Sei sulla pagina 1di 188

MODEL RESTOCKING KERAPU MACAN

(Epinephelus fuscoguttatus) DALAM SISTEM SEA


RANCHING DI PERAIRAN DANGKAL SEMAK
DAUN, KEPULAUAN SERIBU

RAHMAT KURNIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ‘Model


Restocking Kerapu Macan (Epinephelus Fuscoguttatus) dalam Sistem Sea
Ranching di Perairan Dangkal Semak Daun, Kepulauan Seribu’ adalah hasil
karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya penulis lain telah dicantumkan di dalam teks dan Daftar Pustaka
disertasi ini.

Bogor, 1 Januari 2012

Rahmat Kurnia
NIM. C161040011
ABSTRACT

RAHMAT KURNIA. Restocking model of kerapu macan (Epinephelus


fusgoguttatus) in sea ranching sistem in Semak Daun shallow water, Kepulauan
Seribu. Under guidance of KADARWAN SOEWARDI, ISMUDI MUCHSIN and
MENNOFATRIA BOER.

The releasing in the ocean is known as sea ranching. In addition to


improving the cultivation and improvement of economic levels of society, the
main goal of sea farming is restocking. This study estimated the carrying capacity
of the Semak Daun water for the KJA and sea ranching. Estimated carrying
capacity of the KJA performed with a load close to the waste feed. Meanwhile,
the carrying capacity for sea ranching is approached with primary productivity
through the content of chlorophyll-a in the waters. This review based on the
carrying capacity of the sewage effluent P found that the carrying capacity of
water for KJA is 12.5 – 21.6 ton. Meanwhile, the carrying capacity for brown
grouper fish in the sea ranching systems is between 0.70 – 1.06 tons / year with an
average of 0.88 tons / year. Growth parameters of the brown grouper are K =
0.27 per year, L ∞ = 97.48 cm, and t 0 = -0.44. The natural mortality M = 0.445
per year, and length-weight relationship: W = 0.008L3.16. Restocking model is
based on three criteria: the optimal catch corresponding carrying capacity, optimal
economic value of yield, and the ability to recover the stock. The study found out
that the best alternative policy for sea ranching recruitment type is the A-8, which
is 17 cm length seed, stocking density of 2000 fishes, with fishing mortality 0.4.
The model produces optimal restocking yield 529.045 kg/year. On the other
hand, the best alternative policy for sea ranching harvest type is 17 cm length seed
with stocking density 4000 fishes.

Key words: carrying capacity, sea farming, sea ranching, restocking, Epinephelus
fusgoguttatus
RINGKASAN

RAHMAT KURNIA. Model Restocking Kerapu Macan (Epinephelus


fuscoguttatus) dalam Sistem Sea Ranching Di Perairan Dangkal Semak Daun,
Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI, ISMUDI
MUCHSIN dan MENNOFATRIA BOER.

Sea ranching merupakan pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan


laut yang terisolasi secara geografis. Ikan yang ditebar (restocking) di kawasan
tersebut dapat ditangkap kembali (recapture) dengan tingkat (rate) yang berbeda-
beda. Saat ini kegiatan budidaya ikan kerapu macan dalam keramba jarring apung
(KJA) di perairan dangkal Semak Daun sudah berjalan. Namun, restocking yang
dilakukan di kawasan sea ranching perairan tersebut belum berjalan. Oleh sebab
itu diperlukan kajian tentang model restocking.
Kajian ini menduga besarnya daya dukung perairan, baik terhadap KJA
maupun sea ranching. Biota yang menjadi objek kajian adalah kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus). Pendugaan daya dukung di KJA dilakukan dengan
pendekatan beban limbah pakan, sedangkan daya dukung bagi sea ranching
didekati dengan produktivitas primer melalui kandungan klorofil-a di perairan
tersebut. Kajian daya dukung berdasarkan buangan limbah P menemukan bahwa
daya dukung perairan Semak Daun bagi budi daya keramba jaring apung (KJA)
adalah 12.5 – 21.6 ton, atau 404 keramba berukuran 3x3 m2. Sementara, daya
dukung bagi ikan kerapu macan dalam sistem sea ranching perairan Semak Daun
antara 0.703 – 1.06 ton/th dengan rata-rata 0.88 ton/th. Bila dihitung produksi per
ha diperoleh produksi ikan kerapu macan ini antara 0.0022 – 0.0034 ton/ha/th,
dengan rata-rata 0.003 ton/ha/th.
Parameter pertumbuhan kerapu macan di alam yang diperoleh adalah K =
0.27 per tahun, L ∞ = 97.48 cm, dan t o = -0.44. Laju kematian alami tetap sebesar
M = 0.445 per tahun, dan bobot memiliki hubungan dengan panjang dalam
bentuk hubungan: W=0.008L3.16.
Model restocking ditetapkan berdasarkan tiga kriteria, yaitu hasil tangkapan
optimal sesuai daya dukung, nilai ekonomi hasil tangkapan optimal, dan
kemampuan memulihkan stok. Kajian ini menemukan bahwa alternatif tindakan
yang tepat untuk diambil pada sea ranching tipe rekrutmen (recruitment
type)adalah kebijakan K-8, yaitu panjang benih 17 cm, kepadatan tebar 2000 ekor,
dengan mortalitas tangkap 0.4. Model restocking ini menghasilkan tangkapan
hasil tangkapan optimal terbesar 529.045 kg per tahun. Adapun pada sea
ranching tipe panen (harvest type) alternatif tindakan yang sebaiknya dipilih
adalah restocking dengan panjang benih 17 cm dan padat tebar 4000 ekor.
Tangkapan optimal yang diperoleh adalah 1059.661 kg per tahun.

Kata kunci: daya dukung, sea farming, sea ranching, restocking, kerapu macan,
Epinephelus fusgoguttatus
MODEL RESTOCKING KERAPU MACAN (Epinephelus
fuscoguttatus) DALAM SISTEM SEA RANCHING DI
PERAIRAN DANGKAL SEMAK DAUN, KEPULAUAN
SERIBU

RAHMAT KURNIA

Disertasi
sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1 Dr. Ir. M. Muchlis Kamal, M.Sc
2 Dr. Ir. Niken T.M Pratiwi, M.Si

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:


1 Prof. Dr. Fatuchri Sukadi
2 Dr. Ir. Luky Adrianto
@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber:
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau


seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Disertasi : Model Restocking Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) dalam Sistem Sea Ranching di Perairan
Dangkal Semak Daun, Kepulauan Seribu

Nama Mahasiswa : Rahmat Kurnia

NIM : C161040011

Program Studi : Ilmu Perairan

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi


Ketua

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer
Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,


Ilmu Perairan,

Prof. Dr. Ir. Enang Haris Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian Terbuka: Tanggal Lulus :


12 Desember 2011
PRAKATA
Segenap puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan hidayah-Nyalah akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Januari hingga September
2010 ini adalah model restocking dalam sistem sea ranching.
Selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tulisan ini, Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, Bapak
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer yang telah
membimbing dan mengarahkan selama penelitian ini. Rasa terima kasih juga
Penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Muchlis Kamal, M.Sc dan Ibu Dr. Ir.
Niken T.M Pratiwi, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup
serta Bapak Prof. Dr. Fatuchri Sukadi dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto yang telah
bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka. Terima kasih yang tak terhingga
dihaturkan kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) yang
telah membantu dalam penyelesaian penelitian. Penulis tidak akan lupa
mengucapkan terima kasih kepada saudaraku Riza Rosadi yang telah banyak
membantu hingga studi ini bisa selesai. Last but not least, terima kasih
dihaturkan kepada istri tercinta Dedeh Wahidah Achmad dan anak-anak terkasih
(Nayla, Nazhif, Misykah, Dafinah, dan Zhilal) yang telah merelakan sebagian
besar waktu yang menjadi haknya digunakan untuk penelitian.
Tulisan ini insya Allah akan banyak manfaatnya bagi berbagai pihak.
Meskipun demikian, masukan dan kritikan sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa datang.

Bogor, 1 Januari 2012

Rahmat Kurnia
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada hari Sabtu, tanggal 28 September 1968


dari rahim ibu E. Tursinah dan ayah Oon Suhanda. Setelah menamatkan SMAN
Buah Batu, Bandung, pada tahun 1986, penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Pemilihan Minat dan Kemampuan (PMDK). Pendidikan
sarjana di tempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, dan lulus pada bulan September 1991 dengan
menyandang predikat lulusan terbaik. Berbekal keikhlasan, doa, dan semangat
pada tahun 1997 penulis melanjutkan program magister (S2) pada program studi
Statistika Terapan-IPB. Setelah mempertahankan tesis berjudul ‘Penduga
Kelimpahan Populasi Ikan dengan Metoda Pemulusan Kernel terhadap Data Line
Transect’ ia lulus S2 pada Desember 2000. Kesempatan untuk melanjutkan
belajar ke jenjang S3 pada perguruan tinggi yang sama diraih pada tahun 2004
dengan beasiswa dari BPPS.
Penulis pernah bekerja di Pan Asia Research Jakarta tahun 1991 sampai
dengan 1992. Pada tahun 1992 tersebut penulis mengabdikan diri sebagai
pengajar pada Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, sampai sekarang.
Karya ilmiah berjudul “Tangkapan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu” diterbitkan pada jurnal
Buletin PSP Volume XIX, no. 13 Desember 2011. Sementara, tulisan berjudul
“Model sea ranching ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di perairan
Semak Daun, Kepulauan Seribu” sedang ditelaah oleh tim reviewer untuk dapat
dimuat pada jurnal Marine Fisheries. Kedua karya ilmiah tersebut merupakan
bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxiii
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Permasalahan ........................................................................................ 1
Perumusan Masalah ...................................................................................... 4
Tujuan dan Manfaat ...................................................................................... 6
Kebaruan/novelty ........................................................................................ 6
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
Kondisi Umum Perairan Semak Daun ........................................................... 7
Eko-Biologi Ikan Kerapu Macan ................................................................... 7
Sistimatika ........................................................................................ 7
Morfometrik ........................................................................................ 9
Kebiasaan makanan .............................................................................. 10
Faktor lingkungan ................................................................................ 10
Sea Ranching dan Restocking........................................................................ 10
Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) ............................................ 16
Pertumbuhan Panjang ................................................................................... 21
Hubungan Panjang Berat............................................................................... 22
Mortalitas ........................................................................................ 23
Sistem dan Model ........................................................................................ 23
Participatory Fish Stock Assessment (ParFish) .............................................. 25
Bayesian untuk Kajian Stok .......................................................................... 27
Pembangkitan Sebaran .................................................................................. 30
METODE PENELITIAN ........................................................................... 31
Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 31
Kerangka Pemikiran...................................................................................... 31
Metode dan Desain Penelitian ....................................................................... 33
Desain Waktu ........................................................................................ 34
Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 34
Variabel ........................................................................................ 35
Metoda Pengukuran ...................................................................................... 35
Penentuan Daya Dukung ............................................................................... 35
Kondisi Stok ........................................................................................ 40
Analisis Data ........................................................................................ 41
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 43
Keadaan Umum Semak Daun ....................................................................... 43
Perikanan Budidaya di Perairan Semak Daun ................................................ 45
Perikanan Tangkap Ikan Kerapu Macan ........................................................ 45
Fisika dan Kimia Perairan ............................................................................. 45
Kondisi Stok Perairan Dangkal Semak Daun................................................. 46

xvii
xviii

Daya Dukung ....... ........................................................................................ 51


Daya dukung KJA dengan metode pengenceran ................................... 51
Daya dukung sea ranching ................................................................... 55
Hubungan KJA dengan sea ranching.................................................... 61
Penduga Parameter Pertumbuhan Kerapu Macan di Alam ............................. 63
Penduga parameter hubungan panjang berat ......................................... 65
Penduga parameter pertumbuhan panjang ............................................. 68
Penduga parameter mortalitas alami (M), penangkapan (F), dan total
(Z) .... ............................................................................................... 70
Model Restocking Kerapu Macan .................................................................. 73
Deskripsi model ................................................................................... 73
Asumsi ........................................................................................ 77
Diagram konseptual model ................................................................... 78
Hasil Pemodelan dan Simulasi ...................................................................... 80
Pola tebar ........................................................................................ 80
Hasil tangkapan sea ranching recruitment type..................................... 81
Nilai hasil tangkapan ............................................................................ 88
Spawning stock biomass (SSB)............................................................. 91
Hasil Tangkapan Sea Ranching Harvest Type ............................................... 96
Implikasi bagi Kebijakan Pengelolaan Restocking ......................................... 98
Strategi penebaran ................................................................................ 99
Kelembagaan ....................................................................................... 102
Software Model Restocking ........................................................................... 107
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 115
LAMPIRAN ........................................................................................ 125
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Faktor lingkungan bagi ikan kerapu .................................................... 10
2 Matrik kesesuaian untuk sea ranching ................................................ 16
3 Konversi produksi primer ke dalam biomassa Ikan .............................. 20
4 Produktivitas primer beberapa ekosistem utama pesisir dan laut .......... 21
5 Baku mutu air laut untuk terumbu karang ............................................ 37
6 Parameter kualitas air hasil pemantauan lingkungan di perairan Goba
Semak Daun 2008 ............................................................................... 46
7 Frekuensi ukuran kerapu macan yang tertangkap di perairan Semak
Daun periode Maret – Agustus 2010 ................................................... 50
8 Data yang diperlukan untuk menduga daya dukung perairan gosong
Semak Daun........................................................................................ 53
9 Pola pemberian pakan ikan kerapu ...................................................... 54
10 Penghitungan SR kerapu macan di KJA ............................................. 56
11 Klorofil-a (Chl-a) dan Produktivitas Primer di Perairan Semak Daun
Selama Bulan Agustus 2008 – Juli 2009 .............................................. 58
12 Tropic level beberapa spesies ............................................................... 59
13 Peubah yang diperlukan untuk menduga daya dukung ikan kerapu
macan dalam sea ranching .................................................................. 60
14 Rataan, simpangan baku, panjang minimal, dan panjang maksimal
ikan yang tertangkap selama bulan Maret sampai dengan Agustus
2010 ................................................................................................... 64
15 Nilai koefisien hubungan panjang-berat ikan kerapu macan di perairan
Semak Daun bulan Maret-Agustus 2010 ............................................. 67
16 Nilai k (/th) untuk ikan kerapu macan di alam ...................................... 69
17 Sebaran suhu permukaan air laut Semak Daun periode Agustus 2008 –
Juli 2009 ............................................................................................. 71
18 Harga ikan kerapu macan ..................................................................... 76
19 Kebijakan penebaran restocking kerapu macan .................................... 86
20 Nilai hasil tangkapan (juta Rp) pada kesebelas alternatifkebijakan
penebaran ikan kerapu macan.............................................................. 91
21 SSB (ekor) pada keenam skenario penebaran ikan kerapu macan ......... 93
22 Perbandingan alternatif tindakan .......................................................... 94
23 Perbandingan hasil tangkapan optimal pada berbagai alternatif tindakan 97

xix
xx
xxi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hubungan sea ranching dengan budidaya ........................................... 4
2 Hubungan marikultur dengan sea ranching dalam sistem sea farming .. 4
3 Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) .............................. ..... 9
4 Kaitan sea farming dengan marikultur ................................................. 13
5 Model konseptual bioekonomi restocking ikan kerapu macan .............. 25
6 Ilustrasi proses pendugaan melalui metode Bayes................................. 29
7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun............................... 31
8 Pola pendekatan penentuan daya dukung perairan Semak Daun dan
restocking ............................................................................................. 32
9 Volume air pada saat pasang surut (Widigdo & Pariwono 2003)............ 36
10 Volume air pada saat pasang surut ......................................................... 38
11 Daerah tujuan nelayan penangkap kerapu macan tahun 2010 ............... 43
12 Produktivitas bubu menangkap ikan kerapu macan tahun 2010 (----)
dan sebelum tahun 2000 ( ) ............................................................... 44
13 (a) Bnow, (b) laju pertumbuhan populasi r, (c) biomassa pada saat
tidak dieksploitasi, dan (d) catchability ............................................... 48
14 Kondisi stok pada saat ini ..................................................................... 49
15 Diagram Forester bagi model pendugaan daya dukung KJA dan sea
ranching ............................................................................................. 52
16 Elevasi pasang surut selama bulan Juli ................................................. 53
17 Kandungan klorofil-a (Chl-a) di perairan Semak Daun dari Agustus
2008 sampai dengan Juli 2009 ............................................................ 56
18 Piramida transfer energi dari produktivitas primer kepada kerapu
macan ................................................................................................. 61
19 Hubungan Luas KJA dengan Daya Dukung Sea Ranching ................... 63
20 Frekuensi panjang ikan kerapu macan di perairan Semak Daun ............ 64
21 Peluang tertangkapnya ikan pada ukuran tertentu oleh bubu ................. 65
22 Peluang tertangkapnya ikan kerapu macan oleh bubu di perairan
Semak Daun........................................................................................ 66
23 Hubungan panjang-berat ikan kerapu macan ........................................ 66
24 Sebaran nilai penduga koefisien a (a) dan koefisien b (b) dari model
Bayes .................................................................................................. 67

xxi
xxii

25 Faktor kondisi ikan kerapu macan di perairan Semak Daun (Maret-


Agustus 2010) ..................................................................................... 68
26 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kerapu macan untuk
panjang dan bobot ............................................................................... 69
27 Kurva hasil tangkapan yang dikonversi ................................................ 70
28 Hubungan mortalitas tangkapan (F) dengan banyak ikan kerapu macan
yang bertahan hidup di perairan Semak Daun ...................................... 72
29 Hubungan antara mortalitas penangkapan (F) dengan hasil tangkapan
ikan kerapu macan di perairan Semak Daun ........................................ 73
30 Hubungan panjang ikan kerapu macan (cm) dengan peluang matang
gonad .................................................................................................. 76
31 Struktur model dinamika populasi untuk mensimulasikan hasil
tangkapan dan nilai tangkap tahunan sebagai fungsi dari beberapa
skenario panjang tebar, pola tebar, dan banyaknya tebar ...................... 79
32 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai pola tebar ...................... 80
33 Hasil tangkapan kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.0 – 1.0
ekor..................................................................................................... 82
34 Hasil tangkapan kerapu macan dalam keenam skenario ........................ 88
35 Nilai hasil tangkapan kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F)
0.1–1.3, padat tebar 1 000, 5 000, 10 000, 15 000, 20 000, 25 000, dan
30 000 ekor ......................................................................................... 90
36 SSB kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.1 – 1.3, padat tebar
1 000, 5 000, 10 000, 15 000, 20 000, 25 000, dan 30 000 ekor ........... 92
37 Kerangka umum ko-manajemen perikanan .......................................... 103
38 Tampilan muka software model restocking ......................................... 108
39 Tampilan untuk menghitung daya dukung KJA ................................... 108
40 Tampilan untuk menghitung daya dukung sea ranching ...................... 109
41 Tampilan untuk mensimulasi hasil dan nilai tangkapan pada berbagai
kombinasi panjang dan padat tebar ..................................................... 109
42 Tampilan untuk melihat grafik Von Bertalanffy .................................. 110
43 Tampilan untuk melihat ”Tentang Kami” ............................................ 110
xxiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Daftar pertanyaan participatory stock assessment ................................ 127
2 Ringkasan data hasil wawancara untuk participatory stock assessment. 129
3 Ringkasan data hasil wawancara untuk participatory stock assessment
(lanjutan) ............................................................................................... 130
4 Data olahan untuk input participatory stock assessment ........................ 131
5 Hitungan volume air laut melalui elevasi pasang surut.......................... 132
6 Hitungan daya dukung KJA melalui beban limbah P ............................ 133
7 Penghitungan daya dukung berdasarkan masukan P ............................. 135
8 Frekuensi data ikan kerapu macan di alam............................................ 136
9 Program winbugs untuk mencari koefisien a dan b pada persamaan
W=aL^b ............................................................................................. 136
10 Hasil olahan hubungan panjang berat ................................................... 139
11 Program winbugs untuk mencari koefisien von Bertalanffy .................. 140
12 Program QBasic untuk simulasi pola restocking ................................... 142
13 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai
padat tebar (T) untuk panjang benih 11, 13, 15 cm .............................. 144
14 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai
padat tebar (T) untuk panjang benih 17, 18, 19 cm .............................. 145
15 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=10 cm .......................... 146
16 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=11 cm .......................... 147
17 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=12 cm .......................... 148
18 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=13 cm .......................... 149
19 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=14 cm .......................... 150
20 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=15 cm .......................... 151
21 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan mortalitas
tangkapan dengan panjang tebar L=16 cm .............................................. 152

xxiii
xxiv

Halaman
22 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=17 cm .......................... 153
23 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=18 cm .......................... 154
24 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=19 cm .......................... 155
25 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=20 cm .......................... 156
26 Program mencari hasil tangkapan optimum .......................................... 157
27 Hubungan nilai hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada
berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 11 – 13 cm ................... 160
28 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai
padat tebar (T) untuk panjang benih 14 - 16 cm .................................. 161
29 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai
padat tebar (T) untuk panjang benih 17 - 19 cm .................................. 162
30 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai
padat tebar (T) untuk panjang benih 20 cm ......................................... 163
31 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar
(T) untuk panjang benih 11 – 13 cm.................................................... 164
32 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar
(T) untuk panjang benih 14 - 16 cm .................................................... 165
33 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar
(T) untuk panjang benih 17 - 19 cm .................................................... 166
34 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat tebar
(T) untuk panjang benih 20 cm ........................................................... 167
35 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang benih 15, 16, 17 cm (harvest
type) ................................................................................................... 168
36 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang benih 18, 19, 20 cm (harvest
type) ................................................................................................... 169
37 Fungsi masing-masing pelaku dalam sistem sea farming ...................... 170
38 Ringkasan code program daya dukung ................................................. 172
39 Gambar pilihan..................................................................................... 174
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai
digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem
perairan laut berbasis marikultur dengan tujuan untuk meningkatkan stok
sumberdaya ikan (fish resources enhancement) bagi keberlanjutan perikanan
tangkap dan aktivitas berbasis kelautan lainnya seperti ekowisata bahari (PKSPL
2006). Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mensikapi tangkap lebih
(overfishing) yang terjadi di Kepulauan Seribu. Dalam kondisi overfishing ikan
yang ditangkap melebihi kemampuan reproduksi dan pertumbuhan alamiahnya
sehingga stok menjadi berkurang dan terus berkurang (SPKKAKS 2008). Ikan
yang dibudidayakan di sana adalah ikan kerapu bebek dan kerapu macan.
Di samping untuk meningkatkan budidaya dan peningkatan taraf ekonomi
masyarakat, tujuan utama sea farming adalah untuk restocking. Sejak awal,
pemerintahan Kepulauan Seribu menetapkan tujuan utama sea farming adalah
restocking atau stock enhancement ke perairan Kepulauan Seribu (SPKKAKS
2006). Sistem tersebut melibatkan aktivitas keramba jaring apung (KJA), pen
culture, dan restocking di alam. KJA dan penculture sudah berjalan, sementara
restocking dalam sistem sea ranching belum dilakukan.
Berdasarkan hal di atas model restocking ikan merupakan hal yang penting.
Oleh karena belum ada kajian tentang restocking dalam rangka sea ranching,
maka penting sekali dilakukan penelitian tentang model restocking di kawasan
tersebut.

Permasalahan
Salah satu persoalan umum perikanan dan kelautan adalah mewujudkan
perikanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk perikanan
dengan menjaga lingkungan tetap lestari. Produksi ikan perlu ditingkatkan secara
substansial untuk dapat memenuhi permintaan global yang diduga meningkat
pada tahun 2020 (Delgado et al. 2003). Namun, banyak orang percaya bahwa
2

kemandekan produksi dari perikanan tangkap berarti budidaya akan memainkan


peran utama dalam memenuhi peningkatan permintaan ini sekalipun hal ini
dibarengi dengan peningkatan secara signifikan penggunaan sumberdaya
perikanan (Tacon 2003; Muir 2005). Sementara, potensi pengembangan
pengelolaan perikanan tangkap untuk meningkatkan hasil tangkap yang karenanya
menjadi komplemen bagi budidaya dipandang kontroversial. Hal ini muncul
setidaknya karena ada dua alasan, (1) biomassa yang memijah telah berkurang
dibawah tingkat optimal, dan (2) habitat yang mendukung produksi perikanan
telah terdegradasi (FAO 2004).
Pada sisi lain, dalam simposium internasional tentang enhancement dan sea
ranching di Norwagia, Bartley (1999) menggarisbawahi bahwa ‘populasi manusia
yang tengah berkembang dan permintaannya akan produk perikanan melahirkan
berbagai tekanan terhadap lingkungan budidaya. Akibatnya, dua belas ranching
pada saat ini mendapatkan perhatian sebagai alat untuk memperbaiki dan
meningkatkan produksi dari perikanan pesisir dan lautan’. Sementara, Bell et
al. (2006) menegaskan bahwa restocking dan stock enhancement harus diletakkan
dalam kerangka suatu sistem managemen yang mengintegrasikan penebaran benih
dengan kontrol yang cocok terhadap upaya tangkap dan perlindungan habitat.
Ini mengisyaratkan perlunya sistem yang mengkombinasikan antara perikanan
budidaya dengan perikanan tangkap. Di laut, budidaya dilakukan dalam sistem
keramba jaring apung (KJA), pen culture (sistem kandang), dan lain-lain. Adapun
perikanan tangkap dilakukan dengan cara menebar benih di laut hingga suatu
ketika akan ditangkap kembali. Sistem ‘bertanam ikan di laut’ ini dikenal dengan
sistem sea ranching. Sistem yang memadukan aktivitas budi daya dan sea
ranching tersebut di laut dikenal dengan sea farming.
Saat ini sea farming sedang dilaksanakan di perairan Semak Daun.
Kegiatan budidaya ikan dalam KJA di perairan tersebut sudah berjalan. Namun,
restocking yang dilakukan di kawasan sea ranching perairan tersebut belum
berjalan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem yang menyeimbangkan
antara budidaya dengan sistem sea ranching sedemikian rupa sehingga optimal,
baik dari segi ekologi maupun ekonomi.
3

Sea ranching ini dilakukan dengan meningkatkan stok ikan di laut. Stok
ikan dapat ditingkatkan melalui kegiatan restocking yang benihnya dihasilkan
oleh kegiatan pembenihan (hatchery). Dalam sea ranching, hatchery sebagai
salah satu kegiatan marikultur berperan menggantikan reproduksi dan
pertumbuhan alamiah ikan di laut (alam) sehingga bisa memperbesar tingkat
kelangsungan hidup ikan tersebut. Secara visual, sistem tersebut disajikan dalam
Gambar 1 dan Gambar 2.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana model restocking di perairan
sea ranching yang dapat mengoptimalkan budidaya ikan kerapu macan sekaligus
mengoptimalkan hasil tangkapan dengan tetap menjaga kelestarian
lingkungannya. Dengan kata lain, permasalahan yang perlu dijawab adalah
berapa ukuran panjang atau bobot benih ikan yang harus ditebar ke dalam sistem
sea ranching, berapa banyak benih ikan yang harus ditebar, dan kapan atau
bagaimana pola tebarnya. Tolok ukur atau indikator dari ketepatan jawaban
tersebut adalah (1) tidak melebihi daya dukung sehingga ekosistem tetap lestari,
(2) dari segi ekonomi menguntungkan, dan (3) dapat membantu memulihkan stok.
Dalam penelitian ini ikan yang akan diteliti adalah kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus). Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan:
1 kerapu macan merupakan salah satu ikan yang dibudidayakan dalam sea
farming selain ikan kerapu bebek.
2 berdasarkan survei pendahuluan, para nelayan lebih banyak menangkap
kerapu macan dari pada kerapu bebek. Ukuran ikan kerapu macan yang
biasa tertangkap berkisar antara 2 ons sampai 1kg, atau sekitar 15cm
sampai 35 cm.
3 kerapu macan merupakan salah satu primadona ikan budidaya di
Indonesia, karena ikan kerapu macan pada saat ini mempunyai potensi
dan peluang pasar yang sangat menjanjikan (http://www. Teknologi-
dkp.go.id; 18/2/2005). Sebelumnya, permintaan ikan kerapu di pasaran
untuk ukuran 5-10 cm sebanyak 30.000-60.000 ekor/bulan dan untuk
ikan kerapu ukuran konsumsi sebanyak 20-30 ton/bulan (Sugama 1999).
4

Sea Ranching

Air Air
N-Pakan N
SISTEM
P-Pakan BUDIDAYA P
BO-Pakan BO
O2-Udara Biomassa
ikan

Gambar 1 Hubungan sea ranching dengan budidaya.

Gambar 2 Hubungan marikultur dengan sea ranching dalam sistem sea farming.

Perumusan Masalah
Perairan dangkal Semak Daun memiliki luas 315.19 ha. Kawasan perairan dangkal
tersebut terdiri atas lima goba seluas 33.3 ha dan reeflat seluas 281.89 ha. Kawasan
perairan potensial seluas 2 ha dapat digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9.99 ha
untuk keramba jaring apung/KJA (cage culture), 40.7 ha untuk sistem kandang (pen
culture), dan 262.31 untuk long line. Sementara, kawasan perairan potensial untuk sea
ranching meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem
kandang. Dari luas perairan potensial ini perlu terlebih dahulu diketahui daya dukung
5

lingkungannya bagi aktivitas perikanan. Oleh sebab itu, hal pertama yang dilakukan
adalah menghitung daya dukung lingkungan bagi sea ranching kerapu macan yang terkait
dengan daya dukung bagi KJA. Di antara pendekatan untuk menghitung daya dukung
adalah berdasarkan loading P dan produktivitas primer (Beveridge 1987) dan
keseimbangan massa (Tookwinas 1998). Dalam penelitian ini daya dukung diduga
dengan pendekatan pengenceran limbah dipadukan dengan produktivitas primer.
Setelah diketahui daya dukungnya, dilakukan kajian tentang jumlah tangkapan
optimal yang dapat dilakukan sehingga biomassa di perairan tidak melebihi daya dukung
tersebut. Untuk itu perlu diketahui parameter dinamika populasi ikan kerapu macan dari
alam di perairan dangkal Semak Daun. Hal ini meniscayakan adanya kajian tentang
pertumbuhan, hubungan panjang berat, serta mortalitas alami dan tangkapan. Sementara,
kajian migrasi diasumsikan tidak ada sebab karakter ikan kerapu macan hidup di sekitar
karang, tidak berpindah, apalagi perairan Semak Daun berbentuk mangkuk sehingga
migrasi sulit terjadi.
Berikutnya, dengan mengetahui pola dinamika populasi ikan kerapu macan di alam
akan dapat ditentukan berapa ukuran panjang atau bobot benih ikan kerapu macan
yang harus ditebar ke dalam sistem sea ranching, berapa banyak benih ikan yang
harus ditebar, dan kapan atau bagaimana pola tebarnya sehingga secara ekonomi
hasilnya optimum, secara ekologis tidak melebihi daya dukung lingkungannya,
dan secara dinamika populasi ada perbaikan stok.
Untuk menjawab permasalahan di atas perlu dirumuskan beberapa
permasalahan berikut:
1. berapa daya dukung perairan sea ranching Semak Daun bagi ikan kerapu
macan. Hal ini diduga berdasarkan pada buangan limbah P yang berasal dari
KJA dan limbah yang masuk dari lingkungan, serta kandungan klorofil-a
(Chl-a) yang turut menentukan produktivitas primer. Untuk itu diperlukan
pengetahuan tentang besarnya limbah dari pakan, lingkungan, volume air
yang tersedia, dan pasang surut. Juga, diperlukan pengetahuan tentang Chl-a,
produktivitas primer, serta hubungan produktivitas primer dengan biomassa.
2. bagaimana dinamika populasi ikan kerapu macan dalam sistem sea ranching.
3. bagaimana model restocking yang cocok dalam sistem sea ranching di
perairan Semak Daun agar secara ekologis tidak melampaui daya dukung
6

lingkungannya yang ada, secara ekonomi optimal, dan turut memulihkan


kondisi stok. Berdasarkan hal ini ada tiga kriteria yang dijadikan acuan, yaitu
hasil tangkapan lestari, nilai tangkapan, dan spawning stock biomass (SSB).

Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan:
(1) mengembangkan metode penghitungan daya dukung kawasan perairan
dangkal sea ranching Semak Daun
(2) mengimplementasikan metode Bayesian pada pola pertumbuhan ikan kerapu
macan yang berasal dari alam (perairan sea ranching)
(3) menyusun model restocking dalam sistem sea ranching di perairan Semak
Daun
Penelitian ini akan bermanfaat sebagai dasar pengambilan keputusan
dalam pengelolaan dan pengembangan sistem sea ranching dalam mengokohkan
kegiatan sea farming di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu.

Kebaruan/Novelty
Kebaruan/novelty dalam penelitian ini adalah:
1 metode participatory stock assessment untuk menentukan overfishing
2 metode penentuan daya dukung
3 menduga bagi parameter pertumbuhan panjang serta hubungan panjang berat
ikan kerapu macan yang berasal dari alam
4 penerapan metode Bayesian dalam menduga parameter dinamika populasi.
5 penentuan ukuran panjang benih, banyaknya benih yang ditebar, serta
waktu/pola tebar dalam sistem sea ranching yang dapat menghasilkan
tangkapan optimum dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, secara
ekonomi menguntungkan, dan turut memulihkan keadaan stok ikan kerapu
macan
6 model restocking dalam sistem sea ranching
7

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Perairan Semak Daun


Pulau Semak Daun terletak di sebelah selatan P. Karang Bongkok atau di
sebelah utara P. Karya dan P. Panggang (106o20’00” BT hingga 106o57’00” BT
dan 5o10’00” LS hingga 5o57’00” LS). Pulau ini memiliki luas daratan 0,50 ha
yang dikelilingi karang dalam seluas 315 ha. Pada kawasan karang dalam
(gosong) ini sedikitnya terdapat 5 buah goba dan diperkirakan mencapai luasan
33.3 ha. Goba tersebut umumnya terletak di sebelah timur P. Semak Daun.
Antara satu goba dengan goba lainnya dihubungkan oleh selat kecil (galer)
sehingga memungkinkan pelayaran antar goba.
Bagian karang dalam yang lain dari P. Semak Daun adalah reef flat dan mud
flat yang merupakan bagian paling dominan. Sebelum tahun 2000 kawasan ini
merupakan tempat budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem longline.
Kedalaman kawasan ini antara 0,5 – 3,0 m pada saat pasang. Sementara, pada
saat surut beberapa reef flat tidak berair. Substrat reef flat berupa pasir berkarang,
baik karang hidup maupun karang mati bercampur dengan pecahan karang dan
cangkang moluska yang sudah kosong. Bagian reef flat yang tidak berarus pada
bagian dasarnya bersubstrat pasir yang mengandung lumpur sehingga disebut mud
flat.
Kawasan perairan potensial di Semak Daun adalah 40.7 ha untuk pen
culture, 9.99 ha (1.81 ha di perairan karang dalam dan sisanya di luar perairan
karang dalam), untuk cage culture, dan 262.31 ha untuk long line. Sementara,
kawasan potensial untuk sea ranching seluas 272.30 ha (BAPEKAB 2004).

Eko-Biologi Ikan Kerapu Macan


Sistimatika
Ikan kerapu termasuk golongan ikan karang (coral reef fish). Ada
beberapa jenis ikan kerapu, seperti ikan kerapu macan, ikan kerapu bebek, ikan
kerapu lumpur, dan sebagainya. Di Indonesia ikan kerapu macan banyak
ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru dan Ambon
(Effendi 2006). Sekitar 75% dari ikan yang hidup di daerah terumbu karang
merupakan ikan yang bersifat diurnal, yakni beraktivitas di siang hari (Suharti
8

2007). Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan karang


yang tergolong dalam famili Serranidae.
Di perairan terumbu karang, ikan ini diperkirakan hidup dengan kepadatan
hanya 0,5-0,6 ton per km2 atau sekitar 0,0005-0,0006 kg per m2, mengingat ikan
ini tergolong ikan buas (spesies predator, karnivora) yang cenderung hidup soliter
dan membangun teritori. Sementara, dalam sistem KJA kepadatan ikan kerapu
bisa mencapai 250 kg per 9 m2 atau sekitar 28 kg per m2, hampir 56.000 kali dari
kepadatan di alam (Effendi 2006).
Ikan kerapu di alam kawin setiap bulan gelap. Mereka kawin secara
berkelompok. Tempat perkawinan di tubir pada kedalaman 15-40 m.

Ikan kerapu macan (Epinehelus fuscoguttatus) digolongkan pada :


Class : Chondrichthyes
Sub class : Ellasmobranchii
Ordo : Percomorphi
Divisi : Perciformes
Famili : Serranidae
Genus : Epinephelus
Species : Epinepheus sp

Ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, yaitu


bahwa proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau
ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah
menjadi ikan jantan (Effendie 2002). Ikan kerapu macan betina mulai matang
gonad (mature) pada ukuran panjang total 51 cm atau bobot 3.0 kg sedangkan
jantan mulai matang pada ukuran panjang total 60 cm atau bobot 7.0 kg (Slamet et
al 2001). Menurut Abduh (2007) fase betina matang gonad didapatkan pada ikan
dengan ukuran panjang tubuh minimum 45-55 cm (umur lebih dari 5 tahun)
dengan berat tubuh 3-10 kg. Fase jantan matang kelamin pada ukuran panjang
tubuh minimum 740 mm dengan berat tubuh 11 kg.
9

Morfometrik
Tubuh ikan kerapu macan memanjang bulat seperti ikan kerapu sunu,
tetapi punggung ikan ini sedikit meninggi. Ikan kerapu macan memiliki warna
tubuh coklat dengan bintik rapat yang membentuk gambaran loreng. Selain itu
sirip ikan ini berwarna kecoklatan dan kemerahan. Pertumbuhan ikan kerapu
macan relatif cepat seperti ikan kerapu sunu. Oleh karena itu di masyarakat,
meskipun berharga lebih rendah dibandingkan dengan ikan kerapu bebek, ikan ini
lebih banyak dikultur, selain karena benih ikan ini relatif tersedia. Di alam ikan
kerapu macan hidup di perairan berkarang (Donaldson et al. 2005). Ilustrasi
mengenai kerapu macan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).

Menurut Sattar dan Adam (2005) panjang rata-rata ikan kerapu macan
yang ditangkap dalam kurun waktu 2003-2004 di Maladewa adalah 43.7 cm
dengan simpangan baku 17.3 cm. Panjang maksimal yang ditemukan adalah 101
cm. Sementara, berdasarkan laporan Shakeel dan Ahmed (1996) panjang
maksimal adalah 95 cm. Adapun panjang saat terjadinya matang gonad pertama
adalah 48 cm.
10

Kebiasaan Makanan
Ikan kerapu termasuk jenis karnivora dan cara makannya "mencaplok"
satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar. Pakan
yang paling disukai adalah jenis krustaceae (rebon, dogol, dan krosok), selain itu
juga jenis ikan tembang, teri dan belanak (Anonim 1996). Analisis perut yang
pernah dilakukan pada ikan kerapu macan berukuran 1-10 cm menunjukkan isinya
20% plankton (terutama diatom dan algae) sedangkan sisanya terdiri dari udang-
udang kecil, ikan, dan sebagainya. Sementara, ikan yang berukuran lebih dari 20
cm dinyatakan 100% pemakan daging, dengan 70% crustacea (udang, anak
kepiting) dan 30% ikan-ikan kecil (Abduh 2007).

Faktor Lingkungan
Hidup kerapu dipengaruhi oleh lingkungannya. Faktor lingkungan yang
terkait dengan ikan kerapu disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Faktor lingkungan bagi ikan kerapu


No Parameter Nilai
1 Suhu 28-30oC
2 Amonia < 0,1 ppm
3 BOD < 5 ppm
4 pH 7,6 – 8,7
5 Bakteri < 3.000 sel/lt
6 Dasar Perairan Karang berpasir, berkarang
7 Kecerahan 4,5 – 6,5 m
8 Terlindung dari angin dan arus kuat
Sumber: Palomares & Pagdilao (1988)

Sea Ranching dan Restocking


Dalam simposium internasional definisi yang diratifikasi adalah ketika
populasi ikan alam ditambah dengan penambahan benih tertentu, maka hasilnya
bisa berupa ‘keuntungan pribadi’ atau merupakan ‘barang milik umum’. Kegiatan
tersebut adalah ranching dan enhancement. Ranching merupakan pelepasan stok
dengan adanya perhatian untuk memanennya. Sementara, enhancement
merupakan pelepasan stok untuk menjadi milik umum tanpa adanya perhatian
terhadap keuntungan eksklusif bagi kelompok pengguna (Bannister 1991).
11

Vedayyasa (1996) mengemukakan sea ranching secara lebih teknis. Teknik


sea ranching mencakup (1) pembangunan stok, (2) breeding, (3) memelihara
larva dalam skala besar, (4) melepas benih, (5) memonitor stok yang dilepas dan
stok alami untuk mengkaji pengaruhnya. Ranching sangat bagus dilaksanakan di
laguna, perairan dangkal, dan di ekosistem yang terlindung.
Sea ranching kadang-kadang disebut juga ocean ranching. Salvanes (2001)
mengemukakan bahwa ocean ranching mencakup pelepasan massa juvenil yang
makan dan tumbuh di lingkungan laut yang suatu waktu akan ditangkap kembali.
Pelepasan benih ini umum dilakukan ketika terjadi titik kritis dalam populasi atau
spesies ikan, baik yang terjadi karena perubahan kondisi habitat, overfishing, atau
pun kegagalan rekrutmen. Pelepasan benih ini pun kadang-kadang untuk
membangun stok ikan baru. Ocean ranching memiliki sejarah panjang sejak
1860-1880 di Pasifik. Negara yang melakukan hal ini di antaranya adalah USA,
Canada, Uni Sovyet (Rusia), Jepang, Australia, New Zealand dan Tasmania.
Sekitar tahun 1990 ocean ranching memperluas kawasannya ke populasi ikan
karang.
Pada tahun 1970-an Dr C. K. Tseng mempresentasikan sejumlah diskusi dan
publikasi yang mengusung tema ‘sea ranching dan sea farming’. Jia dan Chen
(2001) mengutip pendapat beliau yang mendefinisikan ‘ranching’ sebagai sistem
budi daya dimana pertama larva dipelihara di area tertentu, kemudian juvenil
dilepas ke dalam lingkungan alam, dan akhirnya ikan dewasa ditangkap dari
lingkungan alam tersebut.
Makna sea ranching memiliki cakupan luas, meliputi pelepasan benih baik
untuk membuat suatu stok baru atau untuk menambah stok yang sudah ada.
Dengan demikian, sea ranching dapat didefinisikan sebagai: “Pelepasan juvenil
dari suatu spesies ikan penting yang dibesarkan di hatchary ke laut untuk dipanen
pada saat dewasa atau memanipulasi habitat perikanan untuk memperbaiki
pertumbuhan stok yang ada”. Sea ranching secara esensial mengkapitalisasi
kawasan laut dan mengkombinasikan berbagai keadaan alami lingkungan laut
dengan berbagai tingkat teknologi. Ikan yang dilepas menggunakan sumberdaya
yang ada untuk makanan dan kebutuhan hidup lainnya, dan dapat ditangkap ketika
sudah dapat dipasarkan (Mustafa 2003). Dengan demikian sea ranching
12

merupakan proses ‘beternak’ ikan di lingkungan alaminya. Tidak ada fasilitas


khusus yang diperlukan untuk sea ranching. Ikan pun tidak menerima pakan
tambahan di luar makanan alami yang diperolehnya dari alam.
Secara praktis sea ranching merupakan pemeliharaan ikan dalam suatu
kawasan perairan laut yang terisolasi secara geografis. Kawasan karang dalam
(terumbu karang) adalah suatu kawasan yang secara alamiah mengisolasi ikan-
ikan karang (demersal species), teripang, moluska, dan krustasea. Ikan-ikan
tersebut umumnya berkeliaran di sekitar terumbu karang dan tidak akan lari ke
laut dalam atau laut lepas, karena kawasan tersebut merupakan habitat alami ikan
tersebut. Ikan yang ditebar (restocking) di kawasan tersebut dapat ditangkap
kembali (recapture) dengan tingkat (rate) yang berbeda-beda. Secara sederhana,
ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan dan kawasan
tesebut memiliki isolasi alamiah sehingga ikan yang ditebar (restocking) biasa
dipastikan tidak bisa berpindah tempat dan dapat ditangkap kembali (recapture)
(BAPEKAB 2003).
Dalam prakteknya istilah sea ranching, marine stocking, marine stock
enhacement dan hatchery enhancement sering kali digunakan untuk menjelaskan
pelepasan benih ke alam. Tidak jarang istilah-istilah tesebut tidak dibedakan
(Bartley & Leber 2004). Sea ranching merupakan perpaduan antara aquakultur
dengan perikanan tangkap. Sea ranching secara umum merupakan proses
penebaran ikan ke kawasan laut, dan pada suatu waktu dipanen bersama dengan
stok yang ada dengan menggunakan metode pemikiran konvensional (ADB
2004).
Kadang kala sea ranching dihubungkan dengan sea farming. Sea farming
berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata sea berarti laut dan farming yang
berarti berusaha tani, sehingga secara harfiah berarti berusaha tani di laut dalam
rangka memproduksi ikan. Laut dijadikan ladang atau lahan untuk memproduksi
ikan dengan menerapkan prinsip usaha tani. Sea farming dapat didefinisikan pula
sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan muda ke laut untuk
meningkatkan populasi ikan atau hasil tangkapan. Di Jepang, sea farming sudah
dimulai sejak abad 17. Negara ini dianggap paling berhasil menerapkan sea
farming. Di sana pada awalnya sea farming didefinisikan sebagai kegiatan
13

memproduksi benih (seed production), kemudian melepaskan benih tersebut ke


laut (releasing atau restocking) dan selanjutnya menangkap kembali ikan tersebut
(recapturing atau harvesting) untuk dijual sebagai produk perikanan laut.
Perairan laut untuk restocking ini dianggap sebagai kawasan sea ranching, bisa
berupa teluk atau gosong (laut dangkal terlindung) dengan luas ratusan hingga
ribuan hektar (Effendi 2006).
Ikan yang tertangkap dalam sea ranching mungkin berukuran kurang dari
ukuran pasar (edible size). Ikan dalam ukuran ini dipelihara lebih lanjut dalam
sistem marikultur, baik karamba jaring apung, karamba jaring tancap maupun pen
culture. Dengan demikian salah satu output sea ranching menjadi input produksi
marikultur (Gambar 4). Demikian pula sebaliknya, ikan yang akan ditebar di
kawasan sea ranching perlu dideder terlebih dahulu dalam sistem marikultur
sebagai proses adaptasi di habitat sea ranching. Namun, hal ini dapat
menimbulkan persoalan antara pihak yang berada di marikultur dengan sea
ranching. Untuk menghindari hal tersebut sebaiknya nelayan tangkap dalam
sistem sea ranching memiliki keramba tersendiri, baik untuk adaptasi maupun
pembesaran bagi ikan di bawah ukuran konsumsi yang tertangkap.

Hatchery sea Sea ranching


farming

Marikultur

Edible size

Gambar 4 Kaitan sea farming dengan marikultur (Effendi 2006).


14

Bartley dan Leber (2004) mengemukakan tiga cara untuk meningkatkan


produktivitas ikan. Pertama, juvenil hasil budi daya dilepas ke alam untuk
memperbaiki stok hingga tingkatan menghasilkan hasil tangkapan yang lestari.
Proses ini dikenal sebagai ‘restocking’. Kedua, juvenil hasil budi daya dilepas ke
alam untuk meningkatkan stok hingga ke tingkatan tidak dieksploitasi. Ini disebut
‘stock enhancement’. Fenomena demikian terjadi ketika alam gagal menyumbang
juvenil hingga mencapai daya dukung habitatnya. Ketiga, juvenil hasil budi daya
dapat dibesarkan di dalam tempat tertentu untuk meningkatkan produktivitasnya
dan tidak terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap. Proses ini biasa dikenal
dengan ‘aquaculture’ atau ‘farming’.
Sea ranching didefinisikan sebagai eksploitasi produk potensial secara
ekonomi di laut dengan melepas organisme yang dibudidayakan untuk dipanen
dan dijual. Perlu dibedakan antara penambahan stok (stock enhancement) dengan
sea ranching. Stock enhancement merupakan pelepasan ikan yang ditujukan
untuk menambah stok dalam perspektif jangka panjang sehingga terjadi
peningkatan biomassa pada masa mendatang. Bell et al. (2005) menyatakan
bahwa proses menebar benih hasil budidaya untuk meningkatkan hasil tangkapan
hingga pada tingkat yang didukung oleh rekrutmen alami disebut dengan stock
enhancement. Sementara, sea ranching merupakan pelepasan ikan yang dibuat
untuk mendapatkan keuntungan langsung dari tangkapan setelah suatu periode
tertentu pasca pelepasan ke laut. Sea ranching didasarkan kepada daya dukung
alam sendiri dengan pemanenan sumberdaya yang diadaptasikan kepada
ekosistem (Bartley & Leber 2004). Sea ranching biasanya diterapkan ketika
rekrutmen alami rendah atau bahkan tidak ada dikarenakan sangat intensifnya
penangkapan atau rusaknya habitat yang mendukung hal tersebut (Lorenzen
2005).
Dalam simposium internasional ke-3 tentang stock enhancement dan sea
ranching disampaikan beberapa definisi. Sea ranching mencakup menebar benih
ke dalam lingkungan pesisir yang tidak terbuka untuk dipanen pada suatu ukuran
yang lebih besar dengan aktivitas ’letakkan dan ambil (put and take)’. Dalam sea
ranching benih yang ditanam tidak ditujukan untuk menambah biomassa yang
dapat memijah. Restocking mencakup penebaran benih ke dalam populasi untuk
15

memperbaiki beberapa biomassa yang terkuras hingga ke suatu tingkat dimana ia


dapat kembali lagi menghasilkan produksi secara teratur. Stock enhancement
dibuat untuk menambah produktivitas suatu perikanan dengan menambah asupan
alami benih, dan mengoptimalkan panen dengan mengatasi keterbatasan rekrutmen
(Bartley & Bell 2008).
Ikan yang ada dalam perairan sea ranching ini dibiarkan hingga mencapai
ukuran konsumsi. Ikan yang ada di alam inilah yang ditangkap oleh nelayan
(PKSPL 2006).
Jauh sebelumnya, menurut Maasaru (1999), sea ranching mempunyai dua
tipe yaitu (1) harvest type dan (2) recruitment type. Pada jenis harvest type benih
yang akan ditebar akan diproduksi dan dibesarkan (sampai ukuran tertentu) di
hatchery, pemanenan di alam dilaksanakan pada saat organisme tersebut telah
mencapai ukuran komersial. Dalam hal ini penebaran dan penangkapan kembali
dilaksanakan berulang-ulang pada setiap musim tertentu. Sementara, pada
recruitment type, benih yang ditebar pada suatu wilayah perairan dibiarkan sampai
bereproduksi. Benih yang ditebar diharapkan akan tumbuh, matang telur,
memijah dan kemudian menetas pada daerah penangkapan untuk reproduksi
secara alami dengan bantuan pengelolaan perikanan yang memadai. Pada kasus
ini, tidak semua ikan yang tumbuh tertangkap kembali, beberapa ikan dewasa
akan tetap tinggal menjadi induk. Penangkapan akan ditangguhkan setelah
sumberdaya yang baru hidup mapan dan pada waktu yang bersamaan pengelolaan
perikanan yang memadai harus dilakukan dalam rangka menjamin kelestarian
sumberdaya dan lingkungan.
Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada saat itu adalah
dengan mensinkronkan waktu pelepasan dengan waktu makanan larva di area
pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup larva dapat
ditingkatkan. Akan tetapi strategi tersebut masih dihadapkan pada beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di awal
kehidupan larva ikan yang dilepas seperti pemangsa yang siap memakan mereka
(Jennings et al. 2001). Pelepasan ikan di daerah tertentu juga harus
memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis. Aspek ekologis ini dimaksudkan
agar tidak mengganggu proses rantai makanan disuatu areal tertentu dengan ikan
16

yang dilepas haruslah ikan asli dari daerah tersebut atau ikan yang ada pada
daerah tersebut.
Penebaran ke dalam perairan sea ranching dilakukan dengan beberapa
dasar, yaitu: (1) menetapkan jumlah limbah maksimum yang masih dapat
menopang KJA ikan kerapu macan sebagai pembatas bagi sea ranching; (2)
menghubungkan antara laju pertumbuhan ikan kerapu macan dalam sea ranching
dan lamanya ‘pemeliharaan’ di alam dengan daya dukung sea ranching. Dengan
kedua hal tersebut akan dapat ditentukan model restocking yang tepat di perairan
sea ranching Semak Daun. Sementara itu, kesesuaian kondisi lingkungan untuk
sea ranching disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Matrik kesesuaian untuk sea ranching


No Parameter S1 S2 N
1 Keterlindungan Sangat Terlindung Tidak
terlindung Terlindung

2 Kedalaman Perairan (m) 2 – 30 1-3 atau 31-40 <0,5 – 45


3 Substrat Dasar laut Karang Pasir-Pasir berlumpur Lumpur
berpasir

4 Arus (cm/det) 21-30 11-<21 atau >30-45 <5 atau >45


5 Kecerahan (%) 80-100 <80-60 <60
6 Salinitas (‰) 29-31 25-<29 atau >31-35 <25 atau
>35
7 Suhu (°C) 28-30 25-<28 atau >30-33 <25 atau
>33
8 DO (ppm) >7 5-7 <3
Sumber: Modifikasi dari Effendi (Soebagio 2005)
Keterangan: S1 = sangat sesuai, S2 = sesuai, N = kurang atau tidak sesuai.

Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity)


Dalam UU no.32 tahun 2009 dijelaskan bahwa secara umum pengertian
daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sementara,
daya tamping lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
17

Terkait dengan perikanan, daya dukung merupakan kuantitas maksimum


ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu panjang
(Kenchington & Hudson 1984). Turner (1988) menegaskan bahwa daya dukung
merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan
atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Dari
aspek lain daya dukung diartikan sebagai stok maksimum yang dapat dijaga dalam
suatu ekosistem untuk memaksimalkan produksi tanpa pengaruh negatif terhadap
laju pertumbuhan (Carver & Mallet 1990). Definisi daya dukung yang terkait
dengan ekonomi adalah tingkat stok dengan produksi tahunan dari kohort ukuran
pasar yang dapat dimaksimalkan (Bacher et al. 1998). Sementara daya dukung
dalam tataran ekosistem didefinisikan oleh Duarte (2003) sebagai tingkat suatu
proses atau peubah dapat berubah dalam suatu ekosistem tanpa membuat struktur
dan fungsinya melebihi batas tertentu yang dapat diterima.
McKindsey et al. (2006) menjelaskan adanya empat jenis daya dukung.
Pertama, daya dukung fisik (physical carrying capacity) yang menerangkan area
yang secara geografis cocok dan secara fisik cukup untuk suatu tipe budidaya.
Jenis daya dukung ini tergantung pada irisan antara kebutuhan fisik yang
diperlukan spesies target dan kekayaan fisik yang dimiliki area terkait (seperti tipe
substrat, kedalaman, hidrodinamika, suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan
sebagainya). Kedua, daya dukung produksi (production carrying capacity) yang
merupakan tingkat produksi optimal dari suatu spesies target. Daya dukung
produksi ini dapat diukur berupa bobot kering atau basah, energi, atau karbon
organik. Hal ini tergantung kepada daya dukung fisik dan merupakan fungsi
ekosistem khususnya produktivitas primer. Ketiga, daya dukung ekologi
(ecological carrying capacity) yang secara umum berarti tingkat produksi
maksimum yang dimungkinkan tanpa membawa dampak ekologi yang tidak dapat
diterima. Keempat, daya dukung sosial (social carrying capacity) yang
merangkum ketiga jenis daya dukung terdahulu.
Daya dukung ditentukan oleh kemampuan lingkungan menopang
ekosistem. Selain itu juga ditentukan oleh produktivitas perairan dan ikan itu
sendiri. Banyak sekali yang mempengaruhinya. Namun, Welch (1980)
menemukan dalam beberapa penelitiannya bahwa vitamin seperti cobalamin,
18

thiamine dan biotin/coenzyme R terbukti esensial, namun semua itu jarang


ditemukan terbatas dalam kondisi alami. Karenanya, penelitian terkait hal
tersebut lebih difokuskan pada nutrien anorganik. Di antaranya adalah P.
Posfor dan cahaya merupakan faktor utama yang membatasi produksi baik
pada perairan subtropis maupun tropis. Karenanya penambahan P akan
mempengaruhi produktivitas (Beveridge 1982).
Model daya dukung ikan ini telah mengalami perkembangan. Di antara
cara menghitung daya dukung berdasarkan beban P disajikan oleh Beveridge
(1987). Langkah-langkahnya adalah:

1. Menghitung konsentrasi total-P. Untuk di daerah tropis, nilai ini merupakan


rata-rata tahunan melalui beberapa penarikan contoh.
2. Tetapkan [P] f
3. Menghitung kapasitas perairan dalam menopang budidaya ikan:
................................................................................[1]

......................................................................................[2]

............................................................................................[3]

.......................................................................[4]

................................................................................[5]

Total acceptable loading/TAL adalah:

TAL = L fish x A ......................................................................................[6]

Total acceptable production (TAP) = ......................................[7]

Keterangan:
Δ[P] : besarnya perubahan [P] yang dapat diterima oleh perairan dalam
menopang budidaya ikan (mg m-3)
[P] f : konsentrasi P maksimum yang dapat diterima dalam budidaya (mg m-3)
[P] i : rataan konsentrasi P
19

Lfish : asupan P yang berasal dari KJA (g m-2 y-1)


z : rataan kedalaman perairan (m)
ρ : flushing rate (y-1)
R fish : bagian L fish yang hilang ke sedimen

Tookwinas (1998) menduga daya dukung berdasarkan kesetimbangan


massa (mass balance). Parameter yang dipakai adalah kedalaman, arus, dan total
amonia-nitrogen.

...................................[8]

................. [9]

...................................................................................................................

................ [10]

........................................................................ [11]

......................................................................................... [12]

dengan ..................................................... [13]

j = level gelombang rendah pada jam ke-1 sampai ke-n


A j = area yang tumpang tindih antara sungai dengan mulut teluk pada jam ke-j
(m2)
V j = arus pada jam ke-j (m/s)
C j = konsentrasi amonia-nitrogen pada jam ke-j (mg/l)

...................................................... [14]

i = level gelombang tinggi pada jam ke-1 sampai ke-n


A i =area yang tumpang tindih antara sungai dengan mulut teluk pada jam ke-i (m2)
V i = arus pada jam ke-i (m/s)
C i = konsentrasi amonia-nitrogen pada jam ke-i (mg/l)
20

............................................ [15]

im = level gelombang tinggi pada jam ke-1 sampai ke-n


A im = Ai
V im = V i
C im = total konsentrasi amonia-nitrogen pada tingkat aman optimum (0.1 mg/l)
Cara menduga daya dukung lain adalah berdasarkan produktivitas primer.
Langkahnya adalah:

1 Menghitung produksi primer tahunan (PP, g C m-2 y-1) dari percobaan atau
literatur.
2 Mengkonversi PP kedalam biomassa ikan yang akan dihasilkan. Untuk
mengkonversnya digunakan Tabel 3.

Tabel 3 Konversi Produksi Primer Kedalam Biomassa Ikan

% konversi menjadi bobot ikan

<1000 1 – 1.2
1000–1500 1.2 – 1.5
1500–2000 1.5 – 2.1
2000–2500 2.1 – 3.2
2500–3000 3.2 - 2.1
3000–3500 2.1 - 1.5
3500–4000 1.5 - 1.2
4000–4500 1.2 - 1.0
>4500 ∼ 1.0
Sumber: Beveridge (1987)

Secara umum, produktivitas primer ekosistem berbeda-beda. Tabel 4


menyajikan produktivitas primer pada beberapa ekosistem utama pesisir dan laut,
yaitu mangrove, padang lamun, terumbu karang, estuaria, daerah upwelling,
perairan paparan benua, dan laut lepas.
21

Tabel 4 Produktivitas primer beberapa ekosistem utama pesisir dan laut


Produktivitas Primer
No Tipe Ekosistem (Gram Karbon/m2/tahun)
1 Mangrove 430 – 5 000
2 Alga, Padang Lamun 900 – 4 650
3 Terumbu Karang 1 800 – 4 200
4 Estuaria 200 – 4 000
5 Daerah Upwelling 400 – 3 650
6 Perairan paparan benua 100 – 600
7 Laut Lepas 2 – 400
(Sumber: Whittaker 1975 diacu oleh Dahuri 2003)

Pertumbuhan Panjang
Terkait dengan pertumbuhan ikan, model yang umum dipergunakan
adalah persamaan Von Bertalanffy:
....................................................................... [16]

Biasanya penduga bagi L ∞ , k, dan t 0 dihitung dengan menggunakan metode


kuadrat terkecil (least square). Metode yang memperhatikan ketidakpastian
adalah Bayes. Pendekatan bayes terhadap data frekuensi panjang ini
menggunakan metode Markov Chain Monte Carlo (MCMC). Metode ini
memerlukan beberapa tahap:
1 mencari likelihood dari data
2 menetapkan prior bagi seluruh parameter
3 mencari peluang bersyarat bagi parameter, bila memungkinkan
4 mencari sebaran posterior bagi masing-masing parameter (Gelman et al.
2004)
Likelihood untuk data panjang ikan adalah:

................................................ [17]

Adapun prior untuk masing-masing parameter adalah:


....................................................................... [18]

...................................................................... [19]
22

Sebaran Gamma berbentuk:

.................................... [20]

....................... [21]

........................................................................................................................ [22]
Untuk mendapatkan peluang posterior, digunakan metode Markov Chain
Monte Carlo (MCMC).

Hubungan Panjang Berat


Kajian hubungan panjang berat umum digunakan. Hal ini memungkinkan
untuk mengkonversi nilai panjang ke dalam berat, begitu juga sebaliknya. Berat
ikan dianggap sebagai fungsi dari panjangnya. Fungsi tersebut adalah:

............................................................................................ [23]

Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square) persamaan tersebut


dapat diubah ke dalam bentuk linier:

............................................................ [24]

Pada ikan b sebagai penduga berkisar antara 1.2-5.1 yang umumnya bernilai 3.
Nilai b lebih besar dari 3 berarti pertumbuhan berat lebih cepat dari pada
pertumbuhan panjang (allometrik positif), sebaliknya bila b lebih kecil dari pada 3
berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan beratnya
(allometrik negatif). Bila b sama dengan 3 maka pertumbuhan panjang dengan
berat seimbang/isometrik (Ricker 1975).
Dengan menggunakan pendekatan Bayes digunakan likelihood untuk Wt
menyebar normal, begitu ju g a α dan β. Dimana fungsi kepekatan normalnya
adalah (Casella dan Berger 1990):

.................................................................. [25]
23

Mortalitas
Gulland (1983) menyatakan bahwa informasi tentang laju mortalitas total
dalam suatu perikanan yang terksploitasi sangat penting untuk mengalalisis
dinamika suatu populasi. Laju mortalitas total (Z) dapat diduga dari pergeseran
kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva tangkapan dengan
menggunakan data frekuensi panjang.
Pada umumnya analisis kurva tangkapan dilakukan menggunakan data
komposisi umur (Ricker 1975). Penduga laju mortalitas total Z dicari dengan
mengandaikan populasi memiliki struktur umur stabil, penambahan baru stabil,
dan laju mortalitas total sama untuk semua kelas umur. Jumlah ikan yang hidup
pada waktu t (N t ) cenderung turun secara eksponensial terhadap waktu (t).
Polanya mengikuti persamaan:

....................................................................................... [26]

Mortalitas total ini mencakup mortalitas alami (M) dan mortalitas


tangkapan (F). Mortalitas alami dapat terjadi karena penyakit, parasit, tua,
pencemaran, persaingan, atau pemangsaan. Pauly (1980, 1984) merumuskan
hubungan empiris antara laju mortalitas alami dengan panjang maksimal (L ∞ cm),
koefisien pertumbuhan K per tahun, dan rata-rata suhu tahunan (T oC) sebagai
berikut:

..... [27]

Sementara, laju mortalitas tangkapan dapat diperoleh dengan mengurangkan laju


mortalitas total dengan laju mortalitas alami.

Sistem dan Model


Menurut bahasa, sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa
Yunani (sustēma) yang berarti suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen
yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau
energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas
yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem). Sementara, model merupakan suatu
abstraksi dari realitas sistem sebenarnya yang sedang dipelajari (Hall & Day
24

1977). Lebih tegas, Jorgensen (1988) memaknai model sebagai suatu


penampakan formal dari komponen-komponen penting suatu masalah yang
menjadi perhatian kita. Menurutnya, model merupakan alat ilmu pengetahuan
yang berguna sebagai instrumen dalam survey suatu sistem kompleks, di samping
berguna untuk menguji suatu hipotesis melalui simulasi.
Suatu sistem merupakan mekanisme dimana berbagai komponen
berinteraksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu fungsi. Sistem
merupakan mekanisme yang berjalan di dunia nyata, sedangkan model merupakan
penyederhanaan dari sistem tersebut (Handoko 2005).
Grant et al. (1997) memaknai sistem sebagai sekumpulan bahan dan
proses pengkomunikasian yang secara bersama-sama membentuk beberapa gugus
fungsi. Sistem merupakan sekumpulan proses yang saling berhubungan yang
dicirikan oleh banyak jalur sebab-akibat. Sedangkan, model adalah abstraksi dari
kenyataan.
Langkah-langkah pembentukan model menurut Grant et al. (1997) adalah
(1) formulasi model konseptual, (2) Spesifikasi model kuantitatif, (3) Evaluasi
model, dan (4) Penggunaan model. Handoko (2005) memberikan langkah lebih
detail tentang metode pengembangan model, yaitu (1) mendefinisikan tujuan, (2)
metodologi dan pendekatan (waktu, ruang, proses, pembentukan model), (3)
mendefinisikan variabel dan parameter input, (4) hubungan kuantitatif, (5) analisis
sensitivitas, dan (6) kaliberasi dan validasi model.
Di Indonesia, pemodelan dalam pengelolaan ikan laut dan dampaknya
terhadap lingkungan telah banyak diaplikasikan, misalnya dalam bidang daya
dukung lingkungan keramba jaring apung bandeng (Rachmansyah 2004).
Namun, pemodelan restocking dalam sistem sea ranching belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Implementasi model dan penetapan kebijakan pengelolaan model
restocking ikan kerapu macan di perairan sea ranching didasarkan kepada faktor:
(1) banyak ikan kerapu macan yang ditebar, (2) waktu/pola tebar, (3) jumlah ikan
yang ditebar, dan (4) daya dukung perairan sea ranching sebagai ‘faktor
pembatas’. Konseptualisasi model dikembangkan dari King 1995 dan disajikan
dalam Gambar 5.
25

Kebijakan
Pertumbuhan mortalitas
alami
STOK
Rekrutmen (ikan upaya
mortalitas
yang direstocking) tangkapan tangkapan

Tangkapan Biaya
Harga

Pendapatan Pengeluaran

Keuntungan

Gambar 5 Model konseptual bioekonomi restocking ikan kerapu macan.

Untuk menetapkan model restocking setidaknya ada dua hal yang penting
dijadikan parameter penentu, yaitu panjang benih yang ditebar dan padat tebar.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan kematian baik karena pemangsaan maupun
mortalitas alami. Ikan kerapu macan merupakan top predator sehingga tidak
dikhawatirkan adanya pemangsaan. Namun, bisa saja ‘pemangsaan’ terjadi
karena kanibalisme bila makanan di alam kurang. Pemangsaan dianggap sebagai
kendala besar bagi restocking dan stock enhancement (Bell et al. 2005; Bartley &
Bell 2008). Berdasarkan hal tersebut maka ukuran ikan pada saat ditebar amat
penting sebab resiko pemangsaan berhubungan dengan ukuran dari mangsa. Pada
sisi lain, padat tebar dapat menghantarkan pada keberhasilan pemulihan stok.
Mortalitas sering kali secara positif bergantung pada padat tebar (Zhao et al. 1991;
Bell et al. 2005; Hines et al. 2008).

Participatory Fish Stock Assessment (ParFish)


Terdapat beberapa metodologi untuk melakukan pengkajian stok (stock
assessment). Salah satu kesulitan dalam melakukan pengkajian stok adalah tidak
tersedianya data yang bersifat deret waktu. Pada sisi lain pengetahuan tentang
realitas tangkapan dan kondisi suatu perairan ada pada para nelayan dan pihak
terkait lainnya.
26

Kajian stok perikanan partisipatif (Participatory Fisheries Stock


Assessment/ParFish) merupakan metode untuk melakukan kajian stok tanpa
memerlukan data deret waktu. Menurut Walmsley (2005) ParFish memiliki
beberapa keuntungan, yaitu merupakan metode kajian stok cepat, tidak
memerlukan data jangka panjang (seperti data tangkapan-upaya atau panjang
bobot), metodenya melibatkan pihak terkait termasuk nelayan, menggabungkan
berbagai informasi dari berbagai sumber, dan bersifat adaptif. ParFish adalah
sebuah pendekatan adaptif untuk pengelolaan perikanan melalui penilaian cepat
dan partisipatif. Tujuannya adalah untuk memberikan saran tentang langkah-
langkah pengelolaan perikanan berdasarkan sumber data yang cepat dan beragam.
ParFish mendorong partisipasi nelayan dan stakeholder kunci lainnya. ParFish
juga merupakan alat untuk mendukung dan mengembangkan sistem pengelolaan
bersama yang sudah ada.
Ada enam langkah yang disarankan Walmsley (2005) dalam pendekatan
ParFish ini, yaitu:
1. memahami konteks, yaitu memahami realitas pengelolaan perikanan
yang ada dan mengidentifikasi pihak terkait
2. memberdayakan pihak terkait, termasuk di dalamnya mengundang
partisipasi dan menyusun tujuan pengelolaan
3. melakukan ParFish, yaitu mengidentifikasi informasi yang diperlukan,
mengumpulkan data, dan menganalisis data
4. menginterpretasikan hasil dan responnya
5. menginisiasi rencana pengelolaan
6. mengevaluasi proses ParFish

Metodologi ParFish ini didasarkan kepada penduga Bayes yang


memungkinkan diambilnya informasi dari sumber yang beragam, lalu
dikombinasikan untuk melakukan kajian stok. Hasilnya dapat dinyatakan dalam
bentuk peluang dan ketidakpastian. Dalam tulisan ini pendekatan ParFish
digunakan untuk melihat apakah ikan kerapu macan di perairan dangkal Semak
Daun sudah overfishing ataukah belum.
27

Bayesian untuk Kajian Stok

Penduga Bayes merupakan suatu pendekatan statistika untuk menghitung


peluang dari suatu kejadian yang tidak diamati dengan berdasarkan kepada
penduga peluang yang dihitung dari data empirik atau data pengamatan yang
merupakan data frekuensi hasil wawancara di lapangan. Untuk menduga
parameter fungsi sebaran digunakan metode penduga Kernel (Silverman 1986).
Metode tersebut langkahnya adalah:
1 Dari data frekuensi yang diperoleh di lapangan dicari matriks peragam (Λ ,
covariance).
2 Dilakukan dekomposisi nilai singular (Press et al. 1989) untuk mereduksi
matriks peragam tersebut menjadi matriks orthogonal:
Λ = V W VT
3 W adalah matriks diagonal yang mengandung skor bagi principle component
analysis (PCA), V merupakan kombinasi linier.
4 Nilai skala dalam matriks diagonal W menjadi parameter pemulusan yang
diduga. Berdasarkan hal ini skor vector dalam PCA dihitung dan parameter
pemulusan pun diperoleh. Pemulusan Kernel diperoleh dari:

.................................................................................... [28]

X i adalah data ke-i, h parameter pemulusan, dan n merupakan banyaknya data.


Dalam penduga Bayes, sebaran peluang (probability density function/PDF)
diduga dari contoh data yang diamati dari populasi itu. Tidak ada sebaran peluang
tertentu yang diasumsikan. Untuk dapat menduga suatu PDF diperlukan PDF
‘prior’ yang dicari dari data pengamatan. PDF ‘prior’ ini dapat diperbaharui
dengan peluang yang berasal dari sumber informasi lain. Prior PDF ini digunakan
untuk membentuk PDF posterior. Beberapa PDF dari sumber yang berbeda dapat
dikombinasikan untuk memperoleh satu PDF posterior (Gambar 6). Suatu PDF
merupakan kurva sebaran peluang. Area di bawah kurva dapat digunakan untuk
28

menghitung peluang suatu kejadian tertentu. Selain itu juga dapat digunakan
untuk menduga suatu nilai parameter tertentu bersama dengan ukuran
ketidakpastian yang mempengaruhi parameter tersebut.
Pendugaan umumnya didasarkan kepada maximum likelihood. Pendekatan
bagi pendugaan yang kini banyak dikembangkan adalah model Bayes. Prinsip
Bayes adalah:

p ( x, ω1 ) = p ( x | ω1 ) p (ω1 ) ..................................................................[29]

p (ω1 , x) = p (ω1 | x) p ( x) .................................................................. [30]

p (ω1 , x) = p ( x, ω1 ) .................................................................. [31]

p (ω1 | x) p ( x) = p ( x | ω1 ) p (ω1 ) ............................................................. [32]

dari realitas di atas ingin diketahui model posterior berikut:

p ( x | ωi ) p (ωi ) ................................................................ [33]


p (ωi | x) =
p( x)
dimana eviden p(x) adalah:

p( x) = p ( x | ω1 ) p (ω1 ) + p ( x | ω2 ) p (ω2 )
................................................ [34]

P(ω 1 ) dan P(ω 2 ) adalah peluang prior, p(x/ω j) merupakan kepekatan peluang
kondisional (likelihood), P(ω j , x) adalah peluang kepekatan bersama, dan P(ω j /x)
adalah peluang bersyarat posterior. Prinsip Bayes sebenarnya adalah:

p ( x / ω j ) P (ω j ) likelihood × prior
P(ω j / x)
= =
p( x) evidence ................................ [35]
2
p ( x) = ∑ p ( x / ω j ) P (ω j ) ...........................................................[36]
j =1

Persamaan itu digunakan untuk menentukan ω 1 jika P(ω 1 /x) > P(ω 2 /x); dan jika
selainnya dipilih ω 2 . Atau, ω 1 yang dipilih jika p(x/ω 1 )P(ω 1 )>p(x/ω 2 )P(ω 2 ) dan
jika selainnya maka tentukan ω 2 .
29

Gambar 6 Ilustrasi proses pendugaan melalui metode Bayes.


30

Prinsip penting dari model Bayes adalah setiap parameter memiliki


sebaran. Analisa Bayes merupakan suatu kerangka kerja ideal untuk mendapatkan
informasi tentang ketidakpastian (uncertainty) dalam penetapan keputusan.
(Hoyle & Maunder 2004). Keduanya menerapkan model Bayes untuk
menentukan parameter pertumbuhan Tuna. Babcok (2007) menerapkan model
Bayes pada model produksi surplus untuk white marlin. Sementara, Huang et al.
(2003) menerapkannya untuk albacore. Model Bayes telah banyak diterapkan
dalam persoalan kajian stok yang didasarkan kepada dinamika biomasa, struktur
umur, struktur panjang, dan model rekrutmen stok (FAO 2001). Dalam
prakteknya penghitungan dibantu dengan menggunakan perangkat lunak ParFish.

Pembangkitan Sebaran
Untuk mensimulasikan ketidakpastian (uncertainty) diperlukan pembang-
kitan bilangan acak sesuai dengan sebaran yang telah ditetapkan dalam kajian.
Morgan (1984) memberikan teknik untuk membangkitkan bilangan acak dari
berbagai sebaran. Setiap sebaran dapat dibangkitkan dari sebaran seragam dengan
nilai minimal 0 dan maksimal 1 (U(0,1)). Bilangan yang menyebar normal
dengan rataan 0 dan ragam 1, N(0,1), dapat dibangkitkan dari U(0,1) sebagai
berikut:
.................................................................................. [37]

Jadi, dengan membangkitkan dua belas bilangan acak U(0,1) dengan RND dalam
QBasic, lalu menjumlahkannya dan dikurangi enam, akan diperoleh satu angka z
yang menyebar N(0,1). Berdasarkan hal ini maka bilangan acak yang menyebar
N(µ, ) diperoleh dengan cara mencari x:
.......................................................................................... [38]

Morgan (1984) pun menyatakan bahwa untuk membangkitkan satu bilangan acak
G yang menyebar dengan sebaran Gamma(n,λ) dari sebaran seragam U(0,1)
adalah:

........................................................................... [39]

Sementara bilangan Y yang menyebar log normal dapat dibangkitkan dari x yang
menyebar N(µ, ) adalah: Y = exp(x).
METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan
Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah
Khusus bukota Jakarta (DKI Jakarta) yang secara geografis terletak pada
106°20'00' Bujur Timur (BT) hingga 106°57'00' BT dan 5°10'00' Lintang Selatan
(LS) hingga 5°57'00' LS. Lokasi ini dipilih karena merupakan lokasi
dilaksanakannya sea ranching/sea farming. Penelitian ini dilaksanakan pada
Bulan Januari 2010 sampai dengan September 2010. Lokasi studi disajikan pada
Gambar 7.

Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

Kerangka Pemikiran
Salah satu keberhasilan sea farming adalah optimalnya hasil panen ikan
budidaya dalam KJA serta adanya hasil dari perikanan tangkap dalam sea
ranching. Berdasarkan pengamatan pendahuluan, di perairan Semak Daun terjadi
penurunan tangkapan ikan kerapu macan. Padahal, dilihat dari
32

kondisi lingkungan perairan tersebut layak untuk kehidupan kerapu macan


(SPKKAKS 2008). Oleh karena itu, dalam rangka kelestarian lingkungan dan
peningkatan pemanfaatan perairan Semak Daun perlu dibuat model restocking
dalam sistem sea ranching. Pola pendekatannya disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Pola pendekatan penentuan daya dukung perairan Semak Daun dan
restocking. KJA = keramba jaring apung, P = fosfor.
33

Metode dan Desain Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survey post facto.
Sementara, ruang lingkup yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah model
restocking dalam perairan sea ranching di Semak Daun. Pertama kali dikaji
pendugaan daya dukung perairan sea ranching sebagai pembatas. Daya dukung
ini dikaji berdasarkan metode beban total-P dan produktivitas primer yang
ditentukan oleh kandungan Chl-a.
Pada satu sisi, P diperlukan sebagai elemen penting yang diperlukan oleh
semua ikan untuk pertumbuhan dan metabolisme. Pada sisi lain, P juga
merupakan elemen pembatas yang mengontrol kelimpahan fitoplankton (Hecky &
Kilham 1988). Dalam beberapa studi di daerah tropis maupun subtropis,
bagaimanapun juga posfor (P) dibuktikan sebagai nutrien pembatas pertumbuhan
yang utama. Bahkan, biomasa fitoplankton (yakni konsentrasi klorofil) di kolom
perairan berhubungan proporsional dengan asupan nutrien (Guildford & Hecky
2000). Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini penentuan daya
dukung sumberdaya didasarkan kepada kandungan P. Secara umum, P yang
berasal dari pakan dapat ditentukan dengan cara menghitung P dalam pakan, P
yang ada dalam tubuh ikan karena memakan pakan, dan P yang tersedimentasi
kedalam kolom perairan. Setiap hari di perairan Semak Daun terjadi pasang surut.
Lewat proses ini berarti tersedia sejumlah volume air yang dapat mengencerkan
limbah P yang terbuang ke perairan. Adanya pengetahuan tentang pola pasang
surut dan ketinggiannya serta luas wilayah, ditambah dengan diketahuinya baku
mutu P bagi pertumbuhan terumbu karang sebagai tempat hidup ikan kerapu
macan akan membantu menentukan daya dukung bagi KJA melalui proses
pengenceran.
Pada sisi lain ikan yang hidup di alam makanannya berasal dari alam juga.
Untuk itu menduga daya dukung bagi kerapu macan di alam sebagai sistem sea
ranching dapat dilakukan melalui Chl-a. Besarnya Chl-a ini memiliki hubungan
dengan produktivitas primer. Padahal, apabila diketahui trophic level dari kerapu
macan, maka lewat produktivitas primer dapat diduga daya dukung kerapu macan.
Belum lagi, P yang terbuang ini akan meningkatkan kesuburan perairan yang
bertampak pada peningkatan fitoplankton yang muaranya berpengaruh pada
34

kandungan Chl-a. Akibatnya, penambahan P ke perairan akan menambah


produktivitas primer dan berpengaruh pada besarnya daya dukung.
Selain itu, dikaji dinamikanya terkait rekrutmen, pertumbuhan, laju
mortalitas alami, dan mortalitas tangkapan. Rekrutmen dibatasi pada banyaknya
ikan kerapu macam yang direstocking. Berdasarkan informasi tersebut, dibuat
model restocking baik dari segi dinamika populasi maupun dampak ekonomi.
Ada tiga kriteria yang digunakan, yaitu memenuhi daya dukung, menguntungkan
secara ekonomi, dan dapat membantu memulihkan keadaan stok. Hal ini akan
dijadikan landasan untuk merumuskan model pengelolaan. Untuk memudahkan
penerapan hasil penelitian ini program dengan menggunakan Visual Basic.

Desain Waktu
Penelitian ini dilakukan mulai awal 5 Januari 2010 sampai dengan 26
September 2010. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada Januari-Februari
2010. Wawancara terkait dengan partisipatori stock assessment (PSA) dilakukan
pada bulan Juni dan Juli 2010. Sementara data panjang dan bobot ikan kerapu
diamati setiap hari selama bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.

Teknik Pengumpulan Data


Pengukuran produktivitas primer dilakukan berdasarkan kandungan Chl-a.
Data ini merupakan data sekunder.
Contoh nelayan yang diwawancara diambil melalui penarikan contoh
berlapis. Nelayan yang mencari ikan di perairan Semak Daun umumnya tinggal
di pulau Panggang. Di sana terdapat tiga kelompok nelayan, yakni nelayan yang
sekarang bergabung menjadi anggota sea farming, nelayan yang menjadi anggota
perhimpunan nelayan kepulauan Seribu, dan nelayan bebas. Diantara mereka
yang sering menangkap ikan kerapu macan ke beberapa daerah ada 30 orang.
Dari masing-masing kelompok tersebut diambil proporsional sehingga jumlah
contoh total sebanyak 20 orang.
Adapun contoh ikan kerapu macan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan
di pengumpul. Tiap ikan yang dijual ke pengumpul diukur bobot (g) dan
panjangnya (cm).
35

Variabel
Variabel/peubah biologi yang diukur adalah:
a) panjang ikan kerapu (cm)
b) bobot ikan kerapu (g)

Variabel/peubah eksploitasi yang diukur adalah:


a) hasil tangkapan per hari secara historis
b) ukuran ikan yang ditangkap secara historis
c) jenis alat tangkap
d) lama penangkapan (hari)
e) jumlah alat tangkap
f) jumlah hari penangkapan sebulan

Metode Pengukuran
1 Data panjang ikan kerapu macan diukur menggunakan mistar dengan
ketelitian 0.1 cm, dari ujung mulut sampai ujung ekor (panjang total).
2 Bobot ikan kerapu macan diukur menggunakan timbangan pegas dengan
ketepatan 0.1 kg dan bobot maksimal 10 kg.
3 Data peubah eksploitasi diperoleh dari wawancara (Lampiran 1)
4 Data batimetri diperoleh dari data sekunder.
5 Kandungan total-P diperoleh dari data sekunder.

Penentuan Daya Dukung


Salah satu cara untuk menghitung daya dukung adalah berdasarkan
pengenceran. Pendekatan ini pernah dilakukan oleh Widigdo dan Pariwono
(2003) untuk menduga daya dukung tambak di pesisir (Gambar 9).
36

Gambar 9 Volume air laut di pantai (Sumber: Widigdo dan Pariwono (2003))

Keterangan:
V 0 : volume air laut yang tersedia (m3)
h : tinggi pasang surut setempat (m)
y : lebar areal tambak yang sejajar garis pantai (m)
θ : kemiringan dasar laut
x : jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi intake air laut
(m)

Metode pendugaan daya dukung dalam penelitian ini dilakukan dengan


memodifikasi terhadap apa yang dilakukan oleh Widigdo dan Pariwono (2003).
Hal ini dilakukan untuk menghitung ketersediaan air laut setiap hari berdasarkan
proses pasang surut yang dapat mengencerkan sisa limbah yang terbuang ke laut.
Berikutnya, hasil modifikasi ini dipadukan dengan pendekatan Tookwinas (1998)
yang juga dimodifikasi. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui berapa
besarnya beban yang ditanggung oleh kolom perairan di dalam perairan karang
(gosong). Untuk itu maka perlu diketahui beban P maksimum yang dapat
diterima oleh perairan tersebut dan banyaknya air yang tersedia untuk
mengencerkan beban limbah tersebut. Besarnya beban yang dapat ditanggung
oleh kolom perairan dapat digambarkan oleh baku mutu masing-masing
parameter. Baku mutu beberapa parameter untuk kehidupan terumbu karang yang
merupakan habitat ikan kerapu macan dicantumkan dalam Tabel 5 berikut.
37

Tabel 5 Baku mutu air laut untuk terumbu karang


No Parameter Satuan Baku Mutu
Fisika
1 Kecerahan m >5
2 Kebauan - Alami
3 Padatan tersuspensi mg/l 20
4 Sampah - Nihil
o
5 Suhu C 28-30
Kimia
1 pH - 7 – 8.5
o
2 Salinitas /oo 33 – 34
3 DO mg/l >5
4 BOD5 mg/l 20
5 Ammonia Total mg/l 0.3
6 Fosfat mg/l 0.015
Biologi
1 Patogen sel/100 ml Nihil
2 Plankton sel/100 ml Tidak bloom
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004.

Dari tabel tersebut diketahui bahwa baku mutu fosfat adalah 0.015 mg/l.
Nilai ini dijadikan sebagai nilai maksimum beban fosfat yang dapat diterima oleh
perairan Semak Daun sehingga ekosistem tetap lestari.
Adapun penentuan banyaknya volume air yang dapat mengencerkan fosfat
dan membawa keluar perairan Semak Daun dapat dilihat pada Gambar 10.
Volume air yang tersedia untuk mengencerkan beban limbah dan membawanya
keluar dapat dihitung dengan mengalikan luas wilayah perairan gosong Semak
Daun dengan selisih antara tinggi air saat pasang tertinggi (HWL) dengan tinggi
air saat surut terrendah (LWL). Namun, oleh karena tinggi HWL dan LWL
berfluktuasi setiap hari maka perlu dicari rata-rata volume harian. Caranya
dengan menjumlahkan volume harian tersebut lalu dibagi banyaknya hari
pengamatan, yaitu:
1 n
V0 = ∑ A.(HWLi − LWLi )
n i =1 ................................................................ [40]
38

Gambar 10 Volume air pada saat pasang surut. HWL merupakan tinggi pada saat
pasang, LWL tinggi pada saat surut, h adalah elevasi pasang surut
harian.

Hal ini berlaku bila pasang surut terjadi sekali dalam sehari. Namun, bila terjadi
lebih dari sekali pasang surut maka persamaan tadi perlu dikalikan frekuensi
pasang surut dalam sehari (f). Berdasarkan hal ini, maka volume air yang tersedia
untuk mengencerkan beban limbah adalah:
1 n 1 n
V0 = ∑ f . A.(HWLi − LWLi ) V0 = ∑ f . A.hi
n i =1 atau n i =1

dengan
hi = (HWLi − LWLi ) .............................................................................[41]

Keterangan:
39

Bila diketahui beban maksimum fosfor (atau baku mutu P) yang dapat
diterima kolom perairan adalah q mg/l (ppm) maka jumlah maksimum P yang
dapat masuk ke dalam perairan (P maks) adalah:
1 n
∑ f . A.hi
n i =1
, dengan P maks adalah P maksimum yang

diperbolehkan ada di dalam perairan (kg) atau P-acceptable. Berdasarkan


penelitian terhadap kegiatan budidaya yang dilakukan dapat diketahui besarnya P
yang berasal dari KJA (U kgP/kg ikan).
Besaran U ini ditentukan oleh pola pemberian pakan. Pemberian pakan
berbeda-beda banyaknya disesuaikan dengan bobot ikan. Dari pola pemberian
pakan ini diketahui banyaknya ransum pada bobot w selama masa pembesaran
(R w). Pada kondisi kandungan P dalam pakan k persen dan banyaknya pakan
terbuang ke dalam perairan b persen dari total pakan maka banyaknya P yang
masuk ke dalam perairan pada masa pembesaran bobot ikan w dan banyak ikan N
adalah:
………………………………………………………..[42]
…………………………….…………………………….…[43]
Dengan demikian, banyaknya fosfat selama masa pembesaran ikan (untuk
ikan kerapu macan sampai mencapai w=0.5 kg) dapat diketahui sebagai:
………………………………………………….[44]
Banyaknya ikan yang hidup dipengaruhi oleh survival rate (SR). Bila survival
rate ikan sebesar SR (%) maka banyaknya fosfat yang masuk ke kolom perairan
selama masa pembesaran ikan menjadi:

……………………………...…..[45]

Keterangan:
40

Oleh karena itu, daya dukung perairan untuk KJA secara lestari (K L )
berdasarkan pengenceran adalah:

…….……………………………………………[46]

Bila tiap keramba dapat menghasilkan (N.SR. (0.5)) kg/keramba maka banyaknya
keramba yang diperkenankan adalah:
keramba …………….………………………[47]

luas kawasan efektif yang dijadikan KJA adalah:

ha …...…………………………………………[48]

Kondisi Stok
Pertama kali dilakukan pendugaan model untuk kajian stok. Model yang
hendak diduga adalah:

.......................................................... [49]

................................................................. [50]

............................................................................................ [51]
Keterangan:
B t = biomassa stok pada waktu t
B t+1 = biomassa stok pada waktu t+1
B ∞ = biomassa maksimal yang dapat dicapai
C t = total tangkapan
= mortalitas penangkapan
= catchability
= upaya untuk alat g

Model ini memerlukan tiga parameter populasi, yaitu B now (kondisi saat
proyeksi dimulai, pada waktu pengamatan), r (laju pertumbuhan populasi), dan
B ∞ (ukuran stok yang tidak dieksploitasi), dan untuk alat tangkap yang lebih dari
satu jenis diperlukan tipe alat tangkap. Keadaan stok didefinisikan sebagai
41

biomassa (B t ) dibagi dengan biomassa yang tidak dieksploitasi (B ∞ ). Jika


keadaan stok berada dibawah tangkapan maksimum lestari (0.5), maka stok
dikatagorikan telah mengalami tangkap lebih (overvishing).

Analisis Data
1 Hubungan panjang dan bobot ikan kerapu diduga dengan regresi
menggunakan metode kuadrat terkecil (least square). Selain itu, untuk
memasukkan unsur ketidakpastian (uncertainty) dibandingkan dengan
metode Bayes. Pendekatan melalui metode Bayes ini dilakukan dengan
membuat program dan dimasukkan kedalam software Winbugs14.
2 Penduga parameter pertumbuhan (L∞ , K, dan t 0 ) dihitung dengan
menggunakan metode ELEFAN I yang terdapat dalam software FISAT II.
Parameter pertumbuhan juga diduga dengan memasukkan unsur
ketidakpastian (uncertainty) menggunakan metode Bayes. Pendekatan
melalui metode Bayes ini dilakukan dengan membuat program dan
dimasukkan kedalam software Winbugs14.
3 Penduga laju mortalitas total (Z) dihitung dengan kurva hasil tangkapan
yang dikonversi ke panjang (Sparre & Venema 1998). Laju mortalitas
alami diduga dengan persamaan empiris Pauly (1980).
4 Penentuan waktu/pola tebar, banyaknya ikan kerapu yang ditebar, dan
ukuran panjang tebar untuk mendapatkan keuntungan optimum dengan
tetap memperhatikan daya dukungnya dilakukan dengan menetapkan
model dan melakukan simulasi. Hal ini dilakukan dengan membuat
program dengan bantuan Winbugs14 yang dikombinasikan dengan bahasa
QBasic dan Visual Basic.
43

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Semak Daun


Pulau Semak Daun terletak pada 106o20’00” BT hingga 106o57’00” BT
dan 5o10’00” LS hingga 5o57’00” LS. Pulau yang memiliki luas daratan 0,50 ha
ini dikelilingi oleh karang dalam seluas 315.19 ha. Kawasan karang dalam
tersebut terdiri atas lima goba seluas 33.3 ha dan reeflat seluas 281.89 ha.
Kedalaman goba antara 3-13 m pada saat pasang. Pelayaran dari satu goba ke
goba yang lain melalui selat kecil (galer) yang menghubungkannya. Adapun
kedalaman reeflat antara 0.5-3 m pada saat pasang. Pada saat surut ada beberapa
reeflat yang tidak berair.
Nelayan penangkap ikan kerapu macan melaut ke berbagai pulau kecil di
sekitar Semak Daun. Namun, kebanyakan dari mereka (46%) mencari ikan di
sekitar karang lebar, yaitu karang seputar pulau Semak Daun (Gambar 11). Alat
tangkap yang dominan digunakan adalah bubu (32%), dan sebagian lagi
menggunakan pancing dan alat lain. Sementara itu, nelayan penangkap kerapu
macan 76% menggunakan bubu, sisanya pancing. Kenyataan ini sesuai dengan
kondisi wilayah yang berupa pulau-pulau kecil yang berterumbu karang. Kedua
alat itu dipergunakan untuk menangkap ikan demersal, khususnya ikan kerapu
macan, yang hidup di terumbu karang.

16%

Semak Daun
46%
3% K. Congkak
K. Bongkor
11% P. Kelapa
P. Karya

3% P. Jokong

8% Lainnya

13%

Gambar 11 Daerah tujuan nelayan penangkap kerapu macan tahun 2010.


44

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara terhadap 20 nelayan


diketahui bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan ikan kerapu macan sejak tahun
1990-an. Sebelum tahun itu, seorang nelayan rata-rata menangkap 10 ekor ikan
kerapu macan sehari dengan bobot antara 0.5-1.5 kg per ekor. Bahkan, ada yang
mengaku pernah mendapatkan ikan kerapu macan dengan bobot 10 kg. Berbeda
dengan itu, sekarang seorang nelayan rata-rata mendapatkan ikan 1-4 ekor per
minggu dengan bobot 0.1-0.7 kg per ekor. Hal ini tampak juga dari menurunnya
produktivitas tangkapan. Gambar 12 menjelaskan penurunan produktivitas
tangkapan bubu dalam menangkap ikan kerapu sebelum tahun 2000 lebih tinggi
dibandingkan dengan pasca tahun 2000.

2,50

2,00
Tangkapan per upaya

1,50
(kg/bubu/hr)

Sebelum tahun 2000


1,00

0,50
Sesudah tahun 2000
0,00
0 5 10 15 20 25 30
-0,50
Bubu (buah)

Gambar 12 Produktivitas bubu menangkap ikan kerapu macan sesudah tahun


2000 (----) dan sebelum tahun 2000 ( ).

Karang dalam seluas 315.19 ha itu menyimpan potensi besar. Hasil kajian
BAPEKAB (2004) menunjukkan dari kawasan tersebut terdapat kawasan perairan
potensial seluas 2 ha dapat digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9.99 ha
untuk keramba jaring apung/KJA (cage culture), 40.7 ha untuk sistem kandang
(pen culture), dan 262.31 untuk long line. Sementara, kawasan perairan potensial
untuk sea ranching dapat dilakukan di semua kawasan selain sistem sekat dan
sistem kandang.
Saat ini sudah berjalan balai sea farming yang membudidayakan kerapu
macan dan bebek dalam KJA. Menurut pengamatan di lapangan, anggota sea
45

farming tahun 2010 ada 43 orang. Mereka menjalankan budi daya kerapu macan
dan kerapu bebek dalam KJA. Setiap orang rata-rata menggarap 6 sampai 12
keramba berukuran 3x3 m2. Hal ini menunjukkan bahwa potensi besar itu masih
perlu ditingkatkan pemanfaatannya.

Perikanan Budidaya di Perairan Semak Daun


Di perairan Semak Daun kini berjalan kegiatan sea farming. Pada periode 2007-
2009 dari total 75 anggota kelompok sea farming P. Panggang, 24 orang
mendapatkan dana bergulir (SPKKAKS 2008). Namun, pada tahun 2010 anggota
yang aktif ada 43 orang. Ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu bebek dan
ikan kerapu macan. Jumlah KJA adalah 207. Ukuran KJA rata-rata 3x3 m2.
Kepadatan umumnya 200 ekor per keramba. Sementara, pakan yang dihabiskan
sehari mencapai 3 kg pelet.

Perikanan Tangkap Ikan Kerapu Macan


Berdasarkan wawancara, saat ini ada nelayan penangkap ikan kerapu
macan sekitar 15 orang. Mereka umumnya menggunakan bubu, ada juga sebagian
yang menggunakan pancing. Mereka rata-rata memasang 3-10 bubu per orang.
Ikan kerapu macan yang diperoleh seorang nelayan umumnya berkisar antara 1
hingga 3 ekor seminggu, kadang-kadang tidak mendapatkannya.

Fisika dan Kimia Perairan


Tipe pasut di perairan ini tergolong pasut campuran dominan ganda, yaitu
mengalami dua kali pasang surut selama 24 jam. Kisaran pasut terendah terlihat
saat pasang perbani (neap tide), yaitu 42,45 cm, sedangkan kisaran tertinggi
mencapai 124 cm saat pasut purnama (spring tide). Sementara, rata-rata elevasi
pasang surut berkisar antara +50 cm dan -50 cm. Kisaran arus di dalam goba
antara 1 cm/s hingga 45 cm/s. Arah arusnya menunjukkan pola harian yang
diduga karena pengaruh pasang surut. Bila dibandingkan dengan syarat
lingkungan bagi ikan kerapu, kualitas air di perairan Semak Daun masih sesuai
untuk kehidupan ikan kerapu (Tabel 6).
46

Tabel 6 Parameter kualitas air hasil pemantauan lingkungan di perairan Goba


Semak Daun 2008
Parameter Satuan Besaran BM
FISIKA
O
Suhu C 29.7-30.8 28 - 32
Kecerahan m 100% 3-5m
Padatan tersuspensi (TSS) mg/l 4-7
Kekeruhan NTU 0.5-1

Kimia
pH - 8.08-8.3 7 - 8,5
O
Salinitas /oo 33-34 33 - 34
Oksigen terlarut (DO) mg/l 5.82-7.12 >5
BOD 5 mg/l 2.44-4.67 20
Ortho Fosfat mg/l <0.008 0.015
Total Fosfat mg/l <0.017 -
Amonia (NH 3 -N) mg/l 0.195-1.636 0.3
Nitrat-Nitrogen (NO 3 -N) mg/l 0.007-0.062 0.008
Nitrit Nitrogen (NO 2 -N) mg/l 0.003-0.16 -
Silika (Si) mg/l 0.006-0.149 -
Minyak dan Lemak mg/l <1 1
Timbal (Pb) mg/l 0.004-0.007 0.008
Kadmium (Cd) mg/l 0.001-0.003 0.001
Air Raksa (Hg) mg/l 0.0003-0.0011 0.001
Sumber: diolah dari SPKKAKS 2008

Kondisi Stok Perairan Dangkal Semak Daun


Untuk mengetahui kondisi stok suatu perairan setidaknya diperlukan data
panjang, bobot, dan upaya dari waktu ke waktu. Namun, data deret waktu ini
tidak tersedia. Metode yang dapat digunakan untuk menduga kondisi stok apakah
sudah tangkap lebih (overfishing) atau belum dalam kondisi tidak ada data deret
waktu tersebut adalah participatory stock assessment (PSA). Dalam bidang
perikanan dikenal dengan ParFish. Data yang diperlukan terdapat dalam
Lampiran 2 sampai dengan dan Lampiran 4.
47

Hasil dugaan Bnow yang diperoleh 0.087. Sementara, dugaan untuk


parameter r, B ∞ , dan q berturut-turut adalah 0.311, 241491.671, dan 0.0002.
Gambar 11 menunjukkan sebaran dari masing-masing parameter tersebut.

0.15
Bnow PDF
0.14 Bnow frequency

0.13

0.12

0.11

0.1 (a)
0.09
Probability

0.08

0.07

0.06

0.05

0.04

0.03

0.02

0.01

0
0 0.128 0.256 0.384 0.512 0.641 0.769 0.897
Bnow

0.19
0.18
r PDF
0.17 r frequency
0.16
0.15
0.14
0.13
0.12
0.11
(b)
Probability

0.1
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0.298 0.597 0.895 1.193 1.491
r
48

0.19
0.18 Binf PDF
0.17 Binf frequency
0.16
0.15
0.14
0.13
0.12
0.11 (c)
Probability

0.1
0.09
0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
+05 +05 +06 +06 +06
3.76 7.53 1.13 1.51 1.88
Binf

0.13
q00 PDF
0.12 q00 frequency

0.11

0.1

0.09
(d)
0.08
Probability

0.07

0.06

0.05

0.04

0.03

0.02

0.01

0
-20 -04 -04 -04 -04 -04
8.13 1.09 2.18 3.27 4.37 5.46
q00

Gambar 13 (a) Bnow, (b) laju pertumbuhan populasi r, (c) biomassa pada saat
tidak dieksploitasi, dan (d) catchability.
49

Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai resource stock antara 0 – 0.325. Nilai


ini berada dibawah 0.5. Hal ini berarti besarnya stok yang ada sekarang sudah
berada dibawah setengah dari biomassa optimum (B ∞ ). Dengan perkataan lain,
ikan kerapu macan di perairan Semak Daun sudah mengalami tangkap lebih
(overfishing).

5.8
5.6
5.4
5.2
5
4.8
4.6
4.4
4.2
4
3.8
3.6
3.4
3.2
Probability

3
2.8
2.6
2.4
2.2
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2 1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Resource State

Gambar 14 Kondisi stok pada saat ini. Resource state menunjukkan stok yang
ada sekarang, sedangkan probability menunjukkan peluangnya.

King (1995) mengemukakan tiga jenis overfishing, yaitu tangkap lebih


pertumbuhan (growth overfishing), tangkap lebih rekrutmen (recruitment
overfishing), dan tangkap lebih biologis (biological overfishing). Growth
overfishing atau tangkap lebih pertumbuhan terjadi apabila sumberdaya ikan
ditangkap sebelum sempat tumbuh mencapai ukuran tertentu. Jenis overfishing
ini dapat dicirikan oleh ukuran hasil tangkapan di bawah ukuran konsumsi.
Recruitment overfishing terjadi ketika kegiatan penangkapan telah menyebabkan
stok sumberdaya kekurangan induk. Adapun tangkap lebih biologis (biological
overfishing) merupakan gabungan antara growth overfishing dan recruitment
overfishing. Biological overfishing ini terjadi ketika tingkat upaya penangkapan
50

dalam suatu perikanan telah melampaui tingkat yang diperlukan untuk


menghasilkan maximum sustainability yield (MSY).
Dalam tata niaga ikan kerapu di perairan Semak Daun ukuran ikan
dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu kategori S, Sp, L, XL, dan XXL.
Kategori S merupakan ikan kerapu macan yang memiliki bobot di bawah 0.3 kg.
Bobot ikan kerapu macan mulai dari 0.3 kg sampai dengan 1.5 kg masuk kategori
Sp. Sementara, bobot 1.5 kg sampai dengan 5 kg merupakan kategori L. Adapun
kategori XL merupakan ikan dengan bobot 5 kg sampai dengan 8 kg. Ikan kerapu
macan yang bobotnya melebihi 8 kg dikelompokkan sebagai kategori XXL.

Tabel 7 Frekuensi ukuran kerapu macan (ekor) yang tertangkap di perairan


Semak Daun periode Maret – Agustus 2010
Bulan Kategori/ukuran ikan
S Sp L XL XXL
MAR 0 12 2 0 0
APR 0 26 10 0 0
MEI 0 36 9 0 0
JUN 0 23 4 0 0
JUL 0 24 3 0 0
AGU 1 29 4 1 0
Keterangan (dalam kg): S ≤ 0.3, 0.3 < Sp ≤ 1.5, 1.5< L ≤ 5, 5< XL≤8, XXL>8

Tabel 7 menunjukkan bahwa 81.5% ikan kerapu macan yang tertangkap


berukuran Sp. Sementara yang berukuran S sebanyak 0.5%, berukuran L 17%,
dan berukuran XL sebanyak 0.5%. Tidak ada ikan kerapu macan ukuran XXL
yang tertangkap. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebanyakan ikan kerapu
macan yang tertangkap dibawah 1.5 kg (panjang 46.6 cm). Padahal, ikan kerapu
macan betina mulai matang gonad (mature) pada ukuran panjang total 51 cm atau
bobot 3.0 kg sedangkan jantan mulai matang pada ukuran panjang total 60 cm
atau bobot 7.0 kg (Slamet et al 2001). Menurut Abduh (2007) fase betina matang
gonad didapatkan pada ikan dengan ukuran panjang tubuh minimum 450-550 mm
(umur lebih dari 5 tahun) dengan berat tubuh 3-10 kg. Sedangkan, fase jantan
matang kelamin pada ukuran panjang tubuh minimum 740 mm dengan berat
tubuh 11 kg. Hal ini berarti kebanyakan ikan kerapu macan sudah tertangkap
sebelum matang gonad. Dengan perkataan lain, recruitment overfishing sudah
51

terjadi di perairan Semak Daun. Konsekuensi dari hal ini adalah rekrutmen terus
menurun sehingga jumlah ikan menurun yang berakibat tangkapan pun menurun.
Berdasarkan hal ini maka upaya melindungi induk untuk memulihkan stok sangat
dibutuhkan. Agar upaya pengembalian stok ini sejalan dengan sistem budidaya
yang sudah berjalan selama ini maka aktivitas yang semestinya dilakukan adalah
restocking dalam sistem sea ranching.

Daya Dukung

Daya Dukung KJA dengan Metode Pengenceran


Kawasan perairan Semak Daun ini secara umum dapat diperuntukan bagi
dua hal, yaitu budidaya dalam KJA dan sea ranching. Oleh karena itu, pendugaan
daya dukung dilakukan terhadap daya dukung keduanya. Selain itu, proses
ekologis yang terjadi di KJA maupun sea ranching saling mempengaruhi karena
keduanya berada pada kawasan yang sama.
Pendugaan daya dukung lingkungan perairan Semak Daun bagi
pengembangan budidaya dan sea ranching ini dilakukan melalui dua pendekatan
secara simultan, yaitu (1) beban limbah total-P yang terbuang ke lingkungan
perairan untuk menduga daya dukung perairan bagi KJA, dan (2) produktivitas
primer untuk menduga daya dukung perairan bagi sea ranching.
Gambar 15 menunjukkan diagram Forester bagi model pendugaan daya
dukung di KJA dan sea ranching. Dalam Gambar 14 tersebut terdapat dua
submodel, yaitu daya dukung KJA dan daya dukung sea ranching. Kedua
submodel tersebut dihubungkan oleh parameter P yang terbuang di perairan dan
Chl-a. Variabel yang diperhitungkan dalam menduga daya dukung bagi KJA
adalah ukuran benih, padat tebar, survival rate ikan (SR), manajemen pemberian
pakan, dan jenis pakan yang akan menentukan persentase kandungan P dalam
pakan tersebut. Semua variabel ini menentukan banyaknya P yang masuk ke
kolom perairan. Berikutnya, diperlukan juga variabel luas perairan, pasang surut
harian (tipe pasang surut, pasang tertinggi, surut terendah). Variabel-variabel
tersebut akan menentukan volume air yang tersedia setiap hari untuk
mengencerkan sisa pakan. Berdasarkan batasan baku mutu P yang diperkenankan
bagi pertumbuhan terumbu karang maka akan dapat diketahui banyaknya P yang
52

dapat diterima oleh perairan tersebut. Hubungan antara P yang diperkenankan (P-
acceptable) dengan baku mutu P menentukan besarnya dukung KJA.

Manajemen
ukuran # ikan SR

% P dalam pakan

P-pakan

(luas)
P-ikan (HWL)
Sisa (LWL)
(frek. pasut)

flushing
P-perairan (Baku mutu

(Chl-a bulanan)
P-acceptable

Daya dukung
Chl-a
KJA
PP

TL dibawah kerapu

(TL)
Prod. k.
(TE)
(luas)
DD sea ranching (kedalaman)

Gambar 15 Diagram Forester bagi model pendugaan daya dukung KJA dan sea
ranching. Garis ---- menggambarkan aliran informasi matematis,
dan garis ― menggambarkan aliran energi/materi. SR=survival
rate, P-pakan=fosfor (P) dalam pakan, P-ikan=P yang masuk ke
dalam tubuh ikan, P-perairan =P yang masuk ke perairan, P-
acceptable=P yang diperkenankan, PP=produktivitas primer,
TL=trophic level, TE=tingkat efisiensi, HWL=high wave level
(pasang tertinggi), LWL=low wave level (surut terendah), DD=daya
dukung.
53

Data yang diperlukan untuk menduga daya dukung perairan dangkal


Semak Daun disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Data yang diperlukan untuk menduga daya dukung perairan gosong
Semak Daun bagi KJA
No Peubah Nilai Satuan Keterangan
1 Luas perairan (A):
a. Reef flat 281.89 ha PKSPL (2006)
b. Goba 33.3 ha
2 Frekuensi pasang surut (f) 2 PKSPL (2006)
3 Baku mutu fosfat (q) 0.015 mg/l (ppm) Kepmen LH no.51 tahun
2004
4 Pola pemberian pakan Effendi (2007)
5 P yang berasal dari KJA (w) 21.4 – 26.7 Kg/ha Monitoring dan hitungan
6 Pasang surut Selama Juli m Monitoring dan hitungan
7 Padat tebar di KJA 200 ekor/9 m2 Pengamatan lapangan
8 Ukuran keramba 3x3 m2 Pengamatan lapangan

Untuk menduga volume air yang tersedia bagi pengenceran sisa pakan
yang terbuang dari KJA diperlukan data pasang surut, termasuk pasang tertinggi
(HWL) dan surut terendah (LWL). Data harian selama tiga puluh hari HWL i dan
LWL i , serta hasil hitungan hi dan volume air yang tersedia disajikan dalam
Lampiran 5. Adapun fluktuasi elevasi pasut disajikan dalam Gambar 16.

Gambar 16 Elevasi pasang surut selama bulan Juli. Pengamatan selama 30 hari
sehingga n=30.

Dari data-data tersebut dapat dihitung volume air yang tersedia untuk
mengencerkan beban limbah sebesar 2 660 729 m3. Berdasarkan Keputusan
54

Menteri Lingkungan Hidup no.51 tahun 2004 diketahui bahwa baku mutu fosfat
untuk kehidupan terumbu karang adalah 0.015 mg/l. Oleh karena itu maka beban
fosfat maksimal yang dapat diterima oleh perairan Semak Daun adalah 39.91 kgP.
Perhitungan volume air yang tersedia dan beban fosfat maksimal disajikan pada
Lampiran 5.
Untuk menghitung besarnya fosfat yang berasal dari KJA diperlukan pola
pemberian pakan. Menurut Effendi (2006) pola pemberian pakan ikan kerapu
adalah:

Tabel 9 Pola pemberian pakan ikan kerapu


Bobot ikan (g) Ransum harian (% bobot ikan) Frekuensi harian
5 – 20 2.0 – 4.0 2–3
20 – 100 1.5 – 2.0 2
100 – 200 1.2 – 1.5 1–2
200 – 300 1.0 – 1.2 1
>300 0.8 – 1.0 1

Pola pemberian pakan dalam Tabel 9 menunjukkan bahwa ransum ikan yang
diberikan berbeda-beda pada saat bobot ikan berbeda. Pola pemberian pakan
tersebut dapat disajikan dalam bentuk fungsi matematika di bawah ini. Pemberian
pakan minimal berdasarkan bobot ikan adalah:

……………………………[53]

Sementara, pakan maksimal berdasarkan bobot ikan adalah:

…………………………….[54]

Hasil hitungan nilai Rw dan Pw dapat dilihat pada Lampiran 6. Data


tersebut menunjukkan bahwa pakan yang diberikan makin bertambah dengan
bertambahnya bobot ikan. Konsekuensinya, terjadi pula penambahan fosfat yang
keluar dari KJA dan masuk kedalam perairan. Perhitungan dalam Lampiran 6
55

menunjukkan bahwa total pakan yang diberikan dalam KJA adalah 46.5 – 57.9
kg/keramba.
Variabel lain yang diperlukan adalah SR. Untuk menghitung SR
dilakukan pengamatan secara acak pada sebelas KJA. Datanya disajikan pada
Tabel 10. Hasil perhitungan diperoleh SR rata-rata 74.2% dengan simpangan
baku 20.7%. Sementara, kadar P yang ada didalam pakan yang digunakan di
Semak Daun adalah k=1.48%, dan banyaknya pakan yang tidak dimakan ikan
sebanyak b=20% (Beveridge 1987). Oleh karena itu, banyaknya P yang masuk ke
perairan adalah 137.3 – 171.3 gP/keramba. Tiap keramba dapat menghasilkan
53.5 – 74.2 kg ikan. P yang masuk ke perairan (U) adalah 1.9 – 3.2 kgP/ton ikan.
Berdasarkan hal ini maka daya dukung perairan Semak Daun untuk KJA adalah
39.91/3.2 = 12.5 sampai dengan 39.91/1.9 = 21.6 ton ikan. Daya dukung ini bila
dikonversi menjadi banyaknya keramba adalah (12.5/74.2 x 1000) = 167.9 atau
dibulatkan menjadi 168 keramba. Batas atasnya adalah (21.6/53.5 x 10 000) =
403.1 atau dibulatkan menjadi 404 keramba. Bila ukuran keramba 3x3 m2 maka
luas efektif KJA adalah 0.2 – 0.4 ha. Semua ini menginformasikan bahwa
banyaknya KJA maksimal yang diperkenankan di perairan Semak Daun adalah
404 buah yang tersebar di 1.81 ha perairan gosong (karang dalam) yang cocok
untuk KJA. Selama masukan limbah dari luar tetap, maka jumlah KJA ini
bersifar lestari sampai jangka waktu panjang.

Daya Dukung Sea Ranching


Daya dukung sea ranching perairan Semak Daun dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan produktivitas primer. Sementara, produktivitas primer ini
ditentukan berdasarkan kandungan klorofil-a (Chl-a) di perairan tersebut. Gambar
17 menunjukkan kandungan Chl-a di perairan Semak Daun dari bulan Agustus
2008 sampai dengan bulan Juli 2009. Sebaran kandungan Chl-a berkisar antara
0.8 mg/l hingga 1.35 mg/l. Nilai tertinggi ini terjadi pada bulan Januari 2009
(1.35 mg/l) lalu turun menjadi nilai terendah sebesar 0.8 mg/l pada bulan Februari
2009 (musim barat). Rata-ratanya adalah 0.96 mg/l dengan simpangan baku 0.19
mg/l. Chl-a merupakan salah satu indikator produktivitas primer dalam suatu
perairan. Namun, jika terjadi peningkatan kandungan klorofil yang cukup
56

ekstrem perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya ledakan populasi alga yang


berbahaya. Ledakan populasi alga dapat menyebabkan turunnya kandungan
oksigen dalam air sehingga membahayakan kehidupan ikan karena kekurangan
oksigen.

Tabel 10 Penghitungan SR kerapu macan di KJA


No. KJA Jumlah
Produksi Produksi SR
(ekor)tebar(Kg) %
1 187 200 78 94
2 200 200 100 100
3 190 200 83 95
4 150 200 54 75
5 140 200 72 70
6 100 200 50 50
7 120 200 53 60
8 140 200 57 70
9 180 200 60 90
10 183 200 98 91
11 150 200 50 75
12 87 200 34 44*
13 181 200 73 91
14 70 200 29 35*
Jumlah 1740 2200 755
Rataan 148 64 74
sd 42 22 21
Keterangan: tanda * menunjukkan KJA yang SR-nya kurang dari 50 persen

1,6
1,4
1,2
Chl-a (mg/l)

1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

Bulan

Gambar 17 Kandungan klorofil-a (Chl-a) di perairan Semak Daun dari Agustus


2008 sampai dengan Juli 2009 (Sumber: Sulma et al. 2009).
57

Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat


antara Chl-a dengan produktivitas primer. Susilo (1999) menemukan bahwa
produktivitas primer kolom air dapat diduga dari konsentrasi Chl-a menurut
persamaan regresi sederhana. Persamaan hubungan antara keduanya pada kolom
air 0-5 m adalah P=0.0207+0.007K sedangkan pada kolom air 0-10 m adalah
P=0.0238+0.004K, dimana P adalah produktivitas primer (gC/m3) dan K adalah
konsentrasi klorofil-a atau Chal-a (µg/l). Berdasarkan hal ini produktivitas primer
dapat diduga dari kandungan Chl-a. Dalam penelitian ini ikan yang diamati
adalah ikan kerapu macan yang merupakan ikan karang sehingga produktivitas
primer dihitung per meter persegi sehingga persamaan tadi menjadi
P=(0.0207+0.007K)/rata-rata kedalaman perairan Semak Daun (10 m).
Tabel 11 menunjukkan kandungan Chl-a dan produktivitas primer selama
satu tahun, yakni dari bulan Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Rata-rata
produktivitas primer di perairan Semak Daun adalah 0.384 dengan simpangan
baku 0.078 (gC/m2/hari) atau 140.299 dengan simpangan baku 28.43 (111.869 –
168.729 gC/m2/th). Besarnya produktivitas primer (PP) ini masih dalam kisaran
produktivitas primer di perairan karang umumnya. Carter (1991) menyatakan
bahwa rata-rata produktivitas primer di perairan dangkal dengan ekosistem
terumbu karang adalah 30 – 150 gC/m2/th.
Berdasarkan produktivitas primer dapat diketahui produktivitas pada
trophic level berikutnya. Produktivitas primer melalui fitoplankton di laut
merupakan sumberdaya energi dan bahan organik yang dimanfaatkan oleh
organisme pada tingkat rantai makanan yang lebih tinggi. Pengetahuan tentang
rantai makanan atau tropic level dari ikan kerapu macan dan besarnya efisiensi
ekologis di perairan tersebut dapat membantu menghitung produktivitas ikan
tersebut.
Parsons et al. (1984) menyajikan hubungan antara produktivitas primer
dengan produktivitas sekunder, tersier, dan seterusnya dalam bentuk persamaan:
P n = P 1 En-1 ………………………………………………………….[55]
Keterangan:
Pn : produktivitas pada jenjang makanan (trovic level) ke-n
P1 : produktivitas primer
58

n : jenjang makanan (tropic level)


E : efisiensi ekologis

Tabel 11 Klorofil-a (Chl-a) dan produktivitas primer di perairan Semak Daun


selama bulan Agustus 2008 – Juli 2009

Chl-a
Bulan Chl-a (µg/l) PP (gC/m2/hari)
(mg/l)
Agu 2008 1.1 1100 0.442
Sep 2008 0.8 800 0.322
Okt 2008 0.8 820 0.330
Nov 2008 1.1 1080 0.434
Des 2008 1.1 1100 0.442
Jan 2009 1.4 1350 0.542
Feb 2009 0.6 600 0.242
Mar 2009 1.0 1000 0.402
Apr 2009 0.9 900 0.362
Mei 2009 0.9 900 0.362
Jun 2009 1.0 1010 0.406
Jul 2009 0.8 800 0.322
Rata-rata ± simpangan baku (gC/m2/hari) 0.384 ± 0.078
Rata-rata ± simpangan baku (gC/m2/tahun) 140.299 ± 28.43

Istilah efisiensi ekologis disebut juga efisiensi transfer (transfer efficiency,


TE). Gascuel et al. (2009) menyatakan bahwa TE merupakan ukuran umum bagi
efisiensi ekosistem terkait transfer energy dari trophic level yang rendah ke
trophic level yang lebih tinggi. TE merupakan proporsi produksi dari trophic
level yang lebih rendah ke trophic level yang lebih tinggi. Sementara, Pauly dan
Christensen (1995) menyatakan bahwa nilai rata-rata efisiensi ekologis yang
diperoleh secara umum dari ekosistem laut adalah 10 persen. Sebelumnya, Odum
(1971) menyampaikan bahwa transfer energi tiap level adalah 10 persen.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hanya 10% dari energi asal yang akan
secara sempurna dialihkan ke tingkat tropik (trophic level) berikutnya (Trophic
level energy transfer calculation. http://www.deltacollege.edu/emp
/jdebow/energytransfer.html [8/12/2010]).
Ikan kerapu macan merupakan top predator (Anonim, 1996). Menurut
Vasconcellos dan Gasalla (2001) Epinephelus spp. berada pada tropic level 3.7.
59

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) berada pada tropic level 3.7 (Tabel 12).

Tabel 12 Tropic level beberapa spesies


Grup Spesies Trophic Level
Shrimps
Penaeus brasiliensis 2.3
Penaeus spp. 2.3
Xiphopenaeus kroyeri 2.3
Small and mid-size pelagics
Sardinella brasiliensisb 2.8
Engraulididae 3.0
Scomber japonicus 3.1
Scomberomorus spp. 3.3
Common squids Loligo spp. 3.4
Groupers
Epinephelus spp. 3.7
Mycteroperca spp. 3.7
Snappers
Lutjanidae 3.8
Ocyurus chrysurus 3.8
Sumber: Vasconcellos M dan Gasalla MA (2001)

Berdasarkan hal ini produksi ikan kerapu macan dapat diduga dari
kandungan Chl-a. Caranya, data bulanan Chl-a dijadikan variabel untuk menduga
produktivitas primer melalui persamaan yang disarankan oleh Susilo (1999).
Energi produktivitas primer ini akan ditransfer ke trophic level di atasnya sampai
ke ikan kerapu macan melalui piramida trophic level. Akhirnya, daya dukung
dapat diperoleh.
Parameter yang diperlukan dalam penentuan daya dukung berdasarkan
produktivitas primer melalui Chl-a ini disajikan pada Tabel 13. Gambar 18
menunjukkan transfer energi dari trophic level terendah hingga trophic level
kerapu macan untuk produktivitas primer rata-rata di perairan Semak Daun
sebesar 140.299 gC/m2/th. Produktivitas primer sebesar 140.299 gC/m2/th akan
menghasilkan karbon dalam produksi ikan kerapu macan sebesar 0.028 gC/m2/th.
Menurut Odum (1971), kandungan ini merupakan 10 persen dari produksi ikan.
60

Dengan demikian maka produksi ikan kerapu yang dapat dihasilkan di perairan
Semak Daun yang luasnya 315 ha (3,150,000 m2) adalah 881.788 kg/th atau
sekitar 0.88 ton/tahun. Sementara, untuk nilai produktivitas primer terkecil
(111.869 gC/m2/th) akan mentransfer energi pada ikan kerapu macan sebesar
0.022 gC/m2/th. Energi ini setara dengan bobot ikan kerapu 0.703 ton/th. Adapun
nilai produktivitas primer terbesar (168.729 gC/m2/th) akan menghasilkan 0.034
gC/m2/th pada ikan kerapu macan dengan trophic level 3.7. Ini berarti biomassa
ikan kerapu macan yang dapat diproduksi adalah 1.06 ton/th (Lampiran 7).
Dengan demikian daya dukung bagi ikan kerapu macan dalam sistem sea
ranching perairan Semak Daun antara 0.703 – 1.06 ton/th dengan rata-rata 0.88
ton/th.

Bila dihitung produksi per ha diperoleh produksi ikan kerapu macan ini
antara 0.0022 – 0.0034 ton/ha/th, dengan rata-rata 0.003 ton/ha/th. Hasil tersebut
sedikit lebih kecil dibandingkan dengan prediksi Donaldson et al. (2005) yang
menduga bahwa kepadatan ikan kerapu macan di alam sekitar 0.4 ton/km2/th atau
0.004 ton/ha/th. Hal ini disebabkan kondisi terumbu karang di perairan Semak
Daun sebagian sudah rusak (SPKAAS 2006).

Tabel 13 Peubah yang diperlukan untuk menduga daya dukung ikan kerapu
macan dalam sea ranching
No Peubah Sumber
1 Klorofil-a bulanan Sulma et al. 2009
2 Hubungan klorofil-a dengan Susilo 1999
produktivitas primer
3 Hubungan antar tropic level, Pauly dan
10 persen per tropic level Christensen (1995);
Odum (1971)
4 Tropic level ikan kerapu Vasconcellos M dan
macan adalah 3.7 Gasalla MA (2001)

5 Luas perairan, 315 ha SPKKAKS 2006

6 Rata-rata kedalaman, 10m SPKKAKS 2006


61

[3.7]
Kerapu macan:
0.028 gC/m2/th

[3]. crustacea:
0.1403 gC/m2/th

[2]. finfish: 1.403 gC/m2/th

[1]. benthos: 14.0299 gC/m2/th

[0]. PP: 140.299 gC/m2/th

Gambar 18 Piramida transfer energi dari produktivitas primer kepada kerapu


macan.

Hubungan KJA dengan Sea Ranching


Sisa pakan yang tidak dimakan ikan di dalam KJA masuk ke dalam kolom
perairan yang digunakan sebagai sea ranching. Besarnya pakan yang masuk ke
perairan akan menambah masuknya posfor yang masuk ke kolom perairan.
Padahal, posfor ini akan mempersubur perairan sehingga bertambahlah klorofil.
Posfor merupakan salah satu unsur yang diperlukan dalam proses pertumbuhan
fitoplankton (Kimmel, 1990). Hubungan antara Chl-a dengan posfor dinyatakan
oleh Smith (2006) dalam bentuk persamaan:
; dengan r2 = 0.60 ............................. [56]
Keterangan:
Chl-a : kandungan kloforil-a (µg/l)
TP : total posfat (µmol/l)
Chl-a mempengaruhi besarnya produktivitas primer yang pada akhirnya
berakibat pada berubahnya daya dukung bagi ikan kerapu macan. Berdasarkan
hal ini pada saat tidak ada KJA daya dukung perairan Semak Daun untuk ikan
62

kerapu macan adalah 0.703 – 1.06 ton/th dengan rata-rata 0.88 ton/th. Adapun
keberadaan KJA akan mempengaruhi daya dukung ini perhitungan:
1 Sebagaimana telah disebutkan besarnya P yang dibolehkan masuk ke kolom
perairan agar tetap di bawah baku mutu P adalah 15.9 – 19.8 kgP/ha/th.
Padahal, daya dukung perairan Semak Daun untuk KJA adalah 2 ha. Ini
berarti banyaknya P maksimal yang masuk ke kolom perairan Semak Daun
adalah 31.8 – 37.6 kgP/th.
2 Dari persamaan [10] dapat ditentukan penduga bagi kandungan Chl-a yang
berasal dari tambahan P dari KJA (Chl-a KJA ):
............................................................ [57]
.................................................... [58]

3 Produktivitas primer dapat diduga berdasarkan Susilo (1999):

.......................................................... [59]
4 Daya dukung dihitung sebagaimana disebutkan dalam anak bab Daya Dukung
Sea Ranching.

Lampiran 7 menunjukkan perhitungan daya dukung sea ranching bagi


ikan kerapu macan dengan memperhatikan masukan sisa pakan dari KJA. Posfor
yang masuk ke perairan sea ranching menambah daya dukung perairan tersebut
sekalipun nilainya tidak besar. Apabila area KJA memenuhi total daya dukung
perairan untuk KJA (2 ha), maka rata-rata daya dukung sea ranching sebesar
0.8822 ton/th dengan kisaran 0.7032 – 1.0601 ton/th. Daya dukung ini lebih
tinggi dibandingkan dengan daya dukung apabila tidak ada KJA, yakni rata-rata
0.88 ton/th dengan kisaran 0.703 – 1.060 ton/th. Pengaruh yang relatif kecil ini
dimungkinkan karena sisa P yang masuk ke kolom perairan sudah dapat
diencerkan dan terbawa air yang masuk dan masuk ke perairan Semak Daun
melalui peristiwa pasang surut. Hubungan antara luasan KJA dengan daya
dukung sea ranching disajikan dalam Gambar 19.
63

Gambar 19 Hubungan Luas KJA dengan Daya Dukung Sea Ranching.

Penduga Parameter Pertumbuhan Kerapu Macan di Alam


Berdasarkan hasil penarikan contoh selama bulan Maret sampai dengan
Agustus 2010 diperoleh 536 data panjang dan bobot ikan kerapu macan yang
ditangkap nelayan dari alam. Komposisi panjang ikan tersebut disajikan dalam
Gambar 20.
Ukuran panjang ikan kerapu yang paling banyak ditemukan adalah ikan
yang berukuran 34.8 cm. Hal ini dimungkinkan karena umumnya ikan kerapu
yang ditangkap berukuran konsumsi yang laku dipasaran, yaitu sekitar 30-35 cm
(0.5 kg). Sementara itu, ukuran panjang rata-rata ikan kerapu paling banyak
hampir pada setiap bulan kecuali bulan Maret. Ukuran ikan terkecil paling
banyak ditemukan pada bulan Maret (Lampiran 8). Panjang maksimal yang
diperoleh adalah 83 cm, sedangkan panjang terpendek adalah 18.7 cm. Bobot
terbesar yang didapatkan sebesar 8000g (8 kg), dan bobot terkecil 100 g. Tabel
14 menunjukkan rataan, simpangan baku, panjang minimal, dan panjang
maksimal ikan kerapu macan yang tertangkap di perairan Semak Daun.
64

Gambar 20 Frekuensi panjang ikan kerapu macan di perairan Semak Daun.

Menurut FAO panjang maksimum kerapu macan yang pernah dilaporkan


adalah 120 cm, namun umumnya berukuran 50 cm. Bobot maksimal yang pernah
diperoleh adalah 11.0 kg dengan umur maksimal yang dilaporkan 40 tahun
(http://fishbase.org/Summary/SpeciesSummary.php?id=4460, 11/09/2011).
Gambar 21 menjelaskan peluang tertangkapnya ikan kerapu macan pada
ukuran tertentu dalam setiap bulan mulai dari Maret 2010 sampai dengan Agustus
2010. Hasil pembandingan sebaran menunjukkan bahwa semua bulan tersebut
memiliki pola peluang yang sama.

Tabel 14 Rataan, simpangan baku, panjang minimal, dan panjang maksimal ikan
yang tertangkap selama bulan Maret sampai dengan Agustus 2010

Rataan Simpangan Min Mak


Bulan (cm) baku (cm) (cm) (cm)
Maret 37.2 10.0 26.6 64.4
April 39.8 11.2 26.6 67.6
Mei 39.8 11.5 26.7 75.2
Juni 37.2 11.1 18.7 70.0
Juli 38.3 8.2 26.7 64.0
Agustus 37.6 12.5 23.0 83.0
65

0,045
0,04
0,035

Peluang 0,03 MAR


0,025 APR
0,02 MEI
0,015
JUN
0,01
JUL
0,005
AGU
0
0 20 40 60 80 100 120
Panjang (cm)

Gambar 21 Peluang tertangkapnya ikan pada ukuran tertentu oleh bubu. Sebaran
peluang ini adalah sebaran Normal dengan persamaan umum
dengan panjang (cm) x, rata-rata µ dan
simpangan baku .

Secara umum peluang tertangkapnya ikan pada setiap bulan memiliki


sebaran yang relatif sama. Berdasarkan hal ini tangkapan ikan kerapu dapat
dipandang sebagai satu populasi tanpa membedakan bulan penangkapan sehingga
semua data dapat digabung menjadi satu kesatuan (Gambar 22). Hasil
perhitungan sebaran peluang keseluruhan data diperoleh peluang tertangkapnya
ikan kerapu macan adalah:

........................................................................ [60]

Penduga Parameter Hubungan Panjang Berat


Gambar 23 menyajikan hubungan panjang-bobot ikan kerapu macan yang
mengikuti persamaan berikut:
................................................................................[61]

Setelah diuji dengan uji-t terlihat bahwa hipotesis b=3 ditolak pada
kepercayaan 95 persen. Ini berarti pertumbuhan ikan kerapu macan mengikuti
pola allometrik positif. Keadaan demikian sama untuk setiap bulan pengamatan
66

(Tabel 15). Lampiran 10 menunjukkan bahwa pola hubungan bobot dengan


panjang ikan adalah allometrik positif.

0.04

0.03
Peluang

0.02

0.01

0.00
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Panjang (cm)

Gambar 22 Peluang tertangkapnya ikan kerapu macan oleh bubu di perairan


Semak Daun.

12000
y = 0,008x3,160
10000 R² = 0,992

8000
Bobot (gr)

6000

4000

2000

0
0 20 40 60 80 100
Panjang (cm)

Gambar 23 Hubungan panjang-berat ikan kerapu macan.


67

Tabel 15 Nilai koefisien hubungan panjang-berat ikan kerapu macan di perairan


Semak Daun bulan Maret-Agustus 2010.

Bulan a b R2 Keterangan
Maret 0.008 3.172 0.997 Allometrik positif
April 0.009 3.149 0.998 Allometrik positif
Mei 0.008 3.165 0.998 Allometrik positif
Juni 0.008 3.168 0.998 Allometrik positif
Juli 0.008 3.168 0.997 Allometrik positif
Agustus 0.009 3.140 0.971 Allometrik positif

Selain diduga dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square)


di atas, penduga a dan b dicari dengan metoda bayes. Metoda bayes ini
menetapkan adanya unsur atau “parameter” ketidakpastian (uncertainty) sehingga
nilai penduganya berupa sebaran. Pendugaan parameter dengan metode bayes
tersebut diperoleh melalui program yang dibuat pada Winbugs (Lampiran 9).
Hasilnya diperoleh bahwa koefisien a menyebar log normal dengan rataan 0.01
dan simpangan baku 0.0085, median 0.00889, dan selang pada taraf kepercayaan
95% adalah 0.0025-0.031. Sementara, penduga parameter beta (b) menyebar
normal dengan rata-rata 3.156 dan simpangan baku 0.178, median 3.157, dan pada
taraf kepercayaan 95% nilai b terletak antara 2.804-3.51. Sebaran kedua penduga
a dan b disajikan dalam Gambar 24. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa
penduga a dan b melalui metode kuadrat terkecil berada dalam kisaran penduga
yang dihasilkan melalui metode Bayes.

a chains 1:2 sample: 40000 beta chains 1:2 sample: 40000


100.0 3.0
75.0 2.0
50.0
1.0
25.0
0.0 0.0
0.0 0.1 0.2 2.0 3.0 4.0

(a) (b)
Gambar 24 Sebaran nilai penduga koefisien a (a) dan koefisien b (b) dari model
Bayes.

Hasil perhitungan faktor kondisi selama penelitian terdapat dalam Gambar


25. Nilai faktor kondisi selama penelitian relatif stabil dan berada di atas satu.
Hal ini menunjukkan bahwa waktu secara umum tidak mempengaruhi
68

kemontokan ikan kerapu macan. Faktor kondisi terendah terjadi pada bulan Juli,
sedangkan faktor kondisi tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Hal ini
menggambarkan kelimpahan makanan pada bulan Juli relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan kelimpahan makanan pada bulan Agustus. Bila
dihubungkan dengan fitoplankton yang dicerminkan oleh kandungan Chl-a
terlihat bahwa kandungan Chl-a pada bulan Juli juga rendah, sementara pada
bulan Agustus kandungan Chl-a banyak.

1,50

1,45

1,40
Faktor Kondisi

1,35

1,30

1,25

1,20
Mar Apr Mei Jun Jul Agu
Bulan

Gambar 25 Faktor kondisi ikan kerapu macan di perairan Semak Daun (Maret-
Agustus 2010).

Penduga Parameter Pertumbuhan Panjang


Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan kerapu macan yang
ditangkap dari alam diperoleh L∞ = 97.48, t 0 = -0.44, dan k = 0.27. Program
Winbugs untuk Von Bertalanfy terdapat dalam Lampiran 11. Persamaan Von
Bertalanffy untuk panjang ikan adalah:
............................................................. [62]

Besarnya laju pertumbuhan k yang diperoleh di perairan Semak Daun


tidak begitu berbeda dengan hasil yang diperoleh di Negara lain. Secara umum,
nilai k ini berkisar antara 0.16 sampai dengan 0.20 (/th)
(http://fishbase.org/Summary/ SpeciesSummary.php?id=4460). Sementara,
69

Palomares dan Pagdilao (1988) memperoleh nilai k untuk kerapu macan di


Filipina sebesar 0.19 (/th). Tabel 16 merupakan perbandingan nilai k tersebut.

Tabel 16 Nilai k (/th) untuk ikan kerapu macan di alam


Nilai k Sumber
0.19 Palomares dan Pagdilao (1988)
0.16 - 0.20 http://fishbase.org/Summary/SpeciesSummary.php?id=4460
0.27 Penelitian ini

Dari hasil tersebut nampak bahwa dugaan panjang asimtotis ikan kerapu
macan tersebut adalah 97.48 cm dengan konstanta laju pertumbuhan k=0.27 per
tahun. Panjang maksimum tersebut dapat dicapai pada saat t=30 tahun. Secara
visual model pertumbuhan panjang ikan kerapu dapat ditelaah pada Gambar 26.
Model pertumbuhan panjang dan berat memiliki bentuk yang sama, yakni
sigmoid. Umumnya, ikan kerapu macan yang banyak dibutuhkan pasar adalah
ikan yang berukuran 0.5 kg atau panjang kira-kira 33 cm. Untuk mencapai ukuran
tersebut, diperlukan waktu 1.08 tahun atau hampir 13 bulan. Sementara bila
dipelihara di KJA berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan diketahui
bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 0.5 kg berkisar antara 7-9 bulan.
Hal dikarenakan pemeliharaan di KJA ikan diberi pakan sedangkan di alam ikan
mencari sendiri makanannya, sehingga di alam ada tekanan lingkungan terhadap
ikan tersebut.

20000 120
100
15000
Panjang (cm)

80
Bobot (g)

10000 60
40
5000
20
0 0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
t (Tahun)

Bobot (g) Panjang (cm)

Gambar 26 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kerapu macan untuk


panjang dan bobot.
70

Penduga Parameter Mortalitas Alami (M), Penangkapan (F), dan Total (Z)
Laju kematian total dikaji dengan metode length-converted catch curve
(kurva hasil tangkapan yang dikonversi) sebagaimana terdapat dalam Gambar 27.

Gambar 27 Kurva hasil tangkapan yang dikonversi.

Peubah yang digunakan untuk menghitung laju mortalitas tersebut adalah


L∞ = 97.48 cm, K = 0.27 /th, dan t o = -0.44 tahun. Hasil yang diperoleh adalah Z
= 0.91 dengan simpangan baku 0.023. Pada selang kepercayaan 95% nilai Z ini
berkisar antara 0.86 – 0.96 /th.
Laju mortalitas alami M dihitung melalui persamaan Pauly. Tabel 17
menunjukkan fluktuasi suhu permukaan air laut di perairan Semak Daun. Rata-
rata suhu tersebut adalah 30.4 dengan simpangan baku 0.7 oC. Dengan kata lain,
pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) rata-rata suhu permukaan tersebut berkisar
antara 29.2 – 31.7 oC. Hasil perhitungan dengan persamaan Pauly diperoleh laju
mortalitas alami M berkisar antara 0.56 – 0.58 (/th).
Merta (1990) mengatakan bahwa penerapan rumus Pauly tersebut bersifat
bias bagi kelompok ikan tropis. Untuk itu, maka dugaan laju mortalitas alami M
yang diperoleh dikoreksi dengan mengalikannya dengan 0.8. Berdasarkan hal ini
maka M yang digunakan berkisar antara 0.45 per tahun (0.56 x 0.8 = 0.45) sampai
0.46 per tahun (0.58 x 0.8 = 0.46). Dengan diketahuinya laju mortalitas total dan
mortalitas alami maka laju mortalitas tangkapan dapat diketahui sebesar 0.4 – 0.5
per tahun dengan rata-rata 0.45 /th.
71

Tabel 17 Sebaran suhu permukaan air laut Semak Daun periode Agustus 2008 –
Juli 2009

Bulan Suhu (oC)


Agu 2008 30.0
Sep 2008 29.0
Okt 2008 29.9
Nov 2008 30.9
Des 2008 31.8
Jan 2009 30.6
Feb 2009 30.5
Mar 2009 30.5
Apr 2009 30.7
Mei 2009 30.5
Jun 2009 30.4
Juli 2009 30.5
Rata-rata: 30.4
Simp. Baku: 0.7

Secara umum, setelah dilakukan simulasi pada berbagai jumlah ikan yang
ditebar (N1=3000 sampai N1=50000) dan tidak ada rekrutmen, diketahui bahwa
pada mortalitas alami tetap (M=0.455), saat mortalitas tangkapan sama dengan nol
(F=0) ikan baru habis setelah 20 tahun, sementara bila F dinaikkan menjadi 0.3
ikan baru habis setelah 14 tahun, pada F=0.6 mampu bertahan sampai 10 tahun,
dan pada F=0.9 ikan kerapu macan habis setelah 8 tahun. Daya survival ini makin
menurun dengan bertambah besarnya F. Realitas ini dikarenakan dengan semakin
besarnya mortalitas tangkapan ikan yang tertangkap semakin banyak. Akibat dari
hal ini adalah menurunnya daya survival. Kenyataan ini dapat ditelaah pada
Gambar 28.
72

3500
3000

Banyak ikan (ekor)


2500
2000
1500
1000
500
0
0 5 10 15 20
Waktu (tahun)

F=0 F = 0.3

(a)

3500
3000
Banyak ikan (ekor)

2500
2000
1500
1000
500
0
0 5 10 15 20
Waktu (tahun)

F=0 F = 0.3

(b)
Gambar 28 Hubungan mortalitas tangkapan (F) dengan banyak ikan kerapu
macan yang bertahan hidup di perairan Semak Daun. (a)
Banyaknya ikan yang ditebar adalah 50000 ekor, dan (b)
banyaknya ikan yang ditebar sebanyak 3000 ekor.

Gambar 29 menunjukkan hubungan antara mortalitas penangkapan (F)


dengan hasil tangkapan ikan kerapu macan di perairan Semak Daun. Rekrutmen
yang berasal dari penebaran masing-masing berjumlah 1000, 3000, dan 5000 ekor.
Parameter pertumbuhan yang digunakan adalah K = 0.27 per tahun, L ∞ = 97.48
cm, dan t o = -0.44. Laju kematian alami tetap sebesar M = 0.445 per tahun, dan
bobot dihitung berdasarkan hubungan W=0.008L3.16. Pada tahun pertama tidak
diperkenankan adanya penangkapan. Penangkapan baru dilakukan mulai tahun
73

kedua. Hasil tangkapan awalnya meningkat dengan bertambahnya mortalitas


tangkapan. Namun, ketika mencapai puncaknya pada saat F=0.3, hasil tangkapan
ikan kerapu macan pun terus mengalami penurunan dengan semakin
bertambahnya mortalitas tangkapan. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas
penangkapan yang optimum adalah 0.3. Bila dilihat dari berbagai padat tebar
mortalitas penangkapan optimum adalah antara 0.3 – 0.4.

1800
1600
Hasil Tangkapan (kg)

1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
Mortalitas tangkapan (F)

N = 1000 N = 3000 N = 5000

Gambar 29 Hubungan antara mortalitas penangkapan (F) dengan hasil tangkapan


ikan kerapu macan di perairan Semak Daun.

Model Restocking Kerapu Macan


Deskripsi Model
Pemodelan yang dilakukan dalam penelitian ini ditujukan untuk
mengetahui nilai ekonomi optimum yang dapat dicapai dengan tetap menjaga
kelestarian perairan. Oleh karena itu, biomassa yang dihasilkan tidak boleh
melebihi kapasitas daya dukung lingkungannya. Dengan kata lain, daya dukung
perairan Semak Daun bagi sea ranching ikan kerapu macan sebesar 0.703 – 1.060
ton y-1 merupakan faktor kendala. Berikutnya, hendak diketahui berapa ukuran
panjang ikan kerapu macan (cm) yang harus direstocking dalam sea ranching,
kapan dan bagaimana pola tebarnya, serta berapa banyak benih yang harus
direstocking dalam sekali tebar. Untuk dapat mengetahui hal tersebut dilakukan
simulasi dengan beberapa skenario. Ada tiga komponen skenario yang
74

disimulasikan, yaitu (1) ukuran panjang ikan kerapu pada saat ditebar, (2) pola
tebar, dan (3) padat tebar.
Dalam pemodelan dalam penelitian ini dianggap ada 12 kohort (kelompok
umur) k dan 240 bulan i untuk simulasi selama 20 tahun. Kelompok umur Januari
tahun pertama merupakan kelompok umur yang merupakan stok pada bulan i=1,
dan akhir simulasinya pada i=240. Kelompok umur Februari tahun pertama
adalah kelompok umur yang merupakan stok pada bulan i=2 dan akhir
simulasinya pada i=241, begitu seterusnya.
Banyaknya individu N k,i berasal dari penebaran kelompok umur k pada
bulan ke-i ditetapkan sebagai awal penebaran yang jumlahnya dapat ditentukan
sesuai dengan kebutuhan. Berikutnya, banyaknya ikan yang hidup ditetapkan
sebagai:
............................................................................. [63]
dengan Zk,i merupakan mortalitas total pada kelompok umur k bulan ke-i, dan N k,i-
1 adalah banyaknya ikan pada kelompok umur k yang hidup pada bulan
sebelumnya. Mortalitas total ini terdiri atas mortalitas penangkapan (F k,i ) dan
mortalitas alami (M k,i ). Mortalitas penangkapan baru berlaku untuk ikan yang
telah mencapai ukuran tangkap minimum. Nilai Fk,i yang diperoleh sebagai
standar dalam penelitian ini adalah 0.4 – 0.5, sementara nilai Mk,i adalah 0.45 –
0.46. Untuk keperluan simulasi nilai Fk,i dibuat beragam.
Bobot ikan pada kelompok umur k dalam bulan ke-i ( ) ditentukan
berdasar hubungan panjang bobot:
................................................................................ [64]
dengan panjang diduga berdasarkan persamaan Von Bertalanffy yang telah
dihitung sebelumnya, yaitu:
.......................................................... [65]
Biomassa ikan kerapu macan pada kelompok umur k dalam bulan ke-i
( ) diduga berdasarkan persamaan:
................................................................................... [66]
Berdasarkan parameter di atas dapat diduga banyaknya tangkapan yang
diperoleh dari kelompok umur k dalam bulan ke-i ( ) dengan persamaan:
..................................................... [67]
75

Bobot hasil tangkapan/yield ( ) yang diperoleh dari kelompok umur k dalam


bulan ke-i adalah:
.................................................................................... [68]
Dalam kaitannya dengan restocking perlu diduga banyaknya ikan yang
merupakan ikan dewasa yang siap memijah. Ikan yang merupakan stok yang
dewasa pada kelompok umur k dalam bulan ke-i ( ) dapat diduga dengan
cara berikut:
............................................ [69]

Adapun merupakan peluang ikan mati setelah melewati masa memijah.


Menurut King (1995) terdapat hubungan antara panjang ikan (L), panjang saat
mencapai dewasa (L m ) dan lajunya (r) dengan besarnya peluang ikan tersebut
telah matang gonad (P). Hubungan tersebut adalah:

.......................................................... [70]

Ikan kerapu macan betina mulai matang pada ukuran panjang total 51 cm
atau bobot 3,0 kg sedangkan jantan mulai matang pada ukuran panjang total 60
cm atau bobot 7,0 kg (Slamet et al 2001). Menurut Abduh (2007) fase betina
matang gonad didapatkan pada ikan dengan ukuran panjang tubuh minimum 450-
550 mm (umur lebih dari 5 tahun) dengan berat tubuh 3-10 Kg. Sehingga L m
dapat didekati antara 45 – 60 cm. Pada sisi lain, fakta menunjukkan bahwa
semakin besar ikan semakin besar peluangnya untuk matang gonad. Oleh karena
itu, maka peluang seekor ikan matang gonad dapat didekati dengan sebaran
logistik yang bentuknya diberikan oleh Casella dan Berger (1990) sebagai berikut:

.................................................................. [71]

dengan µ adalah nilai tengah dan β adalah skala. Berdasarkan informasi ini dapat
ditentukan hubungan panjang ikan kerapu macan dengan peluang matang gonad
seperti dalam Gambar 30.
76

1.0

0.8
Peluang matang gonad

0.6

0.4

0.2

0.0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Panjang (cm)

Gambar 30 Hubungan panjang ikan kerapu macan (cm) dengan peluang matang
gonad.

Nilai ekonomi dari hasil tangkapan (VY) dari kelompok umur k dalam
bulan ke-i diperoleh sebesar:
........................................................................................ [71]
dengan p adalah harga. Harga ini berfluktuasi. Berdasarkan pengamatan di
lapangan pada Agustus 2010 diperoleh data dalam Tabel 18.

Tabel 18 Harga ikan kerapu macan


Ukuran (cm) Harga (Rp)
≤ 15 700 - 1100/cm
> 15 100.000 - 130.000/kg

Untuk mengetahui hasil tahunan dihitung hasil tangkapan, nilai hasil


tangkapan, dan stok biomasa yang matang gonad sebagai berikut:

......................................................................................... [72]
.................................................................................... [73]
................................................................................ [74]
Ukuran panjang ikan kerapu yang ditebar disimulasikan untuk panjang 10,
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 cm. Hal ini didasarkan pada kenyataan
77

bahwa ikan kerapu terkecil yang tertangkap saat pengambilan data seberat 100
gram dengan panjang kurang lebih 10 cm. Demikian pula, hasil wawancara dari
nelayan menyatakan bahwa rata-rata panjang ikan terkecil yang tertangkap sekitar
10 cm. Di samping itu, juga mempertimbangkan kemampuan adaptasi ikan
kerapu macan di alam. Kerapu macan dengan ukuran minimal 10 cm sudah dapat
bertahan di alam bebas. Sistem tebar dilakukan dengan pola setahun sekali,
setahun dua kali (6 bulan sekali), setahun tiga kali (4 bulan sekali), setahun empat
kali (3 bulan sekali), setahun enam kali (2 bulan sekali) dan setahun dua belas kali
(setiap bulan).
Banyaknya ikan kerapu macan yang ditebar disimulasikan pada padat
tebar 1000, 2000, …, 5000 ekor dengan selang 100 ekor. Sementara biaya yang
dihitung adalah biaya benih dan operasional. Biaya benih untuk panjang ikan
kerapu macan 10-15 cm adalah Rp1100 per centimeter panjang. Biaya
operasional adalah biaya solar. Harga jual ikan kerapu macan sebesar Rp100000 -
130000 per kilogram. Penduga parameter pertumbuhan panjang, bobot, dan
mortalitas dalam model ini dibuat dengan program Winbugs dengan pendekatan
bayes. Sementara, untuk mensimulasikan berbagai pengaruh skenario dalam
mencari kombinasi skenario optimum dibuat program QBasic (Lampiran 12).

Asumsi
Demi penyederhanaan, model ini memiliki asumsi:
1 Kualitas perairan, fungsi, struktur, dan komposisi komunitas ikan kerapu
macan tetap.
2 Banyaknya ikan yang direstocking pada setiap kali tebar berjumlah
sama.
3 Rekrutmen hanya berasal dari hasil penebaran. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa ikan kerapu matang gonad pada panjang rata-rata 42
cm. Padahal, pada ukuran 0.5 gram atau 33 cm sudah ditangkap.
Rekrutmen hasil dari ikan yang memijah dan tidak tertangkap dianggap
sebagai upaya perbaikan ekosistem dan tidak dimasukkan dalam
tangkapan sistem sea ranching.
4 Jenis alat tangkap dan kemampuan tangkapnya relatif sama (seragam).
78

5 Hasil tangkap berasal dari upaya tangkap dengan laju mortalitas


tangkapan yang konstan.
6 Penangkapan ikan kerapu macan dilakukan sepanjang bulan. Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa selama ini nelayan menangkap kerapu
macan setiap bulan sepanjang tahun.
7 Tidak ada perubahan metode pengelolaan sumberdaya perairan dan
kelautan di perairan dangkal Semak Daun.

Diagram Konseptual Model


Gambar 31 menunjukkan diagram konseptual bagi model dalam penelitian
ini. Diagram tersebut menjelaskan bahwa model ini ditentukan oleh masukan
berupa banyaknya ikan kerapu macan yang ditebar (N1) dan ukuran/panjang ikan
yang ditebar sebagai faktor rekrutmen; serta mortalitas alami dan mortalitas
tangkapan sebagai faktor mortalitas. Selain itu, model ini juga ditentukan oleh
parameter pertumbuhan (L∞ , t 0 , k, a dan b). Faktor ekonomi yang menentukan
adalah biaya. Adapun ukuran yang dijadikan sebagai penentu optimalisasi
tangkapan adalah tangkapan dan nilai tangkap. Sementara, ukuran bagi
pemulihan kelestarian sumberdaya dengan restocking adalah banyaknya ikan
kerapu yang matang gonad (SSB). Penentu bagi tangkapan optimal dengan tetap
memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan kerapu macan adalah daya dukung
perairan terhadap ikan kerapu macan.
Gambar 31 juga menggambarkan bahwa model dalam penelitian ini
menyertakan unsur ketidakpastian (uncertainty) dalam banyak peubah (panjang,
bobot, mortalitas, jumlah ikan, parameter pertumbuhan, SSB, hasil dan nilai
tangkapan, serta daya dukung). Hal ini lebih menggambarkan realitas yang
sesungguhnya.
79

MSB(i,j

SSB

i: kohort C: banyak tangkapan (ekor)


j: bulan TKP: tangkapan (kg)
L: panjang ikan (cm) VY: nilai tangkapan (Rp)
W: bobot ikan (g) P: harga (Rp)
b: biomassa ikan (ton) DD: daya dukung (ton y-1)
Z: mortalitas total (y-1) N1: banyaknya tebar (ekor)
F: mortalitas tangkapan (y-1) MSB: peluang ikan kerapu macan matang gonad
M: mortalitas alami (y-1) SSB: banyaknya ikan kerapu macan yang matang gonad

Gambar 31 Struktur model dinamika populasi untuk mensimulasikan hasil


tangkapan dan nilai tangkap tahunan sebagai fungsi dari beberapa
skenario panjang tebar, pola tebar, dan banyaknya tebar. Peubah
yang terdapat didalam kotak merupakan peubah yang nilainya
tetap, sedangkan peubah yang terdapat didalam elips dianggap
mengandung ketidakpastian (uncertainty).

Kebijakan pengelolaan restocking ikan kerapu macan dalam penelitian ini


ditentukan oleh tiga faktor sebagai peubah keputusan, yaitu jumlah ikan kerapu
macan, waktu tebar, dan ukuran tebar. Parameter produksi hasil tangkapan ikan
kerapu macan, nilai hasil tangkapan, serta banyaknya ikan yang matang gonad
merupakan peubah indikator. Sedangkan kebijakan penangkapan dianggap tetap.
80

Hasil Pemodelan dan Simulasi


Pola Tebar
Pola tebar akan menentukan banyaknya biomassa dan hasil tangkapan.
Sebab, pola tebar berarti pola rekrutmen yang ditambahkan ke alam. Evaluasi
model yang pertama kali dilakukan adalah membandingkan pola tebar. Gambar
32 menunjukkan bahwa hasil tangkapan kerapu macan makin meningkat dengan
makin seringnya tebar. Terjadi peningkatan hasil tangkapan mulai dari tebar
hanya setahun sekali sampai tebar setiap bulan. Kondisi ini terjadi pada setiap
tingkat mortalitas tangkapan dan setiap kombinasi panjang benih dan padat tebar.
Berdasarkan hal ini maka pola tebar yang sejatinya dipilih adalah setiap bulan.

100 400
Hasil Tangkapan (kg)

Hasil Tangkapan (kg)


80 300
60
200
40
20 100
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(a) (b)

500 400
Hasil Tangkapan (kg)

Hasil Tangkapan (kg)

400 300
300
200
200
100 100
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(c) (d)

Gambar 32 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai pola tebar (12x: setiap
bulan, 6x: 2 bulan sekali, 4x: 3 bulan sekali, 3x: 4 bulan sekali,
2x: 6 bulan sekali, dan •1x: setahun sekali). (a) tebar 1000 ekor, panjang
10 cm, (b) tebar 3000 ekor, panjang 12 cm, (c) tebar 3000 ekor, panjang 13
cm, dan (d) tebar 4000 ekor, panjang 13 cm.
81

Hasil Tangkapan Sea Ranching Recruitment Type


Maasaru (1999) mengemukakan bahwa ada dua tipe sea ranching, yaitu
sea ranching tipe rekrutmen (recruitment type) dan tipe panen (harvest type).
Pada sea ranching jenis recruitment type benih yang ditebar pada suatu wilayah
perairan dibiarkan sampai bereproduksi. Benih yang ditebar diharapkan akan
tumbuh, matang telur, memijah dan kemudian menetas pada daerah penangkapan
untuk reproduksi secara alami. Pada kasus ini, tidak semua ikan yang tumbuh
tertangkap kembali, beberapa ikan dewasa akan tetap tinggal menjadi induk.
Sementara, pada jenis harvest type benih yang akan ditebar akan diproduksi dan
dibesarkan sampai ukuran tertentu. Pemanenan di alam dilaksanakan pada saat
ikan tersebut telah mencapai ukuran komersial.
Tujuan pembuatan model dan simulasi ini adalah untuk mengetahui berapa
banyaknya ikan yang ditebar, ukuran ikan berapa, dan mortalitas tangkap berapa
sehingga hasilnya optimal. Indikatornya adalah hasil tangkapan, nilai tangkapan,
dan spawning stock biomass.
Gambar 33 menunjukkan bahwa hubungan mortalitas tangkapan dengan
hasil tangkapan pada berbagai panjang dan banyaknya ikan yang ditebar mirip
kuadratik tetapi menjulur ke kanan. Pola demikian sama dengan pola yang
dinyatakan oleh King (1995). Gambar tersebut menjelaskan bahwa hasil
tangkapan akan meningkat dengan bertambahnya upaya yang digambarkan oleh
mortalitas tangkapan (F). Peningkatan ini terus terjadi sampai mencapai
puncaknya sekitar F=0.3 – F=0.5. Setelah itu mengalami penurunan dengan
semakin bertambahnya mortalitas tangkapan. Pola demikian terjadi untuk semua
ukuran banyaknya ikan kerapu macan yang ditebar (10 cm, 11 cm, 12 cm, 13 cm,
14 cm, 15 cm, 16 cm, 17 cm, 18 cm, 19 cm dan 20 cm) dan pada setiap kategori
panjang ikan yang ditebar (1000 ekor sampai 5000 ekor dengan jarak 100 ekor).
Kombinasi ini ditentukan berdasarkan panjang dan padat tebar yang dapat
mengahasilkan tangkapan dalam batas daya dukung. Hasil tangkapan ini juga
bertambah dengan semakin bertambahnya ikan yang ditebar. Gambar lengkap
disajikan di dalam Lampiran 13 dan 14.
82

500 800
Hasil Tangkapan (kg)

Hasil Tangkapan (kg)


400 600
300
400
200
100 200
0 0
0 0,5 1 0,00 0,50 1,00
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(a) (b)

1000 1500
Hasil Tangkapan (kg)

Hasil Tangkapan (kg)


800
600 1000
400
500
200
0 0
0,00 0,50 1,00 0,00 0,50 1,00
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(c) (d)

2000 2000
Hasil Tangkapan (kg)

Hasil Tangkapan (kg)

1500 1500

1000 1000

500 500

0 0
0,00 0,50 1,00 0,00 0,50 1,00
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(e) (f)

Gambar 33 Hasil tangkapan kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.0 –
1.0, dengan padat tebar 1 000 ( ), 2 000 (), 3 000 (), 4 000
(), dan 5 000 () ekor, untuk panjang benih 10 cm (a), 12 cm (b),
14 cm (c), 16 cm (d), 18 cm (e) dan 20 cm (f).
83

Dari Gambar 33 juga terlihat bahwa pada tingkat mortalitas tangkapan


yang sama dan banyaknya ikan yang ditebar dalam jumlah yang sama maka hasil
tangkapan akan semakin meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang ikan
yang ditebar mulai dari ukuran 10 cm sampai 20 cm. Hal ini disebabkan ukuran
ikan kerapu yang makin panjang mempunyai mortalitas alami yang lebih kecil dan
pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan umur tebar yang lebih rendah
(ukuran lebih pendek). Makin besarnya puncak hasil tangkapan untuk ukuran
tebar yang lebih panjang menunjukkan bahwa ikan yang lebih besar memiliki
peluang tertangkap lebih besar. Berdasarkan hal ini diketahui bahwa hasil
tangkapan dapat ditingkatkan dengan cara menambah banyaknya ikan yang
ditebar, meningkatkan mortalitas tangkapan sampai batas F=0.5, dan
memperpanjang ukuran ikan yang ditebar.
Untuk mengetahui banyaknya tebar yang optimal perlu dikaji banyaknya
tebar yang menghasilkan tangkapan sesuai dengan daya dukung ikan kerapu
macan di perairan Semak Daun. Sebagaimana telah dibahas, daya dukung bagi
ikan kerapu macan adalah 0.703 – 1.060 ton/th.
Berdasarkan pada daya dukung ini, besarnya tangkapan yang sebaiknya adalah
setengah dari daya dukung tersebut, yaitu 351.5 – 530.0 kg. Hal ini disebabkan
produktivitas dan hasil tangkap akan maksimum apabila hasil tangkap yang
diambil setengah dari biomassa maksimum atau Y=1/2 B ∞ (King 1995). Dalam
istilah Maasaru (1999) sea ranching seperti ini tergolong ke dalam recruitment
type sebab ada sebagian ikan yang dibiarkan tetap hidup hingga menjadi induk.
Lampiran 15 sampai Lampiran 25 menyajikan hasil tangkapan pada
banyaknya tebar 1 000 – 5 000 ekor dan mortalitas tangkapan (F) sebesar 0.00 –
1.00 untuk panjang benih ikan kerapu 10 – 20 cm. Hasil tangkapan yang
memenuhi daya dukung pada ukuran tebar L=10 cm terjadi pada padat tebar 5 000
sampai 8 000 ekor, sedangkan hasil tangkap dengan padat tebar di atas 8 000 ekor
tidak memenuhi kriteria daya dukung. Bila panjang benih yang ditebar 10 cm
maka hasil tangkapan terbesar yang diperoleh sebesar 529.17 kg. Hasil tangkapan
terbesar tersebut terjadi pada padat tebar 7000 ekor dan mortalitas tangkapan 0.20.
Bila mortalitas tangkapan naik menjadi 0.30 diperoleh hasil tangkapan tertinggi
pada padat tebar 6000 ekor sebesar 474.723 kg (Lampiran 15).
84

Sedikit berbeda dengan L=11 cm, pada panjang benih L=11 cm hasil tangkapan
yang memenuhi kriteria daya dukung terjadi pada padat tebar 4 000 sampai
dengan 8 000 ekor. Hasil tangkapan tertinggi yang dapat diperoleh pada panjang
tebar 11 cm ini sebesar 496.678 kg yang diperoleh pada padat tebar 6000 dan
mortalitas tangkapan 0.15. Namun, apabila mortalitas tangkapannya dinaikkan,
hasil tangkapan terbesar diperoleh sebanyak 482.188 kg pada padat tebar 5000
dan mortalitas tangkapan 0.30 (Lampiran 16).
Pada model restocking dengan ukuran tebar L=12 cm hanya pada padat
tebar 4 000 – 5 000 ekor yang memberikan hasil tangkapan kerapu macan sesuai
dengan kriteria daya dukung dan mortalitas tangkapan tidak jauh dari mortalitas
tangkapan saat ini (0.4). Adapun hasil tangkapan terbesar yang dicapai terdapat
pada padat tebar 4 000 ekor dengan laju mortalitas tangkapan 0.35, yaitu sebesar
465.768 kg, (Lampiran 17).
Lampiran 18 menunjukkan bahwa pada ukuran benih L=13 cm hasil
tangkapan ikan kerapu macan yang memenuhi kriteria daya dukung dapat
diperoleh dengan melakukan penebaran dengan jumlah 3 000 – 5 000 ekor.
Banyaknya hasil tangkapan bervariasi antara 350.042 kg sampai 543.233 kg,
bergantung pada besarnya mortalitas tangkapan. Hasil tangkapan terbesar
(543.233 kg) dapat diperoleh pada padat tebar 4 000 ekor dan mortalitas
tangkapan 0.25. Dilihat dari aspek tenaga kerja angka mortalitas tangkapan ini
kecil. Oleh sebab itu perlu meningkatkan mortalitas tangkapan dengan tetap
mempertahankan kriteria daya dukung. Hasil tangkapan 418.596 kg diperoleh
dari padat tebar 3000 ekor dengan mortalitas tangkapan 0.35.
Penebaran ukuran benih L=14 cm akan dapat menghasilkan tangkapan
yang memenuhi kriteria daya dukung apabila penebaran tersebut dilakukan pada
padat tebar antara 3 000 ekor dan 5 000 ekor dengan mortalitas tangkapan tertentu
sesuai dengan padat tebar. Hasil tangkapan terbesar yang memenuhi daya dukung
(497.034 kg) diperoleh pada padat tebar 3 000 dengan mortalitas tangkapan 0.35
(Lampiran 19).
Ukuran benih L=15 cm dalam menghasilkan tangkapan yang memenuhi
kriteria daya dukung berada pada kisaran padat tebar 2 000 ekor sampai 5 000
ekor. Kisaran padat tebar ini lebih lebar dibandingkan dengan kisaran padat tebar
85

pada ukuran benih yang lain. Hasil tangkapan terbesar sesuai dengan daya
dukung perairan Semak Daun bagi kerapu macan adalah 531.167 kg. Hasil
tangkapan tertinggi ini dicapai apabila ikan yang ditebar 3 000 ekor dan mortalitas
tangkapan yang diperbolehkan 0.2. Bila mortalitas tangkapan naik menjadi 0.35
maka hasil tangkapannya 390.181 kg pada padat tebar 2000 ekor (Lampiran 20).
Lampiran 21 menunjukkan bahwa pada ukuran benih 16 cm, kisaran padat tebar
yang dapat menghasilkan tangkapan sesuai daya dukung terdapat pada 2000 ekor
sampai 5000 ekor. Besarnya mortalitas tangkapan makin menurun dengan
semakin besarnya padat tebar. Hasil tangkapan tertinggi yang masih memenuhi
daya dukung sebesar 455.961 kg. Tangkapan ini diperoleh pada tingkat mortalitas
tangkapan 0.35 dengan padat tebar 2000 ekor.
Hasil tangkapan antara 350 - 530 kg dengan panjang benih ikan kerapu
macan 17 cm terjadi pada padat tebar antara 2000 – 4000 ekor. Hasil tangkapan
terbesar 529.125 kg diperoleh pada padat tebar 2000 ekor dengan tingkat
mortalitas tangkapan 0.35 (Lampiran 22).
Panjang benih yang makin meningkat menjadikan tingkat mortalitas makin
menurun untuk mendapatkan hasil yang sama-sama memenuhi kriteria daya
dukung. Benih yang panjangnya 18 cm untuk memperoleh hasil tangkapan
memenuhi kriteria daya dukung perlu ditebar pada kepadatan 2000 – 3000 ekor.
Hasil tangkapan terbesar yang diperoleh adalah 481.642 kg. Hasil tersebut
didapatkan pada mortalitas tangkapan 0.15 (Lampiran 23).
Hal serupa ditunjukkan pada panjang benih 19 cm (Lampiran 24). Untuk
memperoleh hasil tangkapan sesuai daya dukung kepadatan tebar yang diperlukan
terletak antara 1000 – 2000 ekor. Hasil tangkapan tertinggi adalah 436.885 kg
yang diperoleh pada mortalitas tangkapan 0.1 dengan padat tebar 2000 ekor.
Tingkat mortalitas tangkapan ini relatif kecil. Bila padat tebar menjadi 1000 ekor
maka hasil tangkapan terbesarnya berkurang menjadi 350.613 kg namun
mortalitas tangkapannya meningkat menjadi 0.40.
Padat tebar antara 1000 – 2000 ekor juga memberikan hasil tangkapan
yang berada dalam kisaran daya dukung untuk panjang benih 20 cm. Hasil
tangkapan terbesar dengan tingkat mortalitas 0.40 diperoleh sebesar 400.193 kg.
Tangkapan ini diperoleh pada padat tebar 1000 ekor (Lampiran 25).
86

Untuk membandingkan hasil tangkapan optimal pada masing-masing


panjang tebar dan ukuran tebar penghitungannya dilakukan melalui metode
diskretisasi. Lampiran 26 merupakan program QBasic yang dibuat untuk mencari
hasil optimal pada berbagai kombinasi kebijakan penebaran. Ringkasan hasil
yang diperoleh disajikan dalam Tabel 19. Tabel tersebut menunjukkan bahwa
hasil tangkapan optimal pada masing-masing panjang benih yang digunakan
dipengaruhi oleh banyaknya ikan yang ditebar serta mortalitas tangkap. Ukuran
benih ikan makin meningkat diperlukan padat tebar yang lebih sedikit untuk
mencapai hasil yang relatif sama. Selain itu, Tabel 18 juga menjelaskan bahwa
hasil tangkapan yang memenuhi daya dukung umumnya terjadi pada mortalitas
tangkap antara 0.3 – 0.6.

Tabel 19 Kebijakan penebaran restocking kerapu macan


Ukuran Kebijakan Mortalitas Tangkapan (F)
Tebar
L (cm) (ekor) 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60
10 6700 383.528 504.656 530.107 517.272 488.786 454.449
11 5400 368.352 490.879 520.763 512.153 487.010 455.132
12 4500 362.991 489.153 523.411 518.248 495.478 465.082
13 3800 359.877 489.742 527.993 525.863 505.116 475.927
14 3200 353.413 485.146 526.505 527.084 508.356 480.560
15 2700 345.559 478.051 521.848 524.792 507.962 481.574
16 2300 339.123 472.407 518.376 523.396 508.218 483.045
17 2000 337.866 473.591 522.098 529.045 515.153 490.745
18 1700 327.354 461.437 510.830 519.290 506.930 483.889
19 1500 327.664 464.226 515.859 525.920 514.568 492.073
20 1300 320.699 456.460 508.967 520.251 510.066 488.568
Keterangan:
Kotak dengan sisi padat merupakan hasil tangkapan terbesar sesuai daya dukung.
Kotak yang berbayang menunjukkan hasil tangkapan terbesar di antara semua
kebijakan manajemen dalam penebaran restocking.

Hasil optimal dari panjang benih yang ditebar 11, 12 dan 13 cm diperoleh
pada mortalitas alami 0.3. Hasil tangkapan optimal pada panjang benih ikan 14,
15, 16, 17, 18, 19 dan 20 cm diperoleh pada mortalitas tangkapan 0.4.
Tabel 19 juga menjelaskan terdapat sebelas alternatif tindakan restocking
yang dapat diambil untuk mendapatkan hasil tangkapan terbanyak sekaligus
87

memenuhi kriteria daya dukung bagi ikan kerapu macan. Skenario tersebut
adalah:
1 Panjang benih 10 cm ditebar sebanyak 6 700 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.3 (A-1)
2 Panjang benih 11 cm ditebar sebanyak 5 400 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.3 (A-2)
3 Panjang benih 12 cm ditebar sebanyak 4 500 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.3 (A-3)
4 Panjang benih 13 cm ditebar sebanyak 3 800 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.3 (A-4)
5 Panjang benih 14 cm ditebar sebanyak 3 200 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-5)
6 Panjang benih 15 cm ditebar sebanyak 2 700 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-6)
7 Panjang benih 16 cm ditebar sebanyak 2 300 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-7)
8 Panjang benih 17 cm ditebar sebanyak 2 000 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-8)
9 Panjang benih 18 cm ditebar sebanyak 1 700 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-9)
10 Panjang benih 19 cm ditebar sebanyak 1 500 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-10)
11 Panjang benih 20 cm ditebar sebanyak 1 300 ekor dengan mortalitas
tangkap 0.4 (A-11)

Berdasarkan pada tujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang terbesar


sekaligus tetap mempertahankan kriteria daya dukung, tindakan restocking dapat
dilakukan melalui kebijakan 5 sampai dengan 11 (A-5 – A-11). Hasil tangkapan
dari semua tindakan tersebut perbedaannya sedikit. Sementara, alternatif tindakan
no 1 sampai dengan 4 menjadikan adanya penurunan upaya tangkap. Ini berarti
ada penurunan jumlah nelayan. Sekalipun demikian, tindakan yang sebaiknya
dipilih berdasarkan kriteria daya dukung adalah restocking dengan panjang ikan
88

17 cm dan padat tebar 2000 ekor (A-8). Hal ini dikarenakan hasil tangkapan
optimal terbesar 529.045 kg dihasilkan dari ukuran ikan yang ditebar 17 cm, padat
tebar 2000 ekor, dan mortalitas tangkapan 0.4. Gambar 34 menjelaskan hasil
tangkapan dari kesebelas alternatif tindakan tebar tersebut dalam batas daya
dukungnya. Terlihat pola semua kemungkinan kebijakan sama. Sedikit
perbedaannya terletak pada besarnya mortalitas tangkapan yang menjadikan hasil
tangkapan menjadi optimum. Dalam gambar tersebut pun terlihat hampir semua
alternatif tindakan dapat menghasilkan tangkapan ikan kerapu macan terbesar
sesuai dengan kriteria daya dukung yang ditetapkan.

600
A-1
500 A-2
Hasil Tangkapan (kg)

400 A-3
A-4
300
A-5
200
A-6
100 A-7

0 A-8
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 A-9

Mortalitas Tangkapan (F) A-10

Gambar 34 Hasil tangkapan kerapu macan dalam kesebelas alternatif tindakan.


Garis putus-putus merupakan batas bawah dan batas atas tangkapan
maksimum lestari (350 – 530 kg). A-i menunjukkan tindakan ke-i
untuk i=1, 2, …, 11.

Nilai Hasil Tangkapan


Nilai hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan ikan dikalikan dengan
harga ikan per kilogram. Pola nilai hasil tangkapan ini mirip dengan pola hasil
tangkapan sebagaimana sudah dibahas (Lampiran 27 - 30). Bentuknya mirip
kuadratik, namun sedikit menjulur ke kanan. Puncak nilai hasil tangkapan makin
bertambah dengan bertambahnya panjang ikan kerapu macan yang ditebar. Selain
dipengaruhi panjang benih ikan kerapu, puncak nilai hasil tangkapan pun
89

dipengaruhi oleh banyaknya ikan yang ditebar. Semakin banyak jumlah ikan
yang ditebar menjadikan nilai hasil tangkapan semakin besar juga (Gambar 35).
Tujuan model restocking dalam penelitian ini disamping untuk
mendapatkan pola tebar yang dapat menjaga kelestarian sumber daya ikan kerapu
macan, juga ditujukan untuk memperoleh nilai ekonomi yang maksimum dari
hasil tangkapan tersebut. Oleh karena itu, kriteria yang dipergunakan selain hasil
tangkapan yang sesuai dengan daya dukung adalah nilai hasil tangkapan tersebut.
Kesebelas skenario di atas memberikan nilai hasil tangkapan dengan rata-rata
Rp68.215 juta dengan simpangan baku Rp0.476 juta (Tabel 20). Nilainya
berkisar antara Rp67.508 juta diperoleh dari tindakan kedua (A-9) dan Rp68.776
juta diperoleh dari tindakan kedelapan (A-8). Nilai hasil tangkapan untuk
alternatiftindakan lainnya adalah Rp68.914 juta (A-1), Rp67.699 juta (A-2),
Rp68.043 juta (A-3), Rp68.639 juta (A-4), Rp68.521 juta (A-5), Rp68.223 juta
(A-6), Rp68.042 juta (A-7), Rp68.370 juta (A-10), dan Rp67.633 juta (A-11).
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa nilai hasil tangkapan dari
kesebelas alternatif tindakan terpautnya satu-sama lain tidak begitu besar.
Sekalipun demikian, nilai hasil tangkapan terbesar diberikan oleh alternatif
tindakan kedelapan (A-8) dengan nilai Rp68.776 juta. Berdasarkan hal ini,
alternatif tindakan yang dianjurkan menurut kriteria daya dukung adalah A-8,
berdasarkan kriteria ekonomi dari nilai hasil tangkapan pun memberikan
kesimpulan yang sama, yaitu A-8 dianjurkan untuk dipilih karena memberikan
nilai hasil tangkapan terbesar. Walaupun demikian, diperlukan kajian ekologis
terkait dengan interaksi antara ikan kerapu macan dengan lingkungan dan biota
lain untuk menetapkan alternatif tindakan mana yang terbaik secara ekologis, di
samping ekonomi.
90

60 80

Nilai Hasil Tangkapan


Nilai Hasil Tangkapan
40 60
40

(juta Rp)
(juta Rp)

20
20
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(a) (b)

150 200
Nilai Hasil Tangkapan

Nilai Hasil Tangkapan


150
100
100
(juta Rp)

50 (juta Rp)
50
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(c) (d)

300 300
Nilai Hasil Tangkapan
Nilai Hasil Tangkapan

250 250
200 200
150 150
(juta Rp)
(juta Rp)

100 100
50 50
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(e) (f)

Gambar 35 Nilai hasil tangkapan kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.0
– 1.0, dengan padat tebar 1 000 ( ), 2 000 (), 3 000 (), 4 000
(), dan 5 000 () ekor, untuk panjang benih 10 cm (a), 12 cm (b),
14 cm (c), 16 cm (d), 18 cm (e) dan 20 cm (f).
91

Tabel 20 Nilai hasil tangkapan (juta Rp) pada kesebelas alternatif tindakan
penebaran ikan kerapu macan

Ukuran Kebijakan Mortalitas Tangkapan (F)


Tebar
L (cm) (ekor) 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60
10 6700 49.859 65.605 68.914 67.245 63.542 59.078
11 5400 47.886 63.814 67.699 66.580 63.311 59.167
12 4500 47.189 63.590 68.043 67.372 64.412 60.461
13 3800 46.784 63.666 68.639 68.362 65.665 61.871
14 3200 45.944 63.069 68.446 68.521 66.086 62.473
15 2700 44.923 62.147 67.840 68.223 66.035 62.605
16 2300 44.086 61.413 67.389 68.042 66.068 62.796
17 2000 43.923 61.567 67.873 68.776 66.970 63.797
18 1700 42.556 59.987 66.408 67.508 65.901 62.906
19 1500 42.596 60.349 67.062 68.370 66.894 63.969
20 1300 41.691 59.340 66.166 67.633 66.309 63.514
Keterangan:
Kotak dengan sisi padat merupakan nilai hasil tangkapan terbesar sesuai daya
dukung. Kotak yang berbayang menunjukkan nilai hasil tangkapan terbesar di
antara semua kebijakan manajemen dalam penebaran restocking.

Spawning Stock Biomass (SSB)


Kriteria lain bagi penentuan model restocking adalah spawning stock
biomass (SSB). SSB merupakan jumlah atau bobot ikan yang sudah cukup umur
untuk bereproduksi (http://www.ices.dk/marineworld/fishmap/pdfs/glossary.pdf,
18/10/2011). Nilai SSB ini dapat dijadikan kriteria dalam rangka restocking.
Semakin banyak SSB maka semakin banyak pula ikan yang memiliki kemampuan
untuk memijah. Hal ini akan berdampak pada keberlangsungan rekrutmen di
alam.
Gambar 36 memberikan penjelasan bahwa SSB akan makin bertambah
dengan makin bertambahnya ikan kerapu macan yang ditebar. Sebaliknya, SSB
akan makin turun dengan bertambahnya mortalitas tangkapan. Hal ini
dikarenakan pada tingkat mortalitas tangkapan yang tinggi banyak ikan tertangkap
sebelum mencapai umur matang gonad. Akibatnya SSB menjadi berkurang.
Berdasarkan hal tersebut untuk meningkatkan SSB dapat dilakukan dengan
meningkatkan jumlah tebar dan mengurangi mortalitas tangkapan (Lampiran 31 –
34).
92

50 80
SSB (ekor) 40 60

SSB (ekor)
30
40
20
10 20
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(a) (b)

100 250
80 200
SSB (ekor)

60 SSB (ekor) 150


40 100
20 50
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(c) (d)

250 250
200 200
SSB (ekor)

SSB (ekor)

150 150
100 100
50 50
0 0
0 0,5 1 0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F) Mortalitas Tangkapan (F)

(e) (f)
Gambar 36 SSB kerapu macan pada mortalitas tangkapan (F) 0.0 – 1.0, dengan
padat tebar 1 000 ( ), 2 000 (), 3 000 (), 4 000 (), dan 5 000
() ekor, untuk panjang benih 10 cm (a), 12 cm (b), 14 cm (c), 16
cm (d), 18 cm (e) dan 20 cm (f).

Tabel 21 menunjukkan SSB sebesar 34 ekor dihasilkan oleh A-1 dan A-7.
Adapun A-2, A-3, A-4, A-5, dan A-6 masing-masing menghasilkan SSB sebanyak
33 ekor. Namun, semua SSB tersebut terjadi pada mortalitas tangkapan 0.1. Ini
93

sama artinya dengan menempuh langkah untuk menebar kerapu macan, lalu
dibiarkan tanpa ditangkap kecuali sedikit. Apabila hal ini dilihat dari aspek
percepatan restocking boleh jadi benar. Namun, tidak tepat bila kriteria
didasarkan pada hasil tangkapan lestari. Pada sisi lain, SSB ini cenderung
meningkat dengan meningkatnya kepadatan tebar. Oleh sebab itu, apabila hendak
meningkatkan SSB, maka kepadatan tebar ditingkatkan dan mortalitas tangkapan
diturunkan.

Tabel 21 SSB (ekor) pada keenam skenario penebaran ikan kerapu macan

Ukuran Kebijakan Mortalitas Tangkapan (F)


Tebar
L (cm) (ekor) 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60
10 6700 34 23.4 17.7 14.1 11.8 10.1
11 5400 33 22.6 17.1 13.7 11.5 9.8
12 4500 33 22.7 17.2 13.8 11.5 9.9
13 3800 33 23.0 17.5 14.1 11.8 10.1
14 3200 33 23.3 17.8 14.3 12.0 10.3
15 2700 33 23.6 18.1 14.6 12.2 10.5
16 2300 34 24.1 18.5 15.0 12.6 10.9
17 2000 35 25.2 19.4 15.7 13.2 11.4
18 1700 36 25.7 19.9 16.2 13.6 11.7
19 1500 38 27.2 21.1 17.2 14.5 12.5
20 1300 39 28.3 22.0 18.0 15.2 13.1
Keterangan:
Kotak dengan sisi padat merupakan SSB terbesar sesuai daya dukung. Kotak
yang berbayang menunjukkan SSB terbesar di antara semua kebijakan manajemen
dalam penebaran restocking.

Tabel 22 menunjukkan perbandingan di antara kesebelas


alternatifkebijakan yang dapat diambil. Struktur cost yang digunakan adalah
biaya benih. Sementara biaya solar, akomodasi, dan lain-lain tidak
diperhitungkan sebab para nelayan selama ini pun tetap melaut untuk menangkap
ikan selain kerapu macan seperti ikan hias. Tabel tersebut menjelaskan bahwa
alternative kebijakan A-1 sampai dengan A-5 berada pada tingkat mortalitas
tangkapan F=0.3. Sementara, kebijakan A-6 sampai dengan A-11 menghasilkan
mortalitas tangkapan F=0.4. Ini berarti alternatif tindakan A-6 sampai dengan A-
11 akan melibatkan lebih banyak nelayan, sebab makin besar laju mortalitas
94

berarti makin besar upaya tangkap (termasuk nelayan) yang dapat diikutsertakan.
Secara sosial, salah satu tujuan menentukan model restocking dalam sistem sea
ranching ini adalah meningkatkan F-optimal yang dicapai oleh masing-masing
kebijakan. Dengan kata lain dilihat dari aspek ketenagakerjaan alternatif tindakan
yang diambil mestinya diantara kebijakan A-6, A-7, A-8, A-9, A-10, ataukah A-
11.
Tabel tersebut juga menjelaskan bahwa alternatif tindakan A-9
menghasilkan tangkapan optimal yang terkecil di antara tangkapan optimal
lainnya, yaitu sebesar 519.713 kg. Nilai hasil tangkapan optimal terbesar
diperoleh dari alternatif tindakan A-8 sebesar 529.831 kg. Dilihat dari aspek
hasil tangkapan ini kebijakan yang sebaiknya dipilih di antara kebijakan yang
memenuhi aspek ketenagakerjaan di atas adalah A-8.

Tabel 22 Perbandingan alternatif tindakan


Alternatif Panjang Padat F- Y- Nilai Hasil SSB Rente
tindakan (cm) Tebar optimal optimal Tangkapan (ekor) (juta Rp)
(ekor) (kg) (juta Rp)
A-1 10 6700 0.3 529.9948 68.899 17.9 38.749
A-2 11 5400 0.3 521.174 67.753 16.5 41.023
A-3 12 4500 0.3 524.668 68.207 16.1 43.907
A-4 13 3800 0.3 529.955 68.894 16.6 46.664
A-5 14 3200 0.3 529.970 68.896 16.3 48.736
A-6 15 2700 0.4 526.829 68.488 15.9 50.263
A-7 16 2300 0.4 524.691 68.210 16.0 51.650
A-8 17 2000 0.4 529.831 68.878 16.6 53.578
A-9 18 1700 0.4 519.713 67.563 16.8 53.293
A-10 19 1500 0.4 526.122 68.396 17.7 53.371
A-11 20 1300 0.4 520.321 67.642 18.2 52.942

Dilihat dari nilai hasil tangkapan pun kebijakan A-8 memberikan nilai
terbesar, yaitu Rp68.878 juta. Nilai hasil tangkapan bagi kebijakan lainnya berada
di bawah nilai tersebut. Adapun nilai SSB akan umumnya selalu meningkat
dengan makin bertambahnya padat tebar. Dengan demikian SSB tidak dijadikan
tolok ukur dalam pengambilan keputusan di sini melainkan mengikuti kebijakan
yang dipilih. Berdasarkan kajian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa alternatif
95

tindakan yang pas untuk diambil adalah kebijakan A-8, yaitu ukuran tebar 17 cm,
kepadatan tebar 2000 ekor, dengan mortalitas tangkap 0.4.
Dilihat dari aspek biologis, ukuran ikan kerapu macan 17 cm dapat hidup
bertahan di perairan Semak Daun. Hal ini dibuktikan dari data yang diperoleh
dalam penelitian ini yang menunjukkan adanya ikan kerapu macan ukuran 10 cm
yang tertangkap oleh nelayan. Apabila ikan yang panjangnya 10 cm dapat
bertahan hidup apalagi bila panjangnya 17 cm. Sifat kanibalisme juga relatif
dapat dihindari. Dalam ikan kerapu, kanibal biasanya sering terjadi pada stadia
juvenil, akhir masa larva (Fukuhara 1989; Hseu, Chang, Ting 2003). Apalagi,
sifat kanibal umumnya terjadi ketika terjadi kekurangan makanan. Bila makanan
tersedia maka benih tersebut tidak akan terkena kanibal. Untuk itu penting
memperhatikan masa penebaran.
Ditinjau dari kecepatan pertumbuhan pun ukuran 17 cm ini cukup bagus.
Benih yang ditebar ke dalam sistem sea ranching berasal dari hatchary/budidaya.
Hubungan panjang-berat ikan kerapu macan yang diambil contohnya dari KJA di
perairan Semak Daun diperoleh hubungan W=0.00679L3.44. Pada hubungan
tersebut panjang ikan 17 cm memiliki bobot 116.042 gram. Padahal, umumnya
pertumbuhan ikan relatif cepat bila di atas 100 gram. Bila kurang dari 17 cm,
misalnya 16 cm, bobotnya baru 94.2 gram. Berdasarkan hal ini kebijakan panjang
tebar 17 cm ini cukup tepat. Waktu yang diperlukan dari ukuran 17 cm hingga
mencapai ukuran konsumsi 0.5 kg (33 cm) adalah 9 bulan. Untuk itu diperlukan
‘close season’ selama kurang lebih 12 bulan sejak tebar pertama. Berikutnya,
dengan pola tebar setiap bulan sekali, penangkapan dilakukan setiap hari. Sistem
demikian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk semacam “multistage
aquaculture”.
Kebijakan A-8 dengan panjang benih 17 cm, padat tebar 2000 ekor, dan
mortalitas tangkapan 0.4 memberikan hasil bagi nelayan di Semak Daun. Hasil
sebelumnya menunjukkan bahwa laju mortalitas tangkapan saat ini berkisar antara
0.4 – 0.5 dengan jumlah nelayan yang biasa menangkap kerapu macan 15 orang.
Ini berarti dari segi jumlah nelayan yang dapat disertakan menjadi nelayan
tangkap dalam sistem sea ranching tidak mengganggu banyaknya nelayan selama
ini. Hal ini diharapkan dapat mencegah timbulnya permasalahan sosial. Pada
96

aspek lain, penerapan kebijakan ini akan menjadikan nelayan yang saat ini sering
kali melaut relatif jauh dapat melaut di sekitar perairan Semak Daun saja.
Semakin dekatnya daerah tangkapan dapat mengurangi biaya bahan bakar yang
digunakan, dan pada akhirnya mengurangi pengeluaran. Nilai hasil tangkapan
yang diperoleh dari kebijakan K-8 adalah Rp68.878 juta/tahun dengan keuntungan
(rente) Rp53.578 juta per tahun. Jumlah keuntungan ini sebesar Rp4.465 juta per
bulan. Bila mortalitas tangkapan 0.4 atau terdapat 15 nelayan yang terlibat berarti
tiap bulan per orang memperoleh tambahan penghasilan Rp297 656 per orang.
Pendapatan ini merupakan tambahan karena mereka umumnya juga mencari ikan
hias atau ikan lainnya.
Dampak positif lain dari kebijakan ini adalah adanya potensi spawning
stock biomass (SSB) yang dihasilkan oleh restocking ini. Setiap tahunnya ada
induk yang bertambah ke dalam perairan Semak Daun sebanyak 17 ekor. Hal ini
diharapkan dapat memulihkan kondisi stok ikan kerapu macan di perairan Semak
Daun.

Hasil Tangkapan Sea Ranching Harvest Type


Berbeda dengan sea ranching jenis recruitment type, sea ranching jenis
harvest type tidak diperuntukkan bagi pemulihan induk hingga dapat terjadi
rekrutmen alami. Semua ikan yang mungkin ditangkap akan ditangkap seoptimal
mungkin. Oleh karena itu, dalam sea ranching jenis ini batasan ikan kerapu
macan di perairan Semak Daun yang boleh ditangkap sesuai dengan daya
dukungnya, yaitu 0.7 – 1.06 ton/tahun, bukan setengah dari daya dukung.
Konsekuensi dari hal tersebut sea ranching jenis harvest type tidak
memperhatikan keberlangsungan induk untuk pemulihan stok.
Lampiran 35 dan 36 menjelaskan hasil tangkapan optimal, nilai hasil
tangkapan, dan keuntungan pada berbagai panjang benih dan padat tebar. Panjang
tebar 15 cm dapat mencapai hasil tangkapan optimal (Y-optimal) sesuai daya
dukung apabila padat tebarnya antara 5 000 ekor sampai dengan 6 000 ekor. Hasil
tangkapan optimal terkecil yang dihasilkan adalah 975.609 kg pada padat tebar
5000 ekor. Nilai hasil tangkapannya sebesar Rp126.829 juta. Hasil tangkapan
optimal terbesar diperoleh dari padat tebar 5 400 ekor dengan nilai Rp 136.976
97

juta. Panjang benih 16 cm pada padat tebar 4 000 memberikan hasil tangkapan
terkecil sebesar 912.506 kg dengan nilai Rp 118.626 juta. Adapun hasil
tangkapan terbesar dan masih dalam batas daya dukung yang dapat dicapai
panjang benih ini adalah 1 049 kg dengan nilai Rp136.420 juta. Padat tebarnya
adalah 4600 ekor. Hasil tangkapan dari panjang benih 17 cm pada padat tebar
4000 ekor adalah sebesar 1059.661 kg dengan nilai Rp137.756 juta. Hasil
tangkapan ini merupakan hasil tangkapan paling optimal dibandingkan dengan
hasil tangkapan lainnya (Lampiran 35). Dari sini tampak bahwa makin panjang
benih ikan kerapu macan yang ditebar memerlukan padat tebar yang makin sedikit
untuk mencapai hasil tangkapan optimal yang hampir sama.
Pola tersebut berlaku juga untuk panjang benih 18 cm, 19 cm dan 20 cm.
Padat tebar 3 500 ekor dengan panjang benih 18 cm menghasilkan tangkapan
optimal sebesar 1 059.815 kg. Nilai dari hasil tangkapan tersebut adalah
Rp137.776 juta. Panjang benih 19 cm memberikan hasil tangkapan yang lebih
sedikit dari pada hasil tangkapan untuk panjang benih 18 cm, yaitu 1 052.243 kg.
Namun, padat tebarnya pun menurun menjadi 3 000 ekor. Hasil tangkapan
optimal pada panjang benih 20 cm terjadi pada padat tebar 2 700 ekor, yakni
sebesar 1 059.827 kg senilai Rp137.778 juta. Rata-rata semua hasil tangkapan
tersebut dicapai pada tingkat mortalitas tangkapan 0.4.
Tabel 23 menjelaskan hasil tangkapan optimal (Y-optimal), nilai hasil
tangkapan, dan rente pada berbagai alternatif tindakan. Semua alternatif tersebut
memenuhi kriteria daya dukung.

Tabel 23 Perbandingan hasil tangkapan optimal pada berbagai alternatif tindakan


Pilihan Panjang Padat F- Y- Nilai Hasil Rente
Kebijakan (cm) Tebar optimal optimal Tangkapan (juta
(ekor) (kg) (juta Rp) Rp)

B-1 15 5400 0.360 1053.658 136.976 107.742


B-2 16 4600 0.368 1049.381 136.420 105.884
B-3 17 4000 0.376 1059.661 137.756 105.596
B-4 18 3500 0.321 1059.815 137.776 104.066
B-5 19 3000 0.388 1052.243 136.792 102.514
B-6 20 2700 0.307 1059.827 137.778 101.499
98

Alternatif tindakan dalam Tabel 23 yang memiliki mortalitas tangkapan


optimal 0.4 adalah B-1, B-2, B-3 dan B-5. Di antara keempat alternatif tindakan
tersebut yang memiliki hasil tangkapan optimal terbanyak adalah B-3, yaitu
1059.661 kg dengan nilai hasil tangkapan Rp 137.756 juta per tahun. Dilihat dari
aspek keuntungan (rente) ada yang lebih besar yaitu alternatif tindakan B-2 dan B-
1 masing-masing sebesar Rp 105.884 juta dan Rp 107.742 juta. Namun, secara
biologis hasil tangkapan yang lebih besar adalah B-3. Selain itu, panjang benih
15 cm dan 16 cm belum mencapai 100 gram, masing-masing memiliki bobot 75.4
gram dan 94.2 gram. Merujuk pada hal ini, alternatif tindakan yang sebaiknya
dipilih adalah B-3 (panjang benih 17 cm dengan padat tebar 4000 ekor).
Alternatif tindakan B-3 memiliki hasil tangkapan 1 059.661 kg per tahun
atau 88.3 kg per bulan. Nilai hasil tangkapannya adalah Rp137.756 juta per tahun
atau Rp 11 479 666.67 per bulan. Jumlah nelayan optimal yang dapat
diperansertakan dalam sea ranching dapat dihitung berdasarkan perbandingan:
Y-optimal x Harga ikan = Nelayan optimal x tambahan pendapatan

atau .

Bila tambahan pendapatan nelayan yang dikehendaki adalah Rp300 000


per orang dalam sebulan dan harga ikan kerapu macan saat ini adalah Rp130 000
per kg, maka banyaknya nelayan yang dapat disertakan dalam program sea
ranching adalah (88.3 x 130 000)/300 000 = 39 orang. Jumlah ini 2.6 kali lipat
jumlah nelayan yang menangkap kerapu macan di perairan Semak Daun saat ini.
Bila yang hendak disertakan dalam sea ranching sebanyak nelayan yang selama
ini menangkap kerapu macan di perairan Semak Daun (15 orang) maka setiap
bulan tiap nelayan memperoleh pendapatan Rp765 267,-.

Implikasi bagi Kebijakan Pengelolaan Restocking


Merujuk pada hasil simulasi peubah indikator serta pengaruhnya terhadap
peubah keputusan, model yang dibangun cukup memberikan gambaran bagi
pendugaan daya dukung, biomassa, dan model restocking dalam sistem sea
ranching. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan Semak Daun
mampu mendukung 2.02 – 2.51 ha bagi KJA atau 20 – 25% dari 9.99 ha luas
perairan yang cocok untuk KJA. Ukuran keramba yang saat ini digunakan
99

luasnya 3x3 m2 sehingga daya dukung perairan Semak Daun dapat menampung
2245 – 2789 keramba yang tersebar di luasan 9.99 ha. Kepadatannya tebarnya
adalah 200 ekor per keramba. Apabila area KJA seluas ini, daya dukung sea
ranching dalam area 315.19 ha adalah sebesar 0.8822 ton/th dengan kisaran
0.7032 – 1.0601 ton/th.
Model ini memiliki kelemahan, yaitu pendugaan kemampuan asimilasi
lingkungan perairan terhadap limbah budidaya belum digambarkan secara
komprehensif dengan melibatkan peran komponen ekosistem lain. Walaupun
demikian di perairan Semak Daun kandungan oksigen terlarut masih dalam nilai
yang sangat baik dan berada di atas baku mutu. Bahkan jika dibandingkan dengan
kondisi kelarutan oksigen saturasi, maka nilai yang diperoleh berada di sekitar 90-
100% saturasi. Bagi kemampuan asimilasi lingkungan perairan terhadap
masuknya bahan pencemar, tingginya kandungan oksigen terlarut adalah sangat
menguntungkan, khususnya bagi parameter yang terkait dengan bahan organik.
Tingginya kandungan oksigen terlarut mampu menguraikan bahan organik dengan
sempurna dan juga mampu mengoksidasi senyawa-senyawa lainnya (PKSPL
2007). Walaupun demikian, model ini menggunakan model peluang sehingga
lebih mencerminkan ketidaktentuan yang terjadi di alam. Selain itu, model ini
juga mengandaikan ikan kerapu yang ditanam dalam sistem sea ranching hanya
ikan kerapu macan.

Strategi Penebaran
Penebaran kerapu macan ke perairan sea ranching perlu memperhatikan
beberapa prosedur yang perlu dipertimbangkan selama masa pelaksanaannya. Hal
ini ditempuh agar pelaksanaan restocking dapat berhasil. Di antara hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan restocking adalah rantai makanan,
ketersediaan makanan, kesesuaian habitat, dan faktor internal kerapu itu sendiri
seperti masalah genetik.

a. Sumber ikan
Di antara faktor yang penting diperhatikan adalah sumber ikan. Kerapu
macan yang hendak ditebar perlu diperhatikan riwayat benih, kesehatan benih,
100

jarak sumber benih, kecukupan jumlah dan ukuran benih sesuai dengan keperluan.
Sebaiknya kerapu macan yang ditebar berasal dari induk perairan Semak Daun
sendiri. Hal ini dimaksudkan agar ikan memiliki kesesuaian dengan lingkungan
hidupnya sehingga kualitas benih dapat ditingkatkan.
Peningkatan kualitas benih dapat dilakukan dengan mengembangkan
semacam ‘hatchary kerapu macan’ yang induknya berasal dari perairan Semak
Daun sendiri. Hal ini dapat dilakukan oleh kelompok nelayan atau perusahaan
penyedia benih. Pada saat ini sudah dilakukan pembesaran induk kerapu macan
tersebut oleh balai sea farming. Keberadaan hatchary ini dapat menghasilkan
ikan yang lebih sehat dan siap tebar, menekan mortalitas akibat transportasi, dan
prekondisi atau adaftasi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Persoalan yang mungkin muncul adalah kelangkaan benih yang dapat
berakibat pada ‘rebutan benih’ antara nelayan budi daya dengan nelayan tangkap.
Oleh sebab itu, penyedia benih sebaiknya dikelola oleh pihak independen seperti
pemerintah atau swasta yang bukan nelayan, atau kalau pun dikelola oleh nelayan
sebaiknya nelayan budi daya dan nelayan tangkap.

b. Jumlah dan ukuran benih serta intensitas penangkapan


Sebagaimana sudah dibahas, tujuan restocking dalam sistem sea ranching
disamping untuk memperbaiki dinamika ekosistem kerapu macan dan stok akibat
tangkap lebih (overfishing) adalah mendapatkan keuntungan dari tangkapan ikan
hasil restocking tersebut. Untuk itu perlu memperhatikan kesebelas alternatif
tindakan yang dapat dilakukan dalam skenario sea ranching jenis recruitment type
dan keenam alternatif tindakan dalam skenario sea ranching jenis harvest type.
Skenario yang dipilih disesuaikan dengan jumlah nelayan yang akan dilibatkan
dalam sistem sea ranching tersebut, prediksi hasil, keuntungan, serta pemulihan
stok itu sendiri. Alternatif tindakan yang sebaiknya diambil dalam sea ranching
jenis recruitment type adalah alternatif K-8, yakni model restocking dengan
panjang benih 17 cm, padat tebar 2000 dan mortalitas tangkapan 0.4. Adapun
kebijakan yang disarankan dalam sea ranching jenis harvest type adalah kebijakan
B-3, yaitu model restocking dengan panjang tebar 17 cm dan padat tebar 4000
ekor.
101

Intensitas penangkapan akan menentukan padat tebar dan ukuran tebar,


serta mempengaruhi keberhasilan restocking. Bila penangkapan berlebih akan
berakibat kepada tidak tercapainya upaya pemulihan stok. Sebaliknya, sedikitnya
upaya tangkap sekalipun akan mempercepat pemulihan stok namun secara
ekonomi tidak menguntungkan. Berkaitan dengan pemulihan stok ini perlu
ditetapkan batas minimal ikan kerapu macan yang boleh ditangkap, yaitu sesuai
ukuran pasar (tidak kurang dari 300 g atau sekitar 28 cm). Ukuran mata bubu di
atas 3 jari (di atas 8 cm).
Hasil dari pola pertumbuhan menunjukkan bahwa apabila benih yang
ditebar adalah 17 cm, perlu 8-9 bulan agar rata-rata ikan tersebut mencapai ukuran
konsumsi (0.5 kg atau 33 cm). Oleh sebab itu, perlu ada semacam ‘close season’
selama setahun sejak tebar pertama. Hal ini tidak berarti nelayan berhenti melaut
di perairan Semak Daun. Nelayan masih tetap dapat melaut untuk menangkap
biota lain seperti ikan hias. Apabila peraturan tentang ukuran bubu dapat
diterapkan dengan baik, aturan ‘close season’ ini tidak begitu diperlukan.

c. Waktu tebar
Hasil simulasi dari model penelitian ini menunjukkan bahwa waktu tebar
dilakukan setiap bulan dan penangkapan dilakukan setiap bulan juga. Waktu yang
sesuai untuk penebaran adalah saat produktivitas perairan tinggi, volume air
tinggi, kondisi suhu relatif rendah, dan laju penangkapan rendah. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena pada musim barat, arah gelombang merambat dari
utara ke selatan, dengan tinggi gelombang mencapai 0.5 m. Pada musim timur,
arah gelombang merambat dari timur ke barat, dengan tinggi gelombang mencapai
0.6 m (PKSPL 2007). Artinya, ketinggian air akibat perbedaan musim tidak
begitu mencolok. Suhu di Semak Daun berkisar antara 29.3 OC hingga 30.3 OC.
Suhu di perairan ini mempunyai pola harian yang nyata, suhu mencapai minimum
pada pagi hari (antara jam 06 – 07 pagi), dan mencapai pada puncaknya pada
siang hari (antara jam 14 hingga jam 15 siang). Oleh sebab itu, sebaiknya tebar
dilakukan pagi hari.
102

d. Mekanisme penebaran
Ikan kerapu macan merupakan ikan karang yang tidak leluasa bergerak
jauh. Oleh sebab itu, penebaran kerapu macan di perairan Semak Daun dilakukan
teknik penebaran ‘tricker’, yaitu menebarkan benih kerapu macan di beberapa
tempat yang sesuai, dan dilakukan secara kontinyu setiap bulan. Tempat yang
paling sesuai untuk tebar adalah tubir. Pengamatan terhadap kondisi terumbu
karang di dalam goba menunjukkan bahwa persen penutupan karang hidup
berkisar antara 13.7% - 35.7%, selebihnya mencakup karang mati (DC), karang
mati beralga (DCA) dan faktor abiotik lainnya. Jika digunakan kriteria KepMen
LH No. 04 Tahun 2001 dalam penentuan status terumbu karang, maka kondisi
terumbu karang yang terdapat pada lokasi tersebut termasuk kedalam kriteria
rusak (buruk-sedang). Hasil berbeda diperoleh ketika pemantauan dilakukan di
daerah tubir/sisi luar goba yang relatif dekat dekat posisi KJA. Terumbu karang
di lokasi ini termasuk dalam kriteria baik dengan persen penutupan karang hidup
> 50% dan terumbu karang yang relatif lebih beragam (PKSPL 2007).
Ikan kerapu macan yang ditebar memakan pakan alami berupa ikan kecil,
kepiting, atau crustacea yang ada di perairan Semak Daun. Sriati et al. (2010)
menemukan bahwa ikan kecil dengan trophic level rendah cukup melimpah di
perairan Semak Daun. Ikan hasil tangkapan dari perairan Semak Daun terdiri dari
64 spesies yang termasuk dalam 20 famili. Hasil tangkapan ini didominasi oleh
ikan yang berasosiasi dengan karang. Sebanyak 45.16% merupakan ikan herbivor
utama yang ada di terumbu karang.

Kelembagaan
Unsur penting bagi keberhasilan restocking dalam sistem sea ranching
adalah kelembagaan. Oleh karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang banyak
melibatkan masyarakat, kelembagaan yang diterapkan sejatinya kelembagaan
berbasis masyarakat. Prinsip pengelolaan berbasis masyarakat pada umumnya
dimulai dari proses kerjasama (cooperative), advisory, hingga pemberian
(sharing) informasi. Gambar 37 menyajikan diagram ko-manajemen perikanan
sebagaimana dikemukakan oleh Adrianto (2005).
103

Perikanan tangkap dalam sistem sea ranching merupakan sistem


pengelolaan bersama. Hoggarth et al. (2000) mengemukakan bahwa pengelolaan
bersama adalah suatu pengaturan kemitraan dengan menggunakan kemampuan,
minat nelayan dan masyarakat setempat, serta digenapi dengan kemampuan
pemerintah dalam menyediakan perangkat hukum dan bantuan lainnya yang
memungkinkan.

Co-management
(varying degrees)

Gambar 37 Kerangka Umum Ko-Manajemen Perikanan. Pemerintah memiliki


fungsi instruksi sekaligus konsultan bagi pengelolaan sea farming.
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dominan adalah informasi,
sedangkan pengelolaan berbasis pemerintah yang dominan adalah
instruksi (Sumber: diadopsi dari Adrianto 2005).

Berdasarkan hal tersebut perlu dikembangkan kelembagaan pengelola


restocking dalam sistem sea ranching yang berdasarkan pada user group
management dan prinsip pengelolaan bersama. Hal-hal yang penting diterapkan
diantaranya sebagai berikut:
1 Restocking dalam sistem sea ranching merupakan bagian dari sea farming.
Oleh sebab itu secara kelembagaan merupakan bagian integral dari
kelembagaan sea farming. Kelembagaan dalam sea farming merupakan
kelembagaan secara organik, bukan mekanistik. Ini berarti bahwa setiap
unsur peran/pelaku dalam sea farming akan membentuk fungsi
104

kelembagaannya sendiri-sendiri namun kemudian berfungsi secara sinergis


ketika masuk dalam sistem pengelolaan sea farming.
2 Pelaku atau peran masyarakat Pulau Panggang yang berperan dalam
kelembagaan sea farming di perairan Semak Daun beragam. Peran-peran
tersebut antara lain: (1) Nelayan (tangkap), (2) Pembudidaya Ikan, (3)
Hatchery, (4) Pendeder Ikan, (5) Pengumpul Ikan Hias, (6)
Aktivis/Pengelola DPL, (7) Aktivis/Pengelola Kawasan Wisata Pulau, dan
(8) Pedagang Ikan. Masing-masing peran mestinya memiliki kelembagaan
sendiri. Ada dua prinsip pokok dalam pengelolaan sea farming terkait
masing-masing peran tersebut, yaitu hak pengelolaan perairan (fishing
right) dan adanya pembagian peran dalam sistem sea farming.
Peran/pelaku langsung sea ranching di lapangan adalah nelayan tangkap.
Lampiran 31 menyajikan fungsi masing-masing peran tersebut.
3 Restocking dalam sistem sea ranching ini bukan sekedar bisnis melainkan
bagian dari program konservasi. Berdasarkan hal ini maka peran serta
pemerintah mutlak diperlukan. Salah satunya adalah perlu adanya insentif
dari pemerintah baik berupa insentif teknis (kemampuan teknis dan
bisnis), jaminan pasar, dan keterjaminan hak. Pemerintah juga perlu
memberikan dukungan dana untuk modal benih, misalnya dengan
pinjaman bergulir. Bahkan, pada tahun-tahun pertama bisa saja benih
berasal dari pemerintah daerah sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap
konservasi. Bisa juga memberikan insentif berupa insentif harga baik
harga input (benih, solar) atau output (harga beli ikan hasil tangkapan).
4 Ada pemegang otoritas pemberi hak menangkap ikan (fishing right)
semacam otoritas SF yang ditunjuk oleh Pemda. Orang yang mengajukan
dan memenuhi syarat diberi hak untuk menjalankan penangkapan ikan di
perairan Semak Daun. Hak ini berlaku untuk waktu tertentu, misalnya 5
tahun. Fishing right (FR) ini didefinisikan sebagai hak yang diberikan
kepada lembaga/individu lokal untuk melaksanakan kegiatan perikanan
tertentu, dalam jangka waktu tertentu setelah memenuhi
persyaratan/kriteria yang telah ditetapkan oleh pemberi hak (pemerintah).
Dalam konteks ini maka FR adalah hak penggunaan (use rights) dan
105

bukan hak kepemilikan (property rights) serta tidak dapat diperjualbelikan


(non-tradable). Hak ini pun tidak dapat diberikan kepada semua anggota
masyarakat. Oleh karena itu, perlu ditentukan banyaknya orang yang
dapat memperoleh FR tersebut. Banyaknya ini ditentukan oleh skenario
mana yang akan diambil. Bila acuan mortalitas tangkapan adalah 0.45
(mortalitas tangkapan pada saat ini), maka bila mortalitas tangkapan yang
akan diterapkan skenario 1, misalnya, maka banyaknya nelayan yang
mendapatkan FR untuk menangkap ikan adalah 0.5/0.45x15=17 orang
(sekarang nelayan untuk kerapu macan ada 15 orang). Untuk menjaga
kepercayaan masyarakat, setiap proses penentuan siapa yang mendapatkan
fishing right harus diketahui dan disepakati oleh stakeholder setempat.
5 Setiap orang yang mendapatkan lisensi sebagai nelayan tangkap
bergabung dalam ‘Kelompok nelayan tangkap SF’ (KNT-SF). Kelompok
nelayan ini memiliki pengurus dan anggota. Kelompok inilah yang
mengurusi berbagai hal terkait sea ranching di perairan Semak Daun
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
6 Setiap orang dalam KNT-SF:
a. harus menjadi anggota kelompok nelayan tangkap
b. berkontribusi untuk menebar benih sesuai dengan aturan yang
ditetapkan
c. hasil tangkapan dijual ke kelompok nelayan tangkap
d. sebagiannya diambil sebagai retribusi untuk penanaman benih
berikutnya
e. melakukan penangkapan sesuai dengan ketetapan dengan ukuran
bubu yang sesuai dengan ketetapan, tidak menangkap ikan yang
kurang dari 300 gram. Kalau tertangkap harus dikembalikan ke
perairan atau diberikan ke pengurus kelompok nelayan tangkap.
Pengurus menjualnya ke unit budidaya untuk pembesaran dan
dananya masuk ke kas kelompok nelayan tangkap. Atau karena
dikhawatirkan ada konflik kepentingan antara nelayan budi daya
dengan nelayan tangkap dalam sea ranching maka disarankan
nelayan tangkap memiliki keramba sendiri sebagai wadah untuk
106

pembesaran kerapu macan di bawah 300 gram yang tertangkap.


Pelanggaran terhadap hal ini diberikan sanksi administratif sesuai
aturan oleh pengelola nelayan tangkap.
7 Karena fishing right ini adalah hak penangkapan ikan terbatas maka tidak
boleh ada pihak yang tidak berhak untuk melakukan penangkapan. Untuk
melakukan hal ini perlu ada shift jaga/patroli dari anggota kelompok
nelayan tangkap tersebut. Misalnya, seminggu sekali dengan jumlah
anggota tertentu. Petugas jaga ini pun mengawasi terlaksananya aturan
terkait penangkapan seperti ukuran bubu dan ukuran ikan yang boleh
ditangkap. Begitu juga, kasus pencemaran atau pengruksakan karang oleh
nelayan seperti penggalian batu karang dan penggunaan potassium.
8 Perkara yang mutlak dijamin adalah ketersediaan benih ikan yang
berkualitas. Dalam jangka pendek dapat diatasi dengan melakukan usaha
pendederan benih ikan. Adapun untuk jangka panjang perlu dibangun
hatchery di sekitar Semak Daun atau kawasan Kepulauan Seribu untuk
menghasilkan benih kerapu macan yang bekualitas dan induknya berasal
dari kerapu macan setempat.
9 Proses ini akan berjalan bila ada pengontrolan. Oleh sebab itu, pihak
pemberi otoritas harus secara kontinyu melakukan fungsi kontrol.
10 Pencemaran perairan dapat mengakibatkan kematian ikan masal.
Pemerintah baik pusat maupun daerah bertanggung jawab mencari solusi
terkait masalah ini. Jangan sampai KNT-SF rugi akibat pencemaran yang
tidak dilakukannya. Pemerintah perlu memberikan sanksi tegas terhadap
pelaku pencemaran, khususnya pencemaran dari minyak mentah yang
masih sering terjadi.
11 Kenyataan sekarang biasa ada nelayan dari pulau lain datang menangkap
ikan di perairan Semak Daun. Untuk mengatur hal ini perlu dibuat Perda
terkait cakupan kegiatan sea farming secara umum dan sea ranching
secara khusus.
12 Aktivitas restocking dalam sistem sea ranching ini merupakan
kepentingan pemerintah sekaligus nelayan. Kepentingan utama
pemerintah untuk melakukan konservasi, sedangkan kepentingan utama
107

nelayan adalah keberlangsungan tangkapan. Supaya hal itu dapat terjamin


maka perlu kerjasama di antara kedua pihak. Oleh sebab itu, prinsip
kelembagaan yang dijadikan acuan adalah pengawasan dilakukan oleh
masyarakat sendiri, pengelolaan dan pengaturan dilakukan bersama-sama
oleh pemerintah dan masyarakat, dan agar lebih kuat dan mengikat maka
aturan-aturan perlu dituangkan dalam Perda.

Software Model Restocking


Langkah untuk mempermudah penerapan model adalah membuat
software. Software bagi model restocking melalui penghitungan daya dukung dan
simulasi nya dibuat dengan menggunakan bahasa program Visual Basic.
Ringkasan code program disajikan dalam Lampiran 38.
Software ini bila dijalankan akan terlihat seperti dalam Gambar 38. Dalam
Gambar tersebut terlihat bahwa program ini menyajikan hitungan, grafik, tentang
kami, dan keluar. Program hitungan menyajikan hitungan daya dukung KJA,
daya dukung sea ranching, simulasi pada berbagai panjang dan padat tebar.
Grafik yang diberikan adalah grafik pertumbuhan Von Bertalanffy. Contoh
tampilan masing-masing interface dapat dilihat pada Gambar 39 - 43.
Input yang diperlukan untuk menghitung daya dukung KJA adalah rataan
elevasi pasang surut (m), luas (ha), baku mutu P (mg/l), unit keramba per hektar,
dan produksi ikan per keramba (kg). Daya dukung yang diperoleh berupa
produksi ikan (ton), banyak keramba yang diperkenankan, dan luas efektif KJA
(ha). Adapun penghitungan daya dukung sea ranching memerlukan input klorofil-
a (mg/l), rata-rata kedalaman (m), tingkat tropic level, dan luas perairan dangkal
(ha). Berdasarkan data ini ditampilkan produktivitas primer (gC/m2/th) dan daya
dukung bagi ikan (ton). Sementara, dalam simulasi dapat dikombinasikan
berbagai panjang benih (cm), padat tebar (ekor) , dan jarak antartebar (bulan)
untuk mengetahui hasil tangkapan (kg) dan nilai hasil tangkapan (Rp).
108

Gambar 38 Tampilan muka software model restocking. Dalam form ini dapat
dipilih menu untuk menghitung daya dukung KJA, daya dukung
sea ranching, dan simulasi. Selain itu, dapat dipilih menu grafik
dan tentang kami.

Gambar 39 Tampilan untuk menghitung daya dukung KJA.


109

Gambar 40 Tampilan untuk menghitung daya dukung sea ranching.

Gambar 41 Tampilan untuk mensimulasi hasil dan nilai tangkapan pada berbagai
kombinasi panjang dan padat tebar.
110

Gambar 42 Tampilan untuk membuat grafik pertumbuhan Von Bertalanffy.

Gambar 43 Tampilan untuk menu ‘Tentang Kami’.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1 Pengembangan metode pendugaan daya dukung perairan dangkal dalam


penelitian ini dapat digunakan sebagai penduga daya dukung perairan
dangkal. Metode ini melibatkan beberapa komponen, yaitu subbiota (biota
dalam restocking, trophic level), subkeramba jaring apung atau KJA
mencakup padat tebar, ukuran keramba, SR, manajemen pakan, kandungan P
dalam pakan, dan pola pertumbuhan. Komponen lain yang diperhatikan
adalah subperairan (luas perairan, frekuensi pasang surut, data pasang surut
harian, baku mutu P untuk pertumbuhan terumbu karang, dan pola
pertumbuhan biota di alam. Metode ini merupakan pengembangan dari
penduga daya dukung kawasan pesisir yang diperkenalkan oleh Widigdo dan
Pariwono (1999).
2 Metode penghitungan daya dukung perairan dangkal bagi KJA adalah:

ton ikan

keramba

ha

dengan K L =daya dukung KJA, nKRB=banyaknya keramba yang


2
diperkenankan (buah), ukuran=ukuran keramba (m ), n=banyaknya hari
pengamatan pasang surut (hari), q=baku mutu P (mg/l), f=frekuensi pasang
surut dalam sehari, A=luas perairan dangkal (ha), HWLi=pasang tertinggi hari
ke-i (m), LWLi=surut terendah hari ke-i (m), SR=survival rate (%), N=padat
tebar (ekor/keramba), k=kandungan P dalam pakan (%), b=banyaknya pakan
yang masuk ke perairan (%), Rw=pakan yang diberikan pada bobot ikan w
(g). Pembesaran di keramba dilakukan sampai ukuran ikan 0.5 kg.
112

Adapun metode penghitungan daya dukung sea ranching adalah:

dengan DD SR =daya dukung sea ranching (ton), TL=tropic level,


Chl SR =klorofil-a di perairan setelah adanya KJA (mg/l), d=rata-rata
kedalaman (m), luas area=luas perairan dangkal (ha), Chl_a= klorofil-a di
perairan (mg/l).
3 Daya dukung perairan Semak Daun untuk KJA adalah 12.5 - 21.6 ton ikan/th.
Banyak KJA maksimal yang diperbolehkan adalah 404 keramba dengan
ukuran 3x3 m2 dan padat tebar 200 ekor. Luas efektif KJA adalah 0.2 – 0.4 ha
tersebar di 1.81 ha perairan gosong (karang dalam) yang cocok untuk KJA.
Sementara, daya dukung bagi ikan kerapu macan dalam sistem sea ranching
perairan Semak Daun berkisar antara 0.703 – 1.06 ton/th dengan rata-rata 0.88
ton/th. Bila dihitung produksi per ha diperoleh produksi ikan kerapu macan
ini antara 0.0022 – 0.0034 ton/ha/th, dengan rata-rata 0.003 ton/ha/th.
4 Penerapan metode Bayesian menemukan bahwa kerapu macan di perairan
Semak Daun sudah mengalami recruitment overfishing. Hasil metode
tersebut pada pola pertumbuhan kerapu macan tidak jauh berbeda dengan
hasil dugaan least square yang selama ini digunakan. Namun, metode
Bayesian memperhatikan ketidaktentuan (uncertainty) yang lebih
mencerminkan realitas sesungguhnya.
5 Parameter pertumbuhan kerapu macan di alam berdasarkan least square
adalah K = 0.27 per tahun, L∞ = 97.48 cm, dan t o = -0.44. Bobot memiliki
hubungan dengan panjang dalam bentuk hubungan: W=0.008L3.16. Adapun
hasil dugaan metode Bayes adalah dengan
L∞ ~N(97.48, 14.4), k~logN(0.27, 0.001), dan t 0 ~ N(-0.44, 0.009). Hubungan
bobot dengan panjang hasil penduga Bayes adalah W=aLb dengan a ~ N(0.01,
0.009) dan b~ N(3.156, 0.178).
113

6 Model restocking yang sebaiknya dilakukan adalah:


a tebar setiap bulan
b penangkapan dilakukan setiap hari
c selama 12 bulan sejak penebaran pertama diberlakukan ‘close season’
d ada sebelas model restocking yang dapat diterapkan. Dalam sistem sea
ranching jenis rekrutmen (recruitment type), tindakan yang sebaiknya
dipilih adalah restocking dengan panjang ikan 17 cm, padat tebar
2000 ekor dan mortalitas tangkapan 0.4. Sementara, dalam sistem sea
ranching jenis panen (harvest type), alternatif tindakan yang sebaiknya
dipilih adalah restocking dengan panjang benih 17 cm dan padat tebar
4000 ekor.

Saran
1 Perlu dibuat kelembagaan yang komprehensif sehingga tidak terjadi konflik
kepentingan di antara para nelayan.
2 Penentuan fishing right perlu ditetapkan dengan jelas dan rinci hingga sea
ranching berjalan dengan baik.
3 Aktivitas sea ranching mulai dari penyediaan benih, penebaran, sampai
penangkapan dilakukan di bawah asosiasi nelayan.
4 Ikan yang dibudidayakan di KJA sebaiknya berbeda dengan ikan yang di-
restocking dalam sistem sea ranching.
5 Perlu ada penelitian tentang respon kerapu macan pada berbagai ukuran
terhadap canibalisme.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh M. 2007. Pembesaran kerapu macan di keramba jaring apung.


http://ikanku-batam.blogspot.com/ (6 Agustus 2010).

[ADB] Asian Development Bank. 2004. Our framework policies and strategies
fisheries.

Adrianto L. 2005. Konsep Kelembagan Sea Farming. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Bogor.

Anonim. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus),


Direktorat Bina Pembenihan, Direktorat Jendral Perikanan, Departemen
Pertanian, Jakarta.

Anonim. 2007. Recommendations to investigate the potential for stock


enhancement and restocking programmes for the sustainable use of
marine living resources within the European multinational context.
Ecosystem-based Stock Enhancement Workshop. Belgium. 7-8 Mei
2007. 7p.

Babcok EA. 2007. Application of a Bayesian Surplus Production Model to


Atlantic White Marlin. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT 60:1643-1651.

Bacher C, Duarte P, Ferreira JG, Heral M, Raillard O. 1998. Assesment and


comparison of the Marennes-Oleron Bay (France) and Caslingford Lough
(Ireland) carrying capacity with ecosystem models. Aquatic Ecology 31:
379-394.

Baker, Kaeoniam 1986 dalam Damanhuri. H., 2003. Terumbu Karang Kita.
Jurnal Mangrove dan Pesisir 3(2): 28-33.

Bannister RCA. 1991. Stock Enhancement Workshop Report. ICES Mar. Sci.
Symp., 192:191-192.

[BAPEKAB] Badan Perencanaan Kabupaten Pemerintah Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB
(PKSPL-IPB). 2003. Penyusunan Perencanaan Sektor-Sektor Ekonomi
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu [Laporan Akhir]. 168p.

[BAPEKAB] Badan Perencanaan Kabupaten Pemerintah Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu dan PT Plarenco. 2004. Kajian Pengembangan Sea
Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu [Laporan Akhir].
102p.
116

Barg UC. 1992. Guidelines for the promotion of environmental management of


coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328,
FAO, Rome. 122p.

Bartley D.M. 1999. Marine ranching: a global perspective. In: Stock


enhancement and sea ranching (eds B.R. Howell, E. Moksness and T.
Svåsand). Pp. 79-90. Oxford, UK, Blackwell Science Ltd./Fishing News
Books, 606p.

Bartley D, Bell JD. 2008. Restocking, stock enhancement and sea ranching:
arenas of progress. Rev. Fish. Sci. 16: 357–365.

Bartley DM, Leber KM. 2004. Marine Ranching. FAO Fisheries Technical
Paper. 231p.

Bell JD et al. 2005. Restocking and stock enhancement of marine invertebrate


fisheries. Adv. Mar. Biol. 49: 1–370.

Bell JD, Bartley DM, Lorenzen K, Loneragan NR. 2006. Restocking and stock
enhancement of coastal fisheries: Potential, problems and progress.
Fisheries Research 80:1–8.

Bell JD et al. 2005. Restocking and stock enhancement of marine invertebrate


fisheries. Adv. Mar. Biol. 49:1–370.

Beveridge MCM. 1982. Cage and Pen fish farming, Carrying capacity models
and environmental impact. Food And Agriculture Organization Of The
United Nations. Rome.

_____________. 1987. Cage aquaculture. England: Fishing News Books Ltd.


352 hlm.

Boyd EC. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham


Publishing Co, Birmingham.

Carter RWG. 1991. Coastal Environments: An Introduction to the Physical,


Ecological and Cultural Systems of Coastlines. Academic Press. London.

Carver CEA, Mallet AL. 1990. Estimating carrying capacity of a coastal inlet
for mussel culture. Aquaculture 88: 39-53.

Casella G, Berger RL. 1990. Statistical Inference. California: Brook/Cole


Publishing Company. 650p.

Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan


[Orasi Ilmiah]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Damanhuri H. 2003. Terumbu Karang Kita. Jurnal Mangrove dan Pesisir 3(2):
28-33.
117

Delgado CL, Wada N, Rosegrant MW, Meijer S, Ahmed M. 2003. Fish to 2020:
Supply and Demand in Changing Global Markets. International Food
Policy Research Institute, Washington and the WorldFish Center, Penang,
Malaysia.

[Dephumham] Departemen Hukum dan HAM. 1997. UU No. 23 Tahun 1997


tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Donaldson TJ et al. 2005. While Stocks Last: The Live Reef Food Fish Trade.
Asian Development Bank. 147p.

Duarte P. 2003. A review of current methods in the estimation of environmental


carrying capacity for bivalve culture in Europe, p. 37-51. In Huming Yu
and Nancy Bermas (eds.) Determining environmental carrying capacity of
coastal and marine areas: progress, constraints, and future options.
PEMSEA Workshop Proceedings No. 11, 156p.

Effendi I. 2006. Riset Terapan Pengembangan Sea Farming di Kepulauan Seribu.


Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor
(PKSPL-IPB). Bogor.

Effendie IM. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.163 hal.

FAO. 2001. Bayesian Stock Assessment in Fisheries. User’s Manual. 61p.

FAO. 2004. The State of World Fisheries and Aquaculture: 2004. FAO, Rome
(juga dapat dilihat di ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/007/y5600e/y5600e00.pdf
[10 Agustus 2010]).

Fukuhara O. 1989. A review of the culture of grouper in Japan. Bull.


Nansei Reg. Fish. Res. 22:47–57.

Gascuel D, Tremblay-Boyer L, Pauly D. 2009. EcoTroph (ET): a tropic level


based software for assessing the impacts of fishing on aquatic ecosystems.
Fisheries Centre Research Reports 17(1). 82p.

Gelman A, Carlin JB, Stern HS, Rubin DB. 2004. Bayesian Data Analysis.
Chapman and Hall, Boca Raton. 668 pp.

Goldburg RJ, Elliot MS, Naylor RL. 2001. Marine Aquaculture in the United
States, Environmental Impacts and Policy Options. Pew Oceans
Commission 2101 Wilson Boulevard, Suite 550, Arlington, Virginia,
22201. 33p.

Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and natural resource
management, system analysis and simulation. New York: John Wiley &
Sons, Inc. 373p.
118

Guildford SJ, Hecky RE. 2000. Total nitrogen, total phosphorus, and nutrient
limitation in lakes and oceans: Is there a common relationship? Limnol.
Oceanogr. 45:1213–1223.

Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment, A Manual of Basic Methods. New
York: John Wiley & Sons. 223p.

Hall SAS, Day Jr. JW. 1977. Ecosystem Modelling in Theory and Practise: An
Introduction with Case Histories. John Willey & Sons, New York. 684p.

Handoko I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural


Resources Management. Bogor: SEAMEO BIOTROP. 81p.

Hecky RE, Kilham P. 1988. Nutrient limitation of phytoplankton in freshwater


and marine environments: a review of recent evldence on the effects of
enlichment. Limnol. Oceanogr. 33:796-822.

Hines A et al. 2008. Release strategies for estuarine species with complex
migratory life cycles: Stock enhancement of Chesapeake blue crabs,
Callinectes sapidus. Rev. Fish. Sci. 16: xx–xx .

Hoyle SD, Mauner MN. 2004. A Bayesian integrated population dynamics


model to analyze data for protected species. Animal Biodiversity and
Conservation, 27.1: 247–266.

Hseu JR, Chang HF, Ting YY. 2003. Morphometric prediction of


cannibalism in larviculture of orange-spotted grouper, Epinephelus
coioides. Aquaculture 218:203–207.
http://www. Teknologi-dkp.go.id; 18/2/2005

Huang HW, Hsu CC, Lee HH, Yeh YM. 2003. Stock Assesment of Albacore,
Thunnus alalunga, in the Indian ocean by surplus production models with a
New Relative Abundance Index. TAO, 14(2):201-220.

Jia J, Chen J. 2001. Sea farming and sea ranching in China. FAO fisheries
technical paper 418.

Jorgensen. 1988. Fundamentals of Ecological Modelling. Elsevier, Amsterdam.


390p.

Kaswadji RF, Widjaja F, Wardianto Y. 1993. Produktivitas primer dan laju


pertumbuhan fitoplankton di perairan pantai Bekasi. Jurnal Ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia 12:1-15.

Kenchington RA, Huson BET. (eds) 1984. Coral reef management handbook.
Jakarta, Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and
Technology in Sounth-East Asia. 281p.
119

Kimmell B. 1990. Ecological concepts. Di dalam: Olem H, Flock G, editor, Lake


and reservoir restoration guidance manual. 2nd edition. EPA 440/4-90-
006. Prep. by N. Am. Lake Manage. Soc. For U.S. Einviron. Prot.
Agency, Washington, DC. hlm 7-34.

King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News


Books. Australia.

Lorenzen K. 2005. Population dynamics and potential of fisheries


stockenhancement: practical theory for assessment and policy analysis.
Phil. Trans. R. Soc. B. 360:171–189.

Masaaru. 1999. Marine Ranching: Present Situation and Perpective in Marine.

McKindsey CW, Thetmeyer H, Landry T, Silvert W. 2006. Review of recent


carrying capacity models for bivalve culture and recommendations for
research and management. Aquaculture 261:451-462.

Medley PA. 2003. Participatory Fishery Stock Assessment. Integrated fisheries


management using Bayesian multi-criterion decision making R7947.
[Project Report]. 93p.

Merta IGS. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker
1853 (Pisces: Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan alernatif
pengelolaannya. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Montoya R, Velasco M. 2000. Role of Bacteria on Nutritional and Management


Recovery of Marine-Farm sites in Stewart Island, New Zealand, from the
Findlay-Watling Model. Aquaculture 185:257-271.

Morgan BJT. 1984. Elements of Simulation. London: Chapman and Hall. 351p.

Muir J. 2005. Managing to harvest? Perspectives on the potential of aquaculture.


Phil. Trans. R. Soc. B. 360:191–218.

Mustafa S. 2003. Stock enhancement anda sea ranching: objectives and potential.
Reviews in Fish Biology and Fisheries 13:141-149.

Palomares MLD, Pagdilao C. 1988. Estimating the food consumption per unit
biomass of a population of Epinephelus fuscoguttatus (Pisces: Serranidae).
p. 432-442. In S.C. Venema, J.M. Christensen and D. Pauly (eds.)
Contributions to tropical fisheries biology. FAO/DANIDA Follow-up
Training Course on Fish Stock A.

Parsons TR, Takashi, Hargrave B. 1984. Biological Oceanographic Processes,


3rd edition. Pergamon Press, Oxford, England, 330p.

Pauly D, Christensen. 1995. Primary production required to sustain global


fisheries. Nature 374: 255-257.
120

Pauly D. 1980. On the interrelationships between natural mortality, growth


parameter and mean environmental termperature in 175 fish stocks.
Conseil International pour L’Exploration de la Mer, Journal du Counseil,
39:175-192.

______. 1984. Length-converted catch curves: a powerful tool for fisheries


research in the trophics (part 2). Fish-byte, 2(1):17-19.

[PKSPL] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
2006. Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Working Paper PKSPL-IPB,
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta, disampaikan pada 12 Oktober 2006.

Press SJ. 1989. Bayesian Statistics: Principles, Models and Applications. Wiley
Series in Probability and Mathematics, John Wiley and Sons, New York.

Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk


Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengambangan
Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung [disertasi]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. IPB. xviii + 273p.
Disertasi.

Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of biological statistic of fish


populations. Departement of the Environmental Fisheries and Marine
Service, Ottawa. Bull. Fish. Res. Board Can. 191:382p.

Salvanes AGV. 2001. Encyclopedia of ocean sciences (eds.) Steela J, Turekian


KK, Thorpe SA. Academik Press 4:1973-1982.

Sattar SA, Adam MS. 2005. Review of Grouper Fishery of the Maldives with
Additional Notes on the Faafu Atoll Fishery. Marine research center,
Ministry of fisheries, agricultural and marine resources. Republic of
Maldives. 64p.

Shakeel H, Ahmed H. 1996. Exploitation of reef resources, grouper and other


food fishes in the Maldives. Workshop on integrated reef resources in the
Maldives. BOBP/REP/76. 312p.

Silverman BW. 1986. Density Estimation for Statistics and Data Analysis.
Mongraphs on Statistics and Applied Probability. Chapman and Hall,
London.

Slamet B et al. 2001. Pengamatan Aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan
kerapu. Teknologi budidaya Laut dan pengembangan sea farming di
Indonesia DKP kerjasama dengan JICA 246-251.

Smith VH. 2006. Responses of estuarine and coastal marine phytoplankton to


nitrogen and phosphorus enrichment. Limnol. Oceanogr. 51(377 – 384).
121

Soebagio. 2005. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut


Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui
Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sparre P, Venema SC. 1998. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Badan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Penerjemah. Terjemahan dari:
Introduction to Trophical Fish Stock Assessment Part I. FAO Fish Tech
Pap No. 306/1.

[SPKKAKS] Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu dan Cipta, P. P. 2006. Peningkatan Kapasitas
Kelompok Pengelolaan Sea Farming [Laporan Akhir]. 64p.

[SPKKAKS] Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu dan Primamandiri. 2008. Ekstensifikasi Kapasitas
Kelompok Sea Farming [Laporan Akhir]. 115p.

[SPKKAKS] Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu dan Prasetya, W. B. 2008. Pelatihan Teknologi
Marikultur dalam Rangka Seafarming [Laporan Akhir]. 194p.

[SPKKAKS] Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu dan Perdana, P. K. 2008. Monitoring dan Evaluasi
dalam Rangka Sea Farming [Laporan Akhir]. 114p.

[SPKKAKS]. Suku dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu. 2008. Pengembangan Budidaya Laut [Laporan Akhir].
82 hlm.

[SPKKAKS]. Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu. 2006. Monitoring dan evaluasi dalam rangka sea
farming [Laporan akhir]. Kep. Seribu: Sudin Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 54 hlm.

[SPKKAKS]. Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi


Kepulauan Seribu. 2008. Pengembangan Budidaya Laut [Laporan Akhir].
82 hlm.

Sriati, Sukimin S, Boer M, Muchsin I, Nurhakim S. 2010. Keanekaragaman


sumberdaya ikan hasil tangkapan di terumbu karang sekitar pulau Semak
Daun Kepulauan Seribu. Makalah seminar pada Seminar Nasional
Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2010,
Jogyakarta.

Sugama K. 1999. Iventarisasi dan identifikasi budidaya laut dan pantai yang
telah di kuasai untuk diseminasi. Seminar nasional penelitian dan
diseminasi teknologi budidaya laut. 61-72 hal.
122

Suharti SR. 2007. Ekologi Ikan Karang. http://www.coremap.or.id/downloads/


EKOLOGI IKAN KARANG.pdf [8/10/2011].

Sulma S, Hasyim B, Susanto A, Budiono A. 2009. Pemanfaatan Penginderaan


Jauh Untuk Penentuan Kesesuaian Lokasi Budidaya Laut di Kepulauan
Seribu. Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Susilo SB. 1999. Konsentrasi Klorofil-a Sebagai Penduga Produktivitas Perairan.


Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 6(2):73-82.

Tacon AJ. 2003. Aquaculture production and trends analysis. In: Review of the
State of World Aquaculture. FAO Fishery Circular No. 886, Rev. 2. FAO,
Rome, pp. 5–30.

Tookwinas S. 1998. The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming


Effluents and Carrying Capacity Estimation at Kung Krabaen Bay, Eastern
Thailand. Asian Fisheries Science 11(1998):303-316. Asian Fisheries
Society, Manila, Philippines.

Trophic level energy transfer calculation. http://www.deltacollege.edu/emp


/jdebow/energytransfer.html [8/12/2010]

Turner GE. 1988. Codes of practice and manual of procedures for consideration
on introductions and transfer of marine and freshwater organisms,
EIFAC/CECPI, Occasional Paper No. 23. 44p.

Usman, Rachmansyah, Pongsapan DS. 2002. Beban limbah budidaya ikan


kerapu bebek Cromileptes altivelis dalam keramba jaring apung [Laporan
Hasil Penelitian]. Maros: Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.

Vasconcellos M, Gasalla MA. 2001. Fisheries catches and the carrying capacity
of marine ecosystems in southern Brazil. Fisheries Research 50:279 –
295.

Vedavyasa RP. 1996. Sea ranching fisheries - an effective system for


augmentation and conservation of exploited resources. Proceedings of the
Seminar on Fisheries - A Multibillion Dollar Industry, Madras, 17-19
Agustus 1995. pp. 21-22.

Walmsley SF, Medley PA, Howard CA. 2005. Participatory Fisheries Stock
Assessment (ParFish)

Welch EB. 1980. Ecological Effects of Waste Water. Cambridge, Cambridge


University Press, 337 p.
123

Widigdo B, Pariwono J. 2003. Daya dukung perairan di pantai utara Jawa Barat
untuk budi daya udang (studi kasus di Kabupaten Subang, Teluk Jakarta
dan Serang). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1:10 –
17.

Wuhrmann K. 1984. Lake Eutrophication and Its Control. Shiga Conference ’84
on Conservation and Management of World Lake Enviroment. 26-37p.

Zhao BJ, Yamada N, Hirayama, Yamada S. 1991. The optimum size of released
reared-abalone in southern fishing ground of Akita Prefecture. J. Tokyo
Univ. Fish 78: 217–226.
LAMPIRAN
127

Lampiran 1 Daftar pertanyaan participatory stock assessment

KUESENER
Nama: ………………………………….. Alamat: …………………………………..
Umur: …………………………………. Kode: ……………………. (dikosongkan)
Pewawancara: ……………………….

Daftar Pertanyaan:

1 Berapa tahun Bapak menangkap ikan?


2 Alat tangkap apa yang paling sering dipakai untuk menangkap kerapu macan?
3 Umumnya, berapa kali menangkap ikan kerapu macan dalam sehari?
4 Berapa orang yang ikut Bapak menangkap ikan kerapu macan?
5 Ke daerah mana saja Bapak menangkap ikan kerapu macan?
6 Lebih banyak mana ikan kerapu macan di Semak Daun atau di tempat lain? Kira-kira
berapa persennya?
7 Dalam sebulan berapa hari melaut untuk menangkap kerapu macan?
8 Dalam bulan-bulan terakhir tahun ini berapa hari Bapak melaut untuk menangkap
kerapu macan?
9 Berapa kilogram ikan kerapu macan yang Bapak peroleh dalam sehari?
10 Berapa maksimum jumlah ikan yang ditangkap dapat dimuat dalam perahu/kapal
Bapak?
11 Berapa bubu yang dapat Bapak pasang dalam sehari?
12 Apakah hasil tangkapan ikan kerapu macan sama, makin turun, atau makin naik dalam
beberapa tahun terakhir?

DULU KETIKA IKAN KERAPU MASIH BANYAK


13 Tahun berapa tangkapan ikan kerapu macan terbanyak?
13.a Berapa jumlah ikan kerapu saat itu yang ditangkap?
13.b Berapa kilogram ikan kerapu saat itu yang ditangkap?
13.c Pada tahun tersebut rata-rata panjang (cm) ikan kerapu macan yang diperoleh?
13.d Pada tahun tersebut rata-rata bobot (gram) satu ikan kerapu macan yang diperoleh?
13.e Berapa panjang ikan kerapu terkecil (cm) yang ditangkap?
13.f Berapa panjang ikan kerapu terbesar (cm) yang ditangkap?

KETIKA IKAN KERAPU BERKURANG


14 Kira-kira mulai tahun berapa tangkapan ikan kerapu mulai sedikit?
14.a Berapa jumlah ikan kerapu saat itu yang ditangkap?
14.b Berapa kilogram ikan kerapu yang ditangkap?
14.c Pada tahun tersebut rata-rata panjang ikan kerapu macan yang diperoleh?
14.d Pada tahun tersebut rata-rata bobot satu ikan kerapu macan yang diperoleh?
14.e Berapa panjang ikan kerapu terkecil yang ditangkap?
14.f Berapa panjang ikan kerapu terbesar yang ditangkap?
128

LAIN-LAIN

15 Selain Bapak, berapa anggota keluarga Bapak?


16 Berapa bagian (%) pendapatan keluarga berasal dari tangkapan ikan kerapu macan?
17 Berapa rupiah pengeluaran keluarga Bapak dalam sebulan?
129

Lampiran 2 Ringkasan Data Hasil Wawancara Untuk Partisipatori Stok Assesment

No Responden Th Alat trip/hr # org F. ground # hr/bl tkp (kg)/hr


1 2 3 4 5 6 7
1 Lawi (37) 25 Bubu 1 1 K lebar, k congkak, k Bongkor, P kelapa 24 0.5
2 Abdul Halimi (55) 7 Pancing 1 3 K lebar, P Bawa, K congkak, K bongkok 15 1.0
3 Iyus (53) 16 Pancing 1 1 K lebar 26 1.0
4 Ahmad (59) 15 Pancing 1 1 K lebar 24 1.5
5 Alif (54) 6 Pancing 1 2 K lebar, P Bawa, K congkak, K bongkok 20 2.0
6 Abu Bakar (43) 28 Bubu 1 1 K Lebar, k congkak 26 1.0
7 Latarainta (66) 40 Bubu 1 1 K Lebar 16 2.0
8 Snopi (52) 17 Jaring 1 1 K Lebar 16 5.0
9 Ahmad Mustajib (52) 37 Bubu 1 1 K lebar, p karya 26 2.0
10 Kusni (73) 40 Bubu 1 1 panggang 20 2.0
11 Mahyin (54) 34 Jaring 1 1 K Lebar, k jongkok, k congkak 26 1.0
12 Pak Riko (52) 40 Pancing 1 1 K Lebar 26 0.7
13 Abdul Syukur (51) 16 Bubu 1 1 K Lebar 15 1.0
14 Nawawi (65) 48 Bubu 1 1 K Lebar, P Jokong, P Katumbak 26 1.5
15 Suradi (34) 22 Bubu 1 10 K Lebar, P Karya 26 1.5
16 Thohir (50) 35 Bubu 1 1 K Lebar 26 2.0
17 Basri (28) 6 Bubu 1 1 K Lebar 26 2.0
18 Asnawi (44) 20 Bubu 1 1 K Lebar, P Karya 20 0.5
19 Mahyudin (45) 21 Bubu 1 1 K Lebar, P Karya 20 0.5
20 Saifudin (46) 13 Bubu 1 5 K lebar, P Bawa, K congkak, K bongkok 26 3.0
Setelah diuji reliabilitas dan viabilitas diperoleh kedua puluh data tersebut konsisten pada taraf nyata α=0.05.
130

Lampiran 3 Ringkasan Data Hasil Wawancara Untuk Partisipatori Stok Assesment (lanjutan)

No Responden Dulu
tkp
# alat tren Th tkp tbnyk # ikan (ekr)/hr (kg)/hr # kelrg Pengeluaran
8 9 10 11 12 13 14
1 Lawi (37) 10 Turun 90an 8, 9, 10 20 4 1,500,000.00
2 Abdul Halimi (55) 6 Turun 1987 5, 7 6 5 1,800,000.00
3 Iyus (53) 2 Turun 1986 3 2 11 1,200,000.00
4 Ahmad (59) 2 Turun 1986 2, 4 4 5 1,500,000.00
5 Alif (54) 4 Turun 1976 5, 6 5 4 1,500,000.00
6 Abu Bakar (43) 15 Turun 1980-1990 20, 21, 22, 23, 24, 25 10 6 1,500,000.00
7 Latarainta (66) 7 Turun 1970-1980 20 25 8 2,100,000.00
8 Snopi (52) 3 Turun 1970-1980 18 10 6 3,000,000.00
9 Ahmad Mustajib (52) 20 Turun 2000an 250 40 7 1,500,000.00
10 Kusni (73) 20 Turun 1980-1990 10-30 10 13 1,500,000.00
11 Mahyin (54) 1 Turun 1980-1990 3,4 3 6 1,500,000.00
12 Pak Riko (52) 2 Turun 1990 5 3.5 4 1,500,000.00
13 Abdul Syukur (51) 10 Turun 2000an 15 10 3 1,500,000.00
14 Nawawi (65) 10 Turun 2000an 2,3 10 3 1,500,000.00
15 Suradi (34) 10 Turun 1980 4 7.5 5 1,500,000.00
16 Thohir (50) 12 Turun 1980 4 15 4 1,000,000.00
17 Basri (28) 10 Turun 90an 10 10 4 1,500,000.00
18 Asnawi (44) 4 Turun 90an 10 12.5 5 1,100,000.00
19 Mahyudin (45) 4 Turun 90an 10 12.5 5 1,200,000.00
20 Saifudin (46) 15 Turun 1985 10 10 4 1,500,000.00
131

Lampiran 4 Data olahan untuk input participatory stock assessment

No Responden Imp. payyoff lalu payoff skr usual usual min min max max
effort CPUE CPUE Catch CPUE effort

1 Lawi (37) 1 1,200,000.00 1,200,000.00 240.0 1.20 0.60 8.0 3.60 260.0
2 Abdul Halimi (55) 1 2,400,000.00 1,200,000.00 80.2 2.24 1.00 8.0 13.46 139.1
3 Iyus (53) 1 2,400,000.00 1,440,000.00 46.4 8.08 4.00 10.0 40.38 46.4
4 Ahmad (59) 1 3,600,000.00 1,200,000.00 42.8 6.73 3.00 8.0 60.56 46.4
5 Alif (54) 1 4,800,000.00 2,400,000.00 71.3 6.73 4.00 16.0 40.38 92.7
6 Abu Bakar (43) 1 2,400,000.00 480,000.00 390.0 0.32 0.10 3.0 4.80 390.0
7 Latarainta (66) 1 4,800,000.00 1,200,000.00 112.0 1.71 1.00 8.0 20.57 182.0
8 Snopi (52) 1 12,000,000.00 1,920,000.00 156.0 1.97 1.00 13.0 36.92 253.5
9 Ahmad Mustajib (52) 1 4,800,000.00 3,360,000.00 520.0 1.68 0.50 23.0 7.20 520.0
10 Kusni (73) 1 4,800,000.00 2,400,000.00 400.0 1.20 0.60 16.0 7.20 520.0
11 Mahyin (54) 1 2,400,000.00 1,200,000.00 84.5 3.69 2.00 8.0 22.15 84.5
12 Pak Riko (52) 1 1,680,000.00 1,440,000.00 46.4 8.08 4.00 10.0 28.26 46.4
13 Abdul Syukur (51) 1 2,400,000.00 720,000.00 150.0 0.72 0.30 5.0 7.20 260.0
14 Nawawi (65) 1 3,600,000.00 720,000.00 260.0 0.72 0.30 5.0 10.80 260.0
15 Suradi (34) 1 3,600,000.00 1,800,000.00 260.0 1.80 1.00 12.0 10.80 260.0
16 Thohir (50) 1 4,800,000.00 1,200,000.00 312.0 1.00 0.50 8.0 12.00 312.0
17 Basri (28) 1 4,800,000.00 1,440,000.00 260.0 1.44 1.00 10.0 14.40 260.0
18 Asnawi (44) 1 1,200,000.00 960,000.00 80.0 2.40 1.00 6.0 9.00 104.0
19 Mahyudin (45) 1 1,200,000.00 720,000.00 80.0 1.80 1.00 5.0 9.00 104.0
20 Saifudin (46) 1 7,200,000.00 1,920,000.00 390.0 1.28 0.50 13.0 14.40 390.0
132

Lampiran 5 Hitungan volume air laut melalui elevasi pasang surut

Hari ke-i: HWLi (cm) LWLi (cm) hi (m) Volume (m3)


1 50 -52 1.02 3,214,938
2 50 -53 1.03 3,246,457
3 50 -53 1.03 3,246,457
4 49 -52 1.01 3,183,419
5 48 -51 0.99 3,120,381
6 47.5 -50 0.98 3,073,103
7 47 -49 0.96 3,025,824
8 30 -25 0.55 1,733,545
9 25 -20 0.45 1,418,355
10 20 -20 0.40 1,260,760
11 20 -30 0.50 1,575,950
12 20 -30 0.50 1,575,950
13 25 -30 0.55 1,733,545
14 30 -40 0.70 2,206,330
15 35 -45 0.80 2,521,520
16 40 -49 0.89 2,805,191
17 42 -50 0.92 2,899,748
18 45 -52 0.97 3,057,343
19 48 -60 1.08 3,404,052
20 50 -60 1.10 3,467,090
21 51 -58 1.09 3,435,571
22 50 -52 1.02 3,214,938
23 49 -49 0.98 3,088,862
24 40 -30 0.70 2,206,330
25 30 -30 0.60 1,891,140
26 30 -40 0.70 2,206,330
27 30 -50 0.80 2,521,520
28 40 -52 0.92 2,899,748
29 52 -52 1.04 3,277,976
30 52 -53 1.05 3,309,495
Rataan: 39.85 -44.57 0.84 2,660,729

1 n
V0 = ∑ f . A.(HWLi − LWLi )
n i =1
1 n
∑ f . A.hi
n i =1
1 30
= ∑ 2 x315.19 x(HWLi − LWLi )
30 i =1
1 30
= ∑ 2 x315.19 xhi
30 i =1
= 2660729 m 3
133

Lampiran 6 Hitungan daya dukung KJA melalui beban limbah P


w (g) Rw min (g) Rw maks (g) Pw (g/hr) min Pw (g/hr) maks
5 20 40 0.0592 0.1184
10 40 80 0.1184 0.2368
15 60 120 0.1776 0.3552
20 80 160 0.2368 0.4736
25 75 100 0.222 0.296
30 90 120 0.2664 0.3552
35 105 140 0.3108 0.4144
40 120 160 0.3552 0.4736
45 135 180 0.3996 0.5328
50 150 200 0.444 0.592
55 165 220 0.4884 0.6512
60 180 240 0.5328 0.7104
65 195 260 0.5772 0.7696
70 210 280 0.6216 0.8288
75 225 300 0.666 0.888
80 240 320 0.7104 0.9472
85 255 340 0.7548 1.0064
90 270 360 0.7992 1.0656
95 285 380 0.8436 1.1248
100 300 400 0.888 1.184
105 252 315 0.74592 0.9324
110 264 330 0.78144 0.9768
115 276 345 0.81696 1.0212
120 288 360 0.85248 1.0656
125 300 375 0.888 1.11
130 312 390 0.92352 1.1544
135 324 405 0.95904 1.1988
140 336 420 0.99456 1.2432
145 348 435 1.03008 1.2876
150 360 450 1.0656 1.332
155 372 465 1.10112 1.3764
160 384 480 1.13664 1.4208
165 396 495 1.17216 1.4652
170 408 510 1.20768 1.5096
175 420 525 1.2432 1.554
180 432 540 1.27872 1.5984
185 444 555 1.31424 1.6428
190 456 570 1.34976 1.6872
195 468 585 1.38528 1.7316
200 480 600 1.4208 1.776
205 410 492 1.2136 1.45632
210 420 504 1.2432 1.49184
215 430 516 1.2728 1.52736
220 440 528 1.3024 1.56288
225 450 540 1.332 1.5984
230 460 552 1.3616 1.63392
235 470 564 1.3912 1.66944
240 480 576 1.4208 1.70496
245 490 588 1.4504 1.74048
250 500 600 1.48 1.776
255 510 612 1.5096 1.81152
260 520 624 1.5392 1.84704
265 530 636 1.5688 1.88256
270 540 648 1.5984 1.91808
275 550 660 1.628 1.9536
280 560 672 1.6576 1.98912
285 570 684 1.6872 2.02464
290 580 696 1.7168 2.06016
295 590 708 1.7464 2.09568
300 600 720 1.776 2.1312
305 488 610 1.44448 1.8056
310 496 620 1.46816 1.8352
315 504 630 1.49184 1.8648
320 512 640 1.51552 1.8944
325 520 650 1.5392 1.924
330 528 660 1.56288 1.9536
335 536 670 1.58656 1.9832
340 544 680 1.61024 2.0128
345 552 690 1.63392 2.0424
134

Lampiran 6 (lanjutan)

350 560 700 1.6576 2.072


355 568 710 1.68128 2.1016
360 576 720 1.70496 2.1312
365 584 730 1.72864 2.1608
370 592 740 1.75232 2.1904
375 600 750 1.776 2.22
380 608 760 1.79968 2.2496
385 616 770 1.82336 2.2792
390 624 780 1.84704 2.3088
395 632 790 1.87072 2.3384
400 640 800 1.8944 2.368
405 648 810 1.91808 2.3976
410 656 820 1.94176 2.4272
415 664 830 1.96544 2.4568
420 672 840 1.98912 2.4864
425 680 850 2.0128 2.516
430 688 860 2.03648 2.5456
435 696 870 2.06016 2.5752
440 704 880 2.08384 2.6048
445 712 890 2.10752 2.6344
450 720 900 2.1312 2.664
455 728 910 2.15488 2.6936
460 736 920 2.17856 2.7232
465 744 930 2.20224 2.7528
470 752 940 2.22592 2.7824
475 760 950 2.2496 2.812
480 768 960 2.27328 2.8416
485 776 970 2.29696 2.8712
490 784 980 2.32064 2.9008
495 792 990 2.34432 2.9304
500 800 1000 2.368 2.96
Total: 46,380.00 57,870.00 137.28 171.30
9,027,720.00 7,235,280.00 Untuk 1 ha (g): 15,848.16 19,774.32
9,027.72 7,235.28 Untuk 1 ha (kg): 15.85 19.77
135

Lampiran 7 Penghitungan daya dukung berdasarkan masukan P


Luas KJA P masuk P masuk P masuk (µmol/l) Chl-a (µg/l) PP (gC/m2/th) Produksi Rataan Daya Batas Bawah Batas Atas
(ha) (kg) (µmol) (ton/315ha/th) Dukung (ton/th)
0.1 1.98 63870967.7 0.02 0.17 0.0245 0.000154 0.882154 0.703154 1.060154
0.2 3.96 127741935 0.05 0.28 0.0249 0.000157 0.882157 0.703157 1.060157
0.3 5.94 191612903 0.07 0.38 0.0253 0.000159 0.882159 0.703159 1.060159
0.4 7.92 255483871 0.10 0.47 0.0257 0.000161 0.882161 0.703161 1.060161
0.5 9.9 319354839 0.12 0.54 0.0260 0.000163 0.882163 0.703163 1.060163
0.6 11.88 383225806 0.14 0.62 0.0263 0.000165 0.882165 0.703165 1.060165
0.7 13.86 447096774 0.17 0.69 0.0266 0.000167 0.882167 0.703167 1.060167
0.8 15.84 510967742 0.19 0.76 0.0268 0.000169 0.882169 0.703169 1.060169
0.9 17.82 574838710 0.22 0.83 0.0271 0.000170 0.882170 0.703170 1.060170
1 19.8 638709677 0.24 0.89 0.0274 0.000172 0.882172 0.703172 1.060172
1.1 21.78 702580645 0.26 0.95 0.0276 0.000174 0.882174 0.703174 1.060174
1.2 23.76 766451613 0.29 1.01 0.0279 0.000175 0.882175 0.703175 1.060175
1.3 25.74 830322581 0.31 1.07 0.0281 0.000177 0.882177 0.703177 1.060177
1.4 27.72 894193548 0.34 1.13 0.0283 0.000178 0.882178 0.703178 1.060178
1.5 29.7 958064516 0.36 1.19 0.0286 0.000179 0.882179 0.703179 1.060179
1.6 31.68 1021935484 0.38 1.24 0.0288 0.000181 0.882181 0.703181 1.060181
1.7 33.66 1085806452 0.41 1.30 0.0290 0.000182 0.882182 0.703182 1.060182
1.8 35.64 1149677419 0.43 1.35 0.0292 0.000184 0.882184 0.703184 1.060184
1.9 37.62 1213548387 0.46 1.41 0.0294 0.000185 0.882185 0.703185 1.060185
2 39.6 1277419355 0.48 1.46 0.0296 0.000186 0.882186 0.703186 1.060186
2.1 41.58 1341290323 0.50 1.51 0.0298 0.000188 0.882188 0.703188 1.060188
2.2 43.56 1405161290 0.53 1.56 0.0300 0.000189 0.882189 0.703189 1.060189
2.3 45.54 1469032258 0.55 1.61 0.0302 0.000190 0.882190 0.703190 1.060190
2.4 47.52 1532903226 0.58 1.66 0.0304 0.000191 0.882191 0.703191 1.060191
2.5 49.5 1596774194 0.60 1.71 0.0306 0.000193 0.882193 0.703193 1.060193
2.6 51.48 1660645161 0.62 1.76 0.0308 0.000194 0.882194 0.703194 1.060194

2.7 53.46 1724516129 0.65 1.80 0.0310 0.000195 0.882195 0.703195 1.060195
2.8 55.44 1788387097 0.67 1.85 0.0312 0.000196 0.882196 0.703196 1.060196
2.9 57.42 1852258065 0.70 1.90 0.0314 0.000197 0.882197 0.703197 1.060197
3 59.4 1916129032 0.72 1.94 0.0316 0.000198 0.882198 0.703198 1.060198
136

Lampiran 8 Frekuensi data ikan kerapu macan di alam

Nilai
Selang Tengah Maret April Mei Juni Juli Agus Total
18.55 - 25.05 21.8 0 0 0 2 0 0 2
25.05 - 31.55 28.3 8 9 20 17 4 14 72
31.55 - 38.05 34.8 15 38 36 21 25 51 186
38.05 - 44.55 41.3 8 19 28 20 31 16 122
44.55 - 51.05 47.8 6 8 18 8 10 3 53
51.05 - 57.55 54.3 2 7 7 2 4 7 29
57.55 -64.05 60.8 3 11 13 6 2 3 38
64.05 - 70.55 67.3 1 5 7 4 3 7 27
70.55 - 77.05 73.8 0 1 1 1 0 0 3
77.05 - 83.55 80.3 0 0 1 0 0 3 4

Lampiran 9 Program winbugs untuk mencari koefisien a dan b pada persamaan


W=aL^b

Model
{
for(i in 1:N)
{
w[i]~dnorm(mu[i],tau)
mu[i]<-alfa+beta*L[i]
}
alfa~dnorm(0,0.001)
beta~dnorm(0,0.001)
teta~dnorm(0,0.001)

tau~dgamma(0.01,0.01)
sigma<-1/sqrt(tau)
a<-pow(10,alfa)
}

# Data
list(N=15,L=c(1.61858168,1.47367722,1.47263192,1.567886
07,
1.52365700,1.59420503,1.59811978,1.50026795,1.58688880,
1.62906521,1.44032185,1.58293364,1.60167274,1.43790163,
1.60358335),
w=c(3.04139269,2.60205999,2.60205999,2.90308999,2.77815
125,
3.00000000,3.00000000,2.69897000,2.95424251,3.07918125,
2.47712125,2.95424251,3.00000000,2.47712125,3.00000000)
)

list(alfa=0, beta=0.1, teta=0,tau=0.1)


137

Lampiran 9 (lanjutan)

Hasilnya:
node mean sd MC error 2.5% median 97.5% start sample
a 0.01096 0.008532 4.393E-5 0.002515 0.008897 0.03135 10001 40000
beta 3.156 0.1782 8.722E-4 2.804 3.157 3.51 10001 40000

a chains 1:2 sample: 40000


100.0
75.0
50.0
25.0
0.0
0.0 0.1 0.2

beta chains 1:2 sample: 40000


3.0
2.0
1.0
0.0
2.0 3.0 4.0

a chains 1:2
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
0 20 40
lag

beta chains 1:2


1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
0 20 40
lag

a chains 2:1
0.3
0.2
0.1
0.0
29850 29900 29950
iteration
138

Lampiran 9 (lanjutan)

beta chains 2:1


4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
29850 29900 29950
iteration

a chains 1:2

0.3

0.2

0.1

0.0

10001 15000 20000 25000 30000


iteration

beta chains 1:2

5.0

4.0

3.0

2.0

10001 15000 20000 25000 30000


iteration
139

Lampiran 10 Hasil olahan hubungan panjang berat

Regression Analysis: Log (W) versus Log (L)

The regression equation is


Log (W) = - 2.07 + 3.16 Log (L)

Predictor Coef SE Coef T P VIF


Constant -2.07146 0.07449 -27.81 0.000
Log (L) 3.17112 0.04807 65.97 0.000 1.000

S = 0.0500978 R-Sq = 97.8% R-Sq(adj) = 97.8%

PRESS = 0.253980 R-Sq(pred) = 97.73%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 1 10.923 10.923 4352.19 0.000
Residual Error 96 0.241 0.003
Lack of Fit 60 0.171 0.003 1.48 0.105
Pure Error 36 0.070 0.002
Total 97 11.164

Residual Plots for Log (W)


Residual Plots for Log (W)
Normal Probability Plot Versus Fits
99.9
99 0.10

90 0.05
Residual
Percent

50 0.00

10 -0.05

1 -0.10
0.1
-0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 2.5 3.0 3.5
Residual Fitted Value

Histogram Versus Order

16 0.10

0.05
12
Frequency

Residual

0.00
8
-0.05
4
-0.10
0
-0.12 -0.08 -0.04 0.00 0.04 0.08 1 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Residual Observation Order

Kesimpulan:
The regression equation is
log (W gr) = - 2.07 + 3.16 log(L)
b = 3.17
a = antilog (-2.07) = 0.008

Jadi, W = 0.008L3.16
140

Lampiran 11 Program winbugs untuk mencari koefisien von Bertalanffy

model

for( i in 1 : N ) {

Y[i]~dnorm(mu[i],tau)

a[i]<-t[i]-t0

mu[i]<-Lt*(1-exp(-k*a[i]))

Lt~dnorm(10,0.0001)

k~dlnorm(1,1)

t0~dnorm(0.0001, 0.0001)

tau ~ dgamma(0.01,0.01)

sigma <- 1 / sqrt(tau)

list(N=15,Y=c(9.59,49.72,68.29,76.89,80.88,82.72,83.57,83.97,84.15,84.24,84.28
,84.29,84.30,84.31,84.31,84.31),

t=c(0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15))

list(Lt=10, k=0.1, t0=0

Hasil von Bertalanffy

node mean sd MC error 2.5% median 97.5% start sample


Lt 97.48 14.4 6.893E-5 84.28 94.31 94.34 10001 80000
k 0.27 0.001029 8.168E-6 0.768 0.77 0.7721 10001 80000
t0 -0.44 8.734E-4 9.41E-6 -0.44 -0.43 -0.44 10001 80000
141

Lt chains 1:2 sample: 80000


30.0
20.0
10.0
0.0
84.2
60.1 84.25
87.4 84.3
97.4 84.35
107.4

k chains 1:2 sample: 80000


600.0
400.0
200.0
0.0

0.2580.76 0.260.765 0.27


0.77 0.274
0.775
142

Lampiran 12 Program QBasic untuk simulasi pola restocking

CLS
DIM N1(12, 12), WKG(12, 251), BKG(12, 251), CKG(12, 251),
N(12, 251)
DIM Y(12, 251), VY(12, 251), SSB(12, 251), DE(12, 251)
DIM L(12, 251)
DIM MSB(12, 251)
DIM YBUL(12), VYBUL(12), BKGBUL(12)
DIM W(12, 12), B(12, 12), C(12, 12)

OPEN "o", #1, "A1F45L16"


L1 = 16
F = .45
M = .445
Z = F + M
REM INPUT "Berapa panjang kerapu macan yang ditebar (cm)"; L1

FOR N0 = 1000 TO 30000 STEP 1000


DSSB = 0
FOR I = 1 TO 12
FOR J = I TO I
N1(I, J) = N0
W(I, J) = (.008 * L1 ^ 3.16) / 1000
B(I, J) = N1(I, J) * W(I, J)
WKG(I, J) = W(I, J)
BKG(I, J) = B(I, J)
N(I, J) = N1(I, J)
NEXT J
NEXT I
T = -.44 - (1 / .27) * (LOG((97.48 - L1) / 97.48))

FOR I = 1 TO 12
FOR J = (I + 1) TO (I + 239)

N(I, J) = N(I, J - 1) * EXP(-Z)


KON = ((J - I) * T / 12) + .44
L(I, J) = 97.48 * (1 - EXP(-.27 * KON))

WKG(I, J) = (.008 * L(I, J) ^ 3.16) / 1000


BKG(I, J) = N(I, J) * WKG(I, J)
CKG(I, J) = N(I, J) * (1 - EXP(-Z)) * (F / Z)
Y(I, J) = CKG(I, J) * WKG(I, J)

A = EXP(-(L(I, J) - 50) / 5)
B = (1 + EXP(-(L(I, J) - 50) / 5)) ^ 2
PEL = (1 / 5) * (A / B)
SSB(I, J) = N(I, J - 1) * (1 - EXP(-Z)) * (PEL / Z)

NEXT J
NEXT I

FOR I = 1 TO 12
YBUL = 0: VYBUL = 0: BKGBUL = 0: SSBBUL = 0
143

Lampiran 12 (lanjutan)
FOR J = I TO (239 + I)
YBUL = YBUL + Y(I, J)
VYBUL = VYBUL + VY(I, J)
BKGBUL = BKGBUL + BKG(I, J)
SSBBUL = SSBBUL + SSB(I, J)
NEXT J

YTOT = YTOT + YBUL


BKGTOT = BKGTOT + BKGBUL
SSBTOT = SSBTOT + SSBBUL
NEXT I
RANDOMIZE TIMER
H = 100000 + 30000 * RND
VYTOT = YTOT * H

YTH = YTOT
VYTH = VYTOT
LIMPAH = BKGTOT / 20
SSBTH = SSBTOT

IF L1 < 15 THEN
RANDOMIZE TIMER
HB = 1000 + 100 * RND
BIAYA = N0 * HB
ELSE
IF L1 >= 15 THEN
RANDOMIZE TIMER
HB = 375 + 125 * RND
BIAYA = HB * L1 * N0
END IF
END IF

RENTE = VYTH - BIAYA

PRINT N0; YTH; VYTH; SSBTH; LIMPAH; RENTE; BIAYA


WRITE #1, N0, YTH, VYTH, SSBTH, LIMPAH, RENTE, BIAYA

YTOT = 0: VYTOT = 0: BKGTOT = 0: SSBTOT = 0

NEXT N0

CLOSE
END
144

Lampiran 13 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai


padat tebar (1 000 [ ], 2 000 [], 3 000 [], 4 000 [] dan 5 000 [] ekor)
untuk panjang benih 11, 13 dan 15 cm

600,000
Hasil Tangkapan (kg)

500,000
400,000
300,000
200,000
100,000
0,000
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
Mortalitas Tangkapan (F)

800
Hasil Tangkapan (kg)

600

400

200

0
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
Mortalitas Tangkapan (F)

1200
Hasil Tangkapan (kg)

1000
800
600
400
200
0
0,00 0,20 0,40 0,60(c) 0,80 1,00
Mortalitas Tangkapan (F)
145

Lampiran 14 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada berbagai


padat tebar (1 000 [ ], 2 000 [], 3 000 [], 4 000 [] dan 5 000 [] ekor)
untuk panjang benih 17 - 19 cm

2000

1500
Hasil Tangkapan (kg)

1000

500

0
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
Mortalitas Tangkapan (F)

2000

1500
Hasil Tangkapan (kg)

1000

500

0
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
Mortalitas Tangkapan (F)
146

Lampiran 15 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=10 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000 T6000 T7000 T8000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 36.443 72.887 109.330 145.774 182.217 218.661 255.104 291.547
0.10 57.243 114.486 171.729 228.972 286.215 343.458 400.701 457.945
0.15 68.999 137.998 206.997 275.997 344.996 413.995 482.994 551.993
0.20 75.322 150.644 225.965 301.287 376.609 451.931 527.252 602.574
0.25 78.283 156.566 234.849 313.132 391.415 469.698 547.980 626.263
0.30 79.121 158.241 237.362 316.482 395.603 474.723 553.844 632.964
0.35 78.599 157.198 235.798 314.397 392.996 471.595 550.195 628.794
0.40 77.205 154.410 231.614 308.819 386.024 463.229 540.434 617.638
0.45 75.253 150.506 225.759 301.012 376.265 451.518 526.771 602.024
0.50 72.953 145.906 218.859 291.813 364.766 437.719 510.672 583.625
0.55 70.446 140.892 211.339 281.785 352.231 422.677 493.124 563.570
0.60 67.828 135.656 203.484 271.313 339.141 406.969 474.797 542.625
0.65 65.165 130.330 195.494 260.659 325.824 390.988 456.153 521.318
0.70 62.501 125.003 187.504 250.006 312.507 375.009 437.510 500.012
0.75 59.870 119.739 179.609 239.478 299.348 359.217 419.087 478.956
0.80 57.290 114.581 171.871 229.161 286.452 343.742 401.032 458.323
0.85 54.778 109.557 164.335 219.113 273.892 328.670 383.448 438.227
0.90 52.343 104.686 157.029 209.372 261.715 314.057 366.400 418.743
0.95 49.990 99.980 149.970 199.960 249.950 299.940 349.930 399.920
147

Lampiran 16 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=11 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000 T6000 T7000 T8000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 43.094 86.187 129.281 172.375 215.469 258.562 301.656 344.750
0.10 68.213 136.427 204.640 272.853 341.066 409.279 477.493 545.706
0.15 82.780 165.559 248.339 331.119 413.899 496.678 579.458 662.238
0.20 90.903 181.807 272.711 363.614 454.518 545.421 636.324 727.228
0.25 94.974 189.948 284.922 379.896 474.870 569.844 664.818 759.792
0.30 96.438 192.875 289.313 385.750 482.188 578.626 675.063 771.501
0.35 96.200 192.399 288.599 384.798 480.998 577.198 673.397 769.597
0.40 94.843 189.686 284.529 379.373 474.216 569.059 663.902 758.745
0.45 92.753 185.505 278.258 371.011 463.764 556.516 649.269 742.022
0.50 90.187 180.374 270.561 360.749 450.935 541.123 631.310 721.497
0.55 87.323 174.647 261.970 349.293 436.616 523.940 611.263 698.586
0.60 84.284 168.567 252.851 337.135 421.418 505.702 589.986 674.270
0.65 81.154 162.308 243.463 324.617 405.771 486.925 568.080 649.234
0.70 77.995 155.990 233.985 311.980 389.975 467.970 545.966 623.961
0.75 74.849 149.698 224.547 299.396 374.245 449.094 523.943 598.792
0.80 71.746 143.492 215.237 286.983 358.729 430.475 502.221 573.967
0.85 68.707 137.413 206.120 274.826 343.533 412.240 480.946 549.653
0.90 65.746 131.492 197.237 262.983 328.729 394.475 460.220 525.966
0.95 62.873 125.746 188.619 251.492 314.365 377.238 440.111 502.984
148

Lampiran 17 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=12 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 50.613 101.226 151.838 202.451 253.064
0.10 80.665 161.329 241.994 322.659 403.323
0.15 98.474 196.947 295.420 393.894 492.368
0.20 108.701 217.401 326.102 434.802 543.503
0.25 114.088 228.175 342.263 456.351 570.438
0.30 116.314 232.627 348.941 465.254 581.567
0.35 116.442 232.884 349.326 465.768 582.210
0.40 115.166 230.332 345.498 460.665 575.831
0.45 112.949 225.898 338.847 451.796 564.745
0.50 110.106 220.212 330.318 440.424 550.531
0.55 106.856 213.712 320.568 427.423 534.279
0.60 103.352 206.703 310.055 413.407 516.758
0.65 99.703 199.405 299.108 398.810 498.513
0.70 95.986 191.973 287.959 383.946 479.932
0.75 92.259 184.519 276.778 369.037 461.297
0.80 88.561 177.123 265.684 354.246 442.807
0.85 84.922 169.843 254.765 339.687 424.608
0.90 81.360 162.721 244.081 325.441 406.802
0.95 77.892 155.784 233.676 311.568 389.460
149

Lampiran 18 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=13 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 59.062 118.125 177.187 236.249 295.312
0.10 94.705 189.409 284.114 378.818 473.523
0.15 116.222 232.443 348.665 464.887 581.109
0.20 128.879 257.759 386.638 515.518 644.397
0.25 135.808 271.616 407.424 543.233 679.041
0.30 138.945 277.891 416.836 555.782 694.727
0.35 139.532 279.064 418.596 558.128 697.660
0.40 138.385 276.770 415.155 553.540 691.926
0.45 136.056 272.112 408.169 544.225 680.281
0.50 132.925 265.850 398.776 531.701 664.626
0.55 129.258 258.516 387.774 517.032 646.291
0.60 125.244 250.488 375.732 500.976 626.220
0.65 121.019 242.037 363.056 484.075 605.094
0.70 116.681 233.361 350.042 466.722 583.403
0.75 112.301 224.602 336.903 449.205 561.505
0.80 107.933 215.866 323.798 431.731 539.664
0.85 103.614 207.227 310.841 414.455 518.068
0.90 99.371 198.743 298.114 397.486 496.857
0.95 95.226 190.452 285.678 380.904 476.130
150

Lampiran 19 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=14 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 68.505 137.009 205.514 274.018 342.523
0.10 110.441 220.883 331.324 441.766 552.207
0.15 136.167 272.334 408.502 544.669 680.836
0.20 151.608 303.216 454.824 606.432 758.040
0.25 160.322 320.644 480.966 641.288 801.610
0.30 164.533 329.066 493.599 658.131 822.664
0.35 165.678 331.356 497.034 662.712 828.390
0.40 164.714 329.427 494.141 658.855 823.568
0.45 162.290 324.581 486.872 649.162 811.452
0.50 158.861 317.723 476.584 635.445 794.307
0.55 154.746 309.493 464.239 618.985 773.731
0.60 150.175 300.350 450.525 600.699 750.875
0.65 145.314 290.627 435.941 581.255 726.568
0.70 140.284 280.569 420.853 561.137 701.422
0.75 135.177 270.354 405.530 540.707 675.884
0.80 130.057 260.115 390.172 520.229 650.287
0.85 124.975 249.950 374.924 499.899 624.874
0.90 119.965 239.931 359.896 479.862 599.827
0.95 115.056 230.111 345.167 460.223 575.278
151

Lampiran 20 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=15 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 79.002 158.004 237.007 316.009 395.011
0.10 127.985 255.969 383.954 511.939 639.923
0.15 158.454 316.908 475.362 633.816 792.270
0.20 177.056 354.112 531.167 708.223 885.280
0.25 187.817 375.634 563.452 751.269 939.086
0.30 193.277 386.554 579.831 773.107 966.384
0.35 195.090 390.181 585.271 780.361 975.451
0.40 194.367 388.735 583.102 777.469 971.836
0.45 191.870 383.741 575.611 767.482 959.352
0.50 188.134 376.268 564.402 752.536 940.670
0.55 183.539 367.078 550.617 734.156 917.695
0.60 178.361 356.721 535.082 713.443 891.803
0.65 172.801 345.601 518.402 691.202 864.003
0.70 167.007 334.014 501.021 668.029 835.036
0.75 161.091 322.182 483.273 644.364 805.455
0.80 155.135 310.269 465.404 620.539 775.673
0.85 149.199 298.399 447.598 596.797 745.997
0.90 143.331 286.662 429.993 573.324 716.655
0.95 137.564 275.128 412.692 550.255 687.819
152

Lampiran 21 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=16 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 90.619 181.237 271.856 362.474 453.093
0.10 147.445 294.889 442.334 589.779 737.224
0.15 183.227 366.455 549.682 732.909 916.136
0.20 205.394 410.788 616.183 821.577 1026.971
0.25 218.484 436.967 655.451 873.935 1092.419
0.30 225.381 450.761 676.142 901.523 1126.903
0.35 227.980 455.961 683.941 911.922 1139.902
0.40 227.564 455.127 682.691 910.255 1137.818
0.45 225.017 450.033 675.050 900.066 1125.083
0.50 220.965 441.929 662.894 883.858 1104.823
0.55 215.857 431.713 647.570 863.427 1079.283
0.60 210.020 420.039 630.059 840.079 1050.098
0.65 203.695 407.389 611.084 814.778 1018.473
0.70 197.060 394.121 591.181 788.241 985.301
0.75 190.251 380.501 570.752 761.002 951.252
0.80 183.366 366.733 550.099 733.465 916.831
0.85 176.483 352.966 529.450 705.933 882.416
0.90 169.658 339.317 508.975 678.634 848.292
0.95 162.935 325.870 488.805 651.740 814.675
153

Lampiran 22 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=17 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 103.418 206.835 310.253 413.670 517.088
0.10 168.933 337.866 506.799 675.731 844.664
0.15 210.634 421.268 631.901 842.535 1053.169
0.20 236.795 473.591 710.386 947.181 1183.977
0.25 252.513 505.026 757.539 1010.052 1262.564
0.30 261.049 522.098 783.147 1044.195 1305.245
0.35 264.563 529.125 793.687 1058.250 1322.813
0.40 264.522 529.045 793.567 1058.089 1322.612
0.45 261.951 523.903 785.854 1047.806 1309.757
0.50 257.576 515.153 772.729 1030.305 1287.881
0.55 251.922 503.843 755.765 1007.687 1259.609
0.60 245.372 490.745 736.117 981.489 1226.861
0.65 238.213 476.426 714.639 952.852 1191.064
0.70 230.656 461.313 691.969 922.625 1153.282
0.75 222.863 445.727 668.590 891.453 1114.317
0.80 214.955 429.911 644.866 859.822 1074.776
0.85 207.024 414.048 621.072 828.097 1035.121
0.90 199.140 398.279 597.419 796.559 995.699
0.95 191.355 382.710 574.065 765.420 956.775
154

Lampiran 23 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=18 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0 0 0 0 0
0.05 117.463 234.927 352.3902 469.854 587.317
0.10 192.561 385.122 577.683 770.244 962.805
0.15 240.821 481.6421 722.463 963.284 1204.105
0.20 271.433 542.867 814.300 1085.734 1357.168
0.25 290.098 580.195 870.293 1160.391 1450.488
0.30 300.488 600.976 901.464 1201.952 1502.440
0.35 305.052 610.104 915.156 1220.208 1525.260
0.40 305.465 610.929 916.394 1221.858 1527.323
0.45 302.899 605.799 908.698 1211.597 1514.496
0.50 298.194 596.389 894.583 1192.777 1490.971
0.55 291.959 583.917 875.876 1167.834 1459.793
0.60 284.641 569.281 853.922 1138.562 1423.203
0.65 276.574 553.149 829.723 1106.297 1382.871
0.70 268.011 536.021 804.032 1072.043 1340.054
0.75 259.140 518.280 777.420 1036.560 1295.700
0.80 250.107 500.214 750.321 1000.428 1250.534
0.85 241.022 482.043 723.065 964.087 1205.109
0.90 231.969 463.937 695.906 927.875 1159.843
0.95 223.012 446.024 669.036 892.048 1115.060
155

Lampiran 24 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=19 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 132.821 265.642 398.463 531.284 664.105
0.10 218.443 436.885 655.328 873.770 1092.213
0.15 273.938 547.876 821.814 1095.752 1369.691
0.20 309.484 618.968 928.451 1237.935 1547.419
0.25 331.433 662.865 994.297 1325.730 1657.163
0.30 343.906 687.812 1031.719 1375.625 1719.531
0.35 349.666 699.333 1048.999 1398.665 1748.332
0.40 350.613 701.227 1051.840 1402.453 1753.066
0.45 348.086 696.172 1044.258 1392.344 1740.430
0.50 343.046 686.091 1029.136 1372.182 1715.228
0.55 336.193 672.387 1008.580 1344.773 1680.966
0.60 328.049 656.097 984.146 1312.194 1640.243
0.65 319.000 637.999 956.999 1275.998 1594.998
0.70 309.340 618.679 928.019 1237.358 1546.698
0.75 299.292 598.584 897.877 1197.169 1496.461
0.80 289.028 578.055 867.083 1156.110 1445.138
0.85 278.677 557.354 836.030 1114.707 1393.384
0.90 268.340 536.681 805.021 1073.361 1341.701
0.95 258.095 516.190 774.284 1032.379 1290.474
156

Lampiran 25 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang tebar L=20 cm

F Hasil Tangkapan (kg)


T1000 T2000 T3000 T4000 T5000
0.00 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.05 149.556 299.111 448.666 598.222 747.778
0.10 246.691 493.382 740.074 986.765 1233.456
0.15 310.135 620.269 930.404 1240.539 1550.673
0.20 351.123 702.245 1053.368 1404.491 1755.613
0.25 376.713 753.427 1130.140 1506.854 1883.568
0.30 391.513 783.026 1174.539 1566.052 1957.565
0.35 398.624 797.249 1195.873 1594.497 1993.122
0.40 400.193 800.387 1200.580 1600.774 2000.967
0.45 397.740 795.479 1193.219 1590.958 1988.698
0.50 392.359 784.718 1177.076 1569.435 1961.793
0.55 384.854 769.707 1154.561 1539.415 1924.269
0.60 375.822 751.643 1127.465 1503.287 1879.108
0.65 365.711 731.422 1097.133 1462.843 1828.554
0.70 354.862 709.723 1064.585 1419.446 1774.308
0.75 343.533 687.067 1030.600 1374.133 1717.667
0.80 331.926 663.852 995.777 1327.703 1659.629
0.85 320.192 640.385 960.577 1280.770 1600.961
0.90 308.451 616.903 925.354 1233.806 1542.257
0.95 296.794 593.589 890.383 1187.178 1483.972
157

Lampiran 26 Program mencari hasil tangkapan optimum


CLS

DIM N1(12, 12), WKG(12, 251), BKG(12, 251), CKG(12, 251), N(12,
251)

DIM Y(12, 251), VY(12, 251), SSB(12, 251), DE(12, 251)

DIM L(12, 251)

DIM MSB(12, 251), opt(251)

DIM YBUL(12), VYBUL(12), BKGBUL(12)

DIM W(12, 12), B(12, 12), C(12, 12)

OPEN "o", #1, "op10T70"

JEDA = 1

l1 = 10

F = .01

M = .445

REM Z = F + M

REM INPUT "Berapa panjang kerapu macan yang ditebar (cm)"; L1

t = 1

N0 = 7000

delta = 0: beda = 0

WHILE delta <= 0 AND beda <= 0

opunt = untung

optimal = YTH

opvyth = VYTH

opssbth = SSBTH

YTOT = 0: VYTOT = 0: BKGTOT = 0: SSBTOT = 0: NTOT = 0

DSSB = 0: untung = 0

Z = F + M

FOR I = 1 TO 12 STEP JEDA

FOR J = I TO I

N1(I, J) = N0

W(I, J) = (.008 * l1 ^ 3.16) / 1000

B(I, J) = N1(I, J) * W(I, J)


158

Lampiran 26 (lanjutan)

WKG(I, J) = W(I, J)

BKG(I, J) = B(I, J)

N(I, J) = N1(I, J)

NEXT J

NEXT I

t = -.44 - (1 / .27) * (LOG((97.48 - l1) / 97.48))

FOR I = 1 TO 12

FOR J = (I + 1) TO (I + 239)

N(I, J) = N(I, J - 1) * EXP(-Z)

KON = (t + ((J - I) / 12)) + .44

L(I, J) = 97.48 * (1 - EXP(-.27 * KON))

WKG(I, J) = (.008 * L(I, J) ^ 3.16) / 1000

BKG(I, J) = N(I, J) * WKG(I, J)

CKG(I, J) = N(I, J) * (1 - EXP(-Z)) * (F / Z)

Y(I, J) = CKG(I, J) * WKG(I, J)

VY(I, J) = Y(I, J) * 130000

REM IF L(I, J) >= 45 THEN

A = EXP(-(L(I, J) - 50) / 5)

B = (1 + EXP(-(L(I, J) - 50) / 5)) ^ 2

PEL = (1 / 5) * (A / B)

SSB(I, J) = N(I, J - 1) * (1 - EXP(-Z)) * (PEL / Z)

REM END IF

NEXT J

NEXT I

FOR I = 1 TO 12

YBUL = 0: VYBUL = 0: BKGBUL = 0: SSBBUL = 0: NTKPBUL = 0

FOR J = I TO (239 + I)
159

Lampiran 26 (lanjutan)

YBUL = YBUL + Y(I, J)

VYBUL = VYBUL + VY(I, J)

BKGBUL = BKGBUL + BKG(I, J)

SSBBUL = SSBBUL + SSB(I, J)

NTKPBUL = NTKPBUL + CKG(I, J)

NEXT J

YTOT = YTOT + YBUL

VYTOT = VYTOT + VYBUL

BKGTOT = BKGTOT + BKGBUL

SSBTOT = SSBTOT + SSBBUL

NTOT = NTOT + NTKPBUL

NEXT I

YTH = YTOT

VYTH = VYTOT / 1000000

LIMPAH = BKGTOT

SSBTH = SSBTOT

beda = optimal - YTH

delta = YTH - 530

untung = VYTH - (N0 * l1 * 450) / 1000000

F = F + .001

REM PRINT N0; YTH; VYTH; SSBTH; LIMPAH; NTOT

REM WRITE #1, N0, YTH

PRINT YTH; VYTH; untung; LIMPAH

WEND

PRINT N0; "Optimal pada F="; F; " dengan Y= "; optimal; " VY= ";
opvyth; " SSB= "; opssbth; " untung= "; opunt

WRITE #1, F, optimal, opvyth, opssbth, opunt

CLOSE

END
160

Lampiran 27 Hubungan nilai hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada


berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 11 – 13 cm

70
Nilai Hasil Tangkapan (juta

60
50
T1000
40
30 T2000
Rp)

20 T3000
10 T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

80
Nilai Hasil Tangkapan (juta

70
60
50 T1000
40 T2000
Rp)

30
20 T3000
10 T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

100
Nilai Hasil Tangkapan (juta

80
T1000
60
T2000
40
Rp)

T3000
20
T4000
0
0 0,5 (c) 1 T5000

Mortalitas Tangkapan (F)


161

Lampiran 28 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada


berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 14 - 16 cm

Nilai Hasil Tangkapan (juta 120


100
80 T1000
60 T2000
Rp)

40 T3000
20
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

140
Nilai Hasil Tangkapan (juta

120
100
T1000
80
60 T2000
Rp)

40 T3000
20 T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

200
Nilai Hasil Tangkapan (juta

150
T1000
100 T2000
Rp)

50 T3000
(c) T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)
162

Lampiran 29 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada


berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 17 - 19 cm

300
Nilai Hasil Tangkapan (juta

250
200 T1000
150 T2000
Rp)

100 T3000
50
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

300
Nilai Hasil Tangkapan (juta

250
200 T1000
150 T2000
Rp)

100 T3000
50
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

300
Nilai Hasil Tangkapan (juta

250
200 T1000
150 T2000
Rp)

100
T3000
50
T4000
0
0 0,5 (c) 1 T5000

Mortalitas Tangkapan (F)


163

Lampiran 30 Hubungan hasil tangkapan dengan mortalitas tangkapan pada


berbagai padat tebar (T) untuk panjang benih 20 cm

Nilai Hasil Tangkapan (juta Rp) 300

250

200
T1000
150 T2000
T3000
100
T4000
50 T5000

0
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Mortalitas Tangkapan (F)
164

Lampiran 31 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat


tebar (T) untuk panjang benih 11 – 13 cm

60
50
40 T1000
SSB (ekor)

30 T2000
20 T3000
10
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

70
60
50
T1000
SSB (ekor)

40
30 T2000
20 T3000
10 T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

80
70
60
T1000
SSB (ekor)

50
40 T2000
30
20 T3000
10 (c) T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)
165

Lampiran 32 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat


tebar (T) untuk panjang benih 14 - 16 cm

100
80
T1000
SSB (ekor)

60
T2000
40
T3000
20
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

120
100
80 T1000
SSB (ekor)

60 T2000
40 T3000
20
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

250
200
T1000
SSB (ekor)

150
T2000
100
T3000
50
(c) T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)
166

Lampiran 33 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat


tebar (T) untuk panjang benih 17 - 19 cm

250
200
T1000
SSB (ekor)

150
T2000
100
T3000
50
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

250
200
T1000
SSB (ekor)

150
T2000
100
T3000
50
T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)

250
200
T1000
SSB (ekor)

150
T2000
100
T3000
50
(c) T4000
0
T5000
0 0,5 1
Mortalitas Tangkapan (F)
167

Lampiran 34 Hubungan SSB dengan mortalitas tangkapan pada berbagai padat


tebar (T) untuk panjang benih 20 cm

250

200

150 T1000
SSB (ekor)

T2000
100 T3000
T4000
50
T5000

0
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Mortalitas Tangkapan (F)
168

Lampiran 35 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang benih 15, 16, 17 cm (harvest
type)

Panjang Padat F- Y- Nilai Hasil Rente


(cm) Tebar optimal optimal Tangkapan (juta
(ekor) (kg) (juta Rp) Rp)

15 5000 0.360 975.609 126.829 99.761


5100 0.360 995.121 129.366 101.757
5200 0.360 1014.634 131.902 103.752
5300 0.360 1034.146 134.439 105.747
5400 0.360 1053.658 136.976 107.742
5500 0.294 1059.760 137.769 107.994
5600 0.262 1059.914 137.789 107.473
5700 0.240 1059.036 137.675 106.817
5800 0.224 1058.969 137.666 106.268
5900 0.211 1058.948 137.663 105.723
6000 0.200 1058.900 137.657 105.176

16 4000 0.368 912.506 118.626 92.073


4100 0.368 935.318 121.591 94.375
4200 0.368 958.131 124.557 96.676
4300 0.368 980.944 127.523 98.978
4400 0.368 1003.756 130.488 101.280
4500 0.368 1026.569 133.454 103.582
4600 0.368 1049.381 136.420 105.884
4700 0.303 1059.707 137.762 106.562
4800 0.265 1059.756 137.768 105.905
4900 0.241 1059.465 137.730 105.203
5000 0.223 1059.013 137.672 104.481

17 3900 0.376 1033.170 134.312 102.956


4000 0.376 1059.661 137.756 105.596
4100 0.283 1059.831 137.778 104.814
4200 0.251 1059.566 137.744 103.976
4300 0.229 1059.262 137.704 103.132
4400 0.212 1058.859 137.652 102.276
4500 0.198 1058.131 137.557 101.377
4600 0.187 1059.064 137.678 100.695
4700 0.177 1058.835 137.649 99.861
4800 0.168 1057.942 137.532 98.941
4900 0.161 1059.919 137.790 98.394
5000 0.154 1059.684 137.759 97.559
169

Lampiran 36 Hasil tangkapan kerapu macan pada berbagai padat tebar dan
mortalitas tangkapan dengan panjang benih 18, 19, 20 cm
(harvest type)

Panjang Padat F- Y- Nilai Hasil Rente


(cm) Tebar optimal optimal Tangkapan (juta
(ekor) (kg) (juta Rp) Rp)
18 3000 0.382 917.141 119.228 90.334
3100 0.382 947.713 123.203 93.345
3200 0.382 978.284 127.177 96.356
3300 0.382 1008.855 131.151 99.367
3400 0.382 1039.427 135.126 102.378
3500 0.321 1059.815 137.776 104.066
3600 0.269 1059.898 137.787 103.113
3700 0.239 1058.804 137.645 102.008
3800 0.219 1059.833 137.778 101.179
3900 0.202 1058.591 137.617 100.054
4000 0.189 1059.240 137.701 99.175

19 2900 0.388 1017.169 132.232 99.096


3000 0.388 1052.243 136.792 102.514
3100 0.291 1059.637 137.753 102.332
3200 0.251 1059.512 137.737 101.173
3300 0.225 1059.235 137.701 99.995
3400 0.206 1059.692 137.760 98.912
3500 0.190 1058.354 137.586 97.595
3600 0.178 1059.999 137.800 96.666
3700 0.167 1059.502 137.735 95.459
3800 0.157 1057.398 137.462 94.043
3900 0.149 1057.874 137.524 92.962
4000 0.142 1058.768 137.640 91.936

20 2000 0.394 800.493 104.064 77.191


2100 0.394 840.517 109.267 81.050
2200 0.394 880.542 114.470 84.910
2300 0.394 920.566 119.674 88.770
2400 0.394 960.591 124.877 92.629
2500 0.394 1000.616 130.080 96.489
2600 0.394 1040.641 135.283 100.348
2700 0.307 1059.827 137.778 101.499
2800 0.256 1059.088 137.681 100.059
2900 0.227 1059.982 137.798 98.832
3000 0.205 1059.111 137.684 97.375
170

Lampiran 37 Fungsi masing-masing pelaku dalam sistem sea farming

No Kelompok Unsur Fungsi Dalam Sea Farming

1 Pembudidaya Hatchery Menyediakan bibit ikan bagi


Perikanan kegiatan budidaya maupun
peningkatan stok ikan di
perairan

Pendeder Ikan Memproduksi ikan dengan


ukuran tertentu untuk dijual
kepada pembudidaya ikan
berikutnya (pembesaran ikan)

Pembudidaya Ikan Memproduksi ikan ukuran


(pembesaran) konsumsi

2 Penangkapan Nelayan Ikan Hias Menangkap ikan hias yang


Ikan berasosiasi dengan terumbu
karang di kawasan perairan
sea farming. Penangkapan
harus berbasis pada
kelestarian ikan maupun
ekosistem terumbu karang

Nelayan Umum Menangkap ikan hasil


peningkatan stok di perairan
sea farming. Penangkapan
harus berbasis pada
kelestarian ikan maupun
ekosistem terumbu karang

3 Pengelola Pengelola DPL Membantu otoritas pengelola


Lingkungan DPL mengawasi dan
mengendalikan pemanfaatan
sumberdaya perikanan di
kawasan DPL sehingga
sinergis dengan pengawasan
kualitas lingkungan perairan
di mana kegiatan sea farming
dilakukan.
171

Lampiran 37 (lanjutan)

No Kelompok Unsur Fungsi Dalam Sea Farming

Pengelola Kawasan Membantu otoritas pengelola


Wisata wisata dalam mengawasi dan
mengendalikan kegiatan
wisata sehingga sinergis
dengan pengawasan kualitas
lingkungan perairan di mana
kegiatan sea farming
dilakukan

4 Pedagang Pedagang Ikan Melakukan kegiatan distribusi


dan perdagangan produk sea
farming

Sumber: PKSPL 2006


172

Lampiran 38 Ringkasan code program daya dukung

Private Sub ctrlDayaDukungSR_Click()


Unload Me
Form6.Show vbModal
End Sub

Private Sub ctrlHitunganDDKJA_Click()


Unload Me
Form5.Show vbModal
End Sub

Private Sub ctrlHitunganTangkapan_Click()


Unload Me
Form1.Show vbModal
End Sub

Private Sub ctrlKami_Click()


Form3.Show vbModal
End Sub

Private Sub ctrlKeluar_Click()


End
End Sub

Private Sub ctrlVon_Click()


Form4.Show vbModal
End Sub

Private Sub Form_Load()


Timer1.Interval = 500 'Set property interval
Timer1.Enabled = True 'Aktifkan jika belum...
End Sub

Private Sub Timer1_Timer()


Label1.Caption = Format(Date, "dd mmmm yyyy")
Label2.Caption = Format(Time, "hh:mm:ss")
End Sub

Public n As Integer
Private Sub Command1_Click()
Dim Nilai() As Double
Dim i As Integer
Dim X(1000) As Double
Dim Y(1000) As Double
Dim n As Integer
Dim k, lm As Double
n = Val(Text1)
k = Val(Text2)
lm = Val(Text3)
t0 = Val(Text4)
ReDim Nilai(1 To n, 1 To 2)

For i = 1 To n
X(i) = i
Y(i) = lm * (1 - Exp(-1 * k * (X(i) - t0)))
Nilai(i, 1) = X(i)
Nilai(i, 2) = Y(i)
173

Lampiran 38 (lanjutan)
Next i

With Me.Chart1
.chartType = VtChChartType2dXY
.RowCount = 2
.ColumnCount = n
.ChartData = Nilai
.Title = "Pertumbuhan Von Bertalannfy"
End With

With Me.Chart1.Plot
.Axis(MSChart20Lib.VtChAxisId.VtChAxisIdX).AxisTitle.Text =
"Waktu (tahun)"
.Axis(MSChart20Lib.VtChAxisId.VtChAxisIdY).AxisTitle.Text =
"Panjang (cm)"
End With
End Sub

Private Sub Command2_Click()


Unload Me
End Sub
Private Sub Command1_Click()
klo = Val(Text1.Text)
dalam = Val(Text2.Text)
TL = Val(Text3.Text)
luas = Val(Text4.Text)
klomikro = klo * 1000
PP = (0.0238 + 0.004 * klomikro) / dalam
PPtahun = PP * 365
ProdTL = PPtahun * 10 ^ (-1 * TL)
Prodluas = ProdTL * luas * 10000
Bobotikan = Prodluas * 10 * 10 ^ -6
Text5.Text = Format(Bobotikan, "####.###")
Text6.Text = Format(PPtahun, "####.###")
End Sub

Private Sub Command2_Click()


Unload Me
Form2.Show vbModal
End Sub

Private Sub Command3_Click()


Unload Me
End Sub
174

Lampiran 39 Gambar pilihan

Keramba jaring apung Salah satu suasana berdialog dengan


warga

Bubu Citra satelit perairan Semak Daun

Perahu nelayan Terumbu karang

Potrebbero piacerti anche