Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Abstrak
Standardized method in physical and physiological seed quality testing is very important to
support a controlling system toward quality of commercialized seeds distribution through
seed certification scheme that will provide a guarantee to producer, distributor and seed
user. This research is aimed at developing the methods for moisture content determination
and germination testing of forest tree seeds of 10 species i.e. Agathis loranthifolia, Albizia
procera, Alstonia scholaris, Calliandra callothyrsus, Dalbergia latifolia, Maesopsis emenii,
Manilkara kauki, Schleicera oleosa, Styrax benzoin, and Toona sureni. The treatments in
selection of the appropriate method for moisture content determination using oven method
on the temperature 130 - 133°C (1-, 2-, 3-, and 4 hours) and temperature 103 ± 2°C (16-, 18-,
20-, 22-, and 24 hours). The selection of germination testing method included 3 factors of
treatments, i.e. sowing media or paper methods, pretreatments, and germination conditions.
The result showed that the selected method for moisture content testing of A. loranthifolia, A.
procera, A. scholaris, C. callothyrsus, D. latifolia, M. emenii and T. sureni seeds is the oven
method on the temperature 103 ± 2°C for 24 hours. For S. benzoin, M. kauki and S. oleosa
seeds, moisture contens testing can be carried out by oven method on the temperature 130 -
133°C. The germination method for A. procera, A. scholaris, C. callothyrsus, D. latifolia, and
T. sureni is conducted in germinator by top of paper and for A. loranthifolia by between
papers. For the other seeds, germination is done in green house used sand media for S.
benzoin and M. kauki and mixture sand and soil (1:1 v/v) for M. emenii and S. oleosa. The
effective treatment for breaking the dormansi is soakingthe seeds in H2SO4 (A. procera),
drying-soaking for 3 days (S. benzoin and M. kauki), soaking in water for 24 hours (D. latifolia
and S. oleosa), soaking in hot water (C. callothyrsus) and soaking in KNO3 (M. emenii).
Germination condition in the germinator is temperature 24-30°C, RH 90-95%, and light for 8
hours per day, while in green house for germination of M. emenii, S. oleosa, S. benzoin and
M. kauki, the germination box is covered by transparent plastic to increase temperature and
RH for 2 – 3 weeks. The methods are considered to be applied in the testing of moisture
content and germination of the seeds.
1
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan - Bogor
I. PENDAHULUAN
Luas lahan kritis di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 59 juta ha. Upaya
reboisasi hingga tahun 2008 diperkirakan baru mencapai 10% atau 3 – 5 juta ha
(Harun, 2008). Berbagai program penanaman harus terus dilakukan untuk
mengembalikan fungsi lahan tersebut dan sebagai upaya mitigasi untuk mengurangi
bencana yang diakibatkan oleh keberadaan lahan kritis. Upaya tersebut jelas
memerlukan dukungan ketersediaan benih bermutu dalam jumlah yang memadai
dan tepat waktu.
Kepastian mutu suatu kelompok benih yang diedarkan dan digunakan untuk
penanaman sangat diperlukan untuk menjamin baik pengguna, pengedar, maupun
pengada. Aspek legal dari mutu benih ini memerlukan perangkat berupa metode
pengujian yang standar. Metode ini diharapkan mampu memberikan hasil yang
seragam apabila pengujian terhadap suatu kelompok benih dilakukan oleh institusi
yang berbeda.
Standar metode pengujian mutu benih yang ada selama ini mengacu pada
ketentuan ISTA (2006). Namun untuk jenis-jenis tanaman hutan hanya sedikit yang
telah masuk dalam ketentuan tersebut dan sebagian besar didominasi oleh jenis-
jenis temperate. Sampai tahun 2008, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP)
Bogor telah meneliti metode pengujian mutu fisik dan fisiologis benih beberapa jenis
tanaman hutan dan 7 jenis di antaranya telah masuk dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI), yaitu Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, Pinus merkusii,
Eucalyptus urophylla, E. deglupta, Swietenia macrophylla, dan Gmelina arborea.
Mutu fisik dan fisiologis minimal yang disyaratkan dalam suatu standar mutu benih
adalah kadar air, kemurnian, berat 1000 butir (mutu fisik) dan daya berkecambah
(mutu fisiologis). Dalam penelitian ini, penentuan metode uji hanya dilakukan pada
pengujian kadar air dan perkecambahan. Untuk analisa kemurnian dan berat 1000
butir mengadopsi langsung prosedur ISTA (2006) karena metode tersebut lebih
umum dan dapat diterapkan pada berbagai jenis benih.
Tulisan ini membahas pemilihan metode pengujian mutu fisik dan fisiologis
(kadar air dan perkecambahan) benih beberapa jenis, yaitu Agathis loranthifolia
(dammar), Albizia procera (kihiyang), Alstonia scholaris (pulai), Calliandra
callothyrsus (kaliandra), Dalbergia latifolia (sonobritz), Maesopsis emenii (kayu
afrika), Manilkara kauki (sawo kecik), Schleicera oleosa (kesambi), Styrax benzoin
(kemenyan) dan Toona sureni (suren). Untuk meningkatkan keakuratan metode
terpilih digunakan beberapa kelompok benih yang mewakili sebaran tumbuhnya
karena ada kemungkinan terjadinya variasi respon terhadap metode uji akibat
perbedaan karakteristik kelompok benih (dormansi, daya simpan) yang berasal dari
tempat tumbuh berbeda (Kusumawardhani, 1997; Tompsett, 1991). Metode uji yang
dihasilkan ini diharapkan dapat dijadikan bahan bagi penyusunan pedoman
pengujian mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan atau SNI uji mutu benih di
Indonesia yang dapat diterapkan di daerah-daerah sesuai dengan sebaran tumbuh
jenis-jenis tersebut. Metode pengujian yang tepat memungkinkan dapat memprediksi
mutu benih dengan lebih baik sehingga keberhasilan pembangunan hutan dapat
lebih terencana dan terlaksana dengan baik.
II. METODOLOGI
GV =
Tabel 2 Metode Penentuan Kadar Air Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan
Perlakuan Benih
Jenis Metode Uji
Sebelum Dikeringkan
A. loranthifolia - Metode oven 103±2°C, selama 24
jam
A. procera - Metode oven 103±2°C, selama 24
jam
A. scholaris - Metode oven 103±2°C, selama 24
jam
C. calothyrsus - Metode oven 103±2°C, selama 24
jam
D. latifolia - Metode oven 103±2°C, selama 24
jam
M. kauki Digiling, pengeringan Metode oven 130 - 133°C, selama 4
awal jam
M. eminii Digiling atau dipotong- Metode oven 103±2°C, selama 24
potong menjadi 4 bagian jam
S. oleosa Digiling, pengeringan Metode oven 130 - 133°C, selama 2
awal jam
S. benzoin Digiling, pengeringan Metode oven 130 - 133°C, selama 4
awal jam
T. sureni - Metode oven 103±2°C, selama 24
jam
Styrax 29-34 60-75 - Pasir Rumah Jemur/keringkan 20 hari 30 hari Munculnya daun
benzoin kaca, bak selama 8 jam, pertama
kecambah rendam 16 jam,
ditutup diulang 3 kali (3
plastik hari)
transpara
n
Toona sureni 24-30 90-95 Lampu Kertas UDK, UAK - 4 hari 14 hari Panjang hipokotil
TL 8 merang telah mencapai 3 kali
jam/hari panjang benih
Keterangan: UDK=Uji di Atas Kertas; UAK=Uji Antar Kertas; UKDdp = Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik
Untuk benih berukuran kecil (A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris,
C. calothyrsus, D. Latifolia dan T. sureni), pengujian dilakukan pada
germinator dengan menggunakan substrat kertas merang pada cawan petri.
Untuk benih-benih yang relatif besar (M. emenii, M. kauki, S. Oleosa dan S.
benzoin) yang tidak mungkin menggunakan substrat kertas merang dan
cawan petri, pengujian dilakukan di runah kaca dengan media pasir,
campuran pasir, atau media campuran pasir dengan organik lainnya pada bak
kecambah.
Pada Tabel 3, substrat atau media yang digunakan untuk
perkecambahan benih bervariasi tergantung dari karakterisktik benihnya.
Pada benih-benih kecik, perkecambahan dilakukan pada germinator dengan
metode UDK, UAK dan UKDdp. Dari 6 jenis yang diuji dalam germinator,
hampir semuanya dapat diuji dengan UDK, kecuali benih A. loranthifolia yang
lebih optimal diuji dengan UAK atau UKDdp. Untuk media tabur benih M.
emenii dan S. oleosa, media campuran pasir dan tanah (1:1 v/v) memberikan
perkecambahan terbaik, sedangkan untuk benih M. kauki dan S. benzoin,
media pasir menghasilkan perkecambahan yang paling optimal.
Media pasir dan campurannya dalam prakteknya lebih mudah
disterilkan sehingga mampu menekan serangan jamur ketika proses
perkecambahan berlangsung. Penggunaan media pasir banyak disarankan
dalam pengujian benih yang dikeluarkan ISTA (1999). Menurut Hamzah
(1984), media pasir relatif lebih cepat menyerap panas dan menguapkan air
sehingga mampu menjaga kondisi media pada suhu yang relatif tinggi yang
kemungkinan dibutuhkan untuk mempercepat perkecambahan benih yang
berkulit keras seperti keempat jenis di atas.
Faktor lainnya pada Tabel 3 adalah perlakuan pendahuluan untuk
meningkatkan kecepatan dan keserempakan perkecambahan pada benih-
benih yang mengalami dormansi. Sebagian benih yang diuji, yaitu A.
loranthifolia, A. scholaris, dan T. surenii tidak memerlukan perlakuan
pendahuluan, sedangkan benih lainnya yang mempunyai kulit yang lebih
keras dan mengalami dormansi memerlukan perlakuan pendahuluan. Dari
hasil penelitian, setiap jenis mempunyai perlakuan yang berbeda untuk
meningkatkan keberhasilan perkecambahannya. Untuk benih A. procera,
perendaman dalan larutan H2SO4 cukup efektif memecahkan dormansi kulit
benih jenis tersebut. H2SO4 efektif digunakan untuk jenis-jenis legum yang
berkulit keras. Menurut Levitt (1974), pencelupan benih dalam larutan H2SO4
akan mengakibatkan rusaknya kulit benih. Kerusakan kulit benih ini diikuti
dengan membukanya lumen sel macrosclereid yang menyalurkan air ke
dalam jaringan benih (Nikoleave, 1977) yang akan merangsang
perkecambahan benih lebih cepat.
Untuk benih D. latifolia dan S. oleosa, perlakuan pendahuluannya
dapat dilakukan dengan rendaman dalam air dingin selama 24 jam,
sedangkan untuk benih C. callothyrsus harus direndam dalam air panas dan
dibiarkan dinggi selama 24 jam. Untuk benih Maesopsis emenii, perendaham
dalan KNO3 0,2% selama 30 menit menghasilkan perkecambahan yang
cukup baik. Perlakuan lainnya adalah jemur-rendam selama 3 hari yang
efektif meningkatkan perkecambahan benih S. benzoin dan M. kauki. Pada
benih jenis lainnya seperti jati (T. grandis), perlakuan jemur-rendam selama 6
hari juga mampu meningkatkan perkecambahan benih dan digunakan
sebagai standar dalam pengujian benih jati di India (Subramanian et al.,
1999).
Kondisi lingkungan alat pengecambahan yang dipertimbangkan dalam
penentuan metode uji adalah suhu, kelembaban, dan lama pencahayaan.
Untuk benih A. loranthifolia, A. procera, A. scholaris, C. calothyrsus, D.
latifolia, dan T. sureni pengujian pada germinator dengan suhu 24 - 30°C,
kelembaban 90 - 95%, dan lama pencahayaan 8 jam (intensitas cahaya 200
lux) memberikan hasil terbaik bagi perkecambahan benih-benih tersebut.
Kondisi tersebut secara umum telah sesuai dengan persyaratan optimal
proses perkecambahan (Scholer and Stubsgaard, 1989; Willan, 1985; Sutopo,
2004).
Untuk benih M. emenii, M. kauki, S. oleosa, dan S. benzoin, kondisi
awal (2 - 3 minggu setelah tabur) bak kecambah ditutup plastik transparan
untuk meningkatkan suhu dan kelembaban lingkungan perkecambahan.
Penutupan bak kecambah tersebut mampu menciptakan kisaran suhu 29 -
40°C dengan kelembaban 82 - 98% dari rata-rata kisaran suhu dan
kelembaban di rumah kaca 29 - 34°C dan 60 - 75%. Setelah kulit benih pecah
dan mulai tumbuh tunas (2 - 3 minggu), plastik tutup bak kecambah dibuka
untuk memberikan kondisi pertumbuhan yang lebih baik.
Penghitungan kecambah normal didasarkan pada kriteria kecambah
normal yang berkorelasi dengan daya hidup dan pertumbuhannya di
persemaian. Pada pengujian di rumah kaca, kecambah normal ditandai
dengan munculnya daun pertama untuk benih M. emenii dan S. benzoin serta
munculnya sepasang daun pertama untuk benih S. oleosa dan M. kauki.
Untuk pengujian di germinator, panjang hipokotil mempunyai korelasi yang
tinggi dengan penampilan semai selanjutnya. Pada pengujian ini panjang
hipokotil 3 - 4 panjang benih umumnya mampu tumbuh baik setelah
dipindahkan ke persemaian.
Penentuan hitungan awal dan hitungan akhir dilakukan pada metode
uji terbaik. Hitungan awal perkecambahan diperoleh dari nilai puncak
kecepatan berkecambah yang menggambarkan tahap awal dari
perkecambahan (Sadjad, 1980; Djavanshir dan Pourbeik, 1976). Untuk
penentuan batas akhir perkecambahan dilakukan dengan menggunakan nilai
perkecambahan dari Djavanshir dan Pourbeik (1976) dimana akhir pengujian
perkecambahan terjadi pada saat nilai perkecambahan mencapai nilai
maksimum. Nilai perkecambahan maksimum tersebut terjadi pada saat
perkecambahan kumulatif mencapai titik puncaknya. Cara ini merupakan
bentuk penyederhanaan proses yang sebenarnya terjadi, menurut Kamil
(1979) secara morfologis sulit ditentukan kapan perkecambahan benih dan
pertumbuhannya dimulai, keluarnya radikel dan plumula hanya sebagian hasil
proses pertumbuhan yang telah terjadi sebelumnya.
IV. KESIMPULAN