Sei sulla pagina 1di 29

SKIZOFRENIA PADA LANSIA

REFERAT

Oleh:
1. Muhtar Ady Kusuma 122011101091
2. Arum Pratika Hidayati 132011101073

Dosen Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

SMF/LAB. PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
SKIZOFRENIA PADA LANSIA

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Psikiatri RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
1. Muhtar Ady Kusuma 122011101091
2. Arum Pratika Hidayati 132011101073

Dosen Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

SMF/LAB. PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i
HALAMAN JUDUL ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB 1. DEFINISI .................................................................................... 1
1.1 Skizofrenia .................................................................................. 1
1.2 Lansia .......................................................................................... 2
BAB 2. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI SKIZOFRENIA PADA
LANSIA.................................................................................................... 7
2.1 Etiologi ........................................................................................ 7
2.2 Patofisiologi ................................................................................ 9
BAB 3. DIAGNOSIS SKIZOFRENIA PADA LANSIA ...................... 11
3.1 Manifestasi Klinis Skizofrenia pada Lansia ............................ 11
3.2 Klasifikasi Skizofrenia pada Lansia ......................................... 14
3.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 17
3.4 Diagnosis Banding...................................................................... 18
BAB 4. TERAPI DAN PROGNOSIS SKIZOFRENIA PADA LANSIA 20
4.1 Terapi ......................................................................................... 20
4.2 Prognosis ..................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 25

iii
1

BAB 1. DEFINISI

1.1 Skizofrenia
Skizofrenia merupakan kelainan mental yang ditandai dengan halusinasi,
waham, perilaku dan pikiran yang kacau. Skizofrenia berasal dari kata schizos dan
phren, schizos memiliki arti pecah-belah atau bercabang dan phren memiliki arti
jiwa. Istilah skizofrenia dapat menunjukkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa
yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir,
perasaan, dan perbuatan. Gangguan ini menyebabkan ketidakmampuan personal,
bekerja dan berhubungan sosial yang signifikan pada penderita. Pasien skizofrenia
biasanya datang dengan keluhan psikotik yang jelas. Sedangkan pasien skizofrenia
dengan gejala tidak jelas biasanya datang dengan keluhan atau ide aneh yang pada
pertanyaan tertutup, terkait dengan delusi atau gangguan pikiran. (Isselbacher et
al.,2000; Maramis, 2009 )
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,
yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,
kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala
negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, miskin kontak emosional (pendiam, sulit diajak
bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan
dorongan kehendak atau inisiatif (Isselbacher et al.,2000).
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan yang paling sering. Skizofrenia
terjadi pada 1% populasi dunia dan menyumbang salah satu proporsi terbesar dari
perawatan kesehatan mental. Pada suatu penelitian, prevalensi skizofrenia pada
lansia sekitar 0,44%. Menurut WHO, skizofrenia mempengaruhi sekitar 7 per
seribu penduduk dewasa, terutama kelompok usia 15-35 tahun. Meskipun insiden
skizofrenia pada lansia rendah, prevalensi yang paling tinggi disebabkan karena
kronisitas. 90% dari penderita skizofrenia tanpa pengobatan berasal dari negara
berkembang. Risiko tertinggi timbulnya gejala pada perempuan maupun laki-laki
terjadi pada periode remaja akhir hingga awal masa dewasa. Risiko skizofrenia
terutama berada pada rentang usia 20-35 tahun.Gejala pertama lebih jarang muncul
sebelum usia 14 atau setelah usia 35 tahun. Onset skizofrenia pada laki-laki dan
perempuan berbeda. Skizofrenia juga cenderung lebih parah pada laki-laki
dibandingkan pada perempuan. Pada laki-laki onset rata-rata 4-6 tahun lebih awal
dari perempuan (Fatima et al., 2011; Casey et al., 2011)
Hasil akhir yang buruk sering menyebabkan ketidakmampuan ekstensif dan
lama, selain itu skizofrenia menyebabkan kehilangan produktifitas sekitar 20 milyar
dollar atau lebih setiap tahun. Kebanyakan pasien dengan gangguan skizofrenia
juga menderita gangguan utama dukungan keluarga dan sistem sosial, yang
menambah masalah ekonomi dan penderitaan pasien. Sampai 25% tempat tidur
dirumah sakit di Amerika serikat diisi oleh pasien skizofrenia pada setiap waktu.
Secara kumulatif, faktor ini membuat skizofrenia menjadi salah satu masalah
kesehatan yang mengganggu dan memerlukan biaya besar (Isselbacher et al.,2000)

2.1 Lansia
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang
yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur
pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut
Aging Process atau proses penuaan.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-
tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan
semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh
darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut
disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam
struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada
umumnya berpengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang
pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara
umum akan berpengaruh pada activity of daily living.
Menurut World Health Organization (WHO) ada beberapa batasan umur
Lansia, yaitu:

2
a. Usia pertengahan (middle age) : 45 59 tahun
b. Usia lanjut (fiderly) : 60 74 tahun
c. Lansia tua (old) : 75 90 tahun
d. Lansia sangat tua(very old) : > 90 tahun
Menurut Depkes RI (2003), lansia dibagi atas :
a. Pralansia : Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia : Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Lansia resiko tinggi : Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih

Teori Perkembangan Lansia (Erik H. Erikson)


Tahap perkembangan ini disebut tahap integritas vs keputusasaan. Tahap
terakhir atau tahap ke-8 dalam teori Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki
oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua
(Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity despair. Pada masa ini
individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji
dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu
pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki
beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal
itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu
merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan
kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga
keputusasaan acapkali menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup
berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja
ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap
ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang
dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena
orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna.
Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap
paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri
yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup

3
itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak
terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan
dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai,
sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua.
Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan
integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang
diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan
(Boeree, 2006).

Masalah Khusus pada Usia Lanjut


1. Gangguan Fisik
Banyak perubahan fisik pada lansia karena penyakit. Beberapa perubahan fisik
adalah berkurangnya ketajaman pancaindera, berkurangnya kemampuan
melaksanakan sesuatu karena turunnya kekuatan motorik, perubahan
penampilan fisik yang mempengaruhi peranan dan status ekonomik dan sosial
serta kemunduran efisiensi integratif susunan saraf pusat, misalnya penciutan
minat, kelemahan ingatan dan penurunan intelegensi.
Tidak jarang terjadi depresi pada lansia. Depresi sering mngisyaratkan adanya
suatu penyakit organik. Penyakit yang laten mungkin menunjukkan eksaserbasi,
seperti diabetes, hipertensi, dan glaukoma. Gangguan pembuluh darah yang
progresif pada jantung dan otak yang mengancam serta membatasi hidup, dapat
menimbulkan reaksi takut, amarah dan depresi. Sebaliknya, reaksi emosional
yang berlebihan dapat memperhebat gangguan kardiovaskuler, endokrin, dan
penyakit lain yang sebelumnya masih ringan.
Orang lanjut usia sering menyatakan kekhawatirannya terhadap
ketidakmampuan fisiknya, tetapi jarang tentang rasa takutnya terhadap
kematian. Ada yang dengan tenang menyiapkan diri dan mengatur hal-hal
duniawi (warisan, makam, dan sebagainya) dalam menghadapi hal yang tidak

4
dapat dielakkan itu. Kadang-kadang memang timbul depresi , atau
penyangkalan(denial) dan kompensasi(yang berlebihan) terhadap kematian
(Maramis, 2009).
2. Kehilangan dalam Bidang Sosial Ekonomi
Kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, uang, pekerjaan
(pensiun), atau mungkin rumah tinggal, semua ini dapat menimbulkan reaksi
yang merugikan. Perasaan aman dalam hal sosial dan ekonomi serta
pengaruhnya terhadap semangat hidup, rupanya lebih kuat daripada keadaan
badani dalam hal melawan depresi. Dilihat dari sudut semangat dan integrasi
sosial, maka di beberapa negara maju boleh dikatakan bahwa bagi lansia lebih
baik kaya dan sakit daripada miskin dan sehat (Maramis, 2009)
3. Sex pada Usia Lanjut
Orang usia lanjut dapat saja mempunyai kehidupan sex yang aktif sampai usia
80-an. Libido dan nafsu sexual penting juga pada usia lanjut, tetapi sering hal ini
mengakibatkan rasa malu dan bingung pada mereka sendiri dan anak-anak
mereka yang menganggap sex pada usia lanjut sebagai tabu atau tidak wajar.
Orang yang pada masa muda mempunyai kehidupan sexual yang sehat dan aktif,
pada usia lanjut masih juga demikian, biarpun sudah berkurang. Jika saat muda
sudah lemah, pada usia lanjut akan habis sama sekali (Maramis, 2009)
4. Adaptasi terhadap Kehilangan
Pada umumnya seseorang yang sejak muda menghadapi hidup dengan cara yang
aktif dan bersemangat serta dengan sikap memecahkan masalah, pada usia lanjut
dia akan lebih dapat menyesuaikan diri daripada seseorang yang memandang
masa usia lanjut itu hanya sebagai masa dengan pengurangan sumber daya,
kecerdasan, dan kemampuan atau sebagai masa dengan perilaku stereotip saja.
Seorang yang sudah lanjut usianya dan yang menganggap bahwa ia tidak
memerlukan perlindungan, karena ia akan tetap sehat, kuat, dan dapt berdiri
sendiri, secara relatif akan lebih dapat menyesuaikan diri, biarpun keadaan sosial
ekonominya tidak seperti dahulu lagi.
Bagi kebanyakan lansia, kehilangan sumber nafkah ditambahkan pada sumber
daya yang memang sudah terbatas. Yang menarik perhatian adalah kekurangan

5
kemampuan adaptasi berdasarkan hambatan psikologis, yaitu rasa takut dan
khawatir yang timbul dari masa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat
dan diuraikan sepanjang hidup individu melalui mitos-mitos serta lelucon-
lelucon negatif mengenai usia lanjut.
Amarah sering bercampur dengan ketakutan dan menjadi lebih jelas karena
keterbatasan kemampuan menyelesaikan masalah sehari-hari. Atau sebaliknya
individu itu mencapai pengurangan ketegangan dan memperoleh pengalaman
yang memuaskan. Kadang-kadang karena ketakutan, amarah dan
ketidakmampuan, orang usia lanjut mencari pertolongan atau bantuan
emosional, sehingga terjadi ketergantungan (dependency striving), yaitu
tergantung pada orang yang dianggap lebih mampu dan kelicikan untuk
mempertahankan hubungan itu (Maramis, 2009)
5. Gangguan Psikiatrik
Gangguan psikiatrik yang sering terjadi pada usia lanjut adalah sindrom otak
organik dan psikosis involusi. Skizofrenia, psikosis bipolar dan ketergantungan
obat bila ada, mungkin itu sejak masa muda. Hampir semua gangguan jiwa pada
masa muda dapat bertahan sampai atau timbul lagi pada masa usia lanjut.
Neurosis sering berupa neurosis cemas atau depresi. Gangguan psikosomatis
dapat juga berlangsung sampai masa tua, tetepi beberapa menjadi lebih baik atau
hilang sendiri.
Diabetes, hipertensi dan glaukoma dapat menjadi lebih keras karena depresi.
Insomnia, anorexia, dan konstipasi sering timbul dan tidak jarang gejala-gejala
ini berhubungan dengan depresi. Depresi pada masa usia lanjut sering karena
aterosklerosis otak, tetapi juga tidak jarang psikogenik atau keduanya (Maramis,
2009)

BAB 2. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


SKIZOFRENIA PADA LANSIA

6
3.1 Etiologi Skizofrenia pada Lansia
1. Faktor Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan
bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan
salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi
kembar satu telur (monozigot) 61-86% (Maramis, 2009)
Tetapi pengaruh genetik ini tidak langsung diturunkan seperti hukum mendel.
Diperkirakan penurunan bersifat potensi untuk mendekat skizofrenia (bukan
penyakit itu sendiri) melalui gen resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga
lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu tersebut apakah akan
terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak (mirip faktor genetic pada diabetes
mellitus) (Maramis, 2009).

2. Faktor Psikososial
Faktor psikososial merupakan salah satu faktor penyebab skizofrenia. Faktor
psikososial menjadi faktor pendukung faktor genetic dalam munculnya manifestasi
klinis dari skizofrenia. Faktor psikososial pada lansia yang menjadi penyebab
skizofrenia antara lain stress psikologis, status sosio-ekonomi, kepribadian
premorbid dan faktor keluarga.
Stress psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan
kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Para individu yang menderita
skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stressor yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Stress juga memicu peningkatan yang lebih besar dalam
mood negatif pada para pasien dibanding pada para kerabat mereka dan kelompok
kontrol. Dengan demikian, para pasien skizofrenia sangat rentan terhadap stress
sehari-hari (Isselbacher et al.,2000)

7
Status sosio-ekonomi yang lebih rendah berkorelasi dengan insiden
skizofrenia yang lebih tinggi. Terdapat dua kemungkinan mengenai hal ini.
Kemungkinan yang pertama terdapat penyimpangan sosial individu yang sensitif
terhadap status sosio-ekonomi yang lebih rendah. Kedua, sebagai stressor sosio-
ekonomi yang dapat mencetuskan episode skizofrenia, terutama pada individu yang
sensitif. (Isselbacher et al.,2000)
Meskipun dalam presentasi kecil tetapi kepribadian sebelum munculnya
manifestasi klinis pada penderita skizofrenia signifikan pada individu schizoid,
paranoid, dan gangguan skizotipal yang merupakan gangguan yang sensitif
terhadap perkembangan skizofrenia. Selain gangguan kepribadian, ganggu faktor
keluarga dapat memperngaruhi perkembangan skizofrenia. Kekacauan dan
dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan
dan pertahanan remisi(Isselbacher et al.,2000).
Pasien yang pulang ke rumah sering relaps pada tahun berikutnya bila
dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan di residensial. Pasien yang beresiko
adalah pasien yang tinggal bersama keluarga keluarga yang hostilitas,
memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien,
terlalu ikut campur, sangat pengeritik. Pasien skizofrenia sering tidak dibebaskan
oleh keluarganya. Beberapa penelitian juga mengidentifikasikan suatu cara yang
patologi pada keluarga-keluarga skizofrenia. (Isselbacher et al.,2000; Elvira et al.,
2010)
Pada suatu penelitian disebutkan skizofrenia pada lansia banyak terdapat pada
pasien yang tidak menikah, namun untuk menurunkan resiko, suatu pernikahan
harus sebagai pernikahan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pada
individu(Fatima et al., 2011).
Buta huruf juga merupakan kondisi yang banyak ditemukan pada riwayat
pasien skizofrenia lansia. Pendidikan memiliki dampak yang besar pada perawatan
diri dan bagaimana menyadari pasien adalah tentang sakitnya. Hal itu terlihat
bahwa mayoritas pasien pada penelitian tersebut adalah dalam penyangkalan dan
tidak memiliki wawasan penyakit mereka. Selain riwayat pernikahan dan buta
huruf, pasien skizofrenia panitia mayoritas telah memiliki riwayat pengobatan

8
gangguan mental, seperti gaduh gelisah, sulit tidur dan paranoid. (Fatima et al.,
2011)

3.2 Patofisiologi Skizofrenia pada Lansia


Neurotransmiter dan nuropeptida
Faktor neurobiologi dikorelasikan dengan episode skizofrenik. Hipotesis
neurotransmitter melibatkan aktivitas berlebihan dopaminergik. Bukti yang
mendukung hipotesis ini berasal dari beberapa sumber. Pertama, potensi semua
obat antipsikotik tradisional dapat diprediksi secara kasar melalui kapasitas
penghambat dopaminergik obat ini. Kedua, dopamine mesolimbik memiliki
peranan dalam mekanisme atensi dan rangsangan penyaringan. Bila mekanisme
rangsangan penyaringan rusak, terdapat kolaps informasi yang memproses
kapasitas individu dengan mengakibatkan peningkatan sensori.
Walaupun hipotesis ini mendukung, hipotesis dopamine penuh dengan
kesulitan bila dibandingkan dengan teori katekolamin gangguan afeksi. Gangguan
afeksi secara hipotesis (dan secara sederhana) merefleksikan penurunan tonus
norepinefrin pada nuclei hipotalamik yang menyebabkan jalur umum akhir gejala
neurovegetatif. Pada skizofrenia, tampaknya terdapat peningkatan tonus dopamine
pada jalur subkortikal kritis yang menyebabkan fragmentasi kognitif, gangguan
pikiran dan gejala klinis yang sangat kompleks dan bervariasi. Pada pola kerja ini,
gangguan afeksi terlihat sebagai yang menimpa inti diensefalik otak, sedangkan
skizofrenia dibuat konsep sebagai gangguan lapisan mesolimbic-frontal. Sangat
diragukan jika satu neurotransmitter atau satu lokus dapat menjelaskan semua
gangguan psikiatrik, memberikan kompleksitas intraktif system psikososial dan
neurobiologik, meskipun teori ini berguna.
Hipotesis aktivitas dopamine berlebihan pada skizofrenia secara umum
ditandai oleh teori static. Pada kenyataannya, tonus dopamine terkait pada cara
bervariasi dan dinamik terhadap GABA, serotonin dan neurotransmitter lain yang
secara fungsional tersusun pada system otak penting, seperti korteks prefrontal
dorsolateral, korteks temporal mesial, nucleus akumben, ventral palidum, dan
hipokampus. Skizofrenia yang berkorelasi lebih lama juga mengenai perubahan

9
neuropeptide, dengan latensi panjangnya dan efek respon pada perilaku. Pada
tingkat elektrofisiologi, telah dihipotesiskan bahwa gangguan awal pada
skizofrenia bersifat aberan (mungkin diinduksi eksitotoksik) focus lobus temporal
yang membingungkan homeostasis system dopamine. Bukti yang lebih mutakhir
menunjukkan viremia trimester kedua sebagai precursor dini skizofrenia.
Berdasarkan teori ini, lobus temporal pusat selama perkembangan fetal dan deficit
ini tidak ditutupi pada masa dewasa akhir dengan kegagalan terhadap kelebihan
neuron atau untuk mengatur aktivitas frontotemporal (Isselbacher et al.,2000).
Faktor neuropatologis
Penggunaan CT scan dan MRI telah dilakukan secara luas pada penderita
skizofrenia. Laporan awal menunjukkan bahwa sebagian kecil pasien skizofrenia
mengalami peningkatan rasio ventrikuler otak secara abnormal, yang merefleksikan
peningkatan volume cairan ventrikuler yang dihubungkan dengan atrofi otak. Data
tomografi emisi positron (PET) memperlihatkan pola penurunan aktivitas lobus
frontal pada skizofrenia (hipofrontalis), terutama berhubungan dengan aktivitas
dopamine, fungsi lobus frontal dan tingkat aktivitas mesolimbic. Pada penelitian
lain disebutkan terdapat penurunan purkinje yang menyebabkan penurunan ukuran
sel pada vermis cerebral pada pasien skizofrenia lansia (Isselbacher et al.,2000;
Tran et al., 1998)
Pemrosesan informasi dan psikofisiologis
Patofisiologi skizofrenia juga telah ditimbulkan dengan penelitian pemrosesan
informasi dan psikofisiologi. Individu dengan resiko tinggi menderita skizofrenia
dan penderita dengan gangguan skizofrenik sering labil secara psikofisiologis dan
sensitif terhadap rangsangan. Mekanisme yang diajukan untuk sensitivitas ini
merupakan gangguan pada kemampuan individu untuk menyaring rangsangan tak
relevan dan ketidakmampuan membiasakan isyarat yang ditimbulkan secara
eksternal maupun internal. Akhirnya, gangguan fungsi ini, yang dihubungkan
dengan aktivitas dopamine berlebihan pada manusia dan hewan, menyebabkan
beban pemrosesan informasi(Isselbacher et al.,2000).
BAB 3. DIAGNOSIS SKIZOFRENIA PADA LANSIA

10
3.1 Manifestasi Klinis Skizofrenia pada Lansia
Skizofrenia pada lansia sedikit berbeda dengan skizofrenia pada umumnya.
Manifestasi klinis skizofrenia pada lansia dapat menjadi tersamarkan akibat adanya
penyakit psikis maupun fisik. Gangguan mental organik seperti demensia dan
depresi dengan gejala psikotik dapat menyamarkan gejala skizofrenia pada lansia,
karena adanya penurunan fungsi kognitif dan gangguan lain seperti gangguan
persepsi, isi pikiran (waham/delusi), dan suasana perasaan dan emosi.
Skizofrenia merupakan penyakit kronis. Sebagian kecil dari kehidupan
mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama
(bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran
penyakit yang ringan. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau
mengisolasi diri dan aneh. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat jelas oleh
orang lain.
Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami kemunduran serta
afek mereka terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan
intelegensinya yang mendekati normal pada sebagian besar pasien, peforma uji
kognitifnya buruk.
Pasien dapat mengalami anhedonia yaitu ketidakmampuan merasakan rasa
senang. Pasien juga mengalami deteriorasi yaitu perburukan yang terjadi secara
berangsur-angsur. Episode pertama psikotik sering didahului oleh suatu periode
tertentu, misalnya perilaku dan pikiran eksentrik (fase prodromal).
Kepribadian prepsikotik; dapat ditemui pada beberapa pasien skizofrenia
yang ditandai dengan penarikan diri dan terlalu kaku (rigid) secara sosial, sangat
pemalu, dan sering mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari. Suatu pola
yang sering ditemui yaitu ketrlibatan dalam aktivitas antisosial ringan dalam satu
atau dua tahun sebelum episode psikotik. Skizofrenia sering memperlihatkan
berbagai campuran gejala-gejala dibawah ini
1. Gangguan pikiran
Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak
dapat dimengerti oleh orang lain dan terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah

11
asosiasi longgar, pemasukan berlebihan, neologisme, blocking, klang asosiasi,
ekolalia, konkritisasi, dan alogia.
2. Gangguan isi pikir
Waham
Waham adalah suatu kepercayaan palsu yang menetap yang tak sesuai dengan fakta
dan kepercayaan tersebut mungkin aneh (misalnya; mata saya adalah computer
yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula tidak aneh (hanya sangat tidak
mungkin, misalnya ; FBI mengikuti saya) dan tetap dipertahankan meskipun telah
diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham sering ditemui
pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofrenia, semakin sering ditemui
waham, disorganisasi atau waham tidak sistematis, antara lain waham kejar, waham
kebesaran, waham rujukan, waham penyiaran pikiran, dan waham penyisipan
pikiran.
3. Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien tidak
menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap pengobatan meskipun
gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.
4. Gangguan persepsi
Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui biasanya dalam bentuk pendengaran tetapi bisa
dalam bentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran
(paling sering suara satu atau beberapa orang) dapat pula berupa komentar tentang
pasien atau peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut dapat
berbentuk ancaman atau perintah-perintah yang langsung ditujukan kepada pasien
(halusinasi komando). Suara-suara sering (tetapi tidak selalu) diterima pasien
sebagai sesuatu yang berasal dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien
dapat mendengar pikiran-pikiran mereka sendiri berbicara keras (sering
memalukannya atau suara yang memalukan). Suara-suara cukup nyata menurut
pasien kecuali pada fase awal skizofrenia.
5. Ilusi dan depersonalisasi

12
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi panca indera terhadap obyek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan
asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap
lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.
6. Gangguan emosi
Pasien skizofrenia dapat memperlihatkan berbagai emosi dan dapat bertindak ke
satu emosi ke emosi yang lain dalam jangka waktu singkat. Ada 3 afek dasar yang
sering (tetapi tidak patognomonik) : afek tumpul atau datar, afek tak serasi, dan afek
labil.
7. Gangguan perilaku
Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang
aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, agresiv, dan perilaku
seksual yang tidak pantas. Skizofrenia dapat berlangsung beberapa bulan atau
bertahun-tahun (lebih sering). Kebanyakan pasien mengalami kekambuhan, dalam
bentuk episode aktif, secara periodic, dalam kehidupannya, secara khas dengan
jarak beberapa bulan atau tahun. Selama masa pengobatan, pasien biasanya
menunjukkan gejala residual (sering dengan derajat keparahan yang meningkat
selama beberapa tahun). Walaupun demikian ada sebagian kecil pasien yang
mengalami remisi.
Sebagian besar pasien-pasien skizofrenia yang dalam keadaan remisi dapat
memperlihatkan tanda-tanda awal kesembuhan. Tanda-tanda awal tersebut
meliputi, peningkatan kegelisahan dan ketegangan, penurunan nafsu makan,
depresi ringan atau anhedonia, tidak bisa tidur, dan kosentrasi terganggu (Elvira et
al., 2010)

3.2 Klasifikasi Skizofrenia

13
Skizofrenia yang paling sering terjadi pada lansia adalah skizofrenia paranoid
dan skizofrenia simpleks (Elvira et al., 2010). Berdasarkan PPDGJ III untuk
mendiagnosis skizofrenia dibutuhkan beberapa kriteria berikut:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda, atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (Withdrawal) dan
- Thought broadcasting = isi pikiran keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya
b. - Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatantertentu dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas ,merujuk
ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau kepikiran, tindakan atau
penginderaan khusus).
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.
c. Halusinasi Auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku
pasien
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahi,misalnya perihal keyakinan

14
agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
mahluk asing atau dunia lain)
Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional
yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.
adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan
penarikan diri secara sosial.
Perjalanan Gangguan Skizofrenik dapat diklasifikasi dengan menggunakan kode
lima karakter berikut: F20.X0 Berkelanjutan, F20.X1 Episodik dengan kemunduran
progresif, F20 X2 episodik dengan kemunduran stabil, F20.X3 Episode berulang ,
F20. X4 remisi tak sempurna, F20.X5 remisi sempurna, F20.X8. lainnya, F20.X9.
Periode pengamatan kurang dari satu tahun.

15
a. Skizofrenia Paranoid (F20.0)
Tipe ini paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi
lebih belakangan bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain. Gejala
terlihat sangat konsisten, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai dengan
wahamnya. Pasien sering tak kooperatif dan sulit untuk kerjasama, mungkin
agresif, marah, atau ketakutan, tetapi pasien jarang sekali memperlihatkan perilaku
diorganisasi. Waham dan halusinasi menonjol sedangkan afek dan pembicaraan
hampir tidak terpengaruh. Beberapa contoh gejala paranoid adalah yang sering
ditemui :
1. Waham kejar, rujukan, kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan
cemburu
2. Halusinasi akustik beruba ancaman, perintah, atau menghina (Elvira et al., 2010)
Pada pasien lansia dengan skizofrenia yang terbanyak akan mengalami
skizofrenia paranoid. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya salah satu faktor
psikososial. Pada usia lanjut masalah seperti hilangnya dukungan keluarga
karena anak-anaknya yang sudah fokus pada keluarga kecilnya sendiri, ditinggal
oleh pasangannya meninggal, sudah banyak juga teman sebayanya yang sudah
meninggal hal ini akan menyebabkan sesorang yang berusia lanjut terasing
sehingga ada kecenderenguan menyendiri dan hal ini diperparah dengan
kehilangan aktivitas rutin yang biasanyanya dilakukan sehari-hari dalam bekerja
karena telah memasuki masa pensiun. Ketika seseorang sudah menarik diri maka
akan terjadi kemunduran dalam menilai sebuah realitas dan merasa cemas atau
khawatir tentang kehidupan nya merasa takut dan hingga memiliki delusi. Pada
lansia juga terjadi penurunan sistem sensorik yang menyebabkan kemudahan
untuk timbulnya halusinasi maupun ilusi. Sehingga pasien skizofrenia lansia
banyak yang mengalami skizofrenia paranoid.
Pedoman diagnostic PPDGJ III:
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Sebagai tambahan:
- Sebagai tambahan :
* Halusinasi dan/ waham arus menonjol;

16
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-lain
perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas;
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.

b. Skizofrenia simpleks (F20.6)


Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinkan,
karena bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan
progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain tentang adanya episode psikotik
sebelumnya, dan disertai dengan perubahan-perubahan yang bermakna. Pada
perilaku perorangan, yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, kemalasan, dan penarikan diri secara sosial ) (Elvira et al., 2010).
Pada lansia terjadi penarikan diri terhadap lingkungan karena beberapa
penyebab seperti mereka serasa terasing karena telah memasuki massa pensiun,
kehilangan pasangan dan teman sebaya yang telah meninggal dan dukungan
keluarga. Pada skizofrenia simplek hal tersebut akan berlangsung secara perlahan
yang akan membuat semakin hari kemauannya semakin menurun serta semakin
menarik diri dan ini diperparah apabila dukungan keluarga tidak bagus. Semakin
seseorang merasa terasing semakin seseorang tersebut merasa lebih suka
menyendiri dan nantinya akan membuat pasien usia lanjut menarik diri dari
lingkungan sosial dan akan mengalami gangguan dalam menilai realitas.
Pedoman diagnostik PPDGJ III:

17
- Skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan berlahan dan progresif dari:
(1) gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
(2) disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
- Gangguan ini kurang jelas gejala psokotiknya dibanding dengan sub type
skisofrenia lainnya

3.3 Pemeriksaan Penunjang


a. CT scan (Computerized Tomography) atau MRI (Magnetic resonance imaging)
CT scan (Computerized Tomography) adalah suatu prosedur yang digunakan
untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan
otak. Sedangkan MRI (Magnetic resonance imaging) adalah prosedur diagnostik
mutakhir untuk memeriksa dan mendeteksi kelainan organ di dalam tubuh dengan
menggunakan medan magnet dan gelombang frekuensi radio tanpa radiasi sinar X
atau bahan radioaktif. CT scan atau MRI jarang digunakan dalam pemeriksaan pada
skizofrenia secara umum kecuali pada kasus dengan kecurigaan terdapat kelainan
organik. Namun penggunaan CT scan atau MRI dapat membantu pemeriksaan pada
skizofrenia pada lansia untuk menyingkirkan berbagai penyebab demensia,
sehingga diagnosis demensia dapat disingkirkan. Pada beberapa laporan
menunjukkan bahwa sebagian kecil pasien skizofrenia mengalami peningkatan
rasio ventrikuler otak secara abnormal, yang merefleksikan peningkatan volume
cairan ventrikuler yang dihubungkan dengan atrofi otak.

b. PET (Positron Emission Tomography)


PET (Positron Emission Tomography) adalah metode visualisasi metabolisme
tubuh menggunakan radioisotop pemancar positron. PET sangat jarang digunakan
pada pemeriksaan penunjang skizofrenia, namun PET memperlihatkan pola
penurunan aktivitas lobus frontal pada skizofrenia (hipofrontalis), terutama

18
berhubungan dengan aktivitas dopamine, fungsi lobus frontal dan tingkat aktivitas
mesolimbic

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Hal ini
untuk menyingkirkan kemungkinan masalah gangguan mental organik. Leukosit
yang tinggi dapat menjadi petunjuk untuk menilai suatu kelainan sebagai suatu
gangguan mental organik. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
mengarahkan pada terapi yang harus dipilih. Klorpromazine memiliki efek
menurunkan jumlah leukosit sehingga dalam memilih dan dalam penggunaannya
harus melihat jumlah leukosit pasien. Pemeriksaan laboratorium yang lain untuk
menyingkirkan kemungkinan pengaruh alkohol dan pengaruh obat-obatan
psikotropika.

3.4 Diagnosis Banding


a. Demensia
Demensia adalah suatu kondisi penurunan fungsi mental-intelektual
(kognitif) yang progresif, yang dapat disebabkan oleh penyakit organik difus
pada hemisfer serebri (demensia kortikal-misal penyakit alzheimer) atau
kelainan struktur subkortikal (demensia subkortikal misal penyakit parkinson
dan huntington). Merosotnya fungsi kognitif pada pasein demensia harus cukup
berat sehingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan individu. Penyebab
demensia sangat banyak, namun tampilan gejala klinis umumnya hampir sama
(Elvira, 2010)
Demensia dan skizofrenia memiliki gejala yang hampir sama yaitu adanya
gangguan fungsi kognitif, gangguan sensorium, gangguan persepsi, isi pikiran
dan suasana perasaan dan emosi. Namun, gejala kognitif pada demensia lebih
menonjol daripada gejala kognitif pada skizofrenia lansia. Sebaliknya, pada
skizofrenia lansia gangguan persepsi berupa halusinasi dan gangguan isi pikiran
berupa waham lebih menonjol atau lebih sering muncul (Elvira, 2010;Maslim,
2003)

19
b. Gangguan depresi dengan Gejala Psikotik
Gejala depresi terdapat pada 15% dari populasi usia lanjut. Usia bukan
merupakan faktor resiko untuk gangguan depresi, namun kehilangan pasangan
dan memiliki penyakit medis kronis dikaitkan dengan kerentanan terhadap
gangguan depresi. Gangguan depresi berat dengan gejala psikotik memiliki
gejala utama afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan
berkurangnya energi yang menyebabkan keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas, yang disertai adanya waham, halusinasi, dan stupor depresif. Depresi
pada usia lanjut biasanya juga disertai gejala somatik (Elvira, 2010).
Depresi dengan gejala psikotik dan skizofrenia pada lansia memiliki gejala
yang sama yaitu adanya gejala psikotik berupa waham atau halusinasi. Selain
itu, penurunan minat dan aktivitas dapat muncul pada kedua gangguan tersebut.
Namun pada fungsi kognitif pada pasien depresi masih normal atau sedikit
menurun dibandingkan dengan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia. Adanya
gangguan proses berfikir, gangguan emosi, dan gangguan perilaku pada
skizofrenia lansia dapat menjadi pembeda dengan gangguan depresi dengan
gejala psikotik (Elvira, 2010; Maslim, 2003)

BAB 4. TERAPI DAN PROGNOSIS SKIZOFRENIA PADA LANSIA

4.1 Terapi Skizofrenia pada Lansia


Penatalaksanaan pasien skizofrenia harus dilakukan sesegera mungkin,
karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar
penderita menuju ke kemunduran mental. Sementara itu, pengobatan
skizofrenia membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini dimaksudkan untuk
menekan sekecil mungkin kejadian kekambuhan. Penatalaksanaan yang
dimaksud berupa pengobatan psikofarmaka dan psikoterapi.

20
a. Psikofarmaka
Pada pengobatan skizofrenia digunakan obat golongan antipsikosis.
Obat antipsikosis digunakan untuk mengendalikan gejala aktif dan
mencegah kekambuhan. Obat antipsikosis ini digolongkan menjadi
golongan antipsikosis tipikal dan golongan antipsikosis atipikal.
Mekanisme kerja obat golongan antipsikosis tipikal adalah dengan
memblok dopamin pada reseptor pasca sinaps neuron diotak, khususnya
sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor
antagonist), sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat
antipsikosis yang atipikal memiliki afinitas terhadap dopamine D2 receptor
dan juga terhadap serotonin 5HT2 receptor, sehingga efektif juga untuk
gejala negatif. Contoh obat golongan tipikal adalah klorpromazin,
flufenazin,trifluoperazin, dan haloperidol, sementara itu contoh obat
golongan atipikal adalah clozapin, olanzapin, dan risperidon. Pada obat
golongan tipikal memiliki efek sindrom ekstrapiramidal yang lebih besar
dibandingkan dengan obat golongan atipikal.
Efek samping obat antipsikosis dapat berupa:
Sedasi dan inhibisi psikomotor
Gangguan otonom
Gangguan ekstrapiramidal
Gangguan endokrin, metabolik, dan hematologik, biasanya
muncul pada pemakaian jangka panjang.
Efek samping tersebut ada yang dapat ditolerir oleh pasien ada yang
lambat dan ada yang membutuhkan obat simptomatis untuk meredakan efek
samping. Dalam penggunaan antipsikosis yang hendak dicapai adalah
respon optimal dengan efek samping yang minimal. Efek samping yang
terjadi dapat berupa gangguan ireversibel: tardive dyskinesia (gerak
involunter berulang pada wajah, mulut, anggota gerak yang menghilang saat
tidur) yang biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi
pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini non dose
related.

21
Bila terjadi gejala tersebut, obat antipsikosis perlahan-lahan
dihentikan dan dapat diberikan reserpin 2,5mg/hari (dopamine depleting
agent) atau obat antipsikosis diganti dengan closapin 50-100mg/hari. Pada
penggunaan obat antipsikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, urin lengkap, faal hati,
faal ginjal untuk deteksi dini efek samping obat.
Pada lansia akan lebih rentan terhadap efek samping obat yang
ditimbulkan, sehingga pada pasien lansia dibutuhkan obat yang memiliki
efek samping yang minimal dengan dosis yang rendah juga. Efek samping
yang terjadi pada pasien lansia bisa berupa ekstrapiramidal sindrom,
sindroma metabolik, dan tardive dyskinesia. Hal ini rentan pada lansia
karena pada usia lanjut sel neuronnya akan memiliki sifat dopaminergik
yang lebih rendah daripada usia dewasa karena reseptor D2 jumlahnya lebih
sedikit sehingga apabila dosis yang sama diberikan akan lebih mudah
memberikan efek parkinsonism. Sementara itu metabolisme pada usia lanjut
mengalami penurunan kecepatan metabolisme termasuk obat sehingga
absorbsi dan eliminasi obat berlangsung lambat.
Pada dasarnya semua obat antipsikosis memiliki efek primer yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan terlihat pada efek sekunder (efek
samping: sedasi, otonom, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis obat
mempertimbangkan gejala skizofrenia yang dominan dan efek samping
obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Berikut tabel
dosis obat antipsikosis pada lansia (Dilip J Veste, et al.,2013):

Tabel. Rekomendasi obat antipsikosis pada lansia (mg/hari)


Antipsikosis Dosis awal Dosis pemeliharaan
Haloperidol 0,25-0,5 1-3,5
Thioridazine 10-25 50-100
Clozapine 6,25-12,5 50-100
Risperidone 0,25-0,5 1-2,5

22
Olanzapine 1-5 5-15
Quetiapine 12,5-25 75-125

Fase pengobatan pada skizofrenia dibagi menjadi 3 tahapan: fase


akut (fase untuk meredakan gejala), fase stabillisasi (mencegah relaps dan
menemukan dosis optimal), fase rumatan (maintenence dan dosis
dipertahankan pada dosis maintenence). Pengobatan diawali dengan
pemberian dosis awal sesuai dosis anjuran, dinaikkan setiap 2-3 hari dan
dievaluasi 2 minggu hingga akan menemukan dosis optimum dan
dipertahankan selama 8-12 minggu, lalu dosis diturunkan tiap 2 minggu dan
pada dosis maintenence dosis dipertahankan 6 bulan sampai dengan 2 tahun
lalu ditapering off setiap 2-4 minggu dan akhirnya dihentikan.
Pada serangan berulang fase maintenence dilakukan selama 5 tahun
dan pada pasien yang mengalami serangan pertama kali dilakukan selama 2
tahun. Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai
beberapa hari setelah dosis terakhir diberikan masih mempunyai efek klinis,
sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan segera setelah obat
dihentikan. Biasanya satu bulan kemudian gejala akan muncul kembali. Hal
ini terjadi karena metabolisme dan ekskresi obat yang berjalan lambat
sementara hasil metabolit obat masih memiliki efek antipsikosis.
Obat antipsikosis tidak memberikan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil. Pada penghentian mendadak dapat terjadi
Cholinergic rebound yang bermanifestasi dengan gangguan lambung, mual,
muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lainnya. Keadaan ini mereda
dengan antikolinergik seperti sulfas atropin ataupun dengan triheksilpenidil.
Oleh karena itu pada penggunaan bersamaan obat antipsikosis dengan anti
parkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat yang dihentikan dulu
adalah obat antipsikosisnya.
b. Psikoterapi

23
Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang
diharapkan, bahkan hal tersebut dapat menambah isolasi diri pada penderita
skizofrenia. Pada penderita skizofrenia psikoterapi yang sesuai adalah
psikoterapi suportif baik individual maupun kelompok yang praktis dengan
maksud mengembalikan penderita ke masyarakat. Teknik terapi perilaku
kognitif untuk penderita skizofrenia akhir-akhir ini memberikan hasil yang
menjanjikan. Terapi perilaku kognitif dapat memperbaiki gangguan kognisi
dan meningkatkan kesadaran pasien akan penyakit pasien.
c. Psikososial
Terapi psikososial dapat juga diberikan pada pasien skizofrenia lansia untuk
meningkatkan kemampuan sosial dan ketrampilan praktis yang berguna
untuk kemandirian dalam kehidupannya.Terapi ini dapat dilakukan di
rumah sakit dan klub sosial.

4.2 Prognosis Skizofrenia pada Lansia


Pada skizofrenia awitan lambat akan memiliki prognosis yang lebih baik.
Skizofrenia awitan lambat terjadi apabila skizofrenia terjadi setelah usia 45 tahun.
Prognosis ditentukan oleh beberapa aspek, seperti:
a. Kepribadian premorbid
b. Onset: onset akut akan memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan skizofrenia yang terjadi secara perlahan
c. Jenis penyakit: pada lansia yang lebih sering adalah skizofrenia paranoid
sehingga prognosis nya baik
d. Umur permulaan: pada lansia biasanya muncul awitan lambat sehingga
prognosisnya lebih baik
e. Kecepatan mendapatkan pengobatan: semakin cepat mendapatkan
pengobtan prognosis akan semakin baik
f. Diketahui atau tidaknya faktor pencetus: apabila faktor pencetus diketahui
seperti penyakit badaniah atau stres psikologis maka prognosis nya baik
g. Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih buruk apabila dalam keluarganya
terdapat seorang atau lebih yang menderita skizofrenia

24
DAFTAR PUSTAKA

Boeree, George. 2006. Personalithy Teory. Psychology Department Shippensburg


University. Pennsylavia.

Dilip V. Jeste dan Jeanne E Maglinne, 2013. Treating Older Adult with
Schizophrenia: Challanges and Opportunities. Schizophrenia Bulletin vol. 39,
no.5. Hal: 966-968.

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto,2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan


Penerbit FK UI. Jakarta

Fatima, Aness, et al. 2011. Schizophrenia in Elderly Patients. Journal of


Pharmaceutical Sciences and Research 3(1): 952-960.

25
Isselbacher, Kurt. J, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B. Martin,
Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, eds. 2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
penyakit Dalam Vol. 5. Edisi 13. Jakarta: EGC. Hal 2662-2666

Maramis, Willy F., dan Maramis, Albert A. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa,
Surabaya: Airlangga.

Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosa Gangguan Jiwa, PPDGJ III. Jakarta: Direktorat
Kesehatan RI.

Tran, Khoa D., et al. 1998. Reduced Purkinje Call Size in the cerebellar Vermis of
Ederly Patients With Schizophrenia. Am J Psychiatry 155(9).

26

Potrebbero piacerti anche