Sei sulla pagina 1di 15

THE ANTIFUNGAL EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF

THE LEAVES OF Andrographis paniculata AGAINST


Candida albicans IN VITRO
Rizka Hannifa1, Ira Safitri2, Maya Savira3

Abstract: Andrographis paniculata has been used as traditional medicine for


several kind of diseases. Aqueous extract of A. paniculata showed antifungal effect
against Candida albicans, Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes,
Trychophyton rubrum, and Epidermophyton floccosum. The aim of this study was to
find out the antifungal effect of ethanol extract of the leaves of A. paniculata against
C. albicans in vitro. The study was an experimental laboratory study with disk
diffusion method used completely randomized design. Ethanol extract of the leaves of
A. paniculata divided into four concentrations, which were 1 gr/ml, 0,5 gr/ml, 0,25
gr/ml, and 0,125 gr/ml. Ethanol 96% used as negative control. The average clear
zone diameters were 14,33 mm by concentration 1 gr/ml, 12,33 mm by concentration
0,5 gr/ml, 9,67 mm by concentration 0,25 gr/ml, 8,33 mm by concentration 0,125
gr/ml and 6 mm by ethanol 96%. The result of analysis in variant statistic test show
the significant difference of all trials (p=0,00) and confirmed with Post-Hoc analysis
p<0,05 which the result was a statistical significant difference in every
concentration. In conclusion, ethanol extract of the leaves of A. paniculata had the
antifungal effect against C. albicans in vitro with the best concentration at 1 gr/ml.

Keyword: Antifungal effect, A. paniculata, C. albicans

Pendahuluan
Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan salah satu tanaman obat
yang banyak digunakan di Indonesia.1 Di dalamnya terkandung beberapa senyawa
aktif, yaitu andrographolide, flavonoid, saponin, tannin, dan alkaloid yang telah
diteliti dan terbukti memiliki berbagai efek farmakologis, di antaranya sebagai
antijamur. Penelitian membuktikan infusa herba sambiloto memiliki efek antijamur

1
2

terhadap Candida albicans, Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes,


Trichophyton rubrum, dan Epidermophyton floccosum,2,3 sementara ekstrak air
sambiloto berefek antijamur terhadap Candida dan Cryptococcus neoformans.4
Penelitian-penelitian ini membuktikan sambiloto berpotensi untuk dikembangkan
sebagai antijamur. Alasan penggunaan penyari etanol karena senyawa aktif sambiloto
andrographolide dan flavonoid serta senyawa metabolit sekunder sambiloto seperti
tannin dan alkaloid lebih mudah ditarik oleh penyari organik, sifat etanol yang
toksisitasnya lebih rendah dibanding penyari organik lain, juga daya tahan yang lebih
lama dibandingkan infusa maupun ekstrak air.5,6

Jamur yang digunakan sebagai bahan uji dalam penelitian ini adalah
C. albicans, yang secara normal hidup pada manusia sehat namun dapat bersifat
sebagai patogen jika keseimbangannya terganggu, misalnya pada pasien yang
mengkonsumsi obat imunosupresif. Pada kondisi tersebut C. albicans dapat
bermultiplikasi secara cepat menyebabkan suatu kondisi yang dinamakan kandidiasis.
Predileksi kandidiasis beragam, mulai dari mukokutan hingga sistemik.7,8 Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kandidiasis mulut-esofagus adalah infeksi
9
oportunistik yang tersering di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (80,8%) , di Klinik
Teratai RS Hasan Sadikin Bandung kandidiasis oral menempati posisi ke-2 terbanyak
(27%)10 dan 43,2% pasien HIV positif pengguna narkoba suntik di India menderita
kandidiasis oral.11 Berdasarkan hal tersebut, ditambah luasnya lingkup predileksi
infeksi kandida menjadi alasan bagi peneliti menggunakan C. albicans sebagai bahan
uji.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin meneliti efek


antijamur ekstrak etanol daun sambiloto (A. paniculata) terhadap C. albicans.

Tujuan penelitian
Untuk mengetahui efek ekstrak etanol daun sambiloto terhadap pertumbuhan
C. albicans.
3

Metode
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik secara in vitro menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan melakukan tiga kali pengulangan. Sebagai
faktor pertama (A) adalah C. albicans dan faktor kedua (B) adalah konsentrasi
ekstrak etanol daun sambiloto (B1 = 1 gr/ml, B2 = 0,5 gr/ml, B3 = 0,25 gr/ml, B4 =
0,125 gr/ml) serta kontrol negatif (B5) yaitu etanol 96%. Kombinasi perlakuan adalah
AB1, AB2, AB3, AB4, dan AB5.

Semua alat yang terbuat dari kaca terlebih dulu dicuci dan dikeringkan serta
dibungkus dengan kertas perkamen. Sterilisasi dilakukan dengan otoklaf pada suhu
121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit, sedangkan jarum ose dan pinset
disterilkan dengan pemijaran dan didinginkan sebelum digunakan.12

Sambiloto yang telah dipanen setelah berumur 2-3 bulan dicuci dengan air
mengalir kemudian dilakukan penyortiran, diambil daun yang utuh dan berwarna
hijau segar, dengan berat 825 gram. Daun dipotong-potong sepanjang 3-5 cm, dan
dilakukan pengeringan dengan cara dikeringkan di oven selama 2 hari hingga menjadi
simplisia (berat 200 gram). Simplisia kemudian diremas sampai hancur. Bubuk
simplisia sambiloto diekstraksi dengan penyari etanol dengan perbandingan 200:4000
(b/v) menggunakan metode maserasi dengan tiga kali perendaman. Perendaman
pertama dengan 2 liter etanol, sedangkan perendaman kedua dan ketiga masing-
masing dengan 1 liter etanol. Penyari diuapkan pada suhu 50o C dengan rotary
evaporator sampai diperoleh ekstrak pasta.13,14,15 Ekstrak pasta diencerkan menjadi
empat konsentrasi. Pertama, konsentrasi 1 gr/ml, diperoleh dengan melarutkan 2 gr
ekstrak pasta dalam 2 ml etanol 96%. Kedua, konsentrasi 0,5 gr/ml diperoleh dengan
mengambil 1 ml ekstrak konsentrasi 1 gr/ml lalu ditambahkan 1 ml etanol 96%.
Ketiga, konsentrasi 0,25 gr/ml diperoleh dengan mengambil 1 ml konsentrasi 0,5
gr/ml lalu ditambahkan 1 ml etanol 96%. Terakhir, konsentrasi 0,125 gr/ml diperoleh
dengan mengambil 1 ml ekstrak konsentrasi 0,25 gr/ml lalu ditambahkan 1 ml etanol
96%. Hasil pengenceran masing-masing diteteskan pada cakram kosong dengan
menggunakan spuit steril.
4

Cakram yang digunakan adalah cakram yang siap pakai, diameter 6 mm,
diproduksi oleh Mecherey-Nagel, Jerman. Cakram diletakkan dalam cawan petri dan
disterilkan dengan otoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit.16

Bahan uji berupa ekstrak etanol daun sambiloto diinokulasikan pada agar
darah dan agar Sabouraud, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Bahan uji
dinyatakan steril jika tidak terdapat pertumbuhan bakteri pada agar darah dan tidak
terdapat koloni jamur pada agar Sabouraud.12

Tes germ tube dilakukan untuk memastikan bahwa jamur yang disubkultur
adalah benar C. albicans. Buat suspensi ringan dengan cara melarutkan isolat jamur
(ambil sejumlah kecil dari subkultur menggunakan ose) ke dalam tabung reaksi yang
telah berisi 0,5 ml serum manusia steril. Inkubasikan dalam air bersuhu 35 oC atau
dalam inkubator selama 2-2,5 jam, dan setelahnya dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk melihat produksi germ tube dengan menggunakan mikroskop
cahaya perbesaran 100x.17 Suspensi jamur dibuat dari hasil subkultur sehingga
terbentuk koloni jamur. Koloni jamur tersebut diambil dengan jarum ose berdiameter
5 mm dan dimasukkan ke dalam 1 ml larutan NaCl 0,9% sampai kekeruhannya sama
dengan larutan McFarland 0,5 hingga konsentrasi 1 x 108 cfu/ml. Larutan McFarland
adalah kombinasi larutan BaCl 1% dan H2SO4 1%.12

Celupkan lidi kapas steril pada suspensi jamur, oleskan pada permukaan agar
Sabouraud hingga merata, kemudian dibiarkan 3-5 menit dalam suhu kamar. Setelah
itu cakram yang sudah diteteskan ekstrak etanol daun sambiloto dengan konsentrasi 1
gr/ml, 0,5 gr/ml, 0,25 gr/ml, dan 0,125 gr/ml serta cakram berisi etanol 96% sebagai
kontrol negatif diletakkan secara aseptis pada medium Sabouraud lalu diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC.12,17 Efek antijamur ekstrak etanol daun sambiloto
terhadap C.albicans dikatakan positif apabila terdapat hambatan pertumbuhan jamur
berupa daerah bening (clear zone) di sekitar cakram. Kemudian dilakukan
pengukuran terhadap diameter clear zone dengan menggunakan penggaris.
5

Hasil

Ekstrak etanol daun sambiloto pada penelitian ini dibuat dari daun sambiloto
segar dengan berat basah 825 gr, kemudian dikeringkan hingga menjadi simplisia
dengan berat 200 gr. Setelah melalui proses maserasi dan diuapkan di rotary
evaporator, diperoleh ekstrak pasta sebanyak 29,5 gr (15% dari berat kering).

Untuk menetapkan dosis konsentrasi yang tepat hingga berefek (terbentuk


clear zone), peneliti terlebih dahulu melakukan beberapa uji pendahuluan. Percobaan
pertama dengan melarutkan 0,01 gr ekstrak dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, hasil
sama sekali tidak berefek. Percobaan kedua dengan melarutkan 0,1 gr ekstrak dalam
1 ml etanol 96%, hasilnya terbentuk clear zone ± 7 mm (termasuk diameter cakram).
Percobaan ketiga dengan melarutkan 1 gr ekstrak dalam 1 ml etanol 96%, lalu
diencerkan hingga diperoleh empat konsentrasi. Ternyata clear zone yang terbentuk
memiliki perbedaan yang signifikan dari masing-masing konsentrasi. Peneliti
memutuskan menggunakan ekstrak 1 gr/ml sebagai konsentrasi awal karena efek
antijamur masih terlihat hingga konsentrasi ekstrak 0,1 gr/ml.

Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas


Kedokteran Universitas Riau pada bulan Januari 2011 tentang daya antijamur ekstrak
etanol daun sambiloto terhadap C. albicans secara in vitro memberikan data sebagai
berikut:
6

Tabel 1 Diameter daerah hambat berbagai perlakuan ekstrak etanol daun sambiloto
pada kultur C. albicans

Ulangan Perlakuan
1 0,5 0,25 0,125 Etanol
gr/ml gr/ml gr/ml gr/ml 96%
I 14 12 9 8 6*
II 14 12 10 8 6*
III 15 13 10 9 6*
Total 43 37 29 25 18
Rata-rata 14,33 12,33 9,67 8,33 6

* 6 mm adalah diameter cakram

Gambar 1. Diameter daerah bening berbagai perlakuan terhadap C. albicans

Berdasarkan Tabel 1 dapat terlihat bahwa konsentrasi ekstrak etanol daun


sambiloto 1 gr/ml menunjukkan diameter daerah hambat jamur terbesar dengan
diameter rata-rata 14,33 mm, diikuti konsentrasi ekstrak etanol daun sambiloto 0,5
gr/ml dengan diameter rata-rata 12,33 mm, konsentrasi 0,25 gr/ml yaitu 9,67 mm,
7

konsentrasi 0,125 gr/ml yaitu 8,33 mm, sedangkan etanol 96% sebagai kontrol negatif
tidak membentuk daerah hambat jamur (diameter tetap 6 mm sesuai diameter
cakram). Diameter daerah bening yang dibentuk oleh ekstrak etanol daun sambiloto
pada penelitian ini menunjukkan kenaikan sesuai dengan kenaikan konsentrasi.

Analisis Data Hasil Penelitian

Berdasarkan uji statistik Anava, terdapat perbedaan yang bermakna antar


berbagai perlakuan. Kemudian dilanjutkan dengan uji Post-Hoc untuk mengetahui
perlakuan yang memiliki perbedaan yang signifikan atau bermakna secara statistik,
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan efek antijamur berbagai perlakuan terhadap C. albicans


dengan uji Post-hoc (p<0,05).
Perlakuan Signifikansi
Ekstrak 0,125 gr/ml vs ekstrak 0,25 gr/ml (p<0,05)*
Ekstrak 0,125 gr/ml vs ekstrak 0,5 gr/ml (p<0,05)*
Ekstrak 0,125 gr/ml vs ekstrak 1 gr/ml (p<0,05)*
Ekstrak 0,125 gr/ml vs etanol 96% (p<0,05)*
Ekstrak 0,25 gr/ml vs ekstrak 0,5 gr/ml (p<0,05)*
Ekstrak 0,25 gr/ml vs ekstrak 1 gr/ml (p<0,05)*
Ekstrak 0,25 gr/ml vs etanol 96% (p<0,05)*
Ekstrak 0,5 gr/ml vs ekstrak 1 gr/ml (p<0,05)*
Ekstrak 0,5 gr/ml vs etanol 96% (p<0,05)*
Ekstrak 1 gr/ml vs etanol 96% (p<0,05)*
Keterangan:

(signifikan)*: terdapat perbedaan bermakna secara statistik


8

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan bermakna pada


semua perlakuan, yaitu ekstrak etanol daun sambiloto 0,125 gr/ml, ekstrak etanol
daun sambiloto 0,25 gr/ml, ekstrak etanol daun sambiloto 0,5 gr/ml, dan ekstrak
etanol daun sambiloto 1 gr/ml. Hal yang sama juga berlaku pada etanol 96% sebagai
kontrol negatif, hasilnya bermakna terhadap semua perlakuan.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, ekstrak etanol daun


sambiloto mempunyai efek antijamur terhadap C. albicans yang ditandai dengan
terbentuknya daerah bening di sekitar cakram yang telah ditetesi ekstrak etanol daun
sambiloto.

Senyawa aktif utama yang terkandung dalam sambiloto berupa


andrographolide, dan flavonoid serta senyawa aktif lainnya berupa tannin, saponin
dan alkaloid.18 Interaksi dari senyawa-senyawa ini diduga menimbulkan efek
antijamur, walaupun mekanismenya masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Di
antara senyawa aktif tersebut, andrographolide memiliki persentasi kadar paling
tinggi pada daun sambiloto.18,19 Bersama dengan protein arabinogalaktan
(glikoprotein yang terdapat di permukaan sel tumbuhan, berperan dalam proses
pertumbuhan), andrographolide diduga mempengaruhi kondisi rigiditas dinding sel
C. albicans yang secara dominan (80%) terdiri dari kitin, beta-glukan, dan
mannoprotein.20 Saponin berkontribusi sebagai antijamur dengan mekanisme
menurunkan tegangan permukaan membran sterol dari dinding sel C. albicans,
sehingga permeabilitasnya meningkat.21 Flavonoid dan tannin merupakan senyawa
turunan phenol yang bersifat lipofilik sehingga mudah terikat pada dinding sel dan
mengakibatkan kerusakan dinding sel.22 Selain itu, tannin dapat menghambat sintesis
kitin yang merupakan komponen penting dinding sel jamur.23 Hal ini berbeda dengan
alkaloid yang menghambat pertumbuhan mikroba dengan menganggu sintesis
DNA.24
9

Perbedaan diameter daerah bening yang dibentuk oleh berbagai konsentrasi


ekstrak etanol daun sambiloto pada penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan
konsentrasi mempengaruhi efektivitas suatu obat.25 Menurut teori pendudukan
reseptor, intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki
dan intensitas efek akan maksimal apabila seluruh reseptor telah diduduki oleh
obat.26,27,28 Diameter daerah bening yang dibentuk ekstrak etanol daun sambiloto
konsentrasi 1 gr/ml paling luas dibandingkan konsentrasi lainnya. Diduga kandungan
senyawa aktifnya lebih banyak dibandingkan ekstrak dengan konsentrasi lebih kecil.
Selain itu, diameter daerah hambat menunjukkan kenaikan sesuai dengan kenaikan
konsentrasi. Hal ini terjadi karena bioaktivitas fitofarmaka sangat dipengaruhi oleh
interaksi berbagai senyawa yang ada di dalamnya.29

Pada berbagai konsentrasi yang diujikan di penelitian ini dibuktikan bahwa


rata-rata diameter daerah bening terbesar (14,33 mm) didapatkan pada konsentrasi
terbesar yaitu 1 gr/ml, sedangkan rata-rata diameter daerah bening terkecil (8,33 mm)
didapatkan pada konsentrasi terkecil yaitu 0,125 gr/ml. Berdasarkan uji kepekaan
yang dimuat dalam CLSI (Clinical Laboratory Standards Institute), diameter standar
suatu agen antijamur dikatakan resisten terhadap C. albicans adalah ≤ 14 mm
(interpretasi kepekaan berdasarkan perbandingan dengan flukonazol)29 sementara dari
penelitian diperoleh diameter terbesar yaitu 14,33 mm. Hal ini menunjukkan
sambiloto berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen antijamur, dengan
melakukan penelitian-penelitian lanjutan.

Daya hambat ekstrak etanol daun sambiloto terhadap C. albicans sangat


dipengaruhi oleh mutu ekstrak. Mutu ekstrak dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi spesies tanaman, lokasi
tanaman asal, waktu pemanenan, penyimpanan bahan baku, umur serta bagian
tanaman yang digunakan. Lokasi tanaman dipengaruhi oleh lingkungan seperti tanah,
atmosfir, cuaca, temperatur, cahaya, air, senyawa organik dan anorganik.30 Spesies
tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah A. paniculata yang tumbuh di
Batusangkar dan telah diidentifikasi berdasarkan struktur morfologi. Waktu panen
10

dilakukan saat tanaman akan berbunga (umur sambiloto 2-3 bulan) karena pada saat
inilah kandungan bahan aktif sambiloto mencapai jumlah optimal.31 Bagian tanaman
yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun karena daun sambiloto mengandung
andrographolide tertinggi dibandingkan bagian tumbuhan lain.19,32 Faktor kedua
adalah faktor kimia antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
meliputi jenis, komposisi kualitatif, komposisi kuantitatif, dan kadar rata-rata
senyawa aktif yang terkandung dalam daun sambiloto. Ketiga hal ini akan
mempengaruhi mutu ekstrak sambiloto yang digunakan sebagai antijamur terhadap C.
albicans. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi meliputi metode ekstraksi,
kekeringan dan ukuran bahan, penyari yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan
logam berat dan pestisida. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cara dingin dengan maserasi mengingat ketersediaan alat dan kestabilan
kandungan senyawa aktif.30

Penelitian Singh menggunakan air sebagai penyari sambiloto membuktikan


efek antijamur terhadap C. albicans, namun tidak ada penjelasan mengenai
konsentrasi ekstrak air yang berefek sebagai antijamur.4 Sementara penelitian Rahayu
membuktikan air rebusan sambiloto memiliki efek antijamur, tetapi tidak sebaik
ketokonazol 2% yang digunakan sebagai kontrol positif. Dari 60 sampel, hanya 24
(40%) yang negatif C. albicans.33 Hal ini menunjukkan setiap senyawa aktif memiliki
tingkat kelarutan yang berbeda-beda tergantung penyari yang digunakan. Senyawa-
senyawa aktif sambiloto seperti yang disebutkan di atas lebih larut pada penyari
etanol.14,34

Pada penelitian menggunakan etanol sebagai penyari, diperoleh efek


antijamur pada berbagai interval konsentrasi, bahkan pada konsentrasi terkecil
sekalipun (0,125 gr/ml). Pemilihan etanol sebagai penyari karena andrographolide
lebih mudah ditarik oleh penyari organik, sifat etanol yang toksisitasnya lebih rendah
dibanding penyari organik lain, juga daya tahan yang lebih lama daripada infusa
maupun ekstrak air.5,6 Selain itu, etanol diduga berpengaruh terhadap aktivitas
antijamur ekstrak sambiloto, karena dapat menyari lebih banyak metabolit sekunder
11

sambiloto seperti polyphenol, alkaloid, tannin, dan terpenoid yang diketahui memiliki
aktivitas antimikroba yang baik.4,35

Penelitian ini membuktikan sambiloto memiliki efek antijamur terhadap C.


albicans pada berbagai konsentrasi yang diujikan, termasuk pada konsentrasi
terendah yaitu 0,125 gr/ml. Hal ini menunjukkan sambiloto berpotensi untuk
dikembangkan sebagai antijamur, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan secara in
vivo.

Kesimpulan

1. Ekstrak etanol daun sambiloto terbukti memiliki efek antijamur terhadap


C. albicans pada berbagai konsentrasi dengan perbedaan yang bermakna.
2. Konsentrasi yang mempunyai efek antijamur terbaik terhadap C. albicans
adalah konsentrasi 1 gr/ml dengan diameter daerah bening rata-rata
14,33 mm.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian in vitro selanjutnya dengan teknik Macro Broth


Dilution untuk mencari MIC (Minimum Inhibitor Concentration) dari ekstrak
etanol daun sambiloto terhadap C. albicans.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang daya antijamur ekstrak etanol
daun sambiloto secara in vivo.
3. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan berbagai jamur sehingga
didapatkan gambaran spektrum kerja antijamur ekstrak etanol daun sambiloto.
12

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ira Safitri, M.Kes selaku dosen
pembimbing I dan dr. Maya Savira, M.Kes selaku dosen pembimbing II yang
bersedia memberikan masukan, nasihat, bimbingan, serta meluangkan waktu dan
pikirannya demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu tugas akhir ini.

Daftar rujukan

1. Yulinah E, Sukrasno, Fitri MA. Aktivitas antidiabetika ekstrak etanol sambiloto


(Andrographis paniculata, Nees (Acanthaceae)). 2001. Bandung : Jurusan
Farmasi FMIPA ITB. 2001 [diakses 20 Desember 2009].

2. Tanaman obat Indonesia : Sambiloto. [diakses 21 Oktober 2009]. Diakses dari :


http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2&id=152

3. Balai Informasi Teknologi LIPI. Pengobatan alternatif dengan tanaman obat.


2009

4. Singh Sunity, Joshi Himanshu. Screening of some Indian medicinal plants for
antifungal activity. Journal of Pharmacy Research; 2010; 3(2): 379-381.

5. Kumoro AC, Hasan Masitah. Modeling of andrographolide extraction from


Andrographis paniculata leaves in a soxhlet extractor. Proceedings of the 1st
International Conference on Natural Resources Engineering and Technology;
2006 July 24-25; Putrajaya, Malaysia. Malaysia: Department of Chemical
Engineering, Faculty of Engineering, University of Malaya; 2006.

6. Bobbarala V, Rao PK, Rao GS, Aryamithra D. Bioactivity of Andrographis


paniculata against selected phytopathogens. Journal of Pharmacy Research 2009
Mar 3;2(3):480-2.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.


Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2006: 1347

8. K.M. Lemar, M.P. Turner and D. Lloyd. Garlic (Allium sativum) as an anti-
Candida agent : a comparison of the efficacy of fresh garlic and freeze-dried
extracts. Journal of Applied Microbiology; 2002; 398-405.
13

9. Samsuridjal Djauzi, Zubairi Djoerban. Penatalaksanaan infeksi HIV di pelayanan


kesehatan dasar. Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2003.

10. Sudjana Primal. Infeksi jamur pada penderita infeksi HIV. 1st Annual Bandung
Infectious Disease Symposium; 2008 November 21-22.

11. Solomon SS, Hawcroft CS, Narasimhan P, Subbaraman R, Srikhrishnan AK,


Cecelia AJ, et al. Comorbidities among HIV-infected injection drug users in
Chennai, India. Indian J Med Res 2008; 127: 447-452.

12. Cappucino JG, Sherman N. Microbiology: A laboratory manual. San Fransisco:


Benjamin Cummings; 2002.

13. Sembiring B. Status teknologi pasca panen sambiloto. Jakarta: Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik; 2007

14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Cara pembuatan simplisia. Jakarta:


Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan; 1985

15. De RK. Diagnostic microbiology. 1 st ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2007

16. Dignani MC, Solomkin JS, Anaisseie EJ, et al. Clinical mycology. New York:
Elsevier Science; 2003: 195-225

17. Kwon-Chung KJ, Bennett JE. Medical mycology. Philadelphia: Lea & Febiger;
1992: 61

18. Fabricant S, and NR Fransworth. Value of plant used in traditional medicine for
drug discovery. Enviromental Health Perspective 1999; 109: 69-75.

19. Tipakorn N. Doctoral dissertation in effect of Andrographis paniculata (Burm.


f.) Nees on performance, mortality and coccidiosis in broiler chickens. Georg-
August- University. German, 2002: 1-114.

20. Carrillo-Muñoz AJ, Giusiano G, Ezkurra PA, Quindos G. Antifungal agents:


Mode of action in yeast cells. Rev Esp Quimioterap; 2006; 19: 130-9.
14

21. Lüning HU, Waiyaki BG, Schlösser E. May 2008. Role of saponins in antifungal
resistance. Journal of Phytopathology 2008; 92: 338-345.

22. Watson RR, Preedy VR. Botanical medicine in clinical practice. Cambridge:
Cromwell Press; 2007: 146.

23. Gunawan D, Mulyani S. Ilmu obat alam (farmakognosi). Jilid1. Jakarta: Penebar
Swadaya; 2004: 88-9

24. Cowan MM. Plant product as antimicrobial agent. Clinical Microbiology Review
1999;12: 564-582.

25. Ganiswarna, Sulistia G.et al. Farmakologi dan terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian
Farmakologi FKUI; 1995: 562,565-573.

26. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi


dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru; 2007

27. Bourne HR, Von Zastrow M. Farmakologi dasar dan klinik, Buku 1. Jakarta:
Salemba Medika, 2001

28. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC; 1998

29. Clinical and Laboratory Standards Institute. Method for antifungal disk diffusion
susceptibility testing yeasts; approved guideline. Vol. 24 No. 15.

30. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter standar umum ekstrak


tumbuhan obat. Jakarta, 2000.

31. Mishra SK, Sangwan NS, Sangwan RS. Andrographis paniculata (kalmegh): a
review. Pharmacognosy Reviews; 2007; 1: 283-97.

32. LIPI-Pusat Penelitian Kimia. Selected Indonesian medicinal plant. 2007.

33. Rahayu SM. Uji banding efektivitas air rebusan daun sambiloto (Andrographis
paniculata) 100% dengan ketokonazol 2% secara in vitro terhadap pertumbuhan
Candida albicans pada kandidiasis vaginalis [skripsi]. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2006
15

34. Wiryowidagdo S. Kimia dan farmakologi bahan alam. Jilid 1. Jakarta: EGC;
2008: 21

35. Parekh Jigna, Chanda Sumitra. In vitro antifungal activity of methanol extracts of
some Indian medicinal plants against pathogenic yeast and moulds. African
Journal of Biotechnology; 2008; 7: 4349-4353.

Potrebbero piacerti anche