Sei sulla pagina 1di 41

ASPEK FEMINITAS DALAM TAREKAT

NAQSYABANDIYAH MUZHARIYAH DI MADURA

Achmad Mulyadi, M.Ag


Dosen STAIN Pamekasan

Abstrak

Wanita sering diidentifikasi sebagai seks kedua. Klaim historis seperti ini
diperkuat oleh kultur sosial dari masyarakat yang menempatkan wanita di
“belakang”. Wanita ditempatkan sebagai sub-ordinat dari pelbagai kepentingan
termasuk penafsiran agama untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Wanita
sepertinya tidak memiliki wilayah personal untuk mengekspresikan kebutuhan
spiritualnya. Pertanyaannya adalah bagainama wanita mengekspresikan
spiritualitasnya? Bagi wanita Madura kebutuhan spiritual merupakan bagian
dari penguatan individual dan komunal yang tidak bisa dipandang sebelah mata
oleh penafsiran keagamaan. Ekspresi spiritual ini dapat dilihat dalam Tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah. Karena tarekat ini memiliki mursyid wanita yang
memiliki pengaruh luas bagi pengikutnya, baik pria maupun wanita, tentunya
berlawanan dengan pemahaman umum masyarakat Madura yang menempatkan
kyai lebih tinggi derajatnya dari santri. Kyai senantiasa diasosiasikan dengan
pria, sementara santri adalah wanita. Untuk itu, kemunculan mursyid wanita
dalam tarekat di masyarakat Madura merupakan fenomena baru yang memiliki
dampak signifikan terhadap jalan bagaimana ekspresi keagamaan dipahami
khususnya yang berkenaan dengan posisi wanita di masyarakat Madura.

Kata Kunci:
Aspek Feminitas, Puncak Spiritualitas, Silsilah dan Tarekat Naqsyabandiyah.

A. PENDAHULUAN

PEREMPUAN seringkali diidentikkan sebagai makhluk kedua.1 Dosa


sejarah Adam dan Hawa selalu menjadi klaim bahwa perempuan merupakan
penggoda bagi keterjerumusan kaduanya dalam dosa. Klaim sejarah tersebut

1 Penafsiran yang menyatakan bahwa Hawa dicipta dari tulang rusuk Adam
memperkuat pemikiran tentang perempuan sebagai mahluk kedua (the second sex). Penafsiran
tersebut berasal dari surat an-Nisa' ayat 1 yang dipahami bahwa nafs adalah Adam dan zaujaha
adalah Hawa, sehingga muncul pandangan bahwa perempuan merupakan bagian dari laki-
laki. Lihat,. Mufidah, Paradigma Gender, (Malang; Bayumedia, 2004), hlm. 29
diperkuat dengan struktur sosial dalam masyarakat yang menempatkan
perempuan sebagai konco-wingking, teman belakang.2
Dalam konteks tersebut, perempuan selalu hidup diantara ruang-ruang
di belakang rumah, di dapur dengan berbagai aktifitas seperti memasak,
mencuci dan menyetrika, bahkan “melayani suami“. Pelayanan terhadap suami
merupakan “jihad yang paling mulia“. Bahkan dalam berbagai konteks
perempuan kemudian menjadi “senang“ di bawah kuasa laki-laki. Hal ini
diperkuat oleh pesan agama yang disampaikan oleh kaum patriarkhal bahwa
jihad terbesar perempuan adalah melayani laki-laki. Justifikasi agama yang
bersumber dari pemaknaan yang keliru terhadap teks-teks agama, al-Qur’an,
menyebabkan perempuan menjadi “korban“.3
Realitas ini terjadi pasca kenabian dimana perempuan ditempatkan
sebagai bagian dari ruang publik yang tidak berkaitan dengan tamu (publik).
Berbagai kenyataan historis masa kenabian, mulai dari munculnya Khadijah
sebagai pebisnis perempuan, Aisyah sebagai perowi beribu-ribu hadits,
maupun Fatima sebagai bagian dari perjuangan Islam, telah “terdistorsi“ oleh
sejarah patriakhal.4 Setelah periode ini perempuan diposisikan sebagai
subordinat dari berbagai kepentingan, termasuk penafsiran agama yang
“dipelintir“ demi kepentingan sesaat. Perempuan seolah tidak memiliki
ruang personal yang asasi untuk mengekpresikan kebutuhan spiritualitasnya.

2Mansour Faqih, "Posisi Perempuan Dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender"

dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam, (Surabaya; Risalah Gusti, 1996),
hlm. 47
3 Masdar F. Mas'udi, "Perempuan di Lembaran Kitab Kuning" dalam Membincang

Feminisme., hlm. 167-180.


4 Rasulullah memperlakukan perempuan dan laki-laki secara egaliter, ini dibuktikan

dari upaya Beliau untuk menjadikan kaum perempuan sebagai media transformasi
pendidikan. Dalam beberapa even majelis ilmu perempuan tanpak hadir bersama laki-laki.
Terdapat beberapa metode pelacakan keum perempuan dalam ilmu pengetahuan khususnya
penyampaian hadis, pertama, hadir dalam majelis khusus dan umum Nabi seperti khotbah
Nabi pada 'iedul Fitri dan Adha, kedua, mendatangi rumah Nabi secara langsung, ketiga,
bertemu Nabi di jalan, keempat, menyaksikan Nabi ketika berbicara dengan orang banyak,
kelima, berkumpul antara kaum laki-laki dan kaum perempuan seperti pada haji wada'. Lihat,
Kadarusman. Agama, Relasi Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) hlm. 55

2
Lalu, bagaimana perempuan mengekspresikan spiritualitasnya? Bagi
perempuan Madura kebutuhan spiritual tidak bisa dipadamkan hanya
dengan penafsiran yang sempit. Perempun juga terlibat menjadi bagian dari
proses pemberdayaan secara individual dan masyarakat. Ekspresi
keberagamaan ini terlihat dalam Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di
Madura.
Ada tiga tarekat yang tersebar luas di Madura, yaitu Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah, Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Tijaniyah. Yang
paling belakangan, Tarekat Tijaniyah, telah meraih banyak pengikut di
Madura, sedangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah lebih awal bersaing ketat merebut kesetiaan penduduk
Madura. Walaupun demikian, tampaknya tidak pernah ada syaikh tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ternama di Madura, kecuali kiai dari
Rejoso (Jombang) yang merupakan keturunan Madura, yang menyebarkan
pengaruhnya ke seantero pulau Madura melalui badal-badal beliau. Setelah
Kiai Mustain Romli bergabung ke Golkar, tarekat ini pelan-pelan kehilangan
pengaruh di Madura, walaupun banyak pengikutnya mengalihkan kesetiaan
mereka kepada kholifah Kiai Romli yang ada di Surabaya, yaitu Kiai Usman.5
Pada saat itu hanya tarekat Tijaniyah dan tarekat Naqsyabandiyah yang
berpengaruh di Madura.
Di antara dua tarekat tersebut, tarekat Naqsyabandiyah yang memiliki
pengaruh yang lebih dominan. Tarekat Naqsyabandiyah sudah lahir di
Madura sejak akhir abad kesembilan belas. Penganut Naqsyabandiyah di
Madura tidak mempunyai hubungan langsung dengan tarekat
Naqsyabandiyah di Jawa sebab orang Madura mengikuti cabang lain dari
tarekat ini, yaitu tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Tarekat tersebut
menyebar ke Madura berkat upaya Kiai Abdul Azim Bangkalan, seorang
yang telah lama bermukim di Mekkah, telah menjadi khalifah Muhammad

5Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, ( Bandung, Mizan, 1992, hlm.
185-186)

3
Shalih dan mengajarkan tarekat ini kepada orang-orang Madura yang sedang
menunaikan ibadah haji serta tinggal sebentar di kota suci Mekkah dan
Madinah.6 Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah sekarang merupakan tarekat
yang paling berpengaruh di Madura dan juga beberapa tempat lain yang
banyak pengikutnya, seperti Surabaya, Jakarta dan Kalimantan Barat.
Hal yang menarik adalah bahwa mursyid perempuan (mursyidah)
mendapat “tempat” di hati kaum laki-laki dan khususnya perempuan
Madura. Padahal, dalam pandangan masyarakat Madura terdapat kaitan erat
antara Kiai dan Tarekat. Kedudukan Kiai diposisikan lebih tinggi dibanding
“santri’ dan perempuan sering kali dimaknai sebagai santri, bukan mursyid
dari sebuah tarekat. Kiai merupakan mahkluk yang memiliki kharisma.7
Salah satu yang menunjang kharisma, pengaruh dan otoritas seorang
kiai adalah penguasaannya akan ilmu-ilmu gaib (thibb, hikmah, kesaktian)
dan kebanyakan kiai Madura dianggap ahli dalam bidang tersebut. Kaum
perempuan dianggap tidak akan sampai kepada kharisma yang dimiliki oleh
kiai tersebut. Karena itu, munculnya kaum perempuan sebagai mursyid
tarekat mengusik penulis untuk lebih jauh mendalami kaitan antara
spiritualitas kaum perempuan dengan pemahaman individual mursyid dan
pengikut (murid)nya terhadap perubahan pola pandang (religious expression)
tentang posisi perempuan dalam Islam, khususnya dalam dunia tarekat.

6 Menurut Martin, tidak hanya kepada orang Madura, Abdul Adzim setidak-tidaknya

mempunyai seorang murid dari Sasak, H. Muhammad Rais, putra sang pemberontak Haji Ali
Batu, yang memimpin pemberontakan terhadap kekusaan Bali di Lombok pada tahun 1891.
Keturunannya yang masih hidup tinggal di dekat Mujur. Mereka masih mengamalkan
amalan Naqsyabandiyah, tetapi amalannya sudah merosot menjadi bentuk latihan magis
untuk memperoleh kekebalan, dan agak jauh meninggalkan akidah yang ortodoks. Sejak
meninggalnya M. Rais, tidak ada seorang guru pun di sana. Tetapi keturunan yang ada
sekarang mengaku bahwa telah ada kontak lagi dengan orang Madura, dengan seorang
keturunan Abdul Azim yang bernama Umar ahmad Ishaq.
7 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim

Kembar Kembar di Madura, ( Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004), hlm. 87-88, yang menyatakan
bahwa kharisma bersumber dari, pertama, kharisma yang diperoleh secara given, dan kedua,
didapat dari proses perekasayaan. Bandingkan pula dengan Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda;
Sosiologi Komunitas Islam, ( Surabaya; Eureka, 2005), hlm. 166-170.

4
B. EMPAT MURSYID PEREMPUAN MADURA : Wujud Eksistensi
Jaringan Perempuan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Di Madura
Sebagai agama, Islam mempunyai berbagai aspek. Salah satunya
adalah mistik, yang disebut dengan tasawuf (tarekat) atau sufisme. Tasawuf
ini mempunyai sejarah panjang dan unik, khususnya ketika tasawuf
dipengaruhi oleh ajaran maupun budaya di luar Islam. Tasawuf adalah faktor
terpenting bagi penyebaran Islam secara luas di Asia Tenggara, meski setelah
itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat; apakah
bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian.
Selain itu, tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam
menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya, meski
sering menimbulkan kontroversi, pada kenyataannya menunjukkan bahwa
tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya
menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa
berkembang mengikuti gerak dinamikanya. Sufisme atau tarekat dalam
sejarah perkembangan Islam di Indonesia memiliki arti penting. “Islam
Pertama” yang diperkenalkan di Jawa adalah Islam dalam corak sufi. Islam
dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah,
menengah dan bahkan bangsawan.8
Tasawuf (mistisisme) telah menjadi sebuah aliran yang sangat penting
dalam pemikiran dan visi Islam. Tasawuf mewakili sisi batin dan esoterik
Islam yang jauh lebih banyak menyandarkan penekanan pada dimensi
spiritual daripada dimensi ritual, dan bisa dikomparasikan dengan bhakti
mang dalam agama Hindu. "Abnegasi diri", sebuah ketaatan yang luar biasa
dan praktik-praktik spiritual adalah tanda-tanda kaum sufi. Tujuan akhir
mereka adalah fana' fillah (peniadaan ego untuk menuju Tuhan).9
Dalam konteks ini, tasawuf yang berkembang di Indonesia dapat
dipetakan dalam dua tipologi, yaitu falsafi dan Sunni. Tasawuf falsafi

8 Ahmad Syafii Mufid dalam "Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah"
dalam Jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992. hlm. 29
9 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.195

5
merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme
phanteistik Ibnu Arabi. Sedangkan Sunni dihubungkan dengan model Al-
Ghazali. Ibnu Arabi dikenal sebagai seorang sufi Islam yang mengajarkan
"kesatuan hamba dan Tuhan". Kedua tradisi tasawuf itu sama-sama memiliki
akar yang kuat dalam sejarah Islam di Nusantara.10
Tasawuf falsafi pernah memperoleh masa kejayaannya di Aceh pada
masa Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan Syekh
Syaifurrizal. Di Pulau Jawa, tasawuf falsafi dikembangkan oleh Syekh Siti
Jenar beserta murid-muridnya, seperti Ki Ageng Pengging dan Jaka Tingkir.
Di Aceh, tasawuf falsafi mengalami kemunduran sejak munculnya Syekh
Nuruddin Ar-Raniri sebagai mufti kerajaan menggantikan Syekh Syamsuddin
Sumatrani. Ketika itu, terjadi pembunuhan terhadap penganut tasawuf falsafi
dan pembakaran buku-bukunya. Di Jawa, Syekh Siti Jenar dieksekusi oleh
"dewan Wali Sanga". Namun, tidak sedikit murid Fansuri dan Siti Jenar yang
sempat menyelamatkan diri. Salah seorang muridnya di Jawa yang kemudian
meneruskan ajaran tersebut adalah Ronggowarsito yang dikenal sebagai
pencetus ajaran Manunggaling Kawula-Gusti. Banyak yang lain kemudian
meneruskan ajaran itu dalam bentuk aliran-aliran kebatinan yang
diidentifikasi oleh Clifford Geertz sebagai komunitas Islam Abangan.11
Tasawuf Sunni yang merujuk pada model Al-Ghazali – yang ketat
memegang syariat Islam - dikembangkan di Aceh oleh Ar-Raniri beserta
murid-muridnya. Di Jawa, ajaran itu dikembangkan oleh Wali Sanga. Wali
Sanga sendiri, menurut penelusuran Alwi, berasal dari komunitass yang
sama, yakni sebagai keturunan dari Syekh Ahmad bin Isa Muhajir dari

10 Sedangkan apabila dilihat dari prilaku para pengikut tasawuf, secara garis besar

dapat dikelompokkan menjadi dua macam, pertama, pola tasawuf yang berorientasi kepada
kepuasan subyektif, seperti yang dilaksanakan di kalangan tarekat secara umum - namun
bukan berarti mutlak seluruhnya - dan dalam aliran kepercayaan kepada Tuhan YME dan
kedua, pola tasawuf yang berorientasi kepada kepuasan amal sosial, seperti yang dilakukan
oleh orang Muhammadiyah. Lihat, Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas?, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 157
11 Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, (Mizan,;Bandung, 2001), hlm. 32

6
Hadramaut, yang dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan Nabi
dari Arab Saudi dan daerah Arab lain yang tidak menganut Syiah. Komunitas
tasawuf Sunni kemudian dikembangkan lewat tarekat dan pesantren oleh
murid-murid dan keturunan Wali Sanga.12
Sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan
antara doktrin-doktrin formal Islam dan kultus para wali, yang berpuncak
pada Wali Sanga sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermets)
dalam agama Hindu. Perwujudan ini tampak sekali dalam ascetisme (zuhd)
yang menjadi warna kental dari kehidupan agama Islam di negeri ini.13
Kehidupan model asketisme ini berkembang pesat terutama di dunia
pesantren. Pemilihan cara hidup semacam ini barangkali di samping alasan
geneologi keislaman nusantara yang memiliki corak tersendiri, juga
merupakan suatu culture counter terhadap kehidupan umum masyarakat yang
sedang dilanda krisis moral. Dalam konteks ini tampak bahwa tradisi yang
berkembang di pesantren memiliki kemiripan dengan tradisi dalam tasawuf
(tarekat). Persoalan penghormatan dan sikap hormat kepada kiai adalah
ajaran yang mendasar yang ditanamkan kepada santri. Bahkan kepatuhan
tersebut disinyalir lebih penting dari mencari ilmu itu sendiri.14 Tradisi
kepatuhan mungkin sulit dipahami dan dimengerti oleh setiap orang. Tetapi
kejadian itu memang ada dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu,
termasuk masyarakat pesantren dan komunitas pengikut tarekat dengan kiai
sebagai pemimpin utamanya.15

12 Tasawuf Sunni lebih cenderung pada penerapan syariat sebagai sebuah jalan menuju

mistisisme Islam yang sebenarnya. Lihat, Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional
dalam Transisi dan Modernisasi, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2003), hlm. 81.
13 Abdurrahman Wahid sebagaimana dikutip Syahrul A'dam, ''Kiai dan Tarekat" dalam

AHKAM; Jurnal Syari'ah-Hukum dan Pranata Sosial no.11/V/2003, hlm.39


14 Ibid.
15 Kepemimpinan seorang kyai berdasarkan kharisma. Dominasi kharismatik

(charistmatic domination) menurut teori Weber bisa terjadi apabila pihak yang berwenang
secara pribadi diakui memiliki kharisma karena kekuatan magis, menerima wahyu, atau
memiliki sifat kepahlawanan. Lihat Antony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern;
Suatu Analisis suatu karya tulis of Marx, Durheim and Max Weber, terjemahan oleh Soeheba

7
Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para sufi yang gencar
mengadakan pengembaraan, terutama sejak abad ke 13 setelah keruntuhan
Bagdad dan Mongolia. Para sufi pengembara, waktu itu, memainkan peran
yang cukup penting dalam memelihara keutuhan dunia muslim dengan
menghadapi kecenderungan pengelompokan kawasan-kawasan kekhalifaan
ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persi dan Turki. Pada masa ini
tarekat secara bertahap menjdi institusi yang disiplin dan stabil, dan
mengembangkan afiliasi dengan kelompok pedagang dan pembuat kerajinan
tangan yang turut membentuk masyarakat urban.16
Demikian juga, tarekat pada mulanya mendapat tempat di istana.
Kemudian secara pelan-pelan mulai masuk ke kalangan masyarakat awam.
Menjelang abad ke 18, berbagai macam bentuk tarekat telah mulai tersebar di
nusantara. Ini terjadi karena murid-murid yang belajar di Haramain kembali
ke tanah air dan mengajarkan tarekat yang pernah dipelajarinya. Diantara
tarekat-tarekat tersebut adalah tarekat Syattariyah, tarekat Naqsyabandiyah,
tarekat Qadiriyah, tarekat Syadziliyah, tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, tarekat Sammaniyah, tarekat Tijaniyah dan tarekat
Kubrawiyah.17
Untuk konteks Madura, sebagaimana disebutkan di awal, hanya ada
tiga tarekat yang tersebar luas di Madura, yaitu tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Tijaniyah.
Menarik bahwa perempuan mendapat “tempat” dan memiliki peran
dalam komunitas tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura, khususnya
kaum perempuan Madura. Hal ini menarik karena pada umumnya yang
menjadi mursyid tarekat adalah kiai yang kebanyakan laki-laki. Sebelum

Kramadibrata dari Kapitalisme dan Modern Sosial Theory: an Analysis of writing of Marx, Durheim
and Max Weber (Jakarta; UIP, 1985), hlm. 197.
16 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dasn

XVIII; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung; Mizan 1994), hlm.
33
17 Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokohnya-tokohnya di Nusantara,

(Surabaya; al-Ikhlas, tanpa tahun), hlm. 49

8
menjadi mursyid, kiai pada mulanya merupakan seorang murid yang telah
mendapat ijazah (limpahan wewenang) dari guru atasannya dalam susunan
mata rantai (silsilah)18 tarekat. Sebaliknya, pengikut atau murid yang belum
mendapatkan ijazah tidak diperkenankan mengajarkannya kepada orang lain.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dianggap sebagai pengkhianatan kepada
baiat (janji suci) yang diucapkannya ketika pertama kali ia memasuki
tarekat.19 Karena itu, mursyid dalam tarekat menempati kedudukan yang
sangat tinggi dan signifikan sebab mursyid berkedudukan sebagai perantara
(washilah) antara sang murid dengan Tuhannya. Dengan demikian,
kedudukan Kiai (sebagai mursyid) lebih ditinggikan dibanding “santri’. Dan
perempuan seringkali dimaknai sebagai santri, bukan mursyid dari sebuah
tarekat.
Kiai merupakan mahkluk yang memiliki kharisma (kewibawaan).
Faktor kewibawaan yang dimiliki seorang kiai merupakan salah satu
kekuatan dalam menciptakan pengaruh di dalam masyarakat (tradisional).
Tanpa kewibawaan, seorang kiai tetntu akan kesulitan dalam menciptakan
pengaruh. Dalam melihat kewibawaan kiai terdapat dua dimensi yang perlu
diperhatikan. Pertama, kewibawaan yang diperoleh seseorang (kiai) secara
given, seperti tubuh yang besar, suara yang keras, dan mata yang tajam serta
adanya ikatan geneologis dengan kiai kharismatik sebelumnya. Kedua, dengan
proses perekayasaan. Dalam arti, kharisma diperoleh melalui kemampuan

18 Ijazah dan silsilah adalah akibat logis dari adanya doktrin kerahasiaan yang ada

dalam tarekat. Dengan demikian seorang pengikut tarekat harus merahasiakan ajaran-ajaran
tarekat kepada orang lain, kecuali kalau memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu. Doktrin
tersebut bertitik tolak dari keyakinan bahwa nabi Muhammad datang ke dunia ini dengan
membawa dua macam risalah, pertama, yamg diperuntukkan bagi semua umat muslim dan
kedua, hanya dikhususkan kepada orang-orang-orang tententu saja, dalam hal ini adalah Ali
bin Abi Thalib.
19 Harisuddin Aqib, al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

(Surabaya; Bina Ilmu, 1998), hlm. 95-101.

9
dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan
kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.20
Salah satu yang menunjang kharisma, pengaruh dan otoritas seorang
kiai adalah penguasaannya akan ilmu-ilmu gaib (thibb, hikmah dan kesaktian)
dan kebanyakan kiai Madura dianggap ahli dalam bidang tersebut21.
Pandangan umum menilai kaum perempuan tidak akan sampai kepada
kharisma yang dimiliki oleh seorang kiai. Tetapi yang terjadi dalam tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura sebaliknya. Di antara pemimpin
(mursyid)nya adalah perempuan dan mereka tidak hanya bertindak sebagai
asisten dari para suami yang lebih dominan, akan tetapi benar-benar mandiri
(independen).22
Fenomena tersebut tentu bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan
apabila dilihat dalam perspektif sejarah Islam. Secara historis sudah banyak
sosok perempuan yang menempati posisi dan berperan sama dengan kaum
laki-laki seperti Khadijah23, Aisyah24, Fatimah25, sosok Ratu Balqis26 dan lain
sebagainya.

20 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004), hlm. 88
21 Bila dilihat dari peran sosialnya, kiai di Madura memiliki beragam peran dan

keahlian. Mereka tidak hanya berperan sebagai tokoh agama yang mengajarkan pendidikan
moral-keagamaan akan tetapi juga melakukan praktik perdukunan dengan cara memberikan
pengobatan tradisional melalui praktik magisme. Kiai "dhukon" begitu orang madura
menyebutnya. Lihat, Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, hlm. 48 dan bandingkan dengan
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta; LP3ES,
1994), hlm. 55.
22 Martin Van Bruinessein, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1996),

hlm. 197.
23 Karena perannya yang begitu besar terutama ketika Nabi menerima wahyu yang

pertama, Khadijah pantas menyandang gelar Ibu Kaum Beriman Wanita Terbaik (khairun nisa').
Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam,(Bandung;
Mizan, 1998), hlm.59
24 Aisyah tercatat sebagai orang yang banyak mengetahui tentang kehidupan pribadi

Nabi dan bahkan sebagai pemimpin perang ketika melawan Ali bin Abi Thalib. Annemarie
Schimmel, Jiwaku., hlm. 61
25 Ibid, hlm. 64
26 Nasaruddin Umar, "Perspektif Jender Dalam Islam" dalam Jurnal Pemikiran Islam

PARAMADINA, Vol. 1 Nomor 1, Juli-Desember 1998, hlm. 110.

10
Tidak bisa dipungkiri, dalam sejarah Islam, kaum sufi perempuan
muncul pada periode sangat awal, dan martabat orang suci diberikan secara
sama baik kepada perempuan maupun laki-laki. Bahkan kedudukan mereka
sebagai sufi begitu terhormat, sehingga laki-laki harus mengakui status yang
tinggi kepada mereka. Fatimah, anak perempuan Nabi mendapatkan posisi
yang sangat tinggi dan dirujuk sebagai pemimpin spiritual pertama penganut
sufi.27
Dalam perjalanan sejarah tarekat dalam Islam, hanya ditemukan satu
sosok perempuan yang paling masyhur dari Bashrah yang hidup pada abad
kedelapan, yaitu Rabi'ah Al-Adawiyah. Rabi'ah termasuk dalam golongan
wanita sufi yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya, baik
dalam keutamaan sosial (mu'amalat) maupun pencapaiannya menuju Allah
(ma'rifat). Rabi'ah Al-Adawiyah, yang populer dengan Rabi'ah Bashri adalah
seorang sufi perempuan par excellence. Dia secara universal dihormati di
kalangan masyarakat Islam.28
Pada tataran sejarah berikutnya, tidak muncul tokoh perempuan
sebagai tokoh utama kaum sufi termasuk setelah aktifitas sufisme ini hadir di
nusantara, padahal jumlah pengikut perempuan mencapai 30 sampai 40%.29
Namun patut ditambahkan bahwa hanya di dalam tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah Madura mereka bisa berbaiat kepada guru yang perempuan
juga. Paling tidak, terdapat empat mursyidah yang dapat dicatat, yaitu Nyi
Aisyah, Nyi Tobibah, Nyi Syafiah dan Syarifah Fatimah. Fenomena ini
agaknya harus dipahami dalam konteks budaya Madura. Melalui empat
mursyidah inilah jaringan perempuan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah
tidak hanya eksis akan tetapi juga berkembang sampai se antero pulau
Madura, dari kabupaten Bangkalan, Sampang, Pameksanan dan Sumenep.

27 Ibid, hlm. 197.


28 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta: LkiS,
2003) hlm. 196.
29 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah., hlm. 198

11
C. WEWENANG KHUSUS: Suatu bentuk Eksklusifitas dan Independensi
Jaringan Perempuan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Di Madura

Eksistensi jaringan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah bagi kalangan


perempuan ditunjukkan dengan tampilnya empat orang mursyidah. Mereka
menjalani aktifitasnya sebagai mursyidah dalam kurun waktu yang berbeda-
beda. Orang pertama yang dibaiat menjadi mursyidah di kalangan tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura adalah Nyi Aisyah.30
Pembaiatan ini terjadi pada saat awal-awal tarekat ini menyebar di
Madura yaitu di akhir abad ke 19. Pengangkatan Nyi Aisyah sebagai mursyid
ditujukan untuk memimpin dan melayani pengikut perempuan. Tugas dan
wewenang utama yang diemban oleh Nyi Aisyah adalah memberikan
orientasi dan bimbingan kepada jemaahnya (kebanyakan sudah lanjut usia)
untuk siap secara mental spiritual menyongsong secara optimis persoalan
kritis yang akan segera mereka hadapi, yakni hidup sesudah mati dengan
memanfaatkan sisa hidupnya sebaik mungkin di dunia, dengan sebuah
propaganda bahwa surga "go publik". Akses ke surga terbuka untuk siapa saja,
kaya atau miskin, alim atau awam, bangsawan atau jelata. 31
Dalam konteks tujuan tersebut, mereka dibawa melakukan latihan-
latihan (riyadah) atau dzikir bersama mendekatkan diri kepada Allah Swt
yang pada akhirnya berharap memperoleh ridaNya. Syarat pertama dan
utama yang harus mereka lakukan adalah menjalankan syariat yang diajarkan
oleh Rasulullah Saw. Syarat ini memang menjadi salah satu karakteristik

30 Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Nyi Aisyah adalah seorang

mursyidah pertama di Madura dari tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah yang dibaiat oleh
K. Adul Adzim. Beliau tidak tampak pada silsilah dalam penelitian Martin Van Bruinessen,
akan tetapi dalam penelitian ini ditemukan dari penuturan seorang mursyid yang sekarang
aktif memimpin dan mengembangkan tarekat ini. Di samping itu, memang penelitian ini
secara khusus mencari aktivitas dan kegiatan tarekat khusus untuk jaringan perempuan.
31 Dengan kata lain, mengikuti tarekat tidak lebih dari mengusahakan bekal sebaik

mungkin untuk mempersiapkan kehidupan akhirat khususnya bagi mereka yang mulai sadar
bahwa kehidupan fananya akan segera berakhir. Lihat, AG. Muhaimin "Pesantren, Tarekat,
dan Teka-Teki Hodgson: Putret Buntet dalam Perspektif Transmisi dan Pelestarian Islam di
Jawa", Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung;
Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 88.

12
dalam tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Dengan demikian, ketaatan
yang mendalam terhadap hukum-hukum syariat yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw adalah tema yang sering ditekankan oleh banyak kalangan
Naqsyabandiyah Muzhariyah dalam mendefinisikan jalan tarekat mereka.
Tugas pemberian bimbingan khusus bagi kalangan perempuan akhirnya
berlanjut setelah diangkatnya Nyi Tobibah dan Syarifah Fatimah menjadi
mursyidah. Nyi Tobibah bertugas memberikan bimbingan di daerah
Pamekasan dan Syarifah Fatimah memberikan bimbingan di daerah
Sumenep. Walaupun secara geografis mereka memberikan bimbingan di
daerah dan jemaah yang berbeda akan tetapi sesekali mereka masih
berkumpul dalam rangka memperdalam dan mengembangkan tarekat.
Materi bimbingan yang diberikan oleh Nyi Tobibah dan Syarifah
Fatimah sama dengan materi yang disampaikan oleh Nyi Aisyah. Mereka
(para pengikut) diajak untuk meniti kehidupan ini dengan model hidup zuhud
(asketis) dengan jalan menyucikan hati (tashfiyah al-qalb) dan mengharapkan
keridhaan Allah Swt. Model kehidupan seperti ini merupakan cara hidup
yang berusaha secara ketat mengikuti ajaran Islam dengan melaksanakan
semua amalan wajib, memperbanyak amalan-amalan sunnat, meninggalkan
semua yang diharamkan, dan menjauhi yang makruh dan subhat.
Sekalipun tidak selamanya, implementasi cara hidup seperti ini - bila
dalam kadar tertentu diperoleh keridhaan Allah Swt - adalah kemampuan
untuk menangkap hakikat, yakni kebenaran esensial tentang sesuatu yang
selama ini menjadi rahasia Tuhan. Jika kemampuan ini sudah terasa
sedemikian rupa karena ketakwaan yang tanpa henti, maka secara intuitif
banyak mengetahui berbagai hal yang selama ini menjadi rahasia Tuhan.
Kondisi ini dikatakan sebagai makrifat.32 Sudah barang tentu, tidak semua
orang Islam yang pernah membaca syahadat mau menjalankan syariat, dan
tidak pula semua orang yang menjalankan syariat mau ikut tarekat. Demikian

32 Ibid., hlm. 93

13
juga, tidak semua orang yang mengikuti tarekat akan sampai pada
pengalaman ruhani berupa memperoleh hakikat, apalagi terbiasa secara
intuitif mampu mengetahui esensi banyak hal (ma'rifat).
Dengan kata lain, perjalanan spiritual seorang muslim yang diawali
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sangat panjang. Ia harus
menjalankan syariat agar menjadi muslim yang baik dan bertakwa. Mereka
yang mau dianjurkan untuk meningkatkan ketakwaannya dengan antara lain,
mengambil salah satu jalan (tarekat) tertentu. Kalau tekun dan beruntung, ia
bisa meraih haqiqah atau bahkan ma'rifat33. Tidak heran bahwa, dalam
diskursus sufisme, istilah syariat, tarekat dan ma'rifat dipasang dalam satu
kontinum yang mengacu pada tingkat ketakwaan seorang hamba Allah Swt.,
dimana syariat dianggap sebagai yang terendah dan makrifat sebagai yang
tertinggi.
Dalam tradisi jaringan perempuan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah
Madura, pengikut tarekat menjalani dengan sungguh-sungguh serangkaian
“tahap pertapaan” mereka. Yang menjadi karakteristik khusus tahap-tahap
meditasi mereka adalah: tobat (taubah), pantangan (wara'), penolakan (zuhd),
kemiskinan (fakir), kesabaran (sabar), iman (tawakkal), dan kepuasan (ridha).
Masing-masing dari ketujuh tahapan meditasi tersebut disoroti dan diberi arti
sesuai dengan cita penyucian hati secara sufi. Namun secara urut ketujuh
tahapan tersebut mengarah kepada peningkatan secara tertib dari satu
tahapan ke tahap berikutnya. Pada puncaknya (tahapan ketujuh) akan
tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia, yaitu menciptakan
suasana hati yang netral dan memandang sepele terhadap dunia.34

33 Tujuan utama yang menjadi inti ajaran dalam tarekat adalah mencapai penghayatan

makrifat pada dzatullah. Alat untuk menghayatinya bukan pikiran atau panca indra, akan
tetapi hati atau qalbu. Karena itu, dalam ajaran tarekat hati merupakan organ yang amat
penting, hati bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib dan puncaknya
adalah penghayatan makrifat kepada Allah Swt. Lihat, Simuh, Tasawuf Dan
PerkmbangannyaDalam Islam, (Jakarta; Rajawali Pers, 1996), hlm.121.
34 Menurut al-Ghazali setiap pengikut sufi yang ingin mendapatkan penghayatan

makrifat pada Tuhan harus sanggup membelakangi dunia secara keseluruhan, karena
makrifat pada Tuhan tidak bisa dimadu dengan dunia. Lihat, Simuh, Tasawuf, hlm. 51

14
Tahap meditasi pertama adalah taubat. Taubah yang diajarkan adalah
taubat dari terlena mengingat Tuhan (ghaflah). Taubat merupakan pangkal
tolak peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke kehidupan baru, yaitu hidup
dengan mengingat Tuhan sepanjang masa. Dengan demikian taubat
merupakan suatu proses peralihan dengan mematikan cara hidup lama (yang
ghaflah) dan membina cara hidup baru, yang selalu ingat dan dekat pada
Tuhan dalam segala keadaan. Proses peralihan dijalankan dengan upacara
inisiasi (baiat) dengan cara dimandikan dan diberi pakaian seperti halnya
mayat dikafani sebagai simbol taubat.35
Tahapan meditasi berikutnya adalah tahap wara'. Pada tahapan ini
seorang pengikut tarekat diharuskan meninggalkan segala hal yang belum
jelas (syubhat) halal atau haramnya, atau bahkan meninggalkan apa yang
tidak perlu sekalipun jelas halalnya. Dengan demikian tahap wara'
merupakan pembinaan mental yang harus dijalankan bagi seorang pengikut
tarekat untuk membersihkan hati dari ikatan-ikatan keduniaan baik secara
lahir tidak menggerakkan badan kecuali ibadah kepada Allah Swt maupun
secara batin tidak memasukkan sesuatu dalam hati kecuali Allah Swt.36
Setelah tahap wara' dijalankan baru naik ke tahap selanjutnya yaitu
tahap zuhud. Pada dasarnya zuhud diartikan tidak tamak dan tidak
mengutamakan kesenangan duniawi. Zuhud adalah sikap meninggalkan
segala yang melalaikan hati dari Allah Swt dan memandang kecil arti dunia
serta menghapus pengaruhnya dari hati. Namun pada akhirnya zuhud
diartikan dengan pengertian baru yaitu terkandung dalam makna asketis.
Dengan demikian, zuhud berarti mengasingkan diri dari kehidupan dunia
dan tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani, memerangi keinginan-
keinginan hawa nafsu, berpuasa, menyedikitkan makan dan memperbanyak
dzikir.37

35 Ibid, hlm. 52
36 Ibid, hlm. 55
37 Ibid., hlm. 60-61.

15
Tahap meditasi berikutnya adalah fakir. Pada tahapan ini pengikut
tarekat berupaya mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan
terhadap apa saja selain Tuhan. Upaya semacam ini disebut qat'ul ala'iq
(membelakangi atau membuang dunia). Yang dituju pada tahap ini
sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga
hatinya hanya terisi pada kegandrungan dan keindahan penghayatan
makrifat pada dzat Tuhan disepanjang keadaan. Dengan demikian, tahap
meditasi fakir dirumuskan dengan tidak punya apa-apa dan tidak
menginginkan apa-apa, yang ada dan harus dilakukan adalah penyucian hati
secara keseluruhan terhadap apa saja selain Tuhan.38
Tahap meditasi selanjutnya adalah sabar. Sabar di samping diartikan
dengan penguasaan diri pada saat mengalami kesempitan, kesusahan, dan
penderitaan juga dimaknai dengan meninggalkan segala macam pekerjaan
yang digerakkan oleh hawa nafsu dan senantiasa melakukan ajaran agama
semata-mara karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat.39 Dengan
demikian dalam tahap meditasi sabar, seorang pengikut tarekat harus
menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan suatu penderitaan dan
melakukan kewajiban tanpa ada keluhan sedikitpun.
Berikutnya seorang pengikut tarekat menjalani tahap tawakkal.
Tawakkal sering diartikan dengan menyerahkan segala urusan hanya kepada
Allah Swt. Pengertian ini menyiratkan perlunya ikhtiyar dalam tindakan.
Tawakkal yang dilandasi kerja keras. Dalam tahap meditasi tawakkal, seorang
pengikut tarekat diarahkan pada tawakkal dalam konsep Jabariyah, yaitu
tawakkal tanpa memikirkan usaha, dan menggantungkan diri sepenuhnya
kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Allah Swt. Dengan demikian,
para pengikut tarekat mengalami segala geraknya semata-mata digerakkan

38 Ibid., hlm. 63.


39 Mustafa Zahri, Ilmu Tasawuf,(Surabaya; Bina Ilmu, 1995), hlm. 68-69

16
dan dikuasai Tuhan seperti sampah yang mengapung di lautan, tidak punya
gerak dan tidak dapat menguasai diri.40
Setelah melewati tahap meditasi tawakkal, nasib hidup diserahkan bulat-
bulat kepada pemeliharaan dan rahmat Allah Swt, maka harus segera diikuti
dengan menata hatinya untuk melalui tahap meditasi terakhir yaitu Ridla.
Pada tahap ini, seorang pengikut tarekat harus mampu megubah segala
bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan menjadi kegembiraan dan
kenikmatan. Segala yang telah dan sedang dialami itulah yang terbaik
baginya. Segala derita dan percobaan Tuhan ditanggapinya sebagai rahmat
nikmat Allah Swt.41
Di samping beberapa materi tentang cara-cara penempaan diri agar
menjadi yang terbaik, para mursyidah juga mengisi kegiatan riyadah tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah dengan dzikir personal, khawajagan biasa
sampai tawajjuhan. Mereka berperan sebagai penuntun dan pembimbing
dalam cara mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam dzikir ismu dzat
misalnya, terdapat wadah dan tempat yang harus diletakkan setiap orang
melakukan dzikir yaitu latifatul qalbi (dua jari di bawah payudara kiri
condong ke lambung kiri), latifatur ruh (dua jari di bawah payudara kanan
condong ke lambung kanan), latifatus Sirri (dua jari di atas payudara kiri
condong ke dada), latifatul khafi (dua jari di atas payudara kanan condong ke
dada), latifatul akhfa (di tengah-tengah dada), latifatun Nafsi (di Dahi), latifatul
qalb (seluruh badan dari pucuk rambut sampai ujung kaki). Penunjukan
tempat-tempat di atas adalah tugas dan wewenang mursyidah. Tugas-tugas
dan wewenang tersebut diberikan oleh Nyi Tobibah, dan Syarifah Fatimah
kepada para pengikut pada saat riyadah baik dzikir bersama, khawajagan

40 Ibid., hlm. 67-68


41 Rida adalah sifat yang tidak semua orang dapat memilikinya sehingga tidak semua
orang menerima keadaan-keadaan yang menimpa dirinya, apalagi merubahnya sebagai
rahmat dan nikmat Allah Swt. Karena itu, dalam tarekat, rida ini merupakan tahap akhir
(ketujuh) dan jika berhasil melekat pada dirinya maka akan selamat dari segala penyakit hati
yang mengganggunya dan hidup penuh dengan kegembiraan dan kenikmatan. Lihat,
Mustafa Zahri, Ilmu Tasawuf., hlm. 71-73

17
biasa maupun tawajjuhan, khususnya untuk kalangan perempuan. Ini tentu
bukan sesuatu yang mengherankan karena memang jumlah jemaah
perempuan mendominasi.

Realitas di atas menunjukkan bahwa jaringan tarekat Naqsyabandiyah


Muzhariyah di Madura untuk kalangan perempuan sangat independen dan
ekslusif. Ekslusifitas dan independensi jaringan ini tentu bukan dalam artian
keluar dari kelompok besar tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura,
akan tetapi masih dalam satu ikatan besar dari jaringan utama tarekat ini,
hanya saja kelompok perempuan mendapatkan kewenangan khusus dalam
mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah karena banyaknya
jemaah kaum perempuan dan mereka bisa berbaiat kepada guru yang
perempuan juga.

D. MOTIVASI KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM TAREKAT


Menempuh jalan tarekat adalah meniti hidup asketis melalui
penyucian hati dan pengharapan rida Allah Swt. Di Madura ditemukan
banyak orang menempuh jalan ini. Di antara sekian tarekat yang
berkembang, di Madura paling tidak ada tiga tarekat yang tersebar luas, yaitu
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat
Tijaniyah. Tarekat Tijaniyah, yang muncul belakangan, pernah berhasil
meraih banyak pengikut di Madura, sedangkan kedua tarekat lainnya harus
bersaing ketat merebut kesetiaan orang Madura.42 Namun pada saat ini,
sebagaimana disampaikan sebelumnya, hanya tarekat Tijaniyah dan tarekat
Naqsyabandiyah yang berpengaruh di Madura. Dari sisi pengaruh, tarekat
Naqsyabandiyah memiliki pengaruh yang lebih dominan.

Pengikut tarekat Naqsyabandiyah di Madura mengikuti cabang lain


dari tarket ini, yaitu tidak tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Hal ini
karena mereka tidak mempunyai hubungan langsung dengan tarekat

42 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, ( Bandung, Mizan, 1960,


hlm. 185-186)

18
Naqsyabandiyah di Jawa. Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah menyebar ke
Madura karena orang-orang Madura yang menunaikan ibadah haji dan
tinggal sementara di Makkah dan Madinah berguru kepada kiai Abdul Azim
dari Bangkalan, seorang yang telah lama bermukim di Mekkah yang telah
menjadi khalifah dari Muhammad Shalih.43 Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah sekarang merupakan tarekat yang paling berpengaruh di
Madura dan juga beberapa tempat lain yang banyak pengikutnya, seperti
Surabaya, Jakarta dan Kalimantan Barat.
Di antara pengikut tarekat tersebut jumlah perempuan mendominasi
dan mencapai lebih 50 % dari keseluruhan pengikut tarekat. Keikutsertaan
mereka dalam tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura didasarkan
pada tiga hal, yaitu keinginan untuk mencapai kedekatan kepada Allah Swt
dan perolehan rida-Nya, penguatan ikatan sosial tradisional sekaligus mengisi
kekosongan emosional dan moral yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan
sosial dalam masyarakat dan perubahan paradigma berpikir bahwa puncak
spiritualitas (maqam mursyid) bukan hanya dapat dicapai oleh kaum lelaki,
akan tetapi juga oleh kaum perempuan, bahkan dengan kesempurnaan
spiritualitasnya dan kemukasyafaannya, seorang mursyidah dapat membaiat
dan mengangkat tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki.
Motivasi pertama diawali dari pemahaman mereka tentang tarekat.
Tarekat berarti jalan menuju Tuhan. Secara khusus, tarekat diartikan sebagai
metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa
dan bertindak melalui tahap-tahap berkesinambungan ke arah pengalaman

43 Menurut Martin, tidak hanya kepada orang Madura, Abdul Adzim setidak-tidaknya

mempunyai orang murid Sasak,H. Muhammad Rais, putra sang pembrontak Haji Ali Batu,
yang memimpin pemberontakanm terhadap kekusaan Bali di Lombok pada 1891.
keturunannya yang masih hidup, tinggal di dekat Mujur. Mereka masih mengamalkan
amalan Naqsyabandiyah, tetapi amalannya sudah merosot menjadi bentuk latihan magis
untuk memperoleh kekebalan, dan agak jauh meninggalkan akidah yang ortodoks. Sejak
meninggalnya M. Rais, di sana tidak ada seorang guru pun tetapi keturunan yang ada
mengaku bahwa telah ada kontak lagi dengan orang Madura, dengan seorang keturunan
Abdul Azim yang bernama Umar ahmad Ishaq.

19
tertinggi yaitu hakikat.44 Dalam tarekat terdapat seorang guru (mursyid) yang
berfungsi sebagai pembimbing, pimpinan sekaligus tokoh sentral bagi para
pengikutnya. Seorang mursyid diyakini sebagai orang suci, tempat
bergantung para pengikutnya dalam segala persoalan. Hubungan antara
mursyid dan murid (pengikut) diidentikkan seperti hubungan antara Nabi
Muhammad Saw dan para sahabatnya. Dengan bimbingan mursyid itulah
kedekatan dengan Tuhan akan diperolehnya.
Untuk mencapai kedekatan kepada Allah Swt, tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah di Madura memiliki pranata dalam bentuk ajaran seperti baiat,
dzikir, khawajagan dan tawajjuhan (penuturan KH. Jakfar Yusuf Sodiq).
Pranata dan ajaran ini menimbulkan pembentukan struktur kehidupan
komunitas pengikut tarekat yang ketat, kuat dan tertutup. Dalam kelompok
yang dilandasi satu ajaran, keyakinan keagamaan anggota-anggota kelompok
amat kuat dan mantap sehingga tidak mudah goyah oleh gangguan luar.
Pranata dan ajaran di atas lebih dikuatkan lagi dengan lima prinsip
dasar ajaran. Prinsip menuntut ilmu sebagai perintah Tuhan, prinsip
pelayanan dan pendampingan terhadap guru dan teman se-tarekat45, prinsip
meninggalkan rukhshah dan takwil untuk mencapai kesungguhan, prinsip
mengisi waktu dengan doa dan wirid dan prinsip mengekang hawa nafsu46
agar tidak berniat salah untuk mencapai keselamatan.

44 Radjasa Mu'tasim dan Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar,

1998), hlm. 3
45 Prinsip mendampingi guru ditambah dengan sikap ketundukkan para pengikut

tarekat yang lebih besar dibanding ketundukan masyarakat kepada kiai pada umumnya.
Dalam dunia tarekat, kesetiaan dan ketundukan murid kepada mursyidnya hampir
mendekati mutlak. Akibatnya dalam semua keadaan, para pengikut tarekat akan mendukung
aksi mursyid mereka secara penuh. Dan hal ini diyakini sebagai salah satu cara mencapai
kedekatan dan memperoleh rida Tuhan. Lihat, Endang Turmudzi, Perseleingkuhan Kiai dan
Kekuasaan, (Yogyakarta; LkiS, 2004), hlm. 103.
46 Hawa nafsulah yang sering membuat hidup manusia lebih giat, akan tetapi juga dapat

menimbulkan kekufuran kepada Tuhan dan cinta diri yang berlebihan. Karena itu, ajaran tarekat
ingin mematikan syahwat atau menguranginya dari membiasakan kenyang, cinta kepada harta
benda, dan melepaskan hasrat memburu popularitas. Dengan demikian, tarekat mengajarkan
manusia untuk mengisi jiwanya dengan sifat-sifat yang baik dalam rangka meraih ridha Tuhan.

20
Pemenuhan kelima prinsip tersebut akan melahirkan perilaku
keagamaan yang mengarah kepada akhlakul karimah baik secara vertikal
maupun horizontal. Perilaku semacam itulah yang akan mengharmoniskan
hubungan antara sesama manusia dan bahkan menyebabkan datang dan
diperolehnya rida Tuhan.
Selain motivasi kedekatan dan pencapaian rida Tuhan, proses
modernisasi dan realitas kehidupan yang semakin rasional dan materialistik
turut memberikan sumbangan ketertarikan mereka kepada tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah. Dalam kehidupan yang serba materi dan
rasionalistik, membuat manusia semakin mengalami kekeringan batiniyah
sehingga mereka semakin merindukan hal-hal esoteris. Setelah manusia
berhasil memenuhi kebutuhan ekonomi dan kekuasaan politik, rasionalisme
justru mulai digugat. Olah pikir dalam iptek menyuguhkan kenikmatan
lahiriah, namun batin manusia selalu gelisah dan terasing. Pada saat inilah
kehidupan tarekat menawarkan kesejukan yang mereka cari.47 Di samping itu,
terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh proses
modernisasi yang kemudian diiringi oleh memudarnya ikatan sosial tradisional,
telah menimbulkan kekosongan emosional dan tipisnya moralitas. Tarekat telah
mampu memenuhi kebutuhan yang dirasakan masyarakat tersebut dengan
menawarkan suasana emosional dan spiritual yang semakin sulit dicari dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tarekat dapat menguatkan ikatan
sosial tradisional mereka sehingga terciptalah suasana kekeluargaan,
persaudaraan se-agama dan saling bantu membantu satu dengan yang lainnya.
Dalam konteks di atas, tarekat sebagai orde suci, sebenarnya mulai
muncul pergulatan panjang dalam bentuk tarekat sebagai sebuah relegious
brotherhood (persaudaraan se-agama) atau dalam tarekat disebut sebagai
ikhwan, persaudaraan antara sesama anggota tarekat. Persaudaraan ini
dilandasi dari perasaan se-keyakinan, se-ritual dan atau bahkan se-organisasi

47 Radjasa Mu'tasim dan Munir Mulkhan, Bisnis.,hlm. 20

21
tarekat.48 Persaudaraan inilah yang kemudian dapat menguatkan ikatan sosial
tradisional antar sesama mereka.
Demikian juga yang menjadi motivasi kaum perempuan berbondong-
bondong mengikuti tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura adalah
adanya perubahan paradigma pemikiran tentang pengakuan dan kepatuhan
kepada guru perempuan (mursyidah). Sebagaimana terhadap seorang mursyid,
pengakuan mereka terhadap mursyidah didasarkan pada kharisma yang
dimiliki. Dilihat dari tipologi kepemimpinan dalam hirarki ketarekatan,
kepemimpinan adalah berdasarkan kharisma, maka kepemimpinan dalam
tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura khusus dalam jaringan kaum
perempuan juga memiliki tipologi yang didasarkan pada kharisma tersebut.
Menurut tipe tersebut, sumber wewenangnya berasal dari kualitas
pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung maupun diri
pribadinya yang popular karena memiliki kharisma. Dengan demikian,
seorang pemimpin yang kharismatis adalah seorang yang memiliki kualitas
disebabkan mendapat anugerah istimewa dari kekuatan supranatural
sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi masyarakat.49 Karena itu,
dimensi personal pemimpin tarekat menjadi sangat penting. Ia harus
memiliki kemampuan dan keistimewaan yang tentu saja harus berbeda
dengan para pengikutnya. Kelebihan tersebut dapat berupa kemampuan
ketabiban, pengetahuan tentang hal-hal yang gaib dan sebagainya.
Di samping itu, faktor yang paling dominan dalam kepemimpinan
tarekat ialah aspek pengakuan dan kepercayaan dari para pengikut tarekat

48 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda:Sosiologi Komunitas Islam, (Surabaya; Pustaka Eureka,

2005), hlm. 162


49 Max Weber menggunakan istilah kharismatik untuk menunjuk kata pada permulaan

pengembangan agama Kristen, yang merujuk pada tiga jenis otoritas (kekuasaan), yaitu
kekuasaan tradisional, kekuasaan rasional dan kekuasaan kharismatik (yang didapatkan dari
pengabdian kesucian, kepahlawanan dari percontohan). Titik berat dari pemimpin akan
dianggap kharismatik atau tidak,tergantung pada sikap dan tindakan para pengikutnya yang
tercermin dari ketundukannya. Lihat, An Ruth dan Doronth Willner, " Kebangkitan dan
Peranan Pimpinan-Pimpinan Kharismatik" dalam Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam
Dimensi Sosial, (Jakarta; LP3ES, 1984), hlm. 166.

22
yang mendudukkan para pemimpin (guru)nya sebagai pewaris para ambiya'
(apostolic, utusan Tuhan) yang menjembatani hubungan manusia dengan
Tuhan melalui washilah (perantaraan) yang berpola tetap dari generasi ke
generasi.50
Dalam tarekat, konsep pemimpin disebut sebagai mursyid atau
mursyidah. Mursyid atau mursyidah adalah orang yang memperoleh
legalitas untuk memimpin, membimbing dan mengatur berbagai pelaksanaan
upacara ketarekatan yang tersruktur, seperti tawajuhan, baiat, kwajagan,
talqin dan sebagainya. Dalam tradisi tarekat, seorang pengikut tarekat tidak
akan dapat mengamalkan ajaran tarekat kalau belum mendapatkan
pengabsahan (baiat) dari mursyid atau mursyidah yang telah memperoleh
wewenang untuk mengesahkan pengikut baru.
Pembaiatan merupakan pintu masuk bagi pengikut tarekat. Orang
yang belum memasuki pintu pembaiatan tentu tak boleh melakukan, atau
bahkan mengkaji ajaran tarekat. Inilah hakekat kerahasiaan ajaran tarekat.
Dengan demikian, tugas utama seorang mursyidah adalah menjadi pemimpin
dan pembimbing kehidupannya, baik kehidupan spiritual maupun
kehidupan lainnya.51
Dalam tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura bagi kalangan
perempuan, seorang mursyidah menjadi tempat bertanya bagi murid-
muridnya dalam segala urusan kehidupannya, seperti mau membangun
rumah, menjodohkan anaknya sampai pengobatan keluarganya yang sakit.
Faktor tersebut di samping sebagai bukti pengakuan atas kepemimpinan
perempuan dalam tarekat, juga menjadi perekat hubungan antara guru
(mursyidah) dengan pengikut (murid)nya dalam interaksi sosialnya.

E. POSISI DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN

50 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda.,hlm. 167


51 Ibid., hlm. 170.

23
Apakah relevansi feminisme, patriarkhisme, dengan dunia
spiritualisme? Tak mudah menjawab persoalan ini. Tapi, gerakan sufisme -
sebagai bagian dari dunia spiritualisme- ternyata memendam persoalan
tersendiri. Ditinjau dari perspektif gender, gerakan sufisme sering dianggap
bersikap "seksisme", dan terlalu berpihak pada patriarkhisme, yaitu ideologi
kekuasaan laki-laki atas inferioritas perempuan.52
Tuduhan tersebut memang bukan tak beralasan. Selama ini, di
kalangan kaum sufi berkembang suatu anggapan bahwa (kepemimpinan)
spiritualitas adalah hak prerogatif laki-laki. Sekian panjang daftar mursyid
(guru sufi) dalam sejarah sufisme adalah laki-laki. Kita kesulitan mencari
nama seorang mursyid dari kalangan perempuan. Mitos ini semakin
diperkuat oleh satu pepatah Arab yang tumbuh di kalangan kaum sufi, thalib
al-mawla mudzakar, yang berarti "pencari Tuhan adalah pria atau laki-laki".
Namun demikian, dalam sebuah penelitian, sejumlah nama wanita sufi
dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh abad ditemukan tak kurang dari
seratus dua puluh nama wanita sufi.53 Data ini memberi bukti bahwa sufisme
bukanlah hak monopoli manusia berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, data ini
juga membongkar mitos ketiadaan wanita sufi dalam lintasan sejarah sufisme
Islam sekaligus membuktikan keberadaan wanita sufi yang mampu mencapai
pengalaman spiritualitas hingga tingkat (maqam) yang tertinggi, dan
melampaui apa yang pernah dicapai oleh kaum pria. Hal tersebut seperti
diteladankan oleh wanita sufi termasyhur dari Bashrah yang hidup pada abad
kedelapan, Rabi'ah al-Adawiyah.54 Rabi'ah termasuk dalam golongan wanita

52 Patriarkhi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki atas perempuan telah

menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki menguasai anggota keluarga, harta
dan sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Konstruksi budaya patriarkhi ini
telah mapan dan berlangsung selama berabad-abad, tidak lagi dipandang sebagai
ketimpangan, bahkan dipandang sebagai 'fakta alamiah'. Lihat, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk,
Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, ( Yogyakarta; kerjasama Psw
Suka-Pustaka Pelajar-McGill-ICIHEP, 2002), hlm. 9-10
53 Javad Nurbakhsh, Sufi Women (London; tnp. 1983), hlm. 70
54 Rabi'ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 (717 M) di Basrah. Ia dilahirkan di tengah

keluarga termiskin. Ia merupakan anak ke empat karena itu ia diberi nama Rabi'ah. Kisah

24
sufi yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya, baik
dalam keutamaan sosial (mu'amalat) maupun pencapaiannya menuju Allah
(ma'rifat).
Dalam hal menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran-ajaran
(syari'ah) Islam, kaum sufi menganut paham (ideologi) "Jalan Muhammad".
Seperti diketahui, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam banyak
bercerai-berai. Berbagai firqoh atau sekte bermunculan, yang akhirnya
mengkristal menjadi tiga kelompok besar, yakni Sunni, Syiah, dan penganut
Jalan Muhammad. Paham Sunni lebih banyak dipengaruhi paham
tradisionalisme Islam dan nasionalisme Arab. Dan dalam hal kepemimpinan,
mereka mengikuti khalifah empat" (Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab,
Ustman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib). Sedangkan paham Syiah lebih
condong pada kepemimpinan khalifah Ali dan keturunannya saja.55
Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga lebih
mengambil jalan tengah. Mereka mencintai keluarga dan keturunan Nabi,
karena nabi memang mencintai keluarga dan keturunannya. Tapi, mereka
juga mencintai para sahabat nabi, karena Nabi juga mencintai sahabat-
sahabatnya. Kaum sufi kebanyakan menganut pada paham yang
ketiga tersebut, meski juga tak jarang lebih berat pada salah satu sisi dari
paham sebelumnya. Dasar pemikiran kaum sufi memilih pemahaman
kelompok ketiga adalah bahwa ketaqwaan pada hakikatnya lebih sebagai
penghayatan pribadi dan tak memandang golongan ataupun keturunan.
Penafsiran baru di dunia Islam (termasuk sufisme) tentang
relasi gender masih banyak mengundang perdebatan dan kesalahpahaman.
Kalangan feminisme, misalnya, hampir seluruhnya bersepakat, agama -
terutama agama wahyu (termasuk Islam) - adalah agama yang seksis. Agama-

tentang Rabi'ah dan Pergulatan Spiritualnya dapat dikaji di Disertasi Margaret Smith, Rabi'a;
the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam, (London; Cambridge University Press, 1928)
55 Asumsi dasar kelompok Syiah lebih didasari pada hadis: "Carilah aroma mawar dari

air mawar!", yang diyakini bahwa kalau hendak mencari intisari Islam juga harus pada
sumbernya: nabi dan keturunannya. Paham ini lebih banyak dianut bangsa Mesir dan Iran.

25
agama tersebut hampir keseluruhannya mencitrakan Tuhan dalam citra laki-
laki, dan menganut pola kepemimpinan yang pada ujungnya mengesahkan
superioritas laki-laki. 56
Pemahaman atas ayat tersebut memang lebih condong pada sintesis
yang bersifat seksis, melebihkan sebagian mereka (laki-laki) terhadap
sebagian yang lain (perempuan). Akan tetapi, penafsiran baru tokoh-tokoh
neo-modernisme Islam semacam Fazlur Rahman, Asghar Ali Engineer, Amina
Wadud Muhsin, Fatimah Mernissi, dan sebagainya, pada umumnya
berkesimpulan lain. Menurut mereka ayat tersebut tidak lagi dipahami
sebagai sesuatu yang bersifat seksis, karena relasi gender yang digambarkan
lebih pada tataran peranan atau sesuatu yang bersifat fungsional, bukan
hierarki kederajatan.
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan tetap dalam tingkat
kesederajatan yang sama, hanya saja keduanya memiliki fungsi atau
peran yang berbeda sesuai kodratnya. Ajaran Islam, dalam memandang
persoalan gender, lebih menganut "paham kesetaraan", yaitu setiap manusia -
baik laki-laki maupun perempuan - setara atau setingkat di hadapan Tuhan.57
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas ketakwaan
seseorang tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin.58

56Dalam Islam, pemahanan tersebut didasarkan pada salah satu ayat Alquran surat An-
Nisa': 34. Ayat tersebut diartikan ;"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak
hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka. Perempuan-perempuan yang
kamu khawatiri nusyuz-nya (pelanggaran kewajiban suami istri), nasihatilah mereka dan
pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar".
57 Penafsiran serupa juga dilakukan Sachito Murata yang memandang relasi gender

dalam teologi Islam memiliki kemiripan dengan kosmologi Tao dari Cina. Dalam konsepsi
Tao, hubungan alam semesta digambarkan dengan prinsip-prinsip yin dan yang. Yin dan
yang bukanlah sesuatu yang secara dikotomis saling menindas, melainkan dalam kerangka
hubungan fungsional yang saling mengisi. Lihat, Sachito Murata, The Tao of Islam: A
Sourcebook on Gender in Islamic Thought (Amerika Serikat ; State University of New York , 1992)
58 Islam tidak menganut the second sex yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin

tertentu, atau the fisrt ethnic yang mengistimewakan etnik tertentu.

26
Sosok ideal perempuan digambarkan sebagai pertama, kaum yang
memiliki kemandirian politik (al-istiqlal as-Siasah) seperti sosok ratu Balqis
yang mempunyai kekuasaan "super power"59, kedua, memiliki kemandirian
ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadiy)60 seperti pemandangan yang disaksikan nabi
Musa di Madyan, wanita pengelola peternakan61, ketiga, memiliki
kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi)
yang diyakini kebenarannnya sekalipun harus berhadapan dengan suami
bagi perempuan yang sudah kawin atau menentang orang banyak (publik
opinion) bagi perempuan yang belum kawin62. Gambaran tersebut
menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw ditemukan sejumlah
perempuan yang memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana
layaknya kaum laki-laki.
Secara historis, perempuan sufi sudah menampakkan dirinya pada
periode sangat awal, dan dalam perkembangan evolutif penghargaan
terhadap kesucian diberikan sama tingginya antara kaum perempuan dan
kaum laki-laki. Sejauh kajian mengenai "sahabat-sahabat Tuhan" ini
dibicarakan, maka tidak akan ada perbedaan dalam jenis kelamin tersebut.
Perkembangan sufisme dalam Islam memberikan kesempatan luas
kepada kaum perempuan untuk mencapai gelar kesufian. Tujuan utama
pencapain kaum sufi adalah untuk dapat menyatu dengan Yang Maha Suci,
dan dalam pencarian tersebut mereka telah meninggalkan keindahan dan
daya tarik gemerlapnya dunia dengan membakar gelora cintanya kepada
Tuhan, secara terus menerus, guna mencapai tujuan paling akhir, yaitu

59 Lihat surat al-Mutahanah (60);12. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias

Laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta; LkiS, 2003), hlm. 75-79


60 Lihat surat an-Nahl;97
61 Lihat surat al-Qashash, 23
62 Lihat surat at-Tahrim, 11 dan 12. Bahkan al-Qur'an mengklasifikasikan peran

perempuan sebagai sosok yang ideal dengan tiga kategori; (1), peran yang menggambarkan
konteks sosial budaya, dan historis di mana perempuan sebagai individu hidup, tanpa
disertai pujian atau ancaman. (2). peran yang bisa diterima secara universal sebagai suatu
fungsi perempuan (misalnya menyusui dan merawat bayi). (3). peran yang tidak berkaitan
secara spesifik dengan jenis kelamin, misalnya peran yang menggambarkan usaha di bumi.
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan., hlm. 71

27
menggapai pencerahan dalam kehidupan, bersama kegembiraan dan
kegairahannya, dan perenungan kehidupan yang lebih tinggi, hingga
akhirnya dapat mencapai ma'rifat dan menggapai Bayang-bayang Tuhan,
dimana Sang Pencipta tersebut akan menjadi satu dengan yang dicintainya
dan kekal bersama-Nya selamanya.63
Konsep hubungan antara sufi dengan Tuhannya tidak memberikan
ruang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kehidupan spiritual tidak
mempedulikan laki-laki dan perempuan. Gelar kesufian akan dapat dicapai
dengan mengikuti jalur Tuhan, untuk menyatu denganNya dan bagi mereka
yang dapat mencapainya akan mendapat derajat tinggi dalam kehidupan
spiritualnya di dunia.64
Tingginya kedudukan yang dapat diraih oleh para Sufi perempuan
dibuktikan oleh adanya kenyataan bahwa kaum sufi ternyata memberikan
kedudukan utama bagi kaum perempuan di antara para sufi pada masa-masa
awal dan menjadikan kaum perempuan sebagai wakil yang representatif dari
perkembangan pertama sufisme dalam Islam.65
Ini dapat ditunjukkan oleh adanya sederetan nama-nama kaum
perempuan sufi pada masa-masa awal seperti Aminah dan Fatimah. Ibunda
dan putri Rasulullah ini diakui sebagai perempuan sufi pada masa sebelum
bangkitnya sufisme dalam Islam. Demikian juga Ummu Haram, yang selalu
disebut-sebut oleh para penulis arab awal, diakui sebagai perempuan sufi,
yang meninggal bersama suaminya pada saat ikut berperang bersama para
Sahabat pada masa khalifah Utsman tahun 28 H sehingga disebut syahidah.
Sebagaimana orang-orang sufi lainnya, ia memiliki beberapa karamah.66

63 Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Penterjemah. Jamilah Baraja


(Surabaya; Risalah Gusti, 1997), hlm. 3
64 Ibid., hlm. 4
65 Ibid., hlm. 5
66 Salah satu karomah beliau yang terjadi adalah ketika dalam perjalanan dari Ramalah

ke Jerussalim Ummu Haram diberi hadiah 3 batu besar oleh seorang pendeta Kristen, akan
tetapi batu tersebut tidak mungkin dibawanya karena begitu besarnya dan batu itu memang
tidak dibawa oleh Ummu Haram. Namun demikian dengan izin dan kekuasaan Allah Swt

28
Perempuan sufi periode awal lainnya adalah Rabi'ah binti Ismail dari
Syria. Ia sering dikacaukan dengan nama sufi besar Rabi'ah al-'Adawiyah,
akan tetapi karena ia menikah, menetap dan meninggal di Syiria lima puluh
tahun sebelum Rabi'ah al-'Adawiyah, maka cukup jelas perbedaan keduanya.
Rabi'ah binti Ismail yang dikenal sangat asketis (zuhud) mendapatkan
penghormatan yang tinggi diantara para Sufi semasanya dan banyak orang
yang berkonsultasi dan meminta penjelasan tentang masalah-masalah
tasawuf kepadanya.67
Zahidah perempuan lainnya adalah Mu'adzah al-'Adawiyah, seorang
sahabat Rabi'ah al-'Adawiyah. Mu'adzah adalah salah seorang anggota aliran
Hasan al-Bashri yang menitikberatkan pada kezuhudan daripada mistikisme.
Pandangan hidupnya sama dengan Hasan al-Bashri, yaitu bahwa hidup
selalu di bawah bayangan takut akan kemurkaan yang akan datang. Ibadah
yang dilakukannya sangat sulit untuk ditiru karena selama empat puluh
tahun ia tidak pernah mendongakkan kepalanya ke atas langit, tidak pernah
makan sesuatupun di siang hari dan tidak pernah tidur di malam hari serta
biasa melakukan salat sebanyak 600 rakaat sehari semalam. Itulah
karakteristik Rabi'ah dalam upaya mendapatkan kebahagiaan disisi Allah
Swt.68
Seorang sufi perempuan agung lainnya adalah Nafisah, buyut Hasan
bin Ali yang lahir di Mekah tahun 145 H dan tumbuh dewasa di Madinah. Ia
menikah dengan Ishaq, putra Imam Ja'far ash-Shadiq dan dikaruniai dua
orang anak, yaitu al-Qasim dan Ummu Kultsum. Sebagaimana para sufi
lainnya ia menghabiskan siang harinya dengan berpuasa dan menghabiskan
malamnya dengan ibadah salat. Ia sangat terkenal dengan pengetahuannya
tentang kitab al-Quran beserta tafsirnya dan sering menyairkannya dengan

batu besar tersebut berpindah sendiri pada saat penguburan Ummu Haram. Lihat, Margaret
Smith, Rabi'ah., hlm. 159
67 Diantara keajaibannya, Rabi'ah melihat informasi akan meninggalnya Harun ar-

Rasyid di sebuah tempayan yang ada di hadapannya dan beberapa hari kemuadian Harin ar-
Rasyid ternyata benar-benar meninggal. Ibid., hlm. 163.
68 Ibid., hlm 164

29
syair keagamaan. Bahkan mujtahid besar Imam Syafi'i, sering
mengunjunginya dan mengadakan diskusi. Penghormatan imam Syafi'i dapat
dilihat dari seringnya beliau mengadakan salat-salat khusus dengan Nafisah
di bulan Ramadhan. Nafisah dikenal di seluruh Mesir dan kemana saja ia
pergi reputasinya selalu mengikutinya dan ia selalu menerima penghormatan
dari masyarakat baik individu ataupun kelompok. Akhirnya ia wafat di Mesir
pada bulan Ramadhan tahun 208 H.69
Perempuan lain yang termasuk dalam kelompok Syeikha (mursyidah)
adalah Zaynab, putri Abu al-Qasyim 'Abdur Rahman asy-Syari. Ia lahir di
Naysabur pada tahun 1130 dan meninggal pada tahun1219 M. Ia termasuk
sebagai murid terbaik di masanya sehingga mendapatkan ijazah untuk
mengajarkan tentang ilmu Hadis. Dan ia mendapat pengakuan dari murid-
muridnya tentang kesalehannya, seperti Ibnu Khallikan, Ibnu Batutah dan
Ummu Muhammad Aisyah, Zainab binti Kamaluddin.70
Seorang figur perempuan sufi yang juga menarik adalah Fatimah yang
dikenal dengan Jahan Ara. Ia adalah putri seorang raja Mughal, Shah Jahan71.
Guru Fatimah adalah Mullah Shah. Fatimah diakui oleh gurunya sebagai
perempuan yang tingkat pengetahuan tasawufnya begitu tinggi dan oleh
karena itu ia dianggap pantas menjadi wakilnya. Ia adalah seorang sufi sejati
dan telah mencapai suatu keadaan (derajat) yang sempurna, yang murni
dengan Allah Swt dan mendapatkan rahmat (menuju ma'rifat) yang didapat
melalui Penyaksian Allah Swt.72
Perempuan sufi lain yang tak kalah tinggi kedudukannya adalah
Zarrin Taj, yang dikenal dengan Qurrat al-'Ayn. Ia wafat pada tahun 1852 M.
Ia terkenal sebagai seorang penyair, meskipun hanya sedikit karyanya yang

Sebuah karomah yang dapat dicatat adalah beliau dapat mengajak seorang gadis
69

Yahudi sekaligus orang tuanya masuk Islam setelah beliau mendoakan untuk
kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Ibid., hlm 169-171.
70 Diantara guru beliau adalah Abul Qasim (bapaknya sendiri), 'Abdul Mun'im al-

Qusyairi dan Adul Ghafir al-Farisi. Ibid., hlm. 174.


71 Shah Jahan adalah pendiri bangunan Taj Mahal India.
72 Margaret Smith, Rabi'ah., hlm. 174-176.

30
terselamatkan. Doktrin ajarannya adalah pantheistik yang menganggap
bahwa dasar ajarannya menjadi percikan suci yang tersembunyi dalam
manusia itu sendiri, dimana dengan pengembangan itu manusia dapat
mencapai suatu tingkatan fana' fillah atau penihilan ego untuk menuju Allah.
Doktrinnya ini (yang menyebabkan kematiannya) menunjukkan bahwa
dirinya adalah seorang penerus sufi agung syahid yang layak diakui sebagai
seorang perempuan sufi yang mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf.73
Pandangan dan realitas semacam itu juga terelaborasi dalam tradisi
tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura. Pengakuan akan prestasi
spiritualitas perempuan sudah terbentuk sejak awal masuknya tarekat ini di
Madura. Salah satu diantara beberapa deretan mursyid yang terbaiat adalah
Nyi Aisyah. Tentu fenomena ini merupakan suatu hal yang sangat
mengejutkan karena dalam tradisi Madura pemimpin sebuah tarekat biasanya
diidentikkan dengan Kyai.
Penghormatan atas kedudukan dan posisi perempuan ternyata
semakin mengkristal dalam pola pikir pengikut tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah di Madura. Ini dapat dibuktikan dari beberapa kaum perempuan
sufi yang terbaiat dan diangkat sebagai mursyidah, bahkan tidak hanya untuk
kalangan perempuan akan tetapi juga sebagian kaum laki-laki, seperti Nyi
Tobibah, Syarifah Fatimah dan Nyi Syafi'ah.
Dari konteks di atas, para perempuan sufi telah menampakkan
prestasinya pada pencapaian kedudukan dan posisi yang sejajar dengan
kaum laki-laki, khususnya dalam dunia spiritualitas (tarekat). Kenyataan ini
memberikan harapan yang besar bagi kaum perempuan di masa sekarang
dan yang akan datang.

F. POLA HUBUNGAN GURU-MURID : Transfer Keilmuan Dalam


Pengangkatan Mursyidah

73 Ibid., hlm. 179.

31
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tarekat memiliki konsep
kepemimpinan yang disebut sebagai Mursyid (guru atau pemimpin orde
tarekat). Mursyid adalah orang yang telah memperoleh legalitas untuk
memimpin, membimbing dan mengatur berbagai pelaksanaan upacara
ketarekatan yang terstruktur, misalnya tawajjuhan, baiat, uzlah, talqin, nariyahan
dan lain sebagainya. Ia adalah pemimpin spritual yang dapat
menghubungkan antara murid dan Tuhan secara vertikal berdasarkan hirarki
kemursyidan yang berlaku.74
Dalam tradisi tarekat naqsyabandiyah, seorang penganut tarekat tidak
akan dapat mengamalkan ajaran tarekat kalau belum dapat pengabsahan
(baiat) dari mursyid yang telah memperoleh wewenang untuk melegalkan
penganut baru. Pembaiatan merupakan pintu masuk bagi penganut tarekat.
Orang yang belum memasuki pintu pembaiatan tentu tidak boleh melakukan,
atau bahkan mengkaji ajaran tarekat. Inilah hakekat kerahasiaan ajaran
tarekat.75
Pada tahap awal, seorang murid harus melakukan taubah, yaitu
mengingat segala dosa yang pernah diperbuatnya di masa lampau, memohon
pengampunan dan bertekad untuk tidak melakukan lagi dosa-dosa tersebut.
Pada sebuah upacara inisiasi, seorang murid menyatakan kesetiaannya
kepada syeikh mursyidnya, dan setelah itu akan menerima talqin yang
merupakan pelajaran esoterik pertama di dalam ajaran tarekat.76 Rangkaian
pembaitan tersebut merupakan langkah awal seorang anggota tarekat untuk
dapat mengikut berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam tarekat.
Dari tahapan ini, seseorang dapat secara bertahap mengikuti bimbingan
guru mursyidnya melalui serangkaian kegiatan tawajuhan, khalwat dan
uzlah. Dan jika ada kemajuan pada dirinya, maka guru mursyid dapat
memberikan sebuah ijazah yang memberinya wewenang untuk menjadi wakil

74 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., hlm. 168.


75 Ibid.
76 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia, ( Bandung; Mizan, 1996),

hlm. 87

32
syeikh mursyid dan berhak menyebarkan ajaran terekat ke tempat lain.
Hanya saja, mereka yang telah mendapatkan ijazah ini tidak serta merta dapat
membaiat anggota baru, sebab wewenang untuk membaiat tetap ada pada
syeikh mursyid terdahulu. Dengan demikian, meskipun secara relatif ia telah
mandiri, namun ia tetap memperlihatkan kepatuhannya kepada guru
mursyidnya dan di Indonesia mereka ini disebut badal.77
Upacara inisiasi adalah simbol dari transmisi spiritual seorang guru
kepada muridnya dalam tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang
murid. Guru-Mursyid adalah pembimbing dalam kehidupan murid dalam
hal pengalaman keagamaan. Dengan demikian, tugas utama seorang mursyid
terhadap seorang murid adalah menjadi pembimbing kehidupan spiritualnya
maupun kehidupan duniawi lainnya. Sementara hak dan wewenang badal
adalah membimbing dan mengarahkan perjalanan bagi tersebarnya tarekat,
akan tetapi tidak berhak membaiat atau memberikan petunjuk tentang
perjalanan menuju maqam (stage) yang lebih tinggi (menjadi tugas mursyid).78
Karena itu, seorang mursyid atau mursyidah tidak dapat diangkat secara
mudah dan sembarangan, akan tetapi melalui proses dan rentang waktu yang
cukup panjang.
Proses menjadi mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah cukup lama
apabila dihitung dari proses inisiasi pertama dari guru-mursyid. Berbeda
dengan dunia kepemimpinan yang berdimensi duniawi, tolak ukur
kepemimpinan dalam tarekat bersifat multi dimensi. Ukuran utamanya
adalah unsur penglihatan dan kerelaan seorang mursyid. Penglihatan seorang
mursyid didasarkan atas kemampuannya untuk melihat kegaiban dan
petunjuk yang diterimanya dari kekuatan supranatural. Jadi penglihatan
seorang mursyid bukan penglihatan rasional, akan tetapi penglihatan intuitif
dan transendental.79

77 Ibid.
78 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., hlm. 169-170.
79 Ibid., hlm. 172

33
Untuk menjadi mursyid,80 ada dua proses pengangkatan yang dikenal
dalam tarekat naqsyabandiyah, yaitu pertama, proses barzakhi atau uwaisi dan
kedua, proses komunikasi langsung. Proses barzakhi atau uwaisi adalah proses
pengankatan mursyid melalui dan berasal dari alam barzakh (alam kubur)
lewat komunikasi spiritual (melalui pertemuan dengan wujud rohaniahnya),
bukan melalui komunikasi langsung.81 Dalam tarekat naqsyabandiyah,
pembaiatan barzakhi dapat berlangsung dari mursyid yang telah meninggal
kepada orang yang masih hidup, misalnya dari Jakfar as-Shadiq kepada Abu
Yazid al-Bustami. Sedangkan proses komunikasi langsung, yaitu
pengangkatan mursyid melalui dan berasal dari guru mursyid secara
langsung kepada muridnya seperti Muhammad Baba as-Syamasi membaiat
muridnya secara langsung, Amir Sayyid Kulal a-Bukhari.82 Pada proses yang
kedua ini terjadi karena adanya pola hubungan langsung antara guru
mursyid kepada muridnya yang sama-sama hidup dan bertemu.
Dalam konteks di atas walaupun dua proses tersebut berbeda, pada
pembaiatan dalam tarekat Naqsyabandiyah ada juga yang mendapatkan
pembaiatan dua kali, melalui proses wajar (langsung) dan proses tidak wajar
(barzakhi) seperti Muhammad Baha' ad-Din Naqsyabandi yang mendapat
baiat dari gurunya langsung yaitu Amir Sayyid Kulal a-Bukhari dan juga dari
Abd Khaliq al-Gujdawani melalui proses barzakhi.83
Dalam konteks tradisi tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura,
dilihat dari dua proses pengangkatan mursyid tersebut, pembaiatan,
pengangkatan dan pengukuhan ijazah hanya tampak pada proses
komunikasi langsung antara guru mursyid dengan muridnya. Ini dapat

80 Orang yang telah memperoleh ijazah dari gurunya melalui proses wajar atau tidak

wajar adalah orang yang secara sah menjadi pemimpin dari orde tarekat yang dianutnya,
yang dinamakan Mursyid. Rantai baiat dan ijazah yang diberikan secara berkesinambungan
inilah yang disebut dengan silsilah. Eksistensi silsilah dengan begitu menjadi tolak ukur sah
atau tidaknya dalam tarekat.
81 Uwaisi berasal dari nama Uwais al-Qarni yang se zaman dengan Nabi, tidak pernah

berjumpa Nabi Saw akan tetapi diyakini telah diislamkan Nabi melalui roh setelah wafat.
82 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah., hlm. 50
83 Ibid., hlm. 51

34
dilihat dari proses pengangkatan beberapa mursyidah di Madura seperti Nyi
Aisyah yang dibaiat dan diangkat menjadi mursyidah oleh gurunya sendiri,
KH Abdul Adzim. Temuan terhadap proses pengangkatan Nyi Aisyah ini
diperoleh dari salah seorang guru mursyid yang sekarang masih aktif yaitu
KH. Jakfar Yusuf Shodiq Sampang.
Pada generasi berikutnya juga tampak pengangkatan Nyi Tobibah
(mursyidah) melalui proses komuniksi langsung oleh gurunya sendiri, KH
Ali Wafa Ambunten.84 Pada masa-masa masih menjadi murid, Nyi Tobibah
memang kelihatan berbeda dengan murid-murid lainya. Beliau sangat tekun
mempelajari dan mengamalkan tarekat sebagaimana yang diajarkan oleh
gurunya serta menampakkan kemajuan yang tidak ditemukan pada teman-
temannya yang lain. Dengan prestasinya tersebut, KH Ali Wafa
mengangkatnya sebagai mursyidah. Pada saat predikat mursyidah melekat
padanya, banyak anggota pengikut tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah
Madura khususnya di daerah Pamekasan, tidak hanya terbatas jemaah
perempuan akan tetapi juga jemaah laki-laki85, mengakui kharisma dan
ketinggian ilmunya sehingga bertawajjuh padanya. Di samping itu, beliau
juga mengadakan perjalanan spiritual ke daerah-daerah yang pernah
didatangi gurunya.
Hal ini berbeda dengan proses yang dilalui Syarifah Fatimah yang
dibaiat dan diangkat sebagai mursyidah melalui dua guru mursyid yang
berbeda. Ketika ia masuk tarekat, ia dibaiat oleh K Sirajuddin dan diangkat
sebagai seorang mursyidah oleh seorang mursyid yang masih gurunya
sendiri, KH. Syamsuddin serta memperdalam keilmuannya terhadap guru

84 Nyi Tobibah tidak memiliki hubungan nasab dengan KH Ali Wafa. Hubungan
keduanya adalah hubungan guru-murid. Predikat mursyidah yang didapatinya disebabkan
keistimewaan yang dimilikinya seperti dengan kemuksyafaannya beliau mengetahui apa
yang diinginkan oleh tamunya. Wawancara dengan K Sholehuddin dilaksanakan pada
tanggal 17 Oktober 2006
85Namun dalam praktiknya, Nyi Tobibah juga membimbing pengikut laki-laki

termasuk membaiat ikhwan-akhwat seperti kepada Syahid Sumber Nong Gunung Sepudi.
Wawancara dengan Nyi Hj Khofi dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2006

35
mursyid yang berbeda, KH. Ali Wafa. Syarifah Fatimah banyak memberikan
tawajjuh di daerah Sumenep, dan juga tempat lain di Kalimantan Barat dan
Malang Selatan. Murid-muridnya sangat banyak (semuanya perempuan).
Beliau adalah salah satu mursyid perempuan Madura keturunan Arab, Habib
Muhammad. Beliau juga berbeda dengan beberapa mursyid lain yang masih
ada hubungan kekerabatan dengan mursyid yang lain.86
Hal lain yang berbeda adalah pembaiatan yang terjadi pada Nyi
Syafi’ah. Ia dibaiat dan diangkat menjadi mursyidah oleh gurunya sendiri,
KH Abdul Wahid Khudzaifah, yang kebetulan adalah suaminya sendiri.
Pengangkatan Nyi Syafi'ah sebagai mursyidah ditujukan untuk membantu
KH Abdul Wahid Khudzaifah dalam membimbing murid-muridnya yang
mayoritas adalah kaum perempuan. Namun demikian, walaupun ia diberi
izin akan tetapi ia tidak berkenan untuk memberikan bimbingan. Dengan
demikian, diantara beberapa mursyidah tarekat naqsyabandiyah muzhariyah
di Madura hanya Nyi Syafi'ah yang tidak menfungsikan predikat
kemursyidahanya dalam memberikan bimbingan kepada murid-muridnya,
khususnya murid suaminya.
Konteks di atas menunjukkan bahwa proses pengankatan mursyid atau
mursyidah menggunakan pola hubungan komunikasi langsung antara guru-
mursyid dengan muridnya. Namun demikian tidak semua murid dapat
diangkat menjadi mursyid atau mursyidah. Pengangkatan mursyid atau
mursyidah tersebut menjadi wewenang mursyid (guru) karena hanya
kemukasyafaan mursyid (guru) lah seseorang dapat diangkat menjadi
mursyid atau tidak.
Namun demikian, apabila dilihat dari pola hubungan nasab
tampaknya hubungan antara beberapa mursyidah terlihat karena hubungan
kekeluargaan, misalnya Nyi Aisyah masih ada hubungan kekerabatan dengan
KH Khudzaifah. Nyi Aisyah adalah Ibu dari KH Khudzaifah dan KH

86 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah., hlm. 198

36
Khudzaifah adalah ayah dari Nyi Tobibah. Dengan kata lain Nyi Aisyah
adalah nenek Nyi Tobibah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nyi
Tobibah adalah mursyidah penerus dari Nyi Aisyah walaupun
pengangkatannya sebagai mursyidah bukan merupakan pola hubungan
nasab, akan tetapi pola hubungan komunikasi langsung antara guru-murid
dengan KH Ali Wafa87.
Demikian juga Nyi Syafi’ah adalah mursyidah yang memiliki
hubungan kekeluargaan dengan Nyi Tobibah, yaitu hubungan saudara. Nyi
Syafi’ah adalah istri dari KH Wahid Khudzaifah dan Nyi Tobibah adalah adik
dari KH Wahid Khudzaifah. Karena itu, dapat disimpulkan Nyi Syafi’ah-Nyi
Tobibah merupakan saudara ipar.88
Diantara beberapa mursyidah tersebut yang tidak memiliki hubungan
kekeluargaan dengan mursyid-mursyidah yang lain hanya Syarifah Fatimah.
Beliau adalah putri dari Habib Muhammad dan merupakan keturunan Arab.
Walaupun beliau termasuk keturunan Arab, namun beliau menerima baiat
masuk tarekat dan mendapat ijazah sebagai mursyidah dari orang yang
bukan keturunan Arab.

G. PENUTUP
Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah termasuk tarekat yang paling
berpengaruh di Madura. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jumlah
pengikut yang mencapai ribuan orang. Yang unik dan menarik dari tarekat
ini adalah sejak awal menyebarnya (awal abad XX) sudah muncul pengakuan
atas equalitas (kesejajaran) posisi perempuan. Kaum perempuan diakui dapat
mencapai puncak spritulitas sebagaimana komunitas laki-laki sehingga dari
beberapa paparan sebelumnya, peneliti dapat merumuskan beberapa

87 KH Khudzaifah adalah sahabat senior KH Ali Wafa yang wafat sebelum memberi
ijazah kepada putra-putrinya, yaitu KH Wahid Khudzaifah, KH Sya’duddin dan Nyi
Tobibah.
88 Sebagaimana dituturkan oleh Nyi Aminah, yang selama Nyi Tobibah masih hidup

beliau menjadi khadamnya dan selalu mengikuti kemana saja Nyi Tobibah pergi memberikan
tawajjuh.

37
kesimpulan berikut: pertama, jaringan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah
bagi kalangan perempuan sudah ada di Madura sejak awal abad 20, yaitu
dimulai sejak Nyi Aisyah diangkat oleh K. Abdul Adzim sebagai mursyidah
bersama dengan diangkatnya mursyid yang lain seperti K Hasan Basuni, K
Muhammad Saleh, K Zainal Abidin Bangkalan, K Ahmad Syabrawi dan K
Jazuli. Dari beberapa mursyid tersebut tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah
berkembang sampai akhirnya muncul beberapa mursyidah yaitu Nyi
Tobibah, Nyi Syafi'ah dan Syarifah Fatimah yang mayoritas pengikutnya
adalah perempuan. Eksistensi tarekat ini membentuk jaringan yang kuat
khususnya di tiga tempat yaitu Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Kedua,
jaringan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura untuk kalangan
perempuan sangat independen dan ekslusif. Ekslusifitas dan independensi
jaringan ini tentu bukan dalam arti keluar dari kelompok besar tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura, akan tetapi masih dalam satu ikatan
dari jaringan utama tarekat ini, hanya saja kelompok perempuan
mendapatkan kewenangan khusus dalam mengembangkan tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah karena jumlah jemaah kaum perempuan
mendominasi dan mereka bisa berbaiat kepada guru perempuan juga. Ketiga,
yang menjadi motivasi jemaah perempuan mengikuti tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura adalah keinginan untuk mencapai
kedekatan kepada Tuhan dan perolehan rida-Nya, menguatkan ikatan sosial
tradisional sekaligus mengisi kekosongan emosional dan moral yang
diakibatkan oleh terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, dan adanya
perubahan paradigma berpikir bahwa puncak spiritualitas (maqam mursyid)
bukan hanya dapat dicapai oleh kaum lelaki akan tetapi juga oleh kaum
perempuan, bahkan dengan kesempurnaan spiritualitasnya dan
kemukasyafaannya, seorang mursyidah dapat membaiat dan mengangkat tidak
hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Keempat, Perempuan dalam tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura memiliki kedudukan dan

38
kesempatan yang sama (egaliter) dengan laki-laki dalam pencapaian puncak
spritualitas baik sebagai kepala kwajagan, kholifah bahkan sebagai mursyidah
sekalipun. Hal ini menunjukkan bahwa tarekat dapat menjadi bagian dari
spiritualitas kaum perempuan sebagai bentuk dari penghayatan
keberagamaan kaum perempuan di Indonesia khususnya di Madura. Dan
kelima, Pengangkatan Mursyidah dalam Tarekat Naqsyabandiyah
Muzhariyah di Madura menggunakan pola penunjukan mursyid secara
langsung (pola komunikasi hubungan guru-murid) karena hanya
kemukasyafaan mursyid (guru) lah seseorang dapat diangkat menjadi
mursyid atau tidak. Walaupun demikian terdapat beberapa mursyid yang
memiliki hubungan nasab, akan tetapi bukan dalam konteks pengangkatan
mursyid.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta;


Pustaka Pelajar, 1999.
Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokohnya-tokohnya di
Nusantara, Surabaya; al-Ikhlas, tt.
Aceh, Bakar, Abu, Pengantar Ilmu Tarekat:Kajian Historis Tentang Mistik, Solo;
Ramadhani, 1996.
Al-Hinduwan, 'Ali, Muhsin, Sayyid "Nafahat al-'Anbariyah fi at-Tariqah an-
Naqsyabandiyah al-Mudzhariyah".
Aqib, Harisuddin, al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, Surabaya; Bina Ilmu, 1998.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
VII dasn XVIII; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, Bandung; Mizan 1994.
------------------,Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi,
Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2003.
A'dam, Syahrul, ''Kiai dan Tarekat" dalam AHKAM; Jurnal Syari'ah-Hukum
dan Pranata Sosial no.11/V/2003.
Bruinessen, Van, Marin, NU: Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,
Yogyakarta; LkiS, 1994.

39
------------------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung; Mizan, 1996.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai
Jakarta; LP3ES, 1994.
Dzuhayatin, Ruhaini, Siti, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam, Yogyakarta; kerjasama Psw Suka-Pustaka Pelajar-
McGill-ICIHEP, 2002.
Engineer, Ali, Asghar; Pembebasan Perempuan,Penerjemah; Agus Nuryanto,
Yogyakarta; LkiS, 2003.
Faqih, Mansour, "Posisi Perempuan Dalam Islam: Tinjauan dari Analisis
Gender" dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif
Islam, Surabaya; Risalah Gusti, 1996.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan Di Lembaran Kitab Suci : Kritik Atas Hadis-
Hadis Sahih, Yogyakarta; Pilar Religia, 2005.
Giddens, Antony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis suatu karya
tulis of Marx, Durheim and Max Weber, terjemahan oleh Soeheba
Kramadibrata dari Kapitalisme dan Modern Sosial Theory: an Analysis of
writing of Marx, Durheim and Max Weber, Jakarta; UIP, 1985.
Illich, Ivan, Matinya Gender, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002.
Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
Yogyakarta; LkiS, 2003.
Jurnal Kajian Islam, Al-Insan, LKPI, No. 2, Vol. I, 2005.
Kadarusman. Agama, Relasi Gender dan Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005.
Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, Jakarta; LP3ES, 1984.
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta; Gramedia,
1989.
Mas'udi, F., Masdar, "Perempuan dintara Lembaran Kitab Kuning" dalam
Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya;
Risalah Gusti, 1996.
Megawangi, Ratna, "Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan
Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman" dalam
Membincang Feminisme.
Mufid, Syafii, Ahmad dalam "Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa
Tengah" dalam Jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992.
Mufidah, Paradigma Gender, Malang; Bayumedia, 2004.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta; Rake Sarasin,
1996.
Muhaimin A.G. “ Pesantren, Tarekat dan Teka-teki Hodgson: Potret Buntet
dalam Perspektf Transmisi dan pelestarian islam di Jawa dalam
pesantren Masa depan, Editor Marzuki Wahid dkk, Bandung, pustaka
Hidayah, 1999.
Mulia, Musdah, Perempuan Reformis; Perempuan Pembaharu Keagamaan,
Bandung; Mizan, 2005.

40
Mulyana, Dedy, Meodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung; Rosda Karya, 2003.
Murata, Sachito, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender in Islamic Thought
Amerika Serikat ; State University of New York , 1992.
Murniati, P., Nunuk, Getar Gender, Magelang; Indonesiatera, 2004.
Mustain, Rajasa dan Mulkhan, Munir, Abd., Bisnis Kaum Sufi; Studi Tarekat
dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1998.
Muthali'in, Achmad, Bias Pendidikan dalam Pendidikan, Surakarta;
Muhammadiyah University Press, 2001.
Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung; Tarsito, 1992.
Nawawi, Hadari, Penelitian Terapan, Yogyakarta: UGM University Press, 1994.
Nurbakhsh, Javad, Sufi Women, London; Yale University Press, 1983.
R. C. Bogdan, dan S.K., Biklen, Qualitative Research for education to theory dan
Methods, Boston; alllyn and Bacon, Inc, 1982.
Rozaki, Abdur, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai
Rezim Kembar di Madura, Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004.
Said, Fuad, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Jakarta; Alhusna Zikra, 1993.
Schimmel, Annemarie, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas
Islam, Bandung; Mizan, 1998.
Shihab, Alwi, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Mizan,;Bandung, 2001.
Simuh, Tasawuf dan PerkmbangannyaDalam Islam, Jakarta; Rajawali Pers, 1996.
Smith, Margaret, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Penterjemah. Jamilah
Baraja Surabaya; Risalah Gusti, 1997.
Spradly, Participant Obsvation, New York; Holt and Wingston, 1980.
Subhan, Arief, dkk, Citra Perempuan Dalam Islam: Pandangan Ormas Keagamaan,
Jakarta; PT Gramedia Pustaka, 2003.
Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta; Sebelas Maret, 2002.
Syam, Nur, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam, Surabaya; Pustaka
Eureka, 2005.
-------------, Islam Pesisir, Yogyakarta; LKiS, 2005.
Tong, Putnang, Rosemarie, Feminist Thought, Penerjemah; Aquarini P.
Yogyakarta; JALASUTRA, 1998.
Turmudzi, Endang, Perseleingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta; LKiS,
2004.
Umar, Nasaruddin, "Perspektif Jender Dalam Islam" dalam Jurnal Pemikiran
Islam PARAMADINA, Vol. 1 Nomor 1, Juli-Desember 1998.
Water Malcolm, Modern Sociological Theory, London; Sage Publications, 1994.
Yanggo, Tahido, Huzaemah, "Pangdangan Islam Tentang Gender" dalam,
Membincang Feminisme.
Zahri, Mustafa, Ilmu Tasawuf, Surabaya; Bina Ilmu, 1995.

41

Potrebbero piacerti anche