Sei sulla pagina 1di 9

POSISI DAYA SAING PRODUK DAN KELEMBAGAAN

AGROINDUSTRI HALAL ASEAN


Dwi Purnomo1), E.Gumbira-Said2), Anas M Fauzi3),
Khaswar Syamsu3), Muhammad Tasrif4)
1)
Mahasiswa Program Doktor Teknologi Industri Pertanian IPB, Dosen FTIP UNPAD.
2)
Guru Besar Teknologi Industri Pertanian IPB
3)
Dosen dan Peneliti Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

ABSTRACT
Indonesia is the largest Muslim population in the world. By establishing Halal-based agroindustry, Indonesia is expected to avoid the status of the largest worlds largest Halal market.
Indonesia need to gradually develop its capability as internationally recognized competitive
Halal products producer. Malaysia, Thailand and Brunei Darussalam as ASEAN members have
been globally recognized as the worlds Halal products hub and building their Halal industry
as their main platform of agro-industry development to penetrate international market. High
level of competition abounds from both Muslim and non-Muslim nations, including ASEAN
members which have been aggressively setting up their industrial estates and marketing their
Halal products around the global market. This study observed Halal-based Agro-industry
Competitiveness among six ASEAN countries. Quantitative SWOT analysis and Multi Criteria
Decision Making (MCDM) analysis were used to find out the details of intrinsic and extrinsic
factors in each country. The result showed that Malaysia and Thailand placed as the most
advance country among ASEAN countries, while Indonesia placed as number five due to its
weakness in some most important intrinsic and extrinsic factors.
Keywords: Competitiveness, Halal, Agro-industry, SWOT-Quantitative Analysis
1. PENDAHULUAN1
Di wilayah Asia Tenggara (ASEAN),
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand
merupakan negara-negara yang sangat aktif
dalam memanfaatkan peluang pasar Halal
global, sedangkan Indonesia meskipun
populasi Muslimnya terbanyak di dunia
justru hanya berperan sebagai pasar halal
terbesar. Agroindustri Halal ASEAN yang
dipelopori oleh Malaysia berkembang
sebagai pusat produksi dan pemasaran
produk Halal global, yang dilakukan
melalui kerjasama antar negara ASEAN
atau dikenal sebagai ASEAN Halal-Hub.
Di lain pihak, negara-negara non
muslim
yang
sangat
kuat
sektor
peternakannya seperti Australia, Brazil, dan
Kanada saat ini telah menjadi pemasok
pangan Halal utama dunia untuk produk
daging, unggas serta produk peternakan lain
dan turunannya dikarenakan telah sadar
sepenuhnya akan potensi pasar produk
Halal yang ada (Gumbira-Said, 2008).
Korespondensi :
Dwi Purnomo
E-mail : dwighy@yahoo.com

Posisi Daya Saing Produk (Dwi Purnomo)

Di wilayah ASEAN, Malaysia adalah


negara yang paling serius untuk
memposisikan diri menjadi pusat makanan
Halal-Hub di kawasan Asia dan pelopor
dalam
globalisasi
sertifikasi
Halal.
Malaysia menjadi negara pertama yang
memiliki badan pengelola industi Halal dan
cetak biru yang memberikan tujuan jelas
dan pedoman dalam industri Halal-nya.
Pemerintah Malaysia aktif memberikan
insentif, skema atau hibah serta fasilitas lain
yang didedikasikan untuk mengembangkan
industri Halal (Bidin, 2009). Di lain pihak,
berbagai negara di Asia dan Eropa, bahkan
Australia dan Selandia Baru secara agresif
mengambil peluang pasar produk Halal,
dan menjadikan Indonesia sebagai pasar
utamanya.
Pasar produk Halal Indonesia adalah
salah satu tujuan pasar bagi beragam
produsen pangan Halal impor yang
dipasarkan di Indonesia, khususnya pada
hypermarket dan supermarket besar, antara
lain meliputi produk pangan fungsional,
produk pangan siap saji, produk bahan
tambahan makanan, kosmetik dan bahanbaku industri. Beragam produk yang

bersertifikat
Halal
yang
telah
dikembangkan secara global meliputi
daging, buah-buahan, coklat, makanan
beku, hewan laut, makanan kaleng, permen,
makanan ringan, pasta dan mi, saus, kue,
sereal, seasoning, bumbu, biscuit dan
minuman (Gumbira-Said, 2008).
Perkembangan global tersebut menjadi
tantangan bagi produk agroindustri Halal
Indonesia untuk mengisi potensi pasar
Halal global secara optimal dengan
kemampuannya mengembangkan daya
saing dari segi produk dan kelembagaan.
Hal ini perlu dilakukan agar Indonesia tidak
hanya menguasai pasar dalam negeri dalam
jangka waktu pendek dan terhindar menjadi
negara pengimpor terbesar produk-produk
Halal.

agroindustri Halal Indonesia dari aspek


produk dan aspek kelembagaan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil masing-masing analisis SWOT
agroindustri Halal berisikan diidentifikasi
berdasarkan faktor 1) internal berupa
kemampuan adaptasi sistem sertifikasi,
level of trust, kekuatan industri Halal,
potensi dukungan pemerintah, peningkatan
kesadaran masyarakat, inovasi produk, nilai
tambah dan daya saing produk, potensi
pasar dan lain sebagainya yang berpotensi
menjadi faktor-faktor kekuatan dan
kelemahan, dan 2) eksternal berupa
advokasi dan jejaring kelembagaan, riset
dan penguasaan teknologi, infrastruktur
logistik,
lembaga
sertifikasi
Halal,
keberlanjutan pemenuhan bahan baku,
perdagangan
bebas
dan
regulasi
pemerintah. Di bawah ini menunjukkan
bahwa di enam negara ASEAN yang
diamati, memiliki tingkat kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT)
yang sangat beragam seberti ditunjukkan
pada Gambar 1 berikut.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibagi menjadi dua sub
kajian, yaitu kajian untuk menentukan
posisi daya saing agroindustri Halal dengan
menggunakan analisis SWOT kuantitatif
dan Multi Criteria Decison Making
(MCDM) yang bertujuan menggali lebih
detail faktor-faktor kekuatan yang dimiliki
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
-1,00
-2,00
-3,00
-4,00

STRENGTH

WEAKNESS

OPPORTUNITY

THREAT

S-W

O-T

Indonesia

1,47

-2,76

3,36

-0,96

-1,29

2,40

Malaysia

1,56

-0,69

4,99

-0,21

0,87

4,78

Brunei Darussalam

1,47

-2,76

3,36

-0,96

-1,29

2,40

Thailand

1,71

-0,89

4,55

-0,19

0,82

4,37

Filipina

0,76

-2,53

1,84

-1,72

-1,78

0,12

Singapura

0,71

-1,67

3,36

-1,24

-0,96

2,13

Gambar 1. Tingkat Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (SWOT)


Agroindustri Halal di Enam Negara ASEAN

Jurnal Teknik Industri, ISSN:1411-6340

Agroindustri Halal ASEAN memiliki


kekuatan yang bervariasi dengan skor 1,50
sampai dengan -2,00. Pada Gambar 1 di
atas
menunjukkan
bahwa
tingkat
kelemahan yang tinggi didapatkan oleh
Indonesia,
Singapura
dan
Filipina,
sedangkan Thailand dan Malaysia memiliki
tingkat kekuatan yang lebih tinggi dari
negara-negara lainnya. Pada Gambar 1 di
atas juga menunjukkan bahwa potensi
pengembangan agroindustri Halal memiliki
skor yang sangat baik pada rentang nilai
(3,00-5,00) kecuali Filipina dengan skor
dibawah 2,00. Hal tersebut menggambarkan
bahwa agroindustri Halal memiliki potensi
pengembangan yang baik di hampir setiap
negara. Pada skor peluang, nilai yang
diperoleh memiliki rata-rata nilai yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan faktorfaktor lainnya, sedangkan faktor ancaman
pada umumnya memiliki nilai yang jauh
lebih rendah jika dibandingkan dengan
faktor-faktor laiinya. Gambar 2 berikut
menggambarkan
posisi
daya
saing
agroindustri Halal di enam negara ASEAN.
PELUANG (O)
5

Malaysia

peluang-peluang eksternal yang luas


sehingga strategi kedua negara tersebut
akan bersifat agresif. Di lain pihak,
Singapura dan Brunei Darussalam yang
berada di kuadran (O-W), dengan hal
tersebut, strateginya akan mengarahkan
untuk menutupi kelemahan-kelemahan
internal untuk menggapai peluang eksternal
untuk mencapai tujuan, di lain pihak
Filipina yang cenderung masuk ke kuadran
Kelemahan-Ancaman
(W-T)
yang
mengindikasikan bahwa negara tersebut
harus bertahan menutupi kelemahan
internalnya untuk meniadakan ancaman
eksternal, sehingga strategi pengembangannya cenderung bersifat bertahan. Untuk
posisi daya saing Indonesia, berada di
kuadran Kekuatan-Ancaman (S-T). Posisi
tersebut merupakan situasi yang tidak
menguntungkan, karena berbagai ancaman
dan kelemahan internal harus dihadapi.
Fokus strategi yang perlu dilakukan adalah
melakukan tindakan penyelamatan agar
terlepas dari kerugian yang lebih besar
(defensive) sehingga perlu menciptakan
strategi
yang
dapat
memperkecil
kelemahannya.

2
4
1

Filipina
-5

-4

-3

4
-2

-1

KEKUATAN (S)

(W) KELEMAHAN

Thailand
Brunei
Darussalam
Singapura

Indonesia
2

ANCAMAN (T)

Gambar 2. Posisi Daya Saing Agroindustri


Halal Indonesia
Gambar 2 di atas menunjukkan posisi
daya saing enam negara ASEAN dalam
agroindustri Halal. Dari gambar tersebut
diketahui bahwa Malaysia dan Thailand
berada di kuadran S-O (Kekuatan-Peluang),
dengan posisi tersebut Malaysia dan
Thailand akan cenderung atau lebih
mengutamakan
pemanfaatan
potensi
internal yang berupa kekuatan untuk meraih

Posisi Daya Saing Produk (Dwi Purnomo)

Tingkat
Kekuatan
Agroindustri Halal
ASEAN

Daya
Enam

Saing
Negara

Untuk menunjukkan tingkat kekuatan


Indonesia
dalam
perkembangan
agroindustri Halal ASEAN, dalam sub bab
ini diukur tingkat kekuatan daya saing
produk dan kelembagaan yang memiliki
pengaruh terhadap posisi daya saing
Indonesia. Faktor-faktor yang digunakan
merupakan agregasi dari kriteria-kriteria
yang dikembangkan dalam analsis SWOTkuantitatif yang dilakukan yakni, faktor
ekstrinsik yang menyangkut pengembangan
kelembagaan agroindustri Halal dan faktor
instrinsik yang menyangkut produk Halal
yang dikembangkan enam negara ASEAN.
Pada Tabel 1 dijelaskan pembobotan
tingkat kepentingan pada setiap faktorfaktor yang ditetapkan.

Tabel 1. Bobot Kepentingan Intrinsik dan Ekstrinsik Pengembangan Agroindustri Halal


No

Faktor Ekstrinsik
Kelembagaan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Kebijakan dan Komitmen Pemerintah


Infrastruktur logistik
Riset dan penguasaan teknologi
Jejaring Kelembagaan
Advokasi Internasional dan Lokal
Tingkat Kesadaran masyarakat dan industri
Tingkat inovasi dan daya saing produk
Jumlah Pelaku Industri Halal
Potensi Pasar
Sistem Sertifikasi Halal
Ketersediaan Bahan Baku
Kemampuan lembaga sertifikasi

Dari hasil analisis yang dilakukan


dengan
mempertimbangkan
bobot
kepentingan
faktor,
didapatkan
menunjukkan bahwa posisi daya saing
Indonesia
dalam
pengembangan
agroindustri Halal ASEAN menempati
posisi ke-lima, hanya lebih tinggi dari
Filipina. Pada faktor- faktor ekstrinsik atau
kelembagaan, Indonesia hanya unggul pada
faktor potensi pasar, sistem sertifikasi
Halal, lembaga sertifikasi serta ketersediaan

Bobot
Faktor
Ekstrinsik
0,152
0,143
0,113
0,113
0,105
0,090
0,085
0,056
0,053
0,034
0,028
0,028

No

Faktor Intrinsik
Produk

1
2
3
4
5
6
7
8

Penampilan Produk
Rasa
Harga
Mutu
Variasi Produk
Cara Penyajian
Apresiasi Konsumen
Level of Trust

Bobot
Faktor
Intrinsik
0,21
0,16
0,18
0,11
0,08
0,16
0,05
0,05

bahan baku, sedangkan untuk infrasturktur


logistik,
komitmen
dan
kebijakan
pemerintah, dan kemampuan advokasi
internasional dan domestik, Indonesia
berada di bawah negara-negara lainnya.
Secara jelas tingkat kekuatan daya saing
faktor ekstrinsik kelembagaan agroindustri
Halal di enam negara ASEAN diperlihatkan
dalam Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Kekuatan Faktor- Faktor Ekstrinsik Kelembagaan di Enam Negara ASEAN


Gambar 2 di atas menunjukkan tingkat
perbandingan
kekuatan
faktor-faktor
ekstrinsik kelembagaan yang menujukkan
bahwa Indonesia dengan total nilai hasil

skoring dan pembobotan sebesar 2,73


berada dibawah Malaysia (4,54), Thailand
(4,25), Brunei Darussalam (3,43) dan
Singapura 3,11. Kekuatan Indonesia terlihat

Jurnal Teknik Industri, ISSN:1411-6340

tidak merata, hanya unggul pada faktorfaktor ekstrinsik yang memiliki bobot
kepentingan yang relatif rendah seperti
sistem sertifikasi halal, kekuatan lembaga
sertifikasi halal, ketersediaan bahan baku
dan
potensi
pasar.
Hal
tersebut
mengakibatkan total skor yang diperoleh
cukup rendah. Di lain pihak walaupun
Singapura atau Brunei Darussalam memilki
banyak kelemahan pada faktor-faktor
ekstrinsik, namun kekuatannya berada pada
faktor-faktor
yang
memiliki
bobot
kepentingan yang tinggi seperti pada faktor
infrastruktur logistik serta komiten dan
kebijakan pemerintah pada pengembangan
agroindustri Halal. Keunggulan yang paling
terlihat, ditunjukkan oleh perolehan
kekuatan Malaysia dan Thailand yang
memiliki tingkat kekuatan yang sangat baik
pada hampir semua faktor ekstrinsik
kelembagaannya.
Malaysia menjadi negara memiliki
kelengkapan faktor ekstrinsik kelembagaan
yang jauh lebih tinggi. Malaysia mampu
mengembangkan keunggulan kompetitifnya
untuk menutupi
kekurangan
dalam
keunggulan komparatifnya. Begitu juga
dengan Thailand, meskipun kemampuannya
tidak merata namun Thailand sangat
mampu menciptakan berbagai kebijakan
yang mendorong agroindustri Halalnya
berjalan
berkesinambungan
dengan
kebijakan industri lainnya sekaligus sejalan
dengan kebijakan politiknya. Kemampuan

mensinergikan kebijakan yang mengacu


pada faktor ekstrinsik kelembagaan ini
menjadikan peta daya saing agroindustri
halal Thailand berkembang dengan cukup
merata.
Pada faktor-faktor intrinsik produk,
yang merupakan faktor penting yang dinilai
secara langsung terhadap produknya,
penilaian dilakukan pada lima kelompok
produk-produk Halal yakni 1) Produk
Daging, (2) Produk makanan dan minuman
olahan, (3) Produk mikrobial, (4) Produk
seasoning dan flavour, serta (5) Produk
kosmetik dan obat-obatan yang berasal dari
enam negara ASEAN. Karena kelima
kelompok produk tersebut merupakan
produk yang dikonsumsi atau digunakan
secara langsung oleh konsumen, maka
penilaian dilakukan dengan asumsi produkproduk yang diamati memiliki karakteristik
yang sama.
Hasil analisis yang didapatkan,
diketahui bahwa kekuatan faktor intrinsik
produk halal yang ada di ke-enam negara
ASEAN tersebut memiliki rentang yang
tidak begotu neragam seperti yang terjadi
pada
tingkat
penguasaan
kekuatan
ekstrinsik kelembagaan. Retang penguasan
kekuatan faktor-faktor intrisnik berada pada
skor 2,27 sampai dengan 4,29. Gambar 3
berikut menunjukkan perbandingan faktorfaktor intrinsik produk Halal di enam
negara ASEAN.

Gambar 3. Posisi Daya Saing Agroindustri Halal Berdasarkan Faktor Intrinsik Produk
Agroindustri Halal di Enam Negara ASEAN

Posisi Daya Saing Produk (Dwi Purnomo)

Dari Gambar 3 di atas, menunjukkan


bahwa produk-produk Halal Indonesia
berada pada posisi kelima dengan skor
3,26. di bawah Malaysia (4,19), Thailand
(3,96), Brunei Darussalam (3,82) dan
Singapura
(3,39).
Dengan
tingkat
penguasaan faktor intrinsik produk yang
didapatkan, maka agroindustri Halal
Indonesia perlu memperbaiki faktor
penampilan produk, cara penyajian serta
meningktakan apresiasi konsumen terhadap
produk Halalnya. Kondisi di lapangan
mendukung pernyataan di atas yang
menemukan bahwa, walaupun dikenal
sebagai negara berpopulasi muslim
terbesar, produk Halal belum dipahami
sebagai produk dengan mutu yang baik.
Halal masih diapresiasi hanya sebatas
produk yang sesuai dengan kaidah agama,
bukan dipandang sebagai produk yang
memiliki mutu tinggi seperti halnya terjadi
di Malaysia ataupun Brunei Darussalam
sehingga produk Halalnya identik dengan
mutu yang tinggi.
Salah satu yang menarik dalam
perolehan skor yang didapatkan Brunei
Darussalam adalah mengenai visi yang
dimiliki Brunei Darussalam untuk dikenal
sebagai negara penghasil produk-produk
Halal premium internasional, sehingga
faktor intrinsik produk dijadikan hal utama
untuk dikembangkan. Upaya memberikan
nilai tambah melalui faktor intrinsik produk
tersebut dinilai berhasil dengan perolehan
skor faktor-faktor intrinsik yang baik Jika
diperbandingkan antara Malaysia, Thailand
dan Singapura, ketiga negara tersebut
memiliki
keunggulan
dalam
hal
penampilan, rasa dan mutu produk Halal
yang diproduksi, sedangkan Indonesia
unggul dalam hal tingkat kepercayaan
terhadap kehalalan produk, harga dan
variasi produk.

4. KESIMPULAN
Posisi daya saing agroindustri halal
Indonesia berada pada di kuadran
Kekuatan-Ancaman
dimana
posisi
Indonesia berada pada kuadran yang
berbeda dengan lima negara ASEAN
lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia
perlu
fokus
untuk
mengembangkan strategi yang perlu

dilakukan adalah melakukan tindakan


strategis jangka panjang untuk melakukan
penyelamatan agar terlepas dari kerugian
yang lebih besar (defensive) mengingat
ancaman terhadap pasar produk halal dalam
negeri sangat besar sehingga komitmen
untuk melindungi konsumen dalam negeri
perlu diikuti dengan melaksanakan strategi
penguatan daya saing dengan melakukan
konglomerasi, diversifikasi konsentrik dan
horizotal (Christinsen et al, 1976). Strategi
yang
diciptakan
diharapkan
dapat
memperkecil kelemahan agroindustri halal
Indonesia.
Secara lebih detail, untuk mengukur
faktor-faktor yang berpengaruh, secara
keseluruhan Indonesia berada pada posisi
ke lima jika dilihat dari dua faktor yang
mempengaruhi perkembangan agroindustri
halal. Pada faktor ekstrinsik kelembagaan
Indonesia unggul pada empat faktor
ekstrinsik dengan nilai tertinggi diantara
enam negara ASEAN lain. Indonesia
unggul pada faktor sistem sertifikasi yang
saat ini menjadi acuan sertifikasi halal
dunia (MUI,2010), potensi pasar yang
merupakan pasar produk halal terbesar di
dunia (Kassim, 2009), ketersediaan bahan
baku yang memadai dan kemampuan
lembaga sertifikasi yang baik. Penguasaan
faktor-faktor
ekstrinsik
kelembagaan
dengan bobot kepentingan yang lebih tinggi
lebih banyak dikuasai oleh Malaysia,
Thailand dan Brunei Darussalam seperti
pada faktor komitmen dan kebijakan
pemerintah
terhadap
pengembangan
agroindustri Halal, sedangkan faktor
infrastruktur logistik yang juga memiliki
bobot kepentingan yang tinggi diperoleh
Singapura. Walaupun Singapura tidak
memiliki
komitmen
terhadap
pengembangan agroindustri halal, namun
aktivitas bisnisnya mempertimbangkan agar
sesuai dengan kriteria Halal.
Pada faktor intrinsik produk, tingkat
kekuatan
daya
saing
produk
memperlihatkan persaingan yang sangat
ketat. Indonesia perlu meningkatkan
kemampuannya
dalam
menciptakan
produk-produk yang inovatif terutama
dalam hal penampilan, cara penyajian dan
mutu
produk.
Produk-produk
halal
Indonesia memiliki level of trust yang
tinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa

Jurnal Teknik Industri, ISSN:1411-6340

produk-produk
Indonesia
diyakini
konsumen adalah produk-produk yang
cenderung identik dengan produk halal.
Saran
Pemahaman potensi bisnis Halal perlu
didorong untuk kemudian dipahami secara
sukarela
oleh
seluruh
pemangku
kepentingan sebagai pemahaman terhadap
pemenuhan kebutuhan konsumen atas
produk-produk bermutu tertinggi. Produk
agroindustri Halal Indonesia saat ini kalah
bersaing di tingkat internasional. Walaupun
masih unggul di dalam negeri, namun perlu
disiapkan strategi yang memberikan
dampak strategis bagi perlindungan pasar
dalam negeri dimasa yang akan datang.
Ekspansi
pasar
internasional
perlu
dilakukan secara gradual serta melakukan
penumbuhkembangan sektor agroindustri
nasional lain dan menyelaraskannya dengan
konsep Halal yang berkesinambungan
dalam jangka panjang.
Untuk mengantisipasi perkembangan
dan persaingan diantara negara-negara
ASEAN, pemerintah perlu menegaskan
kembali
komitmennya
terhadap
pembangunan agroindustri Halal dengan
memiliki visi yang jelas, pembangunan
infrastruktur yang selaras dengan industri
lain dan sejalan dengan konsep Halal.
Pemerintah juga perlu menata kembali
kelompok-kelompok
institusi
dan
melakukan
koordinasi
berdasarkan
kewenangannya. Komitmen perlu ditujukan
kepada peningkatan kualitas agroindustri
yang
dapat
membawa
peningkatan
kesejahteraan rakyat, bukan pada tujuan
jangka pendek.

5. DAFTAR PUSTAKA
[1] Agriculture And Agri-Food Canada.
2006. Halal Food Products Market
Report June. Canada.
[2] Amanor-Boadu
V.
2005.
A
Conversation About Value-Added
Agriculture. Value-Added Business
Development Program. Department Of
Agricultural Economics, Kansas State
University.
[3] Arifin B. 2004. Analisis Ekonomi
Pertanian Indonesia, Jakarta. Penerbit
Buku Kompas.

Posisi Daya Saing Produk (Dwi Purnomo)

[4] Art W. 1995. Agriculture And


Sustainable Development: Policy
Analysis On The Great Plains Canada.
International Institute For Sustainable
Development LISD
[5] Bank
Indonesia.
2004.
Sistem
Informasi Pola Pembiayaan/Lending
Modal Usaha Kecil. Www.Bi.Go.Id.
Jakarta. Bank Indonesia.
[6] Belly, P. 1997. The Comparative
Advantage Of Government : A Review,
Policy Reseacrh .Working Paper No.
1834. Washington, D.C. : World Bank.
[7] Bhattacharya.1988.
Trade
And
Industrial Policies In Developing
Countries Of East Asia. Washington
D.C. : World Bank
[8] Bidin, J. 2009. Development Of Halal
Industry In Malaysia. Halal Products
Research Institute. University Putra
Malaysia. Kuala Lumpur
[9] Brunei Business Delegation.2009.
Development Of A Premium Halal
Food Brand. Kuala Lumpur.
[10] Che Man, Y. 2006. Halal Food
Development. Institute Of Halal Food
Universiti Putra Malaysia, Kuala
Lumpur.
[11] Che
Man,
Y.
2009.
Recent
Developments In Halal Food Analysis.
Institute Of Halal Food Universiti
Putra Malaysia. Kuala Lumpur.
[12] Christensen R., Berg N., Salter M.
1976.
Policy
Formulation
and
Administration III. Homewood.
[13] Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan. 2001. Agribusiness
Investment Opportunity In Indonesia.
Jakarta. Departemen Perindustrian Dan
Perdagangan
[14] Departemen
Perindustrian
Dan
Perdagangan. 2004. Standar Nasional
Indonesia, SNI 01-5010.4-2002, Tata
Nama
Hasil
Hutan.
Jakarta.
Departemen
Perindustrian
Dan
Perdagangan.
[15] Departemen
Perindustrian
Dan
Perdagangan.
2001. Study
On
Restructuring
The
Agro-Based
Industry. Jakarta. Medicor Group.
[16] Departemen Pertanian. 2002. Grand
Strategi Pengembangan Agroindustri
Industri Pengolahan Hasil Pertanian.
Ditjen
Bina
Pengolahan
dan

Pemasaran
Hasil
Pertanian,
Departemen Pertanian.
[17] Departemen Pertanian. 2003. Rencana
Pembangunan Pertanian Tahun 2004,
Jakarta Departemen Pertanian.
[18] Direktorat Jenderal Bina Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2004.
Pedoman
Umum
Pelaksanaan
Program/Proyek
Pengembangan
Pengolahan dan Pemasaran
Hasil
Pertanian, Jakarta. Direktorat Jenderal
Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian.
[19] Global Food Research And Advisory.
2009. Frances Market For Halal
Foods. An Online Review Of Foreign
Agricultural Service Initiatives And
Services. Kuala Lumpur.
[20] Gumbira-Said E dan Intan AH. 2000.
Menghitung Nilai Tambah Produk
Agribisnis. Komoditas II 19 : 48.
Pertanian Bogor. Bogor.
[21] Gumbira-Said E dan Intan AH. 2004.
Manajemen
Agribisnis.
Cetakan
Kedua.
Kerjasama
PT.
Ghalia
Indonesia
Dengan
Magister
Manajemen Agribisnis. Pertanian
Bogor. Bogor.
[22] Gumbira-Said E. 2008. Halal World
Expo Press Pack. Abu Dhabi,
[23] Gumbira-Said E.2008. Perkembangan
Bisnis Produk Pangan Halal Dunia.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[24] Gumbira-Said E.2008. Perkembangan
Bisnis Produk Pangan Halal Dunia.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
[25] Hashim D. 2008. Halal Certification:
The Global Scenario. International
Halal Integrity Alliance. Abu Dhabi
[26] Hicks, P. A. 1995. An Overview Of
Issues And Strategies In The
Development Of Food Processing
Industries In Asia and The Pacific,
Apo Symposium. Tokyo
[27] Http://www.Factbook.Net/Muslim_Po
p.Php, 1 April 2009, 13:49 WIB, 2009
[28] Http://www.Islamicpopulation.Com/W
orld_Islam.Html 1 April 2009, 13:49
WIB, 2009
[29] Ibrahim. 2009. Makanan dan Minuman
Halal.
http://www.Surya.Co.Id/2009/04/01/M
akanan-Dan-Minuman-Halal/1 April
2009, 20:00 WIB

[30] Journo, L. 2006. France Market


Development Halal Foods Reports.
Perancis.
[31] Karim, A. 2008. Halal Food
Ingredients: A Case For Gelatin
Alternatives. School Of Industrial
Technology Universiti Sains Malaysia.
[32] Kassim, A. 2009. The Global Market
Potential Of Halal. Ministry For
Religious Affairs, Domestic Trade
And Consumer Affairs Malaysia.
Penang.
[33] Kettani, H. 2010. World Muslim
Population. Department Of Electrical
And Computer Engineering And
Computer
Science
Polytechnic
University Of Puerto Rico. San Juan.
[34] Kotler P.1997. The Marketing Of
Nations. New York. The Free Press
[35] Lall S. 1995. The Creation Of
Comparative Advantage : The Role Of
Industrial Policy. Dalam Trade,
Technology,
And
International
Competitiveness.
World
Bank
Washington D.C.
[36] Lee S, Ko, A. Sai. 2000. Building
Balanced Scorecard With S-W-O-T
Analysis, And Implementing Sun Tzus
The Art Of Business Management
Strategies On QFD Methodology,
Management Auditing Journal 15/1/2
2000, H.68-76, MCB University Press.
[37] Mariam. 2006. Current Issues On
Halal Food. Department Of Islamic
Development Malaysia. Kuala Lumpur
[38] Morecroft J. 2008. Strategic Modeling
and Business Dynamics : A Feedback
Systems Approach. John Wiley And
Sons, Ltd.England.
[39] Mubyarto.
2004.
Pembangunan
Pertanian
Dan
Penanggulangan
Kemiskinan, UGM, Yogjakarta. UGM.
[40] Mulyadi. 2001 Balanced Scorecard,
Salemba Empat, Universitas Gajah
Mada
[41] MUI. 2010. Perkembangan Produk
Halal Indonesia.LPPOM-MUI. Jakarta
[42] Musalmah. 2009. Halal Food Industry
Deserves More Attention. Malaysian
Institute Of Economic Research Mier.
Kuala Lumpur..
[43] Norton K. 1996. The Balanced
Scorecard: Translating Strategy Into
Action, HBS Press,

Jurnal Teknik Industri, ISSN:1411-6340

[44] Norton
K.
2004.
Agriculture
Development Policy Concepts and
Experience. John Willey And Sons
Ltd.West Sussex.England.
[45] Pal,L. 1997. Beyond Policy Analysis :
Public Issue Management In Turbulent
Times. Scarborough, Ontario Canada:
ITP Nelson.
[46] Parisien, S. 2007. Global Halal Food
Market.
International
Market
Development Officer Agriculture and
Agri-Food Canada. Toronto.
[47] Porter, M.E.1990. The Competitive
Advantages Of Nations. New York :
The Free Press
[48] Regmi, Punya, Weber,Karl. 2000.
International Journal Of Social
Economics Problems To Agricultural
Sustainability In Developing Countries
And a Potential Solution : Diversity.
Asian
Institute
Of
Technology.Bangkok..
MCB
University Press. Bangkok.
[49] Rochman,
2011.
Strategi
Pengembangan Nanoteknologi Dalam
Rangka Peningkatan Daya Saing
Global Agroindustri Nasional. SPS
IPB. Bogor
[50] Saaty, T.L. 2011. The Analytic
Huerarchy Process. Planning, Proirity
Setting, Resource Allocation. McgrawHill, New York.
[51] Saifah E. 2010. Development Of Halal
Industry In Thailand Current Legal
Framework. The Halal Science Center
Chulalongkorn University, Bangkok.
[52] Songsumud S. 2009. Thailand Halal
Certification And Standard. Bureau
Of
Livestock
Standard
And
Certification.
Department
Of
Livestock Development. Bangkok.

Posisi Daya Saing Produk (Dwi Purnomo)

[53] Starling G.1988. Strategies For Policy


Making. The Dorsey Press. Chicago
[54] Summer D. 2000. Food Security,
Trade And Agricultural Commodity
Policy.
Davis.
University
Of
California.
[55] Sungkar I. 2007. Importance And The
Role
Importance
Of
Market
Intelligence In Penetrating Global
Halal Food Markets. Kuala Lumpur.
[56] Tasrif
M.
2004.
Analisis
Kebijaksanaan Menggunakan Model
System Dynamics. Magister Studi
Pembangunan
Institut
Teknologi
Bandung. Bandung.
[57] Viswanadham. 2006. Can India Be
The Food Basket For The World?
Indian School Of Business.India.
[58] Weimer. 1991. Policy Analysis:
Concepts And Practice. Second
Edition. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
[59] Wiliasih. 2008 Ranti. Perkembangan,
Prospek Dan Strategi Pengembangan
Di Indonesia Psktti - Pascasarjana UI
Http://Www.Pkesinteraktif.Com
Powered By Joomla! Generated: 1
April, 2009, 13:55
[60] World Halal Forum Secretariat. 2006.
The Potential Of Halal Industry In
Penang. Penang Economic Monthly.
Kuala Lumpur.
[61] Yaik, 2011 Palm Oil's Contribution to
The Planet. International Conference
and Exhibition on Palm Oil
Proceeding. Jakarta
[62] Yean. 2005. Taiwan Eyes Asean Halal
Food Market. Taipeh.

Potrebbero piacerti anche