Sei sulla pagina 1di 251

ABC Amber LIT Converter

http://www.processtext.com/abclit.html

Rumah Kawin

Post: 04/06/2003 Disimak: 250 kali

Cerpen: Zen Hae

Sumber: Kompas, Edisi 04/06/2003

LAGU Cente Manis baru saja berakhir dari mulut Gwat Nio. Para wayang cokek sudah
mengosongkan kalangan. Para panjak mulai membereskan alat musiknya masing-masing.
Tetapi Mamat Jago masih saja berdiri sambil memeluk Sarti di tengah kalangan.
Tangannya terus meremasi pantat Sarti dan menyorongkan mulut monyongnya ke mulut
wayang bermata burung hantu itu. Sarti melengos dan berusaha mendorong tubuh Mamat
Jago sekuat tenaga, tetapi dengan cepat Mamat Jago meraih tangan Sarti dan
melipatkannya ke pinggangnya. Kali ini Mamat Jago menggoyang-goyangkan
pinggangnya sambil terus menekan pantat Sarti. "Aih, jangan tinggalkan abang, manis.
Jangan pampat kawah yang mau meledak ini. Ooohh ….Heh, panjak, gesekin gua lagu
Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

TUKANG teh yan celingukan, juga pemain musik lainnya. Ini sudah jam dua pagi.
Sudah waktunya rombongan Gambang Kromong Mustika Tanjung pimpinan Tan Eng
Djin dari Teluk Naga berhenti main. Izin keramaian yang mereka dapatkan dari
keamanan setempat hanya sampai pukul satu. Sudah lewat satu jam.

"Heh, budek lu. Gua masih banyak duit. Gua mau nyawer lagi," teriak Mamat Jago
sambil menuding-nuding para panjak yang masih saling bersambut pandang.

Sarti kembali mengibaskan tangannya. Menarik tubuhnya dari pelukan Mamat Jago yang
kian sempoyongan. Terlepas. Sebagai gantinya satu tamparan Mamat Jago mendarat di
pipinya. "Sundal lu!" maki Mamat Jago sambil melempar cukin merah hati ke wajah
Sarti. Sambil meringis dan meme-

PEGANGI pipinya Sarti berlari ke arah wayang lain yang sejak tadi hanya bisa
memandanginya dengan cemas.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Ini sudah kelewatan, pikir Eng Djin. Anak buahnya memang boleh dipeluk, dicium, atau
dibawa ke mana saja, tetapi pantang disakiti. Ia pun keluar dari sela-sela gong dan
menghampiri pengibing mabuk itu. Merendengnya. "Maaf, kami harus berhenti, Bang.
Kalau tidak cokek ini bisa digerebek polisi."

"Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau
gambang berhenti. Ayo, panjak…"

Bang Minan mulai menggesek teh yan-nya, tetapi segera Eng Djin menggoyang-
goyangkan tangan kirinya. Sepi. "Mendingan abang pulang saja. Jangan bikin perkara…"

"Sial dangkalan lu," maki Mamat Jago. Dengan sisa tenaganya disodoknya perut Eng
Djin, tetapi ia menepiskan tangan itu. Mamat Jago balas menyerang dengan pukulan siku
yang diruncingkan-gentus tubruk. Eng Djin jatuh terduduk. "Engkoh jangan melecehkan
saya. Saya juwara kampung. Jago berantem. Semua orang bisa saya bikin takluk."

Eng Djin bangkit dan mundur selangkah. Dipandanginya kepalan tangan Mamat Jago
yang padat berisi. Empat belas jurus ilmu pukul memang masih dikuasainya, tetapi ia
sadar, tidak mungkin menandingi kemahiran pukulan jawara kampung Rawa Lingi ini.
Namun, ia akan melawan sebisanya kalau Mamat Jago melancarkan pukulan lagi. Itulah
cara ia mempertahankan harga dirinya di depan anak buahnya. Ternyata, tidak. Mamat
Jago hanya memasang jurus. Kuda-kudanya kelihatan goyah. Tubuhnya sedikit goyang.

Tiba-tiba, dua orang berjaket kulit hitam, si gondrong dan si cepak, masuk ke kalangan.
Eit, Mamat Jago mengalihkan kuda-kudanya ke arah dua orang asing itu. Mencoba lebih
awas, ia kibas-kibaskan kepalanya. Si gondrong lantas mencabut revolver dari balik
jaketnya dan mengacungkannya ke udara. Orang-orang terkesiap. "Bapak-ibu saya minta
berhenti. Bubar!" perintahnya. Dengan sigap si cepak mencekal tangan Mamat Jago,
memitingnya, memborgolnya, dan menyeretnya seperti sekarung tahi ayam.

Entah sudah berapa Lebaran lewat setelah penangkapan itu. Sudah lama sekali, gumam
Mamat Jago. Saat itu dengan mudah ia masuk-keluar sel. Ditangkap malam keluar pagi,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ditangkap pagi keluar sore, ditangkap sore keluar malam. Anak-anak buahnya akan
mengantarkan uang tebusan, tak lama setelah ia digelandang polisi. "Polisi teman abang,"
katanya berkali-kali kepada anak buahnya. Setelah itu ia akan dengan leluasa datang lagi
ke rumah kawin, ngibing dan minum, membuat keributan bila perlu.

Tetapi, itu dulu. Ketika kekayaan dan kehormatan didekapnya dengan dua tangan.
Ketika bisnis penjualan kebun dan sawah di kampungnya sedang ramai-ramainya. Setiap
saat orang datang dan pergi dari rumahnya. Membawa dan mengambil uang.
Pekerjaannya sebagai calo tanah sangat sibuk kala itu. Pernah suatu ketika anak buahnya
harus memanggul berkarung-karung uang ke rumahnya untuk membebaskan berhektar-
hektar sawah yang kini menjadi bandar udara itu. Orang-orang kampungnya pernah
berkata, ia tidur bukan di atas kasur kapuk, tetapi di atas kasur uang.

Sekarang ini semuanya sudah lain. Kekayaan dan kehormatannya rontok sudah, seperti
pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini
hanya tinggal sepekarangan saja, menciut bagai kelaras terbakar. Di atasnya berdiri
rumah yang dulu pernah menjadi rumah termegah dan termahal di kampungnya-kini
sudah menjadi sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Mobil,
motor, dan kerbaunya sirna tak berbekas. Anak buahnya yang berjumlah puluhan sudah
pergi meninggalkannya, entah ke mana. Masroh, istri yang tak pernah lagi disentuhnya
sejak terkena TBC, wafat dua tahun lalu. Tiga anak perempuannya sudah dibawa suami
mereka ke kota lain. Menjadi orang rantau. Satu anak lelakinya menjadi pengojek untuk
menghidupi istri dan empat anaknya. Hanya ia dan si bungsu yang tinggal di situ.

Ah, betapa perihnya kehilangan ini, keluhnya. "Apa ada obatnya?"

Pekerjaan sebagai calo tanah sudah tidak dilakoninya lagi. Tidak ada lagi orang yang
mau menjual kebun dan sawahnya. Tanah warisan mereka sudah habis terjual, tinggal
yang kini mereka tempati. Dan itu tak mungkin mereka jual, kecuali kalau mereka mau
menjadi gelandangan di kampung sendiri. Lahan-lahan yang tadinya menjadi sumber
penghidupan mereka kini sudah berubah fungsi. Ratusan hektar sawah itu sudah dibikin
rata tanpa pematang dan diberi pagar besi setinggi dua meter di tepinya. Di tengahnya
membujur dua jalur landasan beton, dari barat ke timur. Ia dan orang kampungnya hanya
bisa memandangi pesawat terbang yang lepas landas dan mendarat, hanya mereka yang
pernah naik haji mampu menaikinya. Di malam hari pesawat-pesawat itu berubah
menjadi kunang-kunang raksasa yang tubuhnya tetap berkelap-kelip meski melayang di
batas langit terjauh.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Pabrik-pabrik juga sudah beroperasi, siang dan malam. Siapa pun orang terkaya di
kampungnya tidak mungkin membangun dan memiliki pabrik-pabrik itu. Mereka hanya
petani penggarap dan pedagang kecil, tidak mungkin menguasai bisnis dan teknologi
perpabrik- an secanggih itu. Tapi, anak-anak mereka, lelaki dan perempuan, si bungsu
juga, senantiasa berbondong-bondong, keluar masuk pabrik, dengan seragam yang sama.
Mereka sudah menjadi manusia pabrik yang mau tidak mau dibayar murah oleh tauke-
tauke dari Korea, Jepang, dan Taiwan.

Rumah-rumah mewah juga sudah dibangun dan ditempati orang-orang yang tidak pernah
mereka kenal sebelumnya. Mereka memang tidak mampu membeli dan menempati
rumah mahal itu, tetapi mereka masih bisa menjadi pengojek di perumahan itu dengan
motor yang dibeli dari hasil menjual tanah warisan mereka. Mereka masih bisa
menikmati jalan aspalnya yang lurus-menyiku, sungai kecil yang jernih dan dibeton
tepinya, taman yang indah, sambil memandangi rumah-rumah besar dengan pintu dan
jendela yang melengkung. Ya, gonggong anjing, tentu saja.

Ah, betapa menyesakkan kekalahan ini, keluhnya. "Aku butuh obat."

Ia menarik napas dalam-dalam. Aroma tanah basah dibawa angin selatan melintasi
padang ilalang setinggi pinggang. Hujan akan segera turun. Musim penghujan sudah tiba
dan akan makin tinggi curahnya menjelang Tahun Baru Imlek! Ya, musim kawin orang
Cina akan tiba juga. Rumah-rumah kawin di Kampung Melayu, Kosambi, Salembaran,
dan Sewan akan ramai lagi. Ia rindukan semua itu.

Ia datangi lagi rumah kawin "Teratai Putih". Semuanya masih seperti dulu. Orang-orang
menyingkir begitu ia melintas. Dipasangnya langkap tegap seorang jawara kampung.
Hanya di sinilah aku bisa menikmati lagi seluruh kesenangan dan kehormatan hidupku,
pikirnya. Bukankah sudah bertahun-tahun belakangan ini ia tidak menikmati dua hal itu
lagi. Ya, di sinilah orang akan memuji kelihaiannya ngibing yang dipadu dengan
keindahan jurus-jurus pukulnya, kekuatannya menenggak berbotol-botol bir campur
anggur, keroyalannya nyawer. Dan tubuh wayang yang panas dan memabukkan! Liukan
dan goyangan yang membangkitkan syahwat! Aih, lelaki mana yang bisa tahan.

Cukin merah hati sudah dikalungkan tukang cukin ke lehernya, tanda ia harus turun ke

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kalangan, memilih wayang mana yang ia suka. Ditatapnya Sarti yang sejak tadi duduk di
pojok. Kali ini ia memakai kaus biru bergambar matahari di dadanya dan celana capri
krem. Dengan pakaian itu ia tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Sedikit
gemuk membuat lekukan-lekukan tubuhnya tampak nyata dibalut pakaian yang serba
ketat itu. Darahnya berdesir. Ditariknya tangan wayang langganannya itu. Pengibing dan
wayang lain sengaja hanya menonton, memberi penghormatan atas kembalinya si raja
ngibing dari Rawa Lingi itu. Mamat Jago tersenyum bangga. "Ayo, panjak, gesekin gua
lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

Teh yan digesek, disusul gambang, kecrek, gong, suling, dan kempul. Susul-menyusul.
Jalin-menjalin. Gwat Nio sudah melantunkan suaranya yang garing-melengking seperti
suara burung titutit. Tapi Sarti tidak juga menggoyangkan tubuhnya. Tangannya
dibiarkan terkulai. Mamat Jago meraihnya, melipatkannya ke pinggangnya, merapatkan
pelukannya. Tubuh perempuan itu terasa dingin, seperti daun dadap pengusir demam
anak-anak. Wajahnya membiru, bibirnya terkatup, matanya terpejam. Ayo, Sarti, jangan
kaugoda aku seperti malam-malam dulu! Digoyang-goyangkannya tubuh Sarti, tetap
dingin dan biru. Ditepuk-tepuknya pipinya, tak ada reaksi sedikit pun. Dipandanginya
para panjak. Sepi. Tak ada yang bergerak. Semua dingin dan biru. Seperti keramik Cina.

Rumah kawin ini sudah menjadi rumah mayat, pikirnya. Ia bopong Sarti keluar. Ia
tinggalkan rumah kawin itu. Menerobos hujan senja yang turun bagaikan lapis-lapis
kelambu. Sepanjang jalan tak ada orang. Pohon-pohon meliuk-mabuk, rumah-rumah
bisu-merunduk. Ia susuri jalan aspal, memotong sungai, membelah padang ilalang. "Kau
tidak boleh mati, sayang. Hiduplah bersama abang. Di rumahku kau akan hangat."
Dikecupnya bibir Sarti. Air liurnya yang bercampur air hujan masuk ke mulut Sarti. Si
mata burung hantu itu tersedak. Tubuhnya menggeliat. Tangannya meraih leher Mamat
Jago. Ia tersenyum dan mempercepat langkahnya.

Malam dan hujan pertama benar-benar telah mengepung kampungnya. Dari kejauhan
rumahnya yang terletak di tepi sawah bera dengan pematang yang lurus memanjang
tampak bagaikan lukisan yang luntur. Namun, satu dua lampunya membangkitkan
keriangan masa mudanya. Bukankah dulu ketika masih berpacaran ia dan Masroh selalu
berlarian di atas pematang sawah begitu hujan pertama turun. Setelah basah kuyup oleh
air hujan barulah mereka mandi di sumur senggot yang airnya terasa lebih hangat
daripada air hujan. Buatnya, laku itu semacam perayaan untuk datangnya musim
penghujan.

Sesampainya di rumah dibaringkannya Sarti di ranjang. Di situlah dulu istrinya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mengembuskan napas terakhirnya dengan tubuh kurus kering. Mamat Jago melucuti
seluruh pakaian basah dari tubuh Sarti dan menyelimutinya dengan kain batik yang dulu
pernah dipakai untuk menyelimuti mayat istrinya. Dipandangi wajah Sarti yang tertidur
pulas. Dalam keremangan wajah itu berganti-ganti dengan wajah istrinya.

"Pacarku, biniku…."

Dikecupnya bibir Sarti. Bibir itu terasa bergerak. Balas melumat. Tangannya perlahan
mendekap. Napasnya mulai satu-dua. Hangat, panas, gemuruh. Mamat Jago
mendekapnya lebih erat lagi. Kini kehangatan menjalari tubuh mereka berdua. Dalam
sekejap mereka telah bergumul. Memagut-mematuk-mengecup-merenggut- mencakar-
mengular…terbakar. Tiba-tiba, brak! Mamat Jago kaget dan melepaskan pelukannya.
Eng Djin, si gondrong, dan si cepak sudah berdiri di pelangkahan pintu. Buru-buru
Mamat Jago meraih dan mengenakan celana kolornya.

"Sadarlah, Bang. Sarti sudah mati," kata Eng Djin.

Mamat Jago menoleh. Sarti terbaring telanjang kaku dengan sisa-sisa keringat yang
meleleh di sela-sela payudaranya. Tak percaya Mamat Jago menepuk-nepuk pipi Sarti.
"Ayo, manis…bangun. Ada Koh Eng Djin dan teman abang datang," bisiknya ke telinga
Sarti.

"Relakan kepergiannya… Nyebut, Bang."

Mamat Jago masih tak percaya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Sarti. Kaku, dingin,
biru seperti keramik Cina. Tangisan pilu meledak dari mulutnya. Eng Djin tertegun
menyaksikan lelaki malang itu. Tanpa buang waktu si gondrong dan si cepak langsung
membekuk Mamat Jago. Dengan mudah mereka menggelandang Mamat Jago dan
memasukkannya ke mobil jip.

Sepanjang jalan kedua polisi yang diakui sebagai temannya itu tak mencoba
mengajaknya bicara. Semuanya membisu. Pikiran Mamat Jago kembali pada Sarti.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Benarkan Sarti sudah mati? Mungkinkah aku menyenggamai mayat, ia membatin.


Bukankah barusan Sarti membalas kecupan dan pelukannya dan mereka bergumul hebat
seperti di malam-malam dulu?

"Keluar lu!" Bentakan si gondrong membuatnya ternganga. Mamat Jago tak punya lagi
kuasa untuk menolak.

Si gondrong dan si cepak menggiringnya ke sebuah tempat gelap. Kakinya menjejak


pasir. Ada debur ombak. Kersik daun. Serbuk garam yang menempeli bibirnya. Ia
menduga-duga pantai apa ini. Mungkin Tanjung Kait, Rawa Saban, Kamal, atau pantai
yang belum pernah ia kunjungi. Dorongan keras membuatnya tersandung akar bakau dan
tersungkur. Butiran pasir asin memenuhi mulutnya.

"Sejujurnya, Mat, kami tidak pernah benar-benar berteman denganmu. Tugas kami
adalah membasmi orang-orang yang meresahkan masyarakat semacam kau. Dan kau
sudah terlalu sering melakukannya. Malam ini kami akan membuat hidupmu tamat,"
suara si cepak mengalahkan deru ombak.

Dor! Dor! Dor!

Mamat Jago mengusap kepalanya. Tak ada darah. Hanya air hujan! "Mimpi apa lagi
ini?" katanya, heran. Ia bangkit dan duduk di tepi balai bambu. Ditajamkan
pendengarannya, rentetan tembakan itu masih terdengar. Ah, ia tersenyum, rupanya
hanya suara petasan dari rumah kawin! Ia keluar. Hujan sudah mulai berhenti, tetapi air
masih menggenang di pelataran rumahnya. Begitu juga kenangannya pada Sarti, Eng
Djin, si cepak, dan si gondrong yang barusan hadir dalam mimpinya. Dan Sarti! Mengapa
kau muncul dalam mimpiku dengan cara seaneh itu, ia membatin lagi. Lama ia menafsir-
nafsir makna mimpinya itu.

"Ya, aku harus kembali ke rumah kawin itu." Ia pun mengetuk-ngetukkan tumit
kanannya ke lantai teraso, tiga kali. Hatinya mantap. "Aku harus dapatkan lagi Sartiku,
kesenangan, dan kehormatanku.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Kembangan Selatan, Desember 2002

CATATAN:

COKEK: Tari pergaulan masyarakat Betawi peranakan Cina.

WAYANG (Cokek): penari Cokek

PANJAK: pemain musik Gambang Kromong, pengiring Cokek.

CUKIN: selendang untuk menarik para pengibing

NGIBING: menari

KALANGAN: tempat ngibing

TEH yan Betawi: instrumen gesek tradisional berdawai dua.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Suatu Hari di Bulan Desember 2002

Post: 03/31/2003 Disimak: 161 kali

Cerpen: Sapardi Djoko Damono

Sumber: Kompas, Edisi 03/30/2003

DI rumah pemasyarakatan itu sempat timbul ribut-ribut kecil ketika Marsiyam


melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan, menurut penilaian teman-teman di situ,
sangat tampan. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada
perempuan bunting di situ. Dan mungkin tidak ada yang benar-benar yakin bahwa
Marsiyam memang bunting sebelum melahirkan. Berbagai jenis pikiran baik dan buruk
beredar di bangunan yang berdasarkan perhitungan akal sehat sudah tidak bisa
menampung pesakitan lagi itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala
penjara. Tapi, apa ada alasan untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya
tidak. Tampang lelaki yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana
pun. "Tampangnya nyebelin," kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu minta ampun
cantiknya.

M>small 2small 0< dikenai hukuman dua tahun penjara sebab dituduh telah menganiaya
suaminya, seorang lelaki yang bekerja sebagai guru, yang-menurut sementara
tetangga-"sudah sepantasnya dianiaya," entah sebab apa. Mereka kawin sekitar tiga tahun
dan belum dikaruniai anak. Guru itu selalu menyalahkannya dan malah sering
menuduhnya telah berbuat serong dengan laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima
tuduhan itu dengan tenang, bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru
karena lelaki itu sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya ada alasan
juga bagi suaminya untuk memelihara rasa curiganya.

Sampai pada suatu sore ketika ia sedang memasak untuk makan malam, ketika suaminya
mendekatinya dan mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, yang
menuduhnya telah berselingkuh dengan seorang pemuda pengangguran yang suka
membantu keluarga itu membetulkan atap bocor atau kabel listrik yang korslet. Anak
muda itu memang lumayan tampangnya, dan sering berada di rumahnya ketika guru itu
sedang mengajar. Marsiyam meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan sabar, tetapi
semakin lama lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu menunjukkan
tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam kesabarannya, dan mendadak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang sekenanya di dapur itu,


dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di lantai. Diinjaknya tubuh
yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, "Aku memang tak bisa punya anak,
mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau." Tetangga pun berdatangan dan
beberapa bulan kemudian ia harus duduk di kursi terdakwa untuk mendengarkan
keputusan hakim. Suaminya telah melaporkannya ke polisi sehabis peristiwa di dapur itu.

TENTU saja penjara bukanlah tempat yang diidam-idamkannya, tetapi di luar dugaan
Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat yang aneh hubungan-
hubungan antarmanusianya itu. Seperti kampung saja, di situ ada ibu muda yang konon
menganiaya madunya, ada tukang copet yang suka beroperasi di ka-er-el, ada organisator
berbagai arisan yang menggelapkan uang puluhan juta, ada dokter yang kerja
sambilannya menjual narkoba, ada pengacara yang ketahuan menyogok jaksa, dan
ratusan perempuan lain yang entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan tidak banyak
cingcong itu diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang biasanya
bermusuhan. Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu telah tega
memukuli dan menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal tidak banyak
ulah.

Marsiyam tidak tahu alasan apa yang menyebabkan perempuan-perempuan itu lebih
suka memanggilnya Marsinah atau Mariyam. Menurut mereka, nama Marsiyam susah
diingat-suatu alasan yang menurutnya pasti sekenanya saja. Dan selama ia di sana tidak
pernah ada orang yang menengoknya. Ia hanya menggelengkan kepala atau menunduk
kalau ditanya, "Kau tak ada keluarga, ya?" Atau, "Kau sudah dibuang keluargamu, ya?"
Ia menjalankan tugas rutinnya dengan tekun, tidak pernah membantah sipir yang mana
pun, yang beberapa di antaranya dianggap ganas oleh rekan-rekannya.

Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan.
Tidak ada yang bisa yakin bahwa perempuan muda itu pernah bunting. Tak pernah
ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya rata saja. Tapi tiba-tiba saja ada bayi keluar
dari rahimnya. Tak ada seorang pun di sana yang percaya pada mukjizat; mana ada orang
jahat percaya akan hal semacam itu? Tetapi pertanyaan yang beredar tetap sama, siapa
gerangan yang telah membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-satunya lelaki di
bangunan itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka tak percaya juga
akan hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui perselingkuhan
semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal beberapa lembar itu-
tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar khusus untuk mendampingi bayinya


sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya akan habis. Tanpa dirasa, sudah dua
tahun ia berada di dalam bangunan itu, tanpa sama sekali pernah berhubungan dengan
dunia luar. Dokter penjual narkoba itu dengan bangga membantunya, juga tukang copet
dan dedengkot arisan. Mereka merasa mendapatkan kebahagiaan dengan membantu ibu
muda itu.

Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus meninggalkan rumah pemasyarakatan
karena masa hukumannya sudah habis, meskipun ia tak merasa sudah dimasyarakatkan.
Ia gendong bayinya sambil menenteng barang bawaannya.

"Kau pulang ke mana Marsinah?" tanya si gembong arisan.

"Entahlah."

"Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu, Mariyam? Kalau aku keluar nanti, tentu
bayimu sudah besar, sudah sekolah," kata dokter yang harus meringkuk di bangunan itu
bertahun-tahun lagi.

Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan penyebutan namanya yang selalu keliru
itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa
wajahnya mirip lelaki muda yang dulu suka membetulkan atap bocor dan kabel listrik
yang korslet di rumahnya. Perempuan itu menyimpan saja perasaannya, yang ia sendiri
tidak tahu apa. Selama dalam masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali bermimpi
bertemu lelaki muda itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf lantaran telah
menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali pemuda itu muncul
dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya suaminyalah yang mandul,
tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti akan menyinggung perasaan dan
menyebabkan guru itu semakin tidak masuk akal tuduhan dan tindakannya.

Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada rekan-rekannya ketika diiringkan oleh


beberapa sipir keluar dari bangunan itu.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

"KAU mau pulang ke mana, Marsiyam?" tanya salah seorang sipir. Ia kaget mendengar
namanya disebut dengan benar untuk pertama kali sejak dua tahun yang lalu.

"Pulang."

"Ke mana?"

"Ke rumah."

"Rumah siapa?"

"Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa mendapatkan anak. Ini anaknya. Aku yakin ia
akan menerima kami. Ini anaknya." ***

Taman Perdamaian Hiroshima

Post: 03/23/2003 Disimak: 110 kali

Cerpen: Ganda Pekasih

Sumber: Kompas, Edisi 03/23/2003

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

HIROSHIMA, di ambang musim dingin, pukul 3 sore, aku tiba di Tobu Hateru, atau
Tobo Hotel untuk beristirahat, mungkin tidur beberapa jam di penginapan sederhana yang
murah dan terjepit di antara bangunan bangunan jangkung di tengah Hiroshima ini, bisa
memulihkan tenagaku. "Jangan lewatkan Hiroshima Peace Memorial Museum kalau kau
masih punya waktu di Hiroshima!" terngiang ucapan rekan sekantorku Akbar sebelum
aku meninggalkan Jakarta minggu lalu, kawan baikku itu pernah kuliah di Universitas
Hiroshima beberapa tahun yang lampau.S>small 2small 0< aku ingin kembali secepatnya
ke Indonesia, tapi sangat sayang kalau aku tidak menyempatkan diri menjenguk sisa-sisa
korban bom atom dan mengunjungi taman perdamaian, tempat di mana bom atom
meledak, bom yang kedahsyatannya merenggut hampir 250.000 jiwa penduduk
Hiroshima.Aku hanya tertidur beberapa jam, dan terbangun ketika di ambang jendela
hotel tampak langit Hiroshima berwarna kelabu menjelang malam. Aku segera menuju
kamar mandi. Selesai mandi, aku keluar dari kamar dan turun ke lobi, di kafe yang ada di
lobi, aku memesan Cha, teh hijau khas Jepang dan hamaagu, atau hamburger.Setelah
menghabiskan teh dan hamburger, aku keluar dari hotel, tapi ada seorang pria Jepang
yang kulihat tadi duduk sendirian di pojok kafe ikut keluar dan mengikutiku."Aku akan
mengantarkanmu ke Gedung Promosi Industri Hiroshima," katanya dengan ramah setelah
dekat denganku, dia tersenyum menampakkan gigi-giginya yang kuning dan sebagian
tampak hitam.Aku agak heran dengan ucapannya, untuk apa aku ke gedung yang tadi
diucapkannya itu? Aku tidak punya urusan dengan promosi industri."Gedung itu satu-
satunya gedung yang dibiarkan hancur sebagai saksi keganasan bom atom, berada di
Taman Perdamaian, kita bisa melihatnya ke sana sekarang, tapi sebelum sampai di sana,
ada baiknya kita singgah lebih dulu di Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, tempatnya
lebih dekat dari sini," tegasnya, dan kembali tersenyum.Dari mana pula orang ini tahu
rencanaku...? Dia pasti hanya menebak-nebak saja tadi, mungkin juga karena hotel ini
banyak disinggahi oleh turis yang mau pergi ataupun pulang dari Taman Perdamaian, jadi
dia sudah familiar. Mungkin juga... karena dia memang mampu membaca pikiran orang.
Usianya kutaksir 50 hingga 55 tahun."Mari ikuti saya," katanya ramah dan kembali
tersenyum."Baiklah," kataku.Aku pun segera mengikutinya. Dia melangkah cepat
melewati para pejalan kaki lainnya. Tanpa mencurigainya aku hanya berkata dalam hati,
beginilah manusia Jepang, serba cepat, fokus, dan... menjadi raksasa dunia.Setelah
melewati beberapa blok bangunan, si pria yang belum sempat kutanyakan siapa namanya
itu, tiba-tiba berbelok dan berhenti di depan... Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, dia
menoleh ke arahku, wajahnya terlihat samar, karena dia membelakangi lampu jalanan
yang baru saja menyala.Kami berjalan masuk."Rumah sakit ini dibuka bulan September
1956, sebagai pusat penyembuhan orang- orang yang terkena radiasi bom atom, pengaruh
radiasi radioaktif menyebabkan leukimia, kanker, dan kebutaan," katanya.Di dalam
rumah sakit, aku agak tercengang dan merasa aneh. Suasana di dalam sangat muram,
asing. Berbeda dengan di luar yang modern dan terang- benderang. Di salah satu dinding
yang kulewati tergantung kalender bahasa internasional disertai huruf kanji, 27
September 1956. Aku bertambah heran. Bagaimana mungkin kalender dinding itu masih
dipasang sekarang.Aku dan laki-laki itu masuk ke sebuah bangsal, orang-orang jompo,
laki-laki dan perempuan tampak sedang bercakap-cakap dan membentuk kelompok, tapi
ada juga yang sedang membaca dan berbaring di tempat tidur."Sewaktu bom atom
meledak, radiasi radioaktif telah menjangkau sampai lima ribu meter dari pusat ledakan,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ciri utama korban, rambutnya gugur."Aku memperhatikan rambut orang-orang jompo


yang tampak memang sangat jarang itu, kesemuanya dibiarkan tidak terurus apalagi
dipotong, begitupun yang laki laki, panjangnya sudah sampai ke punggung. Dengan
wajah mereka yang tirus dan pucat, penampilan mereka jadi lebih menyeramkan."Tapi
penduduk yang berada dalam radius 1000 meter dari pusat ledakan mengalami luka yang
sangat berat dan seluruhnya meninggal dalam beberapa hari."Laki-laki itu berbalik dan
membawaku ke bangsal yang lain, aku mengikutinya saja seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya."Sementara Hiroshima masih terbakar waktu itu, dua hari kemudian, hujan
turun. Hujan itu berwarna kuning pekat kehitam-hitaman, seperti teh susu. Seluruh
penduduk Hiroshima kembali terkena radiasi, setiap orang yang meminum air dari sumur
sakit parut sampai berhari-hari."Aku mencoba mengangguk-anggukkan kepala, tapi
lidahku terasa kelu.Laki-laki itu kembali membawaku melihat ke bangsal yang lain, kini
kulihat bangsal yang berisi orang-orang yang usianya sama denganku. Ya, sama
denganku!? sebagian mereka terbaring dengan mata memandang hampa ke langit-langit
ruangan, sebagian lagi ada yang duduk dengan menundukkan wajahnya, aku tercenung
memperhatikan mereka, mereka masih muda.Guide dadakanku kembali mengajakku ke
bangsal lainnya lagi. Di sini banyak wanita yang sedang hamil tua terbaring di tempat
tidur, dan beberapa wanita hamil yang lain duduk duduk di lantai sambil memunguti
rambut mereka yang gugur dan mengumpulkannya di tangan mereka. Dan di sebelah
bangsal ini, yang dipisahkan dengan dinding kaca, tampak puluhan anak kecil dan bayi-
bayi dalam inkubator sedang dirawat oleh beberapa orang suster.Aku nelangsa,
trenyuh."Mereka terdiri dari beberapa golongan, yang menderita langsung radiasi
radioaktif ketika bom dijatuhkan, disusul mereka yang kena seminggu kemudian, dan
anak-anak kecil, serta bayi dari ibu-ibu hamil."Aku masih memandangi bangsal berisi
ibu-ibu hamil yang sedang memunguti rambut mereka yang berguguran, ketika tiba-tiba
laki-laki itu bergerak meninggalkanku. Aku pun seperti tersadar dan cepatcepat
mengikutinya. Ternyata dia mengajakku ke luar dari rumah sakit ini lewat lorong yang
membelok ke samping. Tanpa berkata-kata, dia terus bergegas meninggalkanku.Setiba di
luar aku merasa lega."Hei... tunggu. Ada yang aneh, sekarang tanggal 6 Januari 2003,
bom atom jatuh di Hiroshima 6 Agustus 1945, bayi bayi di dalam rumah sakit itu
mestinya sekarang sudah berusia 57 tahun, dan anak anak kecil itu sekitar enam puluh
tahun, kenapa mereka masih terus ada sampai sekarang?"Kudengar laki-laki itu tertawa,
tapi dia tidak menghentikan jalannya yang cepat itu."Seperti yang kukatakan di hotel tadi,
tidak jauh dari sini kita akan sampai di Taman Perdamaian, ada bangunan yang masih
dibiarkan tetap seperti ketika diterjang bom atom, dulu gedung itu sebagai pusat Promosi
Industri Kota Hiroshima," kilahnya malah berpromosi.Aku akhirnya tetap mengikuti
langkahnya, bahkan aku setengah berlari untuk menyusulnya."Aku Hartoko.
Anda!?""Oh... Harutoku, Harutoku, nama yang baguuusss. Aku Siode Sadamitsu, aku
lahir di Hokkaido." Lengking suaranya."Tuan Siode..., siapa Anda yang
sebenarnya?""Aku hanya ingin mengantarmu, tapi waktuku tidak banyak.""Aku tahu,
tapi kau baik sekali.""Aku seorang pendeta Buddha.""Oh... pendeta Buddha...."Dia terus
berjalan lincah, di antara kaki-kaki manusia pejalan cepat lainnya. Entah berapa lama,
setelah melewati beberapa bangunan, lorong dan beberapa pintu, dia membiarkanku
menyusulnya. Nafasku sedikit tersengal.Dia, Siode San, membukakan pintu belakang
sebuah gedung yang sekelilingnya agak gelap, kotor, dan berdebu. Rasa penasaranku
tentang apa yang akan ditunjukkan pendeta Buddha ini, seperti yang diakuinya barusan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kalau dia adalah seorang pendeta, membuat langkahku jadi berani.Tapi, begitu tiba di
dalam, aku terhenyak. Aku berdiri di tengah ruangan yang hancur berantakan, beberapa
mayat tertimpa reruntuhan gedung bergelimpangan di sana-sini, tersiram cahaya remang
lampu berwarna merah di langit-langit ruangan, lantai penuh oleh simbahan darah kering
berwarma hitam, beberapa mayat yang lain ada yang hangus dengan kulit mengelupas.
Siode San tampak buru-buru menyalakan hio di ujung ruangan, seketika ruangan mulai
berasap dan tercium aroma wangi yang mengusir busuknya bau mayat dan amis
darah.Aku masih mencoba memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan ketika
tiba-tiba terdengar suara perempuan merintih dari salah satu arah tak jauh dari tempatku
berdiri, aku mendatangi arah suara perempuan itu, sesampainya di sana kulihat separuh
tubuh perempuan itu tertindih puing bangunan, aku mencoba menolongnya sambil aku
memanggil Siode San."Siode San, kemari!"Tapi tak ada jawaban, teriakanku malah
membuat perempuan itu berhenti merintih. Dari arah pintu lain di sampingku, tiba-tiba
Siode San muncul dengan kedua tangannya menjepit beberapa tangkai Hio yang
ujungnya menyala dan berasap melingkar-lingkar mengikuti gerakan tangan Siode, aku
segera menunjuk-nunjuk mayat perempuan itu kepada Siode. Dengan kedua tangan
disatukan di dadanya, Siode lalu menjalankan ritual keagamaannya di dekat mayat
itu.Aku harus segera keluar dari tempat ini, pikirku. Aku ngeri, aku seperti berada di
terowongan kematian. Diam-diam kutinggalkan Siode San, aku melangkah mundur ke
belakang. Aku harus kembali ke pintu masuk kami tadi, tapi aku tidak bisa secepat yang
kuduga menemukan pintu itu, aku bergerak lagi ke balik reruntuhan tembok dan dalam
remang lampu berwarna merah, aku menemukan sebuah pintu yang tersiram cahaya
terang benderang yang dipancarkan dari arah luar. Aku bergerak cepat keluar pintu
cahaya itu. Setelah aku keluar dari pintu itu, aku tercengang. Aku sudah berada di taman
yang indah dan terang benderang, lalu kutunggu Siode keluar menyusulku dari gedung
yang rusak parah itu. Tak lama kemudian Siode San muncul di pintu cahaya itu sambil
tersenyum ke arahku.Kami sampai di Tobo Hotel setengah jam kemudian dengan
menumpang Densha, atau bis umum. Densha yang rutenya melewati subway itu banyak
berputar sebelum kami sampai di tujuan. Di tengah perjalanan, aku tidak banyak bertanya
tentang Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima atau Gedung Promosi Industri Hiroshima
kepada Siode, aku membiarkan dia menceritakan tempat tempat bersejarah yang kami
lewati.Sampai di hotel, Siode mengajakku duduk di tempatnya di pojok hotel tempat
pertama kali dia kulihat. Dia menawariku rokok yang ada di mejanya, dan aku
mengambilnya sebatang, dan menyalakannya."Harutoko... senang berkenalan dengan
Anda, temui kapan saja aku di sini. Masih banyak tempat yang belum Anda lihat. Aku
tinggal di hotel ini, aku suka mengantarkan orang- orang ke Taman Perdamaian atau ke
mana saja di Hiroshima ini," katanya sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya dan
seperti lazimnya pemilik perusahaan di Hiroshima atau Jepang pada umumnya, mereka
biasanya memajang foto-foto mereka di setiap ruangan. Di depanku duduk, aku baru
tegas memperhatikan wajah Siode dalam bingkai foto ukuran poster yang di bawahnya
terdapat pedupaan, dengan hio yang menyala dan wangi. Di bawah foto itu tertera tahun
dan tanggal kelahiran. 6 Februari 1895-6 Agustus 1945.6 Agustus 1945... sekarang 6
Januari 2003.... Tiba-tiba aku ragu untuk memandang Siode yang duduk di sebelahku,
pandanganku terhalang oleh asap rokok yang mengepul di udara, ketika asap rokok
berkurang, aku melihat sosok Siode lewat ekor mataku, bergerak ke arah bar. Diam-diam
aku bergerak meninggalkannya.PAGI hari, mentari bersinar cerah. Aku berada di taman

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

perdamaian, memandang ke satu-satunya bangunan yang tak karuan lagi bentuknya, yang
dibiarkan berdiri sampai sekarang sejak dihantam bom atom. Di bagian depan bangunan
itu, ada pintu cahaya. Nama bangunan itu dulu, betul seperti apa yang dikatakan Siode
San, Gedung Promosi Industri Hiroshima. Taman ini sungguh indah, pohon-pohon
tumbuh subur, berbunga, berbisik dengan angin dari segenap cuaca dari musim yang
datang. Ratusan ekor burung merpati beterbangan dengan bebas, turis turis asing berjalan
di sekitar, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, mereka memotret sambil bercakap-
cakap. Dari Taman Perdamaian ini, seharusnya aku ke Hiroshima Peace Memorial
Museum seperti yang diingatkan rekan sekantorku, Akbar. Di sana kita akan bisa melihat
lebih lengkap dan lebih mengerikan apa yang terjadi ketika itu, tapi aku sudah tidak ada
waktu lagi ke sana, aku harus kembali ke Jakarta, lagipula Siode Sansudah
mengajakkujalan-jalan. ***

Lelaki Beraroma Kebun

Post: 03/16/2003 Disimak: 144 kali

Cerpen: Linda Christanty

Sumber: Kompas, Edisi 03/16/2003

HALIFA masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir
hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata,
ompong, dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa.
Hanya matanya yang sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah
kebun tentu sebuah pengorbanan. Ia senang dikunjungi dancepat-cepat menyuguhkanair
putih serta bijur rebus atau buah keremunting yang hitam-manis pada tamunya, atau lebih
tepat lagi, keluarga pemilik kebun.SUDAH LAMA p dan tersisa yang penting bagian
menjadi itu lelaki lalunya, masa dari hilang telah banyak melihat pulang ketika Namun,
kebun. penjaga si diingatnya saja sesekali rantau tanah Di pulang. tak Halifa < berharga.>
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya
ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi
merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi
kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang
lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu
mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya
radio transistor yang bisa menangkap siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk
roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada yang berasal dari lubang-lubang suling si
penjaga kebun.Apa pendapat lelaki itu saat melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa
cengeng dan manja dulu. Ia kini tumbuh jangkung dan manis. Tanah rantau telah
membesarkan otot-ototnya lewat kerja, meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu
dengan pahit-getir pengalaman. Halifa tersenyum-senyum bangga.Sesungguhnya, ia lebih
hafal pada aroma lelaki itu. Ya, ia seperti membaui aromanya lagi. Di belakang gazebo
yang sudah berlumut, bayangan seseorang berkelebat dalam gerimis dan menghilang
dibalik tapekong.Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan,
melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun,
menabur kotoran ayam dan kambing di atasnya. "Biar gembur, tanah perlu makan,"
katanya kepada Halifa kecil.Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas
budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa
sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan.
Embusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang
yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya,
ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau
parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila
kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan.
Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan."Ke mana dia?" pikir Halifa, melajukan
pandangan ke sudut-sudut kebun. Ia baru ingin melangkah ke pondok kecil beratap
rumbia yang tersamar pohon-pohon lada tua ketika gerimis berganti hujan deras.Di balik
awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar. Halifa merapatkan jaketnya ke
badan sambil berlari mencari tempat berlindung, kembali ke gazebo tadi.Kayu-kayu
pelawan yang menyanggah bangunan itu telah lapuk. Warna coklat cat berubah
kehitaman, mengelupas di sana-sini. Tembok yang dulu kokoh dan putih kini retak dan
berlumut. Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang kena tempias
hujan. "Kenapa dia lari?" batinnya. Mungkin, lelaki itu sudah tak ingat kepadanya
lagi.Hampir lima belas tahun Halifa meninggalkan pulau ini, tempat kelahirannya. Lima
belas tahun ia tak pernah pulang. Tapi, dua jam lalu, pesawat Fokker 100 milik sebuah
maskapai lokal baru saja mengantarnya ke bandar udara yang makin kusam tak terawat,
mengantarnya pulang. Hujan deras sudah menyambutnya di landasan. Sebelum mendarat,
dua kali pesawat mengalami guncangan hebat yang membuat dinding-dindingnya
berderak. Ia sempat berpikir betapa aneh dijemput maut dengan cara ini; berpulang saat
kembali. Halifa sudah siap menarik rompi pelampung dari bawah kursi begitu keadaan
darurat diumumkan. Ia tak mau mati. Ia belum bertemu ayah dan ibunya, belum ziarah ke
makam kakek dan neneknya. Di seberang jendela, laut berwarna hijau tua terlihat tenang
bagai obyek dalam lukisan. Pesawat malang ini berada di atas ketinggian 24 ribu kaki,
pikirnya, gelisah. Barangkali, ia akan dimakan hiu, atau menjadi buih di samudra nanti.
Tapi, perlahan-lahan tepi daratan mulai tampak, pesawat kembali stabil, dan rasa gusar
Halifa berangsur lenyap.Semula ia ingin menyeberang ke pulau itu dengan kapal laut.
Ongkosnya lebih murah dengan jarak tempuh cukup sehari semalam ke pelabuhan tujuan
dan dari situ satu jam menumpang otokongsi ke rumah. Tapi, banyak teman menyarankan
ia naik pesawat terbang. "Sekarang tengah musim angin kencang dan gelombang besar,"
kata mereka. Jadi, ia terpaksa mengubah rencana. Naik pesawat memang lebih mahal,
juga lebih cepat. Huh, ternyata risikonya sama saja. Di laut terancam tenggelam, di udara
terancam jatuh!Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

malam hari. Dulu keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti
nyanyian. Ia tidur nyenyak dalam buai bunyinya. Seringkali sepulang sekolah, setelah
bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida, berlari ke pantai untuk
mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-umang yang
menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari dalamnya,
mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu mereka berlomba
lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-cucunya yang nakal,
"Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula oleh mereka." Apa
iya? Mereka kan begitu imut.Di tengah malam ia kerap mendengar suara orang ribut di
jalan muka rumah dan esok harinya nenek pasti bercerita, "Semalam itu ada orang
ditangkap karena smokel. Makanya, kalau ke pantai harus ditemani Yu Sur atau Mang
Cali. Kalau ada orang jahat, siapa yang tahu." Yu Sur, perempuan muda yang membantu
memasak dan membereskan rumah. Mang Cali bekerja merawat taman dan mencuci
mobil-mobil. Keduanya digaji bulanan oleh ayah Halifa.Nenek berpulang ketika Halifa
kuliah semester pertama. Kakek sudah lebih dulu mangkat saat Halifa di taman kanak-
kanak. Ia tak ingat lagi suasana pemakaman kakek di hutan dekat pantai itu, tapi ia pun
tak bisa menyaksikan pemakaman neneknya. Keuangan ayah sedang menipis waktu itu.
Biaya pulang perlu dihemat untuk biaya kuliah. Perusahaan pertambangan tempat ayah
bekerja sedang terguncang. Harga timah dunia merosot dan korupsi besar di kalangan
eselon atas mempercepat kebangkrutan perusahaan tersebut. Ribuan buruh mogok
menuntut pesangon yang layak. "Sebagian besar hak pesangon mereka dimakan orang-
orang itu," kisah ayah, di telepon. Ayah ikut mogok? Oh, tidak, Nak. Kenapa? Ayah
bagian yang menunggu saja. Ah, ayah curang sekali. Jabatan ayah memang jabatan
tanggung. Korupsi pun tak bisa besar. Berpanas-panas di terik matahari untuk meminta
hak bersama buruh-buruh rasanya tak pantas. Makanya ayah harus punya prinsip, jangan
menginjak ke bawah, menjilat ke atas macam pejabat bumiputra zaman kolonial. Ha-ha-
ha …. Suara tawa ayah yang masih nyaring lumayan melegakan hati Halifa.Ayah
mengirim Halifa merantau setamat sekolah menengah pertama. "Biar kau temukan
nasibmu sendiri dengan berjuang di rantau," kata ayah. "Pulau kecil membuat pikiran
juga tak seberapa luas," lanjut ayah, lagi. Ibu juga tak menangis, hanya memintanya
menulis surat tiap minggu kalau tak punya uang menelepon ke rumah. Nenek memberi
nasihat tentang menjaga diri, "Kau yang punya lubang kunci dan jangan biarkan anak
kunci masuk ke situ." Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham. Malida
kemudian menyusul Halifa. Mereka, perempuan kakak-beradik, berbagi nasib, jauh dari
orangtua. Malida sempat pulang beberapa kali, tapi ia tidak. Entah kenapa, ia terus
terseret dalam irama kota dan arus kerja yang mengikis rasa rindunya pada tanah
kelahiran. Ia tak lagi merasa punya ikatan apa-apa dengan pulau ini, kecuali kenangan
dan sejarah keluarga. Ayah dan ibulah yang lebih sering mengunjungi anak-anaknya
kemudian.Kini rumah di tepi pantai sudah tak ada. Di atas puing-puing perumahan
pejabat menengah itu telah berdiri kampus politeknik. Pantai yang berombak telah
dipagari tembok-tembok tinggi. Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja ditutup
dan sebagai gantinya, penduduk pulau membuka tambang-tambang liar, merusak sungai-
sungai. "Ayah rasa buaya pun sudah tak ada di pulau ini. Semua sungai terpolusi," kisah
ayah.Ayah dan ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun
pusaka kakek, dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang
selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. Kata

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ayah, "Dia turut menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya
keluarga. Dia sudah ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi
katanya dia tak punya keluarga lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal
di rumah kebun." Lelaki itu mulai sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan
dalam kebun mereka.Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek
berpesan agar ayah memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-
nyiakannya.Hujan makin menderas. Pikiran Halifa mulai bercabang, antara berlari ke
rumah atau ke pondok beratap rumbia. Tapi, ia ingin menuruti kata hati saja.Pintu pondok
tertutup rapat, begitu pula tingkap-tingkapnya. Halifa mengetuk daun pintu yang basah.
Tak ada sahutan. Permukaan kayu yang kasar tak bersugu terasa menusukbuku-buku
jarinya.Ia mengetuksekali lagidan disertaisuara,"Atur ini Halifa." Aroma kebun dari
dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. Ia percaya si penjaga kebun ada
di dalam. Tiba-tiba terdengar batuk kering dan suara orang bangkit dari ranjang kayu
yang berkeriyut.Palang pintu ditarik, kemudian di ambang pintu muncul wajah yang lama
dikenalnya. Lelaki itu kelihatan amat tua, dengan uban memenuhi kepala dan tubuh
makin mengecil. Sepasang mata yang kuyu menatap Halifa bimbang."Ini Halifa, tuk.
Atuk masih ingat Halifa kan? Halifa dengar atuk sakit," kata Halifa, lalu meraih dan
menciumi punggung tangannya.Mata lelaki itu mulai berair. Ia meraih pundak Halifa dan
mengajak si perempuan muda masuk ke rumah tanpa berkata-kata. Keadaan kamar
tersebut belum berubah. Ranjang dan meja kayu, kompor minyak tanah, lemari pakaian
dari plastik, dan panci-panci tergantung di dinding. Kini mereka berhadapan, orang
upahan dan anak majikan."Sekarang belum musim keremunting," kata lelaki itu, seraya
menuang segelas air untuk Halifa."Oh, dak ape-ape, tuk. Halifa cume nak mampir
sebentar.Lame dak pulang. Semue lah berubah kata Halifa, seraya duduk di tepi
ranjang."Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai kau ape agik. Papa kau pun
la pensiun. Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus,
sebentar agik nak pulang ke tanah. Macam-macam sakit pun ade, dari pening, mengas
sampai … mate ni la dak keliat agik la.Kau disitu pun,atuk dak bise nampak jelas,kabur
lanjut lelaki tua itu, tertatih-tatih mendekati Halifa, membawa gelas air.Lelaki itu
akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa. Tentang sebuah keluarga yang
tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi mereka yang baru berumur dua hari
untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak sanggup membesarkan bayi itu
lantaran kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima anak yang lahir sebelumnya harus
menanggung penderitaan. Untunglah ada orang yang lebih mampu bersedia mengurus
bayi mereka yang baru lahir. Selang beberapa minggu setelah putra bungsu mereka
diserahkan, sang suami meninggal dunia akibat tuberculosa dan sang istri meninggalkan
gubuk kecil mereka dengan lima anak kurus meringkuk lapar di dalamnya.Berminggu-
minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung
datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk
memastikan anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di
lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata, pikiran yang kalut membuat si perempuan
telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak
minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa
pun. Orang-orang kampung melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong.
Setelah itu ia benar-benar senyap dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau
buaya yang menghuni sungai.Putra bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Halifa. Lelaki tua yang bercerita ini adik kandung dari pihak istri. Halifa terdiam, begitu
pula si penjaga kebun. Mereka larut pada kegetiran masing-masing.Ketika si penjaga
kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah rantau. Ia
cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin
masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-
tempat baru yang pertama kali dikunjunginya. Ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau
itu berangsur-angsur punah.Desember 2002Ketela rambatTempat bersembahyang
pemeluk Kong Hu CuAngkutan kotaMenyelundupkan barang-barang dari luar
negeriSalah satu panggilan untuk kakek berasal dari kata 'datuk'BelumOh, tidak apa-apa,
kek. Halifa cuma mau mampir sebentar. Lama tidak pulang. Semua sudah berubah.Nenek
sudah tak ada. Kakekmu apalagi. Papamu sudah pensiun. Kebetulan kamu pulang. Ada
yang ingin kakek ceritakan. Kakek ini sudah sakit-sakitan, sebentar lagi pulang ke tanah.
Macam-macam sakit ada, dari pusing, sesak napas, sampai mata ini sudah tak bisa
melihat lagi. Kamu di situ pun, kakek tak bisa tampak jelas, kabur.***

Teluk Wengkay

Post: 03/10/2003 Disimak: 159 kali

Cerpen: Korrie Layun Rampan

Sumber: Kompas, Edisi 03/09/2003

Nyala api bekelip di bawah kerdipan bintang-bintang yang bertaburan di langit tinggi.
Unggun dengan bara yang memerah kadang meletikkan bunga api yang naik ke sawang
yang diterangi cahaya bulan. Entah bulan berusia sepuluh atau dua belas, namun sinarnya
yang kemilau memantul di daun-daun pohon tinggi hingga jauhan selepas pandangan
mata.Jauh larut senja aku sudah ada di sini bersama Sopa yang sudah menanti.Di depan
hampir samar sisik danau. Bayangan bulan bersama bintang-bintang seakan dapat diraih
di air yang jernih. Ada sedikit desis bakaran umbut kotok bersama tya di api yang
menyala, dan di dalam pasir yang panas di bawah bara ditenggelamkan umbi singkong
dan talas merah yang gembur. Ada juga bakaran ubi jalar dan jagung muda yang barusan
saja diambil dari huma.Unggun terus menyala.Entah suara pungguk, entah suara rusa atau
burung hantu seperti bersaing dengan desauan daun yang ditempuh angin lalu. Geriut
rumpun bambu kewayam dan bambu betung yang merimbun di arah utara seperti petikan
kecapi tua yang kehilangan satu senar utama. Bersamaan dengan letupan bakaran jagung,
terdengar suara Sopa."Ingin kukatakan yang baik, Wey. Tapi berita yang kudapatkan
sepahit empedu.""Berita apa?" suaraku dirangsang keingintahuan yang tinggi.Ada

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kelepak malam yang dikibaskan kelelawar dengan sayapnya yang lebar. Ada lagu
dedahanan yang menyanyikan angin musim pancaroba. Ada jerit pepohonan dengan
akar-akar yang haus mengharapkan dahaga akan segera berakhir."Berita tentang hidup
dan masa depan.""Tentang kita?""Tentang kita, tentu saja. Dan itu sebabnya Sopa minta
waktumu agar kita bisa bertemu yang dilengkapi dengan unggun malam yang hangat di
tepi danau ini. Iwey tak menyesali?""Menyesali apa?""Waktumu terbuang percuma.
Terutama berita yang menyakitkan.""Kau belum katakan berita apa. Sementara waktu
telah kita sepakati bersama, So. Tak ada waktu terbuang percuma untuk orang bercinta
seperti kita.""Justru berita inilah yang menghapus segala cita-cita, Wey.""Kau jadi
berteka-teki, So. Sesungguhnya berita apa yang ingin kau sampaikan?"Sopa tampak
menarik napas berat bersamaan dengan helaan angin yang bertiup dari arah pohon
beringin yang tinggi. Malam masih menyungkup dengan lengkungan langit yang
berhiaskan bulan dan bintang yang terang."Aku tak sembunyikan apa pun, Wey. Justru
pintaku kita menerimanya dengan sabar.""Tentang pernikahan? Ada perubahan tentang
pernikahan kita?""Memang menyangkut soal pernikahan. Tapi lebih dari itu,
sebenarnya....""Lalu tentang apa?""Tentang kita berdua.""Tentang cinta kita? Sopa masih
ragu tentang cintaku?"Tak ada keraguan tentang itu. Keraguan justru karena semuanya
segera berakhir...."Tampak gadis itu sekali lagi menarik napas sepenuh dada di ujung
kalimatnya yang tak selesai. Seperti ada sesuatu yang berat sekali untuk dikatakan."Kau
belum katakan apa kesulitanmu. Mungkin dapat kita atasi bersama, So.""Mungkin bisa,
mungkin juga tidak. Tapi akhirnya pasti dapat diatasi, Wey.""Belum kutahu apa yang
ingin kau sampaikan. Bagaimana mungkin dapat aku berikan saran dan cara
pemecahannya."Napasnya makin ditarik seperti ingin menghimpun tenaga dan
kekuatan."Sebenarnya sederhana apa yang ingin kukata, Wey. Tapi dampaknya sangat
tidak sederhana.""Dampak bagaimana?""Nasib kau dan aku selanjutnya.""Biaya
pernikahan, maksudmu?""Bukan. Kutahu kau sudah siap-sedia. Bahkan, jika kau belum
siap, Ayah sudah akan menutup semuanya. Hingga biaya resepsi di gedung mewah di
Jakarta.""Lalu kau panggil aku kemari? Bisakah kau sampaikan tidak di dalam teka-
teki?""Justru kau ada di sini agar semuanya jadi jelas, Wey. Kau dapat mengikuti suatu
proses berlelap yang penuh kerahasiaan!"Angin yang datang dari sisik danau berembus
ke arah hutan yang melipat malam di dalam terang cahaya bulan. Kesejukan yang khas
memberi rasa nyaman di tengah hutan berdanau yang seakan memeluk teluk."Katakan
apa adanya, So. Kau telah kenal aku sampai ke lekuk liku. Aku kenal kau.... Tapi kata-
katamu yang terakhir begitu aneh.""Aku ingin kau menerimaku seperti seorang bocah
yang lugu.""Aku telah terima kau penuh seluruh. Maksudmu apa dengan kalimat seperti
tadi?""Maksudku tentang diriku. Tiba-tiba aku ingat kakakku pernah memancing buaya
di teluk danau ini. Kulihat mata buaya seperti meminta belas kasihan. Apakah mataku
mirip mata buaya yang meminta hidup dari algojo kematian?""Kalimatmu jadi makin
aneh. Apa hubungan matamu dengan mata buaya?""Itu yang kurasa sampai aku minta
kau datang ke tepi danau ini. Ada gamang yang aneh, seperti seekor ayam yang sedang
dalam lilitan ular pemangsa.""Kalimatmu makin tak membuatku tambah mengerti,
So.""Bisakah aku meminta sesuatu, Wey?""Tentang apa?""Suami.""Aku akan jadi
suamimu.""Maksudku lelaki sebagai suami saat ini."Lelaki muda itu seperti meneliti
wajah gadisnya. Seakan ia tak percaya pada pendengarannya sendiri. Itukah maksud Sopa
memanggilnya ke rumah di tepi teluk danau? Apakah ada sesuatu yang mengguncang
jiwanya sehingga membuat gadis itu seperti kehilangan diri? Bukankah jika mau

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

melakukan hal serupa itu tak halangan apa- apa di Jakarta? Mengapa harus dilakukan
penyerahan di malam hari di hutan tepi danau? Memangkah wanita tetap suatu rahasia
tak tergali?"Saat ini?" aku sendiri hampir terperanjat oleh gema suaraku di dalam terang
cahaya bulan. "Maksudmu apa sebenarnya dengan penyerahan seperti tak mampu
menunggu waktu dan kepatuhan akan kekuatan kesucian?""Karena aku sedang berburu
dengan waktu, Wey.""Kau membuat aku makin tak mengerti, So. Adakah lelaki lain yang
ingin merampasmu dariku? Atau kau sedang bertarung dengan pilihan orang
tuamu?"Letikan api seperti bersaing dengan kunang-kunang di bawah pepohonan yang
rimbun. Bau ampas tebu yang baru digiling meruap dari arah samping rumah pondok
danau. Bau itu seperti bersaing dengan aroma air danau yang ikut naik bersama cahaya
bulan."Sebentar nanti kau akan mengerti, Wey. Kuingin memberi kenang-kenangan
manis untuk akhir yang paling sempurna. Semua yang kau tanyakan itu tak ada sangkut
pautnya dengan permintaanku padamu."Matanya hampir memantulkan kesayuan waktu.
Dalam cahaya unggun yang marak berbauran dengan cahaya bulan, wajahnya tampak
lebih tirus, seperti mengandung sauatu kenyerian yang dalam. Rautan yang ayu, seakan-
akan kehilangan pancaran masa depan."Kau sakit, So?"Tak kudengar suaranya. Hanya
ruapan bau merang dan tongkol jagung yang dibawa angin dari rangkiang di sebelah
rumah danau seakan tak mau kalah menerpa hidung dan penciuman."Saat ini aku sehat,
Wey. Semuanya sehat. Tubuh dan akal pikiran. Jadi tak perlu kau ragu atas pintaku. Kau
menolak?""Tak aku menolak. Tapi rasanya saatnya belum tiba, So. Aku khawatir kau dan
aku akan menyesal jika terjadi sesuatu di luar rencana. Bukankah kita telah berikrar untuk
setia kepada segala yang baik dan benar?""Demi ikrar itulah aku minta kau datang, Wey.
Demi ikrar itu aku minta..."Kurasa gemetar tanganku saat aku rengkuh ia di depan
perapian yang menyala. Kampung jauhnya lebih sekilometer, dan jalan sunyi yang gelap
di dalam malam karena rimbunan pepohonan. Hanya berdua di rumah danau di teluk
yang indah di malam penuh bulan. Setahun yang lalu aku juga diajak Sopa ke sini, dan
kami menikmati pepes belida yang kujala di dalam teluk danau. Bakaran ikan kapar
membuat kami berdua sama tertawa memandang senja mencium sisik danau. Namun,
saat kubopong, kurasa tubuhnya lebih ringan. Kehangatan perapian seperti dikalahkan
oleh suhu udara dari danau dan hutan membuat tubuhnya terasa lebih dingin.Di Jakarta,
selama kuliah, kehangatan kasih memadukan kami berdua dalam ikatan yang indah.
Bukan karena kami puritan dan takut memanggul neraka, namun kesetiaan kami diuji
oleh kepujian yang indah yang kami buhul secara bersama di dalam janji masa depan.
Bukankah segalanya memiliki waktunya sendiri-sendiri?Selepas kuliah, oleh kerjanya di
Sendawar dan aku tetap di Jakarta, janji setia itu makin diperhangat oleh jarak dan waktu.
Apalagi setelah ditetapkannya tanggal yang pasti untuk pernikahan, kesetiaan adalah
azimat yang ampuh dalam memelihara diri dari sandungan perfum kerak-kerak
dunia."Tapi untuk permintaanmu, bisakah kita bersabar hingga tanggal lima, dua bulan
lagi?" suaraku seperti bergema di dalam nadi.Kurasa pagutannya penuh penyerahan."Jika
kau cinta, Wey, kau kuminta dengan sangat untuk yang paling berharga ini. Waktuku
terlalu singkat untuk menunggu lebih lama."Kepalaku seperti diputar oleh turbin listrik di
air terjun yang deras. Kekasihku wanita yang ayu dan aku lelaki yang sehat. Adakah yang
kurang untuk pekerjaan bersuami-istri? Selain saat dan waktunya yang baik dan tepat?
Dan kinikah waktunya yang paling baik dan paling tepat? Meskipun sebelum ijab kabul?
Bukankah kami akan segera naik ke pelaminan?Gigil yang perih dan aneh berbaur
dengan rengkuhan yang hangat penyerahan. Dalam detik-detik indah tak kuingat bahwa

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

aku belumlah suami, tetapi aku telah menjadi suami. Kurasa Sopa merengkuhku seperti
rengkuhan seorang istri. Sebuah pengalaman indah aneh kami terima dengan kepolosan
calon pengantin."Terima kasih," suaranya yang lembut semasih dalam rengkuhan.
"Wanita kami selalu memberikan yang terbaik untuk satu kekasihnya, Wey....""Terima
kasih," kukecup ia sekali lagi. Kurasa suhu badannya lebih dingin. "Selebihnya kita
tunggu tanggal lima.""Satu rahasia yang belum pernah kuceritakan padamu, Wey, bahwa
wanita kami dari daerah ini, jika terjadi hal-hal khusus akan tetap menunggu kekasihnya,
sebelum napasnya seluruhnya di angkat dari badannya. Sebelum ia mati.""Sebelum
mati?""Jika ia belum menikah dan masih bertunangan. Jika ia sudah bersuami dan
suaminya sedang bepergian. Ia akan menunggu orang yang dicintainya pulang, dan
mereka bercinta, barulah ia mati.""Tapi Sopa tidak mati?""Seminggu yang lalu aku
periksakan diri di dokter di Sendawar. Seharusnya tiga hari lalu aku sudah mati. Terkena
leukemia...!""Tapi Sopa belum mati?""Tiga hari aku menunggu di sini dalam mati.
Terima kasih untuk pemberianmu, Wey. Biarlah aku mati dengan tenang dan
damai."Kengerian segera naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin aku bercintaan dengan
orang mati, meskipun itu kekasihku sendiri, calon istriku. Adakah memang orang mati
mampu mempertahankan kehidupan demi kekasih dan orang yang dicintainya?
Kubaringkan Sopa dengan perlahan di tilam dan kepalanya kutaruh di bantal yang
hangat. Napasnya masih ada, nadinya masih ada. Tetapi matanya terkatup rapat,
sementara bibirnya terus mengulum senyum. Kudengar napasnya masih tersisa di
tenggorokan.Malam inikah ia mati? Beberapa detik lagi?Malam berbulan di teluk dengan
rumah danau tanpa penghuni lain. Hanya aku dan Sopa. Angin mendedas dari arah hutan
rotan terus menyapu permukaan danau. Suara burung hantu dan suara sayap-sayap malam
makin mempertegas sebuah kematian. Tengkukku makin merinding dan bulu romaku
sudah berdiri. Haruskah aku berjalan kaki pulang ke kampung dan meninggalkan mayat
Sopa sendiri dalam malam?Siapa saksiku kalau aku tak memperkosa dan tak membunuh
Sopa?Sendawar, 13 Desember 2002

Tanpa Nasib

Post: 03/02/2003 Disimak: 97 kali

Cerpen: Imre Kertész

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Sumber: Kompas, Edisi 03/02/2003

SETELAH beberapa langkah maju ke depan, tampak bangunan yang sangat kukenal. Di
situ kami tinggal. Masih berdiri utuh seluruhnya dalam bentuk yang bagus. Begitu
melewati gerbang depan, aroma lama itu tak berubah. Lift ringkih dengan pintu berkisi-
kisi dan bekas jejak kaki kekuningan menyambutku. Berjalan sedikit ke atas sempat
kubalas sapa seorang penghuni apartemen yang sedang turun. Itu kebiasaan bertetangga
yang menghangatkan. Sampai di lantai tempat tinggal kami, aku pencet bel. Cepat sekali
pintu itu dibuka tapi hanya sedikit, terganjal oleh kunci rantai. Itu agak mengherankanku.
Seingatku dulu tak ada rantai pencegah di pintu. Wajah tak kukenal muncul di celah itu.
Seorang perempuan dengan tulang pipi menonjol, kuning, setengah baya, menatapku. Ia
tanya aku cari siapa, dan kujawab, "Aku tinggal di sini." "Tidak mungkin," jawabnya,
"kamilah yang tinggal di sini." Dia sudah hampir menutup pintu tapi tak bisa, karena
kutahan dengan kakiku. Kucoba menjelaskan padanya, "Pasti ada salah pengertian.
Terakhir kali dulu saya pergi meninggalkan tempat ini, dan saya yakin kami sungguh-
sungguh tinggal di sini." Dia sebaliknya terus mendesak bahwa justru akulah yang keliru.
Sebab, sudah sangat jelas mereka memang tinggal di situ. Dengan gerak kepala yang
sopan dan simpatik, melembutkan otot muka, ia berusaha menutup pintu. Aku masih
berusaha mencegahnya. Lalu, aku coba melongok nomor rumah untuk memastikan
bahwa memang bukan aku yang keliru. Tapi, dia berhasil menutup pintu. Pasti kakiku
tadi terselip lepas dari celah itu. Ia menutup pintu dengan keras dan menguncinya dua
kali.AKU kembali ke tangga, perhatianku terserap pada pintu rumah yang kukenal betul
bentuknya. Kupencet bel. Perempuan gemuk, berdaging, muncul. Ia juga hendak
menutup pintu-aku mulai terbiasa dengan perlakuan seperti ini-tapi sepasang kacamata
membersit dan wajah kelabu Paman Fleischmann muncul dari temaram. Di sampingnya
berdiri laki-laki tua perut buncit, dengan sandal kain, jenggotnya merah lebat, potongan
rambut kekanakan dan cerutu padam menggantung di bibirnya. Ini Tuan Steiner tua yang
dulu datang persis ketika aku hendak meninggalkan rumah pada malam terakhir sebelum
hari aku diangkut dari kantor pabean. Mereka berdiri memelototiku, lalu mengujarkan
namaku. Dan, Tuan Steiner tua itu memelukku, sementara aku masih mengenakan topi,
baju narapidana bergaris-garis, dan tubuhku berkeringat. Mereka menarikku masuk ruang
tamu, dan Bibi Fleischmann buru-buru ke dapur menyiapkan "segigit makanan", begitu
katanya. Aku harus menjawab pertanyaan yang itu itu juga: dari mana, bagaimana, kapan.
Lalu, aku bertanya dan kudengarkan jawaban mereka, orang lain sekarang memang sudah
menempati apartemen kami. "Lalu kami sendiri, bagaimana?"Karena mereka tampak sulit
menjawab, aku tanyakan lagi, "Ayahku?" Tanggapannya, semua diam. Sejurus kemudian
sebuah tangan-aku yakin ini pasti tangan Paman Steiner- pelan-pelan terangkat dan
seperti seekor kelelawar hinggap pelan-pelan di lenganku. Aku hanya ingat mereka
mengatakan bahwa "kebenaran kabar sedih itu, sayangnya, tidak dapat diragukan",
karena didasarkan "pada kesaksian seorang mantan narapidana." Menurutnya ayah telah
meninggal "setelah sejurus waktu derita yang sebentar saja" di sebuah kam Jerman, meski
terletak di wilayah Austria. Apa nama kam itu? Manthaussen? Bukan, Mauthaussen.
Mereka tampak senang bisa mengingat nama itu, tapi kemudian berubah serius lagi. Ya,
begitu.Lalu, kutanyakan tentang ibuku. Apa mereka tahu kabarnya? Mereka serentak
menjawab ya, memang mereka punya suatu kabar baik. Dia hidup, dia sehat, beberapa
bulan yang lalu dia datang ke sini, dan bahwa mereka telah berbicara dengannya. "Lalu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ibu tiriku?" kutanya dan jawabnya, "Dia sudah kawin lagi." Dengan siapa? Salah satu
menjawab, "Kovacs, kukira." Yang lain, "Bukan, bukan Kovacs. Tapi Futo. Maksudku
Suto." Lalu, mereka mengangguk-angguk senang. Ya, tentu, begitulah yang terjadi: Suto
tak berubah seperti yang sudah-sudah. Ibumu harus banyak berterima kasih padanya,
"sebenarnya dalam segala hal", itu kata mereka padaku. Suto adalah orang yang
"menyelamatkan keberuntungan keluarga." Ia menyembunyikan ibumu "selama masa
yang paling sulit". Begitu rupanya mereka memahami masalah. "Tapi, barangkali,"
Paman Fleischmann merenung, "ia agak terlalu cepat." Dan, Tuan Steiner tua setuju.
"Tapi, kalau kita timbang-timbang seluruhnya," Tuan Steiner menambahkan, "semuanya
dapat dipahami," dan Tuan Steiner tua setuju lagi.Aku masih di situ beberapa saat lagi.
Rasanya lama aku duduk di sofa agak tinggi, empuk, warna merah anggur itu. Sementara
itu, Bibi Fleischmann muncul lagi dan membawakanku sepotong roti dengan lemak,
paprika, dan beberapa irisan tipis bawang merah di atas piring tembikar berhias
pinggirnya. Ia katakan, ia ingat makanan ini adalah kesukaanku, dan cepat kutanggapi
bahwa aku tetap suka. Ketika aku makan, di antaranya kedua orang tua itu berkata
padaku, "Kehidupan di rumah juga tak mudah." Berbagai peristiwa mereka ceriterakan.
Tapi, kalau diingat lagi semuanya, aku hanya menangkap lukisan kabur tentang kejadian-
kejadian yang membingungkan, mengusik hati. Pada hakikatnya,semua itutak
dapatkulukiskan ataukupahami. Justrusebaliknya,kalau kuperhatikanbaik-baik,
merekaternyata mengulang-ulangungkapan singkat yang hampir-hampir sudah usang
darimulut mereka,setiap kaliada perubahanatau kejadianbaru.Misalnya, bintang-bintang
kuning itu "akhirnya kejadian", pembebasan "akhirnya terjadi".Aku perhatikan mereka
membuat kesalahan yang terus diulang-ulang. Seolah-olah semua peristiwa itu tak jelas,
sulit dibayangkan, hampir-hampir tak dapat direkonstruksikan lagi, atau tak terjadi dalam
batas-batas waktu, menit, jam, hari, minggu, dan bulan, tapi, begitulah mereka berujar
dan berujar, semuanya seakan-akan terjadi seketika. Barangkali, seperti dalam sekali
putaran kejadian kekacauan yang membingungkan, seolah-olah kejadian itu berlangsung
begitu saja di suatu pertemuan di sore hari yang aneh dan tiba-tiba secara tak terduga
kemudian berubah jadi pahit karena para pesertanya -hanya Tuhan yang tahu, bagaimana
persisnya-tiba-tiba kehilangan kepalanya dan akhirnya bahkan mereka tak tahu apa yang
mereka lakukan. Pada saat tertentu, kedua orang tua itu terdiam, dan setelah beberapa
saat, Tuan Fleischmann tua tiba-tiba bertanya padaku, "Apa rencanamu ke depan?" Aku
agak terkejut dan kukatakan padanya aku belum banyak berpikir tentang itu. Kemudian
orang tua yang lain memutar posisi duduknya di sofa dan mengarahkan perhatian padaku.
Kelelawar itu bangkit lagi dan tampak ringan, kali ini tak hanya di lenganku tapi juga di
lututku. "Yang paling penting," katanya, "kamu harus melupakan semua teror itu." Aku
bertanya, bahkan agak lebih terheran lagi, "Kenapa begitu?" "Supaya kamu bisa hidup."
Dan, Paman Fleischmann mengangguk setuju. Lalu ujarnya, "Dengan beban seberat itu
orang tak akan dapat mulai kehidupan baru." Memang harus kubilang, ada benarnya kata-
katanya itu.Aku hanya tak mengerti bagaimana mereka bisa berharap pada sesuatu yang
tak mungkin. Kukatakan bahwa apa yang terjadi sungguh-sungguh telah terjadi. Dan,
meskipun semua telah berlalu, sulit buatku untuk membuat agar ingatanku tunduk pada
perintahku. Aku hanya dapat memulai hidup baru, kataku, seandainya aku dilahirkan lagi
atau jika suatu penyakit menyerang atau kecelakaan mencederai otakku. Tentu saja aku
tak berharap. Di samping itu, kutambahkan, tak dapat kuingat telah kulihat ada hal-hal
yang menakutkan. Tapi, kuperhatikan, mereka jadi agak terheran-heran. Entah bagaimana

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mereka memahami ungkapanku "tak dapat kuingat telah kulihat". Ganti kutanya mereka,
apa yang mereka lakukan selama "masa-masa sulit" itu. "Ya begitulah, kami tetap hidup,"
salah seorang tua itu merenung. "Kami berusaha sekuat tenaga bagaimana caranya bisa
selamat." Yang lain menyambung. Itu berarti, kataku, bahwa Paman juga menjejak
selangkah demi selangkah. Apa itu artinya, mereka balik bertanya. Kemudian
kuceriterakan pada mereka bagaimana kam konsentrasi berfungsi, misalnya, yang di
Auschwitz. Paman harus membayangkan ada sekitar tiga ribu orang dalam satu kereta
api. Mungkin tak selalu begitu dan barangkali tak sepersis itu, karena aku tak tahu secara
pasti. Tapi, setidaknya itulah yang menimpaku. Ambil saja misalnya kaum laki-lakinya.
Jumlahnya sekitar seribu. Mari kita bayangkan satu atau dua detik dokter membutuhkan
waktu untuk memeriksa. Padahal, setiap orang biasanya lebih dari dua detik. Baiklah, tak
usah dihitung urutan pertama dan yang terakhir, sebab biasanya mereka memang tak
dihitung. Tapi, yang di tengah-tengah, di mana aku berdiri dalam antrean, kami dipaksa
menunggu sepuluh sampai dua puluh menit. Lalu, ketika kami sampai pada titik
penentuan keputusan, masih tak jelas apakah kami akan langsung dimasukkan kamar gas
sekarang juga, atau kami masih dapat waktu penangguhan hukuman mati barang
sebentar? Padahal, selama waktu itu antrean terus bergerak, terus maju. Setiap orang
melangkah maju, langkah lebar atau langkah pendek semuanya tergantung dari kecepatan
operasi itu.Suasana hening, hanya disela oleh suara Bibi Fleischmann mengangkat piring
kosong dari depanku lalu membawanya pergi. Tak kulihat dia balik. Kedua orang tua itu
bertanya, "Apakah semua ini memang baik, dan apa maksudmu mengatakan ini semua?"
Aku menjawab, "Tak ada yang istimewa. Tapi mengatakan bahwa semua itu begitu saja
terjadi tidaklah seluruhnya tepat," sebab kami menjalaninya selangkah demi selangkah.
Hanya sekarang ini semuanya tampak sudah berakhir, tak ada perubahan lagi, final,
begitu cepat dan sulit dipercaya, dan begitu kabur, sehingga tampaknya semua terjadi
begitu saja. Hanya sekarang, dengan laku surut, kami melihatnya kembali ke belakang.
Tentu saja, seandainya kami tahu nasib kami sebelumnya, apa yang dapat kami lakukan
hanyalah mengurutkan dan menjalani bagaimana waktu berjalan. Sebuah ciuman
perpisahan yang tolol tentu sulit dihindari, misalnya, seperti halnya satu hari tanpa
kegiatan di kantor pabean atau di kamar gas itu. Tapi, selama kami memandang ke depan
atau ke belakang, kami sama-sama tak bergerak, kataku. Karena nyatanya dua puluh
menit pada dasarnya adalah rentang waktu yang cukup panjang. Setiap menit berdetak,
berlalu, dan akhirnya berhenti sebelum menit kedua bergerak lanjut.Lalu, kuminta
mereka mempertimbangkan hal ini, "Setiap menit sebenarnya dapat menyebabkan
timbulnya urusan baru." Memang, tidaklah selalu begitu, tapi harus diakui bahwa tentu
saja bisa terjadi. Maka, kalau dilihat secara keseluruhan, sesuatu entah apa pun itu
mungkin saja telah terjadi selama menit-menit berlangsung, sesuatu lain yang akhirnya
sungguh-sungguh terjadi di Auschwitz, seperti halnya juga di rumah ini, katakanlah
begitu, ketika kita semua sedang mengucapkan kata perpisahan pada ayah.Pada kata-
kataku yang terakhir, Tuan Steiner tua mulai gerah, berdiri dan bergerak memutar. "Lalu,
menurutmu, apa yang seharusnya kita lakukan?" tanyanya, setengah kesal hatinya,
setengah mengeluh. Kukatakan padanya, "Tak ada, tentu saja, atau ...," kutambahkan,
"sesuatu yang sama-sama tak bermakna seperti halnya kita tak pernah melakukan apa
pun. Sudah tentu. Tapi, bukan itu yang penting," aku mencoba menjelaskan. "Lalu apa?"
mereka tanya balik, karena mereka juga tampak hilang kesabaran, seperti aku sendiri juga
semakin merasa kesal. "Yang paling penting terletak pada langkah-langkah itu sendiri.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Setiap orang melangkah maju sejauh dia mampu. Aku pun melangkahkan kakiku-tidak
hanya selama berada di antrean di Auschwitz tapi juga sebelumnya ketika aku masih di
rumah. Aku bergerak maju bersama dengan ayahku, dengan ibuku, dengan Anne-Marie,
dan-barangkali ini yang paling sulit-dengan kakak perempuanku yang paling tua.
Sekarang, aku bisa bilang kepadanya, apa artinya jadi "orang Yahudi". Sebelumnya itu
tak berarti apa-apa sebelum langkah-langkah itu mulai dijejakkan. Sekarang, tak ada
darah lain, dan memang tak ada apa-apa sama sekali, kecuali ...," di sini aku macet
bicara, tapi kemudian aku ingat kata-kata wartawan itu, "kecuali situasi yang ada dan apa
pun yang ada bersamaan dengan semua itu."Aku juga menghidupi nasib yang
menimpaku. Sebetulnya itu bukan nasibku, tapi akulah yang menghayati nasib itu sampai
akhir. Aku sungguh-sunguh tak mengerti mengapa sulit sekali membuat kedua orang tua
itu mengerti. Kupikir, lebih baik aku pergi dan melakukan sesuatu, sementara sekarang
aku tak dapat memuaskan diri dengan mengandaikan bahwa semuanya adalah kesalahan,
penyimpangan, sejenis kecelakaan atau bahwa semua itu tak pernah terjadi, entah
bagaimanapun caranya. Dapat kulihat, dapat kulihat dengan jelas bahwa mereka tak
memahamiku dan malah mereka tidak suka dengan kata-kataku. Bahkan, beberapa kataku
membuat hati mereka kesal. Kuperhatikan beberapa kali Paman Steiner sudah hendak
menyela bicaraku. Ia ingin melompat bangkit. Dan, juga kuperhatikan orang tua yang lain
menahannya, dan kudengar apa yang diucapkannya, "Biar saja. Apakah tak kaulihat
bahwa dia hanya ingin berbicara? Biarkan dia berbicara. Biarkan."Dan, memang aku
berbicara, barangkali sia-sia dan sulit dipahami. Aku pun masih ingin menyampaikan
sesuatu pada mereka, "Kita tidak akan pernah dapat memulai suatu hidup baru. Kita
hanya dapat melanjutkan hidup kita yang lama. Aku menjangkahkan langkah hidupku
sendiri. Itu tak akan dapat dilakukan oleh orang lain. Dan, pada akhirnya aku tetap jujur
terhadap nasib yang digariskan untukku. Satu-satunya keburukan atau keindahan,
barangkali dapat kukatakan, satu-satunya ketidaktepatan, yang dapat dituduhkan
kepadaku oleh siapa pun adalah bahwa kita sekarang ini saling berbicara. Tapi, jelas
bukan itu yang kukerjakan. Apakah Paman berdua ingin semua kekerasan yang
menakutkan itu dan semua langkahku sebelum ini kemudian hilang maknanya sama
sekali begitu saja? Mengapa harus ada perubahan sikap ini, mengapa kita harus
melawannya? Mengapa tidak bisa Paman sadari bahwa jika ada suatu hal yang disebut
nasib, sebagai akibatnya tak akan ada kebebasan? Di sisi lain, jika ...," terus kulanjutkan,
aku semakin heran juga pada diriku sendiri, dan semakin merasa kesal, "jika di sisi lain
tak ada kebebasan, maka tak akan ada nasib." Tiba-tiba aku jadi memahaminya dengan
begitu jelas, sesuatu yang tak pernah kusadari sebelumnya. Aku menyesal mengapa
hanya bertemu dengan kedua orang ini dan bukan dengan seseorang yang lebih pintar,
katakanlah, lawan bicara yang lebih layak. Tapi, hanya merekalah yang ada di sini, saat
ini, dan bagaimana pun mereka adalah orang-orang yang waktu itu berada di sini pula
ketika kami semua menyampaikan kata perpisahan dengan ayah.Mereka pun sudah
melangkahkan kaki dalam hidup. Mereka juga menyadarinya. Mereka sudah tahu itu
sebelumnya. Mereka juga menyampaikan ucapan perpisahan pada ayah seolah-olah kami
sudah harus buru-buru keluar rumah. Lalu, mereka ganti bahan pembicaraan. Sekarang,
mereka membicarakan apakah aku harus naik tram atau bus untuk menuju ke Auschwitz.
Saat itulah Paman Steiner dan juga Paman Fleischmann melompat bangkit dari tempat
duduknya. Paman Fleischmann mencoba mencegah Paman Steiner, tapi sudah tak
mungkin lagi. "Apa?" ia berteriak padaku, mukanya merah dan memukulkan kepalan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tangannya ke dada. "Apa? Apakah sekarang justru kami yang salah-kami para korban
ini?" Aku berupaya menjelaskan, "Ini bukan berarti dosa. Dengan rendah hati kita wajib
mengakuinya demi kehormatan kita, begitu mungkin bisa dikatakan." Mereka mencoba
mengerti bahwa mereka tak bisa mengambil semuanya dariku. Perkaranya pasti bukan
apakah aku ini korban ataukah orang yang kalah, bahwa aku tak dapat dibenarkan dan
tidak dapat bersalah, bahwa aku ini bukanlah sebab atau akibat dari suatu tindakan
tertentu, apa pun itu wujudnya. Aku hampir-hampir meminta-minta mereka untuk
memahami hal ini. Aku tak mampu menelan begitu saja kepahitan tolol ini hanya karena
ingin dipandang tidak bersalah. Kulihat mereka tak mau mengerti apa pun. Begitulah,
lalu segera kuambil topi dan tasku dan pergi dari situ, sementara masih ada kata-kata
yang menggantung dan kalimat-kalimat yang tak selesai.Turun dari tangga, jalanan
menyambutku. Aku harus naik kendaraan umum untuk menuju ke ibu. Tapi, kemudian
aku ingat. Tentu saja, aku tak punya uang, lalu kuputuskan untuk jalan kaki. Namun,
untuk mendapatkan kekuatan, aku berhenti istirahat sebentar di alun-alun lama di bangku
yang sama seperti dulu. Di sana, menghadap ke depan, ke arah aku hendak pergi, jalan
tampak melebar, memanjang dan hilang di kejauhan, bukit-bukit kebiruan dimahkotai
awan kemerahan, dan langit bersaput jingga. Di sekelilingku, rasanya sesuatu sedang
berubah. Lalu lintas lebih sepi, langkah orang lalu lalang tampak lebih tenang, suara
mereka lebih rendah, ekspresi wajah mereka lebih lembut. Wajah mereka tampak seolah-
olah tertukar satu sama lain. Ini adalah saat-saat yang paling istimewa-aku ingat benar
sekarang, dan aku merasakannya di sini-ini saat-saat favoritku selama dalam kam, dan
muncul keinginan yang pasti jadi sia-sia, menyakitkan dan memang tajam menusuk ke
dalam dada: aku rindu rumah. Mendadak semuanya jadi hidup, semuanya kembali lagi,
semuanya menggenangi kesadaranku. Aku kaget dengan perasaan yang aneh ini, bergetar
rasaku mengingat kenangan sampai ke perkara-perkara kecil. Ya, benar, dalam arti
tertentu, hidup jadi lebih murni, lebih sederhana, berada di situ. Aku jadi ingat semuanya,
satu demi satu, ahwal dan orang, bahkan mereka yang tak menarik perhatianku, tetapi
terutama mereka yang keberadaannya dapat kunilai saat ini: Pjetyka, Bohus, dokter itu,
dan semua yang lain. Dan, untuk pertama kalinya sekarang aku berpikir tentang mereka
dengan sedikit sesal sekaligus rasa sayang.Baiklah, tak perlulah melebih-lebihkan
persoalan, karena kesulitan yang kuhadapi sekarang persis ada di hadapanku: bahwa aku
berada di sini, dan aku tahu sepenuhnya bahwa aku harus membayar harga mengapa aku
diizinkan hidup. Ya, ketika kurasakan petang yang lembut di alun-alun ini, di atas jalan
yang sudah diempas badai, tapi sekaligus penuh seribu janji, rasa siapku sedang tumbuh,
mulai bertumpuk dalam diri. Aku harus melanjutkan hidup yang tak dapat lagi
kulanjutkan ini. Ibu menantikanku. Tentu ia akan bahagia melihatku. Kasihan dia. Aku
ingat bagaimana dia dulu ingin aku jadi insinyur atau dokter atau sesuatu seperti itu.
Tentu saja itu yang diinginkannya. Tak ada kemustahilan yang tak dapat ditembus (lolos
selamat?), tentu saja, dan semakin turun ke jalan, sekarang aku tahu, kebahagiaan
menantikanku seperti perangkap yang menjebak. Juga di belakang sana, di bawah bayang
cerobong-cerobong pembakaran itu, ketika sebentar saja rasa sakit itu berhenti menusuk,
ada sesuatu yang mirip dengan yang disebut kebahagiaan. Setiap orang akan bertanya
padaku tentang penderitaan, "teror dari kam-kam konsentrasi", tapi bagiku, kebahagiaan
justru selalu jadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Barangkali. Ya, itu yang akan
kuceriterakan pada mereka, nanti kalau mereka bertanya padaku: kebahagiaan di kam-
kam pembantaian itu.Jika memang mereka sampai hati bertanya.Dan jika aku belum lupa.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

(Diterjemahkan oleh PRASETYOHADI)--------------CATATAN:< p> Bintang segi tiga


sama sisi bertumpuk warna kuning, bintang Nabi Dawud, menjadi lambang pengejaran
dan pembunuhan terhadap orang Yahudi di Jerman. Setelah Perang Dunia II mulai, para
penguasa fasis memaksakan penyematan lencana Bintang Kuning pada lengan kanan
orang Yahudi, mulai yang berumur 10 tahun, yang sedianya hendak dipekerjakan secara
paksa atau dibunuh.Tanggal itu warga Yahudi Jerman dan Austria mulai dideportasikan
ke dalam berbagai ghetto di Eropa Timur.Panah Bersilang adalah lambang partai fasis
Hungaria yang melaksanakan keputusan Nazi Jerman melakukan holocaust.Catatan
sejarah menyebutkan, Januari 1942, polisi Hungaria membantai sekitar 3.500 orang; 800-
an di antaranya orang Yahudi. Mereka membuang ribuan mayat begitu saja di sungai
Danube di bagian H

Untuk Keluarga di Gondangdia

Post: 02/23/2003 Disimak: 164 kali

Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo

Sumber: Kompas, Edisi 02/23/2003

BARU kemarin saya melihat lelaki itu di kedai Nam Khe, duduk di kursi yang sama
menghadap meja yang sama pula. Pas buat dua orang. Wajahnya nampak selalu gelisah,
berkali-kali melempar pandang ke Zeedijk--sebuah jalan kecil di depan kedai yang selalu
ramai dilewati orang-orang yang lalu-lalang datang dari atau ke arah Damrak. Saya dan
Hargo teman sekamar saya di hotel, baru saja jalan-jalan keluar-masuk toko souvenir
yang banyak terdapat di pusat pertokoan Kota Amsterdam. Sampai kaki terasa capek
belum juga sahabat saya itu tertarik buat membeli souvenir yang agak pantas untuk
Nunik, adik kandungnya, yang sudah seminggu di Belanda dan besok pagi akan terbang
pulang ke Jakarta. Nunik dan suaminya hari itu ingin jalan-jalan sendirian, tanpa saya
maupun kangmasnya. Kami mengerti maksud Nunik. Suaminya ingin beli arloji yang
kemarin dilihatnya di etalase sebuah toko mewah, dan dia merasa sungkan jika kami ikut
mengantarnya, karena harga arloji itu memang tak terbayangkan.SEMBILAN ribu US-
Dolar, Pri! Bayangkan, sepuluh bulan gaji saya!" kata sahabat saya."Jangan ukur gaji
sampean atau gaji saya. Tak ada amput-amputnya!" sahut saya."Titipan Ibu Gubernur,"
kata Nunik.Titipan jendral kek, presiden kek, itu urusan ipar sampean, batin saya. Hargo
tidak terlalu percaya pada adiknya. Dia lebih percaya, arloji itu akan dibeli buat upeti,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

bukan titipan biasa seperti kata Nunik. Sebab, menurut sahabat saya, hierarki dan
kepangkatan dalam tatanan feodal yang kian disemarakkan di Tanah Air, nampaknya
telah menjadi lestari dilengkapi adat asok upeti. Tetapi itu bukan urusan saya saat
sekarang. Urusan saya yang mendesak cuma segera mengisi perut. Sudah waktunya
injeksi insulin, lantas makan siang di Nam Khe, kedai murah di ujung Zeedijk. Beberapa
kali kami pernah makan di sana. Kali ini kami menghindari lorong-lorong kumuh yang
membuat bulu kuduk kontan berdiri bila berpapasan dengan kaum gelandangan pengisap
ganja di kanan-kiri etalase yang dipenuhi benda-benda erotika. Selain itu kami tak sampai
hati melihat wanita-wanita yang terang-terangan dijajakan di balik kaca dalam pakaian
mini sekali, seolah mereka tak lebih berharga dari barang dagangan. Kami memilih jalan
yang lebih sopan dari arah stasiun sentral, melangkah cepat-cepat karena tidak boleh
terlambat. Sahabat saya tak punya pilihan lain kecuali ikut memenuhi disiplin jam makan
saya. Di Nam Khe, saya segera membeset meja yang baru saja kosong. Belum lagi kami
selesai membaca daftar menu, tiba-tiba saya melihat wajah itu lagi, duduk sendirian
menghadap meja yang itu juga: pas buat dua orang. Dengan aling-aling selembar koran
yang agaknya hanya pura-pura dia baca, dia berkali- kali mencuri pandang ke arah
sahabat saya dan kadang juga ke arah saya. Agaknya pun berpikir, kemarin telah melihat
kami berdua di Nam Khe.Wajah lelaki itu nampak gelisah seperti sedang menanti
seseorang yang sewaktu-waktu melintas di depan kedai. Saya yakin dia memang sedang
menunggu seseorang, sebab beberapa kali saya lihat dia menolak orang yang bermaksud
duduk semeja dengannya. Dugaan saya benar. Beberapa menit kemudian orang yang
ditunggunya nampak memasuki pintu kedai, langsung duduk di depannya. Seorang
perempuan berbaju ungu dengan gambar kembang teratai potongan gaya Shanghai,
berkerah tutup, kancing-kancing dadanya berbentuk pilin-pilin kain yang melintang
seperti anak-tangga. Dengan rok ketat biru tua yang nampak agak mengkilat dan terbelah
di dua sisi lututnya, perempuan itu mengingatkan saya pada Han Shu Yin-pengarang
Birdless Summer yang bukunya hampir selesai saya baca di hotel. Saya sangat berminat
membacanya karena terkenang filmnya: Love Is A Many Splendoured Thing yang
dibintangi Jenniver Jones dan William Holden tahun-tahun 60-an.Di tengah-tengah
denting suara wajan juru masak di dapur serta lagu-lagu musik Tionghoa yang nadanya
tinggi sekali, kami tak bisa menangkap kalimat-kalimat mereka. Saya ingin
mendengarnya, apakah mereka ngomong Belanda atau Indonesia. Sahabat saya melirik
ke wajah itu sambil berlatih menjepit shomai yang sedang dipesannya."Sekarang dia
menengok ke sini, Pri. Beberapa kali sudah.""Yang mana? Laki-laki itu atau
temannya?""Dua-duanya. Mereka berkali-kali menatap ke sini lantas bercakap-cakap,
mungkin sedang ngrasani kita."Saya tidak peduli. Saya perlu makan sekarang sebelum
gula saya melorot dihanyut insulin yang baru saja saya suntikkan ke perut di ruang toilet.
Nasi goreng dan khulaoro ikan yang saya pesan sudah tersaji di meja. Tinggal
menyantapnya. Namun sialan, tiba-tiba si Baju Shanghai sudah berdiri di dekat sahabat
saya."Maafkan, Bapak dari Kedutaan, ya?" kalimatnya sangat sopan.Nah, ini baru
kehormatan namanya, pikir saya. Kehormatan besar buat Hargo. Mungkin sahabat saya
itu dikira Pak Duta dan saya Atase Militernya. Tapi mana ada orang Kedutaan nongkrong
di kedai Nam Khe, kalau bukan jongosnya! Hargo terkejut, perempuan yang semula
disangkanya Tionghoa tulen, tiba-tiba menyapa dalam bahasa Indonesia. Ia belum
menjawabnya ketika si Baju Shanghai berkata lagi."Saya melihat Bapak di Kedutaan di
Den Haag kemarin. Saya mengurus visa di sana.""Oh, ya? Tapi saya bukan orang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Kedutaan. Saya cuma mengantar saudara saya ke sana, bertemu dengan Pak Duta, tapi
tak melihat Anda.""Pakaian saya tidak begini, Pak. Mana Bapak bisa mengenal saya lagi?
Waktu itu saya bersama adik saya. Itu dia," kata si Baju Shanghai sambil menunjuk lelaki
yang semeja dengannya.Lelaki yang dia tunjuk dengan sendirinya mengangguk, lalu
berdiri dan buru-buru melangkah menuju ke meja kami. Jarang saya temui orang-orang
setanah air di Belanda, punya hasrat saling menyapa kalau tidak saling kenal. Saya pun
selalu bersikap begitu, kecuali sangat perlu. Dan itu sering keliru, yang saya sapa ternyata
orang Filipina atau Kamboja, mereka sering belanja di toko Makro beli bumbu dan
penganan Asia seperti kebanyakan warga komunitas kami. Dan sekarang mereka ini,
lelaki dan perempuan berbaju Shanghai ini, tidak keliru. Kami adalah orang-orang
setanah airnya. Layak ditegur-sapa."Bapak besok pagi naik Garuda ya?" pertanyaan
lelaki itu tertuju kepada Hargo."O, tidak," jawab sahabat saya. "Yang akan pulang naik
Garuda itu adik saya dan suaminya. Tapi dari mana Anda tahu?""Saya tanya sekretaris
Kedutaan. Bapak menginap di mana?""Kami mengantar mereka, nginap di Hotel
Dorin.""Wuah, mahal, Pak. Semua hotel di Damrak mahal. Lain kali silakan singgah di
rumah saya, tidak jauh dari sini. Jangan di hotel."Lelaki itu dengan sangat antusias
memberi kami kartu nama. Saya kurang selera buat ganti memberi dia kartu nama. Bukan
karena sombong dan tidak bersahabat, tapi karena kebiasaan untuk sangat berhati-hati
terhadap siapa saja yang bukan teman. Saya lalu menuliskan nama dan alamat palsu
rumah saya di notes dia. Hargo lain lagi. Dia tak pernah punya kartu nama, lantas menulis
address dan nomor kamar kami di Hotel Dorin. Habis itu asyik sendiri ngobrol ini-itu
dengan si Baju Shanghai. Sahabat saya memang jejaka, sukar menemukan pasangan.
Saya bisa mengerti bila tiba-tiba jadi ramah di depan wanita secantik Han Shu-Yin yang
sedang berdiri di sisi kursinya."Ayolah Zus," kata dia tiba-tiba. "Mari duduk bersama
kami di sini."Mau bangkrut lu, batin saya. Kalau mereka benar-benar mau duduk bersama
kami lantas makan bersama, siapa mesti bayar? Saya tahu Hargo hidupnya cukupan saja
seperti saya, tak banyak punya duit, kerjanya juru kontrol kualitas kertas di pabrik kertas
Zanders. Tapi mungkin kali ini dia sudah disangoni Nunik-adik kandungnya yang lebih
mujur dan hidup makmur sebagai istri seorang wali kota di Tanah Air. Saya dan dia
sekadar dompleng di Hotel Dorin atas tanggungan suami Nunik.Si Baju Shanghai dengan
adiknya ternyata dengan gembira memenuhi harapan Hargo, pindah semeja bersama
kami. Sahabat saya terpaksa menunda makan, menunggu pesanan mereka. Saya sendiri
tak bisa menunggu. Kaki dan tangan saya sudah mulai semutan, merasa gula di darah
saya kelewat rendah. Saya jadi kurang sopan, terus makan saja apa yang sudah saya
pesan tanpa peduli percakapan mereka. Jika saya nekat menunda makan, saya akan
pingsan. Itu Hargo tahu. Ketika saya selesai, mereka justru baru mulai. Nampaknya
Hargo berlagak kaya, menawarkan ini-itu yang selamanya tak pernah ditujukan kepada
saya. Saya diamkan saja jejaka itu yang kini jadi overacting."Selamat makan. Maafkan,
saya keluar sebentar," kata saya. "Beli prangko...."Sebenarnya saya tidak memerlukan
prangko. Terus terang harus saya akui, saya menghindari rekening Nam Khe. Jadi saya
jalan-jalan sepanjang Zeedijk. Sekadar menghabiskan waktu, saya pun singgah di Wan
Nam Hong, beli terasi dan bumbu pecal titipan istri. Baru balik ke Nam Khe ketika
mereka selesai makan. Hargo bilang, saya harus berterima kasih kepada si Baju
Shanghai, karena dia yang bayar rekeningnya. Saya tentu saja mengucap terima kasih,
tapi dengan kecurigaan: apa kiranya yang tersembunyi di balik keramahan mereka
itu.MALAM itu di Hotel Dorin si nona jaga ngebel telpon kamar kami. Hargo ketamuan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Si Baju Shanghai dengan adiknya! Sahabat saya cepat-cepat berdiri di depan cermin,
menyisir rambut lalu keluar menuju lift. Lama sekali saya menunggu jejaka itu dengan
penuh pengertian. Ketika balik ke kamar dia bawa sebuah titipan berbungkus
karton."Untuk keluarganya di Gondangdia," katanya."Sembrono sampean Har!" saya
menegurnya."Kenapa?""Sampean janji di Nam Khe tadi?""Alaaah, Priiii. Tak sampai
setengah kilo. Nunik bisa bawa.""Sampean tahu isinya?"Hargo diam. Nampak bengong.
Tentu tak tahu apa isinya. Semudah itu seorang jejaka memercayai wanita yang belum
lagi sehari dikenalnya. Kebodohan yang kini sulit saya pahami."Kalau isinya ekstasi
bagaimana!" gertak saya. "Hukuman berat jika ketahuan. Di Malaysia malah hukuman
mati.""Jangan menakut-nakuti! Saya percaya dia. Dia beri kita kartu nama dan
addressnya.""Sampean ini, Haaar! Itu bisa palsu!"Sungguh mati saya tidak menakut-
nakuti. Saya ingat, di Kualalumpur tahun itu seorang turis Inggris divonis mati hanya
karena kejebak bawa 250 gram ekstasi. Jika sial, karena sesuatu hal mungkin saja Garuda
terpaksa mendarat di sana. Jangan nyesal jika Nunik dan suaminya lantas kena perkara.
Sahabat saya nampak makin kebingungan. Saya pun tiba-tiba khawatir, jangan-jangan
ada reserse Belanda yang tadi menguntit si Baju Shanghai lantas mendobrak pintu kamar
kami."Buka saja bungkusnya," usul saya. "Terlalu riskan buat adik sampean. Kalau
ternyata bukan barang larangan, kan bisa dibungkus lagi."Karena keraguan Hargo yang
sangat menjengkelkan itu maka saya ambil pisau saku dan menoreh kertas bungkusnya.
Karton itu saya buka."Isinya apa?" dia tak sabar."Alhamdulillah, Haaar. Ini bungkusan
cocoknya buat saya!""Ah! Jangan mbanyol!""Bener lho. Insulin! Ada suratnya buat
bapaknya."Huahaha! Huaha! Meledak-ledak ketawa sahabat saya. Saya tidak bisa
ketawa. Malah ngenas, obat sepenting itu mesti didatangkan dari Belanda. Seolah semua
pengidap diabetes seperti ayah si Baju Shanghai itu mesti tersungkur ke liang kubur bila
impor obat-obatan terhalang kurs US-Dollar yang ketika itu melonjak hingga 15.000
rupiah.Titipan itu diserahkan pada Nunik waktu makan. Dia dan Pak wali kota suaminya
tertawa saja mendengar cerita kangmasnya."Tak perlu khawatir," kata suami Nunik.
"Saya tak pernah digeledah di bandara Jakarta.""Service Paspor, Mas!" kata
istrinya.Makan bersama di Hotel Dorin malam itu sangat mewah. Saya sungkan pada
suami Nunik, tapi tak bisa menahan selera. Husaren Sla, bumbu mirip semur, baunya saja
pun sangat nyaman. Saya melahapnya. Selama hidup saya tak pernah menyantap
makanan itu. Namanya pun baru dengar sekarang.Menjelang tidur saya ukur gula darah
saya: 270 skala Akutren! Lebih dari dua kali ukuran normal. Memang terasa melonjak
tinggi sekali. Paran, medio Desember 2002

Hujan yang Sebentar

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Post: 02/16/2003 Disimak: 248 kali

Cerpen: Puthut EA

Sumber: Kompas, Edisi 02/16/2003

AKU masih berbicara tentang ingatan, juga hujan yang hanya sebentar dan kenapa ia
kekal dalam ingatan. Aku rasa karena ada keping peristiwa yang menyertainya, yang
mungkin layak tercatat dalam ingatan. Atau mungkin sebaliknya, hujanlah yang
menyertai peristiwa. Mungkin semua berjalan seperti catatan orang akan sejarah. Tidak
semua peristiwa tercatat dalam lembarannya. Ada sesuatu yang tidak sekadar peristiwa di
dalam sejarah, juga dalam hal ingatan. Tidak semua gugur daun, nyanyian, matahari yang
tenggelam, khotbah, desir angin, percakapan. Dan ini tentang hujan yang sebentar, yang
kekal dalam ingatan.S>small 2small 0<, dan hujan yang sebentar. Seperti percakapan-
percakapan yang terusir, lalu mencari tempat berdiamnya sendiri, mungkin meratap
diam-diam. Dan di pojok entah mana, aku dan kamu, dibuntal oleh hujan yang sebentar,
di senja hari.Setiap kali aku mengenangmu-yang diantar oleh hujan yang sebentar-rasa
sedih pecah menjalarkan sunyi yang temaram. Dari kaca jendela kamar itu, kupandangi
lama cuaca, dan percik air yang masuk lewat lubang ventilasi mengajak kita untuk
menghambur dalam dingin hujan, membasuh sedih di luar sana. Setelah sebelumnya,
himpitan beban seperti tak tertanggungkan, bahkan bila kita mau. Apalagi, jauh-jauh hari
kamu sudah enggan, tak kuasa menanggungnya. Aku tahu, kamu ingin hidup yang
tenteram saja.Aku coba lagi untuk memastikan kepadamu, meyakinkan lebih tepatnya. Di
luar sana, selain hujan dan waktu yang bergulung, kesedihan-kesedihan banyak menimpa
manusia, juga yang berpasangan. Tak semua selamat, memang. Tapi beberapa, ya.
Selamat. Setelah himpitan yang menyesakkan itu terlewatkan, bukankah napas menjadi
begitu lega?Tapi itu hanya cerita?Tidak. Tetanggaku, sahabatku, beberapa
mengalaminya. Lebih berpuing dari ini, lebih nyeri dari ini, aku kira.Beberapa selamat?
Beberapa selamat. Tapi lebih banyak yang tidak. Karena itu bukan sesuatu yang gampang
ditanggung dan dilewatkan begitu saja. Dan kita, aku pikir akan selamat.Ah...
...Tengadahlah, Sayang... tatap aku baik-baik. Sudah tidak-kah?Ia menggeleng pelan.
Sebentar ditatapnya wajahku, mataku, seperti yang dulu-dulu. Dan ia menggeleng pelan.
Ia sudah tidak mendapatkan apa-apa pada diriku, bahkan untuk sedikit kepastian. Semua
selesai, semenjak gelengan itu.LALU aku bertemu dengannya lagi, juga pada senja dan
hujan yang sebentar. Di stasiun kereta api. Ia rindu. Sangat rindu. Aku tahu itu.Kami
minum kopi, sembari menunggu hujan reda. Ia masih seperti setahun yang lalu, hanya
agak kurus. Senja ini tak ada kepastian, tapi aku yakin, ada yang sengaja dibuka oleh
setiap pertemuan, walau aku tak yakin benar.Aku kurus ya... ..Aku mengangguk.
Percakapan ini tidak sebagaimana lazimnya. Ia agak kikuk, dan aku ingin segera
mengatakan-seperti yang dulu-dulu: aku mencintaimu. Tapi tidak mungkin, segalanya
butuh perhitungan, juga untuk kata-kata yang harusnya kuucapkan dengan
kejujuran.Hujan reda. Kami berpisah. Benar, tidak ada kepastian. Tapi aku masih tetap
percaya pada potensi pertemuan, dan aku percaya potensi dibalik pertemuan.INI juga
pada senja, dan rintik hujan. Kali kedua aku bertemu dengannya, di kotanya. Ia tidak
secerah dulu, begitu sendu. Aku ingin merapatkan tubuhku padanya, dan berbisik:

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sesedih apakah kamu?Tiba-tiba dua anak muncul dan berteriak girang menyerbumu.
Lucu-lucu. Dan kamu berubah sekejap, tertawa girang dan menyambut mereka dengan
pelukan hangat dan ciuman. Seorang laki-laki juga menghampirimu.Aku panik. Tidak
mungkin. Baru setahun yang lalu, bukan?! Tapi bisa jadi. Suamimu duda, misalnya...Ini
Dede dan Kahfi, keponakanku, dan ini kakakku...Uhf........TAPI kepastian itu datang
juga, akhirnya. Telah aku terima undangan pernikahan dengan namamu di sana, beberapa
bulan yang lalu. Aku memandang ke jendela, senja, dan hujan. Pertemuan itu tidak
membuka apa-apa, pertemuan itu telah menutup segalanya.Dan sekarang, senja dibekap
cuaca yang murung. Hujan akan segera turun. Bayanganmu lebih cepat datang dari hujan.
Kamu di mana, dan seperti apa? Kamu tidak akan bahagia, sebagaimana aku juga tidak.
Tapi aku tidak rela jika kamu sedih, sesedih aku. Aku mengambil kertas, dan mulai
menulis. Ah, kebiasaan buruk. Selalu menulis puisi jika terlalu bersedih. Aku merobek
kertas yang di atasnya, baru kutulis nama sayangku untukmu. Aku tidak mau menulis
puisi lagi seperti tekadku dulu, begitu kamu akhiri dengan gelengan kepala: tak ada
kepastian di mana-mana, bahkan di diriku.Seseorang mengetuk pintu. Aku beranjak
dengan malas.Kamu!Di luar, hujan mengguyur deras. Sangat deras.Aku tidak begitu
peduli waktu itu, tapi kuseduhkan secangkir teh, jenis minuman yang tidak seberapa
kamu suka. Hujan dengan cepat reda. Begitu singkat, mungkin hanya untuk mengekalkan
saat-saat pertemuan kita yang tak pernah bisa lepas dari hujan.Di hadapanku kini, kamu,
dalam tubuh yang agak basah, juga secangkir teh yang kuseduh untukmu. Mataku
menatap perutmu. Belum ada tanda-tanda, mungkin karena baru beberapa bulan.Kamu
menunduk. Adakah yang sengaja kamu hindari selain tatap mata ini?Kamu tahu, dari
dulu, aku tak kuasa menatap matamu.Tapi kamu tahu, aku selalu ingin kamu menatap
mataku, sebab itu syarat utama dua orang hendak saling bersitatap, bukan? Dan aku
menginginkan saat-saat kita beradu pandang. Sebelum banyak bicara, sebelum banyak
dusta.Bisa minta tolong......Aku mengangguk.Jangan tanya tentang pernikahanku.Tidak.
Sebab jawabanmu tak akan menyelamatkan apa pun. Apa pun.Kamu menangis
sesunggukan. Ah, air mata itu. Pernah kau kuyupi aku dengan air matamu. Juga luka dan
getir itu.Aku sedang ada urusan di sini, dan ingin juga bertemu. Kangen.Kamu menyeka
hidung dengan tisu. Mengingatkan dulu, tentang pertanyaan-pertanyaanku padamu.
Mengapa jika kamu menangis, yang selalu kamu seka hidungmu, sepertinya bukan
matamu yang menangis tapi hidungmu? Dan juga mengapa setiap kali kita makan, kedua
tanganmu pasti kotor, sedangkan kamu selalu memakai sendok dan garpu. Makan yang
begitu tertib, tidak sepertiku.Dari jendela, sepintas kulihat. Senja mulai mengetuk malam,
lampu-lampu mulai menyala.Kamu mengedarkan pandangan, menatap buku-buku,
pigura-pigura, almari pakaian, televisi yang mati, dan berhenti pada komputerku yang
screen saver-nya masih tertulis namamu. Kamu bergetar, dan lagilagi sesunggukan
menangis.Harusnya aku mendekatimu, dan memelukmu. Seperti dulu-dulu. Tapi kali ini
tidak, bahkan aku membatin: dihajar kenangan, ya?Aku mengalaminya, sampai sekarang.
Babak-belur dihajar kenangan dan tercabik-cabik. Terutama jika senja lewat disertai
dengan hujan. Apalagi hujan yang sebentar, seperti sekarang ini.Kamu masih belum
banyak berubah dalam menata ruangan.Aduh, kamu mulai basa-basi. Aku bangkit,
hendak membuat kopi. Tapi kamu juga bangkit, menghampiriku, mengambil gelas yang
kusentuh. Aku kembali ke tempatku semula, menunggumu menyeduhkan kopiku.Kamu
duduk lagi. Mengambil kertas dan menulis. Aku hanya memandangmu. Memandang
caramu menulis, sebab itu salah satu yang kusuka darimu. Cara menulis yang tenang dan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sepertinya sangat tidak peduli. Kamu sodorkan kertas itu. Kubaca.Aku tidak bisa
melupakan saat terakhir kamu memintaku untuk mau menerimamu. Sangat indah. Tak
pernah aku bisa mendapatkan lagi saat indah itu. Bahkan kamu pun tidak bisa
mengulangnya, atau karena tidak mau? Sebab kamu tahu, itu adalah saat terindah yang
akan menghuni ingatanku.Aku sedih. Dan mungkin menangis.Kamu masih gampang
terharu, ya... ...Kamu tersenyum. Sialan. Aku tidak jadi menangis.Aku harus pergi, ada
janji makan malam.Aku mengangguk. Tak menahanmu. Kuantar kamu sampai taksimu
meninggalkanku. Kututup pintu, minum kopi hasil seduhanmu. Tiba-tiba aku merasa ada
sesuatu yang hilang dari ruanganku. Bukan, bukan kamu. Sebab kalau kamu, sudah terasa
hilang sejak lama. Sebuah potret! Sialan! Potret dan pigura kecilnya, hasil hadiah dari
seorang kawan yang mengambil gambarku ketika sedang mendayung perahu. Lalu aku
ingat, kamu tak pernah bisa mendapatkan potretku, dan pernah bersumpah akan
mencurinya. Tapi apa yang akan kamu curi? Aku tak pernah punya potret diriku sendiri.
Ini kisah cinta apa-apaan? Kisah cinta yang mulai kurang ajar. Tapi aku mencintaimu,
sungguh.Malam ini aku menghabiskan diri dengan beberapa film, dan kamu sesekali
main di sana, di dalamnya. Selebihnya, film itu bermain sendiri dan aku juga bermain
sendiri, bersamamu dalam bayanganku. Pagi ini aku tidur, tak lelap. Lalu kudengar
ketukan pintu lagi.Aku bangkit dengan badan sakit-sakit dan mata yang panas. Pintu
terbuka, kamu sudah berdiri dengan senyum tanpa dosa.Aku masuk, ke kamar mandi
untuk cuci muka dan gosok gigi. Balik-balik, sudah sebuah pesta kecil terhidang di
meja.Aku bawakan makanan kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?Aku menggeleng.
Kuambil nasi dan makan. Kamu juga, lalu kulihat kedua tanganmu yang pasti kotor jika
makan. Membuatku tertawa sendiri.Kenapa?Aku menggeleng.Kenapaaaa...Aduh,
mampus. Nada suara tinggi yang merajuk itu. Lalu kutunjuk kepingan VCD: teringat film
lucu.Kamu bangkit, menuju komputer. Aku hendak menahanmu. Tapi urung. Musik
mengalun. Lagu-lagu sedih. Brengsek. Kamu duduk lagi, masih dengan dua tangan yang
pasti kotor jika makan. Masih meneruskan makanmu yang menyita waktu. Aku menjilati
sisa makanan di jariku. Menatapmu. Aku tahu, kamu tahu kalau aku menatapmu. Dan
seperti tidak peduli, padahal sangat peduli, aku yakin.Sore nanti, aku balik. Mau nggak,
mengantarku ke bandara?Aku diam tak menjawab. Harusnya kamu tahu jawabanku: aku
malas mengantar siapa pun bepergian. Perpisahan itu tidak enak. Menjelang kepergian
adalah saat-saat sedih, dan aku tak mau melewatkan yang seperti itu.Kamu bisa
menangkap jawabku lewat diamku.Lalu perpisahan ini berlangsung dalam diam juga.
Seperti kemarin, aku hanya mengantarmu sampai taksi meninggalkanku seorang
diri.Pintu kututup pelan. Pasti ada yang hilang lagi. Apa ya? Belum sempat kucari-cari,
telepon berdering. Kuangkat. Di seberang, istriku, mengingatkan bahwa besok anak
tunggal kami ulang tahun, tepat yang kelima.Di luar, cuaca cerah.***

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Iklan

Post: 02/01/2003 Disimak: 191 kali

Cerpen: Pamusuk Eneste

Sumber: Kompas, Edisi 02/02/2003

Fuhlsbuettel, Hamburg

Inilah perjalanan Berbi yang ketiga kalinya ke Tanah Air setelah tiga tahun bermukim
dan memperdalam pengetahuan di negeri Goethe itu. Sebetulnya, Berbi merasa sayang
juga dengan biaya yang dikeluarkan orangtuanya guna membeli tiket pesawat terbang
Hamburg-Frankfurt-Jakarta-Frankfurt-Hamburg seharga 2.000 dollar AS lebih. Namun,
kalau sudah ada keinginan orangtuanya, biasanya biaya menjadi tak relevan dipersoalkan.

Berawal dari sepucuk surat yang hinggap ke apartemennya beberapa hari yang lalu.

"Pulanglah segera begitu kamu menerima surat ini," tulis ayah Berbi. "Ada hal penting
yang hendak kubicarakan denganmu."

Dalam surat tercatat dan pos udara itu juga disebutkan, "Ayah sudah membayar tiketmu
pulang pergi dengan Lufthansa. Kontak saja agen Lufthansa di Moenckebergstrasse."

Seperti biasa, ayah Berbi tak pernah menyebutkan hal penting apa. Kalau disebutkan
dalam surat, barangkali Berbi akan menimbang-nimbang apakah ia akan pulang atau
tidak. Jadi, ada kemungkinan ayah Berbi sengaja tak menyebutkan apa hal penting itu.
Bukan untuk membuat Berbi penasaran, tetapi agar Berbi betul-betul pulang ke Jakarta.
Agar Berbi menyempatkan diri pulang ke Graha Taman, ke rumah orangtuanya.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Lagi pula, kalau tiket sudah dilunasi, tentu akan jadi masalah jika Berbi tidak mudik.
Jadi, Berbi memutuskan akan pulang saja ke Jakarta. Apa pun masalah penting yang akan
dibicarakan sang ayah! Apa boleh buat meski Berbi merasa di-fait accompli ayahnya.

Meskipun salju belum turun, suhu udara di Hamburg terasa kian menggigit kulit.
Apalagi ditambah dengan angin kencang. Pohon-pohon sudah mulai meranggas, pertanda
musim gugur telah tiba. Daun-daun kuning bercampur coklat beterbangan ke mana-mana
ditiup angin dan mendarat di trotoar dan jalan raya. Dalam satu-dua bulan, pohon-pohon
di seluruh kota tentu akan gundul-gerundul. Pada bulan Maret tahun depannya, secara
alamiah daun-daun pepohonan itu akan muncul kembali dan lama-lama kian merimbun
pada musim panas.

Berbi mengancingkan jaketnya sembari menunggu panggilan keberangkatan untuk naik


ke pesawat Lufthansa yang akan menerbangkannya ke Frankfurt. Di Frankfurt, Berbi
akan berganti dengan pesawat Lufthansa berbadan besar yang akan melontarkannya
dalam tempo 14 jam ke Cengkareng, Jakarta.

Rothenbaumchaussee, Hamburg 1

"Pulanglah segera...."

Begitu bunyi surat itu.

Berbi tahu betul bahwa itu tulisan tangan ayahnya.

Berbi masih tidak habis pikir, meski teknologi sudah maju pesat, ayahnya masih saja
menulis surat dengan tulisan tangan. Tidak dengan mesin tik, apalagi dengan komputer.
Tidak juga mengirim e-mail atau faksimile atau menelepon.

Ayah Berbi memang tergolong konservatif bin kuno dalam hal teknologi modern. Entah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kenapa, ayahnya tidak mau menggunakan hasil peradaban modern itu.

Ketika Berbi bertanya suatu ketika mengapa begitu, sang ayah hanya mengatakan,
"Dengan tulisan tangan rasanya lebih otentik dan lebih personal."

Surat ini mirip telegram saja. Kalimatnya bisa dihitung dengan jari satu tangan.

Berbi tahu, ayahnya tergolong paling malas menulis surat. Kalau toh terpaksa menulis
surat, pastilah surat itu tidak akan panjang-panjang. Ayah Berbi agaknya ditakdirkan
tidak punya bakat menjadi pengarang. Apalagi pengarang cerpen atau novel. Paling-
paling hanya akan menjadi penyair, si hemat kata.

Di apartemennya, di Rothenbaumchaussee, Berbi masih berpikir-pikir apa gerangan


yang akan dibicarakan ayahnya. Kenapa Ayah tidak mengangkat telepon saja? Kenapa
harus bicara langsung dan harus tatap muka? Kenapa harus buang-buang uang sekian ribu
dollar Amerika untuk tiket pesawat terbang Lufthansa bolak-bolik Jerman-Indonesia?
Seberapa penting urusan yang akan diomongkan Ayah itu? Soal warisankah? Soal
pasangan hidup Berbi-kah?

Rothenbaumchaussee, Hamburg 2

Memang, biaya penerbangan Hamburg-Frankfurt-Jakarta pulang pergi bukanlah masalah


besar bagi ayah Berbi. Sebagai direktur sebuah perusahaan nasional, uang 2.000-an dollar
Amerika untuk pulang pergi Jerman-Indonesia bukanlah jumlah besar bagi orangtua
Berbi.

Namun, uang tetaplah uang bagi Berbi, seberapa pun kecil atau besarnya. Apalagi ia
sudah terbiasa hidup hemat di negeri orang. Dua ribuan dollar tentu sangat besar, cukup
untuk membayar apartemennya selama beberapa bulan. Oleh karena itu, ia masih
berpikir-pikir apakah ia akan pulang atau tidak. Kalau pulang, untungnya apa? Kalau
tetap di Hamburg, risikonya apa?

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Di pihak lain, Berbi kasihan juga kepada ayahnya kalau ia tak pulang ke Tanah Air.
Sebagai putri tunggal, ia mengerti perasaan ayahnya. Dengan siapa lagi ayahnya bicara
kalau bukan dengan dia? Berbi menduga, pasti ada hal penting yang hendak disampaikan
ayahnya. Kalau tidak, untuk apa ayahnya menyuruhnya pulang dan membelikan tiket
pulang pergi segala?

Mudik 1

Sejak kuliah tiga tahun lalu di kota pelabuhan terbesar Jerman itu, Berbi sudah dua kali
menerima surat serupa, yakni memintanya pulang dengan segera, "karena ada yang akan
kubicarakan denganmu" (begitu selalu ayahnya).

Ketika Berbi belum lagi setahun di Hamburg, tahu-tahu dia menerima surat dari sang
ayah.

"Pulanglah segera, ada yang akan kubicarakan denganmu."

Hanya itu isi suratnya.

Persoalan yang ingin disampaikan kepada Berbi waktu itu adalah mengenai pengganti
ibu Berbi.

"Teman-teman Ayah menyarankan agar Ayah menikah lagi," kata sang ayah to the point
ketika Berbi sudah tiba di Jakarta.

"Oh, ya."

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Hanya itu komentar Berbi.

"Ayah ingin tahu, bagaimana pendapatmu."

Berbi menatap mata ayahnya dalam-dalam.

Berbi agak bingung juga harus berkomentar apa dan bagaimana. Ia tidak siap menjawab.
Ia tidak menyangka, pada usia yang berkepala lima ayahnya masih memikirkan
pernikahan. Oleh karena itu, ia menjawab sekenanya, "Terserah Ayah sajalah...."

"Maksudmu bagaimana?"

"Maksudku, kalau Ayah memerlukan orang yang akan mengopeni Ayah, ya, apa
salahnya menikah lagi. Sebaliknya, kalau Ayah merasa tidak membutuhkan pendamping
lagi, ya, tentu tak perlu menikah lagi. Itu kan cuma akan menambah persoalan baru."

Ayah Berbi terdiam sejenak. Oleh karena itu, Berbi menyambung, "Omong-omong, apa
Ayah sudah punya calon...?"

Sebetulnya, Berbi merasa agak lancang juga mengucapkan kata-kata seperti itu. Cuma
karena ayahnya sudah to the point, ia pun tak sungkan bertanya langsung.

Ayah Berbi menggeleng. Berbi menjadi heran karena ia pikir ayahnya sudah memiliki
calon istri baru atau istri kedua.

"Lho, bagaimana sih Ayah ini?"

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

"Teman-teman Ayah di kantor, katanya, siap mencarikan kalau Ayah setuju menikah
lagi."

"Saya pikir, Ayah sudah punya calon...."

"Belum."

Sejak kematian istrinya sepuluh tahun silam, Berbi-lah yang menjadi teman bicara dan
teman diskusi ayahnya. Apa boleh buat, peran hati harus diterima Berbi-suka atau tidak
suka.

Mudik 2

Surat semacam itu ("Pulanglah segera" atau "Segeralah pulang") bukan kali ini diterima
Berbi.

Pernah sekali Berbi disuruh pulang oleh ayahnya. Setiba di Jakarta, Berbi hanya dilapori
bahwa sang ayah baru saja diperiksa dokter.

"Memangnya Ayah sakit?" tanya Berbi. "Kok periksa dokter segala?"

"Aku pikir, aku mengidap penyakit."

"Lantas?"

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

"Setelah diperiksa dokter, ternyata aku dinyatakan sehat."

"Lho, memangnya Ayah merasakan apa?"

"Rasanya Ayah enggak enak badan terus. Makan tak enak. Baca tak enak. Tidur tak
enak, tak nyenyak. Badan serasa meriang sepanjang hari. Pada saat lain, badanku serasa
gatal seluruhnya."

"Tensi Ayah, bagaimana?"

"130/90."

"Normal dong."

Graha Taman 1

Kepulangannya kali ini ke Indonesia adalah yang ketiga kalinya. Pastilah ada hal penting
yang akan dibicarakan Ayah, pikir Berbi. Kalau tidak, tentulah ia tidak akan
memanggilku pulang.

"Aku punya firasat bahwa aku tidak lama lagi hidup," kata sang ayah setelah Berbi tiba
di rumahnya yang bernuansa Bali di Graha Taman, Jakarta.

"Maksud Ayah?"

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

"Maksudku, aku merasa sebentar lagi aku akan dipanggil-Nya."

"Lho, memangnya Ayah sakit?"

Sang ayah membisu.

"Ayah mengidap penyakit berat?"

Sang ayah menggeleng.

"Ayah sakit jantung?"

Sang ayah menggeleng lagi.

Setelah tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan, Berbi mengubah cara


bertanyanya.

"Kenapa Ayah merasa akan mati?"

Dengan enteng ayah Berbi menjawab, "Aku dapat firasat...."

Graha Taman 2

Keesokan harinya, ayah Berbi mengajak Berbi ke ruang kerjanya.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

"Begini," kata sang ayah. "Aku ingin, kalau aku mati nanti, kamu pasang iklan kematian
untuk aku."

Berbi agak heran dengan kata-kata ayahnya itu. Namun, agar tidak mengecewakan sang
ayah, Berbi mengajukan pertanyaan, "Lho, Ayah ini bagaimana sih? Masih sehat begini
kok sudah bicara iklan duka cita?"

"Tak apa-apa toh. Kita kan perlu bersiap-siap. Kata peribahasa, ’Sedia payung sebelum
hujan’."

Mereka terdiam sejenak.

Kemudian Berbi melanjutkan, "Rencana Ayah bagaimana?"

Ayah Berbi membuka sebuah map yang ada di mejanya.

"Aku ingin kamu ikut memilih judul iklan duka cita yang bagus," kata ayah Berbi seraya
mengeluarkan guntingan-guntingan iklan duka cita dari map.

Guntingan-guntingan itu diambil dari berbagai koran.

"Turut Berduka Cita".

"Kabar Duka Cita".

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

"Telah Dipanggil ke Rumah Bapak".

"Telah Beristirahat dengan Tenang".

"Telah Mendahului Kita".

"Rest in peace".

"R.I.P".

Ayah Berbi meneruskan, "Aku ingin kamu memilih salah satu di antara bunyi iklan ini."

"Kalau aku sudah pilih?"

"Nanti, kalau aku sudah mati, iklan seperti itulah yang kamu pasang di koran."

Berbi terdiam.

"Kok Ayah ingin diiklankan, sih, kalau meninggal?"

"Aku ingin semua orang tahu bahwa aku sudah mati. Teman-teman, kerabat, tetangga,
dan bekas karyawanku tahu bahwa aku sudah mendahului mereka."

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Berbi manggut-manggut meski ia tak mengerti betul keinginan ayahnya itu.

Soekarno-Hatta, Cengkareng

Berbi masih terus bertanya-tanya kenapa ayahnya merasa akan mati dalam waktu dekat
meski sang ayah tidak menderita penyakit apa pun. Firasat, kata ayahnya. Akan tetapi,
apakah firasat itu harus dipercaya? Apakah firasat dapat dijadikan acuan kematian
seseorang? Apakah firasat selalu benar?

Berbi juga masih bingung dengan permintaan ayahnya mengenai bunyi iklan duka cita
seandainya ayahnya betul-betul meninggal dunia. Berbi tidak tahu persis mana yang
bagus di antara judul iklan duka cita yang disodorkan sang ayah padanya: "Turut Berduka
Cita", "Berita Duka Cita", "Kabar Duka Cita", "Rest in Peace", "Telah Beristirahat
dengan Tenang", "Telah Mendahului Kita", "Telah Dipanggil ke Rumah Bapak", atau
"R.I.P". Mana yang paling bagus? Berbi tidak tahu.

Berbi hanya berjanji, "Kalau aku sudah sampai di Hamburg, aku segera kabari Ayah"

Dengan kata-kata itu, Berbi sebetulnya hanya mengulur waktu. Di pihak lain, dan ini
sebetulnya yang tidak mengenakkan, Berbi merasa rikuh membicarakan iklan duka cita,
sementara orang yang akan diiklankan masih sehat walafiat. Apalagi orang yang meminta
iklan itu adalah orangtua Berbi sendiri. Bagaimana mungkin membicarakan iklan duka
cita kalau orang yang bersangkutan masih segar bugar? Gendheng apa?

Ruang tunggu Keberangkatan Luar Negeri makin disesaki calon penumpang yang akan
terbang ke Frankfurt dengan pesawat Lufthansa LH-747.

Ketika dari pengeras suara terdengar suara empuk wanita, "Para calon penumpang
dengan tujuan Frankfurt dengan nomor penerbangan LH-747 dipersilakan naik ke
pesawat terbang melalui Gate 1", Berbi pun beranjak dari tempat duduknya. Dengan
langkah berat, Berbi menuju Gate 1. Masih terngiang-ngiang kata-kata ayahnya, "Pilihlah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

judul iklan yang paling bagus...."

Ketika Berbi sudah berada di langit Jakarta, ia belum bisa memilih salah satu di antara
judul iklan yang disodorkan ayahnya.

"Nanti aku kabari Ayah lewat telepon, atau surat, atau e-mail, atau telegram, atau
faksimile, iklan mana yang kupilih," katanya kepada sang ayah. "Pokoknya, kalau sudah
sampai waktunya, tentu akan aku pasang iklan di semua koran."

Ayah Berbi senang mendengar kata-kata putri kesayangannya itu.

Graha Taman 3

Seminggu setelah kepulangan Berbi ke Hamburg, pada suatu malam ayah Berbi terpaku
di tempat duduknya menyaksikan siaran CNN. Menurut berita CNN, sebuah kecelakaan
mengerikan telah menimpa rombongan mahasiswa Universitas Hamburg yang
mengadakan karyawisata ke Roma. Bus yang ditumpangi oleh para mahasiswa itu masuk
jurang dalam perjalanan menuju Milan, Italia. Semua penumpang bus meninggal dunia,
termasuk sopir bus. Salah seorang mahasiswi yang meninggal itu berasal dari Indonesia,
Berbi namanya.

Jakarta, Oktober 2002

Dua Wanita Cantik

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Post: 01/26/2003 Disimak: 153 kali

Cerpen: Jujur Prananto

Sumber: Kompas, Edisi 01/26/2003

MENEMUKAN sebatang lipstik di laci meja, mestinya merupakan kejadian biasa-biasa


saja. Apalagi meja itu ada di kamar seorang gadis remaja cantik berusia enam-belas
tahun. Makin tak ada yang pantas dianggap istimewa. Tapi tidak demikian bagi Yustin.
Waktu ia kehilangan gunting kuku dan mencari-carinya di segala penjuru rumah, sampai
akhirnya membuka laci meja kamar anaknya dan secara kebetulan menemukan lipstik di
situ, Yustin merasakan desir tajam mengusik perasaannya. Sebuah desir yang nyaris sama
dirasakannya empat tahun lalu ketika suatu siang Meta pulang sekolah sebelum
waktunya, saat anak itu masih kelas enam sekolah dasar. Dengan nafas terengah-engah,
mata sembab dan isak tertahan, Meta lari kencang memasuki halaman rumah, dan
menghambur ke dalam sambil berteriak-teriak memanggil."Bunda! Bunda! Perutku
luka!"Yustin terperanjat dan dengan penuh kepanikan bergegas membuka baju anaknya,
tapi tak dijumpainya setitik pun luka. "Bukan di situ, bunda. Tapi luka dalam. Ada darah
keluar membasahi celanaku!"Saat itu Yustin menghembuskan nafas lega, dan
menjelaskan pada Meta bahwa anaknya itu mengalami haid untuk yang pertama. Namun,
pada saat yang sama Yustin merasakan pula desir tajam yang merisaukan perasaannya.
Dan kerisauan ini kian menjadi-jadi sejalan dengan terus berjalannya waktu, justru karena
Meta tumbuh begitu pesat menjadi gadis remaja, jauh mendahului kawan-kawan
seusianya. Di antara wajah-wajah kekanak-kanakan dan badan-badan mungil siswi kelas
satu SMP, Meta tampil amat menonjol oleh tubuhnya yang begitu semampai, anggun dan
mempesona. Sementara teman-teman wanita sekelasnya masih berkaus singlet untuk
menutupi dadanya yang baru mulai tumbuh, Meta sudah harus mengenakan beha
layaknya wanita dewasa. Sementara yang lain masih menebar "bau matahari" saat
berpanas-panas berjalan kaki pulang sekolah, Meta sudah menebar wangi tubuh yang bisa
menggetarkan birahi lelaki.Bagi Yustin, hari demi hari berlalu tanpa pernah sama-sekali
terbebas dari rasa cemas. Bayangan-bayangan buruk senantiasa melintas di benaknya
meski cuma sekilas, justru karena ia tahu persis, betapa sejenis malapetaka bisa setiap
saat menerpa anaknya. Untuk sementara, bayangan-bayangan buruk itu memang tinggal
bayangan. Sebab nyatanya, dalam kematangan tubuhnya Meta tetap tampil sebagai gadis
lugu berwajah polos. Yang bisa tertawa dan menangis sebagaimana layaknya remaja
seusianya. Sampai ia lulus SMP. Sampai ia masuk SMU. Sampai ia berusia enam-belas
tahun. Sampai ibunya menemukan sebatang lipstik di laci meja di kamarnya. Ialah sebuah
benda yang sang bunda tak pernah membelikan untuknya. Yang berarti untuk pertama
kali ia mempunyai inisiatif sendiri untuk memiliki sesuatu di luar segala macam
kebutuhan pribadi yang selama ini selalu disediakan atau dipilihkan oleh bundanya: baju
- yang tak pernah berlengan pendek, rok - yang panjangnya selalu di bawah lutut, sepatu,
pakaian dalam, bedak, shampo....... Dan lipstik tak pernah ada daftar itu!DARIMANA
kau dapatkan lipstik ini, Meta?""Aku beli sendiri, bunda.""Kenapa? Untuk apa?""Kenapa
bunda tanya begitu?"Giliran Yustin terdiam. Ditatapnya anaknya dari mulai ujung rambut
sampai ujung kaki. Lalu dirangkulnya. "Bunda mau bicara sebentar.""Tapi Meta sudah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mau berangkat sekolah.""Sepagi ini? Bukankah kau masuk jam setengah satu
siang?""Rosanti sakit. Ia tak bisa datang menjemput. Aku harus berangkat naik bis
kota.""Biar bunda nanti antar kau naik taksi.""Tak usah, bunda. Ongkos taksi ke sekolah
tak kurang dari tigapuluh ribu.""Omongan bunda kali ini akan jauh lebih berharga
dibanding uang tigapuluh juta sekali pun."Meta terdiam. Ia tak kuasa menolak saat
ibunya membimbingnya masuk kamar. Dan membawanya menghadap cermin besar yang
menempel di pintu almari. Hingga nampaklah di sana dua wajah wanita cantik yang
berbeda usia dan gaya. Yang satu begitu remaja dengan tata-rambut yang mencitrakan
kemasa-kinian yang begitu dinamis, satu lagi adalah wajah penuh kematangan dan
tempaan pengalaman hidup, yang sebagian rapat terlindung di balik kerudung berbordir
putih bersih. "Perhatikan bibirmu secara saksama, Meta.""Bibir saya kenapa,
bunda?""Kaulihat kulitnya yang cokelat tua kemerahan? Kaulihat bentuk tepiannya yang
melengkung indah itu? Lalu coba sentuh dengan tanganmu. Bisa kaurasakan kelembutan
kulitnya? Bisa kaurasakan kekenyalan daging di dalamnya?""Lalu kenapa, bunda?""Kau
dikaruniai bibir yang sangat indah, Meta. Sedemiki-an indah hingga kau tak perlu
menambah apa pun untuk memperindahnya.""Tapi...""Kau pasti ingin mengatakan
bahwa memperindah yang sudah indah itu bukan tindakan yang salah."Meta mengiyakan
dengan cara terdiam."Mungkin kau benar. Tapi sekarang cobalah buka pakaianmu.""Apa,
bunda...??""Jangan bertanya dulu buat apa. Buka saja dulu pakaianmu.
Semuanya."Dengan perasaan berdebar dan bertanya-tanya Meta membuka seluruh
pakaiannya. Yustin pun mengamatinya tanpa berkedip. Lalu menghela nafas panjang
serta menggu-mamkan nama Tuhan. "Kenapa, bunda?""Mestinya kau patut bersyukur
atas karunia keindahan ini...""Kenapa 'mestinya' ?""Karena keindahan ini sekaligus bisa
jadi beban berat buat kamu.""Meta tak tahu apa maksud bunda.""Kau pasti pernah
merasakan, atau sering merasakan, atau senantiasa merasakan, betapa setiap pria yang
kaujumpai akan menyempatkan diri untuk-paling tidak-sekedar memandangmu. Lewat
pandangan itu dia bisa mengagumimu, memujimu, atau lebih dari itu : berhasrat ingin
menyayangimu, menyentuhmu, membelaimu, memelukmu...atau...""Jangan berpikir
sejauh itu, bunda!""Bunda tidak berpikir terlalu jauh, Meta. Ini bisa begitu saja terjadi
atas diri kamu. Kapan pun." "Lalu menurut bunda aku harus bagaimana?"Yustin terdiam
beberapa saat. Dipeluknya anaknya erat-erat sambil matanya tetap memandang ke
cermin. Mengamati anaknya sekaligus dirinya. Membandingkan dua wajah cantik itu
dengan berbagai macam perasaan. Dengan berbagai kecemasan."Waktu kecil bunda
pernah punya tetangga bernama Amsar. Badannya besar dan kekar. Penampilan fisiknya
ini membuat orang-orang jadi takut padanya, hingga yang pada mulanya ia hidup biasa-
biasa saja sebagai layaknya pemuda desa, oleh sikap orang-orang di sekitarnya ini ia
justru berubah, setelah ia berangsur-angsur sadar dirinya ditakuti orang. Lama-lama ia
mulai menikmati rasa takut orang-orang ini. Dan ini membuatnya jumawa."
"Lalu......maksud bunda?""Kau pasti tahu maksudku, Meta.""Bunda khawatir....aku
dimanjakan oleh kecantikanku sendiri?"Yustin makin erat memeluk anaknya. Matanya
terpejam. Pipinya membasah. "Kenapa bunda menangis?""Bunda cuma khawatir, nak.
Bunda cuma khawatir...."MEMANG cuma sejauh itu yang bisa terucap dari mulut
Yustin. Tak mungkin ia menjelaskan kenapa kekhawatiran itu senantiasa muncul dalam
dirinya. Tak mungkin ia bercerita, bahwa saat melihat tubuh telanjang anaknya, ia
melihat sosok dirinya duapuluh lima tahun yang lalu: Yustin yang cantik, yang setiap hari
mendengar decak kagum, siutan panjang, panggilan mesra, pujian, serta rayuan dari para

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pria yang berlomba-lomba mendapatkannya. Dan Yustina tak kuat bertahan, sebab segala
rupa sanjungan itu lama-lama sangat dinikmatinya. Sangat disadarinya memiliki kekuatan
luar-biasa yang tidak selalu dimiliki oleh wanita lain. Ialah kekuatan untuk mendapatkan
sesuatu dengan cara sangat gampang. Sampai suatu saat seorang lelaki berucap padanya,
"Wanita secantik kamu tak perlu bekerja. Tinggalah di rumah yang kau boleh pilih
sendiri yang kau suka. Bepergianlah ke mana pun ingin kautuju, dengan mobil yang
boleh kau pilih sesukamu pula. Berbelanjalah apa pun yang ingin kau miliki, dan
gunakanlah kartu debet atas-namamu yang tak perlu kau pikirkan pengisian dananya.
Yang penting kau senantiasa ada di rumah untuk menyambutku setiap aku datang ke
rumahmu."Dan Yustin tak kuat untuk menolak."Cuma ada satu syarat yang harus kau
taati : Jangan ganggu istri dan anak-anakku."Dan Yustin tak kuasa untuk menggugat.Juga
ketika lelaki itu sekian tahun kemudian menghilang tanpa kabar. Ketika tiba-tiba kartu
debetnya ditolak kasir. Ketika tiba-tiba datang sekelompok orang yang mengaku rumah
tempat-tinggalnya sebagai milik mereka. Ketika tiba-tiba ia sadar bahwa bayi dalam
kandungannya kelak secara hukum tak akan pernah berayah. Dan Yustin tak mungkin
bercerita, bahwa bayi itu kelak diberinya nama Meta.META sesaat mengamati lipstik
yang ditemukan ibunya dan menghela nafas panjang. "Kenapa aku begitu ceroboh
menaruhnya di sini?" pikirnya. Ia pun buru-buru membuka almari, mengambil sebuah tas
yang tersimpan di bawah tumpukan baju, dan memasukkan lipstik itu ke dalamnya,
menyatukannya dengan kelengkapan rias berikut asesori lainnya: lipgloss, eyeshadow,
eyeliner, blush-on, maskara, giwang, anting, kalung, gelang, stiker tattoo dan pernik-
pernik lainnya. Lalu Meta cepat-cepat memasukkan tas kulit itu ke dalam ransel berbahan
parasit yang biasa dipakainya ke sekolah. Ketukan pintu membuatnya kaget. "Ya,
bunda?""Sudah siap kau berangkat?"Wajah Meta seketika menegang. "Tapi bunda tidak
jadi mengantarku ke sekolah naik taksi, kan?""Kenapa? Hilang limapuluh ribu pun kali
ini bunda tak merasa rugi."Sekonyong-konyong terdengar suara getar di permukaan meja
kaca. Meta bergegas mengambil handphone yang tersembunyi di balik tumpukan
bukunya. Ada nama seorang pria tertayang di layar. Dengan tangan gemetar Meta
memencet tombol terima, dan bicara dengan suara selirih-lirihnya. "Halo...?""Meta???
Kamu di mana sih dari tadi aku nelpon nggak diangkat-angkat? Tadi hampir sejam aku
tunggu di lobby kamunya nggak datang-datang. Sekarang aku sudah di kamar. Kamar
501. Kalau nanti kamu datang aku pas keluar, minta aja kunci ke resepsionis. Entar aku
bilang ke resepsionis kalau kamu mau datang. Oke, ya?" "Sebentar, oom...!"Tapi telepon
di seberang sana sudah terputus. Dan yang terdengar kemudian ialah suara ibunya yang
nampaknya berdiri persis di depan pintu di luar kamar. "Kau bicara sama siapa, Meta?"
Jakarta, 11 Desember 2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Jaring Laba-Laba

Post: 01/21/2003 Disimak: 197 kali

Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Sumber: Kompas, Edisi 01/19/2003

LABA-laba di sudut kamarnya membuat jaring berwarna putih. Di pusat sarangnya yang
berbentuk bulat lonjong: laba-laba itu menelan seekor nyamuk yang nyasar!Ibu masuk ke
kamarnya membawa sapu panjang, "Non, bersihkan sarang laba-laba itu. Kamar Masmu
memang jorok. Tapi, Masmu kan laki-laki! Seharusnya kamar perempuan bersih, lebih-
lebih, kalau kau punya suami."Dina menganggap omongan Ibu sangat benar.JALAN-
jalan, setelah capek belajar (Dina mendapat beasiswa untuk mengambil S-2 nya di
mancanegara), di halte sambil menunggu bus, Dina membawa sebuah buku. Kala
mendongakkan kepalanya, seorang lelaki Indonesia, Bram, berdiri di mukanya!Jaring-
jaring cinta Bram kah? (Tidak pernah jelas apa warnanya) nyatanya beberapa bulan
kemudian, Dina menikah dengan Bram. Sama-sama hidup di apartemennya Bram:
mimpi, ketakutan, harapan, dan kesedihan adalah milik mereka.Dina dan Bram kalau
capek bisa berbicara dalam satu bahasa. "Pagi ini kita akan masak spaghetti yang enak,
besok ke toko Cina bikin capcai yang enak. Besok lagi aku ingin jalan-jalan dan beli es
krim yang enak, setelah itu aku akan mengetik makalah-makalah dari para dosen."Setiap
hari di lantai kesepuluh apartemen mereka, Dina mendongakkan kepalanya melihat langit
yang bersih, dan berucap, "Kubisikkan pada mereka, aku cinta Bram, aku cinta Bram,
aku cinta Bram, langit menulis kata-kata itu."Lantas mereka belajar sekeras-kerasnya
agar bisa segera balik ke Indonesia (Ibu selalu takut kalau Dina akan gagal sekolah bila
menikah). Itu rasanya tidak mungkin, kalau Dina melek sampai malam dan membuat
makalah ini, Dina tahu Bram ada di sisinya.PADA saat itu, kami tahu bahwa anakku
yang pertama sudah berada di dalam kandanganku." Cerita Dina kepada Wiwin
(sahabatnya) dalam salah satu e-mail-nya.Anaknya lahir dengan sehat, tiba-tiba Dina
tidak tahu, apakah dia masih mencintai Bram. "Kuberikan diriku, waktuku, cintaku
kepada sulungku dan Bram," cerita Dina dalam salah satu e-mail-nya lagi kepada
Wiwin.Kemudian dengan bayinya, setamat sekolah pulang ke Indonesia. Mereka sama-
sama bekerja keras. Namun, ketika anaknya berusia empat tahun Ibu menelepon, "Baby
sitter itu hampir membunuh anakmu. Ia menampar habis-habisan sulungmu, untungnya
aku datang."Dina berhenti dari pekerjaannya (Bram memintanya dengan sangat untuk
berhenti dari pekerjaannya). Sekarang, Bram dan sulungnya adalah pusat dari
kehidupannya. Dina menyanyi, menari, mengantar anak ke sekolah dan tidak perlu
melihat lagi dunia luar!Pada suatu hari, ketika selesai menyetrika, Dina merasa melihat
nyamuk yang sedang dilahap laba-laba, hal itu diomongkan kepada Bram. Lelaki itu
tertawa dan tenggelam ke dalam pekerjaannya.Malam itu, Dina menangis dan
mengatakan kepada Bram, "Saya seperti nyamuk yang dilahap oleh laba-laba dan laba-
laba itu adalah kau dan anakmu." Bram melihatnya dengan heran dan kemudian tidur
dengan nyenyak. Dina duduk di ruang tamu, dia ingat kala pertama kali bertemu Bram,
sebenarnya Dina merasa, Bram laba-laba yang menyamar sebagai laki-laki, yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kemudian menjadi suaminya. Gila! Ia masuk ke sarang laba-laba itu. Tiba-tiba di ruang
ini terdengar, "Bersihkanlah sarang laba-laba itu!" Suara itu mengalir ke seluruh urat
nadinya. Dia naik ke lantai dua, meneriakkan kata-kata cintanya kepada Bram.Langit di
sana diam-diam saja.DINA ingin liburan sendiri ke rumah dan ketika sampai, ia
membersihkan sarang laba-laba di rumah Ibu. Kala Dina sibuk membersihkan sarang
laba-laba itu Ibunya masuk, "Nduk, apa yang terjadi dengan dirimu?""Saya tidak ingin
mengatakan, Bram sendirilah laba-laba yang setiap saat melumatku."Ibu memeluknya,
"Ketika aku dan bapakmu tidak saling mencintai lagi, kami bersabar!"Dina tidak
sepakat.APA yang dilakukan oleh Bram dan anaknya seperti bukan lagi bagian hidupnya.
Mereka seperti berada di tempat yang berseberangan. Hal ini dibicarakan dengan Bram,
"Din, kita ini orang biasa dan aku sibuk dengan pekerjaan, bukan untuk diriku sendiri,
tapi untuk keluarga. Kita tidak perlu menyoalkan jaring laba-laba atau Spiderman, kalau
kau jenuh di rumah kau bisa keluar dengan teman-temanmu, aku tidak pernah
mengurungmu."Dina menganggap ini adalah alasan yang dibuat oleh Bram agar dia tidak
berontak terhadap jaring laba-laba mereka. Dia merasa, baik Bram maupun anaknya
menambah jaring laba-laba, sehingga dia seperti seekor nyamuk yang tidak bisa pergi
dari perangkap laba-laba tersebut.Dina menjerit-jerit (kepalanya terasa sakit) dan Bram
cuma bilang, Dina mungkin capek, sebaiknya minum susu dan aspirin.Dina melihat itu
seperti sebuah bujukan, agar dia bisa lebih terperangkap ke dalam jaring laba-laba itu,
sehingga dia tidak bisa berbuat apa pun.DINA menyusun rencananya. Langkah satu,
perceraian, langkah dua pergi meninggalkan Bram dan anaknya, langkah ketiga
membabat habis apa saja yang menjadi jaring-jaring dalam rumah ini. Jaring-jaring itu:
semua kebutuhan Bram dan anaknya yang harus dilayani. Semua perabot rumah, baju-
baju dan makanan yang harus disiapkan setiap hari. Bram suatu senja mengajaknya
ngomong, "Saya tidak tahu mengapa kau depresi! Apakah saya suami yang tidak baik?
Saya tidak berselingkuh dengan siapapun, sebisa-bisanya, saya ingin menjadi suami dan
bapak yang baik. Karena semua orang bilang, kamu depresi, maka dari itu aku tidak
bekerja hari ini, tapi mengantarkan kamu ke psikolog, ceritakanlah apa yang menjadi
permasalahanmu."Dina menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan tiba-tiba, dia melihat
wajah Bram yang sudah menjadi laba-laba.Dina menjerit-jerit.SUNGGUH, dia melihat
dengan jelas sekarang Bram dan anaknya adalah laba-laba. Celakanya mereka bukan
laba-laba yang seperti Spiderman yang suka menolong dan baik hati, mereka adalah laba-
laba ganas, yang sampai pada saat ini, masih menjerat seluruh tubuh, perasaan dan
pikirannya. Satu-satunya jalan adalah memotong jaring laba-laba itu. Dina mengatakan
kepada Ibunya, "Ibu, saya akan memotong jaring laba-laba yang ada di seluruh tubuhku.
Jaring itu dibuat oleh Bram dan anakku."Ibu memeluknya, "Nduk, sejak kau ada di
rumah Ibu Bram dan anakmu sering meneleponku mena-nyakan kabarmu, mengirim
cintanya lewat telepon. Tentu saja mereka tidak bisa setiap kali ke rumah Ibu, Bram kan
harus ngantor dan anakmu harus sekolah."Dina diam saja. Dia merasa setiap orang
menindas (termasuk juga ibunya). Dina ingin sekali pergi ke kota tempat Bram dan
anaknya tinggal (beberapa minggu yang lampau mereka berdua pindah ke kota lain,
alasan mereka: Bram mendapat promosi jabatan di kota lain). Sebetulnya, Dina tidak
ingin peduli, asal jaring laba-laba itu tidak melingkarinya. Bayangkan mereka berdua
mempergunakan cintanya dengan menyuruh menyelesaikan seluruh pekerjaan rumahnya.
Tak jarang baik Bram maupun anaknya kesal karena masakannya terlampau asin atau
hambar. Mereka juga tidak bersedia sekali-kali membereskan rumah. Memang ada

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ekspresi cinta dari Bram, namun ujung-ujungnya menjadi kebutuhan seks belaka. Dina
jijik dan sekarang, ketika Dina merasa pusing yang hebat, mereka berdua melenggang ke
kota lain, membiarkan Ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan mengurus dirinya. Padahal,
kalau dia merasa sangat sakit dan hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur, Bram yang
seharusnya merawat.Dina menangis.Akhirnya, dengan alasan yang tidak jelas dokter
mengatakan, dia sembuh dan menyuruhnya kembali ke rumah Bram dan anaknya.Sampai
di rumah ini, Bram dan anaknya memang tidak menyuruhnya mengerjakan apa pun. Ada
pembantu yang mengerjakan itu semua. Mereka memperlakukan Dina seperti perempuan
jompo (yang kehadirannya tidak dikehendaki, tapi harus dihormati).Kesedihan,
kemarahan semakin meledak-ledak di hatinya. Dina mengatakan kepada Bram akan
mengerjakan semua tugas-tugasnya seperti dulu, karena tanpa tugas-tugas itu, Dina
merasa tidak punya arti sebagai seorang istri dan ibu. Bram berkata pelan-pelan, "Din,
Kamu masih dalam proses penyembuhan, turuti sajalah apa kata dokter, kasihan
anakmu.""Kau tidak mencintaiku lagi, padahal kuberikan semua cintaku untukmu, ketika
kita baru saja bertemu di halte bus."Bram melihatnya lekat-lekat, "Sudahlah, Din, kasihan
anakmu dan sebetulnya ini berat bagi kita semua, aku harus bekerja lebih keras untuk
kesembuhanmu, harga obatmu sangat mahal,""Jadi, aku adalah bebanmu
sekarang?"Bram mengangkat bahunya dan sebelum mengucapkan satu kata pun anaknya
memegang tangan bapaknya, "Pa, ayo tidur, saya takut tidur sendirian kalau ada Mama"
(mereka memang sekutu-sekutu yang tercinta), sedangkan Dina adalah nyamuk yang bisa
dilahap setiap saat.Dina mengusir mereka berdua dan dilihatnya anaknya dengan penuh
sayang memeluk bapaknya.SUATU kali dia membersihkan rumah ini dari sarang laba-
laba, anaknya yang baru pulang dari sekolah mendekatinya, "Ma, dari tadi Papa kok
belum pulang?"Dina tidak menjawab dan ketika anaknya bertanya lagi, Dina berkata
pelan-pelan, "Seperti sarang laba-laba yang harus saya bersihkan, Papamu saya bersihkan
dengan pisau itu." Anaknya menjerit-jerit di rumah ini. Beberapa tetangga berdatangan.
Bram berdiri di antara tetangganya. Mereka bersama melihat Dina yang sedang
memotong jaring laba-laba yang ada di setiap sudut rumah ini.Dina selesai membersihkan
sarang laba-laba. Dilihatnya Bram dan anaknya. Dina secepatnya menyusun bajunya
dalam kopor, "Jaring laba-laba itu akan selalu kau buat lagi kan? Oleh karena itu, selamat
tinggal."Bram, anaknya, dan para tetangga menyeretnya ke rumah sakit jiwa!Beberapa
tahun kemudian dokter Wayan bilang kepadanya, "Saya harap, kamu bisa bersosialisasi
lagi dengan Mas Bram dan anakmu, kamu sudah sembuh, mereka akan datang
menjemputmu."Dina melihat Bram dan anaknya (anaknya sudah berangkat remaja. Dina
menganggap, dia harus memisahkan anaknya dari Bram, agar tidak menjadi laba-laba
yang jahat). Namun, kesembuhan ini tidak membuatnya bisa melihat lagi jaring laba-laba
yang pasti masih dibuat oleh Bram dan anaknya!Dina kemudian berlari ke sembarang
arah. Dan jaring laba-laba itu, mengejar-ngejarnya.Malang, 18 November 2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Ranah Berkabut

Post: 01/13/2003 Disimak: 159 kali

Cerpen: Raudal Tanjung Banua

Sumber: Kompas, Edisi 01/12/2003

SI Upik punya dua pusar-pusar1 di kepala. Rambut ikalnya berpusing pada satu
pumpunan di ubun-ubun, kanan dan kiri. Tanpa harus menguak dan meraba, cukup angin
saja yang menyibak, maka rambut berpusing itu akan segera terlihat, dan orang-orang
membacanya sebagai pusar-pusar ternak paling baik. Tanda seperti itu-jarang orang yang
beruntung memilikinya sepasang-dipercaya membawa berkah bagi ternak yang
digembalakan. Konon, setiap ternak yang diperuntukkan buat si Upik, bakal cepat
berkembang, terhindar dari segala penyakit dan kematian.Demikianlah, orang-orang
percaya pada pertanda. Boleh jadi ungkapan yang menyelubunginya semacam doa yang
dipanjatkan. Dan kenyataannya memang demikian. Ketika si Upik masih kecil, pusar-
pusar ternak di kepalanya sudah cukup teruji. Bila ayahnya membeli sepasang ayam,
cukup dengan berkata, "Ayam ini untuk si Upik," maka, ajaib, ayam itu menghasilkan
telur yang banyak, semuanya selamat dierami, dan turun dari kandang berkembang-biak,
lalu tumbuh berpasang-pasang.Akan tetapi, bila Ayah memperuntukkan ayam itu buat si
Kandik-kakak laki-laki Upik-maka tak kalah ajaibnya, ayam-ayam itu seperti tak berdaya
menghadapi alam. Merimuk saja di sudut kandang, dikungkung penyakit dan dijemput
kematian. Atau ada yang sempat bertelur, tapi telurnya berserak-serak dalam belukar,
dua-tiga butir yang dierami, itu pun tak menetes!Bagaimana mungkin kita tidak percaya
pada pertanda dan isyarat? Kandik memang tak punya pusar-pusar baik di kepala.
Rambutnya kasar seperti ijuk, berdiri tegak umpama dari landak, menampakkan
wataknya yang keras. Ia bercita-cita menjadi tentara, dan Ayah merestuinya. Karenanya,
sekolah si Kandik harus terus disambung; tamat SMP ke SMA, nanti mendaftar jadi
tentara. Berbeda sekali dengan si Upik. Semenjak kecil di telinga gadis itu telah
didengungkan isyarat baik yang ia punya; pusar-pusar ternak itulah, tiada dua. Sering
Mak mengajaknya duduk di tubir jenjang, mencari kutu, sambil menyibak pusaran
rambut itu, Mak akan berkata tentang keberuntungannya, semacam doa yang memang tak
putus-putusnya dipanjatkan. Upik merasa tersanjung, dan segera membayangkan ternak
berkembang-biak; ayam-ayam berkotek di kandang, sapi-kerbau dan kambing-kambing
merumput riang di padang hijau. Alangkah indah dan menyenangkan.Silau oleh semacam
keindahan ajaib yang meruah direlung hati masa kecilnya, yang dihembus-hembuskan
orang sekeliling, tanpa sadar si Upik telah bercita-cita saja ingin menjadi pengembala.
Dan, ya, Ayah tentu merestui. Bahkan kalau si Upik tak bercita-cita demikian, Ayah pasti
memaksa dan mengarahkannya. Tak perlu menunggu lama, tak perlu menunggu tamat
sekolah, baru akan naik ke kelas enam saja, Ayah telah memberinya sejumlah kambing-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kambing orang dengan sistem paroan2. Maka, di usia sehijau itu, si Upik sudah bergulat
dengan cita-cita sederhananya dulu.Pagi-pagi sekali, saat kawan-kawan seusia berdayung
sepeda ke sekolah, si Upik dengan caping di kepala dan pakaian lusuh (bukan seragam
putih-biru!) juga bersegera menggiring kambing-kambingnya ke padang gembala.
Padang itu terletak cukup jauh dari perkampungan, melewati sehamparan sawah dengan
pematangnya yang kurus, dan di sebalik semak-semak akan nampak dataran menghijau
lengang. Di sanalah si Upik menghabiskan hari tanpa merasa berkecil hati. Bukankah ia
beroleh berkah dan anugerah yang tertuntung dari langit, langsung ke ubun-ubun yang
meriap bagai rumput atau alang-alang yang tunduk, berpusar pada kehendak alam?
Meriap dalam satu pumpunan yang menjanjikan kesuburan?SEPERTI diduga, ternak si
Upik memang berkembang-biak. Siapakah yang bisa mengelak dari pertanda? Tak ada.
Orang di ranah itu sudah sejak dahulu berguru kepada alam. Setiap tanda jadi tanya,
setiap isyarat jadi sebab. Dan leluhur telah mempersiapkan jawab yang layak diterima
sebagai berkah warisan, turun-temurun, bagai air pada cucuran atap jatuh di pelimbahan
yang sama. Menjadi adat orang seranah. Lihatlah si Upik: Pergi pagi pulang petang telah
menjadi irama kesehariannya, berkah dari adat yang bertuah; berkat tetua yang pandai
membaca. Segala tanda dan isyarat!Begitulah. Rasanya belum lama berselang si Upik
masih menghapal puisi "Gembala" karangan Muhammad Yamin di buku pelajaran
Sekolah Dasar yang keburu ia tinggalkan. "Anak gembala, seorang sahaja di tengah
padang, tidak berbaju buka kepala..." Kata itu serasa masih bergema di relung
hatinya.Seorang sahaja di tengah padang (tentu tak buka baju karena ia perempuan!),
begitulah keadaan diri si Upik. Sendiri memintal hari, bagai tangannya yang bosan
memintal bunga rumput jadi mainan. Berhujan-berpanas sudah biasa. Berubah legam
kulitnya yang kuning langsat, dan di kampung ia dipanggil "Upik Itam", bukannya "Upik
Kambing Banyak"-sebagaimana yang ia inginkan, tentu sambil membayangkan
perempuan sanjungan dalam cerita "Puti Gelang Banyak". Tidak. Si Upik tidak pernah
mendapat penghargaan semacam itu, dan ia tak peduli. Ia hanya tahu bahwa bebannya
kian bertambah, tukuk-bertukuk tiada habis akibat pusar-pusar ternak di kepala. Kian
banyak orang tertarik menyerahkan hewan ternak-termasuk kepala kampung-dengan
sistem paroan yang lazim berlaku di situ. Tak hanya kambing, tapi bermacam-macam,
dari ayam, sapi dan kini kerbau. Sungguh menambah beban, sebaliknya menambah silau
hati Ayah akan harta. Dan semua ternak diterima Ayah, tanpa pernah berunding dengan
dirinya.Siapa berani menantang Ayah? Berani menantangnya-apalagi anak perempuan-
sungguh dianggap keterlaluan; berarti menantang adat dan kebiasaan. Maka, begitulah,
dengan kumis melintang, badan berdegap dan wajah selalu berhias amarah, sudah lama
Ayah menjelma hantu yang menakutkan Mak, kakak-adik, apalagi si Upik, tak
ketinggalan ternak di kandang atau di tengah padang. Selalu, selalu saja Ayah menjelma
hantu (tapi lebih sering srigala) yang datang tiba-tiba dari balik semak-semak, dan
berseru di tengah padang. "Upik, ayah butuh seekor kambing!" Maka, dengan sekali
sentak, kambing yang ia minta telah membebek dibawa pergi-demi hasratnya berjudi!
Dan petang itu si Upik teramat sedih. Soalnya kambing kesayangan (tanduknya
melengkung seperti tanduk rusa) dicegat Ayah di pintu kandang, dan segera beralih ke
tangan seorang juragan (ah, mungkin juga seorang bandar!). Si Upik tak kuasa menahan
tangis, tapi bukan penghiburan yang didapat, melainkan dampratan dan umpatan. "Anak
tak tahu diuntung!" itu jenis makian yang menghambur berulang-ulang. Membuat si Upik
tak nafsu makan. Ia merajuk, dan Mak tak kuasa membujuk. Akhirnya Ayah bertindak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

lebih jauh, tak sekadar membentak tapi menggampar. Dilecut pakai sabuk atau cambuk
ekor pari memang telah menjadi langganan si Upik. Tak jarang ia direndam ke dalam
sumur berjam-jam bila Ayah marah. Dan petang itu, dengan hidung dan telinga disumbat
kapas, Ayah menyeretnya ke belakang. Dengan satu sentakan, terikatlah si Upik di
batang jambu yang dipenuhi semut rangrang!Upik membenturkan kepalanya ke batang
pohon. Dibentur-kan kepalanya sepuas-puasnya, seolah dengan itu pusar-pusar di
rambutnya akan segera sirna!BESOKNYA Upik demam, tapi ia tak mungkin
meninggalkan tugas. "Kamu mesti berangkat, Pik. Apa kata orang yang ternaknya kita
gembalakan kalau seharian dibiarkan di kandang," kata Mak kelu.Terhuyung Upik meniti
pematang. Perutnya mual, ingin muntah. Di kubangan, ia lihat wajahnya, kurus dan
menderita, juga rambutnya yang kusut. rasa sakit dan putus asa menggerakkan tangannya
menarik rambut itu, dijambak dan diacak-acak. Dicakarnya pusar-pusar itu seperti
mencakar bara dendam. Beberapa bangau putih terbang rendah mengitarinya seolah
membawa kabar yang mesti tersampaikan. O, kawanan bangau yang putih yang suci,
patuklah pusar-pusar di rambutnya, dan kembalikan kepada langit yang dipuja!Tapi,
bangau-bangau itu lantas menjauh, ketika seseorang datang berseru, "Kamu sakit, Upik,
istirahatlah!" Ternyata Pak Kudun, laki-laki tetangga rumah yang sebaya dengan Ayah.
Segera dibimbingnya Upik ke bawah pohon ketapang. Dipijatnya kepala Upik di sana,
dan ketika menyentuh pusar-pusar itu tangannya bergetar, entah kenapa. Mata Upik
sebak menahan semacam keharuan; rasa diperhatikan dan penghiburan. Hal yang tak
pernah ia dapatkan dari seorang pun, kecuali dari Pak Kudun!Ah, Pak Kudun! Hampir
tiap hari ia lewat di sini, mencari jalan pintas ke ladang di lereng bukit, yang menjadi
latar perkampungan. Isi ladangnya tak pernah jelas. Kalau ada yang bertanya bagaimana
keadaan tanamannya, ia dengan nyentrik bilang, "Hampir panen..." Tapi bila besoknya
ada yang bertanya lagi ia jawab enteng, "Panen gagal, diserbu belalang dalam
semalam..." Lama-lama, orang mahfum, aktivitasnya berladang sebenarnya lebih untuk
mengimbangi kehidupan istrinya yang sibuk keliling kampung menawarkan barang
kreditan. Semacam kompensasi yang dapat dimaklumi semua orang, apalagi mereka tak
punya anak.Tapi Upik menyukainya. Wajahnya bersih, menyejukkan. Tak tergurat tanda
amarah. Dan penuh perhatian, itulah yang utama. Sebenarnya, bukan sekali ini saja
mereka duduk berdekat-dekat, tapi sudah cukup akrab-bercakap. Upik merasa tak sendiri
bila Pak Kudun melintas, mampir sebentar dan bercakap. Dan merasa lengang bila laki-
laki itu melanjutkan perjalanan.Dan kini Pak Kudun ada di hadapan. Mengobati sakit dan
lelahnya. Entah perasaan macam apa yang pantas tumbuh dan berkecambah di dada Upik
yang remaja. Apakah sekadar mendapat teman bercakap, orang tua penuh perhatian, atau
sesuatu yang sukar terucap? Entah. Yang jelas, kehadiran Pak Kudun di padang
gembalaan-walau sebagai seorang pelintas-membuat hari-hari Upik terasa lebih
berwarna. Meski di sisi hidup yang lain ia tak bisa menghindar dari satu-satunya warna
yang kelam: melulu hitam.Tabiat buruk Ayah kian menjadi; berjudi di rumah-rumah
kosong dan mengganggu istri orang, kabarnya juga mengganggu istri Pak Kudun! Begitu
pula kakaknya, si Kandik yang mempunyai cita-cita tinggi, pernah Upik dapatkan sedang
berjudi di dalam semak-semak. Membuat semacam rongga dari rerimbun belukar, dialasi
tikar. Ketika hendak mencari kambingnya yang kesasar, tak terduga Upik lewat di tepi
sebuah "rongga" yang ternyata ditempati kakaknya. Cepat Upik berlalu, dan Kandik
segera mengejar, mengancam, "Awas, jangan bilang siapa-siapa!"Lama Upik terdiam
membayangkan itu semua. Sampai kemudian Pak Kudun selesai memijat kepala dan urat-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

urat di tangannya. "Bagaimana rasanya?" tanya Pak Kudun dengan nada penuh
perhatian.Upik menggerakkan kedua lengannya, menggeleng-gelengkan kepalanya kiri-
kanan, dan merasa agak enak sekarang. "Sudah lumayan enak, Pak. Terima kasih,"
katanya dengan suara bergetar. Pak Kudun memandangnya, dengan tatapan orang yang
minta diri. Sebelum pergi, sebuah kecupan melintas di tengkuk Upik. Gadis itu terpana
diam. Dan Pak Kudun segera melanjutkan perjalanan.Begitulah kehadiran Pak Kudun di
tengah padang gembalaan itu. Datang dan perginya alangkah ajaib dan menggetarkan.
Pernah sehabis hujan ia datang bagai kijang yang melangkah lincah di padang basah.
Lantas, dari arah berbeda Ayah pun tiba bagai srigala mencari mangsa, dan berteriak
seperti biasa, "Upik, ayah butuh seekor kambing!"Pak Kudun tersentak mendengarnya.
Ayah pun tak kalah terkejut saat menyadari ada orang lain di hadapannya. Keduanya
bersitatap."Jangan coba-coba mengganggu anakku! Sebab, jangan sampai nanti berkecil
hati kalau karena ini kubakar rumahmu!" kata Ayah geram."Dan kau, tidakkah juga...,"
Pak Kudun tak melanjutkan, seperti tersadar. Tapi, dengan ucapan yang tak selesai itu,
Ayah lalu berbalik langkah. Batal ia mengambil mangsa. Dan Upik, untuk kali itu,
merasa sebagai pihak yang menang menghadapi Ayah. Berkat Pak Kudun! Meski setelah
itu Pak Kudun pun mengayun langkah ke pematang yang sama: pulang. Upik merasa
lengang tiba-tiba. Hati kosong bagai padang ditinggalkan gembala. Seperti sekarang!
LENGKING serunai batang padilah yang mengisi kekosongan hati Upik kemudian.
Sejenak ia teringat Mak yang sepagi tadi memohon-mohon kepadanya agar tetap
menggembala. Ah, Mak, perempuan yang sesungguhnya juga menderita kekosongan
yang sama dengan dirinya. Dan karenanya, Upik sungguh tak bisa berbuat apa-apa saat
mendapatkan Mak dan Abang Juaro (seorang pemuda alim di kampungnya) bertindihan
di balik kandang! Mungkinkah itu pelampiasan dari hati yang kosong? Entah. Upik ingin
tak mengenang. Sepenuhnya kini ia ingin berlagu-dendang, meniup puput-serunai batang
padi, iramanya melengking tinggi!Tapi, irama itu terputus tiba-tiba, ketika mendengar
suara ribut kawanan kambing lari berpencar. Dilemparkannya saja serunai atau puput
batang padinya, lantas si Upik berlari menuju ke sana. Astaga! Seekor kambing terdengar
seperti tercekik dalam semak, "Mbheeeeekk...!!" Binatang apakah gerangan yang
memangsa? Apakah harimau kumbang, atau Ayah yang berubah srigala dengan cara
diam-diam-setelah merasa malu berhadapan dengan Pak Kudun dalam peristiwa
kemarin? Upik takut membayangkan, tapi ketakutan terhadap hukuman yang harus ia
terima dari Ayah-bila kambing itu sampai hilang atau tinggal tulang-mampu
mengalahkan semua ketakutan yang sedang mengaduk dirinya. Maka, secepatnya ia
terobos semak-semak yang penuh duri dan onak, mengikuti suara yang sayup dan
menjauh itu. Barulah sesampai di tempat yang sedikit terbuka, ia melihat sesuatu yang di
luar dugaan: kambing itu dihela paksa kakaknya Kandik, beserta kawanan
seperjudiannya!Kaget oleh pemandangan serupa, si Upik melepaskan jerit. Lengkingnya
memaksa Kandik berbalik langkah, bukan mengembalikan mangsa, melainkan datang
dengan ancaman yang sama. "Jangan kau bilang siapa-siapa! Hanya satu ekor. Awas,
kalau Ayah sampai tahu, berarti kau yang memberi tahu. Kuberi tahu juga bahwa kau
pacaran sama Pak Kudun. Iya 'kan?"Begitulah, Kandik segera berlalu menyusul kawan-
kawannya yang kian jauh. Tinggallah Upik dengan hati senyap. Puput-serunai batang
padi yang menjadi irama nyanyiannya terhenti dan lenyap.PETANG itu, Upik
menggiring kambing-kambingnya hanya sampai ujung pematang. Untunglah binatang
ternak itu telah mengerti jalan Pulang. Kemudian sapi dan kerbau ia tambatkan pada

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pancang di kandang. Senja mulai turun. Tapi Upik memutuskan kembali ke padang
gembalaan. Ia ingin menyelinap ke semak-semak, dan kalau nanti Ayah datang mencari,
ia akan berpura-pura sedang mencari seekor kambing yang kesasar. Cara itu pasti tak
meloloskannya dari hukuman, tapi setidaknya, dengan cara itulah sang kakak
terselamatkan....Upik beranjak ke arah semak-semak, bersiap menembusnya seperti
menembus gelap yang mulai turun. Tetapi, baru beberapa langkah, tiba-tiba cahaya senter
menerap wajahnya. Upik terteror! Dihadapannya berdiri sesosok tubuh tak dikenal,
berpulun kain sarung. Ayahkah, hantu, atau... Ia ingin menjerit. Namun, sesuara lebih
dulu menyentaknya, "Upik, mengapa masih di sini? Orang-orang di kampung ribut
mencari!"Itu suara Pak Kudun, meski sulit dipercaya. Upik memaksakan diri menatap
sosok yang baru saja mempertanyakan dan menyuarakan nasibnya. Upik tak bisa
menjawab kecuali menghambur ke hadapan laki-laki itu."Tenanglah, Upik, tenanglah...
Kita ke ladang saja sekarang...," bisik Pak Kudun, sambil meremas rambut Upik dengan
tangan bergetar, persis di pusar-pusar!Dan mereka pun melangkah dalam kelam.
Menembus pekatnya ranah yang berkabut. Semakin tebal, semakin bebal.Rumahlebah,
Yogyakarta, 2002Catatan:1. Pusar-pusar, pusaran rambut di kepala yang oleh masyarakat
tertentu dapat dibaca sedemikian rupa sebagai isyarat atau pertanda. Disebut juga uyeng-
uyeng atau pusa-pusa, dan sejumlah istilah lain yang lebih kurang bermakna sama.2.
Sistem paroan, suatu sistem bagi hasil yang diterapkan dalam sejumlah bidang usaha
seperti pertanian dan peternakan, dimana antara penggarap dan pemilik mendapat hasil
yang sama, namum modal (tanah untuk pertanian dan induk untuk peternakan) tetap
milik tuan atau yang punya.

Kupu-kupu Hinggap di Tangkai

Post: 01/07/2003 Disimak: 129 kali

Cerpen: Arie MP Tamba

Sumber: Kompas, Edisi 01/05/2003

"KAI, ada apa ramai-ramai. Kelihatannya pakai tangis-tangisan juga," kata Kupu-kupu
setelah menjejakkan kakinya di bahu tangkai pepohonan itu. "Ceritakan dong. Aku telat
datang!" pintanya kemudian.Aku juga tidak bisa cerita banyak," beritahu Tangkai. "Ya,
ceritakan apa adanya saja, asal aku tahu!" Tangkai menarik nafas. "Bukannya aku nggak
mau cerita sama kamu, Pu," katanya. "Cuma, apa kamu nggak bisa menahan diri sehari
dua hari tanpa berita? Biar kamu bisa tenang-tenang, terbang ke sana kemari tanpa
beban?" "Mana bisa begitu, Kai. Hidupku sudah digariskan untuk mendengar dari sana-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sini!" tegas Kupu-kupu. "Sudah risiko. Harus mendengar sekalipun tidak ingin. Bahkan
dalam tidur pun, telingaku dapat mendengar apa yang diteriakkan manusia dan unggas-
unggas itu dalam mimpinya!" Tangkai bergoyang menggeleng-gelengkan kepala.
Beberapa daun di pucuknya terbelai angin. "Kamu mau kan cerita yang kamu ketahui?"
pinta Kupu-kupu lagi. Tangkai akhirnya mengangguk. "Demi persahabatan, aku akan
cerita apa yang aku ketahui!" "Eh, tenang dulu, ada angin kencang!" tegur Tangkai yang
segera berkelit dari sebuah gelombang angin kencang yang tiba-tiba menerjang. "Lho,
kamu kok terbang?" teriak Tangkai. "Nanti, nanti saja ceritanya, aku pergiii!..." kata
Kupu-kupu yang tak bisa menghindari terjangan angin yang kemudian menerbangkannya
itu. Tangkai segera kehilangan Kupu-kupu. Sementara Kupu-kupu sedang
menyeimbangkan terbangnya, di antara hembusan angin yang membawanya mendekati
serumpun bunga yang kelihatan kepanasan oleh sorot matahari. "Eh apa kabar?" tanya
Kupu-kupu kepada Kelompok Bunga yang kini dihinggapinya. "Baik saja!" kata si
Kelompok Bunga. Kupu-kupu tampak berpikir. Kemudian memandang ke arah sekitar
yang masih ramai oleh manusia. "Ada apa sih? Kok ramai sekali? Ada yang teriak-teriak
lagi!" tanya Kupu-kupu. "Kau dari mana? Masa' tak tahu kejadiannya? Wah, tadi lebih
pikuk. Seru sekalii..." Kelompok Bunga bergoyang-goyang gembira tertiup angin. "Wah
wah, tumben kamu ketinggalan berita!" "Itulah. Aku baru terbang dari luar kampung
sana," kata Kupu-kupu. "Jadi ketinggalan berita. Ah, ada angin lagi, Sampai nantiiii..."
Kupu-kupu terpaksa melayang lagi, ketika segulungan angin cukup kencang datang dari
arah berlawanan. Di antara tiupan angin yang membawanya, Kupu-kupu berusaha
mengatur keseimbangan; hingga kemudian, dapat mengapung tenang ke arah Tangkai
yang tadi dihinggapinya. Melihat Kupu-kupu datang lagi, entah kenapa Tangkai tiba-tiba
memandang jemu dan serba salah! "Ada apa? Kelihatannya kau terganggu aku kembali,"
kata Kupu-kupu. "Kau pasti datang untuk peristiwa itu kan?" Tangkai bergoyang. "Wah,
karena tadi terbawa angin, aku malah hampir lupa," kata Kupu-kupu. "Bukannya kamu
sekarang mencari bandingan, setelah mendengar dari Kelompok Bunga?" "Ooh? Tidak,
tidak begitu. Aku belum mendengar apa-apa. Kelompok Bunga belum sempat bercerita."
"Begitu?" "Ya. Hm. Oya, peristiwa apa sih sebenarnya, yang tadi itu? Kok ramai? Tapi,
sekarang, ke mana orang-orangnya?" "Mereka sudah bubar. Kelihatannya ada jalan
keluar," kata Tangkai. "Nanti dulu, nanti dulu. Aku hanya bertanya apa yang tadi terjadi.
Bukan ingin tahu pendapatmu," kata Kupu-kupu. "Cerewet. Mau dengar nggak?" "Maaf,
maaf. Ceritakanlah." "Terus terang aku agak enggan menceritakannya. Masalahnya, aku
masih agak terganggu sampai sekarang. Agak sedih malah." "Kok berkomentar lagi..."
"Mau dengar nggak?" "Maaf, maaf, teruskan ceritamu." "Mulanya dua lelaki datang dan
berteduh di bawah halte sana..." "Menunggu bus? Taksi?" "Mau dengar nggak?" "Maaf."
"Dua orang kataku. Dua lelaki. Ayah dan anak." "Kok kamu tahu mereka ayah anak?"
Kupu-kupu tak sabar lagi. "Jadi tidak mau mendengar kelanjutannya?" Tangkai jual
mahal. "Nanti dulu. Kok kamu tahu mereka ayah anak." "Karena mereka saling
memanggil begitu," kata Tangkai mengangkat wajah gembira. "Oohhh..." Kupu-kupu
mengibaskan sayapnya dengan tampilan apa boleh buat. "Sudah, teruskan," lanjut Kupu-
kupu, ketika menampak Tangkai sesaat mengalihkan perhatiannya kepada Capung yang
ingin hinggap di samping Kupu-kupu. "Jangan di sini," kata Tangkai bergoyang. "Ya,
jangan di sini!" kata Kupu-kupu menghentakkan sayap. Capung kemudian terbang
dengan tak acuh. "Pergi juga tak apa-apa. Di sini nggak ada enaknya," kata Capung.
"Sudah, teruskan ceritamu. Jangan pikirkan si Capung," kata Kupu-kupu. "Kuringkas

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

saja," kata Tangkai. "Terserah," kata Kupu-kupu. "Begitulah. Begitulah. Ayah dan anak
berteduh di halte sana. Lalu keduanya bertengkar tentang pacar dan ibu tiri. Keduanya
tidak saja ribut tapi juga pukul-pukulan. Beberapa pejalan kaki yang berusaha melerai
malah ikut terpukul. Akhirnya tak jelas lagi. Ayah dan anak dikeroyok. Bus-bus berhenti.
Para penumpang menontoni, tak tak puas, kemudian ikut berkelahi. Polisi datang dan
melerai. Tapi kemudian ikut dalam perkelahian. Jalanan benar-benar macet. Para
pengasong berubah profesi dari penjaja barang dagangan menjadi penodong. Para
penumpang yang ditodong melawan. Para pemilik kendaraan yang mau dirampok
melawan. Terjadi baku hantam antarsesama manusia yang berkerubung di depan halte.
Polisi semakin banyak berdatangan. Pukul-memukul, lempar-melempar, teriak-meneriak,
maki-memaki, tikam-menikam, hingga tembak-menembak, semua berbaur dengan
kebuasan manusia-manusia yang sepertinya tadi sengaja meledak atau diledakkan oleh
sesuatu. Sementara angin tak henti-hentinya bertiup kencang. Semua tangkai dan ranting-
ranting pepohonan bergoyang-goyang gelisah, karena terkena beberapa batu dan peluru
nyasar. Bisa kau bayangkan. Bisa kau bayangkan. Sebentar saja korban demi korban
berjatuhan. Darah berceceran di mana-mana. Bus dan mobil-mobil remuk terbakar dan
ditinggalkan. Mobil ambulans berdatangan dan membawa korban ke rumah sakit. Tapi
perkelahian masih berlanjut. Lalu tentara datang. Sebagian peserta keributan berharap
segalanya akan diselesaikan dan berakhir tenang. Tapi ternyata semuanya tak bisa
menahan diri. Segera bergabung dan mengambil peran sebagai pemukul, penembak,
peneriak, penginjak, yang diinjak, yang diteriaki, yang ditembaki. Hinggaaaaa....
Hinggaaa... Hing..." "Hussh! Hussh! Kau... tahan dulu, tahan dulu... Nafasmu nanti
habis," kata Kupu-kupu ke arah Tangkai yang kini bergoyang-goyang kepayahan di
antara tiupan angin kencang yang tiba-tiba muncul. "Itulah. Itulah ringkasannya...
Kejadiannya berjam-jam... Sebelum sesuatu menghentikan semuanya!" kata Tangkai.
"Wah, apa dia? Siapa dia? Begitu hebat, mampu menghentikan kekacauan dahsyat itu?"
kata Kupu-kupu. "Itulah. Dia tidak begitu hebat. Tak ada yang mengejutkan. Cuma
kejadian sederhana," kata Tangkai. "Kejadian sederhana?" Kupu-kupu memandang tak
percaya. "Ya." "Apa itu?" "Kedua lelaki, ayah dan anak yang menjadi pangkal keributan
itu, sama-sama meninggalkan kerumuman, lalu menaiki sebuah angkot, dan menghilang
ke ujung jalan sana..." Kupu-kupu memandang terkesima ke arah ujung jalan sana.
"Begitu saja?" tanyanya menoleh ke arah Tangkai. "Iya. Begitu saja. Lalu kau dating, dan
masih sempat melihat orang-orang itu sedang bubar," kata Tangkai. "Kukira ada hal yang
luar biasa..." kata Kupu-kupu. "Itu masih kurang luar biasa?" tanya Tangkai. "Maksudku,
akhir dari kejadiannya, kok biasa saja," kata Kupu-kupu. "Ah, apa aku terbang saja ke
tangkai yang lain ya? "Kenapa? Mau mengetahui versi lain?" tanya Tangkai. "Ya dong.
Biar informasiku lengkap," kata Kupu-kupu. "Untuk apa? Toh yang kau dengar nantinya
akan sama saja. Atau malah kurang seru." "Itu dia. Setiap mata, setiap kepala, setiap hati,
setiap penilaian, masing-masing akan terdengar khas, karena bergantung pada situasi dan
kondisi yang dialami si pencerita pada saat kejadian tadi..." "Wah, kau seserius." "Aku
kan Kupu-kupu pintar." "Terserah kalau begitu." "Yuk. Daaag." "Daag." Tangkai
bergoyang. Membiarkan Kupu-kupu menjauh ke arah tangkai sebatang pohon besar
lainnya di pinggir jalan itu. Masih cukup dekat dari halte, yang tadi dikatakan Tangkai
sebagai tempat kejadian yang baru diceritakannya. Sementara si Tangkai kembali
bergoyang. Tak percaya oleh kenyataan, bahwa dia mampu tak menceritakan yang
sesungguhnya kepada si Kupu-kupu. Ya, si Kupu-kupu hanya menyukai cerita yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

heboh. Padahal terlalu pahit rasanya bagi Tangkai, menceritakan hal sederhana,
bagaimana kedua orang itu, ayah dan anak, saling bertengkar dan kemudian berbunuhan
di depan orang-orang lalu-lalang yang sebagian tertarik, menonton sejenak, namun
sebagian lainnya tak perduli. Sampai ketika kedua orang itu, sudah pingsan berdarah-
darah, atau memang sudah mati percuma, seorang pemulung memasukkan keduanya ke
dalam gerobak sampahnya. Mungkin pemulung itu akan membuang kedua ayah anak itu,
ke pegunungan sampah di ujung jalan sana. Tentu saja, si pemulung akan mengambil
dulu barang-barang kedua ayah anak itu, yang masih dapat dimanfaatkannya. Kalau
tidak, apa gunanya si pemulung memasukkannya ke gerobak sampahnya, membawanya,
dan berbaik hati membuangnya sebagai sampah yang tak berguna lagi? Tapi, apakah si
pemulung nanti akan benar-benar akan membuang kedua orang ayah anak itu ke
timbunan sampah sana? Mengingat itu, entah kenapa Tangkai merasa sedih dan bergidik.
Lunglai.***

Jangan Melawan Rembulan

Post: 12/30/2002 Disimak: 156 kali

Cerpen: Eka Budianta

Sumber: Kompas, Edisi 12/29/2002

AKHIRNYA tahun 2003 itu datang juga. Tahun yang sangat ditakuti, dan sekaligus
dibanggakan. Tahun yang sering disitir Ayah untuk memulai ceramah. Atau menutup
berbagai lokakarya. Tahun ketika perdagangan bersinar bebas di seantero Asia
Tenggara.Pada tahun 2003," kata Ayah, "orang yang tidak bisa berbahasa Inggris akan
mati." Pada tahun 2003, katanya lagi, dokter gigi Filipina akan datang ke desa-desa di
seluruh pelosok negeri. Tukang-tukang kayu dari Jepara, Rembang, dan Pati akan panen
order dari Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pada tahun 2003, katanya lagi
dan lagi, karier Anda sekalian bisa lebih suram, tapi bisa juga lebih cemerlang seperti
sinar rembulan."Makanya jangan melawan Rembulan. Turuti saja panggilan sinarnya,
meskipun mungkin ia mengantarmu ke lorong-lorong yang paling tidak engkau sukai,"
nasihat Ayah seperti berpuisi.Aneh banget Ayah itu. Sepeninggal pohon siwalan yang
dulu menaungi rumah kami, pandangannya melulu terpancang pada Bulan. Bukan hanya
Bulan, tapi juga tahun 2003 itu. "Lontar telah pergi. Kini komputer menggantikan
perannya," ujarnya kembali berpuisi. Ayah percaya bahwa tanpa pohon siwalan yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menghasilkan daun tal atau lontar, seluruh Asia Tenggara akan gelap gulita.Bukan hanya
gelap gulita, tapi hitam legam di panggung sejarah. Hitam seperti masa lalu penjahat tak
dikenal. Kelam seperti masa depan pengebom bunuh diri. Pendeknya, hidup ini perlu
penerangan. Dan yang paling terbukti mampu menerangi jalan hidup kita, adalah tulisan.
Dulu tulisan dititipkan pada daun lontar. Sekarang pada layar monitor, pada hard disk,
pada disket, pada cluster informasi dan memori dalam sistem komputer.Makanya,
cintamu juga harus lebih canggih. Cinta pada pohon, cinta pada anak-anak, cinta pada
keindahan, cinta pada kebenaran, cinta pada Tanah Air, cinta pada Ibu, dan cinta pada
pengetahuan. Begitu nasihat Ayah terus nyerocos dalam mobil sepulang dari pidato di
Gedung Joang. Kesehatannya tampak terganggu. Maklum sudah tua dan mengidap darah
tinggi.Aku sengaja mendampinginya. Sepeninggal lontar, semangat hidupnya seperti
menggelegak. Apakah gara-gara rumah kami jadi tersiram sinar Bulan lebih sempurna?
Dulu, ada kalanya rumah kami ternaungi bayang-bayang pohon tua itu. Dulu, hari-hari
kami seperti lebih teduh. Matahari tidak langsung memancar dari langit. Pohon lontar
kami menyambut panasnya lebih dulu.Namun, pohon lontar itu, seperti pohon-pohon lain
di seluruh muka Bumi, akan mati. Pohon yang bersejarah maupun tidak bersejarah,
berbuah maupun tidak berbuah, semua akan pergi meninggalkan manusia yang
menanamnya atau tidak menanamnya. Termasuk pohon lontar kebanggaan keluarga
kami.Borassus flabellifer. Itulah nama Latinnya. Ayah mengajarkan nama-nama Latin
untuk setiap hewan dan tumbuhan yang diperkenalkan pada kami. Bukan karena beliau
guru biologi atau ahli botani. Bukan. Semata-mata karena beliau ingin kami punya
wawasan dunia. Setiap benda itu, katanya, punya karakter lokal dan manfaat lokal. Tapi,
juga punya karakter universal. Universalitas ini yang penting, kata Ayah. Makanya kami
diperkenalkan dengan Borassus flabellifer, pohon tal yang tumbuh 20 meter di depan
rumah kami. Yang daunnya berbentuk kipas, yang buahnya segar, yang bunganya bisa
jadi obat sekaligus bisa disadap menjadi tuak beralkohol. Ya, seperti yang semua sudah
tahu, itulah pohon tal, siwalan alias lontar, kebanggaan keluarga kami. ***SEPULANG
pidato, Ayah biasanya menatap pohon itu dari jendela. Seolah-olah bersyukur. Seolah-
olah hendak berterima kasih bahwa pohon lontar telah menjadi inspirasinya. Tetapi,
sekarang pohon itu tak ada lagi. Tinggal sinar rembulan dengan leluasa masuk ke kamar
utama, melalui jendela yang terbuka. Ayah tidak berdiri di sana. Ayah berbaring dengan
napas tersengal-sengal.Anak-anaknya berkumpul. Mungkin malam ini adalah malam
terakhir buat Ayah. Kami tak mau mengecewakan hatinya. Tiga anaknya berkumpul. Ya,
tiga anak-anak lontar yang setia. Kini menunggui Ayah, seolah-olah akan mendengarkan
pidatonya yang terakhir.Sepeninggal pohon lontar, Ayah memang lebih sering bicara
sendiri. Tahun 2003 sudah datang. Ayah bergumam. Seolah-olah begitu pentingnya tahun
itu. Seolah-olah tahun itu akan mengubah segalanya. Pasar bebas di seantero Asia
Tenggara. Padahal, banyak orang belum siap. Banyak yang belum bisa berbahasa Inggris.
Belum mengerti pasar modal, fluktuasi harga, maupun indeks gabungan harga saham.Pak
Haji Sidik yang paling paham harga beras dan sejarah produksi padi di kabupaten Klaten
pun, belum pernah bicara. Ia tidak mengajukan rancang tindak apa-apa. Tak ada action
plan. Tak ada cetak biru, blue print, maupun sekadar resep untuk mengantisipasi AFTA.
Ia cuma melayani dan melayani. Ia menggiling beras untuk petani setempat. Ia mentraktir
tamu-tamu yang datang ke rumahnya, baik sipil maupun militer, pribumi maupun
Tionghoa.Ayah berteman dengan Pak Haji Sidik. Ayah berteman dengan Insinyur
Sulistio. Apakah mereka harus dikabari, bahwa ada kemungkinan Ayah berangkat malam

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ini? Berangkat dalam tanda petik, tentunya. Napasnya semakin jarang. Ia tidak mungkin
menghabiskan tahun 2003 dan seterusnya. Ia akan menyusul pohon lontar, yang telah
duluan meninggalkan kami."Jangan melawan sinar rembulan," Ayah mengigau lagi.
Malam itu bulan bersinar sangat terang. Bukan hanya di jalan tempat Ayah bersepeda
pulang dari rapat di kecamatan. Tapi, juga di jendela kamar Tante Yetti, guru sekolah
dasar luar-biasa. Tante Yetti adalah seorang pengagum Ayah. Matanya bersinar-sinar
setiap kali melihat ayah kami. Semua anak Ibu tahu hal itu.Dan entah kenapa malam itu
Ayah pulang larut sekali. Anak-anak sudah tidur. Begitu juga pohon lontar di muka pintu
yang kerjanya menampung sinar rembulan dan matahari. Semua sudah terlelap dalam
pangkuan alam semesta. Dini hari betul, aku terbangun, mendengar Ayah memasukkan
sepeda, lalu sunyi lagi. Seperti ada peristiwa besar yang harus dikuburkan di sini."Ibumu
tahu, ibumu tahu...," Ayah mengigau lagi. Tante Yetti itu seperti bunga tapak dara. Ia bisa
tumbuh di mana saja. Meskipun jalanan berbatu, bahkan di semen sekalipun. Ia bisa
tumbuh dan berbunga di celah-celahnya. Dalam perjalanan panjang hidup ini, Ayah tak
bisa menolak tumbuhnya. Ya, selembar tapak dara yang tumbuh di jalan panjang, di
bawah naungan pohon siwalan yang terlalu tinggi, dan terlalu merdeka.***MALAM
sudah larut. Ayah tampak sedikit tenang. Napasnya normal. Air mukanya tidak pucat
lagi. Tadi mungkin hanya terlalu bersemangat, atau mungkin juga kecapaian. Aliran
darah dan pernapasannya terganggu. Atau gara-gara melihat tapak dara yang lain. Begitu
banyak tapak dara di Bumi ini. Bukan hanya tapak dara, juga tapak liman dan
tempuyung. Semua tumbuh-tumbuhan cantik yang tiba-tiba suka menghadang jalan
kita.Tapak dara (Vinca rosea) adalah tumbuhan penumpas kanker payudara. Masyarakat
Bali memanggilnya kembang sari cina. Akarnya bisa dijadikan obat pembersih darah dan
penawar racun. Tidak mengherankan Ayah jatuh cinta pada obat kanker itu. Moralnya:
jangan pandang enteng tanaman liar di sepanjang hidup kita. Sekali dilirik, bisa teringat
selamanya.Begitu juga tapak liman (Elephantopus scaber). Daun tanaman liar ini bisa
dijadikan tonik atau penguat, obat batuk, dan nyeri perut. Aku teringat perempuan tinggi,
elegan, anggun, yang pada suatu hari datang ke kantor Ayah. Katanya mau
mengembalikan buku Ayah yang terbawa olehnya. Tapi, aku curiga, mengapa harum
parfumnya sama seperti yang tercium pada Ayah sepulang dari sebuah seminar?Tapak
liman, itulah ingatanku pada Tante Lestari dari Cibodas. Ayah memperkenalkan tante itu
sebagai istri seorang mandor perkebunan kopi, yang sudah punya tiga orang anak, semua
laki-laki. Tapi malam ini, Ayah seperti sedang bermimpi ketika menyebut-nyebut nama
Lestari. Ia seperti minta maaf karena tidak menerangkan apa saja manfaat tumbuhan di
pinggir lapangan ini.Hidup ini seperti sebuah lapangan, taman, kebun, atau mungkin
hutan bagi Ayah. Setiap orang punya perlambang sendiri. Aku sering dipanggilnya
sebagai pohon manggis. Garcinia porecta! Manggis hitam, katanya. Memang ada banyak
macam manggis. Ada Garcinia mangostana, ada Garcinia dulcis. Tapi, yang terakhir itu
bukan manggis biasa, orang Pasar Minggu memanggilnya mundu.Aku bangga menjadi
pohon manggis bagi ayahku. Batangnya kuat. Daunnya tebal, kukuh, berkilat-kilat.
Ramah pada Matahari dan tidak takut pada sinar Rembulan. Ayah mengajari kami hidup
tekun, tumbuh rajin, berkembang, dan berbuah. Semua dilakukan dengan senang hati, dan
seindah-indahnya. Lewat tengah malam, sepertinya semua baik. Satu per satu, kami tidur
di sekeliling Ayah.Namun, kira-kira pukul empat pagi, aku terbangun. Ayah seperti batuk
keras sekali. Napasnya kembali tersengal-sengal. Wajahnya pucat. Aku membangunkan
adik-adikku. Ayah harus dibawa ke unit gawat darurat. Rumah sakit mana saja. Sekarang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

juga. Kerongkongnya mengeluarkan suara nyeri. Bukan nyeri, tapi menyeramkan.


Pencipta alam, lindungilah Ayah kami.***AYAH adalah sebatang palem yang lain.
Mungkin juga lontar, mungkin juga kurma. Atau kelapa. Terserah pada kami. Ia bisa jadi
palem raja, sadeng, kelapa sawit, atau palem puteri. Yang terang batangnya lurus ke
angkasa. Buahnya banyak, kami panggil suka-suka kami. Kalau sedang pelit, ia mirip
palem raja. Kalau sedang pemurah, ia adalah nyiur yang amat lebat buahnya.Sayangnya,
sepeninggal lontar ia banyak pidato. Ia mengingatkan orang pada AFTA. Entah itu Asean
Free Trade Agreement. Entah pula Association of Temperate Agroforestry. Begitu
banyak hal disingkat AFTA. Termasuk di antaranya Australian Federation of Travel
Agents, dan American Family Therapy Academy. Yang terakhir ini sebuah lembaga
nirlaba, berpusat di Miami Florida, sejak 1977. Tujuannya mengembangkan pemikiran
sistematis dalam membangun hidup berkeluarga, terkait dengan pemahaman ekologi.Aku
senang Ayah banyak membaca. Sejak ada komputer, kegemarannya makin berkobar-
kobar. Komputer adalah perpustakaan paling praktis baginya. Melalui Internet, Ayah bisa
mengunjungi berbagai pusat kajian ilmiah, membaca berbagai koran dan majalah, bahkan
mencari kutipan dari bermacam buku. Tidak mengherankan ia menjadi semakin kaya dan
bernas pada akhir hidupnya.Memang begitulah yang kami rindukan pada setiap manusia
Indonesia. Makin tua makin rajin belajar, makin ingin tahu. Makin bersungguh-sungguh
dalam memahami dan menggali makna kehidupan. Ayah telah memberi contoh dengan
sebaik-baiknya. "Yang tidak bisa berbahasa Inggris, sebaiknya mati saja pada tahun
2003," katanya pada suatu ceramah kepada anak-anak muda.Ayah kecewa pada minat
belajar bahasa asing yang rapuh, dan nyaris tak berkobar di antara para remaja. Bahasa
itu, menurut ayahku, tidak bisa diajarkan. Bahasa itu harus dipelajari. Meskipun sepuluh
tahun tinggal di Bandung, kalau tidak mau belajar bahasa Sunda, tetap saja tidak bisa.
Sebaliknya, meskipun tinggal di dusun terpencil, bila rajin buka kamus, kita bisa tahu
nama Latin semua satwa dan tanaman.***PUKUL setengah enam, ketika matahari terbit,
Ayah menghembuskan napas terakhirnya. Kalimatnya yang penghabisan kami catat,
persis seperti tertulis di sini, "Jangan melawan Rembulan." Ayah seolah-olah ingin
berpesan agar kami tidak memusuhi Ibu. Kami harus selalu mendengarkan Ibu. Kami
tidak boleh berargumen apa pun, bila Rembulan bicara.Aneh, sekali! Ibu bukan
Rembulan, tapi siwalan, Borassus flabellifer yang kuat, cantik dan setia. Mungkin Ayah
lupa. Pohon lontar yang sangat dicintainya itu sudah pergi dulu. Atau ada "rembulan"
beneran, barangkali. Mengapa Ayah memanggil rembulan sebagai Ibu? Ibu Presiden
Megawati? Ah, siapa pun Rrembulan, siapa yang mau melawan?Yang terang, aku, kakak
dan adikku, anak-anak siwalan ini, kini menjadi yatim piatu. Tetapi, itu tidak
menghalangi kami tumbuh dan terus berkembang. Termasuk kalau kami ingin menjadi
pohon-pohon yang lain. Aku pohon manggis hitam, kakak memilih jadi asam jawa, dan si
kecil, yang bungsu adalah pohon salam. Ia pohon asli Indonesia. Nama latinnya
Syzygium pollyanthum, tingginya bisa 25 meter, teguh dalam badai, seperti ibunya.Si
pohon asam jawa, Tamarindus indica, mirip seperti Ayah. Ia sibuk dengan dunianya
sendiri. Dunia ilmu pengetahuan dan kemerdekaan. Ia tidak takut cahaya Rembulan. Ia
terus tumbuh ke langit, ada atau tidak ada AFTA, perdagangan bebas di seantero Asia
Tenggara. Ia mendengar sisi lain pesan Ayah. Katanya juga jelas dan tegas, "Jangan takut
pada hutan, ada atau tidak ada Rembulan."(Sebagai ziarah abadi, untuk Muhammad
Saleh Kismadi, yang gugur sebelum tahun 2003)

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Perempuan Semua Orang

Post: 12/22/2002 Disimak: 258 kali

Cerpen: Teguh Winarsho AS

Sumber: Kompas, Edisi 12/22/2002

IA datang saat senja sekarat di ambang malam. Langit bergetar, meremang, bagai habis
terbakar. Ada bau ilalang garing diembus angin menggerus lambungnya saat menaiki
undakan teras. Juga sayup jerit, entah dari mana, begitu miris, terdengar berulang-ulang.
Ia tampak takut, tapi niatnya tak surut. Ia terus melangkah. Gaunnya sesekali terkibar
dihantam angin. Membuat bagian-bagian tertentu tubuhnya kadang menyembul teramat
menggairahkan.Namun, baru beberapa jengkal tiba-tiba ia berhenti. Berdiri gamang di
depan pintu. Menyeka titik-titik keringat di sekitar dahi seperti angin menghapus
keraguan dalam hati. Ia terus berdiri. Menunggu seseorang membuka pintu. Dalam hati ia
berharap seseorang lari tergopoh-gopoh dari dalam rumah menyambutnya dengan
senyum ramah lalu mendekap tubuhnya dengan hangat. Mungkin juga sedikit kata-kata
yang bisa membuat perasaannya bahagia. "Bagaimana kuliahmu hari ini, Mai? Kau
tampak capai sekali. Mandilah dengan air hangat." Atau kecupan mesra di pipi. Di dahi.
Tetapi, itu sia-sia. Lama ia menunggu hingga sekilas dari jauh tubuhnya tampak
mengeras seperti patung batu.Malam merayap. Di langit bintang-bintang berkerlip seperti
sinyal satelit. Dingin menembus tulang. Tetapi, ia masih berdiri di depan pintu. Masih
menunggu seseorang. Tetapi, pintu itu belum juga terbuka. Dan ia masih mencoba
menunggu. Lama. Lama... Hingga seperti ada sesuatu yang mengingatkan, serta-merta
pipinya melesung diikuti senyum tipis merekah di bibir mungilnya yang merah. Cepat ia
ulurkan tangan memutar gagang pintu. Terdengar bunyi engsel berkerit memecah sunyi.
Lalu, remang lampu 25 watt menyergap kedua belah matanya. Sesaat kelopak matanya
mengelepak bagai sayap burung luka. Lalu lengang.Gemetar ia melangkah. Mengedarkan
pandang. Menahan jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Tetapi, sepi. Ruang tamu itu
kosong. Tampak kotor, menjijikkan. Meja, kursi, almari, berjumpalitan ditingkah
pecahan guci, vas bunga, cermin asbak, dan akuarium. Sulur laba-laba menghiasi tembok.
Juga sedikit bercak darah pada gerutan kasar di tembok,-ah, ia ingat, gerutan itu tentu
bekas benturan kepala Papa, sebelum kepalanya rekah dibacok golok. Papa tak sempat
menjerit sebab lehernya dicekik. Dan bercak darah itu? Benarkah bercak darah itu milik
Mama?Pelan ia melangkah mendekat. Mengulurkan tangannya yang putih bagai menguar

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

cahaya kristal. Hingga pendar lampu di atasnya layu terhisap. Ah, lampu itu rupanya
masih menyala meski tak cukup terang. Ia lupa, tetapi boleh jadi dulu ia yang
menyalakan lampu itu. Hati-hati ia letakkan telapak tangannya pada bercak darah dan
gerutan kasar di tembok. Jantungnya kembali berdesir seperti dipenuhi debu pasir.
Seperti kembali diliputi kenangan buruk yang tak kunjung berakhir. Ia jongkok,
merunduk, ingin mencium bercak darah di tembok. Tetapi, urung. Di lorong jauh, dua
ekor tikus sebesar lengan bercericit berkejaran lalu lenyap di ruang makan. Mengejutkan!
Susah payah ia mencoba berdiri tegak. Mengatur napas yang mendadak sengal. Lama ia
berdiri menatap gerutan kasar dan bercak darah pada tembok itu. Hingga bulu kuduknya
meremang. Lututnya bergetar hebat. Dan di kepalanya berkelebat bayangan puluhan
orang bersenjata tajam. Mengkilat. Wajah-wajah beringas. Mata-mata merah. Melotot.
Berteriak serupa kesurupan. Ya, ya, ia kembali bisa melihat kelebat pedang dan golok itu,
saat ini, dalam remang cahaya lampu terasa menyilaukan. Juga suara orang-orang itu,
berteriak, memaki, mengumpat penuh kebencian. Lalu tawa mereka, mengingatkannya
pada kawanan serigala liar. Tetapi, mereka bukan binatang sebab bisa bicara dan
tertawa.***BAYANGAN itu begitu kental. Membuat ia kian gemetar, menggigil
ketakutan. Sekian detik kakinya terpahat di lantai tak bisa bergerak. Wajahnya memucat
bagai tak teraliri darah. Ia sangat tersiksa. Ia ingin berontak, berteriak, namun tak sepatah
kata keluar dari mulutnya. Tenggorokannya seperti tercekik. Ia ingin menangis, namun
air matanya enggan tumpah. Malam kian mencekam. Keringat di dahinya kembali
berleleran. Tidak lama kemudian, lagi-lagi seperti ada sesuatu yang mengingatkan, tiba-
tiba ia tersenyum tipis, menepiskan tangan, menggeleng pelan. "Tidak! Itu masa lalu.
Sudah lewat!" Seketika bayangan puluhan orang berwajah beringas itu lenyap. Malam
kembali senyap.Ia kembali meneruskan langkah masuk ke ruang tengah, hati-hati
menghindari pecahan kaca atau binatang semacam kecoa. Juga suara langkah kakinya
sendiri yang boleh jadi akan menimbulkan kecurigaan. Di ruang tengah matanya nanar
menatap foto keluarga. Foto itu buram tertutup debu. Ia masih ingat, foto itu diambil
hanya beberapa jam usai acara wisuda yang melelahkan. Ia mengenakan toga, diapit Papa
dan Mama tersenyum bangga. Di bawah foto tertera namanya dalam huruf Cina: Zhao
Mai Ling.Ia melangkah menghampiri foto itu, meniup debu yang menebal pada kaca
pigura, mengusap-usap dengan jemarinya, hingga wajah Papa, Mama, dan dirinya tampak
semakin nyata. Tetapi, belum puas ia menatap foto itu tiba-tiba seperti ada badai yang
mengempas keras tubuhnya. Membuat tenaganya sesaat lesap, tubuhnya huyung seperti
mau roboh. Bayangan puluhan orang berwajah beringas kembali berkelebat di batok
kepalanya seperti kelebat cahaya di malam buta. Kilatan golok saat membacok kepala
Papa hingga rekah, juga kilatan pedang saat menebas perut Mama hingga ususnya
terburai. Dan darah. Darah yang muncrat dari perut Mama kala itu membuat warna udara
memar seperti tertampar.Cukup lama ia menghimpun kekuatan sebelum kembali berhasil
menjejakkan kedua kakinya masuk ke ruang makan. Di situ ia kembali terpaku lama.
Terbayang kesibukan saat pagi hari menyiapkan sarapan untuk Papa dan Mama: teriakan
Papa minta disiapkan kopi. Atau jerit Mama dari kamar mandi sebab handuknya
ketinggalan. Semua itu begitu jelas terbayang. Malamnya ia nyalakan lilin, duduk
mencangkung menghadap meja makan menunggu Papa dan Mama pulang. Meski
sesekali kedua orangtuanya tidak pulang lantaran pergi ke luar kota sehingga larut malam
ia harus makan sendiri lalu meniup lilin-lilin itu dengan perasaan sepi.Tempat lilin itu
hingga kini posisinya masih belum berubah. Juga gelas, piring, mangkok, sendok, dan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

botol-botol kecil yang berjajar rapi di rak samping. Ia ingin sekali memegang benda-
benda itu, mengusap-usapnya, mengelus-elusnya, merasakan kembali geliat kerja setiap
pagi yang menggairahkan. Mungkin bisa membuat dirinya sedikit tenang. Tetapi,
mendadak seperti ada sesuatu yang menahan tangannya. Begitu kuat. Entah apa. Pelan ia
merapat tembok. Gamang. Sekali lagi ia merasakan tenaganya raib, seperti ada kekuatan
gaib menyedotnya.Namun, ketika tanpa sengaja sepasang matanya menangkap selarik
cahaya membersit dari sebuah pintu kamar, perlahan-lahan tenaganya pulih. Jantungnya
berkeretap kuat. Tergesa-gesa ia masuk ke kamar itu. Sebuah kamar luas bercahaya
lampu muram. Itu adalah kamar miliknya. Di kamar itu ia sering menghabiskan waktunya
untuk belajar. Membaca buku pelajaran atau sekadar buku-buku cerita ringan. Nyaris
tidak ada yang berubah di kamar itu, selain tampak kotor berdebu. Meja, kursi, almari,
rak buku, kipas angin masih sama seperti empat tahun lalu.Akan tetapi... Ah, ranjang itu?
Ranjang itu telah bergeser jauh dari posisi sebenarnya. Juga sprei di atasnya yang acak,
kusut. Dan noda darah yang menempel di sprei itu? Milik siapakah? Bukan milik siapa-
siapa. Tetapi, miliknya, kala puluhan orang berwajah beringas puas membantai Papa dan
Mama, seperti kesetanan mereka mendobrak pintu kamar dan memperkosanya.
Bergiliran. Hingga ia pingsan. Berjam-jam. Ketika siuman ia sangat kecewa kenapa
malaikat maut tidak mencabut nyawanya sekalian. Ia ingin mati saja. Menyusul Papa dan
Mama. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri, namun selalu gagal. Ia terus hidup. Perutnya
kian membesar menyimpan orok bayi. Terus tumbuh, tumbuh, dan tumbuh hingga suatu
kali entah kenapa ia merasa sangat bodoh jika harus bunuh diri.***ADA banyak ruangan
yang sebenarnya ingin ia lihat, sebanyak kenangan yang terus mendesak di batok
kepalanya. Tetapi, ia takut. Waktu beringsut cepat. Sebentar lagi pagi tiba. Pagi yang
akan membuat wajahnya pucat. Ia harus segera meninggalkan rumah itu sebelum terang
menyentuh tanah. Sebelum orang-orang ke luar rumah. Selain itu, ia memang mesti
segera kembali ke hotel sebelum anak laki-lakinya bangun lalu menanyakan
keberadaannya kepada baby sitter. Ia tak ingin membuat bocah itu sedih dan menangis
seharian hanya gara-gara ia tak ada di sampingnya saat bangun tidur.Dingin pagi
menyergap tubuhnya saat keluar rumah. Tergesa-gesa ia mendorong pintu pagar depan
hingga menimbulkan suara berisik. Sejenak ia menoleh menatap rumah di belakang, lalu
kembali melangkah cepat-cepat menyusuri trotoar. Tetapi, ia terlalu letih untuk terus
melangkah. Dan seperti tanpa sadar, tangannya melambai menghadang taksi yang
kebetulan melintas. Letih, ia jatuhkan pantatnya di jok belakang.Mula-mula taksi
meluncur cepat, tetapi tiba-tiba melambat dan berhenti persis di tikungan gelap. Pada saat
bersamaan tiga orang laki-laki muncul dari balik semak-semak. Menenteng kapak. Mata
mereka menyala, berkilat-kilat. Ia sangat ketakutan, meminta sopir taksi agar terus
menjalankan kendaraannya. Tetapi, sopir taksi itu justru tertawa lebar. Tidak lama
kemudian ia merasakan tengkuknya sangat nyeri.Lima jam setelah kejadian itu, di sebuah
kamar hotel, seorang bocah laki-laki menangis terisak-isak saat bangun tidur. Bocah laki-
laki itu sejak sore hanya ditemani seorang baby sitter yang pagi ini menghilang usai
menguras uang dan perhiasan dari sebuah tas mungil di laci meja. Beruntung seorang
petugas kebersihan hotel memergoki bocah itu, menenangkannya, lalu diam-diam
membawa pulang ke rumah. Memberinya makanan enak, juga segelas susu.Ah, bocah
laki-laki tampan, harganya pun pasti mahal, batin petugas hotel itu sedikit heran dengan
mata sipit yang dimiliki bocah itu lantaran kulitnya gelap seperti orang kebanyakan.
*Depok - Yogya, 1998-2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Kepada Tiankong, Langit yang Jauh

Post: 12/15/2002 Disimak: 130 kali

Cerpen: Naning Pranoto

Sumber: Kompas, Edisi 12/15/2002

OHHHH... wangi! Tiba-tiba tercium wanginya aroma melati. Bisa kupastikan, lebih
wangi dari aroma peri dalam dongeng yang pernah dituturkan oleh almar-humah mbah
buyut-ku. Tetapi, cerita yang kutulis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
dongeng mbah buyut-ku itu. Melainkan sesuatu yang kujumpai di dalam pesawat, yang
menerbangkanku dari Singapura ke Jakarta.Ternyata, aroma melati itu tidak hanya
menghentak daya penciumanku, tetapi juga penciuman orang-orang sekitarku. Khususnya
mereka yang duduk di VIP-seats, bersumbernya embusan aroma wangi tersebut.
"Wowww!" tiba-tiba kudengar bisik-bisik di sekitarku ketika muncul seorang perempuan
muda mencari-cari seat. Ia bertubuh tinggi semampai, berkulit warna almond, bergaun
panjang, ketat, warna merah darah. Rambutnya hitam legam, panjangnya sebahu diurai
lepas. Tangan kirinya menjinjing kopor kecil dan tangan kanannya membawa barang
yang dikantungi kain sutera keemasan. Matanya yang dibingkai alis tebal tampak
berbinar-binar. Pikirku spontan, rupanya dialah si peri, sumber wangi aroma melati. Ia
lalu kunamai Si Peri."Number ten-bi...! Yes, it's mine. Sorry!" kata Si Peri, suaranya
lembut, Inggrisnya beraksen Amerika kental. Perilakunya santun.Ia menghampiriku yang
duduk di seat nomor 10-A. Ternyata seat-nya nomor 10-B. Jadi, ia duduk di sampingku?
Astaga! Jantungku berdetak cepat. Itu, bukan karena aroma wangi melati segar yang
menebar dari tubuhnya, melainkan, karena action Si Peri. Ia menaikkan kopernya ke
bagasi yang ada di atas seat, belahan gaun panjangnya membuka dan pahanya yang
mulus tampak kemana-mana. Paha itu menjadi perhatian banyak orang. Tetapi ia tampak
tenang-tenang saja. Dengan kalem ia menutup bagasi, lalu duduk di sampingku sambil
menyapaku dengan renyah, "Hello, how are you?""Good! Thanks!" sahutku kikuk dalam
mengimbangi suara renyahnya. Kata teman-temanku, aku memang jenis pria yang suka
kikuk dalam menghadapi perempuan, apalagi perempuan asing-yang belum
dikenalnya.Tetapi, kekikukan yang kali ini berbeda dengan kekikukan yang biasanya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kurasakan. Biasanya, aku merasa kikuk menghadapi perempuan karena aku merasa tidak
punya bahan menarik, yang bisa kusajikan sebagai bahan pembicaraan. Sedangkan
kekikukanku kali ini, karena aku terheran-heran oleh penampilan Si Peri yang
superwangi dan keberaniannya dalam berbusana. Apa sih profesinya?. Apakah ia seorang
foto-model? Atau ia seorang semacam call-girl? Ahh, otakku jadi kotor menuduhnya
yang tidak-tidak."Maaf. Boleh tahu? Anda mau ke Jakarta atau ke Bali?" tanyanya,
beberapa menit setelah pesawat take-off menuju Jakarta. Sungguh, pertanyaannya
mengejutkanku, karena aku sedang memikirkan profesinya."E... saya mau ke Jakarta.
Anda? Anda mau kemana?" sahutku agak gugup, karena tidak menyangka sama sekali
kalau ia mau menegurku."Saya mau ke Tian-Tiangkong untuk melaksanakan li, yaitu
berbakti kepada keluarga!" sahutnya cepat."Anda mau ke Tian-Tiankong untuk berbakti
kepada keluarga? Sungguh mulia niat Anda. Tetapi, di mana Tiankong itu?" tanggapku
spontan, karena merasa asing terhadap tempat yang disebutnya."O, sorry, saya berbahasa
Mandarin," ralatnya, "...ee.. maksud saya, Tian-Tiankong itu artinya Langit. Tapi, bisa
juga dimaknakan Surga. Ya, saya mau ke Langit. Langit Yang Jauh...! Ke
Surga!""Maksud Anda?" keningku spontan berkerut."Nah...nah... Anda bingung kan?
Anda tidak tahu di mana letak Langit Yang Jauh?" ia tersenyum, "Itu, negeri yang kata
waipo-ya, ya kata nenek saya, Tiankong itu sebuah negeri yang sangat indah, seindah
Surga. Puluhan tahun ia merindukannya!" senyumnya tiba-tiba menghilang, tergantikan
kerut-kerut bibir gemetar, menahan tangis. "...tapi, kerinduannya tidak pernah terwujud
secara nyata." Ia mengusap butir-butir airmatanya yang meleleh di kedua pipinya.Aku
bingung. Aku tidak memahami alur pembicaraannya. Maka, aku lalu memberanikan diri
untuk minta penjelasan. "Hem...Miss...,""Nama saya Peony. Maksud saya Peony Wu...,"
ia memenggal kalimatku."Ya, Miss Peony, maafkan saya. Saya tidak memahami apa
yang Anda bicarakan. Maukah Anda memperjelasnya?" pintaku, karena penasaran."Tentu
saja Anda tidak memahaminya, karena alur pembicaraan saya rancu. Itu, karena saya
tidak tahu, dari mana saya harus memulainya. Materinya terlalu panjang dan rumit. Ini
menyangkut sejarah.""Menyangkut sejarah? Sejarah apa?" aku semakin tidak
mengerti."Sejarah perjalanan hidup orang-orang Tionghoa di Indonesia paska Perang
Kemerdekaan Indonesia sampai dengan detik-detik meletusnya G 30 S PKI. Nah, nenek
saya termasuk di dalamnya...""E, nenek Anda, pernah tinggal di Indonesia?" tiba-tiba aku
menemukan clue kemana arah pembicaraan Si Peri yang mengaku bernama Peony
Wu."Yes! Anda cerdas. Saya suka," mata Peony yang semula redup, kembali berbinar.
"Jadi, Anda paham apa yang saya maksud dengan Langit Yang Jauh?""Indonesia?" aku
menebak dengan ragu-ragu."Yes, absolutely correct! Thanks!" ia bersorak, sambil
mengguncang-guncang tanganku, "Anda cerdas!" pujinya berkali-kali. Pujiannya
membuatku jadi merasa akrab dan dekat dengannya. Maka, kulanjutkan dialogku
dengannya, "Jadi, Anda mau ke Indonesia? Ke kota mana?" tanyaku kemudian."Ke Batu-
Malang. Di kota itu nenek saya lahir, dibesarkan dan menikah serta punya tiga anak.
Setelah menikah, ia dagang palawija, di Surabaya. Waktu perang kemederkaan ia
menyumbangkan dagangannya untuk dapur umum, memberi makan para pejuang. Itu,
karena kecintaannya terhadap Indonesia. Ironisnya, tahun '62, ia dipulangkan oleh
pemerintah Indonesia ke Tiongkok, karena nenek saya tidak mau ganti nama Indonesia.
Nenek saya bilang, ia terkena PP-10. Anda tahu peraturan itu?" ia memandangiku."Maaf,
saya tidak tahu!" aku berterus terang."Sama. Yang saya tahu, karena PP-10 itu nenek
saya kembali ke Tiongkok. Karena ia lahir dan besar di Indonesia, maka ia merasa asing

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

terhadap Tiongkok. Keterasingannya itu membuatnya gamang dalam menjalani hidup,di


Tiongkok, apalagi ketika Mao Zedong memproklamirkan Revolusi Kebudayaan. Nenek
saya sempat gila karena disiksa oleh student yang menjadi Red Guard Mao. Itu, gara-gara
nenek saya penganut Kong Hu Chu yang taat. Untung, ia bersama sepupunya berhasil
melarikan diri ke Macao. Tetapi kedua anaknya hilang. Yang hidup tinggal ibu saya yang
kemudian menikah dengan orang Portugis...!""O, jadi Anda berdarah Portugis?" selaku,
sambil mengamati wajahnya yang memang tidak mirip Tionghoa."Ya, saya ini blasteran
Tionghoa-Portugis, lahir di Macao, besar di Amerika. Kemudian, saya sekarang punya
usaha di Singapura, buka butik!""O, makanya Anda modis." Komentarku tentang dirinya.
"Oiya, nenek Anda sekarang di mana?" tanyaku, karena aku ingin tahu keberadaan
neneknya."Nenek saya sekarang di sini! Di pesawat ini!" ia memandangiku, "...karena dia
sedang menuju ke Langit Yang Jauh. Suatu tempat yang ia rindu-kan...""Ah, Anda
jangan bercanda," tanggapku serius."Saya tidak bercanda. Nenek saya sekarang memang
sedang berada di pesawat bersama saya, bersama Anda dan bersama semua penumpang
pesawat ini," lagi-lagi ia memandangiku. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari kantung
sutera warna keemasan yang tadi kulihat dibawanya, "Nenek saya ada di sini. Di dalam
botol perak ini!" ia menunjukkan ujung botol yang ada di kantung sutera."Ohhh...," aku
tidak bisa berkata apa-apa selain menarik nafas."Nenek saya meninggal dua bulan yang
lalu, usianya 78 tahun. Ketika ia dipulangkan ke Tiongkok, usianya 38 tahun. Jadi,
selama 40 tahun ia merindukan Indonesia yang disebutnya sebagai Langit Yang Jauh. Ia
menyebut demikian karena untuk ke Indonesia baginya tidak mudah. Ia takut,
kedatangannya ditolak pemerintah Indonesia. Maka, ia lalu berpesan, ketika meninggal
minta dikremasi dan abunya ditaburkan di Gunung Sriti-Batu. Katanya, tempat itu sangat
indah bak surga. Di Gunung Sriti ia punya kenangan manis, bertemu dengan seorang
pemuda yang kemudian menjadi suaminya. Sayangnya, suaminya itu tidak mau
menyertainya kembali ke Tiongkok. Ia memilih tinggal di Indonesia, mengganti namanya
dengan nama Indonesia dan kemudian ia menikahi perempuan Boyolali. Kabarnya, ketika
meletus G 30 S PKI, suami nenek saya itu dibunuh dengan cara yang keji oleh penduduk
setempat, karena ia dituduh PKI!" mata Peony membasah lagi, "tapi, bagaimanapun
nenek saya tetap menganggap Indonesia adalah Tiankong, sebuah Surga dan ia ingin
menjadi salah satu penghuninya," sambung Peony tersenyum getir. Ia lalu mengajakku ke
Batu- Malang, untuk melaksanakan li bagi neneknya.Jakarta, akhir Oktober 2002

Lebaran, Jangan, Jangan...

Post: 12/03/2002 Disimak: 212 kali

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Cerpen: Gus tf Sakai

Sumber: Kompas, Edisi 12/01/2002

AIR. Gelombang. Tolong. Openg megap-megap ketika empasan kuat membenamkannya


ke perut laut. Tangan kecilnya menggapai-gapai, mengepak-ngepak, tetapi semua sia-sia.
Setiap gerakan, setiap tenaga yang ia keluarkan, membuat bocah itu merasa bagai tambah
tak berdaya. Gelombang membalik, mengangkat, melambungkannya ke permukaan.
Udara! Ditariknya napas-argkkhh! Cekuk-cekuk, terbatuk-batuk. Openg terus terbatuk,
masih terbatuk-batuk, saat tiba-tiba menyadari tak ada air, tak ada gelombang. Ada
gerakan di tempat mana tangannya terpegang. Dibukanya mata. Kesadarannya sempurna:
Tuas penggiling. "Ayo giling!" Perintah yang sangat Openg kenal. Dengan napas masih
sesak, dengan pandangan masih nanar, dilihatnya Ucok, Amri, Pulu, dan Kabir (teman-
temannya) telah menarik tuas penggiling. Di hadapan mereka, Bang Tohar (si sumber
perintah) tegak berkacak pinggang, menatap ke arah Openg. Tatapan itu. Mata itu...
"Jangan tidur! Ayo giling!" Kembali, telah tiba saat menggiling. Betapa cepat. Bagai tak
ada antara. ***MENGGILING, artinya menarik jaring. Disebut demikian karena jaring
ditarik dengan tali menggunakan kumparan besar yang mesti mereka putar. Bagi Openg,
bukan persoalan memutar atau menggilingnya. Tetapi, jarak waktu antara menarik dan
menurunkan itu: tak sampai dua jam. Membuat ia tak bisa betul-betul tertidur. Tak
sampai dua jam, dan setiap malam! Siang juga bukan berarti istirahat karena, kalau
kebetulan tak menggiling, mereka harus menjemur ikan tangkapan malam kemarin.
Betapa melelahkan, betapa meletihkan. Dan mimpi diempas dan dibenamkan gelombang
itu, sungguh membuat Openg tambah letih lagi. Dan, itu bukan mimpi pertama. Sudah
berkali-kali. Kenapa bisa datang berkali-kali, dan tak berganti dengan mimpi lain yang
lebih biak? Atau, tak usah mimpi. Lelap saja. Dua jam itu, alangkah baik kalau digunakan
menghimpun tenaga. Dulu, di hari-hari pertama di malam-malam pertama, dua-dua jam
pertama itu digunakan Openg untuk mengenang. Wajah Mak. Wajah Atin. Sedang
mengapa mereka sekarang? Ah. Selalu, Openg ingat dialog itu: "Firasat Mak tak enak.
Sebaiknya kau tak pergi." "Aduh... Mak ini bagaimana. Begitu aku pulang, bawa uang,
Mak bisa ke Malaysia." "Tapi ... Mak ragu. Jermal, apa itu? Di tengah laut, tak pulang-
pulang." "Ah, hanya dua bulan. Dua bulan, Mak! Dan ketika aku pulang, nanti, itu tepat
jelang Lebaran. Kita bisa...." "Ya," Atin menyela, "lebaran! Kita bisa buat kue. Beli baju.
Belikan Atin baju ya Bang?" "Ya-ya." "Tapi...," Mak masih ragu. "Sudah, Mak. Tenang
saja." "Tapi...." "Dah, Mak. Jangan khawatir." Tapi...ternyata Mak benar. Orang-orang
itu...telah menipu. Orang-orang dewasa itu... telah menipuku. Segalanya.
***SEGALANYA? Entah. Tetapi, yang jelas, soal upah ternyata tak seperti dikatakan
Bang Sulam. Lelaki 40-an yang mengajaknya itu -dan kini entah berada di mana!
-mengatakan uang yang bakal diterima Openg adalah Rp 400.000 per bulan. Bohong.
Bang Tohar, mandor itu, bilang hanya Rp 200.000. Dan itu Openg ketahui setelah berada
di sini, di jermal, yang kata Ucok jaraknya delapan mil dari pantai. Jadi, kalau Rp
200.000, uang yang bisa Openg bawa pulang hanya dua kali lipatnya. Empat ratus ribu
rupiah, itu tak cukup untuk biaya kerja Mak ke Malaysia. Untuk toke atau cukong saja,
kata Mak, butuh Rp 500.000. Ah-ah, bagaimana caranya? Menambah kerja jadi tiga atau
empat bulan? Berarti melewatkan lebaran. Openg terbayang Atin. Janjinya. Kue dan baju.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tentu adik perempuannya-yang tahun depan bersikeras ingin sekolah itu-akan sangat
kecewa. Lagi pula, tidakkah Mak akan sangat cemas? Dua bulan saja Mak telah sangat
keberatan. Apalagi tiga atau empat! Ah-ah... kenapa mereka, orang-orang kampungnya,
tak lagi boleh menggali pasir di sungai itu? Padahal, kata Mak, itulah pekerjaan orang-
orang kampungnya sejak lama- sampai-sampai desa mereka bernama Kampung Pasir.
Apakah salah mereka? Apakah salahnya dengan sungai yang jadi lebih dalam? Openg tak
mengerti. Bocah itu tak mengerti akan kehidupan kampungnya yang tiba-tiba berubah.
Yang membuat orang-orang kampungnya harus mencari kerja ke mana-mana. Yang
membuat kepalanya... kemudian dipenuhi pikiran. Tentang begitu pentingnya uang.
Tentang uang yang, kata orang-orang, di negeri Malaysia begitu gampang. Tentang
Bapak yang pergi entah ke mana, entah sebab apa, tak pulang-pulang. Tentang Atin yang
ingin sekolah. Tentang Nenek, yang tak berhenti sakit. Tentang Mak.... Ah Mak, Mak
benar. Mereka telah menipuku. Soal upah mungkin satu hal. Hal lain, lihatlah. Bang
Sulam mengatakan pekerjaannya hanya menggiling. Tetapi, ternyata tidak. Dan,
kalaupun cuma menggiling, siapa menyangka bahwa menggiling itu bakal siang dan
malam? Dan, bila malam, aduh! Dua-dua jam itu, sungguh membuat Openg sangat capek.
Ia hanya bisa tidur-tidur ayam. Kepalanya jadi sering pusing. Puasa? Ah! Di sini, tak ada
yang namanya puasa. Ramadhan atau tidak bagai tak ada bedanya. Dan, satu lagi. Bang
Tohar (tatapan itu, mata itu... Openg takut), kata kabir, kata Pulu, suka... "menindih"
malam-malam. Betulkah? ***HARI ini, lima hari menjelang lebaran, Openg mendapat
cerita lain. Kata Amri, mereka tak dibolehkan pulang sebelum bekerja tiga bulan. Ha?!
Sungguh Openg sangat terkejut. Kerja dua bulannya tinggal dua hari lagi! Malah, bocah
itu telah membayangkan bagaimana akan bahagianya bertemu Mak, bertemu Atin,
Nenek. Tak tahan-dan tak percaya- akan ucapan Amri, Openg meninggalkan
pekerjaannya menjemur ikan, bergegas mencari Bang Tohar. Lelaki besar, gempal, dan
kasar itu ia temukan tengah bersama Bang Jamil, si juru masak. Dua lelaki dewasa itu
menatapnya. "Apa?!" Suara Bang Tohar bagai menggeledek, mengalahkan deru angin
dan desau ombak. Tatapan itu. Mata itu.... Kembali, Openg tiba-tiba takut. "Kata
Amri...." "Kata Amri apa?!" "Kata Amri... kerja harus tiga bulan." "Memang tiga bulan.
Kenapa!" "Aku tidak bisa... harus pulang...." "O, pulang?" Bang Tohar berdiri, berjalan
menghampiri bocah itu. Jadi, kau mau pulang ya?" Lelaki besar itu membungkuk,
menyodorkan wajahnya ke muka Openg. Napasnya mengoar. Busuk. "Boleh! Kau boleh
pulang! Tapi, dengan berenang!" Openg tertegun. Tertunduk. Tertunduk. Lututnya...
menggigil. "Bagaimana! Kau Bisa?!" Openg tak bersuara. "Hua ha-ha...! Bisa?" Openg
membalikkan tubuh. "Jika pun bisa, kau hanya boleh bawa seratus ribu. Untuk sisanya,
kau harus kembali ke sini! Bekerja lagi!" Openg melangkah. Dengan marah, benci, dan
takut. Mak... mereka benar-benar telah menipuku. Openg ingin berteriak, ingin memekik,
ingin menangis. Hahhh.... "Bagaimana?" Ada sentuhan lembut di pundaknya. Amri.
Openg tak menjawab. Matanya menatap ke sana, ke bayangan pantai yang antara tampak
dan tidak. Delapan mil. Betapa jauh. Kenapa, waktu itu, ia tak percaya pada firasat Mak?
Kenapa... kenapa Lebaran tak datang sebulan lagi? Kenapa.... Delapan mil. Delapan mil!
Kenapa tak ia coba? ***TOLONG. Openg megap-megap ketika empasan kuat
membenamkannya ke perut laut. Tangan kecilnya menggapai-gapai, mengepak-ngepak,
tetapi semua sia-sia. Setiap gerakan, setiap tenaga yang ia keluarkan, membuat bocah itu
sungguh merasa tambah tak berdaya. Gelombang membalik, mengangkat,
melambungkannya ke permukaan. Udara! Ditariknya napas -argkkhh! Cekuk-cekuk,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

terbatuk-batuk. Openg terus terbatuk, masih terbatuk-batuk, saat tiba-tiba menyadari tak
ada air, tak ada gelombangnya. Ada tangan besar, kasar, membungkam mulutnya.
Dibukanya mata. Kesadarannya sempurna: Bang Tohar! Bang Tohar...tengah
menindihnya. Dengan tangan lain, Bang Tohar juga tengah berusaha melorotkan
celananya! O tidak! Ia berontak. Melawan. Menendang-nendang. Tetapi, tenaga Bang
Tohar bagai kepiting baja! Oh, tidak! Jangan! Kenapa... siang tadi ia batalkan
rencananya? Kenapa ia tak berani terjun berenang menempuh delapan mil itu? Kenapa?
Padahal ia bocah Kampung Pasir! Padahal ia orang sungai! Padahal... okh! Jangan,
jangan.... * Payakumbuh, 2002

Lukisan Kaligrafi

Post: 11/26/2002 Disimak: 522 kali

Cerpen: A Mustofa Bisri

Sumber: Kompas, Edisi 11/24/2002

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti
idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski
bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya,
Hardi sangat peka terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal.
Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan
mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi.
Menurut Hardi, kedatangannya di samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang
dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti
soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias. Namun, ternyata tamunya itu lebih
banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpresionis,
dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif,
dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja
menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan khususnya seni rupa. Yang membuat Ustadz
Bachri agak kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali
tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts,
Diewany dan Faarisy, atau Riq'ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal
“menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya.
Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu
berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu
di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang
dipilihnya dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat.
Ada hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan
sebagainya. Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang-meskipun agak
sok- telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama seni rupa. ***RINGKAS
cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai
pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti
seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu,
lalu katanya, “Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?” Ustadz Bachri tersenyum, “Itu rajah.
Saya yang menulisnya sendiri.” “Rajah?” “Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah
penangkal jin.” “Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?” Matanya tanpa
berkedip terus memandang ke atas pintu. “Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur
sedikit dengan minyak za'faran. Katanya minyak itu termasuk syarat penulisan rajah.”
“Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu,
“sampeyan mesti melukis kaligrafi.” “Saya? Saya melukis kaligrafi?” katanya sambil
tertawa spontan. “Tidak. Saya serius ini,” tukas tamunya, “sampeyan mesti melukis
kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. (“Ini apa pula maksudnya?” Ustadz
Bachri membatin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya.
Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan
ikut. Ya, ya!” Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam
dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan
kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya
mengangguk asal mengangguk. Setelah tamunya itu pergi, dia benar-benar terobsesi
untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia oret-oret kertas,
menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath dan sejarah
perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke kota untuk sekadar
melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia
memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan kuas. Anak-anak dan istrinya agak bingung
juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis. Lebih
heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula istri
dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga
mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan
membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk “sanggar melukis”. Mungkin
tidak ingin diganggu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk
melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke
gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia
baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa
kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang sedemikian
tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan
lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari
awal. Hal itu terjadi berulang kali. “Ternyata sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika
dalam hati, “enakan menulis pakai kalam di atas kertas.” Hampir saja Ustadz Bachri
putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau
komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan
pameran. Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu,
datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau,
alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”. Ketika sang kurir
menanyakan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek.
Tapi kemudian dia hanya mengatakan terserah. “Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah
dia!” katanya. Dia sama sekali tidak menyangka. ***MESKIPUN ada rasa malu dan
rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan
kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di
mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel
berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak. Dengan kikuk
dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya
Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-
pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa
tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya di
antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang rata-rata tampak indah dan
mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan pencahayaan yang diatur apik
untuk mendukung tampilan setiap lukisan. “Apakah lukisanku juga tampak indah di
sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?” Sampai akhirnya, ketika
acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan
yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum juga
menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya “Jangan-jangan lukisanku
diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi standar.” Aneh, mendapat
pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan
diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang
tampak sedang menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung yang
menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak
olehnya tertutup banyak kepala yang sedang memperhatikannya. “Lha ini dia!” tiba-tiba
Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu banyak
orang, “Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya, “Kemana saja
sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari
Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan.” Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu
lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang menerangkan data
lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang
membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai
melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu
memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka
dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS,
sepuluh ribu dollar AS! Gila! “Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;” tiba-
tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya, “apalagi setelah kawan Anda ini
menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!” Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya,
“Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!” “Katanya, Anda baru kali ini ikut
pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang merah
padam, “teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.” (“Melukis dari dalam? Apa pula
ini?” pikirnya) Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu
untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa? Besoknya hampir semua media massa
memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang
dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, melengkapi
pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama sekali
tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas
kosong! Beberapa hari kemudian, beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri.
Bertanya macam-macam tentang lukisan alifnya yang menggemparkan. Tentang proses
kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip
keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja. Ketika makan siang,
istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan
alifnya itu pula. “Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!” teriaknya kesal.
“Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian
mahalnya?” tanya anak sulungnya. “Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?” tanya si
bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya, “mengapa tidak sekalian
Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?”
Istrinya juga tidak mau kalah rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-
pertanyaan anak-anaknya. “Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa,
kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?” Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada
para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri
bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang
mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah. “Begini,” katanya sambil
menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian, “terus terang
saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena
dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.” “Saya sendiri baru
menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis
kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya
tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya
lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan keikutsertaan
saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus.” “Lalu, ketika
cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran
kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan
kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada
lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?” Ustadz Bachri
berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, “Ketika saya sudah
siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver.
Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini, lukisan kaligrafi saya
harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali,
sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun, ketika saya pandang-pandang letak
tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah,
menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya
lanjutkan. Cukup alif itu saja.” “Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?” sela si
bungsu. “Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa
perhatian orang begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang
dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang
membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang
sedemikian gagah itu.” “Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya,” tukas

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

istrinya, “sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto
tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?” “Wah, kamu ini
ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu
saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit
silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya
tak tampak ketika difoto.” Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz
Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. *

Kebakaran di Koto

Post: 11/17/2002 Disimak: 96 kali

Cerpen: Ismet Fanany

Sumber: Kompas, Edisi 11/17/2002

"APA itu yang akan dibangun di situ?" tanya Udin kepada beberapa temannya sambil
menunjuk ke seberang jalan dari warung kopi tempat mereka sedang duduk.Kabarnya
toko," jawab Dirun. "Toko keperluan sehari-hari."..... ......"Aku dengar warung kopi. Tapi
moderen. Tidak seperti ini," Maman ikut bicara dan memandang sekeliling warung
itu."Menurut kabar yang aku dengar," kata Nurmi, perempuan setengah baya pemilik
warung itu, "kedua-duanya. Toko merangkap warung kopi." Cemburu nada suaranya.
Anak-anak muda itu mengerti perasaan Nurmi. Sejak peletakan batu pertama bangunan di
Simpang, di ujung Desa Koto itu, banyak kabar selentingan tersebar di Koto.Dari kabar
selentingan itu dapat diketahui bahwa hampir tidak ada orang Koto yang menyenangi
usaha yang akan dibuka di situ, apalagi di Simpang. Seperti tersirat dalam namanya, jalan
desa Kota satu-satunya yang membujur dari timur ke barat berujung di situ, berakhir di
jalan utama utara-selatan dari Batusangkar ke Sungayang. Karena itu, banyak orang Koto
membuka usaha di situ: warung kopi, restoran, toko kelontong, salon, dan lain-lain. Di
Simpang orang Koto menghabiskan waktu senggang, duduk-duduk di pinggir jalan,
minum kopi, belanja. Di Simpang anak-anak muda yang menganggur berkumpul dan
bermain. Simpang merupakan kebanggaan orang Koto. Warung kopi Nurmi punya
keunikan sendiri. Di situlah tempat anak-anak muda Koto berkumpul. Warung kopi
lainnya dikunjungi penduduk Koto yang lain, tempat mereka makan ketan dan goreng

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pisang sebelum ke sawah atau sekadar duduk-duduk.Akan tetapi, sejak listrik masuk desa
dan penduduk semakin banyak mempunyai televisi, orang Koto lebih senang di rumah
menonton, terutama anak-anak dan yang tua-tua. Berangsur-angsur, duduk-duduk atau
berkeliaran di Simpang punya makna sendiri: dianggap tidak baik dan tidak berguna.
Kesempatan ini diambil oleh preman dan anak muda Koto. Denyut kehidupan Simpang
ditentukan oleh mereka. Banyak penduduk merasa tidak senang dan menganggap
kelakuan mereka memburukkan nama Koto. Banyak gunjingan tentang mereka: konon
ada yang mencuri untuk mengisi saku. Atau minum minuman keras dan berjudi, sesuatu
yang membuat marah orang tua dan pemuka agama desa itu. Tetapi, pemuda Koto pandai
menyimpan rahasia mereka. Tidak ada yang mereka lakukan secara terang-terangan.
Pemuka masyarakat Koto mendiamkannya saja asal semua itu tetap hanya berbentuk
kabar selentingan.Pusat operasi mereka adalah warung kopi Nurmi. Ini menambah
jengkel orang Koto. Sudah lama mereka menganggap Nurmi anggota masyarakat yang
tidak baik. Tingkah lakunya tidak sopan, pikir mereka. Dia tertawa terbahak-bahak di
tempat umum. Selalu bicara dan suaranya keras. Dia berpakaian dengan tidak sopan
menurut ukuran Koto. Kalau tidak ketat, bahannya jarang. Atau dipotong sedemikian
rupa sehingga bagian atas buah dadanya kelihatan. Dia dari muda menjadi buah mulut
orang kampung."Ah, mereka iri saja," kata Nurmi sambil tertawa bila gunjingan orang
tentang dirinya sampai ke telinganya.Nurmi tidak seratus persen salah. Ada unsur iri di
dalam masyarakat. Nurmi orangnya menarik, kalau tidak boleh dikatakan cantik. Penuh
gairah hidup. Yang jelas, pemuda desa menyukainya. Dia pintar. Bicaranya lancar dan
masuk akal. Dia bersekolah sampai tamat SD saja. Orang tuanya berpikir sekolah tidak
berguna.Kegemparan pertama di Koto sehubungan dengan Nurmi terjadi waktu tiba-tiba
Datuak Khaidir mengambilnya jadi isteri kedua. Waktu itu Nurmi baru berumur 21
tahun."Astaga!" kata seseorang yang sedang minum kopi di Simpang. "Si Nurmi
itu!""Apa benar?" kata yang lain."Benar apanya?" kata yang pertama."Mereka tertangkap
basah. Waktu isteri Datuak sedang bekerja di sawah?""Mungkin," kata yang ketiga.
"Coba lihat genitnya anak itu.""Padahal umur Datuak hampir tiga kali lipat!" sela yang
lain pula."Kalau kau sekaya dia," kata yang pertama tadi, "kau juga bisa begitu.""Jadi, Si
Nurmi itu lihat kayanya aja," pembicaraan makin ramai."Apalagi," kata yang lain. "Kalau
dia nyari yang hebat di ranjang, tentu aku yang dapat," katanya sambil tertawa keras.
Yang lain ikut tertawa."Bagaimana kautahu Datuak itu sudah tak berfungsi di ranjang?"
sela seseorang."Siapa tahu, mungkin Datuak itu yang gatal," jawab seseorang. "Jangan
Nurmi saja yang disalahkan."Ya," sahut yang memulai tadi, "berapa, ya, anaknya dengan
isteri pertamanya? Delapan kalau tak salah." Dia menjawab pertanyaannya sendiri."Dan
lahan pertama itu sudah gersang, jadi perlu lahan subur yang baru," kata yang duduk di
sudut. Semua tertawa lagi. "Dan Nurmi pasti subur. Lihat badannya."Datuak dan Nurmi
punya lima anak. Kini sudah besar-besar, paling tinggi tamat SMU, dan semuanya sudah
merantau. Di awal perkawinan mereka itulah Datuak membuatkan warung kopi di
Simpang itu untuknya. Sekalipun terbuat dari kayu, tempat itu bagus dan menyenangkan.
Dibangun bertingkat dua, di bawah warung kopi dan di atas tempat Nurmi tinggal. Sumur
gali dengan pompa Sanyo, kamar mandi dan dapur terdapat di lantai bawah, di
belakang.Datuak sering di rumah isteri tuanya. Nurmi mengurus usahanya dengan rajin
dan berhasil. Datuak senang punya dua isteri yang sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.
Nurmi gembira punya suami kaya dan memberinya kebebasan. Mulai saat itulah Nurmi
mengakrabi preman di Simpang dan belajar memanfaatkan mereka. Dia memerlukan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mereka. Nurmi tahu kalau dia mampu menjinakkan ketuanya, yang lain akan jinak juga.
Simpang yang terbuka pada arus jalan raya dan orang yang mondar-mandir tidak jadi soal
baginya. Sesekali tempat usaha di situ dimasuki maling, tetapi warung Nurmi tetap
aman."Apa Kak Nurmi tidak keberatan kalau orang menggunjingkan kita?" bisik Amran,
ketua preman Simpang saat itu, suatu malam setelah pengunjung warung lainnya pulang.
Dia menolong Nurmi menutup dan membersihkan warungnya."Gunjingan begitu sudah
biasa bagiku," kata Nurmi. "Kalau se-mua gunjingan dimasukkan ke dalam hati, hidup
kita tidak akan tenteram.""Apa benar," tanya Amran yang 10 tahun lebih muda dari
Nurmi, sementara pandangan matanya menggentayangi tubuh Nurmi di bawah sinar
listerik 10 Watt di warung itu, "bahwa Kak Nurmi menggoda Datuak seperti berita yang
tersebar itu?""Bagaimana kaupikir?" tanya Nurmi sambil meletakkan tangannya di atas
paha Amran. Dia terkejut dan gemetar. Nurmi tahu Amran berada di bawah
kekuasaannya."Kak Nurmi pin... pintar merayu, kan?" kata Amran gagap."Pintar sekali,"
kata Nurmi lembut. Amran kelabakan."Jadi benar? Jadi benar bahwa Kak Nurmi yang
merayu Datuak?""Tidak," kata Nurmi. Pasti suaranya. Didekatkannya badannya pada
lelaki itu. Amran kaget, tapi mulai berani. Diremasnya lengan Nurmi. Dia
membiarkannya."Tidak?""Dia yang menggodaku.""Menggoda?""Keluargaku sering
memburuh di tempat Datuak. Ya, di sawah dan ladang, ya pekerjaan rumah. Aku bekerja
dengan dia juga. Terus terang, ada yang kami perlukan dari dia. Dia kaya, kami miskin.
Suatu hari, aku ditidurinya. Di rumahnya. Di tempat tidurnya. Separoh hatiku enggan.
Separoh lagi menerima.""O," kata Amran, tak tahu harus mengatakan apa. "Lalu?""Dia
katakan kalau aku hamil, tentu aku dan keluargaku akan malu. Hamil tanpa suami.
Begitulah. Akhirnya aku setuju jadi isteri mudanya.""Kok gampang sekali kedengarannya
bagi Kak Nurmi?""Hidup bisa dibuat rumit. Tapi bisa pula dibuat
gampang.""Menyesal?""Penyesalan racun kebahagiaan. Aku ingin hidup
bahagia."Diciumnya Amran yang menggigil, bukan karena kedinginan."Kenapa
gunjingan di kampung lain?" tanya Amran di ujung ciuman itu. "Orang percaya Kak
Nurmi yang salah. Mencuri suami orang. Merusakkan keluarga orang lain.""Jangan lupa,
Amran. Yang kuat menentukan berita, menulis kisah kehidupan Desa. Yang lemah tak
kuasa melawannya. Kebenaran tidak penting, Amran. Yang penting apa yang dipercayai
orang. Ingat itu.""Seperti sekarang?" kata Amran."Maksudmu?""Apa yang terjadi di
antara kita tidak penting. Yang penting apa yang dipikirkan orang, kalau mereka
tahu.""Ya. Kalau mereka tahu. Ingat, apa yang mereka ketahui tergantung pada penyebar
berita. Bukan pembuat berita?"Amran mengangguk. Apa pun yang mereka kerjakan
malam itu tidak mengganggu dia lagi. Dia menikmatinya. Dia tahu di antara mereka,
Nurmi lebih berkuasa, lebih mampu melukiskan dan menyebarkan kisah keluar warung
itu. Sejak itu, Amran melakukan apa yang diinginkan Nurmi. Dia bisa menggunakan
kawan-kawannya kalau perlu. Dia meneguk kenikmatan yang tak diketahui teman-
temannya sebagai imbalan. ***WAKTU bangunan di seberang jalan itu dimulai, Datuak
Khaidir sudah beberapa tahun meninggal. Nurmi sudah lama sendirian ditinggal
merantau oleh anak-anaknya. Dia sudah lupa dengan persis berapa orang Amran-Amran
yang sudah ditaklukkannya, mengabdi kepadanya, dan meninggalkan masa remaja dan
memasuki dunia dewasa di warungnya. Nurmi pintar mengatur siasat. Di luar warung
hanya ada bisik-bisik. Tidak ada yang tahu pasti setiap yang terjadi di situ bilamana pintu
warung sudah ditutup.Toko seberang jalan itu akhirnya selesai. Peresmiannya meriah.
Pemiliknya mengadakan pesta besar, mengundang semua penduduk Koto dan desa

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tetangga. Nurmi tahu pemiliknya adalah kepala desa Koto dan seorang perantau yang
kaya. Mereka ingin membuat toko moderen di Koto, biar Koto tidak tertinggal oleh dunia
lain. Toko itu ternyata lebih hebat dari bayangan orang Koto sebelumnya. Mereka
membangun Plaza Koto yang menjual segalanya: keperluan sehari-hari, pakaian, alat-alat
sekolah, dan lain-lain. Tidak lupa, di bagian bangunan di sebelah jalan, ada warung kopi
tempat orang yang belanja bisa istirahat sambil minum-minum. Warung itu kelihatan dari
warung Nurmi.Plaza Koto menarik pembeli dari semua penjuru. Penuh siang malam.
Warung Nurmi kehilangan banyak langganan. Tetapi dia masih untung. Beberapa toko
dan warung di Simpang itu sudah gulung tikar. Orang Koto banyak tergoda oleh Plaza
Koto itu. Ruangannya pakai AC. Pelayannya muda-muda dan cantik, tidak seperti Nurmi
yang usianya sudah mulai dengan angka empat. Hanya beberapa anak muda yang masih
berhasil dipikatnya yang kadang-kadang singgah di warungnya. Termasuk
ketuanya."Api! Api!" Simpang gempar. "Tolong! Api!"Penduduk berhamburan keluar.
Jam dua dini hari itu, Simpang terang benderang seperti siang oleh nyala api. Plaza Koto
dilalap api. Waktu Pemadam Kebakaran dari Batusangkar datang, Plaza itu sudah tidak
tertolong lagi!***SEPERTI biasa, setiap kejadian di Koto menjadi bahan gunjingan
penduduk desa. Berita tentang kebakaran itu bergalau seperti berita lainnya."Kabarnya
Plaza Koto itu dibakar orang," kata seorang pengunjung warung Nurmi."Masa!" protes
yang lain. "Dibakar siapa?""Yang iri hati.""Siapa yang iri?" pembicaraan menjadi
ramai."Banyak. Dengar saja ocehan orang.""Ini kan memajukan Koto," sela yang lain.
"Kalau pun ada yang iri, pasti tidak sampai mau membakar begitu?""Kau pasti?" tanya
yang lain lagi."Ya, aku pikir begitu," kata yang menyela tadi. "Tapi siapa tahu,
ya.""Mungkin Setan Api marah," kata pemuda yang duduk dekat Nurmi."Setan Api?
Jangan katakan yang bukan-bukan, ah," kata yang lain."Bisa saja," pemuda tadi bela diri.
"Sok, kan, orang yang punya itu. Mentang-mentang kaya di rantau. Membuat usaha di
sini. Dia bersenang-senang entah di mana.""Iya, ya." Ada rupanya yang memakan umpan
itu. "Tidak peduli usaha penduduk di sini jadi bangkrut!" katanya berapi-api.Nurmi
tersenyum-senyum mendengarkan perdebatan yang semakin hangat itu. Direbusnya air
seperiuk lagi. Dia tahu kopinya akan lebih laris malam itu. Dia tidak sabar menunggu
para langganannya pulang ke rumah masing-masing. Maman, pemuda yang duduk
dekatnya itu, ketua preman Simpang, sore tadi sudah setuju menolongnya menutup dan
membersihkan warungnya malam itu seperti dulu sering dilakukan Amran dan beberapa
preman Simpang lainnya!Melbourne, Musim bunga 2002

Permata Bernstein

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Post: 11/11/2002 Disimak: 169 kali

Cerpen: Soeprijadi Tomodihardjo

Sumber: Kompas, Edisi 11/10/2002

BARU pertama kali aku dan sahabatku, Alex, menginjakkan kaki di Irkutzsch-malam
hari menjelang Natal tahun itu. Ilyushin tua yang mendaratkan kami di Siberia Timur ini
landing-nya gentayangan, bikin punggung berdenyutan seperti kena mesin pijat yang
disetel buat menggarap otot-urat yang nyeri-nyeri kena lumbalgi. Sejak turun dari
pesawat RRC itu, Alex nampak sudah lemas dan capek. Belum lagi lima menit kami
duduk di ruang-tunggu, seorang petugas sekuriti bandara itu mendatangi kami berdua
yang baru saja meletakkan pantat di sebuah bangku sekadar istirahat duduk sambil
menunggu jam berangkat Aerovlot jurusan Moskwa. Follow me please...," kata petugas
itu kepadaku. WWW WAku spontan berdiri, memesan pada sahabatku agar menjaga
mantel dan handbag besar bawaanku. "Take it with you," perintahnya tegas. Dia
ngomong Inggris dengan perfek-bahasa rutin personal sekuriti bandara transit negara
mana saja. Mendegup juga jantungku ketika itu. Bukan karena tas dan mantel mesti
dibawa (dia tentu merasa perlu memeriksa barang-barang penumpang), tapi karena cuma
aku yang disasar, Alex tidak, pasasir lain pun tidak. Tentu ada sebabnya. Barangkali
pakaianku, tampangku, atau gerak-gerikku mirip bajingan atau spion barat yang kasak-
kusuk masuk ke daerah wewenangnya. Beberapa penumpang Jerman yang tadi kulihat
berangkat sepesawat dari Beijing bersama kami nampak santai saja, duduk main kartu
mengelilingi sebuah meja di bawah temaram neon ruangan yang agaknya dilanda
tindakan penghematan. Ketika melewati kelompok itu, tiba-tiba kulihat di antara mereka
seorang lelaki yang pernah beberapa kali melayani kami di kedutaan RDJ1. Spontan saja
aku menyapa: "Gutenmorgen,...... Sind Sie auch hier?2" Dia tak menyahut, padahal kami
saling pandang. Di luar dugaanku dia bersikap begitu. Wajahnya datar seperti tak punya
minat menjawab tegur-sapaku. Tersenyum saja pun tidak. Pandangnya cepat kembali
tertuju ke main kartu. Karena malu, aku pun agak klincutan menghindar dari mata si
Jerman. Tapi, aku yakin benar lelaki itu mengenalku, malah beberapa hari sebelumnya
telah menjamu kami, Alex dan aku, minum teh dan makan kue di kantor kedutaannya
ketika kami mengurus visa. Sebuah layanan berlebihan, namun bukan tanpa alasan.
Ketika itu dia memancing-mancing, mengapa kami pergi ke barat, tak ingin tinggal di
Jerman. Jerman Timur maksudnya. Bisa studi di sana jurusan apa saja, bahkan bisa minta
Stipendium3. Dia juga tak lupa melampiaskan sindiran terhadap RRC: "Mereka dijangkiti
ambisi negara besar." Alex menjawab dengan gaya jurnalisnya: "Belum sampai ke taraf
Amerika. Tapi syarat mereka punya: tanahnya luas, industri galak, minyak banyak, ahli
tak kurang, penduduk melimpah, tinggal satu rintangan saja...." "Rintangan apa menurut
kalian?" tiba-tiba dia tertarik pada celoteh Alex, ingin mengorek informasi tangan
pertama. "Pertentangan intern partai! Perjuangan klas dalam pimpinan tingkat atas...,"
jawab sahabatku agak menggebu. Terang saja jawaban itu memancing pembicaraan
berkepanjangan diseling jamuan teh dan makan kue. Jadi, tak mungkin si Jerman itu tak
kenal aku. Dia tentu cuma pura-pura. Tapi, apa sebabnya? "Follow me sir, be hurry...,"
tegur pejabat yang menggiringku, nampak tak senang bahwa mataku meleng. "Sorry,"
kataku dengan sedikit tersipu sambil mempercepat langkah menuruti perintahnya. "Tuan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tentu keliru. Rupanya dia bukan orang yang tuan sangka," terkanya. "Tidak," bantahku.
"Tak mungkin keliru. Saya ketemu dia di Kedutaan Jerman di Beijing, lebih dari tiga kali.
Yang terakhir baru minggu lalu ketika kami mengambil paspor dan visa RDJ." Pejabat itu
diam, tapi mengangguk-angguk. Dibawanya aku melewati sebuah gerbang masuk ke
ruangan besar. Di sana kami menuju ke deretan kabin yang masing-masing punya pintu-
angin, lalu memasuki satu di antara kabin-kabin itu. Tanpa menunggu perintah kutaruh
handbag-ku di meja segitiga berkaki satu yang terpancang menyudut ke tembok. Ketika
mantel kusangkutkan ke cantolan, dia mencegah. "Keluarkan semua isinya," tangannya
merenggut mantel itu, menaruhnya di atas meja. Sehelai sapu tangan, segenggam permen
kecut, sebungkus Lucky Strike dengan sahabatnya: korek Ronson. Itu saja isi saku
mantelku. Semua kuletakkan di meja. "Nothing more?" "That's all," jawabku. "Saku-
dalam, saku-dada kiri-kanan, keluarkan semua isinya, please." Dompet dan pasporku!
Aku memang lupa mengeluarkan isi saku-dalam mantel itu. "Sorry," sesalku, "...I've just
forgot it, this ugly me...." Aku harap mulutnya sedikit tersenyum oleh pengakuan
kepikunanku. Tapi, tidak. Dia menggerakkan alis yang setebal jari jempol: merengut
dengan serius. "Keluarkan isinya, please," telunjuk jarinya menuding dompetku sambil
meneliti pasporku. Isi dompetku dua ratus US-dollar. Aku dapat itu dari pegawai konsulat
sebuah negeri Skandinavia di kantornya di Beijing, juga ketika mengurus visa bersama
Alex. Itu sebuah transaksi pribadi yang terjadi karena pejabat konsulat itu bersedia
menukar US-dollarnya dengan Hongkong-dollar milik Alex plus milikku. Kami butuh
US-dollar buat berangkat ke Eropa, dia butuh Hongkong-dollar buat melancong ke
Hongkong, padahal valas barang langka di sana. Meski kami bukan diplomat, toh tahu
kebiasaan transaksi demikian di kalangan CD4 ibu kota RRC. Tak ada hitungan untung-
rugi antara kami. Pas-pasan saja seperti kursnya. Tapi, tiba-tiba aku khawatir, jangan-
jangan asal-usul dollarku dipersoalkan, padahal hidup di perjalanan ke Barat mau tak
mau tergantung dollar. Ternyata, aman saja. Dia tidak menaruh selera. "Tuan singgah di
Moskwa?" urus pejabat itu ketika meneliti transit-visaku. "Tidak. Cuma stopover,"
jawabku ringkas. "Sebaiknya Tuan melihat Moskwa. Indah bukan main. Tuan mesti
nonton Bolshoi. What a wonderful journey you have..." "Just a sentimental journey. Lain
tidak." Dia tergelak, tapi lantas melanjutkan penggeledahan, memeriksa lipatan-lipatan
kertas berisi catatan nama dari beberapa kenalanku di Berlin, Paris, Amsterdam,
Stockholm. Sekali lagi alisnya mengkerut. Mungkin dia mengira aku punya jaringan
rahasia skala dunia. Dengan jlimet dia juga tak lupa memeriksa isi handbag-ku. Jelas
mengesankan seorang pejabat yang jujur, berdisiplin, teliti, pengabdi setia tanah airnya:
Uni Soviet. "Permata Bernstein murah di Moskwa, Sir...," katanya tiba-tiba, suaranya
sedikit berbisik. Aku mendadak khawatir, orang ini barangkali pura-pura saja pejabat
douane biasa, tapi siapa tahu dia petugas dinas KGB5. Bila aku tak hati-hati, bisa celaka
seperti ikan kena pancing. "Sayang, saya tak punya cukup uang," jawabku. "Dua ratus
dollar, Sir, bayangkan! Di Barat bisa naik lipat empat jika tuan jual di sana. Bernstein
Siberia itu top quality, the best in the world. Mereka suka!" "Saya percaya, tapi sayang
saya tak punya bakat dagang...," aku pun makin berhati-hati. "Bakat itu tak perlu,"
bantahnya. "Don't worry, Sir. Aman. Nothing to do with customs. Gunakan kesempatan,
Sir, singgah di Moskwa. Tak dua kali Anda hidup di dunia ini!" bujuknya. "Kalau saja
ada waktu...," elakku, sekadar ingin mengakhiri percakapan. Tapi, dia mendesak lagi:
"Anyway, kalau Anda tak ada waktu di Moskwa, di Irkutzsch sini Bernstein lebih murah
lagi. Jangan ragu Sir. Bisa beli dari saya. Okey?" Dan dia mengeluarkan sekantung benda

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang ditimang-timangnya di telapak tangan. Dikendorinya tali kantung itu. Nampak


olehku selingkar permata Bernstein berbentuk kalung atau gelang, coklat muda
menyorotkan keindahan cahayanya. Jantungku kembali mendenyut lebih cepat. Aku
mulai yakin akan kejujurannya. Maksudku kejujuran terhadapku untuk nyeleweng dari
tugasnya. Batu permata memang kegemaran kakek-nenekku turun-temurun. Aku pun
sudah menyimpan beberapa butir batu Giok dari Tiongkok dalam kopor bagase: sekadar
persiapan menghadapi hari depan yang tak berketentuan. Akan lengkap pula jika aku
menerima tawarannya. Dan dia terus mendesak: "Tinggal setengah jam, Sir. Aerovlot
siap berangkat." "Maafkan ya," kataku, "... lima belas dollar?" Dia tak mengangguk.
Menggeleng juga tidak. Wajahnya nampak riang. Aku yakin dia setuju menerima
tawaranku. Kulekatkan lembar-lembar US-dollar di telapak tangannya. Dia pun
menyodorkan kantung itu ke tanganku. "Fine, thank you, sir.... Have a beautiful journey."
Disalaminya aku. Lucky Strike dan korek Ronson sengaja kutinggalkan di meja. Dia pun
nampak sengaja tak mengingatkannya sebagai barangku yang ketinggalan. Dibiarkannya
aku keluar sendirian. ***RISKAN atau tidak transaksi itu terjadi. Ketika aku keluar dari
ruang pemeriksaan, kulihat Alex masih berada di tempat semula. Apa yang tadi kualami
kubisikkan. Komentar Alex: "Gila kau," matanya membelalak. "Lima belas dollar? Itu
bisa buat makan sebulan di Yogya!" "Mimpi kau, Lex! Kau pikir kita di Tanah Air?"
sengolku. "Tapi, lima belas dollar! Itu kelewat mahal!" "Mahal? Aku kenal harga
permata...." "Aku bayar lima dollar dua kantung. Percaya enggak? Pejabatnya
perempuan." "Ha...?" aku ganti membelalak. "Tadi kukira kau tidak diperiksa. Ternyata
digaet juga?" "He-eh..." "Jangan-jangan di Moskwa nanti kita diperiksa lagi," kataku.
"Pasti tidak," kata Alex. "Mata seluruh dunia tertuju ke sana. Kalaupun ada
penggeledahan, tentu tidak terang-terangan. Moskwa perlu terkesan aman di mata semua
bangsa." Alex ketawa-tawa dan tak henti-hentinya mengejek kekalahanku. Untung tak
lama kami menunggu keberangkatan Aerovlot jurusan Moskwa. Dalam bus menuju ke
tangga pesawat itu kulihat kembali si Jerman berdiri agak di tengah. Aku sengaja
mendekatinya, berdiri di sisinya. Dia pasti tahu, tapi tetap saja pura-pura tak melihatku.
Tak kusangka dari mulutnya kudengar suaranya pelan: "Es ist hier besser when wir nicht
miteinander sprechen...."6 Aku pun bungkam, menyadari kenaifanku sendiri, ada kala
manusia merasa takut membuka mulut. Stopover di Omsk berlangsung dini hari. Di
bandara Siberia Tengah ini pasasir mondar-mandir nampak lebih banyak dari yang kami
duga. Malah mirip pasar loak. Orang-orang berdesakan sibuk dengan macam-macam
urusan. Nampak pemuda-pemuda Rusia menawar jaket atau mantel winter yang melekat
di badan orang. Juga kudengar di kanan-kiri pasasir menawar Bernstein. Arloji Shanghai-
ku ditawar rubel, tapi itu benda kenangan, takkan kulepaskan. Hebat juga manusia di
Siberia ini berjuang di dini hari sekadar merebut sedikit rezeki. Urusan Alex lain lagi.
Sangat mendesak. Perutnya mulas, tapi kian-kemari tak juga ketemu WC. Perut itu tak
berkenan bersentuhan dengan yoghurt kecut yang dia makan sebelum Aerovlot mendarat.
Dia buru-buru lari meninggalkan "pasar loak" itu ketika berhasil menampak tulisan
"WC". Tas dan mantelnya dia tumpuk begitu saja di lenganku, lalu lari. Tapi, sial, dia
dikejar seorang petugas wanita yang tentu saja mencurigainya. "Hallo! Stop!" cegah si
petugas. Alex terkejut dan berhenti dengan melintir-lintir perut. "Follow me, Sir!"
perintah si petugas. "No, no...," tolak Alex. "Impossible!" "I say... follow me!" "Sorry....,
kebelet nih...," sahut Alex, mendadak lupa Inggris-nya. "What?" bentak si petugas. "I
must go quickly right there.... My stomack, oooh...," dia menjelaskan dengan menekan-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

nekan perutnya. Si pejabat ternyata toleran. Alex dibiarkannya lari masuk ke WC, parkir
di sana hampir setengah jam lamanya. ***BENAR juga dugaan Alex: Moskwa aman.
Kami tak mengalami penggeledahan. Gema musik Rusia mengalun di ruang-ruang
tunggu dan restoran. Beberapa pelayan dan pengepel lantai restoran laki-perempuan
nampak giat bekerja sambil menggerak-gerakkan badan mengikuti irama balalaika.
Hampir-hampir kami tak percaya, di negeri angker ini kegenitan anak-anak manusia
masih bisa dipertontonkan. Satu-satunya yang menjengkelkan kami cuma pengumuman
lewat loudspeaker: Interflug7 jurusan Berlin berangkatnya tertunda lima jam. Tanpa
keterangan apa sebabnya. Kami pun memasuki ruang-tunggu khusus bagi pasasir
Interflug. Selera masuk restoran masih harus ditekan karena jam sarapan belum dibuka.
"You are coming from Beijing?" tiba-tiba kami dengar suara seorang perempuan
mendekati kami, dari pakaiannya jelas petugas sekuriti bandara Moskwa. "Yes," hampir
bersamaan kami menjawabnya. "Follow me, please...," perintah yang itu-itu lagi.
"Modiar!" bisik Alex ke telingaku. "Mau apa kita sekarang?" Kali ini kami berdua
bersama-sama digiring keluar dari grup Interflug menuju pintu sebelah kiri restoran.
Kami melewati juga deretan kabin-kabin mirip bilik-bilik pemeriksaan, tapi kami tidak
dibawa masuk ke sana. Kali ini pasti urusan gawat, pikirku. Orang-orang Rusia tidak
akan sebodoh yang kami duga. Aku kini yakin sekali. Barangkali Alex juga berpikir
begitu, tapi kami bungkam, tak berani berbicara. Akhirnya kami disilakan masuk ke
sebuah ruangan berdinding kaca tertutup gorden kelabu. Si petugas begitu saja lantas
meninggalkan kami. "Selamat datang di Moskwa!" suara dua orang setanah airku yang
tak pernah kami kenal. Mereka menunjukkan wajah gembira menyalami kami. "Jangan
kaget, Bung. Selama ini selalu menjadi kewajiban kami membantu orang setanah air.
Kiranya bantuan apa yang kalian butuhkan?" Saking kagetnya kami pun terdiam,
menyambut salam mereka tanpa ingat nama. Siapa pun yang mengalami peristiwa
demikian, perlu mengerti reaksi pertama di hati kami: curiga. Lepas dari misi
kemanusiaan seperti yang mereka ucapkan, hanya kecurigaan saja yang mengganggu
benakku. Segera pula aku sadar, transit-visa lewat Moskwa tidak begitu sederhana lekuk-
likunya. Lebih tak masuk akal lagi, mereka juga menawari kami untuk tinggal di
Moskwa. Seolah kekuasaan negeri ini sudah pindah ke tangan mereka. Kenaifan apa pula
yang kini perlu kami akui? "Begini, Bung," jawab Alex, "Kami mau ke Jerman Barat, di
sana ada kenalan, buat sementara segalanya telah tersedia. Harap jangan repotlah. Terima
kasih atas perhatian kalian." Pembicaraan itu berlangsung hampir satu jam dan berakhir
dengan penyesalan. Ada kala rotasi bumi memang mengguncang kepala semua orang
untuk berpikir dan berpikir, mengapa penyesalan seperti itu perlu terjadi. Dan permata
Bernstein itu! Bettina-mahasiswi kenalan kami di Bonn-gagal mencoba menjualnya.
Beberapa toko permata menolak membelinya. Menawar pun tidak. Semuanya permata
palsu dari plastik. "Modiar lu!" kutuk Alex padaku, juga pada diri sendiri.** Paran,
Agustus 2002 Catatan: 1) Republik Demokrasi Jerman 2) Selamat pagi. Tuan juga di
sini? 3) Beasiswa 4) Corps Diplomatic 5) Dinas Rahasia Uni Soviet 6) Di sini lebih baik
kita tak saling bicara 7) Perusahaan Penerbangan RDJ

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Kembalinya Pangeran Kelelawar

Post: 11/03/2002 Disimak: 253 kali

Cerpen: Bre Redana

Sumber: Kompas, Edisi 11/03/2002

MALAM kelam memun caki sensasi kembalinya Pangeran Kelelawar mengaduk-aduk


imajinasi dalam alam gelap yang memeliharanya. Sayapnya terbentang tiada terkatakan
lebarnya disangga tulang-tulang yang kuat, mengepak pelan tanpa suara menembus
gelap. Tak ada yang bisa melihatnya, namun siapa saja diam-diam menangkap tanda-
tanda kehadirannya. Sungguh ketiadaan yang menggetarkan.... Semua orang kemudian
berkasak-kusuk dan berbisik-bisik: wanita itu harus diselamatkan!Angin bersiut.
Nosferatu... Kain putih korden jendela bergerak-gerak. Siapa mampu menahan Pangeran
Kelelawar? Kegelapan menyembunyikan segala misteri mengenai Pangeran Kelelawar
dan wanita yang antara rindu, ingin tahu, dan gentar, terus menunggunya. Kegelapan
menyembunyikan sesuatu yang dengan sebenarnya dan senyatanya-maksudnya
senyatanya adalah nyata sebatas alam khayal dunia kegelapan Pangeran Kelelawar dan
dalam cerita ini-wanita itu telah disetubuhinya."Katakan pada saya bagaimana kamu
melihatnya? Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya mereka yang ingin
menyelamatkan atau berpretensi menyelamatkan si wanita. Kita sudah tidak bisa lagi
mempercayai niat mulia. Pangeran Kelelawar telah menyebarkan benih
ketidakpercayaan, kecemburuan, kegentaran, ketidakberdayaan."Saya telah mendengar
tentang dia berkali-kali. Lalu di puncak purnama tanggal lima belas bulan kesepuluh
yang tahun ini jatuh pada awal September, ia benar-benar datang. Kehadirannya mula-
mula hanya berupa suara, menggema dari dinding-dinding rumahku berupa suara yang
serba tahu tentang aku, tentang ayahku yang telah tiada yang dia ketahui semua riwayat
kesenimanannya, serta semua celah mengenai diriku yang belum digarap oleh ayahku,
yang dengan tegasnya dia katakan itu harus dikembangkan...," wanita ini bercerita
dengan suara bergetar, dengan tatapan mata bercampur antara harapan dan ketakutan.Si
pretensius mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Diperhatikannya dengan saksama
wanita itu. Pantas, dia kelihatan begitu cantik belakangan ini, meski agak pucat.... Begitu
pikirnya. Rupanya ini karena campur tangan Pangeran Kelelawar....Lukisan cat minyak
dengan tarikh tahun 1957 tergantung di dinding. Itu lukisan ayahnya yang sering
diceritakannya. Apa yang tergambar di rumah ini sebenarnya melukiskan keseluruhan
wanita ini yang serba apa adanya. Dia tampak tak risau dengan beberapa bagian rumah
yang belum selesai pembangunannya. Belum selesai. Atau memang tak pernah
terselesaikan. Langit-langit rumah dibiarkan telanjang tanpa plafon, menampakkan semen
cor dari lantai di atasnya, berikut kabel listrik menyilang di sana-sini. Ruang atas katanya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

memang belum diapa-apakan, gelap, dijadikan gudang, yang katanya dalam setahun pun
belum tentu ia menginjakkan kakinya. Ini suasana Gothic...Wanita itu menghisap rokok
tanpa henti. Ketika korek api habis dan tak satu pun pemantik ditemukan, ia bolak-balik
menuju dapur, menyalakan kompor listrik hanya untuk mendapatkan letikan api untuk
menyalakan rokok."Rahmat, jawaban atas doaku, ataukah semata-mata gangguan dan
cobaankah sebenarnya makna kehadirannya?" wanita ini bicara sendiri. Asap rokok
mengepul dari bibirnya.Tiba-tiba angin malam seperti pukulan terpendam yang dia
curigai berasal dari kepak sayap di kegelapan berhembus masuk ruangan. Mata wanita ini
melihat kiri-kanan dengan kecemasan. Jantungnya berdegup-degup. Pangeran Kelelawar?
Itukah kau? Di mana kau? ***TIDAK, tidak... Anugerah atau kutukan aku sama-sama
tak bisa mengelakkannya. Demi segala roh kegelapan aku berani bersaksi matanya begitu
sendu menatapku. Rambutnya panjang, terlihat kusut-masai, namun aku terperanjat luar
biasa ketika tangannya membawa tanganku untuk menyentuhnya. Rambut itu begitu
lembut, tidak kering tidak lembab, seperti benang sutera mengurai satu-satu tidak ada
yang kusut apalagi gimbal. "Pejamkan, pejamkan matamu kekasihku...," kata Pangeran
Kelelawar lembut mengandung sihir. "Tutup matamu..."Aku-maksud saya wanita kita
ini-memejamkan matanya.Pangeran Kelelawar melanjutkan bisikannya, "Tutup, tutup
matamu, karena matamu hanya akan melihat kenyataan. ...dan kenyataan bukanlah
sesuatu yang ingin kita lihat. Dalam kegelapan, lebih mudah bagi kita untuk berpura-pura
melihat kenyataan sesuai yang kita impikan. Mari, masuk dalam dunia
kegelapanku."Wanita ini merasa seperti dibawa bersampan, mengapung di atas sungai
yang tenang. Dengan mata terpejam, ia serahkan dirinya bulat-bulat kepada pangerannya.
Sesekali ia mendesah sembari menggigit-gigit jari-tetap dengan mata terpejam-ketika
himpitan Pangeran Kelelawar makin menyesakkan dadanya.Aaaaaahhhh..... Wanita kita
menjerit, tersadar dari mimpinya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dadanya turun
naik. Setelah agak tenang, baru dia menyalakan rokok, menyandarkan diri di sandaran
tempat tidur, sambil menutupi tubuhnya yang telanjang bulat dengan seprei
putih.Pengalaman macam apakah ini? Dunia macam apakah ini? Pikirannya makin
dihantui kecemasan. Sesuatu yang nyata atau tidak nyatakah sebenarnya kau, Pangeran
Kelelawar?***"KAMU bermimpi," komentar mereka yang ingin menyelamatkan atau
berpretensi menyelamatkan wanita itu. Akan tetapi, apa daya mereka?Kegelapan
menyimpan misteri yang tak pernah terpecahkan. Datang setiap kali, seribu kali, sejuta
kali, semua disertai sejuta kali tipu daya yang mengecoh siapa saja yang coba mengotak-
atik misteri tersebut. Jangankan menangkap dan mengadilinya, bahkan sekadar
memergokinya saja tak ada yang bisa. Tak jelas, adakah yang tengah kita bicarakan ini
figur yang begitu penuh cinta dan bersahabat seperti diceritakan wanita itu-yang seolah
bisa diajak minum kopi sore-sore atau minum bir dan wine malam-malam-ataukah anak
kandung kejahatan yang menyandang kutuk sejak lahir."Kau perlu pastor," yang lain lagi
memberi nasihat, demi memperhatikan bahwa wanita itu mengenakan anting berbentuk
salib."Dia berada di dimensi yang berbeda dari yang serba formal," jawabnya."Kalau
begitu kau perlu dukun, paranormal, atau...""Dia suka menertawakan mereka..."Belum
selesai wanita itu berkata-kata, tiba-tiba dinding rumah seperti bergetar. Siapa pun kali ini
bisa menangkap getaran itu. Suara tawa meledak.Hua-ha-ha-ha....***DEMIKIANLAH,
begitu sulit bagi wanita itu untuk bisa membedakan mana nyata dan mana tidak nyata.
Kadang kehadiran Pangeran Kelelawar begitu nyata, seperti ledakan tawanya tadi. Pada
kali lain, keberadaan Pangeran Kelelawar sangat pantas diragukan. Dia tak lebih seperti

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

bayang-bayang malam.Adakah Pangeran Kelelawar hanya ada dalam benaknya, benak


saya, benak Anda? Kehadiran Pangeran Kelelawar telah membikin persoalan bagi-nya
bukan saja dalam teka-teki mana nyata mana tidak nyata, tetapi juga keraguan akan
rahmat atau kutukan tadi, kebahagiaan atau kecemasan, kepastian atau ketidak-pastian,
senyum atau tangis, dan seterusnya.Diakui berkali-kali oleh wanita itu, setiap kali dia
bercengkerama dengan Pangeran Kelelawar, muncul kebahagiaan luar biasa. Hatinya
berbuncah-buncah, bahkan bisa tak terkontrol. Hanya saja, ketika ia melambung tinggi
dalam tawa yang belum pernah selepas itu sepanjang hidupnya, ia akui ia tiba-tiba ingin
menangis."Aku takut ditinggalkannya," katanya.Aneh, kamu mengaku takut atas
kedatangannya, pada saat sama kamu takut atas kepergiannya?Wanita itu diam seribu
bahasa. Menunduk. Rambutnya yang hitam dalam potongan shaggy, sebagian menutupi
kening. Mukanya-dengan bulu-bulu halus di depan daun telinga-kelihatan kecil dengan
potongan rambut semacam itu. Adakah aku harus menerima saja sebagai nasib, sebagai
sesuatu yang apa adanya saja, mengenai cerita tentang Pangeran Kelelawar itu?
Sepanjang waktu, sepanjang sejarah, selalu hidup cerita semacam itu. Diperlukankah
resah yang berlebihan?***LAMA-lama, wanita ini bisa berdamai dengan segala
kesimpulannya sendiri yang serba sederhana. Dengan itu pula, bayangan Pangeran
Kelelawar-nya tidaklah semenggetarkan masa-masa sebelumnya.Lalu, tibalah sesuatu
yang nyata-setidaknya nyata bagi wanita itu. Dia menemukan pasangan hidupnya. Bukan
pangeran dari alam kegelapan yang membingungkan otaknya dan sempat membuat
dirinya ragu atas kewarasannya sendiri, melainkan pria biasa, berdarah-daging, warga
negara Australia, buruh tambang di Wollongong. Wanita ini kemudian dibawa pindah ke
Wollongong, kawasan yang sepi yang menjadi bagian dari New South Wales, Australia.
Tak banyak yang bisa diceritakan di situ, selain hidup yang rutin, memasak, menjaga
rumah, menunggu suami pulang. Pada waktu-waktu tertentu, dia bisa pulang ke
Indonesia, berlibur ke Bali. Di pulau yang selalu cantik itu sesekali bayangan Pangeran
Kelelawar berkelebat, tapi dia tak takut lagi.Taman Ayu, Dps, 2002

Ilmuwan, Kota, Laut, dan Gunung

Post: 10/27/2002 Disimak: 478 kali

Cerpen: Wilson Nadeak

Sumber: Kompas, Edisi 10/27/2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Aminudin TH SiregarSEPERTI ombak yang terus memukul pantai, baris sajak Chairil
Anwar itu bertalu-talu dalam benaknya. "Hidup hanya menunda kekalahan," gemanya
bergaung terus. Sejak muda baris sajak itu telah dihapalnya. Ia tidak tahu apakah itu
sebuah lirik kehidupan ataukah sekadar getar intuisi, senandung sendu ataukah relung
kehidupan yang muram, semacam katarsis yang telah mengalami proses yang berlapis-
lapis, ataukah sebuah lukisan pelangi saat gerimis menjelang petang kehidupan
tiba.Kadangkala potongan sajak itu diselingi larik sajak Sanusi Pane... "Alun membawa
bidukku pelahan, entah ke mana aku tak tahu." Bernard Rumbai sebenarnya berusaha
mencoba menghalau baris-baris sajak itu dari benaknya. Semakin dihalaunya, semakin
jauh meresap. Hal itu berkaitan dengan kariernya di departemen statistik, saat-saat yang
amat genting ketika dirjen meminta supaya data statistik diubahnya, sesuai dengan
permintaan menteri. Misalnya saja, yang sangat sederhana, ia diminta mengubah jumlah
penduduk dan memberi proyeksi jumlah penduduk mendatang satu dekade di depan,
bahwa jumlah penduduk akan menjadi dua ratus lima puluh juta jiwa bila Keluarga
Berencana tidak berhasil. Menurut dirjen atau yang lazim disebut di kantornya, Sang Bos,
angka itu terlalu rendah. "Kau harus mengubahnya. Ini berkaitan dengan nasib bangsa!
Semakin banyak penduduk, semakin berat beban bangsa dan negara. Laporanmu ini
kurang menggugah donor internasional. Kita memerlukan bantuan keuangan yang lebih
besar untuk merangsang pengusaha menengah dan kecil. Ubah juga data tingkat inflasi,
rasio penghasilan rata-rata, perbaikan ekonomi yang mulai terasa, dan perlunya tekanan
pada sektor subsidi publik!" Bernard mengeluh dan menyampaikan keberatannya, namun
bentakan yang didapatnya. "Saudara bodoh! Mengubah statistik tidaklah sulit!
Laporanmu harus disesuaikan dengan kepentingan politik bangsa! Kau harus memikirkan
nasib bangsa ini! Bukan statistik untuk statistik!" Ia menjawab dengan suara pelahan,
menahan emosi yang bergolak di dalam dadanya. "Ini kenyataan, Pak. Ini realitas!" Sang
Bos, "Realitas, katamu? Realitas adalah masa depanmu! Masa depanmu ada pada laporan
itu! Sejauh itu sesuai dengan realitas politik, masa depanmu cerah! Masa depan bangsa
ini pun cerah. Kita telah memasuki era persaingan yang ketat, persaingan sejagat. Kalau
negeri ini tidak bangkit, entah itu dengan utang, entah itu dengan menggadaikan apa yang
ada di bumi kita ini, tidak menjadi soal. Apa susahnya mengubah data statistik? Ingat,
laporanmu yang harus sesuai dengan irama pemimpin. Harus masuk minggu depan.
Jangan bicara soal kejujuran. Itu soal lain, soal moral dan segala macam tetek-bengek
pejuang hak asasi manusia dan LSM itu!" Bernard terpojok di sudut. Dengan komputer,
data itu mudah sekali diubah. Alat modern itu telah memungkinkan proses kemudahan.
Di depan alat canggih itu ia semakin bodoh. Benar apa yang dikatakan bosnya bahwa ia
orang bodoh. Waktu masih anak-anak ia pernah berenang di Pantai Cermin, Sumatera
Utara. Ia tanyakan kepada ayahnya mengapa ikan dari laut asin mesti digarami supaya
asin? Bukankah ikan asin dengan sendirinya menjadi asin karena setiap saat minum air
asin? "Ah, kau masih kecil. Belum tahu apa-apa! Nelayan itu lebih tahu. Kau tanya saja
kepada mereka!" Bernard bertanya kepada nelayan mengapa mereka menjemur ikan dan
menggaraminya. "Ah, kau masih kecil, Nak! Tanyakan saja kepada laut, kepada burung
camar..." Bernard bingung. Apa harus tanya kepada laut dan burung? Mana mungkin?
Apa semua orang tidak tahu sebab terjadinya proses pengasinan itu? Apakah benar alam
menyediakan segala sesuatu begitu saja? Sekarang, ketika usianya sudah semakin lanjut,
dan ia memakan lebih banyak garam kehidupan, bosnya menganggapnya sudah terlalu
tua untuk memahami politik kehidupan. Ia bodoh. Waktu muda ia terlalu muda untuk

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mengerti sesuatu, setelah ia tua ia terlalu tua untuk memahami realitas. Agak gugup ia
menghadapi bos ketika deadline pemasukan laporan sudah mendekat. "Datamu belum
lengkap. Kulihat di komputer angka yang sama masih ngendon di situ. Ingat, nasib kita
ada di tangan kita sendiri apakah kita mau menyesuaikan diri atau tenggelam dalam arus.
Sebegitu jauh, kita telah berenang di samudera kehidupan. Sebentar lagi kita akan sampai
ke tujuan. Tetapi jangan lupa, setiap kali kita menggerakkan tangan, ombak besar
mungkin menggulung kita. Kita harus mengikuti alun gelombang jika kita tidak mau
terempas ke batu karang kebodohan. Camkan! Regulasi terjadi sewaktu-waktu. Tidak
seorang pun dapat menduganya." Bernard merasa itu ancaman halus. Lebih lanujut ia
melihat tulisan bos di layar komputernya. "Apakah aku yang harus mengubahnya, atas
namamu? Jawabanmu kutunggu sore ini." Sampai sore tiba, ketika Bernard Rumbai
menyaksikan langit jingga, ia tidak berhasil menaklukkan hati nuraninya. Ubah? Tidak.
Ubah? Tidak. Ubah? Ia melarikan diri ke Ancol, menyaksikan nelayan, ombak, hotel
berbintang yang menjulang. Seorang diri ia berdiri di tepi pantai, di atas tanah bekas
kuburan. Ia berteriak seorang diri, "Tiiiidaaaak. Tiiiiidaaaaak!" Menjelang senja ia balik
ke kantornya. Ditulisnya di komputer: Data tetap data. Pagi hari ketika ia bangun dari
tidur yang singkat, ia membuka komputernya. Sebuah pesan dari bosnya: Anda terlalu
tegang. Datamu kuubah atas namamu. Ambillah cutimu ke luar negeri. Biaya? Hubungi
bagian keuangan. Kini realitas baru muncul di depannya. Sebuah kenyataan yang tidak
dapat diingkari. Telah lama ia terperangkap dalam lingkaran birokrasi yang tidak
mungkin diubahnya. Justru ia diminta untuk berubah sesuai dengan suasana zaman yang
canggih. Hati nurani? Ah, sungguh ia telah dikalahkan oleh hati nurani. Ia harus pergi,
seperti kata bosnya, menghilangkan ketegangan. Di Pantai Ancol ia telah mengadu
kepada awan yang jingga, kepada angin, kepada gelombang. Ia merasa lega sekalipun
sepanjang malam matanya terpejam hanya beberapa jam saja. Tiba di kantor, ia
menemukan ketegangan baru. Ia baru sadar bahwa sejak tujuh tahun belakangan ini ia
tidak pernah mengambil cuti. Ia terlalu setia mengerjakan tugas yang memang
dinikmatinya. SAAT Bernard berkunjung kepada temannya di Melbourne, kawan itu
membawanya ke sebuah pulau kecil yang terpencil di bagian selatan, Philips Island.
Malam terang bulan yang cerah, menjelang pukul sepuluh malam, mereka menyaksikan
burung pinguin yang berombongan pulang dari tengah lautan. Burung-burung itu
merayap di pantai, membawa makanan untuk anak-anaknya di rumput-rumput sekitar
pantai. Burung-burung itu berkelana puluhan kilometer ke tengah laut, menghadang
gelombang dan ikan-ikan besar, hanya sekadar mempertahankan hidupnya. Bernard
teringat kepada nelayan di Pangandaran, pantainya juga penuh tetapi bukan dengan camar
laut yang mencari makan, melainkan penuh dengan perahu nelayan, para nelayan yang
pulang subuh dan mendarat di pantai. Perahu-perahu mereka menutupi pasir di pantai.
Jadinya, pantai sarat dengan perahu! Para nelayan yang mencari nafkah di tengah lautan
menyerahkan hasil tangkapannya kepada petugas balai lelang dengan harga yang
ditentukan mereka. Nelayan menerima apa adanya daripada tidak membawa apa-apa
untuk keluarganya! Dari Melbourne, Bernard Rumbai terbang menuju Los Angeles. Ia
menginap di rumah teman sekelas dahulu, yang meninggalkan Jakarta yang sesak
walaupun ia sesungguhnya mempunyai jabatan sebagai kepala keuangan di sebuah hotel
berbintang. Kini ia hidup di tengah kota besar dunia ini apa adanya-bekerja kasar tetapi
halal-yang kemudian membawanya rekreasi ke San Diego. Atas kemurahan kawan itu, ia
dapat menyaksikan laut dengan teluk yang tenang, dan nyaman. Sebuah atraksi

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dipegelarkan, konon kisah seorang bajak laut yang berumah di pulau kecil di teluk,
setting-nya pada abad kelima belas. Ia beraksi menunggang seekor ikan lumba-lumba
mengelilingi pulaunya. Lumba-lumba yang lincah melintas dekat penonton, airnya
berpencaran membasahi orang yang duduk dekat pantai. Tepuk tangan yang riuh
menggema, dan "bajak laut" yang berikat kepala biru itu membalas dengan lambaian.
Bernard melupakan statistik. Yang muncul dalam benaknya ialah para bajak laut di Selat
Malaka yang rajin menjarah kapal-kapal nelayan atau kapal barang yang lewat, dan tentu
saja memeras kapal penyelundup. Sulit menangkap mereka karena sukar membedakan
mana yang asli nelayan dengan bajingan-bajingan laut itu. Pembajak kadang-kadang
menggunakan kapal berbendera negara asing yang jauh di benua lain. Di selat itu, setahu
dia menurut data statistik, berbaur bajak laut, penyelundup, dan kapal-kapal resmi yang
menjual bahan bakar "muatan lebih" atas nama instansi. Ia tahu tentang berbagai
departemen dengan sumber dana yang konvensional, tradisional, dan ekstra-
konvensional. Alasan yang klasik, bagaimana mereka dapat mengembangkan lembaga
mereka tanpa penghasilan ekstra? Lagi pula, pembelinya menyambut dengan antusias,
demi kemajuan ekonomi negerinya, dengan sistem perdagangan bebas. "Kita ke tempat
lain, Bung!" kata kawan sambil menepuk bahunya. "Ingat kampung halaman?" "Oh ya,"
jawabnya sambil berdiri. "Ke mana?" Sang kawan tersenyum. "Ingat Tanah Air?"
Bernard tersenyum tersipu-sipu. "Tidak juga," jawabnya. Mereka berjalan menuju sebuah
kolam yang agak besar, dalam dan airnya bening. Beberapa orang gadis yang
mengenakan baju renang duduk-duduk di tepi kolam. Kaki mereka berjuntai ke air,
mengais-ngais permukaan air sehingga menimbulkan riak-riak kecil. Bernard menerima
kertas kecil, membayar beberapa dollar, dan kemudian menyerahkannya kepada salah
seorang gadis yang menerimanya dengan ramah dan tersenyum. "Anda mau kerang yang
mana?" tanya gadis itu kepadanya. Ia memperhatikan dasar kolam dan melihat benda
yang bergerak perlahan. "Itu," katanya menunjuk. Gadis itu menyelam ke dasar kolam,
bergerak di bawah, menangkap kerang itu. Ia muncul ke permukaan beberapa detik
kemudian. Gadis itu naik dan menyerahkan kerang kepadanya sambil menunjuk kepada
seseorang yang duduk di pojok. "Bawa ke sana," katanya. Bernard melangkah dan
menyerahkan kerang itu kepadanya. Lelaki itu dengan cekatan membalik kerang itu dan
mengiris dagingnya. Ia mengeluarkan butir permata dan membersihkannya. Ia masukkan
ke dalam sebuah kotak yang indah, lalu diserahkan kepada Bernard. Ia merasa kagum
menyaksikan peternakan kerang itu. Pikirannya melayang kepada penyelam tradisional di
teluk Tual, Maluku Tenggara. Para penyelam tradisional itu harus menyelam ke laut yang
dalam untuk memburu kerang yang memiliki mutiara, hanya untuk memperoleh beberapa
puluh ribu rupiah. Penyelam tradisional mencoba mengeruk kekayaan alam, tetapi gadis
Amerika ini mengejar permata di kolam, dari tubuh kerang yang diternakkan dan disuntik
pasir, membiarkannya tumbuh dan membesar, menghasilkan "mutiara" yang berkilau.
Dua peristiwa alam yang berbeda. Di Jakarta, orang menggali mutiara dari belakang
meja, atau dari balik kaca, atau dari ATM, dari leher penumpang taksi, dari lengan-
lengan TKI yang pulang dari luar negeri, seperti pelancong di Roma di stasiun kereta,
harus membayar beberapa dollar untuk sebotol Fanta, atau sebuah cendera mata di
Yerusalem dengan harga berlipat ganda betapa pun kau bersimpati kepada Palestina.
Sebulan Bernard menghabiskan cutinya di luar negeri. Suasana yang amat berbeda itu
tidak menggodanya tinggal di sana. Kawannya mengajaknya tinggal di Los Angeles, kota
besar yang menjanjikan itu. "Dengan keahlianmu, kau dapat pekerjaan yang baik di sini,"

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ajaknya. "Wah, di sini aku mengabdi untuk siapa?" jawab Bernard. Kawannya tersenyum.
"Sudahlah. Kau memang cinta negerimu, melebihi masa depanmu!" Bernard kembali
teringat pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia tidak dapat meninggalkannya. Ia amat
menyukainya. Kawan-kawan sekantor menyebutnya "gila kerja". Sepulang ke Tanah Air,
ia merasa seperti baru bangun dari tidur. Dari pesawat ia menyaksikan Kota Jakarta yang
padat perumahan. Jalan-jalan raya yang padat amat kontras dengan pemandangan dari
atas Benua Australia. Kepalanya menjadi pening ketika roda pesawat menyentuh
landasan. Sayap pesawat yang seperti daun yang mengatup menahan laju di landasan
pacu. Di bawah tiupan angin bandara yang kencang dan panas, ia bergegas ke jalur
pemeriksaan. Taksi membawanya ke rumah, melewati jalan tol, kemudian barisan rumah
kumuh, kondominium, perumahan mewah, hotel berbintang, dan toko yang hangus
tinggal tiang-tiang yang menghitam, bekas korban kerusuhan beberapa waktu yang lalu.
Keesokan harinya ia masuk kantor. Kawan-kawan sekantor menyapanya dengan "selamat
datang". Basa-basi mana oleh-oleh, membuatnya tersenyum. Memang sebelum pulang ia
pernah mampir di toko charity dan membeli beberapa lusin dasi dengan harga miring. Ia
membagi-baginya. Rapat dewan pimpinan minggu berikutnya membuat ia resah. Ia tidak
tahu agenda apa, dan bosnya tidak seperti biasanya memberitahukan lebih dahulu items
rapat. Bos hanya mengingatkannya supaya ia menyiapkan data statistik yang fleksibel,
dengan pilihan alternatif yang mungkin. Setelah ia menyampaikan laporan dan rapat
menyelesaikan semua mata agenda, bos memintanya datang ke kantornya setelah jam
kerja usai. Sore itu, Bernard agak was was. Perasaan enggan yang muncul sebelum rapat
mencuat kembali ke permukaan. Dengan langkah berat ia berjalan ke kantor bos,
mengetuk pintu. Ia dipersilakan masuk dan duduk. Bos menceriterakan keadaan
departemen secara panjang lebar, dan kemudian, seperti burung elang yang menukik
dengan tiba-tiba dari ketinggian karena melihat seekor tikus, demikianlah bos berkata,
"Laporan Anda ditolak pimpinan karena masih jauh dari harapan mereka. Mereka telah
mengambil keputusan yang amat bijaksana untuk Anda. Mulai bulan depan, Anda
dipersilakan mengurus pensiun muda. Masa depan Anda masih terbuka...." Bernard
memperhatikan mulut bos sampai kalimat terakhir. Ia diam. Langit jingga seolah-olah
runtuh menimpa kepalanya. Bosnya berdiri dan menepuk bahunya, "Masa depan Anda
masih terbuka lebar. Usia Anda masih relatif muda, penuh cita-cita. Silakan!" katanya
sambil membuka pintu lebar-lebar. Ia berjalan gontai menuju kantornya, membereskan
beberapa barang milik pribadinya, dan kemudian duduk menghadap meja, menulis surat
untuk sekretarisnya. Dalam surat itu ia menulis mohon maaf apabila melakukan
kesalahan dan memberitahukan bahwa mulai esok ia tidak akan masuk kantor lagi. Ia
memasukkannya ke dalam amplop, menaruhnya di atas meja sekretaris. Ia menatap
sekelilingnya, menatap kantor yang ditempatinya sejak dua dekade lalu. Minggu
berikutnya, di kaki sebuah bukit di jajaran Bukit Barisan, seorang lelaki membaringkan
tubuhnya di bawah pohon kopi yang rindang dan sedang berbunga. Ia mengenangkan
kembali masa kecilnya, lima puluh tahun silam. Ia merasa sia-sia, menghabiskan
hidupnya di kota, tidak memikirkan keluarga demi karier, tidak memikirkan orang lain.
Lelaki itu memejamkan mata sambil memikirkan masa lalunya yang sia-sia. Ia merasa
dirinya seperti lukisan yang tidak pernah jadi, di tangan seorang pelukis yang gamang,
dengan kanvas yang masih separo kosong. * Bandung, 2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Kacapiring

Post: 10/21/2002 Disimak: 209 kali

Cerpen: Danarto

Sumber: Kompas, Edisi 10/20/2002

RUMAH sakit ini rasanya menebarkan arus kematian. Terasa pada tengkuk dan telapak
tangan yang dingin. Lorong-lorong yang lengang mengantarkan kereta jenazah yang
bergulir sendirian. Bau obat pengepel lantai yang menelan nasi bungkus pada kemasan
air minum yang kempis. Barangkali di ranjang sebelah seorang pasien sedang bergulat
memperebutkan nyawanya dengan Malaikat Izrail.Ketika adzan subuh terdengar, saya
masih malas bangun dalam tidur duduk dengan kepala terkulai di ranjang Astri, anak saya
yang berumur 12 tahun. Astri telah tiga hari pingsan, belum juga ada tanda-tanda mau
siuman. Para dokter tidak tahu kenapa lama sekali Astri pingsan.Anak-anak yang sehat,
energetik, dan periang, yang mewarisi watak saya yang selalu dalam keadaan senang,
sebenarnya tidak mungkin begitu mudah jatuh pingsan. Dunia memang penuh
penderitaan, tetapi lupakanlah itu dan rebutlah kegembiraan hidup untuk selama-
lamanya. Itulah yang pokok, saya pikir, yang saya ajarkan kepada anak-anak dalam
mengarungi hidup sehari-hari. Saya ajak mereka menyanyi, menari, dan berdoa, dan
kelima anak saya itu - Astri (12), Ajeng (10), Antok (8), Agra (6), dan Ayu (4) - pun
menari, menyanyi, dan berdoa. Anak-anak yang baik adalah jendela dengan kaca yang
jernih. Kami adalah keluarga yang tidak bersedih. Jika mau bersedih, kita tidak akan
sempat bersedih karena hidup kita ini adalah kesedihan.Kami bertujuh hidup dalam
kebahagiaan dalam arti yang sempit maupun yang luas. Selalu bertemu setiap hari, dalam
waktu yang sempit maupun waktu yang longgar. Kami berbelanja beramai-ramai ke Hero
atau Carrefour. Kami makan di Sizzler atau di Lembur Kuring. Kami keluarga yang sibuk
sehingga membutuhkan tiga sopir, paling tidak, satu untuk anak-anak, satu untuk istri,
dan satu untuk saya, sepertinya kami masing-masing sudah bisa mandiri.Seminggu sekali
kami mengitari toko buku selama tiga jam untuk memborong buku dan DVD apa saja
yang mendatangkan kesenangan. Kami juga nonton di gedung bioskop dan gedung
kesenian, juga di gedung-gedung kebudayaan kedutaan besar. Kami mengisi teka-teki
silang dari Harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, maupun Republika, sambil
menikmati pizza atau hamburger dan es teler. Kami juga pura-pura tahu tentang gerakan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

reformasi yang melanda di seluruh Tanah Air.Itulah sebabnya kami merasa digoncang
gempa bumi ketika mobil kami ngebut melarikan Astri ke rumah sakit. Menderu dan
melakukan zig-zag. Masih dalam keadaan pingsan, Astri saya peluk erat-erat. Kami tidak
tahu apa yang terjadi dengan Astri yang menjerit dan jus mentimun yang mestinya ia
berikan kepada Mamanya, jatuh ke lantai dengan bunyi gelas yang pecah berderai. Saya
berlari ke arah jeritan Astri dan mendapatkannya terkapar. Saya berteriak memanggil
sopir dan membopong Astri ke dalam mobil. Di sisinya, Ajeng dan Antok, adik-adik
Astri, gemetar dan menangis memegangi kaki dan tangan kakaknya. Apakah Astri tadi
terpeleset atau dia kena serangan jantung? Yang saya heran, ibunya anak-anak tidak
memberikan reaksi sedikit pun dan tetap berada di dalam kamarnya. Bahkan sekadar
menjenguk pun tidak."Karena kaget, siapa pun bisa pingsan," kata dokter setelah
memeriksa Astri beberapa saat yang membuat kami lega."Bagaimana dengan jantungnya,
Dok?" tanya saya."Sehat," jawab dokter, "Nanti kalau sudah siuman, Astri bisa dibawa
pulang."Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter yang kemudian berlalu
meninggalkan Astri yang menggeletak di ranjang. Sambil memegangi tangan Astri, saya
bengong menatap Ajeng dan Antok yang cemas ketika tiba-tiba hand-phone
berdering."Agra dan Ayu nangis memanggil-manggil Ibu, Pak!" teriak pembantu dari
rumah sambil menangis.Saya kaget lalu berteriak, "Bilang sama Agra dan Ayu jangan
kolokan. Bawa keduanya ke mamanya.""Pintu kamar Ibu digedor-gedor Agra dan Ayu,
tetapi enggak ada sahutan, Pak," teriak pembantu dari rumah."Dobrak pintunya.""Enggak
berani, Pak.""Dobrak!""Enggak berani, Pak.""Suruh Totok mendobrak.""Totok enggak
berani, Pak.""Mana Totok, saya mau bicara.""Ya, Pak," sahut Totok, sopir anak-anak,
yang agaknya berada di samping pembantu."Tok! Kamu dobrak pintu kamar
Ibu.""Mohon maaf, Pak. Saya tidak berani."MULA-mula Laksmi, mamanya anak-anak,
memberi tahu kami bahwa dia membutuhkan kamar sendiri. Saya pikir dia mau
menggunakan kamar yang sudah ada. Ternyata dia membangun kamar baru di sebelah
perpustakaan. Bagi kami-saya dan anak-anak- tak menjadi soal amat. Kami semua sangat
mencintainya. Bahkan anak-anak sanggup menunggunya sampai pukul 9 malam untuk
bisa makan bareng dengan mamanya.Sebagai seorang ibu yang perfeksionis bagi anak-
anaknya, dia mengatur seluruh kehidupan sehari-hari kami dengan seluruh segi-seginya,
begitu cermat dan cekatan. Dari jus apel-tomat-wortel yang wajib kami minum setiap
hari, dari hobi sampai jenis permainan, dan dari olahraga sampai piknik kami setiap
empat bulan sekali, anak-anak dan saya, terima beres. Dari sini dia mendapat imbalan
yang elok dari langit: anak-anak dan suaminya tumbuh sehat dan mendatangkan
kebahagiaan.Dengan kamar barunya itu, Laksmi keluar-masuk kamarnya dengan kunci di
tangan. Tentang sikapnya ini, saya pernah secara sambil lalu bertanya kepadanya, "Ada
rahasia apa, kok pakai dikunci segala." Dia hanya menjawab dengan senyum. Meski tetap
ramah dan murah senyum sambil menyanyi dan menari, tetapi kami, keluarga dekat dan
teman-temannya, tak boleh menjenguk kamarnya. Pernah Ayu yang berumur empat
tahun, bungsu kami, menangis sejadi-jadinya karena mau ikut, tetapi tetap tak diizinkan
masuk ke kamarnya. Laksmi tak peduli Ayu menangis seharian di depan pintu kamarnya.
Dari peristiwa ini saya mulai merasakan Laksmi ingin mengucilkan diri.Laksmi yang
kutu buku dan mengenal dengan baik seluruh restoran di Jakarta, jauh lebih keras bekerja
daripada saya meski saya sering pulang larut malam. Tidak pernah mengeluh. Selalu
tersenyum lebih dulu bahkan dari para tetangganya yang jauh lebih ramah sekalipun.
Kesukaannya memasak dan membagikannya kepada satu dua tetangganya meski hanya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

beberapa potong lumpia, dicatat sebagai sifat keramahtamahannya. Ketika membangun


kamar pribadinya itu usianya tiga puluh tahun dan sedang ayu-ayunya.Di kamar Astri,
sekarang berkumpul separuh keluarga. Air mata saya terus berlelehan. Ajeng dan Antok
menangis sambil memeluk kaki Astri yang terkulai seperti mati. Beberapa dokter hilir-
mudik memeriksa Astri lagi. Mereka berdiskusi secara bisik-bisik dan tidak memberi
keterangan apa-apa kepada saya. Karena tak tahan menunggu lalu saya bertanya kepada
dokter pertama yang memeriksa Astri. Tetapi, dokter itu memberi isyarat supaya saya
bersabar.Seorang dokter lain menyarankan supaya saya memeriksa kamar-kamar di
rumah. Lalu saya menelepon Eyang Putri Niniek, neneknya anak-anak, ibu Laksmi, yang
sering meluangkan waktu bermain dengan cucu-cucunya."Sebelum ke rumah sakit, Ibu
mampir dan mohon periksa seluruh kamar dan pojok rumah," desak saya."Istrimu ke
mana?" tanya Nenek."Itulah...""Itulah apa?""Tak tahu ke mana."Kamu bertengkar
dengannya?""Tidak.""Ayolah, kamu bertengkar.""Sungguh tidak, Bu."Akhirnya Ajeng
dan Antok tertidur di tepi-tepi ranjang Astri. Saya merenung tentang hal-hal kecil yang
mungkin sekali terlewatkan dalam urusan rumah tangga. Beberapa orang keluarga dan
teman-teman sekelas Astri di SLTP berdatangan menjenguk. Kami mengobrol di kamar
keluarga di sebelah kamar perawatan Astri. Teman-temannya menciumi kening dan pipi
Astri yang pingsan pulas. Mereka menanyakan mamanya anak-anak. Saya jawab, Laksmi
sedang bepergian keluar kota yang tak bisa dihubungi.Telepon genggam berciluit.
Rupanya dari nenek yang lalu nerocos. "Laksmi bilang belum bisa menjenguk ke rumah
sakit. Dia tak mau membuka pintu kamarnya.""Cobalah Ibu minta dia menelepon
saya.""Sudah saya suruh, tetapi dia tidak mau.""Dia omong apa saja?""Dia tak omong
apa-apa."Ibu merahasiakan omongan dia, ya?""Buat apa?" "Jadi Ibu cuma mendengar
suaranya dari dalam kamarnya?""Ya.""Aneh.""Apa?""Aneh, Laksmi tidak mau ketemu
Ibu.""Apa kamu memarahinya?""Tidak pernah.""Ada apa sebenarnya?""Saya tidak
tahu.""Kamu suaminya kok enggak tahu.""Benar, Bu."SEORANG dokter masuk
memeriksa Astri. Tiba-tiba Astri berteriak, "Mama!" lalu dia terkulai kembali, diam,
pingsan lagi.Melihat gejala itu kemudian beberapa dokter dan jururawat berdatangan.
Astri lalu diperiksa oleh tiga orang dokter. Lalu para dokter itu memberitahu bahwa tidak
ada hal-hal yang mengkhawatirkan.Akhirnya Astri siuman dalam keadaan sehat-walafiat.
Seorang kiai dan beberapa orang jamaahnya yang mengaji sepanjang malam di sisi
tempat tidurnya, berhasil membangunkannya. Subuh itu Astri terduduk kaget dan
berteriak-teriak memanggil ibunya, "Mama! Mama!" lalu turun dari tempat tidur
menghambur ke pelukan saya sambil menangis sejadi-jadinya.Lalu kami meninggalkan
rumah sakit beramai-ramai seperti mau menyambut pesta. Kami tidak pulang ke rumah.
Kami pulang ke rumah Nenek. Kami menyelenggarakan selamatan untuk Astri. Mirip
reuni keluarga, saudara-saudara dekat dan jauh berdatangan. Juga teman-teman Astri di
sekolah. Selamatan berlangsung dalam doa yang dipimpin oleh kiai dari kelompok
pengajian kami. Malam yang khusyuk. Malam yang berbeda. Malam yang menjadikan
kami memperoleh keyakinan kembali. Sampan yang menjauh ke tengah danau, telah
kembali merapat ke tepi. Angin malam yang berembus pelan, mengusir malam yang
panas menyuruh dapur menghidangkan makanan yang lezat-lezat.Tak terduga, anak-anak
senang tinggal di rumah neneknya. Begitu pula Eyang Niniek yang setelah ditinggal lima
tahun oleh Eyang Sadewa, suaminya, merasa mendapatkan hidupnya kembali dengan
kehadiran cucu-cucunya di rumah. Tentu ada yang hilang. Laksmi tidak kelihatan. Dia
tidak ditemui di rumah atau di rumah teman-temannya. Saudara-saudara kami di

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Bandung, Yogya, Solo, dan Surabaya, juga tidak disinggahi Laksmi selama dua tiga
bulan belakangan ini. Saya katakan kepada anak-anak kenapa kita belum dapat menemui
mamanya karena mamanya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang harus tepat
waktu karena ditunggu pemesannya. Untung Ayu, si bungsu, tidak meronta-ronta.Pada
waktu malam cerah penuh bintang ketika Astri sudah berada di dalam keadaan yang
ceria, di taman belakang rumah Eyang, di tepi kolam ikan koi, diam-diam saya coba
desak dia bercerita tentang peristiwa sore itu ketika dia terjatuh waktu mengantarkan jus
mentimun untuk mamanya. Astri mengingat sejenak lalu bercerita."Ada kereta api lewat,
kencang sekali, berderak-derak, angin menderu, Mama dari atas kereta menyambar gelas
jus itu, meminumnya lalu melemparkan gelasnya. Astri terempas, terguling ke samping,
lalu mendengar teriakan Mama yang semakin menjauh, 'Mama cuma beli tiket sekali
jalan.'"Seperti tersadarkan, mendengar cerita Astri ini saya tersentak dari duduk,
menggayut tangan Astri dan mengajaknya buru-buru menengok rumah.Ajeng, Antok,
Agra, Ayu, dan Eyang Niniek saya bawa serta. Sopir saya perintahkan ngebut. Saya
mendengar suara Laksmi yang menjauh, "Mama cuma beli tiket sekali jalan."Bisakah
saya mengejar suara itu. Melayang sobekan kain dari empasan angin kereta api, menderu
menyibak tanaman, geliat rel pada tikungan, dengan peluitnya yang panjang, kereta itu
lenyap ditelan cakrawala.Sesampai di rumah, para pembantu kaget menyambut kami.
Saya dobrak pintu kamar Laksmi dengan linggis. Kami beramai-ramai memasukinya.
Ternyata kamar itu kosong-melompong. Tak ada sepotong pun perabotan. Hanya karpet
yang memenuhi kamar dengan bau harum pewangi kegemarannya. Menyaksikan keadaan
itu, tiba-tiba anak-anak berteriak-teriak sambil menangis."Mama! Mama!"Ayu berguling-
guling di karpet sambil menjerit-jerit. Kakak-kakaknya menangis memanggili mamanya
sambil menyusuri empat dinding kamar kosong itu. Saya tak peduli. Saya minta sopir
untuk membongkar plafon, barangkali pikiran saya yang bodoh bisa menemukan
persembunyian Laksmi.Akhirnya anak-anak jatuh tertidur kelelahan. Mereka melingkar
di tengah-tengah kamar yang sebenarnya tidak luas itu. Saya terduduk di pojok. Ada yang
terputus dalam alur perjalanan rumah tangga kami. Sebuah jalan raya yang tiba-tiba
lenyap dirakus hutan. Lalu tercipta jalan setapak, menyanyi Tuhan dengan gelang
Saturnus, api tiba-tiba terhunus. Konser yang belum dimainkan oleh dirigen yang
menunggu pesinden. Saya menatap tubuh anak-anak yang pulas itu seperti gundukan-
gundukan pasir di tempat mereka bermain di Pantai Carita, suatu hari yang cerah empat
bulan yang lalu.SAYA minta sopir ngebut ke bilangan Senayan, di depan kompleks
TVRI, untuk membeli bunga kacapiring kesukaan Laksmi. Saya memilih kembang-
kembang itu sendiri. Pada pukul delapan sehabis makan malam, saya minta anak-anak
menaruh bunga kacapiring itu di dalam vas kesukaan mamanya di tengah-tengah kamar.
Lalu kami berkumpul di pojok kamar. Kami persis anak yatim piatu. Anak-anak ayam
yang kehilangan induknya.Seorang pembantu masuk menaruhkan segelas jus mentimun
kesukaan Laksmi di dekat vas bunga itu. Seketika saya terkesiap. Di dapur, pembantu itu
saya suruh mengambil kembali jus mentimun itu dan saya membantingnya sampai gelas
itu pecah berkeping-keping. Pembantu itu menangis sambil berlari masuk ke
kamarnya."Apa maksudmu menaruh jus mentimun itu di dalam kamar ibu!" bentak
saya."Setiap hari jus mentimun dihidangkan di kamar ibu, pak," jawab pembantu."Kamu
gila!" bentak saya."Jus itu selalu habis diminum ibu, pak.""Kenapa kamu baru cerita
sekarang?""Kira bapak sudah tahu.""Apa kamu pernah lihat ibu minum jus itu, he!""Ibu
tidak ada tapi ada, pak."Pembantu itu menangis sambil menunduk. Para pembantu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

lainnya bersembunyi di kamarnya. Saya terduduk di lantai dapur. Barangkali yang gila itu
saya. Air mata saya berlelehan. Laksmi tidak ada, tetapi ada. Ini sudah keterlaluan dan
sangat jauh menyimpang dari pengalaman perjalanan karier saya. Iman yang begitu tinggi
dari orang-orang sederhana seperti para pembantu dan para sopir memberi pelajaran
betapa perjalanan hidup itu tidak lurus bahkan perjalanan hidup orang-orang saleh
sekalipun. Setiap perahu menyimpan gelombang. Setiap hasrat menyimpan nafsu,
dendam, dan tindakan yang tidak masuk akal.APA papa punya salah sama mama?" tanya
Astri pada suatu sore ketika kami minum teh berdua di beranda."Kamu pikir, papa punya
salah sama mama?""Menurut papa bagaimana?""Menurut Astri bagaimana?""Mana
tahu...?""Cobalah berterus terang Astri, apa kata hatimu.""Cobalah Papa mendengar kata
hati Papa, bagaimana.""Orang lain lebih tahu. Bagaimana menurut Astri.""Papa malu, ya,
berterus terang.""Nah, kamu curiga. Nada bicaramu seolah Papa memang punya salah
sama Mama.""Nah, Papa yang curiga.""Kamu.""Papa.""Kamu.""Papa."Apakah saya
cukup waras untuk mengalami semua peristiwa yang tak terbayangkan ini? Saya yang
ingin hidup secara sederhana, penuh kegembiraan, tidak begitu saja bisa mulus
melaksanakannya meski syarat-syarat untuk itu semua terpenuhi. Saya merasa
diperlakukan tidak adil. Saya harus mencari sebab-sebabnya.Malam-malam selanjutnya
kami tidur di kamar semedi Laksmi itu. Di atas karpet, kami berbaring berderet-deret
seperti pengungsi. Saya berbahagia karena anak-anak sudah mulai kerasan. Bunga
kacapiring itu boleh jadi memberi oksigen kepada kami. Mungkin karena jasa Eyang
Niniek yang begitu penuh kasih sayang mengasuh anak-anak. Memang, harus ada orang
tua yang setia tinggal di rumah untuk mengayomi rumahtangga. Orang tua yang selalu
mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga. Orang tua yang membersihkan udara di
dalam rumah.PADA suatu malam ketika saya tiba dari kantor, terdengar dari dalam
kamar Laksmi, anak-anak tertawa dan bersorak-sorai ramai sekali."Mama curang. Mama
curang," teriak anak-anak tertawa penuh canda."Tentu saja Mama selalu menang, habis
Mama enggak kelihatan, sih."Saya intip dari pintu, anak-anak tertawa, berteriak, berlarian
memutari kamar sambil menggenggam apel dan melemparkannya ke udara.Saya terkulai
di depan pintu dengan berurai airmata. Ini gila. Saya tak bisa menerima ini semua. Ini
keterlaluan. Saya harus merebut kembali kebahagiaan itu. Saya harus merebut kembali
Laksmi.Ketika malam telah hening, ketika anak-anak sudah berada di dunia lain,
barangkali, pelan saya masuk. Setelah shalat istikharah, saya berdoa di pojok. Mencoba
memusatkan pikiran. Kamar itu temaram, menunggu sesuatu yang baru dari kehidupan
kami. Perjanjian baru perlu ditandatangani, dengan keyakinan penuh, dengan
kedisiplinan, dengan kesetiaan."Laksmi," bisik saya. "Maafkan saya. Saya telah
mengacaukan segalanya. Saya telah merusak rumah tanga kita. Ketika Astri bertanya,
apakah saya punya salah padamu, saya sadar, inilah sumber dari segala yang mengerikan
itu. Laksmi, saya minta maaf. Benar, saya bersalah kepadamu. Di depanmu ini, saya
mengakui, saya berselingkuh. Berkali-kali. Secara sadar saya melakukannya. Itu
kesalahan besar. Suatu dosa besar. Barangkali di kantor kami semua sudah gila. Kami
dicengkeram oleh situasi yang sangat sulit untuk kami hindari. Kami terkepung tembok.
Beban pekerjaan terlalu berat. Hiburan memang bermacam-macam bentuknya untuk
memunggah semua beban itu. Saya tak mampu melakukan pilihan. Maafkan saya.
Sekarang saya memohon dengan sangat kepadamu, maafkanlah saya. Kembalilah. Saya
minta Laksmi kembali ke dalam keluarga. Kamu tahu, anak-anak sangat
membutuhkanmu. Laksmi, mereka tidak mungkin bisa hidup tanpa kamu. Mereka sangat

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mungkin akan gagal dalam hidup karena tanpa kamu. Lebih-lebih saya. Dengan ini saya
berjanji, juga bersumpah, saya tak akan mengulangi perbuatan itu. Kasih kesempatan
kepada saya. Laksmi. Kasih kesempatan. Saya paham sekali sekarang, tak ada wanita lain
yang bisa saya cintai. Laksmi, engkaulah satu-satunya yang saya cintai sampai akhir
zaman. Engkau suci, Laksmi sedang saya profan."Tangerang, 11 Juni 2002

Sebilah Pisau dari Tokyo

Post: 10/14/2002 Disimak: 106 kali

Cerpen: Naning Pranoto

Sumber: Kompas, Edisi 10/13/2002

SEBILAH pisau? O, besar sekali dan panjangnya sekitar 30 cm! Ya, ya, malam itu
kulihat sebilah pisau besar, bentuknya cukup aneh, paduan antara golok dan celurit.
Jelasnya begini: gagangnya terbuat dari kayu eboni, pangkal mata pisau berbentuk mirip
golok Betawi, tetapi ujungnya seperti celurit Madura. Penampilannya berkilat-kilat,
pancaran ketajamannya.Ini pisau dari Tokyo. Pisau kesayangan Taro, ya, suamiku.
Maksudku, Taro gemar memasak dan pisau ini alat utamanya untuk memasak. Lebih baik
Taro tidak memasak, bila pisau ini terselip atau sedang tidak ada di dapur...." "O, tapi...
ee... pisau itu menakutkan. Eee... maksudku, terlalu besar dan terlalu tajam sebagai pisau
dapur. Lebih cocok digunakan di rumah jagal saja," selaku, sebelum penjelasan pisau dari
Tokyo itu selesai. Yang menjelaskan mengenai pisau dari Tokyo itu adalah Naomi
Nerusa, share-mate-ku (teman serumahku), ketika aku belajar di Benua Kangguru. Ya,
aku dan Naomi menyewa rumah secara patungan, untuk kami tempati bersama selama
dua tahun. Aku mengenal Naomi ketika kami sama-sama tinggal di apartemen kampus
yang sewanya relatif mahal. Maka, aku dan Naomi lalu mencari rumah yang sewanya
lebih murah daripada apartemen kampus tersebut. Aku memilih Naomi sebagai share-
mate-ku karena dia kunilai cukup komunikatif, lincah, dan pernah berkunjung ke Jakarta,
Yogya, dan Bali. Sehingga kalau kuajak bicara mengenai ketiga tempat itu bisa
nyambung. Oya, Naomi juga suka masakan Indonesia, khususnya sate ayam Madura.
Malam itu, aku dan Naomi siap membuat sate ayam Madura untuk makan malam kami.
Maka ia mengeluarkan pisau dari Tokyo, untuk memotong-motong daging ayam yang
akan kami buat sate. "Nah, you saja yang memotong-motong daging ini, aku yang
mengupas rempah-rempahnya. Oke?" kata Naomi, ketika aku mengambil pisau kecil

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

untuk mengupas bawang merah untuk lalap. "Lho kok aku yang mesti memotong-motong
daging, memangnya kenapa?" tanyaku heran, karena kulihat tiba-tiba wajah Naomi yang
semula ceria berubah menjadi kecut mengkerut. "Eee... aku takut sama pisau itu. Sejak
pertama kali melihatnya, aku memang takut. Heehhhh... maafkan aku!" mata Naomi
memejam, lalu membalikkan diri ke arah lain, memunggungi pisau yang berkilauan itu.
"Naaah... kalau kau takut, mengapa pisau itu kau keluarkan?" tanyaku, sambil mengikuti
arah muka Naomi. "Kupikir kita perlu pisau tajam untuk memotong-motong daging
ayam. Tapi, eee... maaf," tiba-tiba ia tertawa, tetapi tawanya sumbang. "Lho... kok
tertawa. Katamu.... kau takut, tapi tertawa!" aku ikut tertawa, karena melihat mimik
Naomi yang lucu: diliputi rasa takut, tetapi berusaha sok kalem. "Ya, aku tertawa karena
ingat sejarah pisau itu," Naomi masih tertawa, "Lucu, kisahnya! Ya, lucu-lucu seram,"
sambungnya, sambil membalikkan tubuhnya dan menunjuk pisau yang katanya
ditakutinya. "Lucu, kisahnya. Lucu-lucu seram, bagaimana itu?" aku penasaran. "Pisau
itu, pemberian Paman Tsuda-pamannya Taro," Naomi mulai bercerita, "Kedua orangtua
Taro meninggal ketika Taro masih kecil. Maka, ia lalu diasuh Paman Tsuda. Nah, Paman
Tsuda itu pembuat pisau ulung di desanya, di pinggiran Tokyo. Taro juga dilatih
membuat pisau. Tetapi, ketika lulus SMP ia tidak berminat melanjutkan usaha pamannya
memproduksi pisau. Ia tertarik bidang elektronik dan pamannya merestui. Maka, ketika
aku berkenalan dengan Taro, ia telah bekerja di perusahaan elektronik di Tokyo. Kami
pacaran tiga bulan, lalu menikah...." "Apa hubungannya ceritamu dengan pisau dari
Tokyo ini?" selaku tak sabar karena cerita Naomi kuanggap berbelit-belit. "Nanti dulu.
Ceritaku belum sampai ke pisau...," Naomi memintaku bersabar. "Okay. Lalu,
bagaimana?" desakku. "Nah, setelah aku jadi istri Taro, aku tinggal bersama Paman
Tsuda. Waktu aku akan berangkat ke Australia-ya, untuk belajar yang sekarang sedang
saya jalani ini, Paman Tsuda menyuruhku membawa pisau ini. Aku menolak, karena aku
merasa tidak memerlukannya. Yang memerlukan pisau itu Taro, karena Taro selalu
menggunakannya untuk memotong bahan makanan yang dimasaknya. Tapi, Paman
Tsuda mendesakku. Katanya, pisau itu bisa kujadikan senjata...." "Kau jadikan senjata?
Senjata untuk apa?" aku terheran-heran. "Ini dia yang lucu. Tapi, lucu yang sekaligus
seram," Naomi menggeleng-geleng, "E... sungguh menyeramkan. Kata Paman Tsuda,
pisau ini bisa kugunakan untuk membunuh Taro, kalau Taro menyeleweng...." "Heehhh...
menyeleweng? Selingkuh maksudmu?" tegasku. "Ya, kalau Taro punya love affair
dengan perempuan ketiga...," jelas Naomi. "Apa Taro... ee... maaf, suamimu itu suka
selingkuh atau semacam itu?" aku ingin tahu. "Kok sampai pamannya bilang begitu..."
"No, no... Taro bukan laki-laki tipe itu. Dia laki-laki yang baik dan aku tahu, dia sangat
mencintaiku, suka membangga-banggakanku...." "Ya, ya, jelas, karena kau cantik dan
pintar...," komentarku. "Ya, mungkin," Naomi mengerlingkan matanya dan ada bias-bias
kebanggaan terpancar dari mata itu. "Sayangnya, ia sering memukul dan menggigitku
bila ia berhubungan intim denganku...! Ya, dia punya kelainan. Itu, yang kubenci... itu
yang kutakuti. Maka, sering terlintas dalam benakku, aku ingin meninggalkannya untuk
mencari kelembutan dan belaian dari laki-laki lain. Atau, paling tidak ...jauh darinya, agar
aku bebas dari...." matanya yang semula berbinar-binar itu lalu meredup dan suaranya
serak. "Ohhh, Naomi!" desisku dengan bingung, karena aku tidak tahu harus berbicara
apa untuk menanggapi penuturannya itu. "Maka, aku senang, ketika Taro mengirimku
belajar kemari ya... di Australia ini. Jadi, aku bebas dari pukulan-pukulannya dan gigitan
mautnya. Gila! Kalau dalam seminggu ia mengajakku berhubungan intim dua atau

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sampai tiga kali, maka tubuhku hancur, babak belur. Pangkal pahaku, perutku, leherku,
dan payudaraku akan biru-biru lebam. Aku biasanya jadi malas keluar rumah, Selain
sakit, aku juga malu karena jalanku jadi engkang-engkang-jelek. Belum lagi leherku yang
penuh bekas gigitannya, payudaraku juga nyeri, apalagi lubang vaginaku... seperti
disodok-sodok tombak!" Naomi meringis. "Sampai begitu? Ohhh... Naomi!" aku
mendesis lagi dan jadi ngeri membayangkan kelainan Taro, suami Naomi. "Makanya,
aku sebetulnya tidak happy, kalau suamiku nyusul aku kemari," suara Naomi tiba-tiba
merendah, seperti berbisik. "Lho, tapi, bukankah suamimu telah memutuskan akan
menyusulmu kemari? Bahkan kau bilang, dia mau melamar jadi PiAr- permanent resident
di sini, bukan?" aku mengingatkan apa yang pernah diceritakan Naomi kepadaku,
sebelum ia jadi share-mate-ku. "Ya, mau dia memang begitu. Dia ingin tinggal di
Australia, karena ingin menginjak tanah. Maksudku, ia ingin tinggal di rumah besar,
berhalaman luas dan bisa mengendarai mobil pribadi. Maklum, hidup di Tokyo
menginjak tanah adalah barang luks. Maksudku, hidup di Tokyo tidak mungkin tinggal di
rumah besar, berhalaman luas dan bisa mengendarai mobil pribadi. Biaya hidup di Tokyo
sangat mahal. Yang bisa kami bayar hanyalah tinggal di apartemen ukuran 3 x 3 meter,
untuk keperluan segalanya. Kalau punya mobil harus menyewa garasi yang sewanya
sama dengan untuk menyewa apartemen...," Naomi memandangiku, sebagai penegasan,
"Makanya, bagi Taro, tinggal di Australia adalah impiannya dan itu harus
diwujudkannya!" "Jadi, kapan dia kemari?" aku ingin tahu. "Ya, tiga bulan lagi, setelah ia
menjual barang-barang kami dan mengurus surat-surat pindah. Aku dan Taro akan
memulai hidup baru di sini...." "Oh... indah sekali. Kalian bakal menemukan surga di
Australia. Orang Jepang uangnya banyak. Kulihat, banyak orang Jepang yang membeli
rumah dan mobil-mobil mewah di sini...." "O... tidak semua orang Jepang begitu," Naomi
cepat-cepat meralat kalimatku. "Walau Taro sudah manager, tetapi gajinya tidak besar.
Jadi, ya... kalau cuma membeli rumah keong dan mobil seconds mungkin bisa...," Naomi
merendah. "Apalagi kalau kau sudah kerja di sini," seruku, karena kuliah Naomi, yang
ambil Master Fakultas IT akan selesai tahun depan. "Master lulusan IT banyak diperlukan
di Australia." "Mudah-mudahan," mata Naomi sedikit berbinar. "Yuk, sekarang kita bikin
sate ayam. You yang memotong-motong dagingnya!" sambung Naomi. Aku pun lalu
menggunakan pisau dari Tokyo untuk memotong-motong daging ayam yang akan kami
buat sate. Bukan main, pisaunya tajam sekali. Maka, Naomi lalu memperingatkanku agar
aku berhati-hati ketika menggunakannya, agar tanganku tidak teriris olehnya. TARO
sudah datang dari Tokyo dan tinggal bersama kami. Benar kata Naomi, Taro memang
gemar memasak dan selalu menggunakan pisau dari Tokyo, untuk memotong bahan-
bahan yang dimasaknya. Sungguh terampil tangannya ketika menggunakan pisau itu, saat
memotong apa saja: dari bawang putih, seledri, daun bawang, hingga ikan dan daging
yang diolahnya. Aku sering menyaksikannya bila ia masak untuk makan malam mereka
dan kadang aku diberinya. Karena, aku juga sering memberi mereka apa yang kumasak
pada pagi hari. Sejak ada Taro, aku memang sering tukar-menukar makanan. Sebelum
Taro datang, Noami sering minta tolong aku untuk memasak. Naomi memang tidak suka
memasak! Jadi, kalau ia memasak, artinya terpaksa! Sejak Taro di Australia, Naomi tidak
pernah ke dapur. Jadi, pisau dari Tokyo itu sama sekali tidak dipegangnya. Aku juga
tidak memegangnya, karena aku lebih suka menggunakan pisauku yang kubawa dari
Jakarta, untuk mengupas bumbu-bumbu atau memotong bahan-bahan yang kumasak.
Taro selalu mendesakku agar aku menggunakan pisau dari Tokyo, dengan alasan, lebih

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tajam dari pisauku. Bahkan suatu pagi Taro bilang padaku, "Bila aku berpisah denganmu,
pisau ini akan kuberikan padamu, untuk kenang-kenangan." Aku tertawa mendengar apa
yang dikatakan Taro. Di balik tawaku, sebetulnya aku ngeri dan kemudian berkata,
"Taro, apa indahnya kenang-kenangan sebilah pisau... pisau yang sangat tajam dan
bentuknya aneh. Terus terang, aku takut pada pisau itu! Naomi juga takut." "Ah, jangan
takut. Pisau ini jadi menakutkan bila digunakan untuk membunuh. Bila digunakan untuk
tujuan positif seperti untuk memotong-motong bahan yang akan kita masak atau
berkebun, membabat ilalang dan rumput ya tidak apa-apa...," sahut Taro dengan sikap
tenang. Bersikap tenang, adalah pembawaan Taro yang paling menonjol. Maka, aku jadi
heran dan bertanya-tanya: apakah mungkin laki-laki berpembawaan setenang Taro punya
kelainan buas, suka memukul dan menggigit pasangannya, ketika melakukan hubungan
seksual seperti yang diceritakan Naomi? Kupandangi Taro, yang malam itu sedang duduk
sendirian di ruang makan, sambil memandangi sajian masakan yang telah dimasaknya
sejak sore, untuk makan malamnya bersama Naomi. Jam telah menunjukkan pukul 21.30.
"Taro, Naomi belum pulang?" tanyaku, merasa kasihan pada Taro yang kuhitung hampir
dua minggu selalu menanti kedatangan Naomi yang terlambat. "Ya, Naomi belum
pulang. Akhir-akhir ini ia selalu pulang terlambat...," sahut Taro, suaranya berat dan
patah-patah. Aku tahu, ia ingin mengeluh kepadaku, tetapi ditahannya. Maka ia lalu
kuhibur sebisaku, "Taro, mungkin Naomi masih belajar di perpustakaan. Atau, barangkali
ada meeting-kerja grup. Maklum, student IT memang banyak tugas, bikin program yang
aneh-aneh dan rumit...." "Ya, barangkali," Taro memandangiku dengan mata kosong.
"Tapi, apakah sistem belajar di Australia harus sampai larut begini? Lebih dari pukul
sembilan malam belum selesai?" "Tergantung fakultasnya, Taro. Kalau aku, yang ambil
ilmu sosial ya... tidak sampai malam kalau belajar bersama. Tapi, kami dituntut banyak
membaca. Aku lebih senang membaca di rumah daripada di perpustakaan," tuturku. "Ya,
kupikir, merancang program juga bisa di rumah. Aku kan juga pernah belajar komputer-
IT. Memang sih... otodidak...! Tapi, kupikir, Naomi tidak perlu sampai pulang terlambat
terus. Iya, kan, begitu?" Aku diam saja. Aku tidak ingin masuk ke dalam lingkar masalah
yang sedang dihadapi Taro yang tampak unhappy karena istrinya, ya... Naomi, selalu
pulang terlambat. Hari berikutnya, Naomi pulang terlambat lagi. Terus, terlambat lagi.
Begitu, hingga pada suatu senja aku melihat Naomi bergandeng tangan mesra dengan
student dari Kolombia, teman sekelasnya. Setahuku, di kampus, student Kolombia itu
dipanggil: Banderas! Padahal, nama sebenarnya Ferdinand. Ia dipanggil Banderas karena
wajah dan tubuhnya memang mirip Antonio Banderas-aktor Hollywood asal Spanyol,
yang pernah dinobatkan oleh sebuah majalah wanita terbitan Amerika, sebagai salah satu
pria terseksi di dunia. Maka dapat dibayangkan, betapa tampannya Ferdinand, yang
menggandeng Naomi. Taro yang tingginya kuperkirakan tidak sampai 160 cm, tentu
bukan bandingan Ferdinand. Diam-diam kuikuti arah jalan Naomi dan Banderas. Mereka
dari perpustakaan menuju ke utara, ke apartemen kampus Blok A. Aku jadi ingat,
Ferdinand memang tinggal di Blok A, lantai 6-yang dikenal sebagai markas student dari
Kolombia. Kuperhatikan, Naomi dan Ferdinand naik lift. Pikirku, jadi selama ini, Naomi
selalu pulang malam karena bersama Banderas? Aku lalu ke perpustakaan, ada meeting,
dan pulang ke rumah pukul 21.00. Sampai di rumah, kulihat Taro sedang memasak
dengan wajah murung. Padahal biasanya, kalau memasak pukul 18.00 dan wajahnya
ceria. Meskipun demikian, ia berusaha tersenyum semanis mungkin begitu melihatku
masuk ke rumah. Seperti biasanya, ia menanyakan keadaanku. Seperti biasanya juga, aku

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menjawab: fine, thank you! "Ohhh... very good! Very good!" Taro menanggapiku, lalu
menghentikan langkahku yang mau naik ke loteng, menuju ke kamarku. "Jangan masuk
ke kamar dulu. Aku mengundangmu makan malam. Aku buat sushi dan sup sirip ikan...,"
kata Taro, "Itu, mangkuk dan piringmu sudah kusiapkan," sambungnya, sambil menunjuk
dua set piring dan mangkuk di atas meja makan. "Naomi belum pulang?" tanyaku
kemudian, sambil berusaha keras mengerem diri untuk tidak menceritakan Naomi yang
kulihat bergandengan tangan bersama Ferdinand alias Benderas. Lalu, Naomi ke Blok A,
ke kamar Ferdinand. Bisa ditebak, apa yang mereka lakukan berdua di kamar?
Kusingkirkan pikiran keruhku mengenai Naomi-Ferdinand. Perhatianku kufokuskan
kepada Taro yang mengajakku bicara mengenai Naomi. Ia berkata, "Malam ini Naomi
tidak pulang. Dan, ia memang tidak pernah akan pulang lagi di rumah ini. Dia pulang ke
tempat lain bersama kekasihnya...!" sahut Taro, nadanya tenang, tapi membuatku
terkejut. "Apa maksudmu, Naomi pulang ke tempat lain bersama kekasihnya, Taro?"
tanyaku spontan. Taro tidak menjawab. Tapi, ia memperlihatkan pisau dari Tokyo yang
berlumuran darah yang mulai mengering dan beratus-ratus helai rambut menempel di
permukaannya. Aku mengenali rambut itu, rambut Naomi. Ohhh...! Tubuhku langsung
gemetar dan butir-butir keringat dingin bermunculan di keningku. Sebilah pisau dari
Tokyo yang ada di tangan Taro itu di mataku tampak menyeringai dipenuhi ribuan
pasang taring Rahwana yang tengah mencabik-cabik leher Naomi yang kuning mulus dan
jenjang. Lalu, darah segar pun mengalir deras dari leher Naomi yang terkoyak-koyak dan
terpatah itu.... "Mari, makan malam bersamaku, sebelum polisi menangkapku. Atau,
sebelum aku menyerahkan diri ke polisi...," kudengar lamat-lamat suara Taro
mengajakku makan, dengan suara tenang. Aku tidak mau dan memang tidak bisa
memenuhi ajakannya, karena kepalaku tiba-tiba pusing, perutku mual, mataku
berkunang-kunang, lalu lupa segalanya, kecuali kilatan pisau itu: sebilah pisau dari
Tokyo. Pisau jagal...! Kenanganku di Gold Coast,Oktober 2001

Kaki-Kaki Air

Post: 10/08/2002 Disimak: 208 kali

Cerpen: Afrizal Malna

Sumber: Kompas, Edisi 10/06/2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

SETELAH banjir sebulan yang lalu, yang menghanyutkan seorang gubernur dan
mayatnya lenyap di Sungai Ciliwung, banyak jalan yang berlubang. Sejak itu warga kota
sering bermimpi buruk tentang lubang-lubang di jalan raya itu, juga tentang kematian
gubernur. Rakyat merayakan kematiannya sebagai kematian sebuah monster
kota.Ruwatan kota dilakukan di Sunda Kelapa. Rakyat melakukan doa di atas perahu,
mensucikan kembali jiwa-jiwa yang pernah tersiksa sepanjang hidupnya. Kampung-
kampung juga melakukan selamatan bersama untuk mengembalikan arti kehidupan
bersama.Tetapi kota ini memang seperti sebuah baskom yang buas. Ruko-ruko berjejer
seperti pagar kota, namun juga sebagai kayu api yang mudah dibakar setiap kerusuhan
terjadi.Seorang ibu yang mengantar anaknya sekolah, harus melompati atap-atap mobil
untuk bisa menyeberangi jalan yang macet. Seorang pengendara sepeda berlari tanpa
hambatan, melompati atap bis satu dengan atap bis lainnya. Anak-anak sekolah bermain
basket di atas atap kereta jurusan Depok-Kota. Aih, Jakarta, kau seperti seorang nyonya
dengan betis bengkak, dipenuhi dengan sardencis, sosis, dan mentega.Aku membeli
koran pagi itu. Kota ini selalu ramai dengan berita. Ada wakil presiden yang istrinya
tujuh. Ada seorang presiden yang disandera dalam video. Uang beredar trilyunan dalam
sehari. Harga kurs dan saham. Ada pesta putauw di rumah wakil gubernur Jawa Barat.
Kedubes Amerika ditutup, kenaikan terigu. Ada pencuri pete yang mati digebuki massa
yang menangkapnya. Ada anggota partai yang dikarantina agar suara mereka tetap bulat
dalam pemilihan gubernur. Padahal gubernur yang akan dipilih itu telah mati dalam
banjir yang lalu. Ada bandar heroin yang tertangkap. Tiba-tiba sebuah bis keluar dari
koran yang sedang aku baca. Kondekturnya berteriak-teriak:"Grogol!""Grogol!""Di jalan
raya mesti sopan, dong."Buset, bagaimana orang bisa membangun kualitas hidupnya di
kota seperti ini. Warga kota hanya soal hitungan pajak, bukan? Dan bagian-bagian mana
saja dari kota ini yang bisa diperas.Tidak usah khawatir, kualitas itu tidak penting, yang
penting adalah bagaimana seluruh transaksi harian bisa dilunasi, bukan? Dan mimpi
buruk, jiwa-jiwa yang memaknai hidupnya sendiri lewat kegelapan, adalah cara negatif
untuk mengisi kekosongan berbagai proses kualitas kehidupan setiap warga agar tetap
berlangsung.Lebih baik aku meralat dusta pagi ini. Sebenarnya aku tidak membeli dan
membaca koran. Sebenarnya berita-berita itu juga tidak pernah ada. Pagi itu aku sedang
menyapu di halaman. Membersihkan tanaman yang kering dan menyiramnya. Tanaman
perdu ramai sekali bercerita tentang akarnya yang terasa perih karena kekurangan air.
Pohon mangga gatal-gatal, badannya dijangkiti jamur berwarna putih. Tetapi apa
bedanya, sebuah bis tiba-tiba muncul dari bongkahan tanah. Kondekturnya berteriak-
teriak:"Grogol!""Grogol!""Di jalan raya mesti sopan, dong."MATAHARI baru saja
melepaskan diri dari sebuah tembok tinggi yang atasnya dikelilingi kawat berduri pagi
ini. Kota terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Orang-
orang juga lebih banyak tinggal di rumah. Sebagian besar kantor dan daerah perdagangan
tutup. Sesuatu sedang terjadi di kota ini.Dua hari yang lalu beberapa lubang di jalan raya
tiba-tiba berubah menjadi sumur yang dalam. Airnya jernih. Dalam sumur itu hidup ikan-
ikan yang tidak pernah dikenal sebelumnya.Jilan, anakku, sering melihat ke sumur-sumur
itu. Dan setiap ia pulang, setelah melihat sumur-sumur itu, aku melihat matanya telah
berubah menjadi sepasang sumur yang dalam, yang airnya jernih, dan ada ikan-ikan yang
belum pernah ada sebelumnya. Wabah sumur ini bergerak begitu cepat, jutaan warga
dalam waktu cepat, matanya berubah menjadi sumur yang dalam, airnya jernih, dan ada

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ikan-ikan yang belum pernah ada sebelumnya.Makhluk dengan mata seperti sumur itu
kini mewarnai kehidupan kota sehari-harinya. Gejala lain kemudian muncul, sumur itu
ternyata mulai memiliki kekuatan yang tak terduga. Setiap kendaraan bermotor yang
melewati sumur-sumur itu, mesinnya seketika mati. Hanya kendaraan tak bermotor yang
terus bisa berjalan. Begitu pula setiap warga kota yang matanya berubah menjadi sumur,
seluruh alat-alat elektronik mati manakala mata mereka menatapnya.Banyak peralatan
elektronik atau bermesin yang mendadak mati di kota ini. Orang-orang yang matanya
belum menjadi sumur mendadak nilainya menjadi sangat mahal dan dilindungi.
Merekalah kini yang dikerahkan bekerja menjalankan kehidupan kota. Mereka mendapat
pengawalan super ketat. Bila ada yang mengganggu warga kota yang mendadak menjadi
istimewa ini, akan ditembak di tempat. Berbagai cara digunakan untuk melindungi
mereka.Pemerintahan kota kini sibuk memikirkan bagaimana caranya menutup sumur-
sumur yang tumbuh di seluruh jalan di kota ini. Masalahnya tidak sederhana, karena
orang yang berusaha menutupnya, dari matanya akan mengalir air mata terus-menerus,
tak henti-henti. Tangisan yang tidak bisa dihentikan oleh apa pun. Tangisan yang sedih
dan pedih. Tangisan yang membuat setiap orang yang mendengarnya, seperti
menyaksikan sebuah duka cita yang teramat sedih dan teramat panjang.Orang-orang kini
tidak lagi membicarakan apa saja yang dilakukan dan telah terjadi sepanjang hari-hari
mereka. Sejak kejadian itu, warga kota lebih banyak membicarakan apa artinya cinta dan
apa artinya waktu. Entah kenapa kedua topik ini kini menguasai benak warga kota.Orang-
orang yang matanya selamat untuk tidak menjadi sumur tidak terlepas dari perubahan
topik pembicaraan ini. Mereka juga ikut membicarakan soal apakah cinta dan apakah
waktu. Pekerjaan mereka untuk menjalankan mesin kota mulai ditinggalkan, karena
mereka lebih banyak ngobrol soal dua topik itu. Para pengawal yang menjaga mereka
tidak berkutik. Mereka tidak bisa melarang orang-orang itu untuk tidak membicarakan
dua topik itu. Belum ada peraturan untuk melarang orang membicarakan soal cinta dan
soal waktu. Bahkan para pengawal itu sering terpaku mendengarkan bagaimana mereka
membicarakan cinta dan waktu. Nyanyian itu membuat langit seperti mengeluarkan
cahaya biru di malam hari. Orang-orang terharu dengan perubahan ini. Mereka mulai
merasa memiliki hubungan baru dengan langit. Melihat langit di malam hari seperti
melihat kesibukan makhluk-makhluk yang tugasnya hanya merajut waktu dan merajut
cinta.Nyanyian cinta dan nyanyian waktu terdengar di mana-mana. Banyak orang yang
menciptakan lagu berdasarkan dua topik itu. Kota ini seketika berubah menjadi sangat
romantis dengan nyanyian-nyanyian itu dan sumur-sumur itu. Orang kini lebih banyak
menanam bunga dan menjahit pakaiannya sendiri, seakan-akan mereka juga sedang
merajut waktu untuk hari esok mereka. "Lihat, aku baru percaya sekarang, aku baru bisa
merasakan sekarang, bahwa aku hidup!""Lihat, aku hidup, bukan?" teriak mereka.Tubuh
mereka seperti dialiri oleh darah yang baru. Darah yang lama, yang kotor dan hitam pekat
telah menguap entah ke mana. Kulit mereka, yang sebelumnya tampak mati oleh polusi
yang biadab di kota ini, juga seperti berganti dengan kulit yang baru, segar, dan terasa
halus. Bibir mereka tidak lagi kering dan kebiru-biruan. Tapi berwarna merah seperti
tomat. Mereka hidup seperti tanam-tanaman. "Aduh... lihat... ada tomat, ada wortel, ada
cabai, ada... Semuanya, deh, tanaman ada di sini," kata Princess."Morgen, Princess,
sayang."Kota ini, kini, tidak pontang-panting lagi mengikuti mesin yang memproduksi
kecepatan berlipat ganda. Gerak menjadi normal, natural. Waktu juga berjalan normal,
tidak berada jauh di luar akal sehat manusia. Gestur tubuh tidak lagi tampak tegang dan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kaku. Orang berjalan seperti tarian. Bibir mereka seperti menyimpan banyak kata untuk
keramahan. Pakaian mereka, aih, seperti ada rumah ibadah dalam tubuh mereka, rumah
untuk bercinta.SUATU hari, entah siapa yang memulai, rakyat di kota ini mulai
menanami pohon di jalan-jalan berlubang itu. Pohon yang berbuah. Bukan pohon yang
tidak menghasilkan buah.Seluruh jalan raya di kota ini kini berubah menjadi hutan kota.
Hutan yang dibesarkan oleh sumur-sumur itu dan oleh tangan-tangan rakyat. Uang pajak
untuk pemerintahan kota, juga digunakan sendiri oleh rakyat untuk membangun kota
mereka yang kini menjadi kota baru itu."Ayah, aku ingin menjadi tukang sapu di kota
ini," kata Jilan. Dan kau tertawa mendengarnya, tawa yang dibanjiri oleh cara membaca
dari mana hidup ini mesti dijalani. Dan cinta, tidak perlu lagi menggenggam sebilah pisau
di tangannya, Cinta adalah janji pada setiap butir nasi yang kumakan, pada setiap air yang
kuminum, pada setiap udara yang kuhirup. Cinta adalah ... sumur-sumur itu sedang
menciptakan waktu dari kaki-kaki air.Kalimalang, 2002

Kyoto monogatari

Post: 09/30/2002 Disimak: 292 kali

Cerpen: Seno Gumira Ajidarma

Sumber: Kompas, Edisi 09/29/2002

TERBUAT dari apakah kenangan? Aku tidak pernah bisa mengerti, mengapa
pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi: suatu pemandangan yang kudapatkan
ketika kereta api shinkansen itu tiba-tiba menembus daerah salju dan kulihat seorang
perempuan berjalan di luar rumah sendirian dalam badai. Apakah yang dikerjakan
seorang perempuan dalam badai yang menggebu seperti itu? Tidak banyak rumah di
dataran salju yang kulihat itu, dan hanya perempuan itu yang tampak dalam keluasan
serba putih dan memutih sampai di batas cakrawala. Udara penuh dengan salju yang
beterbangan karena tiupan badai sehingga perempuan yang berjalan dengan lambat itu
tampak menapak dengan begitu berat. Apakah yang dilakukannya dalam badai bersalju
seperti itu? Aku tidak bisa memperkirakan apapun dan aku harus menerima kenyataan
betapa aku tidak akan pernah tahu. Pemandangan itu bagiku memilukan, bukan hanya
karena merasakan kembali dingin yang merasuk dan membekukan, tapi karena gagasan
akan kesendirian dalam keluasan padang memutih itu. Berja-lan sendirian di tengah
padang salju dalam badai yang dingin dengan suaranya yang menggiriskan tidaklah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

terlalu menyenangkan. Dari balik jendela kereta api suara itu sudah teredam, tapi aku
pernah mengalami badai bersalju dengan suaranya yang menggiriskan di Mongolia,
sehingga aku tahu pasti ada sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi sampai perempuan itu
harus berjalan susah payah dengan sepatu yang setiap kali harus diangkat tinggi karena
melesak ke dalam tumpukan salju dalam badai yang kencang dan begitu dingin seperti
itu. Semuanya sudah kulupakan, termasuk jurusan kereta api itu: menuju Kyoto dari
Tokyo, ataukah menuju Osaka dari Kyoto, aku tidak bisa ingat lagi-tinggal kenangan
akan seorang perempuan yang melangkah dengan berat dalam badai dan hujan salju.
Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan. Tapi aku tidak bisa menceritakan
apapun tentang perempuan itu. TERBUAT dari apakah kenangan? Dari saat ke saat aku
masih bertanya-tanya, apakah kiranya yang dilakukan perempuan yang kulihat berjalan
sendirian di padang salju itu? Waktu kereta api lewat dan aku menengok dari balik
jendela, tampak ia baru saja keluar rumah. Jejak-jejaknya terlihat menapak dari sebuah
pintu. Masih selalu mengganggu ingatanku dari waktu ke waktu, apakah ada seseorang
yang ditinggalkan di dalam rumah itu, atau memang kosong saja di dalamnya sehingga
barangkali ia pergi begitu saja tanpa mengunci pintu? Tentu saja aku tidak melihat
perempuan itu keluar dari rumahnya, sehingga aku juga tidak tahu apakah ia mengunci
atau tidak mengunci pintu itu sama sekali. Kereta api itu lewat begitu cepat, seperti
angan-angan melintas, tapi pemandangan yang kulihat kemudian seperti tidak akan
pernah pergi lagi untuk selama-lamanya. Mengherankan bahwa kenangan seringkali
terpendam begitu lama dan muncul begitu saja tanpa ada sebab yang harus
menghubungkannya. Aku masih selalu penasaran dan bertanya-tanya, mengapa suatu
kenangan bisa terpendam begitu lama sampai muncul tiba-tiba pada waktu dan tempat
yang tiada pernah akan terduga. Kenangan itu kadang-kadang bisa muncul kembali sekali
saja dalam seumur hidup, terkenang sekali lantas tiada pernah datang kembali.
Bagaimanakah caranya suatu peristiwa berubah menjadi kenangan, tapi yang terpendam
begitu lama sampai suatu ketika mengingatkan dirinya pernah terjadi, sekali, lantas tak
pernah muncul lagi? Bukankah ajaib untuk membayangkan bagaimana caranya kenangan
tersimpan dan muncul kembali atau sama sekali tidak pernah muncul kembali meskipun
tetap ada entah di mana di sebuah dunia yang tiada akan pernah kita ketahui seperti apa?
Ada kalanya suatu peristiwa juga ingin kita lupakan karena kepahitan yang menyertainya.
Selalu ada peristiwa dalam hidup ini yang ingin kita hapus saja dari kenangan, seperti
tidak pernah terjadi, meski tetap saja teringat sampai mati - rupanya selalu ada alasan
untuk mengenangkan kembali semua peristiwa yang sungguh mati ingin kita lupakan saja
sampai habis tanpa sisa. Hmm. Terbuat dari apakah kenangan? Bagaimanakah caranya
melepaskan diri dari kenangan, dari masa lalu yang tiada pernah sudi melepaskan
cengkeraman kepahitannya pada masa kini? Kenangan barangkali saja tidak selalu utuh:
sepotong jalan, daun berguguran, ombak menghempas, senyuman yang manis, langit
yang merah dengan mega-mega berarak dalam cahaya keemasan; tapi bisa juga begitu
utuh ketika menikam langsung ke dalam hati seperti sembilu. Tidak mungkinkah
kenangan yang pahit kembali sebagai sesuatu yang manis? Kenangan seperti diciptakan
kembali oleh waktu, membuat masa lalu tak pernah berlalu, bahkan mempunyai masa
depan untuk menjadi bermakna baru. Mungkinkah kenangan itu seperti suatu dunia,
tempat kita bisa selalu mengembara di dalamnya? Aku mempunyai kenangan yang lain di
Kyoto, yang selalu menjadi nyata karena sebuah genta. Kenanganku adalah bunyi genta
itu, genta kecil yang manis dan selalu berdenting oleh angin yang berhembus pelahan,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang bisa kubawa pulang dan mengingatkan kembali segalanya. Angin itu harus
berhembus dengan kepelahanan yang sama dengan ketika aku pertama kali
mendengarnya, dan dengan demikian bunyi genta itu mengembalikan suatu masa yang
telah berlalu. Bagaimanakah suatu masa yang telah berlalu bisa kembali lagi dan
mengembalikan perasaan dan suasana yang sama seperti ketika aku mengalaminya, aku
sama sekali tidak pernah bisa mengerti. Kenanganku tentang pemandangan di luar
jendela kereta api shinkansen itu selalu kembali bukan karena bunyi denting genta kecil
itu. Kenangan itu selalu kembali seolah-olah tanpa penyebab apapun, atau setidaknya aku
tidak pernah tahu pasti apa yang selalu mengembalikan kenangan itu kepadaku. Apakah
karena aku berta-nya-tanya apa yang terjadi di dalam rumahnya? Apakah ada seorang
anak yang tergeletak dan sakit parah di sana, sehingga perempuan itu harus keluar rumah
mencari obat dalam badai seperti itu? Perempuan itu menapaki salju dengan langkah
yang berat, dan tetap akan berat meski sepanjang hidupnya ia tinggal di sana sehingga
tentunya juga terbiasa dengan alam dan iklim seperti itu. Langkahnya berat dan udara
begitu dingin, apakah kiranya yang begitu mendesak? Kereta api itu memasuki daerah
salju dengan begitu tiba-tiba seperti pesawat antariksa menembus batas luar angkasa.
Dalam kenanganku seperti terjadi sebuah ledakan, dan hanya daerah salju itu saja yang
menjadi kenanganku seterusnya. Bukan di luar daerah itu, bukan pula ketika di dalam
kereta api itu. Dalam kenangan itu aku tidak pernah melihat diriku sendiri sedang
memandang dari balik jendela. Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan. Tapi
aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu. TERBUAT dari apakah
kenangan? Aku tidak ingin mengingat sesuatu, tapi ada suatu kenangan yang selalu
kembali. Aku ingin sekali mengingat-ingat sesuatu, tapi barangkali aku akan lupa untuk
selama-lamanya. Aku juga selalu teringat sesuatu yang tidak pernah kuceritakan kembali,
tidak pernah kukatakan, tidak pernah kuapa-apakan, karena kenangan itu memang hanya
bertengger saja dalam kepala. Tapi mungkin saja peristiwa ini terjadi. Perempuan itu
berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang panjang. Tidak ada seorangpun yang
tahu ke mana perempuan itu pergi. Di dalam rumah seorang lelaki menunggu perempuan
itu kembali. Dunia memutih dan kelabu, lampu-lampu menyala menjelang gelap. Lelaki
di dalam rumah itu menunggu dalam gelap, bertanya-tanya tentang kenapa perempuan itu
pergi begitu lama dan tidak juga kembali. Kemudian ia juga ke luar, mencari ke mana
kiranya perempuan itu pergi. Ia mengikuti jejaknya. Ia mengikuti jejaknya sepanjang
jalan, sepanjang padang, sepanjang kepahitan yang meruyak di dalam hatinya. "Kamu
mau ke mana?" "Tidak ke mana-mana." "Cuaca seperti ini dan kamu keluar dan kamu
bilang tidak ke mana-mana." "Aku memang tidak ke mana-mana." Ia mengikutinya, dan
ia tidak tahu perempuan itu pergi ke mana. Mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat,
mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat yang tidak pernah ingin diketahuinya?
Kalau kereta api itu lewat sedetik lebih cepat atau sedetik lebih lambat, tentunya aku akan
melihat pemandangan yang berbeda, dan kenanganku akan menjadi lain. Aku akan selalu
teringat sesuatu yang lain, tapi yang tidak mungkin kuketahui dengan pasti kiranya
seperti apa. Mungkin sebelumnya ada lelaki lain di luar rumah, dan perempuan itu
melihat lewat jendela. Mungkin itu beberapa menit sebelumnya, bukan hanya sedetik
sebelumnya. Bagaimana kalau kereta api itu lewat beberapa menit lebih lambat?
Barangkali akan kulihat seorang lelaki berjalan di tengah padang salju, mengikuti bekas
jejaknya kembali, berjalan lambat menuju rumah itu. Dari kejauhan, dari dalam kereta api
yang meluncur begitu cepat, pasti tidak akan kulihat pisau berdarah yang masih

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

digenggamnya. Masih ada kepahitan di wajah lelaki yang muram itu. Peristiwa ini tentu
tidak pernah terjadi. Kereta api melewati tempat itu beberapa menit sebelum atau
sesudahnya tidak akan mengubah apa-apa. Tidak ada satu kemungkinan yang memberi
peluang kepada pengetahuan yang utuh. Sebetulnya aku selalu membayangkan
seandainya kereta api itu lewat ketika perempuan itu sudah menjadi mayat dan terkapar
di depan rumahnya. Aku selalu membayangkan ada bekas-bekas darah di atas salju.
Barangkali lebih baik mayat itu tidak ada, dan hanya ada bekas da-rahnya. Ada bekas
seretan yang panjang dan berdarah. Tapi sebetulnya aku hanya melihat seorang
perempuan melangkah keluar dari rumahnya dalam hujan dan badai salju-aku bahkan tak
tahu itu memang rumahnya atau bukan, dan aku tidak melihatnya membuka pintu,
menutupnya kembali, dan melang-kah ke padang salju. Aku hanya melihatnya sedang
berjalan dengan susah payah sehingga terbentuk jejak dari sebuah rumah ke tempatnya
sedang melangkah. Tapi mungkinkah bisa dipastikan peristiwa itu tidak pernah terjadi?
Apakah ada sesuatu di dunia ini yang bisa kita ketahui dari segala kemungkinan,
serentak, dan seutuh-utuhnya? Di kereta api shinkansen yang meluncur dengan kecepatan
peluru, aku hanya tahu perasaanku menjadi rawan. Memasuki daerah itu bola-bola salju
berhamburan dan pecah di jendela. Semua itu mestinya tidak mungkin terjadi, tapi aku
tidak pernah tahu apa yang telah dan akan terjadi. Betapa sedikit yang bisa kita ketahui
dalam hidup yang begitu singkat. Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.
Sayang sekali, aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu. Durban - Cape
Town, Maret 2002.

Kurir

Post: 09/23/2002 Disimak: 224 kali

Cerpen: Gus tf Sakai

Sumber: Kompas, Edisi 09/22/2002

SIAL benar. Seharusnya ia tak membiarkan Parto langsung pergi. Lihatlah tingkah si
satpam: menahan tubuhnya dengan ujung pentungan, memasang wajah mengancam
meski tahu ia tak mungkin bakal memaksa masuk. Pikiran apakah yang ada di kepala si
satpam, memperlakukan dirinya begitu rupa, tak ubahnya bagai seorang bandit?Menarik

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

napas, tak putus asa, ia ngangakan tas yang dikepitnya. "Lihat, Pak." Disodorkannya ke
hadapan si satpam. "Hanya brosur. Lembar-lembar promosi.""Tetap tidak bisa. Atau,
tinggalkan di sini. Biar kami yang memasukkan."Tinggalkan di sini? Dilayangkannya
pandang, ke sana; jauh ke dalam gerbang, ke jalan menuju kompleks perumahan yang
dipagari jeruji besi dan kawat berduri. Samar-samar tampak pagar tembok, menjulang,
berjenjang-jenjang. Dan atap, mencuat bertingkat-tingkat. Dan... kotak pos. Di manakah
kotak pos mereka? Ke dalam kotak pos itulah ia mesti memasukkan brosur dan lembar-
lembar promosi ini."Sini!" Si satpam menjulurkan tangan yang sebelah lagi, yang kiri.
Bulat, pejal, dan gempal. Jauh lebih berotot dari yang kanan -yang mengacungkan
pentungan. Hmm, pastilah satpam ini seoran kidal."Sini!"Tidak. Jika brosur ini ia
serahkan, siapa bisa menjamin si satpam memang akan memasukkannya ke kotak-kotak
pos itu? Jika si satpam tak memasukkan, itu artinya sama dengan mencampakkan brosur
ini di jalanan. Dan jika hal itu terjadi, justru dengan demikianlah ia bisa disebut si penipu.
Bandit. Menerima imbalan untuk apa yang tak pernah ia lakukan.Menghela napas,
mengucapkan terima kasih, ia membalikkan tubuh. Sekilas, ditolehkannya kepala ke arah
mana Parto tadi melesat. Benar-benar tak tampak lagi sosok tandem-nya itu. Kepul
motornya pun tidak. Padahal, di sebelah sana - ah, jauhnya - ada kompleks perumahan
lain yang, siapa tahu, satpamnya bersedia dan membolehkannya masuk.Perlahan, tapi
pasti, diayunkannya langkah ke kompleks itu. Lebih ia benamkan topi. Disaputnya peluh.
Panas. Debu. Di permukaan aspal, bayang atmosfer bagai menggigil. Dan di bagian
punggung, bajunya, seperti biasa, mulai melengket...SEBENARNYA, sangat sering ini
terjadi. Ditolak satpam. Tapi, kenapa ia selalu lupa mengatakan pada Parto agar
menunggunya sejenak, memastikan satpam mengizinkan, sebelum men-drop-nya di
perumahan bersangkutan? Ah, kadang, ia merasa pekerjaan rutin dan menjemukan ini
membuat benaknya lumpuh. Courier, begitulah yang tercantum di kartu namanya.
Berkesan gagah - karena tertulis dalam bahasa asing - padahal pada kenyataannya cuma
"kurir kelas kaki" yang mengantarkan barang (lebih sering surat) atau dokumen (lebih
sering brosur atau lembaran lepas promosi) ke berbagai alamat. Dan karena barang atau
dokumen bagiannya melulu brosur dan lembar promosi, kotak pos-kotak pos kompleks
perumahan adalah "alamat" tugasnya.Kadang, terpikir juga olehnya, kapankah ia tidak
lagi di-tandem dan naik tingkat ke "kelas motor"? Duduk di boncengan Parto, sering ia
bayangkan, dirinyalah yang ada di depan, membonceng kurir tandem-annya di belakang,
dan kemudian men-drop-nya di sebuah kompleks perumahan pada suatu tempat entah di
mana. Sungguh menyenangkan. Bukan hanya karena ia terhindar dari deraan lelah jalan
kaki dan hunjaman terik Matahari, tapi lebih dari itu: karena barang antarannya adalah
dari jenis yang lebih berharga.Dan, satpam - pikirannya kembali ke tadi, kenapa satpam-
satpam itu begitu arogannya? Kepada orang seperti dirinya kurir kelas kaki, terasa sekali
satpam-satpam itu bagai sengaja menunjukkan kekuasaan. Tetapi... ah, mungkin tidak.
Satpam-satpam itu mungkin tengah berusaha menjalankan tugas. Harus waspada. Hati-
hati. Siapa tahu ia memang seorang bandit, rampok, yang menyamar jadi kurir. Atau
mungkin lebih tepat ia seorang "tukang gambar", memetakan lokasi, untuk kemudian
muncul bersama gembongnya suatu hari, atau mungkin suatu malam, menggasak habis
seluruh isi kompleks! Ah, memang mengerikan. Atau lebih gila, mungkin ia adalah
seorang pengacau yang membawa dan kemudian meledakkan bom pada suatu tempat
entah di mana tanpa alasan!Memang, memang mengerikan. Jadi, wajarlah kalau satpam-
satpam itu bersikap begitu. Jadi wajarlah kalau kompleks-kompleks perumahan dibangun

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dengan "sistem pengaman" yang begitu ketat. Jeruji besi, kawat berduri, tembok tinggi,
ah, sebenarnya... sebenarnya, alangkah kasihan mereka. Mereka adalah orang-orang yang
tak pernah merasa aman. Di jalan, dalam mobil, apakah benak mereka juga dipenuhi
bayang perampokan? Penodongan, di perempatan - aduh, Kapak Merah, pemerasan, "Pak
Ogah", macet, macet yang panjang... betapa ia tiba-tiba bisa maklumi. Dan... lihatlah
rumah mereka, betapa jauh di pinggir kota, tentu semata buat mendapatkan sedikit
kelegaan, luput dari kebisingan.Kembali, disaputnya peluh. Memang alangkah jauh.
Bahkan jarak masing-masing perumahan. Seperti ini, di sini. Mungkin ada sekilometer.
Mungkin lebih. Dipisahkan tanah-tanah bekas sawah yang membotak, kerontang. Ada
beberapa pohon yang tampaknya berusaha ditanam, tapi kurus. Bahkan di sana, arah ke
mana samar-samar tampak jalan tol, sama sekali ranggas. Ah, atmosfer seperti apakah
yang telah dengan begitu ganas menggasak kehijauan?Tiba-tiba, ia ingat
kampung.Kampung yang jauh nun di luar pulau.Hamparan hijau. Kaki Gunung Lokon.
Minahasa, Minahasa... betapa kadang ia tak percaya ia telah meninggalkannya. Apakah
sebenarnya yang membuat ia pergi dan kemudian datang ke kota ini? Dan kota ini,
kekuatan gaib apakah yang dipunyainya, yang membuat orang merelakan diri jadi apa
pun, hanya demi untuk tetap bisa bertahan di dalamnya? Dan ia sendiri... jadi courier.
Kurir, kelas kaki. Hanya itu yang ia dapat, yang ia bisa. Ah.Kadang, ia gembira-
gembirakan diri. Seraya mengenang kampung, ia bayangkan legenda itu: legenda para
dotu. Ia senang pada bagian yang mengisahkan saat kesembilan dotu diutus oleh Toar
Lumimuut, nenek moyangnya, pergi ke sembilan daerah untuk membentuk sembilan
suku di Minahasa. Salah seorang dotu konon kembali pulang menghadap Toar Lumimuut
dan mengatakan ia tak berhasil membentuk suku di daerah yang ia tuju dan mohon diutus
ke daerah lain. Ketika Toar Lumimuut menanyakan kenapa ia tak berhasil, si dotu
menceritakan penduduk di daerah bersangkutan adalah kelompok manusia yang tak bisa
diselamatkan. Mereka terdiri dari orang-orang kejam, buas, tak berhati nurani seperti
binatang.Toar Lumimuut mengabulkan keinginan si dotu. Tapi sebelum si dotu diutus ke
daerah lain, ia ditugaskan untuk kembali ke daerah bersangkutan dengan kotak tembikar.
Isi kotak - yang rupanya semacam serbuk - harus ia tebarkan ke udara. Saat si dotu
sampai dan menebarkan serbuk itu, terjadilah hal yang mencengangkan. Penduduk daerah
bersangkutan, berubah jadi binatang.Ya, ia senang bagian itu. Kotak tembikar, itu seperti
paket. Dotu, itu seperti kurir. Dan binatang? Ah! Harimau, serigala, buaya, ular, badak,
kerbau....HARI ini, aih, siapa sangka ia naik tingkat ke kelas motor? Tapi tidak, tentu tak
dapat dikatakan naik tingkat. Pagi tadi, ia muncul di kantor agak terlambat. Tak ada lagi
siapa-siapa, tak ada Parto yang menunggunya, kecuali Nina yang tugas rangkap-rangkap
- ya sekretaris ya personalia ya entah apa. Juga tak ada si bos, yang telah mengantarkan
entah barang apa entah ke mana. (Si bos, seorang lelaki 40-an dengan van tua, adalah
juga seorang kurir. Kantor courier service itu pun hanya berupa ruang kecil dengan tiga
petak mirip lorong ke belakang, terjepit di sebuah gang.)Parto bukannya tak
menunggunya. Melainkan seperti kata Nina, memang berhalangan. Dan si bos
menugaskan dirinya menggantikan Parto. Menggantikan Parto - meski cuma sehari!
Betapa ia tak percaya. Saat menerima kunci motor dan sebuah paket dari gadis yang
sekretaris yang personalia yang entah apa lagi yang pendiam tapi cekatan itu, dadanya
berdebar.Sesuatu yang lebih berharga. Bukan brosur. Bukan lembaran lepas
promosi.Dibacanya alamat paket, sebuah kawasan di pusat kota. Noon express, artinya
harus sampai sebelum pukul 12 siang. Hmm, masih banyak waktu.Maka, di atas motorlah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ia kini, sendiri, seperti pernah dibayangkannya. Betapa ia sangat gembira. Bahagia.


Seraya tancap gas, diluruskannya punggung ditegakkannya kepala, menikmati terpaan
angin ke tubuhnya. Menyelip. Jalan raya dan kecepatan, betapa mengasyikkan. Lagi, ia
menyelip. Menyalip. Terdengar teriakan, "Babi!"Babi? Ia menoleh ke bus kota, ke supir
yang meneriakinya. Sedetik, ada ketertusukan dalam dada, tapi lalu ia lupakan. Itu sepele.
Sudah biasa. Lagi pula, ini hari bahagia. Seluruh detik mestinya berharga, dan ia tidaklah
terlalu tolol untuk merusaknya....TETAPI, betulkah hari bahagia? Berjam-jam ia
berkeliling berputar-putar mencari alamat itu, tapi tak bertemu. Benaknya pun lalu
diserbu tanya: Apakah paket ini salah menuliskan nama? Atau salah menuliskan alamat?
Ada sesuatu yang janggal.Sebenarnya, sudah beberapa jam lalu ia sampai ke alamat yang
dituju. Sebuah rumah besar, berarsitektur gaya Belanda, megah. Berpagar tembok,
dengan jeruji besi setinggi tiga meteran, ujung-ujungnya runcing mirip mata kail. Dan tak
lupa, pos penjaga. Dan dua orang satpam.Saat paket itu ia serahkan ke salah seorang
satpam dan si satpam memeriksa, satpam itu mengernyitkan dahi. Salah alamat, begitu
katanya. Salah alamat yang aneh. Ganjil. Alamatnya betul, tetapi nama yang tertulis di
paket bukan nama si pemilik rumah. Kenapa bisa?Mungkin bukan nomor 9, tapi 4. Maka
ia pun pergi ke rumah nomor 4 tetapi ternyata juga tidak. Mungkin 8, bukan 9, maka ia
pun pergi ke rumah nomor 8 tapi juga tidak. Ataukah salah nama jalan? Maka jalan-jalan
di seputar situ, di kawasan berkode pos sama bernomor 9 atau 4 atau 8 - ia datangi.
Ternyata juga tidak. Sementara waktu telah menunjuk hampir pukul 12 (aduh, noon
express)!Putus asa, ia kembali ke alamat semula. Mungkin paket ini memang bukan
untuk tuan si satpam, tetapi seseorang lain di rumah itu. Siapa tahu satpam-satpam itu
orang baru, tak tahu semua anggota atau kerabat dekat pemilik rumah. Tetapi, ketika ia
mengemukakan kemungkinan itu kepada si satpam, wajah kedua satpam itu berubah.
Bengis. Seorang mendorongnya ke luar seraya berkata, "Badak!" Satpam lain menimpal,
"Kerbau!"Maka terpaksa ia kembali pergi. Sudah lewat pukul 12. Mulai ada rasa cemas.
Mungkin bukan satu angka, tetapi dua (si pengirim paket mungkin alpa angka lainnya).
Maka, semua nomor bersatuan atau berpuluhan 9, ia cek. Tapi... tetap tidak. Beratusan 9.
Tetap juga tidak. Dan akhirnya, senja. Ia memarkir motor, terhenyak, di seberang jalan
tak jauh dari rumah megah berarsitektur Belanda itu.Sungguh alangkah lelah. Fisik.
Psikis.Ternyata bukan hari bahagia. Melainkan hari sial, sesial-sialnya.Di matanya,
membayang wajah si bos, yang nanti tentu marah atau kecewa. Siapa tahu, tugas
menggantikan Parto ini sengaja dipakai si bos untuk menguji apakah ia pantas naik ke
kelas motor atau tidak. Sungguh memang sial. Dan satu lagi, dalam satu hari ini saja, tiga
kali ia dimaki sebagai binatang. Babi, badak, kerbau. Ah.Dihelanya napas, dalam, lalu
melayangkan pandang ke sekitar. Ia tahu hari telah senja, tetapi baru sadar senja kali ini
begitu buramnya. Tembok pejal, pagar tinggi, jeruji. Ah, bukan hanya kompleks
perumahan saja yang memakai sistem pengaman seperti itu. Di sini juga, banyak sekali.
Ini jugakah yang menyebabkan senja, meski lampu bernyalaan di mana-mana, jadi
terkesan kaku dan tak berjiwa? Dilayangkannya pandang, sekelebat, ke rumah
berarsitektur Belanda itu. Ia telah akan mengalihkan pandang ketika sesuatu bagai
menahannya. Apa?Ada yang berubah. Dibanding yang lain, rumah itu tampak lebih
suram. Dilihat penampilannya ketika siang, mestinya kini lebih menonjol. Ataukah,
karena jumlah lampu yang tak begitu banyak? Beberapa sengaja dibiarkan mati? Ah,
bukan hanya itu. Diperhatikannya lebih cermat. Pos satpam! Pos satpam... tak lagi ada!
Juga jeruji besi bermata kail itu! Apakah ia salah lihat?Penasaran, dihidupkannya motor.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Dikendarainya pelan-pelan ke rumah bernomor 9 itu. Memang tak ada. Pos satpam itu
lenyap! Dan, bukan pula hanya pagar yang berubah. Ada yang lain - mungkin juga
arsitekturnya, tapi ia tak begitu ingat.Dibelokkannya motor, ke dalam pagar, yang kini
rendah saja. Ia bingung. Takjub. Adakah rumah yang bisa disetel, sedemikian rupa,
sehingga bentuknya di saat siang dan ketika malam jadi berbeda? Satpam itu, sudah tak
ada. Jadi ia bebas. Dimatikannya mesin. Diparkirnya motor, lalu berjalan menuju
teras.Ternyata, ia tak perlu mengebel atau mengetuk. Begitu tubuhnya ada di teras,
sesosok lelaki besar, tinggi, berkumis dan berjenggot tebal, muncul bagai
menyambut.Sedetik, ia tertegun. "Paket....""Ya, saya tahu. Telah lama saya
menunggu.""Noon express. Maaf. Sejak pagi saya mencari, tapi....""Ya, saya tahu.
Andalah orangnya. Kurir mana yang bisa sabar mencari sampai senja?"Lelaki ini... tahu?
Apakah ia sengaja dipermainkan? Tapi ia tak peduli. Kenyataan bahwa akhirnya paket ini
sampai, telah membuatnya sangat lega.Disodorkannya tanda terima. Lelaki tinggi besar
itu menandatangani, bergumam, "Sembilan ratus tahun."Walau telah tak peduli, ia
mendengarnya. Tak yakin. Lelaki itu seperti tahu keheranannya, mengulang, "Sembilan
ratus tahun, saya menunggu. Apakah itu tak lama?"SUNGGUH lega. Hari yang tiba-tiba
panjang ini, akhirnya selesai tak seperti yang ia cemaskan. Dipacunya motor. Kencang.Ia
telah keluar dari jalan perumahan dan menikung ke jalan utama. Tetapi, saat itulah ia
tiba-tiba terkejut. Pengendara motor yang melintas di depannya, sosoknya begitu besar.
Bengkak! Dipacunya motor, mendahului. Dan... astaga! Benar, seekor badak!Ia
terlongong. Akan diteriakinya siapa pun memberitahu. Tapi, ketika matanya terbentur ke
sebuah sedan yang lampu dalamnya menyala, jelas sekali ia lihat si pengemudi... seekor
buaya! Dialihkannya pandang ke mobil lain. Pengemudinya, seekor babi! Diamatinya
angkot, metromini. Dan penumpangnya: Orangutan, singa, kera, harimau, serigala....
Barulah ia sadar, para pejalan kaki, di bawah terang-lindap pendar lampu-lampu, ternyata
juga adalah para binatang. Oh!Dihentikannya motor. Terengah.Mendadak, berkelebat di
kepalanya: Lelaki tinggi besar itu, paket itu. Sembilan ratus tahun! Kiranya, lelaki itu tak
berkelakar, tak bercanda. Toar Lumimuut. Dotu. Kotak tembikar. Ah, mungkinkah?
Paket... serbuk itu... manusia yang tak bisa diselamatkan. Sembilan ratus tahun... orang-
orang kejam, buas, tak berhenti nurani. Binatang? Ah! harimau, serigala, buaya, ular,
badak, kerbau.... *Payakumbuh, Agustus 2002

Cermin Pasir

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Post: 09/20/2002 Disimak: 247 kali

Cerpen: Triyanto Triwikromo

Sumber: Kompas, Edisi 09/08/2002

TAK ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban: membelah dusun
dengan deru memekakkan telinga. Kadang-kadang ketika gerimis mendera, binatang-
binatang besi itu melata dan meliuk-liuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti
kadal saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di
atas gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-kristal air. Tak ada yang
berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir hampir setiap sudut
desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin gugruk,
berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan pergi serupa siluman,
serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria kekar—sebagian
besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian bukit krowak dan
sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu,
koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang
hilang. Selalu ada yang tak kembali. Keheningan sehabis hujan. Sabetan-sabetan wayang
Ki Dalang. Dan, celoteh anak-anak kala rembulan jatuh di genting atau di kesunyian
tegalan.Baiklah, kuperkenalkan kepadamu: mereka menyebutku penggoda, tetapi
sebenarnya aku penari.Lihatlah, bahkan di bak truk yang tersengal-sengal mendaki
jalanan menuju ke lereng gunung itu pun aku masih bisa memesona para penambang
pasir dengan gerak trisik menyamping dan mangenjali yang tegak lurus dengan
langit.1Malah saat para pria bertelanjang dada itu mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa
doa, aku berusaha mencuri perhatian dengan keajaiban ngigel dan kerling mata Ken
Dedes atau Drupadi.”Mungkin hujan akan segera turun, mengapa sampean tak berhenti
menari?” seseorang tiba-tiba mendesah.”Aku punya firasat buruk, berhentilah menggoda
kami,” salah seorang penambang sepuh ikut-ikutan mendesis sambil melihat
punggungku.”Malam nanti saya harus menari untuk Kiai Petruk. Izinkan saya berlatih
barang sejenak. Setelah bertemu dengan Romo Sentanu dan Ayat, saya akan
berhenti.””Malam nanti kami hanya slametan. Kami cuma berkumpul di gereja dan
mensyukuri panen. Kami tak akan menari,” penambang sepuh mendesah lagi.”Tetapi
Ayat dan Romo Sentanu meminta saya menari,” lenguhku sambil melakukan gerakan
pacak gulu.Sejenak sunyi. Tak ada yang berani menghentikan tarianku. Ya, menyebut
nama Kiai Petruk, Romo Sentanu, dan Ayat di desa itu sama saja dengan memanterakan
kedigdayaan para dewa.Kiai Petruk, kau tahu, adalah kedahsyatan yang indah2. Kalau
marah, dari mulutnya yang gaib ia bisa memuntahkan wedhus gembel. Tak perlu berbelit-
belit, baiklah kubocorkan kepadamu: pada mulanya aku tak mau menggunakan ungkapan
Kiai Petruk untuk menyebut Gunung Merapi. Namun, sejak menyusup ke desa ini aku
terpaksa berurusan dengan segala pantangan dan eufimisme aneh terhadap gunung yang
berkacak pinggang di pusat Pulau Jawa itu. Maka, aku pun menyebut awan panas yang
bergulung-gulung dan menyemburkan debu-debu kejam itu sebagai wedhus gembel. Aku
jadi sering menggumamkan kata-kata aneh saat kilau lahar meleleh ke lereng-
lereng.Tentang Romo Sentanu: ah, dia hanyalah pastor desa. Aku terpaksa berurusan
dengan pria santun itu karena dia terlalu mencampuri urusan para pengusaha penambang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pasir dengan penduduk. Dia malah kerap berperan sebagai penggerak demonstrasi
ketimbang sebagai paderi. Dan, salah satu tugasku ke desa ini, kau tahu, adalah
penggoda. Kalau perlu merontokkan namanya.Karena itu aku akan menari telanjang di
kamarnya. Akan kurobohkan seluruh pemahaman dia tentang kerling mata perempuan,
desah manja wanita sehabis senja, dan pagutan indah singa betina di leher pria
kencana.Kadang-kadang saat suara-suara cenggeret dan garengpung membelah desa, aku
sudah membayangkan para lelaki kekar berseragam, teman-temanku yang tak banyak
cakap itu, membentangkan kedua tangan Romo di tubuh bukit, memaku kedua telapak
tangan, dan menancapkan linggis ke lambungnya. Dan, selalu pada saat dia mengerang
kesakitan, aku membuka seluruh pakaian dan menarikan tarian paling erotis dan
menghunjamkan pemandangan menyiksa itu ke matanya yang telah dibutakan.Jadi, dia
bukan lawan yang harus terlalu diperhitungkan. Kapan pun tangan-tangan kami yang
perkasa bisa dengan mudah menghilangkan nyawa paderi yang santun itu.Ah, kau tentu
telah mengenal Ayat lebih dari aku mengenal batu-batu, koral, lumut, dan keheningan
desa ini. Kau tentu pernah melihat pria bersarung yang sering memainkan lakon
Kunjarakarna itu untuk membeberkan kebusukan pengusaha penambangan pasir.Kau
tentu sering melihat mulutnya yang nyinyir saat meledakkan kata-kata, ”Dewa ora adil!
Dewa ora adil!”3 di hadapan orang-orang asing yang berkunjung ke desa itu.Ya, di mata
dalang ceking itu dewa memang tidak adil. Dewa memakmurkan para pria kekar yang tak
habis-habis menambang pasir dan tak pernah menggubris penderitaan petani-petani
miskin. Dewa hanya memberi Kiai Petruk dan wedhus gembel, tetapi lupa membelai
rambut para perempuan yang kehilangan suami saat lahar meluluhlantakkan desa.Dan
kalau sudah mendalang, Ayat bisa berubah menjadi dewa. Dengan lembut dia bisa
mengajak siapa pun melawan kesewenang-wenangan. Suatu hari ketika dia bilang, ”Mari
menari semalam suntuk di sepanjang jalan!” orang-orang sedesa berjoget dari mulut desa
hingga ke lereng Merapi.Keruan saja tak ada truk berani menembus kerumunan penari.
Tak ada yang bersikeras melindas kepala anak-anak kecil yang sengaja menonton gerak
indah para tetua kampung sambil tiduran di sepanjang jalan.Ayat juga mahir menari.
Melihat Ayat menari, orang sedesa seperti berjumpa dengan Petruk yang ramah. Petruk
yang tak pernah menghukum orang-orang sederhana dengan lahar, awan panas, dan hujan
batu yang tak kunjung henti. Petruk yang tak pernah menebarkan kedengkian, pertikaian,
dan kebencian.Tetapi Ayat bukan Romo Sentanu. Dalam keindahan gerak tariannya
bersemayam malaikat sekaligus iblis. Dia, aku dengar dari para penari lain, gampang
bertekuk lutut di hadapan perempuan yang lebih mahir menari. Ibarat Samson, dia sangat
mudah ditaklukkan oleh Delilah.Kini kau mulai tahu mengapa diperlukan penggoda
untuk menyingkirkan Ayat dan Romo Sentanu. Maka, baiklah kuperkenalkan kepadamu:
Mereka menyebutku sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku penari.Lihatlah, bahkan di
bak truk yang tersengal-sengal mendaki jalanan menuju ke lereng gunung itu pun aku
masih bisa memesona para penambang pasir dengan gerak trisik menyamping dan
mangenjali4 yang tegak lurus dengan langit.Malah saat para pria bertelanjang dada itu
mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa doa, aku berusaha mencuri perhatian dengan
keajaiban ngigel dan kerling mata Ken Dedes atau Drupadi.”Mungkin hujan akan segera
turun, mengapa sampean tak berhenti menari?”Tak lama kemudian hujan memang turun.
Dan, aku menghentikan tarianku tepat ketika truk mengonggok di depan gereja. Mungkin
Romo Sentanu dan Ayat akan tergopoh-gopoh menyambutku. Mungkin sambil
membungkuk-bungkukkan badan, Ayat akan bilang, ”Mangga Den Ayu, Putri

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Keratonku, mari menari bersamaku.”Ya, dia boleh bilang begitu. ”Tetapi, aku datang
untuk menggodamu, meruntuhkan, dan meluluhlantakkanmu.”DI lereng Merapi kilau
cahaya mata Romo Sentanu lebih gaib ketimbang pijar lahar. Karena itu begitu bersitatap
dengan Nagreg, segala rencana jahat perempuan kencana dari kota itu membentuk
semacam adegan film tragis di keheningan jiwanya yang senantiasa memancarkan
kesabaran.Tak aneh jika Romo Sentanu yakin suatu saat Nagreg akan mencampurkan
racun di dalam minuman Ayat sehingga Ki Dalang kehilangan suara: tak bisa lagi
memainkan wayang dan menebarkan kritik kepada para pengusaha penambangan pasir
liar yang jumlahnya kian tak bisa dihitung dengan ketajaman ingatan.Romo Sentanu juga
tahu Ayat tak bakal bisa menari lagi karena saat menari bersama Nagreg dalam ritual
Larung Sengkala yang chaos, puluhan pria kekar berseragam membabat kaki penari yang
setiap tariannya merefleksikan pemberontakan pemilik bukit yang dicekik orang-orang
serakah dari kota itu.”Saya hanya ingin menari bersama Ayat, Romo. Saya ingin
menghentikan amarah Kiai Petruk dengan tarian-tarian cinta yang belum pernah ditarikan
siapa pun,” Nagreg yang tak berani memandang kilau mata Romo Sentanu tiba-tiba
merajuk.”Ya, biarkan dia menari dan jadi pesinden saya, Romo,” desis Ayat seraya
meredam berahi yang tak tertahankan.Tak ada jawaban. Dan, ketika dari arah puncak
Merapi terlontar sinar merah ke beringin putih di ujung desa, ketika lolongan suara
serupa gajah yang terluka merintih-rintih mendera seantero kampung, Romo Sentanu
menggigit bibir sampai cairan darah segar menggelincir dari mulutnya.”Nagreg akan
menyelamatkan kampung ini, Romo. Biarkan dia menari bersama saya,” desah Ayat lagi
sambil bersimpuh dan hendak mencium kaki pria kencana yang sangat dimuliakan
itu.Belum ada jawaban. Nagreg mengumbar senyum dalam jiwa. Dan, di luar dugaan
Ayat, Romo Sentanu meninggalkan gereja. Ayat tak tahu jika Romo Sentanu bertahan
dan tak kembali ke kamar pribadi di sebelah gereja, bisa-bisa Nagreg merajuk dengan
membuka seluruh pakaian di hadapan patung Bunda Maria yang teduh atau menarikan
gerakan tak senonoh di bawah wajah Isa yang menyeringai karena luka di lambung dan
tancapan mahkota duri yang menghunjam kepala.Ayat juga tak tahu di kesunyian dan
dingin Merapi yang ganjil, Romo Sentanu melihat Isa menangis sesunggukan di bawah
pohon beringin putih di ujung desa. Suaranya melengking-lengking bagai puluhan gajah
terluka.5ARAK-arakan itu lebih mirip karnaval ketimbang ritual persembahan kepada
Kiai Petruk. Dan, malam itu di antara ratusan obor yang diacung-acungkan ke langit, di
antara hujan awan panas dan lahar yang terus meleleh pada November yang perih, Romo
Sentanu diapit beberapa misdinar memimpin upacara Larung Sengkala yang bakal
dihanyutkan di dam yang kehabisan air.Di belakang Romo Sentanu menjalar ratusan
penduduk kampung yang mengikuti gerakan tari Ayat dan Nagreg. Ada yang
mengenakan topeng-topeng menyerupai kepala gajah. Ada yang mencoreng-coreng
wajah mereka agar tampak sebagai harimau.”Gusti, firmanMu akan jadi kasunyatan”,
Romo Sentanu mendesah.Ya. Dan, Aku tahu siapa yang akan jadi korban.”Mereka akan
memukul kepala saya di tengah-tengah tarian yang chaos, Gusti.”Ya. Mereka akan
membentangkan tanganmu di antara kedua bantaran sungai dengan tali teramat kuat.
Setelah itu, lambungmu akan dihujami puluhan peluru.”Mengapa harus saya, Gusti?
Mengapa bukan yang lain?”O, bukan hanya kau, Sentanu. Ayat dan Nagreg juga disalib
bersamamu.SUNGGUH tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak
lamban: membelah dusun dengan deru yang memekakkan telinga. Kadang-kadang saat
gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk-liuk seperti ular. Kadang-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kadang merayap seperti kadal saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti
anjing ketika langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-
kristal air.Tak ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk yang
menyisir hampir setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-
bukit makin gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan
pergi serupa siluman serupa mambang.Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria
kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian bukit
krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak
kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu!
Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.Dan, malam itu mereka datang lagi.
Tidak! Tidak! Mungkin sudah beberapa bulan lalu mereka menyusup dan hidup bersama
penduduk. Sebagaimana aku, (o, kau tahu namaku Nagreg bukan?), mereka telah
menghirup udara, cahaya, tradisi, kebodohan-kebodohan, tarian-tarian aneh, mitologi
Kiai Petruk, wedhus gembel yang prek kethek, dan segala tingkah Romo Sentanu serta
Ayat.Maka, mereka sangat tahu bagaimana cara terbaik menghilangkan Ayat atau Romo
Sentanu. Di tengah kegelapan malam, mereka menggiring pria-pria kencana itu ke
tengah-tengah dam dan di keriuhan tarian yang chaos untuk menghormati Kiai Petruk,
membabat kaki, kepala, atau menembak lambung tanpa suara.Ayat dan Romo Sentanu
tentu tak menyangka bakal diperlakukan semacam itu. Sebab, mereka tak pernah
menebar kecurigaan ke penduduk. Sebab, mereka tak pernah bersengketa dengan orang-
orang miskin itu. Tetapi, bukankah pria-pria berseragam—di belahan dunia mana pun—
mahir menjadi bunglon, pandai mengubah diri menjadi trengiling atau ular sawah? Jadi,
jangan heran jika mereka bisa menusuk dari belakang.Baiklah, sekali lagi kuperkenalkan
kepadamu: mereka menyebutku sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku penari. Tidak!
Tidak! Aku pun sebenarnya hanya korban. Mereka menyuruhku memperdaya Romo
Sentanu dan Ayat. Namun, setelah segala persiapan penjagalan di tengah dam rampung,
kudengar dari salah seorang pria kekar pujaan yang melakukan disersi, mereka juga akan
menghabisiku. Tak boleh ada saksi. Tak ada boleh ada yang menawarkan peristiwa
ini.Kini, di keriuhan segala bunyi, obor, cahaya mata Romo Sentanu, dan keliaran Ayat
menerjemahkan mimpi-mimpi tentang awan panas, lelehan lahar di Puncak Merapi, dan
jerit tangis dalam tari, aku hanya berharap sunyi segera menghentikan segala kekacauan
ini. Ah, haruskah kuhadapi kematian dengan menari serimpi?Tak ada jawaban. Hanya
jerit gamelan. Hanya jerit kesakitan. * Semarang, 2002***Catatan: 1) ”Tegak lurus
dengan langit” adalah ungkapan khas Iwan Simatupang. 2) Dikutip dari ungkapan
Sindhunata dalam Cikar Bobrok. 3) Kata-kata yang diungkapkan Ki Sitras Anjilin,
dalang dari Desa Tutup Ngisor, saat memainkan lakon Kunjarakarna. 4) Trisik,
mangenjali, ngigel adalah nama dalam gerakan tari Jawa. 5) Mitologi gajah dan beringin
putih pernah digarap Elizabeth D Prasetyo dalam The White Banyan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Dua Tangisan pada Satu Malam

Post: 09/20/2002 Disimak: 282 kali

Cerpen: Puthut EA

Sumber: Kompas, Edisi 09/01/2002

Ia seorang perempuan yang tidak pernah benar-benar kucintai, juga aku yakin ia tidak
pernah benar-benar mencintaiku. Kami saling membutuhkan dalam sebuah rentang waktu
tertentu. Sebab begitulah pada dasarnya manusia, salah seorang bisa menggantikan yang
lain, tapi bukan dan tidak pernah seutuhnya. Dan ada saat-saat seseorang dipaksa
menemukan yang lain, untuk menggantikan keseluruhan atas kepergian orang yang
berbeda. Aku membutuhkannya, ia membutuhkanku, hanya untuk rentang waktu
tertentu.Hidup ini mungkin disusun oleh bukan hanya tingkat kerumitan tertentu, tapi
juga atas ketidaktepatan tertentu.Aku membutuhkan seorang perempuan yang bawel,
punya daya ingat tinggi, renyah, hangat, dan selalu bisa mengingatkanku di mana aku
meninggalkan pena serta buku yang barusan kubaca, tentu sekalian mengingatkanku
bahwa baru tadi pagi aku membeli kertas tisu sehingga tidak perlu beli lagi ketika aku
harus keluar untuk mencari sebungkus rokok. Kutemui ia dalam diam yang cukup, tidak
bawel, serta sering lupa menaruh jepit rambut dan kacamata.Tapi, kami memang harus
bertemu dan harus menjalin hubungan, sebab bukankah dunia memang disusun oleh
tingkat ketidaktepatan tertentu?Pada saat kami makan, ia memesan apa-apa yang aku
pesan. Coba bandingkan dengan perempuan-perempuan terdahuluku yang semua nyaris
sama dalam memperlakukanku, mereka tidak pernah memesan makanan yang aku pesan.
Aku memesan daging berlemak, mereka, perempuan-perempuan yang pernah
berhubungan denganku, memesan sayur-mayur. Aku memesan teh hangat, mereka
memesan kalau tidak air putih pastilah air jeruk. Berbeda dengan perempuan yang satu
ini, ia memesan makanan dan minuman yang sama dengan yang aku pesan. Bahkan,
ketika aku membuat kopi di pagi dan malam hari, ia membuat juga dalam porsi yang
lebih besar.Lalu ia berubah fungsi sebagai teman biasa saja, walau pada saat-saat tertentu,
kami masih saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan biologis. Ia sama seperti
kawan laki-lakiku yang lain. Berbicara tentang sepak bola, merokok bersama sambil
menonton acara televisi, berebut cepat ke kamar mandi karena sama-sama begadang
hampir di tiap malam, berebut memakai sepeda motor sebab tidak suka naik bus atau
taksi, rebutan membaca koran pagi yang dibaca pada sore hari. Kamar mandi kotor,
cucian menggunung, dapur berantak-an, ruang makan sekaligus ruang nonton televisi
berceceran sampah.Tapi, aku tidak pernah menggerutu dan kesal. Dia juga. Kami
menjalani hari-hari seperti itu dengan biasa. Ia hadir sama pentingnya dengan televisi, ia
hadir sama tidak pentingnya dengan televisi.Hingga aku memang benar-benar menangis
pada hari keenam setelah kepergiannya. Sedangkan pada saat ia pergi sama seperti ketika
aku melipat koran seusai dibaca. Sama seperti ketika aku harus melepas sepatu ketika
pulang. Pada saat ia pergi kami masih sama-sama saling membagi senyum dan aku masih

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sempat menemukan kacamatanya yang tertinggal di atas monitor komputer. Membantu


dan mengumpati barang-barang bawaannya yang tidak bisa masuk ke dalam tas
besarnya.Kami sempat bertemu dengan suasana mirip salah satu lampu di ujung gang
lengang pada waktu lewat tengah malam tapi kami melewati hari-hari dengan biasa, tak
penting amat. Dan kami menutup bersama sebuah perpisahan yang juga biasa dan tak
penting amat.Tapi ingatan-ingatanku atasnya, pada hari keenam setelah kepergiannya
benar-benar membuatku menangis. Tangis yang tidak lagi biasa, tangis yang tidak bisa
kupungkiri lagi, bahwa ada yang lenyap dalam hidupku. Dan, aku tidak menyesal
menangis, aku merasa tumpahnya air mataku cukup membangun alasannya sendiri,
bahwa memang ada yang penting dalam hidupku yang lenyap dan aku pantas
menebusnya dengan air mata yang tumpah. Mungkin bahkan pada lain waktu akan
kutebus lebih dari sekadar air mataku.Tapi, aku masih mencoba meyakini bahwa aku
memang tidak pernah benar-benar mencintainya. Atau memang terkadang tidak ada
hubungan antara cinta dan rasa sedih yang tidak masuk akal dan tiba-tiba? Pertanyaan itu
tidak penting, tapi tiga hal ini penting bagiku. Pertama, apakah dia juga menangis pada
malam keenam setelah dia pergi? Kedua, apakah tangisannya—jika ia menangis—juga
tidak membutuhkan alasan-alasan penguat bahwa aku merupakan sesuatu yang penting
dalam hidupnya? Ketiga, apakah ia sudah menemukan laki-laki lain?Aku harus
menemukan jawabannya.Aku menangis pada hari keenam setelah kepergianku
meninggalkannya. Meninggalkan? Ah, mungkin itu bukan kata yang tepat. Aku teramat
sulit untuk menemukan kata yang tepat, tapi begini, aku menyukainya semenjak pertama
bertemu dengannya. Apa yang aku sukai? Aku juga tidak tahu. Tapi laki-laki itu
membuatku bergetar dan merasakan sesuatu yang aneh menjalar di sekujur tubuhku.
Melapisi kulitku dengan radar-radar peka akan kehadirannya. Menjalin sampai nadi dan
pikiranku. Beri maklumlah pada diriku. Aku seorang selebriti terkenal, muda, cantik, di
mana-mana selalu mendapat perhatian besar. Tapi, laki-laki itu membuatku kembali ke
masa lampau, empat lima tahun yang lalu, ketika aku masih seorang mahasiswi semester
awal yang sibuk casting peran ini dan peran itu. Dia melihatku dengan tatap mata biasa.
Bahwa, ia mengagumi kecantikanku, aku bisa merasakannya, itu pun dengan samar, tidak
seperti orang lain. Tapi di hadapannya, segala ketenaranku mendadak seperti tak ada
artinya, bahkan ketika aku hendak mengambil gelas berisi minuman di dekatnya. Ia
hanya memberiku tempat, tersenyum lalu melenggang pergi dengan meninggalkan aroma
tubuh tanpa parfum.Aku adalah perempuan yang dicari-cari. Perempuan yang selalu
ditunggu-tunggu kemunculannya dalam hal apa saja, dalam acara apa saja. Dan ia hadir,
tanpa wajah yang menunggu kedatanganku, menunggu kemunculanku. Tidak menyambut
segala kedatanganku dengan wajah berbinar. Laki-laki itu tidak seharusnya begitu, sebab
ketika aku tidak bisa membuatnya butuh, maka aku harus bersiap, aku membutuhkannya.
Tapi sejujurnya, perasaanku kepadanya begitu kuat pada kali pertama aku
menatapnya.Beruntunglah aku. Terbiasa memainkan berbagai peran dan
menyembunyikan perasaan. Semua kusimpan dengan rapi, bahkan ketika aku bisa
mengorek keterangan tentang laki-laki itu.Aku berhasil mengenalnya lewat cara yang
sengaja kurancang. Biasa. Aku ingin rancangan adegan yang dia bisa tahu, aku tidak
sengaja untuk berkenalan dengannya. Lalu kami saling berbicara. Terlalu memukau!
Suaranya yang tenang membuatku terayun-ayun di antara jeda kata yang diucapkannya.
Ia seperti berbicara pada sekujur tubuhku. Dan memaksaku untuk terus-menerus mengais
kesadaranku yang hampir lenyap ketika menghadapinya, mendengar suaranya, bersitatap

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dengannya. Aku harus memaksanya untuk duduk, sebab aku percaya ketenangan orang
berdiri gampang dilumpuhkan. Menggenggam gelas minum erat-erat, tapi jelas itu tak
bisa me-mungkiri apa yang kurasakan, sebab aku berkali-kali minta tambah air minum. Ia
merayapi kesadaranku dengan selimut rasa tak tentu.Kami semakin akrab. Tentu kami
juga bercinta.Aku membanjiri hidupnya dengan rasa yang bergelora. Menumpahkan apa
yang kurasakan dengan segala cara yang aku bisa. Mencoba meyakinkan terus-menerus
bahwa ia adalah laki-laki yang kudamba, dan aku adalah perempuan yang dia tunggu.
Begitu kulakukan saban waktu. Tapi aku tahu, sangat tahu, laki-laki itu melakukan
segalanya bersamaku dengan perasaan biasa. Ia tidak tenggelam dalam banjir rasaku.Ia
seorang aktris. Dia pikir aku bisa hanyut oleh sandiwara sialnya—yang mungkin sudah
dimainkan dengan sungguh-sungguh pada banyak kekasihnya yang dulu. Aku pikir
begitulah cara banyak perempuan untuk membuat seorang laki-laki bertekuk lutut dan
menjadi gila. Ia akan memberimu perhatian yang tumpah-ruah. Seakan ikut menahan
beban yang menimpa—awas, kadang-kadang beban itu sengaja diciptakan agar ia bisa
membantu mengangkatnya. Diciptakannya dalam dada, keyakinan yang sempurna.
Ruang-ruang ragu dimampatkan. Segala hal dipenuhi oleh kehadirannya.Hingga suatu
saat. Saat yang sangat tepat. Semua dicabutnya, semua ditinggalkan berlubang, rapuh,
dan segalanya menjadi tidak terkendali. Kebutuhan atas dirinya jauh melampaui udara,
air, dan makanan. Ter-sengal dan merasakan tiba-tiba langit menjadi atap besar yang siap
menimpa. Kehilangan dia adalah malapetaka terkutuk yang tidak sanggup untuk
diterima.Serangan balik yang maha dahsyat. Tidak ada yang bisa lebih menjerumuskan
lagi jika datang saat-saat seperti itu. Aku sangat tahu, sehingga sepandai-pandai ia
menimbuni hidupku dengan segala rasa, aku sangat tahu di balik itu semua aku yakin ia
tidak pernah benar-benar mencintaiku.Aku sangat mencintainya. Tapi benar kata orang,
cinta saja tidak cukup. Ada hal-hal lain selain segala yang kita rasakan terhadap seorang
laki-laki. Bukan, sungguh bukan karena ia kurasakan tidak mau membalas segala yang
kurasa-kan. Tapi aku pikir ada saat ketika kita memberi perhatian terus-menerus —
bahkan semakin hari kita rasa semakin meningkat—maka memang ada kecewa yang
akan menikam ketika itu semua dirasa biasa saja. Ia merasakannya dengan biasa, seolah
aku dan perhatian yang kuberikan padanya adalah sepenggal kisah yang biasa ia tonton di
televisi. Tak ada kekagetan, rasa bahagia, dan terima kasih.Maaf, aku pada banyak hal
bukan orang hebat. Aku memberi untuk mendapatkan sesuatu, paling tidak orang merasa
bahagia karena pemberianku.Lalu kuputuskan untuk pergi. Paling tidak aku berpijak pada
alasan yang mungkin tepat. Jika aku tidak bisa membahagiakannya, maka aku memang
harus pergi. Sebab kebahagiaanku dimulai dari sebuah kebahagiaan kecil di
wajahnya.Tapi aku menangis pada hari keenam setelah kepergiannya. Benar-benar
menangis. Sendirian di kamarku yang menyimpan hampir seluruh bayangannya. Ku-
pandangi benda-benda yang akrab dengan kehadirannya, lalu aku me-nangis lagi. Segala
hal tiba-tiba menjadi setengah hilang, setengah melenyap, menjadi tidak seperti beberapa
saat yang lalu, ketika ia hadir dalam segala tumpah-ruah peristiwa dan keping benda-
benda.Dan tiba-tiba aku terserang penyakit yang sangat kubenci: cemburu! Aku merasa ia
pergi dan menghabiskan waktu bersama laki-laki lain, dan ia membanjiri laki-laki itu
dengan perhatiannya yang luar biasa. Dadaku sesak dan panas, napasku seperti terbakar.
Aku menangis, menjerit, otakku ikut terbakar. Ruang berganti warna merah dan hitam.
Aku meraung, telah benar-benar kehilangan dia.Aku bangkit minum air dingin sebanyak-
banyaknya, sebagian kupakai untuk mengguyur kepalaku. Lalu aku duduk, menyalakan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

rokok. Aku harus berpikir dengan tenang.Aku petakan lagi sejarahku dengannya.
Melacak dan meletakkan apa-apa yang bisa kuingat ketika bersamanya. Sejak pertemuan
yang cukup membuatku kagum. Lalu bisa kuingat bagaimana ia memperlaku-kanku
dengan baik, merawat dan melewati proses itu dengan riang dan rapi, mencoba
memberiku kejutan-kejutan setiap saat. Tapi aku tahu di belakang semua itu—dan
jangan-jangan ini semua karena tinggalan perhatiannya di kepalaku. Aku harus
menanggapinya dengan dingin dan biasa saja. Tak peduli, tak mau peduli, sebab aku
tidak mau sakit hati. Lalu aku terobos segala permainannya dengan permainanku. Aku
berpikir tentang segala hal yang bisa membuatku bertahan dari serbuan perhatiannya.
Hal-hal yang menurutku tidak kusukai, memesan makanan dan minuman yang sama
denganku, berperilaku pelupa dan teledor seperti diriku, ruang-ruang yang berantakan.
Aku harus menghadang dengan bayangan dan pikiranku, sebab jika melihat
kenyataannya, aku pasti akan larut, pasti akan tenggelam dalam kepungan perhatiannya
yang luar biasa. Bahkan, untuk hal-hal tertentu sudah sangat keterlaluan. Aku selalu pergi
dengan taksi atau mobil jemputan. Aku selalu berpikir bahwa ia suka begadang,
merokok, dan nonton sepak bola. Hal-hal yang mustahil dilakukan olehnya. Aku harus
berpikir bahwa ia tidak pernah benar-benar mencintaiku.Tapi sekarang aku nyaris gila.
Apa yang kutakutkan dan berusaha kutanggulangi sedini mungkin telah terjadi. Aku telah
benar-benar jatuh cinta kepadanya, dan ia pergi meninggalkanku. Tubuhku dibakar
cemburu, sedang aku hanya punya air dingin untuk menghalaunya.Tubuhku demam. Aku
tidak bisa menerima kepergiannya.Aku menangis pada malam ke-enam setelah
kepergianku meninggalkannya. Sebab sore tadi, aku bertemu dengan laki-laki yang luar
biasa pada acara pesta. Lalu aku teringat dia malam ini, dan menangis. Tangisan yang
sewajarnya. Tangis perpisahan atas segala ingatanku kepadanya. Sebab besok malam aku
akan kencan dengan laki-laki luar biasa yang kutemui sore tadi. ***

Dua Kidung Malam

Post: 09/20/2002 Disimak: 197 kali

Cerpen: Herlino Soleman

Sumber: Kompas, Edisi 08/11/2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

SUDAH sangat biasa jika malam-malam begini ada yang mengetuk pintu, pastilah itu
Mayumi, tetangga saya. Bukan saja karena hal ini sudah berulang kali terjadi, melainkan
karena awal dini hari seperti ini hampir tak mungkin seseorang yang bukan keluarga akan
mengetuk pintu rumah orang, selain yang biasa dilakukan Mayumi terhadap pintu apaato
saya. Begitulah, karena saya sendiri masih belum tidur, segera saya membukakan pintu,
dan memang Mayumi tengah berdiri menunggu pintu dibuka. Wajahnya yang cantik
tampak rusuh, tapi menurut saya ini hal biasa. Ia selalu menampakkan wajah rusuh agar
saya bersedia melakukan yang diinginkannya. Akan tetapi, kali ini saya sudah siap
dengan alasan yang membuatnya merasa sulit untuk memaksakan keinginannya.
Karenanya sebelum mengatakan apa yang diinginkannya, saya segera mengatakan bahwa
malam ini, meskipun telah ngantuk sekali, saya harus tetap terjaga untuk menyelesaikan
pekerjaan yang harus dilaporkan besok pagi-pagi kepada atasan saya. Alasan yang saya
buat-buat ini jelas tak masuk akal menurut pemikirannya, tetapi sudah berulang kali saya
katakan kepadanya bahwa pekerjaan saya memungkinkan dibawa dan dikerjakan di
rumah. Dengan mengemukakan alasan seperti ini saya berharap Mayumi mengurungkan
keinginannya dengan menemui saya pada awal dini hari begini meskipun wajahnya sudah
terlanjur menampakan kerusuhan hatinya. Usaha saya berhasil. Tanpa mengucapkan
maksudnya menemui saya, setelah mengucapkan maaf dengan sikap yang menunjukkan
kebingungannya, segera ia kembali ke rumahnya yang berbentuk ikkodate, yang
berhadapan dengan apaato saya yang sederhana. Akan tetapi, setelah membalikkan badan
ternyata ia tak segera melangkah. Ia berdiri saja seperti orang linglung, sehingga
bagaimanapun saya merasa penasaran. Meskipun demikian, karena saya sudah terlanjur
mengemukakan alasan yang sulit dibantahnya sebelum ia mengatakan maksudnya, saya
tidak menunjukkan apalagi menyatakan sikap penasaran saya. Biarlah kali ini saya
menguatkan hati untuk tak memenuhi keinginannya. Biarlah ia segera berlalu dari
hadapan saya karena malam ini saya ingin sendiri dan tak mau diganggu oleh siapa pun.
Dan memang dengan langkah gontai dan tampak lesu sekali, perlahan-lahan Mayumi
meninggalkan halaman apaato saya, sementara saya segera menutupkan pintu.MALAM
awal musim panas yang nyaman sering mempercepat kantuk karena udara sudah hangat
tapi belum terlalu panas menggerahkan. Akan tetapi malam ini, sejak sebelum Mayumi
mengetuk pintu, ada perasaan aneh yang menggelibat saya begitu kuatnya, sehingga
menjauhkan kantuk dari mata saya. Entah gelisah, gundah, atau sekedar dilanda
kebosanan tinggal di perantauan, saya tak tahu pasti. Yang jelas, malam ini begitu
kuatnya kenangan saya kepada ibu di kampung. Banyak hal yang saya pikirkan tentang
Ibu: kerentaannya, kesendiriannya karena ayah sudah lama meninggal, harapan atas
kepulangan saya sebagai anak satu-satunya untuk menemani hidupnya pada masa tuanya,
juga harapan yang sering dikatakannya setiap kali saya menelpon bahwa beliau ingin
segera punya menantu dan momong cucu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Ketika
kenangan tentang Ibu buyar oleh ketukan pintu Mayumi, setelah ia pergi dan saya
menutupkan pintu, lamunan saya beralih memikirkan sikap Nakamura. Tak dapat saya
pungkiri bahwa akhir-akhir ini saya memang jadi banyak berpikir tentang Nakamura dan
hubungan saya dengan Mayumi, anaknya, yang jadi hambar. Ah, lebih baik kalau dulu
kami tetap saling tak acuh sebagai tetangga; cukup hanya saling menyapa dengan salam
keseharian ala kadarnya jika bersitatap di depan pintu masing-masing atau berpapasan di
gang atau di mana pun. Akan tetapi jalan hidup telah menuntun kami pada kenyataan
yang mengharuskan kami menjadi lebih akrab. Hal itu terjadi tiga tahun lalu sejak kami,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

saya dan Nakamura, sama-sama dirawat di ruangan yang sama di Kyoseibyoin. Waktu itu
Nakamura dirawat karena levernya kambuh akibat terlalu banyak minum sake saat pesta
perayaan osyogatsu, sedang saya dirawat karena menderita kanjonooyo. Dari situlah saya
mengetahui lebih jelas, hal ini sebelumnya sering menjadi pertanyaan dan dugaan saya,
bahwa Nakamura hanya hidup berdua dengan satu-satunya anaknya, sementara istrinya
telah diceraikannya karena minggat dengan laki-laki lain yang lebih muda darinya. Dari
situ pula saya mengetahui bahwa Mayumi sangat membenci ibunya dan sebaliknya ia
sangat menyayangi ayahnya."Tak diragukan bagaimana Mayumi menyayangi dan
mengurusku dengan baik selama ini, dan bagaimana seharusnya kelak ia menyayangi dan
mengurus suaminya dengan baik pula!" Kata Nakamura ketika suatu kali ia mengundang
saya makan malam lama setelah kami sama-sama pulang dari rumah sakit. Ia lalu
melanjutkan, "Andai saja kau merasa betah tinggal di negeri ini, dan tidak berniat
kembali dan menetap di negerimu lagi, mungkin aku tidak ragu-ragu menyetujui atau
bahkan menyarankan agar kalian menikah saja.""Saya betah tinggal di negeri ini,
Nakamura-san, tetapi saya pasti akan dan harus kembali ke negeri saya suatu saat!" Kata
saya segera untuk mengurangi suasana kikuk saya dan Mayumi akibat kata-kata
Nakamura yang begitu terus terang."Ya, sayang... sayang!" Katanya dengan nada
jumawa. Meskipun demikian saya tidak memperdulikan sikapnya yang didasari penilaian
atas keberadaan negeri saya yang selalu dikatakannya sebagai negeri yang suram, penuh
KKN, dan pelaksanaan hukum yang amburadul. Di lain pihak harus saya akui pula bahwa
jika suatu saat Nakamura berubah sikap, saya pun akan dengan senang hati menikah
dengan Mayumi karena sesungguhnya kami telah saling mencintai, meskipun masih
dengan sikap yang penuh keragu-raguan. Telah beberapa lama, meskipun dengan sikap
ragu-ragu, kami memang menjadi semakin akrab dan saling memberikan perhatian yang
istimewa, meskipun di depan ayahnya kami menampakkan sikap yang biasa-biasa saja.
Sering kami ngobrol berdua, jalan berdua untuk sekedar cari angin atau makan di luar,
bahkan sering pula malam-malam Mayumi mengetuk pintu untuk mengantarkan
makanan bikinannya dan kemudian berlama-lama di apaato saya untuk belajar bahasa
dan masakan negeri saya. Atas pertanyaan saya, suatu kali, Mayumi mengatakan bahwa
semua keberduaan kami diketahui ayahnya belaka."Tetapi ayahmu tak menyetujui
hubungan kita jadi lebih dari sekadar persahabatan kan?" Kata saya waktu itu."Ya,
memang! Ayah tak pernah membayangkan hubungan kita akan lebih dari sekedar
persahabatan!""Hmm...!""Kenapa?""Jadi kita nggak serius?""Kenapa nggak serius?
Saya ...saya..."Waktu itu Mayumi tak melanjutkan kata-katanya. Saya diam saja dan tak
menuntutnya melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. Adalah sangat wajar jika saya
tak mengerti apa yang sesungguhnya dipikirkan dan direncanakannya, sebab apa yang
saya pikir dan rencanakan atas hubungan kami pun saya tak tahu pasti. Apakah Mayumi
mengira bahwa suatu saat saya akan menyatakan bahwa akhirnya saya bersedia menetap
di negerinya atau ia yang bersedia mengikuti jika suatu saat saya kembali ke negeri saya.
Toh ia sudah tahu bahwa saya hanya memiliki seorang ibu yang harus saya urus
kehidupan masa tuanya. Sama dengan keberadaannya yang harus mengurus ayahnya
karena ia tak rela memasukkan ayahnya ke panti jompo. Bedanya, ibu saya masih
memiliki dua orang adik yang penuh pengertian, dan tentu juga dengan beberapa
keponakan yang menemani dan tinggal di rumah kami, sehingga meskipun saya
meninggalkannya, masih ada yang menemani ibu. Sedangkan Mayumi, jika ia
meninggalkan ayahnya, tentu ayahnya yang semakin kurus itu akan benar-benar sendiri

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

karena ayahnya adalah anak tunggal. Demikian juga ibunya yang kini entah di mana.
Kakek dan nenek Mayumi dari ayah dan ibunya juga anak-anak tunggal dari buyut-
buyutnya. Pendeknya, semua keluarga di atas ayah dan ibunya itu sudah habis.Menyadari
kenyataan itu, karena saya juga harus segera mempersiapkan diri untuk pulang dan
kembali menetap di kampung halaman, sejak itu saya mengatur diri sendiri secara lebih
tertib, terutama menata perasaan saya bahwa jika suatu saat saya pulang, Mayumi hanya
sekedar menjadi kenangan. Meskipun demikian, saya tidak menampakkan perubahan
sikap yang drastis. Kami tetap bergaul seperti biasa; menerima kedatangan Mayumi di
apaato saya dan memenuhi undangan makan malam Nakamura jika ia sedang agak sehat
dan sudah kangen ingin ngobrol dengan saya. Akan tetapi, hal ini pun semakin jarang
karena kesehatan Nakamura akhir-akhir ini semakin memburuk.KEGELISAHAN saya
ternyata beralasan. Melalui telepon, Haji Mahmud Soeharto, paman saya, mengabarkan
bahwa Ibu baru saja meninggal. Saya terdiam sementara paman saya terus bicara.
Menyadari saya diam saja, paman memanggil-manggil saya dengan berteriak-teriak. Ia
baru berhenti berteriak-teriak setelah saya menyahutinya. Setelah itu, dengan suara dingin
saya mengatakan bahwa sebaiknya Ibu segera dikuburkan tanpa harus menunggu saya
tiba di rumah. Nampaknya paman merasa puas dan begitu hubungan terputus, saat itu
juga saya menelpon pimpinan perusahaan penerbangan negeriku untuk ikut menumpang
pada penerbangan hari ini. Pimpinan yang baik itu melayani telepon saya dengan baik
meskipun dibangunkan awal subuh musim panas yang sesungguhnya baru pukul setengah
tiga dini hari. Dan tentu saja saya mendapatkan tempat duduk dalam penerbangan hari ini
juga.Mau tidur jelas sudah tak mungkin sementara saya baru akan berangkat ke bandara
Narita pada pukul tujuh nanti. Saya lalu berniat keluar untuk menghirup udara segar.
Aneh benar, setelah berjam-jam diganggu perasaan yang ternyata sesungguhnya sedang
diajak dialog oleh ibu pada saat-saat terakhirnya, ketika hendak membuka pintu tiba-tiba
perasaan saya mengatakan bahwa Mayumi tengah berdiri di balik pintu. Mungkin ia
ragu-ragu untuk mengetuk pintu meskipun ia tahu bahwa saya belum tidur karena lampu
ruang tengah apaato saya masih menyala yang berarti saya masih belum tidur; kebiasaan
saya yang diketahui benar oleh Mayumi. Segera saya membuka pintu dan benar saja
Mayumi tengah berdiri di depan pintu. Sebelum saya menanyakan apa pun karena kaget
oleh kenyataan ini, Mayumi yang tampak telah sedikit menguasai dirinya segera bertanya
apakah kerja lembur saya sudah selesai. Tanpa menunggu jawaban saya, ia lantas
mengatakan, "Sejak tadi saya belum masuk rumah karena merasa takut dan bingung.
Mungkin saya harus segera menelpon polisi dan ambulance begitu mengetahui bahwa
ayah tidak bangun-bangun sejak tidur sore dan memang tak akan bangun lagi karena
sudah meninggal. Tetapi sejak menyadari kenyataan ini saya selalu berpikir bahwa saya
harus memberi tahu dan minta tolong kepadamu. Mungkin juga saya linglung, saya tak
tahu apa yang harus saya lakukan. Tolonglah saya!"Sampai di situ Mayumi tercekat
keharuan dan berhenti bicara. Sampai di situ pula pikiran saya mampat. Dua kidung
malam mengalun bersamaan. Lagunya pedih mengiris-iris. Burung-burung gagak mulai
terdengar mengaok-ngaok di pepohonan. ***Tokyo, 2002Catatan:Ikkodate : rumah yang
berdiri sendiriKyoseibyoin : nama rumah sakitOsyogatsu : tahun baruKanjonooyo : bisul
di hatiApaato : apartemen

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Rumah Baru

Post: 09/20/2002 Disimak: 221 kali

Cerpen: Pamusuk Eneste

Sumber: Kompas, Edisi 08/04/2002

PUKUL 16.30, telepon berdering di rumah baru dan asri di Gang Tenang dan Sejuk
Nomor 60, Jalan Kaliurang Km 6,60 Yogyakarta. ”Nah, itu telepon dari Bapak.” ”Bapak
sudah tiba, Bu.” ”Tolong diangkat teleponnya.” ”Mudah-mudahan Bapakmu selamat.”
Anak-anak yang berkumpul berteriak-teriak, ”Eyang datang!” ”Eyang datang!” Seisi
rumah tiba-tiba menjadi sunyi ketika seseorang menuju tempat telepon dan mengangkat
telepon. Semua orang memusatkan perhatian pada siapa yang menelepon dan apa berita
yang disampaikan si penelepon.”Apakah ini rumah Pak Jek?” tanya seseorang di ujung
telepon.”Betul.””Ini Kepala Stasiun Lempuyangan. Dimohon keluarga Pak Jek datang ke
UGD Rumah Sakit Sardjito.””Ada apa, Pak?”Si penelepon tidak mengatakan apa-apa
kecuali kata emergency, lalu menutup pembicaraan.Penerima telepon yang masih
memegangi gagang telepon itu hanya terpana dan tak tahu harus berbuat apa. Sesaat, ia
tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.”Dari Bapak, ya?””Bagaimana
Bapak?””Bapak sudah nyampe di Tugu ya?””Bapak selamat ya?”Namun, istri Pak Jek
dapat membaca wajah anaknya yang menerima telepon itu. Wajah anak itu tahu-tahu
menjadi pucat pasi. Seumur-umur, istri Pak Jek tak pernah menyaksikan wajah anaknya
sepucat itu. Duh Gusti! Pertanda apakah ini?JANGAN masuk rumah baru pada usia 60
tahun,” kata seorang rekan Pak Jek.Namun, Pak Jek menganggap omongan itu hanya
guyonan. Angin lalu saja! Menurut Pak Jek, itu hanya omong kosong. Takhyul. Mitos.
Tak bisa dipercaya dan belum pernah dibuktikan secara ilmiah.Itulah sebabnya, satu
tahun menjelang pensiun, Pak Jek sudah membangun rumah di Yogyakarta, tepatnya di
jalan menuju Kaliurang. ”Rumah buat hari tua” menurut istilah Pak Jek.Pak Jek memilih
Yogyakarta karena menurut dia Yogya cocok untuk orang pensiunan. ”Kotanya tenang
dan tidak terlalu besar. Dari ujung ke ujung bisa dicapai dalam tempo satu jam atau
malah kurang. Harga barang kebutuhan, terutama makanan, tidak semahal di Jakarta.
Orang-orangnya tidak sehiruk-pikuk orang Jakarta.”Pak Jek membeli tanah di jalan tak
jauh dari jalan raya menuju Kaliurang. Selama dibangun, sengaja Pak Jek tidak pernah
melihat rumah itu. Dia hanya memberikan gambar dan rancangannya pada tukang yang
dipercayainya. Ia baru akan melihat rumah itu dan menginjaknya pertama kali dalam
keadaan sudah jadi pada saat hari pertama pensiun nanti.”Tidak diawasi?” pembaca tentu
bertanya.Pembangunan rumah hanya diawasi anak Pak Jek yang tinggal di Yogya. Itu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pun hanya sekali seminggu, hari Sabtu atau hari Minggu.”Biar ada kejutan,” kata Pak Jek
memberi alasan. ”Semacam surprise-lah. Jadi, betul-betul rumah baru bagi saya. Baru
saya lihat dan baru pertama kali saya injak dan masuki.”Lalu, kita tentu bertanya,
mengapa Pak Jek memilih daerah Kaliurang. Mengapa tidak memilih Bantul, Sentolo,
Gunungkidul, Magelang, Prambanan, atau Klaten? Mengapa pula bukan daerah
Parangtritis sekalian biar dekat dengan laut?”Saya suka daerah sejuk dan tenang. Masih
banyak pepohonan hijau. Belum terpolusi udaranya. Lagi pula, gampang kalau mau naar
boven ke Kaliurang. Gampang pula kalau mau bepergian melalui Stasiun Tugu atau
Stasiun Lempuyangan.”Memang sudah agak mahal ketika Pak Jek membeli tanah di situ
lima tahun silam.”Tapi tak apa. Cuma sekali kok dalam hidup saya. Toh akan kutinggali
buat selamanya sepanjang Tuhan memberiku umur.”Menurut Pak Jek, mahalnya harga
tanah di daerah Kaliurang karena ulah orang Jakarta juga.”Orang Jakarta itu banyak duit
dan rakus. Berapa pun harga tanah, mereka bisa beli. Pokoknya, apa pun mereka bisa
beli. Kalau ada binatang pemakan segala maka orang Jakarta itu pembeli segala. Tak
percaya? Coba saja tawari orang Jakarta apa saja. Pasti mereka beli. Termasuk sampah
dari luar negeri...”RUMAH itu dibangun Pak Jek di atas tanah seluas 120 meter, dengan
bangunan 60 meter persegi. Bukan karena Pak Jek tak mampu membeli tanah 500 meter,
atau 1.000 meter, atau bahkan 1.200 meter. Pak Jek mempunyai pertimbangan sendiri
mengapa luas tanahnya hanya 120 meter persegi.”Makin luas tanahnya, tentu makin repot
pemeliharaannya. Makin luas pagarnya. Makin banyak tanamannya; makin banyak
sampahnya. Makin banyak rumputnya; makin lama memotongnya. Pokoknya, makin
banyak segala-galanya... termasuk biayanya.”Mengenai bangunan yang hanya 60 meter
persegi, Pak Jek juga punya pendirian.”Aku hanya berdua dengan istri. Buat apa rumah
besar? Makin besar rumah, tentu makin banyak ruangannya. Makin banyak kebutuhan
listriknya. Makin banyak air yang diperlukan untuk mengepelnya. Makin capek
menyapunya. Padahal, aku dan istriku makin renta. Jadi, cukuplah 60 meter
persegi.”Anak Pak Jek yang di Surabaya pernah berkomentar,”Kayak rumah BTN saja,
Pak.”Namun, Pak Jek tidak tersinggung dengan kata-kata itu.”Mbok, yang lebih besaran
Pak rumahnya,” kata anaknya yang di Semarang.”Lho, memangnya kamu mau ngurus
rumah gede? Yang ngurus rumah itu kan aku nanti. Rumahmu ‘kan di Semarang.”Anak
Pak Jek yang di Bandung pun pernah protes.”Kalau kita sekeluarga datang nanti tidur di
mana, Pak?””Ah, itu soal gampang. Di Yogya kan banyak hotel. Mulai dari hotel melati
hingga bintang lima. Kamu dan keluargamu ’kan bisa tidur di sana. Setelah main-main
seharian di rumah Bapak, atau setelah keliling ke Borobudur, Prambanan, Parangtritis,
Keraton Yogya, kamu dan keluargamu kembali ke hotel. Enak, kan? Lagi pula, di rumah
Bapak kan tidak ada AC, ibumu tidak suka. Di hotel ‘kan ada AC-nya.””Lho, bukannya
anak Bapak, menantu Bapak, cucu Bapak harus menginap di rumah Bapak? Bagaimana
sih Bapak ini?””Lho, yang mengharuskan itu siapa toh, Nak?””Lagi pula,” lanjut Pak Jek,
”kalau kamu dan suamimu serta anak-anakmu tidur di rumah Bapak pasti akan
merepotkan ibumu yang sudah tua. Harus masak ini dan itu untuk anakmu, padahal
mereka belum tentu suka. Ibumu juga akan repot menyiapkan ini dan itu. Bukankah lebih
praktis kalian tidur di salah satu hotel di Yogya? Lagi pula, lebih dekat ke Malioboro.
Dari rumah Bapak kan jauh ke Malioboro? Nanti uangmu habis disedot sopir taksi Yogya
yang nakal-nakal itu.”Angka 60 itu pun ada artinya bagi Pak Jek. Pada usia 60-lah Pak
Jek pertama kali akan menginjakkan kaki di rumah itu, memasukinya, dan mulai tinggal
di situ.Acara melepas seseorang yang akan pensiun biasanya diadakan di aula

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

perusahaan. Memang ada juga yang diadakan di restoran yang kesohor. Bahkan ada pula
yang diadakan di hotel berbintang. Untuk orang berjabatan tinggi seperti Pak Jek, seorang
direktur perusahaan MNC, sebetulnya pelepasan seperti itu patut dilakukan di hotel
bintang lima. Namun, sudah jauh-jauh hari, Pak Jek mengingatkan para
karyawannya,”Kalian melepasku nanti tak usah di restoran atau di hotel yang mahal.
Lebih baik sewa restoran dan sewa ruangan hotel dibagi-bagikan pada karyawan saja,
atau dijadikan modal usaha perusahaan kita.”Karena sudah di-wanti-wanti seperti itu,
karyawan dan anak buah Pak Jek tidak memikirkan macam-macam lagi. Mereka tahu,
Pak Jek itu orangnya saklek bin tegas. Sekali berkata A, berarti tak ada tafsiran lain di
luar A.Oleh karena itu, panitia pelepasan Pak Jek penasaran,”Kalau begitu, di mana dong
Pak?””Nanti saya beri tahu,” ujar Pak Jek dengan kalem.”Nanti kapan, Pak?””Sehari
sebelum saya pensiun.””Lho, bagaimana mungkin, Pak, panitia bekerja sehari
sebelumnya?”Pak Jek diam sebentar, lalu,”Ya, tak usah pakai panitia-panitia segalalah...
Santai saja.””Bagaimana mungkin santai, Pak?””Mungkin saja. Jadi, kalian tak perlu
buang-buang waktu untuk panitia-panitiaan. Mendingan kalian bekerja saja daripada
sibuk dengan kepanitiaan. Lagi pula, perusahaan kita bisa menghemat banyak waktu dan
biaya.”SEHARI sebelum berusia 60 tahun, Pak Jek menepati janjinya. Pak Jek
menentukan tempat pelepasannya di Stasiun Gambir, bertepatan dengan hari
keberangkatan Pak Jek menuju Yogyakarta.Para karyawan Pak Jek yang mendengarnya
terperangah. Ada di antara mereka yang nyaris tertawa terbahak-bahak mendengar kata
”Gambir”. Hanya karena kesopanan sajalah karyawan itu menahan rasa gelinya
mendengar kata itu. Mereka hanya berkomentar yang lain dengan
sesamanya.”Bagaimana mungkin melepas seorang direktur perusahaan MNC di
stasiun?””Di stasiun kereta kan berisik dengan orang-orang yang mau naik kereta
api?””Tidak cocok, ah, di Gambir.””Lantas duduknya bagaimana?””Acaranya
bagaimana?”Meskipun karyawan Pak Jek tidak mengerti jalan pikiran bos mereka yang
akan pensiun itu, para karyawan toh berdatangan ke Gambir pada jam yang
ditentukan.Pak Jek akan naik kereta api Yogya Ekspres pukul 08.00 pagi. Pukul 07.00
Pak Jek sudah ada di Stasiun Gambir.Soal naik kereta ini pun sudah menimbulkan bisik-
bisik di kalangan karyawan.”Bos kita kok naik kereta sih? Apa nggak salah tuh?””Naik
kereta ‘kan tidak pernah tepat waktu. Selalu molor!””Kenapa tidak naik pesawat terbang
saja? Satu jam sudah nyampe.””Makanan di kereta ’kan tidak enak.””Kereta api kita kan
ada tikusnya!”Rupanya, Pak Jek tahu suara batin para karyawannya itu. Oleh karena itu,
ia memberi penjelasan berikut.”Selama ini ‘kan saya naik pesawat terbang terus ke mana-
mana dengan biaya perusahaan karena peraturan perusahaan mensyaratkan demikian.
Seorang direktur harus naik pesawat terbang ke mana-mana demi efisiensi. Sekarang,
boleh dong saya naik kereta api atas kemauan sendiri... dan juga atas biaya sendiri.”Para
karyawan pun manggut-manggut. Entah pertanda mengerti, entah pertanda bingung
mendengar penjelasan Pak Jek.Acara perpisahan itu hanya berlangsung beberapa menit.
Setelah pihak perusahaan membeberkan jasa Pak Jek selama 30 tahun bekerja, Pak Jek
pun mengucapkan satu dua patah kata.”Terima kasih atas kerja sama kalian selama ini,”
kata Pak Jek mengakhiri kata-katanya.Tidak ada acara penyerahan kado kepada Pak Jek
karena Pak Jek sebelumnya sudah mengatakan,”Pada acara di Gambir, tak usah ada acara
penyerahan kado kepada saya. Toh saya sudah dapat banyak dari perusahaan selama ini.
Lebih baik uang untuk kado itu digunakan untuk kepentingan perusahaan saja. Lagi pula,
rumahku yang baru cuma enam puluh meter persegi, kok. Jadi, tidak bisa muat banyak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

barang, termasuk kado dari kalian.”Secara bergiliran, para karyawan pun menyalami Pak
Jek. Ada yang memeluk Pak Jek. Ada yang hanya memegang kedua bahunya. Ada yang
menyalami dengan dua tangan. Ada yang hanya menyalami dengan satu tangan. Ada pula
yang mencium tangan Pak Jek. Beberapa wanita hampir menitikkan air mata. Bahkan
bekas sekretaris Pak Jek tak sanggup menahan air matanya. Mungkin dia punya kesan
dan kenangan tersendiri terhadap Pak Jek. Siapa tahu.Beberapa saat kemudian, dari
mikrofon terdengar pengumuman.”Para penumpang kereta api Jogja Ekspres dipersilakan
naik ke kereta api. Terima kasih.”Beberapa detik kemudian, terjadilah hiruk-pikuk di
peron antara calon penumpang, pengantar, dan kuli angkut. Calon penumpang
berdesakan di pintu gerbong kereta api, sedangkan pengantar yang berada di atas juga
berdesakan hendak turun.”Hati-hati copet, Pak,” ujar seseorang.PAK Jek menempati
gerbong 6 nomor 6A di dekat jendela. Kursi di sebelahnya, nomor 6B, masih kosong.
Namun, Pak Jek tidak mau ambil pusing.Dari mikrofon di langit-langit kereta api
terdengar suara wanita.”Selamat pagi para penumpang kereta api eksekutif Jogja Ekspres
yang terhormat. Terima kasih atas kepercayaan Anda menggunakan kereta api Jogja
Ekspres. Perjalanan kita ke Yogyakarta memakan waktu delapan jam. Kereta hanya
berhenti di Stasiun Cikampek, Stasiun Cirebon, dan Stasiun Purwokerto. Kami akan
menyediakan makan siang untuk Anda selepas Stasiun Cirebon dan menyediakan makan
kecil serta secangkir teh selepas Stasiun Jatinegara.”Begitu kereta api meninggalkan
Stasiun Gambir, hal pertama yang dilakukan Pak Jek adalah mengeluarkan Ericsson T39
dari kantong jaketnya. Lalu, Pak Jek mengirim SMS ke keluarganya di Yogya. ”Saya
sudah berangkat dari Gambir pukul 08.00. Tiba di Tugu pukul 16.00. Tak usah
dijemput.”Istri Pak Jek memang sudah berangkat lebih dahulu ke Yogya, menunggu di
rumah baru. Begitu pula empat orang anak Pak Jek (dari Surabaya, Semarang, Bandung,
dan Yogyakarta) lengkap dengan anak-anak mereka. Pak Jek ingin, keluarga besarnya
menyambutnya di rumah baru saja. Tidak di Stasiun Tugu!Setelah memasukkan HP-nya
kembali ke kantong jaket bagian dalam, mata Pak Jek pelan-pelan mulai meredup. Pak
Jek baru terbangun ketika petugas kereta api memeriksa tiket.Pak Jek tidak tahu persis
sudah melewati stasiun mana pemeriksaan itu dilakukan. Pak Jek juga tidak tahu, kapan
pramugari kereta menaruh secangkir teh dan makanan kecil di meja kecil di
depannya.Pak Jek memang gampang tertidur. Kapan saja, di mana saja, ia gampang
terlelap. Di rumah pun selalu begitu. Begitu bertemu dengan bantal, Pak Jek langsung
pulas. Bertemu sofa empuk, jika ditinggal sendirian, Pak Jek juga bisa terlena. Bagusnya,
Pak Jek tidak mengorok.Pak Jek pulas lagi setelah menyeruput teh di meja kecil sampai
habis. Itu berlangsung hingga tiba saat makan siang selepas Stasiun Cirebon.”Pak, makan
siang Pak,” kata pramugari.Pak Jek membuka mata, lantas menerima baki yang
disodorkan pramugari kereta api.Makanan di kereta api Jogja Ekspres itu memang tidak
mengundang selera Pak Jek. Secuil nasi putih. Sepotong paha ayam goreng yang keras.
Secuil kol putih yang dioseng-oseng dan sebuah pisang raja. Ada pula sendok garpu,
tusuk gigi, dan sepotong tisu. Namun, tetap saja Pak Jek menghabiskan isi baki itu.
Menurut Pak Jek, setiap makanan harus disyukuri meski makanannya tidak mengundang
selera.Pak Jek sudah sering mendengar keluhan mengenai makanan itu dari para
karyawannya. Namun, Pak Jek tetap saja memilih naik KA Jogja Ekspres. Ada beberapa
dugaan Pak Jek mengenai makanan di KA Jogja Ekspres itu. Barangkali alokasi dana
untuk makanan para penumpang memang terbatas. Atau selera petinggi kereta api,
khususnya Jogja Ekspres, yang kurang baik sehingga tega membagikan makanan yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kurang membangkitkan selera bagi para penumpang. Boleh jadi, anggaran untuk
konsumsi penumpang disunat para pemimpin perusahaan kereta api. Siapa nyana.PAK
Jek tidak tahu bahwa Jogja Ekspres sudah melewati Stasiun Purwokerto, Stasiun
Kebumen, Stasiun Kutoarjo, dan Stasiun Sentolo. Berarti Yogya sudah hampir tiba.
Tinggal beberapa kilometer lagi.Sambil meluncur ke arah timur, dari mikrofon kereta api
terdengar suara pramugari.”Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan
memasuki Stasiun Tugu. Dimohon Anda mempersiapkan barang-barang bawaan. Jangan
sampai ada yang ketinggalan. Terima kasih atas kepercayaan Anda memilih kereta api
Jogja Ekspres. Kami mohon maaf bila ada pelayanan yang kurang memuaskan Anda.
Sampai bertemu lagi pada kesempatan lain.”Penumpang-penumpang mulai bergegas
meraih barang-barang yang ada di tempat bagasi atas. Para wanita mulai menata rambut
mereka dan memoles bibir. Bapak-bapak menyempatkan diri ke toilet. Anak-anak pun
mulai ribut.Hanya Pak Jek yang tetap di tempatnya. Bantal kecil masih tetap menutup
mukanya. Ia seperti tidak ambil pusing dengan orang-orang yang hiruk-pikuk
menyongsong Stasiun Tugu. Tas kecilnya masih tetap megogok di atas kepala Pak
Jek.Begitu kereta melewati jembatan di atas Jalan Tentara Pelajar, kuli-kuli angkut—tak
ubahnya Tarzan dalam film kartun—mulai berloncatan ke dalam gerbong
kereta.”Barangnya, Pak.””Angkat barang, Bu.””Bisa saya bantu, Pak.””Barangnya saya
bawa, Bu.””Mari Bu saya bantu.””Kopernya saya bawa, Pak.”KERETA api Jogja
Ekspres yang baru datang dari di Stasiun Tugu sedang dilangsir di Stasiun Lempuyangan.
Di sana kereta dibersihkan dan nanti malam akan berangkat kembali ke Jakarta.Namun,
seorang tukang sapu kaget masih ada penumpang yang tetap duduk di gerbong 6 nomor
6A persis dekat jendela. Bantal menutupi mukanya.”Pak, bangun, Pak!”Orang yang
dibangunkan tak bereaksi.”Sudah sampai, Pak!”Tukang sapu itu pun memanggil
temannya.”Coba kamu yang bangunkan.”Tukang sapu kedua coba membangunkan.”Pak
sudah sampai Yogya, Pak. Bangun, Pak!”Orang yang dibangunkan tetap
bergeming.Lantas, tukang sapu itu mengambil bantal dari muka penumpang itu.Tak ada
respons.Tukang sapu satunya memegang tangan dan kemudian menggoyang tubuh laki-
laki berusia 60 tahun itu.Laki-laki itu tak juga bangun. Bereaksi sedikit pun
tidak.”Keasyikan mungkin tidurnya.””Terlalu capek mungkin dari Jakarta.””Mungkin
baru kali ini dia naik sepur eksekutif.”Karena tak bereaksi sedikit pun, kedua tukang sapu
itu memanggil tukang-tukang sapu yang lain.Setelah dicoba berulang kali, penumpang itu
tetap saja tak mau bangun.Karena tak bereaksi juga, para tukang sapu menghubungi
petugas stasiun.Petugas stasiun pun naik ke gerbong 6.Petugas itu mencoba memegang
tangan penumpang di nomor 6A. Dipegangnya lagi dan dirasa-rasakannya lebih cermat
(seperti dokter memeriksa pasien). Lalu tiba pada kesimpulan.”Lha, tangannya sudah
dingin ’gitu kok...”Petugas itu kemudian meraba dada penumpang itu.”Napasnya kok
tidak terasa lagi...””Jangan-jangan sakit jantung...””Jangan-jangan sudah seda...”Jakarta,
2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Asmoro

Post: 09/20/2002 Disimak: 312 kali

Cerpen: Djenar Maesa Ayu

Sumber: Kompas, Edisi 07/28/2002

ASMORO, waktu kita hampir habis.LANGKAH Asmoro mencipta gaung di sepanjang


lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati Asmoro. Kekosongan itu
mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di telinganya, Adjani bersimbah
peluh.Adjani bersimbah peluh. Pelupuk matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus
di bawah matanya ketika kulit wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani
menahan luka. Orang-orang di sekeliling Adjani membisu. Semua menahan napas.
Semua tidak berani bergerak. Ruangan itu begitu sunyi. Sangat sunyi hingga suara sehelai
rambut yang jatuh bisa membuat siapa pun yang berada di dalam ruangan itu terlunjak
dari kursi. Tetapi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menyaksikan Adjani
menahan luka. Tidak ada yang berani bertanya di mana persisnya Adjani terluka. Atau
mengapa Adjani bisa terluka. Mereka hanya tahu Adjani luka. Luka yang begitu dalam.
Luka yang begitu perih. Luka dari segala maha luka. Adjani bersimbah peluh. Pipinya
merah terbakar matahari. Kuncir rambutnya bergerak-gerak setiap kali kakinya
mengentak tanah. Sesekali ia mengusap peluh di dahi yang menetes ke matanya dengan
handuk yang ia selendangkan di bahunya. Tetapi, tidak sekalipun ia menghentikan
larinya. Kadang-kadang ia biarkan saja peluh itu menetes hingga mulutnya. Setiap kali
Adjani membuka mulut untuk membuang napas, maka masuklah tetesan keringat itu dan
menyebabkan rasa asin di lidahnya.Ketika Adjani berlari, tidak akan ada yang dapat
menghentikannya. Waktu ia menyeberang jalan, mobil-mobil langsung berhenti. Bahkan,
lampu lalu lintas yang tadinya berwarna merah, berubah hijau dan membiarkan Adjani
lewat. Kalaupun ada Metro Mini ngebut yang tidak sempat menginjak rem ketika Adjani
melintas secara mendadak, yang terjadi hanyalah Metro Mini itu menembus tubuh Adjani
bagai menembus udara. Jika ada mobil yang kebetulan posisinya menyamping di depan
Adjani, langsung terbelah dua. Jembatan rubuh berdiri kembali seperti adegan ulang
dalam kamera. Sungai terbelah. Tembok tinggi merendah. Tidak ada satu pun yang dapat
menghentikan Adjani.Cerita tentang Adjani segera tersebar dari mulut ke mulut.
Menyeberang dari satu telinga ke telinga, rumah ke rumah, sungai ke sungai, laut ke laut
dan benua ke benua. Berbagai media massa baik koran maupun televisi meliput berita
tentang Adjani. Para fotografer, kuli tinta, reporter lengkap dengan helikopter menunggu
Adjani di setiap sudut jalan. Yang tidak kuat mengimbangi lari Adjani terpaksa
mewawancarai di atas mobil, motor, bahkan bajaj. Selain wawancara dan melihat
keajaiban yang disebabkan Adjani, mereka berharap menjadi orang pertama yang dapat
mengabadikan saat-saat Adjani menyerah dan berhenti berlari. Maka, pada setiap
headline koran-koran, majalah-majalah, siaran radio, talk show, siaran berita televisi,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

semua memuat, menceritakan dan membahas Adjani.Di dalam sebuah kamar apartemen
ukuran studio, sebuah televisi berukuran 24 inci juga sedang menayangkan talk show
tentang Adjani. Bintang tamunya seorang produser besar Hollywood sedang
diwawancara, apakah ia tertarik membuat film tentang Adjani. Tetapi, di dalam ruangan
itu tidak ada penonton. Pesawat televisi yang panas, kursi ruang tamu dari rotan yang
berdebu, asbak keramik berisi putung-putung rokok yang tidak pernah dibersihkan,
pendingin ruangan yang tidak dinyalakan, onggokan baju-baju kotor yang berbau tidak
sedap di dalam laundry room sebelah ruang tamu, menjadi bukti bahwa si pemilik
apartemen mungil itu sudah lama tidak pernah keluar kamar.Sudah hampir sebulan
Asmoro mengunci diri di dalam kamar dan putus hubungan dengan dunia luar maupun
berita-berita lokal dan mancanegara. Asmoro hanya mau menulis. Sudah lama Asmoro
tidak dapat menulis. Tetapi, sebulan menyepi tidak juga membuat Asmoro dapat menulis.
Di tengah-tengah rasa putus asa, Asmoro mendengar jendela kamarnya diketuk dari luar.
Awalnya ia tidak mempedulikan. Tetapi, ketukan itu tidak juga berhenti, walaupun
terkesan tidak memaksa. Ketukan itu begitu halus dan begitu menggoda. Hati Asmoro
yang tergoda akhirnya memutuskan untuk melirik ke jendela. Tetapi, tidak ada apa-apa di
sana, sementara ketukan itu terus membahana. Barulah Asmoro sadar, ia berada di lantai
ketujuh. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetuk jendelanya? Asmoro berjalan
mendekati jendela lalu membukanya. Saat itu angin dingin sepoi menampar mukanya.
Tangan-tangan angin dengan lembut menarik wajah Asmoro dan mendekatkan bibirnya
di dekat telinga Asmoro. "Adjani bersimbah peluh," bisik angin, lalu pergi meninggalkan
Asmoro sendiri di kamarnya. Mendadak perut Asmoro keroncongan. Sudah tidak pernah
ia bernafsu makan, padahal sudah sebulan ia hanya minum air mineral dan penganan
ringan. Asmoro ingin segera memesan makanan dari brosur-brosur yang ditaruhnya di
bawah meja ruang tamu. Pada saat itulah ia melihat pesawat televisi yang masih
menayangkan talk show. Di sela-sela talk show itu terkadang ditampilkan insert gambar
Adjani yang berlari. Adjani yang bersimbah peluh.ADJANI bersimbah peluh. Lalu ada
dua Adjani bersimbah peluh. Lalu empat Adjani bersimbah peluh. Lalu delapan Adjani
bersimbah peluh. Penggandaan Adjani bersimbah peluh terus tumbuh hingga kepala
Asmoro sudah tidak lagi punya ruang bagi hal lain, kecuali Adjani bersimbah peluh.
Peluh yang membungkus tubuh Adjani bersinar keemasan tertimpa matahari. Dari sinar
keemasan itu beterbangan ratusan kupu-kupu, kumbang, dan burung-burung gereja. Sinar
keemasan itu menyerbak wangi bunga. Kadang mawar. Kadang melati. Kadang sedap
malam. Kadang lili. Dari sinar keemasan itu juga keluar nada lagu. Irama musik sendu
mendayu-dayu. Menyerang segenap jiwa Asmoro. Menyekap pikirannya untuk hanya
terpaku pada Adjani yang bersimbah peluh.Duduk di bawah temaram lampu sorot di atas
meja, Asmoro menumpahkan segenap pikirannya itu ke dalam tulisannya. Adjani yang
berlari dengan kupu-kupu. Adjani yang menyeka peluh di hidungnya dengan handuk.
Derap kaki Adjani yang teratur. Mata Adjani yang menyipit ketika sinar matahari
menyeruak dari sela-sela dedaunan pohon gundul. Naik-turun dada Adjani mengatur
napas. Tangan Adjani yang mengepal ke depan dan bergerak kiri-kanan. Dan setiap kali
Asmoro mengetik huruf per huruf demi melukiskan Adjani, ia mendengar suara musik
nan indah menerpa telinganya. Ia mencium semerbak bunga yang mewangi dari tubuh
Adjani. Asmoro mabuk kepayang. Ia tidak dapat berhenti menulis. Dan semakin ia
menulis, gambaran Adjani bersimbah peluh makin lama makin mendekat ke dirinya.
Asmoro dapat mendengar sayup-sayup derap kaki Adjani dari kejauhan, lalu makin lama

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

semakin jelas tertangkap pendengaran. Dan bau wangi yang samar-samar, lama kelamaan
makin tajam. Suara lembut denting piano tunggal, berubah menjadi kesatuan orkestra
besar. Asmoro menunggu Adjani.Adjani bersimbah peluh, terus berlari di bawah
samudera. Di kiri kanan dan depan Adjani air laut menjulang tinggi sementara di
belakangnya air laut runtuh kembali. Oleh sebab itu tidak ada lagi yang mengikuti di
belakang Adjani kecuali helikopter yang terbang rendah di atasnya. Air laut yang
menjulang tinggi itu bagai akuarium bawah laut raksasa. Ada gurita, paus, ikan pari, dan
berbagai jenis hewan laut menontonnya. Kadang-kadang kaki telanjang Adjani
menginjak bangkai ikan juga bangkai bekas kapal karam. Peluh yang membungkus tubuh
Adjani kini berwarna jingga kemerah-merahan tertimpa matahari senja. Dari sinar
kemerahan itu, burung-burung senja berkepakan terbang dan sebagian yang tertinggal di
belakang mau tidak mau tertelan air laut yang siap luruh bagai pohon tumbang.
Walaupun matahari tidak lagi bersinar dengan garang, tubuh Adjani masih bersimbah
peluh. Asin keringatnya bertambah ketika bercampur dengan percikan air laut. Ketika
Adjani hampir sampai di mulut pantai, angkasa sudah menyulap senja menjadi malam.
Bulan bersinar temaram. Bintang-bintang bercengkerama dan ada dua bintang yang asyik
bercanda sambil berdorong-dorongan, hingga bintang yang satunya jatuh dari cakrawala.
"Bintang jatuh," bisik Adjani dalam hati sambil terus berlari. Adjani tahu, seharusnya ia
memohon satu permintaan yang konon akan terkabul jika melihat bintang jatuh. Tapi
Adjani tidak punya keinginan apa-apa selain berlari tanpa henti. Dan ia pun sangat tahu,
ia tidak akan berhenti. Tidak akan ada yang dapat menghentikannya berlari. Pada saat itu
juga melintas angin yang sama dengan angin yang baru saja mengetuk jendela apartemen
Asmoro. Angin itu membuka hidung Adjani dan mengantarkan aroma segar tubuh laki-
laki. Dan Adjani terkaget ketika menjilat peluhnya sendiri. Peluh itu tidak hanya asin,
tetapi juga ada sedikit rasa manis madu menggoda lidahnya. Bintang yang jatuh hampir
saja tenggelam hilang dari penglihatan Adjani ketika Adjani memohon, "Antarkan saya
kepada aroma segar ini. Antarkan saya kepada rasa manis di lidah ini."ASMORO, waktu
kita hampir habis.Adjani bersimbah peluh. Sudah hampir dua ratus halaman yang diketik
Asmoro demi menggambarkan pujaan hatinya Adjani yang berlari dan bersimbah peluh.
Sementara derap kaki Adjani makin jelas. Dengus napasnya semakin dekat. Suara
orkestra semakin keras. Dan wangi bunga memenuhi seluruh ruangan apartemen Asmoro.
Namun, Asmoro tidak bisa berhenti menulis. Bahkan ia tidak dapat memperlambat laju
tangannya sendiri. Asmoro tahu, sebentar lagi tulisannya selesai. Asmoro tahu sebentar
lagi ia akan bertemu Adjani sekaligus berpisah dengan Adjani.Adjani bersimbah peluh. Ia
berlari menyusuri jalan raya yang padat. Lautan manusia berdiri di sisi kiri dan kanannya.
Jalanan macet total. Lampu-lampu lalu lintas tidak bekerja. Indeks harga saham berhenti
karena tidak ada transaksi. Semua orang keluar dari rumah, gedung perkantoran, restoran,
hanya untuk menyaksikan Adjani. Aktivitas di kota itu lumpuh. Seorang reporter meliput,
"Sudah ada tanda-tanda kelelahan pada Adjani, tetapi Adjani terus berlari tanpa mau
menjawab satu pun pertanyaan wartawan. Adjani hanya bergumam... Asmara... Asmara...
mungkinkah Adjani sedang jatuh cinta?"Dari liputan itu, stasiun-stasiun televisi lain
segera menayangkan gambar-gambar Adjani yang pernah disiarkan. Semua yang
berbicara dengan Adjani diperhatikan secara saksama, dengan harapan mereka dapat
menjawab teka-teki asmara Adjani. Ada juga yang mendramatisir adegan wawancara
Adjani dengan seorang wartawan muda dan langsung dihubungkan dengan pertalian
asmara. Semua orang dari seluruh pelosok dunia tinggal di rumah atau menghentikan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kegiatan hanya untuk mengikuti kisah asmara Adjani. Segala asumsi pun merebak.
Kapan mereka berciuman? Pastilah pacar Adjani pelari, jadi mereka bisa berciuman
sambil berlari. Atau orang kaya, sehingga bisa menyewa helikopter supaya setiap saat
bisa berdekatan dengan Adjani. Atau jangan-jangan orang kaya itu, salah satu pemilik
stasiun televisi? Hanya ada satu perdebatan, satu suara, satu tema di seluruh dunia, yaitu
Adjani.Di kota itu, satu-satunya orang yang bertahan dalam gedung ketika semua orang
turun ke jalanan untuk menyaksikan Adjani lewat adalah Asmoro. Tangan kirinya
memegang kencang tangan kanannya, tetapi tangan kanannya melawan dan terus
mengetik. Lantas tangan kanannya berubah menghentikan tangan kiri, dan tangan kirinya
yang ganti melawan balik dan terus mengetik. Asmoro tidak dapat berhenti. Sama seperti
Adjani yang tidak bisa berhenti. Keletihan di muka Adjani yang tertangkap mata-mata
penontonnya, tidak lain adalah keletihan yang diakibatkan karena Adjani berusaha keras
menghentikan kaki-kakinya seperti Asmoro yang sedang berusaha menghentikan kedua
tangannya. Ada pergulatan aneh yang merasuki mereka berdua. Keinginan yang meledak-
ledak untuk segera berjumpa dan keinginan untuk lebih lama bersama, bagai satu mata
koin dengan sisi yang berbeda. Betapapun besar usaha mereka untuk memperpanjang
kebersamaan, sebesar itu pulalah usaha mereka untuk segera menyudahi. Adjani
bersimbah peluh. Peluhnya menetes di atas marmer dingin lobi apartemen dan menguap
ke atas kamar Asmoro. ASMORO, waktu kita hampir habis.Asmoro bersimbah peluh.
Dihirupnya dalam-dalam aroma peluh Adjani ketika tangannya berhenti pada titik
terakhir tulisannya.Adjani bersimbah peluh. Jatuh tersungkur di depan pintu Asmoro.
Pelupuk matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit
wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Semua orang yang
mengikuti di belakang Adjani terdiam. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Tidak
ada yang berani meliput. Tidak ada yang berani bertanya. Mereka hanya dapat iba
menatap tubuh Adjani yang tergeletak di atas karpet, hingga akhirnya menjelma menjadi
seekor kupu-kupu.Asmoro membuka pintu kamar apartemennya. Langkah Asmoro
mencipta gaung di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati
Asmoro. Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di
telinganya, Adjani bersimbah peluh. Dan abadi di atas tumpukan kertasnya, yang
mengumandangkan kepak sayap kupu-kupu....Jakarta, 21 April 2002, 14:47:47 Untuk
sebulan bersama Asmorodadi

Panikov

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Post: 09/20/2002 Disimak: 123 kali

Cerpen: Laban 'Nyonyo' Abraham

Sumber: Kompas, Edisi 04/14/2002

SUDAH hampir lima tahun ia duduk di beranda izba1, badannya dibungkus mantel yang
sebagian lapuk dan terdapat banyak bolong. Orang di seluruh sudut desa memanggilnya
Panikov si pemain seruling. Dulu, lima tahun yang lalu, izba itu didiami oleh seorang tua
yang kurang lebih berpenampilan sama sepertinya, bermantel lusuh, hanya duduk diam di
depan beranda berseberangan dengan danau yang sama, di bawah poster besar
bertuliskan: "Hidup Tentara Merah".Yang sedikit berbeda mungkin si Tua tidak meniup
seruling seperti Panikov. Di izba yang reyot, peot dan hampir rubuh itulah Panikov
berselingkuh dengan alamnya yang penuh nada memuakan. Banyak pembunuhan,
penyiksaan disaksikannya waktu masih tinggal di kota, dan semuanya dilegalkan sebagai
bingkai peradaban hingga terseret sampai ke desa tempat tinggalnya sekarang. Semuanya
terkesan halal di balik sejarah, yang gagal mendefinisikan pengkhianatan dan kebebasan
untuk si tua, ayahnya tercinta.Desa tempat Panikov tinggal terletak di dataran tinggi,
dikelilingi hutan, berjarak sembilan puluh lima versts (sekitar lima puluh tujuh mil) dari
Kota St Petersburg, kota yang sudah dua kali berganti nama. Ia tak pernah
mengungkapkan alasan, mengapa sampai kembali ke desa kelahirannya yang terpencil
kepada penduduk, yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Yang mereka tahu
Panikov mulai terlihat di Izba-nya sejak ayahnya mati di tembak serdadu-serdadu dari
kota. Pernah suatu kali, Anna seorang gadis remaja enambelas tahun berparas manis,
yang kebetulan tinggal di sebelah izba-nya dan hampir setiap sore mengantarkannya
makanan berupa bubur gandum, bertanya kepada Panikov tentang keberadaannya di desa
itu. Panikov hanya menjawab."Di kota tak ada lagi ruang untukku, setiap kalimat selalu
disambut dengan teriakan 'hidup revolusi', selalu itu yang diungkapkan orang-orang di
kota laknat. Dan kau tahu gadis kecil? Ayah menghendaki diriku tinggal di sini, sampai
saatnya tiba!!"Dan ketika si gadis kecil ingin bertanya lebih lanjut dengan rasa penasaran
yang menggunung, cepat-cepat ia meniupkan seruling dengan lagu-lagu kebangsaan
negaranya, yang ia kenal selama tiga puluh tahun, dengan maksud menghindar.Serta
merta Panikov berhenti dan menjauhkan seruling dari bibirnya karena kaget. Ia tak sadar
ternyata Anna sudah berada persis di sebelahnya. Ia berpaling memandangi Anna dengan
mata yang sangat marah, sehingga memaksa Anna untuk mundur selangkah.Keadaan
yang hening di dalam ruangan itu digunakan Anna untuk berbicara."Tentara-tentara dari
kota itu datang lagi."Panikov menaruh serulingnya, lalu mengganti lilin yang sudah
hampir mati. Lalu ia angkat bicara. "Kenapa? Biarkan saja mereka datang kemari. Tanpa
mereka udara desa ini akan semakin dingin.""Tapi..." Anna yang mencoba melanjutkan
kalimatnya langsung dipotong oleh suara seruling Panikov yang menuju ke depan
jendela.Sementara itu, orang-orang desa di luar dikagetkan oleh kedatangan
segerombolan tentara di kegelapan dari arah timur desa."Hey, kalian! Cepat! Cepat
berkumpul di sana!" salah satu tentara menghardik serta memaksa ke seluruh orang desa
yang ada di luar rumah dan menunjuk ke arah alun-alun desa. Mereka tiba-tiba saja
menjadi patuh, seperti biri-biri yang digiring dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh si

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tentara.Mereka tak mau lagi ditendangi seperti kejadian lima tahun yang lalu. Beberapa
tentara memeriksa ke dalam setiap rumah di desa itu, dan Panikov... yach Panikov masih
berada di dalam izba-nya, meniup serulingnya. Sementara Anna sudah sepuluh menit
yang lalu berlari ke luar menuju alun-alun desa mengikuti orangtuanya."Brak...!"
Terdengar pintu rumahnya ditendang oleh para tentara dan langsung menggeledah isi
rumahnya. Panikov terus meniup serulingnya. Kali ini ia sudah tak memainkan lagu
kebangsaan negaranya, hanya keluar nada tak karuan yang terdengar. Panikov diseret,
tentara itu menarik kerah bajunya hingga ke jalan berbatu depan izba. Dirampasnya
seruling Panikov lalu dilemparkan jauh ke tengah danau.Menjelang pagi di alun-alun
desa sudah banyak orang berbaris menjadi kumpulan orang yang kesepian, diam dan
hening. Hampir semuanya hanya memakai baju tidur, tanpa mantel dan menggigil
kedinginan. Muka mereka pucat seperti hendak mati. Di depan mereka, terlihat seorang
tua tergantung di pohon besar di tengah alun-alun desa, mengikuti dengan tali melilit di
leher dan beberapa lubang peluru terdapat di danau depan izba harta peninggalan
ayahnya. Ia ikat leher mayat itu dan dikalunginya batu besar lalu dibenamkan ke dalam
danau.Saat ini, ia tengah memandang danau tempat ayahnya dibenamkan. Kata orang
desa, ayahnya ditembak di tengah alun-alun desa dan sampai sekarang Panikov tak tahu
sebab, mengapa ayahnya ditembak.Yach Panikov ingat. "Persetan!" gumamnya. Ia
menangis, lalu diam lagi, selanjutnya ia tiup seruling yang sedari tadi ia pegang dengan
lagu yang sama saat ia meninggalkan gudang percetakan di kota lima tahun lalu, air
matanya membeku akibat udara dingin malam.Malam semakin pekat dan Panikov belum
lelah meniup serulingnya. Tiba-tiba Panikov melihat dua mobil truk tentara melintas
depan rumahnya dengan sorot lampu yang benderang. Panikov tak peduli. Ia terus
meniup dan meniup. Kadang-kadang ia berhenti sebentar untuk berteriak. "Oh... tentara
bajingan! Oh... kota laknat! Aku rindu kalian, datanglah kemari! Akan kuberi kalian
surga kemerdekaan!" Terus... dan terus ia meniup, berteriak dan meniup seruling-nya
lagi. Sampai sekitar setengah jam kemudian di sebelah timur danau terlihat cahaya merah
kekuning-kuningan, indah menakjubkan. Panikov tidak peduli. Para tetangganya
berhamburan dari dalam rumah dan berteriak."Api...! Itu api...! Di sebelah timur desa ada
api...! Hey, Panikov keluarlah, cepat lihat apa yang terjadi!"Panikov berhenti sejenak. Ia
memandang keluar melalui jendela kayu itu. Ia enggan ikut bergabung, lalu berteriak,
"Oh... tentara bajingan! Oh... kota laknat! Kau kabulkan permintaanku!
Terimakasih!"Panikov kembali memainkan serulingnya, sementara itu lebih banyak dari
tetangganya berkerumun di pekarangan rumahnya masing-masing untuk melihat apa
yang terjadi di seberang sana. Anna si gadis tetangga mengetuk pintu rumah Panikov
sambil berteriak. "Panikov! Panikov! Keluarlah Panikov! Ini aku, Anna".Tak ada
sahutan. Yang terdengar hanya bunyi seruling. Panikov tak bergeming dari tempatnya
semula. Tetap di depan jendela dan meniup seruling. Anna berteriak lebih keras, namun
tetap tak ada jawaban. Sampai akhirnya Anna mendobrak pintu rumah Panikov. Anna
langsung menghampiri Panikov, memandangnya sesaat dan berteriak lagi, kali ini tepat di
samping telinganya, "Panikov, sadarlah...!!!"Saat itu musim dingin, angin bergerak lebih
lambat. Seperti biasa, jika menginjak musim dingin Panikov lebih banyak diam di ruang
tamu dengan sebuah jendela yang menghadap ke utara danau dan menggambarkan siluet
sangat indah, serta tak lupa meniup serulingnya. Bila hari menjelang malam, ia hanya
menyalakan sebatang lilin sehingga izba itu terlihat lebih gelap dari rumah-rumah yang
lain di desa.Tidak seperti malam kemarin yang agak hangat, malam ini terasa dingin lebih

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menggigit, tak ada bubur gandum yang ia tunggu sejak sore tadi. Ia berpikir mungkin
Anna lupa berbagi dengannya. Panikov tidak punya mantel lain untuk dikenakan, dingin
mencengkram kuat tubuhnya. Sebatang kayu pun ia tak punya untuk dibakar dalam
tungku, tapi toh... ingatan terhadap ayahnya mengubur rasa lapar dan dingin malam itu.Ia
menggigil, giginya gemeretak. Sambil mencoba menutupi bagian mantel yang bolong
dengan tangan kirinya, sedangkan tangan yang lain tetap menggenggam seruling,
Panikov beranjak pindah ke kursi di sebelah sudut yang dekat dengan jendela. Lalu
memandang ke arah danau, ia bergumam."Ayah... malam ini kau harus
menjemputku!"Pikirannya merawang teringat mayat ayahnya yang hanya seorang petani
bekerja di kolkhoz2 dan pencari peat3 seperti umumnya para penduduk lain di desa, telah
mati ditembak para tentara bajingan dari kota. Ketika itu ia ada di St Petersburg bekerja
di gudang percetakan negara. Beberapa hari selang kematian ayahnya, ia dipanggil oleh
kepala biro tempatnya bekerja dan menyodorkan selembar kertas padanya. Ia terkulai
lemas setelah membaca coretan yang tertulis di kertas itu. Saat itu juga, ia mengajukan
kepada atasannya untuk berhenti bekerja dan kembali ke desa yang ia tinggalkan selama
dua puluh lima tahun.Selagi ia membereskan barangnya, ia dapati seruling yang pernah
diberikan ayahnya, lalu meniupnya sampai ia keluar gerbang gudang percetakan dengan
lagu kebangsaan negaranya. Sesampainya di desa, ia kembali melapor ke kepala distrik
desa untuk meminta izin penggalian kubur ayahnya.Panikov menangis melihat mayat
ayahnya. Terdapat beberapa lubang peluru di tubuh itu, ia memeluknya. Pani-kov tak
peduli akan bau busuk yang menempel ke mantelnya dan seterusnya ia menangis di
depan tubuh kaku sampai malam tiba. Panikov kembali menggunduk lubang kuburan
dalam keadaan kosong. Dengan sadar diseretnya tubuh kaku ia sampai di dadanya,
begitupun juga terpampang jelas lubang di keningnya yang sudah terbujur kaku serta
terlihat bercak darah di pakaiannya.Para tentara berdiri mengelilingi orang-orang desa.
Terlihat ada seorang tentara, Turgeyev namanya, ia berdiri di atas batu dengan kumis
tebal serta seragam yang mencolok, dengan tanda pangkat yang berbeda dari tentara
lainnya. Sambil menunjuk kepada mayat yang tergantung, 'si kumis tebal' lalu
berteriak."Dia pengkhianat!! Kalian tahu dia pengkhianat negara kita!" suasana tetap tak
berubah, masih tetap hening. Ia tatap mata penduduk seperti hendak menerkam mereka,
dan meneruskan kalimatnya."Mencuri peat untuk kepentingan pribadi seperti lima tahun
lalu adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Siapa pun itu harus dihukum dan itu
sama saja dengan pengkhianatan, karena tidak mempercayai kami! Negara! Kalian semua
harus tahu itu."Seketika itu tiba-tiba dari tengah-tengah penduduk yang 'dibariskan'
berlarilah seseorang dengan senjata kecil di tangan. Ia langsung menuju pada tentara
berkumis tebal itu dan segera diarahkannya senjata itu ke mukanya. Seketika terdengar
teriakan seorang gadis kecil memecah kebekuan."Panikov! Jangan Panikov..."Terdengar
enam letusan senapan, serta dua tubuh tergeletak ke tanah. Panikov mati! Juga si Kumis
Tebal. Keadaan semakin beku. Anna, gadis kecil itu mendekati mayat Panikov.
Dilihatnya selembar kertas dalam genggaman tangan Panikov yang masih hangat itu.
Seorang tentara memerintahkan agar kerumunan penduduk desa dibubarkan. Anna
mengambil kertas itu dan membawanya pulang bersama orangtuanya.Sesampainya di
rumah dibacanya lembaran kertas kusam penuh darah itu. "Kalian TAHU? Aku telah
membuktikan bahwa ayahku BUKAN pengkhianat dan aku hendaknya tidak akan rela
untuk mati membela pengkhianat seperti ayahku. Mungkin negara tahu itu dan negara
rela kehilangan orang TERBAIK-nya."Tertulis lagi di bawahnya."untuk petani kecil

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

November 1936"Bandung, Oktober 20011. pondok petani2. pertanian kolektif pada


zaman revolusi di Uni Sovyet3. bahan bakar berwarna coklat untuk tungku sebagai
penghangat selain kayu.

Mata Sunyi Perempuan Takroni

Post: 09/20/2002 Disimak: 211 kali

Cerpen: Triyanto Triwikromo

Sumber: Kompas, Edisi 04/07/2002

JERUJI pembatas makam Al-Baqi dari dunia luar masih jeruji yang itu-itu juga.
Melongok dengan mata nanar ke dalam makam, para peziarah akan senantiasa
memandang puluhan askar berkacak pinggang dengan angkuh dan waspada, seakan-akan
musuh dari Kampung Al-Aghwat bakal menyerang tiba-tiba.Tidak! Tidak! Polisi-polisi
itu hanya menjaga gundukan makam para sahabat dan istri-istri Nabi. Lihatlah, mereka
tak berani mengusir ratusan merpati yang mematuki butir-butir habbah1 yang ditebarkan
para peziarah. Mereka bahkan tampak seperti robot-robot santun yang tak memiliki
pekerjaan lain, kecuali mendengarkan cericit merpati dan ratapan orang-orang yang
khusyuk berdoa."Meski begitu, kalau berani menyusup ke dalam mereka akan memukul
pantat dan kepala kita dengan pentungan," kata Zulaikha, perempuan hitam kecil yang
tengah mencengkeram jeruji itu kepada perempuan kencur lain.Mereka agaknya sangat
terkagum-kagum pada kilau matahari yang menimpa sayap-sayap merpati dan gundukan-
gundukan tanah kelabu padat itu."Kalau sekadar memberi habbah kepada merpati,
apakah kita akan diusir juga?""Bukan hanya diusir. Dihajar, buk! buk! buk, kepalamu
akan penyok dan pantat bakal memar tak keruan. Kalau tak percaya, mari kita tanyakan
kepada ibuku."Bagai capung, anak-anak itu kemudian membentangkan tangan, melesat
ke pelataran makam Al-Baqi yang dipenuhi para peziarah. Sesekali mereka menabrak
orang-orang yang khusyuk berdoa. Sesekali terjatuh dan mengagetkan para tetua
Madinah yang melakukan jihad fisabilillah2 dengan cara membimbing orang-orang asing
mengungkapkan ucapan selamat dan doa kepada para penghuni makam.Dan, Madinah
yang terik masih menguarkan kilau matahari saat Zubaedah binti Musa menjajakan
habbah di pelataran makam Al-Baqi. Bila sempat merekam berbagai peristiwa dengan
mata hati, kau akan melihat sepasang merpati melintas dari Masjid Nabawi mencericitkan
suara-suara aneh serupa zikir serupa masnawi.Seperti biasa merpati-merpati itu tak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

langsung meliuk ke pekuburan bertembok indah kukuh itu. Dengan membentangkan


sayap yang berkilauan, mereka menukik persis di kedua tangan Zubaedah untuk
kemudian mematuk biji-biji habbah yang sengaja ditebarkan di pelataran makam oleh
perempuan Takroni3 bermata buta itu."Ibu, mengapa kita tak boleh memberikan
makanan kepada merpati-merpati yang kemruyuk di makam? Mengapa hanya yang di
pelataran yang boleh diberi makanan?""Karena itu perempuan, Anakku. Dan, telah
berkali-kali kukatakan kepadamu, hanya para lelaki yang diperbolehkan menyusup
hingga ke pusat makam."Zulaikha, perempuan kencur yang dipungut Zubaedah dari
lorong pasar Madinah yang riuh dan tak pernah tidur, tak puas mendengar jawaban itu.
Matanya yang jernih mendadak melesat ke kerumunan para peziarah dari berbagai
bangsa yang tengah berdoa dan meratapkan berbagai kosa kata aneh di hadapan
gundukan tanah tanpa kijing atau nisan-nisan indah itu."Ayolah, Ibu, kita masuk ke sana.
Kita berikan habbah yang tak terjual kepada merpati-merpati itu."Mendengar ajakan yang
tak disangka-sangka, Zubaedah langsung berdiri tegak. Sepasang merpati yang mungkin
takjub menatap perempuan hitam ber-abaya4 hitam itu terkejut sehingga sayap-sayapnya
berkepak dan menimbulkan keriuhan yang mengagetkan para peziarah.Dengan cetakan
dia berusaha meraih tangan Zulaikha yang telah meninggalkan teman sepermainan.
Tetapi Zulaikha telah meluncur serupa anak panah, berlari menyusup ke retusan peziarah
yang memenuhi pelataran makam berasitektur Arab itu."Jangan, Anakku! Jangan
masuk!" teriak Zubaedah sambil berlari, menendang tampah habbah, dan menabrak
orang-orang yang bergegas memasuki pintu pekuburan.Para peziarah-yang kebanyakan
berjalan menunduk sambil melantunkan zikir-tentu saja kaget melihat perempuan buta
terhuyung-huyung meneriakkan ratapan dalam bahasa Arab yang kacau. Mereka tak tahu
betapa sesungguhnya Zubaedah sedang berjuang menghentikan lesatan anak panah yang
jika berhasil menyusup ke makam bakal melukai keyakinan jutaan orang, ratusan
keluarga raja, dan para peziarah yang taklid kepada adat."Ampunilah Anakku, ya Allah!
Ampunilah anak yang tak mengerti teladanmu, ya Rasul!" Zubaedah berteriak
lagi.Sayang sekali, Zulaikha telah jadi anak panah yang diluncurkan dan busur buta.
Karena itu dengan gerakan zig-zag menawan, dia meliuk, menyusup, dan terus berlari ke
bibir pintu makam. Keinginan perempuan kencur itu hanya satu: memberikan sebanyak-
banyak habbah kepada ratusan merpati yang mengepak-ngepakkan sayap di atas
gundukan-gundukan makam.AKU pun sesungguhnya ingin sepertimu, Anakku. Ingin
sebanyak mungkin memberikan habbah kepada ratusan merpati yang konon melindungi
Nabi saat dikejar-kejar orang-orang kafir di Jabal Sur. Bukankah bersama laba-laba yang
terus merajut sarang, merpati-merpati itu tafakur dan menyelimuti dinding gua?
Bukankah mereka telah menjadi perisai bagi ajal Nabi?Karena itu, Anakku, memberi
makan mereka sama saja memberikan cinta tak habis-habis kepada Kanjeng Nabi. Jika
hanya ingin berbagi rasa cinta, kau tak perlu memasuki makam keramat. Kau tak perlu
menangis dan meratap sepanjang waktu di gundukan-gundukan tanah yang dimuliakan
oleh orang-orang Madinah. Apalagi kau perempuan, Anakku. Apalagi kau hanya orang
Takroni.Dan, sebagai orang Takroni, wahai Anakku yang malang, ibarat air kita bukanlah
zamzam. Sebagaimana Bilal, pria indah yang menyeru-nyeru nama Allah dalam nada
paling indah, kau hanyalah dahak yang ditumpahkan dari langit hitam yang sedang batuk.
Kau hanyalah gema dari bunyi hoekkk dan plok dari kotoran tenggorokan yang
membentur lantai marmer pelapis keindahan pelataran makam Al-Baqi yang kini telah
dikepung pasar emas dan puluhan hotel mewah.OHO... tak perlu kau risaukan asal-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

usulmu, Anakku. Ibarat benda yang senantiasa dinajiskan oleh orang lain, kita adalah
tinja yang mengotori keindahan istana para raja," begitu kata Musa bin Zakaria, ayahku,
kali pertama aku mempertanyakan perbedaan kulit hitamku dari kemolekan kulit anak-
anak pria-pria Madinah yang ingin bermain-main bersamaku di lorong-lorong pasar-yang
sayang selalu dilarang oleh orangtua mereka-itu."Bahkan kau akan buta jika berani
mempertanyakan mengapa gunung disebut sebagai jabal, raja disebut sebagai tuan, Bilal
dilahirkan sebagai budak, engkau dilahirkan sebagai engkau, aku dilahirkan sebagai aku,
dan habbah Madinah hanya layak dipatuki merpati-merpati yang tak pernah berkurang
dan bertambah sejak Nabi gesang dan senantiasa menangis sesenggukan di pekuburan
para sahabatnya itu," ujar Ayah yang mengaku sebagai putra imigran asal Nigeria.Entah
karena bertanya mengapa aku dilahirkan sebagai perempuan Takroni atau disebabkan
oleh penyakit keturunan atau hal lain, pada usia yang sedang mekar, aku benar-benar
buta.Dan, Ayah, sebagaimana pria Takroni lain, tak meratapi peristiwa duka nestapa itu.
"Sudah kubilang... jangan usil. Jangan mempertanyakan apa-apa. Jangan melihat yang tak
pantas dilihat. Jangan..."Maryam-ibuku, perempuan yang seindah dan secantik buah
zaitun-selalu memprotes pendapat Ayah. "Engkau hanya tahu Hajar Aswad berwarna
hitam. Tetapi kau tak tahu Nabi juga memuliakan Bilal nenek moyang kita yang
rupawan. Engkau hanya tahu para peziarah mengenakan ihram putih, tetapi tak tahu
betapa Ka'bah diselimuti kain hitam bertabur benang emas."Sebagaimana Nabi, Ayah
sangat memuliakan perempuan. Saat berbeda pendapat dengan Ibu, dia tak pernah
menampar atau memarahi perempuan molek yang amat dicintai. Meski demikian, Ayah
tak menganggap kebutaanku sebagai kutukan. Dia, sebagaimana Ibu, menerima segala
peristiwa kehidupan sebagai amanat atau bahkan sebagai cinta Nabi dan Allah kepada
umat-Nya.Menjelang aku remaja Ibu bilang, "Engkau memang buta, Anakku. Tetapi
engkau akan jadi mawar Madinah." Menjelang Ayah meninggal, dia berdoa, "Tuhan yang
Maha Melihat telah Engkau butakan mata anakku, telah Engkau minta kembali segala
keindahan cahaya Madinah dari matanya. Aku tak akan marah, ya Allah. Aku tak akan
marah. Tetapi Engkau Yang Maha Memberi, berilah anakku cahaya hati yang paling
terang di tengah-tengah kegelapan yang senantiasa menguntit kehidupannya."Sejak itu
tak seorang pun, termasuk pedagang tasbih, kerudung, dan siwak5 yang berjejal-jejal di
sekujur tubuh pelataran makam mempertanyakan kebutaanku. Hanya engkau, wahai
Anakku, yang pada malam sunyi yang menggigilkan lorong-lorong jalan,
mempertanyakan asal-usul kebutaanku."Apakah Ibu pernah merasakan keindahan Masjid
Nabawi?" tanyamu polos saat itu."Ya, Ibu bahkan hapal gradasi warna emas di sekujur
pintu. Ibu malah bisa menghitung berapa lampu yang menebarkan cahaya indah di
menara dan berapa ukiran serupa bunga yang menghiasi kubah-kubahnya. Ketahuilah
Anakku, Ibu juga paham segala warna yang menghiasi raudah6 Nabi. Dulu aku sering
menangis dan berdoa tak kunjung henti di taman surga itu.""Jadi, Ibu pernah melihat
segalanya?""Ya, ibu pernah melihat segalanya, bahkan segala yang tak pantas dilihat oleh
manusia.""Mengapa Ibu kemudian buta?""Mungkin karena Ibu telah melihat sesuatu
yang tak pantas dilihat oleh seorang perempuan."Sampai pada kata-kata itu, kau tahu
Anakku, sebenarnya aku tak sanggup lagi meneruskan ceritaku. Aku takut kau akan
mengikuti jejakku. Tetapi kau terus mencerocos, memberondongku dengan pertanyaan
polos yang mendesak dan menikam. Akhirnya kau pun tahu mengapa perempuan seperti
aku harus dibutakan.ZUBAEDAH sesungguhnya tak pernah menceritakan penyebab
kebutaannya kepada siapa pun. Tak kepada ayah atau ibunya. Apalagi kepada Zulaikha.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Karena terpesona pada cerita Musa bin Zakaria tentang keutamaan mati di Madinah,
malam itu dia menyusup ke makam.Sambil berjingkat pelan-pelan, dia mengingat-ingat
petuah ayahnya. "Kalau bisa matilah di Madinah, Anakku. Sebagai orang Takroni hidup
kita di dunia memang tak segemerlap orang-orang Madinah. Kita tak mungkin jadi warga
negara kerajaan sampai kapan pun. Tetapi, kalau kau mati di sini Nabi akan memberikan
surga."Waktu itu, karena diserang demam tak berkesudahan, Zubaedah merasa sang ajal
sudah mengintip. "Mati di Madinah memang baik, namun akan lebih baik jika aku bisa
mati di makam Al-Baqi," pikir perempuan yang sedang mekar itu.Alhasil, Zubaedah pun
mulai merayap mendekati pintu makam. Malam menyelimuti sekujur tubuh yang dililiti
abaya hitam itu sehingga tak seorang pun melihat sesosok bayangan memanjat jeruji
makam. Sial! Belum sampai menginjak bagian dalam makam, mendadak sebuah tangan
kekar menarik abaya Zubaedah. Pegangan Zubaedah terlepas. Dia terjengkang. Bagian
belakang kepala membentur lantai marmer. Lalu segalanya menggelap. Cahaya lampu-
lampu Madinah yang berkilauan hilang dari pelupuk mata.Zubaedah tersadar dari pingsan
yang panjang setelah azan subuh dari Masjid Nabawi melengking-lengking. Malaikatlah
yang menghalang-halangi? Entahlah! Yang jelas, sebelum pingsan, dia mendengar suara-
suara orang-orang kekar menyumpah tak keruan."Dasar Takroni. Apa yang akan dia curi
dari pekuburan!" teriak seseorang."Ya, apa yang diburu perempuan keturunan budak
ini?" ujar seseorang lagi sambil menginjak dada."Sudah! Sudah! Tinggalkan saja dia di
sini!"Lalu suara orang-orang kekar itu lenyap. Hanya bunyi sepatu lars menyusup dari
kejauhan.ZULAIKHA masih termangu-mangu di bibir pintu makam. Dia tak bergegas
melesat ke dalam makam karena mendadak ingat cerita Zubaedah tentang cahaya
mahaterang yang senantiasa menyelimuti makam Al-Baqi."Cahaya terang yang berkilau
dari sayap malaikat akan membutakan matamu, Anakku. Jadi, camkan nasihatku. Jangan
pernah masuk ke makam, sekalipun engkau ingin mati dan dikubur di
dalamnya."Zulaikha hanya tahu untuk mati di Madinah dia harus setiap hari menjual
habbah di pelataran makam, bercanda dengan merpati-merpati, salat di masjid Nabawi,
dan sesekali meneriakkan kata-kata fisabilillah kepada para penziarah agar diberi satu
atau dua riyal.7 Tetapi, siang itu merpati-merpati di atas gundukan makam tampak
kelaparan. Makin sedikit peziarah yang memberikan habbah kepada mereka. Makin
sedikit perempuan-yang biasanya mengasihi dan menyayangi binatang-mendekat ke
makam.Dan Zubaedah, masya Allah, perempuan buta itu, terhuyung-huyung menabrak
benda apa pun di hadapannya. Dia menyangka Zulaikha akan mengikuti tindakan konyol
yang pernah dia lakukan sebelum kebutaan menyergap dan memenjara. Dia menyangka
perempuan kecil itu nekat melawan puluhan askar yang berkacak pinggang di dalam
makam.Karena itu, jauh sebelum menggapai pintu makam, dia membayangkan para
polisi menggebuk tubuh mungil Zulaikha. Menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor
dan menganggap para perempuan Takroni sebagai budak yang tak tahu aturan.Tetapi,
lihatlah! Zulaikha masih tetap termangu di pintu makam. Puluhan, tidak-tidak, ratusan
merpati yang kemruyuk di gundukan tanah kelabu (o jelmaan malaikatkah mereka) tiba-
tiba melesat di atas kepala perempuan kecil itu. Mereka menukik ke arah Masjid Nabawi,
melambai-lambaikan sayap, seakan-akan mengajak Zulaikha meninggalkan daerah
pertempuran."Ibu! Ibu! Lihat! Mereka tak mau mati kelaparan di makam!" teriak
Zulaikha kegirangan. *Hotel Sanabel Al Madina, Madinah Munawarrah, 2002 Catatan:1)
Habbah adalah sejenis gabah. Para penziarah makam Al-Baqi dianjurkan memberikan
makanan itu kepada ratusan merpati yang senantiasa kemruyuk di kompleks pekuburan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tersebut. Saya beruntung tersesat ke makam itu saat melaksanakan ibadah haji belum
lama ini.2) Jihad fisabilillah adalah anjuran berderma. Para tetua Madinah mendoakan
orang asing antara lain untuk mendapatkan belas kasih dari penziarah.3) Takroni
merupakan sebutan bagi imigran Afrika yang tak mungkin kembali ke tanah asal, namun
juga tak mungkin jadi warga negara Kerajaan Arab Saudi.4) Abaya: pakaian khas sejenis
mukena yang dikenakan para perempuan Arab.5) Siwak kayu lunak yang difungsikan
sebagai pembersih gigi.6) Raudah disebut juga sebagai salah satu taman surga. Sebuah
area antara mihrab dan makam Nabi Muhammad.7) Riyal:mata uang resmi Arab.

Rumah Makam

Post: 09/20/2002 Disimak: 216 kali

Cerpen: Putu Fajar Arcana

Sumber: Kompas, Edisi 03/17/2002

KETIKA mendengar kabar ayahnya meninggal Susila tidak kaget. Ia masih sempat
mengantar anak-anaknya ke sekolah. Bahkan, siang hari menjemputnya kembali. Susila
memang sudah punya rencana untuk pulang kampung besok pagi, sembari menunggu
istrinya mendapat cuti dari kantor. Namun, saat sepupunya, Mangku, menelepon lagi, ia
benar-benar jadi kehabisan alasan.Sore itu juga Susila berangkat naik bus dari Terminal
Pulo Gadung Jakarta ke Denpasar. Meski ia tahu suasana tahun baru akan membuat
penyeberangan Ketapang-Gilimanuk padat, tapi ia merasa tak diberi pilihan lain. Kabar
dari Mangku benar-benar membuat emosinya campur aduk. Ia hanya berpikir bagaimana
secepatnya tiba di Banjar Sari, Gianyar. Kira-kira satu setengah jam perjalanan lagi ke
arah timur Kota Denpasar.Sepanjang perjalanan terbayang perlakuan keji dan tidak adil
yang harus diterima ayahnya, I Raneh. Bahkan sampai tubuhnya menjadi mayat, warga
banjar tetap memperlakukannya secara tidak hormat. "Kasar dan kejam,"
pikirnya."Susila!" kata Kelihan Adat Banjar Sari Wayan Kroda, ketika Susila mendatangi
rumahnya pagi hari. "Ini sudah hasil dari keputusan paruman banjar. Jadi, jangan salah
paham." Wayan Kroda menuturkan keputusan banjar tersebut bukan tanpa alasan.
Semasa hidupnya I Raneh dianggap selalu membangkang terhadap kesepakatan-
kesepakatan yang diputuskan adat. Meski masih berusia belasan tahun, Wayan Kroda
masih ingat ketika I Raneh menentang adat yang telah memutuskan untuk mencoblos
Golkar. Waktu itu tahun 1971, ayah Kroda, I Kleteg yang menjabat sebagai kelihan adat

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

di Banjar Sari. "Kamu tentu masih ingat juga, bagaimana ayahmu menghasut warga
hingga Golkar hampir kalah di Banjar kita ini. Meski telah kena sanksi adat, sampai tua
ayahmu tak pernah berubah juga....""Sepanjang hidup, saya tidak pernah menilai ayah
saya berbuat salah, hingga membuatnya pantas menerima sanksi berat, bahkan sampai
jenazahnya!" potong Susila. Wayan Kroda terdiam. Seekor babi tiba-tiba merobohkan
pohon pepaya di halaman rumahnya. Batang pepaya itu menjulur sampai ke teras di mana
Kroda dan Susila sedang bicara. "Luh, Luh...!" Wayan Kroda memanggil anak
perempuannya dengan suara keras, "Ikat babinya. Jangan dibiarkan liar begitu. Nanti
kamu kena denda!"HASIL paruman adat memutuskan melarang penguburan ataupun
pembakaran jenazah I Raneh di kuburan milik banjar. Warga menilai dosa I Raneh
selama hidupnya sudah terlalu banyak. Selain menghasut warga menentang Golkar,
Raneh juga pernah melarang kelompok seni Cak Banjar Sari untuk pentas di hotel-hotel
di Nusa Dua kalau tidak dihargai secara pantas. "Jika hotel-hotel itu masih mengangkut
kita dengan truk, kita tidak akan mau pentas. Saya juga akan mundur dari kelompok
kalau hotel tidak membayar kita dengan harga tinggi," tegas I Raneh sewaktu masih
hidup. Sebagai kelihan adat wajah I Kleteg seperti ditampar di depan warganya sendiri. Ia
merasa sudah susah payah mencari hubungan ke ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia)
Denpasar agar kelompok Cak Banjar Sari bisa main di hotel. "Bisa pentas di hotel
berbintang saja sudah luar biasa. Ongkos tidak penting! Selama ini kita hanya pentas di
desa-desa, lain rasanya kalau nanti main di depan turis asing. Itu kebanggaan," ungkap I
Kleteg. Tetapi, I Raneh tetap berpendirian bahwa dosen-dosen ASTI itu telah meracuni
otak I Kleteg. Padahal, hasil pentas itu sebagian besar dinikmati para brooker seni itu.
Perdebatan-perdebatan macam itu akhirnya berakibat pada pengucilan keluarga I Raneh.
Sampai kini, seluruh keturunannya, termasuk Susila, dianggap tak hirau lagi pada
kewajibannya selaku warga banjar. Kebetulan keempat anak I Raneh pergi merantau ke
luar Banjar Sari. Sejak zaman I Kleteg sampai Wayan Kroda menjadi kelihan adat,
keluarga I Raneh dianggap perusak tatanan adat yang ada. Sejak tinggal di Jakarta, Susila
mau tak mau harus melepaskan keanggotaannya sebagai warga adat Banjar Sari.
Tuntutan profesi membuatnya harus pindah. Tetapi, aturan di Banjar Sari mengharuskan
ia tetap sebagai warga adat, karena darahnya tumpah di desa pusat kerajinan itu. Karena
tinggal jauh, Susila tak mungkin lagi mengikuti kegiatan-kegiatan adat. Ia tahu, Wayan
Kroda sejak lama mendiskreditkan keluarganya. Dendam Kroda, dendam turunan. Ia
hanya memakai tangan adat untuk membalas rasa dendam ayahnya kepada ayah Susila.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Adat dibikin begitu kaku, bahkan digunakan untuk
menghantam orang-orang yang tidak disukai. Ini hanya dendam pribadi. Apa yang pantas
dicemburui dari keluargaku?"Susila terus membatin di sisi jenazah ayahnya. Bagaimana
mungkin seorang bekas pejuang melawan Belanda, sampai menjadi mayat pun tetap
diperlakukan secara hina. Larangan melakukan upacara jenazah di kuburan adat Banjar
Sari, berarti jalan buntu. Banjar adat lain tak mungkin menerima jenazah I Raneh, karena
ia bukan anggotanya. Kalau toh diizinkan, itu pasti melalui berbagai prosedur yang rumit
dan memakan waktu. Sementara saat yang baik untuk penguburan tinggal tiga hari lagi.
Sempat terlintas dalam pikirannya membawa jenazah ayahnya ke Denpasar untuk
dikremasi. Ia ingat di Pemakaman Mumbul ada krematorium milik umat Budha. Tetapi,
ide itu dipatahkan oleh ketiga adiknya. Ayah mereka harus mendapatkan penguburan
dengan upacara yang layak sebagai seseorang yang pernah berjasa. Sikap keras yang
ditunjukkan I Raneh selama ini, hanya karena ia tak ingin melihat Banjar Sari

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dieksploitasi untuk kepentingan politik dan modal. Tetapi, sikap itu dianggap merugikan
I Kleteg dan sebagian warga. SANKSI ini terlalu berat. Tak mungkin bisa ditanggungkan
oleh sesosok jenazah. Susila tetap menganggap bahwa sanksi adat itu sungguh tidak adil
terhadap ayahnya. Perundingan dengan ketiga adiknya tidak menemukan jalan keluar.
Kakak beradik itu hanya bisa meratap di sisi jenazah ayah mereka. Sesungguhnya banyak
warga bersimpati pada keluarga Susila. Mereka secara bisik-bisik mencoba mencari jalan
keluar dari kebuntuan sanksi adat itu. Namun, tetap saja warga tak berani datang untuk
sekadar mengucapkan rasa simpati atau turut berduka cita ke rumah Susila. Mereka juga
takut terkena sanksi: turut dikucilkan!Menurut perhitungan dewasa, hari ini hari terakhir
untuk melangsungkan upacara penguburan atau pembakaran jenazah. Kendati sudah lama
tinggal di kota seperti Jakarta, Susila sangat menghormati perhitungan dewasa itu.
Pengetahuan itu satu-satunya warisan ayahnya yang masih ia jalankan. Meski harus
mengorbankan harga dirinya, untuk kesekian kalinya Susila mendatangi rumah Wayan
Kroda. "Bli, sekarang hari terakhir dalam perhitungan dewasa untuk melaksanakan
penguburan. Saya atas nama ayah dan seluruh keluarga tetap meminta agar sanksi adat
dicabut, agar kami bisa menguburkan jenazah ayah...." Wayan Kroda tak segera
menyahut. Ia melihat babi peliharaan istrinya tetap liar. Bahkan, kali ini hampir merusak
seluruh tanaman di halaman rumahnya. Lagi-lagi ia berteriak memanggil anak
perempuannya agar segera mengikat babi itu."Sudah berapa kali pula saya katakan, ini
keputusan paruman adat. Saya tidak bisa mengubahnya sekehendak hati. Kalau kamu
mau sanksi itu diubah, mintakan kepada seluruh warga. Jangan datang lagi kepada saya.
Perkara di mana jenazah itu dikuburkan, bukan lagi urusan adat. Itu mutlak urusan
keluargamu," tiba-tiba kata Wayan Kroda dengan tekanan suara keras. Susila merasa
percuma berunding dengan orang yang memendam rasa dendam turunan. Bahkan,
dendam itu barangkali akan tetap melekat sampai cucu-cucu mereka kelak. Ia me-rasa
rasa benci senantiasa mendatangkan pikiran sesat. Wayan Kroda sedang disesatkan rasa
bencinya. Sebagai kelihan adat, seseorang yang dituakan dalam adat, tak pantas ia
berlaku begitu kepada warganya. Aturan adat disepakati untuk menciptakan harmoni
tatanan warga. Bahkan, harmoni warga dengan makhluk lain di sekitarnya. Bukan,
dijadikan alat untuk menekan dan menghukum orang-orang yang berseberangan secara
pribadi.Pagi itu juga Susila berangkat ke Denpasar dengan maksud menemui Gubernur.
Seorang petugas protokol memberitahu bahwa Gubernur sedang sibuk menerima tamu
dari Jakarta. "Tamu itu sangat penting. Jadi, Bapak harus mengajukan surat permohonan
dulu. Itu pun belum tentu bisa langsung menghadap. Paling tidak harus menunggu
seminggu," ujar petugas lelaki itu. "Barangkali saya bisa dipertemukan dengan pimpinan
lain. Wakil atau siapa sajalah. Ini soal penting dan sangat mendesak.""Semua pimpinan
juga sedang mendampingi Bapak. Jadi, bikin saja surat dulu.""Ini soal jenazah! Jadi, saya
harap bisa bertemu Gubernur.""Lebih baik berurusan dengan polisi, kalau menyangkut
penemuan jenazah," kata petugas itu.Sempat terlintas dalam benak Susila untuk
mendatangi Pimpinan DPRD. Tapi, niat itu ditepisnya. Ia tahu pasti, seperti yang biasa
terjadi wakil rakyat pun akan menampung keluhannya lantas dirundingkan dulu dengan
eksekutif. Padahal, ia berharap menemukan jalan keluar hari itu juga, agar jenazah
ayahnya tidak terkatung-katung.TEPAT seminggu jenazah I Raneh terbaring. Selama itu
tak seorang warga banjar pun yang datang menjenguk. Hanya beberapa kerabat jauh yang
turut menyertai Susila menjaga sosok tubuh ayahnya. Tetapi, setiap dimintai
pertimbangan rata-rata mereka tak punya jalan keluar. Mereka umumnya mengatakan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

penyelesaian upacara jenazah sangat tergantung pada banjar adat. "Jadi, kalau banjar adat
mengenakan sanksi, bisa berbuat apa kita ini?" kata seorang kerabat Susila. Pertanyaan-
pertanyaan seperti itu makin membuat kusut pikiran Susila. Ia berbaring di dekat
ayahnya. Ia tarik napasnya dalam-dalam lalu diembus seperti melenguh. Ada sesak dalam
dadanya. Susila sama sekali tak menduga begitu mudahnya warga adat dihasut untuk
berbuat keji. Sebagai orang yang lama merantau, Susila berpikir bahwa adatlah yang
selama ini menjadi benteng terakhir di banjar dari berbagai gempuran kehidupan modern.
Sebelumnya ia begitu yakin bahwa serbuan dunia modern menjadi satu-satunya
penghancur tatanan adat di Banjar Sari. Derasnya arus modal yang membawa peradaban
baru, akan mengubah kondisi sosial dan ekonomi. Saat itulah secara bersamaan terjadi
perubahan dalam cara berpikir dan pola prilaku masyarakat. "Dan, I Kleteg serta Wayan
Kroda merupakan pion-pion pembawa kehancuran di Banjar Sari? Mereka hanya
mementingkan keuntungannya sendiri dengan berdalih menjaga keutuhan adat....ah."
Susila mengembuskan asap rokoknya jauh-jauh. Ia ingin mengeluarkan seluruh sesak
yang memenuhi rongga dadanya. Asap itu berpadu dengan kepulan asap puluhan dupa
dari altar di sebelah kiri jenazah. Bergulung-gulung mencucuk langit-langit rumah. Di
luar gerimis menghantarkan suasana makin cepat jadi gelap. Dalam peti sosok tubuh I
Raneh membeku. Tetesan air di bagian ujung peti menandakan es di dalamnya terus
mencair. Tubuh lelaki berusia 78 tahun itu mengeras seperti menjadi satu zat dengan
tulang. Seluruh cairan tubuhnya pelan-pelan larut ke dalam tetesan bongkahan es.Saat
hendak mengisi kembali bongkahan es ke dalam peti itulah, seorang kerabat tiba-tiba
berteriak mengatakan bahwa jenazah I Raneh hilang. Beberapa kerabat lain menuduh
bahwa warga adat makin berbuat kejam. Wayan Kroda dituding menjadi otak pencurian
jenazah. "Ia keberatan, makin lama jenazah berada di rumah, bau tak sedap makin
merayap ke rumah-rumah warga," kata seorang kerabat liannya. "Tapi, bukankah bau tak
sedap itu bersumber dari dalam rumahnya sendiri?" kata yang lainnya lagi. Meski
jumlahnya tak begitu banyak para kerabat itu sepakat untuk mendatangi rumah Wayan
Kroda. Mereka ingin menuntut keadilan. Perbuatan Wayan Kroda dianggap sudah
keterlaluan: terhadap jenazah pun ia tak urung berbuat keji.Ketika melewati pintu depan,
para kerabat itu dikagetkan dengan ratapan Susila di sebuah rumah kecil di halaman. Di
dalam rumah itu terdapat gundukan yang baru saja digali. "Inilah rumah makam yang
saya bikin untuk ayah. Sewaktu kalian lelap, aku diam-diam membuatnya. Ayo semua
berdoa. Jangan pikirkan lagi soal sanksi adat itu. Penyelesaian cara inilah yang rupanya
tengah diinginkan oleh Wayan Kroda...! Ayo duduk dan berdoa, mengapa masih
bengong, tidakkah kalian ingin mendoakan agar ayahku tenang? Ayo......" Susila
memanggil ketiga adiknya sembari membagi-bagikan dupa. Pagi hari kegemparan
melanda seluruh Banjar Sari. Kabar tentang Susila membuat rumah makam di halaman
rumahnya tersebar cepat. Pagi itu juga Wayan Kroda menggelar paruman warga adat.
Mereka merembugkan sanksi baru yang harus ditimpakan kepada keluarga Susila. Selain
itu warga juga merencanakan menggelar upacara pembersihan desa. Tindakan Susila
dianggap telah membuat desa kotor. * Keterangan: Banjar : Komunitas masyarakat
adat.Kelihan Adat : Tetua AdatParuman : RapatDewasa : HariBli : Kakak Lelaki.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Sedang Tidak Menunggu Tuan!

Post: 09/20/2002 Disimak: 297 kali

Cerpen: Hamsad Rangkuti

Sumber: Kompas, Edisi 03/10/2002

MEREKA menggantungkan tabung infus di tiangnya, di sisi tempat tidur. Di bawah


tabung, slang pengantar cairan bergantung terayun-ayun seperti tali pada tiang bendera.
Air kehidupan yang tak berhenti menetes, masuk ke dalam urat nadi mereka, dari waktu
ke waktu, diiring doa sanak keluarga. Perangkat medis itu, tubuh yang terbujur dalam
sekat-sekat kain pembatas, tidak ubahnya plasenta dan bayi dalam rahim seorang ibu.
Aku sekarang adalah bayi itu, terbaring dalam rahim waktu, ruang bersekat tirai satu
setengah kali dua meter.Waktu terus bergeser. Datangnya waktu, datang pula mereka
dalam urutan yang sama, setiap hari. Mula-mula langkah dalam muatan kantuk seorang
wanita gemuk mendekat bersama suara roda bergelinding melindas celah lantai keramik
yang renggang. Langkah dan gelinding roda itu terhenti sesaat, terdengar bunyi panci
bersinggungan dan suara air diciduk dari dalam bejana dan dituangkan ke dalam panci.
Pintu dibuka, langkah-langkah mendekat masuk ruangan. Pantat panci bergeser di lantai,
didorong ke bawah tempat tidur. Dari sebelah menyebelah terdengar bunyi air diperah
dari handuk. Pagi tiba juga seperti biasa.Istriku datang saat air di panci itu telah dingin.
Ditambahnya air panas dari termos ke dalam panci. Mencelupkan handuk kecil,
memerahnya dan mulai melap tubuhku."Ada telepon? Siapa yang mau datang
menjengukku?""Tiap hari kau bertanya seperti itu. Tiap hari kau menanyakan orang-
orang yang kau kira memperhatikanmu. Tiap hari kau selalu bilang mereka adalah
sahabat-sahabat dekatmu. Apakah aku harus berbohong?"Aku tak menyalahkannya. Aku
maklum kalau akhirnya dia bereaksi seperti itu. Dia lelah. Banyak faktor yang
dipikirkannya, yang datang dari luar dirinya. Dia memang benar-benar lelah. Dia yang
membangunkan anak-anak ketika mendapatkan aku tersungkur tak sadarkan diri di lantai
kamar mandi. Dia menjerit dan berteriak-teriak membangunkan anak-anak. Menyuruh
mengeluarkan mobil. Dan terus menerus menangisiku yang diusung para tetangga ke
dalam mobil. Dia duduk memangkuku di bangku tengah dan terus-menerus dalam
keadaan tegang menghadapi jalan yang macat. Dia berteriak-teriak menyuruh mobil
dipacu lebih cepat supaya bisa lebih awal tiba di rumah sakit. Dia memang tegang. Dia
kurang tidur. Dia terus menerus menungguiku. Mengambil pispot. Menampungkannya.
Membuangnya ke kamar mandi. Meneteskan madu ke dalam mulutku. Menyuapiku.
Menampung muntah. Menjaga jarum infus supaya tidak terlepas dalam mengigauku yang
meronta. Dia berulang kali tersentak dari tidurnya karena sentakan liar yang kulakukan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Dan tak pernah lupa menuntunku menyebut Allah. Dia memang lelah. Terlalu banyak
yang membebaninya."Aku datang!" kata suara itu."Siapa Tuan?""Yang datang diakhir
kehidupan.""Tidak. Tidak sekarang. Harusnya Tuan tak datang, sekarang. Saya sedang
tidak menunggu Tuan.""Tak ada waktu untuk menunda. Sekarang adalah saatnya bagimu.
Ini takdirmu.""Tolonglah, Tuan. Jangan sekarang. Saya sedang tidak menunggu
Tuan."Dia tidak hiraukan aku. Dia buka gerbang ketidak-kekalan, lubang untuk jalan
berpindah dari negeri yang fana ke negeri yang baka. Aku dibawanya meninggalkan
hangatnya dunia fana. Masuk ke dalam liang cahaya yang dalam. Melayang bagai kapas
dalam tiupan angin kencang. Berakhir dengan tiba-tiba di hamparan kebun tembakau.
Seluruh mata memandang adalah lautan hijau daun tembakau.Aku tercebur ke dalam
lautan hijau pucuk tembakau itu. Kupu-kupu terbang meninggalkan telur di daun-daun
yang muda. Ibu datang menyongsong dari kejauhan. Ujung telekungnya terseret menyapu
pucuk-pucuk daun. Angin menebarkan wangi yang tak pernah tercium. Direntangkannya
tangan sebagai awal pelepas rindu. Dia muda. Lebih muda dari aku. Kutinggalkan
ciuman di keningnya sebelum orang menutupnya. Rentang waktu yang panjang. Empat
puluh tujuh tahun."Sekarang sudah tiba saatnya kau datang, anakku. Kau lihat itu,
adikmu, si Choliq. Abangmu, si Abdullah. Lihat, siapa di sana? Ayahmu, Muhammad
Saleh, si penjaga malam itu. Mari. Kami sudah lama menunggu kedatanganmu. Akhirnya
tiba juga saat itu. Mendekatlah. Lupakan semuanya. Kau sudah cukup lelah. Sudah cukup
waktu dunia menjadikan kau manusia pekerja. Beristirahatlah sekarang. Kau bekerja
telah terlalu lama. Sebelum mencapai usia sekolah, kau telah bekerja. Kau dan ibu
berjalan berkilo-kilo meter sejak subuh dan ketika matahari sepenggalah kita telah
sampai di sana, di kebun tembakau itu. Kita menyibak setiap daun mencari ulat dan telur
yang ditinggalkan kupu-kupu. Kita seperti burung pemakan ulat. Terbang dari daun ke
daun, menyibaknya, menjepit ulat-ulat itu dengan ujung bambu yang diraut runcing
seperti paruh. Ayolah mendekat. Kau sudah lelah, mengurus segala yang remeh temeh
dunia.""Tetapi, ibu, saya masih belum menuliskan semua itu. Menulis tentang kita dan
ulat daun tembakau dalam sebuah novel. Saya masih ingin menuliskannya dalam sebuah
cerita panjang. Jangan ajak saya dulu masuk ke dalam dunia ibu. Biarkan saya dulu di
dunia kehidupan. Anakku masih kecil-kecil. Masih banyak yang harus kukerjakan. Masih
banyak yang belum kukerjakan.""Tinggalkan segala urusan tetek-bengek dunia. Hentikan
omong kosong itu, menciptakan kebohongan-kebohongan yang kau mendapatkan
kenikmatan darinya. Tinggalkan semua itu. Jangan cemaskan segala yang kau tinggalkan.
Dunia kehidupan akan diurus dunia kehidupan. Ketika aku meninggalkan kalian, kalian
masih kecil-kecil. Kau masih kelas enam sekolah rakyat. Tidak ada masalah bukan?""Ibu
seharusnya tidak berakhir begitu cepat kalau mereka memperdulikan ibu. Tetapi ketika
itu saya masih kecil. Saya tidak tahu untuk berbuat apa. Setelah saya besar baru saya tahu
bahwa saudara-saudara kita yang mampu tidak menghiraukan ibu. Penyakit batuk yang
mengeluarkan darah ibu, tidak mereka cegah. Mereka tidak membawa ibu ke dokter. Ibu
sama sekali tidak disentuh obat yang bisa menyembuhkan penyakit ibu. Dikemudian hari
baru saya menyadari penyebab penyakit ibu. Kemiskinan kita yang pahit. Ibu menjual
jeruk di emper gedung bioskop hingga larut malam. Saya yang memikul salak dalam
karung sebelum dituang ke atas tikar yang kita bentangkan di emper bioskop. Ibu duduk
di atas tikar di bawah lampu neon gedung bioskop, menunggu para pembeli yang pulang
larut malam. Itulah penyebab penyakit ibu. Angin malam yang dingin. Angin malam
yang lembab. Dan itu pulalah penyebab ibu menjadi lebih cepat meninggalkan kami.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Coba kalau ibu hidup di zaman dimana banyak dokter ahli dan anak-anakmu sudah pada
mampu yang tak ibu dapatkan ketika ibu mati muda.""Ketahuilah, anakku, tidak semua
yang kita rencanakan bisa kita selesaikan. Kau sudah lelah. Sudah tua. Delapan belas
tahun lebih tua dari ibu. Kenangan untuk orang yang berpulang pada usia muda jauh
lebih indah dari pada mereka yang berusia tua. Tinggalkan kekacauan dunia. Masuklah
ke keabadian. Mari. Selamat datang, anakku."Aku mengelak dari tangkupan tangan ibu
yang hendak memelukku."Tidak. Tidak sekarang. Tidak sekarang saya datang kepada
ibu."Aku mundur menjauh. Ibu mendekat. Ujung telekungnya terseret di atas permadani
pucuk tembakau. Tepi kain putih itu dikibarkan angin yang datang membawa semerbak
wangi yang belum pernah tercium.Ayah menghentikan langkah ibu."Biarkan dia," kata
ayah. "Dia sekarang memang telah melampaui usiamu, lebih tua 18 tahun saat kau
meninggalkan kami. Tetapi dia belum sampai mendekati usiaku, 88 tahun. Dia belum
boleh menyerah. Bermohonlah kepada Allah agar kau bisa mencapai seusia ayah.
Bermohonlah kepadaNya agar kau bisa kembali ke dunia dan hidup 30 tahun lagi. Kau
harus seperti aku. Datang kepada kami, dalam usia delapan puluh delapan tahun. Kita
memiliki banyak kedekatan anakku. Sejak kecil kau dekat denganku. Menemaniku di
malam-malam dingin. Kita suka malam hari. Malam hari adalah milik orang-orang yang
terjaga. Terkadang kita seperti berhadapan dengan diri sendiri. Ayah adalah si penjaga
malam itu. Penjaga malam di pajak, pusat perbelanjaan yang kumuh dan becek. Setiap
malam aku memikul air untuk diisi ke bak-bak penampungan milik para pedagang
makanan dan minuman di los itu, kau yang menyuluh gang-gang gelap dengan senter.
Jendela, pengalih perhatian. Setiap malam kau dikuasai mimpi-mimpi. Ayah tahu semua
itu. Mimpi membuat kehidupan berlanjut. Ayah membiarkanmu seperti itu. Duduk di
dalam gelap. Merenungi jendela rumah penambal ban sepeda itu. Kau menunggu anak
gadis penambal ban sepeda itu membuka daun jendela. Ayah senyum setiap malam
melihatmu seperti itu. Memandang dari balik kawat jala mengintai anak gadis penambal
ban sepeda itu membuka daun jendela, membiarkan rambutnya terjurai dalam cahaya
bulan purnama. Kau adalah si penghayal itu. Kau sama seperti aku. Golongan para
pendongeng. Aku mendongeng di depan anak-anak tetangga setelah aku mengajarkan
agama kepada mereka. Aku menggantikan mesin pendongeng yang belum ada di
kampung kita waktu itu. Kita sesungguhnya memiliki banyak kesamaan dalam berbagai
hal. Kalau aku mendongeng langsung kepada pendengarku, sementara kau mendongeng
di atas kertas. Kau memiliki garis keturunan yang kuat pada diri aku. Dalam banyak hal
kau sama seperti aku. Maka kau harus berusia sama seperti aku, setidaknya mendekati
usia aku, delapan puluh delapan tahun, saat nanti kau menemui kami. Jadilah manusia
seusia aku saat kau nanti mengakhiri hidup, insya Allah. Bermohonlah kepadaNya.
Pulanglah. Pergi sana cari kehidupan. Ingat, ayah tak pernah mengajarkan hal-hal yang
buruk. Ayah mengajarkan hal-hal yang baik kepadamu. Jauhkan dirimu dari orang-orang
yang suka mengambil jalan pintas, yang membenarkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Jauhkan diri dari rasa iri, dengki dan tamak. Jauhi orang-orang yang suka
menghasutmu. Jauhi segala yang bisa menghasutmu. Jauhi sumber fitnah. Jangan hidup
seperti lilin, mengorbankan damar untuk nyalanya. Orang-orang itu masing-masing ada
tempatnya. Jangan dipaksakan. Perkecil risiko kalau tidak bisa menghindar darinya.
Kalau kau bisa menuruti semua itu, kau akan mendapatkan ketenangan hidup. Pergi sana,
temui istri dan anak-anakmu. Temui sahabat-sahabatmu. Bermohonlah kepada Allah agar
kau diberi umur panjang. Hidup bagaikan hadiah. Kalau Tuhan berkenan, kau mendapat

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kesempatan meneruskan hidup."Seekor anjing berwarna belang: hitam dan putih, datang
berlari mendekat kepada ayah. Ayah menghilang ke dalam hutan bersama anjing itu,
berburu kancil dengan sebatang tombak. Ibu menyambut hasil buruan ayah, seekor kancil
yang terluka. Nasi selalu tak tersedia di rumah. Ibu memanggang buruan itu dan
menghidangkan kancil guling. Tak ada nasi kecuali kangkung yang direbus pengganti
nasi. Aku mengusir anjing itu setiap kami hendak makan. Aku bersaing sepiring nasi
dengannya. Bila ada nasi, ibu membaginya sepuluh piring. Sepiring untuk anjing itu. Aku
menghalaunya jauh dari rumah. Aku senang kalau dia tak pulang. Tetapi dia tak bisa lari
dari rasa laparnya. Dia pulang pada jam-jam makan. Kuhadang dia di tengah jalan. Tak
kuberi jalan untuk pulang. Kuambil batu. Kulempar kakinya. Itulah kaing terakhirnya
yang pernah kudengar. Dia lari membawa kakinya yang pincang, ke seberang jalan.
Kadang sesuatu terjadi begitu saja. Mobil patroli Belanda melintas dan melindas
tubuhnya. Ayah membawa bangkai anjing itu ke rumah. Aku membawa sekop dan
menggali lubang. Ayah memasukkan bangkai anjing itu ke dalam lubang, aku
menimbunnya.Aku kempeskan ban sepeda dan pergi ke bengkel sepeda itu
memompanya. Aku lakukan berlama-lama sampai anak gadis itu keluar untuk keperluan
sesuatu yang dia cari-cari, kadang dia membuang sampah dapur. Aku melirik kepadanya,
dia melirik kepadaku dan melempar senyum. Jendela, pengalih perhatian. Malam harinya
aku menyusuri lorong gelap di dalam pajak, los tempat berjual ikan, sayur, buah, sapu
lidi, sapu ijuk, bakul anyaman bambu dan keranjang-keranjang rotan. Di balik rentangan
kawat jala-pagar pusat perbelanjaan itu dibuat dari jalinan kawat jala-di seberang jalan, di
loteng rumah penambal ban sepeda itu, daun jendela itu terkuak. Anak gadis itu
membiarkan cahaya bulan masuk memeluk tubuhnya dengan warna perak. Aku
sandarkan ujung tangga pada sisi atas besi pagar, aku naik dan merobah posisi tangga.
Aku turun dan meletakkan ujung tangga di bawah bendul jendela. Selangkah demi
selangkah aku naik dan, muncul di luar jendela. Dia lihat aku, lalu lari ke pintu,
menutupnya, dan menguncinya dari dalam. Dari pintu yang telah terkunci dia lari ke
jendela, menolongku masuk dan, mendorong ujung tangga. Terdengar tangga jatuh dan
sepi malam. Jendela dia tutup, mengusir cahaya bulan. Bulan tak ikut masuk. Lewat celah
kayu rangka jendela dia mengintip melihat aku menggantikannya."Pergi ambil jeruk di
pajak buah dekat pintu." Kata ayah muncul dari balik cahaya bulan. Tak ada atap
penghalang langit. Semuanya muncul seperti kelambu yang ditambatkan pada empat
tiang. Penuh kristal cahaya. Bulan tergantung di sudutnya. "Pergilah. Besok pagi akan
ayah beri tahu pemiliknya, ayah mengambil sebutir jeruk. Pergilah ke lorong-lorong
gelap itu. Raba di mana jeruk itu tersimpan. Ambillah sebutir. Jangan lebih dari
satu."Malam dengan pancaran bulan penuh. Tak ada gelap di dalam los kecuali terang-
benderang yang membungkus. Aku hanyut dalam arus cahaya dalam lorong-lorongnya
yang bercabang melintasi pajak ikan, pajak sayur, pajak barang pecah-belah dan pajak
buah dekat pintu. Aku menyelusup ke bawah rak yang ditutup karung goni. Tanganku
meraba di bawah karung, menyentuh buah-buah yang berbeda di antara sekat-sekat
pemisah. Apel yang dibungkus jaringan lembut, markisah, semangka, dukuh, salak dan
mangga. Aku ingin sebutir jeruk. Aku terus meraba. Ada yang terdorong oleh tubuhku.
Sesuatu bergeser di atas. Sekeranjang jeruk jatuh menimpaku, tepat di dada. Aku
terbatuk.Dia berdiri di samping keranjang jeruk. Diraihnya tanganku. Ditariknya aku dari
tumpukan jeruk, masuk ke dalam relung cahaya yang vertikal, melejit di dalamnya,
seperti gelembung dalam pipa air, menerobos langit-langit kelambu. Ayah melempar

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

senyum kepadaku sebelum atap bangunan terkatup menyembunyikannya. Kami hanyut


dalam arus cahaya melintas di hamparan kebun tembakau meninggalkan ibu yang berlari
di atas pucuk-pucuk daun, mengejar kami. Kami semakin jauh meninggalkannya, sampai
semuanya lenyap. Akhir semua itu adalah titik awal cahaya. Tuan itu melepas
pegangannya, mendorongku ke luar cahaya berpindah ke negeri yang fana. Sebelum
menutup gerbang fana, dia senyum kepadaku."Aku akan menjemputmu nanti."Aku
terbatuk mendapatkan kegelapan mata terpejam. Kupaksa membuka mata. Tapi tak
kuasa. Aku tak tahu aku berada di mana."Bangunlah, cerpenis. Kau belum mau mati."
Suara itu terdengar selayang dekat daun telinga. Terasa ada sentuhan di bagian atas
selimut."Bangun Bang. Kami masih menunggu cerpen-cerpen Abang." Kupaksa
membuka mata tetapi tak berdaya. Semua terasa masih melayang. Tak begitu
jelas."Bangunlah." Suara magis itu mendatangkan kekuatan untuk aku membuka mata.
"Bangunlah, coba lihat, siapa yang datang?"Dengan sangat sulit aku membuka mata.
Dalam nanar kudapati diriku di ruang yang tak pernah kukenal. Kulihat wanita itu, tapi
tak begitu jelas, berada di samping tempat aku terbaring. Wajahnya terbagi dua oleh
benda yang terjulai."Siapa engkau?""Aku istrimu. Nurwindasari." Disingkirkannya benda
yang terjulai, yang menghalangi pandangannya padaku. Wajah wanita itu sekarang
tampak utuh dalam linangan air mata."Di mana aku?""Di rumah sakit. Kami telah kau
bikin cemas. Grafik detak jantungmu di layar monitor menunjukkan garis lurus.
Jantungmu telah berhenti berdetak. Aku terus menerus berdoa kepada Allah, memohon
kepada-Nya agar kau diberi umur. Dokter terus-menerus tak bosan-bosannya merangsang
jantungmu agar kembali berdenyut. Dia hantamkan berulang-ulang dua alat kejut jantung
ke dadamu. Dada kiri dan kanan bersamaan. Dokter itu seperti memegang dua strika
listrik yang dihantamkannya ke dadamu. Alhamdulillah. Jantungmu kembali berdetak.
Segala puji bagi Allah.""Aku takut. Aku bertemu orang-orang yang telah meninggal.
Ibuku, ayahku, abangku, adikku dan orang yang pernah dekat denganku. Aku juga
bertemu dengan anjing kami yang telah lama mati. Aku bertemu di tempat kami pernah
bersama.""Itu hanya mimpi-mimpi burukmu. Jangan terlampau dipikirkan.""Itu bukan
mimpi. Aku datang kepada mereka. Aku bertemu Arida di tempat yang itu-itu juga. Di
kamar itu. Di jendela itu.""Selalu itu saja yang kau ceritakan setiap wanita itu datang
mengganggu tidurmu.""Dia melompati jendela waktu dia tahu aku lari ke Jakarta.""Itu
lagi yang kau ulang-ulang. Penyesalan yang tak pernah habisnya. Lupakan semua itu.
Masing-masing ada pada takdirnya.""Aku takut. Dosa-dosaku. Aku belum siap untuk
mati.""Suatu hari semua kita akan pulang. Kita semua tahu itu. Tapi semua kita belum
siap. Selalu begitu. Belum siap untuk mati. Itulah sebabnya kita berdoa, biar diberi umur
oleh Allah. Aku tidak henti-hentinya berdoa supaya kau diberi umur panjang. Kau
yakinkan itu, kau sekarang sedang tidak menunggu dia. Kita sekarang sedang tidak
menunggu dia. Hilangkan rasa takutmu. Sudah tidak ada lagi yang perlu ditakutkan.
Masa kritismu sudah lewat, kata dokter. Kita sekarang sedang menunggu orang-orang
yang mencintaimu. Menunggu orang-orang yang menyayangimu. Para sahabatmu.""Aku
tidak ingin lahir dari sini disambut ibu dan ayahku. Aku ingin lahir dari tempat ini
disambut istri dan anak-anakku. Disambut orang-orang yang mencintaiku. Disambut
sahabat-sahabatku.""Bersyukurlah. Masih ada kesempatan untuk hidup. Lihat di balik
dinding kaca itu. Siapa yang berdiri di sana? Mereka tadi sudah diizinkan dokter masuk
menjengukmu. Satu per satu mereka masuk bergantian menyalaminya. Mereka memberi
semangat hidup kepadamu. Lihatlah. Mereka masih belum mau beranjak dari sana

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

meninggalkanmu. Mereka masih melihat padamu dari balik dinding kaca itu. Lihatlah,
mereka memberi senyum kehidupan kepadamu. Coba kau perhatikan dari sisi kirimu. Di
sana ada Haji Danarto, Sapardi Djoko Damono, Lukman Setiawan, Galeb Husyen,
Kenedi Nurhan, Sori Siregar, Martin Alaida.""Siapa lagi?""Wiwiek Sipala, Syahnagra
Ismail, Wisnu Murti Ardjo, Kak Atie, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, Titik Ws.,
Elanda Rosi DS, Adri Darmadji Woko, Lazuardi Adi Sage, Remi Novaris, Abrar Siregar,
Ibrahim Basalmah.""Siapa lagi mereka?" ***

Legenda Wongasu

Post: 09/20/2002 Disimak: 317 kali

Cerpen: Seno Gumira Ajidarma

Sumber: Kompas, Edisi 03/03/2002

SUATU ketika kelak, seorang tukang cerita akan menuturkan sebuah legenda, yang
terbentuk karena masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, di sebuah negeri yang
dahulu pernah ada, dan namanya adalah Indonesia. Negeri itu sudah pecah menjadi
berpuluh-puluh negara kecil, yang syukurlah semuanya makmur, tetapi mereka masih
disatukan oleh bahasa yang sama, yakni Bahasa Indonesia, sebagai warisan masa
lalu.Barangkali tukang cerita itu akan duduk di tepi jalan dan dikerumuni orang-orang,
atau memasang sebuah tenda dan memasang bangku-bangku di dalamnya di sebuah pasar
malam, atau juga menceritakannya melalui sebuah teater boneka, bisa boneka yang
digerakkan tali, bisa boneka wayang golek, bisa juga wayang magnit yang digerakkan
dari bawah lapisan kaca, dengan panggung yang luar biasa kecilnya. Untuk semua itu, ia
akan menuliskan di sebuah papan hitam: Hari ini dan seterusnya "Legenda Wongasu".
Berikut inilah legenda tersebut:"Untung masih banyak pemakan anjing di Jakarta," pikir
Sukab setiap kali merenungkan kehidupannya. Sukab memang telah berhasil
menyambung hidupnya berkat selera para pemakan anjing. Krisis moneter sudah
memasuki tahun kelima, itu berarti sudah lima tahun Sukab menjadi pemburu anjing,
mengincar anjing-anjing yang tidak terdaftar sebagai peliharaan manusia, memburu
anjing-anjing tak berpening yang sedang lengah, dan tiada akan pernah mengira betapa
nasibnya berakhir sebagai tongseng.Semenjak di-PHK lima tahun yang lalu, dan
menganggur lontang-lantung tanpa punya pekerjaan, Sukab terpaksa menjadi pemburu
anjing supaya bisa bertahan hidup. Kemiskinan telah memojokkannya ke sebuah gubuk

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

berlantai tanah di pinggir kali bersama lima anaknya, sementara istrinya terpaksa melacur
di bawah jembatan, melayani sopir-sopir bajaj. Dulu ia begitu miskin, sehingga tidak
mampu membeli potas, yang biasa diumpankan para pemburu anjing kepada anjing-
anjing kurang pikir, sehingga membuat anjing-anjing itu menggelepar dengan mulut
berbusa.Masih terbayang di depan matanya, bagaimana ia mengelilingi kota sambil
membawa karung kosong. Mengincar anjing yang sedang berkeliaran di jalanan,
menerkamnya tiba-tiba seperti harimau menyergap rusa, langsung memasukkannya ke
dalam karung dan membunuhnya dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini. Sukab
tidak pernah peduli, apakah ia berada di tempat ramai atau tempat sepi. Tidak seorang
pun akan menghalangi pekerjaannya, karena anjing yang tidak terdaftar boleh dibilang
anjing liar, dan anjing liar seperti juga binatang-binatang di hutan yang tidak dilindungi,
boleh diburu, dibinasakan, dan dimakan.Apabila Sukab sudah mendapatkan seekor anjing
di dalam karungnya, ia akan berjalan ke sebuah warung kaki lima di tepi rel kereta api,
melemparkannya begitu saja ke depan pemilik warung sehingga menimbulkan suara
berdebum. Pemilik warung akan memberinya sejumlah uang tanpa berkata-kata, dan
Sukab akan menerima uangnya tanpa berkata-kata pula. Begitulah Sukab, yang tidak
beralas kaki, bercelana pendek, dan hanya mengenakan kaus singlet yang dekil, menjadi
pemburu anjing di Jakarta. Ia tidak menggunakan potas, tidak menggunakan tongkat
penjerat berkawat, tapi menerkamnya seperti harimau menyergap rusa di dalam hutan.Ia
berjalan begitu saja di tengah kota, berjalan keluar-masuk kompleks perumahan,
mengincar anjing-anjing yang lengah. Di kompleks perumahan semacam itu anjing-
anjing dipelihara manusia dengan penuh kasih sayang. Bukan hanya anjing-anjing itu
diberi makanan yang mahal karena harus diimpor, atau diberi makan daging segar yang
jumlahnya cukup untuk kenduri lima keluarga miskin, tapi juga dimandikan, diberi bantal
untuk tidur, dan diperiksa kesehatannya oleh dokter hewan setiap bulan sekali. Sukab
sangat tidak bisa mengerti bagaimana anjing-anjing itu bisa begitu beruntung, sedangkan
nasibnya tidak seberuntung anjing-anjing itu.Namun, anjing tetaplah anjing. Ia tetap
mempunyai naluri untuk mengendus-endus tempat sampah dan kencing di bawah tiang
listrik. Apabila kesempatan terbuka, tiba-tiba saja mereka sudah berada di alam belantara
dunia manusia. Di alam terbuka mereka terpesona oleh dunia, mondar-mandir ke sana
kemari seperti kanak-kanak berlarian di taman bermain, dan di sanalah mereka menemui
ajalnya. Diterkam dan dibinasakan oleh Sukab sang pemburu, untuk akhirnya digarap
para pemasak tongseng. "Sukab, jangan engkau pulang dengan tangan hampa, anak-anak
menantimu dengan perut keroncongan, jangan kau buat aku terpaksa melacur lagi di
bawah jembatan, hanya supaya mereka tidak mengais makanan dari tempat sampah," kata
istrinya dahulu.Kepahitan karena istrinya melacur itulah yang membuat Sukab menjadi
pemburu anjing. Hatinya tersobek-sobek memandang istrinya berdiri di ujung jembatan,
tersenyum kepada sopir-sopir bajaj yang mangkal, lantas turun ke bawah jembatan
bersama salah seorang yang pasti akan mendekatinya. Di bawah jembatan istrinya
melayani para sopir bajaj di bawah tenda plastik, hanya dengan beralaskan kertas koran.
Tenda plastik biru itu sebetulnya bukan sebuah tenda, hanya lembaran plastik yang
disampirkan pada tali gantungan, dan keempat ujungnya ditindih dengan batu. Sukab
yang berbadan tegap lemas tanpa daya setiap kali melihat istrinya turun melewati jalan
setapak, menghilang ke bawah tenda."Inilah yang akan terjadi jika engkau tidak bisa
mencari makan," kata istrinya, ketika Sukab suatu ketika mempertanyakan kesetiaannya,
"pertama, aku tidak sudi anak-anakku mati kelaparan; kedua, kamu toh tahu aku ini

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sebetulnya bukan istrimu."Perempuan itu memang ibu anak-anaknya, tapi mereka


memang hanya tinggal bersama saja di gubug pinggir kali itu. Tidak ada cerita sehidup
semati, surat nikah apalagi. Mereka masih bisa bertahan hidup ketika Sukab menjadi
buruh pabrik sandal jepit. Meski tidak mampu menyekolahkan anak dan tidak bisa
membelikan perempuan itu cincin kalung intan berlian rajabrana, kehidupan Sukab masih
terhormat, pergi dan kembali seperti orang punya pekerjaan tetap. Ketika musim PHK
tiba, Sukab tiada mengerti apa yang bisa dibuatnya. Kehidupannya sudah termesinkan
sebagai buruh pabrik sandal jepit. Begitu harus cari uang tanpa pemberi tugas, otaknya
mampet karena sudah tidak biasa berpikir sendiri, nalurinya hanya mengarah kepada satu
hal: berburu anjing. Itulah riwayat singkat Sukab, sampai ia menjadi pemburu anjing.
Kini ia mempunyai beberapa warung yang menjadi pelanggannya di Jakarta. Tangkapan
Sukab disukai, karena ia piawai berburu di kompleks perumahan gedongan. Konon
anjing peliharaan orang kaya lebih gemuk dan lebih enak dari anjing kampung yang
berkeliaran. Tapi Sukab tidak pandang bulu. Ia berjalan, ia memperhatikan, dan ia
mengincar. Anjing yang nalurinya tajam pun bisa dibuatnya terperdaya. Apa pun
jenisnya, dari chihuahua sampai bulldog, dari anjing gembala Jerman sampai anjing
kampung, seperti bisa disihirnya untuk mendekat, lantas tinggal dilumpuhkan, lagi-lagi
dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.Perburuan anjing itu menolong kehidupan
Sukab. Perempuan yang disebut istrinya meski mereka tidak pernah menikah itu tak
pernah pergi lagi ke bawah jembatan, melainkan memasak kepala anjing yang diberikan
para pemilik warung kepada Sukab. Seperti juga ia melemparkan karung berisi anjing
kepada pemilik warung sehingga menimbulkan bunyi berdebum, begitu pula ia
melemparkan kepala anjing itu ke hadapan perempuan itu. Anak-anak mereka yang
jumlahnya lima itu menjadi gemuk dan lincah, namun dari sinilah cerita baru
dimulai.***SEPANJANG rel, tempat ia selalu membawa karung berisi anjing, anak-anak
berteriak mengejeknya."Wongasu! Wongasu!"Mula-mula Sukab tidak peduli, tapi
kemudian perempuan yang disebut istrinya itu pun berkata kepadanya."Sukab! Mereka
menyebut kita Wongasu!""Kenapa?""Katanya wajah kita mirip anjing."Mereka begitu
miskin, sehingga tidak punya cermin. Jadi mereka hanya bisa saling memeriksa.Betul
juga. Mereka merasa wajah mereka sekarang mirip anjing."Anak-anak tidak lagi bermain
dengan anak-anak tetangga, karena mereka semua mengejeknya sebagai Wongasu."Ia
perhatikan, anak-anak mereka juga sudah mirip anjing. Perasaan Sukab remuk redam.
"Aduhai anak-anakku, kenapa mereka jadi begitu?" Sukab merenung sendirian. Kalaulah
ini semacam karmapala karena perbuatannya sebagai pemburu anjing, mengapa hal
semacam itu tidak menimpa para pemakan anjing saja? Bukankah perburuan anjing itu
bisa berlangsung, hanya karena ada juga warung-warung penjual masakan anjing yang
selalu penuh dengan pengunjung? Kenapa hanya dirinya yang menerima karmapala?
Orang-orang itu memakan anjing karena punya uang, begitu pikiran Sukab yang
sederhana, sedangkan ia dan keluar-ganya memakan hanya kepalanya saja karena tidak
punya uang. Sejumlah uang yang diterimanya dari para pemilik warung, yang mestinya
cukup untuk membeli ikan asin dan nasi, biasa habis di lingkaran judi, tempat dahulu ia
bertemu dengan perempuan itu-yang telanjur dicintainya setengah mati. Bukan berarti
Sukab seorang penjudi, tapi ia juga punya impian untuk mengubah nasib secepat-
cepatnya. Namun kini mereka semua menjadi Wongasu. "Tidak ada yang bisa kita
lakukan selain bertahan hidup," kata Sukab. Perempuan itu menangis. Wajahnya yang
cantik lama-lama juga menjadi mirip anjing. Meski sudah tidak melacur, tentu saja ia

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tetap ingin kelihatan cantik. Begitu juga Sukab. Anak-anak mereka terkucil dan setiap
kali berkeliaran menjadi bahan ejekan.Sukab tetap menjalankan pekerjaannya, dan
pekerjaannya memang menjadi semakin mudah. Bukan karena anjing-anjing itu melihat
kepala Sukab semakin mirip dengan mereka, melainkan karena penciuman mereka yang
tajam mencium bau tubuh Sukab yang rupa-rupanya sudah semakin berbau anjing.
Mereka datang seperti menyerahkan diri kepada Sukab yang telah sempurna sebagai
Wongasu. Kadang-kadang Sukab cukup membuka karung dan anjing itu memasuki
karung itu dengan sukarela, seperti upacara pengorbanan diri, meski Sukab tetap akan
mengakhiri hidup mereka, tentu saja dengan cara yang tidak usah diceritakan di sini.Ia
akan datang dari ujung rel memanggul karung berisi anjing, melemparkannya ke hadapan
pemilik warung berdingklik di tepi rel sehingga menimbulkan bunyi berdebum, dan
segera pergi lagi setelah menerima sejumlah uang. Di belakangnya anak-anak kecil
berteriak."Wongasu! Wongasu!"Pada suatu hari, ketika ia kembali ke gubugnya di
pinggir kali, seseorang berteriak kepadanya."Wongasu! Mereka mengangkut
keluargamu!"Rumah gubugnya porak poranda. Seorang tua berkata kepadanya bahwa
penduduk mendatangkan petugas yang membawa kerangkeng beroda. Perempuan dan
anak-anaknya ditangkap. Mereka dibawa pergi."Ke mana?""Entahlah, kamu tanyakan
sendiri saja sana!"Waktu Sukab berjalan di sepanjang tepi kali, ia mendengar mereka
berbisik-bisik dari dalam gubug-gubug kardus."Awas! Wongasu lewat! Wongasu
lewat!""Heran! Kenapa kepalanya bisa berubah menjadi kepala anjing?""Itulah
karmapala seorang pembunuh anjing.""Tapi kita semua makan anjing, siapa yang mampu
beli daging sapi dalam masa sekarang ini? Bukankah justru....""Husssss....."Di kantor
polisi terdekat Sukab bertanya, apakah mereka tahu akan adanya pengerangkengan tiada
semena-mena sebuah keluarga di tepi kali."Oh, itu. Bukan polisi yang mengangkut, tapi
petugas tibum.""Apa mereka melanggar ketertiban umum?"Polisi itu kemudian bercerita,
bagaimana salah seorang anak Sukab tidak tahan lagi karena selalu dilempari batu,
sehingga mengejar pelempar batu dan menggigitnya. Bapak anak yang digigit sampai
berdarah-darah itu tidak bisa menerima, lantas mengerahkan pemukim pinggir kali untuk
mengepung gubug mereka. Kejadian itu dilaporkan kepada petugas tibum yang tanpa
bertanya ini itu segera mengangkut mereka sambil menggebukinya.Diceritakan oleh
polisi itu bagaimana perempuan dan kelima anaknya itu berhasil dimasukkan ke dalam
kerangkeng, hanya setelah memberi perlawanan yang luar biasa."Mereka menyalak-
nyalak dan berkaing-kaing seperti anjing," kata polisi itu, seolah-olah tidak peduli bahwa
wajah Sukab juga seperti anjing."Hati-hati lewat sana," katanya lagi, "mereka juga bisa
menangkap saudara.""Kenapa Bapak tidak mencegah mereka, perlakuan itu kan tidak
manusiawi?"Polisi itu malah membentak."Apa? Tidak manusiawi? Apa saudara pikir
makhluk seperti itu namanya manusia?""Mereka juga manusia, seperti Bapak!""Tidak!
Saya tidak sudi disamakan! Mereka itu lain! Saudara juga lain! Sebetulnya saya tidak
bisa menyebut Anda sebagai Saudara. Huh! Saudara! Saudara dari mana? Lagi pula,
Anda bisa bayar berapa?"Sukab berlalu. Nalurinya yang entah datang dari mana serasa
ingin menerkam dan merobek-robek polisi itu, tapi hati dan otaknya masih manusia. Ia
berjalan di kaki lima tak tahu ke mana harus mencari keluarganya.Setelah malam tiba, ia
kembali ke pinggir kali dengan tangan hampa. Ia berjongkok di bekas gubugnya yang
hancur, menangis, tapi suara yang keluar adalah lolongan anjing.Hal ini membuat orang-
orang di pinggir kali lagi-lagi gelisah. Lolongan di bawah cahaya bulan itu terasa
mengerikan. Ketakutannya membuat mereka mendatangi Sukab yang masih melolong ke

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

arah rembulan dengan memilukan. Mereka membawa segala macam senjata


tajam.***"MEREKA membantai Sukab," ujar tukang cerita itu, dan para pendengar
menahan nafas."Dibantai bagaimana?""Ya dibantai, kalian pikir bagaimana caranya
kalian membantai anjing?""Terus?""Mereka pulang membawa daging ke gubug masing-
masing.""Terus?""Terus! Terus! Kalian pikir bagaimana caranya mendapat gizi dalam
krisis ekonomi berkepanjangan?"Ada yang menahan muntah, tapi masih penasaran
dengan akhir ceritanya."Yang bener aje, masa' Sukab dimakan?"Tukang cerita itu
tersenyum."Lho, itu tidak penting."Orang-orang yang mau pergi karena mengira cerita
berakhir, berbalik lagi."Apa yang penting?""Esoknya, ketika matahari terbit, dan orang-
orang bangun kesiangan karena makan terlalu kenyang dan mabuk-mabukan, terjadi
suatu peristiwa di luar dugaan.""Apa yang terjadi?""Ketika terbangun mereka semua
terkejut ketika saling memandang, mereka bangkit dan menyalak-nyalak, lari kian kemari
sambil berkaing-kaing seperti anjing!""Haaaa?""Kepala mereka telah berubah menjadi
kepala anjing!""Aaahhh!!!""Mereka semua telah berubah menjadi Wongasu!!"Mulut
tukang cerita membunyikan gamelan bertalu-talu sebagai tanda cerita berakhir, dan mulut
para asistennya membunyikan suara lolongan anjing yang terasa begitu getir sebagai
tangis perpisahan yang menyedihkan. Para penonton terlongong dengan lidah terjulur.Di
langit masih terlihat rembulan yang sama, dengan cahaya kebiru-biruan menyepuh daun
yang masih juga selalu memesona.Pertunjukan akhirnya benar-benar selesai, tukang
cerita itu memasukkan kembali wayangnya ke dalam kotak. Para penonton yang
semuanya berkepala anjing itu pulang ke rumah, dengan pengertian yang lebih baik
tentang asal-usul mereka sendiri. Guk! * Cirebon-Wangon-Jogja, Januari 2002. * Pesan
pengarang: Sayangilah anjing, sayangilah makhluk ciptaan Tuhan.

Ikan Asing dari Weipa-Nappranum

Post: 09/20/2002 Disimak: 300 kali

Cerpen: Triyanto Triwikromo

Sumber: Kompas, Edisi 01/27/2002

Aku sedang belajar menjadi iblis, Susan. Aku akan membakar wajahmu.SUSAN masih
termenung di undak-undakan Sydney Opera House ketika angin Oktober yang ganjil dan
dingin bangkit dari laut bertabur serbuk putih cahaya bulan. Sambil menenggak Red
Wine, ia melihat ratusan ikan asing1 berkelebat terbang mengelilingi gedung-gedung
bergaya Victoria di Darling Harbour yang sejak senja dipenuhi puluhan merpati dan para
remaja yang asyik berciuman."Kalau saja bias lampu itu jalin-menjalin jala, ikan-ikan itu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pasti terjaring dan akhirnya menggelepar-gelepar ketakutan," lenguh Susan


pelan.Teramat pelan, sehingga tak mengganggu Fiona yang merespons desau angin
dengan denting kecapi Sunda yang menyayat-nyayat sukma. "Aku selalu memimpikan
saat-saat seperti ini, Susan. Hanya berdua. Hanya merasakan gairah laut dan menikmati
kesunyian cinta sambil sesekali mencumbumu dengan desah tertahan."Susan, seperti
malam-malam penuh pasir, ketam, kerang, dan gelepar angin di Bondi Beach, tak
mendengarkan denting kecapi atau lenguh luka Fiona. Selalu, bahkan setelah
meninggalkan Surakarta pada tahun 1998 yang perih, ia lebih terpesona oleh berbagai
panorama aneh yang timbul tenggelam di tengah lautan.Saat itu, setelah terlalu suntuk
latihan nyindhen untuk opera The Theft of Sita karya sutradara kawakan Australia, Nigel
Jamieson, ia juga melihat ratusan kera menyembul dari laut dan berusaha memperkosa
istri Rama yang tersalib di bawah kesombongan lengkung Harbour Bridge.Dan, karena
setiap loncatan kera didera oleh lampu-lampu indah yang melekat di jembatan lengkung
kebanggaan Sydney, panorama itu mengingatkan Susan pada kisah lidah-lidah api yang
menjilat-jilat tubuh Sita dalam epos Ramayana. Ia tahu petilan keindahan cerita itu saat
belajar nyindhen di Kota Bengawan. Waktu itu, sebelum hampir seluruh kota di
Indonesia dilahap kobaran api, ia diajak penyair Sosiawan Leak ngelayap ke Karanganyar
menonton pertunjukan lakon Rama Tambak Ki Manteb Soedharsono."Dia tak akan bisa
lepas dari jerat Rahwana sebagaimana aku sulit lepas dari jaring cinta ajaib Fiona,"
lenguh Susan sambil terus menikmati cabikan dawai kecapi sang kekasih.Cabikan itu
menimbulkan bunyi ganjil serupa desau ombak, serupa riuh angin yang membelai rambut
indah Fiona. Lalu, karena Fiona mendesahkan lengking yang tak lengking, lenguh yang
tak lenguh, ngiau yang tak ngiau, malam tiba-tiba seperti dikepung suara-suara
hantu.Tidak! Tidak! Di telinga Susan, suara Fiona yang serak tak serak itu ternyata lebih
menyerupai desis soul Bertha, penyanyi jazz dari Betawi, saat melantunkan New York
New York, Are You Girl Friend, atau Kasih di Kala Remaja secara bersamaan.Suara itu
menggelepar bagai ikan-ikan asing dari laut yang juga asing, sehingga membuat bulu
kuduk Susan berdiri tak karuan. Dan itu membuat perempuan bertabur manik-manik dari
Weipa-Nappranum2 yang tak henti-henti menenggak Red Wine tersebut punya alasan
memeluk sang kekasih. Punya alasan mendekap jiwa yang tak pernah kehilangan cahaya
rembulan. "Sudahlah darling, kita toh masih punya banyak acara. Hentikan denting
kecapimu.""Acara apa lagi?""Apa lagi kalau tak merampok pria-pria dungu di King
Cross!"Tanpa dikomando dua kali, Fiona mengerti maksud Susan. Sebagaimana malam-
malam sebelumnya, bersama Susan, dia akan melesat ke kawasan mesum terbesar di
Sydney itu, menyamar sebagai penari bugil, dan akhirnya memperdaya pria-pria
pemabuk dan menguras kantung mereka."Ingat, selalu hanya untuk uang mereka. Bukan
untuk yang lain-lain.""Ya, selalu hanya untuk kedunguan mereka," bisik Fiona sambil
mengulum lembut telinga perempuan Aborigin yang sekalipun agak berkulit gelap, selalu
tampil menawan itu.***Ia adalah bidadari dari Thainakuith. Tetapi ada yang hendak
membunuh perempuan seindah keramik Cina itu. Ada yang hendak membakar wajah
tembikar bersepuh mawar yang tak pecah-pecah itu.Sesungguhnya saya hanya penari
bugil. Selalu jika malam telah melabrak lampu-lampu merkuri, saya akan melesat ke
King Cross, menyusup ke salah satu ruang pengap yang senantiasa dikerumuni para
lelaki, dan menarikan jiwa liar untuk mengeruk dollar dari pria-pria aneh yang sering
saya andaikan sebagai kerumunan kera itu.Asal tahu, saya tak pernah jatuh cinta pada
Subali-Sugriwa yang pencilakan itu. Apalagi terperangkap cinta para Anoman. Aha,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

memang keliru mengandaikan mereka dengan para jagoan Ramayana yang digambarkan
para dalang sebagai pahlawan lurus hati itu. Tetapi, begitulah, saya memang telanjur
menganggap mereka sebagai kera-kera-kera serakah. Dan, sebagaimana Ki Manteb, saya
memang tak pernah menganggap Sugriwa, Subali, atau Anoman sebagai pahlawan.Jika
boleh menyebut jiwa yang mendesis-desis sebagai cinta, rasa kasmaran saya justru
senantiasa membelit tubuh Fiona. Dan cinta kami, kalau boleh dua perempuan cantik
mengikrarkan cinta, bisa diibaratkan sebagai ular-ular yang pating kruntel tak
terpisahkan."Sejak lama hidupku sudah terpisah dari kehidupan orang-orang Sydney,
Fiona. Seperti kepada nenek moyangku, mereka selalu mencoba mendepakku dari pub,
gereja, bahkan dari jalanan gelap sekalipun. Dan, jatuh cinta kepadamu akan lebih
menyingkirkan aku dari mereka," kata saya kepada Fiona ketika kali pertama perempuan
manis dari 27 Kent Road, Rose Bay, New South Wales 2029, itu mencium
kening."Dengar, Fiona! Kalau kita tinggal serumah, sangat mungkin saudara-saudaramu
akan menuangkan racun ke gelas minumku. Ya, bukankah nenek moyangmu pernah
meracun air sungai yang menghidupi orang-orang Aborigin. Dan aku? Aku, sebagaimana
anak-anak manis Thainakuith lain, adalah cucu Thancoupie."3Fiona yang saat itu mabuk
hanya tersenyum. Saya tak peduli. Sambil terus menenggak Red Wine, saya
berondongkan keluhan-keluhan saya kepada perempuan seindah pelangi itu."Aku kira,
siapa pun dirimu, pasti tahu sepak terjang Thancoupie. Well, sebagaimana dia, aku juga
akan jadi pejuang. Akan aku tunjukkan kepada Howard, aku pun bisa melakukan lebih
banyak hal ketimbang orang-orang yang merasa sok England."Lagi-lagi saat bulan hanya
tampak seperti bumerang, Fiona hanya mengguratkan senyum indah di wajah yang didera
lampu warna-warni di pub itu. Tanpa sungkan-sungkan, dia memeluk saya dan
mendesiskan kata-kata mesum yang menggelegakkan birahi."Sudahlah, Sayang, kamu
terlalu banyak minum. Ayo pulang ke rumahku dan aku akan memberimu surga seindah
Thainakuith.""Apa? Jangan menganggap aku mabuk, Fiona. Tanah indah itu kini telah
jadi Weipa-Nappranum. Sejak tahun 1958 kawasan itu menjadi areal tambang bauksit
yang dikelola orang-orang asing. O, jadi kau akan menyepuhku dengan aluminium? Kau
akan menjadikan aku sebagai robot?"Fiona tak menjawab pertanyaan saya. Dengan sigap,
dia menyeret saya keluar dari pub dan segera membawa saya ke Kent Road, ke rumah
indahnya.Sejak itu, saya tahu Fiona ternyata pemusik yang menyamar sebagai penari
bugil. Sejak itu, saya tahu, dia sebenarnya sedang meneliti respons para pria pemabuk
terhadap gairah musik dan tari Sunda. Saya pernah melihat dia menarikan tari jaipongan
di tengah-tengah pria-pria rakus yang terus-menerus melirik pantatnya. Karena itu, saya
paham mengapa dia belajar tari dan kecapi Sunda di Bandung, sebagaimana saya belajar
nyindhen di Surakarta dan membuat gerabah di Kawedanan Delanggu.***OKTOBER
yang perih mengguyur King Cross dengan hujan putih. Kristal-kristal tajam itu
menampar-nampar lampu warna-warni yang menghias pub dan bar sehingga
menimbulkan panorama serupa kembang api di kegelapan malam. Sebelumnya, sesabit
bulan liar menebarkan kegaiban. Tetapi cuma sesaat. Cuma sesaat.Meski begitu, tak
sedikit orang-orang berlalu-lalang menyisir trotoar. Kadang-kadang mata mereka
jelalatan saat berpapasan dengan perempuan-perempuan jalang. Kadang-kadang mereka
memandang takjub setiap perempuan yang mendesahkan kata-kata mesum di bibir pintu
puluhan sex shop, pub, dan bar.Malam itu saya lihat Susan sudah mendapatkan pasangan.
Saya tak tahu asal-usul pria yang mendekap perempuan dari Weipa-Nappranum dengan
pelukan teramat mesra itu. Yang jelas pria itu berambut cepak. Sorot matanya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mengingatkan saya pada pandangan nakal pria-pria Pasundan saat melirik perempuan-
perempuan bule yang melintas di Jalan Braga.Aneh! Sama sekali saya tak cemburu
menyaksikan percumbuan mereka. Saya sudah tak mencintai Susan? Mungkin. Mungkin
karena saya memang sudah tak ingin lagi bertopeng di hadapan perempuan yang
mendesahkan kata-kata kotor saat bercinta atau mengkritik perilaku politik Howard
itu.Susan seharusnya tahu mengapa beberapa waktu lalu saya menampar wajahnya saat
dia memergoki saya mencium Rob, pria England yang tampan itu, di ujung jalan. Dia
seharusnya mengerti mengapa saya menyingkirkan keramik-keramik dan lukisan-lukisan
kayu Thancoupie dari kamar, tempat kami bercanda dan menghabiskan malam-malam
hampa bersama Red Wine, Kahlua Cream, atau Long Island.Seharusnya dia paham
mengapa saya sangat membela Howard. O, kalau saja dia mengerti mengapa saya
menguntit dia hingga ke Indonesia, tentu saya tak perlu terus-menerus bersandiwara dan
berpura-pura mencintai perempuan lugu itu. Sayang, Susan tak pernah mengerti
keterlibatan saya dalam proyek-proyek pemusnahan suku Aborigin. Dia juga tak tahu
mengapa saya begitu ngotot membela pendirian berbagai pabrik bauksit di Weipa-
Nappranum.Ya, dia sama sekali tak pernah mau mengerti isyarat-isyarat yang saya
hunjamkan ke jiwanya yang sekasar hamparan pasir di Bondi Beach itu. Bahkan, saat
ditampar, dia malah menantang agar saya mengguyur wajahnya dengan bensin dan
membakar kecantikan tak bertara itu dengan cara sekejam mungkin."Kau tak akan pernah
berani membunuhku, Fiona. Kau tak akan pernah mampu menghancurkan rasa
cinta."Untuk sementara, tak keliru Susan meledek ketakmampuan saya untuk sekadar
melukai wajahnya yang seindah lukisan-lukisan Thancoupie yang lugu dan
membuncahkan kegaiban tak habis-habis itu.Tetapi, rasa hampa penuh iblis, malam itu,
rupa-rupanya bisa mengubah kesucian cinta. Iblis telah mengajari saya untuk
mempersetan rasa iba. Dan, saya agaknya memang sedang belajar menjadi iblis. Maka,
jangan heran jika kelak saya punya keberanian membakar wajah Susan.Jangan kaget
kalau saya bisa melupakan kisah-kisah cinta kami setelah tahu tak mungkin hidup
bersama orang yang sangat memengaruhi musik, lukisan, tarian, dan pikiran-pikiran
saya.Lalu saya pun melesat meninggalkan King Cross yang makin menebarkan bau anyir.
Sudah saatnya kutinggalkan kepura-puraan. Sudah saatnya kutanggalkan penyamaran-
penyamaran yang memuakkan ini. Susan, Aborigin, dan Thancoupie bukanlah duniaku.
Akhirnya, aku memang harus membunuhmu, Susan! Akhirnya aku harus membakarmu!
***"KAPAN kau akan membunuh dia?" sebuah suara dari seberang berdentang-dentang
di gagang telepon.Fiona enggan menjawab pertanyaan itu."Kau jadi
membakarnya?"Fiona masih tak mau menjawab. Meski begitu tangannya menggapai
jeriken bensin yang sejak lama teronggok di kamar."Jangan terlalu menimbang-nimbang.
Siapa pun dia tetaplah musuh kita."Musuh? Fiona tak mungkin menganggap Susan
sebagai musuh. Sebab, selama menjadi mata-mata, dia sama sekali tak pernah melihat
Susan sebagai penggerak demonstrasi. Dia bahkan tak pernah berhubungan dengan
orang-orang Aborigin yang sekali waktu berkeliaran di Darling Harbour atau George
Street."Sudahlah. Kami tak mau menunggu lebih lama lagi. Laksanakan tugasmu tanpa
bertanya-tanya lagi!"Fiona tak berani menolak perintah. Kini, tangannya gemetar
menjinjing jeriken bensin yang seakan-akan siap digunakan untuk membakar dunia
itu.***"SUSAN masih membayangkan diri sebagai Sita yang dipuja oleh Rama,
Rahwana, dan ribuan kera sialan itu, Fiona. Kita akan bisa segera pentas bersama. Kau
akan mencabik-cabik dawai kecapi, aku bakal melantunkan tembang-tembang asing yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tak pernah didengar oleh Howard atau komposer-komposer advant garde sekalipun,"
desis Susan sambil memperkeras ketukan.Tentu saja Fiona mendengar suara-suara yang
memuakkan itu."Ketahuilah, Fiona, dalam pentas nanti publik akan tahu betapa kita
hanyalah ikan-ikan asing yang berenangan di Sydney Aquarium," Susan melenguh
lagi.Tak ada jawaban. Fiona mendekati pintu tanpa menimbulkan suara-suara yang
mencurigakan."Kau boleh boleh menganggap dirimu sebagai ikan atau burung-burung
paling indah. Yang jelas, kau akan jadi ikan bakar. Camkan itu!"Tak ada ikan bakar di
kepala Susan. Di otaknya yang disusupi alkohol, Sita yang tersalib di Harbour Bridge
mulai dibakar ratusan kera. Dan kobaran api itu... kobaran api itu mengingatkan bara
cintanya yang tiada tara kepada Fiona."O, dentingkan kecapi Sundamu, Fiona! Bakar
aku! Bakar aku dengan api cintamu!"Lalu segalanya mengabur. Tak ada denting kecapi.
Tak ada cericit burung-burung malam di Kent Road yang pedih dan sunyi. Hanya ikan
asing terbang di atas samodra yang juga asing. Seperti tahun-tahun lalu. Seperti sebelum
angin dan lengking musim yang ganjil menidurkanmu. Sydney, 2001

Lecutan Cambuk Mendera

Post: 09/20/2002 Disimak: 238 kali

Cerpen: S Prasetyo Utomo

Sumber: Kompas, Edisi 01/20/2002

TERGODA ranum buah mangga yang bergelantungan, Bondas meloncati pagar rumah
Pak Gendut, mengendap-endap. Dipanjatnya pohon mangga itu, dengan perasaan takut.
Pagi masih gelap, masih dingin. Bondas merasa terlindung kegelapan. Dipetikinya buah-
buah mangga yang masak, disusupkan ke balik kaosnya.Tapi alangkah senyapnya di luar
pagar. Tak seorang pun teman Bondas berkelebat di situ. Kesenyapan yang melayap ini
mencurigakan. Bondas menatap ke arah pintu rumah Pak Gendut. Alangkah kaget lelaki
kecil itu. Berdiri gagah Pak Gendut di depan pintu, membawa cambuk yang
bergetar.Buru-buru Bondas turun. Tar! Tar! Tar! Cambuk itu mendera punggungnya. Ia
merasakan kepedihan yang mengelupas kulitnya. Menggeliat. Meringis. Tersungkur.
Buah mangga berceceran dari kaosnya."Anak jahanam!" dengus Pak Gendut. Tar!
Lecutan cambuk itu kembali mendera punggung. Bondas berlari, menghindari lecutan
cambuk Pak Gendut. Dengan murka Pak Gendut memburunya.Dari lorong gang muncul
ibu Bondas, muda, cantik, berdandan menor, agak sayu, turun dari becak. Lengan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

perempuan itu tampak menawan, dan perutnya yang singset sedikit terbuka,
menyembulkan pusarnya. Bondas berlindung di belakang pantat ibunya. Pak Gendut
menjadi sangat lembut, ramah, berpapasan dengan ibu Bondas. Tatapan lelaki itu, yang
sebelumnya garang, berubah mesum. Senyumnya menggoda. Buah-buah mangga yang
terserak di pelataran, dipungutinya, diberikan pada ibu Bondas.***TENGAH malam,
Bondas terbangun dari lelap tidur. Ia mendengar suara cambuk, berkali-kali mendera
punggung di kamar ibunya. Ia menandai, itu cambuk Pak Gendut. Dan ia dengar suara
ibunya merintih-rintih. Tak cuma sekali ia dengar deraan cambuk itu. Ibunya tak beranjak
dari kamar. Ingin sekali Bondas berlari, mendobrak pintu kamar ibunya, dan menghabisi
Pak Gendut-yang suka menyelinap malam-malam semenjak Ayah meninggalkan rumah
beberapa bulan silam dan tak pernah kembali.Menggigil di sudut kamar, Bondas tak bisa
membebaskan diri dari rasa takutnya. Ia mendekam di sudut kamarnya, merasakan
dadanya bergolak, berdebar-debar. Punggungnya, yang pernah kena deraan cambuk Pak
Gendut, masih menyisakan kepedihannya. Sesekali ia bangkit, kembali duduk, bangkit
lagi. Terdiam. Terpuruk di sudut kamar. Menggigil.Pelan-pelan Bondas mendekati kamar
Ira, kakak perempuannya. Dia melihat Ira terjaga. Tapi tergeletak saja di tempat tidurnya.
Mendengarkan rintihan ibunya. Ira lebih tenang, cuma bergolek saja di tempat
tidurnya."Kita harus menyelamatkan Ibu," bisik Bondas."Kenapa?""Pak Gendut
menyiksanya dengan cambuk.""Kurasa mereka sedang bersenang-senang."Terheran-
heran, Bondas berdiri menganga. Ia berlari ke pintu kamar ibunya. Ditendanginya pintu
itu. Digedornya dengan kepalan tangannya. Tetap saja pintu itu tertutup. Kokoh di depan
hidungnya. Tangannya terasa sakit. Nyeri. Kakinya seperti patah.Ketika pintu terbentang,
alangkah kagetnya Bondas melihat Pak Gendut bertelanjang dada, memburunya dengan
cambuk. Dan sekilas, dari celah pintu, ia melihat ibunya dengan punggung telanjang,
telungkup, kulit memerah-biru bilur-bilur cambuk.Sebelum cambuk Pak Gendut melecuti
tubuhnya, Bondas berlari. Meninggalkan rumah. Terus berlari. Takut, merasa Pak Gendut
memburunya, berada di balik kegelapan. Ia pernah merasakan lecutan cambuk itu, dan
merasakan betapa pedihnya- nyeri sampai ke dalam dada. Malam itu Bondas menginap di
sudut gardu ronda, sesekali tersentak, lantaran bayangan Pak Gendut
menyergapnya.***PADA malam yang menggetarkan, di rumah, Bondas bersembunyi di
kolong tempat tidurnya. Ia tak berani beringsut. Tak berani bergerak. Menahan nafasnya
kuat-kuat. Pak Gendut memasuki rumah Bondas, membawa cambuk, dan kali ini datang
pada saat ibu tak di rumah.Dari dalam kamar, Bondas mendengar Ira menggoda Pak
Gendut. Tertawa-tawa. Bercanda. Suaranya riang. Agak lama mereka berbincang-
bincang. Terdiam sejenak. Bondas mempertajam pendengarannya. Suara mereka samar-
samar terdengar di dalam kamar Ira.Masih terdengar suara Ira tertawa-tawa dan Pak
Gendut terus menggodanya. Hingga terdengar lecutan cambuk menderu, dan Ira
berteriak-teriak kesakitan. Pak Gendut terus tertawa-tawa. Ira menjerit-jerit kesakitan.
Bondas tak tahan mendengar jeritan Ira-kakak perempuannya yang berangkat remaja. Ia
keluar dari kolong tempat tidur dan menghampiri pintu kamar Ira. Digedor-gedornya
pintu kamar itu dengan hantaman dan tendangan.Dari pintu kamar Ira yang terbuka,
wajah garang Pak Gendut menyeruak, menggeram, menghardik Bondas. Memaki.
Cambuk di tangannya diayunkan, melecut wajah lelaki kecil itu. Terasa pedih. Kulit
pipinya mengelupas. Bondas belum sempat menghindar, lecutan cambuk kembali
menyobek luka baru pada wajahnya-bilur merah kebiru-biruan, teramat pedih.Berlari
meninggalkan rumah, Bondas diburu Pak Gendut yang masih terus melecutkan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

cambuknya, mendera punggung. Lelaki kecil itu menyelinap dalam lorong gelap gang.
Tapi terus saja Pak Gendut memburu dengan cambuk yang dilecutkan."Mau lari ke mana
kau, anak laknat!" seru Pak Gendut, mendengus.Meski punggung terasa nyeri, terasa
tercabik-cabik, Bondas terus berlari. Sesekali dari mulutnya terdengar lengking kesakitan.
Dia menyelinap di antara gang-gang sempit, celah-celah di antara rumah-rumah yang
berhimpitan. Pak Gendut kehilangan lacak. Tapi Bondas terus berlari, meski ia sudah
jauh meninggalkan rumah.Tanpa menoleh, ia terus berlari, dan sepasang matanya mulai
terbiasa menjelajahi kegelapan. Ia tak tahu ke mana, terus saja berlari. Tak berani pulang.
Bayangan wajah Pak Gendut sangat menyeramkan.***LAPAR, tak terurus, tanpa arah,
Bondas berada di sebuah pinggir kota yang tak pernah dikunjunginya. Telah sehari-
semalam ia berjalan kaki meninggalkan rumahnya, tanpa pernah mengerti akan berakhir
di sana. Tatapan matanya mengatur, samar, dan bergoyang. Ia bernaung di bawah pohon
berbayang-bayang teduh.Dari kejauhan terdengar gamelan pemain kuda lumping.
Rombongan penari kuda lumping-yang bermain berkeliling desa itu-letih dari perjalanan
dan terik Matahari. Mereka meletakkan gamelan, kuda lumping dan cambuk. Bondas
ketakutan melihat cambuk itu. Tapi dia sudah tak bisa berlari lagi. Tak tersisa tenaga
padanya. Dia memilih diam, memandangi penari kuda lumping yang lusuh, dengan
telapak kaki retak-retak berdebu, bergurat-gurat menghitam. Pakaian mereka sudah aus,
kusam, dengan warna-warna-terutama merah-yang memudar.Ada beberapa pemain kuda
lumping menenggak minuman dari botol plastik. Yang lain tiduran. Yang lain lagi
membuka nasi bungkus. Dan Bondas yang lapar, haus, letih, tak berkedip memandangi
penari kuda lumping, perempuan muda, yang lahap menyuap nasi ke dalam mulut dengan
tangan.Ketika perempuan itu melempar bungkus nasi, mencampakkannya ke tanah, buru-
buru Bondas memungutnya. Menjilatinya dengan liur berlelehan. Pak Sukra, pemimpin
rombongan yang paling tua umurnya, segera menghampiri Bondas, memberikan
bungkusan nasinya. Dengan takut, malu-malu, melelehkan air mata, bergetar, Bondas
melahap nasi bungkus itu dengan tangannya yang bergetar.***PERJALANAN
rombongan kuda lumping itu mendekati rumah Bondas. Tapi lelaki kecil itu tak
menggigil ketakutan sebagaimana dulu ketika meninggalkan rumah. Dadanya mendesir-
desir lantaran dendam.Di tanah lapang, seperangkat gamelan diletakkan, dan segera
ditabuh. Anak-anak kecil berdatangan, kian lama kian rapat. Seorang penari kuda
lumping menari di tengah-tengah tanah lapang itu, membawa cambuk yang sesekali
menyentak tanah berumput: tar, tar, tar!Beberapa orang penari mulai meramaikan tarian
kuda lumping. Sebuah baskom berisi air kembang diletakkan di tengah tanah lapang.
Sesekali penari kuda lumping itu menghirup air kembang dan mengunyah-ngunyah
kelopak-kelopak kembang itu. Gamelan bertalu-talu. Gerakan tarian kian cepat. Lecutan
cambuk berulang-ulang, menggetarkan udara.Orang-orang terus berdatangan. Pak Gendut
menyeruak di antara orang-orang yang berjubel. Pada saat menatap Pak Gendut, seketika
Bondas kesurupan. Dia bangkit dari ketakberdayaannya. Meloncat. Meraih kuda
lumping. Menari. Menyusup-nyusup di antara para penari. Melecut cambuk dengan suara
tajam menyentak langit: tar, tar, tar!Anak-anak yang mengenal Bondas, bertepuk tangan
dan kegirangan melihat lelaki itu kesurupan. Menari dengan gerakan cepat, lentur, dan
seirama dengan hentakan gendang. Menghirup air kembang, dan mengunyah-ngunyah
kelopak-kelopak bunga. Lecutan cambuknya terdengar paling tajam menggetarkan udara
di tanah lapang. Dia menghampiri Pak Gendut yang mendengus-dengus dengan nafas
keji. Diayunkan cambuknya merobek muka Pak Gendut. Anak-anak bersorak. Pak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Gendut mengerang beringas. Ayunan cambuk Bondas lebih tajam lagi, bertubi-tubi,
merobek kulit muka, dada dan punggung yang terbuka. Pak Gendut berguling-guling di
tanah lapang itu. Anak-anak bersorak.Lelaki tambun itu pun mengerang-erang.
Menggelepar-gelepar. Menggeliat-geliat kesakitan. Lecutan cambuk Bondas terus
mencabik-cabik tubuhnya. Pak Sukra menghembuskan mantra ke ubun-ubunnya. Tapi
masih saja ia menari, melecutkan cambuk ke tubuh lelaki tambun yang menggelepar-
gelepar kesakitan itu.Anak-anak kecil bersorak-sorak kegirangan. Tanpa henti, anak-anak
kecil itu-teman sepermainan Bondas dulu- berjingkrak-jingkrak, memekik senang,
"Terus, terus, cambuk dia! Cambuk dia! Cambuk!"***Pandana Merdeka, November
2001

Dokter Isman

Post: 09/20/2002 Disimak: 326 kali

Cerpen: Wilson Nadeak

Sumber: Kompas, Edisi 01/13/2002

KEPADA kawan-kawan dan pasiennya yang akrab dengannya, dokter Isman selalu
memberi resep sebagai berikut.Jangan sekali-sekali menulis pesan penting. Jangan
membuat catatan dari rapat yang Anda hadiri. Jangan menuliskan nama di dalam daftar
hadir. Jangan membuat surat yang panjang maupun pendek yang isinya mengenai janji,
pengalaman hidup dan kesaksian mengenai sesuatu. Jangan memasang telepon di
rumahmu jika kau ingin tenang dan tidak diganggu orang. Jangan gunakan handphone
karena itu selalu menghambat perjalananmu dan membuat engkau berada di bawah
pengaruh orang lain. Rencanamu akan terganggu karena orang lain memberi sugesti
kepadamu.Masih ada sejumlah "jangan" lain yang disarankan dokter Isman. Kawan-
kawan karibnya manggut-manggut mendengar "resep" yang tidak lazim itu. Ia bukannya
memberikan resep atau obat, tetapi sebuah nasihat. Namun kawan-kawannya senang
bergaul dengannya. Pasien-pasiennya banyak. Perawat yang membantunya selalu
kewalahan mengatur waktu. Sampai jauh malam, pasien selalu berdatangan, mulai dari
golongan atas sampai kepada golongan bawah.Dokter Isman tidak memasang tarif. Ia
membiarkan pasien membayar sesuai dengan kemampuannya. Ia memberi resep obat
generik, jarang antibiotik. Bahkan, sebagian pasien membayar dengan hasil tanamannya,
membuat perawat yang membantunya agak bingung, mau diapakan hasil tanaman itu.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tetapi dokter Isman senyum-senyum saja.Waktu ia mahasiswa kedokteran, kerapkali ia


harus menjual minyak tanah keliling Ja-karta, dengan kereta roda. Ia pakai topi agar
sengat Matahari Jakarta tidak membuat kulit wajahnya gosong. Ia tidak pulang ke rumah
sebelum semua minyak tanahnya laku. Kadang-kadang ia bermalam dekat warung
pinggir jalan, dan subuh pulang kemudian kuliah. Waktu tamat dari fakultas kedokteran,
ia ditempatkan di sebuah pulau di Indonesia bagian timur sebagai dokter inpres.
Bertahun-tahun ia berbakti di pulau terpencil itu. Seorang kawannya, dokter wanita yang
masih muda yang penuh antusiasme, meninggal dunia karena terserang penyakit malaria.
Sulit sekali mencari obat di sana. Obat-obat bantuan LSM tertentu banyak yang
digunakan untuk mengobati penduduk yang jauh terpencil di pedalaman. Ia harus
mengajari penduduk agar menjaga kebersihan lingkungan untuk mengurangi penyakit.
Honor inpresnya dipakai untuk membeli obat.Kerapkali ia tidur di gubuk petani dan
makan seadanya. Malam-malam tanpa lampu itu ia mengenangkan kembali kampung
halamannya. Ia tidak bisa menghalau bayangan ayahnya yang pada suatu hari didatangi
orang yang tidak dikenal. Ayahnya dijemput dari rumah, dan tidak pernah kembali.
Waktu ia masih duduk di SD kelas dua. Ia tidak mengerti mengapa. Tetapi samar-samar
ia mendengar penjemput ayahnya membentak ibunya, bahwa ayahnya terdapat dalam
daftar nama pengikut organisasi terlarang. Ia tidak mengerti apa itu "organisasi
terlarang". Ketika itu banyak orang berbicara atas nama "rakyat". Setahunya, ayahnya
hanyalah petani kecil, petani yang hanya mengandalkan hidupnya dari sepetak ladang dan
sebidang sawah yang diwarisi dari orang tuanya. Sejak kepergian ayahnya, ibunya sering
tengah malam terbangun dan menangis. Ketika ia terbangun, ibunya mengelus-elus
kepalanya. "Tidurlah, Nak!" "Mengapa Ibu menangis" "Tidak apa-apa," jawab ibunya
sambil menyelimuti tubuhnya dan kedua adiknya perempuan yang masih kecil.Subuh
sekali, ibunya sudah menanak nasi, menyiapkan makanan di atas meja-sedikit nasi, ubi
jalar, ikan asin dan sayur-lalu berangkat ke sawah. Ia memberi makan adiknya dan
kemudian ia pergi berjalan kaki ke sekolah. Ketika tamat dari SMP, seorang adik
bapaknya yang bekerja di Jakarta memerlukan orang menjaga rumah dan anak-anaknya.
Ia dipanggil dengan janji akan disekolahkan. Di rumah pamannya ini, ia harus bekerja
keras, memandikan saudara sepupunya, memberi mereka makan dan menyertai mereka
ke sekolah. Petang hari ia sekolah di SMA sampai ia tamat dan diterima di sekolah
kedokteran.***TIGA tahun ia melaksanakan tugas sebagai dokter inpres. Ia bertugas dari
sebuah pulau ke pulau lainnya, mengobati orang-orang yang tidak mampu membayar
obat. Kebeberangkatannya dari pulau terpencil itu ditangisi penduduk setempat. Ia sendiri
merasa sedih meninggalkan mereka. Namun, ia menyadari bahwa pelayanannya harus
ditingkatkan melalui perkembangan ilmu pengobatan. Ia ingin meningkatkan
pengetahuannya di bidang medis. Ia mengambil spesialisasi jantung.Ibunya dari kampung
halaman mengirim surat kepadanya, isinya, agar ia segera menikah. Jika ia tidak
menemukan jodoh di kota, ibu bersedia mencarikan calon menantunya. Surat itu
membuat hatinya agak trenyuh. Selama ini ia kurang memperhatikan calon istri. Di
Jakarta ia memang buka praktik sebagai dokter umum sementara kuliah lanjutan. Tapi
anehnya, ia membalas surat ibunya dengan singkat: Ibu, aku mengasihimu seperti diriku
sendiri. Kalau bisa, biarlah kedua adikku ibu kirimkan ke Jakarta, tinggal dengan aku.
Kalau bisa, aku akan menyekolahkan mereka ke sekolah perawat, sekolah itu memberi
jaminan pekerjaan hidup dan masa depan mereka...Ibunya datang dengan kedua adiknya.
Adiknya yang bungsu masih di SMA dan adiknya yang lebih besar dimasukkannya ke

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sekolah perawat. Ibunya tinggal bersama-sama dia beberapa bulan, lalu pamit, pulang. Ia
selalu berbicara mengenai sawah dan ladang yang ditinggalkan, lagipula Jakarta terlalu
panas baginya. Di seberang, kampung halamannya, udara pegunungan agak segar.Dua
tahun kemudian, ia mendapat berita dari kampung halaman, surat kilat dari kerabat
dekatnya yang memberitahukan bahwa ibunya kerapkali pingsan. Ia pulang sebentar
karena spesialisasinya sudah selesai. Ditemukannya ibunya berbaring di atas divan."Aku
datang, Bu," kata dokter Isman."Dekatlah ke mari, Nak," kata ibunya dengan suara
pelahan. "Penyakit jantungku kumat, Nak.""Oh," kata Isman terkejut. "Sejak kapan Ibu
merasa sakit jantung?""Dokter di Puskesmas mengatakannya begitu, Nak. Bila dada
sesak, rasanya hampir mau ma-ti, Nak."Ia memegang pergelangan tangan ibunya.
Menghitung de-nyut jantungnya. Kemudian ia mencoba mendengar denyut jantung
ibunya dengan alat yang ditaruh di atas dada. Ia geleng-geleng kepala. Segera
diangkatnya ibunya ke beranda depan agar udara lebih leluasa. Ia minta bantuan beberapa
orang tetangga untuk mencari angkutan untuk membawa ibunya ke rumah sakit
terdekat.Setelah sampai di rumah sakit, ibunya dimasukkan ke ICU. Beberapa hari
bersama dokter rumah sakit itu mencoba menyelamatkan nyawa ibunya, te-tapi denyut
nadi itu dan grafik getaran di layar tv tak lagi beraturan. Getaran itu semakin mendatar
dan mendatar. Ia menyadari bahwa ajal ibunya sudah semakin mendekat. Ketika
jantungnya sama sekali berhenti berdetak, ia menutup matanya dengan kedua telapak
tangannya, dan menangis terisak-isak. Dokter-dokter, para perawat yang telah turut
berjuang berusaha menyelamatkan nyawa ibunya, tertunduk. Mereka melihat jenazah
yang sudah tidak bernyawa di depan mereka, ibu rekannya.Setelah beberapa hari pengu-
buran, ia kembali dengan pesawat ke Jakarta. Ia pulang dengan murung. Ia merasa amat
berdosa, mengapa ia baru tahu bahwa ibunya menderita penyakit jantung, kalau ia tahu,
ia akan membawa ibunya ke Jakarta dan merawatnya sebelum parah betul. Sebagai
dokter ahli jantung, ia merasa amat terpukul.***KEDUA adiknya yang perempuan sudah
tamat, yang satu dari akademi perawat, yang bungsu dari akademi sekretaris. Perawat
bekerja di rumah sakit sedangkan yang sekretaris menikah dengan pedagang. Kakaknya
menikah dengan seorang tentara yang berpangkat letnan. Ia merasa bahagia karena kedua
adiknya sudah berkeluarga. Gilirannya, entah kapan. Kedua adiknya berusaha menyebut
beberapa nama gadis yang dikenal mereka dan abangnya, tetapi ia selalu
menghindar."Abang mau menunggu siapa? Abang telah mengurus kami dan
menyekolahkan kami. Mengapa Abang tidak memikirkan diri Abang sendiri?" kata yang
perawat.Percakapan seperti ini sering terjadi antara mereka, juga dengan ipar-iparnya.
Mereka merasa risau masa depan abang mereka yang sudah berusia di atas tiga puluhan.
Jangan-jangan ia terlalu mempedulikan profesinya saja. Yang perawat merasa sedih tiap
kali abangnya memberi bantuan kepadanya. Ia memang sering mengeluh karena gaji
perawat yang tidak seberapa, dan gaji tentara yang tidak memadai untuk keperluan di ibu
kota. Dokter Isman tidak segan-segan memodalinya, yang sewaktu-waktu berjualan
berlian."Pesanku kepada kalian," kata dokter Isman kepada adiknya dan iparnya yang
tentara, "jangan sekali-kali terlibat soal utang-piutang! Jangan bangga dengan kartu kredit
kalian!"Iparnya yang letnan berkata kepadanya, "Ya, Bang. Kami ingat itu. Tetapi yang
kami rasa, Abang sebaiknya segera menikah agar ada yang mengurus Abang di
rumah.""Bukankah hidup dokter susah? Siang-malam harus meninggalkan keluarga?"
bantahnya."Abang melihat dokter lain berkeluarga juga, bukan?""Tentu!""Bagaimana
kalau kami yang mencarikan calon untuk Abang?"Dokter Isman tersenyum. Ia tidak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menjawab.Bulan berikutnya, istri letnan itu datang dengan seorang gadis lincah dan
cantik. Gadis itu di-perkenalkan kepadanya. Satu-dua kali ia berkunjung ke rumah
abangnya dengan gadis itu, dan sesudah itu, ia membiarkannya bertandang
sendirian.Setengah tahun kemudian mereka menikah. Istri dokter Isman agak sulit juga
menyesuaikan diri cara hidupnya. Ia tidak mau memasang telepon di rumahnya. Praktik
dokter di rumahnya terlalu lama karena pasien yang telah mendaftar beberapa hari
sebelumnya. Daripada hidup bengong di rumah, ia mengajukan saran kepada suaminya
agar ia membuka salon kecantikan. Dengan hati berat dokter Isman mengizinkan, dengan
syarat, tidak boleh pulang sampai petang. Paling lambat pukul empat sore! Beberapa
bulan berjalan, salon itu banyak dikunjungi orang. Beberapa pembantu istri dokter Isman
sibuk dan merasa senang. Istri dokter tinggal mengawasi saja.Setahun kemudian, sekitar
bulan Maret, sebuah surat kabar memuat berita pembunuhan. Seorang wanita telah
ditemukan di ruang tengah sebuah rumah. Diduga wanita itu dibunuh secara sadis oleh
pemilik rumah karena persoalan hutang piutang. Menurut pihak kepolisian, menurut
pengakuan suami korban, istrinya mempunyai tagihan dengan yang mempunyai ru-mah.
Rupanya yang empunya rumah memancingnya datang ke rumah dan kemudian
memukulnya di belakang kepala dan menguburkannya di tengah-tengah kamar makan.
Tampaknya pemilik rumah sudah merencanakan pembunuhan itu.Dokter Isman
memperhatikan gambar itu. Gambar yang terpampang di samping berita. Ia duduk
tersandar di ruang kerjanya. Ia kenal betul gambar itu. Adiknya yang perawat.
Jantungnya berdebar-debar. Ia keluar dari ruang kerjanya dan memberitahukan kepada
perawat bahwa ia pulang.Sesampainya di pintu gerbang rumahnya, ia membuka pintu
gerbang, mendorongnya. Pelahan ia memasukkan mobilnya ke halaman dan kemudian
turun hendak menutup pintu. Tetapi ia tiba-tiba lunglai dan jatuh di depan pintu. Seorang
tetangga me-lihatnya dan berlari mencoba menolongnya. Ia berteriak sehingga tetangga
yang lain ber-datangan. Seorang tetangga berlari ke wartel dan menghubungi istri dokter
Isman. Setelah memberitahukan bahwa suaminya sedang pingsan dan dibawa tetangga ke
rumah sakit, sang istri segera bergegas menyusul ke rumah sakit.Istri dokter Isman
melihat para tetangga di depan, di ruang tunggu. Ia menyapa mereka dan menanyakan di
mana suaminya. Semuanya diam tidak mampu berbicara. Ia bertanya pelahan dan
airmatanya mulai berlinang-linang. Ia menyadari adanya sesuatu yang terjadi kepada
suaminya. ia bergegas ke ruang kerja suaminya. Perawat memapahnya, menyuruhnya
duduk."Bagaimana suamiku? Di mana dia?" tanyanya dengan suara terisak-
isak."Tenanglah, Bu. Ia ada di kamar." Nanti dokter kepala yang berbicara kepada
Ibu.""Oh. Apa yang terjadi kepadanya?"Dokter kepala datang. Pelahan ia berkata,
"Dokter Isman sudah tiada. Ia terkena serangan jantung."Istri dokter Isman jatuh pingsan.
Beberapa waktu kemudian iparnya dan adiknya yang bungsu datang. Ketika ia siuman, ia
menjerit-jerit. Ia memeluk sua-minya yang terbujur di atas tempat tidur. Dalam teriak dan
tangisnya ia berkata:Tuhan, mengapa Kauambil suamiku! Ia begitu baik dan ganteng. Ia
tidak pernah berbuat jahat kepada sesama. Tuhan, mengapa Kaucabut nyawanya?(Dan
kepada dokter ia berkata)Dok, sembuhkan ia dokter! Tolonglah obati dia! Hidupkan dia,
dokter! Ooohhh, toloooong... (Ia jatuh pingsan lagi).Para tetangga mengurut dada.
Mereka berkeliling di sekitar jenazah yang kaku. Tak sepatah kata yang keluar dari mulut
mereka.Mereka jualah yang bertanya sepulang dari kuburan: Mengapa orang baik cepat
meninggal dunia?Bandung, 18 November 2001

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Seperti Tanesia

Post: 09/20/2002 Disimak: 306 kali

Cerpen: Andre Syahreza

Sumber: Kompas, Edisi 01/06/2002

MAKA duduklah kami berdua berhadap-hadapan setelah perkenalan yang begitu


singkat. Namanya Tanesia. Bibirnya yang dilapisi gincu ungu muda beraroma Vodka
menyemburkan kalimat-kalimat itu: "Anthony, tahukah kau bahwa laki-laki selalu
berakhir di suatu tempat yang sama? Orang asing, atau orang kita sendiri semua sama
saja. Apa lagi yang mereka inginkan dari perempuan seperti saya?". Tentu aku tidak perlu
menjawab. Lagi pula ia sudah mulai mabuk. Suara-suara yang keluar dari bibir yang
sebenarnya indah itu sudah kurang terjaga. Di kedalaman matanya ada penuh bekas luka
yang panjang dan mendalam sehingga selalu nampak sembab. Meski ia tertawa, meski ia
tersenyum, meski ia berusaha menahan tangis namun selalu saja nampak misteri sembab
pada matanya. Dagunya lunglai, persis seperti nada-nada blues yang merambat ke segala
penjuru kafe tempat kami bertemu. Kuta sudah jam satu pagi. Tamu-tamu asing nampak
lalu-lalang sambil mencekik botol bir dan menggandeng pacar perempuannya atau
pacarnya sesama laki-laki. Tanesia tidak sedikit pun tertarik. Bukankah ia yang
mengatakan semua sama saja? Bule atau orang kita sendiri. Dan ia menyebut perempuan
seperti saya. Merasa asing dengan maksudnya di awal perkenalan itu, akhirnya aku
mengungkapkan ketidakmengertianku. Maka ia bercerita:Tubuhnya didorong tangan-
tangan kuat dua orang pria hingga terjerembab di atas kasur mewah berselimut gambar
kembang jepun. Pakaiannya dilucuti tanpa sedikit pun pemaksaan dan ia tidak mampu
menghalau bahkan dengan sehelai tenaga, bahkan dengan sepatah kata meski jiwanya
berontak. Badan dan mulutnya sudah lebih dulu dibungkam lewat suntikan di tengah
pergelangan tangannya... Mulanya ia menolak, tapi dua orang pria yang dikenalnya itu
merayu dan menjanjikan surga setelah suntikan itu. Maka jarum sudah telanjur ditusuk.
Darahnya bolak-balik dipompa sebanyak lima kali. Seketika semua persoalan redup dari
mata dan hatinya. Kemudian gambar-gambar buram menggelayut di matanya. Selebihnya
hanya hampa dan tiada daya. Sampai dua pasang tangan itu mendorongnya terjerembab
di atas kasur dan melucuti pakaiannya. Surga yang dijanjikan ternyata berwajah maksiat.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tanpa gairah maupun penolakan."Apa yang terjadi setelah kamu sadar?" tanyaku
menggugat. Tanesia menatap tanpa sepenuh tenaga akibat butir-butir alkohol yang
melemahkan kesadarannya. Tapi ia berusaha menanggapi pertanyaanku sebelum
meneruskan ceritanya dengan alur yang tidak menentu."Apakah penting apa yang terjadi
setelah itu?" ia malah bertanya. Pertanyaan itu tidak sepenuhnya berupa pertanyaan,
namun setengahnya malah berupa pernyataan. Ia menunggu respons, tapi aku sengaja
diam saja. Beberapa saat ia menunggu respons, tapi aku tetap diam saja. Ia menganggap
itu sebagai respons. Sebetulnya ia wanita yang cerdas. Maka ia meneruskan
ceritanya:Kira-kira dua tahun sebelum kejadian itu ia terpaksa memutuskan untuk pindah
ke Bali. Tidak ada masalah di kota asalnya. Keluarganya baik-baik saja dan juga tidak
ada masalah dengan teman-temannya. Semuanya berjalan normal dan biasa-biasa saja.
Tapi beberapa orang untuk suatu alasan harus pergi meninggalkan kebiasaan yang
cenderung monoton dan tanpa gairah. Bukan suatu kebetulan Tanesia memilih Kuta. Ia
ingin mencoba sertifikat diploma pariwisatanya yang selama satu tahun belum
digunakan. Lalu bertemulah ia dengan seorang pria setengah baya berperilaku santun
yang membawanya bekerja di sebuah hotel bintang tiga. Berdasarkan ceritanya, pada pria
ini sejuta harapan perempuan bisa ditangguhkan, semua impian perempuan yang terbuat
dari hati yang bersuka dapat ditampungnya, dan semua itu dapat tergambar jelas hanya
dengan menatap sepasang matanya. Tanesia takluk. Diciuminya setiap malam pria itu
seraya menggenangi seluruh isi hatinya dengan suka cita dan harapan dan impian dan
ketulusan setiap wanita yang menemukan naungan kasih sayangnya. Jika malam tiba,
semakin bersatulah mereka berdua dalam peluk-cium dan gairah yang melayangkan
keduanya ke sepanjang zaman. Dengan gairah semacam itu tiada bedanya malam tanpa
rembulan, malam dengan rembulan, malam-malam tanpa atau dengan bintang-bintang
dihampirinya dan dijelajahinya hanya untuk mereka berdua. Hanya untuk berdua. Sampai
suatu hari gugusan malam-malam dan bintang-bintang itu lenyap tanpa jejak dan bekas,
luruh ke seluruh hatinya, melongsorkan pedalaman jiwanya dan seketika duka lara
menggantikan suka cita ke setiap sudut perasaannya. Setelah laki-laki itu akhirnya
pergi."Kenapa dia pergi?" kembali aku menggugat. Ia tidak menjawab dan nampak
kecewa pada pertanyaanku. Ia sengaja menenggelamkan aku pada pertanyaanku sendiri
dan seperti mencoba mengingatkan aku pada pertanyaanku sebelumnya. Kali ini semakin
nampak sisa-sisa kecerdasannya. Ia mengembuskan asap rokoknya seolah hendak
meledek pertanyaanku. Saat itu wajahnya menggambarkan dosa-dosanya yang
merefleksikan dosa-dosaku. Hanya dengan begitu ia telah menggubah pertanyaanku
menjadi jawabannya sendiri. Saat itu pula musik blues berganti dari satu lagu sendu ke
lagu sendu lain yang tiada ampun mematahkan perasaan.Ia terus melanjutkan
ceritanya:Sekiranya dua kali kemeriahan malam Tahun Baru telah dilewatinya dalam
kebekuan hati setelah peristiwa buram di atas kasur bergambar kembang jepun. Tapi ia
seperti mati rasa dan tidak pernah merasa melewati tahun-tahun itu. Sebab hari-hari yang
dilaluinya setelah kejadian itu adalah barisan hari-hari yang itu-itu juga. Ia menjadi
terbiasa dengan suntikan di pergelangan tangannya dan kehilangan trauma pada gambar
kembang jepun. Satu orang laki-laki, dua orang, atau tiga, apa bedanya? Orang asing,
orang kita sendiri, semua sama saja. Semua berakhir pada tempat yang sama, lalu pergi.
Sampai sepasang mata itu kembali lagi dari sebuah negeri di mana bintang-bintang dan
rembulan bertaburan. Tanesia seperti terbangun dari mimpi buruknya, dari sekian lama
mati. Darahnya kembali mengalir hangat mengitari jantung dan hatinya. Pipinya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

memerah kembali seperti sediakala. Mata redupnya perlahan hidup kembali dan ada
gejolak yang luar biasa hangat di kedalamannya. Pria dari negeri bintang-bintang dan
rembulan seperti telah mencabut sihir dengan segala maksud jahat yang selama ini
menjauhkan dirinya dari segala macam kebaikan.Dipeluknya dan diciuminya pria itu
seperti masa sebelumnya dan ditumpahkannya seluruh isak tangis yang menggumpal di
dadanya setelah sekian lama kehilangan tempat mengalirnya. Malam-malam tanpa atau
dengan bintang-bintang dan rembulan kembali menghiasi semesta hatinya. Meski tidak
seindah dulu. Tiada ingin ia melepaskan pria itu lagi. Dipeluknya pria itu erat-erat dan ia
benamkan wajahnya pada dada pangeran bintang dan rembulan. Jika ia terbangun di
pertengahan dini akibat raungan suara-suara jahat, cepat-cepat diperiksanya kembali dada
dan sepasang mata yang dicintainya lalu ia dekatkan ujung-ujung jari manisnya pada
hidung sang pangeran hanya untuk memastikan semuanya masih baik-baik saja. Lalu
dilindunginya lagi sang pangeran dari kehendak suara-suara jahat yang entah datang dari
alam luar sana atau alam bawah sadarnya sendiri. Setiap pagi dihadapinya dengan suka
dan cita. Dilewati hari-harinya yang telah sekian lama padam dengan segenap api jiwa
dan raganya. Tanesia sempat kembali seperti sediakala. Hingga di suatu malam yang
tiada terduga ia kehilangan untuk kedua kalinya. Suara-suara jahat dari alam yang entah
di mana tanpa sepengetahuannya berhasil merenggut sepasang mata itu dari hidupnya
yang baru saja hidup kembali. Sampai di sana ia menghentikan ceritanya. Aku tidak mau
mencobanya dengan sesuatu pertanyaan yang akan mengusik kecerdasannya. Saat itu aku
perhatikan kulitnya yang kuning bersih dihiasi butir-butir halus keringat akibat sorotan
lampu kafe yang sebentar lagi tutup. Kasihan, perempuan semacam dia harusnya tidak
berada di kafe semacam ini di pagi sepagi ini pula. Seharusnya ia masih duduk
menggarap skripsi atau jika pun dunia glamor yang dipilihnya, tentu ia sangat serasi
berdiri di atas catwalk atau menjadi model iklan sabun atau lotion pemutih kulit. Aku
tidak tahu pasti apakah itu lebih baik baginya. Tapi toh ia duduk di sana sambil
menghisap dan menghembuskan asap-asapnya, menggantikan aroma parfumnya dengan
sengat Russian Vodka. Sudah sejak tadi minuman itu dituangkan lagi setiap kali habis.
Persis seperti rangkaian kisah hidupnya yang datang segelas demi segelas, memabukkan,
dan setelah habis dituangkan lagi dan dituangkan lagi. "Hidup ini hanya deretan botol-
botol minuman keras yang disuguhkan kepada kita tanpa kita tahu bagaimana akhirnya,"
setelah mengucapkan itu Tanesia mengangkat gelas, sejenak menyelidik ekspresiku, lalu
menenggaknya sampai setengah habis. Kali ini pernyataannya mulai cengeng. Mungkin
karena sudah terlalu Vodka. Hidup ini hanya deretan minuman keras? Perumpamaan
yang kurang menarik, terlalu biasa. Metafornya kurang dalam. Semua cewek cantik yang
sedang putus asa bisa saja mengucapkan itu di sebuah kafe yang penuh asap. Tapi bahwa,
tanpa kita tahu bagaimana akhirnya, adalah persoalan kenapa aku masih duduk di sana
menunggui ceritanya. Tanpa berani bertanya. Lagi pula nampaknya ia sudah mengakhiri
ceritanya. Maka sebuah pertanyaan di akhir cerita hanya akan membuat keseluruhan
cerita itu terganggu. Atau justru akan melengkapi keseluruhan cerita. "Kenapa kamu
tidak bertanya lagi?" ia malah memancing pertanyaan."Apa perlu aku bertanya lagi?" aku
membalas gaya bahasanya tanpa sepenuhnya mengerti apa yang baru saja kunyatakan.
Atau apa saja yang akan kutanyakan. Mungkin aku memang sudah tidak punya
pertanyaan lagi. Seluruh pertanyaan melebur ke dalam irama dan nuansa ceritanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang membuahkan teka-teki kubiarkan saja berupa pertanyaan
biar bisa menghidupi ceritanya dan mengurangi kecengengannya. Mungkin dia benar,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tidak ada perlunya bertanya. Sebab jawaban hanya akan mematikan kegairahan
ceritanya.Sudah jam tiga pagi. Blues bubar setengah jam yang lalu. Tanesia
menghabiskan setengah tenggakan terakhirnya. Kami beranjak dan pergi ke sebuah hotel,
seperti yang telah kami sepakati siang tadi melalui telepon yang aku dapatkan nomornya
dari seorang teman. Di telepon kami sepakat untuk bertemu setelah jam dua belas malam
di sebuah kafe untuk berkenalan sebelum kencan dengan tarif tertentu. Suaranya sungguh
menggoda, membuatku penasaran sehingga ingin cepat-cepat bertemu dengan wujud
aslinya. Maka duduklah kami berdua berhadap-hadapan setelah perkenalan yang begitu
singkat. Namanya Tanesia. Bibirnya yang dilapisi gincu ungu muda beraroma Vodka
menyemburkan kalimat-kalimat itu.***

Perjalanan Burung Gereja

Post: 09/20/2002 Disimak: 165 kali

Cerpen: Andrei Platonov

Sumber: Kompas, Edisi 02/03/2002

SEORANG pemusik tua biasa bermain biola dekat sebuah patung Pushkin. Patung itu
terletak di Moskwa. Patung yang keempat sisinya tertulis puisi dan dilapisi marmer pada
tangganya itu bertempat di ujung Tverskoi Bulvar. Dengan menaiki tangga-tangga itu,
pengamen tua menghadap ke bulevar ke arah jalan Nikitskie Vorota sambil menyentuh
dawai-dawai biolanya. Di sekitar patung telah berkumpul anak-anak, orang-orang yang
lewat, penjual-penjual majalah dan kios-kios sekitar, mereka semua terdiam menanti
permainan musik.Di musim gugur terakhir Pak Tua memperhatikan tempat biolanya
tergeletak di tanah seperti biasa, telah hinggap seekor burung gereja. Ia merasa bahwa
burung itu belum tidur padahal sore sudah gelap. Si burung masuk sibuk dengan
makanannya. Di sore lain, pemusik tua itu membuka kotak biolanya, dengan harapan jika
datang burung yang kemarin, ia dapat memakan roti lunak yang terletak di dalam kotak
tersebut. Sang burung tanpa kesulitan bertengger di atas roti di kotak dan dengan
sibuknya mulai mematuk makanan yang telah tersedia. Burung itu tampaknya sudah tua,
sebagian besar bulunya telah beruban, dari waktu ke waktu ia dengan waspada menengok
ke semua sisi, agar dengan pasti melihat musuh dan kawan, sementara pemusik

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

memandanginya dengan penuh keheranan dengan mata hati-hati dan ingin tau. Pasti,
burung gereja ini sudah sangat berumur atau menderita, karena ia memiliki otak yang
sangat besar.Beberapa hari sang burung tidak kelihatan di bulevar, pada saat-saat ini,
salju sudah mulai berguguran. Pak Tua, sebelum berangkat ke bulevar, setiap hari
memotong kecil-kecil roti lunak dan hangat di kotak. Sudah lewat lima hari, tapi si
burung tak juga hinggap berkunjung ke patung Pushkin. Violis tua, seperti sebelumnya
menyediakan roti untuk burung gereja di kotak yang terbuka yang penuh dengan remah-
remah roti. Namun perasaan pengamen itu sudah mulai tersiksa oleh menunggu, dan ia
mulai melupakan si burung.Pak Tua harus melupakan banyak hal yang tak kembali dalam
kehidupannya, ia berhenti meremukkan roti, hanya diletakkannya sepotong roti untuk di
kotak, dan membiarkan tempat biola itu terbuka.Di kedalaman musim dingin mendekati
tengah malam terlihat badai akan tiba. Pak Tua memainkan nomor terakhir Jalan Musim
Dingin Schubert, dan bersiap pulang untuk beristirahat. Saat itu di antara angin dan salju,
muncullah burung ubanan yang telah dikenalnya. Ia hinggap dengan cakarnya yang kurus
di salju beku, lalu sedikit berputar sekitar kotak, yang ditiup angin kencang, tapi dengan
acuh dan tanpa rasa takut terbang dan masuk ke kotak biola tersebut. Di situ burung
gereja itu mulai mematuki roti, nyaris bersembunyi di kehangatan peti kecil yang empuk
itu. Lama ia makan, mungkin setengah jam penuh. Badai salju hampir sepenuhnya
menimbun sekitar kotak biola dengan salju, tapi sang burung tua masih asyik di dalam
salju, sibuk dengan makanannya. Berarti ia mampu memakannya dalam waktu yang
lama. Pak Tua mendekat ke kotak tersebut sambil membawa biola dan tangkai
penggeseknya dan lama menunggu di antara angin, sampai sang burung keluar dari kotak
biolanya itu. Akhirnya si burung gereja keluar, membersihkan diri dalam gundukan salju
kecil, sedikit berceloteh sesuatu dan berjalan pergi menuju tempatnya, tanpa keinginan
terbang dalam dinginnya angin, agar tidak membuang tenaga sia-sia.Sore berikutnya,
burung itu datang lagi ke patung Pushkin. Ia langsung menelusupkan diri ke kotak dan
mengembat roti yang tersedia. Pak Tua mengintipnya dari ketinggian bawah patung,
sambil memainkan musik dengan biolanya. Dari sana ada perasaan nyaman menelusupi
hatinya. Sore itu cuaca tenang, kelihatannya lelah setelah guruh kemarin. Setelah makan,
burung melesat tinggi dari boks dan menggumamkan lagu kecil di udara...Fajar tidak
segera menyingsing, terjaga di kamarnya, si musisi-pensiunan mendengar nyanyi badai
dari balik jendela. Salju beku dan keras telah menyebar cahaya sepanjang gang.
Sementara kaca jendela masih malam, dalam kegelapan, berbaring hutan-hutan beku dan
suara-suara dari negeri entah berantah.Pak Tua mengagumi permainan alam yang hidup
itu, bahwa alam juga dahaga akan kebahagiaan yang lebih baik, seperti manusia, seperti
musik.Hari ini terpaksa ia tak pergi bermain musik ke Tverskoi Bulvar, sebab badai akan
datang, dan suara biola menjadi terlalu lemah karenanya. Biarpun begitu menjelang sore
Pak Tua mengenakan juga mantelnya, membalut kepala dan lehernya dengan syal,
meremukkan roti di kantung dan pergi keluar. Dengan susah payah, sesak nafas oleh
kerasnya dingin dan angin, pemusik itu berjalan menyusuri gang menuju Tverskoi
Bulvar. Sepi, hanya ranting-ranting pohon yang bergemeretak di Bulvar itu, dan cuma
sesosok patung muram bergemerisik oleh salju yang beterbangan menimpanya. Pak Tua
ingin menaruh gumpalan-gumpalan kecil roti di tangga patung, namun sadar bahwa itu
percuma saja: badai sekejap akan menyapu roti itu dan salju akan menimbunnya. Walau
begitu, ditaruhnya juga roti itu dan melihat bagaimana ia hilang di temaram badai.Si
burung ubanan ternyata tak takut badai salju. Hanya saja ia tak terbang ke Tverskoi

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Bulvar. Ia pergi ke sana berjalan kaki, karena di bawah sedikit lebih tenang dan bisa
bersembunyi antara timbunan salju dan benda-benda lain sepanjang jalan.Si burung
cermat mengamati semua daerah sekitar patung Pushkin dan bahkan sempat mengorek-
ngorek dengan kakinya ke salju, tempat biasanya diletakkan kotak biola terbuka yang
berisi roti. Beberapa kali ia mencoba terbang dari arah angin menuju tangga patung,
untuk melihat apakah badai mengantar potongan-potongan roti atau biji-biji tua yang bisa
ditangkap dan ditelan. Tapi badai langsung menyergap burung itu ketika ia keluar dari
salju, dan mengenyahkannya sebelum sempat meraih ranting pohon atau tiang trem, dan
seketika burung itu jatuh dan menyusup ke dalam salju untuk menghangatkan diri dan
beristirahat. Si burung akhirnya mengurungkan harapannya atas makanan itu. Lebih
dalam ia menggali lubang di salju, menyusutkan diri di dalamnya dan mulai mengantuk,
hanya saja ia tidak kedinginan dan mati, dan badai satu saat berhenti. Ia tidur dengan
tetap waspada dan penuh kepekaan mengamati gerak badai dalam tidurnya. Antara mimpi
dan malam yang ia merasai bahwa gundukan salju tempatnya tidur bergerak perlahan
membawanya, sampai semua salju di sekitarnya mencair dan hilang, dan burung gereja
menjadi sendirian dalam badai.Burung itu jauh terbawa dan terdampar pada ketinggian
tertentu. Di sini bahkan salju pun tak ada, cuma angin bersih telanjang, keras oleh
kekuatannya yang menyatu. Sang Burung sejenak berpikir lalu membenamkan diri dalam
kehangatan tubuhnya dan tertidur...Pak Tua menyadari bahwa burung tua yang
dikenalnya itu telah tewas akibat badai. Salju yang jatuh, hari-hari yang dingin dan angin
sering kali tak mengizinkan Pak Tua untuk keluar ke Tverskoi Bulvar untuk memainkan
biolanya. Hari-hari seperti itu biasanya ia di rumah, dan satu-satunya yang membuat
hatinya tenang adalah dengan memandang kaca-kaca jendela yang membeku. Bulan
Februari ia membeli seekor kura-kura kecil di sebuah toko binatang di Arbat. Suatu
ketika pernah ia membaca bahwa kura-kura hidup lama, sebab Pak Tua tak ingin
makhluk yang telah dekat dengan hatinya pergi mendahuluinya. Memang di usia senja
jiwa tak gampang lupa, sering kali ia dibebani kenangan-kenangan. Karenanya biarkan
kura-kura yang menderita karena kepergiannya.Hidup bersama seekor kura-kura,
membuat pemusik tua ini semakin jarang pergi ke patung Pushkin. Kini setiap sore ia
memainkan biolanya di rumah, sementara kura-kura perlahan-lahan keluar ke tengah-
tengah kamar, menggerak-gerakkan lehernya yang kurus dan panjang sambil
mendengarkan musik. Ia menolehkan kepalanya sedikit ke arah manusia itu supaya bisa
mendengarkan dengan lebih baik, sementara satu matanya yang hitam memandang ke
arah pemusik itu dengan satu ungkapan yang pendek. Kura-kura itu mungkin saja
khawatir kalau-kalau Pak Tua menghentikan permainannya sehingga ia kembali bosan
hidup sendirian di lantai kosong. Tetapi kali ini pemusik tua ini memainkan musiknya
hingga larut malam, sebelum kura-kura merebahkan kepalanya yang kecil ke lantai
karena kelelahan dan tertidur. Setelah menunggu kura-kura benar-benar memejamkan
matanya, Pak Tua diam-diam memasukkan biola ke dalam kotaknya dan ia pun
merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. Namun pemusik itu tak bisa tidur dengan
tenang. Sering kali ia terbangun dengan tiba-tiba dan dalam ketakutan akan kematian.
Kemudian tampak seperti biasa saja, ia masih hidup, dan di balik jendela, di sebuah jalan
kecil di Moskwa, malam yang hening masih berlalu. Pada bulan Maret, setelah terbangun
dari kebekuan jiwa, Pak Tua mendengar sebuah gemuruh angin yang dahsyat; dinding
kamar bergetar: angin, mungkin, berhembus dari selatan, dari arah musim semi. Dan
lelaki tua itu teringat pada burung gereja dan bahwa yang dicintainya itu telah mati:

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sebentar lagi musim panas tiba dan di Tverskoi Bulvar kembali pepohon bermekaran,
seandainya burung itu masih hidup. Dan di musim dingin ia pasti akan membawanya ke
biliknya, dan burung itu pasti akan bersahabat dengan kura-kura dan dengan leluasa akan
melewati musim dingin dalam kehangatan, seperti kita melewati masa pensiun. Pak Tua
kembali terlelap, bertenang diri bahwa setidaknya ia masih punya seekor kura-kura yang
hidup, dan itu cukup baginya.Sang burung juga tidur malam itu, walau ia juga melayang
bersama angin badai selatan itu. Ia tersentak hanya ketika pukulan badai menghantam,
dan ia lagi-lagi menenggelamkan diri dalam kehangatan tubuhnya, dengan cara
mengkeratkan badannya. Ia terbangun ketika keadaan sudah terang; angin dengan
kekuatan dahsyatnya telah membawanya ke negeri yang jauh. Burung itu memang tak
takut terbang menyusuri ketinggian, ia bahkan bercanda-canda dalam lingkar badai yang
keras dan jahat itu, berceloteh dalam dirinya sendiri ketika rasa lapar mulai
menyambanginya. Dengan penuh kehati-hatian ia melihat sekitar, mencari benda-benda
yang mungkin bisa dimakan. Dipandangnya dengan jeli: kadang-kadang hanya sebuah
biji kecil yang ranum yang tampaknya dari suatu tempat yang hangat, kadang biji kacang,
dan tak jauh darinya bahkan terbang segepok semak dan ranting. Ini mengisyaratkan
bahwa angin tak membawanya sendirian. Sebuah biji kecil terbang dekat sekali, tapi
untuk menangkapnya sangatlah sulit: burung itu beberapa kali mematuk, namun meraih
biji itu tetap saja ia tak mampu, karena paruhnya seperti menyangga badai, yang keras
seperti batu. Karenanya burung itu mulai berkisar ke sana ke mari seputar dirinya. Ia
membalikkan diri dengan kaki-kaki kecilnya ke atas, melesat dengan satu sayap, dan
angin langsung membawanya mula-mula ke arah biji yang terdekat, lalu dicobanya
meraih yang lebih jauh. Tak hanya kenyang, ia juga belajar bagaimana cara melesatkan
diri dalam badai. Selesai makan ia memutuskan untuk tidur. Sekarang ia merasakan diri
lebih baik: makanan terbang di sekitarnya, sementara hawa dingin ataupun hangat di
antara badai tak lagi dirasakannya.Kini setiap sore di musim semi pemain biola keluar
untuk bermain musik di patung Pushkin. Ia membawa kura-kura bersama dan
membiarkannya berdiam di dekat kakinya. Selama musik dimainkan kura-kura itu sama
sekali tak bergeming mendengarkan setiap gesekan biola, dan ketika Pak Tua beristirahat
ia dengan sabar menanti kelanjutannya. Kotak biola seperti dulu, diletakkan di atas tanah
di hadapan patung Pushkin, tapi tutup kotak itu kini selalu tertutup, karena pemusik tua
itu tak lagi berpengharapan burung gereja ubanan datang menemuinya. Satu sore yang
cerah angin berhembus disertai salju. Pemusik menyusupkan kura-kura ke rongga
bajunya, meletakkan biola ke kotaknya dan bergegas menuju flatnya. Dua anak kecil
berdiri di pintu gerbang sebuah rumah tinggal yang sudah tua, salah seorang berkata
kepada pemusik itu:"Paman, belilah burung kami ini... Kami perlu untuk tambahan karcis
bioskop!"Pemain biola itu berhenti."Baiklah," katanya, "darimana kalian
mendapatkannya?""Di atas batu... Jatuh sendiri ia dari langit," jawab anak kecil dan
menyerahkan burung itu dalam dua genggam tangannya kepada pemusik.Burung itu
mungkin sudah mati. Pak Tua menaruhnya di sakunya, memberi anak itu dua puluh
kopek dan pulang.Setibanya di rumah pemusik itu mengeluarkan burung kecil itu dari
kantung sakunya. Seekor burung gereja tua ubanan tergolek di tangannya; matanya
tertutup, kaki-kaki kecilnya lemah dan satu sayapnya menggantung tanpa daya. Tak tahu,
apakah ia mati suri atau mati benar. Untuk berjaga-jaga Pak Tua meletakkannya di
rongga dalam kemeja tidurnya, entah esok pagi ia menghangat dan siuman, entah ia
takkan terbangun untuk selamanya.Setelah menghabiskan tehnya, pemusik itu dengan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

hati-hati merebahkan diri tidur miring, supaya tidak menggencet burung itu.Sesaat Pak
Tua tertidur, tapi segera terbangun, ketika burung itu bergerak-gerak di balik baju
tidurnya dan mematuk tubuh Pak Tua. "Hidup," pikir Pak Tua. "Berarti hatinya telah
menjauh dari kematian!" Lalu dikeluarkannya burung gereja itu dari kehangatan di balik
baju tidurnya.Pemusik itu meletakkan burung kecil itu di kolong dekat kura-kura.
Sementara kura-kura masih pulas di dalam tempurungnya. Di sekitar situ ada kapas-kapas
yang empuk dan nyaman buat burung itu.Pagi hari Pak Tua terbangun dan melihat apa
yang sedang dilakukan si burung di tempat kura-kura.Burung gereja itu tergeletak di atas
kapas dengan kaki-kaki kecilnya menjulur ke atas, dan kura-kura mengulurkan lehernya,
memandangi sang burung dengan tatapan penuh kasih dan kesabaran. Burung itu telah
mati dan melupa untuk selamanya, bahwa pernah ada di dunia.Sore hari pemusik tua tak
pergi ke Tverskoi Bulvar. Ia mengeluarkan biola dari kotaknya dan mulai memainkan
musik yang lembut penuh cita. Kura-kura keluar ke tengah-tengah kamar dan
mendengarkan sendirian. Tapi dalam musik ada sesuatu yang tak tersampaikan untuk
membalur kegetiran hatinya yang dalam. Karenanya diletakkannya biola di tempatnya
dan menangis, karena tak semua bisa diungkapkan oleh musik, dan pada akhirnya tinggal
manusialah yang merasai kehidupan dan penderitaan.** Andrei Platonov (1899-1951)
yang nama aslinya Andrei Platonovich Klimentov adalah seorang sastrawan Rusia pada
masa Soviet. Dalam karya-karyanya ia banyak menyoroti kehidupan manusia dan
hubungannya dengan alam, kematian, dan keabadian. Karyanya yang termasyhur antara
lain Chevengur dan Kotlovan. Sebagian besar karyanya diterbitkan ketika ia telah
meninggal dunia. ***Cerpen Perjalanan Burung Gereja dialihbahasakan dari bahasa
Rusia oleh A Fahrurodji.

Perempuan di Layar Maya

Post: 09/20/2002 Disimak: 202 kali

Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar

Sumber: Kompas, Edisi 02/10/2002

+ Namaku, Je! Perempuan. 25 tahun. Sekretaris.Cukup?IA terperangah ketika menatap


sederetan kata-kata yang muncul di layar komputer itu. Luar biasa. Padahal, ia baru saja
secara acak meng-klik sebuah alamat e-mail yang sama sekali tak dikenalnya. Ia hanya
iseng. Hanya ingin berkomunikasi. Ingin ngobrol dengan seseorang yang asing. Entah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

siapa pun dia. Ia ingin melompati tembok kebuntuan setelah berbulan-bulan tak
menemukan jalan keluar. Ia ingin keluar dari sergapan kebosanan.Ia kini tiba-tiba jadi
bosan politik. Meski kabinet pemerintahan, baru saja diumumkan. Ia merasa lelah
menatap layar kaca yang telah mempingpong rakyat. Ia jenuh melihat pergerakan nilai
rupiah yang turun-naik begitu tajam bagaikan gelombang tsunamis. Ia juga bosan
kriminal. Bosan pembantaian orang-orang tak berdosa. Bosan juga menyaksikan maling
yang dibakar massa hidup-hidup. Sementara koruptor besar yang telah memalingi uang
rakyat dalam triliunan, dibiarkan bebas berkeliaran. Ia jadi bosan basa-basi yang
membelenggu akal-sehat. Segalanya terdedah tanpa batas di layar kaca. Di halaman-
halaman suratkabar dan majalah. Di tengah rumah. Di lapangan. Di pasar. Di mana-
mana.Bagai kapal kini, ia ingin berlayar meninggalkan derrmaga. Ia ingin mengharungi
samudera pengembaraan tak bertepi. Bagai burung, ia ingin terbang sejauh-jauhnya
meninggalkan sarang yang dingin. Bagai pertapa ia ingin keluar dari ceruk goa terdalam
dan sederetan stalaktit dan stalakmit. Ia ingin bebas dari kekangan kehidupan yang penuh
rambu-rambu. Karenanya, ia butuh seseorang. Bukan orang yang selama ini sudah
dikenal dekat. Bukan teman kantor. Bukan teman sehobi di lapangan golf. Bukan teman
kencan di diskotik. Bukan juga anak, istri, orangtua, saudara. Ya, siapa pun mereka.+
Apa kabarmu?Lagi-lagi ia dihardik oleh seseorang yang menyebut dirinya 'Je' di layar
maya itu. Matanya jadi berkedip-kedip. Jadi berkaca-kaca. Antara ingin menjawab dan
takjub. Ia tak membayangkan kebuntuannya berubah wujud jadi begini. Bila dijawab,
sebaiknya ia harus mengatakan apa? Padahal ia ingin lari dari basa-basi yang telah
menimbunnya di kuburan imajinasinya sendiri. Ia khawatir bakal terperangkap lagi dalam
kebiasaan dan keseharian. Ia tak inginkan pengulangan-pengulangan yang penuh basa-
basi. Ia ingin sesuatu yang lain dan tak biasa.+ Sungguh kamu membutuhkanku?Ia
terdesak. Pertanyaan Je yang terakhir ini benar-benar membuatnya terkepung di dalam
kebingungan. Antara ya dan tiada. Antara keisengan dan kesungguhan. Antara sadar dan
bermimpi. Antara realita dan alam maya. Ia masih takut bila obrolan di layar maya itu
akan menyeretnya pada kebiasaan-kebiasaan.+ Hai, bajingan! Dengar nggak, lu?Makian
yang muncul di layar komputer dengan huruf berukuran besar itu benar-benar
menyadarkannya. Ia merasa tertantang. Barangkali inilah sesuatu yang lain. Sesuatu yang
tak pernah ditemukannya di tengah rumah, kantor atau lapangan golf. Sungguh, ia
tertantang.Matanya sempat menerawang jauh ke alunan gelombang yang memutih di
tengah pergumulan laut. Dari kawasan off-shore, di lokasi pengeboran minyak lepas
pantai, di tengah-tengah permainan ombak Selat Melaka itulah ia bergulat dengan
kesendirian dan kesepiannya. Lama ia terperangah.Kemudian ia mulai mematut-matut
jemarinya di keyboard yang sejak tadi terbentang. Pikirannya tanpa di bawah kendalinya
bisa saja menerawang tiba-tiba, tapi di benaknya sudah terkumpul jutaan jawaban
bagaikan laron yang mengelilingi sebuah lampu pijar di kegelapan. Ia benar-benar
tertantang untuk mengembara di layar maya itu. Seseorang telah datang begitu tiba-tiba.
Tanpa direkayasa. Tanpa direncanakan. Hai...apa kabar? Aku ingin ngobrol aja...+
Kenapa tak bilang dari tadi? Aku sangat bosan menunggu. Apa maumu sekarang?Ya, aku
sudah bilang... aku mau ngobrol aja. + Aku sudah perkenalkan diri. Tapi kamu?Ya, ya...
aku tahu, Aku keliru. Aku sudah mulai... tapi buntu.OK, kamu siapa?Ia langsung
memperkenalkan dirinya. Ia bercerita panjang lebar kenapa ia terperangkap dalam
chatting dadakan begitu. Sungguh, ia tak menargetkan siapa yang harus melayaninya
ngobrol. Kalau kebetulan Je yang menanggapi kegetiran jiwanya yang sudah kerontang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sejak lama, barangkali itulah jodohnya. Ia bagaikan membuang keluh-kesahnya bagaikan


kupu-kupu yang berterbangan lepas dari kepompongnya. Ia jadi kupu-kupu yang penuh
birahi mencari kupu-kupu yang lain. Sekarang, seekor kupu-kupu itu sudah ada terjepit di
antara dua jarinya. Ia ingin kupu-kupu itu tak meronta.Ia ingin melupakan jam kantor di
sebuah menara kontrol di tengah areal pertambangan. Selama ini ia hanya berhadapan
dengan layar monitor yang mengalirkan angka-angka kuantum yang menyimbolkan
proses produksi sebuah pabrik tambang. Sekarang ia mencoba lari dari kejaran angka-
angka yang membosankan itu.Tiga jam lebih ngobrol di layar maya itu, ia jadi kelelahan
juga. Ia tertidur di depan komputer yang masih menyala. Saat terjaga beberapa saat
kemudian, layar komputer itu telah kosong. Tak ada lagi Je di situ. Tak ada lagi kata-kata
baru. Tak ada sesiapa yang menyergap lontaran pertanyaannya.Ia merasa kehilangan
momentum emas di dalam hidupnya. Ia kehilangan sebuah keceriaan yang telah
dibangkitkan oleh seorang bernama Je. Ia ingin melanjutkan perbincangan yang tak biasa
itu. Tapi Je-barangkali-juga telah tertidur pulas di seberang sana. Ia sangat menantikan
hardikan dan kata-kata galak dari Je yang tiba-tiba merangkak masuk ke dalam bion-bion
otaknya.Hari-harinya jadi kosong seketika. Sepekan menunggu, Je tak membalas e-
mailnya. Sebulan berlalu, Je hanya muncul dalam bayang-bayang yang keruh menari-nari
dalam benaknya. Je yang semula jadi setrum yang membangkitkan kegairahan batinnya
kini berubah jadi monster yang siap menelannya kapan saja. Ia terpojok setelah tersambar
kilatan cahaya Je. Sungguh, ia tak tahu siapa Je sebenarnya. Bisa jadi, Je seorang lelaki
bersosok besar dengan kumis panjang yang secara iseng menyamar jadi perempuan.
Apalagi, sergahan-sergahan Je yang muncul di layar maya itu bagai mengandung
semangat maskulin-nya laki-laki. Lebih lagi, nama Je tidak membersitkan sentimen
gender. Artinya, siapa pun, lelaki atau perempuan berhak menggunakan nama Je. Ya, ia
jadi ragu... jangan-jangan Je itu seorang laki-laki. Dan seketika ia jadi benci Je. Dalam
benaknya ia merasa dibohongi Je. Ia merasa telah menghabiskan energi begitu besar
untuk menumbuhkan rasa simpati pada Je yang telah menyahuti salamnya. Dalam
hatinya, ia hanya bisa memaki-maki Je.Siang benderang. Matahari bagai terbelalak di
balik serabut awan. Ia menatap kosong ke layar maya. Ia berharap, Je bisa muncul barang
sejenak. Lebih sebulan terakhir ia berkeringat untuk mematut-matut siapa Je. Meski
antara ragu dan penuh ingin tahu, kadang-kadang ia masih membayangkan Je benar-
benar seorang perempuan cantik, berlesung pipit, manja dan sedikit centil. Tapi di
belahan hatinya yang lain, ia jadi ragu juga. Jangan-jangan Je benar-benar seorang lelaki
jantan yang mengaku-aku sebagai perempuan. Namanya juga iseng. Siapa pun bisa
berbuat iseng kapan dan di mana saja. Tapi ia begitu sedih bila dirinya menjadi korban
keisengan semacam itu.Tit! Saat layar maya itu masih terbuka, sebuah mail muncul di
deretan inbox. Darahnya terkesiap. Ia membuka mail itu segera. Benar Je muncul dengan
sebuah kalimat :+ Bosan? Penasaran menunggu, ya?Ya... kamu kemana aja?+ Capek aku.
Aku mengembara ke dalam benakmu. Aku bermain-main di pelupuk matamu. Aku tahu,
kamu begitu marah. Begitu penasaran. Begitu membenciku. Ya, ya. Aku merasakan
getaranmu. Tapi bagai angin, kurasakan ada tapi tak bisa kugapai. Aku jadi rindu kamu.+
Ah, gombal kamu. Lelaki bila ada maunya, bisa macam-macam. Bisa gombal, gitu.Ia
terhenyak seketika. Ia tersadar bahwa pelarian batinnya pada akhirnya bakal terperangkap
pada kebiasaan dan kesehariaan. Sebagai lelaki, dia digombalkan seorang perempuan-ah,
mudah-mudahan tak keliru-merupakan sebuah kelaziman. Tak bakal ada sesuatu yang
baru diraihnya bila berdialog begitu.Aku jadi penasaran. Benar kamu seorang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

perempuan? Jangan-jangan kamu seorang lelaki yang mempermainkanku.+ Lha, edan


kamu. Sinting. Tak percaya? Lihat aja sendiri. Ah, nggak. Aku hanya ragu. Kamu
menantangku untuk memastikan jenis kelaminmu? Aku nantikan suatu saat.+ OK deh.
Kapan-kapan kukirim potretku.Kalau betul kamu perempuan, pasti kamu cantik dan
menggemaskan.Sehari kemudian, apa yang dijanjikan Je jadi kenyataan. Di layar maya
itu, ia bisa menemukan wajah Je yang sejak lama bermain-main dalam imajinya. Meski
pada mulanya wajah Je begitu samar. Je telah mengirim potretnya dengan resolusi
gambar yang berbeda dengan kemampuan CPU-nya. Ia terpaksa melakukan down-load
agar pixel gambar itu benar-benar kontras terdedah di layar komputernya. Kiriman
gambar itu pun sudah yang kedua kalinya. Yang pertama, gagal karena terserang virus
yang hebat. Meski sudah diupayakannya melalui virus scanning tercanggih, tapi tak
kunjung berhasil.Hatinya berbunga-bunga ketika menatap wajah Je yang sedang
tersenyum. Je tak berbohong. Je memang cantik, manis, dan menggemaskan sebagaimana
dugaannya. Semakin lama ia tatap wajah Je, perempuan di layar maya itu semakin
menggairahkan. Senyumannya kian berubah jadi tawa renyah. Tatapan mata Je begitu
hidup bagai menggamit dirinya. Ia hanyut menatap wajah Je yang rupawan.Setiap pagi,
saat memulai kerja di control room di atas menara yang jauh dari keramaian, ia
sempatkan membuka file yang berisi wajah Je. Tapi selalu ada perubahan nyata yang
dihadapinya. Je selalu berubah ekspresi. Kadang ia tertawa manis, Kadang marah
menyebalkan. Kadang Je tertidur pulas. Hebatnya lagi, ia kini bisa menyaksikan semua
aktivitas Je di rumah dan di mana saja. Ia bagaikan menyaksikan sebuah panorama yang
dikirim dari hidden camera yang ia sendiri tak tahu di mana dipasangnya.+ Selamat
pagi...Di layar maya itu, Je mengucapkan sapaan lembut bagaikan berhadapan langsung
dengannya. Ia berdebar-debar. Semua peristiwa keseharian Je tiba-tiba muncul begitu
nyata di layar komputer itu. Andaikan ia punya layar monitor ukuran dua kali dua meter,
tentu sosok Je akan semakin jelas. Bagaikan menonton sebuah filem layar lebar di
kepungan deru ombak yang tak pernah lelah. Selat Melaka selalu jadi saksi atas
segalanya.Selalu saja ia saksikan bagaimana Je sarapan pagi, mandi dengan shower,
berangkat kerja, bercengkerama dengan orangtua dan adik-adiknya. Ia juga menyaksikan
bagaimana Je mengenakan gaun tidur yang berwarna biru muda. Je ternyata suka tidur
miring ke kiri sambil memeluk guling yang empuk. Ia selalu menahan napas bila
menyaksikan adegan-adegan sensual begitu.Je, aku rindu kamu. Aku tiba-tiba ingin...Ia
membayangkan sesuatu yang sangat pribadi. Ia ingin berpelukan, ciuman dan
menyalurkan birahinya. Semua yang berkelabat dalam pikirannya itu tiba-tiba muncul di
layar maya itu. Pada mulanya asap mengepul berbaur awan yang komulus. Je tiba-tiba
muncul begitu saja dengan gaun kebiruan melayang-layang di angkasa. Rambutnya
tergerai diditup angin sakal. Je tersenyum dan melambai-lambai manja.Di atas sosok Je
itu, ia menemukan dirinya juga sedang melayang-layang. Ia mengejar Je dan menggapai-
gapai. Keduanya terhanyut di sebuah turbulence yang tak membahayakan. Keduanya
saling mendekat. Dan... keduanya saling bersentuhan, berpelukan dan berciuman. Angin
memukul-mukul punggung keduanya. Keduanya semakin birahi. Keduanya saling
menikmati.Ia menyaksikan adegan-adegan itu penuh perhatian. Ia merasa heran dan
takjub, bagaimana mungkin semua itu terjadi begitu saja. Apa yang ia angankan tiba-tiba
terdedah dengan mudahnya di layar maya.Ia jadi berkeringat dan kelelahan. Ia coba
mencubit lengan kirinya kalau-kalau apa yang disaksikan hanyalah sebuah mimpi. Ia
meringis kesakitan. Ia menyaksikan bagaimana lambaian Je saat menghilang di layar

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

maya itu. Senyuman Je benar-benar melekat di sudut pikirannya. Ah, Je, bisiknya
lirih.Begitu tersadar, ia cepat-cepat mengetik di keyboard. Ia segera kirim mail buat Je.Je,
kamu baik-baik saja? Aku tiba-tiba menyaksikan sesuatu yang sulit kulupa. Antara mimpi
dan nyata, aku kok bisa merasakan kehangatan tubuhmu?+ Surprise... Busyet..! Aku juga.
Kok bisa? Kamu berhalusinasi, kali?Ah, nggak juga. Aku berharap, adegan itu terulang
lagi, kapan-kapan.Je tak menjawab. Lama layar komputer itu kosong. Ia terkesima. Ia
bagaikan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Ia tak langsung melakukan tugasnya
di control room itu. Orang-orang yang berseliweran di kiri kanannya, sedikit pun tak
menarik baginya. Ia terbius oleh Je.Ia menanti sapaan Je yang kasar seperti padamula
perkenalannya di layar maya itu. Tapi Je kini tak memberikan aba-aba akan muncul.
Setiap ia mengirim mail buat Je, jawaban yang diterimanya: undelivery. Mail itu
membalik begitu saja seolah-olah ada kesalahan administrasi. Ia jadi penasaran. Ia jadi
bodoh berhadapan dengan perempuan maya itu.Ia tiba-tiba ingin mendatangi Je di
kotanya. Tapi, sayang, ia tak tahu di mana alamat rumah Je. Ia juga belum sempat
menanyakan nomor telepon dan alamat kantor Je. Ia betul-betul miskin data. Padahal
berbulan-bulan ia berkomunikasi dengan perempuan itu, tak terpintas dalam pikirannya
untuk menanyakan hal-hal sepele begitu. Tunggu dulu, bukan tak terpikirkan, tapi ia
sejak mula sudah bertekad untuk tidak berbincang soal yang lazim dari peristiwa
keseharian.Ia jadi nekad. Ia bagai kesurupan ketika ia mengirim mail buat Je dengan
huruf dengan ukuran 36 font: "Je, jawab aku kapan pun kamu mau." Sesudahnya, ia
mematikan komputernya. Dan komputer itu ia banting dan tak pernah berusaha
menyalakannya lagi. Ia mengubur pesawat komputer itu bersama bayangan Je.Ombak
Selat Melaka yang menggelegar berdegup kencang di jantungnya. ***

Batas

Post: 09/20/2002 Disimak: 162 kali

Cerpen: Helen Yahya

Sumber: Kompas, Edisi 02/24/2002

MAK Kimin menggerutu mendengar laporan kemenakannya. Urat-urat lehernya


menegang. Bola matanya mencorong tajam. Wajahnya memerah menahan kemarahan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Bujang Sami-salah seorang kemenakan jauh- otomatis ikut tegang.Kurang ajar!


Dikiranya kita tidak tahu batas ulayat?" hidung Mak Kimin mendengus-dengus bagai
kerbau akan berlaga. Bujang Sami hanya tertunduk kaku. Melihat itu Mak Kimin
melanjutkan hardik, "Dan kalian takut dengan ancaman mereka?! Padahal sebelumnya,
saat aden1 masih di situ, mereka tak berani! Tapi baru sepekan aden tak ke sana..,"
"Buuuk.., bukan begitu, Mak. Kami hanya segan beradu pendapat. Karena sebagian besar
mereka masih pabisan2 dan sumando3 kita," kegugupan Bujang Sami jelas tergurat di
matanya yang kuyu. "Alaa, pendek betul pikiran wa'ang4. Berdebat atas kebenaran tak
ada salahnya. Mana Pidin? Suruh dia kemari!" perintah Mak Kimin. Tangannya memilin-
milin rokok daun nipah. "Dia manakiak5, Mak," jawab Bujang Sami masih sambil
menekur. "Kapunduang! Urusan pribadi yang diutamakannya!" Bujang Sami semakin
tegang. Dia tahu betul tabiat Mamaknya. Sebagai salah seorang Tungganai Kaum
Patopang6, kadang tak sungkan bertindak keras pada anak kemenakan. "Nanti malam kita
lanjutkan di Rumah Gadang. Jangan sampai ada kaum Patopang yang tidak hadir. Kapan
perlu, suruh Kiri memukul canang!" Bujang Sami hanya sanggup mengangguk. Setelah
diteguknya kopi pahit yang diseduh Amainya-istri Mak Kimin-dia bergegas meningkat
jenjang rumah semi permanen yang masih bau semen setelah direnovasi hasil
menambang emas dua pekan lalu. ***"BAGAIMANA, Da?" tanya Upik Sida pada
Bujang Sami-suaminya-sesampainya di rumah mereka yang beratap rumbia. "Gara-gara
Pidin tidak bisa menyelesaikan urusan itu, aden yang kena sirengeh7 Mak Kimin.
Kapunduang paja tu8!" umpat Bujang Sami ketus. "Uda tidak usah ikut ribut. Harta dapat
dicari. Tapi jika terjadi pertikaian ulah memperkarakan harta, apa jadinya?" "Itu bukan
kesalahan orang kampung kita, Pik. Dalam pembagian ulayat, sungai kecil itu adalah
batasnya. Kami mendulang emas tepat di tengah sungai itu. Tapi lantaran orang kita lebih
dulu mendapat emas, mereka cemburu dan mengeluarkan peraturan sepihak!" geram
Bujang Sami sambil menggaruk-garuk kepalanya yang penuh ketombe akibat selalu
berpanas matahari saat mendulang emas. "Lalu bagaimana keputusan Mak Kimin?" Upik
menghidangkan sepiring nasi lengkap dengan sayur pucuk ubi dan samba lado tanak9.
"Beliau mengundang seluruh kaum Patopang nanti malam untuk rapat di Rumah
Gadang," Bujang Sami menarik nafas pendek. Upik menarik napas panjang, "Jadi kapan
akan kembali ke lokasi pendulangan?" "Menunggu hasil rapat itu." Sehabis Maghrib Kiri
mengguguh canang dan berteriak memberikan pengumuman. "Mudah-mudahan rapat
dapat memutuskan yang terbaik," ujar Bujang Sami sambil memandang istrinya yang
sedang hamil dua bulan-anak pertama mereka. Kemudian meneguk kopi manis. Meraih
kupiah yang tergantung di paku tiang utama rumah. Lalu menapaki lantai menuju pintu
yang berjenjang tiga. Sambil berharap hasil musim mendulang tahun ini dapat mengganti
jenjang kayu dengan jenjang semen. Dapat menukar atap rumbia dengan atap seng. Dapat
mengganti dinding anyaman bambu dengan susunan papan. Rumah Gadang yang terletak
tak begitu jauh dari rumah Bujang Sami sudah diterangi lampu petromaks. Beberapa laki-
laki dari suku Patopang sudah mulai berdatangan. Pergunjingan yang agak meruncing
sudah mulai membingar. Mengusik kelengangan Dusun Silokek yang hanya terdiri dari
tiga puluh tujuh rumah. Bujang Sami mendehem sebelum menaiki tangga Rumah
Gadang. Dilihatnya Mak Kimin dan Pidin sudah mulai bersitegang suara. Sedang
janang10 berusaha menguping saat menghidangkan kopi panas dan nasi ketan. Menjelang
jam sembilan malam, setelah sedikit basa-basi, Mak Kimin memulai pembicaraan secara
resmi. Kemudian dimintanya Pidin, sebagai wakil kepala rombongan pendulang untuk

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menjelaskan persoalan yang menjadi perkara. "Penduduk Dusun Seberang Sungai


meminta kami membayar pajak," Pidin langsung pada pokok persoalan. "Kenapa?" tanya
seorang lelaki berjenggot putih. "Menurut mereka daerah pendulangan kami telah
memasuki ulayat mereka," jawab Pidin. "Apa mereka lupa batas ulayat? Sudah ketetapan
pemerintah jika sungai kecil itu menjadi batas Dusun kita dengan Dusun Seberang
Sungai?!" potong Mak Kimin. "Itu sudah kami jelaskan. Tapi, mereka membantah. Dan
bersikeras menyodorkan peraturan..," "Peraturan apa!?" burangsang Mak Kimin. "Kami
harus membayar sepuluh persen harga penjualan setiap mendapat satu emas..," "Itu tidak
bisa!" rentakan suara hampir memenuhi Rumah Gadang dimandori gelegar bariton ucap
Mak Kimin. "Memang tidak bisa! Tentu kita tidak akan menyepakati peraturan sepihak
itu!" ulas Patih Sati, yang merupakan guru silat Mak Kimin dan warga Dusun Silokek.
"Baiknya bagaimana, Datuk?" sela Mak Kimin. "Sebaliknya, kita tak bisa juga
memutuskan sepihak. Harus kita rundingkan dengan Ninik Mamak dan Kepala Dusun
mereka," suara paraunya mengandung wibawa. "Untuk apa lagi, Datuk?" sergah Mak
Kimin. "Bukankah sudah jelas tempat penambangan itu termasuk ulayat kita?" "Ya,
Datuk. Akan kita biarkan mereka meminta pajak di ulayat kita!?" semangat Pidin.
"Tenang dulu. Kita baru mendengar pengaduan sepihak dari anak kemenakan kita. Kita
wajib meninjau kebenaran dari pihak mereka. Apa salahnya kita melihat bersama-sama
ke lokasi persengketaan itu. Mungkin saja anak kemenakan kita memang telah khilaf?"
Patih Sati mengedarkan pandangan ke seantero Rumah Gadang. Suasana mendadak
hening. Hanya cericit pipit malam yang melengkapi kelengangan. "Lalu bagaimana
selanjutnya?" pancing Mak Kimin. "Begini Tungganai," Patih Sati mencari bola mata
Mak Kimin dengan sorot matanya yang tenang bagai air sumur zam-zam. Kemudian
beralih pada mata Pidin sambil menebar senyum harum. "Beberapa orang wakil serta
Kepala Dusun sebaiknya berkunjung ke Dusun Seberang Sungai. Di sanalah kusut akan
diselesaikan. Di situlah keruh akan dijernihkan." ***AKHIRNYA rapat menyepakati
usul Patih Sati. Dan, pada hari yang telah ditentukan, rombongan akan berangkat dengan
menggunakan perahu dayung, menuju lokasi penambangan yang berdekatan dengan
Dusun Seberang Sungai di hilir Batang Kuantan. Bujang Sami termasuk ke dalam
anggota rombongan. Sebelum berangkat, dia sibuk mempersiapkan perlengkapan
mendulang emas. Peluh mulai membasahi pipi mudanya akibat hangat cahaya mentari
pagi. "Apaah rombongan Uda, akan langsung mendulang setelah berunding?" tegur Upik
Sida sambil menyodorkan kopi manis. "Belum tentu. Tapi, tak ada salahnya bersiap-
siap." "Apa Pidin juga ikut?" pertanyaan itu terlontar karena mantan Kepala Dusun itu
pernah singgah ke rumah semasa suaminya tak ada. Tersirat rasa kecut mengingat sorot
nakal mata Pidin yang telah pula beristri dua. "Katanya, dia akan menyusul setelah
menambal perahunya yang bocor. Kenapa?" sebenarnya tak ada nada curiga, tapi tanya
malah membuat Upik Sida bermerah muka. Bujang Sami berdehem. Upik Sida menekur,
"Hati-hati, Da, musuh jangan dicari," dialihkan topik pembicaraan. "Bertemu pantang
dielakkan," canda Bujang Sami sambil menyongsong rombongan yang dipimpin Patih
Sati. Sebenarnya dia merasakan sesuatu yang tak beres, tetapi panggilan emas lebih
menarik perhatian. ***SEBELUM benar-benar senja, rombongan Dusun Silokek telah
sampai di lokasi pendulangan. Dan, seperti yang telah disepakati, mereka telah ditunggu
oleh Ninik Mamak dan Kepala Dusun Seberang Sungai. "Sebetulnya hanya terjadi salah
paham kecil antara warga kita," langsung Kepala Dusun Seberang Sungai mulai bicara
mengingat malam akan segera tiba. "Kami mengeluarkan peraturan itu karena ada

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

beberapa anak kemenakan kita yang mendirikan pundun11 di pinggir tebing. Lubang
tambang itu mengakibatkan sawah yang ada di atasnya jadi terancam runtuh..," Patih Sati
berdehem keras. Mak Kimin menyahut dengan batuk pura-pura, lebih keras. Lalu Patih
Sati menggantikan ujar, "Jika itu persoalannya, berarti keterangan Pidin berat sebelah.
Makanya, kami minta maaf," dengan sportif lelaki berumur kepala enam itu mengulurkan
tangan mendahului Kepala Dusun Silokek-barangkali, karena teringat silsilah Kaum
Patopang, dia adalah kemenakan Pidin, walau berumur lebih muda. "Jika tak lagi
membangun lubang tambang di pinggir tebing tentu pajak itu tak perlu dibayar. Lagipula
antara Dusun Silokek dan Dusun Seberang Sungai adalah daerah yang bertetangga.
Bahkan, anak kemenakan kita sudah banyak pula yang saling menikah. Cuma...," Kepala
Dusun Seberang Sungai seperti sengaja menggantung ucap. Kedua rombongan tentu
saling menunggu. Tapi, bisik-bisik di dalam rombongan Dusun Seberang Sungai,
terdengar bernada miring. "Lanjutkanlah," pinta Patih Sati. "Masih ada batas lain yang
telah dilanggar oleh salah seorang anak kemenakan kita," lanjut Kepala Dusun Seberang
Sungai sambil menggerutapkan geraham. "Maksud Pak Dusun?" potong Mak Kimin.
"Piiidin?" gagap Bujang Sami. Ingatannya langsung melayang saat Pidin cigin12 dari
lokasi penambangan, pekan lalu. Mengingat perangai kawannya itu, waktu itu dia sengaja
mengikuti, ternyata Pidin menyelusup ke pondok sawah Pinah, padahal suami perempuan
sintal itu sedang merantau ke Malaysia. "Kami belum bisa memastikan. Namun, kami
berharap, persoalan itu juga bisa diselesaikan dengan baik," tutup Kepala Dusun
Seberang Sungai sambil mengajak berwhudu untuk melaksanakan shalat Maghrib
berjamaah. Patih Sati gelisah. Mak Kimin lebih gelisah. Matanya yang merah menatap
Bujang Sami tanpa berkedip. Bujang Sami lebih gelisah. Sorot tajam mata Mak Kimin
seperti mengandung peringatan. Padahal, Bujang Sami tak dapat melupakan: bukan Pidin
saja yang pernah menyelinap ke pondok sawah Pinah. Juga Lencun, Lobai, Kiri dan...,
termasuk Mak Kimin! Bujang Sami mengendap-endap ke arah mudik Batang Kuantan.
Menyusuri jalan setapak sambil mempernyalang mata. Bergegas pulang, mengingat Pidin
belum juga datang. @ Diracik di negeri hilir Batang Kuantan, dua tahun lalu Dimasak
lagi tahun dua ribu satu

Ode untuk Sebuah KTP

Post: 09/20/2002 Disimak: 227 kali

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Cerpen: Martin Aleida

Sumber: Kompas, Edisi 02/17/2002

IRAMANI namaku. Umurku tujuh-puluh dua. Tak usah terlalu panjang aku
menyebutkan siapa aku. Cukup, katakanlah semua kamp konsentrasi atau penjara paling
bengis yang pernah kau tahu. Dan itu adalah juga aku.Usiaku habis percuma ditelan
tembok-tembok penjara yang dekil dan menyesakkan. Dan ketika aku ditendang keluar
dari sel, aku masih harus menanggungkan perlakuan sewenang-wenang dari satu rezim
yang didukung oleh manusia yang terus-menerus kupertanyakan dalam hati, dari
manakah mereka mewarisi perangai lalim yang telah memencilkan aku selama tiga belas
tahun di dalam kurungan, terutama di penjara wanita Pelatungan. Hanya karena aku
seorang istri. Ya, seorang istri. Jika inilah kodrat yang harus kuterima sebagai wanita,
maka dia telah kujalani dengan sempurna. Tetapi, bagaimanakah aku harus menjelaskan
kepada Tatiana, anakku yang terkecil, yang harus mengikuti aku ke sel penjara mana saja
aku dicampakkan bagaikan sampah, yang buat kompos pun tak berguna. Rezim juga telah
memperkosa naluri Tatiana, yang selalu ingin menyusu di dadaku, sebagai siksa
tambahan bagi ibunya. Telah kubaca berpuluh kali catatan harian Anne Frank. Bisa
kubayangkan, ketika larsa sepatu pasukan Nazi berdentam mendekati lemari
persembunyiannya, tahulah dia bahwa ajalnya sudah sedekat bendul pintu. Terlahir
sebagai Yahudi, dia dipaksa menemukan nasib sebagai buruan. Gadis cilik itu masih
lebih mujur dari kami. Dia mungkin telah musnah bersama kepulan gas beracun yang
disemburkan ke dalam kamar pengasingannya. Sedangkan kami, aku dan anakku, masih
terus berbagi degup jantung, menjaga nyawa, sekalipun sebenarnya kami sudah tersingkir
dari keberadaan sebagai manusia yang hidup.Sudahlah, katamu melerai perasaanku.
Lupakahlah, Ir Penderitaanmu akan larut dibasuh waktu, begitu kau berupaya
menawarkan dendamku.Aku belum bisa menerima bujukanmu itu. Tapi, baiklah
kudiamkan saja dulu galau penolakan dari dalam hatiku. Belasan tahun dikucilkan di
dalam sel penjara bisa kutanggungkan, mengapa memendam rasa aku tak kuasa.Tadi pagi
aku bangun dengan perasaan yang lain sama sekali. Dalam empat-puluh tahun
belakangan ini, tak pernah aku memiliki perasaan sebegitu riang. Membanding-banding,
aku teringat bagaimana rasanya pada saat aku melahirkan anakku dulu. Ngeden yang
mencemaskan berakhir dengan ketenteraman hati begitu melihat Tatiana yang merah
rebah di sampingku. Rasa-rasanya seperti itulah kebahagiaan yang membendung
perasaanku sekarang.Aku mengenakan pakaian terbaik. Duduk mengiringi naiknya
matahari pagi. Bertambah nyaman rasanya di beranda sesempit ini ketika daun-daun
kering berlarian menyentuh ujung-ujung kuku kakiku. Kemarin, ketika aku pulang dari
kantor kelurahan, mengambil kartu tanda pendudukku, sudah kupuaskan sepuas-puasnya
mata dan hatiku dengan KTP yang baru ini. Rasanya, keterangan diri yang mungil, dan
dibalut plastik mengkilap itu, telah memberikan kegembiraan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan hari ketika aku digelandang keluar dari Pelatungan, lebih dua puluh
tahun yang lampau. Kalau kuingat-ingat, tahulah aku bagaimana kebahagiaan begitu
cepat kehilangan semaraknya dalam perjalanan waktu yang panjang. Ah, senangnya
mengamat-amati KTP ini. Permukaannya yang mengkilap. Membersitkan kebanggaan.
Aku seperti telah menemukan harga diriku kembali. Dunia di luar diriku kini telah
menempatkan aku kembali sebagai warga biasa. Lihatlah, namaku ditulis dengan ejaan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang benar. Dengan huruf-huruf hitam yang rata. Pastilah dia diketik dengan
menggunakan komputer. Mesin kejayaan manusia yang baru. Bukan mesin tik tua. Dia
begitu ringkas sebagai pernyataan kehadiran seseorang di dalam masyarakat. Memang,
ada yang mengatakan kartu ini adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak
mendasar manusia. Hak bergerak bebas. Karena KTP merupakan perangkat kekuasaan
untuk mengamati gerak-gerik warganya. Orang jadi tak bisa bebas bergerak tanpa ada
mata yang mengawasinya. Sama dengan sapi yang harus membawa cacat yang
ditinggalkan besi merah yang ditancapkan di punggungnya ke manapun dia merumput
dan memamah-biak. Tapi, aku tidak termasuk yang hanyut dalam sikap seperti itu.
Karena aku memang seorang wanita yang terbuang bersama ribuan orang lain yang
senasib. Kalau KTP ini dianggap sebagai kebejatan penguasa, apalagi yang akan
dikatakan begitu melihat simbol yang diterakan di pojok kartu ini? Tiga huruf yang
menyengsarakan, mematikan...Besarnya kartu ini hanya tiga jari. Tetapi, betapa
sempurna kelegaan hati yang diberikannya. Di pojok kanan atasnya sudah tidak tertera
hukuman yang harus kupikul sampai pun aku berangkat ke liang lahat: ETP, eks tahanan
politik. Masih kuingat, tanganku gemetar ketika menyerahkan KTP lama kepada orang
kelurahan. Aku merasa noda yang dilekatkan pada diriku seperti sudah ditempatkan di
dalam perahu perlambang dosa, dan sudah dilepas ke laut yang dalam. Aku tidak sendiri
menjalani nasib seperti ini. Dan tak bisa kau bayangkan betapa tertekannya perasaan
dipencilkan seperti itu. Bukan aku saja yang harus melata karena cap itu. Juga anak-
anakku. Pintu tertutup buat kami untuk memasuki kehidupan yang normal. Kami semua
benar-benar menjadi paria karena cap yang melekat di pojok tanda pengenal itu. Lebih
dari dua-puluh tahun aku mengantungi hukuman itu. Hanya karena aku seorang istri.Aku
tak tahu apa kesalahan yang dilakukan suamiku menjelang bencana tahun 1965, sehingga
dia harus dilenyapkan. Dan istrinya, anak-anaknya yang masih merah, harus menderita.
Padahal aku hanyalah seorang istri. Dan buatku, suami adalah seseorang kepada siapa
aku berbagi. Naluri mengajari aku untuk setia pada kodrat fisikku, untuk mendekatkan
anak-anak pada kedewasaan. Aku tidak dengan sengaja menjauhi gelanggang politik.
Aku hanya tidak tertarik. Kupikir aku telah memberikan sumbangan yang besar kepada
cita-cita suamiku, apabila aku bisa memegangi tangga kalau dia hendak menjangkau
buku yang terletak di deretan teratas dari rak bukunya. Bisa membersihkan kaca-matanya
sementara dia mandi. Dia sendiri sudah merasa puas kalau aku mau turut diajak ke
kantornya. Terkadang, dia mengiming-iming akan mampir membeli masakan Tionghoa
kesukaan kami dalam perjalanan pulang dari kantornya. Sesungguhnya, aku malu untuk
mengatakan bahwa dia tetaplah seorang yang hangat, walaupun politik telah
mengambilnya dari sisiku.Ketika aku ditanyai berbagai interogator militer sejauh mana
keterlibatanku dalam kegiatan suamiku itu, aku jawab bahwa aku hanya menunggu dia
menyelesaikan pekerjaannya, menulis editorial di koran yang dia pimpin. Dengan rasa
bangga kukatakan bahwa dia tak pernah kehilangan kata-kata ketika berhadapan dengan
mesin tiknya. Masih kuingat, beberapa kali aku dipanggilnya supaya mendekat, dan
meminjam penitiku untuk mencongkel daki yang melekat di huruf-huruf mesin tik. Cuma
meminjamkan peniti, dan aku harus menerima nasib sebagai orang buangan selama tiga-
belas tahun. Para penyelidik itu tidak percaya bahwa aku hanya sekadar menemani
suamiku mengetik editorial koran. Aku hanya duduk menunggu suamiku yang sedang
menulis. Duduk sambil merenda. Kadang-kadang aku ditemani adik iparku. Tetapi,
mereka tidak percaya. Dan mereka berharap aku akan berkhianat terhadap suamiku kalau

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

aku disekap sampai ke ujung zaman. Dengan berbuat begitu, mereka malah telah
memberikan pelajaran yang baik bahwa kejujuran tak punya tempat berlabuh dalam
kezaliman yang mereka puja.Kembali kutatapi KTP yang baru kuterima ini. Wajahnya
yang licin bersih. Lihatlah manisnya coat of arms dengan garis-garis merah di pojok
kirinya. Aku merasa memperoleh kebebasan yang kedua kalinya setelah beberapa kali
kuyakinkan mataku bahwa tiga huruf kapital yang hitam dan buruk itu sudah disingkirkan
dari pojoknya. Sanak famili yang cemas-cemas harap datang merubung ketika aku pulang
dari Pelatungan. Kini, aku hanya sendirian merayakan kebebasan ini. Ditemani daun-
daun kering yang menggamit-gamit ujung jari kakiku.Tiba-tiba daun pintu berderak di
belakangku. Dan sebuah pertanyaan menghentikan monologku dalam diam."Sedang apa,
Bu?," tanya Tatiana. Aku tidak hanya kaget, tetapi juga malu. Tanganku tak lepas dari
KTP.Berderai kedua tangannya memelukku dari belakang. Memberikan kecupan persis
di ubun-ubunku yang disaput uban yang tipis-tipis. Begitulah caranya membujuk
hatiku.Perilakunya itu membuat jariku tergerai, dan matanya menangkap apa yang telah
membuat perubahan besar dalam diriku pagi ini. Aku sambut tangannya. Mata Tatiana
bolak-balik dari mataku ke KTP yang tergeletak membujur di tapak tanganku. Dia
berlutut sembari terus melihat kartu yang alit itu. Seperti tak percaya pada apa yang
terpantul ke matanya. Mulutnya agak ternganga. Jari-jari tangannya memagari bibirnya.
Meskipun tidak dia ucapkan, aku tahu dia terperanjat melihat pojok KTP itu bersih,
begitu murni, begitu membebaskan, dan terang sebiru laut. Aku tahu, jauh di dalam
hatinya, dia sedang bertarung dengan pertanyaan bagaimana tiga huruf yang jahat itu
sudah tidak nongkrong lagi di pojoknya yang buruk. Huruf-huruf yang juga telah
membuat dirinya sebagai tidak ada, walaupun ada. Begitu lama dia meletakkan hatinya
pada secarik kartu yang membawa keajaiban itu. Dia tetap berlutut, memegangi
dengkulku. Dia seperti baru keluar dari terowongan yang gelap dan panjang. Dan dia
menikmati pesona cahaya yang mengapung di depan, yang ditebarkan KTP itu. Tapi, dia
cuma diam. Tak berkata barang sepenggal. Membisu seribu laut.Kuceritakan kepadanya
mengenai keberangkatanku ke Solo beberapa waktu yang lalu. Terakhir kali aku pergi
adalah untuk menyelesaikan penjualan sebidang tanah warisan ayahku. Dan uangnya
kugunakan untuk menyingkirkan ETP yang terus-menerus mengepung, membelenggu,
hidup kami. Kupikir inilah saatnya untuk menebus pembebasan yang terakhir sebelum
aku mati. Aku pergi ke kantor kelurahan beberapa kali, sampai aku menemukan orang
yang mau membantu menguruskan sampai aku memperoleh KTP yang bersih, di mana
noda ETP yang mengejar-ngejar diriku, diri kami, tersingkir. Dan aku mau membayar
dalam jumlah berapa saja."Jadi Ibu menyogok untuk KTP ini?!" Tatiana membelalakkan
mata.Aku terpaku."Ibu menghabiskan jutaan rupiah untuk ini?! Perbuatan sia-sia...!"Aku
tahu dia menahan amarah ketika mengatakan bahwa sogok-menyogok sudah bukan
menjadi milik zaman anak-anak muda sekarang ini. Dan tanda penderita lepra yang
berlambang ETP itu sudah dihapuskan pemerintah. Gong sudah ditalu. Siksa itu harus
diakhiri. Karena Presiden Republik yang sekarang ini, ketika dia masih seorang kiai yang
buta dengan hati yang baik setinggi langit, telah diterangi Tuhan pikirannya untuk
meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang seperti aku ini."Uang
jutaan itu kan bisa dijadikan Mas Jati modal berjualan. Mbak Rin bisa membuka toko
obras. Mbak Win bisa melanjutkan sekolahnya. Mas Awang bisa membuka bengkel...
Bisa... bisa... Ibu telah melakukan sesuatu yang tidak perlu. Sesuatu yang percuma..."
Tatiana seperti meratap. Dia anakku yang paling bungsu. Aku tahu hatinya luka, sangat

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

terluka.Aku cuma diam. Terasa jarinya seperti tak mau melepaskan lututku. Aku tahu, di
dalam hati dia meratapi kebodohanku. Tapi, aku tak menyesal. Takkan.Bertahun-tahun
aku menanti sejak para penguasa mengumandangkan ETP itu tak diperlukan lagi. Tetapi,
hukuman yang batil itu masih saja menghantu di pojoknya. Momok itu tetap berjaga-jaga
di sudut KTP-ku. Sampai tanganku sendiri yang harus mengenyahkannya dari situ. Kalau
tidak, berapa dasawarsa lagi aku harus meringkuk di kungkungan? Waktu telah
mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang
dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu. Kepercayaanku timpas sudah... * **

Para Ta'ziah

Post: 09/20/2002 Disimak: 209 kali

Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Sumber: Kompas, Edisi 03/24/2002

ISTRIKU menelepon, pukul satu malam. Di antara isak tangisnya, aku tahu Maminya
meninggal! Mendengar kabar itu kedua anak gadis kami yang remaja, menangis keras!
Mendesakku secepatnya pulang ke Malang agar bisa melihat eyangnya untuk
penghabisan kali. (Aku selalu tidak pernah siap menerima tangisan kedua putriku).
Malam itu juga dengan mobil bersama putri-putriku, kuputuskan berangkat ke Kota
Malang agar sampai sebelum lohor, saat pemakaman eyang, anak-anakku.Eyang
Sastrowijoyo (mertuaku), sebetulnya sudah lama sakit-sakitan, berusia 78 tahun.
(Kesedihan malam ini milik istri dan kedua anak gadisku). Sementara aku sendiri, tiba-
tiba saja ingat ketika Ninil (teman sekuliah), memperkenalkanku pertama kali di rumah
besar dan kuno itu dengan Eyang Sastrowijoyo yang dipanggil Mami oleh anak-anaknya.
Sejak saat itu, aku selalu merasa dia tidak pernah siap menerimaku sebagai menantunya.
Aku pemuda desa yang kebetulan sekuliah dengan Jeng Ninil. Orangtuaku petani tebu di
Gondanglegi, Malang. Dari keenam saudaraku, cuma akulah yang sarjana. Kakakku yang
pertama lulusan SMP dan sampai sekarang masih menjadi petani tebu di desa kami.
Sesungguhnya, aku tahu, Eyang Sastrowijoyo kecewa ketika aku serius dengan Ninil. Di
sisi lain, dalam waktu singkat ibuku yang ndeso itu ke rumahnya, memperkenakan diri
sebagai calon besan! Sulung memelukku. "Papa, lebaran nanti tidak ada Eyang. Pasti
tidak enak ya Pa, Eyang itu baik ya Pa, dia suka memanjakan kita dengan memasakkan
ketupat komplet, sup buntut." Bungsu menimpali, "Kita bangga ya Pa, Eyang itu kan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tetap cantik sampai tua. Eyang kan turunan putri raja, jadi pasti cantik ya Pa." Aku tidak
pernah menyukai anak-anakku memuja eyangnya. Ya, sekalipun aku tahu kalau anak-
anakku ke desa (ke rumah embahnya), mereka juga sangat menyukai karena rumah kami
di desa, tetap seperti bayangan anak-anak, ada gunung, pohon kelapa, pohon rambutan
dan mangga yang begitu tinggi, dapur yang tidak ingin dirobohkan oleh ibu kami
(sekalipun kami telah membuatkan dapur kering). Namun, aku masih ingat ketika
sulungku berusia enam tahun dan minta minum, Ibu menuangkan air panas dari teko yang
bawahnya hitam. Serta-merta si sulung menolak keras minuman itu. Aku tahu betul
perasaan Ibu, sekalipun berulang-ulang Ninil minta maaf dan tetap memaksa putri kami
untuk meminum air itu. "San, kamu bisa membelikan anakmu minuman di kecamatan.
Ada orang yang menjual minuman di sana. Kasihan kalau dia tidak bisa minum selama
liburan di sini. Aku sebetulnya juga tahu teko di rumah eyangnya. Kalau panen tebu kita
baik, aku ingin membeli teko di Malang, agar anak-anakmu betah tinggal di rumah
embahnya." PADA waktu itulah aku baru ingat omongan ibuku, "Le, sebetulnya aku
setuju saja kau menikah dengan Jeng Ninil. Orangnya cantik, pinter, dan turunannya
priayi. Sebetulnya aku tidak pernah berani memimpikan mendapat mantu seperti itu. Kita
kan wong ndeso. Oleh karena itu, tidak mungkin kan kau menyukai Aminah lagi (pacar
semasa SMU) sekalipun sekarang dia juga terpelajar dan bisa bekerja sebagai perawat di
Puskesmas desa ini." Ya, pada awal pernikahan sampai sekarang, aku merasa tidak begitu
bisa masuk pada keluarga Eyang. Aku tidak suka cara mereka makan di meja makan (aku
biasa mengangkat kaki kalau makan), aku tidak suka dan canggung kalau harus
mengucapkan selamat pagi, setiap kali bertemu! Dan mengapa mereka harus bertukar
baju tidur, piyama, hanya untuk tidur! Sebetulnya banyak hal yang tidak aku sukai yang
menjadi kebiasaan keluarga besarnya Ninil. Di rumah kami sendiri, pada awal
pernikahan, Ninil memang tidak pernah suka dengan cara-caraku yang dianggap
kampungan olehnya. Lama-lama, Ninil membiarkan saja apa yang jadi kebiasaanku. Di
sisi lain, aku tahu, Ninil dan anak-anakku selalu bahagia jika bertemu dengan saudara-
saudara ibunya. Anakku bisa jadi mengikuti budaya ibunya. Sedang aku sendiri,
terlampau tua untuk mengubah tata cara hidupku. Jika aku ceritakan hal ini pada Ninil,
aku takut Ninil akan tertawa. LANTAS, kendaraan kami berhenti untuk mengisi bensin.
Aku takut anak-anakku jatuh sakit. Oleh karena itu, aku mengajak mereka makan.
Perjalanan kami masih separuh lagi. Namun, yang ada di sini cuma warung-warung kecil
(aku dulu sudah begitu bahagia, bila Ibu mengajakku makan rawon di warung seperti ini).
Sulungku berkata, "Dari tadi kita tidak bertemu restoran, Pa." Lantas Bungsuku bilang,
"Saya lapar, apakah kita tidak bisa makan di warung saja? Guru mengaji berkata,
sebaiknya kita tidak makan sebelum jenazah Eyang diberangkatkan. Dan Mama kan
sudah bilang tadi, jenazah Eyang akan dimakamkan setelah shalat lohor. Semua sudah
datang, mereka tidak menunggu Om Dayat di Amerika, Tante Yus yang di Australia."
Kami masih mencari-cari restoran, namun kedua anakku rupanya sudah capai dan
tertidur. Aku tidak mendengar tangisannya lagi. Ini sedikit melegakan. Jadi, aku bisa
dengan lebih tenang menyetir mobil ini. Aku pasti tidak bisa memakai sopir kantor.
Peristiwa ini begitu mendadak. Kabar terakhir dari Ninil, Eyang sudah mulai membaik.
Namun, enam jam setelah itu kesehatan Eyang memburuk, kemudian meninggal! Aku
lihat wajahku di kaca spion, wajah seorang yang kacau, capai, atas meninggalnya Eyang.
Tetapi, aku tidak bisa seperti mas dan adik iparku yang lain, terutama Mas Tomo yang
kelihatan sangat berduka atas meninggalnya eyang. (Mbaknya Ninil, menikah dengan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tomo, mereka sama-sama dokter. Dan sekalipun bukan dijodohkan, hubungan


kekerabatan mereka dekat). Aku tahu, dengan bangga Eyang sering menceritakan
menantunya itu kepada orang lain. Lantas, aku masih ingat pas kami menjadi pengantin.
Sekalipun Eyang dan keluarga besarnya tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun
mereka tercengang melihat kehadiran keluargaku yang datang dengan tiga mobil, baju-
baju kebaya brokat dengan warna meriah, kue-kue desa yang dibuat dengan ukuran
sangat besar, sikap mereka yang sangat kikuk ketika mengobrol dengan keluarga
besarnya Ninil. Aku juga tahu, tante-tante Ninil tertawa melihat keluargaku. Tetapi waktu
itu, dengan semangat cinta, Ninil berbisik padaku, "Santoso, aku sayang kamu, jangan
peduli dengan sikap tante-tante, om-omku." "Seharusnya kau menikah dengan Herman,
dia kan masih ada hubungan kekerabatan denganmu, dia juga mencintaimu." Ninil
tertawa mendengarkan itu. RASANYA aku ingin memperlambat jalannya mobil ini. Aku
tidak tahu, ketika semua bersedih aku merasa biasa-biasa saja. Ya, baru saja aku terima
telepon dari mas-mas dan adik iparku (menantu eyang yang lainnya), mereka kelihatan
meredam tangisnya di handphone-ku, bilang kepadaku berulang-ulang, "Dik Santoso, aku
kini merasa betul-betul yatim piatu, kedua orangtuaku meninggal, lima tahun yang
lampau Eyanglah yang kuanggap ibuku sendiri. Sekarang sudah meninggal." Lantas Mas
Tomo berkata lagi denganku, "Aku merasa kehilangan segala-galanya, karena Ibu yang
kita cintai sudah meninggal." Aku ketakutan, kalau suaraku tidak mencerminkan duka
cita. Jadinya, aku cuma bisa bilang, "Ya Mas, ya Mas, kita memang kehilangan orang
yang kita cintai." Kedua putriku tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan mulai menangis
lagi. "Pa, rasanya kok tidak sampai-sampai. Saya kepingin mencium Eyang untuk yang
terakhir. Kita suka mencium Eyang, kan? Eyang selalu wangi. Saya masih ingat, tahun
yang lewat Papa memberikan kado parfum kepada Eyang pada hari ulang tahunnya.
Eyang senang sekali, lantas menyuruhku membuka dan memakaikan. Waktu kecil
Eyang-lah yang mengajarkan bagaimana memakai parfum yang benar." Sesungguhnya,
aku tidak pernah membelikan ibuku parfum. Dia tidak butuh itu, yang dibutuhkan uang
untuk membeli pupuk tebu kami. Tentu saja, ibuku tidak pernah berulang tahun. Beliau
tidak pernah tahu tanggal kelahirannya. Sulungku berkata, "Pa, waktu lebaran yang lewat,
Eyang bilang, rupa kita mirip tante-tante. Itu kan untung ya Pa, karena wajah saya seperti
putri-putri." "Seharusnya mamamu dulu tidak memilih wong ndeso seperti Papa." Kedua
putriku melihatku dengan tercengang. "Maaf ya, Nduk, Papa lagi emosional. Tentu saja
Mama memilih Papa, kan mantan pacar." Aku merasa lega, ketika kedua putriku
tersenyum, "Ya Pa, Mama kan sama Papa pacaran, jatuh cinta ya Pa, tetapi apakah kita
bisa memotong jalan agar bisa cepat sampai ke rumah Eyang." "Kita coba saja. Tetapi,
ada restoran yang buka di sana, masih mau makan?" Kedua putriku menggeleng kuat-
kuat. Dan Bungsu mengusulkan, "Kalau ada roti, air mineral, kita beli sajalah Pa, kita
bisa makan di mobil kan. Saya takut kalau service restoran itu lambat. Apakah Papa juga
sayang sekali sama Eyang?" Gusti, aku tidak berani menatap wajah kedua putriku. "Papa
memang sayang, tetapi perjalanan ini harus kita tempuh dengan mobil. Kalau dengan
pesawat, baru besok kita bisa berangkat. Belum tentu bisa sampai sebelum lohor." Putri
sulungku memotong, "Maksudnya begini lho Pa, Papa kan juga sayang sama Eyang."
"Ya tentu, Papa sayang sama Eyang. Kamu tahu sendiri kan, kalau kita ke sana pasti
dibikinkan makanan kesukaan Papa." Jawaban itu memuaskan putriku. Setelah makan
roti, mereka kelihatan tidur kembali. Aku tidak pernah tahu berapa banyak suami yang
tidak menyukai keluarga istrinya. Aku juga heran mengapa pada saat meninggalnya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Eyang, semua yang seharusnya tidak kupikirkan muncul bertabrakan. Aku dan mertuaku
tidak pernah saling mencintai, tetapi kupikir akhir-akhir ini kami mencoba untuk saling
menghargai. Aku mungkin bukan mas Tomo yang bisa mencintai mertuanya seperti
orangtuanya sendiri. Aku kira Eyang yang sudah berada di alam sana sangat tahu kami
berdua mencoba untuk menjadi teman. Sekalipun pertemanan kami tidak selalu berhasil!
Mungkin Eyang lebih tahu dari aku bahwa kita sebetulnya hidup di dunia dengan
atmosfer berlainan. Bertemu dengan Ninil adalah bertemu dengan atmosfer lain. Selama
ini kalau aku bisa jujur, sesungguhnya aku benci dengan tata cara Eyang dan keluarga
besar mereka. Malam ini sepertinya aku bisa mengobrol dengan arwah beliau, aku merasa
dia berbicara seperti ini, "Le, kita seharusnya saling memaafkan. Sebetulnya kita tidak
perlu saling membenci. Pada akhir-akhir tahun perjalananku, aku berpikir, ini kesalahan
kita bersama karena kita memang berbeda dan takut pada perbedaan itu! Le, ketika aku
berusaha membuatkan makanan kesukaanmu, aku berpikir ingin mencintaimu sekalipun
kita berada di dua jagat yang berbeda. Dan mungkin ini tidak akan pernah berhasil.
Namun, kita tidak perlu lagi saling membenci, kan? Aku juga tahu ini sulit bagimu Le,
tetapi di alamku kini aku baru tahu tidak ada yang terbelah-belah. Yang ada cuma satu,
cinta-Nya kepada kita." Setelah upacara penguburan selesai, kupeluk istri dan anak-
anakku. Aku merasa inilah ucapan paling jujur sepanjang usia pernikahanku. "Aku dan
Eyang akan terus belajar untuk saling mencintai." Malang, 8 Februari 2002

Waktu Nayla

Post: 09/20/2002 Disimak: 413 kali

Cerpen: Djenar Maesa Ayu

Sumber: Kompas, Edisi 03/31/2002

NAYLA melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun, langit begitu
hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang
bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan. Apakah jam tangannya mati? Lalu jam
berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam di mobilnya. Juga jam lima petang.
Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam lima petang. Ia memijit nomor satu nol tiga.
Terdengar suara operator dari seberang, "Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menit, dan dua puluh tiga detik." Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau
gejala alam? Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa
licin dan lembab akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat. Ia harus
menemukan seseorang untuk memberinya informasi waktu yang tepat. Tapi jika Nayla
berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara masih begitu jauh
jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla sangat tidak ingin kehilangan
waktu. Seperti juga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal
yang belum sempat ia kerjakan. Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi dekat
segerombolan anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan
menanyakan jam kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan sebelumnya,
jawaban dari mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit perbedaan pada
menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat tiga, dan jam lima
lewat tujuh. Nayla semakin menyesal telah membuang waktu untuk sebuah pertanyaan
konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu jam lima petang. Berarti benar ia masih
punya banyak waktu. Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah
jadi labu, dan dirinya berubah menjadi abu. ***ENTAH kapan persisnya Nayla mulai
tidak bersahabat dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu
membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang
berdebar. Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu
menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang
pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati. Sebelumnya Nayla begitu akrab
dengan waktu. Ketika cincin melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus
menghentak dinding perutnya. Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari.
Menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu
mengerjakan pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu.
Mengiris wortel. Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam kegelapan.
Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang selama ini ia idam-
idamkan. Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana. Mempermudah kegiatannya
sehari-hari. Menuntunnya menjadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan
saatnya menabur bunga di makam orang tua, kakek, nenek dan leluhur. Membeli hadiah
Natal, ulang tahun dan hari kasih sayang. Mengirim pesan sms kepada si pencari nafkah
supaya tidak terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak
supaya tidak terlambat menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem
kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar.
Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena waktu yang berjalan, hanyalah
roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis
rutinitas kehidupan. Menggelinding di atas jalan bebas hambatan. Sementara banyak
yang sudah terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh
rendah suara karyawan di kafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza Senayan.
Mengeluh bersama sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi
laki-laki kurang ajar di diskotek. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca
stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak
Indomie rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau
Piala Dunia di Sports Bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan
tangan ketika memasangkan celemek di paha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti
dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik
setiap ada janji dengan pacar dengan jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa
berdebar. Bercinta dengan rasa, jantung, dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher,
punggung, ketiak, mata, hidung, mulut, pipi, raga, berdebar. Yang terlupakan adalah
waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan.
***MUNGKIN Nayla tidak bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya tidak sadar.
Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang
bergerak kiri kanan dan berdetak dalam keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya
kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya buntu. Kadang dalam tidur imajinasinya
memberontak terbang. Mengepakkan sayap bersama dengan burung-burung dan kupu-
kupu. Mengendarai ikan paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung jeram. Baca
komik Petualangan Tintin. Minum teh di atas awan sambil diskusi tentang cerpen Anton
Chekov dengan almarhum ayah dan bertanya mana yang lebih mahal antara berlian
dengan Fancy Diamond kepada almarhumah ibu. Menjadi Arnold Schwarzeneger dan
menggagalkan aksi teroris yang hendak menabrakkan pesawat ke gedung World Trade
Center. Menelan biji durian. Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil. Nonton N'SYNC
dan dipanggil ke atas panggung untuk diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju
dengan Moehammad Ali. Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria
Beckham. Mengedit karya Gabrielle Garcia Marques. Minum sirup markisa. Baca puisi
bareng Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Diculik UFO. Punya toko buku kecil
di Taman Ismail Marzuki. Melaju kencang ke pusat getaran yang mendebarkan. Tapi
mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan
pembantu di pintu luar kamar. Suara kokok ayam jantan. Kicau burung. Kemilau sinar
matahari menerobos jendela. Dan suara alarm jam ketika jarum panjangnya menunjuk
angka dua belas dan jarum pendeknya menunjuk angka enam. Suara alarm itu, adalah
suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan bahwa sudah terdeteksi
sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan
suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun ke
depan. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang mengatakan
bahwa sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Suara alarm itu, adalah suara yang
menyadarkannya kembali dari pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan
masa depan. ***MANUSIA sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan
hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih layak,
merasa terancam atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya
kapan eksekusi akan dilaksanakan. Tapi apakah setahun yang dokter maksudkan adalah
12 bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai
dari ketika kanker itu baru tumbuh. Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter.
Atau mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun. Lalu
berapa lamakah waktu sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai berhitung?
Mata Nayla berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa sakit seiring dengan bunyi dari
segala bunyi jam, berdetak keras memekakkan telinganya. Satu, sepuluh, seratus, seribu,
sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta detik mengejar dan mengepung pendengarannya ke
mana pun Nayla melangkah. Memaksa mata Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki
bergegas, suara klakson dari pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk sekolah,
jutaan tangan karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi dorong
mendorong masuk ke dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atas atap kereta api, semua

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

orang tidak mau ketinggalan. Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua
orang tidak lagi punya kesempatan, untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum
menitik ke tanah. Matahari yang bersinar tidak terlalu cerah. Awan berbentuk mutiara,
semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah. Kaki anjing pincang sebelah. Semut
terinjak-injak hingga lebur dengan tanah. Padi menguning di sawah. Burung bercinta di
atas rumah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah. Sejak saat itu, alarm
Nayla tidak pernah berhenti berbunyi. ***NAYLA ingin menunda waktu. Nayla ingin
mengulur siang hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan supaya
matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam hingga suara
alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematian. Tapi Nayla selalu terlambat. Nayla
selalu berada di pihak yang lemah dan kalah akan rutinitas yang tak mau menyerah. Dan
ia mulai merasa kewajibannya sebagai beban. Ia mulai cemburu pada orang-orang yang
masih dapat berjalan santai sambil berpegangan tangan. Atau orang-orang yang berjemur
di tepi kolam renang sambil membaca koran. Ketika, ia tergesa-gesa menyiapkan air
hangat, sarapan dan seragam. Berdesakan di antara hiruk pikuk suara dan keringat dalam
pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan. Membayar iuran
telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi peringatan berkali-kali pada
pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang sudah diinstruksikan. Mengikuti
senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh-
kesah tentang pekerjaan. Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan
dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti
nasihat yang seharusnya diindahkan. Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja
yang tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan jasa
telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur. Terlalu letih
hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur
keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang perhatian. Kurang waktu....
Waktu... Waktu... Waktu... Waktu...................? Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya
waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman.
Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca buku
lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio twenty one.
Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan kesenangan. Nayla
mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar. Ia ingin menampar suaminya
jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk
pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin
berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta
dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin
berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi,
penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi
sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan
waktu malam. ***APA yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa sama sekali
tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi
pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup
diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik? Dan mengapa
pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan?
Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar. Ketika sang
pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis, ia baru mengambil keputusan perlu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan


yang diinginkan. Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan
untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat
ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu,
dan dirinya berubah jadi abu...***

Laut seperti Pita Biru

Post: 09/20/2002 Disimak: 165 kali

Cerpen: Wildan Yatim

Sumber: Kompas, Edisi 04/21/2002

PADA kedua sisi jalan berderet teratur kelapa sawit. Kadang kelapa sawit itu diseling
dengan rumah penduduk yang berdinding papan dan beratap seng. Waktu lain mobil
lewat pundak bukit yang ditumbuhi semak belukar atau padang lalang. Sebelah kiri jalan,
dekat-dekat di atas rimbunan pohon hutan dan di balik unggukan embun, samar-samar
tampak membiru Gunung Pasaman. Beberapa kali mobil berpapasan dengan truk besar
yang baknya penuh buah sawit atau truk tanki berisi minyak kasar. Sesekali lain kami
melewati petani bersepeda. Din membawa mobil menyimpang ke jalan tanah, lalu
berhenti di depan sebuah dangau. Sekeliling bertebar kelapa sawit yang batangnya baru
beberapa puluh senti dari tanah.Sudah berbuahkah sawitmu ini?" "Yang dekat sini belum.
Tapi yang di dalam sana sudah panen pertama bulan lalu." x"Wah, sebentar lagi kau jadi
kaya!""Sulit sekali bagi orang macam kita yang hanya punya satu-dua hektar. Buah
masuk pabrik dan pemasaran minyak ditentukan oleh toke-toke yang punya kebun ribuan
hektar. Banyak petani yang membawa buah sawitnya ke pabrik harus menunggu giliran
berhari-hari agar dapat diproses. Alasannya buah sawit mereka sendiri masih bertimbun.
Tak sedikit yang membawa truknya kembali lalu membuang isinya ke bawah
jembatan.""Kenapa tidak diusulkan kepada pemerintah agar dibangun pabrik baru untuk
menampung kebutuhan kalian petani plasma?""Permainan orang kapitalis itu semua,
Bang. Yang menyedihkan kapitalisnya itu ada dari negeri jiran. Ayo kita terus." Din
melekatkan kaca mata hitam. Tampak matahari menyorot miring dari balik daham
belinjo. Mobil bergerak pula. Kini kami lewat jalan yang di masa darurat beberapa kali
aku lewati jalan kaki bersama Ayah atau teman untuk sekolah di Talu. Jalan ini disebut
"Lebuh Lurus", karena lurus saja sepanjang lima km. Pada kedua sisi jalan berderet

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kapuk dengan mangkuk isolasi kawat telepon. Di balik deretan kapuk terbentang kebun
jeruk yang luas, buahnya yang kekuningan bertebar di celah daunan. Di pinggir jalan
antara sebentar tampak dangau beratap lalang, dan pada meja yang terbikin dari bambu
teronggok buah jeruk. Sesewaktu ada mobil berhenti di salah satu dangau itu dan orang
berkerumun belanja."Kau coba dulu jeruk sini, dan rasakan manisnya."Din menepikan
mobil di depan sebuah dangau. Ia menawar, penjual menimbang dan memasukkannya ke
kantung plastik. Lalu kami duduk makan jeruk di bangku panjang yang terbuat dari
bambu."Inilah yang disebut jeruk Pasaman. Jeruk sini dipasarkan sampai ke Padang,
Bukit Tinggi, Sidempuan, dan Medan."Agak di kedalaman pohonan tampak rumah
pemilik kebun yang dikapur putih, bingkai pintu serta jendela dicat merah, dan atap
sengnya memantulkan cahaya matahari. Din mengajak berangkat pula sambil kami terus
makan jeruk. Kaca mata hitamnya dilekatkan, menunjuk. "Di sana ada jalan ke dalam.
Beberapa puluh meter dari situ tinggal Kak Salmah. Ingat siapa dia? Boru Mak Suki
'kan?""Punya kebun jeruk juga dia?""Punya sedikit. Beberapa tahun setelah suami
pertama meninggal ia kawin lagi dengan orang sini. Kurang jelas kenapa bisa berkenalan
dan tinggal di sini. Suaminya penjahit.""Berapa anaknya sekarang?""Dengan yang
pertama dua, dengan yang sekarang juga dua."Teringat ketika masih duduk di kelas 5 di
Ujung Gading aku dengar dari Mak Suki bahwa Salmah sudah kawin dengan anak
mamak sendiri yang bernama Burhan. Orangtua suaminya berlepau dekat pasar."Mak
Suki sendiri di mana sekarang?""Nanti kutunjukkan."Salmah lebih tua dari aku lima
tahun. Waktu aku duduk di kelas tiga dan mau menyambung sekolah ke Ujung Gading ia
sudah remaja. Aku sering datang ke rumahnya, dan jika ia menyuruh mengambil sesuatu
aku senang sekali. Sekali aku pulang kehujanan. Ia berteriak, lalu cepat-cepat melap
muka dan kepalaku dengan anduk. Jika ia menumbuk padi dan menampi, tak puas-
puasnya aku memperhatikan hidungnya yang bangir, rambut perunggunya yang dijalin
dua hingga di pinggang, dan mulutnya yang melengkung indah. Jika ia merasa
diperhatikan, ia akan bilang, "Kenapa kau perhatikan terus aku, Tam!" Bagaimanakah
tampangnya sekarang? Tentulah tetap cantik. Sayang orang secantik itu jadi istri penjahit!
Di suatu simpangan mobil membelok ke jalan lebih kecil. Meski lebih kecil tapi jalan itu
diaspal tebal dan rapi. Itulah jalan menuju desaku. Jalan lebih lebar ke kanan menuju
Ujung Gading, lalu terus ke perbatasan Tapanuli. Beberapa puluh km dari sana terdapat
Kota Natal.Kini mobil berjalan lebih pelan menerobos celah hutan rimba. Dekat-dekat di
kanan jalan menjulang bukit barisan dan ketika mobil lewat di persawahan tampak
Gunung Tuleh membiru. Din menepikan mobil di belakang sepasang suami-istri yang
mau menyimpang menuju sebuah pondok. Padi di persawahan sini tampaknya sedang
berisi. Si suami bertopi pandan, si istri menekukkan kain panjang di kepala sebagai ganti
topi. Mereka membalik. Si suami menurunkan pacul dari bahu dan membuka topi."Bo ro
ho?" kata si istri dalam bahasa Mandailing. "Ise don?" Mereka menatap aku yang
mengikuti Din mendekat."Ini Bang Tamrin," kata Din"Bo! Dot ko? La ilaha illallah!"
tukas si suami. Orang Bandung masih ingat rupanya kampung kita!" Kami bersalam-
salaman."Berapa hari di sini?" tanya si istri."Besok kembali.""Kenapa sebentar?" kata si
istri sambil mengusapi tanganku.Din mengajak ikut pulang ke desa, tapi mereka bilang
mau sembahyang lohor dulu di pondok. Kami pun kembali masuk mobil dan melambai.
Teringat si suami yang kami salami tadi di masa Jepang pernah agak miring akibat
ditempeleng Kempei Jepang. Ia berkeliaran dari desa ke desa sambil menyandang buntil
jaring pakaian, persis seperti buntil laskar Gyugun. Persis seperti buntil Gyugun,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

buntilnya juga berisi sepatu lars, senter, buku notes, dan potlot pendek. Ada anaknya
yang sebaya dengan aku yang jadi selapik seketiduran kalau aku pulang libur. Aku pun
leluasa membongkar simpanan buku dan majalah bapaknya. Bapaknya seniman. Ia
pernah menulis buku roman dan sudah dikirim ke penerbit di Medan. Belum sempat
terbit tentara Jepang masuk. Aku respek padanya, dan ketika senewennya kambuh dan
anak-anak lain bersembunyi jika ia datang, aku sendiri yang berani menyapanya dan
mengajaknya bercakap-cakap. Dia pintar pidato, kata orang ia bakal jadi saingan berat Ir
Sukarno kelak jika negeri ini merdeka seperti dijanjikan Jepang. Ketika jadi juga
merdeka, sayang ia tidak kemana-mana. Ia hanya jadi pegawai jawatan penerangan di
Padang. Mungkin betul akibat tempelengan Kempei dulu ada satu sektor sirkuit sarat
dalam otaknya yang korsluit, sehingga ia kurang bisa berkonsentrasi dalam
pekerjaan.Tiba di desa mobil langsung dibawa Din menuju rumah kami di lembah. Ibu
rupanya baru mengambil kayu api ke kebun para. Ia mengusapi keringat yang mengucur
di kepala dan leher. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di sawah. Din bilang kami akan balik
besok pagi, dan habis makan kami akan terus menjenguk Mak Panto di Solo Godang.
Mak Panto adalah adik Ibu. Ketika baru diajak makan, tampaknya seperti dapat firasat,
Ayah pulang dari sawah. Tampak segar dia habis mandi dan sembahyang lohor. Aku
memeluknya rapat-rapat. Terasa kini ia lebih rendah dari aku. Masa kecil dan tinggal di
desa atau di huma dengan dia, menurut perasaanku ia orang berbadan tinggi dan tegap.
Sekarang tampak ia jadi kecil dan kurus. Kami makan berempat di meja dapur. Bulu
hitam yang lebat masih memenuhi punggung tangannya. Kumis dan berewoknya sudah
berhari-hari tak dicukur, dan uban memutih di sana-sini. Ia sudah pensiun sebagai guru
SD, tapi masih mengajar satu mata pelajaran di Ibtidaiyah. Teringat masa kecil sekitar
rumah kami banyak rumah pondok yang dihuni murid Ayah. Di masa Belanda kudengar
ia sudah mengajarkan lagu Indonesia Raya dalam bahasa Arab. Ketika suatu malam Ayah
akan membuka rapat organisasi Kepala Negeri datang menyuruh batalkan. Pemerintah
takut Ayah dapat mengganggu ketenteraman. Ayah punya banyak buku dan majalah,
sebagian besar sudah aku baca. Yang sisa hanya buku dan majalah dalam bahasa Arab
dan Belanda. Aku lihat isi lemari-lemarinya kini tinggal yang berbahasa Arab dan sudah
pada lapuk. Tentulah semua buku dan majalah yang berbahasa Melayu sudah habis
dipinjami dan tidak dikembalikan.Sebelum berangkat aku pergi ke belakang rumah.
Cepat-cepat aku coba raup kembali masa kecil ketika tinggal bersama ayah-ibu dan adik-
adik di kampung-halaman. Dari bawah pohon kepundung tampak terbentang sawah. Pada
berbagai tempat di tengah persawahan itu ada tumpukan pohon dan dangau menyembul
dari situ. Gunung Tuleh menjulang dekat-dekat, dan batang pohon menyembul memutih
di celah kehijauan. Terdengar suara dendang kawanan siamang, dilatari oleh desah sungai
yang kadang keras kadang pelan dibawa angin. Suara itulah dulu tiap hari menemani aku
jika sedang berada di sini. Di kebun samping rumah tidak begitu banyak yang berubah.
Pohon sirsak, nangka, dan salak, masih yang dulu, dan tidak begitu banyak lebih tinggi
dari masa aku kecil.Aku kembali ke depan. Rupanya Ayah ikut ke mudik. Aku persilakan
dia duduk di sebelah Din. Tampak kasar jemari ayah. Kukunya tebal dan ujungnya
kehitaman karena sering kemasukan lumpur. Kain sarung disampirkan di bahu. Ingat
ketika Ayah dan Ibu datang ke Bandung dua tahun lalu Ibu ada menyiratkan alangkah
bagus jika bisa naik haji sebelum terlalu tua. Siratan itu tentu untuk mengharapkan
bantuanku sebagai anak sulung, sebagai anak yang paling banyak dan paling lama
dikirimi uang sekolah ke rantau, dan sebagai anak yang kini sudah jadi pegawai tinggi

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

pula. Mereka tak mengerti kenapa pegawai tinggi di negeri ini selalu bergaji rendah.Tiba
di jalan besar ada beberapa orang tua duduk mencangkung mengobrol di bangku panjang
depan rumah, dan ketika melihat Din mereka melambai. Sesewaktu mobil ditepikan,
kami turun, dan menyalami orang-orang. "Sedang di sini rupanya beliau, Labai," kata
mereka, sambil melihat aku yang berdiri di samping Ayah.Beberapa lama mobil lewat
kebun para, pada beberapa tempat merimbun pohon kejai. Kejai adalah sejenis beringin.
Sebelum para, kejai ini dikebunkan penduduk sebagai sumber karet. Sebelum kejai
sebetulnya ada sumber karet lain, yaitu perca. Bibit ketiga jenis pohon berlateks ini
konon dibawa orang Belanda dari Amerika Selatan. Kebun para itu tampak sudah pada
tua, karena bendar-bendar sadapan getahnya sudah dekat ke tanah. Rupanya penduduk
sedang bimbang untuk meremajakan atau menggantinya dengan kelapa sawit. Kasihan
kebun para itu. Mungkin karena sejak kecil aku sudah biasa bergaul dengan mereka,
sayang rasanya jika itu digantikan kelapa sawit. Di hilir tadi, sekitar 30 km dari desa
sawit itu sudah diperkebunkan sejak masa Belanda, dan pekerjanya didatangkan dari
Jawa. Aku juga pernah melihatnya sepanjang pinggir jalan antara Medan dan Prapat. Aku
belum pernah dengar ada penduduk Sumatra yang bisa kaya oleh kebun sawit. Beda
sekali dengan kebun para, yang di masa Belanda hampir semua membuat rakyat makmur.
Apalagi di musim kupon karet dibuka, kebanyakan petani karet dapat uang banyak.
Waktu pasar kupon itu banyak mobil mewah datang ke desa, dan para petani saling
menraktir membelikan kacang goreng atau kue bagi anak-anak yang berkerumun. Tapi
kelapa sawit, aku belum pernah dengar ada petani yang jadi hidup senang, apalagi jadi
kaya. Dalam hati aku berharap agar kebun para itu tidak akan digantikan kebun sawit,
dan pohon kejainya tetaplah menjulang meneduhi alam desa.Sekitar seperempat jam
meninggalkan desa Din menunjuk ke kiri. "Nanti pulangnya kita mampir beli durian,"
katanya. Sepuluh menit kemudian sampailah kami di kampung Mak Panto. Rumahnya
bertiang tinggi, lantai dan dinding dari papan, dan atapnya seng. Buru-buru tikar
dibentangkan, dan Mamak diberi baju bersih, lalu dibawa duduk di ujung tikar."Ini Tam
datang, Mak! Ayah kami juga ikut," kata Din. Kami pun menyalami dia, istri, dan tiga
orang anaknya yang sudah pada beristri. Uci, istri mamak, bilang anaknya yang sulung
tinggal di kampung lain. Aku mendengar Mak Panto kini jadi rabun ketika aku baru tiba
di Padang untuk menghadiri kongres. Sambil pulang menengok orangtua kuajak Din
menengok mamak sebentar. Jalan adik yang jadi dokter di kota itu pun meminjamkan
mobilnya. Aku ingat Mamak berjasa besar bagiku pribadi, karena malaikat pernah masuk
kedalam tubuhnya untuk menolong aku yang sedang dilanda lapar. Waktu itu kedua
orangtua dan saudara-saudara sedang mengungsi ke gunung dengan berhuma. Aku
sendiri saja yang tinggal di desa sepanjang bulan, karena sedang sekolah. Meski umurnya
enam tahun lebih tua, tapi aku suka dibawanya bepergian ke mana-mana. Jaga durian
waktu malam, main domino di lepau, dan mencari buah manggis, duku, atau ringkanang
ke hutan. Badannya besar dan tinggi, berkulit kuning seperti Ibu. Waktu Jepang pernah
dipanggil masuk tentara Heiho. Entah kenapa baru sekitar dua bulan pergi ia sudah
kembali lagi. Kata Jepang matanya kurang bagus untuk dilatih pergi berperang.Kini
kuperhatikan matanya yang menatap kosong. Selaput beningnya ditutupi lapisan
berlemak, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut pterygium. Jika dioperasi di Medan kata
mereka matanya bisa melihat lagi. Tapi mereka tidak punya biaya, dan aku yang pernah
diselamatkan jiwanya olehnya tidak bisa membantu. Kurangkul dia, matanya berkaca-
kaca, lalu kuselitkan selembar sepuluh ribuan ke tangannya. Ketika uci bilang supaya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

masak nasi dulu, kubilang tak usah. Lalu kami pamit.Di tempat yang ditunjuk Din tadi
mobil pun ditepikan. Kami melangkah pada jalan setapak yang kedua sisinya berpagar.
Di balik pagar menjulang rumpun jagung yang sedang berbuah muda. Rambut buahnya
berjuraian seperti rambut perempuan Belanda. Di balik kebun ada sebatang pohon durian,
dan buahnya bergelantungan. Waktu kecil aku ingat pohon itu masih rendah. Kini sudah
tinggi sekali dan batangnya besar. Kami disongsong seorang bapak yang umurnya lebih
muda beberapa tahun dari Ayah. Ia tidak berbaju, hanya memakai celana sontok yang
lusuh. Setelah menyalam Din dan Ayah, ia tertegun menatapku. "Bo ro ho?"Baru ingat
bahwa dia tak lain tak bukan adalah Mak Suki, panggilan sehari-hari Mamak Marzuki.
Aku terkejut, ia juga terkejut dan agak tersipu. Aku menyalami, badannya kutarik lalu
kupeluk. Ia menepuki punggungku. Istrinya datang dan menyalami pula. Segera teringat
Salmah yang jadi istri penjahit di kebun jeruk. Mak Suki bergegas naik pondok lalu
keluar dengan baju bersih dan bersarung. Gigi mamak dan uci sudah banyak yang
tanggal. Aku berharap gigi Salmah belum begitu."Berapa lama di kampung? Besok
kembali ke Padang? Lalu terus pulang ke Jawa? Uh, janganlah ikut-ikutan terburu dengan
Din. Ia sendiri hampir tiap bulan datang ke sini. Tapi Mamak antara beberapa tahun baru
bisa pulang. Sudah ada lima tahun kan? Tinggallah beberapa hari di sini!"Mak Suki
membuka dua durian sekaligus. Kami duduk di bangku panjang di depan pondok.
Rupanya di pondok itulah Mak Suki tinggal. Semua anaknya tinggal di hilir, dan hanya
berdua dengan uci tinggal di sini. Kami pun makan durian. Inilah jenis durian yang
berdaging tebal, kuning, dan lezat. Tiap membuka satu ruang tampak deretan bijinya
seperti anak tikus tidur.Di tempat duduk mendadak aku terpana ketika memandang ke
barat. Di sana tampak laut seperti pita biru di atas kehijauan hutan. Sesekali angin
menderu di pucuk pohon para, dan mendesah lebar di lembah. Ada tekukur berteguran
jauh di tengah hutan sana. Aku merenungi laut itu sambil mulutku mengecap-ngecap.
Dari sini sampai ke tepi laut berjejer bukit yang makin jauh makan rendah, seolah semua
itu bisa ditempuh dengan melangkah panjang-panjang dan beberapa puluh menit akan
tibalah di sana. Kini aku pun sadar bahwa itulah pelukisan lanskap ilahi, bahwa
perjalanan hidup seseorang kebanyakan tak sesuai dengan harapan. Laut itu sendiri
adalah ujung rantau yang mengendapkan onggok hasrat tak sampai.Selesai makan duren
kami pun pamit dan kuulurkan uang Rp 5.000. Mak Suki menolak dengan menggeleng-
geleng berat. Uang itu aku letakkan di bangku panjang."Itulah ganjaran orang yang suka
judi dan banyak utang," kata Din, lalu melekatkan kaca mata hitam. Ayah diam saja.
"Rumah besar di hilir dijual, dari saudagar kain kaya jadi petani jagung miskin."Teringat
jika datang berpekan ke Ujung Gading dan menyampaikan uang belanja mingguan dari
Ayah, ia selalu menambahnya beberapa rupiah. Sebagai layaknya kaya aku lihat ia selalu
muncul dengan sepatu mengkilat, sisiran klemis, dan bicara riang.Dari jendela mobil aku
masih sempat melihat sekali lagi laut yang seperti pita biru di barat. Di atas pita biru itu
awan kini seperti corat-coretan potlot merah jingga.***

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api

Post: 09/20/2002 Disimak: 287 kali

Cerpen: Kuntowijoyo

Sumber: Kompas, Edisi 04/28/2002

Samuel IndratmaAKAN saya ceritakan kasus rumah bertingkat di Perumnas kami


supaya Anda dapat mensyukuri nikmat Tuhan. Bagi orang gedongan katakan,
"Alhamdulillah, saya tidak tinggal di Perumnas." Bagi orang yang masih menyewa,
"Alhamdulillah, jelek-jelek saya tidak tinggal di Perumnas." Bagi penghuni Perumnas
yang lain, "Alhamdulillah, saya tidak tinggal di situ." Bagi para tetangga rumah
bertingkat, "Alhamdulillah, semoga saya termasuk orang-orang yang beriman."
Begitulah, kami tinggal berderet-deret di Perumnas di Jalan Kembang Setaman (bunga
warna-warni dalam jambangan). Kami sangat senang mendapat rumah. Daripada
menyewa berpindah-pindah, kami dapat hidup tenang dengan rumah tetap. Meskipun,
rumah kami sederhana saja. Rumah dan tanah berukuran 36/80. Pada mulanya berdinding
kayu lapis, usuk kayu Kalimantan, dan atap asbes gelombang. Jalan di depan kami juga
hanya cukup untuk kendaraan roda dua. Tetapi, kami tidak suka apabila teman
seperumnas bergurau, "kami tinggal di peternakan manusia", "kami tinggal di kaleng
sarden", atau "kami tinggal di kandang ayam". Saya sendiri selalu membanggakan
Perumnas kami dengan menyebutnya sebagai "kota satelit terbesar di pinggir Ring Road
Utara". Sesudah dua puluh lima tahun ternyata bahwa nasib orang tidak sama. Tetangga
sebelah rumah yang anaknya jadi dosen, lalu sekolah teknik pengairan di Negeri Belanda,
kemudian kerja di Bappenas sambil menjadi konsultan di beberapa perusahaan reklamasi
laut dan pemborong, sangat kaya. Rumahnya ditingkat, dinding bata dan semen
sungguhan, lantai keramik, relief kamar tamu bergambar Arjuna naik kereta dengan kusir
Krisna, genteng tanah nomor satu dari Gombong, dan pagar merah dari batu laut. Tentu
saja jalanan di depannya tak dapat diubah. Hanya soal listrik tetangga itu sangat pelit, di
malam hari kamar-kamar dimatikan, tinggal satu lampu 10 Watt, melik-melik di kamar
utama. Itu pun karena istri serasa dicekik jika dalam kegelapan. Kata anaknya, begitulah
gaya hidup orang Belanda, tidak suka membuang-buang. Tetangga sekitar, termasuk
kami, memang banyak yang bisa membangun-bangun, tetapi tidak bertingkat seperti
tetangga dekat kami itu. Lebih dari itu, mereka juga hemat waktu. Artinya, tidak lagi suka
bergaul dengan tetangga. Tertutuplah. Suami tidak rapat RT, istri tidak arisan. SETELAH
dua tahunan, rumah bertingkat itu membuat masalah. Tingkat atas bagian belakang yang
terbuka adalah tempat khusus untuk kandang-kandang anjing. Kata mereka, menurut
pembantu, itu adalah kemauan anaknya. Ada delapn ekor anjing kecil yang lucu-lucu
dengan bulu yang sangat tebal. Anjing-anjing itu sebenarnya sama sekali tidak membuat
gaduh, sebab suaranya hanya kik-kik-kik lirih. Anaknya bilang bahwa salah satu tanda
kemakmuran adalah terdapatnya anjing di rumah. Orang Belanda setidaknya punya satu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ekor anjing. Kita sebagai bangsa yang besar harus punya lebih dari seekor, kata anaknya
menurut pembantu. Mula-mula perkara anjing itu memang tidak jadi soal. Adalah HAM
untuk memelihara anjing atau tidak. Lagi pula semula tidak ada keluhan sama sekali.
Namun, lama-lama keluhan datang juga. Keluhan itu justru datang dari tetangga dekatnya
yang lain yang notabene tidak menabukan anjing. "Bulunya itu, lho. Bikin kulit gatal-
gatal," kata istri dalam arisan ibu-ibu. Tetapi tidak ada protes, tidak ada teguran. Seperti
diketahui, kami adalah orang Jawa yang suka kerukunan. Walhasil, tetangga suami-istri
itu hanya gedumal-gedumel, omong kesana-kemari, dan rasanan. Usul untuk dilaporkan
ke RT juga tidak mereka setujui. "Kita harus hidup rukun, 'protes, demonstrasi, dan
menuntut' itu bahasa politik, bukan bahasa pergaulan. Orang hidup itu harus tenggang
rasa, rasa-rumangsa, tanggap sasmita," jelas suami. Ketika anaknya yang nomor dua kena
batuk ah-uh sepanjang hari dan tidak kunjung sembuh baru tetangga yang baik itu
memikirkan sindiran yang halus, seperti 'wah anjingnya suka menggaruk-garuk bulu, ya'.
Sindiran yang agak tegas, seperti 'pelihara anjing boleh, tapi mbok yaa ingat tetangga'.
Atau yang lebih thok-leh, seperti 'anjing-anjing itu suruh berhenti menyebarkan bulu'.
Semuanya lewat pembantu, tentu, yang entah sampai entah tidak pada yang empunya
anjing. Anaknya terpaksa dibawa ke dokter. Dokter menanyakan, "Ada kucing di
rumah?" "Tidak." "Ada anjing?" "Tidak." "Apa dia suka main dengan binatang berbulu
itu?" "Tidak." Lalu dilakukan tes suntik. Ketahuanlah kalau anak itu memang alergi bulu.
Disuruh dia mengingat-ingat. Ujungnya, keluar juga jujurnya. "Ya. Memang ada tetangga
yang-pelihara anjing, dan bulunya suka beterbangan," katanya. "Itulah, itulah." Dokter
memberi resep sambil bilang bahwa yang terpenting ialah menghilangkan penyebabnya.
Singkatnya, di luar prinsipnya, ia mengadukan perihal anjing ke Ketua RT. Namun, ada
perkembangan baru. Belum sempat Ketua RT bertindak, tetangga yang punya anjing itu
memutuskan untuk membuang anjing-anjingnya. Ia memberi-berikan anjing pada kawan-
kawannya. Mereka mau naik haji. Ha? Benar! Menurut mereka, tidak ada seorang haji
pun yang memelihara anjing. Maka kami senang. Mereka berangkat naik haji bersama
anaknya dengan ONH Plus. Sebelum berangkat mereka menyelenggarakan open house.
"Maafkan kesalahan kami, ya Bapak-Ibu. Kami tahu banyak salah," kata suami mewakili
keluarga. "Ya, nol-nol," balas Ketua RT. Pada kesempatan itu banyak yang minta
didoakan ini-itu. Istri saya minta didoakan punya cucu lagi. Suami mencatat semua
pesanan doa pada selembar kertas. "Semoga jadi haji mabrur, semoga...," kami berdoa.
"Amin. Amin." "Semoga dapat hidayah." "Amin." Kami mengantar mereka ke airport
karena mereka terdaftar di Jakarta. Kami saling berpelukan. Ibu-ibu sesenggrukan waktu
istri sekali lagi minta maaf. Setelah sampai rumah, saya bilang pada istri, "Paling-paling
mereka melambai-lambaikan kertas di depan Ka'bah, 'Ini, Tuhan! Baca sendiri'. Mereka
tidak akan punya waktu untuk tetangga, seperti waktu di rumah." "Jangan begitu. Siapa
tahu mereka lebih diridhai." CERITA ini yang lebih penting, karena praktis melibatkan
seluruh RT. Rumah bertingkat itu memulai babak barunya. Ditinggal haji, rumah itu
gelap. Rapat RT memutuskan, supaya dari rumah kami dialirkan listrik 10 Watt. Namun,
sepulang haji, mereka tidak kembali ke Perumnas. Logikanya begini. Untuk apa tinggal
di Perumnas, kalau engkau mampu hidup di tempat lain? Privacy akan lebih terjamin
kalau engkau tinggal di tempat mewah. Maka rumah bertingkat itu pun diiklankan sesuai
dengan 'martabatnya'. Diulang. Diulang. Harganya diturunkan. Diturunkan. Tidak juga
laku. Rupanya orang kecewa setelah melihat kondisi jalan di depan rumah itu. Mesti
orang berpikir, membeli rumah dengan harga mahal itu boleh tapi jangan di Perumnas.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Maka, selama belum laku rumah itu dibiarkan kosong-song. Ketika rumah kosong itulah
masalahnya mulai. Dalam rapat RT para petugas Siskamling mengatakan bahwa mereka
mendengar anak-anak bermain dalam rumah itu. Mula-mula mereka heran, kenapa anak-
anak belum juga tidur-padahal hampir tengah malam? Ketika mereka menyadari bahwa
anak-anak itu pasti jin yang jadwal mainnya berbeda dengan manusia, bulu kuduk
mereka berdiri, dan lari tunggang-langgang. Siskamling yang biasanya berkeliling untuk
mengambil beras jimpitan setelah pukul 23.00, mengubah jadwalnya menjadi pukul
21.00 sebab mereka ketakutan. Sedini itu anak-anak jin dalam rumah kosong
diperkirakan belum mulai bermain. Ketika mereka juga masih mendengar anak-anak
bermain, lalu Siskamling diajukan pukul 19.00. Kemudian rapat RT memutuskan untuk
meniadakannya sampai waktu yang belum ditentukan. Bagi mereka yang tidak punya
anak kecil, cerita tentang anak-anak bermain tidak mengganggu. Lain dengan kami. Anak
kami menitipkan anaknya. Ia teriak-teriak ketakutan setiap malam. Sambil menunjuk-
nunjuk dikatakannya bahwa ada anak-anak menempel di tembok. Untung kami punya
teman yang dapat mengusir jin. Kawan itu datang dan memagari rumah kami.
Disarankannya supaya sebelum tidur kami membaca-baca Al-Ikhlaash, Al-Falaq, dan
An-Naas. Dikatakannya bahwa ada sekeluarga jin tinggal di rumah bertingkat itu. Ketika
kami memintanya untuk mengusir keluarga jin itu dia menolak. Alasannya, adalah hak
mereka untuk tinggal di rumah kosong. Meskipun demikian, rumah kami jadi aman dari
gangguan mereka. Ternyata apa yang kami kerjakan juga dikerjakan para tetangga
dengan cara mereka sendiri-sendiri, "Mosok manusia kalah sama jin!" kata mereka.
Seorang tetangga pergi kepada orang pintar. Orang pintar itu menyarankan supaya
manusia terhindar dari gangguan jin, jin harus disenang-senangkan dengan membakar
kemenyan dan memberi bunga setiap malem Jum'at. Tetangga yang lain belajar ilmu
tenaga dalam dan pernapasan. Dengan ilmu itu jin akan merasa seperti terbakar. Tetangga
yang lain lagi menyiapkan keris keramat yang dhemit ora ndulit, setan ora doyan,
digantung di temboknya. Dan, tiba-tiba muncullah bakat-bakat terpendam di RT. Mereka
yang punya sensitivitas memantau pergerakan jin di rumah bertingkat itu. Dalam rapat
bulanan RT diputuskan bahwa Ketua RT ditugaskan untuk mencari orang pintar yang
mampu mengusir jin. Orang pintar itu datang. "Lho, kok keluarga besar. Ada kakek dan
nenek dari ibu dan bapak, ada pakde dan bude dari ibu dan bapak, ada paklik dan bulik
dari ibu dan bapak, ada adik-adik dari kedua belah pihak." Setelah ck-ck dia membuat
saran. "Nama jalan jangan Kembang Setaman. Bunga Setaman itu makanan jin. Jadi,
mereka berkumpul di sini karena mengira di sini banyak makanan. Nama jalan itu
terserah, asal jangan menyarankan makanan jin." Maka RT mengadakan rapat.
"Bagaimana kalau nama itu dibalik? Pasar Kembang, misalnya." Pasar Kembang adalah
nama tempat. "Onde-onde kembang?" "Bagaimana kalau Kembang Brayan?" Artinya,
warna-warni bunga sejenis (artikel, karangan, kumpulan cerita). "Bagaimana dengan
Kembang Boreh?" Artinya, sejenis lulur. "Kembang Kacang?" Nama lagu keroncong.
Pembahasan untuk memilih berlangsung sederhana, tanpa debat berkepanjangan. Tetapi,
dasar orang Jawa, sama-sama segannya untuk berkata tidak. Jalan keluarnya adalah
voting tertutup. Itu dianggap yang terbaik, yang tidak menyakitkan hati orang. Setelah
dihitung, rapat RT menyetujui Kembang Boreh. Maka kami ramai-ramai menurunkan
papan nama. Mengecatnya dengan nama baru: Jl Kembang Boreh. Tentu saja, itu semua
dengan harapan jin-jin itu menghilang. Keluarga kami juga diharuskan mengganti lampu
biasa dengan neon. Tetapi tidak ada perubahan. Jin itu bertambah nekat. Malam hari

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

banyak jin perempuan yang mejeng (pamer, menggaya). Suatu malam ada penjual ronde
lewat. Beberapa gadis duduk-duduk di depan rumah bertingkat mengundang penjual.
Mereka memborong ronde. Wedang ronde yang panas itu dilahap. Penjual curiga. Setelah
diamati ternyata mereka tidak duduk di bangku atau kursi, tapi menggantung di udara.
Tukang ronde yang malang itu kontan lari, meninggalkan gerobak dagangan. Gadis-gadis
itu tertawa hiii-hiii-hiii. Pagi hari sambil mengambil gerobaknya, tukang ronde lapor
Ketua RT. RT langsung mengadakan rapat darurat. Ketua RT ditugaskan lagi mencari
orang pintar yang cespleng. Maka datanglah orang pintar itu. Setelah memeriksa rumah
bertingkat dari jarak jauh ia berkata, "Mereka sudah satu suku." Sarannya sama dengan
orang pintar sebelumnya, mengganti nama jalan. Nama diserahkan pada RT, pakai
kembang boleh tapi jangan berarti bunga. Rapat RT lagi. Ketua RT menyampaikan pesan
orang pintar. Kami berpikir keras, kembang yang tidak berarti bunga. "Kita buang saja
kata kembang." "Jangan. Di Perumnas kita pakai nama-nama bunga." "Nah, bagaimana
kalau dikromokan. Sekar Langit?" Sekar Langit adalah nama motif batik. "Sekar
Sinawur?" Artinya bunga rampai. "Kembang desa?" Primadona desa. Prosedur yang dulu
dipakai lagi. Terpilih nama Kembang Desa. Keesokan sorenya kami gotong-royong.
Kami turunkan papan nama, kita ganti dengan yang baru. Harapan kami sama seperti
dulu. Jin-jin tidak betah lagi tinggal di rumah bertingkat. Mereka akan kecelik, sama
sekali tidak ada bunga. Tapi kami keliru. Benar jin tua, gadis, dan anak-anak menghilang,
demikian menurut pantauan orang-orang sensitif. Mereka digantikan jin-jin muda karena
mengira di gang ini banyak primadonanya. Tidak menemukan seorang gadis pun di gang,
jin-jin muda mulai mengembara mencari gadis. Ketua RT dilapori bahwa ada jin yang
tinggal di tembok kamar mandi. Itu jin voiyeur. Ada jin suka menghadang gadis-gadis
pulang pengajian. Ada jin yang hidung belangnya tidak ketulungan: ia mengganggu
nenek-nenek yang pagi sekali membeli gudeg untuk buyutnya. Malu-lah RT kami. Ketua
RT ditugaskan untuk mencari orang pintar yang lebih pandai. Dia dibriefing mengenai
keadaan kami yang runyam. Ia pulang bersama orang pintar itu. Setelah melihat papan
nama katanya, "Lha, ini biangnya. Jangan Kembang Desa. Jin yang thukmis (suka
wanita), yang iseng, dan yang duda akan datang." "Lalu enaknya apa, Mbah? Kami sudah
kehabisan akal." "Pakai kembang, ya. Mmm, bagaimana kalau Kembang Api?" Kami
semua suka-cita atas usulan itu. Api akan membakar mereka. Mereka akan ketakutan dan
lari. Pujian-pujian mengalir untuk orang limpad (cerdas) itu. Kata pepatah-petitih itu
memang betul: Ada kemauan, ada jalan. Kami pun mengganti papan nama: Jl Kembang
Api. Biar jin-jin kepanasan! Biar, mereka kehausan! Tetapi tidak. Menurut mereka yang
sensitif, jin-jin malah berdatangan dari mana-mana. Lho! Iya saja. Jin terbuat dari api.
Jadi, mereka merasa kembali ke asal. Tidak ada jalan lain. Tertutup sudah. Jalan buntu.
Lalu ada usulan dari seorang mahasiswa yang mondok di RT kami untuk mencari
advokat yang mumpuni: kuat secara fisik, pintar ilmu hukum, pandai ilmu dalam, dan
bijaksana. Tugasnya ialah menjadi juru runding mewakili RT. Kami menemukannya
juga. Maka, malam hari advokat itu menerobos ke dalam pagar. Seluruh RT menyaksikan
adegan itu dari kejauhan. Ia duduk berdzikir di teras rumah. Kabarnya dia dapat
berhubungan dengan dunia gaib. Setelah kami menunggu sekitar dua jam, kami mendapat
kabar tentang hasil rundingan. "Inilah hasil maksimalnya," kata advokat itu. Satu, mereka
hanya boleh tinggal di dalam rumah. Dua, mereka tidak boleh mengganggu orang. Tiga,
mereka tidak boleh menampakkan diri dalam rupa apa pun. Kami lega dengan perjanjian
yang menguntungkan itu. Tetapi, Jl Kembang Api tetap saja sepi di malam hari. Tidak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ada ronde teng-teng, tidak ada sate te-satte, tidak ada bakmi duk-duk sreng. Dan orang
masih dapat mendengar suara keroncong, nyanyi dangdut, suara klenengan, suara air
terjun, suara anak-anak bermain, bayi menangis. Semuanya tanpa rupa! Yogyakarta, 13
April 2002

Perempuan yang Jatuh dari Pohon

Post: 09/11/2002 Disimak: 241 kali

Cerpen: Raudal Tanjung Banua

Sumber: Kompas, Edisi 06/09/2002

ADA perempuan yang jatuh dari pohon! Itulah kabar yang membuat kampung kami
gempar. Kabar menyebar begitu cepat bagai diantar kawanan lebah, sehingga dalam
waktu singkat tak ada bagian kampung yang terluputkan. Dan setiap telinga yang kena
berita, lebam-membiru bagai tersengat, sementara setiap mulut yang melanjutkan berita
itu, berubah menjadi sarang lebah, penuh dengung, tanpa bahasa puji-sanjung; tak sedikit
pun madu menetes dari situ. Yang ada hanya kepahitan, menetes-netes dari bahasa
kutukan.Duh, betapa tidak! Mengingat perempuan yang jatuh dari pohon, bagi warga
kampungku-sebuah teratak kecil di lengkung-pinggang Bukit Barisan dalam ranah Nagari
Tujuhsuku Kecamatan Marapalam-dipercaya turun-temurun sebagai sesuatu yang
sangatlah aib. Konon, perempuan yang jatuh dari pohon, bila sakit, sakitnya tak akan
diobati; bila mati, matinya tak akan disembahyangkan! Betapa malang. Ya, betapa
malang perempuan yang kini jatuh dari pohon itu. Pohon apa yang ia panjat, dan
mengapa harus memanjat? Buah apa yang telah menggoda sehingga terguncang
imannya? Dan mengapa harus memanjat, tak cukupkah dijuluk pakai panggalan? Jika
panggalan atau pengaitnya patah atau tak sampai, mengapa tak minta bantuan laki-laki
saja untuk memanjatnya? Hari apa ia jatuh? Selasa? Siapa gerangan orang tuanya-yang
lalai menjaga anak perempuan-dan siapa namanya sendiri? Namanya Hindun, kawan
bermainku sejak kecil (mendengar ini, aku tercengang dan merinding; masyaallah!).
Ayahnya sudah meninggal menjelang ia remaja, dan makamnya masih terjaga di bawah
pohon cengkeh dan pala, di sebidang ladang yang tenang-tempat Hindun tinggal hingga
sekarang. Tiga orang kakak Hindun, laki semua, dan entah sejak kapan tepatnya, satu-
persatu pergi meninggalkan kampung-pasti bukan di hari Selasa. Merantau, sebagaimana
orang di kampung kami berkebiasaan. Bukankah kami memegang filosofi tentang burung

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

bangau yang terbang tinggi? Tapi, ah, anak lelaki, begitu bebas menentukan langkah
kaki! Hanya perempuan yang senantiasa bernama penantian. Seperti Hindun dan ibunya,
menunggu, mungkin pula tidak menunggu. Bukankah mereka pun mampu menentukan
hidup sendiri? Begitulah. Hindun dan ibunya memutuskan untuk tetap tinggal di ladang,
di atas rumah pondok yang sederhana, meski di koto (pusat kampung) mereka masih
punya sebuah rumah tua, mereka biarkan lapuk telantar. Hanya pada pekan-pekan
tertentu saja Hindun dan ibunya berkunjung ke rumah itu, itupun jarang bermalam.
Tampaknya tinggal di ladang bagi mereka berdua sudah menjadi pilihan. Selalu saja ada
alasan untuk menjaga makam suami atau ayah, sekaligus merawat ladang kenangan.
Meski sesungguhnya pula, tak ada lagi yang terlalu bisa diharapkan dari ladang. Banyak
ladang di sekitar situ sengaja ditinggalkan pemiliknya, dan mereka beralih menjadi
pekerja sawah, pekerja tambang, atau mencari damar dan rotan ke hutan-rimba. Tak apa.
Setidaknya, dengan tinggal di ladang, sayur-mayur tak hendak membeli. Ditanam sendiri
sudah cukup untuk makan. Asal ada beras, urusan makan beres. Itulah yang selalu
diucapkan Hindun padaku, bila kami bertemu di pasar. Maklum, aku penjual barang
kelontong yang berkeliling dari pekan ke pekan, sedang Hindun biasanya membawa
sayur-mayur. Kami kerap makan bareng di kedai sate Mak Etek bila pasar usai. Saat-saat
seperti itulah aku bisa memandang Hindun yang di mataku tak kepalang cantik. Maklum
mata bujangan. Apalagi, ia lumayan cerdik. Matanya yang agak bulat besar akan
gampang terlihat berbinar bila sudah bicara tentang banyak hal. Tak jarang ia cekikik,
yang di kampung kami tentu saja dapat dianggap kurang baik. Perempuan jangan ketawa
cekikik, senyum dikulum pasti lebih manis, itu pesan yang tak boleh diremehkan. Tapi
Hindun peduli apa? Ia tetap saja tertawa terpingkal, membuka mulutnya agak lebar, tak
peduli sekelilingnya akan melotot tak senang. Anehnya, justru sikap bebas dan maunya
sendiri itulah yang kerap memunculkan rasa kagum dan ketakjubanku padanya. Di
samping tentu, hidungnya yang bangir, rambutnya berombak-panjang. Dan yang paling
sering mencuri perhatianku tak lain betisnya yang ramping, bentukan alam pebukitan
yang bergelombang. "Biarlah kami tinggal di ladang, merawat tanaman yang masih
tersisa, sekalian menjaga makam ayahku," kata-nya jujur. Kutahu, ia memang sangat
mencintai ayahnya, sebab sang ayah juga sangat menyayanginya. Konon, ketika hidup,
ayahnya lumayan memberi kebebasan padanya. "Niatmu sih baik, tapi usiamu,
Hindun...," bisikku usil, merujuk pada gadis seusianya yang biasanya sudah dipinang
orang. "Tak mengapalah! Kalau memang ada yang tertarik meminang, mengapa harus
mempersoalkan aku tinggal di ladang? Berhelat di ladang juga bisa, yang datang malah
bisa macam-macam; kera, beruang, celeng..." maka ia pun tertawa sesukanya. Tak
terpikirkan, bahwa di kampung kami perempuan baru akan dilamar orang bila sudah
tinggal di rumah sendiri, di dalam kampung. Bukan di pondok ladang. Sebaliknya
Hindun malah berfikir tentang hidup; tinggal di ladang ada saja yang akan dipetik dan
dijual setiap pekan... Meski apa yang diyakini Hindun tidak persis demikian. Semenjak
kemarau panjang dan cengkeh mati bujang, harapan itu tidak lagi gampang diwujudkan.
Bahkan hampir tak ada lagi yang bisa dipetik. Satu-satunya yang masih bisa menghidupi
mereka hanyalah kayu api yang mereka cari di hutan sekitar. Dikeping dan diikat, dan
sekali sepekan akan ada tukang kayu yang menjemput ke sana. Itulah yang membuat
mereka terus bisa bertahan (sebaliknya, membuat kami jarang bertemu di setiap pekan).
Tidak jarang dalam perjalanannya mencari kayu api, melewati ladang-ladang yang
ditinggalkan Hindun dan ibunya bertemu pohon cengkeh, nangka, jengkol atau apa saja

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang telah menyatu dengan belukar. Tapi bila musimnya, pohon-pohon telantar itu juga
tak ketinggalan berbuah, meski sedikit, dan itu pun harus berebut dengan tupai atau kera.
Dibersihkan sedikit belukar yang melilit batangnya. Hindun lalu bisa dengan cukup gesit
memanjat pohon itu. Ibunya tak bisa mencegah. Hindun hanya bilang bahwa tak ada yang
melihat. Ibunya tahu bahwa dengan itu mereka telah melanggar pantangan, tapi pasti tak
tega untuk sekadar membatin, sebab bukankah kata batin seorang ibu cepat makbulnya?
Maka, begitulah, ibu dan anak itu diam-diam melanggar pantangan! KAMPUNG kami
memang hidup dari sekian banyak pantangan. Begitu banyak rambu-rambu tanda
larangan, meski tak dituliskan. Anehnya, dari sekian banyak larangan, perempuan atau
anak gadislah yang menjadi sasaran. Misal, perempuan tak boleh menyisir rambut di
halaman, tak boleh duduk di depan pintu, tak boleh memotong dan meraut kuku di malam
hari, entah mengapa. Memang akan ada saja alasannya, seperti tak bakal dapat laki, jauh
dari rezeki, bahkan bisa gila, tapi juga entah mengapa. Memang pula larangan-larangan
itu baik maksudnya, sebab bukankah tidak enak dipandang mata bila seorang perempuan
sampai menyisir rambut di halaman rumah? Dilihat orang banyak, apalagi kalau
rambutnya basah. Tampaknya, soal etiket. Tapi mengapa tak langsung dibilang seperti
apa adanya? Mengapa tidak dikatakan saja bahwa itu tidak pantas, mengapa harus
membawa-bawa soal rezeki dan jodoh segala? Bukankah mereka sudah cukup dewasa
dan tidaklah kelewat bodoh? Paling mereka hanya akan tersenyum dikulum, meski tak
harus melanggar. Sebab kalau dicari-cari kaitannya ada benarnya juga; kalau seorang
perempuan menyisir rambut di halaman, tak seda dipandang, laki-laki mana akan senang?
Bila kerja hanya menyisir rambut, sampai-sampai harus ke halaman, kapan sempatnya
bekerja dan dari mana rezeki akan datang? Atau, bila perempuan larut berdandan,
tidakkah ia bisa menggilai dirinya sendiri di depan kaca atau telaga? Hmmm... Namun,
pantangan itu masih lumayan adil. Artinya, tidak hanya buat perempuan. Anak-anak pun
tak ketinggalan. Mereka tak diizinkan mandi-mandi di tepian pada saat tengah hari, tentu
bukan karena suhu yang panas sementara air sungai begitu dingin yang bakal membuat
mereka demam. Bukan, bukan itu alasannya. Tapi, dengarlah; mandi-mandi tengah hari
membuat kita demam sebab iblis dan hantu air akan menyapamu, dan sapaannya itu
sudah cukup membuatmu jatuh sakit. Begitu. Dan begitu pula halnya untuk laki-laki di
kampung kami, tak luput dari rambu-rambu yang digariskan, semisal dalam urusan
berpergian. Jangan berjalan di hari Selasa, sebab Selasa hari api. Bila berjalan juga
alamat akan sengsara karena banyak gangguan dari iblis yang konon diciptakan pada hari
ini. Benarkah? Entah. Yang jelas, bila ada laki-laki di kampung kami hendak pergi jauh,
mereka memilih hari selain Selasa. Bisa Rabu yang diyakini hari teduh lagi sejuk, atau
Senin yang diselubungi cahaya suci. Sampai-sampai waktu pernikahan diatur waktunya
sedemikian rupa, yakni petang Kamis malam Jumat. Inilah hari baik penuh berkat. Kami
pun percaya pada sekian banyak isyarat dan bahasa; kupu-kupu pertanda tamu, ayam
berkokok tengah hari (dengan kokok berlenggek-lenggek) pertanda ada perawan bunting,
elang berkulin seputar kampung pertanda ada yang bakal mati atau kemarau panjang akan
datang. Dan begitu pula halnya dengan takwil mimpi, membuat kami begitu berhati-hati.
Begitulah. Tentang perempuan yang tak boleh memanjat pohon juga telah menjadi
pantangan turun-temurun. Sedari kecil, anak perempuan di kampung kami dilarang keras
memanjat pohon, meski kampung dipenuhi berbagai macam pepohonan, rimbun dan
rindang. Panjang-memanjat tak lain urusan laki-laki, begitu adat kami mengajari. Tak
seorang anak perempuan pun yang berani melanggar. Mereka cukup puas bermain yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sepantasnya saja; petak umpet atau lompat tali. Meski di tengah keasyikan bermain selalu
ada saja goda dari kami anak lelaki yang sedang berada di dahan pohon paling tinggi.
Kami akan berteriak dari ketinggian, mengabarkan betapa kami telah melihat laut, laut
yang luas! Anak-anak perempuan akan tergoda dan serta-merta membubarkan permainan
mereka, dan mereka berkumpul di bawah pokok batang. Ada yang bertanya: ada
kapalnya enggak, ada kapalnya enggak... Kami yang di atas pohon lantas mencari-cari
sebentar dengan sorot mata berbinar. Lalu menjawab agak kecewa: tidak ada, lautnya lagi
sepi! Mungkin lagi tidur, jawab yang lain menghibur. Tentu, karena yang kami lihat
sesungguhnya bukan laut, bahkan danau pun tidak, melainkan hanya air persawahan yang
tergenang nun di kampung sebelah... Namun, bagaimanapun juga, kami yang laki-laki
masih lebih beruntung; menerka-nerka yang tampak. Sementara anak-anak perempuan
cukup dibuat penasaran karena tak melihat apa gerangan yang hendak diduga. Atau,
mungkin lebih indah sebab bakal menjadi impian yang tak sudah? Entahlah. Yang jelas,
tak seorang pun yang di antara mereka yang berani melanggar pantangan. Juga saat
musim buah tiba. Anak-anak perempuan cukup jadi pengumpul buah yang kami petik,
dan mereka berebutan sambil sesekali tengadah menatap kami di ketinggian dahan-
dahan. Mungkin di antara mereka punya impian atau sekadar keinginan untuk ikut meniti
dahan (aku sering melihatnya di mata Hindun), tapi mereka tahu (berkali-kali diingatkan
ibu) bahwa mata kutukan mengintai di mana pun: di sela reranting, dedaunan, di semak-
semak tepi jalan, di antara batu-batu di tepian... Mengintai siapa pun yang melanggar
larangan! KALAU sekarang kabar celaka itu mendengung dan membiru, benarkah karena
larangan itu tak membisu? Hindun dan ibunya memang tak lagi patuh pada rambu-rambu.
Setiap kali masuk hutan mencari kayu, dengan melewati ladang-ladang yang
ditinggalkan, mata Hindun masih saja penuh keinginan. Dan pasti tak tercegah siapa pun.
Tak ada kakaknya yang semasa kecil dulu selalu mengawasinya untuk tidak ikut
memanjat meski hanya sebatang pohon rambutan yang dahannya hampir menjejak tanah.
Tak pula ibunya yang dulu mungkin teramat nyinyir menyampaikan larangan. Hindun,
perempuan yang mungkin dulu terlalu sesak memendam keinginan, dalam hari-harinya di
ladang memutuskan tak lagi memendam keinginan, bahkan untuk sebuah larangan.
Maka, begitulah, hampir setiap pohon yang masih menyisakan buah akan ia panjat tanpa
takut terlihat mata kutukan yang mengintai. Sang ibu hanya menunggu di bawah tak bisa
berkata apa, kecuali mengumpulkan buah-buah nangka yang berdebum, menggelinding
di lereng bukit, tersangkut di akar. Tak jarang masuk kali kecil yang penuh belukar.
Sementara Hindun sangat lihai meniti setiap dahan. Rambutnya yang berombak-panjang
disanggulnya agar tak mengganggu. Kulitnya yang kuning tak ia pedulikan perih,
tergores akar atau jelatang. Matanya awas mengamati setiap cabang, mencari buah yang
masih menggantung. Sesekali ia menggerutu betapa buah itu sudah tak utuh; dilobangi
tupai atau kera. Hati-hati kakinya berpijak, sigap tangannya mencari dahan berpegang,
karena ia tahu pohon nangka rapuh dahannya. Saat-saat memuntir sisa buah, seolah saat
melepas keinginan masa kecil yang lama tersimpan. Begitulah, buah-buah yang mereka
kumpulkan mereka bawa pulang ke pondok. Tentu, saat melewati jalan-jalan setapak
yang semak dan membelukar, beberapa ekor babi hutan masih sempat melintas, atau
setidaknya mengeluarkan suara aneh. Tapi kedua perempuan itu sudah terbiasa. Bahkan
dengan pandangan. Sampai akhirnya tersiar kabar celaka itu: Hindun, perempuan yang
jatuh dari pohon! POHON tempat Hindun jatuh adalah sebatang pohon tak bernama.
Dikatakan begitu, karena memang tidak ada yang bisa memastikan pohon apa

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sebenarnya. Dikatakan pohon Barangan, hanya daunnya yang mirip, tapi tak berbuah.
Dikatakan pohon damar, hanya batangnya yang serupa, tapi tak bergetah saat ditakik.
Kesulitan mengetahui nama mungkin juga lantaran usianya yang tua, mungkin hanya
satu-satunya jenis pohon yang masih hidup sehingga tak ada yang serupa. Tapi mungkin
pula karena orang kampung kami tak peduli soal nama (ah, mengapa mereka amat peduli
nama-nama hari?). O, ya, mungkin karena itu milik tetua kepala suku (Tujuh suku!) ia
dianggap urusan mereka yang terhormat. Kami cukuplah mengetahui bahwa pohon itu
lumayan keramat. Pokok pohon itu teramat kukuh, penuh akar dan sulur-sulur menjalar.
Pucuknya jauh menjulang hingga tampak dipandang di bagian-bagian tertentu sudut
kampung. Bila memandang dari jauh, lereng bukit yang biru tempatnya tumbuh, tampak
seakan terlindung pohon itu. Daunnya yang rimbun dan cabang-cabangnya berlekuk-
bergelombang, membentuk lukisan tersediri di kebiruan perbukitan. Andai saja ia
ditebang, tentu akan segera terasakan ada yang hilang; lereng bukit itu bakal kosong, dan
orang akan kehilangan sebuah tanda yang sering terbaca; para pencari damar yang
tersesat di hutan, para perantau yang lama tak pulang, atau pengembala ternak yang
kemalaman. Tapi, tentu tak bakal ada yang berani menebang. Jangankan menebang,
mendekat saja tak ada yang berani, kecuali mereka yang dianggap tetua kampung.
Mereka ini memang mendapat hak sepenuhnya atas banyaknya lebah madu yang
bersarang di setiap dahan. Madu nomor satu yang menetes sepanjang musim! Hanya
Hindun, gadis yang terbiasa melanggar pantangan itu, nekad. Tanpa sepengetahuan
ibunya, ia datangi pohon itu, dipanjatnya lewat sulur-sulur yang menjuntai menyentuh
tanah. Di kedalaman bola matanya terpancar kehidupan ladang yang makin sulit, cengkeh
mati bujang, kemarau panjang dan kayu api yang murah harganya. Hanya madu lebah
yang masih mahal. Sesarang dua sarang cukuplah baginya melunaskan keinginan,
sekaligus melunaskan dendam! Ya, bertahun-tahun ia ingin mencecap manisnya madu
dari pohon yang sebenarnya tumbuh di atas ladangnya itu. Tapi selalu terbentur soal hak.
Hak tetua suku. Bukan si puak. Hindun tak peduli. Ia mengerti bahwa ia mestinya juga
berhak. Pohon itu tumbuh di tepi ladangnya! Maka ia terus memanjat. Pohon keramat.
Milik tetua. Dan terjatuh. Hari Selasa. Dan ia, seorang perempuan. Lengkap sudah.
UNTUK kedua kalinya kampung kami pastilah kembali gempar. Bahkan mungkin lebih.
Kubayangkan, telinga setiap orang mungkin tak lagi seperti disengat lebah (seperti saat
pertama kali aku mendengar kabar itu di pasar), namun boleh jadi bagai dipatuk ular
berbisa. Bagai mematuk jantung-hatiku juga! Aku yang tidak lagi sekadar mendengar,
tapi menyaksikan. Aku yang dulu hanya penerima kabar, kini berubah menjadi aku yang
mengabarkan! Ya, Hindun, perempuan yang jatuh dari pohon itu, mati. Ia meninggal
setelah cukup lama menanggung penderitaan. Bokongnya remuk, bernanah. Ibunya
mengobati pakai dedaunan hutan, sambil menunggu putusnya harapan. Baunya busuk,
dan tak seorang pun berani menjenguk. Hanya aku, kawan masa kecilnya yang masih
tetap setia. Sebelum hayatnya usai dikandung badan itulah, ia ceritakan segala padaku.
Tentang kesehariannya hidup di ladang. Tentang adat dan pandangan yang dilanggar.
Tentang dendam. Semuanya. Kecuali mungkin... hasrat kami untuk saling mencinta! Ia
tak mengungkapkannya, dan aku pun tak berkata soal itu, meski dari mataku pasti terbaca
isyarat itu. Dan Hindun mengucapkannya dalam igau, di antara bahasa dan kalimat lain
yang kacau-balau; tentang lautan, lembah, ayah dan saudara laki-lakinya. Dan namaku ia
seru sebelum matanya sempurna terkatub. Aku bergegas turun dari bukit, membawa
kabar itu ke tengah kampung. Dan seperti kubayangkan, kampung memang teramat

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

gempar. Sebentar saja, kudengar bedug ditabuh tujuh kali pertanda ada yang mati. Di
surau kecil itu, sejumlah laki-laki tampak berkumpul memperbincangkan langkah apa
yang seharusnya ditempuh. Perempuan-perempuan, istri atau anak mereka menunggu
harap-harap cemas. Juga aku. Akankah kematian Hindun tidak disembahyangkan?
Gerombolan lelaki itu masih terus berbincang. Seakan tak berujung... Rumahlebah
Yogyakarta, 2002

Perempuan di Jenjang Rumah

Post: 09/11/2002 Disimak: 284 kali

Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Sumber: Kompas, Edisi 07/07/2002

RUMAH panggung ini, lebar 6 meter dan panjang 12 meter. Beratap genting Palembang
berwarna gading, terletak di Lolohan Timur. Konon, yang bermukim di rumah-rumah
panggung ini, adalah pelarian dari Armada Bugis, yang datang pada tahun 1653-1655,
karena mereka membelot dari Belanda. Pembelotan ini dipimpin langsung oleh Daeng
Nahkoda.Nurhayati, yang keturunan ke sepuluh dari orang-orang Bugis itu, akhir-akhir
ini, lebih sering bermimpi, melihat nenek-moyangnya, mengarungi lautan dengan perahu-
perahu Bugis yang cantik. Perempuan-perempuan dalam perahu (yang salah satu dari
mereka adalah nenek-moyangnya), ikut menggulung layar pada saat badai. Memancing
ikan-ikan untuk logistik seluruh awak kapal, melantunkan syair-syair, ketika lautan tanpa
badai, di mana ikan lumba-lumba berlompat-lompatan di sisi perahu. Sementara itu, dia
sekarang setiap harinya cuma duduk di jenjang rumah. Sepertinya, cuma menunggu hari
pernikahan dengan pacarnya, Hamdani, teman sekuliah dulu. Nurhayati berpikir,
bagaimana, bisa menceritakan pikirannya kepada bapaknya, yang kepala dusun di sini:
apakah betul, pernikahan adalah gol terakhir dari seorang perempuan, hanya lewat proses
itu sampai pada muara tujuan hidup ini. Sesungguhnya, waktu remaja dulu, dia selalu
mengimpikan, akan datang seorang laki-laki, dari tengah lautan, yang membawanya
melihat dari satu laut ke laut yang lain. Itu memang mimpi remaja. Namun, soal
pernikahan itu sering sekali didiskusikan dengan pacarnya. Hasil diskusi, itu tidak
menambah apa pun, kecuali Nurhayati semakin ingin seperti pacarnya: pergi

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

meninggalkan tempat ini! (Yah, pacarnya sudah tiga bulan pergi mencari pekerjaan ke
Kalimantan). Nurhayati melihat beberapa anak sedang bermain, tertawa-tawa. Dia tahu,
dunia anak adalah dunia di mana kita ingin tinggal selama-lamanya di sana. Pikirannya
terpotong, tampak dari jauh, Khotijah, yang berjilbab ungu (kelihatan cantik) berkata,
"Rapat untuk organisasi sosial kita, kali ini, bertempat di masjid, waktunya selepas
sembahyang isya. Jangan lupa kau datang lebiha awal. Kau sering terlambat. Kita kan
pengurus." Nurhayati mengangguk cepat. Sebetulnya, tidak yakin, apakah punya
kebutuhan di organisasi sosial itu, sebagai sebuah proses "menjadi", atau hanya untuk
membunuh waktunya, ketika berpuluh-puluh surat lamaran kerjanya, tidak ada jawaban!
Di musim yang kemarau panjang, di mana udara panas menggulung, dia suka sekali
duduk di jenjang rumahnya, untuk mendinginkan tubuh, karena angin melintas-lintas di
bawah pohon besar itu. Kembali dilihatnya sebuah undangan berwarna merah dari teman
sekampung. Sering sekali Nek Sa'adah (masih bilangan kerabatnya) menasihati, "Kapan
kamulah Nur yang jadi pengantin! Dari semua teman seumurmu, tinggal kamu dan
Khotijah yang belum menikah. Padahal, kamu sekolahnya paling tinggi." Yah, nasehat ini
sering diucapkan, saat dia bertandang ke rumah Nek Sa'adah. Mendengarkan pantun-
pantun Nek Sa'adah (dia punya juga menjadi penyair, yang bisa keliling dunia,
membacakan puisi-puisinya atau puisi para leluhurnya). Nurhayati, melihat orang yang
lalu-lalang di depannya. Mereka semua kelihatan sederhana dan bahagia. Padahal,
kemarin malam, seorang laki-laki yang sepertinya datang dari lautan, mengajaknya
ngobrol. Dan setelah beberapa kali bertemu, Nurhayati merasa dekat dengan Budiman.
(Budiman peneliti rumah-rumah di Lolohan Timur ini). Nurhayati menghapus keringat di
dahinya kala Khotijah meghampirinya. "Nur, aku mendengar kabar, sebentar lagi Mbak
Mila akan pulang ke Jawa bersama suaminya. Dia butuh guru TK untuk
menggantikannya." "Aku bisa menggantikannya." Khotijah melihatnya, "Kau bukan dari
jurusan keguruan. Namun, cobalah, mungkin Mbak Mila setuju. Aneh, katanya kau
kepingin keluar dari kampung ini dan menjadi penyair! Jadi, mengapa kau akan bekerja
di TK perkampungan nelayan itu? Kau kan tahu juga, anak-anak TK di sana sulit diajari
mata pelajaran apa pun. Mereka berpikir, tanpa sekolah, bapak dan abang-abangnya bisa
dengan mudah mencari uang." "Aku akan mengatakan dengan bahasa anak-anak,
menggali ilmu bukan semata untuk mencari uang, melainkan ibadah setiap manusia."
"Nur, aku bisa melihat kegelisahan di matamu. Ada apa sih? Sebagai perempuan, aku
mau sederhana saja, yaitu menjadi ibu. Tidak seperti engkau. Benar juga kata teman-
teman, seharusnya engkau jadi penyair." Nurhayati diam saja. Kadang, dia tak bisa bicara
dengan Khotijah (teman dekatnya). Ada kesedihan yang tak bisa dibagi dan harus
disimpan. Namun, menjadi guru di perkampungan nelayan itu, bisa jadi bapaknya tidak
setuju. Karena, bapaknya lebih suka melihatnya menjadi karyawan bank yang setiap pagi
seperti kupu-kupu cantik, bergaji lumayan dengan seragam banknya dan bau parfum yang
mengembang. Apalagi, honor guru TK di sana sangat kecil, yang tak pernah cukup untuk
ongkos transportasi. Dia melihat ke panggung rumahnya. Kemarin, beberapa turis
domestik, terkagum-kagum melihat rumah panggungnya, yang punya jendela berjeruji
tanpa daun jendela. Beberapa orang menawar rumah panggung ini (dia bersyukur,
bapaknya tidak pernah ingin menjual). Di sisi lain, dia tidak tahu mengapa dia ingin
menetap di sini selamanya. ***PAGI ini, dia sudah berada di TK perkampungan nelayan.
Dia mencoba bersungguh hati untuk sebuah hal yang dia sendiri tidak tahu. Namun,
beberapa bulan kemudian dia merasa bisa menghabiskan waktunya dengan senang.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Apalagi saat melihat binar mata anak-anak nelayan yang bisa menangkap apa yang
diterangkan. (Pacarnya di Kalimatan bilang sudah mendapat pekerjaan. Tapi belum tentu
bisa pulang ke rumah dalam tahun ini). Dia membiaskan hal itu dengan mudah. Lebih-
lebih ketika TK tempatnya mengajar, semakin kena abrasi dari lautan. Dia mulai belajar
menuntut ke kepala dusun, camat dan bupati. Beserta beberapa anak muda, dia
memperjuangkan agar sekolahnya mendapat tempat yang lebih tinggi dari pantai. Dia
melihat sebuah gudang tempat penyimpanan ikan asin milik pemerintah desa yang
disewa oleh para juragan ikan asin. Sementara itu, teman terakhirnya yang masih
bujangan, Khotijah, akan menikah dalam bulan ini. Sambil menyusuri tepi laut ini, (yang
mungkin akan berubah dalam tahun-tahun mendatang, karena akan dibuat pelabuhan
bebas di sini) di mana mereka berdua tidak pernah menyukai perubahan ini. Buat mereka,
tempat bermainnya di masa kecil, adalah ketika mereka melihat para nelayan berangkat
menangkap ikan di senja yang bagus. Khotijah bercerita, "Aku tidak tahu hubunganku
dengan Sabara, sekalipun aku sudah mengenalnya sejak kecil. Tapi suatu ketika, ketika
kami sama-sama mengikuti penataran organisasi kita di Jakarta, kau tahu kan, berada di
Jakarta segalanya berbeda dengan kampung kita. Di situ, kami menemukan sesuatu. Aku
merasa ada seseorang yang peduli kepadaku. Nur, setelah ini aku berharap kau dengan
Hamdani akan segera menyusul." Nurhayati cuma diam saja. Dia mengatupkan bibirnya.
Setelah pacaran berjarak jauh hampir satu tahun, dia tidak tahu lagi, apakah itu masih
disebut cinta, atau sebetulnya dia cuma butuh seorang yang akan menjadikan dirinya
pengantin. Karena begitulah norma. (Sesungguhnya, Nurhayati lebih ingin menjadi
seorang penyair dan membacakan syair-syair yang sering dia dengar dari Nek Sa'adah ke
seantero dunia. Seperti nenek-moyangnya, dia akan melihat dari laut satu ke laut yang
lain). Khotijah memegang tangannya. "Nur, setelah ini, aku tidak bisa menjadi ketua.
Sabara tidak suka aku banyak keluar rumah. Aku ingin kau yang menjadi ketua."
Nurhayati membatin. Inikah sebuah penindasan! Namun, yang keluar dari bibirnya,
"Tentu saja, kau akan menjadi ibu dan istri, tidak banyak waktu untuk organisasi. Tapi
sayang sekali, kalau organisasi kita telantar, sekalipun tak banyak juga waktuku, aku mau
menggantikan jabatanmu. Aku sendiri sedang belajar bahasa Inggris di Denpasar. Kau
masih ingatkan, aku lebih ingin melihat dunia ini dulu daripada menikah. Dan impian itu
ingin kuwujudkan dalam hidup ini. Tentu saja untuk bisa berkomunikasi dengan
siapapun, aku harus bisa bahasa Inggris kan?" Khotijah kali ini tidak menjawab. Mereka
berdua menyusuri tepi pantai Rening. Perahu-perahu nelayan berwarna hijau sedang
berlabuh. Baik Nurhayati maupun Khotijah sebenarnya ingin lebih lama berada di tempat
ini. ***PERTEMUAN dengan Bupati berjalan alot. Berkali-kali Nurhayati mencoba
menghadap, tapi sepertinya Bupati tidak punya waktu untuk menemuinya. Namun,
akhirnya Nurhayati bisa bertemu Pak Bupati. Di luar dugaannya, Pak Bupati mengiyakan
dengan cepat. Dan mewujudkan usulannya setelah berkali-kali rapat dengan anggota
DPRD. (Nurhayati merasa mekanisme birokrasi ini memperlambat segala-galanya).
Rasanya semua sudah hampir selesai. Namun, beberapa juragan ikan asin masih ngotot
meletakkan ikan-ikan asinnya di sana, yang pasti akan mengganggu proses belajar-
mengajar mereka. Sekali lagi, Nurhayati mencoba untuk meyakinkan penyewa gudang,
mereka akan mendapat tempat yang lebih representatif dari pemerintah. Di saat-saat
seperti itu, dia hampir seperti kehabisan waktu untuk dirinya sendiri. Hal ini sering
dikeluhkan oleh bapak dan abangnya. Akhirnya, ketika gedung itu menjadi tempat yang
rancak dan sehat untuk anak-anak nelayan. Garam laut terasa di bibir anak-anak itu.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Sambil belajar, mereka masih bisa melihat bapak dan abang-abangnya, yang dengan
perkasa mencari ikan di laut. Banyak orang memberi selamat. Koran-koran lokal memuat
fotonya. Hamdani lewat surat, mengatakan kegembiraannya. ***KALI ini, sepulang dari
mengajar, Nurhayati menyusuri pantai. (Dia mencoba tidak melihat pantai yang dirasanya
semakin biru lazuardi). Dia mulai berpikir, apakah pernikahan itu perlu, air matanya
mengalir. Keluarganya dan keluarga Hamdani, sudah menetapkan kapan mereka akan
menikah. Ini berarti, sebagai istri, dia harus meninggalkan TK tempatnya mengajar,
rumah panggung yang dikagumi teman-teman senimannya, dan diriset oleh Budiman,
yang peneliti, (dengan bahagia, dia ikut mencarikan datanya). Karena ingin sejarah dari
rumah panggung ini dibukukan, agar setiap orang di luar Kampung Lolohan Timur ini
tahu. Dan penelitian itu, dalam beberapa hari ini, akan selesai. Di pantai ini, Budiman
berkata, "Aku tidak tahu, bagaimana mengucapkan terima kasih kepadamu. Buku ini
memang harus dipersembahkan untukmu. Karena rumah panggung itu, adalah bagian dari
dirimu sendiri." Nurhayati melihat Budiman lekat-lekat. Dan tak seorangpun yang tahu,
siapa yang memulai! Mereka saling memberikan dirinya, setelah itu, Nurhayati tak akan
risau lagi, kalau bercermin, melihat hidungnya yang tidak mancung dan bibirnya yang
sensual. Budiman akan segera pulang ke Jakarta bersama data-datanya tentang rumah
panggung ini. Sementara itu, dia sendiri akan menjadi istri yang harus mengikuti suami
bekerja di Kalimantan. Dan rumah tinggal mereka, di sebuah perumahan BTN! Malang,
29 Maret 2002

Lelaki Pembawa Senapan

Post: 09/11/2002 Disimak: 253 kali

Cerpen: S Prasetyo Utomo

Sumber: Kompas, Edisi 05/12/2002

DI rumah panggung yang terbuat dari kayu yang sudah mulai kusam, namun masih
menampakkan kekokohannya, tinggal nenek, perempuan tua yang tetap menampakkan
kesehatannya. Di ambang pintu yang terbentang, di lantai dua, dia duduk menghadapi
fajar. Memandangi jalan di depan rumahnya, yang menuju sebuah sungai
besar.Memandangi bocah-bocah yang berlarian ke tepi sungai, Nenek berteriak-teriak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dari ambang pintu rumahnya, "Jangan berlarian ke sungai! Nanti dimakan buaya!"Anak-
anak kecil itu berhenti saat mendengar seruan Nenek. Mereka urung berhamburan
mencebur ke sungai. Urung berpercik-percikan air sambil berenangan, menyelam,
bermain lumpur dan lumut sampai siang.Belum lagi mencebur ke dalam sungai, anak-
anak itu termangu-mangu di tebing. Seseorang berseru, "Ada buaya! Ada
buaya!"Ketakutan, berteriak-teriak, anak-anak yang masih termangu di tebing sungai itu
mencari-cari. "Mana buayanya? Mana buayanya?"Anak-anak yang lebih dekat dengan
Nenek, tertawa-tawa. "Kaulah buayanya!"Berlarian, mereka meninggalkan tanggul
sungai. Menaiki tangga kayu di rumah Nenek. Berderak-derak. Di lantai dua, di ruang
tamu, Nenek duduk di lantai papan. Anak-anak itu mengelilingi Nenek. Meminta
perempuan yang masih segar itu untuk bercerita.Nenek, si tukang cerita itu, menuturkan
kisah masa gadisnya.***LELAKI itu masih muda, tampan, gagah dan diam-diam
dikagumi gadis-gadis. Dia selalu membawa senapan ke sungai. Berburu buaya. Lama dia
menyusuri tanggul sungai, memandang ke arah permukaan air, menanti seekor buaya
mengapung, dan melepaskan tembakan. Kadang ia berhari-hari tak melepaskan
tembakan. Kadang dalam sehari ia berkali-kali menembak.Saat ia melepaskan tembakan,
dan darah muncrat dari tubuh buaya yang menggelepar, orang-orang bersorak-sorai di
tepi sungai. Melihat buaya yang terus berkecipak, menyemburkan darah searus dengan
air sungai, gadis-gadis terpekik. Buaya itu tak segera mati. Terus menggelepar. Sungai
menjadi amis bau darah buaya.Lelaki pembawa senapan itu tak segera menembak lagi.
Dia tak menghendaki buaya itu segera mati. Orang-orang akan kehilangan tontonan.
Kehilangan kekaguman. Kehilangan kengerian. Kehilangan keperkasaan seorang
pembunuh.Dia cuma membidik, tak pernah menarik pelatuk senapannya hingga meledak,
dengan sebutir peluru yang menghujam pada tubuh buaya. Dibiarkannya orang-orang
berdebar menanti sebuah tembakan yang merenggut nyawa buaya, dalam penantian yang
memualkan.Hingga muncul seorang lelaki berambut ombak memanjang sebahu tak
terurus, dengan kaki pengkor, berjalan tertatih-tatih, mendekati lelaki pembawa
senapan."Kenapa kamu bunuh buaya itu?" bentak lelaki pengkor.Lelaki pembawa
senapan itu memandang tajam ke arah mata lelaki pengkor, dengan pandangan serupa
dua tungku panas yang memberangus. Lelaki pengkor tak melawannya dengan
kemarahan. Ia melawannya dengan mata serupa dua buah telaga. Dua tungku panas itu
padam."Apa kamu ingin dimakan buaya itu?" hardik lelaki pembawa senapan."Aku cuma
tak suka caramu membunuh buaya!""Cuah! Binatang laknat, mesti dibunuh dengan
keji!"Lelaki berkaki pengkor itu berpaling. Wajahnya mengeras. Matanya meradang.
Ditinggalkannya tepi sungai itu, sambil bergumam, "Kau pun bisa mampus dicabik-cabik
buaya!""Apa katamu?" hardik lelaki pembawa senapan, berang. Ia tak begitu jelas
mendengar. Tapi dia menangkap gumam lelaki pengkor itu sebagai umpatan. Hampir saja
dia menembak kaki lelaki pengkor itu, kalau saja buaya tidak mengamuk dengan ekor
dipukul-pukulkan pada permukaan air sungai.Tembakan yang dilepaskan lelaki pembawa
senapan itu menyurutkan amukan buaya itu. Mati. Terapung dengan darah menggenangi
arus air sungai.Orang-orang kampung mencebur ke sungai. Menyeret buaya ke darat.
Mengulitinya. Begitu asyiknya mereka. Orang-orang terus berkerumun. Mereka
melupakan lelaki pembawa senapan dan lelaki pengkor yang meninggalkan tepi sungai,
diam-diam, dan luput dari perhatian.***DI rumah panggung, seorang gadis dengan
rambut tergerai, memandangi tepian sungai lewat jendela yang terbuka. Ia ingin turun
dari rumah panggung, membaur di antara orang yang berkerumun, dan ingin bertemu,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dari jarak dekat, dengan lelaki pembawa senapan yang gagah dan tampan.Lelaki pengkor,
yang berjalan dengan terseok-seok, melintas di bawah jendela kamar perempuan
berambut panjang tergerai. Lelaki pengkor itu sengaja berhenti. Memancing perhatian
perempuan berambut panjang tergerai. Lelaki pengkor itu ingin disapa. Tapi, perempuan
berambut panjang tergerai membuang muka."Hai, gadis! Apa kamu tak ingin turun dari
kamarmu?" tegur lelaki pengkor itu.Si gadis berambut panjang tak menyahut."Di kamar
melulu, membosankan!"Tak ada sahutan."O, rupanya kau pura-pura bisu-tuli. Kelak, kau
akan memperoleh anak bisu-tuli."Dan lelaki pengkor itu masih merajuk, mengajak
berbincang-bincang. Gadis berambut panjang itu mengerling, mencibir."Nah, anakmu
yang kedua, akan lahir dengan mata juling, dengan bibir yang jontor."Gadis berambut
panjang merasa terhina. Dia murka. Tapi tak bisa meluapkan kemarahannya. Ditutupnya
kembali jendela kamar, hingga terasa kegelapan menyekap. Ia merasakan kenyerian yang
menyesakkan dada."He, gadis berambut panjang, kamu begitu sombong!" seru lelaki
pengkor. "Kelak kamu akan hidup dalam kesunyian."***LELAKI pembawa senapan
yang mendengar kecantikan gadis berambut panjang, sengaja melintas rumah panggung
yang terbuat dari papan kayu. Di bawah jendela kamar gadis berambut panjang, dia
berhenti. Tengadah. Mencari-cari wajah gadis itu. Dia melihat wajah yang muncul dari
keremangan kamar, melongok ke bawah. Tercengang. Terpana. Mengembangkan
senyumnya, malu-malu, setengah hati. Gadis itu tiba-tiba mencium bau harum
tetumbuhan dan hangat Matahari yang menerobos jendela kamarnya-setelah bertahun-
tahun ia dalam pingitan.Tangga rumah panggung itu berderak-derak. Suara langkah kaki
yang mantap lelaki pembawa senapan itu mengguncang dada perempuan berambut
panjang. Terdengar ketukan pintu. Berkali-kali. Suara Ayah menyambut lelaki pembawa
senapan. Ibu muncul belakangan. Mereka berbincang-bincang di atas hamparan tikar di
lantai papan. Lama-kelamaan lelaki pembawa senapan itu yang banyak bicara. Sopan.
Hati-hati. Kadang membujuk.Gadis berambut panjang tergerai mencuri dengar semua
perbincangan. Berdebar-debar. Tak yakin hatinya, saat ia dengar, lelaki pembawa
senapan itu melamarnya.***ANAK-ANAK kecil yang berdesak di lantai rumah
panggung, terpikat pada cerita Nenek. Mereka tak puas saat Nenek menghentikan
ceritanya."Gadis berambut panjang itu jadi menikah, Nek?" tanya seorang anak gadis
berponi."Tentu. Mereka hidup bahagia.""Lintas punya anak bisu dan jontor bibirnya?"
desak lelaki kecil berambut kemerahan."O, tidak," sahut Nenek, agak lamban. "Kutukan
lelaki pengkor itu tak terjadi. Gadis berambut panjang itu memiliki dua anak, lelaki dan
perempuan, yang gagah dan lucu.""Mereka di mana, Nek?""Merantau.""Lalu, lelaki
pengkor itu ke mana?""Menghilang dan tak pernah kembali lagi ke desa.""Laki-laki
pembawa senapan itu masih hidup?"Terhenyak, berkedip-kedip, Nenek memandangi
anak-anak kecil yang menantikan ceritanya. Wajah Nenek tampak sedih."Laki-laki itu
mati di sungai ketika mandi. Dia menyangka, semua buaya sudah ditembak mati, hingga
dia berani mandi di kali. Tak disangkanya, masih ada seekor buaya yang tiba-tiba
muncul, mencabik-cabik tubuhnya."Anak-anak terpana, memandangi Nenek, dan
merasakan kekecewaan. "Gadis berambut panjang itu masih hidup, Nek?""Masih.""Di
mana ia tinggal?""Di sini. Neneklah orangnya.""Ooo."Anak-anak itu bersorak. Berjingkat
bangkit. Bergerak menuruni anak tangga. Bertabrakan. Berjejalan. Saling dorong. Mereka
menghambur ke jalan, berlarian ke sungai. Mencebur ke dalamnya. Berenang.
Berkecipak. Bermain-main air. Tertawa-tawa.Mendadak anak-anak berhenti bermain,
berhenti bergurau. Melintas di tanggul sungai itu seorang kakek, tertatih-tatih.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Rambutnya panjang, memutih, tak terurus. Matanya kelabu. Kakinya pengkor. Anak-
anak bersorak ketakutan, meninggalkan sungai, menyambar pakaian mereka, berlari
telanjang menyusuri jalan tanah berbatu, melewati rumah-rumah panggung.Negara-
Pandana Merdeka, Februari 02

Kesedihan

Post: 09/11/2002 Disimak: 258 kali

Cerpen: Chekov, Anton Pavlowich

Sumber: Kompas, Edisi 07/21/2002

KERAMAIAN senja. Salju basah yang lebat dengan malas terbang mengitari nyala
lentera yang baru saja dinyalakan, dan perlahan-lahan hinggap dengan lembut pada atap,
punggung kuda, pundak dan topi-topi. Iona Potapov, sang kusir, telah lama memutih
karenanya. Ia bertekuk-sejauh mana badan makhluk hidup bisa melakukannya- duduk di
atas kursi kereta dan tak bergerak. Tumpukan salju telah menimbuninya. Walaupun
demikian pada saat itu seakan-akan ia tidak menemukan alasan untuk mengibaskan salju
dari dirinya....Kuda betinanya juga memutih dan bergeming. Dengan bentuk-bentuk kaki
yang ceking dan kaku, dia mirip permen jahe. Sang kuda barangkali tenggelam dalam
pikirannya. Kuda mana pun-yang dipisahkan dari weluku, dari lukisan-lukisan alam nan
biru, kemudian terbuang pada jeram yang dipenuhi dengan nyala api yang mengerikan,
gemerisik yang bising dan hiruk-pikuk manusia-maka mau tak mau akan berpikir. Iona
dan kuda betinanya sudah lama tak beranjak dari tempat. Mereka hanya keluar dari
terminal pada waktu makan siang, dan selanjutnya tidak. Sesaat, kegelapan malam datang
menghampiri kota. Api lentera yang pucat meredupkan warna-warna cat yang hidup.
Kegaduhan jalanan pun mulai ramai. "Kusir, ke Viborskaya," terdengar oleh Iona.
"Kusir!" Iona terkejut. Melalui bulu matanya yang dipenuhi oleh salju ia melihat seorang
opsir tentara memakai mantel berkudung. "Ke Viborskaya!"-ulang sang opsir. "Ah, kamu
tidur ya? Ke Viborskaya!" Sebagai tanda setuju Iona menggerakkan tali kekang. Lapisan
salju berhamburan dari punggung kuda. Sang opsir duduk di kursi penumpang. Iona
mendecak, menggelengkan kepala, sedikit bangkit dan seterusnya seperti kebiasaan para
kusir (bukan karena keperluan), ia mencambuk kudanya. Si kuda betina menggerakkan
leher, menyerongkan kakinya yang kaku dan dengan enggan bergerak dari tempatnya
tadi. "Hai, mau kemana kau, bangsat!" terdengar oleh Iona teriakan orang-orang yang
berlalu lalang di samping dan di depan dalam kegelapan. "Rupanya setan telah
membawamu! Yang benar dong!" "Kamu tak becus mengendalikan kuda rupanya! Ke

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sebelah kanan!" Sang Opsir marah. Seorang kusir pedati menyumpahi Iona, sedang
seorang pejalan kaki yang bahunya terendus moncong kuda, menatap marah sambil
menyeka salju dari tangannya. Iona duduk gelisah di pojok tempat duduknya seakan mau
jatuh. Ia menyentakkan sikut dan memalingkan mata seolah-olah tidak mengerti mengapa
dan buat apa berada di sana. "Mereka bajingan!" kata sang Opsir. "Toh mereka tinggal
menghindar bertabrakan dengan keretamu atau mereka jatuh ke bawah kaki kuda. Mereka
tentunya tahu hal itu." Iona melirik penumpangnya dan menggerakkan bibirnya...
tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi dari kerongkongnya tak sepatah katapun
keluar, kecuali hanya desisan. "Ada apa?" tanya sang Opsir. Iona berpaling dan dengan
senyuman yang pahit ia menegangkan tenggorokannya dan mengerang: "Anak saya...
Anak saya meninggal... minggu ini." "Hmmm... mati karena apa?" Iona memalingkan
seluruh tubuhnya pada si penumpang seraya berkata: "Siapa yang tahu hal itu! Ia
demam.... tiga hari dirawat di rumah sakit dan kemudian meninggal.... Begitulah
Kehendak Tuhan!" "Belok goblok!" terdengar dalam kegelapan. "Kamu linglung, anjing
tua? Pakai matamu!" Iona kembali menjulurkan leher, sedikit bangkit dan mengibaskan
cambuk dengan gemulai dan berat. Beberapa saat kemudian ia menoleh pada penumpang,
tetapi kali ini Sang Opsir memejamkan mata dan tampaknya ia tidak bersimpati untuk
mendengarkan. Setelah menurunkan penumpang di Viborsaya, Iona berhenti di depan
restoran dan lagi-lagi salju yang basah mengecat putih Iona dan kudanya. Satu jam
berlalu, dua jam.... Tiga orang laki-laki, dua di antaranya tinggi dan kurus, seorang lagi
kecil dan bungkuk datang menghampiri dengan suara langkah yang keras pada trotoar.
"Kusir, ke jembatan Poliskaya!" teriak Si Bungkuk dengan suara yang geram. "Kami
bertiga... dua puluh kopek*!" Iona menarik cambuk dan memukulkannya pada kuda. Dua
puluh kopek... harga yang tidak seimbang.... Tetapi harga tidak menjadi masalah... satu
rubel**, lima kopek... baginya sama saja... Yang penting ada penumpang. Orang-orang
muda ini sambil saling dorong dan menyumpah, naik ke kereta. Ketiganya langsung
menjatuhkan diri ke kursi kereta. Timbul sebuah pertanyaan: siapa dua orang dari mereka
yang harus duduk dan siapa yang harus berdiri? Setelah perang mulut, tingkah polah dan
omelan yang panjang, mereka sampai pada keputusan yaitu: karena yang paling kecil
adalah Si Bungkuk, maka ia lah yang harus berdiri. "Baik, ayo maju!" Kata Si Bungkuk
parau, sambil mencari posisi yang enak dan menghembuskan napas pada leher Iona.
"Cambuk! A ha... Kawan topi apa ini? Dicari di seluruh Petersburg pun tak akan ada
yang sejelek ini." "Ha... ha... Ha..." Iona tertawa. "Ada kok..." "Ya, ada, ayo cepat! Begini
caramu mengendalikan kuda sepanjang jalan? Hai? Mau kupukul lehermu?" "Kepalaku
sakit..." kata salah seorang yang jangkung. "Kemarin di rumah Duhmasov, saya dan
Vaska minum empat botol brendi." "Aku tak mengerti, buat apa kau berdusta," kata Si
Jangkung yang lain dengan marah. "Dia bohong seperti binatang." "Demi Tuhan, betul
kok...." "Ya betul, sebetul kutu batuk!" "He... he... he..." Iona tersenyum lebar. "Tuan-
tuan yang berbahagia!" "Cuih, demi setan!" Si Bungkuk menyela. "Kau akan berangkat
atau tidak, tua bangka? Begini caramu membawa kereta? Cambuk kudamu! Demi setan!
Kendalikan dengan benar!" Iona merasakan badan gelisah dan suara parau Si Bungkuk di
balik punggungnya. Dia mendengar pula cacian orang-orang. Sedikit-demi sedikit
kesepian yang membanjiri dadanya reda. Si Bungkuk terus menyumpah dengan enam
tingkat sumpah serapah sampai tak bisa lagi menyumpah dan batuk. Teman-temannya
yang jangkung mulai membicarakan Nadezda Petrovna. Iona menoleh pada mereka.
Setelah menunggu sedikit jeda, ia menoleh lagi dan berkomat-kamit: "Anak saya... Anak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

saya minggu ini... meninggal". "Kita semua akan mati," Si Bungkuk menarik napas,
setelah menyeka bibirnya sehabis batuk. "Ayo Cepat! Tuan-tuan, aku tak tahan lagi
merayap seperti ini! Kapan dia akan mengantarkan kita ke tujuan?" "Kalau begitu... beri
dia sedikit semangat di lehernya?" "Tua bangka! Kau dengar itu? Baik! Kan kusentil
lehermu! Pergi ke pesta dengan orang sepertimu, rasanya lebih baik jalan kaki! Kau
dengar, ular kadut? Atau kau tak peduli dengan kata-kata kami?" Iona sebenarnya
mendengar lebih dari sekadar suara hantaman di kuduknya. "Ha... ha... ha..." Iona
tertawa. "Tuan-tuan yang berbahagia... semoga Tuhan memberkati Anda!" "Kusir, kau
telah kawin?" tanya Si Jangkung. "Saya? Ha... ha... ha... satu-satunya istri saya sekarang
ada di tanah yang lembab... He... he... he... kuburan! Anak saya pun meninggal... Hal
yang aneh. Kematian memasuki pintu yang salah. Seharusnya dia menjemputku, eh
malah dia datang pada anak saya..." Dan Iona berpaling untuk menceritakan bagaimana
anaknya meninggal, tetapi pada saat itu Si Bungkuk memberi tanda bahwa 'Puji Tuhan',
akhirnya mereka sampai. Setelah menerima 20 kopek, Iona menatap hampa pada para
tukang pesta itu, yang kemudian menghilang ke balik pintu gerbang yang gelap. Kembali
Iona menyendiri dan kembali kesepian menghampirinya. Kesedihan yang beberapa saat
lalu mereka muncul lagi dan membanjiri dadanya dengan kekuatan yang lebih besar.
Mata Iona menerawang dengan sedih dan penuh harap pada kerumunan yang berlalu
lalang di kedua sisi jalan: tak dapatkah ia menemukan satu dari ribuan orang ini yang
mau mendengarkannya? Akan tetapi, gerombolan orang ini berlalu tanpa ada yang
peduli, baik pada dirinya maupun pada kesedihan itu. Kemasygulan hati Iona tumpah
ruah seakan-akan hendak membanjiri dunia, tetapi belum terlihat. Sang kemalangan
sanggup bersembunyi pada sel yang sangat kecil, sehingga pada saat terang sekalipun tak
ada yang mampu melihatnya.... Iona melihat penjaga rumah yang membawa karung, dan
memutuskan untuk bicara dengannya. "Kawan, jam berapa ini?" tanya Iona. "Hampir jam
sepuluh... Kenapa kau berhenti di sini? Ayo pergi sana!" Iona maju beberapa langkah,
bertekuk dan menyerah pada duka lara. Menunjukkan pada orang-orang dia pikir sudah
tidak ada gunanya. Belum juga lima menit berlalu, ia sudah meluruskan badan dan
menggelengkan kepala seolah ia menderita sakit yang parah. Ia mengibaskan pecutnya....
Dan tak kuasa menahan hal ini lebih lama lagi. "Kembali ke terminal!" pikirnya. "Ya, ke
terminal." Dan kuda betina kecilnya seakan-akan mengerti pikiran Iona, ia mulai berlari
kecil. Satu setengah jam kemudian Iona sudah duduk di dekat perapian besar yang kotor.
Di lantai, di atas bangku-bangku orang-orang mendengkur. Udara pengap dan bau. Iona
melihat pada orang-orang ini. Ia menggaruk-garuk kepala dan menyesal mengapa pulang
terlalu cepat.... "Buat dedak saja sudah tak cukup," pikirnya. "Itu sebabnya aku sedih.
Manusia yang tahu betul bagaimana seharusnya ia bekerja... yang sanggup mencukupi
makanannya, dan makanan kudanya, selalu hidup lebih tenang." Di salah satu sudut,
seorang kusir muda terbangun, tenggorokannya mengorok dan ia menjangkau ember air.
"Mau minum?" "Begitulah." "Minumlah... demi kesehatanmu.... Anakku.. anakku
meninggal minggu ini... kau dengar... di rumah sakit... Begitu ceritanya!" Iona menatap
untuk melihat efek apa yang ditimbulkan dari kata-katanya. Tetapi ia tak melihat apa pun.
Si pemuda telah menutupi kepalanya dan kembali tertidur. Sebesar rasa haus pemuda itu,
sebesar itu pula keinginan Iona untuk berbicara. Seminggu akan segera berlalu sejak
kematian anaknya dan dia masih belum dapat membicarakannya dengan siapa pun.... Ia
ingin membicarakannya dengan serius, dan tersusun... Iona ingin menceritakan
bagaimana anaknya terjangkit penyakit, bagaimana anaknya menderita, apa yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

dikatakan sebelum anaknya meninggal, bagaimana anaknya meninggal... Iona ingin


memaparkan dengan jelas dan tersusun bagaimana ia harus mendaftarkan penguburan
dan bagaimana ia berlari ke rumah sakit untuk mengambil pakaian mendiang. Ia masih
mempunyai seorang putri, Anisya, di desa... Ya, timbul hasrat untuk menceritakan hal ini,
juga padanya. Sang pendengar akan mengaduh, menarik napas, meratap. Makanya harus
bicara pada seorang wanita. Walaupun mereka makhluk yang menyedihkan, tetapi
mereka selalu meraung sejak dua kata pertama. "Ah lebih baik melihat kuda," pikir Iona.
"Selalu ada waktu untuk tidur... Kau akan tidur nyenyak, tak ada yang perlu ditakuti..."
Iona memakai mantelnya dan pergi ke istal tempat kuda betinanya berdiri. Dia berpikir
tentang dedak, jerami, cuaca... Dia tak mampu berpikir lagi tentang anaknya, ketika
sendirian begini. Membicarakannya dengan seseorang mungkin dia mampu, tetapi
memikirkan dan menggambarkan anaknya.. sungguh sesuatu yang sangat mengerikan....
"Kamu masih makan?" Iona bertanya pada kuda, sambil menatap matanya yang
bercahaya. "Ayo terus kunyah. Sejak kita tak cukup uang untuk membeli dedak, kita
hanya makan jerami. Ya... Aku terlalu tua untuk jadi kusir... Mestinya anakku lah yang
menjadi kusir, kusirmu sekarang... bukan aku, ... Mestinya dia masih hidup." Iona
terdiam sejenak, kemudian melanjutkan: "Begitulah... Kuzma Ionitc telah pergi... dia
mengucapkan selamat tinggal padaku. Dia pergi tanpa alasan.... Bayangkan, seandainya
kamu punya anak, dan kamu adalah ibu kandungnya... kemudian anakmu mati... Kau
juga akan sedih bukan?" Kuda betinanya yang kecil tetap memamah biak, mendengarkan,
dan mengendus tangan sang majikan. Iona terhanyut dan menceritakan semua itu
padanya. * Diterjemahkan oleh Trisna Gumilar dari bahasa aslinya, 'Toska'. Diambil dari
buku kumpulan cerpen: A.P. Chekov-Raskazy I Povesty, hal: 56-60. Terbitan: Izdatelstvo
Detskaya Literatura, Moskwa, 1964.

Gus Jakfar

Post: 09/11/2002 Disimak: 413 kali

Cerpen: A Mustofa Bisri

Sumber: Kompas, Edisi 06/23/2002

Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari
kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu, "Saya
sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, "Matanya
itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya
yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang
dijuluki perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu
itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar
ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya." "Kang Kandar kan juga
begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang
kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok,
sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak
tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar." "Saya malah mengalami
sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara, "waktu
itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah saku sampeyan kok
mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal saat itu saku saya justru sedang
kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya memenangkan tender yang
diselenggarakan pemda tingkat propinsi." "Apa yang begitu itu yang disebut ilmu
kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja,"
jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-
tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu." ***MAKA ketika kemudian sikap Gus
Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung
yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini
merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu,
kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama
sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan
isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangan
keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,"
komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa gerangan yang
terjadi pada beliau?" "Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata
Lik Salamun, "kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa
yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." "Tapi bagaimana pun,
ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui
Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan
niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita
ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui
beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan salat
Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja
mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban
Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat
berupa keseganan, was-was, dan rasa takut. Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya
Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan,
"Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang
perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh
arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu
sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet,
"kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tak mau." "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera
meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia
melanjutkan: "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi
kami diam saja. "Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar
bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak
kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari
seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari
sini sekitar 200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu,
hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini.
Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah
masing-masing." "Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan
saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan
diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah
dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai
disana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai
Tawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi
petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan
berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai
seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan besar
orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-
tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini
memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai
Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun
mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok
rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah,
saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang
rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah
merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal
sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya
berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur.
Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan,
"Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening
beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan
huruf yang cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini
saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya
lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani
banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-
yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di
kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau
habis berwudhu. Gila." "Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau,
meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah
menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari
saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang
mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan
kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar);


mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar
biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisi
pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi
menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani
Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka." "Baru setelah beberapa
minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya
keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk
mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah,
pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat
waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan
hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak
terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, kiai
terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini
yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati
mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang." "Setelah melewati kuburan
dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata
sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung.
Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, saya mendekati warung terpencil
dengan penerangn petromak itu. Dua orang wanita-yang satu masih muda dan yang
satunya lagi agak lebih tua-dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan
sambil menebar tawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini,
pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja
mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang
tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-
hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya
melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan
pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk
santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya
dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk
bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang-orang yang ada di
warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini kawan saya, dia baru datang dari
daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta
merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh,
melambaikan tangan." "Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti
dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?' Saya
mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!' kata kiai kemudian kepada wanita
warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal,
tape goreng kebanggaan warung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal
mengangguk." "Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan
membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai
Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di sini.
Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang
disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja
disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya
yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya
terhadap beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai Tawakkal
membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, kiai
membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian
keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah
melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui,
'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya." "Kami melewati pematang, lalu
menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya
menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan
air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke
arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya
bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu
alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk
berpakaian, 'kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai
pondok.' Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai
berkata mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah
kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau
seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu
terhadap kemahiranmu sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar
rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata
apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau pun
tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas
masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari
pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga,
aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku
ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin
amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa
orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita
berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat
denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena
kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku hanya bisa menunduk.
Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya, 'Kau
harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang
berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.
Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit
kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan
kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila
kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam itu saya benar-benar
merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah
saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit, 'Sebentar lagi subuh. Setelah
sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang
saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini." "Ketika saya ikut bangkit, saya

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan.
Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti
orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat
subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau
pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru
setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya.
Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata
berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'
'Beliau dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo datang
dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan kemana
beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah
berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah mengakhiri
ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus
Jakfar kembali menawarkan suguhannya. ***Rembang, Mei 2002

Kunang-kunang Pelukis Kita

Post: 09/11/2002 Disimak: 298 kali

Cerpen: Martin Aleida

Sumber: Kompas, Edisi 05/05/2002

PARA pelayan sudah membenahi meja dan kursi yang kosong. Tinggal meja kami yang
masih bertahan. Kami, yang menjadi kelompok pelanggan terakhir ini, memperoleh
semacam kehormatan tersendiri dari pemilik kafe. Kami dibiarkan nongkrong sampai
kantuk dan dinginnya angin malam menyudahi pembicaraan yang bercampur-baur antara
serius dan guyon tentang sastra, seni lukis, teater, filsafat, politik, atau agama atau desas-
desus yang jalang. Yang menemani di depan kami terkadang cuma kopi atau wedang jahe
untuk melawan kantuk menjelang dini hari. Sudah agak lama juga aku bergaul dengan
teman-teman, tetapi belum juga bisa beradaptasi secara tuntas dengan gaya bohemian
mereka. Rumah selalu lebih menggelitik mengajak pulang. Menjelang pukul sepuluh, aku
bangkit dari tempat duduk, dan pamit. Namun, ketika berdiri di depan counter hendak
membayar, tiba-tiba bahuku dirangkul dengan hangat. "Bung, tak jadi di lobi United
Nations. Lukisan saya akan digelar di United Nations Plaza, di seberang markas besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York juga," kata pelukis kita mengoreksi berita yang
didengungkannya kepadaku kemarin malam. Sengaja dia meninggalkan teman-teman di
meja hanya untuk membisikkan kabar itu kepadaku. Aku tertanya-tanya, mengapa dia

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tidak menceritakan rencana yang jadi idam-idaman banyak seniman itu ketika kami
masih utuh di meja yang menjadi gelanggang pertemuan kami tadi. Mengapa dia katakan
hanya kepadaku seorang? Berbaik sangka, kupikir aku memperoleh kehormatan dari dia,
dan kataku, "Bagus, tidak kalah bergengsi dari tempat yang pertama. Kalau publik yang
diharapkan datang termasuk para duta besar, tempat itu kan hanya selangkah dari gerbang
markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya kira teman-teman juga akan sangat
senang dengan berita ini. Seingat saya, belum ada pelukis Indonesia yang berpameran di
situ. Selamat...." Dia belum juga melepaskan rangkulannya dari pundakku. "Sekali lagi,
ini hanya untuk Bung. Jangan ceritakan kepada yang lain," pintanya. Dan dia ngeloyor ke
luar, bergabung kembali dengan teman-teman, bersama-sama menghadapi satu-satunya
meja yang masih tersisa di pelataran kafe. Kalau itu pertanda hormatnya kepadaku, maka
itu bukanlah penghormatan terakhir yang aku peroleh dari sang pelukis. Dan menjadi
tanda-tanya besar bagiku, mengapa dia selalu menyampaikan berita eksklusif tentang
rencana pamerannya selalu persis pada saat aku sudah berdiri di depan counter. Pernah
sekali, tanpa sepengetahuannya, aku membayar pesanannya. Ternyata aku salah sangka.
Keesokan harinya uangku kontan dia kembalikan. Dan dia tak pernah merasa sungkan
bahwa setiap kali aku hendak membayar dia selalu datang dengan nama tempat atau kota-
kota metropolis yang baru, di mana katanya, dia akan berpameran. Setelah United
Nations Plaza tempo hari, kemudian dia bisikkan ke kupingku bahwa dia akan tampil di
Museum of Modern Art, lantas di Guggenheim Museum, di New York juga. Tak jadi di
sana, katanya pada malam berikutnya, National Meseum of Modern Art di Washington
DC. siap menyambut kedatangannya. Seraya melirik aku mengeluarkan uang receh untuk
membayar teh manis dan kerupuk, dengan tangan terus bergelantungan di bahuku,
katanya dia akan segera bertolak untuk memajang lukisan-lukisannya di Paris. Beberapa
hari kemudian, di depan counter, katanya dia tak jadi ke ibu kota Prancis itu, tapi akan
terbang ke Praha. Kemudian, tak jadi ke sana, tujuan yang benar adalah London, lantas
Stockholm, menyusul Pretoria, berikut lagi Kairo dan sesudah itu Tokyo. Kota-kota itu
tiap malam mendapat giliran masuk dan keluar dari kupingku. Sebagai seorang pelukis
perasaannya tentulah amat peka. Dan aku tak pernah menunjukkan rasa kesal karena
merasa dipermainkan oleh rencana besar yang tak pernah kesampaian. Untuk setiap
bisikan selalu kusambut dengan kegairahan yang tak pernah luntur sedikit pun. "Selamat,
saya bahagia mendengar rencana Anda ini, mudah-mudahan yang ini berhasil. Kalau
sudah sampai di sana tulislah surat kepada kami," itulah kata-kata terakhir yang saya
ucapkan kepadanya setelah mendengar rencana keberangkatannya ke kota tujuannya
paling akhir, dan mudah-mudahan menjadi kenyataan: Moskwa. Ganti aku yang
merapatkan mulut ke dekat kupingnya dan kutambahkan lagi dengan berkelakar,
"Kuatkan hatimu. Hati-hati, walaupun Uni Soviet sudah rubuh, di kota itu masih banyak
propagandis merah." Setelah itu dia benar-benar menghilang. Kalau kafe itu dari jauh
bisa dibayangkan sebagai lukisan, maka satu goresan sudah lenyap dari sana. Meja
khusus di pelataran itu tidak pernah menyaksikannya lagi. Sampai pada suatu malam
teman-teman disentakkan oleh kabar yang disampaikan pemilik kafe bahwa pelukis kita,
katanya, telah terbang ke Jerman, mengikuti pameran lukisan di sana. Dia tidak
meninggalkan utang barang sepeser pun. Semua bon sudah dia lunasi. Aku diam saja,
menyembunyikan perasaan yang sedang terkecoh. Hamburg buatnya tentu lebih baik
daripada Moskwa, bisikku membujuk hati sendiri. ***MEJA di pojok kafe yang diteduhi
pohon angsana itu tetaplah tempat yang menggairahkan, hidup dengan pembicaraan yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

ngalor-ngidul dan tawa berderai. Terkadang ditingkahi harmonika genggam yang


dimainkan dengan lincah oleh seorang teman pengarang yang berbakat besar dan
berketerampilan majemuk. Membuat meja di pojok khusus itu menjadi semacam suar
yang punya daya tarik khusus bagi pengunjung yang lain. Pada suatu malam seorang
teman yang sudah agak lama tak muncul di meja itu datang dengan berita yang
mengagetkan. Katanya, dia melihat sang pelukis dan anak-istrinya terdampar di pos
komando penyelamatan banjir, tak jauh dari rumahnya. Kabar buruk itu membuat orang
saling berpandangan di sekeliling meja kafe. Ada yang mengira si-pembawa berita hanya
mau bercanda. Tetapi, dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan. Demi
Tuhan, katanya, dia menyaksikan si-pelukis jongkok kedinginan di antara ratusan
pengungsi yang ditampung di satu aula gedung sekolah. Katanya, dia enggan untuk
menghampiri, karena tak mau membuat penderitaan si-pelukis lebih parah lagi. Tak
sampai hati memergoki dia berbohong dengan cerita mau berangkat ke Jerman, tetapi
ternyata ngendon di pos penampungan korban banjir. Kami tak percaya. Apalagi si-
pembawa berita sudah terkenal sebagai tukang bual, yang acapkali membawa kabar yang
mengecoh hanya untuk membangkitkan tawa. Ceritanya selalu merupakan campuran
antara khalayan dan fakta. Tetapi, karena dia bersumpah bahwa dia tidak mungkin main-
main dengan nasib si-pelukis, akhirnya kami putuskan mengirim seseorang untuk
mengecek kebenaran berita tersebut. Keesokan harinya, utusan itu sudah duduk
menghadapi meja sejak matahari belum terbenam. Di kalangan teman-teman dia dikenal
sebagai orang yang hampir tak mengenal canda, selalu serius, jidat selalu berkerut.
Ketika meja sudah penuh terisi, dengan wajah mutung dia mengetuk-ngetukkan jarinya
ke daun meja. Katanya meyakinkan, "Jangan suka guyon dengan dunia ini. Mata kepala
saya sendiri melihat dia terbaring di atas tikar. Lama saya menunggu sampai dia bangun
untuk meyakinkan mata saya bahwa yang sedang tergolek itu memang benar-benar
pelukis kita. Ya, kenyataan adalah kebenaran yang pahit. Tetapi, apa mau dikata,
memang dia..." Gesekan angin pada daun-daun angsana di ubun-ubun kafe itu membuat
perasaan mereka yang duduk mengelilingi meja khusus itu jadi seperti tertindih. Ibarat
lukisan, malam ini meja itu adalah kanvas yang didominasi warna kelabu. Semua
mutung. Semua murung. Dicapai kata sepakat, besok siang semua supaya kumpul
kembali di kafe untuk kemudian berangkat menjenguk pelukis kita. ***DARI udara,
sebulan yang lalu, Jakarta kelihatan bagai lukisan tiada berpigura, dengan cat coklat
keunguan meraup di mana-mana. Tak pernah dalam sejarah Jakarta mengalami nasib
seburuk ini. Tak ada yang bisa menghindar dari jilatan air bah. Semuanya kena. Bekas
presiden yang pernah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa maupun presiden aktif yang baru
memerintah seumur kencur sama tak bisa mengelak. Apalagi hanya seorang pelukis yang
belum jadi, yang mabuk karena angan-angannya yang liar. Waktu itu, ketika pelukis kita
pulang dari kafe di Taman Ismail Marzuki, dia tidak lagi menemukan anak-istrinya di
rumah. Air sudah mengangkangi lemari dan seluruh lukisannya terbenam. Ketika
rombongan kami tiba di aula sekolah yang menjadi pos penampungan korban banjir di
mana pelukis kita dikabarkan berada, kami menemukan dia sedang duduk bersandar ke
dinding, sementara anak dan istrinya berbaur dengan orang-orang yang telantar di situ.
Perjumpaan itu aneh dan sangat dingin. Kami tidak hanya menyalami dan mencurahkan
kata-kata simpati kepadanya, tetapi juga merangkulinya. Anehnya, dia hanya diam
membeku. Matanya kosong. Kalau ditanya dia tak menyahut, cuma memakukan matanya
ke lantai. Mata kami tertarik pada lukisan dua kali tiga meter yang tergantung di dinding,

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

persis di atas buntalan yang teronggok di lantai. Alat-alat lukis terserak di dekatnya.
Lukisan itu kelihatannya baru saja diselesaikan. Bingkainya belum dirapikan benar. Kami
kenal betul sapuan-sapuan catnya adalah pernyataan jiwa pelukis kita. Kami tanya, kapan
diselesaikan, dia tidak menjawab. Di atas kanvas itu terpampang potret dirinya yang
bertelanjang dada sedang jongkok mencangkung, mulut tertutup rapat dengan mata yang
liar menatap ke depan. Di belakangnya, dalam warna kelabu berbaur dengan hijau,
terhampar ribuan kepala manusia dan pohon-pohon yang hanyut, sementara matahari
mengapung berat di kejauhan. Terasa mata yang menatap liar ke depan itu begitu kuat
menyatakan sikap tak mau menyerah, mau menegakkan harga diri, walaupun penderitaan
mengelilingi. "Takkan salah, ini lukisannya yang terbaik. Saya belum pernah melihat
lukisan realisme Indonesia sekuat ini. Perhatikan matanya, dan juga latar belakang yang
menambah aksentuasi akan apa yang ingin diucapkannya," komentar seorang teman.
Kami semua terperanjat melihat baskom yang diletakkan di bawah lukisan itu. Beberapa
lembar uang ratusan, ribuan, tumpang-tindih di situ. Kami yang datang menjenguk saling
pandang. Mata kami saling berkata betapa kuatnya lukisan yang terpampang di tembok
itu sehinga bisa menggugah orang untuk meringankan beban pelukis kita, walaupun
mereka sendiri barangkali berada dalam kepungan banjir yang membawa kesusahan.
Kami kembali saling-pandang dan hati kami sepakat untuk menyumbangkan uang
sebanyak yang bisa kami berikan. Ketika kuletakkan beberapa lembar uang kertas,
terbayang di kepalaku setelah banjir surut ribuan orang datang berduyun-duyun
mengunjungi pos penampungan korban banjir itu untuk menyaksikan lukisan dahsyat
yang telah digoreskan oleh seorang pelukis, yang dengan memikat telah memindahkan
sikap pantang menyerah ke permukaan kanvas. Sapuan-sapuan kuasnya menghanyutkan.
Ribuan orang datang dan memberikan sumbangan sekuatnya, tanpa ada keinginan sedikit
pun memiliki lukisan itu. Mereka telah menjungkirbalikkan sikap mau menguasai dari
para kolektor yang sedang menjajah seni lukis. Puncak pencapaian budaya seharusnya
memang menjadi milik bersama. Karena dia adalah ungkapan diri kita secara kolektif.
Kami melangkah mendekati pelukis kita. Bergantian kami memeluk dan membisikkan
kata-kata yang membangkitkan gairah hidup kepadanya, walaupun dia hanya tetap
membisu. Kami tahu dia sedang berjuang mengatasi apa yang sedang bergolak di dalam
hatinya. Sebelum tiba giliranku berpamitan, begitu hendak memeluknya, tiba-tiba dia
melangkah maju merangkul pundakku, menatap mataku, dan katanya, "Maaf Bung, saya
telah beratus kali berbohong, sehingga dapat ganjaran seperti ini." Kubalas pelukannya
dengan rangkulan yang lebih erat. "Jangan lagi berangan-angan terbang ke mana-mana.
Anda akan menjadi besar di sini, dan biarkan dunia yang datang dengan sendirinya
menjemput Anda. Sungguh, benar kata teman tadi, saya juga belum pernah melihat
lukisan dengan ekspresi sekuat lukisan Anda yang di dinding itu." Dalam perjalanan
pulang, teman-teman menumpahkan iri hati mereka karena hanya kepadaku pelukis kita
mau berbicara. "Heran... apa yang dia katakan?" tanya mereka. Aku tersenyum. Sesekali,
kupikir, boleh juga mengecoh berseloroh, dan aku meletup, "Kalau dia punya uang suatu
ketika, dia ingin membeli aula sekolah itu untuk didedikasikan sebagai museum korban
banjir."*

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tato Naga dan Inisial "SL"

Post: 09/11/2002 Disimak: 331 kali

Cerpen: Teguh Winarsho AS

Sumber: Kompas, Edisi 06/30/2002

GADIS itu hanya menatap sekilas lalu melenyap menyibak kerumunan. Keluar dari
kerumunan dengan kepala tertunduk hingga sebagian rambutnya berjatuhan menutupi
wajahnya. Sementara sepasang kakinya melangkah cepat-cepat menyeberang jalan,
berhenti di pinggir, menghadang kendaraan umum lewat. Ia tampak cemas, tergesa-gesa.
Sesekali ia mengangkat telapak tangannya di atas alis mata menghalau cahaya matahari.
Namun, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan rona wajahnya yang putih-pucat seperti
habis ditampar.Belum ada kendaraan umum yang melintas membuat gadis itu kian
cemas, menggigit bibir. Berkali-kali ia melirik arloji warna kuning emas di tangannya
dengan perasaan kesal. Lalu berjalan mondar-mandir sembari sesekali menyorongkan
tubuhnya kebahu jalan menatap arah jalan berlawanan memastikan apakah sudah ada
kendaraan umum yang muncul dari tikungan jalan nun di sana. Tapi ia selalu kecewa
sebab selain arak-arakkan perempuan dengan punggung terbungkuk-bungkuk penuh
beban menuju pasar, sepeda onthel dengan keranjang sayur, kendaraan umum yang ia
tunggu belum juga tampak.Meski sadar bahwa berpikir pagi ini tak ada kendaraan umum
yang melintas di jalan depan itu adalah pikiran sangat tolol, tapi entah kenapa diam-diam
pikiran semacam itu melesak juga dalam batok kepalanya. Membuat pori-pori kulit
wajahnya meregang merembes cairan bening-menjadikan ia ekstra sibuk harus melap
cairan itu dengan perasaan gugup dan tangan gemetar. Membuat degup jantungnya kian
berdebar-debar. Ya. Boleh jadi para sopir angkutan itu pagi ini mogok karena jumlah
setoran yang semakin lama dirasa semakin mencekik leher, tak sebanding dengan tarif
yang dikenakan bagi para penumpang. Atau, siapa tahu juragan armada angkutan itu
mendadak bangkrut, menjual semua armadanya lalu beralih profesi sebagai juragan beras
atau tembakau? Segalanya bisa mungkin!Hari masih pagi, tapi tidak seperti biasanya
sinar matahari terasa menyengat ubun-ubun. Namun, begitu-dari pinggir jalan gadis itu
melihat sendiri dengan pandangan mata kian nanar-tak menyurutkan keinginan orang
untuk memastikan sesosok tubuh laki-laki yang menggantung di pohon waru seberang
jalan. Tidak terlalu tinggi memang, namun kebun yang hanya ditumbuhi rumput ilalang
dan semak belukar itu cukup jelas menampakkan sosok laki-laki itu. Tubuhnya sesekali
bergoyangan tertiup angin. Matanya mendelik, lidahnya terjulur. Orang-orang yang

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

hendak menuju pasar atau anak-anak yang mau berangkat sekolah kian memadati kebun
kosong tempat laki-laki itu menggantung diri.Percakapan mengalir dari mulut orang-
orang itu membuat suasana pagi yang panas kian terasa gerah. Beberapa orang yang baru
datang dan segera mengenali sosok laki-laki itu, menampakkan keterkejutan luar biasa,
menggosok-gosok mata seperti tidak percaya. Mudrika, laki-laki naas itu selama ini
dikenal sebagai preman pasar yang cukup ditakuti. Tubuhnya kekar, wajahnya tampan
meski sorot matanya sedingin salju. Ada tato di dada kirinya dan bekas jahitan luka di
lengan kanannya. Tidak ada orang yang tidak kenal nama Mudrika meski barangkali
belum pernah melihat wajahnya. Selain berjudi dan mabuk-mabukan Mudrika suka
memalak toko-toko milik warga keturunan yang berderet di sepanjang jalan kawasan
pasar. Hanya toko-toko milik warga keturunan saja yang ia palak sedang toko-toko lain
tidak.Matahari kian merangkak ke atas. Angin berhembus menggoyang-goyang mayat
Mudrika seperti bandol jam. Kadang batang pohon waru itu berkeriut seperti mau patah
saat angin keras datang menghempas. Membuat perempuan-perempuan di sekitar itu
kerap menahan nafas, menutup mulut dengan telapak tangan, atau memejamkan mata, tak
sanggup membayangkan jika batang pohon waru itu benar-benar patah. Apa jadinya jika
batang pohon waru itu benar-benar patah dan mayat Mudrika yang sudah kaku itu
terhempas ke tanah? Mungkin kakinya akan patah dan tulang-tulangnya melesak keluar.
Betapa mengerikan. Tapi perempuan-perempuan itu seperti terhipnotis, terus tegak di
situ, terus bercakap-cakap hingga mulut mereka berbusa seperti rendaman cucian.Di
pinggir jalan gadis itu terus didera gelisah sebab kendaraan umum yang ia tunggu belum
juga datang. Tubuhnya basah keringat. Kedua lututnya gemetar. Ia ingin segera enyah
dari tempat itu tapi kedua kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia khawatir tidak lebih
sepuluh langkah tubuhnya akan oleng lalu rubuh ke tanah. Kerumunan orang di kebun
kosong itu pastilah akan segera berhamburan pindah mengerumuni dirinya. Lalu, ah,
bagaimana jika orang-orang itu kemudian menghubung-hubungkan dirinya dengan
kematian Mudrika?SEGERA kerumunan orang itu menyingkir memberi jalan pada empat
Polisi yang datang sangat terlambat di tempat kejadian. Dua orang polisi tampak sibuk
bicara dengan pesawat HT sementara dua lainnya membentangkan garis kuning
pengaman. Orang-orang yang ada di sekitar situ terus bercakap-cakap dalam nada yang
semakin lama semakin keras. Membuat lokasi kebun itu mirip tempat lelang pegadaian.
Tidak berselang lama datang tiga orang polisi yang kemudian bekerja cepat menurunkan
mayat Mudrika.Entah digerakkan oleh kekuatan gaib apa, tiba-tiba gadis itu bergegas
menyeberang jalan menghampiri kerumunan, merangsek masuk ke dalam. Di atas tanah
merah dan rumput ilalang yang patah-patah sebab terlalu banyak kaki yang menginjak,
dengan jelas ia bisa melihat mayat Mudrika dibaringkan, kaku seperti gelondong kayu.
Seorang polisi dengan sigap melepas tali yang membelit leher Mudrika lalu memaksa
mengatupkan kedua belah matanya. Namun, tidak mudah mengatupkan mata yang sekian
jam melotot, karenanya Polisi itu kemudian menyobek daun pisang lalu menutupkan di
wajahnya.Angin yang tiba-tiba berhembus kencang membuat beberapa kancing baju
bagian atas Mudrika lepas, membuka. Sontak pandangan orang-orang tertuju pada dada
kiri Mudrika. Tampak gambar tato naga dalam ukuran besar, seperti masih baru--tidak
proporsional dengan bidang dadanya. Percakapan kembali membuncah. Orang-orang
yang sering melihat Mudrika diam-diam merasa keheranan. Mereka tahu, dulu tak ada
gambar tato naga di dada Mudrika, melainkan gambar tato keris. Mereka bertanya-tanya
dalam hati, sejak kapan Mudrika mengganti gambar tato keris dengan tato naga? Tapi

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

secepat pertanyaan itu melesat dari batok kepala setiap orang, secepat itu pula mereka
segera melupakannya. Namun, tidak bagi perempuan itu.Dan perempuan itu, entah
karena apa pula tiba-tiba tak bisa menahan debar jantungnya yang berdetak tidak karuan
manakala melihat polisi itu mulai menggeledah pakaian Mudrika dan menemukan lipatan
kertas warna merah jambu di saku celana Mudrika. Sejenak Polisi itu mengamati lipatan
kertas itu, dibolak-balik, dibuka, dibaca, mengerutkan kening, lalu... mengedarkan
pandangan pada kerumunan, tajam, seperti tengah menyelidiki wajah demi wajah yang
ada di situ. Membuat gadis itu gugup, menggeser sedikit tubuhnya ke samping berlindung
di balik tubuh pengunjung yang lebih besar.HINGGA siang hari pihak kepolisian belum
mampu menguak misteri kematian Mudrika. Kenapa Mudrika, preman pasar yang
ditakuti itu tiba-tiba bunuh diri. Ada indikasi bahwa Mudrika bunuh diri karena patah
hati, cintanya ditolak. Tapi tentu saja pihak kepolisian tidak mau gegabah menyiarkan
kesimpulan itu karena tak ada bukti-bukti kuat kecuali sepucuk surat yang ditemukan di
saku celana Mudrika yang sudah sulit dibaca karena selain lecek, luntur terkena keringat,
juga tulisannya jelek persis cakar ayam. Sepucuk surat itu sedianya akan dikirim untuk
seorang gadis yang namanya disingkat "SL". Kini pihak Kepolisian justru sedang
berusaha keras mencari gadis dengan inisial "SL" seperti tercantum dalam surat itu. Para
Polisi itu yakin dengan ditemukannya gadis berisinial "SL", maka misteri kematian
Mudrika akan bisa diungkap. Tapi tentu saja ini merupakan pekerjaan rumit dan
melelahkan.Sementara itu di sebuah kamar yang sepi siang itu, seorang gadis cantik
duduk di kursi menghadap jendela diluluri kesedihan mendalam. Tatapan matanya
menerawang kosong menembus batang-batang pohon singkong di pekarangan samping.
Di benaknya mengendap bayangan seorang laki-laki bertubuh kekar dan bertato. Teringat
pula olehnya pertemuan demi pertemuan dengan laki-laki bertato itu yang sering
dilakukan sembunyi-sembunyi. Hingga pertemuan terakhir semalam di tepi jalan yang
remang saat laki-laki itu menunjukkan tato gambar naga di dada kirinya sebagai bukti
kesungguhan cintanya terhadap dirinya sekaligus niat ingin merubah tabiat buruknya. Ah,
andai saja dia mau bersabar, pasti tidak begini kejadiannya. Padahal aku hanya perlu
waktu dua atau tiga hari untuk memastikan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Juga
untuk membicarakan semua ini pada Papa dan Mama. Atau, memang begitukah tabiat
seorang laki-laki, selalu buta setiap kali jatuh cinta? Batin gadis itu melongsorkan
nafasnya yang sekian lama tertahan di dada."Shin Ling, Shin Ling, apakah kau sudah
dengar preman pasar itu semalam mati gantung diri? Bergembiralah, toko kita kini
aman."Tergeragap, Shin Ling, gadis cantik bermata sipit itu menoleh. Tampak seraut
wajah tua berbinar-binar menyembul dari balik pintu. Namun, seperti tidak bergairah,
hanya sekilas gadis itu menatap perempuan tua di depannya sebelum bola matanya
perlahan bergerak ke atas, berdebar jantungnya saat menatap gambar naga di atas pintu.
Pula hatinya kian disesah rindu..."Ada apa Shin Ling? Kenapa kau? Sakit? Segeralah kau
telepon Paman Koh Wat. Sampaikan kabar gembira ini!"Malas gadis itu menghampiri
kotak telepon di sudut kamar. Tapi ia sudah yakin dengan pilihannya sendiri untuk
menghubungi kantor Polisi. * Depok, 2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Sinar Mata Ibu

Post: 09/11/2002 Disimak: 281 kali

Cerpen: Harris Effendi Thahar

Sumber: Kompas, Edisi 06/02/2002

Hari Minggu, tidak terlalu pagi. Tiba-tiba istri saya berteriak memanggil nama anak-
anak seperti ketakutan. Saya yang sedang sibuk menguras bak di kamar mandi buru-buru
keluar, ingin tahu apa gerangan yang terjadi.Ibu mana?" tanyanya cemas. "Papi sih,
mestinya keluar masuk pekarangan, pintu pagar digembok. Kalau tidak, ibu pasti kabur."
Saya belum sempat bereaksi, putri bungsu saya buru-buru mencari sandal, lalu nyerocos
menembus pintu pagar, memburu neneknya yang sudah mulai pikun itu. Istri saya
menarik napas. Tapi saya curiga, kalau-kalau sepeninggal saya di kamar mandi tadi, istri
saya telah berbicara agak kasar dengan ibunya. Padahal, sebelumnya mertua saya itu
duduk-duduk di teras sambil membaca-baca koran edisi Minggu yang baru saja saya
terima dari loper. Ia masih suka baca koran sambil berdiskusi dengan saya. Sayalah satu-
satunya menantu beliau yang mau berdiskusi tentang apa saja, termasuk mendengarkan
cerita-cerita nostalgianya di masa lalu. Apalagi kalau sesekali saya bertanya tentang kata-
kata Belanda yang diucapkannya di sela-sela percakapan kami, ia tampak
bersemangat.Sejak meninggalnya bapak mertua saya beberapa tahun lalu, ibu tinggal
bersama anak-anaknya secara bergilir sesuka hatinya, terutama di rumah anak-anak
perempuannya yang semua telah memiliki rumah. Itu bukan berarti ibu tidak pernah
tinggal di rumah Rudi, satu-satunya anak lelaki beliau dan bungsu, tapi tidak dalam
waktu yang lama. Tidak lebih dari seminggu."Istri Rudi itu tidak bisa masak. Kasihan
Rudi. Dia itu sejak bayi hingga jadi mahasiswa tak pernah merasa enak makan, kecuali
masakan ibu," kata ibu mertua saya itu kepada saya. Dan, itu sudah yang kesekian kali
diucapkannya hampir setiap kembali dari rumah Rudi, begitu ia memulai giliran tinggal
di rumah kami. Di waktu yang lain, ia berkata: "Kasihan Rudi, istrinya tidak telaten
merawat suaminya. Anak-anak dibiar manja sama bapaknya. Padahal, bapaknya capek,
kan?"Pernah ibu mertua saya itu baru menginap semalam, paginya langsung menelepon
saya: minta dijemput. Saya janjikan akan menjemputnya sore hari, sehabis jam kerja
saya, tapi beliau bersikeras pagi itu juga. Sudah barang tentu ada apa-apanya. Kami sudah
menduga apa yang terjadi, dan saya pun menjemputnya pagi itu dengan mengorbankan
jam kerja.Begitu ibu menginjakkan kaki di teras, ia langsung memuntahkan kekesalan
hatinya. "Mantuku itu selalu salah terima kalau ibu memberi nasehat.""Memang ibu
bilang apa sama dia?" istriku menyambut."Ibu hanya minta dia bikinkan telor mata sapi
untuk suaminya ketika ibu lihat lauk untuk makan malam suaminya sudah menipis,"
keluhnya mengenang. "Apa itu berarti mencampuri? Padahal, ibulah yang paling tahu apa

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang disuka Rudi. Bahkan, sejak dari dalam kandungan, ibu tahu apa yang disukai
Rudi."TUHAN punya kehendak lain. Tiba-tiba saja Rudi meninggal dalam waktu
beberapa menit setelah mobilnya menghantam bus kota sewaktu menuju ke kantornya di
pagi Senin yang naas. Agaknya Tuhan juga memperlihatkan kekuasaan-Nya, Rudi yang
baru berusia empat puluhan dan paling bungsu dari tujuh bersaudara dipanggil paling
awal oleh-Nya. Kami semua terpukul, apalagi ibu. Padahal, seminggu sebelumnya, Rudi
telah menyampaikan gagasannya kepada kami semua untuk memberikan hadiah istimewa
di hari ulang tahun ibu yang ke-80 beberapa bulan lagi.Sejak kepergian Rudi, ibu sangat
berubah. Pandangan matanya terlihat kosong. Ibu jadi pendiam dan amat perasa. Dan, ibu
bisa tidak tidur semalaman jika siangnya tidak ada yang bersedia mengantarnya ke
kuburan Rudi di bulan pertama setelah kepergian Rudi. Di bulan pertama itu, kalau hari
tidak hujan, acara ziarah ke kubur itu menjadi wajib bagi ibu. Kami, mantu-mantu ibu
secara bergantian mengantar ibu ke pemakaman umum yang terletak di pinggir
kota.Selain menangis dan berdoa di kubur Rudi, ibu bercakap-cakap dengan batu nisan.
Gerombolan pengemis, petugas kebersihan pemakaman, dan penjual kembang seperti
sudah menjadi langganan ibu. Untuk itu kami selalu membelaki ibu uang receh
secukupnya. Soalnya ibu hampir-hampir tidak mengenal lagi nilai mata uang. Ibu akan
memberikan lembaran uang berapa pun jika ada pengemis meminta, tidak peduli
lembaran lima puluh ribuan, atau seratus ribuan."Ah, apakah artinya kertas-kertas itu.
Lebih baiklah dikasihkan kepada orang yang lebih membutuhkannya," jawab ibu ketika
istri saya menyoal ibu setelah nekat memberikan uang lima puluh ribuan kepada
pengemis buta di gerbang pemakaman."Banyak yang dapat dilakukan dengan uang
sebanyak itu, Bu. Uang sebanyak itu bisa untuk jajan si Oni seminggu. Atau untuk
membeli keperluan dapur," kata istri saya."Apa kamu kekurangan uang? Uang pensiun
papamu masih banyak di bank. Sudah lama ibu tidak mengambilnya. Kamu mau, atau
kamu perlu? Berapa?""Bukan begitu, Bu. Ibulah yang mengajar kami dulu supaya hidup
jangan boros.""Kalau untuk akhirat, ibu mau boros. Itu semua bakal diganti Tuhan
dengan imbalan yang berlipat ganda di sorga. Ibu sekarang mau ke sana," ujar orang tua
itu dengan mata berlinang.Kalau sudah begitu, saya akan menarik istri saya dan
memintanya untuk bersabar dan bersikap baik dan santun pada ibu. Apalagi akhir-akhir
ini ibu mulai nyinyir, suka lupa, sekaligus pendiam. "Semua tingkah laku aneh itu harus
disikapi dengan kesabaran seorang anak yang berbakti," saya bilang. Tapi, itu bukan
berarti istri saya selalu waspada bila giliran ibu berada di rumah kami.Seperti kejadian
seminggu lalu, ibu tiap sebentar mengatakan bahwa pembantu Kak Nurma-kakak istri
saya-itu pencuri. Gelang emas peninggalan nenek telah dicuri pembantu itu ketika ibu
sedang mandi."Gelang ibu itu sekarang disimpan Kak Nurma. Soalnya, ibu suka
menaruhnya di sembarang tempat. Untung pembantu itu jujur, ia serahkan gelang itu
pada Kak Nurma ketika ia menemukan gelang itu di kamar mandi," jelas istri saya."Anak
itu memang pencuri. Taroklah gelang itu ia tidak berani mengambilnya. Tapi yang lain-
lain?""Apa misalnya?""Banyak. Hampir tiap hari Yeni memberi ibu apel atau jeruk.
Nanti, ketika ibu ingin makan buah itu, hilang. Tanya sama dia, selalu bilang tidak tahu.
Siapa lagi kalau bukan dia, orang kampung rakus itu? Coba!"Istri saya tertawa
ngakak."Kok, kamu tertawa?""Habis, saban Kak Nurma menelepon saya, pasti ada saja
yang diceritakannya tentang ibu. Nah, di antaranya buah-buah itu sering ditemukan sudah
membusuk di dalam almari pakaian ibu. Kadang-kadang kalau pembantu itu
membersihkan kolong tempat tidur ibu, juga sering ditemukan apel busuk, jeruk busuk.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Jadi, ibu jangan sembarang tuduh orang mencuri. Katanya mau beribadat. Itu kan
menambah dosa jadinya. Ya, enggak?"Ibu lama terdiam. Ketika saya keluar ingin
menetralisasikan suasana, dengan senyum seramah mungkin kepadanya, ibu menatap
saya seperti minta perlindungan dari "ancaman" dosa yang di lontarkan istri saya tanpa
kontrol. Saya mengajak ibu makan bersama saya. Saya kode istri saya agar
menghidangkan makan siang meski baru pukul sepuluh di hari Minggu itu. Ibu
menurut.Melihat tumpukan buah jeruk di atas tempat buah di meja, ibu kembali lagi
mengulangi unek-uneknya. "Pembantu Nurma sering mencuri jeruk ibu," katanya ketika
mau duduk. Istri saya yang sedang menuang air ke gelas, langsung berhenti dan menatap
ibu sambil berkata: "Nah, ibu mulai lagi bikin dosa. Ibu sudah mulai pikun ya? Tadi saya
bilang apa?"Ibu kembali memandang saya seperti minta perlindungan dari kata-kata istri
saya yang menusuk sanubarinya. Saya melihat sinar mata ibu yang sarat masa lalu.
Betapa bahagianya dulu ia, istri seorang ambtenaar, dikaruniai tujuh anak, berpendidikan
sekolah khusus anak-anak Belanda dan kaum priyayi. Kini, masa tua yang tak berdaya,
telah membuatnya semakin tak berdaya melawan ketuaannya. Sinar matanya
mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya sendiri, dan mata ibu-ibu lanjut usia pada
umumnya."Ayo, Bu. Kita makan," saya menengahi suasana."Tidak, ibu masih
kenyang.""Ayolah, sedikit saja. Biasanya kalau bersama ibu, makan saya jadi enak.""Kali
ini ibu mendadak kenyang oleh kata-kata istrimu.""Ibu jangan ambil hati. Di rumah ini
ibu lebih baik mendengar saya daripada dia."Saya tak berhasil. Ibu berdiri menuju teras
kembali. Saya meneruskan makan agak cepat. Begitu mencuci tangan, istri saya kelihatan
cemas. Pintu pagar terbuka. Ibu tidak ada. Putri sulung saya-cucunya yang paling
disayang ibu di rumah kami-buru-buru mengejarnya. Didapatinya ibu sedang bingung
mau menyeberang jalan raya yang lebar dan dua jalur penuh kendaraan.Sejak itu kami
waspada dengan pintu pagar kalau ibu tinggal bersama kami. Tentu saja dengan menjaga
perasaannya, terutama dari kata-kata yang kadang-kadang bisa lebih tajam daripada
silet.PUTRI bungsu saya, yang tadi mengejar neneknya, kembali terengah-engah dengan
air mata berlinang. Saya telah menduga bahwa ia tidak berhasil menemukan neneknya.
Saya langsung mengeluarkan mobil, tapi tidak tahu mau mencari ke mana. Istri saya
sibuk menelepon saudara-saudaranya, memberi kabar tak sedap itu.Saya menduga-duga
kalau ibu pergi ke kuburan Rudi. Tapi, tidak mungkin karena ia tidak bisa naik oplet atau
taksi. Lagi pula ia pergi tanpa uang dan tak dapat menentukan ke arah mana ia harus
pergi, ia sudah kehilangan kesadaran geografis. Namun, saya arahkan juga mobil ke
kompleks pemakaman itu, sambil menyusuri jalan pelahan-lahan, kalau-kalau ibu nekat
berjalan kaki.Di kuburan kami bertemu berempat, sesama menantu ibu. Ibu tak ada di
sana. Bang Sapar, suami Kak Nurma, berencana melapor ke kantor polisi terdekat. Tapi,
saya masih punya harapan. Saya pulang ke rumah. Istri saya cemas ketika melihat saya
pulang tanpa ibu. Saya langsung saja menuju kamar putri bungsu saya yang punya tempat
tidur besar. Saya mengambil senter dan menyenter ke bawah kolong tempat tidur itu
sambil tiarap.Mata ibu berkedip-kedip menahan sinar senter saya. Saya menghadiahi ibu
senyuman. Ibu membalasnya. Dan, saya mengulurkan tangan. **Padang, 10 April
2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Ikan dalam Kabut

Post: 09/11/2002 Disimak: 289 kali

Cerpen: Herlino Soleman

Sumber: Kompas, Edisi 05/19/2002

ADA satu hal yang ingin kukatakan secara khusus bahwa selama ini aku selalu terpesona
oleh kabut. Setiap kali melewati dataran tinggi berbukit-bukit dan bergunung-gunung
dengan kabut mengambang dekat di atas permukaan tanah, aku selalu terpesona olehnya.
Secara sederhana aku pernah menerjemahkan keterpesonaanku atas kabut adalah bahwa
kehadirannya selalu identik dengan kesejukan, hijau perbukitan, dan oleh karenanya aku
selalu terbawa pada suasana khayali yang membuatku merasa menempati puncak ekstase
kesegaran. Mungkin saja hal ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa setiap kali melihat
kabut aku selalu teringat pada perkebunan kopi milikku yang kini hanya kunikmati dalam
angan-angan. Semerbak wangi kembangnya, bening air pancuran di tengah-tengah
perkebunan kopi itu, dengan suara gemericiknya melantunkan nyanyian yang selalu
melambaiku pulang, memberikan nasihat yang baik tentang hidup yang baik. Tak jelas
benar apakah itu berarti hidup dengan kicau burung-burung, semilir angin, hijau
tumbuhan, dan hamparan kabut yang mengapasi dedaunannya. Hidup yang kuangankan
dan selalu hanya ada dalam angan-angan. Entah telah berapa tahun aku tinggal di Jepang
sebagai penduduk gelap, namun beruntung menjadi sahabat Yoshida Tua, mantan bos-ku
yang telah pensiun beberapa tahun yang lalu. Apresiasiku atas kabut yang seperti itulah
yang hampir setiap akhir pekan membawaku ke sebuah tanjung besar berbukit-bukit dan
menginap di vila milik Yoshida Tua yang secara aneh memberikan kebebasan kepadaku
untuk menginap di vilanya, seperti sekarang ini. Mungkin pula karena dengan demikian
vilanya dapat terawat dengan baik karena aku memang suka membersihkannya. Mulanya
kami cuma sekadar kenal biasa, aku kuli dan ia bos yang berhak menghitamputihkan
nasibku, tetapi sejak aku datang pada upacara penguburan kotsutsubo istrinya, dan
setelah itu sering menemaninya ngobrol, kami menjadi akrab. "Jadilah kau sahabatku
yang baik setelah ini dan aku bukan lagi bos sebagaimana sebutanmu selama ini!"
katanya. Saat itu aku cuma diam memandangnya. Juga ia diam memandangku dengan
mata tuanya yang mulai rabun. Meskipun dengan tulus ia memintaku menjadi sahabatnya
yang baik, aku selalu menghindar jika ia ingin berbicara tentang negeriku. Memang ia
selalu mengatakan bahwa cacat negerinya itu tak mungkin sirna, meski pemerintah
negerinya berusaha menghilangkan aib dengan mengajarkan beberapa bagian sejarah

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang palsu, yang bagiku berarti ia menyesali betul kesalahan negerinya atas negeriku di
masa lalu, aku selalu berusaha menghindar jika ia ingin berbicara tentang negeriku.
"Sekaruno itu..." "Soekarno, Soeharto, atau makhluk aneh dari jenis apa pun aku tak mau
menanggapi pembicaraanmu tentang negeriku, Yoshida Tua! Mari kita bersahabat
dengan melepaskan negeri masing-masing. Jika kita bicara juga, paling-paling kau akan
menyesali masa lalu sambil memuji-muji indahnya alam negeriku, sementara kau
menjadi grogi jika kukatakan negerimu sebagai bekas penjajah yang kemudian berusaha
menjadi pahlawan dengan menimbun modal di negeriku lewat orang-orang goblok yang
duduk di elite pemerintah negeriku di masa lalu dan te-rus berlanjut sampai sekarang
hingga jika bisa membayar secara normal pun utang negeriku baru bisa lunas sete-lah
tiga-empat generasi!" Kataku ketika ia memaksaku berbicara tentang negeriku. "Kau
terlalu berprasangka! Aku benar-benar terpesona oleh alam negerimu!" "Semua itu sudah
berlalu, Yoshida Tua. Mungkin dalam arti harfiah memang alam negeriku masih indah,
tapi apakah bisa disebut keindahan jika para penghuninya cuma memahami kalimat-
kalimat pendek: Aku benar! Kau salah! Bagaimana aku? Mana bagianku? Kau siapa?
Aku besar! Kamu kecil! Kamu sepele! Dan yang membuatku merasa terpuruk, Yoshida
Tua, di negeriku hukum menjadi permainan semua orang terutama yang mengerti hukum
dan yang punya duit! Juga kekuasaan!" "Aku mengerti yang kamu rasakan. Tapi aku
benar-benar menyukai negerimu! Dan secara aneh aku juga merasa simpatik kepadamu!"
Waktu itu Yoshida Tua memandangku lekat-lekat. Agak lama setelah itu baru aku sadari
bahwa terlalu keras sikapku untuk tak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan
negeriku. Karenanya, sejak saat itu aku mengendorkan sikapku. Dengan demikian, jika
kami menginap di rumahnya yang besar di Tokyo atau di vilanya, kami jadi banyak
membicarakan negeriku. ***VILA Yoshida dibangun pada ketinggian deretan bukit yang
membentuk tanjung besar di baratdaya Tokyo yang menyambung dengan deretan bukit-
bukit di kaki Gunung Fuji. Sering muncul kebingungan dalam pikiranku bahwa ketika
berangkat menuju vila melalui jalan berliku sepanjang pantai timur Atami, maka setelah
membelok ke kanan dan mendaki jauh sampai ke vila Yoshida Tua, aku juga bisa melihat
laut di belakang vila yang berarti membelakangi laut yang tampak ketika berangkat. Jika
vila ini berada di ujung tanjung, tentunya pemandangan laut akan tampak dari tiga sisi.
Karena secara jelas daerah ini bukan daerah ujung tanjung, secara sederhana aku berpikir
bahwa di belakang vila Yoshida ada teluk kecil dalam tanjung. Ke teluk kecil itulah aku
biasa mancing jika sedang berada di vila Yoshida Tua. Setiap kali mancing di teluk kecil
ini aku biasa mendapatkan ikan sabak, sawara, kadang-kadang juga iwashi. Dan
meskipun sangat jarang, pernah pula aku mendapat ikan inada, yang biasa kusebut
sebagai ikan ekor kuning. Jika aku mancing sejak lewat tengah hari, sambil duduk di
beton-beton penahan ombak selama dua-tiga jam dengan pemandangan yang luas, waktu
berikutnya pemandangan menjadi sangat terbatas. Kabut yang awalnya menyungkup
perbukitan yang hampir semuanya merupakan perkebunan jeruk, akhirnya merendah
sampai ke permukaan laut. Meskipun aku selalu merasakan kesegaran yang berlebih,
pada saat ini aku mulai lelah hingga sewajarnya jika kemudian kembali ke vila. Akan
tetapi, biasanya aku justru dikejutkan oleh ikan-ikan yang berloncatan seolah menyambut
kabut. Pemandangan kabut yang lembut redup dan ikan-ikan yang berloncatan seperti
terbang adalah sebuah kenyataan atraktif yang kontradiktif; antara kelembutan yang
indah dan kelincahan yang manis-menarik, hingga aku selalu menunda kepulanganku.
Anehnya, saat menikmati kenyataan seperti itu aku jadi berpikir bahwa antara

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kelembutan yang indah dan kelincahan yang manis-menarik, kedua-duanya mampu


menyembunyikan kejahatan yang nista. Kalimat ini selalu teringat dan kembali
kuucapkan jika aku berpikir tentang Yoshida Tua yang selalu menyesali anak laki-laki
tunggalnya yang disebutnya sebagai anak tak berbakti. Aku tak tahu apakah benar
demikian sikap anaknya. Tidakkah justru Yoshida Tua sendiri yang suka mengganggu
ketenangan anaknya? Kecurigaanku atas Yoshida Tua yang seperti ini sesungguhnya
merupakan premis minor dari premis mayor bahwa seperti juga pembesar-pembesar
negeriku yang banyak berdosa, yang telah maupun yang masih berkuasa, pada masa
tuanya harus merasakan penderitaan yang hina. Waktu aku menceritakan perihal ikan
yang berloncatan dalam kabut, lalu aku terkenang pada pembesar-pembesar negeriku
yang korup, Yoshida Tua terdiam beberapa saat. Setelah itu, dalam keadaan aku
mengharap ia memberikan tanggapan atas ceritaku, ia justru mengambil sake dan
beberapa kali menenggaknya dengan cangkir keramik sambil tetap membisu. "Aku tahu
engkau mengerti cerita dan pemikiranku tentang ikan dan kabut, tetapi mengapa kau
membisu saja?" kataku setelah tak kuat menghadapi kebisuannya. Karena ia tetap
membisu, aku menahan tangannya yang hendak menenggak sake lagi sambil mengatakan
bahwa tak semestinya ia membisu atas cerita dan pemikiranku. "Aku lebih menyukai
ceritamu tentang kabut yang mengambang di perkebunan kopi milikmu ketimbang kabut
yang kau campur dengan segala hal yang semuanya cuma ngo-yoworo!" Katanya
mengakhiri kebisuannya. "Aku tidak ngoyoworo!" "Kau bahkan lebih dari sekadar
ngoyoworo!" serang Yoshida Tua. Ia lalu melanjutkan, "Aku malah berpikir, jika kau
memandang persoalan terlalu dipengaruhi hal yang tak saling berhubungan, maka
pemandanganmu akan selalu keliru! Ikan-ikan itu cuma sebentar berloncatan di
permukaan teluk, bukan terbang! Yang tampak dalam pandanganmu lebih lama tak lain
adalah belibis atau camar yang beterbangan dan siap mematuk ikan-ikan itu!" Karena aku
terdiam, Yoshida Tua mengatakan bahwa benarkah setiap pembesar negeriku yang
berdosa harus disiksa dan dihinakan begitu kesempatan tiba? Mengapa dulu mereka
dibiarkan berbuat dosa? Benar dibiarkan berbuat dosa atau karena merasa takut hingga
tak berani memperingatkan mereka? Dan sekarang setelah merasa tidak takut, lantas
merasa berhak menjadi galak, bahkan segalak-galaknya? "Jika para pembesar negerimu
yang korup itu berdosa, mengapa mereka yang dulu merasa takut memperingatkannya
sekarang tidak merasa berdosa? Pada dua pihak semacam ini, aku sulit mencari sikap dan
sifat kesatria. Mengapa aku justru menemukan banyak sikap dan sifat pengecut yang
menjijikkan?" Beberapa saat aku terdiam. Dan dalam keadaan masih diam kuambil
cangkir keramik di hadapanku dan kemudian menyodorkannya kepada Yoshida Tua yang
segera menuangkan sake ke dalamnya. Juga dalam keadaan masih terdiam, kutenggak
sake itu sekaligus, untuk kemudian kuulurkan lagi cangkir keramik itu minta dituangi
sake lagi sampai beberapa kali. "Waktu muda, sepertimu aku pun menyukai kabut!"
Yoshida Tua berkata memecah kesunyian. Kuberikan sedikit perhatian dengan
menatapnya. Yoshida Tua lalu melanjutkan bahwa karena kesukaannya atas kabut itulah
yang mendorongnya membuat vila ini. "Di vila ini penuh kureguk kesunyian, cinta, dan
juga sake! Biarlah kunikmati juga kehidupan lain yang jauh berbeda dengan hiruk-pikuk
suasana pabrik tempatku bekerja. Jika di luar sana kabut mulai turun, kaca-kaca jendela
mulai mengembun, kesunyian datang dan cinta telah lewat kureguk bersama istri atau
sesekali kubeli perempuan lain, giliran sake mulai terasa mengembun di ubun-ubunku,
saat itu kurasakan bahwa sesungguhnya hidup tidak sesulit yang kita bayangkan!

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Mengapa kau nodai kabut dengan khayalan yang memperburuk keindahannya? Mengapa
kau rusakkan kesyahduan kabut dengan sesuatu yang membuat pikiran dan perasaan
menjadi nyeri?" Waktu itu ambang kesadaran karena sake mulai bereaksi menguasai
saraf, membuatku tak bisa menanggapi kata-kata Yoshida Tua. Kubayangkan, waktu itu
mungkin aku terbengong-bengong atau bahkan kepalaku jatuh ke atas meja dan lantas
tertidur begitu saja karena mabuk. Aku tak tahu pasti. Sore ini kembali kunikmati kabut
di teluk ini. Dua ekor ikan sabak telah berhasil kupancing dan kurencanakan akan kubuat
sashimi untuk makan malam bersama Yoshida Tua yang rencananya akan datang pada
ambang senja. Bukit-bukit perkebunan jeruk yang semula menampakkan buahnya berupa
titik-titik kuning di antara dedaunannya yang lebat, perlahan-lahan menjadi suram, dan
akhirnya lenyap. Kabut yang kali ini turun teramat tebal, lebih cepat turun dan
mengambang di atas permukaan teluk. Perasaanku harap-harap cemas menanti ikan-ikan
berloncatan di atas permukaan teluk. Ingin kuyakinkan bahwa saat itu tak ada belibis atau
camar yang beterbangan dan siap mematuk ikan-ikan itu. Sayang sekali, setelah beberapa
lama menunggu, pemandangan yang kuharapkan kemunculannya ini sama sekali tak
menampak. Yang terasa justru yang tak kuduga sama sekali. Ya, saat itu tiba-tiba bumi
terasa bergetar, bergerak-gerak. Mula-mula pelan, tapi pada detik-detik berikutnya
menjadi kuat. Gempa bumi, pikirku. Bersamaan dengan kesadaranku atas gempa yang
baru saja terjadi, seorang penjaga pantai mengumandangkan pengumuman lewat
pengeras suara agar para pemilik perahu memeriksa dan mengikat perahunya kuat-kuat
sehingga tidak dibawa arus balik tsunami yang pasti datang. Pengumuman itu juga
dengan keras mengingatkan agar siapa pun yang berada di pantai segera naik dan
berlindung di rumah masing-masing. Bersama langit yang tiba-tiba gelap oleh mendung,
aku segera kembali ke vila sambil menjinjing dua ekor ikan sabak yang siap kubuat
sashimi. ***Tokyo, April 2002

Para Penari

Post: 09/16/2002 Disimak: 311 kali

Cerpen: Putu Fajar Arcana

Sumber: Kompas, Edisi 08/18/2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

SEPULANG dari Jepang, hati Pusparani berbunga-bunga: sebuah pusat hiburan di Kota
Tokyo ingin mengontrak para penari. Bukan sebuah kebetulan ia bertemu dengan
Yamasita-san. Selama ini hampir seluruh misi kesenian Bali atas nama pemerintah
ditangani oleh Yamasita-san dan Pusparani selalu kebagian peran. Pusparani tak pernah
menghitung entah sudah berapa kali ia mengunjungi Negeri Sakura. Ia hanya ingat
beberapa jam lalu masih menari di sebuah gedung pertunjukan milik satu universitas di
tengah-tengah Kota Tokyo. Ia puas karena sambutan penonton di kota megapolitan
seperti Tokyo sangat berbeda dengan penonton Denpasar atau Jakarta sekalipun. Seorang
ibu bernama Mariko datang ke belakang panggung bersama anaknya, membungkuk
sebagai tanda hormat, sembari tersedu menangis. "Saya hanya ingat suami saya di Bali,"
katanya dalam bahasa Indonesia terpatah-patah. Sambil sesegukan Mariko meminta agar
Pusparani memeluk anaknya. Puspa gelagapan, tak mengerti. Matanya yang indah
mengerjap-ngerjap. Ia sama sekali tak paham: mengapa Mariko mendatangi dirinya. Usai
menari keringat masih membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan pakaian tari legongnya
belum lagi dicopot."Sampai umurnya empat tahun, ia belum melihat ayahnya," cerita
Mariko lagi,"Dia ingin merasakan pelukan orang Bali." Selama bercerita, air mata
Mariko tak henti berderai. Bulir-bulir bening itu, ia biarkan melintas perlahan dari
pipinya yang putih sampai menyentuh bibir. Terasa asin. Ah, asin sekali. Perempuan
bertubuh sedang itu tersedak. Ia ingin menelan tangisnya. Tetapi kerinduannya untuk
bertemu Ngurah Anom, suaminya, seperti meledak-ledak. Sungguh perih rasanya hidup
berjauhan, begini, keluhnya dalam hati.Sejak beberapa tahun lalu, katanya, ia terpaksa
hidup berpisah dengan Ngurah Anom. Mariko memilih kembali ke Jepang untuk
melanjutkan kuliah, sementara Ngurah Anom, tetap tinggal di Ubud sebagai pelukis.
"Kami tak punya pilihan," keluhnya lagi.Tanpa menunggu cerita Mariko menjadi lebih
memilukan lagi, Puspa erat-erat memeluk anaknya. Ia ingat, tentu saja Cempaka, anaknya
yang kurang lebih seusia dengan anak Mariko, sudah sangat merindukannya. Gadis
kecilnya itu, selalu berlari untuk kemudian memeluk Puspa setiap pulang dari menemui
para mahasiswanya di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar.Ia membayangkan
beberapa jam lagi pasti Cempaka berlari-lari di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai. Ia
ingin melepaskan rindu dengan memeluk anaknya erat-erat. Seerat yang dapat ia
lakukan.Noriko, anak Mariko sempat kaget. Mungkin tertusuk beberapa ornamen dari
logam yang melekat pada pakaian tari Puspa. Pelukan Puspa justru membuat Mariko
makin tersedu. Ia pun melingkarkan kedua tangannya di antara pinggang Puspa dan
kepala anaknya. Ia ingat itulah pelukan terakhir di Bandara Ngurah Rai, yang
membuatnya tak bisa melupakan Ngurah Anom. Lebih dari empat tahun yang lampau.
Sampai kini ia masih menyediakan ruang dalam hatinya bagi lelaki berambut panjang
itu.Mereka bertiga berpelukan. Lama sekali. Puspa membayangkan pelukan itu untuk
Cempaka. Selama lebih dari dua minggu berada di Jepang, membuat rindunya pada
Cempaka seperti membuncah. Beberapa penari lainnya turut terhanyut. Bahkan ada yang
kemudian turut serta memeluk Mariko dan anaknya. "Saya hanya titip salam buat Bali.
Belum bisa pergi ke sana, saya masih harus menyelesaikan studi S2," ujar Mariko sesaat
sebelum meninggalkan Puspa. Mereka berpelukan sekali lagi. Sambil menghapus air
matanya, Mariko bergegas keluar gedung pertunjukan sambil mendekap Noriko. Ibu dan
anak itu kemudian menghilang di tikungan dekat stasiun trem bawah
tanah.***PERISTIWA di belakang panggung gedung pertunjukan itu tak pernah lekang
dari ingatan Puspa. Diam-diam air matanya menitik. Ia seperti merasakan betapa haru-

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

birunya hati Mariko: harus menjalani hidup bersama seorang anak yang selama bertahun-
tahun tak mengenal ayahnya. Ah, pedihnya...Selama ini, menurut cerita Mariko, Noriko
hanya kenal suara Ngurah Anom lewat telepon. Itu pun kalau Mariko yang menelepon ke
Ubud dan kebetulan Ngurah Anom ada di studionya. Ngurah Anom sangat jarang mau
menelepon. Puspa merasa menjadi begitu dekat dengan Tokyo. Itu sebabnya ketika
Yamasita-san menawarinya untuk kembali ke Tokyo menari, ia tak kuasa menolak.
Dalam perjalanan pulang pikirannya sibuk mereka-reka beberapa mahasiswanya yang
barangkali bisa diajak serta. Mereka pasti dengan senang hati menerima tawaran menari
di Tokyo. Menari di luar negeri selama ini seperti menjadi impian para penari di
STSI."Kontrak itu barangkali sudah akan mulai akhir bulan April ini. Jadi mereka minta
empat orang penari perempuan lainnya. Anda siap?" tanya Yamasita-san, seminggu
kemudian saat menelepon Puspa dari Tokyo."Akan berapa lama kontrak itu?" Puspa balik
bertanya."Kemungkinan untuk waktu tiga bulan. Anda siap?" Lagi-lagi Yamasita-san
mengulangi pertanyaan yang sama. "Sudah saya pastikan untuk berangkat, asal
mendapatkan izin dari pimpinan di STSI.""Soal itu biar saya yang mengurusnya," kata
Yamasita-san. Ia memang salah satu orang asing yang memiliki hubungan dekat secara
pribadi dengan para pimpinan STSI. Selain menjadi penghubung para seniman,
Yamasita-san di Bali juga dikenal sebagai seniman. Ia beberapa kali membuat garapan
tari bersama para seniman Bali. Terakhir bahkan ia berhasil membuat sebuah kelompok
penabuh gamelan dan penari Bali di Jepang. ***DALAM delapan jam penerbangan
Ngurah Rai - Narita, pikiran Puspa dipenuhi kenangan hangatnya sambutan penonton
Tokyo. Diam-diam ia berharap kehangatan itu bakal dirasakan pula oleh Dayu Satyawati,
Ratnasari, Komang Widiati, dan Gung Dewi, empat mahasiswanya. Mereka penari-penari
muda dan rupawan yang baru pertama kali melawat ke luar negeri. "Selama tiga bulan
kalian semua akan merasakan betapa hangat dan bersahabatnya orang Jepang. Mereka
seperti memiliki hubungan emosi dengan kita, dekat sekali rasanya. Usai menari, kita
biasanya diajak jalan-jalan ke Akihabara, sebuah kawasan elektronik yang begitu
mengagumkan. Dekat saja dari hotel tempat kita akan menginap," kata Puspa sebelum
berangkat kepada para mahasiswanya."Kita akan ke Shinjuku juga kan Bu? Hihiii..."
tanya Ratnasari sembari menutup bibirnya."Huuss...siapa yang memberitahumu?" kata
Puspa. Tiga penari lainnya cekikikan. Puspa tahu Shinjuku yang dimaksud Ratnasari
adalah kawasan yang termasuk remang-remang lampu merah di sudut Tokyo."Udah.. ah.
Kita saat ini jangan memikirkan soal uang kontrak. Terpenting dari misi ini, kita
memperkenalkan kebudayaan Bali yang adiluhung dan dikagumi banyak bangsa,"
tambah Puspa. Keempat gadis muda itu hanya mengangguk. Mereka mempercayakan
semuanya kepada Puspa. Selain sudah sering ke Jepang, reputasi Puspa sebagai dosen
juga tak bisa diragukan. Umumnya mereka tahu Puspa begitu dekat dan seringkali diberi
kepercayaan menangani misi kesenian ke luar negeri oleh pimpinan kampusnya. "Kita
bergantung semuanya kepada Ibu saja," kata Ratnasari singkat."Sudah ada Yamasita-san
yang akan mengurus kita selama berada di Jepang," jawab Puspa, seolah lebih kepada diri
sendiri. Sudah hampir satu jam rombongan penari menunggu jemputan dari Yamasita-
san. Wajah Puspa mulai tampak tegang dan merah padam. Ia agak kesal dan malu kepada
para mahasiswanya. Puspa merasa sangat teledor. Ia ingin memaki dirinya sendiri:
mengapa tidak punya pikiran untuk bertanya kepada Yamasita-san, siapa yang bakal
menjemput rombongan. Mungkin ia terlalu yakin, karena selama ini setiap misi kesenian
Bali ke Jepang segala urusan pasti dibereskan oleh Yamasita-san. Lelaki berkaca mata itu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

bahkan selalu turut menjemput rombongan di Narita.Bandara Narita tampak sibuk.


Rombongan-rombongan pelancong tua tampak riuh sekali saat menunggu kopor mereka.
Puspa menduga para turis itu berasal dari Taiwan. Ia sering bertemu dengan turis Taiwan
di Ngurah Rai. Mereka memang cenderung ribut kalau sedang bersama-sama. Seorang
petugas keamanan tampak mendekat. Ia berkata sesuatu dalam bahasa Jepang. Puspa
tidak mengerti. Namun ia menduga lelaki berseragam biru itu sedang bertanya: Anda
sedang menunggu siapa? Spontan saja Puspa menulis nama Yamasita-san di atas kertas.
Lelaki itu tampak beberapa kali membungkuk-bungkuk dan mempersilakan para penari
duduk kembali.Setelah menghilang beberapa saat, petugas keamanan tadi kembali diikuti
seorang lelaki lainnya. "Nama saya Miki, saya datang menjemput Anda," kata Miki
sembari menyodorkan secarik kertas bertuliskan nama Pusparani."Oh...Miki-san. Apa
Anda diminta oleh Yamasita-san untuk menjemput saya?" tanya Puspa."Ah tidak-tidak.
Saya datang atas permintaan Kimura-san, yang akan mengontrak para penari dari Bali.
Saya akan mengantar Puspa-san, ke tempat kami."Meski banyak pertanyaan di dalam
kepalanya, tapi Puspa bergegas meminta para penari mengambil kopor. Mereka
berangkat ke Tokyo dengan menggunakan kereta Narita Express, tak lebih dari satu jam.
Seingat Puspa ongkos kereta dari Narita ke Stasiun Tokyo dulu sekitar 2.890 yen.
Gedung-gedung ramping seperti melaju sepanjang jalan. Sementara sebuah layar di atas
pintu gerbong setiap saat memberi informasi tentang cuaca Kota Tokyo. Puspa tampak
sangat gelisah. Keempat penari lainnya juga mencoba meredam kegundahannya. Mereka
terdiam, tetapi setiap saat mata-mata penari itu beradu seperti saling bertanya. Ratnasari
mencoba menenteramkan hati dengan memandangi pertokoan sepanjang jalan dari
jendela kereta. Di sela-sela gedung tampak bunga sakura mulai mekar. Pada bulan April,
daratan Jepang sedang memasuki musim semi. Meski lanskap pagi seelok itu, Gung
Dewi, Widiati, dan Satyawati tetap terpejam-pejam. Ketiganya tampak mulai lelah
setelah melintasi waktu delapan jam. Pagi itu mereka belum sempat mencuci muka atau
sekadar beli roti untuk sarapan. Untung Ratnasari masih menyimpan sisa biskuit yang
dibelinya saat transit di Jakarta. Secepat kilat ia membagikan biskuit kepada para penari
lainnya. Puspa menolak. Ia memang tidak sedang berselera. ***SAAT turun dari bus,
Puspa dan para penari oleh Miki-san langsung diarahkan menuju halaman belakang
sebuah kompleks yang rupa-rupanya mirip tempat hiburan. Saat melewati lorong yang
terdapat di sisi bangunan besar, Puspa dipersilakan duduk untuk menunggu Kimura-
san.Pikiran Puspa mulai tak keruan. Sejak turun dari kereta dan kemudian naik bus, ia
ingin mengajukan berbagai pertanyaan kepada Miki-san. Tetapi pertanyaan-pertanyaan
yang memenuhi kepalanya ia urungkan. Puspa ingin mendapat gambaran lebih utuh ke
mana sesungguhnya bus sedang melaju, apa benar Yamasita-san yang menjadi
penghubungnya. "Tetapi mengapa ia tak muncul. Lalu mengapa pula kita dibawa ke
tempat seperti ini. Bukankah Yamasita-san bilang kita akan menari di sebuah tempat
hiburan di pusat kota. Tempat ini tidak tampak seperti itu.... Ah aku juga salah mengapa
tidak bertanya sebelum berangkat. Tapi bukankah ia berjanji menelepon sebelum tanggal
keberangkatan disepakati?" Puspa terus membatin. Ia makin tampak gelisah. Sementara
empat penari lainnya mulai terkantuk-kantuk di kursi. Gung Dewi bahkan sudah
menyandarkan kepalanya ke bahu Ratnasari. Ia tertidur.Semua pertanyaan itu makin
membuat Puspa curiga kepada Yamasita-san. Lelaki Jepang itu barangkali telah
menipunya. Jangan-jangan tawaran kontrak menari itu hanya kedoknya. "Ia ingin
menjerumuskan, bahkan menjual kami. Ini gila!""Ah, Puspa-san, Kimura-san minta kita

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

semua istirahat dulu. Di sini sudah disiapkan kamar sementara. Ada lima kamar, silakan
saya antar..." tiba-tiba kata Miki-san sesaat setelah muncul dari pintu belakang. "Nati
malam Kimura-san akan menjamu makan malam di tempat hiburan miliknya. Ini semua
untuk menghormati para penari dari Bali," tambah Miki-san. Puspa belum sempat
menjawab. Kopornya sudah diangkat oleh beberapa lelaki yang menyertai Miki-san
menuju kamar masing-masing. Setelah mandi, Puspa memanggil seluruh penari. Ia ingin
minta pendapat apa yang seharusnya dilakukan, kalau-kalau tawaran kontrak itu tidak
benar. Kalau-kalau Yamasita-san yang begitu dikenalnya telah menipu mereka. Gung
Dewi mengusulkan sebaiknya menelepon ke Indonesia untuk memberitahu keberadaan
mereka. Ratnasari usul sebaiknya menelepon Kedutaan Besar di Tokyo saja. Sementara
yang lain berpendapat sebaiknya menunggu apa yang terjadi nanti. Apa benar Kimura-
san akan mengundang makan malam.Sampai siang hari, para penari tak berbuat apa-apa.
Mereka tampak bengong dan saling pandang di kamar Puspa. Bahkan untuk sekadar
makan siang pun tidak terpikirkan lagi. Satu hal yang mereka bisa pastikan bahwa
kelimanya telah tertipu: mereka tidak benar-benar sedang dikontrak untuk menari.
Sambutan hangat seperti yang dibayangkan Puspa sama sekali tidak terjadi. Kalau benar
para penari dikontrak, sudah pasti Yamasita-san akan berada bersama mereka. Setidaknya
ada perjanjian kontrak yang harus dibicarakan. Puspa merasa Yamasita-san telah
berkomplot dengan orang yang disebut-sebut bernama Kimura-san untuk merencanakan
sesuatu yang belum ia ketahui. *** Jakarta, April 2002

Malaikat Kecil

Post: 09/16/2002 Disimak: 1117 kali

Cerpen: Indra Tranggono

Sumber: Kompas, Edisi 06/16/2002

MESKIPUN tubuhku telah rapat pukulan Bapak, masih saja pukulan demi pukulan itu
kuterima. Teriakan dan tangisan minta ampunku pun gagal meredam amarahnya. Dengan
wajah beringas menumpahkan sumpah serapah penuh aroma alkohol, Bapak terus
menghajarku, serupa petinju kelas berat menghajar sansak. Pukulan bertubi-tubi itu
mengantarkan aku ke puncak rasa sakit, hingga akhirnya, aku tak merasakan lagi rasa

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

sakit itu. Sejak saat itu, tangisku pun terhenti. Aku masih menyisakan perlawanan dengan
menatap Bapak lekat-lekat.Sekarang pukul aku, bajingan cilik!" Aroma alkohol Bapak
membadai di ruang hidungku. "Ayo pukul! Ayooo pukul!!!" Aku tetap berdiri mematung.
Pelan-pelan kuraih pisau lipat dari kantung celana, dan beberapa detik kemudian
kurasakan tanganku berkelebat. Wajah Bapak tergores. Darah menetes. Bapak tersenyum
sambil mengusap pipi dan menjilat darah yang melekat di jari tangannya. "Aku senang
kamu mulai berani melawan. Ayo teruskan. Teruskan! Aku ingin kamu jadi bajingan
besar. Pembunuh besar! Bukan pengecut!" Bapak terus mendesakku, hingga aku terpojok
di sudut ruangan. Mulut Bapak hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Aroma alkohol
terus membadai. "Aku ingin kamu jadi bajingan besar. Maling besar. Tak hanya jadi
pencopet yang hanya bisa mengutil kerupuk!" Bapak kembali melayangkan pukulan tepat
di ulu hatiku. Rasa nyeri menggerayangi sukmaku. Aku terhuyung. Dengan sisa-sisa
kekuatanku, kuayunkan pisau lipat. Namun, hanya angin yang bisa kurobek. Tawa Bapak
berderai, mengiringi rebah tubuhku. Ibu, yang sejak tadi menangis terisak, langsung
menubruk tubuhku. Kurasakan airmatanya yang hangat menetes di pipiku. "Tinggalkan
kami bajingan tua!" kutuk Ibu dengan suara gemetar. Bapak tertawa. Sinis. "Justru kamu
yang harus pergi. Aku tidak ingin anakku dididik pelacur malang seperti kamu."
"Bagaimanapun dia anakku. Aku yang mengandungnya. Kamu tak lebih dari pejantan...."
"Dasar mulut ember! Kamu mestinya merasa bersyukur karena aku mau menitipkan
benihku di rahimmu!" Tangis Ibu terhenti. Ia tertawa. Masam. "Sebelum aku kau tiduri,
entah berapa lelaki telah menggauliku. Hingga aku hamil. Jadi, tak ada yang bisa
menjamin kalau Socra ini anakmu. Bisa saja dia anak cendekiawan, seniman, politikus,
pengusaha, birokrat, atau koruptor, manusia sejenis ular, kadal, macan, buaya, setan atau
bahkan iblis. Kamu tak berhak mendidiknya menjadi maling atau pembunuh macam
kamu, meskipun mungkin saja ia berdarah tukang jagal, garong atau rampok sekalipun.
Titisan darah pembunuh tak harus jadi pembunuh! Bukankah ia juga punya hak untuk
menjadi semacam malaikat kecil?" Ibu terus memelukku. Melindungiku dari serangan
Bapak. "Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai mulut pelacur?" Mendadak
handphone Bapak menjerit. "Ya, dengan saya sendiri. Ini siapa ya? Oooo Bapak. Ada apa
Pak? Apa yang bisa saya bantu? Eeeeee... bisa-bisa... Soal itu gampang. Bapak bisa
langsung kirim ke rekening saya. Tidak mahal Pak. Bapak tahu sendiri, ini risikonya kan
besar. Oke. Terima kasih..." Tanpa memandang kami sedetik pun, Bapak langsung
bergegas. Beberapa menit kemudian kudengar deru mobil Bapak meninggalkan halaman
rumah. ITULAH saat terakhir aku bertemu Bapak. Mungkin dua puluh tahun. Atau
mungkin lebih. Yang kuingat, tubuhku masih lekat dengan seragam sekolah menengah
umum. Bapak begitu membenci jika kenakalanku hanya sedang-sedang saja: berkelahi
dengan kawan, tawuran atau kegiatan remeh lainnya. "Jadi apa saja, kalau hanya
tanggung, ya tak menghasilkan apa-apa!" bentaknya. "Aku ingin jadi politisi saja. Saya
harap Bapak mau membiayaiku kuliah..." "Untuk apa? Sudah terlalu banyak orang yang
hidup dari kebohongan." "Bapak ingin saya jadi maling atau pembunuh?" "Itu jauh lebih
jantan dibanding mereka yang berkedok kemuliaan padahal yang dilakukan sama,
mengais-ais rezeki di lumpur comberan. Kalau jadi maling atau pembunuh, hanya
tanganmu yang kotor. Tapi tidak mulutmu. Mencuci tangan jauh lebih gampang daripada
mencuci lidah. Kamu sama sekali tak berbakat bersilat lidah..." Ketika aku lulus SMU,
Bapak meninggalkan ibu. Tak ada yang ditinggalkan, selain sumpah serapah. Ia pergi
bagai angin. Entah ke mana. Ibu juga tidak merasa perlu untuk mencari Bapak. Bentakan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

kemarahannya selalu menumpas kerinduanku pada Bapak. "Tak ada yang perlu disesali.
Bahkan harus disyukuri, termasuk jika Bapakmu pergi ke neraka sekalipun!" Dengan
susah payah, Ibu membiayai aku kuliah di Kota Besar: sebuah peradaban baru yang
melucuti keprimitifanku. Otakku bekerja keras menyerap gagasan-gagasan gemerlap
yang mungkin datang dari langit. Tidak serupa "kuliah" rutin Bapak yang mengajarkan
kekerasan... darah... darah... dan darah! Aku sangat sedih, ibu tak bisa merasakan
kebahagiaan ketika aku berhasil menyelesaikan kuliah. Di tengah pergulatan melawan
kanker rahim yang ganas, Ibu pernah mengucap. "Aku ingin kamu jadi malaikat kecil
yang dengan sayap-sayap kecil terbang mengawal arwahku kelak..." Akhirnya, Ibu harus
menyerah pada maut. Satu-satunya caraku membalas pengorbanan Ibu hanyalah berusaha
menjadi malaikat kecil yang terbang mengawal arwah Ibu. Malaikat kecil? Ah aku yakin,
Ibu terlalu berlebihan. Harapan Ibu itu seperti sinar matahari yang berupaya
menghancurkan kegelapan malam yang muncul dari rongga impian pemabuk seperti
Bapak, "Aku lebih bangga kamu jadi maling besar. Pembunuh besar!" Dengan pedih,
kata-kata Bapak itu hingga kini terus terngiang. Juga siang itu, ketika aku
mengunjunginya di penjara Wallcatraz yang lembab, dingin dan terkenal "angker".
Hanya penjahat-penjahat besar yang berhak menginap di penjara tua yang terletak di
pulau terpencil itu. Aku memasuki lorong-lorong kompleks penjara itu dengan sedikit
gemetar. Di sepanjang lorong berulang kali kutemui laki-laki berwajah sangar
digelandang para sipir dengan ringan cambukan dan pukulan. Langkahku terasa berat
menyusuri lorong-lorong panjang itu, hingga sampai di ruang besuk. "Socra ya?"
Rupanya ingatan Bapak masih cukup tajam. Ia dengan cepat mengenaliku. Tubuhnya
tampak kurus. Kumis dan jenggot tumbuh sangat lebat, selebat sumpah serapahnya yang
selalu lekat kukenang. Meskipun tampak sedikit lemah, Bapak masih menatapku dengan
nanar. Bola matanya serupa bola api. Keharuan menggenang di kantung batinku. Aku tak
kuasa menahan dua anak sungai yang mengalir di pipiku. "Tangisan hanya menunjukkan
kelemahan." Aku tersengat. Ada rasa bangga yang diam-diam merayap di rongga jiwaku.
Bagaimana mungkin Bapak bisa setegar itu? Bukankah hidupnya di ambang maut? Besok
pagi, dia harus menghadapi regu tembak. Belasan timah panas akan merobek jantungnya!
"Jantungku telah kuberikan kepada hidup..." Bapak mendesis, seperti ular licik yang tetap
tegar menghadapi sayatan belati pemburu. "Tapi kenapa Bapak harus membunuh Hakim
Agung Lopez Mannees itu? Bahkan sampai menghabisi keluarganya?" Bapak tersenyum.
Sama sekali tak menunjukkan penyesalan. "Ya, kenapa tidak? Itu memang pekerjaanku.
Ada orang yang merasa dirugikan oleh keputusan Pak Lopez. Ia berani membayarku
dengan mahal. Dan aku sepakat pada aturan permainan. Tidak akan menyebut nama dia."
"Tapi kalau Bapak mau mengungkap otak pembunuhan itu, barangkali hukuman Bapak
tidak akan seberat ini." "Untuk apa? Sejelek-jeleknya pembunuh adalah yang
mengingkari kesepakatan dan bersikap pengecut. Eeeee... kamu sendiri bagaimana?
Sudah sangat lama kita tak bertemu, sudah berapa orang yang kau bunuh, anakku."
"Maafkan aku. Aku telah mengecewakan Bapak. Aku sudah berusaha keras. Tapi
ternyata aku sama sekali tak berbakat menjadi perampok, maling atau pembunuh macam
Bapak... Maafkan aku..." Suaraku tertahan. Air mataku hendak tumpah, tapi cepat
kecegah. Aku tak ingin Bapak tertawa geli melihat kecengenganku. "Lantas selama ini
kamu jadi apa? Dan apa saja yang kau kerjakan?" Kata-kata Bapak membadai dalam
rongga jiwaku. Pertanyaan itu begitu telak, setelak pukulan tinju Bapak yang dulu
hinggap di ulu hatiku. Otakku bekerja keras merancang kalimat yang hendak kuucapkan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tapi, kalimat-kalimat itu justru menjelma gumpalan-gumpalan aneh yang menyumbat


tenggorokan. Tarikan demi tarikan napas kulakukan untuk menenangkan jiwaku yang
gelisah. Tapi tak juga menolong. Aku tetap saja gagal menguasai diriku. "Bapak telah
siap menghadapi maut?" ucapku tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan. Bapak
memandangku dengan tatapan yang tetap saja nanar. Bola-bola api itu berpendar-pendar
di matanya. "Kapan pun aku siap. Dan sedikit pun aku tak gentar pada maut. Aku mampu
mereguk segala kenikmatan dan kemewahan juga atas jasa maut. Jadi kalau kini sang
maut itu berbalik meremas jantungku, aku dengan senang hati menerimanya." "Apa yang
Bapak inginkan menjelang kematian? Mungkin ada pesan?" "Satu-satunya yang kusesali
adalah kegagalanku membinamu menjadi maling besar, atau pembunuh besar..." "Bukan
itu. Maksud saya yang lebih berkaitan dengan perjalanan Bapak nanti..." "Aku sama
sekali tak takut dengan kematian. Karena selama ini aku hidup dari kematian orang lain.
Dan kematian itu sangat indah, anakku. Berulang kali aku membikin orang mengerjat-
ngerjat kesakitan, kemudian nyawanya loncat... bersama angin... ah... fantastis..."
"Mungkin Bapak perlu bimbingan untuk berdoa?" "Kenapa kamu bilang begitu? Apakah
kamu...?" "Ya. Aku ditugaskan untuk membimbing bapak untuk berdoa." "Jadi kamu ini
pendoa? Semacam rahib, anakku? Apakah Tuhan sudi menerima doa pendosa macam aku
ini?" Aku mengangguk, pelan. Kulihat mata Bapak berkaca-kaca. Baru kali ini kulihat air
mata Bapak menitik. "Ibu mengharapkan aku menjadi semacam malaikat kecil yang
terbang mengawal perjalanan arwah Ibu." "Mungkin juga arwah Bapakmu..." Bapak
langsung memelukku. Erat. Sangat erat. Baru kali ini kurasakan kasih sayang seorang
Bapak mengalir dan menggenangi ceruk-ceruk jiwaku. Pelukan Bapak merenggang,
ketika terdengar suara sol sepatu menghajar kesunyian. "Sudah siap Bapa?" ujar seorang
petugas dengan sangat santun. "Biarkan kami bicara dulu," ucapku pelan. Petugas itu
pelan-pelan meninggalkan kami. Ruang penjara kami rasakan sangat kuat menekan kami.
Pelan-pelan, dinding-dinding yang dingin itu terasa menghimpit kami. Kami berpelukan.
Erat sekali. Seolah-olah kami tak bisa dipisahkan oleh kekuatan apa pun. Kurasakan
pundakku basah. KUTINGGALKAN penjara dengan langkah yan sangat berat. Waktu
terasa melaju begitu cepat. Gerimis putih yang menaburi senja membuat hari semakin
tua, semakin gelap. Selebihnya adalah detik-detik arloji yang mengiris waktu, menjadi
kepingan-kepingan masa lalu yang muram. Suara ledakan senapan regu tembak itu
membentuk dinding rongga jiwaku. Aku melihat wajah Bapak tersenyum. Kematian itu
begitu indah. Tapi tidak untuk yang ditinggalkan. Arwah Bapak pun terbang menyusun
arwah Ibu. Tapi aku tak pernah tahu, apakah aku bisa menjelma malaikat kecil yang
terbang mengawal arwah mereka. ***Jogja, awal Mei 2001

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Tugé

Post: 09/16/2002 Disimak: 332 kali

Cerpen: Gus tf Sakai

Sumber: Kompas, Edisi 07/14/2002

BAGI kami orang-orang Moni, hidup tertinggi tidak dalam daging tak pada tubuh,
melainkan pada roh, hantu-hantu punai dan kepu yang marah lalu berkata, "Saya lapar
manusia." Bagi kami, orang-orang Moni, bila Anda bertanya kami bersandar pada apa,
kami akan menjawab, Torang1 sandar pada kareken, benda adat yang menghubungkan
torang dengan roh abadi dalam gunung dan hutan. Torang sandar pada tugé, benda adat
memperingati pembunuhan nenek moyang, karena perang." Perang? Begitulah, entah
sejak kapan-selain berburu dan berkebun-perang menjadi bagian. Tetapi bagiku, yang
walau seorang dari orang-orang Moni, semua telah tak lebih dari kenangan. Dan, dengan
wajah Pak Piet dan Pastor Theo di kepala, aku melangkah mendekati wesa, honai atau
rumah adat suku kami; menajamkan telinga. Dan benar. Meski samar, aku
mendengarnya. Suara itu seperti desing, bagai menyelusup di kedalaman kabut, meliuk
lapat menyentuh telinga. Kalau saja lebih jelas dan teratur tinggi-rendahnya, siapa pun
tentu menyangka suara itu tiupan suling. Tetapi tidak. Suara itu berasal dari tugé, si
keramat benda peringatan yang benarnya hanya sebuah batu yang salah satu sisinya
ditajamkan. Sungguh aku tak habis pikir, kenapa "si batu" bisa bersuara seperti suling?
Atau, betulkan kata Wetipo - dan aku harus percaya, suara itu tak lain suara punai, iko
kunolepu2 yang menuntut-nuntut menagih nyawa? Bagaimanapun, kumasuki wesa
dengan dada sedikit berdebar. Dalam rumah cendawan yang ukurannya lebih besar dari
honai itu, di depan benda-benda keramat lain, di atas barisan uwarek3, aku pun
melihatnya: Tugé itu, tampak mencolok, kali ini tentu bukan karena desingnya,
melainkan karena bentuknya yang ganjil. Betul kata Wetipo, sama sekali berbeda. Tak
sama dengan tugé-tugé lain yang diasah dari batu ceper, tugé ini dibuat dari batu bongkah
tak beraturan. Kecuali salah satu sisi yang pipih, bagian lain malah berlekuk dan
berlubang-lubang. Dan, saat itulah. Ketika aku menjulurkan tangan untuk meraih, angin
mengeras bagai menerpa. Dan si batu... tugé itu, tiba-tiba bersuit bagai melengking.
Terkejut, kutarik tangan. Kuamati dengan teliti. Angin, lubang-lubang itu... o, aku tahu!
Lubang-lubang di punggung tugé, lubang-lubang di bongkah batu inilah yang, karena
tiupan angin, bisa bersuara seperti suling. Sungguh ajaib! Dan, suara itu bakal meninggi
bila angin mengeras. Angin yang selalu ada di sini, di punggung gunung di ketinggian
3.000 meter dpl ini. Sebuah karya alam yang aih, sungguh mengagumkan. "Kau kini
yakin, Jermias?" Aku menoleh ke sosok yang tiba-tiba sudah berada di pintu wesa.
Wetipo. Ah, bagaimanakah menerangkan pada sahabatku ini, yang seumur-umur hidup di
sini? Dibandingkan dunia luas-terbuka di luar atau di bawah sana, kami, orang-orang
Moni, ada dalam kesenjangan beribu tahun.... ***KESENJANGAN beribu tahun, hmm,
apakah aku berlebihan? Jika Anda melihat kami, orang-orang Moni, Anda akan maklum
kenapa aku berkata begitu. Rambut kami hitam keriting kecil-kecil, dengan warna kulit
cokelat tua sampai hitam perunggu. Tubuh kami besar, dengan kesan perut buncit karena
tulang belakang yang melengkung bagai busur dan tulang pinggul yang melesak ke

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

belakang. Dan, semua itu tak dibungkus oleh apa yang Anda sebut pakaian, kecuali
sebentuk cungkup khusus (untuk laki-laki) dan semacam rumbai (bagi perempuan)
pelindung organ vital. Walau entah kapan, kami percaya, leluhur kami "lahir" dari rahim
gunung, dengan tombak kayu, panah, dan kapak batu. Bersama babi, burung-burung dan
binatang lain, kami hidup, tumbuh dan temurun pada sebuah tempat yang dalam
pikiranku kini juga sungguh ajaib. Betapa tidak. Di sini, di tanah kami, di punggung
gunung yang senantiasa berkabut ini, bagai dibesut lalu dibentangkan sebuah danau.
Bukan danau biasa atau danau air tawar, melainkan sebuah danau berair asin. Bayangkan,
danau garam-di ketinggian tiga ribu meter dari permukaan laut, apakah itu tidak
mencengangkan? Tetapi, seperti yang kukatakan, hidup kami hanya diisi oleh berkebun,
berburu, dan berperang, sehingga danau garam itu jadi luput dan bertahun-tahun
kemudian telah begitu saja digarap oleh orang-orang asing (kami menyebutnya orang-
orang amber atau amberi) yang dengan penuh semangat naik berkilo-kilometer dari
sebuah tempat sangat ramai (kelak, aku tahu tempat itu disebut kota) yang entah sejak
kapan kami namakan Lembah Besar. Dan, dunia mulai berubah. Tetapi begitulah, kami
tidak. Saat orang-orang asing itu sibuk bekerja, kami lebih asyik menggulung tembakau,
menenggak sopa4, leha-leha. Dan tentu pula bukan hanya petani-petani garam yang naik
dari Lembah Besar, tapi juga misionaris. Maka... aku pun bertemu Pak Piet, dan Pastor
Theo. Dua orang yang tak hanya mengenalkanku kepada apa yang disebut agama, tapi
sekaligus membawa dan "mengeluarkan" dari sini. Mengingat Pak Piet dan Pastor Theo,
aku kembali bagai disadarkan. Bersama Wetipo (yang sejak dari wesa kiranya melangkah
mengikuti di belakangku), ternyata, kini, aku telah berada di sana: di pinggir danau itu.
Jadi... inilah semua. Jadi, beginilah semua. Gudang-gudang garam rubuh, porak-poranda,
bahkan sebagian hangus menghitam bekas dibakar. Butir-butir garam berhamburan,
bertaburan, dengan karung-karung garam berserakan, jauh sampai ke tambak-tambak
garam dan pinggir danau. Ah! Terbayang pula mereka, orang-orang asing itu, berlarian
turun ke arah Lembah. Di antara mereka ada yang rebah, bergulingan, dengan punggung
tertancap panah. Ah! Dan kembali, melintas wajah Pak Piet. Kalimatnya, "Kewajiban itu
jatuh padamu, Jermias. Pergilah." Melintas pula wajah Pastor Theo. Katanya, "Kau harus
ke sana, segera. Hanya kau yang bisa..." ***BETULKAH, betulkah aku bisa? Walau
dunia kami, orang-orang Moni, nyaris tak berubah, bagaimanapun tentu ada yang kini
berbeda. Walau aku memang adalah putra kain atau kepala suku, tetapi bagi yang lain -
seperti juga keyakinanku, selalu - ada hal yang telah tak lagi sama. Begitu Jermias
Gabey, si Gabey terakhir, pergi, siapa tahu itu juga berarti datang atau sahnya tata cara
dan kehidupan baru. Seperti kata Wetipo, bukankah semuanya kini bagai ditentukan oleh
abgoktek? Abgoktek, itu juga sebuah kata baru bagi orang-orang Moni. Artinya "orang
besar" tetapi maksud sebenarnya adalah orang terpandang atau berpengaruh, walau ia
bukan keturunan kepala suku. Kata itu berasal dari dialek Warat dan Kiruma, dua suku
yang mendiami sebuah lembah kecil di selatan. Sampai kini aku masih heran, bagaimana
kata itu-yang notabene berasal dari dua suku "musuh" kami-bisa hadir di sini. Abgoktek,
dan itu artinya pula, Sarius Hopogan. Ketika pertama datang, kemarin, orangtua itu
menatapku dengan sorot mata tajam, bergeming, tak berkedip, dari depan honai-nya.
Selain sejumlah lelaki yang aku sudah lupa-lupa ingat, di belakangnya tergopoh mama-
mama5 yang bagiku terkesan dipanggil mendadak. Melintas ingatan masa kecil. Betapa,
waktu aku kanak-kanak dulu, di mataku, Sarius Hopogan adalah sosok lelaki dewasa
besar angker yang menakutkan. "Jadi, pada pikir kau bagaimana, Jermias?" Aku

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

disadarkan oleh suara Wetipo. Pada pikirku? Jelas, ini keliru. Harus dihentikan ini semua.
Keangkeran Sarius Hopogan mungkin masih membekas di kelapaku, tetapi bayangan
bencana masa depan juah lebih penting daripada itu. Kataku, "Akan kaulihat." "Apa
maksud kau?" Kutepuk pundak Wetipo, memberi isyarat agar ia terus mengikutiku.
Cukup. Ya, cukup sudah semua kusaksikan. Menghela napas, menegarkan dada menguak
kabut, kulangkahkan kaki meninggalkan danau. Naik, terus naik... "Ke honai Pak
Sarius?" Wetipo tertegun. Aku mengangguk. "Tapi ...," suara Wetipo ragu. Tetapi ... ya,
memang sungguh di luar dugaanku. Masih 50 atau 60 meter lagi; masih terhalang
rerimbun daun dan ambangan kabut, di sana, di ketinggian,di depan honai-nya, kulihat
orang tua angker itu telah berdiri bagai menungguku dengan ... hampir semua orang
kampungku! Aku tertegun, betulkah semua orang Moni mendukung tindakan itu?
Menyetujui "perang" ini? Lama aku terpaku. Bahwa ada yang bakal mendukung Pak
Sarius, itu sudah pasti. Bahwa ia sengaja memperlihatkan "kekuatan"-nya dengan
memanggil sejumlah lelaki dan mama-mama ketika pertama aku datang, aku juga tahu.
Tetapi, bahwa "kekuatan"-nya sebesar ini? Ratusan! Atau mungkin mencapai bilangan
ribu! Memenuhi depan honai-nya meluber ke honai lain! Pantas, pantaslah Wetipo tadi
tampak seperti ragu. Kuteruskan langkah. Abgoktek itu, diikuti yang lain, bergerak turun
menujuku. "Pakaian" mereka: coretan kapur putih, saputan gemuk hitam wam (babi),
bulu cenderawasih dan kasuari-atribut perang, kapankah itu mereka ganti? Dalam jarak
sepuluhan meter, kami bertatapan. Aku masih mencari-cari kata (ah, apakah tampak
gugup?) saat Pak Sarius mulai bicara. "Torang tahu kau punya maksud, Jermias. Tapi tak
lagi, semua sudah. Harus perang!" Kulayangkan tatap - berusaha, ke semua mata. Akan
sia-sia? "Tetapi, mereka orang-orang amber. Perang suku hanya buat kita. Itu pun sudah
masa lalu." "Masa lalu? Masa lalu, hah! Kaudengar suara tugé. Iko kunolepu miminta-
minta! Waa...! Waaa...!" Orangtua itu menjuntaikan tangan, meloncat-loncat kecil: Tarian
perang orang Moni. "Iii... yeeeee...!" Di belakang si tua, lelaki lain mulai mengikuti-
gerakan itu. Dan mana-mana, bagai diberi aba-aba, mulai pula mengeluarkan suara:
Menyanyi. Nyanyian pemberi semangat! Mulanya pelan, rendah bagai mencecah. Lalu
mendaki. Meninggi... ***BAGI kami orang-orang Moni, bila punai "memperlihatkan"
diri dan roh bagai meregang dalam tugé, itulah saat iko kunolepu datang, muncul pulang
ke anak-cucu dan berseru, "Perang suku!" Bagi kami, orang-orang Moni, bila Anda
bertanya perang suku buat apa, kami akan menjawab, "Torang butuh darah tumpah, untuk
kesuburan tanah. Torang mesti pelihara tanah, yang kasih torang, kasih dorang6, semua
suku di gunungg ini, hidup, melahirkan anak, dan mendewasakan semua yang lahir."
Semua suku di gunung ini? Ya, hanya, hanya suku-suku di gunung ini. Bagaimana itu
bisa sampai berlaku bagi orang-orang amber? Bagi orang yang warna kulitnya sawo atau
putih dan rambutnya lurus? Orang-orang yang, dengan gigih dan tekun, datang dari jauh,
mengolah air asin (betapa akhirnya kami tahu, di kawasan gunung dan Lembah Besar,
apa yang disebut garam ternyata sangat dibutuhkan) yang mungkin hanya bakal
terabaikan? Ah, Sarius Hopogan. Dan kata itu, abgoktek, sungguh berbahaya. Aku yakin,
karena kata itulah - karena ingin menjadi abgoktek-Sarius Hopogan sengaja menciptakan
perang. Memanfaatkan perang suku, yang sebenarnya sudah tak ada sejak puluhan tahun
lalu. Sejak Pak Piet dan Pastor Theo naik dan datang ke tanah kami. Sejak mereka
mendamaikan kami dengan "musuh" kami orang-orang Warat dan Kiruma. Tugé itu! Di
situlah kuncinya! Tak lain, satu-satunya cara adalah dengan melenyapkan atau
menghancurkan. Menghancurkan? O, tidak.... ***TIDAK perlu dengan menghancurkan.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Lenyap atau hancur bisa saja membuat orang-orang kampungku marah, kalap. Dan
kekalapan, sangat mungkin bakal mengundang masalah lain sementara persoalan
sesungguhnya belum terselesaikan. Tugé ajaib itu, bukankah ia seperti suling? Satu
tetakan saja, satu retakan saja, cukup. ***Payakumbuh, 6 Juni 2002 Catatan: 1. Aku,
kami. 2. Roh nenek-moyang yang mati karena perang dan telah menjelma jadi roh yang
dihormati. 3. Benda keramat yang didapat dari musuh yang berhasil dibunuh. 4.
Panggilan hormat untuk perempuan. 5. Dia, mereka.

Kupu-kupu Kuning

Post: 09/16/2002 Disimak: 345 kali

Cerpen: Iyut Fitra

Sumber: Kompas, Edisi 06/10/2002

Seekor kupu-kupu kuning beterbangan gelisah sesaat ada ia bertengger di daun pintudi
saat lain, ingin pagi cepat datango, embun! peluklah aku....Hari sudah malam. Lampu-
lampu sepanjang jalan kota bertaburan seperti bintang-bintang turun menyerbu kami.
Sesekali terdengar sayup suara penjaja. Cuaca tidak mendung, hanya angin memukul-
mukul daun di taman-taman hingga menimbulkan bunyi desau teratur seperti suara
kanak-kanak bermain galah di bawah bulan.Asti berjalan ke arah cermin di kamar itu. Di
kaca bayangnya memantul. Ia tidak tahu pasti, apakah wajahnya yang ayu itu sedang
berduka atau tengah gelisah. Setelah membuka pita rambut, ia biarkan rambutnya yang
panjang lepas tergerai. Tiba-tiba matanya tertuju pada sehelai kertas yang tergeletak di
atas meja; lakukanlah apa yang kauanggap perlu, setidaknya perintang kejenuhan, saya
akan datang jam sebelas! Begitu bunyi surat tersebut, yang Asti pikir pasti
untuknya.Inilah hari pertama Asti menjadi wanita panggilan. Seseorang telah
memesannya untuk datang ke hotel ini. Pertama kali ketika kunci kamar hotel diserahkan
kepadanya, hatinya berguncang. Ingin rasanya ia mencampakkan kunci tersebut dan
segera berlari sekencang-kencangnya. Tetapi pada saat yang lain, ada sesuatu yang
seolah-olah menahannya, menuntunnya, dan mengatakan: bagi hidup, tak satu pun yang
harus ditakutkan, Asti!Pukul sebelas kurang lima menit. Sebentar lagi orang yang
memesannya bakal datang. Asti kembali memperhatikan wajahnya di cermin. Matanya
yang bulat di bawah alis yang tebal. Hidungnya yang bagus. Bibirnya. Lehernya yang
jenjang. Dadanya. Ya, dadanya.... Ah, betapa sempurnanya! Tiba-tiba hatinya pedih. Asti

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

tak sanggup menahan air mata yang begitu saja menetesi kedua pipinya. Ingin rasanya ia
meninju cermin, menghantamnya, agar ia tidak lagi melihat wajahnya. Agar ia tak
melihat lagi dirinya yang seolah-olah akan kehilangan begitu banyak hal yang teramat
penting. Tetapi ia mencoba untuk menetralisir perasaannya. Ia mencoba menghibur
dirinya sendiri. Pekerjaan itu harus dilakukannya. Harus! Kemudian dari dalam tas
kecilnya ia keluarkan sehelai sapu tangan. Ia menghapus air matanya. Mengoleskan
sedikit bedak yang tadi terhapus. Mewarnai bibirnya dengan lipstik yang menyala. Ia
mencoba untuk tersenyum.Seekor kupu-kupu kuning beterbangan gelisahsesaat ada ia
bertengger di daun pintudi saat lain, ingin pagi cepat datango, embun! peluklah
aku....Setelah menghidupkan televisi, Asti menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
Segalanya begitu saja tiba-tiba menjadi seolah sia-sia dan tidak berharga. Pahanya
tersingkap. Dadanya tersembul. Ketika sesuatu telah dimulai, barangkali saat itu pula
sesuatu yang lain bakal berakhir, demikian pikir Asti, dan membiarkan segala yang
selama ini ia jaga menjadi terbuka.Di televisi, seorang pejabat pemerintah sedang
berpidato penuh antusias. Bahwa untuk kehidupan yang lebih layak, mengatasi
pengangguran serta gelandangan, lapangan kerja harus dibuka. Bahwa kemiskinan harus
dientaskan, dimusuhi, dan akan segera dicari jalan keluarnya dengan berbagai-bagai
perencanaan yang segera akan direalisasikan dan seterusnya....``Taik!`` umpat Asti kesal.
Televisi pun mati. Asti menyelai sebatang rokok. Dan jelas, pegangan serta isapannya
terkesan masih sangat gagap. Sudah pukul sebelas lewat lima menit.Ada suara ketukan.
Kemudian terdengar handel pintu berderit. Jantung Asti berdegup. Dalam perkiraannya
telah tergambar seorang laki-laki gendut, sesungguhnya telah tua, buruk, menjemukan
tetapi kaya. Laki-laki yang tentunya sudah bosan dengan istrinya yang keriput, apalagi
jika sang istri tidak pandai membenahi diri. Laki-laki dengan mata yang penuh nafsu,
rakus, dan dari mulutnya akan tercium bau tembakau. Laki-laki yang bagi orang-orang di
sekitarnya (apalagi yang suka menjilat-jilat) pasti dipanggil Bos. Kalau tidak, mana
berani ia membayar harga yang diminta oleh Asti. Harga yang cukup tinggi, karena untuk
sesuatu yang pertama.Namun dugaan Asti jauh meleset. Seorang laki-laki muda, paling
tinggi sekitar tiga puluh tahun, tersenyum ke arahnya. Asti terkesiap. Laki-laki itu
membuka jas dan menggantungkannya. Menanggalkan dasi. Masuk ke kamar mandi.
Mungkin membersihkan muka. Kemudian keluar lagi dan mengambil dua buah minuman
kaleng dari bar mini yang ada di kamar itu. Ia menyodorkan satu di antaranya pada Asti.
Asti menerimanya dengan perasaan berkecamuk. Ia mencoba untuk tenang, meski
kegelisahan tidak sanggup dibuangnya. Ternyata laki-laki yang memesannya masih
sangat muda! Tetapi apa bedanya? pikir Asti. Bukankah tua atau muda ia harus
melakukannya? Bukankah ia kini telah menyandang profesi kupu-kupu malam?Laki-laki
itu duduk di tepi ranjang, sangat berdekatan dengan Asti. Asti tidak dapat membohongi
dirinya bahwa tubuhnya gemetar. Entah takut, entah cemas, entah apa. Mata laki-laki itu
mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang tersingkap di sana-sini. Kulit Asti yang putih,
yang selama ini dijaganya, seolah-olah mulai terjual.``Sudah lama menunggu?`` tanya
laki-laki itu. ``Maaf, saya agak telat karena rapat terlalu sulit menemukan
solusi.````Sudah. Dan segalanya mungkin telah bisa dimulai,`` jawab Asti berusaha
setenang mungkin. Tetapi nada suaranya jelas bergetar.Laki-laki itu tertawa. Berdiri
meletakkan minuman.``Saya tidak serakus yang kaupikirkan!`` ungkapnya. Apakah itu
sebenarnya atau hanya basa-basi, Asti barangkali tidak perlu tahu.``Tetapi aku telah siap!
`` ucap Asti lagi.Laki-laki itu menyelai sebatang rokok, lalu menawarkan pada Asti. Asti

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mengambilnya. Laki-laki itu mengembuskan napas panjang, duduk di sebuah


kursi.``Benarkah ini kali pertama?`` nakal pertanyaan itu.Asti tidak menjawab. Tapi ia
mengangguk.``Mengapa begitu berani melakukannya?``Asti seperti dipojokkan. Sesuatu
seolah-olah menerjang hatinya. Jantungya perih. Dadanya bergemuruh. Ia berusaha
melawannya.``Lakukanlah!`` akhirnya Asti berkata seraya membuka bajunya, sehingga
sebuah panorama terpampang begitu indah.``Jangan tergesa-gesa, saya tidak suka.
Sesuatu yang tergesa tidak akan meninggalkan kesan yang bagus,`` ucap laki-laki itu
seraya meminta Asti untuk kembali memasang bajunya. Asti bingung. Tapi, barangkali
ini baru permulaan, pikir Asti. Bukankah laki-laki akan selalu tampil untuk merampas
simpati seorang wanita pada tahap pertama?``Kau keberatan untuk menceritakannya?``
tanya laki-laki itu seraya membenahi rambut Asti yang berserakan di keningnya. Asti jadi
gugup.``Barangkali itu tidak ada dalam perjanjian kita.````Barangkali itu akan dapat
menukar apa yang telah menjadi perjanjian kita!``Asti terperangah. Ditatapnya mata laki-
laki itu lama-lama. Tapi semakin lama ditatapnya, semakin ia tidak mengerti dengan apa
yang tengah dihadapinya. Kupu-kupu malam! Ah, bagaimanapun Asti kini telah masuk
ke dalam ragam rahasia yang masih sangat asing baginya.seekor kupu-kupu kuning
beterbangan gelisahsesaat ada ia bertengger di daun pintudi saat lain, ingin pagi cepat
datango, embun! peluklah aku....``Aku dilahirkan tepat pada hari kematian ayahku. Jelas
aku tidak paham, apakah ibuku menangis saat itu untuk kebahagiaan setelah melahirkan
aku dengan selamat, atau untuk kesedihan atas kematian ayahku yang telah sepuluh tahun
mendampinginya,`` ucap Asti akhirnya memulai, pelan dan ragu-ragu.Waktu terus
bergerak. Di luar, gelap mungkin telah semakin jelas. Malam merangkak mengembuskan
angin menembus ventilasi. Kehidupan sungguh aneh dan gaib, tapi tentu lebih gaib nasib
dan takdir.``Ayahku tidak meninggalkan apa-apa selain sepetak rumah kontrakan yang
belum lunas serta derita di pundak ibuku yang tak berdaya. Sebagai seorang buruh
pabrik, ayahku ternyata tidak sanggup memberikan kesejahteraan pada apa yang ia cinta.
Tapi kami tidak pernah menyesalinya.Semenjak itu ibuku mulai bekerja sebagai tukang
cuci di rumah-rumah keluarga berada. Upah cuci ternyata tidak mampu untuk
menjelmakan hasratnya menyekolahkanku. Lalu pada malam harinya ibuku mencoba
membuat kue-kue kecil yang esok paginya ia antarkan ke warung-warung. Dalam
kemorat-maritan itulah aku dimasukkan sekolah. Kadang ada saat aku terkantuk-kantuk
di kelas karena membantu ibu sampai larut malam. Segala berlangsung dalam
kesederhanaan. Bukan! Bukan kesederhanaan, barangkali lebih tepat kekurangan! Namun
segalanya dengan tertatih dapat berjalan.Itu hanya berlangsung sampai aku kelas satu
SMP. Saat itu kupikir nasib selalu ingin bermusuh dengan keluarga kami. Karena tiba-
tiba ibuku sakit, dan kontan tidak dapat berbuat apa-apa. Tak ada jalan lain, otomatis aku
berhenti sekolah, menggantikan peran ibu sebagai pencari nafkah. Kian hari sakit ibuku
kian parah, dan itu memerlukan pengobatan yang serius, sedangkan kami tidak punya
uang.Kini sudah enam belas tahun usiaku. Aku tidak sanggup lagi rasanya melihat ibuku
terus didera penderitaan. Telah cukup lama ia tersiksa. Barangkali sudah sepantasnya ia
mengecap kesenangan, kebahagiaan, jauh dari kekurangan. Lama sekali aku dibelit oleh
pikiran seperti itu, sementara aku juga tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa,``
ungkap Asti tidak sanggup lagi menahan isaknya.``Maka ketika seseorang datang
kepadaku memberikan jalan keluar seperti ini, aku menerimanya. Kupu-kupu malam!
Atau lebih kasar lagi, pelacur! Alangkah takutnya aku dulu mendengar kata-kata itu. Tapi
kini aku harus menyandang sebutan tersebut. Tidak! Aku tidak akan menyesal. Aku lebih

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mencintai ibuku daripada kehidupanku. Aku lebih menyayangi ibuku ketimbang


tubuhku,`` urai Asti dalam campuran tangis yang tidak dapat dibendungnya.Malam
barangkali telah sampai di ujungnya. Dingin semakin menyergap. Suara penjaja telah
sepi. Dan waktu seolah terseret-seret mengikuti detak jarum menuju sebuah siklus yang
sesungguhnya selalu berkisar pada tempat yang sama; kehidupan!Pada suatu ketika kita
menyaksikan pemandangan yang teramat berlebihan. Di mana segala sesuatu seolah-olah
bergerak sangat mudah, tanpa aral, tanpa rintang, dan tidak satu pun yang dapat
membendung setiap keinginan.Pada saat yang lain kita terkadang tidak mampu
menyurukkan muka melihat kekurangan demi kekurangan yang betapa melahirkan
kepedihan, tetapi tak satu jua yang rela menceburkan dirinya untuk memberikan sedikit
pertolongan.Alangkah hidup itu sesungguhnya sangat nisbi dan betapa mencengangkan!
``Segalanya sudah jelas. Kini, lakukanlah!`` ucap Asti setelah selesai mengusap air
matanya, kemudian ia menanggalkan seluruh pakaiannya. Seluruhnya! Asti telah pasrah.
Ia pikir, ia harus bertarung melawan nasib.Laki-laki itu berdiri, dan berjalan ke arah Asti.
Asti telah menunggu di ranjang. Gemetar, atau mungkin takut, atau mungkin dengan
segunduk harapan akan kebahagiaan ibunya.seekor kupu-kupu kuning beterbangan
gelisahsesaat ada ia bertengger di daun pintudi saat lain, ingin pagi cepat datang o,
embun! peluklah aku....Tetapi setelahnya, tidak sesuatu pun yang sempat terjadi selain
ucapan laki-laki itu: ``Saat azan subuh telah selesai, tandanya pagi telah datang. Sesuatu
akan berubah seirama dengan deru waktu. Dan perubahan itu, terkadang kita tidak pernah
sempat menduganya. Bila aku telah tertidur, tinggalkan alamatmu, lalu pulanglah!
Katakan pada ibu, bahwa aku akan menikahimu, Asti!`` ucap laki-laki itu lembut tapi
pasti.Asti tidak sempat berkata-kata. Namun yang ia pikir, adakah ini hanya sebuah
mimpi karena nasib begitu cepat sekali berubah. Tetapi kemudian ia dapatkan dirinya
telah berjalan menuju rumahnya dengan bayangan sejuta kupu-kupu beterbangan riang,
tanpa sedikit pun kegelisahan.***Payakumbuh, 2000

Percakapan Patung-patung

Post: 09/16/2002 Disimak: 331 kali

Cerpen: Indra Tranggono

Sumber: Kompas, Edisi 09/15/2002

BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan
yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan.
Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari
posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman
warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.Lima patung yang terdiri
dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan
tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih
karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku,
dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang
mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian
yang mampu mendengarnya."Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat
sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang
membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang
siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama
Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya."Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso.
Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing
dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan
gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut
mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan
lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung
lelaki bernama Durmo.Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata
kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu
dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat
kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada
mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi...
Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada
yang orgi..."Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar
melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut
dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri
ini.""Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini
tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita.
Buktinya, mereka menggaruk apa saja.""Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa
mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang
megah," tukas Wibagso.Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini.
Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama
Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.Angin bertiup
mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki
monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang
membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung
pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya,
sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari
deru nafas kota yang keruh.Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus
bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.YU
Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu,
duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa
yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam
orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam
meluncurkan kata-kata mantera."Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita.
Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak
menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak."Kurang
ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan
Wibagso!" teriak Durmo."Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka
sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat
keabadian," ujar Wibagso."Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu
kebangeten!" protes Cempluk."Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa
mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru
menghardik mereka...," tukas Ratri.Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat,
diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima
berbagai keluhan para "pasiennya"."Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan
pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho...""Habis, saya
selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas
ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong
ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di
genggaman Yu Seblak."Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan
rekan bisa mempertimbangken..."Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo
tampak tersinggung."Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita.
Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan...""Ah anggota dewan kan lebih senang
kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik."Tampung saja keluhan itu," sahut
Wibagso."Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki
musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang
jauh."Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah
lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi
kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya
mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur
Durmo."Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan
kita," Ratri menimpali.Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna
berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam
pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun
sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran
sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso
meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut
perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi
patung."Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso."Untuk
apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan
ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang
jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta,"
ujar Sidik."Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur
melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso."Tapi jutaan orang-orang bernasib
gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku.""Ah, sudah jadi
arwah kok masih perasa.""Tapi perasaanku masih hidup!""Untuk apa memikirkan semua

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada
pemenang, ada juga pecundang!""Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung
Sidik," timpal Ratri."Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan
kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka
memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng.""Ooo kalau
soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai
musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali
kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua
berkat aku!""Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut
Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan
satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu,
menyebut sedang bergerilya!""Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga
yang memimpin serangan fajar itu!""Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin,
Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak
ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo."Tapi
perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas
Wibagso naik-turun."Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah
Durmo."Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang
sesungguhnya hampa?!"Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.
"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling
pahlawan di antara para pahlawan!""Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan?
Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar
mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa
saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini
merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut
keburu menjemputku," ujar Sidik."Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan
kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa
kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak
potongannya!""Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.Bulan kembali
mengerjap. Angin terasa mati.Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali
berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak
menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri."Aku yakin, kalau monumen ini jadi
dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus
itu."Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo
besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar
mengutip kata-kata gagah.Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak
yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM
Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek
itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan
perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana
sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat
prasejahtera."Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa
orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan
spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin
panas.Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah
gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala."Saya setuju saja, jika

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur."Terima
kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan,
itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah."Tapi tunggu
dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak
lama. Maklum...""Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam
saya.""Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei...""Bagaimana kalau
40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif.""Well...well...well... Saya kira Den Bei
bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas.""Bapak ini ternyata
cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."Keduanya tertawa berderai."Den Bei tinggal pilih.
Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang.""Semuanya akan saya
ambil.""Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."Keduanya berjabat
tangan.***"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa
datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi
pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen
bergetar."Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak
menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.Sidik,
Durmo, dan Cempluk tersenyum."Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak
diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus
bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin
penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu!
Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak."Kami di sini. Di belakangmu!"
jawab mereka kompak."Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik
mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"Deru buldoser-buldoser mengepung
monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus
merangsek."Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya
kalian malu!" hardik Wibagso."Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu
bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang
juga punya hak hidup!" teriak Sidik."Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan
sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang
kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal
dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu.
Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara
penjajah.Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang
orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari
lintang pukang."Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak."Sia-sia melawan
mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur."Kita menyingkir saja.
Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir
saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari
moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-
ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang.
Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh
kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.Wibagso tersentak.
Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba
menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan.
Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.Bulan di angkasa mengerjap, Angin
mati."Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih.

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala
Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga
setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*Jogja, awal Juli 2002 (Terima
kasih untuk Joko DH dan Menthol Hartoyo)

Jakarta 3030

Post: 09/12/2002 Disimak: 429 kali

Cerpen: Martin Aleida

Sumber: Kompas, Edisi 08/25/2002

BONGKAH emas yang menengger di puncak Monumen Nasional sudah lama ditakik
dan disingkirkan dari tempat duduknya. Dia digelindingkan begitu saja di daratan. Tak
lebih berharga dari segundukan tanah merah. Emas sudah tak bisa mempertahankan
kemuliaannya di atas besi atau timah. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan
lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan dan
lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di kota ini. Yang disanjung orang
sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang dijadikan
bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan
dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun sebelumnya.Kata-kata.
Karena sifatnya yang bisa ditafsirkan dalam berbagai pengertian, kata-kata sebagai sarana
ekspresi sudah ditinggalkan. Sekarang adalah dunia presisi, dengan bahasa ketepatan
yang memiliki pengertian tunggal. Bayangkanlah bagaimana pentingnya presisi sepuluh
abad yang akan datang, kalau sekarang saja apabila Anda salah memasukkan angka PIN,
maka tak sepeser pun yang bisa Anda tarik dari ATM. Pemujaan pada angka membuat
manusia kelu. Dan ketika kata-kata hilang dari percakapan mereka, maka burung-burung
mengambilalihnya. Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun
yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-
burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan
gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari
perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah
ketukan di atas keyboard.Jakarta terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

yang didewakannya selama lebih dari tiga dasawarsa menjelang akhir abad keduapuluh.
Ingatan kolektif penduduknya bisa lenyap. Tetapi, zaman tak pernah akan lupa bahwa
pada waktu itu ratusan ribu orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak-anak muda yang
ganteng dan manis-manis, yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk bisa
meludah karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana, diculik dan
dilenyapkan rezim bersenjata. Mereka yang membunuh dan menculik tak pernah merasa
bersalah. Hukum buat mereka hanyalah angin yang dengan gampang bisa ditepis. Orang
yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai menghindar dari hukuman sambil
meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan
berpura-pura kena encok.Namun, adil ataupun tidak, zaman tak tertahankan. Dia
melaksanakan hukumnya sendiri. Kota jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah
sekelilingnya membalas penindasan yang berpusat di kota itu dengan membangun pagar
yang lebih dahsyat dari tembok Tiongkok untuk membuat kota ini terisolasi dari sinar
Matahari. Kota terkurung dalam tembok. Orang-orang yang menyimpan dendam kesumat
terhadap kezaliman kota ini mengharapkan dia lekas saja mati karena kekurangan vitamin
D.Berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun
belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa. Seakan tak lebih bernilai
dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin
dibayangkan. Dan penduduk kota membaca berita-berita seperti itu sebagai sesuatu yang
rutin. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Kepekaan
menjadi tumpul. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan
berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari keuntungan
dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme menemukan
dampaknya yang paling mencengangkan.Karet, Tanah Kusir, Jeruk Purut, dan semua
lahan pemakaman sudah lama diratakan, dan di atasnya dibangun gedung-gedung
berbentuk kubis yang menyundul langit dan berdesak-desakan ke laut. Kota ini sudah
tidak mengenal sejengkal tanah pun sebagai tempat pemakaman. Orang-orang kaya, yang
hidup di atas angin, menguburkan diri di luar negeri, di Australia atau Afrika. Untuk tetap
mensakralkan pemakaman, hanya satu perusahaan yang diizinkan beroperasi:
www.kubur.com. Situs tersebut hanya dijalankan oleh seorang pebisnis dengan koneksi
yang tiada terhingga dengan perusahaan penerbangan internasional. Delapan menit
setelah mengklik home page itu, jenazah sudah dikebumikan di benua yang jadi
pilihan.Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar. Dan dia sudah tidak lagi
memerlukan nama. Untuk menghindari kematian dini, karena kekurangan vitamin D,
orang-orang yang tidak beruntung, yang mempertahankan hidup di komunitas yang
pernah jaya seribu tahun sebelumnya, seperti Satu Merah Panggung, Utan Kayu, Garuda,
Bambu, Lidah Buaya, dan kelompok-kelompok lain, dijadikan tumbal. Kapitalisme
memang masih harus membuktikan diri bahwa tatanan masyarakat yang diciptakannya
merupakan akhir dari peradaban manusia. Tetapi, yang jelas komunitas-komunitas tadi,
yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun kelompok kehidupan sendiri
yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan sendiri apa yang memang benar-
benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat
harus berhadapan dengan ajal, maka mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah.
Penaklukan orang-orang di atas angin terhadap mereka menjadi lengkap. Mereka
dijadikan sumber vitamin D. Gubernur kota merasa telah menemukan kebijakan yang
cemerlang dalam upayanya untuk membuat jasad mereka yang tersisih tidak

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

menyebabkan bau busuk yang menyengat kota. Sepuluh detik setelah meninggal, jasad
orang-orang tersisih ini sudah dikerek ke pelataran pemusnahan yang dibangun di puncak
Monumen Nasional. Gubernur dan para pembantunya beranggapan sama sekali tidak
masuk akal membiarkan mayat berbulan-bulan supaya membusuk dan dimakan belatung
di puncak monumen. Maka seratus ekor burung Gazgazammut diimpor dari Asia bagian
tengah. Burung-burung yang berparuh besar dan tajam, dengan tembolok yang tak pernah
kenyang itulah yang dalam lima menit membuat mayat orang-orang tersisih tadi tinggal
tulang-belulang. Balung manusia itu kemudian dikerek turun, dimasukkan ke pabrik
pemrosesan khusus untuk menghasilkan kalsium sejati. Dengan tablet-tablet kalsium ini
penduduk kota O-besar-kemanusiaan memperpanjang harapan hidup mereka.Kepekaan
penduduk kota semakin majal, sementara kicau burung-burung yang semakin sarat
dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Dari atas pepohonan yang
dibuat dari campuran besi dan plastik yang lentur dan antikarat, di mana mereka
bertengger, apalagi pada saat mereka mematuki bangkai manusia yang tersisihkan di
pucak monumen, hati burung-burung Gazgazammut mulai teriris-iris oleh ketidakadilan
yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka. Di kota bawah. Suatu ketika keseratus
burung-burung Gazgazammut terbang serempak dengan ujung-ujung sayap mereka saling
menyentuh. Bayang-bayang mereka membuat kota di bawah jadi kegelapan. Seperti
ditangkup gerhana. Sambil melayang-layang, menukik tajam, membubung tinggi
menerjang langit, mereka memekik-mekik memprotes kezaliman yang dipelihara oleh
kota yang terhampar di bawah. Pada satu situs, seorang penyair memberikan tafsir
mengenai apa yang sedang dilakukan oleh burung-burung yang sedang meradang dan
menerjang itu. Bahwa, kota ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia
dalam bentuknya yang paling bengis tidak dihentikan. Tetapi, seperti kode judi hwa-hwe
dahulu kala, kata-kata bisa dipahami dalam rupa-rupa pengertian. Makna maupun
tafsirnya beragam. Jadi, siapa yang mau mendengar kicau si-penyair. Sementara
penguasa kota tak peduli dengan tanda-tanda alam. Keesokan harinya kawanan burung
Gazgazammut mengepak-ngepak berbarengan di atas kota. Jeritan mereka menyebarkan
ngeri, memekakkan telinga penduduk. Mereka berputar-putar di atas monumen, di mana
dua jasad manusia terletak di atas altar menunggu burung-burung itu melumatkan daging
mereka. Namun, burung-burung itu hanya berputar-putar persis di atas mayat. Memekik-
mekik. Lantas mereka terbang beringsut menjauhi mayat, kembali ke sarang mereka di
pohon-pohon buatan yang ditancapkan di Teluk Jakarta."Katakanlah dengan semangat
kesetiakawanan, apakah yang kita lakukan ini bisa dimaafkan sejarah," kicau seekor
burung Gazgazammut yang ragu dengan perlawanan burung-burung sebangsanya
terhadap kebijakan Gubernur kota dan para pembantunya. Suaranya berat dan parau.
Menggugah tapi liris."Dengan menjunjung tinggi dan atas nama langit ketujuh, kita
berhak menolak untuk mematuki jenazah," sambut suara di tengah kerumunan burung
itu."Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa.
Membikin manusia yang tersisihkan di kota ini akan terserang kolera dan semakin
sengsara.""Kolera sudah lama dikalahkan manusia.""Ya, sama seperti TBC atau cacar
atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya
adalah mayat manusia."Seekor dari seratus burung Gazgazammut itu, sambil tegak di atas
cakarnya yang kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah
dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan perangkat
pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita tak boleh

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html
ABC Amber LIT Converter
http://www.processtext.com/abclit.html

mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini? Kuat suara
hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Ke jantung Asia.
Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam
penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang
lain. Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus angin
mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni hijaunya, dari mana
kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap! Terjang dan ikuti angin buritan
ini," katanya membujuk.Beberapa detik kemudian, rrrruuuuummmm, suara kepak sayap
mereka memenuhi angkasa. Taji di kedua kaki mereka yang kokoh bersiung-siung
menerjang angin. Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Tanpa sinar Matahari, mayat
di atas monumen membusuk dengan cepat. Kota dicekik bau bangkai.Sebenarnya, para
penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan
mayat-mayat kaum tersisih di kota itu menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka
memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan
kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang
yang mereka kalahkan. Mereka hendak mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi,
mereka membiarkan belatung yang mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa
menghiraukan protes penduduk.Saya sendiri sudah lama menyingkir dari kota ini.
Bersama teman-teman kami membangun pulau dari bangkai daun dan akar pohon yang
hanyut dari hulu Sungai Siak. Sampah alami dari hutan-hutan yang dibabat ratusan tahun
yang lalu cukup untuk membangun sehamparan daratan di mulut Sungai Siak yang selalu
ternganga sampai ke tepi laut yang tak tampak. Semut sudah sirna dari kulit bumi, kecuali
di wilayah aliran sungai ini. Perut mereka yang rata-rata sangat ramping, ditambah lagi
dengan kesukaan mereka bergotongroyong, dianggap sebagai simbol perlawanan
terhadap keserakahan. Ini ejekan permanen. Karena itu harus dibasmi. Beginilah aksioma
zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana. Maka, pulau buatan yang
sederhana ini kami namakan Pulau Penyemut, untuk mengabadikan kearifan semut yang
mengilhami. *Bengkalis, 14 Mei 2002

ABC Amber LIT Converter


http://www.processtext.com/abclit.html

Potrebbero piacerti anche