Sei sulla pagina 1di 116
Benarlah perkataan seorang yang saleh, sbb. : Karena buruk dan bodohnya nafsu itu, kalau ia ingin maksiyat dan terdorong untuk syahwat, maka engkau membelokkannya atau meminta syafaat kepada Allah mengenai nafsu : "Dengan kekuasaan Allah, wahai nafsu janganlah engkau mendorong aku kepada kejahatan, ingatlah kepada Allah, ingat kepada Rasululla; wahai nafsu janganlah sampai mencelakakan aku, lalu ingat kepada semua Nabi-Nabi dan Kitab Suci-Nya, ingat kepada leluhur kita yang saleh-saleh. Dan hendaklah dinyatakan kepada nafsu tentang maut dan kubur serta kiamat dan adanya Sorga serta neraka. Tetapi kalau nafsu sudah menguasai kita, semua itu tidak akan diingat. Tapi kalau nafsu itu dihadapi dengan menahan keinginannya (seper- ti apabila kita sedang berpuasa, nafsu makan ditahan, tokh nafsu tsb. menyerah juga dan terkulai; paling-paling hanya mikirkan waktu buka, sedangkan untuk berbuat yang lainnya tidak terfikirkan sama sekali. Tapi kalau sudah kenyang, wah ..... diapun merajalela. Demikianlah keadaan nafsu. Kalau sedang berpuasa yang dituntutnya hanya sekedar sesuap nasi dan seteguk air dan lupa kepada syahwat, padahal tadinya segala macam dikehendakinya. Hal ini supaya engkau ketahui bahwa betapa rendah dan bodohnya nafsu itu. Hati-hatilah engkau terhadap nafsu, jangan sampai lengah, sebab nafsu itu sebagaimana dikatakan oleh Allah yang menciptakannya, dan tahu betul keadaannya, tukang menyuruh kepada kejahatan dan nafsu itu berada didalam diri kita sendiri. Ini cukup sebagai peringatan bagi orang yang berfikiran sehat. Seorang yang soleh namanya Ahmad bin Argom Al-Balkhi rahima- hullah berkata sbb. ”Nafsuku, mengajak aku keluar untuk jihad fi sabilillah”. Dalam hati al + berkata: “Aneh ini!, kok nafsuku mendorong aku untuk pergi ke medan perang fi sabilillah, Fadahal Allah berfirman : % i es MAES iin 51 "Nafsu itu tukang menyuruh kepada kejahatan”. Sedangkan sekarang nafsu itu mendorong aku kepada kebaikan, apakah maksudnya ini ?. Hal ini tidak mungkin, tentu dibalik semua ini ada niat jahatnya. Mungkin dia sudah merasa kvsepian ingin bertemu dengan orang; schingga ia merasa hangat, dan mengharapkan namanya akan terkenal karena si Anu seorang pemberani, pahlawan dimedan perang fi sabilillah. Kalau ia nanti pulang akan disambut oleh pembesar-pembesar sebagai seorang pahlawan dan -dimuliakan. Maka aku berkata kepada nafsu: “Boleh, mari kita kemedan perang tapi jangan masuk kota. 161 Kalau dalam: perjalanan akan masuk kota, kita harus menyimpang, sebab kalau kesane, tentu aker. disambut sebagai mujahid-mujahid fi sabilillah dengan ditaburi bunga-bunga dan macam-macam hadiah, maka mari kita perang sabil, tagi kita jangan bertemu dengan orang yang kenal kepada ta | Temyate nafsupun ‘nau demikien. Aku curiga, kok dia masih mau juga; apakah me vo seman ini ?, “allah ive .Benar, mustahil Allah berbohong bahwa nafsu su mes paje Fopada Kejahatan”. Mak: ecu berketa: "Aku akan berperang, mari kita masuk kemedan dan persig dengan tidak memakai baju besi (baju perang dari baja), supaya mudah dibunuh orang, sehingga nanti menjadi orang pertama yang mati syahid”. Tapi ternyata nafsu itu masih juga mau. Jawabnya : “"Walaupun begitu aku ingin perang sabil dan aku ingin mati syahid”. Eh, ini aneh sekali, kok nafsu yang tukang menyuruh jahat, kok sekarang ini betul-betul menyuruh kepada kebaikan. Akupun tetap curiga, lalu aku sebutkan halangan-halangan yang sekiranya membuat dia segan, diantaranya: Aku tidak akan mengambil rampasan perang, tidak akan mengambil gaji dan zakat disb. Namun ternyata dia masih tetap mau saja. Bagaimana ini, sedangkan sudah pasti maksudnya akan berbuat jahat. Selanjutnya Sy. Ahmad berdo’a : “Ya Allah berilah aku peringatan, bagaimanakah ini, nafsuku sekarang mengajak kepada kebaikan; aku sangat curiga dan aku tidak percaya kepada nafsuku, masa aku tidak percaya kepada firman-Mu bahwa nafsu itu tukang menyuruh kepada kejahatan, namun sekarang ia mengajak kepada kebaikan, betul-betul aku curiga”. Disitu terbuka hijab, terbuka tirai; dan aku dapat melihat nafsu benar-benar dengan mata hatiku, seolah-olah nafsu itu berkata begini : "Ya Ahmad, engkau tiap hari membunuh aku dengan melarang semua keinginanku, tiap hari engkau membuat aku sengsara dan tempo-tempo engkau menentang aku. Tidak ada orang yang tahu kalau aku berperang fi sabilillah; hanya satu kali aku mati, tetapi sekarang tiap hari aku mati, maka aku akan lepas dari kungkunganmu”. . Sementara aku menjadi masyhur, kelak orang berkata : Oh, si Ahmad mati syahid, dengan demikian aku mempunyai kemuliaan dan namaku menjadi masyhur, dan badanku juga akan dikubur di Taman Pahlawan. Dengan demikian, maka aku duduk aja, dan tidak pergi kemedan perang, karena niatku belum bener.. Tahun ini aku akan melawan dulu nafsuku, kelak kalau sudah benar niatku, baru aku pergi kemedan perang. Lihat betapa tipuan dan gururnya nafsu itu. Biasanya riya ada sewak- tu kita masih hidup di dunia, namun ternyata sesudah matipun masih ada riya, hal ini sebagai akibat dari amal perbuatan kita sewaktu didunia. 162 Benar sekali Penyair yang be sb: e hue ore ° Vives oe eas it g fp Ecol (piss Aes 3 ACE BS 3 icrgl nafsumu, jangan merasa aman nn kejahatan-kejahatan- nya, sebab nafsu itu lebih jahat dari pada 70 syaitan’’.- Karena itu engkau harus waspada (semoga Allah memberi rahmat kepadamu) terhadap nafsumu, penipu yang suka menyuruh kepada keia- hatan; dan bulatkan tekadmu untuk melawan nafsumu pada tiap hal, tentu engkau memperoleh yang benat dan selemat. Insya Allah. kecuali dengan taqwa. Kemudian engkau harus “dapat mengendalikan nafsumu dengan kendali taqwa, tidak ada lagi jalan untuk menaklukkan hawa nafsu, dengan taqwa. Ketahuilah bahwa disini ada suatu pokok yang sangat penting sekali, ialah bahwa ibadah itu-ada dua bagian : Pertama : Iktisab, yaitu berusaha untuk memperoleh sesuatu. Kedua : Ijtinab, ialah menjauhi segala apa yang harus dijauhi. Bagian Iktisab ielah mengerjakan ta’at : salat, puasa, haji, dsb. Sedangkan bagian Ijtinab ialah menjauhi segala maksiyat dan keja- hatan; ini namanya takwa. Sesungguhnya bagian Ijtinab, ‘bagaimanapun juga, lebih selamat, lebih baik, lebih utama, lebih mulia bagi hamba Allah daripada bagian Tktisab. Jadi, lebih baik mementingkan dulu menjauhi maksiyat dari pada rajin beribadah sunnat. Karena itu, bagi orang yang baru mulai belajar ibadah dari masih dalam tingkat pertama dari ijtihad, perhatiannya hanya pada bagian iktisab saja (ingin salat sunnat 100 raka’at, ingin berpuasa sunnat setiap hari dsbnya. Seluruh perhatiannya, siang berpuasa, malam salat tahajud dsbnya. Tapi bagi ahli ibadah yang sudah jauh, sudah sampai pada tingkat yang mempunyai kewaspadaan bathin, yang diperhatikan mereka ialah bagian yang, menjauhi maksiyat. Perhatian mereka dicurahkan seluruhnya untuk memelihara hatinya agar jangan sampai cenderung kepada selain dari Allah S.W.T. dan memelihara perut mereka daripada makanan halal yang tidak perlu’ dan memelihara lidah mereka dari omongan yang tidak ada gunanya, dan juga perhatian mereka dicurahkan untuk memelihara agar mereka tidak melihat pada apa yang tidak perlu dilihat. Dengan makna ini, maka ahli ibadah kedua terbanyak diantara abli- ahli ibadah, sedangkan ahli ibadah seluruhnya ada 7. Sewaktu ketujuh ahli ibadah itu berhadapan dengan Nabi Yunus mereka berkata : ”Wahai Nabi Yunus, ada orang yang suka salat sunat tidak memilih yang lain, melainkan hanya salat sunat saja; memang salat itu tiangnya 163,

Potrebbero piacerti anche