Sei sulla pagina 1di 94

KEBANGKITAN KEMBALI

ORANG SUNDA
Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918

Edi S. Ekadjati

Pusat Studi Sunda bekerja sama dengan

kiblat
JAWA BARAT DEPOSIT

p J ok

Abstract
T his writing analyzes the reviving awareness of the Sundanese, one of the ethnic groups in Indonesia, towards their identity. After experiencing a long period of decline since the fall of the Sunda Kingdom (1579), in the middle of the 19th cen tury they revived to form and show their identity and im prove their welfare. The revival resulted from renewed awareness of language and literature (since 1850), and then (since 1913) encompassed social and culture fields, and finally (since 1918) the field of state politics. This writing describes the second-stage revival which was marked by the formation of the modern organization (at that time) which was called Paguyuban Pasundan. Due to the awareness and pioneering spirit of several students of the STOVIA (medical school for indigenous people), who were ethnically Sundanese, Paguyuban Pa sundan attempted to activate and unite all Sundanese, especially the youth, in order not to be left behind in the social milieu and active social life among all ethnic groups in Indonesia. By using methods which were completely new at that time, such as organized activities, education, magazine publication, science and knowledge, they attempted to achieve progress so as to keep up to date and relevant. The result of these efforts brought some ray of hope.

Kata-kata kunci: kelompok etnis, organisasi, kebudayaan, pendidikan, dan kemajuan.

K E B A N G K IT A N K E M B A L I O R A N G S U N D A K asu s P a g u y u b a n P a su n d a n 1 9 1 3 -1 9 1 8 K arya: Edi S. Ekadjati H ak cipta dilindungi u n d an g-u n d an g All rights reserved D iterbitkan oleh: PT Kiblat Buku U tam a Jalan K araw itan N o. 4 6 , B an d u n g 4 0 2 6 4 T e lp ./F a k s . 0 2 2 -7 3 0 4 7 6 4 S u rat-e: k ib lat@ w in n in gteam .com P eran can g kulit m uka: Tim Kreatif Kiblat N o m o r: 1 2 8 /K B U - U /2 0 0 4 C etakan I, Rajab 1425 H / A g u stu s 2004 ISBN 9 7 9 -3 6 3 1 -2 1 -X

P e r w a k il a n J a k a r t a :

Jl. K ram at Raya N o. 5 K K om pleks M aya Indah, Jak arta 10450 Telp. 0 2 1 -3 9 0 9 3 2 2 , F ak s. 0 2 1 -3 9 0 9 3 2 0

KATA SAMBUTAN PENGURUS BESAR PAGUYUBAN PASUNDAN


Secara nasional telah diakui bahwa Paguyuban Pa sundan tergolong sebagai salah satu organisasi pergerakan nasional yang menuntut dan berupaya dengan sungguh-sungguh bagi terw ujudnya kem erdekaan bangsa Indonesia. Dalam jajaran organisasi pergerakan nasional Paguyuban Pasundan bersama organisasiorganisasi lain yang sejenis didirikan berdasarkan kelompok etnis dan kebudayaan. Dalam hal ini bagi Pa guyuban Pasundan adalah etnis dan kebudayaan Sunda. Pada mulanya Paguyuban Pasundan bersama organisasi-organisasi lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa sendiri pada kelompok masyarakat masing-masing sehubungan dengan tumbuhnya kesadaran tentang kenyataan perbedaan yang jauh dengan tingkat kesejahteraan hidup bangsa asing yang menduduki tanah air mereka. Tujuan ini hendak dicapai melalui kegiatan di bidang pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Paguyuban Pasun dan kemudian mengembangkan cita-cita dan strategi perjuangannya dengan m em asuki kegiatan bidang politik dengan sasaran dapat ikut-serta dalam mengelola pemerintahan dan selanjutnya menuntut kemer dekaan bangsa dan tanah air mereka dari genggaman
5

bangsa penjajah. Sasaran pertam a bertujuan guna memperoleh pengalaman dalam pengelolaan pemerintahan, sedangkan sasaran berikutnya adalah meraih kemerdekaan dan kedaulatan negara sendiri. K ekhasan Paguyuban Pasundan dibandingkan dengan organisasi-organisasi pergerakan nasional lain nya adalah bahwa Paguyuban Pasundan berumur panjang sampai melintasi masa kemerdekaan, bahkan masih tegak sampai sekarang ini walaupun secara fisik organisasi pernah mengalami kematian pada masa pendudukan militer Jepang. Pada satu pihak kenyataan tersebut merupakan prestasi yang patut disyukuri dan dibanggakan. Pada pihak lain kenyataan itu perlu dihayati, dievaluasi, dan dikaji tentang latar-belakang serta visi, misi, aktivitas, dan kemanfaatannya. Perjalanan Paguyuban Pasundan yang panjang itu dan melalui berbagai perubahan zaman seyogianya telah memperkaya perbendaharaan pengalaman dan hasil perbuatannya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kajian sejarah tentang gagasan, sikap, langkah, dan buah usaha Paguyuban Pasundan sepanjang perjalanan sejarahnya masih sedikit ditemui. Kalaupun ada, kajian itu tidak mendalam, lengkap, dan jelas analisisnya. Barulah buku berjudul Pagoejoeban Pasoen dan: 1927-1942 Profil Pergerakan Etno-nasionalis (Ban dung: Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan, 2002) karya tulis Dr. Suharto berhasil mengungkapkan dan menganalisis gagasan, sikap, dan tindakan Pagu yuban Pasundan secara jelas dan lengkap di dalam konteks arena perjuangan politik kaum pergerakan nasi onal. Jadi, yang dikaji dalam buku ini adalah perju angan Paguyuban Pasundan pada periode sesudah
6 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

benar-benar m em asuki gelanggang kegiatan politik (1927-1942). Karya tulis tersebut berasal dari tesis magister pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Penulisnya sendiri yang sekarang telah berhasil meraih gelar Doktor bidang Sejarah di Universitas Indonesia adalah dosen tetap di Jurusan Se jarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Yang diterbitkan kali ini adalah hasil kajian sejarah atas Paguyuban Pasundan periode awal kelahirannya (1913-1918), tatkala organisasi ini m asih bergerak hanya dalam bidang sosial dan kebudayaan, belum melangkah dan menceburkan diri dalam kegiatan bidang politik. Karya tulis ini yang berjudul Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus P aguyubanP asundan 1913-1918 disusun oleh Prof Dr. H. Edi S. Ekadjati, Gurubesar Seja rah pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran dan juga anggota Dewan Pangaping Paguyuban Pasundan. Penemuan baru dari karangan ini ialah ditemukannya data otentik tentang hari pembentukan dan susunan pengurus pertama Paguyuban Pasundan yang berbeda dengan yang biasa diperingati sampai dewasa ini. Hari lahir organisasi ini ialah hari Minggu, tanggal 20 April 1913 sebagaimana tercatat pada Papas Nonoman, maja lah berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh organisasi ini sendiri. Kami m enghim bau kepada sem ua w arga Pagu yuban Pasundan dan masyarakat Sunda pada umumnya untuk membaca dan meresapi makna isi kedua karya tulis tersebut. Maksudnya agar kita dapat mengetahui dan memahami nilai, makna, cita-cita, dan gerak langkah perjuangan para pendiri organisasi ini dan para pendahulu kita pada umumnya. Dengan penge7

tahuan dan pemahaman itu, kita lanjutkan dan isi citacita perjuangan mereka dengan hal-hal yang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman sekarang ini.

Bandung, 20 Juli 2004 PENGURUS BESAR PAGUYUBAN PASUNDAN

Kebangkitan Kembali Orang Sunda

KATA SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS PASUNDAN


Pada hakekatnya ilmu itu merupakan kumpulan penemuan baru manusia dalam m engatasi tuntutan zaman dan m enjaw ab tantangan yang dihadapi dalam kehidupannya. Penem uan-penem uan baru dimaksud diperoleh melalui pengalaman, percobaan, penelitian, dan pengkajian. Itulah sebabnya sebagai manusia kita hendaknya terus-menerus melakukan berbagai kegiat an yang memungkinkan lahirnya penemuan-penemu an baru yang dapat membawa ke arah pengembangan ilmu pengetahuan dan pen ingkatan kualitas hidup manusia. Dalam kaitan itulah kiranya karya tulis Prof Dr. Edi S. Ekadjati berjudul Kebangkitan Kem bali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918 ini ditempatkan. Dengan karya tulis tersebut, kini menjadi jelaslah tentang waktu kelahiran yang benar serta gagasan dan kegiatan yang sesungguhnya dari para pendiri Pagu yuban Pasundan. Pada sisi lain, dari kasus penulisan sejarah Paguyuban Pasundan terbukti bahwa betapa pentingnya dokum en tertu lis itu dalam p erjalan an hidup sebuah organisasi. Karena ternyata dalam jarak waktu 15-25 tahun saja daya ingat seseorang telah tidak mampu m engungkapkan seluruh peristiw a penting yang dialam inya. M ungkin sungguh-sungguh lupa, mungkin pula terpengaruh oleh pengakuan, tafsiran,
9

dan anggapan umum yang sudah berkembang. Dalam hubungan ini seperti yang dialami oleh D.K. Ardiwi nata dan Dr. Djundjunan Setiakusumah mengenai tahun pendirian Paguyuban Pasundan. Kedua beliau itu mengalam i peristiw anya, karena termasuk pendiri organisasi ini. Namun, dalam karangannya yang ditulis 27 tahun dan 45 tahun kemudian kedua beliau itu mengungkapkan dan atau tidak membantah data yang keliru (1914, seharusnya 1913). Penemuan kembali do kumen tertulis berupa majalah Papaes Nonoman yang diterbitkan oleh Pengurus Paguyuban Pasundan (19141918) telah meluruskan data-data sejarah awal organi sasi ini. Sehubungan dengan keberadaan dokumen majalah Papaes Nonoman, kita patut mengacungkan jempol dan menghormati kecermatan menyimpan koleksi yang dilakukan oleh Prof. Dr. Husein Djajadiningrat dan Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Selain itu, patut pula menghargai jerih payah Dr. Suharto dan Prof. Dr. Edi S. Ekadjati yang telah menemukan kembali dan meneliti majalah tersebut. Seyogianya semangat dan aktivitas penelitian dalam rangka mencari kebenaran, memenuhi tuntutan dan tantangan zaman, dan meningkatkan kualitas hidup manusia perlu dijadikan agenda penting dalam dunia perguruan tinggi, tentu saja termasuk di lingkungan Universitas Pasundan yang merupakan kepanjangan tangan dari Paguyuban Pasundan. Karena dengan begitu, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terus berlanjut dan mutu kehidupan manusia akan terus meningkat pula. Akhirul kalam, kami menyambut baik atas terbitnya
10
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

karya tulis ini. Mudah-mudahan pembaca dapat meresapi makna isi karya tulis ini dan dapat mengambil intisari nilai dan cita-cita perjuangan organisasi nasionalis-etnik Sunda ini. UNIVERSITAS PASUNDAN

DAFTAR SINGKATAN
HBS KWS NIAS OSVIA Hogere Burger School (Sekolah M enengah Atas untuk Anak Belanda) Kweekschool (Sekolah Guru) Nederlandsch-Indische Artsen School (Seko lah Dokter untuk Anak Pribumi) O pleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (Sekolah untuk Calon Pam ongpraja Pribumi; disebut pula Sakola Menak)

STOVIA School tot Opleiding voor Indische Artsen (Sekolah Dokter untuk Anak Pribumi; disebut pula Sekolah Dokter Jawa) TBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen (Majalah yang diterbitkan oleh Masyarakat Batavia Pencinta Seni dan Ilmu Pengetahuan atau BGKW) Verhandelingen van het Bataviaasch Genoot schap van Kunsten en Wetenschappen (Penerbitan Tambahan BGKW) Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Penerbitan Tambahan Institut Kerajaan bagi Ilmu Bahasa dan Antropologi)
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

VBG

VKI

12

VOC

- Verenigde Oost-Indische Compagnie (Persatuan Perusahaan Hindia Belanda) I

!5 H * I? t L M f f - 3 g 4 M j 0 " rV iis -----iv-it ; ... ^ v n-> fC f~^TDAJT2fiA


-J

alafc-tr-if * *, fpM&dr c^Xi>Z'

1 J : -1 . -3 18^

JtA3 M331 T1XDK A.S

r& rf^^foibnftT ;

i^ w iJy.V^h^^VlTl fogtJii. r.ti. Ijv4& . rr-,3b &**>, 14

^
A

*&L%*

fi| -f.-'t i >

* :.^ - n ? r . / i3 f# ^ v y j u -^ 1 ^v. iSA iirr I ^


- r

DAFTAR ISI
ABSTRACT 2 K A TA S A M B U T A N PEN G U R U S BESA R PAG U YU BA N PA SU N D A N 5 K A TA S A M B U T A N R E K T O R U N IV E R S IT A S P A S U N D A N 9 D A F T A R S IN G K A T A N D A FT A R ISI 14 BAB I 12

P E N D A H U L U A N 15 22

B A B II JA T I K A S IL IH K U JU N T I BAB III

SEC ER C A H H ARAPAN : B A N G K IT K E M B A L I 29 Bahasa d an Sastra 29 O rganisasi Sosial B u d ay a 32 1 K elahiran 32 2 M otivasi P em b en tu k an d an Tujuan 4 9 3 P an d an g an d a n K egiatan 56 BAB IV K E S IM P U L A N 70

B IB L IO G R A F I 72 L A M P IR A N 8 0

14

Kebangkitan Kembali Orang Sunda

BAB I PENDAHULUAN
Paguyuban Pasundan (ejaan aslinya: Pagoejoeban Pa soendan) adalah sebuah organisasi berdasarkan etnis di Indonesia yang didirikan pada awal abad ke-20 dan masih hidup hingga sekarang. Organisasi ini didirikan oleh etnis Sunda yang bermukim di Batavia (Jakarta se karang), ibukota pemerintahan Hindia Belanda (Indo nesia sekarang). Etnis Sunda adalah salah satu etnis dari sejumlah etnis yang tersebar di kepulauan Indonesia yang memiliki ciri kebudayaan mandiri, yakni kebudayaan Sunda, dan tem pat pem ukim annya disebut Tanah Sunda yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Secara kuantitas etnis ini m enem pati urutan kedua terbesar di Indonesia.1 Pada awal abad ke-20 penduduk kota Batavia tergolong m ulti-etnis dan dengan sendirinya multi-kebudayaan, baik etnis-etnis pribumi (seperti etnis-etnis: Betawi, Sunda, Jaw a, M elayu, Bali, M inang, Bugis,
1 Menurut sensus penduduk berdasarkan etnis tahun 1930, etnis Sun da berjumlah 8.594.834 jiwa dari jumlah penduduk di seluruh Indo nesia sebanyak 59.138 067 jiwa. Dari jumlah etnis Sunda tersebut sebanyak 8.275.140 jiwa menetap di Tanah Sunda (Jawa Barat) dan 370.111 jiwa menetap di luar Tanah Sunda. Etnis lain yang jumlahnya tergolong banyak ialah etnis-etnis: Jawa (27.808.623 jiwa), Madura (4.305.862 jiwa), Minang (1.988.648 jiwa), Bugis (1533.035 jiwa), Batak (1.207.514), Bali (1.111.659 jiwa), dan Betawi (980.863 jiwa) (Volkstelling 1930, jilid k e -1 ,1933; jilid k e -8 ,1936; Ekadjati, 1995^31^33).
Pendahuluan

Menado, Ambon) maupun etnis-etnis asing (Eropa, Cina, Arab, India, Jepang).2 Sebelum menjadi pusat ke dudukan orang-orang Belanda, Jakarta itu merupakan kota pelabuhan utama Kerajaan Sunda (sampai tahun 1527) dengan nama Kalapa, kemudian kota pelabuhan Kesultanan Banten (sampai tahun 1619) dengan nama Jayakarta. Kompeni (VOC, perusahaan dagang orang Belanda) dan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menjadikan kota ini sebagai pusat kedudukan mereka sejak tahun 1619 mengambil kebijakan kependudukan dalam rangka meningkatkan peran kota pelabuhan dan perdagangan ini sehingga pada awal abad ke-20 pen duduk kota Jakarta menjadi multi-etnis dan multi2 Kemulti-etnisan penduduk kota Jakarta tercatat sejak tahun 1673 da lam Dagh Register VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, peru sahaan dagang orang Belanda di Hindia Timur atau Indonesia). Ber dasarkan etnis, penduduk kota Jakarta dan sekitarnya pada tahun 1893 (menurut Encyclopdie van Nederlandsch-Indie) dan 1930 (menurut hasil sensus penduduk) adalah sebagai berikut. Pada tahun 1893 penduduk pribumi berjumlah 72.241 jiwa dan orang asing 38.428 jiwa. Pada tahun 1930 penduduk pribumi berjumlah 1.443.517 jiwa dan orang asing 182.581 jiwa. Orang pribumi terdiri atas etnisetnis : Sunda, Jawa, Melayu, Bugis, Makasar, Mandar, Timor, Bali, Sumbawa, Ambon) pada tahun 1893 dan etnis-etnis: Betawi, Sunda, Jawa, Melayu, Minangkabau, Batak, Madura, kelompok etnis dari Sulawesi Utara (Menado, dan lain-lain), kelompok etnis dari Maluku (Ambon, dan lain-lain), kalompok etnis dari Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, dan lain-lain), dan lain-lain pada tahun 1930. Etnisetnis: Betawi, Sunda, dan Jawa merupakan penduduk kota Jakarta dan sekitarnya dari kalangan orang pribumi yang tergolong paling banyak pada tahun 1930, yaitu masing-masing 778-953 jiwa, 494.547 jiwa, dan 142.563 jiwa. Penduduk orang asing terdiri atas orang-orang Eropa, Cina, Arab, India, Jepang (Castles, 1967:157,166; Surjomihardjo, 1976: 27-35). Sebelum abad ke-19 orang Belanda selalu menyebut orang Jawa kepada seluruh penduduk Pulau Jawa, termasuk pendu duk Tanah Sunda. Dalam hal ini orang Jepang ditempatkan dalam satu kelompok bersama orang-orang Eropa. 16
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

budaya.3 Pada awal abad ke-20 di Indonesia sedang tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat pribumi, terutama di kalangan kaum terpelajar, akan kenyataan kehidupan bangsa mereka yang begitu memprihatinkan, baik dalam kehidupan ekonomi, kesejahteraan sosial maupun bidang pendidikan. Kondisi sosial yang sangat kontras bila dibandingkan dengan tingkat kesejahte raan hidup etnis asing, terutama etnis Belanda yang menjadi penguasa kolonial. Kesadaran tersebut muncul berkat pengetahuan dan w aw asan m ereka yang meningkat dan bertam bah luas sebagai buah dari pendidikan di sekolah dan bahan bacaan yang justru muncul dari kebijakan kolonial. Mereka ingin memperbaiki keadaan tersebut dengan memajukan taraf kehi dupan masyarakat mereka sendiri melalui berbagai cara. Mengikuti jejak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Eropa dalam memajukan kepen tingan mereka, kaum terpelajar pribumi pun memilih bentuk organisasi untuk menghimpun kekuatan dan kebersamaan di antara sesama mereka. D.K. Ardiwina ta, pendiri dan pengurus Paguyuban Pasundan, mengungkapkan situasi demikian pada tahun 1914. "Doepi tarkah-tarkah anoe biasa dilalampahkeun pikeun ngadjoengdjoeng bangsana, babakoena nja ta ngadamel pagoejoeban,
3 Kebijakan kependudukan dimaksud ialah mendatangkan orangorang yang berasal dari beberapa kelompok etnis dari wilayah kepulauan Indonesia dan luar Indonesia, seperti etinis-etnis: Bali, Ambon, Minahasa, Melayu, Cina, Jepang. Etnis Betawi yang dipandang penduduk asli Jakarta merupakan keturunan dari campuran beberapa etnis yang bermukim di Batavia (Castles, 1967; Surjomihardjo, 1976).
Pendahuluan

17

ngadamel sarikat dagang, sareng sarikat-sarikat anoe sans, .... .. di tanah Hindia og parantos nemban abdi-abdi mararotah bad noelad adat di nagara-nagara noe sans ta, babakoena ngadegkeun pagoejoeban sareng sarikat dagang" (Ardiwinata, 1914: 2).4 Sebuah bentuk pengelompokan sosial yang sama sekali baru untuk masyarakat pribumi masa itu. Ada empat faktor yang mengikat terbentuknya kelompok-kelompok sosial model demikian dalam ma syarakat Indonesia pada masa itu, yaitu faktor-faktor: etnis, ekonomi, agama, dan politik. Faktor etnis berta lian erat dengan masalah bahasa, kebudayaan, dan daerah asal mereka, karena terbentuknya etnis di Indo nesia telah berlangsung lama. Faktor ekonomi menyangkut hal-hal yang bertalian dengan pelaku kegi atan ekonomi, seperti petani, pedagang. Faktor agama mencakup kelompok masyarakat berdasarkan agama yang dianut mereka. Adapun faktor politik berhubungan dengan gagasan dan keinginan ikut serta dalam pengelolaan negara, paham ideologi, dan ide persatuan bangsa Indonesia (Nasionalisme Hindia). Itulah sebabnya, pada awal abad ke-20 di Indonesia muncul berba gai organisasi kaum pribumi, seperti Budi Utomo, Rukun Minahasa, Paguyuban Pasundan, Kaum Betawi, Ambonsch Studiefonds berdasarkan etnis; Sarekat Da gang Islam (SDI) berdasarkan ekonomi; Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perserikatan Kaum Kristen berdasar4 Terjemahannya: "Adapun upaya-upaya yang biasa dilakukan untuk mengangkat bangsanya (masing-masing), terutama dengan mendirikan organisasi, serikat dagang, dan serikat-serikat lain ,....., di tanah Hindia (Indonesia) pun masyarakat (pribumi) sudah mulai bergerak akan mengikuti jejak di negara-negara lain, terutama mendirikan organisasi dan serikat dagang". 18
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

kan agama; Indische Partij, Indische Sociaal Democratische Vereeniging berdasarkan politik. Selain itu, ada juga or ganisasi yang berdasarkan kriteria ganda, artinya ber dasarkan dua faktor tersebut di atas atau lebih, seperti Sarekat Sumatera berdasarkan etnis dan politik, Sarekat Ambon berdasarkan etnis dan politik, Sarekat Islam ber dasarkan agama dan politik, Pakempelan Politik Katolik Jawi berdasarkan politik, agam a, dan etn is.5 Sejak Volksraad, lembaga perwakilan rakyat, dibentuk oleh pemerintah kolonial pada tahun 1918 secara bertahap organisasi-organisasi kaum pribumi itu berpaling perhatian dan kegiatannya ke arah dunia politik, mulamula menuntut dapat berpartisipasi di dalam pemerintahan, kemudian menuntut kemerdekaan. Di antara organisasi-organisasi tersebut di atas, Budi Utomo mempunyai hubungan erat dengan orang Sunda dan Paguyuban Pasundan baik secara ind ivid u al maupun secara kelembagaan serta baik berupa hubung an persaingan, hubungan konflik maupun hubungan kerja sama. Soalnya, Budi Utomo dan Paguyuban Pa sundan didirikan berdasarkan konsep yang sama, yaitu konsep etnis, bahasa, kebudayaan, dan wilayah yang satu pihak isinya berbeda, tetapi di pihak lain ruang lingkup dan maknanya tumpang tindih. Secara geografis lokasi tempat tinggal etnis Sunda dan etnis Jawa berdampingan, berada dalam satu pulau yang bernama Pulau Jawa dan pulau tersebut berada dalam lingkung an geologis yang bernama Kepulauan Sunda Besar. Se cara terpencar di Tanah Sunda terdapat kelompok sosial
5 Pembahasan tentang organisasi pergerakan nasional berdasarkan klasifikasi demikian, lebih jauh lihat: Blumberger (1931), Koch (1950), Kahin (1952), Kartodirdjo dkk-, V (1975), dan Suharto (2002).
Pendahuluan

19

yang beretnis, berbahasa, dan berbudaya Jawa; sebaliknya di bagian barat daerah Jaw a Tengah terdapat kelompok sosial yang beretnis, berbahasa, dan berbu daya Sunda. Secara kelembagaan (statuta) Budi Utomo mmandang seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai wilayah aktivitas organisasinya. Namun secara perorangan di dalamnya terdapat dua pendapat mengenai hal itu. Pada satu pihak berpendapat bahwa etnis, ba hasa, dan kebudayaan di seluruh Pulau Jawa pada dasarnya sama (Padjadjaran, 18, 1, 20 Djoeli 1918: 2), di pi hak lain berpendapat bahwa kebudayaan Sunda dan kebudayaan Jawa itu berbeda sejak dahulu kala (Kaoem Moeda, 122, 7, 1 Djoeli 1918).6 Pada masa awal pendirian Budi Utomo banyak orang Sunda memasuki organisasi ini, karena keanggotaannya meliputi seluruh penduduk Pulau Jawa dan Pulau Madura dan orang Sunda pun menyambut gembira atas kelahiran organisasi tersebut. Akan tetapi, ka rena dalam perkem bangannya (sejak para siswa STOVIA lepas dari kepengurusannya, 1909), Budi Uto mo cenderung m engutam akan orang, bahasa, dan kebudayaan Jawa, maka selanjutnya banyak orang Sun da yang tidak berkenan hatinya dan berhenti dari keanggotaan organisasi ini. Apalagi setelah Paguyuban Pasundan berdiri (1913), orang Sunda berduyun-duyun masuk m enjadi anggota organisasi baru ini. Itulah sebabnya dari kalangan bukan orang Sunda sering menuduh bahwa orang Sunda mau m em isahkan diri
6 Hingga beberapa waktu yang lalu masih terdengar pengakuan orang Jawa kalangan tertentu yang mengidentikkan orang Jawa dengan Pulau Jawa, bahkan mengidentikkan orang Jawa dengan Kepulauan Nusantara. 20
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

(Setiakoesoemah, 1958: 7), anti dan akan menghancurkan Budi Utomo, egois, ingin segala sesuatu hanya untuk orang Sunda ( Padjadjaran , 10 Agustus 1918: 1). Fenomena yang menarik dalam hubungan ini adalah tokoh R. Oto Iskandar di Nata. Ia adalah orang Sunda yang bersekolah (Sekolah Guru) dan bekerja di daerah Jawa (Purworejo, Banjarnegara, Pekalongan), bahkan menikah dengan gadis Jaw a. Ia kelak (1929-1942) menjadi pemimpin dan tokoh utama Paguyuban Pasun dan, tetapi ternyata sebelumnya pernah menjadi ang gota dan pengurus cabang Budi Utomo di Banjarnegara, Bandung, dan Pekalongan serta berpolemik dengan Pengurus Paguyuban Pasundan (Siliwangi, 4 Oktober 1921 dan 7 Nopember 1922). Namun dalam menghadapi musuh bersama, yaitu penguasa kolonial, kedua organisasi ini seiring-sejalan dan bekerja sama, antara lain dalam forum-forum: Commissie Radicale Concentratie (di Bandung, sejak 8 Desember 1918), Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Indonesia (PPPKI) di Bandung sejak tahun 1927, dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta sejak 21 Mei 1939 (Ekadjati, 1978/1979; Suharto, 2002)7

7 Studi khusus tentang Budi Utomo, lihat: Nagazumi (1972; 1989) dan Surjomihardjo (1973). Pada tahun 1938 hari kelahiran Budi Utomo (20 Mei 1908) dirayakan sebagai titik awal kebangkitan nasional oleh Partai Indonesia Raya (Parindra), partai politik yang merupakan hasil fusi beberapa organisasi pergerakan nasional, termasuk di dalamnya Budi Utomo. Sejak tahun 1950 momen tersebut diperingati secara nasional sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Abdullah, 2001: 24-41).
Pendahuluan

21

(Setiakoesoemah, 1958: 7), anti dan akan menghancurkan Budi Utomo, egois, ingin segala sesuatu hanya untuk orang Sunda (Padjadjaran , 10 Agustus 1918: 1). Fenomena yang menarik dalam hubungan ini adalah tokoh R. Oto Iskandar di Nata. Ia adalah orang Sunda yang bersekolah (Sekolah Guru) dan bekerja di daerah Jawa (Purworejo, Banjarnegara, Pekalongan), bahkan menikah dengan gadis Jawa. Ia kelak (1929-1942) menjadi pemimpin dan tokoh utama Paguyuban Pasun dan, tetapi ternyata sebelumnya pernah menjadi ang gota dan pengurus cabang Budi Utomo di Banjarnegara, Bandung, dan Pekalongan serta berpolemik dengan Pengurus Paguyuban Pasundan ( Silizvangi, 4 Oktober 1921 dan 7 Nopember 1922). Namun dalam menghadapi musuh bersama, yaitu penguasa kolonial, kedua organisasi ini seiring-sejalan dan bekerja sama, antara lain dalam forum-forum: Commissie Radicale Concentratie (di Bandung, sejak 8 Desember 1918), Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Indonesia (PPPKI) di Bandung sejak tahun 1927, dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta sejak 21 Mei 1939 (Ekadjati, 1978/1979; Suharto, 2002).7

7 Studi khusus tentang Budi Utomo, lihat: Nagazumi (1972; 1989) dan Surjomihardjo (1973). Pada tahun 1938 hari kelahiran Budi Utomo (20 Mei 1908) dirayakan sebagai titik awal kebangkitan nasional oleh Partai Indonesia Raya (Parindra), partai politik yang merupakan hasil fusi beberapa organisasi pergerakan nasional, termasuk di dalamnya Budi Utomo. Sejak tahun 1950 momen tersebut diperingati secara nasional sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Abdullah, 2001: 24-41).
Pendahuluan

21

BAB II JATI KASILIH KU JUNTI8


Runtuhnya Kerajaan Sunda yang bercorak kehinduan menjelang akhir abad ke-16 Masehi (1579) secara berangsur-angsur berdampak melenyapkan identitas Sunda sebagai sebuah ideologi9 dalam segala unsur kehidupan masyarakat Sunda. Ideologi Sunda yang terbentuk selama sekitar 9 abad pada zaman Kerajaan Sunda (awal abad ke-8 sampai menjelang akhir abad ke-16) yang berw ujud aksara, bahasa, etika, adatistiadat (hukum), lembaga kemasyarakatan, kepercayaan, dan lain-lain lambat-laun tergerus dan terpinggirkan dengan masuknya ideologi baru yang datang dari luar. Mula-mula (sejak akhir abad ke-15) kebuda yaan Islam datang dari arah pesisir utara (Cirebon, Banten), kemudian (sejak awal abad ke-17) kekuasaan dan kebudayaan Jawa (Mataram) menembus dari arah pedalam an timur, dan akhirnya (sejak pertengahan abad ke-17) kekuatan perd agangan, m iliter, dan diplom asi Kom peni (Belanda) m enguasai seluruh wilayah Tanah Sunda. Ada fenomena yang menarik mengenai masuknya pengaruh Islam dan pengaruh kebudayaan Jawa di
8 Ungkapan bahasa Sunda yang bermakna: Pribumi terdesak pendatang. 9 Yang dimaksud dengan ideologi di sini adalah nilai luhur kerohanian dan tipe ideal budaya yang dianut oleh sebuah kelompok masyarakat. 22
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Tanah Sunda. Kedua pengaruh budaya luar tersebut masuknya ke Tanah Sunda secara beriringan, bahkan ada saatnya secara bergandengan. Mula-mula masuk pengaruh Islam, kemudian masuk pengaruh budaya Jawa, tetapi selanjutnya keduanya bersamaan. Sepanjang pengaruh yang masuk itu agama Islam dan orangorang Islam, penguasa dan masyarakat Sunda menerima dengan tangan terbuka, termasuk jika ada orang Sunda yang masuk Islam. Demikianlah, misalnya, tatkala ada kerabat raja Sunda memeluk agama Islam, ia diterima baik di lingkungan keraton Sunda dan diperkenankan menetap di wilayah Kerajaan Sunda.1 0 Begitu pula tidak menjadi masalah salah seorang raja Sunda menikah dengan seorang wanita muslim dan sebagian putera mereka memeluk agama Islam dan dibesarkan di lingkungan keraton Kerajaan Sunda.1 1 Sebagian pen duduk kota pelabuhan Cimanuk (Indramayu sekarang), sebagaimana disaksikan oleh Tome Pires, orang Portugis, pada tahun 1513 telah memeluk agama Islam dan mereka merupakan kaum pendatang dari sebelah timur
1 0 Dalam tradisi Sunda dikenal beberapa orang tokoh penyebar dan pengajar agama Islam pertama yang dimuliakan jejaknya hingga sekarang, seperti Syekh Quro di Karawang, Syekh Datuk Kahpi, Syekh Nurjati, dan Sunan Gunung Jati di Cirebon, Hasanudin di Ban ten. Sementara Haji Purwa, bermakna: orang yang menunaikan ibadah haji pertama, adalah anggota keluarga keraton Kawali yang masuk Islam ketika sedang bemiaga ke India dan kemudian menetap di Cirebon Girang (Hageman, 1867; Ekadjati, 1975; Danasasmita dkk, 1983/1984). 1 1 Dalam tradisi Sunda, raja Sunda dimaksud adalah Prabu Siliwangi yang menikah dengan Nyi Subanglarang, santri Syekh Quro, dan berputera Raden Walangsungsang dan Nyi Larasantang yang kedu anya muslim, tetapi dibesarkan di dalam keraton Kerajaan Sunda, dan akhirnya merintis Islamisasi di Cirebon (Brandes, 1911; Ekadjati, 1978; Dadan Wildan, 2001).
lli Kasilih ku lunti

23

(orang Jaw a), sedangkan sebagian lagi dan kepala daerahnya yang adalah penduduk pribumi menganut agama lama (Cortesao, 1944: 173). Akan tetapi, jika m asalah keagam aan itu ditunggangi kepentingan kekuasaan (politik), maka terjadilah konflik, seperti yang terjadi di Rajagaluh (1525), Banten (1526), Kalapa (1527), dan Pakuan Pajajaran (1579), karena hal itu menyangkut keamanan dan keselamatan negara.1 2 Da lam proses Islamisasi itu terjadi saling mendekati secara kultural dan ekonomis antara penguasa dan rakyat Sunda dengan pemimpin dan penyebar agama Islam. Sunan Gunung Jati sebagai penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Tanah Sunda mengakui diri secara genealogis masih keturunan raja Sunda. Ternyata ajaran agama dan etika yang datang dari Islam umumnya cocok dan sejalan dengan sistim kepercayaan dan etika yang dianut oleh masyarakat Sunda. Konsep Batara Tunggal, misalnya, sejalan dengan konsep keimanan dalam Islam Allahu Ahad (Allah Maha Esa). Etika yang termaktub dalam Sanghiyang Siksa 1 3 pada prinsipnya cocok dan sejalan dengan konsep ihsan di dalam Islam, yakni tentang ucap, sikap, dan perilaku manusia yang baik secara individual dan kelompok sosial. Proses Islamisasi selanjutnya datang dari bawah dan berlang12 Konflik tersebut terjadi, karena memperebutkan hegemoni wilayah dan eksistensi negara yang berhimpitan dengan proses Islamisasi dan Jawanisasi (Djajadiningrat, 1913; Graaf & TH, Pigeaud, 1972; 1974). 13 Tradisi lisan dan tulisan yang menjadi pedoman hidup masyarakat Sunda secara keseluruhan pada zaman Kerajaan Sunda, sebagian diabadikan secara tertulis dalam bentuk dua buah naskah beraksara dan berbahasa Sunda Kuna berjudul Sanghiyang Siksakandang Karesian dan diberi judul Amanat Galunggung (Atja & Saleh Danasasmita, 1981; 1981a). 24
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

sung secara demokratis dengan menggunakan pendekatan yang berdam pak m em ajukan k esejah teraan masyarakat Sunda. Akhirnya agama Islam diterima oleh masyarakat Sunda secara keseluruhan dan kemu dian menjiwai dan mewarnai kebudayaan Sunda selanjutnya, kecuali sekelompok kecil masyarakat Kanekes (Baduy) di pedalaman Banten.1 4 Adapun m asuknya kebudayaan Jaw a ke dalam wilayah dan masyarakat Sunda terjadi pada dua peri ode dengan m elalui dua arah dan dua cara. Yang pertama melalui kegiatan perdagangan, pertanian, dan migrasi di daerah pesisir utara yang bersamaan dengan proses Islam isasi pada akhir abad ke-15 sam pai pertengahan abad ke-16. Proses ini berlangsung secara alamiah dan damai. Kebudayaan Jawa pesisir yang berasal dari periode ini hidup terus hingga sekarang de ngan catatan secara bertahap dan periodik terjadi penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan kondisi dan tradisi lokal.1 5 Vang kedua adalah kebudayaan Jawa pedalaman yang bersifat feodal yang dibawa oleh prajurit dan priyayi Mataram melalui ekspedisi militer serta hegem oni kekuasaan dan kebudayaan sejak
1 4 Studi khusus tentang masyarakat Kanekes (Baduy), lihat: Geise OFM, 1952; Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986; G am a, 1987; Ekadjati, (1995). 1 5 Pada tahun 1930 w ilayah Cirebon dan Banten berpenduduk mayoritas etnis Jawa, yaitu masing-masing sebanyak 975.838 jiwa dan 315.053 jiwa, dibandingkan dengan penduduk etnis Sunda yang masing-masing berjumlah 234.469 jiwa dan 196.320 jiwa (Ekadjati, 2002). Karena jumlahnya banyak dan berdomisili di wilayah pesisir yang terbuka dan mobilitasnya tinggi, secara budaya etnis Jawa di kedua wilayah ini bertahan hingga sekarang, walapun warnanya sudah jauh berbeda dengan warna budaya Jawa di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta mereka tidak menyebut diri sebagai orang Jawa, melainkan orang Cirebon dan orang Banten. loti Kasilih ku Iunti 25

perempatan kedua abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan Jawa ini datangnya dari lapisan atas dan masuk ke dalam lingkungan atas (menak) pula di Tanah Sunda. Karena budaya Jawa ini menguntungkan kaum menak Sunda dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kedudukan dan status mereka, maka budaya ini terus dipelihara dan diserap di lingkungan pendopo kabupaten serta digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintahan. Sementara itu, Kompeni yang menggantikan kedudukan Mataram di Tanah Sunda membiarkan pengaruh kebudayaan Jawa tersebut hidup terus di Ta nah Sunda, karena bermanfaat bagi eksploitasi daerah ini. Dalam hal-hal tertentu kebudayaan luar itu begitu kuat sehingga aksara Sunda, misalnya, terpental ke da erah pegunungan yang terpencil (Kabuyutan Gunung Larang Srimanganti di lereng Gunung Cikuray, Garut Selatan) dan akhirnya (abad ke-18) mati (Atja, 1970). Peranan aksara Sunda itu digantikan oleh aksara Cacarakan yang dipinjam dari aksara Jawa (aksara Carakan), aksara Pegon yang dipinjam dari aksara Arab, dan aksara Latin yang dipinjam dari budaya Eropa. Kedudukan dan fungsi bahasa Sunda terdesak hingga hanya m enjadi bahasa percakapan sehari-hari di kalangan rakyat biasa, sedangkan fungsi dalam administrasi pemerintahan, bahasa tulisan, dan pengajaran agama digantikan oleh bahasa Jawa (Holle, 1864: 495; Kern, 1898: 8; Ardiwinata, 5,1914: 6-7). Selain itu, masuk pula sistim unggah-ungguh basa (tingkatan bahasa) dalam bahasa Jawa keraton ke dalam bahasa Sunda pendopo kabupaten (undak-usuk basa) lengkap dengan
26 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

tata kramanya yang penyebarannya diperluas melalui sekolah-sekolah sistim Barat sehingga m em perkuat sistim feodalism e dalam m asyarakat Sunda. Dalam jumlah yang tidak terlalu banyak migrasi penduduk pun terjadi juga dalam rangka memperkenalkan sistim sawah bagi kegiatan p ertan ian daerah ped alam an Tanah Sunda, misalnya, penduduk dari daerah Indramayu, Cirebon, dan Tegal (Jawa Tengah) didatangkan ke bagian dataran Bandung yang berawa-rawa untuk membuka sawah pada abad ke-19.1 6 Pada masa Tanah Sunda secara bertahap di bawah kekuasaan Kompeni dan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1677-1942) dapat dikatakan bahwa seluruh lapisan m asyarakat Sunda tidak mempunyai kesempatan untuk m engem bangkan diri secara bebas dan leluasa dalam semua bidang kehidupan mereka, karena perhatian, waktu, dan tenaga mereka dikerahkan sepenuhnya untuk mengabdi kepada penguasa asing itu. Rakyat harus bekerja sepanjang hari di kebun lada, kopi, indigo; kemudian tebu, teh, karet, kina, dan lainlain serta mengantarkan hasilnya sampai ke gudanggudang di pelabuhan (sungai, laut); kemudian memprosesnya di p abrik-p abrik seh ingga m en jad i baran g ekspor (Moh. Ali dkk., 1972; Nugraha, 2001), di samping harus mengabdi kepada pejabat pribumi (bupati
1 6 Tradisi orang Sunda dalam menggarap lahan pertanian menggunakan sistem p en ggarap an lahan kering (hum a, lad an g). Jum lah penduduk etnis Jawa di Priangan pada tahun 1930 adalah 102.753 jiwa, sedangkan etnis Sunda berjumlah 3.273.2% jiwa (Ekadjati, 2002). Etnis Jawa yang menetap di wilayah Priangan berintegrasi secara bu daya sehingga sejak awal abad ke-20 gambaran sosial budaya mereka makin menghablur ke dalam sosial budaya Sunda dan pada pertengahan abad ke-20 gambaran sosial budaya mereka sudah bersatu dengan sosial budaya Sunda. Ian KasiM ku ]unti 27

dan lain-lain yang tergolong menak) baik dengan tenaga maupun harta (Herlina Lubis, 1998). Kaum elitnya dikerahkan sebagai mandor untuk mengawasi pekerjaan rakyat mereka, bahkan selanjutnya dijadikan pegawai kolonial. Keprihatinan hidup masyarakat Sunda pa da pertengahan pertama abad ke-19 digambarkan seca ra dramatis dan simbolis oleh Multatuli dalam karya sastranya yang term asyhur berjudul Max Havelaar. Sistim kerja sepanjang hari memang sejalan dengan sistim pertanian lahan kering (ladang, huma) yang biasa digarap oleh m asyarakat Sunda sejak masa lampau. Itulah kiranya yang menjadi salah satu sebab penduduk wilayah pedalaman Tanah Sunda, terutama w ilayah P rian gan, ham pir tak pernah m elakukan pemberontakan fisik terhadap pemerintah kolonial, berbeda dengan penduduk wilayah pesisir Banten dan Cirebon yang cenderung bercorak budaya sawah dan sering m elancarkan perlawanan terhadap penguasa kolonial itu.1 7

17 Sepanjang sejarah kolonial di wilayah Priangan hanya terjadi satu kali pemberontakan saja yang dipimpin oleh Haji Prawatasari pada aw al abad k e-18, sedangkan di w ilayah Banten dan Cirebon pemberontakan itu terjadi terus-menerus sepanjang abad sampai akhir masa kolonial (Haan, 1912; Ekadjati dkk., 1982/1983). 28 Kebangkitan Kembali Orang Sunda

BAB III SECERCAH HARAPAN: BANGKIT KEMBALI


3.1. Bahasa dan Sastra

Melalui bahasa dan sastra identitas Sunda muncul kembali m enjelang akhir abad ke-19 seiring dengan m unculnya k eb ijak an p em erin tah k o lo n ia l H ind ia Belanda tentang pem bukaan sekolah-sekolah m odel Barat bagi anak-anak orang pribum i dan penciptaan suasana m asyarakat yang tenang dan tertib (rust en orde) yang antara lain ditempuh lew at bahan bacaan. Kebijakan p em erintah kolon ial tersebu t m enindaklanjuti k eb ijak an baru b ertalian d en g an sistim pengelolaan tanah jajahan yaitu dari sistim tanam paksa (Preanger S telsel atau Sistim P rian g an d an C ultu ur Stelsel atau Sistim Tanam Paksa) menjadi sistim liberal (Preanger R eorganisatie atau R eorganisasi P riangan)1 8 yang memberi jalan bagi pihak swasta untuk membuka lahan usaha mereka, seperti membuka perkebunan, in d u stri, p e rd a g a n g a n , p ela y a ra n . D alam ran g k a menunjang pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah kolonial membuka sekolah m odel Barat bagi bangsa pribumi guna menciptakan tenaga kerja yang terampil,
1 8 Studi tentang Preanger Stelsel dan Preanger Reorganisatie, lihat Klein, 1931 dan Meerten, 1887.

murah, dan loyal kepada kaum kolonial baik pem e rintah maupun perusahaan swasta. Di sekolah-sekolah ini bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Sunda, menjadi bahasa pengantar dan diajarkan di sekolah-sekolah tingkat dasar serta diajarkan di sekolah-sekolah tingkat lanjutan. Di sam ping itu, dilakukan pula upaya penyusunan dan penerbitan buku-buku berbahasa daerah setempat (bahasa Sunda) untuk bahan ajar dan bahan bacaan anak-anak di sekolah dan m asyarakat pada umumnya. Pada masa itu merupakan awal penggunaan teknologi percetakan yang dipelopori oleh percetakan m ilik pem erintah ( Land's D rukkerij ) sehingga dalam satu kali penerbitan menghasilkan buku dalam jumlah banyak. Sebelumnya karya-karya tulis itu ditulis dengan tulisan tangan untuk mewujudkan pertama kali dan memperbanyaknya sehingga hasilnya (naskah) hanya masing-m asing satu eksemplar saja (tentang naskah Sunda, lihat: Ekadjati dkk., 1988; Ekadjati, 1996; Ekadjati & Undang A. Darsa, 1999). A tas d oron gan K.F. H olle (1829-1896), seorang Belanda yang m enaruh p erh atian besar terhad ap kebudayaan dan orang Sunda, dan dengan dipelopori oleh R.H . M uham ad M usa (1822-1886), Penghulu Besar Kabupaten Limbangan (Kabupaten Garut seka rang) yang menjadi pengarang dan sastrawan berba hasa Sunda, m ulailah ditulis dan diterbitkan bukubuku berbah asa Sunda, baik dalam bentuk karya sastra, bahan ajar di sekolah maupun bentuk bahasan untuk bahan bacaan murid sekolah dan umum. Land's Drukkerij dan Volkslectuur (1908) yang kemudian men jadi Balai Poestaka (1917) memainkan peranan penting dalam penerbitan berbagai buku berbahasa Sunda
30
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

itu; kemudian menyusul para penerbit swasta. Sejak itu buku-buku berbahasa Sunda yang ternyata sangat diminati masyarakat Sunda bermunculan di perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, toko buku, dan di kalangan masyarakat. Pengarang berbahasa Sunda bermunculan pula, seperti R. Adiwijaya, R. Kartawinata, R. Burhan Kartadireja, M. Kartadimaja, R. Rangga Danukusumah, R. Suriadiraja, R. Ayu Lasminingrat, D.K. Ardiwinata. Buku bahan ajar bahasa Sunda pada mulanya dikarang oleh orang Belanda, kemudian dikarang bersama oleh orang Belanda dan orang Sunda, akhirnya dikarang oleh orang Sunda sendiri. Sampai awal abad ke-20 sumber karya tulis sastra Sunda dapat d ik lasifik asi atas tiga kelom p ok, yaitu (1) yang mengambil dari tradisi lisan Sunda, (2) yang merupakan terjemahan atau saduran dari karya sastra lain (Jawa, Melayu, Belanda), dan (3) yang merupakan hasil daya cipta sendiri.1 9 Sebagai dampaknya, sejak awal abad ke-20 para pemuda Sunda sudah m engalihkan m inat bahan bacaan dan kehidupan budaya m ereka dari yang berbahasa dan berbudaya Jawa kepada yang berbahasa dan berbudaya Sunda. Padahal sebelumnya bacaan
n Sebagai contoh adalah buku-buku: Soendaneesch Spelboekje (Buku Bacaan Bahasa Sunda) karya G.J. Grashuis (1866), Soengkeman: Boekoe Batjaan (Persembahan: Buku Bacaan) karya bersama W. Keizer dan Moehamad Rais (1914), Elmoening Basa (Ilmu Bahasa) karya D.K. Ardiwinata (1916) untuk pelajaran bahasa Sunda; Mangle: Roepa-roepa Tjariia reudjeung Tjonto Pikeun Sakola Soenda (Bunga Rampai: Berbagai Cerita dan Contoh bagi Sekolah Sunda) (1890) karya W. van Gelder, Tjarita Erman (Cerita Erman) karya terjemahan dari bahasa Belanda oleh R. Ajoe Lasminingrat (1875), dan Baroeang ka Noe Ngarora (Racun bagi yang muda) karya asli D.K. Ardiwinata (1914) untuk karya sastra.
Setercafi H arapan: Bangkit temBali

31

yang beraksara, berbahasa, dan berbudaya Jawa merupakan ciri keterpelajaran dan peradaban seseorang di lingkungan m asyarakat Sunda (Ardiw inata, 4 & 5, Maret & April 1914).
3.2. Organisasi Sosial Budaya

3 .2 .7 . K ela h ira n Kebangkitan identitas yang lebih menyeluruh dan atas inisiatif orang Sunda sendiri ditempuh melalui pembentukan perkumpulan atau organisasi, dalam hal ini organisasi Paguyuban Pasundan. Hari lahir Paguyuban Pasundan pernah menjadi masalah di lingkung an organisasi tersebut, masyarakat Sunda, dan kalangan sejarawan yang berdampak mengalam i perubahan. Pada tiga buku peringatan lahirnya Paguyuban Pasun dan yang terbit sebelum perang (sebelum tahun 1942)20 tidak dikemukakan secara jelas mengenai hari lahir organisasi ini, yang diungkapkan hanya angka tahunnya saja, yakni 1915. Rupanya pada waktu itu hal ter sebut dipandang tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah fungsi peringatannya bagi dinamika dan
20 Ketiga buku dimaksud diterbitkan dalam rangka peringatan kelahiran Paguyuban Pasundan ke-15, ke-20, dan ke-25, m asing-m asing berjudul Herdenking Pagoejoeban Pasoendan, Pangemoet-ngemoet kana Ngadegtia Pagoejoeban Pasoendan Doea Poeloeh Taoen, dan Gedenkboek Pasoendan 25 Tahoen yang dikeluarkan tahun 1931, 1935, dan 1939. Pada buku peringatan yang ke-20 dikemukakan oleh Hoofdbestuur (Pengurus Besar) bahwa organisasi ini didirikan tahun 1914 dan statutanya disahkan oleh pemerintah tahun 1915. Berhubung dengan tahun 1935 diakui sebagai peringatan 20 tahun berdirinya organisasi ini, maka pada waktu itu yang dipandang oleh Pengurus Besar Pagu yuban Pasundan sebagai tahun berdirinya organisasi mereka adalah tahun 1915, yaitu tahun diakuinya organisasi ini sebagai badan hukum dengan disahkan statutanya oleh pemerintah. 32
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

kemajuan organisasinya. Baru kemudian (setelah Indo nesia merdeka) ketentuan lahirnya organisasi pada hari yang tepat dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan bermakna.2 1 Menurut Memed Era wan,22 pada mulanya hari lahir Paguyuban Pasundan itu diperingati pada tanggal 9 Desember yang diambil dari momen penanggalan surat keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang mengakui dan mensahkan organisasi ini sebagai badan hukum (Besluit no. 46 tanggal 9 Desember 1914). Pada masa R.S. Suradiradja m enjadi Ketua Umum Paguyuban Pasundan (1947-1968), pengakuan dan ketetapan hari lahir Pagu yuban Pasundan itu diubah menjadi tanggal 22 Septem ber 1914. Tanggal, bulan, dan tahun tersebut, katanya, diambil dari momen pembentukan organisasi ini oleh beberapa orang m ahasiswa STOVIA asal Sunda di lingkungan kampus sekolah mereka. Perubahan itu dipandang sangat penting dan perlu sesuai dengan perubahan nilai (segala sesuatu yang berasal dari penguasa kolonial dipandang bernilai ngatif dan yang datang dari inisiatif atau hasil upaya bangsa sendiri dipandang bernilai positif) dan perkembangan zaman (dari zaman kolonial menjadi zaman kemerdekaan). Tampaknya perubahan w aktu hari lahir tersebu t ditetapkan sekitar tahun 1959, yaitu sesudah nama organisasi ini kembali lagi dipakai, setelah sejak tahun
2 1 Mungkin perubahan pandangan tersebut terjadi sesudah ada ketetapan hari lahirnya Budi Utomo, 20 Mei 1908, sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan hari lahir tersebut diperingati tiap tahun secara nasional sejak tahun 1950. 22 Penjelasan Memed Erawan, anggota Pengurus Paguyuban Pasundan, pada acara Sarshan Titimangsa Gumelama Paguyuban Pasundan, di Bandung, 20 Juli 2002.
Secercah Harapan: Bangkit Kembali 33

1950 diubah m enjadi Partai Kebangsaan Indonesia (Parki). Memang pada masa itu semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia sed ang m em uncak seiring dengan memuncaknya kepemimpinan Presiden Ir. Sukarno dan perjuangan membebaskan Irian Barat dari genggaman kolonialis Belanda. Dengan mengambil momen tersebut, maka jiwa dan warna nasional tercermin pada diri organisasi ini, karena didirikan atas inisiatif orang Indonesia (Sunda) sendiri, bukan datang dari keputusan penguasa kolonial. Sejak itu hari lahir Paguyuban Pasundan dipandang dan diperingati setiap tanggal 22 September, bahkan tulisan-tulisan sejarah pun baik berupa karya tulis populer maupun karya tulis ilmiah mencatat tanggal, bulan, dan tahun tersebut se bagai hari didirikannya Paguyuban Pasundan.23 Akan tetapi, momen yang diambil bagi penanggalan tersebut ternyata dalam karya-karya tulis itu tidak sama, termasuk karya tulis yang disusun oleh kalangan pengurus besar organisasi ini.24
23 Lihat antara lain: Ali dkk. Sedjarah Djawa Barat: Suatu Tanggapan. Ban dung, Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat, 1972. Saleh, Sekiiar Lahir dan Perkembangan Pagoejoeban Pasoendan. Skripsi Sardjana. Ban dung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 1975. Ekadjati dkk. Sejarah Kebangkiian Nasional Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979. Suryawan, Sejarah Berdiri nya Paguyuban Pasundan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Pasundan, 1990. Erawan. Paguyuban Pasundan di Tengah-tengah Kancah Perjuangan Bangsa. Bandung, 1991. 24 Tercermin dari pendapat dua orang pengurus Paguyuban Pasundan di dalam bukunya masing-masing yang diterbitkan pada waktu hampir bersamaan (1990 dan 1991). Soeryawan (1990:19) mengemukakan bahwa penanggalan tersebut menunjuk kepada momen pertemuan sejumlah orang Sunda di rumah D.K. Ardiwinata, sedangkan menurut Erawan (1991: 5) penanggalan tersebut merujuk pada momen pertemuan beberapa mahasiswa STOVIA asal Sunda di dalam lingkungan kampus mereka yang juga tempat kelahiran Budi Utomo. (Se34 K ebangkitan K embali Orang Sunda

Penelusuran dokumen yang dibuat pada zamannya25 m em berikan kesaksian bahw a kedua p en an g g alan tersebut di atas (22 Septem ber 1914 dan 9 Desem ber 1914) sesungguhnya bukanlah m enunjukkan w aktu didirikannya Paguyuban Pasundan, sebab pada waktu itu organisasi ini telah ada, bahkan telah melakukan kegiatan dan anggota-anggotanya telah tersebar di beberapa tempat di Tanah Sunda. Ternyata tanggal 22 Sep tember 1914 itu merupakan penanggalan sepucuk surat yang dikeluarkan oleh pengurus organisasi ini untuk mengajukan perm ohonan pengesahan sebagai badan hukum kepada pemerintah Hindia Belanda. Tanggal 9 Desember 1914 adalah penanggalan keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang mengakui dan mensahkan Paguyuban Pasundan sebagai badan hu kum (Papas N onom an, 1, 31 Januari 1915 dan Papas Nonoman, 3, 31 Maart 1915). Jika begitu, kapan Paguyuban Pasundan itu didisungguhnya status mereka bukan mahasiswa (student), melainkan siswa ( leerling), karena STOVIA bukan perguruan tinggi melainkan sekolah menengah; baru sejak tahun 1920-an sekolah ini ditingkatkan menjadi perguruan tinggi dengan nama Geneeskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Tetapi lulusan STOVIA biasa disebut dokter, seperti Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr. Soetomo, Dr. Djoendjoenan Setiakoesoemah). 2 5 Dokumennya dibuat dan diterbitkan oleh para pelaku sendiri sehingga berstatus sebagai sumber primer. Dokumen dimaksud adalah majalah bulanan berbahasa Sunda yang diberi nama Papas Nonoman (Hiasan bagi yang Muda) dan diterbitkan oleh Pengurus Paguyuban Pasundan di Jakarta tahun 1914 -1918. D idalam nya terdapat penjelasan bahwa majalah ini merupakan Orgaan Pakempelan "Pasoendan" (Corong Suara Perkum pulan Pasundan). Sejak tahun 1919 majalah ini berganti nama menjadi Pasoendan seiring dengan peru bahan ruang lingkup kegiatan organisasi yang m engeluarkannya, yaitu dari semula hanya bergerak dalam bidang sosial budaya bertambah dengan juga menggarap bidang politik
Secercah Harapan : Bangkit K embali

35

rikan? Sesungguhnya majalah Papas Nonoman yang merupakan dokumen historis telah menjawab pertanyaan tersebut. Masalahnya adalah majalah ini rupanya tidak diingat dan atau dimiliki lagi oleh para pengurus dan anggota organisasi ini. Sementara itu, mereka yang tergolong pendiri dan pengurus periode awal Pagu yuban Pasundan telah tersebar ke berbagai tempat dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Maja lah ini baru terungkap kembali oleh peneliti dan penulis sejarah pada awal tahun 1990-an.26 Dalam Papas Nonoman inform asi tentang waktu didirikan Paguyuban Pasundan tertera pada artikel berjudul Propaganda pikeun Pakoempoelan Pasoendan (Propa ganda bagi Perkumpulan Pasundan) yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata dan terbit tanggal 1 Nopember 1914 serta artikel berjudul Verslag Pagoejoeban Pasoendan Taoen 1915 (Laporan Tahunan Paguyuban Pasundan Tahun 1915) yang disusun oleh Wirasapoetra dan terbit tanggal 30 April 1916. D.K. Ardiwinata menjelaskan dengan jujur dalam artikelnya: "Doepi ajeuna di oerang parantos ngadeg hidji pagoejoeban anoe knging disebat ageng og sareng anoe gadoeh alpoekahna estoe oerang Soenda, nja ta moerid-moerid sakola doctor, loeloegoena: Dajat Hidajat,
26 Peneliti sejarah dimaksud adalah Suharto pada awal tahun 1990-an dalam rangka penelitian dan penulisan tesis magisternya dan kemudian (2001) penulis sendiri. Sejauh pengetahuan penulis, arsip majalah ini hanya tinggal satu bundel saja di Indonesia, yaitu pada koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Arsip ini berasal dari koleksi Prof. Dr. Husein Djajadiningrat yang pernah menjadi Ketua Yayasan Kebudayaan Indonesia yang mengelola perpustakaan ini pada tahun 1950-an sampai awal tahun 1960-an, seperti terlihat pada alamat, perangko, dan cap pos sejumlah nomor majalah ini. 36
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Djoengdjoenan, A sikin, Koesoema Soedjana sareng Iskandar." (Ardiwinata, 10, 1, 1 Nopember 1914: 2).27 Jadi, pada waktu artikel itu disusun (sekitar Oktober 1914), menurut D.K. Ardiwinata, Paguyuban Pasundan telah didirikan, bahkan berusia satu tahun lebih, oleh dan atas inisiatif para siswa Sekolah Dokter asal Sunda dengan lima orang pelopornya.28 Sekolah Dokter dimaksud adalah School tot O pleiding voor in lan d sch e Artsen (STOVIA) yang m endidik calon tenaga medis bagi kalangan masyarakat pribumi dan lokasi sekolahnya terletak di Weltevreden (sekarang: Jalan Dr. Abdurachman Saleh) Jakarta. Verslag Pagoejoeban Pasoendan Taoen 1915 memperkuat dan melengkapi penjelasan tersebut dengan menyebutkan tentang waktu, tem pat, latar belakang, dan tujuan didirikannya organisasi ini. Katanya: " Dina ping 20 Djoeli 1913 andjeuna ngadamel bijeenkomst di boemina D.K. Ardiwinata. Anoe saroemping harita seueur pisan sapertos moerid-moerid ti H.B.S., K.YJ.S., S.T.O.V.I.A. sareng istri-istri ti Bogor, goeroe-goeroe, sareng seueur-seueur deui. Dina ta bijeenkomst Dajat Hidajat njarioskeun naon margina andjeunna hojong ngadamel ieu pagoejoeban .... Saparantos kahartos koe sadajana, ladjeng harita rempag pikeun ngadam el pagoejoeban. Kalawan pirempag sadaya eta pagoejoeban dingaranan Pasoendan.
2 7 Terjemahannya: "Adapun sekarang di (masyarakat) kita telah berdiri satu perkumpulan yang dapat digolongkan besar juga dan yang memprakarsai (pembentukan perkumpulan ini) ialah orang Sunda sendiri, yaitu para siswa Sekolah Dokter (STOVIA) dengan pelopor nya: Dayat Hidayat, Jungjunan, Asikin, Kusuma Sujana, dan Iskandar". Pada waktu itu D.K. Ardiwinata sedang menjabat President (Ketua) Paguyuban Pasundan (22 Februari 1914 - 24 April 1916) dan juga Redaktur Sementara (Voorloopig Redacteur) majalah ini. 28 Riwayat hidup singkat mereka dan D.K. Ardiwinata tertera pada lampiran di belakang.
Secercah Harapan-. Bangkit Ktmbali

37

Harita keneh ladjeng ngadamel voorloopig statuten sareng milih Bestuur."29 (Wirasapoetra, 1916: 4). Dari informasi tersebut jelas sekali bahwa Paguyuban Pasundan didirikan pada tanggal 20 Juli 1913 sebagai hasil pertemuan sejum lah orang Sunda (siswa-siswa HBS, KWS, dan STOVIA, guru-guru, wanita, dan lain-lain yang bertempat tinggal di Jakarta dan Bogor) di rumah D.K. Ardi winata dengan alamat Gang (sekarang: Jalan) Paseban, Weltevreden (sekarang daerah Salemba, Jakarta Pusat), Jakarta. Bahwa Paguyuban Pasundan didirikan pada bulan Juli atas prakarsa para siswa STOVIA yang dipimpin oleh Dayat H idayat dan dukungan D.K. Ardiwinata dan para tokoh Sunda lebih tua lainnya yang tinggal di Jakarta diakui dan diungkapkan oleh Dr. Junjunan Setiakusumah, salah seorang pemrakarsa dan pendiri Paguyuban Pasundan yang waktu itu menjadi siswa STOVIA, di dalam memoirnya yang ditulis tahun 1958. K atanya: "B u la n Ju li 1914 kam i klep ek Sunda di STOVIA bersama memikirkan nasib orang Sunda. Kami bersepakat untuk mendirikan perkumpulan chusus diisi
29 Terjemahannya: "Pada tanggal 20 Juli 1913 beliau (Dayat Hidayat) menyelenggarakan pertemuan di rumah D.K. Ardiwinata. Waktu itu yang hadir banyak sekali, seperti para siswa HBS, KWS, STOVIA, sejumlah wanita dari Bogor, guru-guru, dan banyak lagi yang lainnya. Dalam pertemuan itu Dayat Hidayat mengemukakan pandangannya tentang jawaban atas pertanyaan, mengapa ia ingin membentuk sebuah perkumpulan. Setelah alasan tersebut dapat dipahami oleh semua yang hadir, kemudian waktu itu juga disepakati untuk mendirikan perkumpulan. Atas persetujuan semuanya perkumpulan itu dinamai Pasundan. Pada hari itu juga disusun statuta (anggaran dasar) sementara dan dipilih pengurusnya." HBS (H ogere Burger School) adalah Sekolah Menengah berpengantar bahasa Belanda yang diperuntukkan putera-puteri orang Belanda dan keluarga elit pribumi. KWS (Kweekschool) adalah sekolah guru. 38
Kebangkitan K em bal Orang Sunda

orang Sunda atau orang jang mentjintai tanah Sunda. Untuk ini semua sdr. Hidajat, sekarang m endjadi Prof. Dr. Hidajat, berunding dengan kesepuhan Dang Ardiwinata di Pasban (maksudnya: Gang Paseban, alamat rumah D.K. Ardiwinata), Weltevreden. Setelah mendapat persesuaian, pada hari Minggu bulan Juli didirikan perkumpulan dan diberi nama Pagujuban Pa sundan, artinja pagujuban orang-orang Sunda, jang ada di Tanah Sunda." (Setiakoesoemah, 1958: 6).30 Dalam Verslag Taoen 1915 dikemukakan pula bahwa pada pertemuan tersebut, selain tercapai kesepakatan untuk mendirikan perkumpulan, juga perkumpulannya dibentuk pada hari itu juga, term asuk diberi nam a, dibentuk susunan dan personalia pengurus, disusun statu ta, dan dibuat program kerjanya. Perkum pulan dimaksud diberi nama Pasoendan .3 1 Pengurusnya terdiri atas 8 o ran g , y aitu D .K. A rd iw in ata (A d v iseu r =

30 Menurut beliau, klepek adalah sebutan kepada siswa STOVIA yang berasal dari bahasa Perancis: eleve. Terjadi kekeliruan dalam mengungkapkan angka tahun, bukan 1914 melainkan 1913. Mungkin sekali angka tahun yang tertera pada buku peringatan 20 tahun Pagu yuban Pasundan pun berasal dari informasi beliau yang waktu itu (1935) menjadi Ketua Panitia (Centraal Comit) Kongres ke-20 di Bandung. Buku tersebut diterbitkan oleh Panitia Kongres. Pada waktu menyusun memoir (1958) beliau berusia 70 tahun dan dalam kondisi fisik dan mental yang baik, sementara Dayat Hidayat dikatakan telah menjadi Prof. Dr. Dayat Hidayat (Gurubesar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). 3 1 Nama tersebut berasal dari usulan Dayat Hidayat dalam pertemuan tanggal 20 Juli 1913. Pasundan, menurut tatabahasa, berarti tempat tinggal orang Sunda, karena imbuhan pa- dan -a n dalam bahasa Sun da membentuk makna tempat. Selama satu tahun lebih dalam dokumen tertulis penyebutan nama organisasi ini (Pasoendan) selalu diiringi secara bergantian dengan salahsatu kata dari bahasa Sunda pakempelatt atau pagoejoeban dan kata dari bahasa Belanda "de vereeniSecercah Harapan: Bangkit Kembali

39

Penasehat), Mas Dayat Hidayat (President = Ketua), R. Junjunan (Sekretaris), R. Kusuma Sujana (Penningmeester = Bendahara), serta M. Iskandar, Karta di Wiria, Sastrahudaya, dan Abubakar (Komisaris).32 Konsep statuta yang disetujui sebagai statuta sementara organisasi ini dalam pertemuan tanggal 20 Juli 1913 itu disusun oleh D.K. Ardiw inata, kemudian diperbaiki dalam rapat pengurus tanggal 19 Oktober 1913, dan akhirnya dikoreksi oleh Dr. Husein Jayadiningrat, seorang intelektual muda (27 tahun) yang berasal dari Banten dan baru saja (3 Mei 1913) menyandang gelar doktor dengan disertasi tentang sejarah Banten dari Rijksuniversiteit Leiden (Be landa) dan telah bekerja di lingkungan pemerintah, sebelum diajukan kepada dan disetujui oleh pemerintah.

ging " yang maknanya sama yaitu perkumpulan atau organisasi. Akhirnya, tanpa keputusan formal kata pagoejoeban (paguyuban) diintegrasikan dengan nama organisasi ini sehingga namanya menjadi Pagoejoeban Pasoendan (menurut ejaan sekarang ditulis: Paguyuban Pasundan) hingga sekarang. 32 Personalia Pengurus demikian dikemukakan pula oleh Dr. Junjunan Setiakusumah, hanya tanpa menyebut nama para komisarisnya (Setiakoesoemah, 1940:17). Pengurus Paguyuban Pasundan sesudah tahun 1920-an memandang dan mengakui struktur dan personalia Pengurus Paguyuban Pasundan pertama itu ialah yang tertera pada statuta yang disahkan oleh pemerintah dengan D.K. Ardiwinata sebagai Ketuanya. Pada tahun 1940 D.K. Ardiwinata pun mengemukakan hal yang sama (Ardiwinata, 1940: 2). Pada masa kepemimpinan D.K. Ardiwinata menyusul diangkat R.A.A. Ahmad Jayadi ningrat, bupati Serang, menjadi Ketua Kehormatan (Eere Voorzitter) dan C.M. Pleyte, seorang Belanda pegawai Dinas Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst) yang menaruh perhatian besar kepada dan penulis tentang kebudayaan Sunda, menjadi Pelindung (Beschermer) organisasi ini. Struktur, personalia, dan masa pengabdian Pengurus Paguyuban Pasundan sejak berdiri (1913) sampai tahun 1918 disertakan pada lampiran di belakang. 40 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

0 wo a a n ; ; a o r j o k h a n

.pasoendan
3AKAU

::*fll !!?- -il/ '* * ***?*T * ** J-/A w x kU fttw n t,.


.jr
V 6. lr **tt, w m ^ j w i i , pJfr^ %4'tny e r r * M * * i f Untof.fevttrt Ik ItK A t* KwHg< W c lfc v / c ^ fl. I 9 fg n A rfv eriM iik

(' tf. Aiifmf<.

**

tORAk

*ASA4|f|

S
* *" ' I. ' * ( - Ljl!"> --*1 " 11 ' ... . A r*M -rt * d * , * *

P *ffR o tx m r jr m r n i x U h ^ e n

3m th <4

A -m lh ir t/ itie*d f R( !g jc A * -c c p **P jg ftjtUK w ltin j, W n U v * w .i ti hnv& ntn mt r^ tirnS h . K


4*|>Jfftl U fifta t-ftft m ir a i J . M i r fe4 t>.

*,

w W ij* p

Qti USA

*iig dtm esfk m

ii/iPf i* i

tuning*, un UtrJ 3 -

eUIKA

J^ JiM d a n go e n tfjtjg
" " lata*-

l.

o j ? *u o td iji KAnfjSnto

i,r * a

k o e d o e piro(o# im nin*#

d jw i

d > b < je* b^m

"

~^.0:-& ottt a ,

I p d n te h 1 ^ 9 l a m o * i j * u t j e * jHt k * e i i M I i s u f ^ u d je u n n * te b b ft p a n a v t t t m ig it t g fc u ty H ' l * l

rT **e ie e ie -^^wU tfitiU r fc wa n d ^

"

W(M

*?*?& es-N
..................... 1 / M M * * M f ? l" l * * '* i n *ii-' ,fcl,,m\ .

***& * *^ S ?s T^^5-ae I
A,,n*
" *4 b

1 ...... .... -,tT

K aeySe^ S
* * * * * * * . n ">,i ? < t.,

'/tu.

!1 ' >I'm

.
...

A0 < ii

F*; l ttttk L .*^ .

Surat kabar Pfl/?aes Nonomfln.

S^ceroi/i Haraptt:

K em 6 a/r

41

f ^ T A O ______________________________ E N KA 6. SEN EN

24

F E B R U A ftl

1010.

,'-*r

N o.

2 .

ORGAAN PAGOEJOEBAN PASOENDAN|


K A LO EA R 8AMINOQOE S A K A L l
R d a c te u rs: R. K O ESO EM A SOEDJANA SO B T JSN SEN D JA JA .

P A S O E N D A N
. '

*:>

M c a e w e rk e ra i R fk o g u x o m itD lA * R . SO E R A A T M A uJA

M .fW .rW r., * SORAKdESOEMAH

Il

K u rn agsn krnngn

knlofnkrun ka

Im . sum uu iE U iJi
Onttg A ffundi B a m ln *n g .

.. I 1 m l* H 4 I.AJverUnlU I k*IJ*P . . . 0 .0 5 pll*( i*uf!k takall nfalatotthrun I,

PaftgaeabM m tient 9 bevltff plhvafl Hd l I.W

IV rk aw i ra t k ah ar k A d m iftU lrfttcar

.............................. .

Artosna tl pajoen.

TjiiikdnV - ttandociiK.

Lm iillM k U I

KCHOINQ NJITAK DI KANTOR TJITAK ..AURORA" BAHDOCKO.

Notulen Aigemeene Vergaderlng Pag oe joeban Pasoendan tanggal 28 December 1918 di Sosftet Paroekoenan dl Bandoeng. Noe soenipini Md-ld Djrg. K oc S oul

ngabageakeun ka noe sarocmping; nganoehocnkcun ka bestuur Sositet Paroekoenan, parantos masihan tempat pikeun kempeian; (i dlnja ngahatoerkeun tempat ka Hooftlbi'stuur. Kintcn-kinlen taboeh satengah salapan wctigi D)rg. Prsident moeka vtrgadorinR, saoer andjeunna: amemeh moeka ieu ketnpelan bextuur kcmpelan henteu

Surat kabar Pasoendan.

42

Kebangkitan K embali Orang Sunda

D.K. Ardiwinata

R. Otto Kusuma Subrata

Secercah Harapan : Bangkit Kembali

1 * 3 4a O d O T k JN V QO N v n r a d
lr. R.H. Ukar Bratakusumah, 1934 R. S. Suradiradja

Dr. H. Rd. Djundjunan Setiakusumah.

Ir. H. Djuanda

R. Oto Iskandar di Nata

R. Mh. Enoch
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

44

Soet-Sen (Sutisna Sendjaja).

RA. Ahmad Djajadiningrat

Prof Husein Djajadiningrat bersama isteri pada acara di Iam Irtsf/fuuf.


Secercafi Harapan. Bangkit Kembali

Gedung Paguyuban Pasundan di Jalan Dalem Kaum 42-46, Bandung. Didirikan tahun 1939.

Monumen 10 Tahun Sipatahunan, 1933.

Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Gedung Sipatahunan, dari sebuah rumah biasa menjadi gedung megah.

Koran Sipatahunan.

,v l Nomor-nomor : istimewa Sipatahunan.

p., -_
\ ^ Q *a
[ <Vy>C *

$
s/e~<, A< y ~'r J , A^
/4 v*^ -

-*
^

)
jj

a ^

a jr ^

iK x ^ ^ S

i-'*. f ... ^ ** i^Ane >6Aw-^.*X,/' -v j n m at t ^ t t . ^ ^ * - ~ i^-v, <y<*-j 'o y o 'f k%&. /'UtV Z^O ** ^ ** !

';
A [ f^ rvt- _

/ . . y*. / *-_ ... * ,. . . ' ,.i> ... .. y

<&/* < > w *,.-.-^>' 1 " ,


-c

"> i.-V -.,- - ^


> r \ . .r ' *

i.

v > : y : -r
Naskah tulisan tangan Bung Kamo untuk peringatan 10 tahun Sipatahunan.

48

K ebangkitan Kembati Orang Sunda

3 .2 .2 .

M otivasi P em b en tu ka n d a n Tujuan

Pembicaraan dan tulisan orang Sunda sejak tahun 1950-an tentang latar belakang dan alasan pem ben tukan organisasi Paguyuban Pasundan selalu dikaitkan dengan keberadaan organisasi Budi Utomo. Bahwa Pa guyuban Pasundan dibentuk sebagai reaksi atas ber dirinya Budi Utomo dan merupakan pernyataan ketidak-puasan orang Sunda terhadap sikap dan kegiatan Budi Utomo yang bersifat kejawa-jawaan. Namun, penelusuran atas dokum en primer yang berisi sekitar pembentukan Paguyuban Pasundan dan kegiatannya sampai tahun 1918 tidak ada keterangan dan pernya taan yang bernada demikian.33 Dayat Hidayat, selaku pemrakarsa dan pemimpin pertemuan tanggal 20 Juli 1913 mengemukakan secara langsung alasan timbulnya keinginan untuk membentuk perkumpulan ini. Bahwa ia m elihat k en y ataan yang m en u n ju kk an betap a kondisi orang Sunda pada waktu itu begitu memprihatinkan karena tertinggal oleh kemajuan yang telah dicapai oleh etnis Melayu dan etnis Jawa, apalagi etnis Belanda/Eropa, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam kesempatan memperoleh pekerjaan atau jabatan. Ketertinggalan tersebut disebabkan oleh faktor mental dan tingkat pendidikan orang Sunda yang tidak memperlihatkan kreativitas, dinamika, keuletan, keberanian, dan etos kerja yang tinggi.34 Untuk membangkitkan dan
H Pandangan orang Sunda tahun 1950-an demikian, agaknya dipengaruhi oleh situasi sosial politik masa itu, di mana sejumlah orang Sunda dengan dipelopori oleh Front Pemuda Sunda melancarkan gerakan yang menentang dominasi etnis Jawa dalam pemerintah Republik In donesia. Mengenai masalah ini, lihat Rosidi (2001: 177-226), Sumarsono (1993: 269-279), dan Sumantri (2002: 417-432). 3 4Teksnya berbunyi: "Doepi noe djadi loeloegoe njata wirehing ngmoetkeun
Secercah

Harapan-. Bangkit Kembali

49

m eningkatkan dinam ika, kreativitas, dan etos kerja orang Sunda itulah Paguyuban Pasundan dibentuk. Pandangan dan gagasan tersebut bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba di kalangan mereka, melainkan m elalui proses yang panjang dan berkelanjutan. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pemrakarsa pembentukan Paguyuban Pasundan adalah siswa STOVIA etnis Sunda. Mereka berasal dari berbagai da erah di Tanah Sunda, berusia sekitar 20-25 tahun, dan telah mengikuti pendidikan di STOVIA selama beberapa
bangsa Soenda katjida pisan katilama tina bab kamadjengan koe bangsa sans, soemawonten koe bangsa Djawa mah, noe ti kapoengkoema og parantos tebih pisan nilarna ka oerang Soenda, dalah koe oerang Malajoe noe leu atjan sakoemaha lamina ngoedagna kana kamadjengan, ajeuna oerang Soenda parantos knging disebatkeun kaselek, tawisna moerid disakola Doktor danget ieu oerang Soendana moeng aja 10, doepi oerang Malajoe mah soemawonten oerang Djawa mah parantos pirang-pirang. Njakitoe deuidi sakola-sakola sans oerang Djawa sareng oerang Malajoe henteu kawon seueuma koe oerang Soenda. Anoe ka nagri Walanda mah oerang Soenda knging knh dibilang, doepi oerang Malajoe sok soemawonten noe kiat majar ongkosna, dalah noe henteu og tjek paripaos diblaan koeli2, merloekeun ka nagri Walanda koe soehoed njiar kapinteran. Menggah koe moetan, oepami oerang Soenda tjitjmgeun ba, dak-dak ka pajoena hajang njepeng padamelan oghse, kakawonkeun koe bangsa sans. Boektina ajeuna paran tos sababaraha hidji oerang Djawa sareng oerang Malajoe noe njepeng darnel di tanah Pasoendan, doepi oerang Soenda malt mh teu aja ba noe tiasa djeneng di nagara deungeun (Wirasapoetra, 1916: 4). (Terjemahannya: "Adapun yang menjadi alasan utama yaitu berhubung dengan bangsa Sunda sangat tertinggal oleh bangsa lain dalam hal kemajuan. Jangankan oleh bangsa Jawa yang sejak dulu sudah meninggalkan jauh bangsa Sunda, oleh orang Melayu saja yang belum begitu lama mengejar kemajuan, dewasa ini orang Sunda sudah dapat disebutkan terdesak. Buktinya, sekarang siswa di sekolah Dokter (STOVIA) hanya ada 10 orang Sunda. Adapun orang Melayu, apalagi orang Jawa, berjumlah banyak. Begitu pula di sekolah-sekolah lain, orang Jaw a dan orang M elayu tidak kalah jum lahnya dibandingkan dengan orang Sunda. Orang Sunda yang pergi (kuliah) ke negeri Belanda masih sedikit sekali, mudah dihitung. Adapun orang Melayu, apalagi yang mampu membayar sendiri ongkos seko50
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

tahun.35 Sebagai sisw a STO V IA m ereka tin g g al di asrama sekolah bersam a dan bergaul dengan siswasiswa lain yang berasal dari berbagai daerah, etnis, dan latar belakang budaya. Sebagai orang-orang yang berlatar-belakang buda ya yang sama para siswa STOVIA asal Sunda itu sering berkumpul bersama pada waktu-waktu luang (libur). Setiap malam M inggu, m isalnya, mereka berkum pul bersama di sekitar kom pleks asram a. Sam bil makan kacang dan gado-gado Betawi, mereka ramai bercakapcakap dalam bahasa Sunda, tertawa, dan lain-lain, terutama kalau baru pulang berlibur dari kampung halaman masing-masing. Sambil membuka oleh-oleh, mere ka suka m enceritakan tentang keadaan di kam pung asal mereka masing-masing, kekayaan seni budayanya, pengalaman selama dalam perjalanan, kondisi kehidupan bangsa sendiri, gerakan bangsa-bangsa lain di Asia, dan kem ajuan kehidu pan bangsa Eropa, terutam a bangsa Belanda. Mereka pun suka membaca berbagai buku berbahasa Sunda secara bergantian, mendengarkan dan menonton pertunjukan seni Sunda, bahkan di
lahnya, bahkan yang tak mampu pun sampai rela bekerja sebagai tenaga kasar (ibarat kuli), karena mengutamakan pergi ke negeri Be landa untuk sungguh-sungguh mencari ilmu. Menurut hemat saya, jika orang Sunda tinggal diam saja, jangan-jangan nanti untuk mendapat pekerjaan pun susah, karena terkalahkan (dalam persaingan) oleh bangsa lain. Buktinya, sekarang sudah ada beberapa orang Jawa dan orang Melayu yang bekerja dan menduduki jabatan di Tanah Pa sundan, sedangkan orang Sunda dapat dikatakan tidak ada yang berkedudukan penting di negeri lain." Pada waktu itu istilah sukubangsa sekarang biasa disebut dengan istilah bangsa. 3 5 Menurut Verslag Pagoejoeban Pasoendan Taoen 1915 , mereka berjumlah 10 orang, tetapi menurut ingatan Dr. Junjunan jumlahnya 8 orang. Mereka tentu berusia sebaya, kalau ada perbedaan tidaklah terlalu jauh. Lihat biografi singkat mereka pada lampiran. Secercah Harapan : Bangkit Kembali 51

antara mereka ada yang menguasai beberapa jenis seni Sunda, seperti tari, tembang Cianjuran. Di samping itu, mereka pun sering menemui dan berbincang-bincang dengan kalangan orang Sunda yang lebih tua, seperti D.K. Ardiwinata, Hamdia, Idris, Somaharja, Winatapura yang sebagian besar menjadi guru. D.K. Ardiwinata, bekas guru, pengarang, dan redaktur bahasa Sunda di Volkslectuur (penerbit milik pemerintah), dipandang oleh mereka sebagai tokoh yang dituakan sehingga banyak didengar pendapat dan fatwanya. Selain itu, mereka sering datang pula ke rumah C.M. Pleyte, karena orang Belanda ini dipandang sangat mencintai orang Sunda. Nasehat yang sering diucapkan C M. Pleyte dan karena itu dikenang terus oleh mereka ialah "Baroedak, ieu pamaksoedan teroes djalankeun sing tjoetjoed. Sing njaah kana basa sorangan djeung kabinangkitanana. Koedoe njaah ka lemah tjai. Sing awas kana pangajak batoer, bisi oerang Soenda leungit ti doenja."36 (Ardiwinata, 1940: 2; Setiakoesoemah, 1940: 16). Wawasan mereka bertambah luas berkat sering membaca majalah dan suratkabar (berbahasa Belanda) yang disediakan oleh sekolah yang waktu itu sedang hangat memberitakan tentang gerakan berbagai bangsa (volksbeweging ) di berbagai negeri di Asia (Setiakoesoemah, 1958: 5). Gerakan bangsabangsa tersebut dibangkitkan oleh kemenangan Jepang (Asia) dalam perang melawan Rusia (Eropa) pada tahun 1905, sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Junjunan Setiakusum ah: "Saanggeusna perang Roeslan djeung
36 Terjemahannya: Anak-anak, niat ini (mendirikan perkumpulan) terus laksanakan sampai terwujud. Sayangilah bahasa (kamu) sendiridan kebudayaannya. (Kamu) harus mencintai tanah air. Waspadalah kepada bujukan orang lain, jangan sampai orang Sunda lenyap dari keberadaannya. 52
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Djepang nepi ka oenggoelna Djepang, di sabaraha tempat timboel objagna rahajat, babakoena noe aja dina baivahan pangaroeh oerang ropa. leu kadjadian sigana patali reudjeung atawa kahoedangkeun koe pangangken oerang Eropa ka oerang Djepang, njata hak2na di doenja disaroeakeun djeung oerang Eropa" (Setiakoesoemah, 1940: 16).37 Beberapa orang di antara mereka m enyaksikan kelahiran dan kegiatan Budi Utomo di lingkungan se kolah mereka, tetapi mereka tidak tertarik untuk memasuki organisasi tersebut, apalagi setelah pimpinannya dipegang oleh kaum tua aristokrat Jawa. Bisa jadi D.K. Ardiwinata memberi inform asi lebih jauh kepada mereka mengenai organisasi Budi Utomo, karena ia pernah menjadi anggota dan bahkan memimpin Budi Utomo cabang Bandung yang berasal dari kelompok orang Sunda. Ia memiliki pengalaman pahit dalam berorganisasi di lingkungan Budi Utomo itu, karena terjadi konflik diantara sesama anggota.38 Begitu pula gagasan dan aktivitas Sarekat Islam dan Indische Partij mengenai persatuan dan tujuan meningkatkan harkat dan kesejahteraan masyarakat telah mengisi dan mengilhami hati nurani mereka.39 Mereka juga ingin melakukan hal
37 Terjemahannya: "Sesudah perang Rusia-Jepang berakhir dengan kemenangan Jepang, di beberapa wilayah muncul gerakan rakyat, terutama mereka yang berada di bawah pengaruh bangsa-bangsa Eropa. Peristiwa ini, agaknya, bertalian dengan atau terbangkitkan oleh pengakuan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Jepang, bahwa hak-hak mereka disamakan dengan bangsa-bangsa Eropa". 3 8 Budi Utomo cabang Bandung pecah menjadi 2 kelompok antara ke lompok orang Jawa dan kelompok orang Sunda. Kelompok orang Sunda di bawah pimpinan D.K. Ardiwinata, guru bahasa, menghentikan kegiatan begitu pemimpin mereka pindah ke Jakarta untuk menjadi redaktur bahasa Sunda pada Volkslectuur (1911). 39 Sebelum mendirikan Paguyuban Pasundan, Junjunan ikut mendiriSecercah Harapan: Bangkit K embali

53

serupa. Pada waktu pembicaraan-pembicaraan itulah kiranya pand angan dan gam baran kondisi orang Sunda tersebut di atas terbentuk serta gagasan tentang pentingnya orang Sunda bersatu melalui wadah per kumpulan muncul. Lama-kelamaan tumbuh kesadaran dan rasa cinta terhadap masyarakat, daerah, bahasa, dan kebudayaan mereka sendiri. Terasa oleh mereka perlunya orang Sunda mempunyai organisasi sendiri. Mere ka memandang perlunya persatuan di antara orangorang Sunda, lebih-lebih bagi mereka yang berasal dari daerah yang tempat kelahirannya cukup jauh (Priangan, Cirebon). Mereka mempunyai keyakinan bahwa orang Sunda harus bersatu dan yang mempersatukannya harus orang Sunda juga (Ardiwinata, 1940: 2; Setia koesoemah, 1940: 16). Pada bulan Juli 1913 para siswa STOVIA asal Sunda bersama-sama sering memikirkan nasib orang Sunda. Mereka bersepakat untuk mendirikan perkumpulan khusus bagi orang Sunda atau orang yang mencintai tanah Sunda. Adapun maksudnya ialah agar segenap orang Sunda bersatu, mencintai tanah air, bahasa, ke budayaan, dan kehidupan masyarakatnya, serta mau mengejar kemajuan (Setiakoesoemah, 1940: 17; Setia koesoemah, 1958: 6). Pada suatu hari waktu bersekolah (bulan Juli 1913, sebelum tanggal 20), tatkala tidak ada pelajaran, bertempat di salah satu ruangan di kompleks STOVIA Mas Dayat Hidayat mengajak sesama temannya untuk bermusyawarah dan hasilnya menyepakati untuk mendirikan sebuah organisasi bagi orang-orang Sunda. Dalam musyawarah tersebut disebut-sebut tiga
kan Sarekat Islam cabang Jakarta secara rahasia dan aktif membantu kegiatan Indische Partij (Setiakoesoemah, 1940; 1958:6). 54
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

orang nama, yang diharapkan dapat m enjadi ketua organisasi itu, yaitu D.K. Ardiwinata, R. Iskandar Brata, dan R. Emung Purawinata. Ketiga orang tersebut berusia lebih tua, sudah bekerja, dan dituakan oleh m ereka. Akhirnya yang dipilih oleh mereka ialah D.K. Ardiwi nata, tokoh yang paling dihormati dan disegani. Setelah D.K. Ardiwinata dihubungi dan menyetujui gagasan ter sebut, maka diadakanlah pertemuan tanggal 20 Juli 1913 itu (Suharto, 2002: 46-47, 70-71; lihat pula: Ardiwinata, 1940: 2; Setiakoesoemah, 1940: 17; Amin, 1984: 16). Berdasarkan alasan dan motivasi tersebut di atas or ganisasi ini bertujuan untuk memajukan orang Sunda agar meningkat kesejahteraan mereka; yang akan ditempuh dengan cara turut serta bersama pemerintah da lam upaya m em ajukan pengetahuan dan kehidupan masyarakat serta memperbaiki perilaku dan perbuatan mereka melalui penerangan, dan mencerdaskan pikiran mereka agar meningkat kreativitas dan etos kerja me reka sehingga akhirnya akan bertambah kesejahteraan hidup mereka (Papas Nonoman, 1 Nopember 1914; 31 Januari 1915; 31 M aret 1915). Dr. Junjunan Setiakusumah (1940: 17; 1958: 6) sebagai pendiri dan Sekretaris pertama pengurus o rg an isasi ini m asih m en gin gat tujuan organisasi ini sew aktu d ibicarakan pertam a kalinya, yaitu (1) memuliakan bahasa dan budaya Sun da, (2) memajukan ilmu pengetahuan dari bahasa Be landa, (3) memajukan derajat dan pengetahuan orang Sunda, dan (4) tidak ikut dalam memerintah negara. Dari rumusan tujuan tersebut di atas, pada dasarnya pendiri, pengurus, dan anggota Paguyuban Pasundan bermaksud memajukan taraf hidup orang Sunda yang mencakup pengetahuan, kebudayaan, etos kerja, dan
Stctrcah Harapan: Bangkit K embat 55

kesejahteraan. Tampak pula pada diri mereka telah tumbuh kesadaran akan jatidiri (identitas) etnis mereka sebagai satu kelompok sosial. Tujuan tersebut akan dicapai melalui beberapa jalan yang akan ditempuh oleh mereka. Jalan-jalan dimaksud adalah (1) menerbitkan majalah, (2) membina dan mengembangkan bahasa Sunda, (3) membangkitkan minat terhadap sejarah etnis Sunda dan pengetahuan tentang kehidupan masyarakat di Tanah Sunda, (4) menyebarkan tulisan-tulisan yang berguna, (5) menyelenggarakan ceramah dan perpus takaan, (6) memajukan pengetahuan bahasa Belanda, dan (7) memberi bantuan dan informasi (Papas No noman, 31 Januari 1915 dan 31 Maret 1915; lihat pula: Herdenking Pagoejoeban Pasoendan 15 Tahoen, 1931: 2829). Semua jalan tersebut merupakan model baru bagi orang pribumi masa itu. 3 .2 .3 . P a n d a n g a n dan Keg ia tan
3.2.3.1. Pandangan

Di atas telah dikemukakan bahwa Papas Nonoman adalah media (orgaan ) Paguyuban Pasundan. Melalui majalah ini segala gagasan, pandangan, harapan, ajakan, dan pemberitahuan pengurus dan anggota Pagu yuban Pasundan disampaikan kepada m asyarakat Sunda. Pada penerbitan perdana Direksi majalah ini mengutarakan bahwa maksud penerbitan majalah ini ialah "bad njarioskeun roepi-roepi lmoe anoe mangpaat pikeun njiar kahiroepan, njiar kasalametan sareng noelak pibalaieun anoe toemerap kana djasad sareng njawa," (Papas Nonoman, 1, 1, 1 Februari 1914: l).40 Jadi, kata kuncinya
* Terjemahan teks: "...akan membahas aneka macam iimu yang berman56
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

adalah ilmu bagi kepentingan kehidupan manusia baik raganya m aupun jiw anya. Hal itu diperkuat oleh penjelasan Redaktur yang juga Presiden Paguyuban Pasundan delapan bulan kemudian, bahwa majalah ini diperuntukkan bagi orang Sunda terpelajar atau yang mengharapkan perkembangan lebih tinggi dan wanita (Sunda) yang mengupayakan kemajuan. Karena itu isinya bertalian dengan ilmu dan bahasan ilmiah saja 1 Memang di(Papas Nonoman, 9, 1,1 October 1914: l).4 lihat secara keseluruhan, sejak mulai terbit (1 Februari 1914) hingga diubah namanya menjadi Sora Pasoendan (pertengahan 1918) dan akhirnya Pasoendan (awal 1919), majalah ini diisi oleh karangan-karangan yang hampir semuanya berupa bahasan sesuatu bidang ilmu dan masalah dalam masyarakat, seperti bahasa, sastra, sejarah, kemasyarakatan, kewanitaan, perawatan anak, kepercayaan, kesehatan, pertanian, peternakan, adatistiad at, pengalam an, pendidikan, keorganisasian; sedikit sekali berupa karya sastra. Dalam pada itu, para pengarangnya pun seluruhnya pernah dan sedang
faat untuk mengupayakan kesejahteraan dan keselamatan serta menghindari mara-bahaya terhadap raga dan jiwa, . 41 Pengertian ilmu dan ilmiah di sini adalah ilmu dan bahasan ilmiah yang berlaku dalam tradisi ilmu dari dunia Barat yang bercirikan rasional, sistimatis, dan objektif yang memang waktu itu sedang diperkenalkan kepada orang pribumi melalui sistem pendidikan se kolah, walaupun tingkat pemahaman dan penguasaan mereka tentu masih rendah, karena umumnya baru sampai tingkat pendidikan menengah. Pada waktu itu ada empat buah mass-media cetak berba hasa Sunda yang mempunyai visi dan misi masing-masing. Keempat mass-media cetak dimaksud adalah Tjahaja Pasoendan (sejak Oktober 1912) dengan misi memajukan rakyat kecil, Panoengtoen Kamadjoean (sejak Maret 1913) yang ditujukan guna memenuhi kepentingan guruguru, Piuwelang Kagoeroean dengan sasaran guru-guru sekolah desa, dan Papas Nonoman.
Secercah Harapan: Bangkit K embali

57

menduduki bangku sekolah, seperti sekolah-sekolah: STOVIA, Kweekschool, OSVIA (sekolah bagi calon pegawai pamong praja), Rechtsschool (Sekolah Hukum).42 Walaupun para penulis itu merupakan pengarang baru, kecuali D.K. Ardiwinata, Dr. Husein Jayadiningrat, dan C.M. Pleyte, namun tampak jelas bahwa karangan-karangan mereka bercirikan jalan pikiran yang objektif dan rasional, pengungkapannya dilakukan secara sistimatis, bersifat bahasan atau uraian, dan berbentuk prosa. Ciri-ciri tersebut merupakan sesuatu hal yang baru dalam karya tulis orang Sunda, karena sebelumnya (pertengahan abad ke-19 ke belakang) bercirikan jalan pikiran mitologis dan legendaris serta kebanyakan bersifat cerita dan berbentuk puisi (Hidding, 1935; Rosidi, 1966; Wessing, 1974). Tentang pemakaian kembali bahasa Sunda sebagai media tulis sejak pertengahan abad ke-19, perubahan bentuk karangan dari puisi (tembang) kepada prosa, penggunaan
42 Memang pengelola majalah ini (Direksi) menghimbau para pemuda (nonoman) yang sedang menempuh pendidikan sekolah serta para alumni sekolah-sekolah, terutama guru-guru, agar menunjang maja lah ini dengan karya-karya tulis mereka. Direksi mengharapkan agar majalah ini dijadikan tempal berpesta, tempat tampil (medan pamidangan) mereka dalam rangka upaya menyambut perubahan zaman dan sebagai wujud rasa cinta bangsa guna mengangkat martabat orang Sunda (Papas Nonoman, 1, 1, 1 Februari 1914: 1). Himbauan tersebut mendapat sambutan hangat sehingga dalam jangka waktu 17 bulan (Desember 1914 - April 1916) saja sudah terkumpul 158 karangan, diantaranya 17 karangan dari kaum wanita (Papas Nonoman, 4 ,3 , April 1916: 9). Sebuah perkembangan di luar dugaan sebelum nya, seperti dikemukakan oleh Redaktur majalah ini: "Sapoeloeh taoen katoekang mah oerang teu ngimp atjan, soemawona boga sangka jn istri Pasoendan bakal sakieu pimadjoeeunana" (Sepuluh tahun ke belakang kita tak bermimpi sekalipun, apalagi memperkirakan bahwa wanita (anggota Paguyuban) Pasundan akan demikian majunya) (Papas Nonoman, 1 ,2 ,3 1 Januari 1915:3). 58 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

alam pikiran yang rasional, cara penuturan yang sistim atis dan bersifat bahasan, serta penggunaan teknologi cetak dalam memperbanyak karya tulis, yang merupakan tahap pertama kebangkitan kembali orang Sunda, lihat lebih jauh hasil penelitian Mikihiro Moriyama (2003) yang berupa disertasi berjudul A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configu ration o f Writing in Nineteenth-Century West Java. Tentu saja ciri-ciri baru karangan tersebut merupakan dampak dari pendidikan model Barat yang diikuti mereka. Sesuai dengan rumusan tujuan organisasi ini (Pasal 2 Anggaran Dasar), mereka bersikap loyal dan mempercayai maksud baik pemerintah untuk memajukan kaum pribumi dengan mendirikan sekolah-sekolah dan menerbitkan buku-buku, bahkan orang Belanda dipan dang sebagai guru mereka yang pertama. Selain itu, mereka memilih cara evolusi dalam upaya memajukan masyarakatnya, bukan cara revolusi sebagaimana dikehendaki kaum kiri. Satu tahun kemudian (1915) Papas Nonoman telah tersebar bukan hanya di wilayah Tanah Sunda, melain kan juga ke wilayah lain di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Penyebaran majalah ini seiring dengan perkembangan dan peningkatan jumlah anggota Paguyuban Pasundan, di antaranya berdiri cabang Semarang (Jawa Tengah) dan cabang Palembang (Sumatera Selatan). Dalam pada itu, lingkungan pembacanya, bukan hanya para anggota Paguyuban Pasundan dari kalangan muda, melainkan juga dari kalangan menak (bangsawan), ulama (tokoh agama Islam), rakyat kebanyakan, dan rakyat kaum menengah yang tergolong madya. Tercatat pula sejumlah pembesar baik kalangan pribumi
Secercah Harapan: Bangkit Kembali

59

(menak) maupun kalangan orang Belanda (tuan) men jadi anggota, pelanggan, dan donatur Paguyuban Pa sundan beserta majalahnya, betapapun secara langsung tak ada manfaat bagi diri mereka. Memang Paguyuban Pasundan didirikan bukan untuk kepentingan kalangan atas (hoogen stand), namun ditujukan untuk kepenting an kalangan bawah (lagen stand) dan kalangan menengah (midden stand) (Papas Nonoman, 1, 2, 31 Januari 1915: 4). Dalam hal ini mereka yang sudah mendapat pengetahuan harus membimbing kepada rakyat kebanyakan (somah) (Papas Nonoman, 7, 4, 31 Juli 1917: 8). Pada pertemuan yang melahirkan Paguyuban Pa sundan (20 Juli 1913) Dayat Hidayat sebagai pemrakarsa pertemuan menyampaikan pandangannya mengenai kondisi orang Sunda masa itu yang jauh ketinggalan dibandingkan dengan kondisi orang Jawa dan orang Melayu, apalagi kondisi orang Eropa. Pandangan tersebut dijadikan alasan dan motivasi betapa pentingnya membentuk perkumpulan bagi orang-orang Sunda sebagai kendaraan dalam rangka mengejar ketinggalan itu. Ternyata pandangan senada berulangkali diungkapkan oleh pengurus dan anggota Paguyuban Pasundan serta masyarakat Sunda lainnya melalui majalah Papas Nonoman. Seorang penulis bernama Atma, misalnya, menyatakan bahwa dewasa ini (1914) orang Sunda termasuk kelompok masyarakat yang sangat tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Ia menggunakan tiga macam kriteria untuk mengukur tingkat kemajuan suatu kalompok masyarakat, yaitu (1) pendidikan, (2) pekerjaan, dan (3) peranan di luar dae rah mereka. Dalam hal pendidikan diukur: (1) sejauh mana kuantitas orang Sunda yang telah berpendidikan
60 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

sekolah, (2) sejauhmana kuantitas orang Sunda yang sedang mengikuti pendidikan sekolah, dan (3) sejauh mana kuantitas dan ragam sekolah berada di Tanah Sunda. Jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua adalah ngatif, sedangkan jawaban atas pertanyaan ketiga positif. Ukuran pada kriteria kedua (pekerjaan) dan kriteria ketiga (peranan di luar daerah) ialah sejauh m ana ku alitas dan ku antitas orang Sunda dalam mengisi pekerjaan, terutama jabatan, yang tersedia serta peranan mereka di luar daerah mereka sendiri. Ternyata, menurut pengamatannya, jawaban untuk pertanya an dua kriteria tersebu t terakhir n gatif (Papas Nonoman, 1, 1, 1 Februari 1914: 6-7). Beberapa orang penulis mengajukan gejala lain yang menunjukkan ketertinggalan orang Sunda, yaitu tingkat peradaban mereka. Dalam hal ini sering diungkapkan bahwa pada umumnya orang Sunda itu bodoh, kampungan, pemalu, serta merendahkan derajat dan martabat wanita. Penulis berinisial Microscoop dan Loupe (Papas Nonoman, 3, 1, 31 Maart 1914: 5-6) mencari sebab ketertinggalan orang Sunda dibandingkan dengan latar belakang kemajuan orang Amerika, Eropa, dan Jepang. Katanya, hal itu disebabkan oleh sifat malas yang dimiliki oleh orang Sunda dan timbulnya sifat malas itu karena terlalu dimanja oleh alam. Dipandangnya bahwa orang Sunda itu telah lama terlelap tidur sehingga tidak dapat melihat proses kem ajuan orang lain dan tidak m enyadari ketertinggalan dirinya. Sehubungan dengan hal itu, penulis ini menghimbau agar orang Sunda segera bangun dari tidurnya dan cekatan menghadapi gelombang kemajuan zaman di hadapannya, Bergeraklah atas inisiatif sendiri dan tirulah orang lain yang sudah
Secercah Harapan : Bangkit Kembali

61

maju! Sebagai bekal, m enurut penulis ini, terlebih dahulu perlu dimiliki dua hal, yaitu (1) cinta kepada bangsa sendiri (nationaliteitsgevoel) dan (2) cinta kepada tanah air sendiri (vaderlandsliefde). Rupanya pernah didiskusikan tentang bagaimana cara mengejar ketinggalan orang Sunda di lingkungan bangsa-bangsa dan tanah Hindia Belanda (Indonesia). Dalam hubungan ini ada dua pendapat yang mengemuka, yaitu (1) meniru dan mengikuti jejak orang Ero pa sepenuhnya dan (2) meniru dan mengikuti jejak orang Jepang yang walaupun maju, tetapi tetap tegak pada budaya sendiri. Pengurus Paguyuban Pasundan mula-mula memilih untuk mengambil ilmu (kapinteran) dan keberanian (wazvann) dari orang Barat, tanpa melupakan budaya milik sendiri yang baik. Sehubungan dengan hal itu dalam Papas Nonoman pada satu pihak banyak disinggung dan dimuat bahasan tentang ilmu yang berasal dari dan kisah pengalaman yang dialami oleh orang Barat. Bahasa Belanda dipandang kunci bagi kemajuan pribumi, karena itu dianjurkan dan difasilitasi untuk dipelajari. Pada pihak lain dimuat bahasan ten tang kondisi dan situasi masyarakat dan kebudayaan Sunda pada masa itu. Misalnya, disajikan secara bersambung uraian tentang segi-segi praktis bertalian de ngan ilmu kesehatan yang ditulis oleh para siswa STOVIA, seperti Dayat Hidayat, Kusuma Sujana. Karangan tersebut bersumberkan buku-buku karangan para ahli kesehatan dari Barat.43 Di samping itu, disaji kan pula sejumlah karangan yang membahas berbagai aspek yang bertalian dengan ungkapan tradisional,
43 Beberapa buah karangan antara lain membahas seluk-beluk penyakit malaria, pertolongan pertama pada kecelakaan, kesehatan fisik. 62 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

bahasa, dan sejarah Sunda. Dalam hubungan ini D.K. Ardiwinata menyatakan "lmoe2 noe laloehoer mah geus aja pirang2 dina boekoe2 basa Walanda, tapi loeang2 anoe sok kapanggih sapopo mah di oerang nja ta pikeun obor keur njaangan jalan tintjakeun" (ilmu-ilmu yang tinggi sudah terdapat dalam buku-buku berbahasa Belanda, adapun petunjuk-petunjuk (ungkapan tradisional) yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari berguna untuk pedoman melangkah ke depan) (Papas Nonoman, 2, 1, 1 Maart 1914). Sejak tahun 1917 pandangan tersebut mengalami pe rubahan berhubung dengan mulai munculnya kekurangkepercayaan kepada pemerintah Hindia Belanda ten tan g k esu n ggu h an n ya m em aju kan p en d id ik an orang pribumi. Soalnya, pertumbuhan kuantitas sekolah pada masa itu tidak sejajar dengan dan jauh lebih kecil daripada perkembangan keinginan masyarakat pribu mi untuk memasuki sekolah. Kini muncul gagasan un tuk m em asukkan sekolah kaum pribumi ke sekolahsekolah di Jepang dengan alasan (1) sababna oerang geus tiloe ratoes taoen dibazvah parntah koe bangsa Walanda teu atjan dibr onderwijs anoe sampoema (karena kita sudah di bawah perintah orang Belanda selama 300 tahun, tetapi belum diberi pendidikan yang sempurna), (2) moerah ongkostna (murah biayana), dan (3) soesoeganan leuwih mangpaatna tibatan bangsa Walanda (barangkali lebih besar manfaatnya daripada pendidikan yang diberikan oleh orang Belanda) (Papas Nonoman, 8, 4, 31 Augustus 1917: 5), walaupun gagasan tersebut tidak sampai men jadi kenyataan. Untuk memperbaiki situasi dan kondisi masyarakat Sunda, agaknya dipandang perlu untuk mengetahui
Secercah Harapan: Bangkit Kembali

63

penyakit masyarakat terlebih dahulu. Karena itu, ada beberapa karangan yang membahas berbagai penyakit yang ada dalam masyarakat Sunda masa itu, seperti mim pitu, berbohong, melamun, serta cara mengatasinya. Mim pitu adalah ungkapan yang terdiri atas kumpulan tujuh kata yang masing-masing berawal huruf m (dalam aksara Arab dieja mim), yaitu madat (mengisap candu), madon (main perempuan), maen (berjudi), mating (mencuri), minum (minum minuman keras sampai mabuk), mangani (m akan berlebihan), dan mada (membunuh) yang semuanya menunjukkan perilaku yang buruk yang harus dihindari. Berbohong, katanya, adalah mengemukakan kata atau omongan yang tidak sebenarnya, berbeda dengan maksud dan hati nurani sendiri. Orang berbuat bohong karena mempunyai kesalahan, ingin menyembunyikan perbuatan serong (salingkuh ), kebiasaan, dan terpaksa. Berbohong itu merupakan per buatan yang sangat tidak baik karena didasari hati yang jelek dan memperdaya orang lain. Anak-anak hendaknya dididik oleh orang tua dan gurunya agar tidak melakukan perbuatan bohong. Melamun yang telah menjadi kebiasaan banyak orang Sunda, hendaknya dibuang jauh-jauh, karena merupakan sifat yang sangat jelek (sipat anoe awon teu kinten), tak ada manfaatnya, membuangbuang waktu, dan menuntun kepada malas bekerja. Cara mengatasinya ialah dengan melakukan banyak kegiat an, tak boleh menganggur. Isilah waktu luang dengan membaca suratkabar atau buku (Papas Nonoman, 3, \, 31 Maart 1914: 8; 4 ,1 ,1 Mei 1914; 6 ,1 , 4 Djoeli 1914: 5). Ada beberapa pasangan istilah sosial budaya yang menarik yang hangat didiskusikan oleh para penulis dan pembaca Papas Nonoman. Pasangan istilah-istilah
64 K ebangkitan Kembali Orang Sunda

dimaksud yang terpenting ialah ketertinggalan dan kemajuan, kaum kuna dan kaum muda, serta aosan istri (bacaan wanita) dan aosan pameget (bacaan pria). Pasangan istilah pertama merupakan hasil kajian mereka yang menggambarkan situasi dan kondisi orang Sunda masa lalu dan juga masa sekarang (waktu itu) yang m em prihatinkan serta harapan situasi dan kondisi orang Sunda yang ingin diciptakan di masa datang. Pasangan istilah kedua menggambarkan pandangan, sikap, dan perilaku orang Sunda masa lalu yang berdampak tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan (kaum kuna) serta munculnya semangat baru yang m enghendaki kem ajuan sesuai dengan perubahan zaman (kaum muda). Ketertinggalan dan kaum kuna digambarkan dengan istilah-istilah bodoh, malas, merendahkan wanita, kawin paksa, tidak berpendidikan sekolah, tertipu oleh lintah darat, dan lain-lain. Adapun istilah kemajuan dan kaum muda digambarkan dengan kata-kata: pandai, berpendidikan sekolah, wanita mampu hidup mandiri, kedudukan wanita sejajar dengan pria, rajin dan kreatif bekerja, banyak membaca (suratkabar, buku), m enguasai bahasa asing (Belanda). Pasangan istilah ketiga menunjukkan salah satu klasifikasi isi Papas Nonoman, yaitu ada karangan yang diperuntukkan kalangan pria dan ada karangan yang diperuntukkan kalangan wanita, walaupun tidak ada larangan bagi siapa pun untuk membaca seluruh isi maja lah itu. Klasifikasi karangan tersebut untuk memberi kesempatan yang sama kepada pria dan wanita dalam m enulis, mem baca, dan m engem ukakan pandangannya masing-masing. Menarik perhatian adalah karangan-karangan yang
Seurcak Harapan : Bangkit Kembali

65

membahas tentang masalah kehidupan wanita Sunda baik yang ditulis oleh kaum w anita sendiri maupun yang ditulis oleh kaum pria. Pada umumnya karangankarangan tersebut membicarakan kedudukan dan kondisi sosial kaum wanita Sunda yang memprihatinkan akibat sikap dan perlakuan orang tua, suami dan atau anggota m asyarakat lainnya serta saran, ajakan, dan harapan untuk memperbaikinya. Dalam hal ini semua lapisan masyarakat, terutama orang tua, suami, dan ka um wanita sendiri, berkewajiban untuk meningkatkan martabat kaum wanita, bahkan ada yang berpendapat perlu mempersamakan hak dan kedudukan kaum wa nita dan kaum pria (antara lain: Papas Nonoman, 10, 1, 1 Nopember 1914: 8; 11, 1, 1 December 1914: 8; 11, 2, Nopember 1915; 2, 3, 29 Februari 1916: 1-2).
3 .2 .3 .2 . K e g ia tan

Begitu besar perhatian dan harapan para pendiri Pa guyuban Pasundan sehingga pada hari didirikannya pun (20 Juli 1913) telah dibicarakan, disusun, dan ditetapkan program kerjanya. Program kerja dimaksud yang berjangka pendek adalah bahwa pengurus harus melakukan (1) propaganda di Batawi (Jakarta) dan (2) propaganda pada liburan panjang bulan Ram adhan (akhir Septem ber sampai awal Oktober 1913) ke ber bagai kota di Tanah Sunda (Wirasapoetra, 1916: 4) untuk m em perkenalkan organisasi ini kepada m asyarakat Sunda dan mengajak mereka menjadi anggota organi sasi ini. Program ini benar-benar dijalankan oleh pengu rus sehingga sampai bulan Ramadhan (akhir September 1913) anggota organisasi ini berjum lah 60 orang dan sesudah bu lan Ram adhan (D esem ber 1913) jum lah
66 K ebangkilan Kembali Orang Sunda

anggotanya bertambah secara menyolok sehingga mencapai sekitar 300 orang. Penambahan jumlah anggota Paguyuban Pasundan tersebut merupakan hasil propa ganda 4 orang pengurusnya ke 7 kota di Tanah Sunda (Serang, Bogor, Purwakarta, Cirebon, Bandung, Tasikmalaya, dan Cianjur). Dalam hal ini Dayat Hidayat berpropaganda ke daerah Banten serta Junjunan dan Kusuma Sujana mendatangi daerah Bogor, Purwakarta, dan Priangan. Orang Sunda di kota-kota tersebut umumnya menyambut baik kelahiran organisasi ini. Sejak itu seca ra berangsur-angsur banyak orang Sunda masuk men jadi anggota organisasi ini, walaupun dibandingkan de ngan jumlah orang Sunda secara keseluruhan (sekitar tujuh juta jiwa) jumlah itu masih jauh dari memadai (Wirasapoetra, 1916: 4; Setiakusumah, 1940: 17; Setiakusumah, 1958: 7).4 4 Aktivitas lain yang dilakukan oleh Paguyuban Pa sundan hingga tahun 1918 terdiri atas (1) penerbitan m ajalah bulanan berbahasa Sunda Papas Nonoman yang terbit sejak bulan Februari 1914 dan penulisnya berasal dari kalangan pengurus sendiri, anggota organisasi, orang Sunda lainnya, dan orang lain yang bukan orang Sunda, (2) kursus bahasa Belanda di Jakarta, Bogor, Pandeglang, Bandung, dan lain-lain yang diikuti oleh anggota organisasi dan orang pribumi lain dengan pengajar orang pribumi dan orang Belanda, khusus di Jakarta dinamai Pasoendawati (baca: Pasundawati), (3)
44 Pada tahun 1915 telah berdiri 5 cabang Paguyuban Pasundan di kotakota: Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya; pada tahun 1916 jumlah anggota tercalat sebanyak 790 orang, terdiri atas 680 orang pria dan 110 orang wanita; dan tahun 1919 memiliki 14 cabang, beberapa ranting, dan anggotanya berjumlah 1450 orang (Suharto, 2002: 63-67).
Secercah Harapan: Bangkit Kembali

67

menyelenggarakan pertemuan, diskusi, dan ceramah yang membahas berbagai topik yang bertalian dengan bahasa, sastra, kebudayaan, dan berbagai masalah yang dihadapi oleh orang Sunda dan orang pribumi In donesia pada umumnya, (4) menyediakan fasilitas dan tempat pertemuan para anggota (Clubhuis) di Jakarta dengan nama Societeit Pasoendawati4S , (5) Menyelengga rakan rapat pengurus (bestuur vergadering) dan rapat anggota (algemeene vergadering) baik tingkat pusat maupun tingkat cabang di beberapa tempat di tanah Sunda (Jakarta, Bogor, Bandung, Serang, Pandeglang, Purwakarta, Cirebon, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan lain-lain), (6) melakukan kegiatan bersama dengan perkum pulan-perkum pulan lain dalam m enghadapi masalah bersama, seperti dalam hal tuntutan pertahanan H india yang m elibatkan bangsa pribum i (Indie Weerbaar), Komisi Peninjauan Kembali Dasar Sistim Kenegaraan Pemerintah Hindia Belanda (Commissie ter herziening der grondslagen van Nederlandsch-Indie Staatkundige Inrichting ), kelompok Persatuan Kekuatan Radikal (Radicale Concentrate). Pada awal tulisan ini telah dikemukakan bahwa sejak tahun 1918 organisasi-organisasi kaum pribumi mulai mengarahkan perhatian dan kegiatannya ke lapangan politik dalam rangka mengantisipasi berdirinya Volksraad. Paguyuban Pasundan pun atas usul para anggotanya46 mengubah, sesungguhnya lebih tepat dikatakan menam45 Fengadaan dan nama fasilitas pertemuan ini diselenggarakan atas usul C M . Pleyte selaku Pelindung. 46 Antara lain diusulkan oleh seseorang dengan nama samaran Soendaneesch Bloed (Darah Sunda) melalui tulisannya berjudul "Aoseun Sarra: Politiek djeung Propaganda" (Bacaan Semua Orang: Politik 68
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

bah, sifat dan bidang kegiatan organisasinya dengan turut serta menempuh lapangan politik. Untuk itu ada 4 pasal statutanya (pasal 2, pasal 6, pasal 13, dan pasal 20) yang diubah disesuaikan dengan keperluan dan status orga nisasinya. Yang terpenting adalah mengubah pasal 2 tentang tujuan organisasi yang menghilangkan kalimat yang menyatakan tidak akan melibatkan diri dalam urusan agam a d an kegiatan yang m elanggar perundangundangan negara. Perubahan status dan penambahan bi dang kegiatan tersebut disahkan oleh pemerintah melalui surat keputusan nomor 72 tertanggal 13 Juni 1919 (Suhar to, 2002: 51-52). Analisis pandangan dan kegiatan politik P agu yuban Pasundan d ibahas oleh Su h arto (2002) dalam bukunya berjudul Pagoejoeban Pasoendan 19271942: Profil Pergerakan Etno-nasionalis, walaupun untuk kepentingan orang Sunda masih perlu dilanjutkan de ngan periode masa kemerdekaan (sejak 1945).

dan Propaganda) yang dimuat pada Papas Nonoman, 4, V, April 1918. Dalam tulisan tersebut antara lain dikatakan: "Ieuh! Oerang Soenda! .... oerang moe kana hal politiek th, lain pisan kahadan oerang, tapi kawadjiban oera ng, ..... panoehoen pribados ka sadaja lid Pasoendan, njata soepados Pasoendan didamel pagoejoeban mak tanda politiek;..." (Hai! Orang Sunda! .....kita ikut dalam kegiatan politik itu, samasekali bukan karena kebaikan kita, tetapi kewajiban k ita,.... permohonan saya kepada semua anggota Paguyuban Pasundan, yaitu: agar Pagu yuban Pasundan dijadikan organisasi politik,....).
Secercah Harapan: Bangkit Kembali

69

BAB IV KESIMPULAN
Setelah runtuhnya Kerajaan Sunda (1579), orang Sunda selalu mengalami keprihatinan sepanjang perjalanan sejarah mereka. Sejak itu mereka dirundung malang akibat desakan berbagai pengaruh yang silih berganti datang dari luar secara fisik dan budaya dalam jangka waktu relatif singkat (kurang dari satu abad). Karena itu, kebudayaan Sunda yang sebelumnya telah mapan, mengalami gejolak terus-menerus sehingga bentuk dan isinya selalu berubah. Demikian besar de sakan budaya luar itu sehingga beberapa unsur budaya Sunda yang telah mapan (bahasa, aksara, sastra, agama) terpinggirkan dan kemudian digantikan wujud dan perannya oleh unsur-unsur budaya baru. Lahirnya Paguyuban Pasundan (1913) yang didahului oleh berfungsinya kembali bahasa dan sastra Sunda (sejak pertengahan abad ke-19), seolah-olah menjadi tonggak sejarah kebangkitan kembali eksistensi dan peranan orang Sunda di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya sendiri dan masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) yang multi-etnis dan multi-budaya. Sejak itu orang Sunda sadar akan keberadaan dan posisi me reka dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia. Sebagaimana Budi Utomo, organisasi orang Jawa, pendirian Paguyuban Pasundan pun diprakarsai oleh para siswa STOVIA yang bermukim di Jakarta. Tetapi berbeda
70
Kebangkitan Kembali Orang Sunda

dengan Budi Utomo yang pembentukannya dilakukan hanya oleh para siswa STOVIA dalam satu pertemuan (20 Mei 1908) di lingkungan sekolah mereka, Paguyuban Pasundan dibentuk dalam satu pertemuan (20 Juli 1913) di rumah sesepuh orang Sunda yang bermukim di Jakarta (D.K. Ardiwinata) yang dihadiri oleh beberapa kelompok siswa (STOVIA, HBS, KWS) dan masyarakat Sunda yang bermukim di Jakarta dan Bogor baik pria maupun wanita. Pengurus dan anggota Paguyuban Pasundan yang meru pakan perpaduan antara orang muda (siswa) dan orang madya (karyawan) serta dari kalangan menengah mewarnai sikap, pandangan, dan gerak organisasinya yang ber sifat modrt dan memilih cara evolusi dalam mengupayakan kemajuan yang didambakan oleh mereka. Baru setelah mayoritas kepengurusan dipegang oleh orang madya dan perkembangan pergerakan nasional cenderung ke arah politik (1918), maka kalangan orang muda (siswa) melepaskan keikutsertaan dalam kepengurusan dan kegiatan Paguyuban Pasundan dan mereka mendirikan organisasi baru (1918) yang dinamai Sekar Roekoen (baca: Sekar Rukun) yang kelak (1928) mewakili pemuda Sunda dalam Kongres Pemuda Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda, sebuah pernyataan pertama dan bersama berbagai kelom pok etnis di Indonesia yang mengakui berbangsa, bertanah air, dan berbahasa persatuan: Indonesia.

Kesimpuian

71

BIBLIOGRAFI

Abdullah, Taufik. 2001 Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika. Ali et. al., Moh. 1972 Sedjarah Djawa Barat: Suatu Tanggapan. Bandung: Pem erintah Propinsi D aerah Tingkat I Jawa Barat. Amin, Syarif. 1984 P erjoangan Paguyuban P asu n dan . Bandung: Sumur Bandung. Ardiwinata, D.K. 1914 "Basa Djawa di Priangan", Papas Nonoman. 5 , 1, 1 April 1914: 6-7. 1914 "Propaganda Pikeun Pagoejoeban Pasoendan", Papas Nonoman. 1 0 ,1, 1 Nopember 1914: 1-3. 1940 "Bedana Bareto djeung A jeuna", Pasoendan. 3, XXVI, Maart 1940: 2-5. Atja. 1970 Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Jajasan Bahasa dan Sedjarah.

Atja & Saleh Danasasmita. 1981 Sanghiyang Siksakandang K aresian. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Ba rat.
72

1981a Amanat Galunggung. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. Blumberger, Th. P. 1931 De N ationalistische Beweging in N ederlandschIndie. Haarlem: H.D. Tjeenk Willink & Zoon. Brandes, J.L.A. 1911 "Babad Tjerbon", VBG, LIX. Batavia. Castles, Lance. 1967 "The Ethnic Profile of Djakarta", Indonesia. 1, Cornell University. Ithaca-New York: April 1967:153-204. Cortesao, Armando. 1944 The Suma Oriental o f Tome Pires. London: The Hakluyt Society. Danasasmita et. al., Saleh. 1983/1984 Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. 4 vols. Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Danasasmita & Anis Djatisunda, Saleh. 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Djajadiningrat, Hoesein. 1913 Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Disertasi. Haarlem: Enschede & Zonen. Ekadjati, Edi S. 1975 "Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat", Se jarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa
73

1978

1995 1996

2002

Penyebaran Agam a Islam . Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat. Babad Cirebon Edisi Brandes: Tinjauan Sastra dan Sejarah. Bandung: Lembaga Kebudayaan Univer sitas Padjadjaran. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya. "C ultural Plurality: The Sundanese of West Java", in Illumination by Ann Kumar and John H. Me Glynn. Jakarta: The Lontar Foundation, New York and Tokyo: Weatherhill Inc. "Cirebon, Banten, Priangan & Budaya Sunda", Pikiran Rakyat. 17 Januari 2002: 8-9.

Ekadjati et. al., Edi S. 1978/1979 Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebuda yaan. 1982/1983 Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Jawa Barat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan D okum entasi Sejarah N asional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988 N askah Sunda: In ven tarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padja djaran - Toyota Foundation. 1999 Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga. Katalog Induk Naskah-naskah N usantara. Jilid 5A. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia - Ecole Franaise D'Extreme-Orient. Erawan, Memed.
74

1991

Paguyuban Pasundan: Di Tengah-tengah Kancah Perjuangan Bangsa. Bandung: Mandalawangi.

Gam a, Judistira K. 1991 Tangtu Telu Jaro Tujuh: Kajian Struktural Masyara kat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat, Indonesia. D isertasi. B angi: U n iv e rsiti K eban gsaan M alaysia. Geise, N.J.C. 1952 B adujs en M uslim s in Lebak P arah ian g , Zuid Banten. Disertasi. Citt del Vaticano. Graaf & Th. G. Pigeaud, H.J. de. 1972 De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java. VKI, 69. "s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Haan, F. De. 1910-1912 Priangan: De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tt 1811. 4 vols. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Hageman Cz., J. 1867 "G eschiedenis der Soendalanden", TBG, XVI, Batavia. Herlina Lubis, Nina. 1998 K ehidupan Kaum M enak P riangan: 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. Hidding, K.A.H. 1935 G ebruiken en G odsdien st der S oen dan eezen . Batavia: G. Kolff & Co. Holle, K.F. 1864 "Pijagem van den Vorst van M ataram ", TBG,
75

XIII, Batavia. Kahin, George McT. 1952 Nationalism and Revolution in Indonesia. IthacaNew York: Cornell University Press. Kartini, Tini. 1979 Daeng Kanduruan Ardiwinata: Sastrawan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kartodirdjo et. al., Sartono. 1975 Sejarah Nasional Indonesia. V. Jakarta: Balai Pustaka. Kern, R.A. 1898 Geschiedenis der Preanger-Regentschappen: Kort Overzigt. Bandoeng: De Vries en Fabricius's Boekhandel. Klein, J.W. de. 1931 Het Preangerstelsel (1677-1871) en zijn Nawerking. Disertasi. Leiden: Rijksuniversiteit. Koch, D.M.G. 1950 Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembangunan. Meerten, Henri Charles van. 1887 Overzicht van de Hervorming van het Preanger stelsel. Disertasi. Leiden: J.J. Groen. Moriyama, Mikihiro. 2003 A New Spirit: Sundanese P ublishing and the Changing Configuration of Writing in NineteenthCentury West Java. Proefschrift. Leiden: Universiteit Leiden.
76

Nagazumi, Akira. 1971 The Dawn o f Indonesian Nationalism: The Early Years o f the Budi Utomo, 1908-1918. Tokyo: Institute of Developing Economies. Nugraha, Awaludin. 2001 Industri Indigo dan Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Keresidenan Cirebon (1830-1864). Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Rosidi, Ajip. 1966 Kesusasteraan Sunda Dewasa Ini. Tjirebon: Tjupu Manik. 2001 Hurip Waras: Dua Panineungan. Cetakan Kedua. Bandung: Kiblat Buku Utama. Saleh, Iyan Tiarsah. 1975 Berdiri dan Perkembangan Pagoejoeban Pasoendan (1914-1942). Skripsi. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Setiakoesoemah, R. Djoendjoenan. 1940 "Sadjarah Pasoend an", Pasoendan, 3, XXVI, Maart 1940: 16-18. 2002 Sebuah Kenangan: Otobiografi Dokter H. Rd. Djundjunan Setiakusumah. Bandung. Soeryawan, R. Djaka. 1990 Sejarah Berdirinya Paguyuban Pasundan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Pasundan. Suharto 2002 Pagoejoeban Pasoendan: 1927-1942. Profil Pergerakan Etno-nasionalis. Bandung: Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan.
77

Sumantri, Iwa Kusuma. 2002 Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebuda yaan Lembaga Penelitian U niversitas Padjadjaran & Satya Historika. Sumarsono, Tatang. 1993 Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Surjomihardjo, Abdurachman. 1972 Boedi Oetomo Tjabang Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya. 1976 "Golongan Penduduk di Jakarta: Sebuah Ikhtisar Perkembangan", Seni-Budaya Betawi: Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya. Ja karta: Pustaka Jaya. Volkstelling 1930. 8 volumes. Batavia: Departemen van Economische Zaken-1933-1936 & Landsdrukkerij. Wessing, Robert. 1974 Cosmology and Social Behavior in a West Javanese Settlem ent. D isertasi. U rbana: U niversity of Illinois. Wildan, Dadan. 2002 Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta). Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung: Humaniora Utama Press. Wirasapoetra. 1916 "Verslag Pagoejoeban Pasoendan Taoen 1915", Papas Nonoman, 4, 3, 30 April 1916.

78

M ajalah dan Suratkabar Kaoem Moeda, 1918. Padjadjaran, 1918. Papas Nonoman, 1914-1918. Pikiran Rakyat, 19 Mei 1992; 17 Januari 2002. Sekar Roekoen, 1920-an. Siwangi, 1921-1922.

79

L a m p ir a n 1:

Biografi Singkat Tokoh-tokoh Pendiri Paguyuban Pasundan 1 lahir di Bandung ta hun 1866, berdarah campuran Bugis (ayah) dan Sunda (ibu), pendidikan terakhir Sekolah Guru (Kweekschool) di Bandung (1881-1884), bekerja sebagai guru di Ban dung (1886-1911, 1917-1922), Redaktur Bahasa Sunda pada penerbit Volkslectuur di Jakarta yang kemudian menjadi Balai Pustaka (1911-1917), pengarang berbagai buku pelajaran dan karya sastra berbahasa Sunda, penulis artikel berbagai hal tentang kebudayaan Sunda yang diterbitkan di berbagai majalah, konsultan para siswa STOVIA dan masyarakat Sunda di Jakarta, pemberi fasilitas tempat pertemuan dan konseptor statuta sementara yang m elahirkan Paguyuban Pasundan, Penasehat Pengurus Paguyuban Pasundan pertama, pemberi nama dan redaktur serta penulis karangan pa da majalah Papas Nonoman, Ketua Pengurus Paguyub an Pasundan kedua, Anggota Kehormatan Paguyuban Pasundan (sejak 24 April 1916). Meninggal dunia di Tasikmalaya tahun 1947.
D a e n g K a n d u r u a n A r d iw in a t a ,

2 lahir tahun 1890, siswa STOVIA, pemimpin para siswa STOVIA asal Sunda, sering berkonsultasi dengan D.K.Ardiwinata dan C.M.Pleyte, pemrakarsa pembicaraan dan pertemuan orang Sunda
M a s D a y a t H id a y a t ,

80

yang melahirkan Paguyuban Pasundan, pemberi nama perkumpulan ini, Ketua Pengurus Paguyuban Pasun dan pertam a, Wakil Ketua Pengurus Paguyuban Pasundan kedua, redaktur dan penulis karangan pada Papas Nonoman, dokter, pengajar di Sekolah Dokter (NIAS) di Surabaya, dan gurubesar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta (1958). 3 lahir di Ciawi (Tasikmalaya) tanggal 1 Agustus 1888, siswa STOVIA, aktivis Indische Partij, pendiri Sarekat Islam cabang Jakarta, peserta pembicaraan dan pertemuan orang Sun da yang melahirkan Paguyuban Pasundan, Sekretaris Pengurus Paguyuban Pasundan pertama, Komisaris Pengurus Paguyuban Pasundan kedua, Wakil Ketua Pengurus Paguyuban Pasundan ketiga, penulis karang an pada Papas Nonoman, dokter di berbagai tempat di Pulau Jawa dan Sumatera, Ketua Pengurus Cabang Pa guyuban Pasundan di Bandung, Ketua Panitia Kongres Paguyuban Pasundan di Bandung, anggota Dewan Kabupaten (Regentschaapraad) di Sum edang dan Serang (1925-1928), anggota Dewan Provinsi (Provicialeraad) Jawa Barat (1930-1940), dokter di Rumahsakit Yuliana (sekarang: Hasan Sadikin) Bandung (19281938), berpartisipasi aktif dalam revolusi kemerdekaan (1945-1948), anggota Parlemen Pasundan (1948-1950), Ketua Umum Daya Sunda (1953-1954), Ketua Cabang Kabupaten Bandung Partai Nasional Indonesia (19541956), Ketuan Cabang Bandung Palang Merah Indo nesia (PMI). M eninggal dunia di Bandung pada 4 Agustus 1968.
R a d en J u n ju n a n S e t ia k u s u m a h ,

81

4 lahir tahun 1892, siswa STOVIA, peserta pada pembicaraan dan pertemuan yang m elahirkan Paguyuban Pasundan, Bendahara Pengurus Paguyuban Pasundan pertama dan kedua, anggota Kom isaris Pengurus Paguyuban Pasundan ketiga, dan Presiden Pengurus Paguyuban Pasundan keempat, dan dokter di Prabumulih, Sumatera Selatan (sejak 1920). Pada akhir tahun 1950-an bertem pattinggal di Jakarta.
R a d en K u sum a S u ja n a ,

5 lahir di Manonjaya (Tasikmalaya) tanggal 7 Juni 1889, siswa STOVIA, peserta pembicaraan dan pertemuan yang melahirkan Paguyuban Pasundan, anggota Redaksi dan penulis majalah Papas Nonoman, dokter (sejak 1915), menyandang gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran dari Universitas Leiden (negeri Belanda), dosen dan kemudian gurubesar pada Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) yang kemudian menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pendnta dan penulis sejarah Sunda, khususnya mengenai sejarah Sumedang. Pada pertengahan tahun 1960-an bertempat-tinggal di Bandung. Meninggal dunia di Jakarta.
R a d e n J e n a l A s ik in W ij a y a k u s u m a h ,

6
Mas Iskandar, siswa STOVIA, peserta pembicaraan dan pertemuan yang melahirkan Paguyuban Pasundan, anggota Kom isaris Pengurus Paguyuban Pasundan pertama sampai ketiga, dan Bendahara pada Pengurus Paguyuban Pasundan kedua.
82

Lampiran 2:

Struktur dan Personalia Pengurus Paguyuban Pasundan


Periode Pertama (20 Juli 1913 - 22 Februari 1914) Penasehat Daeng Kanduruan Ardiwinata Presiden Mas Dayat Hidayat Sekretaris Raden Junjunan Bendahara Raden Kusuma Sujana Mas Iskandar Komisaris Karta di Wiria Sastrahudaya Abubakar Periode Kedua (22 Februari 1914 - 24 April 1916) Presiden Daeng Kanduruan Ardiwinata Wakil Presiden Mas Dayat Hidayat / Wirasaputra Sekretaris 1 Raden Iskandar Brata Sekretaris 2 Raden Emung Purawinata Bendahara Raden Kusuma Sujana/ Mas Iskandar/ Subita Komisaris Raden Junjunan Mas Iskandar/Raden Kusuma Sujana Karta di Wiria Sastrahudaya Abubakar Adiwangsa Sastraprawira Wirasaputra / Wargaadireja
83

Periode Ketiga (24 April 1916 - Juni 1918) Wirasaputra Presiden Raden Junjunan Wakil Presiden Raden Iskandar Brata Sekretaris 1 Raden Emung Purawinata Seketaris 2 Subita Bendahara Raden Kusuma Sujana Komisaris Mas Iskandar Sastrapra wira /Wiradinata / Karnadireja Wargaadireja/ Moh. Sanusi Periode Keempat Presiden Wakil Presiden Sekretaris 1 Sekretaris 2 Bendahara Komisaris (Juni 1918 - April 1920) Raden Kusuma Sujana Jayadireja Sutisna Senjaya Prawira Amijaya Suraatmaja Atmadinata/Sastrahudaya Darna Kusuma/ Padmadinata Nataprawira Sadikin K. Karnadijaya Surakusumah

84

Lampiran 3

Struktur dan Personalia Pengurus Paguyuban Pasundan Periode Selanjutnya


Pengantar Struktur dan personalia Pengurus Besar Paguyuban Pasundan periode selanjutnya (1920 sampai sekarang) belum diperoleh informasi yang lengkap dan sahih, karena penelitian ini tidak mencakup periode tersebut, melainkan hanya sampai tahun 1918. Akan tetapi, kare na perlu juga disertakan untuk merangsang penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh siapa pun dan kenyataan m enunjukkan bahwa dokumen tertulisnya terpencar-pencar, maka berdasarkan sumber yang tidak lengkap dan belum diolah secara benar-benar kritis, hal tersebut dilampirkan juga di sini. Di samping itu, dimaksudkan pula agar kontinuitas perjalanan organisasi ini tampak benang merahnya. Personalia pengurus dalam satu periode bisa berubah-ubah, karena sesuatu sebab. Misalnya, pengurus besar periode 1934-1939 terjadi perubahan pada kedudukan Ir. Juanda yang semula sebagai Sekretaris II menjadi Sekretaris I, karena Sekretaris I Moh. Mukhidin mengundurkan diri. Struktur dan Personalia Pada periode 1920-1929 tidak jelas struktur organi sasi dan personalianya, hanya ada informasi bahwa R.
85

Kosasih Surakusumah yang sebelumnya m enjabat Komisaris dan pernah menjadi anggota Volksraad sebagai wakil Paguyuban Pasundan, juga menjadi Ketua Paguyuban Pasundan, begitu juga R. Puradireja pernah menjabat Ketua Paguyuban pada periode sebelum tahun 1925, sementara para aktivis lainnya antara lain Sutisna Senjaya, Bakrie Suraatmaja, R. Oto Kusuma Subrata, Atik Suardi, Iyos Wiriaatmaja. Periode 1925-1929 yang menjadi Ketua adalah R. Oto Kusuma Subrata, sedangkan pengurus lainnya belum diperoleh datanya. Keputusan Kongres ke-18 di Bandung pada De sember 1929: R. Otto Iskandar Dinata Ketua Wakil Ketua R. Oto Kusuma Subrata Atik Suardi Sekertaris I Sam Sumaatmaja Sekertaris II R. Prajakusumah Bendahara R. Moh. Enokh Komisaris R. Lukman Jayadiningrat R. Demang Wiradiatmaja R. Iskandar Brata Keputusan Kongres Tahtin 1934: Ketua R. Otto Iskandar Dinata Wakil Ketua Atik Suardi Moh. Mukhidin Sekretaris I Sekretaris II Ir. Juanda R. Prajakusumah Bendahara Akhmad Atmaja Komisaris
86

R. Lukman Jayadiningrat Idih Prawiradiputra Moh. Enokh Keputusan Kongres di Cianjur Tahun 1939: R. Otto Iskandar Dinata Ketua Wakil Ketua R.S. Suradiraja Ir. Ukar Bratakusumah Sekretaris Bendahara R. Wiriaatmaja R. Moh. Enokh Komisaris R. Lukman Jayadiningrat E. Suparman R. Akhmad Atmaja Ir. Juanda Pada tahun 1942 semua organisasi dibubarkan oleh penguasa pendudukan militer Jepang, termasuk Pagu yuban Pasundan. Pada tahun 1947 Paguyuban Pasundan dihidupkan kembali di Yogyakarta (oleh Moh. Enokh yang menjadi Walikota Yogyakarta), Bandung (oleh R.A. Atmadinata), dan Jakarta (oleh R.S. Suradiraja dan R. Adil Puradireja). Terpilih sebagai Ketua Paguyuban Pasundan adalah R.S. Suradiraja, pengurus lainnya tidak jelas. Keputusan Kongres di Bandung tanggal 29 Desember 1949 - 4 Januari 1950: Mengubah nama Paguyuban Pasundan menjadi Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI). Ketua PARKI 1949-1959 : R.S. Suradiraja Pengurus Pusat Parki yang lengkap ditetapkan tahun 1952:
87

Ketua Penulis I Wakil Penulis I Wakil Penulis II Bendahara Wakil Bendahara Pembantu

R.S. Suradiraja A. Romli R. Erom Suwitaatmaja O. Sanusi Hasan Sadikin Emma Puradireja

Pada tahun 1959 PARKI dikembalikan lagi pada na ma Paguyuban Pasundan. Ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan sejak tahun 1959 sampai dengan 1968 adalah R.S. Suradiraja, data tentang struktur organisasi dan personalia lainnya belum diperoleh. Keputusan Kongres ke-33 di Bandung Tahun 1969: Ketua Umum : R. Hasan Wargakusumah, S.H. Wakil Ketua : R. Mahdar Prawiradilaga Sekretaris : Drs. Sofyan Senaprawira Keputusan Kongres ke-34 di Bogor Tahun 1974: Ketua Umum : R. Mahdar Prawiradilaga Ketua I : Ajam Syamsupraja Ketua II : H. Suhari Sapari Sekretaris Umum : Hadi Kartadibrata, S.H. Bendahara : Drs. Ateng Sopala Keputusan Kongres ke-35 di Bandung Tahun 1978: Ketua Umum : R.K. Sukanda Bratamanggala Ketua I : Ajam Syamsupraja Ketua II : Wigandi Wangsaatmaja Sekretaris Jenderal: Mr. R. Eddie Mahmud W.
88

Wakil Sek. Jen. Bendahara I Bendahara II Keputusan Kongres Ketua Umum Ketua I Ketua II Ketua III Sekretaris Jenderal Wakil Sek. Jen. Bendahara Wakil Bendahara Keputusan Kongres Ketua Umum Ketua Ketua Ketua Ketua Sekretaris Jenderal Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Bendahara Wakil Bendahara

(diganti oleh R. Jaka Suryawan yang diganti lagi oleh Mr. R. Kusna Puradireja) Wakhyu Kartapranata Et. Khaeruddin R. Kardi Adikusumah Luar Biasa di Bandung Tahun 1985: Prof. Dr. Ir. H. Thoyib Hadiwijaya H. Basyuni Suriamiharja Drs. Iton Kakh Jayawisastra Drs. Ateng Sopala Kuntana Magnar, S.H. Aan Burhanuddin, S.H. Drs. Memed Erawan Abdul Hamid Samhudi, BA ke-37 di Tugu Bogor Tahun 1990: H. Daeng Kosasih Ardiwinata Drs. H. Ateng Sopala Drs. Iton Kakh Jayawisastra R. Mokh. Yusuf Drs. H. Memed Erawan Koswara Sumbirat Mulyana Drs. Ridwan El Hariri Aan Burhanuddin, S.H. Drs. Sidik Priadana Drs. H. M. Didi Turmudzi Drs. H. Nana Gunawan R.H. Ishak Musa

Keputusan Kongres ke-38 di Lembang Bandung Tahun


89

1995: Ketua Umum Ketua Ketua Ketua Ketua Ketua Ketua Sekretaris Jenderal Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Bendahara Wakil Bendahara

H. Abung Kusman Drs. H. Ateng Sopala H. Hudly Bambang Aruman Drs. H. Memed Erawan R. Mokh Yusuf H.A. Syafei H. Aan Burhanuddin, S.H. Drs. H.M. Didi Turmudzi R.H. Tata Gautama S. Drs. H. Abbas Suraatmaja Drs. H. Nana Gunawan Drs. H. Ridwan El Hariri Ir. H. Adang Kadarusman, M. Sc. R.H. Ishak Musa Drs. H.E. Komarudin

Keputusan Kongres ke-39 di Cipanas Garut Tahun 2000 Drs. H. Ateng Sopala Ketua Umum (karena meninggal dunia diganti oleh H.A. Syafei) R.H. Tata Gautama S. Ketua Prof. Dr. H. Sudarja Ketua Adiwikarta, MA Dr. Rully Indrawan, M. Si. Ketua H. Aan Burhanuddin, S.H. Ketua Drs. H. Wahyu Wibisana Ketua Drs. H. Benyamin Ketua Haritz, S. Sos., M.S. Sekretaris Jenderal: Drs. H.M. Didi Turmudzi, M. Si. : Drs. H. Aep Saeful Wakil Sek. Jen. Rakhman, CQM., M.M.
90

Wakil Sek. Jen Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Wakil Sek. Jen. Bendahara

Prof. Dr. H. Idrus Affandi, S.H. Dr. Ir. H. Eddy Yusuf, SP, M. Si. Dr. Ir. H. Adang Kadarusman, M. Sc. Daum Sumardi, BA R. Dedi Permadi S. R. Ace Hasan Su'eb

91

Lampiran 4:

Foto Ketua Paguyuban Pasundan dari Masa ke Masa

D aeng K an d u ru an A rd iw in ata (1 9 1 4 -1 9 1 6 )

R. O tto Iskandar D inata (1 9 2 9 -1 9 4 2 )


92

R. Suradiraja (1 9 4 7 -1 9 6 9 )

R. H asan W argakusum ah, S.H . (1 9 6 9 -1 9 7 4 )

R. M ach d ar Praw iradilaga (1 9 7 4 -1 9 7 8 )

R.K. Sukanda B ratam an ggala (1 9 7 8 -1 9 8 5 )

Prof. Dr. Ir. H. Thoyib H ad iw ijaya (1 9 8 5 -1 9 9 0 )

93

H. D aeng Kosasih A rd iw in ata (1 9 9 0 -1 9 9 5 )

H . A bung Kusm an (1 9 9 5 -2 0 0 0 )

Drs. H. A teng Sopala (18 Juni 2 0 00-3 Juli 2000) 94

H .A . Syafei (2 0 0 0 -......... )

Potrebbero piacerti anche