NAMA : HENDRI KURNIAWAN (150220104019)

PROGRAM STUDI: MAGISTER PENDIDIKAN IPA

PEMENUHAN TUGAS FILSAFAT ILMU

Marcus Aurelius (121180 C.E.)

The philosophy of the Roman Emperor Marcus Aurelius can

be found in a collection of personal writings known as theMeditations. These reflect the
influence

of

Stoicism

and,

in

particular, the

philosophy

of Epictetus,

the

Stoic.

TheMeditations may be read as a series of practical philosophical exercises, following Epictetus'

three topics of study, designed to digest and put into practice philosophical theory. Central to
these exercises is a concern with the analysis of one's judgements and a desire to cultivate a
"cosmic perspective."
From a modern perspective Marcus Aurelius is certainly not in the first rank of ancient
philosophers. He is no Plato or Aristotle, nor even a Sextus Empiricus or Alexander of
Aphrodisias. To a certain extent this judgement is perfectly fair and reasonable. However, in
order to assess the philosophical qualities that Marcus does have and that are displayed in
the Meditations it is necessary to emphasize that in antiquity philosophy was not conceived

merely as a matter of theoretical arguments. Such arguments existed and were important, but
they were framed within a broader conception of philosophy as a way of life. The aim was not
merely to gain a rational understanding of the world but to allow that rational understanding to
inform the way in which one lived. If one keeps this understanding of 'philosophy' in mind, then
one becomes able to appreciate the function and the philosophical value of Marcus' Meditations.
Of all the philosophical exercises in the Meditations the most prominent centers around what
might be called 'the point of view of the cosmos'. In a number of passages Marcus exhorts
himself to overcome the limited perspective of the individual and experience the world from a
cosmic perspective. For example:
You have the power to strip away many superfluous troubles located wholly in your judgement,
and to possess a large room for yourself embracing in thought the whole cosmos, to consider
everlasting time, to think of the rapid change in the parts of each thing, of how short it is from
birth until dissolution, and how the void before birth and that after dissolution are equally
infinite. (Med. 9.32; see also 2.17, 5.23, 7.47, 12.32)
In passages such as this Marcus makes implicit reference to a number of Stoic theories. Here, for
instance, the Stoic physics of flux inherited from Heraclitus is evoked. Perhaps more important
though is the reference to one's judgement and the claim that this is the source of human
unhappiness. Following Epictetus, Marcus claims that all attributions of good or evil are the
product of human judgements. As Epictetus put it, what upsets people are not things themselves
but rather their judgements about things (see Handbook 5). According to Epictetus'
epistemological theory (to the extent that it can be reconstructed) the impressions that an
individual receives and that appear to reflect the nature of things are in fact already composite.
They involve not only a perception of some external object but also an almost involuntary and
unconscious judgement about that perception. This judgement will be a product of one's
preconceptions and mental habits. It is this composite impression to which an individual grants
or denies assent, creating a belief. The task for the philosopher is to subject one's impressions to
rigorous examination, making sure that one does not give assent to (i.e. accept as true)
impressions that include any unwarranted value judgements.
Marcus' personal reflections in the Meditations may be read as a series of written exercises
aimed at analyzing his own impressions and rejecting his own unwarranted value judgements.
For instance, he reminds himself:

Do not say more to yourself than the first impressions report. [] Abide always by the first
impressions and add nothing of your own from within. (Med. 8.49)
These 'first impressions' are impressions before a value judgement has been made. For Marcus,
human well-being or happiness (eudaimonia) is entirely dependent upon correctly examining
one's impressions and judgements. For once one has overcome false value-judgements - that
wealth and social standing are valuable and that one should compete for them against others, for
instance one will experience the cosmos as a single living being (identified with God) rather
than a site of conflict and destruction. As Cicero put it in his summary of Stoic physics:
The various limited modes of being may encounter many external obstacles to hinder their
perfect realization, but there can be nothing that can frustrate Nature as a whole, since she
embraces and contains within herself all modes of being. (On the Nature of the Gods 2.35)
It is to this end - cultivating an experience of the cosmos as a unified living being identified with
God that the philosophical exercises in the Meditations are directed.
4. Concluding Remarks
From a modern perspective Marcus Aurelius is certainly not in the first rank of ancient
philosophers. He is no Plato or Aristotle, nor even a Sextus Empiricus or Alexander of
Aphrodisias. To a certain extent this judgement is perfectly fair and reasonable. However, in
order to assess the philosophical qualities that Marcus does have and that are displayed in
the Meditations it is necessary to emphasize that in antiquity philosophy was not conceived
merely as a matter of theoretical arguments. Such arguments existed and were important, but
they were framed within a broader conception of philosophy as a way of life. The aim was not
merely to gain a rational understanding of the world but to allow that rational understanding to
inform the way in which one lived. If one keeps this understanding of 'philosophy' in mind, then
one becomes able to appreciate the function and the philosophical value of Marcus' Meditations.

Analisis artikel
Menurut saya 'kesan pertama' dari filsuf Marcus Aurelius adalah kesan sebelum
pertimbangan nilai telah dibuat. Untuk Marcus, kesejahteraan manusia atau kebahagiaan
(eudaimonia) sepenuhnya tergantung pada benar memeriksa tayangan dan penilaian seseorang.
Untuk sekali telah mengatasi pertimbangan nilai - bahwa kekayaan dan status sosial yang
berharga dan salah satu yang harus bersaing untuk mereka terhadap orang lain, misalnya-satu
akan mengalami kosmos sebagai tamu tunggal yang (diidentifikasi dengan Allah) daripada situs
konflik dan kehancuran, tapi mereka dibingkai dalam konsepsi yang lebih luas dari filsafat
sebagai jalan hidup. Tujuannya bukan hanya untuk mendapatkan pemahaman yang rasional
dunia tetapi untuk memungkinkan bahwa pemahaman rasional untuk menginformasikan cara di
mana satu hidup. Jika satu membuat pemahaman ini 'filsafat' dalam pikiran, maka seseorang
menjadi mampu menghargai fungsi dan nilai filosofis.
Menurut Marcus Aurelius Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha
membentuk manusia yang lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat
mengembangkan diri dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan,
dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya
menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian saya megangkat pengetahuan
untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud
di sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia

mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih
baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan
pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang
dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih
mudah. Ilmu pengetahuan yang didapatkan adalah untuk memelihara bumi ini dari segala
kerusakan, karena manusia diutus untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Manusia
mendapatkan ilmu pengetahuan dari pengalaman yang didapatkannya (empiris) dan juga logika
yang mereka miliki (rasional) dari pengalaman tersebut manusia terus-terusan mengolahnya
dengan cara berpikir sehingga menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Manusia yang cerdas akan
mampu menggali kumpulan pengetahuan yang diperlukan untuk mengelola muka bumi ini.
Namun, tidak selamanya pengetahuan yang diperoleh manusia ini bermanfaat, ada juga
pengetahuan yang ternyata menimbulkan suatu permasalahan ataupun mudarat. Kemampuan
manusia dalam mengembangkan pengetahuan tidak lepas dari kemampuan menalar. Manusia
satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang
juga mempunyai pengetahuan. Namun pengetahuan ini terbatas hanya untuk kelangsungan
hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuan bukan hanya sekadar untuk
kelangsungan hidup, tetapi dengan memikirkan hal-hal baru manusia mengembangkan
kebudayaan, manusia memberi makna pada kehidupan, dengan kata lain semua itu pada
hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan yang lebih
tinggi dari sekadar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan
pengetahuannya dan mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi.
Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau kesadaran reflektif. Kesadaran diri atau
refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi diri juga merupakan
aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan menjadikan dirinya
pusat refleksi, ia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang berada dalam
lingkungannya. Dalam penjelasannya yang kaitannya dengan agama, dimana Marcus Aurelius
mengungkapkan Filsafat dan agama mempunya hubungan yang terkait dan reflesif dengan
manusia artinya keduanya tidak ada alat penggerak dan tenaga utama di dalam diri manusia,
yang dikatakan alat dan penggerak tenaga utama pada diri manusia adalah akal, pikiran, rasa, dan
kenyakinan. Dengan alat ini manusia akan mencapai kebahagiaan bagi dirinya. Agama dapat

menjadi petunjuk, pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh hidupnya
dengan harapan penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.