Sei sulla pagina 1di 18

1

The Psychological Well-Being of Female Collage Students Who Get Are Married
without Dating Process

Siska Dwi Utami

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

ABSTRAK

A woman generally puts off marry when they are still in their education stage. But we
can still find a woman who choose to get married on that stage. A date was usually used as
a process that lead the relationship for the further stage, marriage. But there are some
women who don’t take a date as a process to get to know with their spouse. In islam, this
kind of process is called as ta’aruf. The meaning of this research is to describe the
psychological well-being in young women in college who get married without dating and get
the information about the factors that

This research use qualitative method, because of the problem it self has no
absolute , to understand the social interaction, to develop the theory, to find the absolute
data, and to find the history of the development it self, and also due to the minimum quantitiy
of the subject. The way of interview it self is by the opened question based interview, by this
way the researcher can get the more accurate data. For this research, researcher has 3
subjects to interview, and the interview it self had been done in depok.

From the interview that has been done, it has a result that all the respondent has no
changing way in the more worse to their psychological well-being in the women college
student who married without the dating process. tidak ada perubahan setelah menikah
karena sebelumnya sudah dibicarakan

Based on the summary, generally the women college student who married without
the dating process have a good psychological well-being. The researcher thought that the
research will found that the subject will not have a good psychological well-being due to a
possibility of the role conflict on their selves and the lost of the dating process in their
marriage process. In the next explanation researcher will describe the possibility of
explanation of the phenomena.

Keywords: psychological well-being, female collage student, married without dating process

Kehidupan perkawinan merupakan salah satu tahap dalam rentang kehidupan


individu yang menyatukan seorang pria dan wanita dalam suatu ikatan yang suci (Papalia,
2001). Dalam UU RI No. 1 Thn 1974 disebut bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan
2

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Adapun Duval & Miller (1985) mengatakan bahwa perkawinan merupakan sebuah
hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial yang didalamnya mencakup
hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian peran antara pasangan suami dan
istri.

Erikson mengatakan bahwa tujuan dari tahap perkembangan dewasa muda adalah
mengembangkan intimacy, yaitu kapasitas individu untuk mencurahkan dirinya dalam
hubungan yang hangat dan berarti dengan orang lain. Hal tersebut dapat berupa
persahabatan, percintaan, atau pernikahan.

Data statistik juga menunjukkan bahwa waktu untuk menikah di tahun 90-an berubah
dibandingkan era sebelumnya. Tahun 1980, seseorang menikah pada usia rata-rata 26,1
tahun pada pria dan 22 tahun pada wanita. Pada tahun 1991, rata-rata usia pengantin pria
adalah 25,9 tahun dan pengantin wanita 23,6 tahun (Turner&Helms, 1995). Penundaan
tersebut sangat mungkin dimaksud agar mereka dapat memfokuskan diri terlebih dahulu
dalam melakukan aktivitas yang mereka pilih seperti kuliah, kerja, berkarir, dan lain-lain.
Dengan pemaparan di atas, merupakan suatu hal yang wajar apabila banyak perempuan
yang menunda keputusan mereka untuk menikah ketika masa kuliah atau pada saat status
mereka sebagai mahasiswi.

Di tengah terjadi pergeseran ini, masih dijumpai perempuan yang memutuskan untuk
menikah pada saat masih duduk di bangku perkuliahan. Hal itu berarti perempuan tersebut
harus menjalankan beberapa peran dalam waktu yang bersamaan seperti peran sebagai
mahasiswi dan juga istri. Hal tersebut pada umumnya menjadi salah satu pertimbangan
seorang perempuan untuk menunda pernikahan. Bahkan Blood (1969) menyebutkan hal-hal
yang dapat menyulitkan pernikahan di masa kuliah, diantaranya adalah masalah pembagian
waktu untuk berbagi tugas dan tanggung jawab, masalah keuangan, masalah kelangsungan
pendidikan, masalah perkuliahan, masalah pengembangan diri, dan masalah ide-ide
romantis tentang pernikahan. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat juga
mahasiswi yang memutuskan menikah dan menjalankan beberapa peran tersebut
bersamaan. Hal itulah yang menarik bagi penulis untuk diteliti.

Perempuan yang menikah di masa studinya harus menjalankan peran ganda, yaitu
sebagai istri dan sekaligus sabagai mahasiswi. Kedua peran tersebut mempunyai tuntutan
peran masing-masing. Kesulitan muncul dalam situasi di mana terdapat kebingungan atau
konflik dalam persepsi individu mengenai peran-peran dan harapan peran masyarakat.
3

Apabila hal itu terjadi maka terjadi pembawaan peran yang tidak efektif dan timbul perasaan
bingung pada diri individu.

Dengan paparan konflik yang mungkin dihadapi oleh mahasiswi yang menikah pada
saat masa studinya, dapat dikatakan bahwa mereka potensial untuk mengalami gangguan
Psychological Well-Being (PWB). Selain itu, peran majemuk yang dijalani oleh suami
maupun istri menciptakan kondisi yang rumit, yang tidak hanya memberikan konsekuensi
positif tetapi juga sejumlah konsekuensi negatif bagi kehidupan perkawinan
(Papalia&Olds,1992). Meskipun beragam, konsekuensi - konsekuensi negatif tersebut
dasarnya mengacu pada satu hal yaitu kesejahteraan psikologis atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Psychological Well-Being. Hal tersebut menguatkan sejumlah penelitian
yang menemukan bahwa peran majemuk yang dijalani suami istri potensial untuk
mengalami gangguan Psychological Well-Being yang kemudian berpengaruh kepada
kehidupan perkawinan.

Ada beberapa karakteristik yang dapat diketahui pada individu-individu yang memiliki
well-being yang sehat. Karakteristik tersebut adalah adanya otonomi, penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan
penerimaan diri (Ryff,1989) yang digunakan sebagai definisi operasional untuk mengukur
Psychological Well-Being seseorang. Demografi dan kalsifikasi sosial, dukungan sosial, daur
hidup keluarga, evaluasi terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, dan variable
kepribadian ditemukan sebagai faktor-faktor yang berperan terhadap Psychological Well-
Being seseorang (Ryff dalam Ryff & Keyes, 1995).

Enough dating merupakan salah satu faktor dari kematangan sosial enough single
life. Dating merupakan kesempatan bagi pasangan untuk saling mengenal dan untuk
mengembangkan kemampuan interpersonal yang sangat berguna bagi kehidupan
perkawinan nanti. Seberapa banyak pasangan melakukan dating agar dapat dikatakan siap
untuk menikah tidak dapat dipastikan. Namun demikian, Blood (1969) mengemukakan
bahwa dating harus cukup (enough) tidak hanya dalam jumlah pasangan akan tetapi juga
dalam frekuensi dating yang telah dilakukan (Blood, 1969).

Pada kenyataannya terdapat juga individu yang memutuskan menikah tanpa melalui
proses pacaran sebelumnya atau dalam hal ini proses menikah tanpa pacaran yang
dimaksud adalah dengan melalui proses ta’aruf. Ta’aruf merupakan salah satu cara
mengenal calon pasanga dengan cara tidak pacaran yang telah diterapkan oleh sebagian
kecil masyarakat muslim di Indonesia. Ta’aruf dilakukan karena ada sebagian masyarakat
Islam yang beranggapan bahwa pertemuan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin
4

sebelum menikah merupakan perbuatan yang terlarang (Boustany dalam Benokraitis, 1996).
Ta’aruf menurut Herlini Amran (dalam majalah Ummi), dalam kamus Al Muhith berarti saling
berkenalan satu sama lain. Kata tersebut terapat dalam Al-Qur’an pada surat Al Hujurat ayat
13.

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan


penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Psychological Well-Being pada mahasiswi yang
menikah tanpa proses pacaran dan memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang
berperan terhadap Psychological Well-Being tersebut.

Penelitian ini tidak untuk mengenalisir atau mencari hubungan sebab akibat antara
Psychological Well-Being dan pernikahan mahasiswa tanpa proses pacaran, tetapi
penelitian ini bertujuan untuk memotret gambaran Psychological Well-Being pada kasuistik
yang ada yaitu mahasiswi yang menikah tanpa proses pacaran.

METODE

A. Subjek penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tiga responden mahasisiwi yang menikah tanpa proses
pacaran di beberapa tempat. Data-data responden dapat dilihat pada tabel 1.

DATA PRIBADI SUBYEK 1 (R) SUBYEK 2 (S) SUBYEK 3 (T)


Usia 23 tahun 22 tahun 21 tahun
Pendidikan FE/Akuntasnsi/2005 FISIP/Kriminologi/2007 FKM/2008
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Cina-Minang
Urutan Kelahiran 1 dari 2 bersaudara 1 dari 7 bersaudara 5 dari 8 bersaudara
Pekerjaan Mahasiswi, proyak Mahasiswi, guru privat, Mahasiswi
staf pusat kajian
kriminologi
Usia pernikahan 9 bulan 6 bulan 6 bulan
Menikah pada usia 22 tahun 21 tahun 21 tahun
Menikah Semester Semester 7 Semester 6 Semester 3
Punya anak Sedang hamil - Sedang hamil
Pekerjaan suami Swasta Mahasiswa, part time Teknisi Pesawat
Usia suami ketika 25 tahun 23 tahun 22 tahun
menikah
Tempat tinggal Kontrakan Rumah orang tua S Kontrakan

B. Prosedur pelaksanaan penelitian


5

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan cara peneliti mendatangi subjek yang
dimana sebelumnya sudah membuat janji. Subjek pertama, peneliti mendatangi rumahnnya
di daerah margonda depok kemudian mulai membangun raport sampai pada saat
wawanncara semua pertanyaan dapat terjawab dengan tuntas dalam pertemuan tersebut
sehingga tidak ada pertemuan kedua, hanya saja kita sempat saling berkomunikasi melalui
chatting.

Berbeda dengan subjek yang pertama, subjek yang kedua peneliti mendatangi
tempat kampus dimana subjek kuliah. Selama wawancara berlangsung, subjek cukup
kooperatif dan terbuka dalam menjawab pertanyaan meskipun di awal terlihat datar dan
dingin. Subjek terlihat sedih dan benci ketika menjawab masa lalunya. Suaranya agak
melemah, menghindari temu pandangan dan terlihat berkaca-kaca ketika bercerita tentang
perjuangan hidup dirinya dan keluarga.

Subjek ketiga wawancara dilakukan di koridor gedung utama FKM saat itu subjek
baru pulang kuliah, wawancara sempat berpindah tempat beberapa kali karena di tengah
wawancara suasana menjadi tidak kondusif karena banyak orang yang berada di sekitar
lokasi wawancara sehingga cukup mengganggu, oleh karena itu wawancara berpindah
tempat yang lebih kondusif. Selama wawancara berlangsung, responden terlihat sangat
kooperatif dan terbuka dalam menjawab pertanyaan. Responden sering tersenyum dan
tertawa ketika menjawab pertanyaan yang terkait dengan pernikahannya sambil terlihat
membayangkan. Secara umum wawancara yang berlangsung cukup lancar dan tanpa
kesulitan, subjek juga suka menulis notes di facebook tentang suka dukanya menikah saat
masih kuliah.

HASIL

Berikut ini akan diuraikan interpretasi interresponden berdasarkan dimensi


Psychological dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PWB

a. Self Acceptance (Penerimaan Diri)

Secara umum terlihat bahwa dua orang responde3n (R, T) menunjukkan self
acceptance yang baik. Adapun untuk responden S, menunjukkan gambaran self
acceptance yang kurang baik.

Ketiga resoponden menyadari kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri mereka.
Responden R dan T bisa menerima sisi buruk mereka meskipun tetap berkeinginan untuk
6

meminimalisir kekurangan dan mengubah sisi buruk mereka. Hal itulah yang membuat
kedua responden tersebut tetap memandang positif diri mereka. Berbeda dengan kedua
responden lainnya, S cenderung memandang negatif dirinya dengan merasa minder atas
kekurangan yang dimilikinya dan tidak percaya diri atas kelebihan yang ia punya.
Penerimaan diri dengan segala aspek positif dan negatif itu semakin tergambar dengan
tidak maunya R dan T menjadi pribadi yang berbeda dari saat ini sedangkan S sering
memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang berbeda.

Dalam memandang masa lalu, ketiga responden menunjukkan kualitas yang


berbeda. R sangat mensyukuri masa kecil dan pola didikan yang ia dapatkan sehingga
membuat R menjadi lebih mandiri dan self motivation dalam aktivitas yang dijalaninya. T
juga sangat mensyukuri pengalaman hidup dan pola didikan yang ia dapatkan dari orang
tuanya, yang membuat T menjadi mandiri. Sangat berpengaruhnya masa lalu T, membuat T
terinspirasi untuk merencanakan masa depan dengan pola didikan yang sama bahkan lebih
bagi anaknya, yaitu sekolah di Arab Saudi. Di sisi lain, T menyesali waktu kedekatan yang
hilang antara T dan orang tuanya terutama ibu karena harus berpisah ketika SD dan
melanjutkan sekolah di Jambi sedangkan orang tuanya tetap berada di Arab Saudi. Hal itu
menggambarkan kualitas cukup baik pada T yang mempunyai sis positif dan negatif.
Pemaknaan masa lalu berbeda bagi S yang memandang masa lalunya adalah kelam dan
sedih. S sering mengaku kondisinya saat ini sebagai dampak dari pengalaman hidupnya
yang lalu. Ayah S pernah menjadi penjudi yang menyebabkan S harus putus sekolah. Selain
itu, kondisi tersebut membuat S harus mengambil tanggung jawab lebih cepat sebagai
seorang ibu yang mengurus rumah tangga dan adik-adiknya karena ibu S harus bekerja
sebagai pedagang sayur lalu menjadi pembantu rumah tangga yang menginap.

Berbeda dengan pemaknaan S terhadap masa lalu, S memandang kehidupannya


saat ini sangat positif bagi dirinya. Ia merasa sangat berarti dan berguna dalam hidup ini,
sebuah perasaan dan pemaknaan diri yang belum pernah ia rasakan selama ini. Responden
R juga memiliki pemaknaan yang sama, yaitu pemaknaan positif. Kesamaan dari ketiga
responden dalam memaknai kehidupan saat ini adalah ketiganya merasakan kemajuan dari
pernikahan mereka dan ketiganya nyaman dalam menjalankan peran-peran yang dimiliki
dengan menikah ketika kuliah dan tanpa pacaran. Namun demikian, bagi T ada sedikit
penyesalan karena ia tidak bisa menjalankan kembali hal-hal positif yang dulu biasa ia
lakukan.

Secara umum, berdasarkan lima sub dimensi yang dijelaskan, dapat disimpulkan
bahwa dimensi ini tampil dengan gambaran kualitas yang baik. Dalam dimensi ini terlihat
bahwa pengalaman hidup masa lalu berpengaruh terhadap penerimaan diri responden.
7

Selain itu terlihat faktor keberagamaan pada kedua responden, yaitu R dan T,
mempengaruhi mereka memiliki kualitas baik dalam penerimaan diri.

b. Hubungan positive dengan orang lain

Dalam membangun hubungan hangat dengan orang lain, responden R dan T


tergolong cukup baik sedangkan responden S menunjukkan gambaran yang kurang baik. R
dan T memiliki hubungan yang hangat dengan keluarga dan teman-temannya. R sangat
dekat dengan adiknya bahkan sampai setelah R menikah. Pernikahan tidak mengurangi
kualitas kehangatan mereka tapi berpengaruh terhadap kualitas pertemuan. T sangat dekat
dengan kakak perempuanya dibandingkan dengan ibunya. S dekat dengan ibunya tetapi
membenci ayahnya.

Dalam hubungan dengan teman, responden R dan T menunjukkan gambaran


kualitas yang baik. R sampai saat ini masih terus berhubungan dengan teman lamanya.
Begitupun dengan T, bahkan ia semakin dekat dengan teman-temannya karena
intensitasnya semakin sering. Berbeda denga R dan T, S tidak memiliki hubungan yang
dekat dengan teman-temannya karena S menganggap hubungan pertemanan hanya
sebatas ketika saling membutuhkan bantuan saja. Hal itu menunjukkan bagaimana
penghayatan arti teman pada ketiga responden. Dalam hal itu tergambar hanya S yang
memiliki kualitas kurang baik dalam penghayatan arti teman.

Meskipun penghayatan arti teman beragam gambarnya pada responden tetapi ketiga
responden menunjukkan gambaran empati yang baik terhadap orang lain. Ketiga responden
berusaha memahami dan merasakan perasaan orang lain untuk kemudian membantu
dalam bentuk memberi bantuan saran, solusi dan tenaga jika memang dibutuhkan. Namun
demikian, mereka mempunyai pendekatan yang berbeda. R sering dijadikan tempat berbagi
cerita sehingga dapat mengetahui secara langsung apa yang dibutuhkan oleh temannya. S
memperhatikan dan peka terhadap sesuatu tidak biasa dari temannya sehingga S akan
bertanya ada apa dan menawarkan bantuan jika diperlukan sedangkan T lebih menunggu
diam dahulu dan menunggu tenang teman yang akan dibantunya.

Secara umum, berdasarkan tiga sub dimensi yang ada, dapat disimpulkan bahwa
dimensi ini tampil dengan gambaran kualitas cukup baik.

c. Otonomi
8

Ketiga responden menunjukkan gambaran yang sangat baik dalam dimensi ini.
Mereka memiliki kemampuan menentukan diri sendiri dan tingkah laku yang tinggi. Hal itu
dapat dilihat dalam pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Secara umum, mereka
tetap berdiskusi dan berkonsultasi dalam mengambil keputusan terutama dengan orang
terdekat mereka. Namun demikian, semua itu hanya sebagai masukan bagi mereka tetapi
keputusan tetap pada diri mereka sendiri. Dalam keputusan untuk menikah dan tanpa
proses pacaran, mereka menunjukkan kemandirian yang tinggi. Tanggapan dan reaksi
tentang dari orang lain terhadap keputusan mereka tidak berpengaruh besar terhadap
keputusan mereka. Mereka tetap menjalankan keputusan yang telah diambil selama mereka
merasa benar.

Secara umum, berdasrkan empat subdimensi yang ada, dimensi ini memiliki
gambaran kualitas yang sangat baik dari ketiga responden. Dimensi ini terlihat dipengaruhi
oleh pengaruh pengalaman hidup sejak kecil sehingga mereka terdidik untuk menjadi
mandiri.

d. Penguasaan Lingkungan

Kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok dengan kondisi
psikologis dirinya sendiri dalam rangka pengembangan diri terlihat baik pada ketiga
responden. Ketiga responden mengetahui lingkungan seperti apa yang ia inginkan namun
perbedaannya ada pada keberadaan mereka saat ini. Sudah merasa berada pada
lingkungan yang ia harapkan sedangkan R dan T belum berhasil menciptakan lingkungan
yang diharapkan. Mereka sedang berusaha menciptakannya.

Ketiga responden juga menunjukkan kemampuan control dan mengelola aktivitas


sekitar dengan cukup baik. Mereka mampu menjalankan peran-peran yang mereka miliki
secara beramaan sebagai konsekuensi dari menikah ketika kuliah dan tanpa proses
pacaran. Di sisi lain, mereka belum bisa mengontrol dan mengelola lingkungan tetangga
yang ditunjukkan dengan keterlibatan mereka di dalamnya.

R dan T menunjukkan kemampuan yang baik untuk mengembangkan diri secara


kreatif melalui aktifitas fisik dan mental sedangkan S kurang menggambarkan kemanpuan
ini. Ketiga responden sudah menemukan tempat atau lingkungan yang dapat
mengembangkan diri mereka. R memilih berorganisasi di struktur cabang partai yang
banyak bersentuhan langsung dengan masayarakat dan T memilih di organisasi Islam di
fakultasnya. Dengan aktif di organisasi tersebut R dan T merasa mampu mengembangkan
9

potensi kepemimpinan dan interpersonalnya. Berbeda dengan R dan T, S belum


menemukan lingkungan dimana potensi memasak dan kemampuan matematikanya bisa
dikembangkan secara langsung. S saat ini mengajar privat matematika tetapi S
menginginkan untuk menjadi pengajar tetap di sekolah.

Secara umum, berdasarkan empat subdimensi yang ada, dimensi ini memiliki
kualitas yang baik.

e. Tujuan Hidup

Ketiga responden menunjukkan gambaran yang baik dalam dimensi ini. Ketiga
responden memiliki tujuan dan arah hidup yang jelas. Semua responden mampu
mendefinisikan tujuan yang ingin dicapainya. Dalam mendefinisikan masa depan,
responden mengaitkan antara rencana mereka dengan tujuan besar yang ingin dicapai.

Arah hidup ini tidak terlepas dari bagaimana mereka memandang kehidupan masa
lalu dan saat ini khusunya setelah menikah. Ketiga responden merasa sangat nyaman
dengan kehidupannya saat ini.

Ketiga responden juga memiliki keyakinan untuk dapat mencapai tujuan dan masa
depan yang telah mereka rancang.

Secara umum, berdasarkan emapat sub dimensi yang ada, dimensi ini memiliki
kualitas yang baik.

f. Pertumbuhan Pribadi

Dalam hal ini keterbukaan terhadap pengalaman baru, dua responden memiliki sikap
yang kurang baik dalam arti kurang mau mengambil atau mengerjakan sesuatu yang baru.
Responden S menganggap mencoba sesuatu sangat rentan dengan kegagalan dan S tidak
mau mengambil resiko tersebut. Hal itu sangat terpengaruh dengan masa lalu yang suram
sehingga S terbentuk untuk tidak ingin pernah gagal kembali. Responden T terlihat lebih
selektif dalam mengambil atau mencoba pengalaman baru. T akan mengambil kesempatan
baru jika T merasa ada alasan yang mendasari bahwa pekerjaan itu harus dilakukan.
Responden R memiliki sikap yang baik terhadap pengalaman baru. R menganggapnya
sebagai tantangan. Hal itu sering R lakukan dalam kepanitiaan yang diikutinya. R tidak
10

segan untuk memilih jabatan dengan deskripsi kerja yang baru dibandingkan dengan
jabatan yang di sana R sudah terbukti kemampuannya.

Dalam aspek kesadaran mengenai potensi diri, ketiga responden menunjukkan


gambaran kualitas yang baik dalam arti mampu menyadari potensi yang dimilikinya seperti
kepemimpinan (R), kemampuan interpersonal (T), memasak (S), mengajar matematika (S),
dan mengajar bahasa Arab dan bahasa Inggris (T). Ketiga responden sudah berusaha untuk
mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. R mengaplikasikannya dan
mengembangkannya melalui kegiatan di organisasi. S mencoba mengaplikasikan potensi
kemampuan matematikanya dengan mengajar privat dan mengambil tawaran memasak
dalam jumlah besar untuk acara-acara kampus. T menerima tawaran mengajar tahsin di
asrama meskipun sekarang hal itu tidak lagi dilakukan karena manajemen di asrama
sedang berganti.

Dalam hal kemampuan melihat perbaikan diri, ketiga responden memiliki gambaran
kualitas yang baik, dalam arti merasakan adanya kemajuan dalam hidup. R merasa lebih
berkembang sisi kepemimpinannya dan T merasa lebih berkembang kemampuannya dalam
manajemen waktu dengan banyaknya peran yang harus diatur. T juga merasa ada
perubahan dengan arahan positif, dalam karakternya yang tidak bisa dikritik menjadi lebih
terbuka untuk menerima masukan, kurang ramah menjadi lebih ramah dan murah senyum,
dan kembali merajut hubungan yang lama. Ketiga responden merasakan kemajuan dalam
hal tersebut setelah menikah dan beradaptasi dengan suami, keluarga, tetangga, dan lain-
lain.

Secara umum, berdasarkan subdimensi yang ada, dapat dikatakan bahwa dimensi
ini tampil dalam kualitas yang baik. Kualitas yang baik pada responden terlihat dari
penghayatan responden terhadap pengelaman yang telah dijalani, kesadaran akan potensi
diri, serta kemampuan merasakan kemajuan dalam hidup ketiga responden.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being (PWB)

Ketiga responden mendapatkan dukungan yang cukup baik dalam hal menikah
tanpa proses pacaran pada saat kuliah dari keluarga inti, kerabat, dan teman-teman
responden. Bentuk dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informasional.

Ketiga responden juga melakukan evaluasii pengalaman hidup dengan beberapa


mekanisme seperti mekanisme perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, persepsi diri
11

terhadap tingkah laku, dan pemusatan psikologis. Keempat mekanisme ini mengarah pada
evaluasi yang positif bagi ketiga responden.

Faktor kepribadian memberikan pengaruh positif pada responden R dan T tetapi


tidak pada S. Ketiga responden memiliki locus of control internal tetapi pada responden S
mengarah pada sesuatu yang negatif karena membuat S sering menyalahkan diri sendiri.

Faktor keagamaan memiliki pengaruh kepada ketiga responden. Pada responden R


dan T faktor tersebut cukup besar pengaruhnya sedangkan pada responden S, faktor masa
lalu dan faktor keagamaan berpengaruh sama besar terhadap S.

Masalah-masalah pernikahan pada Mahasiswi

Enam kemungkinan masalah yang akan dihadapi oleh mahasiswi yang menikah
(Blood, 1969) tidak tergambar pada ketiga responden. Responden R dapat dikatakan dapat
mengatasi kemungkinan-kemungkinan masalah tersebut sedangkan responden S dan T
mengalami masalah pada masa-masa awal pernikahan dalam pembagian waktu untuk
berbagi tugas dan tanggung jawab. Namun demikian, hal itu dapat diatasi dengan beberapa
stategi seperti kesepakatan dengan suami, mengubah strategi belajar, dan lain sebagainya.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan ketiga responden dapat mengatasi masalah yang
mungkin muncul pada mahasiswi yang menikah berdasarkan paparan dari Blood (1969).

DISKUSI

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, secara umum terlihat bahwa para


mahasiswii yang menikah tanpa proses pacaran memiliki gambaran psychological well-
being yang baik. Sebelumnya peneliti mengira akan memperoleh gambaran kurang baik dari
psychological well-being responden mengingat adanya kemungkinan konflik peran dan
proses persiapan pernikahan yaitu dating yang hilang dalam pernikahan mereka. Pada
uraian berikut peneliti mencoba untuk mengungkapkan kemungkinan penjelasan dari
fenomena yang muncul.

Dari keenam dimensi, dimensi positive relations with other tampil dengan gambaran
kualitas yang cukup baik sedangkan dimensi yang lainnya menggambarkan kualitas yang
baik. Hal itu disebabkan ketiga responden memiliki masalah dalam berinteraksi dengan
lingkungan mereka yang baru, yaitu tetangga, walaupun dengan latar belakang
permasalahan yang berbeda-beda. R dan T lebih disebabkan oleh kurangnya waktu dan
12

kondisi fisik yang sedang hamil sehingga menghambat mereka untuk berinteraksi
sedangkan S lebih karena karakternya yang tidak ramah dan senang sendiri.

Dari keenam dimensi, terdapat dua dimensi dimana ketiga responden menampilkan
gambaran kesejahteraan psikologis yang baik secara umum dan pada setiap
subdimensinya. Dua dimensi tersebut adalah dimensi otonomi dan tujuan hidup. Dalam
dimensi otonomi, ketiganya mengaku mendapatkan kemandirian dari pola didikan yang
telah diberikan oleh orang tua mereka masing-masing. Pernikahan yang mereka jalankan
justru semakin mengasah kemandirian mereka terutama dalam hal mengatur peran yang
mereka miliki. Menentukan keuangan dan menangani masalah-masalah yang muncul dalam
pernikahan mereka. Dalam dimensi tujuan hidup sangat terlihat jelas faktor keagamaan
dalam hal ini nilai islam, yang menjiwai tujuan hidup dan arah masa depan mereka. Ketiga
responden mendefinisikan pencapaian ridho Allah yang diturunkan melalui beberapa cara
seperti berbakti kepada orang tua, taat terhadap suami, mengaplikasikan ilmu sebagai
tujuan hidup masa depan mereka. Menikah justru semakin menguatkan tujuan hidup masa
depan mereka. Menikah justru semakin menguatkan tujuan hidup mereka karena menikah
itu sendiri merupakan salah satu usaha mencapai ridha Allah. Selain itu, samanya tujuan
dan arah hidup dari pasangan hidup mereka semakin menguatkan ketiga responden dalam
menentukan tujuan dan arah masa depan mereka.

Konflik peran yang diasumsikan akan muncul dan mempengaruhi Psychological


Well-Being mereka. Hal itu disebabkan oleh peran-peran yang muncul secara bersamaan
hanya menimbulan sedikit kebingungan di awal-awal pernikahan tetapi ketiga responden
memiliki kesepakatan dengan pasangan mereka masing-masing untuk menurunkan tuntutan
perang yang ada pada mereka. Semua pasangan hidup responden, menunjukkan sikap
yang sangat mendukung responden untuk menjalani peran sebagai mahasiswi secara
optimal sehingga jika ada tuntutan peran yang muncul secara bersamaan dalam satu waktu
maka dengan kesepakatan yang mereka miliki, responden lebih mudah untuk mengambil
keputusan. Dukungan suami juga menenangkan mereka secara psikologis atas keputusan
yang telah diambil. Jadi dapat disimpulkan bahwa konflik peran muncul tetapi tidak
berpengaruh besar terhadap gambaran psychological well-being karena adanya dukungan
pasangan hidup mereka. Selain itu ketiga responden mengaku telah mempertimbangkan
konsekuensi dan tantangan kehidupan pernikahan yang akan dihadapi sehingga lebih
mempersiapkan diri mereka dalam menjalani peran-peran yang ada dan menghadapi konflik
peran yang muncul. Secara umum, ketiga responden sangat nyaman dan senang dengan
peran-peran yang mereka miliki sehingga secara psikologis dapat mencegah munculnya
konflik peran.
13

Pernikahan di saat kuliah, menurut Blood (1969), memiliki permasalahan yang


mungkin muncul yaitu masalah pembagian waktu untuk berbagi tugas dan tanggung jawab,
masalah keuangan, masalah pengembangan diri, masalah dengan ide-ide romantis tentang
pernikahan, masalah kelangsungan kuliah, dan masalah dengan perkuliahan. Dari hasil
penelitian yang dilakukan, ketiga responden tidak mengalami permasalahan-permasalahan
tersebut. Pembagian waktu untuk berbagi tugas dan tanggung jawab memang muncul di
awal pernikahan mereka tetapi hal ini cepat dapat mereka tangani dengan kesepakatan-
kesepakatan yang responden ambil dengan pasangan hidup mereka masing-masing.
Masalah keuangan tidak muncul dalam ketiga responden. Hal itu berbeda dengan asumsi
awal penelitian, terlebih lagi membiayai kuliah responden tidak pada orang tua lagi tetapi
pada pasangan hidup. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah pekerjaan
pasangan hidup mereka yang cukup mapan, pengeturan keuangan yang baik, dan perasaan
cukup dengan yang ada serta yakin selalu ada rezeki dari Allah yang mempengaruhi tidak
munculnya masalah keuangan ini. Faktor ketiga inilah yang cukup menonjol yaitu perasaan
cukup dengan yang ada serta yakin akan selalu ada rezeki dari Allah. Hal itu memberikan
ketenangan bagi mereka dalam mendefinisikan suatu masalah atau bukan. Hal itu
memperlihatkan sangat berpengaruhnya faktor keagamaan yang terinternalisasi dalam
pandangan dan cara responden menghadapi suatu masalah. Bahkan responden S yang
terbiasa hidup dengan ekonomi sulit merasa lebih baik keadaan finansialnya ketika sudah
menikah meskipun suaminya hanya bekerja sebagai kasir part-time.

Ketiga responden mengaku lebih bisa mengembangkan diri setelah menikah. Hal itu
karena pasangan hidup mereka memberikan dukungan dan stimulus positif pada mereka
untuk berkembang. Suami R dan T memberikan dukungan bagi mereka untuk aktif di
organisasi dan kepanitiaan sehingga dapat mengembangkan potensi mereka. S banyak
mengubah dirinya untuk lenih ramah. Mempertahankan hubungan dengan orang lain, lebih
bisa menerima kritik dengan banyak mencontoh dan mendengarkan nasehat suaminya.
Oleh karena itu masalah pengembangan diri ini tidak muncul pada ketiga responden.

Masalah dengan ide-ide romantis tentang pernikahan juga tidak muncul sehingga
kemungkinan responden memiliki kekecewaan terhadap pernikahan mereka tidak terjadi.
Hal itu terjadi karena sejak awal mereka memutuskan untuk menikah tidak hanya dengan
mempertimbangkan gambaran kebahagiaan yang mungkin muncul saja tetapi juga
konsekuensi negatif yang mereka hadapi. Ketiga responden juga mengaku bahwa
kehidupan pernikahan mereka justru jauh lebih baik dari apa yang mereka bayangkan.

Potensi masalah kelangsungan pendidikan dan perkuliahan memang ada tetapi tidak
menjadi masalah karena ketiga responden memiliki kesepakatan-kesepakatan sebelum dan
14

sesudah pernikahan dengan pasangan hidup dan dukungan penuh dari mereka. Hal itu
yang membuat tersebut tidak muncul.

Faktor-faktor yang terlihat cukup berpengaruh terhadap psychological well-being


ketiga responden adalah dukungan sosial, variabel kepribadian, dan faktor keberagamaan.
Dari ketiga responden, responden S memiliki gambaran kualitas tidak baik pada dua dimensi
yaitu dimensi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lai. Hal itu lebih
disebabkan pengalaman konflik keluarga dan perceraian orang tua. Menikah justru
meningkatkan gambaran psychological well-being dari responden S.

Pernikahan tanpa pacaran atau dalam hal ini ta’aruf berpotensi untuk mempengaruhi
psychological well-being yang juga sering didefinisikan dengan kebahagiaan pernikahan dan
hal yang paling penting dalam meraih kebahagiaan pernikahan adalah penyesuaian
perikahan. Hurlock (1980) dan Spanier (dalam Miranda, 1995) mengatakan salah satu
aspek yang menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian
pernikahan adalah kesiapan seseorang untuk memasuki pernikahan itu sendiri. Sejalan
dengan pernyataan tersebut Blood (1969) menyatakan bahwa ada dua dimensi dalam
kesiapan menuju perkawinan yaitu kesiapan pribadi (Personal Readiness)dan kesiapan
lingkungan (Circumstantial Readines). Kematangan sosial merupakan salah satu bagian dari
dimensi kesiapan pribadi. Pada kematangan sosial ini diasumsikan bahwa mungkin saja
seseorang sudah matang secara emosional untuk menikah namun belum mempunyai
pengalaman yang cukup dalam kehidupan sosialnya menuju kehidupan berkeluarga.
Enough dating merupakan salah satu faktor dari kematangan sosial enough single life. Di
Indonesia dating umum didefinisikan sama dengan pacaran.

Paparan diataslah yang mendasari asumsi peneliti bahwa pernikahan tanpa proses
pacaran akan berpebgaruh terhadap gambaran psychological well-being. Namun demikian,
dari hasil penelitian, didapatkan ketiga responden menampilkan gambaran psychological
well-being yang cukup baik. Hal itu mungkin disebabkan proses saling mengenal antara
kedua orang laki-laki dan perempuan dipandang oleh responden lebih berkualitas
disbandingkan dengan proses berkenalan melalui pacaran.

Pasangan yang memutuskan untuk menjalankan proses ta’aruf sudah berada dalam
tujuan mengenal lebih dalam untuk menikah sehingga proses pengenalan individu di sini
tidak hanya dari sisi luar dan bagus dari individu tetapi sisi buruk dan hal-hal yang
berpotensi mempengaruhi kebahagiaan pernikahan nantinya. Dalam ta’aruf tidak ada tujuan
lain seperti di pacaran yang mungkin bertujuan untuk rekreasi, mencari status, dan prestasi,
serta sosialisasi. Dengan banyaknya tujuan dari pacaran memungkinkan adanya
15

penampilan diri yang semu dalam perkenalan dalam arti jika tujuannya bersosialisasi maka
individu akan menampilkan dirinya sebagai orang yang pandai bergaul, ramah, dan karakter
lainnya yang dibutuhkan dalam proses sosialisasi meskipun gambaran diri sebenarnya
adalah berbeda dengan hal tersebut.

Dalam aplikasinya, fungsi dari dating atau pacaran untuk saling mengenal antara
masing-masing individu sering merambah sampai aktivitas seksual seperti berpegangan
tangan, berciuman, pergi berduaan, dan sebagainya. Hal itulah yang menjadi koridor dalam
ta’aruf bahwa proses perkenalan harus terkerangka dengan syari’at Islam seperti tidak
berduaan, tidak memperlihatkan aurat, tidak bersentuhan, dan lain sebagainya. Namun
demikian, dengan kerangka yang ada tetap mencapai fungsi pengenalan antara masing-
masing individu. psychological well-being pada ketiga responden setelah menikah tidak ada
perubahan kearah yang lebih buruk.

KEPUSTAKAAN

Abdullah, Ilham. (2003). Kado Buat Mempelai: Menbentuk Keluarga Sakinah, Mawaddah,
wa Rahmah. Yogyakarta: Absolut.

Atwater,Eastwood. (1983). Psychology of adjustment: Personal growth in Changing World.


New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Banister, P., Burman, E., Parker, I., Taylor, M., & Tindall, C. (1994). Qualitative Methods in
Psychology; A Research Guide. Buckingham: Open University

Bardwick, J. (1971). Psychology of Women: A Study of Bio-Cultural Conflict. New York:


Harper & Row.

Benokraitis, N.V. (1996). Marriage ang family (2nd ed): Changes, Choices, and Constraints.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Blood, Bob & Margaret Bood. (1969). Marriage. (3rd ed). New York: The Free Press

Cahyatama, Hidayatullah. (1999). Dinamika Konflik dan Pengambilan Keputusan pada


Mahasiswi Muslimah yang Membuka Jilbab. Skripsi, tidak diterbitkan. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Departemen Urusan Agama Islam. (1971). Al-Qur’an dan Terjemahannya.(4th ed). Medinah:
Mujamma’al Malik Fadh li thiba’at al Mush-haf asy Syarif.

Duvall, Evelyn M., Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development: 6th ed. New
York: Harper & Row, Publishers.
16

Fatchuri. (2000). Hubungan Antara Komitmen Beragama dengan Psychological Well-Being


Masyarakat Betawi. Skripsi, tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.

Goldman, George D., Milman, Donald S. (1969). Modern Women: Her Psychology and
Sexuality. Springfield.

Gunawan, Lisda Kartika. (2003). Hubungan Antara Psychological Well Being dan Kepuasan
Perkawinan pada Istri Bekerja di Jakarta. Skripsi, tidak diterbitkan. Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.

Hall, Calvin S., Lindzey. Gardner. (1985). Introduction to Theories of Personality. New York:
John Wiley & Sons.

Huberman, A.H., Miles, M.B. (1994). Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook.
California: Sage Publications.

Hurlock, Elizabeth B. (1980). Development Psychology : A lifespan Approach. New Delhi:


Tata McGraw-Hill Co.

Indah, Dewi W. (2004). Dinamika Konflik Dalam Pengambilan Keputusan Pada Pasangan
yang Menikah Tanpa Pacaran. Skripsi, tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.

Kail, Robert V., Cavanough, John C. (2000), Human Development: a Life span View.
Stamford.

Landis, Judson T., & Landis Mary G. (1970). Personal Adjustmen, Marriage & Family Living.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Majalah Wanita Ummi: Identitas Wanita Islam. (2002). Bersiap Menjadi Pengantin. Edisi
Spesial 5/XIV/2002. Jakarta: P.T. Kimus Bina Tadzkia.

Mardhianto, Dwi. (1997). Hubungan antara Keberagamaan dengan Psychological Well-


Being Masyarakat Bali; Studi Deskriptif pada Umat hindu di Denpasar. Skripsi, tidak
diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Moleong,J.L. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rmja Rosdakarya.

Nugroho, W.C. 2000. Gaya Komunikasi pada Laki-laki dan Perempuan Berstatus Pacaran
Saat Mengalami Konflik Interersonal dengan Pasangannya. Skripsi, tidak diterbitkan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
17

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2001). Human Development (8th ed). Boston:
McGraw-Hill.

Patton. M.Q. (1987). Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd ed). London: Sage
Pubilications.

Poerwandari, E. Kristi. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. (2nd
ed). Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) UI.

Pratiwi, M. (2000). Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda Yang Pernah
Menjadi Anak Panti Asuhan: Studi Kasus SPWB Pada 3 Orang subyek. Skripsi, tidak
diterbitkan. Depok: Fakutlas Psikologi Universitas Indonesia

Ramulyo, M. Idris. (1990). Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Penerbit Ind – Hill-Co.

Robinson, J.P., Shavher, P.R., Wrightsman, L.S. (1991). Measure of Personality and Social
Attitudes. San Diego: Academic Press.

Ryff, C.D (1989). Happiness is Everything, or Is It?; Explorations on The Meaning of


Psychological Well-Being. Journal of Psychology and Social Psychology, 57 (6),
1069 - 1081.

Ryff, C.D., & Essex, M.J. (1992). The Interpretation of Life Experience and Well Being; The
Simple Case of Relocation. Journal of Psychology and Aging, 7, 507-517.

Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of PWB Revisited. Journal of Personality
and Social Psychology, 69(4), 719-727.

Santrock, John W. (1999). Life-Span Development (7th ed). USA: McGraw-Hill Companies.

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2000). Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh


Psikologi. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Setiadi, B.N., MAtindas,R.W., & Chairy, L.C. (1998). Pedoman Skripsi Psikologi. Jakarta:
LPSP3-Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Syafhan, Anne Ivanna. (2003). Motivasi Berprestasi pada Mahasiswi yang Menikah. Skripsi,
tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Tim Penyusun Balai Pustaka. (2003). Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
18

Turner, J.C., Helms, D.B. (1995). Lifespan Development (5th ed). Orlando: Harcourt Brace
and Company.

Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974.

Widianti, Kurnia. (2004). Gambaran Psychological Well-Being Dewasa Muda Yang Pernah
Mengalami Child Abuse. Skripsi, tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.

Yayasan Jurnal Perempuan (2002). Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan;
22 Memikirkan Perkawinan. Jakarta: SMKG Desa Putra.

Yin, R.K. (1989). Case Study Research; Design and Methods. Newbury Park: Sage
Publications.

Potrebbero piacerti anche