Sei sulla pagina 1di 3

Hideki Tojo ( Tj Hideki) (30 Desember 188423 Desember 1948) adalah

jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah
anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an.
Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang
dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin
persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu
mendominasi Jepang saat itu yang ia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Ia
digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Setelah
perang, ia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.

Ia kemudian diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai
penjahat perang. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan 1 (peperangan agresi, dan
perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27
(mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan
agresif melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang agresif melawan
Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang agresif melawan
Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang agresif melawan Perancis (Indochina)),
dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak
berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Ia divonis mati pada
12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.
Karena perbuatan kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab
membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.

Hirohito dilahirkan di Puri Aoyama, Tokyo pada tanggal 29 April 1901. anak pertama
dari Kaisar Yoshihito (Taisho) dan Ratu Sadako (Teimei), dan kakak dari Pangeran
Yasuhito Chichibu (1903-1953), Pangeran Nobuhito Takamatsu (1905-1987) serta
Pangeran Takahito Mikasa (1915- ). Sebelum naik takhta ia dikenal sebagai
Pangeran Michi (, Michi-no-Miya). Masa kekuasaannya sebagai kaisar dikenal
sebagai era Showa yang berarti damai, cerah budi. Namun ironisnya, justru pada
saat itu, Jepang terlibat perang melawan RRT dan akhirnya dalam Perang Dunia II.
Di Indonesia, ketika masa pendudukan Jepang (1942-1945) Hirohito dikenal sebagai
Tenno Heika yang berarti "Yang Mulia Kaisar".

Pada masa ia bertakhta, Hirohito menyaksikan pertentangan di dalam negeri dan


peperangan yang diawali dengan kericuhan di dalam negeri akibat pertentangan
antara kelompok moderat dengan golongan kanan ultranasionalis yang disokong
militer khususnya Angkatan Darat sebagai kekuatan terbesar pada saat itu.
Akibatnya sejumlah pejabat tinggi, pengusaha dan tokoh-tokoh penting negara
terbunuh dan puncaknya adalah insiden militer 26 Februari 1936, yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Saburo Aizawa serta 1500 prajurit. Peristiwa ini juga melibatkan
pangeran Yashuhito Chichibu sehingga Kaisar Hirohito sendiri turun tangan dan
memerintahkan pasukan Angkatan Bersenjata kekaisaran untuk menyelesaikan hal
ini dan memastikan loyalitas dari seluruh keluarga kekaisaran. Meskipun demikian
diam-diam insiden ini "direstui" oleh kalangan pimpinan Angkatan Darat terutama
dari kalangan ultranasionalis. Oleh karena itu pada tahun 1930, klik ultranasionalis
dan militer menguasai pimpinan pemerintahan.

Akhirnya, pada masa kekaisaran Hirohito Jepang tercatat terlibat peperangan di


antaranya Insiden Manchuria 1931, Insiden Nanking 1937, dan Perang Dunia II
dengan melancarkan serangan atas Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di
Pearl Harbour 9 Desember 1941.

Menjelang akhir perang (1945), Jepang sudah praktis kalah perang. Angkatan
Lautnya bisa dikatakan hampir habis dan Angkatan Daratnya kewalahan. Namun
pihak Angkatan Darat masih ingin melanjutkan peperangan. Rapat 6 Besar
(Angkatan Darat Jendral Umezu,Angkatan Laut Admiral Toyoda, Kementrian
Peperangan Jendral Korechika Anami, Menteri Luar Negeri Shinegori Togo, Perdana
Menteri Suzuki Kantaro, Kementrian Angkatan Laut Admiral Yonai Mitsumasa)
macet. Muncul pula ancaman pemberontakan komunis yang dikhawatirkan
beberapa pejabat teras kekaisaran. Lambannya penanganan masalah ini ditambah
dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima (6 Agustus 1945), Nagasaki (9
Agustus 1945) serta pernyataan perang Uni Soviet (yang sebelumnya netral karena
perjanjian Molotov-Matsuoka dengan batas akhir April 1946) sesaat setelah
dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, membuat Kaisar memerintahkan untuk
menghentikan peperangan pada konfrensi 6 Besar yang dikatakan pada tanggal 10
Agustus 1945:

"Meneruskan peperangan hanya akan menambah kesengsaraan rakyat Jepang,


kondisi negara tidak akan mampu untuk bertahan cukup lama dan kemampuan
mempertahankan persisir pantai saja sudah diragukan. Sangat sulit melihat tentara
yang setia dilucuti ..tetapi saatnya untuk menanggung apa yang tidak
tertanggungkan. Saya menyetujui proposal untuk menerima proklamasi Sekutu
(Potsdam) yang garis besarnya ada di menteri luar negeri"

Karena desakan kaisar inilah akhirnya Jepang menyatakan menyerah pada tanggal
14 Agustus 1945.

Potrebbero piacerti anche