Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
RIA ASMARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya saing dan
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi Susu di Indonesia adalah karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Ria Asmara
NRP. H151080181
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
RIA ASMARA. Analysis of Competitiveness and the Factors that affect Milk
Production in Indonesia. Under the supervision of SRI MULATSIH and ALLA
ASMARA.
The aims of this study are (1) to analyze the development of milk industry in
Indonesia, (2) to analyze the competitiveness of Indonesian milk, and (3) to
analyze the factors that affect milk production in Indonesia. Data was from the
Central Statistics Agency (BPS), the Directorate General of Animal Husbandry,
Joint Cooperative Milk Indonesia (GKSI), International Financial Statistics (IFS)
and Commodity Trade Statistics Database (Comtrade). This study used time
series yearly data 2002 to 2010 of volume of milk production, domestic milk
prices, corn prices and the number of cows. The method to analyze the
competitiveness of Indonesian milk is Porter's Diamond approaches. Porter's
Diamond analysis indicates a fundamental weakness of domestic milk
competitiveness lies in the condition factor, supporting and related industries,
government intervention, strategy structure and rivalry. Conversely, factors
thought to contribute greatly to the condition competitiveness is demand
conditions. The method to determine the factors that affect milk production in
Indonesia is the panel data regression. The result that milk production is
significantly affected by number of cows and not significantly affected by price of
domestic milk and price of corn.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PRODUKSI SUSU DI INDONESIA
RIA ASMARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ratna Winandi, M.S
Judul Tesis : Analisis Daya saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Susu di Indonesia.
NRP : H151080181
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Ria Asmara
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP
No. Halaman
1. Kontribusi Subsektor Pertanian Terhadap PDB Tahun 2006-2010 .............. 1
2. Volume Impor Susu Indonesia Tahun 2005-2010 ........................................ 3
3. Kerangka Identifikasi Autokorelasi .............................................................. 34
4. Sebaran Populasi Sapi Perah di Indonesia Tahun 2006-2010....................... 38
5. Produksi Susu Berdasarkan Jenis Sapi ......................................................... 41
6. Standarisasi Bahan Baku Susu Menurut Total Kandungan Bakteri (TPC)
Pada Industri Pengolahan Susu ..................................................................... 42
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu di Indonesia ................ 64
8. Hasil Perhitungan Intersep Per Provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Yogyakarta) ................................................................................ 65
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Produksi dan Konsumsi Susu Indonesia Tahun 2005-2009 ........................ 2
2. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata dan Produk Marjinal ...................... 9
3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif Nasional Porters Diamond .... 14
4. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ......................... 18
5. Kerangka Pemikiran Penelitian..................................................................... 30
6. Perkembangan Populasi Sapi Tahun 1998 - 2010 ........................................ 36
7. Perkembangan Produksi Susu Nasional Tahun 1991-2010 .......................... 40
8. Produksi Susu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja ........... 43
9. Populasi sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja ... 44
10. Perkembangan Impor Susu Indonesia Tahun 1989-2010 ............................. 48
11. Trade Balance Komoditas Susu .................................................................... 48
12. Harga Susu Internasional (Oceania Area) ..................................................... 49
13. Harga Susu Olahan Dalam Negeri ................................................................ 49
14. Harga Susu Peternak, IPS dan Disparitas Harga........................................... 50
15. Saluran Pemasaran Susu ............................................................................... 51
16. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah ......................................................... 53
17. Pohon Industri Susu ...................................................................................... 54
18. Jumlah Sapi Perah dan Produksi Susu Tahun 2007 - 2010 .......................... 57
19. Ringkasan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya saing
Susu Domestik dengan Pendekatan Porters Diamond ................................. 63
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Kompilasi Data Penduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Indonesia Periode 2002-2010 (dalam Bentuk Logaritma Natural) ................ 75
2. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
di Indonesia: Regresi Data Panel .................................................................... 76
3. Uji Multikolinearitas ....................................................................................... 76
4. Uji Heteroskedastisitas.................................................................................... 77
1
I. PENDAHULUAN
Salah satu dari subsektor peternakan yang memiliki banyak manfaat dan
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis persusuan.
Konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara
Asia lainnya. Pada tahun 2009, konsumsi susu di Indonesia rata-rata baru
mencapai 10,47 kg/kapita/tahun, masih jauh dibawah negara ASEAN yaitu
Philipina 20 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, Thailand 20-25
kg/kapita/tahun, dan Singapura 32 kg/kapita/tahun (Departemen Perindustrian,
2009). Sehingga masih ada potensi permintaan susu akan tumbuh. Meskipun
2
2500
2,324.3 2,345.3 2,374.3
2000 2,068.80 2,046.10
1500
1000
536 583.5 567.7 574.4 647
500
0
2005 2006 2007 2008 2009
2005 86,761,070 -
2006 86,361,898 -0.46
2007 90,767,131 5.10
2008 277,102,311 -15.05
2009 103,800,916 34.63
2010 132,227,142 27.38
Keterangan: Hanya jenis milk powder, fat < 1,5 persen
Sumber: COMTRADE (2010)
masih ada kekurangan susu sekitar 500 ton lebih per hari. Begitu juga dengan
provinsi yang lain, stok susu masih sangat kurang. Sehingga untuk memenuhi
konsumsi susu, lebih kurang 70 persennya diimpor dari luar negeri.
Besarnya jumlah impor susu nasional menjadikan Indonesia menjadi net
importir dan juga menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha
peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi
impor. Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa
wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan
agribisnis persusuan maka terdapat kerugian yang diperoleh Indonesia akibat
dilakukannya impor susu.
Bentuk kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya
kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau
tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan
agribisnis persususan, dan hilangnya potensi revenue yang seharusnya diperoleh
pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik
(Daryanto, 2007).
Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya peran pemerintah melalui
kebijakan yang digulirkan. Namun instrument kebijakan yang diharapkan bisa
mendorong produksi susu dalam negeri justru dikurangi. Sejak ditandatanganinya
kesepakatan antara pemerintah RI dengan International Monetery Fund (IMF)
pada Januari 1998 tentang penghapuasan tataniaga SSDN (Susu Segar Dalam
Negeri), sistem rasio BUSEP (Bukti Serap) telah dihapus. Ketentuan tersebut
menjadikan komoditas susu telah memasuki era pasar bebas meskipun seharusnya
kesepakatan pasar bebas baru dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa
komoditas susu memasuki pasar bebas lebih awal dari kesepakatan waktu yang
telah ditetapkan.
Demikian juga dengan kebijakan bea masuk susu impor yang relatif
rendah. Pada November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya
Supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah
melakukan program pemberian insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk
atas impor barang dan bahan oleh industri pengolahan susu (permenkeu No.
145/PMK.011/2008). Hal tersebut juga diperparah dengan dikeluarkannya
5
kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari lima persen
menjadi nol persen berdasarkan permenkeu No. 19/PMK.011/2009.
Kebijakan-kebijakan tersebut semakin menguatkan IPS dalam menekan
harga beli susu kepada peternak, dan memperburuk kondisi peternak sapi perah,
karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.
Rendahnya harga ini tentunya tidak akan memicu peternak sapi perah domestik
untuk mengembangkan usaha ternaknya. Kondisi ini akan semakin memperburuk
kondisi persusuan nasional, karena Indonesia akan semakin tergantung dengan
susu impor.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, usaha ternak sapi
perah banyak menghadapi tantangan dan kendala. Kendala-kendala tersebut,
menjadi penyebab rendahnya produksi susu dalam negeri sehingga IPS harus
mengimpor susu untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Oleh karena itu,
untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri yang meningkat maka perlu
dilakukan kajian tentang kondisi agribisnis persusuan di Indonesia. Mengingat
kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah, Indonesia
memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan agar
Indonesia tidak menjadi net importir untuk produk susu.
Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan industri persusuan di Indonesia?
2. Bagaimana kondisi daya saing produksi susu di Indonesia?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi susu di empat sentra
utama produksi susu Indonesia (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Yogyakarta)?
dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein
yang tinggi.
Produksi susu adalah hasil produksi ternak betina berupa susu segar dalam
waktu tertentu dan wilayah tertentu termasuk diberikan kepada anaknya, rusak,
diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan kepada orang lain (Ditjennak 2010).
Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik,
lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar
sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan
menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi
yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85
persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun akan menghasilkan susu 92
persen sampai 98 persen (Schmidt et al., 1998)
Titik Maksimum
Produktivitas
Rata-rata
Produk Total Maksimum
Titik Balik
0 qi
AP
MP
0 qi
dimana:
Q = jumlah produksi susu
S = jumlah sapi
P = jumlah pakan
O = faktor produksi lain
Jika P , P , dan PO masing-masing harga faktor produksi S, P, dan O, maka fungsi
S P
dimana:
C = biaya total
CO = biaya tetap
dimana:
= keuntungan
Q
P = harga susu sapi
Dengan memaksimumkan persamaan (2.6) didapat:
PQ*S = PS (2.7)
PQ * P = P P (2.8)
PQ * O = P O (2.9)
Artinya saat keuntungan maksimum, nilai produk marginal masing-masing faktor
produksi sama dengan harga faktor produksi itu sendiri. Dari persamaan (2.7),
(2.8), dan (2.9) diketahui bahwa S, P, dan O merupakan peubah endogen,
sedangkan PQ, PS, PP, dan PO peubah eksogen. Oleh karena itu fungsi
permintaan faktor produksi diformulasikan sebagi berikut:
SD = f (PQ, PS, PP, PO) (2.10)
PD = f (PQ, PP, PS, PO) (2.11)
OD= f (PQ, PO, PS, PP) (2.12)
dimana SD, PDdan ODmasing-masing merupakan permintaan terhadap sapi perah,
pakan ternak dan faktor produksi lain.
Dengan mensubtitusi persamaan (2.10), (2.11) dan (2.12) ke dalam
persamaan(2.4), maka di dapatkan fungsi penawaran susu sapi sebagai berikut:
QS = f(PQ, PS, PP, PO) (2.13)
12
Firm Strategy,
Chance
structure
And rivalry
Factor Demand
conditions condition
Related Goverment
And supporting
industries
FIXED
EFFECT
Hausman
Test
LM Test
POOLED
LEAST
SQUARE
Penjelasan Gambar 4:
1. Chow Test
Dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square
URSS = Unrestricted Residual Sum Square
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas,
Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai CHOW
Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka cukup bukti
untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang
digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut
sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk
menguji stabilitas dari parameter (stability test).
2. Hausman Test
m
'
b M0 M1
1
b ~ X2 K (2.15)
Dimana adalah vektor untuk statistik variabel fix effect, b adalah vektor statistik
variabel random effect, ( M 0 ) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan
3. LM Test
Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka kita menggunakan
Random Effect Model .
Jika keduanya signifikan, maka kita menggunakan Fixed Effect Model.
Penggunaan data panel memberikan banyak manfaat bagi dunia statistik dan
perkembangan ilmu ekonomi. Beberapa manfaat penggunaan panel data:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Panel data memberi peluang
perlakuan bahwa unit-unit ekonomi yang dianalisis seperti individu, rumah
tangga, perusahaan hingga negara adalah heterogen.
2. Memberi informasi yang lebih banyak, lebih beragam, mengurangi
kolinearitas (collinearity), meningkatkan derajat bebas (degree of freedom)
dan lebih efisien. Data time series memiliki kecenderungan tingkat
kolinearitas yang tinggi. Variabel seperti harga dan pendapatan dalam model
permintaan rokok memiliki tingkat kolineritas yang tinggi. Dengan
menggunakan panel data, penambahan dimensi cross-section dapat
memperkaya keragaman dan informasi pada dua variabel tersebut (harga dan
pendapatan), sehingga akan menghasilkan estimasi yang lebih akurat.
3. Panel data lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Salah satu
kekurangan apabila menggunakan pendekatan cross section adalah tidak dapat
menggambarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. Penelitian tentang
kondisi perekonomian seperti pengangguran, mobilitas pendapatan, dan
kemiskinan lebih baik jika menggunakan panel. Apabila data-data yang
berkaitan dengan isu tersebut diatas tersedia dalam rentang waktu yang relatif
panjang, akan dapat diperoleh informasi yang berhubungan dengan kecepatan
penyesuaian terhadap perubahan kebijakan ekonomi. Dengan panel data, dapat
diketahui apakah kondisi seperti pengangguran dan kemiskinan merupakan
kondisi yang temporer atau permanen.
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat
dideteksi oleh pure cross section atau pure time series.
5. Dapat membangun dan menguji model perilaku (behavioral models) yang
lebih kompleks dibanding pure cross section atau data time series. Sebagai
contoh, studi mengenai efisiensi tehnik (technical efficiency) lebih baik jika di
lakukan dengan metode panel data. Restriksi yang lebih sedikit juga dapat
22
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least
Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy varibel (LSDV), dan
two way error component fixed effect model.
Jika H > maka komponen eror mempunyai korelasi dengan peubah bebas
dan artinya model yang valid digunakan adalah REM
Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan between
estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS)
produksi untuk menurunkan biaya pakan dan memilih sapi dengan seliksi yang
unggul.
Buxton (1985) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
susu di Amerika Serikat selama 4 tahun pada 48 negara bagian. Penelitian ini
menguji elastisitas supply susu (yaitu, persentase perubahan jumlah susu yang
dihasilkan karena perubahan faktor utama produksi susu). Faktor-faktor utama
yang mempengaruhi produksi susu adalah: (1) Harga susu, peningkatan 1 persen
harga susu yang diterima peternak, meningkatkan produksi susu nasional sekitar
setengah persen selama 4 tahun. Dampak terbesar terjadi pada tahun pertama
(0.175) dan tahun kedua (0.182) setelah harga berubah. Dampak pada tahun
perubahan harga relatif kecil (0.036). (2) Biaya input. Dimana biaya input
diwakili oleh harga pakan (jerami alfalfa dan jagung). Peningkatan 1 persen harga
jerami alfalfa per ton menurunkan produksi susu nasional sebesar 0.164 persen
selama periode 4 tahun, dan peningkatan harga jagung per bushel (gantang)
menurunkan produksi susu sebesar 0.075 persen. Harga jerami alfalfa
berpengaruh signifikan di 28 negara bagian. Harga jagung berpengaruh signifikan
terhadap supply susu di 14 negara bagian, terutama di bagian utara. (3) Laba
dalam suatu perusahaan pertanian alternatif. Faktor ini diukur oleh harga daging
sapi. Penurunan 1 persen pada perubahan harga daging sapi meningkatkan
produksi susu nasional sebesar 0.056 persen selama periode 4 tahun. (4) Kondisi
ekonomi umum. Kondisi ini diukur dengan tingkat pengangguran. Pengangguran
mempengaruhi produksi susu nasional sebesar 0.085 persen. Dampak dari tingkat
penganguran pada produksi susu signifikan pada 16 negara bagian.
Amalia (2008) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
dan impor susu Indonesia. Metode penelitian yang digunakan terdiri atas:
pertama, metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan Porters diamond
untuk menganalisis kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu
domestik ditengah serbuan impor susu pasca penghapusan kebijakan ratio impor.
Kedua, metode Engle-Grenger Cointegration dan Error Correction Model (ECM),
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor susu baik dalam
jangka panjang maupun jangka pendek.
26
domestik, nilai tukar riil rupiah, dan pendapatan perkapita. Produksi susu
domestik tidak mempengaruhi impor susu pada jangka panjang. Hal ini diduga
karena terdapat variabel antara yang tidak mampu dijelaskan oleh model
persamaan yang dibangun. Impor susu dalam jangka pendek dipengaruhi secara
signifikan oleh produksi susu domestik, harga riil susu impor lag pertama,
pendapatan perkapita saat ini dan lag ketiga, nilai tukar riil rupiah pada lag kedua
serta dummy penghapusan kebijakan rasio impor. Penghapusan kebijakan rasio
diterapkan pada waktu yang relatif bersamaan dengan krisis ekonomi 1997, oleh
karena itu efek netto peningkatan impor susu yang terjadi relatif kecil dalam
jangka pendek. Harga riil susu domestik tidak berpengaruh terhadap impor susu
karena bargaining position GKSI masih lemah dalam negosiasi penetapan harga
dengan IPS.
Feryanto (2010) menganalisis daya saing dan dampak kebijakan
pemerintah terhadap komoditas susu sapi lokal di Jawa Barat. Tujuan penelitian
ini adalah untuk: (1) menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usaha
ternak yang memproduksi susu sapi segar di daerah sentra sapi perah Jawa Barat,
(2) menganalisis dam mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
susu sapi di daerah sentra sapi perah Jawa Barat, (3) Menganalisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap daya saing peternakan sapi perah di sentra sapi
perah Jawa Barat, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga output dan
input terhadap daya saing peternakan sapi perah di daerah sentra sapi perah Jawa
Barat. Harga bayangan susu impor didasarkan pada harga satu kilogram full
Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan delapan susu segar dalam negeri
berdasarkan harga bordernya (cif) di pelabuhan impor (Tanjung Priuk).
Sedangkan, harga susu privat disesuaikan dengan harga aktual yang riil diterima
peternak. Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, peternak di ketiga lokasi
penelitian (Kecamatan Lembang, Kecamatan Pengalengan dan Kecamatan
Cikajang) memiliki keuntungan privat dan ekonomi, hal ini ditunjukkan
keuntungan privat dan ekonomi yang lebih besar dari nol untuk ketiga lokasi.
Berdasarkan nilai private cost ratio (PCR) dan Domestic Resource Cost Ratio
(DRC) yang diperoleh, ketiga lokasi memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1),
yang menunjukkan masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan
28
kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator
keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai DRC<1. Indikator DRC ini
menunjukkan bahwa produk susu sapi segar akan lebih menguntungkan
diproduksi di sentra produksi susu Provinsi Jawa Barat daripada harus
mengimpornya.
Analisis dampak kebijakan dalam tabel PAM ditunjukkan oleh hasil
pengusahaan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian yakni nilai trasfer output
(OT) bernilai negatif atau mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan harga
domestik susu lebih rendah dari harga internasionalnya, yang mengidikasikan
adanya desintensif terhadap output susu. Hasil trasfer input (IT) usahaternak sapi
perah menunjukkan nilai yang positif, dan nilai koefisien proteksi input nominal
(NPCI) untuk ketiga lokasi yang lebih besar dari satu, hal ini mengkondisikan
bahwa peternak yang menggunakan input tersebut mengalami kerugian, karena
menanggung biaya input yang lebih mahal. Hasil analisis dampak kebijakan
pemerintah terhadap input-output menunjukkan nilai trasfer bersih (TB), yang
negatif untuk ketiga lokasi penelitian yang berbeda. Indikator ini memberikan
informasi kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan kerugian bagi
pengusahaan susu sapi perah. Sedangkan dilihat dari nilai koefisien proteksi
efektif (EPC) sebesar 0,80 (Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pengalengan),
dan sebesar 0,74 (Kecamatan Cikajang) menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan insentif kepada
peternak sapi perah, karena nilai tambah keuntungan peternak menjadi lebih
rendah dari yang seharusnya.
Berdasarkan analisis sensitivitas yang dilakukan, asumsi sekenario yang
digunakan yakni perubahan harga susu akibat penurunan tarif impor dan kenaikan
harga pakan ternak secara umum pengusahaan susu sapi perah ternyata akan
menurunkan daya saing pengusahaan sapi perah di provinsi Jawa Barat. Sehingga
untuk tetap memberikan keuntungan dan insentif bagi peternak, sebaiknya
pemerintah mengambil kebijakan untuk menetapkan tarif impor susu lebih besar
dari lima persen (kondisi sekarang), yakni 15 persen.
29
Impor Domestik
Rekomendasi
kebijakan
dimana: 0 = intersep
1 = nilai dugaan besaran parameter (n = 1,2,3,...)
1 = unsur sisa (galat)
600,000
500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
0
2001
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2003
2005
2007
2009
populasi (ekor/head)
Tahun
Wilayah
Share 2010
2006 2007 2008 2009 2010 (%)
Aceh 28 26 32 35 42 0.0085
Sumut 6,526 2,093 2,290 2,301 2,642 0.5408
Sumbar 608 688 768 826 857 0.1754
Riau 27 49 82 122 110 0.0225
Sumsel 188 109 59 51 86 0.0176
Bengkulu 128 189 599 688 783 0.1603
Lampung 198 230 263 221 140 0.0286
Babel 0 40 73 99 109 0.0223
DKI Jkt 3,343 3,685 3,355 2,920 3,238 0.6629
Jabar 97,367 103,489 111,250 117,337 120,475 24.664
Jateng 115,158 116,260 118,423 120,677 122,489 25.077
Yogya 7,231 5,811 5,652 5,495 3,466 0.709
Jatim 136,497 139,277 212,322 221,743 231,408 47.376
Banten 0 7 14 15 28 0.0057
Bali 70 105 126 134 127 0.0260
Kalbar 33 33 173 84 72 0.0147
Kalsel 133 135 124 96 112 0.0229
Kaltim 0 0 0 6 24 0.0049
Sulut 0 0 0 0 17 0.0034
Sulsel 1,398 1,784 1,919 1,826 2,198 0.4499
Gorontalo 0 12 17 17 21 0.0042
Sulbar 0 0 5 8 5 0.0010
Indonesia 369,008 374,069 457,577 474,701 488.448 100
Sumber: Statistik Peternakan, Ditjennak 2011
39
daerah pegunungan yang dingin pada ketinggian diatas 700m diatas permukaan
laut.
Peternak skala menengah umumnya mengolah susu sendiri dalam bentuk
susu pasteurisasi dan menjual ke konsumen melalui pedagang loper. Umumnya
lokasi peternak skala menengah di pinggir kota, dekat dengan konsumen.
(Mulatsih dan Boediyana. 2010)
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2001
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (ton)
Susu segar mempunyai sifat fisik yang spesifik. Susu segar merupakan komoditi
peternakan yang paling mudah rusak (perishable) dibandingkan dengan komoditi
peternakan lainnya. Selain itu, wujudnya yang berbentuk cair dan memakan
banyak tempat (voluminous) mengakibatkan penanganan pasca panen harus
dilakukan dengan penuh kehati-hatian (Departemen Pertanian dalam Karliyenna,
1990)
Beberapa kualifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh susu segar terlebih
pada fungsinya sebagai input Industri Pengolahan Susu (IPS), adalah:
(1) Warna, bau, rasa, kekentalan: tidak ada perubahan
(2) Berat Jenis (BJ) pada suhu 27.50 sekurang-kurangnya 1.0280
(3) Kadar lemak (fat)
(4) Kadar bahan kering tanpa lemak (SNF) sekurang-kurangnya 8.0
persen
(5) Derajat asam: 4.5 70 SH
(6) Uji alkohol 70 persen: negatif
42
Tabel 6. Standarisasi Bahan Baku Susu Menurut Tolal Kandungan Bakteri (TPC)
pada Industri Pengolahan Susu (IPS)
Standar Total Kandungan Bakteri per cc
Grade I 1 500,000
Grade II 500,000 1,000,000
Grade III 1,000,000 3,000,000
Grade IV 3,000,000 5,000,000
Grade V 5,000,000 10,000,000
Grade VI 10,000,000 15,000,000
Grade VII 15,000,000 20,000,000
Grade VII > 20,000,000
Sumber: Nurdin dalam Amalia 2008
43
600
528
Produksi Susu (Ribu Liter)
500
462
400
300 312
244 249 255 262
236 238 240 225 225
200 199
197 208 215 202 212
131
100 90 92 100
80 83 78 71 70
0 5 6 7 9 11 7 7 5 5
Tahun
250
populasi sapi (ribu ekor)
200
150
100
50
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
2002-2010 sebesar 8,26 persen. Yang menjadi sentra utama produksi susu di
Kabupaten Jawa Tengah adalah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang
dengan total share dari kedua kabupaten tersebut sebesar 77.16 persen pada tahun
2010.
Produksi susu di Yogyakarta merupakan produksi terendah jika
dibandingkan dengan Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa tengah. Selain itu,
produksi susu di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki trend yang cenderung
menurun. Antara tahun 2002 2010 produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006
yaitu sebesar 11.06 ton. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan yang
sangat drastis yaitu sebesar 6.99 ton hal ini diduga akibat adanya bencana alam
meletusnya Gunung Merapi dan gempa bumi. Selain itu, penurunan produksi juga
diduga akibat dari terjadinya krisis, sehingga usaha yang tidak mampu bertahan
mentup usahanya.
14000000
12000000
10000000
80000000
60000000
40000000
20000000
0
1991
2004
1989
1990
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2005
2006
2007
2008
2009
2010
impor susu (kg)
Sebagai negara yang bukan merupakan negara asal sapi perah, ekspor susu
Indonesia relatif kecil. Sebaliknya Indonesia menjadi net importir susu dan
produk turunannya, dengan trade balance yang negatif (Gambar 11). Defisit trade
balance tertinggi (US$ -741.578.000) terjadi pada tahun 2007, dimana harga susu
dunia meningkat. Tahun 2009, nilai defisit trade balance turun ke level US$ -
376,8, namun pada kwartal I tahun 2010 meningkat 114,4 persen dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya.
400,000
200,000
0
US$ 000
-200,000
-400,000
-600,000
-800,000
-1,000,000
-1,200,000
2005 2006 2007 2008 2009
trade balance -387,801 -438,862 -741,578 -569,159 -393,127
export 133,444 127,363 136,800 305,298 217,383
import -521,245 -566,225 -878,387 -974,457 -610,510
4,000
US$/ton
3,000
2,000
1,000
0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
world price 1,92 1,73 1,44 1,31 1,87 2,04 1,38 1,76 2,01 2,22 2,21 4,29 3,27 2,25
Di dalam negeri harga susu dibedakan antara susu olahan siap minum yang
merupakan output dari IPS (industri pengolahan susu) dengan susu segar yang
merupakan output dari peternak. Berbeda dengan harga susu dunia, harga susu
bubuk olahan dan susu kental manis dalam negeri selama kurun waktu 2007-2010
selalu meningkat (Gambar 13). Selama kurun waktu 2007-2009, peningkatan
harga susu bubuk dan kental manis masing-masing 38,9% dan 14%.
Harga susu segar di tingkat peternak (farm gate price) cenderung stabil
(Gambar 14). Selama periode 2007-2010 meskipun terjadi kenaikan harga
(8,2%), namun kenaikkannya jauh lebih rendah dari kenaikan harga susu bubuk
yang mencapai 38,9% pada periode yang sama, sehingga disparitas harga jual
susu segar oleh peternak dengan harga jual susu bubuk olahan oleh IPS semakin
besar (asumsi 1 kg susu bubuk setara dengan 8 liter susu cair).
10,000
9,000
8,000
7,000
6,000
Rp/ltre
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
-
2007 2008 2009 2010
Milk powder 5,625 7,813 8,438 8,375
Fresh milk 2370 2876 2895 2973
Disparity 3,255 4,937 5,543 5,402
Sekitar 80% produksi susu peternak rakyat dijual ke IPS (sebagai single
market) melalui koperasi (Gambar 15). Harga beli koperasi dari peternak
mengikuti harga beli IPS dari koperasi. Harga beli IPS relatif stabil, meskipun
harga susu dunia serta harga susu bubuk dan susu kental manis dalam negeri juga
naik.
51
Susu segar
Pedet 10% Peternak
10%
Importir produk Rp3300/lt
26% WMP
susu olahan US$4000/ton
80%
setara Rp 4500/lt
Koperasi Primer
(KUD) unit susu
Bahan baku susu Rp3800/lt
80%
IPS 20%
Rp8375/lt
Produk Produk
berbahan baku berbahan baku
susu impor Pedagang susu domestik
perantara (retailer)
Rp11000/lt
Pedagang
perantara (retailer)
Konsumen
akhir
dibandingkan harga IPS besar, sebaliknya jika harga turun, harga beli lebih rendah
dari harga IPS besar, kadang-kadang sampai dibawah biaya produksi peternak.
Akibatnya peternak yang tergantung pada IPS skala kecil akan bangkrut bila
harga susu dunia turun. Harga yang diterima peternak merupakan harga beli
pokok ditambah dengan bonus kualitas susu (total plate count dan total solid).
Pada Gambar 15 ditunjukkan bahwa margin harga tingkat retailer dengan harga
peternak sebesar Rp 7.700,-. Margin harga tersebut dinikmati oleh IPS (paling
besar) dan retailer. Kerugian ditanggung oleh peternak dan konsumen. Peternak
rugi karena menerima harga murah, sementara konsumen rugi karena harus
membayar mahal.
Peternak tidak punya banyak pilihan dalam menjual susu segarnya selain
dari IPS, karena daya serap konsumen langsung (termasuk industri rumah tangga
yang memproduksi dodol susu, karamel, dan krupuk susu) hanya 5%. Pada harga
yang ditetapkan IPS, pendapatan peternak relatif kecil sehingga sangat rentan
terhadap penurunan harga. Jika terjadi penurunan harga, peternak langsung
merugi (mulatsih dan Boediyana, 2010)
Kepala Susu
Yoghurt
Susu Dadih/
Tahu Susu
Susu Segar
Ice Cream
Keju
Skim Milk
Powder Susu
Pasteurisasi
Whey
Susu UHT
Susu Bubuk
Anhydrose - Full Milk Powder Mentega
Milk Fat - Susu Formula
Susu Kental
Manis
perubahan produksi susu segar, impor bahan baku susu, rencana produksi IPS
maupun fluktuasi harga. Kebijakan tersebut mampu mengatur keseimbangan
antara impor bahan baku susu dan produksi SSDN, sehingga peternakan sapi
perah bisa berkembang sebagai asset nasional.
LOI-IMF yang mendesak penghapusan segala bentuk barrier (tariff
maupun non-tarif) dan subsidi, sejak 1 Februari 1998 diberlakukan Inpres No
4/1998 tentang pencabutan kewajiban IPS membeli SSDN dan penurunan tariff
impor bahan baku susu. Tarif impor bahan baku susu menjadi 5 persen, jauh
dibawah tariff rata-rata dunia yang nilainya masih sekitar 20 persen (UN
COMTRADE, 2008 dalam Mulatsih dan Boediyana. 2010).
Upaya pemerintah untuk menyelamatkan SSDN, tanpa melanggar LOI-
IMF, adalah dengan mengkampanyekan minum susu segar. Melalui Keputusan
Menteri Pertanian No. 2182/KPTS/PD.420/5/2009, tanggal 1 Juni dicanangkan
sebagai Hari Susu Nusantara, dengan Slogan Hanya Susu Segar Untukku.
Beberapa pemerintah daerah sentra produksi SSDN mencipkan captive market
untuk SSDN. Sebagai contoh, Pemda Sukabumi, Jawa Barat membuat program
Gerimis Bagus (gerakan minum susu bagi usia sekolah), dengan membagikan
susu pasteurisasi gratis kepada anak sekolah dasar (SD).
Kebijakan lainnya untuk mengefisienkan produksi SSDN, adalah
Peraturan Menteri Keuangan No. 131/PMK/05/ 2009, yang memberikan kredit
bersubsidi (suku bunga 5%) untuk pengadaan sapi perah bibit melalui program
KUPS (kredit usaha pembibitan sapi). Namun semua kebijakan yang ada belum
bisa menekan impor bahan baku susu yang semakin besar.
menjadi sangat kompetitif dibandingkan susu dari peternak local, dan mendorong
impor.
Menurut PSE-KP Litbang Departemen Pertanian (2009) dalam Feryanto
(2010) menyebutkan terdapat lima prilaku negara maju yang berupaya untuk
melindungi produksinya dan mengupayakan komoditasnya masuk ke pasar
negara-negara berkembang. Adapun kelima perilaku tersebut adalah: pertama,
menekan negara berkembang menurunkan tarif, sementara negara maju
melakukan non tariff barrier dengan sanitary phytosanitary (SPS), Non-Trade
Concerns (NTCs), lingkungan hidup, dan pandangan masyarakat. Kedua,
melakukan lobi dengan pemerintah negara-negara berkembang yang memiliki
kemampuan untuk memutuskan agar tercipta kerjasama bilateral untuk menembus
pasar negera berkembang. Ketiga, membagi negara-negara berkembang yang
sebelumnya bergabung ke dalam G20 dan G33, sehingga kekuatan negara
berkembang akan semakin lemah dan dengan demikian akan semakin mudah
untuk menembus pasar negara-negara berkembang yang rendah dari segi produksi
susu dan pemenuhan asupan nilai gizi. Keempat, negara-negara maju lebih
cenderung untuk menurunkan tarif impor minor dan mempertahankan tarif produk
utama. Kelima, negara maju ternyata memanfaatkan Multinational Corporation
(MNC) yang memiliki cabang-cabang di negara berkembang untuk mengakses
pasar negara berkembang tersebut.
Kebijakan yang diterapkan oleh negara maju untuk melindungi komoditas
susu dan produk turunannya adalah dengan menetapkan tarif bea masuk ataupun
non tarif yang berbentuk hambatan teknis. Menurut Litbang Departemen
Perdagangan (2009) dalam Feryanto (2010) negara-negara maju seperti Canada,
Amerika Serikat, dan Australi menerapkan kebijakan untuk memproteksi
komoditas susu dan turuannya dari serbuan produk sejenis dari negara lain.
Faktanya Amerika Serikat menerapkan tarif masuk sebesar 17.50 sampai 18.50
persen untuk produk susu dan turunannya, Canada menerapkan tarif bea masuk
sebesar tujuh persen, sedangkan Australia menetapkan zero tariff untuk komoditas
susu, namun menetapkan non tariff barrier dalam bentuk sanitary certificate, dan
manufacture certificate.
57
827,249 909,533
567,682 646,953
374,067 457,577 474,701 488,448
5.1.5. Pemerintah
Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini
adalah adanya (a) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan
serap susu segar domestik, atau yang lebih dikenal dengan rasio BUSEP (Bukti
Serap), dan (b) penerapan tarif impor untuk bahan baku susu impor maupun
produk susu (susu bubuk, keju dan mentega). Namun, Sejak ditandatanganinya
kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 tentang
penghapusan tataniaga SSDN, maka sejak saat itu sistem rasio BUSEP juga telah
dihapus.
Sejak bulan November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan
kurangnya supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen,
pemerintah memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk atas
impor barang dan bahan oleh industri pengolahan susu (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 145/PMK.011/2008). Hal tersebut juga diperparah dengan
dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari
lima persen menjadi nol persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
19/PMK.011/2009 pada bulan April dan efektif diberlakukan sejak 1 Juni 2009.
Kondisi ini menyebabkan harga susu impor (bubuk) jauh lebih murah hingga 15
persen dibandingkan susu lokal, sehingga semakin memperburuk kondisi
peternak sapi perah, karena tidak dapat bersaing dengan susu impor.
5.1.6. Kesempatan
Tingginya permintaan susu domestik, yang sebagian besar yaitu sebesar
70 persen masih tergantung pada impor, merupakan peluang dan kesempatan
untuk meningkatkan produksi susu domestik. Namun tanpa dukungan pemerintah
dalam bentuk subsidi, pinjaman atau yang lainnya, peluang dan kesempatan ini
sulit untuk dimanfaatkan mengingat kondisi peternak sapi perah rakyat sangat
kekurangan modal untuk meningkatkan skala usahanya.
63
- Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha - Usaha peternakan sapi perah beraliansi untuk
perseorangan dan dengan kepemilikan sapi perah tiga memasarkan bahan baku susu domestik dalam format
sampai dengan empat ekor (-) koperasi (GKSI) (+)
- Komposisi ketenagakerjaan didominasi pekerja - Infrastruktur berupa jalan raya, tidak mendukung (-)
dengan tingkat pendidikan rendah (-) - Spesifikasi bahan baku susu impor yang unggul dan
- Teknologi konvensional (-) penghapuasan kebijakan rasio impor meningkatkan
preferensi IPS untuk melakukan impor bahan susu (-)
- Koperasi sangat membantu peternak dalam penyediaan - Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat
sarana dan prasarana produksi (+) menggerakkan peningkatan derived demand bahan baku
- IPS mengolah bahan baku susu menjadi susu olahan susu domestik (+)
dengan berbagai jenis - Populasi penduduk yang besar meningkatkan derived
demand bahan baku susu (+)
- Mayoritas IPS yang berasal dari investasi PMA tidak
ditujukan untuk mengutamakan penyerapan bahan baku
susu domestik (-)
Tingginya impor lebih kurang 70
Kesempatan persen, merupakan peluang bagi
peternak untuk meningkatkan
produksinya.
akan meningkatkan jumlah produksi susu sapi domestik (PROD) sebesar 0.4682
persen. Sapi perah merupakan salah satu komponen dari produksi susu sapi,
sehingga kenaikan jumlah sapi akan meningkatkan produksi susu sapi.
Koefisien variabel harga susu sapi domestik (PRICEDOM) sebesar 0.0019
yang menunjukkan bahwa penurunan harga susu sapi domestik (PRICEDOM)
sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah produksi susu sapi domestik (PROD)
sebesar 0.0019 persen. Variabel harga susu tidak siknifikan berpengaruh terhadap
produksi susu, diduga disebabkan karena ketika sapi laktasi sudah ber produksi,
tidak dapat dihentikan tiba-tiba. Jadi meskipun harga susu sangat rendah, sapi
harus tetap di perah pada waktunya. Masa laktasi pada sapi lebih kurang 10 bulan
atau sekitar 305 hari. Sehingga dalam masa laktasinya ini produksi tidak dapat
dihenti/kan hingga masa keringnya.
Koefisien variabel harga jagung (PCORN) sebesar -0.5067 yang
menunjukkan bahwa kenaikan harga jagung (PCORN) sebesar 1 persen akan
menurunkan jumlah produksi susu sapi domestik (PROD) sebesar 0.5067
persen. Variabel harga jagung juga tidak signifikan mempengaruhi produksi susu,
hal ini diduga karena jagung hanyalah bagian kecil dari komponen konsentrat.
Tabel 8. Hasil Perhitungan Intersep Per Provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Yogyakarta)
Crossid Effect
Jawa Barat 0.200611
Jawa Tengah -0.280641
Jawa Timur 0.099046
Yogyakarta -0.019016
6.1 Kesimpulan
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu
domestik melalui pendekatan Porters Diamond menghasilkan implikasi
penelitian bahwa kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada
kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha
perseorangan dan rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai dengan
empat ekor, teknologi yang bersifat konvensional berkontribusi terhadap
rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Sebaliknya, faktor yang diduga
berkontribusi besar terhadap kondisi daya saing adalah kondisi permintaan.
Permintaan akan susu domestik sebagai permintaan turunan atas produk susu
olahan distimulasi oleh peningkatan pendapatan perkapita masyarakat,
peningkatan populasi dan awareness akan manfaat susu.
Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi dan IPS.
Sedangkan untuk kondisi strategi, struktur dan persaingan antara susu domestik
dan impor belum kondusif untuk meningkatkan daya saing susu domestik. Hal ini
dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang
lebih unggul. Ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining
position GKSI representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam menetapkan
harga susu domestik
Intervensi pemerintah melaui penghapusan kebijakan rasio impor
memperburuk kondisi persusuan nasional. Tingginya nilai impor susu Indonesia
merupakan faktor kesempatan untuk meningkatkan produksi susu Indonesia.
Hasil analisis menggunakan metode panel menunjukkan bahwa variable
jumlah sapi perah (COW) berpengaruh signifikan pada taraf nyata () 1 persen.
Untuk variable harga susu sapi domestik (PRICEDOM) dan variable harga jagung
(PCORN) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi susu. Nilai R
square pada model sebesar 0.9935 yang artinya variasi variabel jumlah produksi
susu sapi (PROD) dijelaskan 99.35 persen oleh faktor-faktor penduga model
(harga domestik, harga jagung dan jumlah sapi) dan 0.65 persen dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak terdapat dalam model.
68
6.2 Saran
Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam
rangka peningkatan daya saing susu domestik diantaranya adalah pemerintah
perlu memberikan dukungan nyata dalam rangka mengembangkan usaha
peternakan sapi perah. Upaya ini dapat ditempuh melalui kemudahan akses usaha
peternakan sapi perah terhadap kredit serta pendanaan bagi program penelitian
dan pengembangan susu domestik. Hal ini dikarenakan kondisi faktor seperti
skala usaha yang tidak ekonomis akibat kepemilikan sapi perah yang sedikit,
kemampuan sumberdaya manusia yang belum optimal, akses teknologi yang
minim, dan pengawasan kualitas produk yang kurang baik merupakan kelemahan
mendasar yang terjadi pada subsistem on farm industri persusuan nasional. Tujuan
utama peningkatan kapasitas produksi dan kualitas susu domestik merupakan
langkah prioritas yang perlu dilakukan dengan segera.
69
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2008. BPS Jawa
Barat, Bandung.
Blakely, J and D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan, edisi ke-4. Gajah Mada
University press. Yogyakarta.
Baltagi. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edision. John Wiley
and Sons Ltd, Chichester.
___________. 2009. Dinamika Daya saing Industri Peternakan. IPB press, Bogor.
Du Toit J. P., G.F. Ortmann and S. Ramroop. 2010. Factors influencing the long-
term competitiveness of commercial milk producers: evidence from
panel data in East Griqualand, South Africa. Agrekon, Vol 49, No 1
Ilham. N. dan D. K. S. Swatika. 2001. Analisis Daya saing Susu Segar Dalam
Negeri Pasca Krisis Ekonomi dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Jurnal Agro
Ekonomi, 19(1):19-43.
Joesran dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Salemba Empat, Jakarta.
Koo, V.W. dan P.L. Kennedy. 2005. International Trade and Agriculture.
Blackwell Publishing, Massachusetts.
Lipsey, R.G., P.N. Courant, D.D. Purvis, dan P.O. Steiner. 1995. Pengantar
Mikroekonomi. J. Wasana dan Kirbrandoko. [penerjemah]. Binarupa
Aksara, Jakarta.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New
York.
Priyanti, A dan Saptati, RA. 2009. Dampak Harga Susu Dunia Terhadap Harga
Susu dalam Negeri di Tingkat Peternak: Kasus Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara di Jawa Barat.
Qingbin Wang, Robert Parsons dan Guangxuan Zhang (2010). Chinas dairy
markets: trends, disparities, and Implications for trade. China
Agricultural Economic Review.Vol. 2, No.3. pp 356-371.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Diktat Kuliah. Jurusan Ilmu
Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanan. Departemen Ilmu Makanan
Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
74
Effects Specification
Weighted Statistics
Unweighted Statistics
.20
.16
.12
.08
.04
.00
-.04
-.08
-.12
5 10 15 20 25 30 35
LNPROD Residuals
78