Sei sulla pagina 1di 9

ORGANISASI MULTIBUDAYA DAN PELATIHAN TENTANG KEBERAGAMAN

Meirani Harsasi (rani@mail.ut.ac.id) Universitas Terbuka ABSTRACT


Globalization has influenced changes in many areas, including the changing in a labor composition. This changing of labor composition can be seen in a variety of tribes and nations in a organization. And Indonesia is a country which consists of many different tribes that contributes to the variety of many tribes in the labor composition. Labor composition has forced the organizations in managing their labors better in order to reach the competitiveness advantage. The companys inability in managing its labor diversity could prevent the company in reaching its goal. Thus organizations have to become a multicultural organization. These organizations have to value the diversity that has been created within the workforce. One tool that can be used to reach the multicultural organization is through developing training program. By training, the human resource would change and eventually would lead to the changes in the organization structure. Hence, in relation to form a multicultural organization, the existence of training about diversity would be needed. This kind of training can be conducted in many ways. Furthermore, organizational success to become the multicultural organization not only depends on training, but also on the active role and commitment from all managers. The active role of all managers can be started with the change of management mind-set about diversity, and then transfer it to the entire organization to obtain a competitive advantageous. Keywords: diversity training, multicultural organization.

Indonesia merupakan negara multibudaya karena Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan budaya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, dengan luas wilayah kurang lebih 1,9 juta mil persegi. Penduduk Indonesia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu bagian barat Indonesia berpenduduk suku Melayu, sementara di bagian timur berpenduduk suku Papua, yang mempunyai akar sejarah di kepulauan Melanesia. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, seperti Jawa, Sunda, atau Batak. Selain itu ada juga etnis pendatang yang jumlahnya minoritas, yaitu diantaranya etnis Tionghoa, India, dan Arab. Dari segi keyakinan, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia adalah agama Islam, yaitu dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Agama lain selain Islam adalah agama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), sedangkan yang lain-lain sebanyak 0,3% (Indonesia, 2007). Beragamnya budaya dan agama yang dianut oleh penduduk Indonesia seringkali menyebabkan organisasi-organisasi di Indonesia menjadi organisasi yang multibudaya. Menurut Wibowo (2006), keberagaman budaya di Indonesia cenderung meningkat. Keberagaman ini mencakup perbedaan gender, suku, agama, dan latar belakang pendidikan. Adanya berbagai

Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 1-9

perbedaan tersebut akan dapat mempengaruhi budaya organisasi dan dengan pemikiran memerlukan metode penanganan secara beragam pula. Mengembangkan budaya keberagaman adalah tentang bagaimana melihat orang lain sebagai pribadi yang merdeka, yaitu menghargai keterampilan dan kemampuan yang mereka miliki dan dibawa ke dalam organisasi, bukan melihat seseorang dalam keanggotaannya pada kelompok tertentu. Perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan sebagai akibat dari meningkatnya keberagaman tenaga kerja. Banyaknya anggota organisasi dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda ini akan berimplikasi pada kompetensi yang harus dimiliki oleh para manajer perusahaan (Elashmawi, 2002). Kesadaran para manajer dewasa ini dalam memandang isu-isu keberagaman semakin meningkat karena adanya keyakinan bahwa organisasi dengan latar belakang tenaga kerja yang beragam akan mampu meningkatkan keefektifan organisasi (Bhawuk & Triandis, 1995). Thomas dan Elly (1996, dalam Nursanti (2006) menambahkan bahwa keberagaman akan membawa pengaruh baik bagi bisnis karena kemampuannya dalam meningkatkan moral dan memberi akses yang lebih baik bagi segmen baru marketplace dalam rangka meningkatkan produktivitas. Agar keberagaman sumber daya manusia dalam organisasi dapat menghasilkan keunggulan kompetitif, maka organisasi harus menjadi organisasi multibudaya. Dan salah satu cara agar dapat menjadi organisasi multibudaya adalah melalui pelatihan (training). Sedangkan pelatihan yang dapat dieselenggarakan untuk mencapai organisasi multibudaya antara lain adalah pelatihan managing value diversity (MVD), pelatihan bahasa, dan pelatihan manajemen konflik. Selanjutnya, agar dapat mencapai program pelatihan sesuai dengan yang direncanakan, diperlukan beberapa strategi pelatihan dan adanya peran manajer yang kuat. Tulisan ini akan membahas tentang pelatihan sebagai salah satu alat menuju organisasi multibudaya Pembahasan dimulai dari penjelasan tentang organisasi multibudaya dan cara menciptakan organisasi multibudaya. Selanjutnya, akan dibahas pentingnya dilakukan pelatihan dan pelatihan mengenai keberagaman untuk mencapai organisasi multibudaya. ORGANISASI MULTIBUDAYA Pengertian budaya (culture), menurut Orbe dan Harris (2001) adalah: learned and a shared values, briefs, and behaviors common to a particular group of people; culture forges a groups identity and assists in its survival. Race is culture, but a persons culture is more than her or his race (hal.69). Selanjutnya, Fernando (1993), menyatakan bahwa budaya tidak lagi dipandang sebagai suatu sistem yang tertutup yang dapat didefinisikan secara jelas, tidak juga sesuatu yang terdiri dari kepercayaan dan praktek tradisional yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi merupakan sesuatu yang hidup, dinamis dan berubah; merupakan suatu sistem nilai yang fleksibel dan dunia memandang bahwa orang-orang hidup dengan menciptakan kembali secara terus menerus. Beberapa peneliti memandang budaya sebagai ide-ide atau teori tentang perilaku dan mental yang bersifat umum dan menjadi keyakinan bersama bagi kelompok-kelompok individu (Allaire & Firsirotu, 1984; Hofstede, 1994). Oleh karena itu, budaya bukan merupakan karakteristik individual. Beberapa ahli cenderung sepakat bahwa komponen budaya secara umum seperti kepercayaan, nilai, norma, persepsi, dan sikap, prioritas adalah invisible (Kotler & Haskett, 1992, Schein, 1993). Berdasarkan pada pengertian budaya tersebut, maka selanjutnya dikembangkan pengertian multibudaya. Multibudaya secara umum dapat diartikan sebagai banyak budaya. Chang dan Tharenou (2004) mendefinisikan multibudaya sebagai suatu situasi dimana terdapat tiga atau lebih budaya atau subbudaya etnis yang saling berinteraksi.

Harsasi, Organisasi Multibudaya dan Pelatihan tentang Keberagaman

Sedangkan Allen dan Montgomery (2001) mendefinisikan organisasi multibudaya sebagai organisasi yang menghargai keberagaman yang diciptakan bersama-sama dengan tenaga kerja. Organisasi ini mendorong anggotanya yang berasal dari kelompok yang berbeda untuk saling belajar satu sama lain, mereka juga mengadopsi beberapa norma dan nilai dari kelompok minoritas. Praktek ini membantu menciptakan lingkungan yang menghargai perbedaan sudut pandang. Organisasi multibudaya dapat menciptakan suatu budaya organisasi yang unik. Budaya organisasi ini mempunyai kemampuan lebih baik dalam menyesuaikan diri dalam masalah multibudaya yang meningkat dan perubahan yang cepat pada pasar. Secara singkat, organisasi ini dapat mencapai keunggulan kompetitif. Senada dengan pendapat Allen dan Montgomery tersebut, Bruhn (1996) berpendapat bahwa organisasi tidak dapat dikatakan multibudaya jika hanya mentoleransi adanya keberagaman sumber daya manusia. Lebih dari sekedar toleransi, organisasi multibudaya menghargai, mempromosikan, dan secara proaktif mengelola perbedaan-perbedaan budaya diantara sumber daya manusia yang dimilikinya untuk meminimumkan konflik dan memaksimalkan keunggulan-keunggulan yang dapat diperoleh dari adanya keberagaman budaya sumber daya manusia. Pengembangan organisasi multibudaya dilandasi oleh pernyataan bahwa organisasi berbeda dalam hal pemahaman mengenai bagaimana ras, budaya, etnik, orientasi sexual, dan isu gender berdampak pada pekerja dan klien. Institusi yang menghargai keberagaman budaya memiliki posisi yang lebih baik untuk menghindari beberapa kesalahpahaman dalam praktek organisasi tradisional dan konflik yang seringkali menjadi karakteristik organisasi monobudaya. Organisasi perlu untuk menetapkan arah organisasi, kebijakan apa saja yang diperlukan untuk mengelola perbedaan budaya, serta bagaimana cara mengimplementasikan perubahan. Salomon dan Schork (1998) menyatakan tiga kunci keberhasilan perusahaan-perusahaan dalam mengelola keragaman budaya, yaitu: 1. Meningkatkan akses yang lebih luas kepada kelompok-kelompok pekerja yang berbakat. Salah satu hal yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan bisnis adalah kemampuan untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi orang-orang yang berbakat. Suatu penelitian menyatakan bahwa untuk merekrut pekerja yang terbaik tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan kelompok yang berbakat. 2. Meningkatkan inovasi. Inti dari inovasi adalah menjadi baru dan berbeda. Suatu budaya organisasi yang terbuka terhadap diversitas atau perbedaan akan menghasilkan lebih banyak ide-ide daripada organisasi yang memiliki budaya yang hanya berdasar kepada persamaan. 3. Hubungan dengan pelanggan yang lebih kuat Membina hubungan yang kuat dengan pelanggan juga merupakan salah satu faktor yang cukup penting bagi keberhasilan bisnis. Ketika pelanggan dan bisnis menjadi global, maka investasi untuk penelitian, pengembangan dan manufacturing juga harus menjadi global untuk mendapatkan kredibilitas dari pelanggan. Menciptakan Organisasi Multibudaya Keberagaman budaya sumber daya manusia menimbulkan tantangan yang cukup berat bagi para manajer agar dapat mengelola keberlangsungan organisasi dengan baik. Perbedaan-perbedaan diantara tenaga kerja cenderung memudahkan timbulnya konflik diantara mereka. Meskipun sementara pihak berpendapat bahwa keberagaman tidak menghasilkan apa-apa, kecuali konflik, berbagai kajian menemukan bahwa keberagaman sumber daya manusia dapat dijadikan sebagai

Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 1-9

suatu keunggulan/kemanfaatan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keberagaman tenaga kerja antara lain munculnya bermacam ide, gaya, bentuk ketaatan, visi, kreatifitas, inovasi, sejarah, dan gaya hidup (Parvis, 2003). Arenofsky (2002) memberikan pendapat yang hampir sama yaitu bahwa adanya perbedaan multi budaya dapat memahami keunggulan dan potensi tiap-tiap individu. Hal ini dapat meningkatkan budaya kerja, sehingga bermacam-macam pemikiran yang kreatif dan pola hidup dapat diakomodasikan untuk memperoleh keuntungan dari budaya organisasi. Keberagaman tenaga kerja dalam suatu organisasi juga dapat membantu organisasi meningkatkan marketsharenya, yaitu organisasi akan memahami dengan lebih baik perbedaan-perbedaan para konsumennya sehingga dapat mengetahui bagaimana memasarkan produk kepada konsumen yang berbeda-beda tersebut (Allen & Montgomery, 2001). Tabel 1. Alat-alat untuk Menciptakan Organisasi Multibudaya
Dimensi Model I. Pluralism Tujuan: 1. Menciptakan proses sosialisasi dua arah antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas 2. Memastikan adanya pengaruh perspektif budaya kelompok minoritas terhadap norma-norma inti dan nilai-nilai organisasi Alat-alat Managing Value Diversity (MVD) training Program-program orientasi anggota baru organisasi Pelatihan bahasa Adanya diversitas di dalam anggota komite inti organisasi 5. Pembahasan/perlakuan terhadap diversitas secara eksplisit di dalam mission statement organisasi 6. Adanya kelompok pembela kelompok minoritas yang memiliki akses langsung ke manajer senior 7. Menciptakan fleksibilitas di dalam sistem-sistem norma organisasi. 1. Program-program pendidikan 2. Program-program pengembangan karir 3. Perubahan dalam performance management. 4. Adanya perubahan-perubahan kebijakan sumberdaya manusia 1. Program-program mentoring 2. Perusahaan mensponsori social event yang mendukung integrasi ke dalam informal network 1. Seminar-seminar mengenai persamaan peluang bagi semua anggota organisasi 2. Kelompok focus (focus group) 3. Penelitian mengenai training untuk mengurangi bias kultural 4. Task forces Semua item dari lima dimensi yang lain (dimensi I-IV dan dimensi VI) dapat diterapkan di sini. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. Survey feedback Pelatihan mengenai manajemen konflik MVD Training Focus group

II. Integrasi struktural secara penuh Tujuan: Tidak ada korelasi antara identitas budaya suatu kelompok dengan status jabatan tertentu III. Integrasi ke dalam infrormal network Tujuan: Meniadakan hambatan bagi anggota organisasi untuk terlibat dan berpartisipasi IV. Bias Kultural Tujuan: 1. Menghilangkan diskriminasi 2. Menghilangkan kecurigaan/prasangka V. Identifikasi Organisasional Tujuan: Tidak ada hubungan antara kelompok identitas dengan tingkat identifikasi organisasi VI. Konflik antar kelompok Tujuan: 1. Meminimumkan konflik antar kelompok 2. Meminimumkan reaksi tidak menyenangkan dari anggota-anggota kelompok dominan terhadap anggota-anggota kelompok minoritas Sumber: Cox (1991).

Harsasi, Organisasi Multibudaya dan Pelatihan tentang Keberagaman

Pengelolaan keberagaman sumber daya manusia tidak terlepas dari peran pimpinan organisasi. Kunci keberhasilan pengelolaan keberagaman adalah komitmen dari level atas organisasi. Suatu organisasi yang memiliki keberagaman pada semua level manajernya akan memiliki kesempatan yang lebih baik dalam hal merekrut, memotivasi, dan mempertahankan tenaga kerja dari kalangan minoritas yang potensial. Keberagaman dalam kepemimpinan ini dapat meningkatkan produktivitas dan inovasi melalui penciptaan ide-ide baru dan pengembangan kepada tenaga kerja minoritas sehingga termotivasi. Organisasi harus menentukan tujuan yang jelas dalam pengelolaan keberagaman sumber daya manusianya. Dasar dari pengelolaan keberagaman adalah kesadaran untuk memahami dan bukan menolak orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda. Kesadaran bahwa keberagaman sumber daya manusia diperlukan untuk menjadikan organisasi semakin kreatif dan inovatif perlu ditanamkan kepada para maanjer. Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menciptakan iklim yang menghargai keragaman budaya. Pertama dengan meminta seorang yang mewakili suatu perusahaan yang telah berhasil mengelola keberagaman sumber daya manusianya untuk menceritakan pengalamannya dalam mengelola sumber daya manusia yang beragam. Kedua, melalui pelatihan dan lokakarya mengenai value dari keberagaman budaya kepada para pekerja. Cox (1991) menyebutkan beberapa cara untuk menciptakan organisasi multibudaya sebagaimana terdapat pada Tabel 1. PELATIHAN SEBAGAI ALAT MENUJU ORGANISASI MULTIBUDAYA Program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia mutlak diperlukan, meskipun merupakan investasi yang mahal (Cheng & Ho, 1999). Pelatihan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan agar mencapai standar kinerja yang diharapkan. Philips (1996) berpendapat bahwa pelatihan merupakan the most critical competitive weapon bagi suatu organisasi. Pelatihan dapat menjadi kendaraan yang dapat membawa perubahan menuju kepada bentuk organisasi yang diharapkan melalui perubahan sumber daya manusianya. Program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia merupakan satu kekuatan yang diharapkan mampu menciptakan nuansa baru dalam upaya mempercepat pembinaan sumber daya manusia. Program pelatihan ini dikembangkan agar dapat memenuhi kompetensi sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan tingkat profesionalisme yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pelatihan harus dikelola dengan baik dan benar. Sebuah organisasi akan efektif melaksanakan pelatihan apabila memiliki sistem pelatihan dengan komitmen dan pelibatan para stakeholders kunci, yaitu manajer sumber daya manusia, pelatih, dan peserta pelatihan. Mereka harus melakukan kolaborasi mulai dari penentuan desain, pengembangan, serta implementasi pelatihan, sehingga pelatihan merupakan sebuah proses yang integratif dalam peningkatan kinerja. Dengan demikian kendali pencapaian mutu pelatihan tidak tertumpu pada pelatih dan peserta pelatihan saja (Wargahadibrata & Rahmat, 2004). Menciptakan program pelatihan yang efektif tidaklah mudah. Masalah yang seringkali muncul adalah tidak tercapainya transfer of learning dari pelatihan tersebut. Tidak sedikit pelatihan yang telah didesain dan diselenggarakan dengan baik tidak berhasil meningkatkan kualitas kinerja para pesertanya sehingga standar kinerja yang ditetapkan belum dapat terpenuhi. Hal ini karena pelatihan yang diadakan tidak menyebabkan terjadinya transfer of learning, padahal transfer of learning inilah yang memiliki dampak langsung terhadap perbaikan kinerja, bukan pelatihan itu sendiri. Pelatihan hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga mendorong para peserta agar dapat mengembangkan pengetahuan strategis untuk memaksimalkan transfer of learning, meskipun kualitas pelatihan itu sendiri tidak hanya ditentukan oleh terjadinya transfer of learning, tetapi juga

Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 1-9

tidak terlepas dengan budaya organisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat optimalnya transfer of learning tetap harus memiliki keselarasan dengan budaya organisasi. Budaya organisasi dibentuk dan dikembangkan oleh para pendiri organisasi dan menjadi the way of our work dari orang-orang dalam organisasi yang bersangkutan. Menciptakan pelatihan yang menarik dan dapat menimbulkan transfer of learning memerlukan praktek-praktek tertentu sehingga pelatihan tersebut menjadi suatu kegiatan yang menarik baik bagi pelatih maupun peserta pelatihan. Hawk (2005) menyatakan terdapat tiga praktek yang dapat digunakan agar pelatihan menjadi lebih menarik, yaitu pelibatan peserta pelatihan, menggunakan sedikit teks dan lebih banyak gambar/foto dan contoh, serta eksperimen. Permasalahan yang seringkali muncul dalam pelatihan adalah orang seringkali kehilangan minat ketika mendengarkan orang lain berbicara. Walaupun tampaknya mereka memberi perhatian, namun hanya sedikit sekali informasi yang dapat diingat. Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa dua minggu setelah pertemuan, orang hanya mengingat rata-rata 8,4%, sedangkan 42% dari yang mereka ingat adalah salah atau bahkan tidak pernah disampaikan diutarakan dalam pertemuan. Untuk itu, jika menginginkan pelatihan berhasil, maka harus melibatkan sepenuhnya peserta pelatihan. Pelatihan tentang Keberagaman Seperti telah disebutkan dalam Tabel 1 bahwa pelatihan merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mencapai organisasi multibudaya, maka perlu dilakukan pelatihan berkaitan dengan topik-topik multi budaya dan keberagaman. Rolph (2003) menyatakan bahwa sebagian besar organisasi (69%) telah memiliki kebijakan keberagaman dan seringkali berkaitan dengan masalah gender, status etik dan disability. Namun demikian, hanya 58% yang menyediakan pelatihan tentang keberagaman. Ini berarti terdapat gap antara kebijakan dan praktek. Hal ini mengindikasikan bahwa organisasi mungkin hanya bereaksi terhadap tekanan-tekanan legal eksternal daripada menanggapi keebragaman dari sudut pandang yang lebih kontruktif. Pelatihan tentang keberagaman tidak harus selalu sulit atau mahal agar dapat memberikan nilai bagi organisasi. Beberapa bentuk pelatihan seperti apprenticeship programs, cross training, and off-site training dapat dilakukan. Bahkan, pelatihan melalui internet dapat juga dijadikan sebagai satu pilihan. Akhir-akhir ini, pelatihan secara virtual (virtual training) semakin meningkat karena metode ini dinilai sangat efektif baik dari sisi waktu dan biaya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang memiliki fokus terhadap keberagaman memiliki return on investment yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat pula dari daftar yang dikeluarkan majalah Fortune pada tahun 1998 bahwa 50 perusahaan yang mempekerjakan ras minoritas memiliki total pendapatan untuk para shareholder selama lima tahun sebesar 201 persen dibandingkan perusahaan lain yang hanya menghasilkan return sebesar 171 persen (Yamashita, 2004). Schuler (1990) menyebutkan keberhasilan perusahaan-perusahaan yang melakukan pelatihan tentang keberagaman, antara lain Hewlett-Packard melakukan pelatihan bagi para manajer untuk mengajari mereka tentang perbedaan budaya dan ras dan tentang bias gender. Proctor dan Gamble juga melakukan hal serupa yaitu mengimplementasikan program valuing diversity ke seluruh perusahaan. Program ini dilakukan dengan cara melakukan mentor program dalam suatu pabrik yang didesain untuk meningkatkan kemampuan manajer perempuan berkulit hitam serta workshop satu hari tentang keebragaman yang diberikan kepada seluruh pekerja baru. Tujuan pelatihan multibudaya tidak hanya terbatas pada masalah bahasa saja. Dalam mengembangkan pelatihan, termasuk pelatihan tentang keberagaman, terdapat beberapa topik yang

Harsasi, Organisasi Multibudaya dan Pelatihan tentang Keberagaman

penting yang harus dilakukan yaitu, penilaian mengenai kebutuhan pelatihan, cara-cara untuk mennyelenggarakan pelatihan, serta cara-cara untuk mengevaluasi pelatihan (Yamashita, 2004). 1. Penilaian mengenai kebutuhan pelatihan Menilai kebutuhan pelatihan merupakan satu bagian yang penting dalam mengembangkan pelatihan. Hal ini meliputi standar dalam melakukan pelatihan dengan benar, dampaknya, dan dana yang akan dikeluarkan serta waktu pekerja karena meninggalkan pekerjaannya. 2. Cara-cara untuk menyelenggarakan pelatihan Apakah pelatihan dilakukan melalui kelas ataupun on the job training, manajer harus dapat mendorong keinginan, motivasi, tujuan dan lingkup dilakukannya pelatihan. Peserta pelatihan perlu untuk berbicara dalam level peserta, membentuk kelompok, melakukan pertukaran dan melaporkan poin-poin utama, diberi pertanyaan, dan melibatkan kelompok dalam aktivitas sebanyak mungkin. Hal ini berarti bahwa manajer pelatihan harus mampu mencakup tugastugas untuk mengembangkan pelatihan dalam organisasi meliputi beberapa aspek yang berkaitan dengan pekerjaan dan organisasi. 3. Cara-cara untuk mengevaluasi pelatihan Hal ini berarti bahwa pelatih harus selalu memberi feedback secara berkesinambungan kepada peserta untuk menguji setiap aspek yang mereka kerjakan selama pelatihan. Evaluasi dilakukan karena beberapa tujuan, namun secara umum evaluasi terbagi kedalam dua kategori: meningkatkan proses pengembangan sumber daya manusia atau untuk menentukan apakah perlu meneruskan program yang sudah ada. PENUTUP Indonesia merupakan negara multibudaya karena Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan budaya. Hal ini menyebabkan organisasi di Indonesia memiliki anggota dari berbagai suku bangsa. Adanya keberagaman tenaga kerja seringkali dipandang hanya akan menimbulkan masalah bagi perusahaan. Namun, pengelolaan keberagaman yang baik justru dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Agar dapat memperoleh keunggulan kompetitif tersebut, maka organisasi harus mengarah pada terbentuknya organisasi multibudaya yaitu organisasi yang menghargai, mempromosikan, dan secara proaktif mengelola perbedaan-perbedaan budaya yang ada diantara sumberdaya manusia yang dimilikinya. Pengelolaan organisasi ini dilakukan untuk meminimumkan konflik dan memaksimalkan keunggulan-keunggulan yang dapat diperoleh dari adanya keberagaman budaya sumber daya manusia. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mencapai organisasi multibudaya adalah melalui pelatihan. Pelatihan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan agar mencapai standar kinerja yang diharapkan. Pelatihan dapat menjadi kendaraan yang dapat membawa perubahan menuju kepada bentuk organisasi yang diharapkan melalui perubahan sumber daya manusianya. Namun demikian, pelatihan seringkali tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan dari para peserta karena tidak adanya transfer of learning. Agar terjadi transfer of learning maka diperlukan praktek-praktek yang menjadikan pelatihan tersebut menghasilkan dampak perubahan kinerja karyawan sesuai dengan yang diinginkan. Sebagai salah satu alat menuju organisasi multibudaya, pelatihan mengenai keberagaman sangat diperlukan untuk mencapai organisasi multibudaya. Dalam mengembangkan pelatihan tentang keberagaman, terdapat beberapa topik yang penting yang harus dilakukan yaitu (1) penilaian mengenai kebutuhan pelatihan, (2) cara-cara untuk menyelenggarakan pelatihan, dan (3) cara-cara untuk mengevaluasi pelatihan.

Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 1-9

REFERENSI Allaire, Y. & Firsirotu, M.F. (1984). Theories of organizational culture. Organization Studies, 5, 193226. Allen, R.S. & Montgomery, K.A. (2001). Applying an organizational development approach to creating diversity. Organizational Dynamics, 30 (2/), 149-161. Arenofsky, J. (2002). Cultural diversity and your future. Career World, 31 (3). Bhawuk, D.P.S. & Triandis, H.C. (1995). Diversity in the workplace: Emerging corporate strategies. The labor market and the changing workforce, 5 (3), 45-55. Bruhn, J.G. (1996). Creating an organization climate for multiculturalism. Health Care Supervisor, 14, 11-18. Chang, S. & Tharenou, P. (2004). Competencies needed for managing a multiculture workgroup. Asia Pacific Journal of Human Resources. 42 (1,: 57-74. London: Sage Publication. Cheng, E.W.L., & Ho, D.C.K. (1999). A review of transfer of training atudies in the past decade. Personnel Review, 30 (1): 102-118. Cox, T., Jr. (1991). The multicultural organization. Academy of Management Executive, 5, 34-47. Elashmawi, F. (2002). Saya lebih percaya pada Multiculture. Majalah Manajemen bagi Manajer dan Eksekutif: Membangun budaya perusahaan multikultur, No. 16. Fernando, S. (1993). Cultural diversity, mental health and psychiatric: The struggle against racism. New York: Brunner-Routledge Hawk, R. (2005). Training: Making it interesting. Professional Safety, August. Hofstede, G. (1994). Management scientists are human. Management Science, 40 (1), 4-13. Hubbard, A. (2003). Accommodating diversity in training environment. Mortgage Banking, 63 (4106). Kotler, J.P. & Heskett, J.L. (1992). Corporate culture & performance. New York: Free Press. Kumalaningrum, M.P. (1999). Multicultural organization; Strategi mengelola keberagaman tenaga kerja. Usahawan, No. 2 Th. XXVII. Nursanti, T.D. (2000). Strategi pengelolaan menuju organisasi multiculture. Usahawan, No. 11 Th. XXIX Orbe, M.P. & Harris, T.M. (2001). Interracial communication: Theory into practice. Belmont. CA: Wadsworth. Parvis, L. (2003). Diversity and effective leadership in multicultural workplaces. Journal of Environmental Health, 65 (7): 37-65. Philips, J.J. (1996). Measuring the result of training, dalam: The ASTD training and development handbook: A guide to human resources development. Robert L. Craig (ed). New York: McGraw Hill. Rolph, J. (2003). Lessons in learning. People Management, May 1st, 9 (9). Salomon, M.F. & Schork, J.M. (1998). Turn diversity to your advantage. Research Technology Management, 46 (4): 37-44. Schein, E.H. (1993). On dialogue, culture, & organizational learning. Organizational Dynamics, 22 (2), 40-51. Schuler, R.S. (1990). Repositioning the human resource function: Transformation or demise? Academy of Management Executive, 4 (3), 49-60. Thomas, D.A. & Ely, R.J. (1996). Making differences matter: A new paradigm for managing diversity. Harvard Business Review, (September-Oktober), 79-90.

Harsasi, Organisasi Multibudaya dan Pelatihan tentang Keberagaman

Wargahadibrata, R.A.H, & Rahmat, D. (2004). Peran manajemen multikultural untuk Transfer of Training yang optimal di dalam suatu organisasi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran, Jakarta 1-2 Desember 2004. Wibowo. (2006), Manajemen perubahan. PT. Raja Grafindo Persada. Yamashita, K. (2004). Importance of developing multicultural diversity training program in hotel industry in Minneapolis area. A research paper. The Graduate School University of Wisconsin-Stout. Indonesia. (n.d.) Diambil 2 September 2006, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia

Potrebbero piacerti anche