung terus meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan dari tahun 2002-2010 sebesar 3.67 persen. Sentra utama produksi
susu di Kabupaten Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten
Bandung dengan total share dari kedua kabupaten tersebut sebesar 49.22 persen
pada tahun 2009 (Ditjenak, 2010).
Provinsi Jawa Tengah merupakan sentra produksi susu ketiga setelah
Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Berdasarkan Statistik Peternakan 2011,
jumlah sapi perah di Jawa tengah mencapai 123,091 ekor yang menghasilkan
100,150 ton susu segar, dan fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun
45

2002-2010 sebesar 8,26 persen. Yang menjadi sentra utama produksi susu di
Kabupaten Jawa Tengah adalah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang
dengan total share dari kedua kabupaten tersebut sebesar 77.16 persen pada tahun
2010.
Produksi susu di Yogyakarta merupakan produksi terendah jika
dibandingkan dengan Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa tengah. Selain itu,
produksi susu di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki trend yang cenderung
menurun. Antara tahun 2002 2010 produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006
yaitu sebesar 11.06 ton. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan yang
sangat drastis yaitu sebesar 6.99 ton hal ini diduga akibat adanya bencana alam
meletusnya Gunung Merapi dan gempa bumi. Selain itu, penurunan produksi juga
diduga akibat dari terjadinya krisis, sehingga usaha yang tidak mampu bertahan
mentup usahanya.

4.4. Perkembangan Konsumsi Susu Indonesia


Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dan peningkatan
jumlah populasi penduduk Indonesia merupakan dua faktor utama terjadinya
evolusi pola konsumsi rumah tangga di indonesia. Pergeseran konsumsi juga
terjadi di pos pengeluaran untuk bahan makanan. Rumah tangga cenderung untuk
mengalihkan sebagian alokasi pengeluaran untuk bahan makan pokok ke bahan
makanan lain yang mempunyai kadar kalori dan protein yang lebih tinggi seperti
ikan, telur, daging unggas, daging sapi, dan susu (Febiosa, 2005).
Konsumsi susu masyarakat di Indonesia didominasi oleh produk susu
olahan dibandingkan susu segar. Penyebab kondisi tersebut adalah: pertama,
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap susu segar domestik; kedua,
jangkauan penyebaran susu segar terbatas karena sifatnya yang mudah rusak dan
terbatasnya akses terhadap cold storage; ketiga, keunggulan susu olahan yang
praktis dan relatif tahan lama apabila disimpan; dan keempat, harga susu segar
yang langsung disalurkan kepada konsumen relatif lebih mahal dibandingkan
dengan produk susu olahan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan konsumsi susu
segar terbatas pada konsumen yang tinggal di daerah peternakan dan masyarakat
kota yang berpendapatan tinggi (Simatupang, et al., 1993).
46

Secara nasional potensi permintaan produk susu sangat tinggi, dengan


populasi penduduk tertinggi kelima di dunia. Komposisi penduduk bayi dan
balita yang jumlahnya sekitar 21 juta jiwa, merupakan penggerak permintaan
produk susu. Konsep pemasaran yang dilakukan oleh 23 IPS, memberikan pilihan
yang lebih luas kepada konsumen untuk mengkonsumsi produk susu olahan.
Jika pada food standard Codex hanya dikenal 2 (dua) formula susu yaitu
infant formula dan adult formula, pada industri susu nasional juga terdapat susu
formula pertumbuhan. Demikian juga susu kental manis (Sweetened Condensed
milk), yang sebenarnya tidak memenuhi standar kualitas susu karena mengandung
laktosa 62,5-64,5% (Bylund dalam Mulatsih dan Boediyana, 2010), justru
memiliki segmen pasar paling luas karena banyak variasi penggunaannya (sebagai
campuran minum kopi, teh, membuat kue, pudding, es dan lain sebagainya).
Konsumsi susu perkapita meningkat dari 6,8 kg pada tahun 2005, menjadi
7,7 kg tahun 2008 dan 10,47 kg pada tahun 2010. Pertumbuhan konsumsi susu
yang mencapai 17%/th (33,8% selama periode 2008-2010) dan pertumbuhan
produksi susu segar dalam negeri yang hanya 5,21%, mendorong peningkatan
impor bahan baku susu (Mulatsih dan Boediyana, 2010)

4.5. Perkembangan Impor Susu di Indonesia


Rendahnya produksi susu segar dalam negeri berakibat mendorong
peningkatan impor bahan baku susu. Bahan baku susu impor merupakan produk
setengah jadi (intermediate products) yang telah di proses menjadi bentuk bubuk.
Varian bahan baku impor tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Non Fat Dry Milk Powder (NFDM)
Non Fat Dry Milk Powder (NFDM) yang juga dikenal dengan sebutan
susu bubuk skim merupakan hasil dari proses pengeringan dan pasteurisasi
susu segar tanpa bahan tambahan (aditif) apapun. Bahan baku susu ini
mempunyai kadar lemak yang rendah (kurang dari satu persen) sehingga
baik untuk kesehatan. Mayoritas bahan baku susu yang di impor oleh IPS
adalah dalam bentuk NFDM karena secara luas digunakan sebagai
campuran untuk mereduksi kadar lemak susu segar yang diperoleh dari
para peternak sapi perah.
47

2. Full Cream Milk Powder (FCMP)


Full Cream Milk Powder (FCMP) merupakan bahan baku susu yang
diproduksi melalui proses pasteurisasi. FCMP mempunyai kandungan
solid susu sekaligus lemak yang tinggi, yakni sebesar 20 persen dan baik
digunakan dalam pembuatan susu bayi formula.
3. Butter Milk Powder (BMP)
Butter Milk Powder (BMP) adalah bahan baku susu yang merupakan
produk sampingan dari pengolahan cream menjadi mentega (butter) yang
dikenal dengan proses churning.
4. Anhydrous Milk Fat (AMF)
Anhydrous Milk Fat (AMF) adalah kandungan lemak yang terdapat dalam
susu maupun krim yang dihasilkan dalam proses churning.
5. Lactose
lactose adalah komposit dari dua kandungan gula yang ada di dalam setiap
jenis susu yaitu glukosa dan galaktosa. Laktosa memberikan rasa manis
dan merupakan komponen yang menyumbangkan kalori sebesar 40 persen
pada susu segar.
Impor susu di indonesia secara langsung mulai dilakukan pada saat
Industri Pengolahan Susu (IPS) mulai dirintis di dekade 70-an. Gambar 10
menunjukkan impor susu Indonesia memiliki trend yang cenderung terus
meningkat. Meningkatnya trend impor susu memberikan kekhawatiran pada
pelaku internal industri persusuan prihal penyerapan produksi susu domestik.
Untuk mengatasi kekhawatiran ini pemerintah mengeluarkan SKB tiga menteri
pada tahun 1982. Kebijakan ini secara garis besar meregulasi penyerapan IPS
dengan instrumen rasio impor. IPS diharuskan untuk menyerap sejumlah susu
domestik sebelum melakukan impor sesuai dengan rasio yang ditetapkan oleh tim
koordinasi pengembangan persusuan nasional.
Krisis di tahun 1997 memberikan andil dalam perkembangan volume
impor susu Indonesia. Harga impor yang melonjak membuat IPS menurunkan
volume impor susu, berkaitan dengan hal tersebut pada tahun 1998 kebujakan
rasio impor di cabut. Langkah ini dilakukan dalam rangka memenuhi serangkain
persyaratan Letter of Intent (LoI) IMF dalam program recovery perekonomian
48

Indonesia. Pencabutan tersebut memberikan peluang bagi IPS untuk


meningkatkan volume impor susu.

14000000
12000000
10000000
80000000
60000000
40000000
20000000
0
1991

2004
1989
1990

1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003

2005
2006
2007
2008
2009
2010
impor susu (kg)

Sumber: COMTRADE (2010)


Keterangan: Hanya jenis milk powder, fat < 1,5 persen
Gambar 10. Perkembangan Impor Susu Indonesia Tahun 1989-2010

Sebagai negara yang bukan merupakan negara asal sapi perah, ekspor susu
Indonesia relatif kecil. Sebaliknya Indonesia menjadi net importir susu dan
produk turunannya, dengan trade balance yang negatif (Gambar 11). Defisit trade
balance tertinggi (US$ -741.578.000) terjadi pada tahun 2007, dimana harga susu
dunia meningkat. Tahun 2009, nilai defisit trade balance turun ke level US$ -
376,8, namun pada kwartal I tahun 2010 meningkat 114,4 persen dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya.
400,000
200,000
0
US$ 000

-200,000
-400,000
-600,000
-800,000
-1,000,000
-1,200,000
2005 2006 2007 2008 2009
trade balance -387,801 -438,862 -741,578 -569,159 -393,127
export 133,444 127,363 136,800 305,298 217,383
import -521,245 -566,225 -878,387 -974,457 -610,510

Sumber : Pusat Data Perdagangan, Kementerian Perdagangan dalam Mulatsih dan


Boediyana ( 2010)
Gambar 11. Trade Balance Komoditas Susu
49

4.6. Harga Susu


Selama kurun waktu 1996-2009, harga susu dunia (skim milk powder)
berfluktuasi, terutama pada tiga tahun terakhir (periode 2007-2009) (Gambar 12).
Harga susu dunia naik 94% dari tahun 2006 ke tahun 2007, kemudian turun 24%
pada tahun 2008 dan turun kembali 31% pada tahun 2009.
5,000

4,000
US$/ton

3,000

2,000

1,000

0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
world price 1,92 1,73 1,44 1,31 1,87 2,04 1,38 1,76 2,01 2,22 2,21 4,29 3,27 2,25

Sumber: Understanding Dairy Market dalam Mulatsih dan Boediyana (2010)


Gambar 12. Harga Susu Internasional (Oceania Area)

Di dalam negeri harga susu dibedakan antara susu olahan siap minum yang
merupakan output dari IPS (industri pengolahan susu) dengan susu segar yang
merupakan output dari peternak. Berbeda dengan harga susu dunia, harga susu
bubuk olahan dan susu kental manis dalam negeri selama kurun waktu 2007-2010
selalu meningkat (Gambar 13). Selama kurun waktu 2007-2009, peningkatan
harga susu bubuk dan kental manis masing-masing 38,9% dan 14%.

7,250 7,390 7,750


6,800 25,000 27,000 26,800
18,000

2007 2008 2009 2010

Milk Powder (400 gr) Sweetened Condensed Milk (395 gr)

Sumber: Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag dalam Mulatsih dan


Boediyana (2010)
Gambar 13. Harga Susu Olahan Dalam Negeri
50

Harga susu segar di tingkat peternak (farm gate price) cenderung stabil
(Gambar 14). Selama periode 2007-2010 meskipun terjadi kenaikan harga
(8,2%), namun kenaikkannya jauh lebih rendah dari kenaikan harga susu bubuk
yang mencapai 38,9% pada periode yang sama, sehingga disparitas harga jual
susu segar oleh peternak dengan harga jual susu bubuk olahan oleh IPS semakin
besar (asumsi 1 kg susu bubuk setara dengan 8 liter susu cair).

10,000
9,000
8,000
7,000
6,000
Rp/ltre

5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
-
2007 2008 2009 2010
Milk powder 5,625 7,813 8,438 8,375
Fresh milk 2370 2876 2895 2973
Disparity 3,255 4,937 5,543 5,402

Sumber: Fresh milk: Direktorat Pemasaran Domestik, Ditjen PPHP, 2009


Milk powder: Kemendag, 2010 dalam Mulatsih dan Boediyana (2010)
Gambar 14. Harga Susu Peternak, IPS dan Disparitas Harga

Sekitar 80% produksi susu peternak rakyat dijual ke IPS (sebagai single
market) melalui koperasi (Gambar 15). Harga beli koperasi dari peternak
mengikuti harga beli IPS dari koperasi. Harga beli IPS relatif stabil, meskipun
harga susu dunia serta harga susu bubuk dan susu kental manis dalam negeri juga
naik.
51

Susu segar
Pedet 10% Peternak
10%
Importir produk Rp3300/lt
26% WMP
susu olahan US$4000/ton
80%
setara Rp 4500/lt
Koperasi Primer
(KUD) unit susu
Bahan baku susu Rp3800/lt

80%
IPS 20%
Rp8375/lt
Produk Produk
berbahan baku berbahan baku
susu impor Pedagang susu domestik
perantara (retailer)
Rp11000/lt
Pedagang
perantara (retailer)
Konsumen
akhir

Sumber: Mulatsih dan Boediyana (2010)


Gambar 15. Saluran Pemasaran Susu

Struktur industri pengolahan susu terkonsentrasi pada lima IPS besar


(Nestle, Ultra Jaya, Frisian Flag, Indomilk, dan Sari Husada). Konsentrasi
industri tersebut, menguatkan posisi IPS dalam menetapkan harga beli susu
peternak dan harga jual susu olahan melalui kartel terselubung. Harga beli susu
yang ditetapkan IPS merupakan kesepakatan dengan koperasi untuk jangka waktu
beberapa bulan. Harga yang ditetapkan mendekati harga minimum pasar dunia.
Bila harga dunia sedang tinggi, IPS tidak akan menaikkan harga, namun
memberikan insentif dalam bentuk bonus. Ketika harga susu dunia turun, IPS
juga tidak menurunkan harga beli, namun dengan mencabut bonus.
Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap IPS , menyebabkan peternak berada
pada posisi tawar yang lemah.
Koperasi yang menjual ke IPS skala kecil, memperoleh perlakuan yang
berbeda. IPS skala kecil (seperti Diamond), harga beli susu segar cenderung
mengikuti harga dunia. Bila harga dunia naik, harga beli lebih tinggi
52

dibandingkan harga IPS besar, sebaliknya jika harga turun, harga beli lebih rendah
dari harga IPS besar, kadang-kadang sampai dibawah biaya produksi peternak.
Akibatnya peternak yang tergantung pada IPS skala kecil akan bangkrut bila
harga susu dunia turun. Harga yang diterima peternak merupakan harga beli
pokok ditambah dengan bonus kualitas susu (total plate count dan total solid).
Pada Gambar 15 ditunjukkan bahwa margin harga tingkat retailer dengan harga
peternak sebesar Rp 7.700,-. Margin harga tersebut dinikmati oleh IPS (paling
besar) dan retailer. Kerugian ditanggung oleh peternak dan konsumen. Peternak
rugi karena menerima harga murah, sementara konsumen rugi karena harus
membayar mahal.
Peternak tidak punya banyak pilihan dalam menjual susu segarnya selain
dari IPS, karena daya serap konsumen langsung (termasuk industri rumah tangga
yang memproduksi dodol susu, karamel, dan krupuk susu) hanya 5%. Pada harga
yang ditetapkan IPS, pendapatan peternak relatif kecil sehingga sangat rentan
terhadap penurunan harga. Jika terjadi penurunan harga, peternak langsung
merugi (mulatsih dan Boediyana, 2010)

4.7. Industri Pengolahan Susu


Susu segar dari peternak sebagian besar disalurkan ke Industri Pengolahan
Susu (IPS) melalui koperasi, hanya sebagian kecil disalurkan oleh peternak
langsung ke loper atau untuk kebutuhan industri rumah tangga. Dalam hal ini IPS
menjadi sangat penting dalam bisnis persusuan. Karena IPS hampir menyerupai
oligopsoni. Kendati demikian, dalam bisnis persusuan tidak dapat dipisahkan
antara sub sistem off farm I (pra poduksi), on farm (budidaya) dan off farm II
(pasca produksi dan pemasaran hasil subsistem pendukungnya). Gambar 16
merupakan pola agribisnis peternakan sapi perah rakyat.
Gambar 16 menjelaskan bahwa susu segar dari peternak akan ditampung
di koperasi, dalam hal ini koperasi berperan seabagai lembaga pengumpul dan
penyalur susu dari peternak. Setelah mendapat perlakuan khusus dari koperasi
susu dijual ke IPS. IPS merupakan industri yang mengolah bahan baku berupa
susu menjadi susu olahan dengan berbagai jenis. Industri pengolahan susu
meliputi usaha pembuatan susu bubuk, susu kental manis, susu asam, kepala
susu/krim susu termasuk pengawetannya seperti sterilisasi dan pasteurisasi.
53

Institusi off farm I on farm off farm II

Peternak Hijauan Dairy

Obat hewan Milk center Milk Pasar


Koprasi/KUD Treatment
Konsentrat Milk process
susu penyuluhan

IPS Industri Pasar

Kelembagaan pendukung: perbankan, lembaga penelitian/SDM (PT asosiasi dsb)

Sumber: GKSI 2007


Gambar 16. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah

Jenis diversifikasi produk susu meliputi : susu cair (UHT, pasteurisasi),


susu bubuk, susu kental manis, keju, mentega, yoghurt, dan es krim. Susu segar
dan produk olahannya disajikan dalam Gambar 17.
Industri Pengolahan Susu (IPS) mempunyai peranan penting dan strategis
dalam upaya penyediaan dan pencukupan gizi masyarakat. IPS mempunyai
peluang besar dalam upaya penyediaan produk susu bagi penduduk Indonesia,
dimana menurut data Badan Pusat Statistik, tahun 2010 jumlah penduduk di
Indonesia mencapai 237 juta jiwa. Konsumsi susu rata-rata penduduk Indonesia
tahun 2009 baru mencapai 10,47 kg/kapita/tahun, masih jauh dibawah negara
ASEAN yaitu Philipina 20 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun,
Thailand 20-25 kg/kapita/tahun, dan Singapura 32 kg/kapita/tahun (Departemen
Perindustrian 2009)
Industri pengolaha susu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
yaitu: (1) kelompok industri hulu, kelompok industri ini menghasilkan susu segar.
(2) kelompok industri antara, produk yang dihasilkan pada kelompok ini adalah
susu pasteurisasi, susu UHT dan susu fermentasidan kelompok industri hilir.
(3) kelompok industri hilir, produk yang dihasilkan pada kelompok ini adalah
susu bubuk, susu kental manis, makanan bayi, keju, mentega, es krim dan
yoghurt.
54

Kepala Susu

Yoghurt

Susu Dadih/
Tahu Susu

Susu Segar
Ice Cream

Keju
Skim Milk
Powder Susu
Pasteurisasi
Whey
Susu UHT

Susu Bubuk
Anhydrose - Full Milk Powder Mentega
Milk Fat - Susu Formula

Susu Kental
Manis

Sumber: Departemen Perindustrian 2009


Gambar 17. Pohon Industri Susu

4.8. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu di Indonesia


Pengembangan susu segar dalam negeri (SSDN) dimulai sejak tahun 1978.
Pemasaran SSDN dibantu pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri (SKB Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan
Menteri Pertanian Nomor: 236/KPB/VII/82; No. 341/M/SK/7/1982; No.
521/Kpts/Un/7/1982 tanggal 21 Juli 1982), yang mengkaitkan impor susu dengan
kewajiban pembelian SSDN (Bukti Serap/BUSEP) melalui sistem Rasio Susu.
Kebijakan pembelian SSDN oleh IPS tersebut kemudian dimantapkan dengan
Instruksi Presiden Nomo 2 tahun 1985 tanggal 15 Januari 1985 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.
Tata niaga SSDN dengan sistim rasio yang diterapkan sampai tahun 1998,
berjalan dengan baik karena sistim ini sangat fleksibel dalam menghadapi
55

perubahan produksi susu segar, impor bahan baku susu, rencana produksi IPS
maupun fluktuasi harga. Kebijakan tersebut mampu mengatur keseimbangan
antara impor bahan baku susu dan produksi SSDN, sehingga peternakan sapi
perah bisa berkembang sebagai asset nasional.
LOI-IMF yang mendesak penghapusan segala bentuk barrier (tariff
maupun non-tarif) dan subsidi, sejak 1 Februari 1998 diberlakukan Inpres No
4/1998 tentang pencabutan kewajiban IPS membeli SSDN dan penurunan tariff
impor bahan baku susu. Tarif impor bahan baku susu menjadi 5 persen, jauh
dibawah tariff rata-rata dunia yang nilainya masih sekitar 20 persen (UN
COMTRADE, 2008 dalam Mulatsih dan Boediyana. 2010).
Upaya pemerintah untuk menyelamatkan SSDN, tanpa melanggar LOI-
IMF, adalah dengan mengkampanyekan minum susu segar. Melalui Keputusan
Menteri Pertanian No. 2182/KPTS/PD.420/5/2009, tanggal 1 Juni dicanangkan
sebagai Hari Susu Nusantara, dengan Slogan Hanya Susu Segar Untukku.
Beberapa pemerintah daerah sentra produksi SSDN mencipkan captive market
untuk SSDN. Sebagai contoh, Pemda Sukabumi, Jawa Barat membuat program
Gerimis Bagus (gerakan minum susu bagi usia sekolah), dengan membagikan
susu pasteurisasi gratis kepada anak sekolah dasar (SD).
Kebijakan lainnya untuk mengefisienkan produksi SSDN, adalah
Peraturan Menteri Keuangan No. 131/PMK/05/ 2009, yang memberikan kredit
bersubsidi (suku bunga 5%) untuk pengadaan sapi perah bibit melalui program
KUPS (kredit usaha pembibitan sapi). Namun semua kebijakan yang ada belum
bisa menekan impor bahan baku susu yang semakin besar.

4.9. Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan


Susu termasuk kedalam 35 sensitive products yang masih banyak diproteksi.
Horn et al, dalam Mulatsih dan Boediyana, 2010), mensinyalir tidak kurang dari
38 wilayah di AS dan EU yang tidak mematuhi kesepakatan WTO. Sebagai
contoh di EU mengenakan tariff impor susu antara 50 sampai 200% (Jean et al,
dalam Mulatsih dan Boediyana, 2010). Indonesia sejak recovery ekonomi tahun
1998, harus mematuhi LOI dengan IMF yang isinya antara lain penghapusan tariff
impor. Tariff impor produk susu saat ini hanya 5%. Akibatnya harga susu impor
56

menjadi sangat kompetitif dibandingkan susu dari peternak local, dan mendorong
impor.
Menurut PSE-KP Litbang Departemen Pertanian (2009) dalam Feryanto
(2010) menyebutkan terdapat lima prilaku negara maju yang berupaya untuk
melindungi produksinya dan mengupayakan komoditasnya masuk ke pasar
negara-negara berkembang. Adapun kelima perilaku tersebut adalah: pertama,
menekan negara berkembang menurunkan tarif, sementara negara maju
melakukan non tariff barrier dengan sanitary phytosanitary (SPS), Non-Trade
Concerns (NTCs), lingkungan hidup, dan pandangan masyarakat. Kedua,
melakukan lobi dengan pemerintah negara-negara berkembang yang memiliki
kemampuan untuk memutuskan agar tercipta kerjasama bilateral untuk menembus
pasar negera berkembang. Ketiga, membagi negara-negara berkembang yang
sebelumnya bergabung ke dalam G20 dan G33, sehingga kekuatan negara
berkembang akan semakin lemah dan dengan demikian akan semakin mudah
untuk menembus pasar negara-negara berkembang yang rendah dari segi produksi
susu dan pemenuhan asupan nilai gizi. Keempat, negara-negara maju lebih
cenderung untuk menurunkan tarif impor minor dan mempertahankan tarif produk
utama. Kelima, negara maju ternyata memanfaatkan Multinational Corporation
(MNC) yang memiliki cabang-cabang di negara berkembang untuk mengakses
pasar negara berkembang tersebut.
Kebijakan yang diterapkan oleh negara maju untuk melindungi komoditas
susu dan produk turunannya adalah dengan menetapkan tarif bea masuk ataupun
non tarif yang berbentuk hambatan teknis. Menurut Litbang Departemen
Perdagangan (2009) dalam Feryanto (2010) negara-negara maju seperti Canada,
Amerika Serikat, dan Australi menerapkan kebijakan untuk memproteksi
komoditas susu dan turuannya dari serbuan produk sejenis dari negara lain.
Faktanya Amerika Serikat menerapkan tarif masuk sebesar 17.50 sampai 18.50
persen untuk produk susu dan turunannya, Canada menerapkan tarif bea masuk
sebesar tujuh persen, sedangkan Australia menetapkan zero tariff untuk komoditas
susu, namun menetapkan non tariff barrier dalam bentuk sanitary certificate, dan
manufacture certificate.
57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Daya saing Susu Domestik (Pendekatan Porters Diamond)


Pendekatan Porters Diamond digunakan untuk mengidentifikasi kondisi
faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik sebagai bahan baku
produk susu olahan (bahan baku susu domestik).

5.1.1. Kondisi Faktor


5.1.1.1. Sumberdaya Alam
Kondisi sumberdaya alam yang mendukung peternakan sapi perah dalam
kajian ini adalah genetika, jumlah sapi, iklim dan lingkungan serta lahan. Dari sisi
genetik bangsa sapi perah yang digunakan di Indonesia ada 2 yaitu Frisian
Holstein (FH) dan persilangannya (sekitar 374 ribu ekor), Hissar dan Sahiwal
serta persilangannya dengan FH (sekitar 3 ribu ekor). Melalui intensifikasi
Inseminasi Buatan yang berlangsung lebih dari 5 generasi, maka persentase darah
FH sudah lebih dari 97 persen, sehingga sapi-sapi persilangan FH yang ada
sekarang lebih tepat disebut sapi FH. Sapi FH sangat unggul di negeri asalnya,
namun jika dipelihara di wilayah beriklim serta kondisi sosial budaya yang
berbeda maka keunggulan tersebut akan berbeda dalam hal susu yang
dihasilkannya (Diputra dan Priyanti 2010). Peternak sapi perah rakyat di
Indonesia rata-rata kurang memperhatikan silsilah keturunan sapi yang
dimilikinya. Tidak memiliki catatan yang rapi tentang silsilah sapinya, sehingga
sering terjadi perkawinan dengan kerabat dekat dan menghasilkan anak yang
kualitasnya kurang baik.

827,249 909,533
567,682 646,953
374,067 457,577 474,701 488,448

2007 2008 2009 2010

jumlah sapi (ekor) produksi susu (Ton)

Sumber: Ditjennak 2011


Gambar 18. Jumlah Sapi Perah dan Produksi Susu Tahun 2007 2010
58

Gambar 18 menunjukkan bahwa jumlah sapi perah dari tahun ketahun


terus mengalami peningkatan. Persentase peningkatan jumlah sapi terbesar terjadi
pada tahun 2007 -2008 yaitu sebesar 22.32 persen. Sedangkan persentase
peningkatan jumlah sapi dari tahun 2008 -2010 terus mengalami penurunan yaitu
3.74 persen di tahun 2009 dan 2.90 persen di tahun 2010. Hal ini menunjukkan
bahwa secara kuantitas jumlah sapi perah terus mengalami peningkatan dari tahun
ketahun, namun persentase peningkatannya memiliki trend terus menurun.
Penurunan persentase penambahan jumlah sapi perah ini menunjukkan bahwa,
tidak ada gairah dari peternak untuk terus meningkatkan usahanya. Jika ini
berlangsung terus menerus ditahun-tahun mendatang, maka tidak hanya
persentase peningkatannya saja yang turun, tetapi jumlah sapinya pun akan turun.
Sedangkan produktivitas ternak sapi sangat rendah 8 12 liter/ekor/hari dibanding
luar negeri yang potensi produksinya bisa mencapai 20 liter/hari, dikarenakan
rendahnya kualitas dan kuantitas pakan ternak dan cara berternak yang kurang baik.
Faktor yang kedua adalah Iklim dan lingkungan. Dimana sentra produksi
susu di Pulau Jawa rata-rata memiliki agroklimat yang mendukung perkembangan
sapi perah, yaitu suhu yang sejuk, dataran tinggi, supply konsentrat yang cukup
(kualitas dan jumlahnya), serta air yang berlimpah (Luthan, 2011)
Faktor yang ketiga adalah lahan. Hampir di seluruh wilayah peternakan
sapi perah rakyat di Indonesia tidak ada sistem yang menjamin pengadaan sumber
pakan hijauan yang tersedia sepanjang tahun. Di beberapa tempat, tidak ada
sumber hijauan dan sistem yang memungkinkan pengiriman pakan tersebut dari
daerah lain. Seperti misalnya wilayah Kebon Pedes Bogor, wilayah ini terletak di
dataran rendah di tengah-tengah kota yang sangat padat penduduknya. Di wilayah
ini tidak tersedia lahan khusus untuk pakan hijauan. Sehingga kebutuhan pakan
hijauan dipenuhi dari membeli sisa hasil pertanian seperti pohon jagung. Selain
dari sisa hasil pertanian, pakan hijauan juga diperoleh dari sumber-sumber lain
seperti rumput lapang dan sampah sayuran yang ada di pasar-pasar tradisional.
Sedangkan di Pengalengan Bandung, karena wilayah ini jauh dari
perkotaan dan terletak di dataran tinggi dengan luas lahan yang cukup memadai,
maka pasokan pakan hijaun relatif lebih baik meskipun belum bisa dikatakan
mencukupi. Hanya sebagian kecil, yaitu sebanyak 26 persen peternak yang
59

memiliki atau menguasai kebun rumput untuk penyediaan hijauan, selebihnya


yaitu sebesar 74 persen peternak sepenuhnya mengandalkan pemenuhan pakan
hijauan dari rumput lapang dan membeli hijauan dari sisa hasil pertanian (KPBS,
2008)

5.1.1.2. Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor pendukung di sub
sektor peternakan. Berdasarkan hasil survey ke wilayah peternakan rakyat yang
ada di Kebon Pedes dan Pengalengan diperoleh hasil bahwa, tenaga kerja pada
kedua peternakan sapi perah rakyat tersebut rata-rata terdiri dari anggota keluarga
dengan tingkat pendidikan yang didominasi oleh jenjang Sekolah Dasar (SD) atau
lebih rendah (tidak lulus SD). Berdasarkan data sensus verifikasi keanggotaan dan
kepemilikan sapi perah Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) tahun
2008, dengan jumlah peternak yang diverifikasi sebanyak 4.647 orang tercatat
bahwa sebanyak 82 persen dari total anggota hanya berpendidikan/berijazah SD
atau lebih rendah (tidak lulus SD), 17 persen lulus Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) dan lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), sedangkan
sisanya lebih kurang sebesar 1 persen lulus Diploma dan Sarjana. Berdasarkan
pengelompokan umur menunjukkan bahwa 42 persen peternak berumur antara 20-
40 tahun dan 35 persen peternak beumur antara 41-60 tahun. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa rata-rata umur peternak masih produktif.
Tenaga kerja wanita khususnya istri peternak memiliki andil yang besar
dalam kegiatan sapi perah, keterlibatan mereka dalam hal membantu pekerjaan di
kandang seperti kegiatan sanitasi dan pemberian pakan. Penggunaan tenaga di
luar anggota keluarga oleh peternak relatif sangat kecil. Keterlibatan tenaga luar
ini terutama dalam menangani pekerjaan fisik berat dan pekerjaan yang
memerlukan tenaga pengangkutan seperti pada kegiatan penyediaan
hijauan/menyabit rumput dan pengiriman/setor susu.
Rata-rata pengalaman beternak para peternak sudah cukup lama,
pengalaman ini bukan diperoleh dari pendidikan formal melainkan diperoleh dari
turun temurun keluarga. Jadi perilaku peternak untuk bisa beternak diperoleh dari
turun temurun.
60

5.1.1.3. Sumber Daya Modal


Sumber daya modal merupaka sumber daya utama dalam usaha ternak sapi
perah. Besar kecilnya modal, akan berdampak pada kondisi skala usaha.
Erwidodo (1993) dan (Swastika et al., 2005) menyatakan bahwa peternakan sapi
perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di perdesaan dalam skala
kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya
merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah
diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah
kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah empat
sampai tujuh ekor, dan tiga persen kepemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor.

5.1.2. Kondisi Permintaan


Delgado et al. (1999) memprediksi bahwa pada tahun 2020 rataan
konsumsi susu per kapita per tahun di Asia Tenggara sebesar 16 kg. Dengan
demikian, tersedia potensi pasar yang besar di Indonesia. Apabila dikaitkan
dengan hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama
lima belas tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 233.5 juta pada tahun 2010
menjadi 273.2 juta pada tahun 2025. Disamping itu kecenderungan konsumsi susu
per kapita di masa mendatang terus meningkat (BPS, 2009).
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya
pendapatan perkapita, permintaan akan produk susu pun terus meningkat.
Tingginya potensi permintaan akan produk susu merupakan kekuatan utama
industri persusuan Indonesia. kekuatan tersebut diprediksi akan meningkat secara
kontinyu dimasa yang akan datang seiring dengan meningkatnya pendapatan
perkapita masyarakat Indonesia. Febiosa (2005) menyatakan bahwa konsumsi
susu perkapita di Indonesia berpotensi untuk terus ditingkatkan karena produk
susu olahan bersifat elastis terhadap peningkatan pendapatan perkapita.

5.1.3. Industri Terkait dan Pendukung


Koperasi sebagai bagian terkait yang menghimpun peternak sapi perah
mempunyai peran yang sangat penting bagi pembangunan usaha peternakan sapi
perah. Koperasi sangat membantu peternak dalam penyediaan sarana dan
61

prasarana produksi, khususnya pakan konsentrat, peralatan produksi, pelayanan


kesehatan ternak, serta mengumpulkan susu dari anggota, dan menjualnya kepada
IPS (industri pengolahan susu). Sebelum dijual ke IPS, susu yang ditampung oleh
koperasi didinginkan untuk mengurangi kerusakan selama perjalanan ke IPS. Susu
segar yang ditampung oleh koperasi terutama dijual kepada IPS. Selain dijual ke
Koperasi, ada juga susu dari peternak yang dijual kepada loper (pedagang
pengecer) susu dan ada juga yang langsung dijual ke industri rumah tangga.
Industri rumah tangga tersebut mengolah susu segar dari peternak menjadi susu
pasteurisasi, dodol susu, kerupuk susu, karamel susu dan sebagainya yang
kemudian hasil langsung dijual kepada konsmen lokal.

5.1.4. Strategi, Struktur dan Persaingan


Strategi utama yang dilakukan oleh usaha peternakan sapi perah adalah
bergabung dalam wadah koperasi peternak pada lingkup daeran dan GKSI pada
lingkup nasional. Hal ini dilakukan untuk menciptakan market power yang
diharapkan dapat mempengaruhi harga melalui proses pemasaran susu secara
kolektif.
Kondisi infrastruktur terutama jalan raya kurang mendukung industri
persusuan nasional. Wilayah-wilayah yang strategis untuk peternakan sapi perah
dengan sumberdaya alam yang mendukung biasanya terletak jauh di luar kota,
sehingga susu dari peternak yang disalurkan oleh koperasi butuh waktu beberapa
jam untuk sampai ke IPS. Meskipun koperasi sudah memberikan perlakuan
khusus terhadap susu segar dari peternak dengan proses pendinginan 2-3 derajat
celsius, namun karena buruknya infrastruktur jalan raya, dalam perjalanan dari
komperasi menuju IPS butuh waktu lama. Sehingga susu segar sering mengalami
kerusakan karena perkembangan mikro organisme.
Tingginya cemaran mikro organisme tersebut menyebabkan lemahnya
posisi tawar koperasi terhadap IPS. Sehingga IPS lebih memilih bahan baku susu
impor dibandingkan dengan susu segar dalam negeri. Akibat rendahnya harga
bahan baku susu impor maka, susu segar dari peternak rakyat tidak mampu
bersaing dengan bahan baku susu impor dalam hal kualitas dan harga.
62

5.1.5. Pemerintah
Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini
adalah adanya (a) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan
serap susu segar domestik, atau yang lebih dikenal dengan rasio BUSEP (Bukti
Serap), dan (b) penerapan tarif impor untuk bahan baku susu impor maupun
produk susu (susu bubuk, keju dan mentega). Namun, Sejak ditandatanganinya
kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 tentang
penghapusan tataniaga SSDN, maka sejak saat itu sistem rasio BUSEP juga telah
dihapus.
Sejak bulan November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan
kurangnya supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen,
pemerintah memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk atas
impor barang dan bahan oleh industri pengolahan susu (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 145/PMK.011/2008). Hal tersebut juga diperparah dengan
dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari
lima persen menjadi nol persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
19/PMK.011/2009 pada bulan April dan efektif diberlakukan sejak 1 Juni 2009.
Kondisi ini menyebabkan harga susu impor (bubuk) jauh lebih murah hingga 15
persen dibandingkan susu lokal, sehingga semakin memperburuk kondisi
peternak sapi perah, karena tidak dapat bersaing dengan susu impor.

5.1.6. Kesempatan
Tingginya permintaan susu domestik, yang sebagian besar yaitu sebesar
70 persen masih tergantung pada impor, merupakan peluang dan kesempatan
untuk meningkatkan produksi susu domestik. Namun tanpa dukungan pemerintah
dalam bentuk subsidi, pinjaman atau yang lainnya, peluang dan kesempatan ini
sulit untuk dimanfaatkan mengingat kondisi peternak sapi perah rakyat sangat
kekurangan modal untuk meningkatkan skala usahanya.
63

- Peningkatan produksi dan produktivitas bahan baku susu domestik


pasca penghapusan kebijakan rasio impor direspon dengan penurunan
Pemerintah penyerapan bahan baku susu domestik (-)
- Kebijakan rasio impor meningkatkan preferensi IPS untuk melakukan
impor bahan baku(-)

- Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha - Usaha peternakan sapi perah beraliansi untuk
perseorangan dan dengan kepemilikan sapi perah tiga memasarkan bahan baku susu domestik dalam format
sampai dengan empat ekor (-) koperasi (GKSI) (+)
- Komposisi ketenagakerjaan didominasi pekerja - Infrastruktur berupa jalan raya, tidak mendukung (-)
dengan tingkat pendidikan rendah (-) - Spesifikasi bahan baku susu impor yang unggul dan
- Teknologi konvensional (-) penghapuasan kebijakan rasio impor meningkatkan
preferensi IPS untuk melakukan impor bahan susu (-)

Strategi, Struktur dan Persaingan

Kondisi Faktor Kondisi


permintaan
Industri Pendukung dan
Terkait

- Koperasi sangat membantu peternak dalam penyediaan - Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat
sarana dan prasarana produksi (+) menggerakkan peningkatan derived demand bahan baku
- IPS mengolah bahan baku susu menjadi susu olahan susu domestik (+)
dengan berbagai jenis - Populasi penduduk yang besar meningkatkan derived
demand bahan baku susu (+)
- Mayoritas IPS yang berasal dari investasi PMA tidak
ditujukan untuk mengutamakan penyerapan bahan baku
susu domestik (-)
Tingginya impor lebih kurang 70
Kesempatan persen, merupakan peluang bagi
peternak untuk meningkatkan
produksinya.

Gambar 19. Ringkasan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya saing


Susu Domestik dengan Pendekatan Porters Diamond
64

5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi


Indonesia
Hasil pengujian pada model data panel statis yaitu pooled least square
(PLS), fixed effect model (FEM), dan random effect model (REM) diperoleh hasil
bahwa metode yang dipilih adalah fixed effect model (FEM). Pengujian asumsi
dasar (multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi). Dilakukan untuk
memperoleh hasil estimasi yang BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Hasil
pengujian pada model terpilih ditemukan tidak terdapatnya multikolinearitas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi (Lampiran 3 dan 4)

Tabel 7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Indonesia


FEM
Variabel
Koefisien Probabilitas
LNPRICEDOM 0.001995 0.9428
LNPCORN -0.050679 0.7360
LNCOW 0.468287 0.0000
C 0.214100 0.7362
R Squared 0.9935 -
Adj R-Squared 0.9922 -
Keterangan : Variabel tidak bebas = PROD

Pada Tabel 7, variable jumlah sapi perah (COW) berpengaruh signifikan


pada taraf nyata () 1 persen. Untuk variable harga susu sapi domestik
(PRICEDOM) dan variable harga jagung (PCORN) tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap produksi susu. Nilai R square pada model sebesar 0.9935
yang artinya variasi variabel jumlah produksi susu sapi (PROD) dijelaskan 99.35
persen oleh faktor-faktor penduga model (harga domestik, harga jagung dan
jumlah sapi) dan 0.65 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat
dalam model. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi susu sapi
(PROD) di Indonesia adalah jumlah sapi perah (COW), sebesar 0.47 persen.
Koefisien variabel jumlah sapi perah (COW) sebesar 0.4682 yang
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah sapi perah (COW) sebesar 1 persen
65

akan meningkatkan jumlah produksi susu sapi domestik (PROD) sebesar 0.4682
persen. Sapi perah merupakan salah satu komponen dari produksi susu sapi,
sehingga kenaikan jumlah sapi akan meningkatkan produksi susu sapi.
Koefisien variabel harga susu sapi domestik (PRICEDOM) sebesar 0.0019
yang menunjukkan bahwa penurunan harga susu sapi domestik (PRICEDOM)
sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah produksi susu sapi domestik (PROD)
sebesar 0.0019 persen. Variabel harga susu tidak siknifikan berpengaruh terhadap
produksi susu, diduga disebabkan karena ketika sapi laktasi sudah ber produksi,
tidak dapat dihentikan tiba-tiba. Jadi meskipun harga susu sangat rendah, sapi
harus tetap di perah pada waktunya. Masa laktasi pada sapi lebih kurang 10 bulan
atau sekitar 305 hari. Sehingga dalam masa laktasinya ini produksi tidak dapat
dihenti/kan hingga masa keringnya.
Koefisien variabel harga jagung (PCORN) sebesar -0.5067 yang
menunjukkan bahwa kenaikan harga jagung (PCORN) sebesar 1 persen akan
menurunkan jumlah produksi susu sapi domestik (PROD) sebesar 0.5067
persen. Variabel harga jagung juga tidak signifikan mempengaruhi produksi susu,
hal ini diduga karena jagung hanyalah bagian kecil dari komponen konsentrat.

Tabel 8. Hasil Perhitungan Intersep Per Provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Yogyakarta)
Crossid Effect
Jawa Barat 0.200611
Jawa Tengah -0.280641
Jawa Timur 0.099046
Yogyakarta -0.019016

Hasil perhitungan dari intersep untuk masing-masing Provinsi dapat dilihat


pada Tabel 8. Hasil tersebut merupakan hasil dari model fixed effect yang
didasarkan adanya perbedaan intersep antar provinsi yang dianalisis yaitu Provinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, namun intersepnya sama
antar waktu (time invariant). Sesuai dengan konsep data panel Model fixed effect
bahwa intersep akan berbeda-beda untuk setiap provinsi, koefisien determinan
tidak berubah. Adapun perbedaan intersep untuk masing-masing provinsi
66

merupakan hasil penjumlah antara koefisien intersep pada model sebesar


0.214100 dengan koefisien pengaruh fixed effect yang diperlihatkan pada Tabel 8
setelah persamaan regresi. Misalkan, intersep untuk Provinsi Jawa Barat sebesar
0.214100 + 0.200611 = 0.41471; intersep untuk Provinsi Jawa Tengah sebesar
0.214100 -0.280641 = -0.0655; Intersep untuk Provinsi Jawa Timur sebesar
0.214100 + 0.099046=0.31315 dan intersep untuk Yogyakarta sebesar 0.214100-
0.019016 =0.19508, Pada Tabel 8 terlihat intersep sebagai pengaruh fixed effect
bervariasi negatif dan positif dimana nilai bervariasi dari -0,019016 sampai
dengan 0,280641. Sehingga intersep Provinsi yang dianalisis untuk model
produksi susu bervariasi dari -0.0655 sampai dengan 0.41471. Artinya, produksi
susu dikeempat Provinsi yang dianalisis mengalami penurunan dan peningkatan
yang bervariasi dari -6.55 persen dari total produksi susu sampai dengan
peningkatan sebesar 41.47 persen dari total produksi susu.
67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu
domestik melalui pendekatan Porters Diamond menghasilkan implikasi
penelitian bahwa kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada
kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha
perseorangan dan rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai dengan
empat ekor, teknologi yang bersifat konvensional berkontribusi terhadap
rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Sebaliknya, faktor yang diduga
berkontribusi besar terhadap kondisi daya saing adalah kondisi permintaan.
Permintaan akan susu domestik sebagai permintaan turunan atas produk susu
olahan distimulasi oleh peningkatan pendapatan perkapita masyarakat,
peningkatan populasi dan awareness akan manfaat susu.
Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi dan IPS.
Sedangkan untuk kondisi strategi, struktur dan persaingan antara susu domestik
dan impor belum kondusif untuk meningkatkan daya saing susu domestik. Hal ini
dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang
lebih unggul. Ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining
position GKSI representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam menetapkan
harga susu domestik
Intervensi pemerintah melaui penghapusan kebijakan rasio impor
memperburuk kondisi persusuan nasional. Tingginya nilai impor susu Indonesia
merupakan faktor kesempatan untuk meningkatkan produksi susu Indonesia.
Hasil analisis menggunakan metode panel menunjukkan bahwa variable
jumlah sapi perah (COW) berpengaruh signifikan pada taraf nyata () 1 persen.
Untuk variable harga susu sapi domestik (PRICEDOM) dan variable harga jagung
(PCORN) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi susu. Nilai R
square pada model sebesar 0.9935 yang artinya variasi variabel jumlah produksi
susu sapi (PROD) dijelaskan 99.35 persen oleh faktor-faktor penduga model
(harga domestik, harga jagung dan jumlah sapi) dan 0.65 persen dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak terdapat dalam model.
68

6.2 Saran
Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam
rangka peningkatan daya saing susu domestik diantaranya adalah pemerintah
perlu memberikan dukungan nyata dalam rangka mengembangkan usaha
peternakan sapi perah. Upaya ini dapat ditempuh melalui kemudahan akses usaha
peternakan sapi perah terhadap kredit serta pendanaan bagi program penelitian
dan pengembangan susu domestik. Hal ini dikarenakan kondisi faktor seperti
skala usaha yang tidak ekonomis akibat kepemilikan sapi perah yang sedikit,
kemampuan sumberdaya manusia yang belum optimal, akses teknologi yang
minim, dan pengawasan kualitas produk yang kurang baik merupakan kelemahan
mendasar yang terjadi pada subsistem on farm industri persusuan nasional. Tujuan
utama peningkatan kapasitas produksi dan kualitas susu domestik merupakan
langkah prioritas yang perlu dilakukan dengan segera.
69

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, S. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya saing dn


Impor Susu Indonesia [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Harga Konsumen perdesaan kelompok


makanan. BPS Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2008. BPS Jawa
Barat, Bandung.

Blakely, J and D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke-4. Gajah Mada
University press. Yogyakarta.

Baltagi. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edision. John Wiley
and Sons Ltd, Chichester.

Boediyana,T. 2007. Persusuan di Indonesi Pra dan Paska Liberalisasi. Dewan


Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia.
Jakarta.

Buxton B. M. 1985. Factors Affacting Milk Production. National Economics


Division, Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture.
Agricultural Economic Report No. 527

[COMTRADE] Commodity Trade Statistics Database. 2010. Acces From world


Integrated Trade Solution (WITS)
Database.http://wits.worldbank.org/witsweb/default.aspx.
washington,Dc: World Bank.

Daryanto, A. 2007. Persusuan Indonesia Kondisi Permasalahan dan Arah


kebijakan. http:/ariefdaryanto.wordpress.com/2007/09/23/persusuan-
indonesia-kondisi-permasalahan-dan-arah-kebijakan/.[2 Juni 2012]

___________. 2009. Dinamika Daya saing Industri Peternakan. IPB press, Bogor.

___________.2010.Pentingnya Merevitalsasi Industri Susu.


http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/a57ab49750ca6de535a0dca2522
80ea9.html. [2 Juni 2012].

Departemen Perindustrian, 2009. Roadmap Industri Susu. Direktorat Jenderal


Industri Agro dan Kimia. Departemen Perindustrian. Jakarta.

Diputra, B.R.P. dan A. Priyanti. 2010. Technology of Forage Feed Supply


Sustainability to Support Dairy Farms in Indonesia.
http://www.deptan.go.id/pedum2012/PETERNAKAN. [31 Mei 2012].
70

Direktorat Jenderal Peternakan. 1998 - 2011. Statistik Peternakan. Deptan,


Jakarta.

Du Toit J. P., G.F. Ortmann and S. Ramroop. 2010. Factors influencing the long-
term competitiveness of commercial milk producers: evidence from
panel data in East Griqualand, South Africa. Agrekon, Vol 49, No 1

Erwidodo. 1993. Kemungkinan Deregulasi Industri Persusuan di Indonesia.


Makalah Disampaikan Pada Seminar di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, tanggal
12 Juni 1993.

Falatehan, A. Faroby. 1998. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Perdagangan Udang Indonesia di Jepang [skripsi]. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Feryanto. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemrintah


Terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat [tesis]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Firman, A. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka.


Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran, Bandung.

Gujarati D. 2006. Dasar-dasar ekonometrika. Jakarta: Erlangga.

Henderson, J. M. And R. E. Quant. 1980. Microeconomic Theory: A


Mathematical Approach. Third Edition, International Student Edition.
McGraw-Hill International Book Company, Tokyo.

Ilham. N. dan D. K. S. Swatika. 2001. Analisis Daya saing Susu Segar Dalam
Negeri Pasca Krisis Ekonomi dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Jurnal Agro
Ekonomi, 19(1):19-43.

Joesran dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Salemba Empat, Jakarta.

Karliyenna, L. 1990. Penawaran dan Permintaan Susu Segar di Jakarta, Bogor,


Tangerang, dan Bekasi Jawa Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Koo, V.W. dan P.L. Kennedy. 2005. International Trade and Agriculture.
Blackwell Publishing, Massachusetts.

Koutsoyiannis, A. 1979. Modern Microeconomics. Second Edision. The


Macmillan Press Ltd. London.

Kementrian Keuangan 2009. Siaran Pers. Departemen keuangan Republik


Indonesia Biro Hubungan Masyarakat. Jakarta 31 Agustus 2009.
71

Kementan, 2010. Dit. BudidayaTernak Ruminansia. Disampaikan pada Forum


Komunikasi Pengembangan Industri Pengolahan Susu Melalui
Pendekatan Klaster. Jakarta, Nopember 2010.

Lipsey, R.G., P.N. Courant, D.D. Purvis, dan P.O. Steiner. 1995. Pengantar
Mikroekonomi. J. Wasana dan Kirbrandoko. [penerjemah]. Binarupa
Aksara, Jakarta.

Luthan, F. 2011. Pedoman Teknis Pengembangan Budidaya Sapi Perah Pola


PMUK. Direktorat Budidaya Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan 2012. Jakarta November 2011.
Miller, R. L., R. E. Meiners. Teori Ekonomi Mikro Intermediate. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Mulatsih, S. dan T. Boediyana. 2010. Impacts of An FTA in Indonesia-EU


Export-Import (Cases for Milk). Institute of Globe Justice 2010.

National Competitiveness Council. 2006. Anual Competitiveness Report 2006.


http://www.forfas.ie/ncc/reports/ncc_annual_06/index.html. [10 Agustus
2012]

Nurdin, A. 2006. Analisis Sumber-Sumber Pertumbuhan Produksi Susu Segar


Peternakan Sapi Perah di Indonesia [Tesis]. Sekolah Pascasarjana,
Universitas Indonesia, Depok.

Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New
York.

Pradana, M. N. 2010.Agribisnis Sapi Perah di Indonesia (Tinjauan Umum).


http://www.iasa-pusat.org/latest/agribisnis-sapi-perah-di-indonesia-
tinjauan-umum.html. [24 April 2012]

Priyanti, A dan Saptati, RA. 2009. Dampak Harga Susu Dunia Terhadap Harga
Susu dalam Negeri di Tingkat Peternak: Kasus Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara di Jawa Barat.

Qingbin Wang, Robert Parsons dan Guangxuan Zhang (2010). Chinas dairy
markets: trends, disparities, and Implications for trade. China
Agricultural Economic Review.Vol. 2, No.3. pp 356-371.

Schmidt, G. H. L. D. Van Vleck dan M. F. Hutjuers. 1998. Principles of Dairy


Science. 2nd Edition. Prentice-Hall. Englewood Cliffs.

Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar. [penerjemah].


Erlangga, Jakarta.

Siregar, P. 2009. Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap


Daya saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota
72

Simanjuntak, S. 1992. Analisis Daya saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah


Terhadap Perusahaan Kelapa sawit Indonesia [tesis]. Fakultas
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Simatupang P., E. Jamal, M.H. Torop dan C. Muslim. 1993.Agribisnis Komoditas


Peternakan. Monograph Series No.8. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu
Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suhartini, S.H. 2001. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan


Industri Persusuan di Indonesia [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori Mikro ekonomi. Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Sukirno, S. 2006. Makroekonomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Surifani, D. M. 2004. Permintaan Impor Kedelai Indonesia dari Amerika Serikat


dan Aliran Impor Kedelai Indonesia[skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanan. Departemen Ilmu Makanan
Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yusdja, Y. 2005. Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di


Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 3: 257-268.

Taryoto, A. H., B. Rachman, Sunarsih, Agustian dan P. Setiadi. 1993. Analisis


Perbandingan Kelembagaan pada Usahatani Susu Sapi Perah di Jawa
Barat dan Jawa Timur. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
73

LAMPIRAN
74

Halaman ini sengaja dikosongkan


75

Lampiran 1. Kompilasi Data Penduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Produksi Susu di Indonesia Periode 2002-2010 (dalam Bentuk
Logaritma Natural)

LNPROD LNPDOM LNPCORN LNCOW


5.297782 7.135225 3.350054 10.75
5.31776 7.34628 3.33163 10.79
5.333105 7.557336 3.343409 10.83
5.305104 7.768391 3.360783 10.76
5.326108 7.979447 3.423082 10.81
5.352592 8.190502 3.497897 10.87
5.352592 8.401558 3.536053 10.95
5.407132 8.709465 3.571942 11.00
5.418595 8.729235 3.618571 11.06
4.903459 7.843849 3.166726 11.01
4.918586 6.940176 3.127753 11.08
4.893534 7.225415 3.12969 10.95
4.849376 7.510654 3.154424 10.97
5.116926 7.795893 3.231979 10.98
4.84769 8.081131 3.31492 10.99
4.953025 8.36637 3.409426 11.01
4.962663 8.758727 3.411451 11.03
5.000651 8.774468 3.467312 11.05
5.295475 7.939515 3.277151 11.11
5.372805 6.766187 3.126781 11.12
5.375962 7.053939 3.139879 11.12
5.380045 7.34169 3.16346 11.13
5.387923 7.629442 3.234517 11.15
5.396679 7.917194 3.320769 11.17
5.49453 8.204945 3.415808 11.59
5.664529 8.559486 3.389343 11.64
5.722716 8.631414 3.468347 11.68
3.724194 7.456107 3.276002 7.83
3.747955 7.581277 3.138934 8.13
3.860757 7.706448 3.128399 8.28
3.945074 7.831618 3.17667 8.34
4.043873 7.956788 3.229938 8.21
3.844726 8.081959 3.312177 7.99
3.850217 8.207129 3.374565 7.97
3.702258 8.371474 3.374198 7.94
3.698014 8.426612 3.45393 7.94
Sumber: Ditjen Peternakan, Badan Pusat Statistik, 2002-2010
76

Lampiran 2. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu di


Indonesia: Regresi Data Panel

Dependent Variable: LNPROD


Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 06/11/12 Time: 09:42
Sample: 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 4
Total panel (balanced) observations: 36
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNPDOM 0.001995 0.027580 0.072331 0.9428


LNPCORN -0.050679 0.148877 -0.340409 0.7360
LNCOW 0.468287 0.068349 6.851366 0.0000
C 0.214100 0.629493 0.340115 0.7362

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.993591 Mean dependent var 124.0969


Adjusted R-squared 0.992265 S.D. dependent var 88.61025
S.E. of regression 1.040122 Sum squared resid 31.37375
F-statistic 749.3577 Durbin-Watson stat 2.011355
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.990840 Mean dependent var 4.890678


Sum squared resid 0.140468 Durbin-Watson stat 2.111002

Lampiran 3. Uji Multikolinearitas

LNPROD LNPDOM LNPCORN LNCOW


LNPROD 1.000000 0.000562 0.272800 0.957963
LNPDOM 0.000562 1.000000 0.795633 -0.009181
LNPCORN 0.272800 0.795633 1.000000 0.172051
LNCOW 0.957963 -0.009181 0.172051 1.000000
77

Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas

.20

.16

.12

.08

.04

.00

-.04

-.08

-.12
5 10 15 20 25 30 35

LNPROD Residuals
78

Halaman ini sengaja dikosongkan


Halaman ini sengaja dikosongkan

Potrebbero piacerti anche