Sei sulla pagina 1di 21

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Meningitis
Meningitis adalah penyakit infeksi yang menyerang meningen yaitu selaput
lapisan yang berisi cairan serebro spinal yang menyelimuti otak, otak kecil dan
sumsum tulang belakang yang dapat terjadi secara akut atau kronis disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur atau zat kimia.
2. Epidemiologi Meningitis
Meningitis tuberkulosa (TB) terjadi pada 712% penderita tuberkulosis.
Insidensi meningitis TB secara langsung berhubungan dengan prevalensi infeksi
tuberkulosis yang dipengaruhi oleh keadaan sosio-ekonomi dan higeinitas. World
Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara
endemis meningitis tuberkulosis. Penelitian di Bandung, yang merupakan wilayah
pandemi meningitis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dibawa ke Rumah
Sakit setelah mempunyai gejala meningitis lebih dari 14 hari dan 50% di
antaranya datang dalam berbagai tingkat penurunan kesadaran. Meningitis tidak
hanya disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis, tapi juga infeksi virus
dan infeksi bakteri lain, seperti meningokokus. Meningitis viral sering terjadi pada
anak-anak dan bayi sedangkan meningitis meningokokus sering terjadi pada
jemaah haji.

3. Klasifikasi Meningitis
3.1 Meningitis Bakterialis
Meningitis bakterialis seringkali digunakan bersamaan dengan meningitis
bakterialis akut atau meningitis purulenta, yaitu infeksi meningitis yang terjadi
1

dalam waktu kurang dari 3 hari. Penyebab paling sering adalah Neisseria
meningitides (meningokokus), Streptococcus pneumonia (pneumokokus), dan
Hemophylus influenza.
Pada orang dewasa gejala diawali dengan infeksi saluran napas atas yang
ditandai dengan panas badan dan keluhan-keluhan pernapasan diikuti dengan
munculnya gejala-gejala SSP seperti nyeri kepala dan kaku kuduk yang nyata.
Gejala lain yang mungkin ada adalah muntah, penurunan kesadaran
(drowsy,bingung), kejang dan fotofobia.
3.2 Meningitis Tuberkulosis
Meningitis TB merupakan meningitis subakut/kronis yang paling sering
didapatkan pada pasien. Seringkali pasien dibawa berobat setelah timbulnya
gejala akibat komplikasi kenaikan tekanan intrakranial (kejang, penurunan
kesadaran), hemiparese/hemiplegi dan lain-lain.
British Medical Research Counsil (BMRC) pada tahun 1948 membuat
klasifikasi meningitis TB berdasarkan penampilan klinik. Klasifikasinya adalah
sebagai berikut:

Stadium I

Gejala dan tanda meningitis tanpa penurunan


kesadaran atau defisit neurologi yang lain. Gejala
yang sering didapatkan adalah nyeri kepala, fotofobia

Stadium II

dan kaku kuduk.


Didapatkan penurunan kesadaran ringan dan/atau

Stadium III

defisit neurologi fokal.


Stupor atau koma dengan hemiplegi atau paraplegi.

3.3 Meningitis Viral

Gejala meningitis viral tidak seberat meningitis bakterialis. Gejalanya dapat


sedemikian ringannya sehingga terdiagnosis sebagai influenza karena gejalanya
seringkali serupa (nyeri kepala, demam, menggigil, nyeri otot/sendi). Meningitis
viral banyak dijumpai pada anak-anak dan bayi.
Tidak ada gejala spesifik dari meningitis viral, temuan CSS pada meningitis
viral seringkali menunjukkan kenaikan ringan pada sel dengan protein yang tidak
terlalu tinggi dan tidak dijumpai kuman penyebab di dalam CSS.
4. Etiologi Meningitis
Meningitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur.
Berikut ini merupakan penyebab tersering dari meningitis yaitu:
1. Bakteri : Neisseria meningitides (meningokokus), Streptococcus pneumonia
(pneumokokus), Hemophylus influenza, dan Mycobacterium tuberculosa.
2. Virus : Herpes virus, Enterovirus, HIV, Mumps, dan arbovirus.
3. Jamur : Cryptococcus neoformans dan Cryptococcus gatii.

5. Patofisiologi Meningitis
a. Meningitis Tuberkulosa

Infeksi menyebabkan meningen meradang & proses inflamasi merangsang


reseptor nyeri yang ada pada selaput sehingga timbul nyeri & kaku kuduk. Infeksi
SSP dimulai dengan inhalasi droplet yang infeksius. Setelah 2- 4 minggu infeksi
dengan respon imun (-) akan menyebabkan penyebaran hematogen ke seluruh
tubuh. Organ yang tidak termasuk pada sistem RES (otak & meningen). Tubuh
menangkap organism tersebut sehingga terbentuk tuberkel yaitu, makrofag,
limfosit, sel-sel lain yang mengelilingi daerah kaseosa nekrotik. Host dengan
gangguan imunitas menjadi terjadinya proliferasi infeksi primer tuberkuler
sehingga tuberkel pecah dan organisme menyebar ke jaringan. Fokus rich
tersering pecah di fokus subependima/ sub pial atau fokus intraserebral yang
terbentuk selama penyebaran hematogen M. tuberculosis dan masuk ke rongga
subarachnoid menjadi meningitis TB. Sumber Meningitis TB kadang-kadang
berasal dari infeksi ekstraneural (vertebra, telinga, sinus mastoid). Host yang
imunokompeten (bayi/<5 thn), focus rich pecah bersamaan dengan infeksi

primer sehingga terjadi infeksi pulmonal & meningeal / miliar & meningeal.
Eksudat dasar otak menyebabkan kelumpuhan saraf cranial, dapat terjadi
Hidrosefalus obstruktif, tuberkuloma & oklusi vaskular menyebabkan defisit
neurologis & kejang. Keterlibatan meningen di spinal menyebabkan paraplegia
(spastik atau flasid).
b. Meningitis Bakterial

Patofisiologi meningitis bakterial dapat terjadi karena 1), invasi bakteri ke


pembuluh darah (2), survival dan multiplikasi bakteri (3) karena jumlah bakteri
dalam darah meningkat, bakteri dapat melewati bloodbrain barrier (4), dan
menginvasi meningen dan sistem saraf (5). Kemudia, bakteri dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas bloodbrain barrier (BBB) 6) dan pleocytosis (7),
menyebabkan oedema dan meningkatkan tekanan intrakranial (8), dan terjadi
pengeluaran komponen proinflamasi dari infiltrat sel darah putih dan sel host
lainnya (9). Akhirnya, terjadi proses kerusakan sel saraf (10).
6. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat mempengaruhi meningitis yaitu :

a. Berhubungan dengan waktu & tempat endemis infeksi. Kejadian


meningitis pada lebih dari 3 anak suspek meningitis
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

meningokokus; jemaah haji satu kloter


Kemiskinan
Lingkungan hidup yang tidak higienis
Malnutrisi
Drug abuse, terutama narkoba suntik
Seks bebas
Imigrasi
Riwayat penyakit sebelumnya : HIV

7. Anamnesis
Hal yang harus digali pada anamnesis antara lain gejala klinis klasik seperti
demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk dan gejala tingkat lanjut, seperti penurunan
kesadaran, kejang, muntah, dan tanda defisit neurologis. Onset meningitis TB
biasanya lebih lama daripada meningitis bakterialis yang onsetnya kurang dari 3
hari.
Riwayat menggunakan narkoba suntik, seks bebas, dan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) sangat membantu dalam menentukan faktor risiko
dari meningitis. Gejala infeksi tuberkulosis berupa demam keringat malam
disertai batuk lama dapat mengarahkan diagnosis meningitis TB. Biasanya
terdapat riwayat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) pada meningitis
bakterialis. Gejala meningitis viral tidak seberat meningitis bakterialis atau
meningitis TB sehingga kadang-kadang terdiagnosis sebagai influenza biasa.

8.

Pemeriksaan Fisik dan Neurologi


Pemeriksaan fisik yang bermanfaat dalam menegakkan diagnosis meningitis

adalah tanda-tanda infeksi secara umum seperti peningkatan suhu tubuh,

penurunan kesadaran atau perubahan tingkat kesadaran, parese saraf otak, tanda
tanda perangsangan meingen seperti kaku kuduk positif, atau ditemukan adanya
gangguan motorik seperti paralisis atau plegia. Defisit neurologis seperti parese
saraf otak, gangguan motorik atau sensorik menunjukkan adanya komplikasi
vaskulitis/arteritis yang dapat menyebabkan infark. Lesi kulit berupa eksantema
atau ptekiae yang disebut Sindrom Waterhouse sering ditemukan pada infeksi
meningokokus.

9.

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit pasien meningitis bakterial biasanya

leukositosis, sedangkan hasil hitung jenis leukosit pasien meningitis TB


limfositosis absolut dan hasil hitung jenis leukosit pasien meningitis viral
limfositosis relatif.
Diagnosis definitif meningitis TB didapatkan dengan ditemukannya basil
tahan asam (BTA) tetapi hasil positifnya sangat sulit dan kultur memerlukan
waktu yang lama. Pewarnaan Ziehl Neelssen positif pada kurang lebih 25% pasien
meningitis TB.
Pemeriksaan foto polos paru dilakukan untuk menemukan tanda infeksi
paru. Gambaran TB paru hanya didapatkan pada kurang lebih 50% pasien
meningitis TB. Foto polos tengkorak dilakukan untuk menemukan tanda
mastoiditis, infeksi sinus nasalis, dan periodontal sebagai fokus infeksi.
Komplikasi infark akibat vaskulitis, perubahan inlaasi perivaskuler, hidrosefalis

dan gambaran hiperintens meningitis TB dapat ditemukan pada pemeriksaan CT


scan.
Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi pada tingkat lanjut. Perubahan
tanda vital yang sering ditemukan adalah suhu febris. Perubahan nadi, respirasi,
dan tekanan darah menujukkan adanya syok septik atau septikemi. Rangsang
meningen terutama kaku kuduk biasanya positif. Defisit neurologis seperti parese
saraf otak, gangguan motorik atau sensorik menunjukkan adanya komplikasi
vaskulitis/arteritis yang dapat menyebabkan infark.
Pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk menegakkan adanya
meningitis adalah pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS). Peningkatan jumlah
sel yang bersamaan dengan penurunan kadar glukosa dan peningkatan protein
dapat ditemukan pada CSS. Hal yang harus diperiksa pada analisis CSS, antara
lain tekanan likuor, warna likuor, kekeruhan likuor, pemeriksaan Nonne dan
Pandy, hitung jenis likuor, kadar glukosa, dan jumla protein dalam likuor.
Perbedaan gambaran likuor dari ketiga agen penyebab meningitis dapat dilihat
pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Gambaran CSS meningitis


Meningitis
Normal

Meningitis Viral

Meningitis TB
Bakterialis

70200
Tekanan CSS
Warna
Nonne
Pandy
Sel

mmH2O
Jernih
05/mm3

Normal

meningkat

Meningkat

Jernih
5100/mm3

Xantokrom
-/+
-/+
100500/mm3

Keruh
++/+++
++/+++
1000

Hitung jenis
Glukosa
Protein

<5 MN
>45 mg/dl
<45 mg/dl

MN>PMN
>45 mg/dl
<45 mg/dl

MN>PMN
<40 mg/dl
>75 mg/dl

10000/mm3
MN<PMN
040 mg/dl
100500 mg/dl

10. Diagnosis
10.1 Diagnosis Meningitis Bakterialis
a.

Gejala dan tanda klinis: demam, kaku kuduk, penurunan kesadaran.

b.

Pemeriksaan CSS:
1.

Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluhan ribu

2.

Pada hitung jenis biasanya didapatkan predominansi neutrofil,


sebagai tanda infeksi akut. Pada meningitis bakterialis yang sempat
diobati namun tidak sempurna (partially treated) dapat dijumpai
predominansi monosit.

3.

Kadar glukosa CSS rendah, umumnya kurang dari 30% dari kadar
gula darah sewaktu lumbal pungsi dikerjakan.

4.

Pewarnaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman


penyebab (80% pewarnaan gram mendapatkan kuman penyebab,
keberhasilan kultur tergantung cara transportasi CSS setelah diambil
dan keterampilan laboratorium mikrobiologi untuk menanam bakteri).

5.

Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan tes aglutinasi latex


terhadap 3 kuman penyebab yang sering atau dilakukan PCR.

10

c.

Kultur darah positif pada 30-80% kasus dan dapat positif sekalipun di
dalam CSS negatif.

d.

Pertimbangkan CT scan / MRI pada keadaan-keadaan tertentu yang


berisiko.

e.

Pendekatan diagnostik meningitis bakterialis:


1.

Segera lakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologi pada


kecurigaan meningitis bakterialis untuk menemukan sumber infeksi,
penyakit yang mendasari dan kontraindikasi tindakan LP.

2.

Segera ambil darah untuk pemeriksaan rutin dan kultur bakteri.

3.

Lakukan pemeriksaan CT scan / MRI jika ada indikasi. Jika


diputuskan akan dilakukan CT scan / MRI, berikan dahulu antibiotika
empirik (sesuai umur dan kecurigaan bakteri penyebab).

4.

Berikan deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian


dosis pertama antibiotika.

5.

Jika LP tertunda, sedapat mungkin LP dilakukan dalam 2-3 jam


setelah pemberian antibiotik agar masih dapat menjumpai bakteri atau
gambaran CSS yang khas.

6.

Antibiotika yang diberikan sesuai dengan panduan yang ada.

10.2 Diagnosis Meningitis Viral


a.

Pemeriksaan CSS:

11

1.

Secara umum gambaran inflamasi pada CSS lebih ringan daripada


meningitis bakterialis.

2.

Hitung jenis menunjukkan predominansi MN, kecuali jika LP


dikerjakan pada 6-24 jam pertama infeksi virus.

3.

Kadar glukosa CSS pada umumnya normal (kurang lebih 2/3 dari
kadar glukosa darah sewaktu).

4.

Protein seringkali normal, walaupun dapat dijumpai protein yang


meninggi.

5.

Kultur virus dan PCR dapat menemukan virus penyebab pada 4070% kasus, namun teknisnya sulit dan tidak tersedia di Indonesia.

b.

Kultur dari darah, tinja atau apus tenggorok dapat mengeluarkan hasil
positif pada beberapa jenis infeksi virus, namun seringkali harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi (didapatkan IgM dan/atau
kenaikan titer IgG lebih dari sama dengan 4 kali lipat dalam jangka waktu 4
minggu) untuk memastikan diagnosis.

10.3 Diagnosis Meningitis Tuberkulosa


a.

Pasien meningitis TB biasanya mempunyai perjalanan penyakit yang lebih


lama dari meningitis bakteialis. Defisit neurologi fokal seringkali ditemukan
pada pemeriksaan pertama pasien meningitis TB, bahkan dikatakan jika kita
menemukan defisit neurologi fokal pada pasien dengan gejala dan tanda

12

meningitis, maka kecurigaan pertama kita adalah meningitis TB sampai


dibuktikan yang lain.
b.

Pemeriksaan CT scan / MRI menunjukkan adanya hidrosefalus dan


penyangatan meningeal, kadang disertai dengan tuberkuloma atau gambaran
infark menyerupai infark karena stroke.

c.

Pemeriksaan CSS:
1.

Jumlah leukosit 100-500 /uL, biasanya predominan limfosit.

2.

Protein 100-500 mg/dL.

3.

Glukosa < 40 mg/dL atau rasio glukosa CSS glukosa darah


sewaktu < 50%.

4.

Diagnosis definitif didapatkan dengan ditemukannya Basil Tahan


Asam (BTA), namun hasil positifnya sangat sulit dan kultur
memerlukan waktu yang lama. Pewarnaan Ziehl Nielssen positif pada
kurang lebih 25% pasien. Kultur TB menunjukkan hasil yang
bervariasi tergantung teknik dan jumlah sampel yang dikumpulkan.

5.

Beberapa metoda pemeriksaan bakteriologi lain seperti PCR atau


MODS diperkirakan dapat memperpendek waktu untuk mendapatkan
hasil positif, namun tekniknya sulit dan memerlukan peralatan yang
lebih canggih.

13

6.

Gambaran TB paru hanya didapatkan pada kurang lebih 50%


pasien meningitis TB.

7.

PPD test positif pada 50-80% kasus, namun pemeriksaan ini tidak
sensitif pada daerah endemis TB seperti di Indonesia.

8.

Pasien HIV mempunyai risiko mendapat meningitis TB lebih dari


10 kali dari orang yang tidak menderita HIV. Gambaran klinis dan
CSS meningitis TB pada pasien HIV tidak berbeda secara bermakna
dibanding yang non-HIV.

Kriteria Meningitis TB menurut Ogawa (1987) :


1. Definite: bakteri tahan asam (BTA) ditemukan di LCS (dari
kultur/biopsy/keduanya)
2. Probable :
a. LCS pleositosis
b. Pewarnaan gram dan yeast : negatif
c. Diikuti salah satu dari criteria berikut ini :
Tes tuberculin positif
Bukti adanya Tuberkulosis diluar SSP atau TB paru aktif, atau
paparan Tuberkulosis yang signifikan sebelumnya
Glukosa LCS : <40 mg%
Protein LCS : >60 mg%

Kriteria Meningitis TB menurut Thwaites (2005) :


1. Definite : klinis meningitis ( kaku kuduk, LCS abnormal) dan BTA di LCS
(mikroskopis) dan/atau kultur positif M. tuberkulosis.
2. Probable : klinis meningitis (kaku kuduk , LCS abnormal) dan minimal 1
dari berikut ini :
a.Curiga TB paru aktif pada rontgen thorax.

14

b. BTA ditemukan pada sample selain LCS.


c.Bukti klinis adanya TB extra paru.
3. Possible : klinis meningitis (kaku kuduk , LCS abnormal) dan minimal 4
dari criteria berikut :
a. Riwayat TB.
b. LCS predominan limfosit.
c. Lama sakit >5 hari
d. Ratio LCS : gula darah <0.5
e. Gangguan kesadaran.
f. LCS kuning xanthochrom.
g. Tanda neurologis fokal.
11. Diagnosis banding
Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang
dapat menimbulkan gejala demam dan nyeri kepala namun kejang dan penurunan
kesadaran lebih dominan pada ensefalitis. Beberapa infeksi ssp memberikan
gambaran klinis seperti abses otak atau empiema subdural. Meningitis dapat
dibedakan apakah gejala terjadi secara akut atau subakut. Gejala akut biasanya
terjadi pada meningitis bakterialis atau meningitis viral, sedangkan gejala subakut
terjadi pada meningitis TB, kriptokokus, atau lues.
12. Penatalaksanaan Meningitis
12.1 Meningitis Bakterialis
Terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola resistensi
antibiotik. Sesuaikan terapi antibiotik segera setelah hasil kultur didapatkan.
Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotik. Dosis yang dianjurkan 0,15 mg/kgBB (10 mg per pemberian
pada orang dewasa) setiap 6 jam selama 2-4 hari.

15

Tabel 2. Terapi empirik pada meningitis bakterialis


Pasien
Bakteri penyebab yang sering
Neonatus
Streptokokus grup B
Listeria monocytogenes
E. coli
2 bulan-18 tahun Neisseria meningitidis
Streptococcus
Pneumonia
Hemophilus influenza
18-50 tahun
S. pneumonia
N. meningitidis

Antibiotika
Ampisilin + sefotaksim.
Seftriakson atau
Sefotaksim, dapat
ditambah vankomisin
Seftriakson, dapat
ditambahkan

>50 tahun

S. pneumonia
L. Monocytogenes
Bakteri gram negatif

vankomisin
Vankomisin, ditambah
ampisilin ditambah
seftriakson

Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika


diperkirakan penyebabnya adalah H. influenza atau N. meningitides. Pada
kecurigaan infeksi N. meningitides berikan kemoprofilaksis kepada orang
yang tinggal serumah, orang yang makan dan tidur di tempat yang sama
dengan pasien, orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan
pasien dalam 7 hari terakhir, murid yang sekelas dengan pasien dan petugas
kesehatan yang ada kontak langsung dengan secret mulut dan hidung pasien
dalam 7 hari terakhir.
Tabel 3. Rejimen profilaksis pada infeksi N. meningitidis
Nama obat
Dosis sesuai umur
Rifampin
1 bulan: 5mg/kgBB p.o >1 bulan: 10mg/kgBB

Seftriakson

q12h untuk 2 hari

(maksimum 600mg),

12 tahun: 125mg IM

p.o q12h untuk 2 hari


>12 tahun: 250mg IM

dosis tunggal

dosis tunggal

16

Siprofloksasin

<18 tahun: tidak

18 tahun: 500mg p.o

direkomendasikan

dosis tunggal

12.2 Meningitis TB
Pengobatan meningitis TB masih mengikuti pola pengobatan TB.
Kortikosteroid dianjurkan untuk diberikan pada setiap kecurigaan meningitis TB,
tanpa memperhatikan stadium penyakit. Pemberian steroid ini terbukti
menurunkan angka kematian, namun tidak mengurangi sekuele meningitis jika
sudah sempat terbentuk defisit neurologi pada perjalanan klinisnya.
Tabel 4. Pengobatan meningitis TB
Nama Obat
Dosis
Isoniazid (H)
2 bulan pertama:
5mg/kg p.o (maksimum

Catatan
Berikan piridoksin 50
mg/hari

450mg) plus 7bulan:


Rifampisin (R)

450mg p.o
2 bulan pertama: 10

Paling sering

mg/kg p.o (maksimum

menyebabkan hepatitis

600mg) plus 7bulan:


Pirazinamid (Z)

600mg p.o
2 bulan pertama:
25mg/kg p.o

Etambutol (E)

(maksimum 2 g/hari)
2 bulan pertama:
20mg/kg p.o

Streptomisin (S)

(maksimum 1,2 g/hari)


20 mg/kg i.m

Hanya diberikan pada

(maksimum 1 g/hari)

pasien yang
mempunyai riwayat

17

pengobatan TB
sebelumnya.
12.3 Meningitis Viral
Meningitis viral seringkali sembuh dengan sendirinya, pengobatan hanya
ditujukan kepada pengobatan simtomatik. Manfaat obat antiviral tidak diketahui
secara pasti.
13.

Komplikasi Meningitis

1. Komplikasi neurologis : edema otak, hidrosefalus, herniasi, vaskulitis,


thrombosis sinus otak, abses/efusi subdural, gangguan pendengaran,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada pasien anak, epilepsi.
2. Komplikasi nonneurologi : bronkopneumoni, ISK, dekubitus, kontraktur.
14.

Prognosis
Kenaikan tekanan intrakranial dapat dijumpai pada fase akut meningitis

viral tetapi, umumnya meningitis viral dapat sembuh sendiri dalam 35 hari.
Prognosis meningitis bakterialis tergantung pada kecepatan mendiagnosis dan
ketepatan pemberian antibiotika. Kematian paling banyak ditemukan pada pasien
yang terinfeksi S. Pneumoniae dan yang mengalami penurunan kesadaran.
Deksametason terbukti menurunkan kematian dan gejala sisia neurologi pada
pasien anak dan dewasa.
Hidrosefalus dan herniasi serebri seringkali menyebabkan kematian pada
meningitis TB. Pemasangan shunt ventrikel sementara atau permanen dapat
menurunkan angka kematian. Mortalits meningitis TB secara umum 30% tetapi
penelitian di Bandung mendapatkan tingkat kematian yang tinggi, yaitu 50% pada

18

minggu pertama perawatan, dan 67% pada bulan pertama. Pasien yang datang
pada stadium lebih lanjut mempunyai risiko kematian yang lebih besar. Sekuele
neurologi yang dapat dijumpai jika pasien meningitis TB bertahan hidup
bermacam-macam, seperti hemiparesis, paraparesis, hemiplegi, gangguan kognisi,
dan lain-lain. Sekuele ini berhubungan dengan stadium penyakit saat pasien
masuk dalam perawatan. Outcome pasien meningitis TB berdasarkan stadiumnya
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Outcome pasien meningitis TB berdasarkan stadium
Stadium
Angka Kematian
Sekuele Neurologis
I
<10%
Minimal
II
2030 %
40%
III
6070 %
Sering didapatkan
15.

Rehabilitasi Medik dan Aspek Psikososial


Kecacatan fisik dan mental dapat terjadi pada pasien meningitis sehingga

memerlukan program rehabilitasi yang dilakukan oleh tim rahabilitasi medik,


fisioterapis, okupasi terapis, psikolog, dan petugas sosio medik. Tujuan
rehabilitasi medik yaitu untuk mengoptimalkan kemampuan fungsional pasien
berdasarkan sisa kemampuan yang dimiliki. Diharapkan pasien dapat mandiri dan
kualitas hidupnya akan meningkat. Program rehabilitasi medik dapat dibagi dalam
3 tahap, yaitu:
1. Stadium akut
Kondisi pasien umumnya masih belum stabil. Kesadaran pasien dapat
komposmentis sampai koma, umumnya terdapat gangguan motorik. Pada
kondisi ini rehabilitasi medik preventif dapat dilakukan agar tidak terjadi
komplikasi akibat penyakit utama atau imobilisasi pasien.
2. Stadium pemulihan neurologis

19

Kondisi pasien telah stabil dan terjadi pemulihan neurologis.


Rehabilitasi medik dilakukan untuk mengendalikan dan mengontrol agar
timbulnya reflex ataupun tonus otot yang tidak berlebihan. Sebagian pasien
pada umumnya dapat sembuh sempurna dan tidak memerlukan program
rehabilitasi medik.
3. Stadium pemulihan fungsional
Program ini difokuskan pada pelatihan gerakan fungsional yang
bertujuan. Tujuan latihan gerak adalah mempertahankan atau memperbaiki
serta mengembalikan stabilitas sendi dengan melakukan peregangan otot,
tendon, ligamen, dan sampai sendi.

16.

Pencegahan Meningitis

16.1 Pencegahan primer


Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksin. Terdapat vaksin
untuk pencegahan meningitis diantaranya yaitu vaksin Haemophilus influenzae
type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal
polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan
MMR (Measles dan Rubella), pemberian vaksin ini dianjurkan diberikan pada
bayi atau anak.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian
kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah
dengan penderita. meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi

20

BCG. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene
seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
16.2 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini
dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik
petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
16.3 Pencegahan tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah komplikasi dan kecacatan
akibat meningitis, serta membantu penderita untuk melakukan penyesuaian
terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi dan mengurangi kemungkinan
dampak neurologis jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

21

Shankar P, Manjunath N, Mohan KK, Shiriniwas MKK, Prasad K, Behari M.


Rapid diagnosis of tuberculous meningitis by polymerase chain reaction.
Lancet 1991; 337: 5-7.

Molavi A, Le-Froch JL. Tuberculous meningitis. Med Clin North Am 1985;


69: 315-31.

World Health Organization. Global Tuberculosis Control: Estimated burden


of TB in 2005. Available from URL: http://www.who.int/tb/publications/
global_report/2007/xls/global.xls.

Ganiem AR. Kapan mencurigai suatu meningitis. In: Basuki A, Dian S,


editors. Neurologi dalam praktek sehari-hari. 3rd ed. Bandung: Bagian/UPF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD Rumah Sakit Hasan
Sadikin; 2012. p.7-28.

Gunawan D. Mengenal tanda-tanda infeksi susunan saraf pusat. In: Basuki A,


Dian S, editors. Neurologi dalam praktek sehari-hari. 3rd ed. Bandung:
Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD Rumah Sakit
Hasan Sadikin; 2012. p.1-6.

Ganiem AR, Parwati I, Wisaksana R, Zanden VD, Beek VD, Sturme P, et al.
The effect of HIV infection on adult meningitis in Indonesia: a prospective
cohort study. AIDS 2009, 23: 2309-16.

Dian S. Ensefalitis dan acute demyelinating encephalomyelitis. In: Basuki A,


Dian S, editors. Neurologi dalam praktek sehari-hari. 3rd ed. Bandung:
Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD Rumah Sakit
Hasan Sadikin; 2012. p.1-6.

Potrebbero piacerti anche